Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 24

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24


"Entahlah, di. Untuk mengambil keputusan, seorang yang berwenang mengadili seseorang, sangat tergantung kepada orang-orang yang harus mengadili orang-orang yang bersalah itu. Meskipun ada tatanan dan paugeran untuk memecahkan perselisihan, maka adat yang sudah berlaku dapat ditrapkan dan dipergunakan sebagai acuan untuk mengambil keputusan."
"Tetapi apa yang kakang katakan, tentu akan dipertimbangkan oleh orang-orang Mataram itu."
"Aku tidak yakin, di. Mereka adalah orang-orang yang keras memegang tatanan paugeran. Meskipun demikian, aku akan mencobanya."
"Bukankah mereka masih belum kembali ke Mataram, kakang?"
"Belum. Mereka masih ada disini. Mereka ingin mengetahui hasil akhir dari pembicaraan kita. Mereka memang tidak ingin mencampurinya. Tetapi merekapun berkepentingan untuk mengetahui apa yang kemudian terjadi."
"Jika demikian, tolong kakang. Kami akan sangat berterima kasih jika kakang bersedia melakukannya."
"Tentu saja aku bersedia, adi. Tetapi aku tidak tahu, bagaimana tanggapan orang-orang Mataram itu. Itu tergantung sekali kepada pemimpin pasukan dari Mataram yang diracun oleh ibumu itu."
Terasa degup jantung Ki Bekel itu menjadi semakin keras dan semakin cepat. Seakan-akan ia sudah melihat ibunya berdiri di tengah alun-alun dibawah liang gantungan. Tali sudah melingkar di lehernya. Seorang algojo sudah siap uniuk menarik palang bambu tempat ibunya itu berpijak. Demikian palang kayu itu terlepas, maka ibunya akan berayun di tali gantungan itu.
"Ibu," tiba-tiba saja Ki Bekel itu terisak.
"Kau masih saja cengeng sejak kecilmu adi. Sekarang kau sudah tidak pantas lagi untuk menangis. Biarlah anak-anak yang sedang tumbuh remaja itu sajalah yang menangis."
"Tetapi ibuku ?"
"Biarlah ia menuai benih yang ditaburkannya. Meskipun demikian, seperti yang aku katakan, aku akan berusaha."
Ki bekel itu menarik nafas panjang. Sambil mengusap matanya iapun berkata, "Terima kasih, kakang. Mudah-mudahan orang-orang Mataram itu mau mengampuni ibu. Setidak-tidaknya memperingan hukuman atas dirinya."
"Aku akan membicarakannya dengan orang-orang Mataram. Tetapi yang penting, bagaimana dengan persoalan kita " Jika masih ada masalah, marilah kita bicarakan. Baru kemudian, kiia bersama-sama memberikan laporan kepada Ki Lurah Agung Sedayu."
"Kakang. Aku sudah tidak mempunyai persoalan apa-apa lagi. Aku sudah pasrah. Apa yang kakang perintahkan akan aku jalankan. Bahkan seandainya kakang menghendaki untuk mencabut kedudukanku sebagai Bekel di Babadan."
"Tidak. Aku tidak berpikir sejauh itu. Tetapi seandainya kau tidak digerakkan oleh bibi, mungkin aku akan melakukannya. Tetapi kali ini tidak. Meskipun demikian, aku ingin memberimu peringatan, bahwa untuk selanjutnya kau harus berpegang pada satu landasan yang mantap bagi sikapmu. Jika pada kesempatan lain, datang seseorang menawarkan mimpi-mimpi yang menarik, kau tidak boleh tergelincir lagi. Karena jika kau sekali lagi melakukan kesalahan, maka aku akan mengambil langkah-langkah yang tegas, sesuai dengan paugeran yang berlaku. Aku tidak akan mengampunimu lagi."
"Kakang. Aku berjanji, bahwa aku tidak akan melakukan kesalahan lagi. Aku akan setia kepadamu dan kepada kademangan Prancak."
"Bagus, adi. Jika demikian, baiklah kita besok pagi pergi menemui Ki Lurah Agung Sedayu. Kita beritahukan kepadanya, bahwa diantara kita sudah tidak ada masalah lagi. Tatanan dan paugeran di Prancak telah ditegakkan kembali."
"Ya kakang. Besok aku akan datang kemari."
"Datanglah wayah matahari sepenggalah. Kita akan pergi ke banjar. Ki Lurah dan prajurit-prajurit sebagian berada di banjar. Sebagian lagi berada di rumah Ki Jagabaya, yang dekat dengan banjar ini."
"Ibu berada dimana kakang ?"
"Bibi berada di banjar itu pula. Orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu juga berada di banjar, dibawah pengawasan para prajurit Mataram."
"Apa aku boleh mengunjungi ibu, kakang ?"
"Tidak sekarang. Biarlah besok kita berbicara dengan Ki Lurah. Mungkin kau diijinkan menengok bibi." Ki Bekel itu mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, kakek Ki Bekel di Babadan itupun berdesis, "Aku, kakek Bekele Babadan, mengucap terima kasih, ngger. Aku sejak semula sudah mengira, bahwa kau masih tidak berubah. Aku memang yakin, bahwa kau akan mengampuninya."
"Aku tahu, bahwa ia melakukannya bukan karena niat buruknya, Kek. Tetapi karena kelemahan jiwanya. Jika kelemahan itu dapat diatasinya, maka ia akan berubah."
Ki Bekel itu menarik nafas panjang. Dalam keadaan yang terjepit, ternyata ia dapat juga bersikap keras. Ketika ia seakan-akan menjadi berputus-asa karena sikap orang-orang Babadan yang menyalahkannya, maka tiba-tiba saja ia telah berubah diluar kehendaknya sendiri.
Ternyata pembicaraan diantara dua bersaudara itu tidak memerlukan waktu yang lama Tidak ada tawar-menawar. Tidak ada sikap yang saling mementingkan diri sendiri. Pembicaraan keduanya memang lebih condong merupakan pembicaraan antara dua orang kakak beradik daripada pembicaraan seorang Demang dengan seorang Bekel yang telah berusaha menentangnya dan bahkan berusaha untuk merebut kedudukannya.
Karena itu, maka keduanya tidak lagi mempunyai persoalan yang harus dibicarakan. Sementara itu, hidanganpun telah di suguhkan oleh seorang pembantu di rumah Ki Demang.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Bekel itupun telah minta diri. Sementara langitpun telah menjadi buram.
"Besok pagi, wayah matahari sepenggalah aku akan datang kemari."
"Baiklah adi. Sekarang biarlah kakek tinggal dan bermalam disini. Bukankah kakek sudah lama tidak datang mengunjungi aku dan apalagi tidur di rumah ini?"
Laki-laki tua itu menarik nafas panjang. Katanya, "Aku rindu untuk tinggal disini barang dua tiga hari, ngger. Tetapi lain kali sejalan aku tidur disini. Sekarang, biarlah aku menemani Bekele pulang ke Babadan. Besok aku akan menemaninya lagi datang kemari."
"Baiklah, kek. Tapi besok aku harap kakek sungguh-sungguh datang bersama adi Bekel di Babadan."
"Tentu, ngger, aku tentu akan datang." Keduanyapun kemudian minta diri. Ki Demang menasehatkan agar Ki Bekel tidak berusaha untuk menemui ibunya lebih dahulu.
"Besok kita minta ijin lebih dahulu, apakah kau diperkenankan menengoknya atau tidak. Kita tentu tidak akan dapat memaksakan kehendak kita."
"Ya, kakang." Demikianlah, sesaat kemudian, maka Ki Bekel di Babadan itu pun segera meninggalkan rumah kakaknya untuk pulang ke babadan. Tetapi rumahnya di Babadan akan terasa sangat sepi. Ibunya tidak berada di rumah itu. Dan bahkan mungkin tidak hanya sehari-dua hari. Tetapi berhari-hari atau malahan selamanya.
Ketika Ki Bekel itu memasuki regol halaman rumahnya, maka terasa jantungnya berdesir. Bahkan Ki Bekel itupun tertegun sejenak ketika kakinya akan menginjak tangga pendapa.
"Sudahlah, ngger," berkata kakeknya. Agaknya orang tua itu dapat menangkap perasaan cucunya yang menyadari kesalahan yang telah dilakukannya.
Ki Bekel berpaling. Dipandanginya kakeknya sekilas. Mata Ki Bekel itu menjadi basah. Katanya dengan suara yang tersendat, "Kek. Beruntunglah di rumah ini ada kakek. Jika kakek tidak ada di rumah ini, maka aku akan kehilangan segala-galanya. Apa artinya rumahku yang besar ini tetapi kosong sama sekali. Perabot rumah yang betapapun baik dan mahalnya, berapapun jumlah pembantu yang ada di rumah ini, tidak akan dapat mengisi kekosongan itu." Ki Bekel itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya, "Karena itu, kek. Jangan tinggal di bilik itu lagi. Kakek harus pindah ke ruang dalam. Masih ada beberapa sentong yang kosong."
"Tetapi rasa-rasanya aku sudah mapan berada di bilikku itu, ngger."
"Tidak, ibulah yang menempatkan kakek di bilik yang kecil dan pengab itu. Tetapi sekarang aku sendiri. Karena itu, aku minta kakek tinggal bersamaku di dalam."
Kakeknya tersenyum. Katanya, "Baiklah. Tetapi marilah naik lebih dahulu."
Keduanyapun kemudian naik ke pendapa. Kakeknyalah yang mengetuk pintu pringgitan agak keras.
Seseorang terdengar melangkah ke pintu. Mengangkat selarak, kemudian mendorong pintu itu sehingga terbuka.
Pembantu rumah yang membuka pintu itu mengangguk. Kemudian orang itupun segera kembali ke belakang.
Kakek Ki Bekel itulah yang kemudian memasang selaraknya kembali.
Seperti diminta oleh Ki Bekel, kakek tua itu tidak kembali ke biliknya di dekat dapur. Tetapi ia masih duduk di ruang dalam menemani Ki Bekel yang kesepian.
"Sudahlah, sekarang beristirahatlah," berkata kakeknya ketika pembicaraan mereka sekali-sekali mulai menyebut Nyi Demang yang muda yang sedang ditahan oleh para prajurit Mataram.
"Bagaimana dengan ibu, kek" " suara Ki Bekel itu menjadi parau.
"Sudah beberapa kali aku katakan, serahkan sepenuhnya kepada kakakmu agar ia dapat berpikir tenang. Jika ia masih dibebani berbagai macam persoalan, maka ia justru akan menjadi kebingungan. Karena itu, jangan menuntut lagi. Besok kita akan berbicara panjang dengan para prajurit Mataram."
"Ya kek." "Tidurlah. Kau perlu banyak beristirahat."
"Aku akan tidur, kek. Tetapi kakek tidak usah pergi ke bilik di sebelah dapur. Kakek dapat mempergunakan bilik yang mana saja yang kakek kehendaki."
Orang tua itu tersenyum sambil mengangguk. Katanya, "Ya. Aku nanti akan memilih bilik yang paling sesuai."
Ki Bekel itupun kemudian pergi ke biliknya. Ia masih mendengar kakeknya itu membersihkan debu dengan sapu lidi yang khusus dipergunakan di bilik yang biasanya memang kosong. Karena pembaringannya yang jarang dipakai, maka tikarnyapun agaknya berdebu meskipun bilik itu setiap hari dibersihkan.
Ki Bekelpun mencoba untuk dapat tidur. Dipejamkannya matanya rapat-rapat. Dicobanya pula untuk mengosongkan angan-angannya.
Tetapi Ki Bekel memerlukan waktu untuk dapat benar-benar tidur.
Tetapi Ke Bekel tidak dapat tidur nyenyak. Beberapa saat saja ia sudah terbangun lagi. Bahkan dadanya mulai terasa sakit.
Ki Bekel itupun kemudian bangkit dari pembaringannya. Seakan-akan diluar sadarnya, ia melangkah keluar dari biliknya.
Ki Bekel tertegun ketika ia melihat kakeknya tidak tidur di bilik manapun. Tetapi kakeknya ini tidur di ruang dalam, di tikar yang dibentangkan di lantai.
Namun ketika Ki Bekel akan membangunkannya, tangannya yang sudah terjulur untuk menyentuh kaki kakeknya itu telah tertahan. Kakeknya tidur nyenyak sekali, sehingga Ki Bekel itu tidak ingin mengusiknya.
Ki Bekel itupun justru melangkah ke pintu butulan. Ketika ia berdiri diluar di tengah malam, maka terasa udaranya segar sekali. Angin berhembus perlahan sekali mengusap wajah Ki Bekel. Dinginnya serasa menyusup menyentuh perasaan Ki Bekel yang gelisah.
Beberapa lama Ki Bekel berdiri di luar. Segarnya udara telah membual Ki Bekel itu mengantuk.
Ki Bekel masih sempat untuk tidur beberapa lama lagi sampai menjelang fajar.
Ketika Ki Bekel itu bangun dan keluar dari biliknya, kakeknya sudah tidak ada diruang dalam. Tetapi ketika Ki Bekel itu mendengar suara orang menyapu di halaman samping, maka ia tahu, bahwa kakeknyalah yang melakukan sebagaimana dilakukannya sehari-hari ketika ibunya berada di rumah. Ibunya yang merasa tidak berkewajiban untuk berterima kasih kepada kakeknya, karena apa yang dilakukan kakeknya untuk ibunya itulah merupakan kewajiban yang harus dilakukan.
Ki Bekel itupun kemudian berdesis, "Ibu memang keterlaluan."
Ki Bekel itupun kemudian melangkah ke halaman samping. Seperti yang diduganya, maka yang sedang menyapu halaman samping itu adalah kakeknya yang sudah tua.
"Sudahlah, kek. Biar nanti disapu oleh para pembantu." Kakeknya berhenti sejenak. Sambil memegangi tangkai sapu lidinya, ia berdiri termangu-mangu. Dipandanginya cucunya itu dengan kerut yang semakin dalam di dahi.
"Bukankah pekerjaan ini sudah aku lakukan sejak lama " " kakeknya itu justru bertanya.
"Sudah waktunya bagi kakek untuk beristirahat." Kakeknya tersenyum. Katanya, "Tanpa melakukan apa-apa, tubuhku akan cepat menjadi lemah. Tetapi dengan berbuat sesuatu seperti ini, maka otot-ototku akan bergerak. Darahku akan mengalir lebih lancar. Aku tidak akan terlalu cepat menjadi pikun."
"Tetapi kakek akan letih."
"Bukankah yang aku lakukan ini tidak seberapa berat. Aku memang memerlukan merasa letih. Asal tidak terlalu letih. Dengan demikian aku akan tetap banyak makan dan minum."
Ki Bekel menarik nafas panjang. Ternyata kakeknya yang sudah terbiasa menyapu halaman samping itu, tidak mau menghentikannya.
