Pencarian

Mata Air Dibayangan Bukit 18

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 18


disini, atau kau akan memaksa aku untuk mengambil sikap
yang lain. Agar kau tidak dapat menunjukkan pejak
perbuatanku, maka kau sebaiknya memang harus dibunuh
saja" Orang Pusparuri itu menjadi tegang Dipandanginya orang
berkumis lebat itu dengan tajamnya. Namun kemudian
katanya "Kau membuat aku marah"
"Aku tidak peduli" jawab orang berkumis lebat itu "Kau
sudah menunjukkan sikap yang tidak jujur. Kau ingin lari
tanpa setahuku. Kau juga sudah menyalahi ketentuan yang
berlaku bagi orang-orang Kendali Putih disaat kau berada di
dalam lingkungan kami"
"Apakah yang kau lakukan itu juga merupakan satu
ketentuan dalam lingkungan Kendali Putih" Apakah memang
sudah digariskan, bahwa orang-orang Kendali Putih harus
mengkhianati kawan-kawannya?"
"Persetan. Jangan banyak cakap. Berikan barang-barang
itu, atau kau akan aku bunuh disini" bentak orang berkumis
lebat. Tetapi orang Pusparuri itu justru mempersiapkan diri.
Katanya "Aku menghindari pertempuran di pategalan itu
karena aku tidak mau mati. Kau kira disini aku akan
membiarkan leherku kau penggal" Sebenarnya kita dapat
saling menahan diri. Tetapi kau terlalu tamak dan bernafsu
untuk memiliki sesuatu yang bukan hakmu, meskipun menurut
peda-patmu juga bukan hakku. Tetapi barang-barang itu
sudah ada padaku sekarang"
Orang berkumis lebat itu tidak menjawab lagi. Namun tibatiba
saja ia sudah menarik pedangnya. Geramnya "Aku bunuh
kau disini" Tetapi orang Pusparuri itu tertawa. Katanya "Jika kau mati,
bukan salahku. Kaulah yang mendahuluinya"
Orang berkumis lebat itu menggerakkan pedangnya.
Namun orang Pusparuri itupun telah bersiaga pula
menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, orang Kendali Putih itu sudah meloncat
menyerangnya dengan senjata berputar. Tetapi orang
Pusparuri itu sudah siap menghadapinya. Ia sempat mengelak.
Bahkan iapun telah menyerang pula dengan senjatanya
dengan tebasan mendatar. Namun senjatanya tidak
menyentuh lawannya yang meloncat surut.
Ketika pertempuran diantara kedua orang itu menjadi
semakin sengit maka di pategalan pertempuranpun menjadi
semakin menggetarkan jantung. Yang masih sanggup
bertempur diatas punggung kuda, masih juga bekejaran dan
saling menyambar. Tetapi jumlah mereka tidak lagi melampaui
hitungan jari tangan. Sementara itu, Yang Mulia dan Eyang Ranggapun masih
juga bertempur dengan gigihnya. Keduanya adalah orangorang
yang memiliki kemampuan yang t inggi, yang sukar
dicari bandingnya. Karena itulah, maka pertempuran diantara
keduanya diatas punggung kudanya, seolah-olah telah
menimbulkan angin pusaran. Debu berhamburan dan
mengepul tinggi keudara. Pepohonan perdu menjadi
berpatahan. Tanah pategalan itu seolah-olah bagaikan telah
dibajak oleh kaki-kaki kuda yang besar dan tegar.
Pada saat yang bersamaan, di Bukit Gundul, Daruwerdi
sedang mempersiapkan usahanya untuk mengambil pusaka
yang dijanjikan, untuk, ditukar dengan seseorang yang
menurut keterangannya telah membunuh ayahnya, sementara
Sanggit Raina menunggunya dengan berdebar-debar bersama
beberapa orang pengikitnya dan Pangeran yang dianggapnya
sakit itu, Dalam pada itu, orang berkumis. lebat yang bertempur
melawan orang Pusparuri itupun menjadi semakin garang.
Sebagaimana kebiasaan orang-orang Kendali Putih, maka
iapun segera bertempur dengan kasar.
Tetapi orang-orang Pusparuri bukannya orang yang lemah
dan mudah menjadi kecut menghadapi keadaan. Bahkan
orang Pusparuri yang bertempur melawan orang berkumis itu
masih sempat tertawa sambil memutar senjatanya "Kau
memang bernasib buruk, Kau korbankan kawan-kawanmu
saling membunuh melawan orang-orang Sanggar Gading. Dan
kini kau sendiri sudah menyurukkan dirimu ke dalam maut "
"Persetan" geram orang berkumis itu "masih ada
kesempatan bagimu untuk menyelamatkan diri dengan
menyerahkan barang-barangmu. Timang emas tretes berlian
dan tentu permata berharga yang kau simpan di dalam
kantong ikat pinggangmu"
Orang Pusparuri itu tertawa semakin keras, Katanya
"Sebaiknya aku selesaikan persoalan kita ini sebelum ada
orang lain yang ikut campur. Jika orang-orang padukuhan
melihat apa yang terjadi, mereka akan berdatangan dan tanpa
mengetahui duduk perkaranya, mereka akan melibatkan diri.
Aku akan berkata kepada mereka, bahwa aku telah dicegat
oleh seorang perampok yang ingin memiliki barang-barangku"
" Bodoh. Akupun dapat berkata seperti itu" geram orang
berkumis lebat. "Tetapi kau tidak membawa barang-barang berharga yang
pantas di rampok" jawab orang Pusparuri itu sambil tertawa.
Orang berkumis itupun menggeram. Ia menyerang
lawannya semakin sengit. Namun lawannyapun meningkatkan
perlawanannya sambil berkata "Aku orang pilihan dilingkungan
orang-orang Pusparuri. Justru karena itulah, maka aku
mendapat tugas yang amat penting untuk berusaha
membenturkan orang-orang Pusparuri dengan orang-orang
Sanggar Gading. Lewat seorang pengkhianat seperti kau, aku
telah berhasil dan tugasku di lingkungan orang-orang Kendali
Putih telah selesai"
Demikian mulutnya diam, maka iapun segera menyerang
seperti angin prahara. Senjatanya berputar seperti balingbaling.
Kakinya berloncatan bagaikan tidak menyentuh tanah.
Orang Kendali Putih itu terkejut. Ia sama sekali tidak
menduga, bahwa lawannya yang selama berada di lingkungan
orang Kendali Putih tidak menunjukkan kelebihan apapun, dan
. bahkan seolah-olah berada di lapisan di bawahnya, karena ia
termasuk orang yang mendapat kepercayaan dari
pimpinannya, tiba-tiba telah berubah menjadi seorang yang
garang. Dengan demikian, maka orang Kendali Putih itu harus
mengerahkan segenap kemampuannya untuk
mempertahankan diri. Demikianlah keseimbangan pertempuran itupun segera
berubah. Agaknya orang Pusparuri itu dengan sengaja tidak
pernah menunjukkan kemampuan yang sebenarnya ketika ia
berada di lingkungan orang-orang Kendali Putih, sehingga
orang berkumis itu mengira, bahwa ia akan dengan mudah
dapat merampas barang-barangnya.
Namun ternyata bahwa orang Pusparuri itu memiliki ilmu
yang lebih tinggi. Ketika sekali lagi orang Pusparuri itu
menghentakkan kemampuannya, maka orang Kendali Putih
itupun menjadi semakin terdesak,
Tetapi kekasaran orang Kendali Putih itu sempat
memperpanjang perlawanannya. Ia tidak menghiraukan lagi,
apakah ada orang lain yang mendengar atau tidak. Dengan
kasarnya ia berteriak mengumpat-umpat.
"Jangan menjadi Gila" geram orang Pusparuri itu. Orang
berkumis itu sama sekali t idak menghiraukannya. Ia
mengimbangi kemampuan lawannya dengan sikap dan gerak
yang buas dan liar. Tetapi lambat laun, tenaganyapun menjadi semakin susut.
Bahkan tenaga lawannya terasa justru menjadi semakin kuat.
Orang Pusparuri itupun kemudian semakin menekannya
sambil tersenyum. Katanya "Kau memang harus mati. Dosamu
bertimbun di dalam dirimu. Orang seperti kau sama sekali
tidak akan mengenal pertaubatan. Seandainya kau berhasil
merampas barang-barangku dan hidup menyendiri di-daerah
Timur, namun pada saat-saat yang lain, jika bekalmu telah
habis, kau akan menjadi orang yang sangat berbahaya bagi
tetangga-tetanggamu sendiri"
"Persetan" teriak orang itu sambil meloncat menyerang.
Orang Pusparuri itu mengelak dengan langkah kecil
kesamping. Dengan cepat ia berputar, dan kemudian
mengayunkan senjatanya mendatar.
Disaat orang Kendali Putih itu kehilangan, dan dengan
membabi buta menangkis serangan orang Pusparuri itu, maka
orang Pusparuri itu menarik serangannya.
Saat yang ditunggu itu akhirnya datang juga bagi orang
Pusparuri. Dengan satu pancingan, orang Kendali Putih itu
menyilangkan pedangnya di muka dada. Namun pada saat
itulah, orang Pusparuri itu meloncat dengan tikaman lurus
kearah lambung. Dengan serta merta orang Kendali Put ih sudah
kebingungan itu berusaha memukul pedang lawannya yang
mematuk lambungnya, namun sekali lagi orang Pusparuri itu
menarik serangannya dan dengan cepatnya menikam
lawannya kearah jantung. Tidak ada kesempatan bagi orang berkumis itu. Ketika
pedang lawannya menghunjam didadanya, terdengar ia
mengumpat keras. Namun demikian lawannya menarik
pedang yang merah oleh darah, maka orang Kendali Putih
itupun terhuyung jatuh di tanah.
Orang Pusparuri itu tertawa. Sambil berdiri disisi tubuh yang
tergolek diam itu, ia bergumam "Kau memang tamak. Dengan
sengaja aku memancing perhatianmu atas barang-barangku
ini. Dengan demikian, bukan aku yang memulai dengan
pertengkaran. Tetapi kau. Dan karena itu, maka aku telah
terbebas dari segala macam tuntutanmu atas jasa-jasamu
membenturkan orang-orang Kendali Putih dan orang-orang
Sanggar Gading. Sambil tertawa orang itu menyarungkan pedang. Katanya
"Maaf, aku tidak sempat mengurusi mayatmu. Jika ada
seorang petani menemukan kau disini, maka biarlah ia
memanggil kawan-kawannya dan nmeyelenggarakan
mayatmu" Sejenak kemudian, orang Pusparuri itupun telah meloncat
ke punggung kudanya. Ia telah menyembunyikan timang
emas tretes berlian yang telah dengan sengaja diperlihatkan
kepada orang Kendali Putih itu sehingga ia berhasil
memancing per tengkaran. Pada saat kaki kudanya berderap mengepulkan debu yang
kelabu, maka kaki-kaki kdua di pategalan itupun masih juga
melontarkan debu keudara. Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading masih bertempur dengan sefigitnya melawan orang
yang disebut Eyang Rangga.
Namun kegarangan di arena di pategalan itu semakin lama
menjadi semakin susut. Beberapa ekor kuda masih berlarilarian,
tetapi tanpa penunggangnya lagi. Justru yang lain
dengan tenangnya makan dedaunan yang kekuning-kuningan
di pategalan. Sementara itu tubuh yang terluka terbaring membujur
lintang di pategalan, dijalan-jalan dan di padang perdu yang
kering, diantara mayat-mayat yang mulai membeku.
"Gila" akhirnya Yang Mulia Panembahan Wukir Gading
mengumpat "He, Sampir. Apakah kau masih juga bernafsu
untuk bertempur sampai tujuh hari tujuh malam"
"Jika perlu, aku akan bertempur sampai ampat puluh hari
ampat puluh malam" jawab Eyang Rangga,
"Ikat pinggang itu sengaja disembunyikan" berkata orang
berkumis lebat itu di dalam hatinya " agaknya orang Fusparuri
ini t idak jujur terhadapku. Jika ia mengajak aku memasuki
sarangnya, apakah dapat mempercayainya bahwa ia tidak
akan ingkar janji, justru aku akan dibantainya diantara kawankawannya"
"Tetapi kau lihat, orang-orang Sanggar Gading dan orangorang
Kendali Putih akan punah sama sekali" berkata Eyang
Rangga. "Kedudukanmu berbeda dengan kedudukanku" jawab
Eyang Rangga "Jika orang-orang Sanggar Gading punah,
maka kau benar-benar kehilangan. Tetapi aku orang lain bagi
orang-orang Kendali Put ih, meskipun kali ini aku bekerja
bersama mereka. Aku tidak merasa kehilangan apa-apa jika
orang-orang Kendali Putih itu habis terbantai disini"
"Gila" geram Panembahan Wukir Gading "Tetapi setidaktidaknya
kita dapat membuat perhitungan lain. Kenapa kita
harus membunuh sampai orang terakhir"
"Apa pendapatmu?" bertanya Eyang Rangga, Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading telah mengendorkan serangannya.
Dengan demikian pertempuran diantara keduanya mulai
mereda. "Tidak ada gunanya kita saling membunuh sampai orang
terakhir" berkata Yang Mulia Panembahan Wukir Gading
"waktu kita akan habis tersita disini, sementara persoalan
yang menjadi tujuan utama kita belum kita selesaikan"
Katakan, apa yang akan kau lakukan sekarang" Lari dari
arena dan menemui orang yang menyembunyikan pusaka
itu?" "Bukan aku yang ingin lari dari pertempuran ini. Tetapi kita
dapat menghentikannya" jawab Yang Mulia "Bukankah kita
tahu, apa yang sebenarnya ada di daerah Sepasang Bukit Mati
ini. Bukan hanya sekedar pusaka"
Eyang Rangga mengerutkan keningnya. Katanya "Jadi kau
juga mengetahui bahwa disamping pusaka itu masih ada hal
lain yang berharga" "Ya. Meskipun aku berusaha untuk tidak mengatakannya
kepada siapapun. tetapi agaknya banyak pihak yang
sebenarnya juga sudah mengetahuinya" jawab Yang Mulia"
Karena itu, apakah kita dapat mengakhiri saja pertempuran ini
dan membagi saja apa yang ada, yang tentu saja dengan
perbandingan yang berimbang, karena akulah yang berhasil
membawa Pangeran itu"
Eyang Rangga merenung sejenak. Sementara Yang
Muliapun tidak lagi menyerang dengan garang Kemudian
Eyang Rangga itupun berkata "Apa yang kau maksud
perbandingan yang berimbang?"
"Jika kita bertempur terus, kau tentu tidak akan mendapat
apa-apa sama sekali. Setiap orang yang berada di pategalan
ini akan mati. Kau juga akan mati. Tetapi untuk itu aku
memerlukan waktu yang panjang. Sementara itu, mungkin
telah terjadi sesuatu dengan Pangeran itu. Apalagi jika orangorang
Pusparuri atau Gunung Kunir mendengar, bahwa kita


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah punah" Eyang Rangga itu masih bertanya "Yang aku tanyakan
adalah perbandingan yang berimbang"
"Kau akan mendapat sebagian dari harta karun yang
ditinggalkan bersasma pusaka itu. Sebagian yang lain dan
pusaka itu menjadi milikku" jawab Yang Mulia "He, apakah
kau tahu berapa besarnya nilai harta karun yang ditinggalkan
bersama pusaka itu. Jika aku memberimu sepertiga, maka kau
akan menjadi seorang yang memiliki kekayaan tiada taranya.
