Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 12

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 12


Sebenarnyalah Sekar Mirah melihat unsur-unsur gerak yang dikenalinya sebagai bagian dari ilmu dari perguruannya. Tetapi disamping itu Sekar Mirahpun melihat, bahwa ilmu Nyi Dwani itu juga diwarnai oleh ilmu dari perguruan lain, tentu termasuk ilmu yang dihubungkannya dengan getar cahaya bulan.
Dalam pada itu, Sekar Mirah masih tetap berada di jalur ilmu perguruannya ia masih belum menampakkan warna-warna lain yang dapat memperkaya ilmunya Namun ternyata bahwa ilmu yang masih berada di jalur perguruannya itupun banyak yang tidak dikenali oleh Nyi Dwani. Pada unsur-unsur yang lebih rumit, Nyi Dwani kadang-kadang tersentak dan terkejut
Ki Saba Lintang mengikuti perang tanding itu dengan tegang. Ditangannya tergenggam tongkat perguruan yang dibanggakannya Namun sekali-sekali jantungnya bergetar jika Nyi Dwani nampaknya terkejut oleh serangan-serangan Sekar Mirah.
Diluar arena, Agung Sedayu yang berilmu sangat tinggi mengamati perang tanding itu dengan saksama. Iapun segera mengerti, bahwa ilmu yang dikuasai Nyi Dwani yang terutama adalah justru tidak sejalan dengan ilmu dari perguruan Sekar Mirah.
Meskipun demikian, Agung Sedayu melihat bahwa Nyi Dwani memang seorang yang berilmu tinggi.
Ki Jayaragapun mengikuti perang tanding itu dengan saksama. Perang tanding itu masih belum membahayakan bagi kedua belah pihak, meskipun mereka sudah semakin meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Tetapi mereka masih belum bernafsu untuk dengan cepat mengakhirinya.
Empu Wisanatapun masih menganggap perang tanding itu masih berada pada tataran permulaan. Kedua belah pihak masih sedang memanaskan darah mereka sebelum mereka akan memasuki satu perang tanding yang bersungguh-sungguh.
Namun semakin lama merekapun bergerak-semakin cepat Sekali-sekali Nyi Dwani mengangkat wajahnya memandang bulan yang hampir sampai ke puncak langit.
Sikap Nyi Dwani itu tidak terlepas dari perhatian Sekar Mirah. Bahkan Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun melihat betapa Nyi Dwani memperhatikan sekali letak bulan yang ada di langit
Semakin dekat bulan dengan puncak langit. Maka ilmu Nyi Dwanipun telah ditingkatkannya pula. Serangan-serangannya mulai berbahaya Tangannya mulai menyambar langsung ke tempat-tempat yang berbahaya bagi Sekar Mirah.
Hampir saja jari-jari Nyi Dwani sempat mencengkam lehar Sekar Mirah. Untunglah Sekar Mirah bergerak cepat menghindarinya. Namun jari-jari Nyi Dwani sudah sempat menyentuh leher Sekar Mirah.
Sekar Mirah merasa lehernya menjadi pedih. Nampaknya kuku Nyi Dwani sempat menggores di lehernya meskipun tidak berarti.
Perasaan pedih di leher Sekar Mirah itu telah memacunya untuk meningkatkan ilmunya pula Iapun bergerak semakin cepat. Kakinya berloncatan dengan ringan, sehingga tubuhnyapun seakan-akan melayang-layang mengitarinya
- Ternyata perempuan ini juga berilmu tinggi ~ berkata Nyi Dwani didalam hatinya
Sebelumnya, Nyi Dwani memang sudah menduga bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu yang sempat menerima salah satu tongkat perguruan itu tentu berilmu tinggi. Namun setelah ia mengalami perang tanding itu, maka Nyi Dwani harus mengaku, bahwa kemampuan Sekar Mirah berada pada tataran yang lebih tinggi dari dugaannya Karena itu, maka Nyi Dwanipun harus berhati-hati menghadapinya Tetapi Nyi Dwani memang terlalu yakin akan dirinya sendiri. Dengan demikian, maka Nyi Dwani tidak pernah menjadi ragu-ragu, bahwa ia akan dapat menyingkirkan Sekar Mirah. Kemudian ia harus mendapatkan Tongkat itu meskipun harus dengan paksaan kekerasan.
Nyi Dwani yang semula merasa cemas, bahwa tongkat Sekar Mirah itu akan disembunyikan, merasa berlega hati, bahwa tongkat itu sekarang ada di sekitar arena, meskipun ada di tangan Agung Sedayu, seorang Lurah prajurit yang memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi sebagaimana Nyi Dwani menyakini ilmunya, maka ia-pun yakin bahwa ayahnya tidak akan pernah dikalahkan oleh siapa-pun juga. Apalagi setelah ayahnya menjalani laku diatas Gunung Kukusan beberapa waktu yang lalu.
Karena itu, setelah ia menyingkirkan Sekar Mirah, maka ayahnya akan mengambil tongkat itu dari tangan Agung Sedayu.
Nyi Dwani tersenyum sendiri sambil berloncatan menghindari serangan Sekar Mirah. Apalagi ia telah mendengar bagaimana Ki Welat Wulung memuji kecantikan Rara Wulan. Gadis yang tumbuh dewasa. Bagi Welat Wulung, usia seorang perempuan tidak pernah menjadi pertimbangannya Jika ia tertarik pada seorang perempuan, apakah ia masih gadis kencur, ataukah sudah mempunyai cucu, ia tidak pernah menghiraukannya
Ki Welat Wulung itu menurut dugaan Nyi Dwani tentu akan mengambil Rara Wulan, sehingga tentu akan timbul persoalan baru setelah perang tanding itu selesai. Dalam keributan itulah Empu Wi-sanata akan mendapat kesempatan untuk mengambil tongkat dari tangan Agung Sedayu, meskipun ia harus membunuh Lurah Prajurit itu.
Dalam pada itu, maka perang tanding itupun menjadi semakin sengit. Apalagi ketika bulan menjadi semakin dekat dengan puncak langit.
Agung Sedayu memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Agung Sedayu sendiri pernah mengalami, bertempur melawan seseorang yang menghubungkan ilmunya dengan getar cahaya bulan. Namun melihat perbedaan ilmu Nyi Dwani dengan ilmu yangdimi-liki orang yang pernah bertempur melawannya.
Menurut pengamatan Agung Sedayu, ia masih belum mencemaskan keadaan Sekar Mirah, karena ia tahu, Sekar Mirahpun masih belum sampai pada puncak ilmunya.
Tetapi ketika bulan merambat naik, maka Sekar Mirahpun harus meningkatkan ilmunya pula. Menurut perasaan Sekar Mirah, ilmu Nyi Dwani itupun memang meningkat sejalan dengan kedudukan bulan di langit.
Namun, setiap kali ia berusaha mengingat pesan Agung Sedayu, bahwa pengaruh bulan itu lebih banyak pada sisi jiwani daripada sisi ilmunya. Karena Nyi Dwani demikian yakin akan pengaruh cahaya bulan itu, maka keyakinannya itu telah mempengaruhi jiwanya sehingga seakan-akan ilmunya memang meningkat.
Namun Sekar Mirah memang harus meningkatkan ilmunya ketika ia merasa semakin terdesak, sehingga iapun segera daat mengimbangi kemampuan Nyi Dwani itu lagi- Bahkan dengan hentakan ilmunya kadang-kadang Sekar Mirah justru mampu mendesak lawannya, kadang-kadang Sekar Mirah justru mampu mendesak lawannya yang garang itu.
Empu Wisanata memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Sekali-sekali ia memandang bulan dilangit Semakin lama semakin tinggi sebagaimana ilmu Nyi Dwani yang semakin meningkat. Tenaga Nyi Dwanipun seakan-akan menjadi semakin kuat pula. Bahkan tenaga dalamnya yang mendukung ilmunyapun menjadi semakin besar pula.
Tetapi menurut pengamatan Empu Wisanata, bukan saja ilmu Nyi Dwani yang meningkat semakin tinggi. Bukan saja kekuatan dan tenaga Nyi Dwani yang semakin besar. Tetapi kemampuan Sekar Mirahpun Nyi Dwani. Bahkan Sekar Mirahpun sekali-sekali juga menyempatkan diri menengadahkan wajahnya, memandang bulan yang terang dilangit
~ Apakah Nyi Lurah juga memiliki ilmu yang dipengaruhi oleh gelar cahaya bulan " - bertanya Empu Wisanata di dalam hatinya.
Namun ia tidak sempat bertanya-tanya lebih jauh. Nyi Dwani telah hampir sampai kepuncak kemampuannya. Bahkan ia mulai mengetrapkan unsur-unsur gerak yang khusus yang sama sekali belum pernah dikenal oleh Sekar Mirah pada ilmunya. Namun Sekar Mirahpun menduga, bahwa ilmu itu tentu diwarisi dari Empu Wisanata yang disebut sebagai ayahnya itu.
Dalam pada itu, Nyi Dwanipun kemudian telah mengerahkan kemampuannya. Demikian bulan sampai di atas kepalanya, maka Nyi Dwani itupun berkata - Sekar Mirah. Ucapkan Selamat Tinggal kepada suamimu, kepada adikmu dan kepada saksi-saksimu yang kau bawa kemari. Sebentar lagi, perlawananmu akan segera aku akhiri. Jangan menyesal, bahwa karena kesombonganmu, maka kau harus mempertaruhkan nyawamu.
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa saat bulan tepat diatas kepala, maka Nyi Dwani akan mengerahkan kemampuannya untuk mengakhiri perang tanding itu.
Atas dasar perhitungan itulah, maka Sekar Mirah tidak ingin membiarkan ilmu Nyi Dwani benar-benar terpengaruh oleh kedudukan bulan, meskipun berdasarkan pengaruh jiwani. Karena itu, justru ketika bulan ada dipuncak langit, maka Sekar Mirah telah menghentakkan ilmunya. Sekali ia menengadahkan wajahnya kelangit, memandang bulan dan bahkan mengangkat ketika tangannya. Namun kemudian Sekar Mirah telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.
Nyi Dwani yang menganggap saat itu merupakan saat terpenting pada perang tanding itu terkejut. Disaat ia ingin mengetrapkan ilmu puncaknya tepat pada saat bulan diatas kepala, maka ia melihat lawannya seakan-akan telah melakukan hal yang sama, meskipun dengan laku yang berbeda
Keheranan dan kebimbangan Nyi Dwani yang sesaat itu telah dipergunakan oleh Sekar Mirah dengan sebaik-baiknya Serangan-serangannyalah yang kemudian datang membadai pada puncak ilmunya.
Serangan-serangan yang datang bagaikan banjir bandang itu telah menggetarkan pertahanan Nyi Dwani. Justru pada saat ia merasa berada pada puncak ilmunya. Namun Nyi Dwani itu justru harus berloncatan menghindari serangan-serangan lawannya.
Ternyata yang menjadi sangat terkejut bukan hanya Nyi Dwani. Empu Wisanata, Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulungpun menjadi sangat terkejut pula. Mereka menduga, bahwa Nyi Dwani akan mengakhiri perlawanan Sekar Mirah tepat pada saat bulan berada di puncak. Namun justru pada saat itu. Nyi Dwani harus berloncatan surut untuk mengambil jarak karena serangan-serangan Sekar Mirah yang seakan-akan tidak terbendung.
Namun beberapa saat kemudian, Nyi Dwani berhasil memperbaiki kedudukannya. Serangan-serangan Sekar Mirahpun seakan-akan telah mengendur. Bahkan seakan-akan Sekar Mirah memberinya kesempatan untuk bernafas.
- Marilah Nyi Dwani - berkata Sekar Mirah - bulan masih berada diatas kepala. Bukankah kesempatan ini yang kau tunggu, " Jika pada kesempatan ini kau tidak dapat mengalahkan aku, maka kau sudah tidak akan berpengharapan lagi. -
Wajah Nyi Dwani menjadi sangat tegang. Sementara Sekar Mirahpun berkata- Marilah Nyi Dwani. Jangan berputus-asa. Bulan masih berada di puncak. -
Kemarahan Nyi Dwani benar-benar membakar ubun-ubunnya. Tetapi serangan Sekar Mirah yang tiba-tiba justru di saat bulan mencapai puncaknya itu telah mempengaruhinya. Apalagi ketika Sekar Mirah itu berkata - Ternyata kita benar-benar saudara seperguruan. Empu Wisanata telah salah menilai kemampuanku. Empu Wisanata mengira bahwa aku masih belum sampai pada tataran tertinggi dari kebulatan ilmu di perguruan kita. Empu Wisanata mengira bahwa aku baru sampai pada tataran permulaan sehingga aku belum mengenal ilmu yang paling rumit dari perguruan kita. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku pun menunggu bulan bulat dilangit. Aku tidak usah menyembunyikan kenyataanku, bahwa kita memang benar-benar saudara seperguruan. -
Wajah Nyi Dwani menjadi sangat tegang. Bahkan ia menjadi bingung, bahwa tiba-tiba Nyi Lurah itu juga mengaku bahwa ilmunya telah dipengaruhi oleh getar cahaya bulan.
Namun Sekar Mirah itupun kemudian berkata " Jangan bingung, Nyi Dwani. Marilah, kita akan bertempur pada puncak ilmu kita. Ilmu yang sama-sama kita junjung tinggi. ~
Jantung Nyi Dwani telah bergejolak. Ternyata lawannya juga memiliki ilmu yang sama. Padahal menurut pengertiannya, ilmunya yang berada di bawah pengaruh getar cahaya bulan itu sama-sekali tidak disadapnya dari jalur perguruan yang sama dengan jalur perguruan Sekar Mirah.
Tetapi Sekar Mirah tidak memberinya kesempatan untuk merenungi kata-katanya. Nyi Dwanipun tidak sempat menguji kebenarannya, apakah Sekar Mirah benar-benar menghubungkan ilmunya dengan getar sinar bulan purnama sebagaimana Nyi Dwani sendiri. Tetapi sikap dan kata-kata Sekar Mirah cukup memberikan kesan yang demikian.
Dalam pada itu, maka Sekar Mirahpun telah mulai menyerang lawannya. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka Nyi Dwani merasa bahwa ilmu Sekar Mirah benar-benar telah meningkat.
Nyi Dwani yang memang sudah mengetrapkan ilmunya, menempatkan diri dalam sentuhan getar cahaya bulan, benar-benar telah terpengaruh oleh sikap dan kata-kata Sekar Mirah. Apalagi ketika serangan-serangan Sekar Mirah datang beruntun. Rasa-rasanya getar cahaya bulan telah lebih dahulu terhisap dan berpengruh pada ilmu Sekar Mirah, sehingga sulit bagi Nyi Dwani untuk meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.
