Menyemai Harapan 4
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono Bagian 4
rumahan yang jarak antara rumah satu dengan lainnya
tidak terlalu jauh."
"Soal itu kusadari betul kok. Oleh sebab itu aku
tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan para tetangga.
http://pustaka-indo.blogspot.com231
Bukan apa-apa, tetapi untuk menjaga jangan sampai
ada salah-salah kata yang menyebabkan mereka mem-
punyai dugaan ke mana saja selama ini kau pergi secara
berkala." "Kau sekarang semakin pandai bersilat lidah."
"Karena aku tidak suka menghadapi ketidakadilan
yang disebabkan karena diriku terlahir sebagai pe rem-
pu an. Nah, sudahilah pembicaraan tak menyenangkan
ini. Aku mau mengedit tulisan responden yang baru
masuk," kata Dewi sambil mengambil laptop yang tadi
diletakkannya di meja. "Kita baru saja ketemu setelah beberapa hari tidak
bersama-sama. Tetapi tampaknya kau lebih suka bicara
dengan benda bisu dan mati daripada denganku."
Dewi malas menanggapi perkataan Puji. Tanpa ber-
kata apa pun lagi, ia menyalakan laptop dan ber siap-
siap bekerja. Melihat itu, Puji yang merasa semakin
kesal menegurnya. "Ini bukan kantor, Wik. Kalau mau bekerja ya tidak
di sini," katanya. "Sebenarnya Mas mau bilang apa sih?" Dewi me-
nyipitkan mata ke arah Puji.
"Aku berharap kau bisa memilah antara pekerjaan
dan kodratmu sebagai perempuan yang sudah ber suami.
Jadi kalau ada tugas-tugas yang harus dilaku kan setelah
jam kantor, tolaklah. Kan ada banyak rekan mu laki-laki
yang lebih cocok untuk menangani nya."
"Laki-laki dan perempuan punya hak dan ke wajiban
yang sama, Mas. Jadi kalau perempuan sudah mau
terjun ke dalam pekerjaannya, ia harus mau melakukan
http://pustaka-indo.blogspot.com232
apa pun tugasnya tanpa berlindung di balik jenis
kelaminnya," bantah Dewi, sengit. "Sedangkan me-
ngenai cocok atau tidaknya pekerjaan yang harus
ditanganinya, itu juga perlu dilihat siapa yang pas
untuk mengerjakannya tanpa melihat apakah dia laki-
laki ataukah dia perempuan. Jadi, kalau perempuan
menuntut keadilan, itu harus diikuti dengan pe-
mahaman bahwa yang disebut keadilan juga memiliki
tuntutan untuk bersikap adil. Diberi pekerjaan apa pun
ya harus diterima. Jangan menolak hanya ka rena
merasa perempuan harus diberi prioritas. Dengan
begitu, kalau aku harus meliput berita pada malam
hari, ya harus kuterima karena itulah risiko pekerjaan.
Aku sudah menyadarinya sejak lama bahwa pada prin-
sip nya, wartawan itu bekerja selama dua puluh empat
jam." "Mungkin memang begitu. Tetapi budaya kita,
budaya Timur khususnya budaya Jawa mempunyai
nilai-nilai tertentu di mana kaum perempuan hendak-
nya jangan terlalu jauh-jauh dari kodratnya...."
"Sebentar, Mas," Dewi memenggal perkataan Puji.
"Kodrat yang mana, maksudmu?"
"Kodratnya sebagai ibu rumah tangga dan sebagai
istri dengan..." "Mas tahu tidak sih apa arti kodrat yang sebenar-
nya?" Dewi memotong lagi perkataan Puji.
"Kodrat ya kodrat. Sesuatu yang sudah ditentukan
Tuhan." "Betul. Tetapi lebih tepatnya lagi adalah bahwa
kodrat itu merupakan sesuatu yang terberi dari "Atas".
http://pustaka-indo.blogspot.com233
Artinya, menetap dan tidak bisa berubah karena telah
ditentukan oleh sang pencipta...."
"Oke. Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan terkait
kata-kataku tadi tentang kodrat perempuan?" Puji ganti
memotong perkataan Dewi. "Lho, jelas kan apa yang tersirat dari perkataanku
tadi" Bahwa perlu kita bertanya sendiri apakah benar
kodrat perempuan itu menjadi ibu rumah tangga dan
istri" Lalu bagaimana dengan perempuan-perempuan
yang tidak menikah atau yang bekerja di luar rumah
sebagai pencari nafkah" Me nyalahi kodratkah?" Dewi
menjelingkan matanya lagi. "Padahal yang namanya
kodrat itu kan sesuatu yang terberi sebagai ciptaan
Tuhan, yang mutlak dan tidak bisa diubah sampai
kapan pun. Jadi hanya kaum pe rempuan yang mem-
punyai alat-alat reproduksi yang berpotensi untuk haid,
mengandung, melahirkan, dan menyusui. Jika ada se-
bagian yang tidak hamil, tidak melahirkan dan tidak
menyusui, itu soal lain yang tak ada kaitannya dengan
masalah kodrat. Begitupun laki-laki mempunyai kodrat
yang tidak dimiliki pe rempuan yaitu punya penis, buah
zakar, kelenjar kemih, dan sperma. Maka kalau orang
bilang kodrat pe rempuan di dapur sebagai ibu rumah
tangga, itu keliru besar karena laki-laki pun bisa dan
boleh-boleh saja masuk dapur tanpa kehilangan kodrat-
nya. Atau perempuan berperang di medan laga misal-
nya, dia tetap perempuan dengan kodrat aslinya."
Puji mengambil surat kabar yang belum sempat di-
sentuhnya. Air mukanya tampak masam.
"Aku malas berdebat denganmu. Yang ingin ku-
http://pustaka-indo.blogspot.com234
garisbawahi hanya kesadaranmu untuk tidak me-
ninggal kan budaya kita bahwa sebaiknya perempuan
jangan terlalu jauh meninggalkan rumahnya karena di
situ lah tempat yang paling aman bagi mereka," katanya.
"Oke?" "Tidak. Perempuan juga berhak me milih. Mau
tinggal di rumah atau bekerja di luar ru mah, itu masa-
lah pilihan hidupnya. Bukan masalah je nis kelaminnya.
Soal tempat yang aman atau tak aman ada di mana, itu
pun soal lain yang bersifat relatif," bantah Dewi.
Puji tidak menyahut. Tetapi lama kemudian setelah
me lihat Dewi mulai asyik bekerja, ia melanjutkan bi-
cara nya. "Sebaiknya kau jangan menentang realita yang ada
di hadapanmu sendiri," katanya. "Tidak semua orang
punya pikiran yang lurus-lurus sepertimu, ter utama di
dalam budaya Timur yang sarat dengan atur an main
pergaulan dan tabu."
Dewi ingin membantah dengan menunjukkan bukti-
bukti mengenai budaya patriarki yang berpihak pada
laki-laki, tetapi ketika teringat pada ajaran-ajaran ibu-
nya, mulutnya yang sudah terbuka dikatupkannya kem-
bali. Jangan mendiskusikan sesuatu dengan orang yang
hanya melihatnya dari satu sudut pandang saja.
Yah, meskipun perkembangan zaman sudah sedemi-
kian maju, kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan
perempuan masih belum tercapai pe nuh. Maka kalau
dikatakan bahwa sekarang ini sudah banyak perempuan
menjadi ilmuwan dan berkibar-kibar di dunia politik,
bahkan menjadi presiden se hingga banyak kaum
http://pustaka-indo.blogspot.com235
perempuan jadi bangga, se sungguhnya kebanggaan se-
macam itu justru me nampar pipi mereka sendiri, ka-
rena yang dijadikan ukur an sukses adalah jenis ke la-
min nya sebagai pe rempuan. Bukan dia sebagai individu.
"Memang dunia ini lebih berpihak pada laki-laki,
Nduk." Begitu antara lain yang diajarkan ibunya.
"Kaum lelaki senang tetap tinggal di dalam sistem nilai
patriarki dan feodalisme yang memanjakan mereka.
Maka sebagai perempuan, kita hanya bisa menertawa-
kan mereka dari belakang. Tetapi, jangan melawan
realita yang sering kurang berpihak kepada kita. Nanti
ter bentur-bentur sendiri kepalamu. Bersikap kom-
promis sajalah, Nduk, biar hati kita menjadi lebih da-
mai." Meskipun Dewi tidak menyetujui kata-kata ibunya
karena damai yang disebutnya adalah kedamaian semu,
tetapi demi menghindari konlik terbuka, yah... apa
bo leh buat. Sikap kompromis masih bisa ia setujui.
Se tidaknya dengan berdiam diri, Puji tidak lagi ber-
panjang-panjang kata yang hanya akan membuatnya
kesal. Melihat Dewi tidak melanjutkan perbantahan di
antara mereka berdua, Puji lega. Perempuan itu sangat
cerdas dan penuh dengan kejutan-kejutan yang sering
mengaduk-aduk perasaan. Menggemaskan dan tidak
pernah membosankan. Selalu saja ada hal baru. Me-
mang berbeda sekali Dewi dengan Indah. Ah, andai -
kata saja ia tidak berjumpa lagi dengan Indah, mungkin
si pemilik otak cerdas yang sedang asyik de ngan lap-
top nya itu tidak akan sering menyerangnya. Bah kan
http://pustaka-indo.blogspot.com236
dengan kecerdasan Dewi, mereka berdua bisa ber-
duskusi tentang banyak hal yang pasti akan me narik.
Pada malam harinya ketika mereka sudah berbaring
ber sisian, Puji merengkuh Dewi ke dalam pelukannya.
"Kalau aku tadi memberimu saran agar kau men-
coba menghindari tugas-tugas yang sudah lewat dari
jam kerja, itu karena aku memikirkan dirimu, Wik.
Aku tidak ingin kau kecapekan. Aku juga tidak ingin
kau menjadi bahan pembicaraan orang," katanya sambil
mengecupi pangkal lengan Dewi.
Dewi malas memberi komentar. Bahkan juga enggan
dipeluk-peluk dan diciumi Puji. Dengan gerakan lem-
but agar Puji tidak tersinggung, ia melepaskan lengan
laki-laki itu dari tubuhnya.
"Aku mengantuk dan letih," katanya sambil bergerak
me munggungi Puji. "Selamat tidur, Mas."
"Tunggu, Wik, jangan tidur dulu. Aku masih
mendambakan kehangatan darimu," kata Puji sambil
meraih tubuh Dewi kembali.
"Besok saja, ya?" Dewi mengerutkan tubuhnya. Be-
lakangan ini dia merasa tertekan jika harus melakukan
hubungan intim. Semakin cintanya terhadap Puji
menipis, semakin ia sadar bahwa hubungan intim itu
tak lagi mempunyai nilai keindahan sama sekali. "Hari
ini aku benar-benar lelah. Besok masih banyak pekerja-
an yang harus kuselesaikan di kantor. "
"Lagi-lagi soal pekerjaan. Di kantor bekerja, di
rumah bekerja. Tubuh dan otak perempuan itu tidak
sekuat laki-laki, Wik. Itulah sebenarnya yang ku kha wa-
tirkan saat mengatakan keberatanku ketika kaubilang
http://pustaka-indo.blogspot.com237
ingin bekerja. Banyak orang bilang, kalau perempuan
terlalu capek, kesuburannya akan berkurang dan..."
"Mas, aku sedang tidak ingin berdebat apa pun de-
nganmu. Lagi pula keletihanku tidak ada kaitannya
dengan kekuatan isik atau yang semacam itu."
"Itu karena kaum perempuan sebenarnya kurang
me miliki kesanggupan untuk berpikir berat-berat."
"Aduh, kata siapa itu?" Dewi lupa untuk tidak ber-
debat dengan Puji. "Kata seorang pemikir mengenai perempuan."
"Iya, siapa dia?"
"Kalau tak salah Lord Chesterield."
"Ah, penelitian mengenai manusia itu tak pernah
akurat seratus persen, Mas. Dan tak pernah menetap
karena selalu saja ada ahli-ahli lain yang mungkin pen-
dapatnya bertolak belakang. Namanya juga bukan ilmu
pasti seperti dua kali dua selalu empat dan tak pernah
lain. Lawrence Kolgberg, misalnya. Dia bilang per-
kembangan perempuan berada di bawah tahap per-
kembang an kaum lelaki. Tetapi Carol Gilligan me-
ngata kan, pendapat itu keliru karena penelitian yang
dilakukan Kolgberg tertuju seluruhnya pada laki-laki.
Jadi bagaimana bisa dia menggeneralisasi penelitiannya
sebagai ilmu perkembangan seluruh manusia" Jadi
yang mau kukatakan di sini, setiap manusia itu unik.
Jadi jangan dipandang dari jenis kelaminnya, tetapi
lihatlah dia sebagai individu. Nah, sekarang aku mau
tidur, Mas. Kalau mau berdebat, besok saja dilanjut-
kan, ya?" "Tunggu sebentar, Wik. Sekeliru apa pun pendapat
http://pustaka-indo.blogspot.com238
seorang peneliti atau pemikir, pasti sedikit-banyak ada
juga benarnya," bantah Puji.
"Tetapi jangan lupa, Mas, ada banyak juga para pe-
mikir yang menelurkan gagasan dan teori cemerlang
namun terjatuh karena kepicikan pandangan mereka
terhadap keberadaan kaum perempuan. Sigmund Freud
dengan teori penis envy-nya, misalnya. Katanya, anak
pe rempuan yang melihat kelamin anak lelaki akan
sadar bahwa bahwa dia kekurangan sesuatu dan ka-
rena nya merasa iri. Itu kan omong kosongnya belaka.
Apalagi teorinya banyak dilandasi oleh pengamatannya
di ruang praktiknya ketika menangani perempuan-
perempuan bermasalah, perempuan-perempuan yang
meng alami masalah kejiwaan. Aku berani bilang begitu
karena ketiga adikku berjenis kelamin laki-laki, tetapi
tidak sedikit pun aku iri karena aku juga punya banyak
kelebihan dibanding mereka. Bukan karena aku pe-
rempuan dan mereka, tetapi karena masing-masing
indi vidu entah dia perempuan entah dia laki-laki,
sama-sama punya kelebihan dan kekurangan."
"Ah, sudahlah. Biarkan para pemikir itu sibuk de-
ngan gagasan dan teori-teori mereka. Biarkan pula
me reka itu saling menunjang atau saling menjatuhkan,
bukan urusan kita. Sekarang ini aku lebih memikirkan
keberadaanmu di sisiku. Jadi biarkan aku memelukmu,"
kata Puji sambil melingkarkan lengannya ke tubuh
Dewi. Dengan lembut namun penuh gejolak gairah, ia
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawa wajah Dewi hingga menghadap wajahnya,
ke mudi an tanpa memberi Dewi kesempatan untuk
bereaksi, diciumnya bibir Dewi.
http://pustaka-indo.blogspot.com239
Dewi mendorong lembut dada Puji ketika ciuman
laki-laki itu semakin menggelora.
"Aku... aku... capek, Mas. Sudah kukatakan tadi,
kan?" katanya. "Besok saja, ya?"
"Wik, tidakkah kau merasa rindu kepadaku sesudah
sekian hari lamanya kita tidak bersama. Aku yakin
penolakanmu bukan karena lelah. Pasti ada masalah
yang sedang membebani pikiranmu," kata Puji. "Benar,
kan?" "Iya sih," Dewi mengaku.
"Tentu ada sebabnya."
"Ya, pastilah."
"Apa itu?" "Mas, tidak semua masalah yang ada pada seorang
istri itu harus dikatakan pada sang suami. Begitu juga
sebaliknya. Jadi, biarkan masing-masing dengan per-
soalannya. Aku juga tidak ingin mengetahui apa yang
ada di dalam pikiran dan perasaanmu kok."
"Tetapi aku mencintaimu, Wik. Aku ingin kau mem-
bagikan pikiranmu padaku. Sebab siapa tahu aku bisa
membantumu, atau paling tidak setelah kau tumpah kan
pikiranmu padaku, hatimu jadi terasa lebih ringan."
"Malas ah, Mas. Biarkan aku tidur cepat. Itu sudah
cukup membantuku," sahut Dewi.
"Katakanlah padaku, Wik."
Dewi mengeluh dalam hati. Dia kenal betul seperti
apa Puji kalau sudah mulai mendesak seperti itu.
Kalau tidak segera dijawab, pasti dia akan terus meng-
ganggunya. "Aku cuma sedang merasa aneh dan lucu saja kok,
http://pustaka-indo.blogspot.com240
Mas," akhirnya ia terpaksa mengaku meskipun tidak
semuanya. "Sekarang sesudah kusadari bahwa kau telah
menjadi ayah, aku merasa seperti berada di luar arena.
Di sana kau punya istri lain dan ada se orang anak di
antara kalian. Itu anak mu. Tetapi, bukan anakku.
Benar-benar aku merasa asing di dalam rumah tangga
ini." Pelukan Puji, mengendur. Matanya menatap ke
wajah Dewi dengan perasaan takjub.
"Kau cemburu ya, Wik?" serunya. Ada letupan ke-
gembiraan di dadanya. Sudah lama dia ingin menge tahui
apakah cinta perempuan itu masih tetap sama seperti
dulu sebelum Indah memasuki kehidupan mereka.
Tetapi Dewi malah mengerutkan dahinya saat
menatap balik Puji. "Aku cemburu?" dengusnya. "Wah, Mas keliru
mengartikan kata-kataku tadi. Rasa cemburu dan rasa
asing karena berada di luar pagar, itu sangat berbeda.
Kecemburuan itu kan diwarnai rasa cemas ter singkir
oleh saingan di mana ada rasa sedih, rasa di sakiti, rasa
iri, dan yang semacam itu di dalamnya. Namun rasa
berada di luar pagar atau di luar arena itu memiliki
rasa kehilangan. Yaitu hilangnya rasa ke dekat an dan
persatuan hati karena adanya jarak lebar yang ter-
bentang di antara kita. Nah, itulah yang kurasakan.
Aku sudah kehilangan sesuatu yang seharusnya ada di
antara kita. Kehilangan sesuatu yang tak akan mungkin
bisa kembali." Puji terdiam sesaat, mencerna kata-kata Dewi. Baru
beberapa saat kemudian dia menanggapi.
http://pustaka-indo.blogspot.com241
"Perasaan asing itu tertuju pada apa dan siapa?"
tanya nya. "Terhadap semuanya, bahkan terhadap diriku sen-
diri. Terutama menyangkut arti perkawinan kita dan
ter hadap hubungan kita sebagai suami-istri," jawab
Dewi, apa adanya. "Kau terlalu perasa, Wik. Bahkan kau mem biar kan
pikiranmu berjalan tanpa landasan yang ber pijak pada
kenyataan." "Tidak, Mas. Sebenarnya perasaan seperti itu sudah
ada ketika kita baru mulai memasuki perkawinan. Mau
tahu kenapa?" "Katakan saja sejujurnya padaku."
"Aku merasakan betul, kau yang kukenal dan ku-
akrabi dengan mesra selama ini, ternyata bukan kau
yang datang pada upacara perkawinan kita berbulan-
bulan lalu. Citra dirimu yang selama itu kusimpan di
hatiku, tak sama seperti yang kulihat ketika kau datang
memenuhi tanggung jawab untuk melangsungkan
pernikahan denganku. Tidak sama pula dengan dirimu
yang sekarang ini. Tetapi di dalam perjalanan waktu,
meskipun dengan susah payah dan jatuh-bangun, aku
masih mau mencoba meraih kembali apa yang hilang
itu meskipun masih belum berhasil. Baru ketika
beberapa hari lalu kau pamit menunggui Indah yang
akan melahirkan dan terpaksa membatalkan janjimu
untuk mengantarku ke acara yang harus kuliput, ku-
sadari betul usahaku meraih kembali kedekatan itu
bukan saja akan sia-sia, tetapi menimbulkan muncul
semacam keterasingan dalam batinku. Kita tak lagi bisa
http://pustaka-indo.blogspot.com242
menjadi sekutu batin karena Mas punya sekutu lain
yang lebih solid. Ada istri dan ada anak dengan per-
masalahan kalian sendiri. Aku berada di luar garis se-
bagai outsider. Semestinya aku harus menyingkir atau..."
Belum selesai Dewi bicara, lengannya disentak oleh
tangan Puji. "Hari ini pikiranmu aneh-aneh dan meloncat ke
sana-sini. Ada apa sih?" tanya Puji keras.
Dewi menghela napas panjang.
"Jangan menganggap pikiranku ini aneh. Aku justru
berbicara mengenai kenyataan yang kualami ini secara
serius. Baru kusadari sekarang, semestinya aku men-
dengar kan perkataan ketiga adikku sebelum aku me-
mutuskan untuk melanjutkan pernikahan kita. Meski-
pun perkawinan kita dirayakan secara besar-besaran
dan orang banyak menganggap itu perkawinan utama-
mu, tetapi sebenarnya aku ini istri keduamu. Kau lebih
dulu menikah dengan Indah..." Sekali lagi Dewi meng-
hentikan perkataannya karena lengannya disentak Puji
lagi. Kini dengan sentakan yang lebih kuat.
"Apa-apaan sih, Wik" Kau istriku yang utama. Bu-
kan Indah." "Itu kan katamu, kata keluarga kita pula. Tetapi ke-
nyataannya kan kau memang lebih dulu menikah
dengan Indah." "Betul kan kalau tadi kubilang, pikiranmu itu aneh-
aneh dan menyimpang daripada pikiran orang lain.
Kalau adanya anak di antara diriku dan Indah mem-
buatmu merasa terasing, kita berdua kan bisa mem-
http://pustaka-indo.blogspot.com243
punyai anak juga. Beberapa kali kukatakan padamu,
aku ingin sekali memiliki anak darimu."
Dewi terdiam. Melihat itu sekali lagi Puji menyentak
lengannnya dengan perasaan jengkel.
"Wik, sepertinya kau tidak suka mendengar per kata-
anku, padahal aku sungguh-sungguh ingin menimang
anak yang kaulahirkan," katanya.
"Aku juga pernah bilang, aku baru akan memikirkan
keberadaan anak di dalam perkawinan kita jika suasana
dan wadah perkawinan kita ini sehat dan normal. Kau
kan tahu seperti apa perasaanku dan perasaan adik-
adikku yang tumbuh berkembang di dalam perkawinan
poli gami orangtuaku. Aku tidak ingin anakku men-
derita seperti kami...."
"Kedengarannya, kau memang sengaja tidak ingin
memiliki anak dariku," Puji mendesiskan kemarahannya
di sisi telinga Dewi. "Terserah kau mau bilang apa. Tetapi aku betul-
betul merasa tidak siap punya anak. Selain alasan se-
perti yang pernah kukatakan kepadamu, aku juga me-
rasa kan ketidakadilan dalam keluarga kita. Pada hal
kalau seseorang sudah mau menempuh per kawinan
poli gami, dia dan juga semua yang tersangkut di da-
lam nya harus bisa bersikap adil."
"Apa maksudmu?"
"Mas, tentunya kau sadar kan kalau keluargamu
tidak pernah mau menjenguk Indah, bahkan meskipun
dia sudah memberi orangtuamu cucu. Semua pasti bisa
melihat bagaimana orangtuamu tidak pernah meng-
anggap nya sebagai menantu. Terlepas dari hal-hal
http://pustaka-indo.blogspot.com244
lainnya, tidakkah kau merasa itu adil buat Indah" Dia
telah memberimu anak lho. Nah, di situlah sebenarnya
letak dari perasaan asing yang muncul di hatiku. Aku
telah menghalangi kebahagian suatu keluarga yang
lengkap. Keluargamu sendiri."
Puji terpana begitu mendengar perkataan Dewi yang
mengandung kebenaran itu. Melihat itu Dewi tak mau
membiarkan kesempatan yang ada itu untuk menajam-
kan lidahnya. "Mas, dia mencintaimu. Itu jelas jauh melebihi pe-
rasa anku kepadamu. Pasti dia sering menindas rasa
cem buru, rasa diabaikan, rasa dinomorduakan, dan
ada nya ketidakadilan yang harus dialaminya. Bayang-
kan, sekarang dia sendirian dengan bayinya. Ia harus
menyusui, merawat bayi, dan melindunginya sendirian
tanpa kehadiranmu. Pasti juga ada perasaan sakit hati
karena selama dalam masa nifas, selama empat puluh
hari dia tidak bisa memberimu kemesraan sehingga
ter bayang olehnya bagaimana dengan bebasnya kau bisa
bermesraan denganku kapan saja kauinginkan. Nah,
tidak ter pikirkah olehmu bagaimana dia harus me-
lewati hari-harinya tanpa dirimu?"
Setelah menguasai diri, Puji yang sejak tadi hanya
berdiam diri, mulai menanggapi perkataan Dewi.
"Kalaupun perkataanmu benar, sebetulnya apa sih
tuju anmu?" tanyanya dengan suara tajam.
"Sebelum kukatakan apa tujuanku ini, aku masih
ingin membuka matamu agar bisa melihat segala se-
suatunya secara transparan," sahut Dewi. "Begini, Mas,
sebagai sesama perempuan dan anak yang pernah hi-
http://pustaka-indo.blogspot.com245
dup dalam perkawinan poligami orang tuaku, aku iba
membayangkan bagaimana anak mu dengan Indah nanti
akan tumbuh dan berkembang. Dia tidak bisa setiap
hari melihatmu, tidak bisa setiap saat berada dalam
pelukanmu. Ketika tumbuh besar nanti, dia akan
mengerti bahwa ayahnya punya istri lain yang dianggap
lebih sah dan lebih diakui oleh keluargamu. Nah,
tidakkah kau berpikir bahwa selain adanya kepedihan
hati, anak itu akan tumbuh dan ber kembang dalam
suatu pemikiran untuk menganggap poligami itu se-
bagai sesuatu yang wajar terjadi. Tidak setiap anak
yang tumbuh dalam perkawinan poligami akan ber-
pandangan dan merasakan hal yang sama seperti aku
dan adik-adikku." "Kau mengatakan semua itu secara berat sebelah
dengan menyudutkanku, mengungkit rasa kebapa an ku.
Tetapi kau belum menjawab apa tujuan bicaramu yang
panjang-lebar itu," kata Puji ketus.
"Tujuan bicaraku, aku ingin agar kita men coba me-
ninjau kembali perkawinan kita ini. Semakin lama se-
makin kurasakan betapa pincang kehidupan perkawin-
an kita. Aku digugat oleh hati nuraniku sendiri agar
kau, Indah, dan anakmu dapat hidup sebagai keluarga
yang utuh." "Dengan perkataan lain, kau ingin kita berpisah.
Begitu, kan?" "Yah... semacam itulah."
Puji mendengus lagi. "Kau bicara seakan perpisahan atau perceraian itu
sesuatu yang lebih bernilai daripada mempertahankan
http://pustaka-indo.blogspot.com246
perkawinan. Tidak terpikir olehmu bagaimana rasa
malu keluarga kita harus menghadapi banyak orang?"
katanya berapi-api. "Kalau itu demi kebahagiaan hati seorang anak, apa-
lah arti rasa malu yang semakin lama akan semakin
me mudar dalam perjalanan waktu."
"Kelihatannya cintamu kepadaku sudah hilang."
"Yang kukatakan tadi tidak ada kaitannya de ngan
cinta. Itu lebih sebagai gugatan hati nu r aniku. Lagi
pula, apakah cintamu kepadaku juga masih seperti
dulu?" "Tentu saja. Aku benar-benar mencintaimu, Wik."
Dewi tertawa lembut. "Aku tidak pernah bisa memahami perasaan cintamu
itu. Hanya tiga hari menjelang perkawinanmu dengan
perempuan yang katanya kaucintai ini, kau lari untuk
menikah dengan perempuan lain...."
"Entah sudah berapa puluh kali kukatakan bahwa
waktu itu pikiranku entah sedang terbius apa sehingga
melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. Jadi jangan
diulang-ulang lagi peristiwa itu. Apalagi pada kenyata-
annya sesudah kita menikah, baru kusadari betul bah-
wa hanya dirimulah yang semestinya menjadi istriku
satu-satunya. Kasihku kepadamu semakin berkembang
sementara kepada Indah, hanya rasa tanggung jawab
yang tersisa. Kau pasti masih ingat apa yang pernah
kuceritakan mengenai Indah di awal-awal hubung an
percintaan kita bahwa hubunganku dengan dia terputus
oleh banyaknya perbedaan pandangan hidup. Ketika
kami bertemu kembali dan dia menangis dalam
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://pustaka-indo.blogspot.com247
pelukanku karena kekasihnya mendua, aku merasa iba
dan merasa bersalah karena dulu me mutuskan hubung-
an...." "Sudahlah, Mas, aku malas mendengar hal-hal se-
macam itu." "Tetapi kau harus percaya bahwa aku benar-benar
sangat mencintaimu, Wik. Jangan membahas cinta de-
ngan logika. Kau terlalu realistis sih."
"Bukannya aku menyangsikan perasaanmu itu, Mas.
Tetapi ada baiknya kalau sesekali kau mempelajari pe-
rasaanmu kepadaku itu apakah benar-benar tulus.
Siapa tahu kau keliru mengartikannya."
"Apa maksudmu?"
"Aku cuma merasa yakin bahwa kau lebih mendapat
kepuasan biologis dariku dibanding Indah..." jawab Dewi
dengan pipi yang mulai merona merah. Rasanya dia telah
membicarakan sesuatu yang tak senonoh. "Dan karena-
nya timbul di hatimu rasa dekat, rasa akrab, dan rasa
mesra terhadapku sehingga menyangka itu sebagai cinta
sejati. Jelasnya, Mas, kau telah mem baur kan masa lah
kebutuhan isik dengan perasaan cinta."
"Jangan mengada-ada, Wik. Lagi pula, masa kau ti-
dak tahu bahwa tidak ada cinta tanpa hasrat. Te tapi
hasrat tanpa cinta, banyak."
Dewi terdiam, merasa tak ada faedahnya berdebat
dengan Puji. Karenanya dia pura-pura menguap sam bil
membalikkan tubuhnya, memunggungi Puji. Tetapi
laki-laki itu tidak suka dipunggungi. Tubuh Dewi di-
raih nya agar menghadap ke arahnya untuk ke mudian
di rengkuhnya ke dalam pelukannya. Kemudian dibelai-
http://pustaka-indo.blogspot.com248
nya rambut, leher, dan bahu Dewi. Sesekali bibir nya
mengecupi pipi dan dagu perempuan itu. Dewi ter-
paksa membiarkannya. Apalagi pikirannya le bih ter-
serap pada tujuan bicaranya tadi.
"Wik... balaslah pelukanku..." Puji berbisik di sisi
te linga Dewi "Pembicaraan kita belum selesai, Mas," sahut Dewi
setelah menarik napas panjang sekali.
"Pembicaraan apa lagi sih" Pokoknya, aku tidak
ingin berpisah darimu. Perceraian adalah sesuatu yang
tidak bisa kulakukan. Seperti yang kukatakan tadi, aku
mencintaimu. Hidup tanpa dirimu... sungguh tak bisa
kubayangkan betapa pahitnya itu," kata Puji.
"Mas, cobalah mengikuti pandanganku. Perkawinan
kita ini benar-benar tidak sehat. Semakin aku berpikir
bahwa aku berada dalam perkawinan poli gami, semakin
perutku terasa mual. Malu aku pada diriku sendiri...."
Pelukan Puji mengendur. "Mendengar perkataanmu, timbul dugaan di kepala-
ku kenapa tiba-tiba saja pikiranmu jadi aneh. Nah,
apakah timbulnya pikiran dan perasaan seperti itu ka-
rena perjumpaanmu kembali dengan Pramono?" gu-
mam nya kemudian. Alisnya bertaut.
"Semua yang telah kukatakan kepadamu tadi sama
sekali tidak ada kaitannya dengan Mas Pram," Dewi
menjawab tegas. "Kalau tidak, kenapa kau tiba-tiba bicara tentang
per pisahan" Jangan-jangan kau ingin kembali kepada-
nya?" Puji mulai menggeram.
http://pustaka-indo.blogspot.com249
"Jangan mengada-ada, Mas. Jangan ngawur," Dewi
membantah dengan keras. "Sudah kukatakan, apa yang
kukatakan tadi tak ada kaitannya dengan Mas Pram.
Bahkan memikirkannya pun, tidak. Semua itu ku kata-
kan semata-mata karena sekarang ini setelah anakmu
lahir, aku merasakan betul bahwa perkawinan kita ini
tidak baik untuk Indah dan anakmu. Kuharap, kau
me ngerti bahwa dalam hal ini aku benar-benar ingin
bersikap adil, ini gugatan dari hati nuraniku sendiri.
Jadi sekali lagi, Mas Pram jangan dibawa-bawa. Apalagi
barangkali saja sekarang ini dia sudah hidup bahagia
bersama istri dan anak-anaknya. Tak ada relevansinya
dengan kehidupanku."