Tidak ada orang atau lingkungan yang mempunyai kekayaan
sebesar itu, kecuali kau dan selebihnya aku"
Eyang Rangga berpikir sejenak. Kemudian dilayangkan
pandangannya keseluruh medan. Memang tinggal beberapa
orang yang telah letih. Karena para pemimpin mereka berhenti
bertempur, orang-orang itupun telah berhenti bertempur pula.
"Nah, apa katamu?" bertanya Yang Mulia.
Eyang Rangga masih berpikir. Katanya kemudian "Kenapa
perbandingan itu tidak seimbang sama sekali. Kenapa aku
hanya mendapat sepertiga, sedangkan pusaka itu akan jatuh
ke tanganmu" "Kami orang-orang Sanggar Gadinglah yang berhasil
memenuhi permintaan Daruwerdi. Kenapa orang Kendali Putih
tidak melakukannya sebelumnya" Untuk menangkap Pangeran
itu, telah diperlukan pengorbanan tersendiri" sahut Yang
Mulia. Eyang Rangga masih sempat menimbang-nimbang. Namun
akhirnya ia sadar, bahwa ia memang tidak akan dapat berbuat
apa-apa. Jika perempuan itu berlangsung terus, maka orangorang
yang tersisa di pihak masing-masing, akan punah pula.
Ia sendiri tentu akan berhadapan dengan Yang Mulia dan
beberapa orang yang tentu sedang mengawal Pangeran yang
masih tersembunyi. Sambil memikirkan kemungkinan selanjutnya, maka
tawaran itu dapat diterima untuk sementara. Sehingga karena
itu. maka katanya "Baiklah. Aku akan menerima sepertiga dari
harta yang tersimpan, yang disediakan bagi satu perjuangan
untuk menegakkan kembali Majapahit. Harta itu mungkin
berupa emas dan permata, tetapi mungkin juga berupa
pusaka-pusaka yang banyak jumlahnya, disamping satu
pusaka yang paling berharga"
"Jika demikian, apakah kita dapat menghentikan
pertempuran ini" bertanya Yang Mulia.
"Ya. Kita akan menghentikan pertempuran ini" jawab Eyang
Rangga. Demikianlah kedua orang itu segera memberikan isyarat
bahwa pertempuran telah dihent ikan. Namun dalam pada itu.
di kedua belah pihak sama sekali sudah tidak lagi tersimpan
kekuatan yang akan dapat diperhitungkan, kecuali Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading dan Eyang Rangga.
Sementara itu, Sanggit Raina yang gelisah masih harus
menunggu kehadiran Cempaka dan Rahu yang akan datang
bersama Daruwerdi membawa pusaka yang dijanjikan.
Rasa-rasanya mereka telah sehari penuh naik ke puncak
bukit gundul itu. Namun mereka masih belum nampak turun.
Dalam pada itu, Pangeran yang sakit itu tidak lagi
bersandar pada batu padas. Berlindung pada bebatuan, maka
Pangeran itu telah berbaring dengan lemahnya. Bahkan
Sanggit Rainapun telah menjadi bertambah cemas, jika
Pangeran itu benar-benar akan mati seperti yang
dikatakannya. Namun Sanggit Raina itupun menjadi terkejut sekali ketika
ia mendengar derap kaki kuda. Dengan serta merta, iapun
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Para
pengikutnya dan tabib yang selalu merawat Pangeran itupun
telah bersiap pula. Tangan mereka telah melekat di hulu
pedang masing-masing. Jantung Sanggit Raina terasa bagaikan berhenti berdetak
ketika ia melihat Yang Mulia Panembahan Wukir Gading
berkuda bersama lawannya di medan pertempuran. Bahkan
selain beberapa orang Sanggar Gading yang tersisa terdapat
beberapa orang yang tidak dikenalnya.
"Gila, permainan apa lagi yang sedang dilakukan oleh Yang
Mulia Panembahan timpang itu" geram Sanggit Raina,
sementara Cempaka dan Rahu masih juga belum muncul.
Sejenak kemudian maka iring-iringan itupun menjadi
semakin dekat. Sanggit Raina masih berdiri dengan tangan
dihulu pedangnya. Ia tidak tahu, apa yang bakal terjadi. Jika
sekiranya Yang Mulia itu mengetahui niatnya untuk memiliki
pusaka dan harta benda yang tersedia bagi satu perjuangan
yang besar untuk menegakkan kembali Majapahit itu, maka
tentu akan terjadi satu peristiwa yang gawat. Sementara itu
adiknya Cempaka telah terlalu lama berada di bukit gundul itu.
sehingga Sanggit Rainapun menjadi cemas.
"Apakah diatas bukit gundul itu ada juga tangan-tangan
Yang Mulia dalam permainannya yang tidak aku ketahui"
bertanya Sanggit Raina di dalamhatinya.
Namun dalam pada itu, ternyata tidak ada tanda-tanda
bahwa Yang Mulia akan mengambil satu tindak kekerasan.
Bahkan ketika ia menjadi semakin dekat, nampak senyum
dibibirnya. "Ketika aku tidak menemukan Pangeran dilemparnya, aku
segera menduga, bahwa kau telah mengambil langkahlangkah
penyelamatan" berkata Yang Mulia.
Sanggit Raina menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Ya
Yang Mulia. Bagaimanapun juga, aku menjadi cemas, bahwa
lawan kita akan berbuat curang, sehingga aku berusaha untuk
menyelamatkannya. Aku yakin bahwa yang mulia dan orangorang
Sanggar Gading akan dapat menyelamatkan diri dengan
menghancurkan semua orang Kendali Putih"
Yang Mulia tertawa. Katanya "Ternyata aku mengambil
sikap lain. Akhir dari pertempuran itu bukan punahnya orangorang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih"
Wajah Sanggit Raina menjadi tegang. Dengan suara
bergetar ia bertanya "Apakah maksud Yang Mulia" Apakah
mereka sudah menyerah?"
Yang Mulia menggeleng sambil menjawab "Mereka t idak
menyerah dan kitapun t idak menyerah"
"Lalu?" Sanggit Raina menjadi semakin heran.
"Kita sudah menemukan jalan keluar. Kita akan membagi
hasil yang kita peroleh dari bukit gundul ini" berkata Yang
Mulia. "Apakah yang dapat dibagi dari hasil yang akan kita ambil
dari bukit gundul ini. Jika kita menemukan sebilah pusaka
yang menjadi sipat kandel Senapati Agung yang berusaha
mempertahankan Kota Raja itu, apakah pusaka itu akan kita
patahkan dan wesi aji itu akan kita serahkan kepada orangorang
Kendali Putih dan yang sepotong lagi bagi orang-orang
Sanggar Gading" Yang Mulia itu tersenyum. Katanya "Tidak. Tentu t idak
Pusaka itu akan menjadi milikku seutuhnya. Tetapi disamping
pusaka itu kita masih akan mendapatkan harta benda yang
tidak terhitung jumlahnya"
"Persetan" geram Sanggit Raina di dalam hati "karena
orang timpang ini mengigau dihadapan orang-orang Kendali
Putih. Sementara itu, Yang Mulia itu berkata "Sanggit Raina. Kita
memang t idak akan dapat berjuang sendiri. Dan kitapun tidak
akan dapat memanfaatkan tuah itu sendiri. Jika karena tuah
pusaka itu kita akan dapat menjadi orang pinunjul, maka
meskipun harus mempunyai alas dan pendukung"
"Mereka akan datang dengan sendirinya yang Mulia" jawab
Sanggit Raina "Kita tidak memerlukan apapun juga dari orang
lain. Kita hanya memerlukan pusaka itu. Selain pusaka itupun
menjadi hak kita sepenuhnya, karena kitalah yang dapat
memenuhi permintaan "Jangan hiraukan sebagian kecil dari harta yang akan kita
dapatkan. Biarlah orang tua ini ikut memilikinya, sementara
kita masih harus memperhitungkan orang-orang Pusparuri dan
mungkin dari padepokan-padepokan lain yang mendengar
pula tentang pusaka itu"
"Yang Mulia" tiba-tiba Sanggit Raina berteriak "Kita masih
mempunyai kesempatan. Kita binasakan saja semua orang
Kendali Putih yang ada. Masih ada beberapa tenaga segar
disini. termasuk aku sendiri"
Namun yang terdengar adalah suara Eyang Rangga
diantara tertawanya "Sudah aku katakan. Aku tidak akan
peduli, apakah orang-orang Kendali Putih akan kalian
musnakan atau tidak. Aku tidak berkeberatan dengan mereka.
Tetapi aku percaya, bahwa orang yang memiliki nama besar
seperti Yang Mulia Panembahan Wukir Gading ini t idak akan
menjilat ludahnya kembali"
"Aku tidak akan merubah sikap" berkata Yang Mulia "Aku
akan memberikan sebagian kepadamu"
"Tidak ada artinya janji bagi orang-orang licik seperti
orang-orang Kendali Putih, Kita akan menghancurkan
semuanya. Kita akan membunuh sampai orang terakhir"
geramSanggit Raina. Tetapi Yang Mulia menggeleng. Katanya "Tidak ada
gunanya. Orang-Kendali Putih akan ikut mempertahankan apa
yang akan kita dapatkan dari bukit gundul ini, karena mereka
akan mendapat sebagian daripadanya"
Sanggit Raina menggeratakkan giginya. Namun iapun
kamudian mulai berpikir, jika dalam keadaan yang demikian
orang-orang Pusparuri itu datang, maka mereka memang
akan dimusnakan. Karena itu, maka Sanggit Raina telah menahan hatinya. Ia
masih harus mendapatkan suatu cara untuk memiliki
semuanya tanpa Yang Mulia Panembahan Wukir Gading dan
tanpa orang-orang Kendali Putih.
Namun sebentar lagi Daruwerdi akan turun dari bukit
gundul bersama Cempaka dan Rahu. Nampaknya kesempatan
yang ada menjadi semakin sempit untuk mendapatkan
hatta yang tidak ternilai harganya itu, justru hadirnya
orang-orang Kendali Putih. Sanggit Rainapun mengetahui
bahwa orang yang datang disisi Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading itu adalah orang yang memiliki kemampuan
setingkat dengan Yang Mulia itu sendiri.
Dalam pada itu, maka telah terjadi kebingungan pula
diantara orang-orang yang mengawasi keadaan ilu. Semi yang
melihat dari awal sampai akhir dari pertempuran di pategalan
itupun tidak lagi dapat mengerti apa yang telah terjadi.
"Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh Yang Mulia
itu?" bertanya Semi.
Kawannyapun menjadi bingung. Kedua pihak yang
bertempur mati-matian, bahkan setelah jatuh korban yang
terbujur silang, mereka seolah-olah telah menemukan satu
kesepakatan. "Kita pergi ke bukit gundul" desis Semi.
Dengan hati-hati merekapun mengikuti iring-iringan yang
menurut perhitungan mereka akan pergi ke bukit gundul.
Namun merekapun tidak mengetahui, apa yang akan mereka
lakukan pada keadaan yang terakhir.
"Jika keduanya menemukan kesepakatan, maka Yang Mulia
dan lawannya itu akan menjadi pasangan yang sangat
berbahaya. Bahkan mungkin tidak terkalahkan. Apalagi jika
keduanya mengambil satu keputusan tersendiri bagi
keuntungan mereka berdua" gumam Semi.
Kawannya mengangguk-angguk. Jawabnya "Kita tidak akan
berdaya. Kita berdua, Jlitheng dan Rahu seandainya dapat kita
himpun, tidak akan dapat mengalahkan mereka berdua.
Apalagi jika satu dua orang pengikutnya setia kepada mereka"
"Kita akan melihat, apa yang terjadi" desis Semi.
Sementara itu, di puncak bukit gundul itu, Daruwerdi, Rahu
dan Cempaka dibantu oleh seorang pengikut padepokan
Sanggar Gading sedang sibuk berusaha untuk mengambil
sebuah peti yang terjepit di dalam retak-retak batu padas. Peti
yang semula t idak nampak itu, akhirnya dapat mereka lihat,
setelah mereka menyibakkan beberapa bongkah batu padas.
"Bagaimana kau tahu, bahwa benda itu ada disana?"
bertanya Cempaka. "Aku menemukan sebuah petunjuk" jawab Daruwerdi
Jawaban itu telah mendebarkan jantung Cempaka.
Dalam pada itu, Daruwerdi masih berkata selanjutnya
"Pada gambar itu aku mendapatkan keterangan yang jelas,
bahwa pusaka itu terdapat di tempat ini"
"Kau Gila" geram Cempaka "bagaimana jika gambar yang
kau dapatkan itu tidak terbukti. Bagaimana jika setelah kita
bekerja keras, apalagi setelah kami membawa Pangeran itu
kepadamu, ternyata bahwa gambar yang kau dapatkan itu
palsu atau sekedar perbuatan orang yang tidak bertanggung
jawab?" "Aku yakin" jawab Daruwerdi "pertanyaanmu memang
pertanyaan yang bodoh. Kau kira aku hanya bersandar pada
gambar itu saja" Aku sudah mencari keterangan sehingga aku
dapat memastikannya. Baru kemudian aku berani
menyatakan, siapa yang dapat membawa Pangeran itu
kepadaku, maka ia akan mendapatkan pusaka itu. Tetapi agar
pusaka itu tidak dapat dicuri orang, aku membiarkan pusaka
itu tetap di tempatnya seperti yang kau lihat sekarang"
"Dari siapa kau mendapat keterangan itu?" bertanya Rahu.
"Kau lebih bodoh lagi Rahu" jawab Daruwerdi "seharusnya
kau mengerti, bahwa karena tidak ada lagi seorangpun yang
dapat memberikan keterangan, maka tentu keterangan itu aku
dapatkan dengan cara gaib. Tiga hari tiga malam aku tidur di
tempat ini sesuai dengan petunjuk gambar itu. Ternyata aku
mendapat keterangan dengan cara yang gaib, bahwa pusaka
itu benar-benar ada. Bukan sekedar dongeng atau seperti
yang kau katakan, bahwa gambar itu perbuatan orang yang
tidak bertanggung jawab. Di tempat ini aku telah melihat
cahaya yang hijau kebiru-biruan. Dengan demikian, akupun
menjadi yakin. Aku baru menyatakan niatku untuk menukar
pusaka itu, dengan taruhan leherku. Jika ternyata di dalam
peti itu tidak terdapat apa-apa, maka kalian akan marah, dan
kalian akan membantai aku disini"
Cempaka tidak menjawab. Namun akhirnya mereka mulai
dapat menggapai peti itu.
Cempaka menjadi berdebar-debar ketika peti itu kemudian
berhasil diambilnya. Dengan tangan gemetar ia membawa peti
itu ke tempat yang datar dan meletakkan diatas sebongkah
batu padas.

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sunggingan peti itu telah hampir hilang" desis Cempaka
"bahkan pada beberapa bagiannya sudah mulai lapuk"
"Peti itu tentu kehujanan, jika hari hujan" desis Rahu.
"Apakah kita akan membukanya?" desis Cempaka.
