Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 18

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 18


"Sudahlah ibu. Serahkan perempuan itu. Besok aku akan datang menjemput laki-laki yang sekarang pergi bersama ayah ke atas bukit."
Jantung Nyi Citra Jati terasa berdegup semakin cepat. Dengan suara yang berat Nyi Citra Jati berkata, "Jangan membuat hatiku menjadi semakin pedih, Srini. Aku rindukan kau. Tetapi sekarang kau datang bukan dengan kerinduan sebagaimana rinduku. Tetapi kau datang untuk menyakiti hatiku."
"Ibu yang menyakiti hatiku. Ibu menolak dan bahkan membenci laki-laki yang aku cintai. Dengan demikian, apa arti cinta ibu kepadaku?"
"Maafkan aku Srini. Kau tentu tahu, karena aku tidak dapat menerima kehadiran laki-laki itu di dalam keluarga kita."
"Alasan yang dibuat-buat. Ibu menganggap aku sebagai benda mati yang dapat ibu perlakukan menurut selera ibu sendiri. Tetapi aku manusia seperti ibu yang mempunyai nalar budi. Mempunyai penilaian sendiri sesuai dengan jiwaku. Ibu sama sekali tidak menghargai sikap dan nalar budiku."
"Sama sekali bukan maksudku, Srini."
"Sudahlah," berkata Srini, "sekarang, dimana perempuan itu ibu."
"Jika yang kau maksud adalah kakak angkatmu, ia berada di dapur."
"Berikan perempuan itu kepadaku sekarang."
"Jangan memaksa Srini. Jika kau memaksa, maka akhir dari pertemuan kita akan menjadi tidak baik. Sementara itu aku ingin kau pulang dan hidup dalam satu lingkungan keluarga seperti saat-saat remajamu."
"Cukup. Ibu jangan menunggu kesabaranku habis."
"Jangan terlalu berani kepada orang tua, Srini. Itu tidak baik."
"Jadi Ibu benar-benar akan mempertahankan perempuan itu."
"Aku terpaksa mencegahmu, Srini. Karena menurut nuraniku, kaulah yang telah mengambil langkah yang salah. Kau tahu sikap dan pendirianku sejak kau remaja. Aku tidak akan ingkar dari kata nuraniku."
"Jadi ibu ingin mengandalkan ilmu Pacar Wutah itu?"
"Aku tahu bahwa kau juga memiliki ilmu itu. Tetapi sayang sekali, bahwa ilmumu telah bergeser. Ketika aku menurunkan ilmu Pacar Wutah kepadamu lewat jalur pertama, kau belum selesai. Kau terlalu tergesa-gesa sehingga ilmumu justru menjadi tidak sempurna. Namun kemudian kau matangkan ilmumu lewat jalur yang salah. Aku tidak tahu, siapakah yang mewariskan ilmu itu kepadamu. Pacar Wutah Gundala Wereng."
"Ibu kira Pacar Wutah Puspa Rinonce itu lebih baik dan lebih tinggi tingkatnya dari Pacar Wutah Gundala Wereng?"
"Soalnya bukan manakah yang lebih baik dan manakah yang " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " " "
"Baik, ibu. Kedatanganku sekarang adalah sekedar untuk meyakinkan sikap itu dan tentu juga sikap ayah. Tetapi aku minta ibu mengetahui, bahwa aku tidak akan berhenti berusaha. Besok ayah akan pulang bersama-sama laki-laki jahanam yang ibu anggap sebagai anak itu. Sementara itu, aku tidak akan menghentikan usahaku untuk mengambilnya. Bahkan jika ibu berkeras, yang terancam jiwanya bukan hanya laki-laki dan perempuan itu. Tetapi semua penghuni rumah ini. Ayah, ibu dan adik adik angkatku yang sekarang ada dan yang akan pulang di kesempatan lain."
Nyi Citra Jati-pun kemudian menjawab dengan suara yang bergetar sebagaimana jantungnya bergetar. Katanya, "Srini. Kenapa kau keraskan halimu seperti batu hitam. Sebelumnya kau adalah anak yang manis. Gadis yang lembut dan memahami hubungan kasih sayang dengan seluruh keluarga."
"Sikap ayah dan ibu telah menempa jantungku menjadi sekeras batu hitam."
"Kau harus mengerti Srini. Betapa hatiku telah terpecah. Di satu sisi aku mengasihimu. Aku ingin melihat kau bahagia. Tetapi kini aku mengetahui, bahwa laki-laki yang kau dambakan itu adalah laki-laki yang hadir dari lingkungan yang hitam. Seandainya kau menemukan kebahagiaan dengan laki-laki itu, namun kebahagiaan itu hanyalah kebahagiaan semua semata-mata. Kebahagiaan lahiriah yang memang dapat memenuhi keinginan keduniawian."
"Sudah berapa kali aku mendengar sesorah ibu seperti itu. Sebagaimana juga ayah selalu menggurui aku. Tetapi ayah dan ibu selalu berpijak kepada kepentingan ayah dan ibu sendiri. Ayah dan ibu telah bersikap tidak adil. Ayah dan ibu ingin aku mengerti perasaan ayah dan ibu, tetapi ayah dan ibu sama sekali tidakmau mengerti, bahkan sama sekali tidak menghiraukan perasaanku."
"Srini." "Cukup ibu. Aku akan pergi. Aku tahu, aku tidak akan dapat menang melawan ibu. Bahkan seandainya aku datang bersama suamiku, aku meragukan, apakah aku dapat mengalahkan ibu dan anak-anak angkat ibu itu. Terutama anak yang sedang ibu lindungi. Tetapi hubungan kami luas ibu. Pada suatu saat, maka ayah, ibu dan anak-anak angkat ibu, terutama yang sedang ayah dan ibu lindungi itu akan menyesal. Pada batas kesabaran kami, maka kami akan dapat berbuat diluar dugaan ibu dan ayah."
Nyi Citra Jati masih akan menjawab, tetapi rasa-rasanya lehernya telah tersumbat. Matanya menjadi panas, sementara jantungnya berdegup semakin cepat.
Srini-pun kemudian berkata, "Aku akan pergi, tetapi aku sudah mendapat keyakinan, bahwa ibu lebih mengasihi orang-orang yang datang kemudian itu daripada anak kandungnya sendiri."
"Tidak, Srini. Tidak."
Tetapi Srini sudah tidak mau mendengarkannya lagi. Ia-pun segera melangkah pergi keluar lewat regol halaman rumahnya.
Air mata yang hangat telah meleleh ke pipi Nyi Citra Jati. Anak-anak angkatnya yang melihat Srini pergi, dengan cepat mendekati ibu angkatnya sambil berkata, "Marilah ibu."
Nyi Citra Jati-pun kemudian masuk ke ruang dalam. Namun ia tidak mampu lagi menahan tangisnya. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya yang basah. Isaknya terasa menyesakkan dadanya.
"Sudahlah ibu. Mbokayu sudah pergi."
Nyi Citra Jati tidak menyahut. Tetapi diusapnya rambut gadis itu sambil berdesis di sela-sela isaknya, "Ya, ngger. Tetapi aku masih mengharap mbokayumu itu kembali."
"Apakah ia harus kembali bersama kakang Gunung Lamuk?"
"Itulah yang telah merusak keseimbangan perasaanku. Jika saja Srini tidak tergoda oleh laki-laki itu."
"Sudahlah ibu. Mudah-mudahan pada suatu saat mbokayu menyadari, bahwa jalan yang ditempuhnya adalah jalan yang sesat."
Nyi Citra Jati mengangguk.
Sementara itu, anak angkatnya yang lain telah membawa minuman hangat. Diletakkannya minuman hangat di sebelah ibu angkatnya sambil berkata, "Minumlah ibu. Mumpung masih hangat."
"Terima kasih ngger."
Beberapa saat Nyi Citra Jati masih duduk di amben panjang. Anak-anak angkatnya masih mengerumuninya.
"Sudahlah, ngger. Tinggalkan ibu. Ibu tidak apa-apa. Kerjakan apa yang harus kalian kerjakan."
"Apakah ibu akan masuk ke sanggar?" bertanya salah seorang anak angkatnya.
"Tidak. Biarlah mbokayumu menjalani laku sendiri. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Nanti malam, di tengah malam aku akan menjemputnya untuk beristirahat sebentar. Kemudian membawanya kembali masuk ke dalam. Tetapi aku-pun harus segera keluar lagi. Aku masih mencemaskan mbokayumu Srini. Meski-pun aku ingin Srini pulang, tetapi tidak dengan membawa dengan seperti tadi atau seperti kemarin dulu."
Anak-anak angkatnya mengangguk. Mereka-pun kemudian meninggalkan Nyi Citra Jati kembali ke kerja mereka masing-masing. Sementara itu, Nyi Citra Jati sendiri duduk merenungi keadaannya. Bahkan diluar sadarnya Nyi Citra Jati itu-pun berdesis, "Kakang Citra Jati. Kenapa kita harus memikul beban ini ?"
Tetapi Nyi Citra Jati itu-pun kemudian mengusap matanya yang basah, ia-pun segera pergi ke pakiwan untuk mencuci wajahnya.
Dalam pada itu, di atas bukit berbatu padas yang berwarna keputih-putihan, Glagah Putih dan Ki Citra Jati duduk di bawah teriknya sinar matahari yang mencapai puncaknya. Langit-pun nampak bersih. Tidak selembar awan-pun nampak menggantung.
Di atas batu padas yang bergelombang oleh puncak-puncak gumuk kecil, udara nampak bagaikan mengandung uap air yang mendidih.
Di bawah panas sinar matahari yang membara di langit, Glagah Putih masih saja bermain dengan rindingnya. Diikutinya semua petunjuk Ki Citra Jati. Lagu yang dilontarkannya, kadang-kadang terasa menghentak-hentak. Namun kemudian luruh mengusap jantung. Tetapi sejenak kemudian menukik dengan cepat, sehingga seakan-akan merunduk menyusuri permukaan tanah. Suaranya memberat bagaikan beban yang tidak terpikulkan. Namun sekejap kemudian, nadanya melenting tinggi menggelepar di panasnya sinar matahari, menggapai-gapai pijar yang merayap di wajah langit.
Walau-pun merangkak tanpa henti. Setiap kejapan mata. Setiap tarikan nafas. Waktu-pun bergerak terus.
Dalam pada itu, di rumahnya Nyi Citra Jati masih saja merasa cemas. Mungkin sekali Srini yang mendendam itu datang kembali bersama suaminya dan orang-orangnya. Mungkin mereka akan memperlakukan seisi rumah itu dengan liar, sehingga anak-anak angkatnya akan menjadi korban.
Demikian pula Rara Wulan yang berada didalam sanggar.
"Jika hal itu terjadi, Glagah Putih tentu tidak akan memaafkannya," berkata Nyi Citra Jati di dalam hatinya. Karena itu, jika terpaksa, maka ia akan membawa Rara Wulan keluar. Memotong laku pada jalur kedua yang sedang dijalani oleh Rara Wulan. Sehingga pada kesempatan lain Rara Wulan terpaksa harus mengulanginya. Tetapi itu tentu lebih baik daripada Rara Wulan harus dihancurkan didalam sanggar tanpa memberikan perlawanan atau berusaha menyingkir dari malapetaka.
Ketika senja turun, maka Nyi Citra Jati telah mengumpulkan keempat anak angkatnya. Dengan hati yang berat. Nyi Citra Jati itu-pun berkata, "Anak-anakku. Bukan maksudku untuk menaburkan perpecahan diantara saudara sendiri. Tetapi sudah tentu bahwa kalian tidak seharusnya membiarkan diri kalian menjadi korban dendam mbokayumu Srini. Sebenarnya Srini mendendam kepada ayah dan ibu yang menurut Srini tidak mengasihinya. Tidak membiarkan Srini memilih jalan sesuai dengan seleranya. Tetapi ayah dan ibu memang dengan keras melarang Srini berhubungan dengan laki-laki yang sekarang menjadi suaminya. Namun dendam yang tersimpan di hatinya tidak akan membara seperti sekarang ini, seandainya Srini tidak menyadap ilmu hitam yang bahkan kemudian telah mewarnai jalan hidupnya. Ia mengira bahwa ilmu hitam itu dapat memberikan kebahagiaan kepadanya. Seandainya ia menemukan kebahagiaan itu, sebenarnya sekedar terpenuhi keinginan-keinginan kewadagannya saja. Keinginan-keinginan duniawinya saja."
Saudara-saudara angkatnya itu-pun mengangguk-angguk.
"Anak-anakku. Sebaiknya kalian mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Jika malam nanti mbokayumu datang lagi untuk menumpahkan dendamnya, apaboleh buat. Kita harus membela diri. Memang mungkin Srini datang bersama kawan-kawannya orang-orang berilmu tinggi. Tetapi kita jangan menyerah begitu saja. Kalian harus berusaha."
Anak-anak angkat Nyi Citra Jati itu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Namun di wajah mereka nampak betapa mereka sudah pasrah pada keadaan. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa mereka tidak akan dapat melawan Srini yang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun Nyi Citra Jati itu-pun berkata, "Anak-anakku. Ada cara yang barangkali dapat membantu, setidak-tidaknya memberikan kesempatan kepada kita untuk memanfaatkan gelapnya malam, menghindar dari tangan mereka."
"Apakah kita akan melarikan diri, ibu?"
"Kita menyelamatkan diri. Menyelamatkan diri bukanlah perbuatan yang licik. Jika lawan kita menurut perhitungan kita memang tidak terlawan, maka kita tidak perlu membunuh diri."
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Bukankah kita belajar mempergunakan busur dan anak panah. Mempergunakan bandil, paser dan tulup?"
"Ya ibu." "Jika perlu kita akan mempergunakannya. Kita manfaatkan gelapnya malam. Rimbunnya gerumbul-gerumbul perdu. Dari celah-celah pepohonan dan rumpun bambu di kebun belakang, kita menyerang lawan kita dengan panah, bandil atau tulup. Demikian kita menyerang, maka kita akan menyusup di kegelapan, sehingga kita mendapat kesempatan untuk keluar dari kebun lewat pintu-pintu butulan. Karena itu, kita tidak perlu menyelarak pintu-pintu butulan."
"Bagaimana dengan mbokayu Rara Wulan?"
"Aku akan membawanya pergi. Tetapi kita akan berdoa, semoga Srini tidak begitu cepat kembali."
Anak-anak angkatnya-pun mengangguk-angguk.
"Nah, kalian tahu dimana busur dan anak panah kita itu kita simpan. Kalian tahu, dimana kita menyimpan bandil, tulup dan paser-paser untuk dilemparkan, dan paser-paser untuk dilontarkan dengan tulup."
"Ya, ibu." "Siapkan. Meski-pun belum tentu harus kita pergunakan." Namun anak-anak Nyi Citra Jati itu masih juga nampak ragu-ragu.
Mereka sadar sepenuhnya, bahwa mereka hanyalah anak angkat, sementara. Srini adalah anak kandungnya. Dalam keadaan yang menentukan, apakah Nyi Citra Jati itu benar-benar akan merelakan anak perempuannya itu"
Namun Nyi Citra Jati itu-pun mengulanginya, "Masih ada kesempatan anak-anakku."
