Pencarian

Mata Air Dibayangan Bukit 7

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 7


mengatakan bahwa kesehatannya sangat buruk, sehingga ia
harus tidur dirumah. Namun dalam pada itu, malam-malam yang gelap itu telah
dipergunakannya sebaik-baiknya. Tetapi Jlitheng sama sekali
tidak mendekati bukit gundul, karena ia tahu, Daruwerdi
sering pergi kebukit itu.
Dalam kelamnya malam, Jlitheng lebih senang pergi ke
sungai yang hampir kering. Ditikungan sungai yang rimbun
oleh pepohonan, dengan beberapa buah batu besar, ia
menemukan tempat untuk berlatih.
Mula-mula Jlitheng hanya mengulang unsur-unsur gerak
yang sudah dikuasainya. Ia bergerak dengan wajar untuk
menghangatkan tubuhnya. Namun kemudian semakin lama
menjadi semakin cepat, sehingga akhirnya Jlitheng mulai
dengan tekanan-tekanan yang berat pada unsur-unsur gerak
tertentu. Jlitheng berusaha untuk meningkatkan kecepatan
tangan dan kakinya. Karena pada saat-saat terakhir ia
memang jarang sekali mempergunakan kesempatan khusus
untuk meningkatkan ilmunya.
Dengan sungguh-sungguh Jlitheng bukan saja melakukan
gerakan-gerakan yang cepat dan kuat, tetapi ia menilai pula,
apakah ada diantara unsur-unsur geraknya yang masih
mungkin disempurnakan menurut kemampuannya.
Pada tingkat terakhir Jlitheng bergerak bagaikan burung
sikatan. Meloncat-loncat dari batu kebatu dengan gerak yang
mantap. Kadang-kadang Jlitheng melenting tinggi namun
kadang-kadang bagaikan bergeser saja tampi menggerakkan
kakinya. Tetapi geseran itu telah mendorongnya melangkah
batas antara batu yang satu dengan batu yang lain.
Tetapi latihan-latihan itu tidak memberikan kepuasan
kepada Jlitheng. Ia hanya dapat mengungkapkan unsur-unsur
gerak dasar yang sudah dikuasainya. Namun dalam keadaan
yang sebenarnya, ia harus menyesuaikan diri dengan gerak
lawan dan kepentingan saat didalamarena yang sebenarnya.
Meskipun demikian, latihan-latihan itu akan dapat
memberikan kemungkinan yang lebih baik bagi kecepatannya
bergerak dan kekuatan tenaganya.
Dengan mengingat pesan yang diberikan oleh Sri Panular,
maka Jlithengpun telah bekerja dengan sungguh-sungguh.
Namun dalam pada itu, selagi ia tenggelam dalam latihanlatihan
kecepatan geraknya, tiba-tiba saja terasa sesuatu telah
menyentuh tubuhnya. Tidak hanya satu kali, tetapi dua tiga
kali. Sehingga akhirnya Jlitheng justru telah menghentikan
latihannya. Sambil berdiri tegak diatas sebuah batu yang
besar, ia memperhatikan keadaan disekelilingnya ia mencoba
mendengar atau melihat setiap lembar daun. Namun
keburaman malam masih tetap membatasi pandangan
matanya yang tajam. --ooo0dw0ooo" Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 06 UNTUK beberapa saat lamanya Jlitheng berdiri diam.
Dengan segenap kemampuan inderanya ia mencoba
mengetahui, apakah yang ada disekelilingnya.
Tetapi ia tidak mendengar sesuatu dan tidak melihat
sesuatu selain pepohonan, bebatuan dan air yang tidak lebih
dari setinggi mata kaki. Namun sekali lagi merasa tubuhnya tersentuh sesuatu.
Tidak terlalu keras, tetapi ia mulai mengerti, bahwa ia telah
dikenal oleh sentuhan batu kerikil yang kecil yang dilontarkan
dari tempat yang tidak diketahui.
Sejenak Jlitheng termangu-mangu. Ia mencoba mengurai
keadaan. Tentu seseorang dengan sengaja telah mengintainya
dan mencobanya dengan melemparkan sebutir kerikil kecil.
"Apakah mungkin Daruwerdi"Ia bertanya kepada diri sendiri
"atau orang-orang dari Sanggar Gading, atau dari padepokan
yang lain, atau Kiai Kanthi, Paman Sri Panular, atau....."
Jlitheng menjadi bingung.
Dalam pada itu, selagi ia masih termangu-mangu, tiba-tiba
didengar suara tertawa meledak. Suara yang tiba-tiba saja
terdengar di segala arah oleh gema yang bersahut-sahutan.
"Gila" Jlitheng menggeram. Dengan seksama ia mencoba
mendengar suara itu. Tetapi agaknya ia belum pernah
mendengar suara yang bernada rendah tetap demikian
kerasnya, "Anak yang dungu" suara ittu masih melingkar-lingkar dari
segala arah "apa yang dapat kau lakukan dengan latihanlatihan
yang tidak terarah itu. Apakah dengan meloncat-loncat
dan melenting-lenting itu kau kira, kau dapat mengalahkan
lawan-lawanmu" Jika kau ingin bergabung dengan orangorang
yang sibuk mencari pusaka itu kau harus dapat
meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau bukannya anak ingusan
yang sekedar ikut-ikutan"
Jlitheng menggeretakkan giginya. Dengan nada tinggi ia
berteriak "Siapa kau, siapa?"
Suara tertawa itu terdengar semakin keras dalam nada
rendah. Terdengar suara itu menyahut "Kau tidak perlu
mengetahui siapa aku. Tetapi aku adalah salah seorang dari
mereka yang menginginkan pusaka yang tersembunyi di
sekitar Sepasang Bukit Mati ini. Sementara disini ada kau dan
Daruwerdi, maka aku harus berbuat sesuatu untuk mengatasi
kau dan Daruwerdi. Tetapi ada kelebihan Daruwerdi dari
padamu Jlitheng yang bergelar Arya Baskara, bahwa kau sama
sekali tidak berarti apa-apa disini, sementara Daruwerdi sedikit
banyak dapat dijadikan pancatan untuk mengetahui rahasia
pusaka itu" "Gila" geram Jlitheng "siapa kau he?"
"Kau perlu mengetahui siapa aku?" suara itu meIingkarlingkar
semakin keras. "Ya" Yang terdengar adalah suara tertawa meledak seolah-olah
tidak dapat ditahan lagi. Katanya "Aku adalah orang yang
paling berhak atas pusaka iitu. Aku tahu, betapa besar
kekuatan gaib yang tersimpan pada pusaka itu, sehingga
setiap kelompok yang merasa mempunyai cukup kekuatan
saling berebut untuk memilikinya"
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Dan suara itu masih
bergema "Yang terjadi sekarang barulah benturan-benturan
kecil yang tidak berarti. Dua tiga orang saling membunuh
tanpa arti. Tetapi pada suatu saat, pertentangan yang
sebenarnya akan meledak. Aku akan menghancurkan
segalanya. Kau, orang-orang Kendali Putih, orang-orang
Sanggar Gading orang-orang Pusparuri, dan kemudian
Daruwerdi dengan kelompoknya setelah ia. aku paksa untuk
membuka rahasia penyimpanan pusaka itu"
"Ia tidak akan mengatakannya" sahut Jlitheng.
Suara tertawa itu bagaikan melingkar-lingkar diseluruh
ngarai dan lereng Sepasang Bukit Mati, disepanjang sungai
dan di bulak-bulak yang luas dan gersang.
"Kau memang aneh. Jika aku menangkapnya, maka dengan
hukuman picis ia tentu akan berbicara"
Terasa kulit tubuh Jlitheng meremang. Namun ia
membentak "Keluarlah. Kita berbicara secara jantan. Dan jika
tidak ada persesuaian lagi dilantara kita. kita akan bertempur
sekarang" "Belum waktunya Jlitheng" sahut suara itu "aku sedang
mengawasi gerak-gerik orang-orang Pusparuri yang sedang
mendekati daerah ini. Bukan orang-orang Kendali Putih. Tetapi
aku tidak mau menyia-nyiakan tantanganmu itu. Aku hanya
akan membuktikan bahwa aku mempunyai kelebihan
daripadamu" "Persetan, keluarlah"
"Tidak perlu. Sudah aku katakan bahwa hal itu belum
waktunya. Yang akan aku lakukan adalah bermain-main
dengan kerikil. He, cobalah kau menghindari kerikil-kerikil
yang akan aku lemparkan. Kerikil-kerikil itu tidak terlalu kecil.
Kau akan dapat melihat dikeremangan malam. Seandainya
kau memiliki sedikit ketajaman penglihatan. Jika kau berhasil
menghindari Semua lontaranku, maka aku akan mengambil
waktu satu dua tahun untuk berguru lagi kepada orang yang
lebih pandai dari guruku yang sekarang. Baru kemudian aku
akan datang memperebutkan pusaka itu"
"Persetan" Jlitheng berteriak.
"Kita akan mulai. Bersiaplah"
Sebelum Jlitheng menjawab, ia telah melihat sebuah kerikil
terlempar dari sebuah gerumbul kearahnya. Dengan
tangkasnya ia meloncat menghindar. Bukan saja menghindar,
tetapi dengan serta merta, iapun telah meloncat kearah
gerumbul itu. Dengan kekuatan yang luar biasa dan kecepatan
yang tidak terduga-duga, Jlitheng berhasil daikun sekejap,
sampai kegerumbul itu. Namun ketika dengan sepenuhnya
tenaga ia menerjang ke dalamnya, ia sama sekali tidak
menemukan seorangpun. Jlitheng terkejut ketika ia mendengar suara tertawa
beberapa langkah dibelakangnya. Namun ketika suara terjawa
itu berhenti, maka ia meliilhat gerumbul diseberanglah yang
bergetar. "Gila" J litheng menggeram "jangan lari"
Tidak terdengar jawaban. Karena itu, maka Jlithengpun
menjadi semakin gelisah dan bahkan marah.
Baru sejenak kemudian ia mendengar suara yang
melingkar-lingkar itu lagi. Katanya "Kembalilah diantara batubatu
itu. Kita belum selesai. Kau sempat menghindari batu
kerikilku yang pertama. Tetapi itu belum satu kemenangan,
karena aku akan melemparmu seperti hujan. Dan kau tidak
akan. dapat menghindar karenanya"
Jlitheng termamgu-mangu sejenak, la mencoba berpikir,
bagaimana caranya untuk dapat berhadapan langsung dengan
orang yang bersembunyi itu.
Sejenak ia masih tetap berdiri dlempatnya, sementara
Suara itu terdengar lagi "Apakah kau takut menghadapi kerikilkerikil
kecilku aank muda. Kaulah yang menantang aku. Dan
ternyata kau menjadi ngeri sendiri"
"Persetan" geram Jlitheng. Namun iapun kemudian
menemukan akal. Ia akan turun ke sungai dan berada
diantara batu-batu. Ia akan sempat memperhatikan dari
manakah arah batu-batu kerikil itu dilontarkan. Dengan
demikian, apa bila terbuka kesempatan, ia akan dapat
menyergap orang yang merahasiakan dirinya itu.
Oleh pikiran itu, maka iapun kemudian menjawab "Kita
langsungkan parang tanding dengan caramu. Tetapi jika kau
kalah, maka kau harus menunjukkan dirimu. Dan perang
tanding akan berlangsung dengan cara yang lain. Dengan cara
seorang laki-laki jantan"
Suara tertawa terdengai menyusur jurang disepanjang
sungai dan seakan-akan membentur lereng bukit gundul dan
bukit berhutan itu, memencar memenuhi bulak-bulak yang
luas. "Bagus. Kau memang seorang anak muda yang berani,
Baiklah. Aku setuju dengan perjanjianmu itu"
Jlithengpun kemudian mempersiapkan dirinya diantara
batu-batu. Tetapi ia dengan saksama memperhatikan, dari
manakah batu-batu kerikil itu akan berloncatan.
Sejenak tidak terdengar suara apapun Jlitheng masih
berdiri tegak sambil memusatkan segenap kemampuan daya
tangkap inderanya. Pendengarannya dan penglihatannya
dipergunakannya sebaik-baiknya. Betapapun malam
diselubungi oleh kekelaman, namun Jlitheng masih mampu
melihat melintasnya bayangan yang mengarah ketubuhnya.
Sementara itu, ia mencoba untuk mendengar gemerisik
dedaunan di gerumbul-gerumbul yang terdekat pada tanggul
sungai kecil itu. Sejenak kemudian yang didengar Jlitheng adalah suara
tertawa yang menjengkelkan itu sehingga dengan marah
Jlitheng menggeram "Cukup Cukup. Aku akan muak
mendengar suara tertawa itu"
Suara tertawa itu semakin lama menjadi semakin susut.
Sejenak kemudian, terasa sesuatu tergetar didadanya, tepat
pada ujung suara tertawa yang kemudian terhenti itu,
"Luar biasa" desahnya di dalam hati "suara tertawa itu
membuktikan, bahwa aku berhadapan dengan seseorang yang
pilih tanding" Dalam pada itu, ketika suara tertawa itu terhenti, maka
Jlithengpun mendengar suara gemerisik lembut. Ketika ia
berpaling, dilihatnya sebuah batu kerikil meluncur
kepunggungnya. "Gila. Ia berada dibelakangku" geramnya sambi meloncat
menghindari. Namun kerikil yang pertama itu telah disusul
dengan kerikil yang kedua, ketiga dan keempat berurutan,
"Persetan" Jlitheng mengumpat "kau pengecut"
Tidak terdengar jawaban. Tetapi jarak lontaran kerikil itu
semakin lama menjadi semakin rapat, sehingga dengan
demikian, Jlitheng harus berloncatan semakin cepat. Bukan
saja diantara batu batu, tetapi iapun harus meloncat dari satu
batu ke batu yang lain. Namun sementara itu, Jlithengpun selalu memperhatikan
darimana kerikil itu dilontarkan.
Pada saat Jlitheng telah yakin, arah lontaran kerikil itu,
maka iapun segera mempersiapkan dirinya. Sambil
berloncatan menghindar ia berusana mendekati tebing di
bawah gerumbul dari arah kerikil itu dilontarkan.
"Aku harus mendapatkannya. Betapapun saktinya, tetapi
aku tidak mau direndahkan seperti ini" berkata Jlitheng di
dalam hatinya. Karena itu, maka iapun segera menghimpun tenaganya
Sambil menghindari lontaran-lontaran itu, maka iapun segera
bersiap untuk meloncat naik keatas tanggul.
Namun tiba-tiba saja lontaran-lontaran itu berhenti tepat
pada saat Jlitheng sudah siap untuk meloncat.
Karena itu, maka Jlithengpun justru tertegun.
Dipandanginya gerumbul diatas tanggul itu. Sepi, Iatidak
melihat selembar daunpun yang bergerak.
"Persetan" geramnya "Aku harus mendapatkannya.