"Tetapi sebelum bertemu kembali dengan dia, kau
tidak pernah berbicara seperti ini."
"Kuulangi ya, Mas, jangan bawa-bawa Mas Pram
dalam pem bicaraan kita karena tidak ada kaitannya
dengan dia. Bahwa sekarang aku mengungkit masalah
perkawinan kita, itu sepenuhnya merupakan luapan
dari kepenuhan isi hatiku yang sudah lama me nyimpan
masalah ini. Meskipun aku juga tidak me nyetujui
perceraian, tetapi selalu saja ada pengecualian beralasan
yang perlu dijadikan bahan per timbangan. Jadi, tidak
selalu perceraian itu buruk. Se ba lik nya, tidak selalu
pula mempertahankan per kawi n an itu baik. Apalagi
dalam kasus kita ini ter kait ke bahagiaan se orang bayi
yang di dalam proses per kembangan hidup nya nanti
pasti membutuhkan ke hadiran seorang ayah yang selalu
ada di rumah jika dia mencarinya."
"Kau bicara seolah perkawinan kita ini retak atau
http://pustaka-indo.blogspot.com250
yang semacam itu. Padahal hubungan kita selama ini
baik-baik saja." "Baik-baik saja itu menurut ukuran siapa" Bagiku,
perkawinan kita ini pincang. Padahal sebagai manusia
yang dianugerahi pikiran dan perasaan oleh Tuhan,
sedapat mungkin setiap langkah kakinya yang terayun
hendaklah merupakan arah perkembangan menuju pem-
baruan dan kesempurnaan yang lebih sempurna. Maka
di dalam proses perkembangan tersebut, apa yang se-
mula terselubung, mulai tersibak sehingga aku bisa me-
lihat apa yang mungkin disebut sebagai kebenar an. "
"Apakah kau hendak mengatakan bahwa kesem pur-
naan menurutmu itu akan tercapai dengan lancar apa-
bila kita berpisah?" tanya Puji dengan kekesalan yang
tak ditutupi-tutupi. "Aku hanya merasa hidupku akan lebih sem purna
jika tidak berada di dalam perkawinan poligami karena
tidak ada lagi yang menggugat hati nuraniku bahwa di
rumahmu yang lain ada istri dan anak yang lebih
membutuhkan kehadiranmu."
"Apakah perasaanmu tidak akan seperti itu andai-
kata istriku hanya dirimu seorang?" Puji mencoba
meng ajuk perasaan Dewi. "Oh, itu pasti, Mas."
"Dengan jawaban itu, apakah kau ingin aku men-
cerai kan Indah?" "Mas keliru lagi menafsirkan perkataanku. Sedikit
pun tidak ada keinginan di hatiku agar Mas mencerai-
kan Indah. Mas harus mengerti bahwa kehidupan yang
kita jalani sekarang ini adalah sesuatu yang sama sekali
http://pustaka-indo.blogspot.com251
berbeda dengan apa yang pernah kuangankan. Aku
telah kehilangan rasa bahagia. Bahkan rasa damai pun
tak ada lagi di hatiku. Namun mengingat apa yang kini
terjadi adalah suatu fakta yang harus dijalani karena
kita tidak mungkin memutar jam untuk kembali ke
masa-masa sebelum kau dan Indah berjumpa kembali,
aku harus mencoba untuk bertahan. Tetapi jika kau
ber maksud menceraikan Indah, maka aku akan menjadi
orang pertama yang paling menentangmu. Ingat itu.
Dengan kata lain, kalau kau ingin membenahi hidup-
mu dengan hanya seorang istri, akulah yang akan pergi
dari sisimu. " Puji terdiam mendengar perkataan Dewi yang di-
ucapkan dengan sepenuh perasaan itu. Kesempatan itu
dipakai oleh Dewi untuk menghentikan pembicaraan
yang menyebalkan itu. "Nah, selamat tidur, Mas. Aku ngantuk," katanya
sambil membalikkan tubuhnya kembali, membelakangi
Puji. "Tunggu sebentar, Wik. Pembicaraan kita masih be-
lum sampai pada titik mati," sahut Puji tergesa. "Aku
masih ingin mendengar penjelasanmu."
"Penjelasan yng mana lagi" Aku kan sudah mengata-
kan secara gamblang tadi bahwa aku ingin hidup dalam
damai. Kalau aku tetap bercokol di sini bersamamu,
sepertinya aku ini benar-benar tidak punya pe rasaan
dan tenggang rasa yang akan memasung proses ke-
sempurnaan pribadiku sendiri," sahut Dewi. "Itulah
sebenarnya yang membuatku merasa amat tertekan,
sebab Indah yang lebih dulu menikah denganmu dan
http://pustaka-indo.blogspot.com252
memberimu anak, seharusnya lebih berhak berada di
sisimu dan mendapat pengakuan dari ke luargamu.
Bukan aku." "Aku tidak ingin berpisah denganmu!"
"Itu namanya kau egois. Nah, mulai malam ini
cobalah pikirkan semua hal yang ku kata kan tadi.
Kuberi Mas waktu untuk itu." Usai berkata se perti itu,
Dewi mengambil guling dan memeluknya erat-erat.
Puji menarik napas panjang. Sekali lagi ia melihat
bahwa di balik kelembutan, kesabaran, pengendalian
diri, dan ketenangan yang selalu terlihat pada pe-
nampil annya, Dewi juga memiliki hati yang amat kuat
ber pegang pada prinsip-prinsip hidupnya, dengan ko-
mitmen yang kuat. Ah, perempuan yang sedang tidur membelakanginya
itu memang orang yang istimewa. Namun meskipun
kadang-kadang ia tak mampu mengikuti gerak dan ki-
prah nya, perempuan itulah yang sebenarnya ia inginkan
untuk menjadi istri tunggalnya.
http://pustaka-indo.blogspot.com253
DEWI menarik koper kecilnya dari atas lemari pa-
kai an dengan hati-hati, khawatir kalau-kalau ada debu
yang ikut turun dan lalu mengotori rambutnya.
Puji yang baru keluar kamar mandi dan mencukur
dagunya di sana langsung melemparkan pertanyaan ke-
tika melihat apa yang dilakukan Dewi.
"Mau pergi ke mana lagi?" tanyanya.
"Aku mendapat tugas menyertai tamu penting ne-
gara ke beberapa kota," jawab Dewi, masih dengan
perhatian pada kopernya. "Itu artinya kau juga termasuk orang yang penting,"
komentar Puji. Dewi meliriknya sejenak dengan sebal.
"Jangan suka mengejek," gerutunya, masih sambil
mem bersihkan debu dari kopernya. "Sebetulnya yang
ber tugas untuk itu Mbak Yanti. Tetapi tiba-tiba anak-
Sembilan http://pustaka-indo.blogspot.com254
nya panas tinggi sehingga tugas itu diberikan kepada-
ku." "Undangan resmi kok bisa diambil alih seenaknya
sendiri." "Undangan itu tidak ditujukan kepada seseorang.
Tetapi kepada kantor penerbitan kami. Siapa pun yang
akan bertugas, tidak masalah asalkan punya kapa sitas
untuk itu. Jelas?" "Berapa hari?" "Sekitar empat hari."
"Naik pesawat?"
"Tentu saja. Masa tamu negara disuruh naik kereta
api." "Lalu kapan kau akan berangkat?" Puji bertanya lagi
sambil mengabaikan nada jengkel yang mewarnai suara
Dewi. "Besok sore. Jadi aku akan berangkat langsung dari
kantor." Usai berkata seperti itu, Dewi mulai membuka
lemari dan memilih-milih pakaian yang akan dibawa-
nya. Puji masih memperhatikannya dan Dewi me-
nyadari itu. Belakangan ini Puji sering me ngatakan
sesuatu yang mengungkit kekesalannya. Seperti kakek
yang sedang nyinyir-nyinyirnya.
"Masih lama?" Laki-laki itu kembali bersuara.
"Apanya?" "Pekerjaanmu mengatur barang-barang yang akan
kau bawa itu. Aku lapar sekali," sahut yang ditanya.
"Makan dululah, Mas. Tadi kulihat Icih sudah me-
manasi sayur." "Aku ingin makan di luar."
http://pustaka-indo.blogspot.com255
"Dengan siapa?"
"Dari tadi menunggumu selesai mengatur isi koper-
mu masa aku akan makan dengan orang lain?"
Dewi tertawa. "Jawabanmu enak didengar telinga," gumamnya ke-
mudian. Puji ganti tertawa. Tetapi tawa yang masam.
"Itu karena belakangan ini kau sering membuat
tekan an darahku naik sampai ke ubun-ubun," sahutnya.
"Coba saja bayangkan bagaimana perasaanku. Tiba-tiba
saja kau mengambil koper dan mengisinya berlama-
lama dan mengatakan dengan tenang bahwa besok kau
akan pergi bertugas selama empat hari. Se olah bicara
tentang udara yang panas atau yang se macam itu. Lalu
selama kau pergi nanti, aku akan kau kemanakan?"
"Ya ampun, Mas, kok seperti anak kecil sih. Mas kan
bisa menjenguk anakmu. Kuhitung, sudah dua minggu
sejak kelahirannya, Mas belum menjenguknya lagi."
"Belum waktu gilirannya."
"Kau betul-betul keterlaluan, Mas. Di mana sih pe-
rasa anmu?" "Sudahlah, jangan bicara melebar ke mana-mana.
Malam ini aku ingin makan di luar bersamamu. Su dah
lama kita tidak keluar bersama."
Dewi meluruskan punggung. Meskipun enggan
keluar bersama Puji tetapi karena perutnya sudah lapar,
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajakan itu mulai menggodanya.
"Oke. Tetapi jangan jauh-jauh dan pulangnya jangan
malam-malam, ya?" "Oke." http://pustaka-indo.blogspot.com256
Suasana akrab selama mereka makan di luar hingga
kembali ke rumah lagi itu menimbulkan keinginan
Dewi untuk melanjutkan pembicaraan mereka bebe-
rapa malam lalu, yang belum menunjukkan kemajuan
apa pun. Tetapi Puji tidak memberinya kesempatan.
Begitu Dewi membaringkan tubuhnya ke tempat tidur,
begitu pula laki-laki itu menghujaninya dengan
cumbu an dan kemesraannya. Dewi tidak tega me-
nolak nya. Su dah beberapa kali ia menghindari ke-
intiman se macam itu. Siapa tahu pula, ini yang ter-
akhir kali. Dengan begitu, sampai Dewi berangkat ke
luar kota esok harinya, pembicaraan mengenai ke-
langsungan hidup perkawinan mereka, belum juga
dibahas. Apalagi begitu berada di dalam pesawat,
begitu juga masalah itu terpinggirkan.
Rupanya hanya ada beberapa wartawan yang men-
dapat undangan untuk menyertai kunjungan kerja
tamu-tamu penting itu. Tetapi justru karena hal itulah
pandangan Dewi langsung membentur sosok tubuh
Pramono di antara mereka. Lelaki itu sempat me-
lempar kan senyum lembutnya ketika pandang mata
mereka bertemu. Bahkan ketika mereka sudah berada
di pesawat, Pramono memilih duduk di sebelahnya.
Tidak banyak orang yang ikut dalam rombongan ini.
"Kita bertemu lagi, Wik," ujar Pramono. Sama
seperti sinar matanya, suaranya juga terdengar lembut
dan menenangkan. "Kali ini kita akan bersama-sama
selama beberapa hari."
Cepat-cepat Dewi mengusir pesona itu dari benak-
nya. Ia tidak ingin mengkhianati perkawinannya de-
http://pustaka-indo.blogspot.com257
ngan Puji. Sebelum jelas mau ke mana hubungan me-
reka nanti, ia tidak ingin memikirkan laki-laki lain.
"Ya. Dengan acara yang padat pula," sahutnya ke-
mudian. "Tetapi kelihatannya akan menarik. Ada banyak hal
yang bisa diliput. Terutama mengenai dampak kerusak-
an lingkungan yang berpengaruh pada kedaulatan dan
ketahanan pangan kita di daerah-daerah. Mudah-
mudah an orang-orang penting itu peka menangkap
ke benaran yang ada."
"Aku juga berharap begitu. Jangan memercayai be-
gitu saja laporan di atas kertas yang cuma ingin me-
nyenangkan para penggede dan tamu."
"Betul." "Mas, kalau nanti bidikan kameraku kurang bagus,
aku pinjam tanganmu, ya" Kadang-kadang aku masih
belum mampu menangkap objek secara pas."
"Pas apanya" Fokusnya, ketajamannya, atau apa?"
"Maksudku, objek yang bisa "bicara", sehingga kalau
nanti orang melihat fotonya, tanpa keterangan yang
jelas pun mereka tahu itu foto apa."
"Kau bisa mempelajarinya, Wik. Lamanya jam ter-
bang juga bisa menjadi arahan kita. Dengan kata lain,
pengalaman adalah guru kita."
"Ya. Tetapi kau juga bisa mengajariku, kan?"
Pramono tersenyum. "Untuk gampangnya, bidiklah semua objek yang bisa
bicara. Misalnya spanduk. Di situ kan tertulis tema,
waktu, dan siapa saja narasumbernya. Lalu segera me-
motret orang-orang yang sedang melakukan sesuatu
http://pustaka-indo.blogspot.com258
dengan hatinya. Bukan mereka yang jual tampang. Kita
bisa kok mempelajari ekspresi mereka. Dalam hal ini
perlu kepekaan penglihatan kita."
"Ya, aku mengerti. Melihat dan memperhatikan itu
berbeda, ya?" "Ya, memang." Pramono tersenyum lagi. "Jadi kita
mesti pandai-pandai membidikkan kamera."
"Pasti titik perhatian kita juga bisa berbeda."
"Ya, tentu saja. Tergantung concern kita. Dalam kon-
teks pembicaraan kita, tergantung pula pada apa yang
akan kita tulis dan apa misi majalah atau koran kita.
Begitu barangkali kan, Wik?"
"Ya." Dewi tersenyum manis, melirik sesaat ke arah
laki-laki yang duduk di sebelahnya itu. Senang hatinya
bisa berbicara sebebas itu dengan orang yang punya
minat dan bakat sama. Tak bisa disangkal. kebersamaan yang terjalin di
antara Dewi dan Pramono selama mengikuti rombong-
an tamu-tamu penting itu menyentuhkan kembali
kenang an mereka di masa lalu. Minat mereka sama.
Ilmu yang mereka geluti, sama. Sekarang, pekerjaan
yang mereka geluti juga sama. Semua itu mengingatkan
banyak hal yang pernah mereka alami di masa lalu.
Banyak kenangan di antara mereka yang sulit dihapus
dari ingatan. Saling berbagi, saling membantu, bahkan
saling mengkritik yang dulu pernah mereka alami,
sekarang terjadi kembali. Ada kedekatan dan pengerti-
an yang rasanya semakin kokoh dan se makin matang
seiring usia mereka. Namun mengingat zaman, situasi,
dan kondisi yang tidak sama seperti waktu itu, kedua-
http://pustaka-indo.blogspot.com259
nya sama-sama berusaha me nyembunyikan apa yang
mulai berkembang kembali di hati mereka. Apa yang
terjadi di masa lalu bukanlah apa yang terjadi sekarang.
Manusia tidak berjalan mun dur, bukan"
Aneh, memang. Keduanya tidak pernah bicara se-
patah kata pun mengenai letupan perasaan yang mulai
muncul di hati mereka. Menyinggung masa lalu mereka
pun tidak. Bahkan cenderung menyem bunyi kannya
agar jangan sekilas pun tersirat dari sikap dan mata
mereka. Namun jauh di lubuk hati, ke duanya sama-
sama mampu membaca bahasa yang tak terucap
maupun yang tersirat dari bahasa tubuh. Itulah rasa
yang hanya bisa ditangkap mata hati. Itulah yang
dibisikkan angin dan udara yang mengandung magnet
bahwa cinta di antara mereka dulu, kini masih ada dan
tak pernah mati. Kalau sudah demikian, baik Dewi
maupun Pramono selalu berusaha sedapatnya agar
jangan sampai tubuh mereka ber sentuhan kendati cuma
ujung jari. Sedapatnya pula jangan sampai mereka
berpandangan lebih dari dua detik karena tak mungkin
cinta itu bisa tetap tersembunyi di sudut hati yang
terdalam jika me reka bertatapan lama. Kebencian bisa
ditutupi dengan berbagai kemunaikan dan kepura-
puraan, tetapi cinta sejati, tidak bisa disembunyikan.
Mereka sangat menyadari hal itu.
Panjang dan pendeknya waktu yang berlalu memang
tergantung pada menit-menit yang berjalan. Tetapi
lama atau tidaknya perasaan saat melewati waktu yang
berlalu itu tergantung pada perasaan orang yang men-
jalaninya. Bagi orang yang putus asa, orang yang me-
http://pustaka-indo.blogspot.com260
nunggu sesuatu, orang yang sedang merasa jemu, empat
hari merupakan waktu yang sangat lama. Tetapi bagi
Dewi dan Pramono yang sama-sama sedang menikmati
dan menyerap kebersamaan di antara mereka, waktu
berlalu sedemikian cepatnya. Tahu-tahu saja mereka
harus berpisah di bandara. Di muka pintu taksi yang
akan membawa Dewi pulang ke rumah, Pramono ber-
diri dengan berat hati. Perih hatinya karena perpisahan
di antara mereka saat itu mengingatkannya pada per-
pisahan mereka ketika rencana lamaran batal dan be-
rantakan. "Aku akan mencetak rangkap semua hasil bidikanku,
Wik. Nanti mana-mana foto yang akan kupakai, akan
kuberi tanda sehingga kau bisa memllih yang lain.
Besok semua itu akan kukirim ke kantormu," katanya,
mencoba mengatasi perasaan perih itu.
"Terima kasih banyak ya, Mas."
Pramono tersenyum, menepuk lembut sesaat bahu
Dewi dan menyampaikan permintaan kepada sopir
taksi, "Hati-hati di jalan ya, Pak," lalu menutup pintu-
nya. Berada seorang diri di dalam taksi sesudah melalui
berbagai kesibukan, Dewi memiliki kesempatan untuk
merenungkan apa yang selama empat hari dilaluinya
ber sama Pramono. Tiba-tiba saja ia teringat pengakuan
Puji ketika menceritakan pertemuannya kembali de-
ngan Indah saat perempun itu menangis di bahunya
dan mencurahkan kesedihan, dicurangi kekasih baru-
nya. "Ketika bertemu kembali dengan Indah, aku seperti
http://pustaka-indo.blogspot.com261
me lihat gunung kebiruan menembus awan-awan di ke-
jauhan yang membuatku terbius ingin kembali ke sana
meskipun untuk sesaat," begitu pengakuan Puji waktu
itu. Sekarang, Dewi mulai mengerti apa maksudnya,
sebab itulah yang dirasakannya saat berada di dekat
Pramono selama beberapa hari ini. Ia ter pukau pada
keindahan gunung biru yang me nyentuh awan-awan
seputih kapas. Saat menatap tubuh kekar dan tangan-
tangan terampil Pramono yang sibuk meng abadikan
objek-objek yang akan me nunjang tulisannya, rasanya
ingin sekali ia berlari ke dalam pelukannya, seperti
yang dulu sering dilakukan nya. Ia juga tertegun saat
memandangi jemari Pramono ketika laki-laki itu
menulis, karena jemari yang sama itu pernah membelai
rambut dan pipinya yang berurai air mata atau meng-
gelitikinya ketika mereka dulu tenggelam dalam canda.
Gunung yang berada di kejauhan telah mengundang
Puji untuk kembali ke sana, begitu pengakuan laki-laki
itu. Tetapi gunung yang indah ternyata juga telah me-
ngecohnya. Saat ia mendekatinya dan yang tampak
hanya hutan-hutan lebat, barulah Puji sadar ia keliru
mengayunkan langkah dan sesal kemudian tak berguna.
Nasi yang telah menjadi bubur tak bisa diperbaiki.
Dewi menarik napas panjang. Pengalamannya ber-
sama Pramono berhari-hari itu berbeda dengan apa
yang dialami Puji. Ia dan Pramono tidak ber maksud
melangkahkan kaki untuk kembali menyusuri jalan
menuju gunung yang membiru itu. Mereka sama-sama
menyadari bahwa manusia berjalan ke depan dan terus
http://pustaka-indo.blogspot.com262
ke depan. Bukan mundur. Itu yang pertama. Ke dua,
mereka sama-sama menyadari adanya tanggung jawab
moral untuk menjaga agar tidak terjadi apa pun yang
bisa mengurangi nilai-nilai keindahannya. Maka apa
yang sebenarnya ada di hati, sepatah kata pun tidak
pernah terucap. Tidak pula tersirat. Namun justru
karena itulah seluruh kenangan masa lalu itu bagaikan
memasung hati dan pikiran Dewi untuk tetap
menyimpan Pramono di lubuk hatinya yang terdalam,
yang tak perlu diperlihatkannya kepada siapa pun.
Termasuk kepada yang bersangkutan. Dan yang ketiga,
ia harus tetap berkomitmen terhadap realita yang ada.
Tidak ada kata "seandainya" yang hanya akan memen-
jara kannya ke dalam mimpi-mimpi yang tidak akan ada
habisnya. Sesuatu yang tak ada manfaatnya.
Begitulah dialog batin Dewi di se panjang perjalanan-
nya sejak taksi yang ditumpanginya meninggalkan
Bandara Soekarno-Hatta. Penuh... penuh isi kepalanya.
Penuh... penuh isi dadanya.
Icih menyambut kedatangannya sebagaimana biasa.
Senang sekali ia melihat Dewi kembali. Dan sebagai-
mana biasanya pula, Dewi selalu memberikan oleh-oleh
untuknya. Bukan barang mahal, tetapi pasti berguna
bagi perempuan muda itu. "Kau selalu tampak senang setiap melihatku pulang
kembali ke rumah," katanya tertawa lebar sambil me-
nyerahkan barang-barang bawaannya. "Tetapi hari ini
kesenanganmu tampak berlebihan. Ada apa?"
"Icih kesepian, Den," Icih menjawab terus terang.
"Tidak enak sendirian saja di rumah."
http://pustaka-indo.blogspot.com263
"Bapak pergi?" "Ya. Begitu Den Wiwik berangkat, Bapak juga per-
gi." Dewi tersenyum. Sarannya agar Puji menjenguk
anak nya, diturutinya kendati ketika saran itu diucap-
kan nya, sikap laki-laki itu seperti acuh tak acuh.
Panggil an darah tak bisa diabaikan begitu saja.
Melihat Dewi tersenyum, Icih melongo heran. Se-
kali gus jengkel. Sabar betul sih majikannya ini.
"Den, kok masih bisa tersenyum sih" Padahal seperti
dugaan saya, Den Wiwik pasti yakin, Bapak pergi ke
rumah yang satu." "Tetapi aku maklum kok, Cih. Seandainya jadi dia,
aku pasti akan melakukan hal sama. Daripada kesepian
di rumah, kan?" "Sepanjang umur Icih, baru di dalam keluarga inilah
saya melihat istri yang begitu sabar, begitu pasrah, dan
begitu tenang menghadapi suami yang punya istri lain.
Bahkan masih bisa tersenyum seperti Den Wiwik.
Beda sekali dengan saya. Baru mendengar suami minta
izin Icih untuk menikah lagi, hati saya sudah seperti
terbakar api. Buat saya lebih baik bekerja sebagai pem-
bantu rumah tangga daripada tetap hidup sebagai istri-
nya. Yah... untungnya keputusan Icih tidak salah. Saya
senang sekali berada di tengah keluarga besar Den
Wiwik. Tetapi Den Wiwik kok bisa lho punya suami
yang punya istri lain. Kalau Ibu Sepuh, saya tahu
beliau menderita meskipun hal itu tidak pernah di-
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ucapkan atau diperlihatkan. Tetapi Den Wiwik..." Bi-
ngung, saya!" http://pustaka-indo.blogspot.com264
Dewi tersenyum lagi. Ditepuknya bahu Icih dengan
pemahaman yang amat kental.
"Aku harus merasa malu terhadapmu, Icih. Kau be-
rani menentang ketidakadilan yang dialami seorang istri
dengan meninggalkan suamimu tanpa persiapan apa
pun kecuali kesadaran untuk menunjukkan harga diri-
mu sebagai perempuan mandiri yang tak bisa dileceh-
kan. Sungguh, Cih. Aku mengatakan ini dengan tulus.
Aku tidak bisa berbuat seperti dirimu meski pun hatiku
sangat menginginkannya. Ah, kau pasti sudah tahu
mengenai hal itu," sahut Dewi penuh perasaan.
"Iya. Tetapi kalau saya jadi Den Wiwik, akan saya
tunjukkan kepada Bapak bahwa Den Wiwik bisa
mandiri, bisa mencari uang sendiri, bisa hidup tanpa
suami. Bisa pula menentukan masa depan sendiri. Di
dunia ini tidak cuma ada satu laki-laki kok."
Untuk kesekian kalinya Dewi tersenyum lagi. Alang-
kah enak memiliki pikiran yang sederhana dan lurus-
lurus saja seperti Icih. Kehidupan ini jadi bisa berjalan
tanpa liku-liku seperti yang sedang dialaminya sekarang
ini. "Den Wik, yang di sana kan sudah punya anak,
kenapa Den Wiwik masih tenang-tenang saja, tidak
ada usaha untuk segera memberi anak buat Bapak
supaya beliau mempunyai ikatan yang lebih kuat di
sini" Saya yakin, cinta Bapak lebih banyak buat Den
Wiwik karena saya hitung-hitung, paling lama Bapak
di sana hanya seminggu. Kecuali kalau Den Wiwik
sedang tugas ke luar kota seperti kemarin-kemarin ini,"
kata Icih lagi. http://pustaka-indo.blogspot.com265
Lagi-lagi pandangan yang sederhana dan lurus-lurus
saja. Kalau saja cara berpikirnya seperti Icih, barangkali
perkawinannya dengan Puji tidak terlalu gersang, tidak
ada yang mengungkit-ungkit hati nuraninya agar ber-
buat sesuatu demi menegakkan prinsip-prinsip hidup-
nya yang nyaris jatuh terkapar.
"Den Wiwik harus minum jamu-jamu penyubur.
Nanti Icih mintakan pada Ibu Sepuh," kata Icih lagi.
Tetapi Dewi memotong perkataan perempuan itu.
"Jangan lakukan itu, Cih. Sia-sia saja," katanya cepar-
cepat. "Aku memang benar-benar tidak ingin punya
anak saat ini." Icih menarik napas panjang.
"Kalau ada anak di rumah ini, Icih tidak akan ter lalu
kesepian seperti sekarang," gumamnya kemudi an.
Dewi memahami perasaan Icih. Seperti dirinya, Icih
biasa tinggal di rumah yang ramai. Selain, dia tidak
suka mengobrol tak jelas dengan pembantu-pembantu
rumah tangga para tetangga.
"Sabarlah, Cih. Atau kau ingin kembali ke rumah
Ibu?" "Ingin sih ingin, Den. Tetapi kasihan Den Wik ka-
lau saya tinggal." "Sudah, begini saja. Setiap pagi setelah mencuci
pakaian, kau ikut mobil Bapak dan kaulanjutkan de-
ngan kendaraan umum. Di sana kau bisa masak di
rumah Ibu. Siang atau sorenya, kau bisa kembali ke
sini sambil membawa masakan. Terserah padamu ba-
gai mana mengaturnya. Nanti kubuatkan kunci duplikat
untukmu." http://pustaka-indo.blogspot.com266
"Wah, usul yang bagus tuh, Den. Tetapi supaya
tidak buang ongkos... Icih tak usah ke sana setiap hari.
Paling-paling seminggu dua atau tiga kali saja."
"Terserah padamu, Cih. Tetapi kalau itu karena soal
ongkos, aku yang akan memberimu. Beres, kan?"
"Ya." Icih tertawa. "Tetapi saran saya tadi harap di-
pikirkan lho, Den." "Saran yang mana?"
"Den Wik harus mulai memikirkan soal anak."
Dewi hanya tertawa. Tetapi ketika Icih sudah kem-
bali ke belakang, tawa itu langsung lenyap. Dia tidak
ingin menjadikan anak sebagai pengikat cinta suami.
Sungguh tak ada nilainya. Anak adalah buah cinta.
Bukan pengikat hati suami atau semacam itu. Lagi
pula, bagaimana mungkin dia bisa punya anak kalau
setiap hari minum pil antihamil" Ia tidak ingin ada
anak-anak yang lahir di dalam rumah tangga yang
pincang seperti ini. Pengalaman masa kecilnya bersama
ketiga adiknya sangat tidak menyenangkan. Ada
semacam ketakutan kalau-kalau ayahnya akan me-
ninggal kan mereka untuk menetap tinggal bersama istri
keduanya. Ada rasa dinomorduakan karena ayahnya
tam pak lebih senang tinggal di sana. Sungguh, ada
banyak kecemasan, kesedihan, kekecewaan, dan ke-
marah an yang datang silih berganti setiap ia melihat
ayah nya pamit pada Ibu untuk mengunjungi istri
kedua nya. Cukup dirinya yang mengalaminya. Jangan
ada anak-anak yang lahir dari rahimnya kalau hanya
untuk hidup dalam situasi tak menyenangkan seperti
itu. http://pustaka-indo.blogspot.com267
Sore harinya setelah Dewi beristirahat selama satu
jam lebih di kamar, ia mengajak Icih jalan-jalan.
"Temani aku jalan-jalan, lalu ke supermarket, ya"
Catat apa saja yang sudah habis. Minyak goreng atau
sabun cuci pakaian, barangkali?"
"Den Wiwik juga... kesepian ya karena Bapak masih
ada di rumah sana?" "Nanti pulang kantor, Bapak akan pulang. Jadi tidak
ada urusannya dengan kesepian." Dewi menyeringai.
"Lagi pula kalaupun dia tidak pulang ke sini, ya biar
sajalah. Sekarang aku mau menyenangkan diri dulu."
"Den Wiwik aneh," gumam Icih. "Kok bisa lho
menghadapi suami begitu."
"Ya bisa saja, Cih." Dewi menyeringai lagi. "Nah,
cepatlah siap-siap, lalu cari taksi. Mumpung masih
sore." "Jangan-jangan cinta Den Wiwik pada Bapak... me-
nipis," gumam Icih sambil berjalan ke kamarnya.
"Eh, kamu itu... mengurusi hal-hal yang tak perlu...."
Meskipun menggerutu, hati Dewi tersentuh juga oleh
gumaman Icih. Kalau Icih saja bisa membaca suasana...
wah, gawat. Tetapi ah, buat apa memikirkannya" Lebih
baik sekarang bersenang-senang bersama Icih.
Di pertokoan yang mereka datangi, ada supermarket
besar sehingga sebelum masuk ke sana, Dewi mengajak
Icih jalan-jalan dulu. Uang saku yang diberikan pada-
nya selama bertugas, masih berlebih banyak. Karenanya
dia membeli sehelai blus dan kalung etnik yang serasi.
Usai membeli kedua barang itu, ia menoleh ke arah
Icih. http://pustaka-indo.blogspot.com268
"Mumpung di sini, kau membutuhkan apa, Cih?"
"Ah, buat saya sih cuci mata sudah cukup. Saya
tidak punya uang lagi setelah beli kalung emas bulan
lalu." "Aku tidak menanyakan uangmu sudah habis atau
belum, yang aku tanya apakah kau membutuhkan se-
suatu. Bedak, misalnya atau apa" Aku yang akan mem-
belikan untukmu." "Wah, nanti uang Den Wiwik berkurang. Jangan
boros lho. Kan kredit rumah belum selesai.."
"Lama-kelamaan sikapmu seperti Ibu, Cih," Dewi
menggerutu. "Kalau aku menawarimu, itu artinya aku
punya uang lebih biarpun tidak banyak. Percuma dong
aku kemarin lembur keluar kota sampai empat hari
kalau tidak dapat uang. Kamu itu masih muda lho,
Cih, jangan mengambil alih cara Ibu ber pikir. Ambil
saja kepintarannya memasak dan membuat kue."
"Iya... iya..." Icih tertawa geli. Dewi tidak pernah
marah sungguh-sungguh. "Saya mau dibelikan daster
yang murah-murah saja buat di rumah."
"Oke. Dari batik ya, biar adem. Apa lagi?"
"Itu sudah cukup, Den."
"Perlu pakaian dalam?"
"Mmmmh..." "Sudah, jangan ah mmh ah mmh. Ambil tiga potong
tuh, lebih murah." Selesai belanja, Dewi mengajak Icih makan.
"Sudah setengah tujuh, Cih. Perutku lapar."
"Di rumah ada lauk kok, Den. Masa makan di
luar?" http://pustaka-indo.blogspot.com269
"Di rumah ada rawon, tidak?" Dewi nyengir. "Kalau
tidak ada, kita makan di sini. Rawonnya enak lho."