Ternyata Empu Wisanata yang berilmu tinggi melihat kegelisahan di hati Nyi Dwani. Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu justru tertawa sambil berkata - Dwani. Betapa lawanmu menjadi kebingungan karena kau telah hampir sampai pada puncak ilmumu, sehingga untuk sedikit memberikan ketenangan pada dirinya sendiri, iapun berusaha untuk memanfaatkan sinar bulan purnama. Tetapi ternyata tidak ada sentuhan sama sekali antara getar "sinar bulan dan ilmunya karena ia memang tidak mengerti arti dari sinar bulan. Aku tetap pada pendapatku, bahwa apa yang diterima Nyi Lurah, masih terlalu sempit untuk dapat menyamai ilmu dan kemampuan kita. -
Yang tertawa kemudian justru Ki Jayaraga. Katanya - Apakah kau ingin ikut berperang tanding" Sebaiknya kita membuat kesepakatan tersendiri, Empu. -
-Apa maumu " - bertanya Empu Wisanata.
-Apakah kemampuan kita, sebaiknya kita tidak mengganggu perang tanding yang sedang terjadi. ~
-Apakah aku sudah mengganggu" -
-Ya - jawab Ki Jayaraga " Kasihan Nyi Dwani. Perhatiannya sudah terpecah. Ia harus menghadapi Nyi Lurah dalam perang tanding, sementara ia harus mendengarkan sesorahmu. -
-Cukup - bentak Empu Wisanata.
Tetapi sebelum Ki Jayaraga menyahut, Agung Sedayu berdesis - Sst. Biarkan mereka yang berperang tanding memusatkan nalar budi mereka justru disaat-saat mereka sampai kepuncak sebagaimana bulan yang berada diatas kepala kita. -
-Tetapi Nyi Lurah tidak memiliki kemampuan menyadap getar cahaya bulan sehingga dapat mengangkat bobot ilmunya -
~ Lihat " desis Agung Sedayu.
Empu Wisanata memang terdiam. Diperhatikannya anaknya perempuan yang sedang berperang tanding. Agaknya Nyi Dwani telah mengerahkan segala kemampuan. Ia mencoba memusatkan nalar budinya untuk sampai pada tataran tertinggi ilmunya dibawah pengaruh cahaya bulan bulat dilangit
Namun Sekar Mirahpun telah sampai kepuncak ilmunya pula. Tenaga dan kekuatannyapun menjadi semakin bertambah-tambah. Tubuhnya seakan-akan menjadi semakin ringan, sehingga Sekar Mirah itu mampu bergerak semakin cepat
Namun Sekar Mirah terkejut melihat telapak tangan Nyi Dwani yang menjadi merah membara. Ternyata pada puncak ilmunya, Nyi Dwani yang merasakan pengaruh getar cahaya bulan pada ilmunya itu, telah mampu mengungkapkan ilmu pamungkasnya.
Ketika dengan garangnya Nyi Dwani menyerang Sekar Mirah dengan ayunan-ayunan telapak tangannya yang membara, maka Sekar Mirahpun telah meloncat surut untuk mengambil jarak.
Sebenarnyalah Sekar Mirah menjadi berdebar-debar Tetapi ia sudah mengetahui dan mendapat beberapa petunjuk dari Agung Sedayu apa yang harus dilakukan jika ia menghadapi berbagai macam ilmu, termasuk ilmu sebagaimana dihadapinya saat itu.
- Jangan lari, Nyi Lurah - geram Nyi Dwani.
Betapapun dada Sekar Mirah berdebar, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Namun sebenarnyalah bahwa Sekar Mirahpun telah berada pada mengerahkan segenap kemampuannya pula sampai ketataran tinggi.
Tangan Sekar Mirah yang terlatih, yang menurut Sekar Mirah agak kurang pantas bagi seorang perempuan karena warnanya yang kehitam-hitaman dan agak kasar, seakan-akan telah mengeras sekeras batu hitam.
Namun bukan saja tangannya yang menjadi sangat berbahaya, tetapi dengan dukungan tenaga dalamnya, maka kekuatan Sekar Mirahpun seakan-akan menjadi berlipat pula.
Dengan demikian, maka pertemuran antara kedua orang perempuan itu menjadi semakin sengit Serangan demi serangan meluncur dengan derasnya. Pengaruh telapak tangan yang membara itu, membuat udara di medan perang tanding itu seakan-akan menjadi semakin panas.
Namun Sekar Mirah cukup berhati-hati. Ia sudah melatih tangannya dengan pasir dan kerikil yang telah dipanasi. Tetapi ia tahu bahwa telapak tangan Nyi Dwani yang membara itu akan dapat membakar kulitnya jika tubuhnya sempat tersentuh.
Karena itu, maka Sekar Mirah harus menjadi semakin berhati-hati. Ia harus berusaha untuk tidak tersentuh serangan telapak tangan Nyi Dwani yang membara itu.
Tetapi serangan Nyi Dwani datang membadai. Tangannya terayun-ayun memburu kemana Sekar Mirah menghindar.
Namun Sekar Mirah mampu mengatasi panasnya udara. Ia sudah terlalu sering berdiri diatas seonggok pasir dan kerikil yang dipanasi. Tetapi sudah tentu bukan sentuhan telapak tangan yang membara itu pada kulitnya.
Dalam pada itu, pertempuran itu menjadi semakin cepat dan semakin seru. Serangan demi serangan datang susul menyusul. Sehingga akhirnya, serangan-serangan itu mampu menyentuh tubuh lawannya.
Sekar Mirah terkejut ketika lengannya tersentuh telapak tangan Nyi Dwani. Bukan hanya pakaiannya yang menjadi hangus. Tetapi kulitnyapun telah terluka bakar sebagaimana tersentuh bara api.
Tetapi ketika tangan Sekar Mirah berhasil mengenai pundak lawannya, maka rasa-rasanya tulang Nyi Dwani menjadi retak. Tangan Sekar Mirah menjadi terasa sekeras batu hitam.
Dengan demikian, maka pertempuran itu benar-benar menjadi arena yang garang. Keduanya telah-bertempur habis-habisan. Mereka sadar, bahwa perang tanding itu tidak hanya sekedar menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Tetapi perang tanding itu akan berakhir dengan kematian.
Orang-orang yang menjadi saksi dari pertempuran itu menjadi -tegang. Kedua orang perempuan itu berloncatan saling menyerang dan saling menghindar.
Namun dalam pada itu, bulan telah bergeser semakin ke Barat. Perlahan-lahan bulan itu mulai turun.
Tetapi Nyi Dwani masih belum berhasil membunuh Sekar Mirah.
Meskipun tangan Nyi Dwani bukan baru sekali menyentuh tubuh Sekar Mirah, namun Sekar Mirah masih tetap tegar. Ia tidak menghiraukan beberapa bagian bajunya yang hangus. Ia tidak terpengaruh oleh luka-luka bakar dikulitnya.
Empu Wisanata mulai menjadi gelisah. Jika bulan semakin turun di Barat, maka puncak kemampuan Nyi Dwanipun akan mulai menyusut meskipun perlahan-lahan.
Empu Wisanata juga berharap bahwa Sekar Mirah juga akan mengalami keadaan yang sama seperti Nyi Dwani. Semakin rendah bulan di sisi langit sebelah Barat, maka ilmunya serabi menjadi menyusut pula.
Meskipun demikian, keduanya masih bertempur pada puncak kemampuan mereka. Beberapa kali Sekar Mirah harus berusaha menghindar libatan ilmu lawannya. Namun pada kesempatan lain, serangan-serangannya mendorong lawannya untuk mengambil jarak menjauhinya. Sentuhan tangan Sekar Mirah memang tidak dapat menjadi sepanas telapak tangan Nyi Dwani. Namun sentuhan sentuhan tangan Sekar Mirah bagaikan mampu meremukkan tulang-tulang.
Pertempuran memang menjadi semakin sengit. Serangan-serangan mereka semakin sering menembus pertahanan lawan. Lengan, bahu dan bahkan punggung Sekar Mirah Telah tersentuh tangan Nyi Dwani. Bukan saja bajunya yang koyak terbakar Tetapi kulit Sekar Mirahpun telah terluka pula. Meskipun demikian, Sekar Mirah tidak menghiraukan perasaan pedih yang menggigit Ia tidak ingin tenggelam kedalam perasaan sakitnya sehingga justru nyawanya akan direnggut oleh lawannya.
Dengan daya tahan yang tinggi. Sekar Mirah berusaha untuk tidak menghiraukan perasaan sakitnya. Bahkan Sekar Mirahpun tidak menghiraukan bajunya yang telah terkoyak. Sekar Mirah lebih memperhatikan nyawanya yang setiap saat akan dapat direnggut oleh Nyi Dwani.
Namun dalam pada itu, serangan Sekar Mirahpun telah mampu menguak pertahanan Nyi Dwani. Lawan Sekar Mirah itu mengaduh tertahan ketika tangan Sekar Mirah menyentuh pundaknya. Rasa-rasanya tulang-tulangnya menjadi retak. Sementara itu serangan berikutnya telah menggapai lambung, sehingga rasa-rasanya isi perut Nyi Dwani akan tumpah.
Dalam pada itu, bulan semakin bergeser ke Barat. Nyi Dwani yang sudah terlanjur meyakini pengaruh getar sinar bulan pada ilmunya, memang sangat terpengaruh oleh kedudukan bulan. Justru setelah ia mengerahkan puncak kemampuannya pada saat bulan berada ditempai tertinggi, ia tidak berhasil menghentikan perlawanan Sekar Mirah serasa telah meremukkan tulang-tulangnya dan merontokkan isi perutnya
Empu Wisanata, Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung menjadi sangat cemas melihat kenyataan itu. Nyi Dwani ternyata tidak mampu menyelesaikan perang tanding itu. Ilmu Nyi Dwani yang tinggi masih dapat diimbangi oleh Sekar Mirah.' Meskipun telapak tangan Nyi Dwani berhasil menyentuh tubuh Sekar Mirah, tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Ia masih tetap garang. Serangan-serangannya benar-benar mengenai sasarannya.
Ketiga orang saksi yang dibawa oleh Nyi Dwani itu benar-benar telah menjadi cemas. Setapak bulan menapak semakin ke Barat, maka kegelisahan merekapun semakin meningkat.
Sebenarnya serasa semakin nyeri dan lambungnya yang sakit membuat perutnya menjadi mual. Justru pada saat bulan berada di puncak, Nyi Dwani tidak mampu berbuat banyak. Bahkan kadang-kadang ia justru telah terdesak.
Apalagi ketika bulan sudah melampaui puncaknya dan surut' kearah Barat
Berbeda dengan Nyi Dwani, Sekar Mirah yang tidak merasa terpengaruh oleh gelar cahaya bulan, sama sekali tidak merasakan bahwa ilmunya mulai menyusut. Bahkan dengan kecepatan yang seakan-akan menjadi semakin tinggi, Sekar Mirah menekan lawannya dengan serangan-serangan yang berbahaya.
Nyi Dwani benar-benar menjadi semakin gelisah. Nyi Dwani tidak mau melihat susutnya kemampuannya karena susulnya tenaga setelah ia bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Setelah ia bertempur habis-habisan untuk menghancurkan lawannya serta untuk mempertahankan dirinya.
Meskipun serangan-serangan Nyi Dwani masih kadang-kadang mengejutkan Sekar Mirah, namun Sekar Mirah mulai benar-benar menekan lawannya. Ketahanan tubuh Sekar Mirah mampu mengatasi rasa sakit pada luka-luka bakar ditubuhnya. Sementara Nyi Dwani justru merasa seakan-akan tulang-tulangnya menjadi retak di mana-mana disetiap sentuhan tangan Sekar Mirah.
Empu Wisanata melihat kesulitan yang dialami oleh Nyi Dwani. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa Sekar Mirah mampu bertahan sampai bulan menuruni kaki langit disisi Barat.
Karena itu, maka tidak ada kesempatan lain bagi Nyi Dwani untuk menyelesaikan perang tanding itu dengan mempergunakan senjata.
Adalah diluar dugaan Sekar Mirah, bahwa ketika Nyi Dwani terdesak sehingga meloncat mundur untuk mengambil jarak, Empu Wisanata berkata - Tidak ada perjanjian bahwa dalam perang tanding ini tidak boleh mempergunakan senjata -
Agung Sedayu yang mendengar kata-kata Empu Wisanata itu bergerak setapak mendekati arena. Disisi lain, Ki Saba Lintang menyahut " Ya. Memang tidak ada perjanjian. Karena itu, Nyi Dwani dan Nyi Lurah diperkenankan mempergunakan senjata. -
Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika Ki Saba Lintang kemudian berkata kepada Nyi Dwani -- Kau dapat mempergunakan tongkat perguruan ini Nyi Dwani. Pertanda bahwa kau telah mendapat restu dari penguasa tertinggi dari perguruan ini. -
Sekar Mirah meloncat mundur. Dengan lantang iapun berkata -- Siapakah yang berhak atas tongkat itu " Ki Saba Lintang atau Nyi Dwani"
-Kami sama-sama berhak atas tongkat itu, karena kami bersama-sama memimpin perguruan yang besar ini. "
Jawaban itu membuat Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika sejenak kemudian ia melihat Ki Saba Lintang melemparkan tongkat itu kepada Nyi Dwani.
Nyi Dwani yang kemudian membawa tongkat yang semula dibawa Ki Saba Lintang itupun berkata - Nyi Lurah. Kita akan sampai pada babak terakhir dari perang tanding ini. Bersiaplah. Kita akan meyakini siapakah sebenarnya yang paling berhak atas tongkat perguruan. Siapa yang memiliki kemampuan lebih tinggi untuk mempermainkan tongkat itu, maka ia adalah orang yang paling pantas memilikinya. -
-Nyi Dwani " berkata Sekar Mirah - yang terjadi ini adalah perampokan atas tongkat perguruan. Kalian bukan murid-murid murni dari perguruan kami. Siapapun yang merasa berilmu tinggi dapat berbuat sebagaimana kalian lakukan. Datang, menantang perang tanding dengan mempertaruhkan pertanda-pertanda tertinggi dari sebuah perguruan terbaik di muka bumi. Aku tidak berpendirian bahwa tidak ada orang yang dapat mengatasi puncak-puncak ilmu dari perguruan kita. Karena itu, memang mungkin sekali seseorang datang untuk merampok tongkat pertanda dari perguruanku dengan dalih sebagaimana kalian katakan. --
"Jadi kau menuduh aku akan merampok tongkatmu " - bertanya Nyi Dwani.
"Ya. Karena kau bukan murid dari perguruan kami. Kau kira aku tidak mengenal ciri-ciri perguruan kami " Kau memang dapat menunjukkan beberapa unsur gerak dari perguruan kami. Tetapi ketika ilmumu meningkat semakin tinggi, bahkan ketika kau sampai pada puncak ilmu, maka ciri-ciri itu sama sekali sudah tidak dapat dikenali lagi. Apalagi hubungan antara ilmumu dengan getar cahaya bulan. -
Nyi Dwani mengerutkan dahinya. Ia sadar, bahwa Nyi Lurah itu ternyata tidak menghubungkan ilmunya dengan kedudukan bulan.
Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintanglah yang meyahut -Nyi Lurah. Kau tidak usah merajuk seperti itu. Sekarang hadapi apa yang kau hadapi dalam perang tanding yang sudah disepakati. Apapun yang terjadi, adalah akibat dari kesepakatan itu. -
-Aku tidak akan mengingkari kesepakatan itu, Ki Saba Lintang. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku tidak berhadapan dengan saudara seperguruanku. Karena itu, kau tidak perlu mengekang diri dengan segala macam pertimbangan. -
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar mendengar pernyataan Sekar Mirah. Agaknya Sekar Mirah benar-benar tidak akan mengekang dirinya lagi. Akibat dari sikapnya itu, maka agaknya perang tanding ini benar-benar akan diakhiri dengan satu kematian.
Dalam pada itu, maka Nyi Dwanipun kemudian berkata dengan nada tinggi melengking - Bersiaplah Sekar Mirah. Aku akan membunuhmu dengan tongkat pertanda perguruan ini. -
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun berpaling kepada Agung Sedayu sambil berkata - Kakang. Aku terpaksa mempergunakan tongkat itu. Apa boleh buat -
Agung Sedayu melangkah mendekati Sekar Mirah untuk menyerahkan tongkat baja putihnya Ia melihat ketegangan di wajah isterinya itu.
Sambil menyerahkan tongkat baja putih itu Agung Sedayupun berkata - Bukan salahmu. --.
Sekar Mirah mengangguk. Desisnya " Doakan aku kakang. " Aku akan berdoa untukmu" sahut Agung Sedayu perlahan sambil tersenyum.
Ternyata senyum Agung Sedayu mempunyai arti yang besar bagi Sekar Mirah. Jantungnya yang berdebar-debar itupun mereda.
Segala sesuatunya menjadi lebih tenang dihadapan matanya. Seperti yang dibisikkan oleh Agung Sedayu - Bukan salahmu. "
Sekar Mirahpun kemudian telah menggenggam tongkatnya erat-erat. Ia menerima tongkat itu langsung dari gurunya. Ia tidak merampok atau mencuri atau menipu untuk mendapat tongkatya itu, Karena itu, maka Sekar Mirahpun menjadi semakin mantap.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka kedua orang perempuan yang masing-masing menggenggam tongkat ditangannya itu sudah bersiap. Tongkat yang mirip yang satu dengan yang lain. Namun tongkat di tangan Nyi Dwani agak lebih panjang dari tongkat yang dibawa oleh Sekar Mirah. Sejenak kemudian maka keduanyapun mulai bergeser. Tongkat merekapun mulai berputar. Nyi Dwanilah yang mula-mula menjulurkan tongkatnya. Namun sekedar memancing serangan lawannya.
Sekar Mirah yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan itupun bergeser selangkah surut. Ketika Nyi Dwani memburunya sambil mengayunkan tongkatnya mendatar, Sekar Mirah menangkisnya.
Benturan itu tidak terlalu keras. Keduanya masih belum meningkatkan kekuatan mereka.
Diluar sadarnya, Sekar Mirah mengangkat wajahnya memandang bulan dilangit. Bulan itu sudah semakin bergeser ke Barat.
Nyi Dwanipun tanpa disengaja telah mengangkat wajahnya pula. Iapun melihat bahwa bulan sudah bergeser semakin jauh dari puncak langit.
Terasa darah Nyi Dwani tersiap di jantungnya. Bulan itu akan bergeser semakin jauh, seolah-olah akan meninggalkannya dilingka-ran perang tanding yang barat itu.
Namun sejenak kemudian Nyi Dwani menggeram - Kau akan mati malam ini, Nyi Lurah. -
Sekar Mirah tersenyum. Katanya - Kau mengancamku sejak bulan ada diatas kepala kita. "
-Diam - teriak Nyi Dwani.
Sekar Mirah tertawa. Katanya - Bulan itu merangkak terus meninggalkan kau sendiri dipertempuran yang akan menjadi semakin ganas. Tetapi itu adalah salahmu sendiri, karena kau yang mulai mempergunakan tongkat sebuah perguruan yang dihormati, padahal kau tahu, bahwa kau tidak berhak. -
-Cukup " Nyi Dwani berteriak semakin keras.
Empu Wisanatalah yang kemudian menyahut - Jangan hiraukan kata-katanya. Nyi Lurah sekedar menghibur dirinya sendiri menjelang saat kemariannya.
Namun terdengar Ki Jayaraga tertawa meledak sehingga tubuhnya terguncang-guncang.
-Kenapa kau tertawa " - bertanya Ki Saba Lintang.
-Empu Wisanata lucu. Nampaknya menjelang hari-hari tuanya ia masih suka bergurau meskipun agak tidak masuk akal. ~
Wajah Empu Wisanata menjadi panas. Namun Agung Sedayu berkata pula - Biarlah mereka yang berperang tanding memusatkan nalar budi mereka. -
Empu Wisanatapun terdiam. Betapapun jantungnya bergejolak. Demikian pula Ki Jayaraga dan Ki Saba Lintang.
Sementara itu, Welat Wulung menjadi semakin dekat dengan Rara Wulan. Sedangkan Rara Wulan dan Glagah Putih tidak menghiraukannya. Perhatian mereka sepenuhnya tertuju pada perang tanding yang tentu akan menjadi semakin sengit setelah kedua orang yang berperang tanding itu masing-masing menggenggam tongkat yang ujudnya hampir sama. Tongkat ciri dari sebuah perguruan yang sama.
Demikianlah, sejenak kemudian,-Sekar Mirah mulai menggerakkan tongkatnya kembali. Sekali tongkat itu mematuk lawannya. Tetapi dengan memiringkan tubuhnya, Nyi Dwani berhasil menghindarinya
Namun kemudian keduanyapun bergerak semakin cepat. Kedua tongkat itupun berputaran dengan cepatnya. Tongkat itupun kemudian terayun-ayun, menebas, berputar dan sekali-sekali terjulur lurus mematuk ke arah dada lawan.
Namun keduanya masih mampu menghindari serangan-serangan itu. Bergeser, meloncat atau menangkisnya.
Semakin lama keduanya bergerak semakin cepat. Benturan-benturanpun semakin sering terjadi.
Ternyata Nyi Dwani telah menguasai tongkat itu dengan baik. Bukan saja Sekar Mirah yang menjadi heran, tetapi juga Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glaah Putih dan Rara Wulan menjadi heran. Nyi Dwani tentu sudah sering melatih diri mempergunakan tongkat itu. Jika benar tongkat itu ada ditangan Ki Saba Lintang, maka Nyi Dwani tentu tidak akan demikian menguasainya, sehingga tongkat itu menjadi berbahaya di tangannya.
Tetapi Sekar Mirah seakan-akan justru sudah menyatu dengan tongkatnya. Ia benar-benar menguasai tongkat yang diterimanya dari gurunya itu. Apalagi setelah ia menjalani laku bersama Agung Sedayu, maka tongkat itu seakan-akan lekat pada telapak tangan Sekar Mirah meskipun jari-jari Sekar Mirah tidak menggenggamnya
Dengan demikian, maka sekali-sekali Sekar Mirah telah mengejutkan Nyi Dwani. Kadang-kadang yang dilakukan Sekar Mirah justru yang tidak terpikirkan oleh Nyi Dwani. Unsur-unsur gerak Sekar Mirah kadang-kadang terasa aneh. Namun sangat berbahaya.
Nyi Dwani ternyata memang tidak mampu mengenali dengan cermat, apakah Sekar Mirah hanya mempergunakan unsur-unsur gerak ilmu dari perguruannya atau tidak. Sementara itu Sekar Mirah yang meyakini bahwa Nyi Dwani bukan murid perguruannya seutuhnya tidak lagi membatasi ilmunya pada unsur-unsur erak yang diwarisinya dari perguruannya. Sekar Mirah telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya Ilmunyapun kemudian telah diwarnai dengan unsur-unsur gerak dari ilmu yang lain, namun yang luluh menyatu dengan ilmunya.
Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih, bahkan Rara Wulan melihat warna-warna lain pada ilmu Sekar Mirah. Pengaruh ilmu dari jalur perguruan Ki Sadewa, dan perguruan orang Bercambuk dan bahkan dari ilmu yang diturunkan oleh Ki Jayaraga.
Kelengkapan ilmu itu membuat kemampuan Sekar Mirah Menjadi sangat tinggi.
Dalam pada itu, pada puncak ilmunya, bukan saja telapak tangan Nyi Dwani yang membara. Tetapi tongkat baja putih itupun mulai nampak membara pula.
Namun menurut pengamatan Sekar Mirah, ilmu Nyi Dwani itu masih belum mampu lebur kedalam senjata ciri perguruan Sekar Mirah itu. Tongkat baja putih itu hanya membara disekitar genggaman tangannya.
Meskipun demikian, Sekar Mirah menyadari, bahwa panasnya akan mengaliri sepanjang tubuh tongkat baja putih itu.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Nyi Dwani yang telah sampai ke puncak kemampuannya memang menjadi sangat berbahjaya. Dibadah cahaya bulan yang sudah bergeser semakin ke Barai" tonggkat Nyi Dwani yang membara itu benar-benar nampak mengerikan. Putarannya yang deras bagaikan gulungan asap yang kemerah-merahan yang memburu untuk melihat la -wannya.
Tetapi Sekar Mirah cukup tangkas. Meskipun beberapa kali ia harus berloncatan surut, namun tongkat baja putih Nyi Dwani itu masih belum sempat mengenainya.
Tetapi Nyi Dwani tidak pernah melepaskan lawannya. Ketika Sekar Mirah meloncat surut untuk menghindari ayunan tongkat lawannya, maka Nyi Dwani itupun telah memburunya.
Sekar Mirah terkejut ketika tongkat baja putih ditangan Nyi Dwani itu sempat menyentuh lengannya. Terasa betapa panasnya menyengat kulit, sementara bau pakaiannya yang terbakar telah menyengat hidung.
Sekar Mirah berdesah tertahan. Luka-lukanya sebelumnya terasa pedih dan nyeri. Sedangkan lengannya itu telah terluka bakar pula.
Sementara itu Nyi Dwani menjadi semakin garang. Dengan tangkasnya ia memburu. Ujung tongkatnya sekali lagi mematuk. Tetapi Sekar Mirah meloncat menyamping. Namun tongkat Nyi Dwani itupun berputar. Sambil menggeliat Nyi Dwani mengayunkan tongkatnya mendatar kearah lambung. Tetapi Sekar Mirah masih sempat meloncat surut selangkah, sehingga tongkat berhasil mendesak Sekar Mirah itu berusaha untuk segera mengakhiri pertempuran. Tongkatnya kemudian terayun deras sekali. Nyi Dwani telah mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuannya. Pada puncak ilmunya Nyi Dwani yang merasa bahwa getar cahaya bulan telah mempengaruhinya, merasa yakin akan dapat menghentikan perlawanan Sekar Mirah.
Mereka yang menjadi saksi dari perang tanding itu menjadi berdebar-debar. Bahkan Rara Wulan telah bergeser setapak. Ia menjadi sangat cemas melihat keadaan Sekar Mirah.
Agung Sedayu yang sejak semula nampak tenang-tenang saja, telah mengerutkan dahinya. Wajahnya nampak menjadi tegang.
Tetapi Sekar Mirah tidak membiarkan tongkat Nyi Dwani itu memecahkan kepalanya. Karena itu, ketika Sekar Mirah tidak lagi sempat mengelak, maka Sekar Mirah telah menangkis serangan Nyi Dwani.
Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi ragu-ragu. Ia sadar, bahwa keragu-raguan akan sangat merugikannya.
Dengan segenap kemampuannya, maka Sekar Mirahpun telah mengayunkan tongkatnya pula menyongsong ayunan tongkat Nyi Dwani. Pada puncak ilmunya, didukung oleh tenaga dalamnya yang mapan, serta ketrampilan yang tinggi, maka tongkat Sekar Mirah itu telah membentur serangan lawannya.
Benturan antara dua ilmu yang tinggi, yang tersalur pada dua buah tongkat ciri dari satu pergguruan yang sama, telah terjadi dengan dahsyatnya. Tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah. Benturan ilmu itu ternyata telah sangat mengejutkan Nyi Dwani. Tongkat Sekar Mirah yang membentur tongkat baja putih yang membara di-tangan Nyi Dwani itu seakan-akan telah memancarkan cahaya kilat yang sangat menyilaukan, sehingga dalam sekejap Nyi Dwani tidak dapat melihat lawannya
Pada saat yang demikian, maka sekali lagi Sekar Mirah mengayunkan tongkatnya menghantam tongkat baja didalam genggaman tangan Nyi Dwani. Ketika sekali lagi cahaya itu memancar dari tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah, maka terasa tangan Nyi Dwani yang silau dan seakan-akan tidak melihat sesuatu itu tidak mampu mempertahankan tongkatnya, sehingga tongkatnya itu terpental dan jatuh beberapa langkah dari kakinya.
Dengan serta-merta Nyi Dwani itu melangkah surut. Namun pada saat yang bersamaan, demikian Nyi Dwani mampu melihat dengan jelas, ujung tongkat baja putih Sekar Mirah sudah terletak di pundaknya.
Nyi Dwani terkejut bukan buatan. Ujung tongkat baja Sekar Mirah itu menekan pundaknya bagaikan sebongkah batu hitam yang sangat berat yang harus di panggulnya.
Nyi Dwani berdiri tegak dengan tenaganya. Ia harus mengerahkan tenaga untuk bertahan agar ia tidak harus berjongkak di hadapan Sekar Mirah.
"Apa katamu sekarang Nyi Dwani - geram Sekar Mirah. Nyi Dwani tidak segera menjawab. Terasa tulang-tulangnya bagaikan berpatahan. Sementara itu tekanan ujung tongkat Sekar Mirah itu seakan-akan tidak tertahankan.
-Katakan, apa yang sebaiknya kita lakukan. Aku memberimu kesempatan untuk tetap hidup jika itu kau kehendaki. -
Nyi Dwani memandang wajah Sekar Mirah dengan geramnya. Sementara itu pundaknya menjadi semakin berat menahan tekanan kekuatan ilmu Sekar Mirah yang tersalur lewat ujung tongkatnya itu.
Empu Wisanata, Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung menjadi sangat tegang. Sejenak mereka justru bagaikan membeku melibat kenyataan yang tidak penarh mereka bayangkan itu. Ternyata kemampuan Sekar Mirah mampu mengatasi kemampuan Nyi Dwani. Ilmu Sekar Mirah itu memang lebih tinggi dari ilmu Nyi Dwani. Demikian pula tongkat baja putih Sekar Mirah itu jauh lebih akrab dengan pemiliknya daripada tongkat ditangan Nyi Dwani.
