Pencarian

Kleting Kuning 4

Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono Bagian 4


Dipeluk seorang lelaki secara khusus, baru kali itu-
lah dialami Tina. Ia masih terpana karena kedekatan
tubuh mereka berdua, yang menimbulkan letup-letup
aneh di hatinya. Ia semakin merasa dirinya berpusar-
pusar dalam perasaan asing. Ada kehangatan dan ke-
nyamanan yang merupakan pengalaman baru baginya.
Sulit mengatakan bahwa ia tidak menyukai kenyamanan
semacam itu. Sebab, hati kecilnya mengakui ia suka
terhadap perlakuan Irawan dan membiarkan tangan
lelaki itu tetap merengkuhnya. Tangan kanan meng-
genggam erat telapak tangannya dan tangan kiri me-
meluk bahunya. Tak satu pun di antara keduanya yang berniat me-
misahkan diri, sehingga keadaan itu berlangsung cukup
lama dan sempat mendebarkan jantung yang memompa
darah lebih kuat dan lebih kuat lagi dalam tubuh
masing-masing. Aliran darah mereka seperti saling ber-
kejaran. Sekitar empat menit kemudian ketika Tina merasa
tubuhnya mulai kesemutan, ia bergerak. Suatu gerakan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com218
yang sebenarnya sederhana namun telah membangunkan
kedua insan yang tengah terpana dalam situasi yang
seperti mimpi itu. Entah siapa yang lebih dulu me-
mulainya, tubuh mereka berdua pun terpisah dan
menjauh satu sama lainnya dengan wajah memerah.
Dan entah siapa pula yang lebih dulu berpendapat
untuk tidak mempersoalkan peristiwa membingungkan
yang baru kali itu mereka alami, keduanya tak sepatah
kata pun mempersoalkan peristiwa itu. Seolah, tak ada
apa-apa. Bahkan keduanya sama-sama berdiri dan
berjalan ke arah truk untuk memeriksa lagi kerewelan
mesin, yang masih juga belum ditemukan. Tanpa me-
nyinggung tentang siapa yang kalah atau menang dan
tanpa banyak bicara, bersama-sama mereka berdua
bekerja bantu-membantu dan mengeluarkan keahlian
apa saja yang mereka punyai demi satu tujuan, yaitu
truk bisa berjalan dengan normal kembali sehingga bisa
segera pulang ke Jakarta.
Dua kepala lebih baik dari satu kepala, begitu orang
mengatakan. Dan itu tidak salah. Sebab dengan dua
kepala yang berpikir dan bekerja, kerewelan itu akhir-
nya dapat diatasi meskipun semula hampir saja mereka
putus asa dan menyerah untuk memanggil montir.
Maka sejam kemudian sesudah mesin truk itu men-
jadi normal kembali, mereka berdua segera melanjutkan
perjalanan menuju Jakarta.
Ketika mereka berdua masih sibuk mencari, bekerja,
dan berusaha agar mesin truk itu bisa sehat kembali,
suasana aneh yang mereka rasakan belum lama tadi, agak
tersingkirkan. Tetapi kini sesudah mereka berada dalam
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com219
perjalanan dan duduk berdampingan, suasana aneh tadi
bertiup kembali di sekitar mereka. Akibatnya, baik Tina
maupun Irawan lebih banyak berdiam diri dan tenggelam
dalam pikiran masing-masing. Ada semacam kerikuhan
atau malahan rasa malu yang membebani hati masing-
masing. Sebab keduanya sama-sama dapat merasakan
bahwa meski tak terucapkan dan tak terekspresikan
secara jelas, tetapi kedekatan fisik di antara mereka tadi
telah menimbulkan kesan yang mendalam. Ada sesuatu
dalam diri mereka, yang selama ini tertidur lelap, kini
seperti dibangunkan dengan tiba-tiba.
Namun, keduanya juga sama-sama tahu bahwa me-
reka ingin menyembunyikan kenyataan itu dengan
berpura-pura menganggap kejadian tadi tak ada artinya
sama sekali. Bahkan ketika akhirnya mereka berdua
berpisah di rumah Bu Saputro, tak banyak kata-kata
yang mereka ucapkan kecuali,
"Terima kasih. Sampai jumpa di lain waktu!"
Iwan yang menyambut kedatangan mereka dan ke-
mudian sibuk menurunkan barang-barangnya dari truk
itu dengan mudah sekali dapat menangkap adanya per-
ubahan sikap pada kedua manusia itu. Memang, selama
ini di antara mereka berdua tak pernah terjalin suatu
hubungan yang baik. Masing-masing bersikap dingin
dan mengambil jarak. Keduanya sama-sama saling ber-
sikap acuh tak acuh, menganggap masing-masing tidak
memiliki sesuatu yang dapat menimbulkan minat untuk
bisa lebih saling mengenal. Singkat kata, baik Tina
maupun Irawan, saling tidak menyukai tanpa alasan
yang masuk akal. Tetapi pagi ini ketika mereka berdua
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com220
ikut membantu Iwan, sikap diam dan ketidakacuhan
keduanya mengandung sesuatu yang aneh. Tetapi
apakah sesuatu itu, Iwan belum bisa mengetahuinya. Ia
hanya merasakan bahwa jarak yang ada di antara kedua
insan itu sudah bersifat lain. Jarak itu seolah memang
dimunculkan ada di antara mereka berdua. Ada kesan
bahwa keduanya saling mempertahankan diri. Tetapi
mempertahankan diri dari apa, Iwan juga belum dapat
meraba-rabanya. Karenanya, meskipun matanya se-
makin ditajamkan, ia tetap bersikap netral, seolah dia
tidak menangkap kesan apa pun. Seolah pula ia tidak
memperhatikan mereka berdua.
Namun di dalam hati, ia ingin melihat bagaimana
perkembangan selanjutnya. Kalau perlu, ia akan me-
nanyai Tiwi dan Lina tentang ada atau tidaknya per-
ubahan sikap yang tampak pada diri Tina sepulang dari
Bandung. Sedangkan terhadap Irawan, ia akan menye-
lidikinya sendiri. Sebab, dengan jelas ia sudah melihat
perubahan pada diri kedua insan itu. Apalagi jika
diingat, keduanya terpaksa bermalam di satu tempat
gara-gara mesin truk yang mereka kendarai rewel.
Mungkin ada suatu kejadian yang mereka alami selama
berjam-jam hanya berdua saja. Tetapi kejadian apa itu,
itulah yang ingin diselidiki Iwan dengan diam-diam.
Seminggu kemudian, Iwan mengirim kue-kue buatan
Bu Saputro untuk Bu Himawan. Perempuan yang
melahirkan lima gadis cantik ke dunia ini sedang kurang
enak badan. Flu agak berat. Kesempatan bagi Bu
Saputro untuk mengirim sesuatu kepada keluarga Hima-
wan. Sebab, sudah cukup sering keluarga Himawan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com221
yang merasa langganannya bertambah banyak berkat
perantaraan Bu Saputro itu mengirim sesuatu untuk Bu
Saputro. Oleh-oleh ini dan itu. Terutama masakan
buatan Bu Himawan yang aneh-aneh, yang pasti hampir
tak pernah dimasak oleh Bu Saputro untuk hidangan
pesta pesanan orang. Seperti botok, oblok-oblok,
mangut, brongkos campur kulit melinjo, dan semacam
itu. Atau jenang grendul, cenil, grontol, tiwul, dan
semacam itu. Pokoknya makanan khas Jawa yang bukan
makanan untuk pesta. Bagi Iwan, mendapat kesempatan mengantar makan-
an untuk Bu Himawan merupakan sesuatu yang me-
mang sedang didamba-dambakannya. Siapa tahu ada
kesempatan untuk berbicara dengan Tiwi dan Lina
mengenai Tina. Oleh sebab itu Iwan merasa senang sekali menge-
tahui Tina sedang pergi ketika ia menanyakan keberada-
an gadis itu kepada Tiwi.
"Ke rumah tante kami, membantu menyiapkan syu-
kuran untuk suaminya yang baru saja naik pangkat,"
jawab Tiwi sesudah menyerahkan oleh-oleh dari Bu
Saputro kepada Bik Benah. "Perlu ketemu Mbak
Tina?" "Justru tidak," Iwan menjawab dengan gembira. "Aku
malah ingin bicara denganmu, Tiwi. Bisa?"
"Berdua saja?" "Dengan Lina kalau dia ada di rumah!"
"Ada. Kupanggil dia ya!"
Beberapa saat kemudian sesudah Iwan bersama ke-
dua gadis itu duduk di teras samping rumah, dia
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com222
langsung mengutarakan keinginan hatinya untuk men-
dekatkan Irawan dengan Tina.
Mendengar itu, baik Tiwi maupun Lina tertawa
senang. Keduanya juga sangat antusias mendengar ren-
cana pemuda itu. "Wah, aku mendukungmu, Mas!" kata Tiwi dengan
mata bersinar-sinar. "Aku juga!" sambung Lina dengan wajah berseri-seri.
"Soalnya susah sekali membuka hati Mbak Tina."
"Nah, terus terang sudah beberapa hari ini aku
ingin bertemu kalian sehubungan dengan keinginanku
untuk melihat seberapa jauh perkembangan semua
usaha yang sudah kurintis itu!" kata Iwan sesudah
mengetahui kedua adik Tina sangat mendukung ke-
inginannya. "Perkembangan yang mana?" tanya Tiwi.
"Setelah pulang dari Bandung, dan ketika mereka
berdua terpaksa berlama-lama berada di satu tempat."
"Oh itu. Lalu?" sela Lina tak sabar.
"Waktu mereka ke Bandung itu sebenarnya hanya
akalku saja agar mereka dapat pergi berdua," sahut
Iwan tertawa. "Pikirlah. Untuk apa sih aku mengambil
barang-barang yang sebenarnya tak terlalu penting
buatku sekarang ini?"
"Oh, begitu!" Tiwi tertawa lagi dengan perhatian
sepenuhnya tercurah kepada Iwan. "Ceritakan asal mula-
nya dan bagaimana kok akhirnya mereka hanya pergi
berdua saja ke Bandung."
"Ya, ayo, Mas, ceritakan!" sambung Lina. "Soalnya
Mbak Tina nggak cerita apa-apa mengenai hal itu. Dia
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com223
hanya bilang Mas Iwan dan Mbak Rima salah makan
lalu diare. Begitu saja!" Tiwi menyambung kata-kata
adiknya. "Diare itu hanya alasan dan pandai-pandainya aku
dan Rima main sinetron," sahut Iwan tertawa. Kemudi-
an ia bercerita mengenai permainan yang ia dan tunang-
annya lakukan agar Tina dan Irawan bisa pergi berdua-
an saja. Mendengar itu Tiwi dan Lina tertawa terbahak-
bahak. "Mbak Tina tidak bercerita apa pun tentang kejadi-
an itu. Yah... baru kusadari sekarang, kelihatannya dia
sepertinya enggan bercerita apa pun mengenai kepergi-
annya ke Bandung," kata Tiwi sesudah tawanya ber-
henti. "Malahan kalau aku ingin tahu ceritanya tentang
kota Bandung atau tentang kepergiannya selama ham-
pir tiga hari itu, ia menjawab untuk apa sih mengetahui
cerita yang tak penting," sambung Lina.
Iwan tersenyum mendengar kata sambung-menyam-
bung dari kedua kakak-beradik itu. Bukan saja geli
melihat betapa tertariknya kedua gadis itu terhadap
masalah seputar kakaknya, tetapi juga karena ia sudah
mendapat sedikit informasi. Bahwa Tina enggan ber-
cerita tentang pengalamannya selama bepergian ke
Bandung waktu itu, pasti ada sebabnya.
"Jadi menurut kalian berdua, Tina seperti enggan
menceritakan perjalanannya ke Bandung waktu itu?"
tanyanya menguatkan dugaannya.
"Ya." 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com224
"Kesan seperti itu dari mana?" selidik Iwan lagi.
"Dari kebiasaannya sehari-hari. Mbak Tina itu tu-
kang cerita dan suka sekali mengisahkan hal-hal lucu
yang dialaminya," sahut Tiwi. "Tetapi mengenai
pengalamannya ke Bandung, ia hanya bercerita sedikit
saja. Itu kan menyalahi kebiasaannya!"
"Bukan hanya itu. Belakangan ini aku melihat
Mbak Tina juga sering melamun!" sambung Lina.
Tiwi menoleh kepada adiknya dengan gerakan ki-
lat. "Jangan menambahi, Lin. Ngawur saja kau!" tegur-
nya. "Eeeeh, Mbak Wik, nggak percaya. Aku dua kali
memergokinya. Masa sih kau tidak melihat perubahan
sikapnya belakangan ini!" bantah Lina. Wiwik adalah
panggilan sayang untuk Tiwi. "Ayo, mulai hari ini Mbak
Wik harus lebih memperhatikannya."
"Terus terang aku kurang memperhatikan perubah-
an yang itu, Lin. Tetapi kalau ia tiba-tiba suka mema-
kai blus kaus yang lebih feminin daripada kemeja-
kemeja longgarnya yang kurang licin gosokan setrikanya
itu, aku melihatnya. Tetapi hal itu tak terlalu kupikir-
kan. Boleh jadi ia merasa sudah waktunya untuk tam-
pak lebih feminin. Atau boleh jadi lebih enak memakai
kaos daripada blus longgar yang panas. Dia kan harus
menyiapkan seminar untuk tesisnya."
"Kalau begitu tolong amati dia lebih jauh lagi. Aku
sendiri sudah menyelidiki pihak satunya di rumahnya
sana!" "Pihak satunya?" tanya Lina agak bingung.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com225
"Irawan!" sahut Iwan tertawa.
"Oh ya?" seru Tiwi menyela. "Apa yang Mas Iwan
sudah dapatkan dari pengamatan Mas?"


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada sedikit saja perubahan yang kulihat. Ia se-
karang memelihara kumis!" jawab Iwan. "Memang itu
belum bisa dijadikan pegangan. Tetapi untuk apa orang
memelihara kumis kalau bukan keinginan untuk
tampak lebih ganteng. Setidaknya, yang menyangkut
Irawan. Ia bukan jenis orang yang mau didikte orang
lain. Disuruh kekasih supaya memelihara kumis,
misalnya." "Hal lainnya?" Iwan tertawa. "Ia selalu menghindar kalau aku bertanya mengenai
perjalanannya ke Bandung waktu itu," jawabnya ke-
mudian. "Padahal sebagai saudara kembar, kami berdua
mempunyai hubungan yang erat satu sama lain meski-
pun tidak dibesarkan bersama-sama dalam satu rumah.
Hampir tak ada rahasia di antara kami berdua. Tetapi
kali ini, ia tak mau membuka mulutnya. Lebih-lebih
kalau aku menyinggung tentang mereka yang terpaksa
bermalam karena truk mengalami kerusakan. Kelihatan
sekali ia tidak suka membicarakannya."