Tetapi ketika ia benar-benar akan meloncat, maka
terdengar lagi suara tertawa itu. Di sela-sela suara tertawa itu
ia mendengar orang yang bersembunyi itu berkata "Bagus
anak muda. Hari ini kau berhasil lolos. Tidak sebuah kerikilpun
yang dapat mengenaimu. Tetapi itu bukan kemenangan. Aku


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang sengaja berbuat demikian, agar kau menjadi agak
berbesar hati. Ternyata meskipun ilmumu cukup baik, tetapi
hatimulah yang sangat kerdil. Besok aku akan datang. Dan
kau akan mendapat perlakuan yang lebih keras dan mungkin
kasar, sehingga kau harus mengakui, bahwa kau kalah dari
aku. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa mengenai pusaka
itu. Dengan demikian, sebaliknya kau mengundurkan dirimu
sebelum kau mati. Baru kemudian, aku akan berbuat serupa
terhadap Daruwerdi, tetapi dengan tuntutan yang lebih berat,
justru karena ia mengetahui serba sedikit tentang pusaka
yang sama-sama diperebutkan itu. Namun sebelum itu, aku
masih harus melindunginya dari orang-orang Pusparuri yang
mendekati daerah Bini isekiarang, orang-orang Kendali Putih,
orang-orang Sanggar Gading, dan kau. Aku belum tahu
apakah kakek tua di bukit itu juga mempunyai sangkut paut
dengan pusaka itu. Jika demikkan, meskipun agak sulit, tetapi
iapun harus dibinasakan pula"
"Pengecut" Jlitheng menggeram "turunlah. Kita berhadapan
sekarang" "Sudah aku katakan. Waktuku sedikit. Orang-orang
Pusparuri mendekati daerah ini sekarang. Aku perlu
mengawasinya" Jlitheng tidak mau kehilangan, Itulah sebabnya, maka tibatiba
saja iapun segera meloncat naik. Dengan sigapnya ia
menerjang gerumbul pada arah batu-batu kerikil itu
dilontarkan. Namun seperti yang telah dilakukannya. Iapun menjadi
kecewa. Ia tidak menemukanapa-apa di gerumbul itu.
Jlitheng mengumpat ketika ia mendengar suara di
gerumbul yang lain, agak jauh daripadanya "Besok kita
ketemu lagi disini anak muda"
Jlitheng hanya dapat menggeretakkan giginya. Ia melihat
bayangan yang bagaikan terbang, hidang dalam kegelapan.
Bayangan seseorang yang tidak dapat diketahui ciri-cirinya,
tanpa baju dan hanya melilitkan kain panjangnya di lambung.
"Gila" geram Jlitheng. Tetapi Jlitheng tidak mengejarnya. Ia
sadar, bahwa tentu akan sangat sulit untuk dapat mengejar
orang itu. Jika ia mencobanya juga, maka ia hanya akan
kehilangan banyak waktu dan tenaga.
Namun tiba-tiba saja Jlitheng seperti orang terbangun dari
mimpinya. Iapun kemudian meloncat berlari sekencangkencangnya
menuju ke bukit berhutan. Salah seorang yang
dicurigainya melakukan permainan itu adalah Kiai Kanthi.
Meskipun Kiai Kanthi akan sampali lebih dahulu ke gubugnya,
namun orang tua itu tentu basah oleh keringat atau tandatanda
lain bahwa ia baru saja berlari-lari.
Ketika Jlitheng sampai ke dekat gubug yang telah dihuni
olah Kiai Kanthi, hatinya menjadi berdebar-debar. Jika benar
orang tua itu yang melakukannya, apakah yang kemudian
akan diperbuatnya" Meskipun demikian, Jlithengpun kemudian mengetuk pintunya
perlahan-lahan. "Siapa?" terdengar suara KM Kanthi dari dalam.
"Aku Kiai. Jlitheng" jawab Jlitheng diluar.
Jlitheng mendengar amben berderit Kemudian ia
mendengar langkah Kiai Kanthi ke pintu. Ketika pintu terbuka,
maka dilihatnya Kiai Kanthi menggosok matanya sambil
berselimut kain panjangnya.
"O, marilah ngger. Masuklah. Tetapi aku belum dapat
mempersalahkan angger duduk. Yang baru dapat aku buat
adalah amben yang hanya dapat aku pakai untuk sementara,
karena tulang-tulangnya hanya aku ikat saja satu dengan yang
lain. Aku belum sempat membuat amben yang baik dengan
adon-adonan pada setiap sambungan"
"Sudahlah Kiai" Jlitheng memotong agar ceritera itu t idak
berkepanjangan "Aku hanya lewat saja malam ini"
"Angger dari mana?" bertanya Kiai Kanthi
Jlitheng termangu-mangu. Ternyata Kiai Kanthi tidak
menunjukkan tanda-tanda apapun yang dapat disimpulkan,
bahwa Kiai Kanthillah yang telah melakukannya, Nafasnya
tidak terengah-engah. Nampaknya dalam cahaya lampu
minyak. ia sama sekali tidak berkeringat. Seandainya
keringatnya telah dihapus, maka keringat itu akan timbul lagi
membasahi keningnya. Selagi Jlitheng termangu-mangu, terdengar dari balik
dinding- penyekat suara anak gadis Kiai Kanthi "Siapa yang
datang malam-malam begini ayah?"
"O, anggar Jlitheng" jawab Kiai Kanthi "hanya singgah
sebentar. Tidurlah. Kenapa kau terbangun juga"
"Kenapa tidak besok pagiHpagi saja?" desis Swasti.
Jlitheng justru tersenyum karenanya. Lalu katanya
"Sudahlah Kiai Aku mohon diri. Aku akan melanjutkan
perjalanan" Jlitheng kemudaan meninggalkan gubug Kiai Kanthi.
Dengan tergesa-gesa iapun menuruni tebing dan kembali ke
rumahnya. Sepeninggal Jlitheng, Swastipun bangkit dari
pembaringannya. Sambi memberengut ia berkata "Ayah
memanjakannya. Akulah yang harus menjadi korban"
Kiai Kanthi tersenyum. Jawabnya "Bukan maksudku Swasti"
"Tetapi ilmu anak itulah yang meningkat. Bukan ilmuku"
"Kau juga mendapat kesempatan. Jika kerja ani selesai,
maka kau mempunyai banyak waktu"
"Tetapi sekarang akulah yang seharusnya mendapat waktu
khusus diantara kerja yang belum selesai"
Kiai Kanthli tertawa. Sambil duduk diambennya yang
sederhana ia berkata "Aku mengira, bahwa ia benar-benar
datang. Ia mencurigai kita"
"Besok, biar ayah saja sendiri datang ke sungai itu. Ayah
sendiri sudah cukup mampu untuk membuatnya bingung"
"Benar Swasti. Tetapi yang penting bukan itu. Aku ingin
menunjukkan kepadamu, satu segi olah kanuragan yang agak
berbeda dengan yang kita miliki. Meskipun kau pernah
bertempur melawan anak muda itu, bukan sekedar bermainmain,
tetapi dengan demikian, kau akan dapat melihat lebih
jelas. Sambil bertempur, kau memusatkan perhatianmu
kepada pertempuran itu sendiri. Namun dengan cara ini kau
akan mendapat kesempatan lebih luas untuk
memperhatikannya. Kau akan dapat mengambil keuntungan
daripadanya" Swasti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya " Ada dua
orang aneh disini Tetapi kenapa ayah memilih Jlitheng. Bukan
Daruwerdi. Nampaknya ayah tidak begitu senang kepada
Daruwerdi yang barangkali mempunyai dasar yang lebih baik.
Ia benar-benar nampak sebagai seorang yang mempunyai
wibawa" Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Jawabnya "Benar Swasti.
Aku memang memilih Jlitheng. Nampaknya ia lebih
bederhana. Lebih jujur. Dan aku percaya sepenuhnya
kepadanya meskipun nampaknya Jlitheng sendiri masih
mencurigai aku. Tetapi Daruwerdi nampaknya seorang yang
tinggi hati dan menganggap dirinya lebih baik dari orang lain"
"Sejak semula ayali sudah memihak. Bukankah salah kita,
bahwa kita tidak menyatakan diri, siapakah kita sebenarnya,
sehingga ayah tidak merasa direndahkan oleh Daruwerdi"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
"Aku memang lebih senang terhadap Jlitheng, Swasti. Aku
sadar, bahwa perasaan seseorang bukannya ukuran yang
tepat untuk menilai buruk dan baik Tetapi kita mempunyai
waktu untuk meniilainya. Mudah-mudahan aku tidak keliru"
Swasti itidak menjawab lagi. Iapun kembali berbaring
diatas ambennya yang berderik-derik.
"Tidurlah. Kau tentu lelah. Tetapi itu merupakan latihan
tersendiri bagimu" "Aku memerlukan waktu khusus ayah"
"Ya. Jlitheng hanya mempunyai waktu yang pendek sekali
sebagai persiapan untuk melakukan tugas-tugasnya yang
mungkin sangat berat. Kita tidak tahu pasti. Tetapi
nampaknya ia sudah menemukan jalan"
"Ia akan mengecewakan ayah jika ternyata ia berbuat bagi
dirinya sendiri" desis Swasti.
Kiai Kanthi mengangguk-angguk sambil menjawab "Ya
Swasti. Aku akan menjadi sangat kecewa jika ternyata Jlitheng
berbuat semuanya ini bagi kepentingan dirinya sendiri. Tetapi
menilik sikapnya terhadap air yang akan disalurkan lewat
sungai kecil itu, maka ia berbuat untuk kepentingan banyak
orang" "Mudah-mudahan itu bukan sekedar sikap pura-pura,
seperti yang dilakukannya dalam hidupnya sehari-hari" desis
Swasti. "Mudah-mudahan tidak Swasti. Kepura-puraannya itu
dilakukannya dengan sadar untuk satu tujuan yang
dianggapnya sangat pentang" sahut Kiai Kanthi,
Swasta tidak menjawab lagi. Tetapi ia bersungut-sungut
"Pokoknya aku minta waktu agar ayah bersedia meningkatkan
ilmuku. Jika tidak, aku akan kalah dari anak muda itu"
"Tentu Swasti. Tetapi aku minta kau ikut ke sungai besok
malam. Kau akan melihat ungkapan ilmu Jlitheng. Kemudian
seperti hari ini, kau mendahului aku kembal ke gubug ini.
Semuanya biarlah aku selesaikan"
Swasti tidak menjawab. Ia ingin mempergunakan sisa
malamitu untuk beristirahat dan t idur nyenyak.
Dalam pada itu, Jlitheng yang sudah berada di rumahnya
menjadi gelisah. Ia masih memutarkan seseorang yang telah
mengganggunya dari tebing sungai. Ia masih belum tahu
dengan pasti, apakah yang sebenarnya ingin dilakukan oleh
orang itu. Namun lebih dari itu, iapun menggelisahkan keterangan
dari orang yang tidak diiketahuinya itu, bahwa ia akan
mengawasi orang-orang Pusparuri yang akan mendekati
daerah Sepasang Bukit Mati. Orang-orang Pusparuri yang
telah lebih dahulu membuat perjanjian dengan Daruwerdi
sebelum orang dari Sanggar Gading.
"Jika orang-orang Pusparuri mendahului orang-orang
Sanggar Gading, maka aku akan dapat kehilangan lacak.
Meskipun demikian, mungkin aku masih mendapat
kesempatan untuk mengetahui sasaran yang telah diminta
oleh Daruwerdi sebagai pengganti pusaka yang dijanjikannya
itu" berkata Jlitheng kepada diri sendiri.
Dalam kegelisahannya, JIitheng mencoba untuk berbaring
dan tidur barang sejenak. Oleh lelah dan letih, maka akhirnya
iapun dapat tidur meskipun t idak terlalu lama.
Di siang hari t idak banyak yang dilakukan oleh Jlitheng.
Bersama beberapa orang kawannya ia pergi ke sungai. Ke
tebing yang sudah dipersiapkan bagi Ki Buyut di Lumban
Wetan dan Lumban Kulon yang akan berdiri berhadapan,
menyaksikan ujung aliran air yang akan dialirkan dari
belumbang diatas bukit. Namun ketika kawan-kawannya kembafi ke padukuhan,
Jlitheng tinggal untuk mencuci pakaiannya diisungad yang
hampir kering itu. Tetapi demikian kawani-kawannya tidak dilihatnya lagi,
maka iapun segera menyusuri sungai. Ia ingin melihat apa
yang telah terjadi semalam ketika ia sedang berlatih.
Jlitheng memang melihat bekas-bekas pada gerumbulgerumbul
disekitarnya. Ranting-ranting yang patah dan
tersibak. Namun ia tidak dapat mengambil kesimpulan apapun
juga. Namun karena itu, maka Jlithengpun menjadi semakin
bernafsu untuk dapat mengetahui siapakah orang yang telah
mencampuri masalahnya itu.
"Malam nanti, aku harus datang" desis Jlitheng.
Sebenarnyalah ketika malam menjadi semakin dalam,
Jlitheng telah pergi ke sungai yang sepi. Ia mengatakan
kepada kawan-kawannya, bahwa kesehatannya masih belum
pulih kembali sehingga ia tidak dapat ikut berada di gardu
seperti kebiasaannya. Seperti pada malam pertama, ternyata suara itu
didengarnya lagi. Batu-batu itupun telah dilontarkan dari
tebing. Sekali-kali Jlitheng mendengar orang itu tertawa.
Namun kemudian suara itu bagaikan lenyap ditelan dedaunan.
Tetapi suara itu kemudian telah muncul dlbalik gerumbul
yang, lain. Berbeda pada hari yang pertama, maka di hari kedua
Jlitheng tidak dapat menghindarkan diri dari kerikil-kerikil yang
di tempatkan oleh orang yang tidak mau menampakkan
wajahnya itu. Bagaimanapun juga ia berusaha, tetapi
beberapa buah kerikil yang cukup besar telah mengenainya.
Bukan saja menyentuhnya, tetapi terasa tubuhnya menjadi
sakit. "Kau sama sekali tidak berdaya melawan aku" terdengar
suara itu bergema. Jliheng mengerahkan segenap kemampuannya. Diluar
sadarnya, ia sudah mulai menjamah tenaga cadangan yang
ada di dalam dirinya. Bahkan kemudian ia sudah terpancing
oleh perasaan sakitnya, sehingga akhirnya Jlitheng telah
mempergunakan semua kekuatan yang ada pada dirinya.
Tenaga cadangannya telah dikerahkan untuk mendorong tata
geraknya sehingga menjadi semakin cepat, sementara
kekuatannyapun bagaikan berlipat. Kekuatan yang tersimpan
itu telah tersalur pada anggota badannya sehingga kakinya
bagaikan menjadi sekuat kaki bilalang yang mampu
melontarkan tubuhnya beberapa kali lipat panjang tubuhnya
sendiri, Sementara itu, Swasti berada pula dipinggiir sungai itu
bersama dengan ayahnya. Seperti pesan Kiai Kanfhi, maka
iapun memperhatikan segala tata gerak yang dilakukan oleh
Jlitheng, yang semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan
dengan dorongan gerak naluriah dialasi oleh kemampuan
ilmunya yang luar biasa. Dengan mata yang hampir tidak berkedip Swasti
menyaksikan, betapa Jlitheng berusaha menghindari batu-batu
kerikil yang dilemparkan oleh ayahnya. Kadang-kadang
dengan mudah, namun kadang-kadang Jlitheng terpaksa
melakukan gerak yang seakan-akan tiba-tiba saja melontarkan
tubuhnya dari batu ke batu yang lain.
