Pencarian

Sayap Sayap Terkembang 8

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 8


Warsi memang termangu-mangu sejenak. Namun dengan diam-diam bibi Kasadha telah berlari masuk ke dalam rumahnya dan sejenak kemudian ia telah menyelinap kembali ke halaman sementara Kasadha telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Nah," berkata Ki Rangga, "jika kau masih ingin hidup bersamaku, relakan anakmu. Aku akan membunuhnya, atau kau akan melakukannya sendiri?"
"Sudah beberapa kali aku katakan. Aku lahirkan anakku dengan bertaruh nyawa. Kini aku relakan nyawaku untuk mempertahankan hidupnya," jawab Warsi.
Jantung Kasadha benar-benar tersentuh. Sementara itu Ki Rangga berkata, "Jika demikian, maka kita telah memilih jalan kita sendiri-sendiri. Kau membiarkan dirimu dikhianati, dihinakan dan barangkali lain kali kau akan dibunuh. Sedang aku tidak. Aku ingin membunuh anak itu. Siapa yang menghalangi aku, akan aku singkirkan. Hidup atau mati."
Ki Ranggapun kemudian telah memberi isyarat kedua kawannya untuk bersiap. Ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, katanya, "Jika isteriku harus terbunuh sengaja atau tidak sengaja, aku merelakannya."
Ketiga orang lawan Warsi itupun telah bersiap. Mereka telah mengacukan senjata masing-masing. Dengan lantang Ki Rangga berkata, "Meskipun bulan nampak di langit, tetapi kau tidak akan mampu menghadapi tiga pucuk senjata di tangan kami. Hisap dalam-dalam udara malam ini yang diterangi oleh cahaya bulan. Sadap inti getarannya dan salurkan lewat urat darahmu. Kau akan menjadi perempuan yang paling garang. Namun ujung senjata kami akan menghancurkanmu juga, karena meskipun di bawah sinar bulan purnama, kau dapat juga dikalahkan oleh perempuan liar dari Tanah Perdikan Sembojan itu."
"Ya," jawab Warsi yang ternyata jiwanya telah mapan, "aku memang dikalahkannya. Ilmuku memang kurang memadai untuk melawannya. Tetapi aku merasa bahwa ilmuku cukup baik untuk menghancurkan kalian bertiga."
Ki Rangga tidak menjawab lagi. Ia telah memberi isyarat kepada kedua orang kawannya untuk menyerang.
Jantung Warsi memang menjadi berdebar-debar ketika ia melihat tiga pucuk senjata di tangan orang-orang yang garang itu. Namun ia menjadi semakin percaya diri, ketika bulan menjadi semakin tinggi dan cahayanya bagaikan semakin padat menyiram halaman itu. Inti getarannya menjadi semakin menggelepar di dalam dada Warsi, sehingga urat-urat darahnya serasa menjadi semakin panas dan darahnyapun menggelegak. Darah yang dialiri kebuasan sifat Kalamerta, meskipun jiwanya sudah berubah.
Ketika ketiga orang lawannya mulai bergerak, maka Warsipun telah bersiap sepenuhnya. Ia tidak menghiraukan lagi pakaiannya. Ia memerlukan perhatian sepenuhnya atas ketiga orang lawannya yang bersenjata itu.
Namun dalam pada itu, ketika keadaan menjadi semakin tegang, maka sepupu Warsi itu telah memanggilnya. Namun katanya, "Jangan lepaskan perhatianmu atas ketiganya. Aku akan datang kepadamu."
Ki Rangga adalah orang yang paling tergetar hatinya ketika ia melihat sepupu Warsi itu meloncat sambil menyerahkan segulung rantai. Senjata Warsi yang paling terpercaya.
"Iblis betina, kau," geram Ki Rangga.
Warsi menerima rantai itu sambil berkata, "Terima kasih. Akan aku habisi mereka bertiga."
Ki Rangga Gupita dan kedua orang kawannya itu memang menjadi tegang melihat Warsi dengan senjatanya. Kedua kawan Ki Rangga itu belum pernah melihat Warsi bermain-main dengan seutas rantai. Namun melihat cara Warsi memegang rantai itu, keduanya memang menjadi berdebar-debar.
Sejenak kemudian, maka rantai itupun telah berputar. Cahaya bulan yang terang memantul pada putaran rantai yang berkilat.
"Hati-hati dengan rantai itu," berkata Ki Rangga Gupita.
"Nah, bukankah kau telah mengenalinya?" bertanya Warsi, "karena itu, hentikan perlawanan kalian. Berjanjilah bahwa kau tidak akan mengganggu anakku lagi."
"Persetan dengan rantaimu," geram Ki Rangga Gupita. Lalu katanya kepada kedua kawannya, "Marilah. Kita akan menyelesaikannya. Ia akan menjadi semakin buas dengan rantainya itu."
Warsi tidak menyahut. Tetapi ujung rantai itu tiba-tiba saja telah mematuk Ki Rangga Gupita, sehingga Ki Rangga harus meloncat mundur.
Namun dalam pada itu, maka kedua lawannya yang bersenjata pedang itupun telah bergerak maju. Keduanya mulai menyerang dari arah yang berbeda. Namun rantai itu berputar begitu cepat.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak ternyata menguasai senjata masing-masing dengan baik. Pedang di tangan kedua orang kawan Ki Rangga itupun berputaran seperti baling-baling diputar angin yang kencang. Seakan-akan menimbulkan gumpalan kabut putih di sekitar orang yang memutarnya.
Keris Ki Rangga sendiri telah berputaran pula. Sekali-sekali Ki Rangga bergeser mencari arah untuk menyerang. Namun sekali-sekali Ki Rangga sempat berpaling memandang Kasadha yang berdiri termangu-mangu.
Namun ternyata bahwa bibi Kasadha itu tidak saja mengambil seutas rantai. Tetapi ia juga mengambil pedangnya sendiri.
Kepada Kasadha ia berbisik, "Aku tidak sempat mengambil pedangmu. Tetapi berhati-hatilah. Ki Rangga setiap kali berpaling kepadamu."
"Pinjamkan pedang itu kepadaku bibi," berkata Kasadha.
Tetapi bibinya tidak segera memberikannya. Ia justru bagaikan membeku memandang Warsi memutar rantainya menghadapi ketiga lawannya.
Kasadhapun bagaikan terpukau melihatnya. Rantai itu berputar dengan cepat. Namun kemudian bagaikan menggeliat. Ujungnya tiba-tiba saja telah mematuk seperti kepala seekor ular bandotan.
Namun ketiga lawannyapun bertempur dengan tangkasnya pula. Ketiganya berloncatan dengan senjata masing-masing di tangan. Senjata yang bergantian mematuk dan sekali-sekali menebas mendatar. Namun ketiganya setiap kali harus meloncat menjauh dari jangkauan ujung rantai yang berputar dengan cepat itu.
Di bawah cahaya bulan, maka Warsi benar-benar telah mampu mengerahkan ilmu yang masih dikuasainya.
Begitu menggetarkan sehingga Kasadha hampir tidak percaya kepada penglihatannya.
"Sebelum tubuh ibu menjadi cacat, maka ilmunya tentu benar-benar nggegirisi," berkata Kasadha. Namun ia masih juga terbayang lagi kemampuan Iswari yang lebih baik dari ibunya.
Dalam pada itu, maka pertempuran itupun telah menjadi semakin cepat. Namun ketiga orang lawan Warsipun memiliki ilmu pedang yang tinggi. Ketika Warsi mengayunkan rantainya menyerang seorang di antara mereka, maka dengan sengaja lawannya telah berusaha untuk menahan putaran rantainya, sehingga ujung rantai itu telah membelit senjatanya. Pada saat yang demikian maka seorang yang lain telah mempergunakan kesempatan untuk menyerang Warsi dengan satu loncatan panjang. Ujung pedangnya terjulur lurus mengarah ke dada.
Warsi melihat serangan itu. Tetapi ia memang dalam keadaan yang sulit. Sebelum sempat mengurai cambuknya maka ujung pedang itu telah menjadi semakin dekat.
Karena itu, maka Warsipun harus mengambil sikap.
Ketika ujung pedang itu benar-benar hampir menggapainya, maka Warsi telah menjatuhkan dirinya. Sambil berguling ia berusaha untuk mengurai cambuknya yang membelit daun pedang seorang lawannya.
Namun ujung pedang itu ternyata telah menggores di lengan Warsi. Tidak begitu dalam. Tetapi perasaan pedih telah menyengat sementara darahpun mulai menitik.
Kemarahan Warsipun menjadi semakin menggelegak sampai ke ubun-ubun. Karena itu, demikian ia meloncat bangkit, serta ujung rantainya telah berhasil terurai, maka Warsipun segera menghentakkan segenap kemampuan ilmu yang masih tersisa padanya.
Ketiga lawannyapun ternyata benar-benar menjadi teramat sibuk. Warsi yang marah dan tidak mengekang diri lagi itu, ternyata masih menyimpan untuk tidak mempergunakan ilmu gelap ngampar yang masih tersisa padanya. Jika ia tertawa dengan nada suara iblis betina, maka ia akan dapat membuat Kasadha menjadi kecewa.
Namun dengan ilmu yang dipergunakannya itu, Warsi benar-benar telah menggulung kesempatan ketiga orang lawannya. Luka di lengannya bagaikan api yang menyalakan minyak yang telah mendidih di dalam hatinya.
Ketika seorang lawannya ingin mengulangi keberhasilannya dengan menahan putaran rantai Warsi sehingga rantai itu membelit daun pedangnya dan memberi kesempatan kawannya menyerang, maka orang itu tidak berhasil. Demikian ujung rantai Warsi membelit daun pedang itu, maka satu hentakkan yang sangat kuat seakan-akan telah mengisap pedangnya, sehingga pedang itu terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa langkah.
Orang itu terkejut. Tangannya terasa pedih. Dengan serta-merta iapun berusaha untuk meloncat menjauhi lawannya. Tetapi Warsi yang sudah tidak mempunyai kesempatan lain untuk melindungi dirinya sendiri kecuali menghancurkan lawan-lawannya itu, tidak memberinya kesempatan. Demikian orang itu meloncat surut, Warsi telah menghentakkan rantainya lagi. Ujungnya dengan cepat meluncur, mengejar orang yang meloncat surut itu.
Teriakan kesakitan telah terdengar menggelepar di sepinya malam yang menjadi semakin dalam. Ujung rantai Warsi telah menghantam dada orang itu demikian kerasnya, sehingga sebuah tulang iganya patah. Kulit dan dagingnya terkoyak, sementara ia jatuh terlentang, kepalanya telah membentur tanah yang keras.
Orang itu menggeliat kesakitan. Namun ia tidak dapat bangkit lagi. Dadanya terasa diremas oleh perasaan sakit, sementara darah bagaikan menyembur dari lukanya.
Tulang iganya yang patah telah menekan dan membuat lukanya semakin parah.
"Kau memang iblis betina," geram Ki Rangga Gupita, "ternyata aku harus membunuhmu lebih dahulu. Baru anakmu yang durhaka itu."
Warsi sama sekali tidak menjawab. Namun kemudian lawannya tinggal dua orang. Meskipun lengannya telah terluka, tetapi perempuan itu masih tetap garang.
Ternyata Warsi tidak memerlukan waktu terlalu lama Dengan kemarahan yang meluap-luap, apalagi dengan luka di lengannya Warsi telah menyerang kedua lawannya sejadi-jadinya. Kawan Ki Rangga yang tinggal seorang itu berusaha untuk mampu mengimbangi permainan rantai Warsi dengan ilmu pedangnya. Namun ketika Warsi menjadi semakin muak dengan pertempuran itu, maka sambil menghindari serangan pedang lawannya yang berhasil menyusup putaran rantainya, ia telah memutar rantainya yang seakan-akan menggeliat. Sambaran yang keras telah menghantam kawan Ki Rangga yang bersenjata pedang itu tepat di punggungnya.
Sekali lagi terdengar pekik kesakitan. Namun sebelum orang itu sempat berbuat sesuatu, maka rantai Warsi telah bergetar sekali lagi menyambar orang itu pada lambungnya sehingga terkoyak.
Sejenak kemudian orang itupun telah terjatuh di tanah. Menggelepar dan kemudian diam.
Ki Rangga Gupita menjadi bagaikan gila. Sambil mengumpat-umpat kasar dan kotor, ia telah menyerang Warsi dengan segenap sisa tenaganya.
Namun Warsipun seakan-akan telah menjadi mata gelap pula. Ia tidak mengingat lagi apa yang pernah diperbuatnya dengan Ki Rangga Gupita di saat-saat ia masih bernafsu untuk menjadi Tanah Perdikan sebagai batu loncatannya menggapai kemukten yang lebih tinggi.
Karena itu, ketika Ki Rangga itu menyerangnya dengan kerisnya yang besar, maka Warsipun telah melakukan hal yang sama dengan rantainya.
Ki Rangga masih sempat menangkis ayunan rantai Warsi dengan kerisnya. Bahkan kemudian seperti berayun ia meloncat menyerang Warsi dengan kakinya, sementara ujung rantai Warsi masih membelit kerisnya.
Tetapi Warsipun dengan tangkas menghindar. Bahkan ketika kaki Ki Rangga itu terayun sejengkal dari tubuhnya, dengan serta-merta ia telah mengangkat kaki itu dengan satu pukulan yang keras. Demikian Ki Rangga terjatuh, maka Warsi justru telah meloncat mengambil jarak. Ia telah, memperhitungkan kemungkinan berikutnya yang bakal terjadi.
Sebenarnyalah Ki Rangga telah melenting bangkit berdiri. Sementara itu, ujung rantai Warsi telah terurai dari belitannya di daun keris Ki Rangga. Karena itu, dengan sekuat tenaga Warsi mengayunkan rantainya mendatar dan menghantam tubuh Ki Rangga yang baru saja tegak berdiri.
Ki Rangga tidak sempat mengelak. Rantai itu telah mengenai tubuhnya dengan deras sekali dilambari dengan segenap kekuatan Warsi yang tersisa di bawah siraman cahaya bulan yang cerah di langit.
Yang terdengar adalah teriakan yang panjang. Rantai itu menghantam dan kemudian membelit tubuh Ki Rangga Gupita. Ketika dengan sekuat tenaganya Warsi menarik rantainya, maka Ki Rangga telah terputar seperti gasing dengan sebagian kulit tubuhnya yang terkelupas, sementara tulang-tulangnya berpatahan.
Sejenak kemudian, maka tubuh itupun telah terbanting dan berguling di tanah. Namun kemudian tubuh itu sama sekali tidak bergerak lagi.