Kakek Ki Bekel itu baru selesai setelah halaman samping menjadi bersih. Gilar-gilar tanpa sehelai daunpun yang tercecer di halaman. Tetapi jika kemudian angin berhembus, maka satu-satu daun keringpun akan berjatuhan lagi.
Tetapi nanti, di sore hari, kakek Ki Bekel itu akan menyapu halaman samping itu lagi. Demikianlah yang dilakukan, pagi dan sore.
Kakek Ki Bekel itupun kemudian menyandarkan sapu lidinya. Beberapa saat ia duduk di sebuah amben panjang yang terletak dibawah sebatang pohon jambu air untuk mengeringkan keringatnya. Baru kemudian kakek tua itu pergi ke pakiwan.
Ketika matahari naik, maka Ki Bekel dan kakeknyapun telah bersiap. Mereka akan pergi ke padukuhan induk kademangan Prancak untuk bersama-sama dengan Ki Demang menemui Ki Lurah Agung Sedayu. Lurah prajurit Mataram yang datang ke kademangan Prancak.
Sebelum wayah matahari sepenggalah, maka keduanya telah berada di rumah Ki Demang di Prancak. Bersama Ki Demang, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu, Ki Bekel akan menghadap Ki Lurah Agung Sedayu.
"Apakah kakek juga akan pergi bersama kami ke banjar ?" bertanya Ki Demang.
"Untuk apa " Apakah ada yang penting aku lakukan di banjar kademangan ?"
"Mungkin kakek akan minta ijin menemui bibi. Jika saja kakek mendapat izin, bukankah sekaligus kakek akan menengok bibi di banjar kademangan ?"
Ternyata kakek Ki Bekel itu ragu-ragu. Namun akhirnya orangtua itupun mengangguk sambil berkata, "Baiklah, ngger. Kalau mungkin aku dapat bertemu dengan bibimu."
Beberapa saat kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan rumah Ki Demang di Prancak. Mereka langsung menuju ke banjar kademangan yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah Ki Demang.
Di banjar, Ki Lurah Agung Sedayu telah siap untuk menerima mereka.
Setelah duduk di pringgitan, maka Ki Demangpun telah memperkenalkan kakek Ki Bekel di Babadan itu dengan Ki Lurah Agung Sedayu.
Dalam pada itu, setelah basa-basi sejenak, maka Ki Demangpun kemudian berkata kepada Ki Lurah, "Ki Lurah Agung Sedayu. Aku datang bersama Ki Bekel di Babadan. Kami telah mengadakan pembicaraan pendahuluan kemarin. Ternyata diantara kami sudah tidak ada masalah lagi. Ki Bekel sudah mengakui kesalahannya serta mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadi gejolak. Babadan akan kembali kepada kedudukan semula sebagai satu pedukuhan di dalam lingkungan sebuah kademangan."
"Sokurlah," berkata Agung Sedayu, "namun meskipun demikian, Ki Demang aku harap menyelenggarakan pertemuan antara para Bekel dan bebahunya di seluruh kademangan Prancak yang akan dipimpin oleh Ki Demang sendiri. Di dalam pertemuan itu akan dimantapkan kembali kedudukan para Bekel. Ki Demangpun akan dapat memberikan peringatan keras kepada para Bekel yang tidak tunduk kepada perintah Ki Demang, serta pedukuhan-pedukuhan yang menjadi ragu-ragu mengambil sikap berdasarkan paugeran yang ada. Karena pada dasarnya, setiap padukuhan, bahkan setiap orang telah terikat pada kewajiban disamping hak yang diperolehnya."
Ki Lurah Agung Sedayu itupun terdiam sejenak. Namun kemudian iapun berkata pula, "Dengan demikian para Bekel yang menjadi ragu-ragu bersikap pada saat Babadan mencoba untuk mengambil alih kepemimpinan, perlu mendapat peringatan. Pada saat yang paling gawat sekalipun para Bekel harus mengambil sikap. Jika ada diantara para Bekel yang hanya menunggu kesempatan terbaik, seperti ujung ilalang yang condong kemana arah mata angin bertiup, maka setidak-tidaknya mereka harus diambil tindakan."
"Ya, Ki Lurah," sahut Ki Demang, "kami akan menyerahkan hukuman apa yang terbaik bagi mereka."
"Aku tidak akan mencampuri persoalan kademangan Prancak. Ki Demang kumpulkan mereka dan tuding orang-orang yang bersalah itu. Orang-orang yang hanya mementingkan keselamatannya sendiri tanpa bersikap sama sekali."
Ki Demang di Prancak itu mengangguk. Dengan nada berat iapun berkata, "Baik Ki Lurah. Aku akan mengadakan pertemuan dengan para Bekel di padukuhan-padukuhan seluruh kademangan Prancak."
"Dengan demikian, maka segalanya akan menjadi pasti. Tidak ada lagi yang harus diragukan," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
"Besok aku akan menyelenggarakannya Ki Lurah, mumpung Ki Lurah masih ada disini."
"Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan mencampuri persoalan yang akan berkembang di Prancak. Campur tangan orang-orang yang bersarang di ujung hutan dengan sandaran tajamnya senjata telah meresahkan rakyat Prancak. Bahkan hampir saja rakyat Prancak terpecah dan saling bermusuhan sesama kadang. Biarlah kalian berbicara tentang kalian sendiri. Biarlah kalian menentukan keberadaan kalian sendiri. Campur tangan orang lain hanya akan berakibat buruk."
"Aku tidak bermaksud mengguncang campur tangan Ki Lurah. Aku hanya ingin Ki Lurah menjadi saksi. Jika setelah kami mencapai kesepakatan ada pihak yang berusaha melanggarnya, maka kami akan dapat mengambil dndakan seperlunya tanpa terjadi salah paham dengan prajurit Mataram. Atau jika perlu kami dapat minta bantuan prajurit Mataram sesuai dengan ketentuan yang berlaku."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Tetapi aku harap pertemuan itu benar-benar dapat dilaksanakan esok atau setidak-tidaknya dalam waktu yang singkat, karena kami akan segera kembali ke Mataram."
"Baik, Ki Lurah. Besok sore pertemuan itu akan kami selenggarakan. Karena banjar ini dipergunakan oleh para prajurti, maka pertemuan itu akan kami selenggarakan di rumahku."
"Aku akan datang untuk menjadi saksi dari pembicaraan itu. Dengan pembicaraan itu maka segala sesuatunya sudah diperbaharui dan pasti."
"Terima kasih Ki Lurah. Mudah-mudahan keberadaan Ki Lurah untuk menjadi saksi itu dapat mendorong kami untuk menemukan kepastian itu."
Ki Lurahpun mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, Ki Demang itupun berkata, "Ki Lurah. Selain untuk memberikan laporan tentang pembicaraanku dengan adi Bekel di Babadan, aku juga ingin menyampaikan permohonan adi Bekel untuk dapat bertemu dengan ibunya. Sokurlah kalau bibi itu tidak akan dibawa ke Mataram, kalau Ki Lurah dapat memberikan pengampunan."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya, "Semua yang bersalah akan aku bawa ke Mataram. Selain orang-orang yang dapat kami tangkap di ujung hutan juga mereka yang tertangkap di kademangan Babadan. Tentu saja orang yang mengaku Ki Jagabaya Babadan, termasuk diantara mereka. Selain Ki Jagabaya, maka yang ikut memegang peranan dalam usaha perebutan kedudukan di kademangan Prancak adalah Nyi Demang muda. yang lelah menghasut anaknya untuk melakukan perlawanan kepada seorang Demang yang sah."
"Ki Lurah. Aku menganggap bahwa persoalannya sudah selesai. Adi Bekel sudah mengakui kesalahannya dan berjanji untuk tidak melakukan lagi."
"Mungkin persoalannya dengan Ki Demang sudah Ki Demang anggap selesai. Tetapi ibu Ki Bekel itu sudah berusaha meracun kami, beberapa orang yang datang ke rumah Ki Bekel pada waktu itu untuk mengalasi pembicaraan Ki Bekel dengan Ki Demang di Prancak."
Ki Demang menarik nafas panjang. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Nyi Demang muda itu memang sudah berusaha membunuh dengan racun, dianlaranya adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Lurah prajurit yang sedang menjalankan tugasnya di kademangan Prancak. Dengan demikian, maka kesalahan Nyi Demang muda im menjadi semakin bertimbun.
"Jadi, sudah tertutup kemungkinan untuk memberikan pengampunan bagi bibi agar bibi tidak usah dibawa ke Mataram."
"Nyi Demang itu pasti akan aku bawa ke Mataram. Sedangkan tentang pengampunan baginya, aku tidak dapat berkata apa-apa. Segala sesuatunya tergantung kepada para pejabat di Mataram."
Ki Demang menarik nafas panjang. Iapun kemudian berpaling kepada Ki Bekel sambil berkata, "Adi. Kau dengar sendiri keputusan Ki Lurah Agung Sedayu tentang bibi."
Ki Bekel itupun mengangguk. Namun kemudian iapun berkata, "Ki Lurah. Segala sesuatunya memang terserah kepada Ki Lurah. Namun jika Ki Lurah inengijinkan, aku dan kakek ingin bertemu dan berbicara dengan ibu sebelum ibu dibawa ke Mataram."
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun melambaikan tangannya memanggil seorang prajurit yang berada di halaman banjar.
Prajurit itupun mendekat.
"Panggil seorang kawanmu. Bawa Ki Bekel dan kakeknya ke bilik tahanan Nyi Demang. Peringatkan lebih dahulu para petugas jaga agar mereka berhati-hati."
"Ya, Ki Lurah."
Prajurit itupun kemudian memanggil seorang kawannya untuk bersama-sama membawa Ki Bekel dan kakeknya ke bilik tahanannya.
Namun Ki Demang itupun berkata, "Aku ikut bersama mereka."
"Silahkan Ki Demang."
Dengan diantar oleh dua orang prajurit, maka Ki Bekel, kakeknya dan kemudian Ki Demang pergi ke bilik tahanan Nyi Demang muda yang dianggap bersalah.
Seorang diantara para prajurit itupun sempat menemui prajurit yang bertugas menjaga para tawanan untuk menyampaikan pesan Ki Lurah Agung Sedayu, agar mereka berhati-hati. Sementara yang seorang lagi mengantar Ki Bekel, kakeknya serta Ki Demang Prancak ke bilik tahanan Nyi Demang muda.
Ketika selarak pintu itu diangkat serta pintunya dibuka, maka mereka melihat Nyi Demang itu duduk di pembaringannya sambil mengusap air matanya.
"Ibu," desis Ki Bekel.
Nyi Demang itu bangkit berdiri. Namun ketika ia melihat ayahnya serta Ki Demang berdiri di pintu, maka Nyi Demang itupun berkata dengan suara parau, "Untuk apa mereka kemari ?"
"Ibu. Ini kakek ingin bertemu dengan ibu. Demikian pula kakang Demang di Prancak."
"Suruh mereka pergi. Aku tidak memerlukan mereka."
"Tetapi kakek datang untuk menemui ibu."
"Orangtua tidak tahu diri. Kakekmu itu hanya dapat menghalangi gegayuhanku. Kakekmu selalu menjadi penghalang jalanku. Agaknya kakekmu itu juga yang telah melaporkan kegiatanku kepada orang-orang Mataram."
"Tidak, bibi." sahut Ki Demang Prancak, "kakek tidak berbuat apa-apa. Yang memberikan laporan kepada para prajurit Mataram adalah dua orang pengembara yang pernah di tangkap oleh orang-orang Babadan. Jika bibi menganggap itu mustahil, maka biarlah bibi menyalahkan aku, karena akulah yang menyambut para prajurit Mataram itu serta memberikan banyak keterangan kepada mereka."
"Aku tahu, bahwa kau selalu dengki terhadap adikmu. Sampai masa tuamu kau tetap saja selalu berusaha menekan adikmu untuk tidak pernah dapat bangkit dan menggapai cita-citanya."
"Kalau cita-citanya wajar dan lurus, tanpa melanggar tatanan dan paugeran, aku tentu akan mendukungnya, bibi. Bukankah aku sudah banyak memberinya kesempatan. Pada saat Babadan tidak memiliki seorang Bekel karena Ki Bekel Babadan yang tua itu meninggal tanpa meninggalkan seorangpun yang dapat mewarisi kedudukannya, aku pergunakan pengaruhku untuk menempatkan adikku itu menjadi Bekel di Babadan."
"Hanya itulah yang dapat kau berikan. Kau tidak mau memberi kesempatan lebih jauh lagi."
"Aku tidak mempunyai jalan untuk itu, bibi."
"Kalau kau mau memberikan kedudukanmu kepada adikmu, maka adikmu akan dapat melangkah setapak lebih tinggi. Mungkin ada kesempatan lain yang dapat mengangkatnya ke kemungkinan yang lebih tinggi lagi."
"Apakah ibu melihat kemungkinan itu ?"
"Tentu. Adikmu akan dapat menjadi seorang Demang di Babadan yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah kademangan Prancak."
"Lalu aku sendiri ?"
"Kau harus menerima kedudukan yang lebih rendah. Kau menjadi Bekel di Prancak."
"Ibu. Bukankah itu tidak mungkin ?" potong Ki Bekel di Babadan.
"Kenapa tidak. Kau adalah anak Demang Prancak. Kau berhak mewarisi kedudukannya."
"Tetapi kakang Demang adalah anak Demang Prancak yang lebih tua dari aku."
"Bohong. Anak yang disebut kakakmu itu sama sekali bukan anak Demang Prancak. Ia anak orang lain, karena ibunya waktu itu selingkuh sehingga ayahmu mengambil aku sebagai isteri mudanya."
"Bibi," potong Ki Demang. Dari sorot matanya nampak getar perasaannya.
"Ibu. Ibu jangan mengada-ada."
"Diam kau anak manja. Kaulah yang seharusnya menjadi Demang di Prancak. Bukan kakakmu itu."
"Tetapi bibi tidak perlu memfitnah," geram Ki Demang.
"Aku tidak memfitnah. Bertanyalah kepada orang-orang tua di Prancak."
"Tidak ada orang yang pernah mengatakannya."
"Tidak. Yang dikatakannya itu tidak benar," sahut kakek Ki Bekel itu, "kau memang pernah mencoba menyebarkan fitnah itu. Tetapi tidak seorangpun yang percaya. Apalagi mereka yang sudah mengenal Nyi Demang tua itu."
"Diam kau orangtua yang tidak berguna. Pergi dari sini."
"Ibu. Tidak baik jika ibu masih juga berusaha memfitnah. Kami datang untuk menemui ibu. Mungkin ada pesan-pesan yang akan dapat berarti bagiku dan bagi kakang Demang. Mungkin ibu memerlukan petunjuk kakek, karena ternyata apa yang dikatakan kakek tentang niat ibu untuk menggeser kedudukan Demang itu benar."
