Pencarian

Mata Air Dibayangan Bukit 19

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 19


orang-orang Sanggar Gading yang garang itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah orang-orang Sanggar
Gading dan orang-orang Kendali Putih telah turun ke
padukuhan-padukuhan di tlatah Lumban untuk mencari bahan
makanan. Tetapi mereka tidak melanggar pesan Sanggit Raina
agar mereka tidak terlalu menyakiti hati orang-orang Lumban,
karena dengan demikian, orang-orang yang cemas bahwa
mereka akan kelaparan itu akan dapat mengganggu mereka
yang berada di bukit itu.
Dalam pada itu, orang-orang Lumbanpun telah melakukan
sebagaimana telah mereka sepakati. Anak-anak muda telah
memberitahukan kepada setiap orang agar mereka tidak
melawan orang-orang yang sedang berada di atas bukit. Jika
mereka menjadi marah, maka. yang akan terjadi adalah
bencana yang tidak terduga-duga. Karena itu, maka tidak ada
lain yang dapat mereka lakukan kecuali memberikan apa yang
diminta. Selagi orang-orang di atas bukit itu menunggu dengan
sabar waktu yang ditentukan oleh Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading, maka Jlitheng dan Semi tidak jemunya
mengawasi kedudukan mereka dengan sangat hati-hati.
Disamping mereka berdua, ternyata Kiai Kanthipun telah
melakukannya pula. Ada hal-hal yang sangat berbahaya jika
dilakukan oleh Jlitheng, Semi maupun kawannya. Karena itu.
maka ia telah menyanggupi untuk melakukanya.
"Hanya Kiai sajalah yang akan dapat mendekati mereka"
berkata Jlitheng. "Aku akan mencoba. Tetapi nampaknya sangat berbahaya"
desis Kiai Kanthi. Lalu Katanya "Namun yang penting bagi kita,
apa yang akan terjadi pada saat terakhir sebagaimana
ditentukan oleh Panembahan Wukir Gading. Dirna-la m ketiga,
kita semuanya harus sudah siap, sehingga jika terjadi sesuatu
kita tidak akan terlambat"
"Masih ada dua malam lagi" berkata Jlitheng "Aku harus
mempersiapkan segalanya. Sepuluh anak-anak terbaik itu
harus mengetahui dengan pasti, apa yang harus mereka
lakukan. Selebihnya, akan diberitahukan kemudian"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Lalu katanya "Kita tidak
boleh meninggalkan sikap hati-hati. Kita berhadapan dengan
kekuatan yang mungkin akan sangat mengejutkan kita. Perlu
di ingat, bahwa masih mungkin ada kekuatan lain yang akan
datang" Jlitheng mengerutkan keningnya. Sambil menganggukangguk
ia berkata "Ya, ya. Mungkin sekali. Dan hal itu harus
diperhitungkan" "Jika Yang Mulia tinggal di atas bukit itu untuk tiga hari tiga
malam, bukannya tidak berperhitungan" berkata Kiai Kanthi.
Jlitheng mengangguk-angguk. Sekali lagi ia berdesis "Ya.
Ya. Segalanya memang memperlukan pengamatan tersendiri"
Demikianlah, maka Jlithengpun kemudian merasa perlu
untuk menghubungi sepuluh anak muda terbaik dari Lumban,
Bahkan Jlithengpun telah mencoba menghubungi anak-anak
terbaik dari Lumban Kulon, termasuk anak Ki Buyut yang agak
sombong itu. Kita harus mempersiapkan segala sesuatu menjelang hari
ketiga itu" berkata Jlitheng kemudian.
"Bukankah seperti yang kau katakan, semuanya itu akan
berakibat kehancuran semata-mata" berkata Nugata.
"Jika kita tidak siap maka akibatnya memang akan
demikian. Karena itu kita harus mempersiapkan diri sebaikbaiknya.
Masih ada dua malam. Anak-anak terbaik ini masih
berkesempatan untuk mengingat kembali bagaimana caranya
menggenggam pedang" berkata Jlitheng.
Jlithengpun kemudian memberikan sedikit gambaran
tentang kemungkinan yang dapat mereka lakukan. Daruwerd
memerlukan pertolongan apabila pada saatnya ia tercepit oleh
kekuatan di atas bukit itu, karena persoalan yang tidak
diketahui. Tetapi adalah satu kenyataan bahwa la telah
dibawa olehi orang-orang yang garang itu keatss bukit.
"Kita tidak dapat membiarkannya tanpa berbuat sesuatu"
berkata Jlitheng " sebab iapun telah berbuat sesuatu atas kita"
"Untuk membunuh diri?" bertanya Nugata pula.
"Tentu tidak. Kita, tidak bekerja sendiri. Daruwerdi
mempunyai dua orang paman yang nampaknya memiliki ilmu
yang cukup tinggi. Kemudian Semi dan kawannya telah
menyatakan diri bergabung bersama kita. Selebihnya
Daruwerdi sendiri tentu akan dapat menanggapi keadaan jika
kita berbuat sesuatu. Sehingga dengan demikian kita akan
mempunyai kekuatan yang cukup untuk melawan orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih" berkata
Jlitheng. "Tetapi apakah sebenarnya kepentingan kita demikian
besar, sehingga mungkin kita akan mengorbankan orangorang
terbaik dari Lumban Wetan dan Lumban Kulon " Nugata
masih ragu-ragu. "Ada sesuatu yang masih belum kita ketahui dengan pasti
dari persoalan ini. Tetapi bahwa daerah Sepasang Bukit Mati
ini menjadi perhatian sekian banyak- orang, tentu ada
sebabnya. Juga kehadiran Daruwerdi di daerah inipun perlu
dipertanyakan kemudian" berkata Jlitheng " karena itu, yang
perlu kita lakukan dahulu, adalah mengusir orang-orang itu
selagi kita masih dapat memanfaatkan segala kekuatan yang
ada" Nugata termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
tidak berkeberatan. Memang ada banyak hal yang tidak
mereka ketahui dengan pasti. Namun ia sependapat, bahwa
orang-orang itu harus disingkirkan. Sementara itu, mumpung
ada kekuatan yang akan dapat membantu mereka. Tanpa
kekuatan itu, nalar Nugatapun dapat mengerti, anak-anak
Lumban tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sementara jika
mereka tidak diusir maka mereka akan menguras habis segala
persediaan makanan yang ada di daerah tandus itu.
Akhirnya Nugata menyetujui untuk mempersiapkan diri.
Namun ia masih berkata "Kita baru akan bersiap-siap. Tetapi
kita masih harus menilai keadaan terakhir besok. Jika keadaan
tidak memungkinkan kita tidak akan memaksa diri"
"Baiklah. Kita akan berhimpun sore nanti. Segalanya akan
diatur oleh Semi dan kawannya. Dua orang pemburu itu
memiliki kemampuan diatas kemampuan kita, sehingga
mereka akan dapat menuntun kita seperti yang pernah
dilakukan" berkata Jlitheng.
"Aku belum pernah mendapat tuntunannya" potong
Nugata. "Maksudku anak-anak Lumban Wetan. Tetapi ia memiliki
kemampuan seimbang dengan Daruwerdi meskipun dasardasar
ilmunya berbeda. Tetapi pada dasarnya, kita akan dapat
mencari alas kemampuan yang bersifat umum bagi yang
berkemampuan setingkat dengan kita-kita ini" jawab J litheng.
Nugata tidak membantah lagi. Sementara itu merekapun
telah mendapat kesepakatan waktu kapan mereka mulai
berkumpul. Tidak terlalu banyak. Dari Lumban Wetan, kecuali
Jlitheng hanya ada sepuluh orang terbaik. Sementara dari
Lumban Kulon Nugata akan memilih sepuluh orang terbaik
pula. Demikianlah, diluar pengetahuan orang-orang Sanggar
Gading dan Kendali Putih, Lumban telah mempersiapkan diri.
Jlilbeng dengan sengaja telah menemui dua orang paman
Daruwerdi untuk melihat persiapan anak-anak muda Lumban.
Kedua orang itu ternyata bersiap pula untuk membantu.
Bersama Semi dan seorang kawannya, kedua orang paman
Daruwerdi yang memiliki kemampuan yang cukup itu pula,
telah ikut membantu menempa anak-anak muda Lumban.
Hanya untuk dua hari, namun yang dua hari itu sekedar untuk
memanasi darah mereka jika mereka benar-benar harus
berbuat sesuatu. Dalam pada itu, ketika anak-anak muda Lumban sedang
berlatih dengan tekun di bawah pengawasan Semi dan
kawannya serta kedua orang paman Daruwerdi itu, Jlitheng
dan Kiai Kanthi telah pergi ke atas bukit ketika malam mulai
turun. Mereka ingin mengamati, apa yang terjadi diatas bukit
itu pada malam kedua. Selebihnya Kiai Kanthi ingin, melihat
gu-bug yang dit inggalkannya.
Ketika mereka singgah digubug itu, ternyata mereka
mendapat kesan bahwa gubug itu telah didatangi oleh orangorang
yang berada dialas bukit. Ternyata barang-barang yang
telah dibenahi oleh Swasti itu menjadi berserakkan.
"Jangan kau katakan kepada Swasti " pesan Kiai Kan-thi,
karena ia yamg membenahinya, maka KiaiKantin yang
meninggalkan Swasti di banjar itu, mencemaskan bahwa gadis
yang keras hati itu akan memanjat naik untuk melihat barangbarangnya
yang tidak seberapa itu. Dalam pada itu, rasa-rasanya ada hubungan perhitungan
antara Kiai Kanthi, Jlitheng dan Rahu. Rahu merasa bahwa
disekitar tempat itu tentu ada orang-orang Lumban yang
mengawasinya. Rahupun tahu, bahwa Kiai Kanthi sudah tidak
berada digubugnya, karena ia ikut memasuki gubug itu, ketika
sekelompok orang-orang Sanggar Gading menemukannya.
Karena itu, pada satu kesempatan, Rahu telah
meninggalkan kawan-kawannya ketika malam turun. Apalagi
ketika Pangeran yang rasa-rasanya menjadi bebannya itu
sedang tidur nyenyak pula.
Sebenarnyalah, Rahu telah memilih arah yang benar. Ia
turun beberapa tataran kearah gubug Kiai Kanthi. Seperti yang
diharapkan, maka ternyata dua orang telah mengamatinya.
Bahkan ketika kedua orang itu yakin, bahwa yang menuruni
lereng bukit itu adalah orang yang dikenalnya, maka
merekapun telah menghentikannya.
Jlitheng dan Kiai Kanthi ternyata berhasil menemui Rahu
dan mendapat beberapa penjelasan.
"Jika menurut penilaian Yang Mulia pusaka itu palsu, maka
tidak ada harapan lagi bagi Daruwerdi" berkata Rahu. Lalu
"Tetapi jika pusaka itu asli, maka aku kira Yang Mulia tidak
akan mengusiknya" "Lalu, apa yang baik kami lakukan?" bertanya Jlitheng yang
kemudian menceriterakan rencana dan persiapan yang telah
dilakukan. "kalian harus menunggu hasil semedi Yang Mulia untuk
melihat jiwa dari pusaka yang ditayuhnya itu" berkata Rahu.
Lalu "Ada dua Kemungkinan, Jika pusaka itu palsu. Daruwerdi
akan mengalami nasib yang sangat buruk. Jika kalian ingin
menyelamatkan, sekaligus mengusir orang itu, aku akan
membantu kalian, karena tugasku akan mencapai puncaknya
pula dengan kehadiran Pangeran itu. Tetapi jika Yang Mulia
menganggap bahwa pusaka itu asli dan menyerahkan
Pangeran itu kepada Daruwerdi, maka Semilah yang akan
bertugas untuk mengurus Pangeran itu dan aku akan
mengikut i pusaka yang akan dibawa oleh Yang Mulia"
"Pekerjaan itu akan terlalu berat ngger" berkata Kiai Kanthi
"pusaka itupun akan dapat diselesaikan disini"
Rahu memandang Kiai Kanthi sejenak. Namun nampaknya
Kiai Kanthi menangkap perasaan Rahu. Maka katanya "Bukan
maksudku, bahwa dengan demikian, aku akan mendapat
kesempatan pula untuk ikut serta beramai-ramai
memperebutkannya" Rahu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia
mengangguk. Katanya "Baiklah. Kita akan menyelesaikan
segalanya setelah hari ketiga, agar kitapun tahu, apakah
pusaka itu asli atau bukan"
Jlitheng mengangguk. Tetapi seperti Kiai Kanthi, iapun
melihat kecurigaan pada tatapan mata Rahu. Namun demikian
Jlitheng tidak mengatakannya.
Yang mereka bicarakan selanjurnya adalah rencana yang
lebih terperinci. Pada pagi hari setelah malam ketiga. Rahu
harus tahu pasti, dimana Jlitheng menunggu. Iapun harus
tahu. dimana kedua paman Daruwerdi bersiaga Sementara itu.
Semi dan kawannya yang harus membantunya
menyelamatkan Pangeran itupun harus berada di tempat yang
mapan. "Jika saatnya kita bergerak, aku akan memberikan isyarat"
berkata Rahu kemudian. "Kami menunggu isyaratmu" sahut Jlitheng.
Jlithengpun kemudian meninggalkan tempat itu, setelah
dengan terperinci ia menyebut tempat-tempat yang dimaksud
oleh Rahu. Bersama Kiai Kanthi mereka menuruni tebing dan
kembali ke Lumban Wetan. Sementara itu, sepuluh anak-anak muda Lumban Wetan
ternyata masih belum kembali. Karena itu, maka Jlithengpun
telah menyusul mereka ke halaman Banjar Lumban Kulon.
Dihalaman itulah anak-anak muda Lumban Wetan dan
Lumban Kulon berusaha menyempurnakan bekal ilmunya yang
belum begitu mantap. Namun sepuluh orang terbaik dan
Lumban Wetan dan sepuluh orang terbaik dari Lumban Kulon
itu ternyata akan sanggup dihadapkan kepada para pengikut
Yang Mulia dari Sanggar Gading dan orang-orang Kendali
Putih. "Mereka adalah orang-orang yang kasar dan tidak
mempunyai pertimbangan lain kecuali membunuh" pesan
Jlitheng "karena itu, jangan hadapi mereka seorang melawan
seorang. Kalian harus bertempur berpasangan Jumlah orangorang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih itu tidak
lagi terlalu banyak untuk menghadapi kita semuanya. Namun
seperti aku katakan, mereka adalah orang-orang yang buas
dan liar" "Dari mana kau tahu Jlitheng?" bertanya Nugata,
"Akibat yang kita lihat di pategalan itu telah cukup memberi
tahukan kepada kita" jawab Jlitheng. Bahkan katanya
kemudian "untuk menghadapi mereka, kita tidak perlu
bertahan pada harga diri, karena merekapun sama sekali tidak
akan mempertahankan harga diri pula. Hutan dan bebatuan
akan dapat kalian pergunakan sebagai perisai. Ingat, kalian
harus bertempur berpasangan sambil memanfaatkan
pepohonan dan batu-batu padas itu"
Namun Jlitheng masih belum berterus terang, bahwa ia
sendiri pernah mengalami, memasuki padepokan Sanggar
Gading dengan melewati padang kematian yang mengerikan
itu. Meskipun usaha untuk memantapkan kemampuan anakanak
muda Lumban itu sebagai satu usaha yang sangat kecil
dalam olah kanuragan, namun ternyata memberikan bekal


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tekad yang cukup besar. Mereka merasa bahwa mereka telah
dipanggil oleh satu kewajiban yang tidak kalah besarnya dari
mengatur air dan membuat bendungan, karena yang akan
mereka lakukan itu menyangkut penyelamatan Kabuyutan
mereka. Apa yang dilihat oleh anak-anak muda Lumban di pategalan
itu memang mempengaruhi perasaan mereka. Tetapi dengan
latihan yang pendek pada malam-malam, terakhir, Jlitheng
sempat memberikan kekuatan batin terhadap mereka yang
merasa terpanggil untuk kepentingan padukufaan mereka itu.
