Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 4

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 4


"Penilaianmulah yang tidak jujur."
"Aku akan berkata jujur, kakang. Bukankah sejak semula aku berkata sesuai dengan nuraniku" Kaulah yang berhak memegang Kekuasaan di Tanah Perdikan ini. Kau harus memperjuangkannya dengan cara apapun juga, Uwa Kapat Argajalu sudah berjanji untuk mendukungmu. Tidak sekedar dengan kata-kata. Tetapi seperti yang dikatakannya, ia akan membantu dengan kekuatan. Uwa Kapat Argajalu adalah seorang pemimpin padepokan yang mempunyai banyak sekali murid. Iapun seorang yang berilmu tinggi sebagaimana pernah kau katakan kepadaku. Nah, apalagi. Sedangkan kademangan, Pudak Lawang, kademangan yang menurut kakang adalah kademangan terkuat di Tanah Perdikan ini sudah menyatakan dukungannya kepadamu. Nah, apalagi."
"Bukankah yang kau katakan itu sama sekali bukan pandangan jauhmu atas kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan ini" Tetapi yang kau katakan itu adalah pamrih pribadimu. Jika aku dapat menggenggam jabatan itu, maka kau akan menjadi perempuan yang paling terhormat di Tanah Perdikan ini?"
Isterinya mencibirnya bibirkan. Katanya, "Apakah seseorang itu tidak dibenarkan mempunyai penggayuh " Kau jangan menjadi laki-laki cengeng kakang. Kau harus menjadi seorang laki-laki yang berhati kokoh. Bercita-cita tinggi. Bukan saja bagi dirimu sendiri, tetapi juga bagi bumimu. Tanah Perdikan ini."
Prastawa menggeleng. Katanya, "Aku tidak dapat melakukannya. Aku mempunyai pengalaman yang dapat mengajari aku untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Ayah pernah melakukannya. Aku juga pernah. Peristiwa itu tergores di jantungku. Luka itu tidak akan pernah sembuh."
"Apakah kau benar-benar seorang laki-laki cengeng" Ketika aku memilih kau sebagai suamiku dengan berbagai macam rintangan, aku menganggapmu sebagai seorang laki-laki yang kokoh. Aku bermimpi bersuamikan pahlawan. Tetapi sekarang ternyata sifat-sifat yang pernah aku lihat ada padamu itu telah menjadi rapuh. Justru pada saat anakmu baru akan lahir. Aku tidak dapat membayangkan, apa yang akau terjadi. Dengan dirimu dalam usiamu yang menjadi semakin tua. Kau akan menjadi laki-laki yang terbuang."
Prastawa menggeretakkan giginya. Ia memang tidak dapat melupakan pengalaman pahit yang pernah dialami oleh ayahnya dan oleh dirinya sediri. Prastawa tidak dapat mengingkari kekuatan yang tersimpan di dalam diri pamannya. Pengaruhnya, wibawanya dan kemampuannya mengendalikan pemerintahan di Tanah Perdikan Menoreh. Iapun tidak dapat mengingkari kekuatan, kemampuan dan tataran ilmu yang tinggi pada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Prastawa menengadahkan wajahnya.
"Tetapi segala sesuatunya terserah kepada kakang. Aku hanyalah seorang perempuan. Seorang perempuan yang berbeda dengan mbokayu Pandan Wangi, mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan. Mereka memiliki kemampuan olah kanuragan yang jika perlu dapat mereka pergunakan untuk memaksakan kehendak mereka. Tetapi aku tidak. Aku tidak lebih dari seorang perempuan yang swarga nunut, neraka katut."
Prastawa tidak menjawab. Ada semacam benturan-benturan yang keras yang terjadi didalam dadanya. Rasa-rasanya Prastawa itu berdiri di jalan simpang yang tidak diketahuinya arah dan ujungnya.
"Apakah aku masih harus mengulangi kesalahan yang pernah di lakukan oleh ayah dan aku lakukan sendiri?"
Prastawa itupun kemudian duduk termenung di serambi. Istrinyalah yang kemudian bangkit berdiri dan meninggalkannya termangu-mangu.
Bagaimanapun juga Prastawa itu sangat mencintai isterinya. Ayahnya pernah merasa bimbang untuk menerima perempuan itu sebagai menantunya, sehingga pernikahan Prastawa tertunda-tunda. Namun akhirnya perempuan itu menjadi isterinya juga. Bahkan mereka sedang menunggu anak mereka yang akan lahir.
"Apakah aku harus memenuhi harapan isteriku?" Pertanyaan itu mulai bergejolak didalam hatinya.
Dalam pada itu, waktupun begerak terus. Menjelang senja Prastawapun pergi ke pakiwan. Seperti yang dikatakan ayahnya maka lewat senja Prastawa telah berada di rumah ayahnya.
Sementara itu, Ki Argajaya juga sudah siap. Karena itu, demikian Prastawa datang, maka keduanyapun segera berangkat.
"Dimana uwa Kapat Argajalu, kakang Soma dan kakang Tumpak, ayah?" bertanya Prastawa demikian mereka turun ke jalan.
"Ada di gandok," jawab ayahnya.
"Ayah tidak memberitahukan kepada mereka, bahwa ayah akan pergi menemui paman Argapati."
"Tidak." "Apakah mereka tahu, bahwa ayah akan pergi menemui paman?"
"Tidak. Tidak ada gunanya aku memberitahukan kepada mereka. Aku tidak menaruh hormat lagi kepada mereka, sebagaimana saat mereka datang."
"Kenapa " Bukankah mereka tamu kita."
"Ya. Tetapi tamu yang tidak tahu diri."
"Kenapa ayah merasa tidak senang atas keberadaan mereka disini?"
"Kau tentu dapat menjawabnya sendiri. Aku bukan saja tidak senang. Tetapi aku sudah muak. Apakah kau tidak merasakannya?"
Prastawa tidak segera menjawab. Terngiang kata-kata isterinya, bahwa ia adalah seorang laki-laki cengeng yang sudah rapuh. Yang tidak lagi mempunyai gegayuhan.
"Prastawa," berkata ayahnya, "aku sudah mendengar apa saja yang kau lakukan bersama Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki". Apakah kau masih belum jera mengalami peristiwa-peristiwa yang bagaikan mimpi buruk itu " Untunglah bahwa aku dengan kesalahanku dan kau dengan kesalahanmu, telah dimaafkan sehingga sampai saat ini, kita masih sempat menikmati segarnya udara di bumi ini ?"
Prastawa masih tetap diam. Tetapi didadanya telah terjadi gejolak yang riuh.
Beberapa saat mereka berdua saling berdiam diri. Keduanya hanyut didalam angan-angan mereka masing-masing. Sementara itu kaki mereka masih saja melangkah menyusuri jalan utama di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa saat kemudian, keduanya telah memasuki regol halaman rumah Ki Gede Menoreh. Rasa-rasanya Prastawa sudah terlalu lama tidak memasuki halaman rumah itu.
Demikian keduanya naik tangga pendapa, maka Ki Argapati yang telah diberitahu akan kedatangan mereka, telah keluar dari pintu pringgitan sambil mempersilahkan keduanya.
"Marilah, duduklah dipringgitan," berkata Ki Argapati.
Ki Argajayapun telah mengajak anaknya langsung duduk di pringgitan, sementara Ki Argapatipun telah menemui mereka pula.
Prastawa yang duduk di sebelah ayahnya menundukkan kepalanya, sementara Ki Gede bertanya, "Darimana saja kalian berdua?"
Ki Argajayalah yang menjawab, "Dari rumah, kakang. Aku sengaja mengajak Prastawa memenuhi panggilan kakang Argapati malam ini."
"Terima kasih atas kesediaan kalian berdua," berkata Ki Gede kemudian sambil tersenyum berkata, "Apakah kakang Kapat Argajalu masih berada di rumahmu ?"
"Masih kakang. Aku tidak tahu, sampai kapan mereka akan tinggal di rumahku."
"Aku hargai keinginannya untuk menyambung persaudaraan kita dengan mereka yang sudah hampir terputus."
"Ya, kakang. Itulah sebabnya aku masih tetap membiarkannya tinggal di rumah kami."
Prastawa masih saja menunduk. Tetapi jantungnya berdetak semakin cepat. Ia sudah menduga arah pembicaraan paman dan ayah itu.
Namun pembicaraan mereka yang baru mulai itu terhenti. Seorang pembantu di rumah Ki Gede menghidangkan minuman hangat serta beberapa potong makanan.
"Marilah. Minumlah. Mumpung masih hangat."
"Terima kasih, kakang."
Ki Argapati dan Ki Argajayapun mengangkat mangkuknya. Tetapi masih saja duduk sambil menunduk.
"Minumlah Prastawa. Seperti biasanya. Kenapa kau tiba-tiba saja berubah?"
Prastawa menjadi gagap. Katanya, "Terima kasih, paman." Prastawapun meraih mangkuknya pula. Sebagaimana Ki Argapati dan Ki Argajaya, Prastawapun minum-minuman hangatnya seteguk.
Setelah mereka meletakkan mangkuk mereka dan kemudian dipersilahkan makan sepotong makanan, maka Ki Argapatipun berkata, "Adi Argajaya. Kedatangan kakang Kapat Argajalu telah menimbulkan beberapa gejolak di permukaan. Mudah-mudahan hanya di permukaan saja."
"Ya, kakang. Kita memang harus membicarakannya sampai tuntas agar tidak menimbulkan gejolak dimasa datang."
"Prastawa," suara Ki Gede menjadi berat, "baiklah kita bicara dengan terbuka. Apa sebenarnya yang telah terjadi padamu. Hubunganmu dengan uwakmu Kapat Argajalu. Apapula yang diinginkan dan bagaimana tanggapanmu."
Prastawa menjadi semakin menunduk. Sementara itu ayahnyapun berkata, "Tidak ada yang perlu disembunyikan, Prastawa. Aku adalah ayahmu. Sedangkan kakang Argapati adalah pamanmu yang memberikan banyak sekali wewenang atas dasar kepercayaannya kepadamu."
Prastawa tidak segera menjawab. Tetapi wajahnya yang tunduk menjadi semakin tunduk.
"Prastawa," berkata Ki Argapati, "aku tidak berniat mengadilimu. Tetapi aku justru ingin menolongmu."
Prastawa mengangkat wajahnya sejenak. Namun wajah itupun menunduk lagi. Sementara pamannya berkata, "Karena itu, kau harus berterus terang. Dengan demikian, kami, maksudku aku dan ayahmu, tahu apa sebenarnya yang telah terjadi padamu setelah uwakmu Kapat Argajalu datang ke Tanah Perdikan ini."
Prastawa tidak segera menjawab. Terasa dadanya menjadi sesak. Nafasnyapun tersendat pula.
"Berkatalah sesuatu Prastawa. Jika kau sudah mengucapkan satu patah kata saja maka yang lainpun akan segera mengalir."
"Aku mohon ampun paman," berkata Prastawa kemudian, "aku terlalu banyak mendengar ceritera, petunjuk dan mungkin juga bujukan, sehingga aku menjadi sangat bingung."
"Apa yang dikatakannya?"
"Paman. Uwa Kapat Argajalu mendorong agar aku menyampaikan kepada paman, bahwa aku adalah salah seorang yang berhak mewarisi kedudukan paman di Tanah Perdikan ini."
"Kau telan juga bujukan iblis itu Prastawa ?" geram Ki Argajaya.
"Nanti dulu, Argajaya. Biarlah Prastawa berbicara lebih banyak," berkata Ki Gede dengan serta merta.
"Aku menjadi sangat bingung. Uwa Kapat Argajalu telah membubui bujukannya dengan berbagai macam mimpi-mimpi indah di kemudian hari."
"Apa saja yang dikatakannya ?"
"Paman," kata-taka Prastawa menjadi lebih lancar, "menurut uwa Kapat Argajalu, tidak sebaiknya kakang Swandaru memerintah Tanah Perdikan ini atas nama mbokayu Pandan Wangi, karena kakang Swandaru sudah mempunyai tanggung jawab sendiri di kademangan Sangkal Putung. Sebuah kademangan yang besar dan mempunyai kedudukan penting di antara Mataram dan Pajang."
Ki Argapati mengangguk-angguk.
Sementara itu, Prastawapun melanjutkan, "Karena itu, maka jika bukan mbokayu Pandan Wangi, akulah yang mempunyai hak untuk mewarisi Tanah Perdikan ini."
"Itukah yang ditiupkan ketelingamu sehingga kau menjadi bingung. Prastawa?" bertanya Ki Gede. Suaranya masih saja tetap lunak. Wajahnya tidak berubah dan tidak nampak kegelisahan pada sikapnya.
Karena itu, maka Prastawa menjadi lebih berani berbicara dengan terbuka.
"Namun jika kakang Swandaru seorang yang tamak serta tidak merelakan kedudukan pemimpin Tanah Perdikan ini kepadaku dengan baik-baik, maka aku telah mempersiapkan kekuatan yang akan dapat aku pergunakan untuk menguasai Tanah Perdikan ini dengan paksa."
"Karena itukah maka telah terjadi kejanggalan-kejanggalan di kademangan Pudak Lawang?"
Prastawa mengangguk sambil menjawab perlahan, "Ya, paman. Aku telah membuat sekat antara kademangan Pudak Lawang dengan kademangan-kademangan lain."
Ki Gede mengangguk-angguk. Suaranya masih tetap tidak berubah ketika Ki Gede itu berkata, "Kau sadari bahwa perbuatanmu itu keliru, Prastawa?"
"Ya, paman. Aku telah membuat kesalahan yang besar sekali."
"Jika kau sadari, bahwa kau telah melakukan kesalahan, lalu apakah yang akan kau lakukan kemudian?"
Prastawa tidak segera menyahut. Terasa dadanya menjadi semakin sesak. Bahkan kemudian matanya menjadi basah.
"Prastawa," berkata ayahnya kemudian, "kau mengerti Prastawa, bahwa aku pernah berkianat. Kaupun pernah melakukan kesalahan pula. Tetapi kita sudah mendapatkan pengampunan. Bahkan kita sudah mendapatkan kepercayaan Ki Gede kembali. Kita sudah mendapatkan banyak wewenang dalam pemerintahan ini. Karena itu, Prastawa, aku minta kau dapat berpikir panjang. Aku tidak ingin orang-orang Tanah Perdikan ini menyebutmu seorang pengkhianat karena kau anak seorang pengkhianat pula. Hatiku akan merasa lebih sakit jika ada orang yang menyebutku, bahwa aku telah mewariskan dosaku terhadap Tanah Perdikan ini kepadamu. Kepada anakku laki-laki, sehingga anakku telah melakukan dosa sebagaimana pernah aku lakukan pula."
"Aku minta maaf, ayah. Aku telah menyadari betapa bodohnya aku."