"Terserah kepada kalian" berkata Daruwcrdi "Apakah akan
kau buka sekarang, atau dihadapan pimpinan padepokanmu"
Tiba-tiba saja Cempaka tertawa. Katanya "Kau tidak akan
dapat mengatur kami lagi Daruwcrdi. Pusaka ini sudah berada
di tanganku, sehingga segalanya terserah kepadamu"
"Ya terserah kepadamu" jawab Daruwcrdi "Aku memang
tidak memerlukan lagi. Tetapi serah terima belum
dilaksanakan. Aku belum menerima dengan resmi Pangeran
yang aku perlukan itu"
"Bagaimana sikapmu seandainya Pangeran itu tidak ada
pada kami" bertanya Cempaka "Atau bagaimana sikapmu jika
sekarang tiba-tiba saja timbul nafsuku untuk membunuhmu"
Tetapi Daruwcrdi justru tertawa. Katanya "Kau benar-benar
dungu Cempaka. Melampaui setiap orang yang pernah aku
kenal" "Kau sudah menyiapkan pasukan diseputar gunung gundul
ini?" bertanya Cempaka "itu bukan alasan sama sekali untuk
mengurungkan niatku, jika aku memang ingin membunuhmu.
Karena akupun membawa pasukan yang kuat yang akan dapat
melawan mereka" "Tidak. Terus terang, aku tidak mempunyai kawan
seorangpun. Aku telah bekerja sendiri" jawab Daruwerdi.
Namun kemudian "Tetapi itu menurut pengertian wadag"
"Maksudmu?" bertanya Cempaka.
"Jika aku sudah mendapat isyarat untuk memiliki dan
memanfaatkan peti itu menurut kepentinganku, maka akupun
akan mendapat perlindungan tuah pusaka itu, melampaui ke
kuatan pasukan segelar sepapan" jawab Daruwerdi.
Cempakalah yang kemudian tertawa. Tetapi terasa, betapa
suara tertawanya itu hambar. Betapapun kecilnya, terbersit
pula kecemasannya, bahwa apa yang dikatakan Daruwerdi itu
benar akan terjadi. Namun demikian, ia masih berusaha untuk menutupi
kecemasannya. Sambil tertawa ia berkata "Kau kira aku
percaya" Tetapi baiklah. Aku tidak akan membunuhmu. Bukan
karena aku takut kepada tuah pusaka seperti yang kau
katakan itu. Tetapi justru karena kami telah membawa
Pangeran yang sakit itu kemari. Kami tidak ingin
mengurusinya lebih lama lagi. Jika ia akan mati, biarlah ia mati
di tanganmu" "Apakah ia sudah akan mat i?" wajah Daruwerdi menjadi
tegang. "Mungkin ia akan segera mati" jawab Cempaka.
"Aku harus mendapat kesempatan untuk membalas
dendam. Jika ia mati, biarlah ia mati di tanganku. Jangan mati
sebelum aku membunuhnya dengan tanganku sendiri, karena
ia sudah membunuh ayahku" berkata Daruwerdi.
"Aku tidak peduli. Pusaka ini sudah di tanganku. Aku akan
membawanya dan menyerahkannya kepada kakang Sanggit
Raina atas nama Yang Mulia Panembahan Wukir Gading" desis
Cempaka. "Serahkan kepada iblis yang manapun aku tidak peduli.
Tetapi Pangeran itu jangan mati lebih dahulu. Aku
memerlukannya, agar dendam ini tidak dengan perlahan-lahan
justru membunuh diriku sendiri" geram Daruwerdi.
"Aku akan turun. Ikut lah aku jika kau ingin bertemu dengan
Pangeran yang sedang sakit itu" berkata Cempaka kemudian
"Kau akan menerimanya sebagaimana sudah kita sepakati"
Cempakapun kemudian mengambil peti itu. dan
membawanya turun. Tetapi Daruwerdi yang selalu berjalan
dekat disampingnya berdesis "Peti itu masih hakku. Aku belum
menyerahkan kepadamu karena aku belum menerima
Pangeran itu" "Persetan" geram Cempaka.
Tetapi Daruwerdi t idak memintanya, meskipun ia selalu
berhati-hati mengamati pusaka yang berada di dalam peti itu.
Sementara Rahu dan seorang lainnya mengikuti di
belakangnya. Dalam pada itu, Sanggit Raina hampir tidak sabar lagi
menunggu. Kegelisahannya membuatnya bagaikan berdiri di
atas bara. Sejenak dipandanginya Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading yang masih duduk diatas punggung kudanya. Ia
mengumpat tidak habis-habisnya bahwa Yang Mulia itu telah
mengambil satu keputusan lain tentang orang-orang Kendali
Putih. "Apakah Yang Mulia sudah mulai mencium niatku untuk
memiliki pusaka dan harta yang tersimpan itu" berkata Sanggit
Raina di dalamhatinya. Rasa-rasanya ia ingin langsung menyerang dan menikam
perut Yang Mulia itu dengan pedangnya. Namun Sanggit
Rainapun sadar, bahwa ia tidak akan dapat melakukannya,
karena Yang Mulia adalah orang yang berilmu t inggi.
Jantung Sanggit Raina bagaikan meledak ketika ia melihat
Cempaka turun dari bukit gundul bersama Daruwerdi, Rahu
dan seorang penggikutnya. Apalagi ketika ia melihat Cempaka
membawa sebuah peti yang agak besar meskipun nampaknya
tidak terlalu berat. "Gila" geram Sanggit Raina di dalam hatinya. Dalam pada
itu, Cempakapun terkejut melihat di bawah bukit gundul itu
beberapa orang berkuda telah siap menunggu Apalagi
kemudian jelas dilihatnya, Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading dan orang-orang Kendali Putih.
Karena itu, maka Cempakapun telah tertegun. Sementara
itu Rahu dan pengikut Sanggar Gading yang seorang itupun
terkejut juga. Bahkan Daruwerdipun mengerutkan keningnya
pula. "Siapakah mereka?" bertanya Daruwerdi "Apakah mereka
bukan orang yang berbahaya bagi pusaka itu"
Cempaka menjadi termangu-mangu sejenak. Lalu desisnya
"Aku kurang mengerti perkembangan keadaan ini. Yang
berkuda di ujung itu adalah Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading, Pimpinan tertinggi dari padepokan Sanggar Gading.
Tetapi yang lain itu adalah orang-orang Kendali Put ih"
"Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?" bertanya
Daruwerdi. "Kakang Sanggit Raina ada diantara mereka. Ia sama sekali
tidak memberikan isyarat apapun juga" jawab Cempaka.
Namun perasaan yang cemas nampak pada wajah
Cempaka, sementara Rahu mempunyai pertimbanganpertimbangan
tersendiri Ia menjadi gelisah tentang Pangeran
yang masih dianggapnya sakit itu. Apakah artinya langkah
yang diambil oleh Yang Mulia Panembahan Wukir Gading itu.
Meskipun kegelisahan itu bagaikan memukul dinding
jantung Cempaka tetap melangkah menuruni bukit gundul.
Dipandanginya Sanggit Raina yang berdiri termangu-mangu,
namun yang sama sekali tidak memberikan isyarat apapun
juga. Dalam pada itu, Rahulah yang kemudian berdesis "Apakah
kau tidak mempertimbangkan satu tindakan khusus
menghadapi keadaan ini?"
"Apakah yang dapat kita lalukan" jawab Cempaka
"sementara kakang Sanggit Raina ada diantara mereka"
"Bagaimana jika kita akan menghadapi satu keadaan yang
tidak kita inginkan" Sementara ini Sanggit Raina tidak sempat
berbuat apa-apa?" bertanya Rahu.
"Memang mungkin sekali" jawab Cempaka "Tetapi sebelum
kita tahu pasti, apa yang sedang terjadi, aku tidak dapat
mengambil sikap apapun juga"
"Jika demikian" berkata Daruwerdi "serahkan peti itu
kepadaku. Kita masih akan melihat, apa yang sedang
berkembang. Di bawah ada orang-orang Sanggar Gading,
tetapi ada juga orang-orang Kendali Putih yang nampaknya
tidak saling bermusuhan"
"Aku sependapat dengan Daruwerdi" tiba-tiba saja Rahu
menyambung "segala sesuatunya masih ada di tangan
pertama. Kau tidak akan dibebani tanggung jawab apapun
juga, justru karena kau memegang peti itu"
Cempaka termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia
menggeram "Kau akan melarikan diri?"
"Aku belum Gila" jawab Daruwerdi "untuk waktu yang tidak
terbatas aku menunggu Pangeran itu. Apakah begitu saja aku
akan meninggalkannya?"
Cempaka semakin bimbang. Justru karena itu, maka
lagkahnyapun terhenti. "Kenapa mereka berhenti?" bertanya Yang Mulia.
"Seperti aku, Cempakapun tentu ragu-ragu melihat orangorang
Kendali Putih ada disini" jawab Sanggit Raina.
"Aku akan menjelaskan" jawab Yang Mulia.
"Setenarnya kita dapat mengambil jalan lain" desis Sanggit
Raina "Kita binasakan orang-orang Kendali Putih. Kemudian
kita segera menyingkir dengan peti itu" Apa sulitnya" Biarlah
orang Pusparuri datang dengan sepasukan yang tidak
terhitung jumlahnya. Mereka tidak akan terlalu mudah untuk
menemukan kita" "Jangan sebut-sebut lagi" potong Yang Mulia "Aku sudah
memutuskan. Apakah keputusanku ini bukan satu ke-putusan
yang bijaksana seperti yang kau lakukan" Bahwa pada saat
orang-orang Sanggar Gading bertempur mati-matian melawan
orang Kendali Putih, kau berusaha menyingkirkan Pangeran
untuk menyelamatkannya?"
Alangkah tajamnya sindirian itu menusuk jantung Sanggit
Raina. Kini ia mengerti, bahwa Yang Mulia telah
mencurigainya, sehingga karena itu, maka ia mengambil satu
sikap yang sama sekali diluar dugaannya.
Namun dalam pada itu, agaknya Yang Mulia masih juga
ragu-ragu. Mungkin Sanggit Raina berbuat demikian dengan
maksud yang benar-benar baik. Tetapi dapat juga satu sikap
yang licik. Sementara itu, Cempaka akhirnya sependapat dengan
Rahu. Diserahkannya peti itu sambil berkata "Apa yang terjadi
atas peti itu, biarlah terjadi. Kau adalah tangan pertama yang
akan mempertanggung jawabkannya"
Daruwerdi menerima peti itu. Namun pada saat yang
demikian, tiba-tiba saja kulitnya meremang. Untuk pertama
kali ia merasa khawatir bahwa ia akan dikhianati. Ternyata
orang-orang itu adalah orang-orang yang sangat licik dan
tidak tahu diri Untuk beberapa saat Daruwerdi masih berdiri mematung.
Ketika Cempaka siap untuk melangkah, Daruwerdi bertanya
sekali lagi "Cempaka. Apakah pemimpinmu itu dapat
dipercaya?" "Kenapa kau bertanya demikian" Ia adalah pemimpin
tertinggi dari orang-orang Sanggar Gading. Setiap orang
Sanggar Gading tunduk terhadap keputusannya. Dan
bukankah ia sudah membawa orang yang kau kehendaki"
Dipercaya atau tidak, tetapi syarat yang kau tentukan sudah
dipenuhinya" Buat apa kau meragukannya" Seandainya ia
ingin berbuat curang apakah kami akan membawa Pangeran
yang sakit itu kembali ke Sanggar Gading bersama pusaka ini.
sekedar untuk menunjukkan satu sikap curang?"
Daruwerdi menganggug-angguk. Balikan diluar
sadarnyapun Rahu mengangguk-angguk pula. Pangeran itu
sudah ada disini. Mau apa lagi" Karena itu, maka
Daruwerdipun segera melangkah turun sambil membawa peti
yarg memang t idak terlalu berat itu. Namun beban
perasaannyalah yang kemudian terasa sangat memberat di
dalam dadanya. Kegelisahan, kecemasan, bahkan juga
ketakutan yang sebelumnya belum pernah menyentuh
perasaannya. Yang Mulia Wukir Gading tersenyum melihat orang-orang
itu melanjutkan langkah mereka meskipun ia mengerutkan
keningnya pula melihat Cempaka justru menyerahkan peti itu
kembali kepada Daruwerdi.
"Apa maksudnya?" Ia bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi ia tidak memperdulikannya. Peti itu harus diserahkan
kepadanya. Semakin dekat Daruwerdi dengan sekelompok orang-orang
berwajah kasar, bahkan ada dia mara mereka nampaknya liar
dan buas, sementara wajari Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading yang nampak tersenyum tetapi bagaikan menyimpan
seribu rahasia itu, jantung Daruwerdi berdetak semakin keras.
Rasa-rasanya terngiang suara ibunya disela tangisnya yang
tertahan "Bagaimana jika mereka justru mengkhianatimu"
"Ya bagaimana?" pertanyaan itu diulanginya di dalam
hatinya. Tetapi sekali lagi ia menegaskan kepada diri sendiri
"Pangeran itu ada disini. Segalanya akan berjalan dengan
cepat, lancar dan selesai. Aku akan segera meninggalkan
Daerah Sepasang Bukit Mati ini membawa Pangeran itu
sebagai tawanan. Aku akan dapat menyelesaikan semua
masalah pada kesempatan lain, jika orang-orang Kendali Putih
yang datang bersama orang-orang Sanggar Gading itu telah
pergi" Karena itu, betapa kegelisahan mencengkam jantungnya,
namun Daruwerdi berusaha untuk tetap berjalan dengan
wajah tengadah sambil membawa peti yang berisi pusaka
seperti yang dikatakannya.
"Bagus anak muda" berkata Yang Mulia Panembahan Wukir
Gading kepada Daruwerdi sebelum anak itu mendekat
"Cepatlah sedikit Jangan berjalan seperti perempuan, Berjalan
seperti perempuan. Berjalanlah seperti seorang laki-laki"
Suara Yang Mulia Panembahan Wukir Gading itu telah
menggetarkan isi dadanya. Namun ia masih tetap bertahan
untuk berjalan dengan wajah tengadah.
"Tukar menukar akan segera terjadi" desisnya di dalam
hati. Namun ia tidak melihat Pangeran yang dimintanya.
Karena itu, maka iapun bertanya kepada Cempaka "Dimana
Pangeran itu?" "Ada. Ia sedang sakit. Mungkin ia duduk di balik batu-batu
padas atau bahkan berbaring diantara bebantuan itu" jawab
Cempaka. Daruwerdi tidak bertanya lebih banyak lagi. Tetapi ia mulai
melihat beberapa kesalahan langkah. Mungkin sejak semula ia
sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinankemungkinan
kecurangan dan kelicikan yang dapat dilakukan
orang-orang Sanggar Gading.
"Tetapi kebesaran nama Sanggar Gading tentu tidak


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didapatkannya karena kelicikan melulu. Juga sikap jantan dan
keberanian" berkata Daruwerdi di dalam hatinya
Ternyata ketika ia telah berdiri beberapa langkah
dihadapan Yang Mulia Panembahan Wukir Gading yang masih
tetap duduk dipunggung kudanya, jantungnya benar-benar
tergetar. Wajah itu bagaikan bayangan rahasia jang tidak
terjajagi. Senyumnya mengandung ribuan kemungkinan.
"Kemarilah anak muda" berkata Yang Mulia "serahkan peti
itu kepadaku" Daruwerdi termangu-mangu. Seolah-olah ia tidak mampu
lagi melawan perintah itu. Namun ia berusaha untuk tetap
menguasai diri dan pribadinya sehingga ia berusaha untuk
menjawab "Aku hanya bersedia menyerahkannya, jika
Pangeran itu sudah diserahkan kepadaku"
"O" Yang Mulia mengangguk-angguk "Jadi Pangeran itu
belum kau serahkan Sanggit Raina"
"Belum Yang Mulia" jawab Sanggit Raina.
