Pencarian

Menyemai Harapan 3

Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono Bagian 3


menguncinya ke dalam pelukan dan melanjutkan
ciuman-ciumannya. "Tidak bolehkah suami menunjukkan kemesraan
pada istrinya sebagai ungkapan cinta?" bisiknya di sela-
sela kecupannya. "Istri yang mana?" Dewi mulai lagi dengan lidahnya
yang sekarang menjadi tajam itu.
"Wik... lupakanlah dia. Cintaku kepadamu masih
sepenuh semula. " "Kemarin dulu perkataan itu juga kauucapkan
kepada nya, kan?" balas Dewi masih dengan tajam.
"Tidak. Sumpah. Oh... kau cemburu ya?"
"Aku cemburu?" Dewi mengedik kan kepalanya. "Dari
mana pikiran seperti itu" Seandai nya sekarang kau ke
sana dan tidak lagi kembali ke sini, aku tidak akan
cemburu sedikit pun. Jangan mengada-ada, Mas."
http://pustaka-indo.blogspot.com155
"Kau menjengkelkan, Wik. Tidak bisakah kau me-
lupakan kesalahanku dan membiarkan aku menumpah-
kan kasihku agar kau tahu bahwa aku benar-benar
mencintaimu?" Hmm, mencintai aku atau ingin mencoba khasiat
jamu pengantin" gerutu Dewi dalam hati. Karena Dewi
hanya diam tanpa berkomentar apa pun, Puji merasa
mendapat ke sempat an untuk melanjutkan kemesraan-
nya. Disingkapkannya baju Dewi, ke mudian bahu
mulus perempuan itu dikecupinya se penuh hasrat.
Dengan tangan terkepal, Dewi memejamkan mata
menerima kemesraan itu. Bukan untuk me nikmati ke-
mesraannya, namun untuk menahan diri agar dia tidak
mengibaskan lengan Puji yang sedang me meluknya.
Hatinya menolak mentah-mentah ke mesraan yang
diberikan Puji. Tetapi rasionya me ngata kan bahwa dia
dan Puji telah menikah secara sah, yang berarti dirinya
adalah istri Puji. Perlakuan mesra laki-laki itu hal yang
sangat wajar dilakukan oleh seorang suami terhadap
istrinya. Masih dengan memejamkan mata, Dewi berkutat
dengan perang batin yang berkecamuk dalam benaknya
sehingga Puji mengira dia sudah memberinya ke-
sempat an untuk melanjutkan kemesra an nya. Maka
kecupan Puji berpindah ke lehernya.
Dewi mengeluh dalam hati. Ia benar-benar tidak
siap dan ingin sekali menolak kemesraan Puji. Seluruh
dirinya, lahir dan batin, tubuh dan jiwanya berteriak
ingin menghentikan perbuatan Puji dan bahkan ingin
mengusirnya dari kamar ini. Tetapi ia tidak berani.
http://pustaka-indo.blogspot.com156
Superego dalam dirinya melarangnya untuk melakukan
itu. Sebab, kesediaannya untuk tetap menikah dengan
Puji kemarin bisa dianggap sebagai kemunaikan, bah-
kan bisa dianggap sebagai penipuan kalau protes itu
dia lakukan secara terang-terangan.
Mengetahui Dewi hanya memejamkan mata dan
tidak menolak cumbuannya, Puji mulai berbesar hati.
Dia memutar tubuhnya ke depan kursi yang diduduki
Dewi, mengangkatnya dan membawanya ke ranjang.
Tanpa mem beri Dewi kesempatan untuk menolak ,
diciuminya leher, dagu, dan bibir Dewi dengan ber-
gairah. Harum sabun yang masih menempel di tu buh
Dewi berbaur aroma bedak dan sampo yang begitu
lembut wanginya menambah gairah Puji. Ia mulai
membelai apa saja yang bisa dibelai nya. Rambut Dewi,
lengannya, punggungnya, dan ping gul nya. Ingatan pada
segelas jamu yang tadi diminum Dewi menerbitkan rasa
ingin tahu mengenai khasiat nya.
Tangan Dewi mengepal lagi. Dalam keadaan hati
yang sebeku inikah ia harus merelakan hilangnya ke-
perawanannya" Sungguh mati, dia tidak rela. Dua
puluh lima tahun lamanya ia bertahan agar dirinya
tetap suci. Saat berpacaran, baik dengan Pramono dulu
maupun dengan Puji, ia selalu menjaga dengan ketat
batas-batas yang tak boleh dilanggar. Jika sang kekasih
mulai menunjukkan gairah yang sudah ber lebihan,
dengan bijak ia akan mengingatkan dan meng-
hentikannya. Dan sejauh ini, ia selalu berhasil. Tetapi
kini, Puji bukan lagi kekasihnya. Puji suami nya. Maka
kendati ia sangat ingin menolak dan mendorong Puji
http://pustaka-indo.blogspot.com157
jauh-jauh agar laki-laki itu meng hentikan perbuat-
annya, ia tidak berani. "Peluklah aku, Wik..." terdengar suara mesra di sam-
ping kepalanya di sela-sela kecupan-kecupan yang men-
jelajahi tubuhnya itu. "Jangan seperti boneka tak ber-
nyawa. Balaslah ciumanku."
"Ini... ini bukan waktunya... ini... masih siang," sahut
Dewi terbata-bata, mulai ketakutan.
"Pagi, siang, sore, atau malam tak perlu dipersoal-
kan, Wik. Kita suami-istri. Mau bermesraan kapan saja
asalkan kesempatannya ada, kenapa tidak" Apalagi
masih dalam suasana pengantin baru," sahut Puji de-
ngan napas memburu, sambil membuka kancing gaun
Dewi. Dewi mengeluh dalam hati. Dadanya terasa amat
sesak. Rasanya tidak mungkin lagi ia menghindar dari
hasrat Puji yang semakin menggebu-gebu. Mau ber-
teriak misalnya, hanya akan menimbul kan kekacauan
di rumah ini. Mau lari keluar de ngan terbirit-birit,
pakaian nya sudah berantakan dan pasti pula akan
menimbulkan keributan. Suasana tenang yang mulai
menebar di seluruh rumah kendati ketenangan itu
ketenangan semu, akan terkoyak. Maka ketidakrelaan
yang begitu kental di hati ketiga adik lelakinya pasti
akan langsung meledak, dan pasti akan menghancurkan
hati ibu mereka. Perkawinannya de ngan Puji kemarin
terwujud karena keputusannya sendiri. Bukan kawin
paksa. Maka apa pun yang akan terjadi di kamar ini, ia
harus bisa menahan diri. "Wik, peluklah aku... balaslah ciumanku..." ter dengar
http://pustaka-indo.blogspot.com158
suara Puji lagi, menerobos masuk ke dalam pikiran
Dewi yang sedang kalut. Menghadapi peristiwa yang mustahil terelakkan itu
Dewi tetap bersikeras membiarkan dirinya se perti
patung tanpa nyawa. Tetapi Puji yang sudah ter-
panggang hasrat tidak mau menyerah. Diraihnya
tangan Dewi dan dilingkarkannya ke leher nya semen-
tara bibirnya terus saja mengecupi tubuh Dewi. Dari
dagu, leher, dada, dan berlama-lama di situ sehingga
Dewi merasa jijik. Tetapi lagi-lagi ia tidak berani
protes. Akibatnya, Puji semakin berani. Ia kembali
mengecupi sisi leher, dan menggigit telinga Dewi
sambil membelai seluruh tubuhnya. Namun upaya nya
untuk membangkitkan gairah Dewi sia-sia saja.
Tetapi Puji tidak mau menyerah. Mengetahui Dewi
masih terbaring tanpa bergerak dengan pikiran dan
perasaan entah ada di mana, laki-laki itu semakin
gencar. Namun sebagai akibatnya dirinya sendirilah
yang terbakar hasrat. Di dalam hatinya, ia ingin me-
nge tahui apa yang ada di balik permukaan tubuh diam
itu. Ingin sekali ia bisa menguak apa yang ada di dalam
tubuh mematung itu dan mereguk kemanisan yang
masih terselubung itu. "Wik... terimalah diriku seutuhnya," kata laki-laki
itu dengan suara serak. "Aku... mencintaimu."
Mendengar perkataan Puji, tiba-tiba saja Dewi sadar
bahwa ungkapan cinta itu tak perlu dimasukkan ke
hati . Kemesraan dan kata-kata cinta itu juga diberikan
laki-laki itu pada Indah kemarin dulu, kemarinnya, dan
ke marinnya lagi. Benar-benar gombal. Sekarang dengan
http://pustaka-indo.blogspot.com159
seluruh hasrat yang terdorong oleh kelaparan biologis-
nya, Puji bagaikan sang pemenang yang justru mem-
bangkitkan perasaan tak berharga dalam diri Dewi. Ia
merasa tubuhnya bagaikan objek bagi ke butuhan
biologis Pujisatriya. "Wiwik...," bisik Puji parau dan napas memburu.
"Balaslah kemesraanku."
Merasa bahwa inilah saat-saat kritis di mana dirinya
akan menjadi objek pelampiasan hasrat Puji, Dewi
merasa putus asa. Namun saat air mata sesal karena
tak bisa melakukan protes itu nyaris bobol, tiba-tiba
saja ia dihardik harga dirinya. Dia bukan objek. Akan-
kah ia membiarkan dirinya menjadi tempat pelampias-
an gairah Puji, akankah dia jadi objek ke senangannya"
Tidak, teriaknya dalam hati. Aku tidak ingin men jadi
objek. Aku juga harus menjadi subjek yang setara
dengan subjektivitas Puji, begitu teriakan hati itu terus
berlanjut. Dia tidak boleh membiarkan Puji berbuat
semaunya atas tubuhnya yang masih suci itu. Dia tidak
boleh membiarkan Puji merasakan kepuasannya sebagai
pemenang dan perampas keperawanannya. Bukankah
kesadarannya sebagai subjek yang baru saja muncul itu
mengarahkan pengertian agar ia menempatkan diri pada
suatu kemungkinan yang lain" Bahwa dia juga bisa
menjadi subjek. Atau lebih tepatnya, dia dan Puji harus
sama-sama sebagai subjek yang setara. Atau pula saling
menjadikan pasangannya sebagai objek" Ah...
Pikiran yang baru muncul itu menyebabkan air mata
Dewi yang tergenang tadi menguap dan mengering
dengan seketika. Maka meskipun hatinya tidak meng-
http://pustaka-indo.blogspot.com160
inginkannya, ia mulai membalas pelukan, cumbuan,
dan ciuman Puji hingga lama-kelamaan dirinya juga
men jadi sama bergeloranya dengan Puji. Sudah bukan
zaman nya perempuan tidak boleh memperlihatkan
gairahnya, pikirnya dengan dendam yang mulai me-
ngambang di permukaan hatinya. Memangnya hanya
laki-laki yang bisa mereguk kenikmatan percumbu an"
Ia juga berhak merasakan yang sama. Kebutuhan bio-
logis juga bukan hanya dimiliki laki-laki. Perempuan
juga mempunyai kebutuhan biologis yang sama. Tak
perlu disembunyikan. Persetan dengan cinta. Persetan
dengan percumbuan antara matahari dan rembulan
yang indah penuh pesona suci asmara, karena semua
itu hanya ada dalam dongeng. Semua itu hanya ada di
negara antah berantah dan dunia utopis. Dan sudah
pasti pula keindahan cinta suci itu tak ada di dalam
kehidupan poligami laki-laki.
Mendapat sambutan yang sedemikian menggelora
dari Dewi, Puji merasa seperti berada di awang-awang.
Hampir-hampir dia tidak memercayai kenyata an yang
dirasa dan dialaminya itu. Bahwa perempuan yang
selama ini dikenalnya sebagai gadis yang lemah lembut,
santun dan penuh pengen dalian diri dengan berbagai
ajaran-ajaran leluhur yang ditransfer dari generasi ke
generasi berikut, berbagai tabu yang terus dipegangnya,
ternyata memiliki api yang bergelora di tubuh nya.
Begitu mengejutkan namun begitu mengagumkan.
"Wiwik..." Puji menyebut nama Dewi dengan se-
penuh perasaannya begitu badai asmara itu telah ber-
lalu. Dipeluknya erat-erat tubuh perempuan itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com161
Dewi tidak menjawab. Bergerak pun tidak. Matanya
terpejam rapat. Puji mengecup lembut dahi dan pipi-
nya. "Kau sungguh luar biasa dan penuh kejutan," bisik-
nya lagi. Dewi masih tidak bereaksi. Kalau tadi bagaikan bara
api yang menyala bergulung-gulung, kini bagaikan se-
bongkah arang yang telah habis baranya. Melihat Dewi
hanya diam dengan mata terpejam, Puji mengira pe-
rempuan itu merasa malu. "Istirahatlah, Sayang," bisiknya sambil tersenyum.
Kemudian sesudah mengecup lagi pipi Dewi, diraihnya
guling yang ada di dekatnya.
Beberapa saat lamanya Dewi masih tetap berada
pada posisi seperti itu. Namun tubuhnya gemetar me-
nahan perasaan. Ketika lama dia tidak lagi mendengar
suara Puji, barulah matanya yang terpejam dibukanya
pelan-pelan. Mata itu penuh dengan air mata. Dadanya
menahan tangis sehingga terasa penuh sesak. Kalau
saja ia bisa berteriak, ingin sekali ia menjerit sekeras-
kerasnya. Kalau saja ia bisa terbang, ingin sekali ia
terbang setinggi-tingginya, pergi dan menghilang dari
kenyataan yang dihadapinya. Sungguh, ia merasa diri-
nya begitu kotor. Ia merasa dirinya sangat memalukan.
Malu pada dirinya sendiri. Malu pada benda-benda di
sekelilingnya yang menjadi saksi bisu atas apa yang
baru saja terjadi di tempat tidur ini. Malu pada semua-
nya. Rasanya dia seperti orang dungu yang tak pernah
dibekali pelajaran-pelajaran luhur yang indah.
Perih hati Dewi memikirkan semua itu. Betapa sulit
http://pustaka-indo.blogspot.com162
menempatkan diri agar menjadi manu sia yang ter-
hormat, berkualitas, dan bermartabat. Apa beda dirinya
dengan perempuan-perempuan bayaran yang harus
berpura-pura menjadi sebongkah daging yang panas
membara penuh gejolak asmara semu" Tidak perlu ada
cinta. Tidak perlu ada kasih sayang.
Tidak sanggup menahan tangis, perlahan ia bangkit
dari tempat tidur, bermaksud melepas tangisnya di
kamar mandi, seperti tadi. Tetapi baru saja sebelah
kaki nya menapak lantai, Puji meraih tangannya dengan
lembut. "Mau ke mana?" bisiknya dalam kantuk yang se-
makin menyeretnya. "Mau ke kamar mandi," sahut Dewi.
Puji mengangguk tanpa membuka mata. Dewi


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meng gigit bibirnya hingga berdarah. Dengan agak ber-
jingkat-jingkat ia masuk ke kamar mandi. Beberapa
saat lamanya ia menatap wajahnya yang pucat di
cermin. Dibiarkannya air matanya mengalir deras tanpa
bersuara. Untuk menangis pun ia merasa dirinya tidak
layak. Tetapi sebagai gantinya, tubuhnya bergetar hebat
dan tangannya mengepal keras.
http://pustaka-indo.blogspot.com163
DEWI berdiri menyandar ke bingkai jendela, me-
natap halaman samping tempat bunga mawar besar-
besar beraneka warna sedang ber kembang berbaur
dengan bunga-bunga lain yang tak kalah indahnya. Di
sudut kiri halaman, terdapat bunga asoka merah dan
jingga. Di sudut yang lain terdapat bunga kamboja
Jepang berwarna putih kekuningan yang bunganya
bergerombol di sana-sini, berbaur pula dengan bunga-
bunga lainnya yang tampak indah ber mekaran di se-
kitarnya. Seakan mereka sedang m e nunjukkan ke-
cantik an masing-masing dalam suatu pameran alam
pagi hari itu. Ibunya, bersama para pembantu, sangat rajin me-
melihara tanaman di halaman depan, samping, dan
belakang. Dengan tangannya yang berseni, pe rempuan
setengah baya itu mengguntingi beberapa tanaman hias
Enam http://pustaka-indo.blogspot.com164
menjadi bentuk-bentuk yang cantik. Bulat, oval, ber-
bentuk binatang, berbentuk payung, dan lain sebagai-
nya. Dewi juga tahu, kegiatan semacam itu bagi ibunya
adalah perintang waktu dan pengalih perhatian. Ke-
sibuk an itu hanya upaya untuk membuatnya lelah se-
hingga tempat tidur yang sering kosong di samping nya
tak terlalu dirasakannya. Tetapi sekarang setelah istri
lain itu telah meninggal, apa yang dilakukannya itu te-
lanjur mendarah daging, sudah bekerja dengan sen-
dirinya. Memupuki, mengganti tanah yang sudah aus,
menyirami semuanya dan mengajak mereka bicara.
