Padang Ilalang Di Belakang 1
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini Bagian 1
PENGANTAR Belanda meninggalkan kotaku.
Selama beberapa hari rakyat merampok isi gedung yang
bisa mereka buka, mengambil segala yang dapat mereka
pegang. Kemudianjcpang masuk. Kuta jatuh ke tangannya
tanpa ada yang melawan. Kedatangannya justru dianggap
sebagai penyelamat dari penjajahan. Dengan kecepatan dan
kesigapan berorganisasi yang dikagumi Ayah, Lentarajepang
itu menyusun kemba" kegiatan hidup penduduk.
Pada suatu hari, lima orang serdadchpang tiba"tiba berada
di belakang kampung. Nugroho melihat mereka memotong
ilalang di padang yang membatasi kebun kami dengan sungai.
Sebentar kemudian, "ang"orang kampunsr berduyunan
menyaksikan para pendatang baru itu. Kami seisi rumah tidak
ketinggalan, mengawasi mereka dari kebun.
Beberapa waktu kemudian, dua orang di antaranya
mendekati pagar, mengatakan sesuatu. Bapak yang mengerti
beberapa bahasa asing, tidak dapat menangkap maksud
orang-orang Jepang tersebut. Sebentar terjadi percakapan
ramai di antara serdadu"serdadu itu. Suaranya gaduh seperti
orang Cina. Lalu dua orang di antaranya mendekat lagi. Dan
tanpa tingkah kesopanan sedikit pun, mereka mematahkan
bilah-bilah bambu serta tanaman yang menjadi pagar,
langsung menuju ke tempat Ayah berdiri. Sekali lagi berbicara
ramai, sambil tangannya bergerak"gerak hendak menunjuk"
kan kemauannya. Ayah yang mulai kehilangan kesabaran
karena melihat mereka masuk ke kebun tanpa izin, dan
pagarnya dirusak7 nampak mengerti kehendak serdadu-
serdadu itu. Dia mengangguk kaku tanpa berkata sesuatu pun,
berjalan menuju ke rumah, diikuti kedua orang tentara itu.
Kami semua juga membuntutinya. Naik beberapa anak
tangga, sampai di depan kamar mandi,dapur,naik1agi, tiba di
latar bersemen yang memisahkan rumah induk dari rentetan
bangunan belakang. Ayah hendak masuk ke dalam SCpCH
ketika salah seorang serdadu itu berseru sambil menunjuk"
nunjuk kawat di latar yang kami pergunakan sebagai
perentang jemuran pakaian. Ibu mengerti maksud mereka,
lalu mengatakan sesuatu kepada Bapak. Tapi Bapak (idak
menyahut, ia masuk ke seperi, cepat keluar sambil memegang
sesuatu di tangannya. Dia naik ke latar, menggunting ujung
kawat"kawat pcnjemur. Kepada lbu dia berkata akan
menggantinya malam itu juga. Dia tidak mau memberikan
lali, karena masih harus dicari dulu. Lebih baik kawat"kawat
itu saja. Biar orang"orang yang tak tahu tatacara itu segera
keluar dari rumah. Semua itu diucapkannya (lengan suara.
gusar yang jarang kami dengar.
Waktu kedua tentara itu menggulungkan kawat, aku sempat
memperhatikannya dari dekat. Itulah tentara yang dikatakan
Bapak penyelamat dari penjajah! Tubuh mereka pendek,
hampir menghilang ke dalam seragam yang nyata-nyata
terlalu besar bagi mereka. Tinggi badan sama dengan
orang-orang Indonesia, tetapi perbandingan antara bagian
atas dan bagian bawah tidak sepadan. Ataukah barangkali
kesan itu kudapatkan karena potongan pakaiannya" Warna
kulitnya kuning seperti orang lina, dengan mata yang sipit,
tenggelam di antara pelapukan yang menggembung tebal.
Mereka memakai topi seperti penunggang kuda, di bagian
belakang ada secarik kain terjumbai hingga tengkuk.
Sebegitu mereka selesai menggulung kawat, Bapak
memegang lengan salah seorang di antaranya. Sambil
menunjuk pintu kebun dengan telapak tangan terbuka, dia
menarik orang itu ke sana. Ayah tidak ingin terlalu lama
meladeni serdadu"serdadu itu. Dan ketika mereka telah keluar
dari karas, di bawah mata pendatang baru itu, Bapak mulai
memperbaiki pagar yang rusak. Nugroho dan Teguh
membawa bahan dan alat dari kebun samping yang kami
namakan Wetan Dalem.' !Sebelah Timur rumah Itulah hubungan pertama kami dengan orang"orang
Jepang. Sewaktu sekolah dibuka kembali, aku masuk kelas satu dan
sudah bisa membaca serta menulis.
Di samping bangunan sekolah rakyat di Pendrikan Tengah,
ada gedung kecil. Setiap sore kedengaran suara gamelan dari
sana. Pada papan nama yang tergantung di situ tertulis: Eka
Kapti. Di sanalah aku menerima pendidikan tari dan gending.
Salah seorang gurunya yang segera terasa dekat padaku ialah
Pak Yadi. Ia tampan, berbadan sedang. Caranya berbicara
halus dan sopan. Gerak-geriknya dapat silih berganti:
lemah"lembut, sigap maupun kasar: tergantung pada tokoh
dan tari yang diperankannya.
Sementara itu kakakku Heratih selesai sekolahnya.
Dia mendapat pekerjaan di kantor telepon di dekat
alun-aiun. Setiap akhir bulan, setelah menerima gaji7 dia
pulang bersepeda sambil membawa sebuah kantung besar. Di
dalamnya ada. mangkuk"mangkuk kertas berisi es krim yang
lezat, dibeli dari toko "Oen" dijalan Bojong. Kami serumah
mendapat bagian semangkuk seorang. Juga kami berempat
masing-masing menerima sepuluh sen, berupa lempengan-
lempengan bulat logam .putih. Makin lama bentuknya
bertambah besar, tetapi lebih ringan. Lalu berganti menjadi
uang kertas dan bertuliskan angka lebar dan besar. Tetapi
daya belinya semakin berkurang.
Ayah tetap bekerja dijawatan Kereta Api. Gajinya semakin
hari semakin tidak mencukupi. Perubahan ini tidak hanya
dirasakan oleh keluarga kami. Seluruh tanah air menderita.
Keadaan dan sistem sosial bergerak bersama dengan
propaganda bahwa semua orang sama derajatnya, dcngan
semboyan "Jepang"Indonesia sama"sama", "Kemakmuran
bersama Asia Timur Raya" dan sebagainya. lbuku
mengambil waktu lama buat membiasakan diri dengan
panggilan "Bu" yang ditujukan kepadanya. Sebutan dari
tetangga-tetangga di kampung yang dulu memanggilnya
"Den" atau "nDoro".
Seperti kebanyakan orang, semula Ayah gembira me-
nyambut tentara Jepang. Dia dengan giat membantu
pembentukan pemerintahan di setiap kampung, menjadi
kepala Rukun Tetangga, memimpin berbagai rapat. Tetapi
lambat-laun dia melihat maksud Jepang yang sebenarnya.
Sekali lagi, menurut kata Ayah, lndonesia jatuh ke tangan
penjajah, dengan bentuk dan cara yang lain. Berdasarkan
alasan kesehatan, ayahku mengundurkan diri dari kehidupan
"politik" itu. Salah seorang adik Ibu, Iman Sujahri, pindah dari Jawa
Timur ke Semarang. Dia menjabat pekerjaan walikota. Dalam
bayangan Paman inilah ayahku meneruskan kegiatannya.
Memberikan pendapat dan usul kepada ipar dan sepupunya.
Kalau Paman datang ke rumah, mereka berdua selalu
menyendiri, berbincang dengan asyik mengenai politik
pemerintahan kota dan negara. Atau pada malam-malam
tertentu, keduanya menghilang ke kamar depan di dekat kotak
radio yang tersimpan di sebuah lemari.
Rumah kami tidak berubah. Tetap lindung, tenteram dan
akrab. Di pendapa, meja bilyard telah diambil kembali oleh
balai pertemuan di mana Ayah menjadi anggota. Di tengah
kebun di muka rumah dibuatlah galian di bawah tanah untuk
perlindungan dari serangan udara. Tanaman kembang dan
hiasan lain dipindahkan ke atas lubang tersebut, yang ternyata
dapat tumbuh, seolah"olah hendak menyenangkan hati kami.
Pohon sawo dan belimbing masih tetap tegak. Luasan tanah
yang ketinggalan di sana, bergantian ditanami kapas dan
jarak: tergantung kepada meluapnya propaganda yang
disebarkan pada waktu itu.
Demikianlah kehidupan terus mengalir.
Dari seluruh isi rumah, ibukulah yang paling terengah"
cngah. Ia berusaha mengikuti zaman dengan langkahnya yang
sempit, tertahan-tahan oleh kain dan kebiasaan adat yang
sukar dilepaskan. xii Oleh keadaan keuangan yang tidak mengizinkan, orang
tuaku memutuskan hanya mempunyai pembantu sesedikit
mungkin. Yang tinggal bersama kami adalah Simbok, seorang
perempuan tua, dianggap sebagai anggota keluarga sendiri.
Dia datang dari desa, dibawa Nenek pada waktu Ibu dan Ayah
kawin. Anak Simbok, seorang laki-laki, mendapat pekerjaan
sebagai penjaga balai pertemuan tempat Ayah menjadi
anggota. Dia telah kawin. Seringkali datang ke rumah kami
bersama isterinya, berkunjung sambil menolong pekerjaan apa
saja yang dapat dikerjakan. Namanya Marjo, isterinya Saijem.
Kami biasa memanggil Kang Marjo dan Yu Saijem.
Menurut cerita, Simbok sebagai salah seorang pamong yang
ikut Nenek, pernah membantu menyusui Ayah dan
saudara-saudaranya ketika masih bayi. Sebab itulah Simbok
berhak mendapat kamar di dalam rumah induk, dipasrahi
kunci-kunci lemari perbekalan jika Ibu sedang sibuk atau
bepergian. Kebebasannya bergerak dan berbicara tidak
terbatas. Dia dapat mengambil prakarsa demi keberesan
makanan di rumah. Pada waktu"waktu perbincangan, diajuga
hadir, ikut mendengarkan. Bahkan pada akhir"akhir masa
hidupnya, dengan usia yang semakin lanjut, dia semakin
cerewet dan suka mencampuri urusan keluarga. Meskipun
tidak diminta pendapat dan pikirannya, dia langsung
mengatakan. Bapak dan lbu dengan sabar mendengarkan.
Tetapi jika keterlaluan, mereka juga bisa mengingatkan
dengan halus akan kedudukannya.
Selain Simbnk, pembantu yangjuga tinggal di rumah kami
adalah seorang wanita muda dengan anak perempuannya,
sebayaku. Ibu tidak suka mengeluarkannya. Suami perempu-
an itu menghilang tak ketahuan ke mana. Ayah terpaksa
menyetujui, meskipun berarti pengeluaran tambahan biaya
lagi guna sekolah anak pembantu itu.
Di rumah, berkali-kali terjadi perdebatan kecil mengenai
keadaan hidup yang telah berubah. Bapak berusaha
mempengaruhi lbu untuk keluar dari kungkungan didikan
yang diterima dari orang tuanya yang serba kebangsawanan.
Ibuku sebetulnya bisa membantu mencari penghasilan. Dia
pandai memasak. Dapat menerima pesanan kue-kue kering
dari kenalan"kenalan yang mengadakan pesta atau kondang"
an. Diajuga pandai membatik. Ia dapat langsung membatik
dengan lilin panas tanpa pola ataujiplakan, tanpa keraguan.
Saudagar Cina yang biasa menerima hasil karyanya untuk
diwedel atau disugiz, ' berkali-kali bertanya kalau"kalau Ibu mau
menerima pesanan batikan. Tetapi lbu selalu menjawab tidak
mempunyai waktu untuk mengerjakan kain orang lain. Dia
hanya membatik buat sanak-saudara, atau kain-kain yang
akan dihadiahkan. Ayah yang menerima didikan lebih realistis, mengerti
bahwa dunia telah berubah. Kefeodalan telah basi, tidak
mendapat tempat lagi dalam hidup yang terus bergerak. Tidak
henti-hentinya dia mencoba mempengaruhi Ibu. Tapi semua
itu nampak sia"sia. Hingga datanglah siang itu.
Kami pulang dari sekolah. Ada yang terus makan, ada yang
menunggu Heratih dan Ayah. Biasanya Teguh dan aku
mendahului makan setelah mencuci kaki dan tangan. Teguh
karena hendak keluar bermain dengan kawan"kawannya. Aku,
karena kelaparan. Nugroho clan Maryam menunggu.
Sewaktu makan bersama siang itu, Heratih mengabarkan
apa yang dilihatnya. "Ban sepedaku kempes tadi. Untung melalui Kranggan.
Waktu sedang memompakannya, kulihat Bu Bustaman. Dia
berjualan di sana." Sebentar kalimat kakakku itu bagaikanjatuh ke lubang yang
dalam, tak kedengaran sentuhan dasarnya. Tidak seorang pun
ldicelupkan dalam cairan Soga
dari kami menginsali artinya yang penting. Atau begitulah
kiraku. Karena aku pun yang duduk di sana, tidak melihat
keanehan kata-kata Heratih.
"Dia jadi bakul rombengan sekarang," kata kakakku lagi.
"Siapa?" cepat lbu menyela. "Mbakyu Bustaman?"
"Ya." "Ah, tidak percaya. Masakan dia mau jualan begitu di
pinggir jalan!" bantah lbu.
"Betul! Dia duduk di emper toko jamu di Kranggan."
"Barangkali dia sedang membeli. Kamu salah lihat!" Ibu
berkeras kepala. "Ah, lbu ini'. Masakan aku tidak tahu bedanya mana si
penjual mana si pembeli" Bu Bustaman duduk di depan
dinding. Dia menjereng-jereng baju. Orang"orang lain di
sebelah luar yang melihat, barangkali menawar. Aku tidak
mendengar percakapan mereka."
Sekali lagi tidak ada yang bersuara. Ayah, barangkali tidak
sabar menunggu reaksi yang nyata dari Ibu mengenai kabar
tersebut. Nugroho, masa bodoh. Maryam, seperti Bapak. Dan
Heratih, kelihatan puas. Seolah"olah lega telah menunaikan
tugas menyampaikan berita tentang kejadian hari itu. Aku
sendiri, seperti pada waktu-waktu lain, lebih sering diam,
melihat dan mendengar daripada berbicara.
"Kau salah lihat! Tentulah itu bukan Bu Bustaman!"
akhirnya ibuku berkata lagi.
"Mengapa kau tidak ke sana nanti sore atau besok untuk
menyatakan sendiri?" tiba-tiba Bapak mencampuri.
"Itu betul"betul Bu Bustaman!" Heratih membela penda-
patnya. "Tubuhnya yang segemuk itu, tepat seperti dia.
Tukang sepeda tidak jauh dari tempatnya. Aku bisa
melihatnya jelas." "Di muka toko jamu, katamu?" tanya Ibu lagi.
"Ya." Tidak mengherankan berita itu merupakan bom yang
dahsyat bagi Ibu. Nyonya Bustaman adalah ibu temanku
Treksi. Berkedudukan sama dengan kami dalam tingkatan
sosial sebelum Jepang masuk. Beberapa bulan yang lalu
suaminya meninggal. Pada masa itu, laki-laki di rumah adalah
tiang penyangga hidup seluruh keluarga. Kalau dia hilang,
rumah dapat runtuh, isinya mati kelaparan. Apalagi di zaman
serba sukar mencari isi perut. Barangkali oleh karenanyalah
Bu Bustaman menjadi penjual pakaian bekas. Itu pun kalau
benar-benar Heratih tidak salah lihat. Bagiku, amat sukar
membayangkan ibu temanku duduk di emper toko, di pinggir
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalan menghadapi dagangan.
Sore itu juga aku dibawa Ibu keluar.
Kami tidak naik becak. Udara sore selalu nyaman buat
berjalan. Apalagi melalui jalan Depok yang didereti pohon
asam di kanan-kiri. Trotoar lebar, dipinggiri oleh penjual-
penjual makanan dan buah beraneka ragam. Baunya
bercampur"baur amat sedap: gurih, kecut5 manis. Harum-
nya empat atau lima macam pisang saja telah cukup buat
memenuhi udara lembut sore itu. Ditambah pula dengan asap
berkepulan dari singkong panas, parutan kelapa dan
bermacam"macam makanan lain.
Dari Depok kami menyeberangr ke Peloran, lalu masuk ke
Kranggan Kulon. Toko jamu yang disebut kakakku masih
jauh, hampir sampai di ujung Kauman. Trotoar di sana lebih
sempit. Rumah-rumah yang menjadi toko herhimpitan
langsung menyentuh tepian aspal tempat pejalan kaki. Aku
tidak pernah menyukai jalan itu. Orang"orang yang lewat
berpapasan, seringkali harus saling menunggu atau saling
dahulu"mendahului. Tidak jarang kami terpaksa turun ke
jalan besar karena terdorong atau terdesak, salah-salah bisa
terlanggar oleh kendaraan yang lalu-lalang.
Aku mengikuti ibuku dari belakang dengan diam-diam.
Trotoar yang sempit itu semakin kelihatan penuh, karena di
setiap emper toko atau rumah dijajakan berbagai dagangan.
Kebanyakan pakaian dan kain batik. Beberapa tukang jahit
juga menyewa tempat"tempat di situ untuk mencari nafkah.
Bersila di lantai, menghadap kej alan besar, dengan mesinjahit
yang tua dan gaduh di depannya. Timbunan bahan atau
pekerjaan pesanan ada. di sampingnya.
Sore itu beberapa orang pedagang telah bersiap-siap akan
pulang. Termasuk Bu Bustaman. Aku tidak menyadari telah
tiba di muka toko jamu ketika kudengar ibuku menegur
dengan suara seperti biasa:
"Sudah mulai siap hendak pulang, Mbakyu?"
"Eeeee, _]eng Salyo!" ibu temanku itu menyahut, nampak
terkejut melihat kami di sana.
Keduanya mengulurkan tangan, bersalaman.
"Ya, jeng. Kalau sudah sore, cepat sekali menjadi gelap.
Saya tidak menyewa lampu."
Bu Bustaman mengemasi timbunan yang agak menonjol ke
luar dari ubin emper, lalu meneruskan berbicara:
"Dari mana, Jeng" _]alan-jalan saja, atau belanja" Silakan
duduk sebentar." "Mau beli kembang telon tiga macam: mawar, melati dan
kenanga di pojok Kranggan. Buat weton" Heratih besok pagi."
Dalam hati, dengan cepat kuhitung hari"harinya: Pon,
"'age, Kliwon, Legi, Paing. Ya, betul! Besok weton kakakku.
Ibu tahu saja menemukan jawaban!
Tanpa disilakan dua kali, dia duduk di pinggir lantai,
melihat ke bongkahan kain kasur yang telah siap diikat. Bu
Bustaman mengerjakan bungkusan lain, mengerti makna
pandang ibuku. "Ya, Jeng, begini ini! Saya menjadi bakul rombeng
sekarang." Aku khawatir. Tidak bisa mengira apa yang dapat
dikatakan Ibu sebagai jawaban atas kalimat kawannya yang
nyata diucapkan dalam bentuk keluhan itu.
"Ah, Mbakyu. Sekarang zamannya sudah berubah,
Menjadi apa saja asal mencari nafkah dengan halal."
Dengan sekali sentuhan, Ibu menutup mulutku yang
ternganga keheranan mendengarnya, Aku terkejut, seperti
terbangun dari mimpi. "Saya pikir"pikir, apa yang bisa saya kerjakan?" kata Bu
Bustaman lagi. "Saya tidak pernah sekolah. Tidak bisa
memasak buat membuka warung makanan. Lagi pula, warung
memerlukan modal. Lalu, pada suatu hari, saya keluarkan isi
2hari kelahiran, umpamanya Ahad Pon atau Senin Kliwon
lemari. Saya pilih pakaian yang masih bagus, tapi yang tidak
saya perlukan lagi. Dan saya sewa emper ini. Sekarang, setiap
hari. saya menjajakan dagangan di sini. Eee, Jeng tahu"
Seorang demi seorang, banyak tetangga, nyonya"nyonya yang
saya kira tetap mempunyai harta dan kekayaan, pada titip
jualan. Coba lihat ini: ini, dan itu yang biru."
Berdua dengan ibuku, dia membuka dan memperlihatkan
kebaya, selendang dan taplak meja yang masih ketinggalan di
luar bungkusan. "jadi, malahan Mbakyu menolong orang lain," kata Ibu.
"Ya"]eng. Tentu saja saya mengambil keuntungan. Tetapi
tidak banyak. Kalau terlalu banyak, tidak laku."
Percakapan kedua wanita itu berkisar pada barang-barang
yang mereka pegang. Lalu Bu Bustaman melihat kepadaku,
mengatakan kalimat yang manis dan teguran ramah. Katanya,
aku sudah lama tidak bermain"main ke rumahnya.
"Sekarang Mbakyu berjualan begini, siapa yang mengurus
di rumah, Mbakyu?" tanya Ibu lagi,
"Adik saya yang sudahjanda, datang dari Purworejo. Kami
tinggal berdua di dunia ini. Lebih baik hidup berkumpul. Dia
yang saya pasrahi mengurus rumah. Ada pembantu seorang,
yang pulang sore. Cukup. Rumah kecil, Jeng, lain dengan
rumah Jeng Salyo. Bagaimana kabar Jeng Salyo sendiri"
Kangmas?" Lalu mereka saling memberi berita. Mengabarkan kenalan
bersama. Aku duduk di pojok, tetap mendengarkan.
Kadang-kadang menemukan suatu kabar yang lebih menarik
dari lainnya. Kupingku lalu kupasang baik-baik. Tetapi pada
waktu mempercakapkan berita biasa, sambil mengelamun
kuarahkan pandang ke jalanan. Benar seperti kata Bu
Bustaman, sore hari cepat menjadi gelap. Udara yang terang
mulai muram, seperti berselubungkan kain tipis yang
berwarna kelabu. Becak"becak belum memasang lampu
minyak7 kelihatan warna"warni gambaran sampingnya yang
berkeliaran seperti kunang-kunang. Aku mulai merasa bosan.
Untung Ibu segera berdiri dan pamit. Bu Bustaman harus
meninggalkan pinggiran toko sebelum hari menjadi gelap.
Kami meneruskan berjalan ke Kranggan Wetan.
Seperti jalan Depok, sudut Kranggan Wetan yang selalu
harum dan nyaman dengan warna"warni kembang itu adalah
tempat yang aku sukai. Merupakan pojok persimpangan lima,
segalanya nampak berdesakan dan hiruk-pikuk. Selalu penuh
dengan penjaja harang-barang dari logam, kaca dan perabot
rumah tangga. Kendaraan bersimpang"siur tanpa diatur
lampu merah-hijau. Hampir di setiap penjuru becak-becak
berhenti menunggu penumpang. Segalanya memberi kesan
kepadatan yang membingungkan. Namun itu adalah salah
satu bagian kota yang tidak pernah lupa kujenguk di kelak
kemudian hari, pada waktu"waktu kunjunganku ke rumah
ibuku. Ibu membeli kembang telon untuk ditaruh di bawah tempat
tidur Heratih dan mawar serta kenanga buat dipasang di
sanggul. Lalu kami pulang. Aku bersusah"payah menahan
keinginanku akan gemuk [indri yang enak dari kampung
Basahan. Karena ibuku tentulah akan menjawab, bahwa di
rumah telah banyak makanan lainnya.
Malam itu Ibu memberi tahu akan menjadi "buruh" orang
Cina. Dia juga akan menerima pesanan kue kering yang
dimasak di dalam pan. Bapak dan kami anak-anak disuruhnya
menyebarkan berita tersebut, agar banyak orang yang
memesan makanan kepadanya. Heratih yang pandai memasak
dan membatik, menyanggupi akan memberikan bantuan.
Hingga masa dewasa kami, hanya dialah satu"satunya anak
perempuan ibuku yang pernah membatik dengan bagus.
Sejak itu, rumah kami bagian belakang menjadi sanggar
batik dan pabrik makanan kering. Ibu dapat membayar
seorang pembantu yang datang setiap hari dari kampung
Bedagan. Ibu mengerjakan garapannya di mana saja, baik di
rumah maupun di kebun. Tergantung pada keadaan udara
dan warna kain yang dikehendaki si pemesan. Bambu dan
kawat jemuran di latar bisa penuh dengan hasil karya ibuku.
Seluruh latar dan bagian belakang rumah berbau wedelan dan
soga, sedap nyaman. Sampai dewasa pun, pada saat-saat
hidungku mencium bau kain batik asli, pikiranku melayang ke
masa kanak"kanak, kemudian terbayang ibuku duduk
membatik di depan gawangcmfi
Jika cuaca dan kesehatan Ibu tidak mengizinkan, kain-kain
mori yang telah dibatik itu dilipat dan ditimbun baik"baik,
diikat pada boncengan sepeda Bapak. Lalu aku naik di depan.
Kami berdua membawanya ke kampung Dargo, rumah
seorang saudagar batik Aku selalu terpesona melihat kemegahan rumah saudagar
batik itu. Letaknya di bagian kota yang mewah, berpagarkan
terali besi yang tinggi sekali. ltu bukanlah satu-satunya
gedung yang pernah kumasuki. Namun mendekat dan
melangkahkan kaki ke halamannya, aku merasakan suatu
tantangan yang aneh. Barangkali karena di depan pintu
gerbang ada gambar seekor anjing dengan tulisan: "Awas,
anjing galak!" Dan karena setiap kali Ayah menekan bel di
pintu, muncullah tiga atau empat eknr binatang itu, yang
datang menggonggong dan meloncat-loneat dengan garang"
nya di balik terali besi, seakan-akan siap menerkam kami
begitu pintu terbuka. Bila kemudian datang orang dari dalam
yang menyilakan kami, membentakkan nama-nama anjing itu
supaya diam, aku mengikuti ayahku sedekat"dekatnya, sambil
berjalan dengan mata sebelah tetap mengawasi segala
gerak-gerik hinatang-binatang itu karena rasa takut. Lain-lain
hal di rumah itu tidak menarik perhatianku. Isi gedung dan
kebun merupakan kelumrahan yang kukenal dan kulihat di
rumah-rumah Paman serta kerabat lain. Dapat dikatakan
anjing-anjing itu sekaligus menakutkan dan menarik hatiku.
Aku ditumbuhkan bersama kucing sebagai binatang kesayang-
an. Seekor anjing, besar, apalagi yang menggonggong;
melompat menunjukkan gigi"gigi besar dan tajam! Semua itu
bagiku merupakan hal yang luar biasa. Lebih-lehihjika seruan
si pemilik atau bahkan seorang pembantu yang mengenal
binatang itu dituruti. Demikianlah, setiap kali Ayah harus mengembalikan mori
yang telah dibatik ibuku, aku berusaha untuk selalu ikut.
3tempat sampiran kain mori yang hendak dibatik
Hanya untuk sejenak mengalami bercampurnya perasaan
kecemasan dan kekaguman. Hanya untuk melihat kembali
anjing-anjing besar berbulu mengkilat itu melompat7
memanjatkan kedua kaki depannya pada terali pintu.
Perasaan tegang yang menguasai diri pada waktu itu
membikinku waspada dan sigap. Oleh karenanya aku suka
kepada tantangan"tantangan ketakutan semacam itu.
Makanan kering yang dimasak ibuku selalu lebih enak dan
gurih daripada yang terdapat di toko, Kata lbu, karena dia
tidak curang, selalu mempergunakan bahan-bahan yang sehat
dan semestinya. Kalau di dalam resep disebut mentega, dia
mempergunakan mentega, bukan separoh mentega dan
separohnya lagi minyak atau bahan lemak lain. Ketika
keadaan semakin sukar pun, Ibu lebih suka menaikkan harga,
tetapi rasa makanan tetap enak, daripada memakai
bahan-bahan lain. Katanya, karena dia tidak merasa puasjika
hasilnya tidak lezat. Bagi ibuku, lebih baik tidak memasak
sama sekali. Di dalam dapur ada sebuah amben panjang meminggir ke
dinding. Dinding papan ini berjendela lebar. Dari rumah
induk, kami bisa melihat semua yang terjadi di dapur melalui
jendela itu. lbu atau Heratih duduk di atas amben mencampur adonan
di dalam sebuah wadah besar dengan kedua tangannya. Siapa
pun, Nugroho, Maryam, Teguh, Bapak atau aku sendiri tidak
berhak masuk ke dapur tanpa berhenti dulu mencuci tangan
pada pipa air di latar yang berdekatan dengan pintu masuk
dapur. Ibu mengetahui benar kebiasaan kami. Tak seorang
pun di antara kami dapat menahan tantangan buat
menenggelamkanjari telunjuk barang sekali ke wadah adonan
yang begitu mengundang, lalu menjilatnya dengan iringan
suara "mmmmm, mmmmm," baik keras-keras maupun secara
bersembunyi"sembunyi. lbu membiarkan perbuatan tersebut
hanya sekali atau dua kali. Lebih dari itu kami diusir ke luar.