Dalam ketegangan yang mencengkam itu, tiba-tiba saja Ki Welat Wulung telah meloncat menerkam Rara Wulan. Jari-jarinya segera mencengkam leher Rara Wulan yang sedang dicengkam oleh ketegangan pula.
Rara Wulan terkejut bukan buatan. Tetapi demikian ia menyadari keadaaannya, maka jari-jari Ki Welat Wulung telah mencengkam lehernya.
Semua orang terkejut karenanya. Bahkan Nyi Dwanipun terkejut Semuanya tidak menyangka, bahwa hal itu akan terjadi.
Wajah Glagah Putih menjadi merah. Ia berdiri dalam jarak hanya dua tiga langkah dari Rara Wulan. Namun ia tidak dapat mencegah hal itu terjadi.
Waktu yang dibutuhkan Welat Wulung memang hanya sekejap. Rara Wulan benar-benar sudah berada dibawah kekuasaan Welat Wulung.
Agung Sedayu dan Ki Jayaraga berdiri membeku. Mereka tidak segera menemukan jalan keluar tanpa membahayakan jiwa Rara Wulan.
Welat Wulung - berkata Glagah Putih dengan suara bergetar karena gejolak kemarahan yang membakar jantungnya - marilah kita selesaikan persoalan ini sebagaimana Nyi Dwani menyelesaikan persoalannya dengan mbokayu Sekar Mirah. Jika kau memang seorang laki-laki, aku tantang kau berperang tanding. Jika kau berhasil membunuhku, tidak ada yang akan dapat mencegahmu lagi. -
Persetan dengan igauanmu ~ geram Welat Wulung. Lalu katanya kemudian - Nyi Lurah. Lepaskan tongkat baja itu. Letakkan tongkat itu perlahan-lahan di atas pasir. Kemudian kau mundur beberapa langkah. -
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Sementara itu Welat Wulung membentak - Cepat. Atau gadis ini akan mati. -
Sekar Mirah benar-benar kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Namun ketika kemudian Nyi Dwani bergerak mundur. Sekar Mirah tidak dapat mencegahnya.
Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih menjadi semakin tegang ketika mereka melihat Nyi Dwani memungut tongkat baja putih, yang terlempar dari tangannya. Kemudian menyerahkan kembali kepada Ki Saba Lintang.
-Aku akan segera memiliki tongkat baja putih yang menjadi hakku. " berkata Nyi Dwani.
~ Aku tidak mengira bahwa perang tanding ini akan berakhir dengan kecurangan seperti ini. -
-Perang tanding ini terganggu sebentar Nyi Lurah. Namun kita akan melanjutkannya. -
Jantung Sekar Mirah bagaikan berhenti berdetak. Ia mengerti maksud Nyi Dwani. setelah tongkatnya berada di tangan Nyi Dwani maka perang tanding itu akan dilanjutkan. Tetapi tentu masih tetap dibayangi oleh ancaman bagi jiwa Rara Wulan.
Dalam pada itu, Ki Welat Wulungpun berteriak lagi. - Cepat, Nyi Lurah, letakkan tongkat itu. Kemudian kau menjauhinya. Tongkat itu akan diambil oleh yang berhak. "
Sekar Mirah tidak mempunyai pilihan lain. Ketika ia melihat Rara Wulan menyeringai menahan sakit karena cekikkan jari-jari tangan Welat Wulung, maka perlahan-lahan Sekar Mirahpun meletakkan tongkat baja putihnya.
Namun tiba-tiba saja Rara Wulan berteriak - Jangan mbokayu. Jangan serahkan tongkat baja putih itu. Biar apa saja yang akan dilakukan atas diriku. Aku sudah siap menjalaninya. -
-Diam, kau anak iblis - teriak Welat Wulung sambil, mengguncang leher Rara Wulan sehingga Rara Wulan mengaduh tertahan. Nafasnya bagaikan tersumbat, sedangkan lehernya terasa sakit. Tetapi Sekar Mirah tidak sampai hati membiarkan Rara Wulan dicekik dan bahkan mungkin nyawanya harus dikorbankannya
Karena itu, maka Sekar Mirahpun benar-benar telah meletakkan tongkat baja putih itu.
Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih berdiri mematung dilemparnya. Keringat dingin telah mengalir membasahi seluruh tubuh mereka.
Tetapi mereka masih belum mengetahui, apa yang harus mereka lakukan.
Mereka menyadari bahwa jika mereka tidak menemukan jalan, maka salah seorang harus dikorbankan. Jika tidak Rara Wulan, tentu Sekar Mirah. Bahkan mungkin lebih banyak lagi. Selama Rara Wulan masih ditangan Welat Wulung, maka Welat Wulung masih mungkin memeras dengan licik. Setelah Sekar Mirah dibinasakan oleh Nyi Dwani yang menurut mereka dilakukan dalam perang tanding namun yang tidak seimbang, karena Nyi Dwani akan mempergunakan tongkat Baja putih Sekar Mirah, maka mereka akan dapat menuntut kematian Glagah Putih atau Ki Jayaraga atau bahkan Agung Sedayu sendiri.
Dalam pada itu, terdengar Welat Wulung berteriak lagi kepada Sekar Mirah ~ Nyi Lurah. Cepat melangkah mundur menjauhi tongkatmu itu. " Rara Wulan masih saja mencoba berteriak - Jangan mbokayu. Jangan lepaskan tongkat itu. "
Welat Wulung tidak saja mencekik Rara Wulan. Tetapi sekali lagi gadis itu diguncangnya, sehingga Rara Wulan hampir saja'mun-tah-muntah.
Ketegangan benar-benar telah mencengkam sebagaimana jari-jari Welat Wulung mencengkam leher Rara Wulan.
Yang terdengar kemudian adalah suara Empu Wisanata - Ki Lurah. Nampaknya gadis pepesten ini tidak dapat dihindari. Kami benar-benar tidak pernah merencanakan untuk berbuat sebagaimana yang terjadi. Tetapi jika memang demikian yang harus terjadi, maka terjadilah. Bukan kami yang minta agar Rara Wulan ikut menyaksikan perang tanding ini. Kehadirannya sebenarnya telah melanggar kesepakatan kita bahwa masing-masing hanya akan membawa tiga orang saksi.
- Tetapi kalian tidak berkeberatan ketika Rara Wulan menyatakan keinginannya untuk ikut menyaksikan perang tanding ini. ~ Benar, Ki Lurah. Itulah yang aku maksud bahwa garis pepesten itu harus terjadi. Seandainya Rara Wulan tidak ingin menyaksikan perang tanding ini, maka yang terjadi akan lain. ~
Agung Sedayu adalah seorang yang tidak mudah untuk menganggap seseorang bersalah. Tetapi saat itu Agung Sedayu menggeram dengan wajah yang terasa panas - Kalian orang-orang yang licik. Apakah kelicikan ini telah kalian rencanakan sebelumnya " "
- Jangan marah Ki Lurah. Tidak akan ada gunanya. Sebaiknya sekarang Ki Lurah bersiap-siap untuk menyaksikan, bagaimana Nyi Lurah mengakhiri perang tanding ini. Sebentar lagi, Dwani akan mengambil tongkat yang diletakkan oleh Nyi Lurah. Kemudian, perang tanding ini akan dilanjutkan dengan jujur. -
- Apa yang jujur " teriak Glagah Putih " dalam keadaan seperti ini kalian masih mengatakan, perang tanding dengan jujur "
Ki Saba Lintang tertawa. Katanya - Sudahlah. Jangan menyesali nasib. Agaknya bagi kalian, nasib memang tidak akan dapat di-rubah dengan cara apapun. "
Glagah Putih menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih belum menemukan cara yang terbaik untuk membebaskan Rara Wulan serta tidak membiarkan Sekar Mirah menyelesaikan perang tanding yang curang itu.
Namun dalam pada itu, Sekar Mirah masih belum bergerak mundur meskipun ia sudah meletakkan tongkat baja putihnya. Karena itu, maka sekali lagi Welat Wulung berteriak dengan suara serak -
-Nyi Lurah. Cepat, melangkah mundur. -
Sekar Mirah benar-benar menjadi bingung. Namun ketika ia melihat keadaan Rara Wulan, maka Nyi Lurah merasa tidak mempunyai pilihan. Karena itu, maka selangkah ia bergerak mundur.
Namun pada saat itu terdengar Rara Wulan berteriak sekali lagi
"Jangan, mbokayu. Jangan tinggalkan tongkat itu. -
Pada saat itu juga Welat Wulung sekali lagi mengguncang-guncang leher Rara Wulan.
Agaknya demikian keras tekanan jari-jari Welat Wulung sehingga Rara Wulan telah muntah. Bahkan kemudian Rara Wulan itu menjadi terbungkuk sambil memegangi perutnya.
Welat Wulung yang tangannya tidak mau menjadi kotor, di luar sadarnya dengan serta-merta telah melepaskan tangannya dan membiarkan Rara Wulan membungkukkan badannya sambil memegangi perutnya yang mual.
Tetapi justru karena itu, Welat Wulung menjadi lengah. Rara Wulan tiba-tiba saja telah menghantam perutnya dengan sikunya. Kemudian dengan cepat mendorong Welat Wulung dengan sekuat
tenaganya. Welat Wulung tidak mengira bahwa gadis itu memiliki kemampuan dan keberanian untuk melepaskan dirinya. Bahkan tenaganya ternyata cukup kuat, sehingga serangan sikunya pada perutnya membuat perutnya itu terasa sakit. Kemudian dorongannya juga cukup kuat untuk membuat jarak antara Welat Wulung dan Rara Wulan.
Glagah Putih yang tegang itu cepat tanggap. Ternyata Rara Wulan tidak benar-benar akan muntah. Ia mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari tangan Welat Wulung.
Karena itu, demikian terdapat jarak antara Rara Wulan dan Welat Wulung, maka Glagah Putihpun segera meloncat menyerang Welat Wulung yang msaih terkejut karena sikap Rara Wulan.
Namun Welat Wulung itu sempat melihat serangan kaki Glagah Putih. Karena itu, maka iapun berusaha untuk menangkis serangan itU;
Tetapi serangan itu demikian derasnya, sehingga Welat Wulung yang belum siap benar menghadapi keadaan itu menjadi terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
Dengan cepat Rara Wulanpun segera meloncat kebelakang Glagah Putih yang siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam pada itu Empu Wisanata. Ki Saba Lintang dan Nyi Dwani sendiri terkejut melihat kesempatan yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Rara Wulan. Nyi Dwani yang merasa terdesak oleh Sekar Mirah dengan serta Merta berusaha untuk menggapai tongkat baja putih yang ter-tingal oleh Sekar Mirah beberapa langkah surut. Tetapi demikian Nyi Dwani membungkuk untuk meraih tongkat itu, kaki Sekar Mirah telah menghantam dadanya dengan kuatnya, sehinga Nyi Dwani terlempar dan jatuh terguling beberapa kali.
Ternyata dengan tangkasnya Sekar Mirah telah mendapatkan tongkatnya kembali.
Dalam pada itu. Nyi Dwani yang terguling beberapa kali telah bangkit berdiri beberapa langkah dari Ki Saba Lintang. Dengan suara parau Nyi Dwani itupun berkata - Berikan tongkat itu kepadaku. Iblis perempuan itu berhasil menggapai tongkatnya kembali. -
Sejenak kemudian, Nyi Dwani telah berhadapan lagi dengan Sekar Mirah. Sementara itu, Glagah Putih telah berdiri di antara Rara Wulan dan Welat Wulung.
-Terserah kepadamu - berkata Glagah Putih - apakah kita akan berperang tanding sekarang, atau menunggu sampai perang tanding antara Nyi Dwani dan Nyi Lurah selesai. -
-Licik kau perempuan binal - geram Welat Wulung.
-Jangan berbicara tengang kelicikan ~ sahut Glagah Putih --sekarang apa maumu. Aku siap melayanimu. -
Welat Wulung tidak segera menjawab. Sementara itu Sekar Mirah telah bersiap dengan tongkat baja putihnya menghadapi Nyi Dwani yang menjadi semakin gelisah.
Dalam pada itu, Empu Wisanatapun menjadi tegang pula. Ia sadar, bahwa anak perempuannya tidak akan mampu menghadapi Nyi Lurah Agung Sedayu. Satu akhir dari perang tanding yang sebelumnya sama sekali tidak diduganya
Dalam pada itu, Empu Wisanatapun harus mengambil sikap. Sesaat itu mencoba menilai kekuatan yang ada. Empu Wisanata itu datang berempat bersama dengan Nyi Dwani, sementara Nyi Lurah datang berlima dengan Rara Wulan. Menilik sikap dan keberaniannya, Rara Wulan juga memiliki sedikit kemampuan. Tetapi menurut Empu Wisanata kemampuan Rara Wulan itu dapat diabaikan saja.
Empu Wisanata memang agak ragu untuk mengambil keputu-san. Namun agaknya Ki Saba Lintanglah yang lebih dahulu bersikap. Dengan lantang iapun berkata - Persoalan yang timbul kemudian telah berkembang semakin luas. Persoalannya kemudian tidak sekedar perang tanding antara Nyi Dwani dan Nyi Lurah. Tetapi gadis yang ikut menonton perang tanding ini telah menumbuhkan persoalan baru. Bahkan anak muda itu telah menantang Ki Welat Wulung untuk berperang tanding. -
"Jadi, maksudmu " - Glagah Putih menjadi tidak sabar.
"Kita tidak terikat lagi pada kesepakatan kita. Kau telah melakukan pelanggaran yang medasar dari perjanjian yang sudah kita buat -
"Aku " - bertanya Glagah Putih.
"Ya. - jawab Ki Saba Lintang.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga yang lebih banyak mendengarkan pembicaraan itu tiba-tiba saja menyahut " Sebaiknya kita tidak peduli lagi siapakah yang memulai. Kita tinggal memilih. Kita kembalikan pada kesepakatan kita semula, menjadi saksi perang tanding antara Nyi Dwani dengan Nyi Lurah atau kesepakatan itu kita lupakan saja sama sekali. -
"Kau menantang Ki Jayaraga " - teriak Ki Saba Lintang.
"Tidak - jawab Ki Jayaraga.
-Setan tua. Kau telah mengaburkan kehadiran kita disini. Karena itu, maka kita tidak akan terikat lagi dengan kesepakatan yang telah kita buat, "
-Terserah kepadamu. Kami akan mclayanimu. "
Empu Wisanatalah yang kemudian menyahut - Marilah, jika kita yang tua-tua ini masih harus bermain-main ditepian. "
Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Ia sadar," bahwa Empu Wi-sanata itu telah memilihnya sebagai lawan.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa ia benar-benar telah sembuh dan bahkan telah pulih kembali. Karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ki Jayaraga itu sadar sepenuhnya, bahwa Empu Wisanata itu tentu seorang yang berilmu sangat tinggi.