"Wah, kedengarannya seru nih!" komentar Lina
yang masih kekanakan itu. "Apa ya kira-kira yang ter-
jadi pada mereka berdua?"
Iwan dan Tiwi tak memberi tanggapan atas kata-
kata gadis remaja itu. Keduanya sedang tenggelam da-
lam pikiran masing-masing sehingga akhirnya Lina juga
terdiam. Tetapi beberapa saat kemudian keheningan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com226
yang mulai merayapi suasana teras itu terpecahkan oleh
suara Tiwi yang terdengar begitu penuh harapan.
"Aku ada usul!" katanya.
"Apa, Mbak?" Lina mengalihkan perhatiannya ke-
pada sang kakak. "Kita piknik bersama yuk!"
"Kita" Siapa saja itu?" tanya Iwan.
"Keluargaku dan keluargamu, Mas. Minus orangtua
tentu saja." "Usul yang menarik. Tetapi kalau tak ada alasan
yang jelas, mana Irawan mau ikut?"
"Kalau begitu harus ada hari yang istimewa. Wah,
keluarga kami tak ada yang berulang tahun dalam
waktu dekat-dekat ini!" kata Tiwi, setengah mengeluh.
"Keluargamu, Mas?" sela Lina. "Ada yang ulang
tahun atau merayakan sesuatu, atau syukuran atas ke-
berhasilan tertentu misalnya?"
Iwan tertawa. "Ada. Tetapi baru sekitar tiga minggu mendatang!"
jawabnya. "Siapa yang berulang tahun?" tanya Lina lagi.
Iwan tersenyum sehingga kedua gadis itu merasa
tak sabar. "Kok senyum-senyum saja sih dari tadi!" gerutu
Tiwi. "Jawablah dulu!"
Senyum Iwan semakin melebar.
"Baik, baik. Akan kukatakan," katanya kemudian.
"Nah, yang akan berulang tahun tiga minggu lagi ada-
lah Irawan." Tiwi dan Lina bersorak. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com227
"Hebat," seru mereka hampir bersamaan.
"Tepat waktunya. Tidak terlalu dekat dan tidak ter-
lalu lama kita harus menunggu!" kata Lina. "Rencana
ini harus disiapkan matang-matang agar berhasil de-
ngan sukses." "Ya, kita memang harus mempersiapkan segala se-
suatunya agar acara piknik menyenangkan semua
pihak!" sambung kakaknya. "Tolong Mas Iwan ikut me-
mikirkan acara apa saja yang bisa kita usung di sana."
"Itu pasti. Aku juga akan minta bantuan Rima,"
jawab Iwan. "Dan jangan lupa, kita harus menyiapkan sesuatu
yang khusus untuk yang berulang tahun!" kata Tiwi
lagi. "Ya," adiknya menyambung. "Tetapi apa yang kira-
kira akan menyenangkan Mas Irawan?" Otaknya mulai
diperas. "Apa ya?" Tiwi juga mulai ikut berpikir-pikir. Tetapi
tiba-tiba ia menepuk pahanya sendiri dan melanjutkan
kata-katanya dengan suara yang lucu. "Gila, kenapa aku
hampir saja lupa. Ulang tahun Mas Irawan kan berarti
juga ulang tahun Mas Iwan!"
"Ya ampun, aku kok juga tak memikirkan hal itu!"
seru Lina. "Itulah yang tadi membuatku tertawa. Aku sendiri
hampir saja lupa hal tersebut," kata Iwan, tertawa lagi.
"Wah, bakal ramai nih. Pas sekali event-nya. Ren-
cana kita ini harus terealisasi ah. Jangan sampai ga-
gal." "Itu pasti. Tetapi sudahkah ada gambaran ke mana
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com228
kira-kira kita akan piknik bersama?" Iwan bertanya.
"Aku tidak punya ide nih."
Pertanyaan Iwan dijawab oleh Tiwi si pencetus
gagasan itu dengan cepat dan tangkas.
"Ke Pantai Carita. Kita menginap di sana!" kata-
nya. "Wah, aku setuju. Kita pilih cottage yang berada di
tepi laut," sambung Lina antusias.
"Ya, memang begitu yang kumaksud. Supaya lebih
bebas!" sambung kakaknya lagi.
"Bebas apa yang kaumaksud, Mbak" Bebas pacar-
an?" "Ya ampun, Lin, jangan terlalu polos begitu ah!"
tawa Tiwi. "Yang kumaksud adalah kita bebas meng-
hirup udara laut dan merasakan alam sekitar kita.
Suatu hal yang mustahil dapat dirasakan andaikata kita
menginap di hotel atau yang semacam itu. Bagaimana
Mas Iwan, apakah kau setuju?"
"Setuju. Kita juga bisa menyewa kapal untuk me-
mancing dan menyanyi-nyanyi dengan gitar di tepi
pantai." "Aku akan membawa kartu remi!" sambung Lina.
"Bagus. Aku jadi ingin cepat-cepat ke sana sekarang
ini!" kata Tiwi dengan mata berbinar, disusul oleh tawa
lainnya. "Baru membayangkan saja sudah senang sekali
rasanya. Mudah-mudahan hati beku Kleting Kuning
kita bisa mencair." "Tetapi hati-hati, jangan sampai Irawan dan Tina
mengetahui rencana kita. Jadi rahasiakan dulu. Aku
dan Rima akan main sinetron lagi agar Irawan mau
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com229
tidak mau akan pergi bersama kita," Iwan mengingat-
kan. "Baik." Kedua gadis kakak-beradik itu tertawa.
"Kami berdua juga akan main sinetron di hadapan
Mbak Tina." Kata sepakat telah diputuskan dengan suara bulat
yang ceria. Tinggal tunggu tanggal mainnya.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com230
BEGITU mereka tiba kembali ke rumah, Tina lang-
sung mengeluarkan isi tasnya sampai habis. Celana jins,
blus kaus, kemeja longgar, pakaian dalam, handuk,
pakaian renang, celana pendek. Pokoknya semua yang
ia bawa ke Pantai Carita kemarin kini teronggok di
atas lantai. Semuanya kotor.
Sesudah tas pakaiannya kosong, benda itu dibersih-
kannya untuk kemudian disimpan kembali ke tempat-
nya. Sedangkan pakaian-pakaian kotor yang dikeluarkan-
nya tadi dibawanya ke belakang. Di pintu ruang
belakang Tina berpapasan dengan ibunya.
"Senang, Tin?" tanyanya. "Enak kan dapat sejenak
melupakan segala kesibukan yang kita hadapi sehari-
hari selama ini?" "Ya," Tina menjawab dengan enggan.
"Mana cuaca sedang bagus-bagusnya. Bulan hampir
penuh!" "Ya." Delapan 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com231
"Kalian pasti tidur sampai jauh larut malam!"
"Ya." "Lalu besoknya seharian berenang di laut. Ya?"
"Ya." Bu Himawan melirik anak gadisnya. Naluri keibu-
annya menangkap adanya keengganan pada diri Tina
yang terungkap dalam sahutan-sahutannya yang pendek.
Lebih-lebih matanya menangkap wajah yang biasanya
periang itu agak lain daripada biasanya. Untuk Tina, hal
itu sungguh merupakan sesuatu yang sangat mencolok.
Gadis itu periang dan selalu bersikap optimis. Karena-
nya dengan penuh perasaan dan rasa ingin tahu, Bu
Himawan mencurahkan perhatiannya kepada putrinya
itu. "Ada sesuatu yang menyusahkanmu?" tanyanya hati-
hati. "Tidak." "Kau tak mau berterus terang kepada ibumu sen-
diri, Kleting Kuning?" ibunya berkata lagi. "Ibu lihat,
wajahmu tampak muram."
"Bukannya tidak mau bercerita, Bu. Aku hanya
menganggap bahwa apa pun yang terjadi itu tak pen-
ting untuk diceritakan."
Ibunya mengangguk sebagai pernyataan bahwa ia
tak akan mendesak lagi agar Tina mau menceritakan
apa yang sedang mengganggu perasaannya.
"Tetapi Ibu harap, hendaknya kau bisa membawa
diri dengan baik di mana pun dan dengan siapa pun
seperti biasanya," kata sang ibu kemudian. "Juga jangan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com232
lupa bahwa apa pun yang tak bisa kauhadapi sendiri,
Ibu selalu siap berada di sisimu!"
Mendengar kata-kata seperti itu, Tina tersenyum.
Lalu kepalanya terangguk.
"Ya, Bu. Terima kasih atas pengertian Ibu," sahutnya
kemudian. "Tetapi sekarang ini belum ada sesuatu pun
yang aneh-aneh ataupun yang sulit-sulit. Jadi Ibu tidak
perlu merasa prihatin."
"Syukurlah kalau memang tidak ada apa-apa. Tetapi
betul begitu kan, Tina?" Sang ibu masih saja merasa
khawatir. Tina hampir-hampir tak pernah berwajah
muram seperti itu. "Betul, Bu." Usai bicara seperti itu, ia segera pergi
menghindari percakapan lebih jauh lagi. Ibunya meng-
awasinya dengan pelbagai macam pertanyaan dalam
hati. Sungguh tak biasanya Tina bersikap serius dengan
dahi yang sering kali berkerut. Tak biasanya pula
wajahnya membiaskan adanya rasa tertekan pada batin-
nya. Tina bukanlah gadis yang berjenis melankolis,
romantis, ataupun jenis manusia yang mudah terlarut
perasaan. Oleh sebab itu perubahan sikapnya hari itu
mengait rasa ingin tahu yang didasari keprihatinan,
dalam hati sang ibu. Sementara itu yang sedang dipikirkan oleh Bu
Himawan berjalan dengan kepala tertunduk. Bahunya
turun. Perasaannya tertekan. Ia telah membohongi ibu-
nya. Jawaban "Betul, Bu" yang diucapkannya tadi, tak
sesuai dengan kenyataan. Bukankah itu bohong nama-
nya" Apa pun alasannya.
Di dalam kamarnya, Tina mengenyakkan tubuhnya
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com233
ke kursi dan menatap halaman samping kamarnya de-
ngan harapan bunga-bunga tanaman ibunya itu akan
dapat mengusap perasaannya yang gundah. Ia sungguh
merasa bahwa dirinya sedang berada di bibir jurang
yang dalam. Sepanjang hari Sabtu sampai hari ini, hari
Minggu menjelang senja setibanya di rumah kembali,
ia mulai menyadari adanya perasaan khusus yang
muncul pelan-pelan dari batinnya yang paling ujung
dan paling dalam. Bahkan kemarin ia dikejutkan de-
ngan reaksi batinnya yang begitu aneh menurut perasa-
annya. Ketika melihat Irawan lagi, di dalam bus kecil
yang disewa oleh Iwan agar mereka bisa pergi bersama-
sama sekaligus ke Pantai Carita, hatinya menjadi penuh
dengan kegairahan yang sukar dijinakkan.
Keadaan semacam itu baru kali ini dirasakannya.
Dengan susah payah ia berusaha untuk tampil secara
wajar dan terkendali. Setidaknya, pada permukaannya.
Bahkan jika mungkin, ia hendaknya bisa memperlihat-
kan sikap yang seperti biasa apabila berhadapan dengan
Irawan atau laki-laki lain. Acuh tak acuh, menganggap
mereka bukan orang penting bagi dirinya.
Sungguh, ia tidak tahu apakah usahanya selama
dalam perjalanan ke Pantai Carita sampai hari berikut-
nya menjelang sore kembali ke Jakarta itu memper-
lihatkan hasil sebagaimana yang ia kehendaki. Sebab,
ternyata sangatlah sulit menundukkan letup-letup
gairah yang tiap sebentar muncul dalam hatinya. Ketika
Irawan tanpa sengaja bertatapan dengannya, misalnya.
Atau ketika mereka mencari ikan bersama-sama, misal-
nya pula. Lebih-lebih ketika mereka semua bergantian
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com234


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membakar ikan-ikan hasil tangkapan dan menikmatinya
sebagai teman nasi pada waktu makan malam. Cahaya
rembulan dari atas dan cahaya api yang membakar ikan
itu seperti menari-nari pada wajah dan terutama pada
bola mata laki-laki itu. Wajahnya yang rasanya semakin
tampak ganteng dengan kumis barunya itu sulit di-
hindari daya pukaunya. Lalu saat mereka bernyanyi-
nyanyi, hati Tina seperti dilapisi sesuatu yang me-
nimbulkan semacam kesenduan yang ia tak mengerti
mengapa perasaan itu bisa menyelinap ke sela-sela sanu-
barinya. Juga pagi harinya ketika mereka berenang bersama-
sama dan ia menangkap semburat kekaguman dari bola
mata Irawan tatkala melihatnya dalam pakaian renang-
nya yang berwarna merah. Ia yang biasanya masa bo-
doh, tiba-tiba saja hatinya terasa berbunga-bunga.
Aneh, rasanya. Sungguh mati, Tina sendiri merasa prihatin karena-
nya. Ada banyak orang yang ikut dalam piknik itu.
Tiwi, Lina, Iwan, Rima, Dini, Dedy, dan Deny, adik-
adik Iwan. Tetapi mengapa hanya Irawan saja yang
menjadi titik pusat perhatiannya. Aduh, sungguh hal
itu bukan sesuatu yang menyenangkan.
Sekarang di dalam kamarnya yang sepi, Tina me-
lamun. Perasaannya tertekan. Betapapun bodohnya dan
tak berpengalamannya dia dalam dunia hubungan pria
dan wanita, tetapi ia toh tetap saja bisa menangkap
adanya dering-dering peringatan bahwa apa yang kini
dirasakannya itu merupakan gejala-gejala perasaan jatuh
cinta. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com235
Kesadaran itu sangat mengecutkan hati Tina. Ia
merasa tertekan karenanya. Sama sekali ia tidak ingin
jatuh cinta. Setidaknya pada saat-saat sekarang ini di
mana ia sedang mencurahkan perhatiannya kepada
studinya yang tinggal sejengkal.
Tetapi sebenarnya di atas semua itu, yang paling
membuatnya merasa tertekan adalah perasaan malu
yang dideritanya. Malu bukan saja kepada keluarganya
andai mereka sampai tahu apa yang terjadi ini, tetapi
terutama juga malu pada dirinya sendiri. Diam-diam
dia berharap agar lelaki yang bersangkutan yaitu Irawan
sendiri, tak sekali pun menduga apa yang sedang terjadi
dalam hatinya ini. Lalu, bagaimana dengan Irawan sendiri"
Belakangan ini, pikiran lelaki itu sering kali me-
layang kepada gadis kelaki-lakian yang setapak demi
setapak seperti menyingkapkan ciri-ciri kodrat kepe-
rempuanannya tanpa yang bersangkutan menyadarinya.