"Bawa Pangeran itu kepadanya" tiba-tiba saja ia
membentak "Kenapa belum juga kau lakukan he?"
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa orang
yang disebut pimpinan tertinggi Sanggar Gading itu benarbenar
ingin melakukan tukar-menukar seperti yang
dimaksudkannya. Sanggit Rainapun kemudian mendekati Pangeran yang
berbaring di antara bongkah-bongkah batu padas. Katanya
Silahkan Pangeran, Pangeran akan diserahkan kepada
seseorang yang memerlukan Pangeran"
"Siapa?" bertanya Pangeran itu.
"Anak muda itu. Namanya Daruwerdi" jawab Sanggit Raina.
"Aku tidak dapat bangkit lagi. Aku akan mati disini. Biarlah
aku melihat orang yang memerlukan aku itu" berkata
Pangeran itu. "Marilah. Kami akan membantu Pangeran berdiri" desak
Sanggit Raina. Pangeran itu tidak dapat mengelak lagi. Meskipun tubuhnya
nampak semakin lemah, tetapi iapun kemudian dipapah oleh
Sanggit Raina. Namun tanpa diminta Rahupun telah
mendekatinya pula dan membantu memapahnya. Dalam
keadaan yang gawat disaat-saat terakhir ia tidak boleh
terlambat. Apapun yang akan terjadi padanya, ia tidak boleh
membiarkan Pangeran itu menjadi korban, meskipun
keadaannya itu sendiri sangat memprihatinkan.
Daruwerdi yang kemudian melihat seorang dipapah
mendekatinya, mencoba memperhatikannya. Ia sebenarnya
belum mengenal orang itu.
Tetapi Daruwerdi tahu pasti, ciri-ciri yang terdapat pada
Pangeran yang dikehendakinya itu.
Dalam pada itu, maka Panembahan Wukir Gading itupun
kemudian berkata "Nah, terimalah Pangeran yang sedang
sakit itu. Ia tidak berbahaya. Bahkan nampaknya sakitnya
menjadi semakin payah. Sebenarnya pada saat-saat terakhir di
padepokan kami, keadaannya sudah berangsur baik. Namun
perjalanan yang melelahkan ini membuatnya kehilangan
sebagian besar dari kesehatannya yang tersisa"
Daruwerdi memandang Pangeran itu sejenak, sementara
Pangeran itu memandanginya pula. Tetapi Pangeran itu sama
sekali tidak dapat mengenal, siapakah anak muda yang
menyebut dirinya bernama Daruwerdi itu.
Melihat keadaan Pangeran itu, maka Daruwerdipun t idak
lagi minta agar Pangeran itu diserahkan kepadanya dalam
keadaan terikat. Nampaknya Pangeran itu sudah dalam
keadaan yang lemah sekali, sehingga ia tidak akan dapat
berbuat banyak. "Aku akan meyakinkan, apakah memang orang inilah yang
akan aku kehendaki" berkata Daruwerdi.
"Jangan Gila" geram Yang Mulia Panembahan Wukir Gading
"Kaulah yang menyebutnya. Kaulah yang memberikan
pertanda lentang dirinya. Jika keliru, kaulah yang keliru"
Bukan kami. Dan kau tidak akan dapat memaksa kami
untuk mendapatkan Pangeran yang lain dengan taruhan
nyawa pula" Perlahan-lahan Daruwerdi mendekati Pangeran itu.
Kemudian setelah mengangguk hormat ia berkata" Maaf
Pangeran. Aku mohon Pangeran sudi menunjukkan jari-jari
Pangeran pada tangan sebelah kiri"
Pangeran itu menggeram. Dengan nada berat ia bertanya
"Siapa kau sebenarnya, dan apakah kepentinganmu dengan
aku, sehingga kau telah mempertaruhkan segalanya untuk
membawa aku kemari" "Nanti Pangeran akan mengetahuinya, tetapi aku mohon
Pangeran menunjukkan jari-jari tangan kiri Pangeran" potong
Daruwerdi. "Kalau yang kau maksud adalah cacat pada kelingkingku,
kau menemukan orang yang benar" jawab Pangeran itu sambil
berusaha menunjukkan jari-jari tangan kirinya dibantu oleh
Rahu. "Tepat Pangeran" berkata Daruwerdi "Aku memang
memerlukan Pangeran"
"Kenapa kau memerlukan aku?" bertanya Pangeran itu.
Tetapi Yang Mulia Panembahan Wukir Gading telah
memotong "Bicarakan kemudian. Kita masih akan bersama
sama untuk beberapa hari"
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia
berbicara, Yang Mulia itupun berkata "Serahkan peti itu
kepadaku anak muda. Aku ingin melihat, apakah isi peti itu
memadai untuk di pertaruhkan dengan sejumlah nyawa
orang-orang terbaik dari Sanggar Gading dan Kendali Putih"
"Nampaknya kamipun telah tergesa-gesa mengambil sikap"
berkata Eyang Rangga "Tetapi baiklah kau lihat isi peti itu"
"Bagaimana kau mendapatkannya anak muda?" bertanya
Yang Mulia itu kemudian. "Pertanda gaib" jawab Daruwerdi "peti itu sama sekali tidak
kelihatan. Tetapi aku yakin akan pertanda gaib yang aku
dapatkan, sehingga aku berani bertaruh dengan leherku. Aku
tidak mau mengambil sebelumnya justru untuk menghindari
agar peti itu tidak jatuh ke tangan orang lain yang akan dapat
mengambilnya dengan kekerasan. Ternyata peti itu ada di
tempat seperti pertanda gaib yang aku terima meskipun kami
harus membongkar bongkah-bongkah batu padas"
Yang Mulia mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Marilah, serahkan peti itu kepadaku"
Daruwerdipun kemudian maju mendekati Yang Mulia yang
masih duduk dipunggung kudanya. Sanggit Raina mengikuti
langkahnya dengan tegang. Sementara orang-orang Sanggar
Gading dan Kendali Putih yang tersisapun memperhatikannya
dengan tanpa bergeser dari tempat mereka.
Yang justru gemetar kemudian adalah tangan Daruwerdi.
Ketika ia menyerahkan peti itu, ia sempat memandang wajah
Yang Mulia sekilas. Ternyata bahwa wajah yang menyimpan
seribu macamrahasia itu sama sekali tidak nampak berubah.
Demikian peti itu diterimanya, maka Yang Muliapun
kemudia mengibaskan sisa-sisa tanah yang masih melekat.
Perlahan-lahan iapun kemudian membuka tutup peti itu.
Wajah-wajah menjadi tegang. Wajah Pangeran yang sakit
itupun menjadi tegang. Namun justru wajah Yang Mulia itulah
yang sama sekali t idak berubah. Senyumnya masih saja
seolah-oleh melekat di bibirnya. Bahkan ketika peti itu telah
terbuka maka ia masih tetap tersenyum.
"Sebilah pusaka yang tidak dikenal" berkata Yang Mulia.
Lalu "He anak muda, apakah kau tahu arti goresan-goresan
benda tajampada dinding peti ini?"
Daruwerdi menggeleng lemah. Katanya "Tidak. Aku tidak
tahu apa-apa tentang pusaka dan petinya. Aku hanya
mengetahui tempatnya. Itu saja"
Yang Mulia memperhatikan goresan-goresan pada dinding
peti itu dengan saksama. Ia melihat tanda-tanda dan garisgaris
yang mungkin mempunyai arti.
Yang Mulia itupun menghubungkan goresan-goresan itu
lengan kemungkinan-kemungkinan yang disimpan oleh daerah
Sepasang Bukit Mati. Tentang harta karun yang tidak ternilai
harganya dan tentang landasan perjuangan untuk
menegakkan kembali satu kekuasaan diatas reruntuhan
Majapahit. "Mungkin inilah petunjuk itu" berkata Yang Mulia di dalam
hatinya. Namun demikian, iapun kemudian berkata "Daruwerdi.
Bukan berarti aku tidak percaya kepadamu. Apalagi seperti
yang kau katakan, bahwa kau mengaku tidak mengetahui apaapa,
selain petunjuk gaib tentang peti dan pusaka inti. Bahkan
tempatnyapun baru kau yakini kebenarannya setelah Cempaka
dan Rahu ikut membantumu mengambilnya" ia berhenti
sejenak, lalu "Tetapi sebagaimana biasanya, maka untuk
meyakinkan kebenaran adanya sejenis pusaka, maka pusaka
itu perlu ditayuh. Dan aku akan melakukannya. Pusaka ini
akan aku tayuh tiga hari tiga malam diatas bukit berhutan itu
untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk. Kita
akan bersembunyi bersama-sama di puncak bukit berhutan itu
selama aku meyakinkan kebenaran pusaka ini"
Wajah Daruwerdi menjadi tegang. Dipandanginya Yang
Mulia Panembahan Wukir Gading itu dengan tajamnya.
Sementara Panembahan itu masih saja tersenyum sambil
berkata "Ya. Mungkin kau kurang mengerti. Tetapi
demikianlah kebiasaan seseorang. Untuk mengetahui nilai dari
sejenis wesi aji, maka orang harus menayuhnya"
"Tetapi aku tidak tahu apakah akibat dari cara yang
demikian. Aku sudah memenuhi janjiku. Karena itu, maka aku
berhak menerima nilai tukarnya seperti yang sudah disepakati.
Kemudian terserah apa yang bakal terjadi dengan kita masingmasing"
jawab Daruwerdi. Namun Yang Mulia masih tetap tersenyum. Katanya?"
Dengar anak muda Kita semua akan naik keaitas bukit
berhutan itu. Kita akan bersembunyi. Aku kira pihak lain tidak
akan mengira bahwa kita berada diatas bukit itu. Seandainya
ada pibak lain yang mengetahui dan menyusul kita, maka kita
bersama-sama akan bertahan. Aku yakin, bahwa kita akan
menang. Aku dan orang tua berhati iblis ini tentu akan dapat
mempertahankan peti itu menghadapi siapapun juga"
Wajah Daruwerdi menjadi semakin tegang. Sebuah
pertanyaan yang bergejolak dihatinya seakan-akan terdengar
semakin keras "Apakah benar orang itu akan dapat
mengetahui nilai dari sebuah pusaka" Dan dapat mengetahui
pula keasliannya" Dalam kebimbangan itu terdengar Yang Mulia berkata
"Sudahlah. Jangan berpikir terlalu panjang. Kita akan
berangkat bersama-sama ke bukit itu"
"Silahkan" berkata Daruwerdi "Aku akan pergi bersama
Pangeran itu" Tetapi Yang Mulia yang selalu tersenyum itu justru tertawa.
Katanya "Jangan menganggap kami orang-orang dungu anak
muda. Sekali lagi aku katakan, bukan maksudku untuk tidak
mempercayaimu. Tetapi aku hanya ingin menyaksikan. Hanya
tiga hari t iga malam"
"Aku tidak mempunyai waktu" berkata Daruwerdi.
Tetapi Yang Mulia segera menjawab "Kau tidak mempunyai
pilihan. Kita melakukan tukar menukar dengan jujur. Karena
itu kaupun harus bersedia mempertanggung jawabkannya.
Terasa jantung anak muda itu bagaikan berhenti
berdenyut. Namun ternyata ia tidak mempunyai kesempatan
lain. Apalagi sesaat kemudian Yang Mulia itu telah mengambil
kepututan "Kita akan pergi sekarang. Semuanya. Kita akan
berada di atas bukit berhutan itu hanya selama tiga hari tiga
malam. Jika aku telah mendapatkan satu keyakinan tentang
pusaka ini. maka aku akan mempersilahkan anak muda itu
meninggalkan kita semuanya. Tetapi sebelum aku
mendapatkan keyakinan itu. maka aku tidak akan membiarkan
pergi. Karena kami bukan kelinci-kelinci yang terlalu bodoh
untuk ditipu begitu saja"
Tubuh Daruwerdi terasa semakin gemetar. Ia tidak
menyangka bahwa ia akan berhadapan dengan seseorang
yang terlalu cerdik dan cermat. Bahkan ada seperti penyesalan
yang melonjak di dalam hatinya. Ternyata rencananya tidak
berjalan selancar seperti yang diduganya.
Dalam keadaan yang terjepit itu, Daruwerdi mulai
membayangkan wajah ibunya yang melepaskannya dengan air
mata. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk berbuat
sesuatu, karena demikian Yang Mulia menjatuhkan perintah
untuk berangkat ke bukit berhutan itu. maka Sanggit
Rainapun telah melangkah mendekati Daruwerdi sambil
berkata Marilah anak muda. Tidak ada apa-apa yang akan
terjadi. Kita hanya ingin membukt ikan, bahwa kita masingmasing
telah berbuat dengan jujur"
Daruwerdi menelan ludahnya. Sekilas dipandanginya peti
yang sudah berada di tangan Yang Mulia itu. Sekali lagi ia
bertanya kepada diri sendiri "Apakah benar ia dapat
mengetahui jika- pusaka itu dipalsukan" Bkankah tidak
seorangpun yang mengetahui, pusaka apakah yang pernah
disembunyikan itu. Atau ia sudah mendengar bahwa ada nilai
lain yang terdapat disamping pusaka itu, sehingga ia bertanya
tentang goresan-goresan pada dinding peti itu"
Ada semacam kebanggaan atas diri sendiri, bahwa ia sudah
melakukannya dengan cermat. Tetapi bahwa Yang Mulia
masih akan mempergunakan cara lain untuk mengetahui
keaslian dari pusaka itu, sebelumnya tidak pernah
dipikirkannya. Terbersit pula satu niat untuk berbicara tentang petunjuk
gaib dan karena itu, ia akan mendapat perlindungan gaib
apabila Yang Mulia itu akan berbuat curang. Namun niat itu di
urungkan, karena ia yakin bahwa Yang Mulia tidak akan
menghiraukannya. Bahkan mungkin ia yakin bahwa Yang
Mulia tidak akan menghiraukannya. Bahkan mungkin Yang
Mulia itu ptin akan menjawab, bahwa iapun dapat melakukan
yang gaib itu. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain bagi Daruwerdi
selain mengikut i iring-iringan yang kemudian menuju ke bukit
berhutan. Jarak yang tidak terlalu jauh. Tetapi karena
sebagian dari mereka telah teriuka, kehilangan kekuatannya
dan keletihan, maka perjalanan itu telah ditempuh hampir
seperti mereka berjalan kaki saja. Meskipun dalam pada itu,
bagi Daruwerdi telah disediakan seekor kuda pula.
Dalam perjalanan itu, Pangeran yang sakit itu nampaknya


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi semakin payah. Tabib yang selalu menjaganya itupun
telah memberinya obat secukupnya, sesaat ketika mereka
akan meninggalkan bukit gundul itu.
Nampaknya obat yang ditelannya itu memberinya sedikit
kekuatan. Dengan seteguk air yang diminumnya dari impes
yang dibawanya, maka tubuh Pangeran itu nampak menjadi
sedikit segar. Tetapi sejenak kemudian ia sudah nampak
menjadi payah lagi selama perjalanan.
"Jarak ini hanya pendek saja" berkata Cempaka.
"Tetapi kita akan naik keatas bukit itu" berkata tabib yung
merawatnya. "Ya" jawab Cempaka.
