Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 32

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 32


" Aku hanya tidak ingin anakku sendirian disini. Karena anakku perempuan, maka akupun memberi kesempatan kepada sepuluh orang gadis untuk berada di padepokan ini. Hanya sepuluh."
Ki Ambara mengangguk-angguk sambil berdesis " Aku mengerti."
" Tetapi barak mereka terpisah dari barak para cantrik."
Ki Ambara masih saja mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya " Apakah kau ajari juga murid-muridmu dalam olah kanuragan ?"
" Ya. Aku mencoba menempa para cantrik dan mentrik agar mereka memiliki ilmu kanuragan yang mencukupi. Apalagi jumlah kami hanya sedikit. Karena itu tingkat kemampuannya harus tinggi jika mereka tidak ingin pada akhirnya padepokan itu akan musnah. Bahkan jika segerombolan perampok mendatangi, kami tidak dapat berbuat apa-apa."
" Aku mengerti " berkata Ki Ambara " tetapi kapan kau beri kesempatan para cantrikpun berlatih jika mereka tenggelam dalam tugas mereka sehari-hari semuanya ?" ,
" Aku memang tidak dapat membagi, sebagian melakukan kerja sehari-hari. sebagian berlatih. Jumlah kami tidak banyak."
" Ulu?" " Kami membagi waktu sebaik-baiknya. Dipagi hari mereka melakukan latihan yang diikuti oleh semua cantrik dan mentrik. Kemudian di siang hari. mereka mulai memasuki sanggar berganti-ganti. Kemudian latihan-latihan khusus kami lakukan setelah matahari terbenam."
" Menarik sekali " desis Ki Ambara " seandainya aku masih muda. aku ingin menjadi cantrik di padepokan ini."
Ki Sekar Tawang tertawa. Katanya - Jika kau menjadi cantrik di padepokan ini, lalu aku jadi apa?"
" Jadi pemimpin padepokan." Ki Sekar Tawang tertawa.
Demikianlah, bersama dengan Ki Saba Lintang, Ki Ambara sempat melihat-lihat apa yang dikerjakan oleh para cantrik dan mentrik di pagi hari.
Namun ketika matahari menjadi semakin tinggi, Ki Sekar Tawang telah mempersilahkan Ki Ambara dan Ki Saba Lintang untuk duduk di pringgitan.
Sambil menghirup minuman hangat dan makan makanan yang dihidangkan, maka Ki Sekar Tawangpun berkata - Ki Saba Lintang. Barangkali kita sudah dapat melanjutkan pembicaraan kita tentang persoalan yang pernah Ki Saba Lintang ajukan."
" Untuk itulah aku datang kemari, Ki Sekar Tawang."
" Nah, bagaimana menurut Ki Saba Lintang" Apakah Ki Saba Lintang jadi memerlukan seorang gadis yang cerdik, berani dan setia" Setia kepada tujuan perjuangan yang kita lakukan" Bukan setia kepada laki-laki yang dijeratnya."
" Ya. Aku dan Ki Ambara ingin melihat kemungkinan yang Ki Sekar Tawang sanggupkan itu . Lewat seorang kepercayaan Ki Sekai Tawang menunjuk seorang gadis anak Ki Sekar Tawang sendiri."
" Ah, bukan begitu - jawab Ki Sekar Tawang - bukan anakku sendiri."
Ki Saba Lintang mengerutkan dahinya. Katanya - Tetapi kepercayaan Ki Sekar Tawang itu mengatakan demikian. Anak perempuan Ki Sekar Tawang.
" Agaknya telah terjadi salah paham. Mungkin aku memang berkata anakku. Tetapi bukan anak yang dilahirkan oleh isteriku. Tetapi anak asuhku. Salah seorang mentrik di padepokan ini.
Dahi Ki Saba Lintangpun berkerut Ia memang merasa agak kecewa bahwa yang dimaksud oleh Ki Sekar Tawang bukan anak gadis Ki Sekar Tawang sendiri.
Tetapi Ki Ambarapun berkata - Bukankah tidak ada bedanya" Aku tidak dapat menyalahkan Ki Sekar Tawang. Aku justru merasa heran, bahwa Ki Sekar Tawang merelakan anaknya untuk menjalankan tugas yang sangat berat dan akan berlangsung lama. Bahkan mungkin akibatnya akan terasa tidak berkesudahan.
" Maksud Ki Ambara?"
" Siapapun perempuan itu. tidak penting bagi kita Tetapi ia harus cantik, berani, cerdas dan setia kepada tugasnya Ia tidak boleh tergelincir kedalam kepentingan pribadinya
Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Baiklah Ki Ambara benar."
" Ada satu hal yang perlu kalian ketahui. Bukan aku tidak mau melepaskan anakku untuk melibatkan diri dalam satu perjuangan, tetapi salah satu alasannya adalah, bahwa anakku tidak cantik. Ia tidak mungkin dapat memikat hati Swandaru yang isterinya sangat cantik itu. Tetapi aku mempunyai seorang murid yang mungkin dapat dianggap memenuhi syarat Cantik cerdas, berani dan setia kepada perjuangannya."
" Ki Sekar Tawang sudah memberitahukan kepada gadis itu?"
"Secara pasti belum."
" Apakah ia akan sanggup melakukannya?"
"Aku sudah sedikit memberikan sentuhan dihatinya Mudah-mudahan ia menerima tugas ini dengan keyakinan. Kakaknya sahabatnya, adalah seorang prajurit Jipang yang terbunuh oleh prajurit Pajang pada waktu itu. Prajurit Pajang itu namanya Pemanahan, ayah Panembahan Senapati. Seperti kita ketahui, Ki Gede Pemanahan sudah tidak ada. Yang Kla sekarang tinggal Panembahan Senapati itu sendiri."
" Berapa umur perempuan itu sekarang?"
" Ia masih muda Ketika kakeknya seorang prajurit yang menjabat sebagai seorang Senapati di Jipang itu terbunuh gadis itu belum dilahirkan. Bahkan ibu gadis itu masih sangat muda. Kematian kakeknya berakibat buruk bagi keluarganya Ayahnya yang dianggap keturunan seorang pemberontak, tidak mendapat tempat yang baik dilingkungannya. Ibunyapun tersisih dari pergaulan, sehingga hidup keluarganya serasa menjadi terasing.
Ki Ambara menarik nafas panjang. Katanya - Aku percaya. Meskipun tidak semua keturunan prajurit Jipang mendapat perlakuan tidak adil, tetapi ada orang orang tertentu bekas prajurit Jipang-yang tersisih. Antara lain adalah aku sendiri."
' Ki Sekar Tawangpun tersenyum sambil berkata - Aku juga. Meskipun aku bukan apa-apa. Aku hanya seorang prajurit kecil yang waktu itu masih sangat muda."
Ki Saba Lintang menarik nafas panjang. Sementara itu.Ki Sekar Tawang berkata selanjurnya dengan suara yang tiba-tiba merendah - Aku harus menyingkir dari pergaulan luas. Mungkin karena jiwaku yang kerdil, mungkin karena orang-orang disekitarku memang muak melihatku. Akupun kemudian terlambat mendapat jodoh. Isteriku juga seorang yang merasa dirinya terbuang karena orang tuanya juga menjadi prajurit Jipang. Pada usiaku yang sudah terlalu jauh, aku baru mempunyai seorang anak perempuan.
"Apakah ibunya juga berada di sini" - bertanya Ki Ambara.
Ki Sekar Tawang memandang wajah Ki Ambara sejenak. Namun kemudian ditatapnya regol padepokannya dikejauhan . Dengan suara dalam iapun berkata - Tidak. Ia sudah tidak berada di manapun sekarang, di dunia ini."
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Ki Sekar Tawang. Apalagi Ki Sekar Tawang itupun kemudian menjelaskan - Isteriku meninggal saat anakku itu masih kecil. Akulah yang membesarkannya. Baginya aku adalah ayahnya tetapi juga ibunya"
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Seandainya anak Ki Sekar Tawang itu memenuhi segala syarat yang diperlukan, cantik, berani, cerdas, dan setia Ki Sekar Tawang tentu sangat berat untuk melepaskannya
Tetapi Ki Sekar Tawang tidak terlalu lama terbenam dalam kenangan pahitnya. Iapun kemudian berkata dengan nada tinggi - Marilah Ki Ambara dan Ki Saba Lintang, kita lihat para mentrik itu. Biarlah mereka berkumpul di sanggar dan memperlihatkan kemampuan mereka kepada kalian berdua
Ki saba Lintang dan Ki Ambara pun kemudian mengikuti Ki Sekar Tawang untuk melihat kegiatan para mentrik di barak mereka
Ki Sekar Tawang pun kemudian memerintahkan seorang mentrik untuk memanggil anak gadisnya.
Ki Ambara dan Ki SabaLintangterkejut ketika mereka melihat seorang gadis muda yang sangat cantik mendekati Ki Sekar Tawang. Dengan manjanya gadis itu bertanya - Ayah memanggil aku?"
" Ya Mangesthi. Aku ingin memperkenalkan kau dengan kedua orang tamuku..Seorang bernama Ki Ambara kawan ayah sejak ayah masih muda Seorang yang lebih muda itu adalah Ki Saba Lintang, seorang yang mempunyai cita-cita sangat tinggi. Ki Saba Lintang adalah harapan bagi masa depan setelah Jipang tidak lagi berkumandang."
" Ah. Ki Sekar Tawang - potong Ki Saba Lintang.
Tetapi Ki Sekar Tawang masih saja berkata - Karena itu kau harus memberi hormat kepada mereka"
Gadis yang sedang mekar dan berriama Mangesthi itupun membungkuk hormat sambil berdesis - Hormatku bagi paman berdua."
" Beruntunglah kau Ki Sekar Tawang - berkata Ki Ambara - kau mempunyai seorang anak gadis yang sangat cantik. Ibunya tentu juga cantik seperti anak gadisnya"
Ki Sekar Tawang menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata - Mangesthi. Kumpulkan para mentrik di Sanggar."
" Kapan ayah?" " Sekarang" " Sekarang?" " Baik ayah" Mangesthi pun kemudian berlari-lari kecil meninggalkan ayahnya Ditemuinya dua orang mentrik yang sedang berada di dekat lumbung padi. Mereka sedang sibuk menjemur padi yang nanti akan ditumbuk.
" Panggil semua kawan-kawan kita - berkata Mangesthi. "Semua?"
" Ya Semua" " Yang sedang berada di dapur?"
" Ya" "Tetapi..........."
" Biarlah para cantrik menyelesaikan. Ayah memerintahkan kita semuanya berkumpul."
" Baiklah. Mangesthi. Tetapi kita harus bersiap-siap untuk makan siang dengan sayur dan lauk yang kurang enak."
" Bukankah tidak setiap hari?"
" Ya Mangesthi."
Sejenak kemudian, sepuluh orang mentrik telah berkumpul ' bersama Mangesthi. Sebelas orang gadis yang telah ditempa di padepokan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang.
Ki Sekar Tawang pun kemudian memerintahkan para mentrik itu masuk ke dalam Sanggar terbuka di bagian belakang halaman padepokan kecil itu.
"Itulah mereka Ki Saba Lintang - berkata Ki Sekar Tawang ketika ia bersama kedua orang tamunya memasuki sanggar terbuka itu.
Ki Saba Lintang dan Ki Ambara termangu-mangu sejenak.
Selain Mangesthi terdapat sepuluh orang gadis yang semuanya juga sangat cantik.
Sementara itu Ki Sekar Tawang pun berkata - Bersiaplah untuk mengadakan latihan. Latihan yang sangat khusus. Tamu-tamu kita ingin melihat dan memberikan penilaian terhadap kalian."
Para mentrik itu saling berpandangan. Namun kemudian Ki Sekar Tawang berkata - Bergantilah. Kenakan pakaian yang akan kalian pakai untuk berlatih."
Para mentrik itupun dengan tergesa-gesa memasuki sebuah bilik yang tersedia di sebelah sanggar itu. Sejenak kemudian, mereka pun telah kembali dengan pakaian khusus mereka
" Silakan Ki Ambara dan Ki Saba Lintang duduk - berkata Ki Sekar Tawang.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang pun kemudian duduk di pinggir sanggar itu untuk menyaksikan-gadis-gadis cantik itu berlatih, termasuk Mangesthi.
Beberapa saat kemudian, seorang-seorang para mentrik itu mula turun ke arena Mereka mempertunjukkan dasar-dasar ilmu yang telah mereka pelajari beberapa lama di padepokan itu.
Ternyata gadis-gadis itu adalah gadis-gadis yang tangkas.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menjadi semakin terpukau ketika Mangesthi turun untuk menunjukkan kemampuanya. Seorang gadis yang cantik yang sedang mekar dalam pakaian yang khusus berloncatan menunjukkan kemampuannya yang tinggi.
" Warayang " desis Ki Ambara " jika anakmu yang juga muridmu perempuan itu mampu mencapai tataran ilmu setinggi itu, lalu kau berada di tataran yang mana ?"
" Ah, kau masih saja senang mengada-ada Ambara.
" Bukan.mengada-ada Anakmu berada di lapis langit ke tujuh. Kau tentu ada dilapis ke sebelas."
" Kenapa sebelas " Tidak sepuluh. "
" Sepuluh. Tetapi masih lebih sedikit."
Ki Sekar Tawang tertawa. Ki Saba Lintang dan Ki Ambarapun tertawa pula
Sebenarnyalah Mangesthi telah menunjukkan kemampuannya yang menakjubkan. Dalam umurnya" yang muda gadis itu telah menguasai ilmu yang tinggi.
Namun yang dicari oleh Ki Ambara dan Ki Saba Lintang adalah' seorang gadis yang tidak perlu berilmu tinggi. Tetapi memiliki keberanian dan kecerdasan. Seorang gadis yang mempunyai landasan ilmu yang tinggi, memang akan dapat menjadi alas keberanian dan percaya diri. Tetapi kecerdikan dan kesetiaan juga menjadi unsur yang penting.
Dalam pada itu. gadis-gadis penghuni padepokan itu masih menunjukkan kemampuan mereka. Tidak hanya seorang-seorang. Tetapi merekapun menunjukkan kemampuan bertempur dan menggunakan senjata. Keris, pisau belati, luwuk, pedang, parang, bindi dan tombak bertangkai panjang dan pendek. Bahkan ada diantara mereka yang menunjukkan kemampuan mempergunakan senjata sebatang tongkat baja yang bentuknya mirip dengan tongkat baja Ki Saba Lintang. "
" Kau ajari gadis-gadismu mempergunakan senjata apa saja Ki Sekar Tawang " berkata Ki Saba Lintang.
" Ya Dalam keadaan yang gawat, mereka harus dapat mempergunakan apa saja "
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, gadis-gadis cantik itu telah memperagakan kemampuan mereka mempergunakan senjata tali, kain panjang, selendang, kapak pembelah kayu, sepotong dahan patah, bahkan pasir dan batu-batu kerikil.