Ibunya itu memang perempuan yang tahu keindahan
dan penuh kasih sayang. Tanam an yang dirawatnya
de ngan kasih itu mem balasnya dengan keindahan
bunga-bunganya, daun-daunnya, yang berkilaun, dan
memberinya hiburan. Apakah akan seperti itu pula aku akan menjalani
kehidupan perkawinan ini" tanya Dewi dalam hati.
Kalau ya, alangkah tak bernilainya kehidupan ini. Ber-
karya hanya demi melipur hati dan untuk menenang-
kan gejolak perasaan. Keindahan yang dimilikinya bu-
kan untuk merealisasikan keindahan itu sendiri,
keindahan an sich, melainkan untuk sesuatu yang lain.
"Ternyata kau di sini, Wik." Suara Puji membuyar-
kan pikirannya. "Kucari-cari tadi."
"Kenapa mencariku?" Dewi bertanya tanpa menoleh.
Enggan rasanya. "Aku sedang berpikir-pikir, ke mana enaknya bulan
madu kita" Dulu kita pernah merencanakan untuk
http://pustaka-indo.blogspot.com165
pergi ke Lombok. Bagaimana kalau rencana itu kita
realisasikan?" "Aku tidak ingin pergi ke mana-mana."
"Kenapa?" Suara Puji terdengar kecewa. "Berbulan
madu kan penting, Wik. Sekali seumur hidup saja lho.
Mumpung cutiku masih ada."
"Sekali seumur hidup?" Dewi tertawa dingin.
"Wik, jangan mulai lagi...."
"Kalau tidak ingin kutertawakan, jangan meng ucap-
kan perkataan yang bisa membuatku geli."
Mendengar itu cepat-cepat Puji mengembalikan
topik pem bicaraan seperti semula. Kalau tidak, Dewi
akan se makin memojokkannya.
"Jadi bagaimana, Wik" Kita jalan-jalan saja di sekitar
Jakarta atau bagaimana?" tanyanya.
"Sudah kukatakan tadi, aku tidak ingin pergi ke
mana-mana. Aku ingin kita segera pindah dari rumah
ini." "Belum sepasar" Baru dua hari lho."
"Budaya, adat istiadat, tradisi, bahkan hukum, dan
se bagainya adalah sarana untuk mengatur hidup manu-
sia agar tertata dengan baik. Tetapi bukan untuk mem-
belenggu kaki dan menghilangkan nilai-nilai kemanu-
siaan kita. Jadi sejauh itu tidak merusak tatanan hidup,
masuk akal, dan beralasan kenapa harus mengikuti-
nya?" "Oke. Menurutmu, kapan enaknya kita pindah?"
"Besok." "Besok" Kenapa terburu-buru" Lagi pula, keadaan
rumah itu masih belum begitu siap untuk ditinggali."
http://pustaka-indo.blogspot.com166
"Untuk apa berlama-lama di sini kalau kita sudah
punya rumah sendiri" Aku tidak suka me nganggur
begini. Di sana, aku bisa melakukan banyak hal karena
memang betul seperti katamu, rumah itu belum siap
huni. Tirai-tirai belum dipasang, dapur masih belum
ditata, kamar masih berantakan dan belum layak untuk
ditinggali. Tetapi justru karena itulah aku ingin mengisi
liburan kita ini untuk men jadikan rumah itu layak
ditinggali," sahut Dewi tegas.
"Tetapi dalam suasana bulan madu begini?"
"Aku tidak merasa sedang berada dalam suasana
bulan madu. Jadi sebaiknya kita berpikir realistis dan
segera memulai kehidupan ini. Oleh karena itu, pindah
rumah adalah salah satu caranya."
"Baik, baik... kalau kau memang ingin segera
pindah," kata Puji. "Tetapi untuk hari ini kita di kamar
saja yuk." Dewi menahan napas. Ah, bagaimana cara meng-
hindari kedekatan dengan Puji lagi" Tampaknya laki-
laki itu sangat puas atas kejadian kemarin siang. Be-
berapa kali dia menyatakan kekagumannya terhadap
jamu-jamu buatan ibunya. Dewi sampai mual men-
dengar pujian itu. "Baru saja sarapan sudah mau diam di kamar lagi,"
sahut Dewi. "Seperti tidak ada pekerjaan lain saja."
"Tetapi kita kan masih dalam suasana pengantin
baru. Orang maklum kok kalau kita lebih suka ber-
kurung di kamar." "Aku tidak mau," jawab Dewi tegas. "Aku belum
sem pat mengatur kamarku yang lama. Berantakan di
http://pustaka-indo.blogspot.com167
sana. Sekalian mau mengepak barang-barang pribadiku
yang akan kubawa pindah."
"Wik... tadi malam kau bilang capek. Sekarang mau
bekerja. Lalu kapan kau menemaniku?" Sambil berkata
seperti itu, Puji membelai lengan dan rambut Dewi.
"Kau benar-benar membuatku surprised. Ternyata, pe-
rempuan yang begitu lembut dan anggun, bisa menjadi
sebongkah bara api yang menggelora dan menghangus-
kan laki-laki." Kalau tidak ingat apa pun, ingin rasanya ia me-
nampar mulut Puji yang mengingatkannya pada pe-
ristiwa yang membuatnya merasa malu itu. Lebih-lebih
lagi ketika Puji melanjutkan bicaranya.
"Jamu pengantin yang dibawa Icih tadi, sudah kau-
minum?" Dewi menarik napas panjang, berusaha menahan
pe rasa annya yang bergolak. Kemarin sore, jamu yang
diantar Icih belum diminum. Sampai malam, isi gelas
itu masih penuh sehingga Puji mengingatkannya.
Karena Dewi tidak mau menjawab, Puji mengulangi
perkataannya lagi. Kini dengan nada menegur. "Jangan
sampai lupa lagi lho, Wik. Seperti yang sudah kaukata-
kan, hargailah orang yang mem buat kannya untukmu.
Sudah terbukti kan hasilnya?" Laki-laki itu berbisik
penuh arti di sisi telinga Dewi.
"Ya," sahut Dewi kesal.
"Jadi kau tidak lupa meminumnya, kan?"
"Tidak. Aku tidak lupa. Lihat saja di kamar.
Gelasnya sudah kosong," Dewi menjawab agak ketus.
Yah, gelas jamu di meja riasnya memang telah
http://pustaka-indo.blogspot.com168
kosong. Tetapi bukan karena diminum Dewi. Untuk
pertama kalinya sejak ia mendapat haid pertama kali
dan minum jamu-jamu buatan ibunya, baru sekali ini-
lah ia membuangnya dengan diam-diam keluar jendela
karena sebal diingatkan Puji agar dia tidak lupa me-
minumnya. Mudah-mudahan saja khasiat jamu itu
akan menyebabkan rumput di bawah jendela kamar
saat ini menari-nari disco, pikirnya sinis.
"Ayolah, Wik, kita ke kamar," Puji mulai merengek
lagi. Lengannya mulai memeluk bahu Dewi.
Takut terlihat yang lain, Dewi merenggut tubuhnya
dari pelukan lengan Puji, semakin kesal.
"Seperti tidak tahu waktu saja," gumamnya sambil
melangkah pergi dari depan jendela.
"Mau ke mana?" "Mau ke kamarku yang lama. Sudah kukatakan tadi
kan, aku akan mengepak barang-barangku. Besok kita
akan pindah rumah," sahutnya.
Karena saat itu ibu Dewi melintas di dekat mereka,
Puji terpaksa membiarkan Dewi masuk ke kamarnya
yang lama. Apalagi perempuan paro baya itu meng-
ajaknya bicara. "Kau ingin masakan apa untuk makan siang nanti,
Nak Puji?" tanya Ibu Sulistyo kepadanya.
"Apa sajalah, Bu. Soal makan, saya tidak punya
kesukaan khusus. Semua makanan, saya suka. Apalagi
kalau Ibu yang memasak," jawab Puji apa ada nya.
Ibu Sulistyo tersenyum manis. "Kau membuat Ibu
merasa istimewa, Nak. Nah, ba gai mana dengan makan-
an penutupnya?" http://pustaka-indo.blogspot.com169
"Itu pun terserah Ibu saja. Semua saya suka. Tetapi
yang penting, jangan sampai mem buat Ibu repot."
"Ada beberapa pembantu rumah tangga, apanya yang
repot?" Dewi masih sempat mendengar tanya-jawab antara
ibunya dengan Puji. Senang hatinya ia bisa menghindar
dari Puji. Sekarang di kamarnya yang lama, dia berdiri
di depan jendela lagi. Dari jendela kamarnya, tidak
begitu banyak pemandangan indah yang terlihat.
Sebagian taman yang dulu menjadi pemandangan dari
kamar ini telah menjadi tempat ibunya memberikan
kursus memasak. Ketika Dewi mulai merasa lega terhindar dari
kedekatan dengan Puji, laki-laki itu malah menyusulnya
masuk ke kamar. Kesal sekali Dewi melihatnya. Kalau
boleh, ingin sekali ia memaki-maki dan mengusirnya
dari kamar pribadinya ini.
"Katanya mau mengepak barang-barang pribadimu,
kok malah melamun di sini?" Laki-laki itu mendekati-
nya dan langsung memeluk bahunya. Dewi mengeluh
dalam hati. Kalau tahu begini, lebih baik ia tetap di
ruang tengah seperti tadi. Di sana, Puji pasti tidak
akan berani menunjukkan kemesraannya.
"Aku sedang memandangi semua yang akan ku-
tinggalkan besok. Maklum, dua puluh tahun lebih aku
tinggal di kamar ini," dalih Dewi sambil menahan diri
untuk tidak menjawab pertanyaan itu dengan bentakan.
Dalam kondisi perasaan tertekan begini, dia benar-
benar ingin menyendiri dan tidak suka didekati oleh
siapa pun. Apalagi oleh Puji.
http://pustaka-indo.blogspot.com170
"Tetapi sebagai gantinya, istana pribadi kita berdua
kan sudah menanti, Wik," Puji juga berdalih. Kemudi-
an dikecupnya punggung Dewi yang kuning mulus itu
dengan mesra. "Kita berdua?" Sulit bagi Dewi untuk tidak bersikap
sinis. Mana bisa Puji hanya memikirkan mereka berdua
saja. Bagaimana dengan istrinya yang ada di tempat
lain itu" "Sudahlah, Wik, pikiranmu jangan merembet ke
mana-mana. Lebih baik kuceritakan padamu tentang
betapa baiknya ibumu. Aku lupa bilang padamu, tadi
pagi beliau memberiku ramuan entah apa yang di-
campur dengan madu dan telor ayam kampung. Beliau
memang tidak menjelaskan apa-apa kecuali mengatakan
jamu itu untuk kesehatan laki-laki. Tetapi aku yakin,
khasiatnya sama seperti jamu pengantin yang kau-
minum dua kali sehari itu."
Mendengar itu Dewi merasa kesal sekali kepada
ibunya. Masih saja pola berpikirnya tak berubah, pada-
hal berapa ribu kali pun beliau minum jamu, tetap saja
suaminya terpikat pada perempuan lain.
Tidak melihat tanggapan dari Dewi, Puji meng-
eratkan pelukan bahunya dan mulai mengecupi teng-
kuk nya. "Barangkali jamu yang kita minum tadi pagi sudah
menunjukkan hasilnya?" bisiknya. "Kita buktikan, ya?"
Oh ya, pasti besar hasilnya, kata Dewi dalam hati.
Jangankan diminum, baru dipandang saja khasiat n ya
pasti sudah terasa sampai ke ubun-ubun. Ah, apakah
laki-laki itu tidak menyadari bahwa yang membuatnya
http://pustaka-indo.blogspot.com171
bergairah itu bukan jamu-jamu buatan ibunya, melain-
kan pikiran yang terseret khayalan erotis ciptaannya
sendiri. Huh, memuakkan. Merasa kesal, Dewi melepaskan tubuhnya dari
peluk an lengan Puji dengan lembut agar laki-laki itu
tidak tersinggung lalu malah ingin memaksakan ke-
hendaknya.

Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebaiknya aku mulai bekerja sekarang," katanya
pelan. "Aku tidak mau membuang-buang waktu."
Puji kecewa. Dia tahu betul, Dewi sengaja meng-
hindari kedekatan dengannya.
"Bermesraan bukan sesuatu yang membuang-buang
waktu, Wik. Apalagi kita masih dalam suasana bulan
madu," katanya. "Tetapi bukan pada jam kerja," sahut Dewi ketus.
Sulit baginya untuk tetap bersikap lembut.
Melihat Dewi mulai membuka lemari dan me-
ngeluar kan pakaian-pakaian yang diletakkannya ke
tem pat tidur, Puji tak berani melanjutkan rayu an nya.
Tetapi karena laki-laki itu masih tetap berada di kamar
pribadinya, Dewi menegurnya.
"Carilah udara segar di luar sana, Mas."
"Aku ingin membantumu."
"Mas tidak akan bisa membantuku. Hanya aku yang
tahu mana-mana yang harus kubawa pindah dan mana
yang tidak perlu. Keberadaan orang di sini siapa pun
dia, hanya akan menggangguku."
Merasa keberadaannya dianggap mengganggu oleh
Dewi, laki-laki itu terpaksa keluar. Hatinya kecewa
menyaksikan sikap dingin Dewi dan cara perempuan
http://pustaka-indo.blogspot.com172
itu menghindarinya. Padahal kemarin di tempat tidur,
perempuan itu bisa sedemikian panas dan memberinya
kejutan-kejut an yang tak pernah ia bayangkan sebelum-
nya. Tetapi sekarang" Sungguh, ternyata sulit sekali
me nebak hati perempuan. Lega karena Puji sudah keluar dari kamarnya, Dewi
segera mengambil koper dan beberapa dus dari gudang.
Ibunya selalu menyimpan dus besar-besar yang semula
berisi berkaleng-kaleng mentega, gula halus, dan ke-
butuhan lain untuk membuat kue. Sesudah membawa
dus-dus kosong itu ke kamarnya, Dewi segera memilih
pakaian dan buku-bukunya yang amat banyak, peralat-
an kosmetik, perlengkapan mandi, perhiasan, termasuk
yang terbuat dari batu-batuan, mutiara, dan milik pri-
badinya lainnya yang akan dibawanya pindah. Ternyata,
sesudah makan siang pun pekerjaan mengepak itu
belum juga selesai. Bagi Dewi, hal tersebut justru
mem buatnya senang. Bahkan setelah selesai makan
malam pun Dewi kembali ke kamarnya sehingga Puji
menyusulnya. "Masih cukup waktu, Wik. Tidak semua barang akan
dibawa besok sekaligus, kan?" katanya. "Istirahatlah."
"Aku tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Kau
sudah tahu kebiasaanku itu, kan?" sahut Dewi.
"Tentu saja aku tahu kebiasaanmu. Tetapi sekarang
ini kita masih berada dalam situasi pengantin baru."
"Kalau ingin menikmati suasana pengantin baru, kau
bisa pergi ke tempat Indah. Bersamanya kau juga
masih berada dalam suasana bulan madu, kan?" balas
Dewi telak sehingga laki-laki itu terdiam seketika. "Aku
http://pustaka-indo.blogspot.com173
tidak menyindirmu lho, Mas. Tetapi benar-benar
ikhlas. Kalau kau ingin menemani Indah... silakan,"
kata Dewi lagi ketika tidak mendengar sepatah pun
sahutan Puji atas perkataannya tadi.
"Kau mengusirku, Wik?"
"Tidak. Aku cuma memberimu keleluasaan untuk
menikmati suasana bulan madu. Di sini kau pasti tidak
suka melihatku sibuk bekerja dan mengepak."
"Aku sudah mengatakan pada Indah akan ada ber-
samamu paling tidak selama dua minggu," sahut Puji.