Anak-anak Nyi Citra Jati itu-pun kemudian telah pergi ke bilik khusus di belakang sentong yang dipergunakan oleh Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Mereka telah mengambil senjata sesuai dengan ketrampilan mereka. Dua orang mengambil busur dan anak panah. Seorang mengambil bandil dan seorang lagi mengambil tulup dan paser-paser kecil yang dapat dilontarkan dengan tulup. Jika keadaan memaksa, maka mereka akan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu, rumpun pisang dan rumpun bambu sambil menyerang dari jarak jauh. Sementara itu, mereka dibenarkan oleh Nyi Citra Jati untuk mencari jalan keluar dan menghindarkan diri.
Dalam pada itu, di bukit, Glagah Putih masih menjalani laku menurut petunjuk dan tuntutan yang diberikan oleh Ki Citra Jati. Ternyata Glagah Putih tidak memerlukan waktu sampai tengah malam. Ketika suara rindingnya menggelepar meninggi bagaikan menggapai awan, maka terasa seakan-akan seluruh isi dada Glagah Putih-pun menggelepar pula tertumpah lewat suara rindingnya. Pada saat terakhir dari laku yang harus dijalaninya, maka disalurkannya tenaga dalamnya yang sudah menjadi semakin tinggi tatarannya serta segenap kekuatan ilmunya lewat getar suara rindingnya.
Ki Citra Jati dapat merasakan, betapa dahsyatnya getar suara rinding yang terlontar itu. Bukit-bukit seakan-akan bergetar dan pepohonan-pun berguncang. Bintang-bintang yang bergayutan di langit-pun rasa-rasanya akan runtuh menimpa bumi.
Dengan isyarat Ki Citra Jati-pun kemudian mulai meredakan ungkapan kemampuan ilmu Glagah Putih lewat suara rindingnya. Suara rinding itu-pun semakin lama menjadi semakin perlahan. Merendah dan kemudian berhenti sama sekali.
Glagah Putih yang duduk bersilang kaki itu nampak menjadi sangat letih. Nafasnya-pun menjadi terengah-engah. Seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat yang mengalir di seluruh wajah kulitnya.
Namun Ki Citra Jati itu-pun telah mengisyaratkan agar Glagah Putih duduk memusatkan nalar budinya, mengatur pernafasannya.
Ternyata Glagah Putih tidak memerlukan waktu terlalu lama. Ia-pun dapat menyelesaikan laku yang harus dijalani sedikit lebih cepat dari yang seharusnya.
"Kau memang luar biasa, Glagah Putih. Aku sudah mengira. Sekarang kau menjadi salah satu dari beberapa orang pemain rinding yang baik. Biasanya memang perempuan yang bermain rinding. Tetapi ada juga laki-laki yang menyenanginya. Antara lain adalah aku dan beberapa orang kawan-kawanku. Sekarang bertambah satu lagi, kau."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
"Glagah Putih. Jika kau sudah beristirahat, marilah kita pulang. Kau tentu sangat letih. Namun aku juga mencemaskan kemungkinan kehadiran adikmu Srini."
Glagah Putih memang merasa sangat lebih. Tetapi ketika ia mendengar nama Srini, maka rasa-rasanya ia mampu mengatasi perasaan letihnya. Glagah Putih kemudian juga mencemaskan Rara Wulan yang juga sedang menjalani laku didalam sanggar.
Karena itu, sebelum tengah malam keduanya telah meninggalkan gumuk kecil itu kembali ke padukuhan, tempat tinggal Ki Citra Jati.
Di jalan pulang itu, kaki Glagah Putih rasa-rasanya beberapa kali terantuk batu. Mungkin karena Glagah Putih dan Ki Citra Jati itu tergesa-gesa, sementara mereka dalam keadaan yang sangat letih. Namun Glagah Putih justru menjadi semakin gelisah.
Sementara itu, malampun menjadi semakin dalam. Beterapa buah bintang telah mulai bergesar, meski-pun masih belum sampai ke tengah malam.
Di rumahnya. Nyi Citra Jati masih saja dicengkam oleh ketegangan. Ia masih mencemaskan kemungkinan Srini datang kembali bersama dengan kawan-kawan dan para pengikutnya.
Dalam pada itu, terasa dinginnya malam semakin menggigit. Sementara itu, anak-anak angkatnya tidak berada di dalam rumahnya. Dua orang berada didalam kandang. Dan dua orang yang lain berada didalam lumbung.
Padmini yang berada dilumbung bersama Baruni, sekali-sekali mengusap keningnya yang basah. Meski-pun malam dingin, tetapi keringatnya mengembun di kening dan punggungnya.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu, Baruni," bisik Padmini.
Baruni mengangguk sambil berdesis, "Mudah-mudahan, mbokayu. Kasihan ibu. Hatinya telah terkoyak. Jika ia bersungguh-sungguh melawan mbokayu Srini, mungkin mbokayu akan terbunuh. Jika itu terjadi, maka ibu-pun akan menjadi sangat berduka."
Namun tiba-tiba saja Padmini menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
"Sst," desis Padmini.
Baruni terdiam. Ia memang mendengar desir lembut di sebelah lumbung padi.
Namun keduanya tetap berdiam diri.
Pamekas dan Setiti yang berada di kandang-pun menjadi sangat berhati-hati. Mereka-pun mendengar langkah-langkah kaki di sebelah kandang.
Setiti menarik nafas dalam-dalam. Disiapkannya sebuah paser kecil dan dimasukkannya kedalam lubang tulupnya. Sementara itu Pamekas-pun telah menyiapkan bandilnya pula.
Ternyata ada beberapa orang yang berkeliaran di halaman belakang rumah, sehingga dada keempat anak angkat Nyi Citra Jati itu menjadi berdebar-debar.
Nyi Citra Jati-pun menjadi sangat tegang. Panggraitanya sudah menangkap isyarat kehadiran beberapa orang di halaman rumahnya, "Srini, Srini. Kenapa kau dapat hanyut oleh arus yang membawamu ke dunia yang hitam itu." Nyi Citra Jati yang berada di ruang dalam rumahnya it-pun berdesis.
Namun tiba-tiba saja Nyi Citra Jati itu bangkit. Dengan cepat ia keluar lewat pintu butulan menuju ke sanggar.
Didalam sanggar Rara Wulan masih tetap menjalani laku sebagaimana ditunjukkan oleh Nyi Citra Jati. Meski-pun demikian perhatiannya sempat tertuju kepada Nyi Citra Jati yang dengan perlahan-lahan membuka pintu dan melangkah perlahan-lahan masuk kedalam sanggar.
Nyi Citra Jati tidak dapat membiarkan Rara Wulan mengalami kesulitan dan bahkan mendapat malapetaka justru pada saat menjalani laku. Tetapi Nyi Citra Jati-pun tidak ingin Rara Wulan gagal, sehingga harus mengulanginya kembali jika tidak terpaksa sekali.
Karena itu, muka Nyi Citra Jati memerlukan menemui Rara Wulan yang tengah menjalani laku itu.
"Wulan," desis Nyi Citra Jati dengan nada suara yang lembut.
Rara Wulan menarik nafas panjang. Dilepaskannya pemusatan nalar budinya sejenak.
"Dengar anakku. Kau jangan terpengaruh oleh apa yang terjadi di luar sanggar. Tunggu isyaratku. Mungkin kau harus berbuat sesuatu disela-sela laku yang kau jalani. Tetapi ingat, kau tunggu isyaratku."
"Apa yang terjadi ibu?"
"Permainan yang buruk. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, jangan terpengaruh oleh permainan yang buruk itu. Kau sedang menjalani laku yang berat. Jika kau terpengaruh, mungkin sekali pengaruh itu akan dapat mengganggu laku yang sedang kaujalani. Apa-pun yang terjadi, jangan kau hiraukan."
"Ya, ibu." "Yakinkan dirimu. Percayalah kepadaku."
"Ya, ibu." Nyi Citra Jati mencium pipi Rara Wulan yang basah oleh keringat. Kemudian ditepuknya bahunya sambil berdesis. "Kau memang luar biasa. Kau lalui waktu dengan kesan yang memberikan kebanggaan kepadaku. Aku belum pernah menemui seorang murid yang memiliki kelebihan sebagaimana kau, Wulan."
"Terima kasih, ibu. Semoga aku tidak mengecewakan ibu sampai batas akhir."
Nyi Citra Jati-pun kemudian keluar dari sanggar. Tetapi ia tidak segera masuk ke dalam rumahnya. Tetapi Nyi Citra Jati justru bergeser menghilang di bayangan segerumbul pohon soka yang sedang berbunga.
Sebenarnyalah bahwa beberapa orang memang sudah berada di halaman rumah Nyi Citra Jau. Tetapi mereka belum berbuat sesuatu. Sebagian dari mereka berada di kebun belakang. Yang lain berada di halaman samping.
Nyi Citra Jati yang memiliki penglihatan yang sangat tajam itu-pun sempat melihat bayangan-bayangan yang bergerak diantara pepohonan di halaman samping. Namun Nyi Citra Jati itu masih tetap berdiam diri di belakang segerumbul pohon soka.
"Jika saja mereka tidak terperosok ke belakang tanaman perdu ini pula," berkata Nyi Citra Jati didalam hatinya.
"Agaknya mereka masih menunggu Srini atau suaminya," berkata Nyi Citra Jati kepada diri sendiri.
Yang kemudian dicemaskan oleh Nyi Citra Jati adalah anak-anak angkatnya. Mereka memang sudah mewarisi ilmu dari Nyi Citra Jati dan Ki Citra Jati. Tetapi masih banyak yang harus mereka lakukan untuk mencapai tataran ilmu yang tinggi.
"Mudah-mudahan kegelapan serta pengenalan mereka atas lingkungan ini dapat membantu," berkata Nyi Citra Jati didalam hatinya.
Menurut pengamatan Nyi Citra Jati, agaknya Srini dan orang-orangnya masih belum tahu bahwa Rara Wulan berada di sanggar sedang menjalani laku khusus pada jalur kedua untuk mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce. Ternyata bahwa perhatian mereka sama sekali tidak tertuju ke sanggar.
"Mudah-mudahan mereka tidak tahu bahwa Rara Wulan sedang berada di sanggar. Mudah-mudahan mereka juga tidak tahu, bahwa Glagah Putih-pun sedang menjalani laku di gumuk kecil itu. Mungkin mereka melihat Ki Citra Jati dan Glagah Putih datang kemudian pergi lagi. Tetapi mudah-mudahan mereka tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan. Setidak-tidaknya tidak tahu waktu yang diperlukan dalam laku yang sedang dijalani oleh Glagah Putih akan selesai pada tengah malam ini."
Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam.
Dalam pada itu, malampun telah bergulir terus. Tengah malam lewat. Nyi Citra Jati memang menjadi gelisah. Biasanya Rara Wulan dapat beristirahat di tengah malam. tetapi jika ia keluar dari sanggar, maka ia akan dapat terlihat, sementara dalam menjalani laku, kekuatan dan kemampuan, terutama dukungan kewadagnnnya tidak berada dalam keadaan siap.
Jantung Nyi Citra Jati-pun bergetar ketika ia mendengar isyarat di halaman depan. Di sepinya mukim terdengar suara burung tuhu memekik tinggi.
Sejenak kemudian, suara itu telah disahut oleh suara burung kolik dikiri kebun di belakang rumah Nyi Citra Jati.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain," berkata Nyi Citra Jati. Sementara itu, Padmini-pun telah menggamit adiknya sambil berdesis, "Kita tidak mempunyai pilihan lain."
"Ya, mbokayu." "Hati-hatilah Baruni. Semoga kita mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung."
Sejenak keduanya termangu-mangu. Mereka mendengar langkah beberapa orang yang agaknya sedang mengepung rumah Ki Citra Jati itu.
Padmini itu mendengar seseorang berkata perlahan-lahan. Namun karena orang itu berdiri di dekat lumbung, maka Padmini-pun dapat mendengarnya, "Jangan ada yang lolos seorang-pun. Kita akan menangkap mereka hidup-hidup. tetapi jika mereka melawan, maka kita tidak mempunyai pilihan lain."
"Bagaimana dengan Nyi Citra Jati?"
"Itu bukan tugas kita. Biarlah orang-orang berilmu tinggi yang berada di halaman depan yang mengurusnya."
Kemudian mereka-pun terdiam.
Yang terdengar adalah langkah-langkah kaki.
Padmini-pun kemudian menggamit adiknya dan berdesis, "Marilah."
Keduanya-pun kemudian dengan hati-hati keluar dari lumbung. Mereka merayap di balik gerumbul-gerumbul perdu. Kemenangan mereka pertama dari orang-orang yang berdatangan itu adalah, bahwa mereka menguasai medan dengan baik.
"Hanya mbokayu Srini yang mengenal lingkungan ini sebaik-baik kita," bisik Padmini.
Dengan anak panah yang sudah melekat di busurnya, mereka bergerak dengan sangat berhati-hati.
Di sisi lain, Pamekas dan Setiti-pun telah keluar dari kandang pula. Mereka harus lebih berhati-hati agar kuda yang ada di dalam kandang itu tidak terkejut dan bahkan meringkik.
Sementara itu, di halaman di depan rumah, Srini dan suaminya Gunung Lamuk, berdiri bertolak pinggang. Bersama mereka ada dua orang yang berwajah garang. Seorang di antara kedua orang yang berwajah garang itu bertubuh tinggi kekurus-kurusan. Sebagian rambutnya yang sudah memutih nampak tergerai di bawah kepalanya. Kumisnya yang tebal yang sebagian juga sudah memutih menyilang di bawah hidungnya.
Pada kedua belah pergelangan tangannya, melilit sejenis akar yang berwarna hitam mengkilat. Sebelah ujungnya dibentuk seperti kepala ular, sedang ujung yang lain merupakan ekornya. Tubuhnya melilit tiga ampat kali di pergelangan tangan orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.
"Inikah rumah kedua orang tuamu, Srini?" bertanya orang itu.
"Ya, guru. Tetapi agaknya ayah tidak ada di rumah."
"Ayahmu pergi kemana?"
"Aku tidak tahu pasti, guru. Tetapi ayah pergi bersama anak angkatnya ke arah bukit-bukit kecil. Jika seorang di antara kami mencoba untuk mengikutinya, ayah tentu dapat melihatnya."
"Sampai sekarang ayahmu belum kembali?"
"Belum guru. Dua orang yang aku tugaskan untuk mengawasi jalan di luar padukuhan ini, belum melihat ayah pulang."
"Apa yang dilakukannya di gumuk kecil itu?"
"Entahlah, guru. Tetapi agaknya ayah sedang mewariskan salah satu ilmunya kepada anak angkatnya yang telah dilindunginya dari tangan kami itu."
"Ibumu ?" "Ibu ada di rumah. Orang yang mengawasi rumah ini tidak melihat ibu keluar dari regol halaman."
"Apa yang dilakukannya?"
"Tentu melindungi anak angkatnya yang dikasihaninya lebih dari anak kandungnya sendiri."
"Maksudmu, kau?"