"Diam. Diam kau anak manja yang cengeng. Kau tahu apa " Kau hanya tahu makan dan minum. Tidur dikipasi serta dipijiti kaki dan tanganmu. Kau hanya tahu disuapi dan menangisi mainanmu yang terlepas dari tanganmu tanpa mampu mengambilnya sendiri."
"Ibu." "Sekarang pergilah kalian. Besok segala sesuatunya harus sudah terselenggara."
"Apa yang terselenggara, ibu ?"
"Penyerahan kekuasaan di Prancak. Besok kau akan menjadi Demang di Babadan. Demang Prancak itu akan menjadi Bekel. Ia akan menyerahkan seluruh wilayah kademangan Prancak kepada Demang Baru di Babadan."
Ki Demang Prancak, Ki Bekel Babadan dan kakeknya menjadi tegang. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat pandangan mala Nyi Demang muda itu.
"Ibu," desis Ki Bekel.
Nyi Demang muda itu tertawa berkepanjangan. Semakin lama semakin keras.
"Kau akan menjadi Demang esok pagi, ngger. Demang Prancak itu tidak akan berdaya melawanmu. Raden Panengah sendiri akan membinasakannya dengan tangannya."
"Ibu, ibu." Suara tertawa Nyi Demang itupun bagaikan mengguncang-guncang bilik tahanannya.
"Jangan takut ngger. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan Raden Panengah. Ia sudah berjanji untuk menjadi ayah yang baik bagimu. Ia akan berbuat apa saja untuk kemenanganmu. Demang Prancak itu akan dilumatkannya seperti debu."
"Ibu," Ki Bekel itu berjongkok sambil memeluk kaki ibunya. Bahkan Ki Bekel itupun tidak dapat menahan air matanya melihat keadaan ibunya.
"Kenapa kau menangis anak cengeng. Apa saja yang tidak kau tangisi he" Sudah aku katakan, jangan takut. Dalam waktu sepenginang Raden Panengah akan menghancurkan Demang Prancak. Jika rakyatnya berniat untuk mempertahankannya, maka mereka akan disapu bersih seperti sampah di halaman rumahmu itu."
"Ibu. Ingat ibu. Ingat Ibu harus menyadari apa yang sudah terjadi."
"Aku sadar sepenuhnya ngger," tiba tiba wajahnya menjadi tegang, "Demange. Kau memang anak iblis. Kenapa kau tidak mau menyerahkan jabatanmu kepada adikmu, he" Kenapa" Kau terlalu serakah. Kau warisi rumah, sawah dan semua kekayaan Ki Demang. Bahkan kedudukannya, tanpa mengingat bahwa kau mempunyai seorang adik laki-laki."
"Ibu, ibu. Ingat ibu. Ibu jangan terperosok terlalu jauh ke dalam alam khayalan itu."
"Kau kira aku berkhayal" Tidak. Besok penyerahan kekuasaan itu harus terselenggara. Jika tidak, maka Raden Panengah akan menghancurkan Prancak."
"Ibu. Jangan sebut lagi nama iblis itu. Raden Panengah sudah menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyat kademangan Prancak. Aku telah dikorbankannya."
"Kau memang bodoh. Kau memang dungu anak cengeng. Kau tidak usah ikut campur. Segala sesuatunya akan selesai dengan baik."
"Panengah itu sudah mati, ibu. Sudah mati dibunuh oleh prajurit Mataram."
"Apa, apa katamu?"
"Panengah itu sudah mati dibunuh prajurit Mataram."
"Tidak. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan Raden Panengah. Tidak ada."
"Jangankan Panengah. Orang yang menyebut dirinya Raden Mahambara itupun sudah mati di tangan orang-orang Mataram."
"Bohong. Bohong."
"Tidak ibu. Aku tidak bohong."
Perempuan itupun kemudian memandang Ki Demang Prancak yang sudah bergeser maju.
"Apakah benar bahwa Raden Panengah sudah mati?"
"Ya, bibi. Raden Panengah sudah mati."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Prajurit Mataram."
"Raden Mahambara ?"
"Juga sudah mati. Yang membunuh Raden Mahambara juga orang Mataram, tetapi ia bukan seorang prajurit."
"Jadi siapa" Siapa" Siapa yang memiliki ilmu lebih tinggi dari Raden Mahambara ?"
"Ki Jayaraga. Meskipun Ki Jayaraga juga terluka di bagian dalam tubuhnya, tetapi ternyata bahwa berhadapan dengan Ki Jayaraga Raden Mahambara bukannya orang yang tidak terkalahkan."
"Setan, iblis laknat keparat."
Kakek Ki Bekel itupun yang kemudian melangkah mendekati anak perempuannya. Dengan lembut laki-laki tua itu berkata, "Warsiyah. Sudahlah. Bangunlah dari mimpi-mimpi burukmu itu."
"Pergilah. Kau tahu apa " Kau hanya tahu makan dan tidur nyenyak. Pada masa kecilku aku selalu harus tunduk kepadamu. Aku harus melakukan apa katamu. Tetapi kau tidak pernah mendukung kemauanku, niatku dan semua langkah-langkahku. Kau hanya dapat menghalangiku dan bahkan jika mampu kau akan mencegahnya. Sekarang kau datang lagi untuk menghalangi aku. Untuk mencegah niatku. Tidak Tidak ada orang yang dapat mencegahku. Tidak ada orang yang dapat menghalangi aku."
Pandangan mata orang tua itu menjadi redup. Tetapi dengan lembut iapun berkata, "Aku mengerti Warsiyah. Aku mengerti bahwa cita-citamu kau gantungkan di atas awan. Tetapi kakimu tidak lagi berpijak di atas bumi. Kau kehilangan pegangan sehingga penalaranmu menjadi goyah."
"Cukup, cukup. Aku tidak memerlukan sesorahmu."
"Warsiyah. Cobalah, kau sempatkan dirimu untuk mengenang apa yang telah terjadi atas dirimu dan atas anak-anakmu, bukankah Demang Prancak itu juga anakmu seperti Bekel di Babadan " Cobalah kau ingat dirimu dan apa saja yang lelah kau lakukan."
Nyi Demang itupun termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Nyi Demang itupun berteriak, "Jangan ganggu aku lagi. Pergilah. Aku tidak memerlukan kau lagi. Ternyata kau tidak dapat memenuhi kewajibanmu, menuruti dan mencukupi kebutuhanku."
"Aku tidak mengelak, ngger. Aku memang tidak dapat memenuhi semua keinginanmu. Tetapi itu bukan berani bahwa aku mengabaikan kewajibanku."
"Apa yang aku inginkan tidak pernah dapat kau adakan. Aku selalu kecewa sejak masa kecilku. Aku tidak punya apa-apa seperti yang dipunyai oleh kawan-kawan. Bahkan golek dari kayupun aku tidak punya. Setiap kawan-kawanku bermain anak-anakan, aku hanya dapal menggendong kedebog pisang. Sementara kawan-kawanku mempunyai golek dari kayu yang disungging manis sekali."
"Aku minta maaf ngger. Tetapi apa yang dapat aku berikan kepadamu dan kepada saudara-saudaramu itu adalah apa yang aku punya. Semuanya. Hidupku, kerja kerasku dari pagi sampai petang, hasilnya adalah bagimu dan saudara-saudaramu. Aku berikan segala-galanya bagi anak-anakku. Sedangkan mereka yang memberi golek dari kayu yang diukir dan disungging halus itu belum tentu memberikan segala-galanya bagi anaknya. Yang mereka berikan hanyalah sebagian kecil saja, sedangkan yang lebih banyak mereka pergunakan untuk kesenangan dirinya sendiri."
"Itu salahmu. Kenapa kau tidak dapat mencari yang lebih banyak sehingga apa yang kau berikan kepadaku dan kepada saudara-saudaraku itu hanya sebagian kecil saja dari penghasilanmu, sedangkan yang lain dapat kau pergunakan untuk menyenangkan dirimu sendiri. Bukankah anak-anakmu tidak akan pernah melarang kau menyenangkan dirimu sendiri."
"Itu yang aku tidak mampu ngger. Aku sudah bekerja sepenuh tenaga dan waktuku. Tetapi memang hanya itulah hasilnya. Dan itu seluruhnya sudah aku berikan kepadamu dan kepada saudara-saudaramu. Kepada seluruh keluargaku."
"Ayah adalah seorang yang bodoh. Malas dan tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan gejolak kehidupan."
"Apapun yang kau katakan, ngger. tetapi kau sebenarnya tahu pasti, bahwa aku telah berbuat apa saja yang dapat aku lakukan. Kau tentu tahu, kapan aku bangun di pagi hari " Kapan aku pulang dari kerja apa saja yang dapat aku kerjakan " Jika ini aku katakan kepadamu, Warsiyah. Bukan berarti bahwa aku mulai mengeluh atau bahkan merasakan ketidak adilan Yang Maha Agung. Sama sekali tidak. Aku justru mensukuri segalanya yang telah dikurniakan kepadaku. Itulah takaran yang pantas bagiku, bagimu dan bagi keluargaku. Tanpa mensukuri kurnianya, maka kita akan selalu diburu oleh perasaan kecewa, ketidak puasan, selalu merasa kekurangan dan lebih buruk lagi, kita akan menggugat kepada kuasa Yang Maha Agung."
Nyi Demang itu termangu-mangu sejenak. Dahinya nampak berkerut, sementara punggungnya basah oleh keringat.
"Kita memang pantas berusaha, ngger. Berjuang untuk mencapai satu keinginan. Satu gegayuhan. Usaha dengan sekuat tenaga adalah ungkapan permohonan yang sungguh-sungguh dari satu permohonan kepada Yang Maha Agung. Tetapi takaran yang dipergunakan bagi kurnianya atas kita, harus kita terima dengan mengucapkan sukur. Kita tidak dapat menuntut lebih dengan meiniicrgiinakan cara-cara yang bertentangan dengan wewaler-Nya. Jalan yang justru dikendalikan oleh nafsu hitam yang memancar dari hati iblis yang berbulu duri."
Ki Demang itu masih berdiri mematung, namun wajahnya menjadi semakin menunduk.
"Ibu," desis Ki Bekel kemudian, "kakek benar, ibu."
Dipandanginya anaknya dengan mata yang basah. Dengan suara yang tertahan Nyi Demang iiupun bertanya, "Apa maksudmu ?"
"Apa yang ingin kita capai agaknya sudah berada diluar takaran kurnia Yang Maha Agung, sehingga kita sudah mulai menyandarkan keberhasilan niat kita yang sudah melampaui takaran itu kepada kekuatan hitam diujung hutan."
"Warsiyah," sambung ayahnya, "kau harus mulai menyadari dan mengakui sebagaimana dikatakan oleh anakmu. Ia adalah anakmu, tetapi panalarannya ternyata lebih jernih dari penalaranmu."
"Ibu. Raden Panengah dan. Raden Mahambara adalah ujud dari hati iblis yang hitam itu. Untuk dapat memandang dan mengenali iblis yang berhati kelam itu, maka kita dapat memandang Raden Panengah dan Raden Mahambara. Akupun merasa sangat terlambat dapat mengenali mereka."
"Ngger," nada suara Nyi Demang itu merendah. Air matanyapun mengalir semakin deras.
"Ibu dapat melihat kelemahan ibu itu ?"
Tangis Nyi Demang itupun kemudian meledak bagaikan bendungan pecah. Tiba-tiba saja Nyi Demang itu berjongkok di hadapan ayahnya, memeluk kakinya sambil berkata disela-sela isak tangisnya, "Ampunkan aku ayah. Aku mohon ampun."
Ayahnya itupun kemudian membungkuk sambil memegangi lengan anak perempuannya. Kemudian menariknya berdiri, "Sudahlah, Warsiyah. Sudah."
"Ayah belum mengampuni aku," tangis Warsiyah. Tetapi ia masih belum mau bangkit berdiri.
"Kau tidak bersalah."
"Aku bersalah. Aku bersalah kepada ayah, kepada Bekel Babadan dan kepada seluruh warga padukuhan Babadan dan sekitarnya. Aku telah menyulut permusuhan diantara kalian. Bahkan telah mengundang campur langan prajurit Mataram."
Orang tua itupun termangu-mangu sejenak, sementara Nyi Demang masih menangis sambil memeluk kakinya.
"Ampunkan aku ayah. Aku mohon ampun."
Orang tua itu mengusap matanya yang menjadi basah. Sambil menarik Nyi Demang itu agar berdiri, iapun berkata, "Sudah Warsiyah. Aku sudah mengampunimu."
"Ayah." Ayahnya menarik Nyi Demang itu sehingga akhirnya Nyi Demang itupun berdiri.
"Duduklah. Duduklah di pembaringanmu."
Ki Demang menarik nafas panjang. Pengakuan ibu tirinya itu merupakan pertanda, bahwa ibu tirinya itu tidak akan membuat ulah lagi di kemudian hari, meskipun kemungkinan di luar dugaan itu dapat saja terjadi.
Nyi Demang itupun kemudian duduk di bibir pembaringannya, namun isaknya masih terasa menyesakkan dadanya.
Disela-sela isaknya, Nyi Demang itu masih juga berkata. "Ngger. Demange Prancak. Aku juga minta maaf kepadamu dan kepada seluruh rakyat di Prancak. Semuanya terpercik oleh sikapku yang tidak sepantasnya. Aku minta maaf."
"Baiklah bibi. Aku sudah memaafkan bibi. Aku juga akan berbicara dengan orang-orang Mataram, agar mereka juga dapat memaafkan bibi."
"Jangan, ngger. Jangan. Biarlah orang-orang Mataram itu menjatuhkan hukuman kepadaku. Sebelum aku menjalani hukuman, maka rasa-rasanya hutangku kepada kademangan Prancak belum terbayar. Dengan menjalani hukuman apapun yang akan dijatuhkan oleh petugas yang berwenang mengadili aku di Mataram, aku akan menerima dengan ikhlas. Aku sudah berbuat salah, karena itu aku harus dihukum, agar aku merasa bahwa kesalahanku itu sudah, aku tebus, sehingga untuk selanjutnya, jika aku masih dikaruniai umur panjang, aku dapat menjalani hidupku itu dengan tenang, karena aku sudah merasa diriku bersih kembali." Ketiga orang yang mengunjungi Nyi Demang itu saling berpandangan. Mereka dapat mengerti sikap Nyi Demang itu. Karena pengakuannya yang mendalam, maka ia ingin menebus kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya itu dengan menjalani hukuman yang akan dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang di Mataram.
Ketika tangis Nyi Demang itu mereda, maka kakek Ki Bekel itupun berkata, "Marilah ngger. Kita kembali kepada Ki Lurah Agung Sedayu."
"Marilah, kek," jawab Ki Demang yang kemudian minta diri kepada Nyi Demang, "bibi. Kami minta diri. Kami masih akan menemui Ki Lurah Agung Sedayu."
"Silahkan ngger. Tetapi angger tidak perlu minta pengampunan bagiku."
