Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 5

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 5


Orang yang membawa surat itu sendiri tidak melompat pohon yang tumbang itu. Tetapi ia turun ke parit di sisi jalan menyusuri parit itu beberapa langkah. Kemudian naik lagi ke tanggul di pinggir jalan.
Namun terasa debar jantung orang itu menjadi semakin cepat ketika ia melihat beberapa orang berdiri di mulut lorong di padukuhan di hadapannya.
"Siapakah mereka" Mudah-mudahan ada diantara mereka yang sudah aku kenal," berkata orang itu di dalam hatinya.
Semakin dekat dengan mulut lorong, debar jantung orang itu menjadi semakin cepat. Ternyata mereka yang berdiri di mulut lorong adalah orang-orang yang terasa asing baginya.
Tetapi orang itu menarik nafas panjang, ketika ia masih melihat dua uga orang anak muda yang dikenalnya.
Namun yang melangkah maju menyongsongnya adalah dua orang yang tidak dikenalnya itu.
"Berhenti disitu," teriak seorang diantara mereka.
Orang yang membawa surat itu berhenti.
"Kau siapa?" bertanya orang yang berteriak itu.
Namun seorang anak muda yang dikenalnya itupun melangkah maju juga sambil menyapanya. "Paman Merta."
"Ya, agaknya kau tidak lupa kepadaku, Sarmin."
"Mana mungkin aku lupa kepada paman Merta."
"Siapapun orang ini, tetapi kau harus berhenti dan jangan berjalan 1agi," berkata orang yang tidak dikenal itu.
"Aku mendapat perintah dari Ki Gede untuk menemui Ki Demang di Pudak Lawang."
"Kau juga akan mencoba menerobos penjagaan kami seperti kedua orang berkuda kemarin" "
Orang yang membawa surat itu termangu-mangu. Namun Sarminlah yang menyahut. "Tentu tidak. Yang berkuda kemarin adalah Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sedangkan orang ini adalah seorang tua biasa. Ia bukan seorang yang berilmu seperti Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih."
"Tetapi tanpa bekal ilmu yang tinggi, bagaimana mungkin ia berani memasuki Pudak Lawang seorang diri."
"Itulah kelebihan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh," jawab Sarmin.
"Edan. Kau mau apa, he ?"
Merta memandang Sarmin dengan kerut di dahi. Dengan ragu-ragu iapun kemudian berkata, "Aku mendapat perintah dari Ki Gede untuk menyerahkan surat ini kepada Ki Demang Pudak Lawang."
"Surat apa ?" bertanya orang yang terasa asing itu.
"Aku tidak tahu isinya. Seandainya aku membukanya di perjalanan, akupun tidak akan tahu pula isinya, karena aku tidak dapat membaca."
"Kau tidak boleh melanjutkan perjalanan," berkata orang asing itu.
"Tetapi ia harus menyerahkan surat itu kepada Ki Demang." sahut Sarmin.
"Ambil surat itu. Kau saja yang pergi menemui Ki Demang untuk menyerahkan surat itu. Orang asing tidak diperbolehkan memasuki kademangan Pudak Lawang."
"Siapa yang kau maksud dengan orang asing?" Merta masih juga bertanya.
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menjawab, "Kau bukan orang Pudak Lawang."
"Kau sendiri?" bertanya Merta.
"Aku orang Pudak Lawang. Sekarang aku sudah disahkan menjadi orang Pudak Lawang."
Merta mengangguk-angguk. Katanya, "Sokurlah jika kau sudah disahkan menjadi orang Pudak Lawang. Kau harus berusaha menyesuaikan dirimu dengan kebiasaan serta tatanan hidup di Tanah Perdikan Menoreh. Tanahnya orang yang ramah dan suka saling menolong. Bukan orang-orang yang berwajah gelap, pemarah dan tidak tahu diri. Lihatlah orang-orang Tanah Perdikan yang lain. Aku misalnya. Atau Sarmin atau anak-anak yang lain. Wajah mereka tentu nampak terang. Senyum dibibir dan matanya nampak berkilat-kilat."
"Cukup," bentak orang itu, "aku dapat mencekikmu sampai mati."
"Nah, sikap seperti itu harus kau redam jika kau benar-benar ingin menjadi orang Tanah Perdikan Menoreh."
"Diam kau." Tetapi Merta ternyata tidak segera diam. Kepada Sarmin iapun berkata, "Min. Ajari orang ini bersikap sebagaimana kau bersikap terhadap sesama orang Tanah Perdikan Menoreh, bahkan kepada orang lain."
"Kalau kau tidak mau diam, aku bunuh kau," teriak orang itu.
Sarmin kemudian mendekati Merta sambil berkata. "Sudahlah, paman. Berikan surat itu kepadaku, biarlah aku yang membawanya kepada Ki Demang."
Merta termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah. Min. Kau bawa surat ini kepada Ki Demang. Tetapi ingat, surat ini harus sampai kepada Ki Demang. Surat itu sudah diberi mantra oleh Ki Gede dan Ki Megatruh, dukun yang tinggal di tepi sendang Pangentasan. Jika surat ini tidak sampai kepada Ki Demang, maka siapa yang menyebabkannya akan kuwalat. Setelah mati, ia akan berjalan dengan tangannya dan kepala dibawah. Kakinya berada diatas digantungi batu sebesar kepala kerbau."
"Apakah mayatnya tidak dikuburkannya" Atau orang itu akan berjalan di dalam kubur?" bertanya Sarmin.
"Kau memang dungu. Min. Tentu bukan wadagnya yang dikubur itu. Setelah kemauannya. orang yang kuwalat akan mendapatkan wadagnya yang baru. Jika ia orang baik. wadagnyapun tentu lebih baik dari wadagnya tentu jauh lebih buruk. Seperti jerangkong, thethekan, banaspati dan sebangsanya."
"Diam. Diam," orang asing itu berteriak sekeras-kerasnya, "cepat pergi sebelum aku penggal kepalamu."
"Pergilah paman," berkata Sarmin bersungguh-sungguh.
Merta menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi aku sudah mencoba menjalankan tugasku sebaik-baiknya. Ingat Min, surat itu harus sampai kepada Ki Demang."
"Aku bertanggung jawab, paman."
Mertapun kemudian melangkah kembali. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sarmin sedang berbincang dengan orang yang dianggapnya asing itu.
"Buang atau bakar saja surat itu."
"Tidak," jawab Sarmin, "aku akan membawanya kepada Ki Demang, apapun isinya."
"Aku dapat mengambil surat itu dari tanganmu."
"Aku akan mempertahankannya."
Orang yang disebut asing itu menggeram. Ia memang dapat merebut surat itu dengan kekerasan. Tetapi Ki Kapat Argajalu berpesan kepada murid-muridnya agar mereka tidak menyakiti hati rakyat Pudak Lawang, yang akan mereka ajak bekerja sama melawan Ki Gede."
Karena itu, maka orang itupun telah membatalkan niatnya untuk merebut surat itu. Namun ia justru membentak. "Cepat. Bawa surat itu kepada Ki Demang."
Sarmin tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian meninggalkan orang itu. Kepada kawan-kawannya Sarminpun berkata, "Aku akan pergi ke padukuhan induk."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Mereka hanya memandangi saja Sarmin yang berjalan semakin jauh meninggalkannya.
"Aku akan melaporkannya kepada Kayun," desis orang asing itu.
Namun ketika orang itu bertemu dengan Kayun, Sarmin telah berada di rumah Ki Demang Pudak Lawang. Sarmin dapat langsung bertemu dengan Ki Demang serta menyerahkan surat yang dibawa oleh Merta itu.
"Surat apa ?" bertanya Ki Kapat Argajalu yang untuk sementara tinggal di rumah Ki Demang bersama kedua orang anak laki-lakinya. Bahkan Prastawa dan isterinya berada di rumah Ki Demang itu pula dan berada dibawah pengawasan Soma dan Tumpak. Dua orang kakak beradik yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga Prastawa merasa bahwa ia tidak akan mungkin dapat melepaskan dirinya. Mungkin Prastawa tidak dapat meninggalkan isterinya yang sedang mengandung itu begitu saja.
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Demang membuka surat itu dan membacanya.
"Surat dari Ki Gede," berkata Ki Demang.
"Apa isinya?" "Silahkan Ki Kapat membacanya sendiri."
Ki Kapat Argajalu menerima surat itu. Namun kemudian iapun menggeram. Katanya, "Sombongnya Ki Gede. Sebentar lagi kedudukannya akan terlepas dari tangannya. Ia masih juga dapat memberikan perintah semacam itu."
"Ia akan menyesalinya," berkata Ki Demang.
"Apakah Ki Demang juga berniat untuk menghadap?"
"Tidak. Niatku sudah bulat. Meskipun Prastawa hatinya lentur, tetapi aku tidak berniat surut. Aku sudah terlanjur basah. Karena itu. kita harus berhasil. Prastawa akan menduduki jabatan yang akan ditinggalkan Ki Gede. Tetapi kita yang akan mengemudikannya."
"Tepat," berkata Ki Kapat Argajalu, "sikap Ki Demang adalah sikap seorang laki-laki. Sementara itu Prastawa sangat mengecewakan."
"Kita tidak usah menghiraukan Prastawa lagi."
"Apakah Ki Demang akan memberikan balasan atas surat itu ?"
"Bagaimana sebaiknya menurut Ki Kapat Argajalu?"
"Kita anggap saja surat itu tidak ada."
Ki Demang memang tidak menghiraukan lagi surat yang diterimanya itu. Bahkan iapun telah memerintahkan orang-orangnya untuk selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Orang-orangkupun telah siap pula," berkata Ki Kapat Argajalu.
Sebenarnyalah bahwa padukuhan-padukuhan yang termasuk berada didalam lingkungan kademangan Pudak Lawangpun telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Jika ada diantara padukuhan itu mendapat serangan, maka padukuhan itu akan bertahan dibelakang dinding padukuhan serta menutup pintu gerbangnya. Sementara itu dengan isyarat suara kentongan mereka akan memanggil Pasukan Pengawal dari padukuhan padukuhan yang lain serta para cantrik dan perguruan Ki Kapal Argajalu yang sudah berada di padukuhan-padukuhan di kademangan Pudak Lawang.
Dalam pada itu. Mertapun telah memberikan laporan kepada Ki Gede. bahwa ia gagal menemui Ki Demang Pudak Lawang. Tetapi Sarmin telah berjanji untuk menyampaikan surat itu kepada Ki Demang."
"Agaknya Ki Demang Pudak Lawang sudah tidak dapat diajak berbicara lagi," berkata Ki Gede.
"Agaknya memang begitu, Ki Gede. Sementara itu orang-orang yang asing, yang tidak mengenal aku dan tidak aku kenal, berkeliaran di padukuhan-padukuhan. Agaknya justru mereka yang berkuasa di kademangan Pudak Lawang itu."
"Ya. Kau benar. Merekalah yang sebenarnya berkuasa. Kekuasaan Ki Kapat Argajalu lebih besar dari kekuasaan Ki Demang Pudak Lawang."
"Segala sesuatunya terserah kepada Ki Gede."
"Aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Kepada keberanianmu dan kesediaanmu berkorban. Mudah-mudahan segala sesuatunya lekas menjadi baik."
"Ya. Ki Gede. Jika ada perintah apapun juga aku akan melakukannya sesuai dengan Kemampuanku. Aku tidak akan ingkar meskipun aku harus menempuh bahaya apapun."
Ki Gede menepuk bahu Merta sambil berkata, "Terima kasih. Sekarang, tolong, panggil Ki Argajaya, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih, serta para bebahu. Aku minta nanti sore mereka berkumpul disini. Kau harus datang memberikan laporan kepada mereka apa yang telah kau lakukan serta telah kau alami."
"Baik. Ki Gede."
Ketika matahari mulai turun di sisi Barat langit, maka Ki Argajaya telah berada di rumah Ki Gede. Beberapa orang bebahu telah datang pula. Demikian pula Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Di udara yang terasa panas itu, hati para pemimpin Tanah Perdikan itupun menjadi panas pula karena sikap Demang Pudak Lawang.
"Kita tidak mempunyai pilihan lain," berkata seorang diantara para pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan.
"Ya," sahut yang lain, "kita akan menyerang Pudak Lawang."
"Kita harus berhati-hati. Kita tidak dapat begitu saja menyerang. Di Pudak Lawang itu terdapat Ki Prastawa dan isterinya serta anaknya yang masih berada dalam kandungan."
Ki Gedepun mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Kita memang harus berhati-hati."
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian berkata. "Sebaiknya untuk sementara kita tidak memasuki kademangan Pudak Lawang lebih dahulu. Tetapi kita akan mengepung Pudak Lawang, sehingga kademangan Pudak Lawang benar-benar telah terputus hubungannya dengan dunia di sekitarnya. Jika kita dapat membuat sekat antara Pudak Lawang dan dunia di luarnya, maka Pudak Lawang akan berpikir dua kali. Tidak semua kebutuhan kademangan itu dapat dihasilkan oleh kademangan itu sendiri."
"Aku sependapat," Ki Gede mengangguk-angguk, "dalam waktu sepekan dua pekan, kita akan melihat hasilnya. Jika rakyat Pudak Lawang mulai mengeluh, maka Demang di Pudak Lawang akan membuat penilaian ulang atas keputusan yang sudah diambilnya."
Namun Glagah Putihpun berkata, "Tetapi para pengikut Ki Kapat Argajalu telah banyak yang berada di Pudak Lawang. Bahkan merekalah yang kini sebenarnya berkuasa atas Pudak Lawang."
"Bukankah dengan demikian Pudak Lawang memerlukan lebih banyak bahan bagi kebutuhan mereka sehari-hari" Nah, jika segala persediaan itu sudah menipis, maka kita akan memberikan kesempatan sekali lagi kepada Ki Demang untuk merubah sikapnya."
"Ki Demang tidak akan berani melakukannya, karena Ki Kapat Argajalu ada di depan hidungnya," berkata Glagah Putih.
"Tetapi kita akan mencoba," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "kita memang harus mempertimbangkan keberadaan Ki Prastawa, isteri serta anak yang masih berada dalam kandungan itu."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Bagi Glagah Putih, jalan yang ditempuh itu akan terasa terlalu panjang. Jika pertimbangannya terpancang kepada Prastawa, isteri dan anak yang masih di dalam kandungan, maka segala sesuatunya akan berlangsung sangat lamban.
Tetapi ketika Glagah Putih melihat Ki Argajaya yang wajahnya sangat muram itu. maka iapun merasa kasihan pula. Jika Prastawa dikorbankan, bagi Ki Argajaya. hilang pulalah masa depan jalur keluarganya.
Karena itulah, maka dalam pertemuan itu, disepakati Tanah perdikan Menoreh akan menutup Pudak Lawang rapat-rapat sehingga tidak akan dapat berhubungan dengan dunia diluarnya. Pudak Lawang akan kehilangan jalur perdagangannya. Hasil yang berlebihan di Pudak Lawang tidak akan dapat dibawa keluar, sebaliknya apa yang dibutuhkan bagi padukuhan itu tidak dapat didatangkan dari luar.