Disiang hari, anak-anak muda Lumban itu seolah-olah telah
menghilang. Mereka berada di sawah atau pategalan. agar
mereka tidak bertemu dengan orang-orang d ia tas bukit yang
turun mencari bahan makanan. Namun seperti yang sudah
dilakukan pada hari pertama, mereka memang berusaha untuk
menahan diri. Mereka mengambil sesuai dengan kebutuhan
mereka saja. Di hari-hari yang demikian. Jlithengpun berada di sawah
pula. Bahkan ia telah memncar beberapa orang kawannya
pada sawah masing-masing yang terletak di arah yang
berbeda, Jlitheng telah berpesan agar perhatian mereka tidak
tersangkut hanya kepada orang-orang yang sedang berada di
atas bukit, karena mungkin masih ada pihak lain yang saling
bermusuhan akan datang pula ke Daerah Sepasang Bukit Mati
itu. "Selain orang-orang Kendali Putih, bukankah Daruwerdi
pernah berhubungan dengan orang-orang Pusparuri" berkata
Jlitheng kepada kawan-kawannya.
"Darimana kau tahu?" bertanya kawan-kawannya.
"Mereka pernah datang kemari. Pernah terjadi kematiamkematian
sebelum kelompok-kelompok itu bertempur dan
saling membunuh dipategalan" jawab Jlitheng.
Anak-anak Lumban Wetan kadang-kadang merasa heran
melihat sikap Jlitheng. Ia seakan-akan tahu segala-galanya. Ia
bukan saja mengejutkan anak-anak Lumban dengan
mengalahkan Nugata, karena Jlitheng tidak ikut dalam latihanlatihan
khusus. Ia bukan termasuk sepuluh anak muda terbaik.
Namun menurut keterangannya, ia justru latihan dengan cara
yang lebih khusus lagi. Namun dalam keadaan yang gawat itu,
Jlitheng nampak semakin mengherankan bagi kawankawannya,
anak-anak Lumban Wetan, maupun anak-anak
Lumban Kulon. Ia dapat mengatur keadaan dengan tangkas
dan pikiran-pikirannya ternyata memherikan jalan keluar atas
masalah-masalah yang dihadapi oleh Lumban.
Demikianlah, maka pada malam terakhir dari tiga malam
yang diperlukan oleh Yang Mulia untuk meyakinkan keaslian
pusaka yang dibawa oleh Daruwerdi, Jlitheng menjadi semakin
sibuk. Ia ikut serta dalam latihan-latihan yang diikut i oleh dua
puluh anak terbaik dari Lumban Wetan dan Lumban Kulon
Namun ia telah menghentikan latihan itu menjelang tengah
malam. "Kalian perlu beristirahat" berkata Jlitheng
Nugata yang tidak ikut dalam latihan-latihan itu menyahut
"Mereka memerlukan kesiapan yang utuh. Biarlah mereka
berlatih terus" "Mereka akan kelelahan, sehingga esok jika diperlukan,
tenaga mereka tidak akan mampu mengatasi kelelahan itu"
jawab Jlitheng. "Kenapa kau selalu mengatur kami" potong Nugata "Kau
sangka kau Panglima disini?"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada
itu, Semi berkata "Memang sebaiknya kita beristirahat. Kaupun
memerlukan istirahat meskipun hanya sebentar"
"Aku tidak perlu istirahat. Aku dapat bertempur, bukan
hanya berlatih, tiga hari tiga malam" geram Nugata.
Namun ternyata kedua paman Daruwerdi itupun menengahi
"Memang ada baiknya untuk berist irahat"
Nugata memandang kedua orang itu sejenak. Sementara
itu salah seorang dari kedua paman Daruwerdi itu berkata
"Kemampuan dan daya tahan seseorang memang tidak sama.
Mungkin seseorang dapat bertahan untuk waktu yang lama,
bahkan tiga hari tiga malam bertempur tanpa beristirahat.
Tetapi ada yang memerlukan waktu untuk beristirahat dan
bersiap siap seperlunya"
Nugata tidak menjawab lagi. Sambil menarik nafas ia
berkisar dari tempatnya. Sementara itu Jlithengpun berkata kepada anak-anak muda
itu "Kalian sempat beristirahat. Namun kalian harus
mempersiapkan senjata kalian sebaik-baiknya agar pada
saatnya kalian tidak menyesal justru karena senjata kalian.
Kalian dapat memilih senjata yang paling sesuai. Senjata
panjang atau senjata pendek, atau mungkin senjata lempar.
Macam dan jenis senjata tentu akan berpengaruh atas
kemantapan sikap kalian apabila kalian benar-benar akan
bertempur besok" Kawan-kawannya itupun mengangguk-angguk. Sementara
itu Jlitheng masih memberikan beberapa pesan yang lain.
Anak-anak muda itu tidak perlu lagi pulang ke rumah masingmasing,
kecuali jika perlu sekali. Namun mereka harus segera
kembali ke banjar. "Besok menjelang dini hari, kita akan berangkat dari banjar
berkata Jlitheng selanjutnya "selebihnya aku akan
mempersilahkan kawan-kawan kita yang lain untuk bersiap di
padukuhan masing-masing. Mungkin mereka kita perlukan.
Tetapi mungkin mereka memang harus mempertahankan
padukuhan-padukuhan itu"
"Apakah mereka mampu melakukannya" bertanya salah
seorang anak muda dari Lumban Wetan.
"Orang yang berada di atas bukit itu tidak banyak. Jika ada
yang memencar, maka mereka tidak akan lebih dari satu atau
dua orang. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi anak-anak muda
sepadukuhan akan dapat mengalahkannya, meskipun
seandainya orang itu harus dilempari dengan senjata dari
jarak jauh oleh sekelompok anak-anak muda yang berjumlah
cukup" jawab Jlitheng.
Anak-anak muda yang sudah siap itu tidak menjawab lagi.
Mereka mengerti, seandainya diperlukan, anak-anak muda itu
akan dapat di panggil dengan isyarat untuk membantu
mengepung bukit berhutan itu. Bagaimanapun juga jumlah
akan ikut menentukan disamping ada orang-orang tertentu
yang akan dapat mempengaruhi pertempuran itu.
Dalam pada itu, maka anak-anak muda itupun segera
beristirahat setelah mereka membenahi senjata masingmasing
Ada diantara mereka yang menggosok pedangnya.
Ada yang menimang tombak pendeknya. Seorang anak muda
yang bertubuh raksasa telah menyiapkan tombak bermata
tiga. Yang lain telah menyandarkan canggah di sisi
pembaringannya. Dalam pada itu, Jlithengpun telah berkeliling ke padukuhan-
padukuhan. Untuk mempercepat tugasnya ia telah
mempergunakan seekor kuda.
"Kau dapat menunggang kuda?" bertanya seorang
kawannya. "Dalam keadaan yang paling gawat, seseorang akan dapat
berbuat apa saja" jawab Jlitheng.
Sejenak kemudian terdengar suara derap kaki kuda itu
menderu di gelapnya malam. Beberapa orang mengerutkan
keningnya. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi cemas,
bahwa Jlitheng justru akan terlempar dari punggung kuda itu.
Ternyata Jlitheng melakukan seperti yang direncanakannya.
Ia menemui anak-anak muda yang berada di gardu-gardu. Ia
memberikan pesan-pesan sehingga anak-anak muda itu
meyakini benar, apa yang harus mereka lakukan.
Demikianlah, maka Lumban Wetan dan Lumban Kulonpun
telah diguncang oleh kesiagaan yang penuh. Anak-anak
mudapun telah bersiap-siap di gardu-gardu. Mereka ternyata
tidak menunggu dini hari. Sejak Jlitheng datang menemui
mereka, maka merekapun langsung memanggil setiap anak
muda dengan senjata masing-masing.
"Apakah kami harus melawan orang-orang yang telah
bertempur di pategalan?" bertanya salah seorang anak muda
yang tidak sempat bertemu langsung dengan Jlitheng.
"Yang akan langsung menghadapi mereka bukan kita"
jawab anak-anak muda yang lain "Tetapi jika ada satu dua
orang yang melarikan diri dan tersesat ke padukuhan ini, atau
dengan sengaja ingin melakukan, kejahatan di padukuhan ini,
itu adalah kewajiban kita"
Anak-anak muda itupun segera bersiap-siap. Bahkan ada
diantara mereka yang mempersiapkan anak panah dan
busurnya, sementara yang lain menyiapkan lembing.
"Jika perlu kita akan bertempur dengan jarak" desis anak
muda yang langsung mendengar pesan Jlitheng.
Dalam pada itu, maka setelah semua padukuhan
mendengar pesannya Jlithengpun segera kembali ke Banjar.
Ternyata bahwa anak-anak muda Lumban telah
mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Mereka telah tertidur
di Banjar dan bahkan ada yang tidur di amben bambu di
serambi. Yang lain melintang di pintu pringgitan, sementara
ada pula yang tertidur di sudut Banjar sambir bersandar
dinding dan memeluk pedangnya.
Semi datu kawannyapun ternyata telah tertidur pula.
Sementara kedua paman Daruwerdipun ternyata telah tidur
diluar Banjar. Yang berjaga-jaga adalah justru anak-anak muda yang
tidak akan ikut ke bukit esok pagi-pagi benar. Mereka berjagajaga
dengan hati-hati dan dengan kesadaran sepenuhnya
tentang apa yang dapat terjadi.
Jlitherig sendiripun kemudian berbaring pula di sebuah
dingklik bambu di bawah sebatang pohon sawo di halaman
samping. Sejuknya udara malam telah mengusapnya,
sehingga akhirnya iapun tertidur meskipun hanya sebentar
setelah ia berpesan kepada pada penjaga, bahwa mereka
harus dibangunkan sebelum dini hari.
Meskipun anak-anak muda yang berjaga-jaga itu tidak akan
pergi ke Bukit, namun merekapun menjadi gelisah pula.
Mereka justru telah mereka-reka apa yang akan terjadi
kemudian. Demikianlah, seperti yang dipesankan oleh Jlitheng, maka
menjelang dini hari, anak-anak muda itupun telah
dibangunkannya. Dengan cepat mereka mempersiapkan diri
sambil mergunnyah beberapa potong ketela pohon yang
sudah disediakan. Mereka harus menjaga agar mereka
tidakkelaparan, jika mereka benar-benar akan menghadapi
satu perjuangan yang berat di hari mendatang.
Sejenak kemudian, anak-anak muda itupun telah siap.
Jlitheng masih berbicara sejenak dengan Semi dan kawannya
serta kedua paman Daruwerdi. Meskipun Nugata ikut pula di
antara mereka, tetapi dalam keadaan yang mendesak Jlitheng
tidak sempat lagi untuk selalu bertanya kepadanya
Ketika segalanya telah jelas, sebagaimana di kehendaki dan
dibicarakan antara Jlitheng dan Rahu tentang tempat-tempat
disek tar puncak bukit itu, maka merekapun segera berangkat.
Mereka berjalan dengan cepat melintasi sawah dan ladang di
dalam gelapnya sisa malam. Sementara langit sudah mulai
membayang kemerah-merahan.
Dalam pada itu, Kiai Kanthipun telah pergi ke bukit itu pula
bersama anak gadisnya sebagaimana telah dibicarakan pula
dengan Jlitheng Kiai Kant in akan mengambil tempat
yang paling dekat dengan tempat samadi Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading Rahu yang akan berusaha
melindungi Pangeran yang sakit itu, akan tetap berada di
sampingnya, sementara Jlitheng akan mengamati tingkah laku
Sanggit Raina dan Cempaka. Kedua paman Daruwerdi akan
dipersilahkan untuk berbuat sesuatu, jika Daruwerdi
mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya Dua puluh orang
terbaik dari Lumban Kulon dan Lumban Wetan akan
bertempur pada saatnya. Tetapi setiap kali Jlitheng masih saja
berpesan, bahwa anak-anak muda itu harus bertempur
berpasangan. Sedangkan Semi dan kawannya harus dapat
mengambil sikap pada saat-saat yang gawat.
Ketika fajar mulai membayang dilangit, maka anak-anak
muda Lumban Wetan dan Lumban Kulon itu telah memanjat
sampai kelambung bukit. Sejenak kemudian, mereka telah
mengambil tempat sebagaimana dipesankan oleh Jlitheng.
Demikian pula orang-orang yang menempatkan diri bersama
anak-anak muda dari Lumban itu.
Dalam pada itu, Yang Mulia Wukir Gadingpun telah sampai
pada puncak samadinya. Pusaka yang ditayuhnya itu masih
terletak dihadapannya. Sementara itu, beberapa orang
Sanggar Gading dan Kendali Putih telah mengerumuninya,
demikian pula orang yang disebut Eyang Rangga, justru duduk
di paling depan diantara orang-orang Kendali Putih.
Ketika langit menjadi semakin merah, maka suasanapun
menjadi semakin tegang. Orang-orang Sanggar Gading dan
crang-orang Kendali Putih rasa-rasanya telah menahan nafas
mereka. Sementara lagi Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading akan selesai dengan usahanya untuk mengetahui,
apakah pusaka itu benar-benar pusaka yang memiliki tuah.
Yang penting baginya, bukan saja pusaka itu sendiri, tetapi
rangkaian dari pusaka itu. Harta benda yang tidak ternilai
harganya, yang telah dipersiapkan untuk menegakkan kembali
Majapahit yang telah runtuh.
Pada saat-saat terakhir itu, puncak bukit itupun menjadi
semakin tegang. Daruwerdi yang menahan gejolak di dalam
hatinya, justru menjadi gemetar. Sementara Pangeran yang
sedang sakit itu agaknya mempunyai sikap tersendiri. Ia masih
tetap bersandar sebatang pohon. Bahkan rasa-rasanya ia
menjadi semakin lemah. Rahu yang berada disebelahnya melihat Pangeran itu
dengan iba. Betapa sorot matanya memancarkan keputusasaan.
Bahkan mata itu bagaikan telah menjadi redup dan
tidak bercahaya sama sekali. Jika Pangeran yang sakit itu
memejamkan matanya, maka menurut pandangan mata Rahu.
tidak ubahnya Pangeran itu tidak akan dapat bangun lagi.
Ternyata Rahu yang nampak cukup kasar diantara orangorang
Sanggar Gading itu tidak dapat menahan rasa ibanya.
Ketika tabib yang merawat Pangeran itu beringsut untuk
beberapa lamanya, maka Rahupun berbisik "Jangan cemas
Pangeran" "Apa maksudmu?" bertanya Pangeran itu.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bertugas untuk melindungi Pangeran, meskipun tugas
itu bukan tugas utamaku. Tetapi panggilan kewajibanku
menuntut aku berbuat demikian" jawab Rahu.
