Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 33

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 33


" Terima-kasih - Ki Bekel mengangguk-angguk. Kemudian iapun berkata kepada Ki Jagabaya - Tangkap dan bawa orang ini. Sudah lama kita merasa terganggu oleh pencopet-pencopet yang berkeliaran di pasar itu."
" Baik. Ki Bekel - jawab Ki Jagabaya.-
Orang bertubuh tinggi itu tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu, Ki Bekel masih mendengarkan penjelasan dari Wiyati.
Dalam pada itu, di luar kedai, Ki Saba Lintang berdesis.
" Agaknya gadis yang baru keluar dari padepokan itu masih dipengaruhi oleh keinginannya untuk menunjukkan kelebihannya."
" Bukankah itu biasa bagi mereka yang baru turun dari sebuah perguruan" la ingin membuktikan, apikah ia benar-benar sudah memiliki kelebihan sebagaimana dicita-citakannya sejak ia memasuki sebuah perguruan?"
Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya - Akupun melakukannya demikian aku keluar dari perguruan. Namun, waktu itu aku justru hampir mati dicekik seorang yang berilmu tinggi. Untunglah, beberapa orang kawanku sempat menolongku."
" Tetapi ada hal yang lain pada gadis itu."
" Apa?" " Gadis itu menangis, bukan sekadar pura-pura, ketika ia membayangkan bahwa mungkin pernah terjadi seorang anak remaja yang mati karena dikorbankan oleh orang yang bertubuh tinggi besar itu."
" Maksudnya, untuk memalingkan orang banyak dan pencuri yang sebenarnya?"
Ki Ambara mengangguk. " Mungkin ia benar-benar terharu. Tetapi di samping itu keinginannya untuk menguji kemampuan dirinya juga ikut berbicara, sehingga sikapnya menjadi meledak-ledak."
" Kita akan mempelajari sifat-sifatnya sebelum kita menetapkan beban tugas yang berat itu kepadanya." "
" Ya. Kita masih mempunyai waktu."
" Kita dapat membakar keinginannya menegakkan keadilan.
Adalah tidak adil jika Sutawijalah yang kemudian memegang kendali kekuasaan di tanah ini."
Dalam pada itu. agaknya Wiyati telah selesai berbicara dengan Ki Bekel. Sementara Ki Jagabaya lelah menangkap orang yang bertubuh tinggi kekar itu.
Sementara itu Wiyati masih sempal bertanya kepada pemilik uang itu - Apakah uangmu masih utuh?"
" Nampaknya memang masih utuh"
" Aku ingin kepastian. Hitunglah."
Pemilik uang itu tidak membantah. Perempuan muda itu garangnya bukan main
Namun akhirnya pemilik uang itu mengangguk-angguk- Masih, masih uluh."
Tiba-tiba saja Wiyati membentak orang yang bertubuh tinggi itu -Nah, kau dengar. Uang itu masih utuh. Kenapa kau mencekik pencopet mu dan menuduh ia sudah menggelapkan uang yang seharusnya diserahkan kepadamu?"
Laki-laki itu menundukkan wajahnya. Namun sekali lagi Wiyati menampar kening orang itu sehingga terjatuh.
" Sudah, sudah - cegah Ki Bekel - orang ini sudah diserahkan kepadaku. Biarlah aku yang mengaturnya. Hukuman apa yang pantas diberikan kepadanya. AKu akan mengusut sampai tuntas, apa saja yang pernah dilakukan serta menangkap orang-orang yang bekerja baginya, membuat pasar itu menjadi rusuh.
Wiyati menarik nafas panjang. Kemudian iapun berkata - Maaf, Ki Bekel. Aku menjadi sangat benci dan muak melihat wajahnya. Ki Bekel sebaiknya juga mengusul, apakah pernah terjadi ada pencopet yang dipukuli orang banyak sampai mati. Belum tentu anak itu bersalah. Anak yang ladi dipukuli mungkin akan malt juga jika aku tidak segera dalang."
" Baiklah, Ki Sanak. Aku mengucapkan terima kasih alas kepedulianmu terhadap keadaan di pasar ini, sehingga kau sempal men-|uigkap "orang ini."
Wiyati itu mengangguk kecil. Namun kemudian iapun berkata -
"Aku mohon diri Ki Bekel. Tetapi aku akan sering pergi ke pasar ini."
Ki Bekel mengangguk sambil bertanya - Apakah rumah Ki Sanak dekat dengan pasar ini?"
" Ya. Rumah kami memang tidak terlalu jauh lagi."
" Baiklah. Kami akan sangat senang jika Ki Sanak sering datang ke pasar ini. Setidak-tidaknya Ki Sanak membuat pasar ini semakin ramai. Sukurlah., jika kepedulian Ki Sanak itu untuk selanjutnya akan dapat membuat pasar ini lebih tenang."
Wiyati tersenyum. Katanya - Mudah-mudahan."
" Sekali lagi kami mengucapkan terimakasih." Demikianlah, maka Wiyatipun kemudian meninggalkan kedai itu.
Ki Bekel, Ki Jagabaya dan orang-orang yang berkerumun itupun memandang perempuan itu dengan kagum. Mereka melihat perempuan itu bersama kedua orang laki-laki yang dipanggilnya kakek dan paman, meninggalkan tempat itu berkuda. Semakin lama semakin jauh.-"
" Mereka berkata bahwa rumah mereka tidak jauh lagi, Ki Bekel "
" Ya, perempuan itu mengatakan bahwa rumah mereka sudah dekat. Ia akan datang sering kali ke pasar itu."
" Ki Bekei tidak bertanya, dimana mereka tinggal. Maksudku di padukuhan apa?"
" Ya. Setenarnya aku dapat menanyakannya . Sayang, aku lupa sementara itu kalian tidak mengingatkan aku."
" Akupun jadi lupa segala-galanya melihat seorang perempuan yang demikian cantiknya, muda dan perkasa."
" Baiklah. Sekarang marilah kita pulang. Kita bawa orang itu. Aku benci kepada mereka yang mengganggu ketenangan dan ketenteraman wilayahku, termasuk pasar ini."
Laki-laki bertubuh tinggi itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sama sekali tidak berani berusaha sesuatu. Ki Bekel dan Ki Jagabaya itu menurut pendengarannya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sementara itu dengan seorang perempuan saja ia tidak dapat terbuat apa-apa."
Dalam pada itu. Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menjadi semakin jauh dari pasar itu. Dengan hati-hati Ki Ambarapun bertanya - Kenapa kau terjun langsung menangani orang bertubuh tinggi kekar itu."
" Aku paling benci terhadap orang-orang seperti orang bertubuh tinggi. Ia tidak segan-segan mengorbankan orang lain untuk kepentingannya sendiri."
" Bukankah itu wajar" Bukankah setiap orang tentu akan berusaha memperhatikan kepentingan dirinya sendiri lebih dahulu. Baru kemudian kepentingan orang lain."
" Ya, kek. Aku mengerti. Kita memang tidak perlu harus menjadi pahlawan dengan mengorbankan kepentingan sendiri bagi kepentingan banyak orang. Tetapi orang itu tidak sekedar mementingkan diri sendiri bagi kepentingan orang lain. Tetapi orang itu justru telah mengorbankan orang lain bagi kepentingan dirinya tanpa belas kasihan."
" Itu memang tidak adil."
" Ya. Aku benci bahwa seseorang yang telah melanggar keadilan. Aku menjadi lebih muak lagi bahwa orang seperti itu tidak akan mendapat hukuman. Mungkin pemilik uang itu takut, bahwa orang itu akan mendendamnya. Tetapi ia sama sekali tidak mau tahu bahwa seorang anak remaja telah dipukuli sampai hampir pingsan."
Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya - Aku setuju, bahwa jika orang bertubuh tinggi itu tidak dihukum, maka tentu merupakan satru ketidak adilan. Tetapi Ki Bekel dan Ki Jagabaya, nampaknya bersikap adil."
" Mudah-mudahan."
" Baiklah. Aku menjunjung tinggi sikapmu."
" Aku bersikap demikian pula terhadap Sutawijaya. Ia harus dihukum. Ayahnya telah membunuh dengan cara yang licik, sehingga karena itu, maka Pemanahan atau anaknya harus dihukum."
Ki Ambara mengangguk-angguk. Nampaknya dendam gadis itu terhadap Ki Gede Pemanahan atau anaknya begitu kuat.
Jika demikian, maka seharusnya gadis itu akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Anggapannya bahwa Pemanahan telah membunuh dengan licik harus dijaga agar tidak semakin menyusut. Bahkan jika mungkin justru harus dikembangkan.
Bertiga merekapun kemudian lebih banyak terdiam diri. Jarak dari pasar yang ramai sampai ke rumah Ki Ambara memang sudah tidak terlalu jauh.
Demikianlah, mereka bertiga itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan rumah Ki Ambara. Mereka melewati bulak panjang. Kemudian berputar lewat jalan pategalan. Barulah mereka memasuki jalan yang menuju ke nimali Ki Ambara.