Dan bagi Irawan ciri-ciri yang tampak itu adalah ciri-
ciri yang justru paling mendasar dan menyentuhkan
suatu perasaan khusus padanya, yang juga justru seperti
mengungkit perasaan kelelakiannya. Menantang jawab-
an kejantanannya yang selama ini tak dibiarkan me-
narik hati lawan jenisnya. Lekuk-liku tubuh indah
Tina, dadanya yang penuh, pinggulnya yang bulat, dan
pinggangnya yang ramping, jelas hanya dimiliki oleh
perempuan kendati selama ini sering tersembunyi di
balik blusnya yang kedodoran.
Masih begitu segar melekat dalam ingatannya, se-
olah baru saja hari ini terjadi, bagaimana Tina pernah
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com236
berada dalam pelukannya selama beberapa menit de-
ngan sikap begitu pasrah, begitu jinak, dan begitu
manja. Tetapi yang juga begitu kentara bahwa sikap
semacam itu tak pernah sebelumnya diberikan atau
diperlihatkannya kepada siapa pun. Suatu menit-menit
yang meruntuhkan gambaran seorang gadis tomboi,
seorang gadis kelaki-lakian. Sebab selain kepasrahan
yang sudah menjadi kebiasaan dan bahkan menjadi
sifat perempuan yang dipupuk oleh budaya, Irawan
juga menangkap getaran bola mata yang berlumur pe-
sona dan ketakpercayaan akan apa yang sedang dialami-
nya itu. Ada campuran rasa antara malu-malu tetapi
mau, keragu-raguan untuk mengetahui perasaan pihak
lain, dan ekspresi wajah yang juga hanya dimiliki oleh
seorang perempuan yang sedang mengalami pesona
lawan jenisnya. Lebih dari itu, Irawan telah pula me-
rasakan kehalusan kulit, keempukan dada, dan ke-
lembutan rambut yang jelas bukan milik kaum laki-laki.
Apalagi keharuman aroma yang tersiar dari tubuhnya.
Betapa gaduhnya hatinya kala itu. Betapa derasnya
darahnya menyembur-nyembur di dalam tubuhnya.
Dan betapa hebatnya perang batin yang dialaminya saat
itu. Perang antara keinginan untuk merengkuhkan ke-
pala yang semakin memperlihatkan kecantikan yang
alami, lalu mencium bibir perawan yang masih demi-
kian segar dan tak pernah tersentuh alat-alat kecantik-
an, melawan keinginannya untuk membebaskan diri
dari sekapan perasaan yang mengejutkan dirinya itu.
Selama beberapa Minggu, adegan itu sering tercetak
kembali dalam kenangan Irawan dan mencengkeram
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com237
hatinya dengan desakan-desakan untuk merasakan lagi
pengalaman semacam itu. Demikian menggilanya se-
hingga entah berapa puluh kali ia harus mengendalikan
keliaran hatinya ketika mengingat saat Tina sedang
berada di dekatnya. Selama mereka berdarmawisata ke
Pantai Carita, ia benar-benar merasa tersiksa. Suatu
siksaan yang tak pernah dialaminya sebelum ini.
Sama seperti yang sering berkelebat dalam pikiran
Tina, Irawan pun mengalami kerinduan untuk merasa-
kan dan mengulanginya kembali. Dan lagi, dan lagi.
Pernah ketika yang lain sibuk berenang dan Tina
ada di tenda karena bergilir menjaga barang-barang
mereka, Irawan tak tahan untuk tidak mendekati gadis
kelaki-lakian yang saat itu sungguh berwujud sebagai
perempuan sempurna dengan seluruh liku-liku dan
bagian-bagian yang menonjolkan ciri keperempuanan-
nya yang paling dominan. Kulitnya yang kuning langsat
dan halus, lengannya yang penuh tetapi ramping. Lalu
pinggangnya yang kecil, dadanya yang seperti bukit
kembar mendesak pakaian renangnya dengan begitu
indahnya. Dan wajahnya yang saat itu berbingkai
rambut basah yang melekat pada kepalanya, menonjol-
kan kecantikan yang selama ini seperti tersembunyi.
Begitu pun matanya yang besar dengan bulu-bulu mata
lentik. Hidungnya yang kecil tetapi mancung, bibirnya
yang segar berbentuk indah, pipinya yang aristokrat,
dan dagunya yang bak sarang lebah bergantung itu. Ah,
sungguh-sungguh kecantikan Kleting Kuning mulai
tersingkap. Bersih dan nyata. Tidak ada bingkai rambut
yang potongannya seperti laki-laki karena rambut itu
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com238
kini basah dan melekat pada kepala mungil yang mem-
perlihatkan kepala seorang perempuan. Tidak ada jins
lusuh dan kemeja gombrong. Tidak ada cemong-
cemong oli mobil pada pipinya sebagaimana ketika
gadis itu memeriksa mesin truk dan dengan tangannya
yang kotor itu mengusap keringat pada dahi dan pipi-
nya. Pendek kata, Kleting Kuning yang aslinya adalah
Dewi Sekartaji yang menyamar itu tak lagi dapat
menyembunyikan kecantikannya yang asli.
Saat itu Irawan tak mampu menguasai dirinya. Ia
betul-betul terpukau oleh pemandangan indah di hadap-
annya itu. Sinar matanya jelas menyiratkan betapa ia
terpesona oleh Tina sampai-sampai yang dipandanginya
merasa malu. Pipinya mulai merona merah sehingga
menyadarkan laki-laki itu bahwa ia telah memperlihat-
kan keterpukauannya tanpa kendali. Karenanya dengan
agak gugup, ia meletakkan tubuhnya yang jangkung
berisi, yang menonjolkan otot-otot dadanya sebagai
lelaki yang gemar berolahraga. Dengan gerakan cang-
gung, tangannya meraih handuk salah seorang adiknya
dan diselimutkannya pada bahunya yang basah oleh air
laut. "Lapar," dalihnya kemudian. "Ada makanan apa?"
Suaranya cukup mencairkan ketegangan yang se-
mula mengaliri udara di sekitar mereka berdua.
"Roti tawar dengan beberapa macam isi."
"Isi apa saja?"
"Selai nanas, selai mangga, mentega kacang, cokelat,
dan keju. Mau yang mana?"
"Ada yang sudah diisi?"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com239
"Sudah habis. Tinggal roti tawar dan kau harus
mengisinya sendiri dengan isi yang kauinginkan."
"Baik, aku akan aku suka roti tawar dengan mentega
kacang campur cokelat."
Tina mengulurkan apa-apa yang diinginkan lelaki
itu. Sementara Irawan mengisi rotinya, ia menuangkan
air putih ke dalam gelas kertas, lalu diulurkannya ke-
pada laki-laki itu. "Terima kasih," gumam Irawan.
Tina meliriknya. Akhir-akhir ini kadang-kadang
keangkuhan lelaki itu entah menguap ke mana. Setidak-
nya terhadap dirinya. Tetapi keangkuhan itu kembali
ketika seluruh rombongan berkumpul bersama-sama.
Dalam waktu yang singkat, roti berlapis mentega
kacang dan cokelat itu telah habis. Demikian juga se-
gelas air putih itu. Tina melihatnya sambil tersenyum.
Lelaki sebesar dan setinggi Irawan pastilah banyak
membutuhkan makanan. "Lagi?" tanyanya kemudian. "Rotinya masih banyak.
Kemarin Rima membawa empat, dan aku dua. Terlalu
banyak!" "Nanti saja. Tetapi minumnya, bolehlah. Segelas
lagi!" Sambil berkata, Irawan mengulurkan gelas kosong
itu. Tina segera menuang air lagi ke dalamnya dan
mengulurkannya kembali kepada Irawan. Entah di-
sengaja entah tidak, mengenai hal itu Irawan pun tak
bisa menjawab dengan pasti andaikata ada yang me-
nanyakannya, tangan gadis itu terpegang olehnya. Be-
berapa saat lamanya kedua tangan itu bersentuhan.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com240
Lalu terlepas disertai napas tertahan keduanya. Seren-
tak keduanya teringat pautan tangan mereka di Cisarua
sebulan yang lalu. Tina lalu menundukkan kepalanya,
menyembunyikan air mukanya yang mungkin saja mem-
biaskan debar-debar keras dalam dadanya. Sedangkan
Irawan langsung meneguk minumannya sampai habis
tandas. "Kau tidak berenang?" tanya laki-laki itu sambil
mengusap mulutnya yang basah dengan punggung ta-
ngannya. Tina mendengar getar dalam suara lelaki itu.
Ah, apakah Irawan juga terpengaruh kedekatan di
antara mereka berdua tadi" Ataukah ia juga teringat
kepada pautan tangan dan kemudian pelukannya di
Cisarua waktu itu" "Nanti saja. Aku mendapat giliran menjaga barang-
barang kita ini," sahut Tina. Ya Tuhan, semoga dia pun
tak memperhatikan suaraku yang juga agak bergetar
ini, keluh gadis itu di dalam hatinya.
"Oke, kalau begitu nanti kita berdua giliran be-
renang kalau ada yang mau istirahat sambil menjaga
barang." Tina mengangguk. Ketika mereka berdua akhirnya
mendapat kesempatan berenang dan menyerahkan
tenda kepada Deddy, empat pasang mata memperhati-
kan kedua insan itu, lalu saling bertukar pandang de-
ngan senyum tertahan. Keempat pasang mata itu ada-
lah milik Iwan, Rima, Tiwi, dan Lina.
"Tak biasanya Mbak Tina mau berduaan dengan
laki-laki," gumam Tiwi yang didengar oleh ketiga orang
lainnya. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com241
"Begitupun saudara kembarku itu!" sahut Iwan.
Di laut, Tina yang sebenarnya malu untuk berenang
di dekat Irawan, mulai menjauh. Tetapi Irawan yang
masih dibalut kekaguman kepada Kleting Kuning yang
saat itu sedang menjadi putri duyung, mendekatinya
lagi. "Tin, kau tadi sibuk memotong-motong kue tart
ketika yang lain-lain berebut mengucapkan selamat
ulang tahun kepada Iwan dan kepadaku!" katanya be-
gitu ia tiba di dekat Tina. "Rasanya hanya kau sendiri
yang belum memberiku ucapan selamat."
Gadis itu mengibaskan rambutnya yang basah se-
hingga air tepercik ke mana-mana.
"Masa sih" Rasanya aku tadi sudah mengucapkan
selamat juga!" sahutnya kemudian. Padahal ia tahu
pasti, ia memang belum menjabat Irawan. Baru kepada
Iwan saja ia mengucapkan selamat ulang tahun.
"Kau baru memberi ucapan selamat pada Iwan.
Padahal yang hari ini berulang tahun kan dua orang!"
Tina tak dapat menahan senyumnya. Saat itu
Irawan seperti anak kecil manja yang sedang merajuk.
"Jadi aku harus mengucapkan selamat kepadamu?"
tanyanya kemudian. "Tentunya demikian. Hari belum habis. Separonya
saja pun belum!" Masih sambil tersenyum, Tina lalu mengulurkan


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya. "Selamat ulang tahun ya, Mas. Semoga panjang
umur!" katanya. Irawan juga tersenyum dan menyambut uluran
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com242
tangan gadis itu. Tetapi tangan itu tak dilepaskannya
lagi, melainkan dihelanya agar mereka berdua bisa ber-
sama-sama berenang menyusuri laut di tepi pantai
Barat Pulau Jawa itu. Air laut saat itu tampak jinak.
Aneh. Tak setitik debu pun Tina memiliki keingin-
an untuk melepaskan tangannya dari pegangan Irawan.
Dibiarkannya pula ia dihela dan dibawa berenang ber-
sama-sama. Kemudian ketika mulai merasa lelah dan
tangannya mulai terasa pegal, Irawan menghentikan
gerak renangnya. Dengan tubuhnya yang jangkung, per-
mukaan air laut hanya sampai pada batas dadanya
ketika ia berdiri menapak dasar laut. Tetapi Tina yang
mungil, hanya kepalanya saja yang tampak.
"Ayo, kita agak ke tepi, Mas!" katanya. "Meskipun
laut hari ini tampak bersahabat, tetapi tetap saja tem-
pat ini mempunyai pusaran air yang bisa berbahaya jika
kita berenang terlalu ke tengah."
"Oke." Tetapi Irawan masih belum melepaskan tangan
Tina sehingga keduanya masih saling berpegangan di
bawah permukaan laut. Melihat wajah yang seperti tak
memiliki badan itu, ia tertawa.
"Apanya yang lucu?" tanya Tina.
"Kau. Seperti kepala tanpa tubuh."
"Ini terlalu dalam untukku. Arusnya juga mulai te-
rasa deras." "Ayolah kau berenang ke tepi dengan kedua belah
tanganmu kuhela. Aku akan berjalan mundur ke tepi
tanpa berenang!" katanya.
Sambil berkata seperti itu Irawan meraih tangan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com243
Tina yang masih bebas sehingga kedua tangan itu kini
berada di dalam genggamannya. Maka demi kepalanya
tidak tenggelam, mau tak mau Tina pun segera be-
renang lagi. Begitu tiba di tepi dan permukaan air laut
hanya sampai ke pahanya, Tina lalu menjejakkan kaki-
nya ke dasar laut. Kedua belah tangan mereka masih
tetap saling berpegangan. Namun kemudian entah si-
apa yang mulai lebih dulu, pautan tangan itu terlepas
satu sama lain. Baik Tina maupun Irawan merasakan kuatnya aliran
darah yang mengalir pada tubuh masing-masing. Dada
mereka berdebar-debar. Sebab, sebelum kedua belah
tangan itu terurai kembali, kedua belah mata mereka
saling memandang beberapa saat lamanya. Dan dalam
waktu sesingkat itu mereka berdua sama-sama me-
nangkap adanya kerinduan untuk saling mendekatkan
diri dari sorot mata masing-masing.
Aneh. Keduanya sesudah itu segera melangkah men-
jauh. Irawan mengatakan akan mencari rokok, Tina
mengatakan akan mencari lokan atau benda-benda laut
sambil menyusuri pantai menuju ke tenda mereka.
