Pencarian

Burung Merak 1

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono Bagian 1


DI suatu pagi tiga tahun yang lalu, Ana melempar
koran Minggu yang baru saja dibacanya tanpa peduli
ke mana pun jatuhnya surat kabar tersebut. Sesudah
itu ia mengempaskan tubuhnya ke sofa. Untuk bebe-
rapa saat ia membiarkan dirinya terlarut oleh perasaan-
nya yang bergejolak. Bahkan untuk beberapa saat pula
dibiarkannya pandangannya menjadi buram oleh air
mata. Seluruh pikiran dan hatinya terserap oleh apa
yang baru saja dibacanya.
Evi menjadi berita hangat lagi untuk kesekian kali-
nya. Dengan perasaan tertekan, Ana menatap lembar-
an koran Minggu yang berserakan di atas lantai. Kata
koran itu, Evi sedang pergi berbulan madu dengan
pengusaha kaya yang usianya jauh lebih tua setelah
beberapa bulan sebelumnya bercerai dari suami kedua-
nya. Foto yang terpampang di koran tadi memperli-
Satu http://pustaka-indo.blogspot.com6
hatkan betapa bahagianya pasangan baru itu berada
di Bali dalam gemerlapnya cinta dan harta.
Ana merasa amat malu. Memang di awal-awal karier
Evi, ia merasa bangga menjadi adik kandung penyanyi
yang terkenal di mana-mana dan dipuja oleh banyak
penggemar itu. Terlebih ketika Evi juga sukses menjadi
artis sinetron dan mendapat penghargaan atas
permainannya yang prima. Namun sejak sang kakak
menikah untuk pertama kalinya dengan mantan peja-
bat yang sudah mempunyai dua istri, kebanggaan Ana
terhadap kakaknya itu semakin memudar sampai akhir-
nya berganti menjadi rasa kecewa yang sangat menda-
lam. Terlebih tak sepatah pun Evi mengabarkan ten-
tang rencana pernikahannya. Padahal apa pun
alasannya, seharusnya dia memberitahu Ana dan juga
ibu tirinya. Apalagi perkawinannya adalah pernikahan
pertama dalam keluarga mereka. Tetapi pada kenyataan-
nya, tidak sepatah pun Evi mengabari mereka. Dia
menikah diam-diam. Kekesalan hati Ana semakin merebak ketika menge-
tahui perkawinan Evi dengan mantan pejabat itu ha-
nya berlangsung selama lima bulan. Artinya, tidak ada
cinta sejati di dalamnya. Dan yang memalukan, men-
janda baru beberapa bulan saja, Evi sudah menikah
lagi. Kali itu dengan sesama artis. Tetapi perkawinan
yang kedua itu juga tidak bertahan lama. Belum satu
tahun rumah tangganya berjalan, mereka bercerai.
Setelah itu hanya dalam waktu singkat sejak percerai-
annya, beberapa kali Evi berganti-ganti pacar seperti
piala bergilir. Seakan tidak tahu makna cinta dan ke-
http://pustaka-indo.blogspot.com7
setiaan. Parahnya, petualangan cinta kakaknya itu
dibicarakan di mana-mana melalui media massa. Ana
benar-benar merasa malu karenanya. Rasanya ia eng-
gan mengakui penyanyi cantik itu sebagai kakak yang
lahir dari ibu dan ayah yang sama.
Untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap
sepak terjang Evi, Ana tidak ingin bertemu dengan
sang kakak kendati mereka sama-sama tinggal di
Jakarta. Begitu juga sebaliknya, Evi tidak ingin berte-
mu dengan Ana. Lebih-lebih setelah sang adik mem-
berinya saran agar ia hidup lebih santun dan tidak
mudah kawin-cerai. "Mbak, kalau alasannya tidak cccok, coba kaure-
nungkan, mana ada sih suami-istri yang cocok segala-
nya?" begitu kata Ana waktu itu. "Orangtua dengan
anak atau kakak dengan adik yang sedarah seperti
kita saja pun bisa tidak cocok satu sama lain. Jadi
selagi masih?" Belum selesai Ana berkata-kata, Evi telah merebut
pembicaraan dengan penuh emosi.
"Cukup, Ana. Aku tak mau mendengar khotbah-
mu. Kau tahu apa sih tentang kehidupan perkawinan"
Berpacaran saja belum pernah kok sudah berani me-
nasihati orang. Jadi jangan ikut campur urusanku!"
Begitu sang kakak menghardik Ana. "Urusi saja per-
soalanmu sendiri." Ana terpaksa menelan kekecewaannya. Sejak itu
mereka tidak pernah bertemu lagi. Ana mengetahui
sepak terjang sang kakak hanya melalui televisi atau
melalui media cetak. Maka dari sumber berita itu pu-
http://pustaka-indo.blogspot.com8
lalah Ana mengetahui pernikahan ketiga Evi dengan
pengusaha kaya tua yang lebih pantas jadi ayahnya.
Sungguh keterlaluan. Evi memang sangat memesona bila sedang berada
di atas panggung atau di layar televisi. Suaranya mer-
du. Wajahnya jelita. Tubuhnya yang molek dan berba-
lut gemerlap pakaian indah karya perancang busana
terkenal itu mengagumkan. Tetapi tak sedikit pun
hati Ana memiliki rasa bangga terhadapnya. Lebih-le-
bih setelah Evi menikah lagi untuk ketiga kalinya de-
ngan pengusaha kaya yang usianya lebih tua daripada
ayah kandung mereka. Dan perkawinan yang begitu
berbahagia, tulis koran itu, berdiri di atas kehancuran
hati keluarga sang pengusaha, karena hanya beberapa
bulan sebelumnya laki-laki kaya itu merayakan pesta
perkawinan perak dengan istrinya. Mengetahui hal itu
Ana ikut bersedih bersama istri dan keluarga sang
pengusaha tersebut. Dua puluh lima tahun hidup
berumah tangga bukanlah waktu yang sebentar. Pasti
ada sekian banyak peristiwa suka dan duka yang telah
mereka lalui bersama di dalam rumah tangga yang
dikaruniai tiga anak dan dua cucu itu.
Sungguh, Ana tidak mengerti mengapa laki-laki
paro baya yang sudah makan asam garam kehidupan
bersama istri, anak, dan cucu itu begitu tega mening-
galkan mereka hanya untuk menikah dengan perem-
puan semacam Evi yang lebih pantas menjadi anak-
nya. Ana juga tidak mengerti mengapa Evi yang
dengan mudah bisa meruntuhkan hati laki-laki mana
http://pustaka-indo.blogspot.com9
pun bukannya memilih orang yang masih single, teta-
pi malah merebut suami orang.
Ana semakin sedih ketika ia mendengar perkawinan
Evi dengan pengusaha kaya itu pun hanya bertahan
tiga tahun. Kelahiran seorang anak laki-laki ternyata
tidak cukup kuat untuk mempertahankan rumah tang-
ga mereka. Begitu bercerai, Evi langsung menitipkan
anak lelakinya kepada ibunya dan tak lama kemudian
perempuan itu sudah terbang masuk ke dalam peluk-
an laki-laki lain yang lebih muda dan lebih ganteng
daripada sang pengusaha tua itu. Ketika Ana melihat
berita mengenai kakaknya tersebut, ia langsung me-
matikan televisi dengan dada dipenuhi amarah yang
membara. Tetapi sayangnya, berita mengenai Evi tak pernah
luput dari insan media. Seperti pagi ini, di halaman
depan koran yang sedang dibacanya terpampang lagi
foto Evi. Kakaknya itu sedang berpelukan mesra sam-
bil tersenyum lebar dengan suami terbarunya, sua-
minya yang keempat, si ganteng yang berhasil mereng-
gutnya dari pelukan sang pengusaha tua. Maka
peristiwa sama seperti tiga tahun yang lalu itu pun
terulang kembali. Ana melempar koran yang dibaca-
nya ke lantai. Dan seperti waktu itu pula mata Ana
berkaca-kaca, duduk tepekur di atas sofa dengan
wajah murung. Ana benci sekali membaca berita itu. Ke manakah
perasaan Evi" Tidakkah kakaknya itu mempunyai sedi-
kit saja kepekaan hati untuk memahami bagaimana
perasaan keluarga sang pengusaha yang setelah dua
http://pustaka-indo.blogspot.com10
puluh lima tahun hidup berbahagia ia hancurkan un-
tuk mengecap kebahagiaan semu selama tiga tahun
saja" Apalagi ia kemudian meninggalkan anaknya. Ke
mana pula perasaannya sebagai seorang ibu, mening-
galkan begitu saja anaknya yang masih kecil dalam
asuhan neneknya, yaitu ibu Evi dan Ana, di kota
lain" Memikirkan anak laki-laki yang sekarang berada di
bawah asuhan ibunya itu, Ana berharap anak itu tum-
buh menjadi anak yang baik, anak yang berguna bagi
nusa dan bangsa. Mudah-mudahan ibunya mampu
memberi pendidikan yang baik kepada sang cucu mes-
kipun perempuan itu kurang berhasil mendidik anak-
anaknya. Diam-diam Ana berharap di masa tuanya
sekarang ini, ibunya bisa menjadi orang yang lebih
arif dan bijaksana. Betapapun besarnya kasih Ana kepada ibu kandung-
nya, ia tidak pernah menaruh penghargaan terhadap
perempuan itu. Sulit baginya melupakan kenangan
pahit di masa kecilnya dulu saat ia melihat ibunya
meninggalkan ayahnya yang sederhana untuk menikah
dengan laki-laki lain yang lebih dalam segala-galanya.
Padahal ada lima anak hasil perkawinannya dengan
ayah Ana. Seharusnya ketidakcocokannya dengan ayah
Ana tidak dijadikan alasan untuk menghancurkan per-
kawinan mereka, terutama karena ada lima anak yang
membutuhkan kasih sayang yang lengkap dari ayah
dan ibu mereka. Meskipun ketika itu Ana masih kecil, ia sudah bisa
membedakan siapa yang patut dibelanya. Dari kelima
http://pustaka-indo.blogspot.com11
anak orangtuanya, hanya Ana sajalah yang memilih
tetap tinggal bersama ayahnya. Sama sekali ia tidak
terpikat kehidupan mewah yang kecil kemungkinannya
bisa diberikan ayah kandungnya. Rumah bagus, mo-
bil-mobil mewah, dan berbagai kesenangan yang
dinikmati ibu dan saudara-saudara kandungnya, tak
menarik hati Ana. Ia memilih hidup bersama ayahnya
dan berpisah dengan ibunya, berpisah pula dengan
Evi, kakak perempuannya, dan dengan ketiga adik
kandungnya yang lain. Pilihannya tidak keliru. Bersama ayahnya ia mera-
sakan kehidupan yang manis. Ayahnya yang seorang
seniman sejati banyak memberinya warna-warna keha-
lusan rasa dan keindahan budi pada Ana. Berkat ayah-
nya pulalah bakat Ana yang senang menulis, tersa-
lurkan. Sering kali ia memenangkan lomba cerpen.
Dan sekali novelnya memenangkan lomba yang diada-
kan oleh salah satu majalah terkenal. Ana merasa
bahagia. Kalau bukan karena dorongan sang ayah,
bakat seninya belum tentu akan terkait keluar.
Ketika ayahnya menikah lagi dengan sanak jauhnya
sendiri"seorang guru SMP"atas desakan kerabat
mereka, kehidupan manis itu terasa semakin menye-
nangkan. Ibu tirinya bukan orang asing baginya. Pe-
rempuan itu sangat menyayanginya. Di bawah asuhan
dan didikan sang ibu tiri yang lembut hati, sabar, dan
bijaksana Ana hidup dengan tenang, senang, dan pe-
nuh kedamaian. Perempuan itu mampu menciptakan
kehangatan yang manis dalam kehidupan ayah dan
anak yang pernah mengalami kekecewaan. Bahkan
http://pustaka-indo.blogspot.com12
setelah ayah Ana meninggal dunia lima tahun yang
lalu, kehangatan dan kemanisan itu masih bisa disesap
oleh Ana bersama ibu tiri dan adiknya yang lahir dari
perkawinan ayahnya dengan perempuan itu. Oleh se-
bab itu meskipun ibu kandung dan ayah tirinya ber-
ulang kali mengajaknya tinggal bersama mereka sete-
lah ayahnya meninggal dunia, Ana tetap setia kepada
ibu tiri yang telah merawat dan membesarkannya.
Apalagi berada di dalam rumah ini Ana masih bisa
melihat bekas-bekas jamahan dan bukti-bukti bahwa
di dalam kehidupannya pernah ada seorang ayah yang
begitu menyayanginya. Foto-fotonya, lukisan-lukisan-
nya, sejumlah besar buku dan keping CD kesayangan-
nya, dan lain sebagainya. Sesuatu yang sudah barang
tentu tidak ada di rumah ibu kandungnya. Begitupun
ketika dua tahun lalu ayah tirinya yang kaya mening-
gal dunia dalam kecelakaan, Ana masih tetap memilih
tinggal bersama ibu tirinya.
Ibu tirinya mengerti itu semua sehingga kasihnya
kepada Ana semakin mendalam. Tak pernah ia meng-
anggapnya sebagai anak tiri. Itulah mengapa pagi itu
ia juga yang lebih dulu menangkap wajah murung Ana
sehingga langkah kakinya terhenti di ambang pintu.
"Ada apa, Ana?" tanyanya dengan lembut.
Lamunan Ana buyar. Ia menoleh ke arah ibu tiri-
nya. Dilihatnya perempuan itu tampak rapi dengan
wajahnya yang manis penuh oleh senyum lembut.
Selembut suaranya tadi. "Ibu mau pergi?" Bukannya menjawab pertanyaan,
Ana malah melemparkan pertanyaan.
http://pustaka-indo.blogspot.com13
"Ya. Mau ke supermarket sebentar. Kita sudah ti-
dak punya simpanan makanan," jawab ibunya. "Nah,
kau belum menjawab pertanyaan Ibu, Ana. Wajahmu
tampak muram sekali. Ada apa?"
"Mbak Evi bercerai lagi, Bu," sahut Ana. Dengan
jari telunjuknya ia menunjuk surat kabar yang berse-
rakan di atas lantai. Ibu tirinya menatap sejenak onggokan surat kabar
yang ditunjuk Ana tadi dan dengan seketika mema-
hami perasaan gadis itu. Biasanya Ana selalu melipat
kembali surat kabar yang dibacanya dengan rapi dan
meletakkannya di rak koran.
"Kenapa harus sedih, Ana" Yang menjalaninya saja
belum tentu merasa sedih kok," katanya kemudian
dengan suara menghibur.

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang tidak. Malahan sedang merasa bahagia.
Coba Ibu lihat fotonya di koran itu," sahut Ana de-
ngan suara getir. "Kok malah berbahagia" Lucu. Memangnya kena-
pa?" "Karena dia sedang berbulan madu dengan suami-
nya yang baru. Lebih muda, lebih ganteng, dan mung-
kin juga lebih kaya. Siapa tahu?" Ana tersenyum se-
dih. "Lihat senyum lebarnya di koran itu, Bu."
Perempuan paro baya itu membungkuk dan meraih
koran yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri,
kemudian menatap foto itu.