Tiga sosok tubuh telah terbaring di tanah. Ternyata ketiga-tiganya telah terbunuh.
Sejenak Warsi berdiri tegak. Ketika ia mengangkat wajahnya maka dilihatnya bulan tinggi di belakang lembaran mega yang tipis namun kemudian hanyut dan lenyap di cakrawala.
Warsi menghirup udara malam yang segar.
Namun kemudian, wajahnya itupun telah menunduk. Dilihatnya Ki Rangga Gupita yang telah dibunuhnya. Perlahan-lahan Warsi berlutut di sisinya. Kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Warsi menangis sejadi-jadinya.
Sepupunya dan Kasadha telah mendekatinya. Dengan lembut sepupunya itupun berkata, "Marilah. Sudahlah, yang terjadi sebaiknya memang terjadi."
"Aku telah membunuhnya," berkata Warsi sambil melepaskan rantainya.
"Kau tidak mempunyai pilihan lain," desis sepupunya.
"Aku mengerti," jawab Warsi, "tetapi aku hari ini telah membunuh lagi."
"Namun dengan tujuan yang berbeda ibu," bisik Kasadha.
"Aku malu sekali Puguh," berkata ibunya.
"Kenapa?" Kasadha justru bertanya.
"Kau sekarang melihat sendiri, bagaimana ibumu menjadi liar dan buas seperti binatang di hutan," jawab ibunya, "aku telah berteriak, berloncatan dan dengan kasar melawan ketiga orang itu untuk kemudian membunuhnya."
"Yang nampak itu hanyalah cara ibu," berkata Kasadha, "tetapi seperti yang aku katakan, jiwa dari perbuatan ibu sudah berbeda meskipun kulitnya masih tetap sama."
"Aku telah membunuh dua orang laki-laki yang kedua-duanya adalah ayah dari anak-anakku. Anak-anak kandungku," tangis Warsi.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa itu merupakan bagian dari kehidupan ibunya masa lalu. Masa yang harus dilupakannya, sebagaimana ia ingin melupakan masa lalunya sendiri.
Karena itu, maka Kasadhapun kemudian berkata, "Marilah ibu. Kita masuk ke dalam."
"Marilah," ajak sepupunya pula.
Warsi masih menangis. Namun kemudian ketika ia dibimbing oleh sepupu dan anaknya, maka Warsipun telah bangkit. Tetapi ia tidak meraih rantainya yang masih terletak di tanah.
Sepupunyalah yang telah mengambilnya, menggulungnya dan kemudian membawanya masuk ke ruang dalam.
Setelah duduk Warsi itu masih juga berkata, "Ada tiga sosok mayat di halaman samping."
"Aku akan menguburkannya ibu," jawab Kasadha.
"Kau tidak usah membawa kemana-mana," berkata bibinya, "kuburkan di halaman belakang rumah ini. Rumah yang tidak akan dihuni oleh siapapun lagi."
"Kenapa?" bertanya Kasadha.
"Tidak ada orang lain disini kecuali aku. Jika aku kelak meninggal, aku tidak tahu, siapakah yang akan memiliki rumah ini," berkata sepupu Warsi itu, "karena aku yakin, kau tidak akan mau tinggal disini, apalagi jika kau kemudian mendapat pangkat yang lebih tinggi dalam dunia keprajuritan. Kau masih muda. Kemungkinan untuk menjangkau pangkat yang setinggi-tingginya masih terbuka."
Kasadha hanya dapat menarik nafas. Tetapi iapun kemudian memang menguburkan ketiga sosok mayat itu di halaman belakang rumah itu. Di bawah rumpun bambu yang rimbun di antara beberapa pohon perdu. Namun Kasadha telah membuat lubang kubur yang cukup dalam.
"Akhirnya Ki Rangga Gupita dikubur disini," suara Warsi sangat dalam di rongga dadanya setelah ia menunggui Kasadha menimbun kembali lubang-lubang yang dibuatnya untuk mengubur ketiga sosok mayat itu.
"Ia merupakan kenangan baik dan sekaligus buruk bagiku," berkata Warsi itu pula, "ia pernah bersama-sama dengan aku menyusun harapan-harapan yang ternyata tidak lebih dari harapan gila. Namun harapan itu telah menumbuhkan gairah untuk memperjuangkannya. Mendorong untuk meningkatkan ilmu dan kerja keras. Tetapi ternyata apa yang aku kerjakan dengan keras itu salah arah. Akhirnya, hidupnya justru telah menjadi hantu dalam hidupku. Di saat-saat terang mulai memercik di hati karena siraman-siraman petunjuk yang tidak henti-hentinya dari Ki Randukeling dan Ki Ajar Paguhan, serta kesempatan untuk menilai kehidupan ini, maka setiap aku melihat bayangannya rasa-rasanya jantungku berdebar semakin cepat. Aku ingin ia pergi. Tetapi aku tidak dapat menolak kehadirannya. Sehingga Ki Rangga Gupita bagiku bagaikan duri yang setiap saat menusuk kulit dari dalam tulang," Warsi itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Sehingga akhirnya aku telah membunuhnya."
"Sudahlah," berkata Kasadha, "biarlah ia tidur nyenyak dengan mimpi gilanya. Kedua orang kawannya telah diseretnya kemari untuk bersama-sama menjelang maut. Tetapi hal itu agaknya yang terbaik bagi mereka."
Bertiga merekapun masuk kembali ke ruang dalam setelah mereka membersihkan diri di pakiwan.
Bagaimanapun juga Warsi memang menjadi bersedih. Ia telah melakukan pembunuhan lagi saat ia mencoba untuk mencuci diri. Sedangkan yang dibunuhnya antara lain adalah laki-laki yang telah menjadi pasangannya untuk waktu yang panjang.
Kasadha tidak ingin mengganggu ibunya ketika ibunya kemudian pergi ke biliknya. Katanya, "Aku ingin beristirahat. Aku lelah lahir dan batin."
"Apakah luka ibu tidak diobati?" bertanya Kasadha.
"Segores kecil. Aku telah membersihkannya. Aku nanti akan mengobatinya sendiri," jawab ibunya.
Kasadha kemudian duduk seorang diri di ruang dalam ketika bibinya justru pergi ke dapur untuk merebus air. Ia mengerti, bahwa baik Warsi maupun Kasadha tentu menjadi haus seperti juga dirinya. Meskipun mereka telah menghirup air gendi yang sejuk, namun minuman hangat akan menyegarkan tubuh mereka.
Namun dalam pada itu, pintu pringgitan rumah itu telah diketuk orang. Tidak terlalu keras. Namun baik Warsi maupun sepupunya telah mendengarnya, sehingga sejenak kemudian mereka telah berada di ruang dalam bersama Kasadha.
Untuk beberapa saat mereka menjadi ragu-ragu. Ketukan itu ternyata terdengar lagi. Masih juga tidak terlalu keras.
Akhirnya Kasadha telah bangkit dan melangkah ke pintu sementara ibunya dan bibinya berdiri termangu-mangu.
Ketika pintu terbuka, yang berdiri di luar pintu adalah dua orang tua. Ki Randukeling dan Ki Ajar Paguhan.
"Kakek," Kasadha hampir berteriak, "guru. Marilah, silahkan masuk."
Keduanyapun kemudian telah melangkah masuk dan duduk di ruang dalam bersama-sama dengan Warsi dan Kasadha. Sementara itu, sepupu Warsi setelah mempersilahkan mereka duduk, telah pergi ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Adalah kebetulan bahwa ketika kedua orang tamu itu datang, air telah mendidih.
Setelah menghidangkan minuman hangat sepupu Warsi itupun telah ikut duduk bersama mereka di ruang dalam. Ternyata Kasadha telah menceriterakan dengan singkat perjalanannya dari baraknya setelah ia mendapat waktu beristirahat selama lima hari.
"Besok aku merencanakan untuk kembali ke Pajang," berkata Kasadha kemudian.
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Sebenarnya aku telah mencemaskanmu Kasadha. Aku yakin bahwa ibumu akan dapat menerimamu dengan baik. Tetapi aku masih meragukan Ki Rangga Gupita. Karena itu, demikian aku sampai di rumah, serta mendapat keterangan tentang kepergianmu kemari, akupun segera menyusulmu."
"Hari ini Ki Randukeling dan Ki Ajar Paguhan baru sampai disini" Berapa hari yang lalu Ki Randukeling dan Ki Ajar meninggalkan rumah ini?" bertanya Warsi.
"Kami memang tidak segera kembali ke pondok kami. Kami masih berputar-putar melihat cakrawala dengan mata tua kami. Ternyata semuanya telah menjadi kabur bagi kami," berkata Ki Randukeling.
Kasadha mengangguk-angguk. Semuanya memang semakin menjadi tua Ki Randukeling sudah nampak tua sekali. Demikian Ki Ajar, meskipun keduanya masih sanggup berjalan menelusuri jalan yang panjang.
Namun dalam pada itu Warsi telah berkata, "Seandainya Ki Randukeling dan Ki Ajar datang sebelum senja."
"Kenapa jika sebelum senja?" bertanya Ki Randukeling.
"Mungkin segala sesuatunya akan dapat dicegah," desis Warsi sambil menunduk.
"Apa yang telah terjadi?" desak Ki Randukeling.
Warsi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah menceriterakan apa yang telah terjadi di rumah itu.
"Aku masih membunuh lagi hari ini," suara Warsi menjadi sangat dalam.
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Ajar Paguhan berkata, "Tetapi kau tidak merencanakan untuk membunuh."
Warsi mengangguk kecil. Namun katanya, "Akupun telah menunjukkan kepada anakku, betapa ibunya adalah seorang perempuan liar dan buas. Aku tidak dapat menyembunyikannya ketika aku harus mengerahkan kemampuanku untuk melawan tiga orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi."
"Kasadha sudah cukup dewasa untuk mengurai tangkapan inderanya. Ia dapat melihat apa yang ditangkap secara kewadagan dan apa yang dapat diraba dengan getaran jiwanya. Ia dapat membedakan kekasaran ujud dari maknanya. Karena itu kau tidak usah menjadi gelisah karenanya. Hormatnya kepadamu tidak akan susut melihat kau terpaksa membunuh justru untuk menyelamatkan jiwa anak itu serta wibawamu atasnya tidak akan berkurang karena kau telah bertempur dengan cara yang kasar," berkata Ki Randukeling kemudian.
Warsi mengangguk-angguk kecil. Jiwanya memang terasa menjadi sedikit sejuk sebagaimana saat-saat Ki Randukeling dan Ki Ajar Paguhan datang ke tempat itu sebelumnya.
Kasadhapun kemudian menceriterakan bahwa ia telah mengubur ketiga sosok mayat itu di kebun belakang.
"Kami tidak ingin mengganggu padukuhan ini," berkata Kasadha.
"Tetapi perkelahian itu sendiri tentu menimbulkan pertanyaan orang di luar dinding halaman ini," berkata Ki Randukeling.
"Mudah-mudahan tidak terlalu mengganggu. Kami bertempur di halaman belakang, dibatasi oleh rumpun bambu dan kebun yang kosong di sisi lain. Rumah tetangga kami memang agak jauh. Yang terdekat terletak di sebelah kebun kosong itu," jawab sepupu Warsi.
Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Merekapun merasa menyesal bahwa mereka datang terlambat. Seandainya mereka tidak terlambat, mungkin hal itu akan dapat dicegah.
Sementara itu Ki Randukelingpun sempat melihat luka di pundak Kasadha dan di lengan Warsi. Namun luka. di pundak Kasadha ternyata agak lebih parah dari luka di lengan Warsi yang seakan-akan hanya tergores kulitnya saja, meskipun sempat meneteskan darah pula. Sedangkan luka di pundak Kasadha memang agak dalam, karena pisau belati itu telah menancap di pundak itu.
Dalam pada itu, setelah minum minuman hangat dan makan seadanya, maka Ki Randukeling dan Ki Ajar Paguhanpun telah dipersilahkan untuk beristirahat. Mereka dipersilahkan mempergunakan bilik yang dipergunakan oleh Kasadha, sementara Kasadha dapat mempergunakan tempat dimana saja di dalam rumah yang tidak begitu besar itu. Kasadha dapat tidur di sebuah amben besar di ruang dalam, atau di lincak bambu di serambi.
Sebelum tidur, Kasadha sempat memberitahu bahwa besok ia justru akan kembali ke Pajang.
"Begitu tergesa-gesa?" bertanya Ki Randukeling.
"Aku mendapat waktu lima hari," berkata Kasadha, "besok adalah hari terakhir, sehingga besok aku sudah harus kembali ke Pajang dan berada di barak."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Dengan nada lembut ia berkata, "Pertahankan sikapmu Kasadha. Agar kau mendapat tempat yang lebih baik di dalam dunia keprajuritan."
"Ya kakek," jawab Kasadha.
"Menurut pendapat kami," berkata gurunya, "kau telah berada di tempat yang tepat. Kami akan membantumu sejauh dapat kami lakukan dan tidak melanggar paugeran."
Kasadha termangu-mangu. Namun gurunya berkata selanjutnya, "apakah kau masih diperkenankan meningkatkan ilmumu di luar jalur keprajuritan" Maksudku, apakah kau masih diperkenankan melakukan latihan-latihan khusus secara pribadi?"
"Nampaknya tidak ada larangan tentang hal itu guru," jawab Kasadha.
"Baiklah. Lain kali aku akan menengokmu sekali-sekali di barakmu. Kita akan melihat kemungkinan itu. Tetapi jika hal itu tidak diperkenankan, maka lebih baik kau tidak melakukannya," berkata gurunya.
Kasadha mengangguk-angguk. Hal itulah yang kemudian selalu direnunginya. Ketika kemudian kakek dan gurunya telah berada di dalam biliknya, maka Kasadha sempat merenung sendiri sementara ibu dan bibinya telah berada di dalam biliknya pula.
*** JILID 40 ANAK muda itu telah membayangkan kemungkinan untuk meningkatkan ilmunya bersama gurunya pada waktu-waktu tertentu untuk justru memberitahukan rencana itu kepada Ki Tumenggung Sarayuda. Bukankah dengan demikian, justru akan menguntungkan kesatuannya" Bahkan setidak-tidaknya seorang di antara mereka sempat meningkatkan ilmunya"
Selagi Kasadha duduk termangu-mangu maka bibinya telah keluar dari biliknya dan mendekatinya serta duduk di sampingnya. Kasadha beringsut sejengkal. Wajahnya berkerut. Tetapi ia tidak bertanya lebih dahulu.