"Sudahlah Prastawa. Jika kau sudah menyadari dan berusaha menempuh jalan kembali, maka persoalanmu sudah selesai. Kau belum berbuat apa-apa yang dapat disebut sebagai satu kesalahan terhadap Tanah ini, meskipun tanda-tandanya sudah nampak. Kardena itu, jangan bertemu dan berbicara lagi dengan uwakmu Kapat Argajalu serta kedua anaknya. Kau harus menghindari mereka dengan cara apapun juga," berkata Ki Argapati.
"Ya, paman." "Jika uwakmu datang mengunjungimu, katakan bahwa kau sedang sakit atau sedang apa saja, sehingga kau tidak dapat menemuinya. Atau bahkan lebih baik, juka kau berada disini atau di rumah ayahmu," berkala Ki Gede kemudian.
"Ya paman." "Nah, Prastawa. Sekarang aku sudah tahu, apa yang sebenarnya terjadi atas dirimu. Apa saja yang sedang kau pikirkan, dan siapa saja yang telah membuatmu menjadi-bingung. Karena itu, maka biarlah kami membantumu, mengatasi gejolak yang telah terjadi di dalam dirimu."
Prastawa itupun mengangguk dalam-dalam sambil berkata, "Terima kasih, paman. Tetapi masih ada satu hal lagi yang perlu aku beritahukan. Meskipun agak sulit bagiku untuk mengatakannya. Namun untuk melindungi nyawa seseorang aku perlu mengatakannya."
"Katakan Prastawa."
"Paman. Uwa Kapat Argajalu juga berbicara tentang mbokayu Pandan Wangi."
"Apa katanya?" "Uwa Kapat Argajalu menyalahkan aku, kenapa aku tidak menikah dengan mbokayu Pandan Wangi."
Ki Argajayapun menggeram, "Ternyata orang itu sudah gila."
"Apa jawabmu?" "Bukankah itu tidak mungkin, karena mbokayu Pandan Wangi lelah menjadi isteri kakang Swandaru."
"Ya." "Ternyata uwa Kapat Argajalu mempunyai pikiran buruk. Jika mbokayu Pandan Wangi dan anak laki-lakinya disingkirkan, maka aku adalah satu-satunya pewaris jabatan Kepala Tanah Perdikan di Menoreh ini."
Wajah Ki Gede Menoreh tidak lagi nampak tenang dan teduh. Nampak gejolak di tatapan matanya. Namun suaranya masih tidak berubah, "Terima kasih atas keteranganmu, Prastawa. Dengan demikian aku dapat memberinya peringatan agar Pandan Wangi tidak terjebak oleh rencana jahat Kapat Argajalu."
"Ya, paman. Aku mohon mbokayu Pandan Wangi diberi peringatan secepatnya."
"Baik. Besok akan ada orang yang pergi ke Sangkal Putung."
"Semakin cepat semakin baik, paman."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya. Semakin cepat semakin baik. Tetapi mbokayu Pandan Wangi bukan perempuan kebanyakan. Ia juga mempunyai bekal untuk melindungi dirinya sendiri. Meskipun demikian ia harus mengetahui bahwa ada kemungkinan orang-orang jahat akan merunduknya seperti seekor harimau merunduk mangsanya."
"Ya, paman." "Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, Prastawa." Demikianlah, maka sejenak kemudian maka Ki Argajaya dan Prastawapun telah minta diri.
Ki Argapati masih memberinya beberapa pesan, sebelum keduanya kemudian bangkit dan turun ke halaman.
Menjelang tengah malam Ki Argajaya dan Prastawa meninggalkan regol halaman rumah Ki Argapati.
Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di rumah Ki Argajaya. Kepada Prastawa Ki Argajayapun berkata, "Kau tidak usah masuk ke halaman rumahku. Jika uwakmu tahu kita pulang, ia akan keluar dari biliknya. Ia akan dapat bertanya tentang banyak hal dan berbicara tentang macam-macam persoalan."
"Baik ayah." "Pulanglah lewat jalan meskipun melingkar."
Prastawa tidak singgah di rumah ayahnya. Iapun tidak pulang lewat halaman dan kebun belakang rumahnya. Tetapi Prastawa berjalan melingkar untuk menghindari uwaknya serta kedua orang anaknya.
Ketika Ki Argajaya kemudian memasuki longkangan dan mengetuk pintu disudut belakang, maka seorang pembantu di rumahnya segera bangun. Dibukanya pintu butulan yang menghadap ke longkangannya.
Ki Argajaya merasa bersyukur, bahwa Ki Kapat Argajalu tidak terbangun dan keluar dari biliknya untuk menemuinya.
Sementara itu, Prastawa yang berjalan melingkar telah sampai di rumahnya. Seperti biasanya juga ia pulang malam, ia mengetuk dinding biliknya dari longkangan di belakang seketeng.
Seperti biasanya isterinyalah yang membuka pintu samping. Sambil mengusap keringatnya di kening, isterinya itupun bertanya. "Sampai malam, kakang."
"Ya. Banyak hal yang aku bicarakan dengan paman Argapati."
"Tentang apa saja?"
"Macam-macam," jawab Prastawa
Keduanyapun kemudian duduk di ruang tengah. Sekali-sekali isterinya masih saja mengusap keringatnya yang mengembun di kening.
"Panasnya udara, kakang," desis isternya sambil mengusap keringatnya. Bahkan juga di leher dan punggungnya.
Prastawa merasa heran. Menurut pendapatnya malam itu terasa dingin. Angin malam yang basah bertiup dari arah laut.
"Mungkin karena aku baru saja berada di udara terbuka," berkata Prastawa di dalam hatinya.
"Sementara itu, isterinyapun bertanya, "Apakah hasil pembicaraan kakang dengan paman Argapati" Apakah kakang sudah menceritakan kepada paman, bahwa kakang berhak atas Tanah Perdikan ini?"
Prastawa memandangi isterinya dengan sorot mata yang tajam, seakan-akan langsung menusuk ke ulu hatinya. Kemudian dengan nada lirih Prastawa itupun berkata, "Tidak, nyi. Aku tidak dapat menuntut apa-apa. Selama ini paman telah berbuat sangat baik kepadaku dan kepada ayahku. Meskipun ayahku pernah berkhianat tetapi ayahku tidak pernah dihukum"
Isterinya memandang Prastawa dengan pandangan yang aneh. Dengan nada berat isterinya itupun bertanya, "Jadi kakang tidak menceritakan kepada paman Argapati, bahwa kakang menuntut hak atas Tanah ini."
"Aku belum gila, nyi."
Wajah isterinya tiba-tiba saja menjadi pucat. Dengan suara bergetar iapun berkata, "Kakang. Ampuni aku."
Prastawa memandang wajah isterinya yang pucat yang basah oleh keringat dan bahkan kemudian oleh air mata.
"Nyi. Maaf bahwa aku telah mengecewakanmu. Tetapi tentu ini yang kau inginkan pada saat kita menikah" Menurut pendapatku, kau bukan seorang yang tamak, yang selalu menginginkan derajad, pangkat dan semat tanpa batas. Bukan seorang yang selalu berusaha untuk mendapatkan lebih banyak dari yang sudah dimilikinya. Bukankah kau dapat mensukuri kurnia yang telah kita nikmati sekarang ini?"
Isterinya tidak menjawab. Tetapi tangisnyalah yang bagaikan meledak.
"Katakan, Nyi. Katakan. Apa yang bergejolak di dalam hatimu.?"
Tetapi isterinya tidak menjawab. Isaknya sajalah yang semakin menyesakkan dadanya.
Prastawa memang menjadi bingung. Ia tidak mengerti, apa yang sebenarnya bergetar di dalam dadanya.
Namun tiba-tiba saja terdengar suara, "Ia sudah mengatakan, apa yang diinginkannya, ngger."
Prastawa berpaling. Ia terkejut ketika ia melihat Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak keluar dari dalam biliknya.
"Uwa," desis Prastawa.
"Ya, ngger. Seperti pamanmu, aku juga ingin berbicara denganmu sampai tuntas malam ini."
Jantung Prastawa berdebar semakin cepat. Namun dengan nada datar iapun berkata, "Tidak ada yang harus kita bicarakan malam ini uwa. Aku letih sekali. Aku ingin tidur."
"Tidak. Kita akan berbicara. Aku sudah terlalu lama berada disini. Selama ini aku berusaha meyakinkanmu, agar kamu segera mengambil langkah-langkah yang pasti untuk menuju kejenjang yang paling tinggi di Tanah Perdikan ini. Tetapi kau masih saja ragu-ragu. Bahkan ketika isterimu minta kau melakukannya, kau sama sekali tidak memperlihatkannya. Padahal kau tahu, bahwa isterimu sedang menunggu anakmu yang akan lahir."
Wajah Prastawa menjadi tegang. Sementara itu dengan suara yang sendat, disela-sela isaknya isterinya berkata, "Kakang. Aku minta maaf. Bukan aku yang sebenarnya ingin memaksamu menuntut hak itu. Aku telah diajari oleh uwa Kapat Argajalu untuk melakukannya. Bahkan dibawah ancaman. Jika kau menolak, anakku tidak akan pernah lahir hidup."
"Uwa Kapat Argajalu," geram Prastawa.
Ki Kapat Argajalu tertawa. Katanya, "Sebaiknya kau tidak ragu-ragu, Prastawa. Kau sudah mulai. Ki Demang di Pudak Lawang itu sudah berjanji untuk mendukungmu. Bukankah ia sahabatmu " Karena itu, kau jangan ingkar. Setelah Ki Demang Pudak Lawang mempersiapkan diri, maka kau akan mengkhianatinya. Kau akan mengurungkan niatmu untuk menuntut hakmu itu. Bukankah dengan demikian berarti kau telah menjerumuskan Ki Demang Pudak Lawang kedalam kesulitan ?"
Wajah Prastawa menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia menjawab, "Tidak akan ada masalah yang timbul dengan Ki Demang di Pudak Lawang. Aku telah mengatakan segala sesuatunya kepada paman Argapati. Paman telah berjanji tidak akan mengambil tindakan apa-apa. Persoalannya sudah dianggap selesai."
"Begitu mudahnya kau mengatakan bahwa persoalannya sudah selesai. Sementara itu, aku sudah mengarahkan murid-muridku ke Pudak Lawang. Para Cantrik dibawah pimpinan beberapa Putut yang berilmu tinggi sudah siap untuk menggulung seluruh Tanah Perdikan ini. Bahkan Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itupun tidak akan mampu berbuat apa-apa. Segala sesuatunya sudah siap."
"Kau kira Mataram akan diam saja jika kau berani melawan Pasukan Khususnya yang ada disini?"
"Mataram tidak akan bertindak apa-apa. Jika Tanah Perdikan yang baru tetap setia kepada Mataram, maka bagi mataram tidak ada masalah, siapapun yang akan jadi Kepala Tanah Perdikan."
"Tetapi perlawanan terhadap Pasukan Khususnya itu?"
"Hal itu dapat dijelaskan. Kau dapat dengan segera menghadap Ki Patih Mandaraka untuk melaporkan perkembangan terakhir di Tanah Perdikan ini. Kau dapat berjanji kepada Ki Patih, bahwa kau akan tetap mengabdi kepada Mataram. Pemberontakan yang kau lakukan terhadap pamanmu, dapat saja kau ulas dengan segala macam cara. Bahkan kau dapat mengatakan, bahwa pamanmu justru berniat memisahkan diri dari Mataram dengan mendapat dukungan Agung Sedayu dan pasukannya yang berkhianat."
Tetapi Prastawa menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku tidak akan memberontak."
"Jika demikian, bukan saja anakmu yang tidak akan pernah lahir ludup. Tetapi kau juga akan kehilangan isterimu. Aku akan membawanya dan melemparkannya kepada orang-orangku yang sekarang sudah berada di Pudak Lawang."
"Gila. Itu perbuatan biadab yang tidak pantas dilakukan oleh mahluk yang bernama manusia."
Terdengar Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak itu tertawa serentak. Suara tertawanya melengking tinggi, seperti suara tertawa iblis yang melihat korbannya tersuruk ke dalam dosa.
"Angger Prastawa," berkata Ki Kapat Argajalu, "karena itu, jangan mencoba mengkhianati aku dan kedua orang kakakmu. Kami mempunyai harga diri yang tinggi, sehingga jika kau akan mengkhianati kami, taruhannya adalah nyawa. Kami tidak berkeberatan berbuat apa saja untuk mempertahankan harga diri kami. Termasuk membawa isterimu pergi."
"Uwa tidak akan dapat melakukannya selama aku masih mampu melawan kehendak uwa Kapat."
"Kekuatan apa yang akan dapat kau pergunakan untuk melawan aku" Jangankan bertiga. Terhadap salah seorang kakakmu saja kau tidak mampu melakukannya. Sementara itu kau tahu, seberapa tinggi ilmuku dan ilmu kakakmu. Agung Sedayu dan Glagah Putih akan segera berlutut jika mereka sempat menyaksikan ilmuku itu."
Prastawa menggeram. Sementara itu isterinya telah beringsut mendekatinya. Sambil berpegangan lengan Prastawa, isterinya berkata, "Kakang. Aku takut."
Prastawa menggeram pula. Tetapi ia menyadari, bahwa ia tidak akan mampu melawan Ki Kapat Argajalu. Apalagi bersama anaknya.
"Prastawa," berkata Ki Kapat Argajalu kemudian, "marilah kita pergi ke kademangan Pudak Lawang. Disana segala sesuatunya sudah disiapkan. Kau tinggal memberi aba-aba saja. Sementara itu segala sesuatunya sudah akan bergerak sendiri."
Prastawa masih saja berdiam diri. Sementara Ki Kapat itupun berkata, "Ingat Prastawa. Isterimu akan menjadi taruhan."
"Biarlah isteriku dan bakal anaknya yang akan lahir itu pergi. Jika paman mau membunuhku, bunuh aku."
Ki Kapat dan kedua anaknya tertawa pula. Dengan nada tinggi Ki Kapat itu berkata, "Jangan macam-macam Prastawa. Taruhannya adalah isterimu. Jika aku membiarkannya pergi, maka kau akan berkhianat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ayahmu. Bedanya, jika ayahmu berkhianat terhadap kakaknya, maka kau akan berkhianat kepada uwakmu."
Jantung Prastawa bagaikan terbakar. Tetapi Prastawa tidak sempat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat mengorbankan istrinya untuk dilemparkan ke sarang serigala.
"Nah, Prastawa. Kau tidak mempunyai pilihan. Kita akan pergi ke kademangan Pudak Lawang."
"Baiklah, uwa. Besok kita akan pergi ke kademangan Pudak Lawang."
"Tidak besok, ngger. Tetapi sekarang."
"Sekarang" Malam ini?"
"Ya. Malam ini."
Prastawa menarik nafas panjang. Kemudian iapun berkata kepada isterinya, "Baik-baiklah di rumah Nyi. Aku tentu akan segera kembali."
"Kau tidak usah memberikan pesan apa-apa kepada isterimu, karena isterimu akan ikut bersama kita."
"Isteriku harus ikut malam ini?"
"Ya." "Tidak mungkin uwa. Isteriku sedang mengandung tua. Apakah ia dapat berjalan di malam buta ini menyusuri jalan-jalan setapak di lereng pegunungan?"