"Nampaknya jadi aneh, Warayang"desis Ki Ambara
" Apa yang aneh ?"
" Seorang gadis cantik yang nampak lembut bertempur bersenjatakan kapak. "
"Apanya yang aneh. "
" Kelembutannya jadi seakan-akan lenyap tertelan oleh ujud senjatanya Kalau orangnya seperti aicu, barangkali pantas mempergunakan kapak atau linggis bahkan sumbat kelapa Tetapi aku merasa sayang melihat jari-jari yang lentik itu menggenggam tangkai kapak
Ki Sekar Tawang tertawa. Katanya " Nah, bukankah kebiasaanmu mengada-ada masih saja kau bawa sampai tua ?" Ki Ambarapun tertawa pula
Beberapa saat kemudian, maka peragaan kemampuan gadis-gadis cantik itupun diakhiri dengan peragaan yang sangat mendebarkan. Mangesthi bertempur melawan lima orang gadis sekaligus. Bahkan mereka mempergunakan senjata Mangesthi bersenjatakan rantai yang berwarna putih mengkitap. Sementara kelima gadis yang lain mempergunakan lima jenis senjata yang berbeda Seorang membawa pedang. Seorang membawa sepasang pisau belati panjang, seorang membawa tombak pendek seorang tongkat baja dan seorang lagi menggenggam sebilah keris yang ukurannya lebih besar dan lebih panjang dari kebanyakan keris.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang sempat menahan nafas untuk beberapa lama Wajah mereka nampak tegang.
Keduanya dengan serta merta bertepuk tangan ketika peragaan kemampuan Mangesthi itu berakhir.
" Bukan main " berkata Ki Ambara
" Jangan kau puji permainan sederhana anakku itu. Yang nampak baru ketangkasan lahiriahnya Anak itu masih harus mengembangkan tenaganya serta berlatih mengangkat kekuatan-kekuatan dari unsur-unsur yang berada di dalam dirinya "
" Luar biasa Ia akan menjadi seorang yang tidak ada duanya. "
" Anak itu adalah anak buangan. Anak seorang, prajurit dari satu pemerintahan yang dikalahkan. Tersisih dan dijauhi orang Karena itu, anakku harus mempunyai kelebihan untuk mengangkat kembali harga dirinya dan harga diri keluarganya. Karena itu, maka aku telah menyatakan diri untuk mendukung niat Ki Saba Lintang bekerja bersama dengan orang-orang Pati yang tentu juga banyak yang mengalami nasib seperti aku dan kau Ambara. "
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil mengangguk-angguk iapun berkata " Ternyata kau telah berbuat sesuatu yang jauh lebih berarti dari yang kulakukan, Warayang. "
" Hanya inilah yang dapat aku lakukan. Kemudian, jika akan bermanfaat bagi perjuangan kita, aku akan menyerahkan salah seorang mentrik untuk melakukan tugas yang sangat berat sebagaimana dimaksudkan oleh Ki Saba Lintang "
" Terima kasih, Ki Sekar Tawang " desis Ki Saba Lintang " tetapi aku mohon untuk dapat berbicara dengan mereka seorang demi seorang agar aku dapat memilih orang yang tepat untuk mengemban tugas yang sangat berat itu. "
" Tentu, Ki Saba Lintang. Lakukan apa yang ingin Ki Saba Lintang lakukan. "
Setelah gadis-gadis itu beristirahat, maka Ki Saba Lintang dan Ki Ambarapun mulai menilik mereka seorang demi seorang. Sepuluh orang gadis yang semuanya cantik dan semuanya memiliki kemampuan yang setara.
" Kita tidak ingin menilai kemampuan olah kanuragan mereka, paman. Yang ingin kita nilai adalah kecantikan mereka, kecerdasan mereka, keberanian dan yang paling sulit adalah menilai kesetiaan mereka."
Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya " Kita akan mendapatkan kesan setelah kita berbicara dengan mereka. Jika perlu tidak hanya sekali. Mungkin kita perlu berbicara dengan mereka dua dan bahkan tiga kali."
"Ya. Kita akan minta ijin kepada Ki Sekar Tawang. "
"Nampaknya tidak terlalu sulit Tetapi Ki Sekar Tawang agaknya tidak pernah melepaskan satu-satunya anaknya."
Demikianlah, sejenak kemudian, Ki Saba Lintang dan Ki Ambara yang berada di dalam sanggar tertutup di padepokan itu, memanggil kesepuluh orang gadis itu seorang demi seorang.
Berbagai macam persoalan ditanyakan oleh Ki Saba Lintang dan Ki Ambara Ditiliknya ketahanan jiwani mereka. Kadang-kadang Ki Ambara atau Ki Saba Lintang membentaknya Mengejutkan mereka dengan hentakan-hentakan ilmu kanuragan yang sangat tinggi.
Ketika seorang gadis menjawab dengan sikap yang tidak dikehendaki oleh Ki Saba Lintang, maka gadis itupun telah dibentak-bentaknya Bahkan ditantangnya untuk membuat perbandingan ilmu.
" Kau jangan sombong anak manis. Kau baru mulai dengan dasar-dasar ilmu kanuragan, kau sudah merasa bahwa kau adalah orang yang terkuat didunia "
Tetapi ternyata gadis itu tidak menjadi ketakutan. Bahkan iapun menjawab " Mari Ki Sanak Siapapun kau, aku tidak akan gentar. Se-berapapun tinggi ilmumu, aku akan melayanimu. Kalah atau menang bukan persoalan bagiku. Aku tidak boleh bersikap seperti anak manja yang ketakutan melihat mata yang terbelalak. Menangis dan bersembunyi diperukan ibunya. "
Ki Saba Lintang memang menjadi heran melihat ketahanan jiwani gadis itu. Sebenarnya untuk menilai keberanian gadis itu, sudah cukup baginya. Namun Ki Saba Lintang harus tidak menarik kembali tantangannya
Sejenak kemudian, Ki Saba Lintang turun di arena ditengah-tengah sanggar tertutup itu. Ia benar-benar mencoba kemampuan gadis yang berani itu.
Namun dengan kematangan ilmunya dalam waktu yang pendek, gadis itu sudah tidak berdaya Gadis itu tidak dapat berusaha melepaskan tangannya yang terpilin di belakang tubuhnya
Tetapi gadis itu sama sekali tidak mengeluh. Betapapun Ki Saba Lintang menekan tangan gadis itu, ia tetap tidak berteriak kesakitan, meskipun mulutnya harus menyeringai menahan nyeri.
Ki Saba Lintang yang kagum itupun kemudian melepaskan tangan gadis itu. Ditepuknya pundaknya sambil tersenyum. Katanya " Aku bangga terhadap keberanian dan ketabahanmu. "
' Gadis itu termangu-mangu. Iapun menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja Ki Saba Lintang itu tersenyum setelah membentak-bentaknya dan bahkan berkelahi melawannya.
" Duduklah " berkata Ki Saba Lintang Gadis itupun duduk dengan dahi berkerut.
Beberapa pertanyaan masih diajukan oleh Ki Ambara. Jawaban gadis itu semakin meyakinkan akan pribadinya yang sangat kuat.
Tetapi bukan hanya seorang itu saja yang membuat Ki Ambara dan Ki Saba Lintang kagum. Gadis-gadis yang lainpun mempunyai kelebihannya masing-masing. Namun pada umumnya para mentrik di padepokan Ki Sekar Tawang itu adalah gadis-gadis yang memiliki syarat yang diperlukan untuk melaksanakan rencana yang disusun oleh Ki Saba Lintang.
Cantik, cerdas, berani, dan tabah.
" Mudah-mudahan mereka juga memiliki kesetiaan yang tinggi " berkata Ki Ambara
" Hal itu akan kita bicarakan dengan Ki Sekar Tawang. Kita tidak dapat memilih salah seorang dari mereka. Pilihan terakhir memang tergantung kepada Ki Sekar Tawang. Siapakah diantara mereka yang dianggap memiliki kesetiaan yang paling tinggi, maka gadis itulah yang akan menjadi anak atau-cucu Ki Ambara "berkata Ki Saba Lintang dengan bersungguh-sungguh.
Ki Ambara mengangguk-angguk.
Demikianlah, ketika penilaian terhadap gadis-gadis itu selesai, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang telah menemui Ki Sekar Tawang. Disampaikannya hasil penilaian mereka kepada Ki Sekar Tawang.
" Aku mengagumi mentrik-mentrikmu Warayang " berkata Ki Ambara
" Aku sudah berusaha sebaik-baiknya Ambara Tetapi rianya itulah yang ada "
" Yang ada itu sudah lebih baik dari yang aku inginkan "berkata ki Saba Lintang. Namun katanya kemudian "Tetapi yang tidak dapat aku tentukan adalah apakah mereka setia akan tugas yang dibebankan kepala mereka Meskipun Swandaru sudah tidak muda lagi, tetapi ia seorang yang terhitung tampan. Swandarupun tentu tidak mudah untuk dap-
at dibelokkan arah dan pandangan serta sikapnya terhadap Mataram. " Ki Sekar Tawang menarik nafas panjang. Kemudian katanya " Aku pernah mengatakan kepada kalian, bahwa sebenarnya aku sudah mempunyai pilihan. Tetapi aku sengaja memberi kesempatan kepada kalian untuk menilai sepuluh orang mentrik yang ada di padepokan ini.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Saba Lintang pun berkata " Bagi karhi, semua mentrik padepokan ini memiliki semua syarat yang kami perlukan, sehingga yang manapun yang Ki Sekar Tawang berikan, kami akan menerimanya, jika Ki Sekar Watang yakin akan kesetiaannya.
" Ki Saba Lintang dan Ki Ambara. Seperti yang sudah aku katakan, yang satu ini mempunyai latar belakang kehidupan keluarga yang barangkali dapat mendukung. Seperti yang sudah aku katakan, kakeknya adalah seorang prajurit Jipang. Kemudian kehidupan keluarganya seakan-akan tersisih. Dengan demikian ada benih dendam yang telah ditabur di dalam hatinya. Mudah-mudahan benih ini dapat tumbuh dan hidup dengan subur, sehingga gadis ini akan merasa terikat pada satu perjuangan untuk membalas dendam kepada keturunan Pamanahan itu.
" Siapa nama gadis itu " "
" Wiyati. " " Wiyati " Ki Saba Lintang dan Ki Ambara mengangguk-angguk. Gadis itu adalah gadis yang sangat mengagumkan keberanian dan ketabahannya. Gadis itu sama sekari tidak merasa kecil di hadapan kedua orang tamu padepokannya. Bagi gadis itu, kedua tamu itu masih belum jelas, seberapa jauh ia harus menghormatinya. Tetapi gadis itu merasa wajib untuk mempertahankan harga diri perguruannya di hadapan orang yang belum dikenalnya dengan baik.
" Bukanlah Ki Saba Lintang dan Ki Ambara tahu gadis yang bernama Wiyati itu " "
" Ya. Aku tahu " sahut Ki Saba Lintang. ,
" Nah, bagaimana menurut pendapat Ki Saba Lintang dan Ki Ambara" "
"Bagi kami. tidak ada masalah. Gadis itu cukup cantik cerdas, berani dan tabah. Jika latar belakang kehidupan keluarganya mendukung lebih dari yang lain, maka kami setuju saja jika Ki Sekar Tawang menunjuknya. "
" Baiklah. Nanti kita berbicara dengan gadis itu " berkata Ki Sekar Tawang " Sekarang aku persilahkan kalian beristirahat. Bukankah kalian tidak terikat oleh waktu"."
"Tidak. Kami memang tidak terikat oleh waktu. Tetapi aku harus berada di rumah besok lusa. "
" Tidak terikat oleh waktu, tetapi hanya sampai lusa " desis Ki Sekar Tawang.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang tertawa.
Demikianlah, lewat senja. Ki Sekar Tawang duduk di ruang dalam bersama Ki Ambara dan Ki Saba Lintang. Ki Sekar Tawang telah minta kepada Pangesthi untuk memanggil Wiyati menghadap.
Beberapa saat kemudian. Pangesthi telah datang kembali bersama Wiyati.
Kesannya sangat berbeda sekali. Wiyati yang berada di sanggar dengan pakaian khususnya, dengan Wiyati dan datang menghadap dengan pakaian seorang gadis kebanyakan. Wajahnya menunduk dan sikapnya yang luruh lembut Sama sekali tidak ada kesan kegarangannya, keberanian dan ketabahannya. Apalagi landasan ilmunya yang sudah mapan.
" Wiyati " berkata Ki Sekar Tawang.
Wiyati masih tetap duduk sambil menunduk. Suaranyapun lirih. Bibirnya seakan-akan tidak bergerak sama sekali. "Ya. guru."
" Apakah kau masih ingat bahwa aku pernah berkata kepadamu, tentang sebuah perjuangan untuk membalas dendam keturunan Pamanahan?"
" Ya. guru, aku tidak akan pernah lupa. "
" Ada seribu cara untuk membalas dendam, Wiyati. "
" Maksud guru" "
" Kau tidak akan pernah dapat membalas dendam Panembahan Senapati dengan cara langsung. Panembahan Senapati sekarang adalah penguasa tertinggi di Mataram. Kecuali Panembahan Senapati seorang yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya. Panembahan Senapati pun dipagari oleh para prajurit pengawal yang terlatih. "
" Tetapi hasrat untuk membalas dendam itu tidak akan pemah padam. guru."
" Aku mengerti. Tetapi kita tidak boleh kehilangan akal. Kita mempunyai nalar yang dapat kita pergunakan untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Karena itu. kita hanya dapat melakukan apa yang dapat kita lakukan. Jika kita memaksa diri untuk melakukan yang lebih dari kemungkinan yang tergapai, maka kita tidak melakukan balas dendam, tetapi kita justru bunuh diri. "
"Jadi apa yang harus aku lakukan, guru?"
" Jika kau berkeras untuk membalas dendam, maka kau dapat melakukannya bersama kedua orang tamu kita ini. Kau diperlukannya. Iika kau berhasil, maka yang kau lakukan itu akan sama nilainya dengan jika kau berhasil membunuh anak Pamanahan itu. "
" Apa yang harus aku lakukan" "
" Nanti. Ki Saba Lintang akan memberitahukan kepadamu, jika kau bersedia melakukannya. "
i Gadis yang bernama Wiyati itu termangu-mangu sejenak. Dengan ; wajah yang tetap menunduk iapun berkata perlahan - Jika guru memerintahkan, apapun yang harus aku lakukan, aku tidak akan ingkar."
" Aku mengerti, Wiyati. Tetapi apakah tugas ini sejalan dengan niatmu sendiri."
" Ya. guru. Meskipun seandainya yang harus aku lakukan bertentangan dengan keinginanku, aku akan tetap melakukannya."
