Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 19

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 19


Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat menolak niat isterinya itu untuk pergi.
"Besok pagi-pagi sekali kita berangkat. Kita akan keluar dari rumah ini sebelum tetangga-tetangga kita bangun."
Ki Citra Jati hanya dapat mengangguk-angguk saja.
Hari itu adalah hari terakhir mereka berdiri merenungi pohon soka yang sedang berkembang. Barunilah yang menanam pohon soka itu. Setiap hari disiraminya pagi dan sore. Ketika kuncup-kuncup bunga yang berwarna kemerahan-merahan mulai nampak ujung ranting-rantingnya. Baruni menjadi sangat gembira. Namun tiba-tiba saja ia harus meninggalkannya.
Baruni terkejut ketika tiba-tiba saja. Setiti sudah berdiri di belakangnya. Katanya, "Bukankah kita akan kembali lagi, Baruni" Jika kita kembali kelak, bunganya tentu sedang mekar."
"Kasihan kembang yang baru kuncup ini, Setiti. Tidak ada yang akan menyiramnya. Mungkin batangnya akan layu. Kuncup bunga itu akan runtuh sebelum mekar."
"Tidak. Pohon soka itu akan dapat bertahan. Akarnya sudah jauh menghunjam kedalam bumi. Pohon soka ini tidak akan mati."
Baruni menarik nafas dalam-dalam.
"Marilah," Setiti-pun menggandeng Baruni masuk ke dapur.
Malam itu, seisi rumah itu tidak segera dapat tidur. Ada kegelisahan yang menyelinap di dada mereka. Rasa-rasanya sangat berat bagi mereka untuk meninggalkan rumah itu.
Tetapi Nyi Citra Jati ingin memberi kesempatan kepada Srini untuk membuktikan, apakah dongeng yang tentu didengarnya tentang harta karun itu benar atau tidak.
Meski-pun demikian, setelah setiap jengkal tanah digalinya tanpa menemukan apa-apa, Srini masih saja dapat mengira, bahwa harta karun itu telah disembunyikan di tempat yang lain.
Padmini masih duduk di bibir pembaringan sampai menjelang tengah malam. Baruni dan. Setiti sudah berbaring sejak mereka memasuki bilik mereka. Tetapi Baruni dan Setiti-pun tidak juga segera dapat tidur.
"Tidurlah," berkata Padmini kepada mereka, "besok kita akan bangun pagi-pagi sekali. Ibu menghendaki agar kita berangkat sebelum tetangga kita terbangun."
"Mbokayu," desis Baruni, "apakah dengan demikian, para pengikut mbokayu Srini melihat kepergian kita" Bukankah ibu ingin agar mereka tahu, bahwa kita tidak membawa harta karun itu sehingga mbokayu Srini akan mencarinya disini."
"Nampaknya mbokayu Srini memasang orang-orangnya untuk mengawasi kita siang dan malam. Bahkan setiap saat. Kita tidak tahu, di mana mereka bersembunyi, meski-pun seandainya dikehendaki ayah dan ibu tentu akan dapat menemukannya."
Setitilah yang kemudian bertanya, "Tentu bukan atas kehendak mbokayu Srini sendiri."
"Ya, iblis sudah merasuk kedalam jiwanya. Kakang Gunung !Lamuklah yang telah menyusupkan iblis itu kedalam jiwa mbokayu. Srini."
"Gunung Lamuk sendirilah iblis itu, mbokayu," desis Setiti.
Padmini memandang Setiti sejenak. Namun kemudian ia-pun mengangguk. Katanya, "Ya. Gunung Lamuk sendirilah iblis itu."
"Kasihan mbokayu Srini. Sebelum ia kenal dengan Gunung Lamuk, mbokayu Srini adalah seorang gadis yang baik."
"Ibu dan ayah juga kasihan," sahut Baruni.
"Sudahlah. Tidurlah," potong Baruni.
"Kau sendiri tidak tidur, mbokayu?"
Padmini menarik nafas panjang. Namun ia-pun membaringkan dirinya pula diantara Baruni dan Setiti.
Pamekas juga merasa gelisah. Tetapi karena ia sendiri di dalam biliknya, maka ia hanya dapat merenungi langit-langit. Sekali-sekali terdengar ia berdesah. Namun kemudian dicobanya untuk memejamkan matanya.
Malampun semakin lama menjadi semakin dalam. Yang terdengar kemudian adalah derik bilalang di rerumputan.
Meski-pun Glagah Putih dan Rara Wulan juga tidak segera dapat tidur, namun mereka sudah berbaring di pembaringannya. Sekali-sekali masih terdengar mereka berkata-kata. Namun suara mereka tidak terdengar dari luar bilik mereka.
"Aku juga bukan seorang penurut," desis Rara Wulan, "aku seakan-akan juga lari dari rumah. Tetapi aku masih tetap seorang anak bagi ayah dan ibuku."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Tetapi bukankah kedua orang tuamu tidak berkeberatan?"
"Ya. Meski-pun bagi mereka bukan yang terbaik."
Glagah Putih tidak menyahut.
Beberapa saat kemudian, rumah itu benar-benar menjadi sepi. Tidak lagi terdengar suara seseorang. Bahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun telah berada di dalam bilik mereka pula. Keduanya saling berdiam diri, dicengkam oleh angan-angan mereka masing-masing.
Ketika ayam berkokok untuk yang ketiga kalinya, maka seisi rumah itu sudah siap. Pamekas sudah menyiapkan kuda mereka. Agaknya Pemekas tidak sampai hati meninggalkan kuda mereka di dalam kandang. Sementara itu sepasang lembu mereka masih berada di rumah seorang tetangga yang menggarap sawah mereka. Adalah kebetulan sawah mereka itu sedang dibajak. Daripada hilir mudik mengambil dan mengembalikan sepasang lembu yang dipergunakan untuk membajak setiap hari, maka Ki Citra Jati telah membiarkan lembunya berada di rumah tetangganya itu.
"Jika pada saatnya ia datang untuk mengembalikan sepasang lembu itu, tetapi didapatinya rumah ini kosong, maka ia tentu akan membawa lembu itu kembali ke rumahnya," berkata Ki Citra Jati pada saat mereka berangkat meninggalkan rumah mereka.
Barunilah yang terakhir keluar dari regol halaman rumahnya. Ia masih menyempatkan diri menyiram pohon soka yang ditanamnya. Jauh lebih banyak dari biasanya. Seakan-akan Baruni ingin menyediakan minum bagi pohon sokanya untuk dua bulan mendatang.
Seperti yang pernah mereka lakukan, maka mereka tidak bersama-sama melewati satu jalur jalan. Mereka telah keluar dari padukuhan itu melalui tiga jalur jalan.
Namun ketika matahari terbit, mereka telah bergabung kembali. Tetapi mereka sudah berjalan semakin jauh dari tempat tinggal mereka.
"Tetangga tetangga kita tentu akan terkejut," berkata Ki Citra Jati.
"Kita sudah terbiasa pergi," sahut Nyi Citra Jati. "Tetapi biasanya ada yang tinggal di rumah."
"Kita sedang dalam keadaan tidak biasa."
Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Sebelum berangkat, Pamekas juga sudah melepaskan kambing-kambingnya. Mudah-mudahan rumput di kebun belakang mencukupi. Jika tidak, maka kambing-kambing itu tentu akan turun ke jalan. Seorang remaja yang tinggal di ujung jalan, akan mengenali kambing-kambing itu, karena anak itulah yang sering menggembalakannya di padang rumput. Sedangkan beberapa puluh ekor ayam akan dapat mencari sendiri makannya di halaman dan di kebun belakang.
Demikianlah, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati telah membawa enam orang anak angkatnya, dua orang di antaranya adalah suami istri, berjalan menyusuri jalan menuju ke sebuah padepokan yang jauh. Di antara anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang pernah mengunjungi padepokan itu baru Padmini dan Pamekas. Setiti dan Baruni masih belum pernah pergi ke padepokan itu. Apalagi Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Citra Jati-pun berkata kepada Glagah Putih, "Kita menjadi semakin jauh dari Wirasari."
Tetapi yang menyahut adalah Nyi Citra Jati, "Bukankah tidak apa-apa, ngger. Meski-pun jaraknya menjadi jauh, namun kalian akan mendapat kesempatan lebih luas untuk melihat-lihat keadaan Wirasari."
"Aku bermaksud mengantarkan Glagah Putih ke Wirasari."
"Jika demikian, bukankah kebetulan jika Rara Wulan bersama kami akan berada di padepokan."
"Terima kasih, ibu. Tetapi aku ingin ikut kakang Glagah Putih pergi ke Wirasari," desis Rara Wulan.
"Kenapa kau juga harus pergi" Aku setuju jika Glagah Putih saja diantar oleh ayahmu pergi melihat-lihat keadaan Wirasari. Bukankah Ki Saba Lintang sudah tidak ada di Wirasari?"
Rara Wulan termangu-mangu sejenak, sementara Glagah Putih yang menjawab, "Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya ayah. Tetapi bukankah lebih baik jika kami berdua sajalah yang pergi" Kami tidak ingin terlalu merepotkan ayah dan ibu."
Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, "Seorang yang sudah tua kadang-kadang masih juga ingin melakukan sesuatu yang berani" Seorang yang merasa dirinya sudah tidak berarti sama sekali, maka ia akan merasa pula bahwa hidupnya sudah berhenti."
"Tetapi orang lain berharap untuk dapat menikmati hari-hari tuanya dengan tenang."
"Mungkin," Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Aku juga ingin hidupku tenang di hari tua Glagah Putih. Tetapi aku tidak kehilangan greget."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia akan membicarakannya setelah mereka sampai di padepokan yang belum pernah dilihatnya itu.
"Jalan ini menuju ke Cengkalsewu, kita berbelok ke kiri. Kita akan sampai di padepokan."
"Di senja hari kita akan sampai," berkata Pamekas.
"Ya. Kurang atau lebih sedikit."
Rara Wulan yang mendengar pembicaraan keduanya-pun kemudian berjalan di sebelah Padmini sambil bertanya, "Apakah kau pernah tinggal di padepokan itu, Padmini?"
"Belum mbokayu. Tetapi aku pernah pergi kesana bersama Pamekas, mbokayu Srini dan ayah serta ibu. Kami hanya beberapa hari berada di padepokan itu."
"Ada berapa orang cantrik atau mentrik di padepokan itu?"
"Tidak banyak, mbokayu. Padepokan itu padepokan kecil saja. Apalagi setelah ayah dan ibu serta saudara-saudara seangkatannya berpencar. Nampaknya perguruan yang sekarang dipimpin oleh kakang Mlaya Werdi itu menjadi semakin surut dibanding dengan masa-masa sebelumnya, pada saat ayah dan ibu masih berada di perguruan itu."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Belum tentu jika perguruan kecil itu menjadi semakin surut. Kebesaran sebuah perguruan tidak hanya diukur oleh jumlah murid yang berguru di perguruan itu. Tetapi juga orang-orang berilmu yang telah dihasilkannya."
Padmini-pun mengangguk-angguk. Katanya, "Aku hanya menirukan penilaian ayah dan ibu atas padepokan itu. Bahkan ayah dan ibu menyatakan keprihatinannya atas surutnya perguruan mereka itu."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, mereka berjalan terus diteriknya cahaya matahari. Semakin lama terasa semakin panas. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati sudah menjadi semakin tua itu berjalan di depan. Tidak ada tanda-tanda bahwa keduanya ingin berhenti untuk beristirahat
Padmini sekali-sekali berpaling kepada kedua adiknya yang berjalan di belakang. Setiti dan Baruni. Keduanya masih berjalan secepat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Keduanya juga tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka sudah menjadi letih.
Meski-pun demikian, sedap kali keduanya mengusap keringat yang membasahi kening.
Glagah Putih dan Pamekaslah yang kemudian berjalan di paling belakang sambil mengamati Setiti dan Baruni.
Bahkan Padmini dan Rara Wulan-pun kemudian berjalan di sebelah-menyebelah mereka berdua pula.
"Apakah kalian letih?" bertanya Padmini hampir berbisik.
Tetapi keduanya menggeleng sambil berdesis hampir berbarengan, "Tidak mbokayu."
"Jika kau letih, biarlah aku menyampaikannya kepada ayah dan ibu. Kita akan beristirahat barang sebentar."
"Tidak. Kami tidak letih," sahut Setiti.
Padmini menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Sementara itu Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang sedang merenungi anak kandungnya yang lepas dari kendali itu, agaknya tidak sempat menghiraukan anak-anak angkatnya yang berjalan mengikuti mereka. Angan-angan mereka sepenuhnya dicengkam oleh kegelisahan mereka memikirkan anak kandung mereka yang terperosok kedalam kuasa iblis.
Matahari-pun merayap ke sisi barat langit. Panasnya bagaikan membakar bulak yang luas disekeliling mereka. Di depan mereka terbentang jalan yang panjang seakan-akan menusuk cakrawala.
Akhirnya Padmini yang melihat wajah Setiti dan Baruni yang bagaikan terbakar itu, memberanikan diri untuk menyampaikannya kepada Nyi Citra Jati meski-pun Setiti dan Baruni sendiri sebenarnya berkeberatan.
"Kami tidak letih, mbokayu," berkata Setiti.
Tetapi Padmini mengusap pipi Baruni sambil berdesis, "Pipimu merah seperti terbakar. Keringatmu membuat pakaianmu seperti direndam air."
Baruni tidak menjawab. "Ibu," desis Padmini ketika ia sudah berada selangkah di belakang Nyi Citra Jati.
Nyi Citra Jati berpaling sambil bertanya, "Ada apa Padmini?"
"Nampaknya Baruni dan Setiti menjadi letih meski-pun mereka tidak mengatakannya."
Nyi Citra Jati terkejut. Tiba-tiba saja ia sadar, bahwa mereka berjalan bersama Setiti dan Baruni. Karena itu, maka menghampiri Setiti dan Baruni. Ditepuknya wajah kedua anak angkatnya itu sambil berkata, "Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri Setiti dan Baruni. Kita akan beristirahat. Kalian lihat segerumbul pepohonan itu" Kita akan berteduh. Jika saja digerumbul itu ada air. Jika tidak, maka di padukuhan di depan, kita akan mendapatkan air."
"Kami tidak letih, ibu," berkata. Setiti.
Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, "Kau lihat pategalan itu" Biasanya di pategalan terdapat sumur."
Setiti dan Baruni tidak menolak. Sehingga dengan demikian, maka Ki Citra Jati dan keluarganya itu-pun berjalan menyusuri jalan sempit menuju ke segerumbul pepohonan di pategalan.
"Mudah-mudahan di sekitar segerumbul pepohonan di pategalan itu terdapat air. Pemilik pategalan itu tentu tidak akan marah jika kami hanya sekedar minta minum."
