Pencarian

Burung Merak 2

Burung Merak Karya Maria A. Sardjono Bagian 2


Yu Mi. "Apakah sebelum pergi tadi, Ibu tidak me-
ninggalkan pesan pada Den Ana?"
"Tidak, Yu. Jadi, Mama belum pulang, ya?"
"Belum, Den." Hari itu ibunya pergi ke Semarang, berbelanja ber-
bagai keperluan usaha jahitnya.
"Hadi atau Hari, ke mana?" Ana bertanya lagi.
"Keduanya pergi, Den. Kalau tidak salah untuk
urusan sekolah mereka."
Ana melirik jam dinding. Jam dua belas lebih sedi-
kit. "Apakah pegawai Mama tidak ada yang tahu
mengenai hal itu, Yu?" tanyanya kemudian.
"Mereka sedang istirahat makan siang. Biasanya
http://pustaka-indo.blogspot.com76
mereka pulang ke rumah masing-masing dan nanti
jam satu baru kembali."
Ana menarik napas panjang, kemudian berdiri dari
tempat duduknya. "Mama sama sekali tidak berpesan apa-apa padamu
atau pada Mbok Sosro?" tanyanya lagi.
"Tidak, Den. Biasanya Ibu memang sering mening-
galkan pesan kepada Mbok Sosro atau kepada saya
kalau beliau mau pergi," jawab Yu Mi. "Saya pikir
karena ada Den Ana, Ibu tidak meninggalkan pesan
apa pun kepada kami berdua. Tetapi kelihatannya
Den Ana juga tidak tahu apa-apa soal pengiriman
barang itu, ya?" "Tidak, aku tidak tahu apa-apa. Mama juga tidak
meninggalkan pesan apa pun kepadaku. Ayo, kita li-
hat ke depan." Di halaman, berhenti sebuah mobil boks. Seorang
sopir dan temannya yang memakai seragam, memberi
anggukan kepada Ana begitu ia menemui mereka.
"Mbak, saya disuruh mengambil barang-barang
yang akan dikirim ke Surabaya. Kami sudah siap be-
rangkat, tinggal mengambil barang-barang titipan dari
sini," kata salah seorang di antara mereka.
Ana melayangkan pandangannya ke arah pintu mo-
bil boks yang terbuka. Di dalamnya penuh kotak dan
bungkusan barang yang telah tertata rapi.
"Maaf ya, Mas, ibu saya tidak meninggalkan pesan
apa pun tentang barang-barang yang akan dikirim-
nya," sahutnya. "Barangnya apa saja sih, Pak?"
"Barang dagangan Bu Bambang. Katanya ada tiga
http://pustaka-indo.blogspot.com77
paket besar yang tinggal kami angkat saja untuk sege-
ra dikirim ke kota tujuan."
"Siapa yang mengatakan begitu?"
"Majikan saya. Kan surat aslinya sudah ada di ta-
ngan Bu Bambang kemarin," jawab yang ditanya.
"Surat apa?" "Maksudnya bon-bon atau kuitansinya barangkali,"
Yu Mi menyela. Ana mengangguk. "Tetapi saya sama sekali tidak memegang resi asli-
nya. Tahu saja pun, tidak. Bagaimana dengan resi
tembusannya?" "Ada pada majikan kami, Mbak."
"Kalau begitu, tolong diambil dulu surat-surat itu.
Kalau tidak, saya tak akan mengizinkan Mas berdua
membawa pergi barang-barang itu," kata Ana memu-
tuskan. Kedua orang itu saling berpandangan sesaat lama-
nya, kemudian menatap ke arah Yu Mi.
"Yu, bagaimana ini" Kau kan sudah kenal kami.
Masa tidak percaya?" katanya minta pendapat.
Ana memperhatikan ketiga orang itu. Berarti Yu
Mi sudah kenal kedua orang itu. Tetapi karena untuk
urusan bisnis, segalanya harus jelas dan pasti, Ana tak
berani bersikap gegabah. "Bukannya aku tidak percaya, Nang," terdengar Yu
Mi menjawab pertanyaan laki-laki itu. "Tetapi terus
terang aku tidak tahu pasti barang mana yang dimak-
sud karena Ibu tidak meninggalkan pesan apa pun
http://pustaka-indo.blogspot.com78
kepada orang rumah. Sementara para pegawai yang
mungkin tahu, sedang istirahat makan."
"Sudahlah, ambil saja surat-surat itu biar urusannya
cepat selesai," sela Ana. "Daripada ribut tanpa ada
penyelesaian." "Wah, membuang-buang waktu saja," si sopir mu-
lai menggerutu. "Seharusnya sekarang ini kita sudah
bisa berangkat." Ana merasa kesal. Sudah konsentrasinya tadi dibu-
yarkan, sekarang kehati-hatiannya ditanggapi dengan
kurang menyenangkan. "Kalian pikir saya tidak membuang-buang waktu?"
katanya. "Soal pengiriman barang itu kan bukan urus-
an saya." "Tetapi barang-barang itu milik Bu Bambang, ibu
Mbak." "Punya ibu atau milik nenek moyang saya, saya ti-
dak peduli," jawab Ana agak ketus. Entah kenapa se-
jak kemarin emosinya mudah sekali jadi kacau. "Di
sini saya cuma tamu. Mengenai barang kiriman itu
saya tidak tahu-menahu. Kalau saya mengizinkan Mas
berdua membawa barang-barang dari rumah ini pada-
hal saya tidak ditinggali pesan apa pun, nanti saya
yang harus mempertanggungjawabkannya kalau ada
apa-apa. Repot kan jadinya."
"Begini saja, Nang. Ambil surat-surat itu pada
majikanmu. Biarpun aku sudah mengenal kalian teta-
pi tanpa surat-surat itu kami tidak berani menyerah-
kannya. Ya kalau barangnya betul barang-barang itu
yang dimaksud... kalau bukan, bagaimana?"
http://pustaka-indo.blogspot.com79
"Surat-surat pengantarnya sih ada pada kami. Se-
mestinya kan pengirim barang yang membawa barang-
nya ke perusahaan kami dan lalu barang itu kami
antar ke tempat tujuan. Tetapi karena berat, Bu
Bambang meminta supaya kami yang mengambil
barang-barang itu untuk langsung diberangkatkan,"
kata salah seorang di antara kedua orang itu sambil
mengeluarkan seberkas buku. Tetapi Ana mengge-
leng. "Soal surat pengantar itu kan urusan kalian dengan
si penerima kiriman barang. Yang saya maksud adalah
tembusan resi atau surat yang ditandatangani ibu
saya, bahwa beliau telah meminta jasa perusahaan
Mas untuk mengirim barang-barangnya."
"Resi aslinya kan ada pada Bu Bambang,"
"Justru karena saya tidak tahu itulah maka saya
minta tembusannya," sahut Ana.
"Ya, sudahlah," gerutu orang itu. "Yu, titip mobil
kami, ya?" "Lebih enak bicara dengan Mbok Sosro daripada
denganmu, Yu. Bukannya kamu membantu kami, ma-
lah ikut mempersulit," temannya juga mengerutu.
"Tentu saja. Mbok Sosro kan buta huruf," sahut
Yu Mi tersenyum. Ana membiarkan kedua orang yang tampak jengkel
itu keluar dari halaman rumah.
"Kenapa mobilnya kok malah ditinggal di sini sih,
Yu?" tanyanya kemudian. "Katanya tidak mau mem-
buang-buang waktu kok sekarang malah jalan kaki.
Apa sih maunya orang-orang itu?"
http://pustaka-indo.blogspot.com80
"Untuk apa naik kendaraan, Den" Perusahaannya
di sebelah rumah kita ini kok."
Ana tertegun. Baru ingat dia bahwa Wibisono dan
adiknya mendirikan perusahaan jasa angkutan. Menu-
rut cerita kedua adik kembarnya, perusahaan di sebe-
lah itu milik Wawan, adik kandung Wibisono. Seba-
gai orang yang lebih berpengalaman, Wibisono akan
tinggal di Ungaran sampai perusahaan itu berjalan
dengan baik. Kata Hadi, pada awalnya Wawan tidak
begitu menaruh perhatian pada bisnis tersebut. Tetapi
setelah berkeluarga, barulah minatnya timbul. Menu-
rut cerita Hadi pula, cabang perusahaan di kota ini
meski sudah berjalan tujuh bulan tetapi belum me-
nampakkan tanda-tanda keberhasilan yang berarti
sebagaimana cabang-cabang lainnya. Oleh sebab itu
Wibisono datang untuk ikut turun tangan. Sebagai
pucuk pimpinan pusat, Wibisono sering berkeliling ke
cabang-cabang. Apalagi karena dia belum berkeluar-
ga. "Ah, kalau aku tahu perusahaan jasa angkutan itu
milik tetangga sebelah, aku tidak akan bersikeras tadi
mempertahankan barang-barang kita," kata Ana kemu-
dian. Tentu di antara ibunya dengan perusahaan di
sebelah itu sudah terjalin hubungan kerja yang cukup
baik dan saling menguntungkan.
"Tetapi sikap Den Ana tadi baik," sahut Yu Mi.
"Bukannya kita tidak memercayai kejujuran orang,
tetapi demi tanggung jawab dan kejelasan, kita kan
perlu bersikap tegas. Nanang pasti paham itu."
"Mudah-mudahan begitu. Aku cuma ingin segala
http://pustaka-indo.blogspot.com81
sesuatunya berjalan secara semestinya. Kita kan bukan
bicara masalah kepercayaan dan tanggung jawab saja
tetapi juga tentang cara kerja yang baik. Jangan kare-
na tetangga sebelah rumah lalu menggampangkan
urusan." "Betul, Den." Pembicaraan kedua orang itu terhenti oleh masuk-
nya Wibisono dengan diiringi oleh kedua orang yang
bersitegang dengan Ana tadi. Begitu sampai di depan
Ana, tanpa bicara apa pun ia mengulurkan dua lem-
bar resi tembusan berwarna merah muda dan ku-
ning. Begitu kedua kertas itu ada di tangannya, Ana lang-
sung membacanya dengan mulut terkatup rapat. Teta-
pi untuk mengimbangi kelakuan Wibisono tadi, Ana
tidak mau berbicara kepadanya. Setelah membacanya,
ia mengembalikan kedua kertas itu lalu kepalanya
mengangguk ke arah dua laki-laki yang masih berdiri
di belakang Wibisono. "Baik, Mas. Anda boleh mengambil barang-barang-
nya. Tetapi sebelumnya, tolong Yu Mi mengecek lebih
dulu apakah alamat yang tertera pada bungkusan ba-
rang kiriman itu sama seperti yang tertulis pada resi ini,"
katanya. Meskipun berbicara banyak, tetapi tidak sepa-
tah pun perkataan itu ditujukan kepada Wibisono.
Setelah melihat semuanya cocok, ketiga bungkusan
besar yang akan dikirim ke Surabaya itu langsung
diangkat dan dimasukkan ke dalam mobil boks. Ti-
dak berapa lama kemudian setelah semuanya beres,
mobil itu pun meninggalkan rumah ibu Ana.
http://pustaka-indo.blogspot.com82
Begitu mobil itu lenyap dari pandangan mata mere-
ka, Wibisono menoleh ke arah Ana.
"Aku sudah mendapat pesan sendiri secara langsung
dari ibumu untuk mengurus barang-barang milik be-
liau yang akan dikirim ke Surabaya. Oleh karena itu
aku sangat berterima kasih kau telah membolehkan
kami membawa barang-barang itu," katanya kemudian
dengan suara sopan yang jelas sekali tampak dibuat-
buat. Kurang ajar sekali, berani-beraninya menyindir
orang. Nyata tersirat di dalam perkataan Wibisono,
bahwa ibunya yang mempuyai barang-barang dan
yang lebih berhak menentukan apa yang akan dilaku-
kannya atas barang-barangnya saja pun menaruh
kepercayaan penuh terhadapnya.
Merasa jengkel atas perkataan Wibisono itu, Ana
tidak mau kalah. Dia membungkukkan tubuhnya da-
lam-dalam sambil menghadap Wibisono.
"Maaf kalau sikap saya tadi agak keras. Sepanjang
pengalaman saya bekerja, saya selalu mencoba untuk
bersikap profesional dalam segala hal. Lebih-lebih ka-
lau itu menyangkut kepentingan orang," katanya
kemudian dengan sikap sopan yang juga dibuat-buat.
"Istilah kekeluargaan atau kepercayaan saja tanpa hi-
tam di atas putih, tidak masuk dalam hitungan saya.
Baiklah, terima kasih kembali."
Tanpa menunggu sahutan Wibisono yang pasti
merasa tersindir sebagaimana yang ia rasakan tadi,
Ana langsung membalikkan tubuhnya dan masuk
kembali ke dalam rumah. Wibisono mau pulang atau
http://pustaka-indo.blogspot.com83
mau duduk di teras, bukan urusannya. Di sana ada
Yu Mi kalau laki-laki itu masih ingin tinggal di sini.
Ana menghadapi laptop-nya kembali dengan pera-
saan kesal yang masih bergejolak di hatinya. Kesal
kepada dirinya. Kesal kepada Wibisono. Kesal kepada
ibunya yang tak meninggalkan pesan apa pun dan
kesal kepada keadaan. Akibatnya Ana memijit-mijit
keyboard-nya dengan gerakan kasar hingga bunyinya
sayup-sayup terdengar keluar jendela. Tetapi gairahnya
untuk melanjutkan tulisannya semakin lama semakin
buyar sampai akhirnya ia menghentikan pekerjaannya.
Dia tak mau merusak novel yang sedang digarapnya.
Apalagi perutnya mulai ribut minta diisi. Memang
su-dah jam setengah satu lewat.
Di ruang makan, Oki sedang duduk makan, di-
tunggui Mbok Sosro. Lagi-lagi keberadaan anak itu
mengusapi perasaan jengkelnya.
"Tante Ana juga mau makan ah," katanya sambil


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa. "Harus habis ya makannya. Kita lihat siapa
yang habis makannya, dia menang."
"Asik. Habis makan, Tante Ana juga mau tidur
siang?" "Ya." Padahal Ana tidak akan tidur siang. Ia ingin
melanjutkan tulisannya yang terhenti tadi. "Lalu nanti
sore setelah bangun dan mandi sore, kita bisa main
petak umpet di halaman. Mau?"
"Mau. Asik!" Berhasil membujuk Oki yang pasti kesepian diting-
gal neneknya, Ana merasa senang sehingga ia yang
http://pustaka-indo.blogspot.com84
mencuci kaki dan tangan anak itu, mengganti pakaian-
nya, dan mengantarkannya masuk kamar tidur.
"Nah, bobok dan peluk gulingmu. Kita ketemu
nanti sore," katanya setelah mencium pipi Oki.
"Ya." Berada di kamarnya kembali, Ana mencoba melan-
jutkan pekerjaannya. Tetapi belum lama ia bekerja,
tiba-tiba pintu kamarnya diketuk lagi.