"Siapakah kau sebenarnya?" bertanya Pangeran itu.
"Pangeran tidak perlu mengetahuinya" jawab Rahu.
Pangeran itu ragu-ragu. Namun ia tidak menjawab lagi. Ia
masih saja bersandar dengan lemahnya.
Dalam pada itu. langitpun menjadi semakin merah. Yang
Mulia masih duduk dengan kepala tunduk. Pusaka yang ditayuhnya
masih juga tetap di tempatnya. Semakin merah langit
menjelang pagi, maka nampak tangan Yang Mulia itu menjadi
gemetar. Bahkan kemudian ia mengangkat kedua tangannya
dan meletakkannya diatas peti itu.
Suasana menjadi semakin tegang. Daruwerdi yang duduk
sambil menundukkan kepalanya, tiba-tiba saja beringsut
setapak Ketika setiap orang memperhatikan pusaka itu, maka
Daruwerdi justru telah mmepersiapkan diri. Ia mengetahui
dengan pasti bahwa pusaka itu sama sekali bukan pusaka
yang sebenarnya. Karena itu, maka iapun sadar, bahwa akan
terjadi sesuatu yang sangat gawat baginya. Bahkan mungkin
ia tidak akan dapat lepas lagi dari tangan orang-orang
Sanggar Gading. "Tetapi aku tidak mau mati seperti kelinci" berkata
Daruwerdi di dalam hatinya "Aku akan mati sebagaimana
seekor binatang buas di hutan lebat"
Karena itu, slapapun yang harus dilawapnya, ia sudah siap
untrk bertempur. Ia sadar, bahwa ia akan mati. Tetapi ia akan
mati jantan. Dalam pada itu, ketika fajar menyingsing dan sinar
matahari mulai membayang dilangit, tiba-tiba saja terdengar
Yang Mulia itu berteriak nyaring. Suaranya bagaikan
membelah bukit kecil itu. Kedua tangannya yang gemetar
dengan serta merta telah mengangkat peti dihadapannya itu
dan membantingnya dengan serta merta sehingga peti itu
pecah berserakkan. "Anak iblis" Yang Mulia itupun kemudian bangkit "Kau kira
aku sedungu kau he?"
Semua orang yang melihat hal itu terkejut. Rahupun
terkejut pula. Apalagi Daruwerdi. Ia sadar sepenuhnya, bahwa
ia tidak akan dapat berbohong lagi. Dengan demikian, maka ia
akan menghadapi persoalan yang dilontarkannya itu dengan
sungguh-sungguh dan mungkin akan merampas nyawanya.
Setiap penyesalan telah diusirnya dari hatinya. Namun ia
tidak dapat mengingkari perasaannya, bahwa seharusnya ia
tidak melakukan permainan yang berbahaya itu.
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Ia sudah berhadapan
dengan Yang Mulia. Di pategalan telah terbunuh orang-orang
Sanggar Gading dan Kendali Putih justru karena permainan
Daruwerdi "Kau akan menipu aku he?" wajah Yang Mulia itu menjadi
merah membara. Sementara semua orang telah memandangi
Daruwerdi yang kemudian bangkit berdiri.
"Yang Mulia" berkata Daruwerdi justru dengan suara
mantap karena ia merasa akan dapat mengelak lagi "Kau tidak
melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Pusaka itu harus
ditayuh dengan sebaik-baiknya. Kau tidak melakukan
sebagaimana seharusnya. Disiang hari kau masih juga makan
dan minum, meskipun di malamhari kau bersemadi"
"Anak bodoh" geram Yang Mulia "Aku sudah melakukannya
beberapa kali. Setiap kali aku tentu berhasil melihat dengan
tepat. Dan akupun telah melihat apa yang kau sebut sebagai
pusaka itu. Sampai saat terakhir aku masih berusaha untuk
meyakinkan. Namun sampai saat terakhir isyarat yang aku
terima tidak berubah. Pusaka itu palsu. Pusaka itu memang
sebilah keris yang mempunyai arti. Tetapi sekedar bagi
seseorang yang Ingin mendapat isteri dan dicintai oleh seribu
perempuan cantik. Bukan sebuah pusaka yang dapat
membangkitkan kemampuan dan wibawa bagi tegaknya satu
pimpinan pemerintahan. Selain kepalsuan pusaka itu, maka
berarti bahwa segala rangkaiannyapun tidak akan terdapat
pada bagian-bagian lain yang menyertai pusaka itu"
Daruwerdi yang berdiri tegak itu memandang Pangeran
yang sedang sakit, yang masih duduk bersandar sebatang
pohon. Sementara Rahupun masih selalu berada didekatnya.
Bahkan ia telah berdiri tegak dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Sanggit Raina dan Cempakapun menjadi tegang.
Kemarahan mulai merayapi jantungnya. Meskipun tidak
langsung, maka keduanyapun merasa tertipu pula. Apalagi
Cempaka yang langsung berhubungan dengan Daruwerdi
sebelum saat-saat penyerahan itu terjadi. Karena itu,
jantungnya yang bagaikan tersentuh api itu, telah
mendorongya untuk meloncat maju sambil berteriak "Yang
Mulia. Beri kesempatan aku membunuhnya. Aku adalah Orang
yang paling tersinggung atas kepalsuan ini, karena aku adalah
orang yang pertama sekali berbicara tentang penyerahan ini"
Daruwerdi memandang Cempaka, itu dengan tajamnya
pula. Bahkan kemudian ia berkata "Aku tantang kau berperang
tanding" "Bodoh" potong Yang Mulia "Kau akan memperbodoh kami
sekali lagi" Kau akan menuntut perang tandang dengan
taruhan kebebasanmu?"
Wajah Daruwerdi menegang. Namun Cempaka menyahut
"Aku akan membunuhnya. Ia tidak akan dapat keluar dari
tempat ini". "Tidak la telah memperbodoh aku. Ia telah menyebabkan
kawan-kawan kita berbunuhan di pategalan. Ia telah
menyebabkan segalanya menjadi hancur"
Eyang Rangga yang sejak semula memandangi Daruwerdi
dengan tegang, telah berkata "Kaulah yang telah memancing
permusuhan antara orang-orang Sanggar Gading dan orang
orang Kendali Putih. Orang-orang yang telah mati itu tidak
akan hidup kembali" "Salah kalian sendiri" jawab Daruwerdi. Ia nampaknya telah
kehilangan perasaannya sama sekali, karena ia merasa tidak
akan dapat membebaskan diri lagi dari tangan orang-orang
yang kasar dan yang pada suatu saat dapat menjadi buas dan
liar itu "Jika kalian tidak dicengkam oleh ketamakan dan nafsu
yang berlebihan, kalian tidak akan saling membunuh sekedar
untuk memperebutkan pusaka maupun harta benda"
"Tutup mulutmu anak iblis" Yang Mulia tiba-tiba saja telah
melangkah setapak maju dengan wajah yang tegang "Kami
harus mendapat imbalan dari segala jerih payah kami. Kami
telah membawa Pangeran yang meskipun sedang sakit,
sebagaimana kau minta. Sekarang ternyata yang ada hanyalah
kau. Karena itu, kami ingin menebus kekesalan hati kami
dengan kepuasan tersendiri. Kami ingin melihat kau mati
dengan cara yang paling menyenangkan buat kami, sekedar
untuk melupakan kehancuran kami di Daerah Sepasang Bukit
Mati ini" Wajah Daruwerdi mulai menjadi merah. Hatinya yang
mengeras seperti batu dalam keputus-asaan, tiba-tiba mulai
disentuh oleh perasaan kecut melihat wajah Yang Mulia itu.
Selangkah Yang Mulia maju. Lalu Katanya "Kepung anak
ini. Kita akan membuat permainan apa saja yang dapat
memberikan kepuasan kepada kita.
Sejenak kemudian orang-orang Sanggar Gading dan orangorang
Kendali Putih telah mengepung Daruwerdi. Sementara
itu, mereka telah melupakan Pangeran yang sedang sakit itu,
kecuali Rahu. Namun Rahupun tidak dapat melepaskan perhatiannya
kepada Daruwerdi. Iapun mreasa wajib untuk berusaha
membantu menyelamatkan anak muda yang dungu itu, yang
telah mencoba bermain-main dengan taruhan yang paling
mahal. Dalam pada itu, tiba-tiba Pangeran yang dilupakan itu
berdesis "He, siapakah kau sebenarnya?"
Rahu memandanginya sambil menjawab "Sudah aku
katakan, Pangeran tidak perlu mengetahui siapa aku
sebenarnya. Tetapi aku mempunyai tugas membantu
Pangeran dalamkesulitan ini"
"Dan kau biarkan anak itu mengalami nasib yang buruk?"
bertanya Pangeran itu. "Ia anak bengal. Tetapi aku harus mencari kemungkinan"
jawab Rahu "Aku tidak tahu apa kepentingannya dengan aku, sehingga
ia telah menipu orang-orang liar itu untuk menangkapku dan
membawanya kemari. Tetapi aku merasa kasihan jika anak itu
mati" Rahu mengerutkan keningnya. Namun hampir dihiar
sadarnya ia berkata "Apakah Pangeran pernah membunuhi
ayahnya?" "Anak itu kehilangan ayahnya dan mengira aku
membunuhnya. Tetapi aku tidak akan ingat lagi, apakah aku
pernah membunuhnya atau tidak. Mungkin di peperangan
atau dalam hubungan yang tidak dapat dihindari lagi bahwa
aku harus mempergunakan kekerasan. Tetapi pembunuhan
seperti yang terjadi dalam hubungan dendam, aku kira aku
tidak pernah melakukannya"
Rahu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Pangeran
itupun berkata "Justru karena perasaan dendamnya itu aku
ingin ia selamat, agar ia dapat menjelaskan kepadaku, apa
yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi naluriku mengatakan
bahwa ia mempunyai kepentingan yang lain dengan aku.
Alasan itu bukannya alasan yang sebenarnya yang
mendorongnya untuk membawa aku kemari"
Rahu memandang Pangeran itu sejenak. Kemudian katanya
"Kita akan melihat apa yang terjadi. Tetapi aku mohon
Pangeran dapat menyesuaikan diri. Aku tidak sendiri disini"
"Siapa kawan-kawanmu?" bertanya Pangeran itu.
"Ada disekitar tempat ini. Diantaranya adalah orang-orang
dari lingkungan yang belum banyak aku kenal sebelumnya.
Tetapi aku percaya bahwa mereka tidak akan berkhianat
dalam keadaan seperti ini"
Pangeran itu termangu-mangu. Mereka memandang orangorang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih yang
mengepung Daruwerdi menjadi semakin menyempit. Yang
Mulia dan Eyang Rangga yang berada dihadapan Daruwerdi
kemudian berdiri dengan wajah tegang memancarkan
kemarahan yang melonjak-lonjak
"Nah, sekarang apa yang kalian kehendaki atas orang ini.
Orang yang telah menipu kita semuanya, sehingga telah
terjadi benturan kekuatan antara Sanggar Gading dan Kendali
Putih. Bahkan sebentar lagi orang-orang Pusparuri atau orangorang
Gunung Kunirpun akan berdatangan. Beruntunglah
mereka, bahwa mereka masih belum terlanjur terlibat kedalam
pembunuhan yang mengerikan" berkata Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading. "Cincang saja" geram Cempaka.
"Terlalu cepat. Anak itu harus dihukum picis. Ikat anak itu
pada sebatang pohon. Kita masing-masing akan melukainya
dan kemudian menaburkan garam pada luka itu" desis Sanggit
Raina yang tidak dapat menahan diri.
"Bagus, bagus sekali" hampir berbareng beberapa orang
berteriak. Namun tiba-tiba suara mereka terputus ketika tabib yang
mengobati Pangeran yang sakit itu mendekat sambil berkata
"Aku adalah orang yang lebih senang melihat orang lain tidak
memerlukan bantuanku. Kenapa kalian akan berlaku demikian
liar atas anak muda itu. Jika kalian akan membunuhnya,
bunuh saja sebagaimana kalian sering melakukannya"
Tetapi Yang Mulia Panembahan Wukir Gading itupun
tertawa. Katanya "Terima kasih atas peringatan itu. Tetapi kali
ini aku menghadapi keadaan yang berbeda. Bahkan aku tidak
memerlukan pertolonganmu sama sekali. Kami akan
membiarkan anak itu dalam keadaannya tanpa mengobatinya.
Ia akan kami tinggalkan disini, sehingga ia akan bertahan
untuk tetap hidup dua atau tiga hari sebelum ia akan mau.
Tetapi jika seekor harimau datang merobek-robeknya, maka ia
akan lebih cepat mati dalam keadaan yang paling sakit, karena
harimau itu akan marah justru karena anak itu terikat"
Tabib itu memandang Yang Mulia dengan kerut-merut di
kening. Tetapi ia kemudian berkata "Segalanya terserah
kepadamu. Tetapi itu bertentangan dengan kewajibanku"
"Jangan seperti anak-anak yang baru pandai merajuk. Kau
sudah cukup lama berada di dalam barak padepokan Sanggar
Gading meskipun kedatanganmu agak berbeda dengan orangorang
lain yang menghuni padepokan itu.
"Bukan niatku tinggal di padepokan itu. Kalian telah
mengambil dan memaksa aku untuk tinggal" jawab tabib itu.
Yang Mulia tertawa. Katanya "Sudahlah. Minggirlah. Kita
akan segera bermain-main mumpung matahari belum terlalu
tinggi" Ketika perhatian mereka tertuju kembali kepada Daruwerdi,
maka liba-tiba saja Pangeran yang sakit itu terbatuk-batuk.
Sejenak perhatian orang-orang Sanggar Gading tertuju
kepadanya. Namun Yang Mulia itu berkata "Nah, urusi saja
Pangeran yang sakit itu. Jangan anak ini"
Tabib itupun kemudian beringsut mendekati Pangeran yang
sakit itu. Ketika ia berjongkok di sisinya, maka Pangeran itu
berkata perlahan-lahan "Kau mempunyai sikap lain dari orangorang
Sanggar Gading" "Aku bukan dari golongan mereka, meskipun aku terpaksa
berada diantara mereka" jawab tabib itu.
"Apa yang akan kau kerjakan?" bertanya Pangeran itu pula.
"Aku tidak mempunyai kesempatan apapun juga" jawab
tabib itu. Sejenak Pangeran itu termangu-mangu. Namun tabib
itupun kemudian berkata "Aku tahu pasti keadaan Pangeran.
Tetapi aku tidak mengatakannya kepada orang-orang Sanggar
Gading" Sejenak tabib itu berhenti. Dipandanginya Rahu yang
termangu-mangu. Namun agaknya masih ada batas diantara
mereka, sehingga tabib itu tidak mengatakan sesuatu.
Tetapi yang dikatakan itu dapat ditangkap maksudnya oleh
Pangeran yang dianggap sedang sakit itu. Karena itu. maka
iapun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti tabib itu,
iapun lelum percaya sepenuhnya kepada Rahu.
Sejenak kemudian ketegangan di puncak bukit itupun
memuncak. Nampaknya Yang Mulia sudah t idak sabar lagi.