Dewi menoleh ke arah Puji dan menelengkan ke-
pala nya. Meskipun tanpa rias wajah, bahasa tubuh dan
cara perempuan itu menatap Puji tampak begitu me-
narik. Ia itu menelan ludah. Semakin hubungan me-
reka terasa renggang, semakin dia menyadari bagaimana
cantik dan menariknya Dewi. Ah, kenapa dia bisa ter-
gelincir bersama Indah, yang mengakibatkan suasana
pengantin baru dan bulan madu nya bersama Dewi
berantakan begini" Sungguh benar kata orang. Sesal
kemudian tak berguna. "Kalau memang begitu, tolong bawa ke sini semua
kado-kado barang yang ada di kamar pengantin. Akan
kumasukkan ke dus-dus kosong itu biar besok mudah
diangkat. Aku sudah menyuruh sopir Ibu untuk
mengangkut semua barang kita," katanya. "Mumpung
mobil boks Ibu sedang menganggur. Kalau kita
menundanya, belum tentu kita bisa meminjamnya. Mas
tahu kan, langganan Ibu semakin banyak."
"Oke." Dengan terpaksa, Puji keluar lagi dari kamar
Dewi. Dia tahu kata-kata Dewi tadi masuk akal.
http://pustaka-indo.blogspot.com174
Dewi masih tetap melanjutkan pekerja an nya meski-
pun hari telah malam. Ketika melihat Puji masuk
kembali, ia menyuruhnya tidur lebih dulu.
"Tidurlah duluan, Mas. Tanggung nih kalau ku-
tinggal. Nanti kususul," katanya ringan.
Mendengar suara Dewi yang ringan dan melihat air
mukanya yang teduh, Puji merasa amat lega. Rupanya
Dewi senang karena aku tadi telah mem bantunya
meng angkut kado-kado dari kamar pengantin ke kamar
ini, pikirnya. "Baiklah. Tetapi jangan terlalu memaksakan diri
bekerja lho, Wik. Kau akan kecapekan nanti," sahutnya
kemudian. "Ya," Dewi menjawab, masih ringan .
Setelah melihat Puji pergi, Dewi mengembuskan
napas panjang. Bibirnya mencibir ke arah punggung
Puji yang menghilang dari pandangan.
"Dibohongi tidak tahu," gumamnya pada diri sen diri.
"Memangnya, siapa yang mau menyusul"!"
Itulah memang yang terjadi. Begitu barang-barang
yang akan dipak tinggal sedikit sementara jam telah
menunjuk pukul setengah sebelas malam, Dewi meng-
hentikan pekerjaannya. Kemudian diam-diam ia
mengunci pintu kamarnya. Setelah membersihkan diri
di kamar mandi, dibaringkannya tubuhnya yang letih
ke tempat tidur. Dia tidak ingin tidur ber sama Puji di
kamar pengantin. Senang hatinya dapat mengelabui
laki-laki itu. Di kamarnya yang lama ini, ia pasti akan
tidur dengan nyenyak dan tenang.
Pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan langsung
http://pustaka-indo.blogspot.com175
mandi kemudian melanjutkan pekerjaannya. Ia tidak
ingin terlihat seperti sengaja menghindari Puji. Dia
yakin laki-laki itu akan masuk lagi ke kamar ini untuk
melihatnya. Maka ketika ia sedang menulisi apa saja isi
kardus-kardus yang akan dibawa pindah, Puji masuk.
Laki-laki itu tampak rapi.
"Kau tidak jadi menyusulku?" tanyanya dengan nada
tidak enak. Rupanya ia tersinggung.
"Saking sibuknya, aku tidak memperhatikan waktu.
Tahu-tahu sudah jam setengah satu," sahut Dewi
dengan muka tak berdosa. "Jadi sebelum me nyusulmu,
aku ingin berbaring sebentar untuk melemaskan badan
yang pegal-pegal. Ternyata kebablasan sampai pagi."
Puji menatap sejenak wajah tak berdosa yang ber hasil
ditampilkan Dewi, sehingga ia ragu apa kah pe rem puan
itu sengaja menghindarinya atau tidak. Se men tara Dewi
segera melanjutkan pe kerja annya, me nulisi permukaan
dus-dus di dekatnya. "Sudah sarapan, Mas?" tanyanya kemudian. Suaranya
terdengar lembut. "Belum. Aku menunggumu."
"Bagaimana dengan yang lain" Sudah sarapan?"
tanya Dewi lagi. "Sepertinya sudah. Adik-adikmu bahkan sudah be-
rangkat semua," jawab Puji. "Tinggal Bapak dan Ibu."
"Kalau begitu, ayo kita sarapan sekarang. Perutku
sudah lapar." "Ayolah." Beriringan mereka menuju kamar makan. Puji segera
melupakan rasa tersinggungnya tadi. Sikap Dewi tam-
http://pustaka-indo.blogspot.com176
pak lebih manis. Dia tidak tahu pe rempuan itu ber-
usaha mengurangi ketegangan di antara mereka karena
tak ingin kedua orangtuanya mengetahui hal itu.
Di ruang makan, mereka melihat Bapak sudah tam-
pak rapi, siap berangkat ke kantor.
"Bapak sudah sarapan?" tanya Dewi.
"Sudah. Kudengar, kalian sudah akan pindah ru-
mah," sahut Pak Sulistyo. "Apakah tidak terlalu buru-
buru?" "Saya juga bilang begitu pada Wiwik, Pak. Tetapi
dia tidak setuju," kata Puji.
"Aku tidak suka menganggur, Pak. Pindah hari ini
atau minggu depan, tetap saja itu kan harus dilakukan.
Jadi, kenapa tidak sekarang saja supaya semuanya cepat
selesai?" sambung Dewi.
"Yah... kalau memang itu sudah menjadi keinginan-
mu, silakan saja. Jika butuh bantuan Bapak, katakan
saja. Misalnya biaya untuk membuat taman," kata sang
ayah lagi sambil mengambil tas kantornya.
"Baik, Pak. Terima kasih."
Begitulah, sesudah semuanya siap, menjelang siang
itu mereka sudah pindah ke rumah yang selama ini
mereka renovasi bersama, setahap demi setahap. Ru-
mah yang aslinya biasa-biasa saja, kini tampak indah
se telah dirombak di sana-sini dan siap dihuni. Pe-
rangkat kursi tamu, sudah ada. Rak pajang, ada. Ke-
cuali lemari es, perabotan ruang makan yang menyatu
dengan ruang keluarga juga sudah lengkap, berikut
televisi yang cukup besar. Begitu juga perabot kamar
tidur dan dapur, sudah cukup lengkap. Hanya kamar
http://pustaka-indo.blogspot.com177
tidur depan yang masih belum ada isinya. Juga teras,
masih kosong. Tetapi itu semua, termasuk lemari es,
bisa segera menyusul. Masih ada kado-kado uang yang
belum dibuka. Dewi dan Puji sudah sering datang ke rumah ini.
Tetapi sekarang begitu berada di rumah yang akan di-
tempatinya, tiba-tiba saja perasaan Dewi bagai dibebani
berton-ton batu. Sudah tidak ada lagi kegembiraan dan
bayangan-bayangan indah untuk membentuk keluarga
bahagia di rumah ini. Sebelum ini, betapa seringnya ia
dan Puji bercanda sambil menata rumah. Betapa
seringnya juga mereka bermesraan sampai akhirnya
Dewi menarik diri dari pelukan Puji sambil meng-
ingatkan sang kekasih untuk mengendalikan diri.
Bahkan tidak jarang pula dia membayangkan anak-
anak mereka sedang berlarian ke sana kemari di rumah
ini. Teringat bayangan mengenai anak-anak yang kelak
akan lahir di dalam pernikahannya, Dewi tersentak
kaget. Pikirannya langsung bekerja. Ketika melihat Puji
sedang mendorong dus-dus besar ke ruang tengah,
cepat-cepat ia memakai kesempatan itu untuk me-
laksanakan apa yang terpikir olehnya.
"Mas, tadi Ibu membawakan makan siang dan mi-
num an. Tetapi buahnya terlupa. Aku keluar sebentar
ya, mau mencari jeruk atau pisang di luar kompleks,"
katanya. "Pinjam mobilmu, ya."
"Itu bukan mobilku, Wik. Tetapi mobil kita."
Dewi tidak berkomentar. Takut kalau-kalau lidahnya
yang tajam akan menyinggung keberadaan Indah. Se-
http://pustaka-indo.blogspot.com178
berapa banyak perempuan itu punya hak seperti yang
diberikan Puji untuknya" Tidakkah itu terpikir oleh
Puji" Maka untuk mengekang lidahnya, lekas-lekas
Dewi keluar rumah untuk mencari buah dan penganan
ringan walaupun sebenarnya bukan itu tujuan utama-
nya. Makanan itu hanya sarana untuk pergi ke apotek
yang juga ada di luar kompleks. Diam-diam ia membeli
obat antihamil karena yakin nanti malam ia tak
mungkin lagi menghindari hasrat Puji. Sebab semuak
apa pun, ia harus bisa menerima laki-laki itu sebagai
suaminya yang sah. Dan itu konsekuensi atas pilihan-
nya sendiri. Yah, sesal dahulu pendapatan, sesal ke-
mudian tiada berguna. Dua minggu setelah mereka pindah rumah dan
kehidupan rumah tangga baru itu sudah mulai normal
karena Ibu menyerahkan Icih untuk menjadi pembantu
rumah tangga mereka, Dewi melihat Puji tampak resah.
Mudah sekali bagi Dewi untuk me nangkap arti keresah-
annya karena seperti itu pula lah yang sering dilihat da-
lam rumah tangga orangtua nya. Sudah waktunya meng-
giliri istri muda, tetapi kha watir dicela istri pertama.
Jadi Dewi menyinggung masalah itu secara terbuka.
"Kalau Mas Puji mau menjenguk Indah, pergilah,"
kata nya. "Dia pasti menunggu-nunggu ke datang anmu."
Puji tertegun, tidak menyangka Dewi akan berkata
seperti itu. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
"Memangnya aku kenapa" " Dewi menatap mata
Puji dengan tatapan tajam. "Itu kan risiko yang harus
kuhadapi?" http://pustaka-indo.blogspot.com179
"Maafkan aku, Wik. Aku cuma ingin memenuhi
ke wajibanku." "Pergilah, tidak usah pidato macam-macam."
"Paling lama aku akan di sana selama empat hari,
Wik." "Itu tidak adil. Mau berapa lama kau di sana, aku
tidak keberatan kok."
Puji tampak tersipu. Tetapi Dewi tidak peduli. Baru
ketika laki-laki itu meninggalkan rumah, tanpa ia


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sadari matanya men jadi basah. Bukan karena sedih di-
tinggalkan Puji. Bukan karena cemburu. Melainkan
karena malu pada diri sendiri, harus berbagi suami
dengan perempuan lain. Harga dirinya seperti terkoyak
rasanya. Ah, kenapa begini kehidupan yang harus
dilaluinya" Sampai kapan ia bisa menjalani ke hidupan
yang telah merobek seluruh prinsip hidupnya sendiri
ini" Sampai kapan pula ia kuat menahan protes keras
suara hatinya sendiri karena telah memasuki ke hidupan
perkawinan poligami yang dibencinya" Apalagi kalau ia
teringat pesan ibunya ketika kemarin dulu berkunjung
ke rumah ini. "Wik, baik-baiklah dengan para tetangga. Ikut
arisan, ikuti pula kegiatan lain yang sempat kau laku-
kan. Tetapi jangan masuk terlalu dalam di situ. Jaga
pula harga dirimu baik-baik, jangan sampai ada yang
tahu Puji punya istri yang lain," begitu antara lain yang
dikatakan oleh Ibu. "Ya, Bu. Pengalaman Ibu akan kuingat."
"Ibu memilih Icih untuk tinggal bersamamu karena
dia punya pengalaman yang sama. Dia pasti tahu
http://pustaka-indo.blogspot.com180
bagaimana harus menutup mulut. Delapan tahun be-
kerja bersama kita, Ibu percaya kepadanya."
"Ya, Bu." Sebenarnya kepergian Puji membuat Dewi lega. Dia
tidak perlu harus berbuat seperti perempuan berdarah
panas agar jangan dijadikan objek kenikmatan Puji
meski pun itu menimbulkan rasa perih luar biasa di
hatinya. Setiap kali selesai melakukannya, setiap itu
pula ia menumpahkan air matanya di kamar mandi.
Situasi seperti itu lama-kelamaan menyebabkan
Dewi sering merasa kehilangan pegangan. Bahkan, ke-
hilangan kehidupan yang memberinya kepuasan batin.
Tidak ada pekerjaan yang bermakna dalam hidupnya.
Tidak ada kesibukan yang bisa menenggelamkannya ke
dalam keasyikan. Hampir semua urusan rumah tangga
sudah dikerjakan Icih. Sedangkan mengatur rumah
yang baru ditempatinya itu, juga sudah selesai. Bahkan
dinding-dinding juga sudah dihiasi lukisan dan be-
berapa pajangan yang semakin mempercantik rumah
ini. Jadi, dia ingin bekerja di luar rumah. Tetapi saat
ini, untuk mengisi waktu ia terpaksa membeli berbagai
majalah dan ilm-ilm Korea klasik yang bercerita
tentang kerajaan. Cara mereka membuat ilm sungguh
detail, teliti, cermat, dan pandai sekali menyajikan alur
cerita karena dibuat secara matang. Para pemainnya
juga pandai berakting dan pakaiannya sesuai masa itu.
Entah kapan Indonesia bisa membuat ilm seperti itu.
Maka majalah-majalah dan ilm-ilm yang Dewi beli
itulah yang terlihat oleh Puji ketika ia kembali ke
rumah, empat hari kemudian. Rasa bersalah lang sung
http://pustaka-indo.blogspot.com181
menyusupi hati laki-laki itu. Karenanya ketika mereka
sedang menonton televisi, laki-laki itu men cetuskan
gagasannya. "Wik, bagaimana kalau kau mengikuti kursus musik
atau bahasa, atau apa sajalah yang ingin kaulakukan?"
tanyanya. "Kenapa Mas menyarankan itu" Mengira aku kesepi-
an, ya?" "Aku tidak tahu apakah kau merasa kesepian atau
tidak, tetapi aku ingin kau punya kesibukan yang ber-
arti," jawab Puji. "Aku tidak merasa kesepian. Tetapi aku merasa bo-
san. Sangat bosan. Di rumah orangtuaku, selalu ramai.
Kalau bukan karena ulah adik-adikku, tentu suara
ramai di tempat Ibu memberikan kursus. "
"Jadi...?" "Jadi, aku ingin bekerja," jawab Dewi tegas. "Sebab
percuma saja kalau ilmu yang kupelajari selama empat
setengah tahun di bangku kuliah hanya tersimpan di
otakku. Kalaupun tidak, aku ingin me lanjutkan studiku
ke jenjang berikutnya. Bagiku, seperti itulah kesibukan
yang benar-benar punya arti. Bukan hal-hal lainnya."
"Kau kan sudah beberapa kali menulis artikel di
koran-koran dan majalah. Lakukan saja lagi. Ada
komputer, ada printer, ada banyak buku referensi yang
bisa kaumanfaatkan untuk itu kan, Wik" Dapat honor
lumayan pula." "Aku ingin bekerja atau kuliah pascasarjana. Tidak
ingin yang lain-lain. Kalaupun ada, itu hanya sambilan
saja." http://pustaka-indo.blogspot.com182
"Nantilah kita pikirkan. Sekarang aku ingin me-
nikmati kebersamaan denganmu. Senang rasanya
duduk berdampingan denganmu begini."
Gombal, cetus Dewi dalam hati. Di rumah Indah,
pasti kata-kata seperti itu juga diucapkan Puji kepada
perempuan itu. Karena tidak mendapat reaksi apa pun atas kata-
kata nya tadi, Puji menoleh ke arah Dewi.
"Sepertinya kau tidak memercayai perkataanku,"
gumamnya. "Apakah itu penting?"