"Siapa?" tanyanya. Ah, kalau begini ini ia ingin
kembali ke kamarnya di Jakarta. Di sana, tidak ada
orang yang berani menyela pekerjaannya. Baru saja
idenya mulai meluncur keluar, ada saja orang yang
menghentikannya. "Saya, Den." Suara Yu Mi lagi.
"Ada apa lagi, Yu?" Dengan susah-payah Ana ber-
hasil menekan perasaan jengkelnya.
"Di luar ada Pak Wibi. Dia ingin bertemu Den
Ana," jawab Yu Mi. Jadi laki-laki itu belum juga pergi. Atau sudah
pergi, lalu kembali lagi" Tetapi apapun kenyataannya,
laki-laki itu telah membuatnya kesal setengah mati.
Dengan gerakan kasar, Ana berjalan ke arah teras. Ia
tak menyembunyikan perasaan jengkel yang terbias
dari kedua belah mata dan wajahnya. Maka begitu
sampai di hadapan Wibisono, ia langsung mendam-
prat laki-laki itu. "Kalau ada urusan dengan Mama, harap tunggu
sampai beliau pulang dari berbelanja. Aku tidak tahu
apa-apa mengenai urusannya. Di sini, aku hanya
tamu," katanya tanpa basa-basi.
http://pustaka-indo.blogspot.com85
"Aku heran padamu, apa sih salahku kepadamu"
Sejak awal perjumpaan kita, sikapmu kepadaku sudah
tampak memusuhi." Wibisono juga tidak berniat un-
tuk berbasa-basi. Ana membuka mulutnya, tetapi dikatupkannya
kembali dengan cepat. Bagaimana mungkin ia akan
mengatakan dengan terus terang bahwa sejak awal
perjumpaan mereka, Wibisono seperti tidak menghar-
gai keberadaannya. Kalau hal itu dikatakannya, bu-
kankah artinya ia ingin dihargai oleh laki-laki itu"
"Kenapa tidak jadi bicara?" tanya laki-laki itu sete-
lah melihat bibir indah itu membuka dan menutup
kembali dengan cepat. "Bukan urusanmu," jawab Ana, mengelak. "Nah,
sekali lagi aku ingin mengatakan kepadamu. Kalau
kau ingin menemui Mama, tunggu sampai beliau pu-
lang nanti. Aku tidak tahu apa-apa mengenai urusan
kalian. Dan juga bukan urusanku. Paham?"
"Aku bukan mencari beliau, tetapi mencarimu."
"Untuk apa?" "Untuk minta maaf kepadamu," sahut Wibisono.
"Tadi ketika aku baru mau pergi dari sini, telingaku
mendengar kau sedang memijit-mijit keyboard kom-
putermu dengan gerakan cepat dan" agak kasar. Pasti
kau sedang marah karena pekerjaanmu terganggu"."
Untuk sesaat lamanya, Ana tertegun. Jendela kamar-
nya memang menghadap ke teras dan ia tadi telah
membukanya lebar-lebar sehingga orang yang berada
di teras depan bisa mendengar suara dari dalam.
"Kalau hanya karena masalah itu saja, kau tak usah
http://pustaka-indo.blogspot.com86
repot-repot menemuiku," sahut Ana tanpa senyum
sedikit pun. Kemudian sambil membalikkan tubuhnya
ia melanjutkan bicaranya. "Aku tahu apa yang harus
kulakukan. Nah, kurasa urusan kita telah selesai. Biar-
kan aku melanjutkan pekerjaanku"."
"Tunggu dulu," kata Wibisono. Sinar matanya tam-
pak angker dan sikapnya berubah menjadi serius.
Melihat itu langkah kaki Ana yang sudah bergerak,
terhenti. Tubuhnya diputar kembali menghadap ke
Wibisono. "Apa lagi?" gerutunya.
"Tadi waktu aku kembali bekerja di rumah, perasa-
anku tak enak karena aku tak biasa mengganggu
pekerjaan orang. Aku sendiri pun kalau sedang asyik
bekerja lalu diganggu orang juga tidak suka," sahut
Wibisono dengan sungguh-sungguh. "Maka aku ke
sini lagi untuk minta maaf kepadamu seperti yang
kulakukan tadi. Kau sedang membuat novel, kan?"
Ana langsung mengerutkan dahinya. Dari mana
Wibisino tahu mengenai kegiatannya itu" Dari mama-
nya, dari Hadi, atau dari Hari" Kenapa sih mereka
seperti ember bocor" Tetapi siapa pun, Ana harus
menjawab pertanyaan Wibisono. Tidak pantas dan
kekanakan kalau dia pergi begitu saja tanpa menja-
wab. "Kalau sudah tahu, ya sudah. Kan tadi aku sudah
bilang, urusan kita telah selesai. Jadi pasti kau bisa
memahamiku kalau sekarang aku mau melanjutkan
pekerjaanku," katanya.
"Tetapi dengan hati sedang jengkel begitu apakah
http://pustaka-indo.blogspot.com87
kau bisa melanjutkan karanganmu" Kalaupun bisa,
apakah itu tidak akan berpengaruh pada hasilnya"
Kurasa, sebaiknya kautinggalkan dulu pekerjaanmu
itu." "Kau lebih tahu daripada aku sendiri rupanya,"
gerutu Ana. "Baiklah kalau saranku yang bagus itu tidak sesuai
dengan hatimu. Aku akan pulang saja," sahut
Wibisono tanpa mengacuhkan gerutuan Ana. "Tetapi
kalau kau nanti kembali ke laptop-mu dan ternyata
pikiran jernihmu masih saja belum kembali, suruhlah
Yu Mi memanggilku. Siang ini pekerjaanku sudah
diambil alih Wawan. Siapa tahu kau ingin berjalan-
jalan, aku bersedia menjadi pengantarmu. Ada banyak
pemandangan indah di sekitar kota Ungaran ini.
Mudah-mudahan setelah menghirup udara segar dan
menatap pemandangan indah, gairahmu menulis yang
tadi terganggu akan datang lagi dengan berlipat-
lipat." "Terima kasih. Tetapi aku lebih suka mencari angin
segar sendiri!" Ana menjawab pendek.
Wibisono menatap tajam ke arah mata Ana sesaat
lamanya. Wajah cantik gadis itu tampak dingin, nya-
ris tanpa ekspresi. "Kau sulit ditebak, tahu?" gerutunya kemudian.
"Macam apa dirimu, he" Galak, angkuh, anggun, atau
ramah yang hanya untuk orang-orang tertentu seperti
pemilik Toko Maju itu misalnya.?"
"Apa pun penilaianmu, simpanlah itu untuk gadis
lain. Kita hanyalah orang-orang yang hanya kebetulan
http://pustaka-indo.blogspot.com88
saja berjumpa dan tak punya sangkut-paut apa pun,"
sahut Ana, masih dengan wajah tanpa ekspresi.
"Apa maksud bicaramu?"
"Aku berada di rumah ini hanya sebentar. Maka
kita ini bagaikan penumpang kapal yang berbeda.
Ketika berpapasan di laut, kita boleh melambaikan
tangan. Boleh juga membuang pandang. Tak ada
orang yang menyuruh dan tak ada orang yang mela-
rang. Nah, setelah kapal berpapasan maka dengan ce-
pat masing-masing kapal akan menjauh sehingga per-
jumpaan itu hanya terjadi sesaat. Sesudah itu lupalah
kita bahwa pernah ada perjumpaan di antara kita.
Dengan perkataan lain, tidak usahlah berbaik-baik
hati hanya karena kita bertetangga. Kalaupun itu pen-
ting, Mama lebih tepat untuk itu. Nah, paham, kan"
Maaf, bukannya aku tidak mau bersikap sopan terha-
dap tamu, tetapi aku tidak bisa berlama-lama mene-
manimu. Kalau ada perlu dengan Mama, nanti saja
ke sini lagi." Usai berkata seperti itu, Ana langsung pergi me-
ninggalkan Wibisono. Lagi-lagi laki-laki itu hanya bisa
menatap punggung Ana. Tetapi kali itu perasaannya
bergolak. Tampaknya gadis jelita itu meremehkan
keberadaannya dan menganggapnya bagai angin lalu,
bagai penumpang kapal yang berpapasan di tengah
laut. Mentang-mentang tahu dirinya jelita dan mena-
wan lalu menganggap dirinya begitu tinggi, pikirnya
dengan perasaan gemas. Jangan harap aku akan berte-
kuk lutut untuk memohon perhatiannya, kata
Wibisono di dalam hatinya. Akan kutundukkan kau
http://pustaka-indo.blogspot.com89
dengan cara lain. Ingin kulihat air mata penyesalan
mengalir di pipinya yang mulus itu!
"Baik kalau maumu begitu," sahutnya buru-buru
sebelum Ana lenyap dari pandangannya. "Aku sudah
berusaha untuk bersikap lebih ramah dan bersahabat
terhadapmu. Kurasa, itu sudah lebih dari cukup. Ja-
ngan dikira aku akan bersikap begini kalau kau bukan
anak tetangga sebelah rumahku."
Sekarang Ana yang tertegun. Sadar dia bahwa sikap-
nya terhadap Wibisono memang tidak ramah. Bahkan
agak ketus. Kesadaran itu bersirobok dengan kesadar-
an lain yang tiba-tiba muncul di permukaan hatinya.
Sepanjang pengalamannya bergaul dengan kaum laki-
laki, Ana memang selalu bersikap hati-hati dan meng-
ambil jarak dengan mereka. Dia tidak ingin menjalin
keakraban dengan mereka. Apalagi menguntai hubung-
an khusus. Dia tidak ingin dihina atau paling sedikit
diremehkan orang karena kelakuan ibunya, Evi, dan
Ika. Tetapi meskipun demikian, bersikap ketus seperti
yang tadi ia perlihatkan di depan Wibisono belum
pernah dilakukannya terhadap siapa pun. Berhadapan
dengan laki-laki itu, Ana bukan saja bersikap hati-hati
dan mengambil jarak, tetapi juga telah bersikap seper-
ti musuh. Sudah tahu laki-laki itu tetangga sebelah
rumah ibunya, tetapi sedikit pun dia tidak mau bersi-
kap ramah dan sopan. Sadar atau tidak, dia seperti
ingin mempertahankan diri dari suatu bahaya yang
mungkin bisa ditimbulkan oleh Wibisono. Kalau ti-
dak, kenapa di Toko Maju waktu itu dia mengatakan
bahwa mainan yang dibelinya itu untuk anaknya" Apa
http://pustaka-indo.blogspot.com90
sih susahnya menjawab yang sebenarnya bahwa main-
an itu untuk kemenakannya"
Sekarang, menerima lontaran perkataan yang meme-
rahkan telinganya itu, perasaan Ana mulai teraduk-
aduk. Ia cukup menyadari, Wibisono benar. Karena-
nya ia menghentikan langkahnya dan berbalik kembali
ke arah Wibisono untuk mengakui hal itu.
"Aku tahu, kau tidak akan bersikap ramah kepada-
ku kalau aku ini bukan anak tetangga sebelah rumah-
mu. Namun percayalah, kalau kau tak ingin bersikap
ramah kepadaku, sama sekali aku tidak keberatan.
Tetapi perlu kuingatkan, kalau mau bergaul secara
sehat, bersikaplah objektif. Jangan memakai kacamata
pertetanggaan. Karena bertetangga, kau merasa harus
bersikap baik. Dan kalau bukan tetangga, tidak perlu
bersikap baik," sahutnya. Air mukanya tampak lebih
sabar. "Itu kan munafik."
"Apa pun alasannya, aku bukan orang yang muna-
fik. Aku cuma ingin berusaha bersikap ramah saja.
Kau tak bersedia, tidak apa-apa."
"Justru karena itulah seperti kubilang tadi, kita ber-
dua ini bagai penumpang dua kapal berbeda yang
berpapasan di tengah laut. Masing-masing tidak ada
kaitannya. Maaf kalau hal itu menyinggung perasaan-
mu. Tetapi memang begini inilah diriku. Bersikap apa
adanya sesuai dengan kenyataan, lugas dan tak suka
basa-basi kalau tidak perlu. Jadi tolong, demi hubung-
an baikmu dengan Mama dan kedua adik kembarku,
letakkan aku di luar mereka. Aku cuma tamu di
sini." http://pustaka-indo.blogspot.com91
Wibisono tidak menyangka Ana akan berkata seper-
ti itu. Namun meski tanpa balutan keramahan. ia
dapat menangkap kejujuran di dalam perkataannya.
Maka ia terpaksa mengangguk.
"Terserah apa maumu. Tetapi sungguh, aku sema-
kin tidak bisa menebak apa yang ada di balik kepala-
mu dan macam apa dirimu ini," gumamnya kemu-
dian. "Macam apa diriku, bukan urusanmu," sahut Ana
dengan sopan. Kali ini bukan dibuat-buat. "Sekali lagi
seperti kataku tadi, dua orang penumpang yang berpa-
pasan di jalan, tidak mempunyai kesempatan untuk
menjalin perkenalan sehingga juga tidak perlu menge-
tahui macam apa orang yang kita temui dalam perja-
lanan. Kukira, kau pasti paham maksudku. Nah, aku
akan melanjutkan pekerjaanku."
Usai berkata seperti itu, Ana membalikkan tubuh-
nya lagi dan cepat-cepat meninggalkan Wibisono. Pe-
rasaannya mulai terganggu. Pantaskah sikapnya terha-
dap Wibisono tadi mengingat hubungan baik keluarga
mamanya dengan tetangganya yang paling dekat itu"


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan perasaan mulai tak enak, Ana duduk kem-
bali di muka laptop-nya. Tetapi pikirannya terus saja
bergerak lincah ke mana-mana. Tak setitik pun per-
hatiannya ada pada pekerjaan di depannya sampai
akhirnya ia mematikan laptop-nya. Percuma saja kalau
dia melanjutkan novelnya. Sekalimat pun tak akan
ada yang keluar dari pikirannya. Maka Ana pun me-
nyerah. Diempaskannya tubuhnya ke atas tempat ti-
dur. Lebih baik tidur siang sebentar, pikirnya.
http://pustaka-indo.blogspot.com92
Tetapi ternyata untuk tidur saja pun ia mengalami
kesulitan. Kenapa sih pikirannya selalu saja kembali
kepada Wibisono" Kalaupun ada rasa sesal karena
sikapnya yang kurang baik terhadap laki-laki itu, bu-
kankah masih ada hari lain untuk mengubah sikap-
nya" Paling tidak, ada waktu selama sepuluh hari le-
bih sebelum ia pulang kembali ke Jakarta. Jadi kenapa
hatinya jadi kacau begini" Pertanyaan itu melontarkan
Ana kembali ke awal perjumpaan mereka di Toko
Maju beberapa hari lalu. Ia ingat, ketika tanpa sengaja
kakinya menginjak kaki Wibisono, permintaan maaf-
nya telah diterima dengan tidak menyenangkan. Laki-
laki itu hanya mengangguk sambil meliriknya sesaat
lamanya. Tetapi sinar matanya secara terang-terangan
menyiratkan rasa kagum yang tidak ia sembunyikan.