Malam itu, seperti malam sebelumnya. Jlithengpun t idak
berhasil bertemu dengan orang yang sengaja merahasiakan
dirinya itu. Dan malam itu Jlitheng tidak lagi berlari ke bukit
untuk membukt ikan bahwa yang melakukannya bukan Kiai


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kanthi. Namun di hari kedua Jlitheng mempunyai pertimbangan
lain. Hatinya tidak lagi sedang menyala. Ia sudah bersiap
untuk mengalami perlakuan itu sejak ia datang. Bahkan ia
merasa, bahwa dengan demikian, la telah mendapat
keuntungan, karena ia tidak harus berlatih sendiri. Batu kerikil
itu telah mendorongnya untuk berbuat jauh lebih banyak dari
pada ia berlatih seorang diri.
Dihari kedua Jlitheng mempunyai tanggapan yang lebih baik
dari orang yang merahasiakan dirinya itu. Ia mulai condong
kepada dugaan bahwa orang itu bukannya orang yang
bermaksud jahat kepadanya. Karena itu, ia tidak lagi
memasang nama Daruwerdi diantara mereka yang diduganya
telah melakukannya. "Apalagi kemampuan Daruwerdi tidak akan sebesar
kemampuan orang yang telah melempari aku dengan batu
kerikil itu" Pada hari kedua, orang yang tidak diketahui oleh Jlitheng
itupun telah menantang agar Jlitheng datang pada hari ketiga.
Ternyata Jlithengpun tidak berkeberatan. Ia telah berjanji
untuk datang di malamberikutnya.
Di waktu yang telah dijanjikan, Jlitheng telah datang pula
ke sungai itu. Tetapi orang tidak menampakkan diiri itu tidak
lagi melemparinya dengan batu kerikil yang kecil, tetapi ia
sudah mulai melemparinya dengan batu yang lebih besar.
"Persetan" geram Jlitheng.
Jika satu dua butir batu mengenainya, ia benar-benar
merasa tubuhnya menjadi sakit Sementara batu-batu itu
menjadi semakin sering menyentuh tubuhnya.. Pundaknya,
lengannya, dadanya, parutnya, bahkan kepalanya.
Ketika Jlitheng mulai menyeringai menahan sakit, maka
terdengar suara dari baik gerumbul "Jlitheng, ternyata
kemampuanmu tidak seberapa. Aku tahu, tubuhmu tentu
menjadi merah biru. Lengan dan tanganmu tentu terasa sakit
karena itu kau berusaha selain menghindar juga menangkis.
Nah, bagaimana dengan ilmu pedangmu. Inilah cobalah
dengan ilmu pedang untuk menangkis serangan-seranganku"
Sebelum Jlitheng menjawab, ia melihat sepotong kayu yang
meluncur dari dalam gerumbul. Jelas dapat dilihatnya.
Gerumbul yang rimbun di atas tebing. Tetapi ia sama sekali
sudah tidak bernafsu lagi untuk meloncat dan menerjang ke
dalamnya untuk mencari orang yang telah melemparinya
dengan batu dan kemudian memberinya sepotong kayu"
Hampir diluar sadarnya, Jlitheng kemudian menerima
sepotong kayu itu dan mempergunakannya untuk menangkis
batu-batu yang dilemparkan kepadanya.
Dalam pada. itu, dengan dada yang berdebar-debar Swasti
menyaksikan Jlitheng mempergunakan tongkat kayu. Dengan
demikian Swasti telah menyaksikan betapa Jlitheng menguasai
ilmu pedang yang mengagumkan. Dengan sepotong kayu itu,
ia berloncatan sambil menangkis batu-batu yang semakin
besar yang dilontarkan kepadanya Bukan saja batu-batu itu
menjadi semakin besar, tetapi juga semakin keras.
Ternyata Jlitheng benar-benar tangkas. Setiap kali ia
berhasil memukul batu-batu yang mengarah ke tubuhnya.
Meskipun satu dua butir diantaranya berhasil mengenainya,
tetapi sebagian dari batu-batu itu berhasil ditangkis dan
dihindarinya. Permainan yang mula-mula dianggap oleh Jlitheng sebagai
suatu hal yang mengganggunya, ternyata menjadi sangat
menarik. Tetapi ia sadar, bahwa waktunya tidak terlalu
banyak, la tidak akan dapat bermain-main seperti itu untuk
waktu yang lama, sehingga ilmunya akan menjadi jauh
meningkat. Waktunya sangat sempit. Sejak ia kembali dari Demak,
tidak lebih dari sepuluh hari.
Namun demikian, apa yang terjadi itu baginya sudah
memadai. Seolah-olah ia mendapat kawan untuk
meningkatkan ilmunya dalam waktu yang sangat singkat.
Siapapun orang itu, tetapi ternyata bahwa yang diakukan
justru telah membantunya banyak sekali. Dengan sepotong
kayu, Jlitheng seolah-olah telah berlatih dan mempertinggi
kemampuan ilmu pedangnya. Kecepatan bergerak dan bahkan
meningkatkan kekuatan pergelangan tangannya.
Tetapi disamping kepentingan bagi dirinya sendiri, Jlitheng
masih mempunyai kewajiban lain. Di malam hari ia
memanfaatkan hari-harinya yang pendek, sementara di siang
hari ia sudah berjanji dengan Ki Buyut dari Lumban Wetan dan
Lamban Kulon untuk melakukan upacara sederhana, membuka
aliran air dari belumbang di bukit.
Karena itu, ketika, saatnya telah tiba, maka Jlithengpun
menjadi sibuk. Bersama beberapa orang kawannya ia naik ke
atas bukit sambil membawa cangkul, dandang dan beberapa
jenis alat yang lain. Sementara ia mempersilahkan kawankawannya
yang lain untuk berada dupinggir sungai. Di tempat
Ki Buyut di Lumban Wetan dan Ki Buyut di Lumban KuIon
yang akan saling berdiri berhadapan.
Ternyata yang datang ke pinggir sungai saat itu, bukannya
hanya Ki Buyut dan para bebahu. Orang-orang dari Lumban
Wetan dan Lumban Kulonpun bagaikan ditumpahkan
seluruhnya ke pinggir sungai. Mereka ingin melihat air yang
akan meluap dari belumbang di bukit dan mengalir di sungai
kecil. Seperti yang mereka dengar, bahwa air itu akan dapat
diangkat untuk mengaliri sawah mereka, meskipun hanya
sebagian dari seluruh tanah persawahan yang ada di Lumban
Wetan dan Lumban Kulon. "Danyang dan semua makhkuk halus sudah dihubungi oleh
orang tua yang tinggal di bukit itu" berkata salah seorang dari
mereka "karena itu, maka mereka tidak akan marah lagi
apabila kita mempergunakan air yang mengalir dari
belumbang itu" Tetapi bukit itu tentu akan minta tumbal. Mungkin
seseorang akan hanyut jika sungai ini banjir di musim hujan.
Mungkin salah seorang anak-anak dari Lumban akan diterkam
harimau. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang
mengerikan" "Tidak. Orang tua itu sudah berjanji untuk berdamai
dengan para lelembut di bukit itu. Mungkin ia sudah dapat
mengganti tumbal itu dengan yang lain"
Kawannya tidak menyahut. Namun dengan berdebar-debar
ia berada diantara banyak orang yang berdiri diatas tanggul.
Dalam pada itu, Jlitheng sudah berpesan, jika semuanya
sudah siap, seorang kawannya harus membakar sampah yang
sudah disediakan. Jika asap mulai membubung, bagi Jlitheng
akan menjadi pertanda, bahwa ia harus segera membuka air
dari belumbang seperti yang sudah ditandai oleh Kiai Kanthi.
Demikianlah, kawan Jlitheng yang sudah dipersiapkan
dengan seonggok kayu dan ranting-ranting kecil, setelah
mendapat persetujuan dari Ki Buyut berdua, maka anak muda
itupun mulai membakar kayu dan ranting-ranting kecil yang
sudah disediakan. Sejenak kemudian, maka asappun telah mengepul dan naik
tinggi keudara. Asap yang putih kehitam-hitaman itu
merupakan pertanda yang akan segera dilihat oleh Jlitheng di
bukit berhutan itu. Meskipun angin yang lembut bertiup dan mengguncang
asap yang mengepul, namun ternyata bahwa Jlitheng dan
kawan-kawannya yang berada di bukit itupun sempat
melihatnya. Seorang yang berdiri dialas batu karang, di
tempat yang agak terbuka berteriak "Jlitheng, aku sudah
melihat asap" Jlitheng menarik nafas. Kemudian katanya kepada Kiai
Kanthi yang menungguinya "Semua sudah siap Kiai"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya "Silahkan ngger.
Silahkan memecah tebing padas itu"
Jlitheng dan kawan-kawannyapun kemudian turun ke
dalam air. Sejenak nampak sesuatu membayang di wajah
mereka. Kebanggaan dan harapan nampak membersit di hati
anak-anak muda itu. Sejenak kemudian, maka dandang dan cangkul merekapun
mulai memecah tebing sesuai dengan tanda-tanda yang telah
diberikan oleh Kiai Kanthi. Demikian tebing dan tanggul itu
pecah, maka airpun mulai mengalir periahan-Iahan.
Sementara kawannya yang lain justru telah menutup air yang
memang sudah meluap dan menyalurkannya kedaiam alur
yang telah dipersiapkan, Demikianlah, maka air belumbang itupun mulai
dikendalikan dan mengalir ke jalur yang menuju kebawah
bukit dan langsung masuk ke dalam sungai kecil yang airnya
hampir menjadi kering di musim kemarau.
Dengan hati yang berdebar-debar anak-anak muda itu
menyaksikan air itu meluap dan bergejolak menuruni tebing.
Semakin lama semakin deras, sehingga akhirnya mereka
melihat sebatang sungai yang cukup besar.
Dalam kebanggaan dan harapan, Jlitheng masih sempat
memperhatikan keadaan air belumbang itu, Kepada Kiai Kanthi
ia bertanya "Bukankah Kiai sudah memperhitungkan, bahwa
air yang melimpah ke dalam lubang di bawah tanah itu masih
akan tetap mengalir?"
"Ya ngger. Meskipun berkurang. Tetapi air di bawah tanah
Itu tidak akan kering. Di tempat yang jauh, jika air itu muncul
menjadi sumbar dan membasahi tempat disekitarnya.
meskipun terasa susut, namun masih akan mencukupi"
Sementara itu, Ki Buyut di Lumban Wetan dan Lumban
Kulon menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Beberapa
saat air di dalam parit itu masih saja mengalir tidak lebih dari
setinggi mata kaki. Beberapa saat lamanya mereka menjadi gelisah. Bahkan
kemudian salah seorang bebahu telah bertanya kepada orang
yang berdiri disampitngnya "Apakah kita tidak sedang
dipermainkan anak-anak?"
Tetapi sebelum pertanyaan itu dijawab, tiba-tiba saja ia
mendengar orang-orang yang berdiri di tempat yang lebih
tinggi bersorak gemuruh. Dengan gembira mereka berteriak
"Air Air" Ki Buyut mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia
memang melihat air yang mengalir semakin deras. Sehingga
akhirnya sungai itupun tidak lagi merupakan sungai yang
hampir kering, tetapi sungai kecil itu benar-benar telah
mengalirkan air" Ki Buyut di Lumban Wetan dan Lumban Kulon itu menarik
nafas dalam-dalam, Sekilas mulai terbayang, jika orang-orang
Lumban Wetan dan Lumban Kulon bersedia memperbaiki
bendungan, maka air itu akan darat diangkat untuk mengeliri
sawah. Meskipun t idak semua tanah persawahan, tetapi yang
sebagian itu tentu akan dapat memperbaiki kehidupan rakyat
Lumban. Ketika air yang mengalr itu kemudian menjadi bening,
maka Ki Buyut di Lumban Wetan dan Lumban Kulon yang
berdiri berhadapan disebelah-menyebelah sungai itupun
segera turun. Mereka mencelup kaki mereka dan kemudian
merekapun mencuci muka mereka dengan air yang semakin
besar itu. Seperti setiap orang yang menyaksikan air itu mengalir,
tumbuhlah harapan dihati kedua Buyut itu. Ki Buyut yang tua
berkata "Kurnia ini mudah-mudahan akan bermanfaat bagi
kita" "Ya kakang. Kita berharap bahwa kurnia ini akan
memberikan kesejahteraan bagi anak cucu"
Beberapa saat Ki Buyut di Lumban Wetan dan Lumban
Kulon masih berbincang. Bahkan keduanyapun kemudian telah
berjalan menyusur sungai diikuti oleh para bebahu. Beberapa
orang masih tetap berdiri diatas tanggul menyaksikan, apa
yang akan dilakukan oleh kedua pemimpin mereka.
Ternyata bahwa kedua orang Buyut itu telah menentukan,
bahwa tempat yang paling baik untuk mengangkat air adalah
pada bendungan yang lama, tetapi perlu diperbaiki dan
dipertinggi. Disebelah menyebelah masih terdapat mulutmulut
susukan kecil yang kemudian mengalirkan air ke dalam
parit yang akan merambah tanah persawahan. Mengalir ke
bulak-bulak yang kering dan gersang di musim kemarau.
"Kita akan segera mulai" berkata Ki Buyut di Lumban
Wetan. "Ya. Orang-orangku akan segera turun memperbaiki
bendungan itu" sahut Ki Buyut di Lumban Kulon.
Demikianlah, ketika keduanya telah cukup memperhatikan
keadaan yang mengandung harapan itu, maka keduanyapun
meninggalkan sungai itu dan kembali ke rumah masingmasimg
diikuti oleh para bebahu. Disepanjang jalan Ki Buyut
sempat berbincang dengan pembantu-pembantunya untuk
dalam waktu dekat mengerahkan orang-orang Lumban untuk
memperbaiki parit dan kemudian memperbaiki bendungan
untuk mengangkat air yang jauh lebih banyak dari arus air di
sungai itu sendiri. Sementara itu, ketika orang-orang Lumban Wetan dan
Lumban Kulon sudah pergi meninggalkan sungai yang
mengalir semakin deras itu, seorang anak muda duduk diatas
sebuah batu dipinggir sungai. Ia tidak menghiraukan kakinya
yang menjadi basah. "Anak Gila" Ia menggeram "justru pada saat aku digelut
oleh persoalan yang gawat, ia berhasil mendapat tempat
dihati rakyat Lumban. Meskipun ia mengaku anak Lumban di
saat lahirnya, namun kini iapun seorang pendatang seperti
aku" Sejenak Daruwerdi itu termang-mangu. Namun kemudian
ia menggeram "Persetan. Aku tidak perlu orang-orang
Lumban. Aku perlu orang-orang yang dapat membantuku
menyerahkan orang itu kepadaku. Agaknya orang-orang
Pusparuri masih tetap ragu-ragu, sementara orang Sanggar
Gading agaknya lebih bersungguh-sungguh"
Sambil menghentakkan kakinya, maka Daruwerdi kemudian
berdiri. Sejenak ia memandang air yang mengalir semakin
deras di bawah kakinya. Namun kemudian iapun melangkah
menyeberangi sungai kecil itu sambil bergumam kepada diri
sendiri "Cempaka menjanjikan bahwa dalam waktu dekat ia
akan melakukannya. Mudah-mudahan ia berkata sebenarnya"
Dengan tangkasnya Daruwerdi itupun kemudian meloncat
naik keatas tebing. Ia Sudah tidak melihat seorangpun lagi
disebelah menyebelah sungai itu. Karena itu, maka iapun
segera melangkah dengan tergesa-gesa menuju ke bukit


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gundul. Sejenak ia berdiri termangu-mangu memandang
keselilingnya Ketika ia yakin bahwa tidak ada seorangpun yang
melihatnya, maka iapun segera memanjat naik dan menyusup
diantara batu-batu karang.