Seperti yang diduganya, bibinya kemudian telah berkata, "Kasadha, aku minta kau merenungkannya. Jika kau sudah ingin beristeri, katakan kepada bibi. Gadis yang aku katakan itu adalah gadis yang baik" Mungkin kau nilai ibumu dan bibimu ini sebagai perempuan-perempuan yang liar, meskipun pada suatu saat telah bertaubat. Tetapi gadis ini sama sekali bukan. Ia benar-benar gadis yang baik. Jika aku boleh berterus terang, akulah yang telah melahirkan gadis itu. Tetapi ia tidak mengenal bahwa aku adalah ibunya. Ia hidup dalam lingkungan keluarga yang baik."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba membayangkan wajah seorang gadis yang sendu. Yang sejak dilahirkan telah dipisahkan dari ibunya. Murung dan pemalu.
Namun yang selalu terbayang adalah justru wajah Riris. Senyumnya, sedikit manja dan wajahnya yang jernih. Riris juga seorang pemalu. Namun kedua orang tuanya nampaknya berusaha untuk mengajarinya bergaul.
Tetapi Kasadha kemudian telah memandang ke dirinya sendiri. Sebuah pertanyaan telah memercik di hatinya, "Aku ini siapa?"
Karena Kasadha tidak juga segera menjawab, maka bibinya kemudian berkata, "Baiklah Kasadha. Kau tentu belum dapat menjawabnya karena kau belum pernah bertemu dengan gadis itu. Aku tidak sekedar memuji. Tetapi gadis itu tidak berparas buruk. Ia tidak sejahat ibunya ini dan seperti aku katakan, ia berada di lingkungan orang yang baik."
"Bibi," berkata Kasadha kemudian, "sebagaimana bibi katakan, aku belum pernah bertemu dengan gadis itu. Apalagi aku belum yakin, apakah gadis itu belum pernah mempunyai hubungan batin dengan seseorang sehingga apa bila ia harus memenuhi keinginan bibi itu, ia akan menderita. Atau mungkin orang tua yang mengasuhnya sudah pernah berbicara dengan seseorang tentang anak gadis itu. Sementara itu, agaknya aku sendiri masih belum siap memasuki sebuah keluarga yang harus aku bina sendiri, jika aku mendapat pangkat Lurah Penatus itu benar-benar karena keadaan darurat di samping kemujuran. Di saat yang genting, kedudukan itu tiba-tiba kosong. Nampaknya aku adalah prajurit tertua, maksudku bukan umurnya, tetapi tugasnya, di dalam pasukan itu bersama beberapa orang. Nah, di antara beberapa orang inilah aku adalah orang paling mujur."
Bibinya tersenyum. Katanya, "Apapun yang menjadi dasar penunjukan itu, tetapi satu kenyataan kau adalah seorang Lurah Penatus."
Kasadha hanya dapat mengangguk-angguk saja. Sementara bibinya berkata, "Tetapi baiklah. Kau memang harus melihat dahulu. Akupun harus meyakinkan, apakah ia belum mengikat janji dengan seseorang atau orang tua angkatnya belum pernah menerima seseorang yang melamarnya."
Kasadha mengangguk kecil sambil berkata, "Terima kasih bibi. Aku akan mendapat kesempatan untuk bernafas. Selama ini aku masih saja selalu dicengkam oleh ketegangan tugas-tugasku."
Bibinya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil beringsut ia berkata, "Pikirkan baik-baik Kasadha."
Kasadha menunduk. Sementara bibinyapun kemudian telah meninggalkannya duduk sendiri. Namun sebelum bibinya hilang di balik pintu biliknya, ia sempat berkata, "Beristirahatlah. Bukankah kau besok akan menempuh perjalanan?"
Malam itu dilaluinya dengan gejolak di jantung Kasadha. Kematian laki-laki yang selalu membayanginya sehingga rasa-rasanya hampir membuatnya gila itu mempunyai kesan tersendiri di dalam hatinya. Ia merasa bahwa ibunya telah benar-benar berubah. Bukan kulitnya, tetapi sampai ke dasar nuraninya, meskipun justru kulitnya masih berkesan yang lama.
Namun sekali-sekali tersembul kegelisahannya menerima tawaran bibinya tentang seorang gadis yang menurut bibinya pantas menjadi isterinya, isteri seorang prajurit. Tetapi yang muncul di angan-angannya justru selalu wajah Riris.
"Aku tidak dapat membayangkan wajah gadis itu meskipun ia anak bibi yang tentu mempunyai kemiripan dengan wajah bibi," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Namun akhirnya Kasadha itu sempat tertidur pula beberapa lama.
Pagi-pagi benar Kasadha sudah terbangun. Lebih dahulu dari yang lain. Setelah menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan maka iapun segera mandi.
Tetapi beberapa saat kemudian seisi rumah itupun telah terbangun pula. Ibu dan bibinya segera pergi ke dapur untuk menjerang air dan menanak nasi.
Ketika Kasadha kemudian selesai berbenah diri, maka bibinya telah minta kepadanya agar makan lebih dahulu.
"Kau akan menempuh perjalanan panjang," berkata ibunya, "makanlah lebih dahulu."
Demikianlah, ketika matahari kemudian terbit, maka Kasadha telah minta diri. Kakek dan gurunya yang beberapa hari sebelumnya telah berada di rumah itupun tidak akan tinggal terlalu lama.
"Besok aku dan gurumu juga akan meninggalkan rumah ini," berkata kakeknya, "jika ada kesempatan, aku menunggumu."
"Ya kakek," jawab Kasadha, "Aku memang berniat segera menghubungi kakek dan guru. Jika aku diperkenankan untuk menimba ilmu lebih banyak lagi di luar tatanan keprajuritan, maka aku akan segera menghadap guru."
"Datanglah," berkata Ki Ajar Paguhan, "kau tentu masih memerlukannya."
Demikianlah, sekali lagi Kasadha mohon diri kepada ibu dan bibinya. Warsi, orang yang semula dikenal sebagai seorang perempuan yang berhati batu, ternyata telah menitikkan air mata ketika anak laki-lakinya yang hampir terlepas dari ikatan keibuannya itu mencium tangannya.
Sambil mengusap kepalanya ia berkata, "Maafkan ibumu Puguh. Ibumu tidak dapat menempatkan dirinya sehingga selama ini sama sekali tidak membantumu. Beruntunglah kau bahwa dengan bantuan kakek dan gurumu, kau menemukan jalan yang paling sesuai kau jalani sekarang ini. Teruskan dan usahakan agar kau dapat tetap berada di dalamnya."
"Ya ibu," jawab Kasadha, "pesan ibu akan selalu aku ingat."
Kepada bibinyapun Kasadha telah mohon diri dengan mencium tangannya pula, sementara bibinya berkata, "Pikirkan tawaranku baik-baik Kasadha."
"Aku akan memikirkannya bibi," jawab Kasadha.
Warsi, yang pelupuk matanya masih basah, sempat pula tersenyum mendengar pesan sepupunya. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Demikianlah, maka Kasadhapun telah meninggalkan rumah bibinya itu. Ketika ia keluar dari padukuhan, maka kepalanya justru menengadah. Dadanya terasa jauh lebih lapang dari saat ia datang. Tidak ada lagi kecemasan di dadanya tentang sikap ibu dan bibinya. Seakan-akan matahari hari itu bersinar jauh lebih cerah dari matahari yang tiga hari yang lalu terbit di pagi hari. Langitpun rasa-rasanya menjadi lebih jernih. Demikian pula hati Kasadha.
Rasa-rasanya ia yang selama itu terguncang antara kesadaran seorang anak, namun juga seakan-akan seorang buruan yang selalu diancam kematian, membuatnya tidak tahu dimana ia harus berdiri.
Tetapi kemudian ia telah mendapatkan tempat yang mapan untuk berpijak.
Ketika terdengar suara burung bersiul di pepohonan, Kasadha ikut bersiul pula. Meskipun sumbang, namun ia mencoba mendengarkan sebuah kidung puji-pujian.
Kuda anak muda itu berlari tidak terlalu kencang menyusuri jalan bulak. Kepalanya menengadah sehingga suri-surinya tergerai-gerai di tengkuknya.
Dengan demikian perjalanan yang cukup panjang itu sama sekali tidak membuatnya letih. Kasadha memang berhenti juga untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat, dan sekaligus mencari minuman hangat di sebuah kedai yang cukup besar di pinggir jalan yang dilaluinya. Menurut penglihatannya orang yang ada di dalam kedai itupun nampak berwajah jernih. Gembira dan ramah. Seorang telah bergeser memberikan tempat kepadanya, ketika Kasadha masuk ke dalam kedai yang sudah banyak terisi para pembeli itu.
Pelayannyapun bekerja dengan cepat pula. Demikian Kasadha memesan minuman, maka beberapa saat kemudian, minuman itu sudah siap dihidangkan.
Beberapa orang pembeli yang lain sempat bertanya kepada anak muda itu tentang perjalanannya.
"Angger nampaknya bukan penduduk di sekitar tempat ini," bertanya seorang yang sudah berambut putih.
"Ya Kiai," jawab Kasadha, "aku orang Pajang."
"O," orang itu mengangguk-angguk, "ini tadi dari mana Ngger?"
"Dari Bayat Kiai," jawab Kasadha.
Orang itu mengangguk-angguk lagi. Sementara Kasadha melengkapinya, "Menengok salah seorang keluarga."
"Bagaimana keadaan Pajang sekarang Ngger?" bertanya orang tua itu lagi.
"Keadaannya sudah membaik Kiai. Bahkan segala sesuatunya sudah pulih kembali. Pasar telah menjadi ramai dan perdaganganpun telah hidup kembali," jawab Kasadha.
"Angger seorang pedagang?" bertanya orang itu sambil mengamati Kasadha yang tidak mengenakan pakaian keprajuritannya.
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggeleng. Katanya, "Bukan Kiai. Aku seorang petani biasa. Aku tinggal di pinggir kota. Meskipun hampir melekat, tetapi aku tinggal di luar dinding kota."
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah benar Angger seorang petani?"
"Ya. Kenapa?" bertanya Kasadha. Ia memang sanggup diuji. Ketika ia tinggal di padepokannya, maka iapun telah ikut bekerja di sawah sebagaimana seorang petani meskipun secara khusus sawah yang digarapnya adalah sawah yang dikuasai oleh padepokannya.
Harus diakui bahwa Kasadha bukan seorang yang rajin di sawah. Ia memang sering berpetualang. Tetapi ia tahu, bagaimana kerja seorang petani.
Tetapi orang tua itu mengangguk-angguk. Sebagai seorang prajurit Kasadhapun selalu disengat oleh panas matahari sebagaimana seorang petani. Jika tidak di medan, juga di arena latihan-latihan dan tugas-tugas yang lain.
"Marilah Ngger, makanan sudah dihidangkan di samping minuman hangat," orang tua itu mempersilahkan.
"Marilah Kiai," jawab Kasadha.
Bersama para tamu yang lain, Kasadhapun telah menghirup minuman hangat dan beberapa potong makanan. Namun seperti tamu-tamu yang lain, maka Kasadhapun telah memesan nasi rames pula.
"Kedai ini terkenal dengan kendo udangnya Ngger," berkata orang tua itu, "juga pepes teri dan oyok-oyok lembayung."
Kasadha mengangguk-angguk. Desisnya, "Kendo udang memang banyak digemari Kiai. Dan salah seorang penggemarnya adalah aku."
"Kebetulan. Lihat, bungkusan-bungkusan kecil itu adalah kendo udang," berkata orang tua itu.
Selagi Kasadha makan dan minum di kedai itu, maka kudanyapun telah mendapat perawatan khusus. Seseorang telah memberi minum dan seonggok rumput segar. Satu pelayanan khusus bagi para tamu berkuda yang membuat kedai itu menjadi semakin ramai.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Kasadha telah merasa cukup lama beristirahat. Tubuhnya terasa menjadi semakin segar. Sementara itu, perjalanannya tidak lagi terlalu jauh. Pajang telah berada di hadapannya.
Hari itu seperti dijanjikan kepada Ki Tumenggung Surajaya, Kasadha telah kembali memasuki baraknya. Para pemimpin kelompok di pasukannya, tiba-tiba saja telah berkumpul melingkarinya sambil menanyakan keselamatannya.
"Bukankah aku selamat kembali ke barak ini?" justru Kasadha yang bertanya.
Pemimpin kelompok di pasukannya yang tertua, berkata dengan nada rendah, "Sebenarnyalah kami merasa cemas. Kami yakini bahwa Ki Lurah meninggalkan barak ini dengan persoalan yang membelit hati."
Kasadha tertawa. Katanya, "Terima kasih atas perhatian kalian. Tetapi atas doa dan restu kalian, persoalan yang memang sebenarnya ada itu kini telah teratasi. Semuanya dapat selesai dengan baik."
"Juga hubungan dengan ayah Ki Lurah yang pernah datang kemari itu?" bertanya pemimpin kelompok yang tertua.
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ya. Semuanya sudah selesai. Mudah-mudahan tidak akan ada masalah lagi di kemudian hari."
"Syukurlah," desis pemimpin kelompok itu seakan-akan mewakili kawan-kawannya.
"Aku harus segera memberikan laporan kepada Ki Tumenggung," berkata Kasadha.
"Ki Tumenggung baru keluar. Nanti senja baru datang," berkata pemimpin kelompok yang tertua itu.
"Apakah ada sesuatu yang penting?" bertanya Kasadha.
"Nampaknya demikian. Tetapi bukan tentang satu perubahan. Nampaknya segala sesuatunya akan berlangsung lebih baik. Apalagi nanti jika semuanya sudah mapan," jawab pemimpin kelompok itu.
Kasadha mengangguk-angguk. Dengan demikian maka ia sempat mandi dan beristirahat. Menghubungi beberapa pembantu Ki Tumenggung Surajaya dan mohon disampaikan kepada Ki Tumenggung bahwa malam nanti ia akan menghadap.
Sambil menunggu malam turun, Kasadha telah sempat berbicara lebih panjang dengan para prajurit yang berada di bawah pimpinannya. Namun memang ada beberapa hal yang disembunyikannya, sehingga ia harus tetap berhati-hati menjawab beberapa pertanyaan.
Namun pada umumnya prajurit-prajuritnya mempunyai satu harapan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik.
Tetapi hampir di luar sadarnya Kasadha berkata, "Dalam keadaan yang demikian, maka para pemimpin akan sempat membuat penilaian khusus terhadap para prajurit, sehingga untuk memberikan nafas baru sehingga tidak menimbulkan kejenuhan, maka akan mungkin dilakukan pemindahan dari satu kesatuan ke kesatuan yang lain."