" Aku percaya akan kesetiaanmii kepada perguruan dan gurumu -desis Ki Sekar Tawang- Jika demikian, nanti Ki Saba Lintang akan memeritahukan secara khusus tugas yang harus kau emban. Mungkin ada pengorbanan yang harus kau benkan untuk mendukung tugasmu yang berat itu. Tetapi Wiyati. tugas ini adalah tugas sukarela. Jika kau merasa berkeberatan atas korban yang harus kau berikan, kau dapat mengatakannya kepadaku. Jangan segan, karena aku tidak akan-merasa kecewa terhadap keberatanmu itu. Sekali lagi aku katakan, tugas ini adalah tugas sukarela.".
" Aku akan mengorbankan apa saja guru. Bahkan nyawaku."
" Mungkin lebih berat dari nyawamu."
"Apakah yang ada padaku yang lebih berharga dari nyawaku, guru?"
Ki Sekar Tawang menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Kau akan mendengar dari Ki Saba Lintang."
Wiyati termangu-mangu sejenak. Kepala yang tunduk bahkan menjadi semakin menunduk.
" Ki Saba Lintang - berkata Ki Sekar Tawang kemudian - aku kira, Ki Saba Lintang dapat menyampaikannya kepada Wiyati sekarang. Agaknya tidak ada yang ditunggu lagi. Wiyati sudah menyatakan kesediaannya
" Baiklah. Ki Sekar Tawang - sahut Ki Saba Lintang.
" Mendekatlah. Wiyati - berkata Ki Sekar Tawang."
Wiyati beringsut. Seperti seorang gadis pemalu ia mendekati Ki Saba Lintang. Wajahnya tetap menunduk. Jari-jarinya bermain di pangkuannya
Ki Saba Lintang pun kemudian menguraikan tugas yang akan diemban oleh Wiyati jika Wiyati bersedia Ia akan menjadi cucu Ki Ambara Selanjurnya tugas Wiyati adalah memikat hati Swandaru dan kemudian menjadi isteri gelapnya di luar pengetahuan Pandan Wangi, isteri Swandaru.
" Tugasmu yang sangat berat adalah membujuk Swandaru untuk bersedia bekerja bersama kakekmu, Ki Ambara untuk menghancurkan Mataram . Sementara itu, Swandaru harus membujuk isterinya dan adiknya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh bersama suaminya
Wajah Wiyati nampak menjadi tegang. Tugas itu memang sangat berat.
" Nah, Wiyati, itu adalah gambaran sekitas tentang tugasmu. Jika kau benar-benar berniat dan bersedia menanggung segala akibatnya maka-aku akan menerangkan tugasmu sampai hal yang sekecil-kecilnya. Tentu saja tidak sekaligus di hari ini. Sambil berjalan, aku akan memberikan petunjuk-petunjuk."
Wiyati termangu-mangu sejenak. Ia pun mengerti, apa yang dimaksud oleh gurunya dengan pengorbanan yang lebih berharga dari nyawanya Justru karena ia seorang perempuan.
Ki Sekar Tawanglah yang kemudian berkata - Wiyati. Kau mempunyai waktu semalam untuk merenungkannya. .Kau tidak usah menjawabnya sekarang. Tetapi besok pagi, kami ingin mendengar sikapmu. Apakah kau menerimanya atau tidak Jangan ragu-ragu mengatakannya. Bagi kami, apakah menerima atau menolak sama saja j Wiyati mengangguk kecil. Seperti seorang gadis lugu yang harus menjawab, apakah ia menerima seorang laki-laki tampan dan setia untuk menjadi suaminya
" Baiklah. Kembalilah ke bilikmu, Wiyati. Kau tidak usah menceriterakan kepada kawan-kawanmu, tugas apakah yang akan dibebankan kepadamu. Kawan-kawanmu akan mengerti, bahwa persoalan yang kita bicarakan disini masih persoalan yang dirahasikan. sehingga mereka tidak akan mendesakmu untuk menceriterakan karena mereka tahu apa yang dimaksud dengan rahasia "
" Aku mohon diri. guru -suaranya lirih, seperti desir angin lembut-menyentuh dedaunan.
Sejenak kemudian. Wiyati pun telah meninggalkan ruangan itu . Namun Mangesthi masih tetap duduk di sebelahlayahnya.
" Kenapa ayah tidak memberikan tugas itu kepadaku.'" bertanya Mangesthi.
Ki Sekar Tawang pun tersenyum. Katanya - Aku belum siap untuk kau tinggal dalam kesepian. Mangesthi."
" Tugas ini sangat menantang."
" Kau akan mendapat tugas yang mungkin lebih menarik pada saatnya nanti."
" Kapan ayah akan siap hidup sendiri tanpa aku?"
" Aku belum dapat mengatakannya Mangesthi. Tetapi yang pasti tidak pada waktu dekat ini. Mungkin dua tahun mingkin tiga tahun atau lebih.
" Mungkin pula tidak akan pernah, ayah."
Ki Sekar Tawang tidak menjawab. Orang tua itu menarik nafai dalam-dalam. Dipandanginya anaknya tanpa berkedip. Namun kemudian Ki Sekar Tawang pun berdesah - Akan datang waktunya bagimu. Mangesthi."
Mangesthi tidak menjawab. Ditundukkannya wajahnya.
Dalam pada itu. Ki Ambarapun berkata - Mangesthi. Apa yang kita. lakukan adalah satu permulaan. Masih banyak tugas yang akan membebani kita. Mungkin justru lebih menantang dari tugas yang sekarang akan dilakukan oleh Wiyati. Karena itu, maka pada saatnya, kau akan mendapat tugas yang tepat."
Mangesthi memandang Ki Ambara sekitas. Dengan suara yang dalam gadis itupun berkata - Apapun yang akan aku lakukan kemudian, bukanlah satu rintisan sebagaimana dilakukan oleh Wiyati.
"Keberhasilan satu perjuangan tidak ditentukan oleh urutan waktu. Tetapi ditentukan oleh nilai-nilai dari sikap dan perbuatan."
Wajah Mangesthipun telah menunduk lagi.
" Aku janji, Mangesthi - berkata Ki Sekar Tawang - Kita akan sampai pada satu tahap perjuangan yang menentukan. Kau akan menjadi salah seorangdiantara mereka yang akan menjadi penentu itu."
Mangesthi tidak menjawab.
Malampun kemudian menjadi semakin malam, Ki Sekar Tawanglah yang kemudiam mempersilahkan tamu-tamunya untuk beris-tirahat.
" Besok siang kami akan kembali - berkata ki Saba Lintang
" Besok siang?"
" Ya Kami akan menempuh perjalanan disianghari, sore hari dan malam hari. Besok lusa Ki Ambara sudah harus berada di rumahnya"
" Perjalanan yang berat."
" Ya Mungkin semalam suntuk kami harus bergerak meskipun kami dapat beristirahat di sepanjang perjalanan.
Ki Sekar Tawang mengangguk-angguk. Sementara KI Saba Lintang berkata - Satu ujian ketahanan tubuh bagi Wiyati."
" Ya - Ki Sekar Tawang mengangguk-angguk. Katanya kemudian - Tetapi aku yakin bahwa Wiyati akan dapat mengatasinya-
Dengan demikian maka Ki Saba Lintang dan Ki Ambara pun segera masuk ke dalam bilik yang disediakan bagi mereka. Keduanya tidak lagi banyak berbincang. Beberapa saat kemudian keduanyapun telah tidur lelap.
Wiyatilah yang tidak segera dapat tidur. Ia sadar, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat. Ia harus melakukannya dengan modal keperempuannya. Bukan ilmu kanuragan yang telah ditekuninya. Tetapi pada suaru mungkin sekali ia harus mempergunakan kemampuannya itu.
Wiyati mulai membayangkan apa yang harus dilakukan. Menerima seorang laki-laki memasuki lingkaran hidupnya yang sangat pribadi sehingga ia akan kehilangan kesempatan untuk memasuki kehidupan keluarga yang wajar. Ia tidak akan dapat merasakan kasih sayang sejati dari seorang suami yang didambakannya. Ia harus memasuki satu kehidupan yang penuh dengan kepura-puraan. Tidak hanya untuk satu dua hari atau satu dua bulan. Mungkin harus dijalaninya berbilang tahun, sehingga masa mudanya telah terlampaui.
Tetapi gadis itu telah memantapkan hatinya. Semuanya itu akan dilakukannya sebagai laku untuk membalaskan dendam kematian kakeknya serta kehidupan yang sangat pahit bagi keluarganya.
Maka diputuskan untuk menerima laki-laki yang telah bensrn itu. Diputuskan untuk menjalani satu kehidupan yang tidak sewajarnya. Ia harus menjadi isteri gelap seorang laki-laki. Ia harus membuainya dalam sebuah mimpi yang paling indah. Kemudian membujuknya. Menyeret laki-laki kedalam lingkaran perjuangannya.
" Jika dengan demikian dendamku terbalaskan, aku akan melakukan/a."
Karei;* itulah, ketika di pagi hari berikutnya, Ki SekarTawang, Ki Ambara d .r Ki Saba Lintang memanggilnya, maka Wiyatipun menyatakan kesediaannya.
" Aku akan melakukannya guru - berkata Wiyati sambil menundukkan kepalanya.
" Bagus Wiyati. Kau telah memasuki tahap perjuangan yang sebenarnya. Hati-hatilah. Kau akan menjadi cucu Ki Ambara. Ki Ambara adalah seorang yang memiliki ilmu seakan-akan' tidak terbatas. Ia akan menjadi kakekmu dan sekaligus menjadi gurumu. Dengar nasehat dan petunjuk-ptunjuknya sebagabnana kau mendengarkan nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk dari almarhum kakekmu sendiri."
" Ya, guru," " Nah, perintah-perintah selanjutnya akan datang dari kakekmu dan Ki Saba Lintang." '
" Ya. guru." " Sekarang bersiaplah. Kau akan berangkat siang nanti. Perjalanan yang akan kau tempuh cukup panjang. Mungkin semalaman kau akan berada di jalan menuju ke rumah Ki Ambara."
" Ya guru." Wiyatipun kemudian meninggalkan ruang dalam. Mangesthi yang mengikutinya, menepuk bahunya sambil berdesis - Berbahagialah kau Wiyati. Kau mepdapat kesempatan pertama untuk merintis jalan serta membuka pintu perjuangan yang akan berlangsung panjang. Aku sudah memohon kepada ayah untuk mendapatkan kesempatan ini. Tetapi avah tidak menyetujuinya."
Wiyati tersenyum. Katanya - Kau memang harus menemani guru, Mangesthi. Guru akan menjadi sangat kesepian jika kau pergi. Kehadiran kami di padepokan inipun diharapkannya dapat menemanimu. Jika kau pergi maka semua mentrikpun harus pergi."
Jilid 325 MANGESTHI menganggukkan kepalanya. Katanya " Kau benar, Wiyati. Aku memang belum waktunya untuk meninggalkan padepokan ini.
Demikianlah, maka Wiyati pun segera mempersiapkan dirinya. Kawan-kawannyapun segera mengerumininya. Pada umumnya mereka mengucapkan selamat kepada Wiyati yang mendapat kesempatan untuk terjun langsung ke kancah perjuangan.
"Aku iri kepadamu Wiyati - berkata seorang kawannya.
"Semoga aku dapat menjalankan tugas ini dengan baik. "
"Kau tidak akan gagal Wiyati. Kami. para mentrik tahu, betapa keras hatimu dan betapa tinggi ilmumu. "
Wiyati tersenyum. Katanya " Terima kasih alas pujianmu. Tetapi yang lebih penting bagiku adalah doa kalian. Mudah-mudahan aku dapat melakukan sebagaimana yang harus aku lakukan.
Demikianlah, seperti yang direncanakan, maka selelah makan siang, Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati pun telah bersiap. Kuda-kuda mereka telah dipersiapkan pula untuk menempuh sebuah perjalanan yang panjang.
Beberapa orang mentrik lelah menitikkan air mata Demikian pula Wiyati. Betapapun keras hati mereka, tetapi menghadapi sebuah perpisahan, mala mereka pun menjadi basah juga.
"Wiyati mencium Mangesthi di dua pipinya. Kemudian sembilan kawannya berganti-ganti.
Demikianlah, ketika matahari melewati puncaknya dan mulai turun ke Barat. Ki Ambara. Ki Saba Lintang dan Wiyati telah siap untuk berangkai.
Para cantrik dan mentrik mengantar mereka sampat ke pintu gerbang padepokan kecil itu. Kemudian melepas mereka berangkat menempuh sebuah perjalanan panjang.
Para mentrik melambai-lambaikan tangan mereka. Perpisahan itu memang terasa sangat berat setelah beberapa lama mereka berkumpul menimba ilmu di padepokan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang itu.
Demikianlah maka perjalanan itupun telah dimulai. Matahari yang membara di langit, panasnya terasa bagaikan membakar tubuh. Tetapi semilirnya angin terasa mengusap wajah mereka yang menempuh perjalanan panjang itu.
Seperti saat Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menuju ke padepokan itu, mereka menghindari jalan yang melewati padukuhan. Apalagi di siang hari. Mereka akan dapat menarik perhatian banyak orang di padukuhan itu.
Demikianlah maka kuda mereka pun telah berlari di jalan yang berbatu padas. Semakin lama jalan yang mereka tempuh menjadi semakin sempit.
Ki Saba Lintang pun kemudian berkata kepada Wiyati " Perjalanan ini bukan saja panjang, Wiyati. Tetapi kita akan memasuki jalan yang sulit. Jalan yang menurun, namun kemudian memanjat naik. "
Wiyati mengangguk. "Jika kau merasa letih, katakanlah. Kita akan berhenti untuk beristirahat. Kuda-kuda kita pun perlu beristirahat pula. "
Wiyati mengangguk sambil menjawab"Ya Ki Saba Lintang.
" Aku berharap bahwa kita akan melewati jalan yang paling sulit sebelum gelap, sehingga kemudian kita tinggal menempuh jalan yang rata meskipun kadang-kadang masih juga naik dan turun, tetapi landai dan tidak berbahaya sama sekali. "
Ternyata perjalanan itu merupakan pendadaran khusus bagi Wiyati. Bukan saja keterampilan berkuda dan ketahanan tubuhnya tetapi juga kebesaran tekadnya untuk menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menjadi sangat bangga terhadap Wiyati. Selelah menempuh perjalanan yang cukup jauh di bawah terik sinar matahari, Wiyati masih tetap nampak segar. Meskipun tubuhnya basah oleh keringat, namun Wiyati masih tetap tegar di atas punggung ' kudanya.
" Kau tidak letih. Wiyati " " bertanya Ki Ambara
Wiyati tersenyum. Pipinya yang kepanasan menjadi kemerah-merahan.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Belum Ki Ambara "jawab Wiyati.
" Kita sudah menempuh perjalanan cukup jauh. " Wiyati tidak menjawab.
Namun sejenak kemudian, mereka telah berada dijalan yang rumit. Sekali-sekali mendaki, namun kemudian menuruni tebing yang panjang.
