Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 12

16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 12


"Besok pagi-pagi sekali, pada saat kita melanjutkan perjalanan ke Mataram, maka sekelompok prajurit akan membawa kangmas Pangeran Puger ke Kudus. Prajurit Mataram itu akan membawa pertanda perintahku untuk menemui pejabat yang berkuasa di Kudus."
Dengan keputusan itu, maka Kangjeng Panembahan Hanyakrawati telah menunjuk seorang Tumenggung untuk membawa sepasukan prajurit mengantar Pangeran Puger ke Kudus.
Segala persiapanpun segera dilakukan. Bahkan malam itu juga Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri telah menemui Pangeran Puger untuk menyampaikan keputusannya.
Pangeran Puger mendengarkan keputusan yang disampaikan langsung oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati dengan saksama. Demikian Kangjeng Panembahan Hanyakrawati selesai berbicara, maka Pangeran Puger itupun berkata, "Jadi dimas tidak akan menjatuhkan hukuman kepadaku?"
"Tidak kangmas."
"Kenapa dimas" Bukankah aku sudah melawan kekuasaan dimas" Bukankah aku sudah mensia-siakan kebaikan dimas yang telah menempatkan aku di Demak?"
"Hukuman bukannya untuk melepaskan dendam, kangmas. Hanya mereka yang sudah tidak mungkin berubah serta masih tetap membahayakan orang banyak sajalah yang pantas mendapat hukuman yang seberat-beratnya, agar ia tidak mengulangi perbuatannya lagi dimasa datang serta tidak membahayakan orang lain lagi. Demikian pula bagi mereka yang melawan kekuasaan yang sah tanpa penyesalan. Tetapi kangmas tidak berbuat seperti itu, sehingga tidak seharusnya aku menjatuhkan mati kepada kangmas Pangeran."
"Terima kasih, dimas. Aku tidak akan pernah melupakannya."
"Tetapi kangmas masih tetap harus menjalani hukuman. Kangmas serta seluruh keluarga harus segera berkemas. Kangmas dan keluarga akan aku tempatkan di Kudus dibawah pengawasan."
Pangeran Puger menarik nafas panjang. Katanya, "Terimakasih dimas, terima kasih. Agaknya aku masih akan dapat menyaksikan matahari terbit lebih lama lagi."
"Besok pagi-pagi, pada saat seluruh pasukan berangkat kembali ke Mataram, maka seorang Tumenggung dan pasukannya akan mengantar kangmas Pangeran ke Kudus."
"Baiklah dimas. Aku akan berkemas."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun kemudian meninggalkan Pangeran Puger yang harus merenungi perjalanan hidupnya.
Malam itu, Kangjeng Panembahan Hanyakrawati dan para pemimpin dari Mataram masih sempat tidur barang sejenak di padang perdu yang luas. Angin malam yang dingin mengalir lebih kencang. Namun langit nampak bersih. Bintang-bintang nampak berkedipan dari ujung sampoi ke ujung cakrawala.
Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun sempat tidur sejenak di antara dua buah pedati. Sementara para prajurit dari pasukan khusus bertebaran di sebelah menyebelah-nya. Beberapa orang diantara mereka bergantian bertugas khusus diantara Pasukan Khusus dari Tanah Perdikan itu.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih tetap bersama Pasukan Pengawal tanah Perdikan Menoreh, yang berada hampir di ujung padang perdu itu, hampir di pinggir hutan.
Keduanya hampir tidak tertidur semalam suntuk. Mereka berbicara dengan Prastawa dan beberapa orang pengawal yang juga merasa sulit untuk tidur.
Namun menjelang dini, mereka dapat memejamkan mata sejenak di dekat perapian yang mereka buat untuk menghangatkan tubuh mereka. Bahkan asapnya dapat mengusir nyamuk yang berterbangan di padang perdu itu.
Pagi-pagi sekali, para prajurit telah terbangun. Para petugas di dapur telah menjadi sibuk sekali. Sementara itu, para prajuritpun telah bersiap-siap pula.
Sekelompok diantara mereka akan mengantar Kangjeng Pangeran Puger ke Kudus, menyerahkan mereka kepada pejabat di Kudus serta melakukan pengawasan untuk beberapa lama sampai ada perintah berikutnya dari Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
Sedangkan yang lain akan melanjutkan perjalanan kembali ke Mataram. Termasuk diantara mereka yang akan kembali adalah para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh serta para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Demikianlah iring-iringan yang panjang itu, setelah segala persiapan selesai, serta setelah mereka melepaskan Pangeran Puger berangkat ke Kudus segera mulai dengan perjalanan mereka. Tetapi pasukan Mataram itu tidak dapat sampai di Mataram sehari itu. Pedati-pedati masih juga merayap seperti siput.
Pasukan itupun telah berhenti dan berkemah semalam lagi di perjalanan. Namun pasukan Mataram itu justru kelihatan semakin segar meskipun mereka merasa letih setelah turun ke medan perang serta menempuh perjalanan panjang. Bahwa mereka merasa memenangkan perang, merupakan dorongan yang besar bagi mereka untuk tetap kelihatan segar.
Demikianlah, dinihari berikutnya, pasukan Mataram itu menempuh perjalanan pada hari terakhir. Sebelum senja turun, mereka telah sampai ke pintu gerbang kota.
Ternyata rakyat Mataram segera mendengar bahwa pasukannya yang memenangkan perang telah kembali dari medan.
Dengan demikian, maka ketika pasukan itu memasuki pintu gerbang dengari segala macam pertanda kebesaran, rakyat Mataram telah turun ke jalan untuk menyambutnya, sehingga jalan-jalanpun menjadi sangat sempit, sehingga pasukan itu berjalan semakin lambat
Para prajurit yang pulang itupun langsung menuju ke alun-alun. Pasukan yang berasal dari Tanah Perdikan dari Ganjur, dari Jati Anom, Sangkal Putung dan sebagainya semua ikut memasuki pintu gerbang kota serta mendapat penyambutan yang sangat meriah.
Setiap kesatuan ditandai dengan rontek, umbul-umbul, kelebet dan tunggul mereka masing-masing.
Pasukan Mataram itupun telah melakukan upacdra beberapa lama di alun-alun. Baru kemudian pasukan itu kembali ke Barak masing-masing. Sedangkan pasukan yang berasal dari luar Kota-Raja, telah mendapatkan tempat mereka masing-masing. Ada yang ditempatkan di banjar-banjar yang tersebar di beberapa tempat. Ada yang ditempatkan di bangsal-bangsal di sekitar istana. Namun ada pula diantara mereka yang harus berkemah di tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Baru pada hari berikutnya, maka pasukan yang berasal dari beberapa daerah itu kembali ke tempat mereka masing-masing.
Pasukan yang telah berjasa serta memenangkan perang itu telah mendapat berbagai macam penghargaan dari Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang telah langsung memimpin sebagai Senapati Agung dari pasukan Mataram itu.
Hari itu, seluruh Mataram telah bersuka ria. Rakyat yang tinggal di Kota Raja ikut merayakan kemenangan pasukannya terhadap pasukan Demak
Namun sejak hari itu pula, disamping kegembiraan, Matarampun telah berkabung.
Ketika mereka yang mempunyai keluarga ikut dalam pasukan Mataram yang besar itu mulai mempertanyakan keluarga mereka, maka ada diantara mereka yang harus menitikkan air matanya, karena keluarga mereka tidak dapat ikut pulang bersama kawan-kawannya, karena telah gugur di medan pertempuran.