"Isterimu harus mencoba. Jika ia gagal, maka ia akan kita tinggalkan di tengah-tengah hutan. Mungkin ada harimau tua yang lapar, karena sudah tidak mampu lagi memburu kijang."
"Iblis kau uwa Kapat."
"Sekarang kau sebut aku iblis. Tetapi besok kalau kau sudah menjadi Kepala di Tanah Perdikan, kau akan berlutut di hadapanku sambil mengucapkan seribu terimakasih tanpa henti-hentinya."
Terdengar gigi Prastawa gemeretak. Tetapi setiap kali ia memandang Ki Kapat Argajalu serta kedua orang anaknya, maka Prastawa harus menerima kenyataan bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Betapa penyesalan mencekam jantungnya. Tetapi Prastawa tidak dapat memutar waktu kembali ke masa sebelumnya. Yang sudah terlanjur terjadi, sudah terjadi.
"Sekarang berkemaslah, ngger. Kita akan berangkat menuju masa kejayaanmu di hari-hari mendatang. Jangan sesali, karena kau akan menemukan masa yang indah didalam hidupmu."
Tetapi kata-kata itu di telinga Prastawa sudah tidak mempunyai makna lagi. Segalanya dilihatnya sebagai kepalsuan semata-mata.
Tetapi Prastawa tidak dapat mengelak. Di bimbingnya isterinya untuk bangkit berdiri dan pergi ke pintu bilik mereka.
"Jangan kau tutup pintu bilikmu, Prastawa," berkata Ki Kapat Argajalu.
"Isteriku akan membenahi pakaiannya."
"Biar saja dilakukannya. Kami tidak akan mengintipnya.
Prastawa menggeram. Tetapi tidak lebih dari geram seekor harimau tua yang tidak bergigi dan berkuku lagi di kakinya. Harimau tua yang sakit-sakitan dan tidak berdaya apa-apa lagi.
Prastawapun kemudian masuk ke dalam biliknya bersama isterinya. Dengan nada berat Prastawa itu berkata, "Berkemaslah, Nyi."
Isterinya memandang wajah Prastawa sejenak. Namun kemudian ia mendekapnya sambil berdesis disela-sela isaknya yang tertahan, "Aku takut, kakang."
"Mudah-mudahan ayah dan paman dapat mengerti keadaan kita, Nyi."
"Mereka akan menyangka bahwa kakang benar-benar telah memberontak. Bahkan kakang dapat dianggap seorang yang bermuka dua. Apa yang kakang katakan dihadapan paman Argapati, ternyata berbeda dengan apa yang kakang lakukan."
"Mungkin. Nyi. Tetapi pada saatnya, becik ketitik, ala ketara. Yang baik akan nampak, sedangkan yang burukpun akan menjadi jelas."
"Aku minta maaf kakang. Bahwa selama ini aku telah ikut memperkeruh hati kakang. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain. Orang-orang itu benar-benar akan membunuh anak kita ini, kakang."
"Sudahlah. Kau tidak bersalah."
Isteri Prastawa itu tidak sempat berbicara lagi. Terdengar suara Ki Kapat Argajalu, "Angger Prastawa. Apakah kau sudah siap untuk berangkat?"
"Sebentar lagi uwa. Isteriku harus menyiapkan pakaian ganti. Mungkin besok atau lusa ia baru dapat pulang."
"Kalian tidak usah merepotkan pakaian ganti. Di Kademangan Pudak Lawang ada sebangsal pakaian yang dapat kalian pakai."
Prastawa tidak menjawab lagi. Sementara itu, isterinyapun telah membenahi pakaiannya. Disiapkannya sepengadeg pakaian untuk dibawanya.
Sejenak kemudian, keduanyapun meninggalkan rumahnya bersama dengan Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak.
Ketika mereka masih berdiri di halaman, Tumpakpun bertanya, "Ayah. Di rumah adi Prastawa tinggal dua orang suami isteri yang menjadi pembantu keluarga adi Prastawa, Apakah mereka akan kita biarkan menjadi saksi atas kepergian adi Prastaawa?"
"Biar saja mereka menjadi saksi. Besok Ki Argapati juga tahu, bahwa kemenakannya sudah memberontak melawannya dengan landasan kekuatan di Kademangan Pudak Lawang serta para cantrik dari perguruan Kapat."
"Tetapi saksi itu dapat bercerita tentang sikap adi Prastawa yang sebenarnya."
Ki Kapat Agarjalu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah. Biarlah keduanya tidak dapat bersaksi."
"Uwa Kapat Argajalu. Bukankah mereka tidak tahu apa-apa" Kenapa uwa bertindak bengis terhadap mereka?"
"Seharusnya kau dapat mengerti, ngger. Bukankah kita berharap agar Ki Gede menganggap bahwa kau benar-benar telah memberontak. Seandainya benar katamu, bahwa setelah kau bertemu dengan pamanmu Argapati kau tidak menuntut apa-apa, maka kepergianmu akan menunjukkan betapa rapuhnya hatimu. Belum lagi sepenginang, sikapmu telah berubah. Ternyata bahwa kau telah bersedia ikut aku pergi ke Kademangan Pudak Lawang."
"Orang itu tidak tahu apa-apa. Ia tidak akan dapat mengatakan apa-apa tentang sikapku dan sikap isteriku."
"Kita tidak usah bersikap seperti perempuan cengeng. Yang sepantasnya kita bunuh, sebaiknya kita bunuh saja."
"Uwa. Uwa harus sedikit mempunyai belas kasihan. Mungkin tidak kepadaku. Tetapi kepada orang itu."
Tetapi Ki Kapat Argajalu seakan-akan tidak mendengar. Iapun kemudian berkata kepada Tumpak dan Soma, "Lakukan apa yang baik menurut pendapatmu. Biar aku awasi angger Prastawa disini."
Soma dan Tumpak tidak menunggu perintah itu diulang. Mereka-pun kemudian bersiap untuk melaksanakan perintah itu. Namun Soma masih bertanya kepada Prastawa, "Adi Prastawa. Dimana mereka berdua tidur" Didapur atau di bilik di sebelah dapur atau di gandok atau dimana?"
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun Tumpakpun segera mendekati isteri Prastawa sambil berkata, "Aku seret isterimu untuk menunjukan tempat mereka jika kau tidak mau mengatakannya, adi."
Prastawa tidak mempunyai pilihan. Iapun kemudian berkata, "Mereka tidur di belakang dapur."
Soma dan Tumpakpun segera berlari kembali ke pendapa menerobos pintu pringgitan langsung masuk ke ruang dalam lewat serambi samping mereka langsung pergi ke dapur.
Pintu bilik di belakang dapur itu masih tertutup. Dengan serta-merta Tumpak menendang pintu itu, sehingga dengan suara berderak, uger-uger pintu itu roboh.
Namun ternyata bilik itu sudah sepi. Mereka tidak menjumpai suami isteri itu didalam biliknya.
"Kemana mereka?" geram Soma.
Keduanyapun kembali ke dapur. Sambil mengumpat-umpat keduanya mencari suami isteri pembantu di rumah Prastawa itu.
"Mereka lari ke rumah paman Argajaya," berkata Soma.
"Mari kita lihat."
"Tetapi jika mereka sudah berada di rumah paman Argajaya, apakah kita masih akan membunuhnya?"
"Kita bunuh paman Argajaya dan seisi rumah itu."
"Jika kita bunuh paman Argajaya, maka orang-orang Tanah Perdikan ini tidak akan percaya bahwa Prastawa telah benar-benar telah terlibat dalam pemberontakan ini. Bagaimanapun juga, ia tentu tidak akan membunuh ayahnya sendiri."
"Tetapi bagaimana dengan pembantu di rumah Prastawa?" bertanya Tumpak.
"Persetan. Jangan hiraukan. Apa saja tanggapan orang Tanah Perdikan ini, tetapi orang-orang kademangan Pudak Lawang melihat kenyataan, bahwa Prastawa ada diantara kita."
Akhirnya keduanya mengurungkan niatnya untuk pergi ke rumah Argajaya yang saling membelakangi dengan rumah Prastawa.
"Aku tidak menemukan mereka, ayah," berkata Soma.
"Kemana?" "Mereka tentu menerobos kebun belakang, pergi ke rumah paman Argajaya."
"Biar sajalah. Sekarang kita harus segera pergi dari tempat ini. Jika kedua orang itu melaporkannya kepada Ki Argajaya, mungkin mereka akan mengejar kita. Malam ini aku masih belum ingin membunuh. Mungkin esok atau lusa. Puncak keinginanku adalah membunuh Agung Sedayu."
Ki Kapat Argajalupun kemudian berkata kepada Prastawa, "Marilah ngger. Kita berjalan terus. Kita akan pergi ke kademangan pudak Lawang."
Malam itu mereka meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menyusuri jalan bulak, kemudian berbelok melewati jalan pintas. Jalan yang agak sulit dilalui. Apalagi bagi isteri Prastawa yang sedang mengandung.
Dengan hati-hati Prastawa membimbing isterinya. Setiap kali Prastawa mendengar isterinya berdesis. Namun isteri Prastawa itu berusaha untuk tidak mengeluh. Ia sadar, bahwa keluhannya hanya menambah gejolak di hati suaminya.
Dalam pada itu, kedua orang pembantu Prastawa benar-benar telah menyelinap di kebun belakang, lewat pintu butulan masuk ke kebun belakang rumah Ki Argajaya. Mereka telah memberanikan diri mengetuk pintu. Bahkan cukup keras.
Ki Argajaya terkejut Iapun segera bangkit. Disambarnya tombak sambil bertanya, "Siapa?"
"Aki Ki Argajaya. Dakir."
"Dakir?" "Ya, Ki Argajaya."
Ki Argajaya memang dapat mengenali suara itu. Iapun segera membuka pintu samping rumahnya.
Dengan serta-merta Dakir meloncat masuk sambil menarik isterinya. Dengan serta-merta iapun menutup pintu dan menyelaraknya dari dalam.
"Ada apa?" bertanya Ki Argajaya.
"Gawat." "Apa yang gawat?"
Dakirpun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di rumah Prastawa. Ia memberanikan diri mendengarkan pembicaraan antara Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak dengan Prastawa.
"Kapan mereka datang ke rumah itu?"
"Sudah agak lama mereka menunggu. Beberapa saat sejak Ki Prastawa pergi. Mereka bertiga telah membujuk, mengajari dan mengancam Nyi Prastawa agar Nyi Prastawa mendesak suaminya untuk menuntut haknya. Jika Nyi Prastawa tidak berhasil, maka Ki Kapat dan kedua anaknya mengancam untuk membunuh bayi yang ada didalam kandungan itu."
"Gila. Jadi mereka sekarang sudah pergi?" geram Ki Argajaya.
"Ya." "Aku akan menyusul mereka. Aku harus membebaskan Prastawa dan isterinya.
"Ki Argajaya," berkata Dakir, "mereka bertiga. Apalagi mereka membawa Nyi Prastawa yang sedang mengandung. Jika terjadi benturan kekerasan, maka kasihan Nyi Prastawa. Mungkin perempuan itu yang pertama-tama akan menjadi korban."
"Apakah aku harus membiarkan Prastawa dan isterinya dibawa oleh iblis-iblis itu?"
"Menurut pendapatku yang bodoh ini, Ki Argajaya. Sebaiknya Ki Argajaya melaporkannya kepada Ki Argapati. Jika harus menyusul, tentu tidak hanya seorang diri. Apalagi harus diperhitungkan keselamatan Nyi Prastawa."
"Baik, baik, Dakir. Aku akan menemui kakang Argapati."
Ki Argajaya tidak menunggu lagi. Iapun segera menyelinap keluar.
Namun Dakirpun berkata, "Aku ikut, Ki Argajaya, jangan sendiri," lalu katanya kepada isterinya, "Kau disini saja. Selarak semua pintu."
Ki Argajaya tidak mencegahnya. Berdua mereka berlari-lari kecil menyeberangi halaman. Mereka berhenti sejenak diregol untuk mengamati keadaan.
Ternyata jalan yang gelap itu nampaknya sepi. sehingga keduanya-pun segera turun ke jalan dan berlari ke rumah Ki Argapati yang jaraknya memang tidak terlalu jauh.
Meskipun demikian, ketika mereka sampai di muka gardu perondan, Ki Argajaya tidak berlari lagi. Bersama Dakir ia berjalan saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Nampaknya Ki Argajaya ingin menjaga, agar sikapnya tidak membuat anak-anak muda yang meronda menjadi gelisah.
"Ki Argajaya," sapa anak-anak muda yang meronda ketika mereka melihat Ki Argajaya lewat.


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat malam, anak-anak," sahut Ki Argajaya sambil tersenyum.
"Malam-malam begini, Ki Argajaya akan pergi ke mana?"
"Melihat-lihat suasana. Malam terasa sangat sepi."
Anak-anak muda yang meronda itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka menjawab, "Ya, Ki Agarjaya. Malam terasa sangat sepi."
"Di dalam rumah udara terasa terlalu panas."
"Ya, Ki Argajaya. Bahkan diluarpun masih terasa udara yang panas itu."
Ki Argajaya tersenyum. Namun iapun berjalan terus bersama Dakir.
Beberapa saat setelah-mereka melewati gardu dan berbelok ke kanan, maka merekapun telah mempercepat langkah mereka lagi.
"Ki Argajaya itu akan kemana malam-malam begini" Kau lihat, ia berjalan bersama Dakir, pembantu di rumah Prastawa."
"Ya," sahut kawannya, "iapun membawa tombak pusakanya."
Tetapi anak-anak muda itupun kemudian tidak membicarakannya.
Sementara itu, Ki Argajayapun telah memasuki halaman rumah Ki Gede. Rumah itupun nampak sepi. Lampu pringgitan nampak redup dibuai angin malam.
"Apakah Ki Argajaya merasakan udara panas malam ini seperti dikatakan oleh anak anak muda itu?"
"Ya," jawab Ki Argajaya.
"Aku merasa malam ini dingin, Ki Argajaya. Lihat, daunpun kisah oleh embun."
Ki Argajaya mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata, "Entahlah. Tetapi dadaku serasa membara."
Ki Argajayapun kemudian naik ke pendapa. Sedangkan Dakir itupun duduk di tangga.
Perlahan-lahan Ki Argajaya mengetuk pintu rumah kakaknya.
"Siapa?" bertanya Ki Argapati yang terbangun.
Seperti Ki Argajaya, Ki Argapatipun telah menyambar tombaknya pula.
"Kakiku," desah Ki Gede. Rasa sakit kakinya itu sedang kambuh. Berpuluh tahun sakit itu hilang dan datang silih berganti.
"Aku datang, Argajaya."
Ki Gedepun segera pergi ke pintu. Ia mengenal suara adiknya itu dengan baik. Karena itu. maka Ki Argapati dengan tidak ragu-ragu telah membuka pintu. Bahkan agak tergesa-gesa. Jika tidak penting, adiknya tidak akan datang ke rumahnya malam-malam seperti itu.