Sebab itu, lalu kami mencari dalih, mencari alasan akan
membantunya. Nugroho dengan sipatnya yang selalu
berlagak, menolong memasukkan nampan-nampan seng berisi
adonan yang telah dicetak ke dalam pan, serta mengeluarkan
yang sudah masak. Aku biasa memperhatikannya dengan
perasaan ngeri. Nampaknya memang dia tidak takut
tangannya akan menyentuh bagian-bagian seng maupun pan
yang panas. Kemudian, pada saat-saat lbu atau Heratih
memalingkan muka, dengan sekali pungut, diambilnya
makanan yang belum matang, tchat"cepat dimasukkan ke
dalam mulut. 'l'eguh lebih suka kepada yang telah masak. Dia menolong
menghitung kuch kering tersebut, memasukkannya ke lodong
atau kaleng. Kalau lbu atau Heratih tidak melihat, dari lima
buah kuch yang ada di tangannya, hanya tiga yang dihitung
sambil bersuara keras. Sisanya segera menghilang ke dalam
saku celana pendeknya, bercampur dengan segala macam
benda yang telah ada di sana, berupa potongan"potongan tali,
karet blamin'ng,"1 kepingan kaca, kancing baju dan barangkali
pula beberapa jenis binatang kecil.
Ya,'binatang kecil! Karena pernah terjadi, pada suatu
subuh, Heratih kubangunkan. Kami berdua memasang
telinga, mendengarkan suara katak yang tersekap di dalam
kamar. Kami mencarinya, tidak berhasil. Ketika mengetahui
Ibu telah selesai sembahyang, kakakku keluar meminta
bantuannya. Sekali lagi kami bertiga mencari asal suara katak
itu. Akhirnya Ibu menarik celana Teguh dari gantungan. Dari
salah satu sakunya meloncatlah seekor katak coklat
berlumutan. Tidak perlu kuceritakan betapa gusarnya lbu
pagi hari ketika anaknya yang keempat itu bangun. Dia
memperbolehkan anak-anaknya mempunyai kegemaran
mengumpulkan binatang apa pun. Asal selalu dibikinkan
tempat tersendiri dan tanpa siksaan. ltu telah kedua kalinya
Teguh memenjara binatang kecil di dalam sakunya.
]awabnya, dua kali sama, ialah kelupaan. Itu bukan
merupakan alasan yang bisa diterima lbu. Kalau ada
beberapa tingkah anak"anak yang tidak dapat dimengerti,
salah satu daripadanya ialah penyiksaan terhadap sesama
hidup. Untuk kesekian kalinya Teguh kena denda, beberapa
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puluh sen uang tabungannya dipotong.
4katapcl Bapak tidak membantu di dapur. Dia masuk ke dapur hanya
untuk satu atau dua keperluan. Kalau melihat kue telah masak
dan berwarna coklat agak gosong di bagian-bagian sisinya, dia
berkata bahwa kue itu tid-ak"akan laku dijual. Lalu diambil dan
dimakannya. Sambil makan, dia memandang ke sekeliling.
Dikatakan, bahwa api pembakar di sebelah atas pan harus
ditambah dengan arang, atau sebaliknya, bara harus
dikurangi7 kemudian mengeritik Ibu atau Heratih. Tidak baik
kalau mengaduk telur begini atau begitu, mengocoknya
dengan gula harus demikian. Tidak pernah ada yang baik bagi
Ayahjika dia berada di dapur. Oleh karenanya dia seringkali
cepat diusir. Maryam dan aku sendiri boleh dikatakan tidak menggang-
gu. Kami membantu seperlunya, dan mencuri adonan
sebisanya pula. Maryam dapat mengerjakan semua dengan
baik. Seperti Heratih. Aku lebih suka mencetak kue.
Mengambil segumpal kecil adonan, meletakkannya ke atas
_corong seng. Bagian bawah pipa itu berlipat-lipat seperti
kelopak kembang. Lalu dengan kedua ibujari, kutekan adonan
itu ke dalam lubang. Melotot ke luar di pipa bawah, adonan
telah tercetak berbentuk bunga. Kutaruh berjejer di atas seng
yang akan masuk ke dalam pan pembakar. Di atas kue-kue itu
biasa ditambahkan setitik selai atau kismis, kadang"kadang
sepotong kecil buah kenari.
Kaleng"kaleng dan lodong berisi kuc-kue kering itu
disimpan di dalam lemari Barat ruang makan. Di sana juga
terdapat perbekalan lain buatan Ibu seperti botol"botol sirup,
kecap, ikan kering, berbagai krupuk mentah dan yang sudah
digoreng. Kue-kue di sana disediakan buat dijual. Yang untuk
kami makan sendiri dan buat disuguhkan disimpan dalam
bupct di ruang tengah, bersama dengan gelas dan cangkir yang
hanya digunakan pada waktu-waktu kunjungan tamu.
Bupet dan lemari itu termasuk barang terlarang bagi kami.
Pintunya selalu terkunci. Kuncinya menjadi satu dengan
rangkaian kunci"kunei lain yang selalu dibawa ke mana-mana
di dalam kenali!5 Ibu. Di antaranya, terdapat pula kunci lemari
5ikat pinggang tempat celengan-celengan kami yang berbentuk binatang dan
terbuat dari tanah bakar.
Lebih dari tempat"tempat lain, lemari ini menjadi intaian
kedua kakakku laki"laki. Pernah lbu lalai, ketika hendak
mengambil sesuatu dari dalamnya, tiba-tiba teringat harus
mengerjakan sesuatu secepat mungkin di tempat lain.
Rangkaian kunci itu masih tergantung pada pintu lemari.
Pikirnya, akan segera kembali. Namun waktu yang sesingkat
itu pun cukup bagi Teguh dan Nugroho memanjat sisi tempat
tidur kami. Diraihnya celengan itu, dibalikkannya sehingga
lubangnya berada di sebelah bawah. Dengan kawat dikaitnya
satu atau dua mata uang dari dalamnya. Tentu saja mereka
tidak memilih tabungannya sendiri! Yang sering menjadi
kurban adalah tabungan Maryam, karena binatang dari tanah
bakar itu terletak paling dekat dengan pintu lemari. Heratih
tidak khawatir menjadi kurban. Sejak dia bekerja, tabungan"
nya dia simpan sendiri. Dan ketika pemerintah Jepang
menganjurkan supaya menyimpan uang di kantor pos, kami
semua dengan taat mengikutinya. Kami masingmasing
menyimpan buku, berisi perangko-perangko sebagai tanda
bukti banyaknya uang yang kami titipkan di sana. Tetapi aku
tetap menyukai binatang-binatang dari tanah bakar tersebut.
Nugroho tidak pernah ketahuan mencuri uang kami.
Sedangkan Teguh lebih sial, dua kali tertangkap basah. Dia
dihajar dengan cambuk oleh Ayah, lalu dikurung dalam
kamar. Hukuman terakhir itu merupakan cara yang paling
sering dipergunakan orang tua kami, selain denda potongan
uang dari tabungan masing-masing.
Demikianlah ibuku mulai mengikuti arah kehidupan baru
dengan menjadikan dirinya sebagai buruh batik dan penjual
kue kering. Kami tidak mendapat kekayaan darinya. Tetapi
dapat menolong menutup kebutuhan akhir bulan. Pikiran lbu
semakin terbuka melihat dan menerima keadaan sekeliling.
Dia berpendapat masih beruntung bisa mencari nafkah sambil
tinggal di rumah. Tidak seperti Bu Bustaman. Dalam
percakapan-percakapan selanjutnya, tidakjarang lbu bersyu"
kur kepada Tuhan, mendapat didikan membatik dan
memasak makanan yang lezat. Dia mengutarakan contoh itu
berkali-kali, agar anak-anak perempuannya meniru.
Dengan bangga aku menyatakan, bahwa ibuku tahu
mengikuti perubahan zaman.
Di kampung kami, sering lewat seorang laki"laki setengah
umur bersarung dan berbaju rapi, yang membawa sebuah
kurungan kecil berisi burung gelatik. Dia adalah peramal
dengan kartu. Pada suatu hari lbu memanggilnya. Aku tidak tahu dari
siapa datangnya gagasan tersebut. Barangkali seperti
kebanyakan] wanita, dia terdorong oleh keinginan tahu akan
haL"hal yang belum tentu, serba misteri7 mencoba kekuatan
gaib yang tidak dapat diterangkan oleh akal.
Aku tidak menyaksikan dari permulaan. Ketika aku tiba di
pendapa, orang itu telah selesai membaca kartu mengenai
nasib Nugroho, dan akan meramalkan sipat"sipat kakakku
Teguh. Dari laci di bawah kurungan, dikeluarkan setumpuk
kartu berbentuk empat persegi panjang, lebarnya tiga jari,
panjangnya sejari telunjuk. Laki"laki itu mengocoknya. Lalu
mengaturnya seperti kipas, menengadah. Salah sebuah pintu
kurungan dibuka. Gelatik di dalamnya disuruh ke luar.
Burung itu nampakjinak, turun dari tenggeran, menelengkan
kepala, lalu melangkahi pintu sangkar. Dia langsung meloncat
ke arah kartu-kartu yang diatur di atas meja. Sebelum
mencntok salah satu di antaranya, burung itu berhenti lagi
seolah-olah memilih dan berpikir. Kemudian, dengan
paruhnya, dia menyisihkan tiga kartu berturut-turut, dari
sudut yang berlainan. Laki-laki setengah umur itu mengambil
kartu tersebut, lalu diperlihatkannya kepada lbu.
"Lambangnya adalah seekor banteng," katanya memulai
ramalannya. Di antara kartu-kartu itu, kulihat sebuah gambar pohon
beringin, dengan seekor banteng yang terjepit di antara dahan
di bawah. "Anak ini mempunyai kekuatan tenaga dan kemauan yang
luar biasa besarnya," kata lelaki itu lagi. "Sipatnya dermawan
dan tenang apabila tidak diganggu. Penyakit yang paling
sering didapatnya..."
Orang itu meneruskan bicaranya, mengatakan semua sipat
serta kelemahan kakakku. Membuka rahasia kegigihannya
dalam usaha memiliki apa yang diingininya, pekerjaan apa
yang patut setelah dewasa, dan sebagainya. Aku tidak
mengetahui apakah hal-hal yang belum terjadi akan
betul"betul terjadi. Tetapi semua yang dikatakan orang itu
mengenai sipat dan watak Teguh, benarlah demikian. Aku
ternganga mendengarkan semua itu. Bagaimana mungkin
orang yang tidak mengenal kakakku bisa rnenerka segalanya"
Mengenai hampir semua kesukaannya, mengenai orang"orang
yang dapat atau tidak dapat bergaul dengannya.
"Pada suatu ketika dalam hidupnya, setelah dewasa, dia
akan menemukan sebuah rintangan. Seperti ini," tangan
orang itu menunjukkan gambar banteng yang terjepit di
pohon. "Tapi tak perlu khawatir. Dengan sipatnya yang gigih
serta kemauannya yang kuat, dia akan bisa melepaskan diri."
Burung gelatik digiring dengan tangan, masuk kembali ke
dalam kurungan. Kemudian orang itu mengemasi kartu dari
atas meja, mengambil kartu lain yang lebih kecil. Setelah
dikocok berkali-kali lantas diatur ke atas meja, bagian
bergambar tengkurap. Dia membuka pintu sangkar yang lain.
Burung gelatik segera keluar, menyisihkan kartuAkartu yang
bergambarkan lingkaran serta segi"segi beraneka bentuk.
Aku tidak tahu siapa yang dibicarakannya. Suaranya yang
rendah bernada pasti semakin turun, hampir berbisik. lbu
mendengarkannya sambil mendekatkan kepala, hampir
bersentuhan dengan rambut lelaki itu Sekali"sekali menanya"
kan sesuatu, dijawab, lalu bertanya lagi. Dengan ingatanku
yang masih sempit waktu itu, aku tidak dapat menangkap dan
menyimpan semua yang kulihat hari itu. Dari semuanya, yang
paling membekas padaku adalah kemungilan serta kepandai-
an burung"burung gelatik itu. Demikian pula gambar seekor
banteng yang terjepit di antara dahan-dahan pohon beringin.
Sejak waktu itulah Teguh mendapat nama kedua, Banteng.
Semasa kecil, kami menyebutnya demikian sebagai ungkapan
kemarahan atau kekesalan hati. Kami pergunakan panggilan
atau julukan itu sebagai cemoohan atau olok"olok.
Kekuatan kakakku memang luar biasa. Di antara kami
serumah, kenangan yang paling terkenal adalah ketika dia
sakit. Kata lbu dia masuk angin, dikerok dengan mata uang
dan minyak seluruh punggung dan dadanya. Untuk itu tikar
baru digelar di atas ubin. Ibu yang mengerok, dan pembantu
yang memeganginya. Setelah selesai, tikar yang baru dipakai
sekali itu harus dibuang, karena berantakan sobek-sobek oleh
gerakan kakakku yang luar biasa. Kemashurannya di antara
keluarga juga mengenai lemparan-lemparannya yang gaduh
ke pintu belakang yang terbuat dari seng, diiringi teriakan:
"Sambel bajaaaaak, sambel bajaaaaaak!"
Aku tidak menyaksikan sebab-sebab kemarahan itu.
Menurut cerita, karena pada suatu hari ketika dia hendak
makan, sambel kesukaannya itu telah habis. Lalu dia berlari ke
luar, tidak mau makan. Sebelum Ayah dapat memburunya,
kakakku telah memuaskan diri dengan ungkapan kemarahan-
nya yang amat gaduh: melemparkan batu"batu ke pintu "letan
Dalem. Meskipun kemudian dia kena hukuman, dia tidak
kapok, mengulangi lagi tingkah itu. Setiap kali menginginkan
sesuatu dan tidak dituruti dengan segera, dia melemparkan
batu-batu ke pintu tersebut sambil berteriak"teriak. Dia
sendiri berada di luar, di kebun Wetan Dalem. Kalau Bapak
atau Ibu menyusul mencarinya, dengan cepat dia menghilang
ke kebun belakang atau keluar dari Icarus.l Meskipun itu hanya
merupakan penundaan hukuman, namun kakakku bersenang
hati mendapatkan waktu penundaan selama satu atau dua
jam Karena dia tahu benar, bahwa kemarahan Ibu dan Ayah
dapat surut. Yang berarti hukuman itu juga akan menjadi
lebih ringan. Di kebun muka sebelah barat ada sebatang pohon blimbing
yang lebat buahnya, tanpa mengenal pergantian musim.
Tidak sebesar blimbing Demak, tetapi rasanya renyah dan
segar. Ketika itu, batangnya lebih besar dari dua kali
llingkungan milik pelukanku. Pada ketinggian beberapa jengkal dari tanah,
batang itu bercabang tiga, masing"masing tumbuh lurus ke
atas, lalu bercabang-cabang pula. Aku tidak pernah berhasil
menaiki tiga cabang itu. Bisaku hanya menyelinap di antara
celah-celah tiga batang itu. Di antara kami tiga perempuan
bersaudara, hanya hlaryam"lah yang memiliki kesigapan
memanjat berbagai pohon dan benda-benda yang tegak lurus.
Bibiku, istri paman Iman Sujahri sedang mengidam. Dia
sering datang, minta dibikinkan rujak. Dari kebun belakang,
dipetik buah-buah yang ada dan pisang klutuk untuk
dicampur dengan sambalnya. Kami biasa disuruh mencari
blimbing yang tumbuh di halaman muka. Tergantung siapa
yang ada di rumah, memanjat atau mengambilnya dengan
galah. Sore itu Bibi datang bersama anaknya yang pertama, Edi
Sedyawati. Teguh mendapat tugas memetik buah blimbing. Di
sepen masih ada buah mangga gurih, sisa petikan dari
hari"hari sebelumnya. Kedondong tidak ada, musimnya baru
mulai. Buahnya masih kecil"keeil, lagi pula pohonnya besar
dan tinggi. Hanya Bapak Atau Nugroho yang bisa memanjat
hingga jauh ke atas. Ibu sudah mengetahui kebiasaan iparnya. Begitu datang,
pembantu segera disuruh membuat sambal rujak. Bibi sendiri
telah berdiri di pendapa mengawasi Teguh memanjat pohon
blimbing. Dengan suaranya yang halus, dia memberi petunjuk
letak buah yang nampak dari tempatnya berdiri. Disebabkan
oleh daun-daun yang terlalu rimbun, kadang"kadang buah itu
hanya kelihatan dari bawah, atau sebaliknya, hanya bisa
dilihat oleh orang yang memanjat.
Aku berdiri tidak jauh dari sana. Kadang-kadang, tanpa
sengaja, kakakku menjatuhkan buah"buah yang terlalu masak,
terlepas dari dahan begitu disentuh. Tapi seringkali dia bisa
memasukannya ke dalam kantung besar yang tersandang
pada bahunya. Edi berlarian ke sana kemari memunguti
buah-buah yang berjatuhan. Kadang"kadang ada yang tepat
menimpa dirinya. Lalu dia berteriak atau kaget dan terlompat.
Tubuhnya yang kecil itu bagaikan kupu-kupu, berpindah-
pindah dengan gerak yang lincah namun lembut dan ringan.
Kakakku terlalu senang berada di atas pohon. Meskipun
karung yang dibawanya sudah penuh, dia tidak berpikir akan
turun apabila tidak diingatkan oleh Bibi. Ketika Teguh berada
di (lahan yang paling rendah, Bibi mendekat hendak
menolong. Dimintanya tas yang kelihatan penuh dan berat itu,
agar kakakku bisa lebih leluasa bergerak. Karung dilemparkan
kakakk11,jatuh tepat ke. dalam pelukan Bibi.
Kami bertiga kembali berkumpul di pendapa, hendak
masuk ke dalam rumah ketika Teguh memanggil"manggil:
"Dini, Dini! Tolong aku sebentar!"
Kami semua menoleh. Dari jauh kakakku kelihatan telah
sampai di batas batang yang bercabang tiga. Badannya
terselip di sela"selanya.
Sepupuku mengikutiku, kembali ke arah pohon.
"Mengapa?" tanyaku sambil mendekat.
"Aku tidak bisa terlepas," katanya.
"Ah, kaul Selalu ada"ada saja!" sahutku dengan suara kesal
sambil beranjak hendak menuju kembali ke pendapa.
Aku telah terlalu biasa dengan sikap pura"puranya. Dia
suka mengganggu. Suka membikin orang ketakutan memikir-
kan nasibnya. Kutarik tangan Edi, kuajak bersama
meninggalkan halaman depan.
"Betul! Aku tidak bisa keluar!" kata Teguh lagi.
Tapi aku sudah pergi dari sana" Waktu akan naik ke tangga
pendapa, aku menoleh ke arah pohon blimbing. Kulihat
'l'eguh berusaha menyelinapkan tubuh di antara dua batang
cabang, mendesak ke luar. Nampaknya betul-betul dia tidak
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa melepaskan diri dari jepitan batang-batang itu.
Aku menjadi ragu"ragu.
"_Iangan-jangan dia benar-benar terjepit," kata Edi
mengerti arti pandangku. "Biar saja! Sukur!" sahutku.
Tapi itu adalah kata"kata yang kedengaran. Sedangkan
dalam hati, seperti Edi, aku berpikir sama.
Sampai di ruang makan, kami dapati Ibu dan Bibi sedang
memotongi buah"buahan menjadi irisan yang cukup kecil dan
tipis, diatur di atas piring lonjong. Ketika melihatku, Ibu
bertanya: "Di mana kakakmu" Sudah hampir mahgrib, suruh mandi."
"Masih di pohon blimbing," kataku, gembira mendapat
kesempatan membicarakannya. "Katanya dia terjepit, tidak
bisa keluar." Ibu berhenti mengiris buah, memandang kepadaku.
"Terjepit" Di mana?"
"Di antara tiga cabang. Dia tidak bisa keluar, terjepit di
tengah." "Barangkali hanya pura-pura," Edi turut bersuara.
"Biasa dia suka mengganggu begitu," sambungku.
"Barangkali pula dia betul-betul terjepit. Kali yang
terakhir, sudah kuingatkan, jangan turun ke tengah.
Batang-batangnya bertambah besar. Dia sendiri juga
bertambah besar. Ah, anak itu!" sesal ibuku seperti ditujukan
kepada diri sendiri. lbu ingin melihatnya. Juga karena ingin supaya kakakku
cepat mandi, nampak bersih jika Paman dan Bapak datang
sebelum hari menjadi malam. Aku membuntuti Ibu kembali ke
pendapa. Teguh masih berada di antara ketiga cabang. "'aktu
melihat Ibu, dia berseru:
"Aku terjepit, Bu. Bagaimana bisa keluar dari sini?"
Dengan iba aku melihat mata kakakku mulai gugup,
berkaca"kaca. Rupanya dia benar"benar terjepit di sana!
"Tidak perlu takut, tenang saja. Jangan bergerak terus,
nanti kamu berkeringat," kata lbu.
Ibu selalu mempunyai pendapat yang tepat. Suara kesal
yang kudengar tadi di ruang makan, hilang. Dia berbicara
tenang, sambil mendekat dan mengelilingi pohon, seakan-
akan hendak mengukur sampai di mana keperkasaan tanaman
yang berani memenjarakan anaknya itu. Lalu berkata lagi:
"Cobalah naik dulu sampai ke cabang yang paling rendah
itu!" Sela-sela yang terdapat di antara tiga cabang itu amat
sempit. Dengan susah payah Teguh bergerak, berusaha
melipatkan sebelah kaki untuk bertolak dan mengangkat diri
ke atas. Tetapi sia-sia. Tidak ada tumpuan buat gerakan
semacam itu. Lalu dia berganti cara. Kedua lengan terentang
ke atas dan sambil memeluk salah satu batang ia berusaha
mengangkat diri, naik barang sejengkal Tetapi itu pun tidak
berhasil. Kemudian Teguh disuruh mencoba sekali lagi
menyelipkan badan di antara batang-batang, seraya mengem"
piskan perut. Teguh mendesak dengan kekuatannya, lbu
menarik dari luar. Namun itu pun sia-sia. Kini Bibi dan
pembantu datang. Tiga wanita mengerumuni pohon yang
memenjara kakakku. Edi dan aku melihatnya dari pendapa
dengan khawatir. "Mas Guh akan tinggal di sana sampai tua?" tanya
sepupuku itu. "Ah, siapa bilang" Sebentar lagi dia bebas," aku menyahut
dengan cepat. "Lihat saja nanti: Kalau bedug mahgrib
berbunyi, tentulah dia sudah keluar dan mandi seperti kata
Ibu." "Tapi kalau dia masih terjepit" Kita harus memotong pohon
itu!" suara Edi pasti dan yakin. "Kalau tidak, Mas Guh akan
mati di sana." "Kita tunggu Ayah pulang Dia tentu mengetahui apa yang
harus dikerjakan," sahutku, juga penuh keyakinan.
Bapak memang selalu tahu apa yang harus dikerjakan.
Tetapi petang itu dia tidak segera pulang. Paman yang datang
sore tadi bersama Bibi dan Edi, mengajak Ayah melihat
gedung di jalan besar Pendrikan, karena keluarganya akan
pindah ke sana. Paman biasa meminta nasehat untuk sesuatu
hall Barangkali petang itu dia bertanya kepada Bapak
mengenai barang-barang apa yang harus dibeli buat
perlengkapan rumah baru itu, cara mengatur ruangan dan
kamar-kaman Keterangan itu kudapat dari percakapan
antara Ibu dan Bibi. Kami semua duduk di pendapa, menikmati buah-buahan
dengan sambal rujak. Setelah Heratih pulang dari dinas siang,
kemudian Malyam yang kembali dari kepanduan, dan
Nugroho entah dari mana, kami kembali beramai-ramai
mengerumuni pohon. Kakakku Nugroho tertawa terkikih-
kikih melihat adiknya terselip di antara batang"batang
blimbing. Begitu kena sindirannya, sehingga Edi dan aku pun
turut tertawa. Nugroho menakut"nakuti:
"Awas! Kau akan berada di situ seterusnya. Kau akan
menjadi monyet! Setiap hari dikirim makanan, tapi kau harus
hidup di pohon." "Nug, sudah, sudah! Biarkan adikmu!" seru Ibu dari tempat
duduknya. "Katanya aku akan menjadi monyet!" Teguh berteriak
mengadu kepada lbu. "Biar saja dia katakan itu! Nanti kalau Bapak pulang, kita
potong satu batang, kau tentu bisa keluar dan tidak menjadi
monyet," Ibu membujuk anaknya yang keempat.
"Ini yang namanya benar-benar banteng kejepit," kata
Maryam, yang biasanya tidak suka mengejek maupun
berolok-olok. "Benar! Haaaaa, itu benar!" ketawa Nugroho lagi, semakin
keras, terlalu senang mendengar olokan baru.
"Ya, betul itu, ya?" sambung Heratih.
Kakakku sulung itu bersuara asal bersuara. Dalam hatinya,
aku tahu, dia khawatir betul memikirkan nasib adiknya.
Kulihat dia berputar, berputar lagi mengelilingi pohon
blimbing dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan. Tangannya
yang pipih dan kuning membelai serta menyentuh. kulit
batang, seolah-olah diharapkannya suatu keajaiban atas
rabaan tersebut. "Dari sini kau tidak bisa keluar?" katanya, sambil kedua
tangannya menyentuh dua batang yang berdampingan,
seakan-akan hendak direnggangkannya.
"Sudah dicoba semua celah," jawab Teguh.
Kakakku ini mulai lelah, kelihatan berputus asa, me-
nyandarkan diri sebisanya pada salah satu batang, sambil
sekali-sekali membalas olok-olok dan ejekan Nugroho.
Diambilnya ranting-ranting atau buah blimbingr kering yang
dapat ditemukannya di tubuh pohon itu7 lalu dilemparkannya
ke arah tubuh kakaknya dengan geram.
Akhirnya lbu berseru lagi.
"Sudah! Sudah! Nug, jangan mengganggu adikmu saja.
Ayo, kamu menyusul Bapak ke Pendrikan. Katakan agar cepat
pulang! jangan mampir-mampir. Terus pulang."
Ketika bedug Mahgrib berbunyi, Ayah dan Paman kembali.
Sejak dulu, listrik belum merata hingga ke ujung kampung.
Apalagi sejakjepang datang! Bersamaan (lengan menghilang-
nya segala tanda-tanda kemewahan, kami penduduk yang
jauh dari jalan besar hanya mendapat aliran listrik sedikit
guna menyalakan bola"bola lampu yang suram. Karena itu,
pendapa malam itu pun kelihatan muram. Ayah memasang
petromaks, supaya dapat menerangi keadaan sesempurna
mungkin. Bersama Paman dia menyiapkan alat"alat buat
memotong pohon. "Apakah tidak dapat dihindarkan" Harus dipotong?" tanya
lbu kepada Ayah. Dia bangga sekali akan pohon blimbing itu. Berulang kali
dia menjawab pujian tamu yang mengatakan kesegaran serta
keenakan buahnya dcngan kalimat-kalimat seperti: "Ya,
pohon itu hampir seumur Heratih. Saya menemukan bibitnya
di Wetan Dalem sewaktu membeli rumah ini. Lalu saya
pindahkan, saya tanam di halaman muka."
Mendengar pertanyaan lbu itu, Bapak jadi ragu"ragu.
"Setidak"tidaknya harus dipotong satu batang. Agar
celahnya lebih besar. Teguh akan bisa keluar, dan dua
batangnya akan tumbuh lebih besar lagi."
"Bagaimana kalau dicoba sekali lagi?" Paman memberikan
pendapatnya. "Ya. Coba, Guh!" kata Ayah kepada kakakku. "Lepaskan
bajumu, celana pendekmu. Siapa tahu tanpa pakaian, kau
akan bisa menyelinap di antara dua batang."
Dari semula tak seorang pun memiliki pikiran semacam itu.
Tiba-tiba dalam hati aku memastikan) bahwa Teguh akan bisa
keluar dengan jalan itu. hlemang, Bapak selalu mempunyai
gagasan yang lain daripada yang lain.
Teguh membuka kancing baju, mengulurkannya kepada
Heratih. Lalu celana pendeknya.
"Selipkan tubuhmu kemari. Ini lubangnya lebih lebar!"
Kami semua mengawasi sambil menahan napas. Satu
lengan dan satu kaki dapat melalui lubang tanpa kesukaran.
Bagian tubuh lebih sukar. Bahu serta pinggul kakakku
ramping; dan sebagai 'anak-anak badannya tampak tipis.
"Kempiskan perut dalam"dalam!" kata Ayah. "Miringkan
kepala sejajar dengan bahu."
Bapak memegang dagu anaknya, menolong mencarikan
garis yang paling lurus dan sisi badan yang paling pipih, agar
bisa lewat keluar dari celah"celah batang.
Namun sia-sia. Kepala Teguh tidak bisa masuk melalui
celah-celah batangr blimbing itu.
"Tak ada gunanya...," akhirnya kedengaran Bapak berkata,
"kepalamu terlalu besar, betul-betul terlalu besar!"
Bukan keluhan. Karena kami tidak pernah mendengar Ayah
mengeluh. Belum pernah sekali pun selama hidupku aku
melihatnya berputus asa. Kalimat itu bahkan hampir
menyuarakan suatu gurauan, yang dengan sekaligus men"
ciptakan suasana lebih lena.
"Baik!" katanya kemudian, "jauhkan dirimu sebisanya dari
batang ini. Tidak ada jalan lain, Bu, harus kupotong."
"Jangan dcngan kapak, Dimas,"2 sekali lagi Paman
memberikan usul. "Kalau ada gergaji, barangkali lebih baik."
"Ya, betull" sahut Ayah. "Dan akan kupotong bagian dekat
kepala Teguh. Jadi dipotong sedikit saja, hanya buat
melebarkan lubang." "Dengan demikian, siapa tahu batang ini tidak akan mati
melainkan terus tumbuh tunas baru, Yu."3
Paman yang memikirkan kekhawatiran kakaknya> berpaling
mengarahkan kalimat terakhir itu kepada lbu.