Beberapa saat mereka sampai ke pategalan itu. Mereka melihat dua orang laki-laki dan perempuan, yang nampaknya suami istri, sedang duduk berteduh dibawah pepohonan yang rindang. Agaknya mereka sedang beristirahat setelah menyiangi tanaman di pategalan itu.
Ternyata mereka melihat sebuah sumur dan senggol timba diatasnya.
Melihat beberapa orang yang datang menghampiri pategalannya, suami istri itu-pun segera bangkit berdiri, menyongsong ke mulut pagar bambu yang mengelilingi pategalannya.
"Maaf Ki Sanak," Ki Citra Jarilah yang berjalan di paling depan
"kami sedang dalam perjalanan ke Cengkalsewu. Anak-anak kami kehausan di perjalanan. Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, kami minta air."
"O," laki-laki itu mengangguk-angguk, "silahkan, silahkan Ki Sanak. Airku tidak akan kering seberapa-pun banyaknya kalian minum."
"Terimakasih, Ki Sanak," sahut Ki Citra Jati yang kemudian berkata kepada anak-anaknya, "atas kebaikan hati pemilik pategalan ini, kalian diperkenankan mengambil air untuk minum."
"Tidak hanya untuk minum," berkata pemilik pategalan, "jika ada diantara kalian akan mandi, silahkan. Sumurku airnya cukup dalam meski-pun di musim kering. Aku membuat sumur itu di mangsa ketiga ngerak."
Pamekaslah yang kemudian menimba air untuk saudara-saudaranya. Mereka memang tidak hanya minum, tetapi mereka telah mencuci muka mereka, sehingga terasa tubuh mereka menjadi segar.
"Apakah kalian tinggal di Cengkalsewu?" bertanya pemilik pategalan itu.
"Saudara kami tinggal di Cengkalsewu, Ki Sanak," jawab Ki Citra Jati.
Pemilik pategalan itu mengangguk-angguk. Tetapi orang itu memang tidak banyak bertanya.
Demikianlah setelah beristirahat sejenak, serta tubuh mereka sudah menjadi segar kembali, maka mereka-pun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
"Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih, Ki Sanak," berkata Ki Citra Jati kemudian.
Ki Citra Jati sekeluarga itu masih menempuh perjalanan beberapa lama. Seperti yang mereka perkirakan, maka ketika senja turun, mereka sudah menjadi semakin dekat dengan padepokannya yang mereka tuju. Mereka sudah meninggalkan jalan yang menuju ke Cengkalsewu, berbelok ke kiri. Dalam keremangan cahaya matahari senja, mereka melihat seleret bayangan hutan di kejauhan.
Tetapi mereka tidak akan berjalan sampai ke hutan itu. Dari hutan itu padepokan yang mereka tuju itu masih di antarai oleh sebuah padang perdu yang luas, sawah serta pategalan yang digarap oleh para penghuni padepokan itu atas ijin Ki Demang di Cengkalsewu.
Senja-pun semakin lama menjadi semakin kelam. Ketika mereka mendekati pintu gerbang padepokan, maka jantung Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menjadi berdebar-debar. Sudah agak lama mereka tidak pergi ke padepokan yang dipimpin oleh Mlaya Werdi, murid tertua dari Ki Brajanata, kakak seperguruan Ki Citra Jati yang mendapat limpahan kekuasaan atas padepokan itu dari guru mereka.
Dari kejauhan mereka melihat sebuah oncor terpasang di salah satu tiang regol halaman padepokan yang dikelilingi oleh dinding yang agak tinggi. Dinding yang dibuat dari potongan-potongan balok kayu yang berdiri berjajar rapat. Kayu yang ditebang dari hutan di seberang padang perdu. Yang satu sama lain diikat dengan tali ijuk yang kuat.
"Itulah padepokan itu," desis Pamekas.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Padepokan itu cukup luas."
"Tidak terlalu banyak orang yang tinggal di padepokan itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Di Jati Anom, padepokan yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing adalah padepokan yang tidak lebih besar dalam ukuran kewadagatn dengan padepokan itu."
"Apakah kakang berasal dari padepokan itu?"
Glagah Putih menggeleng. Katanya, "Aku tidak berasal dari sebuah padepokan. Aku berguru kepada kakak sepupuku dan kepada orang-orang berilmu yang lain tanpa harus tinggal di sebuah padepokan. Sebagaimana Rara Wulan berguru kepada ibu sekarang ini."
Pamekas itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku juga tidak tinggal di sebuah padepokan."
"Ya. Kau berguru kepada ibu sebagaimana saudara-saudara kita yang lain."
"Kepada ibu dan kepada ayah. Ibu dan ayah adalah saudara seperguruan. Tetapi perkembangan ilmu mereka berbeda."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia-pun berkata, "Meski-pun kemudian timbul perbedaan karena pengaruh lingkungan, pengalaman dan tantangan yang pernah dihadapinya, tetapi dasar-dasar ilmunya tentu sama. Karena itu, kalian tidak mengalami kesulitan meski-pun kalian harus berlatih sekali-sekali bersama ayah dan sekali-sekali bersama ibu."
"Kakang," Pamekas itu bersungguh-sungguh, "bagaimana Kakang dapat dengan cepat menyesuikan diri berlatih bersama ayah untuk dapat menguasai permainan rinding itu" Bagaimana pula mbokayu Rara Wulan tidak mengalami benturan di dalam dirinya pada saat ia menjalani laku untuk mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce itu?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Kami yang menjalani laku, serta ayah mau-pun ibu yang menuntun kami sampai pada patrap, mampu menyesuaikan diri. Pada saat kami mulai, maka kami saling mempelajari unsur-unsur yang ada pada ilmu kami masing-masing. Karena kami sudah menguasainya dengan baik, maka kami dapat memilih pada kesempatan serta jalur yang paling sesuai Kami masing-masing harus mampu menyusup di celah-celah hambatan yang mungkin ada. Karena itu kami memerlukan waktu untuk saling menyesuaikan diri. Semakin berat laku yang harus dijalani, maka semakin banyak diperlukan waktu untuk menyesuaikan diri itu."
Pamekas mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat bertanya lagi. Mereka sudah berada di regol halaman padepokan.
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang berjalan di paling depan berhenti di depan pintu regol yang sedikit terbuka, sehingga dengan demikian yang lain-pun telah berhenti pula.
"Sudah lama aku tidak menginjakkan kakiku di halaman padepokan ini," berkata Ki Citra Jati, "mudah-mudahan padepokan ini dapat menerima kita semuanya dengan baik."
"Tentu," Nyi Citra Jatilah yang menjawab, "bukankah kita tidak berniat buruk?"
Ki Citra Jati mengangguk-angguk.
Perlahan-lahan Ki Citra Jati mendorong pintu regol. Semakin lama semakin lebar. Halaman itu nampak sepi. Yang nampak adalah pepohonan dan gerumbul-gerumbul pohon bunga yang bagaikan membeku di keremangan senja.
Mereka melihat di pendapa bangunan induk padepokan itu sudah menyala. Bahkan di beberapa bangunan yang lain-pun lampu minyak telah menyala pula.
"Sepi, Nyi," desis Ki Citra Jati. "Marilah. Kita pergi ke pendapa."
Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anak angkatnya itu-pun segera melangkah ke pendapa, meski-pun ada perasaan ragu di hati mereka.
Namun dalam pada itu, mereka-pun terkejut. Tiba-tiba saja pintu regol padepokan itu berderit.
Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat pintu regol halaman padepokan itu menutup rapat. Terdengar derak selarak pintu yang agaknya telah dipasang dari luar.
"Ada apa?" Padmini berdesis.
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun berhenti. Mereka saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Citra Jati itu-pun berkata, "Marilah. Kita tidak berniat buruk."
Beberapa langkah mereka berjalan. Namun mereka-pun berhenti lagi ketika mereka melihat seseorang keluar dari pintu pringgitan, berjalan melintasi pendapa dan berhenti di tangga.
"Berhenti disitu," berkata orang yang berdiri di tangga itu.
"Mlaya Werdi," Ki Citra Jati-pun menyapanya, "apakah kau lupa kepadaku, kepada bibimu dan kepada adik-adikmu yang ada di antaranya pernah aku ajak kemari."
Namun ketika Ki Citra Jati melangkah maju, maka sekali lagi Mlaya Werdi itu-pun berkata, "Berhenti disitu paman. Jangan maju lagi."
"Ada apa Mlaya Werdi?"
"Kami akan menangkap paman, bibi dan adik-adikku yang datang bersama paman dan bibi. Maaf. Tetapi kami harus melaksanakannya. Aku adalah penguasa di padepokan ini. Kedudukanku sah paman. Paman dan bibi tahu itu."
"Ya. Aku tahu. Kau adalah pemimpin padepokan ini. Kedudukanmu sah. Kau menerima apa yang seharusnya kau terima."
"Paman dan bibi jangan berpura-pura."
"Ada apa sebenarnya di sini, ngger?" bertanya Nyi Citra Jati.
"Sampai hari ini aku masih mempercayai paman dan bibi serta adik-adikku semuanya Tetapi hanya sampai pagi tadi."
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Nyi Citra Jati.
"Apakah adikmu Srini datang kemari?"
Mlaya Werdi menggeleng. Katanya, "Tidak Srini tidak datang kemari."
"Lalu apa yang telah terjadi."
Mlaya Werdi tidak menjawab. Namun ia-pun segera memberi isyarat dengan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Tiba-tiba saja dari balik pepohonan, dari balik gerumbul-gerumbul pohon bunga, dari balik perdu, berloncatan beberapa orang dengan senjata di tangan.
Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anaknya terkejut. Hampir diluar sadar, mereka-pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
"Paman dan bibi," berkata Mlaya Werdi, "aku tahu, bahwa paman dan bibi adalah sepasang suami isteri yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi apa-pun yang terjadi, kami akan mempertahankan diri."
Ki Citra Jadi yang berdebar-debar itu-pun bertanya, "Mlaya Werdi. Apa sebenarnya yang telah terjadi di sini. Katakan. Mungkin kami dapat memberikan penjelasan."
"Paman dan bibi tidak usah berpura-pura. Sekarang, paman, bibi dan adik-adik menyerah untuk kami tangkap, atau kami harus mempergunakan kekerasan."
"Mlaya Werdi," berkata Ki Citra Jati, "baiklah, kami menyerah. Jika kalian ingin menangkap kami, tangkaplah. Kami tidak akan melawan meski-pun kami tidak tahu persoalannya."
"Sudahlah, paman. Kenapa paman masih saja berpura-pura" Jika paman ingin menghancurkan kami, tangkaplah. Kami tidak akan melawan meski-pun kami tidak tahu persoalannya."
"Sudahlah, paman. Kenapa paman masih saja berpura-pura" Jika paman ingin menghancurkan kami, lakukanlah. Tetapi sudah aku katakan, bahwa kami akan mempertahankan diri."
"Ngger, Mlaya Werdi," berkata Nyi Citra Jati, "sebenarnyalah kami datang untuk mengungsi. Kami ingin menumpang dipadepokan ini. Tiba-tiba saja kami menjumpai persoalan yang memang sebenarnyalah tidak kami mengerti."
Pembicaraan itu terhenti. Dari ruang dalam pada bangunan induk itu keluar seseorang yang sudah seumur dengan Ki Citra Jati. Demikian ia keluar, sebelum ia melawati pringgitan, orang itu sudah berteriak, "Kakang Citra Jati. Meski-pun kakang dan Yu Citra Jati memiliki ilmu tanpa tanding, namun untuk kepentingan anak-anak aku bersedia menjadi banteng. Kakang dan Yu Citra Jati tidak usah berpura-pura lagi. Mari, kita akan menakar ilmu. Mungkin akan banyak jatuh korban di pihak kami. Tetapi itu tidak akan mengendorkan niat kami menangkap dan menahan kakang dan Yu Citra Jati."
"Adi Wasesa," sapa Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati hampir berbareng.
"Kakang dan mbokayu masih mengenal aku. Aku datang untuk melindungi padepokan ini sejauh dapat aku lakukan."
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati saling berpandangan sejenak. Dengan nada rendah Nyi Citra Jati berkata, "Kau benar kakang. Seharusnya kakang lebih dahulu datang kemari menemui Mlaya Werdi."
"Sudahlah," berkata Ki Citra Jati yang kemudian berkata lantang, "Mlaya Werdi dan kau adi Wasesa. Kami menyerah. Kami tidak akan melawan."
"Jangan mencoba menjebak kami, kakang."
Ki Citra Jati menarik nafas panjang. Katanya, "Jadi apa yang harus kami lakukan. Kalian minta kami menyerah. Ketika kami menyatakan menyerah, kalian curiga, bahwa kami akan menjebak kalian."
Mlaya Werdi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata kepada para cantrik, "Ikat mereka dan bawa ke barak ketiga. Jangan dilepaskan ikatan tangan mereka. Jaga barak itu baik-baik."
Beberapa orang-pun segera berlari-lari mengepung Ki Citra Jati beserta isteri dan anak-anaknya.
Meski-pun jantung mereka merasa bergejolak, namun mereka harus menyerahkan pergelangan tangan mereka untuk diikat dengan tali yang kuat Anyaman lawe.
Bukan saja tangan mereka diikat, tetapi senjata yang ada pada mereka-pun telah diambil pula. Demikian pula pedang di lambung Glagah Putih dan RaraWulan.
Sejenak kemudian, Ki Citra Jati sekeluarga telah didorong masuk ke dalam salah satu barak di padepokan itu. Barak yang berbeda dengan barak-barak yang lain. Jika barak yang lain dindingnya dibuat dari anyaman bambu, maka barak yang satu itu berdinding papan kayu yang tebal. Pintunya juga tebal diselarak dari luar.
Di dalam barak itu sama sekali tidak terdapat amben atau lincak bambu. Yang ada hanyalah beberapa helai tikar yang sudah digelar di lantai.
"Maafkan aku kakang," desis Nyi Citra Jati setelah mereka duduk di atas tikar pandan yang sudah digelar itu.
"Sudahlah, lupakan. Sekarang, apakah sebaiknya kita lepaskan tali-tali pengikat tangan kami atau tidak."
"Apakah ikatan ini dapat dilepaskan?"
"Kita akan mencoba saling melepaskan. Kita dapat beradu punggung untuk melepas ikatan tali itu."
"Ikatan itu kuat sekali."
"Tetapi kita tidak akan banyak mengalami kesulitan."
Tetapi Nyi Citra Jati menggelang. Katanya, "Sebaiknya kita tidak melepaskan tali pengikat tangan kita. Biarlah kita menunjukkan kepada mereka, bahwa kita memang berniat baik."
Anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak ada seorang-pun yang berpendapat. Glagah Putih dan Rara Wulan-pun membiarkan tangan-tangan mereka terikat. Sambil duduk bersandar dinding kayu yang tebal, padmini-pun berdesis, "Apakah kakang Glagah Putih dan mbokayu Rara Wulan pernah mengalami perlakuan seperti ini.?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Bukanlah pengalaman itu guru yang baik bagi kita?"