Sementara itu, Daruwerdi yang keras hati itu, tiba-tiba telah di


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalar perasaan ngeri dan cemas. Ketika terpandang olehnya
wajah-wajah yang garang bahkan buas dan liar, maka hatinya
menjadi kecut. Karena itu, untuk sesaat Daruwerdi itu tidak dapat berbuat
apa-apa. Ia berdiri gemetar. Tetapi ia sudah tidak akan dapat
melarikan diri dari lingkungan orang-orang Sanggar Gading
dan Kendali Put ih yang sedang marah.
Ternyata Rahu tidak dapat menunggu lebih lama lagi.
Sejenak terbersit keragu-raguannya, apakah Jlitheng menepati
janjinya untuk bersiap-siap di sekitar puncak bukit itu.
Sebenarnyalah Jlitheng memang sudah siap. Semua orang
yang datang bersamanya telah menempatkan diri sesuai
dengan rencana. Mereka tinggal menunggu isyarat saja.
Namun ternyata bahwa Semi terpaksa membungkam
seorang pengawas yang secara kebetulan menjumpainya di
persembunyiannya. Tetapi orang itu tidak sempat berbuat
apa-apa ketika ujung pedang Semi telah menikamjantungnya.
Dalam pada itu, di saat Yang Mulia Wukir Gading
melangkah lagi setapak maju, Rahupun telah siap. Sejenak
kemudian terdengar Yang Mulia ia berkata "Nah, sebelum kita
berbuat sesuatu atas anak ini, agaknya lebih baik jika anak ini
diikat saja pada sebatang pohon"
"Bagus" teriak Cempaka yang kemarahannya tidak
tertahankan lagi. Namun sebelum Cempaka meraba tubuh Daruwerdi yang
gemetar, maka terdengar Rahu berkata "Jangan sentuh anak
itu. Permainan kalian telah sampai kepuncak. Padepokan
Sanggar Gading dan Kendali Putih sudah waktunya mengakhiri
kegiatannya yang terkutuk itu"
Wajah Yang Mulia menjadi merah Semua orang berpaling
kepada Rahu yang berdiri tegak disebelab Pangeran yang
terbaring dalamsakitnya itu.
"Rahu" desis Cempaka "Apa yang kau katakan?"
"Aku minta, jangan sentuh anak itu. Sebaiknya orang-orang
Sanggar Gading dan Kendali Put ih melepaskan senjatanya dan
menyerah kepadaku, kepada kekuasaan Demak" berkata Rahu
kemudian "kalian sudah terlalu lama menimbulkan kesulitan.
Sebenarnya aku masih ingin menunggu sampai pusaka itu
ketemu. Tetapi ternyata usaha ini gagal sejalan dengan
kegagalan kalian" "Rahu" Cempaka telah menyibakkan kawan-kawannya yang
sedang mengepung Daruwerdi. Lalu Katanya "Coba katakan
sekali lagi. Aku tidak yakin akan pendengaranku, atau
barangkali kau sudah kerasukan hantu hutan ini"
"Dengarlah baik-baik" jawab Rahu "Jangan sentuh anak itu.
Aku tidak mempunyai kepentingan apapun dengan anak itu.
Tetapi yang penting bagiku adalah justru menghentikan
kegiatan orang-orang Sanggar Gading dan Kendali Putih. Pada
saatnya juga harus ditumpas orang-orang Pusparuri, Gunung
Kunir dan lain-lain. Sementara anak itu aku perlukan untuk
mendapat keterangan lebih jauh tentang pusaka yang kalian
cari itu" "Kau sudah Gila" geram Cempaka "Jadi kau termasuk salah
seorang yang berhasil menyusup diantara orang-orang
Sanggar Gading" "Aku sudah berhasil melalui padang kematian" jawab Rahu
"sekarang, lepaskan anak itu"
Cempaka menggertakkan giginya. Lalu katanya "Jangan
hiraukan orang ini. Aku akan menyelesaikannya. Ikat
Daruwerdi itu pada sebatang pohon. Tetapi jangan biarkan ia
mati sebelum aku ikut mengulitinya"
Rahu bergeser selangkah. Katanya "Sekali lagi aku
peringatkan. Jangan sentuh anak itu"
"Aku tidak peduli" teriak Sanggit Raina yang marah. Lalu
katanya kepada Cempaka "Jangan menunggu lagi. Bunuh
orang itu" Dalam pada itu, Daruwerdi sendiri menjadi bingung. Ada
sepercik harapan. Namun harapan itupun segera lenyap.
Apalagi ketika Yang Mulia berkata "Kau jangan menjadi gila
Rahu. Di ini masih ada aku dan iblis tua ini. Siapapun tidak
akan dapat mencegah apa yang akan aku lakukan"
Rahu menganggap bahwa saatnya memang sudah tiba.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia meletakkan jari-jarinya
dimulutnya. Kemudian terdengar suitan nyaring menggetarkan
dedaunan hutan di atas bukit itu.
Isyarat itu benar-benar mengejutkan. Semua orang tahu.
bahwa isyarat itu bukannya tidak berarti apa-apa. Karena itu.
demikian terdengar bunyi isyarat itu, maka merekapun telah
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Bahkan
merekapun t iba-tiba telah memencar sambil meraba hulu
senjata masing-masing. Isyarat itupun telah menyusup gerumbul-gerumbul perdu
menyentuh telinga orang-orang yang telah menunggu. Tidak
terlalu keras, tetapi Jlitheng yang berada dekat hampir di
puncak bukit mendengarnya dengan jelas.
Seperti isyarat yang terdengar, Jlithengpun telah
menyambung isyarat itu. Sambung bersambung, seperti yang
memang lelah disepakati. Dengan demikian maka isyarat itu
bagaikan merayap diseputar puncak bukit itu dari segala arah.
"Permainan Gila" geram Sanggit Raina "Rahu, apakah hal
ini karena pokalmu?"
"Sayang Sanggit Raina" jawab Rahu "semuanya terjadi
karena diantara kami mempunyai singgungan-singgungan
persoalan sehingga kami telah bersiap menghadapi kalian"
Namun dalam pada itu, terdengar yang Mulia tertawa.
Katanya "Biarlah Sanggit Raina. Jika mereka ingin melakukan
apa saja. biarlah mereka melakukannya. Nampaknya mereka
belum mengenal dengan baik, Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading dan orang yang disebut oleh orang-orang Kendali Putih
dengan Eyang Rangga ini. Jika mereka datang, maka aku kira
kami berdua terpaksa membunuh lebih banyak lagi daripada
yang telah terjadi di Pategalan itu"
Rahu masih berdiri di tempatnya. Suara isyaratnya yang
bersambut itu membuatnya sedikit tenang, sehingga karena
itu. maka Katanya "Apapun yang akan terjadi, kita akan
mengakhiri kegiatan dari kelompok-kelompok orang-orang gila
yang selama ini membuat Demak yang baru saja tegak itu
menjadi ringkih" "Persetan dengan Demak, dengan Majapahit atau dengan
manapun juga. Aku tidak peduli dengan semuanya itu. Tetapi
akupun tidak mau orang lain menggangguku" jawab Yang
Mulia. Tetapi Rahu masih menjawab "Kau memang aneh Yang
Mulia. Jika kau tidak mau diganggu, maka seharusnya kau
juga tidak mengganggu orang lain. Tetapi apakah yang
selama ini sudah kau lakukan?"
"Persetan. Aku tidak mau diganggu. Tetapi orang lain t idak
dapat mencegah aku berbuat apa saja. Sekarang aku akan
menghukum anak ini dengan cara yang paling menarik karena
ia mencoba membohongi aku" teriak Yang Mulia.
Namun dalam pada itu. dari balik-balik gerumbul telah
muncul beberapa orang Diantara mereka terdapat Semi dan
kawannya. "Hem" Sanggit Raina menggeram "Orang ini adalah orang
yang kau katakan sebagai adikmu itu he?"
"Ia memang adikku" jawab Rahu.
Sanggit Raina masih akan menjawab. Tetapi ia terkejut
ketika ia melihat Jlitheng. Hampir diluar sadarnya ia berdesis
Bantaradi. Apakah benar aku melihatnya?"
"Ya. Ia adalah Bantaradi" sahut Rahu.
"Tetapi bukankah ia sudah mati?" bertanya Cempaka pula.
"Segalanya sudah dipersiapkan. Nrangsarimpat memang
sudah mati karena ia ingin mengganggu puteri Pangeran yang
telah kita ambil. Untunglah kami berhasil mencegahnya
meskipun kami harus membunuhnya"
"O" Pangeran yang berbaring itu berdesis "Tetapi iapun
menarik nafas dalam-dalam. Agaknya puterinya memang
sudah diselamatkan oleh orang yang menyebut dirinya akan
membantu menyelamatkannya itu pula.
Namun dalam pada itu Sanggit Rainapun berteriak "Baik.
Baik. Kalian adalah pengkhianat-pengkhianat yang memang
harus dibinasakan. Marilah, apa yang kalian kehendaki
sekarang" Membunuh diri atau apa?"
Jlitheng melangkah maju. Katanya "Kita sudahi saja
permainan yang paling gila ini. Menyerahlah"
Yang Mulia tertawa. Katanya "Rahu juga berkata seperti itu.
Malah ia menyebut-nyebut Demak sebagai satu kekuasaan
yang baru lahir setelah Majapahit. Menggelikan sekali.
Sebaiknya kalian tidak pisah terlalu banyak bicara Marilah, apa
yang akan kau lakukan"
Dalam pada itu, Jlitheng. Semi dan kawannya, Rahu dan
bahkan tiba-tiba saja tabib yang merawat Pangeran yang sakit
itupun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mereka berdiri pada tempat mereka masing-masing pada jarak
"yang terpencar. "Apakah masih ada yang lain" bertanya Yang Mulia.
Namun dalam pada itu, Eyang Rangga yang tidak terlalu
banyak bicara itupun berteriak "Gila. Aku akan membunuh
sekarang. Jika semuanya hanya berbicara saja, maka aku
akan benar-benar melakukannya.
Yang Mulia itupun masih tertawa. Katanya "Mari. Kita akan
membunuh sebanyak-banyaknya"
Eyang Rangga itupun kemudian melangkah mendekati
Rahu tanpa menghiraukan orang-orang lain, sementara Yang
Mulia itupun berkata kepada Jlitheng "Bantaradi, marilah. Kau
adalah bekas anakku yang pernah memberikan kebanggaan
kepada pada saat kau datang. Ternyata kau memang seorang
anak muda yang luar biasa. Kau berhasil mengelabui kami
orang-orang Sanggar Gading dengan bekerja bersama Rahu.
Tetapi terpaksa aku sekarang harus membunuhmu. Mungkin
dengan cara yang sama dengan cara yang akan aku
pergunakan bagi Daruwerdi"
Jlitheng berdiri tegak di tempatnya. Namun yang
mengejutkan adalah perintah Yang Mulia "Aku akan
menyelesaikan aank-anak ini, sebagaimana Eyang Rangga aku
berbuat. Agar kita tidak kehilangan waktu dan kegembiraan,
selain mereka yang akan menghabisi adik Rahu itu, cepat, ikat
saja Daruwerdi agar ia tidak mempergunakan kesempatan ini
untuk melarikan diri"
Jlitheng menjadi tegang. Sanggit Raina dan Cempaka justru
melangkah mendekati Semi dan kawannya. Dengan geram
Sanggit Raina berkata "Aku sudah curiga sejak semula, bahwa
adik Rahu tinggal di padukuhan yang menghadapi ke padang
perburuan. Tetapi aku sekarang mendapat kesempatan untuk
membunuhmu" Semi dan kawannya segera bersiap. Namun dalampada itu,
beberapa orang telah bergerak untuk menangkap Daruwerdi.
Tetapi kedatangan orang-orang itu di atas bukit, telah
membuat Daruwerdi menjadi berpengharapan kembali. Tibatiba
saja ia telah meloncat dan merebut senjata seorang yang
berdiri paling dekat disebelahnya.
Demikianlah ketika orang-orang diseputarnya mulai
bergerak, maka dua orang yang lain telah berloncatan
langsung menyerang orang-orang disekitar Daruwerdi itu.
"Paman" desis Daruwerdi.
"Cobalah menyelamatkan dirimu sendiri" sahut seorang
pamannya "Jlitheng telah membawa kami kemari dalam kerja
sama yang mapan dengan orang-orang yang sebelumnya
tidak aku kenal" Terasa jantung Daruwerdi tergetar. Namun ia tidak sempal
berpikir. Ketika orang-orang disekitarnya bergeser karena
serangan kedua orang pamannya, maka Daruwerdipun
mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang dan
menyibakkan beberapa orang, sehingga ia sempat keluar dari
kepungan. Perkelahian yang justru terjadi adalah kedua orang paman
Daruwerdi dan Daruwerdi sendiri melawan orang-orang yang
mengepungnya. Namun sementara itu, Yang Muliapun berkata "Baiklah.
Ternyata pekerjaan ini cukup banyak. Bantaradi, bersiaplah
untuk mati" Tetapi demikian Yang Mulia itu melangkah mendekati
Jlitheng seorang tua telah muncul pula dari balik gerumbul
bersama seorang gadis yang telah siap dalam pakaian
tempurnya" "Siapa lagi kau he?" Yang Mulia itu tertegun.
"Apakah kita memang belum pernah saling bertemu?" Kiai
Kanthi melangkah maju. Yang Mulia itu mengerutkan keningnya. Lalu Katanya
"Berhadapan muka kita belum pernah. Tetapi sebut, siapakah
kau agar aku mengerti dengan siapa aku berhadapan"
"Kiai Kanthi" jawab Kiai Kanthi "tentu nama yang belum
pernah kau dengar" Sebenarnyalah Yang Mulia itu belum pernah mendengar
nama Kiai Kanthi. Karena itu, maka Katanya "Sebaiknya kau
tidak usah mencampuri persoalan ini. Agaknya kaupun belum
mengenal siapakah Yang Mulia Panembahan Wukir Gading
yang memimpin padepokan Sanggar Gading"
"Aku sudah banyak mendengar tentang kau Yang Mulia"
jawab Kiai Kanthi "Tetapi dalam keadaan seperti ini, aku
terpaksa memberanikan diri untuk mencegahmu melakukan
perbuatan sewenang-wenang"
"Bukan salahku. Anak itu lelah menipuku" sahut Yang
Mulia. "Kalau kau tidak terlalu tamak akan kekuasaan yang kau
kira akan kau dapatkan karena pengaruh pusaka itu, dan tidak
kalah tamaknya karena kau juga ingin menguasai harta benda
yang kau kira dapat kau baca pada pusaka yang akan kau
ketemukan, sehingga kau telah mengorbankan Pangeran yang
sedang sakit itu, maka kau tidak akan dapat ditipu oleh anakanak"
sahut Kiai Kanthi. "Persetan" geram Yang Mulia "Baiklah. Ternyata aku harus
membunuhmu lebih dahulu. Baru kemudian Bantaradi dan
kawan-kawannya" Kiai Kanthipun kemudian mempersiapkan diri Sambil
bergeser selangkah ia berkata kepada anak gadisnya "Cobalah
menyesuaikan diri" Swasti melangkah menjauhi ayahnya. Sementara itu
beberapa orang menjadi heran melihat kehadirannya.