Ki Demang menarik nafas panjang. Katanya, "Baik bibi. Aku tidak akan minta pengampunan bagi bibi jika itu yang bibi kehendaki, serta yang mungkin dapat memberikan ketenangan bagi hidup bibi selanjutnya."
"Terima kasih, ngger."
Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya itupun minta diri kepada Nyi Demang muda yang nampaknya telah menemukan satu keyakinan baru didalam hidupnya. Agaknya sepercik sinar telah memancar menerangi hatinya yang kelam.
Dalam pada itu, Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya telah pergi ke pendapa. Ki Lurah Agung Sedayu masih duduk di pringgitan menunggu mereka.
Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya masih duduk beberapa saat lagi bersama Ki Lurah Agung Sedayu. Masih ada beberapa hal yang perlu disampaikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu kepada Ki Demang di Prancak.
"Kami akan segera mempersiapkan diri untuk kembali ke Mataram Ki Demang," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "jika besok pertemuan Ki Demang dengan para bekel itu dapat terlaksana, maka esok lusa, kami akan kembali ke Mataram. Kami akan membawa para tawanan termasuk Nyi Demang muda."
"Kenapa begitu tergesa-gesa, Ki Lurah. Ki Lurah dapat berada di Prancak untuk waktu yang agak lama."
"Bukankah sudah tidak ada persoalan lagi yang harus kami tangani. Persoalan-persoalan yang timbul akan dapat Ki Demang tangani sendiri. Untuk menjaga keutuhan kademangan Prancak, serta untuk melindungi rakyatnya, Ki Demang dapat menyusun kekuatan yang terdiri dari anak-anak muda padukuhan. Kerusuhan yang mungkin timbul akan dapat Ki Demang redam sendiri tanpa menggantungkan diri kepada para prajurit. Meskipun demikian, bukan kerusuhan diluar batas kemampuan kademangan, maka para prajurit tentu akan datang membantu."
"Terima kasih, Ki Lurah."
"Nah, aku berharap bahwa besok sore pertemuan itu akan benar-benar dapat terlaksana."
Ki Demang, Ki Bekel dan kakeknya itupun segera meninggalkan banjar. Ki Bekel dan kakeknya langsung kembali ke Babadan. Tetapi esok sore mereka harus berada di rumah Ki Demang di Prancak untuk menghadiri pertemuan dengan para Bekel diseluruh kademangan Prancak.
Hari itu, Ki Demangpun telah memerintahkan beberapa orang bebahu mengundang para Bekel. Para bebahu sendirilah yang harus membagi diri pergi ke padukuhan-padukuhan agar mereka dapal menjelaskan kepada para Bekel.
Sementara itu, Ki Lurah Agung sedayu telah memerintahkan kepada pasukannya untuk mempersiapkan diri. Jika besok pertemuan dengan para Bekel itu benar-benar dapat berlangsung, maka esok lusa Ki Lurah akan membawa prajuritnya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama para tawanan.
Dalam pada itu, keadaan ki Jayaragapun telah berangsur pulih kembali, sehingga jika esok lusa mereka akan menempuh perjalanan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga tidak akan mengalami kesulitan lagi.
Seperti yang diperintahkan oleh Ki Demang, maka di sore hari, para bebahupun telah menyebar ke padukuhan-padukuhan. Jika biasanya Ki Demang mempercayakan beberapa orang anak muda untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada para Bekel, namun hari itu, para bebahu sendiri yang harus datang menemui para Bekel untuk menyampaikan perintahnya agar para Bekel esok sore berkumpul di rumahnya.
Beberapa orang Bekel yang menerima kedatangan seorang bebahu kademangan untuk menyampaikan perintah Ki Demang memang agak terkejut. Tetapi ketika para bebahu itu memberikan penjelasan, maka para Bekelpun memakluminya.
Meskipun demikian, ada juga beberapa orang Bekel yang menjadi gelisah. Mereka merasa bahwa selama terjadi perpecahan di kademangan Prancak mereka tidak menunjukkan sikap yang tegas.
Namun Bekel Babadan sendiri justru sudah menjadi tenang. Ia sudah bertemu lebih dahulu dengan Ki Demang Prancak. Iapun sudah membuat penyelesaian tersendiri dengan Ki demang di Prancak, sehingga persoalannya sudah dapat dianggap selesai. Tugas selanjutnya adalah mengembalikan orang-orang Prancak ke dalam keadaan semula sehingga mereka merasa bahwa mereka adalah penghuni sebuah padukuhan yang menjadi bagian dari kademangan Prancak.
Ketika malam turun, maka suasana di Prancak sudah jauh berubah. Para peronda di beberapa padukuhan serta pedukuhan induk tidak lagi dicengkam oleh ketegangan.


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para peronda tidak lagi merasa cemas di setiap saat. apalagi di padukuhan-padukuhan yang malam terakhir didatangi orang-orang Babadan serta para perampok dari ujung hutan.
Mereka yang meronda sempat duduk berkelakar di gardu-gardu sambil menunggu ketela pohon yang mereka rebus masak.
Sementara itu, orang-orang Babadanpun sempat melihat ke dalam diri mereka sendiri. Orang-orang yang termasuk mereka yang keinginannya untuk menjadikan padukuhan mereka sebagai padukuhan induk, melonjak-lonjak di dalam dada mereka, mencoba untuk menilai keadaan.
Merekapun akhirnya sadar, bahwa sia-sialah mereka jika mereka masih saja bermimpi untuk menjadikan padukuhan mereka padukuhan induk sebuah kademangan yang akan disebut kademangan Babadan yang wilayahnya meliputi kademangan Prancak.
Bahkan beberapa orang telah menjadi malu sendiri, bahwa untuk beberapa lama mereka telah berada di bawah pengaruh para perampok yang tinggal di ujung hutan. Bahkan seorang ibu tengah menangis tanpa henti menangisi anak gadisnya yang mulai mengandung karena berhubungan dengan seorang yang yang berasal dari sarang para perampok di ujung hutan itu.
Sedangkan seorang janda kembangpun hampir saja berniat untuk membunuh diri. Untunglah kerabatnya sempat mencegahnya dan mencoba memberikan beberapa nasehat sehingga janda itu mengurungkan niatnya.
Janda itulah yang untuk beberapa lama telah tinggal bersama orang yang disebut Ki Jagabaya di padukuhan Babadan.
Untuk beberapa lama ia terlena sehingga ia tidak menyadari siapakah sebenarnya orang yang disebut Ki Jagabaya di Babadan itu. Ketika Ki Jagabaya itu minta kepadanya untuk tinggal bersamanya, ia justru merasa sangat bangga. Matanya seakan-akan menjadi rabun, bahwa ia tidak melihat betapa wajah Ki Jagabaya yang bengis itu, bagaimana sikapnya yang kasar dan kata-katanya yang kotor. Untuk beberapa lama ia menganggap bahwa Ki Jagabaya itu adalah laki-laki yang sangat didambakannya sepeninggal suaminya yang sakit-sakitan.
Tetapi ketika semuanya sudah berakhir, ia mulai dapat melihat kebenaran tentang orang yang disebut Ki Jagabaya itu.
Perasaan malu, kecewa menyesal dan berbagai macam perasaan yang bercampur baur, telah membuatnya berputus asa, sehingga janda kembang yang masih juga belum dinikahi oleh Ki Jagabaya itu berniat untuk membunuh diri.
Ki Bekel di Babadanpun melihat luka-luka di padukuhannya yang ditinggalkan oleh para perampok yang semula tinggal di ujung hulan itu, namun yang kemudian perlahan-lahan berniat membangun landasan dari gerakan mereka di padukuhan Babadan. Bahkan mereka telah merencanakan untuk membuat Babadan menjadi sebuah kademangan.
Ki Bekel itupun menyadari, bahwa ia telah dihadang oleh tugas yang berat untuk memulihkan keadaan padukuhannya sehingga orang-orang padukuhannya tidak lagi merasa segan dan malu berbaur dengan rakyat Prancak dari padukuhan yang lain di seberang susukan.
Ki Bekel itu tidak seharusnya lagi menjadi orang cengeng dan manja yang hanya dapat bersandar kepada ibunya, bahkan pada saat ibunya tersesat, maka ia pun telah terseret pula ke arah yang sesat itu pula.
Ki Bekel sadar, bahwa telah datang waktunya untuk bangkit dan berdiri di atas kedua kakinya sendiri.
Namun Ki Bekel tidak sendiri. Para bebahunya yang dikumpulkannya, merasa mengemban kewajiban yang sama seperti Ki Bekel. Mereka sadar bahwa tidak ada gunanya lagi mereka untuk menuding Ki Bekel dan menyalahkannya. Ki Kebayan itupun berkata kepada orang-orang Babadan, "Kita semuanya telah bersalah. Adalah tidak adil jika kita membebankan kesalahan ini kepada Ki Bekel semata-mata. Ki Bekel berani bertindak lebih jauh, karena Ki Bekel merasa mendapat dukungan dari rakyat Babadan. Karena itu, maka marilah kita semuanya mengakui bahwa kita bersama-sama telah terjerumus kedalam satu kesalahan yang akibatnya ternyata sangat buruk bagi padukuhan Babadan. Selama ini kita telah mengeluarkan banyak sekali uang untuk membeayai keberadaan orang-orang dari ujung hutan itu. Tetapi uang dapat dihitung jumlahnya. Lebih dari itu, kita sudah kehilangan harga diri dan kenyataan tentang diri kita sendiri."
Rakyat Babadanpun menyadari. Masuknya unsur dari luar padukuhan mereka benar-benar telah merusakkan tatanan kehidupan di padukuhan mereka.
Bahkan orang-orang dari luar lingkungan mereka itulah kemudian yang menentukan nafas kehidupan di Babadan. Ki Bekel sendiri tidak lebih dari sosok wayang yang berada di tangan seorang dalang yang bengis.
Demikianlah, maka kademangan Prancakpun mulai membenahi diri. Seperti diperintahkan oleh Ki Demang, maka di keesokan harinya, para bebahu kademangan, para bekel serta bebahu padukuhan berkumpul di rumah Ki Demang Prancak.
Ketika matahari turun, maka para Bekelpun mulai berdatangan disertai para bebahu masing-masing.
Selain mereka, maka Ki Lurah Agung Sedayupun telah hadir pula bersama Glagah Putih. Seorang yang pernah berada di Prancak pada saat-saat kademangan Prancak berada dibawah bayangan campur tangan pihak lain. Para perampok yang tinggal di ujung hutan.
Dalam pertemuan itu, Ki Demang tidak lagi berbicara melingkar-lingkar. Ki Demang langsung berbicara tentang keadaan kademangan Prancak pada saat-saat terakhir. Keterlibatan pihak lain yang memasuki rumah tangga kademangan Prancak.
"Satu pengalaman yang pahit," berkata Ki Demang, "sementara itu ada pula para Bekel yang terombang-ambing tanpa berpijak pada satu sikap yang mantap. Justru mereka adalah orang-orang yang hanya mencari keselamatan sendiri. Pada saatnya ia akan berpihak pada mereka yang menang dalam pertarungan antara keluarga sendiri."
Beberapa orang Bekel merasa tertusuk jantungnya. Mereka menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
Tetapi Ki Demang Prancak tidak mau menyebut nama padukuhan-padukuhan yang sengaja mengambang tanpa menentukan sikap. Tetapi peringatan Ki Demang Prancak sangat tajam ditujukan kepada mereka yang tidak bersikap itu.
"Pada kesempatan lain, aku akan bersikap lebih kasar. Aku dapat menyingkirkan para Bekel yang tidak bersikap. Para Bekel yang hanya mencari keselamatan sendiri. Jika Bekel yang aku singkirkan itu mencoba untuk melawan, maka aku mempunyai kekuatan untuk memaksakan keputusanku itu. Jika perlu dengan kekerasan. Sebagaimana anak-anak yang nakal, maka jika perlu anak itu harus dicambuk."
Para Bekel dan para bebahu itupun terdiam, sehingga suasana di pendapa rumah Ki Demang itu menjadi hening. Bahkan semilir angin yang menyusup diantara saka guru pendapa rumah Ki Demang itupun terdengar berdesis lembut.
Para Bekel itupun mengerti, bahwa Ki Demang tidak sedang menceriterakan sebuah dongeng. Tetapi Ki Demang itu benar-benar mengungkapkan perasaan kecewanya.
Diantara kata-katanya yang tajam menusuk, Ki Demang itupun berkata, "Disini hadir Ki Lurah Agung Sedayu dari Mataram. Kalian tahu, jika aku sendiri tidak mampu melakukannya, maka sepanjang aku berjalan di jalan lurus sesuai dengan tatanan dan paugeran, maka prajurit Mataram akan siap membantu. Kapan saja aku minta."
Para Bekel itu masih saja berdiam diri. Tetapi mereka yakin akan kebenaran dari setiap kata Ki Demang Prancak. Para prajurit Mataram itu tentu akan mendukung Ki Demang sepanjang Ki Demang berjalan dialas tatanan dan paugeran.
Dalam pertemuan itu seakan-akan hanya berlangsung satu arah. Bukan sebuah pembicaraan. Tetapi para Bekel dan bebahunya itu hanya datang untuk mendengarkan sesurah Ki Demang yang sedang marah.
Babadan mendapat sorotan terbesar dalam pembicaraan itu. Namun Ki Demangpun berkata, "Tetapi Bekel Babadan telah menyadari segala kesalahannya. Sedangkan menurut para pemimpin dari para prajurit Mataram, yang mempunyai kesalahan terbesar adalah justru Nyi Demang muda. Isteri Ki Demang almarhum. Nyi Demang telah meracuni penalaran anaknya, didukung oleh pihak ketiga, pihak yang seharusnya berdiri diluar pagar kademangan Prancak. Namun ternyata kehadiran mereka diterima dengan baik oleh Ki Bekel di Babadan atas petunjuk ibunya, sehingga apa yang terjadi telah kalian ketahui. Beruntunglah bahwa sepasukan prajurit Mataram yang datang itu dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga segala sesuatunya tetap terkendali. Meskipun demikian, gerombolan yang tinggal di ujung hutan itu sudah dihancurkan."
Ki Demang itu berhenti sejenak, kemudian katanya pula, "Seandainya yang datang bukan Ki Lurah Agung Sedayu, seandainya yang datang itu seorang Lurah prajurit yang garang, maka yang terjadi di Prancak akan berbeda. Ini harus kalian mengerti, karena jika pada saat yang lain karena sesuatu alasan prajurit Mataram harus datang lagi ke padukuhan ini, mungkin sekali yang datang adalah orang lain."