Sejenak ia berdiri tegak ketika ia berada dihadapan sebuah
batu karang yang datar, yang seakan-akan telah dibuat oleh
seseorang. Ia memandang pada jalur-jalur yang tergores pada
wajah batu karang itu. Namun dengan geram ia berkata
"Hanya orang itulah yang akan dapat membacanya dan
mengatakan, dimana pusaka itu tersimpan. Tetapi jalan masih
terlalu jauh. Aku harus menunggunya dengan tidak sabar.
Sementara berita tentang pusaka itu semakin tersebar
sehingga semakin banyak orang yang ingin memilikinya"
Daruwerdi berdesah di dalam hati. Untuk beberapa saat ia
masih berdiri diantara batu-batu karang, sehingga orangorang
yang lewat disekitar bukit gundul itu tidak akan
melihatnya. Ia masih mencoba melihat dan mengurai jalur-jalur yang
tergores pada batu karang yang datar itu, seperti yang sudah
dilakukannya berpuluh bahkan beratus kali. Namun ia tidak
menemukan ujung dari uraiannya, sehingga ia masih tetap
tidak mengetahui apa yang dihadapinya. Jika ia menemukan
tanda-tanda pada goresan-goresan itu, ia sudah selalu
mencoba menemukan sesuatu yang mungkin berhubungan
dengan tanda-tanda itu. Namun ia masih tetap buta
menghadapi goresan-goresan yang ia yakini, adalah tandatanda
dan isyarat yang pernah ditinggalkan oleh Pangeran
Pracimasanti dan pengiringnya yang cacat itu.
Pada jalur yang tergores itu, kadang-kadang ia melihat
hubungan bentuk antara batu-batu karang pada bukit gundul
itu, sehingga ia menduga, bahwa tempat itu adalah tempat
penyimpanan pusaka yang dicarinya. Tetapi ternyata ia selalu
gagah Ketika ia menduga bahwa pusaka itu tersimpan di bawah
lekuk batu karang yang menjorok disebelah goresan itu, dan
dengan susah payah ia bekerja tiga hari untuk menggalinya,
namun ia tidak menemukan apa-apa. Tanda-tandapun tidak.
Karena itu, maka ia bertekad untuk memaksa orang-orang
yang sedang menjadi gila untuk mendapatkan pusaka itu
untuk menangkap orang yang dianggapnya mengetahuinya
dan membawanya kepadanya, sementara Daruwerdi telah
menyiapkan sebuah peti dan pusaka yang dipalsukannya,
yang disembunyikannya di bukit gundul itu pula. Ia sudah
menyiapkan sebilah wilahan keris tanpa hulu dan tanpa
wrangka, disimpan pada sebuah peti yang buruk dan sudah
mulai retak retak. Dibeberapa bagian justru sudah geripis
dimakan rayap. Namun-dengan demikian seakan-akan pati
dan pusaka itu sudah terlalu lama tersimpan di tempat yang
tidak terawat. "Orang memerlukan waktu untuk mengetahui, apakah
pusaka itu sebenarnya atau bukan. Selama itu aku akan
mendapatkan jalan keluar dan pusaka yang sebenarnya tentu
sudah aku ketemukan" berkata Daruwerdi di dalam hatinya.
Seperti biasanya, dengan menggeretakkan giginya iapun
meninggalkan goresan-goresan yang tidak dimengertinya itu.
Kemudian menuruni bukit gundul dan kembali ke Lumban
Kulon, Dalam pada itu, setelah air sungai itu mengalir cukup
besar, sehingga apabila bendungan yang rusak itu berhasil
diperbaiki, maka airpun akan terangkat. Di musim hujan, arus
air itu tentu akan menjadi semakin besar dan kemungkinan
akan datang banjir. Sehingga karena itu, maka bendungan
yang akan dibuat itu haruslah bendungan yang cukup kuat.
Dalam pembicaraan selanjutnya, Jlitheng yakin, bahwa
orang-orang Lumban tentu akan mengerjakannya, karena
kedua orang Buyut kakak beradik itu telah sepakat dan
berjanji untuk melaksanakan sebaik-baiknya.
Dengan demikian .maka Jilithengpun merasa, bahwa
tugasnya sudah sebagian lewat. Karena itu, maka iapun
segera mempersiapkan diri untuk meninggalkan Lumban
dengan alasan yang dibuat-buat, sementara ia benar-benar
telah menempa diri lahir dan batinnya untuk memasuki sarang
yang tidak terlalu dikenalnya selain pengenalannya bahwa
tempat itu adalah tempat yang sangat berbahaya.
Pada hari-hari terakhir, Jlitheng memerlukan datang kepada
Kiai Kanthi untuk minta diri. Tetapi Jlitheng tidak
mengatakannya, kemana aa akan pergi, sementara Kiai
Kanthipun tidak berterus terang, bahwa setiap malam ia
melihat apa yang dilakukan oleh Jlitheng dipinggir sungai itu.
"Aku tahu ngger" berkata Kiai Kanthi "bahwa saatnya telah
tiba bagi angger untuk berbuat sesuatu. Mungkin yang angger
lakukan itu adalah suatu tindakan yang sangat berbahaya.
Tetapi kita masing-masing tidak akan dapat ingkar, jika tugas
itu memang dibebankan diatas bahu kita"
"Aku mohon restu Kiai. Aku minta maaf, bahwa aku belum
dapat mengatakan, apa yang akan aku lakukan. Tetapi pada
saatnya, Kiai akan mengetahuinya juga"
"Terima kasih atas kepercayaan yang akan angger berikan
pada saatnya itu ngger"
Jlitheng tersenyum. Namun katanya "Akupun belum tahu
pasti apa yang akan aku lakukan"
"Baiklah ngger. Mudah-mudahan kita masing-masing selalu
mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Pemurah.
Sementara angger pergi, maka biarlah aku berbuat sesuatu
bagi padepokan yang aku impikan itu"
"Aku sudah berpesan Kiai, beberapa orang kawanku akan
selalu datang membantu"
"Terima kasih ngger. Kita masing-masing akan selaki
berdoa" Jlithengpun kemudian meninggalkan gubug Kiai Kanthi.
Ketika ia minta diri kepada Swasti, maka seperti biasanya,
jawabnyapun teramat singkat.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam, sementara Kiai Kanthi
hanya dapat menggelengkan kepalanya saja. Namun ketika ia
mengantarkan Jlitheng sampai keluar gubugnya la bergumam
"Aku mohon maaf atas sikap anak itu ngger"
Jlitheng tersenyum. Jawabnya "Tidak apa-apa Kiai. Sifatnya
memang demikian. Kiai tentu lebih mengetahui. Namun pada
saatnya ia akan berubah. Jika ia kelak banyak berhubungan
dengan gadis-gadis Lumban Wetan dan Lumban Kulon"
"Mudah-mudahan ngger. Aku harap bahwa aku akan
segera dapat tinggal di bawah bukit dan berhubungan dengan
orang-orang Lumban seperti kebanyakan orang yang berada
didalam lingkungannya"
Sejenak kemudian maka J lithengpun meninggalkan gubug
kecil itu. la masih sempat singgah sejenak di pinggir sungai.
Tetapi ia t idak lagi berloncatan dari batu ke batu atau
memperdalam unsur-unsur gerak pokok dari ilmunya, namun
ia mempergunakan waktu yang pendek itu untuk
membiasakan diri dengan senjata kecilnya. Dengan sungguhsungguh
ia mencoba berulang kali sehingga ia yakin, bahwa ia
tidak akan meleset lagi dengan lontaran-lontarannya.
Demikianlah, maka pada saatnya Jlitheng telah siap
meninggalkan Lumban. Ia terpaksa berbohong lagi kepada
kawan-kawannya dan kepada biyungnya, karena ia tidak
dapat mengatakan apa yang sebenarnya akan dilakukan.
"Kau harus segera kembali Jlitheng" berkata ibunya..
"Tentu biyung, aku akan segera kembali"
"Aku tidak tahu apakah yang sebenarnya kau lakukan.
Tetapi aku mohon, janganlah berbuat sesuatu yang dapat
menyulitkan dirimu" "Aku tidak akan berbuat sesuatu biyung. Tetapi aku hanya
ingin melihat daerah yang lebih luas dari padukuhan kecil ini"
"Suatu keinginan yang jaaang terjadi pada anak-anak
padesan, Jlitheng. Ketika aku menemukan kau, aku berharap
bahwa kau adalah anak yang baik dan penurut. Beberapa
puluh tahun lamanya aku hidup sendiri. Kedatanganmu
membangkitkan kesegaran pada hidupku yang gersang,
meskipun ada juga keragu-raguan, siapakah sebenarnya kau.
Tetapi setelah kau berada di rumah ini, aku mulai percaya,
sebenarnya kau anak yang baik dan kau benar-benar
mengalami kesulitan ketika aku ketemukan. Namun pada saatsaat
terakhir kau membuat aku gelisah"
"Kenapa biyung menjadi gelisah?"
"Jlitheng, Kau jangan terpengaruh oleh anak-anak muda
yang kehilangan pegangan hidupnya. Biarlah kita hidup miskin
dan kekurangan. Tetapi jangan berbuat sesuatu yang
melanggar hukum Tuhan"
Jlitheng tersenyum. Katanya sambil mengangguk-angguk
"Aku mengerti biyung Biyung menjadi cemas, bahwa aku
terseret oleh kebengalan anak-anak muda sebayaku yang
menempuh jalan sesat. Tidak biyung. Aku tidak akan
melakukan sesuatu yang dapat menyakiti hati biyung. Jika aku
ingin pergi beberapa hari, adalah karena kerinduanku pada
sebuah perjalanan. Tetapi aku tidak akan berhenti pada orang
lain lagi dalam pengembaraan ini, karena aku sudah
mempunyai tempat tinggal dan seorang ibu yang sangat baik
kepadaku. Dengan demikian, dimanapun aku berhenti, aku
akan tetap teringat untuk pulang kembal ke rumah ini"
Jlitheng termangu-mangu ketika ia melihat mata
perempuan tua itu menjadi, basah. Ternyata perempuan tua
itu bukannya sekedar mengiakan saja segala ceriteranya yang
dibuatnya sebagai alasan untuk pergi meninggalkan Lumban.
Tetapi perempuan itu menjadi cemas dan benar-benar seperti
akan ditinggalkan oleh anaknya sendiri.
Tetapi Jlitheng benar-benar berjanji kepada diri sendiri, jika
ia sudah selesai dengan segala macam tugasnya dengan
selamat, maka ia benar-benar tidak akan melupakan
perempuan tua itu. Demikianlah, pada saatnya Jlitheng meninggalkan Lumban
Wetan dan Lumban Kulon. Seperti yang pernah dilakukannya,
maka ia dengan sengaja pergi menjelang malam. Kecuali tidak
banyak orang yang dijumpainya di bulak dan pategalan, maka
perjalanannya akan segera disaput oleh gelapnya malam.
Tetapi Jlitheng menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
seseorang berdiri diujung padukuhaninya Seakan-akan orang
itu dengan sengaja telah menunggunya.
"Daruwerdi" Jlitheng berdesis.
"Kau akan pergi kemana Jlitheng?" bertanya Daruwerdi.
Jlitheng menjadi termangu-mangu. Namun akhirnya ia
menjawab "Aku disuruh biyung pergi ke rumah paman lagi.
Ada sesuatu yang penting harus aku sampaikan"
"Apakah yang penting itu?" bertanya Daruwerdi.
"Ini adalah persoalan keluargaku Daruwerdi" jawab
Jlitheng. "Jawablah" suara Daruwerdi tiba-tiba menjadi berat "Kau
tahu siapa aku" "Tetapi itu adalah masalahku"
"Katakan, atau kau tidak akan dapat pergi ke rumah
pamanmu itu" Jlitheng sadar, bahwa Daruwerdi yang mempunyai tugas
khusus itu ternyata telah menjadi curiga oleh kepergiannya.
Karena itu, maka katanya kemudian "Baiklah Daruwerdi Tetapi
masalahnya sebenarnya terlalu pribadi"
"Sebutlah" "Biyung mulai dengan pembicaraan keluarga. Biyung
mempunyai anak laki-laki dan paman mempunyai anak
perempuan yang sudah menjelang dewasa"
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian tertawa berkepentingan. Katanya "Kau datang
melamar bagi dirimu sendiri?"
"Tidak. Tidak begitu. Aku hanya membawa pesan biyung
karena tidak ada orang lain yang disuruhnya pergi"
Daruwerdi masih tertawa. Namun kemudian sambil
melangkah pergi ia bergumam "Jika kau kawin, isterimu akan
kau beri makan apa, Jlitheng" Kau kira air sungai itu akan
dapat membuat Lumban dalam satu dua hari menjadi
padukuhan yang hijau subur?"
"Aku juga tidak akan kawin dalam dua tiga hari ini
Daruwerdi" Daruwerdi masih tertawa. Suara tertawanya masih
terdengar meskipun anak muda itu sudah melangkah menjauh
masuk ke dalam padukuhan.
"Anak Gila" geram Jlitheng kemudian. Namun ia tidak
menghiraukannya lagi. Demikianlah Jlitheng mulai menempuh perjalanannya yang
berbahaya. Sebagai yang pernah dilakukan, maka iapun
singgah untuk mengambil pakaiannya, la tidak ingin datang ke
perguruan Sanggar Gading dalam pakaian seorang petani
miskin, la akan datang sebagai yang pernah dilihat oleh
Cempaka beberapa saat yang lampau.
Dengan pakaiannya dan kelengkapan seorang yang akan
menempuh perjalanan yang berbahaya, Jlitheng pergi ke
rumah saudagar tempat ia menitipkan kudanya Saudagar yang
sangat baik kepadanya, karena ia telah mengenal siapa
sebenarnya anak muda yang menyebut dirinya bernama
Jlitheng itu. Namun demikian, Jlitheng tidak mengatakan seluruh
rencananya Bagaimanapun juga, ia harus berhati-hati
menghadapi padepokan Sanggar Gading
"Mudah-mudahan orang-orang Sanggar Gading t idak
didahului oleh orang-orang Pusparari yang justru telah
mempunyai kesanggupan lebih dahulu. Namun agaknya
Sanggar Gading telah siap lebih dahulu untuk melakukan
seperti yang diminta oleh Jlitheng sementara orang-orang
Pusparuri masih sedang membicarakan berkepanjangan"
berkata Jlitheng kepada dirinya sendiri. Lalu "meskipun
demikian, jika orang-orang Sanggar Gading berhasil, berarti
perguruan itu harus berhadapan dengan perguruan Pusparuri,
Kendali Putih dan mungkin juga dari perguruan yang lain.
Bahkan mungkin perguruan Hantu di Gunung Kunir"
Ternyata saudagar yang baik itu telah menyediakan diri
untuk berbuat apa saja jika Jlitheng menghendaki.
"Pada saatnya, jika aku memerlukan, aku akan mohon
bantuan paman" jawab Jlitheng "tetapi sementara aku
melihat-lihat kemungkinan yang akan terjadi, biarlah aku pergi
seorang diri" Jika angger memerlukan aku, jangan segan-segan. Angger
dapat memanggil aku uatuk melakukan apa saja, karena aku


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerti, bahwa angger adalah pengemban tugas kebenaran
meskipun tugas itu angger bebankan dtaitas pundak angger
atas kemauan angger sendiri" berkata saudagar itu.