Tak seorang pun di antara keduanya yang menya-
dari bahwa hasrat untuk saling mendekatkan diri itu
terasa mengoyak diri masing-masing. Tina dengan ke-
prihatinannya akan kehilangan kemandirian dan ke-
bebasan batinnya, Irawan dengan keprihatinannya akan
kehilangan kebebasan hidup pribadinya dan rasa
enggan untuk membiarkan hatinya tergenggam seorang
gadis. Karenanya, tanpa mereka berdua sadari, tiba-tiba
saja pautan tangan itu terlepas dan kedua belah kaki
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com244
mereka masing-masing melangkah semakin menjauhi
pihak lainnya. Kini di kamarnya, Tina merenung seraya menatapi
bunga-bunga mekar yang pohon-pohonnya selalu di-
rawat oleh ibunya dengan cermat dan penuh kasih
sayang. Tanpa disadari, air matanya berlinang-linang. Ia
tidak ingin jatuh cinta. Tetapi hatinya begitu saja
runtuh oleh panah asmara. Bahkan ada semacam ke-
rinduan yang berulang kali mengusik hatinya yang
paling dalam. Diam-diam ia sangat berharap agar Irawan tak
mengetahui apa yang sedang bergolak di dalam batin-
nya. Ketika dalam perjalanan pulang menuju ke Jakarta
kembali, ia memang berhasil menyelimuti dirinya de-
ngan sikap dingin seperti ketika ia belum berkenalan
dengan laki-laki itu. Acuh tak acuh dan mengambil
jarak. Sikap seperti itu tentu saja membingungkan yang
lain. Bukan saja membingungkan Iwan, Rima, Tiwi,
dan Lina, tetapi juga menimbulkan tanda tanya pada
diri Irawan. Apalagi sampai turun dari bus, gadis itu
tak banyak bicara maupun tersenyum. Bahkan ketika
Tiwi dan Lina sibuk membalas lambaian tangan dari
dalam bus yang langsung melaju kembali itu, Tina ha-
nya mengangkat sedikit saja sudut bibirnya.
Tetapi kini di kamarnya, berbagai macam perasaan
mulai mengharu-biru hatinya. Di sisi lain ia tak ingin
lagi berjumpa dengan Irawan sebab takut akan semakin
jauh terjerat panah asmara. Tetapi di pihak lain, ia
sering kali teringat tatap mata Irawan ketika mereka
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com245
berdua berenang. Debar-debar dada seperti yang dirasa-
kannya ketika tangan mereka berdua berpagut, sungguh
suatu pengalaman yang menakutkan tetapi juga sangat
menyenangkan. Rasanya ia ingin mengulangnya lagi
dan lagi. Namun, keinginan-keinginan semacam itu se-
gera saja ditindas oleh sisi lain hatinya. Sisi yang me-
ngatakan bahwa keinginan semacam itu adalah ke-
inginan rendah yang akan menurunkan harga dirinya.
Sungguh pusing kepala Tina. Dengan membiarkan
air matanya meluncur satu-satu ke pipinya, ia masih
duduk di muka jendela kendati senja telah meng-
gantikan sore dan sebentar lagi malam akan datang
merebut hari. Suara pintu kamar yang dibuka tiba-tiba meng-
gerakkan tangan Tina untuk buru-buru menghapus
pipinya yang basah. Dan agar tidak terlihat orang bah-
wa ia baru saja menangis, kepalanya tetap terarah ke
jendela tanpa sedikit pun niat untuk mengetahui siapa
yang membuka pintu kamarnya.
"Mbak, kata Ibu kau mau mandi memakai air panas
atau tidak?" tanya orang yang berdiri di ambang pintu
kamar itu. Suara Tiwi. "Kalau mau, Ibu akan me-
nyuruh Bik Benah memasak air banyak-banyak."
"Mau," sahut yang ditanya tanpa menoleh.
Tiwi memperhatikan kakaknya sesaat, lalu berkata
lagi. "Kok melamun sih?" godanya. "Apa yang kaulamun-
kan" Eh, maksudku, siapa yang kaulamunkan?"
Kepala Tina bergerak. "Aku tidak melamun, Tiwi." Suara Tina agak se-
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com246
tengah membentak. "Aku sedang pusing, mungkin
terlalu banyak kena panas matahari."
"Oh ya?" Tiwi yang tidak menyangka kakaknya akan
tersinggung digoda seperti itu, mencuri pandang ke
wajah yang hanya kelihatan sisinya saja itu. Dan mata-
nya cukup sehat untuk menangkap sesuatu yang kurang
beres pada sisi wajah itu. Pipinya basah dan hidungnya
agak memerah. Sambil menutup pintu kembali, Tiwi tak dapat meng-
usir perasaannya yang menjadi galau. Tina adalah satu-
satunya gadis yang hampir-hampir tak pernah menangis
di antara mereka lima bersaudara itu. Dulu semasa kecil,
ia banyak mengalah kalau bertengkar dengan kakak
maupun ketiga adiknya. Nalarnya mengatakan bahwa
menangis karena bertengkar atau berebut sesuatu, tidak
ada gunanya. Bukan tangislah yang dapat menyelesaikan
persoalan. Melainkan otak dan suhu perasaan yang
normal. Tetapi kini Tiwi melihat gadis itu menangis. Pada-
hal, mereka baru saja pulang dari piknik. Dan se-
panjang yang dilihatnya bersama Lina, tak sesuatu pun
yang kelihatan aneh. Tetapi mengapa Tina membuang
air matanya yang mahal itu" Lalu mengapa pula ia me-
nyembunyikannya" Jawaban bahwa ia pusing karena
panas matahari itu pun bagi Tiwi hanya alasan yang
mengada-ada. Tina termasuk gadis yang amat sehat.
Kalau hanya panas matahari saja, ia tak akan jadi pu-
sing karenanya. Ketika Tiwi menyampaikan jawaban Tina mengenai
persetujuannya untuk mandi dengan air panas kepada
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com247
ibunya, hampir saja ia menceritakan tentang keadaan
sang kakak itu. Tetapi tatkala teringat bagaimana ibu-
nya mudah merasa cemas terhadap persoalan anak-
anaknya, ia mengurungkan niatnya. Bisa-bisa Tina
marah kepadanya. Tina bukanlah Indri atau Lusi yang
suka dibelai-belai apabila sedang sedih. Tina selalu
ingin menyelesaikan segala persoalannya sendiri saja
tanpa campur tangan orang lain. Siapa pun orang-
nya. Mengingat hal seperti itu, Tiwi berbelok arah
masuk ke kamar si bungsu. Lina sudah mandi dan se-
dang berbaring-baring di tempat tidurnya sambil men-
dengarkan musik. "Capek, Lin?" tanyanya.
"Ya. Tetapi senang kok aku!" sahut yang ditanya
sambil tersenyum. "Aku melihat Mbak Tina mau be-
renang berdua-dua dengan Mas Irawan."
"Ah, kau dan aku telah terkecoh. Ada sesuatu di
balik itu yang belum kita ketahui."
Lina mengecilkan suara radionya. Dahinya berke-
rut. "Kau omong apa sih, Mbak?" tanyanya.
Tiwi mendekati tempat tidur adiknya, kemudian
duduk di tepinya. Sambil melihat ke arah pintu, kha-
watir kalau-kalau ada orang masuk, gadis itu berbisik
di dekat telinga adiknya.
"Aku memergoki Mbak Tina menangis, Lin!"
Lina terduduk. Berita seperti itu mana pernah di-
dengar sebelumnya" Air mata Tina sangat mahal.
"Kau tidak keliru lihat?" tanyanya perlahan.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com248
"Tidak. Hidungnya juga merah. Dan ketika kugoda
karena aku menyangkanya sedang melamun, aku di-
bentak. Aneh, kan" Kau kan tahu, Lin, dia bukan
orang yang emosional."
"Wah, gawat nih. Kenapa ya kira-kira" Mas Irawan
menyakitinya, atau apa?" Kerut di dahi Lina semakin
dalam. "Entahlah. Tetapi andaikata pun begitu, rasanya tak
mungkin dia akan membuang air matanya yang mahal
itu. Akan lebih baik baginya untuk membalas menyakiti
hati Mas Irawan. Itu kalau menilik sifatnya. Lebih-lebih
kalau itu berkaitan dengan persamaan hak antara laki-
laki dan perempuan. Kita pasti akan melihat pergulatan
karate daripada melihat pipi basah oleh air mata.
Tetapi kenyataannya kan itu tidak terjadi."
"Betul juga," gumam Lina sambil menggaruk kepala-
nya yang tidak gatal. "Kalau begitu apa yang harus kita
lakukan, Mbak?" "Kurasa yang paling tepat adalah menunggu dan
melihat perkembangannya. Kalau perlu, menghubungi
Mas Iwan sebab siapa tahu ia punya pendapat lain
yang lebih masuk akal," sahut Tiwi.
"Oke." Tetapi perkembangan yang ditunggu oleh kedua
gadis itu tak banyak yang bisa mereka lihat maupun
mereka perbincangkan. Sejak hari itu, Tina lebih
banyak berada di perpustakaan kampusnya. Kalaupun
ada di rumah, ia selalu sibuk dengan komputernya
untuk menggarap tesisnya. Maka hanya berita itu saja-
lah yang bisa disampaikan kepada Iwan dan Rima ke-
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com249
tika mereka datang membawa oleh-oleh dari Bu
Saputro, sambil sekalian menanyakan perkembangan
yang terjadi pada Tina. "Terus terang kami tidak bisa mengatakan apa-apa
kecuali itu. Nah, kalian menemukan apa pada Mas
Irawan?" Lina yang tak sabaran itu ganti bertanya.
"Kata budeku, Irawan mulai tampak lebih manu-
siawi. Begitu juga yang aku lihat!" Iwan menjawab sam-
bil tertawa. "Lebih manusiawi?" tanya Lina lagi dengan mata
membesar. Wajah gadis itu tampak kekanakan. "Apa
maksudmu, Mas?" "Maksudku, ia lebih banyak tersenyum. Lebih ba-
nyak bicara, lebih banyak memakai perasaan dibanding
sebelumnya. Terutama, ia jadi lebih sering datang
mengunjungi Ibu dan ikut bercanda bersama saudara-
saudaranya. Tetapi kata Bude, ia juga sering memergoki-
nya sedang melamun berlama-lama!"
Rima, Tiwi, dan Lina tertawa.
"Tetapi itu kan bukan suatu petunjuk bahwa per-


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ubahan itu ada kaitannya dengan Mbak Tina!" kata
Tiwi kemudian. "Memang bukan. Tetapi kalau dilihat bahwa se-
panjang dua puluh sembilan tahun dalam hidupnya
banyak diisi dengan hal-hal yang serius dan diantarai
jarak yang membatasi hubungan-hubungannya dengan
orang lain, perubahan mendadak seperti itu sungguh
patut dicermati!" "Apalagi budemu kan menceritakan bahwa Irawan
sekarang lebih suka memainkan lagu-lagu yang senti-
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com250
mentil kalau main piano ataupun organ!" sela Rima
mengingatkan. "Ya, memang. Tetapi sebagai saudara kembar, aku
mempunyai dugaan, Irawan sedang kena penyakit
asmara." "Mungkin Mbak Tina juga begitu lho," cetus Tiwi
setelah berpikir keras. "Cuma saja, dia tidak ingin
mengakuinya. Bahkan pada dirinya sendiri."
"Boleh jadi...," gumam Rima. "Malahan, barangkali
saja Mas Irawan juga mengalami hal yang sama. Tidak
ingin jatuh cinta, tetapi ternyata hal itu tak bisa di-
hindari." "Dugaanmu masuk akal," komentar Iwan.
"Salah atau betul dugaan kita, sekarang apa yang
bisa kita lakukan untuk lebih mendekatkan mereka
berdua?" tanya Lina lagi.
"Sssssh, sekarang harus hati-hati, Lin. Tangis Mbak
Tina itu harus diperhitungkan. Apalagi jika diingat
sejak setelah piknik kita ke Pantai Carita tiga minggu
yang lalu, Mbak Tina tak pernah sekali pun menyebut-
nyebut nama-nama keluarga Bu Saputro!" sela Tiwi.
"Iya lho, Mas Wan, malah kalau disuruh Ibu ke rumah-
mu, ia selalu melemparkan tugas itu kepada Pak
Somad dengan alasan banyak tugas kuliah yang harus
diselesaikannya. Hal seperti itu hampir tak pernah ter-
jadi sebelumnya. Apalagi berulang-ulang begitu. Jelas
sekali, itu pasti disengaja olehnya."
"Ibu kalian tidak memperhatikan hal itu?" tanya
Rima. "Tentu saja Ibu juga melihatnya. Beliau malah me-
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com251
nanyakannya kepadaku. Tetapi apa yang bisa kujawab"
Aku juga tak lebih banyak tahu!"
"Aku punya akal," kata Iwan tiba-tiba.
"Apa itu?" hampir serempak ketiga gadis di dekatnya
itu bertanya. "Kalau Tina tidak memedulikan keluarga kami,
maka keluargakulah yang akan mengusiknya!"
"Maksudmu?" "Aku akan minta tolong ibuku supaya menyuruh
Irawan kemari. Alasannya apa, nanti akan kupikirkan
di rumah. Setuju?" "Setuju," Tiwi dan Lina menjawab serempak. Kedua
belah mata mereka mengandung harapan.
Apa yang dikatakan oleh Iwan hari itu dilaksanakan-
nya tidak lama kemudian. Pada suatu hari Minggu
dengan mengharapkan Tina ada di rumah, Bu Saputro
memanggil Irawan datang ke rumah. Sudah diaturnya
supaya Iwan dan adik-adiknya tidak sedang ada di
rumah. "Tak ada yang kusuruh," kata sang ibu. "Terpaksa
aku minta tolong supaya kau mengantarkan termos ini
ke rumah Bu Himawan."
"Apa isinya, Bu?"
"Es putar buatan Ibu. Ibu kan sedang belajar mem-
buat es putar. Untuk yang ini kuberi rasa jagung. Asli
dan enak. Di freezer masih ada satu tempat untuk kau-
bawa pulang." Sebenarnya Irawan agak ragu datang ke rumah
Tina. Khawatir bertemu gadis itu. Pada pertemuan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com252
terakhir mereka ketika gadis itu turun dari bus, tak
sekilas pun pandangannya diarahkan kepadanya. Sikap-
nya juga dingin dan mengambil jarak. Hal itu cukup
melukai harga dirinya. Diperlakukan sedingin itu tanpa
mampu membalas, sungguh sangat mengganggu pe-
rasaannya. Padahal diberi keramahan dan uluran ta-
ngan persahabatan oleh gadis-gadis cantik yang ke-
molekannya lebih daripada Tina pun, Irawan masih
bisa bersikap acuh tak acuh.
Tetapi di sisi lain hatinya, Irawan sulit sekali me-
nindas keinginannya untuk bisa melihat kembali satu-
satunya perempuan yang pernah berada dalam peluk-
annya dan genggaman tangannya itu. Ada semacam
rasa ketagihan untuk merasai lagi kedekatan dan ke-
intiman semacam itu dengan Tina. Berulang kali di
rumahnya yang besar dan sunyi itu ia mengalami ke-
sepian yang lain sifatnya daripada kesepian seperti yang
selama ini sering dialaminya. Kesepian yang sekarang
memiliki keterkaitan dengan keberadaan Tina. Sangat
mencekik leher rasanya. "Berangkatlah sekarang, Ir, selagi masih beku esnya.
Ini kan hari Minggu. Es putarku pasti akan menjadi
teman yang menyenangkan bagi keluarga Bu Himawan.