"Astaga, Evi!" Perempuan itu menggeleng-geleng
berulang kali. "Ah, untunglah ayahmu tidak sempat
melihat kelakuan Evi belakangan ini."
http://pustaka-indo.blogspot.com14
"Itulah, Bu, kenapa saya merasa sedih. Memalukan
sekali kelakuan Mbak Evi. Tidak sadarkah dia bahwa
perbuatannya itu bisa memalukan keluarga besar
kita?" "Yah... kita bisa apa, Ana" Evi sudah dewasa dan
pasti sudah tahu mana yang buruk dan mana yang
sebaliknya. Kelakuan mana yang boleh dilakukan dan
mana pula yang tak pantas. Tetapi kepribadiannya
amat lemah, mudah tergoda oleh gemerlapnya keme-
wahan dan kesenangan hidup. Ibu juga yakin meski-
pun hanya sayup-sayup terdengar, suara hatinya pasti
telah menegurnya juga. Tetapi yah, rupanya telinga
hatinya ia tutup rapat-rapat. Jadi sudahlah, Ana, kau
tak usah terlalu memikirkannya. Doakan saja agar ia
segera insaf. Menegurnya bukan hanya akan sia-sia,
tetapi juga akan membuatmu sakit hati seperti yang
sudah-sudah. Namanya juga orang sedang lupa diri.
Mana ingat dia pada kebenaran."
"Tetapi Mbak Evi sungguh-sungguh tidak tahu
malu. Berganti suami seperti berganti pakaian. Dalam
waktu lima tahun, sudah empat kali ganti suami,"
Ana mengeluh sedih. "Itulah kalau seorang perempuan
terlalu cantik dan memiliki daya tarik kuat. Mudah
digoda, mudah tergoda, mudah pula menggoda"."
Ibu tirinya tersenyum. "Masalahnya bukan karena dia perempuan yang
terlalu cantik, Ana. Ada banyak perempuan yang le-
bih cantik tetapi tidak seperti Evi kelakuannya. Con-
tohnya dirimu sendiri. Apakah kau tidak tahu bahwa
kecantikanmu sama seperti Evi" Bahkan menurut Ibu,
http://pustaka-indo.blogspot.com15
kau lebih jelita daripada dia. Tanpa make up dan pa-
kaian gemerlap seperti Evi, kau sudah tampak amat
menawan...." "Ah, Ibu. Jangan berlebihan," Ana memotong per-
kataan ibunya. "Apa yang Ibu katakan tadi kenyataan, Ana. Kecan-
tikanmu merupakan kecantikan sejati karena tidak
ada bantuan dari luar. Kecantikanmu juga berasal dari
dalam batinmu"."
"Aduh, Ibu, kok semakin menjadi-jadi," lagi-lagi
Ana memenggal perkataan ibu tirinya. Kini dengan
senyum getir yang terukir di bibirnya yang indah.
"Selain Ibu tak ada lho orang yang mengatakan Ana
memiliki kecantikan seperti yang Ibu katakan tadi."
"Itu karena kamu selalu menolak penilaian orang
yang mengatakan dirimu cantik. Ibu tidak buta, Sa-
yang. Penolakanmu bukan sebagai basa-basi seperti
kalau seseorang dikatakan cantik lalu dia merasa sung-
kan. Kau lain. Penolakanmu sungguh-sungguh sangat
kentara sehingga orang tak berani lagi memujimu.
Apalagi kalau yang memujimu itu laki-laki."
"Kok Ibu tahu...?"
"Tentu saja tahu. Kau kan anak Ibu. Mana mung-
kin Ibu tidak memerhatikanmu, terutama setelah
ayahmu tidak ada," sahut sang ibu tiri sambil terse-
nyum. "Ibu perhatikan sikapmu terhadap laki-laki,
sangat dingin. Semakin laki-laki itu ingin mendekati-
mu, semakin sikapmu seperti orang yang siap me-
nyerang. Ibu pernah mengatakan kepadamu kan, si-
kap seperti itu tidak baik."
http://pustaka-indo.blogspot.com16
"Ya. Tetapi siapa yang tidak kesal sih, Bu" Aku per-
gi bersama beberapa teman perempuan, tetapi selalu
saja laki-laki yang ada di sekitar kami mencari-cari
kesempatan untuk berdekatan denganku. Kan tidak
enak pada teman-temanku. Padahal mereka juga pu-
nya kecantikan tersendiri kok."
"Nak, mereka tidak hanya tertarik kepada kecantik-
anmu saja tetapi juga pada sesuatu yang ada di dalam
dirimu. Kepribadianmu, kecerdasanmu, kebaikanmu
dan"." "Ah, Ibu kan tidak tahu. Kebanyakan laki-laki itu
ingin mendekati Ana karena penasaran. Hih, memang-
nya aku sengaja jinak-jinak merpati, dijauhi mendekat
tetapi kalau didekati terbang?"
"Itu Ibu tahu. Ibu juga tidak suka kalau kau bersi-
kap jinak-jinak merpati dan lebih tidak suka lagi ka-
lau kau bersikap seperti Evi yang suka menantang
dan memamerkan keelokan tubuhnya," sahut ibu tiri-
nya dengan sabar. "Tetapi sikapmu yang terlalu menja-
ga jarak dengan laki-laki itu pun kurang baik. Bersi-
kap wajar sajalah. Jangan terlalu khawatir kalau-kalau
mereka mendekatimu karena kecantikanmu. Kalaupun
ada yang seperti itu, jumlahnya tidak banyak, Ana.
Laki-laki yang baik tidak hanya melihat segi lahiriah
saja kok. Nyatanya kau juga mempunyai kecantikan
yang lain." "Kecantikan lain bagaimana?"
"Ana, kan sudah Ibu katakan tadi, kau memiliki
hati yang baik, lembut, dan berkepribadian matang
yang melebihi usiamu. Sejak kecil, kau sudah mempu-
http://pustaka-indo.blogspot.com17
nyai keunikan tersendiri," jawab sang ibu tiri. "Entah
itu kausadari atau tidak, kau sudah sangat berpegang
pada prinsip dan norma-norma moral. Kalau tidak,
tak mungkin kau memilih tinggal bersama ayahmu.
Pendek kata, keseluruhan dirimu menarik."
"Aduh, Bu, untung Ana tahu siapa diriku sebenar-
nya." Ana tertawa geli. "Kalau tidak, sudah sejak tadi
aku terbang ke angkasa?"
Ibu tirinya juga tertawa.
"Ah, sudahlah. Berdebat denganmu tak pernah me-
nang. Ibu mau berangkat sekarang. Tetapi ingat, Ana,
tidak semua laki-laki ingin berteman denganmu kare-
na kecantikan lahiriahmu. Jadi jangan membatasi
pergaulan hanya karena takut pada hal-hal yang be-
lum tentu. Begitu, ya?"
"Ya. Tetapi Ibu juga harus ingat bahwa di dunia
ini cukup banyak perempuan-perempuan cantik yang
mempergunakan kecantikannya untuk tujuan-tujuan
tertentu. Ingat Ika sajalah, Bu."
Mendengar perkataan Ana, ibu tirinya menarik na-
pas panjang. "Itu hanya kebetulan. Susahnya, kebetulan itu
menyangkut saudara-saudara kandungmu. Tiga anak
perempuan ayahmu tergolong gadis-gadis yang jelita.
Tetapi Evi telah mengecewakan ayahmu meskipun
waktu itu belum bertingkah keterlaluan seperti seka-
rang. Lalu Ika, adikmu, juga telah melakukan sesuatu
yang mengecewakan. Untungnya, ayahmu tak sempat
melihatnya. Kasihan ayahmu kalau dia tahu seperti
apa kelakuan Ika sekarang."
http://pustaka-indo.blogspot.com18
Ana tercenung. Ika adalah adik kandung Ana. Ga-
dis itu juga berwajah jelita. Dengan kecantikan dan
bantuan Evi, Ika berhasil menjadi model iklan. Keha-
dirannya di muka umum telah membuat banyak pe-
muda tergila-gila padanya. Pacarnya ganti-berganti.
Akibatnya, kuliahnya gagal di tengah jalan. Ia hamil
di luar nikah dan terpaksa menghentikan kuliahnya,
malu karena tidak ada pemuda yang mau bertanggung
jawab mengatakan dialah ayah si bayi. Dia menikah
dengan laki-laki yang mau menerima anak yang dikan-
dungnya itu. Soal tulus atau tidaknya hati laki-laki
itu, waktu nanti yang akan menjawabnya.
"Sudahlah, jangan terlalu memikirkan saudara-sau-
daramu itu karena mereka toh merasa senang dengan
pilihan hidup mereka. Asal kau ingat, Ana, bahwa di
dalam pergaulan ini jangan memakai kriteria kecantik-
an sebagai penilaian hanya karena melihat contoh soal
dalam keluargamu. Kecantikan itu sendiri pada dasar-
nya baik dan netral. Orangnya sajalah yang keliru
memandang atau menilainya. Positif atau negatif, itu
tergantung dari mana sudut pandangnya. Setuju?"
"Setuju, Bu." "Nah, kalau begitu Ibu akan pergi sekarang. Kau
ingin dibelikan penganan atau apa" Buah barangkali?"
"Kalau ada uangnya, Ana mau jeruk."
"Ada" ada. Jangan khawatir. Ibu baru saja meng-
ambil pensiun ayahmu. Lalu kemarin honor Ibu mem-
beri kursus matematika juga sudah dibayar."
"Ah, semestinya Ana yang membantu Ibu meme-
nuhi kebutuhan rumah tangga seperti bulan-bulan
http://pustaka-indo.blogspot.com19
kemarin. Kadang-kadang menyesal juga kenapa Ana
terlalu mengumbar emosi demi harga diri yang berle-
bihan. Kalau tidak, sekarang ini Ana kan masih beker-
ja." "Nah, mulai menyesali lagi. Kalau kau sudah me-
mutuskan sesuatu dan menganggap keputusan itu
baik, ya sudah. Hadapi konsekuensi logisnya. Kalau
Ibu ada di tempatmu, mungkin juga akan melakukan
hal yang sama. Daripada bekerja di bawah atasan
yang memandangmu dengan kacamata negatif, kan"
Memangnya enak bekerja dalam situasi harus sering
korban perasaan dan harga diri yang terancam terus"
Jadi yang penting sekarang ini, tinggal bagaimana kita
berusaha mengatasi apa yang sudah kamu putuskan.
Lebih baik melihat ke depan daripada menoleh ke
belakang. Bisa jatuh terjerembap nanti."
Ana tersenyum, kemudian mengangguk. Bicara ibu
tirinya selalu menyejukkan hati. Apa yang dikatakan-
nya tak hanya semata-mata menghibur, tetapi juga
membuka wawasan lain. Tanpa mengatakan secara
nyata, Ana tahu apa yang dimaksud perempuan paro
baya itu. Memang tidak mudah bekerja di bawah atas-
an yang mata keranjang. Apalagi laki-laki itu menge-
tahui bahwa Ana adalah adik kandung Evi, sang bin-
tang yang terkenal dengan kawin-cerainya dan juga
sebagai kakak Ika, si foto model yang suka memamer-
kan lekuk-liku tubuhnya. Pikiran laki-laki itu pasti
penuh dengan khayalan kotor. Jadi keputusannya un-
tuk keluar dari pekerjaan yang menyebabkan tekanan
pada perasaannya itu tidak salah.
http://pustaka-indo.blogspot.com20
Memang, alasan mengapa akhirnya Ana memutus-
kan untuk keluar dari pekerjaannya itu karena atasan-
nya sering melakukan pelecehan terhadapnya. Setiap
ada kesempatan, laki-laki itu suka mencubit dagu atau
pipinya. Terkadang juga mengelus lengannya. Meski-
pun Ana telah mengatakan dengan terus terang pada-
nya bahwa perbuatan itu tidak sopan, laki-laki itu
hanya tersenyum-senyum saja dan tetap melakukan
perbuatan yang sama. Tetapi bulan lalu ketika Ana
sedang mengerjakan tugasnya di muka komputer men-
jelang istirahat makan dan tiba-tiba saja lelaki itu su-
dah ada di belakangnya, mengelusi rambut dan le-
ngannya, gadis itu mulai tidak tahan. Ia langsung
berdiri dari tempat duduknya untuk menghindari
kenakalan atasannya itu. Tetapi laki-laki itu tidak
membiarkannya. "Mau ke mana?" tanyanya mesra. Kemesraan yang
membuat perut Ana jadi mual.
"Mau istirahat," Ana menjawab singkat sambil
menahan marah. "Bagaimana kalau kita berdua makan siang di hotel
yang aku tahu sop buntutnya enak sekali. Gurih, em-
puk dan?" "Tidak, Pak. Saya sudah janji makan siang dengan
Lestari," Ana berkata sambil menjauhi atasannya.
"Oke. Bagaimana kalau nanti malam kuajak ke
kafe?" "Saya tidak suka ke kafe," Ana menjawab tanpa
menghentikan langkah kakinya. Menoleh pun tidak.
Merasa diabaikan, atasannya menyusul langkah kaki
http://pustaka-indo.blogspot.com21
Ana dan mendahuluinya berdiri di muka pintu. Meli-
hat itu Ana menghentikan langkahnya. Dia berharap
ada orang lain di situ agar bosnya merasa malu. Teta-
pi sayang, kebanyakan teman-temannya sudah keluar
mencari makan di luar. "Maaf, Pak. Saya mau lewat." Dengan susah-payah
Ana masih berusaha bicara dengan sopan.
"Baik. Tetapi izinkan aku menciummu sekali saja.
Mumpung tidak ada orang. Kau sungguh membuatku
tergila-gila, Ana." "Bapak jangan melecehkan saya," sembur Ana mu-
lai marah. Atasannya tidak menggubris penolakan Ana. Ta-
ngannya terulur meraih kepala gadis itu, bermaksud
mencium bibirnya. Sekarang kemarahan Ana sudah
sampai di puncaknya. Dengan sigap ia merenggutkan
kepalanya dari tangan sang atasan untuk kemudian


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan telapak tangannya yang bebas ia menampar
laki-laki itu. Atasannya kaget. Air muka Ana benar-benar menyi-
ratkan rasa tersinggung atas perlakuannya tadi. Per-
sangkaannya selama ini langsung buyar berantakan.
Ana tidak seperti Evi. Ana juga tidak seperti Ika. Le-
bih-lebih begitu usai menampar pipinya, gadis itu
langsung mengatakan pendiriannya.
"Saya akan segera mengundurkan diri dari kantor
ini. Terus terang sudah lama saya merasa Bapak meng-
anggap saya perempuan yang gampang diajak main-
main. Saya tidak tahan diperlakukan seperti itu," ka-
tanya dengan suara tegas.
http://pustaka-indo.blogspot.com22
Begitulah, Ana segera mengundurkan diri kendati
ia memiliki prospek besar untuk merintis karier di
kantor itu. Maka sudah hampir dua bulan lamanya
gadis itu menganggur. Lamaran-lamaran yang dilayang-
kannya ke mana-mana belum satu pun mendapat ja-
waban yang menjanjikan. Rencananya, ia akan menca-
ri bantuan teman-temannya, siapa tahu di antara
mereka mengetahui ada lowongan pekerjaan. Ia tidak
betah menganggur. Uang simpanannya di bank sudah
tidak banyak lagi semenjak ia membelikan motor un-
tuk adik tirinya dan sebuah laptop yang bagus untuk
dirinya sendiri. Tetapi yah, siapa yang mengira ia
akan kehilangan pekerjaan gara-gara seorang laki-laki
hidung belang" "Kau harus sabar, Ana," ibu tirinya berkata lagi.