Sambil tertawa pasrah, Icih mengekor di belakang
Dewi. Mereka makan nasi rawon komplet, termasuk
telur asin, lalapan taoge, sambal, dan perkedel kentang.
Usai makan, barulah mereka masuk ke supermarket.
Pertama-tama yang mereka masukkan ke kereta dorong
adalah minyak goreng, mentega, telur ayam, dan tepung
terigu. Icih ingin membuat kue. Kemudian gula pasir
dan isi roti. Sesudah itu barulah barang-barang lain
yang tidak terlalu dibutuhkan, tetapi perlu untuk
persediaan. Oleh karena itu setiap akan me masuk kan
barang ke troli, Icih menyenggol siku Dewi meminta
persetujuan. Kalau Dewi mengangguk, barang tersebut
langsung dimasukkan. Kalau mengerutkan dahi untuk
berpikir, Icih tidak akan mengambilnya. Dia tidak ingin
majikannya mengeluarkan uang terlalu banyak. Dewi
sering tertawa melihat ulah perempuan itu. Jadi dia
tidak mau lagi mengerutkan dahi untuk berpikir lebih
dulu karena yakin, apa yang ditunjuk Icih pasti di-
butuhkan. Ketika Icih minta persetujuan untuk membeli sirup
dan Dewi mengangguk, terdengar tawa lembut di
belakangnya. Tawa yang sudah di kenal nya. Oleh karena
itu lekas-lekas ia menoleh. Seperti dugaannya, di bela-
kangnya berdiri Ibu Pambudi, mertuanya. Perempuan
itu tertawa kepadanya. "Senang aku bertemu denganmu, Nduk," sapa pe-
rempuan itu setelah mencium kedua pipinya. "Lama
kalian tidak berkunjung ke rumah."
http://pustaka-indo.blogspot.com270
"Sibuk dengan pekerjaan, Bu. Tetapi akan kami
usahakan hari Sabtu nanti berkunjung ke rumah Ibu."
Dewi tersenyum manis. "Ibu dan Bapak sehat-sehat
saja, kan?" "Ya. Kami sehat-sehat saja tetapi rindu pada kalian."
"Hari Sabtu nanti kalau Mas Puji malas pergi, akan
kuseret dia. Tetapi, Bu, Ibu tidak usah repot-repot me-
nyediakan sesuatu lho. Nanti kami saja yang akan
mem bawakan buat Ibu dan Bapak. Ayam panggang
atau apa...?" "Tidak, Ibu mau masak sendiri biarpun tidak selezat
masakan ibumu. Jangan kaularang lho. Memasakkan
anak dan menantu tercinta masa tidak boleh." Ibu
Pambudi tersenyum sambil mencubit pipi Dewi. Nyata
sekali betapa sayang perempuan itu kepada sang
menantu. "Nah, kau ingin dibuatkan apa?"
"Bothok udang cabai hijau, Bu."
"Lho kok cocok dengan pikiranku. Kau ini punya
banyak persamaan selera denganku. Nah, apa lagi?"
"Terserah Ibu saja. Pokoknya ada bothok udangnya."
Dewi tersenyum. "Pilihlah satu macam lagi. Nanti sayurnya akan Ibu
pilihkan." "Ya sudah. Bagaimana kalau bandeng presto?"
"Cocok, cocok, Nduk. Nanti akan Ibu siapkan."
"Terima kasih, Bu." Dewi tersenyum. Kemudian ia
menoleh ke arah Icih. "Cih, Sabtu nanti kamu buatkan
puding karamel, ya" Mau kubawa ke rumah Ibu."
"Baik, Den." http://pustaka-indo.blogspot.com271
"Kalian pergi dengan siapa?" Ibu Pambudi mengalih-
kan pembicaraan. "Mana Puji?"
"Mas Puji... sedang... di rumah Indah..." sahut Dewi,
agak terbata karena merasa tidak enak. Dia tahu betul,
mertuanya tidak menyukai Indah dan merasa malu
terhadap keluarga Dewi karena keberadaan perempuan
itu. Tetapi, suara Dewi yang tersendat diartikan lain
oleh sang ibu mertua. Perempuan itu menatap wajah
Dewi dengan penuh perasaan.
"Sudah berapa hari dia di sana?" tanya perempuan
setengah baya itu. "Empat hari lebih."
Mendengar jawaban Dewi, Ibu Pambudi langsung
ter diam. Wajahnya tampak masam. Melihat itu, Dewi
me rasa tidak enak. Lekas-lekas ia mengganti pem-
bicara an. "Ibu ke sini dengan siapa?" tanyanya.
"Dengan Sonny. Entah ke mana anak itu."
Dewi melayangkan matanya ke sekitar mereka ber diri.
Dalam waktu singkat ia menemukan Sonny di ujung
lorong, tepat di muka deretan cokelat dan manisan.
Melihat itu, dia tertawa.
"Itu, Bu, Sonny sedang memilih cokelat. Seperti
anak kecil saja," katanya.
Ibu Pambudi juga tertawa.
"Sejak kecil sampai sekarang ya begitu itu. Suka
sekali cokelat," katanya kemudian. "Padahal baru
kemarin dulu kami menerima kiriman kue dari ibumu.
http://pustaka-indo.blogspot.com272
Kue yang banyak cokelatnya daripada tepungnya. Enak
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali, ada rasa kacang medenya pula. Ibumu memang
ahli betul menggoyangkan lidah orang. Kata Pipit, kue
seperti itu mahal sekali di toko kue. Dia ingin sekali
belajar membuat kue pada ibumu."
"Silakan belajar di sana, Bu. Pasti gratis." Dewi ter-
tawa. Pipit adalah adik Puji. "Asal jangan mengganggu
jadwal kuliahnya." Saat mereka mengobrol, Sonny mendekat sambil
membawa segenggam cokelat. Melihat keberadaan
Dewi, laki-laki itu menyapanya dengan gembira sekali
"Lama sekali kita tidak bertemu, Mbak. Sampai
kangen, aku. Mana Mas Puji?" sapanya.
"Mas Puji sedang menginap di tempat lain," jawab
Dewi apa adanya. Percuma saja menyembunyikan ke-
nyataan yang sudah sama-sama diketahui. "Aku hanya
berdua dengan Icih."
"Naik apa?" "Taksi." "Wah, kalau begitu nanti kuantar pulang ya," sambil
berkata seperti itu ia memasukkan cokelat-cokelat da-
lam genggamannya itu ke troli ibunya. "Ya kan, Bu?"
"Tentu saja kita harus mengantarkan kakakmu
pulang. Tetapi, apa tadi yang baru saja kaumasukkan
ke troli Ibu?" Sang ibu menertawakan ulah anak
lelakinya itu. Dewi juga menertawakan Sonny yang terkadang ma-
sih menunjukkan sikap kekanakan di antara sifat-sifat-
nya yang matang dan dewasa itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com273
"Coke lat yang kaupilih pasti yang mahal-mahal
harganya, kan?" godanya.
"Ada harga kan ada rasa, Mbak." Sonny menyeringai
lucu. "Kok belanja saja jauh-jauh ke sini sih, Mbak?"
"Iseng kok. Daripada bengong di rumah." Dewi
men jawab sekenanya dan baru sadar kalau perkata an-
nya bisa ditangkap lain oleh Sonny saat melihat pe-
muda itu terdiam dengan tiba-tiba. Karenanya lekas-
le kas dia menyambung bicaranya. "Lama kau tidak
ber kunjung ke rumahku, Son."
"Kapan-kapan aku akan ke sana. Boleh membawa
teman, kan?" "Tentu saja boleh. Laki-laki atau perempuan?"
"Pacar barunya, Wik," Ibu Pambudi menyela sambil
tersenyum. "Ah, Ibu. Nah, lanjutkan belanjamu, Mbak. Kalau
su dah selesai katakan saja. Aku akan mencari buah
dulu." Begitulah, sekitar seperempat jam kemudian mereka
keluar dari supermarket bersama-sama dan langsung
me nuju tempat parkir. Ketika sampai di rumah Dewi,
garasi rumah tetap kosong seperti ketika ditinggal tadi
sore. Puji masih belum pulang.
"Ibu dan Sonny makan malam di sini, ya?" usul
Dewi. "Asal tidak merepotkan, baiklah. Bagaimana, Cih,
tidak merepotkanmu, kan?" tanya Bu Pambudi kepada
Icih. "Tidak, Bu. Malah saya senang karena masakan saya
http://pustaka-indo.blogspot.com274
ada yang menghabiskan. Soalnya, tadi saya dan Den
Wiwik jajan nasi rawon di sana."
"Masak apa sih kau hari ini, Cih?" Dewi menyela.
"Sayur lodeh tempe, perkedel, tahu, dan empal,"
jawab Icih. "Wah, enak itu. Jauh-jauh mengantarmu pulang,
harus diberi makan enak dong," Sonny menyela sambil
tertawa. "Eh, Mbak. Aku tadi beli CD. Kucoba di
depan, ya?" "Silakan saja. "
"Sayurnya saya panaskan dulu?" Icih menyela.
"Ya, sekalian buatkan sambal terasinya ya, Cih,"
sahut Dewi. Kemudian kepada Ibu Pambudi ia berkata
dengan suara pelan. "Sambal terasi Icih enak sekali lho,
Bu." "Sudah bisa Ibu bayangkan. Pasti belajar dari ibumu.
Nah, Wik, sambil menunggu makanan siap, duduklah
di samping Ibu, sini."
Dewi menurut. Mereka duduk di ruang tengah yang
merangkap ruang makan, duduk bersebelahan di depan
televisi. "Wik, apakah sudah ada tanda-tanda isi di tubuh-
mu?" tanya Ibu Pambudi. Perempuan setengah baya itu
melirik sesaat ke arah perut Dewi.
"Belum, Bu," Dewi menjawab dengan pipi agak me-
rona merah. Rasa berdosa langsung menyelinap di
hatinya. "Ibu sudah ingin menimang cucu, Nduk."
Dewi menelan ludah. http://pustaka-indo.blogspot.com275
"Sebenarnya Ibu sudah punya cucu dari Indah,"
sahut nya. Ibu Pambudi mengerutkan dahinya sesaat. Lalu itu
matanya mulai meredup. "Cucu yang kudambakan adalah cucu yang kau lahir-
kan, Nduk." "Saya berterima kasih atas kasih sayang Ibu kepada
saya," sahut Dewi. "Tetapi Ibu juga harus menyadari
bahwa anak Indah adalah cucu Ibu, darah daging Mas
Puji. Apa pun yang telah dilakukan kedua orang tuanya
yang pasti masih membekaskan luka di hati Ibu, bayi
itu tidak ada sangkut pautnya. Dia benar-benar cucu
Ibu dan Bapak. Itu harus diakui, Bu."
Ibu Pambudi terdiam. Matanya mengawasi bibir
Dewi yang indah dan membentuk garis yang lembut
itu dengan penuh penghargaan.
"Kau memiliki hati yang lembut dan baik, Nduk,"
Ibu Pambudi memuji Dewi dengan penuh kasih. "Yang
kaukatakan tadi, benar. Tetapi hati Ibu masih terasa
berat untuk mengakui bayi yang keberadaannya tidak
melalui jalan yang benar itu sebagai cucu."
"Ibu tidak boleh berpikir seperti itu. Kasihan bayi
yang tak berdosa itu. Dia benar-benar cucu Ibu lho."
"Nduk, kalau Ibu mengakui bayi itu sebagai cucu
Ibu, itu kan artinya Ibu juga mengakui ibunya sebagai
me nantu Ibu. Itulah sebenarnya yang jadi masalah,"
jawab Ibu Pambudi lagi. "Akuilah dulu bayi itu sebagai cucu Ibu kalau belum
bisa menerima Indah sebagai menantu. Bukankah Ibu
sudah ingin menimang cucu" Mengharapkan cucu dari
http://pustaka-indo.blogspot.com276
saya... belum tentu kapan terpenuhi..." Suara Dewi ter-
henti di tenggorokan. Rasa bersalah semakin meng-
gelayuti hatinya. Kalau saja Ibu Pambudi dan keluarga
lainnya tidak menyayanginya, dan kalau saja Ibu
Pambudi tidak mengharapkan kehadiran cucu yang lahir
dari rahimnya, barangkali Dewi tidak akan terlalu me-
rasa bersalah seperti sekarang. Ibu Pambudi begitu
sayang dan baik kepadanya, tetapi Dewi lebih me-
menting kan perasaannya sendiri. Ia tidak ingin ada anak
yang dilahirkannya dari per nikahan poligami sang ayah.
Mendengar suara Dewi yang bergetar, Ibu Pambudi
mengira menantunya itu sedih karena per nikahan
poligaminya dengan Puji. Memikirkan hal itu, hatinya
bagai tersayat. Ia memahami betapa berat Dewi men-
jalani dalam perkawinannya dengan Puji. Ah, anak
kandungnya itu memang keterlaluan ter hadap Dewi.
Bagaimana bisa Dewi hamil jika hatinya tak pernah
damai" pikirnya. "Nduk, Ibu mengerti bagaimana perasaanmu. Me-
mang tidak mudah mempunyai madu. Tetapi jangan
biarkan hatimu tenggelam dalam kesedihan, sebab
barangkali saja itulah yang menyebabkanmu belum juga
hamil," katanya kemudian. Tangannya mengelus lengan
dan punggung Dewi. Dewi tidak ingin menanggapi perkataan yang rentan
mengungkit perasaan-perasaan yang tak menyenangkan
itu. Tetapi sang ibu mertua yang tidak mengetahui
pikir an Dewi, melanjutkan bicaranya.
"Puji memang keterlaluan," gumamnya. "Seandainya
saja Ibu tahu apa yang akan terjadi bersama Indah
http://pustaka-indo.blogspot.com277
waktu itu, Ibu-lah yang akan berdiri paling depan
meng adang langkahnya."
"Sudahlah, Bu, semuanya toh sudah terjadi. Waktu
tidak bisa diundur kembali. Ibu harus menerima itu.
Juga bayi yang lahir karena perbuatan Mas Puji. Jangan
mengingkari kehadir annya hanya karena perbuatan
orangtuanya. Kasihan bayi itu."
Ibu Pambudi menatap lagi wajah Dewi yang cantik
dengan penuh penghargaan dan kekaguman. Perempu an
ini sungguh cantik lahir dan batin, begitu ia ber pikir.
"Nduk, perempuan lain pasti akan memperdalam
jurang yang terbentang di antara mertuanya dengan
sang madu. Tetapi kau, Nduk, malahan seperti hendak
menjembataninya meskipun hatimu terasa sakit," kata-
nya dengan suara bergetar.
"Ibu, saya hanya ingin bayi itu tumbuh dengan
wajar dan dalam situasi yang memungkinkannya men-
jalani masa kanak-kanak dengan baik. Saya sudah
meng alami betapa pahit mengetahui ada istri lain
dalam kehidupan Bapak. Saya sudah melihat betapa
banyak pengorbanan Ibu yang terus berusaha agar
anak-anaknya tidak terlalu merasakan kekurangan
kasih seorang ayah. Saya juga pernah mengalami bagai-
mana sedihnya harus menyembunyikan kenyataan dari
orang-orang, berusaha menulikan telinga jika ada gosip
para tetangga mengenai kehidupan keluarga kami.
Pokoknya, Bu, ada banyak luka jiwa yang diakibatkan
perkawinan poligami Bapak. Nah, saya tidak ingin ada
bayi yang masih suci meng alami hal-hal yang pernah
saya alami bersama adik-adik saya."
http://pustaka-indo.blogspot.com278
Ibu Pambudi menggigit bibirnya. Beberapa tetes air
mata tergulir ke atas pipinya, yang segera diusapnya
dengan saputangan. "Kehidupan di dunia ini begitu pelik, begitu miste-
rius dan penuh dengan berbagai persoalan yang ter-
kadang membuat kita tertegun-tegun... mengapa begini,
mengapa begitu," katanya kemudian dengan suara ber-
getar. "Tetapi yang lebih pelik lagi adalah manusia-
manu sia yang melayari kehidupan itu. Mereka sering
me langkah ke arah yang keliru kendati tahu apa risiko-
nya.." "Ya..." Dewi mengangguk. "Tetapi sudahlah, Bu. Kita
tidak usah membicarakan hal-hal yang membuat pe-
rasaan kita jadi sedih. Sebaiknya kita makan dulu. Itu
Icih sudah memberi tanda, makanan di meja makan
sudah siap. Mari, Bu. Saya temani."
"Kau tidak ikut makan?"
"Saya kenyang sekali, Bu. Saya akan makan buah
saja. Kebetulan ada pepaya matang pohon." Usai ber-
kata seperti itu Dewi memanggil Sonny, mengajaknya
makan. "Son, makan dulu. Mumpung sayurnya hangat."
"Oke." Untunglah setelah Sonny bergabung dengan mereka,
suasana terasa lebih menyenangkan karena pemuda itu
termasuk orang yang kocak. Ada-ada saja yang diko-
men tarinya dengan lucu. Beda sekali dengan Puji,
kakak nya. Tetapi ketika acara makan telah usai dan
Sonny kembali lagi ke depan, suasana serius mulai lagi
mengudara di atas mereka.
"Wik, sebenarnya perasaanmu kepada Puji itu bagai-
http://pustaka-indo.blogspot.com279
mana?" tanya Ibu Pambudi begitu Sonny meninggalkan
mereka. "Katakan saja terus terang kepada Ibu, Nduk.
Apakah kau masih mencintainya?"
Untuk sedetik lamanya hati Dewi tersentak. Itulah
perasaan seorang ibu. Sedikit-banyak, hati keibuannya
pasti mempunyai keraguan terhadap perasaan Dewi
ter hadap anaknya. Pasti pula perempuan paro baya itu
sangat memprihatinkan kelangsungan hidup per-
kawinan sang anak. Merasa sedih memikirkan sang ibu mertua, Dewi
berusaha mengurangi keprihatinan Ibu Pambudi de-
ngan jawaban yang netral.
"Ya, Bu. Saya masih mencintainya..." sahutnya.
Jawab an yang tidak terlalu tepat, namun juga tidak
terlalu keliru. Meskipun sekarang perasaannya terhadap
Puji semakin menipis, cinta itu belum lenyap sepenuh-
nya. Meskipun ketika ia berang kat me masuki per-
kawin an dengan Puji ada api amarah dan ke kecewaan
yang sedemikian besar, kini setelah delapan bulan lebih
hidup bersama mengarungi ke hi dup an yang di penuhi
suka-duka ini, rasa akrab yang pernah dirasa kannya
terhadap Puji, belum hilang se penuhnya dari hatinya.
Bahkan ada semacam per sekutuan dan kebersamaan
yang terjalin karena banyak nya persoalan rumah tangga
yang harus mereka bicara kan dan atasi bersama. Misal-
nya mengenai per tambah an daya listrik atau tentang
cicilan rumah. Hanya kadang-kadang Dewi sebal jika
Puji mulai merayunya. Sebab selalu saja bayangan ke-
mesra an antara laki-laki itu dengan Indah, terbayang
olehnya. Sungguh otaknya tidak mampu memahami,
http://pustaka-indo.blogspot.com280
bagaimana Puji berulang kali menyatakan cinta keadan-
nya namun pada kenyataannya dia bisa bercinta dengan
perempuan lain. Seperti yang sudah diduganya, mendengar jawaban-
nya tadi, Ibu Pambudi tampak senang.
"Syukurlah, Nduk, kalau kau masih mencintai Puji.
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi berjanjilah pada Ibu agar kau mau tetap mem-
per tahankan perkawinan kalian. Rukun sampai kakek-
nenek. Jangan biarkan Indah menyela terlalu dalam di
antara dirimu dengan Puji. Jangan biarkan hati Puji
terlalu banyak berpaling padanya. Untuk itu, dia tidak
mempunyai hak," kata Ibu Pambudi sungguh-sungguh.
Dewi tidak berani menanggapi perkataan sang ibu
mertua. Melihat Dewi diam saja, Ibu Pambudi me-
natap wajah perempuan muda itu dengan cemas.
"Nduk, berjanjilah. Ibu tidak ingin melihat Indah
menjadi penting dalam kehidupan pribadi Puji dengan
adanya anak di antara mereka. Terus terang Ibu cemas
begitu mengetahui Indah telah melahirkan," kata nya lagi.
Dewi masih belum bersuara. Akibatnya Ibu Pambudi
menatap wajah Dewi lagi. Kini dengan perasaan se-
makin tak nyaman. "Wik, berjanjilah," katanya, mengulangi lagi per-
minta annya tadi. "Tanpa janjimu, Ibu benar-benar kha-
watir." "Bu, saya manusia biasa dengan banyak kekurangan,"
sahut Dewi setelah menarik napas panjang. "Buat saya,
mengucapkan janji hampir sama artinya dengan ber-
sumpah. Maafkanlah karena kejujuran saya ini. Sungguh
berat, kalau saya harus mengucapkan janji. Berat Bu...."
http://pustaka-indo.blogspot.com281
"Boleh Ibu tahu apa alasannya?"
"Bu, sejujurnya saya meragukan kekuatan fondasi
perkawinan saya dengan Mas Puji. Acap kali saya me-
rasa tidak punya masa depan. Membayangkan seperti
apa beratnya kehidupan ibu saya... apalagi saya juga
tahu bahwa Bapak pun merasa kehilangan rasa nyaman
karena rasa bersalah, hati saya sungguh merasa gamang,
Bu. Dengan kata lain, saya yakin Mas Puji juga punya
masalah perasaan seperti yang dialami Bapak. Karena
itulah saya sering meng alami tekanan batin. Sedikit-
banyak pasti saya menjadi beban Mas Puji."
"Kau terlalu perasa, Nduk," sergah Ibu Pambudi.
"Tidak, Bu. Yang saya katakan itu sangat ber alasan.
Ibu pasti ingat, perkawinan kami terjadi karena keter-
paksaan. Kedatangan Mas Puji untuk memasuki per-
kawin an kami waktu itu terbebani banyak hal. Panggil-
an keluarga, rasa tanggung jawab atas segala sesuatu
yang telanjur disiapkan, dan lain se bagainya. Kita tahu
pula kan, Bu, Mas Puji itu orang yang sangat me-
megang tanggung jawab. Menikah dengan saya adalah
sesuatu yang menurutnya harus dilaksanakan. Tetapi
belum tentu yang diinginkannya."
"Nduk..." Ibu Pambudi meraih tangan Dewi. "Jangan
berandai-andai..." "Saya tidak berandai-andai, Bu. Saya cukup peka
untuk menangkap sesuatu yang nyata ada di sekitar
kehidupan saya dan Mas Puji. Bukan hanya berandai-
andai. Bahkan sekarang ini saya mulai menangkap
keresahannya." "Keresahan apa?"
http://pustaka-indo.blogspot.com282
"Dugaan saya, berkaitan dengan ekonomi. Pasti ti-
dak mudah baginya membiayai dua rumah tangga.
Apa lagi ada bayi. Bu, seharusnya waktu itu kita tidak
boleh memaksa Mas Puji menikah dengan saya. Se-
mesti nya pula biar sajalah orang luar mau bilang apa
atau mengejek kita sekali pun... tetapi kehidupan ini
bisa terasa lebih ringan dilangkahi di waktu-waktu se-
lanjutnya. Sebab sekeras apa pun suara makian dan
gosip yang ada di luar, pasti lama-kelamaan akan ter-
henti juga dengan berjalannya waktu."
"Ah, sudahlah. Jangan memikirkan yang bukan-
bukan. Nah, mengenai keuangan, apakah hal itu sampai
mengganggu hubungan kalian?" Ibu Pambudi menyela
bicara Dewi. "Dari pihak saya, tidak. Barangkali Mas Puji yang
me rasa tidak enak karena saya tidak pernah minta
uang darinya. Saya selalu memenuhi apa pun kebutuh-
an rumah tangga ini tanpa banyak bicara."
"Bisa Ibu bayangkan. Dia terlalu tinggi menempat-
kan harga dirinya." Dewi tidak ingin menanggapi perkataan Ibu
Pambudi. Rasanya sudah terlalu banyak mereka mem-
bicarakan kehidupan rumah tangganya.
Tetapi rupanya Ibu Pambudi masih belum mau
berhenti. Ia masih belum puas bicara.
"Apa pun itu, Wik, Ibu tahu betul bahwa dia sangat
mencintaimu," katanya.
"Mas Puji juga berkata begitu kepada saya. Dia
men cintai saya dengan caranya sendiri, tetapi yang be-
lum tentu bisa saya terima...."
http://pustaka-indo.blogspot.com283
"Apa pun, kenyataan seperti itu bisa kaujadikan pe-
luang untuk merebut hati dan perhatian Puji dari
Indah. Jangan biarkan perempuan itu menguasainya."
Masih saja Ibu Pambudi dengan geliat pikirannya.
Dewi menghela napas panjang. Inti dari kata-kata
Ibu Pambudi hanya satu, ia ingin menjadikannya se-
bagai satu-satunya menantu. Indah tidak masuk hi-
tung an. Karenanya seperti Icih, perempuan paro baya
itu juga memberinya nasihat agar ia bisa merebut se-
luruh hati dan perhatian Puji. Memangnya, hati bisa
diperebutkan" "Bu, saya tidak akan merebut cinta dan perhatian
Mas Puji," sahutnya terus terang. Suaranya terdengar
tenang. "Saya tidak menyukai situasi yang penuh per-
saingan tak sehat. Kalau Mas Puji memang meng ingin-
kannya, biarlah Indah yang mendapatkan hati Mas Puji
sepenuhnya." "Kamu bicara seperti orang yang sedang putus asa,
Nduk." "Saya tidak putus asa, Bu," Dewi buru-buru mem-
bantah. "Saya hanya mencoba mendudukkan diri saya
pada tempat yang semestinya. Laki-laki dengan dua
istri, apalagi kariernya belum begitu mapan, pasti tidak
mudah dijalani. Itulah salah satu sebab saya memilih
bekerja. Zaman sekarang, mem biayai dan me mikirkan
satu rumah tangga saja sudah terasa berat."
"Nduk... apakah dengan kata lain... kau ingin mundur
dari kehidupan Puji... atau tepatnya... kau ingin berpisah
darinya?" tanya Ibu Pambudi terbata-bata.
"Bu, saya hanya ingin berpikir realistis, bahwa per-
http://pustaka-indo.blogspot.com284
pisahan di antara saya dengan Mas Puji, bukanlah
sesuatu yang mustahil terjadi."
"Tetapi tentunya masih ada jalan lain yang lebih
baik, kan?" "Itu pun tidak mustahil terjadi," sahut Dewi ber teka-
teki. "Kalau begitu, janganlah kalian bertindak gegabah
atau membuat keputusan tanpa berpikir matang lebih
dulu. Kalau perlu ajaklah kami atau orangtuamu untuk
ikut memikirkannya."
"Baik, Bu. Akan kami usahakan," jawab Dewi untuk
melegakan hati Ibu Pambudi.
"Dan satu hal lagi, berusahalah supaya kau bisa
lekas menimang anak. Ibu yakin, dengan kehadiran se-
orang anak, hubungan kalian berdua akan menjadi
lebih kokoh," kata Ibu Pambudi lagi.
Meskipun kepalanya mengangguk, di dalam hatinya
Dewi mengeluh. Rupanya mertuanya ini belum bisa
menangkap seperti apa perasaan nya sebagai anak yang
tumbuh di dalam perkawinan poligami orangtuanya.
Pikirannya hanya terpusat pada satu hal, perkawinan
Dewi dengan Puji harus tetap ber tahan!
Pembicaraan mereka berakhir ketika Sonny meng-
ajak ibunya pulang. Namun gaung pembicaraan itu
begitu membebani perasaan Ibu Pambudi sampai se-
malaman tidak bisa tidur. Pada puncaknya, perempuan
setengah baya itu menelepon Puji dan memintanya
mampir ke rumah sepulangnya dari kantor.
"Kemarin sore, Ibu bertemu dengan Wiwik di su-
per market. Bersama Sonny, kuantar dia pulang. Ke-
http://pustaka-indo.blogspot.com285
sempatan bagiku untuk mengobrol tentang banyak hal
bersamanya, sampai akhirnya menyinggung masalah
perkawinan kalian," katanya begitu Puji sudah ada di
hadapannya. "Apa yang dikatakannya?" Puji menyela, penuh rasa
ingin tahu. "Meskipun tidak dikatakan secara terang-terangan,
Ibu menangkap keinginannya untuk bercerai darimu."
Puji langsung terdiam. Berita itu memang bukan
be rita baru baginya. Tetapi ketika itu dikatakan oleh
ibu nya, ia tahu apa yang dikatakan Dewi ke padanya
bebe rapa waktu lalu bukan sekadar luapan emosi sesaat
belaka. "Tampaknya Dewi tidak bahagia, Pud. Kelihat annya,
lahirnya anakmu dengan perempuan lain itu membuat-
nya merasa sebagai orang luar," katanya.
"Dia terlalu perasa."
"Ya, kelihatannya begitu. Tetapi bagaimana dengan
dirimu?" "Kalau yang Ibu ingin ketahui mengenai perasaan,
saya masih sangat mencintainya, Bu. Saya tidak ingin
ber cerai darinya." "Syukurlah. Tetapi berbicara dari hati ke hati ber-
samanya menyebabkan Ibu semakin mengenalinya.
Antara lain, di balik kelembutan dan kehangatan diriya
terdapat kemauan yang sulit ditundukkan. Dia benar-
benar istimewa, Pud. Kombinasi yang menarik antara
pe rempuan modern yang maju dan pintar, dengan ke-
mampuan untuk menyerap dan menerapkan kearifan
http://pustaka-indo.blogspot.com286
budayanya sebagai orang Jawa. Kau harus bisa mem-
pertahankan dia sebagai istrimu, Pud."
"Itu pasti. Terutama setelah ada perempuan lain
sebagai pembanding."
"Apakah ibu anakmu tidak seperti Wiwik?" Ibu
Pambudi enggan menyebut nama Indah.
"Sangat berbeda."
"Tetapi kau mencintainya, kan?"
"Ya, meskipun tidak sebesar cinta saya kepada
Dewi." "Tetapi setelah dia memberimu anak, bagai mana
perasaanmu kepadanya?" Sang ibu masih me n cecarnya
dengan pertanyaan demi pertanyaan.
"Sejujurnya memang ada semacam kebersamaan dan
kedekatan di antara kami. Itulah sebabnya saya ingin
agar Wiwik dan saya segera punya anak juga agar
timbul kedekatan dan kemesraan yang lebih intens di
antara kami." "Tampaknya keinginanmu bertolak belakang dengan
keinginannya. Dewi masih belum bisa menghilangkan
ber bagai kenangan pahit masa kecilnya."
"Ya, saya tahu itu, Bu."
"Selain itu, ada banyak perkataan dan alasan-alasan-
nya yang kalau dipikirkan secara jernih, semuanya be-
tul. Dia orang yang realistis dan rasional. Meskipun
Ibu tidak ingin mendengarnya, tetapi argumentasinya
masuk akal." "Apa misalnya, Bu?"
"Tentang pemikirannya bahwa di dalam perkawinan
kalian berdua, tidak ada masa depan baginya. Baginya,
http://pustaka-indo.blogspot.com287
masa depanmu adalah bersama Indah, bukan dengan
dirinya. Seperti yang Ibu katakan tadi, dia merasa se-
bagai outsider." "Dia terlalu perasa, Bu. Kenapa mesti merasa se-
bagai orang luar?" "Tetapi bagaimana perkawinanmu dengan ibu anak-
mu itu" Apakah menurutmu lebih memiliki masa de-
pan dibanding perkawinanmu dengan Wiwik?" tanya
Ibu Pambudi penuh rasa ingin tahu.
"Aduh, Bu. Jangan menanyakan hal-hal yang sulit
dijawab." Puji mulai menunjukkan tanda-tanda kelelah-
an hatinya. Sang ibu menatap tajam wajah Puji. Ia mulai me-
nangkap keletihan di sekitar mata putranya.
"Apakah ada sesuatu?" tanyanya. "Ibu menangkap
keletihan di wajahmu."
"Anak saya semalam panas, Bu. Semalaman rewel
sehingga saya kurang tidur. Air susu Indah juga kurang.
Mungkin perlu tambahan susu botol."
Ibu Pambudi terdiam sesaat, mulai me ngerti meng-
apa Dewi merasa berada di luar pagar. Sebagai ibu
kandung Puji sendiri pun, ia mengalami hal sama.
Kehidupan Puji bersama Indah terasa asing baginya.
"Kelihatannya kau mulai lelah punya dua rumah
tangga," katanya, lama kemudian.