Namun Wiyati masih tetap tegar. Senyumnya sekali-sekali masih nampak menghiasi bibirnya.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka kuda-kuda merekalah yang harus beristirahat. Meskipun Wiyati tidak minta untuk berhenti dan beristirahat, namun Ki Ambara dan Ki Saba Lintanglah yang kemudian menghentikan perjalanan.
Mumpung ada parit yang airnya jernih. Rerumputan yang subur tumbuh di tanggul, maka Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mengajak Wiyati untuk beristirahat.
Mereka pun kemudian membiarkan kuta mereka untuk minum dan makan rumput, sementara matahari menjadi bertambah rendah. Langit menjadi semakin suram sementara di sebelah Barat cahaya layung nampak ke merah-merahan.
Senjapun kemudian telah turun.
Namun jalan yang paling rumit telah mereka lampaui. Meskipun jalan selanjutnya masih panjang, tetapi mereka tidak akan banyak mengalami kesulitan di perjalanan.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang sengaja tidak memikirkan bekal diperjalanan. Mereka sengaja menguji daya tahan rubuh Wiyati. Mereka akan menempuh perjalanan semalam suntuk tanpa makan dan minum.
Mereka hanya akan berhenti jika kuda mereka nampak terlalu letih.
Untuk beberapa saat mereka masih teristirahat. Mereka bertiga duduk di atas batu padas di pinnggir jalan. Mereka membiarkan kuda-kuda mereka sibuk di pinggir parit.
Anginpun bertiup perlahan-lahan. Udarapun menjadi semakin dingin.
Ki Ambara pun kemudian bangkit berdiri. Sambil menggeliat ia pun berkata " Semakin lama aku duduk, malah akulah yang menjadi semakin kantuk. "
" Apakah kita akan berangkat sekarang " " bertanya Wiyati.
" Sebentar lagi Wiyati "jawab Ki Ambara " biarlah kuda kita cukup beristirahat, minum dan makan rumput segar. Mungkin kita sudah tidak merasa letih. Mungkin hanya kantuk. Tetapi kuda-kuda kitalah yang letih. "
" Baiklah Ki Ambara " desis Wiyati.
" Panggil aku kakek. Wiyati. Kau harus membiasakan diri memanggil aku kakek. ",
Wiyati termangu-mangu. Sementara Ki Saba Lintang berkata " Ki Ambara benar, Wiyati. Kau harus membiasakan diri memanggilnya kakek. Kau dan kita semua tidak boleh membuat kesalahan. Orang Sangkal Putung yang bernama Swandaru Geni itu adalah orang yang berilmu tinggi, berpengalaman luas dan penggraitanya sangat tajam. "
" Ya, Ki Saba Lintang. "
" Kau juga jangan memanggil aku Ki Saba Lintang. Pada saatnya Ki'Saba Lintang tidak akan pernah ada lagi, kecuali pada sualu saat nanti. "
" Jadi bagaimana aku harus memanggil " -
" Panggil aku paman. "
" Paman siapa " "
Ki Saba Lintang tertawa. Ia pun kemudian bertanya kepada Ki Ambara " Siapakah sebaiknya namaku yang baru Ki Ambara ?"
Ki Ambara tertawa. Katanya " Kau pandai mencari nama. Bukankah Saba Lintang itu juga bukan namamu di masa mudamu " "
Ki Saba Linlang merenung sejenak. Namun kemudian katanya "
Nanli, selelah kita sampai di rumah kakek Ambara. Aku akan mencari nama di sepanjang jalan yang panjang ini. "
Ki Ambara tertawa. Tetapi ia tidak menyahut.
Wiyati pun tersenyum pula.
Dalam pada itu, Ki Ambara yang mengantuk itu berjalan hilir mudik di atas jalan berbatu padas. Sementara langit nampak cerah. Bintang-bintang nampak berkeredipan seolah-olah sedang bersaing. Tetapi ada satu dua bintang yang nampak malu-malu menyendiri di sudut langit.
Ternyata Ki Saba Lintang pun tidak mau menjadi kantuk pula. Iapun kemudian bangkit berdiri dan berkata " Marilah. Kita meneruskan perjalanan sebelum kita tertidur di sini."
Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah melanjutkan perjalanan mereka yang panjang.
Di sepanjang perjalanan, beberapa kali mereka terpaksa berhenti untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat. Namun sebenarnyalah yang menjadi lapar dan haus bukan saja kuda-kuda mereka. Tetapi Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati juga menjadi capai.
Namun mereka adalah orang-orang terlatih yang sudah sering menjalani berbagai macam laku. Antara lain letih, haus dan lapar. Karena itu, maka rasa letih, haus dan lapar tidak banyak mengganggu mereka.
Lewat tengah malam, mereka memasuki sebuah bulak yang panjang. Terasa dingin malam semakin menggigit. Namun ketika orang itu meneruskan perjalanan mereka setelah baru saja kuda-kuda mereka beristirahat.
Namun Ki Ambara yang berkuda di paling depan memberi isyarat kepada Wiyati dan Ki Saba Lintang untuk berhenti.
Keduanyapun segera mengetahuinya juga bahwa ada ampat orang berkuda melarikan kuda mereka dari arah depan.
Ki Ambara, Wiyati dan Ki Saba Lintang pun kemudian menepi untuk memberi jalan kepada ampat orang yang melarikan kudanya itu.
Tetapi mereka tidak menduga, bahwa keempat orang itu justru memperlambat kuda mereka dan bahkan-berhenti sama sekali.
Seorang di antara mereka dengan suara parau bertanya " Ki Sanak. Siapakah kalian ?"
Ki Ambaralah yang menjawab " Kami orang-orang dari Kajoran, Ki Sanak."
" Kajoran " Di manakah letak Kajoran itu " "
" Kajoran dekat Jimbung. Dekat Gledegan. "
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Baiklah. Siapakah kalian, kami tidak peduli. Tetapi bahwa kalian telah berkuda di jalan ini di malam hari, maka kalian telah melanggar wewenang kami. "
" Wewenang yang mana yang kau maksudkan " " bertanya Ki Saba Lintang.
Orang yang suaranya parau itu menggeram. Katanya"Jangan pura-pura tidak tahu. Kau orang lewat atau orang yang sedang mencari mangsa ?"
" Aku sedang lewat. "
" Bagus. Jika kau orang yang sedang mencari mangsa, kau tidak dapat diampuni lagi, karena telah menjamah daerah kuasaku. Itu berarti bahwa kalian telah menghina dan menantangku. Tetapi kalau kau orang lewat, maka aku tidak akan menyakitimu. Pergilah. Tetapi tinggalkan kudamu dan semua milikmu. "
" Apakah itu berarti bahwa kalian ingin merampok kami "
" Ya." " Ki Sanak " berkata Ki Saba Lintang kemudian " kami tidak mempunyai barang yang berharga sama sekali. Kami tidak terbiasa memakai perhiasan karena kami memang tidak punya. Lihat, ini timangku yang terbuat dari timah. Apalagi " Aku tidak mempunyai apa-apa."
. " Kau jangan berbohong. Kudamu adalah kuda yang baik. Kuda kawan-kawanmu itu juga kuda-kuda yang baik. Kalian tentu orang-orang kaya. Jika kau memakai timang timah, itu tentu kalian ingin mengelabui kami."
" Sungguh Ki Sanak. Percayalah. Kami tidak mempunyai apa-apa."
" Kau memang lucu. Kau minta kami mempercayaimu. Sementara itu kau sengaja menipu kami."
"Tidak. Aku tidak menipu. "
" Jangan banyak bicara. Pergilah. Tinggalkan kuda-kuda kalian dan kampil-kampil uang kalian. Mungkin kalian sengaja tidak memakai perhiasan. Itu bukan berarti bahwa kalian tidak mempunyai perhiasan. "
' Sungguh Ki Sanak. Kami tidak mempunyai perhiasan apa-apa. Sedangkan kuda-kuda kami masih sangat kami perlukan. Kami masih akan menempuh perjalanan yang jauh. "
" Jangan banyak bicara. Turun dan tinggalkan kuda-kuda kalian dan kampil-kampil uang kalian."
Yang tidak sahar justru Wiyati. Ia tidak dapat lagi menahan bibirnya sehingga iapun tiba-tiba berdesis " Kakek dan paman. Marilah kita teruskan perjalanan kita. "
Suara Wiyati ternyata menarik perhatian orang-orang berkuda yang ingin merampok itu. Hampir berbareng dua orang menggerakkan kuda-kuda mereka mendekati Wiyati.
" Kau perempuan he " Sayang, aku tidak dapat memandang wajahmu dengan jelas di gelap malam. Tetapi aku yakin, bahwa kau adalah seorang perempuan yang cantik. "
Wiyati sama sekali tidak menyahut. Sementara itu salah seorang perampok itu berkata " Jika mereka harus meninggalkan kuda-kuda mereka, Ki Lurah, biarlah mereka juga meninggalkan perempuan itu. "
Kawannya tertawa. Katanya " Tiga di antara kita mendapatkan masing-masing seekor kuda, sedangkan kau akan mendapat perempuan itu."
" Bagus " sahut Wiyati.
Kata-kata Wiyati itu memang mengejutkan. Apalagi ketika tiba-tiba saja Wiyati turun dari kudanya.
" Wiyati " panggil Ki Ambara " apa yang akan kau lakukan?"
" Tidak apa-apa, kek. Tawaran orang itu sangat menarik. Aku senang kepada orang itu. Seperti permainan yang nenek pernah belikan. Patung kayu kecil hantu-hantuan. "
Sikap Wiyati benar-benar membuat orang-orang berkuda itu bingung. Mereka tidak menduga sama sekali, bahwa perempuan berkuda itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan kata-katanya terasa tajam seperti sembilu.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintangpun kemudian meloncat turuti dari kuda mereka pula. Bagaimanapun juga mereka mencemaskan Wiyati. Mereka belum tahu, seberapa tingkat kemampuan orang-orang berkuda itu.
Adalah diluar dugaan, bahwa Wiyati pun tiba-tiba saja meloncat ke arah orang yang minnta dirinya ditinggalkan bersama kuda-kuda itu. Dengan serta-merta Wiyati menarik lengan orang itu, sehingga orang itu terpelanting jatuh di tanah.
Orang itu mengaduh kesakitan. Punggungnya rasa-rasanya akan menjadi patah. Namun dengan sigap ia meloncat bangkit.
Wiyati tersenyum melihat orang yang kesakitan itu. Kepada ketiga orang yang masih dipunggung kuda, Wiyati pun berkata " Apa yang akan kalian lakukan " Merampas kuda-kuda kami dan memaksa aku untuk tinggal " Marilah, turunlah. Siapakah yang akan merampok sekarang ini. Kalian atau kami. "
Ketiga orang yang masih berada di punggung kuda mereka itupun berloncatan turun pula.
Mereka mulai menyadari, bahwa mereka tidak berhadapan dengan orang kebanyakan. Mereka mulai menduga-duga, bahwa ketiga orang berkuda itu juga sekelompok perampok seperti mereka yang daerahnya mulai menjadi kering, sehingga terpaksa mencari daerah baru.
" Apakah kalian perampok, penyamun atau kecu yang terpisah dari gerombolan kalian. "
" Ya"Wiyatilah yang menyahut " aku tahu bahwa di belakang kuda orang yang kalian panggil Ki Lurah itu adalah sebungkus harta-benda hasil rampokan. Berikan itu kepada kami. "
"Ternyata kau bukan seorang perempuan baik-baik. Kau ternyata iblis betina yang memuakkan."
Orang-orang berkuda itu menjadi semakin berdebar-debar mendengar Wiyati tertawa. Suaranya benar-benar seperti Jringkik hantu betina yang menemukan kuburan bani.
Keempat orang itupun kemudian telah menebar. Mereka tahu, bahwa mereka akan bertempur melawan ketiga orang itu.
Orang yang suaranya parau itu, ketika sudah turun dari kudanya. ternyata seorang yang bertubuh raksasa. Seorang yang tinggi dan besar, berdada bidang dan berbahu kekar.
Dengan suaranya yang parau raksasa itu bertanya " Siapakah sebenarnya kalian. Pagi kami, kalian adalah orang yang aneh. Kami . menduga bahwa kalianpun perampok-perampok seperti kami. Tetapi mungkin kalian adalah orang-orang berilmu yang sedang dalam perjalanan. "
" Tentu " jawab raksasa yang suaranya parau " tetapi tingkat perlakuan kami terhadap kalian akan berbeda. Seperti yang aku katakan, jika kalian perampok-perampok seperti kami. maka kalian tidak akan mendapat ampunan lagi. Kalian harus dibunuh karena kalian berada di lingkungan kekuasaan kami. Tetapi jika kalian bukan perampok penuhi perintah kami. Pergi dan tinggalkan kuda-kuda kalian. "
" Jika demikian, maka kami akan memberikan syarat yang sama. Kami adalah perampok-perampok yang kehilangan wilayah kerja kami, karena prajurit Pajang meningkatkan perondaan. Sedang daerah-daerah disekitarnya adalah daerah gersang. Jalan-jalan sempit dan tidak ada orang-orang berarti yang lewat. Karena itu. kami sedang mencari daerah bani. Sebenarnya kami belum siap untuk melakukan perampokan malam ini, karena kami memang sedang melakukan pengamalan di daerah ini. Tetapi kebetulan bahwa kami bertemu dengan kalian, sehingga kami dapat langsung berbicara dengan orang-orang yang merasa memiliki wilayah kerja disini " berkata Wiyati selanjutnya.
" Apa yang kebetulan " "
" Aku dapat minta kalian pergi dari wilayah ini Wilayah ini akan menjadi wilayah kami yang baru. Jika kalian tidak mau pergi dan meninggalkan wilayah kerja kalian, maka kalian akan kami bunuh saja, agar kalian tidak dapat mengganggu kami untuk selanjutnya. "
" Cukup - bentak orang yang suaranya parau " apakah kau pemimpin dari kelompok perampok yang sedang berusaha mendesak kami " "
" Ya " sahut Wiyati " kedua orang ini adalah kakek dan pamanku. Kakek adalah bekas pemimpin perampok yang ditakuti. Paman adalah orang yang tidak mengenal belas kasihan. Kami adalah keluarga perampok turun temurun. "
Tetapi orang yang suaranya parau itu tidak terlalu bodoh untuk mempercayai begitu saja kicauan perempuan muda itu. Karena itu, orang yang bersuara parau itupun kemudian berkata " Kenapa kau mengigau sebelum kau tidur anak manis. Kau kira aku percaya kepada cerileramu itu. Jika kalian perampok apalagi kakekmu seorang pemimpin perampok dan pamanmu adalah perampok yang tidak mengenal belas kasihan, maka sikap mereka tidak seperti sikap kedua orang itu. Namun siapapun kalian, kami sadari, bahwa kalian tentu orang-orang berilmu.."