"Sekarang ini tidak mudah mendapat pekerjaan yang
sesuai dengan ilmu yang kita miliki. Jadi terus sajalah
berusaha mencari informasi. Beli koran yang banyak
iklan lowongan kerjanya. Jangan koran gosip. Nanti
sedih lagi mengetahui ulah Evi atau Ika. Belakangan
ini kau terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak
perlu. Nanti vertigomu kumat lho."
Ana tersenyum. Seminggu lalu ia mengalami verti-
go, pusing tujuh keliling. Dugaan dokter, selain terlalu
banyak bekerja di muka komputer, ada yang sedang
dipikirkan oleh Ana, karena dari hasil pemeriksaan me-
dis tidak ditemukan sesuatu yang serius.
"Ya, Ibu betul," sahutnya kemudian. "Tetapi benar-
benar tidak enak jadi pengangguran begini lho, Bu.
Capek hati." http://pustaka-indo.blogspot.com23
"Ibu mengerti bagaimana rasanya tidak punya pe-
kerjaan, apalagi kamu orang yang tidak suka diam.
Nah, untuk mengatasi kejenuhanmu bagaimana kalau
sambil menunggu jawaban surat-surat lamaran yang
sudah kaukirim ke mana-mana itu, penuhilah dulu
permintaan mamamu. Berkunjunglah ke rumahnya di
Ungaran. Sudah berulang kali lho dia menyuruhmu
datang ke sana, tetapi tidak kautanggapi. Dan sudah
enam tahun lamanya kalian tidak bertemu. Ingat,
Ana, bagaimanapun mereka adalah keluargamu. Ja-
nganlah terlalu kaku. Selain itu kau juga memerlukan
pergantian suasana agar jangan sampai mengalami
vertigo lagi." "Baik, nanti akan Ana pikirkan. Tetapi sebelumnya,
Ana mau ketemu Oom Rusli dulu. Beliau pernah me-
nawari Ana pekerjaan. Mudah-mudahan lowongan itu
masih ada. Kalaupun tidak, barangkali beliau bisa
merekomendasi Ana pada rekan-rekan bisnisnya."
"Bagaimana dengan tawaran teman Ibu kemarin
dulu?" "Mengajar SMP" Wah, meskipun itu pekerjaan yang
menantang dan menarik, tetapi Ana tidak berani. Ja-
ngan sampai Ana merugikan sekolah dan murid-murid
hanya karena membutuhkan pekerjaan. Profesi guru
bukan bidang Ana. Itu tidak adil bagi mereka."
"Itu pikiran yang penuh rasa tanggung jawab, Ana."
"Ternyata menjadi sarjana tidak menjamin sese-
orang untuk mendapat pekerjaan dengan mudah ya,
Bu. Kelihatannya para penganggur intelektual lebih
http://pustaka-indo.blogspot.com24
susah mencari pekerjaan daripada mereka yang berpen-
didikan lebih rendah."
"Ah, ya tergantung situasi dan kondisinya. Tukang
batu dan tukang kayu memang lebih mudah mencari
pekerjaan ketika ada pembangunan perumahan atau
pertokoan." "Ya. Mbak Evi dan Ika yang jebol kuliahnya juga
malah mendapat penghasilan yang amat besar tanpa
harus mengeluarkan banyak keringat."
"Hush. Kau mau seperti mereka?"
"Tidak!" Ana tertawa.
"Gampang lho, kalau mau. Hubungi mereka seka-
rang, pasti lusa kau sudah didatangi orang suruhan
produser atas rekomendasi saudara-saudaramu itu,"
goda ibu tirinya. "Ibu setuju Ana jadi foto model yang bersedia
buka-bukaan baju dan berpenghasilan besar?" Ana
ganti menggoda. "Tidak." Ibu tirinya tertawa. "Jadi, sabarlah. Pasti
akan ada jalan keluarnya kalau kita selalu berusaha."
"Ya. Cuma saja budaya patriarki yang sering meno-
morduakan perempuan, masih saja dipraktikkan orang
di negara kita yang katanya menjamin hak-hak setiap
warga negaranya. Nyatanya akses perempuan terhadap
kesempatan bekerja tidak seluas yang didapat laki-laki
dengan berbagai alasannya." Ana menumpahkan
kekesalan hatinya lagi. "Kalau tidak menyangkut
kodrat biologisnya yang katanya merugikan karena
cuti melahirkan, pasti menyangkut gendernya karena
dianggap lebih pandai menambal bedak dan lipstik
http://pustaka-indo.blogspot.com25
daripada profesional dalam pekerjaannya. Memangnya
perempuan bekerja dengan rahimnya atau dengan be-
daknya" Mereka juga punya otak yang sama primanya
dengan otak laki-laki lho."
"Sudah... sudah..." Ibu tiri Ana tertawa. "Ibu tadi
sudah bilang kan, berdebat denganmu mana bisa me-
nang. Jadi lebih baik aku pergi sekarang. Keburu
siang. Selama sendirian di rumah, pertimbangkan usul-
ku tadi. Penuhilah keinginan mamamu. Bagaimanapun
dia ibu kandung yang telah melahirkanmu. Kurasa
setelah suaminya meninggal dunia, suasana di rumah-
nya telah jauh berbeda. Mudah-mudahan dengan
berlibur di sana, hatimu yang resah akan berkurang.
Sekali-sekali ganti suasana, perlu bagimu."
"Begitu menurut Ibu?"
"Ya. Kau bisa membawa laptop-mu dan melanjut-
kan novelmu di sana. Pergantian suasana perlu bagi-
mu. Siapa tahu muncul ide-ide baru yang akan mem-
perlancar pekerjaanmu."
"Kok Ibu tahu Ana sedang membuat novel?"
"Adikmu Deni yang mengatakannya. Dia bilang
tema ceritanya bagus dan penyajiannya memikat. Jadi
teruskanlah itu." Ana ingat, ia pernah minta pendapat Deni yang
masih duduk di kelas satu SMA mengenai novel yang
sedang ditulisnya. Siapa tahu dari anak remaja mun-
cul pendapat yang bisa dijadikan bahan pemikiran,
sebab anak-anak remaja sekarang selain lebih kritis
juga lebih luas jangkauan wawasannya. Kemajuan tek-
nologi komunikasi melalui televisi yang bisa mengak-
http://pustaka-indo.blogspot.com26
ses tayangan luar negeri dan juga internet, ikut me-
nambah wawasan mereka. Belum lagi berjenis-jenis
buku pengetahuan populer yang tersedia di toko-toko
buku. Deni termasuk kutu buku dan suka belajar.
Persis seperti ayah dan Ana, kakaknya. Rupanya, anak
itu bercerita kepada ibunya mengenai permintaan
sang kakak untuk memberinya pendapat.
"Ah, pendapat Deni belum bisa dijadikan pegang-
an," sahut Ana kemudian. "Dia baru melihat kulit
luarnya saja." "Mungkin begitu. Umur Deni masih terlalu muda
untuk menilai tulisanmu secara lebih mendalam. Teta-
pi ingat, ia juga berbakat menulis sepertimu. Kurasa
apa yang dikatakannya tidak terlalu jauh dari kenyata-
an. Nyatanya surat-surat penggemarmu yang menang-
gapi cerita bersambungmu di surat kabar waktu itu
kan mengatakan hal yang sama. Meski baru sebagai
pemula, kau sudah memperlihatkan prestasi. Buktinya
beberapa kali kau memenangkan lomba mengarang.
Jadi, Ana, selagi kau belum mendapat pekerjaan, ba-
katmu menulis itu bisa kautekuni agar semakin ber-
kembang. Pengarang juga suatu profesi atau pekerjaan
yang menghasilkan kok."
"Hari ini Ibu banyak sekali menghibur dan mem-
besarkan hatiku. Rasanya keterlaluan kalau Ana meng-
abaikan saran Ibu supaya berlibur ke rumah Mama,"
Ana menyeringai. "Bagus." Ibu tirinya tersenyum. "Nah, Ibu pergi se-
karang. Dari tadi belum juga berangkat gara-gara meng-
obrol denganmu." http://pustaka-indo.blogspot.com27
Dengan pandangan matanya, Ana mengikuti langkah
kaki ibu tirinya yang sedang menyeberangi halaman
rumah menuju ke pintu pagar depan. Begitu tubuh
perempuan paru baya itu lenyap dari pandangannya,
gadis itu tenggelam di dalam pikirannya.
Rasanya saran ibu tirinya agar ia mengunjungi ibu
kandungnya bisa diterima. Memang sudah lama seka-
li dia tidak bertemu dengan ibunya. Ketika ayah tiri-
nya meninggal dunia, Ana tidak bisa datang. Dia se-
dang mendapat tugas kantor ke luar negeri. Itu
alasannya yang pertama. Alasan kedua, seperti apa
yang juga disarankan ibu tirinya, dia bisa melanjutkan
menulis novel di sana. Sangat masuk akal. Perubahan
suasana bisa memunculkan ide-ide yang memperkaya
tulisannya. Semangat kerjanya juga bisa terpacu. Di
Jakarta, teman Ana banyak. Ada saja yang datang
mengunjunginya, terutama setelah dia menganggur,
untuk berbela rasa dengannya. Senang sih senang dida-
tangi teman, tetapi waktunya untuk bekerja jadi ber-
kurang. Apalagi kalau mereka mengajak jajan di luar.
Jadi ada baiknya kalau untuk sementara ini dia ber-
sembunyi di Ungaran. Seperti kata ibu tirinya, pengarang juga suatu pro-
fesi yang memberi penghasilan. Namun bagi Ana,
yang penting dalam kegiatan mengarang itu ia bisa
memotret realitas melalui rangkaian kata dan kalimat
yang runtut. Melalui tulisannya yang tertata ia bisa
menuangkan pandangan, perasaan, buah-buah pikiran,
dan pergolakan batinnya melalui tokoh-tokoh cerita-
nya. Melalui untaian kisah yang tersaji itu ia juga bisa
http://pustaka-indo.blogspot.com28
menghadirkan berbagai macam karakter manusia dan
bagaimana cara mereka menghadapi masalah-masalah
dalam kehidupannya. Melalui tulisannya pula ia bisa
menghadirkan dirinya di dalam masyarakat dan men-
dapat pengakuan atas keberadaannya. Singkat kata,
selagi ada kesempatan, ia harus mengembangkan ba-
kat menulisnya. Dengan pikiran itulah tanpa ragu lagi akhirnya
Ana memutuskan untuk pergi mengunjungi ibu kan-
dungnya di kota kecil, Ungaran. Ia masih mengingat
dengan jelas surat ibunya yang terakhir, surat yang
diterimanya beberapa bulan yang lalu.
"Mama rindu sekali padamu. Kapan kau datang me-
ngunjungi Mama, Ana" Kalau kau merencanakan cuti,
taruhlah permintaan Mama ini di tempat paling atas
pada daftar tempat yang akan kaukunjungi. Sekarang
setelah menjanda, Mama pindah ke Ungaran, kota kecil
di daerah yang hawanya lebih sejuk, tidak terlalu jauh
dari Magelang, kota kita dulu dan dekat kota Sema-
rang. Kau pasti senang melihat suasananya. Penduduk-
nya ramah-ramah. Lagi pula kau belum pernah melihat
Oki, anak kakakmu, kan" Dia persis Evi kecil dulu.
Manis dan menawan. Kau pasti jatuh hati kepadanya.
Mama sering bercerita padanya tentang saudara-saudara
mamanya, termasuk dirimu. Fotomu juga sudah Mama
perlihatkan kepadanya. Jangan biarkan kekentalan da-
rah di antara kita semua mencair hanya karena kita
jarang berjumpa. Jadi sekali lagi, Ana, datanglah men-
jenguk Mama kalau kau mengambil cuti nanti. Mama
agak kesepian setelah Evi sibuk di Jakarta dan Ika diba-
http://pustaka-indo.blogspot.com29
wa suaminya ke Bandung," begitu antara lain bunyi
surat ibunya. Ana dapat merasakan kerinduan sang ibu terhadap-
nya. Dia juga bisa merasakan sepinya rumah ibunya
tanpa keberadaan Ika. Adiknya itu termasuk gadis
yang lincah, ramah, periang dan suka humor. Di kota
Magelang sebelum ibunya pindah ke Ungaran, kota
yang lebih kecil itu, ia seorang gadis yang populer.
Temannya banyak sehingga rumah ibunya tak pernah
sepi dengan kehadiran mereka. Jadi Ana bisa memba-
yangkan seperti apa sepi rumah ibunya sekarang.
Maka begitulah, ketika ibu tirinya pulang dari su-
permarket, Ana langsung mengatakan rencananya un-
tuk mengunjungi ibunya. "Bagus, Ana. Memang harus begitu. Nikmati hari-
harimu di sana dengan tenang. Nanti kalau ada balas-
an dari salah satu surat lamaranmu, akan Ibu berita-
hu," komentar ibu tirinya. "Menurut Ibu, sudah
saatnya kau menguntai kembali hubunganmu dengan
mamamu."

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, terima kasih. Rasanya sekarang ini memang
saat yang paling tepat untuk mengunjungi Mama.
Kalau nanti Ana sudah mendapat pekerjaan, mana
sempat pergi ke sana," kata Ana sambil sibuk mem-
bantu mengurus barang-barang belanjaan ibu tiri-
nya. "Kau benar, Ana. Selain itu, kau juga perlu mene-
nangkan pikiranmu," ibu tirinya mengangguk. "Mum-
pung sekarang bukan liburan sekolah, mudah mencari
tiket kereta api." http://pustaka-indo.blogspot.com30
"Baik, Bu. Besok Ana akan mencari tiket untuk
lusa. Mudah-mudahan selama berada di rumah Mama
nanti, Ana merasa nyaman."
"Nyaman atau tidaknya perasaan kita tergantung
bagaimana sikap hati melakukan adaptasi dengan ling-
kungan yang ada. Kau sudah berumur dua puluh
lima tahun, Ana. Tinggalkan perasaan-perasaan seperti
ketika kau belum dewasa," tegur ibu tirinya dengan
lembut. "Kenangan pahit masa lalu sebaiknya kau-
buang jauh-jauh." "Ya, Bu. Ana mengerti." Yah, memang seharusnya
demikian. Dia tidak boleh berpikir dan berperasaan
seperti dulu setiap menghabiskan liburan sekolah atau
liburan semester di rumah ibunya di Magelang. Di
sana ia selalu merasa berada di luar pagar. Sulit mem-
buat dirinya nyaman. Tak pernah ia merasa menjadi
bagian dari keluarga ibu kandungnya. Padahal ayah
tirinya tidak pernah membedakannya dengan saudara-
saudaranya yang lain. Bahkan ibunya yang merasa tak
pernah bisa terus bersama-sama dengannya, selalu me-
nunjukkan rasa rindu dan kasihnya. Tetapi entah
mengapa Ana merasa asing berada di tengah-tengah
ibu dan saudara-saudaranya sendiri. Kehangatan yang
mereka tebarkan tak terserap ke hatinya. Tidak sama
seperti jika ia berada di rumah ayah dan ibu tirinya
di Jakarta. Sungguh lain rasanya.