Sekarang ganti Puji yang terdiam. Bagi Ibu Pambudi,
itu kesempatan baginya untuk memancing apa yang
sebenarnya Puji rasakan. "Pud, mungkin ada baiknya kalau kau mau me-
mikir kan keinginan Wiwik untuk berpisah denganmu,"
http://pustaka-indo.blogspot.com288
pan cingnya. "Dengan begitu kau bisa lebih memfokus-
kan perhatian pada istri dan anakmu yang lain itu."
"Tidak, Bu. Saya tidak akan berpisah dengannya!"
Puji menjawab cepat. "Kalau begitu, bagaimana dengan istrimu yang lain
itu" Tidak adakah keinginan dalam hatimu untuk men-
ceraikannya demi mengkokohkan pernikahanmu de-
ngan Wiwik?" "Tidak bisa, Bu. Saya harus memperhitungkan
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keberadaan Priska." "Kau egois, Pud." Ibu Pambudi mulai ke sal. "Kau
bisa kena getahnya sendiri. Bagaimana kalau Wiwik
punya anak, apakah kaupikir akan mudah bagimu
membagi hati, waktu, tenaga, dan materi untuk mereka
semua" Semakin lama, akan semakin timbul banyak
masalah yang membuat dirimu akan berada di simpang
jalan. Anak yang di sana sakit, misalnya. Lalu anak
yang di sini perlu uang untuk se kolah... dan seterusnya
lagi." "Ah, Ibu. Perkataan Ibu membuatku semakin le-
lah...." "Ya sudah, makanlah dulu kalau begitu. Ayahmu
sudah makan. Setelah itu pulang dan istirahatlah," sa-
hut sang ibu. "Hari ini giliran rumah yang mana?"
"Sebetulnya harus pulang ke rumah utama. Tetapi
saya tidak tega meninggalkan Priska yang masih panas
meskipun tadi sudah dibawa ke dokter."
"Kau sudah mengatakannya kepada Wiwik?"
"Sudah, Bu. Malahan dia yang menyuruhku ke
rumah Indah." http://pustaka-indo.blogspot.com289
"Wiwik yang baik... Wiwik yang malang," gumam
Ibu Pambudi. "Ibu, jangan membuatku merasa bersalah," pinta Puji
letih. Ibu Pambudi terdiam. Dibiarkannya Puji makan se-
mentara dia sendiri mengambil pisang dan menemani
di meja makan. Ketika Puji pamit pulang, diantarkan-
nya sampai ke mobilnya. "Pud, mungkin sekarang kau masih enggan memikir-
kannya. Tetapi nanti kalau hatimu sedang ringan, coba
pikirkan semua yang Ibu bicarakan ber samamu tadi.
Benar-benar tidak mudah punya dua rumah tangga.
Jalan hidupmu masih panjang. Nah, apa kah jalan yang
masih panjang itu harus kauisi de ngan berbagai hal
yang akan membuat kepalamu se makin pusing?"
Puji hanya mengangguk agar sang ibu tidak me-
lanjutkan bicaranya. Tetapi di jalan, pikirannya semakin
penuh. Ia sadar betul apa yang dikatakan ibunya tadi
benar. Sandainya pun ia mampu mem berikan ke-
mewah an bagi dua rumah tangga, masalah nya tidak
akan berhenti di situ karena tidak semua hal bisa di-
selesaikan dengan materi.
Dengan berbagai pikiran itulah Puji melajukan
mobil nya. Tahu-tahu ia sudah berada di halaman
rumah tempat Wiwik tinggal. Padahal menurut ren-
cana nya, ia akan ke tempat Indah. Merasa kepalang
ba sah, ia turun untuk mengambil sesuatu yang mung-
kin akan dibutuhkannya di sana.
Melihat Puji pulang ke rumah, Dewi menyapanya.
"Lho, kok pulang ke sini?"
http://pustaka-indo.blogspot.com290
"Tidak boleh?" Puji menjawab ketus.
Dewi melirik Puji. Tidak biasanya Puji berkata tak
enak seperti itu. Pasti laki-laki itu sedang lelah dan
kurang tidur. Anaknya yang masih bayi, sakit. Tetapi
Dewi tidak suka membiarkan keadaan seperti itu.
"Mas, kalau kau mau menemani anakmu, pergilah
ke sana," katanya dengan suara lembut. "Aku tidak apa-
apa. Tetapi sebelum pergi mandilah dulu. Akan ku-
masakkan air. Biar hilang lelahmu."
Hati Puji tersentuh. Hatinya yang resah langsung
terasa ringan. Dewi memang benar-benar perempuan
yang penuh pengertian. "Asal tidak merepotkanmu, aku mau mandi air pa-
nas." Laki-laki itu tahu, Icih sudah beristirahat di
kamarnya. "Oke. Sesudah itu, makanlah. Baru pergi ke sana."
"Aku sudah makan."
"Kalau begitu, bawa buah, ya" Kebetulan aku tadi
beli jeruk. Bawa saja semuanya ke sana. Jeruknya ma-
nis." Suara Dewi terdengar menenangkan.
"Terima kasih."
Selama Puji mandi, Dewi masuk ke kamar depan
yang sekarang dipakainya untuk ruang kerjanya.
Semalam ia sudah menyelesaikan artikelnya sampai
larut malam dan tadi siang di kantor, ia mendapat
kirim an setumpuk foto dari Pramono yang dititipkan
pada seorang teman. Sekarang Dewi mulai melihat foto-
foto itu dengan menebarkannya di meja kerja untuk
memilih mana yang cocok untuk arti kel nya.
Di antara foto-foto itu terdapat foto-foto pribadi
http://pustaka-indo.blogspot.com291
ha sil jepretan Pramono. Ada Sundari, teman sesama
wartawan yang duduk merangkul bahunya di bawah
pohon besar. Ada yang beramai-ramai dengan warta-
wan lainnya saat menikmati suguhan makan siang.
Pramono juga ada di dalam foto itu berdiri di dekat-
nya. Foto itu hasil jepretan teman Pramono dengan
kamera miliknya. Sedang bekerja, Icih masuk dengan membawa se-
gelas jamu beras kecur. Sudah beberapa hari ini Dewi
min ta dibuatkan jamu tersebut. Jamu yang mengan-
dung khasiat melemaskan otot-ototnya yang pegal.
"Ini Den, jamunya," Icih berkata sambil meletakkan
jamunya di meja kecil di dekat meja tempat Dewi be-
kerja. "Terima kasih, Cih. Mudah-mudahan pegal-pegal
badanku cepat pulih."
"Pasti manjur, Den. Ibu Sepuh yang memberikan
resepnya." Dewi mengangguk, masih sambil menaruh perhati-
an nya pada foto-foto yang tersebar di meja. Icih mem-
perhatikannya sejenak, lalu keluar. Tetapi tak be rapa
lama kemudian, Puji ganti masuk. Laki-laki itu sempat
melihat Icih ketika perempuan itu masuk ke ruang
kerja Dewi sambil membawa segelas jamu. Se telah
mandi air panas dan merasakan kemanisan suasana
yang diberikan Dewi, pikirannya mulai lari ke mana-
mana. Maka diteleponnya Indah untuk menanya kan
keadaan anak mereka. Ketika mengetahui panasnya
sudah turun dan ada adik sepupu Indah menginap di
sana untuk menemaninya, dibatalkannya rencananya
http://pustaka-indo.blogspot.com292
untuk menginap di sana lagi. Syukurlah, Indah me-
ngerti karena Puji telah berlama-lama di sana ketika
Dewi sedang bertugas. Padahal bukan hari-hari
gilirannya. "Sibuk ya, Wik?" Puji menyapa Dewi begitu ia ber-
ada di dekat Dewi dan berdiri di belakang perempuan
itu. "Ya, aku sedang melengkapi tulisan mengenai per-
jalanan mengikuti tamu negara kemarin itu," jawab
Dewi, masih dengan perhatian penuh pada pekerjaan-
nya. "Kok belum berangkat ke sana, Mas?"
"Aku baru saja menelepon Indah. Katanya, suhu
tubuh Priska sudah berangsur normal. Jadi aku tidak
jadi pergi ke sana. Apalagi sepupunya sedang menginap
di sana," jawab Puji.
"Sudah dibawa ke dokter?"
"Sudah tadi pagi."
"Syukurlah." "Wik, aku sudah mengantuk," Puji mengalihkan
pem bicaraan. Dia ingin agar Dewi menghentikan pe-
kerja annya dan berangkar tidur bersamanya.
"Tidurlah, Mas. Kau tampak lelah."
"Aku ingin kautemani, Wik."
"Tidurlah dulu. Pekerjaanku belum selesai," Dewi
menolaknya. Bukan hanya karena dia tidak ingin ber-
mesraan dengan Puji, tetapi terutama karena pikir an-
nya masih tersangkut pada pekerjaannya.
Puji tidak memedulikan perkataan Dewi. Tangannya
memeluk bahu perempuan itu dari belakang sambil
menciumi rambutnya yang harum. Gairahnya mulai
http://pustaka-indo.blogspot.com293
meningkat saat mencium aroma hair tonic dari rambut
perempuan itu. Lebih-lebih ketika melihat gelas kosong
bekas jamu di dekatnya. Pikirannya lang sung mengem-
bara ke mana-mana. "Wik... ayolah temani aku tidur," bisiknya sambil
membelai lengan Dewi. "Mas, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku dulu.
Tak sampai satu jam lamanya, pasti selesai. Masuklah
ke kamar dulu, nanti kususul."
"Berikan waktumu seperempat jam saja untukku.
Nanti kau bisa melanjutkan pekerjaanmu tanpa ku-
ganggu-ganggu lagi," bujuk Puji.
"Tidak, Mas. Kalau kuhentikan pekerjaanku, pasti
akan memengaruhi suasana hatiku. Jadi, sabarlah."
"Sebentar sajalah, Wik. Mau, ya?" Sambil berkata
seperti itu Puji terus menciumi tengkuk Dewi untuk
ke mudian tangannya merambat ke depan, mulai mem-
buka kancing blus yang dikenakan Dewi.
Dewi mengertakan kuat-kuat. Kesal hati nya. Dia
tahu sebabnya. Indah masih belum boleh mem berinya
kemesraan. Bayinya belum empat puluh hari usianya.
Tetapi itu bukan alasan untuk menuruti keinginan
Puji. Apalagi dia bukan menolaknya, tetapi hanya me-
nunda. "Aku sedang bekerja, Mas. Bersabarlah sebentar saja.
Aku..." Belum selesai bicara Dewi, tangan Puji yang mulai
nakal itu tiba-tiba terhenti. Matanya menatap tajam ke
arah foto-foto yang tersebar di meja Dewi. Dia melihat
http://pustaka-indo.blogspot.com294
ada foto Pramono sedang berdiri di dekat Dewi sambil
tersenyum lebar. "Itu Pramono, ya?" tanyanya kemudian. Suaranya
yang sengau dan ketus tak enak didengar.
"Ya. Ternyata dia juga mendapat tugas yang sama
dari kantornya," Dewi menjawab kalem. Untuk apa
menyembunyikan kenyataan. Sama sekali dia tidak
menyangka akan bertemu dengan Pramono di dalam
tugas yang sama. "Jadi, kalian bertugas di tempat dan waktu yang
sama?" "Ya." "Senang sekali, tentunya. Berhari-hari bisa berduaan.
Jangan-jangan kepergian itu sudah direncanakan se-
belumnya?" "Mas, jangan ngawur. Bagaimana mungkin tugas se-
perti itu kami rencanakan" Kepergianku kan untuk
menggantikan Mbak Yanti. Lagi pula, aku dan Mas
Pram sama-sama tidak tahu kami akan ber temu dalam
tugas yang sama. Jadi jangan meleceh kan ku. Apa pun
yang terjadi di dalam perkawinan kita, aku masih
menghormati lembaga yang menyatukan kita sebagai
suami-istri. Tidak mungkin aku akan melaku kan hal-
hal yang bisa merusaknya."
"Lalu apa artinya ini?" Sambil berkata seperti itu
Puji menunjuk ke arah foto Pramono yang tersenyum
lebar di samping Dewi. "Artinya ya biasa saja. Kami kan foto bersama-sama
dengan wartawan lainnya. Jadi bukan hal yang isti-
mewa," jawab Dewi semakin sebal.
http://pustaka-indo.blogspot.com295
"Bohong. Wajah kalian tampak bahagia."
"Terserah apa pun penilaianmu, Mas. Malas aku
mengurusi hal-hal tak berguna seperti itu."
"Lalu kenapa kau enggan kuajak tidur" Dan untuk
siapa jamu yang kauminum itu" Untuk Pramono?"
"Pikiranmu kotor, Mas!" bentak Dewi, mulai marah.
"Apakah kaupikir di dunia ini cuma ada satu macam
jamu?" "Jangan membentakku!"
"Kenapa" Karena kau laki-laki yang harusnya
membentak dan bukannya dibentak oleh perempuan?"
"Karena aku suamimu."
"Itu kan sekarang" Besok atau lusa, mungkin saja
kita sudah bukan suami-istri. Apa kau lupa tentang
pem bicaraan kita beberapa hari lalu?" Karena dorongan
amarah, perkataan Dewi tak lagi terkontrol.
"Tidak akan ada perceraian, Wik. Dengar, aku tak
akan bercerai denganmu. Biar saja Pramono me-
nunggumu sampai bungkuk!" Usai berkata seperti itu,
Puji keluar ruang kerja dengan langkah lebar-lebar.
Dan sebelum Dewi mampu berpikir apa pun, pintu
ruang kerja itu dibantingnya kuat-kuat, meninggalkan
suara berdebum yang keras.
http://pustaka-indo.blogspot.com296
"DEWI, ada telepon untukmu,?" kata Dini dari
balik layar monitornya. "Mungkin dari suamimu."
Dewi memejamkan matanya sejenak. Sejak pagi,
ponselnya ia matikan. Entah mau apa Puji me nele-
ponnya. Sudah beberapa hari ini hubungan mereka
terasa tegang. Tetapi dugaan Dini dan Dewi me leset.
Telepon itu bukan dari Puji, melainkan dari Pramono.
"Sedang sibuk ya, Wik?"
"Kesibukan kan bagian dari kegiatan manusia," Dewi
menjawab riang. "Tumben meneleponku?"
"Tidak boleh, ya?"
"Ya. Tak boleh tidak."
Pramono tertawa mendengar jawaban Dewi.
"Aku cuma mau mengucapkan selamat kepadamu.
Artikelmu bagus sekali. Orang yang membacanya
dengan mudah bisa membayangkannya. Bahkan bagi
pembaca yang memiliki kepekaan, seakan ikut di dalam
Sepuluh http://pustaka-indo.blogspot.com297
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rombongan itu. Selain itu, hasil bidikanku boleh juga
ya, Wik?" "Merasa ikut berjasa ya, Mas?"
Pramono tertawa lagi. Kemudian dilanjutkan dengan
pertanyaan, "Apakah suamimu ada di rumah malam
ini" Maaf kalau pertanyaanku tidak sopan."
"Dia sedang tugas keluar. Tahu kan apa yang ku-
maksud?" "Tahu betul. Sampai kapan?"
"Sampai lusa. Kenapa sih kau bertanya sesuatu yang
tak ada relevansinya dengan yang kita bicarakan tadi?"
"Aku hanya ingin tahu saja karena aku ingin meng-
ajakmu menemaniku ke ulang tahun perkawinan ke-
sepuluh seorang teman baikku," jawab Pramono. "Kalau
ada suamimu, tentu tak enak rasanya. Bukannya mau
selintat-selintut di belakangnya, tetapi untuk menjaga
ke tenangan. Persahabatan antara laki-laki dan pe-
rempuan sering dicurigai sebagai hubungan lain."
Jantung Dewi berdebar-debar. Apakah perasaannya
terhadap Pramono hanya sebagai sahabat" Apakah
Pramono menganggap pertemanan mereka sebagai per-
sahabatan saja" Siapa di antara mereka yang munaik"
Ah, rasanya mereka berdua sama-sama munaik. Dewi
tersenyum masam sendiri. "Terus terang ajakanmu membuatku merasa aneh.
Memangnya istrimu sedang ke mana, Mas?"
"Istriku" Apakah aku pernah bercerita kepadamu
bahwa aku sudah punya istri?"
Dewi tertegun mendengar jawaban Pramono. Tokoh
istri Pramono itu memang hanya ada di dalam kepala-
http://pustaka-indo.blogspot.com298
nya. Dan dalam pembicaraan selama ini, tak pernah
sekali pun mereka menyinggung masalah ter sebut.
Tetapi begitu mengetahui kenyataan yang ada, hati
Dewi bersorak-sorai tanpa bisa ditahan. Tetapi hanya
sebentar. Superego di hatinya menjewer telinganya
keras-keras. Tak semestinya rasa gembira semacam itu
menguasai di hatinya. "Bagaimana dengan kekasih atau mungkin juga calon
istrimu, Mas?" tanyanya lagi, memancing.
"Kalau aku punya kekasih atau calon istri, pasti aku
tidak akan mengajakmu menemaniku. Itu alasan ku
yang pertama. Alasan kedua, pergi denganmu akan
mem buatku merasa aman. Pergi dengan teman pe-
rempu an lain, akan menimbulkan dugaan yang bukan-
bukan. Baik dari yang bersangkutan sendiri mau pun
dari pandangan orang. Nah, tahu kan sekarang apa
alasanku?" "Baiklah, kalau begitu. Ajakanmu boleh juga," sahut
Dewi sesudah menimbang baik-baik. "Jadi ajak anmu,
kuterima. Ada baiknya juga, sekalian kau meng hibur
istri kesepian." "Wiwik!" "Ah, serius amat. Aku kan hanya bercanda."
"Jangan suka bercanda yang tak enak didengar, Wik.
Nah, sebaiknya kau kujemput jam berapa nanti di
rumah mu?" "Setengah tujuh dari rumahku, bisa?"
"Siap. Tetapi, akan kena sorotan dari tetangga atau
tidak, Wik?" "Soal itu aku tidak tahu. Tetapi untuk apa dipikir-
http://pustaka-indo.blogspot.com299
kan" Biarkan sajalah anjing menggonggong, kailah
ber lalu. Anjing yang sedang menggonggong kan tidak
bisa menggigit." "Bagus kalau kau berpikir seperti itu. Baik, nanti
jam setengah tujuh kau pasti sudah ada di dalam
mobil ku. Setuju?" "Siap, Pak." "Terima kasih banyak, Bu."
Dewi tertawa sambil meletakkan gagang telepon.
Sungguh menyenangkan dapat bercanda di sela-sela
ke sibukan dan hilangnya rasa nyaman yang dialaminya
be lakangan ini. Sikap Puji terhadapnya semakin men-
jengkelkan. Caranya berbicara dan ucapan-ucapannya
seperti mau menunjukkan kepada dunia bahwa Dewi
miliknya. Milik yang dikuasainya sehingga tidak boleh
disinggung orang lain. Tidak boleh pula me mikirkan
kepentingan orang lain. Meskipun hatinya jengkel, sikap Puji yang seperti itu
masih bisa dihadapi Dewi tanpa ribut-ribut. Tetapi
ketika foto-foto yang ada sosok Pramono di sobek-
sobek, Dewi mulai memper lihatkan kemarahannya.
Bukan karena Pramono-nya, namun karena Puji telah
merusak milik pribadi se se orang. Kebetulan saja
seseorang itu adalah dirinya. Maka sejak saat itu
hubungan mereka se makin tegang. Api amarah mudah
menyala di antara mereka dan membanting pintu bagi
Puji juga menjadi kebiasaan barunya yang menjengkel-
kan Dewi. Memangnya pintu-pintu itu salah apa"
Sore itu setelah mengadakan janji dengan Pramono,
Dewi pulang ke rumah disambut kejutan yang me-
http://pustaka-indo.blogspot.com300
nyenangkan. Ibunya mengirim tar indah yang pasti
amat lezat rasanya. Ayahnya menghadiahi sebuah
gelang emas. Dan ketiga adiknya mengirim sekeranjang
buah. Ibu mertuanya mengirim sehelai batik halus
untuk dibuat gaun. Sedangkan Sonny dan adik-adiknya
mengirim rangkaian bunga yang indah.
"Siapa yang membawa semua ini ke sini, Cih?" ta-
nyanya kepada Icih. "Dari rumah besar, semua itu dibawa Pak Dul." Pak
Dul adalah sopir ibunya. "Dari Ibu Pambudi, dibawa
Mas Sonny dengan motor."
"Aduh, kasihan sekali. Kausuguhi apa, dia?"
"Es sirup dan kue-kue yang kita bawa dari rumah
Ibu Sepuh beberapa hari yang lalu. Malah sisa puding
yang di lemari es dia habiskan."
Dewi tertawa. Sonny memang suka sekali camilan.
Untungnya pemuda itu suka sekali olahraga. Kalau
tidak, pasti badannya jadi gemuk. Atau mungkin malah
sebaliknya, karena suka olahraga maka tubuhnya mem-
butuhkan tambahan kalori sebagai pengganti energi
yang telah dikeluarkannya.
"Oh ya, Cih, malam ini aku tidak makan di rumah.
Jadi kau tidak usah mengatur meja makan, ya," katanya
kemudian. "Ada pesta?" "Ya. Diajak Mas Pram."
Icih menatap wajah Dewi dengan tajam. Melihat itu
Dewi langsung mengerti apa yang ada di kepala pe-
rempuan itu. "Cih, sudah beberapa kali aku bertemu dia di suatu
http://pustaka-indo.blogspot.com301
acara karena ternyata dia sekarang juga bekerja sebagai
wartawan seperti aku. Maka pertemanan di antara
kami pun terjalin lagi," katanya menjelaskan.
"Den...?" "Aduh, Cih, jangan menatapku seperti itu. Otakku
masih waras kok. Hubungan cinta di antara kami ha-
nya masa lalu." Tetapi itu diucapkan Dewi kepada Icih, pada saat
pikirannya sedang waras. Begitu duduk di mobil
Pramono, otaknya yang katanya masih waras, tiba-tiba
saja tergelincir entah ke mana. Terlebih ketika
Pramono menghentikan mobilnya masuk ke rest area
di tepi jalan tol, agak jauh dari mobil-mobil lain yang
terparkir di situ. Begitu mobil berhenti, Pram me-
ngeluar kan kotak kecil yang langsung diberikan pada
Dewi. "Sekadar hadiah kecil untukmu, Wik. Selamat ulang
tahun," katanya. Dan begitu kotak kecil itu berpindah
ke tangan kanan Dewi, Pramono meraih telapak ta-
ngan kirinya mengecup lembut punggung tangan itu.
"Karena tak pantas men cium pipimu, maka sebagai
gantinya, kucium tanganmu ini sebagai ucapan selamat
ulang tahun." "Aku... aku tidak mengira kau masih ingat hari ulang
tahunku. Tadi sore kalau tidak melihat beberapa kirim-
an hadiah dari keluargaku, aku sendiri lupa hari ulang
tahunku. Terima kasih banyak, Mas Pram."
"Ini hanya sebagai kunang-kunang di hari ulang
tahunmu... yang mungkin agak terasa gelap bagimu."
Dewi tersenyum bahagia. http://pustaka-indo.blogspot.com302
"Mas, sepertinya kau mengerti apa yang ada di
hati ku. Terus terang saja aku tadi memang merasa
ulang tahun ku kali ini terasa agak gelap. Meskipun
ada kiriman-kiriman hadiah dari keluarga, tetapi tidak
se orang pun di antara mereka datang untuk meng-
ucap kan selamat karena kesibukan masing-masing.
Sedang kan Mas Puji... pasti, dia lupa ini hari ulang
tahunku." "Tetapi aku ingat, Wik. Itulah sebabnya tadi me-
neleponmu." "Di telepon tadi, kau tidak menyinggungnya sama
sekali." "Memang itu kusengaja. Tadi ketika aku bertanya
ten tang keberadaan suamimu, aku sedang merencana-
kan sesuatu. Kalau suamimu ada di rumah, aku akan
lang sung mengucapkan selamat ulang tahun. Tetapi
kalau tidak, aku akan membawamu makan di luar dan
menjadi sok pahlawan dengan tiba-tiba."
"Tetapi aku menyukai ke-sok-anmu, Mas. Malahan
berterima kasih karena kau telah mengisi hari khusus-
ku ini dengan perhatian."
"Sungguh" Bukan basa-basi?"
"Sungguh dan bukan basa-basi."
"Kalau begitu mari kita rayakan sekarang. Nah, kau
ingin makan di mana, Wik" Jangan takut memilih tem-
pat karena khusus untuk makan malam ini dompetku
sengaja kuisi tebal."
"Lho, tidak jadi ke pesta temanmu?"
Pramono tertawa. "Temanku tidak merayakan ulang tahun perkawin-
http://pustaka-indo.blogspot.com303
annya yang kesepuluh. Katanya menunggu sampai pes-
ta perak nanti," sahutnya.
"Ah, kau!" Dewi menggerutu. "Jadi memang benar
kau sengaja membawaku makan di luar untuk me raya-
kan ulang tahunku." "Ya, benar. Dan itu ada alasannya. Lima tahun yang
lalu ketika aku belum tahu keberatan keluargaku untuk
melamarmu, aku ingin sekali merayakan ulang tahun-
mu berdua saja di suatu tempat. Tetapi ternyata gagal
karena hubungan kita berantakan. Oleh sebab itu
meski pun kita sekarang bukan merupakan pasangan
kekasih, aku ingin merealisasikan apa yang pernah ku-
rencanakan. Nah, sekali lagi aku bertanya padamu. Kau
ingin makan di mana, Wik?"
"Terserah saja. Aku tidak pernah pilih-pilih makan-
an kok. Lagi pula kau pasti lebih tahu daripada aku."
"Kok berani memastikan" Memangnya ada dasar-
nya?" "Sebagai bujangan, apalagi bujangan yang kariernya
mulai mapan, pasti kau lebih banyak makan di luar
dari pada di rumah. Ya, kan?"
"Ya, itu betul." Pramono tertawa. "Kadang-kadang
aku mengajak Bapak dan Ibu. Atau keluargaku yang
lain." "Teman perempuan?"
Mendengar pertanyaan Dewi, Pramono meliriknya.
"Kelihatannya pertanyaan seperti itu sudah lama ada
di ujung lidahmu. Tentu dengan bayangan-bayangan
ter tentu sampai-sampai mereka-reka khayalan sendiri,
seakan aku sudah punya istri."
http://pustaka-indo.blogspot.com304
Dewi tertawa sambil mencubit lengan Pramono.
"Aku lupa, beberapa tahun lamanya kita berpacaran
dulu telah menyebabkanmu mengenalku dengan baik,"
katanya kemudian. Pramono terbahak. "Aduh, sombong betul."
"Boleh saja kaubilang sebagai kesombongan. Tetapi
kenyataannya aku memang bisa menyingkap lapisan-
lapisan yang ada di wajahmu. Kau ingin mengetahui
ke hidupan pribadiku, kan?"
"Tidak." "Jangan mengelak dari kenyataan. Mengaku sajalah."
"Baik... baik..." Dewi tersenyum pasrah. "Aku me-
mang ingin mengetahui kehidupan pribadimu setelah
kita berpisah bertahun-tahun yang lalu. Apakah setelah
kita berpisah, sudah berapa kali kau berpacaran?"
Pramono tersenyum. Tetapi air mukanya tampak
se rius. Setelah menarik napas panjang, ia baru men-
jawab pertanyaan Dewi. "Sejujurnya sejak kita berpisah, selama bertahun-
tahun lamanya aku mengalami penyesalan dan merasa
ber salah terhadapmu. Sulit sekali menghapuskan ke-
nang an tentang perpisahan kita saat aku menemuimu
untuk meminta kemurahan hatimu, bersedia memaaf-
kan keluargaku dan terutama memaafkanku. Setiap
ku ingat bayangan duka di matamu, bibirmu yang ber-
getar, kedua alismu yang nyaris menyatu, dan pipi mu
"Bukan hanya itu, Wik. Ternyata aku masih mampu
menembus lapisan-lapisan di wajahmu dan men jenguk
isi hatimu." http://pustaka-indo.blogspot.com305
yang basah, aku benar-benar merasa amat ber dosa
kepadamu. Aku tahu betul di balik lapisan-lapisan yang
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menutupi wajahmu ada hati yang tercabik-cabik
melihat kepengecutanku. Nah, kalau itu dikaitkan de-
ngan pertanyaanmu mengenai kehidupan pribadiku
selama ini, aku harus mengaku bahwa kenangan pahit
tentang perpisahan kita waktu itu melumpuhkan ke-
inginanku mencari gadis lain. Kalaupun pernah akrab
dengan seseorang, itu hanya sarana untuk meng hiasi
kesepianku. Itulah mengapa hubungan seperti itu tidak
pernah bisa bertahan lama. Apalagi aku pernah berjanji
di dalam perpisahan itu, bahwa se andainya aku me-
nikah dengan perempuan lain, hati ku tak akan kuberi-
kan padanya." Dewi menahan napas. Apakah itu berarti hingga
se karang hati Pramono masih menyimpan dirinya" Se-
pertinya itulah yang tersirat dari perkataannya.
"Mas, kau tidak boleh membelenggu dirimu dengan
rasa bersalah dan janjimu untuk tetap mencintaiku.
Kau tak akan bisa merasakan kebahagiaan jika terus
begini," katanya kemudian.
"Apakah bisa bahagia setelah aku mengetahui bagai-
mana kau hidup dalam perkawinan poligami yang sejak
masa kecilmu merupakan sesuatu yang amat kaubenci
dan kauhindari?" Pramono tampak serius saat berkata
seperti itu. "Sekarang saja pun saat kau berulang tahun,
suamimu masih menggiliri istrinya yang lain."
"Aku berterima kasih atas keprihatinanmu terhadap
nasib yang harus kujalani. Tetapi kau tidak boleh
meng abaikan kehidupan pribadimu. Terutama karena
http://pustaka-indo.blogspot.com306
me nyangkut kebahagiaan orangtuamu. Kau anak tung-
gal, Mas. Kedua orangtuamu pasti sudah sangat me-
rindu kan cucu darimu."
"Maaf, aku sedang tidak ingin membicarakan ke-
hidupan pribadiku. Sekarang ini kita sedang merayakan
ulang tahunmu. Ayo, kita cari rumah makan," kata
Pramono sambil menyalakan mesin mobilnya lagi.
Dewi menurut. Makan malam berduaan itu benar-
benar mereka nikmati setiap detiknya. Rasanya sung-
guh menyenangkan dapat berduaan lagi dengan orang
yang masih memiliki tempat istimewa di hati masing-
masing. Namun karena mengerti bahwa suasana dan
ke adaan sudah tidak sama seperti dulu, keduanya
sama-sama menjaga diri untuk tidak melangkahi rel
yang seharusnya. Rambu-rambu aturan main tetap me-
reka pegang. Bahkan menyinggungnya pun tidak be-
rani. Baru ketika mereka tiba di depan rumah Dewi,
Pramono meminta supaya bungkusan kado tadi dibuka.
Dengan hati-hati bungkusan kecil itu dibuka oleh
Dewi. Isinya, sebuah kalung dengan liontin berbentuk
hati. Di tengah-tengahnya terdapat sebutir permata
yang berkilauan. "Ini... ini emas...?" tanyanya terbata-bata.
"Ya. Untukmu selalu kuberikan yang asli."
"Jadi... ini berlian?"
"Ya." "Aduh, Mas... aku tidak berhak menerima barang
semahal ini," terbata-bata Dewi mengucapkan rasa tak
nyamannya. "Aku... tak berani menerimanya."
"Tetapi kalung itu milikmu, Wik. Itu hakmu se-
http://pustaka-indo.blogspot.com307
penuhnya. Aku membelinya lebih dari lima tahun yang
lalu ketika aku merencanakan merayakan ulang tahun-
mu.... Lima tahun lebih benda itu tersimpan di laci
lemari pakaianku dan kusimpan itu dengan hati yang
amat terbebani. Sekarang inilah kesempatanku untuk
menyerahkan benda ini kepada pemiliknya yang sah.
Tolong, jangan kautolak."
Mendengar itu air mata Dewi yang mahal mulai
meluncur turun. Seluruh hatinya diselimuti oleh rasa
haru yang amat dalam. "Mas Pram..." Hanya nama itu yang ia berani ucap-
kan. Hanya nama itu pula yang keluar dari mulutnya
kendati hatinya terasa pe nuh sesak oleh berbagai
perasaan yang mengharu biru. Kalau tidak ingat apa
pun, ingin sekali ia menjatuhkan kepalanya ke dada
Pramono untuk merasakan ke hangatan kasihnya.
Tetapi tidak. Ia tahu diri dan tahu di mana tempatnya.
"Wiwik..." Pramono yang sangat mengenal Dewi,
mengerti apa yang ada di batin perempuan itu. Karena-
nya hampir saja benteng pertahanan hatinya roboh,
Perjalanan Ke Masa Depan 2 Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis Berjalan Dalam Tidur 1
rumahan yang jarak antara rumah satu dengan lainnya
tidak terlalu jauh."