Demikian pintu dibuka, maka Ki Argapatipun mempersilahkan, "Masuk sajalah Argajaya" Kau sendiri?"
"Tidak, kakang. Bersama Dakir."
"Dakir?" "Ya Orang yang tinggal bersama Prastawa."
Ki Argapatipun mengangguk-angguk. Katanya pula, "Marilah duduklah. Ajak orang itu masuk."
Sejenak kemudian, Ki Argajayapun telah duduk di ruang dalam. Dakirpun telah diajaknya masuk pula.
"Kakang," berkata Ki Argajaya kemudian. Ia tidak ingin membuang-buang waktu, "Prastawa dan isterinya menemui kesulitan. Mereka telah dibawa oleh kakang Kapat Argajalu."
"He?" "Menurut Dakir, ketika Prastawa pulang tadi bersamaku, kakang Kapat Argajalu telah ada didalam rumahnya bersama kedua orang anaknya. Ternyata selama ini mereka telah membujuk, memaksa dan bahkan mengancam agar isteri Prastawa merengek kepada suaminya, minta agar Prastawa menuntut hak untuk mewarisi jabatan Kepala Tanah Perdikan ini. Jika ia tidak berhasil, maka anak yang dikandungnya tidak akan pernah lahir dalam keadaan hidup. Menanggapi keinginan isterinya itu Prastawa hampir menjadi gila. Untunglah aku dapat memaksanya pergi menghadap kakang tadi, sehingga hati Prastawa yang sebenarnya memang rapuh itu mendapat sandaran yang kokoh. Namun demikian hatinya menjadi kokoh, maka kakang Kapat Argajalu tidak memberinya kesempatan lagi untuk lepas dari tangannya. Bersama isterinya yang sebenarnya tidak ingin menuntut apa-apa, Prastawa dibawa ke kademangan Pudak Lawang."
Ki Argapati menggeram. "Kasihan Prastawa dan isterinya. Kita tidak dapat membiarkannya."
"Aku tadi juga hampir saja kehilangan ingatan dan langsung menyusul mereka. Untunglah Dakir sempat memperingatkan aku. Selain keselamatanku sendiri, juga keselamatan isteri dan anak Prastawa yang sedang ditunggu itu."
"Tetapi bukankah kita harus melepaskannya?"
"Ya." "Baiklah. Kita memang tidak dapat bertindak dengan tergesa-gesa. Prastawa isteri dan anaknya harus diselamatkan."
"Kita harus membuat rencana yang masak."
"Aku akan memanggil Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih sekarang."
Ki Argapati itupun kemudian telah membangunkan seorang pembantu di rumahnya yang kerjanya sehari-hari memelihara kuda. Kepada orang itu Ki Gede berkata, "pergilah ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu."
"Kapan Ki Gede?"
"Sekarang." "Sekarang" Malam-malam begini?"
"Ya." Wajah orang yang baru bangun dari tidurnya itu menjadi pucat.
Katanya, "Pergi ke rumah Ki Lurah itu harus melewati simpang tiga di sebelah banjar itu."
"Ya. Kenapa?" "Ada pohon beringin besar di dekat simpang tiga itu, Ki Gede."
"Kenapa dengan pohon beringin itu?"
"Kata orang di pohon beringin itu tinggal sosok perempuan cantik yang sering mengganggu. Namun sosok itu tiba-tiba saja dapat berubah menjadi jerangkong atau pocongan."
"Bukankah kau lahir dan dibesarkan di padukuhan induk Tanah Perdikan ini?"
"Ya, Ki Gede." "Seumurmu, pernah kau melihat perempuan cantik yang dapat berubah menjadi jerangkong atau pocongan itu?"
Orang itu menggeleng. "Pergilah bersama Dakir."
"Bersama Dakir. Dakir siapa?"
"Dakir yang tinggal dengan isterinya di rumah Prastawa."
"Apakah ia ada disini."
"Ya. Ia ada disini."
Orang itupun kemudian mengangguk sambil berkata, "Jika ada kawannya, aku akan pergi Ki Gede."
Sejenak kemudian berdua bersama Dakir orang itupun pergi ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Ketika mereka melewati simpang tiga. maka orang itupun selalu berjalan di sebelah yang berseberangan dengan pohon beringin itu. Bahkan orang itu berlari-lari kecil, sehingga Dakir-pun ikut berlari-lari kecil pula. Tetapi Dakir mengira bahwa orang itu terlalu tergesa-gesa karena pesan Ki Gede.
Beberapa saat kemudian, maka mereka berdua telah sampai ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu, Dakirpun kemudian mengetuk pintu punggitan.
Ketukan puntu yang cukup keras itu telah membangunkan seisi rumah. Yang pertama-tama sampai di belakang pintu adalah Ki Lurah Agung Sedayu.
"Siapa di luar?"
"Aku Ki Lurah. Dakir. Aku yang tinggal di rumah Ki Prastawa bersama isteriku."
Agung Sedayu tidak begitu mengenal orang itu. Meskipun demikian dengan hati-hati Ki Lurah itupun telah membuka pintu pringgitan. Beberapa langkah di belakangnya berdiri Sekar Mirah dan Rara Wulan. Sedangkan di sebelah lain Glagah Putih telah bersiap-siap pula untuk menghadapi segala kemungkinan.
Demikian pintu terbuka, maka Dakir dan pembantu di rumah Ki Gede yang berdiri disebelahnya mengangguk hormat.
"Ada apa?" bertanya Ki Lurah.
Dakirlah yang kemudian mencenterakan apa yang telah terjadi di rumah Prastawa, sehingga Prastawa dan isterinya telah dibawa oleh Ki Kapat Argajalu dan kedua anaknya laki-laki.
"Apa kata Ki Gede kemudian?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu kemudian dengan nada berat.
"Ki Lurah di panggil sekarang," berkata pembantu di rumah Ki Gede itu.
"Baik. Aku akan berbenah diri sebentar," lalu katanya kepada Glagah Putih, "Glagah Putih, kita pergi menemui Ki Gede sekarang. Ternyata peristiwa tidak sempat menunggu sampai esok."
"Apakah kami juga harus ikut, kakang?" bertanya Rara Wulan.
"Tidak. Kau tinggal di rumah bersama mbokayupun Sekar Mirah dan mungkin Ki Jayaraga ada di gandok."
"Atau pergi ke sawah."
"Sore tadi sampai lewat senja Ki Jayaraga sudah berada di sawah."
Namun agaknya Ki Jayaraga juga sudah mendengar pintu yang diketuk oleh Dakir. Iapun mendengar bahwa ada orang yang berbicara dengan Ki Lurah di pringgitan.
Karena itu, maka Ki Jayaragapun telah keluar dari biliknya di gandok.
"Ada apa?" bertanya Ki Jayaraga yang naik ke pendapa menemui kedua orang yang sedang menunggu Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih membenahi pakaiannya.
Dakir memang merasa ragu untuk mengatakannya. Tetapi Rara Wulan yang keluar dari ruang dalam berkata kepada Dakir, "Katakan apa yung kau ketahui."
Mendengar ceritera Dakir, maka Ki Jayaragapun mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ternyaya orang yang mengaku kadangnya Ki Gede memang iblis itu."
Sejenak kemudian, Ki Lurah dan Glagah Putihpun teiah bersiap. Kepada Ki Jayaraga Ki Lurah itu berkata, "Aku minta Ki Jayaraga berada di ruang dalam saja bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan."
"Sukra juga biar berada di dalam pula. Nampaknya orang-orang itu tidak begitu suka kepada Sukra."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah pergi ke rumah Ki Gede disertai Dakir dan seorang pembantu di rumah Ki Gede.
Di malam yang gelap mereka berempat berjalan dengan cepat melintasi jalan utama yang sepi. Ketika mereka sampai di simpang tiga, pembantu di rumah Ki Gede itu berusaha berjalan di sebelah Dakir, berseberangan pula dengan pohon beringin tua itu.
Beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai di rumah Ki Gede. Merekapun segera dipersilahkan masuk ke ruang dalam. Sementara itu pembantu di rumah Ki Gede itupun segera kembali ke biliknya, tanpa mencuci kakinya ia langsung berbaring di amben panjang. Dalam sekejap orang itu sudah mendengkur.
Sementara itu, di ruang dalam, Ki Argapati dan Ki Argajaya yang gelisah telah menceri terakan kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih apa yang telah terjadi dengan Prastawa dan isterinya sebagaimana diceriterakan oleh Dakir. Ki Argajaya bahkan sempat menceriterakan pula, bahwa hampir saja ia seorang diri menyusul Prastawa.
Dalam kesempatan itu puja Ki Argapati juga menceriterakan hasil penemuannya dengan Prastawa sebelum Prastawa dibawa oleh Ki Kapat Argajalu.
"Sebenarnya Prastawa telah menemukan dirinya sendiri. Ia sudah dapat melihat bahwa jalan yang ditunjukkan oleh Ki Kapat Argajalu adalah jalan yang sesat," berkata Ki Argapati.
"Namun sayang, bahwa ia tidak mempunyai kesempatan untuk melangkah kembali," sambung Ki Argajaya.
"Prastawa tentu akan dimanfaatkan oleh Kapat Argajalu," geram Ki Argapati.
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih mendengarkan ceritera Ki Argapati dan Ki Argajaya itu dengan seksama.
"Itulah peristiwa yang telah terjadi atas Prastawa dan isterinya, Ki Lurah," berkata Ki Argapati kemudian.
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya, "Kasihan Prastawa dan isterinya itu."
"Lalu langkah-langkah apakah yang akan Ki Gede ambil untuk mengatasinya?" bertanya Glagah Putih.
"Aku belum mempunyai rencana apa-apa," jawab Ki Gede. "Aku baru saja mendengar tentang peristiwa ini. Peristiwanya pun baru saja terjadi setelah Prastawa pulang dari sini."
"Ki Gede," berkata Agung Sedayu, "malam ini Ki Kapat Argajalu tentu sedang menyiapkan pasukannya. Sebagian anak-anak muda dari kademangan Pudak Lawang dan sebagian tentu para pengikut Ki Kapat Argajalu, yang tentu akan disebut sebagai cantrik-cantriknya."
"Ya." "Karena itu, kita juga harus bersiap."
"Malam ini juga," bertanya Ki Gede.
"Ya. Malam ini juga. Jika esok pagi-pagi pasukan Kapat Argajalu menyerang, kita sudah mempunyai kekuatan, meskipun belum sepenuhnya, untuk menghambat."
"Baik, Ki Lurah. Aku akan berbicara dengan para pemimpin anak-anak muda setidak-tidaknya di padukuhan induk ini."
"Glagah Putih akan dapat membantu."
"Aku menunggu perintah Ki Gede."
"Terima kasih ngger. Yang aku perlukan sekarang adalah para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan. Terutama di padukuhan induk ini."
"Aku akan menemui mereka sekarang juga Ki Gede. Aku akan memanggil mereka untuk menghadap Ki Gede."
"Setelah itu, kita akan pergi ke barak, Glagah Putih."
"Ke Barak?" "Ya. Aku merasa perlu untuk memperingatkan para prajurit di barak itu agar mereka tidak lengah. Apalagi sebagian mereka masih bermalas-malas sepulang mereka dari Demak. Mungkin Ki Kapat Argajalu mempunyai perhitungan khusus bagi para prajurit di barak itu. Jika Ki Kapat Argajalu merasa perguruannya cukup kuat, maka ia akan melumpuhkan prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu, karena Ki Kapat tahu, bahwa aku tentu akan melibatkan para prajurit itu."
"Ya, kakang." Sementara itu, Ki Argapatipun berkata, "Besok aku juga akan memerintahkan dua tiga orang pergi ke Sangkal Putung."
"Sangkal Putung?"
"Untuk melicinkan jalan yang akan ditempuh, salah satu cara adalah menghilangkan Pandan Wangi dan anaknya laki-laki."
"Kakang Kapat Argajalu memang sudah kepanjingan iblis," geram Ki Argajaya
"Baiklah Ki Gede," berkata Glagah Putih kemudian, "kami minta diri untuk membuat persiapan-persiapan seperlunya."
"Silahkan ngger. Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan angger dan Ki Lurah selama ini membantu Tanah Perdikan Menoreh."
"Itu sudah kewajiban kami, Ki Gede," jawab Ki Lurah sambil tersenyum.
Demikian, sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putihpun minta diri. Sementara itu, Dakir dan Ki Argajaya masih berada di rumah Ki Gede. Ki Argajaya ingin juga bertemu dengan anak-anak muda di padukuhan induk. Ia ingin menjelaskan keadaan Prastawa yang sebenarnya agar anak-anak muda itu tidak dengan serta-merta menuduh Prastawa sebagai seorang pengkhianat.
Malam itu, ketika Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih berjalan didalam gelapnya malam, di kejauhan masih terdengar suara seseorang yang melantunkan tembang yang ngelangut.
"Suara itu tentu dari rumah kang Diran," desis Glagah Putih.
"Ada apa di rumah kang Diran?"
"Bukankah Yu Diran kemarin lusa melahirkan anaknya yang pertama."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, "Anak Yu Diran itu sedikit mengalami kesulitan pada saat lahir. Itulah agaknya maka tetangga-tetangganya berjaga-jaga sambil membaca kidung hampir semalam suntuk. Agaknya demikian pula malam-malam mendatang jika tidak terjadi keributan karena pokal Ki Kapat Argajalu."
Ki Lurah Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk.
Malam itu keduanya langsung menemui anak-anak yang sedang meronda di banjar. Ternyata pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan, khususnya anak-anak muda padukuhan induk itu ada di banjar.
"Ada apa kakang?" bertanya anak muda itu ketika Glagah Putih menemuinya.
"Kau dan beberapa kawanmu yang terpenting dipanggil Ki Gede Menoreh."
"Kapan?" "Sekarang." "Sekarang" Maksudmu malam ini?"
"Ya." "Ada apa sebenarnya?"
"Ki Gede akan memberitahukan kepadamu nanti."
"Ada hubungannya dengan sikap anak-anak muda kademangan Pudak Lawang?"
"Ya. Tetapi pergilah menemui Ki Gede. Tolong sampaikan pula kepada Ki Gede, bahwa aku dan kakang Agung Sedayu akan pergi ke barak Pasukuhan Khusus itu sebentar."
"Baik. Aku akan pergi menghadap Ki Gede. Tetapi bukankah Ki Gede sendiri yang memanggil aku sekarang" Jika itu bukan kehendak Ki Gede aku tidak akan berani membangunkannya."
"Ya. Ki Gede sendiri yang memerintahkan kepadaku untuk memanggil kau dan beberapa orang kawanmu."
"Baik." Saat itu juga anak muda yang menjadi pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan di padukuhan induk itu telah pergi menghadap Ki Gede.
Ketika mereka sampai di rumah Ki Gede, Ki Gede masih duduk di ruang dalam dengan Ki Argajaya. Dakir telah pergi ke belakang, tidur di amben bambu yang ada di dapur.