Nugroho telah kembali dengan gergaji yang diambil dari
seperi. Dan bergantian, Paman beserta Bapak memotong
pohon yang hampir setua Heratih itu di tengah-tengah udara
malam, yang diterangi lampu petromaks. Dari balik pagar,
beberapa orang tetangga yang tertarik oleh kerumunan dan
kegaduhan sedari sore tadi nampak berdiri di emper atau di
muka pintu rumahnya. Beberapa anak kampung mendekat.
Muka mereka demikian menempel pada kayu pagar, sehingga
hidung-hidung kecil itu pesek tertekan. Dengan mulut
2sebutan kepada adik laki-laki
3sebulan kepada kakak perempuan
setengah terbuka mereka mengawasi pekerjaan Ayah dan
Paman, Beberapa menit berlalu. Tugas yang tidak mudah
dilaksanakan itu memang memakan waktu. Paman dan Bapak
harus berhati-hati menggerakkan alat pemotong. Teguh
merenggang sebisa-bisanya dari geseran gigi-gigi gergaji,
Pecahan serta serbuk kayu beterbangan, menghamburi
rambutnya yang hitam. Kemudian hati batang pun tersingkap. Dengan tekun Bapak
dan Paman berusaha agar tidak melukai Teguh, juga agar
tidak merusak hati batang tersebut.
Ketika Teguh keluar, kami semua menghela napas lega.
lbu memeluknya> seakan-akan baru kembali dari perjalan-
an jauh. Paman dan Ayah bergantian mengusap kepalanya
sambil tertawa puas. Kami anak-anak perempuan tersenyum-
senyum pula, mengamati Teguh mengenakan bajunya
kembali. Nugroho berjingkat-jingkat mengulangi olok-
oloknya. "Banteng kejepit! Banteng kejepit!"
Seolah-olah hanya menunggu gangguan pertama itu, Teguh
melompat hendak meninju kakaknya. Tapi Nugroho lebih
sigap, ia telah berdiri dari tempatnya. Mereka berdua
berkejaran di sekeliling halaman muka.
"Ayo, sudah! Sudah!" seru ibuku.
"Nug! Guh!" Ayah menyambung lebih keras. "Ayo, ini
kemasi alat"alatnya!"
"Sesudah itu, kamu cepat mandi, Guh! Sudah malam," lbu
melanjutkan perintahnya. Tetapi kakakku tidak menurut begitu saja. Mereka
memerlukan beritakan dan ancaman dahsyat dari Bapak,
sehingga akhirnya, setelah beberapa waktu berlalu, sambil
menggerutu keduanya mendekat. Yang seorang menyalahkan
lainnya. Disela suara Ayah yang penuh kekuasaan. Disambut
bujuk Ibu yang sama"sama membenarkan dan mengutuk
kedua orang anaknya. "Bukan salah Teguh kalau dia terjepit di situ," kata Ibu.
"Sudah, Nug, kamu menggoda saja!"
Lalu kepada Teguh: "Diam kamu! Lain kalijangan turun ke tengah. Dari dahan
lewat batang di luar saja!"
"Biasanya tidak apa"apa," kakakku tidak mau diam,
membantah. "Pohon ini sama dengan dirimu, terus tumbuh menjadi
besar. Kalau dulu"dulu kamu bisa masuk keluar dengan
mudah, semakin hari semakin susah karena kau bertambah
besar," sambung Ayah.
Aku bosan dengan suasana semacam itu,1antas ke pendapa
sambil membawa beberapa barang yang bisa kubawa. Edi
mengikutiku. "Tanyakan kepada lbu, kau boleh tidur di sini atau tidak
malam ini," aku berbisik kepada sepupuku.
"Tentu tidak boleh. Besok pagi sekolah,",jawab Edi dengan
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti. Aku tidak mendesak. Memang biasanya, hanya malam
liburlah sepupuku boleh menginap di rumah kami.
Tetapi ketika waktu makan tiba, kami mengelilingi meja di
ruang belakang, tanpa kuharapkan Edi berkata kepada
pamanku: "Apak! Aku boleh menginap di sini malam ini?"
Kutundukkan mukaku dalam-dalam ke piring Aku tidak
berani menentang pandang siapa pun, takut ketahuan bahwa
pikiran itu datangnya dari aku.
"Malam ini" Tidak,,"jawab ayahnya. "Besok pagi sekolah."
"Edi bisa berangkat dari sini," sambung Heratih.
"Ya, bersama-sama dengan kami," kata Maryam me-
nyokong. "Dini digonceng Teguh, Edi digonceng hiaryam," kata
kakak sulungku lagi. "jangan digonceng. Naik becak saja!" Ibu turut me-
nyambung percakapan. Dia lebih mempercayakan kemanakannya kepada tukang
becak daripada kepada anak"anaknya.
Paman tidak menjawab. Seakan"akan tidak bisa memutus-
kan, memandang kepada Edi dan kami bergantian. Lalu Bibi
menyumbangkan suaranya yang halus:
"Mengapa tidak Dini saia yangjr tidur di Karangtengah"
Besok pagi berangkat ke sekolah langsung dari sana."
Itu memang pikiran yang baik. Tapi aku tidak merubah
sikap. Berpura"pura tidak memperhatikan percakapan menge-
nai hal tersebut. "Ya. Begitu saja sebaiknya!" Paman menyetujui. "Lain kali
saja Edi tidur di sini."
"Sabtu malam Edi kemari. Kita menonton wayang orang,"
tiba-tiba Ayah berkata. Kami anak-anak menjadi ramai oleh berita gembira itu.
Masing-masing hendak mengatakan isi pikirannya. Edi
memukul"mukulkan kakinya tanda bersenang hati, mencubit
lenganku sambil tertawa"tawa. Tetapi lbu menyuruh kami
diam. "Ssssst, diam! Nanti keselak! Makan dulu baik"baik! Nonton
wayang boleh saja, asal kalian bertingkah manis. Hari Sabtu
masih jauh," lalu lbu melihat ke arah Edi dan aku, dan
meneruskan1 "Dini tidur ke Karangtengah, tetapi dengan
janji: terus tidur! Jangan berbicara dan bergurau di tempat
tidur. Besok pagi kesiangan bangun."
"Ya!" serentak Edi dan aku menjawab.
"Kalau kedengaran mereka terus berbicara dan hergurau,
kembalikan Dini kemari," kata lbu lagi kepada iparnya.
Dengan wajahnya yangr lembut, Bibi melihat ke arah kami.
"Kalian dengar?" katanya
Ya. kami mendengar, dan sungguh"sungguh menyanggupi
persetujuan itu. 'l'etapi ketika benar-benar kami berbaring berdampingan di
rumah Paman, janji dan kesanggupan itu menghilang dari
kepala. Edi menceritakan rumah baru yang akan mereka
tinggali. Aku menanyakan jumlah kamarnya, kebun dan
sumurnya, dua bagian rumah yang paling menarik bagiku.
Berdua kami membikin rencana mengenai janji Ayah akan
menonton wayang. Mengingat-ingat lakon"lakon yang pernah
kami lihat, cerita"cerita lain yangr kami dengar. Dan tanpa bisa
ditahan, kami sampai kepada kejadian sore itu. Kami tertawa
berbisik-bisik, mengenangkan kembali cara Teguh dalam
usahanya mencapai batang yang paling rendah. Satu atau dua
kali kelupaan7 suara kami lepas dan berbicara leluasa. Disusul
oleh teguran Bibi yang tiba"tiha mengintip dari pintu.
"Belum juga tidur" Besuk pagi kesiangan!"
Lalu kami kembali memejamkan mata, saling membela"
kangi. Memaksa diri tidak memikirkan sesuatu pun. Namun
aku kegelian teringat akan sikap Nugroho waktu mengejek clan
memperolok-olokkan Teguh. Tanpa membuka pelapukan, aku
tertawa sendirian. Kurasakan Edi bergerak pula di samping-
ku. Dan kami berdua telah saling berhadapan sambil
berpandangan. "Sekarang dia hetnl-betul bernama Banteng kejepit," bisik
sepupuku di tengah-tengah ketawanya yang tertahan.
"Ah. itu hanya olok-olokan, namajulukan saja," jawabku
membela kakakku. Tetapi hatiku menyambung, kata olok-olok itu memang
sungguh tepat dipergunakan.
Dan memang begitulah! Sejak hari itu, ucapan "Banteng
kejepit" lebih sering terdengar di rumah kami.]uga diucapkan
oleh keluarga serta kerabat yang dekat. Bagiku sendiri,
panggilan Banteng terus knpergunakan hingga masa dewasa,
sebagai nama kesayangan. Nama itu kuanggap sesuatu yangr
lebih asli dan menarik. Telah banyak orang bernama Teguh.
Sedangkan Banteng, belum pernah kutahu. Dalam sejarah dan
cerita-cerita wayang, dipergunakan nama-nama binatang lain
seperti: Lembu, Gajah, Maesa dan sebagainya. Oleh
karenanya aku memilih panggilan kesayangan yang tidak
lumrah itu terhadap kakakku yang keempat itu. Saudara"
saudaraku serta Ibu pun akhirnya turut mempergunakannya
sampai sekarang. Pada waktu membicarakan anaknya itu, Ibu
tidak lagi menyebutnya Teguh, melainkan adikmu Banteng,
ataujika bersamaku: kakangmu Banteng. Nama itu menancap
kuat di dalam pikiran dan hatiku.
Pohon blimbing masih tegak dengan ketuaannya yang
anggun. Salah sebuah batangnya yang menjulang, kelihatan
sebagian kulitnya terkelupas. Namun itu tidak mengurangi
kesegaran buah yang terus dihasilkannya.
Seperti telah kuceritakan, Ibu dan Ayah saudara sepupu.1
Pada keluarga kami, hal semacam itu tidak merupakan
keanehan. Kebanyakan bibi dan paman kami, menikah
dengan sepupunya, atau sanak-kerabat. Sehingga cara
panggilan dari maupun kepada pihak lain ruwet bagi
pendengaranku waktu itu. Sepasang kerabat pernah datang ke
rumah. Alangkah heranku ketika mendengar si isteri
memanggil suaminya dengan menyebut namanya saja
Hingga saat itu, menurut pengetahuanku, seorang isteri biasa
memakai sebutan "kangmas" atau dipendekkanjadi "mas",
atau lagi "pak" meniru anak"anaknya terhadap suaminya.
Karena keherananku, Ayah lalu menjelaskan, bahwa menurut
silsilah kekeluargaan, si isteri menduduki tempat yang lebih
tinggi, karena dia adalah nenek si suami. Meskipun umur
mereka berdua tidak jauh berbeda. Bahkan si nenek lebih
muda dari si cucu. Sebab itulah si isteri memanggil suaminya
dengan sebutan nama saja. Banyak pula perkawinan kerabat
antara bibi dengan kemanakan, atau antara paman dengan
kemanakan. Semua itu amat sukar kuingat jika terjadi pada
sanak"saudara yang jarang kutemui.
Antara ibu dan bapak kami sendiri7 panggilan yang
kudengar hanyalah Bu dan Pak. Sedangkan adik"adik ibuku
memanggil kakaknya Yu Ami atau Yu Kus. Terhadap Bapak,
semuanya menyebut Dimas. Sejak masa kecilku. di antara nama saudara orangr tua kami,
nama Iman Sujahri seringkali kudengar disebut-sehut. Tidak
teringat lagi olehku bilakah aku pertama kali bertemu dengan
dia. Tetapi sepanjang ingatanku7 aku mendengar dalam
cerita"cerita Bapak yang ditujukan kepada Heratih atau
llihat Spbua/z Lorong di Kataku
Nugroho, atau kepada kami berlima bersama"sama, sering
tersebut nama ipar dan kakak sepupunya itu.
Sewaktu bersekolah di Jakarta, pada zaman penjajahan
Belanda, Paman turut giat dalam gerakan pemuda pelajar.
Suatu ketika, untuk menghindarkan diri dari pengawasan
mata-mata yang mcmbuntutinya, Paman bersama seorang
temannya keluar dari kota. Sampai di Pekalongan, mereka
baru sadar, bahwa masih ada yang mengawasinya. Mereka
lalu mengambil kendaraan lain, menuju ke W'eleri. Maksud
semula akan pulang ke Purwodadi, terpaksa dibatalkan.
Beberapa hari di W'eleri, ia meneruskan perjalanan secara
bersembunyi-sembunyi ke Semarang. Di Penaton, rumah
sewaan orang tua kami, Bapak "menyimpan" mereka berdua
lebih dari sebulan lamanya. Setelah diperkirakan bahwa
keadaan tenang dan mereda, Paman pergi ke Purwodadi, ke
rumah Kakek. Di sana dia diberi tahu oleh orang tuanya,
bahwa selama itu kelihatan ada orang-orang yang ingin
mengetahui segala ihwal yang terjadi di rumah.
Paman bukan orang yang terkenal. Tetapi pemerintah
penjajahan melakukan pengawasan dari dekat terhadap
semua orang yang menjadi anggota perkumpulan nasional.
Gerak-gerik mereka dicatat, dilaporkan kepada yang berwajib.
Orang-orang yang mereka gaulijuga masuk ke dalam daftar.
Pada waktu-waktu tertentu, untuk menakut-nakuti, beberapa
di antaranya dipanggil menghadap ke kantor polisi.
Sebenarnya tidak ada kesalahannya. Itu hanya dilakukan
sebagai gertakan, agar pemuda-pemuda itu menjadi takut,
mengundurkan langkah dari tuntutan kemerdekaan bangsa
yang mereka ajukan, dan agar meninggalkan kegiatan
perkumpulan. Setelah tamat dari sekolah, Paman keluar sebagai ahli
hukum. Beberapa waktu bekerja7 kawin serta dikurnia seorang
anak perempuan yang mendapat nama Edi Sedyawati. Edi
dengan huruf "de" yang lunak, diucapkan seperti perkataan
"edi" yang berarti indah dalam bahasa Jawa. Ketika
pemerintahan Jepang bertambah teratur, Paman pindah ke
Semarang. Dan namanya semakin tertanam dalam pikiranku.
karena sering berjumpa dan berbicara. Edi adalah satu"
satunya sepupu yang dekat hubungannya (lengan aku.
Sedari aku mengenalnya, badannya tetap ramping, kecil
berkulit terang. Semua itu merupakan warisan dari bibiku.
Semakin dia menjadi besar, semakin nyata betapa dia mirip
ibunya. Wajahnya yangr lembutjarang sekali menggambarkan
perasaan yang terkandung di dalam hati maupun kepalanya.
Dia menyuguhkan kediaman yang seringkali menjengkelkan-
ku, karena waktu itu aku belum bisa menerka atau mengerti
sipat seseorang. Edi bagiku adalah sebuah luasan air yang
tenang. Harus ada angin yang benar"benar deras atau benda
yang betul-betul berat yang menyapu serta mengganggu
kedataran permukaannya, barulah orang akan bisa melihat
kerut-kerut air berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang
bergerak. Di Semarang, Paman berpindah"pindah rumah. Selama itu
perkenalanku dengan Edi tidak berjalan selancar yang dapat
dibaca dalam cerita-cerita persahabatan. Selain umur kami
yang berbeda, cara pendidikan kami juga amat berlainan.
Kami sesaudara ditumbuhkan di kampung, dengan orang tua
yang menanamkan kecintaan adat serta budaya asli di dalam
dada masing"masing. Dengan cara hidup nyata yang lepas dari
pertolongan orang lain, bebas dari pertolongan pembantu.
Sedangkan keluarga Paman dan Bibi jauh dari semua itu.
Paman telah lama hidup di kalangan kaum terpelajar. Berpikir
dan berbicara dalam bahasa Belanda. Bahasa lN/Ielayu dan
Jawa dipergunakan amat jarang olehnya. Bibi keluar dari
lingkungan keluarga yang mementingkan pendidikan Barat
daripada kebudayaan sendiri. Di rumah, Paman (lan Bibi
berbicara bahasa Belanda.
Pada saat"saat permulaan mereka tinggal sekota dengan
kami, ketika datang ke rumah, Bapak dan Ibu bersusah-payah
menjawab sindiran Heratih dan Nugroho. Kata mereka,
mengapa anak-anak dilarang mempergunakan bahasa terse-
but, sedangkan orang"orang tua yang menjadi contoh boleh
memakainya. Kemudian, berangsur"angsur, bersamaan de"
ngan meluasnya pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa
daerah, dengan pertemuan dan kunjungan masing"masing,
aku semakinjarang mendengar Bibi berbicara bahasa Belanda
dengan Ibu dan Ayah. Tetapi kebiasaannya sukar dihilangkan begitu saja. Pada
waktu menujukan perkataan kepada suaminya7 Bibi masih
sering mempergunakan bahasa penjajah itu.
Ketika keluarga Paman bertempat tinggal di Karangtengah,
aku mulai berkenalan baik dengan sepupuku. Dia sering
datang menginap di rumah kami. Aku pun sering bermalam di
rumahnya. Biasanya, dia datang Sabtu sore. Paman dan Ayah
bergantian membeli karcis wayang orang. Kesempatan itu
merupakan pesiar malam yang luar biasa bagiku. Seandainya
lbu atau Bapak menjanjikan tontonan seperti itu, sepekan
penuh kami harus berkelakuan manis. Untuk pergi Sabtu
malam, dari hari Kamis aku mulai gelisah menunggu hingga
hari Sabtu kurasakan lama sekali. Apalagi Sabtu siang setelah
makan, anak"anak yang hendak turut melihat wayang
diharuskan tidur, supaya tidak mengantuk di gedung
tontonan. Kebanyakan kali, karena kegelisahan itu aku malah
tidak bisa tidur. Ditambah pula oleh kesibukan membikin
rencana apa-apa yang akan kukerjakan bersama sepupuku,
atau apa yang akan kami bicarakan.
Pertama kali Edi kami undang menonton wayang, dia
kelihatan tidak mengerti seluk-beluknya. Barangkali masih
terlalu kecil, di _Iawa Timur dia tidak pernah dibawa
mengunjungi pertunjukan semacam itu. Atau barangkali pula
karena Paman dan Bibi tidak "sempat" berpikir bahwa itu
termasuk salah satu unsur pendidikan kebudayaan. Atau
entah ada lagi sebab-sebab lain yang menurut Ayah tidak bisa
kami terka. Berlainan dengan kami. Paling sedikit, sekali sebulan orang
tua membawa kami menonton wayang. Kadang"kaclang7
sewaktu ada kunjungan kerabat dari kota lain, merekalah yang
membeli karcis. Di samping itu, pada waktu-waktu yang tidak
tertentu, kami pergi mcnyaksikan pertunjukan wayang kulit.
Seringkali di kampung-kampung tetangga ada orang yang
menanggapnya. Kalau tidak terlalu jauh, Bapak menemani
kami, beramai"ramai bersepeda kt: sana. Kadang"kadang
pula, kerabat atau kenalanlah yang menanggap wayang
tersebut. Dalam hal itu kami menerima undangan, menonton
semalam suntuk, karena mendapat tempat duduk yang
semestinya. Setelah dua kali melihat wayang orang, Edi menjadi
penggemar yang tekun. Terpengaruh pula oleh kami, permainan Edi yang
kemudian merebut waktunya tidak hanya berupa kesibukan"
kesibukan di dalam rumah. Di kebun kami yang luas bagi
ukuran kanak-kanak, kami membasahi dan mengaduk tanah,
mencetaknya mirip seperti kue, dikeringkan serta diperjual-
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belikan bersama irisan daun"daun dan bunga"bunga yang
dapat kami petik. Permainan yang disebut "pasaran" itu
semula asing bagi sepupuku. Dia juga kami ajak berlarian,
bermain jettmgan, yang pada anggapan Bibi amat berbahaya.
Dia khawatir anaknya jatuh dan luka"luka terkena batu di
halaman. Malam-malarn terang bulan, pada waktu libur, dia
bermalam berhari"hari di rumah kami. Dia kami ajari
menembangkan iringan lagu permainan anak-anak pada
waktu terang bulan. Kami kisahkan cerita"cerita rakyat yang
lebih mendekatkan manusia dengan alam. Dari Teguh dan
Maryam, sepupuku belajar memanjat pohon. Barangkali
pertama kali selama hidupnya, di kebun kamilah dia melihat
sebuah sarang berisi burung-burung kecil.
Tubuhnya yang semula kaku dan kikuk oleh sekapan hidup
yang terlalu diam itu tiba-tiba menjadi sigap dan lincah.
Kelihatan ringan bergerak secara menakjubkan. Yang paling
kami sukai ialah kesan ketenangan yang terpancar dari segala
geraknya. Seakan"akan dia memiliki waktu buat segala-
galanya. Tidak perlu tergesa. Dan kelambatan itu berpadu7
sesuai dengan kelincahan kebocahannya.
Keesokan harinya setelah menonton wayang, kami biasa
bangun siang sekehendak hati. Begitu membuka mata,
sepupuku mengusikku dengan gerakan yang menunjukkan
keresahan. Dia tidak suka bangun sendirian. Dia membolak-
balikkan badan, berbuat segala kemungkinan supaya akujuga
cepat terbangun. Aku mencoba menahannya berlena"lena
tidur yang hanya sekali seminggu bisa kualami itu. Ingin
kuundurkan waktu bangunku sejauh"jauhnya. Tetapi dengan
Edi di sampingku, hal itu tidak mudah terlaksana.
Lalu kami keluar ke kakus buat kencing. Sambil berusaha
untuk tidak bertemu dengan siapa pun. Dengan demikian,
orang akan mengira bahwa kami masih tidur nyenyak.
Kembali ke kamar, membuka serta menutup pintu sehalus
mungkin. Pada waktu Edi bermalam di rumah kami, orang
tuaku selalu merelakan kamar tengah sebelah barat buat kami
berdua. Di sana ada sebuah ranjang besi, cukup lebar, dan satu
lagi yang lebih kecil. Sepanjang dinding sebelah luar, ada dua
lemari buku dan rak-rak pakaian. Pada hari"hari biasa, kamar
ini menjadi kamar Bapak dan lbu.
Dan mulailah permainan itu.
Kami mengulangi semua gerak tarian, percakapan dan
bunyi gamelan yang kami ingat dari lakon yang semalam kami
lihat. Semuanya. Dari permulaan sampai akhir, jika kami
tidak terganggu oleh campur tangan "orang luar", jika kami
tidak terlalu gaduh hingga ketahuan dari luar kamar, lalu
disusul oleh masuknya orang-orang yang tidak kami
kehend aki. Ulangan itu mula-mula berupa pembicaraan yang berbisik-
bisik. Pengamatan seorang berbeda dari yang lain. Betapapun
dekat dan akrabnya dalam kehidupan sehari-hari. Edi teringat
akan sesuatu kejadian dalam tontonan tersebut. Aku lebih
tertarik kepada kejadian lain yang terdapat di babak lain.
Kami berdua bergantian, membangun kembali cerita wayang
yang telah kami lihat semalam.
Dan dari percakapan, kami menggeser ke taraf lain, ialah
meniru pelaku-pelaku atau tokoh yang kami sukai. Untuk itu
kami turun dari tempat tidur. Nienggelar tikar yang tergulung
di sudut kamar, dengan tergesa mencari selendang-selendang
dari rak pakaian. Kami sekeluarga memiliki tenggorokan yang
lemah. Pada kesempatan keluar malam, pada hari-hari sejuk,
tak seorang pun dari kami yang tidak mengenakan kain leher.
Sebab itu, di mana-mana di dalam rak pakaian, Ibu dan
Heratih selalu menumpuk selendang"selendang berbagai
warna, siap sedia untuk dipergunakan.
Pagi itu, selendang yang kami temukan di kamar tengah
Barat, segera terikat pada pinggang, tidak sebagai pelindung
terhadap udara dingin, melainkan sebagai alat permainan
yang utama. Bergantian kami menjadi tokoh yang kami
jelmakan, lengkap dengan suara gamelan dari mulut. Setelah
berdiri memerankan seseorang, Edi cepat"cepat duduk
menjawab kalimat yang telah diucapkannya sendiri. Karena
hanya berdua, kami terlalu sibuk menjalankan pelaku"pelaku
itu. Tetapi bantuan segera datang. Maryam dan 'l'eguh
mengenal "pertunjukan" kami itu. Begitu bangun, seorang
demi seorang menggabungkan diri. Teguh menjadi tokoh yang
kasar, atau pemegang peran yang lantang suaranya, dahsyat
serta menakutkan. Maryam seperti kami, berhak menjalankan
lain-lainnya. Peniruan itu hendak kami bikin sedemikian
dekat, sehingga kadang-kadang salah seorang dari kami
menyelipkan secarik kertas timah bekas pembungkus rokok,
berwarna keperakan, ke dalam mulut untuk melapisi satu atau
dua gigi di sana. Itu disebabkan karena Lara Ireng atau
Permadi atau Narayana yang kami lihat semalam juga
memiliki gigi dari emas putih. Ketololan pikiran anak"anak
tidak sampai kepada pengertian, bahwa tontonan yang kami
lihat juga dilakukan oleh manusia biasa. Bahwa dalam
cerita-cerita wayang klasik, tidak pernah disebutkan seorang
Permadi atau Lara Ireng maupun Narayana bergigi emas
maupun perak. Demikian pula dengan tahi lalat. Kami selalu
berusaha untuk meniru membuat bintik hitam dengan arang
pada bagian muka di dekat mulut atau di pipi, agar sama
dengan yang kami tonton. Kadang-kadang kami berbantah
beberapa lamanya untuk menentukan gigi sebelah mana yang
berlapis emas, atau di mana tepatnya letak tahi lalat tersebut.
Sementara itu, permainan mencapai puncaknya. Segala.
sesuatu tidak dilakukan dengan suara berbisik-bisik, berseni-
bunyi"sembunyi melainkan dengan nada biasa dan lepas.
Seluruh rumah juga telah lama menunjukkan tanda"tanda
bangun. Di sela"sela kesibukan kami, pada saat-saat
percakapan yang tenang, terdengar dari jendela suara Ibu
berbicara dengan mbok blanjan, penjual sayur dan makanan
beserta beberapa tetangga. Sejak lbu menjadi "buruh" batik,
34" halaman di belakang rumah seringkali penuh denganjemuran
wedelan dan .wgaan. Sebab itu penjual sayuran tidak lagi masuk
ke sana, melainkan hanya sampai di emper7 di muka pintu
sebelah barat. Di sana dia berhenti sambil berseru:
"Belanja, Bu, belanja! Banyak ikan basah hari ini."
Pinggiran bagian rumah kami yang berubin itu kini menjadi
tempat perhentiannya. Rumah"rumah lain yang terdapat di
bagian kampung di dekat kami turut mengambil manfaat.
Tetangga atau ibu"ibu rumah tangga berdatangan membeli
bahan masakan buat hari itu.
Seperti kukatakan, permainan kami mencapai puncaknya.
Heratih, Nugroho dan Bapak bergantian mengunjungi
kami, ingin menyaksikan tontonan itu. Teguh semakin gila,
semakin pandai menirukan gerak kelucuan para pelawak. Dari
Petruk, Gareng sampai ke Bagong. Niaryam bertambah lemah
gemulai, menarikan peranan-peranan wanita maupun
bambanganf2 Pada waktu-waktu yang terlalu gaduh, tiba"tiba
kakakku mcnelengkan telinga, lebih waspada dari lain"
lainnya, sambil berkata: "Ssssst, dengar!"
Kami semua terhenti. Barulah kedengaran Ibu yang berseru
dari arah jendela: "Hati-hati itu tempat tidurnya! Edi jangan sampai
menjebolkan kasur! Menari di lantai saja."
Memang Edi tidak hanya menari di atas lantai! Ia tidak puas
menggambarkan suasana panggung yang berdekor langit dan
angkasa jika tak naik ke atas ranjang.
Tempat tidur kami terbuat dari besi. Di kanan-kiri serta sisi
yang menempel pada dinding ada jeriji sebagai hiasan.
Demikian pula di bagian atas, guna menempatkan kain
kelambu. Pada bagian yang merentang dari tiang ke tiang
itulah Edi naik, berdiri sambil menari sebisanya, lalu meloncat
sekuat tenaga ke atas kasur, dan terus menari berputar
mengelilingi keluasan tempat tidur, dan sekali lagi melompat
ke atas lantai. Vlenurut dia., begitulah Gatotkaca terbang dari
2satria awan ke awan, dari langit yang tinggi ke udara yang lebih
rendah hingga turun kembali ke bumi.
Kami sebentar teringat akan pesan Ibu. Edi dengan manis
menurut. Dalam suasana tenang itu kudengar lagi lbu
berbicara kepada mbok blanjan.
"Kasur di tempat tidur itu sudah tua. Harus diganti
kainnya. Tapi tukang jahit kasur telah lama tidak lewat."
"Saya bertemu dengan dia baru"baru ini," sahut penjual
makanan. "Di mana?" "Di Temenggungan."
"Saya tidak melihatnya lewat di sini. Kapan itu?"
"Baru saja. Barangkali pekan yang lalu."
"Kalau ketemu lagi, tolong katakan, dipesan Bu Salyo, ya."
Kalimat-kalimat lain menghilang, karena keriuhan kami
telah mulai kembali. Untuk beberapa waktu tidak ada yang
naik ke tempat tidur. Tetapi hanya sebentar. Lebih"lebih Edi.
Dia lupa, uwaknya mengkhawatirkan nasib kasur ranjang itu.