Sekarang di masa dewasanya, Ana menangkap per-
kataan ibu tirinya tadi dengan pikiran yang lebih ter-
buka. Memang benar bahwa nyaman atau tidak pera-
saannya berada di rumah ibu kandungnya, tergantung
http://pustaka-indo.blogspot.com31
bagaimana hatinya menyesuaikan diri dengan ling-
kungan di sana. Jadi mudah-mudahan saja sisa-sisa
perasaan tak senangnya terhadap kelakuan Evi dan
Ika, dan juga apa yang pernah dilakukan ibunya di
masa mudanya dulu, tak lagi menodai hatinya. Me-
mang, itu tidak mudah. Sulit melenyapkan bayangan
pahit masa lalu ketika ayahnya sibuk menenangkan
dirinya yang saat itu masih kecil, duduk di atas pang-
kuannya, menangisi kepergian ibunya yang pergi tan-
pa menoleh-noleh lagi bersama empat saudaranya.
Kini Ana mencoba melihat semua itu dari sisi lain
yang lebih objektif. Kalau dipikir-pikir, ibunya tidak-
lah sama seperti kelakuan Evi yang suka kawin-cerai
atau seperti Ika yang suka memamerkan kecantikannya
kendati perempuan paro baya itu juga berwajah ayu.
Kesalahannya "hanya" karena meninggalkan suaminya
untuk menikah dengan laki-laki lain. Belakangan Ana
baru tahu bahwa ternyata ayah tirinya itu bekas keka-
sih ibunya di masa sekolah dulu. Tampaknya laki-laki
itu merupakan cinta sejatinya. Wajah ibunya yang se-
ring muram saat masih menjadi istri ayahnya, tidak
tampak lagi. Ia sering tertawa dan wajahnya tampak
lebih muda. Namun apa pun alasan ibunya, Ana masih tak bisa
menerima tindakan ibunya. Andaikata dirinya berada
di tempat ibunya, ia tak akan pernah meninggalkan
suami hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri bersa-
ma laki-laki lain. Menurutnya, meskipun ibunya tidak
kawin-cerai seperti Evi, tetapi yang dilakukannya tetap
merupakan kesalahan yang melanggar nilai-nilai mo-
http://pustaka-indo.blogspot.com32
ral. Tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu dari lima
anak diabaikannya demi memenuhi kebutuhan dirinya
sendiri. Setiap ingat hal itu, Ana merasa amat malu.
Sedemikian besar perasaan malu itu sehingga ia tidak
suka ditanya orang mengenai masa lalunya. Sebagai
akibatnya, Ana enggan bergaul secara akrab dengan
kaum laki-laki. Terlebih sekarang setelah per-tualangan
cinta Evi dan foto-foto Ika yang berpakaian minim
menjadi pembicaraan orang banyak. Ana kha-watir
mereka akan tahu seperti apa keluarganya. Karena
pikiran itulah Ana bergaul dan berteman secara biasa-
biasa saja dengan teman-teman lelakinya. Tidak se-
orang yang berhasil menjalin keakraban khusus
bersamanya. Ana pandai mengambil jarak. Jika ada
tanda-tanda perhatian khusus seseorang terhadapnya,
ia segera pasang kuda-kuda sehingga aman-aman saja-
lah kehidupan pribadinya. Dengan demikian tak se-
orang pun sempat bertanya padanya tentang masa
lalunya. Yah, jangankan ditanya orang, Ana sendiri saja ti-
dak mau mengingat-ingat masa kecilnya ketika masih
tinggal bersama ibunya. Kenangan masa kanaknya
ketika bersama adik-adiknya menonton dengan perasa-
an kagum bagaimana Evi kecil bergaya menyanyi di
muka cermin hias ibu mereka, ditenggelamkannya
jauh-jauh ke lubuk hatinya. Ia tidak ingin mengingat-
nya. Bahkan sekarang ini setiap kali berada di mal
atau di tempat-tempat umum dan kebetulan mende-
ngar suara Evi berkumandang dari salah satu toko
yang ada di sana, rasa bangga yang dulu pernah me-
http://pustaka-indo.blogspot.com33
warnai hatinya, kini sudah tidak ada lagi. Begitu juga
setiap melihat foto-foto besar Ika dengan pakaian mi-
nim terpampang di kalender atau di suatu iklan, hati-
nya terasa seperti diremas-remas. Wajah molek dan
tubuh indah adiknya tak sedikit pun menyentuhkan
rasa bangga meskipun menyebabkan banyak laki-laki
berdecak kagum. Kenapa Ika tidak bisa menghormati
tubuh indah anugerah Tuhan yang tidak bisa dimiliki
setiap perempuan" Apakah karena uang" Rasanya, ti-
dak. Dari ayah tirinya, gadis itu sudah mendapatkan
segala-galanya. Ika tidak pernah kekurangan. Apalagi
Evi sering membagi-bagi uang untuk adik-adiknya.
Ana juga pernah diberi. Tetapi sejak gadis itu meno-
lak pemberiannya dan mengatakan bawa sebaiknya
uang itu diberikan saja kepada rumah yatim-piatu,
Evi tak pernah lagi memberinya uang.
Jadi, pasti bukan melulu karena uang yang dikejar
oleh Ika. Tetapi lebih pada ketenaran. Demi populari-
tas. Sungguh keterlaluan. Untung ayahnya telah
meninggal ketika Ika menyusul Evi tampil di muka
publik. Untung pula ayahnya sudah tidak bisa me-
nyaksikan lagi ketika Ika menikah dalam keadaan su-
dah hamil dan kehamilan itu bukan disebabkan oleh
si suami. Sungguh, tampaknya Ika betul-betul sudah
lupa bagaimana harus bersikap santun dan menghargai
orang. Sama sekali adiknya itu tidak mengatakan apa
pun kepada Ana sebelum pernikahannya dilangsung-
kan. Setelah acara perkawinannya selesai, baru Ika
memberitahu Ana. Seperti terhadap temannya saja.
Sebagai gadis Jawa yang dididik agar tetap memiliki
http://pustaka-indo.blogspot.com34
keterikatan dengan adat dan kebiasaan orang Jawa
kendati hidup di zaman yang serbamodern ini, hati
Ana merasa terluka oleh sikap Ika. Adiknya itu tidak
memedulikan keberadaannya sebagai kakak. Padahal
Ana tidak mengharapkan pelangkah dalam bentuk
apa pun sebagaimana dilakukan orang Jawa jika akan
menikah lebih dulu daripada kakaknya. Lebih-lebih
lagi Ana juga tidak mengharapkan kedua calon mem-
pelai itu datang kepadanya dan minta izin untuk
melangkahinya. Tetapi sebagai kakak kandung, sebagai
saudara yang lebih tua, apa salahnya Ika memberitahu
bahwa ia akan menikah lebih dulu. Di zaman perkem-
bangan teknologi komunikasi yang sangat pesat ini,
mudah sekali bagi Ika untuk menelepon Ana dari
jarak yang paling jauh sekalipun. Apalagi sarananya
ada. Bagi Ana, cukup hanya pemberitahuan saja un-
tuk menunjukkan bahwa keberadaannya sebagai kakak
kandung masih diperhitungkan. Tetapi ternyata itu
pun tidak dilakukan Ika. Parahnya, ibu kandungnya
tidak mengarahkan Ika untuk melakukannya.
Sekarang sesudah memutuskan untuk berlibur di
rumah ibu kandungnya, Ana teringat pada teguran
ibu tirinya agar sisa-sisa perasaan yang masih ada di
hatinya, dibuang. Kata ibu tirinya pula, menyimpan
kenangan pahit masa lalu hanya akan menghilangkan
rasa nyaman saat ia berlibur di Ungaran nanti. Apa-
lagi tujuannya datang ke sana untuk mencari pergan-
tian suasana. Yah, ibu tirinya betul. Lagi pula di sana ada Hadi
http://pustaka-indo.blogspot.com35
dan Hari, kedua adik kembarnya yang baru saja lulus
SMA. Ana berharap kehadirannya di sana nanti ada
manfatnya bagi mereka. Bahwa sekolah setinggi mung-
kin lebih penting daripada kehidupan gemerlap seper-
ti yang dipilih oleh Evi dan Ika yang cuma seumur
jagung lamanya. Ana merasa bertanggung jawab un-
tuk ikut mengarahkan kedua adik bungsunya itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com36
"STOP, Pak," Ana berseru kepada sopir taksi yang
membawanya dari Stasiun Tawang, Semarang. Dia
telah tiba di kota kecil Ungaran dan telah menemu-
kan nomor rumah yang dicarinya. Saat itu langit te-
lah menyiratkan semburat rona merah manyala di
ufuk timur. Arlojinya menunjukkan pukul enam ku-
rang tiga menit. Beberapa jam lalu, kereta api yang ditumpanginya
tiba di Semarang sekitar pukul tiga dini hari. Ana
menunggu di stasiun sampai terang tanah, baru men-
cari taksi. Jarak kota Semarang dengan Ungaran, tidak
jauh. Dari Stasiun Tawang sekitar satu jam lamanya.
Lebih lama perjalanan di Jakarta, dari Kebayoran ke
Kelapa Gading, misalnya. Belum lagi kalau macet.
Tetapi meskipun tidak jauh, Ana tidak mau mengam-
bil risiko mencari alamat rumah ibunya dalam cuaca
Dua http://pustaka-indo.blogspot.com37
masih gelap. Apalagi kota Ungaran merupakan kota
yang masih asing baginya.
Sambil menunggu sopir taksi menurunkan koper-
nya, sekali lagi Ana melihat ke arah nomor rumah
yang tertera pada pilar pintu pagar yang masih tertu-
tup rapat itu. Betul, nomornya cocok dengan nomor
rumah yang ada di alamat surat yang dikirim ibunya
waktu itu. Dan yang lebih menguatkan keyakinannya,
Ana melihat papan nama perusahaan konveksi yang
dipasang di balik pagar halaman. Ibunya pernah men-
ceritakan mengenai usahanya di bidang konveksi.
Ana merasa lega, pintu pagar rumah itu sudah ti-
dak digembok. Seraya mendorong kopernya, ia mena-
paki jalan setapak beraspal selebar tiga meter yang
memisahkan halaman kiri dan kanan yang luas dan
tampak asri oleh bentangan rumput hijau dan tanam-
an hias. Seluruhnya tertata rapi dan tampak subur.
Ana melihat rumah itu sedang-sedang saja besarnya,
tidak semegah rumah ayah tirinya yang terletak di
daerah elite kota Magelang. Tetapi halamannya sangat
luas dan rumah yang sekarang ada di hadapannya itu
tampak lebih menyenangkan. Ada beberapa pohon
besar di dekat rumah. Di antaranya pohon sawo,
mangga, jambu air, dan nangka. Semuanya tampak
menjanjikan keteduhan dan kerindangan yang menye-
jukkan. Terasnya luas dengan dua perangkat meja
kursi rotan dengan joknya yang cantik, warna dasar
hijau toska berbunga putih. Cocok dengan kusen-ku-
sen rumah yang bercat putih bersih.
Suara gonggongan anjing terdengar riuh begitu Ana
http://pustaka-indo.blogspot.com38
mendekati teras. Tak lama kemudian ia mendengar
suara ibunya menenangkan anjing-anjing itu sebelum
akhirnya sosok perempuan itu muncul di ambang
pintu yang baru dibukanya.
Untuk sesaat lamanya perempuan paro baya itu
berdiri tertegun, hampir tak memercayai apa yang
dilihatnya. "Astaga, Ana!" serunya kemudian. Kedua tangannya
langsung terkembang dan Ana berlari masuk ke dalam
pelukannya. "Kenapa tidak memberi kabar lebih dulu"
Dengan siapa kau ke sini" Naik apa kok pagi-pagi
begini sudah sampai?"
Ana tertawa sambil melepaskan diri dari pelukan
ibunya. "Ma, satu per satu dong pertanyaannya."
"Baik." Sang ibu juga tertawa. "Nah, kenapa kau
tidak memberitahu Mama lebih dulu supaya Hari
atau Hadi menjemputmu."
"Memberi kabar ke sini bukan surprise namanya,
Ma. Lagi pula kepergian Ana ke sini ini tidak diren-
canakan. Kalau direncanakan malah sering batal sih,"
sahut Ana. "Tetapi kau kan belum pernah ke sini. Siapa tahu
salah jalan.... Tadi kau naik apa, Ana?"
"Kereta api, Mam. Begitu ingin menjenguk Mama,
Ana langsung mencari tiket kereta api. Tetapi dapat-
nya kereta Argo Anggrek jurusan Surabaya yang sam-
pai di Semarang sekitar jam tiga dini hari. Daripada
batal, ya sudah Ana ambil saja meskipun agak mahal.


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tadi Ana menunggu sampai cuaca agak terang, baru
mencari taksi." http://pustaka-indo.blogspot.com39
"Wah, beraninya."
"Kenapa mesti takut" Begini-begini Ana pernah
belajar ilmu bela diri." Ana tertawa. Kemudian ia
membalikkan tubuhnya dan mengambil kopernya
yang masih ada di bawah teras. Didorongnya koper-
nya melintasi teras, menuju ke pintu.
Sang ibu memperhatikan anak gadisnya dengan
penuh rasa sayang. Dari kelima anaknya, hanya Ana
seorang yang tidak dibesarkan di bawah asuhannya.
"Mama senang akhirnya kau datang mengun-
jungiku, Ana," katanya kemudian. Wajahnya ramai
oleh senyum dan matanya yang bergelimang rasa baha-
gia, menatap wajah Ana dengan saksama. "Mama ba-
hagia, semakin dewasa kau semakin tampak matang
dan bertambah jelita."
"Ah, Mama. Air laut siapa sih yang menggarami?"
Ana tertawa. Kemudian dengan air muka serius ia
melanjutkan bicranya. "Tetapi Mama keliru menilai
Ana lho." "Keliru" Ah, kurasa tidak. Kau memang tampak
amat cantik, Ana. Bukannya mau menggarami air
laut, tetapi kenyataannya memang begitu," bantah
sang ibu. "Bagaimana Mama bisa memberi penilaian seperrti
itu padahal sudah lama kita tidak pernah berjumpa.
Mama kan belum pernah melihat wajah Ana kalau
tidak dalam kondisi kurang tidur dan letih seperti
sekarang ini." Wajah Ana masih tampak serius.
"Oh... ya...?" Sang ibu agak bingung untuk sesaat
lamanya. Tetapi Ana langsung merebut pembicaraan.
http://pustaka-indo.blogspot.com40
"Ya. Mama keliru menilai sebab kalau tidak sedang
kusut dan letih begini... wah... Ana jauh lebih cantik
daripada sekarang!" Sikap Ana masih saja memperli-
hatkan keseriusannya. Tetapi melihat getar-getar mata
dan bibirnya, orang yang melihatnya pasti akan segera
tahu bahwa gadis itu sedang bercanda.