Para prajuritnya menjadi termangu-mangu. Bagi seorang prajurit, maka dimanapun ia bertugas seharusnya merasa sama saja. Siapapun pemimpinnya dan siapapun kawan-kawannya, tidak akan menjadi persoalan. Tetapi bagaimanapun juga seorang prajurit adalah manusia sebagaimana mereka masing-masing yang memiliki pribadi yang berbeda-beda. Mungkin karena latar belakang masa lampaunya, mungkin karena tuntunan yang mereka dapat sebelum mereka memasuki dunia keprajuritan, mungkin karena pengaruh yang lain, maka seseorang dapat dibedakan dengan orang lain. Karena itu, maka tentu akan terjadi hubungan di antara manusia itu terasa sesuai atau kurang sesuai.
Tetapi dengan serta-merta Kasadha berkata, "Tetapi aku tidak mengatakan, bahwa hal itu akan terjadi di kesatuan kita. Hanya satu kemungkinan. Tetapi kemungkinan lain, tidak akan terjadi pemindahan sama sekali."
Prajurit-prajuritnya mengangguk-angguk. Namun jika hal itu terjadi, maka tentu akan berpengaruh atas perasaan mereka. Setidak-tidaknya untuk hari-hari pertama.
Sementara itu, malampun sudah turun. Kasadha ingat akan kesediaannya menghadap Ki Tumenggung. Karena itu, maka iapun segera meninggalkan prajurit-prajuritnya dan pergi ke bilik khusus bagi Ki Tumenggung Surajaya.
Ki Tumenggung Surajaya mempersilahkan Kasadha duduk di sebuah amben yang tidak begitu besar bersamanya.
"Aku sudah memastikan bahwa kau akan datang tepat pada saatnya," berkata Ki Tumenggung setelah mempertanyakan keselamatan Kasadha dan keluarganya.
"Ya, Ki Tumenggung. Aku tidak ingin memberikan contoh yang kurang baik bagi orang-orangku," jawab Kasadha.
"Bagus," jawab Ki Tumenggung yang kemudian berkata, "menilik wajahmu yang cerah serta sikapmu yang tidak lagi terasa terkungkung oleh perasaanmu, maka apakah benar dugaanku, bahwa beban yang untuk beberapa lama kau sandang telah dapat kau letakkan?"
Kasadha tersenyum. Ternyata bahwa penglihatan Ki Tumenggung Surajaya baik sebagai pemimpinnya maupun sebagai seorang yang sudah lebih tua daripadanya, cukup tajam. Karena itu, maka Kasadhapun menjawab, "Ya Ki Tumenggung. Ternyata semuanya berakhir dengan baik. Apa yang aku bayangkan sebagai awan yang hitam pekat, agaknya tidak demikian keadaannya. Persoalan yang membebani perasaanku telah aku letakkan sebagaimana yang Ki Tumenggung katakan."
"Syukurlah," berkata Ki Tumenggung, "dengan demikian maka kau akan menjadi tenang. Kau akan dapat memusatkan perhatianmu kepada tugas-tugasmu. Kita memang akan menghadapi beberapa tugas yang meskipun tidak berat, tetapi memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh."
Kasadha mengangguk-angguk. Sementara Ki Tumenggung berkata selanjutnya, "Keadaan akan segera menjadi mapan. Pangeran Benawa akan segera melakukan tugasnya sepenuhnya sebagai Adipati Pajang."
"Syukurlah," berkata Kasadha.
"Namun dengan demikian, maka jajaran keprajuritan Pajang akan dibenahi. Memang tidak akan banyak mengalami goncangan. Yang perlu kita lakukan adalah sekedar menertibkan susunan pasukan. Semua kesatuan di seluruh lingkup kekuasaan Pajang. Misalnya pasukan yang memiliki anggota yang tidak wajar. Kau dan pasukanmu akan ditertibkan juga, sehingga isi pasukanmu akan kembali menjadi seratus. Nampaknya persoalannya sederhana saja. Tetapi seandainya pasukanmu lebih dari seratus dan kelebihannya harus dipisahkan, kesulitannya adalah memilih di antara anggota pasukanmu yang mana yang akan dipisahkan itu," berkata Ki Tumenggung Surayuda.
Kasadha mengangguk-angguk. Iapun langsung dapat mengerti maksud Ki Tumenggung. Bahkan ia sudah membayangkan sebelumnya bahwa hal semacam itu akan terjadi.
"Agaknya memang demikian Ki Tumenggung. Setelah bersama-sama mengalami pahit getir, maka sebagian kecil dari antara anggota pasukan itu harus dipisahkan. Padahal selama anggota pasukan itu berkumpul rasa-rasanya tidak akan dapat memilih manakah yang lebih baik. Sementara itu, orang-orang yang akan dipisahkan tentu mempunyai perasaan yang lain dari sekedar melakukan tugas tanpa maksud apa-apa. Mereka tentu akan menilai diri mereka masing-masing. Apakah mereka lebih buruk dari yang lain," berkata Kasadha.
"Perasaan seperti itu tentu akan ada," berkata Ki Tumenggung, "tetapi kita harus mampu menentukan sikap tidak sekedar dikendalikan oleh perasaan karena akhirnya kita tidak mempunyai pilihan."
Kasadha mengangguk-angguk pula. Ia mengerti keterangan Ki Tumenggung. Ia dan para Lurah Penatus yang lain harus dapat menyingkirkan perasaan seperti itu. Seandainya ada juga orang-orang di antara pasukannya yang berpendapat demikian, maka hal itu harus dianggap wajar. Dalam waktu beberapa pekan maka perasaan itu tentu akan hilang dengan sendirinya.
Namun Kasadha tidak menjawab lagi. Ia hanya mengangguk-angguk saja.
"Beberapa Lurah Penatus telah aku beritahu pula akan kemungkinan itu," berkata Ki Tumenggung, "tanggapan mereka semuanya hampir sama sebagaimana kau katakan. Tetapi kepada mereka akupun berkata sebagaimana aku katakan kepadamu."
"Aku mengerti Ki Tumenggung," desis Kasadha. Tetapi ia masih juga bertanya, "Kapan hal ini dilaksanakan" Kita akan merasa beruntung bahwa kesatuan pasukan ini kelak tidak terpecah. Meskipun dari tujuh pasukan di bawah pimpinan Lurah Penatus akan menjadi sepuluh, namun jika masih berada di lingkungan kesatuan ini, aku kira tidak akan banyak membuat orang menjadi kecewa, meskipun kita dengan berpegang pada penalaran, hal itu dapat saja terjadi tanpa memperhatikan sikap dan perasaan pribadi."
"Aku belum dapat mengatakannya, kapan hal itu akan dilaksanakan. Akupun tidak dapat mengatakan, apakah kesatuan ini akan tetap utuh dan aku akan tetap berada disini," berkata Ki Tumenggung Surajaya, "sementara itu, kekuatan Pajang kecuali harus disusun kembali, juga harus disesuaikan dengan kebutuhan setelah para prajurit dari Demak kembali ke Demak."
"Tetapi bukankah sebelum pasukan Demak itu datang bersama-sama dengan Kangjeng Adipati Demak, prajurit Pajang telah tersusun rapi, sehingga tinggal membenahinya lagi," bertanya Kasadha.
"Tetapi kau tentu ingat apa yang terjadi di Prambanan. Pasukan Pajang telah bertempur dengan pasukan Mataram. Benar-benar satu perang besar. Apalagi ketika arus Kali Opak ikut campur dalam pertempuran itu. Korban ternyata cukup banyak. Kehadiran Mataram di Pajang saat itu telah menimbulkan banyak persoalan meskipun hanya untuk waktu yang sangat singkat. Kemudian dalam pertemuan keluarga istana Pajang, telah ditentukan Adipati Demak akan memasuki dan memerintah Pajang. Ketika hal itu kemudian benar-benar terjadi, Adipati Demak sama sekali tidak membenahi pasukan Pajang yang semula terdiri dari Prajurit Pajang dengan sungguh-sungguh. Bahkan prajurit Pajang menjadi kurang penting dibandingkan dengan prajurit yang datang dari Demak, meskipun jumlah mereka tidak terlampau besar. Nah, kita tentu mampu menilai arti kehadiran kita sebagai prajurit saat itu. Kemudian perang itu datang lagi. Kita sempat menutup diri di barak ini. Tetapi perang yang sebenarnya memang telah menelan korban lagi," berkata Ki Tumenggung Surajaya.
Kasadha masih saja mengangguk-angguk, ia masih ingat sepenuhnya apa yang telah terjadi. Bahkan hampir saja ia sendiri menjadi korban dalam perang antara Pajang melawan Mataram.
Di luar kehendaknya, telah terbayang di angan-angannya seorang anak muda yang ternyata adalah kakaknya sendiri, telah menolong dan menyelamatkannya.
"Tetapi sudahlah," berkata Ki Rangga Surajaya, "yang aku katakan itu sekedar keterangan agar kita dapat bersiap-siap. Terutama secara jiwani, bahwa hal seperti itu pada suatu saat akan terjadi. Bahkan mungkin akan terjadi pula pertukaran anggota antar pasukan yang ada di Pajang. Bagi seorang prajurit, maka seharusnya tidak akan banyak mempengaruhi keadaan kita secara pribadi."
Kasadha mengangguk-angguk. Iapun baru saja mengatakan hal seperti itu kepada orang-orang di dalam pasukannya.
Namun Kasadha tidak mengatakannya kepada Ki Tumenggung. Bahkan Ki Tumenggungpun kemudian berkata kepadanya, "Baiklah Kasadha. Aku terima laporanmu. Kau sudah berada kembali di barak ini. Aku kira perkembangan keadaan akan cepat terjadi. Sementara itu, Pangeran Benawa juga telah mengirimkan utusan ke Madiun untuk memberikan laporan perkembangan terakhir yang terjadi di Pajang agar Panembahan Mas di Madiun tidak menduga-duga apa yang telah terjadi di Pajang, karena nampaknya yang diketahui Panembahan Mas adalah ke putusan pembicaraan keluarga Istana Pajang yang menetapkan Demak akan memerintah Pajang."
Kasadha mengangguk hormat sambil berkata, "Terima kasih Ki Tumenggung. Aku mohon diri."
Ki Tumenggung tersenyum sambil menyahut, "Beristirahatlah. Kau tentu letih. Untung sementara kau tidak perlu terlalu memikirkan keteranganku itu. Nikmati pelepasan bebanmu sehingga kau akan dapat tidur dengan nyenyak."
Malam itu Kasadha justru tidak dapat dengan mudah tertidur. Bagaimanapun juga kematian laki-laki yang pernah mengaku sebagai ayahnya itu selalu mengganggunya, Seakan-akan ia yang telah berhasil meletakkan beban perasaannya, justru telah mendapat beban yang baru.
"Tetapi ibu yang membunuhnya," katanya di dalam hati. Namun ia telah menjawab sendiri, "Bahwa hal itu dilakukan, karena ibu berusaha melindungi aku."
Kasadha menggeretakkan giginya. Katanya, "Bukankah dengan demikian aku justru telah bebas dari gangguannya yang akan dapat membuatku gila itu?"
Namun jika ia mulai menilai ibunya, maka Kasadhapun telah bersyukur. Jarak yang membatasinya dari ibunya telah hanyut bersama kematian Ki Rangga Gupita.
Di hari berikutnya, Kasadha telah melakukan tugasnya seperti biasanya. Kawan-kawannya, para Lurah ternyata terkejut melihat, tiba-tiba saja Kasadha sudah ada di antara mereka.
"Kapan kau datang?" bertanya seorang Lurah Penatus yang sudah jauh lebih tua.
"Kemarin paman," jawab Kasadha yang memanggilnya paman, "sudah sore."
Lurah Penatus itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku pergi mengantar Ki Tumenggung keluar."
"Agaknya memang demikian. Ketika aku datang, Ki Tumenggung memang sedang pergi," sahut Kasadha.
"Apa kau sudah memberikan laporan tentang kedatanganmu?" bertanya Lurah Penatus itu.


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah paman. Semalam. Aku berada di biliknya sampai larut malam," jawab Kasadha.
"Apa saja yang dikatakannya?" bertanya Lurah Penatus itu.
"Ki Tumenggung menanggapi laporanku, bahwa aku telah kembali di barak," jawab Kasadha.
"Tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada pasukan ini?" bertanya lurah itu pula.
"Ya. Sedikit," jawab Kasadha.
"Aku tidak begitu senang pada kemungkinan itu. Tetapi sebagai prajurit, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Senang atau tidak senang," desis orang itu.
Kasadha mengangguk. Iapun kemudian menyahut, "Ya. Senang atau tidak senang. Kita memang tidak dapat memilih."
Ternyata kesan itu terdapat hampir di semua orang yang ada di barak itu. Rasa-rasanya mereka telah terikat menjadi satu keluarga besar. Namun merekapun menyadari, bahwa mereka memang seorang prajurit.
Di hari-hari berikutnya, maka Pajang memang membenahi semua tatanan sepeninggal Panembahan Senapati yang kembali ke Mataram. Para pemimpin pemerintahan dan para pemimpin jajaran keprajuritan telah disusun kembali.
Namun Pangeran Benawa ternyata cukup bijaksana sehingga beberapa pergeseran yang terjadi tidak menimbulkan gejolak yang berarti di Pajang. Orang-orang yang dianggap telah melakukan beberapa penyimpangan, dengan rela melepaskan kedudukannya untuk diserahkan kepada orang lain. Apalagi setelah para pemimpin dari Demak dikembalikan ke Demak.
Seperti yang diduga oleh Kasadha sebagaimana dikatakan pula oleh Ki Tumenggung Surajaya, maka pasukan yang tinggal di barak itupun harus ditertibkan. Kesatuan-kesatuan yang ada di dalamnya harus disusun kembali, sehingga setiap Lurah Penatus hanya akan memimpin seratus orang sebagaimana seharusnya.
Tatanan itu memang baik menurut rencana dan tujuannya. Namun selama masih dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tanggapan secara pribadi, maka persoalannya kadang-kadang memang sering menimbulkan sentuhan-sentuhan.
Namun segala pihak yang menyadari pentingnya tatanan baru berusaha untuk melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Meskipun kadang-kadang di luar sadar, pamrih-pamrih pribadi dapat saja terselip di dalamnya.
Tetapi yang terjadi kadang-kadang memang tidak seperti yang diinginkan oleh beberapa pihak.
Para Lurah Penatus menjadi berdebar-debar ketika mereka dipanggil oleh Ki Tumenggung Surajaya untuk berkumpul, begitu Ki Tumenggung kembali dari istana Pajang bersama dua orang Lurah dari barak itu.