"Pengorbanan mereka tidak sia-sia," para pemimpin kelompok mencoba menghibur keluarga yang berduka itu.
Namun ada pula diantara keluarga-keluarga prajurit itu yang kecewa, karena keluarganya masih belum dapat pulang meskipun mereka tidak gugur di peperangan.
Ada diantara mereka yang masih tinggal di Demak, tetapi ada pula yang ikut dalam tugas ke Kudus, mengantar Pangeran Puger dan keluarganya.
"Kapan mereka pulang?" bertanya keluarga mereka kepada para Senapati.
"Tergantung perintah Kangjeng Panembahan. Tetapi agaknya tidak akan terlalu lama. Mungkin Mataram akan segera mengirimkan sekelompok pasukan pengganti atau Kangjeng Panembahan memberikan perintah kepada pejabat di Kudus."
Namun bagaimanapun juga, mereka merasa sangat kecewa bahwa mereka tidak segera dapat bertemu dengan keluarga mereka itu. Tetapi bagaimanapun juga mereka masih merasa lebih beruntung dari keluarga mereka yang telah gugur.
Bersama dengan pasukan yang lain, maka Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menorehpun telah kembali ke Menoreh pula.
Demikian pula Pasukan Pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang memiliki tingkat kemampuan sebagaimana kesatuan prajurit Mataram yang lain.
Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, yang pergi ke medan perang bersama isterinya atas izin kangjeng Panembahan Hanyakrawati, masih nampak lemah. Demikian pula Nyi Lurah, yang kedua-duanya telah terluka di bagian dalam tubuh mereka di medan perang.
Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berada diantara para pengawal Tanah perdikan.
Seperti juga di Mataram, mereka mendapat sambutan yang hangat di Tanah Perdikan Menoreh. Baik Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maupun Pasukan Pengawal yang dipimpin oleh Prastawa. Namun juga seperti di Mataram, maka dihari berikutnya, maka Tanah Perdikan itupun telah berduka pula.
Baru beberapa hari kemudian, keluarga yang kehilangan itu menjadi tenang. Mereka menyadari, bahwa kematian akan dapat saja terjadi dimana-mana. Merekapun kemudian dapat berbangga, bahwa keluarga mereka telah gugur dalam tugas mereka. Menegakkan wibawa Mataram.
Dalam beberapa hari itu, baik para prajurit dari Pasukan Khusus maupun para pengawal Tanah Perdikan sempat beristirahat dalam arti yang sebenarnya. Apalagi para prajurit. Untuk beberapa hari mereka di izinkan untuk tidak berada di barak. Mereka dapat pulang ke rumah mereka masing-masing. Mereka dapat beristirahat di antara keluarga mereka.
Mereka dapat tidur kapanpun mereka mau. Mereka tidak harus bangun pagi-pagi.
Sedangkan para pengawal yang telah kembali dalam pergaulan hidup sehari-hari, selalu saja di minta oleh kawan-kawan mereka yang tidak ikut dalam pasukan Mataram untuk bercerita.
Jika mereka datang ke gardu di malam hari, dan berada diantara kawan-kawannya yang meronda, maka mereka dipaksa untuk berbicara panjang tentang pengalaman mereka di peperangan.
Sementara itu, Prastawa, bersama dengan Glagah Putih dan Rara Wulan, bahkan bersama Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah, telah datang memberikan laporan kepada Ki Gede Menoreh yang didampingi oleh Ki Argajaya.
Keduanya memang nampak menjadi semakin tua. Namun keduanya masih saja dengan tegar memimpin Tanah Perdikan Menoreh.
"Kami sangat bangga atas kalian serta para pengawal Tanah Perdikan ini seluruhnya," berkata Ki Gede, "kalian telah menunjukkan pengabdian yang tinggi serta kemampuan kalian yang tidak kalah dengan kesatuan-kesatuan yang lain yang ada didalam pasukan Mataram itu."
Prastawa mengangguk hormat sambil menjawab. "Kami telah mendapat berbagai penghargaan, paman. Kami mendapat kelebet khusus serta tunggulnya yang berlapis emas. Satu lambang yang tinggi dari penghargaan yang diberikan oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
Ketika kemudian Prastawa menyerahkan tunggul yang berlapis emas itu, Ki Gede dan Ki Argajaya mengamatinya dengan sungguh-sungguh. Dari sorot mata kedua sesepuh Tanah Perdikan itu membayang perasaan haru yang mendalam. Ternyata kelebihan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak luput dari pengamatan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
"Kami akan menyerahkan tunggul ini kepada paman," berkata Prastawa, "tunggul itu akan keluar dari selongsong hanya dalam saat-saat yang sangat penting."
"Baiklah," berkata Ki gede, "besok biarlah dibuat selongsong yang pantas bagi tunggul yang berlapis emas itu."
Demikianlah, untuk beberapa lama Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan serta Prastawa berbicara bersama Ki Gede dan Ki Argajaya. Baru beberapa saat kemudian, mereka yang menghadap itu kecuali Prastawa telah minta diri.
Sepeninggal mereka, Prastawa masih bercerita panjang tentang pertempuran yang terjadi antara Pasukan Mataram dengan pasukan Demak. Namun ternyata bahwa Kangjeng Panembahan Hanyakrawati bukan seorang pendendam. Bahkan ia telah mengampuni Kangjeng Pangeran Puger dan mengirimnya ke Kudus bersama keluarganya.
Bagi Tanah Perdikan Menoreh, tunggul berlapis emas yang diterimanya dari Kangjeng Panembahan Hanyakrawati itu adalah kebanggaan yang tinggi. Karena itu, maka dihari berikutnya, Ki Gede Menoreh telah berkenan mengumpulkan kembali para pengawal Tanah Perdikan yang ikut berperang melawan Demak untuk berkumpul. Mereka akan berbaris berkeliling Tanah Perdikan sambil memamerkan tunggul berlapis emas serta kelebet yang khusus yang diterima dari Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sebagai lambang penghargaan kangjeng Panembahan kepada para pengawal Tanah Perdikan itu.
Di hari yang ditentukan, maka para pengawal Tanah Perdikanpun sudah berkumpul. Para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, yang berada di bawah pimpinan Ki Lurah Agung Sedayu itupun akan ikut pula meramaikannya. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu juga mendapatkan tunggul berlapis emas serta kelebet yang khusus pula, yang juga akan ikut dibawa berkeliling Tanah Perdikan Menoreh.
Disamping kedua tunggul lambang penghargaan dari Kangjeng Panembahan itu, maka baik pasukan pengawal Tanah Perdikan maupun para prajurit dari Pasukan Khusus, telah membawa pula semua pertanda kebesaran masing-masing. Umbul-umbul, rontek, kelebet serta tunggul yang sudah mereka miliki.
Dengan bangga hampir seluruh rakyat Tanah Perdikan Menoreh telah keluar dari rumah mereka dan turun ke pinggir jalan-jalan utama di Tanah Perdikan untuk menyaksikan penghargaan yang langsung diberikan oleh kangjeng Panembahan Hanyakrawati itu. Dengan demikian, maka Kangjeng Panembahan Hanyakrawati mengakui pengabdian dari Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata upacara pameran tunggul penghargaan dari Kangjeng Panembahan hanyakrawati itu mempunyai pengaruh yang besar bagi rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mempunyai kepercayaan diri yang lebih besar, serta mendorong angkatan yang lebih muda untuk segera mengisi kekosongan dari Pasukan Pengawal karena para pengawal yang lebih tua itupun mulai mengundurkan diri.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu serta Nyi Lurah Agung Sedayu teringat kepada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Ki Patih Mandaraka tentang Glagah Putih. Apakah Glagah Putih bersedia menjadi prajurit Mataram.