Mereka sudah terlalu sering mengirim ini dan itu
kemari. Sekali-sekali aku harus juga membalas kebaikan
mereka," kata sang ibu. Perempuan itu tidak mau tinggal
diam dalam upaya mendekatkan Irawan dan Tina. Iwan
dan Rima telah menceritakan rencana mereka ke-
padanya. Maka Irawan pun tak lagi bisa berlama-lama dalam
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com253
kebimbangan. Pada kenyataannya, memang tak ada
orang lain yang bisa dimintai tolong untuk mengantar-
kan kiriman itu kepada keluarga Himawan. Iwan dan
Deddy sibuk dengan kekasih masing-masing entah di
mana. Adik-adiknya yang lain punya acara sendiri-
sendiri dengan teman mereka.
Irawan tak pernah mengetahui bahwa Iwan sudah
menelepon Tiwi dan Lina bahwa hari Minggu itu
Irawan akan datang membawa sesuatu untuk keluarga
Himawan. "Jadi tolong usahakan supaya di rumah kalian itu
sedang tidak banyak orang apabila Irawan nanti da-
tang!" kata Iwan waktu itu.
Maka dengan cara membujuk-bujuk Bu Himawan,
Tiwi dan Lina pada pagi hari Minggu itu merayu sang
ibu supaya ikut pergi dengan mereka.
"Sudah lama sekali kita tak ke Pasar Baru kan, Bu!"
kata Lina. "Melihat-lihat lagi pertokoan yang paling tua
usianya di Jakarta ini, asyik juga lho. Kita selalu ke
Mangga Dua atau ke Cempaka Mas kalau belanja ini
dan itu. Sekali-sekali ganti pemandangan ah."
"Nanti Tiwi traktir bakmi bakso Jalan Kelinci.
Kemarin Bapak memberi Tiwi uang ekstra!" sambung
Tiwi. "Ibu masih belum berani disopiri kau, Wik!" sahut
ibunya bimbang. "Wah, Mbak Tiwi sudah jauh lebih mahir daripada
kemarin-kemarin kok, Bu," sela Lina.
"Lagi pula, kalau hari Minggu begini kan lalu lintas
di jalan raya tak seramai hari Sabtu!" sambung Tiwi
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com254
membesarkan hati ibunya. "Percayalah kepada sopir
baru ini." Tiwi memang belum lama mendapatkan SIM-nya.
Tetapi berkat bujukan kedua gadisnya yang manja dan
manis itu, sang ibu pun akhirnya mau juga pergi ber-
sama mereka. Maka di rumah, selain pembantu rumah
tangga yang sibuk di belakang, hanya tinggal Tina dan
ayahnya saja di hari libur itu. Itu pun ayah Tina lebih
banyak berbaring-baring di kamarnya karena lelah se-
telah berolahraga tenis sejak pagi, sebagaimana yang
dilakukannya setiap hari Minggu.
Tetapi untuk Tina, keadaan seperti itu menyenang-
kan hatinya. Ia merasa bebas dapat sendirian menik-
mati hari libur. Dibawanya beberapa buku yang me-
nunjang tesisnya ke teras samping yang teduh. Tetapi
sayang, sedang enak-enaknya menikmati kesendirian
dan kebebasannya, bunyi dering bel pintu depan ter-
dengar nyaring mengganggu kesenangannya. Karena ia
melihat Bik Benah sedang membersihkan keramik-
keramik pajangan ibunya di ruang tamu, Tina tidak
jadi berdiri. Bik Benah pasti akan menyampaikan pada-
nya siapa tamu yang datang itu. Kalau itu tamu Bapak,
ia akan memberitahu ke kamar ayahnya. Tetapi kalau
itu tamu adik-adiknya, pasti Bik Benah sudah tahu apa
yang harus dikatakannya. Tetapi tamu pada Minggu siang itu tidak mencari
Tiwi ataupun Lina. Karena tamu itu tamu keluarga
yang dikenal semua orang serumah, termasuk Bik Be-
nah. Karenanya, perempuan setengah baya itu masuk
lagi untuk menemui Tina. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com255
"Ada Mas Iwan, Non!" katanya, ikut-ikut memanggil
dengan sebutan "Mas" terhadap tamu keluarga itu.
"Mas Iwan" Dengan Rima?"
"Sendirian." "Suruh saja masuk, Bik. Lebih enak duduk di sini.
Tenang dan teduh. Lalu tolong buatkan minuman untuk-
nya." "Ya, Non." Ternyata yang masuk itu bukan Iwan sebagaimana
yang disangka oleh Bik Benah. Melainkan kembarannya.
Berkumis dan tidak berkacamata.
"O, Mas Irawan...," Tina menyambut tamunya sam-
bil berusaha menenangkan gerakan jantungnya yang
tiba-tiba berpacu. "Kukira Mas Iwan!"
Bik Benah yang baru saja lewat sesudah menutup
pintu depan, menghentikan langkahnya. Kata-kata Tina
menyadarkannya kepada kekeliruannya.
"Wah, maaf," katanya sambil tertawa. "Saya salah
bilang Non Tina tadi. Saya kira yang datang ini Mas
Iwan. Habis mirip sekali sih. Maklum tak berpengalam-
an dengan orang kembar!"
Irawan tersenyum. Tangannya mengulurkan termos
berisi es putar buatan ibunya kepada Tina.
"Untuk iseng-iseng di hari Minggu," katanya ke-
mudian. "Ibu sendiri yang membuatnya."
"Wah, selalu saja Bu Saputro mengirim sesuatu
kepada kami," kata Tina sambil menerima termos itu.
Kemudian mengoperkannya kepada Bik Benah yang
langsung membawanya masuk. "Terima kasih. Ibumu
terlalu memanjakan lidah kami."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com256
"Bukan begitu," sahut Irawan sambil duduk. "Bela-
kangan ini Ibu sedang senang-senangnya bereksperimen
dengan es putar, es krim, es blok, dan semacam itu.
Kelihatannya mau mengembangkan usaha lain."
"Ibumu sungguh energik meskipun sudah tidak
muda lagi." "Ya." Lalu percakapan terhenti hanya sampai di situ.
Maka suasana pun menjadi hening. Tina membalik-
balik buku sekenanya saja hanya untuk menenteramkan
perasaannya yang bergolak. Ia teringat kepada tangan
kanan yang sekarang sedang terletak di sandaran kursi
itu. Tangan-tangan kekar itulah yang beberapa waktu
lalu pernah menggenggam tangannya, sementara kedua
pasang mata mereka bertatapan, berlumur perasaan
asing yang memukau perasaan masing-masing. Ah,
stop. Jangan membayangkan yang bukan-bukan, Tina
mulai menghardik dirinya sendiri.
Boleh jadi, Irawan juga memikirkan hal yang sama.
Ia seperti kehilangan kata-kata. Tetapi karena suasana
hening seperti itu mengganggu perasaannya, akhirnya
Irawan mencoba menguraikannya dengan melontarkan
pertanyaan. "Penghuni rumah yang lain ke mana?" tanyanya.
"Kok sepi?" "Ibu bersama kedua adikku ke Pasar Baru. Bapak
tiduran di kamar, capek sesudah hampir setengah hari-
an tadi bermain tenis dan mengobrol dengan teman-
temannya." "Jadi itu artinya, Kleting Kuning tinggal sendirian
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com257
di rumah untuk membersih-bersihkan rumah dan da-
pur!" goda Irawan, mencoba menetralisir suasana kaku
yang tadi merambati hati mereka berdua.
"Kali ini tidak. Aku hanya ingin menikmati ke-
sendirianku saja." "Berarti aku mengganggu kenikmatanmu itu!"
Tina tidak menjawab. Keheningan pun mulai me-
rambah kembali di sekitar mereka. Tetapi Irawan tak
mau disekap suasana seperti itu lagi.
"Kalau aku mengganggumu, katakan saja. Aku akan
pulang!" "Kau tidak mengganggu kok!"
"Jujurkah kata-katamu itu?"
Tina terdiam lagi. Kehadiran lelaki yang belakangan
ini sering kali menjadi buah pikirannya, memang


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengganggu ketenangan batinnya. Betapa tidak, tiap
kali ia menatap tangan kekar yang mengingatkan bebe-
rapa peristiwa yang pernah terjadi di antara mereka
berdua itu, dadanya berdebar kuat dan aliran darahnya
berlari kencang. Tidakkah itu mengganggu ketenangan
hatinya" "Tin, katakan saja terus terang kalau aku meng-
ganggumu. Aku tidak akan tersinggung. Apalagi kalau
itu dilandasi kejujuran."
Tina mengeluh dalam hati. Kata "mengganggu" yang
dimaksud oleh Irawan memang berbeda dengan ganggu-
an yang dirasakan oleh Tina. Tetapi untuk mengata-
kannya dengan jujur, jelas dia tak mau. Masa dia harus
berterus terang bahwa kehadirannya membuat jantung-
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com258
nya bekerja keras dan aliran darahnya mengalir secara
liar" "Menggangguku tidak, Mas," akhirnya Tina men-
jawab dengan jawaban yang dianggapnya paling baik.
"Tetapi maaf kalau sikapku kurang ramah. Sudah
kukatakan tadi, aku sedang ingin sendirian."
"Kalau begitu sebaiknya aku pulang saja."
"Aku tidak menyuruhmu pulang."
"Tetapi juga tak menyuruhku tetap tinggal," sahut
Irawan sambil tersenyum tipis.
Tina menoleh ke arah Irawan. Kedua pasang mata
mereka pun saling berbenturan, memercikkan pijar liar
yang sulit dikendalikan. Namun, keduanya sama-sama
bertahan untuk menyembunyikannya.
"Kau sendiri ingin tinggal atau sudah ingin pergi?"
tanya Tina, asal bicara saja. Kalau tidak bicara atau me-
lakukan sesuatu, ia takut matanya akan terlalu banyak
mengungkapkan sesuatu yang bisa ditangkap Irawan.
"Secara jujur?"
"Ya, secara jujur!"
"Kalau begitu, jawabnya mudah. Aku masih ingin
tinggal. Suasana di sini menyenangkan. Teduh, hening,
dan ada minuman serta kue untukku...." Kata-kata yang
terakhir itu disertai dengan senyum yang terarah ke-
pada Bik Benah. Perempuan setengah baya itu sedang
berjalan menuju ke arah mereka dengan membawa baki
berisi dua gelas es sirup dan satu stoples berisi kue
kering. Mau tak mau, Tina tersenyum. Sesudah Bik
Benah meletakkan bawaannya ke atas meja dan pergi
lagi, Tina baru memberi komentar.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com259
"Rupanya, kau termasuk orang yang menyukai ke-
nikmatan hidup!" katanya kemudian.
"Begitukah menurut penilaianmu?"
"Kira-kira, begitu."
"Jadi bukan kepastian?"
"Yang tahu pasti kan dirimu sendiri, Mas!"
"Ya, memang. Aku tahu bahwa diriku memang
menyukai kenikmatan dan keindahan. Kalau ada yang
bisa kita nikmati kenapa mesti ditolak sih. Tentu saja
sejauh itu masih dalam batas wajar dan normal."
"Betul begitu?" Tina menjelingkan matanya.
"Jangan mengejek!"
"Aku tidak mengejekmu. Aku cuma mau meng-
ingatkan satu hal yang mungkin kurang kausadari, yaitu
sifatmu yang tidak mau mengalah dan tidak mau pula
mengakui kekalahan. Nah, itu kan berada di luar batas
kewajaran dan kenormalan seperti katamu tadi."
"Apa buktinya?" Irawan menantang.
"Pokoknya ada... bukti itu ada...," sahut Tina dengan
pipi yang mendadak merona merah. Melihat itu dengan
cepat Irawan menangkap apa yang kira-kira sedang ber-
kelebat di kepala gadis itu. Pengalaman di Cisarua
waktu itu tentu teringat olehnya.
"Aku tahu apa yang kaumaksud!" gumamnya kemu-
dian. Ia juga tersipu sehingga Tina hampir bisa me-
mastikan bahwa lelaki muda, yang sudah cukup umur
untuk memasuki dunia asmara dan yang masih hijau
pengalaman sebagaimana halnya dirinya, itu sedang
teringat peristiwa yang sama. Saat di mana mereka
sama-sama bersikeras tidak melepaskan tangan masing-
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com260
masing karena tak mau dianggap kalah. Benar-benar
seperti dua anak kecil sedang bertengkar.
"Sudahlah...." Tina mengibaskan tangannya ke udara,
seolah hendak mengibaskan ingatan yang membuat
pipinya jadi merona merah itu.
"Tetapi aku belum mau sudah," sahut Irawan de-
ngan tangkas. "Kamu telah menyinggungnya. Maka aku
perlu membela diri bahwa kelirulah seseorang yang
mengambil suatu kesimpulan hanya dari satu peristiwa
atau satu macam data saja."
"Aku bilang, sudahlah. Kita bicara hal lain saja!"
Tina juga menyela dengan tangkas.
"Ah, sifatmu juga tak mau mengalah begitu kok!"
seringai Irawan. "Jangan mengambil kesimpulan dari satu kali peristi-
wa atau satu macam data saja!"
Dibalas seperti itu, Irawan tak dapat menahan tawa-
nya. "Membalas, kan?" katanya kemudian, masih sambil
tertawa. "Nah, bukankah itu satu macam bukti lagi
bahwa kau tidak mau mengalah dan tidak mau pula
mengakui kekalahan."
"Bilang apa sajalah kau tentang diriku, Mas. Aku
tak peduli!" "Kau seperti anak kecil!"
"Kau yang seperti anak kecil."
"Oke, kalau begitu. Kita berdua seperti anak kecil."
Sekarang Tina yang tertawa.
"Omongan kita hari Minggu menjelang siang ini
sungguh tak bermutu," gumamnya kemudian.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com261
"Tentu saja ada mutunya. Mutu yang rendah," se-
ringai Irawan lagi. Dan Tina pun terbahak lagi dengan hati geli. Bisa
melucu juga laki-laki kaku satu ini.
"Apa yang harus kita bicarakan supaya lebih ber-
mutu?" akhirnya Irawan berkata lagi. Kini dengan nada
menantang. "Terus terang aku tak ada ide. Aku sedang ingin
santai." "Tetapi maunya santai yang bermutu. Begitu, kan?"
"Yah, semacam itu kira-kira. Aku sendiri tak bisa
mengatakan yang seperti apa. Belum ada gambaran di
kepalaku!" "Kau suka musik?"
"Suka." "Bisa main salah satu alat musik?"
"Di rumah hanya ada gitar, maka ya hanya alat itu
saja yang bisa kukuasai. Seandainya orangtuaku mam-
pu, aku tentu akan minta dibelikan alat musik lainnya.
Piano atau electone organ, misalnya. Apa sajalah. Aku
suka semuanya!" "Aku bisa membayangkanmu. Kau memang sungguh-
sungguh orang yang menikmati hidup. Adanya gitar ya
gitar itulah yang kaukuasai. Menyukai segala hal tetapi
tidak ngoyo!" Tina tersenyum dengan tatapan lembut.