Untuk melaksanakan tugas itu, maka Pasukan Pengawal Tariah Perdikan harus benar-benar siap. Jika perlu mereka akan mempergunakan kekerasan. Jika Pudak Lawang nekat mendatangkan bahan kebutuhan hidup mereka atau mengirimkan hasil buminya keluar, Pasukan Pengawal itu harus mencegahnya.
Sejak hari itu, maka Pudak Lawang benar-benar telah terpisah dari dunia luar. Tetapi sebenarnyalah bahwa sejak sebelumnya Pudak Lawang sendiri telah menutup diri.
Dari hari ke hari. maka apa yang diperhitungkan oleh para pemimpin di Tanah Perdikan itupun terjadi. Di Pudak Lawang mulai sulit untuk mendapatkan garam. Pudak Lawang juga memerlukan bahan-bahan tenunan dan barang-barang kerajinan dari luar.
Tetapi ketika hal itu disampaikan kepada Ki Kapat Argajalu, maka iapun berkata, "Tidak ada masalah. Biarlah besok kita pergi untuk membeli garam."
"Kademangan ini sudah dikepung rapat."
Tetapi Ki Kapat justru tertawa. Katanya, "Biarlah Soma dan Tumpak besok pergi ke pasar di kademangan tetangga. Maksudku di kademangan di luar Tanah Perdikan."
"Tetapi tidak ada jalan yang dapat kita lalui."
"Soma dan Tumpak akan mencari jalan."
Ki Demang Pudak Lawang termangu-mangu. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Dalam pada itu, Ki Kapat Argajalu telah menepati janjinya. Ia memerintahkan Soma dan Tumpak membawa dua pedati untuk membeli garam justru di luar Tanah Perdikan.
"Bawa beberapa orang cantrik. Besok kalian akan membeli garam dan bahan tenunan."
"Bahan pakaian maksud ayah?"
"Ya." "Bukankah kita belum memerlukan?"
"Untuk mengatasi kesulitan bahan pakaian. Kau lihat orang-orang tamak di kademangan ini segera merasa cemas, bahwa mereka tidak akan dapat membeli pakaian baru " Agaknya para pedagang kainpun telah memanfaatkan keadaan. Bahan pakaianpun lenyap dari peredaran. Jika kau membelinya dalam jumlah yang cukup, maka para pedagang kain itu akan menyesali kebodohan mereka dengan menimbun bahan pakaian itu."
Soma dan Tumpak mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah, di hari berikutnya, Soma dan Tumpak serta beberapa orang cantriknya telah meninggalkan kademangan dengan membawa dua buah pedati.
Namun sedikit lewat perbatasan, maka kedua pedati itu telah dihentikan obh sekelompok anak-anak muda dari pengawal Tanah Perdikan.
"Kalian siapa dan akan pergi kemana?"
"Kami adalah orang-orang Pudak Lawang," jawab Soma.
Anak-anak muda Pengawal Tanah Perdikan itu kebetulan adalah anak-anak muda yang belum pernah mengenal Soma dan Tumpak meskipun Soma dan Tumpak sudah beberapa lama berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, anak muda yang memimpin sekelompok Pasukan Pengawal Tanah Perdikan itupun berkata, "Jika benar kalian orang-orang Pudak Lawang, kenapa kita belum pernah berkenalan" Aku mengenal semua orang di Pudak Lawang."
"Kau memang bodoh. Ternyata kau belum mengenal kami."
"Agaknya kalian bukan orang-orang Pudak Lawang."
"Sekehendakmulah. Tetapi kami merasa bahwa kami adalah orang-orang Pudak Lawang."
"Jika demikian, kalian tidak diperkenankan meneruskan perjalanan. Kalian harus kembali."
"Kami akan pergi ke pasar di pasar sebelah. Pasar yang justru berada di luar Tanah Perdikan Menoreh. Kami akan membeli kebutuhan sehari-hari. Orang-orang Tanah Perdikan tiba-tiba saja menjadi dengki kepada kami, rakyat Pudak Lawang yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan kademangan kami."
Bukan waktunya lagi untuk membual. Kembalilah. Jangan meneruskan perjalanan. Kami masih bersikap lunak dengan memberikan peringatan ini. Tetapi jika kalian berkeberatan, maka kami akan bertindak tegas."
"Jika kalian bertindak tegas, kalian akan berbuat apa?"
"Kami akan menangkap kalian."
Soma tertawa. Katanya, "jangan terlalu sombong. Kau kira anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu sudah mumpuni ing kawruh olah kanuragan " Kalian akan menyesali kesombongan kalian."
"Tetapi kami sedang dalam tugas. Kami mintakalian kembali atau kami harus menangkap kalian."
"Kedua-duanya tidak. Kalian tidak akan dapat memaksa kami kembali. Tetapi kalian juga tidak akan dapat memaksa kami untuk menyerah dan kalian tangkap."
Pemimpin Pengawal Tanah Perdikan itu mulai kehilangan kesabaran. Iapun segera memberikan isyarat kepada Pengawal Tanah Perdikan itu untuk bersiap-siap.
"Masih ada kesempatan untuk kembali ke Pudak Lawang. Kesempatan ini adalah kesempatan yang terakhir."
Tetapi Tumpak justru berkata lantang, "Minggir. Jika kalian tidak mau minggir. kalian akan kami hancurkan."
"Kalian justru menantang?" bertanya pemimpin Pengawal Tanah Perdikan itu.
"Ya. Dengar baik-baik. Kami sengaja menantang kalian. Kalian dengar?"
Pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan itupun benar-benar telah kehilangan kesabarannya. Karena itu, maka iapun segera mumermtahkan para pengawal untuk bergerak, "Tangkap mereka."
Pertempuranpun tidak dapat dihindarkan. Para Pengawal Tanah Perdikan yang jumlahnya lebih banyak, segera mengepung Soma, Tumpak dari orang-orangnya.
Para pengikut Soma dan Tumpak itupun segera menyerang dengan garangnya. Namun anak-anak muda Pengawal Tanah Perdikan itu cukup terlatih. Karena itu, maka mereka tidak mudah untuk segera memecahkan kepungan. Bahkan dalam pertempuran yang berlanjut, para pengikut Soma dan Tumpak yang jumlahnya lebih kecil itu segera mengalami kesulitan.
Soma dan Tumpak sendiri masih belum terjun ke arena. Mereka ingin melihat seberapa jauh kemampuan para Pengawal Tanah Perdikan.
"Ternyata mereka cukup terlatih," berkata Soma.
"Apakah mereka bukan para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan, yang dipimpin oleh Agung Sedayu. Apakah mereka tidak sedang menyamar dan menjadi bagian dari anak muda Pengawal Tanah Perdikan?"
"Ilmu mereka memang meyakinkan. Tetapi agaknya mereka bukan prajurit dari Pasukan Khusus itu. Sikap para prajurit dari Pasukan Khusus itu tentu lebih keras dan lebih kasar."
"Tetapi nampaknya mereka benar-benar terlatih baik."
"Bukankah kau lihat anak-anak muda Pudak Lawang" Bukankah mereka juga memiliki ilmu yang mapan seperti para prajurit dan Pasukan Khusus?"
Tumpak mengangguk-angguk.
"Marilah. Kita tunjukkan kepada mereka, bahwa mereka bukan apa-apa bagi kita."
Tumpak mengangguk-angguk pula. Katanya, "Baik. Aku sudah tidak telaten lagi menunggu."
Demikianlah, maka Soma dan Tumpakpun segera turun ke medan. Mereka ternyata tidak dapat mengandalkan para cantrik, sehingga mereka berdua harus turun tangan langsung.
Demikian Soma dan Tumpak terjun ke arena pertempuran, maka keseimbanganpun segera berubah. Para pengawal satu demi satu terlempar dari arena pertempuran Meski mereka menghadapi Soma dan Tumpak dalam kelompok-kelompok kecil, namun mereka sama sekali tidak berdaya.
Karena itu, setelah beberapa saat Soma dan Tumpak melibatkan din dalam pertempuran, maka para Pengawal Tanah Perdikanpun terpaksa bergerak mundur.
Soma dan Tumpak tidak mengejar mereka. Dengan lantang iapun berkata, "Lain kali kita akan bertemu lagi."
Para pengawal itu bergerak semakin menjauh. Namun mereka masih mendengar Soma berteriak, "Katakan kepada Agung Sedayu apa yang kalian alami sekarang ini. Lain kali biarlah Agung Sedayu dan prajuritnya yang berjaga-jaga di jalan ini untuk menunggu aku pulang."
Para pengawal itu melihat Soma, Tumpak dan orang-orangnya bergerak melanjutkan perjalanan mereka.
Demikian mereka menjauh, maka Pengawal Tanah Perdikan itupun kembali lagi untuk m engambil kawan-kawan mereka yang lerluka. Bahkan seorang diantaranya terluka parah. Soma telah melemparkan anak muda itu, sehingga tubuhnya membentur sebatang pohon di pinggir jalan.
"Kita gagal mencegah mereka keluar kademangan Pudak Lawang," berkata pemimpin sekelompok Pengawal itu.
"Kita akan melaporkannya kepada Ki Gede."
Setelah mereka menyingkirkan kawan-kawan mereka yang terluka. maka kedua orang diantara merekapun segera melarikan kuda mereka, menghadap Ki Gede Menoreh.
Laporan itu cukup mengejutkan. Katanya kepada kedua orang itu. "Pergilah ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Laporkan kepadanya, apa yang telah terjadi. Biarlah Ki Lurah dan Glagah Putih mengambil sikap."
Kedua orang anak muda itupun segera pergi ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu untuk memberikan laporan tentang peristiwa yang baru saja dialami.
"Aku akan pergi ke sana, kakang," berkata Glagah Putih.
Ki Lurah Agung sedayu menarik nafas panjang. Ia tidak dapat lagi mencegah Glagah Putih. Namun Ki Lurah sendiri merasa bahwa yang terjadi itu sudah berlebihan.
Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah. Kita pergi ke sana. Tetapi aku akan singgah lebih dulu di rumah Ki Gede"
Ki Lurahpun kemudian telah memberitahukan kepada dua orang anak muda itu, bahwa berdua bersama Glagah Putih, Ki Lurah akan pergi ke tempat peristiwa yang menyakitkan itu terjadi.
"Nanti kita terlambat, kakang. Biar nanti saja kita menghadap Ki Gede."
"Mereka membawa pedati. Perjalanan mereka tentu lamban. Menurut perhitunganku baru sore nanti mereka akan pulang."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk.
Ketika Rara Wulan menyatakan keinginannya untuk ikut, maka Ki Lurahpun berkata, "Kau di rumah saja bersama mbokayumu Sekar Mirah."
Rara Wulan memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani memaksa.
"Biarlah Ki Jayaraga juga berada di rumah bersama kalian," berkata Ki Lurah.
Ki Jayaragapun mengangguk. Katanya, "Baiklah aku tidak pergi ke sawah siang ini."
"Aku sajalah yang pergi kesawah," sahut Sukra.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun kemudian bersama Glagah Putih maka Ki Lurah itupun meninggalkan rumahnya.
Keduanya memang singgah untuky menemui Ki Gede. Dengan suara yang bergetar, Glagah Putih berkata, "Mereka telah mulai menumpahlkan darah Pengawal Tanah Perdikan, Ki Gede."
"Ya, Glagah Putih. Meskipun demikian, kita harus berbuat dengan perhitungan yang mapan dan dengan hati yang dingin."
Glagah Putih tidak menjawab, meskipun sebenarnya ia ingin segala sesuatunya lebih cepat.
Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah pergi ke tempat pertempuran itu terjadi. Ki Lurah dan Glagah Putih telah menitipkan kuda mereka. Bersama beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan keduanya menunggu Soma dan Tumpak kembali dari pasar.
Glagah Putih rasa-rasanya tidak sabar lagi. Ia berharap bahwa keduanya segera lewat dengan kedua pedati yang dibawanya. Kedua pedati itu harus dirampas, sedangkan Soma dan Tumpak harus ditangkap.
Waktu terasa bergerak dengan lambat sekali. Matahari berkisar dengan malasnya, sehingga Glagah Putih rasa-rasanya menjadi tidak sabar lagi.
Ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi Barat, Glagah Putih itupun mondar-mandir menyeberangi jalan yang tadi dilewati Soma dan Tumpak. Tetapi Glagah Putih tidak segera melihat dua buah pedati itu lewat.
"Apakah mereka tidak akan lewat jalan ini?" tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya.
"Menurut orang yang mengaku bernama Soma itu, mereka akan kembali lewat jalan ini. Soma bahkan mengatakan, agar kami melaporkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu."
"Nampaknya mereka telah mengecoh kita," geram Glagah Putih.
Ketika bayangan senja itu mulai kekuning-kuningan, maka Glagah Putih pun berkata kepada Ki Lurah Agung Sedayu, "Mereka tidak lewat jalan ini lagi kakang. Marilah, kita cari mereka di Pudak Lawang."
Ki Lurah Agung Sedayu menggelengkan kepaknya. Katanya, "Jangan Glagah Putih. Kita tidak boleh kehilangan, kencali mungkin mereka dengan sengaja membuat kita marah. Orang yang marah tidak dapat berpikir bening. Bahkan mungkin kita akan terpancing dan terjerumus ke dalam kesulitan."
"Bukankah wajar jika kita menjadi marah?"
"Memang wajar Glagah Putih. Tetapi bukan berarti kita kehilangan nalar."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Dicobanya untuk mengendapkan perasaannya yang menjadi semakin gelisah.
Ketika malam kemudian mulai turun, maka Glagah Putihpun yakin, bahwa Soma dan Tumpak bersama beberapa orang kawannya tidak akan melewati jalan itu lagi
"Yang kita lakukan sekarang adalah membuang-buang waktu dengan sia-sia, kakang."
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, "Ya. Agaknya mereka telah mengambil jalan lain."
"Dan kita hanya berdiam diri disini." Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab.
Dalam pada itu, terdengar derap kaki kuda yang berlari mendekat. Dua orang Pengawal Tanah Perdikan dengan agak tergesa-gesa mencari Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Ada apa?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.
Kedua orang Pengawal Tanah Perdikan itupun kemudian nenceriterakan bahwa telah terjadi lagi benturan kekerasan. Soma dan Tumpak telah kembali ke Pudak Lawang lewat jalan yang lain. Seperti pada saat mereka berangkat, maka pada saat mereka pulang-pun mereka telah melukai beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan.
"Gila. Mereka telah mempermainkan kita, kakang," berkata Glagah Putih dengan lantang oleh getar kemarahannya yang tertahan di dadanya.
"Ya. Mereka telah mempermainkan kita."
"Apakah kita masih saja akan menunggu mereka mempermainkan kita lagi."