"Sebaiknya kita bertanya langsung kepadanya," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ya. Kita juga akan menawarkan beberapa pilihan sebagaimana dikatakan oleh Ki Patih."
"Mumpung pengaruh Ki Patih di Mataram masih cukup besar. Sebentar lagi, jika Ki Patih menjadi semakin tua, maka Ki Patih tentu akan menarik diri. Putera-puteranya agaknya belum nampak yang akan naik ke jenjang kebesaran ayahandanya."
Malam itu, Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga duduk berbincang-bincang setelah mereka makan malam.
Pada kesempatan itu, Ki Lurahpun berkata, "Glagah Putih. Aku mendapat titipan pesan dari Ki Patih yang ditujukan kepadamu."
Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Dengan kerut di dahi, Glagah Putihpun bertanya, "Pesan apa, kakang."
"Ki Patih berpesan agar aku bertanya kepadamu, apakah kau tertarik untuk menjadi prajurit."
"Menjadi prajurit?"
"Ya. Ki Patih memberikan tawaran kepadamu, jika kau berniat, maka kau akan dapat diangkat menjadi seorang prajurit. Tetapi segala sesuatunya terserah kepadamu. Apakah kau bersedia atau tidak"
Glagah Putih menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan itu menundukkan wajahnya sehingga Rara Wulan itu tidak memandanginya.
Karena Rara Wulan masih saja menundukkan wajahnya, maka Glagah Putihpun telah bertanya kepadanya, "Bagaimana pendapatmu, Rara ?"
Rara Wulan menarik nafas panjang. Dengan nada ragu iapun berkata, "Bagaimana yang baik menurut kakang."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Iapun kemudian bertanya, "Jika aku menjadi prajurit, apakah aku harus tinggal di barak atau aku dapat pulang setiap hari seperti kakang "
"Kau akan dapat pulang setiap hari seperti aku sekarang."
"Tetapi aku akan terikat oleh tugas-tugas keprajuritan seperti kakang ?"
"Tentu saja. Jika kau menjadi seorang prajurit, maka kau akan terikat oleh tugas-tugasmu sebagai seorang prajurit."
Glagah Putih sekali lagi berpaling kepada Rara Wulan. Jika ia menjadi seorang prajurit, maka ia akan terikat dalam tugas-tugasnya sendiri. Sementara itu Rara Wulan akan menunggunya di rumah seperti Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah sebelumnya sudah melakukan pengembaraan pula.
Sementara itu, agaknya Rara Wulan masih belum puas dengan pengembaraannya selama ini. Agaknya ia masih ingin melihat satu lingkungan yang lebih luas.
Bahkan sebenarnyalah Glagah Putih sendiri tidak ingin terikat dalam tugas-tugas prajurit sebagaimana Agung Sedayu.
Karena itu, setelah merenung sejenak, maka Glagah Putih itupun kemudian berkata, "Kakang. Bukan maksudku menolak tawaran yang bagiku merupakan suatu kehormatan. Tetapi agaknya belum waktunya bagiku untuk menjadi seorang prajurit yang akan terikat dalam tugas-tugas keprajuritan. Bukan karena umurku, karena banyak prajurit yang lebih muda dari aku. Tetapi jiwaku memang belum siap untuk menjadi seorang prajurit."
Ki Lurah Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Mungkin kau memang belum siap untuk menjadi seorang prajurit yang mempunyai tugas keseharian seperti aku. Tetapi ada tawaran lain yang barangkali lebih sesuai bagimu. Bahkan tawaran ini tidak hanya ditujukan kepadamu. Tetapi juga kepada Rara Wulan."
"Tawaran apa, kakang ?"
"Ki Patih juga menawarkan kemungkinan kepadamu dan Rara Wulan untuk menjadi prajurit sandi. Kau akan mendapat kedudukan sebagai seorang prajurit. Tetapi tugasmu berbeda dengan tugas para prajurit kebanyakan. Berbeda dengan tugasku serta para prajurit dalam Pasukan Khusus."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia mengerti tugas prajurit sandi. Bahkan meskipun ia bukan seorang prajurit tetapi ia sudah menjalankan tugas seorang prajurit sandi. Bahkan tawaran itu berlaku pula bagi Rara Wulan."
Rara Wulan yang juga mendengar tawaran itu, di luar sadarnya telah mengangkat wajah. Dipandanginya Ki Lurah Agung Sedayu dengan penuh pertanyaan yang memancar dari sorot matanya.
"Ya," berkata Ki Lurah, "tawaran itu berlaku bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Kalian akan dapat diterima menjadi prajurit sandi, kalian akan mempunyai pertanda keprajuritan sebagaimana para prajurit. Tetapi kau tidak harus menjalani tugas-tugas keprajuritan sebagaimana para prajurit yang lain dalam keseharian. Tegasnya, tugas kalian berbeda."
Rara Wulanpun kemudian memandang Glagah Putih sambil berdesis, "Tawaran yang menarik, kakang."
Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya tawaran ini menarik, kakang. Jika memang terbuka kesempatan itu, mungkin aku akan dapat menjalaninya. Aku akan menerima tawaran itu dengan masa percobaan. Maksudku, jika dalam beberapa bulan kemudian kedudukan itu tidak sesuai bagi kami berdua, maka kami akan mengundurkan diri."
"Baiklah. Kau masih mempunyai waktu untuk merenunginya sampai esok lusa. Esok lusa aku akan pergi ke Mataram untuk menghadap Ki Patih."
"Apakah aku harus ikut bersama kakang."
"Belum. Aku akan membicarakannya lebih dahulu. Mungkin Ki patihpun harus berbicara pula dengan beberapa orang yang lain, terutama dengan para pemimpin prajurit dalam tugas sandi. Namun jika mungkin, aku akan minta kalian ditempatkan di kesatuanku. Karena di kesatuanku masih belum ada petugas sandi yang khusus. Dalam tugas sandi aku masih menugaskan para prajurit dari Pasukan Khusus. Baik di Tanah Perdikan ini, maupun dalam tugas-tugas di tempat lain, sebagaimana di Demak beberapa hari yang lalu."
"Baik, kakang. Jika aku harus berada di kesatuan lain, mungkin aku juga akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri. Terutama Rara Wulan. Karena jarang sekali prajurit dalam tugas sandi atau bahkan dalam tugas-tugas yang lain, seorang perempuan. Bahkan untuk tugas-tugas di dapur-pun di medan pertempuran dilakukan oleh prajurit laki-laki."
"Baiklah. Besok lusa aku akan pergi ke Mataram."
"Nampaknya tugas itu agak sesuai dengan Glagah Putih dan isterinya," berkata Ki Jayaraga yang lebih banyak mendengarkan pembicaraan itu, "tetapi bagaimanapun juga, jika Glagah Putih dan Rara Wulan sudah memasuki dunia keprajuritan, maka mereka akan terikat oleh tatanan-tatanan dan paugeran-paugeran yang ada di dalam lingkungan keprajuritan itu."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk iapun berkata, "Ya. Ikatan-ikatan itu pasti ada. Karena itu, maka aku ingin mencoba untuk beberapa waktu. Jika ternyata kami mengalami kesulitan karena ikatan-ikatan yang ada di dunia keprajuritan, maka aku dan Rara Wulan akan menarik diri."