Wiyati termangu mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata "Jika demikian, minggirlah. "
"Tidak. Jika aku sebut kalian orang-orang berilmu, bukan berarti bahwa aku harus minggir, karena kami juga orang-orang berilmu. Jumlah kami lebih banyak. Apalagi diantara kalian terdapat seseorang perempuan, seperti kau ini cukup berbahaya. "
"Jadi " Kita akan berkelahi ?"
" Jika kalian pergi dan meninggalkan kuda-kuda kalian disini, maka kami tidak akan mengganggu. "
" Paman, kakek, apakah yang akan kita lakukan " Membunuh mereka dan meninggalkan mayat mereka disini. "
Ki Saba Lintanglah yang kemudian berkata " Ki Sanak.. Meskipun kami bukan perampok, tetapi kami bukan orang-orang yang berhati emas. Kami adalah orang-orang yang hidup dilingkungan medan pertempuran dan perkelahian. "
" Apakah kalian prajurit ?"
* Kami bukan prajurit, Ki Sanak. "
"Jadi kalian itu apa " "
" Jangan risaukan. Pergilah sebelum kami kembali kedalam watak asli kami. Kasar, keras dan barangkali liar. Melebihi para perampok yang paling ganas sekalipun. "
Peringatan itu memang mendebarkan. Tetapi seorang diantara para perampok itu berkata " Kalian tidak usah menggertak kami. Wajah kalian tentu menjadi pucat. Dari suara kalian kami tahu, bahwa kalian sedang berusaha membohongi kami untuk menyelamatkan diri. "
Kesabaran Ki Saba Lintang telah hampir sampai ke balasnya. Karena ini maka katanya"Baik. Jika kalian tetap pada pendirian kalian, kita akan bertempur. Yang mati akan ditinggalkan disini. Kuda-kudanya akan dirampas bersama semua miliknya. "
Para perampok itupun menjadi tidak sabar pula. Mereka pun segera mempersiapkan diri.
Ki Saba Lintang, Ki Ambara dan Wiyatipun telah menempatkan diri pula untuk menghadapi mereka yang telah menebar itu.
Tiba-tiba saja seorang di antara para perampok itu berkata " Marilah kita tangkap iblis betina itu hidup-hidup. Biarlah dua di antara kita membunuh kedua orang laki-laki itu. Seorang lagi bersamaku menangkap perempuan ini. Jangan sampai terluka kulitnya, la akan menjadi permainan yang sangat menarik.'"-
Seorang yang lainpun menyahut " Bagus. Aku ikut kau menangkap perempuan ku hidup-hidup tanpa melukainya. Tentu akan lebih sulit daripada membunuh orang yang disebutnya kakek dan pamannya ini. Tetapi permainan ini akan menjadi permainan kita berdua. "
" Persetan " geram orang yang suaranya parau"ambil apa yang ingin kau ambil. "
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja Ki Ambarapun berkata"Jagalah dirimu baik-baik cucuku. Kita akan menghadapi para perampok ini dengan cara yang sama sebagaimana mereka lakukan. Kita pun membutuhkan kuda-kuda yang baik sebagaimana kuda-kuda mereka. "
Para perampok itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian, orang yang bertubuh raksasa dan bersuara parau itupun telah mendekati Ki Ambara sambil berkata " Aku akan segera menundukkan orang yang disebut pernah menjadi pemimpin perampok ini. "
Ki Ambarapun mundur beberapa langkah sambil berkata " Baiklah. Marilah kita timbang kemampuan ilmu kita. "
Orang yang suaranya parau itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia percaya bahwa orang tua itu memiliki ilmu yang tinggi.
Demikianlah kemudian, keduanya telati terlibat dalam perkelahian. Ketika orang yang suaranya parau itu menyerang, maka Ki Ambarapun segera bergeser menghindar. Namun lawannya memburunya dengan serangan-serangan berikutnya. Namun Ki Ambara sudah benar-benar bersiap menghadapinya.
Dalam pada itu. seorang yang lain telah menyerang Ki Saba Lintang dengan serta-merta. Bahkan ketika kakinya terjulur, ia masih sempat berkata kepada kedua kawannya yang berhadapan dengan Wiyati - Jika kau ambil perempuan itu, kalian tidak akan mendapat kuda itu. "
Kedua orang itu tertawa. Katanya " Aku sudah mempunyai kuda. Tetapi aku belum mempunyai seorang perempuan. "
Tetapi kawannya yang menyerang Ki Saba Lintang itu tidak sempat menjawab. Ki Saba Lintang tidak hanya sekadar menghindari serangannya. Tetapi dengan cepat telah membalas menyerang.
Demikianlah Ki Ambara dan Ki Saba Lintang telah terlibat dalam pertempuran. Untuk beberapa saat Ki Ambara dan Ki Saba Lintang masih harus menjajagi kemampuan lawannya.
Sementara itu. dua orang yang berhadapan dengan Wiyati telah tersiap pula. Merekapun menyadari bahwa Wiyati tentu bukan gadis kebanyakan. Sikapnya menunjukkan bahwa perempuan itu mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Dalam olah kanuragan, sikap itu tentu bukan sikap yang tidak berbekal.
Karena itu. kedua orang itu berhati-hati. Mereka telah mengambil jarak dan siap menghadapi Wiyati dari arah yang berbeda.
Wiyatipun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Iapun memperhitungkan bahwa kedua orang itu tentu orang-orang yang sudah memiliki pengalaman yang luas. Meskipun dasar ilmu kanuragannyn mungkin mapan, tetapi ditempa oleh pengalaman yang panjang, maka orang-orang itu adalah orang-orang yang sangat berbahaya
Ketika Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mulai meningkatkan ilmu mereka untuk mengimbangi lawan-lawan mereka, maka kedua orang lawan Wiyatipun mulai bergerak. Seorang di antara mereka menyerang dengan cepat ke arah lambungnya Ketika Wiyati bergeser menghindar, maka lawannya yang lain berusaha menangkapnya dengan mengembangkan kedua tangannya.
Tetapi orang itu terkejut ketika kaki Wiyati terjulur lurus ke arah dadanya.
Orang itu dengan cepat meloncat ke samping. Jantungnya berdebar-debar karena ujung tumit Wiyati hampir saja menyentuh tubuhnya.
" Perempuan ini memang berbahaya " berkata lawan-lawannya di dalam hatinya.
Sejenak kemudian, Wiyatilah yang berloncatan menyerang. Namun ia masih mengekang diri karena Wiyati belum mengetahui seberapa jauh kemampuan lawannya. Mungkin keduanya sangat berbahaya. Tetapi mungkin pula tidak.
Pertempuranpun kemudian berlangsung semakin sengit. Ki Ambara yang telah dapat menduga tenaga dan kemampuan lawannya, menempatkan dirinya dengan mapan, la tahu apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi raksasa yang suaranya parau itu.
Orang yang suaranya parau itupun sudah dapat menduga pula kemampuan Ki Ambara. Dengan demikian maka jantungnya menjadi semakin berdebaran. la sadar bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi raksasa yang suaranya parau itu misili merasa mempunyai kelebihan. Ia merasa bahwa tenaganya lebih kuat dari tenaga lawannya
Karena itu, maka raksasa yang suaranya parau itu berapa kali sengaja telah membenturkan kekuatannya.
Tetapi ternyata bahwa yang diketahuinya tentang kemampuan Ki Ambara adalah baru sebagian kecil saja. Ki Ambara sengaja tidak menunjukkan kelebihannya dengan berlebihan.
Ternyata Ki Saba Lintang pun demikian pula. Ia menempatkan diri pada tataran kemampuan lawannya. Meskipun sebenarnya Ki Saba Lintang dapat menyelesaikannya dengan cepat, tetapi ia tidak melakukannya. Balikan Ki Ambara dengan sengaja ingin melihat kemampuan Wiyati yang sebenarnya jika ia benar-benar turun ke medan pertempuran. Bukan sekedar latihan. Betapapun Wiyati mengerahkan kemampuannya di dalam latihan-latihan, namun ia tidak akan bersungguh-sungguh seperti dalam pertempuran yang sebenarnya.
Malam itu, Wiyati menghadapi dua orang lawan yang sebenarnya. Dua orang perampok yang keras dan kasar. Bahkan mereka telah dibakai oleh narsuhya pula setelah mereka melihat wajah Wiyati yang cantik.
Sambil melayani lawan-lawannya, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menyaksikan." betapa Wiyati berloncatan dengan tangkasnya. Serangan-serangannya sangat berbahaya bagi lawan-lawannya
Meskipun kedua orang lawan Wiyati itu meningkatkan kemampuan mereka tetapi mereka masih belum berhasil menangkap Wiyati. Gadis itu justru semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Serangan-serangannya datang beruntun.
Ketika kedua orang lawannya menjadi semakin tidak sabar lagi menghadapi perempuan itu, Wiyati justru semakin bersungguh-sungguh. Seorang lawannya terkejut ketika tangan Wiyati sempat mengenai pundaknya, sehingga keseimbangan orang itu terguncang.
" Anak setan " geram orang itu " kau sakiti pundakku, he" anak yang tidak tahu diri. Jika aku tidak mengenaimu, itu karena aku tidak ingin menyakitimu. Bukan karena aku tidak mampu melakukannya. Apalagi kami berdua. "
Wiyati tidak menunggu orang mi selesai berbicara. Agaknya masih ^ada yang akan dikatakannya. Tetapi tiba-tiba saja kaki Wiyati terjulur lurus menyamping.
Orang itu terpental surut. Ia benar-benar kehilangan keseimbangannya, sehingga jatuh terlentang.
Namun Wiyati tidak sempat memburunya, karena lawannya yang seorang lagi telah meloncat menyerangnya.
Wiyati bergeser surut. Namun ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Lawannya yang terjatuh itu dengan cepat bangkit sambil mengumpat kasar. Namun orang itupun kemudian terbatuk-batuk. Dadanya serasa menjadi sesak.
Wiyati tidak memberi kesempatan kepada kedua orang lawannya Kakinya segera berloncatan kembali. Serangannya mengarah kepada kedua orang lawannya berganti-ganti.
Ternyata kedua lawannya mulai terdesak. Wiyati bergerak semakin cepat. Serangan-serangannya datang seperti angin ribut, yang memburu lawan-lawannya kemanapun mereka bergerak.
Kedua orang lawannya pun semakin mengalami kesulitan. Serangan-serangan Wiyati semakin sulit dielakkan. Meskipun kedua orang itu mengerahkan kemampuan mereka dan berdiri di arah yang berbeda, tetapi Wiyati sama sekali tidak menjadi bingung.
Dalam pada itu, Ki Ambara yang bertempur melawan orang yang suaranya parau itu sempat meloncat mengambil jarak dan berkata " Lihat. Dua orang kawanmu itu ternyata tidak mampu mengalahkan seorang perempuan. "
" Bukan tidak mampu. Tetapi mereka menjaga agar perempuan itu tertangkap tanpa disakiti. Itu memang sulit. Jika saja kedua orang kawanku tidak berniat menangkap perempuan itu utuh tanpa disakiti atau bahkan terluka, maka ia tidak akan dapat bertahan sepenginang -
Tetapi Ki Ambara tertawa. Katanya " Jangan mengigau. Seharusnya kau melihat apa yang terjadi. Kedua kawanmu sudah tidak lagi mengekang diri. Berapa kali mereka sudah dikenai serangan-serangan cucuku itu. Bahkan mereka telah terlempar dan terbanting jatuh. Namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa. "
Orang yang suaranya parau itu menggeram. Dengan garangnya ia menyerang Ki Ambara. Namun serangan-serangannya itu tidak berarti sama sekali
Bahkan semakin lama orang yang suaranya parau itu merasa semakin sulit untuk dapat menyentuh lawannya.
" Jangan bermimpi " berkata Ki Ambara " jika dihiarkan saja, maka kedua orang kawanmu itu akan mengalami nasib yang buruk. Cegah mereka agar mereka tidak mempergunakan senjata. "
" Kau takut cucumu mati" "
" Tidak. Aku tidak lakui kalau cucuku mati. Tetapi aku takut kalau cucuku mulai membunuh. Itu akan merupakan salu pengalaman yang buruk baginya. "
" Persetan dengan cucumu. "
Orang yang suaranya parau itu tidak menghiraukan peringatan Ki Ambara. Bahkan ia mencoba untuk menghentakkan ilmunya menyerang Ki Ambara
Tetapi Ki Ambara benar-benar mencemaskan Wiyati. Jika kedua orang lawannya bersenjata, maka iapun akan bersenjata pula. Dengan demikian, maka kemungkinan yang dicemaskan itu akan dapal terjadi. Sedangkan menurut Ki Ambara, sebaiknya Wiyati tidak mulai dengan pengalaman yang mengerikan. Membunuh.
Karena itu, maka Ki Ambara justru mulai memperhitungkan kemungkinan lain, agar Wiyati tidak melakukan pembunuhan itu.
Tiba-tiba saja Ki Ambara telali menghentakkan ilmunya. Ternyata lawannya yang suaranya parau itu tidak mampu tertahan sesilir bawang. dalam waktu yang singkat, maka orang yang suaranya parau itu telah terlempar dan terbanting jatuh di tanah. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka kaki Ki Ambara telah menyambar dagunya, sehingga orang itu telah jatuh terlenlang lagi.
Tiba-tiba saja ujung keris Ki Ambara telah melekat di dada orang yang suaranya parau itu.
- Berhenti. Semuanya berhenti, atau dada orang ini akan tertembus ujung kerisku. "
Udara diatas medan itupun bagaikan tergetar. Kawan-kawan orang yang suaranya parau itupun terkejut dan berloncatan surut.
Ki Saba Lintangpun mengerutkan dahinya. Ia sama sekali belum meningkatkan ilmunya, la masih melayani lawannya menurut tataran kemampuan lawannya.
Sementara itu, kedua orang lawan Wiyatipun telah meloncat mengamil jarak pula.
"Perintahkan kawan-kawanmu meletakkan senjata mereka " terkata Ki Ambara.
Orang yang suaranya parau itu masih kebingungan, la tidak tahu, apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ia sudah jatuh terlenlang dan tidak berdaya.
" Ki Sanak " berkata Ki Ambara " kau sebenarnya bukan apa-apa bagiku. Dengan ujung kelingkingku, aku dapat menusuk dadamu sampai tembus ke jantung. Tetapi aku tidak ingin kau terlalu kecewa, bahwa ternyata ilmumu masih sangat rendah. Tetapi ternyata aku dihadapkan pada kecemasan yang lain. Aku tidak ingin cucuku membunuh. Karena kedua orang kawanmu itu tidak akan mampu melawan cucuku yang berilmu tinggi itu. "
Orang yang suaranya parau itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menyadari, bahwa orang -Jua itu terkata sebenarnya, la tidak sekedar menakut-nakutinya. Jika saja dikehendaki, maka jantungnya benar-benar telah berlubang.