Kedatangan Ki Ambara telah disambut oleh pembantu-pembantu di rumahnya. Demikian mereka masuk dan duduk di ruang dalam, maka para pembantunya menjadi sibuk. Beberapa Saat kemudian seorang diantara pembantunya itu telah menghidangkan minuman hangat.
" Apakah selama aku pergi ada tamu yang mencariku?" bertanya Ki Ambara
"Tidak. Ki Ambara - jawab pembantunya itu.
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati -Sukurlah. Jika saja Swandaru datang kemari dan bertanya terlalu banyak kepada mereka, maka tentu ada hal-hal yang menarik perhatiannya "
Tetapi Swandaru tidak datang ke rumah itu.
Dalam pada itu, para pembantu di rumah Ki Ambarapun mulai bertanya-tanya, siapakah perempuan muda yang datang bersamanya itu.
" Ki Saba Lintang - berkata Ki Ambara kemudian "sudah waktunya kita benar-benar menata diri."
Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata - Kita harus membina para pembantu Ki Ambara sebaik-baiknya, sehingga mereka merupakan bagian dari tubuh kita."
" Aku berpikir lain, Ki Saba Lintang - berkata Ki Ambara - Kita akan melepaskan mereka sebelum mereka mulai mencurigai kita."
" Lalu, siapakah yang akan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dirumah ini?"
" Kau tugaskan orang-orangmu yang justru terpercaya."
" Namun Wiyatipun menyahut - Serahkan pekerjaan rumah tangga kepadaku. Aku akan menyelesaikan dengan baik."
" Tentu kau dapat melakukannya Tetapi waktumu akan habis untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga ini. Bukakah rumah ini harus dibersihkan" Lantainya, perabotnya dan segala macam benda yang ada di dalamnya. Kemudian mencuci pakaian, masak dan yang banyak makan waktu adalah menyapu halaman, mengambil air dan memelihara tanainan agar dapat tumbuh dengan baik."
Wiyati menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis - Ya. Bukan karena aku tidak sanggup melakukannya, tetapi mungkin aku akan kehabisan waklu."
" Baiklah - berkata Ki Saba Lintang - sekarang, biarlah Wiyati beristirahat. Nanti sore kita akan membicarakannya lebih mendalam"
Ki Ambarapun kemudian membawa Wiyati untuk mengenali rumah itu. Diperkenalkan kepada para pembantu rumah itu sebagai cucu Ki Ambara.
" Jika kau akan ke pakiwan, pergilah."
Hari itu, Ki Saba Lintang mencoba untuk mengenali para pembantu Ki Ambara sebaik-baiknya. Para pembantu itu bahkan juga menganggap bahwa Ki Saba Lintang adalah seorang yang bekerja kepada Ki Ambara.
Pengenalan Ki Saba Lintang hari itu terhadap para pembantu, ternyata meyakinkan Ki Saba Lintang, bahwa sebaiknya mereka memang harus dilepaskan tanpa menyakiti mereka.
Ketika malam turun, maka Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati membicarakan dengan sungguh-sungguh apa yang harus mereka lakukan. Ki Saba Linlangpun telah menjelaskan kepada Wiyati. apa yang harus dilakukannya.
" Bukankah kau tidak kecewa terhadap lugas yang dibebankan kepadamu?"
"Tidak, kek. Sejak aku berada di padepokan, aku sudah menyatakan kesediaanku. Apapun yang harus aku lakukan."
" Kau harus mengorbankan masa mudamu. Kau tidak akan mendapat kesempatan untuk memasuki sebuah rumah tangga yang selalu dicita-citakan oleh setiap orang gadis. Seorang suami yang dapat melindungimu, seorang suami yang hanya mencurahkan cinta-kasihnya kepadamu. Kau akan menjadi seorang perempuan simpanan dari seorang laki-laki yang sudah beristri. Tetapi disamping itu. kau harus mampu membujuk laki-laki itu untuk melakukan apa saja menurut keinginanmu."
" Aku akan melaksanakannya, kek. Jika pengorbanan itu yang harus aku berikan, aku akan memberikannya dengan ikhlas.Bukankah banyak orang yang bahkan harus mengorbankan nyawanya untuk satu keyakinan."
" Pengorbanan yang harus kau berikan, mungkin akan lebih berat dari nyawamu."
" Jika aku dapat melakukannya akan aku lakukan, kek.
" Baiklah. Aku percaya kepadamu. Aku percaya akan kukuhnya keyakinanmu"
" Terima kasih, kek."
Dengan demikian, maka satu bentuk gelar perang yang khusus telah dibuka oleh Ki Saba Lintang dan Ki Ambara. Mereka mulai memasang jerat bagi Swandaru yang menurut penilaian Ki Saba Lintang mempunyai kelemahan yang dapat ditembusnya.
Malam itu Ki Ambara dan Ki Saba Lintang juga memutuskan untuk melepas para pembantu yang Sudah ada dirumah itu. mumpung mereka masih belum mengenal isi rumah lebih jauh lagi. Apa yang mereka lihat masih dalam balas balas kewajaran.
" Cucuku sekarang berada disini - berkata Ki Ambara - kami akan mencoba melakukan segala pekerjaan rumah tangga di rumah ini. Kami minta maaf. bahwa kami harus merelakan kalian pergi. Sebenarnyalah kami tidak lagi mempunyai kemampuan untuk membeayai kehidupan sebuah keluarga yang besar serta memberikan gaji kalian dengan pantas.
Ternyata para pembantu dirumah itu dapat mengerti. Dengan sedikit uang pesangon mereka meninggalkan rumah Ki Ambara tanpa cubitan penyesalan dan kekecewaan. Mereka merasa bahwa kepergiaan mereka itu adalah wajar-wajar saja.
Namun orang yang terbiasa memelihara kuda di rumah Ki Ambara itu sempat bertanya - Siapakah yang akan memelihara kuda" Siapa pula yang akan mencari rumput?"
" Aku sendiri yang akan memelihara kuda-kudaku. .Sedangkan rumput harus aku beli. Bukankah selama ini kita juga membeli rumput meskipun sebagian disabit sendiri?"
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya - Baiklah. Kami minta diri."
Sepasang suami isteri dan seorang lainnya itupun meninggalkan rumah Ki Ambara tanpa mempunyai prasangka apapun. Mereka percaya saja. bahwa usaha Ki Ambara memang sedang mundur. Karena itu. ia panggil cucunya untuk tinggal bersamanya.
Tetapi beberapa hari kemudian, di rumah Ki Ambara itu telah tingga! dua orang lain. Keduanya adalah orang-orang yang ditempatkan oleh Ki Saba Lintang. Mereka tahu pasti, siapakah para penghuni rumah mi. Karena itu. maka merekapun akan dapat berbicara sesuai dengan permainan yang sudah ditentukan oleh Ki Saba Lintang.
Selelah semuanya mapan, maka Ki Ambara telah mengadakan hubungan kembali dengan Swandaru. Sambil membawa seekor kuda yang baik. Ki Ambara datang mengunjungi Swandaru di Sangkal Putung
Swandarupun mempersilahkan Ki Ambara untuk naik ke pendapa dengan ramahnya. Bahkan Pandan Wangipun ikut pula menemuinya.
" Aku membawa seekor kuda yang baik " berkata Ki Ambara kemudian.
" Bukankah aku sudah mempunyai seekor kuda yang baik" - sahut Swandaru.
"Tentu. ngger. " Pandan Wangi juga sudah mempunyai kuda yang mapan. Ia senang sekali dengan kudanya itu."
" Sokurlah kalau kuda itu cocok bagi angger Pandan Wangi -sahut Ki Ambara. Namun katanya kemudian - lieetapi mungkin ada bebahu lain yang ingin membelinya?"
Swandaru tertawa. " Maal. ngger. Bukan maksudku memanfaatkan angger Swandaru untuk memasarkan kuda-kudaku."
Pandan Wangipun tertawa pula Sementara itu dengan nada rendah Swandaru berkata - Aku mengerti. Ki Ambara. "Terima kasih ngger."
" Namun aku akan membantu Ki Ambara. Mungkin ada orang yang memerlukan seekor kuda. Aku akan mengajaknya ke rumah Ki Ambara - berkata Swandaru.
" Angger Swandaru tidak perlu menunggu ada orang yang ingin membeli seekor kuda. Sebenarnya kedatanganku kemari juga bukan karena aku ingin menawarkan seekor kuda. Tetapi karena sudah lama aku tidak datang kemari. Sejak aku pergi mengunjungi saudaraku yang tinggal di tempat yang jauh."
" Terima kasih, Ki Ambara."
" Nah, aku harap angger juga sudi mengunjungi aku. Sokurlah jika angger datang berdua"
" Baik, Ki Ambara. lain kali kami akan mengunjungi Ki Ambara -sahut Panda Wangi.
Demikianlah, untuk beberapa Inma Ki Ambara berbincang dengan Swandaru dan Pandan Wangi. Pembicaraan mereka berkisar sekitar kuda-kuda yang baik. Ki Ambara sempat bercerita tentang kuda-kuda liar yang sering nampak di kaki Gunung Merbabu
" Yang Ki Ambara maksud dengan kuda-kuda liar" - bertanya Swandaru.