"Ah... Ana, Ana!" Ibunya yang segera tersadar dari
rasa bingung langsung tertawa sambil mencium lem-
but pipi Ana. "Hal-hal begini inilah yang sering mem-
buat Mama rindu kepadamu. Lidahmu yang tajam,
lelucon-leluconmu yang segar, membuat suasana ru-
mah ini jadi segar. Mama suka gemas melihatmu."
"Ini pujian atau sebaliknya, Mam?"
Ibunya tertawa lagi. "Kau selalu tak pernah kehilangan kata-kata, ya?"
Dua ekor anjing yang sejak tadi duduk gelisah di
belakang ibu Ana, mulai menggeram. Perhatian Ana
langsung beralih pada kedua anjing itu. Ada rasa ta-
kut melihat besarnya tubuh kedua anjing itu.
"Anjing yang bagus-bagus. Galak, Mam?"
"Yah, cukup galak. Mama memelihara keduanya
kan memang untuk menjaga rumah ini. Kalau ma-
lam, Mama biarkan berkeliaran di halaman. Pagi hari-
nya, langsung Mama ikat. Tetapi biarpun galak, mere-
ka takut kepada Mama. Kalau Mama menyuruh diam
dan tetap duduk di tempat, mereka tidak berani ber-
gerak meskipun ada orang asing. Ini tadi baru saja
mau diikat ketika mereka membaui orang asing men-
dekati rumah. Ana, kau harus berkenalan dulu supaya
mereka tidak galak terhadapmu."
http://pustaka-indo.blogspot.com41
"Bagaimana caranya?"
"Dekati mereka. Elus kepala masing-masing sambil
menyebut namanya. Yang hitam mulus, Pedro. Yang
cokelat, Bravo. Tetapi tunggu aba-aba dari Mama
dulu." "Baik." Ana mengangguk. Meskipun agak takut,
Ana menunggu aba-aba dari ibunya.
"Pedro, Bravo, nona cantik itu majikanmu juga.
Ayo beri salam kepadanya," kata ibunya sambil me-
nunjuk ke arah Ana. Kedua anjing itu langsung menjulurkan kedua kaki-
nya ke depan sehingga Ana tertawa.
"Baik, kenalan ya. Namaku Ana."
"Pegang sebentar kakinya, Ana. Kemudian elus ke-
palanya sambil menyebut nama masing-masing. Kau
bisa mencuci tanganmu sesudah itu. Biarkan dia
mengendus bau tubuhmu, sebentar.
"Nah, acara kenalan sudah selesai. Cucilah tangan-
mu, kemudian bawa kopermu ke dalam, Mama akan
mengikat keduanya. Sebentar lagi karyawan konveksi
akan berdatangan." "Mereka juga melalui acara perkenalan seperti tadi,
Mam?" "Mereka kukenalkan dengan cara lain. Tidak ku-
biarkan mereka mendapat tempat di hati kedua anjing
itu." "Kenapa, Mam?" tanya Ana sambil mendorong ma-
suk kopernya ke dalam rumah.
Mendengar pertanyaan itu sang ibu tertawa agak
tersipu. http://pustaka-indo.blogspot.com42
"Mungkin Mama terlalu hati-hati," sahutnya kemu-
dian. "Tetapi sebagai pengusaha kelas menengah yang
tidak mempunyai banyak simpanan di bank, Mama
harus mempunyai kewaspadaan yang lebih. Siapa tahu
di antara pegawaiku ada yang berpikiran nakal, misal-
nya. Pedro dan Bravo pasti akan menggonggong kalau
ada orang datang pada malam hari ke pabrik meski-
pun mereka sudah mengenalnya. Kedua anjing itu
sudah kusekolahkan untuk tidak memercayai orang
yang kukenalkan tanpa cara seperti yang kaulakukan
tadi." "Oh, begitu. Pabriknya di mana sih, Mam?"
"Di belakang. Yah, hanya pabrik-pabrikan saja.
Bangsal seluas kira-kira dua belas kali dua puluh me-
ter. Di dalamnya terdapat enam belas mesin jahit,
lima mesin obras, beberapa meja kerja dan lemari-le-
mari kaca. Di samping bangsal, ada satu kamar ukur-
an dua belas kali empat meter untuk showroom dan
ruang kerja Mama. Di situ transaksi jual-beli atau
pesan-memesan dilakukan."
"Wah, itu sih bukan pabrik-pabrikan tetapi pabrik
betulan. Kedengarannya Mama seperti seorang peng-
usaha sungguh-sungguh," komentar Ana sambil terse-
nyum. "Lho, Mama memang pengusaha sungguhan. Wa-
lau belum menjadi perusahaan besar, tetapi usaha ini
telah menunjukkan hasil yang lumayan. Karya pabrik
Mama sudah sampai ke Jakarta, Semarang, Surabaya,
Bali, Sumatra, bahkan Malaysia dan Brunei. Mudah-
mudahan bisa terus berkembang ke mana-mana."
http://pustaka-indo.blogspot.com43
"Ana yakin, usaha Mama pasti akan semakin ber-
kembang." Suara langkah kaki dari arah tengah rumah meng-
hentikan pembicaraan ibu dan putrinya. Seorang pe-
muda keluar tergesa dari dalam. Melihat pemuda itu,
Ana tertawa sambil merentangkan tangannya.
"Hari," katanya sambil memeluk dan mencium sa-
yang pipi adik lelakinya. "Tinggi betul kau sekarang."
"Wah" ini benar-benar kejutan besar," sahut Hari
sambil membalas ciuman kakaknya. "Sudah lama
sekali kita tidak bertemu."
"Ya. Terakhir ketemu ketika kau mengunjungi
Mbak Evi tetapi dia sedang shooting di luar kota. Lalu
kau menginap di rumah Ibu. Masih ingat, Hari?"
"Tentu saja aku ingat. Di rumah Ibu aku menemu-
kan kehidupan yang menyenangkan bersamamu dan
Deni. Tiga tahun yang lalu kalau tak salah. Kapan-ka-
pan aku ingin ke sana lagi."
"Bagus." Ana tersenyum. Hari yang waktu itu ter-
paksa menginap di rumah ibu tirinya karena di ru-
mah Evi hanya ada pembantu rumah tangga saja jus-
tru merasa senang bisa menghabiskan liburan di
rumah ibu tirinya. Ada kehangatan yang terasa menye-
nangkan di rumah itu. Ada-ada saja yang menjadi
bahan canda di antara mereka dan selalu saja ada
acara yang bisa mereka untai bersama, baik di dalam
rumah maupun di luar. Memancing di pemancingan
dekat rumah, misalnya. Kemudian membakar ikan
tersebut bersama-sama dan lalu menikmatinya ber-
sama-sama pula. Di rumah Evi, hal seperti itu tak
http://pustaka-indo.blogspot.com44
mungkin bisa dilakukan. Evi jarang sekali ada di
rumah, sibuk dengan berbagai macam acara. Dalam
hati, Hari ingin mengajak Hadi berlibur ke tempat
tinggal Ana lagi, kapan-kapan.
"Hadi mana" Aku rindu kepadanya." Pertanyaan
Ana yang menanyakan saudara kembarnya, membuyar-
kan lamunan Hari. "Masih tidur. Tadi malam kurang tidur."
"Belajar untuk ikut tes masuk perguruan tinggi?"
"Dia tidak serajin itu, Mbak." Hari tertawa. "Tetapi
sibuk di rumah tetangga sebelah."
"Hadi sering berjam-jam lamanya di rumah sebelah
untuk membantu apa saja yang bisa ia bantu," sela
ibu mereka. "Dia tertarik sekali pada perusahaan yang
belum lama dibuka di situ."
"Dibayar?" "Mana mau dibayar, dia?" Hari tertawa lagi. "Di
situ dia menggali pengalaman. Setelah Mama berhasil
dengan usahanya, tampaknya Hadi punya keinginan
untuk berusaha juga."
"Jadi ceritanya, sekarang ini muncul bakat-bakat
berbisnis dalam keluarga ini ya." Ana tertawa. "Perusa-
haan apa sih di sebelah itu?"
"Perusahaan jasa angkutan dan penyewaan kenda-
raan, Mbak. Cabang dari Jakarta. Di samping itu,
pemiliknya juga mendirikan bengkel. Selain untuk
pemeliharaan kendaraan angkutan mereka, bengkel itu
juga menerima langganan dari luar. Hadi tertarik meli-
hat usaha itu. kelihatannya dia ingin membuka usaha
sejenis di suatu saat nanti," jawab Hari.
http://pustaka-indo.blogspot.com45
"Itu kan cita-cita yang baik. Biarkan dia mencari
pengalaman di situ. Asal sekolahnya jangan sampai
putus di tengah jalan," komentar Ana. "Untuk menja-
di seorang pengusaha yang baik, seseorang harus me-
ngetahui seluk-beluknya dari bawah dan mengalaminya
sendiri. Tetapi pengetahuan akademik juga harus pu-
nya." "Kakakmu betul, Hari. Belajar ilmu pengetahuan
di bangku kuliah harus tetap menjadi prioritas utama
sambil juga menggali pengalaman di lapangan secara
konkret," sela ibunya lagi.
"Tetapi pemiliknya tidak apa-apa melihat dia di
situ seharian?" Ana bertanya lagi.
"Mereka malah senang ada yang membantu tanpa
perlu membayar." Lagi-lagi Hari tertawa.
"Mereka" Memangnya perusahaan itu bukan milik
satu orang?" "Perusahaan itu perusahaan keluarga, Ana," ibunya
menyela lagi. "Milik tiga bersaudara. Ayahnya yang
seorang pengusaha kaya telah memodali usaha ketiga
anaknya dan mereka sukses. Ada beberapa cabang
yang telah mereka buka dan yang terbaru, di sebelah
rumah kita ini." "Kedengarannya Mama tahu betul tentang mere-
ka?" "Tentu saja. Di sudut halaman perusahaan itu
terdapat rumah kecil untuk salah seorang pemiliknya
yang merasa betah tinggal di kota kecil ini. Wawan,
namanya. Setengah tahun lebih yang lalu, begitu pin-
dah ke rumah itu, Wawan bersama istrinya datang
http://pustaka-indo.blogspot.com46
memperkenalkan diri kepada tetangga kiri dan kanan
rumahnya. Dengan keluarga kita, mereka langsung
merasa akrab. Sudah beberapa kali istrinya membeli
seprai, memesan tirai dan minta dibuatkan jok kursi
tamu di tempat Mama. Dari dialah Mama mendengar
banyak hal mengenai keluarganya."
"Kedengarannya perusahaan mereka cukup besar."
"Ya, memang. Jasa angkutan itu bukan hanya me-
nyewakan kendaraan angkutan atau menyiapkan jasa
angkutan barang-barang besar saja, tetapi juga menye-
wakan kendaraan biasa."
"Semacam travel?"
"Ya. Tetapi ah, kita kok jadi mengobrol panjang-le-
bar mengenai sesuatu yang bukan urusan kita." Ibu
Ana tertawa. "Ayo ah, mandi dulu, lalu sarapan sama-
sama. Setelah kau istirahat nanti, kita bisa mengobrol
lagi tentang macam-macam hal."
Ana tersenyum dan sang ibu menoleh ke arah anak
lelakinya. "Hari, bawa koper kakakmu ke kamar depan lalu
mintalah Mbok Sosro supaya merapikan kamar itu.
Ganti seprainya." Hari mengiyakan. Ana mengikuti sang adik masuk
ke kamar depan yang disediakan untuknya. Namun
langkahnya terhenti tatkala ia menyadari dirinya se-
dang diawasi oleh sepasang mata penuh selidik milik
seorang anak laki-laki berumur kira-kira tiga tahun
yang sedang berdiri di samping meja. Melihat wajah-
nya, Ana langsung tahu, itu Oki, anak lelaki Evi de-
ngan mantan suaminya yang pengusaha kaya itu.


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

http://pustaka-indo.blogspot.com47
Wajah anak itu memiliki kemiripan yang nyata de-
ngan sang kakak. Melihat keberadaan anak itu, Ana
langsung tersenyum manis. Gadis itu tidak asing de-
ngan anak kecil. Tetangga sebelah rumahnya di Jakar-
ta, punya dua balita yang sering dititipkan pada ibu
tirinya jika sedang repot atau kalau pembantu rumah
tangganya ke pasar. "Halo, Sayang...?" sapa Ana pada Oki sambil mem-
bungkuk. "Kamu ganteng sekali. Siapa namamu?"
Ibu Ana menoleh. Perempuan itu juga baru tahu,
cucunya ada di dekat mereka.
"Aduh, cucu Eyang sudah bangun. Sini, sini, Sa-
yang. Beri salam pada Tante Ana. Tante Ana ini adik
mamamu," katanya terburu-buru. "Rumahnya jauh.
Tetapi sekarang mau menginap di sini."
Ana mengulurkan tangannya ke arah Oki. Dengan
malu-malu anak itu menyambut telapak tangan tante-
nya. "Halo," kata Ana lagi. "Kamu belum menjawab
pertanyaan Tante. Siapa namamu" Ini Tante Ana. Bo-
leh Tante mencium pipimu?"
Sang nenek mendorong lembut cucunya ke arah
Ana sambil berkata, "Ayo Sayang, sebutkan siapa na-
mamu. Ini Tante Ana, adik Mama juga. Sama seperti
Tante Ika, Oom Hari dan Oom Hadi."
Oki menengadah, menatap neneknya dengan mata
bulatnya. "Adik Mama yang di oto...?" tanyanya kemudian.
"Ya, betul, yang ada di foto. Bukan oto tetapi
foto," sang nenek tertawa, kemudian menoleh ke arah
http://pustaka-indo.blogspot.com48
Ana. "Mama selalu menunjukkan foto-foto keluarga
kita kepadanya, terutama fotomu karena kau belum
pernah datang ke sini. Biar anak itu kenal siapa saja
keluarganya." Ana berjongkok, kemudian mencium pipi Oki.
"Mmm... bau susu. Bangun tidur tadi terus minum
susu ya...?" Oki mengangguk. Ana mencium pipinya lagi. Hati-
nya tersentuh melihat anak yang tidak dibesarkan
oleh kedua orangtuanya itu.
"Siapa namamu" Dari tadi Tante Ana belum men-
dengar kamu menyebut namamu lho," katanya kemu-
dian. "Oki," jawab anak itu malu-malu.
"Bagus sekali namamu?" Belum sampai Ana me-
nyelesaikan perkataannya, Oki sudah merebut pembi-
caraan. "Oki Sinatrya"," katanya dengan suara bangga.
"Wah, betul-betul nama yang bagus!" Ana tertawa.
Kemudian ia menunjuk dadanya sendiri. "Ini Tante
Ana. Siapa...?" "Tate Ana." "Bagus. Tetapi bukan Tate Ana. Tetapi Tante Ana.
Coba sebutkan dengan betul. Tan"te..."
"Ta...te!" Ana tertawa geli. Ia semakin jatuh hati kepada
keponakannya itu. Diam-diam dia berharap agar anak
ini menuruni jiwa kakeknya almarhum, ayah Evi,
ayahnya juga. Bijak, sederhana, lembut, sabar, suka
belajar, dan memiliki jiwa seni yang besar. Jangan se-
http://pustaka-indo.blogspot.com49
perti Evi, ibunya. Dan jangan seperti ayahnya, si
pengusaha, yang tega meninggalkan keluarga untuk
menikahi perempuan seusia anaknya.