"Soal itu kusadari betul kok. Oleh sebab itu aku
tidak ingin terlibat terlalu jauh dengan para tetangga.
http://pustaka-indo.blogspot.com231
Bukan apa-apa, tetapi untuk menjaga jangan sampai
ada salah-salah kata yang menyebabkan mereka mem-
punyai dugaan ke mana saja selama ini kau pergi secara
berkala." "Kau sekarang semakin pandai bersilat lidah."
"Karena aku tidak suka menghadapi ketidakadilan
yang disebabkan karena diriku terlahir sebagai pe rem-
pu an. Nah, sudahilah pembicaraan tak menyenangkan
ini. Aku mau mengedit tulisan responden yang baru
masuk," kata Dewi sambil mengambil laptop yang tadi
diletakkannya di meja. "Kita baru saja ketemu setelah beberapa hari tidak
bersama-sama. Tetapi tampaknya kau lebih suka bicara
dengan benda bisu dan mati daripada denganku."
Dewi malas menanggapi perkataan Puji. Tanpa ber-
kata apa pun lagi, ia menyalakan laptop dan ber siap-
siap bekerja. Melihat itu, Puji yang merasa semakin
kesal menegurnya. "Ini bukan kantor, Wik. Kalau mau bekerja ya tidak
di sini," katanya. "Sebenarnya Mas mau bilang apa sih?" Dewi me-
nyipitkan mata ke arah Puji.
"Aku berharap kau bisa memilah antara pekerjaan
dan kodratmu sebagai perempuan yang sudah ber suami.
Jadi kalau ada tugas-tugas yang harus dilaku kan setelah
jam kantor, tolaklah. Kan ada banyak rekan mu laki-laki
yang lebih cocok untuk menangani nya."
"Laki-laki dan perempuan punya hak dan ke wajiban
yang sama, Mas. Jadi kalau perempuan sudah mau
terjun ke dalam pekerjaannya, ia harus mau melakukan
http://pustaka-indo.blogspot.com232
apa pun tugasnya tanpa berlindung di balik jenis
kelaminnya," bantah Dewi, sengit. "Sedangkan me-
ngenai cocok atau tidaknya pekerjaan yang harus
ditanganinya, itu juga perlu dilihat siapa yang pas
untuk mengerjakannya tanpa melihat apakah dia laki-
laki ataukah dia perempuan. Jadi, kalau perempuan
menuntut keadilan, itu harus diikuti dengan pe-
mahaman bahwa yang disebut keadilan juga memiliki
tuntutan untuk bersikap adil. Diberi pekerjaan apa pun
ya harus diterima. Jangan menolak hanya ka rena
merasa perempuan harus diberi prioritas. Dengan
begitu, kalau aku harus meliput berita pada malam
hari, ya harus kuterima karena itulah risiko pekerjaan.
Aku sudah menyadarinya sejak lama bahwa pada prin-
sip nya, wartawan itu bekerja selama dua puluh empat
jam." "Mungkin memang begitu. Tetapi budaya kita,
budaya Timur khususnya budaya Jawa mempunyai
nilai-nilai tertentu di mana kaum perempuan hendak-
nya jangan terlalu jauh-jauh dari kodratnya...."
"Sebentar, Mas," Dewi memenggal perkataan Puji.
"Kodrat yang mana, maksudmu?"
"Kodratnya sebagai ibu rumah tangga dan sebagai
istri dengan..." "Mas tahu tidak sih apa arti kodrat yang sebenar-
nya?" Dewi memotong lagi perkataan Puji.
"Kodrat ya kodrat. Sesuatu yang sudah ditentukan
Tuhan." "Betul. Tetapi lebih tepatnya lagi adalah bahwa
kodrat itu merupakan sesuatu yang terberi dari "Atas".
http://pustaka-indo.blogspot.com233
Artinya, menetap dan tidak bisa berubah karena telah
ditentukan oleh sang pencipta...."
"Oke. Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan terkait
kata-kataku tadi tentang kodrat perempuan?" Puji ganti
memotong perkataan Dewi. "Lho, jelas kan apa yang tersirat dari perkataanku
tadi" Bahwa perlu kita bertanya sendiri apakah benar
kodrat perempuan itu menjadi ibu rumah tangga dan
istri" Lalu bagaimana dengan perempuan-perempuan
yang tidak menikah atau yang bekerja di luar rumah
sebagai pencari nafkah" Me nyalahi kodratkah?" Dewi
menjelingkan matanya lagi. "Padahal yang namanya
kodrat itu kan sesuatu yang terberi sebagai ciptaan
Tuhan, yang mutlak dan tidak bisa diubah sampai
kapan pun. Jadi hanya kaum pe rempuan yang mem-
punyai alat-alat reproduksi yang berpotensi untuk haid,
mengandung, melahirkan, dan menyusui. Jika ada se-
bagian yang tidak hamil, tidak melahirkan dan tidak
menyusui, itu soal lain yang tak ada kaitannya dengan
masalah kodrat. Begitupun laki-laki mempunyai kodrat
yang tidak dimiliki pe rempuan yaitu punya penis, buah
zakar, kelenjar kemih, dan sperma. Maka kalau orang
bilang kodrat pe rempuan di dapur sebagai ibu rumah
tangga, itu keliru besar karena laki-laki pun bisa dan
boleh-boleh saja masuk dapur tanpa kehilangan kodrat-
nya. Atau perempuan berperang di medan laga misal-
nya, dia tetap perempuan dengan kodrat aslinya."
Puji mengambil surat kabar yang belum sempat di-
sentuhnya. Air mukanya tampak masam.
"Aku malas berdebat denganmu. Yang ingin ku-
http://pustaka-indo.blogspot.com234
garisbawahi hanya kesadaranmu untuk tidak me-
ninggal kan budaya kita bahwa sebaiknya perempuan
jangan terlalu jauh meninggalkan rumahnya karena di
situ lah tempat yang paling aman bagi mereka," katanya.
"Oke?" "Tidak. Perempuan juga berhak me milih. Mau
tinggal di rumah atau bekerja di luar ru mah, itu masa-
lah pilihan hidupnya. Bukan masalah je nis kelaminnya.
Soal tempat yang aman atau tak aman ada di mana, itu
pun soal lain yang bersifat relatif," bantah Dewi.
Puji tidak menyahut. Tetapi lama kemudian setelah
me lihat Dewi mulai asyik bekerja, ia melanjutkan bi-
cara nya. "Sebaiknya kau jangan menentang realita yang ada
di hadapanmu sendiri," katanya. "Tidak semua orang
punya pikiran yang lurus-lurus sepertimu, ter utama di
dalam budaya Timur yang sarat dengan atur an main
pergaulan dan tabu."
Dewi ingin membantah dengan menunjukkan bukti-
bukti mengenai budaya patriarki yang berpihak pada
laki-laki, tetapi ketika teringat pada ajaran-ajaran ibu-
nya, mulutnya yang sudah terbuka dikatupkannya kem-
bali. Jangan mendiskusikan sesuatu dengan orang yang
hanya melihatnya dari satu sudut pandang saja.
Yah, meskipun perkembangan zaman sudah sedemi-
kian maju, kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan
perempuan masih belum tercapai pe nuh. Maka kalau
dikatakan bahwa sekarang ini sudah banyak perempuan
menjadi ilmuwan dan berkibar-kibar di dunia politik,
bahkan menjadi presiden se hingga banyak kaum
http://pustaka-indo.blogspot.com235
perempuan jadi bangga, se sungguhnya kebanggaan se-
macam itu justru me nampar pipi mereka sendiri, ka-
rena yang dijadikan ukur an sukses adalah jenis ke la-
min nya sebagai pe rempuan. Bukan dia sebagai individu.
"Memang dunia ini lebih berpihak pada laki-laki,
Nduk." Begitu antara lain yang diajarkan ibunya.
"Kaum lelaki senang tetap tinggal di dalam sistem nilai
patriarki dan feodalisme yang memanjakan mereka.
Maka sebagai perempuan, kita hanya bisa menertawa-
kan mereka dari belakang. Tetapi, jangan melawan
realita yang sering kurang berpihak kepada kita. Nanti
ter bentur-bentur sendiri kepalamu. Bersikap kom-
promis sajalah, Nduk, biar hati kita menjadi lebih da-
mai." Meskipun Dewi tidak menyetujui kata-kata ibunya
karena damai yang disebutnya adalah kedamaian semu,
tetapi demi menghindari konlik terbuka, yah... apa
bo leh buat. Sikap kompromis masih bisa ia setujui.
Se tidaknya dengan berdiam diri, Puji tidak lagi ber-
panjang-panjang kata yang hanya akan membuatnya
kesal. Melihat Dewi tidak melanjutkan perbantahan di
antara mereka berdua, Puji lega. Perempuan itu sangat
cerdas dan penuh dengan kejutan-kejutan yang sering
mengaduk-aduk perasaan. Menggemaskan dan tidak
pernah membosankan. Selalu saja ada hal baru. Me-
mang berbeda sekali Dewi dengan Indah. Ah, andai -
kata saja ia tidak berjumpa lagi dengan Indah, mungkin
si pemilik otak cerdas yang sedang asyik de ngan lap-
top nya itu tidak akan sering menyerangnya. Bah kan
http://pustaka-indo.blogspot.com236
dengan kecerdasan Dewi, mereka berdua bisa ber-
duskusi tentang banyak hal yang pasti akan me narik.
Pada malam harinya ketika mereka sudah berbaring
ber sisian, Puji merengkuh Dewi ke dalam pelukannya.
"Kalau aku tadi memberimu saran agar kau men-
coba menghindari tugas-tugas yang sudah lewat dari
jam kerja, itu karena aku memikirkan dirimu, Wik.
Aku tidak ingin kau kecapekan. Aku juga tidak ingin
kau menjadi bahan pembicaraan orang," katanya sambil
mengecupi pangkal lengan Dewi.
Dewi malas memberi komentar. Bahkan juga enggan
dipeluk-peluk dan diciumi Puji. Dengan gerakan lem-
but agar Puji tidak tersinggung, ia melepaskan lengan
laki-laki itu dari tubuhnya.
"Aku mengantuk dan letih," katanya sambil bergerak
me munggungi Puji. "Selamat tidur, Mas."
"Tunggu, Wik, jangan tidur dulu. Aku masih
mendambakan kehangatan darimu," kata Puji sambil
meraih tubuh Dewi kembali.
"Besok saja, ya?" Dewi mengerutkan tubuhnya. Be-
lakangan ini dia merasa tertekan jika harus melakukan
hubungan intim. Semakin cintanya terhadap Puji
menipis, semakin ia sadar bahwa hubungan intim itu
tak lagi mempunyai nilai keindahan sama sekali. "Hari
ini aku benar-benar lelah. Besok masih banyak pekerja-
an yang harus kuselesaikan di kantor. "
"Lagi-lagi soal pekerjaan. Di kantor bekerja, di
rumah bekerja. Tubuh dan otak perempuan itu tidak
sekuat laki-laki, Wik. Itulah sebenarnya yang ku kha wa-
tirkan saat mengatakan keberatanku ketika kaubilang
http://pustaka-indo.blogspot.com237
ingin bekerja. Banyak orang bilang, kalau perempuan
terlalu capek, kesuburannya akan berkurang dan..."
"Mas, aku sedang tidak ingin berdebat apa pun de-
nganmu. Lagi pula keletihanku tidak ada kaitannya
dengan kekuatan isik atau yang semacam itu."
"Itu karena kaum perempuan sebenarnya kurang
me miliki kesanggupan untuk berpikir berat-berat."
"Aduh, kata siapa itu?" Dewi lupa untuk tidak ber-
debat dengan Puji. "Kata seorang pemikir mengenai perempuan."
"Iya, siapa dia?"
"Kalau tak salah Lord Chesterield."
"Ah, penelitian mengenai manusia itu tak pernah
akurat seratus persen, Mas. Dan tak pernah menetap
karena selalu saja ada ahli-ahli lain yang mungkin pen-
dapatnya bertolak belakang. Namanya juga bukan ilmu
pasti seperti dua kali dua selalu empat dan tak pernah
lain. Lawrence Kolgberg, misalnya. Dia bilang per-
kembangan perempuan berada di bawah tahap per-
kembang an kaum lelaki. Tetapi Carol Gilligan me-
ngata kan, pendapat itu keliru karena penelitian yang
dilakukan Kolgberg tertuju seluruhnya pada laki-laki.
Jadi bagaimana bisa dia menggeneralisasi penelitiannya
sebagai ilmu perkembangan seluruh manusia" Jadi
yang mau kukatakan di sini, setiap manusia itu unik.
Jadi jangan dipandang dari jenis kelaminnya, tetapi
lihatlah dia sebagai individu. Nah, sekarang aku mau
tidur, Mas. Kalau mau berdebat, besok saja dilanjut-
kan, ya?" "Tunggu sebentar, Wik. Sekeliru apa pun pendapat
http://pustaka-indo.blogspot.com238
seorang peneliti atau pemikir, pasti sedikit-banyak ada
juga benarnya," bantah Puji.
"Tetapi jangan lupa, Mas, ada banyak juga para pe-
mikir yang menelurkan gagasan dan teori cemerlang
namun terjatuh karena kepicikan pandangan mereka
terhadap keberadaan kaum perempuan. Sigmund Freud
dengan teori penis envy-nya, misalnya. Katanya, anak
pe rempuan yang melihat kelamin anak lelaki akan
sadar bahwa bahwa dia kekurangan sesuatu dan ka-
rena nya merasa iri. Itu kan omong kosongnya belaka.
Apalagi teorinya banyak dilandasi oleh pengamatannya
di ruang praktiknya ketika menangani perempuan-
perempuan bermasalah, perempuan-perempuan yang
meng alami masalah kejiwaan. Aku berani bilang begitu
karena ketiga adikku berjenis kelamin laki-laki, tetapi
tidak sedikit pun aku iri karena aku juga punya banyak
kelebihan dibanding mereka. Bukan karena aku pe-
rempuan dan mereka, tetapi karena masing-masing
indi vidu entah dia perempuan entah dia laki-laki,
sama-sama punya kelebihan dan kekurangan."
"Ah, sudahlah. Biarkan para pemikir itu sibuk de-
ngan gagasan dan teori-teori mereka. Biarkan pula
me reka itu saling menunjang atau saling menjatuhkan,
bukan urusan kita. Sekarang ini aku lebih memikirkan
keberadaanmu di sisiku. Jadi biarkan aku memelukmu,"
kata Puji sambil melingkarkan lengannya ke tubuh
Dewi. Dengan lembut namun penuh gejolak gairah, ia
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawa wajah Dewi hingga menghadap wajahnya,
ke mudi an tanpa memberi Dewi kesempatan untuk
bereaksi, diciumnya bibir Dewi.
http://pustaka-indo.blogspot.com239
Dewi mendorong lembut dada Puji ketika ciuman
laki-laki itu semakin menggelora.
"Aku... aku... capek, Mas. Sudah kukatakan tadi,
kan?" katanya. "Besok saja, ya?"
"Wik, tidakkah kau merasa rindu kepadaku sesudah
sekian hari lamanya kita tidak bersama. Aku yakin
penolakanmu bukan karena lelah. Pasti ada masalah
yang sedang membebani pikiranmu," kata Puji. "Benar,
kan?" "Iya sih," Dewi mengaku.
"Tentu ada sebabnya."
"Ya, pastilah."
"Apa itu?" "Mas, tidak semua masalah yang ada pada seorang
istri itu harus dikatakan pada sang suami. Begitu juga
sebaliknya. Jadi, biarkan masing-masing dengan per-
soalannya. Aku juga tidak ingin mengetahui apa yang
ada di dalam pikiran dan perasaanmu kok."
"Tetapi aku mencintaimu, Wik. Aku ingin kau mem-
bagikan pikiranmu padaku. Sebab siapa tahu aku bisa
membantumu, atau paling tidak setelah kau tumpah kan
pikiranmu padaku, hatimu jadi terasa lebih ringan."
"Malas ah, Mas. Biarkan aku tidur cepat. Itu sudah
cukup membantuku," sahut Dewi.
"Katakanlah padaku, Wik."
Dewi mengeluh dalam hati. Dia kenal betul seperti
apa Puji kalau sudah mulai mendesak seperti itu.
Kalau tidak segera dijawab, pasti dia akan terus meng-
ganggunya. "Aku cuma sedang merasa aneh dan lucu saja kok,
http://pustaka-indo.blogspot.com240
Mas," akhirnya ia terpaksa mengaku meskipun tidak
semuanya. "Sekarang sesudah kusadari bahwa kau telah
menjadi ayah, aku merasa seperti berada di luar arena.
Di sana kau punya istri lain dan ada se orang anak di
antara kalian. Itu anak mu. Tetapi, bukan anakku.
Benar-benar aku merasa asing di dalam rumah tangga
ini." Pelukan Puji, mengendur. Matanya menatap ke
wajah Dewi dengan perasaan takjub.
"Kau cemburu ya, Wik?" serunya. Ada letupan ke-
gembiraan di dadanya. Sudah lama dia ingin menge tahui
apakah cinta perempuan itu masih tetap sama seperti
dulu sebelum Indah memasuki kehidupan mereka.
Tetapi Dewi malah mengerutkan dahinya saat
menatap balik Puji. "Aku cemburu?" dengusnya. "Wah, Mas keliru
mengartikan kata-kataku tadi. Rasa cemburu dan rasa
asing karena berada di luar pagar, itu sangat berbeda.
Kecemburuan itu kan diwarnai rasa cemas ter singkir
oleh saingan di mana ada rasa sedih, rasa di sakiti, rasa
iri, dan yang semacam itu di dalamnya. Namun rasa
berada di luar pagar atau di luar arena itu memiliki
rasa kehilangan. Yaitu hilangnya rasa ke dekat an dan
persatuan hati karena adanya jarak lebar yang ter-
bentang di antara kita. Nah, itulah yang kurasakan.
Aku sudah kehilangan sesuatu yang seharusnya ada di
antara kita. Kehilangan sesuatu yang tak akan mungkin
bisa kembali." Puji terdiam sesaat, mencerna kata-kata Dewi. Baru
beberapa saat kemudian dia menanggapi.
http://pustaka-indo.blogspot.com241
"Perasaan asing itu tertuju pada apa dan siapa?"
tanya nya. "Terhadap semuanya, bahkan terhadap diriku sen-
diri. Terutama menyangkut arti perkawinan kita dan
ter hadap hubungan kita sebagai suami-istri," jawab
Dewi, apa adanya. "Kau terlalu perasa, Wik. Bahkan kau mem biar kan
pikiranmu berjalan tanpa landasan yang ber pijak pada
kenyataan." "Tidak, Mas. Sebenarnya perasaan seperti itu sudah
ada ketika kita baru mulai memasuki perkawinan. Mau
tahu kenapa?" "Katakan saja sejujurnya padaku."
"Aku merasakan betul, kau yang kukenal dan ku-
akrabi dengan mesra selama ini, ternyata bukan kau
yang datang pada upacara perkawinan kita berbulan-
bulan lalu. Citra dirimu yang selama itu kusimpan di
hatiku, tak sama seperti yang kulihat ketika kau datang
memenuhi tanggung jawab untuk melangsungkan
pernikahan denganku. Tidak sama pula dengan dirimu
yang sekarang ini. Tetapi di dalam perjalanan waktu,
meskipun dengan susah payah dan jatuh-bangun, aku
masih mau mencoba meraih kembali apa yang hilang
itu meskipun masih belum berhasil. Baru ketika
beberapa hari lalu kau pamit menunggui Indah yang
akan melahirkan dan terpaksa membatalkan janjimu
untuk mengantarku ke acara yang harus kuliput, ku-
sadari betul usahaku meraih kembali kedekatan itu
bukan saja akan sia-sia, tetapi menimbulkan muncul
semacam keterasingan dalam batinku. Kita tak lagi bisa
http://pustaka-indo.blogspot.com242
menjadi sekutu batin karena Mas punya sekutu lain
yang lebih solid. Ada istri dan ada anak dengan per-
masalahan kalian sendiri. Aku berada di luar garis se-
bagai outsider. Semestinya aku harus menyingkir atau..."
Belum selesai Dewi bicara, lengannya disentak oleh
tangan Puji. "Hari ini pikiranmu aneh-aneh dan meloncat ke
sana-sini. Ada apa sih?" tanya Puji keras.
Dewi menghela napas panjang.
"Jangan menganggap pikiranku ini aneh. Aku justru
berbicara mengenai kenyataan yang kualami ini secara
serius. Baru kusadari sekarang, semestinya aku men-
dengar kan perkataan ketiga adikku sebelum aku me-
mutuskan untuk melanjutkan pernikahan kita. Meski-
pun perkawinan kita dirayakan secara besar-besaran
dan orang banyak menganggap itu perkawinan utama-
mu, tetapi sebenarnya aku ini istri keduamu. Kau lebih
dulu menikah dengan Indah..." Sekali lagi Dewi meng-
hentikan perkataannya karena lengannya disentak Puji
lagi. Kini dengan sentakan yang lebih kuat.
"Apa-apaan sih, Wik" Kau istriku yang utama. Bu-
kan Indah." "Itu kan katamu, kata keluarga kita pula. Tetapi ke-
nyataannya kan kau memang lebih dulu menikah
dengan Indah." "Betul kan kalau tadi kubilang, pikiranmu itu aneh-
aneh dan menyimpang daripada pikiran orang lain.
Kalau adanya anak di antara diriku dan Indah mem-
buatmu merasa terasing, kita berdua kan bisa mem-
http://pustaka-indo.blogspot.com243
punyai anak juga. Beberapa kali kukatakan padamu,
aku ingin sekali memiliki anak darimu."
Dewi terdiam. Melihat itu sekali lagi Puji menyentak
lengannnya dengan perasaan jengkel.
"Wik, sepertinya kau tidak suka mendengar per kata-
anku, padahal aku sungguh-sungguh ingin menimang
anak yang kaulahirkan," katanya.
"Aku juga pernah bilang, aku baru akan memikirkan
keberadaan anak di dalam perkawinan kita jika suasana
dan wadah perkawinan kita ini sehat dan normal. Kau
kan tahu seperti apa perasaanku dan perasaan adik-
adikku yang tumbuh berkembang di dalam perkawinan
poli gami orangtuaku. Aku tidak ingin anakku men-
derita seperti kami...."
"Kedengarannya, kau memang sengaja tidak ingin
memiliki anak dariku," Puji mendesiskan kemarahannya
di sisi telinga Dewi. "Terserah kau mau bilang apa. Tetapi aku betul-
betul merasa tidak siap punya anak. Selain alasan se-
perti yang pernah kukatakan kepadamu, aku juga me-
rasa kan ketidakadilan dalam keluarga kita. Pada hal
kalau seseorang sudah mau menempuh per kawinan
poli gami, dia dan juga semua yang tersangkut di da-
lam nya harus bisa bersikap adil."
"Apa maksudmu?"
"Mas, tentunya kau sadar kan kalau keluargamu
tidak pernah mau menjenguk Indah, bahkan meskipun
dia sudah memberi orangtuamu cucu. Semua pasti bisa
melihat bagaimana orangtuamu tidak pernah meng-
anggap nya sebagai menantu. Terlepas dari hal-hal
http://pustaka-indo.blogspot.com244
lainnya, tidakkah kau merasa itu adil buat Indah" Dia
telah memberimu anak lho. Nah, di situlah sebenarnya
letak dari perasaan asing yang muncul di hatiku. Aku
telah menghalangi kebahagian suatu keluarga yang
lengkap. Keluargamu sendiri."
Puji terpana begitu mendengar perkataan Dewi yang
mengandung kebenaran itu. Melihat itu Dewi tak mau
membiarkan kesempatan yang ada itu untuk menajam-
kan lidahnya. "Mas, dia mencintaimu. Itu jelas jauh melebihi pe-
rasa anku kepadamu. Pasti dia sering menindas rasa
cem buru, rasa diabaikan, rasa dinomorduakan, dan
ada nya ketidakadilan yang harus dialaminya. Bayang-
kan, sekarang dia sendirian dengan bayinya. Ia harus
menyusui, merawat bayi, dan melindunginya sendirian
tanpa kehadiranmu. Pasti juga ada perasaan sakit hati
karena selama dalam masa nifas, selama empat puluh
hari dia tidak bisa memberimu kemesraan sehingga
ter bayang olehnya bagaimana dengan bebasnya kau bisa
bermesraan denganku kapan saja kauinginkan. Nah,
tidak ter pikirkah olehmu bagaimana dia harus me-
lewati hari-harinya tanpa dirimu?"
Setelah menguasai diri, Puji yang sejak tadi hanya
berdiam diri, mulai menanggapi perkataan Dewi.
"Kalaupun perkataanmu benar, sebetulnya apa sih
tuju anmu?" tanyanya dengan suara tajam.
"Sebelum kukatakan apa tujuanku ini, aku masih
ingin membuka matamu agar bisa melihat segala se-
suatunya secara transparan," sahut Dewi. "Begini, Mas,
sebagai sesama perempuan dan anak yang pernah hi-
http://pustaka-indo.blogspot.com245
dup dalam perkawinan poligami orang tuaku, aku iba
membayangkan bagaimana anak mu dengan Indah nanti
akan tumbuh dan berkembang. Dia tidak bisa setiap
hari melihatmu, tidak bisa setiap saat berada dalam
pelukanmu. Ketika tumbuh besar nanti, dia akan
mengerti bahwa ayahnya punya istri lain yang dianggap
lebih sah dan lebih diakui oleh keluargamu. Nah,
tidakkah kau berpikir bahwa selain adanya kepedihan
hati, anak itu akan tumbuh dan ber kembang dalam
suatu pemikiran untuk menganggap poligami itu se-
bagai sesuatu yang wajar terjadi. Tidak setiap anak
yang tumbuh dalam perkawinan poligami akan ber-
pandangan dan merasakan hal yang sama seperti aku
dan adik-adikku." "Kau mengatakan semua itu secara berat sebelah
dengan menyudutkanku, mengungkit rasa kebapa an ku.
Tetapi kau belum menjawab apa tujuan bicaramu yang
panjang-lebar itu," kata Puji ketus.
"Tujuan bicaraku, aku ingin agar kita men coba me-
ninjau kembali perkawinan kita ini. Semakin lama se-
makin kurasakan betapa pincang kehidupan perkawin-
an kita. Aku digugat oleh hati nuraniku sendiri agar
kau, Indah, dan anakmu dapat hidup sebagai keluarga
yang utuh." "Dengan perkataan lain, kau ingin kita berpisah.
Begitu, kan?" "Yah... semacam itulah."
Puji mendengus lagi. "Kau bicara seakan perpisahan atau perceraian itu
sesuatu yang lebih bernilai daripada mempertahankan
http://pustaka-indo.blogspot.com246
perkawinan. Tidak terpikir olehmu bagaimana rasa
malu keluarga kita harus menghadapi banyak orang?"
katanya berapi-api. "Kalau itu demi kebahagiaan hati seorang anak, apa-
lah arti rasa malu yang semakin lama akan semakin
me mudar dalam perjalanan waktu."
"Kelihatannya cintamu kepadaku sudah hilang."
"Yang kukatakan tadi tidak ada kaitannya de ngan
cinta. Itu lebih sebagai gugatan hati nu r aniku. Lagi
pula, apakah cintamu kepadaku juga masih seperti
dulu?" "Tentu saja. Aku benar-benar mencintaimu, Wik."
Dewi tertawa lembut. "Aku tidak pernah bisa memahami perasaan cintamu
itu. Hanya tiga hari menjelang perkawinanmu dengan
perempuan yang katanya kaucintai ini, kau lari untuk
menikah dengan perempuan lain...."
"Entah sudah berapa puluh kali kukatakan bahwa
waktu itu pikiranku entah sedang terbius apa sehingga
melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. Jadi jangan
diulang-ulang lagi peristiwa itu. Apalagi pada kenyata-
annya sesudah kita menikah, baru kusadari betul bah-
wa hanya dirimulah yang semestinya menjadi istriku
satu-satunya. Kasihku kepadamu semakin berkembang
sementara kepada Indah, hanya rasa tanggung jawab
yang tersisa. Kau pasti masih ingat apa yang pernah
kuceritakan mengenai Indah di awal-awal hubung an
percintaan kita bahwa hubunganku dengan dia terputus
oleh banyaknya perbedaan pandangan hidup. Ketika
kami bertemu kembali dan dia menangis dalam
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
http://pustaka-indo.blogspot.com247
pelukanku karena kekasihnya mendua, aku merasa iba
dan merasa bersalah karena dulu me mutuskan hubung-
an...." "Sudahlah, Mas, aku malas mendengar hal-hal se-
macam itu." "Tetapi kau harus percaya bahwa aku benar-benar
sangat mencintaimu, Wik. Jangan membahas cinta de-
ngan logika. Kau terlalu realistis sih."
"Bukannya aku menyangsikan perasaanmu itu, Mas.
Tetapi ada baiknya kalau sesekali kau mempelajari pe-
rasaanmu kepadaku itu apakah benar-benar tulus.
Siapa tahu kau keliru mengartikannya."
"Apa maksudmu?"
"Aku cuma merasa yakin bahwa kau lebih mendapat
kepuasan biologis dariku dibanding Indah..." jawab Dewi
dengan pipi yang mulai merona merah. Rasanya dia telah
membicarakan sesuatu yang tak senonoh. "Dan karena-
nya timbul di hatimu rasa dekat, rasa akrab, dan rasa
mesra terhadapku sehingga menyangka itu sebagai cinta
sejati. Jelasnya, Mas, kau telah mem baur kan masa lah
kebutuhan isik dengan perasaan cinta."
"Jangan mengada-ada, Wik. Lagi pula, masa kau ti-
dak tahu bahwa tidak ada cinta tanpa hasrat. Te tapi
hasrat tanpa cinta, banyak."
Dewi terdiam, merasa tak ada faedahnya berdebat
dengan Puji. Karenanya dia pura-pura menguap sam bil
membalikkan tubuhnya, memunggungi Puji. Tetapi
laki-laki itu tidak suka dipunggungi. Tubuh Dewi di-
raih nya agar menghadap ke arahnya untuk ke mudian
di rengkuhnya ke dalam pelukannya. Kemudian dibelai-
http://pustaka-indo.blogspot.com248
nya rambut, leher, dan bahu Dewi. Sesekali bibir nya
mengecupi pipi dan dagu perempuan itu. Dewi ter-
paksa membiarkannya. Apalagi pikirannya le bih ter-
serap pada tujuan bicaranya tadi.
"Wik... balaslah pelukanku..." Puji berbisik di sisi
te linga Dewi "Pembicaraan kita belum selesai, Mas," sahut Dewi
setelah menarik napas panjang sekali.
"Pembicaraan apa lagi sih" Pokoknya, aku tidak
ingin berpisah darimu. Perceraian adalah sesuatu yang
tidak bisa kulakukan. Seperti yang kukatakan tadi, aku
mencintaimu. Hidup tanpa dirimu... sungguh tak bisa
kubayangkan betapa pahitnya itu," kata Puji.
"Mas, cobalah mengikuti pandanganku. Perkawinan
kita ini benar-benar tidak sehat. Semakin aku berpikir
bahwa aku berada dalam perkawinan poli gami, semakin
perutku terasa mual. Malu aku pada diriku sendiri...."
Pelukan Puji mengendur. "Mendengar perkataanmu, timbul dugaan di kepala-
ku kenapa tiba-tiba saja pikiranmu jadi aneh. Nah,
apakah timbulnya pikiran dan perasaan seperti itu ka-
rena perjumpaanmu kembali dengan Pramono?" gu-
mam nya kemudian. Alisnya bertaut.
"Semua yang telah kukatakan kepadamu tadi sama
sekali tidak ada kaitannya dengan Mas Pram," Dewi
menjawab tegas. "Kalau tidak, kenapa kau tiba-tiba bicara tentang
per pisahan" Jangan-jangan kau ingin kembali kepada-
nya?" Puji mulai menggeram.
http://pustaka-indo.blogspot.com249
"Jangan mengada-ada, Mas. Jangan ngawur," Dewi
membantah dengan keras. "Sudah kukatakan, apa yang
kukatakan tadi tak ada kaitannya dengan Mas Pram.
Bahkan memikirkannya pun, tidak. Semua itu ku kata-
kan semata-mata karena sekarang ini setelah anakmu
lahir, aku merasakan betul bahwa perkawinan kita ini
tidak baik untuk Indah dan anakmu. Kuharap, kau
me ngerti bahwa dalam hal ini aku benar-benar ingin
bersikap adil, ini gugatan dari hati nuraniku sendiri.
Jadi sekali lagi, Mas Pram jangan dibawa-bawa. Apalagi
barangkali saja sekarang ini dia sudah hidup bahagia
bersama istri dan anak-anaknya. Tak ada relevansinya
dengan kehidupanku."