" Ada beberapa orang yang pernah melihat iring-iringan kuda liar dari hutan di kaki Gunung Merbabu. Mereka turun beberapa ratus patok. Berlari-lari di tebing Gunung. Namun kemudian menghilang lagi memasuki hutan disisi yang lain."
" Tidak ada seorangpun yang memburu kuda-kuda liar itu"
" Tidak ada yang berani melakukannya - jawab Ki Ambara-Menurut beberapa orang, kuda-kuda itu bukan kuda-kuda sewajarnya. Tetapi kuda-kuda liar yang besar dan tegar itu justru dipelihara oleh danyang Gunung Merbabu."
" O - Swandaru mengangguk-angguk,'sementara Pandan Wangi bertanya- Kuda hantu begitu maksud Ki Ambara?" -
" Tidak seorangpun dapat mengatakannya dengan pasti, ngger. Tetapi yang jelas, meskipun sudah banyak orang yang pernah menyaksikan, tetapi tidak seorangpun yang berani memburu."
Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi kuda-kuda liar itu tidak begitu menarik perhatiannya. Menurutnya, kuda-kuda liar itu tidak lebih dari satu diantara dongeng yang banyak jumlahnya.
Setelah minum minuman hangat, makan beberapa potong makanan, maka Ki Ambarapun kemudian telah mohon diri. Sekali lagi ia minta Swandaru dan Pandan Wangi suka berkunjung ke rumahnya.
Kunjungan Ki Ambara itu memang telah menggelitik Swandaru untuk pergi ke rumahnya. Kesenangannya terhadap kuda rasa-rasanya telah mendesaknya untuk datang berkunjung.
" Perrgilah kakang. Lain kali saja aku ikut pergi. Aku sedang sibuk melayani perempuan-perempuan yang menuai padi di sawah."
Swandaru mengangguk. Katanya - Baiklah. Aku akan melihat kuda.yang dikatakan oleh Ki Ambara itu."
" Apakah kakang akan membawa dua atau tiga orang pengawal?"
Swandaru tertawa. Katanya " Bukankah Kajoran tidak terlalu jauh?"
" Tetapi kita sudah mendapat peringatan, bahwa orang orang dari perguruan Kedung Jati yang akan menyusun perguruannya kembali itu telah merambah daerah ini -
" Jangan cemas. Pandan Wangi. Tidak akan ada gangguan apa
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
"Aku hanya akan melihat kuda itu. Kemudian pulang."
" Kuda itu telah dibawa kemari oleh Ki Ambara."
Tetapi ia tentu mempunyai yang lain. Yang dibawa itu tentu bukan yang terbaik. Seorang pedagang seperti Ki Ambara itu tahu, bagaimana ia menggarap para pembelinya. Diperlihatkannya seekor kuda yang baik. Jika kuda itu dibeli, maka lain kali ia akan membawa yang lebih baik.
Pandan Wangi tersenyum. Katanya " Ya. Dan kakang selalu akan membelinya."
Karena itulah aku akan pergi ke rumahnya. Jika aku ingin membeli, aku akan membeli yang terbaik."
Demikianlah, maka Swandanipun pergi seorang diri ke rumah Ki Ambara.
Kesempatan seperti itulah yang ditunggu oleh Ki Ambara. Swandaru datang ke rumahnya seorang diri. Namun seandainya Swandaru itu datang bersama isterinya, Ki Ambara juga sudah menyediakan tempat, dimana Wiyati harus bersembunyi. Sementara itu seisi rumah itu sudah tahu, peran apa yang harus mereka lakukan dalam permainan yang akan makan waktu yang panjang itu.
Ketika Swandaru sampai di rumah Ki Ambara, hari masih terhitung pagi. Dengan ramah dipersilahkan Swandaru naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgilan.
Sementara itu, Wiyati .sudah mendapat isyarat, bahwa laki-laki yang datang itulah yang bernama Swandaru.
" Jadi aku harus menjeratnya " " bertanya Wiyati kepada Ki Saba Lintang.
" Ya " " Jadi laki-laki itu anak Demang Sangkal Putung?"
" Ya " " Pengorbananku tidak terlalu berat, paman. Ternyata laki-laki itu cukup tampan. Memang agak gemuk. Meskipun umurnya sudah terlalu jauh dibanding dengan umurku, tetapi ia akan dapat menjadi seorang suami yang baik bagi seorang isteri simpanan."
Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Tidak ada kesan kecewa dan penyesalan. Agaknya Wiyati benar-benar yakin akan jalan yang ditempuhnya, sehingga dijalininya dengan penuh keikhlasan. Sehingga segala sesuatunya dijalaninya dengan gembira.
Tetapi Ki Saba Lintang itu akhirnya tersenyum pula. Swandaru memang tampan. Senyumnya cukup menawan. Itulah agaknya yang telah memikat Pandan Wangi di masa muda mereka. Bahkan senyum itu masih memancarkan daya tarik tersendiri.
" Aku jadi iri, Wiyati " berkata Ki Saba Lintang.
" Iri tentang apa paman?"
" Apakah aku tidak setampan Swandaru?"
" Tentu. Paman juga tampan. Apalagi paman berilmu linggi."
" Kalau saja aku yang menjadi Swandaru."
Wiyati tertawa. Katanya " Sayang sekali paman. Jika saja paman yang menjadi Swandaru."
" Jika aku yang menjadi Swandaru. kenapa?"
" Aku tidak perlu menjeratnya, karena paman sudah berada di jalur perjuangan ini."
" Ah, kau." Wiyati tertawa. Ki Saba Lintangpun tertawa pula.
Dalam pada itu, sejenak kemudian maka Wiyatipun lteelah menyiapkan minuman dan makan yang harus dihidangkannya kepada Swandaru yang duduk di pringgitan bersama Ki Ambara.
Ketika kemudian Wiyati muncul dari pintu pringgilan. Swandaru memang terkejut. Ia belum pernah melihat bahwa di rumah itu ada seorang perempuan muda yang cantik.
Ketika kemudian Wiyati memandang wajah Swandaru yang sedang memandanginya, Wiyatipun segera menunduk. Iapun kemudian berjongkok untuk menghidangkan minuman dan makanan. Namun setiap kali ia mencuri pandang ke arah Swandaru.
Swandani yang selalu memandanginya tahu benar, bahwa setiap kali perempuan itu mengerlingnya. Namun kemudian perempuan itupun segera tunduk kembali.
Ketika kemudian Wiyati masih ke ruang dalam, maka Swandaru tidak dapal menahan dirinya untuk bertanya " Siapakah perempuan itu, Ki Ambara" Beberapa kali aku datang kemari. Tetapi baru sekarang aku melihatnya."
- Cucuku, ngger. la ikut aku ketika aku menengok keluarganya baru-baru ini."
" Ia akan tinggal di sini?" bertanya Swandaru.
"Tidak. Tetapi ia akan terada di sini untuk beberapa lama."
Swandaru mengangguk -angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Iapun kemudian sama sekali tidak berbicara tentang Wiyati.
Ki Ambara justru agak menjadi tegang. Ia terharap Swandaru tertarik kepada perempuan yang disebutnya cucu itu.
Tetapi Swandani masih belum pergi dan rumahnya. Masih ada kesempatan untuk mempertemukan Wiyati dengan Swandaru. Bahkan seandainya pada hari itu Swandaru masih belum tergerak hatinya, maka pada kesempatan terikutnya, Swandaru masih akan dapat bertemu dengan Wiyati lagi.
Dalam pada itu, Swandaru masih beberapa lama berada di rumah Ki Ambara. Bahkan kemudian Ki Ambarawa mempersilakan Swandaru untuk melihat-lihat kuda-kudanya di kandang.
Swandaru tertegun ketika ia mendekati kandang. Bahkan Ki Ambara sama sekali tidak menduga bahwa Wiyati justru telah terada di kandang. Disingsingkannya kain panjangnya serta lengan bajunya, agar tidak menjadi basah kuyup. Dengan terampilnya Wiyati memandikan seekor kuda yang berwarna coklat kehitaman. Kuda itu adalah kuda yang dikendarainya dan padepokan ke rumah Ki Ambara.
Wiyati tidak melihat bahwa ada orang yang datang mendekatinya, karena ia berdiri membelakangi arah pintu btitulan rumah Ki Ambara.
Jantung Swandaru memang berdesir melihat Wiyati yang sedang sibuk memandikan kuda itu.
Ki Ambaralah yang terbatuk-batuk kecil ketika ia mendekati Wiyati.
Wiyati terkejut. Dengan serta-merta ia bergeser sambil membenahi pakaiannya.
Wajah Wiyati menjadi merah. Tetapi ia tidak beranjak pergi karena ia masih belum selesai memandikan kudanya
" Kakek akan pergi ke mana"- bertanya Wiyati dengan suara lirih.
" Angger Swandaru ini akan melihat-lihat kuda kita, Wiyati. Angger Swandaru ini seorang penggemar kuda."
Wiyati mengangguk hormat. Sambil menunduk iapun berdesis " Maaf, Ki Swandaru. Aku tidak tahu, bahwa kakek akan mengajak Ki Swandaru ke kandang kuda ini."
" Kenapa kau minta maaf" Bukankah kau tidak berbuat salah sama sekali-sahut Swandaru.