Padmini mengangguk sambil berdesis, "Ya Jika kita dapat keluar dan padepokan ini dengan selamat, maka yang terjadi ini akan menjadi pengalaman yang baik. Tetapi jika tidak?"
"Kita akan dapat keluar dari padepokan ini. Agaknya hal ini mereka lakukan karena telah terjadi satu peristiwa yang menyakitkan bagi mereka."
Padmini mengangguk-angguk. Sementara itu Rukmini menjadi gelisah. Sambil mendesak-desak. Setiti, Rukmini itu berkata perlahan, "Setiti. Punggungku gatal sekali. Banyak nyamuk disini. Aku tidak dapat menggarukannya."
Setiti berusaha untuk dapat menggapai punggung Rukmini. Meski-pun agak kesulitan, tetapi Rukmini-pun akhirnya berdesis, "Terima kasih."
Pamekaslah yang kemudian bertanya kepada Ki Citra Jati, "Apakah semalam suntuk kita akan selalu dalam keadaan terikat?"
"Mudah-mudahan tidak ngger. Tetapi untuk sementara tahankanlah dahulu."
Beberapa saat kemudian, terdengar suara selarak pintu itu diangkat Pintu itu-pun berderit terbuka. Dua orang berdiri di pintu sambil membawa tombak pendek di tangan mereka.
Sejenak kedua orang itu memandang orang-orang yang berada di dalam bilik itu. Dalam keremangan cahaya lampu minyak, keduanya melihat bahwa tangan-tangan mereka yang berada didalam bilik itu masih terikat
"Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati diminta menghadap Ki Mlaya Werdi di bangunan utama."
Keduanya termangu-mangu sejenak. Sementara Padmini-pun berdesis, "Kenapa ayah dan ibu harus menghadap kakang Mlaya Werdi."
Nyi Citra Jatilah yang kemudian berbisik, "Sudahlah Padmini. Tidak apa-apa. Biarlah kami mendapat kesempatan untuk mengetahui, kenapa kami mendapat perlakuan seperti ini."
Padmini tidak menjawab. Sementara itu Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun segera melangkah keluar dari dalam bilik yang berdinding papan kayu yang tebal itu.
Keduanya-pun telah digiring oleh bukan hanya dua orang cantrik, tetapi diluar bilik itu telah menunggu beberapa orang dengan senjata siap di tangan.
Demikian Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu dibawa ke bangunan induk padepokan itu, maka pintu bilik itu-pun telah diselarak kembali.
"Tanganku mulai terasa pedih," berkata Baruni.
"Ini tidak akan lama Baruni," berkata Padmini menenangkan hati adiknya.
"Aku akan melepaskannya," berkata Setiti.
Tetapi Padmini mencegahnya. Katanya, "Ayah dan ibu minta agar kita membiarkan tali pengikat tangan kita."
Setiti tidak menjawab. Baruni-pun terdiam. Namun ia masih saja nampak gelisah.
Dalam pada itu. Ki Citra Jadi dan Nyi Citra Jati yang tangannya masih saja terikat, telah dibawa ke pendapa bangunan induk. Di pendapa bangunan induk itu telah menunggu Mlaya Werdi dan Ki Wasesa. Sementara itu, di sekitar pendapa itu para cantrik berjaga-jaga dengan senjata telanjang di tangan.
"Mlaya Werdi," berkata Ki Citra Jati setelah ia duduk di pringgitan, "apakah kau tidak berniat kita dapat berbicara dengan baik."
"Kenapa kakang dan mbokayu tidak melepas ikatan itu" Aku yakin bahwa kakang dan mbokayu akan dengan mudah melakukannya."
"Kalianlah yang mengikat tanganku. Biarlah kalian yang membukakannya."
"Kakang dan mbokayu ingin memperlihatkan bahwa kakang dan mbokayu datang kemari dengan maksud baik?"
"Ya." "Sayang. Kami sudah tidak dapat dikelabuhi dan dijebak lagi."
"Sebenarnyalah bahwa aku tidak dapat mengerti, kenapa kalian memperlakukan kami seperti ini," berkata Nyi Citra Jati kemudian.
"Kakang dan mbokayu Citra Jati. Aku ingin kalian menjawab dengan jujur. Untuk apa kakang dan mbokayu datang kemari?"
"Adi Wasesa dan kau Mlaya Werdi. Aku berkata sebenarnya, bahwa aku datang ke padepokan ini untuk mengungsi."
"Mengungsi" Jadi kakang dan mbokayu itu mengungsi?"
"Ya. Kami telah berselisih dengan anak kandung kami. Karena itu, kami justru ingin pergi barang sebulan dari rumah kami."
"Kakang dan mbokayu," berkata Ki Wasesa, "jika kakang dan mbokayu ingin berbohong, karanglah sebuah ceritera yang telah masuk akal, sehingga orang lain yang mendengarkannya akan dapat mempercayainya."
"Terserahlah kepadamu, adi Wasesa. Tetapi itulah yang terjadi."
"Kakang dan mbokayu. Aku kira tidak ada gunanya kami berbicara panjang lebar. Sekarang, katakan yang sebenarnya, kenapa kakang dan mbokayu berpihak kepada Pandunungan."
"Pandunungan" Kenapa dengan Pandunungan?"
"Jangan berpura-pura, kakang. Kalian datang dengan anak-anak kakang tentu atas permintaan Pandunungan yang tidak mampu melakukannya sendiri."
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati saling berpandangan sejenak. Serba sedikit mereka dapat menguak rahasia tingkah laku para penghuni padepokan itu. Agaknya Pandununganlah yang telah menyebabkannya, apa-pun alasannya.
"Adi Wasesa," berkata Ki Citra Jati, "aku tidak dapat memaksa agar adi Wasesa dan Mlaya Werdi mempercayaiku. Mungkin saja kalian menganggap aku berpura-pura. Tetapi tolong katakan, apa yang telah dilakukan oleh Pandunungan."
"Apakah Pandunungan tidak mau mengatakan alasannya pada saat ia minta bantuan kakang dan mbokayu" Apakah kakang dan mbokayu tidak bertanya kepadanya atau lebih lagi menilai kebenaran ceriteranya pada saat kakang dan mbokayu menyatakan kesediaan kalian untuk membantunya."
"Entahlah, apa yang harus aku katakan. Tetapi katakan, apa yang terjadi antara kalian dan Pandunungan?"
"Mungkin yang terjadi berbeda dengan apa yang dikatakannya kepada kakang. Pandunungan datang untuk mengambil padepokan ini. Ia merasa lebih berhak dari Mlaya Werdi, karena Pandunungan adalah murid sekaligus kemanakan kakang Brajanata. Sementara itu Mlaya Werdi hanya murid kakang Brajanata tanpa ada hubungan darah."
"Tetapi bukankah segala sesuatunya tergantung kepada kakang Brajanta?" sahut Ki Citra Jati, "sedangkan kakang Brajanata telah menyerahkan kepemimpinan padepokan ini kepada Mlaya Werdi, muridnya yang tertua."
"Nah, bukankah kakang tahu" Kenapa kakang mash datang membantu Pandunungan?"
Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara Nyi Citra Jati-pun berkata, "Jadi inilah sumber dari sikap permusuhan kalian?"
"Kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan siapa-pun bibi," sahut Mlaya Werdi, "tetapi aku akan tetap menjunjung tinggi kewajiban yang dibebankan oleh guru, Ki Brajanata itu kepadaku, apa-pun yang akan terjadi."
"Aku mengerti."
"Pandunungan yang tidak berhasil menguasai padepokan ini dengan kekerasan telah mengancam untuk segera kembali lagi. Pandunungan berjanji untuk minta bantuan sesepuh padepokan ini yang sependapat dengan sikapnya."
"Pada saat yang panas itu, kami telah datang ke padepokan ini?"
"Ya, Paman dan bibi tentu yang dimaksud oleh Pandunungan sebagai sesepuh yang sependapat dengan sikapnya itu."
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara Mlaya Werdi berkata selanjutnya, "Paman, saat yang gawat, kami telah menghubungi paman Wasesa, salah seorang sesepuh yang tempat tinggalnya terdekat dengan padepokan ini."
"Sekarang sudah jelas bagi kami," berkata Ki Citra Jati, "ternyata telah terjadi salah paham. Ketahuilah, bahwa aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan Pandunungan. Apalagi Pandunungan itu minta bantuan kepadaku untuk melakukan kekerasan atas padepokan ini. Kalian tentu tahu, bahwa kami berdua, termasuk cikal bakal di padepokan yang terhitung baru ini. Sudah tentu bahwa kami tidak akan dapat mengkhianatinya. Guru kami telah menyerahkan kepemimpinan padepokan ini kepada kakang Brajanata. Kemudian kakang Brajanata telah menyerahkannya kepada Mlaya Werdi. Jadi kenapa aku ikut-ikutan menentang keputusan yang sah itu" Apalagi kami tahu siapakah Pandunungan itu. Ia seorang yang mempunyai gegayuhan yang terlalu tinggi yang kadang-kadang tidak menghiraukan cara-cara yang ditempuhnya, apakah itu pantas atau tidak."
"Kau dapat berkata begitu setelah kau, mbokayu dan anak-anakmu kami tangkap. Jika saja kami tidak berhati-hati, maka kalian tentu akan menghancurkan padepokan ini. Membunuh kami semuanya dan memberikan kesempatan kepada Pandunungan untuk menguasai padepokan ini. Entah dengan imbalan apa yang dijanjikan kepada kalian untuk melakukannya. Bahkan kami tahu, bahwa sekarang Pandunungan telah berada tidak jauh dari padepokan ini bersama orang-orangnya. Sesaat lagi, mereka akan segera datang menduduki padepokan ini."
"Jangan menyakiti telingaku, adi," desis Ki Citra Jati.
"Kau telah menyakiti hatiku. Hati kami yang setia kepada padepokan dan perguruan kita, kakang."
"Jangan berkata begitu, adi," potong Nyi Citra Jati, "kami masih berusaha untuk menahan diri."
"Apa yang dapat paman dan bibi lakukan" Jika paman dan bibi merasa mampu untuk berbuat sesuatu, paman dan bibi serta adik-adikku itu tentu sudah melakukannya."
"Mlaya Werdi," berkata Ki Citra Jati, "dengarlah. Jika kami berpihak kepada Pandunungan, kenapa kami tidak datang bersama-sama dengan Pandunungan dan orang-orangnya" Bukankah dengan demikian kami akan lebih cepat menguasai padepokan ini karena kekuatan kami tidak terpecah."
"Bukankah paman dan bibi terkenal cerdik pada saat paman dan bibi berada di padepokan ini" Paman dan bibi datang lebih dahulu dengan dalih apa-pun. Apakah karena paman dan bibi berselisih dengan Srini atau alasan yang lain. Kemudian dengan isyarat paman dan bibi memanggil Pandunungan dengan orang-orangnya. Pada saat mereka menyergap padepokan ini, dari dalam paman dan bibi berusaha menghancurkan pertahanan kami."
Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kecurigaanmu telah mengaburkan penalaranmu."
"Sudahlah paman dan bibi. Aku minta paman dan bibi menjawab, apakah alasan paman dan bibi membantu Pandunungan merebut kepemimpinan di padepokan ini" Apakah paman dan bibi tidak puas melihat kepemimpinanku sekarang dan menganggap bahwa aku tidak mampu memegang kedudukan ini. Jika demikian, kenapa paman dan bibi tidak berterus terang" Sebagai sesepuh di padepokan ini, paman dan bibi dapat menunjuk cacatku dengan berterus terang. Tetapi tidak dengan cara yang paman dan bibi lakukan bersama Pandunungan sekarang ini."
Betapa-pun Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menyabarkan diri, namun terasa bahwa darah mereka mulai menjadi panas pula. Namun keduanya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak kehilangan akal.
Dengan suara yang mulai bergetar Ki Citra Jati berkata, "Mlaya Werdi. Terserah kepadamu. Kau percaya kepadaku atau tidak. Tetapi ketahuilah, jika aku mau, maka aku, bibimu dan adik-adikmu tanpa Pandunungan dan barangkali orang-orangnya, kami dapat menghancurkan padepokan ini. Sampai saat ini aku masih meyakini, bahwa kau bukan orang yang berkepala kosong. Apalagi disini ada adi Wasesa. Juga saran seorang sesepuh padepokan ini. Tetapi jika kepala kalian hanya berisi angin, maka aku tidak akan dapat mengekang diri. Jangan mengira bahwa pada saat kami menyerahkan pergelangan tangan kami, kami merasa tidak mampu melawan kalian. Aku mengerti, bahwa adi Wasesa sudah menguasai kemampuan tertinggi padepokan ini. Dan bahkan mungkin sudah berkembang jauh. Sedangkan Mlaya Werdi juga sudah membekali dirinya dengan puncak ilmu perguruan ini. Tetapi aku yakin, bahwa kemampuan kalian tidak akan melampaui kemampuanku dan bibimu. Mlayu Werdi. Jangan menyebut lagi nama Pandunungan. Aku akan mencoba menahan diri. Tetapi jika kau mau mencoba kemampuanku dan bibimu serta anak-anakku, marilah. Aku berjanji sebelum tengah malam, padepokan ini sudah aku bersihkan meski-pun sekarang tangan kami berdua terikat. Tetapi tali lawe ini memang bukan apa-apa bagiku."
Kata-kata Ki Citra Jati itu ternyata telah menghentak jantung Mlaya Werdi dan Ki Wasesa. Terasa gejolak telah mengguncang isi dada mereka. Sementara itu, Nyi Citra Jati-pun berkata, "Mlaya Werdi. Aku yakin, bahwa kesadaranmu masih utuh, ngger. Jangan kau manjakan gejolak perasaanmu. Apa yang dikatakan pamanmu itu benar. Jika kami kehilangan kesabaran, maka sebelum tengah malam, kami berjanji untuk menyapu padepokan ini sampai bersih tanpa berurusan dengan Pandunungan."
Mlaya Werdi tidak segera dapat menjawab. Sementara itu, Ki Wisasepun menjadi semakin berdebar-debar. Didalam keremangan cahaya lampu di pendapa mereka melihat wajah Ki citra Jati dan Nyi Citra Jati mulai menjadi tegang.
"Kakang," berkata Ki Wasesa, "jadi kakang tidak berhubungan dengan Pandunungan."
"Aku sudah bicara banyak. Terserah kepadamu, apakah kau percaya atau tidak."
Ki Wasesa itu-pun kemudian berpaling kepada Mlayu Werdi. Dengan nada dalam ia-pun bertanya, "Bagaimana menurut pendapatmu, Mlaya Werdi?"
Mlaya Werdi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Kenapa paman dan bibi tidak memutuskan tali itu?"