"Tetapi sebelum bertemu kembali dengan dia, kau
tidak pernah berbicara seperti ini."
"Kuulangi ya, Mas, jangan bawa-bawa Mas Pram
dalam pem bicaraan kita karena tidak ada kaitannya
dengan dia. Bahwa sekarang aku mengungkit masalah
perkawinan kita, itu sepenuhnya merupakan luapan
dari kepenuhan isi hatiku yang sudah lama me nyimpan
masalah ini. Meskipun aku juga tidak me nyetujui
perceraian, tetapi selalu saja ada pengecualian beralasan
yang perlu dijadikan bahan per timbangan. Jadi, tidak
selalu perceraian itu buruk. Se ba lik nya, tidak selalu
pula mempertahankan per kawi n an itu baik. Apalagi
dalam kasus kita ini ter kait ke bahagiaan se orang bayi
yang di dalam proses per kembangan hidup nya nanti
pasti membutuhkan ke hadiran seorang ayah yang selalu
ada di rumah jika dia mencarinya."
"Kau bicara seolah perkawinan kita ini retak atau
http://pustaka-indo.blogspot.com250
yang semacam itu. Padahal hubungan kita selama ini
baik-baik saja." "Baik-baik saja itu menurut ukuran siapa" Bagiku,
perkawinan kita ini pincang. Padahal sebagai manusia
yang dianugerahi pikiran dan perasaan oleh Tuhan,
sedapat mungkin setiap langkah kakinya yang terayun
hendaklah merupakan arah perkembangan menuju pem-
baruan dan kesempurnaan yang lebih sempurna. Maka
di dalam proses perkembangan tersebut, apa yang se-
mula terselubung, mulai tersibak sehingga aku bisa me-
lihat apa yang mungkin disebut sebagai kebenar an. "
"Apakah kau hendak mengatakan bahwa kesem pur-
naan menurutmu itu akan tercapai dengan lancar apa-
bila kita berpisah?" tanya Puji dengan kekesalan yang
tak ditutupi-tutupi. "Aku hanya merasa hidupku akan lebih sem purna
jika tidak berada di dalam perkawinan poligami karena
tidak ada lagi yang menggugat hati nuraniku bahwa di
rumahmu yang lain ada istri dan anak yang lebih
membutuhkan kehadiranmu."
"Apakah perasaanmu tidak akan seperti itu andai-
kata istriku hanya dirimu seorang?" Puji mencoba
meng ajuk perasaan Dewi. "Oh, itu pasti, Mas."
"Dengan jawaban itu, apakah kau ingin aku men-
cerai kan Indah?" "Mas keliru lagi menafsirkan perkataanku. Sedikit
pun tidak ada keinginan di hatiku agar Mas mencerai-
kan Indah. Mas harus mengerti bahwa kehidupan yang
kita jalani sekarang ini adalah sesuatu yang sama sekali
http://pustaka-indo.blogspot.com251
berbeda dengan apa yang pernah kuangankan. Aku
telah kehilangan rasa bahagia. Bahkan rasa damai pun
tak ada lagi di hatiku. Namun mengingat apa yang kini
terjadi adalah suatu fakta yang harus dijalani karena
kita tidak mungkin memutar jam untuk kembali ke
masa-masa sebelum kau dan Indah berjumpa kembali,
aku harus mencoba untuk bertahan. Tetapi jika kau
ber maksud menceraikan Indah, maka aku akan menjadi
orang pertama yang paling menentangmu. Ingat itu.
Dengan kata lain, kalau kau ingin membenahi hidup-
mu dengan hanya seorang istri, akulah yang akan pergi
dari sisimu. " Puji terdiam mendengar perkataan Dewi yang di-
ucapkan dengan sepenuh perasaan itu. Kesempatan itu
dipakai oleh Dewi untuk menghentikan pembicaraan
yang menyebalkan itu. "Nah, selamat tidur, Mas. Aku ngantuk," katanya
sambil membalikkan tubuhnya kembali, membelakangi
Puji. "Tunggu sebentar, Wik. Pembicaraan kita masih be-
lum sampai pada titik mati," sahut Puji tergesa. "Aku
masih ingin mendengar penjelasanmu."
"Penjelasan yng mana lagi" Aku kan sudah mengata-
kan secara gamblang tadi bahwa aku ingin hidup dalam
damai. Kalau aku tetap bercokol di sini bersamamu,
sepertinya aku ini benar-benar tidak punya pe rasaan
dan tenggang rasa yang akan memasung proses ke-
sempurnaan pribadiku sendiri," sahut Dewi. "Itulah
sebenarnya yang membuatku merasa amat tertekan,
sebab Indah yang lebih dulu menikah denganmu dan
http://pustaka-indo.blogspot.com252
memberimu anak, seharusnya lebih berhak berada di
sisimu dan mendapat pengakuan dari ke luargamu.
Bukan aku." "Aku tidak ingin berpisah denganmu!"
"Itu namanya kau egois. Nah, mulai malam ini
cobalah pikirkan semua hal yang ku kata kan tadi.
Kuberi Mas waktu untuk itu." Usai berkata se perti itu,
Dewi mengambil guling dan memeluknya erat-erat.
Puji menarik napas panjang. Sekali lagi ia melihat
bahwa di balik kelembutan, kesabaran, pengendalian
diri, dan ketenangan yang selalu terlihat pada pe-
nampil annya, Dewi juga memiliki hati yang amat kuat
ber pegang pada prinsip-prinsip hidupnya, dengan ko-
mitmen yang kuat. Ah, perempuan yang sedang tidur membelakanginya
itu memang orang yang istimewa. Namun meskipun
kadang-kadang ia tak mampu mengikuti gerak dan ki-
prah nya, perempuan itulah yang sebenarnya ia inginkan
untuk menjadi istri tunggalnya.
http://pustaka-indo.blogspot.com253
DEWI menarik koper kecilnya dari atas lemari pa-
kai an dengan hati-hati, khawatir kalau-kalau ada debu
yang ikut turun dan lalu mengotori rambutnya.
Puji yang baru keluar kamar mandi dan mencukur
dagunya di sana langsung melemparkan pertanyaan ke-
tika melihat apa yang dilakukan Dewi.
"Mau pergi ke mana lagi?" tanyanya.
"Aku mendapat tugas menyertai tamu penting ne-
gara ke beberapa kota," jawab Dewi, masih dengan
perhatian pada kopernya. "Itu artinya kau juga termasuk orang yang penting,"
komentar Puji. Dewi meliriknya sejenak dengan sebal.
"Jangan suka mengejek," gerutunya, masih sambil
mem bersihkan debu dari kopernya. "Sebetulnya yang
ber tugas untuk itu Mbak Yanti. Tetapi tiba-tiba anak-
Sembilan http://pustaka-indo.blogspot.com254
nya panas tinggi sehingga tugas itu diberikan kepada-
ku." "Undangan resmi kok bisa diambil alih seenaknya
sendiri." "Undangan itu tidak ditujukan kepada seseorang.
Tetapi kepada kantor penerbitan kami. Siapa pun yang
akan bertugas, tidak masalah asalkan punya kapa sitas
untuk itu. Jelas?" "Berapa hari?" "Sekitar empat hari."
"Naik pesawat?"
"Tentu saja. Masa tamu negara disuruh naik kereta
api." "Lalu kapan kau akan berangkat?" Puji bertanya lagi
sambil mengabaikan nada jengkel yang mewarnai suara
Dewi. "Besok sore. Jadi aku akan berangkat langsung dari
kantor." Usai berkata seperti itu, Dewi mulai membuka
lemari dan memilih-milih pakaian yang akan dibawa-
nya. Puji masih memperhatikannya dan Dewi me-
nyadari itu. Belakangan ini Puji sering me ngatakan
sesuatu yang mengungkit kekesalannya. Seperti kakek
yang sedang nyinyir-nyinyirnya.
"Masih lama?" Laki-laki itu kembali bersuara.
"Apanya?" "Pekerjaanmu mengatur barang-barang yang akan
kau bawa itu. Aku lapar sekali," sahut yang ditanya.
"Makan dululah, Mas. Tadi kulihat Icih sudah me-
manasi sayur." "Aku ingin makan di luar."
http://pustaka-indo.blogspot.com255
"Dengan siapa?"
"Dari tadi menunggumu selesai mengatur isi koper-
mu masa aku akan makan dengan orang lain?"
Dewi tertawa. "Jawabanmu enak didengar telinga," gumamnya ke-
mudian. Puji ganti tertawa. Tetapi tawa yang masam.
"Itu karena belakangan ini kau sering membuat
tekan an darahku naik sampai ke ubun-ubun," sahutnya.
"Coba saja bayangkan bagaimana perasaanku. Tiba-tiba
saja kau mengambil koper dan mengisinya berlama-
lama dan mengatakan dengan tenang bahwa besok kau
akan pergi bertugas selama empat hari. Se olah bicara
tentang udara yang panas atau yang se macam itu. Lalu
selama kau pergi nanti, aku akan kau kemanakan?"
"Ya ampun, Mas, kok seperti anak kecil sih. Mas kan
bisa menjenguk anakmu. Kuhitung, sudah dua minggu
sejak kelahirannya, Mas belum menjenguknya lagi."
"Belum waktu gilirannya."
"Kau betul-betul keterlaluan, Mas. Di mana sih pe-
rasa anmu?" "Sudahlah, jangan bicara melebar ke mana-mana.
Malam ini aku ingin makan di luar bersamamu. Su dah
lama kita tidak keluar bersama."
Dewi meluruskan punggung. Meskipun enggan
keluar bersama Puji tetapi karena perutnya sudah lapar,
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajakan itu mulai menggodanya.
"Oke. Tetapi jangan jauh-jauh dan pulangnya jangan
malam-malam, ya?" "Oke." http://pustaka-indo.blogspot.com256
Suasana akrab selama mereka makan di luar hingga
kembali ke rumah lagi itu menimbulkan keinginan
Dewi untuk melanjutkan pembicaraan mereka bebe-
rapa malam lalu, yang belum menunjukkan kemajuan
apa pun. Tetapi Puji tidak memberinya kesempatan.
Begitu Dewi membaringkan tubuhnya ke tempat tidur,
begitu pula laki-laki itu menghujaninya dengan
cumbu an dan kemesraannya. Dewi tidak tega me-
nolak nya. Su dah beberapa kali ia menghindari ke-
intiman se macam itu. Siapa tahu pula, ini yang ter-
akhir kali. Dengan begitu, sampai Dewi berangkat ke
luar kota esok harinya, pembicaraan mengenai ke-
langsungan hidup perkawinan mereka, belum juga
dibahas. Apalagi begitu berada di dalam pesawat,
begitu juga masalah itu terpinggirkan.
Rupanya hanya ada beberapa wartawan yang men-
dapat undangan untuk menyertai kunjungan kerja
tamu-tamu penting itu. Tetapi justru karena hal itulah
pandangan Dewi langsung membentur sosok tubuh
Pramono di antara mereka. Lelaki itu sempat me-
lempar kan senyum lembutnya ketika pandang mata
mereka bertemu. Bahkan ketika mereka sudah berada
di pesawat, Pramono memilih duduk di sebelahnya.
Tidak banyak orang yang ikut dalam rombongan ini.
"Kita bertemu lagi, Wik," ujar Pramono. Sama
seperti sinar matanya, suaranya juga terdengar lembut
dan menenangkan. "Kali ini kita akan bersama-sama
selama beberapa hari."
Cepat-cepat Dewi mengusir pesona itu dari benak-
nya. Ia tidak ingin mengkhianati perkawinannya de-
http://pustaka-indo.blogspot.com257
ngan Puji. Sebelum jelas mau ke mana hubungan me-
reka nanti, ia tidak ingin memikirkan laki-laki lain.
"Ya. Dengan acara yang padat pula," sahutnya ke-
mudian. "Tetapi kelihatannya akan menarik. Ada banyak hal
yang bisa diliput. Terutama mengenai dampak kerusak-
an lingkungan yang berpengaruh pada kedaulatan dan
ketahanan pangan kita di daerah-daerah. Mudah-
mudah an orang-orang penting itu peka menangkap
ke benaran yang ada."
"Aku juga berharap begitu. Jangan memercayai be-
gitu saja laporan di atas kertas yang cuma ingin me-
nyenangkan para penggede dan tamu."
"Betul." "Mas, kalau nanti bidikan kameraku kurang bagus,
aku pinjam tanganmu, ya" Kadang-kadang aku masih
belum mampu menangkap objek secara pas."
"Pas apanya" Fokusnya, ketajamannya, atau apa?"
"Maksudku, objek yang bisa "bicara", sehingga kalau
nanti orang melihat fotonya, tanpa keterangan yang
jelas pun mereka tahu itu foto apa."
"Kau bisa mempelajarinya, Wik. Lamanya jam ter-
bang juga bisa menjadi arahan kita. Dengan kata lain,
pengalaman adalah guru kita."
"Ya. Tetapi kau juga bisa mengajariku, kan?"
Pramono tersenyum. "Untuk gampangnya, bidiklah semua objek yang bisa
bicara. Misalnya spanduk. Di situ kan tertulis tema,
waktu, dan siapa saja narasumbernya. Lalu segera me-
motret orang-orang yang sedang melakukan sesuatu
http://pustaka-indo.blogspot.com258
dengan hatinya. Bukan mereka yang jual tampang. Kita
bisa kok mempelajari ekspresi mereka. Dalam hal ini
perlu kepekaan penglihatan kita."
"Ya, aku mengerti. Melihat dan memperhatikan itu
berbeda, ya?" "Ya, memang." Pramono tersenyum lagi. "Jadi kita
mesti pandai-pandai membidikkan kamera."
"Pasti titik perhatian kita juga bisa berbeda."
"Ya, tentu saja. Tergantung concern kita. Dalam kon-
teks pembicaraan kita, tergantung pula pada apa yang
akan kita tulis dan apa misi majalah atau koran kita.
Begitu barangkali kan, Wik?"
"Ya." Dewi tersenyum manis, melirik sesaat ke arah
laki-laki yang duduk di sebelahnya itu. Senang hatinya
bisa berbicara sebebas itu dengan orang yang punya
minat dan bakat sama. Tak bisa disangkal. kebersamaan yang terjalin di
antara Dewi dan Pramono selama mengikuti rombong-
an tamu-tamu penting itu menyentuhkan kembali
kenang an mereka di masa lalu. Minat mereka sama.
Ilmu yang mereka geluti, sama. Sekarang, pekerjaan
yang mereka geluti juga sama. Semua itu mengingatkan
banyak hal yang pernah mereka alami di masa lalu.
Banyak kenangan di antara mereka yang sulit dihapus
dari ingatan. Saling berbagi, saling membantu, bahkan
saling mengkritik yang dulu pernah mereka alami,
sekarang terjadi kembali. Ada kedekatan dan pengerti-
an yang rasanya semakin kokoh dan se makin matang
seiring usia mereka. Namun mengingat zaman, situasi,
dan kondisi yang tidak sama seperti waktu itu, kedua-
http://pustaka-indo.blogspot.com259
nya sama-sama berusaha me nyembunyikan apa yang
mulai berkembang kembali di hati mereka. Apa yang
terjadi di masa lalu bukanlah apa yang terjadi sekarang.
Manusia tidak berjalan mun dur, bukan"
Aneh, memang. Keduanya tidak pernah bicara se-
patah kata pun mengenai letupan perasaan yang mulai
muncul di hati mereka. Menyinggung masa lalu mereka
pun tidak. Bahkan cenderung menyem bunyi kannya
agar jangan sekilas pun tersirat dari sikap dan mata
mereka. Namun jauh di lubuk hati, ke duanya sama-
sama mampu membaca bahasa yang tak terucap
maupun yang tersirat dari bahasa tubuh. Itulah rasa
yang hanya bisa ditangkap mata hati. Itulah yang
dibisikkan angin dan udara yang mengandung magnet
bahwa cinta di antara mereka dulu, kini masih ada dan
tak pernah mati. Kalau sudah demikian, baik Dewi
maupun Pramono selalu berusaha sedapatnya agar
jangan sampai tubuh mereka ber sentuhan kendati cuma
ujung jari. Sedapatnya pula jangan sampai mereka
berpandangan lebih dari dua detik karena tak mungkin
cinta itu bisa tetap tersembunyi di sudut hati yang
terdalam jika me reka bertatapan lama. Kebencian bisa
ditutupi dengan berbagai kemunaikan dan kepura-
puraan, tetapi cinta sejati, tidak bisa disembunyikan.
Mereka sangat menyadari hal itu.
Panjang dan pendeknya waktu yang berlalu memang
tergantung pada menit-menit yang berjalan. Tetapi
lama atau tidaknya perasaan saat melewati waktu yang
berlalu itu tergantung pada perasaan orang yang men-
jalaninya. Bagi orang yang putus asa, orang yang me-
http://pustaka-indo.blogspot.com260
nunggu sesuatu, orang yang sedang merasa jemu, empat
hari merupakan waktu yang sangat lama. Tetapi bagi
Dewi dan Pramono yang sama-sama sedang menikmati
dan menyerap kebersamaan di antara mereka, waktu
berlalu sedemikian cepatnya. Tahu-tahu saja mereka
harus berpisah di bandara. Di muka pintu taksi yang
akan membawa Dewi pulang ke rumah, Pramono ber-
diri dengan berat hati. Perih hatinya karena perpisahan
di antara mereka saat itu mengingatkannya pada per-
pisahan mereka ketika rencana lamaran batal dan be-
rantakan. "Aku akan mencetak rangkap semua hasil bidikanku,
Wik. Nanti mana-mana foto yang akan kupakai, akan
kuberi tanda sehingga kau bisa memllih yang lain.
Besok semua itu akan kukirim ke kantormu," katanya,
mencoba mengatasi perasaan perih itu.
"Terima kasih banyak ya, Mas."
Pramono tersenyum, menepuk lembut sesaat bahu
Dewi dan menyampaikan permintaan kepada sopir
taksi, "Hati-hati di jalan ya, Pak," lalu menutup pintu-
nya. Berada seorang diri di dalam taksi sesudah melalui
berbagai kesibukan, Dewi memiliki kesempatan untuk
merenungkan apa yang selama empat hari dilaluinya
ber sama Pramono. Tiba-tiba saja ia teringat pengakuan
Puji ketika menceritakan pertemuannya kembali de-
ngan Indah saat perempun itu menangis di bahunya
dan mencurahkan kesedihan, dicurangi kekasih baru-
nya. "Ketika bertemu kembali dengan Indah, aku seperti
http://pustaka-indo.blogspot.com261
me lihat gunung kebiruan menembus awan-awan di ke-
jauhan yang membuatku terbius ingin kembali ke sana
meskipun untuk sesaat," begitu pengakuan Puji waktu
itu. Sekarang, Dewi mulai mengerti apa maksudnya,
sebab itulah yang dirasakannya saat berada di dekat
Pramono selama beberapa hari ini. Ia ter pukau pada
keindahan gunung biru yang me nyentuh awan-awan
seputih kapas. Saat menatap tubuh kekar dan tangan-
tangan terampil Pramono yang sibuk meng abadikan
objek-objek yang akan me nunjang tulisannya, rasanya
ingin sekali ia berlari ke dalam pelukannya, seperti
yang dulu sering dilakukan nya. Ia juga tertegun saat
memandangi jemari Pramono ketika laki-laki itu
menulis, karena jemari yang sama itu pernah membelai
rambut dan pipinya yang berurai air mata atau meng-
gelitikinya ketika mereka dulu tenggelam dalam canda.
Gunung yang berada di kejauhan telah mengundang
Puji untuk kembali ke sana, begitu pengakuan laki-laki
itu. Tetapi gunung yang indah ternyata juga telah me-
ngecohnya. Saat ia mendekatinya dan yang tampak
hanya hutan-hutan lebat, barulah Puji sadar ia keliru
mengayunkan langkah dan sesal kemudian tak berguna.
Nasi yang telah menjadi bubur tak bisa diperbaiki.
Dewi menarik napas panjang. Pengalamannya ber-
sama Pramono berhari-hari itu berbeda dengan apa
yang dialami Puji. Ia dan Pramono tidak ber maksud
melangkahkan kaki untuk kembali menyusuri jalan
menuju gunung yang membiru itu. Mereka sama-sama
menyadari bahwa manusia berjalan ke depan dan terus
http://pustaka-indo.blogspot.com262
ke depan. Bukan mundur. Itu yang pertama. Ke dua,
mereka sama-sama menyadari adanya tanggung jawab
moral untuk menjaga agar tidak terjadi apa pun yang
bisa mengurangi nilai-nilai keindahannya. Maka apa
yang sebenarnya ada di hati, sepatah kata pun tidak
pernah terucap. Tidak pula tersirat. Namun justru
karena itulah seluruh kenangan masa lalu itu bagaikan
memasung hati dan pikiran Dewi untuk tetap
menyimpan Pramono di lubuk hatinya yang terdalam,
yang tak perlu diperlihatkannya kepada siapa pun.
Termasuk kepada yang bersangkutan. Dan yang ketiga,
ia harus tetap berkomitmen terhadap realita yang ada.
Tidak ada kata "seandainya" yang hanya akan memen-
jara kannya ke dalam mimpi-mimpi yang tidak akan ada
habisnya. Sesuatu yang tak ada manfaatnya.
Begitulah dialog batin Dewi di se panjang perjalanan-
nya sejak taksi yang ditumpanginya meninggalkan
Bandara Soekarno-Hatta. Penuh... penuh isi kepalanya.
Penuh... penuh isi dadanya.
Icih menyambut kedatangannya sebagaimana biasa.
Senang sekali ia melihat Dewi kembali. Dan sebagai-
mana biasanya pula, Dewi selalu memberikan oleh-oleh
untuknya. Bukan barang mahal, tetapi pasti berguna
bagi perempuan muda itu. "Kau selalu tampak senang setiap melihatku pulang
kembali ke rumah," katanya tertawa lebar sambil me-
nyerahkan barang-barang bawaannya. "Tetapi hari ini
kesenanganmu tampak berlebihan. Ada apa?"
"Icih kesepian, Den," Icih menjawab terus terang.
"Tidak enak sendirian saja di rumah."
http://pustaka-indo.blogspot.com263
"Bapak pergi?" "Ya. Begitu Den Wiwik berangkat, Bapak juga per-
gi." Dewi tersenyum. Sarannya agar Puji menjenguk
anak nya, diturutinya kendati ketika saran itu diucap-
kan nya, sikap laki-laki itu seperti acuh tak acuh.
Panggil an darah tak bisa diabaikan begitu saja.
Melihat Dewi tersenyum, Icih melongo heran. Se-
kali gus jengkel. Sabar betul sih majikannya ini.
"Den, kok masih bisa tersenyum sih" Padahal seperti
dugaan saya, Den Wiwik pasti yakin, Bapak pergi ke
rumah yang satu." "Tetapi aku maklum kok, Cih. Seandainya jadi dia,
aku pasti akan melakukan hal sama. Daripada kesepian
di rumah, kan?" "Sepanjang umur Icih, baru di dalam keluarga inilah
saya melihat istri yang begitu sabar, begitu pasrah, dan
begitu tenang menghadapi suami yang punya istri lain.
Bahkan masih bisa tersenyum seperti Den Wiwik.
Beda sekali dengan saya. Baru mendengar suami minta
izin Icih untuk menikah lagi, hati saya sudah seperti
terbakar api. Buat saya lebih baik bekerja sebagai pem-
bantu rumah tangga daripada tetap hidup sebagai istri-
nya. Yah... untungnya keputusan Icih tidak salah. Saya
senang sekali berada di tengah keluarga besar Den
Wiwik. Tetapi Den Wiwik kok bisa lho punya suami
yang punya istri lain. Kalau Ibu Sepuh, saya tahu
beliau menderita meskipun hal itu tidak pernah di-
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ucapkan atau diperlihatkan. Tetapi Den Wiwik..." Bi-
ngung, saya!" http://pustaka-indo.blogspot.com264
Dewi tersenyum lagi. Ditepuknya bahu Icih dengan
pemahaman yang amat kental.
"Aku harus merasa malu terhadapmu, Icih. Kau be-
rani menentang ketidakadilan yang dialami seorang istri
dengan meninggalkan suamimu tanpa persiapan apa
pun kecuali kesadaran untuk menunjukkan harga diri-
mu sebagai perempuan mandiri yang tak bisa dileceh-
kan. Sungguh, Cih. Aku mengatakan ini dengan tulus.
Aku tidak bisa berbuat seperti dirimu meski pun hatiku
sangat menginginkannya. Ah, kau pasti sudah tahu
mengenai hal itu," sahut Dewi penuh perasaan.
"Iya. Tetapi kalau saya jadi Den Wiwik, akan saya
tunjukkan kepada Bapak bahwa Den Wiwik bisa
mandiri, bisa mencari uang sendiri, bisa hidup tanpa
suami. Bisa pula menentukan masa depan sendiri. Di
dunia ini tidak cuma ada satu laki-laki kok."
Untuk kesekian kalinya Dewi tersenyum lagi. Alang-
kah enak memiliki pikiran yang sederhana dan lurus-
lurus saja seperti Icih. Kehidupan ini jadi bisa berjalan
tanpa liku-liku seperti yang sedang dialaminya sekarang
ini. "Den Wik, yang di sana kan sudah punya anak,
kenapa Den Wiwik masih tenang-tenang saja, tidak
ada usaha untuk segera memberi anak buat Bapak
supaya beliau mempunyai ikatan yang lebih kuat di
sini" Saya yakin, cinta Bapak lebih banyak buat Den
Wiwik karena saya hitung-hitung, paling lama Bapak
di sana hanya seminggu. Kecuali kalau Den Wiwik
sedang tugas ke luar kota seperti kemarin-kemarin ini,"
kata Icih lagi. http://pustaka-indo.blogspot.com265
Lagi-lagi pandangan yang sederhana dan lurus-lurus
saja. Kalau saja cara berpikirnya seperti Icih, barangkali
perkawinannya dengan Puji tidak terlalu gersang, tidak
ada yang mengungkit-ungkit hati nuraninya agar ber-
buat sesuatu demi menegakkan prinsip-prinsip hidup-
nya yang nyaris jatuh terkapar.
"Den Wiwik harus minum jamu-jamu penyubur.
Nanti Icih mintakan pada Ibu Sepuh," kata Icih lagi.
Tetapi Dewi memotong perkataan perempuan itu.
"Jangan lakukan itu, Cih. Sia-sia saja," katanya cepar-
cepat. "Aku memang benar-benar tidak ingin punya
anak saat ini." Icih menarik napas panjang.
"Kalau ada anak di rumah ini, Icih tidak akan ter lalu
kesepian seperti sekarang," gumamnya kemudi an.
Dewi memahami perasaan Icih. Seperti dirinya, Icih
biasa tinggal di rumah yang ramai. Selain, dia tidak
suka mengobrol tak jelas dengan pembantu-pembantu
rumah tangga para tetangga.
"Sabarlah, Cih. Atau kau ingin kembali ke rumah
Ibu?" "Ingin sih ingin, Den. Tetapi kasihan Den Wik ka-
lau saya tinggal." "Sudah, begini saja. Setiap pagi setelah mencuci
pakaian, kau ikut mobil Bapak dan kaulanjutkan de-
ngan kendaraan umum. Di sana kau bisa masak di
rumah Ibu. Siang atau sorenya, kau bisa kembali ke
sini sambil membawa masakan. Terserah padamu ba-
gai mana mengaturnya. Nanti kubuatkan kunci duplikat
untukmu." http://pustaka-indo.blogspot.com266
"Wah, usul yang bagus tuh, Den. Tetapi supaya
tidak buang ongkos... Icih tak usah ke sana setiap hari.
Paling-paling seminggu dua atau tiga kali saja."
"Terserah padamu, Cih. Tetapi kalau itu karena soal
ongkos, aku yang akan memberimu. Beres, kan?"
"Ya." Icih tertawa. "Tetapi saran saya tadi harap di-
pikirkan lho, Den." "Saran yang mana?"
"Den Wik harus mulai memikirkan soal anak."
Dewi hanya tertawa. Tetapi ketika Icih sudah kem-
bali ke belakang, tawa itu langsung lenyap. Dia tidak
ingin menjadikan anak sebagai pengikat cinta suami.
Sungguh tak ada nilainya. Anak adalah buah cinta.
Bukan pengikat hati suami atau semacam itu. Lagi
pula, bagaimana mungkin dia bisa punya anak kalau
setiap hari minum pil antihamil" Ia tidak ingin ada
anak-anak yang lahir di dalam rumah tangga yang
pincang seperti ini. Pengalaman masa kecilnya bersama
ketiga adiknya sangat tidak menyenangkan. Ada
semacam ketakutan kalau-kalau ayahnya akan me-
ninggal kan mereka untuk menetap tinggal bersama istri
keduanya. Ada rasa dinomorduakan karena ayahnya
tam pak lebih senang tinggal di sana. Sungguh, ada
banyak kecemasan, kesedihan, kekecewaan, dan ke-
marah an yang datang silih berganti setiap ia melihat
ayah nya pamit pada Ibu untuk mengunjungi istri
kedua nya. Cukup dirinya yang mengalaminya. Jangan
ada anak-anak yang lahir dari rahimnya kalau hanya
untuk hidup dalam situasi tak menyenangkan seperti
itu. http://pustaka-indo.blogspot.com267
Sore harinya setelah Dewi beristirahat selama satu
jam lebih di kamar, ia mengajak Icih jalan-jalan.
"Temani aku jalan-jalan, lalu ke supermarket, ya"
Catat apa saja yang sudah habis. Minyak goreng atau
sabun cuci pakaian, barangkali?"
"Den Wiwik juga... kesepian ya karena Bapak masih
ada di rumah sana?" "Nanti pulang kantor, Bapak akan pulang. Jadi tidak
ada urusannya dengan kesepian." Dewi menyeringai.
"Lagi pula kalaupun dia tidak pulang ke sini, ya biar
sajalah. Sekarang aku mau menyenangkan diri dulu."
"Den Wiwik aneh," gumam Icih. "Kok bisa lho
menghadapi suami begitu."
"Ya bisa saja, Cih." Dewi menyeringai lagi. "Nah,
cepatlah siap-siap, lalu cari taksi. Mumpung masih
sore." "Jangan-jangan cinta Den Wiwik pada Bapak... me-
nipis," gumam Icih sambil berjalan ke kamarnya.
"Eh, kamu itu... mengurusi hal-hal yang tak perlu...."
Meskipun menggerutu, hati Dewi tersentuh juga oleh
gumaman Icih. Kalau Icih saja bisa membaca suasana...
wah, gawat. Tetapi ah, buat apa memikirkannya" Lebih
baik sekarang bersenang-senang bersama Icih.
Di pertokoan yang mereka datangi, ada supermarket
besar sehingga sebelum masuk ke sana, Dewi mengajak
Icih jalan-jalan dulu. Uang saku yang diberikan pada-
nya selama bertugas, masih berlebih banyak. Karenanya
dia membeli sehelai blus dan kalung etnik yang serasi.
Usai membeli kedua barang itu, ia menoleh ke arah
Icih. http://pustaka-indo.blogspot.com268
"Mumpung di sini, kau membutuhkan apa, Cih?"
"Ah, buat saya sih cuci mata sudah cukup. Saya
tidak punya uang lagi setelah beli kalung emas bulan
lalu." "Aku tidak menanyakan uangmu sudah habis atau
belum, yang aku tanya apakah kau membutuhkan se-
suatu. Bedak, misalnya atau apa" Aku yang akan mem-
belikan untukmu." "Wah, nanti uang Den Wiwik berkurang. Jangan
boros lho. Kan kredit rumah belum selesai.."
"Lama-kelamaan sikapmu seperti Ibu, Cih," Dewi
menggerutu. "Kalau aku menawarimu, itu artinya aku
punya uang lebih biarpun tidak banyak. Percuma dong
aku kemarin lembur keluar kota sampai empat hari
kalau tidak dapat uang. Kamu itu masih muda lho,
Cih, jangan mengambil alih cara Ibu ber pikir. Ambil
saja kepintarannya memasak dan membuat kue."
"Iya... iya..." Icih tertawa geli. Dewi tidak pernah
marah sungguh-sungguh. "Saya mau dibelikan daster
yang murah-murah saja buat di rumah."
"Oke. Dari batik ya, biar adem. Apa lagi?"
"Itu sudah cukup, Den."
"Perlu pakaian dalam?"
"Mmmmh..." "Sudah, jangan ah mmh ah mmh. Ambil tiga potong
tuh, lebih murah." Selesai belanja, Dewi mengajak Icih makan.
"Sudah setengah tujuh, Cih. Perutku lapar."
"Di rumah ada lauk kok, Den. Masa makan di
luar?" http://pustaka-indo.blogspot.com269
"Di rumah ada rawon, tidak?" Dewi nyengir. "Kalau
tidak ada, kita makan di sini. Rawonnya enak lho."