"Menurut Kakang Glagah Putih, Ki Gede memanggil aku dan beberapa orang kawan," berkata anak muda itu.
"Ya." "Kebetulan kami sedang berada di banjar, Ki Gede."
"Ada sesuatu yang penting yang akan aku beritahukan kepadamu malam ini juga."
Pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan khususnya di padukuhan induk serta beberapa orang anak muda yang datang menghadapi Ki gede itupun kemudian mendengarkan keterangan Ki Gede dengan saksama.
"Sekarang, Prastawa dan isterinya telah dibawa oleh Ki Kapat Argajalu ke kademangan Pudak Lawang."
"Maaf Ki Gede," berkata anak muda itu, "sejak beberapa hari terakhir, kami memang melihat kegiatan kakang Prastawa yang agak menyimpang. Maaf Ki Argajaya, jika hal ini aku katakan, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin mendapatkan penjelasan, apakah yang sebenarnya terjadi dengan kakang Prastawa."
Ki Argajayapun kemudian menjelaskan sikap Prastawa yang memang menjadi agak lentur ketika uwaknya, Ki Kapat Argajalu serta dua anak laki-lakinya, membujuknya. Namun disaat terakhir, Prastawa sudah menetapkan hatinya.
"Tadi, lewat senja, aku dan Prastawa ada disini sampai jauh malam," berkata Ki Argajaya yang kemudian telah menceritakan apa yang telah terjadi menurut ceritera Dakir.
Anak-anak muda yang menghadapi Ki Gede itu mengangguk-angguk.
"Nah, anak-anak," berkata Ki gede, "bersiaplah menghadapi segala kemungkinan. Menurut Ki Lurah Agung Sedayu, sebaiknya kalian berjaga-jaga sejak malam ini. Sejak sekarang. Panggil kawan-kawanmu. Tugaskan beberapa orang untuk mengamati keadaan. Mudah-mudahan mereka tidak bergerak malam ini."
"Baik Ki Gede. Meskipun mereka tidak bergerak malam ini, tetapi sebaiknya kami bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan."
"Hubungi padukuhan-padukuhan terdekat dengan perbatasan Kademangan Pudak Lawang. Tetapi hati-hati."
"Ya, Ki Gede." "Tetapi kalian tidak usah menimbulkan kegelisahan. Kita sudah berada di dini hari. Sebentar lagi orang-orang sudah banyak yang terbangun. Bahkan sudah ada yang turun ke jalan menuju ke pasar sambil membawa hasil kebun mereka untuk dijual."
"Ya Ki Gede. Kami akan mendatangi kawan-kawan kami dari rumah ke rumah, agar tidak mengejutkan seisi padukuhan induk ini."
Demikianlah, beberapa saat kemudian, anak-anak muda itu sudah memencar. Mereka menuju ke gardu-gardu perondan. Anak-anak muda yang meronda kebanyakan masih berada di gardu, meskipun sebagian dari mereka tertidur. Tetapi sudah ada diantara mereka yang mendahului hilang atau pergi ke sawah untuk mengairi sawahnya, karena mereka mendapat giliran air di malam hari."
Dalam pada itu. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah berada di barak Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan.
Kepada para pemimpin kelompok Ki Lurah Agung Sedayu telah memberikan beberapa perintah dan pesan. Ki Lurah tahu, menurut pendengarannya, bahwa Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anak laki-lskinya itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka ia berpesan kepada para prajurit untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Betapapun tinggi ilmu mereka, namun mereka tentu juga memiliki keterbatasan.
"Persiapkan kelompok-kelompok kalian untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Pergunakan senjata jarak jauh."
"Ya. Ki Lurah," jawab para pemimpin kelompok itu.
"Untuk sementara aku akan berada di padukuhan induk Tanah Perdikan."
"Ya, Ki Lurah."
"Pergunakan isyarat jika perlu. Isyarat khusus yang sudah dikenal dengan baik oleh anak-anak muda di Tanah Perdikan. Pada saat-saat yang sulit, jika isyarat kalian memanggil, aku akan datang."
"Ya, Ki Lurah."
"Aku yakin, bahwa orang-orang berilmu tinggi di antara mereka tentu tidak terlalu banyak."
Dengan perintah dan pesan-pesan dari Ki Lurah, maka seisi barak itupun segera mengadakan persiapan-persiapan. Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka setiap kelompok telah mempersiapkan diri untuk menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi. Jika jumlah disetiap kelompok cukup memadai, disertai dengan persenjataan yang lengkap, maka diharapkan bahwa kelompok-kelompok itu akan mampu menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Setidak-tidaknya mereka akan dapat menghambat gerak mereka.
Ki Lurah Agung Sedayu tidak terlalu lama berada di barak. Ketika langit menjadi semakin terang, maka Ki Lurah dan Glagah Putih telah memacu kudanya kembali ke padukuhan induk.
Sementara itu. seperti yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Agung Sedayu. malam itu juga Ki Kapat Argajalu telah mulai bergerak. Dengan mengancam isteri dan anaknya yang masih berada di dalam kandungan, Ki Kapat Argajalu telah memperalat Prastawa untuk menggerakkan rakyat di kademangan Pudak Lawang.
Namun ternyata bahwa Ki Demang Pudak Lawang sendiri sudah mengetahui segala sesuatunya yang berkaitan dengan sikap Prastawa dan Ki Kapat Argajalu.
"Seharusnya kau tidak mengkhianati aku, Prastawa," berkata Ki Demang yang masih terhitung muda itu.
Prastawa merasa bahwa apapun yang dikatakan tentu dianggap salah. Karena itu, maka ia merasa lebih baik tidak menjawab.
"Untunglah bahwa Ki Kapat Argajalu benar-benar telah mempersiapkan segala sesuatunya sehubungan dengan dukungannya kepadamu. Sehingga karena itu, meskipun aldiirnya kau sendiri kehilangan gairah untuk berjuang karena hatimu rapuh, namun perjuangan itu sendiri tidak akan terhenti. Aku yang sudah menjadi basah, tidak akan dapat kembali. Aku telah membawa rakyat Kademangan Pudak Lawang kedalam persiapan yang matang. Bukan hanya persiapan kewadagan, tetapi secara jiwani rakyat Pudak Lawang juga sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Jika aku mundur dan mengurungkan perjuangan ini, maka namaku akan dicampakkan seperti sampah oleh rakyat kademangan ini."
Prastawa tidak menjawab. Ia hanya dapat menyesali langkah-langkahnya yang salah karena bujukan uwaknya. Ki Kapat Argajalu. Namun ia tidak ingin mengulangi kesalahannya itu. Ketika ia menemukan jalan kembali, maka ia akan tetap tegak berdiri diatas sikapnya itu.
Tetapi segala sesuatunya masih juga tergantung kepada keadaan isteri dan anaknya yang masih berada didalam kandungan itu.
Malam itu juga, Ki Demang Pudak Lawang telah memerintahkan anak-anak mudanya untuk memutuskan segala hubungan dengan kademangan-kademangam lain di Tanah Perdikan. Dengan memaksa Prastawa berdiri di tangga pendapa kademangan, Ki Demang berkata kepada sekelompok anak muda yang datang kepadanya malam itu, "Perjuangan kita sudah kita mulai. Kita akan mendukung Ki Prastawa untuk mendapatkan tempatnya yang layak. Yang sepantasnya mewarisi kedudukan Ki Gede adalah Prastawa. Bukan orang Sangkal Putung yang sombong itu. Karena itu lakukan perintahnya. Putuskan semua hubungan dengan kademangan yang lain di Tanah Perdikan ini. Perkuat penjagaan di padukuhan-padukuhan terutama yang berada di perbatasan. Kalian sudah melihat sendiri, di banjar murid-murid dari sebuah perguruan yang besar telah berkumpul untuk mendukung perjuangan kita. Sebagian dari mereka telah berada di banjar-banjar padukuhan yang lain di kademangan ini. Karena itu jangan cemas, meskipun seandainya Ki Lurah Agung Sedayu menggerakkan prajurit-prajuritnya di barak. Mereka tidak akan dapat melawan kemampuan para cantrik yang akan diperbantukan kepada kita. Apalagi Ki Kapat Argajalu dan kedua orang puteranya akan tetap bersama Ki Prastawa.
Anak-anak muda yang berada di halaman rumah Ki Demang itu mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ketika Ki Demang mengakhiri sesorahnya, maka anak-anak muda itupun serentak bertepuk tangan dan bahkan bersorak-sorak, "Hidup Prastawa. Hidup Prastawa."
Namun sorak yang gemuruh itu telah menusuk jantung Prastawa sehingga terasa betapa pedihnya.
Sejenak kemudian, maka Ki Demangpun berkata, "sekarang laksanakan apa yang harus kalian kerjakan."
Anak-anak muda itupun kemudian meninggalkan halaman Ki Demang. Sebagian dari mereka telah pergi ke padukuhan-padukuhan. Bersama anak-anak muda di setiap padukuhan, mereka telah pergi ke bulak. Mereka telah menutup jalan yang menghubungkan kademangan mereka dengan kademangan-kademangan tetangga mereka. Sedangkan beberapa orang anak muda yang lain, telah menutup parit yang mengalirkan air ke luar kademangan.
Orang-orang kademangan Pudak Lawang yang tidak terlibat langsung dalam gerakan itupun terkejut pula. Apalagi mereka yang akan pergi ke pasar di dini hari untuk menjual hasil kebun mereka harus pulang kembali karena tidak ada jalan yang dapat mereka lalui untuk pergi ke pasar di luar kademangan mereka.
"Pergi ke pasar Ngeblak. Pasar itu cukup ramai dan terletak di kademangan kita sendiri," berkata anak-anak muda yang menutup jalan.
Tetapi orang-orang yang akan pergi ke pasar itu tidak langsung pergi ke pasar Ngeblak. Selain hari itu Ngeblak tidak sedang pasaran, merekapun telah dicengkam oleh kecemasan. Apakah yang bakal terjadi di kademangan mereka itu"
Dalam pada itu, anak-anak muda di kademangan yang lainpun telah menerima perintah pula untuk bersiaga. Perintah itu mengalir dari padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh ke kademangan-kademangan yang berada di lingkungan Tanah Perdikan. Kecuali kademangan Pudak Lawang.
Ketika anak-anak muda di kademangan-kademangan itu melihat anak-anak muda Pudak Lawang menutup semua jalan ke dan dari kademangan mereka, maka mereka telah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya, meskipun belum pada tingkat tertinggi. Yang telah sempat dikumpulkan baru sebagian kecil saja dari Pasukan Pengawal Tanah Perdikan. Namun yang sebagian kecil itu telah mampu mengawasi kademangan Pudak Lawang dari segala arah.
Untunglah bahwa anak-anak muda di Pudak Lawang belum bergerak keluar dari kademangan mereka. Semua gerakan mereka masih saja me1ingkar di dalam kademangan mereka.
Ketika matahari terbit, maka seluruh Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi gempar. Terutama kademangan-kademangan yang langsung berbatasan dengan kademangan Pudak Lawang. Merekapun segera menyadari, bahwa keadaan menjadi gawat. Apalagi ketika mereka melihat anak-anak muda di mana-mana. Semuanya bersenjata. Sementara itu semua jalan ke dan dari Pudak Lawang telah tertutup. Batang kayu atau bambu atau apa saja telah menyilang di tengah-tengah jalan, sehingga tidak dapat dilalui lagi.
Orang-orang Pudak Lawang yang memiliki sanak keluarga di kademangan yang lain dan sebaliknya menjadi sangat gelisah. Hubungan mereka tentu akan ikut terputus. Bahkan mereka yang anak dan cucunya tinggal di seberang batas yang tertutup itu, tidak akan dapat saling berkunjung lagi.
Dalam pada itu, Ki Gede telah memerintahkan semua bebahu, para Demang dan para pemimpin Pasukan Pengawal untuk mengumumkan agar rakyat tetap tenang.
"Kami sedang berusaha untuk memecahkan persoalan ini dengan sebaik-baiknya," berkata Ki Gede kepada para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh serta para Demang yang termasuk di dalam lingkungan Tanah Perdikan.
Pagi-pagi Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede setelah mereka kembali dari barak. Sedangkan Ki Argajaya masih belum pulang sejak semalam.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan, Ki Lurah?" bertanya Ki Gede kemudian.
"Ki Gede. Jika Ki Gede setuju, biarlah aku dan Glagah Putih pergi ke kademangan Pudak Lawang untuk bertemu dengan Ki Kapat Argajalu dan Ki Demang Pudak Lawang. Sokur jika kami dapat bertemu dengan Prastawa sendiri."
"Terlalu berbahaya, Ki Lurah. Mereka bukan orang-orang yang tahu tatanan, bahwa utusan itu tidak boleh diganggu keselamatannya. Mereka yang ada di Pudak Lawang adalah orang-orang yang tidak peduli pada tatanan dan paugeran, sehingga mereka akan dapat bertindak sesuka hati mereka."
"Tetapi harus ada yang datang menghubungi mereka, Ki Gede."
Kita tidak dapat begitu saja langsung mengepung dan menggempur kademangan Pudak lawang. Jika Pudak Lawang berani mengambil langkah-langkah seperti yang mereka lakukan, tentu mereka sudah benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Menurut pendapatku, murid-murid atau katakan para pengikut Ki Kapat Argajalu tentu sudah berada di kademangan itu. Jika benturan kekerasan itu terjadi, maka yang akan menjadi korban sebagian terbesar adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri."
"Tetapi rasa-rasanya sangat berat untuk membiarkan Ki Lurah dan Glagah Putih pergi ke Pudak Lawang."
"Aku kira mereka tidak akan berbuat apa-apa atas kami berdua Ki Gede. Pada langkah-langkah pertama, mereka tentu masih berusaha untuk menunjukkan kebersihan perjuangan mereka."
Ki Gedepun menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, "Jika Ki Lurah yakin, terserah sajalah kepada Ki Lurah."
"Aku yakin, Ki Gede."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera minta diri. Namun mereka masih singgah lebih dahulu di rumah Agung Sedayu untuk memberikan beberapa pesan kepada Sekar Mirah, Rara Wulan dan Ki Jayaraga.
Berkuda Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi ke kademangan Pudak Lawang. Kademangan yang berada di lingkungan Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Pudak Lawang juga disebut sebuah kademangan tetapi kedudukannya agak berbeda dengan kademangan-kademangan yang berada di luar Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekati padukuhan pertama dari kademangan Pudak Lawang, maka mereka terhenti karena jalan bulak yang menuju ke padukuhan itu telah ditutup dengan sebatang pohon kayu yang ditebang dan roboh melintang ditengah jalan.
Namun Ki Lurah dan Glagah Putih membawa kudanya turun ke parit dan berjalan beberapa puluh langkah menyusuri parit dan berjalan beberapa puluh langkah menyusuri parit itu. Baru setelah melewati pohon kayu yang ditebang dan roboh melintang itu mereka berdua naik ke atas tanggul dan kembali memasuki jalan bulak.
Namun beberapa puluh langkah dihadapan mereka, disimpang ampat beberapa anak muda yang bersenjata telanjang telah menghadang mereka.