Kami sendiri terbawa oleh kesungguhan permainan, meng-
ikuti permainan tanpa pikiran lain. Dan suara"suara gamelan
terus berbunyi dari mulut. Diselang"seling percakapan serta
perbantahan setuju tidaknya sesuatu dilakukan dengan cara
masing-masing. Untuk kesekian kalinya Edi naik ke tempat
tidur, terjun ke atas kasur, melompat ke lantai Hingga datang
waktunya perut keroncongan. Teguh keluar dari kamar,
disusul Maryam yang segera muncul kembali, menyampaikan
pesan Ibu. "Ada jajan pasar. Mari makan."
Itu tidak berarti bahwa permainan berakhir. Hanya terhenti
buat sementara. Setelah mandi dan keluar ke kebun,
mengerjakan kegiatan lain, di pendapa atau di halaman muka,
kami dipanggil makan siang. Sesudah itu kami harus
beristirahat. Untuk beberapa waktu kami tinggal di pendapa,
menjadi tontonan seisi rumah, menirukan anak wayang,
Tetapi kemudian, seorang demi seorang mengundurkan diri
berbaring di kamar masing-masing. Edi dan aku pun kembali
ke tempat tidur di kamar tengah Barat. Sambil berusaha
membikin suara serendah mungkin, meneruskan permainan
kami. Setelah Paman pindah rumah, aku lebih sering mengun-
jungi sepupuku. Dapat dikatakan aku setengah tinggal dengan
mereka, setengahnya lagi bersama orang tuaku. Pakaian kami
ada di kedua tempat agar mudah berganti baju.
Pagi hari aku berangkat sendiri ke sekolah. Letak sekolah
kakak"kakakku tidak lagi sejurusan denganku. Pada waktu Ibu
mempunyai keperluan harus bertemu dengan seseorang yang
bertempat tinggal di satu daerah, dia berangkat pagi-pagi
menyertaiku. Bersamaan dengan datangnyajepang, kendara"
an umum berganti corak. Demo lenyap. Sedangkan dokar
menjadi jarang sekali. Yang muncul bernama becak, kereta
beroda tiga yang dikayuh oleh manusia.
Pada kesempatan pergi bersama demikian Ibu selalu
bertanya: "Mana yang kaupilih: naik becak atau membeli glam;3
Mbah W'iryo?" Tanpa ragu"ragu, aku selalu menjawab:
"Membeli glzwo Mbah "'iryo!"
Hingga masa dewasaku, rasa masakan itu tidak hilang dari
lidahku. Mbah lNiryo itu seorang lelaki yang berambut putih,
membuka warung di ujung kampung yang mendekati jalan
besar. Pagi-pagi buta, dia dan keluarganya menyiapkan tenda
dan bangku-bangku, dibawa dari Kepatihan. Lalu dia kembali
menjinjing angkring pada kedua bahunya. Dia berjualan hanya
sampaijam setengah sembilan Kuali besar berisi daging dan
kuahnya cepat tandas habis. Setiap pagi, waktu berangkat ke
sekolah, aku tidak pernah lupa menoleh ke arah warung
tersebut. Kucoba mengintip piring-piring yang sedang
dihadapi langganan. Setiap pagi itu pula air liurku keluar
tanpa kusadari, teringat betapa lezatnya masakan yang
dijajakan di sana. 3masakan Ibuku pandai memasak. Semuanya bisa dibikin sendiri.
Demikian pula glewo. Tetapi yang dijual Mbah "'iryo lain
rasanya. Ibu juga mengatakannya. Oleh karena itu, jika dia
ingin membelinya, meskipun dengan dalih demi kecintaan
anak, dia dengan bersenang hati menyuruh pembantu ke
warung Mbah W'iryo sambil membawa dua buah rantang
besar. Ibu mengawaniku sampai ke muka pintu gerbang sekolah.
Lalu dia pergi, meneruskan perjalanan, mengurus keperluan-
nya. Siang hari, aku pulang seorang diri, atau menurutjanji,
bertemu lagi dengan ibuku. Kadang"kadang di muka sekolah,
kadang-kadang di rumah salah seorang kawanku sekelas.
Sekali di rumah Treksi, lain waktu di rumah Atun atau Yayuk.
Ketiga kawanku itu mengiringi sebagian masa sekolah
dasarku, yang kulewati dengan keringanan hati dan sekaligus
ketekunan belajar. Tetapi sebagian besar waktuku7 sepulang dari sekolah, aku
singgah di rumah Paman, Orang tuaku tidak khawatir bila
tidak melihatku muncul pada siang hari. Aku dapat datang
dan pergi ke tempat Paman semauku. Namun lebih mudah
datang daripada meninggalkannya. Karena sepupuku seorang
diri, seringkali ditinggal orang tuanya yang memiliki
kewajiban"kewajiban sosial, baik berkunjung maupun meneri-
ma kunjungan. Aku tidak pernah bisa pamit begitu saja tanpa
menerima kata-kata sesalan atau cubitan yang meninggalkan
bekas biru hitam hingga berhari"hari lamanya.
Aku tidak pernah tidak naik kelas.
Ketika masa kesadaran semakin tumbuh, aku mulai
mengerti sekelilingku dengan lebih baik, Orang"orang dewasa
dari keluarga atau kenalan, demikian pula kawan sekolah
maupun teman bermain kuperhatikan (lengan ketelitian yang
diajarkan orang tuaku. Pada waktu itulah aku diberi tahu,
bahwa bicaraku lain dari kebanyakan orang, disebabkan
karena ucapan "er" yang terputus getarannya. Ibulah yang
mengatakannya kepadaku. "Kalau ada kawan"kawanmu di sekolah yang mengejek atau
memperolok-olok engkau,jangan malu. Kau boleh marah, itu
hal yang biasa. Karena kalau kau tidak marah, berarti kau
tidak mempunyai rasa harga diri."
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi di sekolah, hingga waktu itu tak seorang pun yang
mengejek atau memperolok"olokkanku. Kukatakan ini kepada
Ibu. "Baik. Itu tandanya bahwa kawan"kawanmu menghormati-
mu. Barangkali karena kau termasuk anak yang pandai di
kelas. Atau karena mereka tidak atau belum memperhatikan
hal itu. Biasanya kanak"kanak cepat mengetahui kekurangan"
kekurangan orang lain. Tetapi mereka juga cepat melihat
mana"mana yang patut disenangi maupun dibenci."
"Aku sukar bermain dengan orang lain. Tetapi mereka yang
mengajakku lebih dahulu."
Memang benar. Sedari kecil aku tidak mudah bergaul. Di
sekolah aku merasakan kesukaranku dalam hal itu. Kawan-
kawan sekelas atau sekolahlah yang datang mendekatiku.
Ibuku meneruskan nasehatnya:
"Selama kau terkemuka dalam hidup ini, ditambah dengan
sikapmu sendiri yang sopan, ramah dan sederhana, orang lain
akan menghormati dan menyayangimu. )leskipun mereka
menyindir atau memperolok-olokkan engkau, itu ditujukan
sebagai selingan yang bisa mempererat hubungan."
Untuk mengurangi ketelumn, setiap hari Kamis malam
Jum"at dan hari-hari wetonku, lbu mengerik lidahku dengan
cincin kawinnya. Kata Ayah, diusahakan agar lidahku dapat
bergetar. Tetapi jika tidak berhasil, tidak akan merupakan
suatu kesusahan. Aku bisa mengucapkan apa yang kukehen"
daki tanpa kesukaran. Kalimat"kalimatku sempurna, meski"
pun aku selalu lebih banyak diam pada waktu-waktu
berkumpul dengan orang lain. Bapak tidak melihat sesuatu
pun yang tidak wajar. Dan bagiku sendiri, huruf "er" yang
terputus di ujung lidah tidak pernah mengganggu percakap"
anku. Ada berbagai penjaja yang lewat di kampung yang menjadi
langganan kami. Di antaranya ialah Pak Manuk, si penjual
burung. Sudah pernah kukatakan bahwa Ayah tergila-gila
pada burung perkutut. Sangkar burung"burung tersebut
bergantungan di atap pendapa dan deretan bangunan rumah
belakang. Setelah zaman berganti, Ayah menjual beberapa
ekor di antaranya. Untuk memperbaiki rumah, untuk
menambah keperluan ini dan itu. Setiap musim hujan tiba,
genting dan atap harus diperiksa. Lalu Bapak beserta Nugroho
atau Teguh atau Maryam naik melakukan pergantian-
pergantian yang mesti dikerjakan. Demikian pula cat rumah
Setahun dua kali diperbaharui. Rumah besar dan kuno
memang enak dan akrab. Tetapi pengeluaran juga banyak.
Untunglah Bapak pandai memikirkan serta mengerjakan
sendiri raneangan-raneangan perbaikan itu.
Ketika Pak hlanuk datang pada kali yang berikutnya, Ayah
terbujuk oleh anak"anak supaya membeli burung _jalakx
Bulunya hitam polos, dengan kaki dan paruh kuningjingga,
amat bersih. Dia pandai sekali bersiul. Kata Pak Mantik,
dapat pula diajar berbicara dan menyanyi.
Mulai waktu itu, tiga kali sepekan lidahku dikerik oleh Ibu,
karena sekalian dia juga mengerik lidah burung jalak.
Berlainan dengan burung"burung perkutut, sangkar burung
kesayangan kami yang baru ini kami gantungkan pada sebuah
tiang di depan tangga, tidak jauh dari kamar mandi. Kami
semua berunding amat ramai buat menentukan tempat itu.
Banyak kucing berkeliaran di sekeliling rumah dan kebun.
Sekali-sekali, kucing-kucing itu bisa masuk hingga ke
halaman, barangkali melalui atap bangunan belakang. Atau
mengambil kesempatan bila pintu-pintu terbuka.
Kucing kami sendiri telah terdidik7 tidak boleh mengganggu
burung yang kami pelihara. Mereka biasa mengejar dan
berusaha menangkap burung"burung liar yang beterbangan di
kebun. Tetapi kucing itu telah mengerti bahwa percobaan
menangkap yang ada di dalam sangkar berarti hukuman berat.
Ayah berkata, bahwa kucing-kucing tidak bisa menahan naluri
berburu yang telah mendarahdaging, tertanam kuat di dalam
dirinya. Sama halnya seperti kalau kita hendak bertahan tidak
bernapas. Karena itu, Bapak membiarkannya berburu di
kebun. Asal tidak mengganggu burung dalam kurungan.
Tiang di dekat kamar mandi kami pilih sebagai tempat
gantungan si jalak, karena Ibu dan pembantu bisa
mcngawasinya dari dapur dan ruang makan. Juga karena
berdekatan dengan tempat lbu membatik.
Baru beberapa hari burung itu menjadi anggota keluarga
kami, seekor kucing berhasil masuk ke rumah berusaha meraih
pintu sangkar si jalak. Tanpa membuang waktu burung itu
berseru-seru: "Maling! Maling!" Disambung dengan siulan yang tidak
menentu bunyinya, barangkali karena gugup serta takutnya.
Pembantu yang ada di dekat sana, bergegas datang sambil
mengacungkan sapu atau barang apa saja yang bisa terpegang
seketika. Diiringi suara-suara sijalak, pembantu serta Ibujuga
berteriak, menakut-nakuti kucing itu dan memburunya ke luar
halaman. Ibu mengerik lidah kami di pagi hari, sebelum aku
berangkat ke sekolah. Tanpa pikiran maupun harapan untuk
merubah bunyi ?"a?"ku, aku menurut. Yang lebih menarik
bagiku, ialah karena setelah giliranku selesai, aku harus
menolong Ibu mengeluarkan si jalak dari sangkar. Pada
mulanya dia ketakutan, meloncat"loncat menghindari tangan
Ibu yang masuk ke dalam kurungan. Tetapi lama-kclamaan
dia menjadi biasa. Kalau Ibu membuka pintu sangkarnya, dia
menelengkan kepala, seolah-olah mau melihat lebih jelas
tangan siapa yang terulur datang. Dengan cucukan-cucukan
kecil dia menyentuh tangan ibuku, serta membiarkan dirinya
dipegang dan dikeluarkan. lialu paruhnya kubuka. lbu
mengerik lidahnya dengan Cincin emas. Sebelum mengembali-
kan ke sangkar, lbu berkata:
"Coba sekarang bicara. Katakan: lbu! lbu!"
Kepala burung itu miring ke kanan, ke kiri. Tapi tak sepatah
kata pun keluar dari mulutnya.
"Katakan: Dini! Dini!" lbu mengulangi ajarannya.
Sekali lagi si jalak menggerakkan kepalanya yang mungil.
Tanpa suara. "Barangkali dia seperti aku, Bu. Kerikan itu tidak
mempan." lbu tertawa sambil mengembalikan burung ke. dalam
kurungan. Makanan jalak bermacam"macam. Sangkar tidak pernah
kosong dari jenis buah maupun biji-bijian. Sekali-sekali Ayah
membelikan krolojl segumpal datin kering berisi telur dan
anak-anak semut dari pasarJohar. Kelihatan dengan lahap dia
menikmatinya Barangkali itu merupakan makanan istimewa
baginya. Setiap sore, pada waktu udara ttcrah, kami pergi ke
padang ilalang di belakang rumah buat menangkap belalang.
Aku lebih sering bersama Maryam untuk melakukan
pekerjaan itu. Kami membawa kotak kecil atau kaleng bekas
tempat (:()klat bubuk. Sebuah lapangan berumput membatasi halaman rumah
orang tuaku, menjadi jarak antara sungai yang mengalir di
sana dengan kebun belakang. Dari kampung kami, batasnya
sampai ke tangsi dan kampung-kampungr yang bertetangga
dengan kami: Kembangpaes, Prembaen serta Bedagan. Dulu
aku tidak pernah berani keluar dari batas kebun dan masuk
seorang diri ke sana. Rumputnya yang setinggi badanku di
beberapa tempat melindungi onggokan"onggokan tanah yang
mencurigakan. Seringkali Ayah mengingatkan kakak-kakakku
lelaki pada waktu akan bermain layang"layang.
ltelur semut merah "Hati-hatanngan ke grumbulanl Siapa tahu ada ularnya."
Di pojok timur, Bapak membuat pintu pagar yang mudah
digeserkan sebagai tempat keluar"masuk. Tidak semua orang
mengetahuinya, Seperti juga pohon jambu klutuk di sana,
yang rapat terlindung oleh desakan pohon-pohon pisang.
Ayah, Maryam dan aku memiliki beberapa rahasia yang kami
bagi bertiga. Di antaranya adalah pintu pagar dan pohon
jambu itu. Untuk mencari belalang, kami mempergunakanjalan biasa,
yaitu keluar dari pintu samping di halaman. Setelah
menempuh jalan kampung, kami segera sampai di pinggir
padang dan sungai. Dari hari ke hari, Maryam "memperkenal"
kan" luasan lapangan kepadaku. Seperti halnya. pula dengan
tanaman-tanaman yang ada di kebun kami, sarang-sarang
serta cabang"cabang tempat singgah yang dipilih oleh
masing-masing burung, dialah yang menunjukkannya ke"
padaku. Di tanah lapang itu, beberapa pohon tumbuh di pinggir.
Sepanjang tanah yang dekat (lengan parit, penuh dengan
tumbuh"tumbuhan air. Daun-daunnya pipih beraneka ben"
tuk. Di bagian lainnya, bertaburanlah kembang-kembang
padang. Selalu mungil, dengan warna yang lembut maupun
menyala. Yang sering kami kunjungi adalah rumpun-rumpun
tanaman berduri puteri malu. Daun"daunnya hijau, halus
seperti renda, berbunga ungu muda. Begitu kami sentuh,
tertutuplah daun-daun itu bagaikan mata yang kemalu-
maluan. Kami menamakannya si kucing. Aku tidak tahu
mengapa justru nama itu yang kami pakai. Sampai dewasa
pun aku tidak pernah tahu mengapa.
Kami berlomba menangkap belalang. Kadang-kadang
panas hati, mengikuti seekor belalang yang lolos dari terkaman
di satu tempat dan meloncat ke tempat lain, masuk lebih jauh
ke dalam rumpun ilalang. Seringkali karena asyiknya, aku
tidak menyadarinya. Dan tiba-tiba menemukan diriku
dikelilingi oleh rumput-rumput setinggi kepala. Dari jauh
kudengar suara lX/Iaryam:
"Kembali kemari! Kembali kemari! Biarkan belalang itu, ini
ada yang lain!" Lalu dengan tergesa-gesa aku membalikkan badan, berlari
menuju ke tengah padang di mana terdapat garisjalan setapak
yang terbuat karena seringnya dilewati orang. Dengan
terengah"engah aku menjatuhkan diri di dekat kakakku.
"Jangan masuk terlalu jauh. Banyak ular," kata Maryam
lagi. "Apa kau tidak takut?".
Memang aku takut! Sebab itu aku berlari-lari!
Keesokan harinya aku mengikuti kakakku dengan alim.
Mencari belalang di bagian"bagian padang yang terang7 yang
rumputnya tumbuh rendah, di dekat parit ataujalan setapak.
Tetapi hari berikutnya, aku lupa lagi. Demikianlah setiap kali
terjadi dan tiba-tiba sadar, diriku telah tenggelam dalam
kehijauan batang-batang ilalang. dengan hanya satu pikiran:
ular! Lalu bergegas harus keluar dari sana. Berlari secepat dan
sebisaku. Betis, lengan dan mukaku seringkali tergores oleh
daun ilalang yang tajam. Ketakutan yang akan teringat
seumur hidup itu, pada masa kanak-kanak hanya tinggal
selama satu atau dua hari dalam kepalaku.
Pulang dari padang, kami memberi makan si jalak.
Seolah"olah mengerti apa yang kami bawa, burung itu ribut
sendiri di dalam sangkarnya. Semua yang bisa diucapkannya,
keluar dari tenggorokannya. Turun dari tempatnya berteng"
ger, dia melompat ke depan, balik ke belakang. Dan pada saat
NIaryam atau aku memberinya belalang seekor demi seekor,
kami selipkan di antara celah"celah jeriji kurungan, dia
mencocoknya perlahan"lahan tanpa menyakiti jari kami.
lN/Ielihat burung itu gembira menerima pemberian, kami
semakin senang pergi mencarikan serangga setiap sore. Tetapi
ada kalanya udara tidak mengizinkan. Dengan hati iba
kukatakan kepada si jalak bahwa kami tidak dapat keluar
karena hujan. Sebagai pengobat kecewa, lbu menyuruhku
mengambil sebuah pisang gablog yang sedang diperam di
dalam seperi. Kukupas kulitnya satu sisi, lalu kutancapkan
pada batang tempat makanan yang dipasang Ayah di dalam
sangkar. Telur-telur semut, belalang dan pisang merupakan
makanan istimewa bagi burung kami. Kotak-kotak tempat
biji"bijian dan air diisi setiap pagi. Tidak tentu siapa yang
mengerjakannya. Yang paling sering tentu saja Bapak,
sekalian memeriksa isi sangkar-sangkar burung perkutut.
Pada suatu siang, Ibu terkejut melihat pintu kurungan yang
ternganga lebar. Si jalak tenang bertengger di dalamnya.
Ketika Ibu mendekat sambil menggerutu sendirian terhadap
Bapak, burung itu turun dan melongokkan kepala di ambang
pintu seperti menyambut. Ibu kami menunggu sebentar, ingin
melihat apakah dia akan keluar atau tidak. Rupa-rupanya dia
memang tidak hendak meninggalkan sangkar. Sejak waktu itu
kesayangan kami menjadi lebih dalam lagi. Bagaikan hal yang
biasa, beberapa kali berikutnya pintu kurungan kelupaan
tidak tertutup, namun sijalak tetap tidak mau ke luar. Siapa
pun yang lewat dan melihat pintu terbuka, segera menutupnya
kembali. Yang kami takutkan adalah kucing-kucing yang
berkeliaran. Setelah beberapa waktu kami pelihara, tiba-tiba si jalak
dapat menyiulkan bagian pertama nyanyian "Ibu Kita
Kartini". Waktu-waktu terakhir itu Maryam menghapalkan
nyanyian tersebut untuk peringatan di sekolahnya. Setiap hari
si jalak mendengarkannya dengan diam-diarn. Lalu pada
suatu hari, tanpa disangka"sangka siulannya keluar. Padahal
orang tuaku sudah berputus asa, tidak lagi mengajarinya
mengatakan sesuatu. lbu pun telah menghentikan kerikan
pada lidahnya dengan cincin.
Barangkali si jalak lebih suka belajar sendiri, dengan
diam-diam. Karena semua yang kami ajarkan, tak satu pun
dapat dia ulangi. Sebaliknya kata"kata yang sering kami sebut
atau ucapkan, lagu-lagu yang sering dinyanyikan di kamar
mandi oleh kakak-kakakku, pada suatu hari tiba-tiba keluar
dari tenggorokan burung itu.
Sebagaimana lumrahnya anak"anak, kami berlima sering
berbantah dan bercekcok. Ketika marah, seorang menyerukan
nama olok"olok lawannya.
Heratih mempunyai nama lain yang jarang dipakai, ialah
Siti Latifah, menjadi Latipah, berubah lagi dengan singkatan
Pah. Dia mendapat nama olok-olok dari adik"adiknya:
Tampah, Ibu tidak pernah memanggil nama"nama anaknya
yang sesungguhnya. Ketika kakak sulungku masih kecil,
hingga umur kira"kira empat tahun, badannya hitam pekat.
Ibu yang ingat akan cerita wayang, teringat akan adik Kresna,
Lara Ireng. Sebab itulah dia memanggil kakakku Ireng,
bahkan hingga kami dew.asa Padahal kini dia telah berubah,
berkulit bersih, lebih kuning dari kami berempat. Nugroho
yang kami panggil lVIas Nug, menjadi Rianti. Di atas pelupuk
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
salah satu matanya ada bekas luka yang pada waktu itu amat
kentara. Lalu kami sebut dia Manu Pcdet. Diajuga mendapat
julukan lain: Kaji. Sewaktu Ibu memanggil peramal kartu,
menurut Maryam, lambangnya yang tercetak adalah gambar
seorang haji. Dengan sipatnya yang sok tahu dan ingin
kelihatan alim, nama kedua itu memang patut bagi dia.
Mengenai Maryam, sudah pernah kuceritakan, bahwa dia
mendapat nama Genuk, karena sewaktu kecil tubuhnya gemuk
sekali, sehingga lbu teringat akan tempat garam yang pendek
dan menggembung itu. Kakak-kakakku yang lain memper-
olok-oloknya dengan Manuk, atau Genuk tempat garam.
Teguh, tidak asing lagi, menjadi Banteng atau Banteng
Kejcpit. Dan aku sendiri: Krupuk atau perkataan bertumpuk"
tumpuk. Menurut cerita orang tuaku, ketika lbu mengandung
aku, keluarga banyak menderita percobaan. Salah satunya
ialah Ayah diperhentikan dari pekerjaan. 'l'anpa diberi tahu
sebab-sebabnya. Tapi keluarga kami tahu bahwa beberapa
anggota perkumpulan yang berbau nasional disisihkan oleh
pemerintah Belanda. Bapak yang giat membantu Taman
Siswa dan gerakan pencak Suci Hati dibenci oleh kaum
pcnjilat. Hidup orang tuaku menjadi kembang"kempis selama
hampir setahun. Ketika aku lahir7 rezeki datang berturut"
turut. Disusul oleh panggilan kepada Bapak, agar kembali
masuk bekerja. Oleh karena itu lbu menyebutku Tumpuk,
dalam arti keuntungan dan kurnia Tuhan yang datang
bertumpuk"tumpuk begitu aku lahir.
Pada waktu bertengkar, tidak ada kekecualian, kami ramai
menyerukan nama olok"olok tersebut. Pada saat"saat
bermarahan kami saling tidak menegur, dan terjadilah perang
dingin. Di mana-mana, di dinding tangsi atau papan kamar
mandi di sebelah luar, ditulis nama olok"olok lawan
masingmasing. Hurufnya besar"besar, terbuat dari arang.
Suatu ketika, kutemukan tulisan semacam itu di kamar
mandi. Dindingnya kayu, baru saja dilabur: putih bersih. Agak
di atas kubaca: Krupuk bertumpuk"tumpuk. Aku segera tahu
bahwa itu adalah hasil karya Nugroho. Sejak beberapa hari
kami berkelahi. Asal mulanya biasa, mengenai binatang. Kali
ini kucing yang dipukulinya tanpa sebab. Untuk membalas
dendam, dia kuadukan kepada Ibu waktu mencuri mangga
yang diperam di sepen. Karena kena denda, dia mencabuti
tanamanku di halaman muka. Dan begitu seterusnya tidak
berkeputusan, kami saling membalas dendam.
Aku biasa mandi sore bersama Bapak. Maryam dan aku
senang mendapat kesempatan itu, karena Ayah diperbolehkan
Ibu mengambil air panas di dapur buat keperluan itu. Kami
bertiga mandi bersama-sama. Setelah melumuri dan menggo-
sok badan dengan sabun, hlaryam dan aku menempatkan diri
di bawah Ayah, agar mendapat curahan air hangat yang
diguyurkan untuk membasahi tubuhnya. Itu merupakan
kemewahan yang amat kami hargai. Sedangkan mandi
bersama Bapak saja sudah cukup menjanjikan keriahan yang
menyenangkan hati. Sore itu bersama Ayah aku melihat tulisan OlOk-Olok
terhadapku. Sepatutnya Ayah harus marah, karena kami tidak
berhak mencoret-coret papan bagian dalam kamar mandi itu.
Apalagi dinding masih bersih, baru selesai dikapur.
"Kau tahu siapa yang menulis itu?" tanya Bapak ketika
kembali dari dapur mengambil ceret air panas.
"Tentu saja Nugroho," jawabku dengan kesal.
Kulihat Bapak keluar lagi. Sebentar kemudian kembali.
"Tutup pintu!" katanya.
Sebelum aku menyadari apa yang akan diperbuatnya, dia
telah mulai menuliskan huruf"huruflebih besar lagi di bawah
tulisan Nugroho: Manu Pedet.
Kami berdua tertawa puas.
"Nanti Ibu marah-marah." tiba"tiba aku teringat.
"Katakan, aku yang menulisnya," sahut Ayah.
Dan aku terus tertawa. Ketika Maryam pulang dari kepanduan, kuceritakan
kejadian itu. Sekali lagi aku tertawa menemani kakakku.
"Ibu sudah melihatnya?" tanya Maryam.
"Entah!" "Lebih baik kaukatakan sekarang kepadanya. Biar tidak
kena marah." Aku menuruti nasihatnya. lbu hanya menggelengkan kepala, bersikap seperti orang
yang berputus asa. "Bapakmu seperti anak"anak saja! Ya sudahlahl Dia sendiri
yang mengapur, kalau kotor ya terserah."
Tapi malam waktu makan, lbu memberi gertakannya
kepada Nugroho. Kakakku mati-matian tidak mengaku atas
perbuatannya. Sebagai kata akhir, dia menyalahkan aku,,
karenajuga menulis olok"Olok terhadapnya pada dinding yang
sama. Mengapa Ibu tidak memarahi Dini, katanya. Dari
tempat duduknya, Bapak mengejapkan matanya sebelah ke
arahku. Aku tersenyum, membungkam. Soal itu adalah soal
antara Ibu dan Nugroho. Mengerti baik"baik isyarat dari
Ayah, aku tahu bahwa aku tidak perlu berbicara. Karena aku
berada di luar garis, harus merasa tidak berurusan untuk
menjawab maupun mencampuri percakapan mereka.
Nama-nama untuk bertengkar dan bercekcok itulah yang
diambil si _jalak sebagai perbendaharaan kata-katanya.
Apabila kakakku Heratih lewat, dia memanggil perlahan:
"Paaaah! Paaaah!" lalu disambung keras, "Tampahl
Tampah!" Kakakku biasanya tidak memperhatikannya, meneruskan
naik atau turun tangga. Nugroho lain halnya. Kalau burung itu berseru, "Manu!
lVIanu kaji! Manu pedct!" kakakku lalu menyahut, "Pedct,
pedct, kamu sendiri yang pedet. Tuh matamu sebelah sipit!"
Dia dengan geram ingin mencekik si jalak. Tetapi segera
sadar, bahwa Ayahlah yang membelinya. Kalau berurusan
dengan burung, berarti berurusan dcngan Bapak. Sebab itu
dia lebih baik menghindar.
Aku tidak mengetahui perasaan si jalak terhadap Teguh.
Kakakku termasuk orang ketiga yang paling sering memberi-
nya belalang dan serangga lain. Tetapi Teguh justru orang
yang paling banyak menerima siulan maupun olok"olok yang
keluar dari tenggorokan burung itu. Sampai"sampai hal yang
bersifat rahasia, yang hanya sekali didengarnya dari Nugroho
ketika mcmperolok-olokkan adiknya yang sakit perut:
"Banteng kecerit! Banteng kecerit!" serunya.
Kami semua suka sekali makan cabe. Teguh yang paling
hebat dari seisi rumah yang lain. Hingga pada suatu hari dia
harus ke belakang berkali"kali. Sewaktu kakus sedang dipakai
orang lain, dia tidak dapat menahan diri lagi, lerberak di
celana. Nugroho mengucapkan kata-kata olokan itu di depan
kamar mandi. Segera diambil oleh si jalak sebagai
perbendaharaan omongannya. Kemudian menjadi salah satu
kalimat yang paling sering diucapkannya. Kami tidak pernah
tahu mengapa. Bibi telah melahirkan. Selama dia berada di rumah sakit, aku menemani Edi
tinggal di Pendrikan. Kakak perempuan Bibi datang dari
Malang untuk mengurus rumah tangga. Aku tidak menyukai"
Hina Kelana 19 Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat Naga Sasra Dan Sabuk Inten 34
PENGANTAR Belanda meninggalkan kotaku.