Kerut di atas hidungnya, gerak kelopak matanya, dan
getar alis matanya memperlihatkan hal itu. Seakan
laki-laki itu tidak merasa perlu untuk bersikap lebih
sopan terhadap Ana. Ana menarik napas panjang. Ia mengaku pada diri-
nya sendiri bahwa sikap Wibisono telah menyinggung
harga dirinya sehingga emosinya telah mengalahkan
akal sehat yang biasanya bertengger di kepalanya. Teta-
pi ia juga harus mengaku pada dirinya sendiri bahwa
emosinya tidak akan teraduk seperti itu andaikata
yang meremehkan dirinya itu bukan Wibisono. Jadi
karena apa" Karena laki-laki itu gagah dan ganteng"
Rasanya tidak. Bukankah melihat laki-laki ganteng,
laki-laki gagah, laki-laki tampan, laki-laki yang mena-
rik, bukan baru sekali ini saja dialaminya"
http://pustaka-indo.blogspot.com93
Ana menarik napas panjang lagi. Rasanya, ada yang
mulai tidak beres pada dirinya. Samar-samar dia mera-
sa, apa yang tidak beres itu merupakan sesuatu yang
bisa mengancam kehidupan pribadinya. Jangan-jangan
pintu hatinya yang selama ini tertutup rapat bagi
laki-laki yang bermaksud mengetukkan tangannya,
mulai tergeser engselnya" Atau jangan-jangan pula
karena ia berada di rumah mamanya, di mana
bayang-bayang Evi dan Ika ada di dalamnya sehingga
tanpa sadar mekanisme pertahanan jiwanya muncul
karena tak mau dianggap murah oleh Wibisono.
Pengalaman buruk dengan mantan atasannya di kan-
tor telah membentuk kewaspadaan yang berlebihan
dalam dirinya. Yah, memang seribu satu macam alasan bisa saja
menjadi pemicu sikapnya yang tak simpatik terhadap
Wibisono. Tetapi apa pun dasarnya, hal itu telah me-
nyebabkan perasaan Ana sangat kesal. Apa yang pa-
ling menakutkan dirinya, mulai mengintip di hadapan-
nya. Pikiran dan perhatiannya telah dibawa oleh
Wibisono. Ketenangan hatinya telah hilang dan emosi-
nya mudah tererosi hanya karena kehadirannya saja.
Dengan demikian keinginannya untuk beristirahat
dan menghirup suasana baru yang menyegarkan di
Ungaran ini tak tergapai sebagaimana yang diharap-
kan. Bahkan semakin membebani hatinya. Mungkin
ia harus mempersingkat liburannya di kota ini dan
kembali ke "habitat" yang lama, pikirnya.
Ah, kenapa belum ada berita baik mengenai lamar-
an pekerjaannya" Beberapa kali ibu tirinya mengirim
http://pustaka-indo.blogspot.com94
SMS kepadanya, tetapi isinya hanya mengenai hal-hal
ringan saja. Deni malahan tidak pernah mengirim
SMS sama sekali. Entah sibuk apa adiknya itu.
Suara dering telepon di ruang tengah memecah pi-
kiran Ana. Ia menunggu seseorang di rumah ini
mengangkatnya, tetapi sampai beberapa saat dering
telepon itu tetap berkumandang tanpa ada yang
menanggapi. Maka Ana meloncat turun dari tempat
tidurnya. Pasti Mbok Sosro dan Yu Mi sedang ber-
istirahat di belakang sambil mendengarkan gending-
gending Jawa kesukaan mereka. Kalau sudah menyan-
ding radio, yang lain-lainnya tak masuk ke telinga
mereka. Payah. "Halo...?" Ana menyapa si penelepon dengan pera-
saan enggan. Urusan ibunya, ia tidak banyak menge-
tahuinya. "Ana...?" Suara laki-laki. Dahi Ana berkerut sesaat lamanya.
Di Ungaran ini siapa yang mengetahui keberadaannya
kecuali Deni, adik lelakinya. Tanpa sadar pikiran itu
langsung merasuki hatinya.
"Deni?" Suara Ana terdengar gembira.
"Bukan. Ini Wibisono."
Prang. Kegembiraan Ana langsung pecah berantak-
an seperti piring terempas ke lantai. Ah, kenapa otak-
nya bisa sebebal ini. Baru saja seminggu berpisah dari
adiknya itu masa sudah lupa seperti apa suara pemu-
da itu. Lagi pula, tak mungkin Deni memanggilnya
tanpa sebutan "Mbak".
"Ada yang masih kurang jelas mengenai bicaraku
http://pustaka-indo.blogspot.com95
tadi?" Ana berusaha mati-matian untuk tidak memper-
dengarkan suara ketusnya. Namun suaranya yang di-
ngin masih terdengar juga oleh telinga di ujung
sana. "Aku cuma mau mengatakan kepadamu bahwa
baru saja aku menemukan sesuatu," sahut Wibisono,
berusaha untuk tidak memedulikan suara dingin
Ana. "Menemukan apa?" Ana mulai menaruh perhatian.
Wah, jangan-jangan barang kiriman ibunya ke
Surabaya tadi ada yang tertinggal atau keliru kirim"
"Tadi kan aku bertanya sendiri, macam apa dirimu
itu. Sekarang aku sudah tahu."
"Maaf, aku tidak tertarik mendengarnya...."
"Eh, jangan kaututup teleponmu kalau kau tidak
ingin aku datang ke tempatmu untuk mengatakannya
secara langsung di hadapanmu," ancam Wibisono
yang tahu Ana akan memutuskan pembicaraan.
Ana memejamkan matanya sesaat tanpa menanggapi
perkataan Wibisono. Ia ingin menyudahi pembicaraan
ini tetapi takut laki-laki itu datang ke rumah ibunya
sebagaimana ancamannya barusan. Jadi dia hanya
memegang erat-erat gagang telepon di sisi telinganya
dengan perasaan resah. "Ana?" "Apa!!" Ana menyahut dengan sedikit membentak.
Benci sekali dia ketika bentakannya menyebabkan
Wibisono tertawa. "Takut juga kau mendengar ancamanku, ya?"
"Jangan bicara yang tidak-tidak," Ana membentak
http://pustaka-indo.blogspot.com96
lagi. "Lekas bilang apa yang ingin kaukatakan. Aku
tak punya waktu untuk bicara omong kosong."
"Ini bukan omong kosong," suara Wibisono terde-
ngar tegas. "Aku tahu sekarang macam apa dirimu.
Kau seperti burung merak yang angkuh, sombong
dengan bulu-bulunya yang indah terkembang lebar
bagai kipas..?" Ana tak mau mendengar penilaian itu. Selain kare-
na kesal kepada si pemberi penilaian, hatinya tiba-tiba
saja tergetar oleh sebutan Wibisono yang mengatakan
bahwa dirinya seperti burung merak. Cepat-cepat ia
meletakkan gagang telepon ke tempatnya.
"Kriiiiiing. Kriiiing!" Begitu diletakkan, telepon itu
berbunyi lagi. Ana menatap telepon dengan perasaan
tak keruan. Belum pernah ia berada pada situasi seper-
ti ini. Mengangkat telepon atau membiarkannya saja
dengan kemungkinan Wibisono muncul di depan hi-
dungnya seperti ancamannya tadi.
Kriiing. Kriiiing"! Ana menanti sampai dua kali telepon itu berbunyi
lagi baru ia mengangkat kembali gagangnya sebentar,
untuk kemudian diletakkannya kembali tanpa didekat-
kan ke telinganya sama sekali.
Untuk beberapa menit lamanya, telepon itu tidak
berbunyi lagi. Ana yakin, Wibisono tidak berusaha
meneleponnya kembali. Dan menilik sekarang ini wak-
tunya orang beristirahat siang untuk yang tidak bekerja
kantoran, rasanya ancamannya untuk datang ke rumah
ibunya juga tidak akan terjadi. Pasti dia merasa sung-
kan, siang-siang begini muncul di rumah orang.
http://pustaka-indo.blogspot.com97
Ana tersenyum puas. Suara dering telepon tidak
berbunyi lagi dan Wibisono juga tidak datang ke sini.
Jadi dia bermaksud melanjutkan niatnya untuk tidur
siang sebentar. Sayangnya baru saja dia melangkah
sambil meraih kue dari atas meja teh, telepon sialan
itu berbunyi lagi. Khawatir Wibisono menelepon lagi,
Ana membiarkannya. Tetapi tiba-tiba ia berpikir lain.
Bagaimana kalau telepon itu untuk ibunya dan pen-
ting" Atau mungkin malah ibunya yang menelepon
untuk menanyakan ini atau itu karena beliau belum
juga pulang dari berbelanja"
Suka atau tidak suka akhirnya Ana mengangkat
gagang telepon dan mendekatkannya ke telinganya.
Ditunggunya sampai ada suara dari seberang sana.
Dia tak berani mengeluarkan suaranya lebih dulu.
"Ana...?" Suara Wibisono lagi. Ana menghela napas
panjang mengusir amarah yang mulai naik sampai
lehernya. "Jangan harap aku akan mengangkat gagang tele-
pon lagi. Aku sedang repot dan tidak suka diganggu,"
katanya. Setelah itu cepat-cepat diputuskannya pem-
bicaraan tanpa menunggu sahutan dari ujung sana.
Masih dengan hati mendongkol, Ana masuk ke
kamarnya kembali. Kurang ajar betul lelaki itu. Enak
saja dia mengganggu ketenangan orang. Sesampainya
di kamar, ia mengempaskan tubuhnya kembali ke atas
tempat tidur. Tetapi baru sebentar kepalanya menyen-
tuh bantal, lagi-lagi dering telepon terdengar. Keterla-
luan sekali. Jadi biar sajalah sampai capek laki-laki itu
menunggu sahutannya, dia tak akan mengangkatnya.
http://pustaka-indo.blogspot.com98
Bahkan seandainya telepon itu dari orang lain, Ana
tidak peduli. Bukan urusannya.
Ketika akhirnya dering telepon itu berhenti, Ana
merasa lega. Tetapi sayang, tak lama kemudian suara
telepon itu berbunyi lagi. Dengan perasaan kesal,
lekas-lekas Ana menutup telinganya dengan guling.
Ketika beberapa waktu kemudian ia menyingkirkan
guling itu dari kepalanya, bunyi telepon sudah tidak
terdengar lagi. Rupanya Wibisono sadar bahwa Ana
benar-benar tidak ingin diganggu. Syukurlah, masih
punya perasaan juga dia. Suasana sepi di rumah itu mulai terasa dengan hi-
langnya suara dering telepon yang terus-terusan meng-
ganggu ketenangannya tadi. Ana segera membetulkan
letak tubuhnya, berbaring dengan menatap langit-la-
ngit kamar sambil berharap bisa tidur barang sebentar.
Tetapi tidak. Pikirannya malah mengembara ke mana-
mana tanpa maunya. Bahkan ingatannya lari pada
perkataan Wibisono tadi. Laki-laki itu, mengatakan
bahwa dia seperti burung merak. Ya, burung merak
yang angkuh. Burung merak yang sombong dengan
bulu-bulunya yang mengembang indah bagai kipas.
Ah, gila. Ana memaki sendiri di dalam hatinya.
Mengapa penilaian Wibisono malah jadi terngiang-
ngiang di telinganya begini. Burung merak yang ang-
kuh... sombong... bulunya indah bagai kipas terkem-
bang. Burung merak indah yang angkuh... dan
sombong. Burung merak angkuh... sombong... yang
berbulu indah. Burung merak yang"
Ah, sialan. Lagi-lagi Ana yang tak pernah memaki,
http://pustaka-indo.blogspot.com99
kini berulang kali mengumpat-umpat. Kalau begini
terus, bisa-bisa dia menjadi orang yang mudah memaki
orang dan mudah pula mengumpat-umpat. Jadi aku
harus bisa lebih mengendalikan diri, kata batin Ana.
Kenapa sih, gara-gara Wibisono saja dia bisa jadi ber-
ubah begini. Menghadapi atasannya yang mata keran-
jang dan lebih sering menggombal dengan rayuan-rayu-
an yang lebih menyebalkan, Ana tidak semarah ini.
Emosinya juga tidak teraduk-aduk seperti saat ini. Ka-
lau begini apakah niatnya untuk lebih mengendalikan
diri bisa terlaksana mengingat tempat tinggal Wibisono
tidak jauh dari rumah ibunya. Apalagi kalau mengingat
hubungan keluarga ibunya dengan laki-laki itu yang
terjalin akrab. Terutama dengan Wawan sekeluarga
yang sudah lebih dulu menetap di sebelah rumah. Se-
ring kali Ana melihat Wibisono datang dan pergi se-
maunya sendiri di rumah ini, sementara dirinya yang
memiliki pertalian darah dengan keluarga ini justru
merasa sebagai tamu. Sore harinya setelah ibunya pulang dan kedua adik
kembarnya sudah pula mengisi rumah dengan suara
musik kesukaan mereka, Ana berharap Wibisono ti-
dak datang mengobrol dengan mereka seperti biasa-


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. Setelah mendengar penilaian Wibisono melalui
telepon tadi siang, Ana merasa lebih baik dia men-
jauhi laki-laki itu sampai perasaannya lebih tertata.
Terutama karena julukan dirinya bagai burung merak
itu masih sering terngiang di telinganya.
Sayang sekali harapan Ana tidak terjadi. Keluar
dari kamar mandi, Ana mendengar suara Wibisono
http://pustaka-indo.blogspot.com100
lagi. Bahkan ia juga mendengar suara Wawan dan
istrinya. Celoteh anak-anak mereka juga menyusup ke
telinganya. Ana sudah tahu, keluarga mereka sering
datang untuk duduk-duduk mengobrol bersama ibu-
nya atau dengan si kembar. Tidak jarang pula anak-
anak Wawan sering diasuh oleh pembantu rumah
tangga mereka di teras luas rumah ibunya ini. Atau
bermain ayunan di halaman samping, dekat pohon
sawo. Sesuatu yang tidak mengherankan sebenarnya.
Halaman rumah Wawan yang sesungguhnya juga se-
luas rumah ibu Ana, tidak nyaman dipakai duduk-
duduk mengobrol. Nyaris tidak ada tanaman hias di
sana. Di mana-mana terdapat peti kemas, kendaraan-
kendaraan yang diparkir, ceceran oli, dan peralatan
bengkel. Menurut yang didengar Ana, sekarang
Wawan sedang mencari rumah di dekat-dekat sini
agar ada pemisahan antara tempat kerja dengan tem-
pat pribadi keluarganya, agar bisa tinggal dengan
nyaman. Untuk saat ini yang bisa mereka lakukan
untuk mengatasi hal tersebut adalah datang ke rumah
ibu Ana. Apalagi menurut Yu Mi, mamanya sering
mengatakan kepada keluarga muda itu untuk tidak
merasa sungkan datang dan bermain-main di rumah-
nya. Jadi tak heran jika selama berlibur di rumah
ibunya ini, Ana sering melihat mereka da-tang dan
duduk-duduk di teras. Tetapi sore itu Ana merasa kesal sekali mendengar
lagi suara Wibisono. Seharusnya laki-laki itu memiliki
tenggang rasa untuk tidak muncul di dekat Ana sete-
lah peristiwa siang tadi. Sembarangan saja dia me-
http://pustaka-indo.blogspot.com101
nilainya sebagai burung merak yang berbulu indah
tapi angkuh, sombong, dan entah apa lagi yang be-
lum sempat terucapkan tadi.