"Ya, guru." "Baiklah. Kita akan menghancurkan isi rumah ini. Aku akan membantumu menangkap seisi rumah ini hidup-hidup. Tetapi jika ada di antara mereka terbunuh, jangan salahkan aku dan saudara-saudara seperguruanmu."
"Ya, guru." "Gunung Lantik," berkata orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu pula, "kau awasi adik-adik angkat Srini. Mereka sudah diberi bekal oleh ibunya. Jangan biarkan mereka melarikan diri."
"Rumah ini sudah dikepung, guru."
"Baiklah. Marilah kita naik. Aku akan memanggil ibumu."
Srini, suaminya, tersama kedua orang itu-pun segera naik ke pendapa. Di depan pintu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berkata lantang, "Nyi Citra Jati. Menyerahlah, agar tidak timbul pertumpahan darah. Anakmu tidak akan menyakitimu. Yang ia inginkan adalah anak angkatmu. Seorang saja. Tidak semuanya."
Tidak ada jawaban. Pintu rumah itu tetap saja tertutup, meski-pun lampu di ruang dalam nampak menyala dengan terang.
"Nyi. Kau dengar suaraku" Aku datang bersama anak perempuanmu."
Karena masih saja tidak ada jawaban, maka Srinilah yang berteriak, "Ibu. Kau dengar" Aku datang tersama guru."
Pintu rumah itu bagaikan membeku. Dinding, tiang kerangka rumah itu bagaikan membeku.
"Jika kau tidak mau membuka pintunya. Nyi. Aku akan merusaknya."
Nyi Citra Jati memdengar teriakan-teriakan itu. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Nyi Citra Jati itu masih tetap mengawasi pintu sanggarnya dari balik segerumbul pohon soka.
"Ibu, ibu," teriak Srini, "jika ibu tetap berkeras, maka hatiku-pun akan menjadi sekeras watu item."
Dalam pada itu, anak-anak angkat Nyi Citra Jati menjadi tegang. Sebenarnya Nyi Citra sudah mengisyaratkan agar mereka berusaha untuk meninggalkan halaman. Namun Padmini itu berbisik di telinga adiknya, "Apakah kita akan sampai hati meninggalkan ibu sendiri menunggui mbokayu Rara Wulan yang sedang berada di sanggar" Lalu apa yang akan terjadi dengan ibu dan kemudian apa pula yang akan terjadi dengan mbokayu Rara Wulan?"
Adiknya-pun mengangguk. Katanya, "Kita tidak akan pergi. Apa-pun yang terjadi."
"Mungkin kemampuan kita tidak akan dapat mengimbangi kemampuan mbokayu Srini dan suaminya, seandainya ibu akan menghadapi gurunya Tetapi kita tidak akan lari jika ibu dan mbokayu Rara Wulan masih berada di sanggar."
Karena itu, maka keduanya-pun justru telah mempersiapkan anak panah dan busurnya.
"Apa boleh buat," desis Baruni.
Ternyata Pamekas dan Setiti-pun tidak ingin meninggalkan ibunya untuk bertempur sendiri. Mereka-pun tahu, siapakah yang datang. Meski-pun tidak jelas, tetapi mereka juga mendengar Srini itu menyebut seseorang dengan guru.
"Selama ini kita sudah diasuhnya sebagai anak sendiri. Bahkan kita sudah mewarisi sebagian ilmunya pula. Apakah kita akan membiarkannya," berkata Setiti.
Pamekas mengangguk. Katanya, "Kita akan tetap di sini bersama ibu."
"Sekarang apa yang akan kita lakukan?"
"Kita mendekati kepungan itu. Bukan kita yang licik jika kita menyerang mereka sambil bersembunyi."
Dalam pada itu, Srini menjadi tidak sabar lagi. Ketika gurunya berteriak sekali lagi, sementara pintu tetap tidak dibuka, maka ia-pun berkata kepada suaminya, "Kita akan memecahkan pintu."
Sejenak kemudian terdengar pintu berderak pecah. Srini, suaminya, gurunya dan seorang lagi yang berwajah garang segera memasuki rumah yang sudah terbuka itu.
Namun mereka tidak menemukan siapa-siapa di dalam rumah itu. Bahkan ketika mereka memasuki setiap sentong yang ada serta ke dapur. Rumah itu kosong. Mereka tidak menemukan Nyi Citra Jati. Mereka juga tidak menemukan Rara Wulan dan anak-anak angkat yang lain.
"Mereka telah melarikan diri," geram gurunya.
"Tidak mungkin. Mereka tidak keluar lewat regol depan. Tidak pula lewat butulan. Semua pintu keluar halaman diawasi."
"Jika demikian, mereka tentu masih ada di halaman ini." Yang terdengar adalah teriakan-teriakan yang merupakan aba-aba yang dilontarkan lewat mulut Gunung Lamuk yang berdiri di pintu dapur yang menghadap ke belakang.
"Mereka ada di luar. Rumah ini kosong. Cari sampai ketemu. Jangan ada yang terlewatkan," teriak Gunung Lamuk.
Orang-orang yang sebelumnya mengepung rumah itu-pun segera menebar. Mereka mencari isi rumah itu diseluruh halaman dan kebun di belakang.
Anak-anak Nyi Citra Jati tidak dapat hanya berdiam diri dan bersembunyi. Orang-orang yang mencari mereka itu-pun segera menyusup diantara gerumbul-gerumbul perdu.
Buku 340 PADMINI dan Baruni bergeser mengambil jarak. Ketika Padmini tiba-tiba saja hampir terantuk kaki seorang pengikut Srini, maka tanpa bertanya apa-pun dilepaskan anak panahnya dari jarak yang dekat, menembus dada orang itu.
Orang itu terkejut. Anak panah itu langsung menyentuh jantungnya, sehingga orang itu-pun terguling jatuh di kegelapan.
Kawannya yang berdiri tidak terlalu jauh terkejut. Namun demikian ia bergeser mendekat, maka sebatang anak panah telah mengenai punggungnya.
Orang itu-pun terkejut pula. Namun ia sempat berteriak dengan marahnya. Bahkan kemudian mengumpat kasar.
Namun orang itu-pun segera jatuh tertelungkup. Luka di punggungnya cukup dalam, sehingga menembus paru-paru.
Orang itu menggeliat kesakitan. Tetapi ia tidak dapat lagi bangkit untuk terjun ke dalam pertempuran. Lukanya yang parah telah membuatnya kesakitan dan tidak berdaya lagi.
Pamekas dan Setiti mendengar jerit orang yang punggungnya ditembus panah Baruni. Karena itu, Setiti-pun segera berjongkok di kegelapan. Tulupnya sudah siap berada di mulutnya.
Ketika sebuah bayangan lewat tidak jauh di depannya ke arah kawannya yang berteriak, maka orang itu-pun terhenti. Sesuatu terasa menyengat lengannya. Namun rasa-rasanya kepalanya menjadi pedih. Pandangan matanya menjadi kabur. Orang itu-pun kemudian jatuh tersungkur. Paser Setiti yang melontarkan sejenis senjata rahasianya yang beracun telah membunuh orang itu.
Beberapa saat kemudian, Baruni-pun telah berlari menyusup di antara pohon-pohon perdu. Ketika seorang mencoba memburunya, maka orang itu terhenti dan jatuh terlentang. Sebatang anak panah menancap di dadanya.
"Anak iblis," geram seorang yang lain. Tetapi ia tidak sempat membantu kawannya. Sebulir batu kecil yang bulat yang dilontarkan dengan bandil mengenai pelipisnya.
Orang itu berteriak kesakitan. Kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terguling. Dari pelipisnya mengalir darah yang merah segar.
Pertempuran-pun telah terjadi di kebun belakang. tetapi anak-anak angkat Nyi Citra Jati itu tidak menghadapi mereka dengan terbuka. Mereka menyerang dari kegelapan dengan anak panah, bandil dan paser-paser kecil beracun. Kemudian mereka menghilang dalam kegelapan.
Anak-anak Nyi Citra Jati itu mampu memanfaatkan pengenalan mereka yang jauh lebih baik atas medan daripada lawan-lawannya.
Beberapa diantara para pengikut Srini itu memburu lawan-lawannya yang muncul, menyerang dan menghilang dalam kegelapan. Namun satu demi satu, para pengikut Srini itu jatuh terguling.
"Licik," teriak Ki Gunung Lamuk yang setiap kali mendengar anak buahnya berteriak, "Kalian tidak berani bertempur beradu dada. Kalian hanya berani menghadapi kami dengan cara seorang pengecut."
Tidak ada jawaban. Yang terdengar adalah seorang lagi pengikut Gunung Lumuk berteriak tinggi. Kemudian terdiam.
"Bagus," teriak Gunung Lamuk, "jika kalian tidak mau keluar dari persembunyian kalian, kami akan mencari kalian pada setiap jengkal tanah. Kami akan mengaduk seluruh halaman dan kebun ini sampai kalian kami ketemukan."
Namun yang terdengar kemudian adalah suara Nyi Citra Jati. Suaranya melingkar-lingkar di udara. Seakan-akan memancar dari setiap lembar dedaunan, dari pepohonan yang berada di kebun. Suara itu kadang-kadang seakan terdengar diatas sebatang pohon kelapa. Namun kemudian menggelepar dari dahan sebatang pohon jambu air. Tetapi kemudian Nyi Citra Jati itu seakan-akan bersembunyi di balik rumpun bambu.
"He, Gunung Lamuk. Siapakah yang kau sebut licik dan pengecut. Jika ampat orang anakku harus bertempur melawan sekian banyak orang yang kau bawa ke rumahku, siapakah yang sebenarnya licik dan pengecut?"
"Perempuan celaka. Dimana kau, he?"
"Kalau kau mengaku suami Srini, kau tahu siapa aku. Pantaskah kau menyebut aku sebagai perempuan celaka?"
"Kau tidak pernah mengakui keberadaanku disamping Srini. Apakah aku harus mengakui bahwa kau adalah ibu mertuaku?"
"Tidak ada manusia yang dapat menghapus hubungan darah antara aku dan Srini. Tetapi hubunganmu dengan Srini yang terjadi pada hari-hari tuamu dapat saja tidak diakui oleh seorang lain."
"Diakui atau tidak diakui, aku adalah suami Srini."
"Kau masih saja merasa tidak malu menyebut, bahwa kau suami Srini."
"Cukup, ibu." Srinilah yang berteriak, "jika anak-anak angkat ibu yang ibu manjakan itu tidak menyerah, maka mereka akan menyesal. Mereka akan mati dengan cara yang buruk sekali."
"Kau tidak akan menemukan mereka Srini."
"Mungkin orang-orangku tidak. Tetapi aku tentu dapat, karena aku-pun mengenal medan sebaik mereka."
"Kau tidak akan dapat mencari mereka diantara gerumbul-gerumbul perdu. Diantara rumpun-rumpun pisang dan rumpun-rumpun bambu. Kau tidak akan dapat menemukan mereka yang bersembunyi di balik rumpun pohon soka atau di belakang pohon bunga ceplok piring."
"Aku tidak perlu turun ke kebun belakang itu. Guruku akan dapat membunuh mereka dari serambi ini."
"Itu hanya omong kosong."
"Mungkin ibu dapat melawan. Tetapi anak-anak manja itu tidak. Mereka akan mati. Baru kemudian guru dan kami semuanya akan menangkap ibu."
Nyi Citra Jati yang mendengar ancaman itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia sudah bertekad, jika guru Srini itu menyerang dengan getaran ilmunya yang menyusup menggelepar di udara malam, maka apa-pun yang terjadi ia tidak akan ingkar.
"Aku harus menyerangnya."
Demikianlah, maka terdengar Srini itu-pun berkata, "Silahkan guru. Bunuh mereka."
Sejenak kemudian malam itu menjadi sepi. Tidak terdengar suara apa-pun juga. Para pengikut Srini itu-pun telah mempersiapkan diri untuk mengerahkan daya tahan mereka. Meski-pun mereka sudah mendapat petunjuk untuk mengatasi getar ilmu guru Srini, namun mereka masih juga mengalami kesulitan. Tetapi mereka yakin, bahwa mereka tidak akan mati seperti sasaran serangan itu.
Sejenak kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara seperti suara genderang yang menggetarkan udara malam. Suara itu keluar dari sela-sela bibir guru Srini itu. Semakin lama menjadi semakin keras. Getar udara disekitarnya terasa bagaikan menusuk-nusuk sampai ke jantung.
Padmini, Pamekas, Satiti dan Baruni terkejut mendengar suara genderang itu. terasa isi dada mereka bagaikan menggelepar. Perasaan pedih dan nyeri-pun telah menyengat-nyengat jantung mereka.
Betapa-pun mereka meningkatkan daya tahan mereka, namun suara genderang itu menjadi semakin menyakitkan. Bahkan setelah mereka menutup telinga mereka, suara itu masih saja menyakiti isi dada mereka.
Nyi Citra Jati sendiri mampu bertahan dari serangan suara genderang itu. Dengan tingkat kemampuannya yang tinggi, maka Nyi Citra Jati mampu menepis getar suara itu.
Ilmu yang dilontarkan lewat suara yang mirip suara genderang perang itu adalah sejenis Aji Gelap Ngampar. Tetapi di dalam perkembangannya, guru Srini itu mempunyai gaya tersendiri. Namun dengan demikian ilmu yang dimiliki oleh guru Srini itu terasa semakin tajam.
Nyi Citra Jati-pun harus mengerahkan daya tahananya untuk menghindari akibat buruk dari Aji Gelap Ngampar yang telah mengalami perkembangan itu.
Sementara itu, Rara Wulan yang berada di dalam sanggar-pun merasakan getar suara yang mirip suara genderang itu. Suara itu ternyata telah mengganggu laku yang sedang dijalaninya. Meski-pun Nyi Citra Jau sudah berpesan kepadanya untuk tidak menghiraukan apa yang terjadi di luar sanggar, tetapi suara yang mirip suara genderang itu telah menghentak-hentak di dadanya, sehingga Rara Wulan harus berjuang untuk mengatasinya.
Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni benar-benar menjadi tidak berdaya. Suara itu memang akan dapat membunuh mereka.
"Kita harus berbuat sesuatu," berkata Padmini.
"Apa yang dapat kita lakukan, yu?"
"Kita serang sumber suara itu?"
"Apakah itu mungkin" Mbokayu Srini akan mendatangi kita dan mencekik kita sampai mati."
Sambil menyeringai menahan sakit di dadanya Padmini berkata, "jika suara itu tidak berhenti, kita-pun akan mati tercekik oleh suara itu."
Baruni mengangguk. Namun gadis itu sudah menjadi sangat lemah, sehingga untuk merayap-pun ia tidak lagi mampu.
Sedangkan Pamekas dan Setiti-pun telah mencoba pula. Namun mereka juga tidak akan mungkin sempat menyerang. Sementara itu Srini, Gunung Lamuk dan seorang lagi yang berwajah garang, yang sudah mendapat bekal dari gurunya untuk memecahkan tusukan getar suara ilmunya itu, seakan-akan memang tidak terpengaruh.