Selama beberapa hari rakyat merampok isi gedung yang
bisa mereka buka, mengambil segala yang dapat mereka
pegang. Kemudianjcpang masuk. Kuta jatuh ke tangannya
tanpa ada yang melawan. Kedatangannya justru dianggap
sebagai penyelamat dari penjajahan. Dengan kecepatan dan
kesigapan berorganisasi yang dikagumi Ayah, Lentarajepang
itu menyusun kemba" kegiatan hidup penduduk.
Pada suatu hari, lima orang serdadchpang tiba"tiba berada
di belakang kampung. Nugroho melihat mereka memotong
ilalang di padang yang membatasi kebun kami dengan sungai.
Sebentar kemudian, "ang"orang kampunsr berduyunan
menyaksikan para pendatang baru itu. Kami seisi rumah tidak
ketinggalan, mengawasi mereka dari kebun.
Beberapa waktu kemudian, dua orang di antaranya
mendekati pagar, mengatakan sesuatu. Bapak yang mengerti
beberapa bahasa asing, tidak dapat menangkap maksud
orang-orang Jepang tersebut. Sebentar terjadi percakapan
ramai di antara serdadu"serdadu itu. Suaranya gaduh seperti
orang Cina. Lalu dua orang di antaranya mendekat lagi. Dan
tanpa tingkah kesopanan sedikit pun, mereka mematahkan
bilah-bilah bambu serta tanaman yang menjadi pagar,
langsung menuju ke tempat Ayah berdiri. Sekali lagi berbicara
ramai, sambil tangannya bergerak"gerak hendak menunjuk"
kan kemauannya. Ayah yang mulai kehilangan kesabaran
karena melihat mereka masuk ke kebun tanpa izin, dan
pagarnya dirusak7 nampak mengerti kehendak serdadu-
serdadu itu. Dia mengangguk kaku tanpa berkata sesuatu pun,
berjalan menuju ke rumah, diikuti kedua orang tentara itu.
Kami semua juga membuntutinya. Naik beberapa anak
tangga, sampai di depan kamar mandi,dapur,naik1agi, tiba di
latar bersemen yang memisahkan rumah induk dari rentetan
bangunan belakang. Ayah hendak masuk ke dalam SCpCH
ketika salah seorang serdadu itu berseru sambil menunjuk"
nunjuk kawat di latar yang kami pergunakan sebagai
perentang jemuran pakaian. Ibu mengerti maksud mereka,
lalu mengatakan sesuatu kepada Bapak. Tapi Bapak (idak
menyahut, ia masuk ke seperi, cepat keluar sambil memegang
sesuatu di tangannya. Dia naik ke latar, menggunting ujung
kawat"kawat pcnjemur. Kepada lbu dia berkata akan
menggantinya malam itu juga. Dia tidak mau memberikan
lali, karena masih harus dicari dulu. Lebih baik kawat"kawat
itu saja. Biar orang"orang yang tak tahu tatacara itu segera
keluar dari rumah. Semua itu diucapkannya (lengan suara.
gusar yang jarang kami dengar.
Waktu kedua tentara itu menggulungkan kawat, aku sempat
memperhatikannya dari dekat. Itulah tentara yang dikatakan
Bapak penyelamat dari penjajah! Tubuh mereka pendek,
hampir menghilang ke dalam seragam yang nyata-nyata
terlalu besar bagi mereka. Tinggi badan sama dengan
orang-orang Indonesia, tetapi perbandingan antara bagian
atas dan bagian bawah tidak sepadan. Ataukah barangkali
kesan itu kudapatkan karena potongan pakaiannya" Warna
kulitnya kuning seperti orang lina, dengan mata yang sipit,
tenggelam di antara pelapukan yang menggembung tebal.
Mereka memakai topi seperti penunggang kuda, di bagian
belakang ada secarik kain terjumbai hingga tengkuk.
Sebegitu mereka selesai menggulung kawat, Bapak
memegang lengan salah seorang di antaranya. Sambil
menunjuk pintu kebun dengan telapak tangan terbuka, dia
menarik orang itu ke sana. Ayah tidak ingin terlalu lama
meladeni serdadu"serdadu itu. Dan ketika mereka telah keluar
dari karas, di bawah mata pendatang baru itu, Bapak mulai
memperbaiki pagar yang rusak. Nugroho dan Teguh
membawa bahan dan alat dari kebun samping yang kami
namakan Wetan Dalem.' !Sebelah Timur rumah Itulah hubungan pertama kami dengan orang"orang
Jepang. Sewaktu sekolah dibuka kembali, aku masuk kelas satu dan
sudah bisa membaca serta menulis.
Di samping bangunan sekolah rakyat di Pendrikan Tengah,
ada gedung kecil. Setiap sore kedengaran suara gamelan dari
sana. Pada papan nama yang tergantung di situ tertulis: Eka
Kapti. Di sanalah aku menerima pendidikan tari dan gending.
Salah seorang gurunya yang segera terasa dekat padaku ialah
Pak Yadi. Ia tampan, berbadan sedang. Caranya berbicara
halus dan sopan. Gerak-geriknya dapat silih berganti:
lemah"lembut, sigap maupun kasar: tergantung pada tokoh
dan tari yang diperankannya.
Sementara itu kakakku Heratih selesai sekolahnya.
Dia mendapat pekerjaan di kantor telepon di dekat
alun-aiun. Setiap akhir bulan, setelah menerima gaji7 dia
pulang bersepeda sambil membawa sebuah kantung besar. Di
dalamnya ada. mangkuk"mangkuk kertas berisi es krim yang
lezat, dibeli dari toko "Oen" dijalan Bojong. Kami serumah
mendapat bagian semangkuk seorang. Juga kami berempat
masing-masing menerima sepuluh sen, berupa lempengan-
lempengan bulat logam .putih. Makin lama bentuknya
bertambah besar, tetapi lebih ringan. Lalu berganti menjadi
uang kertas dan bertuliskan angka lebar dan besar. Tetapi
daya belinya semakin berkurang.
Ayah tetap bekerja dijawatan Kereta Api. Gajinya semakin
hari semakin tidak mencukupi. Perubahan ini tidak hanya
dirasakan oleh keluarga kami. Seluruh tanah air menderita.
Keadaan dan sistem sosial bergerak bersama dengan
propaganda bahwa semua orang sama derajatnya, dcngan
semboyan "Jepang"Indonesia sama"sama", "Kemakmuran
bersama Asia Timur Raya" dan sebagainya. lbuku
mengambil waktu lama buat membiasakan diri dengan
panggilan "Bu" yang ditujukan kepadanya. Sebutan dari
tetangga-tetangga di kampung yang dulu memanggilnya
"Den" atau "nDoro".
Seperti kebanyakan orang, semula Ayah gembira me-
nyambut tentara Jepang. Dia dengan giat membantu
pembentukan pemerintahan di setiap kampung, menjadi
kepala Rukun Tetangga, memimpin berbagai rapat. Tetapi
lambat-laun dia melihat maksud Jepang yang sebenarnya.
Sekali lagi, menurut kata Ayah, lndonesia jatuh ke tangan
penjajah, dengan bentuk dan cara yang lain. Berdasarkan
alasan kesehatan, ayahku mengundurkan diri dari kehidupan
"politik" itu. Salah seorang adik Ibu, Iman Sujahri, pindah dari Jawa
Timur ke Semarang. Dia menjabat pekerjaan walikota. Dalam
bayangan Paman inilah ayahku meneruskan kegiatannya.
Memberikan pendapat dan usul kepada ipar dan sepupunya.
Kalau Paman datang ke rumah, mereka berdua selalu
menyendiri, berbincang dengan asyik mengenai politik
pemerintahan kota dan negara. Atau pada malam-malam
tertentu, keduanya menghilang ke kamar depan di dekat kotak
radio yang tersimpan di sebuah lemari.
Rumah kami tidak berubah. Tetap lindung, tenteram dan
akrab. Di pendapa, meja bilyard telah diambil kembali oleh
balai pertemuan di mana Ayah menjadi anggota. Di tengah
kebun di muka rumah dibuatlah galian di bawah tanah untuk
perlindungan dari serangan udara. Tanaman kembang dan
hiasan lain dipindahkan ke atas lubang tersebut, yang ternyata
dapat tumbuh, seolah"olah hendak menyenangkan hati kami.
Pohon sawo dan belimbing masih tetap tegak. Luasan tanah
yang ketinggalan di sana, bergantian ditanami kapas dan
jarak: tergantung kepada meluapnya propaganda yang
disebarkan pada waktu itu.
Demikianlah kehidupan terus mengalir.
Dari seluruh isi rumah, ibukulah yang paling terengah"
cngah. Ia berusaha mengikuti zaman dengan langkahnya yang
sempit, tertahan-tahan oleh kain dan kebiasaan adat yang
sukar dilepaskan. xii Oleh keadaan keuangan yang tidak mengizinkan, orang
tuaku memutuskan hanya mempunyai pembantu sesedikit
mungkin. Yang tinggal bersama kami adalah Simbok, seorang
perempuan tua, dianggap sebagai anggota keluarga sendiri.
Dia datang dari desa, dibawa Nenek pada waktu Ibu dan Ayah
kawin. Anak Simbok, seorang laki-laki, mendapat pekerjaan
sebagai penjaga balai pertemuan tempat Ayah menjadi
anggota. Dia telah kawin. Seringkali datang ke rumah kami
bersama isterinya, berkunjung sambil menolong pekerjaan apa
saja yang dapat dikerjakan. Namanya Marjo, isterinya Saijem.
Kami biasa memanggil Kang Marjo dan Yu Saijem.
Menurut cerita, Simbok sebagai salah seorang pamong yang
ikut Nenek, pernah membantu menyusui Ayah dan
saudara-saudaranya ketika masih bayi. Sebab itulah Simbok
berhak mendapat kamar di dalam rumah induk, dipasrahi
kunci-kunci lemari perbekalan jika Ibu sedang sibuk atau
bepergian. Kebebasannya bergerak dan berbicara tidak
terbatas. Dia dapat mengambil prakarsa demi keberesan
makanan di rumah. Pada waktu"waktu perbincangan, diajuga
hadir, ikut mendengarkan. Bahkan pada akhir"akhir masa
hidupnya, dengan usia yang semakin lanjut, dia semakin
cerewet dan suka mencampuri urusan keluarga. Meskipun
tidak diminta pendapat dan pikirannya, dia langsung
mengatakan. Bapak dan lbu dengan sabar mendengarkan.
Tetapi jika keterlaluan, mereka juga bisa mengingatkan
dengan halus akan kedudukannya.
Selain Simbnk, pembantu yangjuga tinggal di rumah kami
adalah seorang wanita muda dengan anak perempuannya,
sebayaku. Ibu tidak suka mengeluarkannya. Suami perempu-
an itu menghilang tak ketahuan ke mana. Ayah terpaksa
menyetujui, meskipun berarti pengeluaran tambahan biaya
lagi guna sekolah anak pembantu itu.
Di rumah, berkali-kali terjadi perdebatan kecil mengenai
keadaan hidup yang telah berubah. Bapak berusaha
mempengaruhi lbu untuk keluar dari kungkungan didikan
yang diterima dari orang tuanya yang serba kebangsawanan.
Ibuku sebetulnya bisa membantu mencari penghasilan. Dia
pandai memasak. Dapat menerima pesanan kue-kue kering
dari kenalan"kenalan yang mengadakan pesta atau kondang"
an. Diajuga pandai membatik. Ia dapat langsung membatik
dengan lilin panas tanpa pola ataujiplakan, tanpa keraguan.
Saudagar Cina yang biasa menerima hasil karyanya untuk
diwedel atau disugiz, ' berkali-kali bertanya kalau"kalau Ibu mau
menerima pesanan batikan. Tetapi lbu selalu menjawab tidak
mempunyai waktu untuk mengerjakan kain orang lain. Dia
hanya membatik buat sanak-saudara, atau kain-kain yang
akan dihadiahkan. Ayah yang menerima didikan lebih realistis, mengerti
bahwa dunia telah berubah. Kefeodalan telah basi, tidak
mendapat tempat lagi dalam hidup yang terus bergerak. Tidak
henti-hentinya dia mencoba mempengaruhi Ibu. Tapi semua
itu nampak sia"sia. Hingga datanglah siang itu.
Kami pulang dari sekolah. Ada yang terus makan, ada yang
menunggu Heratih dan Ayah. Biasanya Teguh dan aku
mendahului makan setelah mencuci kaki dan tangan. Teguh
karena hendak keluar bermain dengan kawan"kawannya. Aku,
karena kelaparan. Nugroho clan Maryam menunggu.
Sewaktu makan bersama siang itu, Heratih mengabarkan
apa yang dilihatnya. "Ban sepedaku kempes tadi. Untung melalui Kranggan.
Waktu sedang memompakannya, kulihat Bu Bustaman. Dia
berjualan di sana." Sebentar kalimat kakakku itu bagaikanjatuh ke lubang yang
dalam, tak kedengaran sentuhan dasarnya. Tidak seorang pun
ldicelupkan dalam cairan Soga
dari kami menginsali artinya yang penting. Atau begitulah
kiraku. Karena aku pun yang duduk di sana, tidak melihat
keanehan kata-kata Heratih.
"Dia jadi bakul rombengan sekarang," kata kakakku lagi.
"Siapa?" cepat lbu menyela. "Mbakyu Bustaman?"
"Ya." "Ah, tidak percaya. Masakan dia mau jualan begitu di
pinggir jalan!" bantah lbu.
"Betul! Dia duduk di emper toko jamu di Kranggan."
"Barangkali dia sedang membeli. Kamu salah lihat!" Ibu
berkeras kepala. "Ah, lbu ini'. Masakan aku tidak tahu bedanya mana si
penjual mana si pembeli" Bu Bustaman duduk di depan
dinding. Dia menjereng-jereng baju. Orang"orang lain di
sebelah luar yang melihat, barangkali menawar. Aku tidak
mendengar percakapan mereka."
Sekali lagi tidak ada yang bersuara. Ayah, barangkali tidak
sabar menunggu reaksi yang nyata dari Ibu mengenai kabar
tersebut. Nugroho, masa bodoh. Maryam, seperti Bapak. Dan
Heratih, kelihatan puas. Seolah"olah lega telah menunaikan
tugas menyampaikan berita tentang kejadian hari itu. Aku
sendiri, seperti pada waktu-waktu lain, lebih sering diam,
melihat dan mendengar daripada berbicara.
"Kau salah lihat! Tentulah itu bukan Bu Bustaman!"
akhirnya ibuku berkata lagi.
"Mengapa kau tidak ke sana nanti sore atau besok untuk
menyatakan sendiri?" tiba-tiba Bapak mencampuri.
"Itu betul"betul Bu Bustaman!" Heratih membela penda-
patnya. "Tubuhnya yang segemuk itu, tepat seperti dia.
Tukang sepeda tidak jauh dari tempatnya. Aku bisa
melihatnya jelas." "Di muka toko jamu, katamu?" tanya Ibu lagi.
"Ya." Tidak mengherankan berita itu merupakan bom yang
dahsyat bagi Ibu. Nyonya Bustaman adalah ibu temanku
Treksi. Berkedudukan sama dengan kami dalam tingkatan
sosial sebelum Jepang masuk. Beberapa bulan yang lalu
suaminya meninggal. Pada masa itu, laki-laki di rumah adalah
tiang penyangga hidup seluruh keluarga. Kalau dia hilang,
rumah dapat runtuh, isinya mati kelaparan. Apalagi di zaman
serba sukar mencari isi perut. Barangkali oleh karenanyalah
Bu Bustaman menjadi penjual pakaian bekas. Itu pun kalau
benar-benar Heratih tidak salah lihat. Bagiku, amat sukar
membayangkan ibu temanku duduk di emper toko, di pinggir
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalan menghadapi dagangan.
Sore itu juga aku dibawa Ibu keluar.
Kami tidak naik becak. Udara sore selalu nyaman buat
berjalan. Apalagi melalui jalan Depok yang didereti pohon
asam di kanan-kiri. Trotoar lebar, dipinggiri oleh penjual-
penjual makanan dan buah beraneka ragam. Baunya
bercampur"baur amat sedap: gurih, kecut5 manis. Harum-
nya empat atau lima macam pisang saja telah cukup buat
memenuhi udara lembut sore itu. Ditambah pula dengan asap
berkepulan dari singkong panas, parutan kelapa dan
bermacam"macam makanan lain.
Dari Depok kami menyeberangr ke Peloran, lalu masuk ke
Kranggan Kulon. Toko jamu yang disebut kakakku masih
jauh, hampir sampai di ujung Kauman. Trotoar di sana lebih
sempit. Rumah-rumah yang menjadi toko herhimpitan
langsung menyentuh tepian aspal tempat pejalan kaki. Aku
tidak pernah menyukai jalan itu. Orang"orang yang lewat
berpapasan, seringkali harus saling menunggu atau saling
dahulu"mendahului. Tidak jarang kami terpaksa turun ke
jalan besar karena terdorong atau terdesak, salah-salah bisa
terlanggar oleh kendaraan yang lalu-lalang.
Aku mengikuti ibuku dari belakang dengan diam-diam.
Trotoar yang sempit itu semakin kelihatan penuh, karena di
setiap emper toko atau rumah dijajakan berbagai dagangan.
Kebanyakan pakaian dan kain batik. Beberapa tukang jahit
juga menyewa tempat"tempat di situ untuk mencari nafkah.
Bersila di lantai, menghadap kej alan besar, dengan mesinjahit
yang tua dan gaduh di depannya. Timbunan bahan atau
pekerjaan pesanan ada. di sampingnya.
Sore itu beberapa orang pedagang telah bersiap-siap akan
pulang. Termasuk Bu Bustaman. Aku tidak menyadari telah
tiba di muka toko jamu ketika kudengar ibuku menegur
dengan suara seperti biasa:
"Sudah mulai siap hendak pulang, Mbakyu?"
"Eeeee, _]eng Salyo!" ibu temanku itu menyahut, nampak
terkejut melihat kami di sana.
Keduanya mengulurkan tangan, bersalaman.
"Ya, jeng. Kalau sudah sore, cepat sekali menjadi gelap.
Saya tidak menyewa lampu."
Bu Bustaman mengemasi timbunan yang agak menonjol ke
luar dari ubin emper, lalu meneruskan berbicara:
"Dari mana, Jeng" _]alan-jalan saja, atau belanja" Silakan
duduk sebentar." "Mau beli kembang telon tiga macam: mawar, melati dan
kenanga di pojok Kranggan. Buat weton" Heratih besok pagi."
Dalam hati, dengan cepat kuhitung hari"harinya: Pon,
"'age, Kliwon, Legi, Paing. Ya, betul! Besok weton kakakku.
Ibu tahu saja menemukan jawaban!
Tanpa disilakan dua kali, dia duduk di pinggir lantai,
melihat ke bongkahan kain kasur yang telah siap diikat. Bu
Bustaman mengerjakan bungkusan lain, mengerti makna
pandang ibuku. "Ya, Jeng, begini ini! Saya menjadi bakul rombeng
sekarang." Aku khawatir. Tidak bisa mengira apa yang dapat
dikatakan Ibu sebagai jawaban atas kalimat kawannya yang
nyata diucapkan dalam bentuk keluhan itu.
"Ah, Mbakyu. Sekarang zamannya sudah berubah,
Menjadi apa saja asal mencari nafkah dengan halal."
Dengan sekali sentuhan, Ibu menutup mulutku yang
ternganga keheranan mendengarnya, Aku terkejut, seperti
terbangun dari mimpi. "Saya pikir"pikir, apa yang bisa saya kerjakan?" kata Bu
Bustaman lagi. "Saya tidak pernah sekolah. Tidak bisa
memasak buat membuka warung makanan. Lagi pula, warung
memerlukan modal. Lalu, pada suatu hari, saya keluarkan isi
2hari kelahiran, umpamanya Ahad Pon atau Senin Kliwon
lemari. Saya pilih pakaian yang masih bagus, tapi yang tidak
saya perlukan lagi. Dan saya sewa emper ini. Sekarang, setiap
hari. saya menjajakan dagangan di sini. Eee, Jeng tahu"
Seorang demi seorang, banyak tetangga, nyonya"nyonya yang
saya kira tetap mempunyai harta dan kekayaan, pada titip
jualan. Coba lihat ini: ini, dan itu yang biru."
Berdua dengan ibuku, dia membuka dan memperlihatkan
kebaya, selendang dan taplak meja yang masih ketinggalan di
luar bungkusan. "jadi, malahan Mbakyu menolong orang lain," kata Ibu.
"Ya"]eng. Tentu saja saya mengambil keuntungan. Tetapi
tidak banyak. Kalau terlalu banyak, tidak laku."
Percakapan kedua wanita itu berkisar pada barang-barang
yang mereka pegang. Lalu Bu Bustaman melihat kepadaku,
mengatakan kalimat yang manis dan teguran ramah. Katanya,
aku sudah lama tidak bermain"main ke rumahnya.
"Sekarang Mbakyu berjualan begini, siapa yang mengurus
di rumah, Mbakyu?" tanya Ibu lagi,
"Adik saya yang sudahjanda, datang dari Purworejo. Kami
tinggal berdua di dunia ini. Lebih baik hidup berkumpul. Dia
yang saya pasrahi mengurus rumah. Ada pembantu seorang,
yang pulang sore. Cukup. Rumah kecil, Jeng, lain dengan
rumah Jeng Salyo. Bagaimana kabar Jeng Salyo sendiri"
Kangmas?" Lalu mereka saling memberi berita. Mengabarkan kenalan
bersama. Aku duduk di pojok, tetap mendengarkan.
Kadang-kadang menemukan suatu kabar yang lebih menarik
dari lainnya. Kupingku lalu kupasang baik-baik. Tetapi pada
waktu mempercakapkan berita biasa, sambil mengelamun
kuarahkan pandang ke jalanan. Benar seperti kata Bu
Bustaman, sore hari cepat menjadi gelap. Udara yang terang
mulai muram, seperti berselubungkan kain tipis yang
berwarna kelabu. Becak"becak belum memasang lampu
minyak7 kelihatan warna"warni gambaran sampingnya yang
berkeliaran seperti kunang-kunang. Aku mulai merasa bosan.
Untung Ibu segera berdiri dan pamit. Bu Bustaman harus
meninggalkan pinggiran toko sebelum hari menjadi gelap.
Kami meneruskan berjalan ke Kranggan Wetan.
Seperti jalan Depok, sudut Kranggan Wetan yang selalu
harum dan nyaman dengan warna"warni kembang itu adalah
tempat yang aku sukai. Merupakan pojok persimpangan lima,
segalanya nampak berdesakan dan hiruk-pikuk. Selalu penuh
dengan penjaja harang-barang dari logam, kaca dan perabot
rumah tangga. Kendaraan bersimpang"siur tanpa diatur
lampu merah-hijau. Hampir di setiap penjuru becak-becak
berhenti menunggu penumpang. Segalanya memberi kesan
kepadatan yang membingungkan. Namun itu adalah salah
satu bagian kota yang tidak pernah lupa kujenguk di kelak
kemudian hari, pada waktu"waktu kunjunganku ke rumah
ibuku. Ibu membeli kembang telon untuk ditaruh di bawah tempat
tidur Heratih dan mawar serta kenanga buat dipasang di
sanggul. Lalu kami pulang. Aku bersusah"payah menahan
keinginanku akan gemuk [indri yang enak dari kampung
Basahan. Karena ibuku tentulah akan menjawab, bahwa di
rumah telah banyak makanan lainnya.
Malam itu Ibu memberi tahu akan menjadi "buruh" orang
Cina. Dia juga akan menerima pesanan kue kering yang
dimasak di dalam pan. Bapak dan kami anak-anak disuruhnya
menyebarkan berita tersebut, agar banyak orang yang
memesan makanan kepadanya. Heratih yang pandai memasak
dan membatik, menyanggupi akan memberikan bantuan.
Hingga masa dewasa kami, hanya dialah satu"satunya anak
perempuan ibuku yang pernah membatik dengan bagus.
Sejak itu, rumah kami bagian belakang menjadi sanggar
batik dan pabrik makanan kering. Ibu dapat membayar
seorang pembantu yang datang setiap hari dari kampung
Bedagan. Ibu mengerjakan garapannya di mana saja, baik di
rumah maupun di kebun. Tergantung pada keadaan udara
dan warna kain yang dikehendaki si pemesan. Bambu dan
kawat jemuran di latar bisa penuh dengan hasil karya ibuku.
Seluruh latar dan bagian belakang rumah berbau wedelan dan
soga, sedap nyaman. Sampai dewasa pun, pada saat-saat
hidungku mencium bau kain batik asli, pikiranku melayang ke
masa kanak"kanak, kemudian terbayang ibuku duduk
membatik di depan gawangcmfi
Jika cuaca dan kesehatan Ibu tidak mengizinkan, kain-kain
mori yang telah dibatik itu dilipat dan ditimbun baik"baik,
diikat pada boncengan sepeda Bapak. Lalu aku naik di depan.
Kami berdua membawanya ke kampung Dargo, rumah
seorang saudagar batik Aku selalu terpesona melihat kemegahan rumah saudagar
batik itu. Letaknya di bagian kota yang mewah, berpagarkan
terali besi yang tinggi sekali. ltu bukanlah satu-satunya
gedung yang pernah kumasuki. Namun mendekat dan
melangkahkan kaki ke halamannya, aku merasakan suatu
tantangan yang aneh. Barangkali karena di depan pintu
gerbang ada gambar seekor anjing dengan tulisan: "Awas,
anjing galak!" Dan karena setiap kali Ayah menekan bel di
pintu, muncullah tiga atau empat eknr binatang itu, yang
datang menggonggong dan meloncat-loneat dengan garang"
nya di balik terali besi, seakan-akan siap menerkam kami
begitu pintu terbuka. Bila kemudian datang orang dari dalam
yang menyilakan kami, membentakkan nama-nama anjing itu
supaya diam, aku mengikuti ayahku sedekat"dekatnya, sambil
berjalan dengan mata sebelah tetap mengawasi segala
gerak-gerik hinatang-binatang itu karena rasa takut. Lain-lain
hal di rumah itu tidak menarik perhatianku. Isi gedung dan
kebun merupakan kelumrahan yang kukenal dan kulihat di
rumah-rumah Paman serta kerabat lain. Dapat dikatakan
anjing-anjing itu sekaligus menakutkan dan menarik hatiku.
Aku ditumbuhkan bersama kucing sebagai binatang kesayang-
an. Seekor anjing, besar, apalagi yang menggonggong;
melompat menunjukkan gigi"gigi besar dan tajam! Semua itu
bagiku merupakan hal yang luar biasa. Lebih-lehihjika seruan
si pemilik atau bahkan seorang pembantu yang mengenal
binatang itu dituruti. Demikianlah, setiap kali Ayah harus mengembalikan mori
yang telah dibatik ibuku, aku berusaha untuk selalu ikut.
3tempat sampiran kain mori yang hendak dibatik
Hanya untuk sejenak mengalami bercampurnya perasaan
kecemasan dan kekaguman. Hanya untuk melihat kembali
anjing-anjing besar berbulu mengkilat itu melompat7
memanjatkan kedua kaki depannya pada terali pintu.
Perasaan tegang yang menguasai diri pada waktu itu
membikinku waspada dan sigap. Oleh karenanya aku suka
kepada tantangan"tantangan ketakutan semacam itu.
Makanan kering yang dimasak ibuku selalu lebih enak dan
gurih daripada yang terdapat di toko, Kata lbu, karena dia
tidak curang, selalu mempergunakan bahan-bahan yang sehat
dan semestinya. Kalau di dalam resep disebut mentega, dia
mempergunakan mentega, bukan separoh mentega dan
separohnya lagi minyak atau bahan lemak lain. Ketika
keadaan semakin sukar pun, Ibu lebih suka menaikkan harga,
tetapi rasa makanan tetap enak, daripada memakai
bahan-bahan lain. Katanya, karena dia tidak merasa puasjika
hasilnya tidak lezat. Bagi ibuku, lebih baik tidak memasak
sama sekali. Di dalam dapur ada sebuah amben panjang meminggir ke
dinding. Dinding papan ini berjendela lebar. Dari rumah
induk, kami bisa melihat semua yang terjadi di dapur melalui
jendela itu. lbu atau Heratih duduk di atas amben mencampur adonan
di dalam sebuah wadah besar dengan kedua tangannya. Siapa
pun, Nugroho, Maryam, Teguh, Bapak atau aku sendiri tidak
berhak masuk ke dapur tanpa berhenti dulu mencuci tangan
pada pipa air di latar yang berdekatan dengan pintu masuk
dapur. Ibu mengetahui benar kebiasaan kami. Tak seorang
pun di antara kami dapat menahan tantangan buat
menenggelamkanjari telunjuk barang sekali ke wadah adonan
yang begitu mengundang, lalu menjilatnya dengan iringan
suara "mmmmm, mmmmm," baik keras-keras maupun secara
bersembunyi"sembunyi. lbu membiarkan perbuatan tersebut
hanya sekali atau dua kali. Lebih dari itu kami diusir ke luar.