Agar tidak bertemu muka dengan Wibisono, Ana
tidak mau keluar dari kamar dan membiarkan tamu-
tamu itu mengobrol dengan ibunya dan kedua adik
kembarnya. Pasti sambil makan pastel goreng buatan
Mbok Sosro. Untunglah ibunya sudah mulai agak
memahami kebiasaan Ana yang tidak suka diganggu
jika sedang mengetik sehingga Ana bisa leluasa berada
di kamarnya. Maka agar dirinya betul-betul bisa me-
ngerjakan novelnya, Ana mencoba melenyapkan segala
hal yang ada di luar kamarnya. Suara-suara tawa mere-
ka tak dihiraukannya. Kesibukan yang terjadi di teras,
diabaikannya. Tampaknya Oki juga lupa pada janjinya
untuk bermain di halaman depan karena asyik ber-
main dengan anak-anak sebayanya yang datang berta-
mu itu. Beruntung, kali itu usaha Ana untuk melanjutkan
pekerjaannya, memperlihatkan hasil. Ia dapat memu-
satkan seluruh konsentrasinya pada pekerjaan. Tangan-
nya dengan lincah terus menari-nari di atas keyboard
laptop-nya dan menghasilkan kalimat demi kalimat
yang tersusun menyatu dengan novel yang sudah seba-
gian diselesaikannya dan menjadikannya jalinan kisah
yang terus bergulir. Tetapi akhirnya Ana terpaksa
menghentikan pekerjaannya ketika cuaca remang mu-
lai menyelimuti kamarnya. Gadis itu melihat ke arah
jam dinding. Pukul enam kurang lima belas menit. Ia
berdiri untuk menyalakan lampu.
http://pustaka-indo.blogspot.com102
Sinar terang segera saja menyiram kamarnya. Un-
tuk beberapa saat lamanya Ana menghentikan ketikan-
nya, dan meneliti kalimat demi kalimat yang tertulis
di sana. Kalau ada yang salah ketik, dibetulkannya.
Kalau ada kalimat yang terlalu panjang, dipotongnya.
Kalau ada kalimat yang kurang serasi rangkaiannya,
disempurnakannya. Kalau ada hal-hal yang kurang
enak, entah terlalu vulgar atau terlalu cengeng, diper-
baikinya. Pendek kata, Ana tidak ingin tulisannya
sampai ke tangan pembaca tanpa filter apa pun. Maka
begitulah dia membaca halaman demi halaman yang
telah diselesaikannya hari ini. Sekitar dua belas halam-
an yang berhasll dilahirkannya hari ini. Andaikata
tadi dia tidak terganggu oleh Wibisono, pasti bisa le-
bih banyak lagi yang dihasilkannya. Oleh karena itu
untuk mengejar ketertinggalannya, Ana bermaksud
melanjutkan pekerjaannya begitu selesai mengoreksi
tulisannya. Tetapi setelah usai mengoreksi, konsentrasi Ana
mulai tercuil oleh kebutuhan fisknya. Ia merasa lapar,
ingin mencicipi pastel buatan Mbok Sosro yang enak.
Jadi dihentikannya pekerjaannya untuk mencari-cari
sesuatu sebelum tiba waktunya makan malam. Pung-
gungnya juga sudah mulai terasa pegal. Rasanya dia
memang perlu beristirahat beberapa saat sebelum me-
lanjutkan lagi pekerjaannya.
Seraya menelengkan kepalanya, Ana mencoba me-
nangkap suara-suara dari luar kamarnya. Telinganya
sudah tidak lagi menangkap suara orang sedang meng-
obrol maupun tertawa di teras. Tamu-tamu tak diun-
http://pustaka-indo.blogspot.com103
dang itu pasti sudah pulang. Hati Ana menjadi lega
karenanya. Langkah kakinya terasa ringan ketika ia
keluar dari kamar. Di ruang makan ia melihat Mbok
Sosro sedang menyiapkan makan malam dan Yu Mi
sedang menutup jendela-jendela rumah yang masih
terbuka. Yang lain-lain entah ada di mana, tidak keli-
hatan. Sementara itu udara sejuk dari arah pintu ter-
buka yang menghadap halaman samping, membelai
pipi Ana yang baru keluar dari dalam kamar. Menu-
rutnya, kota Ungaran memiliki suhu udara yang ideal.
Tidak dingin dan tidak panas, tetapi sejuk dan se-
gar. "Kok sepi, Mbok?" tanyanya sambil meraih pastel
goreng yang sudah dingin, namun masih tetap enak.
Mbok Sosro memang pandai memasak dan membuat
penganan. "Ibu dan si kembar diajak Pak Wawan sekeluarga
jalan-jalan," jawab Mbok Sosro."Tadinya Den Ana
juga mau diajak pergi tetapi Ibu melarangnya. Kata-
nya Den Ana sedang sibuk bekerja dan tidak ingin
diganggu." Ana tersenyum. Rupanya sang ibu sudah mulai
mengerti apa yang diinginkan Ana.
"Oki juga ikut, Mbok?"
"Ya." "Naik apa mereka, Mbok" Aku tidak mendengar
suara mobil dari garasi," Ana bertanya lagi.
"Mereka pergi dengan mobil Pak Wawan."
"Pantas. Jadi si Eko ada di belakang?"
"Ya." Eko adalah sopir ibu Ana. Pemuda itu kepo-
http://pustaka-indo.blogspot.com104
nakan Yu Mi. Dia tinggal di dalam, merangkap seba-
gai penjaga pabrik. Ana mengangguk untuk menunjukkan kepada Mbok
Sosro bahwa ia sudah cukup mendapat keterangan
darinya. Kemudian perhatiannya dialihkan ke atas meja
makan. Bau masakan yang baru diangkat dari kompor
merangsang seleranya. "Bau masakanmu menyebabkan perutku lapar,
Mbok," katanya. "Makanlah dulu, Den." Mbok Sosro tersenyum se-
nang. "Tidak enak makan sendirian. Nanti sajalah bersama-
sama dengan yang lain. Sekarang aku makan pastel
dulu." "Di lemari es banyak buah, Den. Daripada ngemil
kue, lebih baik makan buah. Sehat di tubuh," saran
Mbok Sosro. Ana mengangguk lagi. Dari dalam lemari es ia meng-
ambil jeruk. "Di sini aku dimanjakan dengan berbagai macam
makanan dan penganan," katanya kemudian. "Jangan-
jangan bajuku nanti sempit semua kalau aku pulang
ke Jakarta." Mbok Sosro tersenyum lagi.
"Udara di sini memang lebih sejuk daripada di
Jakarta, Den. Waktu saya diajak ke Jakarta oleh anak
saya beberapa tahun yang lalu, saya tidak betah," kata-
nya kemudian. "Sudah panas, banyak nyamuk, ba-
nyak orang, banyak masalah pula. Selera makan saya
jadi turun. Maunya minum terus."
http://pustaka-indo.blogspot.com105
"Ya memang." Ana mengupas jeruk di tangannya,
kemudian melangkah pergi. "Mbok, aku mau duduk-
duduk di teras depan sambil menunggu Mama pu-
lang. Sekalian mengistirahatkan otak dulu."
"Silakan. Kalau perlu sesuatu panggil saya ya, Den?"
"Ya, terima kasih." Ketika melihat taburan bintang
di langit lewat jendela yang dilaluinya, Ana memati-
kan tombol lampu teras depan yang ada di ruang
tamu. Lebih enak duduk dalam kegelapan, pikirnya.
Di teras, ia memilih duduk di sudut. Sambil me-
natap langit yang bertaburan bintang, Ana memikir-
kan kehidupan ibu kandungnya. Kendati ayah tirinya
te-lah tiada, gaya hidup ibunya tidak begitu berubah.
Dengan uang hasil penjualan rumah mewahnya di
Magelang, ibunya membeli rumah yang ditempatinya
sekarang. Memang kalah mewah dibanding rumah
yang di Magelang. Tetapi menang di halamannya
yang luas. Kehidupannya juga masih serbamapan,
serba-ada, serbalancar, dan memiliki banyak kemudah-
an. Lapar sedikit, selalu ada penganan di rumah. Mu-
lai dari kue kalengan dan cokelat, sampai berbagai
macam buah-buahan yang selalu ada di lemari es.
Mulai dari jajan pasar seperti kacang rebus yang
besar-besar, sampai puding dan kue-kue basah. Kalau
tidak ada apa-apa, Mbok Sosro akan membuat
penganan sendiri. Di rumah ini, hiburan apa saja juga
ada. Mulai dari parabola yang menghadirkan siaran
dari luar negeri, sampai film-film yang ditayangkan
oleh DVD. Layar teve yang berukuran besar, memberi
http://pustaka-indo.blogspot.com106
kepuasan pada mata yang menonton. Setiap kamar,
ada televisinya. Pendek kata, Ana bisa menikmati kese-
nangan di rumah ibu kandungnya. Mau pergi, sopir
selalu siap mengantarkannya pergi. Kalaupun tidak,
adik kembarnya bisa mengantarkan ke mana saja yang
ia inginkan. Atau menyopir sendiri, asal berani kesa-
sar. Ada dua sedan mewah dan satu Avanza di garasi.
Tetapi entah mengapa, Ana tidak merasakan keha-
ngatan di rumah ini. Jadi ternyata rasa terasing yang
pernah menghuni hatinya terhadap seisi rumah ini di
masa lalu, masih belum sirna sepenuhnya. Beda rasa-
nya jika ia berada di rumah ayah kandungnya yang
meskipun telah tiada namun masih tetap me-
ninggalkan kehangatan yang dirasakan Ana di dalam-
nya. Ia bebas menyanyi keras-keras di sana. Ia bebas
adu argumentasi dengan ibu tirinya yang memiliki
wawasan luas itu. Ia bebas bercanda dengan Deni,
adik tirinya. Ana bukan tidak suka hidup enak, menikmati kehi-
dupan yang serba menyenangkan, serbamudah dan
serba-ada. Tetapi kalau itu didapat dengan menyakiti
hari orang lain, siapa pun dia, ia akan memilih hidup
seadanya tetapi tidak ada beban moral.
Masih disibukkan berbagai pikiran yang menyang-
kut kehidupannya, Ana menikmati jeruk manisnya
yang segar dan banyak airnya itu sambil tetap mena-
tap langit. Hitamnya malam tampak misterius oleh
tajamnya kedipan bintang-bintang yang berserakan di
atas sana. Sementara itu waktu terus bergulir semakin
malam. Udara sejuk mulai menggigit kulit tubuh Ana
http://pustaka-indo.blogspot.com107
yang hanya mengenakan celana tiga perempat dan
blus kaus tanpa lengan. Karena merasa dingin, kedua
belah kakinya ia naikkan ke atas kursi untuk kemu-
dian memeluk erat-erat lututnya. Suasana malam tera-
sa sepi di rumah berhalaman luas dan tidak terletak
di jalan utama ini. Tetapi di jalan depan halaman
rumah, sesekali tampak kendaraan melintas. Terutama
motor. Kadang-kadang juga terdengar teriakan penjaja
makanan di depan sana. Begitu juga tampak orang-
orang berlalu-lalang di kejauhan. Namun dengan
jarak empat puluh meter lebih dari teras, batang
hidung mereka tidak terlihat dalam remangnya cahaya
malam. Pada perasaan Ana, apa pun yang ada di luar
pagar rumah ini, seperti berada di luar lingkup diri-
nya. Lain halnya dengan keadaan rumahnya di
Jakarta. Ayahnya dulu membeli rumah itu di suatu
kompleks perumahan kelas menengah berukuran
sedang dengan tiga kamar tidur dan halaman yang
tak begitu luas. Dari tepi teras ke pagar depan hanya
sekitar tiga meter jaraknya. Dengan pagar besi yang
modelnya sederhana, siapa pun yang duduk di teras
bisa melihat apa saja yang lewat di depan rumah. Jadi
kalau ada tetangga lewat, mereka bisa saling menyapa.
Ada keakraban dan kehangatan di sana. Singkatnya,
Ana tak terbiasa berada dalam kesepian seperti saat ia
duduk dalam kegelapan di teras rumah ibu kandung-


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya ini. Tetapi ia tidak mau membiarkan rasa sepi itu
menguasai dirinya. Bisa-bisa ia kehilangan rasa nya-
man karenanya. Jadi untuk mengatasi perasaan tak
http://pustaka-indo.blogspot.com108
menyenangkan itu, ia menyanyikan lagu gembira. Me-
mang, lagu itu lagu kanak-kanak. Tetapi lumayanlah
untuk menghibur sendiri hatinya yang gundah.
"Kupandang langit penuh bintang bertaburan. Ber-
kelap-kelip seumpama intan berlian. Tampak sebuah
lebih terang cahayanya. Itulah bintangku, bintang
kejora yang indah.... "
Suara gemerisik di sudut teras menghentikan suara
Ana dengan seketika. Meskipun tidak termasuk orang
yang penakut tetapi berada dalam kegelapan dan di
udara sejuk seperti itu membuat Ana terkejut ketika
mendengar suara itu. Dengan cepat kepalanya meno-
leh ke arah asal suara. Di dalam remangnya cahaya
yang terbias dari lubang angin, ia melihat sesosok tu-
buh yang sudah mulai dikenalnya, terbungkus kere-
mangan malam. Sosok tubuh itu milik Wibisono.
"K"kau"," desis Ana, menahan rasa kagetnya.
Ternyata dia tidak berada seorang diri seperti sangka-
nya semula. Sialan, Wibisono. Kenapa dia diam saja"
Apa susahnya memberitahu padanya bahwa ia juga
ada di teras yang sama. "Ya, aku. Maaf kalau aku mengejutkanmu!" Wibi-
sono menjawab dengan kalem.
"Kenapa ketika aku keluar tadi, kau tidak menegur-
ku. Aku betul-betul tidak tahu keberadaanmu di situ!"
Ana mulai menyalahkan. "Waktu tiba-tiba lampu teras mati, aku bermaksud
berdiri untuk mengetahui kenapa lampunya tiba-tiba
mati. Aku akan memperbaiki kalau ada yang tak be-
res dan mengganti lampunya kalau putus. Tetapi kare-
http://pustaka-indo.blogspot.com109
na kau keluar dan langsung duduk, aku tahu lampu-
nya tidak apa-apa. Maka aku tak jadi berdiri.
Bergerak pun tak berani. Apalagi ketika melihatmu
asyik melamun sambil menatap langit. Sapaanku pasti
akan mengganggu kesenanganmu dan..."
"Kenapa kau tidak ikut jalan-jalan bersama yang
lain?" Ana memotong perkataan Wibisono untuk
mengalihkan pembicaraan tentang dirinya. Tak enak
rasanya. "Aku sedang ingin menyendiri untuk menikmati
suasana malam penuh bintang di tempat ini. Aku ter-
biasa hidup di tempat yang ramai di Jakarta. Jadi
suasana sepi begini lebih memberi daya tarik bagi-
ku." Ana mengangguk tanpa peduli apakah gerakan
kepalanya terlihat oleh Wibisono di dalam kegelapan
malam begini. Kalau menuruti hatinya, ingin sekali ia
pergi dari teras dan meninggalkan laki-laki itu. Tetapi
dia ingat janjinya siang tadi pada dirinya sendiri un-
tuk bersikap lebih baik terhadap tetangga ibunya.