" Cepat. Sebelum kedua orang kawanmu mati. "
Orang yang suaranya parau itu akhirnya berkata " Kita hentikan pertempuran ini. Kita biarkan mereka Iewat"
" Menyerah. Katakan bahwa kalian menyerah. "
Namun Wiyatipun berteriak " Kakek. Beri aku kesempatan. Aku akan menyelesaikan persoalanku dengan kedua orang ini. "
Ki Ambarapun berdesis " Cepat. Perintahkan kedua kawanmu itu menyerah "
Orang yang suaranya parau itu tidak dapat berbuat lain. Katanya " Kita menyerah. Kita hentikan perlawanan. "
Kawan-kawannya masih saja termangu-mangu sejenak. Namun lawan Ki Saba Lintang itupun menyadari, bahwa ia memang tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Sebenarnya ia mengharapkan salah seorang dari kedua orang yang bertempur melawan perempuan muda itu. Namun agaknya keduanyapun mengalami kesulitan sehingga keduanya harus mempergunakan senjatanya.
" Licik, pengecut " teriak Wiyati kalian tidak boleh menyerah. Hentikan perkelahian yang tidak berarti ini. Kita tidak akan membunuh seorangpun diantara mereka "
" Jika kita tidak membunuh mereka, maka merekalah yang akan membunuh banyak orang. "
" Kita akan menguasai daerah ini. Kita akan selalu hilir mudik lewat jalan ini. Jika kita masih mendengar bahwa disini ada kelompok penyamun yang menyaingi pekerjaan kita disini. maka kita akan benar-benar membunuh. "
" Sekarang aku dapat membunuh mereka. Aku mempunyai alasan yang kuat untuk melakukannya, karena keduanya akan menangkap dan membawa aku ke sarang mereka. "
" Sudahlah." " Bagaimana jika hal seperti ini terjadi atas gadis-gadis yang tidak berdaya" "
" Sudah aku katakan, kita akan selalu hilir mudik lewat jalan ini. Kita akan membunuh mereka dan mendatangi sarangnya "
Wiyati terdiam. Tetapi ia merasa sangat kecewa, bahwa kedua lawannya itu telah menyerah.
Sebenarnyalah kedua orang lawan Wiyati itu telah meletakkan senjata mereka. Demikian pula orang bertempur melawan Ki Saba Lintang.
" Sekarang kalian boleh pergi " berkata Ki Ambara.
Orang orang itu merasa licran. Begitu saja mereka boleh meninggalkan tempat itu. setelah mereka mengancam untuk merampas kuda ketiga orang itu Bahkan kemudian seorang perempuan diantara mereka
Ki Ambara itu kemudian telah membentak " Pergi. Atau kami rubah keputusan kami "
Keempat orang itu memang menjadi bingung, sehingga Ki Ambara telah membentak pula " Pergi. Kalian dengar. Ambil kuda kalian dan cepat meloncat naik ke punggungnya. "
Keempat orang itupun kemudian berlari-lari ke kuda mereka yang mereka tambatkan di pinggir jalan. Dengan cepat mereka meloncat naik. Sebentar kemudian, meskipun mereka masih belum tahu pasti apa yang terjadi, merekapun telah melarikan kuda-kuda mereka.
Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati memandang keempat penunggang kuda itu dengan perasaan yang berbeda-beda. Wiyatilah yang kemudian bertanya kepada Ki Ambara " Kek, kenapa kakek membiarkan saja mereka pergi" Itu tentu satu sikap yang tidak adil. Mereka adalah orang-orang yang jahat, yang telah menimbulkan banyak kesusahan bagi orang lain. Kenapa kakek membiarkan mereka pergi" "
" Wiyati. Apa yang akan kau lakukan seandainya aku tidak membiarkan meeka pergi" "
"Aku akan membunuh mereka kek. Dengan demikian, mereka tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk melakukan kejahatan lagi. "
Aku hargai sikapmu, Wiyati. Tetapi membunuh bukanlah satu |Kngalaman yang baik. Apalagi pengalaman pertama sejak kau meninggalkan padepokanmu. -
" Tetapi mereka orang jahat, kek. "
" Siapapun mereka " sahut Ki Ambara " aku justru berusaha untuk mencegah kau mendapatkan pengalaman yang buruk pada saat kau baru saja keluar dari padepokanmu. "
Wiyati menundukkan kepalanya, sementara itu Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ki Saba Lintang sendiri telah bertahun-tahun berendam dalam dunia yang berbau darah.
Tetapi Ki Saba Lintang mengerti maksud Ki Ambara.
" Sudahlah " berkata Ki Ambara " biarkan mereka pergi. Kita akan meneruskan perjalanan kita yang masih panjang. "
" Ya. kek." " Justru kuda-kuda kita telah mendapat kesempatan untuk beristirahat. "
Sejenak kemudian, maka ketiga orang itupun telah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tidak memacu kuda mereka dengan kecepatan yang terlalu tinggi.
Perjalanan mereka bertiga memang perjalanan yang jauh. Karena itu. maka mereka justru tidak merasa perlu terlalu tergcsa-gcsa.
Semalam suntuk mereka menempuh perjalanan. Jika mereka berhenti. maka yang mereka ingat adalah kuda-kuda mereka yang letih.
Pada saal matahari terbit, mereka masih berada di perjalanan. Merekapun kemudian telah berhenti di pinggir sebuah sungai kecil. Airnya yang jernih mengalir gemericik menurut iramanya sendiri.
" Kita benahi diri kita, agar tidak menarik perhatian banyak orang "berkata Ki Ambara.
Ketiganyapun kemudian menambalkan kudanya Dibiarkannya kudanya minum dan makan rumput segar. Sementara mereka bertigapun turun ke sungai untuk mencuci wajah mereka dan membenahi pakaian mereka.
Wiyatipun telah melakukannya pula Sehingga dengan demikian, maka tubuhnyapun terasa menjadi segar kembali.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintang sengaja membiarkan Wiyati sejak berangkat dari padepokan tidak makan dan hanya sekali-sekali minum jika ada mala air yang bersih diperjalanan mereka. Namun Wiyati ternyata tidak mengeluh. Bahkan ia masih telap legar. Wajahnya masih telap jernih dan sekali-sekali senyumnya nampak sekret menghiasi bibirnya.
Namun gadis itu masih saja sulit untuk menyembunyikan perasaan kecewanya Bukan karena ia tidak membunuh kedua lawannya Tetapi yang sebenarnya diinginkannya adalah satu keyakinan bahwa ia telah menang Sebenarnya menang.
Tetapi ia tidak mendapatkan kesempatan itu.
Setelah mencuci muka. kaki dan tangannya serta membenahi pakaian mereka, maka ketiga orang itu nampak lebih segar. Mereka tidak nampak bahwa semalam suntuk mereka menempuh perjalanan. Mereka tidak ubahnya orang-orang yang bangun pagi-pagi dan berangkat ke pasar agar tidak kesiangan.
Beberapa saat kemudian, maka mereka bertigapun telah melanjutkan perjalanan mereka. Ketika mereka lewat di depan sebuah pasar, maka Ki Ambarapun berkata " Kita akan singgah sebentar. "
"Apakah kakek akan berbelanja" " bertanya Wiyati.
" Kita akan singgah di kedai depan pasar itu. "
" Apakah perjalanan kita masih jauh"
" Tidak. Sudah tidak jauh lagi. Itulah sebabnya aku mengajak kalian singgah sebentar di kedai. "
" Jika sudah tidak terlalu jauh, kenapa justru kita harus singgah?"
Akhirnya Ki Ambara itu menjawab " Aku haus. " Wiyati justru tidak bertanya lagi. Bertiga mereka memasuki sebuah kedai yang cukup besar di depan pasar yang ramai.
Beberapa saal kemudian, minuman, dan makanan yang mereka pesan lelah dihidangkan. Nasinya masih mengepul. Lauk dan sayuniyapun masih hangat pula.
" Makanlah"berkata Ki Ambara.
"Marilah paman Saba Lintang " desus Wiyati. Namun Ki Saba Lintang itupun menjawab " Ingat Wiyati Ki Saba Lintang sudah mati" "
"Sudah mati" "
Ki Saba Lintang tertawa Katanya-" Ya. Sudah mati. "
" Nah. sekarang bagaimana aku memanggil paman" Paman siapa"-
Ki Saba Lintang memandang berkeliling. Tida ada orang yang duduk terlalu dekal dengan mereka sehingga tentu tidak akan ada orang yang mendengarnya
" Mereka asyik dengan minuman dan makanan mereka masing-masing, paman. "
Ki Saba Linlang mengangguk. Katanya " Ya. Mereka tidak memperhatikan kita. Meskipun demikian, kita tidak boleh lengah. "
" Jadi" "desak Wiyati
Ki Saba Lintang mengerutkan dahinya. Katanya "Aku harus mendapatkan nama yang sangat baik. Berwibawa dan mempunyai arti yang baik pula. "
Wiyati dan Ki Ambarapun tertawa.
" Nanti. Di rumah aku bercerita panjang. Kau harus tahu segala sesuatunya untuk mendukung tugasmu. Kau tidak boleh salah, agar rencana besar kita dapat berlangsung dengan sempurna. "
Wiyati mengangguk. Nampaknya Ki Saba Lintang menjadi bersungguh-sungguh. Justru karena itu, ia tidak bertanya lagi.
Sejenak kemudian merekapun terdiam. Ki Ambara sendiri sibuk dengan nasi hangat dengan lauk ikan gurame.
Beberapa saat kemudian, ketiganya telah selesai. Setelah membayar harga makanan mereka, maka merekapun segera melangkah keluar dari kedai yang justru menjadi semakin ramai.
Namun demikian mereka berdiri di luar kedai, merekapun melihat beberapa orang mengerumuni seseorang. Bukan saja mengerumuni, tetapi nampaknya mereka sedang memukuli seorang remaja yang berteriak-teriak kesakitan.
Wiyatilah yang bertari Iehih dahulu mendekat. Iapun segera menyibak dan dengan lantang berteriak " Tunggu. Kenapa anak ini dipukul"
Sebelum ada yang menjawab, maka seorang perempuan telah mendekap anak itu sambil menangis " Kau kenapa, ngger. Kenapa kau dipukuli" "
Seorang yang bertubuh tinggi tegap dengan mengenakan baju yang terbuka dibagian dadanya, sehingga ikat pinggang kulitnya yang besar nampak melingkar di perutnya, berkata dengan geram " Anak ini telah mencopet. "
" Mencopet apa" " Wiyatilah yang bertanya.
" Uang. Bertanyalah kepada orang ini, yang kehilangan uangnya yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya. Ia baru saja menjual seekor lembu yang besar. "
Tetapi pemilik uang. seorang yang sudah separo baya itu menyahut
" Tidak. Tidak aku simpan didalam kantong ikat pinggang. Tetapi aku simpan didalam kampil. Tali kampil itu aku ikat pada ikat pinggangku ini. "
"O" orang yang bertubuh tinggi tegap mi mengangguk angguk. Katanya kemudian - Nah. kau dengar. Anak itu telah memotong tali kampil itu dan mencopet uang hasil penjualan seekor lembu Ku.
" Kau lihat anak ini mengambil uangmu'.'
" Tidak " pemilik uang itu menggeleng.
" jadi kenapa kau tuduh anak ini.
" Seseorang meneriakkannya. Anak inilah yang mencopet uangku
" Mana orang itu" "
Pemilik uang itu memandang berkeliling. Tetapi orang yang telah meneriakkan copet itu telah tidak nampak.
" Jadi bagaimana kau yakin bahwa anak ini mencopet" " Pemilik uang itu tertnangu-mangu sejenak. Orang yang bertubuh tinggi besar itulah yang menyahut " Tiba-tiba saja kami sudah menangkap dan memukuli anak ini agar ia mengaku dimana ia menyembunyikan uangnya. "
" Tetapi tuduhan kalian tidak berdasarkan pada bukti dan saksi. Jika orang yang menuduh anak ini mencopet itu yakin, ia tentu masih ada disini sekarang. "
Orang-orang yang telah ikut memukuli anak itupun menjadi ragu-ragu. Mereka saling berpandangan sejenak. Sementara remaja itu masih menangis, perempuan itupun masih duduk bersimpuh dilingkaran kerumunan orang-orang yang semula memukulinya.
" Siapa yang berani meyakini bahwa anak ini bersalah" " berkata Wiyati lantang.
Tidak seorangpun yang bertubuh tinggi kekar itupun berkata " Maaf. Aku hanya terseret arus. " Wiyati tidak menjawab.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika orang-orang yang berkerumun itu telah bubar, maka Wiyatipun berkata kepada perempuan yang menangisi anak itu. " Apakah kau keluarganya bibi" "
" Ya. Ini anakku. Meskipun anak angkat. tapi sudah seperti anakku sendiri. Ayaa dan ibunya telah meninggal beberapa tahun yang lalu. -
" Ajaklah pulang. Tidak akan ada lagi yang mengganggunya "
" Aku mengucapkan terima kasih, ngger. Jika tidak ada kau. apa jadinya dengan anakku ini.
Wiyati tersenyum. Katanya " Bukankah wajar bahwa aku harus menolongnya?"
" Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih ngger -
Wiyati pun kemudian memandang pemilik uang yang hilang itu. Katanya " Kau sudah kehilangan uangmu. Tetapi sebaiknya kau minta maaf kepada anak ini."
" Ya. Ya. Aku minta maaf"desis pemilik uang itu.
Perempuan yang mendekap anak angkatnya itu memandanginya. Sejenak ia termangu mangu Namun kemudian iapun mengangguk kecil.
" Pemilik kedai kecil di ujung pasar itu adalah adikku berkata pemilik uang yang hilang itu "jika terjadi sesuatu dengan anak itu atau jika kau memerlukan sesuatu bagi pengobatan anak itu, hubungilah pemilik kedai itu. la akan menyampaikannya kepadaku. Aku menyesal sekali bahwa kesalahpahaman ini terjadi."
" Baiklah, Ki Sanak " desis perempuan itu - mudah-mudahan tak terjadi apa-apa dengan anakku-
Perempuan itupun kemudian mengajak anak angkatnya mening-. galkan tempat itu
Wiyati masih berdiri beberapa saat di tempat itu. Demikian pula pemilik uang yang nampaknya sangat menyesal itu. Mereka memandangi anak yang tidak bersalah itu berjalan agak timpang. Agaknya kakinya masih merasa sakit oleh pukulan-pukulan beberapa orang yang tergesa-gesa menganggapnya bersalah.
Namun sejenak kemudian, Wiyati pun berkata " Marilah, Ki Sanak. Aku akan pulang."
" Di mana rumahmu?" bertanya pemilik uang itu.
Wiyati menjadi agak bingung. Namun kemudian iapun tersenyum sambil menjawab " Tidak jauh lagi, Ki Sanak."
Pemilik uang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Wiyati yang kemudian meninggalkannya langsung menemui dua orang laki-laki yang berada tidak jauh dari sebuah kedai yang cukup besar.