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putihpun berhenti.
Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berdada lebar maju ke tengah jalan sambil menyapa, "Ki Lurah Agung Sedayu dan Kakang Glagah Putih."
"Ya, Puput." "Maaf, Ki Lurah. Tidak ada orang yang boleh memasuki kademangan Pudak lawang."
"Kalau bukan kami, Puput. Tetapi ini kami, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih," jawab Agung Sedayu sambil tersenyum, "bukankah kau mengenali kami dengan baik?"
"Ya, Ki Lurah."
"Tetapi Prastawa sudah memerintahkan agar semua jalan menuju dan dari Pudak Lawang di tutup."
"Aku ingin bertemu dan berbicara dengan Demangmu. Demang Pudak Lawang, serta Prastawa."
"Apa yang akan Ki Lurah bicarakan?"
Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Tentu tidak dapat aku kkatakan disini. Aku hanya dapat mengatakannya kepada Ki Demang Pudak Lawang serta Prastawa. Jika kemudian akan diumumkan, biarlah Ki Demang yang melakukannya."
Puput itu menjadi ragu-ragu. Namun seorang yang berwajah gelap, bermata tajam seperti mata burung hantu, melangkah maju.
"Tidak ada kecualinya Ki Lurah. Siapapun tidak boleh masuk. Siapapun Ki Lurah dengar. Apalagi bagi kami orang-orang Tanah Perdikan, Ki Lurah termasuk seorang pendatang. Ki Lurah bukan keluarga yang sejak semula tinggal di Tanah Perdikan ini. Karena itu, maka Ki Lurah tidak akan dapat memasuki kademangan Pudak Lawang."
"Jangan bergurau, Simpang. Aku juga pandai bergurau. Tetapi sekarang bukan waktunya untuk bergurau."
"Ki Lurah mengancam?"
"Mengancam" Bagaimana mungkin kau dapat mengatakan aku mengancam."
"Lalu apa maksud Ki Lurah" Sekarang kembali saja ke padukuhan induk. Tidak ada kesempatan khusus bagi orang asing seperti Ki Lurah."
"Tidak. Aku akan terus," nada suara Ki Lurah Agung Sedayu meninggi sehingga anak-anak muda yang menghentikannya menjadi berdebar-debar. Mereka semuanya mengetahui, siapakah Ki Lurah Agung Sedayu.
Tetapi Simpang masih juga menggeram, "Jadi Ki Lurah akan membuat kisruh di Pudak Lawang."
"Tidak. Jika aku akan membuat kisruh, aku tidak akan datang hanya berdua. Aku akan membawa seluruh Pasukan Pengawal Tanah Perdikan dari semua kademangan serta padukuhan induk. Bahkan aku dapat membawa para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan. Jika masih belum cukup, aku dapat minta Mataram mengirimkan prajurit segelar sepapan. Bahkan prajurit dari Demak, Pajang, Pati, Kudus dan Bang Wetan. Kau mendengarnya" Kelak, jika mereka datang dan berdiri saling berhimpitan, maka mereka memerlukan tanah seluas kademangan Pudak Lawang. Nah, kau tahu artinya?"
Anak-anak muda itu menjadi tegang. Kata-kata Agung Sedayu itu bagaikan sembilu yang menyayat jantung mereka.
"Yang dikatakan itu memang dapat terjadi," berkata anak-anak muda itu didalam hatinya.
Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu tidak menghiraukan mereka lagi. Iapun kemudian memberikan isyarat kepada Glagah Putih untuk melanjutkan perjalanan.
Kedua ekor kuda itupun segera berlari. Kuda Glagah Putih yang besar dan tegar itu justru berlari di belakang kuda Ki Lurah Agung Sedayu.
Anak-anak muda yang menutup jalan itu hanya dapat saling berpandangan. Tidak seorangpun yang berani mencegah. Mereka tahu, jika terjadi benturan kekerasan, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih akan dapat membunuh mereka semuanya sampai orang terakhir.
Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih melarikan kuda mereka semakin kencang. Mereka sama sekali tidak berhenti ketika anak-anak yang berdiri di pintu gerbang padukuhan terdekat melambai-lambaikan tangan mereka sebagai isyarat agar keduanya berhenti.
Bahkan ketika kedua orang penunggang kuda itu melarikan kuda mereka semakin kencang, anak-anak muda itupun berloncatan menepi.
"Siapakah mereka?" bertanya seseorang yang tidak sempat melihat keduanya. Ketika ia mendengar derap kaki kuda berlari dan muncul dari regol halaman rumahnya, orang itu melihat beberapa orang anak muda berdiri dengan nafas terengah-engah. Bahkan ada diantara mereka yang justru terjatuh dan berguling di tanah berdebu.
Seorang diantara anak-anak muda itupun berdesis, "Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih."
"Hanya berdua?"
"Ya, hanya berdua. Alangkah beraninya."
Seorang anak muda yang lain menyahut, "Keduanya mampu mengalahkan kita, anak-anak muda sepadukuhan."
Tetapi yang lain lagi menyahut, "Tetapi di padukuhan induk kademangan, mereka akan terbentur pada ilmu yang sangat tinggi. Di Padukuhan induk ada Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya. Jika Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih mencoba menyombongkan dirinya dihadapan Ki Kapat Argajalu, maka keduanya akan menjadi endog pengamun-amun."
Tidak ada yang menyahut. Tetapi beberapa orang di antara mereka bertaanya di dalam hati, "Apakah orang yang bernama Ki Kapat Argaju itu akan dapat mengimbangi kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu?"
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih melarikan kuda mereka dengan kencangnya. Jika mereka melewati padukuhan, mereka sama sekali tidak mau berhenti, meskipun ada beberapa orang anak muda yang mencoba menghentikan mereka di mulut lorong.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih itu telah sampai di padukuhan induk kademangan Pudak Lawang. Mereka terpaksa memperlambat kuda mereka ketika mereka sampai di pintu gerbang padukuhan induk. Yang berdiri di pintu gerbang adalah sekelompok anak-anak muda dengan senjata telanjang di tangan. Beberapa ujung tombakpun telah merunduk.
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih berhenti di luar pintu gerbang.
"Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih," terdengar suara seorang anak muda dengan nada berat.
"Kayun," desis Glagah Putih. Ia tahu bahwa anak muda itu adalah pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh di kademangan Pudak Lawang.
"Kalian akan pergi kemana?" bertanya Kayun.
"Aku akan menemui Ki Demang Pudak Lawang," jawab Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ada keperluan apa?"
"Akan aku katakan kepada Ki Demang jika aku sudah menemuinya nanti."
"Aku adalah pemimpin Pasukan Pengawal Kademangan ini. Bahkan akulah pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang akan dipimpin oleh Ki Prastawa dan diembani oleh uwaknya Ki Kapat Argajalu."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingin berbicara dengan Ki Demang dan Prastawa."
"Tentang apa?" "Aku hanya akan berbicara dengan Ki Demang dan Prastawa."
-ooo0dw0ooo- Jilid 354 Kau jangan terlalu sombong Ki Lurah. Kau sekarang bukan apa-apa lagi di sini. Kami tidak lagi mengagumimu sebagai seorang yang tidak dapat dikalahkan karena ilmumu yang tinggi. Disini ada orang yang ilmunya lebih tinggi dari ilmumu dan ilmu Glagah Putih."
"Aku tahu. Tetapi aku datang tidak untuk memperbandingkan ilmu. Tetapi aku ingin berbicara atas nama Ki Gede Menoreh."
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja mereka berpaling. Terdengar suara orang tertawa.
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih menarik nafas panjang. Mereka melihat Soma dan Tumpak berjalan di belakang kerumunan anak-anak muda yang menjejali pintu gerbang padukuhan induk.
"Selamat datang di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, Ki Lurah Agung Sedayu dan kau Glagah Putih. Sepasang orang asing yang telah lama menjadi penghuni Tanah Perdikan ini."
Keduanya termangu-mangu sejenak. Sementara itu Soma dan Tumpak melangkah mendekati mereka.
"Apakah benar menurut pendengaranku kalian berdua ingin bertemu dengan Ki Demang Pudak Lawang dan Ki Prastawa yang sedang mempersiapkan diri untuk mengambil alih kepemimpinan di Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya. Kami ingin bertemu dengan Ki Demang dan Prastawa."
"Baiklah. Marilah. Bersama kami berdua kalian tidak akan diganggu."
"Terima kasih," sahut Ki Lurah Agung Sedayu.
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera meloncat turun dari kudanya dan berjalan mengikuti Soma dan Tumpak. Kepada anak-anak muda di pintu gerbang Soma berkata, "Beri mereka kesempatan untuk menghadap pimpinan Tanah Perdikan ini."
Jantung Glagah Putih mulai bergejolak. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri. Ia sadar sepenuhnya, bahwa bersama Agung Sedayu mereka mengemban tugas untuk mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya.
Beberapa saat kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih itupun telah berada di rumah Ki Demang di Pudak Lawang. Keduanya duduk di pringgitan di temui oleh Ki Demang dan Ki Kapat Argajalu.
"Dimana Prastawa?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ki Prastawa sedang mengadakan peninjauan keliling di beberapa padukuhan," jawab Ki Demang Pudak Lawang. "Ki Prastawa sedang meyakinkan, apakah segala sesuatunya benar-benar sudah bersiap untuk mengambil langkah selanjutnya."
"Langkah apa?" bertanya Ki Lurah.
Ki Demang Pudak Lawang dan Ki Kapat Argajalu tertawa.
"Kenapa kau masih bertanya Ki Lurah. Kau adalah seorang Lurah Prajurit. Kau tentu tahu, bagaimana jawaban dari pertanyaanmu itu," berkata Ki Kapat.
"Tegasnya kalian benar-benar akan melawan kuasa Ki Gede?"
"Sama sekali tidak," jawab Ki Demang. "kami justru sedang menyongsong langkah besar yang akan dilakukan oleh Ki Gede. Menyerahkan kekuasaan atas Tanah Perdikan ini kepada kemanakannya, Ki Prastawa. Karena memang tidak ada pilihan lain kecuali Ki Prastawa yang akan dapat menggantikan kedudukan Ki Gede. Bukan anak Sangkal Putung itu, atau keturunannya."
"Apakah tidak ada orang yang dapat menyusul Prastawa sekarang?"
"Ki Prastawa tidak suka diganggu. Ia akan dapat menjadi marah jika seseorang menyusulnya pada saat ia sedang melihat-lihat keadaan di padukuhan-padukuhan."
"Supaya dikatakan kepadanya, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu ingin menemuinya."
Ki Kapat Argajalu tertawa. Katanya, "Kau anggap dirimu siapa sehingga dengan menyebut namamu Ki Prastawa akan bersedia meninggalkan tugasnya" Kau bukan apa-apa baginya. Meskipun ada sepuluh Agung Sedayu datang mencarinya angger Prastawa tidak akan kembali sebelum ia berniat kembali. Kau jangan merasa bahwa kau mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap angger Prastawa itu."
Ki Lurah mengerutkan dahinya, sementara Glagah Putih mengatupkan giginya rapat-rapat.
"Baiklah," berkata Agung Sedayu, "jika aku tidak dapat berbicara dengan Prastawa, maka aku akan berbicara saja dengan Ki Demang di Pudak Lawang."
"Ki Lurah akan berbicara tentang apa" Tentang sikapku yang mendukung agar Ki Prastawa segera mengambil alih kekuasaan ?"
"Ya. Apakah sikap itu Ki Demang menganggapnya benar?"
"Tentu saja aku menganggapnya benar. Jika tidak, aku tentu tidak akan melakukannya."
"Belum tentu Ki Demang. Ada orang yang meskipun menyadari bahwa yang dilakukan itu salah, namun ia melakukannya juga."
Wajah Ki Demang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, "Jadi Ki Lurah menyalahkan aku" Apa hak Ki Lurah menyatakan aku bersalah?"
"Siapa yang mengatakan Ki Demang bersalah" Aku hanya menanggapi kata-kata Ki Demang. Aku hanya mengatakan bahwa ada orang yang meskipun tahu, bahwa tindakannya salah, tetapi dilakukannya juga."
"Tentu Ki Lurah telah menuduh aku."
"Baiklah. Jika Ki Demang merasa telah aku tuduh bersalah. Sebaiknya aku mengatakan terus-terang, bahwa sebaiknya Ki Demang menilai kembali sikap Ki Demang. Biarlah Prastawa menyelesaikan persoalannya dengan pamannya. Biarlah mereka menemukan jalan keluar terbaik. Nah. kewajiban Ki Demang adalah ikut menyelamatkan jalan keluar yang terbaik itu. Tetapi jika Ki Demang mengambil langkah seperti ini, maka langkah Ki Demang itu hanya akan mempertajam persoalan saja."
"Ki Lurah telah memperkecil arti sikap seseorang. Ki Prastawa sudah berbicara panjang dengan Ki Gede. Namun hasil pembicaraannya itu sama sekali tidak memuaskan Ki Prastawa, sehingga akhirnya Ki Prastawa telah memilih jalan yang sekarang dilakukannya itu."
"Jangan mencoba memutar balikkan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Ki Demang. Apakah kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, bahwa Prastawa tidak datang ke Pudak Lawang dengan suka rela."
"Maksud Ki Lurah?"
"Bertanyalah kepada Ki Kapat Argajalu."
"Apa yang sebenarnya terjadi Ki Kapat Argajalu."
"Aku tidak tahu, apa yang dimaksud oleh Ki Lurah."
"Baik. Baik," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, "segala sesuatunya sudah tidak lagi berdasar pada kebenaran. Tetapi aku masih minta Ki Demang untuk membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Jika perselisihan ini menjadi semakin tajam sehingga akhirnya terjadi benturan kekerasan, apakah Ki Demang tidak merasa sangat kehilangan. Mungkin anak-anak muda yang berada di halaman itu. Mungkin sanak kadang yang tidak tahu menahu apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Demang mengerutkan dahinya. Di luar sadarnya ia memandangi anak-anak muda yang ada di halaman. Jika benar-benar terjadi perang, memang mungkin saja mereka terbunuh sehingga mereka tidak akan pernah dapat dilihatnya lagi.
Karena Ki Demang tidak segera menjawab, maka Ki Lurah Agung Sedayupun berkata pula, "Pantaskah seandainya benar Prastawa menginginkan warisan kedudukan Ki Gede Menoreh, maka kademangan Pudak Lawang harus mengorbankan anak-anak muda yang terbaik" Imbangkah hasil yang ingin dicapai dengan pengorbanan yang harus diberikan?"
Pertanyaan itu ternyata telah memaksa Ki Demang untuk merenung. Namun Ki Kapat Argajalu sambil tertawa menyahut, "Ki Lurah. Tidak ada nilai-nilai yang akan dapat dicapai tanpa berani berkorban. Demikian pula tegaknya keadilan di Tanah Perdikan ini. Prastawa harus berani merebut warisan yang memang menjadi haknya dari tangan anak Sangkal Putung itu. Tanpa pengorbanan, maka Prastawa tidak akan pernah mendapatkan haknya. Sampai mati sekalipun."