Orang-orang yang mendengarkan sesorah Ki Demang itu mengangguk-angguk kecil. Mereka membayangkan, seandainya yang datang itu sepasukan prajurit yang keras dan garang, maka yang akan terjadi tentu berbeda. Mereka mengerti, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang memiliki kendali yang kuat atas dirinya, sehingga seluruh pasukannyapun rasa-rasanya sangat terkendali. Sedangkan sepasukan prajurit yang lain, meskipun mereka mengemban pesan yang sama, namun tingkah laku mereka akan dapat sangat berbeda, sehingga akan dapat merugikan kademangan Prancak itu sendiri.
Demikianlah, setelah Ki Demang selesai dengan sesorahnya, maka Ki Demangpun mempersilahkan Ki Lurah Agung Sedayu untuk memberikan beberapa pesan kepada para Bekel dan para bebahu di seluruh kademangan Prancak.
Tidak banyak yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Ki Lurah minta bahwa orang-orang Prancak itu semakin percaya diri. Jika mereka terbius oleh sikap orang lain, maka akibatnya akan menjadi sangat buruk sebagaimana yang telah terjadi itu.
"Orang lain mempunyai kepentingan yang sangat berbeda dan bahkan mungkin berlawanan dengan kepentingan rakyat Prancak," berkata Ki Lurah, "bahkan mungkin sekali rakyat Prancak akan kehilangan kebebasannya menentukan langkahnya sendiri. Kuasa yang sebenarnya akhirnya akan berada di tangan mereka yang datang dari luar Prancak itu."
Pesan Ki Lurah itu benar-benar telah menyentuh perasaan para pemimpin di Prancak itu. Terutama orang-orang Babadan dan padukuhan disebelah.
Demikianlah, maka dalam penemuan itu rakyat Prancak lelah dihadapkan pada kenyataan tentang diri mereka. Karena itu, maka dalam pertemuan itu, seakan-akan telah lahir kembali kademangan Prancak yang baru, dengan jiwa yang baru pula.
Demikianlah, maka penemuan itu justru tidak berlangsung terlalu lama. Setelah sesorah Ki Demang dan Ki Lurah Agung Sedayu, maka pertemuan itupun segera diakhiri.
"Pertemuan ini sudah berakhir sampai disini. Aku tidak ingin pembicaraan yang berkepanjangan. Yang aku ingin pesan-pesanku kalian dengar dan kalian cerna. Baru pada kesempatan lain, jika ada yang perlu kita bicarakan, akan kita bicarakan."
Pada kesempatan itu pula, Ki Lurah Agung Sedayu minta diri kepada pada bebahu kademangan, kepada para Bekel dan bebahu padukuhan-padukuhan di Prancak.
"Besok kami akan meninggalkan kademangan ini. Kami akan kembali ke Mataram dengari membawa para tawanan. Diantara mereka adalah Nyi Demang muda yang telah menyurukkan kademangan Prancak ke dalam bencana ini."
"Tetapi bibi sudah sangat menyesali perbuatannya, Ki Lurah," berkata Ki Demang.
"Sokurlah. Tetapi masih ada kesalahannya yang lain. Nyi Demang telah berusaha membunuh petugas yang dikirim oleh Mataram dengan mempergunakan racun."
Ki Demang Prancak itu menarik nafas panjang. Sementara Ki Bekel menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi NyiDemang yang muda itu sendiri minta agar Ki Demang tidak minta ampun baginya kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Hukuman yang akan diterimanya akan melepaskannya dari cengkaman perasaan berdosa yang tidak berkeputusan.
Demikianlah, sejenak kemudian maka para Bekel itupun telah meninggalkan rumah Ki Demang di Prancak. Mereka masing-masing membawa persoalan di padukuhan mereka sendiri-sendiri. Padukuhan yang selama terjadi perselisihan itu udak menentukan sikap, merasa menyesal pula. Mereka merasa bahwa sikap mereka telah membuat perpecahan semakin menjadi-jadi.
Malam itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah mempersiapkan pasukannya. Esok pagi mereka akan meninggalkan kademangan Prancak kembali ke Mataram.
Para tawananpun telah diberitahu, bahwa esok mereka akan dibawa oleh pasukan Mataram itu meninggalkan Prancak. Mereka akan diikat tangan mereka agar mereka tidak dapat berbuat macam-macam di sepanjang perjalanan.
Malam itu, maka para prajurit Matarampun telah bersiap-siap untuk kembali ke Mataram esok pagi. Ki Lurah Agung Sedayu telah memerintahkan agar para prajurit itu tetap waspada menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi disepanjang perjalanan.
"Gerombolan perampok kadang-kadang tidak berdiri sendiri," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "jika saja Raden Mahambara dan Raden Panengah mempunyai sahabat-sahabat yang merasa kehilangan. Apalagi Raden Mahambara adalah seorang yang mempunyai daerah pengembaraan yang luas. Mungkin sahabat-sahabatnya merasa kehilangan sehingga mereka berniat untuk membalas dendam."
Para prajuritpun mengerti pesan yang diberikan oleh Ki Lurah itu. Karena itu, maka merekapun telah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya di perjalanan mereka esok.
Demikianlah, di malam itu, Ki Demang dan para bebahu kademangan Prancak berada di banjar sampai malam. Mereka mengucapkan selamat jalan kepada Ki Lurah Agung Sedayu serta pasukannya. Juga kepada mereka yang bukan termasuk dalam jajaran keprajuritan yang telah ikut pula menertibkan Prancak yang telah dilanda oleh keresahan.
Pagi-pagi sekali para prajuritpun telah bersiap. Mereka pun telah mempersiapkan para tawanan yang akan mereka bawa ke Tanah Perdikan Menoreh. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka para tawanan itu terpaksa telah diikat tangannya di punggungnya. Hanya Nyi Demang sajalah yang tidak diikat tangannya. Bahkan Nyi Demang itu selalu ditemani oleh Nyi Lurah Agung Sedayu dan Rara Wulan utau bergantian.
Nyi Demang sendiri tidak mempunyai pikiran untuk berusaha melarikan diri. Ia justru ingin segera sampai ke Mataram untuk menerima hukumannya. Dengan menjalani hukumannya, maka Nyi Demang akan merasa tidak mempunyai hutang lagi. Kejahatannya telah dibayarnya dengan menjalani hukuman yang ditimpakan kepadanya.
Sebelum matahari terbit, maka segala sesuatunya telah siap. Para prajurit dan para tawanan telah makan pagi semuanya, sehingga mereka akan dapat berjalan dengan tenaga penuh.
Beberapa orang prajurit telah mempersiapkan impes untuk membawa air. Jika mereka haus di perjalanan, maka mereka tidak perlu bersusah payah mencari sumber air yang bersih untuk minum.
Demikianlah, maka iring-iringan para prajurit yang membawa tawanan itu telah meninggalkan padukuhan induk kademangan Prancak sebelum matahari terbit.
Perjalanan mereka memang tidak dapat terlalu cepat. Para tawanan yang terikat tangannya, berjalan agak lambat. Bahkan ada yang merasa diperlakukan tidak wajar sehingga kadang-kadang timbul juga sedikit keributan antara para tawanan dan para prajurit.
"Kalian adalah tawanan kami," berkata seorang pemimpin kelompok yang mendengar seorang tawanan mengumpat-umpat karena tangannya terikat.
"Kenapa kami diperlakukan seperti seekor binatang?"
"Kau sadari kesalahanmu atau tidak?"
"Meskipun kami bersalah, tetapi wajarkah kami diperlakukan seperti ini?"
"Jadi, bagaimana kami memperlakukan seorang tawanan" Seorang perampok yang telah memberontak dan melawan para petugas."
"Tetapi itu bukan alasan untuk memperlakukan aku seperti ini."
"Kau tidak dapat menuntut apa-apa."
"Persetan aku," geram tawanan yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan itu, "jika saja tanganku tidak terikat."
"Jika tanganmu tidak terikat, kenapa?"
"Kau hanya berani membentak-bentak orang yang tangannya terikat."
Pemimpin kelompok itu menjadi sangat marah. Jantungnya bagaikan disentuh api. Ia adalah salah seorang diantara para prajurit dari Pasukan Khusus. Karena itu, maka ia menjadi sangat tersinggung.
"Kalau tanganmu tidak terikat kau mau apa" katakan!"
"Kau tidak akan dapat membentakku karena aku akan mengoyakkan mulutmu."
Tiba-tiba saja pemimpin kelompok itu berteriak kepada seorang prajuritnya, "Lepaskan ikatan tangannya. Biarlah ia membuktikan kata-katanya."
"Bagus," berkata orang itu, "ternyata kau benar-benar seorang laki-laki. Kau akan menyesali perbuatanmu ini."
"Persetan kau."
Perselisihan itu ternyata telah dilaporkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Ki Lurahpun kemudian telah menghentikan iring-iringan itu. Iapun kemudian melangkah disisi pasukannya mendekati pemimpin kelompok yang memerintahkan melepaskan ikatan seorang tawanannya.
"Apa yang terjadi ?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.
"Orang itu menantangku," jawab pemimpin kelompok yang kemudian melaporkan sikap orang bertubuh tinggi itu.
"Kau beri ia kesempatan?"
"Ya." "Bagus, kau buktikan bahwa kau adalah prajurit dari Pasukan Khusus."
Ki Lurahpun kemudian telah memerintahkan para prajuritnya untuk berhati-hati mengawasi para tawanannya, selagi seorang prajuritnya akan memberi kesempatan tawanan yang menantangnya itu untuk bertarung.
Kedua orang itupun kemudian telah berdiri berhadapan. Beberapa orang prajurit telah melingkarinya membentuk sebuah arena. Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga menyaksikannya didalam lingkaran arena itu.
Kedua orang itupun telah berdiri berhadapan Pemimpin kelompok itu telah melepas senjatanya dan menyerahkannya kepada seorang prajuritnya. Karena lawanan itu tidak bersenjata, maka pemimpin kelompok itupun akan menghadapinya tanpa senjata.
Beberapa saat kemudian, kedua orang itupun mulai bergeser. Namun dengan lantang perampok yang bertubuh tinggi itu bertanya.
"Jika aku menang, apakah tanda kemenangan yang aku dapatkan?"
"Kau akan dibebaskan," Ki Lurahlah yang menjawab.
-ooo0dw0ooo- Jilid 370 NAMUN prajurit yang telah tersinggung itupun menggeram. "Tetapi sebaliknya jika kau gagal, maka kau akan terkubur disini. Kau tidak akan pernah sampai ke Mataram."
Dahi perampok yang bertubuh tinggi itu berkerut. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengadu nasib melawan prajurit itu. Ia merasa sebagai seorang perampok, ia sudah banyak berpengalaman dalam dunia olah kanuragan.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu sudah mulai berloncatan saling menyerang. Keduanyapun bergerak dengan cepat. Serangan-serangan mereka datang seperu angin prahara. Saling menghentak dan saling mendesak.
Perampok yang bertubuh tinggi itu memang seorang yang disegani oleh kawan- kawannya. Para tawanan yang sempat menyaksikan pertempuran itu tidak dapat berharap terlalu banyak.
Tetapi ada diantara mereka yang berharap agar kawannya itu menang sehingga mendapat kebebasan. Mungkin ia akan dapat menghubungi gerombolan-gerombolan lain yang sudah dikenalnya untuk membantu membebaskan mereka.
Tetapi yang lain justru berpikir lain. Mereka menjadi cemas jika kawannya itu dapat memenangkan pertarungan sehingga mendapatkan kebebasannya. Orang itu akan dapat memimpin sekelompok orang lain untuk memburu harta karun yang ditinggalkan oleh Raden Mahambara dan Raden Panengah untuk dirinya sendiri, sehingga orang lain dalam gerombolan itu tidak akan mendapatkan bagiannya. Jika harta karun itu masih belum diketemukan. maka masih ada harapan mereka, besok setelah mereka keluar dari hukuman akan dapat ikut menikmati harta karun tersebut.
Sedangkan yang lain lagi, justru menjadi cemas jika orang bertubuh tinggi itu menang. Jika Ki Lurah itu tidak ingkar, dan benar-benar memberikan kebebasan kepada orang bertubuh tinggi itu, maka dendam para prajurit justru akan ditumpahkan kepada mereka yang masih tertawan. Sehingga dengan demikian, maka mereka akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi.
Dengan tanggapan yang berbeda-beda itu, para tawanan menyaksikan pertempuran itu dengan sangat tegang.
Bahkan para prajurit yang berdiri di seputar arenapun menjadi sangat tegang pula. Mereka akan merasa sangat tersinggung jika kawan mereka itu dapat dikalahkan oleh seorang perampok yang sebelumnya telah tertangkap dan menjadi tawanan.
Dalam pada itu. Pertempuran itu sendiri berlangsung dengan sengitnya. Orang bertubuh tinggi itu memang seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas dalam pengembaraannya di dunia olah kanuragan, sehingga karena itu, maka ia memiliki ketrampilan yang tinggi, serta berbagai macam unsur gerak yang kadang-kadang sempat mengejutkan prajurit dari Pasukan Khusus itu.
Sekali-sekali orang bertubuh tinggi itu justru mampu mendesak lawannya.
Semakin lama unsur-uasur gerak orang bertubuh tinggi itu menjadi semakin keras dan kasar. Teriakan-teriakan yang melengking tinggi terlontar dari mulurnya Bahkan sekali-sekali terdengar umpatan-umpatan yang kasar.
Ketika serangan kaki orang bertubuh unggi itu tepat mengenai dada lawannya, maka prajurit itupun telah terdorong beberapa langkah surut. Orang bertubuh unggi itu tidak memberinya kesempatan. Iapun segera memburu. Tubuhnya melenting sambil berputar dengan kaki terayun mendatar. Dengan kerasnya kaki orang bertubuh tinggi itu menyambar kening pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu.
Prajurit itu terpelanting dan terbaring jatuh.
Dengan sigapnya orang bertubuh tinggi itu meloncat, kakinya terjulur untuk menginjak dada prajurit yang terpelanting jatuh itu.
Namun ternyata prajurit itu sudah berguling beberapa kali, bahkan kakinyapun dengan cepat menyapu kaki orang bertubuh tinggi itu demikian kuatnya, sehingga orang bertubuh tinggi itupun terpelanting jatuh pula.
Ketika orang bertubuh tinggi itu meloncat bangkit, ternyata prajurit itu mampu bergerak lebih cepat. Demikian orang bertubuh tinggi itu berdiri tegak, maka prajurit itu meluncur seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Kakinya terjulur dengan derasnya, menghantam dada orang bertubuh tinggi itu.
Demikian kerasnya, sehingga orang itu telah terlempar surut. Tubuhnyapun jatuh berguling menimpa pematang sawah di pinggir jalan yang dilewati oleh iring-iringan itu. Kemudian tubuh itu terguling masuk ke dalam lumpur.
Tertatih-tatih orang itu berusaha bangkit. Kemudian meloncat naik ke jalan. Pakaian dan tubuhnya penuh dengan lumpur yang basah.
Orang itu menggeram. Sementara itu prajurit dari Pasukan Khusus itu seakan-akan dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang bertubuh tinggi itu untuk memperbaiki keadaannya.