Daruwerdi yang sedang bertempurpun menjadi heran, la


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa aneh bahwa Kiai Kanthi telah menempatkan diri
melawan Yang Mulia Panembahan Wukir Gading. Rasarasanya
masih jelas terbayang di angan-angan Daruwerdi,
bagaimana ia menolong kedua orang ayah dan anak gadis itu
dari terkaman seekor harimau disaat keduanya datang ke
lereng bukit ini. "Jika ia dengan sadar menempatkan diri sebagai lawan
Yang Mulia maka aku sudah melakukan satu perbuatan siasia"
berkata Daruwerdi di dalam hatinya "namun agaknya
karena itu pula mereka sama sekali tidak takut tinggal di
hutan yang dihuni pula oleh binatang buas"
Tetapi Daruwerdi tidak sempat terpikir lebih jauh, karena
orang-orang yang berada disekitarnyapun telah menyerangnya
pula. Namun dalam pada itu, Jlitheng ternyata telah berdiri bebas
pula. Karena itu, maka katanya kepada Swasti "Kita bantu
anak itu" Swasti memandang Jlitheng sejenak. Namun iapun
kemudian melangkah mengikut i Jlitheng mendekati arena.
Sementara itu, kedua paman Daruwerdi dan Daruwerdi sendiri
segera mengalami kesulitan karena lawan mereka yang
jumlahnya jauh lebih banyak.
Tetapi orang-orang diatas bukit itupun lelah terkejut pula.
ketika tiba-tiba duapuluh orang anak-anak muda telah
meloncat dari balik gerumbul diseputar puncak bukit itu.
"Hati-hatilah" sekali lagi Jlitheng memperingatkan.
Sementara anak-anak muda itu selalu mengingat pesannya,
mereka harus bertempur berpasangan"
Pertempuran yang seru segera terjadi diatas bukit itu.
Masing-masing telah berhadapan dengan lawannya.
Yang masih berdiri tegang adalah Eyang Rangga yang
datang bersama orang-orang Kendali Putih. Namun ketika
pertempuran telah menyala diseluruh puncak bukit, maka
iapun berkata "Kau adalah orang yang malang Rahu.
Bukankah namamu Rahu" Aku akan membunuhmu dalam
sekejap. Kemudian aku akan membunuh orang-orang lain
yang datang keatas bukit ini seorang demi seorang bersamasama
dengan Panembahan timpang itu"
Rahu tidak menjawab, lapun jegera mempersiapkan liri.
Namun tabib yang merawat Pangeran yang sakit itupun Ulah
bersiap pula sambil berkata "Aku sudah jemu berada di
padepokan yang buas dan liar itu"
"O. Kau juga akan ikut serta?" bertanya Eyang Rangga.
"Aku sudah muak" jawab tabib itu.
"Baiklah" Eyang Rangga mengangguk-angguk. Lalu
"Bersiaplah. Aku akan mulai"
Rahupun telah bersiap sepenuhnya bersama tabib itu.
Keduanya telah menggenggam senjata masing-masing
menghadapi Eyang Rangga. Namun sejenak kemudian Eyang
Rangga itupun tertawa sambil meloncat selangkah
"Bersiaplah. Aku akan mulai"
Rahu tidak sempat menjawab. Orang yang disebut Eyang
Rangga itupun segera berloncatan. Cepat dan seolaii-olah
tidak menyentuh tanah. Rahu dan Tabib itupun rasa-rasanya menjadi bingung.
Meskipun keduanya bersenjata, tetapi keduanya seolah-olah
tidak sempat melawan sama sekali.
Rahu dan tabib itu terkejut ketika terasa tengkuk mereka
tersentuh. Tidak terlalu keras. Namun kemudian terdengar
Eyang Rangga berkata "Nah, kau yakin dalam sekejap aku
dapat membunuhmu. Aku baru menyentuh kulitmu, untuk
menyatakan bahwa aku mampu melakukannya. Kemudian aku
akan menyentuh kalian sekali lagi. Meskipun kalian bersenjata
rangkap sembilan, tetapi aku akan menghunjamkan pisaupisau
kecil ini ke dalam tubuhmu. Aku mempunyai pisau
sejenis ini tidak terhitung jumlahnya. Aku akan menusuk
kalian setiap orang dua puluh buah pisau. Nah. kalian dapat
membayangkan, betapi kalian akan menikmati saat terakhir
menjelang kematian" Rahu dan tabib itu tidak menjawab. Mereka percaya bahwa
Eyang Rangga itu akan dapat melakukan atas mereka. Tetapi
mereka berdua tidak akan surut selangkah.
Sesaat kemudian, Rahu dan tabib itu telah melihat sebilah
pisau kecil itu di tangan Eyang Rangga. Sambil tersenyum ia
berkata "Melawan orang-orang sakti aku dapat melemparkan
pisau-pisau ini jika perlu. Tetapi ada orang yang tidak akan
mungkin aku kenai, sehingga aku lebih baik tidak
mempergunakannya saja"
Rahu dan tabib itu menjadi tegang. Sejenak kemudian
merekapun harus bergeser karena Eyang Rangga itu mulai
bergerak. Sejenak kemudian senjata Rahu dan tabib itu telah
berputaran. Mereka berusaha untuk mencegah seranganserangan
Eyang Rangga yang akan dapat berbahaya bagi
mereka. Dengan berpasangan keduanya telah bertahan
sekuat-kuat dapat mereka lakukan"
Namun dalam pada itu, Eyang Ranggapun telah
memutuskan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu
karena ternyata bahwa yang harus dihadapi oleh orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Put ih cukup banyak
dan berbahaya. Karena itu, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi.
Sebagaimana yang dapat dilakukan, maka ia sudah berniat
untuk menancapkan pisau-pisau kecilnya. Tidak sebenarnya
sebanyak dua puluh buah, tetapi satu dua buah pisau yang
tepat pada tempat-tempat yang menentukan, akan
menyelesaikan segala-galanya.
Namun dalam keadaan yang mendesak itu. Eyang Rangga
menjadi heran. Ada sesuatu yang terasa menghambat
rencananya. Meskipun senjata Rahu dan tabib yang merawat
Pangeran yang sakit itu sama sekali t idak berdaya, namun
setiap kali, Eyang Rangga itu merasa bahwa ada kekuatan
yang telah mengganggunya. Pada kesempatan yang
menentukan, tiba-tiba saja ayunan tangannya tertegun ketika
terasa sesuatu meng-. gigit kulitnya.
Akhirnya Eyang Rangga itu yakin, bahwa yang dihadapinya
bukan saja Rahu dan tabib itu, tetapi tentu ada kekuatan lain.
Karena itu, maka Eyang Rangga itupun kemudian meloncat
surut sambil berkata "Telah terjadi kecurangan disini. Kenapa
kita tidak berhadapan saja sebagai laki-laki. Marilah, siapakah
yang telah melakukannya. Menurut penilaianku tidak ada
orang lain yang dapat melakukan, kecuali orang yang memiliki
ilmu yang mapan" Rahu tertegun, sementara tabib itupun berpaling.
Dalam pada itu, maka Rahupun menjadi heran ketika ia
melihat Pangeran yang sedang sakit itu tiba-tiba telah bangkit
berdiri. Dikibaskannya pakaiannya seperti orang yang sedang
bangun dari tidur. Namun kemudian ia berkata "Sudahlah Ki
Sanak. Jangan bertindak terlalu jauh. Kau tidak pantas
melawan orang-orang yang memang bukan tataranmu.
Marilah, jika kau memang ingin bermain-main, aku akan
mencoba melayanimu" "Pangeran" desis Eyang Rangga "betapapun tinggi ilmumu,
dalam keadaanmu itu. kau t idak akan mampu melawan aku"
Tetapi Pangeran itu tersenyum. Katanya "Apapun yang
akan terjadi, marilah. Kita akan mencoba mengukur tingkat
ilmu kita masing-masing"
Eyang Rangga memandang Pangeran itu dengan tajamnya.
Kemudian katanya "Aku tidak mengerti sikapmu Pangeran.
Kau datang di tempat ini dalam keadaan yang payah. Bukan
saja ragamu, tetapi juga martabatmu, karena kau adalah
seorang tawanan disini. Jika kau seorang yang berilmu tinggi,
penggraitamulah yang rendah, karena kau telah berpihak
kepada orang yang akan mengambilmu dan mungkin akan
merampas nyawamu" "Memang suatu ceritera yang menarik" jawab Pangeran itu
"Tetapi anak itu sama sekali tidak berbahaya bagiku. Apa saja
yang akan dilakukan atasku sangat menarik perhatian. Karena
itu aku akan ikut mempertahankan hidupnya agar aku tahu,
apakah yang sebenarnya dikehendaki dari aku"
Dalam pada itu, Rahu masih saja keheranan. Pangeran
yang dalam keadaan saki itu tiba-tiba telah bersiap untuk
melawan orang yang diagungkan oleh orang-orang Kendali
Putih. Namun tabib yang merawat pangeran itupun berbisik
ditelinganya "Aku sebenarnya sudah tahu, bahwa Pangeran itu
sudah sembuh. Ia tidak sakit lagi. Selama ini ia hanya
berpura-pura. Karena itu, jangan cegah ia mengliadapi orang
Kendali Puih itu" Rahu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa
Pangeran itu tentu menganggapnya seorang yang dungu,
yang tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Dalam pada itu. Pangeran iupun kemudian berkata
"Tinggalkan kami berdua. Biarlah orang-orang tua bermainmain
dengan leluasa. Kecuali jika kalian hanya ingin menonton
saja" Tetapi Rahu tidak beranjak. Ia masih ragu-ragu untuk
meninggalkan Pangeran itu, karena ia tahu, bahwa Eyang
Rangga adalah orang yang memiliki kemampuan-setingkat
dengan Yang Mulia Panembahan Wukir Gading.
Meskipun Rahu juga tahu, bahwa Pangeran itu memiliki
ilmu yang tinggi, sehingga Sanggit Raina harus
memperhitungkan waktu yang tepat, justru pada saat
Pangeran itu sedang sakit, namun berhadapan dengan Eyang
Rangga, maka Rahu masih harus membuktikan apa yang akan
terjadi. Namun agaknya Pangeran itu mengetahui perasaan Rahu.
Karena itu, maka iapun berkata "Rahu. mungkin kau masih
ragu-ragu, apakah yang akan terjadi. Baiklah, terserah
kepadamu. Namun sebaiknya kau bantu orang-orang yang
harus bertempur melawan orang-orang Kendali Putih dan
orang-orang Sanggar Gading. Jika kau kemudian menemukan
aku ternyata mati disini, maka kau sudah berbuat sesuatu"
Rahu tidak menjawab. Tetapi yang terdengar adalah katakata
Eyang Rangga "Persetan. Aku tidak mempunyai waktu.
Bersiaplah Pangeran, jika kau memang ingin mati karena
tanganku. Kau sekarang sama sekali sudab tidak berarti lagi.
Jika semula kau masih tetap dipertahankan agar kau tetap
hidup untuk memancing pusaka yang diperebutkan itu,
ternyata kini kau tidak lagi mempunyai harga sama sekali"
"Apapun yang kau katakan aku sama sekali tidak peduli"
jawab Pangeran itu "Tetapi aku akan tetap berdiri pada
kewajibanku sebagai seorang prajurit. Aku akan mencegah
perbuatan kalian yang bertentangan dengan paugeran"
Eyang Rangga tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia sudah
meloncat menyerang. Dengan garang ia mengayunkan
kakinya hampir mendatar dengan tubuhnya yang meluncur
deras seperti lembing. Namun ternyata Pangeran itu mampu menghindarinya
Dengan menarik sebelah kakinya ia bergeser dan memiringkan
tubuhnya, sehingga dengan demikian maka serangan Eyang
Rangga itu tidak menyentuhnya.
Namun dalam pada itu, demikian kaki Eyang Rangga itu
menjejak tanah, maka iapun berpitar sambil merendah
tertumpu pada tumit. Tangannya bergerak dengan kecepatan
yang hampir tidak dilihat oleh mati wadag. Namun ternyata
sebilah pisau telah meluncur menyambar Pangeran yang
berdiri tegak memandanginya.
Hampir saja pisau itu menyambar keningnya. Namun
ternyata Pangeran ituput mampu mengimbangi kecepatan
gerak Eyang, Rangga sehingga sekali lagi serangan itu sama
sekali t idak mengenai sasararnya.
Baru sejenak kemudan, keduanya telah tegak berdiri
berhadapan dengan kesiagaan sepenuhnya.
Namun dalari pada itu, dengan singkat Rahu telah dapat
melihat, betapa Pangeran yang disangkanya masih saja sakit
itu mampu mengimbingi orang yang disebut dengan Eyang
Rangga. Karena itu, maka Rahupun percaya, bahwa Pangeran
itu akan dapat melindungi dirinya sendiri.
Karena itu, maka Rahupun kemudian berkata kepada Tabib
yang masih saja termangu-mangu "Kau yang sudah tahu
bahwa Pangeran itu sudah sembuh, tidak usah
mencemaskannya lagi. Ia akan dapat menyelamatkan dirinya
sendiri meskipun ia berhadapan dengan orang yang disebut
Eyang Rangga" "Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" bertanya
tabib itu. "Kita membantu anak-anak Lumban. Mereka belum
berpengalaman bertempur melawan orang-orang gila seperti
orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih"
Tabib itu tidak menjawab lagi. Ditinggalkannya Pangeran
yang sebenarnya sudah sembuh itu berhadapan dengan orang
yang disebut Eyang Rangga itu. Sementara Rahu dan tabib
itupun telah mendekati arena pertempuran yang semakin
dahsyat. "Rahu" geram salah seorang pengikut Sanggar Gading "Kau
telah berkhianat. "Aku tidak pernah dengan bersungguh-sungguh menjadi
orang Sanggar Gading. Sekarang datang waktunya untuk
dengan pasti menghancurkan kalian sekaligus orang-orang
Kendali Putih" jawab Rahu.
"Gila. Kaulah yang akan binasa bersama anak-anak ingusan
itu" teriak orang Sanggar Gading itu.
Rahu tidak menjawab. Iapun kemudian mendekati arena.
Dilihatnya Jlitheng telah bertempur disamping seorang gadis
yang berpakaian seorang laki-laki Swasti.
Rahu menarik nafas dalam-dalam. Di bagian lain Daruwerdi
telah menghentakkan segenap kemampuannya. Ia
merasa bahwa nyawanya yang telah berada diujung ubunubun
itu, rasa-rasanya masih akan dapat bersambung lagi.
Demikianlah pertempuran di puncak bukit itupun semakin
lama menjadi semakin seru. Orang-orang Sanggar Gading dan
orang-orang Kendali Putih telah berpencar. Dengan garangnya
mereka bertempur melawan anak-anak muda Lumban yang
tidak pernah melupakan pesan Jlitheng. Mereka bertempur
berpasangan. Meskipun begitu, ternyata berdua mereka mengalami
kesulitan bertempur melawan orang-orang Sanggar Gading
dan orang-orang Kendali Putih. Karena itu, maka mereka telah
bergabung dalam kelompok yang terdiri dari tiga orang.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rami dan tabib yang selama itu merawat Pangeran yang
sebenarnya telah sembuh, sedangkan Sanggit Raina dan
Cempaka telah dihadapi oleh Semi dan kawannya.