"Aku tahu, kau hendak menyatakan suatu fakta
yang kaulihat ada padaku," katanya dengan suara se-
lembut tatapan matanya. "Tetapi aku mendengarnya
sebagai suatu pujian meskipun bukan itu yang kau-
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com262
maksudkan. Justru itulah, aku mengucapkan terima
kasih." Irawan tertawa. "Untuk apa terima kasihmu?" tanyanya ingin tahu.
"Untuk cermin yang kauhadapkan padaku," jawab
Tina. "Penilaianmu itu menyebabkan aku semakin tahu
tentang diriku sendiri. Kurasa memang benarlah bahwa
aku ini termasuk orang yang mencintai kehidupan. Apa
yang bisa kujamah, aku mau menjamahnya dengan suka
cita. Hampir tak ada yang tak kusukai dalam hidup ini.
Bahkan yang disingkirkan orang lain, aku menyukainya.
Dengan menyukai apa yang ada di sekeliling kita dan
dengan menyukai apa yang sedang kita kerjakan, segala-
nya menjadi mudah untuk dilalui dan terasa begitu
menyenangkan dalam hidup ini. Ada manfaatnya pula
bagi orang lain. Terutama buat keluargaku."
"Kau sungguh seperti Kleting Kuning!"
Tina tertawa lagi. Eh, bisa banyak tertawa juga
bersama Irawan yang kaku itu, katanya di dalam hati.
"Tetapi seandainya pada suatu kesempatan harus
seperti Kleting Biru, Merah, Ungu, Jingga, aku juga
siap untuk melakukannya," sahutnya.
"Aku percaya. Jadi kembali ke soal semula, rupanya
kau suka musik juga, Tina."
"Kok pakai kata "juga". Apakah kau suka musik,
Mas?" "Suka. Mula-mula karena kepatuhan. Dalam jadwal
kegiatanku sehari-hari sejak kecil, penuh dengan pel-
bagai macam hal yang harus kupatuhi. Budeku meng-
inginkan aku tumbuh menjadi lelaki sempurna menurut
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com263
kacamatanya. Belajar dan kursus ini-itu, termasuk
musik, lukis, dan olahraga. Untungnya, lama-kelamaan
aku juga menyukainya dan bahkan semua itu sekarang
menjadi bagian dari hidupku."
"Bagian dari hidupmu" Kedengarannya kurang mem-
bahagiakan karena mengandung pengertian bahwa
semua itu mau atau tak mau hanya menempel atau
bahkan melekat pada dirimu. Tetapi kalau kau men-
cintai semua itu, kurasa akan lebih menggairahkan,"
komentar Tina terus terang.
Irawan tercenung beberapa saat lamanya kemudian
tersenyum lembut. "Sekarang giliranku yang harus mengucapkan terima
kasih kepadamu. Kata-kata sederhana yang kauucapkan
itu menyadarkan diriku bahwa ada nilai lebih dari apa
yang selama ini hanya kuanggap sebagai bagian dari
kehidupan belaka. Sebab harus kuakui, kadang-kadang
memang semua yang kujalani itu seperti merupakan
keharusan. Seolah hidup itu memang harus demikian.
Musik, alat-alat lukis, olahraga yang seharusnya kusukai
dengan gairah, sering kali hanya sebagai sarana mengisi
waktu dan pengungkapan rasa-rasa tertentu."
"Rasa-rasa tertentu" Apa misalnya?"
"Rasa keindahan dan lain sebagainya. Bahkan juga
rasa kesepian." Tina terdiam. Dia mulai menangkap cetusan perasa-
an Irawan yang pasti tidak disadarinya. Hidup dalam
gelimang kemewahan, bermacam kesibukan yang di-
rencanakan, dan kasih sayang yang bersifat posesif dari
kedua orangtua angkatnya, ah, di mana letak kebaha-
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com264
giaannya" Merasa hatinya tersentuh, Tina lalu me-
nyuruh tamunya minum dan mencicipi kue yang tadi
dihidangkan oleh Bik Benah.
"Pembicaraan kita mulai agak bermutu ya?" katanya
kemudian, mencoba tersenyum.
"Ya." Irawan membalas senyum Tina. "Mm, apa lagi
seni dan keindahan lainnya yang kausukai?"
"Semuanya. Ada yang kusukai karena aku suka me-
nikmatinya. Misalnya seni lukis. Aku tak bisa melukis
tetapi bisa menikmatinya. Aku menyukai seni peran
dan kadang terjun di dalamnya meski cuma drama-
drama amatiran. Aku juga suka menyanyi meski suara-
ku jelek. Aku suka puisi dan bisa menikmatinya. Aku
suka membaca. Pokoknya, semua yang menyenangkan
dan semua yang memiliki nilai seni, aku suka."
"Aku iri padamu, Tina!"
Tina tertawa lagi. "Aku juga iri padamu. Kau punya segalanya untuk
menyalurkan seluruh gairah hidup yang diberikan
Tuhan!" katanya. "Syukurilah itu sebab tidak semua
orang seberuntung dirimu."
Irawan tertegun beberapa saat lamanya.
"Namun sayangnya, baru hari ini aku menyadarinya
sesudah kau mengatakannya secara sederhana. Justru
karena itulah perkataanmu itu menyentak batinku,"
sahutnya kemudian. "Kapan-kapan aku ingin melihat lukisanmu!" Tina
mengalihkan pembicaraan. Pengakuan Irawan menyen-
tuh perasaannya sebab laki-laki yang biasanya cuek dan
acuh tak acuh itu bisa mengakui kesalahannya.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com265
"Kenapa tidak sekarang" Mau?" Irawan menjadi ber-
semangat tanpa ia menyadarinya. "Aku punya studio
sendiri di rumah." "Tidak mengganggu budemu?"
"Tidak." "Oke. Aku juga ingin melihat kau bermain piano.
Eh, alat musik apa lagi yang kausukai?"
"Electone, biola, gitar...."
Tina menatap Irawan beberapa saat lamanya. Laki-
laki itu bagai burung di sangkar emas yang meskipun


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintunya terbuka, tetapi hanya berhenti dan tetap
tinggal di situ saja, tidak ingin membawa keindahan
dan kemudahan-kemudahan itu keluar dari sangkar
emasnya. Bukankah setiap manusia membutuhkan peng-
akuan atas keberadaan dan karyanya"
"Semestinya kau bisa berbahagia," cetusnya ke-
mudian. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, tak ba-
nyak orang yang bisa merasakan hidup yang kaudapat-
kan. Sebagian orang bahkan kecewa karena apa yang
mereka cita-citakan atau harapkan, tak mungkin ter-
penuhi karena keterbatasan...."
Irawan tertegun lagi. Yah, memang Tina benar. Se-
mestinya ia harus merasa berbahagia. Tetapi di balik
itu tampaknya Tina tidak memahami, bahwa dia tak
pernah merasakan kehangatan meski ada sekian banyak
keindahan di seputar dirinya. Dia juga tidak pernah
mengalami seperti apa rasanya hidup di tengah kasih
dan kehangatan keluarga sebagaimana yang diterima
gadis itu dari orangtua dan saudara-saudara kandung-
nya. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com266
Namun, pikiran seperti itu hanya disimpannya di
dalam hati sebab mungkin saja gadis itu tidak berpikir
sampai ke sana. Dan itu wajar. Sejak lahir Tina me-
rasakan, menghayati, menerima, dan mereguk kehangat-
an yang tercipta di dalam rumahnya.
"Memang, semestinya aku merasa bahagia. Tetapi...
bagaimana caraku mengungkapkan dan menghayatinya?"
akhirnya Irawan berkata, persis seperti anak kecil
sedang bingung tak tahu apa yang harus dilakukan-
nya. "Bagaimana caranya kau harus mencarinya sendiri,
Mas. Asal kau ingat, manusia adalah makhluk sosial
yang tak bisa hidup sendiri. Maka dengan semua hal
yang kaumiliki, materi maupun yang nonmateri seperti
misalnya kemampuanmu melukis, kau bisa menghadir-
kan dirimu. Buat pameran, misalnya. Dirikan sanggar
bagi yang ingin belajar melukis, misalnya pula. Ada ba-
nyak hal yang bisa membuat hidup kita ini jadi ber-
arti." Irawan menghela napas panjang, kemudian meng-
angguk. "Perkataanmu patut kupikirkan. Sekarang sebagai
awal, aku ingin berbagi denganmu. Jadi melihat-lihat
lukisanku, kan?" tanyanya.
Sekarang Tina ganti mengangguk.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com267
TINA turun dari mobil Irawan sambil memandang
ke arah rumah besar yang anggun dan mewah itu.
"Rumahmu sungguh hebat, Mas!"
"Rumah budeku!"
"Sama saja. Kau kan anak angkat yang sudah di-
adopsi!" "Kau suka rumah seperti itu?"
Tina tersenyum. "Suka yang bagaimana dulu" Suka sebagai pemilik,
atau suka tinggal di dalamnya?"
"Kedua-duanya!"
"Mm, suka sebagai pemilik, yah siapa sih yang tak
suka memiliki rumah sehebat itu" Kan bisa untuk
menjamin hari tua. Tetapi kalau suka tinggal di dalam-
nya atau tidak, itu tergantung dengan siapa aku tinggal
dan bagaimana perasaanku terkait di dalamnya. Apakah
rumah itu kuanggap sebagai tempat berteduh dari
hujan dan panas, sebagai pemuas rasa gengsi, sebagai
Sembilan 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com268
pemuas nafsu untuk menikmati kemewahan ataukah
sebagai tempat tinggal di mana ada kemapanan batin
di dalamnya. Atau pula adakah alasan lainnya" Sebab
kata "suka" itu kan berbeda-beda kadarnya!"
"Baiklah, pendapatmu bisa dibahas nanti. Sekarang
yang penting, ayolah kita masuk dulu baru nanti kita
lanjutkan perdebatan kita. Budeku pasti senang ber-
kenalan denganmu!" Tina memandangi pakaiannya. Seperti biasanya, kali
itu ia juga memakai celana panjang dan blus longgar.
Tetapi karena corak blus itu berwarna-warni dan kulit-
nya tergolong kulit kuning langsat, ia tampak lebih
feminin dengan kecantikannya yang kelihatan menonjol
siang itu. "Nanti disangka pemuda," gumamnya.
"Hari ini kau tampak lebih seperti gadis!" sahut
Irawan sambil tertawa. Tangannya memijit bel pintu.
"Warna bajumu adalah warna-warna yang agak di-
hindari oleh kaumku. Sebab menurut anggapan umum,
warna seperti itu kurang laki-laki!"
Pembantu rumah tangga yang membukakan pintu
untuk mereka memberitahu Irawan bahwa pakde dan
budenya baru saja pergi. "Ke mana?" tanya Irawan.
"Ke Depok melihat kebon. Pak Amat bilang nangka
dan pepayanya pada berbuah."
Irawan memandang Tina. "Sayang sekali mereka tidak ada, Tin. Tetapi tak apa-
lah. Kita malah bisa lebih bebas. Nah, sambil menunggu
minuman, akan kuajak kau ke ruang studioku."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com269
Ruang tempat Irawan bekerja itu berukuran lima
kali empat meter. Suasananya menyenangkan meski bau
cat mengambang di sekitar tempat itu. Ada belasan
lukisan yang sebagian sudah diberi pigura. Dan ada
dua lukisan yang tampaknya belum lama usai. Dengan
penuh perhatian, Tina memperhatikan kedua lukisan
itu. Satunya, lukisan dua ekor angsa yang sedang ber-
cumbuan di sebuah danau. Danau itu berada di tepi
bukit yang penuh bunga. Lukisan satunya, Tina tak
bisa mengatakan dengan persis lukisan apa itu. Mung-
kin itu yang disebut lukisan abstrak. Ada gambar mata,
ada tangan, dan entah ada apa lagi. Tina hanya bisa
menikmati permainan warnanya yang kaya. Tampaknya
Irawan tak pelit dengan warna yang dia sentuhkan ke
atas lukisannya. "Lukisanmu bagus, Mas. Kacamata awam lho, soal-
nya aku tidak begitu paham menilai lukisan secara be-
nar. Menurut selera awamku, lukisan-lukisanmu itu
indah." "Tetapi sebagai orang awam kau pasti punya pe-
nilaian sendiri!" "Yah, memang. Aku melihat kau tak pelit memilih
warna, seakan kau ingin memberi warna-warna cantik
dan meriah untuk membangkitkan gairah. Eh... maaf...
aku kok sembarangan memberi penilaian seakan aku
ini ahli atau pengamat lukisan yang andal...." Tina ter-
sipu. "Tidak apa-apa. Aku justru senang menerima pe-
nilaian dari orang yang tidak tahu tentang seni lukis.
Sebab lebih netral dan lebih jujur."
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com270
Berbicara secara akrab seperti itu menyebabkan
Tina tak ingat barang sedikit pun kepada keresahan
dan kegundahannya selama ini. Keinginannya untuk
menjauhi Irawan demi ketenangan dan kebebasan batin-
nya terlupakan begitu saja demi merasakan adanya
kecocokan dalam pembicaraan, dalam minat. Apalagi
sebelum ini pembicaraannya bersama Irawan selalu di-
warnai dengan penahanan diri, acuh tak acuh, ejekan,
dan terkadang perdebatan yang cukup sengit. Tetapi
hari ini mereka bisa berbicara tentang banyak hal de-
ngan enak dan bebas. Sungguh kemajuan yang luar
biasa bagi dua orang yang semula saling tidak menyukai
itu. Begitupun halnya dengan Irawan. Tidak pernah se-
belum ini ia menemukan kawan bicara yang demikian
bergairah dan mengerti jalur-jalur pikirannya. Ia bisa
menerangkan tentang jenis-jenis lukisan, mengenai para
pelukis dunia dengan aliran-alirannya, bahkan mengenai
filsafat estetika atau filsafat keindahan dan sejarahnya.
Mereka juga dapat membicarakan tentang warna-warna,
coretan-coretan yang memiliki arti dan semacam itu
dengan duduk berlama-lama di studionya, dan baru
terhenti ketika pembantu rumah tangga mengetuk pin-
tu, memberitahu bahwa minuman dan penganan sudah
terhidang sejak tadi di ruang tengah.
"Maaf." Irawan tersenyum. "Kau pasti sudah haus
berlama-lama di sini. Ayo kita ke ruang tengah. Mbok
Ipah sudah menyediakan sesuatu yang pasti enak untuk
kita." Berada di ruang duduk yang luas dan sejuk tetapi
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com271
sepi, Tina melayangkan pandangan matanya ke arah
grand piano yang begitu megah berdiri di sisi kanan
ruang besar itu. Dan di sudut sebelah kiri, sebuah
electone organ berdiri dengan diam. Sesungguhnya tem-
pat ini bisa terasa lebih menyenangkan dan memikat
kalau dinikmati dan dihayati dengan suasana hati yang
penuh kehangatan. "Kok jadi diam. Kenapa?" tanya Irawan sambil me-
nyodorkan piring berisi penganan ke muka tamunya.