Orang itu menggeram, diusapnya wajahnya yang bagaikan mengenakan topeng.
"Anak iblis," geram orang itu.
Prajurit itu berdiri tegak seperti patung. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Ki Lurah Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar pula melihat pertarungan itu. Namun kemudian ia sempat melihat, kelebihan prajuritnya dari lawannya. Meskipun lawannya mempunyai banyak pengalaman namun landasan ilmunya masih kurang mencukupi.
Demikianlah maka pertarungan itupun menjadi semakin sengit. Perampok yang bertubuh tinggi itupun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi ternyata bahwa ia tidak mampu mengalahkan prajurit dari Pasukan Khusus itu. Beberapa kali justru serangan prajurit itulah yang menembus pertahanannya. Kaki prajurit yang terjulur lurus menyambar demikian cepat, sehingga orang bertubuh tinggi itu tidak sempat mengelak. Demikian derasnya kaki prajurit itu menghantam lambung sehingga orang bertubuh tinggi itu mengaduh kesakitan. Di luar sadarnya orang bertubuh tinggi itu menekan lambungnya dengan kedua telapak tangannya sehingga tubuhnya sedikit terbungkuk. Namun pada saat itu prajurit itupun meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya yang terayun mendatar telah menyambar wajahn/a sehingga orang itu terlempar sekali lagi. Tubuhnya yang bagaikan meluncur itu telah membentur sebatang pohon perindang yang tumbuh di pinggir jalan. Pohon turi.
Pohon turi itupun bagaikan diguncang. Namun tubuh perampok itupun kemudian terkulai jatuh di rerumputan di atas tanggul.
Tertatih-tatih orang bertubuh tinggi itu berusaha untuk bangkit berdiri. Tetapi demikian ia melangkah maju, maka kaki prajurit dari Pasukan Khusus itu telah menghentak langsung ke dadanya.
Sekali lagi orang itu mengaduh. Sekali lagi ia terpelanting.
Tubuh itupun kemudian telah tercebur kedalam parit dibelakang tanggul diseberang yang lain. Meskipun airnya tidak terlalu deras, namun orang itu telah terbenam di air parit yang bening itu.
Dengan susah payah orang itu berusaha merangkak naik ke tanggul parit. Tetapi tubuhnya sudah menjadi terlalu lemah. Air di parit itupun telah masuk ke dalam mulut dan hidungnya pula. Akhirnya tubuhnya telah terkulai di atas tanggul parit itu. Tubuh itu dan seluruh pakaiannya menjadi basah kuyup. Namun dengan demikian, sebagian lumpur yang melekat di wajah dan pakaiannya sempat larut ke dalam air di parit itu.
Prajurit itupun menggeram, ia sudah sampai pada bagian terakhir dari pertempuran itu. Ia dapat dengan serta merta meloncat menerkam leher perampok yang bertubuh tinggi itu dan mencekiknya sampai mati.
Tetapi orang itu tidak melakukannya. Dengan berdiri tegang sambil merenggangkan kakinya prajurit itu menggeram. Tetapi kemudian ia justru berteriak kepada seorang tawanan, "Tolong kawanmu itu. Aku tidak akan membunuhnya disini. Aku akan membawanya ke Mataram."
Tawanan yang mendapat perintah itu menjadi bingung. Tangannya sendiri terikat dibelakang punggung. Bagaimana ia dapat menolong kawannya yang hampir pingsan itu.
Tetapi prajurit itupun memerintahkan kepada seorang prajuritnya.
"Lepaskan tali ikatannya itu. Biarlah ia menolong kawannya atau menggantikannya di arena."
Seorang prajuritpun kemudian melepaskan talinya sambil bertanya kepadanya, "Apakah kau juga akan mencoba melawan seorang prajurit?"
"Tidak," jawab orang yang sudah dilepaskan tali pengikat tangannya.
"Tolong. Bantu kawanmu itu berjalan. Jika ia tidak mau berusaha bangkit dan berjalan sendiri ke Mataram, maka aku akan mengikat kakinya dan menyeretnya sepanjang jalan sampai ke Mataram."
Kawannya yang telah dilepas tali pengikat tangannya itupun kemudian berusaha untuk membantunya bangkit berdiri. Tetapi luka-luka orang itu, bukan saja yang kasat mata, tetapi luka di bagian dalam tubuhnya agaknya cukup parah.
"Kenapa tidak kau bunuh saja aku?" bertanya orang bertubuh tinggi itu.
"Tidak. Persoalanmu masih belum selesai. Kau harus diperiksakan dan diadili di Mataram. Mungkin kau akan digantung di alun-alun. Tetapi tentu bukan aku yang akan melaksanakannya."
"Buat apa aku harus pergi ke Mataram jika akhirnya aku juga akan dihukum mati. Kau telah memenangkan pertarungan ini. Kau berhak membunuhku sekarang. Karena itu bunuh saja aku dan lempar mayatku ke tebing sungai."
"Kau sangat menjengkelkan," geram prajurit itu, "tetapi kau tidak akan mati secepat itu. Kau harus tahu kesalahanmu dan kau akan mati sebagai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakanmu."
"Apa bedanya ?"
"Banyak sekali bedanya."
"Jika aku menolak."
"Sudah aku katakan, aku sendiri akan menyeretmu. Kami akan mengikatkan tali dipergelangan kakimu. Kemudian menyeretmu sepanjang perjalanan ke Mataram. Jika kami sudah jemu, maka kawan-kawanmu sendirilah yang akan menyeretmu seperti menyeret balok kayu bergantian."
"Persetan. Sebaliknya kau bunuh saja aku."
Tetapi prajurit itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan iapun segera menyampaikan laporan kepada Ki Lurah Agung Sedayu, bahwa barisan itu sudah siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Bagus," sahut Ki Lurah Agung Sedayu. Ditepuknya pundak prajurit yang berdiri tegak itu sambil berkata, "Bagus. Kau masih tetap mampu mengendalikan dirimu meskipun kau tidak dapat dianggap bersalah jika kau kemudian membunuhnya."
Dengan nada berat prajurit itu berkata, "Aku hampir tidak tahan, Ki Lurah. Orang itu sengaja memancing kemarahanku agar aku membunuhnya."
"Justru karena itu, kau tidak melakukannya."
"Ya, Ki Lurah. Aku harus berbuat bertentangan dengan kemauannya. Apalagi untuk membunuhnya. Aku memang merasa tidak berhak selama masih ada kesempatan untuk membiarkannya hidup."
"Bagus. Kau sudah melakukan sesuatu yang benar."
"Ya Ki Lurah." Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Sedangkan dua orang tawanan telah mendapat perintah untuk membantu perampok yang bertubuh tinggi itu berjalan secepat perjalanan para prajurit dari Pasukan Khusus itu.
"Aku tidak mampu lagi," desis prajurit yang bertubuh tinggi itu.
"Prajurit itu tidak main-main. Kau akan benar-benar diikat pergelangan kedua kakimu dan diseret sampai ke Mataram. Kamilah yang harus melakukannya, sementara prajurit itu akan berjalan dibelakang kami dengan cambuk di tangan."
"Tetapi dadaku terasa sakit sekali. Tulang punggungku serasa akan patah, sedangkan kakiku sudah tidak berdaya sama sekali. Nafaskupun agaknya sudah hampir terputus.
"Salahmu. Kenapa kau cari perkara," geram kawannya yang seorang lagi, "akhirnya kau sendiri yang menderita. Bahkan mungkin kau pun akan dapat menimbulkan kesulitan pada kami."
"Karena itu, bunuh saja aku dan tinggalkan mayatku dipinggir jalan. Biar saja mayat itu dimakan burung-burung pemakan bangkai atau binatang buas dari hutan diseberang padang perdu itu."
"Kau gila. Kamilah yang akan digantung. Kecuali jika kau mati dengan sendirinya."
"Kalian ternyata juga anak iblis."
"Kita semuanya anak iblis," sahut kawannya yang membantunya berjalan.
Orang itu terdiam. Tetapi luka di bagian dalam tubuhnya benar-benar telah menyiksanya. Apalagi ia harus tetap berjalan dibantu oleh dua orang kawannya menuju ke Mataram."
"Perjalanan yang panjang."
Tetapi iring-iringan itu ternyata tidak langsung pergi ke Mataram. Tetapi iring-iringan itu menuju ke Tanah Perdikan menoreh, yang jaraknya lebih pendek dari perjalanan ke Mataram.
Namun Ki Lurah Agung Sedayu ternyata bukan seorang yang bengis. Ia mengerti keadaan perampok yang terluka itu. Karena itu, maka perjalanan pasukan itupun telah diperlambatnya pula.
"Kita akan menempuh perjalanan ini lebih dari sehari penuh," berkata seorang prajurit.
"Ya. Kita sudah berhenti terlalu lama dengan memanjakan perampok itu. Memberinya kesempatan untuk berkelahi melawan seorang diantara kita."
"Kata-katanya memang membuat hati ini menjadi panas. Kami adalah mahluk yang berperasaan pula. Kami tidak dapat untuk merasa buta dan tuli terus menerus."
"Tetapi ia masih beruntung, bahwa ia masih tetap hidup."
"Baginya, kematian akan lebih menyenangkan."
"Ya?" Keduanyapun terdiam. Sebenarnyalah perjalanan pasukan prajurit dari pasukan Khusus yang ditempatkan di Tanah Perdikan Menoreh itu terhambat cukup lama. Pertarungan itu sendiri, sementara perjalanannya agak diperlambat.
Selain prajurit yang terluka itu, Nyi Demang yang muda itu pun tidak, dapat berjalan lebih cepat. Bahkan setiap kali ia tidak mampu melangkah, sehingga ia memerlukan beristirahat beberapa saat.
"Apakah kami harus membuat usungan Nyi Demang. Kami dapat membuat tandu sederhana dari bambu. Jika kami sampai di padukuhan nanti, kami akan membuat tandu itu."
"Tidak usah Ki Lurah. Tidak usah. Kasihan orang yang harus memikulnya."
"Kami mempunyai banyak kawan disini. Nyi Demang. Biarlah para tawanan itu nanti bergantian memikulnya."
"Tidak. Tidak perlu. Aku akan berusaha untuk berjalan terus. Ini tentu bagian dari hukuman yang harus aku sandang. Aku tidak boleh ingkar."
"Hukuman bagi Nyi Demang masih belum diputuskan. Ada yang berkewajiban untuk memutuskan hukuman apakah yang harus Nyi Demang terima."
Tetapi biarlah aku berjalan saja. Nyi Lurah Agung Sedayu dan angger Rara Wulan juga hanya berjalan saja. Jika mereka dapat melakukannya, akupun harus dapat. Apalagi aku adalah seorang tawanan disini."
Sekar Mirah tersenyum. Katanya, "Kami sudah terbiasa Nyi Demang. Setiap hari kami berada di sawah, di teriknya sinar matahari. Di musim menuai, kami menuai padi dari satu bulak ke bulak yang lain. Bahkan ada diantar kami yang harus mencari lahan yang dapat memberikan kerja kepada kami sampai tiga ampat hari tanpa pulang. Kami berjalan dari satu tempat ke tempat lain tanpa merasa lelah.
Nyi Demang muda itu mengerutkan dahinya. Katanya, "Nyi Lurah adalah isteri seorang Lurah Prajurit. Segala sesuatunya tentu sudah tercukupi. Buat apa Nyi Lurah pergi ikut menuai padi ?"
"Berapa penghasilan seorang Lurah Prajurit, Nyi Demang. Kami harus mencukupi kebutuhan kami dengan menggarap sawah kami. Kakang Lurah Agung Sedayu telah mendapat sebidang tanah yang dapat digarap dari Ki Gede Menoreh sejak kakang Agung Sedayu belum menjadi seorang prajurit. Ternyata ketika Kakang Agung Sedayu ditetapkan menjadi seorang prajurit, tanah itu dibiarkannya kami garap sampai sekarang. Nah, siapakah yang harus menggarap sawah jika bukan kami yang tinggal di rumah " Kakang Agung Sedayu setiap hari berada di barak prajurit untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang Lurah Prajurit."
"Nyi Lurah dapat mengupah seseorang atau dua orang atau lebih."
"Memang ada yang membantu kami menggarap sawah. Tetapi kami sendiri harus turun pula ke dalam lumpur. Sedangkan Nyi Demang tentu tidak pernah melakukannya."
"Jika aku boleh berkata jujur, aku memang tidak pernah turun ke sawah, Nyi Lurah. Tetapi jalan hidupku adalah memalukan sekali. Justru karena aku tidak ingin hidup sebagaimana masa kanak-kanak dan masa remajaku. Aku tidak ingin mengalami kesulitan karena ketiadaan. Ayahku itu seorang yang miskin. Ia tidak pemah memenuhi keinginanku, sehingga aku merasa sangat tersiksa diantara kawan-kawanku. Tetapi aku tidak pernah memikirkan, bahwa apa yang dapat diberikan orang tuaku kepadaku itu sudah segala-galanya. Bahkan seluruh hidupnya. Baru kemarin hatiku terbuka sehingga aku merasa sangat bersalah kepada ayahku."
"Masih ada waktu, Nyi Demang. Masih ada waktu untuk merubah segala-galanya."
"Itulah sebabnya aku berkeras untuk dihukum agar bebanku menjadi bertambah ringan, meskipun hukuman seberai apapun tidak akan pernah dapat menghapus dosa-dosaku. Terutama sikapku kepada ayahku. Ayahku adalah seorang yang sepanjang hidupnya tidak pernah merasakan ketenangan didalam hidupnya. Pada masa mudanya ayah telah memberikan segala-galanya kepada keluarganya tanpa memikirkan diri sendiri. Sedangkan di hari tuanya aku telah menyia-nyiakannya, sehingga keadaan ayah tidak lebih baik dari kehidupan seorang budak di rumahku. Di rumah anaknya sendiri."
Pembicaraan itupun terhenti ketika iring-iringan pasukan Mataram yang membawa tawanan itu melanjutkan perjalanan. Nyi Demang memaksa dirinya berjalan tertatih-tatih diapit oleh Sekar Mirah dan Rara Wulan.
Ketika senja turun, maka iring-iringan itupun telah berhenti di padang perdu. Ki Lurah Agung Sedayu telah berbicara dengan para pemimpin kelompok, dengan Nyi Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Seharusnya kita dapat langsung sampai ke Tanah Perdikan," berkata seorang pemimpin kelompok, "jika saja perjalanan kami tidak terhambat."
"Tetapi kenyataannya, sekarang kita berada disini. Tanah Perdikan Menoreh memang sudah tidak terlalu jauh lagi," sahut Ki Lurah Agung Sedayu.
"Apakah kita dapat meneruskan perjalanan ?" bertanya seorang pemimpin kelompok.