Di bagian lain, Daruwerdi dan kedua pamannyapun telah
memaksa orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang
Kendali Put ih yang menghadapinya bertempur dengan
mengerahkan segenap kemampuannya.
Dalam pada itu. Yang Mulia Panembahan Wukir Gading
yang bertempur melawan Kiai Kanthi merasa heran, bahwa di
padukuhan terpencil itu ada orang yang mampu mengimbangi
kemampuannya. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya "Ki Sanak.
Adalah aneh sekali jika Ki Sanak memang orang padukuhan
ini. Apakah Ki Sanak telah bekerja sama dengan Rahu untuk
menjebak kami" Sehingga Ki Sanak telah memanfaatkan
Daruwerdi untuk memancing kami datang ke tempat ini?"
"Tidak Yang Mulia. Aku bukan orang yang mempunyai
ikatan apapun dengan mereka" jawab Kiai Kanthi.
"Jika demikian, apa keuntunganmu "untuk melibatkan diri
dalam persoalan ini?" bertanya Yang Mulia.
"Ada beberapa pertimbangan" jawab Kiai Kanthi "Aku
berpihak kepada anak-anak Lumban, karena anak-anak
Lumban telah banyak memberikan pertolongan kepadaku"
"Omong Kosong" desis Yang Mulia "agaknya justru kaulah
yang telah membuat mereka menjadi wayang yang kau
gerakkan sesuka hatimu"
"Kau salah Yang Mulia" jawab Kiai Kanthi "Ternyata
pusaran angin yang melingkar di berbagai hutan dan dataran
telah bertemu di puncak bukit ini. Tetapi baiklah aku tidak
mengatakan apapun juga. Sebaiknya kau sajalah yang
menghentikan perlawanan, sehingga dengan demikian
kematian tidak akan lagi semakin mengerikan setelah nyawa
terhambur tanpa arti di pategalan"
"Jangan begitu Kiai" jawab Yang Mulia "kematian dalam
warna dari padepokan kami, sebagaimana kehidupan itu
sendiri. Tetapi bahwa kau telah mehndungi Daruwerdi
membuat aku t idak begitu senang terhadapmu. Anak itu
sudah menipu kami dan ternyata sekarang Pangeran itupun
telah menipu pula. Ternyata la sudah sembuh dan siap untuk
bertempur dengan orang yang oleh orang-orang Kendali Putih
disebut Eyang Rangga Itu"
"Kita akan melihat akhir dari persoalan yang tidak banyak
kita mengerti artinya. Kau tidak, akupun tidak. Mudahmudahan
setelah kau, aku tidak akan terjebak pula disini"
berkata Kiai Kanthi. Yang Mulia menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
dapat bertempur dengan marah dan menghentak-hentak,
karena ternyata Kiai Kanthi itu mampu mengimbangi ilmunya.
Satu hal yang sama sekali t idak disangkanya sama sekali.
Dalam pada itu, Sanggit Rainapun telah mengerahkan
kemampuannya menghadapi Semi, sementara Cempaka
berhadapan dengan kawan Semi. Dengan segenap
kemampuannya Sanggit Rainapun telah memaksa Semi untuk
setiap kali bergeser surut. Ternyata Sanggit Raina adalah
seorang yang memiliki kemampuan yang dapat dipercaya,
sehinggi Ssmipun tidak dapat ingkar lagi, bahwa kemampuan
Sanggit Raina telah mendebarkan jantungnya.
Dalam pada itu, ternyata Rahu dapat melihatnya. Karena
itu, maka iapun telah melepaskan lawannya dan mendekati
Semi yang sedang berloncatan surut " Serahkan orang itu
kepadaku" Semi tidak membantah. Ia tidak sedang berperang tanding.
Karena itu, maka iapun telah melepaskan Sanggit Raina dan
membiarkannya berhadapan dengan Rahu.
"Kau gila Rahu" geram Sanggit Raina.
"Aku sudah muak melihat permainan yang gila ini" berkata
Rahu "Kau dan Cempaka yang telah melakukan kejahatan
ganda" "Kenapa ganda?" bertanya Sanggit Raina.
Rahu memandang Sanggit Raina dengan wajah yang
tegang. Dengan nada dalam ia berkata "Kalian telah dengan
tamak berusaha mendapatkan pusaka dan hartakarun itu
dengan cara yang paling licik. Kau manfaatkan orang-orang
Sanggar Gading. Kemudian kau akan berkhianat pula terhadap
Yang Mulia Panembahan Wukir Gading. Kau dan adikmu itu
tentu ingin memiliki pusaka dan segala macam rangkaiannya
bagi kepentingan diri kalian sendiri"
"Persetan" geram Sanggit Raina "Kau mengigau di saat kau
mendekati mati" "Kita sudah sampai kepuncak permainan. Kita tidak perlu
lagi saling membohongi diri" potong Rahu.
Sanggit Rainapun tiba-tiba telah menyerang dengan
garangnya. Namun Rahu masih sempat mengelak sambil
berkata "Akupun tidak akan berbohong dan berpura-pura lagi.
Aku mengemban tugas untuk menghanourkan kalian dari
dalam dan menyelamatkan pusaka yang diperebutkan"
Sanggit Raina sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia
menyerang Rahu semakin garang, sehingga keduanyapun
bertempur dengan dahsyatnya.
Yang menarik perhatian adalah Swasti. Tiba-tiba saja gadis
itu hadir dan ikut pula bertempur Bukan saja ia ikut
bertempur, namun ternyata ia memiliki kemampuan yang
mengagumkan. Orang-orang yang mengenalnya sebagai
seorang keheran-heranan. Bahkan Daruwerdi sempat pula
berkata gadis yang tinggal dipondok terpencil itu ternyata
telah menjadi kepada diri sendiri "Aku telah terperdaya. Ketika
mereka datang, aku kira mereka akan segera menjadi mangsa
seekor harimau sehingga aku telah berusaha menolongnya"
Dalam pada itu, Daruwerdi menjadi semakin berdebardebar
ketika tiba-tiba saja Swasti telah bertempur hanya
beberapa langkah di dekatnya. Bahkan dengan nada datar
gadis itu berkata diluar dugaan Daruwerdi "Aku hanya ingin
membalas baikmu. Kau telah menyelamatkan aku dan ayah
ketika kami tiba di tempat ini"
"Ah" Daruwerdi hanya berdesah saia. Namun ia melihat,
bahwa kemampuan gadis itu tidak lebih rendah dari
kemampuannya sendiri. Namun ternyata kemudian Swasti tidak bergeser menjauhi
Ia bertempur dengan garangnya beberapa langkah dari
Daruwerdi, seolah-olah ia dibayangi oleh satu kecemasan
bahwa anak muda itu memang harus dilindungi.
Jlitheng yang bertempur pula dengan garangnya, sekali-kali
sempat juga melihat, betapa Swasti tiba-tiba saja telah
bertempur dekat di daerah pertempuran Daruwcrdi dan dua
orang pamannya. Tetapi Jlitheng tidak menghiraukannya. Pertempuran itu
menjadi semakin liar. Orang-orang Sanggar Gading dan orangorang
Kendali Putih yang tersisa, telah di bayangi pula oleh
kemarahan sekaligus keputusasaan. Di pategalan orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih sudah saling
membunuh. Karena itu, setelah beristirahat tiga hari tiga
malam, maka tenaga merekapun telah siap kembali untuk
bertempur dengan liar dan membunuh sejauh dapat dilakukan
dalam suasana yang kurang menentu. Mereka tidak lagi tahu
apa yang harus mereka perjuangkan selain luapan kemarahan,
dendam, kebencian dan ketidak pastian.
Namun pertempuran itu sendiri mempunyai arti yang
sangat mendalam bagi Daruwerdi. Ternyata bahwa yang
dilihatnya sebelumnya adalah dunia petualangan yang sempit.
Kini di puncak bukit itu ia melihat, orang-orang yang
bertempur dalam tataran setingkat dengan dirinya sendiri. Jika
semula ia menyangka ia telah memiliki bekal yang cukup bagi
petualangannya yang hampirsaja merenggut nyawanya itu,
maka iapun mulai melihat kenyataan dunia eleh kanuragan
yang sebenarnya. Ada puluhan orang-orang yang memiliki
kemampuan setingkat dengan dirinya Bahkan sambil
bertempur ia berhasil melihat satu kenyataan, bahwa Jlitheng
bukan sekedar anak Lumban Wetan yang takut diancamnya
sebagimana disangkanya. Dalam pertempuran yang garang
itu, ia melihat bahwa Jlitheng tidak kalah dari dirinya sendui.
"Pantas ia dapat mengambil sikap di saat-saat anak-anak
Lumban berebut air" berkata Daruwerdi di dalam hatinya.
Segalanya itu telah membuka hatinya, bahwa sebenarnya
lah pengalamannya masih terlalu sempit.
Dalam pada itu, ternyata bahwa Eyang Rangga yang tidak
menduga sama sekali akan bertempur dengan orang yang
selama perjalanan hampir dilupakan oleh orang-orang Sanggar
Gading karena dianggap sedang sakit dan tidak mampu
berbuat sesuatu benar-benar harus mengerahkan tenaganya.
Pangeran yang yang melihat satu teka-teki yang besar itu
telah berusaha untuk secepatnya mengalahkan lawannya. Ia
masih harus memecahkan banyak persoalan di daerah
Sepasang Bukit Mati itu. Ia masih harus mengetahui, apakah
yang sebenarnya dikehendaki oleh anak muda yang bernama
Daruwerdi, yang menuduhnya telah membunuh ayahnya. Dan
iapun ingin mengetahui, buat apa sebenarnya Daruwerdi
bermain-main dengan pusaka yang palsu itu.
Sebenarnyalah, seandainya Yang Mulia t idak berhasil
melihat kepalsuan pusaka itu. Pangeran itulah yang tahu
dengan pasti, bahwa pusaka yang diberikan oleh Daruwerdi
itu adalah sebuah permainan yang berbahaya.
Ternyata keduanya adalah orang-orang tua yang memiliki
ilmu yang tinggi. Kecepatan mereka bergerak, kekuatan dan
ketrampilan mereka telah menggetarkan puncak bukit itu.
Semakin lama pertempuran diantara mereka menjadi semakin
dahsyat, sehingga akhirnya mereka sampai pada satu sikap
untuk merambah ke dalam kekuatan tenaga cadangan mereka
masing-masing, sehingga yang nampak kemudian adalah
benturan-benturan kekuatan melampaui kekuatan wadag
sewajarnya. Dalam pertempuran yang memenuhi puncak bukit itu,
ternyata kedua orang itu, seolah-olah" "dengan sengaja telah
menyisih, agar mereka mendapat kesempatan untuk
memperbandingkan ilmu mereka tanpa terganggu. Sambaransambaran
tangan dan kaki mereka telah mematahkan
pepohonan dan dahan-dahan kekayuan disekitar mereka.
Langkah-langkah kaki merekapun telah memecahkan batubatu
padas di bawah kaki mereka dan melontarkannya
berhamburan. Baik orang-orang Sanggar Gading, maupun orang-orang
Kendali Putih menjadi sgeri melihat pertempuran yang tidak
sekedar berlandaskan kemampuan wadag mereka. Terlebihlebih
lagi anak-anak muda Lumban Wetan dan Lumban Kulon.
Mereka tidak mengerti, apa yang sedang mereka saksikan itu.
Seandainya mereka terdorong ke dalam putaran pertempuran
itu, maka mereka akan tergilas tanpa dapat berbuat apapun
juga. Dalam pada itu, maka Daruwerdipun merasa ngeri pula
melihat pertempuran itu. Baginya seakan-akan tidak ada lagi
jalan keluar yang keluar yang dapat ditempuhnya. Ketika ia
terlepas dari tangan Yang Mulia ia mulai berpengharapan
Namun kemudian ia melihat bahwa sebenarnyalah Pangeran
yang disangkanya sedang sakit itupun memiliki kemampuan
yang tiada taranya. "Pangeran itupun tentu mendendam aku pula" berkata
Daruwerdi di dalam hatinya "Akulah yang telah menyeretnya
sampai ke tempat ini. Orang-orang Sanggar Gading tentu
mengatakan, apa yang pernah aku katakan kepada mereka
tentang Pangeran itu"
Namun dalam pada itu, Daruwerdi masih juga bertempur
diantara medan yang riuh.
Sementara itu, ternyata disisi lain, puncak bukit itu
bagaikan telah diguncang oleh amuk prahara yang dahsyat.
Pertempuran antara Yang Mulia Panembahan Wukir Gading
melawan Kiai Kanthi ternyata tidak kalah dahsyatnya dari
pertempuran antara Eyang Rangga dan Pangeran yang
dianggapnya masih sakit itu
Meskipun Yang Mulia itu timpang kakinya, tetapi
kemampuannya sama sekali tidak terganggu karenanya. Ia
mampu meloncat-loncat seakan-akan tidak berjejak diatas
tanah, sementara tangannya bergetar terayun-ayun.
Lawannya, Kiai Kanthi memiliki cara lain untuk melawan
Yang Mulia yang mampu bergerak secepat angin. Kiai Kan-"
thi justru tidak banyak bergerak Ia berdiri dengan kaki
renggang dan sedikit merendah pada lututnya. Ia hanya
bergeser saja kearah lawannya yang berloncatan, sehingga
seakan-akan Kiai Kanthi itu hanya bergeser berputar-putar.
Namun pada saat tertentu, orang tua itu telah melenting
seperti seekor bilalang, menyerang lawannya dengan
dahsyatnya. Namun kemudian kembali ia berdiri tegak, sementara angin
pusaran telah berputar mengelilinginya, memutarnya dan
bahkan berusaha untuk merobohkannya.
Namun kakinya bagaikan menghujani dalam-dalam kepusat
bumi, sehingga orang tua yang menurut kebiasaannya sehariTiraikasih
hari adalah orang yang lemah lembut, ternyata mampu berdiri
tegak bagaikan karang yang tidak goyah oleh amukan badai.
Dengan demikian maka bukit itupun benar-benar telah
diguncang "Beberapa orang Sanggar Gading dan Kendali Putih
yang bertempur melawan anak-anak muda Lumbanpun telah
bergeser beberapa langkah turun pada lereng bukit. Sanggit
Raina yang bertempur melawan Rahu berloncatan dengan
garangnya. Senjata mereka telah saling beradu sehingga
bunga apipun bertebaran diantara dedaunan hutan.
Mereka saling menyerang dan saling menangkis. Desak
mendesak dan sekali-sekali mereka harus memanfaatkan
pepohonan hutan untuk berlindung dari tajam ujung senjata
lawannya. Sanggit Raina yang dalam kehidupan sehari-hari di
padepokan Sanggar Gading menganggap bahwa Rahu adalah
pengikut Cempaka yang setia, ternyata anggapan itu telah
menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Apalagi dalam satu
kenyataan bahwa Rahu mampu mengimbangi kemampuannya
dengan kecepatannya menggerakkan senjata.
Sementara itu, orang-orang Sanggar Gading dan orangorang
Kendali Putih yang lain telah mulai terdesak. Daruwerdi.
yang betapapun juga digelit ik oleh keadaan Pangeran yang di
anggapnya masih sakit itu tetapi ternyata mampu menggepur
lawannya bagaikan badai dari lautan, masih juga sempat
memaksa lawannya berloncatan surut. Iapun menjadi heran


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat Svvasti yang dengan lincahnya mendesak lawannya.