"Aku akan menyampaikan kepada Ki Patih justru sebelum kau dinyatakan dengan Surat Kekancingan bahwa kau diangkat menjadi prajurit. Biarlah dalam Surat Kekancingan itu diterakan pernyataan tentang kemungkinan mengundurkan diri."
"Baik, kakang. Kami akan mencoba menyesuaikan diri dengan tugas-tugas seorang prajurit sandi."
Dengan demikian, maka Ki Lurah Agung Sedayupun sudah memutuskan untuk pergi ke Mataram esok lusa. Glagah Putih dan Rara Wulan masih mempunyai kesempatan untuk merenungkan dan menentukan sikapnya.
Ketika kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan berada di dalam biliknya, mereka masih berbincang sebentar, tentang kemungkinan, apakah mereka akan dapat menjadi seorang prajurit.
"Jika kita berdua menjadi prajurit, kakang. Bukankah mungkin sekali kau dan aku mendapat tugas yang berbeda, sehingga mungkin kau harus pergi ke Demak, sedangkan aku harus pergi ke Bagelen ?"
"Ya, memang mungkin sekali. Tetapi jika kita benar-benar dapat berada di kesatuan kakang Agung Sedayu, maka mungkin sekali kita akan selalu mendapat tugas yang sama."
"Jika kakang Agung Sedayu mendapat tugas yang lain, sehingga pimpinan Pasukan Khusus itu ada di tangan orang lain pula?"
"Memang mungkin sekali. Karena itu, didalam Surat Kekancingan itu akan diterakan kemungkinan kita mengundurkan diri."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sebenarnya Rara Wulan memang masih ragu-ragu. Di satu sisi ia memang ingin menjadi seorang prajurit yang mungkin belum akan terlalu banyak kawannya. Tetapi disisi lain, ia akan dapat harus menjalankan tugas yang berbeda dengan Glagah Putih. Bukan karena Rara Wulan menjadi ketakutan jika ia harus menghadapi bahaya tanpa perlindungan Glagah Putih, karena Rara Wulan sendiri sudah memiliki kemampuan yang hampir setingkat dengan Glagah Putih sendiri. Perbedaan tataran diantara mereka berdua hanyalah pada dukungan kewadagan. Glagah Putih memang mempunyai bekal kewadagan yang sangat kokoh. Meskipun dengan lambaran tenaga dalamnya, Rara Wulanpun jarang ada tandingannya.
Namun akhirnya Rara Wulan itupun memutuskan bahwa ia akan mencoba untuk mengabdi dalam lingkungan keprajuritan.
Dikeesokan harinya, ketika Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke barak, maka Glagah Putih ikut Ki Jayaraga dan Sukra pergi ke sawah. Sejak beberapa hari yang lalu, Ki Jayaraga dan Sukra telah mempersiapkan lahan mereka untuk segera ditanami palawija sebagaimana sawah yang lain seluas bulak di sebelah padukuhan induk. Agaknya hujan masih belum akan turun. Sedangkan air di parit yang mengalir di bulak itu, kurang mencukupi untuk menanam padi. Agaknya musim kering agak terlalu panjang dibanding dengan musim kering sebelumnya.
Meskipun demikian, meskipun kecil, tetapi parit-parit yang membelah bulak di sebelah padukuhan induk itu masih juga mengalir.
"Musim kering tahun ini agak lebih awal dari seharusnya, Glagah Putih," berkata Ki Jayaraga.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, guru. Airpun rasa-rasanya sudah jauh menyusut. Padahal musim basah masih belum waktunya datang"
"Kenapa hal itu terjadi, guru ?" bertanya Glagah Putih.
"Ada keseimbangan alam yang terganggu, Glagah Putih."
"Keseimbangan yang mana?"
"Kita tidak tahu, keseimbangan yang mana yang terganggu."
"Apakah mungkin ulah manusia sendiri tejah dapat menimbulkan gangguan alam, sehingga terjadi ketidak seimbangan?"
Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Dengan nada dalam iapun berkata, "Yang Maha Agung telah menguasakan pengolahan kepada manusia. Karena itu hubungan manusia dengan alam sebaiknya selalu dipelihara dengan baik untuk mempertahankan keseimbangan itu. Jika manusia berbuat semena-mena terhadap alam, maka hubungan itu akan terganggu."
"Apakah hal itu sudah terjadi di Mataram guru?"
"Jika bukan gangguan terhadap alam, maka hubungan antara manusia dengan penciptanyalah yang terganggu. Sehingga manusia merasa dirinya penguasa yang tidak terbatas terhadap alam sehingga manusia kehilangan tanggung-jawabnya."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak bertanya lebih panjang lagi.
Beberapa saat kemudian, maka mereka bertiga telah berada disawah. Seperti tetangga-tetangga mereka, maka ketiga orang itupun segera turun dan mulai mengerjakan sawahnya. Meratakan tanah serta membuat tamping pematang.
Glagah Putih yang sempat memperhatikan Sukra mengangguk-angguk kagum. Sukra yang sudah mendekati dewasa penuh itupun telah menunjukkan betapa kokoh tubuhnya dan seberapa besar kekuatannya.
Glagah Putih itupun berpaling ketika Ki Jayaraga berdesis di belakangnya, "Tenaganya memang besar sekali. Lihat ayunan cangkulnya. Tidak ada orang kebanyakan dapat menghunjamkan cangkul sedalam Sukra."
"Ya. Jika saja Sukra dapat memanfaatkan tenaga, kekuatan dan kemampuannya sebaik-baiknya."
"Aku berharap demikian. Ia masih sangat lugu. Karena itu, maka kita harus mengisinya dengan hati-hati. Semoga ia dapat menjadi anak muda yang berguna bagi orang banyak."
"Jika waktunya datang, setelah umurnya memenuhi syarat, ia dapat menyatakan dirinya memasuki jajaran Pasukan Pengawal Tanah Perdikan. Jika yang sudah terlalu tua mengundurkan diri, maka yang muda-muda itu akan menggantikannya."
"Ya. Aku akan membantu mengarahkannya."
"Bukankah selama ini anak itu selalu berlatih meskipun sendiri ?"
"Ya. Aku sering menemaninya. Aku berusaha menyesuaikan diri dengan gaya dan alirannya. Anak itu merupakan bayanganmu, meskipun ia juga sering berlatih dengan Ki Lurah Agung Sedayu."
"Ia tidak perlu terikat sekali dengan cara-cara yang telah aku ajarkan. Iapun dapat menumbuhkan gayanya sendiri."
"Biarlah ia mematangkan landasannya dahulu. Nanti pada waktunya ia juga akan membayangimu dengan unsur-unsur yang mengalir dari aliran yang berbeda. Dengan landasan yang semakin kuat, maka anak itupun akan memiliki ilmu dari berbagai aliran yang akan luluh menyatu diatas landasan yang kokoh."
Keduanyapun terdiam ketika mereka melihat Sukra itu berhenti sejenak dan berpaling kepada mereka. Nampak dahinya berkerut, ia melihat Glagah Putih itu masih saja berbicara dengan Ki Jayaraga. Bukannya membantu mencangkul dan meratakan tanah.