"Jika kita berbicara tentang hak, Ki Kapat Argajalu, bertanyalah pula Ki Demang Pudak Lawang, siapakah yang berhak menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh. Ki Gede Menoreh mempunyai seorang anak perempuan. Anak perempuan itu sudah bersuami. Suaminya namanya Swandaru. Nah, Ki Demang. Siapakah yang berhak mewarisi kedudukan Ki Gede Menoreh?"
Wajah Ki Demang menjadi tegang.
"Jangan mengada-ada Ki Lurah. Semuanya sudah siap. Perjuangan sudah dimulai. Jangan mementahkan persiapan yang sudah matang ini."
"Tidak. Aku hanya ingin berbicara tentang hak. Jika Prastawa berjuang untuk mendapatkan haknya, apakah hak Prastawa yang sebetulnya?"
"Sudah cukup, Ki Lurah. Ki Lurah tidak perlu berbicara tentang hak disini. Aku persilahkan Ki Lurah meninggalkan kademangan ini."
"Siapa yang mempersilahkan aku pergi" Kau" Nah, apakah hakmu mempersilahkan aku pergi dari rumah Ki Demang Pudak Lawang ini?"
Namun tiba-tiba saja Ki Demang itupun menyahut, "Baik. Aku yang berhak mempersilahkan Ki Lurah meninggalkan rumahku."
"Jadi Ki Demang juga mengusir aku?"
"Ya." "Baiklah. Sebenarnya aku masih berharap untuk dapat meredakan perjuangan yang sia-sia ini. Anak-anak Tanah Perdikan akan menjadi korban. Sedang orang lain yang akan menikmati hasilnya meskipun tangannya akan bersimbah dengan darah anak-anak Tanah Perdikan ini."
"Sudahlah Ki Lurah. Kau tidak usah menyindir. Mumpung masih dapat, pergilah. Jika aku kau anggap tidak berhak mengusirmu, maka Ki Demang juga sudah mengusirmu."
Jantung Glagah Putih hampir meledak. Ia tidak sesabar Agung Sedayu. Karena itu, maka hampir saja Glagah Putih tidak tahan menerima perlakuan seperti itu.
Namun meskipun rasa-rasanya jantungnya telah ditikam dengan sembilu, namun ia masih harus berusaha menahan diri.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayupun berkata, "Baiklah, Ki Demang. Aku minta diri. Tetapi pesanku, pandanglah rakyatmu seorang demi seorang dengan saksama. Sebagian diantara mereka, tidak akan pernah dapat kau jumpai lagi berjalan menyusuri jalan utama di padukuhan indukmu ini."
Ki Demang tidak menjawab. Sementara itu Ki Lurah dan Glagah Pulihpun segera beringsut dan bangkit berdiri.
"Aku minta diri. Masih ada waktu bagi Ki Demang untuk berbicara dengan jujur dan terbuka dengan Prastawa."
Ki Demang masih tetap berdiam diri.
Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera meninggalkan halaman rumah Ki Demang.
Kuda-kuda merekapun kemudian berderap berlari di jalan utama padukuhan induk kademangan Pudak Lawang.
"Rasa-rasanya aku ingin berteriak keras sekali," berkata Glagah Putih, "dadaku hampir saja meledak."
Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kau harus dapat menguasai perasaanmu. Kau harus mempunyai keseimbangan antara perasaan dan nalarmu. Jika tidak, maka akan terjadi kesulitan didalam dirimu sendiri."
"Tetapi sikap mereka sangat menyakitkan hati."
"Ya. Meskipun demikian, bukan seharusnya kita kehilangan kendali."
Glagah Putih terdiam. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai di gerbang padukuhan. Anak-anak muda di pintu gerbang itupun menyibak.
Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu yang lewat di pintu gerbang itu justru melambaikan tangannya sambil tertawa kepada anak-anak muda itu.
"Apa khabar anak-anak muda?" bertanya Ki Lurah.
"Baik, Ki Lurah," jawab beberapa anak muda hampir berbareng.
"Lama kita tidak bertemu. Kapan-kapan aku akan kembali lagi kemari," berkata Agung Sedayu kemudian.
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Ketika Ki Lurah datang, maka nampak wajahnya yang muram dan bersungguh-sungguh. Tetapi ketika Ki Lurah itu pulang, wajahnya nampak terang dan tawa serta senyumnya menghiasi bibirnya.
"Marilah anak-anak. Aku undang kalian berkunjung ke padukuhan induk Tanah Perdikan."
Anak-anak muda itu tidak ada yang menjawab. Mereka memang tidak mengetahui apa maksud Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya dengan ajakannya itu."
Bahkan Ki Lurah itu sempat menghentikan kudanya sejenak. Kepada anak-anak muda itu Ki Lurah berkata, "Sayang. Agaknya ada sedikit kesalah pahaman terjadi disini. Tetapi bagaimanapun juga kalian adalah anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh."
Anak-anak muda itu diluar sadarnya mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara Kayun yang datar, "Apa maumu Ki Lurah" Kau akan menghasut anak-anak muda Pudak Lawang. Jika kau sudah berhasil bertemu dengan Ki Demang, sebaiknya kau segera pergi."
Hampir saja Glagah Putih meloncat turun. Namun Agung Sedayu itupun berdesis, "Ia masih terlalu kanak-kanak, Glagah Putih. Bukan umurnya, tetapi ilmu serta pengalamannya. Tidak sepatutnya kau melayaninya."
Glagah Putih menggeram. Ususnya tidak sepanjang usus Agung Sedayu. Ia dapat bersabar. Tetapi tidak sejauh yang dilakukan oleh Agung Sedayu.
"Marilah kita pergi," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Sudahlah anak-anak muda," berkata Agung Sedayu sambil tersenyum, "berlatihlah dengan baik. Tetapi tempatkan pula dirimu dengan baik."
"Cukup, pergilah," bentak Kayun.
Ternyata Glagah Putih benar-benar tidak dapat menahan lagi gejolak di dadanya. Tiba-tiba saja, masih duduk di punggung kudanya ia mengangkat tangannya. Sepasang telapak tangannya dihentakkannya kearah dahan sebatang pohon gayam yang besar yang tumbuh dekat di pintu gerbang padukuhan induk itu.
Semua orang yang ada di dekat pintu gerbang itu terkejut. Kayunpun terkejut.
Dahan yang besar itu tiba-tiba berderak patah menimpa dinding halaman di tepi jalan. Bagian dinding yang tertimpa dahan itupun roboh.
Kuda Glagah Putihpun terkejut pula, sehingga kuda itu meringkik keras-keras sambil berdiri diatas kedua kaki belakangnya, sedangkan kedua kaki depannya diangkatnya tinggi-tinggi.
Tetapi Glagah Putih sudah mengenal kudanya dengan baik. Iapun segera dapat menguasai kudanya. Dengan geram Glagah Putih itupun berkata lantang, "Siapa yang masih menyinggung harga diriku, akan aku pecahkan kepalanya."
"Sudahlah," berkata Agung Sedayu kemudian, "marilah kita tinggalkan tempat ini."
Glagah Putih tidak menjawab. Ketika kuda Agung Sedayu berjalan meninggalkan regol padukuhan induk kademangan Pudak Lawang, maka Glagah Putihpun mengikuti pula.
Ketika mereka sampai di bulak, Agung Sedayupun berkata. "Sebenarnya kau tidak perlu melakukannya. Glagah Putih."
"Mungkin bukan apa-apa bagi kakang. Tetapi aku tidak ingin dadaku meledak. Aku sudah mencoba bersabar kakang. Aku memang ingin diam apapun yang mereka katakan. Tetapi pada suatu saat. batas kesabaranku itu sudah dilampauinya. Aku tidak dapat terus-menerus menjadi sasaran penghinaan seperti itu tanpa berbuat apa-apa."
"Kesabaran itu tidak ada batasnya, Glagah Putih."
"Mungkin bagi kakang. Tetapi aku tidak mampu membiarkan harga diriku direndahkan sampai di bawah telapak kaki mereka."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia tidak dapat menyalahkan Glagah Putih yang masih terhitung muda itu. Darahnya masih mudah menjadi panas.
Beberapa saat kemudian mereka telah melewati padukuhan. Sebelum mereka memasuki mulut jalan, Agung Sedayupun berkata, "Jangan biarkan darah di jantungmu mendidih Glagah Putih. Biar saja mereka mengatakan apa yang ingin mereka katakan. Bukan berarti bahwa aku akan berdiam diri saja jika mereka benar-benar menyentuh wadagku."
"Kenapa kakang berpijak sekedar kepada unsur kewadagan. Meskipun mereka tidak menyinggung wadag kita, tetapi mereka menyinggung perasaan kita, bukankah itu justru terasa lebih parah."
"Kita akan mencoba, menguji jarak kesabaran kita."
Glagah Putih tidak menjawab.
Ketika mereka mendekati mulut lorong, maka yang nampak hanyalah beberapa anak muda saja. Agaknya yang lebih banyak berada di mulut jalan di seberang.
Agung Sedayu memperlambat kudanya ketika ia melihat beberapa orang anak muda berdiri di pintu gerbang.
"Apa khabar anak-anak muda?" Agung Sedayu justru berhenti.
"Baik-baik saja, Ki Lurah. Bagaimana dengan Ki Lurah dan bagaimana dengan kakang Glagah Putih?"
"Kami juga baik-baik saja anak-anak muda. Tetapi apa yang kalian kerjakan disini?"
"Berjaga-jaga, Ki Lurah?"
"Kenapa meski berjaga-jaga?"
"Mendung yang gelap sedang menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Seharusnya kau angkat kedua belah tanganmu menengadah kearah langit."
Anak muda itu tertawa. Katanya, "Menurut pendengaranku, terjadi perbedaan pendapat antara Ki Prastawa dan Ki Gede Menoreh."
Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum sambil menggeleng. Katanya, "Ternyata tidak. Tidak ada perbedaan pendapat antara Ki Gede dan Ki Prastawa. Tetapi orang yang namanya Ki Kapat Argajalu itulah yang berysaha untuk membuat suasana menjadi keruh."
"Bohong." teriak seseorang yang berdiri di belakang anak-anak muda itu, "kau jangan memutar balikkan kenyataan yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Siapa kau sebenarnya ?"
Ki Lurah Agung Sedayu memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada datar Ki Lurah itupun menjawab, "Semua orang Tanah Perdikan ini mengenal aku sebagaimana aku mengenal mereka. Agaknya kau bukan orang Tanah Perdikan ini."
"Aku memang bukan orang Tanah Perdikan ini. Aku datang di tanah Perdikan ini untuk membantu menegakkan keadilan. Untuk menempatkan Ki Prastawa di tempat yang seharusnya."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kepada anak muda yang berdiri di pinggir jalan itu Agung Sedayu bertanya, "Jadi orang ini adalah seorang dari murid Ki Kapat Argajalu ?"
"Ya, Ki Lurah."
"Lurah siapa kau ini" Lurah apa?"
"Aku Lurah prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan ini."
"O. Jadi kaukah Lurah prajurit yang bernama Agung Sedayu itu."
"Ya. Aku Agung Sedayu."
"Sayang, aku tidak melihat kau tadi lewat. Kau telah berhasil menerobos penjagaan anak-anak muda padukuhan ini. Jika saja aku tadi ada, maka kau tidak akan dapat melakukannya."
"Tetapi sekarang kami akan pulang Ki Sanak. Kami sudah berhasil bertemu dengan Ki Demang Pudak Lawang serta Ki Kapat Argajalu."
"Kau berhasil karena aku tidak ada disini tadi."
"Sudahlah. Yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Kau tidak usah menyesalinya."
"Kalau tadi aku tidak sempat mencegahmu memasuki daerah Pudak Lawang, maka sekarang aku tidak akan membiarkan kau keluar dari kademangan ini."
"Jangan aneh-aneh Ki Sanak. Ki Kapat Argajalu tidak mencegah kami pulang. Bagaimana mungkin kau akan mencegah kami. Ki Kapat Argajalu tentu akan menjadi marah kepadamu."
"Tidak. Ki Kapat Argajalu sudah memerintahkan kepada kami, jika seseorang berhasil menerobos masuk kademangan ini, maka ia tidak akan pernah dapat keluar."
"Mungkin yang dimaksud adalah orang-orang yang berbuat jahat. Tetapi aku tidak. Aku datang untuk berbicara baik-baik."
"Omong kosong. Kau juga sudah berbuat jahat. Bahkan lebih jahat dari seorang perampok. Kau telah mencoba menghasut anak-anak muda Pudak Lawang serta memberikan kesan yang keliru tentang Ki Kapat Argajalu."
"Aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin meluruskan persoalannya saja."
"Cukup. Kalian berdua harus menyerah. Aku ingin mengikat tangan dan kaki kalian. Aku akan membawa kalian kepada Ki Kapat Argajalu."
"Aku baru saja menemuinya."
"Aku akan melaporkan, bahwa kau telah menghasut."
Glagah Putihlah yang tidak sabar lagi. Iapun segera meloncat turun dari kudanya sambil berkata, "Kau mau apa sekarang?"
"Serahkan tanganmu. Aku akan mengikatmu."
"Pergilah sebelum aku kehabisan kesabaran," berkata Glagah Putih.
Tetapi orang itu justru mengumpat, "Setan alas. Kau berani mengusir aku."
"Jika kau tidak mau diam, aku akan membuatmu diam."
Orang itu menggeram. Katanya, "Aku dapat membunuhmu."
Tetapi demikian mulutnya terkatup, Glagah Putih telah menamparnya sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
Namun tiba-tiba saja orang itu mencabut pisau belati panjangnya.
Dengan serta-merta orang itu menyerang Glagah Putih. Pisau belatinya terjulur ke arah dada.
Tetapi dengan sigapnya Glagah Putih bergeser dengan menarik sebelah kakinya. Dengan demikian, maka pisau belati itu terjulur tanpa menyentuh tubuhnya.
Bahkan tiba-tiba saja sisi telapak tangan Glagah Putih telah memukul pergelangan tangan orang itu. Demikian kerasnya sehingga pisau belati itu terlepas dari tangannya.
Sebelum orang itu sempat berbuat apa-apa, tangan Glagah Putih telah memukul perutnya, sehingga orang itu membungkuk kesakitan.
Glagah Putih tidak memukul tengkuk orang yang membungkuk itu dengan sisi telapak tangannya. Ia tidak mau mematahkan lehernya. Tetapi Glagah Putih hanya menekan saja kepala orang itu sehingga orang itu jatuh terjerembab.
Glagah Putih membiarkannya berusaha bangkit berdiri. Sementara itu Glagah.Putih sendiri segera meloncat naik ke punggung kudanya.
Agung Sedayu tidak berbuat apa-apa. Ia duduk saja sambil mengawasi apa yang telah terjadi. Sedangkan anak-anak muda yang berkerumun itupun tidak seorangpun yang berbuat sesuatu.