Sementara itu agaknya Glagah Putihlah yang tidak sabar lagi. Katanya - Kita tidak datang ketempat untuk berbicara. Jika kita akan berkelahi, marilah kita berkelahi. -
Tanpa menunggu lagi, Glagah Putihpun segera mempersiapkan diri menghadapi Ki Welat Wulung. Kemarahannya rasa-rasanya sudah tidak dapat ditahankannya. Lagi. Bahkan kemudian iapun menggeram " Ki Welat Wulung. Marilah kita berhadapan sebagai laki-laki. Tidak sepantasnya kita berbuat licik sebagai mana kau lakukan terhadap Rara Wulan. -
Suasanapun menjadi bertambah tegangg. Sementara itu Nyi Dwani dan Sekar Mirah justru berdiri mematung. Mereka menunggu, apa yang kemudian akan terjadi.
Namun nampaknya Nyi Dwani sudah dapat mengambil kesimpulan. Karena itu, maka iapun telah berada pada puncak kemampuannya. Tongkat baja putih yang ada di tangannya itupun telah membara meskipun tidak seluruhnya.
Sekar Mirah terkejut katika tongkat itupun telah terayun. Hampir saja tongkat itu menyambar kepalanya. Untunglah warna bara pada tongkat yang terayun itu sempat memberinya peringatan, sehingga Sekar Mirah sempat mengelak. Dengan cepat Sekar Mirah merendahkan diri, sehingga ayunan tongkat itu berdesing diatas kepalanya.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Nyi Dwani dan Sekar Mirah itupun telah berlangsung lagi dengan sengitnya. Namun Nyi Dwani sudah mengenal kelebihan tongkat Sekar Mirah. Dalam benturan yang keras pada puncak ilmunya, tongkat.Sekar Mirah bagaikan memancarkan cahaya yang menyilaukan. Dengan demikian, maka untuk selanjutnya, Nyi Dwani harus berhati-hati.
Namun bagaimanapun juga kemampuan Sekar Mirah memang melampaui kemampuan Nyi Dwani, sehingga Nyi Dwanipun kemudian telah terdesak lagi.
Meskipun demikian, baik Ki Saba Lintang maupun Empu Wisanata berharap bahwa Nyi Dwani akan dapat bertahan lebih lama dari waktu yang diperlukan oleh Empu Wisanata atau Welat Wulung atau Ki Saba Lintang untuk mengalahkan lawannya
Dengan demikian, maka salah seorang dari mereka akan dapat segera membantu Nyi Dwani melawan Nyi Lurah Sekar Mirah, karena mereka sudah tidak terikat lagi pada kesepakatan perang tanding.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka perang tanding itupun telah meluas. Glagah Putih yang tidak sabar lagi telah menyerang Welat Wulung, sementara Welat Wulungpun telah siap untuk bertempur. Bahwa Rara Wulan dapat melepaskan diri dari tangannya itupun telah membuat darahnya bagaikan mendidih.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki. Saba Lintang yang semakin mencemaskan keadaan Nyi Dwanipun segera mendapatkan Agung Sedayu yang nampaknya juga sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Dengan lantang Ki Saba Lintang itupun berkata -- Ki Lurah. Aku sudah mendengar bahwa Ki Lurah adalah prajurit yang pilih tanding. -
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sekali-sekali ia masih menyempatkan diri melihat Sekar Mirah yang bertempur melawan Nyi Dwani. Kemudian Glagah Putih dan Welat Wulung. Sementara itu, Empu Wisanatapun telah berhadapan dengan Ki Jayaraga. Seandainya Empu Wisanata tidak memilih lawannya, maka Agung Sedayu ingin berhadapan dengan orang yang mengaku ayah Nyi Dwani itu.
Namun yang kemudian berdiri dihadapannya adalah Ki Saba Lintang sudah tidak menggenggam tongkat baja putih lagi, karena tongkat itu kemudian telah diserahkan kembali kepada Nyi Dwani yang harus melanjutkan pertempurannya melawan Sekar Mirah.
Dalam pada itu, Nyi Dwani memang menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak lagi berani memandang langsung setiap benturan senjata. Setiap kali kilat masih memancar dan membuat pandangan Nyi Dwani menjadi silau.
Meskipun demikian, maka Nyi Dwani itupun menjadi semakin terdesak. Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah sekedar memperpanjang waktu. Ia berharap bahwa salah seorang akan dapat segera mengalahkan lawannya dan membantunya.
- Yang paling diharapkannya adalah Ki Welat Wulung. Menurut penilaian Nyi Dwani, lawan Ki Welat Wulung adalah seorang anak muda yang menurut perhitungannya tentu masih belum memiliki kemantapan ilmu. Kegarangannya hanyalah karena dorongan perasaannya setelah Welat Wulung berusaha menguasai Rara Wulan, tetapi gagal.
Namun Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan memperhatikan pertempuran antara Nyi Dwani dan Sekar Mirah lebih lama lagi. Namun menurut pengamatan Agung Sedayu, asal Sekar Mirah tidak melakukan kesalahan yang mendasar, maka ia tidak akan dikalahkan oleh Nyi Dwani.
Dalam pada itu, maka Ki Saba Lintang itupun mulai bergeser. Sebuah serangan tangan mulai menggapai tubuh Agung Sedayu. Namun serangan itu masih belum bersungguh-sungguh sehingga dengan memiringkan tubuhnya, Agung Sedayu telah luput dari serangan itu.
Namun demikian, serangan itu telah disusul dengan serangan-serangan berikutnya.
Sambil meloncat dan menjulurkan kakinya mendatar, Ki Saba Lintang berkata - Sayang, bahwa hari ini seisi rumah Ki Lurah akan kami musnahkan. Semuanya akan mati ditepian ini. Jika besok atau lusa, seseorang menemukan tubuh-tubuh yang membeku atau lusa, seseorang menemukan tubuh-tubuh yang membeku disini, maka Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi gempar. -
- Kami akan berusaha membela diri, Ki Saba Lintang - jawab Agung Sedayu ~ tidak seorangpun yang akan membiarkan dirinya dibunuh didalam pertempuran. Kecuali jika sejak awal ia sudah berniat untuk membunuh diri. ~
Ki Saba Lintang meloncat sambil menjulurkan tangannya. Tetapi dengan tangkas Agung Sedayu menepis tangan itu menyamping, sementara itu dengan tangannya yang lain Agung Sedayu menerang kearah lambung. Tetapi Ki Saba Lintang menggeliat. Tubuhnya berputar dengan cepat Kakinya terayun mendatar mengarah kening.
Tetapi dengan cepat, Agung Sedayu merendahkan diri.
Dengan demikian maka pertempuran di tepian itupun menjadi semakin sengit. Glagah Putih yang marah menyerang Ki Welat Wulung dengan garangnya. Tetapi Welat Wulungpun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Jika ia dapat segera membinasakan anak itu, maka iapun akan segera menguasai Rara Wulan. Bukan saja ia akan mendapat gadis itu, tetapi dengan menguasai gadis itu, maka ia akan dapat menghentikan pertempuran. Nyi Dwani akan dapat membunuh Sekar Mirah, sehingga yang tersisa lainnyapun akan segera dapat disingkirkan.
Tetapi ternyata Welat Wulung tidak segera dapat menguasai Glagah Putih. Ternyata anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi.
Meskipun Welat Wulung semakin meningkatkan ilmunya, namun Glagah Putih masih mampu mengimbanginya. Bahkan karena kemarahan yang membakar jantungnya, maka Glagah Putihpun justru menjadi semakin garang.
Rara Wulan memperhatikan pertempuran di tepian itu dengan jantung yang berdebaran. Sementara itu lehernya masih terasa sakit. Namun Rara Wulan itu merasa sangat bersukur bahwa ia telah mendapatkan jalan untuk melepaskan dirinya dari tangan Welat Wulung. Jika saja ia tidak mampu melepaskan diri, maka jiwa Sekar Mirah tentu terancam. Bahkan Welat Wulung mungkin sekali tidak akan mau melepaskannya.
Dalam pada itu, bulan semakin jauh mengarungi sisi langit disebelah Barat. Meskipun cahayanya masih terang, tetapi bayangan orang-orang yang bertempur itupun menjadi semakin panjang.
Sekar Mirah setiap kali masih menyempatkan diri memandang bulan yang bulat itu. Ia sadar sepenuhnya, bahwa Nyi Dwani benar-benar terpengaruh oleh getar cahaya bulan itu. Karena itu, setiap kali Sekar Mirah memandang bulan, maka jantung Nyi Dwani itu berdesis. Sementara serangan-serangan Sekar Mirahpun menjadi semakin garang. Tongkat baja putihnya menyambar-nyambar seperti kepak sayap burung alap-alap yang sedang memburu mangsanya
Dengan demikian, maka Nyi Dwani semakin terdesak kedalam kesulitan. Sementara itu, Welat Wulung masih belum mampu mengalahkan lawannya yang masih muda itu.
Ketika Welat Wulung menyadari keseimbangan pertempuran antara Nyi. Dwani dan Sekar Mirah yang semakin berbahaya itu, maka iapun telah menghentakkan kemampuannya. Ia harus dengan cepat menyelesaikan lawannya dan menangkap Rara Wulan.
Hentakan-hentakan ilmu Welat Wulung memang telah mengejutkan. Glagah Putihpun terdesak beberapa langkah surut Bahkan Rara Wulanpun telah ikut bergeser menjauh.
Dengan cemas Rara Wulan menyaksikan pertempuran yang semakin sengit antara Glagah Putih dan Welat Wulung. Apalagi pada saat-saat Glagah Putih terdesak.
Namun Glagah Putih segera memperbaiki kedudukannya. Ketika Welat Wulung mendesaknya, maka Glagah Putih telah meningkatkan kemampuannya pula. Sehingga Glagah Putihpun kemudian tidak harus berloncatan surut.
Meskipun Welat Wulung telah mengerahkan segenap kemampuanya, namun ternyata bahwa ia tidak dapat mendesak Glagah Putih lagi. Bahkan serangan-serangan Glagah Putihpun semakin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan kemudian serangan-serangan Glagah Putih telah mampu menembus pertahanan Welat Wulung. Sekali-sekali serangan Glagah Putih telah mengenai sasarannya, sehingga Welat Wulung harus berdesah menahan sakit.
Namun Welat Wulungpun mampu pula menguak pertahanan Glagah Putih. Ketika Welat Wulungpun menyerang Glagah Putih dengan serangan beruntun, maka tangan Welat Wulung telah menyentuh bahu Glagah Putih.
Keseimbangan Glagah Putih memang menjadi goyah. Tetapi tubuhnya yang liat, masih tetapi mampu bertahan. Namun Glagah Putih harus meloncat mengambil jarak.
Welat Wulung meloncat pula memburunya. Tetapi Glagah Putih yang sudah berhasil memperbaiki kedudukannya, dengan cepat justru telah mendahului menyerang. Welat Wulung terkejut. Ia tidak menyangka, bahwa anak muda itu mampu dengan cepat memperbaiki kedudukannya dan bahkan siap untuk menyerang.
Welat Wulung tidak sempat menghindar. Karena itu, maka iapun telah menangkis serangan itu.
Benturan telah terjadi. Tangan Glagah Putih yang terayun menebas kearah kening, telah membentur tangan Welat Wulung yang menangkisnya.
Keduanya telah tergetar. Welat Wulung dapat merasakan, betapa besarnya kekuatan anak muda itu. Tangannya yang membentur tangan Glagah Putih itu terasa menjadi nyeri.
Welat Wulungpun menggeram. Ia sadar, bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi, sehingga sulit baginya untuk dapat dengan cepat menyelesaikannya.
Karena itu, maka Welat Wulungpun segera menarik senjatanya. Sebuah pedang yang tipis dan lentur.
Glagah Putih meloncat surut. Sementara itu, Welat Wulung telah menggerakkan pedangnya. Namun ketika Welat Wulung mengayunkan pedangnya mendatar, maka terasa sambaran angin menerpa wajah Glagah Putih. Sementara itu, Glagah Putihpun menyadari, bahwa pedang yang lentur itu ternyata dapat menjadi pedang yang kukuh seperti selembar besi baja yang tebal.
Glagah Putih tidak mau menjadi korban sentuhan pedang yang tajamnya melampaui tajamnya Welat Pring Wulung, yang sentuhannya dapat mengoyak kulit dagingnya. Namun kemudian dapat sekokoh baja yang dapat meremukkan tulang-tulangnya.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian telah mengurai ikat pinggangnya. Ikat pinggang yan ditangannya menjadi senjata yang jarang ada duanya.
Welat Wulung tertegun melihat senjata Glagah Putih. Dengan lantang iapun berkata ~ Apakah kau tidak mempunyai senjata yang lebih baik dari ikat pinggang itu " Lihat senjataku. Senjataku inilah yang bernama Pedang Welat Wulung. -
"Kau sendirilah yang menamai pedangmu seperti namamu, atau sebaliknya karena kau mempunyai sebilah pedang yang dinamai Welat Wulung, maka kau menyebut dirimu Welat Wulung. -
-Persetan. Apapun yang kau katakan, pedangku akan men-ghabisimu. ~
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi iapun sudah siap menghadapi pedang yang dinamai Welat Wulung itu.
Untuk meyakinkan lawannya, bahwa ikat pinggangnya bukan sembarang ikat pinggang, maka ketika Welat Wulung mengayunkan pedangnya menebas kearah leher, Glagah Putih telah memiringkan tubuhnya. Namun sekaligus Glagah Putih telah membentur pedang itu dengan ikat pinggangnya.
Benturan yang keras telah terjadi. Welat Wulung benar-benar terkejut karenanya. Ia tidak mengira bahwa Glagah Putih akan membenturkan ikat pinggangnya. Sehingga karena itu, maka hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya.
Dengan sigap Welat Wulung meloncat mengambil jarak. Glagah Pulih yang sengaja tidak memburunya, berdiri tegak sambil menggenggam ikat pinggangnya pada ujung dan pangkalnya.
"Apa katamu dengan ikat-pinggangku. -
"Kau dapatkan dari iblis manakah senjatamu itu " -
-Aku menerima senjata ini dari salah seorang pemimpin di Mataram. Nah, karena itu berhati-hatilah. Kita akan bertempur sampai tuntas. "
Welat Wulung tidak menjawab. Namun dengan cepat, iapun . meloncat sambil menjulurkan pedangnya kearah dada Glagah Putih.
Tetapi Glagah Putih cukup tangkas. Dengan cepat ia memiringkan tubuhnya. Sementara itu tangannya telah mengayunkan ikal pinggangnya dengan cepat.
Hampir saja ujung ikat pinggang itu menampar wajah Welat Wulung. Namun Welat Wulung masih mampu menghindarinya.