" Aku tidak sengaja berbuat tidak sopan. Aku tidak tahu. Swandaru tertawa. Katanya " Kau bukannya tidak sopan. Tetapi karena kau sedang memandikan kudamu, maka yang kau lakukan adalah wajar sekali. Bahkan leruskan. Aku tidak berkeberatan."
" Ah " Wiyati menunduk semakin dalam. Tetapi ia tidak beranjak pergi
Swandarulah yang kemudian berlalu bersama Ki Ambara sambil berdesis " Aku akan melihatl-lihat kuda kakekmu. Aku tidak ingin mengganggumu. Karena itu teruskan kerjaan. Kau tidak usah minta maaf kepadaku, karena aku tidak merasa tersinggung karenanya.
Wiyati tidak menjawab. Tetapi ia masih saja menunduk.
Sejenak kemudian, Swandaru pun telah berdiri di depan kandang melihat lihat kuda Ki Ambara.
Wiyati masih berdiri di tempatnya. Sementara Swandaru mengelus kepala seekor kuda berwarna kelabu.
Namun tiba-tiba Swandaru berpaling memandang kuda yang sedang dimandikan oleh Wiyati. Bahkan Swandaru pun kemudian melangkah mendekatinya
Diamatinya kuda itu dengan seksama. Dengan nada rendah iapun bergumam " Kuda yang tegar."
" Kuda itu adalah kuda Wiyati, ngger."
" O " Swandaru mengangguk-angguk " karena itu agaknya, kudanyapun cantik pula."
" Ah - Wiyati pun bergeser ke belakang kudanya yang masih belum selesai dimandikan.
" Siapa namamu?" tiba-tiba saja Swandaru bertanya.
" Ah - suara Wiyati merendah " tuan sudah mengelabui namaku. Kakek sudah menyebutnya."
" Tetapi aku belum mendengar kau memperkenalkan diri dengan menyebut namamu sendiri -
Wiyati mengangkat wajahnya. Matanya bagaikan nyala lampu di malam yang kelam. Hanya seleret. karena Wiyati itupun segera menunduk lagi.
Ki Ambaralah yang kemudian menyabut " Anak itu anak padesan. la jarang sekali bergaul dengan orang lain kecuali kerabatnya sendiri. Karena itu ia tumbuh menjadi seorang gadis pemalu"
Swandani tertawa. Katanya " Kau tidak usah malu kepadaku. Aku akan sering datang kemari. Aku adalah seorang penggemar kuda seperti kakekmu. Bedanya, kakekmu dapat memanfaatkan kegemarannya untuk mendapat uang. Aku tidak. Bahkan sebaliknya."
Ki Ambara tertawa. Wiyati menahan tertawanya. Dengan telapak tangannya ia menutup bibirnya yang bergerak.
Namun Swandaru itupun berkata pula " Kau belum menyebut namamu."
Wiyati memandang Ki Ambara dengan kerut didahi. Seakan-akan gadis itu minta persetujuan kakeknnya, apakah ia harus menyebut nanianya.
Ki ambara pun mengangguk sambil tersenyum. Barulah gadis itu kemudian sambil menunduk menyebut namanya " Namaku Wiyati."
" Nama yang cantik dari seorang gadis yang cantik " desis Swandaru.
Wiyati menunduk semakin dalam. Tetapi Wiyati tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih saja berdiri di sebelah kudanya. Dibiarkannya kainnya dan bajunya yang basah melekat erat di tubuhnya.
Namun kemudian Ki Ambaralah yang mempersilahkan Swandaru untuk kembali ke pringgilan "Marilah, ngger. Silahkan duduk kembali."
Swandarupun meninggalkan kandang kuda Ki Ambara kembali ke pringgilan. Namun ia masih saja berpaling, sementara Wiyati yang basah itu masih berdiri di tempatnya.
Untuk beberapa lama Swandaru masih duduk berbincang dengan Ki Ambara di pringgilan. Namun yang mereka bicarakan tidak saja tentang kuda. tetapi juga tentang seorang gatlis yang bernama Wiyati.
Baru beberapa saat kemudian. Swandaru minta diri. Namun ternyata Swandaru itupun berkata "Aku akan minta diri kepada Cucu Ki Ambara."
" Sudahlah, ngger. Biarlah nanti aku katakan kepadanya.-"
" Tidak ada. Ki Ambara. Aku rasa sebaiknya aku minta diri kepadanya."
Ki Ambara tidak mencegahnya. Diantarkannya Swandaru sekali lagi ke kandang kuda untuk minta diri kepada Wiyati.
Ternyata Wiyati masih berada di kandang. Disingsingkannya kain panjang serta lengan bajunya seperti ketika Swandaru melihatnya pertama kali. Gadis yang sedang sibuk memandikan kudanya itu tidak menyadari, bahwa Swandaru dan Ki Ambara datang lagi ke kandang.
Sekali lagi Ki Ambara terbatuk-batuk. Sekali lagi Wiyati terkejut dan tergesa-gesa membenahi pakaiannya*.
" Aku hanya akan minta diri " berkata Swandaru.
Wiyati yang bergeser dan berlindung dibalik tubuh kudanya mengangguk hormat sambil berdesis"Silahkan, Ki Swandaru."
" Aku akan datang lagi untuk melihat kuda-kuda Ki Ambara." Wiyati tidak menjawab.
Demikianlah maka sejenak kemudian, Swandarupun lelah minta diri sekali lagi kepada Ki Ambara. Dituntunnya kudanya keluar regol halaman. Sambil meloncat naik, iapun berkata " Aku akan segera kembali lagi Ki Ambara. Aku akan memikirkan, apakah aku akan membeli kuda lagi atau tidak."
Sejenak kemudian, maka Swandarupun telah melarikan kudanya meninggalkan rumah Ki Ambara.
Namun yang kemudian singgah di kepala Swandaru bukan saja seekor kuda yang besar dan tegar. Tetapi setiap kali wajah Wiyati terbayang tumpang tindih dengan gambaran seekor kuda yang besar, kuat dan tegar.
Swandaru menggelengkan kepalanya. Ia mencoba mengusir bayangan gadis yang pakaiannya basah melekat di tubuhnya itu. Nalarnya masih dapat bekerja seutuhnya, sehingga mampu mengimbangi gejolak perasaannya
Ketika Swandaru sampai di rumah dan menemui Pandan Wangi yang tersenyum menyambutnya, maka bayangan Wiyati itupun lenyap dari kepalanya.
Yang dicernakan Swandaru kepada Pandan Wangi adalah beberapa ekor kuda Ki Ambara yang ternyata memang baik.
" Kapan-kapan aku ikut melihal-lihat kuda itu lagi. kakang."
" Ya. Kapan saja kau ingin pergi-ke rumah Ki Ambara, kita akan pergi. Tetapi jangan terlalu lama. Aku berjanji untuk segera datang kembali.
Pandan Wangi tertawa pendek. Katanya " Jika aku belum sempat, bukankah kau dapat pergi sendiri?"
Terasa jantung Swandani berdesir. Rasa-rasanya Pandan Wangi menyindirnya, bahwa ia memang ingin pergi sendiri.
" Tidak - berkata Swandaru di dalam hatinya " aku tidak akan pergi sendiri. Aku akan mengajak Pandan Wangi pergi ke rumah Ki Ambara."
Meskipun demikian, mulutnya terasa di bungkam ketika ia berniat untuk menceriterakan kepada Pandan Wangi, bahwa di rumah Ki Ambara tinggal pula cucu perempuannya."
Tiba-tiba saja Swandaru merasa gelisah. Tetapi ternyata bahwa ia masih mampu menyembunyikan kegelisahannya. Bahkan sikapnya kepada Pandan Wangi justru menjadi semakin manis.
Beberapa hari kemudian, Swandaru masih belum pergi ke rumah Ki Ambara. Swandaru berusaha untuk menunggu Pandan Wangi mempunyai kesempatan untuk pergi. Tetapi ternyata ketika Swandaru mengajaknya. Pandan Wangi itu berkata " Pergilah sendiri kakang. Maaf, aku belum dapat menemanimu sekarang. Mungkin lain kali.
Swandarupun menjadi bimbang. Nalarnya mencobanya untuk tidak pergi sendiri. Tetapi ternyata bahwa akhirnya Swandaru itu memuluskan untuk pergi.
Ketika ia sampai di rumah Ki Ambara, ternyata sikap Wiyati lelah berbeda. Ia tidak lagi menyembunyikan wajahnya dan bahkan dibalik tubuh kudanya. Tetapi Wiyati menjadi lebih berani. Wiyatilah yang menerima Swandaru dan mempersilahkannya naik ke pendapa dan duduk di pringgilan.
" Kakek baru mandi. Ki Swandaru."
" O " Swandaru merasa heran, bahwa sikap Wiyati sudah banyak berubah meskipun ia baru beberapa hari berada di rumah kakeknya.
" Apakah Ki Swandaru sendiri saja ?" bertanya Wiyati kemudian.
Swandaru mengerutkan keningnya. Pertanyaan-pertanyaan Wiyati mengalir begitu lancar. Wiyati yang ditemuinya itu berbeda dengan Wiyati yang ditemuiya beberapa hari yang lalu.