Jlitheng tersenyum. Jawabnya "Terima kasih paman. Aku
tentu akan datang kepada paman, jika aku memang
memerlukan. Akupun tahu, bahwa paman yang mempunyai
sangkut paut ilmu dengan aku dan guru, adalah orang yang
luar b:asa. Sudah renta pada kesulitan yang tidak teratasi aku
akan lari kepada paman"
"Ilmuku tidak seberapa ngger. Aku hanya mempunyai
kemauan karena pertimbangan tentang perjuangan angger"
sahut saudagar itu, Jlitheng tersenyum. Namun kemudian iapun segera mohon
diri untuk melanjutkan perjalanannya ke Demak.
Berkuda Jlitheng pergi ke Demak. Ia memerlukan singgah
sejenak dirumah Sri Panular. Ia ingin mendapatkan pesan
terakhir, sehingga dengan demikian akan dapat membuat
hatinya semakin mantap. "Pergilah" berkata Sri Panular "Kau sudah melengkapi
dirimu dengan senjata yang dapat kau pergunakan sebaikbaiknya.
Namun aku ingin memberimu barang selembar bekal
perjalanan" Jlitheng menjadi berdebar-debar. Sementara Sri Panular
meneruskan "ngger. Aku mempunyai sebilah pedang tipis
meskipun cukup besar dan panjang, Namun, meskipun
pedang itu tipis, tetapi terbuat dari besi baja pilihan sehingga
pedang itu tidak mudah patah. Seandainya kau harus
membenturkan pedang itu dengan senjata lawan yang
betapapun kuatnya, bahkan dengan pedang yang terbuat dari
wesi aji sekalipun, pedang itu tidak akan patah"
Jlitheng mengangguk-angguk dengan penuh harap
"Keuntungan dari pedang itu ngger" berkata Sri Panular
"jangkauan yang cukup jauh karena panjangnya, sementara
pedang itu terlalu ringan dibandingkan dengan bentuknya"
berkata Sri Panular lebih lanjut "dengan demikian kau dapat
merggerakkannya dengan cepat, tangkas namun kuat dan
dengan penuh kepercayaan"
Jlitheng mengangguk homat sambil berkata "Aku hanya
dapat mengucapkan beribu terima kasih"
Jlithengpun kemudian menerima pedang itu di dalam
sanggar Sri Panular. Beberapa saat lamanya, Jlitheng
dipersilahkan untuk mencobanya. Membiasakan diri
mempergunakannya dan dengan heran Jlitheng melihat,
betapa kuatnya pedang tipis Itu.
Dengan sekuat tenaga Jlitheng menghantam pedang itu
sama sekai tidak patah. Bahkan lukapun tidak.
"Pakailah. Disamping paser-paser kecil itu. Tugasmu adalah
tugas berat" berkata Sri Panular.
Setelah beberapa kali mengucapkan terima kasih, maka
Jlithengpun kemudian beristirahat sejenak, menunggu
matahari terbit. Ia masih sempat berbaring di rumah Sri
Panular. Pada saatnya, setelah makan pagi dan minum minuman
panas, maka Jlithengpun minta diri. Matahari telah naik agak
tinggi. Namun padukuhan Sri Panular ternyata memang bukan
padukuhan yang ramai. Setelah mendapat pesan-pesan terakhir, maka Jlithengpun
meninggalkan padukuhan itu. Ia berkuda menyusuri jalan di
pinggir kota Demak. Kemudian lewait pintu gerbang samping
anak muda itu keluar nienonggailkan kota menuju
keperguruan Sanggar Gading.
Jlitheng belum pernah mengenal perguruan itu. Tetapi ia
mendapat beberapa petunjuk meskipun samar-samar dari
Cempaka, apabila ia memang benar-benar angin datang ke
padepokannya. "Masih ada waktu, sebelum hari kesepuluh itu" berkata
Jlitheng "Aku harap bahwa aku belumterlambat"
Sebagai seorang yang berpandangan tajam, maka
Jlithengpun segera mengenal isyarat yang diberikan oleh
Cempaka. Karena itu, maka iapun yakin, bahwa ia berjalan ke
jurusan yang benar. Meskipun demkian Jlitheng tidak meninggalkan
kewaspadaan. Ia tidak mempercayai orang seperti Cempaka
itu sepenuhnya, bahwa yang dikatakannya itu bukan sekedar
perangkap.. Jalan yang diIaluinya ternyata semakin lama menjadi
semakin sempit dan sunyi Nampaknya jalan itu bukannya jalan
yang sering dilalui oleh para pejalan dari atau menuju ke
Demak. Tetapi pada jalan itu Jlitheng melihat tanda-tanda yang
pernah diberikan oleh Campaika meskipun hanya sekilas. Ia
melihat sebatang pohon meranggas. Batangnya menjulang
dengan ranting-rantingnya yang tidak berdaun.
Disebatang parit yang menyilang jalan, Jlitheng bertemu
dengan dua orang yang membawa cangkul dipundaknya.
Demikian kedua orang itu melihat Jlitheng, nampak wajahnya
segera berubah. Jlitheng melihat perubahan itu. Justru karena itu ia menjadi
tertarik dan berhenti dua langkah di dekat mereka.
Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Ketika Jlitheng
meloncat turun dari kudanya, kedua orang itu bergeser dan
wajah mereka mulai nampak ketakutan.
"Ki Sanak" bertanya Jlitheng kemudian "Apakah Ki Sanak
tahu, jalan ini menuju kemana?"
Kedua orang itu saling bepandangan. Namun pada wajah
mereka nampak ketegangan yang begejolak di dalam
jantungnya. Jlitheng yang melihat gelagat itu justru bertanya "Kenapa
Ki Sanak nampak menjadi ketakutan?"
Sejenak keduanya tennangu-mangu. Namun yang seorang
kemudian bertanya "Anakmas, apakah anakmas belum
mengenal daerah ini?"
Jlitheng menggeleng. Jawabnya "Belum Ki Sanak. Aku baru
kali ini lewat jalan ini"
"Anakmas dari mana?" bertanya yang seorang.
"Aku orang Demak"
Keduanya saling berpandangan lagi. Yang seorang bertanya
"Apakah benar anakmas orang Demak" Jika anakmas orang
Demak, aku kira anakmas tentu sudah mengenal daerah ini.
Setidak-tidaknya mengetahui dan mendengar tentang daerah
ini" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukangguk
lia berkata "Aku memang bukan orang dari daerah
Timur. Tetapi aku mempunyai sanak kadang di Demak"
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Yang seorang
bertanya "Sekarang, anakmas akan pergi kemana?"
"Aku tidak mempunyai tujuan. Aku hanya ingin pergi saja
melihat-lihat keadaan disekitar kota Demak yang kini menjadi
pusat pemerintahan" jawab Jlitheng.
Keduanya masih mengangguk-angguk. Salah seorang dari
keduanya kemudian berkata "Jika demikian, sebaliknya anak
mas tidak menempuh jalan ini. Jalan ini akan sampai ke
padukuhan Watu Tadah. Padukuhan yang sudah banyak
dikenal orang sebagai tempat yang paling gawat di daerah
Demak" "Kenapa" Apakah tempat itu sedang menyusun kekuatan
untuk memberontak?" bertanya Jlitheng.
"Jika demikian persoalannya akan lebih cepat diselesaikan"
"Jadi?" "Padukuhan itu adalah tempat tanggal para perampok,
penyamun dan penjahat-penjahat lain. Seolah-olah turun
temurun mereka adalah penjahat-penjahat"
"Apakah para pemimpin prajurit Demak tidak dapat berbuat
apa-apa?" bertanya Jlitheng.
"Sudah banyak yang mereka lakukan. Tetapi untuk
menangkap penjahat yang sebenarnya di padukuhan itu tidak
mudah. Satu pasukan prajurit segelar sepapan pernah
memasuki padukuhan itu. Tetapi yang mereka jumpai adalah
perempuan dan anak-anak. Satu dua mereka bertemu dengan
laki-laki tua dan anak-anak remaja. Tetapi para prajurit itu
tidak berhasil menemukan seorang penjahatpun" berkata
salah seorang dari kedua orang itu.
"Menarik sekali. Jika demikian, aku ingin melihat, apa yang
ada di padukuhan itu. Sebenarnyalah aku hanya akan lewat
saja" bekata Jlitheng kemudian.
"Jangan anakmas. Kau masih terlalu muda untuk
mengalami kesulitan di daerah itu. Bahkan mungkin sebelum
kalian memasuki padukuhan Watu Tadah, kalian sudah
bertemu dengan bahaya yang dapat mengancam jiwa
anakmas" Jlitheng termangu-mangu. Ia mengerti, bahwa orang itu
berusaha untuk menghindarkannya dari bahaya yang gawat.
Tetapi menurut Cempaka, ia harus menempuh jalan itu.
Meskipun Cempaka tidak pernah menceriterakan sesuatu
tentang padukuhan yang disebut Watu Kendeng.
"Ki Sanak" berkata Jlitheng "Terima kasih atas peringatan
yang kau berikan. Dengan demikian aku akan dapat berhatihati
Aku akan dapat .menyiapkan diri jika benar-benar orangorang
Watu Tadah berbuat jahat terhadapku"
"Mereka bukan saja berbuat jahat kepada orang lain. Tetapi
diantara mereka sendiri sering timbul bentrokan-bentrokan
berdarah. Kematian diantara mereka sama sekali bukan
persoalan yang perlu diperbincangkan oleh para bebahu
padukuhan" Jlitheng mengangguk-angguk. Ia justru menduga, bahwa
padukuhan itu mempunyai sangkut paut dengan Sanggar
Gading. Karena itu, maka katanya "Aku akan berjalan terus Ki
Sanak. Mudah-mudahan aku selamat keluar dari padukuhan
Watu Tadah yang mengerikan itu?"
"Jika anakmas mau mendengarkan kami, aku persilahkan
anakmas melihat bagian lain dari Demak"
Jlitheng tersenyum. Justru ia kemudian bertanya "Kenapa
kau berdua tidak takut berada di bulak ini?"
"Jaraknya masih cukup jauh anakmas. Apalagi mereka
tahu, bahwa kami adalah orang-orang miskin yang tidak akan
dapat mereka peras" ia berhenti sejenak lalu "namun demikian
gadis-gadis yang dianggap cantik di padukuhan kami perlu
mendapat perhatian. Jika seorang gadis kecil mulai tumbuh
menjelang dewasa, maka ia akan dikirim kesanak kadang
diluar padukuhan yang cukup jauh. Setelah kawin mereka
akan kembali Namun demikian, ada kalanya, perempuan,
bersuamipun merasa tidak tenang hidup disekitar padukuhan
Watu Tadah" Jlitheng mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
bertanya "He, apakah kau pernah mendengar perguruan
Sanggar Gading?" Kedua orang itu terkejut. Seorang diantaranya berkata
"Jangan sebut perguruan itu anakmas. Aku tidak mengenal
dan mengerti apa isinya. Namun setiap orang tidak berani
menyebutnya. Watu Tadah masih juga terucapkan oleh kami.
Tetapi perguruan itu sama sekal tidak"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian ia
mengerti, bahwa ia memang berada dijalan yang benar.
Namun kesan yang didapatkannya atas Sanggar Gading
benar-benar telah mendebarkan jantungnya.
Meskipun demikian ia bertanya "Kenapa kalian tidak berani
menyebut Sanggar Gading atau menunjukkan tempatnya"
Kedua orang itu menjadi semakin tegang. Kemudian
katanya "Maaf ngger. Aku masih mempunyai kerja di
pategalan. Aku minta diri"
Jlitheng dengan serta merta berkata "Tunggu Ki Sanak. Aku
masih akan berbicara. Baiklah, aku tidak akan bertanya
tentang Sanggar Gading. Tetapi tentang Watu Tadah"
Kedua orang itu tertegun, sementara Jlitheng berkata
"Kenapa kalian lebih berani menyentuh nama Watu Tadah.
Bukankah di Watu Tadah tinggal para perampok, penyamun,
penjahat dan sejenisnya?"
"Orang-orang Watu Tadah lebih mement ingkan mencari
korban diantara orang-orang yang memiliki harta benda yang
dapat mereka ambil" jawab salah seorang dari mereka,
"O" Jlitheng mengangguk "lalu apa saja yang pernah
dilakukan oleh orang Sanggar Gading?"
Kedua orang itu saing berpandangan. Tiba-tiba saja mereka
mulai menilai, pertanyaan itu memang sangat menarik. Apa
yang pernah dilakukan oleh orang-orang Sanggar Gading"
Hampir diluar sadarnya salah seorang menjawab "Tidak
ada yang pernah dilakukannya atas kami"
"Kenapa kalian takut. Bahkan menyebut narnanyapun
takut?" Kedua orang itu termangu-mangu. Namun yang seorang
diantara mereka berkata "Sudahlah. Nanti kita terlambat. Air
yang mengalir t idak terlalu banyak buat pategalan"
Kedua orang itupun kemudian minta diri dan meninggalkan
Jlitheng yang termangu-mangu.
"Aneh" gumamnya "orang-orang padesan tidak berani
menyebut nama Sanggar Gading tanpa mengetahui sebabnya.
Mereka takut tanpa dapat mengatakan alasannya"
Sejenak Jlitheng masih termangu-mangu. Namun iapun
kemudian meloncat ke punggung kudanya dan meneruskan
perjalanannya. Sambil mengerutkan keningnya ia memandang
kekejauhan. Ia melihat beberapa padukuhan kecil diujung
bulak. Namun tentu Watu Tadah adalah sebuah padukuhan
yang lebih besar. Bahkan mungkin banjar panjang yang
mencakup beberapa padukuhan menjadi satu.
Jlithengpun kemudian meneruskan perjalanannya. Ia sadar,
bahwa ia akan memasuki daerah berbahaya sebelum ia,
sampai keperguruan Sanggar Gading.
"Kenapa Cempaka tidak mengatakannya" desis Jlitheng di
dalam hatinya "atau bahkan Cempaka telah menjerumuskan
aku ke dalam lingkungan yang dapat menjeratku"
Namun Jlitheng tidak mau mundur. Ia meneruskan
perjalanannya mengikuti jalan yang semakin sempit. Semakin
lama semakin jelas, bahwa jalan yang dilaluinya adalah jalan
sempit yang jarang diinjak kaki manusia.
Tetapi Jlitheng masih melihat sawah yang digarap. Ia juga
melihat parit yang mengalir dan sawah yang berair.
Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat padukuhan
kecil yang semakin dekat. Ia melihat dari kejauhan padukuhan
itu tidak ada bedanya dengan padukuhan lainnya. Sebuah
regol dan dinding batu yang rendah.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian Jlitheng memasuki regol, maka ia mulai
merasakan suasana yang memang agak lain. Meskipun ia tidak
melihat perbedaan ujud padukuhan itu, namun pada ujung
jalan padukuhan itu, ia sudah mendengar dua orang
perempuan yang bertengkar. Suaranya meninggi berebut.
Semaikan kasar. Bahkan kata-kata yang tidak pantas
didengarpun telah mereka ucapkan.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berhenti.