Kini Puji yang terdiam. Dia tidak ingin suasana
damai ini terkoyak. Namun Dewi justru merasa sebal
karenanya. Sulit baginya menghindari suasana yang
tidak menyenangkan itu. Rasa tertekan, rasa tak puas,
kekecewaan, dan protes keras dari sudut-sudut hati
terhadap diri sendiri membuatnya jadi sering bersikap
sinis. Dewi tidak seperti ibunya yang mencari berbagai
kesibukan hanya untuk mengurangi patah hati dan rasa
sepi. Oleh sebab itu, kalau tidak segera diatasi dengan
melakukan apa yang diinginkannya, yaitu bekerja di
luar rumah, ia pasti akan menderita. Dan bukan mus-
tahil sikapnya akan semakin sinis dan tak menyenang-
kan. Yah, ia memang harus segera memutuskan apa yang
benar-benar diinginkannya dan potensi alami apa yang
harus diaktualisasikan sehingga ada manfaatnya bagi
orang lain. Bukan karena alasan lain. Manusia yang
mengerti makna harga diri, mengerti pula apa tujuan
hidupnya, adalah manusia yang tahu menghargai
http://pustaka-indo.blogspot.com183
martabat kemanusiaannya sebagai subjek atau individu
otonom. "Mas, aku sudah memutuskan untuk segera melamar
pekerjaan. Beberapa bulan ini aku merasa membuang-
buang waktu dan menyia-nyiakan hidupku sendiri,"
katanya suatu malam ketika mereka baru saja mem-
baringkan tubuh. "Sebetulnya kau bisa ikut kegiatan ibu-ibu kom-
pleks, Wik. Misalnya senam pagi di lapangan yang
akan dijadikan taman itu. Pagi-pagi kalau aku be-
rangkat ke kantor, kulihat mereka senam di sana," ko-
mentar Puji. "Atau ikutlah membantu di posyandu.
Kalaupun tidak, kau bisa mengikuti berbagai kegiatan
lainnya yang diadakan di kompleks perumah an kita ini.
Kudengar ada kursus masak, kursus mem buat penga-
nan, kursus keterampilan kerajinan daur ulang, dan
macam-macam lagi di aula RW."
"Senang aku mendengar para ibu di sini punya
kegiatan yang bermanfaat seperti itu, Mas. Salut,
sungguh," kata Dewi menanggapi informasi yang di-
sampaikan Puji. "Tetapi sayangnya, gerak dan alunan
jiwaku lebih tertuju pada kegiatan yang ber kaitan
dengan bidang studiku. Bapak sudah menye kolah kan
aku, masa tidak kuterapkan" Nah, sambil bekerja, aku
akan mengumpulkan uang untuk meng ambil gelar
magister di bidang komunikasi massa. Aku tidak ingin
meminta bantuan Bapak meskipun beliau masih ingin
membiayai kuliah lanjutanku."
"Tidak mudah mencari pekerjaan lho, Wik."
"Betul sekali. Tetapi aku memercayai seleksi alam.
http://pustaka-indo.blogspot.com184
Bukan bermaksud menyombong, aku punya se suatu
yang bisa diperhitungkan dan siap bertarung de ngan
yang lain. Di koran hari ini, aku melihat bebe rapa
lowongan pekerjaan. Aku akan mengirim surat lamar-
an." "Terserah kalau kau sudah mempertimbangkannya."
"Ya, aku memang sudah memperhitungkan semua-
nya. " "Tetapi dampaknya, kau pasti akan terlibat berbagai
kesibukan sehingga waktu yang seharusnya bisa kita
pakai bersama akan berkurang."
"Itu risiko pekerjaan." Hampir saja lidahnya yang
se karang menjadi tajam itu melontarkan kata-kata
bahwa Puji bisa menerima seluruh perhatian Indah
de ngan sepenuh, kalau mau.
"Sudahlah, pembicaraan malam ini bisa kita bahas
besok pagi saja dalam situasi yang lebih tenang. Seka-
rang aku mengantuk," kata Puji sambil menggeserkan
tubuhnya ke dekat Dewi. Dewi menahan napas dan membiarkan tubuhnya
bagai terpaku di kasur. Puji mulai memeluk dan mem-
belai lengannya. Rupanya aroma jamu buatan Icih yang
baru saja diminum Dewi atas suruhan ibunya itu telah
menaikkan lagi suhu asmara di dada Puji.
"Meskipun jauh dari Ibu, ternyata kau masih tetap
rajin meminum jamu," bisik laki-laki itu.
"Bukannya rajin, tetapi terpaksa kuminum. Icih
tidak pernah menolak perintah Ibu," sahut Dewi datar.
"Aku tak boleh menyia-nyiakan usaha mereka."
Ah, gara-gara Ibu, keluh Dewi dalam hati. Masih
http://pustaka-indo.blogspot.com185
saja pemikiran beliau ada pada ke ampuhan jejamuan,
yang menurutnya dapat dipakai sebagai pengikat hati
suami agar lebih betah berada di sampingnya.
"Itu tadi jamu pengantin, kan?" Puji berbisik di sisi
telinga Dewi sambil mengecup leher dan membelai
rambutnya. "Itu jamu sehat perempuan." Dewi menjawab se-
kena nya. "Bukan jamu seperti yang ada di dalam pikir-
anmu." "Apa pun jamunya, pasti penting khasiatnya, Wik."
"Entahlah, aku tak memikirkannya."
Puji tidak berkata apa-apa lagi. Sebagai gantinya, ia
membuka kancing baju tidur Dewi sehingga pe rempu-
an yang tidak suka dimesrai olehnya itu melontarkan
kata-kata sinisnya lagi. "Apakah Indah kurang memberikan kemesraan ke-
pada mu?" ucapnya, tak terkontrol. Baru dua hari yang
lalu Puji mengunjungi Indah.
Pelukan Puji mengendur sesaat.
"Lupakanlah dia," bisiknya sebelah mampu me-
nguasai diri. "Di sini hanya ada kau dan aku. Dan
terus terang, dia tidak punya sesuatu yang ada padamu.
Kau sungguh istimewa dan penuh dengan kejutan."
Dewi menggigit bibir begitu mendengar ucapan Puji
yang intinya mau mengatakan bahwa ia memiliki
banyak kelebihan di tempat tidur dibanding Indah.
Sakit sekali dada Dewi mendengar kata-kata Puji. Dia
mulai mengerti bahwa caranya memper tahan kan diri
dengan menikmati apa yang bisa dinikmati agar bukan
hanya tubuhnya saja yang dijadikan objek kenikmatan
http://pustaka-indo.blogspot.com186
Puji, telah memukul balik dirinya. Puji ter gila-gila pada
kemampuannya memanaskan kasur. Dan itu sungguh
membuatnya merasa mual. Dia benci pada dirinya sen-
diri. Ketika tangan laki-laki itu semakin nakal, Dewi
semakin tidak tahan. Tangan itu ditepiskannya.
"Aku sedang haid, Mas," dia berbohong.
"Jamu tadi?" Jamu lagi, jamu lagi. Sebal mendengarnya.
"Sudah kubilang, itu jamu sehat perempuan. Supaya
haidnya lancar," sahutnya. "Jelas?"
Puji mengangguk sambil mengeluh kecewa. Peluk-
annya mengendur. "Ya sudah, kalau begitu," katanya kemudian. " Masih
ada hari lain." Dewi diam saja. Tetapi diam-diam dia mencibir.
Aku tidak seperti ibuku, katanya dalam hati. Aku tidak
sudi menunggu sepotong hati. Ketika Puji mengucap-
kan selamat tidur dengan mengecup pipi nya, Dewi
membandingkannya seperti anak kecil yang dibiarkan
menjilat kue yang tidak boleh dimakan. Ah, seperti itu
jugakah perasaan ibunya setiap Bapak pulang dari
menggiliri istri muda nya" Adakah rasa mual seperti
yang ia rasakan ini" Adakah rasa terhina seperti yang
merebak di dadanya ini" Dan adakah harga dirinya
ter luka" Dewi tidak tahu apa jawabannya. Ibunya sangat
pandai menutupi perasaan. Ia hanya tahu, ibunya selalu
berusaha dengan bermacam cara untuk menunjukkan
kemandirian dan keanggunan sebagai istri yang pantas
http://pustaka-indo.blogspot.com187
diacungi jempol. Bahkan sesudah madunya meninggal
pun ia masih berjuang melepaskan suaminya dari jerat
duka dan dari kenangan manisnya bersama pe rempu an
yang menjadi istri mudanya itu.
Namun itulah ibunya. Berbeda sekali dengan diri-
nya. Dia tidak pernah berusaha meraih hati dan per-
hatian Puji. Cintanya yang memang tidak pernah
penuh terhadap laki-laki itu kini mulai ber tengger di
bibir jurang. Nyaris terguling. Dia tidak pernah
khawatir kalau-kalau hati Puji akan berpaling darinya
sebagaimana kecemasan yang ada di hati ibunya. Di


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya tidak ada perasaan ber saing dengan Indah
sebagaimana yang dialami ibunya terhadap madunya.
Tetapi dilihat dari luar, apa beda nya dia dengan ibu-
nya" Mereka sama-sama mem punyai madu. Mereka
sama-sama harus berbagi suami. Mereka sama-sama
hidup dalam perkawinan poligami meskipun ada per-
bedaan mendasar dalam me mandang perkawinan
seperti itu. Meski ibunya lahir di alam kemerdekaan,
masih memiliki pola pikir seperti neneknya dan nenek-
nya lagi, yang memandang poligami sebagai sesuatu
yang wajar terjadi kendati hati nya tak mampu me-
nerima. Sementara dirinya sangat berbeda. Menurut-
nya, serela apa pun orang me masuki perkawinan
poligami, niscaya sering mengalami benturan-benturan
yang mencuil nilai-nilai kehidupan dan bahkan nilai
kemanusiaan yang seharusnya di junjung. Sebab sedikit-
banyak pasti ada persaingan, ke bencian, dendam,
kecemburuan, kemunaikan, ke bohongan, kemarahan,
rasa iri, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Maka
http://pustaka-indo.blogspot.com188
kenyataan bahwa Dewi memiliki madu dan mengetahui
hal itu tetapi tidak menunjuk kan protes yang jelas,
telah menyeretnya dalam pusaran kehidupan sebagai-
mana yang dialami perempuan-perempuan dulu saat
per maduan, perceraian sepihak, per seliran, pergundik-
an, dan semacamnya, masih ba nyak terjadi.
Sistem nilai feodalisme yang sering mendua"di satu
sisi banyak sekali ajaran-ajaran bernilai yang luhur,
namun di sisi lain menerapkan hubungan manusia yang
tidak setara antara ndoro"abdi, pejabat-bawahan, antara
laki-laki-perempuan"sering dijadikan tolok ukur dan
panutan di mana-mana selama berabad-abad lamanya.
Bahkan bangsa Belanda yang menjadi penjajah pun
ikut-ikutan menerapkan kehidupan seperti itu. Ada
ndoro sinyo-ndoro nonik, ada nyai-nyai, perempuan
simpanan mereka. Maka di antara sosialisasi ajaran
ten tang nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, di dalam-
nya tercemar juga oleh hal-hal negatif, termasuk pen-
jajahan laki-laki terhadap perempuan dan menyesapi
kenikmatan hidup, misalnya termasuk hobi memelihara
burung perkutut. Itu salah satu hal penting yang diprotes Ibu Kartini.
Itulah pula yang diprotes sekelompok organi sasi pe-
rempuan di zaman penjajahan, yang ber upaya mem-
perjuangkan nasib kaum perempuan yang terpuruk.
Maka hasil kongres perempuan yang pertama pada 20-
22 Desember 1928 di Yogyakarta, di antara nya adalah
deklarasi yang merumuskan tuntutan ter hadap upaya
pe ningkatan kondisi perempuan, per syaratan perkawin-
an berdasarkan emansipasi, dan peng hapusan bentuk
http://pustaka-indo.blogspot.com189
penindasan. Tetapi, sampai seka rang, hasilnya masih
jauh panggang dari api. Budaya patriarki masih tetap
ber megah-megah. Maka tak heran, meskipun laki-laki
dan perempuan mempunyai martabat, kemampuan,
ke ahlian, keberanian, bakat, dan potensi yang sama
dengan laki-laki, kehidupan perempuan masih juga be-
lum lepas sepenuhnya dari keterpurukan, ketergantung-
an, dan ketertinggalan. Berpikir seperti itu, Dewi menarik napas dalam-
dalam. Dadanya terasa sesak dan tenggorokannya terasa
sakit. Diliriknya, Puji telah lelap tertidur dengan
tenang, dadanya bergerak turun-naik dengan teratur.
Entah sedang mimpi apa dia. Alangkah enaknya. Sejak
tadi, Dewi belum juga bisa memejamkan mata. Pikir-
annya terus bergerak ke sana kemari sampai akhir nya
muncul keputusan yang lebih konkret dalam benaknya.
Besok selain menulis surat lamaran, ia akan meng-
hubungi Nanik, bekas teman kuliahnya yang bekerja di
suatu penerbitan terkenal.
Beruntung bagi Dewi, Nanik memberinya informasi,
bahwa salah satu majalah yang diterbitkan kantor nya
membutuhkan tenaga andal setelah dua orang staf
redaksi mengundurkan diri secara ber samaan karena
dibajak kantor penerbitan lain.
"Tetapi soal diterima atau tidaknya, tergantung hasil
wawancaramu dengan para bos lho, Wik," kata Nanik.
"Tentu saja. Aku juga tidak suka kok diterima be-
kerja di suatu tempat melalui jalan belakang. Ah, kau
pasti tahu itu." "Ya. Dan aku percaya, kau mampu bersikap
http://pustaka-indo.blogspot.com190
profesional. Kita sama-sama berjuang di bangku kuliah
selama empat tahun lebih, masa tidak tahu seperti apa
dirimu," kata Nanik sambil tertawa. "Semoga sukses,
ya" Meskipun majalah kita lain, tetapi kita akan be-
kerja di bawah atap yang sama."
"Doakan ya, Nik."
Dengan penuh semangat, Dewi memenuhi panggilan
wawancara. Karena majalah itu mempunyai segmen
pasar kelas menengah ke atas, ia mengenakan pakaian
yang modis dan anggun namun enak dipakai untuk
bekerja maupun untuk melakukan wawancara dengan
tokoh masyarakat yang menjadi nara sumber. Ditambah
caranya bersikap dan penampil an isiknya yang me-
mang sudah ayu dari sananya, orang-orang yang me-
wawancarainya langsung terkesan. Apalagi ketika
dengan fasih ia menjawab apa pun pertanyaan mereka.
Singkat kata, ia langsung diterima. Kabar gembira itu
disampaikannya kepada Puji dengan mata berbinar.
Sesaat, laki-laki itu menatap wajah Dewi. Ia tidak
menyangka, proses pencarian kerja itu begitu cepat.
"Kau benar-benar beruntung, Wik. Sekarang ini ada
beberapa perusahaan gulung tikar dan harus mem-
PHK-kan karyawannya."
"Ya. Itulah kemurahan Tuhan untukku. Jadi aku
tidak boleh menyia-nyiakannya," jawab Dewi.
Selama dua minggu lamanya Dewi harus melakukan
adaptasi dan menyesuaikan etos kerja sebagai staf
redaksi di majalah yang sudah mempunyai nama dan
besar oplahnya itu. Dia belum pernah bekerja, namun
karena pada dasarnya dia memiliki jiwa juang yang
http://pustaka-indo.blogspot.com191
tinggi dan otak yang cukup cemerlang, setelah proses
penyesuaian berakhir, Dewi mampu menunjukkan
kuali tas pekerjaannya. Rekan-rekan sekerjanya me-
nyukai nya. Bukan hanya karena kemampuannya bekerja
saja, tetapi juga karena kepribadiannya yang menarik.
Bagi Dewi pribadi, yang paling penting adalah bagai-
mana ia bisa merealisasikan potensi, bakat, dan ilmu-
nya dengan bekerja di tempat yang memberinya sarana
untuk mengembangkan diri. Apalagi setelah tiga bulan
bekerja, gajinya langsung naik.
"Aku merasa seperti orang yang baru lahir. Ke-
mampu an, bakat, dan ilmuku bisa bermanfaat bagi
orang lain," katanya kepada Puji ketika sedang makan
malam bersama. "Aku juga lega bisa mencari uang
sehingga tidak terlalu membebanimu, bahkan bisa ikut
mendukung kesejahteraan rumah tangga."
Melihat betapa senang dan bersemangatnya Dewi,
Puji hanya tersenyum. Meskipun semula kurang setuju
melihat Dewi bekerja, tetapi kini setelah melihat bagai-
mana sejak bekerja itu Dewi tidak lagi tampak murung
dan perkataan-perkataan sinis yang sering dilontarkan
kepadanya hampir-hampir tak pernah di dengarnya lagi,
Puji lega. Ditambah lagi, ke uangannya pun terbantu.