Tetapi pemimpin kelompok yang lain menyahut, "Kita membawa tawanan yang agak banyak jumlahnya. Perjalanan di malam hari akan mengundang kemungkinan buruk. Apalagi jalan tentu sangat gelap di lengkeh-lengkeh pegunungan."
Akhirnya Ki Lurah Agung Sedayu dan para pemimpin kelompok itu sepakat untuk bermalam di padang perdu. Esok pagi mereka akan melanjutkan perjalanan yang sudah tidak terlalu panjang lagi.
Malam itu, para prajuritpun telah menebar. Mereka berbaring dimana saja. Diatas rerumputan kering, di atas batu-batu padas atau duduk bersandar pepohonan. Sedangkan yang lain tetap dalam tugas mereka mengamati keadaan di sekeliling mereka serta menjaga para tawanan, agar mereka tidak berbuat macam-macam.
Sekar Mirah dan Rara Wulan diluar pengetahuan Nyi Demang, bergantian mengawasinya.
Dalam pada itu, diluar jangkauan pengamatan para prajurit yang bertugas, dua orang justru mengawasi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang sedang beristirahat itu. Mereka tidak tahu pasti, apakah mereka seluruhnya terdiri dari para prajurit atau hanya sebagian dan bahkan sebagian kecil saja.
"Tetapi mereka membawa pertanda keprajuritan," desis yang seorang.
"Mungkin saja sebagian dari mereka adalah prajurit Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan yang lain adalah anak-anak muda Tanah Perdikan itu."
"Entahlah. Tetapi menurut perhitunganku, yang datang ke Seca waktu itu bukan para prajurit. Sikapnya, cara mereka menyerang dan bahkan pada saat pertempuran berlangsung, aku tidak melihat tanda-tanda keprajuritan di antara mereka."
"Aku tidak ingin menghubungkan serangan di Seca itu dengan pasukan yang sedang beristirahat itu."
"Kenapa ?" Kawannya itu menarik nafas panjang. Dengan nada dalam iapun menjawab, "Mimpi yang paling buruk yang pemah aku alami. Kekalahan kita di Seca itu benar-benar kekalahan yang sangat pahit. Hampir saja Ki Saba Lintang sendiri mengalami bencana. Padahal kita berada di Seca dengan orang-orang terbaik yang ada pada waktu itu."
"Justru karena itu."
"Justru karena itu kenapa ?"
"Kita balas kekalahan kita di Seca pada waktu itu."
"Sekarang ?" "Ya, sekarang."
"Kaulah yang sedang bermimpi buruk. Berapa kekuatan yang kita bawa sekarang ?"
"Bukankah kita datang untuk menghukum Raden Mahambara dan Raden Panengah yang telah berani merendahkan para murid perguruan Kedung Jati " Bukankah kita membawa kekuatan yang cukup untuk menghancurkan gerombolan perampok di ujung hutan itu " Namun ternyata bahwa prajurit Mataram telah mendahuluinya. Gerombolan Raden Mahambara telah dihancurkan oleh prajurit Mataram itu."
"Bukankah dengan demikian, kekuatan Mataram lebih besar dari kekuatan gerombolan Raden Mahambara ?"
"Ya, sebelum pertempuran itu berlangsung. Tetapi setelah pertempuran itu terjadi, maka kekuatan Mataram tentu sudah menyusut. Menilik berita tentang kekuatan gerombolan Mahambara dan anaknya Raden Panengah, maka kekuatan Mataram itupun tentu sudah jauh menyusut. Kekuatan Mataram itu tentu tidak sebesar kekuatan Mataram pada saat pasukan itu mulai menyerang gerombolan Raden Mahambara."
Kawannya terdiam sejenak.
"Bahkan kekuatan Mataram setelah menyusut itu tentu tidak sebesar kekuatan Raden Mahambara selagi gerombolan itu masih utuh. Karena itu, menurut perhitunganku, jika pasukan kita siap untuk menumpas kekuatan Raden Mahambara, maka kitapun tentu dapat menghancurkan prajurit Mataram sekarang ini."
"Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan."
"Lalu untuk apa kita mengikuti pasukan Mataram itu. Untuk apa pula kita memerintahkan agar pasukan kita membayangi pasukan Mataram itu, jika akhirnya kita tidak berbuat apa-apa ?"
"Aku tidak tahu, apakah Ki Saba Lintang akan membenarkan tindakan kita ini."
"Maksudmu kita harus minta ijin kepada Ki Saba Lintang lebih dahulu ?"
"Ya." "Kenapa kau tiba-tiba menjadi dungu ?"
"Kenapa ?" "Jika kita pergi menemui Ki Saba Lintang untuk minta ijin lebih dahulu, maka baru besok lusa kita akan sampai disini lagi. Sementara itu, para prajurit itu sudah berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Kawannya termangu-mangu sejenak.
"Sebagaimana kita lihat, bahwa pasukan itu membawa tawanan cukup banyak. Ki Lurah Agung Sedayu tentu tidak akan mengira bahwa tiba-tiba saja kita datang menyerang. Sementara itu kita teriakkan kepada para tawanan, bahwa kita datang untuk membebaskan mereka. Pasukan Mataram yang dipimpin Ki Lurah Agung Sedayu itu tentu akan mengalami kesulitan. Para tawanan itu tentu akan bergejolak. Jika kita benar-benar dapat menyusup dan melepaskan mereka, maka mereka tentu akan berpihak kepada kita, karena mereka tidak tahu, siapakah kita sebenarnya. Baru kemudian, setelah para prajurit Mataram itu kita hancurkan, maka kita akan membantai orang-orang Raden Mahambara itu sebagai pelaksanaan perintah yang kita junjung sekarang ini."
"Aku tidak yakin bahwa Ki Saba Lintang tidak menyalahkan kita."
"Aku tidak akan pernah melupakan serangan yang tiba-tiba sehingga membuat Seca menjadi neraka. Untunglah bahwa aku sempat melarikan diri. Jika tidak, maka aku tentu sudah dibantai oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku tidak tahu apakah orang-orang yang datang ke Seca itu juga ada didalam pasukan itu. Tetapi pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu tentu pasukan Mataram dan berada di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan mungkin ada diantara para prajurit itu yang ikut pergi ke Seca pada waktu itu."
Kawannya masih saja termangu-mangu.
"Nah. Jika kita dapat menghancurkan pasukan Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu, Ki Saba Lintang tentu akan berterima kasih kepada kita. Kita sudah membalaskan sakit dan dendam hatinya karena serangan yang tiba-tiba yang dialaminya di Seca yang kelihatannya aman dan damai itu."
"Sebaiknya kita bicarakan dengan para sesepuh di pasukan kita sekarang ini."
"Baiklah. Marilah. Jangan banyak kehilangan waktu." Keduanya itupun kemudian merangkak meninggalkan tempat persembunyiannya, kembali ke induk pasukannya yang berada di tempat yang agak jauh dari pasukan Mataram itu."
Kedua orang itupun bergegas mencari beberapa orang pemimpin dari pasukan dari perguruan Kedung Jati yang berhenti dan beristirahat tidak di pinggir hutan yang tidak terlalu lebat.
Ada diantara para pemimpin itu yang sudah tertidur. Namun merekapun segera bangkit dan berkumpul di bibir hutan itu.
"Ada apa?" "Pasukan Mataram itu," jawab salah seorang dari kedua orang yang telah mengawasi pasukan Mataram itu.
"Ya, pasukan Mataram. Kenapa dengan mereka " Apakah pasukan itu mengetahui bahwa kita berada disini dan bahkan mereka merayap kemari ?"
"Tidak, Ki Wiratuhu. Yang ingin kami usulkan, apakah kita dapat menyerang dan menghancurkan prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu ?"
"Apa katamu ?" "Mereka sekarang beristirahat di padang perdu itu. Mereka membawa banyak tawanan, para pengikut Raden Mahambara dan Raden Panengah."
"Kau ingin menyurukkan kepalamu ke dalam api ?"
"Pasukan itu memang pasukan yang kuat. Mereka mampu mengalahkan gerombolan yang dipimpin Raden Mahambara. Tetapi setelah kedua pasukan itu, maksudku pasukan Mataram dan pasukan Raden Mahambara bertempur, maka keduanya tentu telah banyak kehilangan. Pasukan Raden Mahambara telah dihancurkan. Sebagian dari mereka tertawan dan akan dibawa ke Mataram. Bukankah dengan demikian pasukan Mataram itu sudah tidak sekokoh saat mereka datang " Sementara itu, kitapun sudah siap menghadapi gerombolan Raden Mahambara."
"Menurut perhitunganmu, pasukan Mataram itu sudah menjadi lemah sementara pasukan kita masih utuh" Sedangkan pasukan kita telah disiapkan untuk menumpas gerombolan Raden Mahambara yang telah menodai keutuhan wilayah perguruan Kedung Jati dan bahkan telah meremehkan keberadaannya yang meliputi wilayah dari pesisir Lor sampai ke pesisir Kidul termasuk tlatah Mataram dan di dalamnya terdapat Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya, Ki Wiratuhu."
Ki Wiratuhu itupun berpaling kepada seorang yang janggutnya sudah memutih sambil bertanya, "Bagaimana pendapat kakang Umbul Geni?"
"Ingat. Di Seca Ki Saba Lintang datang bersama orang-orang berilmu sangat tinggi. Orang-orang muda yang memiliki bekal yang membanggakan. Tetapi mereka tidak banyak dapat memberikan perlawanan."
"Bukan begitu, Ki Umbul Geni. Kami memberikan perlawanan yang sangat keras. Korban di pihak orang-orang Tanah Perdikanpun cukup banyak. Tetapi kedatangan mereka yang tiba-tiba, sementara kami memang agak lengah, telah membuat pasukan kami porak poranda. Ki Saba Lintang sendiri hampir saja dapat dikuasai oleh seorang pemimpin pasukan dari Tanah Perdikan itu yang sebenarnya masih terhitung muda. Tetapi orang itu dapat mengalahkan Ki Saba Lintang sendiri."
"Apakah orang itu sekarang ada di dalam pasukan Mataram itu bersama-sama dengan Ki Lurah Agung Sedayu?"
"Entahlah." "Bagaimana pendapat Ki Umbul Geni dan para pemimpin yang lain?"
"Terserah kepada Ki Wiratuhu," jawab seorang yang bertubuh raksasa, "aku siap berbuat apa saja. Seandainya kita menyerang para prajurit Mataram itupun aku sudah siap pula. Kemudian kita binasakan para tawanan yang telah merendahkan keberadaan perguruan Kedung Jati."
"Kita dapat memanfaatkan para tawanan itu dahulu. Jika ada diantara kita yang sempat menyusup ke dalam pasukan Mataram dan melepaskan para tawanan, kita akan dapat mengatakan kepada mereka bahwa kami datang untuk membantu mereka melepaskan diri. Baru kemudian, setelah pasukan Mataram itu kita binasakan maka kita akan menyelesaikan para tawanan itu. Karena sebenarnya tugas kita adalah menghancurkan para pengikut Raden Mahambara sampai orang yang terakhir."
"Tetapi kita jangan tergesa-gesa mengambil sikap. Marilah kita lihat pasukan Mataram itu."
"Tidak banyak yang dapat kita lihat," jawab orang yang telah mengawasi pasukan Mataram itu, "mereka tidak banyak memasang obor. Hanya ada beberapa oncor jarak. Jika oncor itu padam, telah disambung dengan oncor yang lain atau udik."
"Tentu disambung. Diantara mereka ada beberapa orang tawanan. Orang-orang Mataram tidak akan menjadi terlalu lengah dengan tanpa menyalakan oncor atau obor di tempat mereka beristirahat."
Demikianlah, maka Ki Wiratuhu dan Ki Umbul Geni bersama kedua orang pengawas itu telah pergi ke perkemahan para prajurit Mataram di padang perdu yang terbuka.
Seperti yang dikatakan oleh para pengawas, maka di perkemahan itu tidak banyak terdapat obor atau oncor. Meskipun demikian di beberapa tempat, masih tetap menyala oncor jarak yang dirangkai panjang.
Sementara itu para prajurit yang bertugas masih tetap berjaga-jaga di tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Demikianlah keempat orang itupun merayap mendekati perkemahan itu.
Oncor yang terlalu sedikit itu tidak dapat menerangi seluruh perkemahan. Meskipun penglihatan orang-orang dari perguruan Kedung Jali itu cukup tajam, namun mereka tidak dapat melihat dengan jelas, pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang ada di padang perdu itu.


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Wiratuhu ternyata masih saja ragu-ragu. Tetapi Ki Umbul Geni berdesis perlahan, "Yang kita lihat dalam keremangan itu adalah para prajurit, mungkin orang-orang Tanah Perdikan dan para tawanan. Menurut penglihatanku, pasukan itu tidak terlalu kuat. Mungkin sebelum terjadi pertempuran antara prajurit Mataram melawan para perampok yang bersarang di ujung hutan itu, pasukan Mataram adalah pasukan yang sangat kuat. Dan itu terbukti bahwa mereka dapat menghancurkan para perampok yang bersarang di ujung hutan. Tetapi selelah pertempuran itu, kekuatan Mataram tentu menjadi jauh menyusut."
"Bagaimana menurut pendapatmu ?"
"Kita ambil kesempatan ini. Ki Saba Lintang tentu akan sangat berterima kasih kepadaku. Dengar, jika di dalam pasukan yang dipimpin Ki Lurah iiu terdapat perempuan, maka perempuan itu tentu Nyi Lurah Agung Sedayu itu sendiri. Kau tahu bahwa pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati yang satu lagi berada di tangan Nyi Agung Sedayu. Nah, jika kali ini kita berhasil mendapatkannya, maka kau dapat membayangkan, bahwa kita akan mendapat pujian dan bahkan mungkin tempat terhormat di lingkungan perguruan Kedung Jali yang sedang dibangun ini."
"Ya. Tetapi kemungkinan lain, tongkat baja pulih itu akan memecahkan kepala kita."
"Bukankah itu kemungkinan yang wajar dari satu pertaruhan. Menang atau kalah. Kalau menang kita akan mukti, kalau kalah kita akan mati."
"Baiklah jika itu keputusanmu. Marilah kita temui para pemimpin yang menyertai kita. Tetapi kita sadari bahwa para pemimpin perguruan ini yang lain, yang dibanggakan oleh Ki Saba Lintang dan dibawanya ke Seca berhasil dibinasakan oleh orang-orang Tanah Perdikan itu."
"Sebenarnya mereka tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Mereka hanya berhasil menjilat Ki Saba Lintang, sehingga mereka mendapat kesempatan lebih dari kita. Tetapi kita akan membuktikan, bahwa kita tidak kalah dari mereka. Justru kitalah yang berhasil mengumpulkan sepasang tongkat baja putih itu."