Ketika Glagah Putih memburunya, Welat Wulung justru telah mengayunkan pedang tipisnya menebas kearah lehernya. Tetapi dengan tangkas Glagah Putih merentangkan ikat pinggangnya dengan kedua belah pihak tangannya. Ketika pedang tipis itu menyentuh ikat pinggangnya, maka ikat pinggang itupun telah mengendor, sehinga yang terjadi adalah benturan yang lunak. Namun dengan ser-tamerta Glagah Putih telah menarik rentangannya, sehinga hentakannya hampir saja melemparkan pedang Welat Wulung.
Karena itu, maka Welat Wulungpun berusaha menguasai pedangnya sebaik-baiknya kembali sambil meloncat surut,
Glagah Putihpun meloncat menyusulnya.Tetapi Glagah Putih itupun terkejut. Tiba-tiba saja ujung pedang itu telah menyongsongnya. Denagn serta-merta Glagah Putih mengeliat, sehingga ia mampu membebaskan dirinya. Tetapi pedang itupun mengeliat pula memburunya.
Glagah Putih meloncat sambil memiringkan tubuhnya. Namun sebuah sentuhan kecil telah menggores lengannya. Hanya sentuhan kecil saja.
Tetapi sentuhan kecil itu ternyata telah mengoyak lengan Glagah Putih sehingga lukapun telah menganga.
Pedang itu tajamnya benar-benar melampaui tajam Welat Pring Wulung.
Ketika Rara Wulan melihat sentuhan pedang itu di langan Glagah Putih, maka iapun mejadi semakin berdebar-debar. Meskipun ia yakin kan kemampuan Glagah Putih, tetapi Rara Wulanpun sadar, bahwa Welat Wulung juga seorang yang berilmu tinggi.
Dalam pada itu, darah Glagah Putih bagaikan mendidih. Karena itu, maka iapun menjadi semakin garang meskipun Glagah Putih tidak kehilangan penalarannya.
Dengan cepat Glagah Putih melihat lawannya. Ikat pinggangnya berputar-putar semakin cepat. Benturan-benturan yang terjadi kemudian, semakin menggelisahkan orang yang menyebut nama senjatanya itu sebaggaimana namanya sendiri.
Namun luka di lengan Glagah Putih justru membuat Welat Wulung semakin sulit. Glagah Putih yang sadar, bahwa semakin banyak darah yang tertumpah akan membuat tubuhnya semakin lemah, berusaha untuk mempercepat pertempuran itu.
Serangan-serangan Glagah Putih kemudian datang bergulung-gulung. Susul-menyusul. Ikat pinggangnya berputaran menyambar-nyambar.
Welat Wulung yang juga ingin menyelesaikan "pertempuran itu lebih cepat, telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Pedangnya terayun-ayun mendebarkan jantung.
Dalam pada itu bulanpun semakin terdorong ke sisi Barat.- Selembar awan tipis mengalir dari Selatan mengarungi langit yang terbentang dari cakrawala sampai ke cakrawala.
Keringat ditubuh Welat Wulung, bagaikan terperas. Demikian pula keringat Glagah Putih" yang bercampur dengan titik-titik darahnya. Ketika di kejauhan terdengar gonggong anjing hutan bersahutan, maka Welat Wulung meloncat beberapa langkah surut Dalam benturan yang sangat keras. Welat Wulung yang tangannya telah basah oleh keringat tidak mampu mempertahankan pedang tipisnya. Ketika benturan itu terjadi, pedang itu sudah goyah diiangannya. Ketika kemudian ikat pinggang Glagah Putih itu berputar melihat pedangnya, maka pedang itu benar-benar telah terlepas.
Namun Welat Wulung tidak segera menyerah. Ketika Glagah Putih berdiri dengan kaki renggang sambil memegang ujung dan pangkal ikat pinggangnya dengan kedua belah tangannya, iapun mengeram ~ menyerahlah. "
Tetapi Welat Wulung sama sekali tidak menghiraukannya. Ketika pedangnya sudah terjatuh di pasir tepian, maka Welat Wulung itu berdiri tegak menghadap pada Glagah Putih. Sambil menggeram Welat Wulung itupun menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
Glagah Putihpun segera tanggap. Iapun segera mengalungkan ikal pinggangnya di lehernya. Sebelah kakinyapun ditariknya setengah langkah kebelakang. Kemudian Glagah Putih itupun merendah pada lututnya.
Semua itu dilakukan dengan cepatnya. Ketika Welat Wulung menghentakkan tangannya kearah GLagah Putih, maka Glagah Putihpun telah mengacukan tangannya kedepan dengan telapak tangannya menghadap kearah lawannya.
Kedua orang itupn telah melontarkan ilmu pamungkas mereka masing-masing. Seleret sinar telah memancar dari telapak tangan Welat Wulung. Tetapi telapak tangan Glagah Putihpun seakan-akan lelah melontarkan gumpalan cahaya yang tajam.
Ketika dua kekuatan ilmu itu berbenturan, maka getarannya telah menumbuhkan gelombang kekuatan yang dahsyat.
Namun ternyata kekuatan getar gelombang ilmu Glagah Putih mempunyai kekuatan yang lebih besar. Meskipun Glagah Putih juga terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terlentang di tepian, namun akibat yang terjadi pada Welat Wulung agaknya jauh, lebih parah lagi.
Dalam benturan yang terjadi, maka selain getaran ilmu yang berhasil menyusup mengenai tubuh lawannya, namun gelombang yang melontar kembali memantul ke sumbernya oleh benturan yang terjadi telah membuat keadaan mereka menjadi semakin parah. Terutama Welat Wulung yang kekuatan ilmunya berada dibawah kekuatan ilmu Glagah Putih.
Dalam pada itu, Rara Wulanpun segera berlari mendapatkan Glagah Putih yang terbaring. Dengan sangat cemas Rara Wulan berjongkok disisinya. Namun dibawah cahaya bulan yang cerah, Rara Wulan melihat Glagah Putih itu terseyum kepadanya meskipun juga harus menyeringai menahan sakit.
-Kakang - desis Rara Wulan.
Dengan suara yang lemah Glagah Putih menyahut - Aku tidak apa-apa, Wulan. ~
Pelan-pelan Glagah Putih berusaha untuk bangkit. Rara Wulan yang kemudian duduk diatas pasir berusaha untuk membantunya.
Demikian Glagah Putih duduk, kedua kakinyapun segera bersilang. Sambil memandang tubuh Welat Wulung ia berdesis - Bagaimana dengan orang itu. -
-- Aku akan melihatnya, kakang. -
"Jangan - Glagah Putih mencegahnya " orang itu berilmu tidak dan licik. Jika kau dapat ditangkapnya, meskipun ia dalam keadaan yang lemah, maka kau benar-benar berada dalam bahanya. "
Rara Wulan mengangguk. Ia dapat mengerti peringatan Glagah Putih itu. Welat Wulung memang seorang yang sangat berbahaya.
Namun Welat Wulung itu sama sekali tidak bergerak. Ia terbaring diam diatas pasir tepian.
Dalam pada itu, maka Glagah Putihpun telah menyilangkan tangan didadanya. Iapun kemudian berdesis - Berjaga-jagalah Wulan. Pegang ikat pinggangku, dalam keadaan terpaksa kau dapat mempergunakannya. Aku memerlukan waktu beberapa saat untuk menata kembali pernafasan, aliran darahku dan kerja urat serta syarafku.
Rara Wulanpun kemudian meraih ikat pinggang Glagah Putih. Ikat pinggang itu menurut Rara Wulan adalah ikat pinggang kulit biasa. Namun ditangan Glagah Putih ikat pinggang itu menjadi senjata yang sangat berbahaya.
Dalam pada itu, Glagah Putihpun telah memejamkan matanya.
Dipusatkannya nalar budinya untuk mengatur pernafasannya, memperbaiki tatanan tubuhnya setelah ia terlempar dan terpelanting jatuh karena dorongan getaran ilmu lawannya serta getar gelombang yang memantul pada benturan yang terjadi itu.
Sementara itu, orang-orang yang lain masih juga bertempur dengan sengitnya Mereka hanya sempat mengerling melihat tubuh Welat Wulung yang terlempar dan terbanting jatuh. Namun yang kemudian sama sekali tidak bergerak lagi, sementara Glagah Putih telah bangkit dan duduk bersila, memusatkan nalar budinya, untuk mengatur pernafasannya, serta memperbaiki tatanan segala unsur did-alam tubuhnya.
Kekalahan Welat Wulung telah mengguncang jiwa Nyi Dwani. Selain bulan yang menjadi semakin rendah, serangan-serangan Sekar Mirahpun menjadi semakin garang. Meskipun Nyi Dwani sempat mengetahui bahwa setiap benturan ilmu yang memancar pada sentuhan kedua tongkat baja putih itu menimbulkan cahaya yang menyilaukan, sehingga Nyi Dwani dapat menempatkan diri untuk mengatasinya, namun kemampuan Sekar Mirah yang sangat tinggi benar-benar sulit untuk diimbangi.
Dalam pada itu, Empu Wisanatapun ternyata tidak segera mampu menguasi Ki Jayaraga. Sebagaimana Empu Wisanata tidak mengira bahwa ilmu Sekar Mirah ternyata lebih tinggi dari ilmu Nyi Dwani, iapun tidak mengira bahwa Ki Jayaraga akan mampu mengimbangi ilmu Empu Wisanata itu. Bertahun-tahun Empu Wisanata menjalani laku diujung Kali Geduwang dilambung Gunung Kukusan. Namun ternyata orang Tanah Perdikan Menoreh itu mampu mengimbanginya.
Sementara itu, Ki Saba Lintang yang menjalani lakunya dengan menjelajahi lingkungan yang luas diantara Gunung Kukusan, Gunung Lawu, Pegunungan Kendeng, Gunung Telamaya, Gunung Merbabu dan Gunung Merapi, kemudian Pegunungan Menoreh, telah membentur ilmu yang tinggi dari seorang Lurah Prajurit Khusus Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Namun Agung Sedayu memang nama yang mencuat dari beberapa nama Senapati pilihan di Mataram. Tetapi Ki Saba Lintang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang tinggi yang tidak lebih dari ilmu para Tumenggung di Mataram, merasa heran, bahwa Lurah Prajurit dan Pasukan khusus itu mampu mengimbanginya. Betapapun namanya menjulang tinggi diantara para Lurah, namun kemampuan ilmu Agung Sedayu benar-benar diluar dugaan Ki Saba Lintang.
- Ternyata Tanah Perdikan Menoreh memiliki orang-orang berilmu tinggi. Seorang-anak muda yang masih ingusan saja mampu mengalahkan Welat Wulung yang sudah kenyang makan pahit asamnya dunia olah kanuragan. -
Sebenarnyalah bahwa Ki Saba Lintangpun tidak dapat mengingkari kenyataan. Ia bukan saja tidak mampu mengalahkan Agung Sedayu dengan segera, tetapi justru semakin lama semakin terasa tekanan-tekanan yang semakin berat. Dengan kecepatan yang tinggi Agung Sedayu mampu menghindari serangan-serangan Ki Saba Lintang. Loncatan-loncatan yang semakin cepat, tidak mampu mendahului gerak Ki Lurah itu.
Namun Ki Saba Lintang yang sudah mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk meningkatkan kekuatan yang kecepatan geraknya, mulai menduga, bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan ilmu meringankan tubuh yang justru lebih tinggi dari ilmu Ki Saba Lintang sendiri.
Karena itu, maka Ki Saba Lintang harus menemukan cara yang lain untuk dapat mengatasi kemampuan Ki Luran Agung Sedayu.
Dalam pada itu keduanya masih bertempur dengan sengitnya. Ki Saba Lintang ternyata kurang cermat menilai isi dari Tanah Perdikan Menoreh.
Selama ia bertualang, maka perhatiannya yang terbesar memang pada peningkatan ilmunya, sehingga ia kurang memperhatikan nama-nama dari orang-orang terkuat didaerah yang telah dijelajahinya. Beberapa tahun ia menenggelamkan diri untuk mencapai satu tataran ilmu sebagaimana dicapainya sekarang ini.
Namun ketika ia muncul kembali dengan rencana yang sudah disusunnya dengan baik, ia masih juga menjumpai kesulitan. Meskipun ia sudah mengorbankan waktunya yang cukup banyak untuk menilai kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu serta isterinya, namun ternyata penilaiannya masih belum tepat benar.
Mungkin kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu itulah yang lebih tinggi dari penilaiannya atau justru karena ia terlalu berbangga dengan peningkatan ilmunya sehingga ia terlalu yakin bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak akan dapat mengalahkannya. Demikian pula ia terlalu yakin akan kemampuan Empu Wisanata yang telah menenggelamkan diri menjalani laku di Gunung Kukusan, serta kemampuan Nyi Dwani yang meremehkan kemampuan Sekar Mirah.
Bahkan Welat Wulung telah mengakhiri pertempuran melawan anak-anak dengan kematian.
Dalam pada itu, Ki Saba Lintang tidak lagi mengandalkan pada kecepatan geraknya yang ternyata tidak mampu melampaui kecepatan gerak Agung Sedayu. Karena itu, maka Ki Saba Lintang itupun telah mempersiapkan serangan-serangan barunya
Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, serta kegagalan Ki Saba Lintang menembus pertahanan Agung Sedayu, maka Ki Saba Lintangpun telah siap menggunakan senjata yang diandalkannya
Agaknya Agung Sedayu dapat melihat kesiapan Ki Saba Lintang itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun menjadi semakin berhati-hati. Meskipun ia belum berhasil mengenai Ki Saba Lintang dengan serangan yang benar-benar berarti, namun terdesak. Sentuhan-sentuhan yang semakin lama terasa semakin menyakiti tubuh Ki Saba Lintang.
Nampaknya Ki Saba Lintang tinggal menunggu saat terbaik untuk mulai melepaskan serangan barunya.
Sebenarnyalah, ketika Agung Sedayu mendesaknya, Ki Saba Lintang telah meloncat mengambil jarak. Demikian Agung Sedayu berusaha memburunya, maka dari tangan Ki Saba Lintang telah meluncur sebuah benda kecil yang menyambar kearah dada Agung Sedayu.
Untunglah bahwa Agung Sedayu memang sudah siap menghadapi segala macam serangan. Karena itu, maka dengan sigapnya, Agung Sedayupun meloncat menghindar.
Namun serangan itu tidak hanya meluncur sekali. Demikian Agung Sedayu meloncat menghindar, maka serangan berikutnya telah datang menyusul.
Agung Sedayu segera dapat mengenali senjata-senjata kecil yang meluncur dari tangan Ki Saba Lintang. Pisau-pisau belati kecil yang sangat tajam dan runcing itu akan dapat menembus masuk kedalam kulit dagingnya jika berhasil mengenai sasarannya. Bahkan Agung Sedayu juga menduga, bahwa pisau-pisau kecil yang runcing, yang dilontarkan dengan tenaga yang sangat besar itu juga beracun.