Peralatan dapur yang semula masih kurang memadai,
kini jauh lebih lengkap, ter masuk peralatan membuat
kue sehingga Icih yang sudah belajar membuat kue-kue
dari Ibu, bisa membuat berbagai penganan. Begitupun
perabotan lain yang semula belum bisa terbeli, kini
telah menambah isi rumah. Termasuk AC.
Meskipun demikian, Dewi tahu betul Puji sering
http://pustaka-indo.blogspot.com192
merasa malu kepadanya jika melihatnya pulang dengan
membawa pernik-pernik perlengkapan rumah tangga
yang sepertinya tidak ada habis-habisnya. Ternyata
memang tidak sedikit kebutuhan rumah tangga yang
harus dipenuhi. Kecil-kecil tetapi dibutuh kan seperti
seprai, taplak meja makan, serbet dapur, alat pel, keset,
stoples, kemoceng, dan lain sebagainya. Tidak mahal,
tetapi karena banyak, jadinya meng habiskan uang juga.
Semua itu pernah mereka bahas sebelum peristiwa
dengan Indah terjadi, dan tertunda karena laki-laki itu
harus membiayai dua rumah tangga. Dengan bekerja,
Dewi benar-benar telah mem bantunya mengatasi
masalah ekonomi yang semula kurang mulus. Kehidup-
an ini menjadi lebih lancar. Tetapi ada satu hal yang
masih mengganjal perasaan Dewi, yaitu kedekatan diri-
nya dengan ketiga adiknya menjadi terusik sejak ia
menikah dengan Puji. Satu kali pun mereka belum
pernah datang berkunjung. Tetapi karena tahu bahwa
hal itu disebabkan kasih mereka ke padanya, Dewi sering
mengalah dengan mengunjungi rumah orangtuanya jika
dia kangen kepada adik-adik nya.
Namun di atas semua itu, masalah yang paling
mem buat Dewi merasa amat tertekan adalah setiap ia
menghadapi kemesraan Puji di tempat tidur. Sampai
detik ini ia masih belum tahu bagaimana mencari jalan
keluar yang lebih baik untuk mengatasinya. Setiap kali
Puji mencumbunya, setiap kali itu pula ia menunjuk-
kan pemberontakan. Agar Puji tidak menjadikan
dirinya objek belaka dan agar laki-laki itu tidak me-
manipulasi tubuhnya, Dewi berusaha meng imbangi nya
http://pustaka-indo.blogspot.com193
sebagaimana yang dilakukan Puji terhadapnya. Ia juga
harus menjadi subjek yang sama. Ia juga harus bisa
membuat Puji sebagai objek kenikmatannya.
Tetapi, masih seperti semula, setiap badai asmara
telah berlalu dan Puji sudah tidur nyenyak, diam-diam
Dewi masuk ke kamar mandi untuk menumpahkan
tangisnya. Sakit hatinya. Perih jiwanya. Lebih-lebih jika
teringat pesan ibunya agar sebagai perempu an ia harus
bisa menampilkan diri sebagai perempuan baik-baik
yang santun, perempuan yang tahu malu, perempuan
yang mampu menahan gejolak asmara, dan beberapa
hal tabu di tempat tidur yang harus diingat-ingat
olehnya. Ketika itu Dewi merasa ajaran ibunya tidak tepat
bagi perempuan zaman sekarang, di mana laki-laki dan
perempuan menempati tataran setara dalam segala hal,
termasuk memiliki hak untuk menikmati gairah asmara
dari suami tercinta. Ada timbal-balik, di mana mem-
beri dan menerima menjadi bagian dari penyataan
kasih sayang keduanya. Kendali-kendali, tabu-tabu, dan
keanggunan di saat yang paling intim bersama suami
sudah tidak pada tempatnya lagi. Jika hal-hal semacam
itu masih tetap diberlakukan, akan ada banyak pe-
rempuan yang mengalami stres, sulit tidur, mudah ter-
singgung, sinis, dan lain sebagainya sebagai akibat
kehidupan seksnya yang dipenuhi tabu.
Tetapi apa yang dialaminya di dalam pernikahannya
dengan Puji, tidak seperti itu. Tidak ada ketulusan dan
cinta suci yang mewarnai perpaduan mereka di tempat
tidur. Dan itulah yang paling menyebabkan Dewi men-
http://pustaka-indo.blogspot.com194
derita batin. Kalau ia tidak mempunyai kesibukan
menyenangkan di kantor, bisa jadi gila rasanya. Oleh
sebab itu ia senang kalau Puji sedang bersama Indah.
Sandiwara memualkan itu tak perlu terjadi. Begitu juga
jika dia ditugaskan meliput event di luar kota atau
peristiwa-peristwa yang terjadi di tempat-tempat yang
jauh dari Jakarta. Selama lima bulan bekerja, sudah
dua kali dia bertugas ke luar kota. Dan dia senang ka-
rena nya. Tetapi ketika di suatu saat Dewi harus ber-
tugas ke luar Jawa yang cukup jauh, Puji mulai me-
nyatakan keberatannya. "Banyak yang lain, kenapa kau yang ditugaskan ke
sana sih?" katanya setengah menggerutu.
"Yang jelas bukan karena aku lebih baik daripada
yang lain. Kurasa, ini bagian dari ujian terhadap ke-
mampuanku." "Atau karena kau orang baru dan yang lain ke berat-
an dikirim ke luar Jawa?" komentar Puji lagi.
"Entah apa pun alasannya, aku senang kok dikirim
ke luar Jawa. Akan ada banyak pengalaman yang bisa
kugali di sana. Akan ada banyak pemandangan yang
bisa kulihat. Akan ada banyak pula pelajaran dan
penge tahuan yang kudapat. Belum pernah aku pergi
sendirian ke luar Jawa."
"Tetapi lama-lama kau semakin terlibat jauh ke da-
lam pekerjaanmu." "Itulah risikonya bekerja di dunia penerbitan. Pada
prinsipnya, wartawan itu bekerja selama 24 jam."
"Tetapi kau itu perempuan yang sudah be rumah
tangga, Wik. Nomor satu adalah mendahulukan ke-
http://pustaka-indo.blogspot.com195
luarga," Puji menggerutu lagi. "Apakah mereka tidak
tahu kau sudah menikah?"
"Tahu. Tetapi apa relevansinya" Di mana pun orang
bekerja dan mendapat gaji, harus mendahulukan
kewajiban dan tugas-tugasnya. Kecuali jika ada hal-hal
di luar kekuasaannya seperti anak sakit, misalnya."
Puji menatap wajah Dewi yang belakangan ini tam-
pak semakin cantik karena tuntutan pekerjaan dan
karena cinta pada pekerjaannya.
"Kurasa, Wik, sudah saatnya kita merencanakan
untuk punya anak sehingga kantormu akan ber pikir
dua kali lebih kalau mau menugaskanmu ke luar Jawa
atau ke mana pun yang sampai berhari-hari lamanya,"


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya kemudian. Mendengar perkataan itu Dewi ganti menatap wajah
Puji. Dadanya berdebar. Mudah-mudahan Puji tidak
tahu ia minum pil antihamil.
"Rencana itu bisa kaubuat dengan Indah," katanya
setelah mampu menguasai diri.
Puji langsung terdiam. Melihat itu Dewi mulai me-
nyerangnya lagi sebelum laki-laki itu balas menyerang.
"Dia lebih pantas menjadi ibu rumah tangga yang
siap merencanakan anak-anak yang lahir darimu, Mas.
Dia juga akan selalu ada saat kau membutuh kan keber-
adaan seorang istri," katanya, pura-pura tidak tahu saat
ini Indah sedang hamil tua. "Jadi ja ngan mengharapkan
itu dariku. Aku wanita karier."
Puji menarik napas panjang.
"Aku ingin mendapatkan anak darimu," katanya ke-
http://pustaka-indo.blogspot.com196
mudian dengan datar. "Sebab tanpa rencana dari pihak-
ku pun Indah sudah akan melahirkan anakku. Apakah
kaupikir aku akan menikah dengannya kalau dia tidak
sedang mengandung anakku" Hanya satu kali aku
terlena bersamanya, tetapi beginilah yang terjadi. Sama
sekali tak terduga."
Sekarang Dewi yang terdiam. Sejak mereka me-
nikah, baru sekali ini Puji membuka secara gamblang
mengapa ia menikahi Indah lebih dulu. Perut pe-
rempuan itu tidak bisa ditutupi. Dan dia harus ber-
tanggung jawab karenanya.
Kini ganti Puji yang merasa harus melanjutkan
bicara n ya ketika melihat Dewi terdiam. Dia tak mau
menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
"Nostalgia percintaan di masa lalu telah membuta-
kan mata kami berdua. Lebih-lebih ketika dengan
sedih ia menangis dalam pelukanku saat mengetahui
aku akan menikah denganmu. Tetapi setelah tahu per-
buat an itu mengakibatkan kehamilan, kami sadar telah
melakukan kekeliruan besar. Ternyata, kenangan indah
masa lalu tidak selalu indah pada akhirnya. Gunung
yang berada jauh di belakang kita selalu tampak indah
dan biru menyentuh awan seputih kapas. Kita sering
tergoda untuk kembali ke sana. Baru se sudah kita
berada dekat, tahulah bahwa itu hanya semacam fata-
morgana. Nah, itulah yang ku rasa kan. Maka yang
tinggal hanyalah rasa tanggung jawab."
"Untuk apa semua itu kauceritakan kepadaku" Pem-
bicaraan kita kok jadi melebar ke mana-mana?"
"Yang ingin kukatakan kepadamu adalah ke ingin-
http://pustaka-indo.blogspot.com197
anku untuk mendapat anak darimu. Dari istri yang
kucintai." "Ah, kau hanya ingin mengikatku agar lebih banyak
di rumah." "Wiwik!" "Mas tak jujur."
"Oke, itu memang ada juga dalam hatiku. Tetapi
yang paling utama adalah keinginanku untuk mendapat
anak yang juga sangat diinginkan oleh keluarga kita
masing-masing. Ibuku... tidak meng akui anak dari
Indah." "Anak adalah buah cinta, Mas. Jadi... sabarlah," sahut
Dewi, mulai merasa tak enak. Menjaga kehamilan ha-
rus lah dibahas oleh pasangan suami-istri. Bukan atas
keinginannya sendiri, seperti yang dilakukannya ini.
"Oke, aku akan bersabar. Tetapi aku sangat berharap
mendapat anak darimu agar kau bisa tetap berada di
sisiku dan tidak berpikir yang bukan-bukan. Aku tidak
mau kehilangan dirimu," kata Puji lagi.
"Jadi dengan adanya anak, selain ingin lebih mem-
batasi langkahku, kau juga ingin memiliki diriku sepe-
nuhnya, kan?" "Antara lain, ya."
"Kau egois. Mau memiliki diriku sepenuhnya. Sung-
guh tidak adil." "Apakah yang kau maksud dengan keadilan, kau
ingin aku menceraikan Indah supaya bisa memiliki
diri ku sepenuhnya?"
"Aduh, jauh betul larinya pikiranmu. Soal Indah,
http://pustaka-indo.blogspot.com198
aku tidak peduli sama sekali. Lagi pula, itu bukan
urus anku," kata Dewi ketus.
Puji tidak menanggapi sehingga Dewi me ngembali-
kan perhatiannya pada pekerjaannya. Ia sedang meng-
edit artikel yang masuk dari luar agar lebih enak di-
baca. Melihat, itu Puji me narik napas dalam. Lama
setelah Dewi sibuk dengan laptopnya, baru dia berkata
lagi. "Wik, kalau boleh aku meminta tolong, usahakanlah
supaya kau menolak tugas yang terlalu berat, apalagi di
luar kota yang medannya tak mudah dilalui. Orang
bilang, kalau perempuan yang bersuami terlalu sibuk
bekerja, kesuburannya akan berkurang. Aku benar-
benar ingin punya anak darimu."
Mendengar nada serius yang diucapkan Puji, lagi-
lagi perasaan Dewi tidak enak. Bagaimana mungkin dia
bisa hamil jika secara rutin minum pil antihamil"
"Mas, tidak cukupkah kau dengan anak yang se-
bentar lagi lahir itu" Aku masih belum siap pu nya
anak," sahutnya. "Lalu sampai kapan kau akan siap untuk itu?"
"Aku tidak tahu. Terus terang, rencana untuk itu
be lum ada di kepalaku."
"Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam pikir an-
mu, Wik. Sudah beberapa kali kukatakan tadi, aku
sungguh-sungguh ingin mempunyai anak yang lahir
dari rahimmu." "Aku mengerti," Dewi mencoba bersikap lembut.
Rasa bersalah atas pil antihamil itu menggayuti pikir-
annya. Tetapi ia harus mengatakan apa yang me mang
http://pustaka-indo.blogspot.com199
menjadi ganjalan perasaannya. "Tetapi cobalah juga
untuk mengerti perasaanku. Aku ingin anak-anak ku
lahir dalam situasi yang tenang, damai, dan senang di
mana ayahnya selalu ada jika mereka butuhkan."
Puji langsung terdiam. Selama masa pacaran, sudah
berulang kali Dewi menceritakan pedihnya hati karena
ayahnya tidak selalu ada di rumah.
"Situasi seperti itu sangat tidak sehat untuk anak-
anak. Kalau ada acara keluarga, kami sering pergi tan-
pa keberadaan Bapak. Sedih dan malu rasanya. Apalagi
melihat bagaimana Ibu selalu mencoba menutupinya
dengan berbohong, seakan Bapak sedang bertugas ke
luar kota. Padahal banyak dari keluarga besar kami
tahu ke mana sebetulnya Bapak pergi," begitu Dewi
dulu sering bercerita. Karena Puji tidak menanggapi perkataannya, Dewi
segera melanjutkan dan mengeluarkan senjata pa-
mungkas nya. "Jadi, Mas, biarkanlah waktu yang akan menjawab
keinginanmu untuk mendapat anak dariku. Sekarang,
jalani saja dulu kehidupan ini bagaikan air mengalir,"
katanya. "Kurasa wajar sekali kalau aku menginginkan
anak-anakku lahir dalam situasi yang sehat dan kondu-
sif." Puji masih terdiam. Dia tahu betul keinginan Dewi.
Artinya, saat ini kehidupan perkawinan mereka tak
bisa menunjang kebahagiaan yang utuh bagi anak-anak
yang lahir di dalamnya. http://pustaka-indo.blogspot.com200
DEWI menimang-nimang kartu undangan itu sam-
bil memikirkan gaun apa yang pantas dikena kan untuk
acara malam nanti. Ia diminta mewakili kan tor
penerbitannya untuk menghadiri acara Pemilih an Putri
Indonesia dan Puji sudah berjanji mau meng antar-
kannya pergi. Tetapi baru saja Dewi keluar kamar
mandi, laki-laki itu minta maaf karena tidak jadi meng-
antarkannya pergi. "Aku... harus ke sana..." katanya menjelaskan.
Tiga patah kata itu sudah cukup dimengerti oleh
Dewi. Puji mau mengunjungi Indah. Tetapi biasanya
tidak mendadak seperti ini.
"Ada sesuatu yang terjadi...?" tanya Dewi.
"Ya. Sepertinya... dia sudah mau melahirkan."
"Kalau begitu, pergilah ke sana secepatnya," kata
Dewi. "Dia lebih membutuhkan kehadiranmu. Aku
bisa naik taksi." Tujuh http://pustaka-indo.blogspot.com201
"Kau tidak apa-apa?"
"Ya ampun, Mas, ke luar Jawa sendiri saja aku be-
rani, masa di Jakarta aku takut jalan sendiri" Pergi lah,
Indah sedang menunggumu."
"Terima kasih atas pengertianmu, Wik. Maafkan
aku." "Sudahlah... aku tidak apa-apa kok."
Setelah suara mobil Puji menghilang dari pen-
dengar annya, Dewi memanggil Icih untuk mencarikan
taksi, sementara dia mulai merias diri. Setelah itu di-
pilihnya gaun sutra batik dasar warna hitam dengan
corak klasik berwarna krem dan merah bata. Pantas
sekali dia mengenakan gaun itu. Kebetulan ia mem-
punyai aksesori yang cocok. Tepat ketika ia sedang
mengenakan sepatu dan meraih tas yang sepadannya
dengan pakaiannya, Icih mengetuk pintu kamarnya.