Sebab itu, lalu kami mencari dalih, mencari alasan akan
membantunya. Nugroho dengan sipatnya yang selalu
berlagak, menolong memasukkan nampan-nampan seng berisi
adonan yang telah dicetak ke dalam pan, serta mengeluarkan
yang sudah masak. Aku biasa memperhatikannya dengan
perasaan ngeri. Nampaknya memang dia tidak takut
tangannya akan menyentuh bagian-bagian seng maupun pan
yang panas. Kemudian, pada saat-saat lbu atau Heratih
memalingkan muka, dengan sekali pungut, diambilnya
makanan yang belum matang, tchat"cepat dimasukkan ke
dalam mulut. 'l'eguh lebih suka kepada yang telah masak. Dia menolong
menghitung kuch kering tersebut, memasukkannya ke lodong
atau kaleng. Kalau lbu atau Heratih tidak melihat, dari lima
buah kuch yang ada di tangannya, hanya tiga yang dihitung
sambil bersuara keras. Sisanya segera menghilang ke dalam
saku celana pendeknya, bercampur dengan segala macam
benda yang telah ada di sana, berupa potongan"potongan tali,
karet blamin'ng,"1 kepingan kaca, kancing baju dan barangkali
pula beberapa jenis binatang kecil.
Ya,'binatang kecil! Karena pernah terjadi, pada suatu
subuh, Heratih kubangunkan. Kami berdua memasang
telinga, mendengarkan suara katak yang tersekap di dalam
kamar. Kami mencarinya, tidak berhasil. Ketika mengetahui
Ibu telah selesai sembahyang, kakakku keluar meminta
bantuannya. Sekali lagi kami bertiga mencari asal suara katak
itu. Akhirnya Ibu menarik celana Teguh dari gantungan. Dari
salah satu sakunya meloncatlah seekor katak coklat
berlumutan. Tidak perlu kuceritakan betapa gusarnya lbu
pagi hari ketika anaknya yang keempat itu bangun. Dia
memperbolehkan anak-anaknya mempunyai kegemaran
mengumpulkan binatang apa pun. Asal selalu dibikinkan
tempat tersendiri dan tanpa siksaan. ltu telah kedua kalinya
Teguh memenjara binatang kecil di dalam sakunya.
]awabnya, dua kali sama, ialah kelupaan. Itu bukan
merupakan alasan yang bisa diterima lbu. Kalau ada
beberapa tingkah anak"anak yang tidak dapat dimengerti,
salah satu daripadanya ialah penyiksaan terhadap sesama
hidup. Untuk kesekian kalinya Teguh kena denda, beberapa
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
puluh sen uang tabungannya dipotong.
4katapcl Bapak tidak membantu di dapur. Dia masuk ke dapur hanya
untuk satu atau dua keperluan. Kalau melihat kue telah masak
dan berwarna coklat agak gosong di bagian-bagian sisinya, dia
berkata bahwa kue itu tid-ak"akan laku dijual. Lalu diambil dan
dimakannya. Sambil makan, dia memandang ke sekeliling.
Dikatakan, bahwa api pembakar di sebelah atas pan harus
ditambah dengan arang, atau sebaliknya, bara harus
dikurangi7 kemudian mengeritik Ibu atau Heratih. Tidak baik
kalau mengaduk telur begini atau begitu, mengocoknya
dengan gula harus demikian. Tidak pernah ada yang baik bagi
Ayahjika dia berada di dapur. Oleh karenanya dia seringkali
cepat diusir. Maryam dan aku sendiri boleh dikatakan tidak menggang-
gu. Kami membantu seperlunya, dan mencuri adonan
sebisanya pula. Maryam dapat mengerjakan semua dengan
baik. Seperti Heratih. Aku lebih suka mencetak kue.
Mengambil segumpal kecil adonan, meletakkannya ke atas
_corong seng. Bagian bawah pipa itu berlipat-lipat seperti
kelopak kembang. Lalu dengan kedua ibujari, kutekan adonan
itu ke dalam lubang. Melotot ke luar di pipa bawah, adonan
telah tercetak berbentuk bunga. Kutaruh berjejer di atas seng
yang akan masuk ke dalam pan pembakar. Di atas kue-kue itu
biasa ditambahkan setitik selai atau kismis, kadang"kadang
sepotong kecil buah kenari.
Kaleng"kaleng dan lodong berisi kuc-kue kering itu
disimpan di dalam lemari Barat ruang makan. Di sana juga
terdapat perbekalan lain buatan Ibu seperti botol"botol sirup,
kecap, ikan kering, berbagai krupuk mentah dan yang sudah
digoreng. Kue-kue di sana disediakan buat dijual. Yang untuk
kami makan sendiri dan buat disuguhkan disimpan dalam
bupct di ruang tengah, bersama dengan gelas dan cangkir yang
hanya digunakan pada waktu-waktu kunjungan tamu.
Bupet dan lemari itu termasuk barang terlarang bagi kami.
Pintunya selalu terkunci. Kuncinya menjadi satu dengan
rangkaian kunci"kunei lain yang selalu dibawa ke mana-mana
di dalam kenali!5 Ibu. Di antaranya, terdapat pula kunci lemari
5ikat pinggang tempat celengan-celengan kami yang berbentuk binatang dan
terbuat dari tanah bakar.
Lebih dari tempat"tempat lain, lemari ini menjadi intaian
kedua kakakku laki"laki. Pernah lbu lalai, ketika hendak
mengambil sesuatu dari dalamnya, tiba-tiba teringat harus
mengerjakan sesuatu secepat mungkin di tempat lain.
Rangkaian kunci itu masih tergantung pada pintu lemari.
Pikirnya, akan segera kembali. Namun waktu yang sesingkat
itu pun cukup bagi Teguh dan Nugroho memanjat sisi tempat
tidur kami. Diraihnya celengan itu, dibalikkannya sehingga
lubangnya berada di sebelah bawah. Dengan kawat dikaitnya
satu atau dua mata uang dari dalamnya. Tentu saja mereka
tidak memilih tabungannya sendiri! Yang sering menjadi
kurban adalah tabungan Maryam, karena binatang dari tanah
bakar itu terletak paling dekat dengan pintu lemari. Heratih
tidak khawatir menjadi kurban. Sejak dia bekerja, tabungan"
nya dia simpan sendiri. Dan ketika pemerintah Jepang
menganjurkan supaya menyimpan uang di kantor pos, kami
semua dengan taat mengikutinya. Kami masingmasing
menyimpan buku, berisi perangko-perangko sebagai tanda
bukti banyaknya uang yang kami titipkan di sana. Tetapi aku
tetap menyukai binatang-binatang dari tanah bakar tersebut.
Nugroho tidak pernah ketahuan mencuri uang kami.
Sedangkan Teguh lebih sial, dua kali tertangkap basah. Dia
dihajar dengan cambuk oleh Ayah, lalu dikurung dalam
kamar. Hukuman terakhir itu merupakan cara yang paling
sering dipergunakan orang tua kami, selain denda potongan
uang dari tabungan masing-masing.
Demikianlah ibuku mulai mengikuti arah kehidupan baru
dengan menjadikan dirinya sebagai buruh batik dan penjual
kue kering. Kami tidak mendapat kekayaan darinya. Tetapi
dapat menolong menutup kebutuhan akhir bulan. Pikiran lbu
semakin terbuka melihat dan menerima keadaan sekeliling.
Dia berpendapat masih beruntung bisa mencari nafkah sambil
tinggal di rumah. Tidak seperti Bu Bustaman. Dalam
percakapan-percakapan selanjutnya, tidakjarang lbu bersyu"
kur kepada Tuhan, mendapat didikan membatik dan
memasak makanan yang lezat. Dia mengutarakan contoh itu
berkali-kali, agar anak-anak perempuannya meniru.
Dengan bangga aku menyatakan, bahwa ibuku tahu
mengikuti perubahan zaman.
Di kampung kami, sering lewat seorang laki"laki setengah
umur bersarung dan berbaju rapi, yang membawa sebuah
kurungan kecil berisi burung gelatik. Dia adalah peramal
dengan kartu. Pada suatu hari lbu memanggilnya. Aku tidak tahu dari
siapa datangnya gagasan tersebut. Barangkali seperti
kebanyakan] wanita, dia terdorong oleh keinginan tahu akan
haL"hal yang belum tentu, serba misteri7 mencoba kekuatan
gaib yang tidak dapat diterangkan oleh akal.
Aku tidak menyaksikan dari permulaan. Ketika aku tiba di
pendapa, orang itu telah selesai membaca kartu mengenai
nasib Nugroho, dan akan meramalkan sipat"sipat kakakku
Teguh. Dari laci di bawah kurungan, dikeluarkan setumpuk
kartu berbentuk empat persegi panjang, lebarnya tiga jari,
panjangnya sejari telunjuk. Laki"laki itu mengocoknya. Lalu
mengaturnya seperti kipas, menengadah. Salah sebuah pintu
kurungan dibuka. Gelatik di dalamnya disuruh ke luar.
Burung itu nampakjinak, turun dari tenggeran, menelengkan
kepala, lalu melangkahi pintu sangkar. Dia langsung meloncat
ke arah kartu-kartu yang diatur di atas meja. Sebelum
mencntok salah satu di antaranya, burung itu berhenti lagi
seolah-olah memilih dan berpikir. Kemudian, dengan
paruhnya, dia menyisihkan tiga kartu berturut-turut, dari
sudut yang berlainan. Laki-laki setengah umur itu mengambil
kartu tersebut, lalu diperlihatkannya kepada lbu.
"Lambangnya adalah seekor banteng," katanya memulai
ramalannya. Di antara kartu-kartu itu, kulihat sebuah gambar pohon
beringin, dengan seekor banteng yang terjepit di antara dahan
di bawah. "Anak ini mempunyai kekuatan tenaga dan kemauan yang
luar biasa besarnya," kata lelaki itu lagi. "Sipatnya dermawan
dan tenang apabila tidak diganggu. Penyakit yang paling
sering didapatnya..."
Orang itu meneruskan bicaranya, mengatakan semua sipat
serta kelemahan kakakku. Membuka rahasia kegigihannya
dalam usaha memiliki apa yang diingininya, pekerjaan apa
yang patut setelah dewasa, dan sebagainya. Aku tidak
mengetahui apakah hal-hal yang belum terjadi akan
betul"betul terjadi. Tetapi semua yang dikatakan orang itu
mengenai sipat dan watak Teguh, benarlah demikian. Aku
ternganga mendengarkan semua itu. Bagaimana mungkin
orang yang tidak mengenal kakakku bisa rnenerka segalanya"
Mengenai hampir semua kesukaannya, mengenai orang"orang
yang dapat atau tidak dapat bergaul dengannya.
"Pada suatu ketika dalam hidupnya, setelah dewasa, dia
akan menemukan sebuah rintangan. Seperti ini," tangan
orang itu menunjukkan gambar banteng yang terjepit di
pohon. "Tapi tak perlu khawatir. Dengan sipatnya yang gigih
serta kemauannya yang kuat, dia akan bisa melepaskan diri."
Burung gelatik digiring dengan tangan, masuk kembali ke
dalam kurungan. Kemudian orang itu mengemasi kartu dari
atas meja, mengambil kartu lain yang lebih kecil. Setelah
dikocok berkali-kali lantas diatur ke atas meja, bagian
bergambar tengkurap. Dia membuka pintu sangkar yang lain.
Burung gelatik segera keluar, menyisihkan kartuAkartu yang
bergambarkan lingkaran serta segi"segi beraneka bentuk.
Aku tidak tahu siapa yang dibicarakannya. Suaranya yang
rendah bernada pasti semakin turun, hampir berbisik. lbu
mendengarkannya sambil mendekatkan kepala, hampir
bersentuhan dengan rambut lelaki itu Sekali"sekali menanya"
kan sesuatu, dijawab, lalu bertanya lagi. Dengan ingatanku
yang masih sempit waktu itu, aku tidak dapat menangkap dan
menyimpan semua yang kulihat hari itu. Dari semuanya, yang
paling membekas padaku adalah kemungilan serta kepandai-
an burung"burung gelatik itu. Demikian pula gambar seekor
banteng yang terjepit di antara dahan-dahan pohon beringin.
Sejak waktu itulah Teguh mendapat nama kedua, Banteng.
Semasa kecil, kami menyebutnya demikian sebagai ungkapan
kemarahan atau kekesalan hati. Kami pergunakan panggilan
atau julukan itu sebagai cemoohan atau olok"olok.
Kekuatan kakakku memang luar biasa. Di antara kami
serumah, kenangan yang paling terkenal adalah ketika dia
sakit. Kata lbu dia masuk angin, dikerok dengan mata uang
dan minyak seluruh punggung dan dadanya. Untuk itu tikar
baru digelar di atas ubin. Ibu yang mengerok, dan pembantu
yang memeganginya. Setelah selesai, tikar yang baru dipakai
sekali itu harus dibuang, karena berantakan sobek-sobek oleh
gerakan kakakku yang luar biasa. Kemashurannya di antara
keluarga juga mengenai lemparan-lemparannya yang gaduh
ke pintu belakang yang terbuat dari seng, diiringi teriakan:
"Sambel bajaaaaak, sambel bajaaaaaak!"
Aku tidak menyaksikan sebab-sebab kemarahan itu.
Menurut cerita, karena pada suatu hari ketika dia hendak
makan, sambel kesukaannya itu telah habis. Lalu dia berlari ke
luar, tidak mau makan. Sebelum Ayah dapat memburunya,
kakakku telah memuaskan diri dengan ungkapan kemarahan-
nya yang amat gaduh: melemparkan batu"batu ke pintu "letan
Dalem. Meskipun kemudian dia kena hukuman, dia tidak
kapok, mengulangi lagi tingkah itu. Setiap kali menginginkan
sesuatu dan tidak dituruti dengan segera, dia melemparkan
batu-batu ke pintu tersebut sambil berteriak"teriak. Dia
sendiri berada di luar, di kebun Wetan Dalem. Kalau Bapak
atau Ibu menyusul mencarinya, dengan cepat dia menghilang
ke kebun belakang atau keluar dari Icarus.l Meskipun itu hanya
merupakan penundaan hukuman, namun kakakku bersenang
hati mendapatkan waktu penundaan selama satu atau dua
jam Karena dia tahu benar, bahwa kemarahan Ibu dan Ayah
dapat surut. Yang berarti hukuman itu juga akan menjadi
lebih ringan. Di kebun muka sebelah barat ada sebatang pohon blimbing
yang lebat buahnya, tanpa mengenal pergantian musim.
Tidak sebesar blimbing Demak, tetapi rasanya renyah dan
segar. Ketika itu, batangnya lebih besar dari dua kali
llingkungan milik pelukanku. Pada ketinggian beberapa jengkal dari tanah,
batang itu bercabang tiga, masing"masing tumbuh lurus ke
atas, lalu bercabang-cabang pula. Aku tidak pernah berhasil
menaiki tiga cabang itu. Bisaku hanya menyelinap di antara
celah-celah tiga batang itu. Di antara kami tiga perempuan
bersaudara, hanya hlaryam"lah yang memiliki kesigapan
memanjat berbagai pohon dan benda-benda yang tegak lurus.
Bibiku, istri paman Iman Sujahri sedang mengidam. Dia
sering datang, minta dibikinkan rujak. Dari kebun belakang,
dipetik buah-buah yang ada dan pisang klutuk untuk
dicampur dengan sambalnya. Kami biasa disuruh mencari
blimbing yang tumbuh di halaman muka. Tergantung siapa
yang ada di rumah, memanjat atau mengambilnya dengan
galah. Sore itu Bibi datang bersama anaknya yang pertama, Edi
Sedyawati. Teguh mendapat tugas memetik buah blimbing. Di
sepen masih ada buah mangga gurih, sisa petikan dari
hari"hari sebelumnya. Kedondong tidak ada, musimnya baru
mulai. Buahnya masih kecil"keeil, lagi pula pohonnya besar
dan tinggi. Hanya Bapak Atau Nugroho yang bisa memanjat
hingga jauh ke atas. Ibu sudah mengetahui kebiasaan iparnya. Begitu datang,
pembantu segera disuruh membuat sambal rujak. Bibi sendiri
telah berdiri di pendapa mengawasi Teguh memanjat pohon
blimbing. Dengan suaranya yang halus, dia memberi petunjuk
letak buah yang nampak dari tempatnya berdiri. Disebabkan
oleh daun-daun yang terlalu rimbun, kadang"kadang buah itu
hanya kelihatan dari bawah, atau sebaliknya, hanya bisa
dilihat oleh orang yang memanjat.
Aku berdiri tidak jauh dari sana. Kadang-kadang, tanpa
sengaja, kakakku menjatuhkan buah"buah yang terlalu masak,
terlepas dari dahan begitu disentuh. Tapi seringkali dia bisa
memasukannya ke dalam kantung besar yang tersandang
pada bahunya. Edi berlarian ke sana kemari memunguti
buah-buah yang berjatuhan. Kadang"kadang ada yang tepat
menimpa dirinya. Lalu dia berteriak atau kaget dan terlompat.
Tubuhnya yang kecil itu bagaikan kupu-kupu, berpindah-
pindah dengan gerak yang lincah namun lembut dan ringan.
Kakakku terlalu senang berada di atas pohon. Meskipun
karung yang dibawanya sudah penuh, dia tidak berpikir akan
turun apabila tidak diingatkan oleh Bibi. Ketika Teguh berada
di (lahan yang paling rendah, Bibi mendekat hendak
menolong. Dimintanya tas yang kelihatan penuh dan berat itu,
agar kakakku bisa lebih leluasa bergerak. Karung dilemparkan
kakakk11,jatuh tepat ke. dalam pelukan Bibi.
Kami bertiga kembali berkumpul di pendapa, hendak
masuk ke dalam rumah ketika Teguh memanggil"manggil:
"Dini, Dini! Tolong aku sebentar!"
Kami semua menoleh. Dari jauh kakakku kelihatan telah
sampai di batas batang yang bercabang tiga. Badannya
terselip di sela"selanya.
Sepupuku mengikutiku, kembali ke arah pohon.
"Mengapa?" tanyaku sambil mendekat.
"Aku tidak bisa terlepas," katanya.
"Ah, kaul Selalu ada"ada saja!" sahutku dengan suara kesal
sambil beranjak hendak menuju kembali ke pendapa.
Aku telah terlalu biasa dengan sikap pura"puranya. Dia
suka mengganggu. Suka membikin orang ketakutan memikir-
kan nasibnya. Kutarik tangan Edi, kuajak bersama
meninggalkan halaman depan.
"Betul! Aku tidak bisa keluar!" kata Teguh lagi.
Tapi aku sudah pergi dari sana" Waktu akan naik ke tangga
pendapa, aku menoleh ke arah pohon blimbing. Kulihat
'l'eguh berusaha menyelinapkan tubuh di antara dua batang
cabang, mendesak ke luar. Nampaknya betul-betul dia tidak
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa melepaskan diri dari jepitan batang-batang itu.
Aku menjadi ragu"ragu.
"_Iangan-jangan dia benar-benar terjepit," kata Edi
mengerti arti pandangku. "Biar saja! Sukur!" sahutku.
Tapi itu adalah kata"kata yang kedengaran. Sedangkan
dalam hati, seperti Edi, aku berpikir sama.
Sampai di ruang makan, kami dapati Ibu dan Bibi sedang
memotongi buah"buahan menjadi irisan yang cukup kecil dan
tipis, diatur di atas piring lonjong. Ketika melihatku, Ibu
bertanya: "Di mana kakakmu" Sudah hampir mahgrib, suruh mandi."
"Masih di pohon blimbing," kataku, gembira mendapat
kesempatan membicarakannya. "Katanya dia terjepit, tidak
bisa keluar." Ibu berhenti mengiris buah, memandang kepadaku.
"Terjepit" Di mana?"
"Di antara tiga cabang. Dia tidak bisa keluar, terjepit di
tengah." "Barangkali hanya pura-pura," Edi turut bersuara.
"Biasa dia suka mengganggu begitu," sambungku.
"Barangkali pula dia betul-betul terjepit. Kali yang
terakhir, sudah kuingatkan, jangan turun ke tengah.
Batang-batangnya bertambah besar. Dia sendiri juga
bertambah besar. Ah, anak itu!" sesal ibuku seperti ditujukan
kepada diri sendiri. lbu ingin melihatnya. Juga karena ingin supaya kakakku
cepat mandi, nampak bersih jika Paman dan Bapak datang
sebelum hari menjadi malam. Aku membuntuti Ibu kembali ke
pendapa. Teguh masih berada di antara ketiga cabang. "'aktu
melihat Ibu, dia berseru:
"Aku terjepit, Bu. Bagaimana bisa keluar dari sini?"
Dengan iba aku melihat mata kakakku mulai gugup,
berkaca"kaca. Rupanya dia benar"benar terjepit di sana!
"Tidak perlu takut, tenang saja. Jangan bergerak terus,
nanti kamu berkeringat," kata lbu.
Ibu selalu mempunyai pendapat yang tepat. Suara kesal
yang kudengar tadi di ruang makan, hilang. Dia berbicara
tenang, sambil mendekat dan mengelilingi pohon, seakan-
akan hendak mengukur sampai di mana keperkasaan tanaman
yang berani memenjarakan anaknya itu. Lalu berkata lagi:
"Cobalah naik dulu sampai ke cabang yang paling rendah
itu!" Sela-sela yang terdapat di antara tiga cabang itu amat
sempit. Dengan susah payah Teguh bergerak, berusaha
melipatkan sebelah kaki untuk bertolak dan mengangkat diri
ke atas. Tetapi sia-sia. Tidak ada tumpuan buat gerakan
semacam itu. Lalu dia berganti cara. Kedua lengan terentang
ke atas dan sambil memeluk salah satu batang ia berusaha
mengangkat diri, naik barang sejengkal Tetapi itu pun tidak
berhasil. Kemudian Teguh disuruh mencoba sekali lagi
menyelipkan badan di antara batang-batang, seraya mengem"
piskan perut. Teguh mendesak dengan kekuatannya, lbu
menarik dari luar. Namun itu pun sia-sia. Kini Bibi dan
pembantu datang. Tiga wanita mengerumuni pohon yang
memenjara kakakku. Edi dan aku melihatnya dari pendapa
dengan khawatir. "Mas Guh akan tinggal di sana sampai tua?" tanya
sepupuku itu. "Ah, siapa bilang" Sebentar lagi dia bebas," aku menyahut
dengan cepat. "Lihat saja nanti: Kalau bedug mahgrib
berbunyi, tentulah dia sudah keluar dan mandi seperti kata
Ibu." "Tapi kalau dia masih terjepit" Kita harus memotong pohon
itu!" suara Edi pasti dan yakin. "Kalau tidak, Mas Guh akan
mati di sana." "Kita tunggu Ayah pulang Dia tentu mengetahui apa yang
harus dikerjakan," sahutku, juga penuh keyakinan.
Bapak memang selalu tahu apa yang harus dikerjakan.
Tetapi petang itu dia tidak segera pulang. Paman yang datang
sore tadi bersama Bibi dan Edi, mengajak Ayah melihat
gedung di jalan besar Pendrikan, karena keluarganya akan
pindah ke sana. Paman biasa meminta nasehat untuk sesuatu
hall Barangkali petang itu dia bertanya kepada Bapak
mengenai barang-barang apa yang harus dibeli buat
perlengkapan rumah baru itu, cara mengatur ruangan dan
kamar-kaman Keterangan itu kudapat dari percakapan
antara Ibu dan Bibi. Kami semua duduk di pendapa, menikmati buah-buahan
dengan sambal rujak. Setelah Heratih pulang dari dinas siang,
kemudian Malyam yang kembali dari kepanduan, dan
Nugroho entah dari mana, kami kembali beramai-ramai
mengerumuni pohon. Kakakku Nugroho tertawa terkikih-
kikih melihat adiknya terselip di antara batang"batang
blimbing. Begitu kena sindirannya, sehingga Edi dan aku pun
turut tertawa. Nugroho menakut"nakuti:
"Awas! Kau akan berada di situ seterusnya. Kau akan
menjadi monyet! Setiap hari dikirim makanan, tapi kau harus
hidup di pohon." "Nug, sudah, sudah! Biarkan adikmu!" seru Ibu dari tempat
duduknya. "Katanya aku akan menjadi monyet!" Teguh berteriak
mengadu kepada lbu. "Biar saja dia katakan itu! Nanti kalau Bapak pulang, kita
potong satu batang, kau tentu bisa keluar dan tidak menjadi
monyet," Ibu membujuk anaknya yang keempat.
"Ini yang namanya benar-benar banteng kejepit," kata
Maryam, yang biasanya tidak suka mengejek maupun
berolok-olok. "Benar! Haaaaa, itu benar!" ketawa Nugroho lagi, semakin
keras, terlalu senang mendengar olokan baru.
"Ya, betul itu, ya?" sambung Heratih.
Kakakku sulung itu bersuara asal bersuara. Dalam hatinya,
aku tahu, dia khawatir betul memikirkan nasib adiknya.
Kulihat dia berputar, berputar lagi mengelilingi pohon
blimbing dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan. Tangannya
yang pipih dan kuning membelai serta menyentuh. kulit
batang, seolah-olah diharapkannya suatu keajaiban atas
rabaan tersebut. "Dari sini kau tidak bisa keluar?" katanya, sambil kedua
tangannya menyentuh dua batang yang berdampingan,
seakan-akan hendak direnggangkannya.
"Sudah dicoba semua celah," jawab Teguh.
Kakakku ini mulai lelah, kelihatan berputus asa, me-
nyandarkan diri sebisanya pada salah satu batang, sambil
sekali-sekali membalas olok-olok dan ejekan Nugroho.
Diambilnya ranting-ranting atau buah blimbingr kering yang
dapat ditemukannya di tubuh pohon itu7 lalu dilemparkannya
ke arah tubuh kakaknya dengan geram.
Akhirnya lbu berseru lagi.
"Sudah! Sudah! Nug, jangan mengganggu adikmu saja.
Ayo, kamu menyusul Bapak ke Pendrikan. Katakan agar cepat
pulang! jangan mampir-mampir. Terus pulang."
Ketika bedug Mahgrib berbunyi, Ayah dan Paman kembali.
Sejak dulu, listrik belum merata hingga ke ujung kampung.
Apalagi sejakjepang datang! Bersamaan (lengan menghilang-
nya segala tanda-tanda kemewahan, kami penduduk yang
jauh dari jalan besar hanya mendapat aliran listrik sedikit
guna menyalakan bola"bola lampu yang suram. Karena itu,
pendapa malam itu pun kelihatan muram. Ayah memasang
petromaks, supaya dapat menerangi keadaan sesempurna
mungkin. Bersama Paman dia menyiapkan alat"alat buat
memotong pohon. "Apakah tidak dapat dihindarkan" Harus dipotong?" tanya
lbu kepada Ayah. Dia bangga sekali akan pohon blimbing itu. Berulang kali
dia menjawab pujian tamu yang mengatakan kesegaran serta
keenakan buahnya dcngan kalimat-kalimat seperti: "Ya,
pohon itu hampir seumur Heratih. Saya menemukan bibitnya
di Wetan Dalem sewaktu membeli rumah ini. Lalu saya
pindahkan, saya tanam di halaman muka."
Mendengar pertanyaan lbu itu, Bapak jadi ragu"ragu.
"Setidak"tidaknya harus dipotong satu batang. Agar
celahnya lebih besar. Teguh akan bisa keluar, dan dua
batangnya akan tumbuh lebih besar lagi."
"Bagaimana kalau dicoba sekali lagi?" Paman memberikan
pendapatnya. "Ya. Coba, Guh!" kata Ayah kepada kakakku. "Lepaskan
bajumu, celana pendekmu. Siapa tahu tanpa pakaian, kau
akan bisa menyelinap di antara dua batang."
Dari semula tak seorang pun memiliki pikiran semacam itu.
Tiba-tiba dalam hati aku memastikan) bahwa Teguh akan bisa
keluar dengan jalan itu. hlemang, Bapak selalu mempunyai
gagasan yang lain daripada yang lain.
Teguh membuka kancing baju, mengulurkannya kepada
Heratih. Lalu celana pendeknya.
"Selipkan tubuhmu kemari. Ini lubangnya lebih lebar!"
Kami semua mengawasi sambil menahan napas. Satu
lengan dan satu kaki dapat melalui lubang tanpa kesukaran.
Bagian tubuh lebih sukar. Bahu serta pinggul kakakku
ramping; dan sebagai 'anak-anak badannya tampak tipis.
"Kempiskan perut dalam"dalam!" kata Ayah. "Miringkan
kepala sejajar dengan bahu."
Bapak memegang dagu anaknya, menolong mencarikan
garis yang paling lurus dan sisi badan yang paling pipih, agar
bisa lewat keluar dari celah"celah batang.
Namun sia-sia. Kepala Teguh tidak bisa masuk melalui
celah-celah batangr blimbing itu.
"Tak ada gunanya...," akhirnya kedengaran Bapak berkata,
"kepalamu terlalu besar, betul-betul terlalu besar!"
Bukan keluhan. Karena kami tidak pernah mendengar Ayah
mengeluh. Belum pernah sekali pun selama hidupku aku
melihatnya berputus asa. Kalimat itu bahkan hampir
menyuarakan suatu gurauan, yang dengan sekaligus men"
ciptakan suasana lebih lena.
"Baik!" katanya kemudian, "jauhkan dirimu sebisanya dari
batang ini. Tidak ada jalan lain, Bu, harus kupotong."
"Jangan dcngan kapak, Dimas,"2 sekali lagi Paman
memberikan usul. "Kalau ada gergaji, barangkali lebih baik."
"Ya, betull" sahut Ayah. "Dan akan kupotong bagian dekat
kepala Teguh. Jadi dipotong sedikit saja, hanya buat
melebarkan lubang." "Dengan demikian, siapa tahu batang ini tidak akan mati
melainkan terus tumbuh tunas baru, Yu."3
Paman yang memikirkan kekhawatiran kakaknya> berpaling
mengarahkan kalimat terakhir itu kepada lbu.