"Tidak. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, kita jangan kehilangan nalar. Soma dan Tumpak telah dengan sengaja membakar jantung kita. Jika darah kita kemudian mendidih dan kita tidak lagi sempat membuat perhitungan atas langkah-langkah yang akan kita ambil, maka itu berarti bahwa mereka telah berhasil."
"Tetapi jika kita tidak berbuat apa-apa, maka merekapun akan mengejek kita, bahwa kita tidak berani segera bertindak."
"Yang penting bukan berani segera bertindak. Tetapi langkah kita itu meyakinkan kita berdasarkan perhitungan yang matang akan berhasil."
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Sementara Ki Lurahpun bertanya, "Kau sudah melaporkannya kepada Ki Gede?"
"Sudah. Ki Gede memerintahkan kami untuk melapor kepada Ki Lurah."
"Baik. Kami juga akan segera pulang. Tidak ada gunanya kami berlama-lama disini."
Ki Lurahpun kemudian minta diri kepada pemimpin Pengawal yang bertugas. Kepada anak muda itu Ki Lurah berpesan, "Jika perlu sekali, kalian dapat memukul kentongan sebagai isyarat."
"Ya, Ki Lurah."
"Tetapi berhati-hatilah terhadap Soma dan Tumpak. Ternyata mereka orang-orang yang sangat berbahaya."
"Ya, Ki Lurah."
Setelah mereka meyakini, bahkan mendapat laporan bahwa Soma dan Tumpak sudah kembali ke Pudak Lawang lewat jalan lain, maka Ki Lurah dan Glagah Putihpun telah kembali ke padukuhan induk. Merekapun langsung pergi menemui Ki Gede di rumahnya. Adalah kebetulan bahwa Ki Argajaya ada di rumah Ki Gede.
Bukan hanya Ki Argajaya, tetapi ternyata Swandaru dan Pandan Wangi ada di rumah Ki Gede pula.
"Selamat malam kakang. Selamat malam adi Glagah Putih," justru Swandarulah yang menyapanya lebih dahulu.
Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Sambil mengangguk dalam-dalam Ki Lurah itu menyahut, "Selamat malam adi berdua. Kapan adi berdua datang?"
"Sore tadi kakang. Menurut ayah, kakang sedang bermain-main bersama adi Glagah Putih dengan orang-orang Pudak Lawang."
Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Namun Glagah Putih dengan sungguh-sungguh berkata, "Mereka ternyata sangat licik, kakang."
"Ya. Kami telah mendengar apa yang terjadi. Selagi kakang Agung dan adi Glagah Putih menunggu mereka kembali, mereka telah mengambil jalan lain."
"Kita tidak dapat membiarkan diri dipermainkan terus-menerus."
"Ya. Ki memang tidak dapat membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Aku datang justru persoalannya menyangkut pribadiku."
"Kami ingin menjernihkan suasana di Tanah Perdikan ini, kakang," berkata Pandan Wangi kemudian.
"Apakah kalian kebetulan saja datang justru pada saat Tanah Perdikan ini menghadapi persoalan, atau kalian datang karena ada persoalan di Tanah Perdikan ini."
"Ayah telah mengirim utusan ke Sangkal Putung," jawab Pandan Wangi.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar niat Ki Gede untuk memberitahukan persoalan yang sedang berkembang di Tanah Perdikan ini. Bahkan karena Ki Kapat Argajalu juga menyebut-nyebut nama Pandan Wangi, karena Pandan Wangi dan anak iaki-lakinya merupakan penghalang bagi Prastawa untuk mewarisi kedudukan Ki Gede di Tanah Perdikan ini."
"Aku akan memberitahukan kepada Sekar Mirah. Ia tentu akan segera datang kemari."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putihpun justru minta diri. Mereka akan mengajak Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk menemui Swandaru dan Pandan Wangi.
"Nanti sajalah kita berbicara lebih lanjut tentang orang-orang Pudak Lawang itu," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
Sebenarnyalah ketika Sekar Mirah dan Rara Wulan mengetahui bahwa Pandan Wangi telah datang bersama suaminya, maka mereka justru tergesa-gesa ingin menemuinya.
"Aku mandi dulu," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "sehari aku menunggu dalam kegelisahan, sehingga pakaianku menjadi basah kuyub. Namun mereka tidak lewat."
Setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih bergantian mandi dan berganti pakaian, maka merekapun telah bersiap siap pergi ke rumah Ki Gede.
Sebelum mereka berangkat, Ki Lurah Agung Sedayu nampak berbicara bersungguh-sungguh dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih."
"Aku akan mencoba mengemukakan hal ini kepada Ki Gede, adi Swandaru dan Pandan Wangi," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian.
"Mudah-mudahan akan mendapat tanggapan baik." Demikianlah sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Glagah Putih Sekar Mirah dan Rara Wulan telah berangkat ke rumah Ki Gede untuk menemui Swandaru dan Pandan Wangi.
Demikian Sekar Mirah, Rara Wulan dan Pandan Wangi berkumpul, maka rasa-rasanya tidak ada orang lain yang mendapat kesempatan berbicara. Mereka berbicara tentang apa saja, seperti riuhnya kumpulan seribu burung betet di satu sarang.
Suara tertawapun sekali-sekali terdengar meledak dan kemudian berkepanjangan.
"Sst," desis Ki Gede, "seorang perempuan yang tertawa tidak boleh kelihaian giginya."
Namun justru ketiganya tertawa meledak.
Baru setelah mereka puas berbicara tentang bumbu masakan sampai ke jenis kain lurik terbaru, nampaknya mereka mulai menjadi letih, sehingga pembicaraan merekapun menjadi berangsur menyusut.
Ki Gedelah yang kemudian mulai mengarahkan pembicaraan mereka kepada persoalan kademangan di Pudak Lawang.
"Kita harus berhati-hati, agar Prastawa, isteri dan anaknya yang masih berada didalam kandungan itu tidak menjadi korban," berkata Ki Gede.
"Bagaimana kalau kita berusaha membebaskannya?" bertanya Pandan Wangi.
"Kita tidak dapat dengan serta merta menyerang. Mereka akan mempergunakan Prastawa sebagai perisai," sahut Ki Gede.
Pandan Wangi menarik nafas panjang, sementara Ki Lurah Agung Sedayu berkata, "Kita akan mempergunakan cara yang lain."
"Cara lain " Barangkali kakang telah merencanakan cara yang lain itu?" bertanya Swandaru.
"Ini baru satu gagasan. Segala sesuatunya terserah kepada Ki Gede," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Katakan Ki Lurah," sahut Ki Gede.
Agung Sedayupun kemudian telah menguraikan rencananya untuk membebaskan Prastawa dari tangan Ki Kapat Argajalu.
Ki Gede dan mereka yang berada dalam pertemuan itu mendengarkan rencana itu dengan seksama. Terasa ada ketegangan. Namun juga tersirat harapan.
Ki Argajaya yang juga hadir dalam pertemuan itu sekah sekali menahan nafas. Namun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Malampun menjadi semakin larut. Ki Gede, Ki Argajaya dan mereka semuanya yang mendengar rencana Agung Sedayu itu duduk termangu-mangu. Wajah-wajah nampak bersungguh-sungguh. Agaknya rencana itu telah menarik perhatian mereka.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Argajaya?" bertanya Ki Gede.
Ki Argajaya mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Memang semua langkah itu mengundang berbagai kemungkinan. Tetapi jika kita tidak berani melangkah, maka segala sesuatunya akan terhenti."
"Ya," sahut Ki Gede, "kita memang harus berani menanggung berbagai akibat. Tetapi menurut perhitungan nalar, rencana itu mempunyai harapan yang besar. Tetapi jika kita menghadapi kegagalan?"
"Apa boleh buat," desis Ki Argajaya.
"Baiklah Ki Lurah. Nampaknya kita sependapat dengan rencana itu. Kita tidak dapat membuat rencana lain yang lebih baik. Kita juga tidak dapat berdiam diri terus-menerus. Karena itu aku sependapat bahwa rencana itu dilaksanakan. Sambil berdoa kepada Tuhan Yang Maha Agung, kita memang harus menapak dengan satu usaha."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah," sahut Ki Lurah Agung Sedayu, "jika demikian, maka kita harus mempersiapkan pasukan-yang kuat, yang siap menyerang Pudak Lawang. Aku akan memanggil sebagian dari pasukanku untuk mendukung rencana ini."
"Kita akan mematangkan rencana ini malam nanti. Besok segala sesuatunya akan disiapkan, sehingga esok sore kita benar-benar sudah dapat mulai."
"Ya. Kita akan dapat segera mulai," desis Swandaru.
"Tetapi apakah adi Swandaru dan adi Pandan Wangi tidak perlu beristirahat dahulu barang sehari?"
"Tidak," sahut Swandaru, "kami tidak letih. Sementara itu, kita tidak ingin terlambat."
Malam itu segala rencanapun telah di matangkan. Ki Lurah Agung Sedang dan Glagah Putih telah berbicara dengan para pemimpin pasukan pengawal di padukuhan-padukuhan. Mereka harus segera mempersiapkan diri.
"Besok kalian harus sudah menghimpun semua kekuatan yang ada."
"Baik, Ki Lurah."
"Besok sore sebagian dari kekuatan Tanah Perdikan Menoreh harus bersiap di padukuhan Jatianyar."
"Kita akan menyerang Pudak Lawang dari Jati Anyar?" bertanya salah seorang pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan.
"Kita masih akan melihat suasana, apakah kita akan menyerang atau tidak. Tetapi jika perintah itu datang dari Ki Gede, maka kita tidak mengecewakan."
"Baik, Ki Lurah."
"Sebagian dari prajurit-prajuritku akan membantu kalian. Bukan maksudku, bahwa pihak-pihak di luar lingkungan Tanah Perdikan ini akan mencampurinya, tetapi di Pudak Lawang ada kekuatan yang harus diimbangi. Para murid Ki Kapat Argajalu yang banyak sekali jumlahnya telah berada di Pudak Lawang pula."
"Baik, Ki Lurah."
Seperti di rencanakan, maka di keesokan harinya, Tanah Perdikan Menoreh telah benar-benar mengumpulkan pasukan di padukuhan Jati Anyar. Sebagian pasukan Pengawal Tanah Perdikan yang berada di padukuhan-padukuhan telah berkumpul di padukuhan Jati Anyar. Mereka tidak saja berada di banjar darfidi rumah Ki Bekel dan para bebahu, tetapi karena jumlahnya yang cukup besar, maka mereka pun di tempatkan di rumah-rumah penduduk yang sebagian justru telah mengungsi.
"Sebenarnya mereka tidak perlu mengungsi," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kepada Ki Bekel.
"Aku mengerti. Kitalah yang akan pergi ke Pudak Lawang. Tetapi meskipun demikian, aku tidak dapat mencegahnya. Mereka tentu memperhitungkan seandainya justru pasukan yang berada di Pudak Lawang itulah yang menyerang kemari."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
Kehadiran pasukan dari padukuhan-padukuhan itu dengan mudah dapat dipantau oleh para pengawas yang berada di padukuhan terdekat dengan padukuhan Jati Anyar. Mereka sempat melihat betapa banyaknya anak-anak muda yang telah berada di Jati Anyar. Bahkan hampir setiap laki-laki yang masih mampu bertempur, terutama mereka yang di masa mudanya juga menjadi pasukan Pengawal Tanah Perdikan, telah berkumpul dipadukuhan Jati Anyar.
"Gila," geram seorang anak muda dari kademangan Pudak Lawang, "mereka mengerahkan segenap kekuatan mereka."
"Bukankah itu wajar," sahut seorang laki-laki yang berkumis lebat. Salah seorang murid Ki Kapat Argajalu, "tetapi apakah kita lalu menjadi gentar" Aku kira jumlah kitapun tidak kalah. Berapa jumlahnya laki-laki Pudak Lawang. Dan berapa pula jumlah murid Ki Kapat Argajalu yang ada di sini. Seandainya jumlah mereka lebih banyak, tetapi kemampuan mereka tidak lebih baik dari para murid Ki Kapat Argajalu."
Anak-anak muda dari Pudak Lawang itupun mengangguk-angguk. Meskipun demikian, masih juga terasa jantung mereka berdebaran. Mereka sudah pernah bertempur melawan kekuatan yang datang dari luar Tanah Perdikan bersama-sama anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan lain itu. Yang sekarang telah terkumpul di padukuhan Jati Anyar. Besok atau mungkin besok lusa, mereka akan berhadapan dan bertempur melawan mereka.
Tetapi setiap kali Ki Demang Pudak Lawang telah membesarkan hati mereka. Katanya, "kita berjuang untuk menegakkan keadilan. Yang berhak untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan Menoreh adalah orang dari Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Bukan orang asing. Karena itu kita akan menolak kehadiran orang asing itu, dan kita akan menempatkan Ki Prastawa pada kedudukan yang seharusnya."
Anak-anak muda Pudak Lawang yang mendengar sesorah Ki Demang itu selalu saja mengangguk-angguk. Merekapun mulai merasakan kebanggaan bahwa mereka telah turut berjuang untuk menegakkan kebenaran di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, untuk menghadapi serangan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang besar itu, Pudak Lawang telah mempersiapkan diri pula. Mereka telah menempatkan pasukan induk mereka di padukuhan yang berhadapan dengan pasukan Jati Anyar diantara sebuah bulak yang tidak begitu panjang.
Ternyata pasukan dari kademangan Pudak Lawang itupun terhitung cukup besar pula. Semua anak muda dan laki-laki yang masih kuat telah berkumpul di padukuhan di hadapan padukuhan Jati Anyar. Disamping mereka sebuah pasukan yang kuat yang terdiri dari para murid di perguruan Ki Kapat Argajalu telah bersiap di padukuhan itu pula.
Menjelang sore hari, maka Ki Gede Menoreh sendiri, diikuti oleh Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih, Swandaru dan Pandan Wangi serta beberapa orang Pengawal dengan berkuda telah mendatangi padukuhan yang ada di hadapan padukuhan Jati Anyar itu.
Demikian iring-iringan kecil itu mendekati sebatang pohon yang sengaja dirobohkan oleh orang-orang Pudak Lawang, merekapun berhenti.
Beberapa orang dari padukuhan di depan padukuhan Jati Anyar itupun telah keluar dari pintu gerbang, mendekati sebatang pohon yang telah mereka robohkan itu.
Seorang yang bertubuh tinggi besar, berdada bidang, yang berdiri paling depan bertanya, "siapakah kalian ?"
"Kau belum mengenal aku"," bertanya Ki Gede.
"Belum kek. Aku belum mengenalmu."
"Apakah kau orang Pudak Lawang."
"Orang Pudak Lawang tentu mengenal aku. Aku satu-satunya yang ada di Tanah Perdikan ini."
"Apakah yang kau maksud di Tanah Perdikan ini tidak ada orang setua kau " Apakah kau mengaku tidak ada orang yang mencapai umur seumurmu?"