Dengan mengetrapkan ilmunya meringankan tubuh, maka Agung Sedayu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi untuk setiap kali menghindari serangan-serangan itu. Justru melampaui kecepatan gerak tangan Ki Saba Lintang.
Namun Agung Sedayu tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan pisau-pisau kecil Ki Saba Lintang. Karena itu, maka ketika Agung Sedayu meloncat berputaran diudara, kemudian jatuh berguling menghindari serangan beruntun, maka demikian ia tegak berdiri, ditangannya telah tergenggam senjatanya. Sebuah cambuk berjuntai panjang.
Sekali cambuknya meledak memekakkan telinga, sehingga orang-orang yang berada ditepian itu terkejut. Bahkan Empu Wisanata-pun terkejut. Namun kemudian Ki Saba Lintang itupun berkata -Jadi inikah senjata Ki Lurah yang sangat terkenal itu " -
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi selangkah Agung Sedayu maju mendekati Ki Saba Lintang.
" Hanya itukah yang dapat kau tunjukkan kepadaku tentang ilmu cambukmu " - bertanya Ki Saba Lintang - ternyata kau hanya dapat mengejutkan burung pipit yang hinggap di.batang padi disa-wah. Tetapi tidak dapat menakut-nakuti orang-orang berilmu. Apalagi berilmu tinggi.
Sekali lagi Agung Sedayu menghentakkan cambuknya. Sekali lagi udara tepian Kali Praga itu tergetar.
- Apa yang ingin kau tunjukkan dengan permainan kasarmu itu, Ki Lurah " - teriak Ki Saba Lintang - apakah kau sengaja menyerang selaput telingaku " Kau berhadap bahwa kau akan dapat memecahkan selaput telingaku, kemudian mengharap aku menyerah. -
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ketika sekali lagi ia menghentakkan cambuknya, maka sama sekali tidak terdengar ledakan yang memekakkan telinga itu.
Wajah Ki Saba Lintang menjadi tegang. Empu Wisanata yang bertempur melawan Ki Jayaraga telah meloncat surut selangkah.
Ki Jayaraga tidak memburunya. Tetapi ia justru bertanya " Apa yang terjadi " Empu tertarik pada permainan cambuk itu " ~
Empu Wisanata menjadi semakin gelisah. Ia sadar sepenuhnya, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang berilmu sangat tinggi. Hentakan cambuknya memberikan pertanda, bahwa Ki Saba Lintang tidak akan mengalahkannya. Bahkan dengan ilmu Rog-rog Asem yang dimiliki oleh Ki Saba Lintangpun Agung Sedayu tidak akan dapat ditundukkan. Lecutan cambuknya, jika dilambari dengan puncak ilmunya, maka tidak akan ada seorangpun yang mampu bertahan. Bahkan orang yang berilmu kebal sekalipun. Kecuali hanya satu dua orang yang sudah sampai pada tataran ilmu yang sangat tinggi.
Dengan demikian, maka Empu Wisanata sudah tidak berpengharapan. Pisau-pisau kecil Saba Lintang tidak akan berarti banyak. Jika cambuk Agung Sedayu itu diputar dengan cepat, maka pisau-pisau yang dilontarkan akan rontog di pasir tepian.
Sementara itu, Empu Wisanata sendiri merasa sulit sekali untuk menundukkan Ki Jayaraga yang tubuh tuanya itu masih saja liat. Bahkan Empu Wisanata merasa ragu untuk membenturkan ilmu pamungkasnya, karena Empu Wisanatapun yakin; bahwa Ki Jayaraga tentu juga memiliki ilmu pamungkas yang dapat dibanggakannya.
Dalam keadaan yang demikian, maka Empu Wisanatapun serasa tenggelam kedalam kebimbangan.
Dalam keadaan yang rumit, serta dalam ketegangan yang memuncak itu, tiba-tiba terdengar Nyi Dwani berteriak sambil meloncat mengambil jarak - Nyi Lurah. Aku menyerah. "
Sekar Mirah tertegun. Ia memang tidak segera memburu. Nyi Dwani benar-benar sudah tidak berdaya. Meskipun ia masih menggenggam tongkat baja putih yang diambilnya lagi dari tangan Ki, Saba Lintang, tetapi perlawanannya sudah tidak banyak berarti lagi. Beberapa kali tongkat Nyi Lurah sempat menyentuhnya. Meskipun hanya sentuhan-sentuhan kecil, tetapi rasa-rasanya tulang-tulangnya telah berpatahan. Sementara itu, panas yang membara pada telapak tangannya dan yang kemudian membuat tongkat baja putihnya juga membara disebelah-menyebelah genggaman tangannya, rasa-rasanya telah menjadi pudar sejalan dengan semakin rendahnya kedudukan bulan.
Ternyata betapapun Nyi Dwani berusaha, namun ia benar-benar tidak lagi merasa mempunyai kesempatan untuk memenangkan perang tanding itu.
Ketika Sekar Mirah maju selangkah dengan tongkat baja putihnya didalam genggaman, maka Nyi Dwani itupun telah berlutut. Diletakkannya tongkat baja putihnya didepan lututnya sambil memohon - Aku mohon ampun, Nyi Lurah. Aku sudah merasa kalah. -
Sekar Mirah berdiri tegak dengan tongkat baja putihnya. Kedua tangannya telah memegangi pangkal dan ujungnya dengan kuatnya, seakan-akan takut direnggut oleh Nyi Dwani yang sudah menyerah itu.
Dalam pada itu, penyerahan Nyi Dwani itu bagaikan perintah terhadap kedua lingkaran pertempuran yang lain untuk berhenti. Empu Wisanata dan Ki Saba Lintangpun telah berloncatan menjauhi lawan-lawannya, sementara Ki Jayaraga dan Agung Sedayupun tidak memburunya pula.
Sejenak tepian itu dicengkam oleh kesepian yang tegang. Yang terdengar adalah angin malam yang bertiup dari arah laut, berdesah di daun perdu dan semak-semak batang ilalang.
Bulan masih nampak tergantung dilangit meskipun menjadi semakin rendah. Sinarnya masih terang, memantul di air Kali Praga. Pasir yang kehitam-hitaman terhampar luas.
Yang menyerah adalah Nyi Dwani, Empu Wisanata dan Ki Saba Lintang menjadi sangat ragu-ragu untuk menentukan sikap.
Mereka bahkan seakan-akan menunggu keputusan Nyi Lurah. Jika Nyi Lurah kemudian mengakhiri perang tanding itu dengan kematian, maka mereka tidak akan membiarkan lehernya dipancung dengan cambuk.
Dalam pada itu, Glagah Putih telah selesai dengan pemusatan nalar budinya Keadaannya sudah menjadi berangsur membaik, meskipun dadanya masih terasa agak sesak. Tetapi sudah tidak terasa sangat mengganggu. Jantungnya telah berdetak lebih teratur dan darahnya telah mengaliri seluruh tubuhnya sampai ke urat-urat yang paling lembut.
Perlahan-lahan Glagah Putihpun bangkit berdiri. Rara Wulanpun berdiri tegak pula disampingnya
Semuanya memang menunggu keputusan Sekar Mirah. Ia dapat mengakhiri perang tanding itu dengan kematian, sebagaimana kesepakatan semula. Tetapi jika hatinya terluka, Sekar Mirah dapat mengampuni lawannya yang sudah menyerah.
Dalam ketegangan itu terdengar Sekar Mirah berkata dengan nada berat - Bergeserlah. Tinggalkan tongkat itu ditemparnya -
Nyi Dwani tidak membantah. Iapun bergeser mundur, sementara tongkatnya tergolek diatas pasir tepian.
Namun sambil bergeser surut Nyi Dwani itupun berdesis -Aku mohon ampun. ~
Sekar Mirah masih berdiri tegak. Namun kemudian iapun berdesis - Tidak sepantasnya aku membunuh seseorang yang telah menyerah. Aku ampuni kau Nyi Dwani. Tetapi aku tidak tahu, apakah kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga juga akan mengampuni lawan-lawan mereka -
Suasana kembali menjadi tegang. Ketika mereka menginjakkan kaki di Tanah Perdikan jauh sebelum perang tanding itu terjadi, mereka tidak akan bermimpi bahwa pada suatu saat mereka harus menyatakan diri untuk menyerah. Tetapi dalam keadaan sebagaimana dihadapinya malam itu, mereka tidak mempunyai pilihan lain, jika mereka masih ingin tetap hidup.
Kepala Ki Saba Lintang serasa menjadi sangat pening menghadapi keadaan yang tidak pernah diperhitungkannya itu. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka tidak mempunyai kesempatan lagi.
Ternyata Agung Sedayu dan Ki Jayaraga justru bersikap menunggu. Mereka berdiri tegak dihadapan lawan-lawan mereka. Namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan, bahwa keduanya dapat saja dengan tiba-tiba menyerang mereka.
Namun akhirnya, Empu Wisanata itu berkata - Kami harus mengakui kekalahan kami. Kamipun mengucapkan terima kasih kepada Nyi Lurah bahwa Nyi Lurah telah mengampuni Dwani. -
Lalu, apa yang akan kau lakukan, Empu" ~ bertanya Ki Jayaraga.
Jika kalian mengijinkan, kami akan meninggalkan tempat ini. Kami akan kembali ke kaki Gunung Kukusan. -
Pergilah, dan jangan mencoba untuk kembali lagi - terdengar suara Sekar Mirah yang bergetar.
Ki Saba Lintang masih tetap berdiam diri. Giginya justru gemeretak menahan gejolak perasaannya. Ia tidak pernah bermimpi untuk merendahkan dirinya, menyerah kalah dalam sebuah pertempuran.
Tetapi pada saat itu, ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Seandainya ia berusaha melepaskan diri dengan menyingkir dari medan, mungkin ia dapat berhasil. Tetapi ia tidak akan dapat meninggalkan Nyi Dwani yang tidak berdaya Jika ia melakukan tindakan yang bodoh dan mengungkit kemarahan Nyi Lurah, maka yang akan menjadi korban adalah Nyi Dwani. Sementara itu, Ki Saba Lintang tidak ingin kehilangan perempuan itu. Dikatakan atau tidak dikatakan, Ki Saba Lintang memang mempunyai pamrih tertentu terhadap perempuan itu, sementara nampaknya Nyi Dwanipun menanggapinya.
Dalam ketegangan yang semakin mencengkam, Agung Sedayupun berkata - Nah, apakah kalian menerima tawaran Sekar Mirah atau tidak" -
- Baiklah ~ Empu Wisanatalah yang menyahut - Kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan itu. -
Namun Agung Sedayu masih juga bertanya - Bagaimana pen-dapatmu, Ki Saba Lintang. Apakah kau masih mempunyai pertimbangan lain" Atau kau mempunyai cara yang lebih baik, terutama bagi kehormatan sendiri. -
Ki Saba Lintang menggeram. Ia tahu, bahwa yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu adalah satu tantangan. Karena itu, maka iapun menjawab - Ki Lurah. Aku tidak dapat mengimbangi kemampuanmu sekarang. Tetapi jika kau memang berlapang dada, maka aku akan kembali lagi pada suatu saat. Aku akan menantangmu untuk melakukan perang tanding. Ingat, dalam perang tanding itu aku akan membunuhmu. "
Agung Sedayu justru tersenyum. Katanya ~ Kita berbicara tentang diri kita sekarang, Ki Saba Lintang. -
"Aku tahu. Sudah aku katakan, bahwa sekarang aku dapat kau kalahkan. Tetapi aku akan datang menantangmu dan membunuhmu.
"Baiklah. Aku menunggu saat itu. Yang penting bagiku, bahwa kau sekarang sudah mengakui kekalahan. -
Wajah Ki Saba Lintang menjadi panas. Namun Agung Sedayupun kemudian berkata - Sudahlah. Kita akan menyelesaikan persoalan antara kalian dengan isteriku. Persoalan yang menyangkut rencana kalian membangun kembali perguruan kalian yang sudah tercerai berai. Namun sayang, bahwa kalian tidak menunjukkan sikap sebagai saudara seperguruan isteriku. Tetapi yang nampak pada kalian adalah nafsu untuk menyingkirkan isteriku. Bahkan membunuhnya. Apalagi tingkah laku Ki Welat Wulung yang tidak mencerminkan sikap seorang laki-laki. Tetapi justru karena itu, agaknya ia harus menebus dengan nyawanya. Seorang korban sudah cukup. Sekarang, seperti kata isteriku, pergilah. Bawa tubuh Welat Wulung. ~
-Persoalan dengan Nyi Lurah masih belum selesai. -
"Ya. Tetapi bukanlah persoalan itulah yang menjadi sebab peristiwa di tepian ini. Tetapi terserah kepada kalian, apakah kalian masih akan menyelesaikan persoalan ini atau tidak. - .
"Bukankah tidak mungkin menyelesaikannya sekarang" - Ki Saba Lintang masih sempat berkata lantang.
Namun Agung Sedayu justru tertawa. Katanya " Seperti seekor katak yang sombong. Kau gelembungkan perutmu hanya dengan angin, Ki Saba Lintang. Itu tidak ada gunanya sama sekali. Jik kau memang ingin kembali, kembalilah. Persoalannya mungkin sudah tidak menyangkut rencana untuk membangun kembali sebuah perguruan, tetapi semata-mata sebuah dendam yang membakar jantung. Tetapi aku tidak berkeberatan. -
Telinga Ki Saba Lintang bagaikan tersengat bara. Tetapi ia memang harus mengakui kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Namun seperti yang dikatakan, Ki Saba Lintang memang ingin kembali. Ia sudah memiliki bekal ilmu yang tinggi. Ia tinggal menyempurnakannya. Dengan Aji Rog-rog Asem yang matang, maka ia akan menghancurkan Agung Sedayu yang bersenjata cambuk itu. Apalagi jika pada suatu saat Nyi Dwani mampu mengalahkan Sekar Mirah sehingga tidak menghambat rencananya untuk membunuh Agung Sedayu, atau sama sekali tidak datang bersama Nyi Dwani.
Dalam pada itu, terdengar Agung Sedayu itu berkata pula -Sekali lagi aku minta, pergilah. Bawa tubuh Welat Wulung. Kemudian aku tinggal menanti, kapan kalian akan datang lagi. -
Ki Saba Lintang menggeram. Dengan lantang ia berkata kepada Empu Wisanata - Marilah kita pergi Empu. Bahwa Agung Sedayu membiarkan kita pergi kali ini, adalah sama artinya dengan Agung Sedayu itu menggali kuburannya sendiri. -
-Sudahlah, jangan banyak bicara - sahut Ki Jayaraga - keputusan itu masih dapat berubah. Jika kau tidak menjaga mulutmu, maka aku akan membuka pertempuran lagi. Aku akan membunuh lawanku, meskipun Nyi Lurah mengampuni Nyi Dwani. Tetapi jika keadaan menjadi semakin buruk, maka pengampunan itu akan dapat ditinjau kembali. -
Bagaimanapun juga Ki Saba Lintang harus memperhatikan peringatan itu. Karena itu, maka iapun segera beranjak meninggalkan Agung Sedayu dan mendekati Nyi Dwani yang masih berlutut.