Karena Ana tidak melanjutkan bicaranya, Wibisono
mengisi jeda itu dengan perkataannya.
"Suaramu merdu, Ana," begitu, dia berkata. "Ter-
nyata lagu anak-anak pun bisa begitu enak didengar
ketika dinyanyikan oleh suara merdumu. Apalagi sam-
bil menatap bintang-bintang bertaburan di langit."
Merasa tidak enak dipuji oleh Wibisono, lekas-lekas
Ana mengalihkan lagi pembicaraan.
"Sudah lama kau duduk di situ?" tanyanya cepat-
cepat. http://pustaka-indo.blogspot.com110
"Sejak mereka pergi tadi."
"Lalu masih berapa lama lagi sih kau tinggal di
Ungaran ini?" "Tergantung keadaan. Tetapi kalau menuruti renca-
naku, aku akan tinggal di sini sampai bulan depan.
Sudah dua bulan aku meninggalkan Jakarta. Kenapa"
Tidak suka melihat kehadiranku, ya?"
"Kenapa mesti tidak suka" Aku tidak peduli kok.
Bukankah seperti yang sudah kukatakan tadi siang,
dua orang penumpang kapal yang berbeda ketika
berpapasan..." Suara Ana terhenti karena direbut
Wibisono. "Mereka berpapasan di tengah laut, melambaikan
tangan sesaat lamanya, kemudian masing-masing akan
lupa bahwa mereka pernah berjumpa. Begitu kan cara-
mu menilai perkenalan kita?" katanya.
"Kalau sudah tahu... ya sudah...."
"Tetapi apa ruginya sih kalau pada saat melambai-
kan tangan itu, masing-masing melemparkan senyum"
Meskipun berada di kapal yang berbeda, bukan ber-
arti kita bermusuhan, kan?"
"Jadi aku harus bagaimana" Memamerkan gigiku
terus-menerus di hadapanmu?" Ana menyindir.
"Kalau memang bisa, kenapa tidak?" Wibisono
menjawab kalem. "Apalagi suka ataupun tidak, kita
ini bertetangga dekat. Nah, kau sendiri sampai kapan
berada di rumah ibumu ini?"
"Rencananya sih sekitar sepuluh hari lagi. Tetapi
bisa saja aku berubah pikiran dengan tiba-tiba, lalu
pulang ke Jakarta beberapa hari lagi," jawab Ana.
http://pustaka-indo.blogspot.com111
"Misalnya karena sebal melihat keberadaanku. Begi-
tu, kan?" Wibisono melontarkan tebakannya.
"Aku tak mau menjawab pertanyaanmu!" Ana meng-
gerutu. "Karena kau tak mau mengakui. Baik, kau tak per-
lu menjawab pertanyaanku tadi. Tetapi dengarkan
pendapatku. Kalau kita berdua ini memang bagai dua
penumpang kapal yang berbeda, apa salah kalau di
saat berpapasan itu kita isi dengan hal-hal positif,
baru setelah berpisah ya kita lanjutkan kembali perja-
lanan masing-masing bagaikan orang asing satu sama
lainnya." Ana menyadari kebenaran perkataan Wibisono. Mes-
kipun masing-masing bagaikan orang asing yang ber-
temu di perjalanan, tidak berarti bahwa mereka harus
bermusuhan. Apalagi Ana ingat janjinya pada diri sen-
diri untuk bersikap lebih baik terhadap Wibisono demi
ibu dan kedua adik kembarnya.
"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanyanya kemu-
dian. "Yah paling tidak, mengobrollah sedikit bersamaku.
Kita berdua sama-sama duduk di teras dan sama-sama
pula menikmati kesendirian sambil menatap keindah-
an langit. Daripada diam-diaman saja, kan lebih enak
kalau kita mengobrol."
"Terserah..." "Tadi sudah kukatakan bahwa aku masih akan ber-
ada di Ungaran ini kira-kira sebulan lagi. Keberada-
anku ini berkaitan dengan usaha jasa angkutan kami.
Dipegang Wawan, perusahaan di sini perkembangan-
http://pustaka-indo.blogspot.com112
nya tidak begitu tampak. Beda dengan yang terjadi di
cabang-cabang lain. Jadi aku ikut turun tangan untuk
ikut menggerakkannya. Dalam waktu sebulan bela-
kangan ini saja, sudah lumayan majunya. Itulah kalau
masih muda sudah berkeluarga, Wawan jadi kurang
menaruh perhatian kepada bisnis kami."
"Jangan menyalahkan Mas Wawan karena pilihan
hidupnya untuk menikah lebih cepat. Kulihat ia sua-
mi dan ayah yang bertanggung jawab. Dan tampak-
nya mereka bahagia. Bahwa usahanya memajukan
bisnis di sini belum menampakkan hasil, kurasa tak
ada kaitannya dengan pilihannya untuk menikah ce-
pat itu. Memulai usaha di kota kecil seperti Ungaran,
pasti tidak mudah. Jadi perlu terobosan-terobosan
un-tuk menyikapinya. Baru beberapa bulan berjalan
de-ngan hasil yang kurang memuaskan bukan berarti
dia tidak mampu berusaha. Apalagi dikatakan ga-
gal"." Ana menghentikan bicaranya karena mendengar
Wibisono menertawakan bicaranya.
"Apanya yang lucu?" tanyanya, tersinggung.
"Aku tidak menyangka kata-kata seperti itu akan
keluar dari bibirmu," jawab Wibisono.
"Memangnya, kaupikir aku akan mengatakan apa?"
"Apa saja tetapi bukan seperti yang kaukatakan
tadi." "Apa sih anehnya?"
"Aku tidak mengatakan aneh. Tetapi sudahlah, ada
pembicaraan lain yang lebih enak didengar. Aku ingin
http://pustaka-indo.blogspot.com113
tahu, kau sedang menulis novel apa sih" Love story atau
apa?" "Tentang percintaan pasti ada di dalam novelku.
Begitupun yang sedang kutulis sekarang ini. Tetapi
bukan khusus menjadi pokok ceritanya karena novel-
ku yang ini mengangkat sejarah perjuangan anak
bangsa di masa lalu," Ana bertutur dengan lancar.
Suasana hatinya saat mengetik tadi, mulai membias
keluar tanpa disadarinya.
"Roman sejarah, begitu?"
"Yah, semacam itu." Tiba-tiba saja percakapan di
antara kedua orang yang semula seperti musuh itu
menjadi lancar dan lebih menyenangkan. Ana mence-
ritakan bagian sejarah yang diangkatnya ke dalam
karyanya. Dengan semangat ia mengisahkan bagaima-
na kuatnya rasa kebangsaan orang-orang di masa lalu
yang sekarang ini telah meluntur. Bagaimana pula
kebiasaan dan pergaulan muda-mudi masa itu dan
lalu juga situasi setempat yang ikut mewarnai novel-
nya. "Kedengarannya menarik. Memangnya umurmu
berapa kok bisa menguraikan hal-hal semacam itu
sampai sedemikian detailnya" Semua itu kan membu-
tuhkan pemikiran yang matang dan wawasan yang
luas. Kalau tidak keberatan menjawab lho."
"Aku tak pernah menyembunyikan umurku. Dua
bulan lagi umurku dua puluh enam. Soal wawasan
dan pengetahuanku mengenai masa perjuangan, kuda-
pat dari banyak sumber. Ayah papaku pernah ber-
juang. Sebelum meninggal dalam usia delapan puluh
http://pustaka-indo.blogspot.com114
delapan menyusul Papa, aku sempat menggali banyak
hal dari beliau mengenai sejarah perjuangan yang seca-
ra konkret betul-betul dialaminya. Selain itu aku juga
banyak bertanya pada mereka yang bisa dipercaya.
Pokoknya sebelum menulis sesuatu, pasti aku melaku-
kan semacam observasi, bahkan penelitian secara
kecil-kecilan. Kalau perlu, langsung ke lapangan."
"Wah, menarik juga ya. Apakah kau juga mengun-
jungi tempat-tempat tertentu yang ada kaitannya de-
ngan novel yang kaubuat seperti sekarang ini, latar
belakang sejarahnya misalnya?"
"Itu pasti. Aku tidak suka menceritakan sesuatu,
termasuk tempat-tempatnya, hanya berdasarkan cerita
orang saja. Apa yang kita lihat sendiri sebagai si penga-
rang, pasti akan lebih kaya daripada apa yang ditang-
kap sekadarnya melalui pandangan orang lain."
"Dari bacaan juga?" Wibisono bertanya penuh per-
hatian. "Tentu saja. Itu tidak usah ditanya. Ayahku mewa-
riskan sejumlah besar buku yang bisa kujadikan acuan
untuk novel-novelku."
"Kutu buku rupanya kau." Hm, boleh juga "isi"
gadis ini, pikir Wibisono. Biasanya gadis-gadis sejelita
Ana, lebih menaruh perhatian pada hal-hal lain.
"Sangat kutu buku, berkat pengaruh ayahku. Juga
ibu tiriku," Ana menjawab komentar Wibisono apa
adanya. "Kalau tidak banyak membaca mana tahu
aku bahwa di zaman perjuangan dulu para gadisnya
suka mengepang rambut dan para pemudanya mema-
kai celana pendek, misalnya. Atau bagaimana aku
http://pustaka-indo.blogspot.com115
tahu bahwa sejumlah besar lagu-lagu romantis dan
manis karya Ismail Marzuki itu ternyata isinya mem-
bakar semangat juang. Sepasang Mata Bola, misalnya.
Lalu lagu Selendang Sutra, Saputangan dari Bandung
Selatan dan Rangkaian Melati, misalnya pula. Atau
lagu Selamat Datang Pahlawan Muda dan Rayuan Pu-
lau Kelapa. Pada saat itu aku kan belum ada. Ibuku
saja pun belum lahir."
"Itu artinya, yang namanya berjuang kan tidak ha-
rus dengan senjata dan bambu runcing saja. Ya, kan?"
Tanpa disadarinya, Wibisono terlarut dalam pembicara-
an yang mengasyikkan bersama Ana.
"Betul. Ismail Marzuki adalah pejuang dan seniman
sejati yang membangkitkan cinta kita terhadap tanah
air melalui karya-karyanya. Sebagian besar hidupnya
dicurahkannya untuk perjuangan kemerdekaan. Nah,
tahukah kau berapa lagu yang pernah diciptakan oleh
Ismail Marzuki?" "Sekitar seratus?"
"Tidak kurang dari dua ratus empat puluh lagu. Be-
liau mendapat beberapa piagam dan penghargaan atas
karya-karyanya yang menggugah kesadaran berbangsa
dan bertanah air. Misalnya Piagam Wijayakusuma dari
Presiden RI pertama, Bapak Soekarno," kata Ana
membetulkan. "Dari mana aku tahu semua itu" Dari
buku, Mas. Belajar dari sekolah saja, jauh dari mencu-
kupi. Maka kita sendiri yang harus mencari dan meng-
gali. Sungguh beruntung anak-anak zaman sekarang.
Selain dari buku-buku, mereka juga bisa mengakses


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari televisi. Terutama melalui internet."
http://pustaka-indo.blogspot.com116
Mendengar apa yang dikatakan Ana, Wibisono me-
ngisahkan isi beberapa buku yang pernah dibacanya
mengenai hal serupa, siapa tahu ada gunanya bagi
Ana. Maka tak terelakkan lagi kekakuan-kekakuan
yang terjadi sejak awal perkenalan mereka, mulai men-
cair pelan-pelan dan sedikit demi sedikit.
http://pustaka-indo.blogspot.com117
ANA sudah dua minggu berada di rumah ibu kan-
dungnya. Selama itu sudah cukup banyak tambahan
halaman novel yang berhasil dikerjakannya. Selama
itu pula cukup banyak yang dilihat, didengar, dirasa-
kan, dan dipelajarinya. Kesibukan di belakang rumah
dengan segala kebisingan yang keluar dari pabrik, en-
tah itu suara mesin jahit atau mesin obras, atau suara
orang sedang menghitung barang di bagian pengepak-
an, sudah tidak asing lagi baginya. Telepon dari pe-
langgan juga sudah tidak membuatnya bingung lagi
karena bisa disambungkannya ke belakang pada jam-
jam kerja. Bahkan usulannya agar ibunya memasang
telepon khusus untuk usahanya juga sudah disetujui.
Singkat kata, Ana merasa kunjungannya ke rumah
ibunya sudah cukup waktunya. Ibu tirinya juga sudah
menanyakan kepulangannya karena rumah terasa sepi
tanpa dia. Empat http://pustaka-indo.blogspot.com118
Tetapi yang membuat Ana merasa resah, sampai de-
tik ini ia masih belum juga mendapat berita mengenai
lamaran-lamaran kerjanya. Padahal cukup banyak surat
lamaran yang dilayangkannya ke mana-mana. Tetapi
belum satu pun yang menjawab lamarannya. Dia
sudah tidak betah menjadi pengangguran seperti ini.
Memang dengan menganggur begini dia bisa lebih
bebas untuk mengerjakan sesuatu. Ia juga mempunyai
waktu yang lebih longgar untuk menyelesaikan novel-
nya. Tetapi bukan seperti ini yang diinginkannya. Ia
mau mengamalkan tenaga, pikiran, dan ilmu yang di-
milikinya melalui pekerjaannya. Ia juga ingin bersosia-
lisasi secara wajar dengan banyak orang. Hanya men-
jadi pengarang saja bisa menyebabkannya kurang
bergaul karena pekerjaannya hanya ada di balik layar.
Sementara itu hubungannya dengan Wibisono mu-
lai membaik. Sejak percakapan mereka di teras malam
itu, Ana tak lagi bersikap seperti musuh terhadapnya.
Meskipun sesekali masih menangkap pandang mata
meremehkan yang tersirat dari kedua bola mata laki-
laki itu, Ana tidak terlalu merisaukannya seperti sebe-
lumnya. Sebab mungkin saja memang seperti itulah
gaya Wibisono kalau memandang orang. Tidak ada
maksud-maksud tertentu di baliknya. Kalaupun pemi-
kiran melecehkan itu memang ada, biar sajalah. Per-
gaulan di antara mereka berdua toh tidak akan ber-
langsung lama. Dalam beberapa hari ini dia akan
pulang ke Jakarta dan lalu mereka akan melanjutkan
kehidupan masing-masing tanpa ada kaitannya satu
sama lain. http://pustaka-indo.blogspot.com119
Meskipun demikian Ana mengakui bahwa
Wibisono merupakan laki-laki pertama yang berhasil
memasuki hatinya, dalam arti meraih perhatiannya,
entah itu positif entah pula negatif. Sebelum ini, tak
ada laki-laki yang pernah mengobrak-abrik emosinya.