" Mungkin waktu itu, aku masih sangat asing baginya berkata " Swandaru di dalam hatinya ?" sekarang, setelah ia mengenal aku, maka yang nampak di permukaan adalah sifat aslinya. Sebenarnyalah gadis ini adalah gadis yang ramah."
Karena Swandaru tidak segera menjawab, maka Wiyati telah mengulang pertanyaannya" Ki Swandaru sendiri saja?"
" Ya "jawab Swandaru.
" Apakah Nyi Swandaru bukan seorang penggemar kuda?"
Swandaru tertawa. Katanya " Ia juga seorang penggemar kuda Tetapi ia baru sibuk."
" Karena itu. maka Ki Swandaru dalang sendiri di rumah kakek ini."
" Ya." Wiyati tertawa. Tetapi ia masih telap seperti seorang gadis yang hidup di dalam lingkungan tertutup. Dengan telapak tangannya ia menutupi mulutnya, sehingga suara tertawanya tertahan.
Namun tertawa. Tetapi ia masih tetap seperti seorang gadis yang hidup di dalam lingkungan tertutup. Dengan telapak tangannya ia menutupi mulutnya, sehingga suara tertawanya tertahan.
Namun Wiyati itupun kemudian berkata " Silakan duduk Ki Swandaru. Biarlah aku lihat, apakah kakek sudah selesai atau belum."
" Aku tidak tergesa-gesa Wiyati. Biar saja Ki Ambara menyelesaikannya. Kau tidak perlu mendesaknya. Nanti, Ki Ambara juga akan selesai dengan sendirinya."
" Ah." " Duduk sajalah di sini."
" Aku akan merebus air."
" Nanti saja, setelah kakekmu selesai."
Ternyata Wiyati memang tidak pergi, la duduk saja di pringgitan. Sekali-sekali nampak senyumnya menghiasi bibirnya yang tipis. Matanya setiap saat bagaikan menyala, memandang Swandani yang terheran-heran melihat kecantikan Wiyati.
Sejak saat itu, Swandani benar-benar mulai terjerat. Usaha Wiyati tidak sia-sia Gadis itu telah membuat Swandaru kadang-kadang kehilangan penalarannya.
Ki Ambara mengamati perkembangan keadaan dengan saksama. Dengan cerdik Ki Ambara memberikan banyak waktu kepada Wiyati untuk menemui Ki Swandani.
Meskipun demikian, jika Swandani pulang ke rumahnya di Sangkal Pulung dan bertemu dengan Pandan Wangi, selalu terjadi pergolakan yang sengit di dalam dadanya. Pandan Wangi adalah seorang perempuan yang cantik. Ia juga seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi. Selama ini Pandan Wangi mendampinginya dengan setia.
Ketika ia tergelincir karena seorang penari janggrung. Pandan Wangi bersedia memaafkannya. Bahkan kemudian lelah melupakan peristiwa yang hampir saja menjadi malapetaka itu. Adik perempuannya. Sekar Mirah telah ikut campur dan dengan sikap yang lebih keras dari sikap Pandan Wangi, Sekar Mirah memutuskan hubungannya dengan penari janggrung itu.


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Apakah aku sekarang akan mengkhianatinya lagi?" pertanyaan itu telah bergaung di telinganya.
Gejolak itu seakan-akan justru semakin mendekatkan Swandaru kepada Pandan Wangi. Sikap Swandaru pun justru menjadi semakin lembut. Rasa-rasanya Swandaru memang menjadi semakin dekat dengan isterinya..
Dengan demikian, maka kerukunan hubungan suami isteri itu nampak menjadi semakin mendalam. Keduanya seakan-akan tidak pernah berselisih pendapat. Swandaru selalu berusaha memenuhi keinginan Pandan Wangi
Pandan Wangi pun merasa dirinya semakin diperhatikan oleh suaminya. Bahkan, setiap kali Swandani menghadapi persoalan apapun juga. selalu dibicarakannya dengan isterinya
Termasuk persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan kadcmangnnnya. Mengenai kegiatan para pengawal. Mengenai kelancaran air di parit parit yang mengaliri sawah di seluruh kademangan. Mengenai kesejahteraan para penghuni kademangan dan mengenai banyak hal.
Pandan Wangi selalu mencoba ikut memecahkan masalah-masalah yang timbul. Pandan Wangi yang mempunyai penalaran yang jernih itu. mampu memberikan banyak masukan yang berarti bagi tugas-tugas Swandaru.
Namun dalam pada itu, Swandaru tidak pernah melupakan kegemarannya tentang kuda. Beberapa kali Swandaru sudah berganti kuda. Namun kepada Pandan Wangi, Swandaru mengatakan, bahwa ia tidak membeli kuda-kuda yang baru itu. Tetapi ia hanya menukarkannya dengan sedikit memberikan tambahan uang.
" Sekadarnya saja, karena berdagang kuda itu adalah satu-satunya penghasilan Ki Ambara " berkata Swandaru kepada Pandan Wangi.
Pandan Wangi sama sekali tidak menaruh curiga meskipun Swandaru agak terlalu sering pergi ke rumah Ki Ambara. Apalagi Ki Ambara sendiri juga sering mengunjungi Swandaru di kademangan Sangkal Pulung.
Dalam pada itu. rasa-rasanya Swandaru benar-benar telah masuk ke dalam jerat yang dipasang dengan cerdik oleh wiyati.
Jika Swandaru dalang ke rumah Ki Ambara, maka yang pertama menemuinya adalah Wiyati. Bahkan jika Swandaru tidak segera melihat gadis itu. ia selalu menanyakannya.
Namun sebenarnyalah Swandaru tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Ketika ia duduk di pringgitan bersama Ki Ambara, Swandaru pun berkata " Ki Ambara. Ada suasana yang aneh di rumah"
" Maksud angger Swandaru?"
"Aku minta maaf. tetapi aku merasakan suasana itu."
" Angger Swandaru. Aku minta angger herterus-terang. Apakah setiap kali kami menerima angger Swandaru, sikap dan tingkah laku kami tidak berkenan di hati angger" Bagiku, angger adalah seorang langganan yang haik. Aku tidak ingin kehilangan angger Swandaru. Bukan saja angger Swandaru yang lelah membeli kuda-kudaku. Tetapi lantaran angger Swandaru, aku banyak mendapat rejeki."
" Tidak, Ki Ambara. Aku justru merasa, bahwa aku selalu diterima dengan baik. Terlalu baik, sehingga kadang-kadang jantungku tergetar karenanya"
" Aku tidak tahu maksud angger Swandani."
" Ki Ambara sejak Wiyati ada di sini, suasana di rumah ini menjadi lain."
" Apakah Wiyati pernah atau bahkan sering berlaku kurang sopan?" Mungkin anak itu memang tidak mengenal unggah-ungguh."
" Tidak, Ki Ambara. Bukan begitu. Anak itu bersikap terlalu ramah kepadaku. Ia sangat baik. Bahkan terlalu baik kepadaku."
" Jadi. apakah yang menyebabkan angger tersinggung."
" Aku sama sekali tidak tersinggung."
" O. Jadi?" " Aku justru merasa terjerat di sini."
"Terjerat?" " Ki Ambara. Wiyati adalah seorang gadis yang cantik. Ia masih terlalu muda untuk mengenal pergaulan. Aku tidak lahu, apakah maksudnya, bahwa ia memperlakukan aku begitu baik dan ramah. Sementara itu aku adalah seorang laki-laki yang sudah menjelang saatnya tumbuh uban di rambutnya.
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku tahu yang angger maksudkan. Sebagai orang tua, aku juga memperhatikan sikap Wiyati. la adalah seorang gadis yang terasing dari pergaulan di rumah orang tuanya. Tetapi ia tidak pernah merasa tertarik kepada seorang laki-laki. Tetapi aku melihat sikap yang lain pada gadis itu sekarang."
" Ki Ambara Aku adalah orang yang sudah menjelang separo baya. Aku merasa bahwa aku harus menempatkan diriku sebaik-baiknya."
" Aku hargai sikap angger Swandaru. Tetapi apa yang dapat aku lakukan terhadap perasaan seseorang?"
" Maksud Ki Ambara?"
" Aku akan dapat memaksakan kehendakku atas ujud kewadagan Wiyati. Tetapi aku sama sekali tidak akan dapat mengekang perasaannya."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang sudah cukup berpengalaman. Swandani pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh Ki Ambara Ternyata Ki Ambara merasa tidak mampu menghalangi sikap Wiyati.
" Aku mohon maaf sedalam-dalamnya, ngger. Mungkin aku harus membawa cucuku itu kembali kepada orang tuanya."
" Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan,' Ki Ambara " Swandarupun menyahut dengan serta-merta.
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam.
" Sebenarnyalah akupun merasa cemas, bahwa jika pada suatu saat nanti. Pandan Wangi menyatakan keinginannya untuk ikut datang kemari."