"Kau mau melepaskan atau tidak. Jika tidak, maka aku memang akan memutuskan tali ini. Demikian pula bibimu. Tetapi ingat Mlaya Werdi. Jika kami sendiri yang memutuskan tali pengikat tangan kami, maka orang-orang yang ada di sekitar pendapa ini akan menjadi korban. Mungkin mereka tidak tahu, kenapa mereka harus kau korbankan. Atau mereka yang terbunuh akan merasa menjadi pahlawan. Tetapi kematian mereka adalah sia-sia. Mereka menjadi korban ketakutanmu menghadapi tantangan Pandunungan sehingga kalian justru mendorong kami untuk berpihak kepadanya."
Mlaya Werdi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun membungkuk dalam-dalam sehingga dahinya menyentuh lantai. Katanya, "Paman dan bibi, aku mohon ampun. Seperti yang paman katakan, jantungku dicengkam oleh ketakutan yang sangat menghdapi ancaman Pandunungan yang akan kembali bersama para sesepuh yang mendukung niatnya mewarisi padepokan ini."
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang dalam Ki Citra Jati-pun berkata, "Lepaskan ikatan tanganku, Mlaya Werdi. Demikian pula ikatan tangan bibimu itu."
Ketika Mlaya Werdi beringsut. Ki Citra Jati sempat memberi isyarat kepada Nyi Citra Jati dengan keredipan matanya, sementara Nyi Citra Jati-pun mengangguk kecil.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Mlaya Werdi akan melepaskan ikatan tangan Ki Citra Jati, jantungnya berdesir. Tali lawe yang mengikat tangan Ki Citra Jari itu sudah rontok menjadi abu. Demikian pula tali lawe yang mengikat tangan Nyi Citra Jati.
"Aku mohon ampun paman dan bibi. Jika paman dan bibi akan menghukum kami, hukumlah aku. Hukuman apa-pun yang akan paman dan bibi jatuhkan kepadaku, akan aku jalani. Tetapi jangan hancurkan padepokan ini."
"Aku tidak wewenang menghukummu, Mlaya Werdi. Kaulah pemimpin padepokan ini."
Jantung Mlaya Werdi benar-benar terguncang. Jika Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jau benar-benar akan melakukan sebagaimana dikatakannya, bahwa jika mereka sendiri yang mernutuskan tali pengikat tangannya, maka orang-orang yang berada di sekitar pendapa akan mati. Sebelum tengah malam padepokan itu akan disapu bersih.
"Kami mohon ampun," minta Mlaya Werdi.
Ki Citra jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Baiklah Mlaya Werdi. Kau adalah seorang pemimpin. Betapa-pun kecilnya padepokanmu, tetapi kau mempunyai kekuasaan disini. Karena itu, berhati-hatilah mengambil keputusan. Kesalahan yang kau lakukan, dalam kedudukanmu sebagai seorang pemimpin, akibatnya tidak hanya akan menimpa dirinya sendiri. Tetapi orang-orang yang berada di bawah pimpinanmu akan mengalaminya juga."
"Ya, paman." "Aku juga minta maaf, kakang. Ternyata aku seorang tua yang tidak berpikiran panjang."
"Sudahlah, Di. Agaknya kau dihadapkan pada satu masalah yang tiba-tiba saja harus ikut menangani. Lupakanlah. Tolong, lepaskan tali pengikat anak-anakku. Meski-pun mereka dapat melepasnya sendiri, namun mereka tidak akan melakukannya. Kecuali dalam keadaan yang memaksa."
"Baik, paman. Biarlah aku sendiri yang melepasnya, agar tidak timbul salah paham dengan orang-orangku."
Mlaya Werdi sendirilah yang pergi ke barak yang khusus itu. Sambil minta maaf kepada anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, Mlaya Werdi telah melepaskan tali yang masih mengikat pergelangan tangan mereka."
Baruni yang terasa pedih di pergelangan tangannya berkata, "Kakang Mlaya Werdi. Jika dikehendaki, kakang Glagah Putih dan mbokayu. Sekar Mirah tidak hanya dapat melepas tali pengikat tangannya, tetapi mereka dapat meruntuhkan barak ini dan bahkan bangunan induk itu."
"Aku minta maaf atas kesalahpahaman ini."
"Tetapi kau sudah menyakiti aku. Sakit di tanganku tidak seberapa terasa. Tetapi sakit di hatiku."
Padminilah yang menggamitnya sambil berkata, "Sudahlah, kakang. Jika ayah dan ibu berniat melupakannya, kami-pun akan melupakannya."
Mlaya Werdi itu-pun kemudian telah minta anak-anak Ki Citra Jati itu untuk ikut duduk di pendapa bersama dengan ayah dan ibu mereka.
"Aku sudah mengantuk. Aku akan berada di sini saja. Aku ingin tidur," berkata Baruni.
Padminilah yang kemudian menggandengnya sambil berkata, "Marilah. Kita pergi bersama-sama. Jika kau ingin tidur, nanti tidurlah di pendapa."
Baruni tidak membantah. Ia ikut saja berjalan digandeng oleh Padmini ke pendapa.
"Duduklah," berkata Nyi Citra Jati setelah anak-anaknya berada di pendapa, "telah terjadi salah paham. Tetapi kakakmu Mlaya Werdi telah dapat mengerti tentang kita. Tentang kedatangan kita serta menyakini bahwa kedatangan kita tidak ada hubungannya dengan Pandunungan. Bukankah kau pernah mendengar nama Pandunungan. Salah seorang di amara kakak-kakakmu."
Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni memang pernah mendengar nama itu. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan belum. Tetapi keduanya tidak bertanya.
"Nampaknya kakakmu Pandunungan telah membuat persoalan dengan kakamu Mlaya Werdi, sehingga terjadi benturan kekerasan. Nah, kakakmu Mlaya Werdi mengira bahwa kita berdiri di pihak Pandunungan. Kita datang kemari atas permintaan Pandunungan."
Anak-anak Ki Citra Jati itu mengangguk-angguk. Tetapi sekali-sekali mereka masih mengusap pergelangan tangan mereka yang terasa pedih.
Baru sejenak kemudian, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mendapat kesempatan untuk menceritakan alasan mereka datang ke padepokan itu.
"Sebenarnya kami merasa malu, menceritakan cacat di tubuh sendiri. Tetapi aku tidak ingin terjadi salah paham."
Wisesa mengangguk-angguk kecil. Dengan nada datar ia-pun bertanya, "Jadi, kakang dan mbokayu meninggalkan rumah sekedar untuk memberi kesempatan kepada Srini membongkar seluruh sudut pekarangan, kebun dan bahkan lantai rumah?"
"Ya. Biarlah mereka puas."
"Srini tidak akan puas. Meski-pun agaknya gagasan itu tidak tumbuh didalam hati Srini. Tetapi tentu di hati suaminya."
"Ya." "Jika mereka tidak menemukan apa-apa di rumahnya, tentu mereka mengira bahwa harta benda itu sudah kakang sembunyikan."
"Janganlah menyembunyikan. Dongeng itu justru baru kami dengar kemudian. Aku tidak tahu sama sekali tentang harta benda yang disimpan itu. Bahkan nama-nama yang disebut dalam dongeng itu sama sekali tidak aku kenal pula."
"Jadi bagaimana mungkin dongeng seperti itu dapat timbul. Bahkan seakan-akan begitu jelasnya sisilah kakang sebagai pewaris harta kekayaan yang sangat besar itu."
"Itulah yang membingungkan aku."
Ki Wasesa itu mengangguk-angguk. Sementara Mlaya Werdi-pun berkata, "Ternyata paman serta bibi sedang dalam keprihatinan. Untunglah bahwa paman dan bibi tidak kehabisan kesabaran sehingga paman dan bibi masih dapat mengekang diri meski-pun paman dan bibi sendiri sedang menghadapi persoalan yang berat. Sekali lagi kami mohon maaf, paman. Kami mohon maaf bibi dan adik-adik."
"Sudahlah. Sekarang berilah kami tempat. Dimana saja. Kami tidak menyebut tempat yang mana. Asal kami dapat berada di padepokan ini barang tiga ampat pekan untuk memberi kesempatan kepada Srini menggali harta karun yang dipercayainya ada itu."
"Silahkan paman. Jangankan tiga ampat pekan. Bahkan selamanya jika paman dan bibi menghendaki."
Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, "Tidak selamanya. Pada suatu saat kami akan kembali pulang."
Mlaya Werdi-pun kemudian memerintahkan kepada dua orang cantrik untuk mempersiapkan tempat bagi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati sekeluarga.
Sejenak kemudian, maka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anaknya itu telah di tempatkan pada sebuah barak yang terletak agak di belakang. Tetapi barak kecil itu bersih dan mempunyai kelengkapan sendiri. Ada ruang yang dapat dipergunakan sebagai dapur. Ada sebuah bilik yang dapat digunakan oleh Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati serta sebuah ruang yang rnemanjang bagi anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
Demikian mereka berada di barak itu, Baruni langsung merebahkan dirinya. Matanya-pun segera terpejam.
"Ia tidak mencuci kakinya lebih dahulu," desis Setiti.
"Biarlah nanti aku bangunkan," jawab Padmini, "biarlah yang lain mencuci kaki lebih dahulu."
Berganti-ganti mereka pergi ke pakiwan. Baru yang terakhir, Padmini membangunkan Baruni dan membawanya ke pakiwan untuk membersihkan kakinya.
Baruni yang mengantuk itu berjalan dengan mata terpejam, sehingga Padmini berkali-kali harus mengguncang-guncangnya.
Baru ketika terasa dinginnya air di kakinya, Baruni itu membuka matanya.
"Aku mengantuk sekali, mbokayu."
"Cuci kaki dan tanganmu. Lalu kau boleh tidur sampai esok pagi."
Demikian mereka memasuki baraknya, Baruni langsung menjatuhkan dirinya pula di sebuah amben yang besar. Sekejap kemudian Baruni itu sudah tertidur lagi.
"Biarlah ia tidur," berkata Nyi Citra Jati, "agaknya Baruni telah sekali." lalu katanya kepada Setiti, "tidurlah, ngger. Kau tentu juga letih."
"Ya, ibu. Tetapi bukankah yang lain juga letih?"
"Tentu Setiti. Yang lain-pun akan segera tidur juga. Aku dan ayahmu juga akan segera tidur."
Tetapi sebelum Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati masuk ke dalam bilik, pintu barak itu-pun diketuk dari luar.
Pamekaslah yang membuka pintu itu. Ternyata tiga orang cantrik membawa nasi, sayur dan lauk pauknya.
"Silahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati sekeluarga makan lebih dhaulu. Tetapi nasinya sudah dingin."
"Terima kasih," sahut Nyi Citra Jati, "kami telah membuat kalian menjadi sibuk."
"Tidak apa-apa, Nyi. Silahkan."
Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anaknya kemudian duduk di amben yang besar itu melingkar untuk makan bersama.
Baruni yang sudah tertidur itu-pun dibangunkannya pula untuk ikut makan bersama-sama.
"Bukankah kita memang lapar?" desis Parnekas.
Padmini tertawa. Katanya, "Ya. Kita memang lapar."
"Meski-pun nasi dingin, tetapi sayurnya telah dipanasi," desis Setiti.
"Sudahlah, makanlah," desis Ki Citra Jati.
Sejenak kemudian, keluarga yang sedang mengungsi itu-pun makan bersama-sama. Glagah Putih dan Rara Wulan makan pula sebagaimana saudara-saudara angkatnya.
Setelah mereka selesai serta mengumpulkan mangkuk-mangkuk yang kotor serta nasi, sayur dan lauk yang tidak habis itu dan meletakkannya di paga bambu yang rendah, maka mereka-pun telah bersiap-siap untuk tidur. Setelah perut mereka menjadi kenyang, maka mereka-pun merasa menjadi semakin mengantuk pula.
Namun Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati minta agar ada diantara mereka yang tetap terjaga bergantian.
"Biarlah aku lebih dahulu," berkata Glagah Putih, "tidurlah. Nanti jika aku mengantuk dan tidak tertahankan lagi, aku akan membangunkan Pamekas."
"Baiklah," berkata Pamekas, "bangunkan aku kapan saja kakang."
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati-pun segera masuk ke dalam bilik yang tidak terlalu luas di ujung barak itu. Sementara yang lain berbaring.
Glagah Putih duduk bersandar dinding.
"Tidurlah," berkata Gtagah Putih kepada Rara Wulan.
Rara Wulan mengangguk. Sementara Padmini-pun berpesan kepada Pamekas, "Setelah kau, maka gilirannya adalah aku."
"Ya, mbokayu. Tetapi aku baru akan tidur."
Padmini tersenyum. Namun ia-pun segera memejamkan matanya.
Ketika semuanya tertidur nyenyak, Glagah Putih masih tetap duduk bersandar dinding. Namun Glagah Putih itu tahu, bahwa Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati juga tidak segera tertidur. Sekali-sekali masih terdengar mereka berbicara perlahan. Baru menjelang dini hari, keduanya terdiam. Agaknya salah seorang dari mereka atau bahkan kedua-duanya telah tertidur.
Glagah Putih yang duduk itu sempat merenungi dirinya yang mengemban tugas dari Mataram untuk mencari tongkat baja putih dan membawa ke Mataram. Tongkat baja putih yang dapat disalah gunakan sehingga setiap saat dapat menimbulkan persoalan yang dapat meresahkan rakyat Mataram.
Namun mencari tongkat baju putih itu sama sulitnya dengan mencari seekor ikan yang dilepaskan di sebuah sungai yang besar. Seperti seekor ikan wader pari, yang dilepaskan di Kali Praga. Meski-pun seandainya ikan itu ditandai, namun menelusuri Kali Praga adalah pekerjaan yang sangat rumit.
Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjadi malas untuk melanjutkan tugasnya. Niatnya masih tetap menyala di dadanya sebagaimana saat ia berangkat dari Mataram. Saat ini menyatakan kesediaannya untuk mengemban tugas yang berat itu.
Glagah Putih itu menarik nafas dalam-dalam ketika terdengar sapa di luar biliknya yang telah dijawab pula dengan kata-kata sandi. Agaknya para cantrik-pun berjaga-jaga dengan hati-hati di halaman dan kebun padepokan itu, justru saat padepokan itu mendapat ancaman.
"Mereka cukup berhati-hati," berkata Glagah Putih di dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih melihat Pamekas menggeliat. Setelah tertidur beberapa saat, maka anak muda itu-pun telah terbangun. Sambil mengusap matanya, Pamekas itu-pun duduk di bibir pembaringan sambil berdesis, "Tidurlah kakang. Biarlah aku ganti berjaga-jaga."
"Kau baru saja tidur. Tidurlah beberapa saat lagi."
Pamekas menggeleng. Katanya, "Jika aku sudah terbangun. biasanya aku sulit untuk dapat tidur lagi. Tidurlah. Nanti, menjelang pagi aku akan membangunkan mbokayu Padmini. Tetapi rasa-rasanya aku tidak akan mengantuk lagi."
Glagah Putih tidak menolak Ia-pun kemudian berbaring pula.
Beberapa saat kemudian, maka diagah Putih itu-pun sempat tidur.