Sebelum ini tak pernah pula Ana menaruh rasa peduli
atas pandang mata, sikap, dan ucapan laki-laki terha-
dapnya. Kata hatinya selalu siap menyuarakan ketidak-
pedulian itu dengan mengatakan "emang gue pikirin".
Tetapi tidak demikian halnya dengan Wibisono. Mes-
kipun hatinya mengatakan tidak menyukai laki-laki
itu tetapi dalam berdiskusi atau berbagi pendapat ber-
samanya, Ana merasa cocok. Di dunia ini hanya
almarhum ayahnya saja yang pernah berdiskusi dan
adu argumentasi seru bersamanya sampai berjam-jam
lamanya dengan asyik. Dengan kata lain, selama ini
tidak ada laki-laki mana pun selain ayahnya yang per-
nah berhasil mengaduk-aduk otak dan pemikirannya,
membahas buah-buah pikirannya, dan beradu penda-
pat mengenai banyak hal. Tetapi Wibisono telah me-
matahkan kebiasaan Ana yang selama ini tidak pernah
membiarkan laki-laki memasuki urusannya.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa
Wibisono telah meraih hati Ana. Ia mau menjalin
keakraban dengan Wibisono karena tahu bahwa sete-
lah kembali ke Jakarta nanti, pergaulannya dengan
laki-laki itu akan berakhir. Dengan demikian tidak
akan ada beban dan tidak ada kekhawatiran apa pun
seperti yang biasanya terjadi jika ia bergaul dengan
laki-laki. http://pustaka-indo.blogspot.com120
Begitulah, pada hari Minggu pagi itu Wibisono
muncul lagi di saat Ana sedang main kejar-kejaran
dengan Oki di hamparan rumput. Bravo dan Pedro
ikut bermain bersama mereka. Ketika melihat
Wibisono, Ana menghentikan gerak kakinya. Malu
dia dipergoki orang sedang berlarian. Tetapi Bravo
dan Pedro masih terus berkejar-kejaran sendiri sambil
menyalak-nyalak gembira tanpa memedulikan keha-
diran Wibisono. Kedua binatang yang selalu dilepas
pada hari libur itu telah mengenal tamunya.
"Hai," laki-laki itu menyapa Ana. Di tangan laki-
laki itu terdapat dua buku dan sebatang cokelat.
"Hai," Ana membalas sapaan itu.
"Aku membawakan dua buku untukmu," kata laki-
laki itu. "Buku apa?" "Baca sajalah nanti. Pokoknya menarik," sahut
Wibisono sambil mengulurkan cokelat kepada Oki.
"Ini untukmu." Oki berseru gembira. Cokelat pemberian Wibisono
didekatkannya ke dadanya. Anak itu memang suka
sekali makan cokelat. "Oki, bilang apa?" Ana mengingatkan.
"Terima kasih, Oom Wibi."
"Terima kasih kembali. Ambil sekerat dulu ya, Oki.
Sesudah itu simpan di lemari es supaya tidak lembek,"
sahut Wibisono. "Tetapi sebelumnya cuci dulu tangan-
mu biar bersih." Oki mengangguk. Diam-diam Ana memperhatikan
air muka Wibisono. Sudah beberapa kali ini dia me-
http://pustaka-indo.blogspot.com121
nangkap sinar mata Wibisono tampak melembut se-
tiap berbicara dengan Oki. Tampaknya, laki-laki itu
tidak terlalu kaku dan sinis seperti kesan Ana pada
mula-mula perjumpaan mereka. Ternyata ada juga ke-
lembutan di hatinya. Ketika melihat Oki masuk ke dalam rumah, baru-
lah Wibisono menoleh ke arah Ana. Melihat penampil-
an gadis itu, dia tertawa. Rambutnya berantakan ke
mana-mana dan keringat bermanik-manik di sana-sini.
Terutama di atas bibirnya. Ana menyadari keadaan
dirinya. Ia tersenyum malu. Apalagi saat itu dia hanya
mengenakan blus kaus longgar dan celana pendek.
"Gara-gara lari ke sana-sini, penampilanku seperti
gelandangan, ya?" gumamnya sambil menyisir rambut-
nya dengan telapak tangannya. Kemudian dengan
ujung lengan baju kausnya ia mengusap wajahnya
yang basah keringat. "Melihat caramu mengusap keringat, aku lebih me-
lihat dirimu seperti anak kecil yang nakal daripada
sebagai gelandangan."
Ana tersenyum sekilas. Merasa tak enak diperhati-
kan orang, cepat-cepat ia mengubah pembicaraan.
"Buku apa sih yang kaubawakan?"
Wibisono mengulurkan kedua buku yang dibawa-
nya. "Ini buku tentang budaya Jawa, yang ini berisi
ten-tang sejarah berdirinya Candi Borobudur dan
penjelasan mengenai arti relief yang terdapat pada
candi itu. Di dalamnya juga berisi tentang keadaan
masyarakat di sekitar candi sejak zaman penjajahan
Belanda, lalu pada waktu penjajahan Jepang dan
http://pustaka-indo.blogspot.com122
kemudian di zaman kemerdekaan berikut perkembang-
annya di zaman sekarang setelah sekian puluh tahun
merdeka. Siapa tahu di suatu ketika nanti kau ingin
menulis novel sejarah lagi, buku ini bisa menjadi sa-
lah satu referensi."
Ana mengangguk sambil membalik-balik halaman
buku yang kedua. Sesekali ia membaca pada bagian-
bagian yang menarik hatinya dan memperhatikan de-
ngan cermat gambar-gambar dan keterangannya.
"Ini sangat menarik," gumamnya. "Alangkah lebih
menariknya kalau bisa melihat dengan mata kepala
sendiri relief-relief ini dan menyusuri lorong demi
lorongnya sambil mencocokkan dengan keterangan
yang tersaji dalam buku ini."
"Kenapa tidak" Kau kan bisa ke sana."
"Ya, tentu. Kapan-kapan aku pasti akan pergi ke
Candi Borobudur. Dulu waktu masih kecil, tiga kali
aku pernah ke sana. Tetapi yah namanya anak kecil,
waktu itu aku cuma melihat-lihat begitu saja tanpa
memahami maknanya." "Jadi, kau ingin ke sana lagi?"
"Tentu saja ingin. Melihat candi yang sama tetapi
dengan pemikiran yang sudah dewasa begini tentu
lain rasanya. Kapan-kapan kalau ada kesempatan, pas-
ti aku akan ke sana," sahut Ana sambil melangkah
menuju ke teras. "Duduklah. Aku mau ganti baju
dulu. Basah begini aku takut masuk angin."
"Bagaimana kalau kesempatan itu adanya sekarang,
Ana?" tanya Wibisono sambil mengekor di belakang
Ana. http://pustaka-indo.blogspot.com123
"Kesempatan apa?" Ana yang masih terkait pada
bajunya yang basah, jadi agak bingung mendengar
perkataan Wibisono. "Kesempatan pergi ke Candi Borobudur," jawab
Wibisono. Langkah kaki Ana terhenti. Dahinya berkerut.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Aku akan mengajakmu ke Candi Borobudur, seka-
rang. Mau?" "Wah, itu kan jauh sekali. Tidak usah ah!"
"Tak sampai tujuh puluh kilometer jaraknya dari
sini, Ana. Tidak begitu jauh. Satu setengah jam paling
lama, sudah sampai. Kau kan orang Jakarta. Pasti
tahu dong perjalanan dari Pasar Minggu ke Ancol
yang jaraknya jauh lebih dekat saja bisa menghabiskan
waktu dua jam lebih dalam kondisi lalu-lintas yang
padat. Sudah begitu tanpa pemandangan indah
pula." "Pemandangan indah seperti apa?"
"Sepanjang perjalanan dari Ungaran sampai ke
Borobudur, pemandangannya lumayan indah. Tidak
seperti perjalanan dari Jakarta ke Puncak selepas dari
jalan tol. Penuh rumah, toko, restoran dan orang
jualan. Pemandangan alam yang indah teraling oleh
itu semua. Tetapi tidak demikian halnya di sini. Nah,
bagaimana, mau kuantar ke Borobudur?"
Ana terdiam dengan perasaan bimbang. Pergi ke
Borobudur sangat menggoda hatinya. Tetapi pergi de-
ngan Wibisono" "Ayolah, Ana. Mumpung masih pagi, kita bisa sege-
http://pustaka-indo.blogspot.com124
ra berangkat sekarang," bujuk Wibisono. Dia sudah
melihat wajah Ana yang tampak bimbang. "Mudah-
mudahan sebelum senja kita sudah bisa kembali ke
rumah." "Kita berdua saja...?"
"Memangnya dengan siapa lagi" Kau takut pergi
berduaan denganku, ya?"
"Takut berduaan denganmu" Tidak. Memangnya
kau punya taring besar-besar?" Ana berdalih. Dia me-
mang tidak takut kepada Wibisono, tetapi kalau harus
berduaan saja dengannya, malas juga dia.
"Jadi, kita pergi ke Borobudur sekarang?" Wibisono
melontarkan pertanyaannya lagi untuk mendapat
kepastian. Ana belum bisa menjawab. Dia masih saja bergelut
dengan kebimbangannya. Wibisono tahu itu. Ia men-
desaknya lagi. "Ayolah, Ana. Kapan lagi kesempatan itu datang"
Kudengar dalam beberapa hari ini kau sudah akan
kembali ke Jakarta."
Ana menarik napas panjang. Ya, ia memang akan
segera kembali ke Jakarta karena sudah kangen ru-
mah. Jadi kapan kesempatan pergi ke Borobudur itu
akan datang lagi" Terlebih kalau dia nanti sudah men-
dapat pekerjaan baru dan mulai tenggelam dalam
kesibukan. "Baiklah, kita pergi. Tetapi apakah tidak merepot-
kanmu?" akhirnya Ana mengambil keputusan.
"Kalau aku repot pasti tidak akan menawarimu
pergi ke Borobudur. Nah, aku akan ganti baju dan
http://pustaka-indo.blogspot.com125
mengambil mobil dulu. Bisa siap dalam waktu seper-
empat jam?" "Siap." Ibu Ana menyetujui rencana ke Borobudur itu ke-
tika Ana minta izin. Putrinya itu tampak amat mena-


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rik dengan pakaian sportif yang dikenakannya.
"Selama dua minggu di sini kau memang belum
pergi ke mana-mana kecuali melihat Waduk
Rawapening dan makan tahu pong Semarang. Mama
sibuk terus sih," sahut sang ibu, merasa bersalah.
"Mama jadi tidak enak padamu. Jauh-jauh datang
dari Jakarta cuma di rumah terus. Sekarang ada orang
yang mau mengajakmu jalan-jalan ke Borobudur, syu-
kurilah itu." "Mam, aku ke sini untuk istirahat dan bekerja kok.
Bukan untuk jalan-jalan. Mama tak perlu merasa ber-
salah." Ana tertawa.
"Ya sudah." Sang ibu sibuk memasukkan beberapa
bungkus penganan kering ke dalam kantung plastik.
"Ini buat camilan di jalan. Ada kacang kulit, kue
spekulas dan sus kering. Enak lho sus keringnya, re-
nyah dan gurih. Apa lagi ya" mau bawa roti ma-
nis?" "Itu saja sudah lebih dari cukup, Mam. Kalau ada
air mineral botol kecil, Ana mau bawa."
"Ada, ada. Mama kalau pergi ke Semarang untuk
belanja ini dan itu juga selalu membawa botol air
mineral. Jadi selalu ada simpanan. Mama bawakan
enam botol, ya?" "Banyak betul. Empat saja cukup, Mam."
http://pustaka-indo.blogspot.com126
"Daripada kurang kan lebih baik bersisa. Ini Mama
bawakan beberapa buah jeruk manis juga," kata sang
ibu. Usai menyerahkan bekal yang dibawakannya un-
tuk Ana, sang ibu menyelipkan empat lembar uang
seratus ribuan ke tangan Ana. "Untuk pegangan di
jalan, Ana." "Tidak usah, Mam. Aku masih punya uang kok.
Sungguh!" Lekas-lekas Ana menolak pemberian uang
itu. "Kenapa sih kau tak pernah memberi kesempatan
kepada Mama untuk memberimu uang?" Sang ibu
agak tersinggung. "Kau juga anak Mama, kan" Seka-
rang ini kau sedang menganggur, masa Mama tidak
boleh memberimu uang?"
"Boleh sih boleh... tetapi Ana kan sudah dewasa.
Masa masih diberi uang jajan. Malah seharusnya Ana
yang memberi Mama uang."
"Kecil, dewasa, dan tua sekalipun nanti, kau tetap
anak Mama. Sebagai seorang ibu, Mama ingin me-
manjakanmu"." "Baik, baiklah." Akhirnya Ana menerima uang pem-
berian sang ibu, khawatir perempuan paro baya itu
merasa sedih. Lagi pula dia kan bisa membeli oleh-
oleh untuk sang mama dan kedua adik kembarnya
dari uang itu. "Terima kasih ya, Mam" Nah, itu suara
mobil Wibi datang." "Obat sakit kepalamu sudah dibawa?" ibunya meng-
ingatkan. Ana pernah menceritakan kepada sang ibu tentang
vertigo yang dialaminya dua minggu sebelum pergi
http://pustaka-indo.blogspot.com127
menjenguknya ke Ungaran. Tetapi setelah melalui
serangkaian pemeriksaan, dokter mengatakan tidak
ada sesuatu yang serius. Jadi katanya, mungkin Ana
terlalu banyak bekerja di depan komputer. Sarannya,
Ana perlu menghentikan pekerjaannya selama bebera-
pa saat kalau sudah dua jam di muka komputer. Te-
tapi dugaan lainnya bahwa Ana terlalu banyak pikir-
an, tak ia ceritakan kepada sang ibu.
"Sudah, Mam. Obatnya selalu ada di tas meskipun
tidak pernah kumat," sahut Ana. Perhatian juga sang
ibu terhadapnya. Begitulah, setelah Ana dan Wibisono pamit kepada
Bu Bambang mereka segera berangkat.
"Kau bawa bekal apa saja sih" Rasanya kita sedang
piknik jadinya." Wibisono tertawa.
"Kue, kacang, jeruk, dan minuman. Mama kok
yang menyuruh aku membawa bekal itu. Kalau kuto-
lak bisa sedih beliau. Sejak kecil, aku sering menolak
pemberiannya." "Kudengar, kau tidak dibesarkan ibumu, ya?"
"Ya. Aku memilih ikut Papa." Karena tidak ingin
membicarakan keadaan keluarganya, cepat-cepat Ana
mengalihkan pembicaraan. "Cuaca pagi ini cerah,
ya?" Memang, cuaca Minggu pagi itu sangat cerah. La-
ngit bersih berwarna biru cemerlang. Pemandangan
indah terbentang di sisi kiri dan kanan jalan, di sela-
sela bangunan rumah yang mereka lalui. Sawah, ke-
bun, sungai, dan gunung tersaji di sekitar mereka.
Sesekali mobil mereka merayap mendaki bukit untuk
http://pustaka-indo.blogspot.com128
kemudian meluncur turun di jalan yang berlku-liku.