Pemilik uang itu tiba-tiba telah melangkah pula mendekat. Sambil mengangguk hormat pemilik uang itu berkata " Aku tidak sengaja melakukannya sehinga anak itu menjadi korban.-
" Apa yang terjadi?" bertanya ki Ambara.
Pemilik uang itu akan menjawab. Tetapi Wiyati mendahuluiya " Sudahlah Ki Sanak. Anggap saja persoalannya sudah selesai."
Pemilik uang itu memandang wajah Wiyati dengan tidak berkedip, sehingga Wiyati merasa wajahnya menjadi gatal.
" Marilah, kek " sajak Wiyati.
Ki Ambara tersenyum. Katanya " Marilah. Sudahlah Ki Sanak. Kami akan melanjutkan perjalanan."
Sejenak kemudian, maka Wiyati pun segera meloncat ke atas punggung kudanya. Demikian pula Ki Ambara dan Ki Saba Lintang.
Pemilik uang yang hilang itu memandang mereka dengan tidak berkedip. Namun iapun kemudian berdesis " Gadis itu cantik sekali."
Dalam pada itu, Wiyati, Ki Ambara. dan Ki Saba Lintang pun melarikan kuda mereka meninggalkan pasar. Rumah Ki Ambara memang tidak terlalu jauh. Beberapa saat kemudian, mereka akan segera sampai ke Kajoran.
Namun Wiyati pun kemudian mengerutkan dahinya, la melihat orang bertubuh tinggi kekar yang ikut memukuli anak yang dituduh men copet uang itu meloncat parit diikuti oleh seorang anak muda. Mereka berdua langsung masuk ke dalam kuburan tua yang terletak di sebuah gumuk kecil, tidak terlalu jauh dari jalan yang dilewati oleh Wiyati, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang.
Beberapa langkah, setelah mereka melewati gtimuk kecil itu, tiba-tiba saja Wiyati berkata " Kita berhenti sejenak, kek"
" Ada apa Wiyati?"
" Orang yang ikut memukuli anak itu memasuki kuburan- itu bersama seorang anak muda."
" Sudahlah " berkata Ki Ambara "jangan terlalu banyak mencampuri persoalan orang lain."
Wiyati tersenyum. Katanya " Tidak, kek. Aku hanya menjadi penasaran.. Aku ingin tahu apa yang mereka laukan di kuburan tua itu."
" Cepatlah. Kita harus segera sampai di rumah. Aku berjanji bahwa hari ini aku pulang. Jika ada tamu dari Sangkal Putung dan aku belum ada di rumah, ia dapat bertanya panjang kepada para pembantu di rumah Mereka tidak lahu persoalan seluruhnya yang kita hadapi. Mungkin jawaban mereka dapat membuat tamuku menjadi ragu-ragu."
" Ya, kek. Aku hanya sebentar."
Wiyati pun kemudian meloncat turun dari kudanya dan berlari ke gumuk kecil itu. Ketika ia mendekati dinding kuburan, maka Wiyatipun menjadi lebih berhati-hati. la tidak lagi berlari. Tetapi justru merunduk perlahan-lahan.
Dinding kuburan itu tidak terlalu tinggi. Karena itu, Wiyati yang berdiri di balik gerumbul perdu, sempat menjenguk ke dalam kuburan itu.
Wiyati memang agak terkejut. Orang bertubuh tinggi kekar dan anak muda yang memasuki kuburan itu, duduk tidak terlalu jauh dari dinding kuburan itu.
Terdengar orang bertubuh tinggi kekar itu membentak " Kau curang he ?"
Anak muda yang menjadi ketakutan itu menjawab dengan suara bergelar " Tidak. Aku tidak curang."
" hIanya inikah hasil penjualan seekor lembu?"
" Aku tidak tahu. Tetapi hanya itulah yang ada didalam kampil itu."
" Kau tentu sudah menyembunyikan sebagian isi kampil ini."
" Tidak. kang. Tidak."
Tetapi orang yang bertubuh tinggi kekar itu telah menampar anak muda itu sambil membentak semakin kasar " Berikan semua uangmu."
" Aku tidak mempunyai uang."
" Kau sembunyikan dimana uang itu, he?"
" Aku memang tidak punya uang."
" Kau memang harus dicekik disini. Jika tadi aku tidak mengalihkan perhatian orang-orang dipasar itu dan mengorbankan anak yang dipukuli banyak orang uu, kau sudah ditangkap. Kau sudah dipukuli orang sepasar hingga mati."
" Tetapi, akulah yang meneriaki anak itu mula-mula, sehingga semua orang menangkapnya termasuk aku, kang."
" Tutup mulutmu " sekali lagi orang itu menampar.
Darah mulai mengalir dari sela-sela bibir anak muda itu. Sambil merintih iapun berkata " Ampun kang. Aku tidak mengurangi isi kampil itu.
" Kemarin dua orang kawanmu juga telah mencuri uang dari korban-korbannya. Sekarang kau melakukannya juga."
" Aku tidak melakukannya, kang. Sungguh."
Orang bertubuh tinggi kekar itu agaknya sama sekali tidak menaruh belas kasihan, seperti saal ia memukuli anaknya uniuk menarik perhatian banyak orang tanpa belas kasihan, maka iapun mulai memukul anak muda itu.
" Berikan uang yang telah kau curi itu, he. Dimana kau sembunyikannya'.'"
" Aku tidak mencuri, kang. Jangan sakiti aku. Nanti aku carikan gantinya di pasar itu kang, mumpung masih pagi."
" Tidak. Aku tidak mau kau bohongi. Bukan saja karena aku sedang membutuhkan uang, tetapi aku tidak mau kau remehkan seperti ini. Kau mencoba menipu dan menganggap aku sangat dungu. Kau kira aku tidak tahu harga seekor lembu?"
" Ampun, kang. Ampun. Aku benar-benar tidak mencuri. Mungkin orang itu sudah mempergunakan sebagian uangnya untuk membeli sesuatu atau untuk membayar hutangnya."
Satu pukulan yang keras telah melemparkan anak itu, sehingga jatuh terguling. Namun ketika anak itu mulai berteriak kesakitan, laki-laki bertubuh tinggi dan kekar itu mencekiknya sambil membentak " Jika kau berteriak, aku cekik kau sampai mali.
Suara anak muda itu terputus. Cekikan itu bukan sekedar main-
" Dimana uang itu he " Dimana ?"
Anak muda itu tidak lagi bisa menjawab. Suaranya tertelan oleh cekikan yang semakin keras.
Namun laki-laki bertubuh tinggi dan kekar itu terkejut ketika terdengar suara perempuan " Jadi inikah yang kau lakukan Ki Sanak. "
Laki-laki terbutuh tinggi dan kekar itu melepaskan anak muda itu. Iapun kemudian berdiri tegak menghadap Wiyati samhil menggeram " Apa yang kau lakukan disini?"
" Sekarang aku tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi di pasar itu."
" Apa yang kau ketahui?"
" Kaulah yang sumber dari keributan itu. Kau telah menggertakkan beberapa orang anak-anak muda dan remaja untuk melakukan kejahatan. Mereka harus menyerahkan semua uang hasil kejahatan itu kepadamu. Mungkin kau berbaik hati memberi mereka sekeping dua keping uang. Tetapi tentu tidak seimbang dengan kemungkinan buruk yang dapat mereka alami."
" Apa yang kau maui sebenarnya?"
" Serahkan uang itu kepadaku ?"
"Uang mana?" " Uang dalam kampil itu."
" Untuk apa?" " Aku harus mengembalikannya kepada pemiliknya. Kaupun harus ikut aku menemui pemilik uang itu. Kau harus mengalami sebagaimana dialami oleh anak-anak yang kau pukuli itu."
" Apakah kau sedang mengigau?"
" Aku berkata sebenarnya."
" Apa yang dapat kau lakukan" Kau seorang perempuan. Atau kau sengaja menyerahkan dirimu kepadaku?"
" Serahkan uang itu kepadaku."
"Apakah kau sudah gila?"
"Sekali lagi. Dengar baik-baik. Serahkan uang itu kepadaku."
" Serahkan saja dirimu-kepadaku " berkata laki-laki yang bertubuh tinggi dan kekar itu.
" Aku.peringatkan sekali lagi. Serahkan uang itu kepadaku, atau aku akan memaksamu."
Tiba-tiba saja'orang itu tertawa Katanya " Aku tidak bermimpi bahwa aku akan bertemu dengan seorang perempuan yang cantik sekali.
Wajah Wiyati berkerut. Sementara laki-laki itu berkata selanjutnya " Akupun tidak bermimpi bahwa perempuan canlik itu ternyata garang sekali. Tetapi aku memang menyenangi perempuan-perempuan yang garang, yang harus ditaklukkan dengan kekerasan. Aku benci kepada perempuan yang lemah, cengeng dan pasrah pada keadaannya -
Tetapi laki-laki itu terkejut. Tiba-tiba saja tangan yang mempunyai jari-jari yang lentik itu telah menampar wajahnya.
Laki laki bertubuh tinggi dan kekar itu terkejut. Iapun meloncat selangkah surut. Namun terasa bibirnya menjadi pedih.
Ketika punggung telapak tangannya mengusap mulutnya, terasa cairan yang hangat di sela-sela tabirnya.
Laki-laki itu mengumpat kasar. Katanya " Perempuan tidak tahu diri. Kau kira. aku siapa, he! Kau kira aku sama saja dengan pencopet itu" Kau samakan aku dengan pencuri ayam di pinggir jalan?"
" Jadi, kau siapa jika bukan pencopet atau pencuri ayam di pinggir jalan. Anak muda itu masih harus mempunyai modal keterampilan dan keberanian untuk mencopet korbannya. Sementara itu, kau sendiri?"
" Iblis betina. Dengar namaku. Aku adalah Sura Indrajit. Setiap bibir tentu sudah pernah mengucapkan namaku."
Wiyati mengerutkan dahinya. Namun sambil menggeleng iapun berkata " Aku belum pernah mendengar namamu. Seandainya namamu memang besar, kenapa kau sandarkan hidupmu dengan memeras pencopet-pencopet kecil seperti itu" Kenapa kau tidak merampok saja di rumah saudagar-saudagar kaya" Atau merampok rumah-rumah bebahu kademangan atau para pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri sendiri?"
" Kau tidak usah mengajari aku. Apapun yang aku lakukan, sesuai dengan keinginanku di satu saat."
" Jika demikian, apa keinginanmu sekarang" Mencekik anak itu?"
"Tidak" " Lalu?" " Kau." Wiyatilah yang kemudian lertawa. Katanya " Bercerminlah di .belumbang yang airnya bening. Lihat wajahmu serta dirimu yang kumal dan kusut itu. Lihat mukamu yang keruh seperti keruhnya hatimu. Lihat pula mulutmu yang sering mengucapkan kata-kata kotor. Lihat dirimu sendiri Baru kau berbicara tentang seorang perempuan."
Laki-laki itu benar-benar tersinggung. Tangannya terayun ke mulut Wiyati; la juga ingin membalas tamparan tangan perempuan yang terasa perih di bibirnya.
Tetapi sekali lagi laki-laki itu terkejut. Seperti saat tangan perempuan itu mengenai wajahnya
Tangannya yang terayun deras itu sama sekali tidak menyentuh badannya. Bahkan tiba-tiba saja terdengar perempuan itu tertawa perlahan-lahan seperti seorang perempuan terhormat tertawa dihadapan banyak orang. Tidak menampakkan giginya, meskipun seandainya giginya miji timun
Laki-laki itu mengumpat lebih kasar. Dengan lantang iapun kemudian berkata " Perempuan iblis. Apa yang sebenarnya kau kehendaki?"
" Sudah aku katakan. Uang itu. Berikan uang itu. Aku akan mengembalikannya kepada pemiliknya!"
" Bohong. Kau tentu juga salah seorang dari sekelompok perampok yang ganas. Kau rampas uang itu, tentu akan kau miliki sendiri."
" Seandainya demikian?"
" Kau gila. Kau tahu jawabnya."
Wiyati menjadi tidak sabar lagi. Iapun maju selangkah sambil berkata " Jika kau tidak memberikan uang itu, maka aku akan memaksamu. Aku akan mencekikmu. Lebih baik kau yang mati daripada anak muda itu."
Laki-laki yang bertubuh kekar itu benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Iapun segera meloncat menyerang Wiyati. Tangannya terayun dengan derasnya mengarah ke kening Wiyati.
Namun Wiyati pun dengan sigapnya menghindar. Ia meloncat di antara batu-batu nisan yang sudah lumutan di kuburan tua itu. Ketika laki-laki itu memburunya maka Wiyati mampu melenting dengan cepat.
Namun laki-laki itulah yang kemudian mengaduh tertahan. Kaki Wiyatilah yang kemudian menyentuh lambungnya.
Laki-laki itu hampir saja kehilangan keseimbangannya Ketika ia terdorong ke belakang, kakinya telah terantuk batu nisan. Namun untunglah bahwa tangannya dengan cepat menyambar pohon kamboja tua yang tumbuh di dekatnya.
Laki-laki itupun kemudian menyadari, bahwa perempuan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya.
" Kau memang harus dibunuh. Sayang kecantikanmu. Tetapi kelakuanmu lebih buruk dari iblis betina
" Jadi kau masih dapal menyebut kelakuan yang baik dan yang buruk?"
" Aku koyakkan mulutmu."
Laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu telah menyerang lagi. Lebih garang dari sebelumnya. Namun serangan-serangan itu tidak berarti bagi Wiyati. Dengan tangkasnya ia mengelak. Dan bahkan Wiyatipun telah berganti menyerang.
Laki-laki yang bertubuh tinggi itu benar-benar tidak berdaya melawan Wiyati. Serangan-serangan Wiyati dalang Iwruntun. Tangannya telah menghantam keningnya. Kemudian dagunya. Dahinya dan dadanya
Laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu berusaha untuk menepi, menghindari nisan-nisan tua yang terserakkan. Namun serangan Wiyati selalu memburunya.
Laki-laki itu benar-benar tidak mempunyai kesempatan untuk membalas. Bahkan ketika tangan Wiyati dengan derasnya menghantam dadanya maka laki-laki itu terlempar surut beberapa langkah, membentur dinding kuburan tua itu dan kemudian jatuh terbanting di tanah.
Sebelum ia sempat bangkit, maka Wiyati lelah meloncat mendekat Menarik bajunya mengangkat laki-laki bertubuh kekar itu untuk bangkit berdiri. Namun sebuah pukulan yang sangat keras mengenai mulutnya,
Bukan saja bibirnya menjadi pecah. Tetapi dua giginya lelah rontok, sementara tubuh laki-laki itu sekali lagi terlempar membentur dinding kuburan.
Terdengar laki-laki itu mengerang kesakitan. Sementara Wiyatipun berkata lantang"Bangun. Bangun. Atau aku injak perutmu."