"Taksinya sudah datang, Den."
"Baik, Cih. Terima kasih," sahut Dewi sambil keluar
dari kamarnya. "Titip rumah, ya?"
"Ya, Den." Di dalam taksi yang membawanya ke gedung tempat
acara, Dewi sibuk berpikir. Rasanya sudah waktunya
mencicil mobil agar tidak tergantung pada Puji. Meski-
pun rasio nya mengatakan sudah sewajarnya Puji me-
nemani Indah yang akan melahirkan anak mereka,
hati nya terasa sakit. Bukan karena cemburu atau yang
semacam itu, tetapi karena sebenarnya jauh di lubuk
hatinya ia juga sudah ingin menimang anak. Usianya
sudah 25 tahun lebih. Ketika hubung annya dengan
Puji masih mulus dan menyenangkan dan sebelum
http://pustaka-indo.blogspot.com202
peristiwa Indah terjadi, ia bercita-cita untuk segera
punya anak. Bukan oleh dorongan naluri keibuannya
saja, tetapi juga karena ia ingin me lihat anak-anaknya
sudah dewasa ketika dia masih muda. Sayang sekali,
peristiwa Indah telah meng hancur kan seluruh rencana
dan harapannya. Puji sudah akan men jadi ayah dari
anak perempuan lain. Mungkin malam nanti anak itu
akan lahir. Dan bukan mustahil jika sejak hari ini Puji
akan terlibat lebih dalam dengan Indah dan anak
mereka. Jika anak harus divaksinasi atau sakit misalnya,
Indah pasti akan memintanya datang.
Dengan perasaan yang kurang nyaman karena ber-
bagai pikiran itu, Dewi memasuki gedung megah tem-
pat diselenggarakannya Pemilihan Putri Indonesia. Ada
banyak perempuan cantik bergaun indah dan laki-laki
gagah dengan pakaian resmi di sana. Ketika dia sedang
memotret tamu-tamu VIP yang hadir, tiba-tiba
matanya menangkap sosok Pramono, mantan kekasih-
nya yang sedang memotret panggung. Dadanya
langsung bergetar saat melihat laki-laki yang sampai
saat ini masih menghuni hatinya itu. Hampir lima
tahun lamanya mereka tak pernah berjumpa. Betapa
gagah dan gantengnya dia. Sungguh, Dewi sama sekali
tidak menyangka hatinya masih bisa ber getar keras saat
melihat laki-laki yang dikiranya sudah berada entah di
bagian dunia mana itu. Berita terakhir yang diketahui-
nya, Pramono bekerja sebagai manajer sebuah hotel
bintang lima dan sedang di kursuskan di luar negeri.
Dulu ketika Dewi baru semester tiga, laki-laki itu
sedang menyelesaikan skripsinya di fakultas yang sama
http://pustaka-indo.blogspot.com203
dengan dirinya. Pramono lebih menyukai bekerja di
hotel daripada di media massa. Karenanya ketika
hubung an mereka belum putus, laki-laki itu sudah
men dapat pekerjaan di sebuah hotel dan kariernya
terus melejit. Tetapi sekarang dengan kamera canggih
yang disandangnya dan cara dia merekam di sana dan
sini, Dewi meragukan laki-laki itu masih be kerja di
hotel. Kenapa dia ada di sini dan melakukan sesuatu
yang rasanya kurang terkait dengan pekerjaan nya
sebagai manajer hotel"
Merasa tidak enak karena sudah menikah dan dia
yakin Pramono juga sudah berkeluarga, Dewi tidak
ingin menyapa laki-laki itu. Tetapi akibatnya, dia tidak
mendengar celoteh rekan wartawan dari sebuah surat
kabar, yang sudah beberapa kali bertemu dengannya di
suatu acara lain, karena pikirannya terkait pada mantan
kekasihnya itu. Terutama pada kenangan saat-saat me-
reka masih menjalin hubungan cinta dulu.
"Nah, tibalah kita pada acara yang paling dinanti-
nanti," kata rekan yang duduk di sampingnya itu sambil
tertawa, melepaskan Dewi dari lamunannya.
"Acara apa?" tanya Dewi, mengembalikan perhatian-
nya pada pemuda itu sambil mencoba membebaskan
diri dari keberadaan Pramono yang terus saja meng-
ganggu pikirannya. "Makan malam," pemuda itu menyeringai ke arah-
nya. "Ayo, Mbak, kita makan sama-sama."
Mau tak mau Dewi tersenyum. Tampaknya juri
sedang melakukan rapat untuk menentukan para pe-
http://pustaka-indo.blogspot.com204
menangnya. Sementara di panggung digelar hiburan


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan deretan penyanyi-penyanyi top.
"Ayolah." "Mbak kelihatan sangat cantik lho. Beberapa kali
ketika kita bertemu untuk meliput suatu acara, Mbak
tidak seglamor ini," katanya sambil menjajari langkah
kaki Dewi. "Mestinya Mbak ikut pemilihan putri itu."
"Jangan ngawur kalau memuji orang. Tuh, ada gadis
cantik yang melihatmu dengan perasaan kurang senang.
Pacarmu, barangkali?" kata Dewi sambil tertawa. Di
sudut dekat pilar memang ada seorang gadis sedang
me natap mereka. Tetapi pandangannya biasa-biasanya.
Ti dak sesirat pun ada perasaan tak senang. Dewi me-
mang hanya menggodanya. "Oh, iya. Oke, Mbak, daripada dia merasa kuabai-
kan, aku akan menemaninya." Pemuda itu mem-
bungkuk kan badan sambil menekankan telepak tangan
ke dada sehingga Dewi tertawa sambil me lambaikan
tangan kepada gadis yang tadi me mandang ke arahnya.
Gadis itu membalasnya dengan tertawa.
Sambil memilih-milih makanan, Dewi membalas
tegur, sapa dan tawa orang-orang media yang pernah
dikenalnya. "Apa kabar?" sapa salah seorang di antara mereka.
"Baik," Dewi membalas sapaan hangat itu sam bil
tertawa. Tetapi tawanya langsung lenyap ketika tiba-
tiba saja di hadapannya telah berdiri Pramono, me-
natap nya dengan senyum lembut yang pernah di kenal-
nya. Duh, Tuhan, keluh Dewi dalam hati, percuma saja
dia tadi menghindari perjumpaan dengan laki-laki itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com205
Pramono telah mengetahui kehadirannya. Kesalnya lagi,
dia melihat laki-laki itu tampak gagah, ganteng, ber-
sikap begitu matang, dewasa, dan membuatnya mu lai
terpesona lagi seperti dulu.
"Masih seperti dulu, memilih-milih makanan dengan
penuh perhitungan," kata laki-laki itu menyapanya.
"Mas Pram," sahut Dewi dengan suara nyaris ter-
cekik. Duh, Tuhan, ternyata cintanya pada laki-laki itu
masih saja bercokol di hatinya. Seakan tak pernah
terhapus waktu. "Aku benar-benar tidak menyangka
akan bertemu denganmu di sini."
"Aku juga tidak menyangka kau akan hadir di sini.
Melihat peralatan yang kaubawa, tentunya kau hadir
sebagai wartawan ya, Wik?"
"Ya. Dan kau, Mas?"
"Kita menyandang profesi yang sama. Bedanya, aku
di televisi." "Kusangka kau masih bekerja di hotel."
"Ternyata pekerjaan di hotel kurang memberiku ke-
puasan. Jadi aku pindah jenis pekerjaan."
"Gajinya kan besar di hotel."
"Gaji besar kalau hati tidak riang, apa gunanya,
bukan" Nah, sejak tadi kau belum mengambil makan-
an. Kau tidak sedang diet, kan?"
"Tidak. Cuma memilih makanan yang sehat saja.
Merawat kesehatan sudah harus dimulai sejak muda."
"Setuju. Ternyata kau masih seperti dulu. Se muanya
serba penuh perhitungan. Mau mandi saja ha rus ber-
pikir, berapa banyak air yang harus dipakai agar tidak
mengurangi sumber daya alam," tawa Pramono.
http://pustaka-indo.blogspot.com206
Dewi tersenyum. Tetapi hatinya bagai dibebani
ingat an masa lalu mereka. Entah berapa belas kali
Pramono mencandainya dengan perkataan serupa itu.
Namun kini semuanya telah berlalu di belakang me-
reka. Hanya tinggal kenangan belaka. Tak mungkin
kembali, karena yang ada hanyalah cerita baru yang tak
ada kaitannya dengan kehidupan mereka di masa se-
karang dan mendatang. "Ayo, kita ambil makanan dan duduk di se berang
sana," kata Pramono. "Aku ingin mendengar pengalam-
anmu selama bekerja di penerbitan."
Dalam diam, keduanya mengambil makanan ke-
mudi an memilih duduk di sudut, agak jauh dari yang
lain. Entah ke mana saja rekan-rekan dari majalah lain
yang tadi menyapanya, Dewi tidak tahu.
"Kau pergi ke sini dengan siapa?" tanya Pramono
begitu mereka duduk. "Sendirian. Event ini tidak terlalu penting buat maja-
lah kami. Jadi kehadiranku di sini lebih sebagai
undangan saja. Paling hanya foto dan keterangannya
saja yang akan kami muat."
"Sudah berapa lama kau bekerja di media cetak,
Wik?" "Hampir tujuh bulan."
"Senang?" "Kalau tidak senang, aku sudah bekerja di tempat
lain, Mas." Dewi tersenyum lembut.
Pramono melirik Dewi yang duduk di sampingnya
itu. Seperti dulu, perempuan cantik itu selalu tampak
rapi, menarik, menawan, dan anggun.
http://pustaka-indo.blogspot.com207
"Aku senang mendengar jawabanmu yang meyakin-
kan itu," gumamnya lama kemudian.
Dewi menghentikan gerakan tangannya yang sedang
memegang sendok. Kepalanya menoleh dan menatap
Pramono. "Kenapa berkata seperti itu, Mas?" tanyanya.
Pramono tertegun. Rupanya kata-katanya tadi tak
sengaja terucap. Wajahnya yang tam pak menyesal, ter-
tangkap mata tajam Dewi. Ka renanya Dewi melanjut-
kan bicaranya. "Kita bukan dua orang asing, Mas Pram. Aku me-
ngenal mu dengan baik. Pasti ada alasan yang men-
dasari perkataanmu tadi. Entah itu kausadari atau
tidak. Nah, ada apa sebenarnya?"
Pramono menarik napas panjang.
"Maaf... bicaraku agak ceroboh tadi. Lupakanlah."
"Lupakan" Bagaimana mungkin, Mas" Jangan me-
nutupi sesuatu yang bisa membuatku menduga-duga.
Kau masih kenal seperti apa diriku, kan?"
"Tentu saja. Baiklah, aku akan bertanya lagi agar
kau tahu apa yang ada di dalam pikiranku dan tidak
mem buatmu menduga-duga sehingga mengurangi ke-
damai an hatimu. Boleh?"
"Tentu saja boleh. Apa pun hubungan kita sekarang,
aku masih menerima keterbukaan yang kauberikan ke-
padaku di masa lalu. Aku takkan tersinggung karena
aku percaya kau masih memiliki hati yang tulus seperti
dulu," sahut Dewi terus terang.
"Terima kasih atas kepercayaanmu, Wik. Aku sangat
menghargaimu. Nah... aku ingin bertanya, apakah
http://pustaka-indo.blogspot.com208
suami mu mencintai dan memperhatikanmu dengan se-
mestinya?" Sekali lagi Dewi menatap Pramono. Hatinya ber-
desir oleh dugaan tertentu. Mungkinkah laki-laki itu
mendengar sesuatu tentang kehidupan perkawinannya
dari seseorang yang punya hubungan dekat de ngan
dirinya" Salah satu dari ketiga adiknya, mungkin" Atau
siapa" Pramono menangkap apa yang tersirat dari air muka
Dewi. Dia tidak ingin membuat perempuan itu ber-
tanya-tanya sendiri sehingga menambah beban pikir-
annya. Kasihan. "Beberapa waktu yang lalu, aku ber temu dengan
sepupu, Astri dan suaminya, Ary ber sama anak mereka
yang baru tujuh bulan. Kebetulan kami sama-sama satu
pesawat sehingga bisa mengobrol lama sebelum board-
ing. Dari mereka aku mendengar kisah pernikahanmu.
Maaf, aku sama sekali tidak mengorek keterangan apa
pun dari mereka. Tetapi Ary dan Astri yang tampaknya
sangat prihatin terhadapmu, mencetuskan seluruh
ganjalan hati mereka kepadaku."
Dewi menunduk. "Aku mengerti mengapa mereka bercerita padamu,"
gumamnya, lama kemudian. "Astri sangat menyayangi-
ku, kau pasti tahu itu. Tentu saja mereka merasa amat
prihatin." "Kaupikir, aku tidak merasa prihatin mendengar be-
rita itu" Perih sekali hatiku. Berminggu-minggu lama-
nya aku sering merenung memikirkanmu. Sedikit-ba-
http://pustaka-indo.blogspot.com209
nyak, aku pasti ikut andil dalam penderitaanmu," sahut
Pramono sedih. Mendengar perkataan Pramono, hati Dewi bagai
ditusuk-tusuk rasanya. Sakit sekali. Tanpa sadar, ia me-
mainkan sendok di atas piringnya. Selera makannya
menghilang dan makanan yang dikunyahnya seperti
karet rasanya. Kata-kata Pramono memang tidak ba-
nyak, tetapi gaungnya bertalu-talu di seluruh sudut
relung hatinya. Ah, laki-laki itu tidak boleh menyimpan
rasa bersalah. "Mas, jangan terlalu berlebihan menyimpan rasa
bersalah. Kuakui, setahun lebih lamanya aku me-
nyimpan rasa kecewa dan amarah terhadapmu. Tetapi
de ngan berjalannya waktu dan pikiranku mulai ter-
buka, aku mampu menerima itu sebagai bagian dari
sejarah hidupku. Bahwa aku harus memasuki per-
nikahan poligami yang sangat kubenci dan melanggar
prinsip hidupku sendiri, itu adalah nasib burukku.
Sama sekali tak ada kaitannya dengan dirimu," katanya
kemudian. "Jadi tolong, pembicaraan seperti ini kita
akhiri sampai di sini."
Pramono mengangguk. "Baiklah. Tetapi tolong, habiskan makanan di piring-
mu itu. Aku tidak suka merusak selera makan orang,"
katanya kemudian. "Selera makanku sudah rusak sejak sore tadi kok,"
sahut Dewi. "Apakah ada sesuatu yang membuat pikiranmu ter-
bebani?" tanya Pamono ketika mendengar sahutan
Dewi yang diucapkan dengan suara lemah itu.
http://pustaka-indo.blogspot.com210
"Aku hanya sedang merasa kasihan pada diriku
sendiri. " "Kedengarannya seperti bukan dirimu yang berbicara
seperti itu," komentar Pramono. Hatinya tersentuh.
Dewi bukan termasuk orang yang mudah mengeluh.
Apalagi menangis. Jika kedua hal itu dilakukannya,
pasti itu merupakan sesuatu di luar batas kekuatannya.
"Aku manusia biasa, Mas. Sesekali tampak begitu
kuat dan tabah. Sesekali pula merasa lemah tak ber-
daya. Itu manusiawi kan, Mas?"
"Betul. Tetapi padamu, pasti ada sesuatu yang sudah
tidak tertahankan," sahut Pramono. "Wiwik, aku masih
punya sifat-sifat baik. Jadi jangan sungkan terhadapku.
Ada apa sebenarnya yang mengganggu hatimu, kalau
aku boleh tahu?" "Ah, hanya soal sepele kok."
"Tetapi aku yakin, itu pasti bukan masalah sepele.
Apakah kau tidak lagi memercayai ketulusan hatiku"
Aku bertanya bukan karena ingin tahu belaka. Aku
hanya berpikir, siapa tahu aku bisa memberimu saran
atau semacam itu. Atau setidaknya bisa menjadi tem-
patmu mengadu." "Baiklah." Dewi mengangguk. "Perlu kauketahui
Mas, rumahku terletak di pinggiran kota. Semula Mas
Puji mau mengantarkanku ke sini, tetapi tiba-tiba dia
harus pergi karena... istri yang di sana mau melahirkan.