Sementara itu Pamekas telah bangkit berdiri dan berjalan hilir mudik di dalam bilikknya untuk menghilangkan sisa-sisa kantuknya.
Namun ternyata Pamekas kemudian tidak membangunkan Padmini sampai menjelang fajar, sehingga Padmini-pun telah bangun sendiri. Bukan hanya Padmini, yang lain-lain-pun telah bangun pula.
Hari itu anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mulai berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan. Mlaya Werdi justru telah memberikan kesempatan kepada Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati untuk mengurus keluarga mereka sendiri. Dipersilahkannya Nyi Citra Jati dan anak-anaknya perempuan menyiapkan makan sendiri bagi keluarganya.
"Kami mempunyai kebun sayuran. Kami mempunyai belumbang yang banyak ikannya. Kami mempunyai peternakan ayam, sehingga kita tidak kekurangan daging ayam dan telur. Kami mempunyai kebun kelapa. Kami mempunyai apa saja yang diperlukan."
Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, "Terima kasih, Mlaya Werdi. Kami hanya menambah beban saja bagi kalian. Tetapi sebenarnyalah kami ingin mencoba memenuhi kebutuhan kami sendiri. Ada sedikit bekal uang yang kami bawa, sehingga kami dapat berbelanja kebutuhan kami sehari-hari. Meski-pun demikian, kekurangannya kami tentu akan minta kepadamu. Kepada padepokan ini."
"Sebetulnya itu tidak perlu. Disini semuanya mencukupi kebutuhan. Para cantrik menanam kacang panjang, terung, waluh, lombok merah, lombok rawit dan berbagai macam sayuran yang lain."
"Terima kasih. Kami tentu akan memerlukannya pada suatu saat. Tetapi bukankah letak pasarnya tidak terlalu jauh dari padepokan ini?"
"Ada pasar kecil di padukuhan sebelah bibi. Tetapi pasar itu hanya ramai di hari pasaran. Di hari-hari biasa pasar itu hanya dikunjungi orang sedikit saja. Meski-pun demikian di pasar itu tersedia kebutuhan-kebutuhan pokok yang diperlukan."
"Baiklah. Kapan-kapan aku akan pergi ke pasar." Ketika Nyi Citra Jati dan anak-anaknya perempuan sibuk mempersiapkan dapur dengan peralatannya, sementara Glagah Putih dan Pamekas mengatur perabot barak yang diperuntukkan bagi keluarganya, Ki Citra Jati duduk di pendapa bangunan induk padepokan itu bersama Mlaya Werdi dan Ki Wasesa. Mereka berbincang tentang berbagai macam persoalan yang menyangkut perkembangan padepokan kecil itu.
Namun mereka terkejut ketika dua orang cantrik mengiring tiga orang tamu yang langsung menuju ke pendapa bangunan induk padepokan itu. Seorang diantaranya adalah Pandunungan.
Mlaya Werdi menjadi tegang melihat kehadirannya bersama dua orang yang belum dikenalnya. Ia-pun segera bangkit berdiri dan mempersilahkan Pandunungan dan dua orang yang datang bersamanya itu naik.
"Marilah, silahkan adi Pandunungan," berkata Mlaya Werdi.
Ketika Pandunungan naik ke pendapa, ia-pun terkejut ketika ia melihat Ki Citra Jati dan di pendapa itu pula. Diluar sadarnya ia-pun bertanya, "Jadi paman juga ikut campur?"
Ki Citra Jati justru tersenyum. Katanya, "Duduklah dahulu Pandunungan. Kita sudah lama tidak bertemu."
"Aku tahu kalau paman Wasesa ada di sini. Tetapi agaknya kakang Mlaya Werdi telah menghubungi paman Citra Jati dan minta perlindungan pula."
Namun sekali lagi Ki Citra Jati berkata, "Duduklah. Kita akan berbicara dengan baik, sebagaimana layaknya sebuah keluarga."
"Kakang Mlaya Werdi sama sekali tidak besikap sebagai keluarga. Ia menganggap aku sebagai musuh yang harus dibinasakan. Karena itu, buat apa aku merasa diriku keluarga."
"Duduklah," suara Ki Citra Jati terasa berat menekan.
Pandunungan termangu-mangu sejenak. Namun ia-pun kemudian duduk pula bersama kedua orang yang datang menyertainya.
"Sudah lama kita tidak bertemu, Pandunungan. Bukankah kau baik-baik saja selama ini."
"Ya, paman," menjawab pandunungan. Hampir di luar sadarnya ia-pun bertanya pula, "bagaimana dengan paman?"
"Sebagaimana dengan bibi?"
"Bagaimana dengan bibi ?"
"Bibimu juga baik-baik saja."
"Apakah bibi juga berada disini sekarang?"
"Ya." "Pengecut kau kakang Mlaya Werdi. Kau ternyata anak cengeng yang tumbak cucukan. Kau adukan persoalan yang timbul di antara kita kepada sesepuh padepokan kita. Ternyata kau tidak berani mengatasi persolan yang timbul. Sementara itu kau masih juga mengaku bahwa kau adalah pemimpin padepokan ini."
"Pandunungan," Ki Citra Jatilah yang menyahut, "bukan Mlaya Werdi yang datang kepadaku dan memanggil aku dan bibimu. Tetapi adalah kebetulan bahwa aku mempunyai masalah dengan anakku sehingga aku mengungsi ke padepokan ini. Aku baru malam tadi mengetahui bahwa di padepokan ini telah timbul masalah."
"Jika demikian, sebaiknya paman dan bibi tidak ikut campur. Aku minta paman dan bibi untuk sementara menyingkir dari padepokan."
"Jika aku menyingkir, aku harus menyingkir kemana" Aku tidak dapat pulang karena aku sedang berselisih dengan anakku."
"Itu hanya omong kosong saja. Seandainya benar, apakah paman dan bibi tidak dapat mengatasi anak paman itu. Apakah anak paman itu seorang yang manpu menjaring angin sehingga dapat mengalahkan paman dan bibi?"
"Tentu tidak, Pandunungan. Ilmu anakku tidak setingi ilmuku dan ibunya. Jika kami ingin membunuhnya, maka akan semudah memijit ranti. Tetapi kami tidak ingin melakukannya justru karena ia anakku. Jika saja aku mempunyai pesoalan dengan orang lain, maka orang itu tidak akan sempat mengaduh."
"Omong kosong. Tetapi aku tidak peduli. Meski-pun paman dan bibi ada disini, aku akan tetap pada pendirianku. Aku harus menyingkirkan pengecut ini. Ia tidak pantas menjadi pemimpin sebuah padepokan jika segalanya, bahwa kelangsungan hidupnya, masih harus didukung oleh orang-orang tua. Ketergantungan itu akan merupakan cacat yang tidak dapat dimaafakan."
"Pandunungan," sahut MIaya Werdi, "kau jangan berceloteh seperti itu. Jika kau memang jantan, aku tentang kau berperang tanding. Kita akan menentukan siapakah yang paling pantas memegang pimpinan dipadepokan ini. Aku adalah murid Ki Brajanata yang tertua. Jika ada muridnya yang lebih muda dari aku dan memiliki ilmu yang lebih tinggi, maka aku akan mengalah. Aku akan menyingkir dari padepokan ini dan menyerahkan kepemimpinannya kepadamu, tetapi jika ia tidak memiliki ilmu yang lebih tinggi dari aku, maka aku akan bertahan, apa-pun yang akan terjadi."
Wajah Pandunungan menjadi tegang. Katanya, "kau berani sesumbar karena disini ada paman Wasesa dan ada paman Citra Jati."
"Paman Wasesa dan paman Citra jati akan berdiri sebagai saksi. Siapakah yang terbaik di antara kita."
"Kau ingin menjebakku, kakang. Kedatanganku sekarang ini sebenarnyalah untuk memperingatkanmu. Sampai besok pagi sebelum matahari terbit, kau harus sudah pergi dari padepokan ini. Jika kau masih berada disini, maka besuk aku akan menghancurkanmu."
"Kau telah mengundang orang lain untuk melibatkan diri dalam persoalan antara keluarga kita?"
"Bukan telah mengundang orang lain. Tetapi para sesepuh yang mengerti keadaan sebenarnya dari padepokan ini."
"Siapakah mereka itu?" bertanya Wasesa.
"Paman Wirapratama. Paman Sura alap-alap dan paman Mandira Wilis."
Mlaya Werdi, Ki Wasesa dan Ki Citra Jati terkejut. Dengan nada tinggi Ki Wasesa berkata, "Jadi kau hubungi mereka itu" Pandunungan, kau tentu tahu siapakah mereka itu. Apalagi jika kau mengaku masih mempunyai hubungan darah dengan kakang Brajanata."
"Apakah nama itu sangat menakutkan?"
"Bukan karena menakutkan. Tetapi seharusnya kau tahu, apa yang pernah dilakukannya."
"Mereka adalah orang-orang yang ingin menegakkan keadilan sebagaimana yang ingin aku lakukan sekarang. Nah, apakah paman melihat persaman itu" Justru karena itu, maka mereka sangat memahami cita-citaku. Seorang kawanku ini adalah murid paman Wirapratama sedang yang seorang lagi adalah murid paman Mandira Wilis."
(Bersambung ke Jilid 341)
Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja Jilid : 341- 350 ________________________________________
Buku 341 KI CITRA JATI beringsut setapak. Dipandanginya kedua orang yang datang bersama Pandunungan itu. Meski-pun agak ragu ia-pun bertanya, "Siapakah namamu, ngger."
Kawan Pandunungan yang disebutnya murid Wirapratama itu-pun dengan congkak justru bertanya, "Kau bertanya kepadaku?"
Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun menjawab, "Ya, nger. Aku bertanya kepadamu dan kepada angger satu lagi, murid Mandira Wilis."
Murid Wirapratama itu-pun menjawab, "Namaku, Walesan. Aku murid utama Ki Wirapratama."
Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara itu murid Mandira Wilis itu-pun berkata, "Namaku Prasapa. Jika kau sudah mengenali guruku, maka kau-pun akan mengenali aku. Bukan sekedar ujud kewadagan ini."
"Ya. Ya. Aku mengerti," sahut Ki Citra Jati, "dimana gurumu sekarang?"
"Kau akan datang menemuinya untuk menghidar dari kemarahannya?"
"Apa gurumu sedang marah?"
Prasapa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun menjawab, "Ya. Guruku, paman Wirapratama dan paman Sura Alap-alap memang sedang marah."
"Kenapa mereka marah?" desak Ki Citra Jati.
Prasapa menajadi gagap. Ia tidak mengira bahwa pertanyaan Ki Citra Jati menjadi berkepanjangan. Namun yang kemudian menjawab adalah Pandunungan, "Mereka marah karena sikap Mlaya Werdi yang tidak tahu diri. Meski-pun ia murid paman Brajanata yang tertua, tetapi aku adalah kemenakan paman Brajanata. Akulah yang berhak untuk menjadi pemimpin di padepokan ini. Bukan Mlaya Werdi. Bagi paman Brajanata, Mlaya Werdi adalah orang lain. Tetapi aku bukan orang lain. Aku mempunyai pertautan darah. Tanah yang dipergunakan untuk mendirikan padepokan ini adalah tanah kakekku. Jadi aku adalah pemilik yang sah hak atas tanah ini."
"Pandunungan," berkata Ki Citra Jati, "aku termasuk orang tua dipadepokan ini. Aku tahu bahwa tanah ini dahulu adalah tanah milik kakek buyutmu. Tetapi tanah itu sudah diberikan kepada kami, kepada perguruan kami untuk mendirikan sebuah padepokan. Bahkan disaksikan oleh beberapa orang termasuk Ki Demang yang membawahi tanah ini. Tentu saja Ki Demang itu sekarang sudah tidak ada mengakui pula, bahwa tanah ini adalah tanah milik perguruan kita. Perguruanku dan perguruanmu."
"Paman tidak dapat mendasarkan hak milik atas tanah ini kepada dongeng itu. Sekarang kita akan berdiri diatas kenyataan. Tanah ini milikku. Sedangkan alur kepemimpinannya-pun seharusnya padaku."
"Tetapi kakang Brajanata telah menunjuk Mlaya Werdi untuk mewarisi kedudukannya. Pesan itu harus dijunjung tinggi."
"Tentu ada yang mempengaruhi guru pada waktu itu, sehingga akhirnya ia memberikan wewenang kepada Mlaya Werdi untuk menjadi pimpinan pada perguruan ini. Sekarang, sudah waktunya untuk meluruskan penyelewengan itu."
"Pandunungan," berkata Ki Citra Jati, "kita semua adalah saudara. Kita ditempa dan dimatangkan oleh perguruan ini. Jika terjadi perselihan, tentu akan meretakkan keutuhan keluarga besar kita."
"Alasan ini agaknya selalu menjadi senjata untuk memaksakan kehendak kalian. Tetapi kami sudah tahu pasti, apa yang sebaiknya kami lakukan."
"Apa yang akan kau lakukan, Pandunungan?"
Paman Wirapratama, paman Sura Alap-alap, paman Mandira Wilis serta murid-murid mereka sudah ada di sekitar padepokan ini. Bukan ilmuya mereka. Tetapi sahabat-sahabat kebenaran yang akan kami perjuangkan."
"Jadi kau sudah mengepung padepokan ini" Kau bawa orang lain untuk melibatkan diri dalam sengketa keluarga ini?"
"Mereka bukan orang lain."
"Maksudku selain paman-pamanmu itu."
"Ya. Mereka bukan orang lain. Eyang Puspakajang adalah seorang tua yang tahu benar apa yang telah terjadi di padepokan ini. Eyang Puspakajang tahu pasti, bahwa Mlaya Werdi tidak berhak untuk memimpin padepokan ini."
"Puspakajang" Jadi kau bawa Ki Ageng Puspakajang itu kemarin?"
"Ya, paman Citra Jati. Mungkin nama itu membuat hati paman berkerut. Tetapi Eyang Puspakajang adalah lambang dari keadilan."
"Ngger, ngger. Begitu jauh kau terjerumus ke dalam nafsu keduaniawian sehingga kau tidak lagi dapat melihat dan membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk."
Pandunungan tertawa. Katannya, "Aku tahu, paman tentu akan berkata seperti itu, sebagaimana paman berbicara tentang keutuhan keluarga besar kita. Tetapi cara itu tidak lagi dapat mengelabuhi aku lagi. Sekarang terserah kepa Mlaya Werdi. Apakah ia akan menyerahkan kepemimpinan padepokan ini kepadaku atau tidak. Tetapi disekeliling padepokanmu ini, beberapa orang berilmu tinggi sudah siap untuk menggulung sifat-sifat tamakmu."
"Pandunungan," berkata Mlaya Werdi dengan suara yang bergetar, "sekali lagi aku tentang kau berperang tandhing."