Setelah duduk di punggung kudanya, maka Glagah Putihpun berkata, "Marilah, kakang. Kita pulang."
Agung Sedayu tersenyum. Kepada anak-anak muda itu iapun berkata, "Sudahlah, anak-anak muda. Sampai ketemu pada kesempatan yang lain."
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian meninggalkan tempat itu. Kudanya berlari tidak terlalu kencang.
"Jangan biarkan orang itu melarikan diri," berkata orang yang baru saja bangkit berdiri itu, "tangkap mereka. Tangkap mereka."
Tetapi anak-anak muda itu berdiri saja ditempatnya. Tidak seorangpun yang berusaha menghentikan Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
"Kenapa kalian hanya berdiri saja kebingungan " Tangkap orang itu."
Anak-anak muda itu masih saja berdiri termangu-mangu.
"Pengecut. Apakah kalian takut terhadap Lurah prajurit dan kawannya itu" Inikah anak-anak muda yang dibanggakan oleh Ki Prastawa dan Ki Kapat Argajalu, yang akan dapat mendukung niat Ki Prastawa merebut kedudukan Kepala Tanah Perdikan Menoreh" "
Tidak seorangpun yang menjawab.
"Jika kalian tetap saja seperti itu, maka apa yang diharapkan oleh Ki Prastawa tidak akan terwujud. Dukungan Ki Kapat Argajalu tidak akan ada artinya apa-apa."
Anak-anak muda itu masih tetap berdiam diri.
Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menjadi semakin jauh.
Dari Pudak Lawang, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih langsung pergi menghadap Ki Gede Menoreh. Merekapun segera melaporkan hasil perjalanan mereka menemui Ki Demang Pudak Lawang dan Ki Kapat Argajalu.
"Kami tidak dapat bertemu dengan Prastawa," berkata Ki Lurah Arung Sedayu, "aku kira Prastawa sengaja disingkirkan ketika aku datang di rumah Ki Demang itu."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah kita harus bertempur melawan saudara-saudara kita sendiri?"
"Agaknya Ki Kapat Argajalu memang licik sekali," geram Glagah Putih.
"Nampaknya anak-anak muda di kademangan Pudak Lawang tidak terlalu bersikap bermusuhan. Tetapi diantara mereka berkeliaran para pengikut Ki Kapat Argajalu yang dapat mempengaruhi mereka, sehingga mereka pada suatu saat akan dapat menjadi buas dan liar."
"Itulah yang sangat menyedihkan."
"Racun itu sudah terlalu dalam mencengkam kademangan Pudak Lawang, Ki Gede," berkata Glagah Putih pula.
"Apa yang harus kita lakukan menurut pendapat Ki Lurah."
"Kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan Ki Gede. Kita harus membangun pertahanan di sekitar Kademangan Pudak Lawang. Mungkin pada suatu saat mereka benar-benar berusaha memperluas pengaruh mereka dengan kekerasan."
"Jangan menunggu mereka menjadi kuat," berkata Glagah Putih, "sebaiknya kita segera memadamkan api yang baru mulai menyala, sebelum membakar seluruh padang ilalang."
Tetapi Ki Lurah itupun berkata, "Yang kita hadapi adalah sanak kadang kita sendiri, Glagah Putih. Kita tidak akan dapat bertindak sekedar mengandalkan kekuatan."
"Apakah orang seperti Ki Kapat Argajalu itu dapat diajak berbicara?" bertanya Glagah Putih.
"Bukan Ki Kapat Argajalu. Tetapi aku melihat kebimbangan di sorot mata Ki Demang."
"Selama kita ada di sana. Tetapi setelah kita pergi, maka yang akan berbicara panjang lebar dengan kecerdikan sesosok iblis adalah Ki Kapat Argajalu. Ki Demang tidak akan dapat melawan cengkeraman bujukan iblis itu."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, "Jika kita kepung kademangan Pudak Lawang, mereka tidak akan dapat meluaskan pengaruh mereka kemana-mana."
"Tetapi anak-anak muda yang tidak terlalu bersikap bermusuhan itu telah mutlak tenggelam di bawah pengaruh mereka."
"Aku mengerti pendapat kalian berdua," berkata Ki Gede, "aku setuju dengan Glagah Putih. Tetapi aku juga mengerti sikap Ki Lurah yang lebih mengendap. Karena itu, aku memang tidak akan segera mengambil sikap yang terlalu keras. Aku masih akan menunggu. Sementara itu. kita siapkan pertahanan yang sebaik-baiknya di sekitar kademangan Pudak Lawang."
Glagah Putih sebenarnya tidak telaten lagi. Tetapi ia tidak membantah, Ia masih mencoba untuk menilai sikapnya sendiri.
"Mungkin kakang Agung Sedayu benar, bahwa aku masih terlalu muda untuk menghadapi persoalan-persoalan seperti ini." katanya di dalam hati.
Namun dalam pada itu, Ki Gedepun berkata, "Aku akan berbicara dengan Argajaya dan beberapa orang yang berpengaruh di Tanah Perdikan ini. Mungkin aku akan dapat mengambil kesimpulan dari pendapat-pendapat mereka."
"Satu langkah yang baik, Ki Gede. Dengan demikian Ki Gede tidak meninggalkan mereka menghadapi keadaan yang rumit ini."
"Baiklah Ki Lurah. Terima kasih atas kesediaan Ki Lurah pergi ke Pudak Lawang. Biarlah malam nanti aku akan memanggil para bebahu serta orang-orang tua di Tanah Perdikan ini. Aku harap Ki Lurah dan Glagah Putih dapat hadir pula."
Ketika malam turun, di rumah Ki Gede telah berkumpul beberapa orang yang berpengaruh di Tanah Perdikan Menoreh. Diantara mereka terdapat Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Ki Gedepun telah mempersilahkan Ki Lurah Agung Sedayu untuk menceriterakan usahanya untuk meredakan permusuhan. Tetapi usaha itu nampaknya sia-sia. Meskipun Ki Demang Pudak Lawang, kadang-kadang masih nampak ragu, tetapi agaknya Ki Demang sudah tidak dapat melangkah surut. Prastawa sendiri telah terjebak kedalam kekuasaan Ki Kapat Argajalu, Isteri dan anaknya yang masih berada di dalam kandungan telah dipertaruhkan.
"Kasihan Prastawa," desis beberapa orang.
Sementara Ki Argajaya yang juga hadir di pertemuan itu hanya dapat menarik nafas panjang. Ia melihat satu dua orang diantara yang hadir itu merasa ragu bahwa Prastawa terpaksa menuruti kemauan Ki Kapat Argajalu karena keselamatan nyawa isteri dan anaknya terancam.
Sebenarnyalah ada diantara orang-orang tua yang berpengaruh di Tanah Perdikan itu yang tidak dapat melupakan, apa yang pernah dilakukan oleh Ki Argajaya. Sehingga apa yang dilakukan oleh Prastawa itu seakan-akan merupakan cela yang diwarisinya dari ayahnya.
Ki Argajaya merasa seakan-akan beberapa pasang mata dari mereka yang hadir itu mengawasinya dengan tajamnya.
Tetapi Ki Argajaya menahan dirinya. Nalarnya masih juga sempat berkata kepadanya, "Tidak. Mereka tidak menuduh Ki Argajaya. Itu hanyalah sekedar perasaanmu saja."
Ki Gede malam itupun berkata kepada orang-orang yang hadir, "Aku minta pertimbangan kalian. Menurut Ki Lurah Agung Sedayu, sulit untuk berbicara dengan Ki Kapat Argajalu. Sementara Prastawa sudah kehilangan kebebasan dirinya."
Seorang bebahu yang sudah separo baya bertanya, "Apakah Demang Pudak Lawang tidak mau menghadap Ki Gede lagi?"
"Jangankan menghadap. Sedang Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang datang atas nama Ki Gede menemuinya itupun telah diusirnya."
"Jika demikian, kita tidak mempunyai jalan lain. Kita paksa Ki Demang itu menghadap Ki Gede dengan kekerasan."
"Pikiran yang baik," desis Ki Gede, "jadi alasan yang kita pergunakan untuk mempersiapkan kekuatan menghadapi Kapat Argajalu adalah untuk memaksa Ki Demang di Pudak Lawang untuk menghadap bersama dengan Prastawa."
Seorang yang lain berkata, "Aku kira Ki Gede dapat berbuat lebih tegas lagi. Selain memaksa Ki Demang Pudak Lawang dan Prastawa menghadap, sekaligus untuk menangkap Ki Kapat Argajalu."
Ki Gede mengangguk. Katanya, "Aku tidak berkebaratan. Selain perintah agar Ki Demang Pudak Lawang dan Prastawa segera menghadap, juga perintah penangkapan terhadap Ki Kapat Argajalu jika ia masih tetap berada di Tanah Perdikan."
"Tetapi perintah ini akan mempercepat benturan kekerasan. Ki Kapat Argajalu akan mempergunakan alasan penangkapan atas dirinya untuk membela diri," berkata orang yang lain.
"Tidak apa-apa. Bukankah mereka telah mulai dengan langkah pertama, memisahkan Pudak Lawang dari Tanah Perdikan ini," sahut yang lain.
Berbagai pendapat telah diutarakan. Namun akhirnya mereka sepakat untuk mengambil kesimpulan bahwa Ki Gede memerintahkan Ki Demang Pudak Lawang untuk segera datang menghadap Ki Gede serta memerintahkan agar Ki Kapat Argajalu meninggalkan Tanah Perdikan atau menangkapnya jika ia masih tetap berada di Tanah Perdikan."
"Perintah itu akan disampaikan kepada Ki Demang Pudak Lawang, kepada Prastawa dan kepada Ki Kapat Argajalu," berkata Ki Gede.
"Aku akan menyampaikan perintah itu," berkata Glagah Putih.
Tetapi Ki Gede menggeleng. Katanya, "Persoalannya benar-benar menjadi gawat, ngger. Nampaknya Kapat Argajalu serta dua orang anaknya tidak lagi mempunyai tatanan. Karena itu biarlah yang pergi justru orang yang sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Seorang petani yang kerjanya sehari-hari pergi ke sawah. Mengerjakan sawahnya dengan tekun, menanam padi atau palawija serta mengairinya. Para pengikut Ki Kapat Argajalu serta orang-orang Kademangan Pudak Lawang tentu tidak akan mengganggunya."
"Tetapi apakah orang itu dapat mengatakan dengan jelas, perintah-perintah Ki Gede?"
"Perintah itu akan aku berikan tertulis saja. Sehingga orang itu tidak perlu berkata apa-apa, kecuali menyerahkan surat itu. Bahkan seandainya ia tidak boleh berjalan terus ke Pudak Lawang, maka biarlah ia menyerahkan surat itu kepada orang-orang yang menghentikannya dan memaksanya kembali. Aku yakin surat itu akan sampai setidak-tidaknya kepada Ki Kapat Argajalu."
Orang-orang yang hadir itupun sependapat. Jika Glagah Putih yang pergi lagi ke Pudak Lawang, maka mungkin sekali akan terjadi tindakan kekerasan atasnya.
Pembicaraan itupun berlangsung sampai larut malam. Ketika mereka yang hadir itu pulang, maka mereka akan berbicara kepada semua orang Tanah Perdikan Menoreh. Bahwa Pudak Lawang telah memisahkan diri, Ki Gede telah mengeluarkan perintah yang tegas kepala Ki Demang Pudak Lawang dan Prastawa untuk menghadap, serta memerintahkan Ki Kapat Argajalu untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh atau jika ia tidak segera melakukannya, penangkapan atas dirinya.
Di hari berikutnya, seperti yang dikatakan oleh Ki Gede. Ki Gede telah memerintahkan salah seorang tetangganya, seorang yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari orang kebanyakan, untuk membawa surat bagi Ki Demang Pudak Lawang.
Namun sebelumnya Ki Gede sudah bertanya beberapa kali kepadanya, "Kau benar-benar berani ?"
"Berani Ki Gede. Meskipun aku tidak mempunyai ilmu apa-apa. Tetapi aku merasa berkewajiban untuk ikut berbuat sesuatu menurut kemampuanku. Jika hanya menyampaikan surat saja, aku tentu mampu. Aku sudah sering pergi ke Pudak Lawang. Seorang pamanku tinggal di Pudak Lawang. Apa sulitnya?"
"Kau memang berani atau karena kau tidak tahu bahaya yang bersembunyi di balik perbatasan kademangan Pudak Lawang."
"Tahu, Ki Gede. Aku tahu. Jika aku pergi ke Pudak Lawang, tentu berbeda dengan pada saat aku pergi beberapa waktu yang lalu. Justru karena Pudak Lawang telah memisahkan diri. Aku tahu, bahwa mungkin sekali aku diperlakukan dengan tidak baik. Katakan, puncak dari bahaya yang aku hadapi adalah, mungkin sekali aku akan dibunuh. Tetapi aku kira mereka tidak akan melakukannya itu, Ki Gede."
"Mungkin orang-orang Pudak Lawang sendiri tidak akan memperlakukan kau seperti itu. Tetapi orang-orang yang datang di Pudak Lawang, yang sengaja ingin menghasut kerusuhan."
"Tetapi nyawaku tidak tergantung kepada mereka. Nyawaku ada di tangan Yang Maha Agung. Jika waktunya mati itu sudah tiba, maka tidak seorangpun yang akan dapat mengelak, meskipun orang itu tidak berada di daerah yang berbahaya seperti kademangan Pudak Lawang sekarang ini."
"Baiklah. Jika kau sadari sepenuhnya apa yang akan kau lakukan, maka lakukanlah. Kau tidak akan menyesali tugas yang terlanjur kau emban."
Demikian matahari mulai merambat naik, maka orang yang membawa surat itupun segera berangkat menuju ke Pudak Lawang.
Meskipun orang itu sudah benar-benar pasrah, apa saja yang akan terjadi atas dirinya, namun ketika ia mendekati perbatasan kademangan Pudak Lawang, hatinya masih juga menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika ia melihat sebatang pohon yang roboh menyilang jalan yang akan dilaluinya.
Namun untuk membesarkan hatinya sendiri, orang itu sempat bergumam, "Orang-orang Pudak Lawang memang bodoh. Apa artinya sebatang pohon yang rebah itu" Bukankah tidak ada gunanya" Jika orang-orang dari sekitar Pudak Lawang ingin menyerang, maka mereka dapat meloncat pohon yang ditumbangkan itu. Atau bahkan turun lewat parit dan sawah di sebelah-menyebelah jalan. Jika batang padi yang subur itu terinjak-injak kaki. itu justru karena salah orang Pudak Lawang sendiri."
Namun orang itupun kemudian mengangguk-angguk. Mungkin maksudnya untuk menghambat pasukan berkuda serta menghambat pedati-pedati yang mungkin membawa perlengkapan dan cadangan senjata bagi pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang akan menyerang dan kemudian merebut kembali Pudak Lawang, serta memaksa Ki Demang dan Ki Prastawa untuk menghadap."
Pendekar Sakti 16 Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen Pendekar Penyebar Maut 10
^