"Pangeran ini akan menjadi sangat letihi" desis tabib itu
pula. "Biarlah beberapa orang membantunya. Atau biar saja ia
berada di punggung kuda yang akan dituntun sepanjang jalan
menannjak di lereng"
"Bagaimana jika ia justru jatuh dari punggung kuda?"
bertanya tabib itu. "Sudahlah. Nanti kita akan mencari jalan bagi Pangeran itu"
jawab Cempaka. Pangeran yang nampaknya sangat letih itu mendengarkan
pembicaraan itu dengan berdebar-debar. Tetapi ia menjadi
semakin berdebar-debar jika ia memikirkan t ingkah laku anak
muda yang menyebut dirinya bernama Daruwerdi itu.
"Agaknya anak ini sangat kurang pengalaman menghadapi
orang-orang seperti pemimpin padepokan Sanggar Gading dan
orang-orang Kendali Putih itu" berkata Pangeran itu di dalam
hatinya. Namun sementara itu, Rahu selalu dekat dengan Pangeran
itu. Ia merasa bertanggung jawab, apabila terjadi sesuatu atas
Pangeran yang sedang sakit itu.
Demikianlah iring-iringan itu menuju ke bukit berhutan
tidak terlalu jauh dari bukit gundul itu.
Sementara itu, kebingungan tidak saja terjadi diantara
orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih.
Bukan saja Sanggit Raina yang menjadi sangat gelisah karena
perkembangan yang tidak terduga-duga itu. Bukan pula hanya
Rahu yang cemas melihat keadaan Pangeran yang letih itu.
Tetapi beberapa orang diluar lingkungan orang-orang Sanggar
Gading dan Kendali Putihpun menjadi bingung.
"Apa yang mereka lakukan Kiai?" bertanya Jlitheng kepada
Kiai Kanthi. Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku tidak
mengerti. Aku t idak mendengar apa yang mereka katakan.
Tetapi aku kira angger Daruwerdi terpaksa harus ikut bersama
mereka" "Pangeran yang sangat letih itu juga" desis Jlitheng.
"Kita akan mengikutinya" desis Kiai Kanthi "betapapun
sulitnya. Tetapi kita harus mengetahui kemana mereka pergi"
Dengan demikian, maka Jlitheng dan Kiai berusaha untuk
mengamati iring-iringan itu. Mereka tidak berani mengambil
jarak terlalu dekat, karena merekapun menyadari, diantara
mereka terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang
tinggi. Namun dalam pada itu, selagi mereka dengan hati-hati
berusaha mengikut i iring-iringan orang-orang Sanggar Gading
dan orang-orang Kendali Putih yang tersisa, maka keduanya
telah dikejutkan oleh kehadiran dua orang yang juga sedang
mengikut i iring-iringan itu. Namun Jlitheng menarik nafas
dalam-dalam ketika ternyata keduanya adalah Semi dan
kawannya. "Apa yang kau ketahui tentang mereka?" bertanya Jlitheng.
Semi menggeleng. Ia dapat rnenceriterakan pertempuran
yang terjadi di pategalan. Iapun dapat mengatakan, bahwa
diluar dugaan orang-orang terpenting dari padepokan Sanggar
Gading dapat menyatukan rencana mereka dengan orangorang
Kendali Putih yang tersisa.
"Semuanya serba membingungkan. Ternyata Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading benar-benar seorang yang
memiliki sikap yang sulit untuk dimengerti sebelumnya. Ia
selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan"
berkata Semi. "Ia orang yang memiliki pengalaman yang sangat luas
menilik sikap dan keputusan yang diambilnya" berkata Kiai
Kanthi. Semi mengangguk-angguk. Dengan kening yang berkerut
ia bergumam " Tugas, ini benar-benar menjadi berat dan tidak
menentu" "Itu sudah kita duga" sahut Jlitheng "Kita memang tidak
mempunyai perhitungan yang mapan sebelumnya. Kita
memang harus bertindak sesuai dengan perkembangan
keadaan. Tugas yang demikian memang terasa sangat berat
dan tidak menentu" Semi mengangguk-angguk. Tetapi yang dihadapinya itu
justru terasa semakin berat, karena sikap yang sulit
dimengerti dari Yang Mulia Panembahan Wukir Gading.
Kadang-kadang ia berbuat sesuatu yang tidak dapat
diperhitungkan lebih dahulu.
Demikian iringan-iringan itu menjadi semakin dekat dengan
bukit berhutan. Bahkan kemudian mereka yang mengikuti
itupun mengerti, bahwa iring-iringan itu akan naik ke bukit
berhutan itu. "Swasti" t iba-tiba saja Kiai Kanthi berdesis.
"Mereka tidak naik lewat sisi yang akan melewati gubug
kecil itu Kiai" berkata Jlitheng.
"Tetapi sebagian dari mereka tentu akan menebar untuk
mengawasi keadaan. Kita belum tahu, apakah kepentingan
mereka naik ke bukit berhutan itu. Tentu ada sesuatu yang
mereka anggap penting untuk dilakukan di bukit itu" jawab
Kiai Kanthi. "Jadi, bagaimana menurut pertimbangan Kiai?" bertanya
Jlitheng. "Aku ingin menyelamatkan gadisku itu" desis Kiai Kanthi.
"Kita akan melingkari bukit itu, dan naik lewat jalan yang
terbiasa kita lewati. Kita akan membawa keluar dari rumah
itu" desis Jlitheng.
"Aku akan pergi bersama kalian" sahut Semi "Aku kira, kita
akan dapat membuat pertimbangan-pertimbangan
menghadapi kendaraan yang kurang menentu"
Kiai Kanthi ternyata tidak berkeberatan. Karena itu, maka
merekapun berusaha untuk melingkari bukit kecil itu berjalan
kaki dan kemudian memanjat naik menuju ke gubug Kiai
Kanthi. Mereka harus membawa Swasti keluar dan bersiap
menghadapi segala kemungkinan
Namun dalam pada itu, agar mereka tidak kehilangan arah,
maka Jlitheng telah memisahkan diri untuk tetap mengikuti
iring-iringan ku memanjat naik ke hutan di lereng bukit itu,.
"Jika kau sudah yakin, dimana mereka berhenti, segera
hubungi kami" pesan Kiai Kanthi.
"Baik Kiai. Aku akan segera datang. Tetapi jika keadaan
memaksa, Kiai tidak usah menunggu aku" jawab Jlitheng.
"Terima kasih. Tetapi aku kira aku perlu menunggu" desis
Kiai Kanthi kemudian. Demikianlah, maka J litheng dengan sangat berhati-hati
tetap mengikuti iring-iringan itu. Meskipun hanya sekilassekilas
saja, namun ia melihat, betapa sulitnya Pangeran yang
sedang sakit itu untuk dapat memanjat naik. Rahu bahkan
seolah-olah telah mendukungnya dan menjaga Pangeran itu
dengan sangat berhati-hati bersama tabib yang merawatnya.
Sementara itu, beberapa orang yang lain memanjat sambil
menuntun kuda, karena mereka tidak dapat memanjat lereng
berhutan itu diatas punggung kuda.
Dalam pada itu, Yang Mulia Panembahan Wukir Gadingpun
harus turun dari kudanya pula. Namun ternyata cacat kakinya
tidak mengganggunya. Jika di padepokan nampaknya ia
seorang timpang yang harus berjalan dengan tongkat
gadingnya, namun di hutan bukit kecil itu, cacat kakinya
seolah-olah diabaikannya.
Namun dalam pada itu, selain memikirkan Pangeran yang
sakit itu, Rahupun menjadi gelisah mengingat mereka yang
mengawasi keadaan. Rahu sadar, bahwa tidak mudah bagi
Semi, kawannya dan Jlitheng untuk mengetahui apa yang
telah terjadi Mereka dapat menjadi bingung dan mengambil
sikap yang keliru. Karena itu, ketika iring-iringan itu telah mencapai bagian
atas dari bukit kecil berhutan, sehingga mereka tidak
mengalami kesulitan yang berarti, Rahupun melepaskan
Pangeran itu dan membiarkannya dipapan oleh tabib yang
merawatnya, "Akulah yang kelelahan" berkata Rahu "Tetapi jangan
hiraukan aku. Aku akan mencari air sebentar"
"Masih ada air di dalam impes itu" berkata Pangeran yang
sakit. "Terima kasih Pangeran. Pangeran tentu masih
membutuhkannya" desis Rahu. Sementara itu Rahu berpesan
kepada tabib itu "Kau tidak usah mengatakannya kepada
siapapun, bahwa aku akan mencari air sebentar. Aku akan
segera menyusul. Aku sudah tahu, dimana kita semua akan
berhenti" Tabib yang merawat Pangeran itu mengangguk. Katanya
"Baiklah. Tetapi cepat. Sebelum Cempaka bertanya kepadaku,
dimana kau" "Jika ia bertanya, jawab sajalah seperti yang aku kata kan"
desis Rahu yang kemudian memisahkan diri.
Sejenak Rahu termangu-mangu. Ia pasti bahwa tentu ada
satu dua orang yang mengikut inya. Jika bukan Semi dan
kawannya, tentu Jlitheng. Ia berharap, bahwa orang yang
mengikut i itu dapat mengerti maksudnya.
Sejenak kemudian, ketika iring-iringan itu memanjat
semakin jauh Rahu telah bergeser, justru turun. Ia menunggu
sejenak, mungkin seseorang akan menghampirinya.
Meskipun demikian, ketika ia mendengar gemerisik
dedaunan, ia telah bersiaga. Namun kemudian ia menarik
nafas dalam-dalam ketika ternyatai yang mendekatinya adalah
Jlitheng. "Sokurlah kau datang" desis Rahu,
"Aku mengerti maksudmu memisahkan diri dari kawankawanmu"
berkata Jlitheng "Kami semua kebingungan. Aku
sudah berhubungan dengan Semi dan kawannya. Juga dengan
Kiai Kanthi, Kami tidak tahu, apa yang sedang terjadi"
Rahupun segera menceriterakan dengan singkat, apa yang
telah terjadi. Akhirnya Rahupun menceriterakan, bahwa Yang
Mulia Panembahan Wukir Gading ternyata sangat cermat,
sehingga ia menganggap perlu untuk meyakinkan keaslian
pusaka yang diserahkan oleh Daruwerdi kepadanya. Karena
itulah maka Yang Mulia telah membawa semua orang yang
tersangkut dalam persoalan pusaka itu keatas bukit berhutan
ini. Selama tiga hari tiga malam Yang Mulia akan berada di
atas bukit. Pusaka itu akan ditayuhnya. sehingga ia akan
mengetahui nilai yang sebenarnya dari pusaka itu.
"Tiga hari tiga malam" desis Jlitheng "Apakah hal itu tidak
akan mengundang kemungkinan lain jika ada pihak-pihak
yang mengetahui apa yang telah terjadi?"
"Hal itu sudah diperhitungkannya" berkata Rahu "Orangorang
yang tersisa dari Sanggar Gading dan Kendali Putih
akan dapat menghadapi golongan manapun juga, apabila di
bukit ini terdapat Yang Mulia dan orang Kendali Putih yang
nampaknya memiliki kemampuan setingkat dengan Yang
Mulia. "Benar-benar membingungkan" gumam Jlitheng "Yang
baik, apa yang harus kami lakukan"
"Mintalah pertimbangan Kiai Kanthi" desis Rahu "Tetapi
sebaiknya kalian menunggu tiga hari tiga malam. Hasil dari
usaha Yang Mulia itu akan menentukan, apa yang akan terjadi
Usahakan pada hari keempat mendekati puncak bukit ini. Aku
akan berusaha untuk memberikan isyarat kepada kalian"
Jlitheng mengangguk-angguk. Lalu Katanya "Selama tiga
hari tiga malam, kita akan berbicara dan mencari jalan keluar"
"Hati-hatilah. Yang ada dipuncak bukit itu adalah sisa-sisa
orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih,
diantaranya termasuk Sanggit Raina dan Cempaka di-samping
Yang Mulia dan orang terkuat dari Kendali Putih. Kau harus
memperhitungkan jumlah dan kemampuan orang-orang yang
berada diatas bukit itu. Mungkin kau merasa perlu untuk
bertindak. Jika jumlah kita jauh di bawah jumlah orang-orang
yang berada dipuncak bukit itu, maka apa yang akan dapat
Jlitheng mengangguk-angguk Katanya "Baiklah. Kami akan
memperhitungkannya" "Sampaikan hal itu kepada Kiai Kanthi dan kepada Semi"
desis Rahu kemudian "Aku menyusul Yang Mulia keatas bukit,
agar aku tidak dicurigai"
Rahupun kemudian meninggalkan Jlitheng tanpa
menyentuh air setitikpun. Namun Rahu sempat
memberitahukan persoalan yang membingungkan orangorang
yang mengawasi keadakan. Dalam pada itu, Jlitheng yang sudah mendapat gambaran
yang jelas tentang rencana Yang Mulia itupun, tidak lagi
berusaha untuk mengintai sampai kepuncak bukit. Tetapi
iapun segera memotong jalan, menyusup hutan di lereng bukit
itu, untuk mencapai gubug Kiai Kanthi, Yang didengar dari
Rahu itu harus segera diketahui pula oleh Semi dan Kiai Kanthi
agar mereka dapat menyesuaikan diri. Bahkan yang harus
menyesuaikan diri bukannya mereka yang ada digubug Kiai
Kanthi saja. tetapi anak-anak muda Lumbanpun harus
menyesuaikan diri agar mereka tidak salah langkah
menghadapi persoalan yang gawat itu.
Dalam pada itu Kiai Kanthi dan kedua orang yang
menyebut diri mereka sebagai pemburu itupun telah berada di
gubugnya. Swasti yang hampir tidak sabar lagi menunggu
berdesis "Hampir saja aku mencari ayah"
"Jika kau mencari aku, kau akan pergi kemana?" bertanya
Kiai Kanthi. "Kemana saja" jawab Swasti.
"Sudahlah. Marilah kita berbicara tentang keadaan yang
gawat sekarang ini. He, apakah sudah merebus ketela
pohon?" bertanya Kiai Kanthi.
"Sudah dingin Aku merebus ketela pohon dan pisang
kapok" jawab Swasti.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O, menyenangkan sekali. Bawa kemari. Biarlah tamu kita
jamu dengan ketela pohon dan pisang kapok rebus" berkata
Kiai Kanthi. Namun, demikian Swasti menghidangkan ketela pohon dan
pisang kapok, maka ayahnya berkata "Jika kau sudah selesai,
ikutlah duduk disini"
"Ah, aku di dapur saja. Bukankah ayah ingin minuman
panas" "Yang dingin ini sudah cukup. Atau kau dapat
menempatkan air diatas perapian, kemudian kau duduk disini"
berkata ayahnya. Swasti memandang ayahnya dengan heran. Jarang sekali
ayahnya memintanya untuk duduk bersama orang lain. Namun
agaknya ayahnya dapat menangkap pertanyaan yang tumbuh
dihati anak gadisnya. Maka Katanya "Keadaan berkembang
menjadi gawat. Kau harus mengetahuinya Swasti"
Swasti menarik nafas dalam-dalam. Sejak ia mulai tinggal di
lereng bukit itu, ia sudah merasa, bahwa tempat itu bukanlah
tempat seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Tempat yang
akan dapat dipakainya untuk menenteramkan diri.
Persoalannya bukan saja menyangkut anak-anak muda Lu m
ban yang berebut air, tetapi juga menyangkut persoalan yang
tebih luas lagi. Tetapi Swasti tidak dapat menyalahkan ayahnya. Karena
itu, maka jawabnya "Baiklah ayah. Aku akan menjerang air.