"Seandainya aku tinggal di sini, aku mungkin akan
merasa kesepian. Kecuali kalau aku bisa bermain piano
atau organ." "Aku bisa bermain piano, bisa bermain organ, bisa
bermain gitar, tetapi toh tetap sepi...." Irawan meng-
hentikan bicaranya dengan mendadak demi ia menya-
dari telah mencetuskan sesuatu yang biasanya hanya
ada di dalam hatinya sendiri. Karenanya cepat-cepat ia
melanjutkan bicaranya tadi. "Untungnya hanya kadang-
kadang saja...." "Lalu apa yang kaulakukan" Sungguh tak bisa ku-
bayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa saudara. Di
rumahku, untuk menyendiri tanpa gangguan saudara-
saudaraku saja setengah mati susahnya!" kata Tina pe-
nuh pengertian. "Aku akan ke ruang perpustakaan pakdeku."
"Wah, hebat punya ruang perpustakaan. Aku per-
nah bercita-cita punya perpustakaan sendiri. Aku ini
kutu buku. Aku lebih suka membaca daripada me-
ngobrol." "Oh, ya" Ternyata kita mempunyai kesukaan yang
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com272
sama. Temanku yang paling setia sejak kecil hanya buku
dan buku saja. Mau melihat perpustakaan kami?"
"Nanti saja. Kalau kau setuju, sekarang aku ingin
mendengar permainan pianomu dulu. Boleh?"
"Oke!" tanpa disadarinya, Irawan menjadi bergairah.
Dibukanya tutup piano yang megah itu lalu berkata
lagi, "Kau ingin mendengar lagu apa" Klasik, jazz, lagu-
lagu pop" Lagu Barat atau lagu Indonesia?"
"Semua aku suka!"
Irawan menatap mata Tina. Ia merasa begitu baha-
gia dengan tiba-tiba. Gairah hidup gadis itu menulari-
nya. "Baik, aku akan memainkan semuanya. Lalu kau
menyanyi ya?" katanya dengan gembira.
Tak berapa lama kemudian berkumandanglah lagu-
lagu klasik. Mula-mula prelude Op. 28 No. 7 dan 20
gubahan Chopin. Lalu Largo-nya Handel. Disusul
Don"t Tell Me Stories dengan irama bossas, dilanjutkan
lagu Misty. Terakhir lagu Indonesia, Aku Jatuh Cinta-
nya Rinto Harahap, diakhiri Tak Ingin Sendiri-nya
Pance yang pernah dinyanyikan Dian Pisesha. Se-
pertinya lagu-lagu lama terdengar lebih syahdu dan
enak dimainkan dengan piano.
Tina bertepuk tangan secara spontan.
"Kau hebat, Mas!" katanya kemudian. "Luar biasa."
"Jangan terlalu berlebihan memujiku. Tetapi kalau-
pun kau tetap menganggapnya bagus, jangan heran.
Aku belajar musik sejak umur enam tahun!"
"Buahnya sudah kaupetik sekarang, Mas!"
Irawan menatap Tina lagi dengan rasa syukur yang
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com273
hanya ia sendiri yang dapat merasakannya. Buahnya
sudah kupetik, itu benar. Lagi-lagi gadis itu telah me-
nyadarkanku, pikirnya. Aku mahir bermain musik seka-
rang ini memang sebagai hasil panen yang ditanamnya
sejak kecil. Sambil menarik napas panjang, Irawan untuk per-
tama kalinya baru menyadari niat baik yang diwarnai
ketulusan dari pihak orangtua angkatnya. Harta benda
bisa musnah dalam sekejap seandainya ada kebakaran,
ada huru-hara atau bencana alam misalnya. Tetapi ke-
ahlian yang dimilikinya tak akan hilang diambil orang.
"Mainkan satu atau dua lagu lagi, Mas!" pinta Tina.
"Aku tak pernah bosan menikmati musik."
"Kali ini dengan iringan suaramu, ya?"
"Ah, jangan. Suaraku seperti suara gagak meskipun
aku suka menyanyi. Sayang permainan pianomu kalau
kurusak dengan suara gagakku!" sahut Tina tertawa.
Tetapi itu tidak benar. Suara Tina bagus dan memiliki
kekhasan sendiri. "Aku tak percaya. Suaramu tentu bagus."


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin untuk tingkat kamar mandi!" tawa Tina.
"Jadi tak patut didengar orang."
"Ayolah, Tin, satu kali saja."
"Tidak." "Ayolah!" "Oke, tetapi tidak sekarang. Lain kali aku pasti
mau. Sekarang akan lebih menyenangkan kalau kuiringi
dengan gitar. Punya gitar?"
"Punya. Tunggu, akan kuambil di kamarku dulu.
Mau yang biasa atau yang listrik?"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com274
"Apa sajalah." "Baik." Tak berapa lama kemudian sesudah memilih be-
berapa lagu, ruang tengah itu pun terasa hangat oleh
permainan musik kedua insan itu. Beberapa lagu me-
reka mainkan bersama-sama. Sonata yang Indah,
Widuri, lagu-lagunya Koes Plus, kemudian juga lagu
My Heart Will Go On yang pernah dinyanyikan oleh
Celine Dion dalam film Titanic, dan beberapa lagu
baru yang biasa dinyanyikan oleh Pasha Ungu.
"Apa lagi?" tanya Irawan dengan hangat.
"Untuk hari ini cukup. Aku masih ingin menagih
janjimu untuk memperlihatkan perpustakaan kalian."
"Oh ya, tentu."
"Mm, seandainya aku melihat buku yang menarik
hatiku, apakah aku boleh meminjamnya?"
"Boleh. Tetapi ada syaratnya!"
"Aku tahu," senyum Tina. "Mengembalikannya da-
lam keadaan sama seperti ketika kupinjam, kan" Jangan
khawatir. Aku orang yang paling menghargai milik
orang. Sebab, aku juga ingin milikku dihargai orang
sebagaimana mestinya. Boleh jadi benda yang kelihatan-
nya tak ada nilainya, tetapi bagi si empunya memiliki
arti khusus atau memiliki sejarah khusus yang tak bisa
ditukar dengan materi apa pun, apalagi dinilai dengan
uang." "Syukurlah kalau kau memahami itu."
"Bukan hanya memahami saja kok, Mas. Tetapi juga
menghayatinya!" Irawan tersenyum lalu membawa Tina masuk ke
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com275
sebuah ruangan berukuran enam kali delapan meter
yang sejuk dan tenang. Tina terkagum-kagum melihat
banyak dan terawatnya buku-buku itu di tempatnya
masing-masing. "Mas, alangkah bahagianya kau ini!" cetusnya de-
ngan spontan dan tulus. "Di negara kita yang masih
banyak manusia terpaksa harus berjuang memikirkan
cara bagaimana untuk mengisi perut daripada hal-hal
lainnya, di sini orangtua angkatmu memiliki perpustaka-
an pribadi semacam ini. Sungguh, Mas, ini merupakan
anugerah luar biasa. Orang bilang buku adalah guru,
tetapi bagiku tak sekadar hanya sebagai guru yang
memberi tambahan pengetahuan saja, tetapi juga teman
yang paling setia. Tidakkah kau menyadarinya?"
Irawan tertegun. Sekali lagi, Tina benar.
"Ya... aku memang beruntung. Seharusnya hal itu
sudah kusadari dulu-dulu," gumamnya kemudian. "Te-
tapi.... apa maksudmu dengan istilah teman setia itu?"
"Buku bisa dibaca kapan saja dan dalam keadaan
apa saja. Dia setia menunggu. Misalnya, lima tahun
yang lalu kau membaca satu buku dan menganggapnya
biasa-biasa saja. Tetapi sekarang setelah lima tahun
berlalu, bacalah lagi, maka kau akan menemukan se-
suatu yang lain dan penilaianmu terhadap buku itu
juga bisa berubah. Lalu lima tahun mendatang kaubaca
lagi, maka akan lain lagi yang kaudapatkan. Jadi intinya,
kita memaknai isi buku sesuai dengan perkembangan
usia dan kematangan jiwa sehingga bisa saja buku yang
sama, dimaknai berbeda. Bukankah itu berarti buku
adalah teman yang setia, Mas?"
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com276
"Kau betul, Tina. Terima kasih ya..."
"Terima kasih untuk apa?"
"Terima kasih kau telah membuka mataku terhadap
hal-hal sederhana yang ternyata tidak sesederhana se-
perti yang tampak di permukaan," sahut Irawan dengan
tulus hati. Sepanjang usianya, baru kali ini Irawan
mengucapkan sesuatu dengan ketulusan yang begitu
mendalam. "Aku juga berterima kasih padamu karena kau mem-
beriku kesempatan untuk melihat perpustakaan pakde-
mu yang begini lengkap. "
"Silakan saja menikmatinya. Kutemani kau sampai
puas." Tina tersenyum menatap Irawan.
"Aku senang sekali," katanya sambil mulai mengem-
balikan perhatiannya kepada deretan buku di dekat-
nya. "Aku juga sangat senang melihatmu begitu antu-
sias." "Aduh, lihat, Mas. Ini buku-buku langka!" seru Tina
ketika melihat deretan buku berbahasa Belanda dengan
cover yang tebal-tebal. "Ah, umurnya pasti sudah puluh-
an tahun ini." "Kata Bude, umurnya sudah hampir seratus tahun.
Dan beberapa di antaranya ada yang dibeli Pakde di
tukang loak tanpa si penjualnya menyadari betapa tak
ternilainya barang-barang yang dijualnya itu."
"Tetapi apakah pakdemu bisa berbahasa Belanda"
Kalau menilik usianya, pasti beliau lahir di zaman ke-
merdekaan." 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com277
"Orangtua Pakde tinggal di Belanda cukup lama.
Ketika mereka pindah ke Indonesia, Pakde tetap ting-
gal untuk melanjutkan kuliahnya. Jadi, beliau cukup
mahir berbahasa Belanda."
"Wah, asyik kalau begitu."
"Ya, memang. Beliau juga mahir berbahasa Prancis
dan Jerman, selain bahasa Inggris," kata Irawan. "Maka
koleksi bukunya juga terdiri atas berbagai bahasa."
"Wah, yang ini memakai huruf Jawa. Buku apa
itu?" "Buku sastra Jawa."
"Ah, kalau saja aku bisa membaca huruf Jawa!"
"Kau bisa belajar kepada bude atau pakdeku. Me-
reka sudah mempelajarinya sejak masih remaja."
"Kau sudah belajar kepada mereka?"
"Belum. Tak terpikirkan!"
"Aduh, seandainya aku yang memiliki kesempatan
untuk itu, pasti aku akan belajar. Bukan saja karena
aku memang suka belajar dan ingin melestarikan bu-
daya Jawa yang mengalami kemerosotan, tetapi ter-
utama supaya aku bisa membacanya. Buku-buku ber-
tuliskan huruf Jawa pastilah penuh dengan pemikiran
atau filsafat Jawa yang asli, yang belum banyak ter-
cemari budaya dari luar!" cetus Tina lagi. "Tidakkah itu
terpikir olehmu?" "Baru sekarang terpikir, sesudah mendengar kata-
katamu. Terima kasih kau telah membuka mataku yang
selama ini terpejam," kata Irawan dengan perasaan yang
tiba-tiba terasa longgar. Ah, ternyata dia orang yang
beruntung, sesungguhnya. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com278
Yah, hari ini Tina telah membuka cakrawala yang
sebelumnya tak tersibak olehnya. Bahwa ada banyak
hal yang semestinya bisa ia lakukan. Ada banyak hal
pula yang bisa mengisi hidupnya sehingga tak lagi
terasa gersang dan sepi seperti sebelumnya.
Tina tersenyum dan menatap mata Irawan.
"Hidup ini akan menjadi lebih bermakna apabila
kita bisa mencari dan menemukan sesuatu yang
memiliki arti dan nilai-nilai kehidupan. Pada saat-saat
seperti itu, kadang-kadang aku menyesali diri, kenapa
hidup manusia itu begini pendek sementara ada sekian
banyak hal yang bisa dijamah atau dikerjakan," katanya
kemudian. "Tina, aku malu kepada wawasanmu mengenai ke-
hidupan ini. Aku sungguh harus banyak belajar darimu.
Aku tak lagi malu-malu mengakui kekuranganku ini.
Sebab sekarang ini baru kupahami dengan pengertian
mendalam tentang apa arti ungkapan: "Berkarya dan
bekerjalah dengan kesadaran seolah kau akan mati
esok". Tentunya, itu berarti bahwa hidup manusia ini
pendek sehingga hendaknya manusia sendiri memanfaat-
kan waktu yang pendek ini dengan sesuatu yang ber-
arti," sahut Irawan.
"Ya... itu betul, Mas. Sebab akan ada saatnya kita
bisa bersantai dan beristirahat dalam damai, yaitu pada
saat kita sudah terbaring diam di dalam pelukan ibu
pertiwi!" sahut Tina sambil mengangguk-angguk.
Wajah gadis itu tampak begitu lembut dan matanya
yang besar dan indah itu memancarkan kecantikan
yang sejati. Irawan menelan ludah. Tiba-tiba saja ia
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com279
merasa ingin mendekatkan hati dan dirinya kepada
gadis yang berdiri di dekatnya itu, yaitu gadis yang
telah membuka mata hatinya. Gadis yang telah me-
nyibakkan cakrawala penglihatan batinnya. Ada se-
macam kebutuhan dan kekosongan pada dirinya yang
tampaknya hanya dapat diisi oleh gadis itu.
"Tina..." Oh, betapa banyaknya yang ia ingin kata-
kan kepada gadis itu. Tetapi ia tak memiliki keberanian
untuk mengucapkannya. "Apa...?" Gadis itu bertanya dengan suatu kepolosan
yang sangat dimengerti oleh Irawan. Sebab, andaikata
ia ada di tempat gadis itu, boleh jadi ia akan me-
ngatakan hal yang sama: "Apa...?"
"Aku sebenarnya malu untuk mengatakannya...,"
kata Irawan lagi. "Tetapi tak apalah. Aku harus berani
bersikap jujur." "Mengatakan apa?"
"Ajarilah aku mencintai kehidupan ini!"
Tina tersenyum. Dadanya berdebar-debar.
"Kita akan belajar bersama-sama, Mas!" sahutnya.
"Aku juga masih harus belajar banyak dari kehidupan
ini." "Kau seorang gadis yang bijak, Tina!" Sambil ber-
kata seperti itu, tangan Irawan meraih tangan Tina.