Apalagi ketika ia melihat salah seorang perempuan yang
bertengkar itu melangkah pergi meskipun ia masih
mengumpat-umpat. "Awas, jika kau berani melakukannya sekali lagi" katanya
"Aku akan meremas mukamu sampai hancur"
"Apalagi yang ditunggu" jawab yang lain "Ayo, sekarang
aku sudah siap" "Sebentar lagi suamiku datang. Aku belum menanak, nasi
Persetan dengan kau. Lebih penting menyediakan makan buat
suamiku" "Bilang saja kau takut"
"Apa yang aku takuti" teriak perempuan itu. Tetapi m
masih tetap melangkah menjauh,
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mendahului
perempuan yang pergi itu ia bertanya dengan ramah "Apa
yang dipertengkarkan bibi?"
Perempuan itu memandanginya sejenak Namun tiba-tiba
diluar dugaan perempuan itu memakinya sambil berteriak
"Laki-laki jahanam. He, kau mau apa" Kau bukan kadang. Mau
ikut campur?" Jlitheng terkejut oleh jawaban itu. Tetapi ia masih menahan
diri. Dengan sareh ia berkata "Aku tidak bermaksud apa-apa.
Aku hanya ingin tahu, kenapa, kalian bertengkar. Apakah tidak
ada cara yang lebih baik untuk memecahkan persoalan"
"Diam, Jika kau masih berbicara, aku sobek mulutmu"
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun ia semakin terkejut
ketika perempuan yang lain ternyata mendekatinya sambil
bertanya kepada perempuan lawannya bertengkar. "Mau apa
setan itu?" "la bertanya kenapa kita bertengkar" jawab yang lain.
"Terkutuklah kau" bentak perempuan yang lain kepada
Jlitheng. Lalu "Kau sangka kau Buyut kami disini" Atau
barangkali pemimpin kami" Kau mau apa dengan
pertengkaran kami?" Jlitheng tidak menyahut lagi. Tetapi iapun kemudian
meninggalkan kedua perempuan yang kemudian memakinya
dengan kata-kata kotor. "Inilah agaknya wajah padukuhan yang aneh itu"
gumamnya sambil melanjutkan perjalanan. Tetapi iapun sadar
bahwa ia tentu akan menjumpai persoalan-persoalan lain yang
tidak pernah dilihatnya di daerah yang pernah dikunjunginya.
"Mungkin laki-laki disini dapat berbuat lebih garang lagi"
katanya kepada diri sendiri.
Karena itu, maka Jlithengpun menjadi lebih berhati-hati.
Diuar sadarnya ia meraba pedang tipis yang diterimanya dari
Sri Panular. Dengan pedang itu di lambung, ia memang tidak
akan dapat ingkar bahwa ia adalah seorang laki-laki. Apapun
yang akan dijumpainya, maka ia harus menghadapinya
sebagai seorang laki-laki.
Meskipun demikian ada juga penyesalan di dalam hatinya.
Bukan karena ia menjadi ketakutan. Tetapi jika persoalan yang
dihadapinya berkisar dari persoalan yang dianggapnya besar,
persoalan pusaka yang menjadi rebutan itu, maka ia akan
menjadi sia-sia. Apalagi jika kemudian ia terjebak bencana di
padukuhan itu tanpa sebab yang pantas untuk bertaruh
nyawa. "Tetapi yang aku lakukan ini adalah dalam rangka usahaku
menemukan pusaka itu juga" berkata Jlitheng di dalam
hatinya. Kecurigaannya kepada Cempaka menjadi semakin tajam.
Mungkin dengan cara ini Cempaka berusaha untuk
menghapuskan jejaknya. "Apakah ia mengetahui, atau setidak-tidaknya menjadi
curiga kepadaku yang tiba-tiba saja menolongnya ditengah
jalan" pertanyaan itupun terasa mulai mengganggu.
Beberapa saat lamanya Jlitheng tidak menjumpai sesuatu.
Dalam keadaan yang demikian, padukuhan itu memang tidak
berbeda dengan padukuhan lain. Ia melihat anak-anak
bermain di halaman. Ia melihat seorang laki-laki tua lewat
dengan cangkul di pundaknya. Tetapi yang tidak terbiasa
adalah bagaimama laki-laki tua itu memandangnya. Seolaholah
laki-laki tua itu belum pernah melibat seorangpun dari
luar padukuhan itu. Ketika Jlitheng sampai ke tengah-tengah padukuhan itu, ia
melihat seorang laki-laki duduk berselimut kain panjang di
dalam gardu. Agaknya ia telah berada di gardu itu sejak
semalam tanpa berkisar. Jlitheng menjadi berdebar-debar. Namun ia tidak
menghiraukannya lebih jauh. Kudanya berjalan tidak terlalu
cepat di depan gardu itu.
Namun Jlitheng terkejut ketika ia melalui gardu itu
terdengar laki-laki itu bergumam "Bantaradi"
Jlitheng tidak mengerti maksud kata-kata orang itu. Namun
sekali lagi orang itu berkata "Bantaradi. He, bukankah kau
Bantaradi?" Mula-mula Jlitheng menjadi bingung. Namun kemudian
iapun teringat bahwa ia pernah mempergunakan nama itu.
Ketika ia melibatkan diri dalam pertempuran antara Cempaka
melawan jumlah yang tidak seimbang ia menyebut dirinya
bernama Bantaradi. Karena itu, dengan serta merta iapun berhenti.
Dipandanginya orang yang duduk di gardu itu. dengan
saksama" Siapa kau?" bertanya Jlitheng.
Orang itu tersenyum. Jawabnya "Lebih dari lima hari aku
menungguimu disini. Tugasku t inggal sehari besok. Jika besok
kau tidak datang, itu berarti bahwa kau tidak akan datang ke
padukuhan ini" "Persetan, siapa kau?" desis Jlitheng.
Orang itu tertawa. Jawabnya "Aneh. Bahwa seorang
perantau tidak mudah mengingat ujud yang pernah tidak
mudah mengingat ujud yang pernah dikenalnya"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang itu
dengan tajamnya. Ia menghubungkan ingatannya dengan
nama Bantaradi yang diucapkannya dlihadapan Cempaka dam
kawan-kawannya. Akhirnya Jlitheng mengangguk-angguk. Ingatannya bukan
ingatan yang tumpul. Karena itu, dihadapan Cempaka sejenak
da berkata "Aku kira aku dapat mengenalimu meskipun aku
masih ragu-ragu. Aku melihat Cempaka dan kawan-kawannya
di malamhari, sehingga karena itu, sekilas aku tidak mengenal
wajahmu. Agaknya kau salah seorang kawan Cempaka pada
waktu litu. Apalagi dalam pakaianmu itu"
Orang itu tertawa. Katanya "Aku berada di gardu siang dan
malam. Jika aku terpaksa pergi, maka aku suruh adikku
menggantikan aku disini. Dengan memberikan kesan dan ciriciri
yang mudah dikenal, aku minta adikku menunggu orang
yang bernama Bantaradi. Tetapi akhirnya aku jugalah yang
melihatmu lewat" Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya "Inilah agaknya
cara kalian menerima aku. He, apakah padukuhan ini pula
Barang orang-orang Sanggar Gading"
"Kau orang yang luar biasa. Dengan isyarat yang kabur,
kau berhasil menelusuri jalan menuju ke Sanggar Gading.
Tetapi kau belum sampai ke Sanggar Gading"
Jlitheng mengerutkan keringnya. Katanya "Aku mengenal
segala tempat di segala sudut bumi. He, kenapa kau disini?"
"Rumahku di padukuhan ini"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil
mengangguk ia berkata "Kau akan membawa aku ke Sanggar
Gading" "Tidak sekarang Tetapi besok"
"Aku akan terlambat "
Orang itu menggeleng. Katanya "Tidak. Kau tidak akan
terlambat, karena keputusan terakhir, segalanya akan
dilakukan dalam tiga hari lagi. Karena itu, kau dapat bermalam
disini malam ini" Jlitheng tidak segera menjawab. Ia masih ragu-ragu.
Namun dalam pada itu, selagi ia termenung, ia dikejutkan
oleh pekik seorang perempuan. Kemudian dari tikungan ia
melihat seorang perempuan berlari melintas jalan. Namun
tiba-tiba saja tangan yang kuat telah menggapainya dan
menghentakkannya. Perempuan itu kehilangan keseimbangan, sehingga iapun
kemudian terjatuh. Dengan kasar laki-laki yang mengejarnya
itupun menarik tangannya sambil membentak "Berdiri"
Perempuan itu tertatih-tatih berdiri. Namun belum lagi
kakinya tegak laki-laki itu sudah menamparnya, sehingga
perempuan itu telah terjatuh lagi.
"He, apa yang terjadi?" bertanya Jlitheng dengan tegang.
"Jangan dicampuri persoalannya. Mereka adalah suami
isteri" desis orang di gardu itu.
"Tetapi yang dilakukan itu sudah berlebihan"
"Jangan mencari perkara disini. Setiap campur tangan akan
dapat berarti darah. Kita sudah terbiasa hidup dalam solah
tingkah yang kasar" berkata orang di dalamgardu itu,
Jlitheng termangu-mangu. Ia kemudian menyaksikan lakilaki
itu menyeret perempuan yang dengan susah payah
mencoba untuk berdiri. Namun tiba-tiba saja perempuan itu
telah menggigit tangan suaminya, sehingga suaminya
berteriak kesakitan. Demikian cepatnya perempuan itu
menghentakkan langgannya dan mencoba berlari.
"Kau diam saja melihat peristiwa semacam itu" bertanya
Jlitheng yang menjadi semakin tegang.
Tetapi laki-laki yang duduk di gardu itu tertawa saja.
Katanya kemudian "Perempuan itu telah mengadakan
hubungan dengan laki-laki lain. Ketika suaminya mengetahui,
maka ia menjadi marah dan menyakiti isterinya"
"Tetapi bukankah persoalannya dapat dibicarakan" sahut
Jlitheng. "Siapa yang tidak marah mengetahui tingkah laku isteringa
yang demikian" jawab laki-laki di gardu itu "biarlah semuanya
terjadi seperti yang seharusnya terjadi. Sebaiknya perempuan
itu mengakui kesalahannya dan minta maaf. Tetapi ia memilih
jalan lain" "Persetan. Aku tidak dapat membiarkan hal itu terjadi"
Laki-laki di gardu itu justru tertawa. Katanya "Jika kau
menolong perempuan itu, aku yakin, kau akan dapat
melakukannya. Tetapi kau akan terkena akibatnya"
Jlitheng termangu-mangu. Ia melihat laki-laki itu memburu
isterinya. Semakin Hama semakin dekat.
"Apa akibatnya?"
"Perempuan itu akan menjadi isterimu"
"Gila" J lithengpun hampir berteriak.
"Karena itu, biarkan saja. Sudah ada orang lain yang
berkewajiban menolong jika ia mau"
Jlitheng menjadi semakin tegang. Sementara laki-laki di
gardu itu berkata "Perempuan itu berlari menuju kehalaman di
sebelah. Kau lihat laki-laki dibelakang dinding batu itu" Itulah
laki-laki yang telah membuat hubungan dengan perempuan
itu. Jika perempuan itu berhasil melampaui dindiing batu itu,
ia akan selamat. Laki-laki itu tidak berhak untuk berbuat apaapa.
Kecuali jika ia berniat untuk bertaruh nyawa melawan
lak-laki yang telah mengganggu isterinya itu"
"Uh, semua sudah gila. Kau juga sudah gia" Laki-laki itu
tidak menyahut. Namun iapun kemudian beringsut dan
memperhatikan perempuan itu.
Ternyata perempuan itu mampu juga berlari cepat. Ia tidak
menghiraukan kainnya yang sobek sampai ke pinggulnya.
Namun laki-laki yang mengejarnya bagaikan menjadi gila
karenanya. Ketika tangan laki-laki Itu hampir menggapainya, ternyata
perempuan itu menjatuhklan diri tepat memasuki regol rumah
laki-laki yang berdiri tegang di dalam halaman rumahnya.
Demikian iperempuan itu terjatuh ke dalam regol, maka lakilaki
itupun berlari-lari menolongnya.
Sementara itu, laki-laki yang mengejarnya terpaksa
berhenti diluar regol. Ia tidak memburu masuk kehalaman
rumah dihadapannya. Laki-laki di dalam gardu iitu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Lihat, perempuan itu sudah selamat. Ia tidak dapat
disentuh lagi oleh suaminya, karena ia sudah berada di rumah
seorang laki-laki lain yang akan melindunginya"
Jlitheng termangu-mangu. Tiba-tiba saja timlbullah ibanya
kepada laki-laki yang berdiri tegak diuar regol. Bahkan
kemudian dengan kepala tunduk laki-laki itu melangkah pergi.
Jlitheng kemudian mendengar suara tertawa dari halaman
rumah itu. Suara tertawa seorang laki-laki dan seorang
perempuan, "Luka-lukamu akan segera sembuh" berkata laki-laki di
dalam regol "tidak apa-apa. Kau tinggal disini bersamaku"
Laki-laki yang meninggalkan regol itu tertegun. Tetapi
ketika ia berpaling, terdengar laki-laki di dalam regol itu
membentak "He, kenapa kau berhenti tikus" Kau masih
sayang pada isterimu" Jika demikian, rebut perempuan ini dari
tanganku. Ia mencintai aku, terbukti ia lari darimu dan
memasuki halaman rumahku"
Laki-laki diluar regol itu menegang sejenak. Namun iapun
kemudian melangkah pergi.
Tetapi tiba-tiba saja terdengar orang di dalam regol itu
berkata "Tunggu. Aku akan membunuhmu"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Sementara itu terdengar
laki-laki di dalam gardu itu berdesis "Celaka. Laki-lakt itu tentu
benar-benar akan mati"
"Kenapa?". "Bekas isterinya tentu minta laki-laki di dalam regol itu
untuk membunuhnya" Segalanya berlangsung dengan cepat. Laki-laki diluar regol
itu berusaha untuk meloncat berlari. Tetapi seperti
dilontarkan, seorang laki-laki meloncat dari dalam regol dan
menerkamnya. Sejenak laki-laki yang kehilangan isterinya itu berusaha
untuk membebaskan dirinya. Tetapi ia tidak berhasil. Sebuah


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan yang dahsyat telah menghantam dagunya, sehingga
laki-laki itu terlempar dan jatuh terlantang.
"Bunuh saja" teriak perempuan yang muncul dari regol.
Perempuan yang telah dikejar oleh laki-laki yang terjatuh itu.
Dengan kain yang sobek sampai ke pinggul ia berdiri bertolak
pinggang. Suaranya melengking berteriak "Bunuh saja, dan
lemparkan mayatnya kekali yang banjir itu.
Laki-laki yang meloncat dari dalam regol itu benar-benai
bagaikan gila. Ditariknya rambut laki-laki yang terlentang itu,
Kemudian dengan kakinya ia menghantam wajah orang yang
tidak berdaya itu. Sekali lagi orang itu terbanting jatuh di tanah.
Jlitheng menjadi ngeri ketika ia mendengar perempuan itu
tertawa. Suaranya seperti suara iblis betina yang harus
melihat kematian" "Kau diamsaja " sekali lagi Jlitheng menggeram.
"Celakalah laki-laki itu. Ia akan mati. Laki-laki dari dalam
regol itu adalah seorang gegedug berandal di padukuhan ini,
meskipun masih ada juga satu dua orang yang disegani.