Pandunungan tertawa semakin keras. Katanya, "Kau tidak cukup berharga untuk aku layani dalam perang tanding, kakang. Nah, sekarang kau tinggal memilih. Menyerahkan padepokan ini dengan baik-baik atau aku harus menyingkirkanmu. Siapa-pun yang membantumu, akan ikut mengalami nasib buruk sebagaimana akan kau alami."
"Kaulah pengecut itu," berkata Mlaya Werdi.
"Kau tidak mempunyai pilihan lain, Mlaya Werdi. Kau hanya mempunyai dua pilihan itu."
"Pandunungan. Aku adalah pemimpin padepokan ini. Apa-pun yang akan terjadi, aku akan mempertahankannya."
"Baik. Itu lebih baik bagiku. Aku akan segera dapat mengetahui, siapakah yang pantas ikut mukti dipadepokan ini, dan siapakah yang harus mati."
"Jangan bermimpi untuk dapat mengijinkkan kakimu di padepokan ini lagi jika kau nanti sudah keluar dari pintu gerbang."
Pandunungan-pun segera bangkit berdiri sambil berkata, "Bersiaplah. Aku masih memberimu waktu sehari semalam. Jika besok pada saat matahari terbit kau belum menyatakan kesediaanmu menyerahkan padepokan ini, maka padepokan ini akan kami gilas dengan kekerasan. Kau dan orang-orang yang berpihak kepadamu akan mati. Dapat kau ketahui bahwa selain orang-orang berilmu tinggi seperti yang aku sebutkan, liga orang sesepuh padepokan ini, maka telah hadir pula disini eyang Puspakajang."
Mlaya Werdi menggeram. Tetapi ia-pun segara bangkit berdiri pula. Demikian juga Ki Wasesa dan Ki Citra Jati.
"Pandunungan," berkata Ki Citra Jati, "kau-pun masih mempunyai waktu sehari semalam. Jika hatimu sempat menjadi bening, kau masih mempunyai waktu untuk mengurungkan niatmu. Tetapi jika iblis itu tetap lekat di hatimu, maka esok adalah harimu yang paling gelap."
Pandunungan memandang Ki Citra Jati dengan tajamnya. Dengan lantang ia-pun menjawab, "Paman. Seharusnya aku menghormati paman dan bibi. Juga paman Wasesa. Tetapi karena kalian berada di pihak Mlaya Werdi, maka sekali-pun akan aku anggap sebagai musuhku."
"Kau akan menyesal Pandunungan," berkata Wasesa, "siapa-pun yang menang, maka yang kalah adalah keluarga kita sendiri."
"Paman, jika ada cuplak andeng-andeng, tetapi berada tidak pada tempatnya, maka tentu akan aku cukil dari tubuhku."
"Hatimu sudah benar-benar menjadi gelap."
"Paman dapat menyebut apa saja. Tetapi niatku tidak akan dapat dicegah lagi."
"Jika demikian, baiklah," desis Ki Citra Jati, "kau tidak memerikan pilihan kepada kami."
"Aku memberikan dua pilihan kepada Mlaya Werdi."
"Tidak," sahut Mlaya Werdi, "kau hanja memberiku satu pilihan. Membunuhmu."
Pandunungan menggeram. Namun kemudian ia-pun berkata, "Aku menunggu sampai esok sebelum matahari terbit. Demikian matahari terbit nampak muncul di cakarawala, maka segala sesuatunya sudah terlambat. Kau akan segera mendengar aba-aba untuk menyerang padepokan yang sekarang masih kau pimpin."
"Aku akan menunggu," sahut Mlaya Werdi.
Pandunungan dan kedua orang yang datang bersamanya itupun segara meninggalkan padepokan itu. Namun nampaknya mereka dan orang-orangnya sudah mengepung padepokan itu.
Karena itu, maka Mlaya Werdi-pun memerintahkan agar tidak seorang-pun keluar dari padepokan.
Waktu yang sehari-semalam itu dipergunakan oleh Mlaya Werdi untuk mempersiapkan para cantrik dari padepokan itu. Jumlahnya memang tidak begitu banyak. Sementara itu, para cantrik itu-pun terdiri dari berbagai tataran. Ada yang sudah mencapai tataran yang cukup tinggi, tetapi ada beberapa diantara mereka adalah pemula.
"Kalian hanya mempunyai waktu sehari-semalam," berkata Mlaya Werdi kepada para cantrik, "lakukan apa yang terbaik bagi kalian masing-masing. Malam nanti kalian dapat beristirahat secukupnya. Besok pada saat matahari terbit, Pandunungan dan orang-orangnya akan datang."
Ki Wasesalah yang memerintahkan para cantrik itu untuk membuat panggungan, "panggungan kecil di belakang dinding padepokan mereka, teruatama di sebelah menyebelah pintu gerbang padepokan."
"Pergunakan busur untuk melontarkan anak panah. Kalian akan dapat menghambat gerak maju lawan-lawan kalian. Bahkan mungkin akan dapal mengurangi jumlah mereka serba sedikit."
Dalam pada itu, Glagali Putih dan anak-anak angkat Ki Citra Jati yang lain ikut sibuk mempersiapkan pertahanan bersama dengan para cantrik. Glagah Putih dan Pamekas ikut membuat penggung-panggungan kecik di belakang dinding padepokan.
"Aku belum pernah melihat anak muda itu, paman," berkata Mlaya Werdi, "apakah itu juga anak paman."
"Ya. itu juga anakku. Ia sudah beristri."
"Istrinya?" "Agaknya sedang di dapur sekarang bersama bibimu."
"Laki-laki itu atau isterinya yang anak paman Citra Jati."
"Kedua-duanya. Eh, maksudku istrinya. Jadi laki-laki muda itu adalah menantuku."
Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Namun ia-pun kemudian bertanya, "Apakah tidak berbahaya baginya berada di padepokan ini dalam keadaan yang gawat seperti sekarang?"
Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia-pun menggeleng. Katanya, "Ia akan dapat membantumu serba sedikit. Bukankah semalam kau sepatah dua patah telah berbicara dengan anak itu?"
"Ya. Tetapi hatiku masih bergejolak, sehingga rasa-rasanya aku tidak tahu lagi, apa yang telah terjadi semalam, Paman. Aku benar-benar menjadi ketakutan jika paman dan bibi marah."
Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, "Kami tidak marah. Sejak semula kami sudah mengira, bahwa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi."
"Ya," Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun berkata, "Paman. Adalah wajar jika paman dan bibi hadir di padepokan ini, meski-pun secara kebetulan. Tetapi bagaimana dengan adik-adikku itu" Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan mereka dalam kemelut yang terjadi di padepokan ini."
"Mereka adalah anak-anakku, Mlaya Werdi. Biarlah mereka ikut serta menegakkan wibawa perguruan ini. Perguruan yang pernah menempa ayah dan ibunya."
"Aku mengucapkan terima kasih, paman. Tetapi jika terjadi sesuatu alas diri mereka, aku akan merasa bersalah."
"Kenapa kau harus merasa bersalah" Kita adalah keluarga yang besar. Seperti anggauta badan, sentuhan ujung duri pada jari-jari kaki akan terasa sampai ke ubun-ubun."
Mlaya Werdi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia-pun berkata, "Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, paman. Justru pada saat paman sedang dibebani oleh persoalan dengam Srini, paman harus terlibat pula dalam pertengkaran yang memalukan dipadepokan ini."
"Sudahlah Mlaya Werdi. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya sambil berdoa, agar Yang Maha Agung selalu melindungi kita."
"Ya, paman. Tetapi aku ingin mempersilahkan paman dan bibi beristirahat. Biarlah para cantrik yang melakukannya."
Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, "Bukankah aku hanya melihat apa yang kalian lakukan?"
Mlaya Werdi mengangguk-angguk.
"Nah, kerjakan apa yang akan kau kerjakan."
Mlaya Werdi-pun kemudian meninggalkan Ki Citra Jati untuk bekerja bersama-sama para cantrik mempersiapkan pertahanan dipadepokannya.
Ketika satu dua panggungan kecil di sebelah menyebelah pintu gerbang itu sudah siap, maka Mlaya Werdi dan Ki Wasesa-pun telah memanjat dan berdiri diatas panggungan bambu itu.
Namun mereka tidak melihat seseuatu di sekitar padepokan mereka. Mereka tidak melihat sekelompok orang orang yang mengawasi padepokan mereka dipematang sawah garapan para cantrik di sekitar padepokan. Mereka juga tidak melihat seorang-pun digubug yang terdapat tidak terlalu jauh dari pintu gerbang. Mereka juga tidak melihat seorang-pun di jalan yang menuju pintu gerbang padepokan itu.
Demikian pula ketika sebuah panggung bambu telah berdiri melekat dinding padepokan di sisi sebelah. Dari panggungan kecil itu, mereka yang memanjat juga tidak melihat apa-apa.
"Agaknya mereka baru akan mendekati padepokan ini malam nanti," berkata Ki Wasesa kepada Mlaya Werdi.
"ya, paman. Mungkin malam nanti atau bahkan menjelang fajar esok pagi."
"Mungkin ini adalah salah satu cara Pandunungan itu mengosongkan padepokan ini. Ia memberi kesempatan kepada kita untuk pergi tanpa merasa terganggu atau terancam."
"Sombongnya Pandunungan."
"Ya. Pandunungan terlalu yakin akan kemampuan ketiga ora paman gurunya serta Eyang Puspakajang."
"Agaknya setelah ketiga orang paman itu meninggalkan padepokan ini setelah mereka berselisih dengan guru, mereka telah berguru pula kepada Ki Puspakajang."
"Mungkin. Ki Puspakajang adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia mempunyai bergagai macam ilmu yang jarang ada bandingannya."
"Ya. Agaknya Pandunungan memperhitungkan, bahwa Ki Puspakajang akan dapat menyelesaikan persoalan."
"Tetapi Pandunungan sebelumnya tidak menduga bahwa pamanmu dan bibimu Citra Jati ada disini."
"Ya, paman. Tetapi mungkin karena itu, Pandunungan telah mencari orang lain untuk memperkuat pasukannya."
"Orang lain itu tentu akan mengoyak padepokan ini menjadi kepingan-kepingan kecil yang tidak berarti. Jika mereka ikut serta, mereka tentu mempunya maksud yang menguntungkan diri mereka sendiri."
"Pandunungan mesti menjanjikan sesuatu kepada mereka. Mungkin sebagian isi padepokan ini. Atau mungkin mereka membuat perjanjian khusus yang menyangkut kehidupan orang banyak."
"Pandunungan mamang gila."
Ki Wasesa termangu-mangu sejenak. Namun mereka memang tidak melihat apa-apa di sekitar padepokan itu.
Beberapa saat Ki Wasesa dan Mlaya Werdi berada di atas panggungan bambu di belakang dinding padepokan itu. Justru karena mereka tidak melihat sesuatu, maka mereka merasa harus menjadi lebih berhati-hati.
Menjelang sore hari, maka Mlaya Werdi dan para cantrik di padepokan itu merasa sudah siap jika sesuatu terjadi. Mlaya Werdi memerintahkan kepada para cantrik untuk beristirahat sebaik-baiknya.
"Kecuali yang bertugas, kalian sebaiknya beristirat. Besok tenaga kalian akan sangat diperlukan. Pandunungan tentu tidak hanya sekedar mengancam. Tetapi ia akan datang bersama orang-orang yang mungkin akan sangat berbahaya bagi kita."
Para cantrik itu-pun setelah mandi, sebagian besar masih juga duduk berkelompok. Sebagian dari mereka memang nampak menjadi tegang. Terutama para cantrik pemula yang masih belum terlalu lama berada di padepokan itu.
"Jangan cemas," para cantrik yang sudah lebih lama berada di padepokan itu mencoba menenangkan kegelisahan mereka, "Kita harus mengatur diri. Kita harus berbaur. Mudah-mudahan kami akan dapat membantu kalian."
Para cantrik yang lebih muda mengangguk-angguk. Tetapi karena mereka masih belum berpengalaman sama sekali, sementara itu mereka baru menguasai dasar-dasar ilmu kanuragan, maka mereka memang menjadi tegang menghadapi seorang yang bakal datang esok pagi.
Sementara itu, Ki Citra Jati dan Nyi Citra jati-pun telah mempersiapkan anak-anaknya pula. Terutama anak-anak mereka yang terkecil.
"Ingat Baruni. Jangan jauh dari mbokayumu Padmini. Dan kau Setiti. Kau sebaiknya bertempur berpasangan dengan kakakmu Pamekas."
"Mbokayu Rara Wulan?" bertanya Baruni.
Ki Citra Jati tersenyum. Sementara Padmini-pun berdesis, "Bukankah mbokayu Rara Wulan juga harus bertempur berpasangan?"
Rara Wulan tertawa. Katanya, "Aku sudah mempunyai pasangan sendiri, Baruni."
Yang lain-pun tertawa pula.
"Nah, sebaiknya nanti malam kalian beristirahat dengan baik. Aku, ibumu, kakangmu Glagah Putih dan mbokayumu Rara Wulan akan membantu para cantrik yang bertugas. Biarlah Mlaya Werdi dan pamanmu Wasesa dapat beristirahat."
Anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu mengangguk-angguk. Mereka berempat akan berada di dalam barak itu. Agar mereka besok mendapatkan tenaga sepenuhnya, maka mereka memang harus berisitirahat sebaik-baiknya.
Demikian malam turun, maka seisi padepokan itu-pun berkumpul untuk makan malam. Kemudian, setelah berbicang-bincang sejenak, sementara Mlaya Werdi dan Ki Wasesa memberikan pesan-pesannya, maka para cantrik itu-pun langsung diminta masuk kedalam barak mereka masing-masing.
"Tidurlah dengan sebaik-baiknya, kecuali mereka yang bertugas."
Para cantrik itu-pun segera pergi ke bilik mereka masing-masing. Mereka berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya pula. Karena itu, maka mereka-pun segera berbaring di pembaringan.
Namun ada pula diantara mereka yang tidak segera dapat memejamkan matanya. Mereka yang sama sekali belum pernah melihat pertempuran yang sesungguhnya. Yang mereka lihat selama ini adalah latihan-latihan, meski-pun latihan-latihan yang cukup berat
Di barak yang terpisah, anak-anak Ki Citra Jati ternyata telah membuat kesepakatan tersendiri. Padmini dan Pamekas akan berjaga-jaga terganti-ganti. Pamekas akan berjaga-jaga lebih dahulu sampai menjelang tengah malam. Baru kemudian Padmini akan dibangunkannya.
"Kapan aku dibangunkan?" bertanya Setiti.
"Besok pagi-pagi, menjelang fajar."
Dalam pada itu, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan, telah berada di pendapa bersama Mlaya Werdi dan Ki Wasesa. Mlaya Werdi masih juga minta maaf kepada Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anaknya, karena telah melibatkan mereka dalam kesulitan.
"Aku justru bersukur bahwa aku telah mendapat kesempatan untuk ikut menyelamatkan padepokan ini, Mlaya Werdi."