Tina merasa dirinya sangat tolol. Semestinya, ia
mundur dan menghindari kedekatan fisik di antara me-
reka berdua itu. Bukankah ia sudah berjanji pada diri-
nya sendiri untuk tidak membiarkan diri dipengaruhi
oleh segala sesuatu yang berkaitan dengan Irawan" Bu-
kankah ia tak ingin jatuh cinta lalu dikuasai oleh
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com280
perasaan-perasaan yang membelenggunya. Ia juga tidak
ingin diselimuti oleh demam rindu. Terlebih lagi, dia
tak mau digoda oleh letup-letup gairah cinta karena ia
masih ingin bebas dalam kesendiriannya.
Tetapi pada kenyataannya, Tina malahan merasa
dirinya begitu tolol karena membiarkan Irawan meng-
elus telapak tangannya, punggung tangannya, dan ke-
mudian merambat sampai ke siku-sikunya. Lalu ter-
akhir kali, punggung tangannya itu dikecup oleh
laki-laki itu. Aliran darah dalam tubuh Tina mulai berpacu liar,
nyaris tak terkendali saat merasakan bibir hangat itu
menempel di tangannya. Matanya nyalang menatap per-
buatan Irawan dengan pelbagai macam perasaan yang
bercampur aduk. Dengan matanya yang bergetar dan
bibir setengah terbuka, ia sungguh-sungguh tampak
begitu menawan dan pasrah sehingga Irawan si jejaka
yang tanpa pengalaman namun sudah matang lahir dan
batinnya itu tak sanggup lagi menahan diri. Dengan
sentakan lembut, tubuh Tina dibawanya masuk ke da-
lam pelukannya. Kemudian dengan naluri dan kepandai-
an yang diberikan alam kepada seorang lelaki, ia men-
cium bibir Tina dengan kelembutan yang mengherankan
dirinya sendiri. Tina tersentak. Jantungnya bagai meloncat keluar
dari dadanya. Ciuman Irawan diterimanya dengan ke-
pasrahan yang mengherankan dirinya sendiri. Alangkah
nikmatnya sebuah pelukan dan ciuman. Atau lebih
tepat lagi alangkah nikmat dan hangatnya ciuman
Irawan. Tiada ketergesaan pada gerakan bibirnya. Tiada
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com281
kecanggungan yang mencemaskan. Dan yang ada adalah
persatuan rasa dalam pelukan dan ciuman yang terasa
sedemikian halus, hangat, dan memesona.
Aliran darahnya yang berpacu liar mulai meng-
hangati seluruh tubuh dan hatinya. Sungguh tak per-
nah terpikirkan olehnya bahwa sebuah ciuman dapat
sedemikian indah dan meluruhkan bayangan tentang
sesuatu menggebu-gebu, tergesa, dan menjijikkan yang
selama ini ada di benaknya setiap menonton sepasang
insan sedang berciuman dengan rakus di film-film.
Merasakan sensasi indah seperti itu, lengan Tina
langsung terulur untuk mengunci leher Irawan. Entah
siapa yang mengajarinya, mungkin oleh desakan naluri
yang belum terkendali, maka ketika Irawan mulai


Kleting Kuning Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menciumi rambutnya, Tina mengecupi leher laki-laki
itu sampai ke jakun di tengahnya. Terasa olehnya tu-
buh Irawan bergetar saat merasakan kecupan-kecupan
di lehernya yang kokoh itu.
"Tina...." Begitu laki-laki itu mengeluhkan nama si
gadis dengan sepenuh perasaan dan sepenuh kemesra-
annya sehingga yang bersangkutan juga tak mampu
mengendalikan tubuhnya yang juga mulai bergetar.
Maka kedua insan itu pun membiarkan dirinya ter-
bungkus api asmara. Mereka saling pagut, saling men-
cium dan mengelus. Berulang kali Irawan membelai
rambut, bahu, dan leher Tina. Mula-mula memang de-
ngan gerakan kaku dan ragu, tetapi karena Tina mem-
biarkannya, maka beranilah dia mengelusi dan memper-
mainkan leher dan kuduknya dengan jari-jemarinya yang
sedang mulai belajar cara mengelus dan membelai itu.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com282
Ketika Irawan mengangkat wajahnya dan menjauh-
kannya dari wajah yang sedang dipeluknya itu, tiba-tiba
saja Tina merasa kehilangan. Ia ingin merasai pesona
itu lagi dan lagi sehingga ia merasa malu kepada diri-
nya sendiri. Pipinya menjadi merah padam, menulari
pipi-pipi Irawan. Tetapi ah...
Tak ada kata-kata yang bisa mereka ucapkan untuk
menetralisir suasana berarus listrik seperti itu. Karena-
nya, keduanya hanya memilih berdiam diri dan masing-
masing berusaha mengalihkan perhatian. Tina menjauhi
Irawan dengan cara melihat-lihat deretan buku selanjut-
nya dan Irawan menarik sebuah buku mengenai ke-
budayaan. Tetapi perhatian keduanya sama sekali tidak
pada apa yang sedang mereka kerjakan itu, melainkan
pada peristiwa yang baru pertama kali itu mereka laku-
kan dan alami. Sungguh, mereka benar-benar seperti
sepasang sejoli yang sangat pas satu sama lainnya. Ke-
duanya merupakan manusia-manusia langka di zaman
modern dan yang laju perkembangannya di segala
bidang membawa pula dampak kebebasan pergaulan di
antara laki-laki dan perempuan itu. Keduanya sama-
sama merupakan manusia-manusia yang lain dari lain-
nya, yang tak terbawa arus zaman. Keduanya adalah
manusia-manusia yang memiliki cara berpikir yang unik.
Dan oleh nasib, keduanya dipertemukan secara unik
pula. Unik, sebab campur tangan Iwan, Rima, Tiwi, dan
Lina tak mungkin berhasil seandainya kedua insan ter-
sebut tidak memiliki tempat-tempat kosong yang hanya
bisa diisi oleh masing-masing pihak.
Lama sesudah suasana berarus listrik itu menjadi
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com283
normal kembali, Tina mulai mampu mengembalikan pi-
kirannya kepada apa yang ada di hadapannya. Ditariknya
sebuah buku tebal yang judulnya menarik minatnya. Bela-
kangan ini ia sedang tertarik kepada antropologi dan hu-
maniora, ilmu-ilmu tentang kemanusiaan, sesuai dengan
bidang studinya. Karenanya apa pun yang akan mem-
perkaya tesisnya, ia baca sampai detail kendati dosen
pembimbingnya mengatakan bahwa ia harus fokus pada
masalah yang diangkatnya. Jangan sampai melebar. Dan
dia mematuhinya. Buku-buku lain hanya sebagai bacaan
untuk menambah bobot pengetahuannya. Siapa tahu di
antara dosen pengujinya nanti ada yang menyinggungnya,
dia berharap bisa menjelaskannya dengan baik.
"Buku ini boleh kupinjam?" tanyanya sambil mem-
perlihatkan buku yang diinginkannya itu.
Irawan mengangguk. "Bawalah!" sahutnya.
"Dan karena hari sudah siang, aku ingin pulang se-
karang, Mas!" kata Tina lagi.
Irawan melirik arlojinya. Memang sudah siang se-
kali. "Makan siang di sini, ya?" tanyanya menawari. "Su-
paya kalau kau sampai di rumah nanti hanya tinggal
istirahat!" Cara Irawan menawari begitu penuh perhatian.
Tina menatap bibir yang belum lama tadi mengecupi
bibirnya dengan intim. Darahnya kembali berlari-lari
liar. Oh, betapa inginnya ia merasai keintiman indah
seperti tadi. Tetapi ia yakin, semakin lama berdekatan
dengan laki-laki yang telah membangunkan bagian
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com284
dirinya yang di sepanjang hidupnya tertidur nyenyak,
semakin kerinduannya untuk didekap, dipeluk, dibelai
serta dicium oleh Irawan akan menguasai dirinya. Sung-
guh, hal itu akan sangat merendahkan harga dirinya.
Karenanya dia tidak boleh berlama-lama di dekat
Irawan hanya berduaan saja.
Sambil menghardik dirinya sendiri, Tina berkutat
dengan emosinya yang sedang labil itu.
"Terima kasih," sahutnya agak gugup. "Tetapi maaf,
aku akan makan di rumah saja sebab Bik Benah tadi
sudah membuatkan aku karedok. Kasihan kalau aku
tak makan di rumah."
"Sungguh, Tina?" Irawan menatap bibir Tina dan
muncul kerinduan yang sama untuk merasakan pautan
bibir di antara mereka berdua lagi.
"Sungguh!" "Jadi, sudah mau pulang sekarang?"
"Ya." "Oke, akan kuantar!"
Sambil berkata seperti itu, Irawan berjalan men-
dekatinya. Tina melihat adanya pijar-pijar kerinduan
yang terpancar dari wajah, terutama dari kedua belah
mata lelaki itu. Seperti dirinya, pastilah Irawan juga
mendambakan kembali keintiman seperti yang mereka
alami tadi. Tetapi Tina sadar, apabila mereka melaku-
kannya lagi, ia akan benar-benar terbelenggu cinta dan
sulit untuk melepaskan buhulannya.
Tanpa sadar, ia mundur. Begitu melihat reaksi Tina,
Irawan tertegun untuk kemudian segera mengusir ke-
kecewaannya. 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com285
"Ayo, kuantar kalau kau mau pulang sekarang," kata-
nya kemudian. Tina mengangguk. Sesudah minta diri kepada pem-
bantu rumah tangga yang tadi, Tina langsung keluar.
Irawan mengekor di belakangnya.
Dalam perjalanan pulang, mereka tak banyak bicara
seperti tadi. Masing-masing tenggelam dalam pikiran
sendiri-sendiri. Tina semakin sadar kini bahwa ia sudah
mulai terpanah asmara. Untuk tidak membiarkan diri-
nya tercemari racun panah itu, ia harus mengambil stra-
tegi baru. Terlebih karena ia juga semakin menyadari
kelemahan hatinya terhadap daya tarik Irawan dan ter-
hadap pesona kecocokan dalam banyak hal di antara
mereka berdua. Sementara Tina berpikir-pikir seperti itu, Irawan
juga memikirkan hal yang hampir serupa. Ia tahu betul
bahwa dirinya adalah satu-satunya lelaki yang berhasil
merekahkan kuncup-kuncup bunga hati Tina. Tak
mungkin gadis tanpa pengalaman dan yang memiliki
kepribadian kuat itu mau saja dicium olehnya kalau
tidak ada sesuatu yang istimewa padanya. Masih begitu
terasakan bagaimana pasrahnya gadis itu ketika berada
di dalam pelukannya dan bagaimana manisnya bibir
gadis itu menyambut kecupannya.
Tetapi Irawan tak tahu pasti apa yang menyebabkan
gadis itu tiba-tiba menciptakan jarak. Apalagi sesudah
tadi mengalami keakraban ketika mereka berbicara
tentang seni lukis, bermain musik, dan mengobrol sam-
bil makan penganan dan minum es buah yang segar
bersama-sama. Pertanyaan seperti itu mengingatkan
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com286
Irawan kepada peristiwa sesudah piknik ke Pantai
Carita bulan lalu. Menjelang pulang, mendadak saja
sikap Tina berubah menjadi dingin dan acuh tak acuh.
Irawan menarik napas panjang. Sulit memang me-
mahami liku-liku hati seorang perempuan. Lebih-lebih
kalau perempuan itu seorang Kleting Kuning yang
memiliki prinsip kuat, memiliki pula kekerasan hati dan
kedegilan, meskipun juga memiliki kelembutan dan ke-
hangatan hati. Sungguh, Tina memiliki kecantikan alami
dan daya tarik luar biasa yang tak dibiarkannya
tersentuh orang. Gadis itu juga seperti sekuncup bunga
yang siap mekar mewangi. Bahkan dia juga seperti se-
bongkah es batu yang siap mencair. Tetapi bagaimana
mencairkannya, Irawan tak tahu caranya. Sikap Tina
yang angin-anginan seperti itu sangat membingungkan
dirinya. Maka ketika tiba dia sampai di depan rumah gadis
itu dan Tina turun dari mobilnya, Irawan memberani-
kan diri memasang stategi baru.
"Kapan kita main musik bersama lagi, Tina" Kau
sudah berjanji akan mengiringi permainan musikku
dengan suaramu!" Tina menunduk. "Kapan-kapan...," sahutnya. Sungguh, suatu jawaban
yang samar, yang sukar dipegang kepastiannya.
Tetapi Irawan tak mengatakan apa-apa. Kalau Tina
sudah seperti itu, ia harus bisa mengikuti arah arus.
Sesudah minta diri, ia segera melarikan mobilnya kem-
bali tanpa mencari kejelasan. Tetapi dalam hati, ia akan
mencoba datang seminggu lagi.
001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com287
Seminggu kemudian, apa yang direncanakan Irawan
itu dilaksanakan tanpa ia berniat menundanya. Pada
saat itu, keluarga Himawan ada di rumah semua. Tiwi
dan Lina saling berpandangan dengan penuh harap
ketika melihat kedatangan Irawan yang tanpa mereka
duga itu. Apalagi laki-laki itu langsung menanyakan
Tina. "Ada, Mas. Silakan duduk. Akan kupanggil dia,"
kata Tiwi. "Kata Bik Benah, minggu kemarin si ganteng ber-
kumis itu juga datang kemari, lalu mengajak Mbak
Tina pergi!" bisik Tiwi kepada Lina yang mengekor di
belakangnya. "Dan sekarang, ia datang lagi menanyakan
Kleting Kuning kita."
Lina tertawa mengikik. "Wah, kemajuan tuh, Mbak."
Mereka berdua berdiri bersisian di muka pintu
kamar Tina yang tertutup. Keduanya sama-sama ingin
melihat reaksi sang kakak kalau nanti mereka mengabar-
kan kedatangan Irawan kepadanya.
"Bik Benah juga menceritakannya kepadaku!" bisik
Lina kembali. "Soalnya dia heran. Kleting Kuning yang
tak suka bergaul akrab dengan laki-laki itu sudah mau
keluar kamar dan bahkan tidak keberatan dibawa pergi
seseorang. Sendirian pula. Mudah-mudahan, ya...?"
Sambil berbisik-bisik dengan hati penuh harap,
kedua kakak-beradik itu mengetuk pintu kamar kakak-
nya. "Mbak ada tamu untukmu!" kata Tiwi.
"Siapa?" 001/I/13 http://pustaka-indo.blogspot.com288
"Tamu yang seminggu lalu datang kemari juga!"
kata Lina sambil tersenyum sendiri. Ia berharap me-
lihat kakaknya tersipu-sipu.
"Mas Irawan?" tanya Tina.
"He-eh." Tina membuka pintu kamarnya. Air mukanya yang
keras meluruhkan semua harapan kedua adiknya.
"Kau sudah bilang kalau aku ada di rumah?" tanya
Tangan Geledek 19 Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Gordapala Pukulan Naga Sakti 1
^