"Ada berita penting yang perlu aku sampaikan," berkata Ki Tumenggung Surajaya.
Para Lurah itupun menjadi termangu-mangu. Mereka ingin segera mendengar perintah apa yang telah dibawa oleh Ki Tumenggung Surajaya.
"Selama ini kita sudah bekerja sama dengan baik," berkata Ki Surajaya, "seakan-akan kita telah menyatakan diri satu keluarga yang siap menghadapi segala macam peristiwa dan keadaan. Namun seperti yang aku katakan, Pajang memang sedang berbenah diri. Karena itu, maka kita memang harus bersedia lahir dan batin untuk menyesuaikan langkah-langkah yang diambil oleh Pangeran Benawa."
Beberapa orang Lurah Penatus saling berpandangan. Mereka seakan-akan sudah tanggap, apa yang dimaksud oleh Ki Tumenggung Surajaya. Dengan demikian maka mereka tinggal menunggu langkah pelaksanaan dari kebijaksanaan itu.
Sejenak kemudian Ki Tumenggung itupun berkata, "Mulai bulan depan, jadi masih beberapa hari lagi, aku akan mendapat tugas lain."
Para Lurah Penatus itu masih juga terkejut mendengar keterangan Ki Tumenggung. Ternyata bukan sekedar menertibkan pasukan di dalam barak itu. Tetapi Ki Tumenggung Surajaya justru akan meninggalkan barak itu.
Dengan demikian, maka yang akan menertibkan pasukan itu kelak adalah orang baru yang akan menggantikan Ki Tumenggung.
Sebenarnyalah Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, "Dengan demikian, maka di barak ini akan datang orang baru. Dalam keadaan yang lebih tenang, maka tatanan di setiap pasukan akan menjadi semakin tertib. Yang kemudian akan memimpin barak ini adalah seorang Tumenggung yang mungkin akan dibantu oleh empat orang Rangga, yang berkedudukan sebagai Manggala dan Pandhega. Setiap orang Pandhega akan bertanggung jawab atas tiga kesatuan. Jadi setiap Rangga akan memimpin tiga orang Lurah Penatus. Khususnya di dalam tatanan pasukan ini."
Para Lurah Penatus itu mengangguk-angguk. Mereka dapat membayangkan susunan yang akan berlaku di dalam barak itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang Lurah Penatus bertanya, "Apakah Ki Tumenggung sudah tahu, siapakah yang akan memimpin barak ini kelak?"
Ki Tumenggung menggeleng. Tetapi katanya, "Meskipun aku belum tahu, tetapi tentu seorang perwira dari Pajang yang sudah kita kenal sebelumnya. Orang-orang yang akan memegang pimpinan dalam jajaran keprajuritan adalah orang-orang yang sepenuhnya dapat dipercaya. Aku sendiri sebenarnya telah menjadi seorang yang tidak sepenuhnya bersikap sebagai seorang prajurit. Ketika kita semuanya menolak bertempur melawan Mataram. Namun apa yang aku lakukan itu dapat dimengerti oleh para pemimpin Pajang sehingga karena itu, maka aku tidak dianggap berkhianat meskipun aku telah mendapat nilai kurang. Apalagi waktu itu Pangeran Benawa sendiri datang dalam sikap bermusuhan dengan Pajang."
Para Lurah itu mengangguk-angguk, sementara Ki Tumenggung berkata, "Karena itu, aku berpesan, agar kalian tetap memelihara sikap yang baik, yang selama ini telah kalian tunjukkan. Apapun yang akan dilakukan oleh para pemimpin yang baru itu harus kalian bantu sejauh dapat kalian berikan. Kebijaksanaan Senapati yang baru itu tentu merupakan kebijaksanaan Pajang yang harus ditaati oleh setiap prajurit. Dengan demikian maka Pajang yang baru ini akan menjadi Pajang yang jauh lebih baik dari Pajang selama ini."
Para Lurah Penatus itu masih saja mengangguk-angguk. Mereka memang harus merelakan pimpinan yang mereka anggap paling baik mereka miliki selama mereka menjadi prajurit akan meninggalkan barak itu. Merekapun harus menerima seorang yang baru yang akan menjadi pemimpin mereka.
Namun para Lurah Penatus itu masih juga memperhitungkan kemungkinan lain. Mungkin ada di antara mereka yang harus meninggalkan barak itu dan ditempatkan di pasukan yang lain yang belum mereka kenal sama sekali. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Di hari-hari terakhir, maka Ki Tumenggung Surajaya masih berusaha membenahi sejauh mungkin dapat dilakukan, barak dengan segala isinya. Meskipun di antara kesatuan-kesatuan yang ada di dalam pasukannya tidak memenuhi tatanan keprajuritan yang ada, namun Ki Tumenggung Surajaya menghendaki semuanya diatur dengan tertib. Dengan demikian maka sepeninggalnya, pasukan itu tetap nampak terpelihara dengan baik.
Dalam pada itu, Kasadhapun telah membenahi prajurit-prajuritnya pula. Dalam kesatuan yang dipimpin oleh Kasadha yang seharusnya terisi seratus orang prajurit, ternyata terdapat seratus tigapuluh orang prajurit dengan tigabelas pemimpin kelompok yang masing-masing memimpin sepuluh orang.
"Tigapuluh orang di antara kita harus terpisah," berkata Kasadha kepada para prajuritnya. Namun katanya kemudian, "tetapi itupun belum tentu. Mungkin pimpinan yang baru akan mengambil kebijaksanaan lain. Semua orang di dalam pasukan ini akan dibaurkan, sehingga akan ada pembagian kelompok-kelompok yang baru. Atau bahkan sebagian di antara kita akan berada di luar barak ini."
Para prajuritnya mengangguk-angguk. Tetapi mereka semuanya berpengharapan agar mereka masih tetap berada di barak itu meskipun harus berpindah-pindah kelompok dan kesatuan di bawah seorang Lurah Penatus. Karena hampir semua orang di barak itu sudah saling mengenal.
Saat-saat yang mendebarkan itupun menjadi semakin dekat. Di hari yang keempat sebelum datangnya bulan baru, maka Ki Tumenggung Surajaya memberitahukan, bahwa besok pagi, orang yang akan menggantikan kedudukan Ki Tumenggung Surajaya itu akan datang di barak itu.
Para Lurah Penatus yang berkumpul itupun menjadi berdebar-debar. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja telah bertanya, "Siapakah orang itu Ki Tumenggung?"
"Bukan orang lain," jawab Ki Tumenggung Surajaya, "yang akan memimpin pasukan ini sebagai Manggala adalah Ki Tumenggung Jayayuda."
Para Lurah Penatus itu termangu-mangu sejenak. Namun merekapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka belum mengenal dengan sungguh-sungguh Ki Tumenggung Jayayuda, namun menurut pendengaran mereka, Ki Tumenggung itu adalah seorang yang tidak terlalu sulit untuk diikuti kebijaksanaannya. Ia termasuk orang yang wajar dan tidak mempunyai cela yang menonjol di dalam hidupnya. Baik sebagai seorang pemimpin maupun sebagai pribadi. Bahkan mungkin tatanan dan kebijaksanaannya tidak akan jauh berbeda dengan Ki Tumenggung Surajaya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, "Sedangkan tiga orang Rangga yang telah ditetapkan akan membantu Ki Tumenggung Jayayuda sebagai Pandhega adalah Ki Rangga Prangwiryawan, Ki Rangga Wirayuda dan yang seorang agaknya telah kalian kenal. Ia telah diangkat menjadi Pandhega dengan kedudukan Rangga setelah ia mengundurkan diri beberapa lama dengan kedudukan terakhir Lurah Penatus. Tetapi umurnya serta pengalamannya memang pantas untuk mengangkatnya menjadi seorang Rangga dengan jabatan Pandhega pada pasukan kita."
Para Lurah itu termangu-mangu. Namun Ki Tumenggungpun kemudian berkata, "Orang itu adalah Ki Lurah Dipayuda."
"Ki Lurah Dipayuda?" hampir di luar sadarnya Kasadha mengulangi dengan nada tinggi.
"Ya. Ia akan berada di barak ini sebagai seorang Pandhega. Kita akan menyebutnya Ki Rangga Dipayuda," jawab Ki Tumenggung.
"Tetapi ia sudah mengundurkan diri," berkata Kasadha yang seakan-akan tidak percaya kepada pendengarannya.
"Ya. Sudah aku katakan. Ia mengundurkan diri sebagai Lurah Penatus beberapa waktu yang lalu. Tetapi dalam keadaan yang sangat diperlukan sekarang ini, ia sudah dipanggil kembali. Ki Rangga Dipayuda diminta untuk ikut mengemasi tatanan keprajuritan Pajang," sahut Ki Tumenggung Surajaya, "dan Ki Rangga Dipayudapun tidak berkeberatan. Apakah karena terpaksa atau tidak. Tetapi ia akan berada di barak ini."
Kasadha mengangguk-angguk. Beberapa orang prajurit yang lainpun mengangguk-angguk pula.
Namun ternyata Kasadha mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap kehadiran Ki Dipayuda di dalam barak itu.
Sementara itu Ki Tumenggung mengatakan selanjutnya, "Sedangkan seorang lagi di antara para Rangga yang akan menjadi Pandhega itu masih belum ditentukan. Bahkan mungkin pasukan ini akan dipecah menjadi dua dan akan dipimpin oleh dua orang Tumenggung dengan masing-masing dibantu oleh tiga orang Pandhega. Segala sesuatunya masih akan diatur kemudian. Namun yang jelas bahwa Ki Tumenggung Jayayuda akan mendapat tugas yang cukup berat."
Para prajurit di barak itu memang hanya dapat menunggu. Yang membawa perintah untuk penertiban tentu Ki Tumenggung yang baru, yang akan menggantikan Ki Tumenggung Surajaya yang menurut pengakuannya sendiri, dinilai sebagai seorang prajurit yang kurang patuh kepada perintah atasannya.
Di hari berikutnya, seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Surayuda, telah datang empat orang perwira prajurit Pajang bersama beberapa orang pengawal khusus. Mereka adalah Ki Tumenggung Jayayuda dan tiga orang Rangga yang akan menjadi pembantunya, memimpin pasukan yang ada di barak itu.
Ki Tumenggung Surajayapun segera mengumpulkan semua prajurit yang ada di barak itu, di halaman depan barak mereka. Ki Tumenggung Surajaya memberikan beberapa patah kata pengantar untuk memperkenalkan para perwira itu.
"Mulai bulan depan, aku sudah tidak berada di barak ini lagi. Dua hari lagi, aku akan menyerahkan pimpinan pasukan ini kepada Ki Tumenggung Jayayuda. Kemudian di hari berikutnya, segala sesuatunya sudah berada di tangan Manggala yang baru bagi pasukan ini dibantu oleh tiga orang Pandhega. Aku tidak tahu apakah ada Pandhega keempat atau tidak," berkata Ki Tumenggung Surajaya.
Pada kesempatan berikutnya maka Ki Tumenggung Jayayuda telah memperkenalkan dirinya dan ketiga orang pembantunya. Dengan lancar Ki Jayayuda berkata, "Kita tentu sudah saling mengenal. Aku bukan orang baru di Pajang. Demikian pula ketiga orang Pandhega yang akan membantu aku, karena aku tidak memiliki kemampuan sebagaimana Ki Tumenggung Surayuda yang dapat memimpin pasukan yang demikian besar ini seorang diri."
Ketika Ki Tumenggung Jayayuda berpaling kepadanya, Ki Tumenggung Surajaya hanya dapat tersenyum kecil.
Tentang orang keempat yang akan membantunya, Ki Tumenggung berkata, "Bukan orang keempat yang akan datang, tetapi sebagian prajurit yang ada di barak ini akan dipindahkan."
Jantung para prajurit itupun terasa semakin cepat berdenyut. Demikian pula jantung Kasadha. Ia merasa kehadiran Ki Rangga Dipayuda sebagai satu keberuntungan, namun justru dirinya akan dapat dipindahkan dari barak itu.
Sementara itu Ki Tumenggung Jayayuda berkata, "Karena itu, maka tentu akan lebih baik jika aku yang melakukan pemindahan itu daripada Ki Tumenggung Surajaya. Karena Ki Tumenggung Surajaya telah mengenal kalian dengan baik. Semua orang dianggapnya baik sehingga sulit baginya untuk memilih, siapakah yang harus dipindahkan keluar dari barak ini. Tetapi aku tidak dibebani perasaan seperti itu. Jika aku menunjuk seseorang tentu tidak akan ada prasangka bahwa aku tidak menyenanginya atau menganggap namanya sudah cacat dan sebagainya, karena aku tidak mengenal kalian secara khusus seorang demi seorang."
Para prajurit yang berkumpul di halaman barak itu dapat menangkap maksud Ki Tumenggung yang tiga hari lagi akan memimpin pasukan di barak itu.
Sementara itu Ki Tumenggung Jayayuda itu berkata selanjutnya, "Jika aku menunjuk seseorang atau sekelompok atau kesatuan yang akan dipindahkan dari barak ini, kalau mungkin dengan bantuan kalian aku tentu akan memilih prajurit-prajurit yang terbaik yang memiliki kemampuan tinggi serta pengabdian yang mendalam agar di tempatnya yang baru, ia akan dapat menjadi teladan bagi para prajurit yang lain. Dengan demikian nama pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Surajaya ini akan disebut-sebut sebagai pasukan terbaik di Pajang ini."
Sekali lagi Ki Tumenggung Surajaya tersenyum. Demikian pula Ki Tumenggung Jayayuda dan para Rangga yang berdiri di belakangnya.
Perkenalan itu tidak berlangsung terlalu lama. Beberapa saat kemudian, para prajurit dan para pemimpin kelompok dipersilahkan untuk kembali ke barak masing-masing. Ki Tumenggung Jayayuda dan para Pandhega akan melihat-lihat ke seluruh bagian barak yang besar itu. Namun yang isinya seakan-akan menjadi saling berdesakan karena memang melampaui jumlah yang seharusnya ditempatkan di barak itu.
Ki Tumenggung Jayayuda sendiri tidak terlalu bersungguh-sungguh mengamati barak itu. Ia masih saja bercakap-cakap dengan Ki Tumenggung Surajaya, yang sebelumnya telah berusaha membenahi baraknya. Namun karena penghuninya memang terlalu banyak, masih saja terdapat beberapa kekurangan disana-sini.