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seandainya kita tidak mampu mempertahankannya?"
"Aku berbangga bahwa aku dan keluargaku telah mendapat kesempatan ikut mempertahankannya, meski-pun seandainya tidak berhasil. Namun kita mohon kepada Yang Maha Agung, bahwa padepokan ini akan dapat kita pertahankan."
Mlaya Werdi menarik nafas panjang sambil berdesis, "Ya, paman."
Namun dalam pada itu, seorang cantrik telah datang menemui Mlaya Werdi dengan tergesa-gesa. Katannya, "Kami telah melihat banyak obor di luar padepokan, guru. Terutama di depan pintu gerbang padepokan kita."
Mlaya Werdi mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia-pun bertanya, " Apakah ada tanda-tanda bahwa mereka akan menyerang di malam hari?"
"Kami belum dapat menarik kesimpulan, guru."
"Baiklah. Aku akan melihatnya."
Mlaya Werdi-pun kemudian berkata kepada sesepuh padepokan itu, "Marilah, paman dan bibi. Kita akan melihat mereka."
Mlaya Werdi, diiringi oleh Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan, segera pergi ke pintu gerbang. Mereka-pun kemudian memanjat tangga pada panggungan-panggungan bambu disebelah-menyebelah pintu gerbang padepokan.
Mereka memang melihat obot bertebaran. Digelapnya malam obor-obor itu bergerak-gerak seperti burung-burung api dan banaspati yang berterbangan.
Sambil mengangguk-angguk Ki Citra Jati berdesis, "Satu cara yang baik untuk menggertak padepokan ini."
"Maksud paman?" bertanya Mlaya Werdi.
Bukankah dengan demikian, api obor yang bertebaran itu memberikan kesan kegarangan mereka. Mereka berharap, bahwa kita membayangkan, di samping mereka yang membawa obor itu, masih terdapat banyak orang yang bersiap untuk menyerang padepokan ini esok."
Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kesan itulah agaknya yang ingin mereka timbulkan."
"Tetapi jangan cemas. Jumlah mereka tidak sebanyak yang terkesan pada kehadiran mereka malam ini. Paman-pamanmu yang datang bersama Pandunungan juga bukan orang-orang yang tidak terkalahkan. Demikian pula Ki Puspakajang. Betapa-pun tinggi ilmunya, tetapi ia tentu mempunyai kelemahan."
"Ya, paman." "Nampaknya mereka akan memusatkan serangan mereka pada pintu gerbang ini," berkata Ki Wasesa.
"Ya, paman," sahut Mlaya Werdi, "nampaknya mereka sudah mempersiapkan alat-alat yang akan mereka pergunakan untuk memecahkan pintu."
"Kita harus mengatur pertahanan sebaik-baiknya di sekitar pintu gerbang ini."
"Ya. Paman. Ada beberapa orang di antara para cantrik yang memiliki kemampuan lebih dari kawan-kawannya mempergunakan busur dan anak panah. Mereka besok akan hadir di panggungan ini untuk menghambat gerak maju para pengikut Pandunungan."
"Anak-anakku akan dapat berada di panggungan ini bersama para cantrik itu," berkata Ki Citra Jati.
"Terima kasih, paman."
Ki Wasesa-pun kemudian berkata, "Biarlah para cantrik yang bertugas mengawasinya. Jika keadaan menjadi gawat, mereka harus segera memberitahukan kepadamu. Tetapi jika waktunya terlalu sempit dan sangat mendesak, biarlah mereka memukul kentongan adalah isyarat dengan hitungan yang telah ditentukan. Tetapi itu adalah langkah yang terakhir, agar para cantrik tidak menjadi gugup."
"Ya, paman," jawab Mlaya Werdi.
"Sekarang, kita akan beristirahat. Aku kira mereka tidak akan bergerak malam ini. Mereka hanya sekedar membuat kita gelisah."
"Ya, paman." Ki Wasesa itu-pun kemudian bersama Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati turun dari panggungan kecil. Mlaya Werdi masih memberikan beberapa pesan kepada para cantrik yang bertugas. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menunggunya sampai selesai.
"Jangan terpancang kepada mereka membawa obor," pesan Mlaya Werdi, "awasi pula di bagian samping dan belakang dinding padepokan ini. Mungkin mereka diam-diam berusaha memasuki padepokan ini. Mungkin mereka diam-diam berusaha memasuki padepokan ini dari arah lain, jika mereka berhasil memancing seluruh perhatian kita kepada mereka yang berada di arah pintu gerbang."
"Ya, guru," jawab seorang cantrik yang tertua, yang memimpin saudara-saudara seperguruan yang bertugas malam itu.
Mlaya Werdi, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun kemudian menuruni tangga panggungan bambu itu dan berjalan ke pendapa.
"Silahkan adi berdua beristirahat," berkata Mlaya Werdi.
"Terima kasih, kakang. Kami akan menemani kakang berjaga-jaga."
"Aku juga segera akan beristirahat. Seperti yang dikatakan oleh paman Wasesa, agaknya mereka tidak akan menyerang malam ini."
"Ya, kakang. Aku menunggu ayah dan ibu."
"Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan adi berdua serta adik-adikku yang lain dalam persoalan ini. Tetapi kalian sudah terlanjur berada di dalam padepokan yang terkepung. Aku tidak tahu, apakah kalian dapat menyesuaikan diri dalam gejolak yang akan terjadi esok?"
"Kami akan berusaha, kakang. Kami akan berbaur dengan para cantrik. Mudah-mudahan kami tidak justru memperberat tugas mereka karena keberadaan kami."
"Kami sangat berterima kasih atas kesediaan paman Citra Jati dan bibi. Bahkan adik-adikku semuanya. Tetapi seharusnya kami tidak menyeret kalian ke dalam persoalan ini."
"Seperti yang dikatakan ayah dan ibu. Kami merasa bangga dapat bersama kakang bertahan disini."
Mlaya Werdi menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Tidurlah. Masih ada waktu. Percayalah bahwa anak-anak akan berjaga-jaga dengan baik. Jika keadaan menjadi gawat, mereka akan segera memberikan isyarat."
"Baiklah, kakang." Jawab Glagah Putih, "kami akan kembali ke barak yang kakang sediakan bagi kami."
"Beristirahatlah dengan baik."
"Tetapi ayah dan ibu?" desis Rara Wulan.
"Kalian tidak usah menunggu paman dan bibi. Mereka sudah lama tidak bertemu dengan paman Wasesa. Mungkin mereka masih ingin berbincang-bincang."
"Baiklah. Tolong kakang sampaikan kepada ayah dan ibu, bahwa kami sudah mendahului."
"Aku akan menyampaikannya. Pamaa dan bibi tentu juga tidak akan lama. Mereka-pun perlu istirahat."
"Kakang sendiri?"
"Ya. aku juga akan segera tidur barang sebentar."
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun segera kembali ke barak mereka. Ketika mereka mengetuk pintu perlahan-lahan Pamekas masih belum tidur. Ia masih belum membangunkan Padmini.
"Silahkan kakang dan mbokayu tidur. Aku akan berjaga-jaga. Aku sudah berjanji membangunkan mbokayu Padmini di tengah malam."
"Bukankah sekarang sudah tengah malam."
"Ya. Sebentar lagi aku akan membangunkannya."
Glagah Putih dan Rara Wulan-pun setelah mencuci kaki dan tangannya telah berbaring di amben yang besar bersama dengan anak-anak Ki Citra Jati yang lain. Sementara Pamekas masih duduk bersandar dinding.
Ternyata Padmini bangun dengan sendirinya sebelum Pamekas membangunkannya. Ketika Padmini kemudian bangkit berdiri dan berjalan hilir mudik untuk menghilangkan kantuknya, maka Glagah Putih telah tertidur, sementara Rara Wulan justru bangkit dan duduk di tepi amben.
"Kau tidak tidur mbokayu?" bertanya Padmini.
"Ya. Sebentar lagi. Rasa-rasanya aku masih belum mengantuk."
"Sudah lewat tengah malam."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi ia menjawab, "Sebentar lagi. biarlah kakang glagah Putih tidur lebih dahulu."
"Begitu cepat kakang Glagah Putih tidur," desis Padmini.
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Jika ia ingin tidur, begitu ia berbaring, maka ia-pun segera tertidur. Tetapi jika ia tidak berniat tidur, maka semalam suntuk matanya tidak terpejam."
"Mbokayu sendiri?"
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Kadang-kadang aku tidak dapat tidur meski-pun aku ingin."
"Kakang Glagah Putih tidak pernah mengalami?"
"Tentu sekali-sekali ia pernah mengalami. Tetapi pada dasarnya kakang Glagah Putih mudah dan cepat tertidur."
Padmini mengangguk-angguk. Sementara itu, Pamekas-pun sudah lelap pula. Nafasnya terdengar mengalir dengan teratur.
Beberapa saat kemudian, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati telah datang pula. Mereka-pun langsung masuk kedalam biliknya sambil berpesan, "Usahakan, agar kalian mendapat kesempatan beristirahat sebaik-baiknya."
"Ya, ayah," jawab Rara Wulan dan Padmini hampir berbareng. Bahkan Padmini itu berkata pula, "Aku sudah tidur separo malam. Tetapi mbokayu Rara Wulan belum."
"Tidurlah Rara," pesan Nyi Citra Jati.
"Ya, ibu," jawab Rara Wulan yang kemudian berbaring pula, "Kau sendiri Padmini?"
"Tidak apa-apa, mbokayu. Aku sudah cukup beristirahat."
Ternyata Rara Wulan-pun tidak terlalu lama berbaring. Ia-pun segera tertidur pula.
Diluar, para cantrik yang bertugas, mengamati keadaan di luar padepokan di atas panggung-pun bambu yang telah mereka siapkan. Dua orang di panggungan sebelah menyebelah regol. Dua orang di sisi kanan dan dua di sisi kiri. Dan ampat orang di belakang.
Namun agaknya Pandunungan memang tidak akan menyerang malam itu juga. Bahkan setelah tengah malam, maka sebagian dari obor telah padam. Tinggal satu dua saja oncor yang masih menyala. Agaknya Pandunungan juga memerintahkan orang-orangnya beristirahat dengan baik.
Dalam pada itu Mlaya Werdi dan Ki Wasesa-pun sempat beristirahat pula. Seorang putut yang dianggap memiliki ilmu yang sudah memadai harus menggantikan tugas Mlaya Werdi ketika Mlaya Werdi pergi ke biliknya.
"Kau sudah sempat beristirahat?"
"Sudah guru," jawab Putut itu.
"Awasi adik-adikmu yang menggantikan mereka yang bertugas sekarang. Setelah kau jelaskan tugas mereka, kau dapat beristirahat lagi. Aku akan segera bangun."
"Baik, guru. Sekarang silahkan guru beritirahat."
Malam itu tidak terjadi sesuatu yang penting bagi padepokan yang dipimpin oleh Maya Werdi itu. Agaknya Pandunungan dan orang-orangnya juga sedang menghimpun kekuatan yang akan dicurahkan di hari berikutnya.
Pagi-pagi sekali, para cantrik yang bertugas di dapur sudah bangun dan menyiapkan makan bagi saudara-saudaranya. Jika pertempuran terjadi dalam waktu yang lama, maka kesempatan untuk makan dan minum menjadi semakin sedikit. Dengan demikian, maka sebelum pertempuran dimulai, maka para cantrik dan seisi padepokan itu harus sudah makan dan minum secukupnya.
Namun dalam pada itu, agaknya Pandunungan juga memperhitungkan kemungkinan seperti itu. Ternyata mereka-pun telah mempersiapkannya pula di dini hari. Agak jauh dari padepokan, para cantrik yang bertugas melihat mereka menyalakan api untuk mempersiapkan makan bagi mereka yang berada di sekitar padepokan itu.
"Kakang Pandunungan telah menyusun rencana sebaik-baiknya untuk merebut padepokan ini," berkata seorang cantrik yang telah terhitung lama berada di padepokan itu.
"Ya," saudara seperguruannya yang lebih muda menyahut, "Tetapi aku masih belum mengenal kakang Pandunungan dengan baik. Siapakah sebenarnya yang lebih tua" Kakang Pandunungan atau guru Mlaya Werdi?"
"Guru lebih tua. Guru adalah murid Ki Brajanata yang tertua. Karena itu, Ki Brajanata pada saatnya telah menyerahkan pimpinan padepokan ini kepada guru."
"Kalau begitu, bukankah seharusnya kita menyebutnya paman Pandunungan?"
"Ya. Tetapi aku sudah terbiasa memanggilnya, kakang. Saudara-saudara kita yang sudah seumurku juga memanggilnya kakang. Akhirnya, semuanya memanggilnya kakang. Semula kakang Pandunungan tidak pernah merasa berkeberatan. Menurut pendapatku, sebenarnya ia orang yang baik. Tetapi agaknya ada orang yang telah menggelitiknya sehingga tiba-tiba saja ia datang untuk mengambil alih padepokan ini. Dengan demikian ia sudah berani menentang keputu-san yang dibuat oleh Ki Brajanata. Itu berarti bahwa kakang Pandunungan telah berkhianat."
Cantrik yang lebih muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Sekarang ia datang bersama tiga orang sesepuh padepokan ini."
"Mereka bukan sesepuh lagi. Agaknya mereka jugalah yang telah membakar hati kakang Pandunungan. Bahkan diantara mereka yang datang bersama kakang Pandunungan adalah Ki Puspakajang."
"Bukankah Puspakajajang itu nama salah satu jenis ular sawah?"
"Ya. Ular jenis Puspakajang adalah ular dan dapat tumbuh menjadi sebesar batang pohon kelapa. Tetapi ular Puspakajang adalah ular yang tidak berbisa. Atau jika ada bisanya, biasanya tidak terlalu tajam."
"Tetapi ular Puspakajang menghancurkan musuh-musuhnya atau mangsanya dengan kekuatan tubuhnya itu. Yang sempat dililitnya, tulang-tulangnya akan remuk berpatahan."
"Agaknya Ki Puspakajang juga mengandalkan kekuatan dan tenaga dalamnya."
"Atau sekedar tertarik pada nama yang manis didengar."
Keduanya terdiam ketika keduanya melihat dalam keremangan, beberapa orang mendekati pintu gerbang.
"Hanya lima orang," berkata cantrik yang muda.
Cantrik yang lebih tua, yang bertugas berjaga-jaga pada saat menjelang pagi itu-pun berdiri di panggungan bambu dengan tegangnya. Ketika ia melihat kelima orang itu berhenti di depan pintu regol yang tertutup, cantrik itu-pun bertanya dengan suara lantang, "Apakah yang kalian kehendaki?"
Kelima orang itu-pun menengadahkan wajahnya. Seorang yang berdiri di paling depan-pun menjawab, "Kami akan berbicara dengan Mlaya Werdi."
"Apa yang akan kau bicarakan" Kenapa bukan Pandunungan sendiri yang datang?"