Tetapi seorang diantara kedua orang pengawas itupun berkata, "Sebenarnya orang-orang Tanah Perdikan tidak mempunyai banyak kelebihan. Mereka tidak ada bedanya dengan para perampok di ujung-ujung hutan itu. Mereka adalah orang-orang kasar dan bahkan buas dan liar."
"Kau jangan mengada-ada. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang terlatih sebagaimana seorang prajurit."
"Kabar itulah yang sampai ketelinga kita. Tetapi ketika aku sendiri menghadapi mereka, maka mereka adalah orang orang liar yang tidak jauh berbeda dengan para perampok dan penyamun. Mereka hanya mengandalkan keberanian, kekuatan tenaga kewadagan dan teriakan-teriakan kasar. Memang ada satu dua diantara mereka yang berilmu tinggi, tetapi jumlahnya dapat dibilang dengan jari satu tangan."
"Siapapun mereka, namun akhirnya mereka dapat memporak-porandakan pengawal-pengawal terbaik Ki Saba Lintang.
"Ya. Itu memang tidak dapat dipungkiri, meskipun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh juga hancur lebur."
"Sudahlah. Marilah kita kembali ke induk pasukan. Kita siapkan pasukan kita untuk menghancurkan orang-orang Tanah Perdikan dan kita ambil tongkat baja putih itu dari tangan Nyi Lurah Agung Sedayu."
Demikianlah, maka Ki Wiratuhu dan Ki Umbul Genipun segera kembali ke induk pasukan mereka, sementara kedua orang pengawas itu ditugaskan untuk tetap mengawasi pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.
Setelah mengadakan pembicaraan yang mendalam, maka akhirnya para pemimpin dari orang-orang yang menyebut dirinya murid-murid dari perguruan Kedung Jati itupun sepakat untuk menyerang pasukan Mataram yang sedang berkemah di padang perdu itu.
"Seperti saat mereka menyerang Ki Saba Lintang di Seca, maka kamipun akan menyerang mereka. Mereka tentu tidak mengira bahwa akan datang serangan yang begitu tiba-tiba sebagaimana Ki Saba Lintang di Seca juga tidak mengira sama sekali bahwa akan datang serangan dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
"Namun Ki Saba Lintang sempat meragukan, apakah serangan yang tiba-tiba di Seca itu benar-benar orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya diantara mereka tidak terdapat seorang yang dikenal oleh Ki Saba Lintang bahwa ia benar-benar orang Tanah Perdikan Menoreh, maka Ki Saba Lintang tidak akan percaya bahwa yang menyerangnya di Seca adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
"Itu karena Ki Saba Lintang terkejut sekali bahwa dengan tiba-tiba saja ia sudah dihadapkan kepada sepasukan lawan."
"Mungkin. Tetapi apapun yang terjadi di Seca, malam ini kitalah yang akan mengejutkan mereka."
"Mengejutkan mereka dan menghancurkan mereka."
Demikianlah, maka pasukan dari perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Wiratuhu serta Ki Umbul Geni itupun segera mempersiapkan diri. Orang-orang yang kemudian menganggap dirinya murid dari perguruan Kedung Jati itu menjadi gembira karenanya. Mereka merasa sangat kecewa ketika mereka ketahui bahwa para pengikit Raden Mahambara dan Raden Panengah itu sudah dihancurkan oleh orang-orang Mataram. Ketika mereka berangkat, mereka sudah mereka-reka apa saja yang akan mereka lakukan terhadap lawan-lawan mereka. Mereka yang merasa sudah berhasil menyadap ilmu kanuragan, ingin mencoba seberapa jauh kemampuan yang telah mereka kuasai itu.
Ketika mereka mendapat perintah untuk bersiap menghadapi pasukan Mataram, maka kegembiraan merekapun telah tumbuh kembali. Apalagi ketika para pemimpin mereka memberi penjelasan, bahwa pasukan Mataram yang berhasil menghancurkan gerombolan Raden Mahambara itupun telah mengalami penyusutan kekuatan sehingga kekuatan pasukan Mataram yang tersisa itu tidak sekokoh gerombolan yang dipimpin oleh Raden Mahambara.
"Kita manfaatkan para tawanan. Jika ada di antara kita yang berhasil menyusup dan melepaskan para tawanan, maka kita harus dapat menyurukkan mereka kedalam pertempuran. Kita katakan kepada mereka, bahwa kita datang untuk melepaskan mereka. Baru kemudian, setelah pasukan Mataram kita hancurkan, maka orang-orang Mahambara itupun kita selesaikan sampai orang terakhir sebagaimana perintah yang kita terima karena Mahambara telah berani meremehkan kita."
Perintah dari KiWiratuhu telah mengalir lewat para pemimpin kelompok sampai ke setiap orang didalam pasukan dan perguruan Kedung Jati itu.
"Kita akan mengambil tongkat baja putih itu bagi kebesaran nama Ki Saba Lintang. Sepasang tongkat baja putih itu harus berada di tangan Ki Saba Lintang."
Dengan demikian, maka pasukan yang dipimpin okh Ki Wiratuhu itupun segera mempersiapkan diri. Mereka segera membenahi segala sesuatunya. Mereka telah memeriksa senjata-senjata mereka yang sebelumnya mereka anggap tidak akan segera dipergunakan.
Baru kemudian, Ki Wiratuhu itupun memerintahkan pasukannya untuk bergerak mendekati perkemahan pasukan Mataram.
Dalam pada itu, sebagian besar para prajurit Mataram memang sedang beristirahat. Meskipun demikian para prujunt yang sedang bertugas tidak menjadi lengah. Bahkan ada diantara mereka yang tidak hanya berjaga-jaga di tempat tertentu. Tetapi ada diantara prajurit Mataram itu yang berjaga-jaga sambil bergeser diri satu tempat ke tempat yang lain. Dari balik satu gerumbul ke gerumbul yang lain. Agaknya telah terjadi sentuhan-sentuhan dari getaran naluri keprajuritan mereka.
Agaknya penglihatan para prajurit itu lebih tajam dan dua orang pengawas yang ditinggalkan oleh Ki Wiratuhu dan Ki Umbul Geni.
Ternyata dua orang prajurit Mataram telah dapat melihat lebih dahulu dua orang pengawas dan perguruan Kedung Jati itu.
Seorang diantara mereka telah menggamit yang lain sambil menunjuk ke arah kedua orang pengikut Ki Wiratuhu itu.
Kawannya mengangguk kecil. Namun keduanya tidak bergeser lebih maju lagi.
Bahkan seorang diantara mereka berdesis, "Awasi mereka. Aku akan memberikan laporan kepada Ki Lurah, bahwa ada dua orang yang sedang mengamati kita."
"Berhati-hatilah."
"Kaulah yang harus berhati-hati. Mungkin selain kedua orang itu masih ada orang lain lagi."
"Baiklah. Kita memang harus berhati-hati."
Sejenak kemudian, maka seorang dari kedua orang itupun segera meninggalkan tempatnya. Dengan sangat berhati-hati orang itu merangkak surut.
Ternyata Ki lurah masih juga belum tidur, ia masih duduk bersama dua orang pemimpin kelompok yang bertugas. Disebelahnya Nyi Lurah duduk bersama Nyi Demang muda yang masih belum mau tidur juga. Sedang disebelah Nyi Lurah, Rara Wulan nampaknya sempat tidur meskipun agak gelisah. Sedangkan dibawah sebatang pohon, Glagah Putih sempat tidur sambil bersandar pohon itu.
Ketika pengawas itu memberi laporan kepada Ki Lurah bahwa ada dua orang yang tidak dikenal sedang mengawasi perkemahan mereka, maka Ki Lurahpun segera memanggil Glagah Putih serta beberapa orang pemimpin kelompok yang lain.
"Ternyata perjalanan kita yang sudah tidak terlalu jauh lagi ini masih akan mengalami hambatan," berkata Ki Lurah.
"Ada apa kakang ?"
"Dua orang sedang mengawasi perkemahan kita."
"Siapakah mereka, kakang ?"
"Kita tidak tahu. Tetapi mereka agaknya tidak hanya berdua saja."
"Ya, kakang," Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, "Apakah yang harus kami lakukan, kakang ?"
"Kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi kita tidak usah membuat para prajurit menjadi ribut. Kita akan menyebarkan perintah untuk bersiap-siap tanpa harus membuat perkemahan ini bergejolak."
Glagah Putih tennangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Maksud kakang ?"
"Biarlah mereka mempersiapkan diri di tempat mereka sekarang berada. Kita belum tahu, apakah inakMid kedua orang itu. Yang penting, setiap kelompok diketahui dengan pasti tempatnya, pemimpinnya dan kesiagaan senjata serta perlengkapan yang diperlukan. Demikian ada perintah, maka dalam sekejap mereka telah siap untuk menyusun gelar. Mungkin kita tidak akan mempergunakan gelar yang sulit. Bahkan mungkin sekali kita akan mempergunakan gelar emprit neba atau bahkan kita akan terlibat dalam perang brubuh. Yang penting setiap orang telah siap menghadapi segala kemungkinan. Bukan berarti kita mengabaikan kemungkinan akan datangnya bahaya. Tetapi seandainya ada gerombolan yang akan menyerang kita, mereka tentu akan menunggu fajar. Mereka tidak akan berani dengan serta-merta menyerang kita di gelapnya malam, kecuali jika mereka tidak mempergunakan perhitungan wajar."
"Jadi kita akan menyebarkan perintah ini tanpa merubah kedudukan para prajurit sekarang ini ?"
"Ya. Tetapi aku akan memerintahkan kepada mereka yang bertugas untuk melipatkan kewaspadaan. Jika mereka meliat perkembangan yang membahayakan, mereka harus segera memberikan laporan kepadaku."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Kau juga harus hati-hati Glagah Putih."
"Jika kakang mengijinkan, aku akan mengajak Rara Wulan untuk melihat-lihat keadaan. Kami-akan meyakinkan apakah kedua orang itu tidak sendiri."
"Rara Wulan masih tidur."
"Aku akan membangunkannya."
"Terserah kepadamu, Glagah Putih."
Glagah Putihpun kemudian membangunkan Rara Wulan. Perempuan itu terkejut, sehingga dengan serta-merta iapun segera bangkit dan duduk.
"Ada apa kakang?"
Glagah Putih kemudian membertahukan kepadanya bahwa mereka perlu melihat keadaan sebentar.
Rara Wulanpun kemudian bangkit berdiri. Ternyata ia tidak banyak bertanya. Iapun segera berbenah diri dan siap untuk pergi bersama Glagah Putih.
Keduanyapun kemudian menyelinap kedalam gelap bersama pengawas yang telah melaporkan tentang keberadaan kedua orang yang tidak dikenal itu.
Dengan hati-hati Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada disebelah pengawas yang satu lagi, yang tidak berunjuk dari tempatnya sementara kawannya memberikan laporan kepada Ki Lurah Agung Sedayu.
Orang itupun kemudian memberikan isyarat, bahwa kedua orang itupun masih tetap berada ditempatnya.
"Apakah mereka berhubungan dengan seseorang ?"
"Sejak aku melihat mereka, tidak ada seorangpun yang menghubungi mereka."
Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Diperhatikannya lingkungan yang ada disekitar tempat itu. Ia mulai menduga-duga, dari manakah datangnya kedua orang yang mengawasi para prajurit Mataram itu.
Namun sebelum Glagah Putih mendapatkan kesimpulan, maka dilihatnya dua orang telah mendatangi kedua orang yang sedang mengawasi para prajurit Mataram itu. Seorang diantara mereka adalah Ki Umbul Geni.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun berusaha untuk beringsut lebih dekat. Tetapi ternyata sulit bagi mereka untuk mendapatkan perlindungan. Sehingga dengan demikian, maka keduanya masih saja tetap berada ditempat mereka.
Glagah Putih dan Rara Wulan serta kedua pengawas dan antara prajurit Mataram itupun mendengar lamat-lamat keempat orang itu berbincang. Tetapi mereka tidak mendengar, apa saja yang mereka bicarakan.
Namun dengan mempertajam pendengarannya, berlandaskan Aji Sapta Pangrungu yang semakin dipertajam saat keduanya menempa diri berdasarkan Kitab Ki Namaskara, maka merekapun dapat mendegar serba sedikit isi pembicaraan keempat orang itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan memang terkejut mendengar pembicaraan mereka. Keempat orang itu menyebut-nyebut nama Ki Saba Lintang serta pasukan dari perguruan Kedung Jati.
Hampir diluar sadarnya, Glagah Putihpun berdesis perlahan ditelinga Rara Wulan, "Ternyata mereka orang-orang perguruan Kedung Jati."
"Ya," sahut Rara Wulan berbisik, "mereka adalah para pengikut Ki Saba Lintang."
"Darimana mereka tahu, bahwa pasukan dari Mataram itu berada disini."
Keduanya terdiam. Diantara keempat orang itu masih ada yang berbicara lagi. "Nah, hati-hatilah. Awasi mereka. Pasukan kita berhenti tidak terlalu jauh dari tempat ini. Ki Wiratuhu akan memperhitungkan, kapan kita akan bergerak."
"Apakah kita akan menunggu fajar."
"Mungkin menjelang fajar. Kita akan menyerang dari arah Timur."
Keempat orang itupun terdiam. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, "Aku akan kembali ke induk pasukan. Aku akan memberikan laporan kepada Ki Wiratuhu."
"Silakan Ki Umbul Geni."
Dua orang diantara merekapun kemudian meninggalkan kedua orang yang lain, yang masih tetap mengawasi para prajurit Mataram dari balik gerumbul perdu. Namun mereka tidak mengira, bahwa keberadaan mereka telah diketahui oleh para prajurit Mataram.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian bersepakat untuk melihat pasukan yang dikatakan berada tidak terlalu jauh dari tempat itu. Kepada kedua orang prajurit Mataram itu mereka berpesan agar mereka menjadi lebih berhati-hati.
"Jika kami berdua diketahui oleh para pengikut Ki Saba Lintang, maka aku akan melarikan diri ke arah yang lain. Tetapi aku akan berusaha memberikan isyarat kepada kalian, agar kakang Lurah Agung Sedayu segera dapat mengambil sikap."
Kedua orang prajurit itu mengangguk. Hampir berbareng keduanya berdesis perlahan, "Baik."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera beringsut, tetapi keduanya harus melingkar untuk dapat melampaui kedua orang pengawas dari perguruan Kedung Jati itu.
Dengan sangat berhati-hati, dengan mengetrapkan ilmunya meringankan tubuh serta menyerap bunyi yang timbul karena sentuhan tubuhnya dengan gerumbul-gerumbul perdu serta tanah berbatu batu padas, keduanya bergerak ke arah orang yang disebut Ki Umbul Geni itu bergerak.
Akhirnya, keduanyapun berhasil mengetahui, dimana para pengikut Ki Saba Lintang itu berkemah.
"Pasukan yang kuat," desis Glagah Putih.
Kesatria Baju Putih 7 Nemesis Karya Agatha Christie Bende Mataram 27
^