Ki Ambara mengerutkan dahinya. Sambil mengangguk-angguk kecil iapun berdesis " Memang akan dapat menimbulkan kesan yang buruk. Tetapi jika benar angger Pandan Wangi ikut datang kemari, aku berjanji untuk menyembunyikan Wiyati. Aku juga merasa cemas, bahwa anak itu melakukan sesuatu yang dapat memberikan kesan buruk itu."
" Apakah itu mungkin?"
" Aku berjanji. Karena itu. jika angger Pandan Wangi ingin datang kemari, jangan dicegah. Jika angger Swandaru berusaha mencegahnya, maka justru akan dapai menarik perhatiannya."
Swandaru mengangguk-angguk.
Namun demikian, pada saat-saat yang lain, penalarannya sama sekali tidak mampu memberikan pertimbangan kepada perasaannya Baru saja ia menyatakan kegelisahannya kepada Ki Ambara, tetapi ketika kemudian Wiyati keluar dari pintu pringgilan untuk menghidangkan minuman dan makanan, hati Swandaru telah diguncangnya lagi.
Demikian, hari-hari yang dijalani oleh Swandaru bagaikan wajah lautan yang bergelombang. Berguncang-guncang antara penalarannya dan perasaannya.
Bagaimana pun juga Swandaru menyembunyikannya, namun akhirnya Pandan Wangi mampu menangkap kegelisahan di jantung suaminya itu.
Meskipun .demikian. Pandan Wangi tidak tahu. apakah yang menyebabkan suaminya menjadi gelisah.
Karena itu, ketika keduanya sedang makan malam di ruang dalam rumahnya. Pandan Wangi itupun bertanya "Kakang. Pada saat-saat terakhir, aku merasakan kegelisahan di hati kakang."
Swandaru mengerutkan dahinya. Kemudian sambil tersenyum iapun berkata " Aku tidak apa-apa Pandan Wangi."
" Kakang berusaha untuk menyembunyikan kegelisahan itu. Tetapi aku adalah isteri kakang, sehingga getar kegelisahan itu akhirnya terasa juga olehku."
Swandaru mengangguk-angguk kecil. Katanya " Pandan Wangi. Sebenarnyalah aku berusaha agar kau tidak ikut merasakan kegelisahan ini. Kegelisahan ini adalah kegelisahan laki-laki. Maksudku, kegelisahanku sebagai anak Demang Sangkal Putung."
" Aku adalah isterimu, kakang, Selama ini kau telah menjadi terbuka. Baik mengenai dirimu sendiri, maupun mengenai tugas-tugasmu di Sangkal Putung ini. Karena itu. jangan ada yang disembunyikan lagi." Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku lahu, betapa kan berusaha untuk menempatkan dirimu sebagai seorang isteri, Pandan Wangi. Namun akupun mengerti, bahwa kau adalah seorang isteri yang lain dengan kebanyakan perempuan. Kau adalah seorang perempuan yang berilmu tinggi. sehingga sebenarnya akupun telah berpikir untuk tidak merahasiakannya kepadamu. Untuk tidak memperlakukan kau seperti perempuan-perempuan yang lain."
'" Terima-kasih, kakang."
" Sebenarnyalah bahwa peringatan yang kita terima tentang usaha sekelompok orang untuk membangunkan kembali perguruan Kedung Jati itu bukan sekedar lembang gembala di padang rumput. Bukan sekedar ceritera yang dibuat-buat."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya Aku sudah mengira bahwa berita itu benar adanya. Segerombolan orang yang berusaha menyusun kembali kekuatan perguruan itu memang harus diwaspadai."
Swandarupun mengangguk-angguk. Sementara Pandan Wangipun berkata " Karena itu. aku ingin kakang tidak pergi kemana-mana seorang diri."
Namun Swandani tersenyum. Katanya " Jangan menjadi cemas berlebih-lebihan, Pandan Wangi. Aku gelisah bukan karena kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas diriku dalam kesendirianku. Tetapi aku gelisah karena mereka akan dapat menjadi besar."
" Maksud kakang?"
" Seorang pengawal berhasil mengintip kehidupan sekelompok orang yang ternyata adalah orang-orang dari perguruan yang akan bangkit itu. Mereka telah berusaha menyusun kekuatan Agaknya kali ini mereka berhati-hati, sehingga mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah mereka lakukan sebelumnya, saat mereka menyerang Tanah Perdikan Menoreh."
Pandan Wangi menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata " Kita menghubungi kakang Untara"
Swandaru memang sudah menduga, bahwa Pandan Wangi tentu akan menganjurkan untuk berhubungan dengan Untara. Karena itu. Maka Swandarupun menjawab " Ya. aku setuju Pandan Wangi. Tetapi jangan sekarang. Aku ingin meyakinkan lebih dahulu, apakah penglihatan pengawal itu meyakinkan. Aku akan menjadi sangat malu, jika kemudian petugas sandi Jati Anom membuktikan, bahwa penglihatan pengawal itu keliru."
Pandan Wangi mengangguk-angguk.
" Hal itu memang membuat aku gelisah. Tetapi kau tidak usah menjadi gelisah karenanya. Biarlah aku menyelesaikannya. Jika kita merasa penting untuk memberitahukan kepada kakang Untara, maka aku akan mengirim orang ke Jati Anom, atau kita berdua akari menemui kakang Untara itu."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara Swandarupun berkata " Sudahlah, jangan hiraukan. Besok aku akan melihat kuda di rumah Ki Ambara."
Dengan serta-merta Pandan Wangipun berkata " Besok aku ikut, kakang."
Terasa jantung Swandaru berdesir. Tetapi Ki Ambara sudah berkata kepadanya, jika ia datang bersama Pandan Wangi, maka cucunya itu akan disembunyikannya.
Swandaru memang tidak dapal berbuat lain daripada mengiakannya.
Dalam pada itu, ketika Pandan Wangi membenahi mangkuk dan lenong bambunya, maka Swandarupun telah turun ke halaman.
Angin malam bertiup sekelompok orang yang sedang berbisik bersama-sama.
Meskipun malam dingin. tapi punggung Swandaru menjadi basah oleh keringat.
" Besok Pandan Wangi akan ikut pergi ke rumah Ki Ambara " berkata Swandaru kepada diri sendiri.
Swandarupun menjadi semakin gelisah. Tetapi ia berharap bahwa Ki Ambara memegang janjinya, sehingga Pandan Wangi tidak menjumpai Wiyati di rumah Ki Ambara itu.
Meskipun demikian, Swandaru masih saja telap dibayangi oleh kemungkinan buruk yang dapat terjadi di rumah Ki Ambara.
" Ki Ambara akan dapat tidak memegang janjinya. Ia justru mempertemukan Pandan Wangi dengan Wiyati. Bahkan mungkin Ki Ambara dengan sengaja mengharapkan. Pandan Wangi menjadi marah dan meninggalkannya. Dengan demikian, maka Wiyati akan mendapat banyak kesempatan untuk memilikinya tanpa berbagi.
Swandaru telah mulai membohongi Pandan Wangi sebagaimana pernah dilakukannya. Jika ia mulai berbohong, maka kebohongan-kebohongan yang lain akan mengikutinya: Untuk menutupi satu kebohongan, maka Swandaru harus membuat kebohongan yang lain.
" O " Swandaru berdesah. Ia menyesali perbuatannya. Seharusnya ia menjadi jera, setelah Sekar Mirah langsung mencampuri persoalannya. Jika kali ini Pandan Wangi mengetahui bahwa ia telah berbohong lagi, maka Pandan Wangi tentu akan memberitahukannya kepada Sekar Mirah dan Agung Sedayu.
" Jika mereka lahu, mereka akan berbuat apa" " tiba-tiba saja Swandaru itu menggeram " aku tidak takut, melawan mereka berdua. Seberapa tataran kemampuan Sekar Mirah. Sebenarnya pula tingkat ilmu Agung Sedayu."
Namun kemudian Swandaru itupun berkata " Persoalannya memang bukan sekedar aku dapat mengalahkan mereka. Tetapi seluruh Sangkal Pulung tentu akan menilai aku kembali. Ayah akan menjadi sangat marah dan kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya dapat terjadi.
Namun Swandaru masih berharap Ki Ambara benar-benar menyembunyikan Wiyati.
Di keesokan harinya, justru Pandan Wangilah yang memperingatkan Swandaru. bahwa mereka akan pergi ke rumah Ki Ambara hari itu.
Demikian matahari terbit, maka keduanyapun segera berangkai. Mereka ingin sampai di rumah Ki Ambara sebelum panas matahari menggatalkan kulit mereka.
Sebenarnyalah di sepanjang jalan, jantung Swandaru terasa berdebar terlalu cepat. Namun Untuk menutupi kegelisahannya. Swandaru justru banyak berbicara tentang sekelompok orang yang berusaha untuk menyusun kembali sebuah perguruan yang hampir dilupakan orang.
Semakin dekat keduanya dengan regol rumah Ki Ambara, maka jantung Swandaru menjadi semakin berdebaran. Jika saja Ki Ambara atau Wiyati dengan sengaja membuat hubungannya dengan Pandan Wangi retak, maka ia akan segera menghadapi satu masa yang sangat pahit.
" Sebuah pemerasan akan dapat terjadi " berkata Swandaru di dalam hatinya.