Ketika keadaan menjadi semakin sulit bagi anak-anak angkat Nyi Citra Jati, maka Nyi Citra Jati itu-pun telah mengambil keputusan untuk menyerang sumber suara itu. Ia harus mendekati pintu dapur di sebelah belakang untuk dengan tiba-tiba menyerang mereka berempat.
"Aku harus mendahului dan membungkam getar suara itu. Jika aku tidak berhasil, maka anak-anakku akan mati," berkata Nyi Citra Jati di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka Nyi Citra Jati-pun telah membulatkan tekadnya untuk segera bertindak apa-pun yang akan terjadi atas dirinya. Apalagi ketika Nyi Citra Jati itu menyadari, bahwa anak-anak angkatnya itu tidak mau menyingkir dari halaman rumah itu dan meninggalkannya sendiri.
Setiap kali, sebelum guru Srini mengetrapkan Aji Gelap Ngampar, terdengar para pengikut Srini berteriak karena serangan anak panah, atau bandil atau paser-paser kecil yang dilontarkan dengan sumpit.
Dalam keadaan yang gawat itu, Nyi Citra Jati-pun segera memusatkan nalar budinya. Ia harus menyerang mendahului dari bayangan kegelapan malam.
Namun dalam pada itu, pada saat yang paling gawat, tiba-tiba terdengar suara rinding yang menggema di seluruh halaman rumah Nyi Citra Jati itu. Suaranya terdengar lunak mengalun lembut. Nadanya yang rendah bagaikan desir yang segar, berhembus menebar di seluruh halaman.
Nyi Citra Jati yang sudah bersiap untuk merayap di balik rumpun-rumpun perdu di halaman belakang rumahnya, tertegun. Ia sadar sepenuhnya apa yang telah terjadi. Ia kenal benar suara rinding itu.
Terdengar Nyi Citra Jati itu berdesah, "Yang Maha Agung telah membawanya pulang dalam keadaan yang paling gawat."
Dalam pada itu, getar yang keras dan tajam, yang dilontarkan oleh Aji Gelap Ngampar yang telah dikembangkan itu, seakan-akan telah membentur suara rinding yang lembut. Namun kemudian getar Aji Gelap Ngampar itu bagaikan telah terhisap dan hilang tanpa bekas.
Dengan demikian, maka getaran Aji Gelap Ngampar itu tidak lagi menusuk ke setiap jantung. Suara rinding itu benar-benar telah mengimbangi dan bahkan menghisap dan menelan getar Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan oleh guru Srini.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Ia masih belum beranjak dari tempatnya. Dalam kegelapan, dibayangkan pohon perdu, Nyi Citra Jati mengucap sokur.
Namun ia masih tetap mengawasi pintu sanggar. Tidak seorang-pun boleh masuk ke dalam sanggar.
Nyi Citra Jati menyadari bahwa laku yang sedang dijalani oleh Rara Wulan tentu terganggu oleh aji Gelap Ngampar yang dilontarkan oleh guru Srini. Namun gangguan itu tidak akan banyak mempengaruhinya.
Sementara itu, di balik gerumbul-gerumbul perdu, Padmini, Pamekas dan Baruni, bersorak didalam hati. Ketika mereka mendengar suara rinding yang lembut dengan nada rendah, maka hati mereka-pun bagaikan mekar. Seperti kanak-kanak yang berada di pinggir jurang yang dalam, melihat ayahnya datang mengulurkan tangannya, membimbingnya menjauhi jurang yang curam berbatu-batu padas yang licin itu.
Seperti ibunya, mereka-pun telah menyatakan sokurnya pula.
Dalam pada itu, guru Srini yang melontarkan ilmunya gelap Ngampar. telah mendengar suara rinding itu pula. terasa betapa getaran ilmunya mengalir sia-sia tanpa menyentuh sasaran. Gelaran ilmu Gelap Ngamparnya yang tajam itu, bagaikan terhisap oleh nada-nada rendah, lembutnya suara rinding di kejauhan.
Dengan demikian, maka hentakan suara seperti suara genderang perang itu-pun telah menurun. Akhirnya justru berhenti sama sekali.
Suara rinding itu-pun menjadi semakin lambat pula. Nadanya meninggi. Seakan-akan memekik menggapai langit.
Suara rinding itu memang terasa menusuk. Tetapi hanya sesaat. Kemudian menurun lagi. Iramanya-pun segera berubah, justru menjadi lembut dan mengelus isi dada. Mengusap luka yang timbul oleh sengatan Aji Gelap Ngampar.
"Srini," teriak gurunya, "ini tentu suara rinding ayahmu."
"Ya. Ayah telah pulang."
"Tidak," tiba-tiba saja terdengar suara dari balik seonggok kayu bakar yang masih tertimbun di belakang dapur, "Aku disini. Suara rinding itu bukan permainanku."
Srini, suaminya, seorang laki-laki yang berwajah garang, dan bahkan guru Srini itu terkejut. Suara rinding itu menunjukkan, betapa tinggi ilmu orang yang melontarkannya. Menurut dugaan mereka, yang dapat melakukannya hanyalah Ki Citra Jati saja. Tetapi ternyata bukan Ki Citra Jati. Ki Citra Jati sudah berdiri di hadapan mereka. Namun suara rinding itu masih terdengar.
Namun sejenak kemudian, guru Srini itu-pun berteriak, "Omong kosong. Tadi tentu kau yang membunyikan rinding itu. Setelah kau memasuki halaman ini, maka orang lainlah yang membunyikannya."
"Kau tentu guru Srini," berkata Ki Citra Jati, "kau memiliki ilmu Gelap Ngampar yang telah kau kembangkan. Hasilnya benar-benar membahayakan. Gelap Ngamparmu dapat mencekik pernafasan orang. Sampai mati."
"Aku memang akan membunuh seisi rumah ini."
"Tetapi kau tidak akan mampu. Aji Gelap Ngamparmu yang sudah kau kembangkan dan diwarnai oleh hitamnya keyakinanmu, tidak mampu membentur dan mengatasi suara rinding itu. Bukan aku yang bermain. Tetapi orang lain."
"Omong kosong. Kau kira aku percaya kepada bualanmu" Kaulah yang memainkannya. Tetapi dengan licik orang lainlah yang melanjutkannya."
"Tidak. Bukan aku."
"Aku ingin membuktikannya."
"Silakan." Tiba-tiba suara seperti suara genderang perang itu telah terdengar lagi. Semakin lama semakin keras menghentak-hentak Jantung.
Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni-pun terkejut pula. Sengatan rasa nyeri di dadanya baru saja mereda. Tiba-tiba serangan itu datang lagi, justru pada saat ayahnya sudah ada di rumah.
Namun Nyi Citra Jati justru berdiri dan keluar dari persembunyiannya. Ia tahu pasti, apa yang telah terjadi.
Sebenarnyalah sebentar kemudian, suara rinding yang lembut itu telah berubah. Nadanya merendah. Suaranya masih saja lunak. Namun suara itu telah menghisap getar ilmu Gelap Ngampar yang menusuk-nusuk jantung itu.
"Nah, kau percaya bahwa bukan aku yang melakukannya?" bertanya Ki Citra Jati yang masih berdiri di tempatnya.
Suara seperti suara genderang perang itu-pun segera menurun dan menghilang. Sementara itu Srini-pun berteriak, "Siapa yang telah melakukannya ayah" Ayah telah membawa saudara seperguruan ayah untuk membantu ayah melindungi anak-anak angkat ayah itu?"
"Siapa-pun yang melakukannya, maka Aji Gelap Ngampar itu tidak akan mampu menggetarkan hati kami, karena dengan mudah kami dapat melawannya."
"Kau kira, Gelap Nampar itu satu-satunya landasan kekuatan kami?" teriak guru Srini.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang guru?"
"Bunuh semua orang yang ada di halaman rumah ini."
"Kau tidak akan berhasil," sahut Ki Citra Jati.
"Kenapa tidak," sahut Srini, "aku sudah tidak mempunyai pilihan lain. Jika ibu ada, maka guru dan paman akan menghadapi ayah dan ibu. Jika ayah dan ibu terbunuh dalam pertempuran ini, itu adalah salah mereka sendiri. Jika mereka menyerahkan anak-anak yang dilindunginya itu, maka segala sesuatunya tentu sudah selesai."
"Jangan begitu Srini," berkata ayahnya, "kau jangan memaksa kami mengambil sikap yang sama. Setidak-tidaknya terhadap gurumu."
"Ternyata kau memang orang tua yang sombong, Ki Citra Jati. Biarlah aku mengakhiri kesombonganmu itu."
Ki Citra Jati tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja guru Srini itu seakan-akan meluncur dengan cepat, menyerang Ki Citra Jati.
Namun Ki Citra Jati ternyata cukup berhati-hati. Serangan itu sama sekali tidak menyentuh. Meski-pun Ki Citra Jati hanya bergeser selangkah, namun ia sudah terlepas dari garis serangan lawananya.
Orang yang disebut paman oleh Srini itu-pun segera beranjak pula dari tempatnya. Namun ia tidak sempat menghampiri Ki Citra Jati, karena tiba-tiba saja Nyi Citra Jati telah hadir pula.
Orang itu memandang Nyi Citra Jati dengan tajamnya. Kemudian ia-pun menggeram, "Kenapa kau keraskan hatimu untuk tidak menyerahkan iblis-iblis kecil itu?"
"Kau siapa?" bertanya Nyi Citra Jati.
"Ia pamanku, ibu. Adik guruku. Ia orang yang sangat baik kepadaku. Jauh lebih baik dari ayah dan ibu."
"Gurumu yang mana, Srini. Gurumu yang sedang bertempur dengan ayahmu itu, atau gurumu yang lain. Aku tahu, kau mempunyai beberapa orang guru. Sayang, guru-gurumu itu membuat penyelesaian yang buruk pada ilmumu yang telah aku dan yang ayahmu wariskan Kepadamu."
"Bukan waktunya untuk merajuk. Ibu tinggal pilih. Menyerahkan anak itu, atau umur ibu akan berakhir hari ini. Sementara itu, aku-pun akan mengakhiri hidup anak-anak angkat ayah dan ibu yang hanya dapat mengganggu kenanganku saat aku berada di rumahku sendiri."
"Kau lupakan orang yang telah membunyikan rinding itu" bukankah yang membunyikan rinding itu bukan ayahmu?"
"Aku tidak peduli. Orang itu tentu hanya pandai membunyikan rinding saja. Tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam olah kanuragan."
"Kau mencoba untuk menenangkan hatimu yang bergejolak, Srini. Kau tahu, bahwa orang yang membunyikan rinding itu berilmu sangat tinggi."
"Itu hanya omong kosong."
"Jika demikian, baiklah Srini. Apa yang ingin kau lakukan, lakukanlah. Apa yang ingin pamanmu lakukan, biarlah dilakukannya."
Orang yang disebut paman oleh Srini itu menggeram. Dengan langkah satu-satu ia mendekati Nyi Citra Jati yang berada di halaman belakang.
"Ki Sanak," ternyata Nyi Citra Jati masih bertanya, "Siapakah namamu?"
"Itu tidak penting bagiku."
"Masalahnya bukan penting atau tidak penting. Adalah kebiasanku untuk mengenali nama orang-orang yang akan aku bunuh."
"Kau memang iblis betina," geram paman guru Srini itu, "baiklah. Jika kau ingin mendengar namaku. Aku dikenal dengan nama Kaning Baya."
"O," Nyi Citra Jati mengangguk-angguk, "Jadi kaulah yang dikenal dengan nama Kaning Baya. Kalau begitu, guru Srini itu tentu Wanda Barong. Bukankah Kaning Baya hampir selalu bersama dengan Wanda Barong?"
"Kau benar, Nyi, yang bertempur dengan suamimu itu adalah Ki Wanda Barong, tetapi jangan keliru dengan Ki Wanda Barong yang berkeliaran di Pesisir Selatan, di sebelah timur Gunung Sewu. Wanda Barong itu tidak lebih dari seekor bilalang yang ingin disebut elang. Jika kau bertemu dengan Ki Wanda Barong yang satu lagi, maka dengan mudah kau akan dapat memijit kepalanya."
"Jika ada dua Wanda Barong. Kenapa kalian membiarkan orang itu tetap memakai nama Wanda Barong."
"Pada saatnya, orang itu akan kami cincang sampai lumat."
"Tetapi aku kira aku tidak keliru dengan Wanda Barong yang satu ini. Karena disamping namanya ada nama Kaning Baya."
"Bagus. Nampaknya kau mengenal kami dengan baik."
"Tetapi aku tidak mengira, bahwa salah seorang diantara guru Srini itu adalah Ki Wanda Barong. Jika demikian, maka tangisku harus lebih dalam lagi, karena anakku sudah berada di tangan orang-orang yang berilmu hitam pekat."
"Paman," berkata Srini, "kenapa paman tidak segera membungkamnya?"
"Aku ingin tahu, apa saja yang diketahui oleh ibumu Srini. Nampaknya ibumu-pun seorang perempuan yang menarik untuk diajak berbincang-bincang."
"Tetapi waktu kita tinggal sedikit."
"Jangan ajari aku, Srini. Aku sudah mempunyai perhitungan yang lebih baik dari perhitunganmu."
"Jika demikian, terserah kepada paman. Aku akan mencari adik-adik angkatku. Menyenangkan bermain-main dengan mereka. Aku akan senang sekali melihat mereka ketakutan dan menangis mohon ampun."
Srini-pun kemudian menggamit Gunung Lamuk, keduanya-pun segera turun ke halaman untuk mencari adik-adik angkat Srini.
Dalam pada itu, para pengikut Srini-pun telah berusaha menemukan anak-anak angkat Ki Citra Jati. Namun setiap kali, sebuah anak panah meluncur, mengenai seorang diantara mereka. Ada pula diantara mereka yang tiba-tiba saja terhuyung-huyung dan jatuh tertelungkup. Sebuah paser kecil tertancap di punggungnya.
Bahkan seeorang diantara mereka telah berteriak nyaring. Sebuah batu yang bulat menghantam dahinya, sehingga seakan-akan dahi itu berlubang.
Kematian-kematian itu memang membuat para pengikut Srini itu menjadi ngeri. Namun Srini-pun berteriak, "Jangan bodoh. Kacaukan sasaran bidik mereka."
Para pengikut Ki Gunung Lamuk dan Srini itu-pun segera bergerak dengan cepat. Bahkan ada diantara mereka yang berlari-lari, menyusup gerumbul-gerumbul perdu, mengitari rumpun-rumpun pisang dan rumpun-rumpun bambu di kebun belakang.
Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni menjadi bingung. Mereka tidak akan membidik sasaran mereka dengan baik, karena mereka selalu bergerak dengan cepat.
Karena itu, maka mereka-pun telah meletakkan busur bandil dan sumpit mereka. Mereka harus menghadapi lawan dengan jangkauan senjata di tangan mereka.
Namun mereka masih belum keluar dari tempat-tempat yang terlindung. Ketika seorang lawan bergerak cepat di hadapan mereka maka dengan serta-merta mereka-pun meloncat menerkam sambil menghujamkan pisau belati di dada lawan mereka.