Ketika Kemudian, Sukra itu kembali mengayunkan cangkulnya, maka Glagah Putih dan Ki Jayaragapun mulai mencangkul pula.
Glagah Putih tidak memperhatikannya ketika Sukra itu datang mendekatinya. Untuk beberapa saat Sukra itu berdiri termangu-mangu memandangi Glagah Putih yang sedang mencangkul. Namun kemudian Sukra itupun berkata, "Yang menggarap sawah Bibi Nuri adalah Yu Sambi dan Yu Pernik juga dapat mencangkul sedalam kakang Glagah Putih."
Glagah Putihpun berhenti mencangkul. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sukra berdiri di belakangnya sambil tersenyum. Dibibirnya nampak senyumnya yang sangat menggelitik.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia mengerti maksud Sukra yang ingin mengatakan, bahwa bekas cangkul Glagah Putih terlalu dangkal seperti ayunan cangkul perempuan.
Glagah Putih tidak berkata sepatahpun. Namun kemudian dengan mempergunakan tenaga dalamnya, Glagah Putihpun mengayunkan cangkulnya pula. Jauh lebih keras dari ayunannya semula. Bahkan lebih keras dari ayunan cangkul Sukra, sehingga bekasnya menjadi jauh lebih dalam pula.
Sukra mengerutkan dahinya. Baru ia sadar, dengan siapa ia berbicara.
Sementara itu Glagah Putih masih saja mencangkul dengan ayunan yang keras, sehingga akhirnya Sukra itupun kembali ke bidang yang sedang digarapnya.
Namun selagi Sukra sibuk mencangkul, ia mendengar suara Glagah Putih yang berdiri di belakangnya, "Sukra, Apakah Yu Sambi dan Yu Pernik masih sering menggarap sawahnya " Aku lihat bekas cangkul di sawah Bibi Nuri itu lebih dalam dari bekas cangkulanmu itu."
Sukrapun segera berkisar membelakangi Glagah Putih lagi tanpa menjawab sepatah katapun.
Glagah Putih tertawa. Namun iapun segera kembali ke bidang kerjanya.
Demikianlah, maka merekapun kemudian bekerja dengan tekun tanpa saling menegur. Demikian pula di kotak-kotak sawah yang lain. Beberapa orang bekerja keras dibawah matahari yang semakin terik.
Ketika matahari kemudian sampai di puncak langit, maka beberapa orang perempuan nampak berjalan di jalan bulak sambil menggendong bakul.
Mereka adalah perempuan-perempuan yang pergi mengantar makan dan minuman bagi keluarganya yang sedang bekerja di sawah.
Diantara mereka nampak tiga orang perempuan yang masih terhitung muda berjalan bersama-sama di bulak itu sambil menggendong bakul pula. Diantara mereka adalah Rara Wulan yang akan mengantar makan dan minum bagi Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sukra.
Sambil berjalan diteriknya matahari, dibawah perlindungan sebuah caping bambu, mereka berjalan sambil berkelakar. Rara Wulan sempat juga berceritcra tentang pengalamannya yang lucu yang sering terjadi di pengembaraannya.
"Seorang Bekel muda tiba-tiba melamarku," Rara Wulan itu berceritera, "padahal aku berjalan bersama kakang Glagah Putih."
"Lalu bagaimana sikap kakang Glagah Putih ?" bertanya seorang kawannya.
Sebelum mulai berceritera Rara Wulan sudah tertawa lebih dahulu. Baru di sela-sela tertawanya ia berkata, "Kakang Glagah Putih menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa, kecuali menyerahkannya kepadaku."
"Kenapa ?" bertanya kawannya yang lain.
"Aku diakunya sebagai adiknya. Bukan isterinya."
"Lalu, apa jawabmu ?"
"Ketika aku mengatakan kepada kakang Glagah Putih, bahwa Bekel muda itu sangat tampan, kakang Glagah Putih mulai menjadi marah."
"Salahmu. Kau pantas di marahi. Kau telah mengganggunya."
"Apa katanya?" bertanya yang seorang lagi.
"Kakang Glagah Putih berkata, "Jangan paksa aku membunuhnya.?"
Kedua orang kawannya itu tertawa pula. Seorang diantara mereka berkata, "Kalau benar terjadi, kaulah yang bersalah."
"Ya, aku menyesal. Tetapi aku juga menuntut kepada kakang Glagah Putih. Lain kali jangan mengaku aku sebagai adiknya agar kakang Glagah Putih masih pantas untuk nampang dihadapan gadis-gadis."
Ketiga orang perempuan yang masih terhitung muda itu tertawa bersama, sehingga mereka agak bergeser ketengah.
Tiga orang berkuda yang lewat dijalan bulak itu terpaksa memperlambat kuda mereka. Bahkan ketiganyapun telah berhenti beberapa langkah di depan perempuan-perempuan muda yang tertawa itu.
Rara Wulan dan kedua orang kawanyapun agak terkejut melihat tiga orang penunggang kuda yang berhenti. Merekapun segera bergeser menepi.
"Hati-hati di jalan nduk," berkata salah seorang dari ketiga orang berkuda itu.
"Maaf Ki Sanak. Kami memang kurang berhati-hati."
Ketiga orang berkuda itupun segera melanjutkan perjalanan mereka. Agaknya mereka sedang menempuh perjalanan yang agak jauh, melalui Tanah Perdikan Menoreh.
Namun ketika ketiga orang perempuan itu mulai melangkah melanjutkan perjalanan, empat orang pejalan kaki mendekati mereka sambil tersenyum-senyum. Seorang diantara mereka bertanya, "Nyi, dimana letaknya Tanah Perdikan Menoreh ?"
Seorang kawan Rara Wulanlah yang menjawab, "Ki Sanak sekarang telah berada di Tanah Perdikan Menoreh."
"O," orang itu mengangguk-angguk, "jadi benar kata orang bahwa perempuan-perempuan Tanah Perdikan Menoreh itu umumnya menarik."
Kawan Rara Wulan itupun mengerutkan dahinya. Ketika kemudian ia mulai memperhatikan wajah orang-orang yang bertanya kepadanya itu, kawan Rara Wulan itu menjadi berdebar-debar. Wajah-wajah mereka nampak keras dan garang. Sikap merekapun sama sekali tidak menyenangkan. Mereka bahkan tertawa-tawa sehingga membuat bulu-bulu kawan Rara Wulan itu meremang.
"Tolong, tunjukkan. Dimanakah letak padukuhan induk Tanah Perdikan."
"Itu. Padukuhan itu," jawab kawan Rara Wulan dengan singkat. Iapun kemudian melangkah untuk melanjutkan perjalanan.
Tetapi orang-orang itupun bergeser dengan sengaja menghalangi langkah kawan Rara Wulan itu.
"Nanti dulu, nduk. Jangan pergi. Kenapa tergesa-gesa?"
"Kami sudah kesiangan Ki Sanak. Kami mengirim makanan dan minum bagi suami kami yang bekerja di sawah."
"O," seorang diantara merekapun mengangguk-angguk sambil dengan sengaja mengganggu kawan Rara Wulan itu, "jadi suamimu bekerja di sawah."
"Ya. Itu yang mencangkul di sebelah simpang tiga. Sedang suami kawanku ini, membuat tamping di kotak sawah sebelahnya."