Meskipun rasioku mengatakan itu wajar, batinku
merasa sebagai outsider, seperti orang yang hidup tanpa
suami. Barangkali karena saat ini aku sedang ingin ber-
manja-manja dan diperhatikan, entahlah. Tetapi soal
http://pustaka-indo.blogspot.com211
pergi sendirian sebenarnya bukan masalah bagiku.
Sebagai wartawan, aku sudah biasa pergi sendiri, bah-
kan ke tempat yang jauh sekali pun."
Usai bicara seperti itu, Dewi sadar ia sudah terlalu
banyak menceritakan kehidupan pribadi nya. Sekaligus
sadar bahwa karena Pramono-lah ia bagaikan ember
bocor. Padahal terhadap ibu kandungnya yang pernah
meng alami peristiwa sama pun ia tak pernah bercerita
apa-apa. Tetapi Pramono mengerti. Dewi bukan orang asing
baginya. Maka diam-diam diliriknya perempuan itu. Ia
menangkap rona merah di pipi Dewi. Jadi sudah pasti,
apa yang dikatakannya itu keluar begitu saja.
"Apakah kau tidak pernah berterus terang kepadanya
bahwa kau ingin bermanja-manja padanya?" tanyanya
kemudian dengan hati-hati.
"Buat apa" Aku tahu apa kata hatiku sendiri kok,
Mas. Bukan kemanjaan dan perhatian dari Mas Puji
yang ku inginkan. Sekali lagi, bukan dari dia. Tetapi
ke manja an dan perhatian itu sendirilah yang jadi
damba anku...." "Tampaknya perasaan suamimu terhadapmu tidak
sebesar cintamu kepadanya. Sungguh, suamimu tidak
me ngerti betapa beruntungnya dia dan..."
"Mas, kau keliru lagi menafsirkan perkataanku,"
Dewi memotong perkataan Pramono. "Kan tadi sudah
kukatakan, bukan dari dia kemanjaan dan perhatian itu
kuinginkan. Lagi pula, aku sudah lama sekali kehilang-
an cintaku kepadanya yang... memang tak per nah pe-
nuh. Penyebabnya karena dia telah membuatku me-
http://pustaka-indo.blogspot.com212
langgar, bahkan meng obrak-abrik prinisip hidupku
me ngenai makna per kawinan. Aku sangat malu, Mas,
malu kepada diriku sendiri. Malu kepada dunia dan..."
Bicara Dewi terhenti dengan mendadak. Sekali lagi


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia sadar telah menceritakan sesuatu yang seharusnya
tidak boleh dikatakan kepada orang lain. Tersipu-sipu
dia mengalihkan perhatiannya dengan menyendok nasi
dan memasukkannya ke mulut dengan ter gesa.
"Wiwik... jangan merasa bersalah seperti itu," kata-
nya. "Aku sangat mengerti, sudah seberat apa beban di
hatimu." Dewi menarik napas panjang. "Jangan menyangka
aku sedang mengeluh... seperti orang yang tidak tahan
menderita," katanya agak ter bata.
"Tidak... tidak, Wik. Aku kenal dengan baik seperti
apa dirimu. Jadi jangan menganggapku sebagai orang
luar yang berada jauh dari kehidupanmu," sahut
Pramono. "Kita putus hubungan dulu bukan karena
orang ketiga dan bukan pula karena cinta yang hilang...
tetapi karena keadaan. Maka meskipun kita sekarang
tak mungkin bersatu, tetapi kita masih boleh menjadi
sahabat kan, Wik" Jadi, jangan sungkan kepada ku."
Dewi mengangguk. "Ya... terima kasih," gumamnya
pelan. "Aku sungguh prihatin melihatmu," kini Pramono
yang bergumam. Tetapi hatinya dipenuh rasa ingin
tahu yang begitu kental. "Tadi kaubilang, kau tidak
meng inginkan kemanjaan dan perhatian dari suamimu.
Lalu dari mana itu kauharapkan" Dari ibumu?"
"Ah, itu kan cuma perasaan-perasaan semusim.
http://pustaka-indo.blogspot.com213
Tidak penting. Biasa kan... meskipun sudah dewasa
begini... perasaan seperti di masa remaja masih juga
muncul ke permukaan," jawab Dewi. "Jadi, lupakan
saja." "Kedengarannya... kau tidak bahagia."
"Bagaimana mungkin aku bisa bahagia kalau setiap
hari terbentur pada kenyataan, hidup di dalam per-
kawinan poligami yang paling kubenci sejak kecil...."
Pramono menarik napas panjang.
"Aku mengerti," katanya pelan. "Pasti hatimu sering
disinggahi rasa cemburu dan kesepian... perasaan yang
juga paling kaubenci karena meng ingat kan apa yang
sering dialami ibumu."
"Aduh, Mas. Lagi-lagi kau salah menafsirkan
perkataanku tadi. Sama sekali aku tidak punya rasa
cem buru. Merasa jadi outsider jangan disamakan dengan
cemburu. Tetapi menurutku, perasaan ini justru lebih
berbahaya daripada rasa cemburu. Cemburu selalu ter-
kait dengan cinta dan keinginan untuk memiliki se-
penuhnya. Namun, sebagai outsider, sebagai orang yang
berada di luar pagar, itu jauh lebih berat rasanya...."
Sampai di situ, Dewi menghentikan langsung perkata-
an nya dengan mendadak. Kalimat di ujung lidahnya
yang berbunyi "Karenanya kalau bisa, aku malah ingin
betul-betul jauh dari pagar untuk menata hidup sendirian"
di telannya cepat-cepat, kemudian digantinya dengan
pem bicaraan lain. "Tetapi sudahlah, Mas, kita bicara
me ngenai hal-hal lain saja. Sepertinya acara pengumum-
an pemenang sudah akan dimulai. Kita masuk lagi yuk."
Pramono mengiyakan. Bersama-sama mereka masuk
http://pustaka-indo.blogspot.com214
ke gedung lagi. Sampai akhir acara, pikiran Dewi
nyaris tidak ada di tempat. Ia keluar gedung de ngan
perasaan tak nyaman. Tetapi ketika ia sudah ada di
lobi, Pramono yang sengaja membuntutinya dengan
diam-diam, mendekatinya. "Kau pulang dengan siapa, Wik?" tanyanya.
"Dengan taksi. Aku sudah biasa kok pergi sendirian.
Jangan khawatir," jawab Dewi sambil tersenyum.
"Sudah ada taksinya?"
"Aku baru mau minta petugas di luar untuk men-
carikan." "Keberatankah kau kalau aku mengantarmu pulang?"
"Aku tidak ingin merepotkanmu, Mas. Rumahku
jauh." "Kenapa kau jadi sungkan kepadaku" Seandainya
rumahmu di luar kota pun, aku akan mengantarmu
sam pai di depan pintu. Ayolah."
Karena sudah mengetahui bagaimana sifat Pramono,
Dewi terpaksa mengangguk. Maka begitulah, jam me-
nunjuk pukul sepuluh lewat ketika mereka sudah ber-
ada di jalan raya dalam lalu lintas kota Jakarta yang
masih ramai. "Sebagai wartawan, tentunya pulang malam-malam
begini bukan hal yang baru kali ini terjadi, kan?" tanya
Pramono, memecah kesunyian.
"Ya, memang." "Biasanya kau pulang sendiri?"
"Ya. Tetapi kadang-kadang diantar rekan laki-laki
yang kebetulan tugas bareng. Kalau Mas Puji bisa, dia
yang menjemputku. Tetapi sebenarnya, itu bukan se-
http://pustaka-indo.blogspot.com215
suatu yang perlu dipersoalkan karena sudah menjadi
konsekuensi logis pekerjaanku. Cuma karena budaya
patriarki beranggapan bahwa perempuan berada di
jalan malam-malam sangat rentan untuk dijahati orang,
maka lalu dijadikan persoalan. Tadi ketika di taksi yang
membawaku dari rumah, timbul dalam pikiranku
untuk membeli mobil sendiri. Biar tidak menyusahkan
orang." "Itu ide yang bagus."
Dewi memperhatikan mobil sedan yang sedang dike-
mudikan Pramono. Lumayan mewah dan komplet
perlengkapannya. Ada unit Global Positioning System,
layar pemandu jalan, berikut televisi.
"Mobilmu bagus, Mas. Lengkap pula."
"Ini mobil kantor kok."
"Itu kan artinya kau menempati kedudukan yang
penting sehingga diberi fasilitas sebagus ini. Tetapi,
Mas, dari tadi kita terus saja bicara mengenai diriku.
Se karang giliranmu menceritakan tentang dirimu,"
komentar Dewi. "Apa yang ingin kauketahui"
"Bagaimana keadaan orangtuamu, Mas" Mereka
sehat-sehat saja, kan?"
Pramono menahan napas. Karena kedua orang tua-
nyalah, terutama ayahnya yang keras, lamaran yang
sudah direncanakannya untuk meminang Dewi hampir
lima tahun lalu, batal. "Ibu sehat-sehat saja. Tetapi ayahku sudah me-
ninggal satu tahun lalu. Perdarahan otak akibat darah
tinggi." http://pustaka-indo.blogspot.com216
"Oh... aku baru dengar. Kasihan."
"Beliau tidak terlalu menderita kok. Berangkat tidur
tanpa keluhan apa pun, esoknya tidak bangun dan
sore nya, meninggal dunia. Aku juga ingin meninggal
seperti itu. Tidak merepotkan banyak orang."
"Mas Pram!" Pramono tertawa. "Kematian kan merupakan keniscayaan," katanya
kemudian. "Jadi jelas merupakan bagian dari hidup
manusia. Sejak lahir hingga mati, manusia kan terus
berkembang dan berubah, isik dan mental. Jasmani
dan rohani. Begitu juga dunia. Sejak keberadaannya,
dunia terus berubah dan berubah dalam perjalanannya
menjadi tua." "Lalu, perubahan apa yang ada dalam dirimu, Mas?"
"Banyak. Antara lain pandanganku mengenai per-
nikahan. Kalau saja aku dulu tidak terlalu banyak me-
mikirkan perasaan orang, mungkin kita sekarang sudah
punya dua anak." "Sudahlah, Mas, itu cerita lama."
"Memang, aku cuma mau mengatakan tentang hu-
kum sebab-akibat yang sering kita alami. Tentang
hubungan kita ini contohnya. "
"Kataku tadi, sudahilah dulu pembicaraan ini."
"Baiklah." Pramono mengangguk. "Kalau begitu beri
aku kesempatan untuk bertanya padamu. Nah, se jak
tadi aku belum bertanya, apakah kau sudah punya
anak" Jika ya, siapa yang merawatnya kalau kau sering
sibuk begini?" "Mempunyai anak dalam perkawinan poligami tidak
http://pustaka-indo.blogspot.com217
masuk dalam rencana hidupku, Mas. Aku ti dak mau
anak-anakku mengalami seperti apa yang dulu kualami
bersama adik-adikku."
Pramono tidak ingin berkomentar terhadap hal-hal
yang bersifat pribadi itu, jadi sebagai gantinya dia
menanyakan lagi arah yang harus mereka tempuh. Saat
itu lalu lintas sudah tidak terlalu padat lagi. Ter lebih
ketika mereka sudah memasuki daerah pinggiran kota.
Hari memang sudah larut malam sehingga per jalanan
mereka lancar. Ada beberapa kompleks perumahan
baru yang mereka lewati. Ada yang mewah, ada yang
sedang, ada yang minimalis. Dua puluh lima tahun
belakangan ini Jakarta memang terus ber kembang di
seluruh penjuru mata angin ke daerah pinggiran, men-
jadi kota-kota satelit dengan berbagai dampak positif
dan negatifnya. "Rumahmu masih jauh dari sini?" tanyanya.
"Tidak sampai satu kilometer lagi. Kenapa?"
"Terus terang aku mau menumpang buang air kecil.
Sudah sejak di gedung tadi aku ingin ke toilet, tetapi
karena takut kau menghilang dari pandangan, ter paksa
kutahan," jawab Pramono, tertawa. "Bukan apa-apa,
Wik. Cuma sebagai sahabat yang mem bawa mobil sen-
diri, aku merasa keterlaluan kalau tidak mengantarmu
pulang sampai ke rumah."
"Terima kasih atas kebaikanmu," Dewi membalas
tawa Puji sambil membungkukkan kepalanya dalam-
dalam. Nyaris membentur dasbor mobil.
"Senang melihat candamu," komentar Pramono, ma-
sih tertawa. http://pustaka-indo.blogspot.com218
"Kenapa senang?"
"Yah, karena melihat tawamu. Aku tidak suka me-
lihat kabut di matamu. Nah, bagaimana, Wik, apakah
kau sudah kerasan tinggal di daerah baru ini?"
"Harus. Nasib kaum perempuan kan banyak di-
warnai dengan keharusan-keharusan sebagaimana yang
kukatakan tadi." "Kok bicaramu jadi miring, Wik?"
"Aku bicara mengenai realita kok. Ada banyak pro-
duk budaya patriarki yang menempatkan perempuan
pada sekian deret tabu dan sekian pula deret keharusan
yang tidak dikenakan pada laki-laki."
"Yah, memang ada banyak ketidakadilan yang
dialami perempuan dikarenakan jenis kelamin mereka.
Tetapi jangan lupa bahwa ada juga ketidakadilan yang
dialami laki-laki karena jenis kelamin yang mereka
miliki." "Ya, aku tahu. Paling tidak stereotipe yang me-
nyudut kan mereka. Laki-laki sering dianggap tidak
setia, lebih sering memakai otot daripada otak, kasar,
mudah ter goda untuk berbuat negatif dan lain
sebagainya." Dewi tertawa. "Memang tidak adil, sebab
perempuan yang tidak setia, banyak. Perempuan yang
lebih suka me makai otot daripada otak juga banyak."
"Lalu bagaimana pendapatmu sendiri dalam hal itu?"
"Menurutku, kalau kita menilai seseorang entah itu
penilaian positif atau negatif, jangan dikaitkan pada apa
jenis kelaminnya. Nilailah dia secara objektif sebagai
individu." "Setuju." Pramono tersenyum.
http://pustaka-indo.blogspot.com219
Mereka sampai di rumah Dewi jam sebelas lewat.
Karena sudah malam, Dewi tidak berani menawarinya
masuk rumah. "Maaf ya, Mas, aku tidak menawarimu turun. Sudah
malam," katanya. "Ya, aku mengerti." Pramono tertawa. "Budaya patri-
arki mengharuskan pintu tetap tertutup jika laki-laki
datang ke rumah perempuan. Tetapi dalam hal-hal
tertentu, keharusan itu boleh dilanggar, kan?"
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah bilang tadi, aku ingin menumpang ke
kamar kecil. Sejak di gedung tadi, aku sudah menahan-
nya." Dewi tersenyum. "Oke, silakan."
Begitu Pramono keluar dari toilet, Dewi mengulur-
kan secangkit teh celup hangat yang baru saja dibuatnya.
"Minumlah," senyumnya. "Sudah masuk rumah masa
tidak diberi minum."
"Terima kasih." Pramono langsung minum sampai
setengah cangkir. Kemudian diletakkannya di meja.
"Rumahmu cantik, Wik. Tetapi suasananya sepi. Ada
pembantu rumah tangga, kan?"
"Ada. Si Icih. Kau pasti ingat dia."
"Oh ya, dia selalu membuatkan minuman untukku.
Sudah tidur dia?" "Biasanya sih sudah."
"Tetapi apakah selalu begini suasananya kalau
suami mu... sedang pergi ke sana?" tanya Pramono.
"Maaf, kalau aku terlalu ingin tahu."
http://pustaka-indo.blogspot.com220
"Ya, suasananya memang begini. Kau tak usah minta
maaf hanya karena keingintahuanmu. Mungkin, aku
juga akan begitu kalau berada di tempatmu."
"Kalau boleh aku bertanya, biasanya be rapa hari dia
berada di sana" Kalau kau tidak ingin menjawab per-
tanyaanku, tidak apa-apa."


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biasanya dia berada di sana sekitar empat atau lima
hari." "Di sini berapa lama?"
"Dua minggu." "Artinya, dia lebih banyak tinggal di sini?"
"Ya." "Bagus. Kau memang lebih berhak atas dirinya."
"Aku sama sekali tak peduli mengenai hal itu," sahut
Dewi, tertawa. "Kok malah tertawa?"
"Menertawakan diriku sendiri, kok mau-maunya
punya piala bergilir," jawab Dewi agak sinis.