Beberapa orang memang terguling jatuh dengan luka yang parah. Namun kawan-kawan mereka-pun segera berdatangan pula untuk membantunya.
Pertempuran segera berlangsung dengan sengitnya. Setiap kali anak-anak angkat Ki Citra Jati itu harus bertempur menghadapi lebih dan seorang lawan. Namun dalam setiap kesempatan, mereka tiba-tiba aja seperti menghilang di balik kegelapan, dibayangan gerumbul-gerumbul perdu, atau di belakang rumpun bambu.
Gunung Lamuk dan Srini-pun menjadi marah sekali. Mereka-pun kemudian telah turun langsung ke medan pertempuran yang rumit itu.
"Kalian tidak akan dapat bermain sembunyi-sembunyi lagi," geram Srini.
Adik-adik angkatnya menyadari, bahwa mereka-pun akan segera menghadapi pertempuran yang sangat berat. Mereka harus menghadapi Srini dan sekaligus suaminya, Gunung Lamuk.
"Menyerah sajalah," teriak Srini, "perlawanan hanya akan menambah penderitaan saja bagi kalian. Bukankah lebih baik kalian mati dengan tenang daripada mati dalam penderitaan yang sangat?"
Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni memang merasa, bahwa agaknya mereka harus berpisah dengan orang-orang yang mereka kasihi. Dengan rumah, halaman dan sanggar yang akrab.
Untuk beberapa saat, mereka masih bertempur melawan para pengikut Srini dan Gunung Lamuk, yang jumlahnya sudah semakin nenyusut. Bahkan ada di antara mereka yang justru merasa lebih aman bersembunyi daripada harus bertempur.
Tetapi jika Srini dan Gunung Lamuk sendiri yang turun ke medan, maka perlawanan mereka-pun akan segera berakhir.
Namun, ternyata Srini dan Gunung Lamuk itu tidak segera menyerang mereka, bahkan mereka-pun mendengar Srini berkata, "Jadi kelinci ini agaknya yang telah membunyikan rinding itu."
"Ya," terdengar jawaban.
Anak-anak angkat Ki Citra Jati itu-pun segera menyadari, bahwa suara itu adalah suara Glagah Putih.
Agaknya Glagah Putih telah langsung menghadapi Gunung Lamuk dan Srini.
"Apakah kau akan melawan?" bertanya Gunung Lamuk.
"Apa yang kau lakukan, jika kau mengalami perlakuan sebagaimana aku alami sekarang" Apakah kau akan menyerah atau melawan?"
"Aku tidak mengalaminya. Kaulah yang mengalaminya. Karena itu kaulah yang harus membuat keputusan."
"Kau benar." "Nah, sekarang katakan. Apakah kau akan melawan kami berdua" Betapa-pun tinggi ilmumu, namun kau tidak akan berarti apa-apa bagi kami."
"Apa yang akan terjadi, aku akan melawan."
Srini ternyata tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat menyerang dengan garangnya.
Dalam pada itu, guru Srini yang disebut Wanda Barong, tetapi bukan Wanda Barong yang disebut sering berkeliaran di pesisir Selatan, telah bertempur dengan sengitnya melawan, Ki Citra Jati. Sebagai seorang yang namanya banyak dikenal di antara orang-orang berilmu tinggi namun yang bersumber dari ilmu hitam, maka Wanda Barong memang ditakuti.
Namun berhadapan dengan Ki Citra Jati, maka ternyata Wanda Barong harus sangat berhati-hati. Ternyata Ki Citra Jati juga memiliki ilmu yang tinggi, yang mampu mengimbangi ilmu Wanda Barong.
Sementara itu, Nyi Citra Jati bertempur dengan saudara seperguruan Wanda Barong yang kemudian menjadi bagaikan sepasang iblis yang garang. Dimana Wanda Barong berada, hampir pasti, Kaning Baya juga ada.
Namun Kaning Baya-pun seakan-akan telah membentur kekuatan yang sulit untuk ditundukkan. Nyi Citra Jati, meski-pun seorang perempuan, namun ilmunya ternyata mampu mengimbanginya pula.
Meski-pun Kaning Baya meningkatkan ilmu semakin lama semakin tinggi, namun Nyi Citra Jati-pun telah melakukan hal yang sama pula.
Kaning Baya memang sudah diberitahu sejak sebelumnya bahwa ibu Srini itu berilmu tinggi. Tetapi ia tidak mengira, bahwa tataran ilmu perempuan itu tidak segera mampu diatasinya.
Dalam pada itu, para pengikut Srini sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Beberapa di antara mereka telah terbunuh oleh anak panah, batu-batu yang dilontarkan dengan bandil atau paser-paser kecil yang dilontarkan dengan sumpit. Sedang beberapa yang lainnya luka parah, satu dua diantara mereka justtu telah berusaha untuk bersembunyi di kegelapan.
Karena itu, maka adik-adik Srini itu tidak lagi mempunyai lawan.
Dengan demikian, maka keempat anak angkat Ki Citra Jati itu-pun merayap mendekati arena pertempuran antara ayah dan ibu angkatnya melawan Wanda Barong dan Kaning Baya. Di lingkaran pertempuran yang lain mereka melihat Glagah Putih bertempur melawan Srini dan suaminya Gunung Lamuk.
Sejenak keempat anak angkat Ki Citra Jati itu termangu-mangu. Mereka menyaksikan, betapa Glagah Putih berloncatan dengan tangkasnya. Sekali ia meloncat menghindar mengambil jarak, namun tiba-tiba ia-pun telah meloncat menyerang.
Namun Srini dan Gunung Lamuk bertempur dengan garangnya. Mereka berdiri pada sisi yang berbeda. Dengan cepat mereka beruntun menyerang. Bahkan kadang-kandang mereka telah menyerang bersama-sama.
Ternyata Srini dan Gunung Lamuk adalah dua orang suami istri yang berilmu tinggi. Setelah bertempur beberapa lama, maka Glagah Putih mulai mengalami kesulitan. Apalagi Glagah Putih tidak dapat mergunakan ilmu pamungkasnya. Ia tahu bahwa bagaimana-pun juga Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati akan menjadi sangat bersedih jika Srini itu terbunuh dipertempuran, atau terluka parah sehingga membahayakan jiwannya.
Karena itu, maka Glagah Putih masih berusaha mengimbangi kemampuan lawannya dengan keterampilannya, dengan kekuatan dan kecepatannya bergerak.
Tetapi melawan kedua orang berilmu linggai, Glagah Putih memang mulai merasa kesulitan. Beberapa kali ia harus berloncatan mundur untuk mengambil jarak. Bahkan beberapa kali Glagah Putih telah terdesak.
Keempat anak angkat Ki Citra Jati melihat kesulitan yang dialami oleh Glagah Putih. Mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat berdiam diri saja. Meraka harus berbuat sesuatu untuk membantu Glagah Putih.
Padminilah yang telah mengatur adik-adiknya. Dimintanya adiknya untuk menebar. Mereka harus berdiri di arah yang berlainan.
Namun Padmini itu-pun berpesan kepada Setiti, "Jangan kau pergunakan paser-paser beracun tajam."
"Dalam gelap, sulit bagiku untuk untuk membedakannya, mbokayu," jawab Setiti.
"Jika demikian, jangan kau luncurkan paser-pasermu. Jika mbokayu Srini terkena pasir racunmu, maka keadaannya akan menjadi sulit. Mungkin ayah dan ibu tidak dapat mengobatinya."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
"Pakai busurku?"
"Mbokayu?" "Aku membawa beberapa pisau belati. Aku tentu hanya membutuhkan satu atau dua."
"Bukankah kita tidak akan membunuhnya?"
"Seandainya kita akan melakukannya, kita tentu tidak akan mampu."
"Tetapi ada kakang Glagah Putih. Sebagai besar perhatian mbokayu Srini dan kakang Gunung Lamuk tentu tertuju pada kakang Glagah Putih."
Padmini menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita memang tidak ingin membunuhnya. Ayah dan ibu tentu akan bersedih."
"Jika kita yang terbunuh?" bertanya Pamekas.
"Bagi ayah dan ibu, mbokayu Srini adalah anak kandungnya, tetapi mudah-mudahan kita juga tidak terbunuh."
Pamekas terdiam. Demikianlah, keempat orang saudara angkat Srini itu sudah menjadi semakin dekat. Mereka berada di tempat yang berbeda-beda. Namun mereka masih tetap bersembunyi di balik pepohonan atau segerumbul pohon perdu.
Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih memang mengalami kesulitan. Setiap kali ia harus berloncatan menghindari serangan kedua lawannya serta mengambil jarak. Sekali Glagah Putih itu berloncatan dan berputar di udara. Kemudian, demikian kakinya menjejak tanah, ia-pun segera melenting tinggi.
Meski-pun demikian, sekali-sekali Glagah Putih-pun sempat pula menyerang.
Padmini dan adik-adiknya tidak membiarkan Glagah Putih berada dalam kesulitan. Karena itu, dari kegelapan mereka telah mengganggu pemusatan perthauan Srini dan Gunung Lamuk.
Ketika Glagah Putih mengalami serangan yang rumit dari kedua arah yang berbeda, maka Setiti tidak dapat membiarkannya. Setiti itu melihat dengan jelas, bahwa Glagah Putih memang berada dalam kesulitan. Apalagi ketika ia melihat Gunung Lamuk yang telah siap untuk meloncat dengan tangan terjulur.
Karena itu, maka sejenak kemudian, anak panahpum telah meluncur dari busur di tangan Setiti yang diberikan oleh Padmini kepadanya.
Gunung Lamuk terkejut. Ternyata panggraitanya-pun sangat tajam, sehingga diluar sadarnya ia berpaling.
Dengan demikian, maka Gunung Lamuk itu melihat anak panah yang meluncur ke arahnya.
Dengan kecepatan yang tinggi, maka Gunung Lamuk itu-pun bergeser menghindar. Bahkan ketika anak panah yang kedua meluncur, Gunung Lamuk masih mampu menghindarinya.
Tiba-tiba saja terdengar suara Padmini, "Adikku, menyingkirlah."
Sementara itu, Srini-pun sudah siap meluncurkan ilmunya.
Setiti ternyata telah melupakan pesan Padmini. Setiap kali ia menyerang dengan anak panahnya, maka ia harus segera berpindah tempat.
Tetapi Setiti justru telah menyerang dan meluncurkan dua anak panah, namun ia masih saja berada di tempatnya.
Kekhilafan itu akan dapat berakibat buruk sekali baginya. Srini yang sudah siap itu telah meluncurkan serangannya ke arah kedua anak panah itu lepas dari busurnya.
Jerit Padmini tidak sempat memberi kesempatan Setiti meninggalkan tempatnya. Hanya dalam sekejap Srini telah melontarkan ilmu pacar Wutah Gundala Werengnya.
Pamekas yang melihat bahaya yang mengancam adiknya, dengan cepat memutar bandilnya. Ia mencegah agar Srini tidak sempat menyerang Setiti dengan ilmu Pacar Wutahnya. Tetapi Pamekas terlambat. Serangannya yang terges-gesa itu memang dapat mengenai bahu Srini, tetapi Aji Pacar Wutah itu sudah meluncur. Serbuk besi di telapak tangan Srini telah dihembusnya.
Terdengar Padmini dan Baruni menjerit. Mereka sadar, apa yang akan terjadi atas Setiti. Aji Pacar Wutah itu dapat meluluhkan tubuhnya.
Tetapi mereka terkejut ketika mereka melihat seleret sinar menyambar memotong garis serangan Srini. Ketajaman mata Glagah Putih dengan lambaran Aji Sapta Pandulu mampu melihat kabut yang berwarna kehitam-hitaman meluncur ke arah segerumbul perdu tempat Setiti bersembunyi.
Dua kekuatan ilmu yang tinggi telah berbenturan. Gumpalan debu serbuk besi yang dilontarkan dengan tandasan Aji Pacar Wutah itu telah pecah berhamburan oleh kekuatan ilmu Glagah Putih.
Meski-pun demikian, ledakan pada saat benturan terjadi itu telah melemparkan Setiti dari tempatnya bersembunyi.
Pamekas cepat berlari ke arah tubuh Setiti. Sementara itu Srini menyeringai menahan sakit di bahunya. Batu yang dilontarkan Pamekas dengan bandilnya telah membuat bahu Srini kesakitan.
Gunung Lamuk yang mengetahui bahwa Srini telah dikenai batu bandil oleh Pamekas, sudah siap untuk menyerang justru pada saat Pamekas berjongkok di sebelah tubuh Setiti. Namun sebuah anak panah telah meluncur ke arahnya. Baruni tidak membiarkan gunung Lamuk menyerang Pamekas dan menghancurkannya sekaligus dengan Setiti.
Namun Baruni tidak mau mengulangi kesalahan Setiti. Demikian panahnya meluncur, maka gerumbul itu-pun bergoyang. Baruni meloncat menyingkir dari tempatnya dan berguling ke belakang gerumbul yang lain. Bahkan kemudian merangkak dengan hati-hati bersembunyi di belakang sebatang pohon.
Darah Srini bagaikan mendidih. Bahunya masih saja terasa sakit. Namun ia sadari, bahwa adik-adik angkatnya telah sakit. Nampaknya mereka tidak lagi mengambil keputusan untuk bertaiung sampai kemungkinan terakhir.
Gunung Lamuk-pun menjadi berdebar-debar pula. Ia memang belum sempat meluncurkan ilmunya karena serangan anak panah, sehingga ia harus meloncat menghindar. Tetapi ketika ia siap untuk menyerang lagi, maka sebuah pisau belati meluncur, hampir saja mengenai lambungnya.
Semantara itu, Glagah Putih-pun telah bersiap menyerang dari tempatnya berdiri.
Namun Srini sempat juga menduga, kenapa Glagah Putih tidak menyerang langsung ke tubuhnya. Agaknya Glagah Putih masih segan untuk membunuhnya karena ia adalah anak kandung Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
Meski-pun keseganan Glagah Putih itu tidak menyentuh sama sekali perasaan Srini yang seakan-akan sudah mati itu, namun Srini mulai berpikir, bahkan serangannya bersama suami, guru dan paman gurunya itu tidak akan berhasil.
Sebenarnya Ki Wanda Barong dan Kaning Baya juga melihat kesulitan yang ternyata kemudian dialami oleh Srini dan suaminya. Nampaknya adik-adik angkat Srini telah bangkit. Bersama dengan ayah dan ibu angkat meraka, serta saudara angkat mereka yang berilmu tinggi, adik-adik angkat Srini itu siap bertempur sampai mati sekali-pun.
Sementara itu, ternyata Ki Wanda Barong dan Ki Kaning Baya tidak pula dapat mengalahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati dengan segera. Karena itu, maka Ki Wondo Barong itu-pun kemudiana telah memberikan isyarat untuk meninggalakan halaman rumah Ki Citra Jati.
Ketika terdengar sebuah suitan nyaring, maka Ki Wanda Barong dan Ki Kaning Baya segera menarik diri dari arena pertempuran.