Akhirnya keduanyapun berhenti di depan regol halaman rumah Ki Ambara.
Keduanyapun kemudian berloncatan turun. Pandan Wangilah yang memasuki regol halaman itu mendahului Swandaru. Baru kemudian Swandaru menuntun kudanya di belakang Pandan Wangi.
Keringat dingin membasahi punggung Swandaru. Ia merasa seakan-akan memasuki sebuah ruangan yang sangat gelap. Ia tidak tahu, apa yang ada di dalam ruangan itu. Seekor harimau yang buas atau seekor ular berbisa, atau seekor kucing yang jinak.
Sebelum mereka sampai di depan tangga pendapa, Ki Ambara telah keluar dari pintu pringgilan menyambutnya. Sambil tersenyum Ki Ambara itupun berkata Aku sudah mengira bahwa angger berdua akan datang."
" Kenapa" " bertanya Pandan Wangi.
" Sepasang burung prenjak berkejaran di pohon bunga soka itu. Kicauya tidak henti-hentinya sejak bayangan sinar matahari nampak di langit".
Pandan Wangi tertawa. Swandarupun mencoba untuk tertawa pula.
" Marilah, silahkan naik " berkata Ki Ambara kemudian.
Sejenak kemudian, maka mereka bertigapun lelah duduk di pringgilan. Sementara itu Swandaru masih saja merasa gelisah. Tetapi dengan susah payah ia mencoba untuk menyembunyikannya.
" Lama angger tidak datang kemari" " bertanya Ki Ambara. Swandaru menarik nafas panjang. Katanya " Ada sesuatu yang harus aku perhatikan di kademangan, Ki Ambara."
" Apa ada masalah yang timbul" Nampaknya kademangan Sangkal Putung adalah satu kademangan yang tenang dan damai."
" Tidak ada satu kademanganpun yang luput dari persoalan-persoalan yang harus dipecahkannya. Ki Ambara. Kali ini Sangkal Putung menghadapi persoalan yang memerlukan perhatian yang bersungguh-sungguh."
" Persoalan apa ngger?"
Swandaru tersenyum. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.
"Maaf. satu pertanyaan yang bodoh. Seharusnya aku tidak mengajukan pertanyaan seperti itu."
. Pandan Wangipun tertawa. Swandarupun kemudian tertawa pula meskipun agak terlambat.
Ketika terdengar desir langkah seseorang di ruang dalam menuju ke pintu pringgitan jantung Swandaru bagaikan berhenti berdetak. Ia tahu, bahwa orang yang ada di ruang dalam itu tentu akan menghidangkan minuman dan makanan bagi mereka
Sejenak kemudian, maka pintu pringgitanpun berderit. Jantung Swandaru bagaikan berhenti berdetak. Jika Ki Ambara dan Wiyati ingin mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri, maka Wiyatilah yang akan keluar dari ruang dalam menghidangkan minuman dan makanan
Namun Swandaru menarik nafas dalam-dalam, ketika yang muncul adalah seorang laki-laki sambil membawa nampan berisi beberapa mangkuk minuman.
Swandaru menjadi sedikit tenang. Ternyata Ki Ambara menepati janjinya untuk menyembunyikan Wiyati.
Tetapi kemungkinan lain masih saja dapat terjadi. Hidangan yang akan disuguhkan tentu bukan hanya minuman saja. Biasanya Ki Ambara menghidangkan minuman dan makanan.
Namun yang menghidangkan makanan adalah orang yang menghidangkan minuman itu pula.
Untuk sementara Swandani merasa bebas dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Apalagi jika Ki Ambara dan Wiyati dengan sengaja berusaha memisahkannya dengan Pandan Wangi.
Namun Ki Ambara benar-benar memenuhi janjinya. Wiyati bukan saja tidak menghidangkan minuman dan makanan. Tetapi sampai kunjungan Swandani berakhir, setelah melihat lihat kuda di kandang, Wiyali memang tidak menampakkan diri lagi.
Hati Swandaru benar-benar menjadi lenang demikian mereka meninggalkan regol halaman rumah Ki Ambara. Dengan ramah Ki Ambara mengantar mereka sampai ke regol halaman.
" Ngger " berkata Ki Ambara demikian Swandaru dan Pandan Wangi meloncat ke punggung kuda " dalam waktu sepekan ini, aku akan mendapatkan kuda-kuda baru. Jika mungkin ada seseorang yang memerlukannya, tolong ngger, tunjukkan rumah ini, biarlah mereka datang melihatnya."
" Baik, Ki Ambara " sahut Swandaru " aku akan bercerita tentang kuda baru Ki Ambara. Namun Ki Ambarapun harus tahu pula, bahwa aku adalah perantaranya"
Ki Ambara tertawa. Katanya " Tentu aku tidak berani menganggap angger Swandaru seorang perantara."
" Kenapa ?" " Angger Swandaru adalah seorang putera Demang di Sangkal Putung. Kademangan yang besar, jauh lebih besar dari kademangan-kademangan yang lain."
" Meskipun demikian, Pandan Wangi juga berbelanja dengan uang yang sama dengan uang yang dibayar bagi seekor kuda."
Ki Ambara tertawa semakin berkepanjangan. Pandan Wangi dan Swandaru sendiri juga tertawa.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, Swandaru dan Pandan Wangipun melarikan kuda mereka kembali ke Sangkal Putung.
Sikap Swandaru ternyata berbeda dengan sikapnya di saat mereka berangkat. Swandaru tidak dibayangi lagi oleh kegelisahan tentang kesediaan Ki Ambara memenuhi janjinya.
Tetapi perubahan sikap itu tidak tertangkap oleh Pandan Wangi. Pandan Wangi mengira bahwa Swandaru terpengaruh oleh dua tiga ekor kuda yang sangat baik di kandang Ki Ambara, karena sejak mereka lepas dari regol halaman rumah Ki Ambara, yang dibicarakan oleh Swandaru ddak terlepas dari pembicaraan tentang kuda.
Sebagai seorang isteri yang baik, maka Pandan Wangipun mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sekali-sekali bertanya tentang kuda-kuda yang diceritakan oleh Swandaru itu.
Dalam pada itu, sepeninggal Swandaru dan Pandan Wangi, Wiyatipun keluar dari persembunyiannya, Sebuah ruang kecil di sebelah dapur. Sambil tertawa, Wiyati itupun berkata - Nafasku menjadi sesak, kek."
" Kenapa?" " Asap dapur itu masuk ke dalam sanggar khususku itu."
Ki Ambarapun lertawa. Ki Saba Lintang yang berada di rumah uu pula menyahut " Satu laku prihatin. Wiyati. Mudah-mudahan rencana kita dapat terlaksana dengan baik."
" Ya. Aku yakin dalam waktu dekat, Swandaru akan datang lagi kemari."
" Kakek yakin?"
" Ya. Jeratmu telah mengena."
" Aku sadari itu, kek."
" Nah, kita akan berjuang lebih lanjut."
Namun dalam pada itu, yang tidak termasuk dalam perhitungan Ki Ambara dan Saba Lintangpun telah terjadi. Selama ia berada di rumah Ki Ambara, maka agar gadis itu tidak menjadi jenuh, sekali-sekali Wiyati pergi keluar rumah. Sekali-sekali ia pergi ke pasar. Namun dengan pesan, bahwa jika ia pulang dan melihat dua ekor kuda di halaman, maka ia harus berhati-hati. Mungkin Swandaru dan Pandan Wangi.
" Kita harus memenuhi janji kita kepada Swandaru jika kita ingin Swandaru itu memberikan arti bagi kita. Tidak sekedar berarti bagimu saja"
Wiyati mengangguk. " Ya. kek." Adalah di luar perhitungan Wiyati, jika setiap kali ia pergi ke pasar, seseorang telah memperhatikannya. Ketika pertama-tama orang itu melihat Wiyati, rasa-rasanya ia telah bermimpi. Ia tidak mengira bahwa di dunia ia ada seorang perempuan secantik perempuan yang dilihatnya itu.
Perhatian orang itu terhadap Wiyati tidak akan menjadi masalah jika saja orang itu bukan anak seorang saudagar yang kaya. Yang mempunyai banyak uang. Apalagi orang itu menganggap bahwa uang adalah segala-galanya.
Ketika pada saat yang lain orang itu melihat lagi Wiyati berada di pasar, maka iapun mulai berusaha untuk mengenalnya.
Tetapi cara yang ditempuhnya terlalu kasar bagi seorang gadis. Orang yang masih terhitung muda itu telah memerintahkan seorang pembantunya untuk menemui Wiyati dan memanggil gadis itu untuk menemuinya disebuah kedai yang terbesar di depan pasar itu.
Wiyati yang bani berbelanja memang terkejut ketika seorang laki-laki mendekatinya dan menyapanya " Kau hanya seorang diri, cah ayu"
Wiyati memandang orang itu dengan tajamnya. Sementara laki-laki itupun berkata " Jangan marah. Aku tidak akan mengganggumu, nini."
" Apa maksudmu?"
" Aku diperintahkan oleh momonganmu, seorang anak muda yang tampan dan kaya, memanggilmu, nini. Siapa namamu?"