Sambil tertawa pasrah, Icih mengekor di belakang
Dewi. Mereka makan nasi rawon komplet, termasuk
telur asin, lalapan taoge, sambal, dan perkedel kentang.
Usai makan, barulah mereka masuk ke supermarket.
Pertama-tama yang mereka masukkan ke kereta dorong
adalah minyak goreng, mentega, telur ayam, dan tepung
terigu. Icih ingin membuat kue. Kemudian gula pasir
dan isi roti. Sesudah itu barulah barang-barang lain
yang tidak terlalu dibutuhkan, tetapi perlu untuk
persediaan. Oleh karena itu setiap akan me masuk kan
barang ke troli, Icih menyenggol siku Dewi meminta
persetujuan. Kalau Dewi mengangguk, barang tersebut
langsung dimasukkan. Kalau mengerutkan dahi untuk
berpikir, Icih tidak akan mengambilnya. Dia tidak ingin
majikannya mengeluarkan uang terlalu banyak. Dewi
sering tertawa melihat ulah perempuan itu. Jadi dia
tidak mau lagi mengerutkan dahi untuk berpikir lebih
dulu karena yakin, apa yang ditunjuk Icih pasti di-
butuhkan. Ketika Icih minta persetujuan untuk membeli sirup
dan Dewi mengangguk, terdengar tawa lembut di
belakangnya. Tawa yang sudah di kenal nya. Oleh karena
itu lekas-lekas ia menoleh. Seperti dugaannya, di bela-
kangnya berdiri Ibu Pambudi, mertuanya. Perempuan
itu tertawa kepadanya. "Senang aku bertemu denganmu, Nduk," sapa pe-
rempuan itu setelah mencium kedua pipinya. "Lama
kalian tidak berkunjung ke rumah."
http://pustaka-indo.blogspot.com270
"Sibuk dengan pekerjaan, Bu. Tetapi akan kami
usahakan hari Sabtu nanti berkunjung ke rumah Ibu."
Dewi tersenyum manis. "Ibu dan Bapak sehat-sehat
saja, kan?" "Ya. Kami sehat-sehat saja tetapi rindu pada kalian."
"Hari Sabtu nanti kalau Mas Puji malas pergi, akan
kuseret dia. Tetapi, Bu, Ibu tidak usah repot-repot me-
nyediakan sesuatu lho. Nanti kami saja yang akan
mem bawakan buat Ibu dan Bapak. Ayam panggang
atau apa...?" "Tidak, Ibu mau masak sendiri biarpun tidak selezat
masakan ibumu. Jangan kaularang lho. Memasakkan
anak dan menantu tercinta masa tidak boleh." Ibu
Pambudi tersenyum sambil mencubit pipi Dewi. Nyata
sekali betapa sayang perempuan itu kepada sang
menantu. "Nah, kau ingin dibuatkan apa?"
"Bothok udang cabai hijau, Bu."
"Lho kok cocok dengan pikiranku. Kau ini punya
banyak persamaan selera denganku. Nah, apa lagi?"
"Terserah Ibu saja. Pokoknya ada bothok udangnya."
Dewi tersenyum. "Pilihlah satu macam lagi. Nanti sayurnya akan Ibu
pilihkan." "Ya sudah. Bagaimana kalau bandeng presto?"
"Cocok, cocok, Nduk. Nanti akan Ibu siapkan."
"Terima kasih, Bu." Dewi tersenyum. Kemudian ia
menoleh ke arah Icih. "Cih, Sabtu nanti kamu buatkan
puding karamel, ya" Mau kubawa ke rumah Ibu."
"Baik, Den." http://pustaka-indo.blogspot.com271
"Kalian pergi dengan siapa?" Ibu Pambudi mengalih-
kan pembicaraan. "Mana Puji?"
"Mas Puji... sedang... di rumah Indah..." sahut Dewi,
agak terbata karena merasa tidak enak. Dia tahu betul,
mertuanya tidak menyukai Indah dan merasa malu
terhadap keluarga Dewi karena keberadaan perempuan
itu. Tetapi, suara Dewi yang tersendat diartikan lain
oleh sang ibu mertua. Perempuan itu menatap wajah
Dewi dengan penuh perasaan.
"Sudah berapa hari dia di sana?" tanya perempuan
setengah baya itu. "Empat hari lebih."
Mendengar jawaban Dewi, Ibu Pambudi langsung
ter diam. Wajahnya tampak masam. Melihat itu, Dewi
me rasa tidak enak. Lekas-lekas ia mengganti pem-
bicara an. "Ibu ke sini dengan siapa?" tanyanya.
"Dengan Sonny. Entah ke mana anak itu."
Dewi melayangkan matanya ke sekitar mereka ber diri.
Dalam waktu singkat ia menemukan Sonny di ujung
lorong, tepat di muka deretan cokelat dan manisan.
Melihat itu, dia tertawa.
"Itu, Bu, Sonny sedang memilih cokelat. Seperti
anak kecil saja," katanya.
Ibu Pambudi juga tertawa.
"Sejak kecil sampai sekarang ya begitu itu. Suka
sekali cokelat," katanya kemudian. "Padahal baru
kemarin dulu kami menerima kiriman kue dari ibumu.
http://pustaka-indo.blogspot.com272
Kue yang banyak cokelatnya daripada tepungnya. Enak
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali, ada rasa kacang medenya pula. Ibumu memang
ahli betul menggoyangkan lidah orang. Kata Pipit, kue
seperti itu mahal sekali di toko kue. Dia ingin sekali
belajar membuat kue pada ibumu."
"Silakan belajar di sana, Bu. Pasti gratis." Dewi ter-
tawa. Pipit adalah adik Puji. "Asal jangan mengganggu
jadwal kuliahnya." Saat mereka mengobrol, Sonny mendekat sambil
membawa segenggam cokelat. Melihat keberadaan
Dewi, laki-laki itu menyapanya dengan gembira sekali
"Lama sekali kita tidak bertemu, Mbak. Sampai
kangen, aku. Mana Mas Puji?" sapanya.
"Mas Puji sedang menginap di tempat lain," jawab
Dewi apa adanya. Percuma saja menyembunyikan ke-
nyataan yang sudah sama-sama diketahui. "Aku hanya
berdua dengan Icih."
"Naik apa?" "Taksi." "Wah, kalau begitu nanti kuantar pulang ya," sambil
berkata seperti itu ia memasukkan cokelat-cokelat da-
lam genggamannya itu ke troli ibunya. "Ya kan, Bu?"
"Tentu saja kita harus mengantarkan kakakmu
pulang. Tetapi, apa tadi yang baru saja kaumasukkan
ke troli Ibu?" Sang ibu menertawakan ulah anak
lelakinya itu. Dewi juga menertawakan Sonny yang terkadang ma-
sih menunjukkan sikap kekanakan di antara sifat-sifat-
nya yang matang dan dewasa itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com273
"Coke lat yang kaupilih pasti yang mahal-mahal
harganya, kan?" godanya.
"Ada harga kan ada rasa, Mbak." Sonny menyeringai
lucu. "Kok belanja saja jauh-jauh ke sini sih, Mbak?"
"Iseng kok. Daripada bengong di rumah." Dewi
men jawab sekenanya dan baru sadar kalau perkata an-
nya bisa ditangkap lain oleh Sonny saat melihat pe-
muda itu terdiam dengan tiba-tiba. Karenanya lekas-
le kas dia menyambung bicaranya. "Lama kau tidak
ber kunjung ke rumahku, Son."
"Kapan-kapan aku akan ke sana. Boleh membawa
teman, kan?" "Tentu saja boleh. Laki-laki atau perempuan?"
"Pacar barunya, Wik," Ibu Pambudi menyela sambil
tersenyum. "Ah, Ibu. Nah, lanjutkan belanjamu, Mbak. Kalau
su dah selesai katakan saja. Aku akan mencari buah
dulu." Begitulah, sekitar seperempat jam kemudian mereka
keluar dari supermarket bersama-sama dan langsung
me nuju tempat parkir. Ketika sampai di rumah Dewi,
garasi rumah tetap kosong seperti ketika ditinggal tadi
sore. Puji masih belum pulang.
"Ibu dan Sonny makan malam di sini, ya?" usul
Dewi. "Asal tidak merepotkan, baiklah. Bagaimana, Cih,
tidak merepotkanmu, kan?" tanya Bu Pambudi kepada
Icih. "Tidak, Bu. Malah saya senang karena masakan saya
http://pustaka-indo.blogspot.com274
ada yang menghabiskan. Soalnya, tadi saya dan Den
Wiwik jajan nasi rawon di sana."
"Masak apa sih kau hari ini, Cih?" Dewi menyela.
"Sayur lodeh tempe, perkedel, tahu, dan empal,"
jawab Icih. "Wah, enak itu. Jauh-jauh mengantarmu pulang,
harus diberi makan enak dong," Sonny menyela sambil
tertawa. "Eh, Mbak. Aku tadi beli CD. Kucoba di
depan, ya?" "Silakan saja. "
"Sayurnya saya panaskan dulu?" Icih menyela.
"Ya, sekalian buatkan sambal terasinya ya, Cih,"
sahut Dewi. Kemudian kepada Ibu Pambudi ia berkata
dengan suara pelan. "Sambal terasi Icih enak sekali lho,
Bu." "Sudah bisa Ibu bayangkan. Pasti belajar dari ibumu.
Nah, Wik, sambil menunggu makanan siap, duduklah
di samping Ibu, sini."
Dewi menurut. Mereka duduk di ruang tengah yang
merangkap ruang makan, duduk bersebelahan di depan
televisi. "Wik, apakah sudah ada tanda-tanda isi di tubuh-
mu?" tanya Ibu Pambudi. Perempuan setengah baya itu
melirik sesaat ke arah perut Dewi.
"Belum, Bu," Dewi menjawab dengan pipi agak me-
rona merah. Rasa berdosa langsung menyelinap di
hatinya. "Ibu sudah ingin menimang cucu, Nduk."
Dewi menelan ludah. http://pustaka-indo.blogspot.com275
"Sebenarnya Ibu sudah punya cucu dari Indah,"
sahut nya. Ibu Pambudi mengerutkan dahinya sesaat. Lalu itu
matanya mulai meredup. "Cucu yang kudambakan adalah cucu yang kau lahir-
kan, Nduk." "Saya berterima kasih atas kasih sayang Ibu kepada
saya," sahut Dewi. "Tetapi Ibu juga harus menyadari
bahwa anak Indah adalah cucu Ibu, darah daging Mas
Puji. Apa pun yang telah dilakukan kedua orang tuanya
yang pasti masih membekaskan luka di hati Ibu, bayi
itu tidak ada sangkut pautnya. Dia benar-benar cucu
Ibu dan Bapak. Itu harus diakui, Bu."
Ibu Pambudi terdiam. Matanya mengawasi bibir
Dewi yang indah dan membentuk garis yang lembut
itu dengan penuh penghargaan.
"Kau memiliki hati yang lembut dan baik, Nduk,"
Ibu Pambudi memuji Dewi dengan penuh kasih. "Yang
kaukatakan tadi, benar. Tetapi hati Ibu masih terasa
berat untuk mengakui bayi yang keberadaannya tidak
melalui jalan yang benar itu sebagai cucu."
"Ibu tidak boleh berpikir seperti itu. Kasihan bayi
yang tak berdosa itu. Dia benar-benar cucu Ibu lho."
"Nduk, kalau Ibu mengakui bayi itu sebagai cucu
Ibu, itu kan artinya Ibu juga mengakui ibunya sebagai
me nantu Ibu. Itulah sebenarnya yang jadi masalah,"
jawab Ibu Pambudi lagi. "Akuilah dulu bayi itu sebagai cucu Ibu kalau belum
bisa menerima Indah sebagai menantu. Bukankah Ibu
sudah ingin menimang cucu" Mengharapkan cucu dari
http://pustaka-indo.blogspot.com276
saya... belum tentu kapan terpenuhi..." Suara Dewi ter-
henti di tenggorokan. Rasa bersalah semakin meng-
gelayuti hatinya. Kalau saja Ibu Pambudi dan keluarga
lainnya tidak menyayanginya, dan kalau saja Ibu
Pambudi tidak mengharapkan kehadiran cucu yang lahir
dari rahimnya, barangkali Dewi tidak akan terlalu me-
rasa bersalah seperti sekarang. Ibu Pambudi begitu
sayang dan baik kepadanya, tetapi Dewi lebih me-
menting kan perasaannya sendiri. Ia tidak ingin ada anak
yang dilahirkannya dari per nikahan poligami sang ayah.
Mendengar suara Dewi yang bergetar, Ibu Pambudi
mengira menantunya itu sedih karena per nikahan
poligaminya dengan Puji. Memikirkan hal itu, hatinya
bagai tersayat. Ia memahami betapa berat Dewi men-
jalani dalam perkawinannya dengan Puji. Ah, anak
kandungnya itu memang keterlaluan ter hadap Dewi.
Bagaimana bisa Dewi hamil jika hatinya tak pernah
damai" pikirnya. "Nduk, Ibu mengerti bagaimana perasaanmu. Me-
mang tidak mudah mempunyai madu. Tetapi jangan
biarkan hatimu tenggelam dalam kesedihan, sebab
barangkali saja itulah yang menyebabkanmu belum juga
hamil," katanya kemudian. Tangannya mengelus lengan
dan punggung Dewi. Dewi tidak ingin menanggapi perkataan yang rentan
mengungkit perasaan-perasaan yang tak menyenangkan
itu. Tetapi sang ibu mertua yang tidak mengetahui
pikir an Dewi, melanjutkan bicaranya.
"Puji memang keterlaluan," gumamnya. "Seandainya
saja Ibu tahu apa yang akan terjadi bersama Indah
http://pustaka-indo.blogspot.com277
waktu itu, Ibu-lah yang akan berdiri paling depan
meng adang langkahnya."
"Sudahlah, Bu, semuanya toh sudah terjadi. Waktu
tidak bisa diundur kembali. Ibu harus menerima itu.
Juga bayi yang lahir karena perbuatan Mas Puji. Jangan
mengingkari kehadir annya hanya karena perbuatan
orangtuanya. Kasihan bayi itu."
Ibu Pambudi menatap lagi wajah Dewi yang cantik
dengan penuh penghargaan dan kekaguman. Perempu an
ini sungguh cantik lahir dan batin, begitu ia ber pikir.
"Nduk, perempuan lain pasti akan memperdalam
jurang yang terbentang di antara mertuanya dengan
sang madu. Tetapi kau, Nduk, malahan seperti hendak
menjembataninya meskipun hatimu terasa sakit," kata-
nya dengan suara bergetar.
"Ibu, saya hanya ingin bayi itu tumbuh dengan
wajar dan dalam situasi yang memungkinkannya men-
jalani masa kanak-kanak dengan baik. Saya sudah
meng alami betapa pahit mengetahui ada istri lain
dalam kehidupan Bapak. Saya sudah melihat betapa
banyak pengorbanan Ibu yang terus berusaha agar
anak-anaknya tidak terlalu merasakan kekurangan
kasih seorang ayah. Saya juga pernah mengalami bagai-
mana sedihnya harus menyembunyikan kenyataan dari
orang-orang, berusaha menulikan telinga jika ada gosip
para tetangga mengenai kehidupan keluarga kami.
Pokoknya, Bu, ada banyak luka jiwa yang diakibatkan
perkawinan poligami Bapak. Nah, saya tidak ingin ada
bayi yang masih suci meng alami hal-hal yang pernah
saya alami bersama adik-adik saya."
http://pustaka-indo.blogspot.com278
Ibu Pambudi menggigit bibirnya. Beberapa tetes air
mata tergulir ke atas pipinya, yang segera diusapnya
dengan saputangan. "Kehidupan di dunia ini begitu pelik, begitu miste-
rius dan penuh dengan berbagai persoalan yang ter-
kadang membuat kita tertegun-tegun... mengapa begini,
mengapa begitu," katanya kemudian dengan suara ber-
getar. "Tetapi yang lebih pelik lagi adalah manusia-
manu sia yang melayari kehidupan itu. Mereka sering
me langkah ke arah yang keliru kendati tahu apa risiko-
nya.." "Ya..." Dewi mengangguk. "Tetapi sudahlah, Bu. Kita
tidak usah membicarakan hal-hal yang membuat pe-
rasaan kita jadi sedih. Sebaiknya kita makan dulu. Itu
Icih sudah memberi tanda, makanan di meja makan
sudah siap. Mari, Bu. Saya temani."
"Kau tidak ikut makan?"
"Saya kenyang sekali, Bu. Saya akan makan buah
saja. Kebetulan ada pepaya matang pohon." Usai ber-
kata seperti itu Dewi memanggil Sonny, mengajaknya
makan. "Son, makan dulu. Mumpung sayurnya hangat."
"Oke." Untunglah setelah Sonny bergabung dengan mereka,
suasana terasa lebih menyenangkan karena pemuda itu
termasuk orang yang kocak. Ada-ada saja yang diko-
men tarinya dengan lucu. Beda sekali dengan Puji,
kakak nya. Tetapi ketika acara makan telah usai dan
Sonny kembali lagi ke depan, suasana serius mulai lagi
mengudara di atas mereka.
"Wik, sebenarnya perasaanmu kepada Puji itu bagai-
http://pustaka-indo.blogspot.com279
mana?" tanya Ibu Pambudi begitu Sonny meninggalkan
mereka. "Katakan saja terus terang kepada Ibu, Nduk.
Apakah kau masih mencintainya?"
Untuk sedetik lamanya hati Dewi tersentak. Itulah
perasaan seorang ibu. Sedikit-banyak, hati keibuannya
pasti mempunyai keraguan terhadap perasaan Dewi
ter hadap anaknya. Pasti pula perempuan paro baya itu
sangat memprihatinkan kelangsungan hidup per-
kawinan sang anak. Merasa sedih memikirkan sang ibu mertua, Dewi
berusaha mengurangi keprihatinan Ibu Pambudi de-
ngan jawaban yang netral.
"Ya, Bu. Saya masih mencintainya..." sahutnya.
Jawab an yang tidak terlalu tepat, namun juga tidak
terlalu keliru. Meskipun sekarang perasaannya terhadap
Puji semakin menipis, cinta itu belum lenyap sepenuh-
nya. Meskipun ketika ia berang kat me masuki per-
kawin an dengan Puji ada api amarah dan ke kecewaan
yang sedemikian besar, kini setelah delapan bulan lebih
hidup bersama mengarungi ke hi dup an yang di penuhi
suka-duka ini, rasa akrab yang pernah dirasa kannya
terhadap Puji, belum hilang se penuhnya dari hatinya.
Bahkan ada semacam per sekutuan dan kebersamaan
yang terjalin karena banyak nya persoalan rumah tangga
yang harus mereka bicara kan dan atasi bersama. Misal-
nya mengenai per tambah an daya listrik atau tentang
cicilan rumah. Hanya kadang-kadang Dewi sebal jika
Puji mulai merayunya. Sebab selalu saja bayangan ke-
mesra an antara laki-laki itu dengan Indah, terbayang
olehnya. Sungguh otaknya tidak mampu memahami,
http://pustaka-indo.blogspot.com280
bagaimana Puji berulang kali menyatakan cinta keadan-
nya namun pada kenyataannya dia bisa bercinta dengan
perempuan lain. Seperti yang sudah diduganya, mendengar jawaban-
nya tadi, Ibu Pambudi tampak senang.
"Syukurlah, Nduk, kalau kau masih mencintai Puji.
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi berjanjilah pada Ibu agar kau mau tetap mem-
per tahankan perkawinan kalian. Rukun sampai kakek-
nenek. Jangan biarkan Indah menyela terlalu dalam di
antara dirimu dengan Puji. Jangan biarkan hati Puji
terlalu banyak berpaling padanya. Untuk itu, dia tidak
mempunyai hak," kata Ibu Pambudi sungguh-sungguh.
Dewi tidak berani menanggapi perkataan sang ibu
mertua. Melihat Dewi diam saja, Ibu Pambudi me-
natap wajah perempuan muda itu dengan cemas.
"Nduk, berjanjilah. Ibu tidak ingin melihat Indah
menjadi penting dalam kehidupan pribadi Puji dengan
adanya anak di antara mereka. Terus terang Ibu cemas
begitu mengetahui Indah telah melahirkan," kata nya lagi.
Dewi masih belum bersuara. Akibatnya Ibu Pambudi
menatap wajah Dewi lagi. Kini dengan perasaan se-
makin tak nyaman. "Wik, berjanjilah," katanya, mengulangi lagi per-
minta annya tadi. "Tanpa janjimu, Ibu benar-benar kha-
watir." "Bu, saya manusia biasa dengan banyak kekurangan,"
sahut Dewi setelah menarik napas panjang. "Buat saya,
mengucapkan janji hampir sama artinya dengan ber-
sumpah. Maafkanlah karena kejujuran saya ini. Sungguh
berat, kalau saya harus mengucapkan janji. Berat Bu...."
http://pustaka-indo.blogspot.com281
"Boleh Ibu tahu apa alasannya?"
"Bu, sejujurnya saya meragukan kekuatan fondasi
perkawinan saya dengan Mas Puji. Acap kali saya me-
rasa tidak punya masa depan. Membayangkan seperti
apa beratnya kehidupan ibu saya... apalagi saya juga
tahu bahwa Bapak pun merasa kehilangan rasa nyaman
karena rasa bersalah, hati saya sungguh merasa gamang,
Bu. Dengan kata lain, saya yakin Mas Puji juga punya
masalah perasaan seperti yang dialami Bapak. Karena
itulah saya sering meng alami tekanan batin. Sedikit-
banyak pasti saya menjadi beban Mas Puji."
"Kau terlalu perasa, Nduk," sergah Ibu Pambudi.
"Tidak, Bu. Yang saya katakan itu sangat ber alasan.
Ibu pasti ingat, perkawinan kami terjadi karena keter-
paksaan. Kedatangan Mas Puji untuk memasuki per-
kawin an kami waktu itu terbebani banyak hal. Panggil-
an keluarga, rasa tanggung jawab atas segala sesuatu
yang telanjur disiapkan, dan lain se bagainya. Kita tahu
pula kan, Bu, Mas Puji itu orang yang sangat me-
megang tanggung jawab. Menikah dengan saya adalah
sesuatu yang menurutnya harus dilaksanakan. Tetapi
belum tentu yang diinginkannya."
"Nduk..." Ibu Pambudi meraih tangan Dewi. "Jangan
berandai-andai..." "Saya tidak berandai-andai, Bu. Saya cukup peka
untuk menangkap sesuatu yang nyata ada di sekitar
kehidupan saya dan Mas Puji. Bukan hanya berandai-
andai. Bahkan sekarang ini saya mulai menangkap
keresahannya." "Keresahan apa?"
http://pustaka-indo.blogspot.com282
"Dugaan saya, berkaitan dengan ekonomi. Pasti ti-
dak mudah baginya membiayai dua rumah tangga.
Apa lagi ada bayi. Bu, seharusnya waktu itu kita tidak
boleh memaksa Mas Puji menikah dengan saya. Se-
mesti nya pula biar sajalah orang luar mau bilang apa
atau mengejek kita sekali pun... tetapi kehidupan ini
bisa terasa lebih ringan dilangkahi di waktu-waktu se-
lanjutnya. Sebab sekeras apa pun suara makian dan
gosip yang ada di luar, pasti lama-kelamaan akan ter-
henti juga dengan berjalannya waktu."
"Ah, sudahlah. Jangan memikirkan yang bukan-
bukan. Nah, mengenai keuangan, apakah hal itu sampai
mengganggu hubungan kalian?" Ibu Pambudi menyela
bicara Dewi. "Dari pihak saya, tidak. Barangkali Mas Puji yang
me rasa tidak enak karena saya tidak pernah minta
uang darinya. Saya selalu memenuhi apa pun kebutuh-
an rumah tangga ini tanpa banyak bicara."
"Bisa Ibu bayangkan. Dia terlalu tinggi menempat-
kan harga dirinya." Dewi tidak ingin menanggapi perkataan Ibu
Pambudi. Rasanya sudah terlalu banyak mereka mem-
bicarakan kehidupan rumah tangganya.
Tetapi rupanya Ibu Pambudi masih belum mau
berhenti. Ia masih belum puas bicara.
"Apa pun itu, Wik, Ibu tahu betul bahwa dia sangat
mencintaimu," katanya.
"Mas Puji juga berkata begitu kepada saya. Dia
men cintai saya dengan caranya sendiri, tetapi yang be-
lum tentu bisa saya terima...."
http://pustaka-indo.blogspot.com283
"Apa pun, kenyataan seperti itu bisa kaujadikan pe-
luang untuk merebut hati dan perhatian Puji dari
Indah. Jangan biarkan perempuan itu menguasainya."
Masih saja Ibu Pambudi dengan geliat pikirannya.
Dewi menghela napas panjang. Inti dari kata-kata
Ibu Pambudi hanya satu, ia ingin menjadikannya se-
bagai satu-satunya menantu. Indah tidak masuk hi-
tung an. Karenanya seperti Icih, perempuan paro baya
itu juga memberinya nasihat agar ia bisa merebut se-
luruh hati dan perhatian Puji. Memangnya, hati bisa
diperebutkan" "Bu, saya tidak akan merebut cinta dan perhatian
Mas Puji," sahutnya terus terang. Suaranya terdengar
tenang. "Saya tidak menyukai situasi yang penuh per-
saingan tak sehat. Kalau Mas Puji memang meng ingin-
kannya, biarlah Indah yang mendapatkan hati Mas Puji
sepenuhnya." "Kamu bicara seperti orang yang sedang putus asa,
Nduk." "Saya tidak putus asa, Bu," Dewi buru-buru mem-
bantah. "Saya hanya mencoba mendudukkan diri saya
pada tempat yang semestinya. Laki-laki dengan dua
istri, apalagi kariernya belum begitu mapan, pasti tidak
mudah dijalani. Itulah salah satu sebab saya memilih
bekerja. Zaman sekarang, mem biayai dan me mikirkan
satu rumah tangga saja sudah terasa berat."
"Nduk... apakah dengan kata lain... kau ingin mundur
dari kehidupan Puji... atau tepatnya... kau ingin berpisah
darinya?" tanya Ibu Pambudi terbata-bata.
"Bu, saya hanya ingin berpikir realistis, bahwa per-
http://pustaka-indo.blogspot.com284
pisahan di antara saya dengan Mas Puji, bukanlah
sesuatu yang mustahil terjadi."
"Tetapi tentunya masih ada jalan lain yang lebih
baik, kan?" "Itu pun tidak mustahil terjadi," sahut Dewi ber teka-
teki. "Kalau begitu, janganlah kalian bertindak gegabah
atau membuat keputusan tanpa berpikir matang lebih
dulu. Kalau perlu ajaklah kami atau orangtuamu untuk
ikut memikirkannya."
"Baik, Bu. Akan kami usahakan," jawab Dewi untuk
melegakan hati Ibu Pambudi.
"Dan satu hal lagi, berusahalah supaya kau bisa
lekas menimang anak. Ibu yakin, dengan kehadiran se-
orang anak, hubungan kalian berdua akan menjadi
lebih kokoh," kata Ibu Pambudi lagi.
Meskipun kepalanya mengangguk, di dalam hatinya
Dewi mengeluh. Rupanya mertuanya ini belum bisa
menangkap seperti apa perasaan nya sebagai anak yang
tumbuh di dalam perkawinan poligami orangtuanya.
Pikirannya hanya terpusat pada satu hal, perkawinan
Dewi dengan Puji harus tetap ber tahan!
Pembicaraan mereka berakhir ketika Sonny meng-
ajak ibunya pulang. Namun gaung pembicaraan itu
begitu membebani perasaan Ibu Pambudi sampai se-
malaman tidak bisa tidur. Pada puncaknya, perempuan
setengah baya itu menelepon Puji dan memintanya
mampir ke rumah sepulangnya dari kantor.
"Kemarin sore, Ibu bertemu dengan Wiwik di su-
per market. Bersama Sonny, kuantar dia pulang. Ke-
http://pustaka-indo.blogspot.com285
sempatan bagiku untuk mengobrol tentang banyak hal
bersamanya, sampai akhirnya menyinggung masalah
perkawinan kalian," katanya begitu Puji sudah ada di
hadapannya. "Apa yang dikatakannya?" Puji menyela, penuh rasa
ingin tahu. "Meskipun tidak dikatakan secara terang-terangan,
Ibu menangkap keinginannya untuk bercerai darimu."
Puji langsung terdiam. Berita itu memang bukan
be rita baru baginya. Tetapi ketika itu dikatakan oleh
ibu nya, ia tahu apa yang dikatakan Dewi ke padanya
bebe rapa waktu lalu bukan sekadar luapan emosi sesaat
belaka. "Tampaknya Dewi tidak bahagia, Pud. Kelihat annya,
lahirnya anakmu dengan perempuan lain itu membuat-
nya merasa sebagai orang luar," katanya.
"Dia terlalu perasa."
"Ya, kelihatannya begitu. Tetapi bagaimana dengan
dirimu?" "Kalau yang Ibu ingin ketahui mengenai perasaan,
saya masih sangat mencintainya, Bu. Saya tidak ingin
ber cerai darinya." "Syukurlah. Tetapi berbicara dari hati ke hati ber-
samanya menyebabkan Ibu semakin mengenalinya.
Antara lain, di balik kelembutan dan kehangatan diriya
terdapat kemauan yang sulit ditundukkan. Dia benar-
benar istimewa, Pud. Kombinasi yang menarik antara
pe rempuan modern yang maju dan pintar, dengan ke-
mampuan untuk menyerap dan menerapkan kearifan
http://pustaka-indo.blogspot.com286
budayanya sebagai orang Jawa. Kau harus bisa mem-
pertahankan dia sebagai istrimu, Pud."
"Itu pasti. Terutama setelah ada perempuan lain
sebagai pembanding."
"Apakah ibu anakmu tidak seperti Wiwik?" Ibu
Pambudi enggan menyebut nama Indah.
"Sangat berbeda."
"Tetapi kau mencintainya, kan?"
"Ya, meskipun tidak sebesar cinta saya kepada
Dewi." "Tetapi setelah dia memberimu anak, bagai mana
perasaanmu kepadanya?" Sang ibu masih me n cecarnya
dengan pertanyaan demi pertanyaan.
"Sejujurnya memang ada semacam kebersamaan dan
kedekatan di antara kami. Itulah sebabnya saya ingin
agar Wiwik dan saya segera punya anak juga agar
timbul kedekatan dan kemesraan yang lebih intens di
antara kami." "Tampaknya keinginanmu bertolak belakang dengan
keinginannya. Dewi masih belum bisa menghilangkan
ber bagai kenangan pahit masa kecilnya."
"Ya, saya tahu itu, Bu."
"Selain itu, ada banyak perkataan dan alasan-alasan-
nya yang kalau dipikirkan secara jernih, semuanya be-
tul. Dia orang yang realistis dan rasional. Meskipun
Ibu tidak ingin mendengarnya, tetapi argumentasinya
masuk akal." "Apa misalnya, Bu?"
"Tentang pemikirannya bahwa di dalam perkawinan
kalian berdua, tidak ada masa depan baginya. Baginya,
http://pustaka-indo.blogspot.com287
masa depanmu adalah bersama Indah, bukan dengan
dirinya. Seperti yang Ibu katakan tadi, dia merasa se-
bagai outsider." "Dia terlalu perasa, Bu. Kenapa mesti merasa se-
bagai orang luar?" "Tetapi bagaimana perkawinanmu dengan ibu anak-
mu itu" Apakah menurutmu lebih memiliki masa de-
pan dibanding perkawinanmu dengan Wiwik?" tanya
Ibu Pambudi penuh rasa ingin tahu.
"Aduh, Bu. Jangan menanyakan hal-hal yang sulit
dijawab." Puji mulai menunjukkan tanda-tanda kelelah-
an hatinya. Sang ibu menatap tajam wajah Puji. Ia mulai me-
nangkap keletihan di sekitar mata putranya.
"Apakah ada sesuatu?" tanyanya. "Ibu menangkap
keletihan di wajahmu."
"Anak saya semalam panas, Bu. Semalaman rewel
sehingga saya kurang tidur. Air susu Indah juga kurang.
Mungkin perlu tambahan susu botol."
Ibu Pambudi terdiam sesaat, mulai me ngerti meng-
apa Dewi merasa berada di luar pagar. Sebagai ibu
kandung Puji sendiri pun, ia mengalami hal sama.
Kehidupan Puji bersama Indah terasa asing baginya.
"Kelihatannya kau mulai lelah punya dua rumah
tangga," katanya, lama kemudian.