"Bukan umur. Meskipun aku sudah menjadi semakin tua, tentu ada orang lain yang umurnya setua atau bahkan melebihi umurku."
"Jadi, siapa kau ini?"
Tiba-tiba saja seorang laki-laki yang berdiri di sebelahnya berdesis, "Itu Ki Gede. Ki Gede Menoreh."
"He" Jadi orang ini Kepala Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya." Dalam pada itu Ki Gedepun berkata, "Barangkali kau satu-satunyanya orang Tanah Perdikan Menoreh yang tidak mengenal aku."
"Aku orang baru di Pudak Lawang Ki Gede," jawab orang itu. Namun katanya kemudian, "Pantas jika kedudukanmu mulai dipersoalkan. Kau memang sudah terlalu tua untuk menjabat sebagai Kepala Tanah Perdikan ini."
"Pengabdianku tidak mengenal umur, Ki Sanak," berkata Ki Gede.
"Apakah seseorang yang mengabdi kepada kampung halamannya harus menjadi Kepala Tanah Perdikan" Kau dapat saja mengabdi sisa umurmu tanpa harus menjabat sebagai Kepala Tanah Perdikan. Kau dapat saja mengabdikan dirimu dengan seribu macam cara yang pantas bagi orang-orang tua."
"Baik. Aku sependapat. Aku memang sudah memikirkan kemungkinan untuk mengundurkan diri dari jabatanku yang sekarang. Ini, anakku adalah calon penggantiku."
Wajah orang itu menjadi tegang. Sementara itu Ki Gede telah menunjuk kepada Swandaru.
"Siapakah orang itu ?"
"Swandaru," desis laki-laki yang berdiri di sebelahnya.
"O. Jadi orang inilah yang disebut-sebut bernama Swandaru dan kademangan Sangkal Putung."
"Ya. Anak menantuku berasal dari Sangkal Putung. Ia adalah orang yang pantas menjadi Kepala Tanah Perdikan disini."
"Lalu bagaimana dengan kademangan Sangkal Putung?"
"Ia mempunyai anak laki-laki. Anak laki-lakinyalah yang kelak akan menduduki jabatan Kepala Tanah Perdikan ini."
"Pertanyaanku sama. Lalu bagaimana dengan Kademangan Sangkal Putung ?"
"Ada orang lain yang pantas menjadi Demang Sangkal Putung. Kedudukan seorang Demang dan seorang Kepala Tanah Perdikan berbeda."
"Aku sudah tahu. Tetapi apa katamu tentang Ki Prastawa"
"Dimana Prastawa sekarang. Aku datang untuk berbicara dengan Ki Demang Pudak Lawang serta Prastawa."
"Tidak. Tidak ada gunanya. Sebaiknya Ki Gede kembali saja ke Jati Anyar."
"Aku akan berbicara dengan Prastawa. Ia tentu berada di padukuhan itu."
"Tidak. Jangan memaksa. Sebaiknya Ki Gede kembali saja. Jika Ki Gede tidak mau kembali, maka Ki Gede akan mengalami kesulitan. Di padukuhan itu, terdapat pasukan yang lengkap dan kuat. Ki Kapat Argajalu dan kedua orang puteranya sudah berada di padukuhan itu pula."
"Katakan kepada Ki Demang dan Prastawa, bahwa aku akan berbicara."
"Tidak." "Kenapa?" "Tidak seorangpun dari luar Pudak Lawang diperbolehkan memasuki daerah kami."
"Jadi kalian menolak?"
"Ya." "Baik. Jika demikian maka kami akan memasuki padukuhanmu dengan paksa. Malam nanti kami akan datang untuk bertemu dengan Prastawa dan Ki Demang. Alangkah baiknya jika Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya ada di tempat itu pula."
"Malam nantipun kalian tidak akan dapat memasuki Pudak Lawang. Kami tidak akan mengijinkan kalian masuk."
"Jadi kami tidak diijinkan, maka kami akan memaksa dengan kekarasan. Malam nanti padukuhan itu akan kami masuki dengan paksa. Pasukanku sudah siap di Jati Anyar."
"Jangan bermain api. Jika pasukan Ki Gede akan memasuki padukuhan kami, maka pasukan Ki Gede akan segera dihancurkan."
"Kalian belum tahu, seberapa besar kekuatan Tanah Perdikan Menoreh."
"Perguruan kami adalah perguruan yang tidak ada bandingnya. Kami sudah siap untuk menyapu orang-orang Tanah Perdikan ini."
"Perguruan mana " Apakah di Pudak Lawang ada sebuah perguruan?"
Orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian katanya, "Persetan dengan permainan kata-katamu. Tetapi pergilah sebelum kami bertindak sekarang ini."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baik. Aku akan pergi sekarang. Tetapi siapkan pasukanmu. Siapkan pula Prastawa dan pengikutnya yang telah memberontak itu."
"Kami tidak akan gentar dengan omong kosong orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
Sebelum tengah malam, kami tentu sudah berada di padukuhan itu. Kami akan-menangkap Ki Demang Pudak Lawang dan Prastawa serta orang-orang Tanah Perdikan yang telah membantu mereka."
"Kami sudah siap siap."
"Kami tidak akan sabar menunggu sampai esok pagi. Karena itu, kami akan kembali malam nanti."
Ki Gedepun kemudian memberi isyarat kepada mereka yang menyertainya untuk kembali.
Sesabar-sabar Agung Sedayu, terasa jantungnya berdegup semakin. Apalagi Swandaru dan Glagah Putih. Dada mereka bagaikan akan meledak. Jika saja mereka tidak terikat dalan satu rencana yang besar, maka mereka tidak akan menerima perlakuan itu. Bahkan mungkin dengan sekelompok kecil pasukan Pengawal Tanah Perdikan. mereka apapun yang akan terjadi.
Tetapi diantara mereka terdapat Ki Gede Menoreh yang tua, meskipun ia masih tetap menggenggam tombak pusakanya.
Ki Gede itulah yang telah memerintahkan mereka yang menyertainya untuk kembali ke Jati Anyar.
Sepeninggal Ki Gede serta para pengiringnya, maka orang yang bertubuh tinggi besar beridiri sambil bertolak pinggang. Kepada orang-orang yang berada disekitarnya iapun berkata, "Ternyata orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu hanya dapat berbicara, menggertak dan mengancam. Tetapi jika kita dengan berani menghadapi mereka, maka merekapun akan segera menghindar."
"Tetapi malam nanti mereka akan kembali bersama pasukan mereka."
"Itupun hanya omong kosong. Seandainya mereka benar-benar akan menyerang, mereka akan melakukan esok pagi, saat matahari terbit."
Tetapi seorang yang lain menyahut, "Belum tentu. Mungkin mereka benar-benar akan datang malam nanti. Mereka merasa lebih menguasai medan dari pada kita."
"Bukankah anak-anak muda Pudak Lawang juga menguasai medan di kademangannya sendiri?"
"Seberapa besar kekuatan mereka. Kitalah yang akan mengambil bagian terbesar dalam pertempuran ini. Sementara itu, kita masih belum mengenali lingkungan ini dengan baik."
"Kita mempunyai pengalaman yang luas bertempur di segala medan. Bahkan medan yang sama sekali belum pernah kita ambah sebelumnya. Karena itu, jangan cemas. Seandainya mereka akan datang malam nanti, kita akan menyambut mereka dengan senang hati."
"Tetapi jangan mengambil sikap sendiri. Kita harus melapornya kepada Ki Kapat Argajalu."
"Tentu. Tetapi sikapnya tentu tidak akan jauh berbeda dengan sikapku."
Sejenak kemudian, maka merekapun telah berada di banjar padukuhan untuk menemui Ki Kapat Argajalu.
Ketika orang yang bertubuh raksasa itu melaporkan kedatangan Ki Gede dan beberapa orang pengiringnya, maka Ki Kapat Argajalupun tertawa. Katanya, "Mereka berusaha untuk menggertak kita. Mereka menganggap kita seperti anak-anak yang akan segera menjadi ketakutan."
"Tetapi pasukan Tanah Perdikan telah benar-benar disiapkan di Jati Anyar," berkata Kayun, salah seorang pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan yang berada di Pudak Lawang.
"Bukankah kita juga sudah siap" Jika mereka benar-benar menyerang kita malam nanti, maka mereka akan memasuki sarang serigala yang sedang lapar."
"Para pemimpin Tanah Perdikan lengkap berada di Jati Anyar, Ki Kapat."
"Siapa saja mereka itu?"
"Ki Gede sendiri. Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih, Swandaru dan Pandan Wangi."
"Jadi Swandaru sudah berada disini pula?"
"Ya." "Bagus. Kitapun akan menghadapi mereka dengan kekuatan penuh. Para putut agar segera dikumpulakan. Mereka tentu akan mengejutkan para Pengawal Tanah Perdikan."
"Bahkan mungkin para prajurit dari Pasukan Khusus itu juga ikut melibatkan diri."
"Apakah artinya mereka bagi kita semua " Murid-muridku akan menghancurkan mereka."
Kayun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia sertanya, "bagaimana dengan Prastawa?"
"Biarlah Prastawa dan Ki Demang Pudak Lawang berada di padukuhan induk. Mereka adalah sasaran utama ungkapan kemarahan Ki Gede kali ini. Seandainya sekelompok diantara mereka berhasil menyusup memasuki padukuhan ini, mereka tidak akan menemukan Prastawa dan Ki Demang disini."
Kayun mengangguk-angguk. "Nah, sekarang awasi padukuhan Jati Anyar. Kalian dapat maju sampai ke batas. Sampai ke batang pohon yang sudah kita robohkan itu."
Kayun dan beberapa orang kawannya serta beberapa orang yang menyebut dirinya murid Ki Kapat Argajalupun telah menjalankan perintah Ki Kapat. Mereka mengawasi padukuhan Jati Anyar yang nampak sibuk dari kejauhan. Soma dan Tumpakpun telah datang pula di tempat itu untuk menyaksikan sendiri persiapan yang dilakukan oleh para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh di padukuhan Jati Anyar.
"Nampaknya para pemimpin Tanah Perdikan telah berkumpul di padukuhan itu," berkata Soma.
"Aku sudah bermimpi untuk bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu."
"Ada dua orang yang harus diperhatikan di Tanah Perdikan itu. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih disamping; Ki Gede sendiri," jawab Soma, "tetapi Ki Gede dengan cacat di kakinya tidak akan dapat berbuat terlalu banyak. Tetapi yang perlu diperhatikan menurut anak-anak muda Pudak Lawang, justru isteri Ki Lurah Agung Sedayu dan isteri Glagah Putih."
"Seberapa jauh kemampuan seorang perempuan. Tetapi perempuan itu memang menarik perhatian."
"Perempuan yang mana?"
"Isteri Glagah Putih," sahut Tumpak sambil tertawa.
"Tetapi jangan abaikan kemampuan mereka. Anak-anak Pudak Lawang tahu benar, bahwa mereka adalah perempuan yang berilmu tinggi."
"Baik, kakang."
"Selain mereka masih ada orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan ini."
"Biarlah para putut menyelesaikan mereka. Ayah sudah menunjuk beberapa orang putut utnuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan ini."
Dalam pada itu. untuk mengimbangi persiapan besar-bersaran di Jati Anyar, maka Soma dan Tumpakpun telah menugaskan sekelompok cantriknya untuk menyiapkan busur dan anak panah.
"Kita berada dibelakang dinding padukuhan. Kita berada di tempat yang lebih selap dari pada bulak di sebelah padukuhan itu. Dengan demikian, maka kita mempunyai kesempatan yang lebih baik dari mereka," berkata Soma.
Namun Kayunpun berkata, "Aku yakin bahwa mereka tidak akan menyerang malam nanti. Tetapi esok pagi, menjelang matahari terbit."
"Jangan lengah. Mungkin Ki Gede benar-benar mempersiapkan pasukannya untuk menyerang malam hari. Mungkin benar bahwa Ki Gede memperhitungkan bahwa mereka akan lebih menguasai medann\a dari pada para cantrik dari perguruan kami," sahut Tumpak.
Kayunpun mengangguk sambil menjawab, "Ya. Kami tidak akan lengah."
Untuk beberapa saat Soma dan Tumpak memperhatikan keadaan padukuhan Jati Anyar. Mereka hanya dapat melihat beberapa kesibukan dipermukaan. Namun kesibukan dipermukaan itu telah memberikan kesan, bahwa di Jati Anyar pasukan yang besar telah disiapkan. Apalagi sampai menjelang sore hari, masih saja ada kelompok-kelompok anak muda yang mengalir ke padukuhan Jati Anyar.
"Ki Gede sudah menjadi gila menghadapi perlawanan kademangan Pudak Lawang," berkata seorang putut yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
"Ya. Seluruh kekuatan di Tanah Perdikan benar benar telah ditimbun di Jati Anyar," sahut yang lain.
"Tetapi itu lebih baik bagi kita," sahut Soma yang mendengar pembicaraan itu, "pekerjaan kita segera selesai. Jika kita berhasil menghancurkan pasukan Tanah Perdikan nanti malam, maka untuk selanjutnya tidak akan ada masalah lagi. Seluruh Tanah Perdikan itu akan segera kita kuasai. Mungkin memang masih ada persoalan kecil dengan pasukan khusus dari Mataram yang berada di Tanah Perdikan, tetapi ia tidak akan berakibat buruk bagi kita."
Ketika senja turun, maka padukuhan Jati Anyar memang menjadi terang oleh cahaya oncor yang menyala di beberapa tempat. Digerbang padukuhan terdapat lebih dari ampat buah oncor. Kemudian cahaya yang terang di dalam padukuhan itupun nampak naik ke udara diatas padukuhan Jati Anyar.
Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak serta para putut dan cantriknya benar-benar sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Ki Kapat Aigajalu menyadari, bahwa di Tanah Perdikan terdapat beberapa orang yang berilmu sangat tinggi.
"Apalagi Swandaru dan Pandan Wangipun ada di padukuhan Jati Anyar pula," berkata Tumpak.
Sebenarnyalah para pemimpin Tanah Perdikan telah berada di Jati Anyar. Ki Gede, Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih, Swandaru, dan Pandan Wangi. Bahkan Sekar Mirah dan Rara Wulanpun telah berada di padukuhan itu pula. Bukan hanya mereka, tetapi Ki Jayaraga telah mengajak Empu Wisanata serta anaknya perempuan untuk berada di pemusatan kekuatan itu pula.
"Terima kasih atas kesediaan kalian," berkata Ki Gede, "kita sudah sampai pada permainan terakhir dari rencana kita."
"Kami sudah siap Ki Gede," berkata Agung Sedayu.
"Baiklah. Mudah-mudahan kalian berhasil. Tugas ini adalah tugas yang sangat berat."
"Mudah-mudahan Prastawa dapat bekerja sama dengan baik."
Di padukuhan yang berhadapan dengan padukuhan Jati Anyar, beberapa orang mengalami perkembangan keadaan di Jati Anyar dengan cermat. Mereka melihat orang-orang yang membawa oncor berjalan hilir mudik di depan pintu gerbang.