"Aku mengemban kuasanya."
"Baik. Katakan. Aku mewakili guru. aku telah mendapat kepercayaan untuk mengambil segala keputusan jika perlu."
"Aku perlu Mlaya Werdi."
"Katakan kepada Pandunungan. Biarlah ia sendiri datang berbicara dengan Maya Werdi."
"Jangan keras kepala. Aku sudah mendapat kuasanya."
"Kau dengar, bahwa aku berhak mewakili guru, karena aku sudah mendapat wewenangnya. Tetapi jika Pandunungan sendiri datang, aku akan membangunkan guru."
"Mlaya Werdi sedang tidur?"
"Ya. Guru sedang tidur. Sejak sore guru tidur."
"Dalam ketegangan ini Mlaya Werdi dapat tidur?"
"Kenapa tidak" Bukankah yang terjadi hanya soal kecil saia yang tidak perlu mendapat perhatiannya dengan sungguh-sungguh?"
"Sombongnya Mlaya Werdi. Ia akan menyesali sikapnya. Ia akan diseret ke depan kaki kakang Pandunungan. Ia akan menangis dan mohon pengampunannya."
"Mungkin sekarang guru baru bermimpi mendaki pelangi bersama-sama para bidadari naik ke bulan."
"Kau akan menyesali kesombonganmu cantrik kecil. Aku ingin menangkapmu untuk dijadikan pengewan-ewan."
"Sudahlah. Kembalilah. Aku hanya akan membangunkan guru jika yang datang Pandunungan sendiri."
"Persetan dengan Mlaya Werdi," geram orang itu, "jika kau memang berwenang mengambil keputusan, katakan, apakah kalian akan menyerah atau masih berniat untuk melawan" Sebaiknya jangan bersikap bodoh dengan mengorbankan para cantrik yang tidak bersalah."
Cantrik yang sedang bertugas itu-pun menjawab dengan lantang, "Satu pertanyaan yang bodoh. Seharusnya kau sudah tahu jawabnya."
"Katakan, kakang Pandunungan hanya memberi waktu sampai matahari terbit. Jika pada saat matahari terbit, kalian belum menyatakan kesediaan kalian untuk meninggalkan padepokan ini, terutama Mlaya Werdi, maka padepokan ini akan menjadi karang abang, kami akan meratakannya dengan tanah. Kemudian diatasnya akan kami bangun sebuah padepokan yang lebih pantas dari gubug-gubug rapuh ini."
Cantrik yang berada di panggungan itu tertawa. Katanya, "Kau masih sempat membual. Bukankah kalian menjadi irihati karena padepokan ini tumbuh mekar dan berkembang dengan cepat" Kakang Pandunungan merasa bahwa dirinya tidak akan mungkin dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh guru, sehingga ia telah berkhianat kepada kakek guru, Ki Brajanata."
"Setan kau. Bangunkah Mlaya Werdi."
"Untuk apa" Biarlah ia beristirahat. Masalah yang kau bawa adalah masalah yang terlalu kecil untuk dibiarkan dengan guru. Sekarang kembalilah. Katakan kepada kakang Pandunungan, bahwa kami sudah siap. Jika kakang Pandunungan mempunyai pertimbangan lain dan merasa perhitugartnya keliru, silahkan meninggalkan padepokan ini. Kami tidak akan memburunya. Bahkan kami akan memaafkannya."
"Aku akan mengoyak mulutmu."
Cantrik itu tertawa. Cantrik yang lebih muda itu-pun tertawa pula. Bahkan yang lain, yang mendengar pereakapan itu-pun tertawa pula.
"Setan kau," orang yang berdiri di depan pintu itu berteriak. Rasanya darahnya telah mendidih di dalam jantungnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Terdengar orang itu mengumpat kasar. Namun kelima orang itu-pun kemudian bergegas meninggalkan pintu gerbang padepokan.
Para cantrik yang ada di panggungan itu masih saja tertawa ketika kelima orang itu menjadi semakin jauh.
Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar suara di bawah panggungan itu, "Bagus. Kalian berhasil membuat mereka marah. Pandunungan-pun tentu akan marah, sehingga otaknya menjadi keruh."
Ketika mereka berpaling ke bawah, mereka melihat Maya Werdi berdiri di bawah panggungan kecil itu.
"Guru," desis cantrik yangtertua itu, "Maaf jika aku mendahului sikap guru."
"Kau sudah benar. Aku setuju dengan sikapmu. Biarlah Pandunungan menjadi marah."
Cantrik yang tertua itu-pun segera turun dari panggungan bambu sambil berkata, "Apakah perintah guru?"
"Kita harus segera bersiap-siap. Jika otak Pandunungan benar-benar menjadi keruh, maka ia akan segera memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang meski-pun matahari belum terbit."
"Ya, guru." "Tetapi semuanya harus makan dan minum secukupnya. Aku harap semuanya sudah tersedia di dapur."
Cantrik itu tidak ingin membuat seisi padepokan itu menjadi gugup. Karena itu, maka cantrik itu tidak membunyikan isyarat dengan kentongan. Tetapi cantrik itu pergi dari satu barak ke barak yang lain.
Ternyata sebagian para cantrik memang sudah bangun. Namun mereka masih bermalam-malasan karena langit masih gelap.
Tetapi perintah Mlaya Werdi agar para cantrik itu bersiap, telah menggerakkan mereka serentak.
Ada di antara mereka yang berlari-lari ke pakiwan untuk mandi. Tetapi ada yang langsung berbenah diri sambil berkata, "Buat apa mandi" Di pertempuran debu akan berhamburan mengotori tubuhku."
"Jika kau tidak lagi sempat mandi?"
"Airnya dapat kau pakai untuk mandi tujuh kali."
"Kenapa tujuh kali?"
"Bukan hanya aku yang akan tidak sempat mandi."
"Ah, aku tidak bermaksud berkata seperti itu."
"Tidak apa-apa. Bukankah wajar bahwa peristiwa seperti itu dapat terjadi di pertempuran yang mana-pun juga."
Kawannya itu terdiam. Namun cantrikk itu-pun kemudian berkata, "Yang penting sekarang, makan dahulu."
Para cantrik itu-pun kemudian menyempatkan diri untuk makan. Mereka duduk bertebaran di sekitar dapur di belakang bangunan induk padepokan itu.
Namun dalam pada itu, demikian mereka selesai makan, terdengar cantrik yang ada di panggungan di sebelah pintu gerbang itu-pun berkata lantang sehingga kawannya yang berada di belakang pintu gerbang mendengarnya, "Mereka mulai bergerak."
Salah seorang cantrik yang berada di belakang pintu itu-pun segera menyampaikan berita itu kepada semua penghuni padepokan.
Mlaya Werdi-pun kemudian telah memerintahkan mereka berkumpul di halaman depan pendapa bangunan induk padepokan kecuali yang bertugas mengawasi gerak mereka yang mendatangi padepokan itu.
"Keberadaan padepokan ini ada di tangan kalian. Jika kalian gagal mempertahankannya, maka padepokan ini akan lenyap dan akan berganti menjadi sarang serigala. Kalianlah yang harus memikul beban yang diletakkan oleh Ki Brajanata di pundak kalian. Marilah kita berbual sambil berdoa untuk padepokan ini."
Pesan Mlaya Werdi memang hanya singkat. Tetapi rasa-rasanya pesan itu telah menghunjam masuk ke dalam jantung mereka.
Sejenak kemudian, maka Mlaya Werdi-pun memerintahkan mereka untuk memeriksa semua perlengkapan yang akan mereka pergunakan. Terutama senjata mereka.
"Busur dan anak panah sudah tersedia di setiap panggungan itu, guru," berkata seorang cantrik yang mendapat tugas untuk mempersiapkannya.
"Baiklah. Sekarang, bersiaplah. Naiklah ke panggungan itu. Cegah mereka memanjat dinding padepokan. Ingat tempat kalian masing-masing sebagaimana sudah direncanakan."
Demikianlah, maka sejenak kemudian para cantrik itu-pun menghambur ke tempat yang sudah ditentukan bagi mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Mlaya Werdi sendiri segera bersiap untuk naik ke panggungan pula di sebelah kanan pintu gerbang. Namun ia masih juga bertanya kepada Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra, "Silahkan paman dan bibi. Apa-pun yang akan paman dan bibi lakukan, aku mengucapkan beribu terima kasih. Aku akan naik ke pang-gungan bambu di sebelah kanan pintu gerbang."
"Kami akan berada di panggungan yang sebelah kiri, Mlaya Werdi," berkata Ki Wasesa.
"Silahkan Paman."
"Biarlah Glagah Putih dan Rara Wulan bersamamu Mlaya Werdi. Sementara adik-adikmu yang lain akan bersamaku." berkata Ki Citra Jati.
"Silahkan paman. Namun jangan bebani adik-adikku tugas yang terlampau berat."
"Mereka akan bersama kami," jawab Nyi Citra Jati.
"Adi Glagah Putih dan Rara Wulan sebaiknya juga berada bersama paman dan bibi."
"Biarlah mereka menemanimu. Mereka akan dapat menyesuaikan dirinya."
Mlaya Werdi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia-pun berkata, "Baiklah," lalu katanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "marilah adi berdua. Kita naik ke panggungan di sebelah kanan."
"Mari, kakang," jawab Glagah Putih.
"Kalian harus tetap berada di antara para cantrik. Jangan memisahkan diri. Jika mereka berhasil memecahkan pintu gerbang atau lewat mana-pun juga memasuki halaman padepokan ini, kalian harus tetap bertempur bersama para cantrik yang sudah aku tentukan. Aku tidak ingin tamu-tamuku mengalami kesulitan karena persoalan yang timbul di sini."
"Terima kasih, kakang."
Mereka bertiga-pun kemudian telah naik ke panggungan bambu yang memanjang di sebelah kanan pintu gerbang yang tertutup dan diselarak dengan kayu yang tebal.
Meski-pun demikian, Mlaya Werdi sudah menduga, bahwa pintu gerbang itu tidak akan dapat menahan hentakkan-hentakkan yang tentu akan dilakukan oleh para pengikut Pandunungan. Agaknya mereka sudah mempersiapkan alat-alat yang memadai untuk itu.
Karena itu, maka Mlaya Werdi telah memerintahkan sekelompok cantrik itu bersiap-siap dengan busur dan anak panah di belakang pintu gerbang. Demikian pintu gerbang itu tidak mampu lagi bertahan dan terbuka, maka para cantrik itu harus segera menyerang mereka yang memasuki pintu gerbang itu dengan anak panah untuk mengurangi jumlah lawan yang agaknya memang lebih banyak dari para cantrik yang berada di padepokan itu.
Demikian Mlaya Werdi berada di panggungan, maka ia-pun segera melihat, bahwa sebagian besar dari para pengikut Pandunungan berada di depan padepokan, menebar selebar dinding depan padepokan. Meski-pun demikian, agaknya padepokan itu memang sudah dikepung meski-pun hanya ada kelompok-kelompok kecil saja yang berada di samping apalagi di belakang padepokan. Mereka bertugas untuk mencegah agar tidak ada orang yang sempat melarikan diri dari padepokan. Terutama Mlaya Werdi. sendiri. Perintah Pandunungan kepada orang-orangnya, "Tangkap Mlaya Wrdi, Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati hidup atau mati."
Orang-orang berilmu tinggi yang berpihak kepada Pandunungan telah berjanji kepadanya, bahwa mereka tidak akan melepaskana Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
Mereka telah berjanji kepada Pandunungan, bahwa mereka,akan menangani para sesepuh yang berada di dalam padepokan itu.
Sementara itu, Ki Ageng Puspakajang-pun berkata kepada Pandunungan, "Kau tidak perlu gelisah, ngger. Orang-orang padepokan itu sengaja membuatmu marah. Nah, kau lihat akibatnya" Kau dengan tergesa-gesa memerintahkan orang-orangmu berangkat karena jantungmu bagaikan disulut api mendengar laporan orangmu yang pergi ke padepokan itu. Untunglah bahwa segala sesuatunya telah terencana dengan baik, sehingga semuanya dapat berjalan lancar. Meski-pun demikian orang-orangmu makan dengan tergesa-gesa. Mereka menyuapi mulut mereka melampaui ukuran kewajaran, sehingga malahan ada yang tidak segera dapat menelannya. Mereka minum sambil berlari. Dan bahkan mungkin ada di antara orang-orangmu yang masih belum merasa kenyang."
Pandunungan tidak menjawab. Ia baru merasakan, betapa orang-orangnya yang masih belummendapat kesempatan untuk membuat ancang-ancang. Tiba-tiba saja, demikian ia mendengar laporan dari kepercayaannya yang datang ke padepokan, ia segera menjatuhkan perintah untuk berangkat, sehingga ada yang membenahi pakaiannya sambil bergerak di dalam kelompoknya.
Namun Ki Ageng Puspakajang itu-pun berkata, "Tetapi kau belum terlambat memperbaiki kesalahanmu. Jangan dengan serta-merta memerintahkan orang-orangmu untuk menyerang. Biarlah mereka mempersiapkan diri serta alat-alat yang mereka perlukan sebaik-baiknya. Baru setelah kau yakin bahwa segala-galanya telah bersiap dengan baik, kau perintahkan orang-orangmu menyerang. Memecahkan pintu gerbang dan masuk kedalamnya, menguasai seluruh padepokan."
"Ya, Ki Ageng," desis Pandunungan.
Dalam pada itu, Ki Wiratama-pun berkata, "Kau masih mempunyai waktu untuk memberi kesempatan kepada orang-orangmu yang belum merasa cukup makan dan minum untuk melakukannya. Kau lihat, bahwa cahaya merah di langit baru mulai membayang. Masih ada waktu menunggu matahari terbit."
"Apakah mereka harus kembali ke perkemahan?"
"Tidak perlu. Tetapi kau perintahkan dua orang pergi ke perkemahan. Biarlah para pekerja di dapur itu membawa nasi yang masih tersisa kemari."
"Orang-orang di padepokan itu akan melihatnya?"
"Tunjukkan kepada mereka, bahwa kau-pun tidak harus menghadapi padepokan itu dengan tegang. Biarlah orang-orangmu makan seenaknya Bukankah segala sesuatunya tergantung keadamu" Kaulah yang akan menyerang mereka. Bukan mereka yang akan menyerangmu. Seperti mereka harus menunjukkan, bahwa kau menganggap isi padepokan itu tidak banyak berarti. Sambil bermain-main kau akan dapat melakukannya."
"Jadi?" "Biarlah orang-orangmu nampak tidak dicengkam dalam ketegangan."
Pandunungan termangu-mangu. Namun. Sura alap-alap menambahkannya, "Padepokan itu tidak akan lari. Kita tidak sangat terikat pada saat matahari terbit, meski-pun kita akan berusaha tidak terlalu lambat."
Pendekar Sadis 13 Pendekar Mabuk 060 Dendam Selir Malam Pendekar Cacad 17
^