Sekar Mirah melangkah surut. Ia harus berhati-hati. Jika Ki Saba Lintang itu menjadi gila, maka ia akan dapat melakukan sesuatu yang berbahaya.
Namun Agung Sedayu tidak kurang berhati-hati. Ia mengikuti Ki Saba Lintang beberapa langkah.
" Marilah, Nyi Dwani " berkata Ki Saba Lintang kemudian sambil menarik lengan Nyi Dwani.
Namun Nyi Dwani itu terkejut ketika Sekar Mirah berkata -Bawa tongkat itu Nyi Dwani. Aku tidak memerlukan dua batang tongkat. Suamiku, Ki Jayaraga dan Glagah Putih juga tidak memerlukan karena mereka bukan murid dari perguruan yang kita akui bersama. Mungkin kelak, jika Rara Wulan sudah dewasa pada tataran ilmunya, ialah yang akan berhak memilikinya. "
Wajah Nyi Dwani menjadi tegang. Ia hampir tidak percaya pada pendengarannya. Namun Sekar Mirah itu mengulanginya - Nyi Dwani. Ambil tongkat itu jika kau masih tetap mengaku saudara seperguruanku. Tetapi kau sudah mengetahui, siapakah yang paling pantas memilikinya. Siapa yang paling pantas memimpin perguruan kita jika kita ingin membangunkannya kembali. Dan kalian tahu, di-mana pertemuan itu sebaiknya dilakukan. Tidak diujung Kali Geduwang. "
Tidak ada yang menjawab. Namun dengan ragu-ragu Nyi Dwani bergeser maju mendekati tongkat yang diletakkannya di tepian.
Karena Nyi Dwani masih tetap ragu-ragu, maka Agung Sedayupun kemudian berkata pula - Ambillah. Sekar Mirah sudah merelakan tongkat itu. Itu sebagai pertanda, bahwa ia sama sekali tidak memiliki nafsu yang tamak terhadap kepemimpinan perguruannya jika memang akan dibangunkan kembali. -
Ki Saba Lintang berdiri tegak mematung. Sementara Nyi Dwani meskipun dengan keragu-raguan yang sangat telah memungut tongkat baja putih itu.
~ Pergilah -- geram Sekar Mirah.
Empu Wisanatapun kemudian telah mendekati Nyi Dwani pula. Kemudian membimbingnya pergi sambil berkata ~ Saba Lintang. Kita akan meninggalkan tempat ini. Kita akan membawa Welat Wulung. -
Saba Lintang tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian melangkah kearah tubuh Welat Wulung yang terbaring.
Ternyata Welat Wulung memang sudah terbunuh.
Ki Saba Lintang itupun kemudian mengangkat tubuh Welat Wulung dan diletakkannya dibahunya. Ternyata kekuatan Ki Saba Lintang memang sangat besar. Meskipun tubuh Welat Wulung cukup besar, namun Ki Saba Lintang itu membawanya sambil berjalan tegap diatas pasir.
Empu Wisanatalah yng kemudian berkata - Kami minta diri. Kami telah gagal. Aku sendiri ingin mengucapkan terima kasih bahwa aku masih dapat mengajak Dwani pulang. "
Tidak ada yang menjawab. Empu Wisanata memang menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah pergi sambil berkata - Selamat malam. -
Ternyata Agung Sedayu dan Ki Jayaraga menjawab hampir berbareng - Selamat malam. -
Sejenak kemudian, maka Empu Wisanata itu telah melangkah semakin jauh bersama anaknya perempuan. Didepan mereka Ki Saba Lintang berjalan mendahului tanpa berpaling sama sekali. Agaknya jantungnya benar-benar dibakar oleh dendam yang menyala-nyala.
Sekar Mirah memandang langkah Nyi Dwani dengan tegang. Sementara itu bulan masih nampak dilangit meskipun menjadi semakin rendah. Tetapi cahayanya masih nampak cerah diwajah tepian berpasir basah.
Namun ketika Empu Wisanata dan Nyi Dwani itu menjadi semakin jauh, maka tiba-tiba saja Sekar Mirah telah berlari memeluk Agung Sedayu. Ketegangan yang menggelembung didalam dadanya rasa-rsanya telah meledak.
Agung Sedayupun menepuk punggung Sekar Mirah sambil berkata - Semuanya sudah berlalu, Mirah. --
"Ya, kakang - suara Sekar Mirah tenggelam didalam isaknya.
"Kau telah melampaui saat-saat yang paling menegangkan. -
"Ya, kakang. Tetapi mereka masih akan kembali. ~
"Biarlah mereka kembali. Bukankah kita selalu siap menyambut kedatangan mereka" Kapanpun mereka kehendaki. Besok, lusa dan setahun lagi. -
Sekar Mirah mengangguk. Dilepaskannya pelukannya dan diusapnya matanya yang basah.
-Kau sudah membuktikan, bahwa kau memang berhak atas tongkat itu - berkata Ki Jayaraga kemudian. Sekar Mirah mengangguk.
-Rara - desis Sekar Mirah kemudian.
Rara Wulanpun mendekatinya. Sekar Mirahpun kemudian merangkul Rara Wulan sambil berkata - Hampir saja kau menjadi korban. "
Mata Rara Wulan juga menjadi basah. Katanya " Seperti yang dikatakan oleh kakang Agung Sedayu, mbokayu. Kita sudah melampaui masa-masa yang paling menegangkan. -
Sekar Mirah mengangguk. Sambil mengusap rambut Rara Wulan iapun berdesis - Ya, Rara. Tetapi jika terjadi sesuatu atas dirimu, maka akulah yang paling bersalah. -
-Tidak. Mbokayu tidak dapat menyalahkan diri sendiri. -Agung Sedayulah yang kemudian berkata " Marilah. Kita pulang. Mudah-mudahan kita sampai dirumah sebelum petang, sehingga tidak harus menjawab banyak pertanyaan orang-orang yang sedang menyapu halaman. -
Namun Ki Jayaragapun kemudian bertanya kepada Glagah Putih - bagaimana keadaanmu Glagah Putih" -
-- Tidak apa-apa, Ki Jayaraga Aku dapat berjalan pulang. -
Demikianlah, maka merekapun segera meninggalkan tepian. Mereka memilih jalan memintas, melewati lorong-lorong sempit dan pematang-pematang sawah. Seperti saat mereka berangkat, maka mereka telah memilih jalan yang berbeda.
Meskipun mereka merasa letih oleh pertempuran yang baru terjadi, bahkan luka-luka bakar ditubuh Sekar Mirah, namun agar mereka tidak kesiangan, maka mereka telah berjalan dengan cepat menuju ke pedukuhan induk. Bahkan mereka telah mempergunakan tenaga dalam untuk mendorong langkah mereka agar segera sampai ketujuan.
Hampir saja mereka menjadi kesiangan. Untunglah, bahwa jalan-jalan masih sepi ketika mereka mendekati padukuhan induk.
Demikian mereka memasuki halaman, maka terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Sebentar lagi, induk-induk ayam akan membawa anak-anaknya turun kehalaman. Sementara beberapa orang mulai turun menyapu halaman.
Derit senggot timba di sumur-sumurpun mulai terdengar. Sementara di langit mulai membayang cahaya fajar yang kemerah-merahan.
Glagah Putih ternyata masih lemah. Tenaganya masih belum pulih benar. Karena itu ketika ia memaksa diri untuk berjalan dengan kecepatan yang tinggi ketika mereka kembali ke padukuhan induk, tenaganya seperti dikuras kembali. Dengan nafas yang terengah-engah ia duduk didalam biliknya Bahkan kemudian, Glagah Putihpun harus kembali memusatkan nalar budinya untuk mengatur pernafasannya serta tatanan bagian-bagian dari tubuhnya
Baru ketika langit menjadi terang, Glagah Putih itu keluar dari biliknya.
Tetapi demikian ia melangkah di longkangan, maka Agung Sedayupun telah memanggilnya dan berkata - Glagah Putih. Beristirahatlah. Kau memang harus beristirahat. -
~ Keadaanku sudah baik, kakang. " jawab Glagah Putih.
~ Jangan memaksa diri, Glagah Putih. Kau harus beristirahat agar kau segera dapat menjadi pulih kembali, sebagaimana mbokay-umu Sekar Mirah. Aku juga minta, agar mbokayumu berusaha memulihkan tenaganya. -
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata - Baik, kakang. Aku akan banyak beristirahat hari ini. -
-Rara Wulanpun harus menenangkan dirinya Mungkin tubuhnya tidak menjadi lelah, tetapi tentu ketegangan yang terjadi semalam, membuat jiwanya menjadi letih pula. Dalam keadaan yang demikian, maka kalian benar-benar harus menempatkan diri sebaik-baiknya "
Glagah Putih mengangguk. Namun kemudian iapun bertanya " Tetapi kakang sendiri" -
"Aku juga akan beristirahat. Tetapi biarlah aku beristirahat di barak saja. --
"Jadi kakang juga akan pergi ke barak hari ini" -
"Ya Aku sudah terlalu sering tidak datang ke barak. -
"Tetapi kakang tentu juga harus beristirahat. "
"Sudah aku katakan. Aku akan beristirahat di barak. -
Glagah Putih termangu-mangu, sementara Agung Sedayu menepuk bahunya sambil berkata - Lawanku cukup berbaik hati. Ia tidak mempergunakan puncak ilmunya, sehingga aku tidak mengalami goncangan didalam diriku sebagaimana kau alami. Demikian pula Ki Jayaraga. Agaknya Empu Wisanata menganggap bahwa benturan ilmu puncak justru tidak menguntungkannya -
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun Agung Sedayupun berkata lirih - Tetapi orang-orang itu justru menjadi orang-orang yang berbahaya bagi kita. Aku yakin, bahwa mereka akan kembali. Terutama Ki Saba Lintang. Ia memerlukan waktu beberapa lama untuk menyempurnakan ilmu Rog-rog Asemnya. Ilmu yang memang jarang ada bandingnya -
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya ~ Tetapi bukankah kita akan selalu siap menghadapi mereka jika mereka datang lagi kemari" --
Agung Sedayu mengangguk. Namun katanya - Tetapi tentu dengan kesiagaan yang lebih tinggi. Karena itu, maka kita harus selalu mengasah ilmu kita agar selalu menjadi lebih tajam. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayupun kemudian berkata ~ Ah, langit sudah menjadi semakin terang. Aku harus segera bersiap. -
Setelah minum minuman hangat serta makan pagi, maka Agung Sedayupun kemudian telah siap berangkat ke barak. Iapun telah berpesan kepada Rara Wulan lebih banyak beristirahat.
Sekar Mirah mengantar Agung Sedayu sampai ke regol halaman. Dengan nada dalam Sekar Mirahpun berkata ~ Kau tidak tidur semalam suntuk kakang. -
Agung Sedayu tersenyum. Katanya ~ Aku dapat tidur di barak. -
-Ah, tentu tidak. - sahut Sekar Mirah.
-Kaulah yang harus tidur. Rawat luka-lukamu dengan baik. Jangan lupa, kau ganti obat itu menjelang sore hari. -
-Aku menunggu kakang datang. - jawab Sekar Mirah. Agung Sedayu tertawa. Katanya - Baiklah. Aku akan mengganti obatmu itu nanti setelah aku pulang dari.barak. "
Demikianlah, sejenak kemudian kuda Agung Sedayupun telah berlari menuju ke barak para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Sepeninggal Agung Sedayu, Sekar Mirahpun segera masuk kembali ke dalam rumahnya. Tubuhnya memang masih terasa letih. Perang tanding yang terjadi di tepian itu benar-benar telah mengurus tenaganya Bahkan tubuhnya telah terluka pula
Tetapi Sekar Mirah masih juga pergi ke dapur. Rara Wulanlah yang kemudian memperingatkannya - Sebaiknya mbokayu beristirahat saja Biarlah aku menyelesaikan pekerjaan dapur. -
"Kau juga tidak tidur semalam suntuk Rara -
"Tetapi aku tidak berbuat apa-apa -
"Kau mengalami ketegangan jiwa. -
"Aku sudah melupakannya -
Namun Sekar Mirah tidak membiarkan Rara Wulan bekerja sendiri di dapur. Serba sedikit Sekar Mirah juga membantunya. Namun setiap kali ia masih harus berdesah. Luka-lukanya memang terasa pedih. Tetapi agaknya obat yang diberikan oleh Agung Sedayu dengan cepat telah memperingan luka-luka yang dideritanya ini.
Glagah Putih yang juga masih merasa letih, duduk di bebatur rumah di sebelah gandok. Angin yang bertiup perlahan, tertasa sejuknya mengusap tubuhnya Matahari yang naik semakin tinggi melemparkan cahayanya menembus dedaunan.
Sukrapun melangkah mendekatinya. Sambil duduk disebelah-nya Sukra itupun bertanya ~ Apa yang sudah terjadi semalam "
~ Tidak apa-apa jawab Agung Sedayu - kami berjalan-jalan menikmati terangnya bulan bulat. -
- Jangan bohong. Aku melihat luka-luka ditubuh Nyi Lurah. KaupuH nampak sangat letih. Tentu telah terjadi sesuatu dengan orang-orang yang sering datang kemari itu. -
Glagah Putih tersenyum. Katanya - Sedikit salah paham. Tetapi semuanya sudah dapat diselesaikan dengan baik. -
Sukra mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya - Kapan aku diperkenankan ikut bersama kalian " -
Glagah Putih mengerutkan dahinya Katanya --Ikut apa " -
Sukra tidak menjawab. Dilontarkan pandangan matanya menembus sela-sela pepohonan yang tumbuh di halaman samping. Sinar matahari yang menyusup diantara dedaunan yang bergerak-gerak di atas tanah yang lembab.
*** JILID 310 NAMUN Sukra itupun kemudian bangkit sambil berkata --Aku berharap bahwa pada suatu saat aku dapat berbuat sesuatu. -
"Tentu Sukra - jawab Glagah Putih.
Sukra berpaling memandang Glagah Putih. Tetapi tidak seperti biasanya. Glagah Putih nampak bersungguh-sungguh. Bahkan kemudian katanya - Asal kau bersungguh-sungguh, maka kau akan dapat berbuat sesuatu. -
Tetapi Sukra itu justru bertanya - Apakah aku kurang bersungguh-sungguh. -
-Sekarang kau memang bersungguh-sungguh. Tetapi maksudku, bahwa kau akan bertahan untuk waktu yang panjang. Bahkan dari tahun ke tahun. -


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang Ular Mas 15 Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi Sepasang Pendekar Kembar 3
^