Di padukuhan di hadapan Jati Anyar itupun terjadi kesibukan yang semakin meningkat. Beberapa kelompok telah dibebani tugas untuk menahan arus serangan pasukan Pengawal Tanah Perdikan sebelum mereka mencapai dinding padukuhan. Busur dan anak panah telah disiapkan. Lembing dan senjata-senjata lontar yang lain. Ada beberapa orang cantrik yang memiliki kemampuan menyerang dari jarak jauh dengan bandil dan pisau-pisau belati.
Beberapa orang putut yang berilmu tinggi telah mendapat pesan-pesan khusus, siapakah yang harus mereka hadapi. Sementara itu. Soma dan Tumpak berkeras untuk menghadapi Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Siapa yang beruntung diantara kita akan mendapat kesempatan membunuh Agung Sedayu."
Tetapi Ki Kapat Argajalupun berkata, "Meskipun kalian berdua berilmu tinggi, tetapi menurut pendapatku, kalian masih belum dapat mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Biarlah aku yang menghadapinya. Kalian berdua akan membagi untung, siapakah yang akan bertemu dengan Glagah Putih dan siapakah yang akan berhadapan dengan Swandaru."
"Aku akan membunuh orang Sangkal Putung itu," berkata Tumpak.
Soma mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian berkata, "Siapakah yang akan aku hadapi, aku akan lumatkan, menjadi debu. Aku tidak akan menahan diri untuk tidak membunuh sebanyak-banyaknya orang Tanah Perdikan."
"Terserah kau," sahut K i Kapat Argajalu.
"Kami memang tidak berkewajiban untuk berbelas kasihan kepada orang-orang. Tanah Perdikan," sahut Tumpak.
Dalam pada itu, malamnya menjadi semakin dalam. Para pengawas di padukuhan yang berhadapan dengan Jati Anyar itu menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang membawa obor keluar dari gerbang padukuhan. Sebagian dari mereka berjalan ke kiri dan yang lain berjalan ke kanan.
"Kita harus bersiap. Agaknya mereka akan merentangkan pasukan mereka."
Ketika Ki Kapat Argajalu mendapat laporan tentang beberapa orang yang membawa obor itu, iapun berkata dengan nada berat, "Apakah orang-orang Tanah Perdikan akan menyerang dengan gelar perang.?"
"Mungkin saja," sahut Soma, "mereka menganggap bahwa cara itu adalah cara yang terbaik. Atau sekedar ingin menyombongkan diri bahwa para Pengawal Tanah Perdikan memiliki kemampuan seperti prajurit. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka mampu menurunkan pasukannya dalam perang gelar."
"Apakah mereka akan menyerang dengan gelar atau tidak, bagi kita sama saja, karena kita tidak akan terpancing keluar dari dinding padukuhan ini," berkata Tumpak dengan nada datar."
"Ya," Ki Kapat Argajalu tertawa, "mereka akan merasa diri mereka sangat bodoh jika mereka harus mempersiapkan serangan dengan gelar perang."
Namun tiba-tiba obor-obor di luar dinding padukuhan Jati Anyar itu sebagian menjadi padam. Hanya ada satu saja yang tinggal di sisi kiri dan satu sisi kanan.
"Permainan apa lagi yang mereka lakukan"," desis para pengawas.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah jauh meninggalkan Jati Anyar. Dalam gelapnya malam mereka menyusup diantara tanaman yang subur di sawah, hampir merangkak di pematang, menuju ke padukuhan induk kademangan Pudak Lawang.
Agaknya pertahanan kademangan Pudak Lawang memang dipusatkan di depan padukuhan Jati Anyar. Sedang mereka menjadi lengah di padukuhan-padukuhan yang lain. Meskipun ada juga kesi-agaan serta para peronda di padukuhan-padukuhan yang lain, namun rasa-rasanya kesiagaan itu kurang memadai..
Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga mengenali medan yang mereka hadapi dengari sangat baik. Karena itu, mereka tidak terlalu mengalami kesulitan untuk sampai di padukuhan induk kademangan Pudak Lawang.
Dengan hati-hati ketiga orang itu sempat mengamati pintu gerbang. Ada beberapa orang anak muda yang berjaga-jaga di pintu gerbang. Bahkan mungkin ada diantara mereka murid-murid Ki Kapat Argajalu.
"Kita akan meloncati dinding padukuhan induk itu," desis Ki Lurah Agung Sedayu.
Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun mengangguk-angguk.
Namun ketika mereka sudah siap meloncat Glagah Putih tiba-tiba saja berbisik, "Bukankah Ki Jayaraga mempunyai kemampuan menebarkan sirep?"
"Sirep?" bertanya Agung Sedayu.
Tetapi Ki Jayaraga tersenyum sambil berkata, "Bukankah kita dapat melakukannya tanpa menebarkan sirep?"
Agung Sedayu dan Glagah Putih tertawa tertahan.
Sejenak kemudian, ketiganya telah meloncati dinding dan berada di dalam padukuhan induk kademangan Pudak Lawang.
"Ada dua tempat yang harus kita lihat. Prastawa berada di rumah Ki Demang atau berada di banjar," desis Agung Sedayu.
Ki Jayaragapun menyahut, "Kita pergi saja ke rumah Ki Demang lebih dahulu, Ki Lurah. Aku condong berpendapat bahwa angger Prastawa berada di rumah Ki Demang."
"Ya, kakang. Aku kira kakang Prastawa berada di rumah Ki Demang."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk. Katanya, "Baiklah. Kita pergi ke rumah Ki Demang."
Ketiganyapun kemudian menyusup di lorong-lorong sempit menuju ke rumah Ki Demang. Untunglah bahwa mereka telah mengenal padukuhan induk kademangan Pudak Lawang dengan baik. Apalagi Glagah Putih. Ia mengenal padukuhan induk itu sebagaimana ia mengenal padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga telah mendekati rumah Ki Demang. Mereka menjadi semakin berhati-hati. Dengan kemampuan mereka yang tinggi, mereka berhasil memasuki halaman samping rumah Ki Demang di Pudak Lawang.
"Nampaknya Prastawa memang berada disini," desis Agung Sedayu setelah melihat kesiagaan yang tinggi di rumah Ki Demang.
Ketiganyapun kemudian bergeser menyusup diantara pepohonan dan tanaman perdu dibelakang gandok. Dengan sangat hati-hati mereka bergerak semakin ke depan.
"Ada beberapa orang di pringgitan," bisik Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sedangkan Ki Jayaragapun berdesis, "Lihat, Prastawa ada diantara mereka."
Agung Sedayu memandang Prastawa dengan tajamnya Ia ingin menangkap kesan pada wajah Prastawa yang sedang berbincang dengan beberapa orang itu. Diantara mereka terdapat pula Ki Demang Pudak Lawang.
Agung Sedayupun kemudian telah mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat melihat dengan jelas wajah Prastawa serta mendengar apa yang mereka bicarakan.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu sendiri masih ragu-ragu akan sikap Prastawa. Agaknya Prastawa sendiri dicengkam oleh kebimbangan sehingga sulit baginya untuk mengambil sikap yang tegas dan pasti.
Dengan mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu, Agung Sedayu mendengar beberapa bagian dari pembicaraan mereka yang berada di pringgitan.
"Sikapku sudah tak akan berubah lagi Ki Demang," berkata Prastawa.
Ki Demang tertawa. Katanya, "Sayang sekali, Prastawa. Tetapi kau sudah tidak mempunyai pilihan. Malam ini pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan menyerang Pudak Lawang. Mereka meletakkan alas kekuatan mereka di padukuhan Jati Anyar, sementara kitapun sudah siap menghadapinya di padukuhan yang berhadapan dengan padukuhan Jati Anyar. Pasukan Tanah Perdikan itu akan disambut dan dihancurkan oleh pasukan Pudak Lawang bersama dengan para murid Ki Kapat Argajalu yang jumlahnya cukup banyak. Mereka memiliki bekal ilmu yang tentu lebih baik dari anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka berada di sebuah perguruan yang menimba ilmu kanuragan secara khusus. Sementara itu, setiap orang di Tanah Perdikan ini tahu, bahwa Pudak Lawang adalah kademangan terkuat di seluruh Tanah Perdikan ini."
"Kau berangan-angan Ki Demang," berkata Prastawa, "meskipun Pudak Lawang itu kademangan terkuat, tetapi kau bergerak sendiri di Tanah Perdikan yang luas itu. Seandainya benar para cantrik Ki Kapat Argajalu dalam jumlah yang besar berada di kademangan ini, mereka akan berhadapan dengan Pasukan Pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus-yang berada di Tanah Perdikan."
"Jumlah mereka tidak seberapa, Prastawa."
Prastawa terdiam. Namun pembicaraan itu bagi Agung Sedayu cukup meyakinkan, bahwa sikap Prastawa sudah tidak berubah lagi.
"Apa katanya?" bertanya Glagah Putih yang hanya dapat melihat, tetapi tidak begitu jelas dari jarak yang agak jauh.
"Kita dapat memastikan, bahwa Prastawa sudah bertekad untuk tetap pada sikapnya terakhir sebagaimana dinyatakan kepada Ki Gede," jawab Agung Sedayu dengan berbisik.
"Jika demikian, kita akan dapat melaksanakan sekarang."
"Sst," desis Ki Jayaraga, "kita harus mengingat pula Nyi Prastawa."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Namun beberapa saat kemudian mereka melihat Prastawa itu bangkit berdiri. Agung Sedayu yang masih mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu mendengar Prastawa itu berkata, "Aku akan tidur. Aku letih sekali. Isteriku juga sedang tidak enak badan. Jika pasukan Ki Demang dapat menghancurkan Pasukan Pengawal Tanah Perdikan, silahkan saja. Bagiku sudah tidak ada bedanya lagi."
Ki Demang bertawa. Katanya, "Ternyata hatimu benar-benar rapuh Prastawa. Tiba-tiba kau menjadi seorang laki-laki yang tidak lagi mempunyai kemauan untuk berbuat sesuatu dalam keputus-asaan."
"Aku tidak dapat menolak sebutan itu, Ki Demang. Hatiku memang rapuh. Sekarang, aku akan ke bilikku."
Ketika Prastawa beranjak dari tempatnya, dua orang yang bertubuh kekar telah bangkit pula mengikuti Prastawa masuk ke dalam bilik itu. kedua orang itupun duduk di sebuah lincak bambu yang agak panjang di sebelah pintu bilik itu.
Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaragapun kemudian telah beringsut dari tempat mereka. Mereka menyelinap ke belakang gandok diarah bilik yang agaknya diperuntukkan bagi Prastawa dan isterinya dibawah penjagaan yang ketat. Dua orang yang duduk di luar pintu bilik Prastawa itu agaknya bukan orang Pudak Lawang. Tetapi mereka tentu murid-murid Ki Kapat Argajalu yang dipercaya untuk menjaga Prastawa dan isterinya.
Ketiga orang itupun kemudian telah melekat dinding dibelakang bilik Prastawa. Lamat-lamat mereka tidak mempergunakan ilmu Sapta Pangrungu. Apalagi Ki Lurah Agung Sedayu. Ia dapat mendengar dengan jelas pembicaraan didalam bilik itu.
"Kakang," terdengar suara seorang perempuan, "jika kakang mendapat kesempatan, sebaiknya kakang tinggalkan tempat ini. Kembalilah kepada Ki Gede serta kepada ayah, Ki Argajaya."
"Apakah aku harus meninggalkan kau disini?" sahut Prastawa dengan nada berat.
"Tidak apa-apa kakang. Tinggalkan aku disini. Biarlah apa yang akan mereka lakukan terhadap diriku, asal kakang dapat menyelamatkan diri dari kekuasaan Ki Kapat Argajalu, karena untuk seterusnya kakang tentu hanya akan diperalatnya."
"Tidak, Nyi. Aku tidak dapat meninggalkan kau dan anak yang akan kau lahirkan itu disini. Kau akan mengalami nasib yang sangat buruk. Biarlah aku tetap disini, apapun yang akan terjadi."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian memberi isyarat untuk berkisar sedikit menjauh.
"Aku yakin, Prastawa dan isterinya ada di dalam bilik itu."
"Ya." "Coba kau lihat Glagah Putih, apakah masih ada orang-orang yang duduk di pringgitan."
Glagah Puuhpun segera beringsut Sentuhan kakinya di tanah yang kering dibelakang gandok itu sama sekali tidak menimbulkan suara. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga menunggunya.
Sejenak kemudian Glagah Putihpun telah kembali. Sambil menggelengkan kepalanya iapun berdesis, "Tidak, kakang. Sudah tidak ada orang di pringgitan."
"Kedua orang yang berada di sebelah pintu bilik Prastawa?"
"Mereka masih ada disana."
"Kemana orang-orang yang duduk di pringgitan itu?"
"Agaknya mereka berada di belakang regol. Ada beberapa orang yang duduk di belakang pintu regol."
"Termasuk Ki Demang Pudak Lawang?"
Glagah Putih menggeleng. Katanya, "Aku tidak melihat Ki Demang."
"Kita akan mulai dengan tugas kita yang sebenarnya. Kita akan membebaskan Prastawa dan isterinya serta membawa mereka ke padukuhan Palihan, justru diarah yang berlawanan dengan Jati Anyar. Beberapa Pengawal Tanah Perdikan ada disana. Mereka telah menyiapkan kuda pula buat Prastawa dan isterinya. Selanjutnya kita akan membawa mereka ke padukuhan induk."
Glagah Putih dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Merekapun sudah mengerti rencana itu.
Meskipun demikian Glagah Putihpun bertanya, "Mungkin orang-orang Pudak Lawang akan memburu kita."
"Padukuhan Palihan tidak terlalu jauh, meskipun kita harus melalui dua bulak panjang. Tetapi jika ada yang memburu kita, apa boleh buat. Kita tidak mempunyai pilihan lain selain menghentikan mereka."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Apa yang harus kita tangani lebih dahulu?"
"Menyingkirkan kedua orang itu serta beberapa orang yang berada di regol."
"Kita tidak perlu membunuh mereka," berkata Ki Jayaraga, "biarlah mereka tetap hidup. Tetapi kita berhasil membawa Prastawa dan isterinya."
"Maksud Ki Jayaraga?"
"Aku kira di tempat ini tidak ada lagi orang yang berilmu tinggi yang mampu meredam taburan sirepku."
"Nah, baru sekarang Ki Jayaraga akan menebarkan sirep-sirep."
"Itu lebih baik dari pada membunuh mereka."
"Ya, aku sependapat."
"Apa yang Ki Jayaraga perlukan untuk melepaskan sirep di halaman rumah Ki Demang ini?"
"Kau Glagah Putih dan aku sendiri. Kita akan menaburkan serbuk ini kepada orang-orang yang berada disebelah pintu bilik itu serta yang berada di belakang regol."