"Nah, kalian sudah berkenalan," ibu Ana berkata lagi.
"Oki, Tante Ana mau mandi dan beristirahat dulu. Dia
baru saja datang dari jauh, jadi pasti capek."
"Ya, Tante mandi dulu ya?" Ana menyambung.
"Nanti kita omong-omong lagi. Tante punya dongeng
yang bagus." Oki mengangguk. Matanya berbinar-binar. Ana
mengelus rambut anak itu. Tampaknya anak itu haus
perhatian. Kasih sayang sang nenek dan kedua paman-
nya di rumah ini masih belum bisa memenuhi kehaus-
annya. "Si kancil?" terdengar anak itu bertanya kepada
Ana. "Bukan. Tante punya banyak dongeng yang lebih
bagus. Nanti kalau Tante sudah istirahat, akan Tante
ceritakan. Mau?" "Mau." "Sekarang Tante mau masuk kamar dulu, ya." Ana
bangkit dari jongkoknya. "Di kamar depan ada kamar mandinya, Ana. Ka-
mar itu disediakan untuk tamu. Sebetulnya Mama
ingin kau tidur di kamar Mama, tetapi ada Oki. Ti-
dak bebas, kau nanti."
"Ana biasa tidur sendirian, Mam. Tidak enak tidur
bersama seseorang." "Tetapi sudah saatnya kau memikirkan seseorang
http://pustaka-indo.blogspot.com50
yang istimewa, seseorang yang akan berbagi tempat
tidur bersamamu!" ibunya tertawa.
"Ah, tidak. Ana lebih suka sendirian," Ana menja-
wab tegas dan serius sehingga ibunya tak berani me-
lanjutkan pembicaraan yang menyangkut urusan pri-
badi itu. Kamar yang akan ditempati Ana cukup menyenang-
kan. Jendelanya yang terbuka menghadap ke arah ha-
laman berumput hijau yang subur. Di kejauhan, tam-
pak Gunung Ungaran dan Gunung Telomoyo. Tepat
di bawah jendelanya ditanami beberapa bunga yang
mempersembahkan warna-warna pelangi. Merah,
kuning, jingga, putih disertai dedaunan berwarna hijau
dan kecokelatan, suatu kombinasi yang kaya, ceria, dan
cantik. Tempat itu menyambung ke teras depan yang
luas dan melebar. Sementara dari luar, udara sejuk
yang mewah menerobos masuk ke kamar. Ungaran
Selatan memang merupakan kota sejuk yang subur.
Ketika Ana menoleh ke dalam, perempuan setengah
baya yang tadi menyapu kamar mulai mengganti se-
prai. Melihat Ana menoleh ke arahnya, perempuan
itu tersenyum. "Panjenengan (Anda) juga putrinya Ibu?" tanyanya.
"Ya. Mbok. Ana nama saya."
"Saya Mbok Sosro. Den Ana cantik sekali."
Ana tersenyum. "Masa sih?" sahutnya kemudian. "Mbok Sosro ja-
ngan menyebut Den, ah. Tetapi panggil saja Mbak
Ana." "Mbok ini orang pucuk gunung, orang kampung.
http://pustaka-indo.blogspot.com51
Tidak biasa orang gunung memanggil anak majikan
dengan sebutan "mbak". Jadi biarkan saja saya menye-
but panjenengan "den"." Mbok Sosro tertawa. "Apa sih
arti sebutan. Jadi jangan dipermasalahkan."
Untuk sejenak Ana terperangah. Itulah khas orang
desa yang sudah berumur lebih dari lima puluh ta-
hun. Sulit berubah. "Ya sudah, kalau begitu. Terserah Mbok Sosro
saja," sahutnya sambil tersenyum. Tiba-tiba pandang
matanya membentur sosok tubuh Oki yang berdiri di
sudut kamar, hampir teraling kursi. Entah sejak kapan
anak itu berdiri di situ memperhatikan apa yang ter-
jadi di dalam kamar tamu. Melihat kehadirannya,
Ana tertawa. "Hai, menonton Mbok Sastro mengganti seprai
ya?" sapanya. "Mbah Soso...," sahut Oki membetulkan.
"Oh, Mbah Sosro." Ana tersenyum lagi sambil
membuka kopernya. Melihat apa yang sedang dilaku-
kan Ana, kaki-kaki kecil di sudut kamar itu mende-
kat, kemudian berjongkok di dekat Ana yang sedang
menarik handuk dan daster dari dalam koper. Dengan
perasaan geli, Ana melirik keponakannya. Air muka
anak itu tampak serius dipenuhi rasa ingin tahu.
"Isinya apa?" Anak itu tak bisa lagi menahan rasa
ingin tahunya. "Oh, macam-macam. Pakaian Tante, buku-buku,
saputangan, oleh-oleh dan?"
"Oleh-oleh?" Oki memotong dengan mata membe-
sar penuh harapan. "Buat Oki, ada?"
http://pustaka-indo.blogspot.com52
Ana tertegun. Ia hanya membawa beberapa bung-
kus kue-kue kering dan keripik tales yang jarang-ja-
rang ada di Jawa Tengah untuk oleh-oleh bagi semua-
nya. Tidak ada yang khusus untuk Oki. Ketika
mencari oleh-oleh kemarin, hal itu tak terpikirkan
olehnya. "Oh ya, ada...," sahutnya kemudian setelah berpikir
sejenak. "Tetapi nanti sore saja kita lihat. Sekarang
Tante Ana mau mandi, lalu makan pagi dan langsung
tidur," jawab Ana sambil pura-pura menguap. "Tante
mengantuk sekali karena tadi malam di kereta api ti-
dak tidur. Jadi nanti sore setelah tidur, baru kita bong-
kar koper ini bersama-sama ya. Setuju?"
Oki mengangguk. Matanya berseri-seri. Melihat itu
lagi-lagi hati Ana tersentuh, ingin mengasihi anak itu.
Evi sebagai ibunya dan si pengusaha kaya sebagai
ayah Oki, pasti bisa membeli apa saja yang diinginkan
Oki. Tetapi mereka tak pernah datang sendiri memba-
wa sesuatu untuk Oki. Ana yakin, baik Evi maupun
mantan suaminya itu pasti secara rutin mengirim
uang kepada ibu Ana untuk membeli apa saja keper-
luan dan kesukaan Oki. Tetapi tanpa kehadiran mere-
ka untuk mengulurkan sesuatu dengan tangan sendiri
kepada sang anak, pasti beda rasanya. Sudah begitu,
Oki yang tidak mempunyai saudara kandung itu ter-
paksa hidup di bawah asuhan sang nenek yang sehari-
harinya sibuk dengan usahanya. Kasihan.
Ana tak bisa menahan gerak hatinya untuk meme-
luk dan mencium Oki dengan penuh kasih.
"Oki manis sekali, mau bersabar sampai nanti sore.
http://pustaka-indo.blogspot.com53
Sikap itu sangat terpuji. Tante Ana sayang sekali kepa-
damu," katanya kemudian, sadar betul bahwa Oki
pasti belum paham mengenai apa yang dikatakannya
itu. Tetapi ia yakin, Oki tahu bahwa apa pun yang
dikatakannya tadi pasti merupakan pujian untuknya.
Nyatanya, wajah anak itu tampak berseri-seri.
"Oki sayang Tate Ana," balas Oki, tak terduga.
Sederhana saja sebenarnya. Anak kecil jika diberi
sesuatu oleh orang dewasa, mudah baginya untuk me-
ngatakan dirinya sayang kepada si pemberi. Ana sadar
akan hal itu. Tetapi Ana merasa gembira mendengar
perkataan "sayang" yang diucapkan anak itu terhadap-
nya. Ada sentuhan hati yang selama ini nyaris tak te-
rasakan. Bahwa apa pun yang terjadi, bagaimanapun
penilaian atau perasaannya, tidak bisa dipungkiri bah-
wa dirinya mempunyai hubungan darah yang teramat
pekat dengan seluruh penghuni rumah ini, baik yang
ada di Jakarta ataupun yang ada di Bandung. Bahwa
dirinya menjadi bagian dari keluarga ini, tidak bisa
disangkal. Diakui maupun tidak olehnya.
Tiba-tiba Ana merasa bersyukur bahwa ia telah
menuruti saran ibu tirinya untuk berlibur di rumah
mamanya. Ternyata, bukan hanya pergantian situasi
saja yang akan didapatinya, tetapi juga perasaan dan
suasana hatinya. "Nah, sekarang Tante Ana mau mandi. Oki juga
mandi dan lalu makan pagi sama-sama ya?" katanya
kemudian. Oki mengangguk lagi, kemudian pergi ke belakang.
Sementara itu kamar yang akan ditempatinya sudah
http://pustaka-indo.blogspot.com54
rapi. Mbok Sosro juga sudah pergi. Cepat-cepat Ana
masuk ke kamar mandi. Begitu keluar kamar setelah
usai mandi, ibunya langsung menyuruhnya sarapan.
Ada nasi goreng Jawa buatan Mbok Sosro. Memakai
terasi, telur mata sapi, dan abon.
"Nah, beristirahatlah dulu, Ana. Semalaman kau
tidak tidur. Mama mau mengurusi pabrik dulu," kata
sang ibu. "Ya." Tetapi Ana tidak tidur seperti rencananya se-
mula. Dia ingin mencari oleh-oleh untuk Oki. Diam-
diam dia bertanya kepada Mbok Sosro di mana ada
toko yang lengkap di dekat rumah mereka.
"Dekat pasar itu, Den. Namanya Toko Maju. Ti-
dak jauh kok. Sepuluh menit berjalan kaki," sahut
yang ditanya."Mau beli apa to?"
"Mau beli sandal jepit dan sikat gigi. Lupa bawa,"
Ana berdalih. Sikap gigi, dia tidak lupa membawanya.
Sandal jepit, memang dia sengaja tidak membawanya.
Lebih baik beli di Ungaran dan lalu nantinya diting-
gal di tempat. Tidak suka dia membawa sandal yang
sudah dipakai. Begitu juga sampo, dia tidak suka
membawanya dari rumah gara-gara pernah tumpah
tanpa sepengetahuannya. "Sini, saya belikan," Mbok Sosro menawarkan
jasa. "Tidak usah. Aku mau memilih sendiri."
Mbok Sosro terpaksa membiarkan Ana pergi. Toko
yang dimaksud Mbok Sosro memang cukup lengkap
meskipun tidak besar. Setelah membeli sepasang san-
dal jepit, sampo, dan sebungkus kue wafer, ia me-
http://pustaka-indo.blogspot.com55
milih-milih mainan apa yang kira-kira akan disukai
Oki. Begitu asyiknya dia melihat dan memilih sampai


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak sengaja kakinya menginjak kaki seseorang. Ce-
pat-cepat dengan gerakan sigap ia bergerak menjauh
dan meminta maaf kepada siapa pun pemilik kaki
itu. "Maaf," katanya buru-buru. "Saya tidak melihat
Anda...." Pemilik sepasang kaki itu seorang laki-laki muda.
Ia hanya mengangguk saja untuk membalas permin-
taan maaf Ana. Namun dengan matanya yang tajam,
lirikan matanya menyambar wajah jelita Ana dengan
kekaguman yang tidak disembunyikannya. Melihat itu
Ana tertunduk dan cepat-cepat menjauh. Tetapi diam-
diam hatinya berbicara sendiri.
Di Jakarta berjumpa dengan laki-laki ganteng yang
gagah sering sekali terjadi. Terlalu banyak manusia di
kota metropolitan itu. Tetapi di kota kecil Ungaran
ini, baru beberapa jam saja telapak kakinya menapak,
ia telah melihat seorang laki-laki yang ganteng dan
gagah. Sialnya, kaki orang itu telah diinjaknya. Sudah
begitu, sombong pula kelihatannya. Padahal konon
kata orang, mereka yang tinggal di daerah terutama
di kota kecil apalagi di desa-desanya, memiliki sikap
ramah dan memiliki toleransi yang tinggi. Tetapi laki-
laki itu ketika menerima permintaan maafnya hanya
mengangguk saja. Menatapnya saja pun tidak mau.
Hanya meliriknya dengan tajam dan tanpa sungkan
pula menyiratkan rasa kagum lewat lirikan mata itu.
Padahal kalau Ana ada pada tempatnya, ia pasti buru-
http://pustaka-indo.blogspot.com56
buru akan menjawab, "Ah, tidak apa-apa...." meski-
pun kakinya yang terinjak terasa sakit. Itulah ajaran
ayahnya. Lebih baik menenggang perasaan orang dari-
pada mendahulukan perasaan sendiri. Tetapi laki-laki
itu tidak memiliki kepekaan rasa. Padahal kalau sese-
orang telah meminta maaf dengan terburu-buru, pasti
itu disebabkan oleh perasaannya yang tidak enak. Jadi
apa susahnya sih menenangkan perasaan orang itu
dengan berkata, "Tidak apa-apa."
Memikirkan laki-laki sombong itu, Ana merasa ke-
sal. Apalagi mengingat pancaran rasa kagum yang
sempat tertangkap matanya tadi. Ana jadi canggung
karenanya. Kenapa justru di kota kecil begini ia mene-
mukan laki-laki seperti itu. Merasa terganggu oleh
pikiran itu, Ana segera mengembalikan perhatiannya
kepada tujuannya datang ke toko itu. Mencari-cari
mainan untuk Oki. Sebuah pistol-pistolan meraih perhatian Ana. Ia
meraih sendiri mainan yang tergantung di atas kepala-
nya. Karena agak tinggi, Ana berjinjit. Tetapi gerakan-
nya telah menyebabkan sikunya menyenggol beruang-
beruangan dari kain yang di pajang di atas meja kaca
sehingga jatuh terguling di lantai. Untung mainan itu
dibungkus dengan plastik sehingga tidak kotor. Mera-
sa kesal kepada dirinya sendiri, mainan itu diambilnya
dan pistol-pistolan tadi diletakkannya ke atas meja.
Tetapi karena gerakannya terburu-buru, benda itu ti-
dak terletak dengan baik di atas meja sehingga menyu-
sul ikut terjatuh menimpa tangannya. Semakin kesal
kepada dirinya sendiri, ia bermaksud mengambil ke-
http://pustaka-indo.blogspot.com57
dua mainan yang jatuh di atas lantai itu. Tetapi se-
buah tangan kekar telah mendahului gerakan tangan-
nya, mengambilkan mainan itu dan meletakkan
keduanya ke atas meja kembali. Ketika Ana mengang-
kat kepalanya, menatap pemilik tangan itu, ia lang-
sung mengenalinya. Dia, laki-laki yang kakinya ia in-
jak tadi. Dan sinar mata lelaki itu masih saja
menyiratkan kekaguman yang tak disembunyikan.
"Terima kasih," gumamnya dengan perasaan terpak-
sa. "Telah dua kali Anda melakukan kesalahan," sahut
laki-laki itu. Bukannya menanggapi ucapan terima
kasihnya, dia malah mencela Ana.
"Ya," Ana mengakui kesalahannya. Tanpa senyum.