"Apa salahnya mereka bekerja di sana " Kau ingin mengatakan bahwa suami-suami kalian dapat marah melihat kelakuan kami. Kami justru menjadi kasihan jika suami kaliah marah. Jika mereka marah, maka mereka akan dapat terbunuh. Nah, pikirkan. Kalianlah yang harus mencegah suami kalian marah, agar mereka tidak terbunuh. Sekarang kalian bertiga harus mengantar kami ke padukuhan induk."
Kawan Rara Wulan itu menjadi ketakutan melihat sikap, tingkah laku yang sorot matanya yang marah. Karena itu, maka iapun segera bergeser surut. Ia berharap bahwa Rara Wulan akan membantunya.
Sebenarnyalah bahwa Rara Wulanlah yang kemudian melangkah mendekati orang itu sambil berkata, "Ki Sanak. Jika kau ingin pergi ke padukuhan induk, itulah padukuhan induk. Sudah sangat dekat. Kenapa kami harus mengantar " Apakah Ki Sanak takut untuk berjalan berempat di padukuhan induk, karena Ki Sanak pernah mendengar, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat pasukan pengawal yang tangguh, yang telah ikut serta dalam perang antara Mataram dan Demak yang baru saja terjadi " Jika Ki Sanak tidak berbuat aneh-aneh di Tanah Perdikan ini, maka tidak akan ada yang mengganggu Ki Sanak. Tetapi jika Ki Sanak membuat ulah, maka sulit bagi Ki Sanak untuk dapat keluar dari Tanah Perdikan ini. Apalagi di simpang tiga itu terdapat dua orang kakak beradik yang kebetulan pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan."
Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang di antara merekapun tertawa. Katanya, "Kau tidak usah mencoba menakut-nakuti kami, nduk. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa sebaiknya kalian jangan melibatkan suami-suami kalian, karena suami-suami kalian akan mati."
"Seandainya kami tidak melibatkan mereka, maka merekapun melihat apa yang terjadi di bulak ini. He, apakah kau buta, bahwa di sekitar kita ini beberapa orang laki-laki sedang mengerjakan sawah mereka masing-masing."
"Jika mereka berniat ikut campur, maka bukan kamilah yang buta, tetapi mereka. Seharusnya mereka melihat, siapakah kami."
"Ki Sanak. Pergilah, sebelum terlambat."
"Kami akan pergi bersama kalian, nduk."
Rara Wulan tidak sabar lagi. Tiba-tiba gendi yang ada di tangannya itupun terayun mengenai kepala orang yang sangat menjengkelkan itu. Tetapi Rara Wulan mampu mengendalikan dirinya, sehingga ia tidak mempergunakan sepenuh tenaganya.
Meskipun demikian, ternyata gendi itupun telah remuk berkeping-keping. Orang yang sangat menjengkelkan itupun tidak sempat mengaduh ketika kepalanya terbentur gendi berisi minuman yang seharusnya dibawa ke sawah.
Sekejap kemudian orang itupun telah jatuh terlentang. Pingsan.
Dua orang kawannyapun segera berjongkok disampingnya. Mereka nampak menjadi sangat cemas. Sementara itu yang seorang lagi menjadi sangat marah. Iapun melangkah maju mendekati Rara Wulan sambil berkata, "Perempuan edan, Kau akan menyesali akibat perbuatanmu itu."
Tetapi Rara Wulan tidak mejawab. Iapun justru melangkah maju, hampir melekat laki-laki yang mengancamnya itu. Dengan keras tangannya memukul perut laki-laki itu, sehingga orang itu terbungkuk. Rara Wulanpun kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk memukul tengkuk orang itu dengan telapak tangannya. Juga tidak mempergunakan sepenuh tenaga.
Namun orang itu telah jatuh bersungkur dan langsung pingsan pula.
Rara Wulan bergeser surut. Dua orang yang berjongkok di sebelah menyebelah kawannya yang kepalanya dipukul dengan gendi itupun termangu-mangu.
Rara Wulan itupun kemudian berkata dengan nada datar, "Marilah kita selesaikan yang dua ini sama sekali."
"Jangan. Jangan," seorang diantara merekapun merengek, "aku tidak apa-apa. Aku tidak ikut berniat buruk. Jangan sakiti aku."
"Kami ingin membuat kalian menjadi jera," sahut Rara Wulan.
"Aku sudah jera. Sejak kami memasuki bulak ini, kami sudah jera."
"Jera apanya, he ?"
Ternyata apa yang dilakukan oleh Rara Wulan itu terlihat oleh satu orang yang sedang bekerja di sawah. Merekapun telah meletakkan cangkul mereka dan dengan tergesa-gesa berlari ke bulak. Orang lain yang melihat orang itu berlari-lari, telah ikut berlari-lari pula dan segera turun ke jalan.
"Ada apa ?" bertanya orang yang terdahulu datang mendekat.
Kawan Rara Wulanlah yang segera berceritera tentang empat orang yang mencoba mengganggunya.
"Kita harus membuat mereka benar-benar jera," berkata laki-laki itu.
"Kita hajar mereka," sahut anak muda yang menyusul datang kemudian.
Tetapi Rara Wulanpun mencegahnya. Katanya, "Sudahlah. Agaknya pelajaran ini sudah cukup bagi mereka."
Tetapi beberapa orang justru berdatangan dan mendesak semakin maju dengan marah. Apalagi suami perempuan yang berjalan bersama Rara Wulan itu. Bahkan ditangannya masih tergenggam cangkulnya yang tajam.
Untunglah bahwa Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Sukra telah datang pula. Merekalah yang kemudian meredakan kemarahan orang-orang yang sedang bekerja di sawah itu.
"Rawat kawanmu. Bawa ia pergi. Jika sampai matahari turun kalian belum pergi, entahlah, apa yang tikan terjadi dengan kalian."
"Baik. Baik. Kami akan pergi. Tetapi kawan-kawanku ini masih pingsan."
"Tunggu sampai mereka sadar."
Glagah Putihpun kemudian minta orang orang yang berkerumun itu meninggalkan keempat orang itu dan kembali ke pekerjaan mereka masing-masing.
"Kita jangan terlalu mudah untuk menjatuhkan hukuman. Apalagi langsung sebelum orang itu dihadapkan kepada Ki Gede," berkata Glagah Putih.
Orang-orang Tanah Perdikan itu telah mengenali Glagah Putih dan Ki Jayaraga dengan baik. Karena itu, muka merekapun menuruti kata-katanya.
Demikian orang-orang yang sedang bekerja di sawah itu kembali ke pekerjaan mereka, maka perempuan-perempuan yang membawa kiriman itupun mengikuti pula.
Namun Rara Wulan masih sempat berpesan, "Demikian kawan-kawanmu sadar, maka kalian harus cepat pergi. Tetapi jika kawan-kawanmu yang pingsan itu masih akan mencari perkara, mereka dapat menemui aku. Lihat, dimana aku akan turun kesawah."
"Kami sudah jera. Kami akan pergi."
"Di tempat lain, kalian jangan coba-coba mengganggu orang lagi. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh bukan orang-orang yang dapat kau permainkan. Bahkan mungkin mereka menjadi sangat marah dan tidak terkendali."
Orang-orang itu tidak menjawab. Mereka hanya dapat menundukkan kepalanya. Tetapi mereka harus mempercayai kata-kata itu.