Glagah Pntih mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi ilmu sirep Ki Jayaraga yang ini agak berbeda dengan ilmu sirep yang sering dipergunakan oleh orang lain itu."
Ki Jayaraga tersenyum. Diberikannya tabung kecil kepada Glagah Putih sambil berkata, "Usahakan serbuk yang ada didalamnya tertabur di wajah kedua orang yang berada disebelah pintu itu agar terhisap pada saat mereka bernafas. Aku akan pergi ke regol untuk menaburkan tabung yang satu lagi."
"Kita langsung pergi menemui mereka?"
"Ya. Mereka tidak akan sempat berpikir terlalu jauh asal kita mendekati mereka tanpa ragu-ragu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Baik, Ki Jayaraga. Aku akan mendekati kedua orang disebelah pintu sedang guru pergi ke regol."
"Ki Lurah akan mengurus Prastawa dan isterinya."
"Ya, Ki Jayaraga. Aku akan mengurus Prastawa."
Sejenak kemudian, dengan tanpa ragu-ragu , Glagah Putih dan Ki Jayaraga muncul dari balik sudut gandok Mereka muncul dari kegelapan langsung menuju ke sasaran masing-masing.
Kedatangan mereka memang mengejutkan. Baik kedua orang yang duduk di sebelah pintu, maupun yang berada di regol, hampir berbareng bertanya, "Siapakah kau?"
Ki Jayaraga tertawa. Katanya, "Kenapa kalian harus berpura-pura tidak tahu?"
Berbeda dengan kedua orang yang menjadi sasaran Glagah Putih, yang keduanya memang belum mengenalinya, di regol ada diantara mereka yang sudah pernah mengenal Ki Jayaraga.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, karena Ki Jayaraga melangkah tanpa ragu-ragu, justru mereka yang berada di regol itulah yang menjadi ragu-ragu.
Namun baik kedua orang yang berada di sebelah pintu bilik gandok, maupun beberapa orang yang berada di regol, tidak sempat bertanya lebih jauh. Tiba-tiba saja serbuk yang berwarna keputih-putihan telah menghambur ke wajah mereka dari dalam bumbung bambu di tangan Glagah Putih dan Ki Jayaraga.
Ternyata serbuk itu dengan cepat mempengaruhi syaraf mereka yang terkena wajahnya. Diluar sadar, mereka telah mengisap serbuk itu bersama dengan tarikan nafas mereka. Hanya beberapa saat kemudian, orang-orang itu terbaring diam. Tidur dengan nyenyaknya
Sementara itu, Agung Sedayu telah mendorong pintu bilik gandok itu, sehingga Prastawa dan isterinya terkejut sekali.
"Ki Lurah," desis Prastawa
"Aku tidak sempat menjelaskan sekarang. Marilah kita keluar dari tempat ini."
"Diluar ada orang-orang yang berjaga-jaga."
"Mereka telah tertidur nyenyak."
"Tertidur?" "Ya Ki Jayaraga telah menaburkan serbuk sirep ke hidung mereka."
"Tetapi." "Sudahlah. Kita pergi sekarang. Jangan bertanya lebih banyak lagi. Waktu kita hanya sedikit. Mereka yang terkena sirep itu akan segera terbangun."
Prastawa memang tidak sempat bertanya lebih lanjut Ki Lurahpun kemudian telah mengajak keduanya keluar dari bilik di gandok itu langsung turun ke halaman.
"Di regol ada sekelompok orang yang bertugas," desis Prastawa.
Glagah Putih yang sudah bergabung dengan merekapun berdesis, "Semuanya sudah tidur. Yang berdiri dan membuka pintu regol itu adalah "


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
"Kau?" bertanya Glagah Putih.
"Ya." "Bagaimana dengan Nyi Prastawa?"
"Biarlah anak-anak muda mengantarnya kembali ke padukuhan induk."
"Tidak kakang," sahut Nyi Prastawa, "aku akan ikut kakang ke Jati Anyar. Apapun yang akan terjadi dengan kakang Prastawa, aku akan menyertainya."
"Tetapi di Jati Anyar itu penuh dengan pasukan Pengawal Tanah Perdikan. Perang akan terjadi. Bahkan mungkin Ki Kapat Argajalulah yang akan pergi ke Jati Anyar."
"Aku tidak peduli. Aku akan menyerati kakang Prastawa. Mungkin aku justru akan membebaninya karena aku tidak memiliki kemampuan seperti mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan. Tetapi aku ingin bersama kakang Prastawa dalam segala kemungkinan."
Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga saling berpandangan sejenak. Sementara itu Prastawapun berkata, "Bukankah lebih baik bagimu untuk pergi ke padukuhan induk?"
"Tidak kakang. Jika aku berada di padukuhan induk, orang-orang Ki Kapat Argajalu dapat mengambil aku lagi dan memaksakan kehendaknya dengan mempergunakan aku sebagai taruhan. Meskipun aku sudah bertekad untuk mati sekalipun daripada jatuh ke tangan mereka kembali, namun kemungkinan itu selalu membayangi aku, sehingga aku menjadi takut sekali. Karena itu lebih baik bagiku untuk selalu bersama kakang Prastawa apapun yang terjadi."
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian Ki Lurah Agung Sedayupun berkata, "Baiklah. Jika demikian, kita akan pergi ke padukuhan Jati Anyar."
Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan padukuhan Palihan menuju ke Jati Anyar. Perjalanan yang terasa sangat lambat, karena Nyi Prastawa yang berkuda bersama Ki Prastawa tidak dapat berkuda dengan cepat karena keadaannya.
Dalam pada itu, Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak yang berada di padukuhan di hadapan Jati Anyar, menunggu, kapan pasukan Tanah Perdikan itu mulai bergerak maju. Tanah Perdikan memang sudah memberikan isyarat, bahwa mereka akan mempergunakan gelar yang melebar. Agaknya pasukan Tanah Perdikan itu ingin menjepit padukuhan di depan padukuhan Jati Anyar itu.
"Jika mereka mengusahakan untuk menjepit padukuhan ini dengan gelar yang melebar, kemudian sayap-sayapnya akan menyekap padukuhan ini, mereka akan menjadi sangat kecewa, karena yang akan mereka temukan disini adalah kehancuran," berkata Soma
"Aku justru berharap mereka datang dalam gelar seperti itu. Tentu menyenangkan sekali bertempur di pusat gelar yang melebar itu," sahut Tumpak.
"Jangan merendahkan kemampuan orang-orang Tanah Perdikan, "desis Ki Kapat Argajalu, "kita justru akan terkejut jika pasukan kita dan pasukan Tanah Perdikan mulai berbenturan."
"Mungkin. Malam sudah menjadi semakin larut, tetapi Pasukan Tanah Perdikan itu masih belum bergerak."
"Agaknya mereka sengaja membuat kita gelisah. Malam ini tidak seorangpun diantara kita yang sempat beristirahat. Esok, mereka akan mempergunakan tenaga baru sementara tenaga kita justru sudah mulai menjadi letih."
"Aku setuju, bahwa sebagian dari pasukan Pengawal serta para cantrik mendapat kesempatan untuk teristirahat. Biarlah mereka tidur. Jika ada tanda-tanda pasukan Tanah Perdikan bergerak, mereka akan dibangunkan dan harus segera menempatkan diri di tempat yang sudah ditentukan."
Dalam pada itu, di padukuhan induk kademangan Pudak Lawang, beberapa orang yang terbius serbuk yang ditaburkan oleh Glagah Putih dan Ki Jayaraga, mulai sadar. Dua orang yang berjaga-jaga di pintu bilik Prastawa di gandok, yang mempunyai daya tahan yang lebih tinggi dari anak-anak muda dan kawan-kawannya para cantrik yang bertugas di regol mulai membukakan matanya.
"Apa yang terjadi," desis seorang diantara mereka. Kawannya tiba-tiba saja meloncat bangkit sambil berkata, "Tentu ada yang tidak wajar telah terjadi."
"Ya. Kita tertidur."
Keduanya termangu-mangu sejenak. Mereka mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi di atas diri mereka.
Seseorang telah datang. Kemudian menaburkan serbuk putih.
"Racun. Kita terbius karenanya. Lalu kita tertidur." Serentak keduanya memandangi pintu bilik Prastawa. Pintu itu masih tertutup. Namun ketika seorang diantaranya menyentuh pintu itu, maka pintu itupun segera terbuka.
Jantung kedua orang yang bertugas mengawasi Prastawa itu berdesir. Dengan serta merta keduanya menghambur masuk ke dalam bilik itu.
Tidak ada yang berubah. Tetapi Prastawa dan isterinya sudah tidak ada didalam bilik itu.
"Gila. Ini permainan gila. Bagaimana dengan kawan-kawan yang berada di pintu regol?"
Keduanyapun menghambur ke pintu regol. Mereka melihat orang-orang yang berada di pintu regol itu masih menggosok mata mereka. Seorang diantara mereka menguap. Seorang masih berbaring sambil menggeliat.
"Nyenyaknya tidurku," desis orang yang menguap itu.
"Jadi kalian tertidur semua," bentak salah seorang yang bertugas didepan bilik Prastawa.
"He?" Orang-orang yang berada di regol itu baru menyadari, apa yang telah terjadi. Yang masih berbaring itupun segera meloncat bangkit sambil berkata lantang, "Ya. Kami tertidur. Apa yang telah terjadi?"
"Seseorang datang kepada kita dan menaburkan serbuk berwarna putih," berkata seseorang.
"Orang yang menaburkan serbuk itu adalah Ki Jayaraga. Seorang tua yang tinggal di rumah Ki Lurah Agung Sedayu."
"Apa?" bertanya seorang yang bertugas menjaga pintu bilik Prastawa, "orang itu tinggal bersama Agung Sedayu?"
"Ya." "Anak iblis. Dengar baik-baik," berkata orang yang bertugas menjaga pintu bilik Prastawa itu, "Prastawa hilang."
"Prastawa hilang?"
"Ya. Pada saat kalian tidur, Prastawa telah dibawa keluar pintu regol ini."
"He," orang-orang yang bertugas di regol itu terkejut. Seorang diantara mereka bertanya, "Jadi Prastawa sekarang hilang dari rumah Ki Demang ini?"
"Ya. Sementara itu kalian tidur dengan nyenyaknya."
"Lalu, kalian berdua dimana waktu itu?"
Keduanya saling berpandangan sejenak. Namun akhirnya keduanya tidak dapat ingkar lagi. Seorang diantara mereka menjawab. "Kami juga tertidur."
"Jadi kalian juga tertidur?"
"Ya." "Jadi serbuk putih itu tentu semacam serbuk yang dapat membius sehingga kita tertidur."
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Kita laporkan kepada Ki Demang. Sementara itu, kalian pergi mencari jejaknya. Pergi ke pintu-pintu gerbang bufulan atau jalan-jalan lain yang mungkin dilaluinya."
"Baik. Kami akan pergi ke gerbang kademangan."
"Jangan bergerombol. Kalian dapat saling memisahkan diri, sehingga gerak kalian menjadi semakin cepat. Kami berdua akan berbicara dengan Ki Demang."
Sejenak kemudian, beberapa orang yang baru saja tertidur di regol halaman rumah Ki Demang itupun segera berpencar. Sedang kedua orang yang bertugas di pintu bilik Prastawa di gandok, segera menemui Ki Demang. Mereka mengetuk pintu pringgitan.
Ketukan yang keras telah membangunkan Ki Demang yang tertidur nyenyak.
"Siapa?" bertanya Ki Demang. Tetapi ia sama sekali tidak merasa cemas, karena Ki Demang tahu, bahwa diluar, di halaman rumahnya terdapat beberapa orang yang bertugas. Bahkan ada diantara mereka murid-murid Ki Kapat Argajalu yang sudah dianggap memiliki kemampuan yang cukup.
"Aku Ki Demang," jawab salah seorang dari kedua orang yang bertugas menjaga bilik Prastawa dan isterinya.
Ki Demangpun kemudian pergi ke pintu pringgitan. Disadarinya, tentu ada yang penting sehingga petugas itu mengetuk pintu pringgitan.
Demikian pintu pringgitan itu terbuka, maka dilihatnya dua orang berdiri di belakang pintu.
"Ada apa?" bertanya Ki Demang.
"Ki Demang. Kita telah mendapatkan kesulitan. Bahkan sebuah malapetaka."
"Apa?" "Prastawa hilang dari biliknya."
"He," Ki Demang terkejut sekali. Namun Ki Demang masih sempat bertanya, "Bagaimana dengan isterinya?"
Salah seorang dari kedua orang yang bertugas menjaga Prastawa itupun menyahut dengan suara bergetar, "Bilik itu telah kosong."
"Jadi Prastawa dan isterinya telah melarikan diri?"
"Tidak melarikan diri, Ki Demang. Tetapi ada orang yang telah membebaskan mereka."
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi" Bukankah kalian berdua bertugas menjaga mereka?"
Kedua orang yang bertugas menjaga Prastawa itu memang tidak dapat berbohong lagi. Orang-orang yang berada di regol itu tentu juga tidak dapat berbohong. Karena itu, maka mereka telah menceriterakan apa yang telah terjadi pada diri mereka.
Wajah Ki Demang menjadi merah padam. Menilik ciri-ciri ykng disebut oleh kedua orang yang bertugas menjaga Prastawa, serta nama orang yang telah mendatangi orang-orang yang berjaga-jaga di regol. maka Ki Demang itupun berkala, "Jika demikiaan, maka orang itu tentu Glagah Putih. Orang yang disebut Ki Jayaraga itu memang tinggal bersama Glagah Putih di rumah Ki Lurah Agung Sedayu."
"Iblis itu telah membawa Prastawa dan isterinya."
"Lalu kemana orang-orang yang berjaga-jaga di regol itu?" bertanya Ki Demang.
"Aku minta mereka untuk mencoba melacak jejak Prastawa dan isterinya."
"Mereka tentu sudah keluar dari kademangan ini." Ki Demang menjadi bingung.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang, Ki Demang."
"Kita menemui Ki Kapat Argajalu. Kita akan melaporkan apa yang telah terjadi di sini."
Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi keringat dingin telah mengalir di punggungnya.
Sejenak kemudian. Ki Demang bersama kedua orang itupun telah bersiap pergi menemui Ki Kapat Argajalu. Tiga ekor kuda sudah disiapkan pula. Di gerbang paduhan induk, Ki Demang menemui para petugas yang ada di pintu gerbang. Tetapi mereka tidak melihat seorangpun keluar lewat pintu gerbang itu.
"Mereka tentu tidak akan melalui pintu gerbang ini," geram Ki Demang.
Namun semua pintu regol butulanpun masih tertutup rapat. Selaraknya masih tetap melekat di pintu regol.
Sejenak kemudian, maka Ki Demang serta dua orang yang bertugas menjaga bilik Prastawa itupun telah memacu kuda mereka menuju ke padukuhan di depan padukuhan Jati Anyar.