Untunglah jalan raya di hari Minggu saat itu tidak
menunjukkan peningkatan arus lalu-lintas yang men-
colok. Mungkin karena hari Minggu itu bukan hari
Minggu dalam musim liburan anak sekolah. Mungkin
pula karena sekarang ini sudah masuk tanggal tua,
uang di saku tak lagi setebal tanggal muda. Tetapi
yang jelas setiba mereka di Borobudur, suasananya
juga tidak terlalu ramai.
"Biasanya kalau musim liburan sekolah atau liburan
akhir minggu yang panjang, tempat ini ramai dipe-
nuhi bus-bus dan mobil-mobil dari luar kota. Teruta-
ma dari Jakarta dan Bandung," kata Wibisono setelah
memarkir mobilnya. "Kalau begitu, enak sekarang ya" Kita bisa lebih
leluasa untuk melihat-lihat relief candi," sahut Ana
sambil turun dari mobil. "Ya. Kalau terlalu banyak orang juga tidak menye-
nangkan. Apalagi kalau mereka cuma melihat-lihat
sambil makan atau minum sesuatu dan mengotori
tempat ini," kata Wibisono lagi. Sambil berjalan me-
nuju ke candi, mereka berdua mengobrol.
"Yah, Borobudur lebih sering dilhat sebagai tempat
hiburan padahal maknanya jauh lebih dalam dari itu.
Selain memiliki nilai sejarah, seni, budaya, dan bah-
kan religi, juga merupakan peninggalan nenek mo-
yang kita yang harus dijaga dan dilestarikan."
"Betul. Tetapi yang terjadi memang lebih sebagai
objek wisatanya. Kita lihat saja tadi di dekat tempat
http://pustaka-indo.blogspot.com129
parkir penuh orang berjualan macam-macam dan
warung-warung makan."
Setiba mereka di candi, Ana segera mengeluarkan
buku yang diberikan Wibisono tadi pagi. Untuk men-
cocokkan apa yang ada di hadapan mereka dengan
buku yang ada di tangannya ternyata tidak semudah
yang mereka bayangkan. Dimulai dari mana, mereka
berdua harus meneliti dengan membungkuk, berjong-
kok dan mencermatinya. Sampai-sampai serombongan
orang asing yang lewat di dekat mereka, berhenti se-
saat memperhatikan kesibukan kedua orang muda
itu. "Orang lagi bingung, malah ditonton," Ana meng-
gerutu pelan. Wibisono tertawa mendengar Ana menggerutu.
"Sudahlah," katanya kemudian. "Ini, aku sudah me-
nemukan relief seperti yang terdapat dalam gambar."
"Kata buku, relief-relief pada candi Borobudur ini
mengisahkan tentang kehidupan Buddha. Candi ini
memiliki keterkaitan dengan candi-candi lain di seki-
tar tempat ini seperti Candi Mendut dan Candi
Pawon," kata Ana, mengembalikan perhatiannya pada
candi. "Ya, begitu yang juga pernah kudengar."
"Menurut buku ini pula, pada awalnya candi-candi
dibangun untuk tempat penyimpanan abu jenazah
yang disimpan di bagian yang paling bawah, tetapi ke-
mudian juga dipergunakan sebagai tempat untuk me-
muja dewa-dewa dan untuk bertapa," kata Ana lagi.
"Ya." http://pustaka-indo.blogspot.com130
"Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 850 de-
ngan bahan baku batu-batu vulkanis dari gunung
berapi. Candi ini dibangun di sebuah bukit. Jadi,
sekarang ini kita berada di bukit."
"Baru membaca sekilas saja kau sudah bisa berce-
rita. Dasar kutu buku." Wibisono tertawa lagi. "Biasa-
nya di bawah sana ada penjual keliling menjajakan
buku-buku tipis yang menceritakan berbagai hal me-
ngenai candi. Nanti kita beli."
"Oke." "Aku dulu lebih tertarik untuk naik-turun dan ber-
larian di sini," kenang Wibisono.
"Namanya juga anak kecil. Aku dulu juga begitu
kok. Bukannya memperhatikan relief tetapi malah
main sembunyi-sembunyian dengan Mbak Evi dan
Ika." Wibisono tidak memberi komentar. Ia sedang mem-
perhatikan sebuah patung arca yang tidak ada tangan-
nya karena rusak. Tetapi Ana sempat melihat selapis
kabut pada bola mata dan kerut di dahi Wibisono.
Pikirannya langsung saja lari ke arah Ika. Adiknya itu
belum lama meninggalkan rumah ibunya. Wibisono
sudah hampir tiga bulan lamanya menetap di rumah
Wawan. Pasti laki-laki itu pernah melihat Ika yang
berwajah rupawan dan mempunyai banyak pengagum
itu. Jangan-jangan" Karena dugaan itu hanya melintas sesaat di dalam
pikirannya, Ana cepat-cepat membuangnya jauh-jauh.
Betul atau salah dugaannya tadi, itu bukan urusannya.
Jadi lebih baik mengembalikan perhatiannya pada
http://pustaka-indo.blogspot.com131
arca dan relief-relief yang terdapat di candi dan mulai
merangkaikannya dengan apa yang didapatnya dari
buku. Wibisono yang langsung tertarik setelah Ana
menceritakan apa arti gambar-gambar relief itu, ikut
menyibukkan diri. Berdua mereka berjongkok, mem-
bungkuk, berjinjit, berjalan, dan mengikuti bagian
demi bagian candi yang menarik perhatian mereka.
Sesekali juga menganalisis bersama-sama sambil me-
langkah dari lorong yang satu ke lorong yang lain
tanpa kenal lelah dan melupakan teriknya sinar mata-
hari siang yang menyengat kepala.
"Kalau menuruti hati, bisa-bisa kita akan berhari-
hari di sini menelusuri seluruh hasil tatahan tangan-
tangan terampil nenek moyang kita yang pasti mela-
kukannya dengan peralatan yang sangat sederhana.
Sungguh luar biasa," kata Ana.
"Ya, memang. Ayo, kita turun saja sambil mencari
penjaja keliling yang menjual buku-buku tentang
Candi Brobudur." Ana mengangguk. Tetapi gerakan itu menyebabkan
kepalanya terasa seperti berputar dan matanya berku-
nang-kunang. Mula-mula dia mencoba untuk berta-
han sambil berharap sesampainya di bawah nanti pu-
sing kepalanya hilang. Tetapi ternyata justru rasa
pusing itu semakin hebat. Bahkan perutnya terasa
mual dan telinganya mulai berdenging.
"Bagaimana... kalau kita istirahat sebentar, Wibi?"
tanyanya dengan suara tersendat sehingga Wibisono
menoleh ke arahnya. Laki-laki itu terkejut melihat
wajah Ana yang pucat pasi.
http://pustaka-indo.blogspot.com132
"Kenapa, Ana?" "Aku pusing... perutku mual?"
Mengetahui keadaan itu Wibisono langsung mema-
pah Ana ke tempat yang teduh, di bawah pohon be-
sar. Dipapahnya gadis itu ke bangku batu. Ana meme-
jamkan matanya sesaat lamanya. Keringat dingin
membasasi dahinya. "Kurasa kau tersengat panasnya sinar matahari. Kita
tadi terlalu asyik sampai lupa memakai topi atau pa-
yung," katanya. sambil mengeluarkan saputangan dari
celananya. "Ini saputanganku, pakailah untuk menyeka
keringatmu. Bersih kok."
Ana menurut. Dengan saputangan yang berbau se-
gar itu Ana menyeka wajahnya yang basah. Wibisono
memperhatikannya. "Masih pusing?" tanyanya.
"Masih. Tetapi sudah tidak mual lagi. Aku ingin
minum," sahut yang ditanya.
"Bekal tadi tidak kaubawa turun dari mobil?"
"Lupa." "Bisa kutinggal sendirian di sini sebentar?"
"Ya. Tetapi jangan lama-lama.."
"Ya." Wibisono mengambil dua botol air mineral dari
dalam mobil. Kemudian membeli sebuah topi pandan
yang dijajakan oleh pedagang keliling. Ketika ia kem-
bali ke tempat Ana, gadis itu masih tampak pucat.
Tetapi setelah minum seperempat botol air mineral,
wajahnya mulai lebih memerah.
"Masih pusing?"
http://pustaka-indo.blogspot.com133
"Masih. Tetapi tidak sehebat tadi."
"Kuat jalan sampai ke tempat parkir?"
"Lima menit lagi ya sampai pusingku agak reda.
Aku juga mau minum obatku dulu." Sambil berkata
seperti itu, Ana mengambil obat dari dalam tasnya.
"Jangan minum obat sembarangan lho...."
"Bulan lalu aku mengalami vertigo dan dokter
memberiku obat yang boleh dimakan kalau tiba-tiba


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku mengalami vertigo lagi," sahut Ana sambil menun-
jukkan obatnya. Kemudian ditelannya obat itu de-
ngan seteguk air lagi. "Apa kata dokter?"
"Menurut hasil pemeriksaan medis yang kujalani,
tidak ada penyakit serius dalam tubuhku."
"Masa tidak ada diagnosis apa pun?"
"Dokter cuma mengatakan aku sedang mengalami
ketegangan, karena banyak pikiran dan terlalu banyak
bekerja di muka komputer. Itulah salah satu sebab
mengapa aku datang menjenguk Mama. Untuk menca-
ri pergantian suasana," Ana menjawab apa adanya.
"Rupanya kau gampang mengalami stres dan mu-
dah emosional"."
"Tidak. Aku ini sehat lahir dan batin. Bukan orang
yang rapuh mentalnya. Bukan pula orang yang sakit-
sakitan," Ana membantah perkataan Wibisono dengan
cepat. "Jangan mencoba-coba menganalisis diriku ha-
nya karena aku mengalami vertigo. Hampir setiap
orang pernah mengalaminya."
"Tersinggung?" "Tidak. Aku cuma ingin meluruskan kekeliruan
http://pustaka-indo.blogspot.com134
pendapatmu. Aku juga memahami perasaanmu. Me-
mang tidak enak bepergian ke luar kota dengan sese-
orang yang kauanggap penyakitan."
"Bukan begitu. Aku hanya merasa khawatir kalau-
kalau kau jadi sakit. Bagaimanapun aku bertanggung
jawab untuk membawamu pulang sampai ke rumah
dengan selamat, sehat, dan tidak kurang apa pun,"
jawab Wibisono. "Nah, kurasa kau sudah jauh lebih
baik. Kita bisa melanjutkan perjalanan sampai ke mo-
bil?" "Bisa. Tetapi dari mana kau tahu aku sudah jauh
lebih baik?" "Dari ketangkasanmu bicara." Wibisono tertawa.
"Aku sudah mulai mengenalmu, Ana."
Mau tidak mau Ana tersenyum. Setelah minum
seteguk air lagi Ana memutuskan untuk meninggalkan
tempat. "Ayo, kita pulang sekarang," katanya.
"Oke. Tetapi di jalan nanti kita cari rumah makan,
ya" Ini sudah jam setengah dua. Waktu makan siang
sudah berlalu. Kau perlu mengisi perut," sahut
Wibisono. Ana mengangguk. Dan pusing tujuh kelilingnya
terasa lagi sehingga dia memutuskan untuk tidak
mengangguk-anggukkan kepalanya lagi kalau sedang
vertigo. Apalagi di dekat Wibisono. Dia tidak mau
dinilai penyakitan. Demikianlah mereka makan siang di Magelang.
Makanannya lezat dan harganya murah jika dibanding
harga Jakarta. Itulah untuk pertama kalinya Ana ma-
http://pustaka-indo.blogspot.com135
kan hanya berdua saja dengan Wibisono dalam suasana
yang santai. Dan yang menyenangkan, rasa pusing
yang dirasakannya tadi berangsur-angsur menghilang.
Namun di dalam perjalanan pulang ke Ungaran,
berulang kali Ana menguap. Seperti biasanya jika mi-
num obat pusing, tak berapa lama kemudian Ana
pasti mengantuk. Apalagi perutnya kenyang dan tu-
buhnya terasa lelah setelah tadi naik-turun tangga
candi. Wibisono meliriknya.
"Kalau mengantuk, tidurlah," kata Wibisono setelah
beberapa kali melihat dan mendengar Ana menguap
lagi. Ana tersenyum malu. "Maaf... pengaruh obat," sahutnya. "Aku selalu me-
ngantuk setiap minum obat yang diberikan dokter
itu." "Aku tahu. Jadi tidur sajalah. Lumayan sampai tiba
di rumah nanti," kata Wibisono.
"Kau tidak apa-apa...?"
"Memangnya kenapa?"
"Kau sibuk menyetir, aku malah enak-enak tidur
seperti nyonya besar," jawab Ana sambil menguap
lagi. Wibisono tertawa. Di dalam hatinya ia mulai
mengenal sifat-sifat baik Ana.
"Sekali-sekali jadi nyonya besar, tak apa. Jadi, tidur
sajalah." Tanpa disuruh sampai dua kali, Ana langsung me-
nyandarkan kepalanya. Tak berapa lama kemudian ia
sudah tertidur dengan nyenyak. Sementara itu setelah
http://pustaka-indo.blogspot.com136
melihat Ana tertidur, Wibisono mengatur laju kecepat-
an mobilnya dengan mantap tanpa terburu-buru.
Tetapi pikirannya melayang-layang. Telah delapan be-
las hari ia mengenal Ana. Gadis itu sungguh menarik.
Bukan hanya fisiknya saja, tetapi lebih dari itu. Ada
sesuatu yang memancar dari dalam. Entah apa, dia
belum sempat menggalinya. Tetapi mengingat perke-
nalan mereka tak akan berlangsung lama dan ia sen-
diri sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak
akan tertarik pada Ana atau gadis-gadis lain yang ter-
lalu cantik, maka tak ada keinginannya untuk lebih
jauh mengenal gadis itu. Lebih aman berteman akrab
dengan Rini yang manis senyumnya dan tampak
biasa-biasa saja itu. Bekas teman kuliahnya dulu itu
bekerja di bank dan sampai sekarang belum menikah.
Beberapa kali mereka pernah jalan bersama sejak acara
reuni yang pertama. Dengan berbagai pikiran seputar gadis yang sedang
tertidur di sampingnya, Wibisono terus mengemudi-
kan mobilnya. Sementara itu hari telah semakin men-
dekati akhirnya. Sore semakin tua dan sinar mentari
semakin redup dan semakin redup. Begitupun cahaya
merah yang ditinggalkannya di kaki langit nun di ba-
rat sana, mulai menghilang pula berganti dengan
keremangan datangnya senja. Dan jika cuaca telah
menjadi remang, rasanya waktu berjalan cepat sekali.
Tahu-tahu saja senja telah menyelimuti bumi, siap
menyambut turunnya malam. Hari telah gelap ketika
Wibisono membelokkan mobilnya ke halaman rumah
Bu Bambang. http://pustaka-indo.blogspot.com137
Lelaki itu menatap ke arah Ana begitu kendaraan-
nya berhenti. Tetapi Ana masih tertidur lelap. Bahkan
kepalanya yang menyandar ke bahunya tanpa yang
bersangkutan menyadarinya, masih belum beranjak.