Bahkan seorang perempuan tanpa melepaskan bakul yang digendongnya, telah membuat dua orang kawan mereka pingsan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Rara Wulan telah duduk di sebuah gubug kecil yang terletak diatas pematang sawahnya. Rara Wulan telah meletakkan bakul kecilnya yang berisi nasi dan lauk-pauknya.
"Tetapi aku tidak membawa minum. Gendi yang aku bawa dari rumah telah pecah dan minuman yang ada di dalamnyapun telah tumpah semuanya."
Glagah Putih terseyum. Katanya, "Minuman yang kami bawa tadi pagi masih tersisa. Kami masih belum kekeringan."
Sementara itu Sukrapun berdesis, "Untung orang itu tidak mati."
"Aku memukulnya tidak terlalu keras. Kepalanyalah yang terlalu lunak, sehingga orang itu telah menjadi pingsan."
Ki Jayaraga tertawa. Katanya, "Biarlah orang-orang yang sering berlaku liar itu menjadi jera. Untunglah kita dapat meredakan orang-orang yang marah itu. Jika tidak, apa jadinya mereka berempat."
Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Sukrapun kemudian mulai makan nasi dan lauk yang dibawa oleh Rara Wulan.
Agaknya mereka memang merasa lapar. Lebih-lebih Sukra. Ketika ia menyenduk nasi, Rara Wulanpun mengamatinya sambil menarik nafas panjang.
"Anak itu memang sedang tumbuh," berkata Rara Wulan didalam hatinya, "ia memang memerlukan bahan cukup banyak bagi pertumbuhannya itu. Anak muk muda yang baru tumbuh memang memerlukan makan lebihi banyak."
Namun hasilnyapun nampak pada tubuh Sukra yang menjadi tinggi, besar dan nampaknya kokoh dan tegar.
Setelah makan, maka Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Sukrapun sempat beristirahat sejenak. Baru kemudian setelah nasi dan lauk-pauknya turun, merekapun mulai lagi melanjutkan kerja mereka di sawah.
Demikian Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Sukra mulai bekerja lagi, Rara Wulanpun minta diri untuk pulang sambil membawa sisa nasi dan lauk pauknya yang tidak habis.
Demikian Rara Wulan turun ke jalan bulak, maka dua orang perempuan yang datang bersamanya itu sudah menunggu di pinggir jalan.
"Kami takut pulang," berkata seorang dinntara mereka, "karena itu, kami menunggumu."
Rara Wulan tersenyum sambil bertanya, "Takut apa ?"
"Orang itu." "Orang itu tentu sudah menjadi jera."
"Siapa tahu, mereka justru menjadi gila."
"Baiklah. Mari kita pulang bersama-sama."
Ketiganyapun kemudian bersama-sama berjalan pulang ke padukuhan induk. Ketika mereka sampai di tempat keempat orang itu mencoba mengganggu mereka, tetapi dua diantara mereka justru menjadi pingsan, ternyata mereka sudah tidak ada. Agaknya demikian kedua orang yang pingsan itu sadar, merekapun segera pergi. Mereka takut, jika orang-orang Tanah Perdikan itu berubah sikap, sehingga mereka, terutama anak-anak mudanya akan menyakiti mereka berempat.
"Nah, bukankah mereka telah pergi," berkata Rara Wulan.
"Ya. Mereka telah pergi. Tetapi jika mereka justru menunggu di tikungan " Tempat itu agak sepi. Di kotak-kotak sawah sebelah menyebelah yang telah selesai digarap sehingga sudah tidak banyak lagi orang yang berada di sekitar tikungan itu."
"Jika ada satu orang saja, maka mereka tentu tidak akan berani berbuat apa-apa. Bukankah kalian dapat berteriak. Kemudian satu orang itupun akan berteriak pula, sehingga akan didengar oleh orang lain. Tetapi memang lebih baik kita berjalan bersama-sama. Ada kawan rerasan di sepanjang jalan."
Kedua orang kawan Rara Wulan itupun tertawa pula.
Sebenarnyalah bahwa keempat orang itu sudah benar-benar menjadi ketakutan. Merekapun sudah menjadi jera pula. Ternyata Tanah Perdikan Menoreh penuh dengan orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. Bahkan perempuan-perem-puannyapun sangat garang.
Di rumah Rara Wulan sempat pula bercerita kepada Sekar Mirah, bahwa masih juga ada orang-orang yang tidak tahu diri.
"Untunglah mereka tidak jatuh ke tangan anak-anak muda yang baru pulang dari medan pertempuran di Demak," berkata Rara Wulan.
Dalam pada itu, di sore hari, ketika Ki Lurah Agung Sedayu pulang, Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Sukra sudah berada di rumah. Bahkan mereka telah mandi dan berbenah diri. Sehingga setelah Ki Lurah mandi pula, merekapun duduk bersama di serambi.
Merekapun berbincang tentang rencana kepergian Ki Lurah Agung Sedayu ke Mataram esok pagi.
"Apakah kau sudah mengambil keputusan ?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu kepada Glagah Putih.


16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sambil memandang Rara Wulan, Glagah Putihpun berkata, "Bukankah keputusan kita tidak berubah ?"
Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, "Ya, kakang."
"Jadi keputusan kalian masih seperti kemarin ?"
"Ya, kakang. Kami akan mencoba. Jika kami boleh memilih, maka didalam kesatuan kakang masih belum ada petugas sandi yang khusus melaksanakan tugas-tugas sandi, sehingga agaknya masih ada peluang untuk berada di kesatuan kakang."
"Aku akan berusaha, Glagah Putih. Tetapi mungkin kalian berdua mendapat tugas khusus yang lain, yang lebih luas dari tugas kesatuanku."
"Ya, Kakang. Tetapi seperti yang kami katakan, bahwa kami masih mempunyai kesempatan untuk mengundurkan diri dari tugas keprajuritan, meskipun kami masih akan tetap bersedia menjalankan tugas-tugas khusus seperti yang pernah kami lakukan."
"Baiklah. Memang banyak sekali cara untuk mengabdi."
Pembicaraan mereka berhenti ketika kemudian Sekar Mirah berkata, "Aku akan menyiapkan makan malam."
Ketika kemudian Sekar Mirah bangkit dan pergi kedapur, Rara Wulanpun mengikut pula.
"Bukankah kau masih berbincang dengan kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga serta Glagah Putih ?"
"Yang penting sudah selesai, mbokayu. Yang penting lainnya adalah makan malam."
"Ah, kau." Keduanyapun kemudian sibuk mempersiapkan makan malam dan kemudian menyediakannya di ruang dalam.
Sementara Sukra ikut sibuk pula menyediakan mangkuk-mangkuk dan kelengkapan lainnya.
Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih serta Sekar Mirah dan Rara Wulanpun telah duduk melingkar di ruang tengah.
Sambil makan, mereka masih saja berbincang tentang banyak hal yang berkembang pada saat terakhir di Tanah Perdikan.
Ketika kemudian malam turun, maka merekapun telah memasuki bilik mereka masing-masing. Namun Glagah Putih masih juga pergi ke belakang untuk menemui Sukra.
Ternyata Sukra tidak ada di biliknya. Tetapi Glagah Putihpun kemudian menemukan Sukra di sanggar terbuka yang berada di kebun belakang.