"Ki Citra Jati," berkata Ki Wanda barong, "kita akhiri permainan kita kali ini. Tetapi kau jangan merasa bahwa kau telah menang. Demikian pula Nyi Citra Jati. Pada saat yang lain kami akan datang untuk mengambil kedua anak angkatmu yang terbaru itu."
Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak memburu mereka. Mereka membiarkan orang-orang itu bersama Srini dan Gunung Lamuk meninggalakan halaman rumah mereka.
Didalam kegelapan, ternyata masih juga ada dua tiga orang yang meninggalkan persembunyiannya, melarikan diri dengan meloncati dinding kebun belakang yang gelap dan banyak pepohonan.
Namun dalam pada itu, tubuh Glagah Putih tiba-tiba saja telah menjadi gemetar. Ketika tubuhnya terhuyung-huyung, maka Glagah Putih telah berusaha untuk mendapatkan sebuah sandaran. Sebatang pohon kelapa.
"Glagah Putih," Ki Citra Jati-pun dengan cepat meloncat mendekatinya.
"Kau kenapa Glagah Putih?" bertanya Nyi Citra Jati yang juga telah berdiri di sebelahnya.
Glagah Putih tidak menjawab. Ia mencoba mengatur pernafasannya.
Ki Citra Jatilah yang kemudian berdesis, "Glagah Putih baru menjalani laku. Tiba-tiba saja ia harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya. Bahkan melepaskan ilmu puncak. Sedangkan sebelumnya ia sudah mengerahkan tenaga dalamnya lewat getar suara rindingan untuk melawan ilmu Gelap Ngampar Wanda Barong yang sudah dikembangkannya."
"Bawa ia masuk kakang. Biarlah Glagah Putih mengatur pernafasannya."
Ki Citra Jati-pun kemudian membantu Glagah Putih melangkah masuk kedalam rumah. Sementara itu, Nyi Citra Jati telah berlari menemui anak-anaknya.
"Bawa. Setiti masuk," berkata Nyi Citra Jati dengan nada tinggi.
Padmini, Pamekas dan Baruni-pun telah mengangkat tubuh Setiti yang lemah dan membawanya masuk ke ruang dalam.
"Ambilkan minuman," berkata Nyi Citra.
Baruni-pun kemudian berlari ke dapur untuk mengambil dua mangkuk minuman. Namun minuman itu telah dingin.
Ki Citra Jati-pun kemudian telah membantu Glagah Putih minum. Sementara itu, Padmini telah menitikkan minuman di bibir Setiti.
Nyi Citra Jati dengan teliti mengamati keadaan Setiti. Namun kemudian ia-pun berkata, "Mudah-mudahan luka bagian dalam tubuhnya tidak berbahaya. Berikan obat ini kepadanya Padmini. Aku ingin menengok mbokayumu yang ada di dalam sanggar."
Nyi Citra Jati-pun kemudian memberikan sebuah bumbung kecil. Didalamnya terdapat butiran-butiran reramuan yang dibuatnya diri bersama Ki Citra Jati.
"Berapa butir ibu?" bertanya Padmini.
"Satu saja. Ia akan berangsur baik. Nanti biarlah ayahmu melihat keadaanya."
Nyi Citra Jati-pun segera meloncat ke luar langsung menuju. Sanggar.
Namun Nyi Citra Jati tidak ingin mengejutkan Rara Wulan. Karena itu Nyi Citra Jati sudah terbatuk-batuk lebih dahulu ketika ia berdiri di dalam sanggar.
Ketika pintu sanggar perlahan-lahan didorongnya, Nyi Citra Jati memang menjadi berdebar-debar. Mungkin sesuatu telah terjadi pada Rara Wulan.
Tetapi demikian Nyi Citra Jati memasuki sanggar, ia menarik nafas panjang. Dalam keremangan nyala lampu minyak, Nyi Citra Jati melihat Rara Wulan masih tetap menjalani laku.
Nyi Citra Jati itu-pun perlahan-lahan mendekatinya. Kemudian dengan lembut ia-pun berkata, "Bukankah laku yang kau jalani tidak terganggu Rara Wulan."
"Tidak, ibu," jawab Rara Wulan.
"Pada saat seorang melontarkan getar ilmunya, aku memang sedikit terpengaruh ibu. Untunglah bahwa gangguan itu tidak berlangsung lama. Suara rinding itu telah menghentikan pengaruh getar suara yang mengganggu pemusatan nalar budiku."
"Tetapi secara keseluruhan kau tidak akan terganggu, Wulan. Ayahmu sekarang sudah pulang. Ia akan berada di rumah, sehingga aku akan menjadi lebih sering berada di sanggar."
"Terima kasih, ibu."
"Nah, di tengah malam kau tidak sempat beristirahat. Sekarang segala sesuatunya sudah selesai. Sebaiknya kau beristirahat sejenak. Nanti kau dapat kembali ke dalam sanggar."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia-pun mengangguk kecil.
Ketika Rara Wulan masuk ke ruang dalam, Glagah Putih telah menjadi segar kembali. Ia sudah sempat minum minuman hangat yang dibuat oleh Baruni. Sementara itu Setiti masih bernaring didalam biliknya, meski-pun keadaannya-pun sudah berangsur baik.
"Kau kenapa Setiti?" bertanya Rara Wulan.
"Hampir saja Setiti di gulung oleh ilmu Pacar Wutah mbokayu Srini," jawab Padmini, "untunglah kakang Glagah Putih bertindak cepat sehingga tepat pada waktunya, kakang Glagah Putih dapat memecahkan serangan ilmu Pacar Wutah Gundala Wereng yang dilontarkan oleh mbokayu Srini."
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia-pun berdesis, "Sukurlah. Yang Maha Agung masih melindungi, Setiti."
"Aku bersyukur, mbokayu."
Rara Wulan menepuk pipi Setiti sambil berkata, "Beristirahatlah."
Rara Wulan-pun kemudian duduk bersama Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan adik-adik angkatnya di ruang dalam. Rara Wulan mempunyai kesempatan untuk meneguk minumannya sebelum ia kembali ke dalam sanggar. Namun Rara Wulan tidak tahu, bahwa Glagah Putih hampir saja kehabisan tenaga.
Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Glagah Putih sendiri tidak memberitahukan hal itu kepada Rara Wulan agar Rara Wulan tidak memikirkan lebih lama, sehingga akan dapat berpengaruh atas pemusatan nalar budi selama ia menjalani laku.
Menjelang fajar, maka Nyi Citra Jati telah membawa Rara Wulan kembali ke dalam sanggar pula, karena Ki Citra Jati-pun akan berada didalam sanggar pula, karena Ki Citra Jati dan Glagah Putih sudah akan berada di rumah. Mereka tidak akan pergi lagi ke bukit berbatu-batu padas itu.
Dalam pada itu, keadaan Setiti-pun telah berangsur menjadi baik. Meski-pun demikian, Padmini masih saja menahannya agar Setiti tetap berada di pembaringan.
Hari itu, keadaan Glagah Putih telah pulih kembali. Sedikit demi sedikit, Glagah Putih telah mengisi perutnya dengan nasi. Sehinggaa dengan demikian maka kekuatan kewadagan Glagah Putih telah menjadi utuh lagi.
Tetapi Glagah Putih tidak dapat meninggalkan rumah itu sebelum Rara Wulan selesai menjalani laku. Sementara itu, tugas yang diemban di Glagah Putih-pun masih belum dapat dilanjutkannya pula. Apalagi menurut Ki Citra Jati, Ki Saba Lintang sudah tidak berada di Wirasari.
Ki Citra Jati pernah mengatakan kepada Glagah Putih, bahwa pada waktu dekat Ki Citra Jati akan kembali ke Wirasari. Namun keadaan yang gawat, maka Ki Citra Jati masih belum berniat meninggalkan rumahnya, Srini akan dapat setiap saat datang. Jika Rara Wulan masih belum selesai, maka keadaan akan dapat menjadi sangat gawat.
Karena itu, maka dengan berat, Ki Citra Jati telah berkata kepada Glagah Putih, "Aku minta maaf kepadamu, ngger. Aku masih belum dapat pergi lagi ke Wirasari. Pada saat Rara Wulan masih menjalani laku, maka aku kira kita lebih baik tetap berada di rumah."
"Aku ngerti ayah."
"Nah, selama ini kau dapat mengisi waktumu dengan mempertajam ilmumu. Tanpa diasah, maka ilmumu tidak akan menjadi semakin tajam. Selebihnya, kau dapat bersamaku meningkatkan ilmu adik-adikmu. Jika mereka meninggalkan mereka, biarlah mereka dapat melindungi diri mereka sendiri."
Demikianlah, sambil menunggu Rara Wulan menjalani laku yang berat, maka Ki Citra Jati dan Glagah Putih telah kekerja keras pula. Setelah keadan Setiti menjadi baik, maka berempat anak-anak angkat Nyi Citra Jati itu-pun telah memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya untuk menempa diri dengan teratur. Pagi-pagi sekali, mereka sudah bangun. Setelah menyalakan api untuk menjerang air serta menanak nasi, maka anak-anak Ki Citra Jati itu-pun segera pergi ke kebun untuk memanaskan tubuhnya. Mereka mulai melakukan gerakan-gerakan ringan sehingga tubuh mereka berkeringat.
Menjelang fajar mereka berhenti. Bergantian mereka mandi sementara yang lain membuat minuman dan menimba air untuk mengisi jambangan.
Mereka-pun kemudian menyelesaikan kewajiban yang harus mereka jalani sampai saat dininya matahari terbit.
Biasanya, sebelum kedatangan Srini dengan dendam yang membara di jantungnya, salah seorang dari anak-anak angkat Ki Citra Jati itu pergi ke pasar untuk belanja. Namun untuk sementara Ki Citra Jati menasehatkan agar mereka tidak pergi ke pasar lebih dahulu.
"Mungkin kami dapat memetik dedaunan dan bahan-bahan sayuran dikebun ayah, tetapi jika kami memerlukan garam serta jenis rempah-rempah yang lain, maka kami harus membeli ke pasar," berkata Padmini.
"Kenapa harus pergi ke pasar" Bukankah kau dapat menitipkan uang kepada Nyi Reja yang setiap hari pergi ke pasar untuk membeli ke butuhanmu itu?"
Padmini tidak menjawab. Telapi kepalanya terangguk-angguk.
Sebenarnyalah ketika Nyi Reja yang tinggal di sebelah pergi ke pasar, maka Padmini telah menitipkan beberapa keping uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang tidak dapat dihasilkan sendiri.
"Kau tidak pergi ke pasar Padmini?" bertanya Nyi Reja.
"Hari ini tidak bibi. Kami hanya memerlukan rempah-rempah sedikit."
"Baiklah. Nanti pulang dari pasar aku singgah di rumahmu." Hari-pun merangkak dengan lamban. Glagah Putih sudah merasa terlalu lama berhenti di rumah Ki Citra Jati. Tetapi ia tidak dapat mendesak agar laku yang dijalani Rara Wulan dipercepat. Yang tahu dengan pasti, beberapa hari lagi yang diperlukan oleh Rara Wulan, adalah Nyi Citra Jati.
Namun Glagah Putih-pun tidak membuang-buang waktu dengan sia-sia. Dengan kerja keras, maka Glagah Putih disamping Ki Citra Jati, mampu meningkatkan ilmu adik-adik angkatnya. Mereka menjadi semakin terampil. Dengan latihan-latihan serta penguasaan tubuh yang berat, kemampuan adik-adik angkat Glagah Putih itu menjadi semakin meningkat.
Meski-pun mereka tidak dapat mempergunakan sanggar tertutup yang dipergunakan oleh Rara Wulan untuk menjalani laku, namun mereka justru merasa lebih bebas berlatih di sanggar terbuka, di kebun belakang.
Perlahan-lahan namun pasti, maka tenaga dalam dan daya tahan tubuh anak-anak angkat Ki Citra Jati itu semakin meningkat. Bahkan Ki Citra Jati-pun telah mempersiapkan Padmini dan Pamekas untuk dapat mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce. Tetepi Ki Citra Jati menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat mewarisi ilmu itu lewat jalan ke dua. Kematangan mereka berbeda selapis dengan bekal dan kematangan Rara Wulan.
Dalam pada itu, pada saat senggang, Ki Citra Jati dan Glagah Putih sempat juga berbincang-bincang. Ki Citra Jati banyak memberikan petunjuk-petunjuk kepada Glagah Putih tentang berbagai macam dan jenis ilmu. Ki Citra Jati-pun sempat pula memberikan petunjuk untuk mempertajam panggraita sehingga mampu menerima dan menterjemahkan getar isyarat di sekitarnya, sehingga Aji Sapta Pandulu-pun menjadi semakin tajam pula.
Hari-hari-pun berlalu. Sebenarnya Glagah Putih mulai merasa kerasan di rumah Nyi Citra Jati. Tetepi setiap kali terasa jantungnya-pun berdesir.
Namun jika hal itu disampaikan kepada Ki Citra Jati, maka Ki Citra Jati-pun selalu menenangkannya.
"Kau tidak perlu tergesa-gesa Glagah Putih. Perhitungan waktu bagi tugasmu bukannya perhitungan bulan. Tetapi perhitungan tahun. Sementara itu masih belum terbetik berita, tentang kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu ketenangan Mataram, atau yang meresahkan rakyat Mataram."
"Ya, ayah. Sampai sekarang memang belum terdengar adanya peristiwa-peristiwa yang dapat mengganggu ketenangan serta menggelisahkan rakyat Mataram. Tetapi yang menjadi gelisah adalah kakang Agung Sedayu, mbokayu Sekar Mirah dan tentu saja ayah di Jati Anom."
Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu saja.Katanya, "Tetu saja ayah. Tetapi jika pada suatu saat kau pulang, mungkin di Jati Anom, mungkin di tanah Perdikan Menoreh, kegelisahan itu akan segera hilang."
Glagah Putih mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, "Tentu saja ayah. Tetapi selama menunggu?"
Ki Citra Jati-pun tersenyum pula. Namun kemudian ia-pun berkata, "Waktunya tidak akan lama lagi. Setelah Rara Wulan selesai, kita akan pergi ke Wirasari Mudah-mudahan adikmu Srini tidak mengganggu lagi. Setidak-tidaknya untuk sementara."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Kita akan singgah untuk menemui adik-adikmu yang lain."
"Adik-adikku yang mana lagi ayah?"
"Bukankah anakku semua berjumlah tiga belas?"
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi iapun bertanya, "Sebenarnya tiga belas" Jadi ayah mempunyai dua belas anak angkat?"
Ki Citra Jati tertawa. Katanya, "Tidak. Ibumu tidak pernah sempat menghitung anak angkatnya. Jika ia berkata bahwa anaknya tiga belas, hanya sekedar mengucapkan angka. Tetapi anak-anak yang pernah singgah di rumah ini bahkan lebih dari tiga belas. Ada yang kerasan ada yang tidak kerasan. Ada yang baik dan ada yang kurang baik. Ada yang bersungguh-sungguh, ada yang asal-asalan saja."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Itukah agaknya kenapa Srini merasa dirinya asing di rumahnya sendiri?"
Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu ia-pun bertanya, "Kenapa?"