Dalam pada itu meskipun agak lambat, namun akhirnya Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah sampai di padukuhan Jati Anyar. Mereka segera disambut oleh Ki Gede Menoreh dan Ki Argajaya yang juga telah berada di Jati Anyar.
Nyi Prastawa tidak dapat menahan keharuannya. Air matanya telah meleleh membasahi pipinya.
Pandan Wangipun kemudian telah memeluknya sambil berkata, "Semua sudah berlalu, Adi. Kau tidak usah merasa cemas lagi. Di sini, banyak saudara-saudara kita yang akan membantu kita."
"Terima kasih mbokayu," desis Nyi Prastawa
Sementara itu Prastawapun berkata, "Aku mohon maaf kepada kakang Swandaru dan mbokayu Pandan Wangi. Ternyata hatiku sangat rapuh, sehingga hampir saja aku berkhianat terhadap kakang dan mbokayu."
"Bersyukurlah bahwa Yang Maha Agung telah memberi petunjuk kepadamu, Prastawa," sahut Pandan Wangi. Sementara Swandarupun berkata, "Belum terlambat untuk memperbaiki langkah-langkahmu selanjutnya."
"Ya, kakang. Aku sudah berjanji. Karena itu, aku sengaja langsung datang kemari. Aku akan menunjukkan kepada paman Kapat Argajalu, bahwa aku sekarang berdiri disini, Sikap ini adalah sikap yang tidak tergoyahkan lagi."
"Bagus, Kita akan bersama-sama menunjukkan, bahwa kita tetap bersikap satu."
"Ya, kakang." Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Demang Pudak Lawang serta dua orang murid Ki Kapat Argajalu yang bertugas mengawasi Prastawa telah sampai di padukuhan di hadapan padukuhan Jati Anyar itu. Mereka langsung menemui Ki Kapat Argajalu dengan sikap yang gelisah.
"Ada apa?" bertanya Ki Kapat Argajalu yang melihat mereka datang dengan tergesa-gesa.
Ki Demang Pudak Lawangpun segera menceriterakan, bahwa Prastawa dan isterinya telah hilang dari bilik tahanannya.
"Hilang" He, apakah aku tidak salah dengar?" bertanya Soma mendahului ayahnya.
"Ya. Prastawa dan isterinya sudah tidak ada di biliknya. Mereka telah hilang."
"Mereka dapat melarikan diri" Perempuan yang sedang mengandung itu juga dapat melarikan diri?"
"Ya Ketika kedua orang petugas itu sadar, bilik itu sudah kosong."
"Sadar" Kenapa dengan mereka berdua" Apakah mereka menjadi pingsan?"
"Biarlah mereka memberikan laporan langsung kepada Ki Kapat Argajalu. Apa yang telah terjadi di rumahku dan apa yang telah terjadi atas mereka.
Kedua orang yang bertugas menjaga Prastawa dan isterinya itupun dengan suara yang bergetar telah melaporkan, apa yang terjadi. Tentang seorang yang datang kepada mereka serta serbuk putih yang ditaburkan ke wajah mereka.
Terdengar gigi Ki Kapat Argajalu gemeretak oleh kemarahan yang menghentak di dadanya. Bahkan tiba-tiba saja Tumpak telah menarik kerisnya sambil berteriak, "Kalian pantas di hukum mati karena kelengahan kalian."
Namun Ki Kapat Argajalu sempat mencegahnya. Katanya justru sambil tersenyum, "Jangan biarkan perasaanmu bergejolak, Tumpak. Kita harus menerima sebagai satu kenyataan. Tanpa Prastawapun kita dapat berbuat banyak. Bahkan keberadaan Prastawa diantara kita hampir tidak ada pengaruhnya"
Ketika Tumpak hampir membuka mulutnya, Ki Kapat Argajalupun berkata, "Sudahlah. Tenangkan hatimu."
Ki Kapat Argajalu itupun kemudian berkata kepada kedua orang yang telah gagal menjalankan tugasnya Masih sambil tersenyum, "Sudahlah. Jangan risaukan kepergian Prastawa. Sudah aku katakan, pengaruhnya tidak seberapa. Sekarang kembalilah ke padukuhan induk. Tugasmu ada di sana."
"Kami mohon ampun."
"Kesalahanmu tidak seberapa besar. Sekali lagi aku katakan, jangan risau karenanya."
"Terima kasih guru. Terima kasih."
Kedua orang itupun segera meninggalkan Ki Kapat Argajalu serta kedua orang puteranya. Sementara itu, Ki Kapatpun berkata, "Sebaiknya Ki Demang tetap disini. Orang-orang yang licik itu akan dapat kembali lagi. Mereka sangat berbahaya bagi Ki Demang."
"Baiklah Ki Kapat," jawab Ki Demang.
Namun Ki Demang itu masih bertanya, "Bagaimana dengan keluargaku?"
"Jangan cemas. Bukankah masih ada beberapa orang di rumah Ki Demang. Kecuali itu, agaknya orang-orang Tanah Perdikan tidak akan mengganggu keluarga Ki Demang."
Ki Demang itu mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, kedua orang yang bertugas menjaga Prastawa itu ternyata tidak pernah sampai ke padukuhan induk. Sejak saat ia meninggalkan Ki Kapat Argajalu kembali ke padukuhan induk, keduanyapun telah lenyap seperti di telan bumi.
Dalam pada itu, Somapun kemudian berkata Ki Kapat Argajalu, "Ayah. Sebaiknya kitalah yang menyerang Jati Anyar. Kita tidak mau dipermainkan seperti ini. Dengan licik, orang-orang Tanah Perdikan memancing perhatian kita sepenuhnya, sementara itu, mereka telah mengambil Prastawa dan isterinya."
"Ya ayah," sambung Tumpak, "Bukankah kita sudah siap" Jika ayah memberikan perintah sekarang, maka sebelum matahari terbit, Jati Anyar sudah menjadi abu. Kita akan menyeret Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan orangtua yang bernama Jayaraga itu dibelakang kaki kuda. Hidup atau mati."
Ki Kapat Argajalu justru tertawa. Katanya, "Tidak. Itulah yang dikehendaki oleh Ki Gede serta orang-orangnya yang licik. Mereka membuat kita marah, agar kita tidak dapat membuat perhitungan dengan bening . Jika kita marah dan kehilangan akal, maka berhasillah mereka memperdaya kita. Bukankah kita siapkan pasukan kita untuk bertahan" Tidak untuk menyerang" Kita tidak menyiapkan peralatan yang cukup untuk menyerang dan memasuki gerbang padukuhan Jati Anyar. Kitapun tidak siap menghadapi serang senjata lontar. Anak panah, misalnya."
Soma dan tumpak mengangguk-angguk. Mereka dapat mengerti keterangan ayah mereka, sehingga mereka tidak memaksa untuk menyerang.
Dalam pada itu Ki Kapat Argajalu pun berkata selanjutnya, "Sekarang, seperti yang sudah kita rencanakan, biarlah sebagian dari orang-orang beristirahat. Setelah Ki Lurah Agung Sedayu berhasil mengambil Prastawa, maka semua kesan seakan-akan serangan itu akan dilangsungkan malam ini, tentu tidak akan nampak lagi."
Soma dan Tumpak mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah, para pengawas tidak lagi melihat kesibukan yang berlebihan di Jati Anyar. Ki Gede memang memerintahkan pasukan Tanah Perdikan untuk beristirahat kecuali mereka yang bertugas.
"Kita memang tidak akan menyerang malam ini. Juga belum esok pagi. Kita sudah mendapatkan Prastawa dan isterinya kembali. Jika kita mulai dengan pembicaraan-pembicaraan lagi dengan Ki Demang Pudak Lawang, mungkin kita akan mendapatkan kesepatan," berkata Ki Gede.
Namun Prastawapun menyahut, "Nampaknya tidak ada jalan lain kecuali kekerasan, paman. Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak nampaknya tidak dapat lagi diajak berbicara. Merekapun yang menentukan segala-galanya. Bahkan di Pudak Lawang telah berkumpul beberapa orang yang disebutnya sebagai putut-pututnya yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mereka akan dapat dengan mudah menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh."
"Biarlah kita menunggu, Prastawa. Jika kita sudah mendapat isyarat bahwa tidak ada jalan lain kecuali perang, maka kitapun akan berperang. Tetapi selagi masih ada kemungkinan, kita akan mencari jalan lain."
Prastawa menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, malampun menjadi semakin dalam. Ketika dini hari tiba maka Ki Kapat Argajalu berkata kepada kedua orang anaknya, "Tidurlah. Masih ada waktu. Menjelang fajar, aku akan membangunkan kalian."
"Licik orang-orang Tanah Perdikan," geram Soma, "ternyata mereka dengan sengaja telah mengelabui kita ayah."
"Ya. Bukankah sudah aku katakan" Mereka sengaja membuat kita marah."
"Tanpa malu-malu Ki Gede sendiri datang sore tadi untuk menipu kita. Memancing perhatian kita agar tertumpuh ke Jati Anyar, sementara itu dengan tanpa malu-malu pula mereka telah mengambil Prastawa."
"Ya. Itulah yang mereka lakukan. Sekarang kita jangan terpancing lagi. Marah dan kehilangan akal."
"Baik ayah. Besok kita akan melumatkan orang-orang Tanah Perdikan itu. Ayah benar,. Prastawa tidak mempunyai pengaruh apa-apa lagi, Kita tidak peduli terhadap orang yang tidak mempunyai sikap itu."
Tetapi Soma dan Tumpak tidak merasa perlu untuk beristirahat. Mereka justru berkeliling padukuhan melihat kesiapan orang-orangnya Sedangkan di beberapa pendapa rumah yang terbuka, yang lain, yang mendapat kesempatan untuk teristirahat, tidur dengan nyenyaknya.
Para murid Ki kapat Argajalu sudah terlanjur menganggap orang-orang Tanah Perdikan Menoreh akan dapat mereka hancurkan dalam waktu yang singkat, sehingga sebagian terbesar dari para cantrik itu tidak merasa gelisah menghadapi pertempuran yang akan terjadi. Namun ada diantara mereka yang tidak dapat segera tidur. Bukan karena mereka silau melihat lawan, tetapi justru karena kejengkelan mereka terhadap para pengawal Tanah Perdikan yang mereka anggap sangat licik.
Menjelang fajar, Ki Kapat Argajalu telah menyiapkan orang-orangnya. Anak-anak muda dari kademangan Pudak Lawangpun telah bersiap pula Menurut perhitungan mereka menjelang matahari terbit, pasukan Pengawal Tanah Perdikan akan menyerang mereka.
Para cantrik dan anak-anak muda Pudak Lawang yang juga sudah terlatih sebagaimana para pengawal Tanah Perdikan itu sudah siap di tempat mereka masing-masing. Yang bersenjata busur dan anak panah telah siap pula menahan arus serangan Pasukan Pengawal. Bahkan mereka yang telah siap dengan lembing dan bandil.
Tetapi para pengawas yang berada di belakang sebatang pohon yang memang dirobohkan menyilang jalan itu tidak melihat kegiatan apapun di padukuhan Jati Anyar. Mereka tidak melihat pasukan yang disiapkan untuk menyeberangi bulak menyerang pertahanan kademangan Pudak Lawang.
Pada saat matahari terbit, Ki Kapat Argajalu tidak dapat menahan kemarahan yang menghentak-hentak didadanya. Sejak ia mendengar Prastawa hilang, sebenarnya jantungnya sudah terasa bagaikan membara. Tetapi ia berusaha untuk menunjukkan sikapnya yang tenang dan tidak mudah goyah. Namun keuka matahari terbit dan ternyata pasukan Pengawal Tanah Perdikan tidak juga menyerang, maka kesabarannya sudah tidak tersisa lagi. Dengan lantang iapun berkata kepada Soma dan Tumpak, "bersiaplah. Kita pergi ke Jati Anyar. Aku akan bertemu dengan Ki Gede."
"Kita tidak perlu berbicara lagi," sahut Soma, "kita bawa pasukan kita. Kita serang Jati Anyar."
"Tunggu. Kita akan pergi ke Jati Anyar, sekaligus melihat pertahanan mereka."
"Baik. Kita pergi ke Jati Anyar," sahut Tumpak.
Mereka bertiga diiringi oleh beberapa orang Putut yang mereka anggap berilmu tinggi, segera pergi ke Jati Anyar dengan berkuda.
Mereka harus turun dan menyusuri parit beberapa puluh langkah ketika mereka melewati pohon yang telah ditumbangkan menyilang jalan itu.
Para pengawas dari Tanah Perdikan yang melihat beberapa orang berkuda berdatangan, segera memberikan laporan kepada Ki Gede serta para pemimpin yang lain, yang berada di Jati Anyar.
Ki Gede dan Ki Argajayapun segera pergi ke pintu gerbang untuk menerima kedatangan Ki Kapat Argajalu. Bersama mereka adalah Pandan Wangi, Swandaru dan Prastawa. Sedangkan Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan orang-orang berilmu tinggi yang lain sengaja tidak memperlihatkan diri.
"Selamat pagi, kakang," sapa Ki Gede ketika Ki Kapat Argajalu berhenti didepan pintu gerbang.
"Ki Gede," berkata Ki Kapat Argajalu tanpa menghiraukan sapa Ki Gede, "ternyata kau adalah seorang yang licik. Kau sama sekali tidak menghargai kedudukanmu. Kau dengan sengaja menipu kami untuk mengikat perhatian kami terhadap Jati Anyar. Sementara itu orang-orangmu telah menyusup masuk ke Pudak Lawang untuk mengambil Prastawa dan isterinya Itulah perbuatan seorang laki-laki yang bergelar Ki Gede Menoreh?"
"Kakang," berkata Ki Gede, "aku tidak akan menolak sebutan yang kakang berikan kepadaku dan barangkali juga kepada Argajaya. Tetapi aku masih berharap untuk dapat menyelesaikan persoalanku dengan Ki Demang Pudak Lawang tanpa harus mengorbankan anak-anak muda terbaik di Tanah Perdikan ini terbunuh di pertempuran. Tetapi aku dan Ki Demang Pudak Lawang tentu merasa kehilangan. Karena itu, beri kesempatan aku bertemu dengan Ki Demang Pudak Lawang."
Ki Kapat Argajalupun menggeram. Dengan nada tinggi iapun berkata, "Ki Gede. Kau tidak usah mencari-cari alasan untuk menghindari pertempuran. Jika kau memang menjadi ketakutan, bahwa kami akan menggilas pasukanmu, menyerah sajalah. Kami akan segera menyelesaikan persoalan yang berkecamuk di Tanah Perdikan ini. Kami akan mengusir orang Sangkal Putung itu dan menetapkan Prastawa menjadi Kepala Tanah Perdikan di Menoreh ini."
"Aku sudah mengerti semua rencanamu sekarang, uwa." sahut Prastawa, "karena itu jangan sebut lagi namaku. Aku sekarang sudah berdiri disini. Kau tidak akan dapat menggoyahkannya lagi."