Nugroho telah kembali dengan gergaji yang diambil dari
seperi. Dan bergantian, Paman beserta Bapak memotong
pohon yang hampir setua Heratih itu di tengah-tengah udara
malam, yang diterangi lampu petromaks. Dari balik pagar,
beberapa orang tetangga yang tertarik oleh kerumunan dan
kegaduhan sedari sore tadi nampak berdiri di emper atau di
muka pintu rumahnya. Beberapa anak kampung mendekat.
Muka mereka demikian menempel pada kayu pagar, sehingga
hidung-hidung kecil itu pesek tertekan. Dengan mulut
2sebutan kepada adik laki-laki
3sebulan kepada kakak perempuan
setengah terbuka mereka mengawasi pekerjaan Ayah dan
Paman, Beberapa menit berlalu. Tugas yang tidak mudah
dilaksanakan itu memang memakan waktu. Paman dan Bapak
harus berhati-hati menggerakkan alat pemotong. Teguh
merenggang sebisa-bisanya dari geseran gigi-gigi gergaji,
Pecahan serta serbuk kayu beterbangan, menghamburi
rambutnya yang hitam. Kemudian hati batang pun tersingkap. Dengan tekun Bapak
dan Paman berusaha agar tidak melukai Teguh, juga agar
tidak merusak hati batang tersebut.
Ketika Teguh keluar, kami semua menghela napas lega.
lbu memeluknya> seakan-akan baru kembali dari perjalan-
an jauh. Paman dan Ayah bergantian mengusap kepalanya
sambil tertawa puas. Kami anak-anak perempuan tersenyum-
senyum pula, mengamati Teguh mengenakan bajunya
kembali. Nugroho berjingkat-jingkat mengulangi olok-
oloknya. "Banteng kejepit! Banteng kejepit!"
Seolah-olah hanya menunggu gangguan pertama itu, Teguh
melompat hendak meninju kakaknya. Tapi Nugroho lebih
sigap, ia telah berdiri dari tempatnya. Mereka berdua
berkejaran di sekeliling halaman muka.
"Ayo, sudah! Sudah!" seru ibuku.
"Nug! Guh!" Ayah menyambung lebih keras. "Ayo, ini
kemasi alat"alatnya!"
"Sesudah itu, kamu cepat mandi, Guh! Sudah malam," lbu
melanjutkan perintahnya. Tetapi kakakku tidak menurut begitu saja. Mereka
memerlukan beritakan dan ancaman dahsyat dari Bapak,
sehingga akhirnya, setelah beberapa waktu berlalu, sambil
menggerutu keduanya mendekat. Yang seorang menyalahkan
lainnya. Disela suara Ayah yang penuh kekuasaan. Disambut
bujuk Ibu yang sama"sama membenarkan dan mengutuk
kedua orang anaknya. "Bukan salah Teguh kalau dia terjepit di situ," kata Ibu.
"Sudah, Nug, kamu menggoda saja!"
Lalu kepada Teguh: "Diam kamu! Lain kalijangan turun ke tengah. Dari dahan
lewat batang di luar saja!"
"Biasanya tidak apa"apa," kakakku tidak mau diam,
membantah. "Pohon ini sama dengan dirimu, terus tumbuh menjadi
besar. Kalau dulu"dulu kamu bisa masuk keluar dengan
mudah, semakin hari semakin susah karena kau bertambah
besar," sambung Ayah.
Aku bosan dengan suasana semacam itu,1antas ke pendapa
sambil membawa beberapa barang yang bisa kubawa. Edi
mengikutiku. "Tanyakan kepada lbu, kau boleh tidur di sini atau tidak
malam ini," aku berbisik kepada sepupuku.
"Tentu tidak boleh. Besok pagi sekolah,",jawab Edi dengan
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti. Aku tidak mendesak. Memang biasanya, hanya malam
liburlah sepupuku boleh menginap di rumah kami.
Tetapi ketika waktu makan tiba, kami mengelilingi meja di
ruang belakang, tanpa kuharapkan Edi berkata kepada
pamanku: "Apak! Aku boleh menginap di sini malam ini?"
Kutundukkan mukaku dalam-dalam ke piring Aku tidak
berani menentang pandang siapa pun, takut ketahuan bahwa
pikiran itu datangnya dari aku.
"Malam ini" Tidak,,"jawab ayahnya. "Besok pagi sekolah."
"Edi bisa berangkat dari sini," sambung Heratih.
"Ya, bersama-sama dengan kami," kata Maryam me-
nyokong. "Dini digonceng Teguh, Edi digonceng hiaryam," kata
kakak sulungku lagi. "jangan digonceng. Naik becak saja!" Ibu turut me-
nyambung percakapan. Dia lebih mempercayakan kemanakannya kepada tukang
becak daripada kepada anak"anaknya.
Paman tidak menjawab. Seakan"akan tidak bisa memutus-
kan, memandang kepada Edi dan kami bergantian. Lalu Bibi
menyumbangkan suaranya yang halus:
"Mengapa tidak Dini saia yangjr tidur di Karangtengah"
Besok pagi berangkat ke sekolah langsung dari sana."
Itu memang pikiran yang baik. Tapi aku tidak merubah
sikap. Berpura"pura tidak memperhatikan percakapan menge-
nai hal tersebut. "Ya. Begitu saja sebaiknya!" Paman menyetujui. "Lain kali
saja Edi tidur di sini."
"Sabtu malam Edi kemari. Kita menonton wayang orang,"
tiba-tiba Ayah berkata. Kami anak-anak menjadi ramai oleh berita gembira itu.
Masing-masing hendak mengatakan isi pikirannya. Edi
memukul"mukulkan kakinya tanda bersenang hati, mencubit
lenganku sambil tertawa"tawa. Tetapi lbu menyuruh kami
diam. "Ssssst, diam! Nanti keselak! Makan dulu baik"baik! Nonton
wayang boleh saja, asal kalian bertingkah manis. Hari Sabtu
masih jauh," lalu lbu melihat ke arah Edi dan aku, dan
meneruskan1 "Dini tidur ke Karangtengah, tetapi dengan
janji: terus tidur! Jangan berbicara dan bergurau di tempat
tidur. Besok pagi kesiangan bangun."
"Ya!" serentak Edi dan aku menjawab.
"Kalau kedengaran mereka terus berbicara dan hergurau,
kembalikan Dini kemari," kata lbu lagi kepada iparnya.
Dengan wajahnya yangr lembut, Bibi melihat ke arah kami.
"Kalian dengar?" katanya
Ya. kami mendengar, dan sungguh"sungguh menyanggupi
persetujuan itu. 'l'etapi ketika benar-benar kami berbaring berdampingan di
rumah Paman, janji dan kesanggupan itu menghilang dari
kepala. Edi menceritakan rumah baru yang akan mereka
tinggali. Aku menanyakan jumlah kamarnya, kebun dan
sumurnya, dua bagian rumah yang paling menarik bagiku.
Berdua kami membikin rencana mengenai janji Ayah akan
menonton wayang. Mengingat-ingat lakon"lakon yang pernah
kami lihat, cerita"cerita lain yangr kami dengar. Dan tanpa bisa
ditahan, kami sampai kepada kejadian sore itu. Kami tertawa
berbisik-bisik, mengenangkan kembali cara Teguh dalam
usahanya mencapai batang yang paling rendah. Satu atau dua
kali kelupaan7 suara kami lepas dan berbicara leluasa. Disusul
oleh teguran Bibi yang tiba"tiha mengintip dari pintu.
"Belum juga tidur" Besuk pagi kesiangan!"
Lalu kami kembali memejamkan mata, saling membela"
kangi. Memaksa diri tidak memikirkan sesuatu pun. Namun
aku kegelian teringat akan sikap Nugroho waktu mengejek clan
memperolok-olokkan Teguh. Tanpa membuka pelapukan, aku
tertawa sendirian. Kurasakan Edi bergerak pula di samping-
ku. Dan kami berdua telah saling berhadapan sambil
berpandangan. "Sekarang dia hetnl-betul bernama Banteng kejepit," bisik
sepupuku di tengah-tengah ketawanya yang tertahan.
"Ah. itu hanya olok-olokan, namajulukan saja," jawabku
membela kakakku. Tetapi hatiku menyambung, kata olok-olok itu memang
sungguh tepat dipergunakan.
Dan memang begitulah! Sejak hari itu, ucapan "Banteng
kejepit" lebih sering terdengar di rumah kami.]uga diucapkan
oleh keluarga serta kerabat yang dekat. Bagiku sendiri,
panggilan Banteng terus knpergunakan hingga masa dewasa,
sebagai nama kesayangan. Nama itu kuanggap sesuatu yangr
lebih asli dan menarik. Telah banyak orang bernama Teguh.
Sedangkan Banteng, belum pernah kutahu. Dalam sejarah dan
cerita-cerita wayang, dipergunakan nama-nama binatang lain
seperti: Lembu, Gajah, Maesa dan sebagainya. Oleh
karenanya aku memilih panggilan kesayangan yang tidak
lumrah itu terhadap kakakku yang keempat itu. Saudara"
saudaraku serta Ibu pun akhirnya turut mempergunakannya
sampai sekarang. Pada waktu membicarakan anaknya itu, Ibu
tidak lagi menyebutnya Teguh, melainkan adikmu Banteng,
ataujika bersamaku: kakangmu Banteng. Nama itu menancap
kuat di dalam pikiran dan hatiku.
Pohon blimbing masih tegak dengan ketuaannya yang
anggun. Salah sebuah batangnya yang menjulang, kelihatan
sebagian kulitnya terkelupas. Namun itu tidak mengurangi
kesegaran buah yang terus dihasilkannya.
Seperti telah kuceritakan, Ibu dan Ayah saudara sepupu.1
Pada keluarga kami, hal semacam itu tidak merupakan
keanehan. Kebanyakan bibi dan paman kami, menikah
dengan sepupunya, atau sanak-kerabat. Sehingga cara
panggilan dari maupun kepada pihak lain ruwet bagi
pendengaranku waktu itu. Sepasang kerabat pernah datang ke
rumah. Alangkah heranku ketika mendengar si isteri
memanggil suaminya dengan menyebut namanya saja
Hingga saat itu, menurut pengetahuanku, seorang isteri biasa
memakai sebutan "kangmas" atau dipendekkanjadi "mas",
atau lagi "pak" meniru anak"anaknya terhadap suaminya.
Karena keherananku, Ayah lalu menjelaskan, bahwa menurut
silsilah kekeluargaan, si isteri menduduki tempat yang lebih
tinggi, karena dia adalah nenek si suami. Meskipun umur
mereka berdua tidak jauh berbeda. Bahkan si nenek lebih
muda dari si cucu. Sebab itulah si isteri memanggil suaminya
dengan sebutan nama saja. Banyak pula perkawinan kerabat
antara bibi dengan kemanakan, atau antara paman dengan
kemanakan. Semua itu amat sukar kuingat jika terjadi pada
sanak"saudara yang jarang kutemui.
Antara ibu dan bapak kami sendiri7 panggilan yang
kudengar hanyalah Bu dan Pak. Sedangkan adik"adik ibuku
memanggil kakaknya Yu Ami atau Yu Kus. Terhadap Bapak,
semuanya menyebut Dimas. Sejak masa kecilku. di antara nama saudara orangr tua kami,
nama Iman Sujahri seringkali kudengar disebut-sehut. Tidak
teringat lagi olehku bilakah aku pertama kali bertemu dengan
dia. Tetapi sepanjang ingatanku7 aku mendengar dalam
cerita"cerita Bapak yang ditujukan kepada Heratih atau
llihat Spbua/z Lorong di Kataku
Nugroho, atau kepada kami berlima bersama"sama, sering
tersebut nama ipar dan kakak sepupunya itu.
Sewaktu bersekolah di Jakarta, pada zaman penjajahan
Belanda, Paman turut giat dalam gerakan pemuda pelajar.
Suatu ketika, untuk menghindarkan diri dari pengawasan
mata-mata yang mcmbuntutinya, Paman bersama seorang
temannya keluar dari kota. Sampai di Pekalongan, mereka
baru sadar, bahwa masih ada yang mengawasinya. Mereka
lalu mengambil kendaraan lain, menuju ke W'eleri. Maksud
semula akan pulang ke Purwodadi, terpaksa dibatalkan.
Beberapa hari di W'eleri, ia meneruskan perjalanan secara
bersembunyi-sembunyi ke Semarang. Di Penaton, rumah
sewaan orang tua kami, Bapak "menyimpan" mereka berdua
lebih dari sebulan lamanya. Setelah diperkirakan bahwa
keadaan tenang dan mereda, Paman pergi ke Purwodadi, ke
rumah Kakek. Di sana dia diberi tahu oleh orang tuanya,
bahwa selama itu kelihatan ada orang-orang yang ingin
mengetahui segala ihwal yang terjadi di rumah.
Paman bukan orang yang terkenal. Tetapi pemerintah
penjajahan melakukan pengawasan dari dekat terhadap
semua orang yang menjadi anggota perkumpulan nasional.
Gerak-gerik mereka dicatat, dilaporkan kepada yang berwajib.
Orang-orang yang mereka gaulijuga masuk ke dalam daftar.
Pada waktu-waktu tertentu, untuk menakut-nakuti, beberapa
di antaranya dipanggil menghadap ke kantor polisi.
Sebenarnya tidak ada kesalahannya. Itu hanya dilakukan
sebagai gertakan, agar pemuda-pemuda itu menjadi takut,
mengundurkan langkah dari tuntutan kemerdekaan bangsa
yang mereka ajukan, dan agar meninggalkan kegiatan
perkumpulan. Setelah tamat dari sekolah, Paman keluar sebagai ahli
hukum. Beberapa waktu bekerja7 kawin serta dikurnia seorang
anak perempuan yang mendapat nama Edi Sedyawati. Edi
dengan huruf "de" yang lunak, diucapkan seperti perkataan
"edi" yang berarti indah dalam bahasa Jawa. Ketika
pemerintahan Jepang bertambah teratur, Paman pindah ke
Semarang. Dan namanya semakin tertanam dalam pikiranku.
karena sering berjumpa dan berbicara. Edi adalah satu"
satunya sepupu yang dekat hubungannya (lengan aku.
Sedari aku mengenalnya, badannya tetap ramping, kecil
berkulit terang. Semua itu merupakan warisan dari bibiku.
Semakin dia menjadi besar, semakin nyata betapa dia mirip
ibunya. Wajahnya yangr lembutjarang sekali menggambarkan
perasaan yang terkandung di dalam hati maupun kepalanya.
Dia menyuguhkan kediaman yang seringkali menjengkelkan-
ku, karena waktu itu aku belum bisa menerka atau mengerti
sipat seseorang. Edi bagiku adalah sebuah luasan air yang
tenang. Harus ada angin yang benar"benar deras atau benda
yang betul-betul berat yang menyapu serta mengganggu
kedataran permukaannya, barulah orang akan bisa melihat
kerut-kerut air berubah menjadi lingkaran-lingkaran yang
bergerak. Di Semarang, Paman berpindah"pindah rumah. Selama itu
perkenalanku dengan Edi tidak berjalan selancar yang dapat
dibaca dalam cerita-cerita persahabatan. Selain umur kami
yang berbeda, cara pendidikan kami juga amat berlainan.
Kami sesaudara ditumbuhkan di kampung, dengan orang tua
yang menanamkan kecintaan adat serta budaya asli di dalam
dada masing"masing. Dengan cara hidup nyata yang lepas dari
pertolongan orang lain, bebas dari pertolongan pembantu.
Sedangkan keluarga Paman dan Bibi jauh dari semua itu.
Paman telah lama hidup di kalangan kaum terpelajar. Berpikir
dan berbicara dalam bahasa Belanda. Bahasa lN/Ielayu dan
Jawa dipergunakan amat jarang olehnya. Bibi keluar dari
lingkungan keluarga yang mementingkan pendidikan Barat
daripada kebudayaan sendiri. Di rumah, Paman (lan Bibi
berbicara bahasa Belanda.
Pada saat"saat permulaan mereka tinggal sekota dengan
kami, ketika datang ke rumah, Bapak dan Ibu bersusah-payah
menjawab sindiran Heratih dan Nugroho. Kata mereka,
mengapa anak-anak dilarang mempergunakan bahasa terse-
but, sedangkan orang"orang tua yang menjadi contoh boleh
memakainya. Kemudian, berangsur"angsur, bersamaan de"
ngan meluasnya pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa
daerah, dengan pertemuan dan kunjungan masing"masing,
aku semakinjarang mendengar Bibi berbicara bahasa Belanda
dengan Ibu dan Ayah. Tetapi kebiasaannya sukar dihilangkan begitu saja. Pada
waktu menujukan perkataan kepada suaminya7 Bibi masih
sering mempergunakan bahasa penjajah itu.
Ketika keluarga Paman bertempat tinggal di Karangtengah,
aku mulai berkenalan baik dengan sepupuku. Dia sering
datang menginap di rumah kami. Aku pun sering bermalam di
rumahnya. Biasanya, dia datang Sabtu sore. Paman dan Ayah
bergantian membeli karcis wayang orang. Kesempatan itu
merupakan pesiar malam yang luar biasa bagiku. Seandainya
lbu atau Bapak menjanjikan tontonan seperti itu, sepekan
penuh kami harus berkelakuan manis. Untuk pergi Sabtu
malam, dari hari Kamis aku mulai gelisah menunggu hingga
hari Sabtu kurasakan lama sekali. Apalagi Sabtu siang setelah
makan, anak"anak yang hendak turut melihat wayang
diharuskan tidur, supaya tidak mengantuk di gedung
tontonan. Kebanyakan kali, karena kegelisahan itu aku malah
tidak bisa tidur. Ditambah pula oleh kesibukan membikin
rencana apa-apa yang akan kukerjakan bersama sepupuku,
atau apa yang akan kami bicarakan.
Pertama kali Edi kami undang menonton wayang, dia
kelihatan tidak mengerti seluk-beluknya. Barangkali masih
terlalu kecil, di _Iawa Timur dia tidak pernah dibawa
mengunjungi pertunjukan semacam itu. Atau barangkali pula
karena Paman dan Bibi tidak "sempat" berpikir bahwa itu
termasuk salah satu unsur pendidikan kebudayaan. Atau
entah ada lagi sebab-sebab lain yang menurut Ayah tidak bisa
kami terka. Berlainan dengan kami. Paling sedikit, sekali sebulan orang
tua membawa kami menonton wayang. Kadang"kaclang7
sewaktu ada kunjungan kerabat dari kota lain, merekalah yang
membeli karcis. Di samping itu, pada waktu-waktu yang tidak
tertentu, kami pergi mcnyaksikan pertunjukan wayang kulit.
Seringkali di kampung-kampung tetangga ada orang yang
menanggapnya. Kalau tidak terlalu jauh, Bapak menemani
kami, beramai"ramai bersepeda kt: sana. Kadang"kadang
pula, kerabat atau kenalanlah yang menanggap wayang
tersebut. Dalam hal itu kami menerima undangan, menonton
semalam suntuk, karena mendapat tempat duduk yang
semestinya. Setelah dua kali melihat wayang orang, Edi menjadi
penggemar yang tekun. Terpengaruh pula oleh kami, permainan Edi yang
kemudian merebut waktunya tidak hanya berupa kesibukan"
kesibukan di dalam rumah. Di kebun kami yang luas bagi
ukuran kanak-kanak, kami membasahi dan mengaduk tanah,
mencetaknya mirip seperti kue, dikeringkan serta diperjual-
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belikan bersama irisan daun"daun dan bunga"bunga yang
dapat kami petik. Permainan yang disebut "pasaran" itu
semula asing bagi sepupuku. Dia juga kami ajak berlarian,
bermain jettmgan, yang pada anggapan Bibi amat berbahaya.
Dia khawatir anaknya jatuh dan luka"luka terkena batu di
halaman. Malam-malarn terang bulan, pada waktu libur, dia
bermalam berhari"hari di rumah kami. Dia kami ajari
menembangkan iringan lagu permainan anak-anak pada
waktu terang bulan. Kami kisahkan cerita"cerita rakyat yang
lebih mendekatkan manusia dengan alam. Dari Teguh dan
Maryam, sepupuku belajar memanjat pohon. Barangkali
pertama kali selama hidupnya, di kebun kamilah dia melihat
sebuah sarang berisi burung-burung kecil.
Tubuhnya yang semula kaku dan kikuk oleh sekapan hidup
yang terlalu diam itu tiba-tiba menjadi sigap dan lincah.
Kelihatan ringan bergerak secara menakjubkan. Yang paling
kami sukai ialah kesan ketenangan yang terpancar dari segala
geraknya. Seakan"akan dia memiliki waktu buat segala-
galanya. Tidak perlu tergesa. Dan kelambatan itu berpadu7
sesuai dengan kelincahan kebocahannya.
Keesokan harinya setelah menonton wayang, kami biasa
bangun siang sekehendak hati. Begitu membuka mata,
sepupuku mengusikku dengan gerakan yang menunjukkan
keresahan. Dia tidak suka bangun sendirian. Dia membolak-
balikkan badan, berbuat segala kemungkinan supaya akujuga
cepat terbangun. Aku mencoba menahannya berlena"lena
tidur yang hanya sekali seminggu bisa kualami itu. Ingin
kuundurkan waktu bangunku sejauh"jauhnya. Tetapi dengan
Edi di sampingku, hal itu tidak mudah terlaksana.
Lalu kami keluar ke kakus buat kencing. Sambil berusaha
untuk tidak bertemu dengan siapa pun. Dengan demikian,
orang akan mengira bahwa kami masih tidur nyenyak.
Kembali ke kamar, membuka serta menutup pintu sehalus
mungkin. Pada waktu Edi bermalam di rumah kami, orang
tuaku selalu merelakan kamar tengah sebelah barat buat kami
berdua. Di sana ada sebuah ranjang besi, cukup lebar, dan satu
lagi yang lebih kecil. Sepanjang dinding sebelah luar, ada dua
lemari buku dan rak-rak pakaian. Pada hari"hari biasa, kamar
ini menjadi kamar Bapak dan lbu.
Dan mulailah permainan itu.
Kami mengulangi semua gerak tarian, percakapan dan
bunyi gamelan yang kami ingat dari lakon yang semalam kami
lihat. Semuanya. Dari permulaan sampai akhir, jika kami
tidak terganggu oleh campur tangan "orang luar", jika kami
tidak terlalu gaduh hingga ketahuan dari luar kamar, lalu
disusul oleh masuknya orang-orang yang tidak kami
kehend aki. Ulangan itu mula-mula berupa pembicaraan yang berbisik-
bisik. Pengamatan seorang berbeda dari yang lain. Betapapun
dekat dan akrabnya dalam kehidupan sehari-hari. Edi teringat
akan sesuatu kejadian dalam tontonan tersebut. Aku lebih
tertarik kepada kejadian lain yang terdapat di babak lain.
Kami berdua bergantian, membangun kembali cerita wayang
yang telah kami lihat semalam.
Dan dari percakapan, kami menggeser ke taraf lain, ialah
meniru pelaku-pelaku atau tokoh yang kami sukai. Untuk itu
kami turun dari tempat tidur. Nienggelar tikar yang tergulung
di sudut kamar, dengan tergesa mencari selendang-selendang
dari rak pakaian. Kami sekeluarga memiliki tenggorokan yang
lemah. Pada kesempatan keluar malam, pada hari-hari sejuk,
tak seorang pun dari kami yang tidak mengenakan kain leher.
Sebab itu, di mana-mana di dalam rak pakaian, Ibu dan
Heratih selalu menumpuk selendang"selendang berbagai
warna, siap sedia untuk dipergunakan.
Pagi itu, selendang yang kami temukan di kamar tengah
Barat, segera terikat pada pinggang, tidak sebagai pelindung
terhadap udara dingin, melainkan sebagai alat permainan
yang utama. Bergantian kami menjadi tokoh yang kami
jelmakan, lengkap dengan suara gamelan dari mulut. Setelah
berdiri memerankan seseorang, Edi cepat"cepat duduk
menjawab kalimat yang telah diucapkannya sendiri. Karena
hanya berdua, kami terlalu sibuk menjalankan pelaku"pelaku
itu. Tetapi bantuan segera datang. Maryam dan 'l'eguh
mengenal "pertunjukan" kami itu. Begitu bangun, seorang
demi seorang menggabungkan diri. Teguh menjadi tokoh yang
kasar, atau pemegang peran yang lantang suaranya, dahsyat
serta menakutkan. Maryam seperti kami, berhak menjalankan
lain-lainnya. Peniruan itu hendak kami bikin sedemikian
dekat, sehingga kadang-kadang salah seorang dari kami
menyelipkan secarik kertas timah bekas pembungkus rokok,
berwarna keperakan, ke dalam mulut untuk melapisi satu atau
dua gigi di sana. Itu disebabkan karena Lara Ireng atau
Permadi atau Narayana yang kami lihat semalam juga
memiliki gigi dari emas putih. Ketololan pikiran anak"anak
tidak sampai kepada pengertian, bahwa tontonan yang kami
lihat juga dilakukan oleh manusia biasa. Bahwa dalam
cerita-cerita wayang klasik, tidak pernah disebutkan seorang
Permadi atau Lara Ireng maupun Narayana bergigi emas
maupun perak. Demikian pula dengan tahi lalat. Kami selalu
berusaha untuk meniru membuat bintik hitam dengan arang
pada bagian muka di dekat mulut atau di pipi, agar sama
dengan yang kami tonton. Kadang-kadang kami berbantah
beberapa lamanya untuk menentukan gigi sebelah mana yang
berlapis emas, atau di mana tepatnya letak tahi lalat tersebut.
Sementara itu, permainan mencapai puncaknya. Segala.
sesuatu tidak dilakukan dengan suara berbisik-bisik, berseni-
bunyi"sembunyi melainkan dengan nada biasa dan lepas.
Seluruh rumah juga telah lama menunjukkan tanda"tanda
bangun. Di sela"sela kesibukan kami, pada saat-saat
percakapan yang tenang, terdengar dari jendela suara Ibu
berbicara dengan mbok blanjan, penjual sayur dan makanan
beserta beberapa tetangga. Sejak lbu menjadi "buruh" batik,
34" halaman di belakang rumah seringkali penuh denganjemuran
wedelan dan .wgaan. Sebab itu penjual sayuran tidak lagi masuk
ke sana, melainkan hanya sampai di emper7 di muka pintu
sebelah barat. Di sana dia berhenti sambil berseru:
"Belanja, Bu, belanja! Banyak ikan basah hari ini."
Pinggiran bagian rumah kami yang berubin itu kini menjadi
tempat perhentiannya. Rumah"rumah lain yang terdapat di
bagian kampung di dekat kami turut mengambil manfaat.
Tetangga atau ibu"ibu rumah tangga berdatangan membeli
bahan masakan buat hari itu.
Seperti kukatakan, permainan kami mencapai puncaknya.
Heratih, Nugroho dan Bapak bergantian mengunjungi
kami, ingin menyaksikan tontonan itu. Teguh semakin gila,
semakin pandai menirukan gerak kelucuan para pelawak. Dari
Petruk, Gareng sampai ke Bagong. Niaryam bertambah lemah
gemulai, menarikan peranan-peranan wanita maupun
bambanganf2 Pada waktu-waktu yang terlalu gaduh, tiba"tiba
kakakku mcnelengkan telinga, lebih waspada dari lain"
lainnya, sambil berkata: "Ssssst, dengar!"
Kami semua terhenti. Barulah kedengaran Ibu yang berseru
dari arah jendela: "Hati-hati itu tempat tidurnya! Edi jangan sampai
menjebolkan kasur! Menari di lantai saja."
Memang Edi tidak hanya menari di atas lantai! Ia tidak puas
menggambarkan suasana panggung yang berdekor langit dan
angkasa jika tak naik ke atas ranjang.
Tempat tidur kami terbuat dari besi. Di kanan-kiri serta sisi
yang menempel pada dinding ada jeriji sebagai hiasan.
Demikian pula di bagian atas, guna menempatkan kain
kelambu. Pada bagian yang merentang dari tiang ke tiang
itulah Edi naik, berdiri sambil menari sebisanya, lalu meloncat
sekuat tenaga ke atas kasur, dan terus menari berputar
mengelilingi keluasan tempat tidur, dan sekali lagi melompat
ke atas lantai. Vlenurut dia., begitulah Gatotkaca terbang dari
2satria awan ke awan, dari langit yang tinggi ke udara yang lebih
rendah hingga turun kembali ke bumi.
Kami sebentar teringat akan pesan Ibu. Edi dengan manis
menurut. Dalam suasana tenang itu kudengar lagi lbu
berbicara kepada mbok blanjan.
"Kasur di tempat tidur itu sudah tua. Harus diganti
kainnya. Tapi tukang jahit kasur telah lama tidak lewat."
"Saya bertemu dengan dia baru"baru ini," sahut penjual
makanan. "Di mana?" "Di Temenggungan."
"Saya tidak melihatnya lewat di sini. Kapan itu?"
"Baru saja. Barangkali pekan yang lalu."
"Kalau ketemu lagi, tolong katakan, dipesan Bu Salyo, ya."
Kalimat-kalimat lain menghilang, karena keriuhan kami
telah mulai kembali. Untuk beberapa waktu tidak ada yang
naik ke tempat tidur. Tetapi hanya sebentar. Lebih"lebih Edi.
Dia lupa, uwaknya mengkhawatirkan nasib kasur ranjang itu.