Sekarang ganti Puji yang terdiam. Bagi Ibu Pambudi,
itu kesempatan baginya untuk memancing apa yang
sebenarnya Puji rasakan. "Pud, mungkin ada baiknya kalau kau mau me-
mikir kan keinginan Wiwik untuk berpisah denganmu,"
http://pustaka-indo.blogspot.com288
pan cingnya. "Dengan begitu kau bisa lebih memfokus-
kan perhatian pada istri dan anakmu yang lain itu."
"Tidak, Bu. Saya tidak akan berpisah dengannya!"
Puji menjawab cepat. "Kalau begitu, bagaimana dengan istrimu yang lain
itu" Tidak adakah keinginan dalam hatimu untuk men-
ceraikannya demi mengkokohkan pernikahanmu de-
ngan Wiwik?" "Tidak bisa, Bu. Saya harus memperhitungkan
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keberadaan Priska." "Kau egois, Pud." Ibu Pambudi mulai ke sal. "Kau
bisa kena getahnya sendiri. Bagaimana kalau Wiwik
punya anak, apakah kaupikir akan mudah bagimu
membagi hati, waktu, tenaga, dan materi untuk mereka
semua" Semakin lama, akan semakin timbul banyak
masalah yang membuat dirimu akan berada di simpang
jalan. Anak yang di sana sakit, misalnya. Lalu anak
yang di sini perlu uang untuk se kolah... dan seterusnya
lagi." "Ah, Ibu. Perkataan Ibu membuatku semakin le-
lah...." "Ya sudah, makanlah dulu kalau begitu. Ayahmu
sudah makan. Setelah itu pulang dan istirahatlah," sa-
hut sang ibu. "Hari ini giliran rumah yang mana?"
"Sebetulnya harus pulang ke rumah utama. Tetapi
saya tidak tega meninggalkan Priska yang masih panas
meskipun tadi sudah dibawa ke dokter."
"Kau sudah mengatakannya kepada Wiwik?"
"Sudah, Bu. Malahan dia yang menyuruhku ke
rumah Indah." http://pustaka-indo.blogspot.com289
"Wiwik yang baik... Wiwik yang malang," gumam
Ibu Pambudi. "Ibu, jangan membuatku merasa bersalah," pinta Puji
letih. Ibu Pambudi terdiam. Dibiarkannya Puji makan se-
mentara dia sendiri mengambil pisang dan menemani
di meja makan. Ketika Puji pamit pulang, diantarkan-
nya sampai ke mobilnya. "Pud, mungkin sekarang kau masih enggan memikir-
kannya. Tetapi nanti kalau hatimu sedang ringan, coba
pikirkan semua yang Ibu bicarakan ber samamu tadi.
Benar-benar tidak mudah punya dua rumah tangga.
Jalan hidupmu masih panjang. Nah, apa kah jalan yang
masih panjang itu harus kauisi de ngan berbagai hal
yang akan membuat kepalamu se makin pusing?"
Puji hanya mengangguk agar sang ibu tidak me-
lanjutkan bicaranya. Tetapi di jalan, pikirannya semakin
penuh. Ia sadar betul apa yang dikatakan ibunya tadi
benar. Sandainya pun ia mampu mem berikan ke-
mewah an bagi dua rumah tangga, masalah nya tidak
akan berhenti di situ karena tidak semua hal bisa di-
selesaikan dengan materi.
Dengan berbagai pikiran itulah Puji melajukan
mobil nya. Tahu-tahu ia sudah berada di halaman
rumah tempat Wiwik tinggal. Padahal menurut ren-
cana nya, ia akan ke tempat Indah. Merasa kepalang
ba sah, ia turun untuk mengambil sesuatu yang mung-
kin akan dibutuhkannya di sana.
Melihat Puji pulang ke rumah, Dewi menyapanya.
"Lho, kok pulang ke sini?"
http://pustaka-indo.blogspot.com290
"Tidak boleh?" Puji menjawab ketus.
Dewi melirik Puji. Tidak biasanya Puji berkata tak
enak seperti itu. Pasti laki-laki itu sedang lelah dan
kurang tidur. Anaknya yang masih bayi, sakit. Tetapi
Dewi tidak suka membiarkan keadaan seperti itu.
"Mas, kalau kau mau menemani anakmu, pergilah
ke sana," katanya dengan suara lembut. "Aku tidak apa-
apa. Tetapi sebelum pergi mandilah dulu. Akan ku-
masakkan air. Biar hilang lelahmu."
Hati Puji tersentuh. Hatinya yang resah langsung
terasa ringan. Dewi memang benar-benar perempuan
yang penuh pengertian. "Asal tidak merepotkanmu, aku mau mandi air pa-
nas." Laki-laki itu tahu, Icih sudah beristirahat di
kamarnya. "Oke. Sesudah itu, makanlah. Baru pergi ke sana."
"Aku sudah makan."
"Kalau begitu, bawa buah, ya" Kebetulan aku tadi
beli jeruk. Bawa saja semuanya ke sana. Jeruknya ma-
nis." Suara Dewi terdengar menenangkan.
"Terima kasih."
Selama Puji mandi, Dewi masuk ke kamar depan
yang sekarang dipakainya untuk ruang kerjanya.
Semalam ia sudah menyelesaikan artikelnya sampai
larut malam dan tadi siang di kantor, ia mendapat
kirim an setumpuk foto dari Pramono yang dititipkan
pada seorang teman. Sekarang Dewi mulai melihat foto-
foto itu dengan menebarkannya di meja kerja untuk
memilih mana yang cocok untuk arti kel nya.
Di antara foto-foto itu terdapat foto-foto pribadi
http://pustaka-indo.blogspot.com291
ha sil jepretan Pramono. Ada Sundari, teman sesama
wartawan yang duduk merangkul bahunya di bawah
pohon besar. Ada yang beramai-ramai dengan warta-
wan lainnya saat menikmati suguhan makan siang.
Pramono juga ada di dalam foto itu berdiri di dekat-
nya. Foto itu hasil jepretan teman Pramono dengan
kamera miliknya. Sedang bekerja, Icih masuk dengan membawa se-
gelas jamu beras kecur. Sudah beberapa hari ini Dewi
min ta dibuatkan jamu tersebut. Jamu yang mengan-
dung khasiat melemaskan otot-ototnya yang pegal.
"Ini Den, jamunya," Icih berkata sambil meletakkan
jamunya di meja kecil di dekat meja tempat Dewi be-
kerja. "Terima kasih, Cih. Mudah-mudahan pegal-pegal
badanku cepat pulih."
"Pasti manjur, Den. Ibu Sepuh yang memberikan
resepnya." Dewi mengangguk, masih sambil menaruh perhati-
an nya pada foto-foto yang tersebar di meja. Icih mem-
perhatikannya sejenak, lalu keluar. Tetapi tak be rapa
lama kemudian, Puji ganti masuk. Laki-laki itu sempat
melihat Icih ketika perempuan itu masuk ke ruang
kerja Dewi sambil membawa segelas jamu. Se telah
mandi air panas dan merasakan kemanisan suasana
yang diberikan Dewi, pikirannya mulai lari ke mana-
mana. Maka diteleponnya Indah untuk menanya kan
keadaan anak mereka. Ketika mengetahui panasnya
sudah turun dan ada adik sepupu Indah menginap di
sana untuk menemaninya, dibatalkannya rencananya
http://pustaka-indo.blogspot.com292
untuk menginap di sana lagi. Syukurlah, Indah me-
ngerti karena Puji telah berlama-lama di sana ketika
Dewi sedang bertugas. Padahal bukan hari-hari
gilirannya. "Sibuk ya, Wik?" Puji menyapa Dewi begitu ia ber-
ada di dekat Dewi dan berdiri di belakang perempuan
itu. "Ya, aku sedang melengkapi tulisan mengenai per-
jalanan mengikuti tamu negara kemarin itu," jawab
Dewi, masih dengan perhatian penuh pada pekerjaan-
nya. "Kok belum berangkat ke sana, Mas?"
"Aku baru saja menelepon Indah. Katanya, suhu
tubuh Priska sudah berangsur normal. Jadi aku tidak
jadi pergi ke sana. Apalagi sepupunya sedang menginap
di sana," jawab Puji.
"Sudah dibawa ke dokter?"
"Sudah tadi pagi."
"Syukurlah." "Wik, aku sudah mengantuk," Puji mengalihkan
pem bicaraan. Dia ingin agar Dewi menghentikan pe-
kerja annya dan berangkar tidur bersamanya.
"Tidurlah, Mas. Kau tampak lelah."
"Aku ingin kautemani, Wik."
"Tidurlah dulu. Pekerjaanku belum selesai," Dewi
menolaknya. Bukan hanya karena dia tidak ingin ber-
mesraan dengan Puji, tetapi terutama karena pikir an-
nya masih tersangkut pada pekerjaannya.
Puji tidak memedulikan perkataan Dewi. Tangannya
memeluk bahu perempuan itu dari belakang sambil
menciumi rambutnya yang harum. Gairahnya mulai
http://pustaka-indo.blogspot.com293
meningkat saat mencium aroma hair tonic dari rambut
perempuan itu. Lebih-lebih ketika melihat gelas kosong
bekas jamu di dekatnya. Pikirannya lang sung mengem-
bara ke mana-mana. "Wik... ayolah temani aku tidur," bisiknya sambil
membelai lengan Dewi. "Mas, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku dulu.
Tak sampai satu jam lamanya, pasti selesai. Masuklah
ke kamar dulu, nanti kususul."
"Berikan waktumu seperempat jam saja untukku.
Nanti kau bisa melanjutkan pekerjaanmu tanpa ku-
ganggu-ganggu lagi," bujuk Puji.
"Tidak, Mas. Kalau kuhentikan pekerjaanku, pasti
akan memengaruhi suasana hatiku. Jadi, sabarlah."
"Sebentar sajalah, Wik. Mau, ya?" Sambil berkata
seperti itu Puji terus menciumi tengkuk Dewi untuk
ke mudian tangannya merambat ke depan, mulai mem-
buka kancing blus yang dikenakan Dewi.
Dewi mengertakan kuat-kuat. Kesal hati nya. Dia
tahu sebabnya. Indah masih belum boleh mem berinya
kemesraan. Bayinya belum empat puluh hari usianya.
Tetapi itu bukan alasan untuk menuruti keinginan
Puji. Apalagi dia bukan menolaknya, tetapi hanya me-
nunda. "Aku sedang bekerja, Mas. Bersabarlah sebentar saja.
Aku..." Belum selesai bicara Dewi, tangan Puji yang mulai
nakal itu tiba-tiba terhenti. Matanya menatap tajam ke
arah foto-foto yang tersebar di meja Dewi. Dia melihat
http://pustaka-indo.blogspot.com294
ada foto Pramono sedang berdiri di dekat Dewi sambil
tersenyum lebar. "Itu Pramono, ya?" tanyanya kemudian. Suaranya
yang sengau dan ketus tak enak didengar.
"Ya. Ternyata dia juga mendapat tugas yang sama
dari kantornya," Dewi menjawab kalem. Untuk apa
menyembunyikan kenyataan. Sama sekali dia tidak
menyangka akan bertemu dengan Pramono di dalam
tugas yang sama. "Jadi, kalian bertugas di tempat dan waktu yang
sama?" "Ya." "Senang sekali, tentunya. Berhari-hari bisa berduaan.
Jangan-jangan kepergian itu sudah direncanakan se-
belumnya?" "Mas, jangan ngawur. Bagaimana mungkin tugas se-
perti itu kami rencanakan" Kepergianku kan untuk
menggantikan Mbak Yanti. Lagi pula, aku dan Mas
Pram sama-sama tidak tahu kami akan ber temu dalam
tugas yang sama. Jadi jangan meleceh kan ku. Apa pun
yang terjadi di dalam perkawinan kita, aku masih
menghormati lembaga yang menyatukan kita sebagai
suami-istri. Tidak mungkin aku akan melaku kan hal-
hal yang bisa merusaknya."
"Lalu apa artinya ini?" Sambil berkata seperti itu
Puji menunjuk ke arah foto Pramono yang tersenyum
lebar di samping Dewi. "Artinya ya biasa saja. Kami kan foto bersama-sama
dengan wartawan lainnya. Jadi bukan hal yang isti-
mewa," jawab Dewi semakin sebal.
http://pustaka-indo.blogspot.com295
"Bohong. Wajah kalian tampak bahagia."
"Terserah apa pun penilaianmu, Mas. Malas aku
mengurusi hal-hal tak berguna seperti itu."
"Lalu kenapa kau enggan kuajak tidur" Dan untuk
siapa jamu yang kauminum itu" Untuk Pramono?"
"Pikiranmu kotor, Mas!" bentak Dewi, mulai marah.
"Apakah kaupikir di dunia ini cuma ada satu macam
jamu?" "Jangan membentakku!"
"Kenapa" Karena kau laki-laki yang harusnya
membentak dan bukannya dibentak oleh perempuan?"
"Karena aku suamimu."
"Itu kan sekarang" Besok atau lusa, mungkin saja
kita sudah bukan suami-istri. Apa kau lupa tentang
pem bicaraan kita beberapa hari lalu?" Karena dorongan
amarah, perkataan Dewi tak lagi terkontrol.
"Tidak akan ada perceraian, Wik. Dengar, aku tak
akan bercerai denganmu. Biar saja Pramono me-
nunggumu sampai bungkuk!" Usai berkata seperti itu,
Puji keluar ruang kerja dengan langkah lebar-lebar.
Dan sebelum Dewi mampu berpikir apa pun, pintu
ruang kerja itu dibantingnya kuat-kuat, meninggalkan
suara berdebum yang keras.
http://pustaka-indo.blogspot.com296
"DEWI, ada telepon untukmu,?" kata Dini dari
balik layar monitornya. "Mungkin dari suamimu."
Dewi memejamkan matanya sejenak. Sejak pagi,
ponselnya ia matikan. Entah mau apa Puji me nele-
ponnya. Sudah beberapa hari ini hubungan mereka
terasa tegang. Tetapi dugaan Dini dan Dewi me leset.
Telepon itu bukan dari Puji, melainkan dari Pramono.
"Sedang sibuk ya, Wik?"
"Kesibukan kan bagian dari kegiatan manusia," Dewi
menjawab riang. "Tumben meneleponku?"
"Tidak boleh, ya?"
"Ya. Tak boleh tidak."
Pramono tertawa mendengar jawaban Dewi.
"Aku cuma mau mengucapkan selamat kepadamu.
Artikelmu bagus sekali. Orang yang membacanya
dengan mudah bisa membayangkannya. Bahkan bagi
pembaca yang memiliki kepekaan, seakan ikut di dalam
Sepuluh http://pustaka-indo.blogspot.com297
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rombongan itu. Selain itu, hasil bidikanku boleh juga
ya, Wik?" "Merasa ikut berjasa ya, Mas?"
Pramono tertawa lagi. Kemudian dilanjutkan dengan
pertanyaan, "Apakah suamimu ada di rumah malam
ini" Maaf kalau pertanyaanku tidak sopan."
"Dia sedang tugas keluar. Tahu kan apa yang ku-
maksud?" "Tahu betul. Sampai kapan?"
"Sampai lusa. Kenapa sih kau bertanya sesuatu yang
tak ada relevansinya dengan yang kita bicarakan tadi?"
"Aku hanya ingin tahu saja karena aku ingin meng-
ajakmu menemaniku ke ulang tahun perkawinan ke-
sepuluh seorang teman baikku," jawab Pramono. "Kalau
ada suamimu, tentu tak enak rasanya. Bukannya mau
selintat-selintut di belakangnya, tetapi untuk menjaga
ke tenangan. Persahabatan antara laki-laki dan pe-
rempuan sering dicurigai sebagai hubungan lain."
Jantung Dewi berdebar-debar. Apakah perasaannya
terhadap Pramono hanya sebagai sahabat" Apakah
Pramono menganggap pertemanan mereka sebagai per-
sahabatan saja" Siapa di antara mereka yang munaik"
Ah, rasanya mereka berdua sama-sama munaik. Dewi
tersenyum masam sendiri. "Terus terang ajakanmu membuatku merasa aneh.
Memangnya istrimu sedang ke mana, Mas?"
"Istriku" Apakah aku pernah bercerita kepadamu
bahwa aku sudah punya istri?"
Dewi tertegun mendengar jawaban Pramono. Tokoh
istri Pramono itu memang hanya ada di dalam kepala-
http://pustaka-indo.blogspot.com298
nya. Dan dalam pembicaraan selama ini, tak pernah
sekali pun mereka menyinggung masalah ter sebut.
Tetapi begitu mengetahui kenyataan yang ada, hati
Dewi bersorak-sorai tanpa bisa ditahan. Tetapi hanya
sebentar. Superego di hatinya menjewer telinganya
keras-keras. Tak semestinya rasa gembira semacam itu
menguasai di hatinya. "Bagaimana dengan kekasih atau mungkin juga calon
istrimu, Mas?" tanyanya lagi, memancing.
"Kalau aku punya kekasih atau calon istri, pasti aku
tidak akan mengajakmu menemaniku. Itu alasan ku
yang pertama. Alasan kedua, pergi denganmu akan
mem buatku merasa aman. Pergi dengan teman pe-
rempu an lain, akan menimbulkan dugaan yang bukan-
bukan. Baik dari yang bersangkutan sendiri mau pun
dari pandangan orang. Nah, tahu kan sekarang apa
alasanku?" "Baiklah, kalau begitu. Ajakanmu boleh juga," sahut
Dewi sesudah menimbang baik-baik. "Jadi ajak anmu,
kuterima. Ada baiknya juga, sekalian kau meng hibur
istri kesepian." "Wiwik!" "Ah, serius amat. Aku kan hanya bercanda."
"Jangan suka bercanda yang tak enak didengar, Wik.
Nah, sebaiknya kau kujemput jam berapa nanti di
rumah mu?" "Setengah tujuh dari rumahku, bisa?"
"Siap. Tetapi, akan kena sorotan dari tetangga atau
tidak, Wik?" "Soal itu aku tidak tahu. Tetapi untuk apa dipikir-
http://pustaka-indo.blogspot.com299
kan" Biarkan sajalah anjing menggonggong, kailah
ber lalu. Anjing yang sedang menggonggong kan tidak
bisa menggigit." "Bagus kalau kau berpikir seperti itu. Baik, nanti
jam setengah tujuh kau pasti sudah ada di dalam
mobil ku. Setuju?" "Siap, Pak." "Terima kasih banyak, Bu."
Dewi tertawa sambil meletakkan gagang telepon.
Sungguh menyenangkan dapat bercanda di sela-sela
ke sibukan dan hilangnya rasa nyaman yang dialaminya
be lakangan ini. Sikap Puji terhadapnya semakin men-
jengkelkan. Caranya berbicara dan ucapan-ucapannya
seperti mau menunjukkan kepada dunia bahwa Dewi
miliknya. Milik yang dikuasainya sehingga tidak boleh
disinggung orang lain. Tidak boleh pula me mikirkan
kepentingan orang lain. Meskipun hatinya jengkel, sikap Puji yang seperti itu
masih bisa dihadapi Dewi tanpa ribut-ribut. Tetapi
ketika foto-foto yang ada sosok Pramono di sobek-
sobek, Dewi mulai memper lihatkan kemarahannya.
Bukan karena Pramono-nya, namun karena Puji telah
merusak milik pribadi se se orang. Kebetulan saja
seseorang itu adalah dirinya. Maka sejak saat itu
hubungan mereka se makin tegang. Api amarah mudah
menyala di antara mereka dan membanting pintu bagi
Puji juga menjadi kebiasaan barunya yang menjengkel-
kan Dewi. Memangnya pintu-pintu itu salah apa"
Sore itu setelah mengadakan janji dengan Pramono,
Dewi pulang ke rumah disambut kejutan yang me-
http://pustaka-indo.blogspot.com300
nyenangkan. Ibunya mengirim tar indah yang pasti
amat lezat rasanya. Ayahnya menghadiahi sebuah
gelang emas. Dan ketiga adiknya mengirim sekeranjang
buah. Ibu mertuanya mengirim sehelai batik halus
untuk dibuat gaun. Sedangkan Sonny dan adik-adiknya
mengirim rangkaian bunga yang indah.
"Siapa yang membawa semua ini ke sini, Cih?" ta-
nyanya kepada Icih. "Dari rumah besar, semua itu dibawa Pak Dul." Pak
Dul adalah sopir ibunya. "Dari Ibu Pambudi, dibawa
Mas Sonny dengan motor."
"Aduh, kasihan sekali. Kausuguhi apa, dia?"
"Es sirup dan kue-kue yang kita bawa dari rumah
Ibu Sepuh beberapa hari yang lalu. Malah sisa puding
yang di lemari es dia habiskan."
Dewi tertawa. Sonny memang suka sekali camilan.
Untungnya pemuda itu suka sekali olahraga. Kalau
tidak, pasti badannya jadi gemuk. Atau mungkin malah
sebaliknya, karena suka olahraga maka tubuhnya mem-
butuhkan tambahan kalori sebagai pengganti energi
yang telah dikeluarkannya.
"Oh ya, Cih, malam ini aku tidak makan di rumah.
Jadi kau tidak usah mengatur meja makan, ya," katanya
kemudian. "Ada pesta?" "Ya. Diajak Mas Pram."
Icih menatap wajah Dewi dengan tajam. Melihat itu
Dewi langsung mengerti apa yang ada di kepala pe-
rempuan itu. "Cih, sudah beberapa kali aku bertemu dia di suatu
http://pustaka-indo.blogspot.com301
acara karena ternyata dia sekarang juga bekerja sebagai
wartawan seperti aku. Maka pertemanan di antara
kami pun terjalin lagi," katanya menjelaskan.
"Den...?" "Aduh, Cih, jangan menatapku seperti itu. Otakku
masih waras kok. Hubungan cinta di antara kami ha-
nya masa lalu." Tetapi itu diucapkan Dewi kepada Icih, pada saat
pikirannya sedang waras. Begitu duduk di mobil
Pramono, otaknya yang katanya masih waras, tiba-tiba
saja tergelincir entah ke mana. Terlebih ketika
Pramono menghentikan mobilnya masuk ke rest area
di tepi jalan tol, agak jauh dari mobil-mobil lain yang
terparkir di situ. Begitu mobil berhenti, Pram me-
ngeluar kan kotak kecil yang langsung diberikan pada
Dewi. "Sekadar hadiah kecil untukmu, Wik. Selamat ulang
tahun," katanya. Dan begitu kotak kecil itu berpindah
ke tangan kanan Dewi, Pramono meraih telapak ta-
ngan kirinya mengecup lembut punggung tangan itu.
"Karena tak pantas men cium pipimu, maka sebagai
gantinya, kucium tanganmu ini sebagai ucapan selamat
ulang tahun." "Aku... aku tidak mengira kau masih ingat hari ulang
tahunku. Tadi sore kalau tidak melihat beberapa kirim-
an hadiah dari keluargaku, aku sendiri lupa hari ulang
tahunku. Terima kasih banyak, Mas Pram."
"Ini hanya sebagai kunang-kunang di hari ulang
tahunmu... yang mungkin agak terasa gelap bagimu."
Dewi tersenyum bahagia. http://pustaka-indo.blogspot.com302
"Mas, sepertinya kau mengerti apa yang ada di
hati ku. Terus terang saja aku tadi memang merasa
ulang tahun ku kali ini terasa agak gelap. Meskipun
ada kiriman-kiriman hadiah dari keluarga, tetapi tidak
se orang pun di antara mereka datang untuk meng-
ucap kan selamat karena kesibukan masing-masing.
Sedang kan Mas Puji... pasti, dia lupa ini hari ulang
tahunku." "Tetapi aku ingat, Wik. Itulah sebabnya tadi me-
neleponmu." "Di telepon tadi, kau tidak menyinggungnya sama
sekali." "Memang itu kusengaja. Tadi ketika aku bertanya
ten tang keberadaan suamimu, aku sedang merencana-
kan sesuatu. Kalau suamimu ada di rumah, aku akan
lang sung mengucapkan selamat ulang tahun. Tetapi
kalau tidak, aku akan membawamu makan di luar dan
menjadi sok pahlawan dengan tiba-tiba."
"Tetapi aku menyukai ke-sok-anmu, Mas. Malahan
berterima kasih karena kau telah mengisi hari khusus-
ku ini dengan perhatian."
"Sungguh" Bukan basa-basi?"
"Sungguh dan bukan basa-basi."
"Kalau begitu mari kita rayakan sekarang. Nah, kau
ingin makan di mana, Wik" Jangan takut memilih tem-
pat karena khusus untuk makan malam ini dompetku
sengaja kuisi tebal."
"Lho, tidak jadi ke pesta temanmu?"
Pramono tertawa. "Temanku tidak merayakan ulang tahun perkawin-
http://pustaka-indo.blogspot.com303
annya yang kesepuluh. Katanya menunggu sampai pes-
ta perak nanti," sahutnya.
"Ah, kau!" Dewi menggerutu. "Jadi memang benar
kau sengaja membawaku makan di luar untuk me raya-
kan ulang tahunku." "Ya, benar. Dan itu ada alasannya. Lima tahun yang
lalu ketika aku belum tahu keberatan keluargaku untuk
melamarmu, aku ingin sekali merayakan ulang tahun-
mu berdua saja di suatu tempat. Tetapi ternyata gagal
karena hubungan kita berantakan. Oleh sebab itu
meski pun kita sekarang bukan merupakan pasangan
kekasih, aku ingin merealisasikan apa yang pernah ku-
rencanakan. Nah, sekali lagi aku bertanya padamu. Kau
ingin makan di mana, Wik?"
"Terserah saja. Aku tidak pernah pilih-pilih makan-
an kok. Lagi pula kau pasti lebih tahu daripada aku."
"Kok berani memastikan" Memangnya ada dasar-
nya?" "Sebagai bujangan, apalagi bujangan yang kariernya
mulai mapan, pasti kau lebih banyak makan di luar
dari pada di rumah. Ya, kan?"
"Ya, itu betul." Pramono tertawa. "Kadang-kadang
aku mengajak Bapak dan Ibu. Atau keluargaku yang
lain." "Teman perempuan?"
Mendengar pertanyaan Dewi, Pramono meliriknya.
"Kelihatannya pertanyaan seperti itu sudah lama ada
di ujung lidahmu. Tentu dengan bayangan-bayangan
ter tentu sampai-sampai mereka-reka khayalan sendiri,
seakan aku sudah punya istri."
http://pustaka-indo.blogspot.com304
Dewi tertawa sambil mencubit lengan Pramono.
"Aku lupa, beberapa tahun lamanya kita berpacaran
dulu telah menyebabkanmu mengenalku dengan baik,"
katanya kemudian. Pramono terbahak. "Aduh, sombong betul."
"Boleh saja kaubilang sebagai kesombongan. Tetapi
kenyataannya aku memang bisa menyingkap lapisan-
lapisan yang ada di wajahmu. Kau ingin mengetahui
ke hidupan pribadiku, kan?"
"Tidak." "Jangan mengelak dari kenyataan. Mengaku sajalah."
"Baik... baik..." Dewi tersenyum pasrah. "Aku me-
mang ingin mengetahui kehidupan pribadimu setelah
kita berpisah bertahun-tahun yang lalu. Apakah setelah
kita berpisah, sudah berapa kali kau berpacaran?"
Pramono tersenyum. Tetapi air mukanya tampak
se rius. Setelah menarik napas panjang, ia baru men-
jawab pertanyaan Dewi. "Sejujurnya sejak kita berpisah, selama bertahun-
tahun lamanya aku mengalami penyesalan dan merasa
ber salah terhadapmu. Sulit sekali menghapuskan ke-
nang an tentang perpisahan kita saat aku menemuimu
untuk meminta kemurahan hatimu, bersedia memaaf-
kan keluargaku dan terutama memaafkanku. Setiap
ku ingat bayangan duka di matamu, bibirmu yang ber-
getar, kedua alismu yang nyaris menyatu, dan pipi mu
"Bukan hanya itu, Wik. Ternyata aku masih mampu
menembus lapisan-lapisan di wajahmu dan men jenguk
isi hatimu." http://pustaka-indo.blogspot.com305
yang basah, aku benar-benar merasa amat ber dosa
kepadamu. Aku tahu betul di balik lapisan-lapisan yang
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menutupi wajahmu ada hati yang tercabik-cabik
melihat kepengecutanku. Nah, kalau itu dikaitkan de-
ngan pertanyaanmu mengenai kehidupan pribadiku
selama ini, aku harus mengaku bahwa kenangan pahit
tentang perpisahan kita waktu itu melumpuhkan ke-
inginanku mencari gadis lain. Kalaupun pernah akrab
dengan seseorang, itu hanya sarana untuk meng hiasi
kesepianku. Itulah mengapa hubungan seperti itu tidak
pernah bisa bertahan lama. Apalagi aku pernah berjanji
di dalam perpisahan itu, bahwa se andainya aku me-
nikah dengan perempuan lain, hati ku tak akan kuberi-
kan padanya." Dewi menahan napas. Apakah itu berarti hingga
se karang hati Pramono masih menyimpan dirinya" Se-
pertinya itulah yang tersirat dari perkataannya.
"Mas, kau tidak boleh membelenggu dirimu dengan
rasa bersalah dan janjimu untuk tetap mencintaiku.
Kau tak akan bisa merasakan kebahagiaan jika terus
begini," katanya kemudian.
"Apakah bisa bahagia setelah aku mengetahui bagai-
mana kau hidup dalam perkawinan poligami yang sejak
masa kecilmu merupakan sesuatu yang amat kaubenci
dan kauhindari?" Pramono tampak serius saat berkata
seperti itu. "Sekarang saja pun saat kau berulang tahun,
suamimu masih menggiliri istrinya yang lain."
"Aku berterima kasih atas keprihatinanmu terhadap
nasib yang harus kujalani. Tetapi kau tidak boleh
meng abaikan kehidupan pribadimu. Terutama karena
http://pustaka-indo.blogspot.com306
me nyangkut kebahagiaan orangtuamu. Kau anak tung-
gal, Mas. Kedua orangtuamu pasti sudah sangat me-
rindu kan cucu darimu."
"Maaf, aku sedang tidak ingin membicarakan ke-
hidupan pribadiku. Sekarang ini kita sedang merayakan
ulang tahunmu. Ayo, kita cari rumah makan," kata
Pramono sambil menyalakan mesin mobilnya lagi.
Dewi menurut. Makan malam berduaan itu benar-
benar mereka nikmati setiap detiknya. Rasanya sung-
guh menyenangkan dapat berduaan lagi dengan orang
yang masih memiliki tempat istimewa di hati masing-
masing. Namun karena mengerti bahwa suasana dan
ke adaan sudah tidak sama seperti dulu, keduanya
sama-sama menjaga diri untuk tidak melangkahi rel
yang seharusnya. Rambu-rambu aturan main tetap me-
reka pegang. Bahkan menyinggungnya pun tidak be-
rani. Baru ketika mereka tiba di depan rumah Dewi,
Pramono meminta supaya bungkusan kado tadi dibuka.
Dengan hati-hati bungkusan kecil itu dibuka oleh
Dewi. Isinya, sebuah kalung dengan liontin berbentuk
hati. Di tengah-tengahnya terdapat sebutir permata
yang berkilauan. "Ini... ini emas...?" tanyanya terbata-bata.
"Ya. Untukmu selalu kuberikan yang asli."
"Jadi... ini berlian?"
"Ya." "Aduh, Mas... aku tidak berhak menerima barang
semahal ini," terbata-bata Dewi mengucapkan rasa tak
nyamannya. "Aku... tak berani menerimanya."
"Tetapi kalung itu milikmu, Wik. Itu hakmu se-
http://pustaka-indo.blogspot.com307
penuhnya. Aku membelinya lebih dari lima tahun yang
lalu ketika aku merencanakan merayakan ulang tahun-
mu.... Lima tahun lebih benda itu tersimpan di laci
lemari pakaianku dan kusimpan itu dengan hati yang
amat terbebani. Sekarang inilah kesempatanku untuk
menyerahkan benda ini kepada pemiliknya yang sah.
Tolong, jangan kautolak."
Mendengar itu air mata Dewi yang mahal mulai
meluncur turun. Seluruh hatinya diselimuti oleh rasa
haru yang amat dalam. "Mas Pram..." Hanya nama itu yang ia berani ucap-
kan. Hanya nama itu pula yang keluar dari mulutnya
kendati hatinya terasa pe nuh sesak oleh berbagai
perasaan yang mengharu biru. Kalau tidak ingat apa
pun, ingin sekali ia menjatuhkan kepalanya ke dada
Pramono untuk merasakan ke hangatan kasihnya.
Tetapi tidak. Ia tahu diri dan tahu di mana tempatnya.
"Wiwik..." Pramono yang sangat mengenal Dewi,
mengerti apa yang ada di batin perempuan itu. Karena-
nya hampir saja benteng pertahanan hatinya roboh,
Perjalanan Ke Masa Depan 2 Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis Berjalan Dalam Tidur 1