Tanpa menatap laki-laki itu. Bahkan tanpa khawatir
disebut tidak sopan, Ana langsung bergerak ke tempat
yang agak jauh. Kemudian ia pura-pura memilih
mainan lainnya. Cukup banyak pilihan mainan di
toko itu. Tetapi ketika ia sedang memegang-megang
dus berisi kereta api mainan, laki-laki tadi sudah ada
di dekatnya lagi. "Tidak jadi memilih pistol-pistolan?" tanyanya.
"Tidak. Mainan itu bisa menimbulkan sikap per-
misif terhadap kekerasan," Ana menjawab tanpa nada.
Seperti tadi, juga tanpa melihat orang yang mengajak-
nya bicara. Tanpa senyum pula. Sekilas pun tidak.
"Oh ya...?" Ana tidak menanggapi perkataan orang itu. Ia
mengalihkan perhatiannya kepada si pemilik toko,
perempuan gemuk yang sejak tadi menungguinya.
http://pustaka-indo.blogspot.com58
"Kereta api mainan ini berapa harganya, Bu?" ta-
nyanya kepada perempuan gemuk itu.
Si pemilik toko menyebut harganya.
"Boleh kurang?"
"Sedikit." Ana menyebutkan harga tawarannya. Mula-mula si
pemilik tidak setuju tetapi ketika Ana menaikkan lagi
tawarannya, perempuan itu mengangguk. Setelah se-
tuju, Ana melihat-lihat ke arah lemari kaca, kalau-ka-
lau ada mainan lain yang bisa dipilihnya. Ia ingin
membeli dua macam mainan untuk Oki. Tetapi keti-
ka pandang matanya menatap ke arah lemari kaca,
dadanya berdesir. Dari pantulan kaca, ia tahu laki-laki
ganteng tadi masih ada di belakangnya. Ah, kenapa
dia belum juga pergi dari situ sih"
"Apa lagi, Mbak?" si pemilik bertanya kepada Ana,
merebut perhatiannya dari laki-laki yang masih berdiri
di belakangnya itu. "Mobil-mobilan truk itu berapa harganya, Bu?"
Agar tidak terlalu lama di situ, Ana langsung memilih
mobil-mobilan yang terpajang tepat di hadapannya.
Lumayan juga, pikirnya. Ana menawar harga yang disebut si penjual. Un-
tunglah, kali itu tidak perlu lama-lama menawar. Si
penjual langsung mengiyakan kemudian membungkus
kedua mainan itu dan memasukkannya ke dalam kan-
tong plastik, disatukan dengan sandal jepit dan botol
sampo yang sudah dibayar Ana tadi. Sementara
bungkusan kue wafernya dimasukkan ke dalam kan-
tong plastik yang lebih kecil.
http://pustaka-indo.blogspot.com59
"Untuk anaknya ya, Mbak?" Si penjual mulai bera-
mah-tamah dengan Ana. Sejak pagi, belum banyak
orang berbelanja di tokonya. Dan tamunya ini sudah
membeli lima macam barang. Apalagi kedua mainan
itu cukup mahal harganya.
Mendengar pertanyaan itu, Ana langsung mengiya-
kan karena laki-laki ganteng itu belum juga beranjak
pergi dari tempatnya dan masih berdiri di belakang-
nya. "Ya, Bu. Untuk anak saya."
"Berapa putranya, Mbak?"
"Baru satu. Laki-laki."
"Kalau begitu sekalian saja pistol-pistolannya tadi,
Mbak. Biar senang anaknya."
"Lain kali saja, Bu. Saya tidak mau memanjakan
anak saya. Cukup dua macam saja."
"Ibu yang bijaksana," tiba-tiba laki-laki ganteng itu
memujinya. Ana merasa semakin kesal. Kenapa laki-laki itu
mencampuri urusannya" Mau marah, tidak ada alasan.
Kalau saja laki-laki itu bersikap kurang sopan, mudah
baginya untuk mendampratnya. Tetapi tidak. Laki-laki
itu bersikap sopan kendati pandang matanya masih
saja menyiratkan kekagumannya secara terang-terang-
an. Oleh sebab itu demi sopan santun, apalagi di de-
kat orang lain, Ana mengucapkan terima kasih kepa-
danya. "Terima kasih pujiannya, Dik. Mari, saya duluan,"
katanya. Kemudian dengan langkah cepat ia mening-
galkan toko. Hatinya merasa lega bisa terbebas dari
http://pustaka-indo.blogspot.com60
laki-laki tadi. Bahkan ia merasa puas mempunyai ke-
sempatan untuk menyebutnya "Dik" meskipun ia
tahu umur lelaki itu sekitar empat atau lima tahun di
atasnya. Suara derum sepeda motor berukuran besar yang
melintas pelan di dekatnya membuyarkan lamunannya.
Si pengemudi adalah laki-laki yang sedang dipikirkan-
nya sambil berjalan itu. Dengan wajah gantengnya, ia
menoleh ke arah Ana sambil tersenyum manis sekali.
Kemanisan yang jelas sekali sengaja dibuat-buat.
"Saya duluan ya, Mbak...."
Ana terpaksa mengangguk walaupun hatinya men-
dongkol. Laki-laki itu sengaja menekan kata "Mbak"
untuk membalas sebutan "Dik" yang ia lontarkan
tadi. Kurang ajar, pikirnya. Tadi ketika si pemilik
toko menanyakan apakah ia membeli mainan untuk
anaknya, dengan lantang ia mengiyakan "Ya". Tujuan-
nya agar laki-laki itu bersikap lebih sopan terhadap
perempuan yang sudah menikah meskipun umurnya
lebih muda. Tanpa sadar karena masih merasa kesal terhadap
laki-laki itu, Ana menatap punggung laki-laki yang
sedang melaju dengan motor besarnya itu. Dia meli-
hat tubuh laki-laki itu begitu gagah dan gayanya
sungguh enak dipandang. Menyadari penilaian itu
Ana langsung memaki dirinya sendiri. Mengapa ia
yang selama ini tak pernah peduli terhadap laki-laki
yang sehebat apa pun, kini sekali pandang saja sudah
bisa menilai laki-laki tak dikenal itu punya wajah gan-
teng, bertubuh gagah, dan gayanya enak dipandang"
http://pustaka-indo.blogspot.com61
Sejak kapan dia peduli mengenai hal-hal semacam itu,
he" Sungguh memalukan.
Marah kepada dirinya sendiri, Ana mempercepat
langkah kakinya. Dialihkannya perhatiannya pada
mainan yang baru dibelinya tadi. Rencananya, ia baru
akan memberikannya kepada Oki nanti sore atau pa-
ling tidak siang nanti setelah ia beristirahat. Tubuhnya
benar-benar terasa letih. Sejak kemarin dia sibuk me-
nyiapkan kepergiannya, termasuk membeli oleh-oleh.
Sorenya sudah berangkat ke Stasiun Gambir. Di kere-
ta api dia tidak bisa tidur sampai tiba di Semarang
sekitar jam tiga dini hari. Praktis sepanjang malam itu
dia tidak tidur sama sekali. Sudah begitu setibanya di
Ungaran diajak mamanya mengobrol di meja makan.
Dan sekarang, dengan berjalan di bawah teriknya si-
nar matahari sisa-sisa tenaganya semakin terkuras.
Masih pula ditambah emosinya yang teraduk-aduk
akibat kehadiran laki-laki menyebalkan tadi.
Sambil menarik napas panjang, Ana melihat perge-
langan tangannya. Saat ini arlojinya menunjuk sete-
ngah sepuluh lewat. Rencananya, begitu sampai di
rumah nanti dia akan langsung ke kamar mandi dan
lalu tidur sepuasnya. Kamar yang disediakan ibunya,
terasa menyenangkan. Angin sejuk pegunungan bisa
masuk ke kamar itu dengan bebas melalui jendela
yang akan dibiarkannya terbuka lebar-lebar. Memba-
yangkan kamarnya yang nyaman, langkah kaki Ana
bergerak semakin cepat menuju ke rumah ibunya.
Begitu sampai di teras, telinganya disambut suara de-
ngung mesin jahit bersahut-sahutan dengan mesin
http://pustaka-indo.blogspot.com62
obras dari arah belakang rumah yang tadi tak terlalu
diperhatikan olehnya. Kelihatannya usaha ibunya
maju. Krisis ekonomi global tak begitu berpengaruh
padanya. Tadi ketika mereka sarapan, ibunya bercerita
bahwa usaha yang dirintisnya itu telah menyerap tena-
ga kerja penduduk di sekitar rumah. Di belakang pa-
sar, terdapat kampung yang agak padat, dengan pen-
duduk dalam kondisi ekonomi yang tak begitu
menggembirakan. Melalui brosur yang disebarkan di
sekitar tempat itu, ibunya telah menerima beberapa
orang yang pandai menjahit untuk menjadi pegawai
di perusahaannya. Begitulah perusahaan itu dirintis
pertama kalinya. Mula-mula hanya enam orang jum-
lah pegawainya. Tetapi sekarang pegawai tetapnya su-
dah mencapai lima belas orang. Kalau ada pesanan
dalam jumlah besar, baru ibunya meminta bantuan
tenaga lepas yang memang sudah biasa membantu.
Selain itu, atas saran ibu Ana, banyak pegawai yang
pulang dengan membawa perca-perca kain sisa untuk
disambung-sambung oleh tetangga-tetangganya yang
mau, dijadikan kain lap untuk dijual ke bengkel-beng-
kel yang terdapat di Ungaran dan sekitarnya. Ada
banyak bengkel motor dan bengkel mobil yang mem-
butuhkannya. Bahkan oleh mereka yang kreatif, kain-
kain perca itu disambung-sambung dengan cara khusus
untuk dijadikan taplak meja atau selimut. Sementara
perca yang agak lebar dibuat menjadi boneka atau
binatang-binatangan dengan diisi kapuk di dalamnya.
Dari kegiatan itu mereka mendapat tambahan uang
belanja, sementara pabrik ibu Ana jadi bersih, tidak
http://pustaka-indo.blogspot.com63
dipenuhi oleh sisa-sisa kain tak terpakai. Memang
tidak semua kain-kain perca atau kain sisa itu dibawa
pulang oleh para pegawai. Sebagian yang dianggap
cocok, disisihkan oleh ibunya untuk dipakai sebagai


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kain aplikasi taplak atau bantalan kursi, membentuk
hiasan bunga-bunga, binatang-binatang, atau bentuk-
bentuk lain yang lucu-lucu. Pendek kata, mamanya
tadi mengatakan tidak ada kain yang terbuang sia-sia
menjadi sampah yang tak terurai oleh alam.
Sesampai di kamarnya, Ana menyimpan mainan
yang dibelinya tadi ke dalam koper. Setelah dari kamar
mandi dan memakai daster, Ana langsung mengempas-
kan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan perasaan
puas. Maka hanya dalam waktu beberapa menit saja
setelah menyesuaikan tubuhnya dengan bantal guling,
Ana terseret kantuk dan tertidur pulas sampai menje-
lang sore. Andaikata telinganya tidak menangkap suara
Oki di muka pintu kamarnya, barangkali dia masih
tetap tidur pulas hingga tengah malam.
"Eyang... Oki mau oleh-oleh Tate Ana..." Terdengar
oleh Ana rengekan Oki sehingga matanya yang masih
berada di antara tidur dan melek, mulai terbuka.
"Buka pintunya, Eyang...."
"Jangan nakal, Oki." Terdengar suara ibunya mem-
bujuk sang cucu. "Tante Ana masih tidur. Biarkan dia
istirahat. Nanti kalau sudah bangun, kita akan ke ka-
mar Tante Ana...." "Oki mau sekarang," Oki membantah perkataan
sang nenek. "Oki," terdengar suara Hari menyela, agak jauh dari
http://pustaka-indo.blogspot.com64
muka pintu. "Eyang bilang Oki harus menunggu sam-
pai Tante Ana bangun. Sana main dulu dengan Oom
Hadi. Dia sedang membetulkan sepeda roda tigamu."
"Oki mau sama Tate Ana. Oki mau oleh-oleh...."
Suara Oki mulai bercampur tangis.
"Sebentar lagi, Oki. Ayo ke belakang dulu," terde-
ngar suara ibu Ana lagi. "Mbok Sosro membuat bu-
bur kacang hijau campur ketan hitam kesukaanmu.
Ayo, kita makan di teras depan. Nanti setelah Oki
makan bubur, pasti Tante Ana sudah bangun."
Tak berapa lama kemudian suara-suara dari depan
pintu kamar Ana menjauh. Tetapi kantuk Ana telan-
jur lenyap. Dia melihat jam dinding. Jam setengah
empat. Lumayan bisa tidur empat jam lebih. Setengah
meloncat, Ana meraih handuknya kemudian cepat-ce-
pat mandi. Dua puluh menit kemudian dia sudah
keluar dengan membawa bungkusan mainan yang
dibelinya tadi. Karena mendengar suara-suara dari
arah teras, Ana langsung ke sana. Dilihatnya Oki se-
dang duduk bersisian dengan neneknya. Di atas meja
terdapat mangkuk-mangkuk kosong yang kelihatannya
bekas dipakai untuk makan bubur kacang hijau.
Melihat kehadiran Ana dengan bungkusan di ta-
ngannya, Oki langsung berteriak gembira dan berlari
ke arah gadis itu. "Mana oleh-olehnya...?" tanya anak itu sambil
memeluk paha Ana."Mana oleh-oleh Oki...?"
"Kamu harus belajar bersabar, tuan kecil." Ana juga
tertawa girang. "Nah, ini oleh-olehnya."
Oki menerima pemberian Ana dengan wajah berbi-
http://pustaka-indo.blogspot.com65
nar-binar. Kemudian dengan tak sabar bungkusan itu
dibukanya. "Mobil tuk!" serunya. "Eyang, lihat. Mobil tuk ba-
gus." "Truk, Oki," Ana membetulkan.
"Ya, mobil tuk." Jawaban Oki membuat Ana terta-
wa geli. "Bilang apa, Oki?" sang nenek menyela.
"Makasih, Tate."
"Terima kasih, Tante Ana," sang nenek membetul-
kan perkataan Oki sambil tertawa.
Tetapi Oki tidak memedulikan apa pun perkataan
neneknya. Perhatiannya tercurah sepenuhnya pada
bungkusan satunya yang sedang dibuka olehnya. Begi-
tu melihat dus berisi mainan kereta api, Oki berteriak
gembira. "Oom... Oom... kereta api," serunya.
Mendengar Oki menyebut "Oom", Ana menoleh
ke arah perangkat kursi lainnya karena semula ia me-
ngira hanya ada nenek dan cucunya saja di teras itu.
Dia belum bertemu Hadi. Mudah-mudahan orang
yang dipanggil "Oom" itu adik kembar satunya. Teta-
pi ternyata perkiraannya meleset jauh. Bukan adik
kembarnya yang duduk di situ. Tetapi laki-laki lain.
Darah Ana langsung tersirap melihat laki-laki itu.