" Aku yang seharusnya bertanya. Siapakah kau dan siapa yang kau sebut momonganmu itu?"
" Namaku, Windu. Nama momonganku Sawung Rampak. Anak ' saudagar terkaya di daerah ini."
" Aku belum mengenal momonganmu itu."
" Memang belum nini. Tetapi siapa namamu?"
" Namaku Wiyati."
" Wiyati, momonganku memang belum kau kenal. Iapun belum mengenalmu. Ia baru melihat kau di pasar ini dua kali. Sekali beberapa hari yang lalu dan kedua kalinya adalah sekarang"
" Jadi, untuk apa ia memanggilku?"
" Ia ingin berkenalan dengan seorang perempuan yang sangat cantik. Menurut momonganku, ia belum pernah melihat seorang perempuan secantik kau."
" Ah - desis Wiyati.
" Ia berkata sebenarnya. Karena- itu; marilah. Aku minta kau singgah di kedai itu. Momonganku dan seorang kawanku menunggu di sana?"
Wiyati adalah seorang gadis yang tegar. Keinginan orang yang belum dikenalnya itu untuk menemuinya, telah menggelitiknya untuk memenuhinya. Keinginannya untuk mengetahui, apa yang akan dilakukan oleh orang itu. justru telah mendorongnya untuk datang ke kedai itu.
Karena itu, maka Wiyati kemudian berkata " Bawa aku kepadanya."
Orang yang bernama Windu itu tersenyum, la bahkan merasa bangga, bahwa ia telah berhasil membawa gadis yang diinginkan oleh momongannya itu.
Sejenak kemudian, maka Wiyatipun telah masuk ke dalam kedai itu. Iapun melihat dua orang yang duduk di sudut kedai itu. agak jauh dari orang-orang yang lain.
Wiyati menarik nafas panjang. Kedai itu terhitung kedai yang besar. Kedai yang ramai dikunjungi orang.
" Marilah " berkata Windu.
Wiyati mengikut saja. Yang dimaksud momongannya adalah orang yang duduk di sudut ditemani oleh seorang laki-laki yang nampak garang itu.
Demikian Sawung Rampak melihat Windu bersama Wiyati mendekatinya, maka iapun segera bangkit berdiri. Yang dimaksud oleh windu momongannya itu adalah seorang anak muda yang bertubuh .tegap, berwajah tampan dengan pakaian yang rapi terbuat dari bahan yang mahal. Sebilah keris terselip di punggungnya, sementara dari sela-sela bajunya yang sedikit terbuka di bagian depannya, nampak timangnya terbuat dari emas.
Sawung Rampak adalah anak yang seolah-olah memiliki segala galanya. Tubuhnya yang tegap, kulitnya yang kuning dengan bulu bulu dada yang lebat yang tidak tertutup oleh bajunya yang terbuka, senyumnya dan apalagi ia adalah seorang yang kaya, membuatnya menjadi anak muda yang selalu diburu oleh gadis-gadis. Namun perburuhan itu selalu berakhir dengan kekecewaan. Bahkan kadang-kadang noda, sementara orang tua gadis-gadis itu tidak dapat berbuat apa-apa. karena ayah Sawung Rampak mempunyai banyak uang.
" Duduklah " Sawung Rampak mempersilahkannya duduk " siapa namamu?"
Wiyatipun segera duduk. Sambil tersenyum iapun menjawab Namaku Wiyati. Kaukah yang bernama Sawung Rampak?"
" Ya. Darimana kau tahu namaku?"
" Kakang Windu yang mengatakannya kepadaku."
" O, ia memang orang upahanku. Aku perintahkan ia memanggilmu ke kedai ini."
" Ia mengajakku kemari. Menurut keterangannya, ia mempunyai dua orang kawan di sini."
" Tentu aku yang dimaksudkan."
" Ya. Ia ingin memperkenalkan aku dengan kawan-kawannya. Bahkan mungkin orang tuanya.
"He?" Sawung Rampak memandang Wiyati dengan tajamnya. Dengan geram ia bertanya " Apa maksudmu memperkenalkan gadis itu kepada orang tuamu"-
Sebelum Windu menjawab, Wiyati telah mendahuluinya menjawab " Katanya, ia tertarik kepadaku. Menurut kakang Windu, aku adalah gadis yang paling cantik yang pernah ditemuinya. Karena itu, ia minta aku mau mengikutnya kemari."
" Setan, kau Windu " geram Sawung Rampak.
" Tidak. Aku tidak mengatakan seperti itu. Aku mengajaknya kemari, karena kau ingin berkenalan dengan gadis itu."
Ketika Sawung Rampak mendekatinya. Windu menjadi ketakutan Sementara itu Wiyatipun mendekatinya sambil bertaya " Kakang. Kau kenapa?"
Sebelum Windu menjawab, tangan Sawung Rampak telah menampar wajah Windu dengan kerasnya, sehingga Windu itu terpelanting menimpa lincak bambu di dalam kedai itu.
Beberapa orang yang semula kurang memperhatikannya terkejut Serentak mereka berpaling. Yang mereka lihat adalah Sawung Rampak yang marah bertolak pinggang.
Tidak ada yang berani mencegah Sawung Rampak. Beberapa orang bahkan meninggalkan kedai itu. Mereka yang terhitung berani, meneruskan makan dan minum makanan dan minuman yang mereka pesan tanpa berani mencampuri urusan Sawung Rampak itu.
" Kakang Windu. Kakang " panggil Wiyati sambil berjongkok di dekat Windu. Tetapi Windu itupun kemudian mendorongnya sambil berkata" Pergi. Kau telah memfitnah aku."
'Memfitnah apa?" " Aku tidak mengatakan sebagaimana kau katakan."
" Kau takut kepada Sawung Rampak."
" Hidupku tergantung kepadanya. Mana mungkin aku berani melawannya."
Wiyati tertawa. Katanya " Ternyata ia seorang pengecut. Tadi ia berkata kepadaku. bahwa ia akan melindungiku. Ia tidak takut kepada sia-papun juga'."
"tidak. Gadis itu memfitnah aku " sahut Windu sambil berusaha bangkit berdiri
Sawung Rampak mulai curiga terhadap sikap Wiyati. Karena mi maka iapun bertanya " Apa maksudmu dengan permainan itu?"
Wiyati tertawa. Katanya " Tidak apa-apa. Aku senang melihat kau memukul orang yang membawa aku kemari."
" Kau tahu akibat dari sikapmu itu?"
" Aku hanya ingin mengatakan kepadamu dan kepada kawan-kawanmu, caramu, memperkenalkan diri sangat kasar. Ketahuilah, aku adalah perempuan yang bersuami."
Windu mengusap bibirnya yang berdarah. Ia menjadi marah sekali kepada Wiyati yang telah memfitnahnya, sehingga Sawung Rampak menampar wajahnya.
Tetapi Sawung Rampak itu justru tertawa. Katanya" Kenapa jika kau sudah bersuami ?"
"Sudah tentu aku akan terikat oleh suamiku. Laki-laki lain sebaiknya tidak menggangguku dengan cara apapun juga. Apalagi dengan cara yang kasar seperti caramu."
"Siapakah suamimu itu " Apakah ia seorang yang kaya raya melampaui kekayaanku?",
"Tidak. Suamiku bukan seorang yang kaya."
"Jika demikian, kau mempunyai peluang. Tinggalkan suamimu dan ikut aku. Aku mempunyai banyak uang. Jika kau tidak mau meninggalkan suamimu, biarlah hubungan di antara kita berlangsung terus meskipun suamimu mengetahuinya. Aku akan mengancamnya. Jika ia berkeberatan, aku akan membunuhnya."
Tetapi Wiyatipun tertawa pula Katanya " Suamiku bukan kecoak yang akan dengan mudah kau injak sampai mati."
"Kau jangan menghinaku " geram Sawung Rampak " semua kemauanku harus terjadi. Jika kau menolak, kau akan ditangkap dan dibawa ke rumahku dengan kekerasan. Tidak seorangpun dapat menolongmu. Suamimu juga tidak."
"Lucu sekali " berkata Wiyati " apakah di padukuhan ini tidak ada pangeran" Jika tingkah lakumu itu didengar oleh para prajurit Mataram, maka kau akan menjadi ndeg pangamun-amun."
"Tidak ada prajurit Mataram yang berkeliaran sampai di sini. Jika ada. maka tidak seorangpun yang bersedia menjadi saksi atas perbuatanku itu. Suamimu akan dapat aku tuduh memfitnahku. Lurah prajurit Mataram itu akan tunduk kepadaku jika aku menunjukkan keping-keping uang kepalanya.
"Baik. Baik. Katakan bahwa tidak ada prajurit Mataram yang berkeliaran di sini. Bahkan seandainya ada akan dapat kau suap untuk tidak bertindak apa-apa " Wiyati termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian " Jika demikian, suamiku dapat juga berbuat di luar paugeran. Membunuhmu dan menyuap prajurit Mataram yang meronda"
"He, kau kira siapakah suamimu itu" Dan kau anggap siapa aku ini, he ?"
Playboy Dari Nanking 6 Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria The Chamber 1
^