Mau tak mau Wibisono tersenyum sendiri. Gadis itu
tampak seperti anak kecil yang tak kenal dosa.
"Ana" bangun," katanya kemudian di atas kepala
gadis itu. "Kita sudah sampai di rumah."
Ana tergagap. Untuk sesaat lamanya ia agak bi-
ngung, tidak tahu sedang berada di mana. Namun
begitu kesadarannya pulih dan tahu bahwa kepalanya
menyandar di bahu Wibisono, lekas-lekas ia beringsut
menjauh. "M...maaf," katanya sambil menggapai gagang pin-
tu. "Jangan tergesa-gesa," kata Wibisono ketika melihat
gerakan Ana tadi. "Nanti kepalamu pusing lagi."
Ana menyadari kebenaran perkataan Wibisono.
Apalagi rasa kagetnya ketika mengetahui mereka sudah
sampai di halaman rumah, masih belum hilang. Tetapi
ketika ingat bahwa ternyata dia tadi tertidur di bahu
Wibisono dan pasti tubuh mereka berdekatan bahkan
bersentuhan, perasaannya jadi sangat tidak enak. Be-
lum pernah ia mengalami keadaan seperti itu.
"A...aku sudah... tidak pusing lagi," sahutnya agak
terbata. Tangannya mulai membuka pintu mobil.
Tetapi gerakan tangan Wibisono lebih cepat daripa-
da gerakan Ana. Laki-laki itu tidak membiarkan Ana
turun masih dalam keadaan baru bangun dari tidur
nyenyak akibat pengaruh obat pusing tadi.
http://pustaka-indo.blogspot.com138
"Sabar, Ana. Tunggu sampai kau sudah betul-betul
terjaga," katanya sambil memegang lengan Ana.
"Aku sudah seratus persen bangun," sahut Ana de-
ngan suara agak bergetar. Perlakuan seakrab itu dari
seorang laki-laki baru sekali itu dialaminya. Ia merasa
amat risi karenanya. Wibisono yang tidak tahu bahwa Ana termasuk
gadis yang lain daripada lain, masih saja tetap meme-
gang lengan gadis itu. Tak sesirat pun ia menduga
bahwa Ana yang hidup di zaman sekarang dan besar
di kota metropolitan itu belum pernah disentuh sede-
mikian dekatnya oleh tangan pria mana pun.
"Lepaskan lenganku," kata Ana lagi dengan suara
yang masih bergetar. "Kalau tidak, aku tak bisa tu-
run." "Baik. Tetapi jangan terburu-buru. Kau tidak da-
lam kondisi prima seperti biasanya lho."
"Ya. Makanya aku akan melanjutkan tidurku lagi.
Masih mengantuk," sahut Ana sekenanya saja.
"Ah... kau ini seperti gadis kecil yang belum tahu
dosa," gumam Wibisono menanggapi perkataan Ana
tadi. "Tidur dengan nyenyak tanpa sadar akan keada-
an sekelilingmu. Kau benar-benar tampak manis...
manja... membuat orang ingin mengecup pipimu...."
Sebelum Ana mengerti apa yang dimaksud
Wibisono, tahu-tahu saja pipinya telah dikecup oleh
laki-laki itu. Ia merasakan kumis tipis laki-laki itu
menggelitik pipinya. Sebagai gadis yang belum pernah
disentuh laki-laki, Ana sulit menahan getar tubuhnya.
Maka sebelum kekuatannya lenyap karena peristiwa
http://pustaka-indo.blogspot.com139
yang tak disangka-sangka dan baru sekali itu dialami-
nya, lekas-lekas ia menjauhkan pipinya dan secepat
itu pula ia turun dari mobil Wibisono. Kemudian
dengan langkah kaki agak goyah, ia berjalan cepat
menuju ke rumah. Tetapi belum sampai kakinya sam-
pai di teras, Wibisono telah menyusulnya.
"Ana," ucap laki-laki itu. Lengan Ana diraihnya.
Dengan mulut terkatub Ana terpaksa menghentikan
langkah kakinya. Percuma ia memberontak. Pegangan
tangan laki-laki itu seperti jepitan besi dan ia sendiri
masih agak lemah. "Ana... jangan marah," kata Wibisono dengan ter-
gesa. "Aku tadi tak dapat menahan diri ketika meli-
hatmu begitu tampak cantik... begitu lembut dan le-
mah bagai anak kecil. Sudah begitu cuaca remang
membuatku terperangkap oleh situasi yang menyebab-
kan aku lupa diri. Maafkan aku...."
"Sudah?" "Apanya yang sudah?"
"Pidato pembelaan dirimu."
"Ana, jangan marah...."
"Aku" tidak marah kepadamu. Tetapi marah ke-
pada diriku sendiri," sahut Ana agak terbata. "Seharus-
nya aku tidak melupakan perjumpaan pertama kita di
Toko Maju waktu itu. Sudah sejak awal aku merasa
tatap matamu merendahkan diriku."
Wibisono tersentak. Begitu kentarakah apa yang
tersiar dari kedua bola matanya" Ah, apakah sudah
waktunya ia harus mengubah pandangannya selama
ini" http://pustaka-indo.blogspot.com140
"Itu tidak benar, Ana," bantahnya kemudian. Ah,
dia tidak jujur. Ana tertawa getir. "Yang tahu benar atau tidaknya itu kau sendiri.
Coba kauingat apa yang terjadi ketika tanpa sengaja
aku menginjak kakimu. Permintaan maafku hanya
kaubalas dengan lirikan melecehkan. Tanpa senyum,
tanpa basa-basi apa pun, padahal kita hidup di alam
budaya dan adat ketimuran. Selain itu ingat-ingat
pula apa penilaianmu terhadapku ketika kita belum
lama berkenalan. Katamu, aku ini bagai burung me-
rak... angkuh... sombong...."
Diingatkan seperti itu, Wibisono tertegun. Tetapi
ia mencoba mengukir senyum di bibirnya.
"Kau memang seperti burung merak. Yang angkuh
dan sombong," katanya kemudian. "Tetapi aku me-
nyukai keangkuhanmu."
"Jangan menggombal di depanku, Wibi. Aku dapat
merasakan penilaianmu yang sesungguhnya terhadap-
ku. Terserah kau mau membela diri atau tidak, aku
tidak peduli. Sekarang, lepaskan lenganku dari jepitan-
mu itu!" Ana mendengus. Entah dari mana datangnya
perasaan yang hinggap ke hatinya, tetapi ia merasa
Wibisono tidak mengatakan apa yang sebenarnya ada
di hatinya. Sukar bagi Ana untuk menjelaskan perasa-
annya itu ke dalam kata-kata karena hal itu hanya
bisa dirasakan oleh getar nalurinya.
"Ana... kau harus tahu... ketika aku melihatmu per-
tama kali di toko, sama sekali aku tidak tahu siapa
dirimu. Aku hanya melihatmu sebagai gadis yang ang-
http://pustaka-indo.blogspot.com141
kuh dan tampaknya tidak mau bergaul dengan semba-
rangan orang. Tidak ingatkah bagaimana dengan lan-
tang kau menjawab pertanyaan si pemilik toko bahwa
kau sudah mempunyai seorang anak, seakan membuat
pagar-pagar untuk melindungi dirimu. Saat itu aku
merasa kesal sekali. Kau telah menganggapku pemuda
ingusan dan menyebutku "dik". Mentang-mentang kau
sangat cantik... pamer bahwa dirimu sudah ada yang
punya...." Ana menahan napas, teringat semua yang dikatakan


Burung Merak Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh Wibisono ketika mereka berjumpa untuk perta-
ma kalinya. Mungkin sikapnya memang agak berlebih-
an saking hati-hatinya berhadapan dengan laki-laki
yang belum dikenalnya. Apalagi laki-laki yang mena-
tapnya dengan tatapan mata meremehkan. Bahkan
mungkin pula hal itu disebabkan oleh mekanisme
pertahanan jiwanya yang bekerjanya agak berlebihan.
Tetapi untuk apa menjelaskannya sebab ia yakin seya-
kin-yakinnya bahwa Wibisono ketika itu memang
melecehkannya lewat tatap matanya.
"Sudahlah... aku tak mau memperpanjang masalah
ini," katanya kemudian. "Apa pun pembelaan dirimu,
aku tetap tidak dapat menerima perlakuanmu tadi."
"Ana... apakah kau tak pernah memberi maaf kepa-
da seseorang yang minta maaf kepadamu?" balas
Wibisono. Ana tidak mau menjawab. Sebagai gantinya ia ber-
usaha melepaskan lengannya dari tangan Wibisono.
Tetapi lagi-lagi gagal. http://pustaka-indo.blogspot.com142
"Wibi, lepaskan lenganku. Kau menyakiti aku,"
bentaknya. "Sakit sekali, tahu?"
"Tidak akan kulepaskan sebelum kau memberiku
maaf." "Andaikata aku memberimu maaf, apakah kau ti-
dak merasa malu karena maafku itu merupakan keter-
paksaan daripada lenganku sakit. Enak saja kau sem-
barangan mengecup pipi orang," gerutu Ana sambil
menggosok-gosok pipinya kuat-kuat. "Hih!"
"Hmm... burung merak," Wibisono mulai tersing-
gung. "Kau memang angkuh dan sombong, Ana.
Kaupikir aku tak bisa mengecup pipi gadis lain yang
lebih jelita darimu" Jangankan hanya pipi, lebih dari
itu pun banyak yang mau!"
Pipi Ana memerah dengan seketika. Benarlah fira-
satnya bahwa Wibisono memang tidak menghargainya
sebagaimana layaknya orang bersosialisasi dengan sesa-
manya. Entah apa pun alasannya, laki-laki itu telah
memandangnya rendah. "Kaupikir aku peduli" Itu seratus persen hakmu
untuk menciumi gadis-gadis yang kaukenal. Tetapi
jangan padaku. Kau telah mengecup pipiku, terus te-
rang aku merasa telah tercemar," balas Ana tak mau
kalah. Memangnya hanya Wibisono yang bisa menghi-
nanya" "Kau menghinaku, Ana." Wibisono mulai marah.
Siapa bilang dia mempunyai kebiasaan menciumi pipi
orang" Sialan Ana! "Lalu apa yang kaukatakan kepadaku tadi" Puisi
pemujaan" Adil sedikit kenapa sih?" Ana ganti melon-
http://pustaka-indo.blogspot.com143
tarkan kemarahannya. "Wibi, Wibi. Belajarlah me-
nenggang perasaan orang. Kalau kau bisa dan tega
melemparkan penghinaan pada orang, kau juga harus
bisa menerima balasannya. Nah, sekarang lepaskan
lenganku. Kau tak berhak menyakiti orang. Apalagi
orang yang sedang kurang sehat. Kecuali kalau kau
berniat membunuhnya!"
Mendengar perkataan Ana, Wibisono langsung
melepaskan lengan Ana. Tetapi karena tidak menyang-
ka laki-laki itu akan melepaskan lengannya begitu saja
sedangkan Ana sedang mengumpulkan kekuatan dan
siap-siap untuk menariknya kuat-kuat, maka ia kehi-
langan keseimbangan tubuh. Terhuyung-huyung tanpa
mampu menahan tubuhnya, ia nyaris terempas ke
pohon sawo. Kalau saja Wibisono tidak bergerak de-
ngan sigap menangkap tubuhnya, kepalanya pasti su-
dah terbentur batang pohon yang keras itu dan sangat
boleh jadi vertigonya akan kumat lagi. Tetapi, tidak.
Kini dia berada di dalam rengkuhan lengan Wibisono
yang hangat, dengan aman.
Kemarahan dan rasa terhina yang tadi menguasai
kepala dan hati Ana, tiba-tiba saja menguap entah ke
mana. Kedekatan dan dekapan lengan Wibisono yang
begitu lekat ke tubuhnya menyebabkan Ana sadar
adanya tubuh lain yang kekar dan begitu laki-laki se-
hingga dia juga menyadari dirinya begitu perempuan.
Bahwa secara biologis mereka berbeda. Mungkin begi-
tu juga yang dirasakan oleh Wibisono. Laki-laki itu
menatap mata Ana tanpa berkedip, tak mampu berpi-
kir apa pun kecuali adanya seorang perempuan di
http://pustaka-indo.blogspot.com144
dalam dekapannya. Wajah mereka berdua begitu dekat
satu sama lain. Kedua mata mereka saling berpandang-
an. Seumur-umur, baru sekali ini Ana mengalami peris-
tiwa seperti itu. Kedua belah kakinya bergetar sampai
hampir-hampir kehilangan kekuatannya untuk tetap
menapak tanah. Dadanya berdegup kencang sekali,
seakan jantungnya akan meloncat keluar.
Sementara Ana masih tenggelam dalam daya pukau
dengan otak yang tak bisa diajak berpikir, mata
Wibisono yang masih menatap mata Ana, mulai ber-
getar dan berbinar. Wajah jelita Ana yang tersiram
biasan cahaya dari lampu sudut teras, tampak amat
memesona. Saat itulah tanpa dapat menahan dirinya,
perlahan-lahan wajah Wibisono mulai mendekat, ber-
gerak pelan namun pasti ke arah wajah jelita Ana.
Napasnya yang hangat terasa menyapu-nyapu kulit
wajah Ana. Tetapi.. suara langkah kaki di ruang tamu yang
tiba-tiba memasuki telinga kedua insan itu, mener-
bangkan daya pukau yang ada di hati masing-masing
tadi. Maka dengan gerakan cepat, tubuh mereka pun
lepas. Ana cepat-cepat mundur dengan gerakan kaki
yang masih agak limbung. Pipinya tampak merah pa-
dam dan dadanya berombak-ombak. Rasa malu yang
berbeda daripada rasa malu yang pernah dialaminya
di sepanjang kehidupannya selama ini, mulai menggi-
giti hatinya. Kenapa harus terjadi seperti ini" Kena-
pa" "Siapa di luar, ya?" terdengar suara ibu Ana. Suara
http://pustaka-indo.blogspot.com145
itu menodai keheningan malam yang mulai turun
menyelimuti bumi. Ana merasa suara ibunya seperti
suara malaikat penyelamat. Hampir saja terjadi sesua-
tu yang pasti akan disesalinya seumur hidup. Bukan
dengan cara seperti itu andaikata ia menerima ciuman
pertama dari seorang pria.
"Ini Ana, Mam," sahutnya pelan sambil menyentuh-
kan telapak tangannya pada pipinya yang terasa ha-
ngat. Suaranya terdengar menggeletar. Mudah-mudah-
an tidak ada orang yang mendengarnya.
"Ah, kalian sudah pulang," seru perempuan paro
baya yang tak lama kemudian muncul di ambang pin-
tu itu dengan gembira. "Mama lega. Ini sudah ma-
lam. Mama khawatir ada apa-apa di jalan."
"Maaf, Bu Bambang. Kami terlalu asyik melihat-
lihat candi," Wibisono yang menjawab.
Ana merasa jengkel sekali karena sikap dan suara
laki-laki itu tampak terkendali, seakan tidak terjadi
Setan Cebol Penyebar Maut 2 Ketika Kau Hadir Karya Unknown Bende Mataram 22
^