Ki Tumenggung Jayayuda dapat memaklumi hal itu. Bahkan iapun telah berdesis, "Tentu sangat sulit untuk mengatur barak ini sebaik-baiknya. Namun Ki Tumenggung Surajaya masih juga mampu melakukannya dengan baik. Akulah yang kemudian berpikir, apakah aku dapat berbuat sebagaimana dapat dilakukan oleh Ki Tumenggung Surajaya."
Ki Tumenggung Surajaya tersenyum. Katanya, "Ki Tumenggung akan dapat berbuat jauh lebih baik."
"Tetapi aku bersyukur bahwa jumlah penghuni barak ini akan dikurangi. Dengan demikian aku akan mendapat kesempatan lebih baik dari Ki Tumenggung Surajaya. Apalagi aku mendapat tiga orang yang akan membantuku. Sementara Ki Surajaya tidak mempunyainya. Sementara itu aku mendapat wewenang untuk membentuk kelompok-kelompok yang khusus yang akan membantuku mengurus barak ini. Misalnya mengurus kepentingan para prajurit. Mengurus perlengkapan dan perbekalan. Mengurus persoalan yang berhubungan dengan rumah tangga di barak ini dan kepentingan-kepentingan yang lain," berkata Ki Tumenggung Jayayuda.
"Kelompok-kelompok seperti itu sudah ada," berkata Ki Tumenggung Surajaya, "namun agaknya Ki Tumenggung Jayayuda dapat melengkapinya."
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Sementara itu mereka telah sampai ke bagian belakang dari barak itu. Satu lapangan terbuka dengan berbagai macam peralatan untuk berlatih ketrampilan secara pribadi. Patok-patok batang kelapa, palang kayu dan bambu, sulur-sulur untuk bergayutan, lubang-lubang yang lebar dan yang sempit.
Ki Jayayuda melihat-lihat peralatan itu sambil mengangguk-angguk. Katanya, "Lengkap sekali. Seperti sebuah perguruan. Para prajurit tentu memiliki kemampuan pribadi yang sangat tinggi."
"Tempat ini dipergunakan bergantian untuk sekian banyak orang," berkata Ki Tumenggung Surajaya, "dengan demikian maka setiap orang hanya mendapat waktu sesaat untuk sepekan. Namun latihan-latihan disini ada juga gunanya bagi para prajurit."
Ki Tumenggung Jayayuda mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Ki Rangga Prangwiryawan telah berkata kepada Ki Tumenggung Surajaya, "Ki Tumenggung, apakah benar benda-benda ini berarti bagi para prajurit" Atau sekedar hiasan saja di barak ini?"
Ki Tumenggung Surajaya mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, "Apa maksudmu Ki Rangga?"
"Apakah benar para prajurit mampu melakukan latihan-latihan ketrampilan dan olah kanuragan dengan memanfaatkan alat-alat ini?" Ki Rangga Prangwiryawan menjelaskan.
"Tentu," yang menjawab adalah Ki Tumenggung Jayayuda, "jika tidak, apa gunanya alat-alat ditempatkan disini" Meskipun sedikit alat-alat ini tentu ada gunanya. Aku senang bahwa di dalam barak ini ada alat-alat seperti ini."
Ki Rangga mengerutkan dahinya. Sementara itu Tumenggung Jayayuda berkata, "Pada saatnya kita akan melihat arti dari alat-alat ini setelah kita berada di barak ini."
"Apakah Ki Rangga akan melihat?" bertanya Ki Tumenggung Surajaya, "kita dapat menunjuk salah seorang di antara Lurah Penatus. Apakah ia dapat menunjukkan arti dari alat-alat yang ada disini. Seandainya alat-alat ini tidak berarti bagi semua prajurit, maka para Lurah Penatus dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kemampuan mereka secara pribadi. Hal itu akan banyak berarti bukan saja bagi Ki Lurah Penatus itu sendiri, tetapi juga bagi para pemimpin kelompok dan para prajurit."
"Sudahlah, lain kali saja," berkata Ki Jayayuda.
Namun Ki Rangga Prangwiryawan berkata, "Menarik sekali jika hal itu dapat dilakukan meskipun hanya sebentar."
"Silahkan menunjuk para Lurah Penatus itu," berkata Ki Tumenggung Surajaya.
Namun yang menjawab adalah Ki Rangga Dipayuda, "Akulah yang menunjuk. Nampaknya Lurah Penatus yang termuda itu dapat menunjukkan kepada kami, apa yang pernah dilakukan dengan alat-alat ini."
Kasadha terkejut. Ia sadar, bahwa ia adalah Lurah Penatus yang termuda, yang sekedar ikut mengantar para pemimpin dan mereka yang akan memimpin barak itu melihat-lihat.
"Baik," Ki Tumenggung Surajaya segera tanggap. Karena itu maka iapun telah memberi isyarat kepada Kasadha untuk mendekat.
Kasadha memang menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak siap untuk berbuat apapun juga di sanggar itu. Apalagi di hadapan para pemimpin baru bagi barak itu. Pengalaman telah mengatakan kepadanya, bahwa tidak semua pemimpin merasa bersyukur jika anak buahnya menunjukkan tingkat kemampuan yang tinggi. Tetapi ada satu dua orang pemimpin yang tidak mau melihat kelebihan anak buahnya.
Namun Kasadha melangkah juga mendekat. Kemudian iapun telah bersiap dan mengangguk hormat kepada para pemimpin yang akan memimpin barak itu.
"Lakukan," perintah Ki Tumenggung Surajaya, "selagi hari ini aku masih berwenang memerintahmu."
Kasadha mengerutkan keningnya. Namun ia melihat Ki Tumenggung itu tersenyum.
"Kenapa kau ragu-ragu?" bertanya Ki Rangga Prangwiryawan, "apakah kau tidak mampu melakukannya?"
Kasadha termangu-mangu sejenak. Sekilas dipandanginya tatapan mata Ki Rangga Dipayuda yang ternyata juga tersenyum kecil.
Kasadha memang tidak mempunyai pilihan lain. Apalagi ketika Ki Tumenggung Jayayuda berkata, "Baiklah. Kita berhenti sejenak untuk melihat manfaat dari alat-alat ini. Ki Rangga Dipayuda telah menunjuk Lurah Penatus yang termuda. Jika ia dapat melakukan sesuatu untuk menunjukkan manfaat dari alat-alat ini, maka para Lurah yang lebih tua tentu memiliki kemampuan memanfaatkan alat-alat ini lebih tinggi. Dan sebenarnyalah yang penting bukan kemampuan memanfaatkan alat-alat ini, tetapi apakah sumbangan alat-alat ini bagi tugas para prajurit."
"Ya," jawab Ki Tumenggung Surajaya, "pendapat Ki Tumenggung tepat. Yang penting apakah alat-alat ini berarti bagi para prajurit dalam menjalankan tugasnya."
"Nah," berkata Ki Rangga Prangwiryawan, "kita akan melihatnya. Apa yang dapat dilakukan oleh prajurit muda itu."
Kasadha tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian telah membenahi pakaiannya. Menyingsingkan kain panjangnya dan kemudian melangkah mendekati alat-alat yang terdapat di lapangan terbuka itu.
"Kau tidak perlu menunjukkan kegunaan semua alat yang ada," berkata Ki Tumenggung Jayayuda yang agaknya waktunya tidak terlalu banyak. Namun iapun tidak mau mengecewakan Ki Rangga Prangwiryawan, seorang Rangga yang memiliki pengalaman yang cukup luas di lingkungan keprajuritan sebagaimana Ki Rangga Wirayuda yang lebih banyak diam dan tersenyum-senyum saja, serta sebagaimana Ki Rangga Dipayuda yang telah kenyang makan pahit getirnya tugas seorang prajurit.
Kasadha memang masih ragu-ragu. Justru karena itu, Ki Rangga Prangwiryawan membentak, "Cepat. Apa yang kau tunggu" Atau barangkali kau tidak meyakini dirimu sendiri" Satu cela yang besar bagi seorang prajurit jika ia tidak yakin akan kemampuan diri."
Ki Tumenggung Surajaya mengerutnya keningnya. Ia tidak senang terhadap sikap Ki Rangga itu. Agaknya Ki Rangga itu menganggap bahwa kemampuan para prajurit dalam lingkungan pasukan Ki Tumenggung Surajaya masih harus diuji. Bahkan peralatan di sanggar terbuka itu dianggapnya tidak berarti.
Ki Tumenggung Surajaya menganggap bahwa Ki Rangga Dipayuda memang ingin membantunya. Ki Rangga Dipayuda nampaknya sudah mengenal benar lurah muda yang bernama Kasadha itu.
Kasadhapun kemudian telah merasa tersinggung pula olah sikap Ki Rangga Prangwiryawan Tetapi jiwanya yang sudah ditempa oleh perjalanan hidupnya membuatnya mampu menahan diri sehingga ia tidak menuruti perasaannya saja. Ia masih mampu mempergunakan nalarnya dengan jernih. Ki Rangga Prangwiryawan akan menjadi salah seorang pemimpin di barak itu. Bahkan mungkin akan menjadi pimpinannya langsung. Jika Ki Rangga Prangwiryawan itu menjadi Pandhega dan kesatuannya termasuk di dalam pimpinannya, maka Ki Rangga itu akan dapat berbuat banyak atas dirinya.
Karena itu, maka Kasadha yang menyesal bahwa ia telah menampakkan diri itu harus mulai menunjukkan manfaat dari alat-alat yang ada di lapangan terbuka itu.
Yang mula-mula dilakukan oleh Kasadha adalah meloncat berdiri pada salah satu di antara patok batang kelapa yang tidak sama tinggi itu. Sejenak kemudian, Kasadha telah mulai menunjukkan ketrampilan kakinya, ia berloncatan dari patok yang satu ke patok yang lain.
Meskipun demikian, Kasadha tidak benar-benar sampai ke puncak kemampuannya. Ia tidak menunjukkan penguasaan ilmunya yang sesungguhnya. Ia melakukannya sekedar untuk membuktikan bahwa patok-patok dan alat-alat yang lain memberikan arti bagi para prajurit yang mempergunakannya untuk berlatih. Kecepatan dan ketepatan gerak kaki akan sangat berarti bagi kemampuan seseorang dalam olah kanuragan.
Dengan berloncatan di atas patok-patok kayu itu Kasadha telah memberikan kesan betapa para prajurit di barak itu mampu menguasai unsur-unsur gerak yang bertumpu pada kecepatan dan ketepatan gerak kakinya.
Namun menyadari hal itu, Kasadha tidak melakukan gerak yang berlebihan. Jika Ki Rangga Prangwiryawan kemudian menunjuk orang lain, maka orang lain tidak akan dapat melakukannya pula. Apalagi seorang Lurah Penatus.
Dari patok-patok kayu, Kasadha bergerak ke palang kayu dan bambu. Dengan mapan Kasadha menunjukkan kemampuannya menguasai keseimbangan tubuhnya. Keterbatasan gerak kakinya sama sekali tidak menyulitkannya untuk menguasai keseimbangan tubuhnya dalam susunan gerak yang cepat.
Setelah menunjukkan kemampuannya bergerak di atas palang-palang kayu dan bambu, maka Kasadhapun mulai bergayutan pada sulur-sulur yang tergantung pada kayu-kayu yang memang dipasang untuk itu. Ketika Kasadha kemudian meloncat turun, maka ia langsung masuk ke dalam sebuah lubang. Namun kemudian melenting naik dan turun ke lubang yang lain. Semakin lama semakin cepat. Namun masih tetap terbatas.
Kasadha sama sekali tidak menunjukkan kemampuan yang berlebihan sebagai seorang Lurah Penatus. Meskipun seorang Lurah Penatus yang terpilih. Menurut perhitungan Kasadha, maka Lurah Penatus yang lainpun akan dapat melakukannya sebagaimana dilakukan oleh Kasadha.
Ki Rangga Dipayuda yang mengenal kemampuan Kasadha yang sebenarnya di medan perang tersenyum. Ia mengerti bahwa Kasadha tidak ingin menunjukkan kelebihannya dari para Lurah yang lain. Iapun tidak ingin menarik perhatian para pemimpin yang baru yang akan menggantikan Ki Tumenggung Surajaya itu.
Ketika Kasadha kemudian telah selesai, maka Ki Tumenggung Jayayudapun mengangguk-angguk. Katanya, "Seorang Lurah yang baik dalam olah kanuragan. Mudah-mudahan iapun seorang Lurah yang baik di antara kesatuannya, meskipun ia masih muda."
Namun Ki Rangga Prangwiryawan berkata, "Tidak ada kelebihan apa-apa dengan permainannya. Ya, memang sekedar permainan karena kita belum melihat hubungan antara tatanan geraknya dengan kepentingan seorang prajurit. Ia hanya berloncatan, bergantungan, menyuruk ke dalam lubang-lubang itu dan melenting kembali. Aku belum melihat apakah ia mampu menghalau musuh hanya dengan berloncatan seperti itu."
Ki Tumenggung Jayayuda mengerutkan keningnya. Namun ia kemudian tersenyum sambil berkata, "Baiklah. Lain kali kita melihat lebih jauh. Sekarang aku mempunyai kepentingan yang lain."
Ki Tumenggung Surajaya mengangguk sambil berkata, "Besok lusa Ki Tumenggung mempunyai waktu banyak untuk memperhatikan pasukan di barak ini."
Ki Tumenggung Jayayuda tersenyum. Katanya, "Aku kira hari ini aku sudah melihat terlalu banyak. Aku sudah dapat menjajagi keadaan di barak ini. Baik mengenai kewadagan barak ini sendiri maupun isinya, para prajurit Pajang mempunyai watak tersendiri, terutama di saat Pajang menghadapi Mataram dan Jipang yang terakhir. Mudah-mudahan aku dapat diterima oleh para prajurit yang sudah terbiasa bersikap sebagaimana Ki Tumenggung Surajaya."
Ki Tumenggung Surajaya tertata kecil. Katanya, "Aku ternyata merupakan contoh yang kurang baik. Tetapi Ki Jayayuda akan mampu melakukan tugasnya dengan baik."
"Biarlah orang lain yang menilainya. Tetapi aku mempunyai penilaian lain tentang Ki Tumenggung Surajaya. Jika saja saat itu aku memiliki sandaran kekuatan seperti Ki Tumenggung Surajaya, agaknya akupun akan melakukan sebagaimana Ki Tumenggung lakukan."
Ki Tumenggung Surajayapun tertawa sambil menggeleng. Katanya, "Tentu tidak. Bukankah dengan demikian aku dinilai sebagai seorang prajurit yang tidak patuh atas perintah atasannya."
"Tetapi dengan landasan yang mapan dan dapat dicerna oleh nalar," jawab Ki Tumenggung Jayayuda.