Sosok tubuh itu tidak asing baginya karena dia adalah
laki-laki yang berjumpa dengannya di Toko Maju pagi
tadi. Laki-laki yang kakinya ia injak. Laki-laki yang
dipanggilnya dengan sebutan "Dik" meskipun usianya
lebih tua dari dirinya. http://pustaka-indo.blogspot.com66
Wajah Ana menjadi merah padam demi mengenali
laki-laki itu. Terlebih karena ia sempat menangkap
tawa mengejek yang tersirat dari pandangan mata dan
bibir laki-laki itu. Ana tak bisa membela diri. Omong
kosongnya di Toko Maju tadi terbongkar sudah. Oki
bukan anaknya. Sikap Ana yang canggung tertangkap oleh mata
sang ibu. Perempuan itu menyangka Ana merasa malu
berhadapan dengan laki-laki yang belum pernah dili-
hatnya. Meskipun belum membuktikannya dengan
mata kepala sendiri, tetapi sebagai ibu yang melahir-
kannya, ia dapat menangkap bahwa Ana tidak suka
bergaul akrab dengan laki-laki. Sekarang dilihatnya
Ana bagai burung terperangkap gara-gara perhatiannya
tadi hanya tertuju kepada Oki saja.
"Ana, ayo berkenalan dulu dengan tetangga dekat
kita. Nak Wibi, Ana ini juga anak saya. Baru tadi pagi
tiba dari Jakarta," kata ibunya sambil tersenyum.
Dengan amat terpaksa, Ana mengulurkan tangan-
nya kepada laki-laki itu tanpa berniat menyebutkan
namanya. Tetapi laki-laki itu menggenggam kuat tela-
pak tangan Ana sesaat lamanya.
"Wibisono...." Ana mendengar laki-laki itu menye-
butkan namanya. Nama itu ada dalam dunia pewa-
yangan, nama adik Rahwana. Berbeda dengan Rahwa-
na yang bersifat angkara murka dan semena-mena,
sang adik yang bernama Wibisono itu seorang yang
bijaksana, sesuai dengan namanya. Sangat tidak cocok
dengan si pemakai nama yang ada di hadapannya
sekarang, pikir Ana. http://pustaka-indo.blogspot.com67
Pikiran seperti itu menyebabkan Ana tidak ingin
menyebutkan namanya, Tetapi Wibisono tidak mem-
biarkan hal itu. Ia segera mencondongkan tubuhnya
ke depan. "Siapa namamu... Mbak?" Kurang ajarnya laki-laki
itu, karena mengingatkan Ana pada peristiwa di toko
tadi. "Telingaku kurang jelas menangkap suaramu."
Tambah kurang ajar dia. Sudah tahu kalau yang
dijabat tangannya memang belum menyebut namanya,
bisa-bisanya mengatakan suaranya kurang jelas.
"Namaku... Diana, Dik." Hm, memangnya dia saja
yang boleh menguasai keadaan"
Ibu Ana tertawa mendengar sebutan-sebutan yang
dilontarkan kedua muda-mudi itu. Dia tidak menge-
tahui peristiwa yang terjadi di Toko Maju tadi pagi.
"Ana, Nak Wibi itu usianya sudah tiga puluh ta-
hun. Jadi panggil "mas", kepadanya. Masa "dik?"" tegur-
nya. Wajah Ana memerah lagi. Ah, Mama. Untunglah
saat Ana sedang salah tingkah seperti itu, Hadi keluar
dari dalam rumah dan langsung mendekati Ana yang
segera melupakan kehadiran Wibisono. Ia segera
memeluk dan mencium adik kembarnya yang sudah
lama tidak bertemu itu. "Aduh, Hadi, Mbak Ana kangen sekali padamu,"
kata Ana setelah melepaskan pelukannya.
"Aku juga kangen sekali padamu, Mbak. Tadi wak-
tu aku bangun, Mama mengabarkan kedatanganmu.
Tetapi karena kau sedang tidur, Mama tidak membo-
lehkan aku membangunkanmu meskipun aku kangen
http://pustaka-indo.blogspot.com68
sekali. Kenapa sih lama sekali kau tidak menjenguk
kami?" "Aku sibuk, Hadi. Kau sendiri kenapa tidak ikut
bersama Hari waktu dia menjengukku ke Jakarta,
hayo" " "Aku janji akan ke sana tahun ini juga, Mbak. Be-
tul!" "Kalau tidak, kutagih lho janjimu. Nah, kau sibuk
apa sih tadi malam sampai kurang tidur?" tanya
Ana. "Menggali pengalaman, Mbak. Ke tempat Mas
Wawan dan Mas Wibi inilah aku sering melihat dan
mendalami bermacam pekerjaan di perusahaan mere-
ka. Termasuk membongkar dan memasang mesin mo-
bil. Termasuk pula cara mengatur barang-barang kirim-
an agar jangan ada tempat yang lowong." Hadi tertawa.
"Asyik lho, Mbak."
"Nak Wibi ini tinggal di sebelah rumah kita, mem-
bangun cabang baru dari perusahaan jasa angkutan
yang pusatnya ada di Jakarta seperti yang Mama
cerita sedikit tadi pagi," sela ibu Ana.
"Saya hanya sementara saja kok tinggal di sebelah,"
kata Wibisono. "Wawan yang akan mengelola cabang
di kota ini." "Begitu rupanya"," sahut ibu Ana.
"Kalau nanti cabang di sini sudah lancar jalannya,
Mas Wibi akan kembali ke Jakarta," sambung Hadi
yang tampaknya lebih tahu mengenai tetangga sebelah
rumah itu. Kemudian ia mengubah pembicaraan. Kali
ini ia berbicara kepada Wibisono. "Mas, masih ingat
http://pustaka-indo.blogspot.com69
ceritaku kan, aku ini lima bersaudara. Pertama Mbak
Evi yang artis itu, yang kedua Mbak Ana yang orang
kantoran ini, yang ketiga Mbak Ika yang menjadi
foto model, lalu aku dan Hari si bungsu kembar ini.
Nah, ketiga kakak perempuanku memiliki banyak
kemiripan wajah, kan?"
Mendengar perkataan Hadi yang polos itu, wajah
Ana memerah kembali. Payah si kembar ini, gerutu
Ana dalam hatinya. Tidak sadarkah kalau pertanyaan-
nya itu akan menyebabkan Wibisono menatap wajah-
ku. "Bagaimana, Mas?" terdengar pertanyaan Hadi lagi.
Ana semakin kesal mendengar pertanyaan Hadi
yang ditujukan kepada Wibisono. Kalau bisa, ingin
sekali ia berlari masuk ke dalam. Benar-benar dia ti-
dak suka ditatap oleh sepasang mata laki-laki yang
sejak awal perjumpaan mereka sudah tidak disukainya
itu. "Hadi, cukup," Ana berseru jengkel. "Apa-apaan
sih membanding-bandingkan kakak sendiri. Aku
bukan sapi yang mau dijual di pasar hewan!"
Tetapi terlambat. Wibisono sudah telanjur menja-
wab. Atau malah disengaja"
"Mereka bertiga memang sangat mirip meskipun
masing-masing ada plus-minusnya. Tetapi belum tentu
akurat lho. Apalagi aku belum pernah melihat Evi
kecuali lewat media cetak atau televisi."
"Plusnya apa dan minusnya apa?" Hadi yang masih
polos dan menyimpan rasa bangga terhadap kelebihan
ketiga kakak perempuannya, bertanya lagi.
http://pustaka-indo.blogspot.com70
"Hadi!" Ana menyerukan nama adiknya lagi. Rasa
jengkelnya sangat nyata sehingga buru-buru pemuda
itu menjawab. "Jangan marah, Mbak. Aku bertanya seperti itu
karena Mas Wibi sering menanyakan seperti apa
kakak-kakakku," katanya. "Mengenai Mbak Evi dan
Mbak Ika, dia sudah mengetahuinya dari mana-mana.
Bahkan sudah pula melihat Mbak Ika beberapa kali.
Tetapi dia belum sekali pun melihatmu."
"Apa pun itu, aku tidak suka menjadi bahan pem-
bicaraan orang." "Hadi, kakakmu malu," ibunya menengahi. "Eh,
tadi Nak Wibi bilang mereka bertiga ada plus-minus-
nya. Apa sih?" "Mama!" Ah, ibunya sama saja seperti Hadi. Tidak
peka, gerutu Ana dalam hatinya.
Ibunya menoleh ke arah Ana sambil tersenyum.
"Kenapa" Malu?"
Wibisono seperti tidak mendengar seruan Ana kepa-
da adik maupun ibunya. Tanpa ditanya lagi dia lang-
sung berkata, "Sejauh yang saya lihat dan baca di media massa,
Evi dan Ika termasuk perempuan-perempuan yang
ramah, supel, periang dan suka tersenyum. Sedang
Ana" wah... saya tidak berani mengatakannya secara
terus terang di depannya. Maaf..."
Ana menyambar mata Wibisono. Dia tahu apa
yang akan dikatakan laki-laki itu. Terutama karena
dia mengatakan "maaf", seakan nilai dirinya negatif
semua. Benar-benar tidak sopan. Ana langsung saja
http://pustaka-indo.blogspot.com71
mendapat kesimpulan, laki-laki itu tidak menghargai
dirinya. Baru kenal sudah berani memberi penilaian.
Seperti yang tadi dikatakannya kepada Hadi, memang-
nya dirinya ini sapi"
"Tidak perlu minta maaf, Dik." Ana mulai menge-
luarkan perasaan tak senangnya. Wajahnya tampak


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serius. "Saya memang tidak bisa bersikap ramah, tidak
supel, bukan orang yang periang dan sulit memberi
senyum pada banyak orang. Lebih-lebih kapada
orang-orang tertentu, orang-orang yang tidak perlu
saya perhitungkan. Itulah saya, Dik."
Usai berkata seperti itu Ana langsung pergi, ber-
maksud meninggalkan mereka semua. Tetapi Hadi
segera mengejarnya dan meraih tangannya dengan
lembut. "Maaf, Mbak. Jangan tersinggung," bujuknya. "Du-
duklah kembali. Aku dan Mas Wibi baru mau mem-
bicarakan masalah bisnis. Ikutlah mendengar, siapa
tahu ada saran-saran darimu."
"Itu urusanmu dengan dia, Hadi. Bukan urusan-
ku." "Jangan begitu, Mbak. Sebagai kakak dan punya
pengalaman bekerja di kantor, aku membutuhkan
pendangan-pandanganmu."
"Oke. Tetapi nanti malam, kita berdua saja, ya?"
"Ana, turuti keinginan adikmu. Dia membutuhkan
masukan darimu, ke mana harus melanjutkan kuliah
nanti supaya bisa sejalan dengan cita-citanya untuk
terjun ke dunia bisnis," ibunya menengahi.
http://pustaka-indo.blogspot.com72
"Nanti malam kita bicarakan bertiga saja. Sekarang
Ana mau membereskan isi koper dulu, Ma. Mau ku-
masukkan ke lemari, biar tidak berantakan," jawab
Ana. Kemudian tanpa menunggu jawaban ibunya
atau Hadi, Ana segera meninggalkan teras. Di balik
pintu, dia berhenti sebentar untuk mendengar apa
yang mereka bicarakan sepeninggalnya.
"Maafkan Ana, Nak Wibi. Dia agak kaku, beda
dengan saudara-saudaranya. Apalagi dalam kondisi
capek. Dia baru saja tiba tadi pagi dari Jakarta Biasa-
nya dia tidak begitu," terdengar oleh Ana ibunya
memintakan maaf untuknya.
Ana tersenyum getir. Apakah sang mama pernah
melihat seperti apa biasanya dia di dalam pergaulan-
nya" "Tidak apa-apa, Bu Bambang. Saya percaya, sebe-
narnya Ana gadis yang ramah," Ana mendengar sahut-
an Wibisono. Huh, dari mana rasa percaya laki-laki itu" Apakah
karena Ana tadi pagi lekas-lekas minta maaf kepada-
nya setelah menginjak kakinya di Toko Maju" Tulus-
kah perkataannya" Atau cuma kemunafikan"
Ana mengangkat bahunya, kemudian melanjutkan
langkah menuju kamarnya. Suara kaki kecil di bela-
kangnya menghentikan gerakan kakinya. Oki meng-
ikutinya. Melihat itu ia merasa gembira.
"Senang mendapat oleh-oleh dari Tante?" tanya-
nya. "Senang. Tante Ana mau ke mana?"
"Mau mengatur koper."
http://pustaka-indo.blogspot.com73
"Oki boleh bantu?"
"Tentu saja." Ah, ada baiknya ia benar-benar meng-
atur barang-barangnya agar tidak berantakan. Pasti
sangat menyenangkan bisa bersama-sama dengan Oki,
daripada berdekatan dengan Wibisono.
Aneh, rasanya. Ana memang tidak menginginkan
keakraban dengan laki-laki mana pun. Tetapi sebelum
sore ini, tidak pernah dia melarikan diri dari dekat
laki-laki yang segagah Gatotkaca dan serupawan
Kamajaya sekalipun karena dia yakin sekali, hatinya
tidak akan tergerak. Tetapi sekarang, apa yang terjadi"
Kenapa melarikan diri dari dekatnya" Kenapa hanya
karena masalah kecil saja dia begitu tersinggung oleh
sikap dan perkataan laki-laki yang baru saja dikenal-
nya itu" Marah, malu, takut ada yang akan melukai
hatinya ataukah itu merupakan mekanisme pertahanan
jiwanya" Ana sendiri tak bisa menjawabnya. Urusan hati
adalah urusan yang pelik, bahkan bagi yang bersang-
kutan sendiri. http://pustaka-indo.blogspot.com74
SUARA ketukan di pintu kamarnya menghentikan
gerakan tangan Ana yang sedang asyik memijit-mijit
keyboard laptop-nya. "Siapa?" tanyanya, agak jengkel.
Tetapi ditekannya rasa jengkel yang menyusup ke
hatinya itu. Ia ingat, ini rumah ibu kandungnya. Bu-
kan rumah almarhum ayahnya, sebab hanya orang-
orang di rumah itu sajalah yang tahu kebiasaan Ana.
Kalau pintu kamarnya tertutup rapat dan bukan wak-
tunya orang tidur, tidak seorang pun berani mengetuk
pintunya. Ia tidak suka diganggu jika sedang bekerja,
kecuali oleh hal-hal penting. Waktu makan pun tak
akan ada yang berani mengingatkannya kalau bukan
atas kehendaknya sendiri.
"Saya, Den...." Itu suara Yu Mi, pembantu rumah
tangga yang bertugas mencuci dan menggosok pakai-
an. Tiga http://pustaka-indo.blogspot.com75
"Ada apa, Yu?" "Penting, Den."
"Masuklah, pintu tidak kukunci."
Dengan hati-hati pembantu rumah tangga itu me-
nguakkan daun pintu kemudian masuk ke kamar
Ana. Dia cukup tahu diri, putri majikannya sedang
bekerja dan kehadirannya bisa mengganggu.
"Maaf, Den Ana. Di luar ada orang yang menanya-
kan barang-barang yang harus dikirim ke Surabaya.
Saya tidak bisa menjawabnya," jawab Yu Mi.
"Barang apa?" "Di ruang tengah memang ada tiga bungkusan se-
besar kardus teve ukuran besar. Tetapi apakah barang
itu yang dimaksud, saya tidak tahu. Kalau betul me-
mang barangnya itu apakah ketiga-tiganya atau hanya
dua atau malah cuma satu yang akan dikirim," jawab
Puteri Es 3 Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera Api Di Bukit Menoreh 28
^