Kami sendiri terbawa oleh kesungguhan permainan, meng-
ikuti permainan tanpa pikiran lain. Dan suara"suara gamelan
terus berbunyi dari mulut. Diselang"seling percakapan serta
perbantahan setuju tidaknya sesuatu dilakukan dengan cara
masing-masing. Untuk kesekian kalinya Edi naik ke tempat
tidur, terjun ke atas kasur, melompat ke lantai Hingga datang
waktunya perut keroncongan. Teguh keluar dari kamar,
disusul Maryam yang segera muncul kembali, menyampaikan
pesan Ibu. "Ada jajan pasar. Mari makan."
Itu tidak berarti bahwa permainan berakhir. Hanya terhenti
buat sementara. Setelah mandi dan keluar ke kebun,
mengerjakan kegiatan lain, di pendapa atau di halaman muka,
kami dipanggil makan siang. Sesudah itu kami harus
beristirahat. Untuk beberapa waktu kami tinggal di pendapa,
menjadi tontonan seisi rumah, menirukan anak wayang,
Tetapi kemudian, seorang demi seorang mengundurkan diri
berbaring di kamar masing-masing. Edi dan aku pun kembali
ke tempat tidur di kamar tengah Barat. Sambil berusaha
membikin suara serendah mungkin, meneruskan permainan
kami. Setelah Paman pindah rumah, aku lebih sering mengun-
jungi sepupuku. Dapat dikatakan aku setengah tinggal dengan
mereka, setengahnya lagi bersama orang tuaku. Pakaian kami
ada di kedua tempat agar mudah berganti baju.
Pagi hari aku berangkat sendiri ke sekolah. Letak sekolah
kakak"kakakku tidak lagi sejurusan denganku. Pada waktu Ibu
mempunyai keperluan harus bertemu dengan seseorang yang
bertempat tinggal di satu daerah, dia berangkat pagi-pagi
menyertaiku. Bersamaan dengan datangnyajepang, kendara"
an umum berganti corak. Demo lenyap. Sedangkan dokar
menjadi jarang sekali. Yang muncul bernama becak, kereta
beroda tiga yang dikayuh oleh manusia.
Pada kesempatan pergi bersama demikian Ibu selalu
bertanya: "Mana yang kaupilih: naik becak atau membeli glam;3
Mbah W'iryo?" Tanpa ragu"ragu, aku selalu menjawab:
"Membeli glzwo Mbah "'iryo!"
Hingga masa dewasaku, rasa masakan itu tidak hilang dari
lidahku. Mbah lNiryo itu seorang lelaki yang berambut putih,
membuka warung di ujung kampung yang mendekati jalan
besar. Pagi-pagi buta, dia dan keluarganya menyiapkan tenda
dan bangku-bangku, dibawa dari Kepatihan. Lalu dia kembali
menjinjing angkring pada kedua bahunya. Dia berjualan hanya
sampaijam setengah sembilan Kuali besar berisi daging dan
kuahnya cepat tandas habis. Setiap pagi, waktu berangkat ke
sekolah, aku tidak pernah lupa menoleh ke arah warung
tersebut. Kucoba mengintip piring-piring yang sedang
dihadapi langganan. Setiap pagi itu pula air liurku keluar
tanpa kusadari, teringat betapa lezatnya masakan yang
dijajakan di sana. 3masakan Ibuku pandai memasak. Semuanya bisa dibikin sendiri.
Demikian pula glewo. Tetapi yang dijual Mbah "'iryo lain
rasanya. Ibu juga mengatakannya. Oleh karena itu, jika dia
ingin membelinya, meskipun dengan dalih demi kecintaan
anak, dia dengan bersenang hati menyuruh pembantu ke
warung Mbah W'iryo sambil membawa dua buah rantang
besar. Ibu mengawaniku sampai ke muka pintu gerbang sekolah.
Lalu dia pergi, meneruskan perjalanan, mengurus keperluan-
nya. Siang hari, aku pulang seorang diri, atau menurutjanji,
bertemu lagi dengan ibuku. Kadang"kadang di muka sekolah,
kadang-kadang di rumah salah seorang kawanku sekelas.
Sekali di rumah Treksi, lain waktu di rumah Atun atau Yayuk.
Ketiga kawanku itu mengiringi sebagian masa sekolah
dasarku, yang kulewati dengan keringanan hati dan sekaligus
ketekunan belajar. Tetapi sebagian besar waktuku7 sepulang dari sekolah, aku
singgah di rumah Paman, Orang tuaku tidak khawatir bila
tidak melihatku muncul pada siang hari. Aku dapat datang
dan pergi ke tempat Paman semauku. Namun lebih mudah
datang daripada meninggalkannya. Karena sepupuku seorang
diri, seringkali ditinggal orang tuanya yang memiliki
kewajiban"kewajiban sosial, baik berkunjung maupun meneri-
ma kunjungan. Aku tidak pernah bisa pamit begitu saja tanpa
menerima kata-kata sesalan atau cubitan yang meninggalkan
bekas biru hitam hingga berhari"hari lamanya.
Aku tidak pernah tidak naik kelas.
Ketika masa kesadaran semakin tumbuh, aku mulai
mengerti sekelilingku dengan lebih baik, Orang"orang dewasa
dari keluarga atau kenalan, demikian pula kawan sekolah
maupun teman bermain kuperhatikan (lengan ketelitian yang
diajarkan orang tuaku. Pada waktu itulah aku diberi tahu,
bahwa bicaraku lain dari kebanyakan orang, disebabkan
karena ucapan "er" yang terputus getarannya. Ibulah yang
mengatakannya kepadaku. "Kalau ada kawan"kawanmu di sekolah yang mengejek atau
memperolok-olok engkau,jangan malu. Kau boleh marah, itu
hal yang biasa. Karena kalau kau tidak marah, berarti kau
tidak mempunyai rasa harga diri."
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi di sekolah, hingga waktu itu tak seorang pun yang
mengejek atau memperolok"olokkanku. Kukatakan ini kepada
Ibu. "Baik. Itu tandanya bahwa kawan"kawanmu menghormati-
mu. Barangkali karena kau termasuk anak yang pandai di
kelas. Atau karena mereka tidak atau belum memperhatikan
hal itu. Biasanya kanak"kanak cepat mengetahui kekurangan"
kekurangan orang lain. Tetapi mereka juga cepat melihat
mana"mana yang patut disenangi maupun dibenci."
"Aku sukar bermain dengan orang lain. Tetapi mereka yang
mengajakku lebih dahulu."
Memang benar. Sedari kecil aku tidak mudah bergaul. Di
sekolah aku merasakan kesukaranku dalam hal itu. Kawan-
kawan sekelas atau sekolahlah yang datang mendekatiku.
Ibuku meneruskan nasehatnya:
"Selama kau terkemuka dalam hidup ini, ditambah dengan
sikapmu sendiri yang sopan, ramah dan sederhana, orang lain
akan menghormati dan menyayangimu. )leskipun mereka
menyindir atau memperolok-olokkan engkau, itu ditujukan
sebagai selingan yang bisa mempererat hubungan."
Untuk mengurangi ketelumn, setiap hari Kamis malam
Jum"at dan hari-hari wetonku, lbu mengerik lidahku dengan
cincin kawinnya. Kata Ayah, diusahakan agar lidahku dapat
bergetar. Tetapi jika tidak berhasil, tidak akan merupakan
suatu kesusahan. Aku bisa mengucapkan apa yang kukehen"
daki tanpa kesukaran. Kalimat"kalimatku sempurna, meski"
pun aku selalu lebih banyak diam pada waktu-waktu
berkumpul dengan orang lain. Bapak tidak melihat sesuatu
pun yang tidak wajar. Dan bagiku sendiri, huruf "er" yang
terputus di ujung lidah tidak pernah mengganggu percakap"
anku. Ada berbagai penjaja yang lewat di kampung yang menjadi
langganan kami. Di antaranya ialah Pak Manuk, si penjual
burung. Sudah pernah kukatakan bahwa Ayah tergila-gila
pada burung perkutut. Sangkar burung"burung tersebut
bergantungan di atap pendapa dan deretan bangunan rumah
belakang. Setelah zaman berganti, Ayah menjual beberapa
ekor di antaranya. Untuk memperbaiki rumah, untuk
menambah keperluan ini dan itu. Setiap musim hujan tiba,
genting dan atap harus diperiksa. Lalu Bapak beserta Nugroho
atau Teguh atau Maryam naik melakukan pergantian-
pergantian yang mesti dikerjakan. Demikian pula cat rumah
Setahun dua kali diperbaharui. Rumah besar dan kuno
memang enak dan akrab. Tetapi pengeluaran juga banyak.
Untunglah Bapak pandai memikirkan serta mengerjakan
sendiri raneangan-raneangan perbaikan itu.
Ketika Pak hlanuk datang pada kali yang berikutnya, Ayah
terbujuk oleh anak"anak supaya membeli burung _jalakx
Bulunya hitam polos, dengan kaki dan paruh kuningjingga,
amat bersih. Dia pandai sekali bersiul. Kata Pak Mantik,
dapat pula diajar berbicara dan menyanyi.
Mulai waktu itu, tiga kali sepekan lidahku dikerik oleh Ibu,
karena sekalian dia juga mengerik lidah burung jalak.
Berlainan dengan burung"burung perkutut, sangkar burung
kesayangan kami yang baru ini kami gantungkan pada sebuah
tiang di depan tangga, tidak jauh dari kamar mandi. Kami
semua berunding amat ramai buat menentukan tempat itu.
Banyak kucing berkeliaran di sekeliling rumah dan kebun.
Sekali-sekali, kucing-kucing itu bisa masuk hingga ke
halaman, barangkali melalui atap bangunan belakang. Atau
mengambil kesempatan bila pintu-pintu terbuka.
Kucing kami sendiri telah terdidik7 tidak boleh mengganggu
burung yang kami pelihara. Mereka biasa mengejar dan
berusaha menangkap burung"burung liar yang beterbangan di
kebun. Tetapi kucing itu telah mengerti bahwa percobaan
menangkap yang ada di dalam sangkar berarti hukuman berat.
Ayah berkata, bahwa kucing-kucing tidak bisa menahan naluri
berburu yang telah mendarahdaging, tertanam kuat di dalam
dirinya. Sama halnya seperti kalau kita hendak bertahan tidak
bernapas. Karena itu, Bapak membiarkannya berburu di
kebun. Asal tidak mengganggu burung dalam kurungan.
Tiang di dekat kamar mandi kami pilih sebagai tempat
gantungan si jalak, karena Ibu dan pembantu bisa
mcngawasinya dari dapur dan ruang makan. Juga karena
berdekatan dengan tempat lbu membatik.
Baru beberapa hari burung itu menjadi anggota keluarga
kami, seekor kucing berhasil masuk ke rumah berusaha meraih
pintu sangkar si jalak. Tanpa membuang waktu burung itu
berseru-seru: "Maling! Maling!" Disambung dengan siulan yang tidak
menentu bunyinya, barangkali karena gugup serta takutnya.
Pembantu yang ada di dekat sana, bergegas datang sambil
mengacungkan sapu atau barang apa saja yang bisa terpegang
seketika. Diiringi suara-suara sijalak, pembantu serta Ibujuga
berteriak, menakut-nakuti kucing itu dan memburunya ke luar
halaman. Ibu mengerik lidah kami di pagi hari, sebelum aku
berangkat ke sekolah. Tanpa pikiran maupun harapan untuk
merubah bunyi ?"a?"ku, aku menurut. Yang lebih menarik
bagiku, ialah karena setelah giliranku selesai, aku harus
menolong Ibu mengeluarkan si jalak dari sangkar. Pada
mulanya dia ketakutan, meloncat"loncat menghindari tangan
Ibu yang masuk ke dalam kurungan. Tetapi lama-kclamaan
dia menjadi biasa. Kalau Ibu membuka pintu sangkarnya, dia
menelengkan kepala, seolah-olah mau melihat lebih jelas
tangan siapa yang terulur datang. Dengan cucukan-cucukan
kecil dia menyentuh tangan ibuku, serta membiarkan dirinya
dipegang dan dikeluarkan. lialu paruhnya kubuka. lbu
mengerik lidahnya dengan Cincin emas. Sebelum mengembali-
kan ke sangkar, lbu berkata:
"Coba sekarang bicara. Katakan: lbu! lbu!"
Kepala burung itu miring ke kanan, ke kiri. Tapi tak sepatah
kata pun keluar dari mulutnya.
"Katakan: Dini! Dini!" lbu mengulangi ajarannya.
Sekali lagi si jalak menggerakkan kepalanya yang mungil.
Tanpa suara. "Barangkali dia seperti aku, Bu. Kerikan itu tidak
mempan." lbu tertawa sambil mengembalikan burung ke. dalam
kurungan. Makanan jalak bermacam"macam. Sangkar tidak pernah
kosong dari jenis buah maupun biji-bijian. Sekali-sekali Ayah
membelikan krolojl segumpal datin kering berisi telur dan
anak-anak semut dari pasarJohar. Kelihatan dengan lahap dia
menikmatinya Barangkali itu merupakan makanan istimewa
baginya. Setiap sore, pada waktu udara ttcrah, kami pergi ke
padang ilalang di belakang rumah buat menangkap belalang.
Aku lebih sering bersama Maryam untuk melakukan
pekerjaan itu. Kami membawa kotak kecil atau kaleng bekas
tempat (:()klat bubuk. Sebuah lapangan berumput membatasi halaman rumah
orang tuaku, menjadi jarak antara sungai yang mengalir di
sana dengan kebun belakang. Dari kampung kami, batasnya
sampai ke tangsi dan kampung-kampungr yang bertetangga
dengan kami: Kembangpaes, Prembaen serta Bedagan. Dulu
aku tidak pernah berani keluar dari batas kebun dan masuk
seorang diri ke sana. Rumputnya yang setinggi badanku di
beberapa tempat melindungi onggokan"onggokan tanah yang
mencurigakan. Seringkali Ayah mengingatkan kakak-kakakku
lelaki pada waktu akan bermain layang"layang.
ltelur semut merah "Hati-hatanngan ke grumbulanl Siapa tahu ada ularnya."
Di pojok timur, Bapak membuat pintu pagar yang mudah
digeserkan sebagai tempat keluar"masuk. Tidak semua orang
mengetahuinya, Seperti juga pohon jambu klutuk di sana,
yang rapat terlindung oleh desakan pohon-pohon pisang.
Ayah, Maryam dan aku memiliki beberapa rahasia yang kami
bagi bertiga. Di antaranya adalah pintu pagar dan pohon
jambu itu. Untuk mencari belalang, kami mempergunakanjalan biasa,
yaitu keluar dari pintu samping di halaman. Setelah
menempuh jalan kampung, kami segera sampai di pinggir
padang dan sungai. Dari hari ke hari, Maryam "memperkenal"
kan" luasan lapangan kepadaku. Seperti halnya. pula dengan
tanaman-tanaman yang ada di kebun kami, sarang-sarang
serta cabang"cabang tempat singgah yang dipilih oleh
masing-masing burung, dialah yang menunjukkannya ke"
padaku. Di tanah lapang itu, beberapa pohon tumbuh di pinggir.
Sepanjang tanah yang dekat (lengan parit, penuh dengan
tumbuh"tumbuhan air. Daun-daunnya pipih beraneka ben"
tuk. Di bagian lainnya, bertaburanlah kembang-kembang
padang. Selalu mungil, dengan warna yang lembut maupun
menyala. Yang sering kami kunjungi adalah rumpun-rumpun
tanaman berduri puteri malu. Daun"daunnya hijau, halus
seperti renda, berbunga ungu muda. Begitu kami sentuh,
tertutuplah daun-daun itu bagaikan mata yang kemalu-
maluan. Kami menamakannya si kucing. Aku tidak tahu
mengapa justru nama itu yang kami pakai. Sampai dewasa
pun aku tidak pernah tahu mengapa.
Kami berlomba menangkap belalang. Kadang-kadang
panas hati, mengikuti seekor belalang yang lolos dari terkaman
di satu tempat dan meloncat ke tempat lain, masuk lebih jauh
ke dalam rumpun ilalang. Seringkali karena asyiknya, aku
tidak menyadarinya. Dan tiba-tiba menemukan diriku
dikelilingi oleh rumput-rumput setinggi kepala. Dari jauh
kudengar suara lX/Iaryam:
"Kembali kemari! Kembali kemari! Biarkan belalang itu, ini
ada yang lain!" Lalu dengan tergesa-gesa aku membalikkan badan, berlari
menuju ke tengah padang di mana terdapat garisjalan setapak
yang terbuat karena seringnya dilewati orang. Dengan
terengah"engah aku menjatuhkan diri di dekat kakakku.
"Jangan masuk terlalu jauh. Banyak ular," kata Maryam
lagi. "Apa kau tidak takut?".
Memang aku takut! Sebab itu aku berlari-lari!
Keesokan harinya aku mengikuti kakakku dengan alim.
Mencari belalang di bagian"bagian padang yang terang7 yang
rumputnya tumbuh rendah, di dekat parit ataujalan setapak.
Tetapi hari berikutnya, aku lupa lagi. Demikianlah setiap kali
terjadi dan tiba-tiba sadar, diriku telah tenggelam dalam
kehijauan batang-batang ilalang. dengan hanya satu pikiran:
ular! Lalu bergegas harus keluar dari sana. Berlari secepat dan
sebisaku. Betis, lengan dan mukaku seringkali tergores oleh
daun ilalang yang tajam. Ketakutan yang akan teringat
seumur hidup itu, pada masa kanak-kanak hanya tinggal
selama satu atau dua hari dalam kepalaku.
Pulang dari padang, kami memberi makan si jalak.
Seolah"olah mengerti apa yang kami bawa, burung itu ribut
sendiri di dalam sangkarnya. Semua yang bisa diucapkannya,
keluar dari tenggorokannya. Turun dari tempatnya berteng"
ger, dia melompat ke depan, balik ke belakang. Dan pada saat
NIaryam atau aku memberinya belalang seekor demi seekor,
kami selipkan di antara celah"celah jeriji kurungan, dia
mencocoknya perlahan"lahan tanpa menyakiti jari kami.
lN/Ielihat burung itu gembira menerima pemberian, kami
semakin senang pergi mencarikan serangga setiap sore. Tetapi
ada kalanya udara tidak mengizinkan. Dengan hati iba
kukatakan kepada si jalak bahwa kami tidak dapat keluar
karena hujan. Sebagai pengobat kecewa, lbu menyuruhku
mengambil sebuah pisang gablog yang sedang diperam di
dalam seperi. Kukupas kulitnya satu sisi, lalu kutancapkan
pada batang tempat makanan yang dipasang Ayah di dalam
sangkar. Telur-telur semut, belalang dan pisang merupakan
makanan istimewa bagi burung kami. Kotak-kotak tempat
biji"bijian dan air diisi setiap pagi. Tidak tentu siapa yang
mengerjakannya. Yang paling sering tentu saja Bapak,
sekalian memeriksa isi sangkar-sangkar burung perkutut.
Pada suatu siang, Ibu terkejut melihat pintu kurungan yang
ternganga lebar. Si jalak tenang bertengger di dalamnya.
Ketika Ibu mendekat sambil menggerutu sendirian terhadap
Bapak, burung itu turun dan melongokkan kepala di ambang
pintu seperti menyambut. Ibu kami menunggu sebentar, ingin
melihat apakah dia akan keluar atau tidak. Rupa-rupanya dia
memang tidak hendak meninggalkan sangkar. Sejak waktu itu
kesayangan kami menjadi lebih dalam lagi. Bagaikan hal yang
biasa, beberapa kali berikutnya pintu kurungan kelupaan
tidak tertutup, namun sijalak tetap tidak mau ke luar. Siapa
pun yang lewat dan melihat pintu terbuka, segera menutupnya
kembali. Yang kami takutkan adalah kucing-kucing yang
berkeliaran. Setelah beberapa waktu kami pelihara, tiba-tiba si jalak
dapat menyiulkan bagian pertama nyanyian "Ibu Kita
Kartini". Waktu-waktu terakhir itu Maryam menghapalkan
nyanyian tersebut untuk peringatan di sekolahnya. Setiap hari
si jalak mendengarkannya dengan diam-diarn. Lalu pada
suatu hari, tanpa disangka"sangka siulannya keluar. Padahal
orang tuaku sudah berputus asa, tidak lagi mengajarinya
mengatakan sesuatu. lbu pun telah menghentikan kerikan
pada lidahnya dengan cincin.
Barangkali si jalak lebih suka belajar sendiri, dengan
diam-diam. Karena semua yang kami ajarkan, tak satu pun
dapat dia ulangi. Sebaliknya kata"kata yang sering kami sebut
atau ucapkan, lagu-lagu yang sering dinyanyikan di kamar
mandi oleh kakak-kakakku, pada suatu hari tiba-tiba keluar
dari tenggorokan burung itu.
Sebagaimana lumrahnya anak"anak, kami berlima sering
berbantah dan bercekcok. Ketika marah, seorang menyerukan
nama olok"olok lawannya.
Heratih mempunyai nama lain yang jarang dipakai, ialah
Siti Latifah, menjadi Latipah, berubah lagi dengan singkatan
Pah. Dia mendapat nama olok-olok dari adik"adiknya:
Tampah, Ibu tidak pernah memanggil nama"nama anaknya
yang sesungguhnya. Ketika kakak sulungku masih kecil,
hingga umur kira"kira empat tahun, badannya hitam pekat.
Ibu yang ingat akan cerita wayang, teringat akan adik Kresna,
Lara Ireng. Sebab itulah dia memanggil kakakku Ireng,
bahkan hingga kami dew.asa Padahal kini dia telah berubah,
berkulit bersih, lebih kuning dari kami berempat. Nugroho
yang kami panggil lVIas Nug, menjadi Rianti. Di atas pelupuk
Padang Ilalang Di Belakang Rumah Karya Nh. Dini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
salah satu matanya ada bekas luka yang pada waktu itu amat
kentara. Lalu kami sebut dia Manu Pcdet. Diajuga mendapat
julukan lain: Kaji. Sewaktu Ibu memanggil peramal kartu,
menurut Maryam, lambangnya yang tercetak adalah gambar
seorang haji. Dengan sipatnya yang sok tahu dan ingin
kelihatan alim, nama kedua itu memang patut bagi dia.
Mengenai Maryam, sudah pernah kuceritakan, bahwa dia
mendapat nama Genuk, karena sewaktu kecil tubuhnya gemuk
sekali, sehingga lbu teringat akan tempat garam yang pendek
dan menggembung itu. Kakak-kakakku yang lain memper-
olok-oloknya dengan Manuk, atau Genuk tempat garam.
Teguh, tidak asing lagi, menjadi Banteng atau Banteng
Kejcpit. Dan aku sendiri: Krupuk atau perkataan bertumpuk"
tumpuk. Menurut cerita orang tuaku, ketika lbu mengandung
aku, keluarga banyak menderita percobaan. Salah satunya
ialah Ayah diperhentikan dari pekerjaan. 'l'anpa diberi tahu
sebab-sebabnya. Tapi keluarga kami tahu bahwa beberapa
anggota perkumpulan yang berbau nasional disisihkan oleh
pemerintah Belanda. Bapak yang giat membantu Taman
Siswa dan gerakan pencak Suci Hati dibenci oleh kaum
pcnjilat. Hidup orang tuaku menjadi kembang"kempis selama
hampir setahun. Ketika aku lahir7 rezeki datang berturut"
turut. Disusul oleh panggilan kepada Bapak, agar kembali
masuk bekerja. Oleh karena itu lbu menyebutku Tumpuk,
dalam arti keuntungan dan kurnia Tuhan yang datang
bertumpuk"tumpuk begitu aku lahir.
Pada waktu bertengkar, tidak ada kekecualian, kami ramai
menyerukan nama olok"olok tersebut. Pada saat"saat
bermarahan kami saling tidak menegur, dan terjadilah perang
dingin. Di mana-mana, di dinding tangsi atau papan kamar
mandi di sebelah luar, ditulis nama olok"olok lawan
masingmasing. Hurufnya besar"besar, terbuat dari arang.
Suatu ketika, kutemukan tulisan semacam itu di kamar
mandi. Dindingnya kayu, baru saja dilabur: putih bersih. Agak
di atas kubaca: Krupuk bertumpuk"tumpuk. Aku segera tahu
bahwa itu adalah hasil karya Nugroho. Sejak beberapa hari
kami berkelahi. Asal mulanya biasa, mengenai binatang. Kali
ini kucing yang dipukulinya tanpa sebab. Untuk membalas
dendam, dia kuadukan kepada Ibu waktu mencuri mangga
yang diperam di sepen. Karena kena denda, dia mencabuti
tanamanku di halaman muka. Dan begitu seterusnya tidak
berkeputusan, kami saling membalas dendam.
Aku biasa mandi sore bersama Bapak. Maryam dan aku
senang mendapat kesempatan itu, karena Ayah diperbolehkan
Ibu mengambil air panas di dapur buat keperluan itu. Kami
bertiga mandi bersama-sama. Setelah melumuri dan menggo-
sok badan dengan sabun, hlaryam dan aku menempatkan diri
di bawah Ayah, agar mendapat curahan air hangat yang
diguyurkan untuk membasahi tubuhnya. Itu merupakan
kemewahan yang amat kami hargai. Sedangkan mandi
bersama Bapak saja sudah cukup menjanjikan keriahan yang
menyenangkan hati. Sore itu bersama Ayah aku melihat tulisan OlOk-Olok
terhadapku. Sepatutnya Ayah harus marah, karena kami tidak
berhak mencoret-coret papan bagian dalam kamar mandi itu.
Apalagi dinding masih bersih, baru selesai dikapur.
"Kau tahu siapa yang menulis itu?" tanya Bapak ketika
kembali dari dapur mengambil ceret air panas.
"Tentu saja Nugroho," jawabku dengan kesal.
Kulihat Bapak keluar lagi. Sebentar kemudian kembali.
"Tutup pintu!" katanya.
Sebelum aku menyadari apa yang akan diperbuatnya, dia
telah mulai menuliskan huruf"huruflebih besar lagi di bawah
tulisan Nugroho: Manu Pedet.
Kami berdua tertawa puas.
"Nanti Ibu marah-marah." tiba"tiba aku teringat.
"Katakan, aku yang menulisnya," sahut Ayah.
Dan aku terus tertawa. Ketika Maryam pulang dari kepanduan, kuceritakan
kejadian itu. Sekali lagi aku tertawa menemani kakakku.
"Ibu sudah melihatnya?" tanya Maryam.
"Entah!" "Lebih baik kaukatakan sekarang kepadanya. Biar tidak
kena marah." Aku menuruti nasihatnya. lbu hanya menggelengkan kepala, bersikap seperti orang
yang berputus asa. "Bapakmu seperti anak"anak saja! Ya sudahlahl Dia sendiri
yang mengapur, kalau kotor ya terserah."
Tapi malam waktu makan, lbu memberi gertakannya
kepada Nugroho. Kakakku mati-matian tidak mengaku atas
perbuatannya. Sebagai kata akhir, dia menyalahkan aku,,
karenajuga menulis olok"Olok terhadapnya pada dinding yang
sama. Mengapa Ibu tidak memarahi Dini, katanya. Dari
tempat duduknya, Bapak mengejapkan matanya sebelah ke
arahku. Aku tersenyum, membungkam. Soal itu adalah soal
antara Ibu dan Nugroho. Mengerti baik"baik isyarat dari
Ayah, aku tahu bahwa aku tidak perlu berbicara. Karena aku
berada di luar garis, harus merasa tidak berurusan untuk
menjawab maupun mencampuri percakapan mereka.
Nama-nama untuk bertengkar dan bercekcok itulah yang
diambil si _jalak sebagai perbendaharaan kata-katanya.
Apabila kakakku Heratih lewat, dia memanggil perlahan:
"Paaaah! Paaaah!" lalu disambung keras, "Tampahl
Tampah!" Kakakku biasanya tidak memperhatikannya, meneruskan
naik atau turun tangga. Nugroho lain halnya. Kalau burung itu berseru, "Manu!
lVIanu kaji! Manu pedct!" kakakku lalu menyahut, "Pedct,
pedct, kamu sendiri yang pedet. Tuh matamu sebelah sipit!"
Dia dengan geram ingin mencekik si jalak. Tetapi segera
sadar, bahwa Ayahlah yang membelinya. Kalau berurusan
dengan burung, berarti berurusan dcngan Bapak. Sebab itu
dia lebih baik menghindar.
Aku tidak mengetahui perasaan si jalak terhadap Teguh.
Kakakku termasuk orang ketiga yang paling sering memberi-
nya belalang dan serangga lain. Tetapi Teguh justru orang
yang paling banyak menerima siulan maupun olok"olok yang
keluar dari tenggorokan burung itu. Sampai"sampai hal yang
bersifat rahasia, yang hanya sekali didengarnya dari Nugroho
ketika mcmperolok-olokkan adiknya yang sakit perut:
"Banteng kecerit! Banteng kecerit!" serunya.
Kami semua suka sekali makan cabe. Teguh yang paling
hebat dari seisi rumah yang lain. Hingga pada suatu hari dia
harus ke belakang berkali"kali. Sewaktu kakus sedang dipakai
orang lain, dia tidak dapat menahan diri lagi, lerberak di
celana. Nugroho mengucapkan kata-kata olokan itu di depan
kamar mandi. Segera diambil oleh si jalak sebagai
perbendaharaan omongannya. Kemudian menjadi salah satu
kalimat yang paling sering diucapkannya. Kami tidak pernah
tahu mengapa. Bibi telah melahirkan. Selama dia berada di rumah sakit, aku menemani Edi
tinggal di Pendrikan. Kakak perempuan Bibi datang dari
Malang untuk mengurus rumah tangga. Aku tidak menyukai"
Hina Kelana 19 Suro Bodong 06 Racun Madu Mayat Naga Sasra Dan Sabuk Inten 34