Kemudian aku akan mendengarkan berita tentang keadaan
yang gawat itu" Demikianlah setelah meletakkan belanga berisi air diatas
perapian, maka Swastipun duduk di belakang ayahnya yang
sedang menemui kedua orang pemburu itu. Meskipun agak
canggung, namun Swasti berusaha untuk duduk dengan
tenang. Dalam pada itu, Kiai Kanthipun memberitahukan kepada
anaknya, keadaan yang dilihatnya. Karena itu, maka setiap
saat, segalanya dapat terjadi.
"Bukankah kita tidak terlibat ayah?" bertanya Swasti.
"Kita semuanya dapat saja terlibat daiam persoalan baik
dan buruk, salah dan benar" berkata ayahnya.
"Tetapi apakah ayah yakin, yang manakah yang bersalah
dan yang manakah yang tidak?"bertanya Swasti.
"Dengan mempelajari keadaan, kita dapat membuat
perhitungan. Meskipun tidak mustahil bahwa perhitungan kita
itu salah" berkata Kiai Kanthi.
Swasti tidak membantah lagi. Ia sadar, bahwa kedua
pemburu itupun tentu termasuk dalam golongan mereka yang,
terlibat dalampersoalan yang diceritakan oleh ayahnya itu.
"Kita menunggu J litheng" berkata Kiai Kanthi "Kita akan
mendengar lebih banyak lagi tentang orang-orang yang
memanjat bukit ini. Jika ia berhasil, maka ia akan dapat
mengetahui, dimana orang-orang Sanggar Gading dan orangorang
yang lain itu berhenti. Apalagi jika mungkin ia dapat
mengatakah, apa yang akan mereka perbuat"
Namun tiba-tiba seperti orang terbangun dari mimpi Semi
berdesis "Tetapi Kiai, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa
jika saat ini terjadi sesuatu diatas bukit itu"
Tetapi Kiai Kanthi menggeleng. Katanya "Aku kira tidak
segera ngger. Jika Yang Mulia Panembahan Wukir Gading itu
ingin segera menyelesaikan persoalan dengan kekerasan,
segalanya sudah dilakukannya di bukit gundul itu. Menurut
pendapatku, jika mereka naik ke bukit ini, tentu ada persoalan
lain yang akan mereka lakukan. Dan tentu tidak segera
mereka sampai" "Jadi, apakah kita akan menunggu Jlitheng disini?"
bertanya Semi. "Ya. Kita akan menunggu beberapa saat lamanya. Namun
kita tidak boleh lengah. Kita harus menghindari jika satu dua
orang diantara mereka akan turun lewat arah ini" sahut Kiai
Kanthi. "Baiklah" berkata Semi "Aku akan mengawasi keadaan
diluar gubug ini" Sementara Semi dan kawannya meninggalkan gubug itu
untuk mengawasi keadaan, maka Kiai Kanthi berkata kepada
Swasti "Sebaiknya kau bersiap menghadapi keadaan yang
semakin gawat. Mungkin akan terjadi benturan kekerasan"
"Aku akan menunggu perkembangan saja ayah" jawab
Swasti. "Tetapi sebaiknya kau bersiap dengan pakaianmu yang
khusus. Jika tiba-tiba saja kau dihadapkan kepada benturan
kekerasan itu, dengan pakaianmu itu kau akan mengalami
kesulitan. Sedangkan kita tidak tahu, persoalan apakah yang
akan tumbuh kemudian. Cepat atau lambat" berkata ayahnya
kemudian. Swasti tidak membantah lagi. Iapun mengerti, jika ia
tergesa-gesa maka ia tidak akan sempat berganti pakaian.
Dalam keadaan yang demikian, maka ia akan mengalami
kesulitan untuk melawan siapapun yang akan dihadapinya,
justru karena ia seorang gadis.
Namun dalam pada itu, Swasti masih tetap ragu-ragu,
apakah mereka akan terlibat langsung dengan persoalan yang
tidak mereka mengerti sepenuhnya itu.
Sementara itu, Jlitheng yang berjalan memintas itupun
tertegun ketika ia tiba-tiba saja telah berhadapan dengan dua
orang yang tidak dikenalnya. Demikian tergesa-gesa, sehingga
ia tidak sempat untuk menghindarkan diri dari pertemuan itu.
Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Sementara
Jlithengpun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Kedua orang itu mungkin orang Sanggar Gading yang belum
dikenalnya ketika ia berada di sarang itu, atau justru orang
Kendali Putih. Sejenak kedua belah pihak itupun justru bagaikan
membeku. Namun kemudian salah seorang dari kedua orang
itupun bertanya "Siapa kau he?"
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
jawabnya "Aku adalah anak Lumban, Siapakah kalian?"
"Apa kerjamu disini" Orang itu masih bertanya.
"Aku mendapat tugas dari kawan-kawanku untuk
mengamati orang-orang yang tidak dikenal, yang telah
membuat anak-anak muda Lumban menjadi sangat gelisah"
"Luar biasa" desis orang yang lain "Anak Lumban memiliki
keberanian untuk mengikuti iring-iringan itu"
"Ya. Kenapa" Aku hanya mendapat tugas untuk mengamati
mereka. Setelah aku yakin bahwa mereka naik kepuncak
bukit, aku akan kembal kepada anak-anak muda Lumban
untuk melaporkan apa yang telah terjadi" jawab Jlitheng.
"Meragukan" desis yang seorang "Kenapa anak-anak muda
Lumban telah menunjukmu?"
"Bukan maksudku menyombongkan diri. Tetapi ketika
anak-anak muda Lumban berkelahi di bendungan, aku adalah
orang yang telah memenangkan perkelahian itu. Karena itu,
anak-anak muda Lumban seolah-olah mewajibkan aku
melakukan pekerjaan yang paling tidak menyenangkan ini.
Tetapi aku sudah berhasil. Aku sudah melihat orang-orang
yang tidak dikenal oleh anak-anak Lumban itu pergi kepuncak
bukit ini" jawab Jlitheng.
"Jika kau anak muda Lumban, dari Lumban yang mana"
Lumban Kulon atau Lumban Wetan" bertanya salah seorang
dari kedua orang itu. "Lumban Wetan" jawab Jlitheng.
"Apakah kau kenal dengan Daruwerdi?" bertanya yang lain.
"Tentu. Aku mengenal Daruwerdi meskipun ia bukan anak
Lumban, dan sebagian waktunya dipergunakan bagi anakanak
muda Lumban Kulon. Anak muda Lumban Wetan tidak
begitu menarik perhatiannya. Tetapi pada saat terakhir, ia
bersikap adil terhadap anak-anak Lumban Kulon dan Lumban
Wetan ketika terjadi perselisihan di bendungan tentang
pembagian air" jawab Jlitheng yang mulai menduga-duga
kedua orang asing itu. "Apakah keduanya para pengikut Daruwerdi" bertanya
Jlitheng di dalam hatinya "atau dari kelompok lain yang justru
ingin tahu tentang Daruwerdi.
Ternyata kedua orang itu mengangguk-angguk. Agaknya ia
mulai mempercayai Jlitheng yang tahu benar tentang keadaan
Lumban. Bahkan ketika Jlitheng bertanya tentang keduanya,
salah seorang dari mereka menjawab "Aku ingin melihat apa
yang terjadi atas Daruwerdi. Menurut pengamatan kami, ia
telah dibawa oleh orang-orang Sanggar Gading ke puncak
bukit ini" "Apakah hubunganmu dengan Daruwerdi?" bertanya
Jlitheng. Kedua orang itu saling berpandangan. Namun kemudian
salah seorang menjawab "Aku hanya ingin tahu saja. Apakah
orang-orang Sanggar Gading itu akan mengkhianatinya"
Jlitheng mengerutkan keningnya, la mencoba memahami
sikap kedua orang itu. Nampaknya keduanya mencemaskan
nasib Daruwerdi yang telah pergi bersama orang-orang
Sanggar Gading itu. "Tidak mustahil bahwa keduanya adalah para pengikut
Daruwerdi yang pada saat terakhir mengawasinya" berkata
Jlitheng dalam hatinya "Memang tidak masuk akal bahwa
Daruwerdi benar-benar telah bekerja sendiri dalam keadaan
yang sangat gawat itu"
Namun dalam pada itu, Jlithengpun kemudian berkata
"Silahkan. Aku sudah cukup. Aku akan segera melaporkan hal
ini kepada anak Ki Buyut Lumban Kulon yang nampaknya lebih
banyak bersikap dari anak Ki Buyut di Lumban Wetan.
Mungkin anak-anak muda Lomban perlu juga mengambil sikap
menghadapi keadaan" "Apa yang akan dapat dilakukan oleh anak-anak muda
Lumban?" bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
"Mungkin t idak akan berpengaruh. Tetapi setidak-tidaknya
anak muda Lumban yang banyak jumlahnya itu akan dapat
menjaga Kabuyutan mereka sendiri dari keterlibatan yang
tidak kami harapkan" jawab Jlitheng.
Keduanya mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Pergilah. Aku masih ingin bergeser naik"
Jlithengpun kemudian meninggalkan kedua orang itu.
Tetapi menilik sikap, kata-kata dan ujud dari kedua orang itu.
maka keduanya lebih dekat hubungannya dengan Daruwerdi
daripada dengan salah satu kelompok dari orang-orang yang
kasar dan garang dari padepokan-padepokani yang saling
memperebutkan pusaka itu.
"Atau bahkan petugas sandi dari Demak?" pertanyaan itu
timbul pula dihatinya. Dalam pada itu, Jlithengpun kemudian langsung pergi ke
gubug Kiai Kanthi. Ternyata yang ditemuinya hanyalah Kiai
Kanthi dan anak gadisnya yang dengan serta meria telah
meninggalkan ruangan depan emnuju ke dapur dibalik
dinding. Kiai Kanthi tersenyum melihat sikap anak gadisnya
meninggalkan ruangan depan menuju ke dapur dibalik
dinding. "Dimana Semi dan kawannya?" bertanya Jlitheng "Tentu ia
tidak sedang berburu?"
"Ia sedang naik untuk mengamati keadaan" berkata Kiai
Kanthi. "Aku ingin berbicara dengan mereka, disamping Kiai
Kanthi" desis Jlitheng.
"Apakah aku sebaiknya memanggulnya" bertanya Kiai
Kanthi. "Biarlah aku mencari mereka" jawab Jlitheng.
"Marilah, kita bersama-sama. Aku tahu, ke jurusan mana
mereka pergi" berkata Kiai Kanthi.
Setelah minta diri kepada anak gadisnya, maka Kiai
Kanthipun segera memanjat untuk memanggil Semi dan
kawannya. Ternyata mereka tidak terlalu sulit untuk menemui
keduanya, karena keduanya tidak memanjat sampai kepuncak.
Mereka sekedar mengamati keadaan.
Karena itu, maka merekapun segera kembali ke gubug Kiai
Kanthi. Nampaknya Kiai Kanthi memang tidak mau
meninggalkan anak gadisnya dari pembicaraan-pembicaraan
yang sudah semakin mengarah dalam keadaan yang gawat
itu. Betapapun segannya, maka Swastipun ikut pula berbicara
dengan ayah dan tamu-tamunya. Meskipun Semi dan
kawannya masih juga heran melihat Swasti dalam pakaiannya,
namun mereka t idak bertanya apapun juga.
Sementara itu, Jlithengpun segera menceritakan segalanya
yang diketahuinya tentang iring-iringan yang sudah berada di
puncakbukit itu. Jlithengpun tidak merahasiakan lagi
pertemuannya dengan Rahu yang sempat menyisih dari iringiringan
itu. Kemudian iapun berbicara pula tentang orang yang
nampaknya ada hubungannya dengan Daruwerdi.
Yang mendengarkan ceritera Jlitheng itu telah berusaha
merenungi apa yang sebenarnya mereka hadapi. Sementara
itu Kiai Kanthipun berkata "Ternyata tidak sederhana seperti
yang agaknya diduga oleh angger Daruwerdi. Orang
terpenting di Sanggar Gading itu masih sempat juga
meyakinkan, apakah ia tidak dit ipu oleh seorang anak muda
yang mengaku bernama Daruwerdi itu"
"Ya. Karena itu pusaka itu masih harus ditayuh" desis
Jlitheng. "Tetapi apa yang dapat terjadi dalam tiga hari tiga malam
itu" desis Semi "Apakah mereka membawa bekal makan yang
cukup, atau mereka akan turun ke padukuhan dan mengambil
apa saja yang dapat mereka pergunakan untuk memberi
makan orang-orang yang berada di puncak bukit itu?"
"Agaknya demikian" desis Kiai Kanthi "Mereka akan turun
ke Lumban dan merampas apa saja yang dapat mereka
rampas" "Itulah yang berbahaya bagi anak-anak muda Lumban yang
merasa dirinya sudah berlatih olah kanuragan" desis Jlitheng
"agaknya mereka tidak akan membiarkan barang-barang
mereka dirampas. Baik anak muda Lumban Kulon maupun
anak muda Lumban Wetan, apalagi mereka yang termasuk
sepuluh orang yang berlatih secara khusus itu"
"Ya" desis Semi "hal itu akan dapat membahayakan
mereka" "Apalagi jika karena tingkah anak-anak muda Lumban itu,
pemimpin yang paling disegani dari orang-orang Kendali Putih,
sebagaimana dikatakan oleh Rahu memiliki kemampuan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setingkat dengan Yang Mulia itu turun selama Yang Mulia
meyakinkan keaslian pusaka yang diserahkan oleh Daruwerdi"
desis Kiai Kanthi. "Jadi bagaimana menurut pendapat Kiai?" bertanya
Jlitheng. "Kita akari turun. Kita akan berada diantara anak-anak
muda Lumban sampai hari ketiga" jawab Kiai Kanthi.
"Untuk melawan mereka yang datang ke Lumban?"
bertanya Jlitheng. "Tidak. Kita minta anak-anak muda Lumban tidak berbuat
sesuatu. Biar sajalah apa yang dikehendaki oleh orang-orang
Itu. Dengan demikian peristiwa selanjutnya akan tetap
berlangsung dialas bukit. Jika anak-anak muda Lumban
melawan, mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak
dikehendaki oteh anak-anak muda Lumban sendiri, sementara
peristiwa yang akan berlangsung di puncak bukit itu akan
dapat berubah dari rencana. Mungkin kita akan kehilangan
jejak sehingga persoalan-persoalan berikutnya akan semakin
sulit diikuti" Jlitheng merenung sejenak. Namun akhirnya ia
mengangguk-angguk sambil berdesis "Baik Kiai. Tetapi apakah
anak anak Lumban akan dapat mengerti"
"Kita akan berusaha menenangkan mereka" berkata Kiai
Kantin. "Sisa bahan makanan mereka terlalu sedikit. Air yang
mengaliri sawah itu masih belum sepenuhnya dapat
dimanfaatkan secara baik" desis Jlitheng "Tetapi mudahmudahan
nereka dapat mengerti. Melawan orang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih bagi anakanak
muda Lumban akan dapat menimbulkan bencana jika
tidak diperhitungkar. dengan matang"
Akhirnya mereka yang berada digubug Kiai Kanthi itupun
telah bersepakat untuk turun dan diantara orang-orang
Lumban Mereka akan berkumpul dan menjadi satu dengan
mereka. "Mudah-mudahan anak-anak muda Lumban dapat
melupakan persoalan diantara mereka sendiri" desis Semi.