"Prastawa," berkata Ki Kapat Argajalu, "jika pamanmu Ki Gede dengan licik menculikmu dari Pudak Lawang, jangan membuatmu putus asa. Kami masih tetap pada sikap kami. Mendukungmu untuk memegang jabatan tertinggi di Tanah Perdikan ini."
"Kau sudah tidak dapat berpura-pura serta memperalat aku lagi, uwa. Semuanya sudah jelas."
"Baiklah Prastawa. Aku tahu. Kau tentu berada di bawah ancaman. Karena itu aku tidak dapat memaksamu. Tetapi jangan cemas. Kami tidak akan berkhianat. Ki Demang Pudak Lawang juga tidak akan berkhianat. Pada saatnya kami akan mendudukkan kau di tempat yang seharusnya."
"Ki Kapat Argajalu," berkata Pandan Wangi kemudian, "kenapa Ki Kapat Argajalu turut mencampuri persoalan kami di Tanah Perdikan ini?"
"Aku adalah keturunan dari seseorang yang ikut cikal bakal Tanah Perdikan ini, Pandan Wangi. Aku adalah uwakmu. Jadi aku berhak ikut berbicara tentang Tanah Perdikan ini. Jika suamimu bukan anak Demang Sangkal Putung, sehingga ia akan dapat mencurahkan perhatiannya sepenuhnya kepada Tanah Perdikan ini, mungkin aku tidak akan berkeberatan untuk mendukungnya. Tetapi aku tidak rela jika tanah ini kemudian tidak akan mendapat perhatiannyaa sepenuhnya. Tanah ini akan menjadi tanah yang tidak terurus dengan baik."
"Ki Kapat Argajalu. Aku ingin memperingatkan agar Ki Kapat tidak usah mencampuri persoalan kami. Biarlah kami menyelesaikannya sendiri."
"Tidak Pandan Wangi. Ayahmu tentu sudah berceritera tentang aku dan kakang-kakangmu ini. Ayahmu tentu dapat menjelaskan bahwa aku berhak untuk ikut berbicara tentang Tanah Perdikan ini."
Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Katanya, "Tidak Ki Kapat. Ayah justru berceritera kepadaku, bahwa sejak Ki Kapat yang mengaku masih kadang sendiri di Tanah Perdikan ini, maka Tanah Perdikan ini menjadi kacau. Ki Kapat Argajalu telah menghasut kesana kemari. Menculik Prastawa setelah mengancam isterinya yang sedang mengandung dan memaksanya merengek agar Prastawa bersedia menuntut hak atas Tanah Perdikan ini. Nah, bukankah semuanya sudah jelas."
"Kau percaya ceritera itu Pandan Wangi?" bertanya Ki Kapat Argajalu.
"Tentu aku percaya, karena ayahku sendirilah yang berceritera kepadaku."
"Baiklah. Sekarang sudah tidak ada kebenaran lagi di atas Tanah Perdikan Menoreh. Jika Kepala Tanah Perdikannya sudah berbohong kepada anaknya, maka segala sesuatunya tentu sudah tidak dapat dipercaya lagi."
Jilid 355 SIKAPMU memang sangat menarik, Ki Kapat Argajalu. Seakan-akan terpercik dari kata-katamu kebenaran yang bersih dari segala cacat. Mungkin kau dapat mengelabuhi anak-anak muda Pudak Lawang. Bahkan Ki Demang Pudak Lawang. Tetapi tidak aku, Ki Kapat."
"Tentu kau akan berpegang pada kata-kata ayahmu Pandan Wangi. Tetapi itu tidak apa. Bahkan itu adalah sikap yang wajar sekali. Tetapi kau akan menyesal, bahwa Ki Demang Pudak Lawang mampu melihat tembus sehingga ia dapat menilai kebenaran yang sejati di atas Tanah Perdikan ini."
"Apapun yang kau katakan, Ki Kapat Argajalu. Sama sekali tidak akan singgah di hatiku. Aku memang mendengar kata-katamu. Tetapi aku yakini bahwa kau berbohong. Karena itu, berilah kesempatan kami bertemu dengan Ki Demang Pudak Lawang. Biarlah Ki Demang Pudak Lawang pergi ke padukuhan Jati Anyar ini. Sebaiknya kami berbicara dari hati ke ahti diantara para pemimpin di Tanah Perdikan."
"Seperti ayahmu, seperti pamanmu dan seperti Prastawa sepupumu, hatimu juga sekeras batu hitam, Pandan Wangi. Tetapi baiklah. Kita akan melihat apa yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Semua cantrik dari perguruanku, sebuah perguruan yang besar, bahkan juga para cantrik dari perguruan-perguruan sahabatku telah berkumpul di Pudak Lawang. Tanah Perdikan Menoreh akan segera di gulung oleh arus gelombang yang dahsyat. Tidak hanya Jati Anyar, tetapi sampai kepadukuhan induk."
"Ki Kapat Argajalu. Aku dan suamiku ada disini sekarang. Kamilah yang akan mempertahankan Tanah Perdikan ini bersama dengan saudara-saudara kami yang juga sudah berada disini."
"Itulah kelemahanmu Pandan Wangi. Kau sangat tergantung kepada orang-orang asing. Kepada orang Jali Anom, kepada orang Mataram, kepada orang Sangkal Putung dan kepada orang mana lagi yang semuanya sama sekali tidak berakar di bumi ini."
"Kau sendiri Ki Kapat Argajalu" Selebihnya orang-orangmu. Pengikutmu yang kau sebut para cantrik itu?"
Wajah Ki Kapat menjadi tegang. Sebelum ia menjawab Pandan Wangipun berkata lebih lanjut, "Orang-orangmu, pengikutmu yang kau sebut para cantrik itu, juga bukan orang Tanah Perdikan. Mereka adalah orang-orang yang lebih asing bagi Tanah Perdikan ini. Berbeda dengan orang Jati Anom, orang Banyu Asri dan orang Sangkal Putung itu. Mereka telah memberikan banyak sekali jasa bagi Tanah Perdikan ini. Bahkan yang kau sebut orang Sangkal Putung itu adalah suamiku yang telah memberikan seorang anak laki-laki kepadaku."
"Cukup," bentak Ki Kapat Argajalu, "sebenarnya aku masih tetap akan menganggapmu sebagai kemanakanku. Aku adalah uwakmu Pandan Wangi. Tetapi sikapmu sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang kemanakan."
"Bukan mbokayu Pandan Wangi yang tidak bersikap sebagai seorang kemanakan," sahut Prastawa, "apakah uwa Kapat Argajalu bersikap sebagai seorang uwak?"
"Cukup ayah. Sudah cukup," Somu hampir berteriak, "ayah terlalu sabar menghadapi orang-orang Tanuh Perdikan yang besar kepala. Mereka merasa diri mereka mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kita karena mereka adalah para pemimpin sebuah Tanah Perdikan yang sah dan diakui oleh Mataram, sementara kita hanya pemimpin sebuah perguruan. Tetapi setelah kita takar isinya, manakah yang lebih banyak. Sebuah Tanah Perdikan atau sebuah perguruan, barulah mereka akan menyesal."
"Kita sudah tidak perlu berbicara lagi, ayah. Persoalannya sudah jelas. Kita akan datang untuk menghancurkan Jati Anyar selagi para pemimpin Tanah Perdikan berkumpul disini, sambung Tumpak.
"Ya. Sekarang sudah jelas bagiku," sahut Ki Kapat Argajalu, "semula aku masih mempertimbangkan kkemungkinan yang lebih baik daripada perang. Karena didalam perang itu yang ada hanyalah dendam dan kebencian yang bahkan akan mengendap di hati kita untuk waktu yang sangat lama. Tetapi agaknya kesombongan orang-orang Tanah Perdikan telah menutup kemungkinan itu."
"Siapakah yang menutup kemungkinan itu," berkata Ki Gede, "jika kau beri kesempatan kami berbicara dengan Ki Demang Pudak Lawang, maka persoalannya tidak akan berkepanjangan."
"Satu tipu muslihat apa lagi yang akan kau lakukan," desis Ki Kapat Argajalu.
"Sudahlah ayah," berkata Soma, "jangan hiraukan lagi."
"Baik Ki Gede. Kami minta diri. Kamilah yang besok akan datang ke Jati Anyar untuk memusnahkan semua orang yang berada di padukuhan ini. Jika kalian memang tangguh tanggon, jangan melarikan diri dan mengungsi keluar dari padukuhan ini."
Ki Gede tidak menjawab. Dipandanginya Ki Kapat Argajalu, Soma, Tumpak dan orang-orangnya meninggalkan gerbang padukuhan Jati Anyar dengan wajah yang membayangkan kemarahan.
Sebelum mereka sampai ke sebatang pohon besar yang ditebang dan menyilang jalan, maka beberapa orang yang menyertai Ki Kapat Argajalu telah mendahuluinya. Merekapun segera berloncatan turun dari kuda-kuda mereka demikian mereka sampai ke batang pohon yang menyilang.
Ternyata mereka ingin memamerkan kekuatan tenaga mereka. Beberapa orang itupun kemudian mengangkat batang pohon yang tumbang itu dan mendorongnya menepi.
Dengan demikian, maka Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak tidak perlu turun ke parit dan berkuda menyusuri parit beberapa puluh langkah menghindari sebatang pohon yang menyilang itu. Namun demikian mereka lewat, maka beberapa orang itu telah mendorong batang pohon yang roboh itu kembali menyilang jalan.
Orang-orang yang masih berdiri di pintu gerbang padukuhan Jati Anyar melihat pameran kekuatan itu. Ki Gedepun kemudian tersenyum sambil berkata, "Luar biasa. Sayang jika mereka harus turun ke medan itu akan tampil sebagai prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak bukan saja mendapat laporan tentang keberadaan prajurit Mataram itu. Tetapi mereka telah melihat langsung pertanda dari prajurit Mataram itu. Mereka telah melihat rontek dan umbul-umbul serta kalebet yang terikat pada tunggul lambang pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu.
Ki Lurah atas persetujuan para pemimpin Tanah Perdikan sengaja menunjukkan ciri-ciri keprajuritan Mataram, agar Ki Kapat Argajalu menimbang ulang. Apakah mereka benar-benar akan memusuhi Tanah Perdikan Menoreh yang juga berarti memusuhi Mataram.
"Mudah-mudahan kehadiran prajurit Mataram dengan segala macam lambang dan ciri-cirinya akan dapat mencegah pertempuran yang akan terjadi," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
Namun rasa-rasanya para pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan, ingin agar keberadaan prajurit Mataram itu disamarkan untuk menjebak para pengikut Ki Kapat Argajalu.
"Kami masih berpikir untuk setidak-tidaknya memaksa Ki Kapat Argajalu untuk berpikir ulang. Sukur jika dengan keberadaan para prajurit Mataram dapat mencegahnya memulai peperangan," berkata Ki Lurah.
Namun ternyata bahwa Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak tidak menghiraukan lagi keberadaan prajurit Mataram di Jati Anyar. Bahkan mereka sudah memperhitungkan, bahwa pasukan Mataram itu tentu akan dibawa oleh Agung Sedayu. Yang tidak mereka duga adalah, bahwa para prajurit Mataram itu hadir sebagai prajurit dari Padukan Khusus dan segala macam pertanda dan ciri-cirinya.
"Ki Lurah mencoba menakut-nakuti kita ayah," berkata Soma.
"Ya," Ki Kapat Argajalu mengangguk. Namun sebenarnyalah bahwa Ki Kapat Argajalu harus benar-benar mempersiapkan diri menghadapi keberadaan prajurit dari Pasukan Khusus di Jati Anyar itu.
Namun Soma dan Tumpak berkeras, mereka akan menyerang Jati Anyar esok pagi.
"Persiapan kita akan berbeda," berkata Ki Kapat Argajalu.
"Ya. Kita siapkan sekelompok cantrik dengan senjata pedang dan perisai. Mereka akan menjadi ujung dari serangan kita. Mereka langsung menghadapi seragan anak-panah dan lembing."
"Bagaimana pun juga, kita akan sampai pada satu garis serangan yang berat menjelang dinding padukuhan Jati Anyar," berkata Ki Kapat Argajalu, "karena itu, segala macam persiapan harus mendapat perhatian dengan saksama. Tidak boleh ada peralatan yang kurang justru setelah terjadi pertempuran."
Sebenarnyalah Soma dan Tumpak mempunyai kesempatan cukup untuk mempersiapkan diri. Pasukan Ki Kapat Argajalu tidak lagi mempersiapkan diri mereka untuk mempertahankan padukuhan mereka, tetapi mereka justru akan menyerang padukuhan Jati Anyar.
Dalam pada itu, Soma dan Tumpak telah mempersiapkan pasukan mereka dalam tiga kesatuan. Mereka akan datang bersama-sama, yang akan merupakan bayangan sebuah gelar. Namun demikian mereka mendekati padukuhan Jati Anyar, maka mereka akan terpecah menjadi tiga. Satu kesatuan yang disebut pasukan induk akan menyerang dari arah depan, menghadap langsung pintu gerbang padukuhan Jati Anyar. Satu kesatuan akan menjadi sayap kiri, yang akan melingkar dan menyerang lambung kiri padukuhan Jati Anyar, sedang satu lagi akan menyerang dari lambung kanan.
Beberapa orang Putut telah dipercaya untuk memimpin kesatuan-kesatuan itu. Sedangkan Ki Kapat Argajalu, Soma, Tumpak dan putut-putut terpulih akan berada di pasukan induk.
"Kita akan menghadapi beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan ini. Karena itu, kita akan mengerahkan semua kekuatan yang ada pada kita, meskipun mungkin itu tidak perlu. Tetapi kita tidak mau terkecoh lagi oleh kelicikan orang-orang Tanah Perdikan. Lebih baik kita membanjiri mereka seperti prahara untuk menenggelamkan dan membenamkan mereka kedalam lumpur dari pada kita harus mengulanginya lagi esok pagi. Dengan kekuatan penuh, hari ini, sebelum matahari menjadi merah disisi Barat langit, Jati Anyar harus sudah kita lumatkan," berkata Ki Kapat Argajalu.
Tiga orang putut bersaudara, yang disegani oleh kawan-kawannya, akan menyertai Soma dan Tumpak. Sedangkan dua orang putut kembar, akan menyertai Ki Kapat Argajalu.
Pahing tua dan Pahing enom adalah dua raksasa kembar yang memiliki ilmu yang tinggi. Tubuh mereka yang tinggi dan besar itu melampaui kewajaran rata-rata laki-laki di Tanah Perdikan. Sedangkan tiga orang bersaudara yang akan menyertai Soma dan Tumpak adalah putut yang memiliki kelebihan dari beberapa orang kawannya. Mereka memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Dalam pertempuran, mereka selalu bekerja sama, menggilas lawan-lawan mereka.
Pendekar Sakti Suling Pualam 9 Pendekar Penyebar Maut Lanjutan Darah Pendekar Karya Sriwidjono Pendekar Pemanah Rajawali 39
^