"Ayah dan ibu mengasihi anak-anak angkat ayah dan ibu seperti mengasihi anak sendiri. Sementara itu Srini merasa dirinya lain dengan anak-anak angkat ayah dan ibu Srini merasa bahwa ia adalah anak yang sebenarnya, sehingga terasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ia merasa bahwa seharusnya ia mendapat kasih sayang seutuhnya dari ayah dan ibunya. Tetapi kasih sayang itu ternyata telah terbagi."
"Glagah Putih. Bagaimana kau dapat menyebutkan, bahwa kasih sayang itu terbagi" Apakah setiap pasangan orang tua memiliki keutuhan kasih sayang seperti sebuah nasi golong yang bulat" Nasi golong itu dapat diberikan kepada seorang anaknya tanpa terbagi. Tetapi jika nasi golong itu diberikan kepada dua orang anaknya, maka masing-masing hanya akan menerima separo?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki Citra Jati dengan dahi yang berkerut.
"Glagah Putih," berkata Ki Citra Jati, "didalam sanubari ini tersimpan semacam sumber kasih sebagaimana mata air di lereng pegunungan. Air itu akan mengalir tanpa henti disegala musim, yang dapat mengairi seberapa luasnya tanah persawahan. Bukan hanya dapat memenuhi sawah sebahu, sehingga apabila untuk mengairi sawah dua bahu, maka masing-masing hanya mendapat separo bagian. Tidak, Glagah Putih. Setiap bahu sawah akan mendapat air yang sama seperti halnya untuk mengairi sawah yang hanya sebahu saja."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Kepalanya terangguk-angguk, sementara mulutnya bergumam, "Ya, ayah."
"Nah, bukankah kasih kami kepada Srini akah sama saja kami limpahkan kepadanya ada atau tidak ada anak angkat didalam rumah ini."
"Ayah benar. Tetapi apakah Srini juga berpendapat sama seperti ayah?"
Ki Citra Jati terdiam sejenak. Direnunginya pertanyaan Glagah Putih itu. Baru kemudian ia-pun menyahut, "Aku yakin, bahwa sebelum ia terpengaruh oleh bayangan yang hitam itu, ia berpendapat sama seperti pendapatku itu. Tetapi kemudian ia-pun mulai disusupi oleh pengaruh-pengaruh yang kurang baik itu. Kasih sayang yang kemudian dimaksudkan bukan lagi kasih sayang seorang ayah dan seorang ibu kepada anaknya. Tetapi termasuk dalam kasih sayang itu adalah warisan harta bendanya."
"Itulah antara lain yang menyebabkannya ayah," desis Glagah Putih.
"Glagah Putih," berkata Ki Citra Jati kemudian, "celakanya, orang-orang yang kemudian berada di sekitar Srini menganggap bahwa kami, maksudku aku dan ibumu, mempunyai harta warisan yang banyak sekali. Tidak hanya yang nampak, tetapi langsung atau tidak langsung, Srini sendiri pernah menanyakan, dimana kami menyimpan harta karun itu. Harta karun yang menurut dongengan yang disebut-sebut Srini meski-pun tidak langsung, peninggalan dari Pangeran Dananjaya, salah seorang putera dari Prabu Brawijaya Pamungkas, yang lahir dari seorang perempuan yang berasal dari desa. Pada saat terakhir kekuasaan Prabu Brawijaya, Pangeran Dananjaya telah diperintahkan untuk menyingkir dari istana bersama ibu dan pamannya. Kepada mereka diberikan bekal harta benda yang banyak sekali. Namun paman Pangeran Dananjaya bukan seorang yang bersih. Ia telah melarikan harta benda itu. Lucunya Glagah Putih, menurut dongeng itu, aku adalah waris dalam garis lurus paman dari Pangeran Dananjaya yang berkhianat dan melarikan harta benda yang tidak ternilai harganya itu. Sehingga aku dapat menyimpulkan bahwa mereka menduga, aku telah menyembunyikan harta karun itu."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Jika demikian, kenapa mereka benar-benar ingin membunuh ayah dan ibu" Bukankah dengan demikian mereka akan kehilangan lacak untuk menemukan harta karun itu."
"Entahlah. Tetapi agaknya mereka mengira bahwa aku telah menyembunyikan harta karun itu di dalam halaman rumah ini. Meski-pun aku dan ibumu mati, tetapi mereka merasa akan dapat menemukan harta karun itu."
"Seandainya Srini tidak melawan ayah dan ibu, bukankah ia akan menjadi pewaris tunggal seandainya harta karun itu benar-benar ada."
"Itulah awalnya Srini mempersoalkan beberapa orang anak angkat. Jika semula Srini menerima mereka dengan senang hati, karena dengan kehadiran saudara-saudara angkatnya itu Srini lalu mempunyai kawan bermain, namun kemudian ia telah membenci adik-adik angkatnya."
"Tetapi kenapa kebencian Srini terutama ditujukan kepada aku dan Rara Wulan. Padahal kami sebelumnya belum pernah berhubungan?"
"Kalian berdua memiliki kemungkinan untuk dapat mengimbangi kemampuan Srini dan suaminya. Lainnya tidak. Jika tidak ada kalian, maka yang lain akan dapat mereka selesaikan dengan mudah. Mungkin, sekali lagi mungkin, itulah alasannya. Tetapi mungkin ada alasan yang lain. Ada hubungan antara Srini dengan orang-orang yang pernah berusaha menyingkirkanmu. Orang dari perguruan Kedung Jati yang sering mencuri ilmu dari perguruan-perguruan lain itu-pun pantas dicurigai mempunyai hubungan dengan Gunung Lamuk. Temu saja kemudian dengan Srini. Dan masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang lain."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Memang ada beberapa kemungkinan yang agaknya saling berkait. Telapi justru karena itu, maka Glagah Putih-pun berjanji kepada dirinya sendiri untuk meningkatkan kemampuannya sejauh dapat dilakukannya. Demikian pula setiap kesempatan bagi Rara Wulan tidak akan disia-siakan. Agaknya Ki Citra Jati benar, bahwa waktu bagi tugasnya tidak terhitung bulan, tetapi terhitung tahun. Sehingga karena itu, maka penundaan satu dua bulan tidak akan sangat berpengaruh.
Dengan demikian, maka Glagah Putih dapat merasa lebih tenang berada di rumah ki Citra Jati. Namun Glagah Putih-pun menjadi semakin tekun pula menempa diri di samping membantu Ki Citra Jati memberikan latihan-latihan yang semakin berat kepada adik-adik angkatnya. Terutama Padmini dan Pamekas yang sudah dipersiapkan untuk menerima warisan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Sementara itu, Rara Wulah masih juga menjalani laku. Diantaranya yang harus ditempuh adalah penguasaan lahir dan batinnya. Lalihan-latihan kewadagan yang berat, serta meningkatkan kekuatan tenaga dalamnya. Dilambari dengan latihan pernafasan yang mapan.
Hari-pun berlalu seperti bayangan awan yang mengambang di langit. Datang, dan kemudian terbang menjauh.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya laku yang harus dijalani oleh Rara Wulan menjadi tuntas. Rara Wulan telah benar-benar menguasai Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Tiga hari tiga malam disaat terakhir, Rara Wulan sama sekali tidak keluar dari sanggarnya. Ia harus menjalani laku yang sangat berat. Pati Geni, namun juga tempaan kewadagan yang akan mendukung patrap Aji Pacar Wutah.
Lepas tiga hari, maka Nyi Citra Jati-pun kemudian telah membimbing Rara Wulan keluar dari sanggar tertutup.
Demikian Rara Wulan melihat Glagah Putih berdiri di luar sanggar, maka ia-pun meloncat memeluknya.
Terasa cairan yang hangat menitik di bahu Glagah Putih. Ia tahu bahwa Rara Wulan menangis. Namun air matanya itu mengungkapkan kegembiraannya, bahwa ia telah dapat menyelesaikan laku yang berat untuk mewarisi Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Namun air matanya itu juga pernyataan sokur bahwa laku yang berat itu telah dapat diselesaikannya.
Glagah Putihlah yang kemudian membimbing Rara Wulan masuk ke ruang dalam. Adik-adik angkatnya-pun kemudian mengerumuninya untuk mengucapkan selamat.
"Baruni," berkata Nyi Citra Jati, "ambillah merang. Bakarlah. Air abunya akan dipakai mbokayumu untuk mandi keramas."
"Ya ibu," sahut Baruni sambil bangkit berdiri.
Sejenak kemudian, setelah Rara Wulan mandi keramas dan berbenah diri, maka Setiti telah menghidangkan minuman hangat. Ketika Rara Wulan meneguk minuman hangat itu, terasa tubuhnya yang lemah menjadi lebih segar.
"Bukankah mbokayumu masih belum akan makan nasi nanti ibu?" bertanya Padmini.
"Ya." "Aku akan membuatkannya bubur sungsum."
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Terima kasih Padmini."
"Bubur sungsum akan memulihkan kesegaran tubuh mbokayu. Tulang sungsum mbokayu yang letih akan terasa pulih kembali."
Padmini-pun segera pergi ke dapur. Ia masih mempunyai tepung beras untuk membuat bubur sungsum dengan juruh yang terbuat dari gula kelapa yang dicairkan.
Sehari itu Rara Wulan masih merasa tubuhnya letih. Namun rasa letih itu berangsur-angsur mulai menyusut.
"Malam nanti kau dapat tidur sepuas-puasmu, Rara Wulan," berkata Nyi Citra Jati, "jika selama didalam sanggar kau kurang makan, kurang tidur sementara laku yang harus kaujalani sangat berat, maka semuanya itu sudah berlalu. Kau telah menjadi seorang perempuan yang perkasa. Ilmumu tidak lagi berada dibawah tataran ilmu Srini. Apalagi pengalaman yang luas akan sangat membantumu untuk mengembangkan ilmu itu."
"Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, ibu," berkata Rara Wulan.
"Mudah-mudahan kau dapat mengamalkan ilmumu, Rara Wulan. Dengan demikian, maka ilmumu itu baru berarti," berkata Ki Citra Jati kemudian.
Rara Wulan mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Aku mohon ayah mendoakan agar ilmu yang aku warisi ini dapat berarti bagi sesama."
"Itulah yang kami harapkan. Namun kami percaya bahwa kau akan dapat memilih jalan yang terbaik untuk kau lalui. Keyakinan kami itulah yang telah membuat ibumu bertekad untuk mewariskan ilmunya kepadamu. Bahkan lewat jalur kedua."
Rara Wulan tidak menjawah. Wajahnya menunduk, sementara jari-jarinya telah mengusap titik-titik air di pelupuknya.
"Rara Wulan," berkata Nyi Citra Jati kemudian, "kau telah menjalani salah satu dari beberapa orang yang memiliki Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Meski-pun demikian, kau masih harus membiasakan patrap pelepasannya. Karena itu dalam dua tiga hari ini, kita akan pergi ke bukit. Jika pada saat kau berada di sanggar, ayahmu dan suamimu yang pergi ke bukit maka dalam dua tiga hari ini, kitalah yang akan pergi ke bukit."
"Apakah kami dapat ikut menyaksikan ibu?" bertanya Padmini.
Nyi Citra Jati mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah. Kau juga sudah dipersiapkan untuk mewarisi Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Karena itu, maka kau diperkenankan untuk ikut menyaksikannya."
"Bagaimana dengan kami?" bertanya Setiti.
Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kalian semuanya dapat ikut menyaksikannya. Ayah dan Glagah Putih-pun akan menyaksikannya pula."
"Kapan kita akan pergi ke bukit?" bertanya Pamekas.
"Besok. Biarlah mbokayumu beristirahat malam nanti dan sehari esok. Besok malam kita pergi ke bukit."
Di hari berikutnya. Rara Wulan telah menjadi pulih kembali. Ia tidak lagi merasa letih. Kekuatan dan tenaganya-pun telah menjadi utuh dalam tataran yang jauh lebih tinggi dari sebelum ia menjadi laku.
Ketika senja turun, maka seisi rumah itu-pun telah bersiap-siap untuk pergi ke bukit. Nyi Citra Jati akan memberikan beberapa petunjuk kepada Rara Wulan, apa yang harus dilakukannya untuk melepaskan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.
Namun baru setelah malam turun, mereka-pun meninggalkan rumah. Agar tidak menarik perhatian jika ada tetangga yang kebetulan berada di luar rumah, maka mereka tidak berangkat bersama-sama. Mereka-pun mengambil jalan yang berbeda. Namun mereka akan bergabung setelah mereka berada di bulak.
Malam-pun menjadi semakin dalam. Langit cerah. Bintang-bintang nampak bergayutan di wajah langit yang biru kehitam-hitaman. sehelai-sehelai mega yang tipis mengalir perlahan-lahan didorong angin dari Selatan.
Sekelompok orang, keluarga Ki Citra Jati berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sebuah gumuk kecil.
Diatas gumuk kecil itulah, Nyi Citra Jati menuntun Rara Wulan yang telah menguasai Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu dalam patrap pelaksanaannya di lapangan, agar tidak lagi canggung.
"Kau harus dapat melontarkan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce dalam waktu yang singkat. Jauh lebih singkat dari waktu yang diperlukan oleh mereka yang menguasai Aji Pacar Wutah dari jenis yang lain, apalagi jenis Gundala Wereng. Mereka masih memerlukan serbuk besi atau serbuk batu pualam atau jenis serbuk yang lain. Tetapi Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce tidak memerlukannya lagi. Karena itu, waktu yang kau perlukan tentu jauh lebih singkat."
Rara Wulan mengangguk. Di Tanah Perdikan Menoreh, Rara Wulan dan Glagah Putih bahkan pernah mengenali jenis Aji Pacar Wutah yang mempergunakan butiran-butiran besi baja yang dimasukkan kedalam mulut sebelum dihembuskan ke sasaran.
Malam itu, Rara Wulan telah mencoba mengetrapkan kemampuan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce diluar sanggar. Di tempat yang jauh lebih luas dari sebuah sanggar tertutup.
Rara Wulan memang tidak memerlukan apa-apa lagi yang harus dilontarkan lewat Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Yang dihembuskannya adalah udara yang dihisapnya. Namun dengan kekuatan ilmunya, Rara Wulan mampu melepaskan dalam gumpalan bagaikan cahaya yang meluncur dengan cepatnya, tetapi Rara Wulan mampu pula menghembuskan udara yang seakan-akan telah berubah menjadi butiran-butiran lembut yang berwarna putih kehijauan, yang kemudian mekar seperti hembusan asap air yang mendidih.
Jantung Glagah Putih-pun rasa-rasanya ikut mekar pula. Ternyata Rara Wulan mampu mewarisi ilmu yang jarang ada duanya. Dengan ilmu ini pula, Nyi Citra Jati telah membentur kekuatan ilmu Glagah Putih di saat ia menyerang Srini.
Beberapa kali Rara Wulan telah melepaskan ilmunya. Batu-batu padas ditebing gumuk kecil yang menjadi sasarannya, ternyata telah pecah berserakkan.