Setelah mereka bersepakat dan memperhitungkan segala
kemungkinan, maka Kiai Kanthipun berkata "Marilah. Kita
tinggalkan tempat ini. Mungkin sekali orang-orang yang
berada di puncak bukit itu segera menugaskan orangorangnya
turun kelambung bukit untuk mengawasi keadaan"
Yang lainpun menyetujuinya. Namun Swasti yang berada di
belakang ayahnya berdesis "Bagaimana dengan pakaianku?"
"Kau rangkap saja" desis ayahnya pula. Siapa tahu kita
bertemu dengan bahaya diperjalanan"
"Senjata kita?" berkata Swasti pula.
"Kita bawa. Kita tidak dapat menyembunyikannya. Tetapi
kita berharap, bahwa kita tidak akan bertemu dengan mereka"
Jawab ayahnya. Swasti masih akan bertanya, bagaimana tanggapan anakanak
muda Lumbon terhadap senjatanya atau persoalanpersoalan
lain yang menyangkut senjata itu. Namun niatnya
diurungkannya. Ketika orang-orang yang berada digubug itu sudah
meninggalkan ruangan, maka Swastipun dengan cepat
merangkap pakaiannya dengan pakaiannya sehari-hari.
Kemudian setelah membenahi barang-barang digubug itu,
iapun menyusul ayahnya yang telah melangkah menuruni
tebing Sebagai seorang gadis, Swasti tidak dapat
meninggalkan barang-barangnya, alat alat dapur betapapun
sederhananya, berserakkan begitu saja di ruang belakang"
Demikianlah, maka kedatangan mereka di Lumban telah
mengejutkan anak-anak muda Lumban Wetan, karena mereka
langsung menuju ke banjar Kabuyutan di Lumban Wetan.
Dengan singkat Jlitheng berpesan kepada kawan-kawannya
agar mereka berkumpul di Banjar, terutama sepuluh orang
terbaik yang menjadi pemimpin-pemimpin kelompok anakanak
muda di Kabuyutan Lumban Wetan.
Ternyata bahwa anak-anak muda itu bergerak cepat. Apa
lagi ternyata bahwa mereka telah mendengar peristiwa yang
terjadi di pategalan dan di bukit gundul. Adalah kebetulan
bahwa seseorang pergi ke pategalan untuk mei tik dedaunan
Orang itu hampir pingsan melihat bekas pertempuran yang
mengerikan itu. Jlitheng berusaha untuk memberikan penjelasan tentang
peristiwa yang terjadi di pategalan itu meskipun tidak
seutuhnya. Katanya "Mereka adalah dua gerombolan yang
saling bermusuhan. Menurut pendengaranku, keduanya
adalah kelompok Sanggar Gading melawan kelompok Kendali
Putih, Kita, anak-anak muda Lumban tidak tersangkut sama
sekali t ilam persoalan mereka"
"Kemudian apa yang terjadi di bukit gundul?" bertanya
salah seorang dari sepuluh orang terbaik.
"Aku juga mendengar peristiwa itu" jawab Jlitheng "para
pemburu ini lebih cepat menangkap berita tentang persoalan
tersebut. Namun seperti yang terjadi di pategalan, maka
persoalannya tidak menyangkut kita disini"
Tetapi hal itu terjadi di Kabuyutan Lumban. Lumban Wetan
atau Lumban Kulon" sahut yang lain.
"Benar. Namun demikian, ikita tidak harus mencampuri
persoalan yang gawat itu. Kau tentu sudah mendengar dan
orang yang langsung melihat, mayat berterbaran di sebelah
pategalan itu. Dengan demikian kita akan dapat
membayangkah, apa yang telah terjadi" berkata Jlitheng
"Apakah dengan demikian kita akan mencampurinya?"
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk kecil. Sementara
Jlithengpun berkata "Meskipun demikian, kita tidak akan dapat
lepas tangan sama sekali. Kita berkepentingan dengan
ketenangan dan suasana di Kabuyutan Lumban. Karena itu,
setelah mayat-mayat yang berserakkan itu ditinggalkan begitu
saja, sudah tentu menjadi kewajiban kita untuk
menyingkirnya. "Kenapa kita" bertanya seorang anak muda Lumban Wetan
"bukankah kita tidak bersangkut paut?"
"Tetapi apakah kita akan membiarkan mayat itu
membusuk" Baunya tentu akan memenuhi daerah Sepasang
Bukit Mati ini. Kemudian jika hal itu dapat menyebabkan
berbagai penyakit, maka kita jugalah yang akan menderita
karenanya" jawab Jlitheng.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mau t idak mau,
maka mereka harus melakukannya. Mengubur mayat-mayat
itu untuk menghindari akibat yang lebih buruk lagi yang dapat
terjadi di Kabuyutan Lumban itu.
"Bagaimana dengan anak-anak Lumban Kulon?" bertanya
salah seorang anak muda itu.
"Aku akan pergi ke Lumban Kulon" jawab Jlitheng "Kita
akan bersama-sama mengubur mereka. Jika anak-anak
Lumban Kulon berkeberatan, kita akan melaksanakan sendiri.
Anak-anak muda Lumban Wetan tidak dapat mengingkari
tugas itu bagi kepentingan Kabuyutan mereka. Namun mereka
masih juga menunggu Jlitheng yang akan pergi ke Lumban
Kulon. Namun dalam pada itu, ia masih sempat memberi tahukan
bahwa orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendal-
Putih yang tersisa, yang ternyata telah menyingkirkan
meskipun hanya untuk sementara, permusuhan yang
mengerikan itu, akan berada di puncak bukit berhutan untuk
tiga hari t iga malam. "Maksudmu?" bertanya salah seorang kawannya.
"Mereka akan membutuhkan makan dan minum" jawab
Jlitheng "Mungkin mereka akan turun ke padukuhan ini,
karena padukuhan-padukuhan di Lumban inilah yang terdekat.
Mungkin mereka akan memerlukan makanan, sehingga
mereka akan mengganggu penghuni Kabuyutan ini"
"Kita akan mempertahankan" jawab anak-anak muda itu.
"Untuk kali ini, aku mohon, jangan membuka permusuhan"
desis Jlitheng. "Maksudmu, kami harus menyerahkan begitu saja semua
milik kami yang akan mereka rampas?" bertanya kawannya
itu. "Hanya untuk tiga hari" berkata Jlitheng "Tetapi jika terjadi
bentrokan antara kalian dengan orang-orang yang garang itu,
maka yang akan terjadi adalah seperti di pategalan itu. Namun
yang terbanyak dari korban yang akan jatuh adalah kita
semuanya" "Jadi kita biarkan barang-barang kita mereka peras habis
dan kita akan mati kelaparan" Kengerian yang akan timbul di
saat-saat kita kelaparan, akan melampaui kematian saat kita
mempertahankan milik kita"
"Mereka adalah orang-orang buas yang tidak mengenal arti
perikemanusiaan lagi. Kau harus memikirkan nasib perempuan
dan anak-anak di Kabuyutan ini" desis Jlitheng "Jika kita
kekurangan bahan makanan, kita akan dapat berusaha.
Mungkin dedaunan, mungkin akar-akaran atau mungkin kita
harus berburu binatang dan mencari ikan disungai atau di
sendang diatas bukit"
Anak-anak muda itu menggeram. Namun mayat yang
terbujur lintang tentu akan sangat mengerikan juga.
Karena nampaknya anak-anak muda itu masih ragu-ragu,
maka Jlithengpun berkata "Marilah. Nanti kita lihat, api yang
terjadi di pategalan. Kita akan pergi kesana bersama kedua
pemburu ini. Demikian juga Kiai Kanthi dan anak gadisnya"
Anak-anak itu tidak menjawab lagi. Mereka sependapat
untuk melihat sendiri, apa yang terjadi di pategalan. Bukan
hanya sekedar laporan yang barangkali dapat dilebihkan dari
kenyataannya. Dalam pada itu. Jlithengpun telah pergi ke Lumban Kulon
bersama Semi. Sementara kawannya, Kiai Kanthi dan Swasti
telah ditinggalkannya di banjar Kabuyutan Lumban Wetan.
Jlitheng akan segera kembali untuk memberikan, kapan anakanak
Lumban Kulon akan pergi ke pategalan.
Di Lumban Kulon Jlitheng langsung menemui Nugata yang
nampaknya masih mendendamnya. Namun dalam pada itu.
Jlitheng berkata "Kita sisihkan persoalan kita sendiri. Kita
menghadapi masalah yang gawat. Masalah yang datang dari
luar lingkungan kita sendiri"
"Aku sudah mendengar" sahut Nugata.
Jlithengpun kemudian menjelaskan seperti yang
dikatakannya kepada anak-anak muda Lumban Wetan.
"Persetan" geram Nugata "dikubur atau tidak dikubur itu
bukan urusanku" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak begitu
saja menerima jawaban Nugata. Ia masih berusaha untuk
menjelaskan, jika mayat-mayat itu dibiarkan saja, maka yang
akan terjadi adalah bencana bagi Lumban dalam keseluruhan.
"Pategalan itu akan menjadi pategalan mati" desis Jlitheng
" tanah yang kering ini akan menjadi kian sempit tanpa
pategalan itu. Sementara tidak akan ada orang yang berani
lagi menyentuh pategalan yang akan menjadi penuh dengan
kerangka-kerangka" Nugata mengerutkan keningnya. Namun nampaknya ia
mulai berpikir. Justru karena itu, maka Jlithengpun semakin
menekan kesulitan yang dapat timbul jika mayat-mayat itu di
biarkan saja. "Binatang-binatang buas dari bukit itu akan turun" berkata
Semi lebih lanjut "Apalagi jika dipuncak bukit itu oirang-orang
Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih berburu
binatang. Binatang-binatang yang merasa terganggu,
sementara bau bangkai yang sampai kehidung mereka, akan
mengundang bahaya tersendiri. Binatang-binatang buas itu
akan tinggal di pategalan-pategalan. Bukan saja harimau yang
buas, tetapi yang tidak kalah bahayanya adalah serigala dan
anjing hutan. Jika mayat itu sudah habis, akan datang giliran
binatang buas itu akan melihat kearah padukuhan-padukuhan
di Kabuyutan Lumban"
Akhirnya Nugata menarik nafas dalam-dalam sambil
berkata "Baiklah. Kita akan bersama-sama mengubur mayat
itu. Berapa puluh anak Lumban Wetan yang dapat turun ke
pategalan" "Aku tidak dapat menyebut dengan pasti" jawab Jlitheng.
"Jadi, bagaimana kami harus mengerahkan anak-anak
muda jika jumlahnya belum diketahui. Anak-anak muda
Lumban Kulon sama jumlahnya dengan anak-anak Lumban
Wetan. Dan itupun harus aku pimpin sendiri"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau terlalu
membatasi diri antara Lumban Kulon dan Lumban Wetan,
Nugata. Kau belum dapat meluluhkan dirimu dalam satu keluaiga
besar meskipun dalam batas-batas yang tertentu. Kenapa
kita harus mengbitung berapa anak Lumban Wetan dan
berapa Lumban Kulon. Sebaiknya, berapa orangpun yang
dapat melakukan tugas itu"
Nugata termangu-mangu. Namun kemudian katanya
"Baiklah. Aku akan menyuruh beberapa orang anak muda
untuk pergi ke pategalan itu"
Setelah mereka bersepakat tentang waktu, maka
Jlithengpun mulai menjelaskan persoalan-persoalan lain "yang
diketahuinya. Seperti anak-anak muda Lumban Wetan,
Nugatapun semula tidak rela untuk menyerahkan apa saja
yang diminta oleh orang yang tidak dikenalnya Bahkan orangorang
yang telah membuat Kabuyutan itu menjadi ajang
pembantaian yang t idak semena-mena.
Tetapi akhirnya Jlitheng berhasil meyakinkan Nugata,
bahwa bahayanya akan sangat besar jika anak-anak Lumban
berani menentang kehendak orang-orang Sanggar Gading dan
orang-orang Kendali Putih.
"Tetapi hanya untuk tiga hari saja" geram Nugata.
"Ya. Hanya untuk tiga hari. Aku kira mereka tidak akan
mengambil melampaui kebutuhan mereka tentang pangan.
Sebab selebihnya pangan disini t idak ada apa-apa.
Demikianlah maka pada waktu yang telah ditentukan anakanak
muda Lumban Wetan dan anak-anak muda Lumban
Kulon telah pergi ke pategalan. Anak-anak muda Lumban
Wetan disertai oleh Jlitheng, Semi, kawan Semi dan agar tidak
menimbulkan pertanyaan khusus, maka Kiai Kanthi memilih
untuk pergi sendiri bersama anak gadisnya Ja akan hadir
diluar pengetahuan anak-anak Lumban. Bagi mereka
kehadiran Swasti tentu akan dapat menimbulkan berbagai
pertanyaan yang mungkin akan sulit untuk dijawab.
Yang mereka lihat di pategalan benar-benar mengerikan.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan ada satu dua orang anak muda yang menjadi pingsan,
ada pula yang muntah-muntah. Tetapi Jlitheng, Semi dan
kawannya telah mendahului mereka berada diantara mayatmayat
yang terbujur lintang. Anak-anak Lumban Kulon yang ternyata disertai oleh
Nugata sendiri itupun menjadi ngeri melihat kenyataan itu.
Tetapi mereka, anak-anak muda. Lumban Kulon dan anakTiraikasih
anak muda Lumban Wetan itu menyadari, bahwa justru
karena itu, mereka harus menguburkan mayat-mayat itu.
Namun kerja itu ternyata dapat diambil manfaatnya bagi
kehidupan anak-anak muda Lumban Wetan dan Lumban
Kulon. Jika semula diantara mereka masih terasa ada batas,
namun ketika mereka sudah mulai menggali tanah di padang
ilalang, maka mereka mulai membaurkan diri. Perlahan-lahan
mereka melupakan pertentangan diantara mereka, bahwa
seolah olah mereka merasa kembali kepada masa-masa
dimana mereka masih belum dipisahkan oleh pertentangan
yang timbul karena air yang mengalir disungai kecil yang
membatasi Lumban Wetan dengan Lumban Kulon.
Dengan susah payah, anak-anak muda itu memaksa diri
untuk mengubur mayat-mayat yang berserakkan. Mereka
menggali sebuah lubang yang besar dan kemudian
memasukkan mayat-mayat itu ke dalamnya.
Begitu kerja itu selesai, maka anak-anak muda itu langsung
pergi kebendungan. Mereka langsung menceburkan diri untuk
mandi, karena rasa-rasanya tubuh mereka dilekati nodt-noda
darah yang sudah mengering dan bau bacin yang hampir tidak
tertahankan. Sebagian besar dari mereka ternyata telah muntah-muntah.
Bahkan yang pingsanpun telah bertambah lagi.
Namun dengan demikian mereka telah melihat sendiri, apa
yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang berada di atas
bukit itu. Karena mereka bertemu dalam imbangan kekuatan
yang hampir sama, maka mereka telah meninggalkan korban
yang hampir sama pula banyaknya.
"Bagaimana kira-kira yang akan terjadi, jika anak-anak
muda Lumban yang harus bertempur melawan mereka"
bertanya salah seorang anak muda Lumban Wetan.
Pertanyaan itu telah mengganggu perasaan Jlitheng yang
kebetulan mendengarnya. Tetapi ia masih belum ingin
menjawab, karena justru ialah yang menghendaki agar anakanak
Lumban itu tidak melawan.