Pramono terdiam. Kemudian diambilnya cangkir teh
yang masih berisi separo itu, dan dihabiskan isinya.
"Nah, aku pulang dulu ya, Wik. Maaf kalau se lama
perjumpaan kita ini ada hal-hal yang me nyinggung
perasaanmu." "Sekarang kok cepat sekali kau merasa sungkan
kepadaku sih, Mas." "Aku hanya ingin bersikap santun terhadapmu. Ba-
gai manapun juga, ada jarak lebar di antara kita berdua,"
sahut Pramono sambil mengeluarkan kartu namanya
yang langsung diulurkannya kepada Dewi. "Tetapi ka-
http://pustaka-indo.blogspot.com221
lau kau membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita,
aku siap mendengarkan."
"Aku sudah telanjur bercerita kepadamu tadi. Se-
suatu yang tidak pernah terjadi padaku. Selama ini ti-
dak ada orang lain yang bisa kuajak berbagi cerita jika
hati ku terasa penuh. Tetapi..." Dewi menghentikan per-
kata annya sambil meremas-remas tangan nya.
"Tetapi... apa, Wik?" Pramono mendesak.
"Tetapi apakah itu pantas...?"
"Kenapa tidak pantas?" Pramono bertanya, ter-
senyum lembut pada Dewi. Dewi menarik napas panjang. Sedih sekali hatinya,
Pramono akan pulang dan kembali pada istrinya. Tiba-
tiba ia merasa cemburu terhadap perempuan yang be-
lum pernah dilihatnya itu. Ingin sekali ia meneriakkan
pertanyaan, apakah Pramono masih mencintainya.
Bukankah dulu ketika laki-laki itu minta maaf atas
sikap kedua orangtuanya, dia berkata di hadapannya
bahwa dia tidak akan pernah mencintai perempuan
lain. Dan katanya pula, kalaupun dia harus menikah,
dia tidak akan mencintai perempuan itu seperti dia
men cintainya. http://pustaka-indo.blogspot.com222
ICIH menatap Dewi dengan sikap serius, yang jarang
sekali terjadi. Biasanya perempuan itu lebih sering
bersikap tak pedulian. Bahkan nyaris semaunya sendiri.
"Ada apa sih, Cih" Apa yang aneh pada diriku?"
"Kalau Icih bilang terus terang, Den Wiwik tidak
marah, kan?" Tegas Icih lagi. Sudah dua kali kalimat
itu dilontarkan kepada Dewi.
"Masa sih aku akan marah kalau yang akan kaukata-
kan itu memang benar. Kau kan tahu, aku tidak per-
nah marah kepadamu," jawab Dewi.
"Ya ampun, Den, ini beneran. Den Wiwik kan juga
tahu, Icih sayang sama Den Wiwik seperti pada adik
sendiri. Omongan yang disampaikan Bu Hilman
kemarin itu sempet mendidihkan darah Icih lho, Den."
Sambil membalik pisang yang sedang digorengnya, pe-
rempuan muda itu menggerutu.
Delapan http://pustaka-indo.blogspot.com223
Dewi menatap Icih dengan geli. Entah apa pun yang
ada di benak Icih, perempuan yang biasanya jarang
serius itu tampak lucu menurutnya.
"Kalau begitu, katakanlah apa yang kaudengar dari
Bu Hilman," katanya kemudian.
Mulut Icih yang terbuka, tertutup kembali ketika ia
melihat Puji lewat di dekat mereka dan menghentikan
langkahnya. Laki-laki itu baru saja pulang dari tempat
Indah. Tangannya menjinjing tas.
"Serius betul kalian berdua. Omongan apa yang kau-
dengar dari Bu Hilman, Cih?" tanya laki-laki itu begitu
berada di dekat mereka. Icih tidak menjawab. Sebagai gantinya, dialihkannya
perhatian Puji pada tas yang sedang dijinjingnya. Dia
tahu, itu pakaian kotor. "Dicuci sekarang... atau?" tanyanya sambil meng-
ambil alih tas itu dari tangan Puji, berharap laki-kaki
itu tidak mengulangi pertanyaannya tadi.
"Besok saja dicuci bersama pakaian kotor lainnya,
Cih." "Baik, Pak." Setelah meletakkan tas tadi di atas ke-
ranjang pakaian kotor, Icih kembali ke depan kompor
untuk melanjutkan pekerjaannya menggoreng pisang.
Aromanya mulai menguar ke seluruh ruangan.
Dewi menoleh ke arah Puji. Meskipun tidak me-
nyukai keberadaannya kembali ke rumah ini, dia ber-
kewajiban untuk menyapanya.
"Ibu dan bayinya sehat-sehat saja kan, Mas?" tanya-
nya sambil lalu. Beberapa malam yang lalu, Puji me-
ngirim SMS mengabari Dewi bahwa bayinya telah
http://pustaka-indo.blogspot.com224
lahir sehingga harus memperpanjang waktunya di
sana. "Ya, mereka baik-baik saja."
Icih melirik Dewi dengan sebal. Kenapa Den Wiwik
begitu sabar" pikirnya. Laki-laki seperti itu masih saja
diberi muka yang manis. Huh.
"Selamat ya, Mas."
Ah, alangkah peliknya kehidupan ini, pikir Dewi.
Siapa yang pernah menyangka ia akan hidup dalam
per nikahan poligami sebagaimana yang dialami ibu nya"
Apalagi belum sampai setahun mereka me nikah, tetapi
sudah ada anak yang baru lahir di tempat lain. Lagi-
lagi ia merasa terasing di tempatnya sendiri. Apa pun
perasaannya terhadap Puji, mana mungkin ia bisa
berhati dingin ketika mengetahui suaminya baru saja
mempunyai anak dari perempuan lain"
Puji menatap Dewi dengan tajam. Ia menangkap
getar pelan dalam suara Dewi. Apakah perempuan itu
sedih karena Indah sudah lebih dulu mem berinya
anak" Pertanyaan hati itu menyentuh perasaan Puji.
Bagaimanapun, ia jauh lebih mencintai Dewi daripada
Indah. Karenanya lekas-lekas ia mengganti topik
pembicaraan. "Apa sih yang sedang kalian bicarakan tadi?" tanya-
nya, membelokkan pembicaraan.
"Ah, cuma iseng-iseng saja," sahut Dewi. Dia tidak
sedang dalam kondisi ingin mengobrol. Apalagi dengan
Puji, yang telah membuat perasaannya jadi tertekan.
"Masa cuma iseng-iseng" Aku tadi mendengar nama
http://pustaka-indo.blogspot.com225
Bu Hilman disebut-sebut Icih," sahut Puji. "Apa sih
yang dikatakannya kepadamu, Cih?"
Icih menatap Dewi, meminta persetujuannya. Ka-
rena tidak tahu apa yang dikatakan Bu Hilman pada
Icih, Dewi mengangguk. "Katakan saja apa adanya," katanya.
"Begini, Pak, sudah dua kali ini saya mendengar
omongan tidak enak mengenai Den Wiwik. Semula,
saya tidak menggubrisnya. Tinggal di kompleks pe-
rumahan kan mudah terbawa arus gosip yang tak jelas
juntrungannya. Belum lagi ditambah-tambahi ini-itu,
lalu..." "Cih, jangan melebar bicaramu." Dewi tertawa.
"Kata kan saja langsung apa yang kaudengar."
"Baik, baik, Den. Tadi pagi waktu saya sedang mem-
beli gula dan teh di toko Bu Hilman dan mendengar
lagi omongan itu, saya tunggu sampai tidak ada orang
di toko itu untuk bertanya langsung pada Bu Hilman
karena saya yakin, pemilik toko itu bukan orang yang
suka bergunjing..." "Iya, Cih, iya. Tetapi omongan apa sih yang kau-
dengar?" Dewi memotong lagi bicara Icih dengan ge-
mas. "Yah... Bu Hilman mendengar dari orang, katanya
Den Wiwik sering pulang malam-malam dengan laki-
laki lain." Hati Dewi menciut ketika mendengar jawaban Icih.
Tahu begitu, dia tadi tidak memberi Icih kesempatan
untuk menceritakan apa yang didengarnya itu di ha-
dap an Puji. Belakangan ini ia memang sering mendapat
http://pustaka-indo.blogspot.com226
tugas sampai malam. Kalau kebetulan ada teman yang
ber baik hati mengantarnya pulang, ia akan pulang de-
ngan mereka. Meskipun tidak takut pulang sendirian,
tetapi naik taksi malam-malam tanpa teman memang
membuat perasaannya kurang nyaman.
"Lalu kaubilang apa, Cih?" tanyanya.
"Saya bilang, Den Wiwik itu bekerja sebagai warta-
wan yang sering harus bertugas sampai malam. Saya
juga bilang, karena suaminya sering tugas ke luar kota,
kan wajar kalau rekan pria sesama wartawan meng-
antar kannya pulang. Lain kalau pulangnya masih sore,
Den Wiwik aman-aman saja pulang sendirian."
"Benar katamu itu, Cih. Memang kenyataannya ya
seperti itu," sahut Dewi.
"Apa lagi yang kaudengar, Cih?" Puji menyela.
"Nah, yang ini sudah tidak betul karena kata Bu
Hilman, ada orang yang mengatakan bahwa Den
Wiwik pernah menerima tamu malam-malam se-
pulang nya dari bertugas..."
"Itu sudah itnah namanya," Dewi memotong per-
kataan Icih. "Itu juga yang Icih katakan pada Bu Hilman dan
beliau percaya itu. "
"Fitnahnya keterlaluan lho, Den. Kata Bu Hilman,
orang itu cerita dia melihat Den Wiwik pulang diantar
laki-laki gagah, naik sedan merah, dan orang itu sem-
pat masuk ke rumah. Tentu saja berita itu Icih bantah
karena selama ini tidak per nah ada laki-laki datang ke
rumah. Siang hari saja tidak ada tamu lelaki. Apalagi,
malam hari." http://pustaka-indo.blogspot.com227
Sekali lagi hati Dewi menciut. Kali ini dengan pe-
rasaan tak enak. Pasti ada orang yang melihatnya ke-
tika ia diantar Pramono beberapa malam lalu. Pramono
memang masuk ke rumah untuk menumpang buang air
kecil. Ah, betapa mudah orang memberikan penilaian
negatif terhadap sesuatu yang cuma terlihat mata te-
lanjang. "Itulah risikonya bekerja sebagai wartawan, Wik,"
komentar Puji. Dewi meliriknya. Tampaknya laki-laki itu sedang
meng ingatkannya pada kata-katanya dulu ketika ia me-
nyatakan keinginannya untuk bekerja. Hm, sekarang
dia mau menyudutkanku, pikir Dewi.
"Cih, apakah Bu Hilman tahu ke mana Bapak sering
bertugas?" tanyanya, ganti ingin menyudutkan Puji.
"Mereka hanya tahu, Bapak sering tugas ke luar
kota sampai berhari-hari," jawab Icih sambil menahan
diri untuk tidak melirik ke arah Puji. "Den Wiwik
jangan khawatir, saya akan tetap merahasiakan hal yang
sebenarnya. Jadi kalau yang sesungguhnya saja saya
rahasiakan, apalagi yang tidak benar. Pasti saya bela,
Den. " Merasa kalah, cepat-cepat Puji menyingkir dari tepat
itu. "Tetapi apa pun itu Wik, harus kausadari bahwa
men jadi wartawan itu risikonya macam-macam," kata-
nya sambil melangkah pergi. "Nah, aku mau mandi
dulu." Dewi mengira pembicaraan tadi hanya sampai di
situ. Ternyata, tidak. Ketika mereka duduk di ruang
http://pustaka-indo.blogspot.com228
tengah, minum teh sambil makan pisang goreng, Puji
menyinggungnya lagi. "Seusil apa pun orang yang suka bergosip, sedikit-
banyak pasti ada sumbernya. Tak ada asap kalau tidak
ada api," katanya. "Jelaskan maksudmu."
"Mungkin Icih tidak melihat ketika ada rekanmu
yang masuk ke rumah, entah untuk mengambil ini atau
itu, yang terkait dengan pekerjaan kalian. Karena orang
yang kebetulan melihatmu itu bisa menyebut adanya
sedan merah dan yang mengantarkanmu itu bertubuh
gagah, barangkali memang pernah ada rekanmu seperti
yang digambarkan itu."
Dewi ingin menghindar agar pembicaraan tak me-
nyenangkan itu berhenti. Tetapi ia diingatkan oleh
diri nya sendiri untuk tidak lari menghindar jika ada
masa lah. Pikirnya, lebih baik tetap ada di garis kejujur-
an meskipun mungkin pahit didengar. Jadi terpaksalah
ia mengatakan apa adanya.
"Memang sih, pernah ada teman yang mengantarku
pulang dengan sedan merah."
"Nah!" Puji menjelingkan matanya. "Benar, kan?"
"Ya, memang benar."
"Siapa dia?" "Mas Pram," sahut Dewi apa adanya.
"Mas Pram" Apakah dia Pramono bekas kekasihmu
itu" Dia kuliah di tempat yang sama denganmu, kan"
Pasti dia juga wartawan."
"Memang begitu."
http://pustaka-indo.blogspot.com229
"Wah, menyenangkan kalau begitu. Bisa sering-se-


Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ring berjumpa jika ada event-event atau peristiwa besar."
Dewi melirik Puji dengan sebal. Nada suara laki-laki
itu tidak enak didengar. "Memang hal semacam itu sangat mungkin terjadi,"
katanya kalem. "Tetapi bertemu dengan Mas Pram
baru sekali itu terjadi. Kami sama-sama tidak me-
nyangka. Ketika melihatku sedang mencari taksi, dia
mendesakku untuk mengantarku pulang dengan mobil-
nya." "Dan masuk ke rumah?"
"Ya. Dia menumpang ke kamar kecil."
"Lama?" Dewi merasa kesal ditanya-tanya seperti orang ber-
salah tertangkap polisi. Maka dijawabnya pertanyaan
Puji dengan sengit. "Orang buang air kecil, berapa lama sih?"
"Setelah itu, dia langsung pulang?"
"Ya. Tetapi kutawari dia minum teh hangat yang
kubuat cepat-cepat ketika dia berada di kamar kecil.
Jauh-jauh mengantar masa tidak diberi minum. Dan
dia mau." "Tentu saja dia mau."
Mendengar nada suara tak enak itu, Dewi menatap
Puji dengan kesal, yang dibiarkan tersirat dari air
muka nya. "Mas seperti suami yang cemburuan saja sih," ge-
rutu nya. "Aku memang cemburu. Kau dan dia kan per nah
ber pacaran cukup lama dan nyaris saja ber tunangan.
http://pustaka-indo.blogspot.com230
Sudah begitu, putusnya hubungan kalian bukan karena
ada orang ketiga. Nah, bertemu kembali dan ternyata
bekerja di bidang yang sama-sama kalian sukai, pasti
asyik sekali rasanya."
Dewi tidak menjawab. Ia pura-pura sibuk meng-
aduk-aduk gula di dalam cangkirnya. Denting nya yang
keras menunjukkan bahwa perempuan itu sedang kesal.
Tetapi Puji tidak mau berhenti.
"Setelah itu, berapa kali lagi kalian pernah bertemu?"
tanyanya dengan suara menuntut.
"Tidak pernah. Kami bertemu ya baru sekali itu,"
gerutu Dewi. "Kenapa sih, Mas hal-hal seperti itu kau-
urus seperti tidak ada pekerjaan lain."
"Itu karena aku cemburu, Wik. Itu yang pertama.
Kedua, supaya kau bersikap lebih hati-hati men jaga
nama baik keluarga. Tadi sudah kukatakan bahwa tidak
akan ada asap kalau tidak ada api. Tetapi meskipun
kau bilang tetangga kita itu cuma suka gosip, kenyata-
annya memang betul kau diantar laki-laki gagah de-
ngan sedan merah dan dia masuk ke rumah. Jadi untuk
ke depan, jangan biarkan ada tamu laki-laki masuk ke
rumah lagi kalau aku tidak ada," kata Puji.
"Kau juga sepicik mereka."
"Aku cuma mau bilang, setiap aksi pasti ada reaksi.
Setiap ada sebab, pasti ada akibat. Jadi hati-hati dengan
setiap perbuatanmu. Kita ini tinggal di kompleks pe-
Harpa Iblis Jari Sakti 3 Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Konspirasi Langit 5
^