Jlitheng menjadi semakin tegang. Ia melihat laki-laki itu
bagaikan gila. Dengan tanpa mengenal belas kasihan ia telah
menghajar suami perampuan iblis itu. Dengan sepenuh tenaga
ia memukul, membanting dan melemparkannya menghantam
dinding batu. Sementara perempuan itu tertawa semakin
gembira, Jlitheng menjadi gemetar. Dengan suara bergetar ia
berkata "Perbuatan terkutuk. He, siapakah orang yang
disegani itu?" "Aku" berkata orang di gardu itu.
"Dan kau tidak berbuat apa-apa sama sekal?"
Orang itu berpikir sejenak. Namun kemudian ia
menggeleng sambil tersenyum. Katanya "Tidak. Aku tidak
akan melibatkan diri dalampersoalan ini"
"Tetapi laki-laki itu akan dibunuh. Bukankah begitu" Dan
orang-orang lain tidak ada yang mempersoalkannya?" geram
Jlitheng. "Laki-laki itu tentu akan mati. Gegedug berandal itu t idak
pernah mengampuni orang-orang yang dianggapnya bersalah
kepadanya" laki-laki itu berhenti sejenak, lalu "Aku tidak mau
terlibat persoalan perempuan"
Jlitheng menjadi semakin gemetar. Dengan suara yang
terputus-putus ia bertanya "Bukankah yang sebenarnya
bersalah adalah isterinya yang sudah melakukan hubungan
dengan laki-laki lain" Kenapa justru suaminya yang harus
mati?" "Jangan bertanya soal salah dan benar disini. Ada
ketentuan yang tidak dapat dilawan. Siapa yang kuat, ialah
yang benar disini, Juga berlaku atas suami isteri itu"
"Jika demiiikan, kenapa orang-orang yang merasa lemah
tidak meninggalkan tempat ini?"
Laki-laki itu tertawa. Namun ia menahan diri agar suara
tertawanya tidak terdengar olah laki-laki yang. sedang marah
itu. Katanya "Jika ia sadar, bahwa aku ada disini, ia akan
bersikap lain. Tetapi dengan demikian, aku telah terlibat dalam
persoalan perempuan itu"
"Persetan" berkata Jlitheng kemudian "kalau membunuh
disini bukan persoalan yang harus dipertanggung jawabkan,
aku akan membunuh jika perlu"
"Dan kau akan menjadi sandaran perlindungan perempuan
itu?" "Apa peduliku. Aku akan membunuhnya juga seperti lakilaki
Itu" geram Jlitheng.
Laki-laki itu terkejut Dahinya berkerut. Diluar sadarnya ia
berdesis "Kau akan melakukannya"
"Jika kau ingin melindungi perempuan itu, lakukanlah. Aku
tidak peduli" berkata orang itu pula.
Dengan garangnya Jlithengpun menggeram. Kemudian
iapun mengikat kudanya pada tiang gardu itu. Sekilas ia
melihat, laki-laki yang lemah itu terbanting di tanah. Kemudian
dengan liar lawannya telah menginjak dadanya.
Ketika orang itu akan menginjak wajahnya, Jlitheng tidak
tahan lagi. Karena itu, iapun berteriak "Hent ikan kegilaan ini"
Suara Jlitheng ternyata telah mengejutkan orang yang
menjadi liar dan buas itu. Sejenak ia tertegun. Kemudian
dengan suara yang kasar ia membentak "He, binatang
manakah yang telah mencampuri urusanku?"
Jlitheng menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ia telah
melibatkan diri dalam persoalan yang khusus di padukuhan
yang aneh. Namun ia sudah berniat berbuat demikian.
Ketika ia berpaling, dilihatnya orang di dalam gardu itu
telah bergeser dan berlindung pada dinding, sehingga orang
yang sedang marah itu tidak melihatnya.
Dalam pada itu Jlitheng yang melangkah setapak demi
setapak maju, menjawab "Aku melhat tingkah lakumu sejak
semula. "Aku juga melihat kau berhenti di depan gardu Tetapi apa
urusanmu dengan aku.. Aku akan membunuhnya, karena ia
sudah menghina perempuan ini"
"Siapakah perempuan itu?". bertanya Jlitheng.
"Bekas isterinya. Tetapi ia sudah berada di bawah
perlindunganku" "Baru saja. Aku melihat ia lari masuk ke dalam regol
halamanmu. Sementara itu, laki-laki ini tidak memasuki
regolmu. Kenapa kau cegah ia pergi. Bahkan kau akan
membunuhnya?" Wajah laki-laki itu menjadi merah. Dengan lantang ia
berkata "He, tikus gila. Kau belum kenal siapa aku ha?"
"Aku tidak perlu mengenali setiap orang yang melakukan
kejahatan. Aku tidak akan peduli jika kau berselisih dengan
laki-laki yang manapun juga. Kemudian bertempur dengan
jantan. Tetapi yang aku lihat adalah lain. Kau sudah
merampas isterinya dengan dalih apapun. Kemudaan ketika
laki-laki ini sudah meninggalkan regol halamanmu, kaulah
yang mengejarnya tanpa alasan"
"Perempuan itu minta aku membunuhnya" teriak Laki-laki
itu. "Permintaan gila itu akan kau penuhi juga" Ia sudah
berbuat serong. Kemudian ia minta orang lain membunuh
suaminya. He, apakah perempuan yang demikian pantas
dihormati?" Wajah laki-laki itu menjadi merah. Demikian juga
perempuan yang berdiri di depan regol itu, sementara laki-laki
yang terbaring di tanah itu mengerang kesakitan.
Dalam pada itu, ternyata perselisihan itu sudah menarik
perhatian beberapa orang padukuhan itu. Mereka tidak
terbiasa melihat seseorang mencampuri persoalan orang lain.
Namun ternyata seorang laki-laki yang sedang memetik buah
kelapa melihat, Jlitheng telah mencampuri persoalan itu,
Karena itu., maka iapun telah tertarik untuk melihatnya.
Seorang yang lain bertanya kepadanya. Dan jawabnya telah
menjalar kepada beberapa orang yang lain pula, sehingga dari
kejauhan mereka melihat, apa yang akan terjadi dengan orang
yang melibatkan diri tanpa sebab pada perselisihan yang telah
terjadi itu. Pertanyaan Jlitheng itu merupakan pertanyaan yang aneh
di telinga laki-laki yang marah itu. Namun karena itu, ia justru
menjadi semakin marah. Sementara itu, perempuan yang sudah meninggalkan
suaminya itupun menjadi marah pula. Dengan nada tinggi ia
berteriak "Bunuh orang itu kakang. Bukankah kau gegedug
disini?" Orang yang disebutnya gegedug itu menggeram.
Kemarahannya tidak tertahankan lagi. Sementara beberapa
orang yang melihat peristiwa itu. dari kejauhan menjadi
berdebar-debar. Mereka mengenal laki-laki yang disebut gegedug itu.
Mereka mengenal bahwa laki-laki itu memiliki kemampuan
yang tidak ada bandingnya di padukuhan itu, kecuali beberapa
orang yang masih disegani. Meskipun dalam keadaan yang
gawat, orang itu tidak akan mengenal takut kepada siapapun
juga. Namun tiba-tiba seorang yang tidak dikenal telah
mencampuri persoalannya. Bahkan seakan-akan orang itu
telah menantangnya. Menurut tanggapan orang-orang
padukuhan itu, orang yang tidak mereka kenal itu telah
melibatkan diri karena perempuan yang menurut penilaian
orang padukuhan itu memang cantik, muda dan panas.
Tetapi sikap orang yang tidak mereka kenal itu
mengejutkan, ketika ia justru berkata, bahwa perempuan itu
tidak tahu adat. Bahkan ia sudah mengumpati perempuan itu
karena sikapnya. "Apakah maksud laki-laki itu sebenarnya" orang-orang yang
menyaksikan peristiwa itu saing bertanya, karena mereka
tidak mempertimbangkan sama sekali bahwa yang dilakukan
oleh laki-laki yang tidak mereka kenal itu adalah karena
perasaan keadilannya telah tersinggung.
Dalam pada itu, Jlitheng benar-benar sudah bertekad untuk
melawan tingkah laku sewenang-wenang. Mungkin yang
disaksikannya itu adalah peristiwa kecil dibandingkan dengan
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Namun ia angin
mengatakan kepada orang-orang padukuhan itu, bahwa ada
sikap lain dalam hubungan antara manusia daripada tidak
menghiraukan dan tidak mencampuri persoalan orang lain.
Apabila persoalan itu menyangkut martabat bubungan
manusia dan menyentuh rasa keadilan, maka hal itu akan
dapat menarik orang lain untuk melibatkan diri dalam
persoalan itu. Dalam pada itu, sekali lagi terdengar perempuan itu
berteriak "Bunuh saja kakang. Aku tidak mau melihatnya
mencampuri persoalan kita"
Laki-laki yang disebut gegedug itu menggeram. Katanya "
Salahmu sendiri jika aku membunuhmu"
Jlitheng mundur setapak. Ia benar-benar melihat maut
membayang disorot mata orang yang disebut gegedug itu.
Pandangannya yang menyala membuat orang-orang yang
menyaksikan perist iwa itu menjadi semakin berdebar-debar.
Tetapi yang akan dihadapinya adalah orang yang belum
dikenalnya. Dan orang lijtu menyandang pedang di
lambungnya. Agaknya orang itupun bukan orang kebanyakan.
"Aku tidak pernah mengampuni orang yang berani
bertindak deksura kepadaku" geramgegedug itu.
Tetapi Jlitheng menjawab tidak kalah garangnya "Aku telah
menyusuri jalan dari Blambangan sampai ke Banten, Aku telah
bertemu dengan beribu watak manusia. Aku telah menolong,
ditolong, tetapi juga pernah berselisih dan membunuh ratusan
orang. Namun aku belum pernah melihat tingkah laku
seseorang dalam kegilaan seperti ini. Seorang yang merasa
dirinya gegedug, tetapi pengecut yang paling buas dengan
tingkahmu yang sewenang-wenang. Berbuatlah demikian
terhadapku. Jangan terhadap laki-laki yang lemah, yang sudah
merasa dirinya tidak berdaya. Ternyata ia sama sekal tidak
menyentuh regol rumahmu ketika isterinya masuk ke
dalamnya" Orang yang disebut gegedug itu tidak tahan lagi
mendengar kata-kata Jlitheng. Dengan lantang ia berteriak
"Bersiaplah untuk mati"
Namun ketika orang itu siap menyerang, terdengar suara
mendeham dari gardu. Suara yang hanya terdengar lamatlamat.
Ketika orang-orang yang sedang berselisih itu
berpaling, mereka melihat seorang yang berkerudung kain
panjang, turun dari gardu itu dan berjalan tanpa
mengacuhkan apa yang telah terjadi, meskipun ia lewat
melalui beberapa langkah saja dari peristiwa itu.
Meskipun demikian, nampak wajah orang yang disebut
gegedug itu berubah. Ia memandang orang yang berjalan itu
dengan tegang. Gegedug itu beringsut surut, ketika ia melihat orang
berkerudung kain itu berhenti dengan t iba-tiba. Sambil
berpaling kepada Jlitheng orang itu berkata "Bantaradi. Aku
tidak peduli apa yang kau lakukan sekarang. Tetapi aku
menunggumu disimpang tiga itu, Jlika kau berhasil keluar
hidup-hidup dari tempat ini, datanglah. Aku masih mempunyai
beberapa persoalan denganmu"
Sebelum Jlitheng menjawab, maka orang berkerudung kain
itu telah melangkah meninggalkannya.
Sejenak orang yang disebut gegedug itu termangu-mangu.
Namun kemudian katanya "Aku tidak peduli persoalanmu
dengan orang itu. Tetapi kau harus mati"
Jlitheng bergeser setapak lagi surut. Kesan yang sekilas itu
memang menunjukkan, bahwa kawan Cempaka dari Sanggar
Gading itu memang mempunyai pengaruh khusus di
padukuhan itu. Namun dalam pada itu; Jlitheng tidak dapat berpikir lebih
lama lagi. Ketika sekali lagi ia mendengar suara perempuan itu
melengking, maka orang yang disebut gegedug itu telah
meloncat menyerangnya. Tenaganya yang besar terasa pada
desir angin yang menyambar kulit Jlitheng ketika ia berhasil
mengelak dari serangan lawannya.
Jlitheng menyadari, bahwa ia harus berhati-hati. Orang itu
adalah orang yang memiliki tenaga raksasa. Tetapi agaknya
orang itu terlalu percaya kepada kekuatannya, sehingga ia
menjadi kurang berhati-hati
Karena itulah, maka untuk rnenjajagi lawannya, Jlitheng
dengan cepat dan tangkas telah menyerangnya. Tidak dengan
sepenuh tenaganya, meskipun ia cukup berhati-hati.
Orang itu ternyata tidak mengelak. Tetapi dengan kekuatan
raksasanya ia menangkis serangan Jlitheng.
Jlitheng terkejut ketika benturan itu terjadi. Ternyata ia
telah terdorong beberapa langkah surut.
Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi
berdebar-debar. Beberapa orang yang melihat dari kejauhan
menjadi semakin tertarik untuk mendekat.
Mereka terkejut ketika seorang bertubuh pendek, gemuk
dengan berewok di wajahnya, menyibak dianlrara beberapa
orang sambil berdesis "Apa yang terjadi" Kenapa kalian ikut
campur?" "Tidak" sahut seorang anak muda "Kami hanya menonton"
Orang bertubuh pendek dengan berewok di wajahnya itu
berjalan terus. Ketika ia berhenti disebelah orang tua yang
berkumis put ih, ia bertanya "Apa yang seorang itu bukan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang padukuhan ini?"
Orang berkumis putih itu berpaling. Kemudian menjawab
"Orang itu bukan orang padukuhan ini. Entahlah, siapakah
orang yang telah ikut campur itu"
Orang bertubuh pendek itu mengangguk-angguk. Katanya
"Ia akan mat i. Tetapi itu salahnya sendiri"
Ketika orang bertubuh pendek itu kemudian melintas tanpa
menghiraukan perkelahian itu, maka orang-orang yang
menonton saling berbisik "Kalau gegedug yang seorang itu
juga ikut campur, maka arena itu akan semakin ramai"
"Ia tidak akan ikut campur" jawab yang lain "seperti Iblis
bertangan Petir itu. Ia berada di gardu ketika peristiwa itu
mulai. Ternyata orang yang tidak dikenal itu adalah
kawannya" Orang-orang itupun menjadi semakin berdebar-debar. Jika
orang yang tidak mereka kenal, kawan orang yang mereka
beri gelar Iblis bertangan Petir itu juga memiliki kemampuan
yang sama, maka perkelahian itu tentu akan menjadi sangat
seru. "Tetapi ketika terjadi benturan, orang itu terdorong surut
desis seseorang" Kawannya tidak membantah. Mereka memang melihat
Jlitheng terdorong surut beberapa langkah.
Ternyata gegedug yang sedang bertempur itu merasa
bahwa lawannya tidak terlalu kuat. Meskipun ia terdorong juga
setapak, tetapi ia merasa bahwa ia memiliki kekuatan yang
jauh melampaui lawannya. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru,
Jlitheng menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak lagi ingin
membenturkan kekuatannya jika tidak karena terpaksa. Ia
sudah tahu, bahwa lawannya memiliki kekuatan raksasa.
Tetapi itu bukan berarti bahwa kekuatannya tidak dapat
terlawan. Jlitheng lebih senang mempergunakan kecepatannya
tergerak. Ia berloncatan seperti seekor anak kijang. Sekali ia
menyerang dari kiri ke kanan. Tiba-tiba saja ia sudah berada
di sebelah kiri. Jika lawannya berkisar, maka Jlitheng bergerak
dengan cepatnya menyerang dari depan.