Tetapi bukan maksud Jlitheng untuk memperlakukan anak
anak Lumban itu untuk seterusnya. Meskipun demikian,
Jlitheng masih harus memperhitungkan waktu setepattepatnya.
Setelah selesai mandi, maka anak-anak muda rtupun
kembali ke padukuhan masing-masing. Namun kemudian,
semalam suntuk mereka tidak dapat memejamkan mata
barang sekejappun. Bahkan dalam pada itu, anak-anak muda yang pingsan di
pategalan, meskipun mereka kemudian sadar kembali, dan
karena keadaannya tidak dapat membantu kawan-kawannya
menggali kuburan yang besar itu, telah menjadi sakit.
Tubuhnya menjadi panas, dan kadang-kadang mengigil
ketakutan. Peristiwa yang terjadi di pategalan itu telah menjadi buah
pembicaraan semua orang Lumban Wetan dan Lumban Kulon.
Bukan saja anak-anak muda, tetapi juga orang-orang tua.
Bahkan akhirnya Ki Buyutpun membicarakannya pula.
Ketakutan telah membayangi Kabuyutan itu. Namun dalam
pada itu, Jlithenglah yang menghubungi Ki Buyut Lumban
Wetan dan Lumban Kulon bersama Semi untuk memberikan
pertimbangan-pertimbangan. Bahwa tidak sepantasnya
mereka melawan jika orang-orang yang sedang berada di
bukit Itu turun untuk mencari bahan makanan.
"Mereka tentu hanya akan mengambil bahan makanan
secukupnya untuk t iga hari "setiap kali Jlitheng menjelaskan
"Tidak akan lebih. Karena mereka tahu, di padukuhanpadukuhan
tlatah Lumban tidak akan mereka jumpai apapun
juga" "Tetapi bahan makan bagi mereka selama t iga hari, cukup
berarti bagi kami, orang-orang Lumban yang miskin" jawab Ki
Buyut Lumban Wetan. "Tentu lebih baik dari kitalah yang dibantai seperti yang
terjadi di pategalan" berkata Jlitheng.
Ki Buyut hanya dapat menarik nafas panjang. Ia merasa
sangat berprihatin tentang tanah kelahirannya. Setelah tanah
di bagi menjadi Lumban Kulon dan Lumban Wetan, maka
nampaknya tidak membawa perbaikan-perbaikan. Air yang
memberikan harapan itu ternyata telah menumbuhkan
pertentangan antara saudara yang terpisah dalam usia
dewasa. Dani kini tanah yang gersang itu menghadapi satu
peristiwa yang mendebarkan jantung.
Namun dalam pada itu, setiap kali Jlitheng harus menemui
Kiai Kanthi, untuk mohon petunjuk-petunjuk kepadanya, apa
yang harus dilakukannya pada saat-saat yang gawat itu.
Bahkan dengan gelisah, Jlitheng telah menemui Kiai Kanthi
sambil berkata "Kiai, menurut beberapa orang anak muda di
Lumban Kulon, di tempat tinggal Daruwerdi terdapat seorang
perempuan yang agaknya mempunyai hubungan dengan
Daruwerdi" "Seorang perempuan" Muda atau tua?" bertanya Kiai
Kanthi. "Pantas untuk menjadi ibunya" jawab Jlitheng.
"Mungkin ibunya" jawab Kiai Kanthi "Aku kira t idak ada
buruknya kau datang kepadanya untuk memberi tahukan
keadaan Daruwerdi. Tetapi sebelumnya kau harus melihat
keadaan, apakah menurut pendapatmu kau pantas
mengatakan atau tidak"
Jlitheng mengangguk-angguk. Kemudian bersama Semi ia
telah pergi ke tempat tinggal Daruwerdi untuk menjumpai
perempuan seperti yang dikatakan oleh anak-anak muda
Lumban Kulon. Kedatangan Jlitheng dan Semi mengejutkan perempuan itu.
Namun Jlithenglah yang kemudian terkejut ketika ia melihat
dua orang laki-laki. -oo0dw0ooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 16 SEJENAK mereka saling berpandangan, namun kemudian
Jlithenglah yang berbicara "Ki Sanak, bukankah K i Sanak
berdua yang aku jumpai di lambung bukit berhutan itu"
"Ya" sahut salah seorang dari keduanya.
"Aku sudah mengira bahwa kalian mempunyai hubungan
dengan Daruwerdi" jawab Jlitheng " kedatanganku kemari
sebenarnya juga ingin memberi tahukan bahwa Daruwerdi
berada di bukii. Namun kamipun ingin tahu, apakah hubungan
kalian dengan Daruwerdi"
Kedua orang laki-laki itu termangu-niangu. Namun seperti
yang dikatakan Jlitheng dalam pengakuannya, bahwa ia
adalah anak Lu m ban. Karena itu, maka memlrut
pertimbangan kedua laki-laki itu meskipun mereka tidak saling
berbincang, namun agaknya tidak ada keberatannya untuk
menyebut bahwa perempuan itu adalah ibu Daruwerdi, justru
karena keadaan Daruwerdi yang gawat.
Nampaknya mereka masih saja ragu-ragu. Tetapi akhirnya
salah seorang dari mereka berkata "- Baiklah Ki Sanak.
Nampaknya kau berkata sebenarnya tentang dirimu, bahwa
kau adalah anak Lumban. Karena itu, aku kira kamipun akan
berkata sebenarnya tentang diri kami. Bahwa kami adalah
keluarga Daruwerdi. Perempuan ini adalah ibu Daruwerdi dan
kami adalah paman-pamannya. Kami mencemaskan nasib
anak itu. la adalah seorang anak yang berani, tangkas
berpikir, tetapi kurang pengalaman. Ia kini berada di atas
bukit itu, dalam tangan sekelompok orang yang tidak aku
ketahui" "Itulah yang ingin aku beritahukan" sahut Jlitheng "Aku
memang sudah menduga, bahwa disini hadir ibunya. Tetapi
karena kalian berdua ternyata adalah paman-pamannya, maka
aku tidak perlu memberi tahukan keadaan Daruwerdi sekarang
ini" "Kami sudah mengetahuinya" berkata salah seorang dari
kedua laki-laki itu. "Baiklah" berkata Jlitheng kemudian" Menghadapi orangorang
dia tas bukit itu, kami sudah menemukan satu sikap.
Kami, seluruh padukuhan Lumban Wetan dan Lumban Kulon.
Dari Ki Buyut sampai kepada anak-anak mudanya. Aku mohon
kalian dapat menyesuaikan diri dengan sikap kami
"Sikap yang bagimana?" bertanya salah seorang dari
keduanya. Jlithengpun kemudian memberitahukan sikap yang sudah
disetujui oleh setiap orang di Lumban. Mereka tidak akan
berbuat apa-apa selama tiga hari tiga malam. Sambil
menunggu hasil pengamatan Yang Mulia atas pusaka itu
dengan caranya. Kedua orang itu mengangguk-angguk. Katanya "Jika itu
sudah menjadi keputusan kalian, kami tidak akan berbuat lain.
Tetapi bagimana nasib Daruwerdi kemudian?"
"Kita bersama-sama akan melihat dalam waktu tiga hari
lagi" jawab Jlitheng.
"Apakah tidak akan terjadi sesuatu" desis-yang lain.
"Kita akan bersama-sama mengamati keadaan" sahut Semi
"Tetapi kita harus sepakat dalamsikap dan tindakan"
Kedua orang itu nampak ragu-ragu. Salah seorang dari
keduanya itupun bertanya "Apakah maksud kalian" Apakah
yang kalian sebut dengan kesepakatan sikap dan perbuatan"
Aku tida akan keberatan untuk berbuat apa saja tetapi dengan
satu maksud tertentu, keselamatan Daruwerdi"
Jlitheng memandang Semi sekilas. Kemudian katanya "Kita
memikirkan keselamatan bukan saja Daruwerdi. Tetapi juga
Lumban dalam keseluruhan"
"Itu bukan urusanku" sahut salah seorang dari kedua orang
itu" Kami hanya berkepentingan dengan Daruwerdi"
"Jangan berkata begitu" potong Jlitheng "kalian berada di
Lumban sekarang Kita bersama-sama menghadapi keadaan
yang gawat. Aku berharap bahwa kalian dapat bekerja
bersama dengan kami"
Sebelum salah seorang dari kedua orang itu menjawab,
perempuan yang nampak selalu murung itu mendahului
"Terima kasih atas perhatian kalian anak muda. Aku
sependapat bahwa kita bersama-sama menghadapi peristiwa
yang gawat. Tentu kita akan bekerja bersama dengan seluruh
isi Kabuyutan Lumban"
Jlitheng memandang perempuan itu sejenak. Kemudian
katanya "Mudahmuduhan kita dapat berbuat banyak
menghadapi masalah ini. Mungkin setelah tiga hari kita akan
terpaksa melakukan tugas-tugas yang lebih berat lagi dari
yang kita lakukan sebelum ini"
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Kemudian salah
seorang dari mereka berkata "Baiklah. Mungkin sikap ini bukan
sikap yang mutlak, karena pada suatu saat, mungkin kita akan
dihadapkan pada kepentingan yang berbeda"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti sikap
kedua orang itu. Namun iapun berharap bahwa segala
perbedaan sikap dan kepentingan itu dapat dibicarakan
kemudian. Karena itu, maka iapun mengangguk-angguk
sambil menjawab "Baiklah. Tetapi menghadapi orang-orang
yang membawa Daruwerdi itu, kita akan bersikap sama"
"Kami menunggu, apa yang harus kami lakukan bersama
kalian disini" berkata salah seorang diantara mereka.
Jlithengpun kemudian minta diri. Namun dengan demikian,
ia sudah dapat mengurangi masalah-masalah yang mungkin
timbul diluar perhitungannya. Karena itulah maka segala
pikiran dan perhatian akan dapat dicurahkan kepada orangorang
yang berada di atas bukit berhutan itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah Yang Mulia Panembahan
Wukir Gading telah berusaha meyakinkan keaslian dari pusaka
itu. Seperti yang selalu dilakukan untuk mengetahui
kebenaran sebuah pusaka, maka pusaka itu harus ditayuh.
Diatas bukit itu telah dibuat sebuah gubug kecil sederhana
dari batang-batang kayu dan dedaunan. Di bawahi gubug kecil
itulah Yang Mulia duduk bersemadi. Diletakkannya pusaka
yang ditayuhnya dihadapannya, dialasi dengan kain cinde
yang memang sudah disediakan untuk itu. Beberapa orang
kepercayaannya mengawasinya dengan penuh kewaspadaan.
Apalagi diantara mereka terdapat orang-orang Kendali Putih.
Bagaimanapun juga, orang-orang Sanggar Gading tidak dapat
mempercayai mereka sepenuhnya.
Sanggit Raina dan Cempaka, yang meskipun tidak dengan
terang-terangan menunggui pusaka, itu, namun mereka
mengawasinya pula. Mereka merasa berkepentingan langsung
dengan pusaka itu. Karena itu, maka mereka tidak akan
membiarkan seandainya orang-orang Kendali Put ih berbuat
curang dengan mencuri pusaka itu. Bahkan seandainya yang
melakukannya adalah Eyang Rangga itu sendiri, keduanya
merasa berkepentingan untuk mencegahnya.
Di bagian lain, di bawah sebatang pohon yang besar,
Pangeran yang sedang sakit itu duduk dengan lemahnya
ditunggui oleh tabib yang merawatnya. Beberapa langkah dari
tempat itu, Rahu duduk bersandar sebatang pohon yang lain.
Rasa-rasanya pada saat terakhir ia tidak dapat meninggalkan
Pangeran yang sedang sakit, nampaknya menjadi semakin
parah sejak ia dipaksa untuk memanjat tebing bukit itu.
Beberapa langkah dari mereka, orang-orang Kendali Putih
duduk berkelompok. Diantara mereka terdapat Eyang Rangga.
Sementara pemimpin padepokan Kendali Putih sendiri, hampir
tidak dapat berbuat sesuatu, karena ternyata ia telah terluka
cukup parah. Namun ia telah berusaha untuk mengobatinya.
Pada waktu-waktu berikutnya, sebenarnyalah seperti yang
sudah diperhitungkan, bahwa orang-orang itu ternyata
memerlukan makan dan minum untuk kepentingan mereka.
Karena di bukit itu kemudian diketemukan sumber air yang
jernih, maka untuk minum mereka tidak lagi
mempersoalkannya. "Kita harus mencari bahan makanan ke padukuhan di
bawah bukit" berkata salah seorang diantara mereka yang
merasa lapar. "Tetapi jangan menimbulkan banyak persoalan dengan
orang-orang padukuiban itu " pesan Sanggit Raina "kalian


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang dapat memaksa mengambil bahan makanan, tetapi
kalian harus dapat menjaga, agar mereka tidak menjadi
kelaparan. Karena seseorang yang kelaparan akan dapat
berbuat apa saja diluar perhitungan. Meskipun mereka merasa
diri mereka lemah, tetapi jika mereka harus memilih mati
kelaparan atau mati dalam usaha mempertahankan diri,
mereka akan memilih untuk mempertahankan hak mereka"
"Jika ada kekurangan" sambung Cempaka "Kita dapat
berburu binatang. Di hutan ini banyak terdapat binatang.
Kalian tidak akan dapat menghabiskannya dalam waktu tiga
hari tiga malamselama kalian berada disini"
Sementara itu, yang duduk sambil menundukkan kepalanya
adalah Daruwerdi yang diawasi dengan cermat oleh orangorang
Sanggar Gading. Ia menjadi berdebar-debar dan
gelisah. Setiap saat ia merasa, bahwa nasibnya akan
ditentukan setelah pusaka itu selesai di tayuh.
Namun demikian kekerasan hatinya selalu mengelak
apabila terbersit penyesalan diliatinya Bahkan di dalam hati ia
menggeram "Setiap usaha memang mengandung
kemungkinan, berhasil atau gagal. Jika aku gagal apaboleh
buat" Tetapi bagaimanapun juga, Daruwerdi tidak dapat
mengelakkan kenyataan bahwa yang terjadi itu tidak selancar
sebagaimana direncanakan. Ia mengharap bahwa Yang Mulia
Panembahan Wukir Gading dari Sanggar Gading tanpa
meyakinkan kebenarannya begitu saja menerima pusaka itu
dan menyerahkan Pangeran yang dimintanya itu kepadanya.
Pangeran itu memang sudah dibawa oleh orang-orang
Sanggar Gading, tetapi mereka tidak begitu saja percaya
kepadanya bahwa pusaka itu adalah pusaka yang sebenarnya.
"Pangeran itu tentu mentertawakan aku" berkata
Daruwerdi di dalam batinya. Karena justru menurut
keyakinannya, Pangeran itu mengetahui pusaka yang
sebenarnya. Karena itu, jika ia melihat peti pusaka yang
ditayuh oleh Yang Mulia itu, maka Pangeran itu tentu akan
heran, bahwa ada orang lain yang menyebut dirinya
mengetahui letak pusaka itu
Apalagi jika Pangeran itu melihat peti tempat penyimpanan
pusaka itu. Tetapi lebih dari itu, jika Yang Mulia telah selesai
meyakinkan kebenaran pusaka itu dan ternyata ia dapat
melihat kepalsuannya, maka nasibnya akan ditentukan oleh
Raja Silat 6 Goosebumps - Jam Antik Pembawa Bencana Irama Pencabut Nyawa 1
^