Nyi Citra Jati-pun memeluk Rara Wulan sambil berdesis, "Kau adalah anakku yang pertama dapat mewarisi ilmuku seutuhnya. Bahkan kau telah menjalani laku pada jalur kedua. Sehingga hasilnya melampaui harapanku. Itu mungkin sekali terjadi, karena sejak sebelumnya, kau sudah memiliki bekal yang matang."
"Tidak ibu," sahut Rara Wulan, "semuanya adalah karena kemurahan hati ibu."
"Apakah yang dapat aku perbuat jika kau sendiri tidak berbuat apa-apa."
"Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih."
Nyi Citra Jati itu-pun kemudian berpaling kepada Padmini dan Pamekas sambil berkata, "Sejak sekarang kalian harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kalian juga akan segera dipersiapkan untuk mewarisi Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Tetapi tentu tidak melalui jalur kedua. Kalian akan memerlukan waktu yang lebih panjang dari mbokayumu Rara Wulan, karena bekal yang ada pada kalian jauh lebih sedikit dari bekal yang telah ada di dalam diri mbokayumu Rara Wulan."
Padmini dan Pamekas mengangguk-angguk. Meski-pun mereka sadar, bahwa waktu yang mereka perlukan masih panjang, tetapi mereka sudah merasa gembira bahwa mereka juga akan mendapat limpahan warisan ilmu yang tinggi itu.
Dalam pada itu, malampun menjadi semakin larut. Untuk beberapa saat lamanya mereka beristirahat diatas gumuk kecil itu. Angin semilir mengusap tubuh-tubuh yang berkeringat itu.
Sedikit lewat tengah malam, maka mereka-pun bangkit berdiri dan berjalan pulang.
Seperti pada saat mereka berangkat, maka mereka memasuki padukuhan lewat jalur jalan yang berbeda. Seandainya mereka bertemu atau dilihat orang, tidak akan terlalu menarik perhatian.
Namun hampir bersamaan mereka memasuki regol halaman rumah mereka.
Namun terasa sesuatu bergetar di dada mereka. Ada yang tidak wajar telah terjadi di rumah itu.
Sebenarnyalah, demikian mereka masuk lewat pintu butulan yang hanya digerendel dari luar, mereka terkejut. Mereka segera melihat perabot rumah mereka berantakan. Geledeg-geledeg bambu terguling. Beberapa perkakas dan alat-alat rumah tangga rusak. Sebagian dari perkakas bala pecah, telah pecah berserakan di lantai. Bahkan alat-alat dapur-pun rasa-rasanya telah dibongkar. Beberapa bagian telah digali. Bahkan gentong tempat air-pun telah pecah pula. Sedangkan tanah dibawah gentong itu-pun telah digali pula sedalam pinggul seseorang.
"Apakah yang terjadi?" bertanya Nyi Citra Jati.
"Agaknya dongeng celaka itu, Nyi."
Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Sementara Pamekas-pun bertanya, "Apakah mereka mencari tubuh kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang telah kami kuburkan itu, ayah?"
"Tentu tidak. Jika itu yang mereka cari, maka mereka akan menggali gundukan-gundukan tanah di kebun belakang, di bawah rumpun bambu. Mereka tentu sudah menduga bahwa kawan-kawan mereka yang terbunuh kami kuburkan disana, tidak dikuburan padukuhan ini, agar tidak membuat persoalan yang berkepanjangan dengan Ki Bekel."
"Jadi?" "Dongeng tentang harta karun itu."
Nyi Citra Jati terhenyak duduk di atas amben bambu di ruang dalam. Sudah sedemikian kuatnya kuku iblis mencengkam jantung Srini. Dongeng tentang harta karun itu adalah sumber dari mala petaka ini. Nyi Citra Jati sadar, bahwa Srini-pun termasuk korban dari harta karun itu. Setelah Gunung Lamuk berhasil membuat Srini tergila-gila kepadanya dan memilih untuk hidup bersama Gunung Lamuk serta meninggalkan orang tuanya, maka langkah kedua-pun telah dimulainya pula. Mencari harta karun itu.
Sementara itu, Ki Citra Jati yang kemudian duduk di sebelah Nyi Citra Jati-pun berkata, "Sudahlah, Nyi. Kita harus menjalani lorong kehidupan kita yang penuh dengan duri-duri tajam ini. Justru karena itu, kita tidak boleh berhenti memohon. Mudah-mudahan masih ada pintu yang terbuka bagi masa mendatang yang lebih baik bagi keluarga kita. Mudah-mudahan ada sepeletik sinar terang di hati Srini."
"Tetapi mungkin sebelum Srini sadar dari racun yang membiusnya, kita sudah benar-benar dibunuhnya. Gunung Lamuk akan dapat minta kepada gurunya yang gila itu untuk mengajak kawan-kawannya yang tentu juga gila untuk benar-benar membunuh kita dan mencari harta karun itu di rumah dan halaman rumah ini."
"Bukankah kita tidak pernah beranjak dari kepercayaan bahwa hidup mati seseorang berada di tangan-Nya?"
Nyi Citra Jati mengangguk kecil sambil berdesis, "Ya, kakang."
"Nah, agaknya Srini memang selalu mengawasi regol halaman rumah ini. Agaknya Srini tahu, bahwa kita seisi rumah ini telah keluar dan pergi ke gumuk kecil itu. Kesempatan itu telah dipergunakannya sebaik-baiknya."
"Namun dengan demikian, Srini dan Gunung Lamuk mengerti, bahwa harta karun itu tidak lebih dari sebuah dongeng ngaya wara, karena mereka tidak menemukan apa-apa disini. Sebenarnya Srini-pun dapat berkata kepada mereka, bahwa Srini sendiri belum pernah melihat harta karun itu."
"Mereka tentu tidak percaya. Bahkan Srini sendiri tentu menjadi tidak percaya pula."
Anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berdiri termangu-mangu. Tetapi mereka tidak dapat berkata apa-apa. Apalagi Glagah Putih dan Rara Wulan yang kehadirannya di rumah itu justru paling akhir.
"Sudahlah," berkata Ki Citra Jati kepada anak-anak angkatnya, "beristirahatlah. Besok kita akan mengatur rumah kita yang berserakan ini."
Anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu-pun bergantian pergi ke pakiwan untuk mencuci kaki dan tangan mereka sebelum mereka naik ke pembaringan.
Namun Setiti dan Baruni yang pertama-tama pergi ke pakiwan terkejut melihat segundukan tanah yang baru saja digali di bawah sebatang pohon yang dipergunakan untuk menyangkutkan senggot timba di sebelah sumur.
Baruni dan Setiti mendekati gundukan tanah itu. Agaknya seseorang telah menggali tanah dibawah pohon itu sebagaimana mereka lakukan di dalam rumah dan di dapur.
"Kita beritahukan ayah dan ibu," berkata Baruni.
"Kita mencuci tangan dan kaki lebih dahulu," sahut Setiti.
Nyi Citra Jati dan Ki Citra Jati mendengarkan laporan Setiti dan Baruni dengan sungguh-sungguh. Namun Ki Citra Jati itu-pun kemudian berkata, "Baiklah. Biar esok pagi kita lihat seluruh halaman dan kebun di belakang. Mungkin masih ada tempat-tempat lain yang digali oleh Srini dan orang-orangnya untuk mencari harta karun itu."
Anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra itu-pun mengangguk-angguk pula.
"Sekarang, jika kalian ingin pergi ke pakiwan pergilah. Masih ada sisa malam sedikit."
Setelah membersihkan diri, maka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anaknya telah pergi ke bilik masing-masing. Di bilik belakang Pamekas tidak dapat lagi memejamkan matanya. Berbagai macam angan-angan berbaur di kepalanya. Kegelisahannya atas sikap mbokayu angkatnya, namun juga kegembiraan dan harapan untuk mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce. Namun Pamekas merasa juga cemas, bahwa sebelum itu terjadi, Srini telah datang membunuhnya."
"Ayah dan ibu akan melindungiku," berkata Pamekas di dalam hatinya.
Sementara itu, di bilik yang lain, Setiti selalu saja gelisah. Sekali-sekali Padmini berbisik di telinganya, "Tidurlah. Waktumu tinggal sedikit."
Tetapi Setiti bahkan selalu menggamit Baruni jika Baruni sudah hampir tertidur.
"Aku pindah saja," desis Baruni sambil bangkit dan berbaring di sisi Padmini yang lain.
"Kenapa. Setiti?" bertanya Padmini dengan lembut.
"Entahlah mbokayu. Aku tidak dapat tidur."
"Jika kau tidak dapat tidur, jangan menggangguku," desis Baruni.
"Aku jadi iri. Kenapa kau langsung dapat memejamkan matamu," sahut Setiti.
"Sudahlah. Tidurlah."
Setiti mencoba untuk memejamkan matanya. Namun gadis itu tetap saja tidak dapat tidur.
Namun akhirnya bukan saja Setiti. Tetapi Padmini dan Baruni juga hampir tidak tidur sama sekali.
Ketika mereka pagi-pagi bangun dan berbenah diri, maka mereka-pun kemudian telah melihat-lihat halaman dan kebun belakang. Ternyata ada beberapa tempat yang telah digali. Agaknya Srini dan orang-orangnya benar-benar menduga Ki Citra Jati menyimpan harta karun yang jumlahnya tidak terhitung.
"Jika saja aku dapat bertemu Srini," berkata Nyi Citra Jati.
"Kenapa jika kau dapat bertemu dengan Srini?" bertanya Ki Citra Jati.
"Aku akan mempersilahkannya bersama orang-orangnya untuk mencari harta karun itu. Tidak usah dengan sembunyi-sembunyi. Bukankah kita tidak berkeberatan jika Srini dan orang-orangnya menggali di seluruh sudut tanah pekarangan dan bahkan di dalam rumah sekalipun?"
"Ya. Aku tidak berkeberatan."
"Tetapi dimana kita dapat menjumpainya?"
Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia-pun berkata, "Kita tidak dapat berbuat apa-apa."
Nyi Citra Jati mengangguk-angguk kecil. Ia mencoba untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Namun di luar sadarnya, tangannya telah mengusap matanya yang basah.
"Sudahlah, Nyi. Marilah kita benahi isi rumah kita. Kita atur kembali perabot rumah kita yang berserakan. Biarlah anak-anak menimbun kembali tanah yang sudah digali semalam."
Nyi Cara Jati mengangguk kecil.
Bersama Padmini, Setiti dan Baruni, Nyi Citra Jati telah mengatur kembali perabot rumahnya yang berserakan. Dikumpulkannya gerabah yang pecah berserakkan di ruang dalam dan di dapur.
Sementara itu, Ki Citra Jati, Glagah Putih dan Pamekas sibuk menimbun galian tanah yang berserakan. Sedangkan Rara Wulan mendapat tugas untuk mengumpulkan, melipat dan mengatur kembali pakaian mereka yang bertebaran di mana-mana.
Hari itu, seisi rumah Ki Citra Jati menjadi sibuk. Tidak untuk berlatih olah kanuragan. Tetapi untuk merapikan isi rumah mereka yang berserakkan.
Namun kemudian Baruni dan Setiti harus sibuk di dapur dengan alat yang masih tersisa. Merebus air, menanak nasi serta menyiapkan lauk pauknya.
Ketika matahari mulai turun, Ki Citra Jati serta seisi rumahnya baru selesai. Setelah membersihkan diri, maka mereka-pun duduk di ruang dalam bersama-sama untuk makan siang.
Tidak banyak yang mereka bicarakan pada saat mereka makan. Baru kemudian setelah mereka selesai, Nyi Citra Jati itu-pun berkata, "Aku tidak ingin membuat kalian kehilangan selera pada saat kalian makan. Karena itu, maka aku baru akan membicarakan setelah kalian selesai makan."
Anak-anak angkat Nyi Citra Jati itu-pun mendengarkannya dengan seksama.
"Jika Ki Citra Jati sependapat, kita beri kesempatan Srini untuk mencari harta karun itu sepuas-puasnya."
"Maksudmu, Nyi?" bertanya Ki Citra Jati.
"Kita tinggalkan tempat ini. Kita akan tinggal di tempat yang baru."
Nyi Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Dimana kita akan tinggal, Nyi" Rumah dan pekarangan ini adalah satu-satunya tempat tinggal milik kita."
"Kita tidak akan pergi selama-lamanya, kakang. Kita hanya ingin memberi kesempatan kepada Srini. Biarlah kita tinggalkan rumah dan pekarangannya barang satu dua bulan."
"Lalu, selama satu dua bulan, apakah kita harus berkeliaran di bukit padas itu?"
"Kita adalah murid-murid dari sebuah perguruan kakang. Perguruan kita memang sebuah perguruan kecil. Kecil dalam arti, tidak banyak orang yang berguru di perguruan kita. Tetapi kita dapat berbangga atas keberhasilan beberapa orang di antara kita menggapai ilmu yang tinggi."
"Maksudmu, kita akan kembali ke perguruan kita itu?"
"Untuk sementara, kakang. Sekedar memberi kesempatan kepada Srini untuk mencari apa yang tersebut dalam dongeng itu."
Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Srini justru akan menyangka bahwa kita telah membawa dan menyembunyikan harta karun itu dipadepokan. Bukankah dengan demikian berarti kita telah menyeret perguruan kita itu ke dalam persoalan yang tidak ada ujung pangkalnya?"
"Srini telah menempatkan orang-orangnya untuk mengawasi rumah ini. Jika kita pergi, mereka tahu apa yang kita bawa. Mereka tentu membayangkan bahwa harta karun itu berada di dalam sebuah petih yang tidak terlalu kecil. Karena itu jika kita tidak membawa apa-pun juga yang mereka curigai sebagai harta karun itu, maka mereka akan menduga bahwa harta karun itu masih berada di rumah ini."
Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun ia mengerti maksud Nyi Citra Jati. Ia berharap bahwa dengan demikian, Srini yakin bahwa harta karun itu hanyalah sebuah dongeng saja, sehingga ia tidak lagi dikejar oleh nafsu untuk memilikinya.
Untuk beberapa saat lamanya, Ki Citra Jati merenung. Hampir diluar sadarnya iapun berkata, "Tidak ada lagi orang-orang seumur kita di padepokan itu. Yang sekarang tinggal disana adalah anak-anak kita. Pemimpin padepokan itupun masih jauh lebih muda dari kita."
"Kita hanya akan menumpang satu atau dua bulan saja. Bukankah kita tidak akan mengganggu keseimbangan di dalam padepokan itu?"
Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku limpahan kekuasaan dari kakang Brajanata untuk memimpin padepokan itu."
"Tidak usah kakang. Kita langsung saja pergi ke padepokan itu. Mlaya Werdi tentu tidak akan menolak kita sekeluarga."
"Tetapi bukankah lebih aku menemuinya dan memberitahukan kepadanya, bahwa kita sekeluurga akan menumpang untuk sementara di padepokan itu."
"Itu akan makan waktu kakang."
"Tetapi bukankah itu lebih baik."
"Kakang selalu banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Lebih baik kita langsung saja berangkat bersama dengan anak-anak kita. Biarlah Srini dan orang-orangnya menggali setiap jengkal tanah di halaman, kebun bahkan didalam rumah ini."
Ilmu Halimun 3 Fear Street - Pelarian Runway 7 Hari Menembus Waktu 1
^