Laki-laki itu benar-benar menjadi cemas menghadapi perempuan yang cantik. Idapi gerang itu. Dengan susah payah, orang itu berusaha untuk bangkit berdiri.
" Berikan uang itu kepadaku, atau aku remukkan kau di sini." Laki-laki itu termangu-mangu sejenak.
"Cepat, jawab " bentak Wiyati sambil menggapai leher laki-laki itu dan mencengkamnya dengan jari-jarinya.
Laki-laki itu sama sekali tidak mengira, bahwa jari-jari yang kelihatan lentik itu dapat menjadi sekeras besi baja.
Ada niat laki-laki itu untuk ganti mencengkam leher perempuan itu. Namun iapun menyadari, bahwa itu hanya akan sia-sia saja Cengkaman itu hanya akan membuat perempuan itu semakin marah dan memperlakukannya lebih semena-mena lagi.
Karena itu. ketika lehernya tersumbat, iapun berkata sendai " Ambil. Ambil uang itu."
Wiyatipun melepaskan laki-laki itu.
" Jangan beranjak dari tempatmu " berkata Wiyati sambil memungut kampil uang yang jatuh
Laki-laki itu memang tidak berani beringsut. Namun setelah Wiyati memungut kampil uang itu, iapun bertanya " Apakah aku sudah boleh pergi?"
" Pergi, Kau akan pergi kemana?"
" Pulang." " Begitu enaknya kau pulang. Kau akan aku bawa mengembalikan uang itu kepada pemiliknya."
" Pemiliknya tentu sudah pergi."
" Belum. Aku tahu. Ia lentu singgah dikedai saudaranya itu."
" Bawa uang itu dan kembalikan kepadanya."
" Kau yang harus mengembalikannya."
" Anak itulah yang mengambilnya Biar anak itu yang mengembalikannya"
" Tidak. Kau yang bertanggungjawab."
" Jangan aku." Tangan Wiyatipun lelah menampar wajahnya sehingga laki-laki itu mengaduh kesakitan. Wajahnya yang telah menjadi lebam dengan noda-noda biru di kening dan matanya, terasa semakin sakit.
Tetapi Wiyati sama sekali tidak mempunyai belas kasihan kepadanya. Dengan lantang iapun berkata " Ayo, jangan membuat aku semakin marah."
Laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu benar-benar tidak mempunyai kesempatan lagi. Iapun kemudian melangkah keluar dari kuburan tua yang terletak di gumuk kecil itu."
Demikian mereka keluar dari kuburan, mereka melihat dua orang laki-laki berdiri termangu-mangu. Didekat mereka tertambat tiga ekor kuda yang tegar.
" Apa yang kau lakukan?" bertanya Ki Ambara.
" Aku menangkap pencopet yang sebenarnya, kek."
" Lalu" Apa yang kau lakukan."
" Kita kembali ke pasar, membawa pencopet ini dan uangnya yang dicopetnya, la harus mengembalikan uang itu kepada pemiliknya."
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Kepada Ki Saba Lintang, Ki Ambarapun berkata "Marilah. Kita kembali ke pasar."
Ketiga orang berkuda itupun telah menggiring laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu kembali ke pasar. Mereka langsung menuju ke kedai yang ditunjuk oleh pemilik uang yang hilang itu..
Orang-orang yang melihat laki-laki yang tinggi dan kekar itu dengan heran. Apa yang telah terjadi dengan laki-laki itu" Laki laki itu memang sering berada di pasar itu. Tetapi tidak seorangpun yang tahu, apa yang telah dilakukannya.
Wiyati langsung menggiring laki-laki itu kekedai yang diujung. Kedai yang ditunjuk oleh pemilik uang itu, diikuti oleh Ki Ambara dan Ki Saba Lintang.
Kedatangan laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu mengejutkan orang-orang yang berada di kedai itu.. Bahkan sebagian justru menjadi ketakutan.
Tetapi merekapun kemudian menjadi heran, ketika perempuan muda yang berkuda dibelakangnya itu meloncat turun sambil membentaknya " Masuk kekedai itu."
Laki-laki itu sama sekali tidak membantah. Iapun kemudian melangkah masuk ke dalam kedai itu. Wiyati yang mengikutinya kemudian berkata " Duduklah."
Orang-orang yang berada di dalam kedai itu menjadi gelisah. Mereka tidak tahu permainan apa yang sedang mereka saksikan. Laki-laki yang bertubuh tinggi, kekar dan yang sudah sering mereka lihat berada di pasar itu, tunduk dan bahkan nampak ketakutan terhadap seorang perempuan muda yang cantik, namun agaknya cukup garang.
Ternyata pemilik uang yang dicopet itu benar-benar masih berada di kedai itu.
Ketika orang itu melihat Wiyati. maka orang itupun segera mendekatinya sambil bertanya "Kenapa kau kembali" Apakah kau mencari aku?"
" Ya"jawab Wiyati.
" Untuk apa" Apakah kau mempunyai keperluan khusus?"
" Ya. Aku bawa orang ini."
" Siapakah orang ini?""
"Orang yang mencuri uangmu."
Pemilik uang itu termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut iapun menyahut"Bukankah laki-laki ini yang telah membantu berusaha menangkap pencopet itu. Meskipun kemudian ternyata keliru. Tetapi ia sudah menunjukkan niat baiknya"
"Ternyata semuanya itu adalah sekedar permainannya, la sengaja melepaskan perhatian-banyak orang dari pencopet orang yang sebenarnya, karena pencopet yang sebenarnya adalah orang yang bekerja untuk orang ini."
"Maksudmu?" " Pencopet yang sebenarnya harus menyerahkan hasilnya kepadanya Bahkan ia sempat menyakiti pencopet-pencopet itu jika mereka tidak dapat menyerahkan uang sebagaimana diinginkannya."
Pemilik uang'itu menggeretakkan giginya. Tetapi ketika ia menatap mata orang yang bertubuh tinggi kekar itu, maka kulitnya justru meremang.
" Nah. Sekarang kembalikan uang itu kepadanya " bentak Wiyati.
Orang bertubuh tinggi itu termangu-mangu. Namun Wiyatipun kemudian menyerahkan kampil berisi uang yang dibawanya kepada orang itu.
Orang berluhuh tinggi kekar itupun terpaksa menerimanya.
" Serahkan kepadanya. Kau harus minta maaf dan mengaku bahwa kaulah yang lelah mencopetnya meskipun tidak dengan tanganmu sendiri."
Orang terluhuri tinggi itu memandang pemilik uang ini sekitas. Kemudian memandang wajah Wiyati yang gelap.
" Cepat." Orang bertubuh tinggi itu tidak dapat menolak. Iapun kemudian telah menyerahkan uang itu kepada pemiliknya.
" Kenapa kau diam saja" Katakan kepadanya, bahwa kau minta maaf karena kau telah mencopetnya. Katakan bahwa kau sengaja mengorbankan anak yang tidak tersalah itu agar anak itulah yang dipukuli orang banyak. Katakan bahwa kau tidak peduli bahwa anak yang tidak tersalah itu akan dapat mali karenanya, asal kau selamat."
Orang bertubuh tinggi itu masih terdiam.
" Katakan. Katakan bahwa kau sengaja memukuli anak itu agar orang banyak melakukannya juga. Katakan bahwa kau sengaja melakukan agar anak yang tidak bersalah itu mati. Dan kau tidak akan pernah diungkit lagi. bahwa setenarnya kaulah yang telah mencopetnya. Kau sengaja membunuh anak itu. Kau bunuh anak yang tidak tersalah itu."
Tiba-tiba saja tangan Wiyati telah melayang menghantam wajah orang bertubuh tinggi kekar itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terpelanting menimpa sebuah lincak bambu. Suaranya berderak dan lincak bambu itupun patah di lengah.
Laki-laki itu menyeringai menahan nyeri di punggungnya yang serasa patah. Wajahnya yang lebam itu masih terasa sakit. Ditambah lengannya dan kemudian tulang belakang.
Ki Ambaralah yang kemudian mendekati Wiynti sambil terdesis.
" Sudahlah, ngger. Sudahlah."
" Tetapi bagaimana jika anak yang tidak bersalah itu mati. kek " Bagaimana perasaan ibunya. Sementara orang-orang tetap menganggapnya bersalah."
" Tetapi ia tidak mati, kan."
".Tetapi siapa tahu, bahwa pernah terjadi hal yang sama, dan anak yang dikorbankannya itu mati."
Tiba-tiba saja dimata gadis itu meleleh air matanya.
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Ia harus mempelajari sifat gadis itu baik-baik. sebelum gadis itu melakukan tugasnya.
Wiyati mengusap matanya yang basah. Ia menjadi terharu membayangkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas seseorang yang sama sekali tidak bersalah. Seorang yang harus menderita karena ia dituduh melakukan kejahatan justru oleh penjahat itu sendiri.
" Hati anak itu bersih - desis Ki Ambara kepada diri sendiri -tetapi tugas yang harus dilakukannya bukan tugas yang bersih."
Tetapi menurut guru gadis itu, gadis itu menyimpan dendam yang sangat dalam di dalam hatinya terhadap Ki Gede Pemanahan dan yang kemudian menurun sampai ke anaknya, Suiawijaya
Ki Ambara masih belum berani mengambil kesimpulan. Tetapi jiwa gadis itu ternyata telah terguncang melihat ketidakadilan yang terjadi.
Sejenak kemudian Wiyati pun berkata - Aku serahkan orang ini kepada kalian. Kalian harus menghukumnya lebih berat dari yang dialami oleh anak yang tidak bersalah itu."
Tetapi pemilik uang itupun berkata - Sudahlah. Aku sudah merasa senang sekali, bahwa uangku kembali. Aku menjual lembu karena aku memerlukan uang. Aku menjadi bingung demikian Uangku hilang, sehingga perasaanku mudah sekali terbakar.'-"
. " Sekarang pencopet yang sesungguhnya telah dapat ditangkap. Kau mau apakan orang itu?"
Pemilik uang itu menjadi bingung.
"Orang itu harus diperlakukan lebih buruk dari anak itu "
" Itu tidak perlu lagi. Uangku sudah kembali."
" Jika uangmu sudah kembali, maka kau sama sekali tidak merasa tersinggung atas ketidakadilan yang telah terjadi itu?"
" Bukan begitu. Tetapi aku tidak mau memperpanjang persoalan lagi"
"Lalu, kau lepaskan orang itu?"
"Apa yang harus aku lakukan?"
" Pukuli orang itu seperti kau memukuli anak itu. Bahkan harus lebih dari itu."
Pemilik uang itu menggelengkan kepalanya. Katanya - Sudahlah. Sudah aku katakan. Aku tidak mau memperpanjang perkara ini. -
" Soalnya bukan memperpanjang persoalan. Tetapi kau harus bertindak adil.
" Tidak. Aku tidak akan berbuat apa-apa.-
" Jika begitu serahkan uang itu kembali kepadaku. Aku akan memberikannya kepada anak yang telah mencopetnya. Anak muda yang menjadi kepanjangan tangan orang ini."
Wajah pemilik uang itu menjadi tegang. Katanya - Apa sebenarnya maumu."
" Aku mau adil. Anak yang tidak tersalah saja dipukuli sampai hampir pingsan. Bahkan mungkin pernah ada anak yang mati. Sekarang orang yang sebenarnya bersalah tidak akan dihukum."
" Jangan membuat persoalan baru di sini - berkata pemilik uang.
" He" Jadi kau justru menyalahkan aku."
" Persoalan ini sudah selesai. Jangan diungkit lagi."
Tiba-tiba Wiyati telah menampar wajah pemilik uang itu
Demikian kerasnya sehingga pemilik uang itu terpelanting jatuh menimpa dinding kedai itu.
Pemilik uang itupun segera berusaha untuk bangkit. Namun demikian ia terdiri, maka sekali lagi Wiyati memukul wajah orang itu.
" Jika kau tidak menghukum orang ini, maka aku mewakili anak yang kau pukuli itu untuk membalas."
Pemilik uang itu mengaduh kesakitan. Dengan mengangkat kedua tangannya ia berkata - jangan, jangan kau pukul lagi aku."
Tetapi Wiyati tidak menghiraukannya. Digapainya baju orang itu Kemudian dipukulnya orang itu sekali lagi, sehingga orang itu terjatuh lagi
Ketika orang itu dengan susah payah bangkit terdiri, maka Wiyati pun berkata "panggil Ki Bekel. Cepat!"
"Ki Bekel siapa?"
" Ki Bekel Padukuhan ini. Atau aku akan memukulmu lagi dan bahkan sekaligus mengambil uang itu."
Orang yang uangnya dicopet itu mengusap mulutnya. Namun Wiy-alipun membentaknya "Cepat! Panggil Ki Bekel atau Ki Jagabaya. Tidak, panggil kedua-duanya."
Orang yang uangnya dicopet itupun dengan terbata-bata bertanya kepada saudaranya, pemilik kedai itu- Dimanakah tempat tinggal Ki Bekel?"
" Marilah. Akan aku tunjukkan."
Kedua orang itupun kemudian telah meninggalkan kedai itu pergi ke rumah Ki Bekel. Sementara itu, Wiyati pun membentak kepada laki-laki yang bertubuh tinggi - Jangan macam-macam. Kau jangan mencoba lari. jika kau tidak ingin aku patahkan lehermu."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi jantungnya tergetar pula. Perempuan yang garang itu nampaknya benar-benar marah.
Ki Ambara dan Ki Saba Linlang tidak dapat mencegahnya. Karena itu, maka merekapun hanya berdiam diri saja diluar kedai itu.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, pemilik kedai dan pemilik uang itupun lelah kembali bersama Ki Bekel dan Ki Jagabaya.
" Ada apa" - bertanya Ki Bekel.
Wiyatilah yang kemudian melangkah maju. Tetapi ia masih juga mengingat unggah-ungguh sebagaimana diajarkan di padepokannya.
Wiyati itupun mengangguk hormat sambil berkata - Apakah aku berbicara dengan Ki Bekel dan Ki Jagabaya."
" Ya. Aku adalah Ki Bekel di padukuhan ini. Dan ini adalah Ki Jagabaya."
" Aku minta maaf Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Mungkin aku sudah mengganggu."
"Apa yang terjadi di sini?"
Wiyati pun segera menceriterakan apa yang telah terjadi. Iapun kemudian menunjukkan laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu sebagai otak dari kerusuhan yang sering terjadi di pasar ini.
" Manakah anak muda yang mencopet itu" - bertanya Ki Bekel.
" Aku tidak membawanya kemari, Ki Bekel. "Sayang sekali. Kita perlukan keterangannya
" Mudah sekali. Paksa orang ini menunjukkan rumah anak muda itu. Tidak hanya seorang. Tetapi beberapa orang anak muda yang bekerja untuknya-."
Gerhana 3 Dewi Ular 62 Gadis Penyelamat Bumi Pendekar Wanita Penyebar Bunga 8
^