Orang yang disebut gegedug itu telah mengerahkan
segenap kemampuannya. Namun yang dilakukannya itu justru
telah membakar jantung. Ternyata ia tidak segera dapat
menguasai lawannya yang mampu bergerak dengan cepat.
Dalam pada itu, orang yang telah terbaring dipinggir jalan
itupun mulai bergerak. Perlahan-lahan ia mulai menyadari
dirinya sendiri. Bahkan kemudian ia mulai dapat melihat
keadaan disekelilingnya. Sejenak ia termangu-mangu. Ia melihat dua orang yang
sedang bertempur dengan dahsyatnya. Yang seorang adalah
laki-laki yang telah mengambil isterinya, dan yang telah siap
untuk membunuhnya, Tetapi ternyata bahwa ia masih tetap hidup.
Ketika orang itu kemudian berusaha untuk bangkit, maka
diamatinya isterinya bertolak pinggang sambil memperhatikan
perkelahian itu. Bahkan sekali-kali perempuan itu berteriak
sekuat-kuatnya "Bunuh. Bunuh saja orang lancang itu"
Tetapi ternyata gegedung itu tidak dengan segera dapat
melakukannya. Bahkan karena ia telah mengerahkan segenap
kekuatannya, maka kekuatannya itupun dengan cepatnya
menjadi susut. Ternyata Jlitheng dengan sengaja tidak menyelesaikan
pertempuran itu dengan serta rnerta. Ia. ingin mempelihatkan
kepadai lawannya, bahwa ilmu yang dimiliki adalah ilmu yang
kasar meskipun kuat. Namun dalam keadaan tertentu
kekuatan raksasa itu t idak akan dapat menguasai keadaan.
Dengan kekuatan yang menghentak-hentak, gegedug itu
berusaha untuk menjatuhkan lawannya. Tetapi Jlitheng
dengan tangkasnya selalu berhasil menghindar dan kemudian
menyerang lawannya dengan kecepatan yang tidak dapat
teratasi Jlitheng tidak berusaha untuk menyerang pada tempattempat
yang gawat. Bahkan ia tidak mempergunakan segenap
kekuatannya. Ia ingin melumpuhkan lawannya sambil
meyakinkannya, bahwa ia bukan apa-apa bagi anak muda
yang telah ikut campur dalampersoalannya itu.
Sebenarnyalah orang itu merasa heran melihat lawannya
yang masih muda. Lawannya mampu bergerak secepat tatit.
Serangannya tidak pernah dapat menyentuh anak muda itu
Namun anak muda itupun jarang sekali mengenainya,
meskipun kesempatan terlalu banyak yang dapat
dipergunakannya. Namun dengan demikian, harga diri gegedug yang disegani
di padukuhannya itu merasa terhina. Apalagi ketika sekali-kali
ia melihat Jlitheng masih sempat tersenyum.
Karena itu, dengan lantang iapun kemudian berteriak
"Ambil tombakku di langkan, Nyai"
Perempuan yang berteriak-teriak Itupun segera
menghambur berlari. Ia mendengar perintah gegedug itu.
Karena itu, maka iapun segera mengambil tombak gegedug
itu yang disimpannya di dalam rumahnya.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi
semakin berdebar-debar. Gegedug itu telah mengambil
pusakanya yang sangat ditakuti oleh orang-orang di
sekitarnya. Bahkan gegedug yang bertubuh pendek yang
lewat tanpa mengacuhkan pertempuran itu, menjadi heran
ketika ia mendengar seseorang membertahukan kepadanya,
selagi ia duduk dengan tenang di gardu yang telah kosong.
Dengan wajah yang tegang, gegedug yang berada di gardu
itu bertanya "Apakah kau t idak mengingau?"
"Tidak" jawab orang yang memberitahukan kepadanya "Ia
benar-benar menyuruh perempuan itu mengambil tombak
pusakanya" Orang bertubuh pendek itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya "Siapakah orang yang tidak dikenal
itu" Aku tidak yakin, bahwa ia dapat melawan kakang Singkir
yang memiHki tenaga raksasa itu. Tetapi jika benar kakang
Singkir menyuruh mengambil tombaknya, itu berarti-bahwa ia
tidak dapat membunuhnya dengan tangannya"
Karena itu, maka ia tidak dapat lagi menahan keinginannya
untuk melihat apa yang terjadi. Meskipun agak segan,
akhirnya ia turun dari gardu dan berjalan mendekati arena
pertempuran. Tetapi ia tidak mau berdiri terlalu dekat, agar ia
tidak terlibat dalam, perkelahian yang telah terjadi sengitnya
itu" Selain gegedug yang bertubuh pendek itu, maka kawan
Cempaka yang oleh tetangga-tetangganya diberi gelar Iblis
bertangan Petir itupun mendengar dari seseorang yang
memberitahukan kepadanya, bahwa gegedug yang sedang
bertempur itu telah menyuruh mengambil tombak pusakanya.
Kawan Cempaka dari Sanggar Gading iku tersenyum. Ia
pernah melihat Jlitheng yang dikenalnya bernama Bantaradi
itu bertempur. Karena itu, maka ia dapat menilai apakah kirakira
yang akan terjadi Dengan demikian, maka ia tidak
beranjak dari tempatnya. Ia masih tetap duduk diatas batu di
dekat simpang di padukuhannya"
Dalam pada itu, perkelahian itupun semakin lama menjadi
semakin menyakitkan hati gegedug yang marah itu. Ia telah
mengerahkan segenap tenaganya. Namun Jlitheng hampirhampir
berkeringatpun tidak. Bahkan semakin lama anak
muda itu justru menjadi semakin tangkas dan bergerak
semakin cepat, sehingga gegedug itu telah hampir kehabisan
nafas. Pada saat yang demikian, maka perempuan yang menjadi
sumber persoalan itu berlari-lari sambil membawa tombak
pendek. Ketika ia berdiri di regol maka iapun berteriak "Ini
tombakmu kakang" Gegedug yang disebut bernama Singkir itupun segera
melompat menghampiri perempuan yang berdiri di regol itu
untuk menerima tombaknya. Sementara itu Jlitheng tidak
berusaha mencegah. Dibiarkannya saja lawannya meloncat ke
regol, meraih tombaknya, dan kemudian terdengar orang itu
tertawa. "Nasibmu memang buruk anak muda" berkata gegedug
yang disebut kakang Singkir itu. Lalu "Kau akan mati dengan
luka arang kranjang. Aku akan menusuk tubuhmu tanpa jarak,
dari ujung ubun-ubun sampai keujung kaki. Tubuhmu tidak
akan berujud lagi sehingga bangkaimu tidak ubahnya dengan
bangkai binatang yang melata tergilas roda pedati"
Sejenak Jlitheng termenung. Namun kemudaan katanya
Memang mengerikan sekali. Karena itu, aku akan berusaha
untuk menghindari kematian yang demikian"
Lawannya termangu-mangu sejenak. Tetapi Jlitheng
kemudian menjelaskan "Aku akan melawan dan akan
mematahkan tombakmu sehingga kau tidak akan mampu
melakukan seperti yang kau katakan"
Kemarahan orang yang bernama Singkir itu tidak dapat
ditahan lagi. Dengan serta merta iapun meloncat menyerang
Jlitheng dengan ujung tombaknya.
Tetapi Jlitheng sudah menduga bahwa orang itu akan
segera menyerangnya. Karena itu, maka iapun segera
meloncat menghindar. Dengan demikian maka tombak
lawannya itu sama sekali t idak menyentuhnya.
Dengan kemarahan yang membakar jantung, maka
gegedug yang selama itu ditakuti oleh bukan saja penduduk di
padukuhannya, tetapi juga oleh padukuhan disekitarnya itu,
segera mengerahkan segenap kemampuan ilmunya untuk
mengakhiri perkelahian itu.
Tetapi lawannya terlalu kuat. Anak muda itu mampu
bergerak dengan kecepatan yang tidak terduga. Kadangkadang
Singkir justru menjadi kehilangan arah serangannya,
karena lawannya berada di tempat yang tidak diduganya.
Meskipun demikian, ternyata Jlitheng kemudian merasa,
bahwa serangan lawannya yang bagaikan gila itu telah
menyusutkan tenaganya. Ia harus bergerak lebih cepat,
karena ujung senjata lawannya yang menyambar-nyambar.
Dalam pada itu, orang-orang yang memperhatikan
pertempuran itu menjadi bertambah tegang. Gegedug yang
bertubuh pendek itupun bagaikan membeku di tempatnya. Ia
tidak menduga, bahwa anak muda yang bertempur dengan
orang yang disebutnya Singkir itu memiliki kemampuan yang
mendebarkan jantung. Bahkan beberapa orang yang berdiri
agak jauh dari arena itupun rasa-rasanya menjadi gemetar.
Ketegangan yang luar biasa telah mencengkam mereka pula.
Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan, apakah
yang bakal terjadi dengan kedua orang yang sedang
bertempur itu. Mereka telah menyaksikan, betapa tombak
gegedug yang disebut Singkir itu meluncur mematuk,
kemudian menyambar dan berpujtar dengan melontarkan
sambaran angin diseputarnya.
Sejenak Jlitheng terdesak beberapa langkah. Putaran
tombak itu memang berbahaya baginya. Agaknya orang yang
bernama Singkir itu benar-benar mengenal dan memahami,
bagaimana ia harus bermain-main dengan senjatanya itu.
Karena itu, akhirnya Jlitheng mengambil keputuaan, bahwa
ia tidak ingin terjerat oleh sikapnya. Ia harus berhati-hati
dalam keadaan yang meskipun nampaknya tidak akan
membahayakannya. Namun lambat laun, terasa bahwa ia
harus berbuat lebih banyak lagi.
Dengan demikian, ketika tombak lawannya terayun-ayun
dan kemudian mematuk dengan dahsyatnya, Jlitheng
meloncat surut. Dengan gerak yang tidak dapat diikuti dengan
tatapan mata orang kebanyakan, tiba-tiba saja Jlitheng telah
menggenggam pedang ditanganinya.
"Marilah" berkata Jlitheng "permainan kita akan semakin
mengasikkan" berkata Jlitheng kemudian.
Pedang yang tipis itupun segera bergetar di tangan
Jlitheng, sementara lawannya menjadi termangu-mangu
sekejap. Gegedug itu menyadari betapa tinggi kemampuan
lawannya. Disaat lawannya tidak memegang senjata ditangan,
ia tidak segera dapat mengalahkannya. Apalagi jika kemudian
ia membawa senjata. Meskipun demikian orang yang bernama Singkir itu tidak
mau surut. Ia bahkan menjadi seakan-akan gila. Bahkan
lambat laun ia mulai kehilangan pengamatan diri dan
perhitungan. Serangan-serangannya menjadi liar dan tidak
terkendali. Tetapi perhitungan dan pertimbangannyapun
menjadi semakin kabur. Pertempuran dengan senjata itu agaknya menjadi semakin
menarik perhatian. Gegedug yang bertubuh pendek itu
menjadi tegang. Singkir adalah orang yang memiliki kelebihan
dari orang-orang lain di padukuhan itu. Namun ternyata ia
tidak dapat berbuat banyak menghadapi orang yang tidak
dikenal itu. Orang-orang yang melihat pertempuran itupun menjadi
semakin banyak, meskipun mereka tidak berani mendekat
Mereka tidak mau terlibat dalam perselisihan itu. Perselisihan
antara gegedug itu dengan suami dari perempuan cantik yang
berdiri dengan gelisah di depan regol. Dan merekapun tidak
mau dianggap terlibat dalam pertempuran yang sengit itu.
Keributan itu ternyata telah menarik perhatian orang yang
di gelari Iblis bertangan Petir. Ia tidak tenang lagi duduk
disimpang tiga. Ia mendengar beberapa orang mengatakan,
bahwa telah terjadi perang dengan senjata.
"Apakah Bantaradi itu tidak segera dapat menyelesaikan
lawannya?" Iblis bertangan Petir itu bertanya kepada diri
sendiri. Namun karena itu, maka iapun segera berdiri dan
dengan segan melangkah mendekati arena. Tetapi iapun tidak
berdiri terlalu dekat. Ia berada diantara orang-orang lain yang
memperhatikan pertempuran itu disela-sela pepohonan
halaman dan kebun disekitar arena perkelahian itu.
Namun ketika ia sudah memperhatikan perkelahian itu
beberapa saat, ia menarik nafas dalam-dalam Kepada diri
sendiri ia berkata "Bantaradi memang gila. Ia mempermainkan
lawannya" Sebenarnyalah, ketika Jlitheng telah memegang pedang
tipisnya, ternyata bahwa lawannya sama sekai tidak berdaya
dengan tombaknya. Betapapun liar dan buasnya gegedug itu.
namun ia benar-benar menjadi sasaran permainan J litheng.
Serangan-serangannya sama sekali tidak mampu menembus
kelincahan gerak pedang tipis anak muda itu. Meskipun ia
mengerahkan tenaga raksasanya, namun dengan mudah


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jlitheng dapat menghindar atau sekedar mengibaskan
serangan itu kesamping. Namun sementara itu, ternyata Jlithengpun tidak
melukainya. Ia tidak dengan sungguh-sungguh menyerang
jantung dan tempat-tempat berbahaya yang lain. Bahkan ia
sama sekali tidak ingin menggoreskan sebaris kikapun pada
tubuh lawannya, Yang dikehendaki oleh Jlitheng adalah, bahwa lawannya
akan jatuh karena kelelahan.
Dengan demikian, Jlitheng ingin menunjukkan sikap yang
lain dari sikap yang dijumpai oleh orang-orang padukuhan itu
sehari-hari. Bahwa seseorang dapat berbuat lain dari
kekerasan dan dendam. Kekerasan dan kebuasan. Bahwa
seseorang yang berhasil mengalahkan orang lain itidak harus
berbuat sewenang-wenang dalam kemenangannya. Dan
bahwa kemenangan bukannya kekuasaan yang sebenarnya.
Orang yang disebut Iblis bertangan Petir memperhatikan
pertempuran itu dengan seksama. Namun ia mempunyai
tanggapan tersendiri. Ia menganggap bahwa Jlitheng telah
menghina lawannya dan dengan sengaja mempermainkannya.
Karena itu, maka nampak bibirnya sekali-kali tersenyum.
"Memang menyenangkan" katanya di dalam hati
"kesempatan untuk bermain-main seperti itu jarang sekali
didapatkan. Seperti seekor kucing yang mempermainkan
seekor tikus kecil yang tidak berdaya"
Yang mempunyai tanggapan yang lain adalah gegedug
yang bertubuh pendek. Ia melihat sikap itu benar-benar suatu
penghinaan bukan saja bagi Singkir. Tetapi penghinaan bagi
seluruh padukuhan yang ditakuti oleh orang-orang
diisekitarnya, bahkan sampai ke padukuhan yang agak jauh
letaknya. Karena itu, yang kemudian melonjak di dalam jantungnya
adalah perasaan harga diri. Harga diri bagi sesama gegedug
yang kondang. Tetapi untuk beberapa saat ia masih menahan diri untuk tidak
mencampuri persoalan itu. Namun ketika gegedug yang
Cinta Pembawa Maut 1 Goosebumps - Darah Monster 2 Tembang Tantangan 4
^