Ki Tumenggung Surajaya yang masih tertawa tidak menjawab lagi. Iring-iringan kecil itupun kemudian meninggalkan lapangan terbuka yang menjadi sanggar latihan bagi para prajurit di barak itu.
Beberapa saat kemudian, setelah para tamu itu dijamu minum sekedarnya di ruang khusus di bangunan induk barak pasukan Ki Surajaya itu, maka Ki Tumenggung Jayayudapun minta diri.
Namun lepas dari pintu gerbang, maka Ki Tumenggung Jayayuda yang berkuda di paling depan bersama Ki Rangga Prangwiryawan telah bertanya, "Untuk apa Ki Rangga minta seorang Lurah melakukan itu?"
"Maksud Ki Tumenggung?" bertanya Ki Rangga Prangwiryawan.
"Kenapa Lurah Penatus itu harus menunjukkan kepada kita manfaat dari alat-alat yang terdapat di sanggar latihan itu?" ulang Ki Tumenggung.
"Bukankah kita harus mengetahui segala peralatan yang ada di barak itu" Bukankah besok lusa kita sudah harus berada disana?" desis Ki Rangga Prangwiryawan.
"Tetapi yang kau lakukan itu telah menyinggung perasaan Ki Tumenggung Surajaya. Seakan-akan Ki Tumenggung tidak mampu mengatur baraknya sehingga ada peralatan yang tidak berguna," berkata Ki Tumenggung kemudian.
"Ternyata sebagaimana kita lihat, apakah peralatan itu seimbang dengan kebutuhan" Apa yang dapat dilakukan oleh Ki Lurah Penatus itu dengan alat-alat yang berlebihan itu?" jawab Ki Rangga.
"Kita belum mendalaminya. Terus-terang saja, dalam waktu sepintas kita tidak akan dapat menilai kegunaan sesuatu yang baru kita lihat. Bukankah kita akan mempunyai banyak waktu sehingga kita tidak tergesa-gesa melakukannya" Tentu lebih pantas jika hal itu dilakukan tanpa ada Ki Tumenggung Surajaya," berkata Ki Tumenggung Jayayuda.
"Kita adalah prajurit," jawab Ki Rangga Prangwiryawan, "kita tidak boleh terlalu terikat kepada perasaan saja. Pantas atau tidak pantas. Menyinggung atau tidak menyinggung perasaan. Atau semacamnya. Kita harus terbuka dan berterus-terang."
"Kau ingin aku berbuat begitu?" bertanya Ki Tumenggung Jayaraga, "apakah aku harus marah kepadamu di hadapan para prajurit itu karena yang kau lakukan tidak sesuai dengan kepentinganku. Aku ingin segera meninggalkan barak itu karena aku masih mempunyai satu kepentingan. Sementara itu kau berkeras untuk melihat apakah peralatan itu penting atau tidak sekedar untuk menunjukkan bahwa kau, Ki Rangga Prangwiryawan akan mampu menilai kegiatan yang telah dilakukan oleh Ki Tumenggung Surajaya dan bahkan mampu untuk mencelanya."
Ki Rangga Prangwiryawan mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab. Sementara Ki Tumenggung berkata selanjutnya, "Ki Rangga. Aku telah menahan diri dan ingin menyampaikan hal ini tidak di hadapan para prajurit. Bahkan tidak didengar oleh Ki Rangga Wirayuda dan Ki Rangga Dipayuda. Aku tidak ingin menyinggung harga dirimu, karena jika harga diri seseorang itu tersinggung, maka orang itu cenderung untuk mempertahankannya. Pada saat ia tersinggung atau kalau tidak mungkin akan menunggu saat lain. Dan bahkan akan dapat tersimpan sebagai dendam di hati."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak menjawab. Namun ternyata meskipun tidak di hadapan orang lain, Ki Rangga benar-benar sulit menerima pernyataan Ki Tumenggung itu. Karena itu, maka persoalan itu rasa-rasanya justru telah didesak terbenam di dasar lubuk hatinya sehingga pada suatu saat akan dapat diungkit kembali dan muncul ke permukaan. Yang kemudian menjadi sasaran kebenciannya bukan Ki Tumenggung Jayayuda. Bukan pula Ki Tumenggung Surajaya. Tetapi orang itu justru mendendam dan membenci tanpa sebab Lurah Penatus yang telah ditunjuk untuk bermain dengan alat-alat yang ada di sanggar latihan terbuka itu.
"Lurah muda itu begitu sombong. Seharusnya ia dengan jelas menunjukkan bahwa alat-alat yang dibuat Ki Tumenggung Surajaya itu tidak berarti apa-apa. Ia harus berbuat sesuatu sehingga ternyata semua peralatan itu tidak memberikan dukungan apa-apa terhadap kemampuan seorang prajurit di dalam tugasnya," geram Ki Rangga itu dalam hatinya.
Tetapi Ki Tumenggung Jayayudapun tidak memperpanjang persoalan itu. Ketika Ki Rangga tidak lagi menjawab, maka Ki Tumenggungpun menganggap bahwa Ki Rangga itu mengerti maksudnya.
Dalam pada itu, sepeninggal para perwira yang akan menjadi pimpinan di barak itu, maka para prajuritpun menjadi sibuk menilainya. Sebagian dari mereka berpendapat sama. Ki Tumenggung Jayayuda nampaknya tidak akan jauh berbeda dari Ki Tumenggung Surajaya.
Namun selain itu, maka ada juga para prajurit yang mulai membicarakan sikap Ki Rangga Prangwiryawan.
Perwira itu masih terhitung muda. Umurnya tentu baru sekitar empat puluh tahun atau kurang. Tubuhnya yang sedang dan wajahnya yang keras membuatnya menjadi nampak berwibawa. Namun ternyata sikapnya agak kurang mapan bagi para prajurit yang melihat bagaimana ia meragukan alat-alat yang ada di sanggar latihan barak itu. Padahal para prajurit di barak itu pada umumnya merasakan, alat-alat itu telah membantu mereka meningkatkan ketrampilan dan ketahanan tubuh mereka.
Bagi Kasadha sendiri, singgungan pada pertemuan pertama itu merupakan pertanda yang menggelisahkan. Sebenarnya Kasadha tidak ingin melakukan apapun lebih dari kawan-kawannya. Ia ingin hadir di barak itu dalam keadaan sewajarnya saja. Sebagai prajurit kebanyakan yang menyerahkan diri untuk mengabdi kepada Pajang. Tidak lebih. Apalagi Kasadha masih saja selalu dibayangi masa lampaunya, sehingga tempat yang didapatkannya di lingkungan keprajuritan itu baginya merupakan tempat yang paling baik baginya.
Ketika hal itu dikemukakannya kepada Ki Tumenggung Surajaya, maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Ki Rangga Prangwiryawan bukan orang yang memiliki kekuasaan mutlak disini, Kasadha. Di atasnya masih ada Ki Tumenggung Jayayuda. Nampaknya Ki Tumenggung Jayayuda juga tidak berkenan dengan sikap Ki Rangga Prangwiryawan. Namun Ki Tumenggung yang bijaksana itu tidak mau menyinggung perasaan Ki Rangga sehingga caranya untuk menghentikan niat Ki Rangga Prangwiryawan adalah cara yang baik, yang barangkali aku sendiri tidak berpikir sejauh itu."
"Jika aku kemudian diletakkan di bawah kepemimpinan Ki Rangga Prangwiryawan, maka rasa-rasanya aku akan mendapatkan banyak pengalaman dari padanya," berkata Kasadha kemudian.
Ki Tumenggung Surajaya mengerti perasaan Kasadha. Tetapi katanya, "Kau adalah seorang prajurit Kasadha."
Kasadha yang semula menunduk tiba-tiba telah mengangkat wajahnya sambil berkata, "Ya. Aku adalah seorang prajurit."
Ketetapan hati Kasadha itu membuatnya tidak lagi menjadi gelisah. Ia sudah bulat-bulat menyerahkan dirinya dalam tugas-tugas keprajuritan. Apapun yang akan terjadi, harus dijalaninya.
Pada saat-saat terakhir Ki Tumenggung Surajaya memimpin barak itu, Kasadha telah menghadapnya dan mengajukan beberapa pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas barak itu bersama para Lurah Penatus yang lain. Seandainya para Lurah itu kemudian akan terpecah dan tersebar, maka mereka berharap bahwa Ki Tumenggung Surajaya dapat tetap berhubungan dengan mereka.
"Bukankah tidak ada larangan seandainya kita membentuk satu kelompok kekeluargaan yang dapat bertemu pada saat-saat tertentu?" bertanya salah seorang Lurah Penatus.
Ki Tumenggung Surajaya tersenyum. Katanya, "Aku tahu. Semuanya itu terdorong oleh keakraban hubungan di antara kita yang ada di barak ini. Kita pernah merasakan bersama ketegangan yang sangat mencengkam, sehingga seakan-akan kita telah terikat untuk hidup bersama atau mati bersama. Karena itu aku tidak berkeberatan jika di masa-masa mendatang kita tetap berhubungan sebagai keluarga dan bertemu di saat-saat tertentu. Namun kita harus tetap menyadari kedudukan kita, bahwa kita adalah prajurit. Selama kita masih tetap berada di Pajang dan sekitarnya, maka pertemuan seperti itu akan dapat kita lakukan. Tetapi jika ada di antara kita yang ditempatkan di kesatuan-kesatuan yang tersebar jauh, maka kita harus merelakannya karena kita seorang prajurit."
Para Lurah Penatus itu hanya mengangguk angguk saja. Mereka mengerti maksud Ki Tumenggung Surajaya. Ikatan yang ada selama mereka berada di barak itu adalah ikatan tugas mereka sehingga pada suatu saat memang akan terurai dan terlepas yang satu dengan yang lain.
Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung berkata, "Tetapi sejauh dapat kita lakukan, maka aku sependapat untuk melestarikan hubungan kita sebagai satu keluarga yang terlepas sama sekali dari sangkut paut tugas kita masing-masing."
Dengan demikian, maka para Lurah Penatus itu benar-benar harus mempersiapkan diri menghadapi kedatangan pemimpin-pemimpin mereka yang baru yang sudah barang tentu sedikit banyak masing-masing pihak harus berusaha untuk saling menyesuaikan diri.
Pada saat terakhir, Kasadha mengurungkan niatnya untuk bertanya, apakah ia diperkenankan untuk meningkatkan ilmunya di luar barak keprajuritan. Persoalan itu tentu akan diserahkan kepada pimpinannya yang baru.
"Jika pimpinan langsung yang baru itu adalah Ki Rangga Prangwiryawan, maka kemungkinan itupun menjadi kecil sekali," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Demikianlah saat yang mendebarkan itupun tiba juga akhirnya. Di halaman barak itu telah dilangsungkan upacara penyerahan pimpinan dari Ki Tumenggung Surajaya kepada Ki Tumenggung Jayayuda. Dihadiri oleh para Senapati dan Panglima prajurit Pajang, serta beberapa orang pemimpin pemerintahan yang lain.
Sejak saat itulah, maka yang memimpin pasukan di barak itu adalah Ki Tumenggung Jayayuda.
Namun Ki Tumenggung Jayayudapun berusaha untuk bertindak bijaksana. Ia tidak membuat para prajurit menjadi gelisah. Yang mula-mula dilakukan adalah memanggil para Lurah Penatus. Kemudian memerintahkan para Lurah itu untuk memberikan keterangan terperinci tentang kesatuan yang dipimpinnya.
"Pasukan ini akan menjadi pasukan yang lebih sederhana susunannya," berkata Ki Tumenggung Jayayuda, "seluruhnya akan terdiri dari sepuluh kesatuan. Setiap Pandhega akan memimpin tiga kesatuan yang terdiri dari seratus orang. Dengan demikian maka tiga orang Pandhega akan memimpin sembilan kesatuan yang masing-masing terdiri dari seratus orang. Sedangkan kesatuan yang kesepuluh adalah kesatuan yang akan membantu pimpinan melaksanakan tugas-tugas di barak ini. Menurut Ki Tumenggung Surajaya, kesatuan ini sudah ada sehingga aku tinggal menyempurnakannya saja."
Para Lurah penatus itu mengangguk-angguk saja. Sementara itu Ki Tumenggung berkata selanjutnya, "Karena itu, kalian tidak perlu gelisah. Untuk sementara kalian akan tetap utuh tinggal di barak ini. Meskipun sekarang setiap kesatuan memiliki prajurit lebih dari seratus, namun kesatuan yang ada tidak lebih dari tujuh kesatuan. Jika kelebihannya itu kita kumpulkan, maka agaknya akan terpenuhilah ketentuan bagi pasukan di barak ini. Dengan demikian, maka kita justru masih memerlukan tiga orang Lurah Penatus. Karena untuk sementara aku belum dapat menunjuk di antara kalian, maka ketiga Lurah Penatus itu akan datang dari luar barak ini. Mudah-mudahan mereka dapat kalian terima dengan baik. Namun segala sesuatunya yang lebih pasti akan aku tentukan setelah para Lurah yang ada memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya tentang kesatuan masing-masing."
Para Lurah Penatus itu mengangguk-angguk. Nampaknya pasukan itu akan tetap utuh, setidak-tidaknya untuk sementara. Meskipun Ki Tumenggung Jayayuda mengatakan bahwa susunannya akan menjadi lebih sederhana, namun para Lurah itu menyadari, bahwa yang akan terjadi adalah sebaliknya. Susunan pasukan itu tentu terasa lebih rumit, karena di antara Manggala pasukan di barak itu dengan para Lurah Prajurit masih terdapat Pandhega yang menjadi jembatan kepemimpinan. Bagaimanapun juga maka pribadi para Pandhega itu tentu ikut menentukan warna kepemimpinan Manggala pasukan itu.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung memberikan waktu tiga hari bagi para Lurah untuk memberikan keterangan terperinci tentang kesatuan mereka masing-masing.
Dengan demikian maka selama tiga hari para Lurah Penatus dibantu oleh para pemimpin kelompok telah menyusun keterangan tentang para prajurit yang ada di setiap kesatuan. Sebagaimana diperintahkan, maka keterangan itu harus terperinci.
Atas dasar keterangan itulah, maka Ki Tumenggung akan menentukan susunan pasukannya.
Kebijaksanaan yang diambil oleh Ki Tumenggung ternyata cukup sederhana tanpa menimbulkan persoalan bagi para prajurit. Untuk menertibkan jumlah di setiap kesatuan, maka Ki Tumenggung telah mengambil urutan angka dari setiap prajurit dari angka satu sampai dengan seratus termasuk para pemimpin kelompoknya. Dengan demikian tidak akan ada prasangka apapun dari para prajurit yang terpisah dari kesatuannya.