Bahkan sekali-sekali terdengar lawannya itu mengumpat
putus-asa. Sementara kedua paman Daruwerdipun telah
mengamuk seperti harimau lapar.
Jlitheng yang bertempur dengan dahsyatnya, telah
menguasai lawannya sehingga lawannya benar-benar tidak
berdaya. Bahkan ketika Jlitheng meloncat sambil menusuk
lambungnya, ia hanya dapat mencoba untuk menangkis.
Namun ternyata bahwa ujung pedang Jlitheng yang tipis dan
hampir tidak mempunyai berat itu berhasil menyentuh kulit
lawannya, sehingga darahpun mulai mengalir
Betapapun orang itu menjadi liar, namun Jlitheng masih
dapat menguasainya. Sentuhan demi sentuhan telah
mengoyak tubuh orang itu, sehingga akhirnya ia telah
kehilangan kemampuan untuk mengamati sikap dan tingkah
lakunya sendiri. Jlitheng telah mempergunakan kesempatan terakhir untuk
menusuk ke dadanya. Tetapi orang itu masih berusaha
menangkisnya. Ketika kedua pedang itu beradu, maka Jlitheng
telah memutar pedangnya, sehingga senjata lawannya itupun
seolah-olah telah terhisap dan kemudian terlempar keudara.
Orang itu berdiri termangu-mangu. Sementara darahpun
mengalir semakin banyak dari tubuhnya. Sejenak kemudian,
ketika orang itu terhuyung-huyung jatuh, Jlitheng justru
bergeser surut. Ia tidak sampai hati untuk menghunjamkan
senjatanya pada orang yang sudah tidak berdaya.
Jlitheng berpaling ketika ia melihat Swasti telah berhasil
melukai lawannya. Namun, demikian Swasti terpaku melihat
darah yang memancar dari dada. ia tidak menyadari, bahwa
seorang dari Sanggar Gading telah meloncat sambil
mengayunkan pedangnya. Jlitheng terkejut. Jaraknya dengan Swasti cukup jauh.
sehingga tidak memungkinkan untuk meloncat
menghalanginya. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan
adalah melemparkan pedangnya.
Namun sebelum Jlitheng melakukannya, ia mengerutkan
keningnya dengan pandangan tegang. Daruwerdilah yang
telah meloncat dengan pedangnya terjulur meninggalkan
lawannya. Demikian cepatnya, sehingga orang yang berusaha
menikam Swasti itu tidak sempat menyelamatkan diri dari
patukan pedang Daruwerdi.
Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Swasti yang
terkejut berpaling. Yang dilihatnya adalah seseorang yang
terhuyung-huyung dan jatuh di tanah. Namun dalam sekejap
itu iapun mengerti apa yang telah terjadi. Daruwerdi telah
menyelamatkan nyawanya. Tetapi pada saat yang berikutnya, lawan yang ditinggalkan
oleh Daruwerdi telah memburunya, justru pada saat
Daruwerdi sedang menarik pedangnya dari tubuh lawannya
yang terbaring. Namun Swastilah yang kemudian meloncat
menahan serangan itu, sehingga sejenak kemudian keduanya
telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Tetapi seperti lawannya yang terdahulu, maka. lawan
Swasti itupun tidak dapat bertahan terlalu lama. Apalagi ia
hampir tidak menduga, bahwa gadis itulah yang akan
melawannya justru pada saat Daruwerdi tidak menyadari apa
yang akan terjadi. Daruwerdi masih berdiri termangu-mangu. Ketika Swasti
menyelesaikan pertempuran itu, maka kedua anak muda itu
saling berpandangan. Berbareng mereka terenyum. Namun
Swatipun kemudian menundukkan wajahnya. Bahkan sejenak
kemudian iapun telah bergeser dengan pedang bergetar
ditangannya. Jlitheng memperhatikan semuanya yang terjadi itu dengan
hati yang berdebar-debar. Ia tidak tahu, apakah yang telah
bergejolak didadanya. Namun bahwa kedua anak muda itu
telah saling menyelamatkan jiwa masing-masing, jantungnya
justru berdegup semakin keras.
Tetapi Jlitheng tidak dapat merenung terlalu lama.
Disekitarnya pertempuran masih berlangsung. Namun sudah
tidak lagi menggetarkan dada anak muda itu. Seolah-olah ia
sudah membayangkan akhir dari segalanya. Orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih telah terdesak.
Betapapun mereka menjadi semakin liar dan buas, namun
mereka tidak mampu lagi melawan setelah orang-orang
terpenting di-antara mereka terikat pada pertempuran yang
sengit. Yang Mulia Panembahan Wukir Gading sama sekali tidak
dapat beringsut dari tempatnya. Apalagi tekanan Kiai Kanthi
semakin lama justru menjadi semakin berat. Sehingga
Panembahan Wukir Gading itu sama sekali tidak mendapat
kesempatan untuk memperhatikan pertempuran itu secara
keseluruhan. Apalagi kraena pertempuran itu telah merambat
tidak saja dipuncak bukit, tetapi sudah merayap turun hampir
sampai kelambung. Dalam pada itu anak-anak muda Lumbanpun telah
bertempur dengan garangnya. Seperti yang dipesankan
Jlitheng, mereka bertempur berpasangan. Bahkan ada
diantara mereka yang berpasangan tiga orang karena lawan
mereka ternyata terlalu buas, kasar dan liar. Seperti pesan
Jlitheng pula mereka telah memanfaatkan pepohonan. Dalam
keadaan yang gawat mereka berusaha untuk berlindung di
balik pepohonan sementara kawan yang lain berusaha untuk
memancing perhatian lawannya.
Karena itu, maka Jlithengpun kemudian berusaha untuk
melupakan apa yang telah dilihatnya dengan membaurkan diri
dalam pertempuran diantara anak-anak muda Lumban Wetan.
Ia telah melepaskan getar jantungnya yang seolah-olah
mengetuk dadanya dengan mengayunkan pedangnya
menghadapi orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang
Kendali Putih. Semakin Jlitheng bertempur semakin cepat,
seolah-olah ia tengah berusaha untuk lari dari satu kenyataan
yang dihadapinya. Dengan demikian maka Jlitheng itupun seolah-olah telah
menjadi hantu yang menakutkan bagi orang-orang Sanggar
Gading dan orang-orang Kendali Putih.
Namun dalam pada itu, diluar kehendaknya, setiap kali ia
masih berusaha untuk melihat, apa yang sedang dilakukan
oleh Daruwerdi dan apa pula yang sedang dilakukan oleh
Swasti. Meskipun keduanya telah kembali sibuk dengan
pertempuran yang masih saja terjadi, namun rasa-rasanya
keduanya tidak lagi terpisah terlalu jauh.
Sementara itu, Eyang Rangga yang bertempur menghadapi
Pangeran yang semula masih saja dianggap sakit-sakitan itu,
semakin lama menjadi semakin gelisah. Ia sadar, bahwa
Pangeran itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Bahkan daya tahan tubuhnyapun rasa-rasanya tidak ada
bandingnya. Karena itu, maka Eyang Rangga itupun harus mengerahkan
segenap kemampuannya untuk melawan Pangeran yang
kemudian menekannya dengan ilmu yang sulit di imbanginya.
Oleh kenyataan itu, maka orang yang disebut Eyang
Rangga itupun tidak mau menanggung akibat yang paling
parah atas dirinya. Jika ia datang ke tempat itu, maka iapun
sebenarnya telah bersiap dengan segenap perhitungan dan
pertimbangan, karena menurut perhitungannya ia akan
bertempur sampai nafasnya yang terakhir melawan Yang
Mulia Panembahan Wukir Gading atau ia akan dapat
membunuhnya. Karena itu, maka iapun telah menyiapkan
bukan saja dirinya dalam landasan ilmunya, tetapi juga
senjata yang sulit dicari bandingannya.
Dalampada itu, ketika tekanan Pangeran itu terasa menjadi
semakin berat, maka tidak ada pilihan lain bagi Eyang Rangga
itu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya pada alas
kemampuannya bermain dengan senjatanya.
Karena itu, maka sejenak kemudian, dalam keadaan yang
paling gawat, Eyang Rangga itu telah mengurai seutas rantai
yang melilit di bawah bajunya. Rantai yang pada kedua
ujungnya terdapat semacam ujung tombak yang tajam
runcing berwarna kekuning-kuningan, dengan ukuran yant
tidak terlalu besar. Pangeran yang dianggap masih sedang sakit itu tertegun
melihat senjata itu. Dengan nada datar ia bertanya "Dari mana
kau dapatkan senjata itu?"
Eyang Rangga tersenyum. Ia melihat ketegangan pada
wajah Pangeran itu. Katanya "Apakah Pangeran sudah
mengenal senjata ini?"
Pangeran itu berdiri tegak dengan kaki renggang. Dengan
suara yang bergetar ia berkata "Senjata itu pernah
dipergunakan oleh prajurit khusus dari Majapahit yang tidaK
banyak jumlahnya. Apakah kau termasuk salah seorang dari
prajurit khusus itu?"
Eyang Rangga tertawa. Katanya "Jangan picik Pangeran.
Prajurit khusus itu telah mempelajari penggunaan senjata
jenis ini dari seorang Ajar di padepokan terpencil. Ajar itu
telah menyediakan waktu dan ilmunya untuk mengabdi
kepada Majapahit" Pangeran itupun termangu-mangu. Ia melihat sejenis
senjata yang pada masanya sangat dikagumi. Tetapi tidak
banyak orang yang dapat mempergunakannya dengan baik,
justru karena senjata itu tidak lajim bagi para prajurit.
Namun demikian Pangeran itupun masih meragukan,
apakah orang yang disebut Eyang Rangga itu benar-benar
dapat mempergunakan sebagaimana seharusnya.
Meskipun demikian, Pangeran itupun tidak mau lengah
menghadapinya. Jika ia gagal, maka yang akan terjadi tidak
akan dapat dibayangkannya. Juga atas anak muda yang
bernama Daruwerdi itu. Mungkin orang yang dengan
kehendaknya sendiri menempatkan diri sebagai lawan Yang
Mulia itu mampu bertahan.
Tetapi jika ia dikalahkan oleh Eyang Rangga, maka Eyang
Rangga bersama-sama dengan Yang Mulia Panembahan itu
akan dengan mudah membinasakan lawan Yang Mulia itu.
Atau Eyang Rangga akan dapat berbuat sekehendaknya atas
orang-orang yang diluar dugaannya telah melibatkan diri
melawan orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang
Kendali Putih. Karena itu, maka Pangeran itupun kemudian mengambil
dua keping baja putih dari kantong ikat pinggangnya. Dua
keping baja yang sama sekali tidak mirip dengan senjata jenis
apapun. "Ki Sanak" berkata Pangeran itu "karena kau sudah
bersenjata, maka biarlah aku juga mengeluarkan senjataku.
Aku minta waktu untuk memasangnya. Mungkin kau tidak
sabar, tetapi aku harap kau tidak mulai sebelumaku selesai"
Ternyata dua keping baja itu telah dipasang di telapak
tangannya. Beberapa buah janget melingkar di jari-jari dan
pergelangan tangannya. "Kau terlalu sombong Pangeran" berkata Eyang Rangga
"Kau sangka aku sedang bermain-main dengan senjataku"
Jika tajam senjataku ini menyentuh dadamu, maka ujungnya
akan langsung menghunjamsampai kejantung"
"Aku percaya" jawab Pangeran itu "Tetapi tidak mudah
untuk mematuk dada apalagi langsung kejantung"
Eyang Rangga tidak menjawab lagi. Ia mulai memutar
senjatanya. Seutas rantai yang pada kedua ujungnya
tersangkut ujung-ujung senjata yang tajam.
Pangeran itupun telah mempersiapkan diri pula. Eyang
Rangga yang ingin melihat apa yang dapat dilakukan dengan
kedua keping baja di kedua telapak tangan Pangeran itu,
maka iapun mulai menyerang dengan ujung senjatanya yang
berwarna kekuning-kuningan. Bukan sekedar untuk
memancing gerakan lawan, namun Eyang Rangga telah
menyerangnya dengan sungguh-sungguh.
Ujung senjata yang berputar pada rantai yang cukup
panjang itu, tiba-tiba bagaikan meluncur dan mematuk
mengarah ke dada. Namun seperti Pangeran yang berdebardebar
melihat senjata lawannya, maka Eyang Ranggapun
terkejut melihat, bagaimana Pangeran itu mempergunakan
kedua keping baja pulih di kedua telapak tangannya.
Ternyata bahwa Pangeran itu mempergunakan kedua
keping baja dan tangannya sebagai perisai. Ujung senjata
yang tajam pada ujung rantai yang mematuk itu telah
ditangkis dengan telapak tangan yang dilambari oleh keping
baja, sehingga ujung senjata itu sama sekali tidak dapat
melukainya. Eyang Rangga itupun menarik nafas dalam-dalam. Namun
sejenak kemudian senjatanya telah memutar kedua ujungnya
yang tajam itu. Bahkan sejenak kemudian, kedua tajam pada
ujung senjata itu telah menyambar Pangeran itu bergantiganti.
Namun sebenarnyalah Eyang Ranggapun terkejut bukan
buatan. Setiap sambaran senjata telah ditahan oleh telapak
tangan yang beralaskan keping baja itu.
Tetapi dengan demikian bukan berarti bahwa Pangeran itu
tidak pernah menyerangnya. Dengan kedua telapak tangannya
yang terbuka dan siap menangkis serangan lawannya, maka
Pangeran itupun maju terus semakin mendekat. Dalam saatsaat
tertentu, sambil menangkis ujung senjata lswannya.
Pangeran itupun telah menyerang dengan kakinya. Dengan
cepat dan di lambari dengan segenap tenaganya, maka kaki
Pangeran itupun meluncur dengan derasnya.
Eyang Rangga sebenarnyalah menjadi gelisah melihat
kemampuan ilmu dan senjata Pangeran itu yang lebih banyak
borguna sebagai perisai. Namun yang kemudian dibarengi
dengan kecepatan gerak kakinya, maka sebenarnyalah
Pangeran itu menjadi sangat berbabaya.
Meskipun demikian, Pangeran itupun menjadi berdebardebar
mehhat kemampuan Eyang Rangga bermain dengan
senjatanya yang aneh itu. Dengan tangkas dan cermat.
Serangan serangannya menjadi semakin cepat dan berbahaya.
Merkipur rantai itu berputar pada kedua ujungnya, tetapi
rantai itu sami sekali t idak menjadi kusut can saling membelit.
Namun bagaimanapun juga Pangeran itu memiliki kelebihan
dari padanya. Dengan nada berat Pangeran itu berkata "Ki
Sanak. Akhirnya aku memang harus mempertanyakan, dari
mana kau belajar mempergunakan senjata Itu. Kau memang
belum setangkas orang-orang pilihan dari sekelompok prajurit
khusus dari Majapahit itu.
"Persetan" garam Eyang Rangga "sebentar lagi mayatmu


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan terkapar. Kau akan mati di atas bukit ini, karena
sebenarnyalah kau memang sudah tidak diperlukan lagi ketika
kami mengerti, bahwj pusaka itu adalah pusaka yang palsu"
Pangeran itu tidak menjawab. Ia mendesak semakin jauh.