"Aku tidak menilai apapun dari para prajurit. Aku tidak menilai kemampuan, kesetiaan dan umurnya. Yang aku lakukan semata-mata berdasarkan atas urutan nama yang diserahkan kepadaku," berkata Ki Tumenggung Jayayuda kepada para prajurit ketika mereka kemudian dikumpulkan di halaman. Lalu katanya kemudian, "Mungkin pada kesempatan lain aku akan mengambil kebijaksanaan lain. Aku akan membaurkan kembali para prajurit atas dasar penilaian yang lebih mendasar. Kebijaksanaan ini akan diambil pula oleh Panglima Pajang sehingga pada kesempatan lain, yang tentu tidak segera, akan ada alih tugas di antara para prajurit Pajang. Bukankah Pajang tidak hanya selebar Kotaraja ini?"
Para prajurit itu mendengarkan keterangan Ki Tumenggung dengan sungguh-sungguh. Semuanya memang terasa wajar. Karena itu maka para prajurit itupun berpengharapan, bahwa untuk selanjutnya mereka akan dapat menunaikan tugas mereka dengan tenang.
Ternyata bahwa Ki Tumenggung itu memang bijaksana. Ia sendiri yang menempatkan setiap kesatuan di bawah pimpinan para Pandhega. Dengan demikian maka Ki Tumenggung tidak menempatkan kesatuan yang dipimpin oleh Lurah Penatus Kasadha di bawah kepemimpinan Ki Rangga Prangwiryawan. Tetapi sebagaimana diharapkan oleh Kasadha, maka kesatuannya berada di bawah kepemimpinan Ki Rangga Dipayuda.
Namun di setiap kelompok kesatuan telah diletakkan seorang Lurah Penatus baru yang ditempatkan dari luar lingkungan pasukan itu. Demikian pula kelompok kesatuan yang dipimpin oleh Ki Lurah Kasadha dan seorang Lurah lagi dari pasukan yang memang telah ada di barak itu maka akan datang seorang Lurah yang akan ditentukan kemudian, yang datang dari luar barak pasukan yang kemudian dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda itu.
Untuk menyelesaikan tugas penertiban itu, Ki Tumenggung Jayayuda telah memberikan batasan waktu satu bulan, agar segala sesuatunya tidak berkesan tergesa-gesa.
"Mungkin dalam dua pekan semuanya dapat diselesaikan. Tetapi aku ingin semuanya berjalan dengan wajar dan mapan," berkata Ki Tumenggung yang kemudian menyerahkan penyelesaiannya kepada para Pandhega, yang pada saatnya harus memberikan laporan kepada Ki Tumenggung.
Demikianlah, maka di dalam barak pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayayuda itu memang terjadi kesibukan. Tetapi sebagaimana dikehendaki oleh Ki Tumenggung, semuanya berlangsung dengan tenang dan mapan. Semua persoalan yang timbul dapat dibicarakan dengan baik dan tuntas, karena waktu yang tersedia cukup luas.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, tiga orang Lurah Penatus yang baru telah berada di barak itu pula. Pada pekan kedua mereka telah ditempatkan di kesatuan masing-masing. Kesatuan yang terdiri dari para prajurit yang dipisahkan dari kesatuan mereka masing-masing karena jumlahnya terlalu banyak bagi sebuah kesatuan yang dipimpin oleh seorang Lurah.
Ternyata bahwa semuanya dapat berjalan dengan lancar dan baik. Tidak ada gejolak yang terjadi di antara para prajurit. Mereka yang terpaksa terpisah dari kesatuannya yang lama, telah menerima penempatan mereka dengan baik, karena mereka tidak merasa disisihkan karena beberapa kekurangan. Bahwa mereka harus berpindah ke dalam kesatuan lain adalah semata-mata karena kebetulan saja.
*** Dalam pada itu, selagi pasukan yang berada di bawah pimpinan Ki Tumenggung Jayayuda itu ditertibkan, maka Tanah Perdikan Sembojanpun telah menerima kedatangan beberapa orang utusan dari Pajang, yang dipimpin oleh Ki Rangga Kalokapraja. Utusan itu telah diterima oleh Iswari, Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan serta anak laki-lakinya, Risang.
"Kita sedang menyusun satu susunan pemerintahan yang lebih mapan," berkata Ki Rangga Kalokapraja.
"Ya Ki Rangga," jawab Iswari, "mudah-mudahan di bawah pimpinan Pangeran Benawa segala sesuatunya menjadi lebih baik."
"Kita bersama-sama berdoa," berkata Ki Rangga kemudian. Lalu katanya, "Kedatangan kami ke Tanah Perdikan ini juga dalam rangka usaha Pangeran Benawa untuk menertibkan susunan pemerintahan di Pajang. Sejak Pangeran Benawa memegang kepemimpinan Pajang, maka aku telah diserahi tugas untuk menghubungi semua Tanah Perdikan yang ada di lingkungan Pajang, terutama Tanah Perdikan yang terdekat. Meskipun aku mempunyai beberapa orang pembantu, namun aku ingin datang sendiri ke setiap Tanah Perdikan, sehingga aku akan mendapat keterangan yang langsung aku dengar dari para pemimpin di Tanah Perdikan itu sendiri."
Iswari mengangguk sambil menjawab, "Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Rangga untuk datang. Jika Ki Rangga ingin mendengarkan keluhan kami, adalah akibat dari tindakan yang dilakukan oleh para petugas beberapa saat yang lalu, ketika kepemimpinan Pajang masih dipegang oleh Kangjeng Adipati Demak."
"Aku sudah mendengar," jawab Ki Rangga, "yang Nyai maksud dengan pemerasan yang dilakukan oleh para petugas saat itu."
"Ya," jawab Iswari, "ancaman dan bahkan tindakan kekerasan."
"Aku juga sudah menerima laporan bahwa Tanah Perdikan ini telah berusaha untuk mempertahankan kehadirannya," berkata Ki Rangga kemudian.
"Hal itu terpaksa kami lakukan," jawab Iswari, "kami tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu kami mengetahui, bahwa para petugas saat itu tidak benar-benar mengemban tugas mereka dengan jujur."
"Kami telah berusaha untuk mengetahui alasan Tanah Perdikan ini," berkata Ki Rangga kemudian, "meskipun kami tentu masih akan memerlukan keterangan yang lain."
Iswari mengangguk-angguk kecil, sementara Ki Rangga berkata selanjutnya, "Karena itu di samping apa yang telah kau dengar langsung dari Tanah Perdikan ini, maka aku minta Nyai memberikan keterangan yang lebih lengkap tentang Tanah Perdikan ini. Berdasarkan kekancingan yang ada serta kenyataan yang ada sekarang. Kami ingin mengetahui keadaan para penghuni Tanah Perdikan ini pada umumnya. Keadaan tanahnya, sawah dan pategalan yang ada, jalan-jalan, sungai dan parit-paritnya. Ternak dan binatang peliharaan yang lain. Luas hutan yang masih ada serta tanah miring di lereng pegunungan serta jajaran bukit dan keadaan tanahnya."
"Untuk apa semuanya itu Ki Rangga?" bertanya Risang tiba-tiba.
"Kami akan mempunyai gambaran tentang setiap Tanah Perdikan yang ada. Meskipun pada dasarnya Tanah Perdikan memiliki wewenang untuk mengatur dirinya sendiri, namun rakyat Tanah Perdikan Sembojan adalah rakyat Pajang. Adalah kewajiban kami untuk mengetahui atau setidak-tidaknya dugaan tentang tingkat kehidupan mereka," jawab Ki Rangga Kalokapraja.
Risang mengangguk-angguk. Ia tidak dapat ingkar, bahwa dalam keutuhan Kadipaten Pajang yang bulat, Tanah Perdikan Sembojan termasuk di dalamnya.
Karena itu, maka Tanah Perdikan Sembojan tidak dapat berbuat lain kecuali menyatakan kesediaan para pemimpinnya untuk memenuhi permintaan Pajang.
Namun dalam pada itu, Ki Rangga Kalokapraja juga berkata, "Sementara itu, Pajang akan segera mempersiapkan pengesahan kembali Tanah Perdikan yang berada di lingkungan wewengkonnya."
Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Kami mengucapkan terima kasih Ki Rangga. Namun sebenarnyalah, kami ingin mengajukan satu permohonan tentang Tanah Perdikan Sembojan. Tentu saja setelah segala sesuatunya dianggap selesai. Namun jika hal ini kami sampaikan sekarang, kami memperhitungkan bahwa segala sesuatunya nanti akan dapat berlangsung rancak."
"Permohonan apa Nyai?" bertanya Ki Rangga Kalokapraja, "meskipun aku sekarang diserahi wewenang untuk menangani persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Tanah Perdikan yang ada, namun wewenangku tetap terbatas. Jika permohonan Nyai itu masih berada di dalam batas wewenangku, maka aku akan dapat menjawabnya. Jika tidak, maka permohonan Nyai akan aku teruskan kepada para petugas yang memiliki wewenang lebih tinggi."
"Terima kasih Ki Rangga," berkata Iswari kemudian, "sebenarnyalah sampai saat ini aku masih dianggap Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi, Nyai menghendaki agar Nyai segera diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan?"
"Tidak," jawab Iswari dengan serta-merta. Kemudian katanya lebih lanjut, "Bukan maksudku bahwa aku mohon untuk segera diwisuda. Tetapi aku mohon yang berhak atas Tanah Perdikan inilah yang segera diwisuda. Bukan aku, karena aku merasa tidak berhak untuk ditetapkan menjadi Kepala Tanah Perdikan. Yang aku lakukan sampai saat ini adalah sekedar menjadi Pemangku, karena yang berhak atas kedudukan itu belum dewasa sepenuhnya. Sekarang, yang berhak itu sudah dewasa penuh."
"Risang maksud Nyai?" bertanya Ki Rangga.
Nyai Wiradana itu mengangguk kecil. Jawabnya, "Ya, Ki Rangga. Risang sudah dewasa penuh. Ia sudah dapat menerima tugas itu sepenuhnya jika hal ini dianggap pantas oleh Pajang."
Ki Rangga Kalokapraja mengangguk-angguk. Katanya, "Yang dilakukan Pajang sebenarnya adalah tinggal mengesahkan, karena segala sesuatunya sudah jelas dan tergantung atas keputusan Tanah Perdikan itu sendiri. Namun baiklah hal ini aku bawa ke Pajang untuk segera mendapat penanganan. Namun aku minta dalam laporan yang terperinci tentang Tanah Perdikan itu nanti persoalan ini agar disebut kembali."
Iswari mengangguk sambil menjawab, "Baik Ki Rangga."
"Terima kasih," jawab Ki Rangga yang kemudian berkata, "Kemudian Nyai, untuk melengkapi laporan perjalananku, apakah aku diijinkan untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu pada keadaan sekarang."
"Silahkan Ki Rangga. Kami sama sekali tidak berkeberatan," jawab Iswari.
"Tidak seluruhnya. Kami hanya ingin melihat beberapa bagian yang Nyai anggap penting," jawab Ki Rangga.
Demikianlah, maka Risang telah diperintahkan oleh ibunya bersama-sama dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan sebagaimana dikehendaki oleh Ki Rangga Kalokapraja. Yang mula-mula ingin dilihatnya adalah padukuhan induk Tanah Perdikan. Kemudian sawah di sekitarnya serta saluran airnya. Meskipun agak jauh, Ki Rangga juga melihat-lihat hutan yang terbentang di beberapa bagian Tanah Perdikan itu, sehingga merambat ke lereng pegunungan.
"Jika Tanah perdikan Sembojan menjadi semakin berkembang, maka tentu dibutuhkan tanah persawahan baru, sehingga Tanah Perdikan Sembojan harus membuka hutan," berkata Ki Rangga.
"Ya Ki Rangga," jawab Risang. Kemudian katanya pula, "Tetapi sudah tentu dengan memperhitungkan berbagai macam kemungkinan yang dapat terjadi."
"Bagus," desis Ki Rangga. Ki Rangga memang tidak berkata tentang hal itu berkepanjangan, namun Ki Rangga mengerti, bahwa Tanah Perdikan Sembojan telah menyadari arti kehadiran hutan itu sendiri.
Ternyata Ki Rangga tidak ingin melihat keseluruhan. Beberapa bagian dari Tanah Perdikan itu telah memberikan gambaran utuh tentang Tanah Perdikan Sembojan yang terhitung besar itu.
Ketika kemudian Ki Rangga minta diri untuk kembali ke Pajang, maka ia masih berpesan, "Keterangan yang kami perlukan kami minta secepatnya dapat disampaikan ke Pajang."
"Apakah Ki Rangga tidak bermalam saja di Tanah Perdikan ini?" bertanya Iswari.
Ki Rangga menggeleng sambil berkata, "Aku masih akan singgah di beberapa padukuhan untuk melihat perkembangan kehidupan di padesan yang tentu tidak akan sepesat kemajuan di Tanah Perdikan ini."
Sesaat kemudian, maka Ki Ranggapun telah meninggalkan Tanah Perdikan itu dengan meninggalkan kesan yang baik bagi Sembojan.
Para pemimpin di Sembojanpun menjadi semakin berpengharapan bahwa masa depan Sembojan akan menjadi lebih cerah.
Namun dalam pada itu, para pemimpin di Sembojanpun merasa berkewajiban untuk berusaha mengembangkan Tanah Perdikan itu. Mungkin di kesempatan lain, masih akan ada petugas dari Pajang yang akan datang untuk melihat keadaan Tanah Perdikan itu, disesuaikan dengan laporan yang akan diberikan oleh Tanah Perdikan Sembojan tentang Tanah Perdikan itu.
Tetapi menurut penilaian para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan, sikap Pajang menjadi lebih wajar dan terasa memberikan pengarahan yang mapan.
Dalam pada itu, ternyata kepemimpinan Pangeran Benawa benar-benar memberikan suasana yang baru bagi Pajang. Di segala segi kehidupan terhadap peningkatan tatanan sehingga menjadi lebih baik. Perubahan-perubahan dilakukan dengan bijaksana sehingga tidak menimbulkan keresahan. Namun dalam pada itu, pengawasan terhadap para petugas itu sendiri berjalan dengan cermat pula, sehingga tidak ada petugas yang justru mempergunakan kesempatan untuk menyalahgunakan wewenangnya bagi kepentingan diri sendiri.
Trio Penyamar 2 Kisah Perjalanan Para Peminang Bidadari Karya Abdullah Amani Syahid Patung Darah Dewa 2
^