Dalam putaran yang hampir tidak dapat diikuti dengan tatapan
mata wadag, maka Pangeran itu berhasil memasuki putaran
senjata Eyang Rangga, sehingga iapun sempat menyerang
dengan tumit kakinya mengenai lambung.
Eyang Rangga terdorong selangkah surut. Namun putaran
senjatanya menjadi kalut. Pada kesempatan yang demikian.
Pangeran itu berhasil meloncat semakin dekat Sambil
menangkis senjata lawannya dan mengibaskannya kesamping.
Pangeran itu berhasil memukul kening lawannya dengan
telapak tangannya yang selalu terbuka, justru karena pada
telapak tangannya menempel sekeping besi baja.
Eyang Rangga adalah orang yang memiliki ilmu dan daya
tahan melampaui orang kebanyakan. Jika pukulan itu,
meskipun dengan sekeping baja, dilakukan oleh orang-orang
kebanyakan, maka pukulan itu tidak akan melukainya. Tetapi
yang memukul keningnya itu adalah seorang Pangeran yang
juga memiliki ilmu yang tinggi, yang memiliki kekuatan dan
kemampuan melampaui orang kebanyakan.
Karena itu, maka terasa betapa kening Eyang Rangga itu
bagaikan retak. Matanya menjadi berkunang-kunang dan
kepalanya menjadi pening.
Namun pada saat-saat matanya mengkabur, ia masih
sempat memutar senjatanya. Ketika sebelah ujungnya
mematuk Pangeran yang berdiri dekat dihadapannya,
Pangeran itu sempat menangkis dengan kepingan besi baja
ditelapak tangannya. Namun pada kesempatan iiu, Eyang
Rangga telah mengerahkan kekuatannya yang terakhir.
Ternyata bahwa tangannya masih tetap trampil sehingga
ujung senjatanya yang lain telah meluncur mematuk dada.
Eyang Rangga, tidak menyangka, apalagi jarak mereka
terlalu dekat, sementara perhatiannya masih tertuju kepada
ujung senjata yang menyerang terdahulu.
Meskipun demikian ia berusaha untuk bergeser. Tetapi ia
terlambat. Sehingga ujung senjata itu telah mengenai
pundaknya. Pangeran itu terdorong selangkah surut. Namun ia
menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Kemarahan yang
dahsyat telah menghentak dadanya. Karena itu, maka iapun
segera meloncat mendekat. Sekali lagi tangannya yang
terbuka itu terayun menghantam pelipis lawannya.
Sekali lagi terdengar desis tertahan. Eyang Rangga itu
terdorong kesamping. Matanya yang mengkaburpun kemudian
benar-benar menjadi gelap.
Ketika Eyang Rangga itu terjatuh di tanah, maka Pangeran
itupun merasa pundaknya disengat oleh perasaan nyeri dan
pedih, sehingga Pangeran itupun melangkah surut beberapa
langkah. Tetapi senjata Eyang Rangga itu masih tetap tersangkut di
pundaknya. Sejenak Pangeran itupun termangu-mangu. Tangannya
yang dilambari oleh sekeping baja itupun tidak mudah untuk
mencabut ujung senjata Eyang Rangga yang menghunjam di
pundaknya. Namun dalam pada itu, sebagi Pangeran itu termangumangu,
dilihatnya seseorang mendekatinya. Meskipun orang
itu bersenjata, tetapi senjatanya tertunduk ketanah.
"O" desis Pangeran yang melihat tabib yang selama dalam
perjalanan telah merawatnya.
"Pangeran terluka?" desis tabib itu.
"Tidak seberapa" sahut Pangeran yang berdiri tegak
memandangi orang yang oleh orang-orang Kendali Putih
disebut Eyang Rangga itu.
Tabib itupun berpaling. Dilihatnya Eyang Rangga itu
terbujur di tanah. Ternyata kemampuan tangan Pangeran itu
benar-benar luar biasa. Keping baja ditelapak tangannya itu
teiah membuat Eyang Rangga terbaring diam.
Tabib itu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun
nampaknya Eyang Rangga itu tidak terluka, namun tabib yang
mengenal keadaannya sesungguhnya itupun mengetahui,
bahwa sentuhan tangan Pangeran itu benar-benar telah
meretakkan tulang di kepala Eyang Rangga.
"Pangeran" berdesis tabib itu "perkenankan aku mencabut
senjata yang tertancap di pundak itu. Agaknya Pangeran
memerlukan obat untuk menahan darah yang mengalir"
"Terserah kepadamu" jawab Pangeran itu. Namun katanya
"Tetapi apakah kau tidak akan mengobati orang yang terbujur
itu?" "Nampaknya tidak ada harapan lagi Pangeran" berkata
tabib itu "meskipun demikian, biaruh nanti aku melihatnya"
Pangeran itupun kemudian membirkan tabib itu menarik
senjata yang tertancam dipundaknya. Sambil menyeringai
menahan sakit, terdengar desis perlahan.
Demikian ujung senjaa itu tercabut, maka darahpun
mengalir semakin banyak. Tetapi tabib itu telah bersiap
dengan obat yang dapat menolong mengurangi arus darah
dari pundak Pangeran itu.
"Duduklah Pangeran" berkata tabib itu.
Demikian Pangeran itu duduk di tanah bersandar sebatang
pohon, maka tabib itupun berjongkok disebelah orang yang
disebut Eyang Rangga itu. Namun tabib itu menggeleng
lemah. Katanya "Nafasnya sudah tidak wajar lagi"
Pangeran itu tidak menjawab. Sementara itu, iapun telati
berusaha untuk memperbaiki keadaannya sendiri. Luka
dipundaknya cukup dalam. Jika ia tidak menahan diri, makadarah
yang dipampatkan oleh obat dari tabib itupun akan
dapat mengalir lagi. Tabib itu masih berjongkok disisi Eyang Rangga. Kulit orang
tua itu memang sangat liat, sehingga kepingan baja ditangan
Pangeran itu tidak melukainya. Namun kekuatan Pangeran
itupun luar biasa pula Karena itulah, maka agaknya bagian
kepala Eyang Ranggalah yang telah menyebabkannya tidak
sadarkan diri. Namun bukan itu saja, karena pada saatnya,
maka nafasnyapun benar-benar telah terputus dan jantungnya
telah berhenti berdetak. "Orang ini telah meninggal Pangeran" desis tabib itu.
Pangeran itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Sebenarnya aku ingin berbicara dengan orang itu. Apakah
yang diketahuinya dengan pusaka yang diperebutkan"
"Yang Mulia itu akan dapat berbicara jika ia tidak terbunuh
oleh lawannya" desis tabib itu.
"Siapakah lawannya itu" bertanya Pangeran itu.
Tabib itu menggeleng Namun kemudian iapun berdesir "Ia
memiliki kemampuan yang sangat tinggi Pangeran, Sehingga
iapun mampu mengimbangi orang yang disebut Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading itu"
"Sungguh pahit" desis Pangeran itu "Orang-orang itu telah
memburu pusaka dan harta karun yang tidak mereka ketahui.
Ternyata bahwa ketamakan telah menyeret mereka ke dalam
satu keadaan yang paling parah bagi diri mereka dan bagi
orang lain. Pusaka yang menjadi perlambang pangkat dan
derajad, serta harta benda telah membuat mereka menjadi
buta" Tabib itu tidak menjawab. Namun iapun kemudian
memperhatikan pertempuran yang semakin lama menjadi
semakin susut. Dipuncak bukit itu tidak lagi terjadi kekisruhan
yang membingungkan. Beberapa diantara mereka yang
bertempur telah turun sampai mendekati lambung bukit.
Yang nampak masih bertempur di puncak bukit, selain
Yang Mulia melawan Kiai Kanthi, Rahu melawan Sanggit Raina,
Cempaka meiawan pemburu kawan Semi, juga Daruwerdi,
kedua pamannya dan Swasti.
Sementara itu, Jlitheng yang bertempur bersama anakanak
muda Lumban kadang-kadang menjadi termangumangu.
Ketika lawan menjadi semakin susut, maka ia lebih
banyak memperhatikan Swasti yang bertempur t idak jauh dari
Daruwerdi. Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Sementara ia
dicengkam oleh perasaan yang tidak dimengertinya, maka
tiba-tiba saja ia terkejut ketika ia melihat daun gerumbul
disampingnya berguncang. Dengan serta merta ia meloncat
dengan pedang tipisnya terjulur lurus menanti siapa yang
akan menyerangnya dari balik gerumbul itu.
Namun yang datang adalah Semi. Karena itu, maka
Jlithengpun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil
berdesis "Kau mengejutkan aku"
"Sudah lama aku memperhatikanmu" berkata Semi "sejak
pertempuran ini mereda maka perhatianmu tertuju kepada
gadis itu saja" "Ah" desah Jlitheng "Kau mengigau. Dimana lawanmu?"
"Aku melukainya. Tetapi agak parah, sehingga ia terbaring
di lereng sebelah" jawab Semi "namun demikian, justru
kawannya yang ingin menyelamatkan lawanku itu agaknya
harus menebus dengan nyawanya"
"Kau bunuh orang itu, atau ia telah, membunuh diri?"
bertanya Jlitheng. "Tidak. Tetapi dalam perkelahian yang terjadi ia telah
terguling di jurang batu padas. Aku kira ia mati atau terluka
parah" jawab Semi. Lalu "nasibnya terlalu buruk"
"Aku belum mengetahui dengan pasti, bagaimana dengan
anak-anak Lumban" desis Jlitheng.
"Kau lebih memperhatikan gadis itu" sahut Semi.
"Tidak. Aku mencari mereka" jawab Jlitheng.
"Kedua paman Daruwerdi ada diantara mereka" jawab Semi
"tetap mereka telah tersebar. Namun nampaknya keadaan
tidak berbahaya lagi. Aku baru saja bertempur bersama
mereka sebelum aku sempat melihat kau merenungi gadis itu.
Sebenarnya kau tidak perlu mencemaskannya, karena
ternyata ia mampu menjaga dirinya sendiri"
"Ia telah menyalamatkan nyawa Daruwerdi" desis Jlitheng.
"O" Semi mengangguk-angguk "Bukan main" Semi berhenti
sejenak. Namun kemudian "Lalu, apa yang akan kau lakukan
sekarang?" "Pangeran itu telah menyelesaikan tugasnya. Ternyata ia
adalah orang luar biasa" geram Jlitheng "Aku ingin
mendekatinya. Nampaknya ia terluka"
"Pergilah. Aku akan mendekati Yang Mulia yang masih
bertempur melawan Kiai Kanthi" desis Semi.
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian
berlari mendekati Pangeran yang sedang terluka itu. Tetapi
langkahnya tertegun ketika melewati arena pertempuran
antara Swasti dengan lawannya yang nampaknya adalah
lawannya yang terakhir, karena orang-orang Sanggar Gading
dan orang-orang Kendali Putih sudah semakin sedikit
jumlahnya, sementara beberapa kawan mereka telah tidak
nampak lagi di puncak bukit. Sebagian dari mereka bertempur
di lereng-lereng bukit, namun ada juga diantara mereka yang
sudah berputus asa telah meninggalkan medan untuk
menyelamatkan diri, karena mereka merasa bahwa mereka
tidak harus mat i dipertempuran itu.
Swastipun kemudian telah mendesak lawannya yang
terakhir itu, sementara Daruwerdipun telah hampir
menyelesaikan pertempuran itu pula.
Tetapi tiba-tiba Jlitheng itupun telah menggeretakkan
giginya dan meloncat meninggalkan gadis itu.
"Aku tidak peduli" geramJlitheng.
Sejenak kemudian, Jlitheng itupun telah berjongkok di
sebelah Pangeran yang terluka itu.
"Pangeran terluka" desis Jlitheng.
Pangeran itu memandang Jlitheng sejenak. Kemudian iapun
berkata "Kau termasuk orang yang membingungkan aku.
Siapakah kau sebenarnya, dan dipihak mana kau berdiri. Kau
adalah salah seorang yang telah mengambil aku bersama
orang bernama Rahu itu. Dan menurut pendengaranku, kau
telah mati terbunuh ketika kau berusaha untuk
menyelamatkan anakku dari gangguan orang-orang Sanggar
Gading yang lain. "Lupakan semuanya Pangeran. Sekarang kita sedang
berusaha untuk berbuat sesuatu bagi keselamatan banyak
orang dalam lingkungan kekuasaan Demak yang baru
dibangun" jawab Jlitheng.
"Baiklah. Aku percaya Kepadamu. Agaknya kau adalah
kawan Rahu dan mempunyai kedudukan seperti orang itu atau
mirip dengan orang itu" berkata Pangeran itu kemudian. Lalu
tiba-tiba Pangeran itu bertanya "Siapakah anak muda yang
menyebut dirinya Daruwcrdi dan yang telah dengan bodoh
berusaha menipu Yang Mulia dengan mempertaruhkan
nyawaku yang menurut katanya, telah membunuh ayahnya?"
"Masih belum jelas Pangeran" jawab Jlitheng.
"Baiklah. Jika demikian, apabila kau benar-benar ingin
berbuat sesuatu bagi Demak, jagalah anak itu agar tidak
melarikan diri setelah pertempuran "ini selesai. Aku ingin
berbicara dengan anak itu. Meskipun aku sendiri dapat
mencegahnya, tetapi aku memerlukan bantuanmu" desis
Pangeran itu. "Karena Pangeran terluka?" bertanya Jlitheng.
"Tidak. Aku akan segera dapat mengatasinya. Aku hanya
memerlukan waktu sejenak untuk beristirahat. Setelah itu, aku
akan dapat berbuat apa saja" jawab Pangeran itu "Tetapi aku
memerlukan pihak yang dapat membantuku. Karena di tempat
ini hadir pula orang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang kini
menyelesaikan pertempurannya melawan Yang Mulia itu, yang
nampaknya akan segera berhasil pula"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Diluar sadarnya ia
berpaling. Dilihatnya Kiai Kanthi masih bertempur melawan
Yang Mulia Panembahan Wukir Gading. Pertempuran antara
dua orang yang memiliki lambaran ilmu raksasa yang sulit
untuk dicari bandingnya. Jlitheng memang sudah menduga, bahwa Kiai Kanthi tentu
memiliki ilmu yang luar biasa. Tetapi ketika ia menyaksikan
sendiri, bagaimana ia bertempur melawan Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading, maka ia menjadi semakin kagum
kepada orang tua itu. Namun demikian, ia sadar, bahwa Pangeran yang terluka
itupun tidak percaya begitu saja kepada orang tua itu.
Sebagaimana setiap orang yang ada di bukit itu menjadi saling
mencurigai Pangeran itu telah minta kepadanya untuk


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menahan kemungkinan Daruwerdi melarikan diri selagi
kekalutan masih berlangsung. Sementara Pangeran itu sendiri
sedang berusaha untuk memperbaiki keadaan dirinya. Obat
yang telah memampatkan darahnya itu, harus diikuti dengan
usaha penyembuhan dari dalam.
Dengan demikian, jika perlu maka pada suatu saat ia akan
Pedang Langit Dan Golok Naga 24 Pendekar Mata Keranjang 11 Gembong Raja Muda Pembantai Berdarah Dingin 2
^