Glagah Putih tidak mengganggunya ketika ia melihat Sukra sedang berlatih seorang diri. Tubuhnya yang tinggi besar itu, berloncatan dengan tangkasnya dari patok gelugu yang satu ke patok gelugu yang lain. Kemudian bahkan Sukra itupun telah berloncatan pula pada patok-patok bambu yang ditanam tegak setinggi tubuhnya. Bahkan patok-patok bambu yang lebih kecil, sehingga akhirnya Sukra itupun berloncatan diatas patok-patok bambu apus yang lebih kecil.
Dengan tombak pendek di tangan, Sukra menunjukkan betapa lekatnya senjata itu di tangannya. Seakan-akan tombak pendek itu merupakan bagian dari tubuhnya.
Glagah Putih itu mengangguk-angguk. Ia menjadi kagum akan ketangkasan Sukra. Bahkan Sukra yang besar itu telah menguasai keseimbangan tubuh yang mapan.
Namun kemudian perlahan-lahan Sukra itupun mengurangi hentakan-hentakan tenaganya. Perlahan-lahan gerakannyapun semakin mengendor, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
Sukrapun kemudian berdiri sambil mengangkat kedua tangannya kemudian memutarnya di samping tubuhnya, sehingga akhirnya tangannya itupun menurun perlahan, seakan-akan Sukra itupun telah melepaskan semua ketegangan otot-ototnya.
Baru kemudian Glagah Putih melangkah mendekatinya.
"Kakang Glagah Putih," Desis Sukra yang agaknya belum mengetahui keberadaan Glagah Putih di sanggar terbuka itu sebelumnya.
"Kau sudah mendapatkan kemajuan yang pesat sekali. Sukra," berkata Glagah Putih.
"Ki Jayaraga sering menemani aku berlatih. Tetapi Ki Jayaraga masih saja berpijak pada unsur-unsur yang kakang ajarkan kepadaku. Ki Jayaraga masih belum bersedia melengkapi unsur-unsur gerak dengan ilmu dari aliran yang dikuasainya."
"Kau tidak boleh tergesa-gesa, Sukra. Tetapi akhirnya kau akan mendapatkan juga."
"Mudah-mudahan," sahut Sukra.
"Aku sedang berpikir, apakah kau bersedia masuk ke dalam kesatuan Pasukan Pengawal Tanah Perdikan. Orang-orang yang sudah menjadi semakin tua, tentu akan mengundurkan diri. Mereka yang sudah harus memikirkan anak-anaknya yang semakin besar dan memerlukan berbagai macam kebutuhan. Anak-anak mudanyalah yang harus tampil menggantikannya. Biarlah yang tua-tua itu sempat beristirahat. Meskipun pada saat-saat yang gawat mereka tentu akan bersedia bergabung kembali."
"Kakang berkata sebenarnya ?" bertanya Sukra.
Glagah Putih mengerutkan dahinya sambil menjawab, "Tentu. Aku berkata sebenarnya. Aku mendengar dari kakang Prastawa, bahwa ada dua puluh lima orang pengawal Tanah Perdikan yang sudah waktunya mengundurkan diri. Mereka sudah menjadi semakin sibuk dengan keluarganya, sehingga mereka memerlukan waktu lebih banyak. Karena itu, maka diperlukan dua puluh lima orang anak muda yang akan menggantikannya. Bahkan mungkin tiga puluh orang yang akan diambil dari beberapa padukuhan. Jika kau berminat, maka aku akan menyampaikannya kepada kakang Prastawa."
"Aku sangat berminat, kakang."
"Baik. Besok aku akan bertemu dengan kakang Prastawa. Aku akan menyampaikan minatmu itu. Segala sesuatunya, tentu akan segera diumumkan, misalnya hari-hari pendadaran dan lain-lain."
"Terima kasih, kakang. Aku akan berusaha sebaik-baiknya. Aku akan berlatih semakin tekun, agar aku tidak mempermalukan kakang di arena pendadaran."
"Bagus. Jika kau mampu menunjukkan kemampuanmu sebagaimana yang aku lihat tadi, maka aku yakin, bahwa kau akan diterima. Selanjutnya, akan mendapat latihan-latihan khusus setelah kau menjadi pengawal Tanah Perdikan. Itu akan berarti bahwa kau tidak dapat berlatih sendiri di rumah bersama Ki Jayaraga atau Ki Lurah Agung Sedayu."
"Kakang Glagah Putih sendiri ?"
"Jika aku ada di rumah, maka akupun akan banyak berlatih bersamamu."
"Terima kasih, kakang," sahut Sukra.
Glagah Putihpun kemudian masih duduk beberapa lama di sanggar berbincang dengan Sukra. Namun kemudian ketika malam menjadi semakin larut, Glagah Putih itupun bertanya, "Apakah kau masih akan berlatih lagi ?"
"Tidak, kakang. Aku akan pergi ke sungai."
"Untuk apa " Apakah kau masih sering membuka pliridan?"
"Bukan aku. Tetapi anak-anak. Aku akan mandi dan mencuci pakaian."
"Malam-malam ?"
"Besok pagi-pagi tinggal menjemur."
Glagah Putihpun kemudian meninggalkan Sukra, masuk ke dalam, langsung ke biliknya. Ternyata Rara Wulan sudah tidur nyenyak.
Pagi-pagi sekali seisi rumah itu sudah bangun. Ki Lurahpun segera bersia-siap untuk pergi ke baraknya. Hari itu, ia akan pergi ke Mataram bersama dua orang prajuritnya untuk menghadap Ki Patih. Ki Lurah ingin berbicara tentang beberapa hal, antara lain tentang Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan memasuki dunia keprajuritan.
Pagi-pagi sekali Sekar Mirah telah menyiapkan makan pagi bagi Ki Lurah dibantu oleh Rara Wulan. Sementara Glagah Putih sempat melihat Sukra benar-benar menjemur pakaiannya yang telah dicucinya semalam, sebelum ia sibuk mengisi gentong di dapur.
Sebelum matahari terbit, Ki Lurah Agung Sedayupun telah siap untuk berangkat.
"Jika aku tidak terhalang di Mataram, aku akan pulang sore nanti. Tetapi jika Ki Patih minta aku bermalam, maka aku terpaksa pulang besok."
Demikianlah, dengan dilepas oleh seisi rumah sampai di pintu regol halaman rumahnya, Ki Lurah Agung Sedayupun segera melarikan kudanya ke baraknya.
Dua orang prajurit yang memang sudah mendapat perintah untuk menyertai Ki Lurah pergi ke Mataram telah bersiap pula.
Setelah memberikan beberapa pesan, maka Ki Lurah Agung Sedayu bersama dua orang prajurit, segera meninggalkan baraknya. Mereka memacu kudanya melewati bulak-bulak panjang menuju ke Mataram.
Ketiganya telah mengambil jalur penyeberangan Selatan. Meskipun jalur penyeberangan di Selatan itu terhitung ramai, tetapi jumlah rakit yang akan membawa para penyeberanganpun jumlahnya lebih banyak.
Ketika matahari naik sepenggalah, maka Ki Lurah Agung Sedayu serta kedua orang prajurit yang menyertainya sudah berada di tepian sungai. Giliran mereka untuk naik ke rakit yang masih berada di tengah-tengah sungai, membawa penumpang dari arah Timur Kali Praga menyeberang ke arah Barat.
Demikian rakit itu menepi, serta para penumpangnya turun, maka mereka yang akan menyeberang dari arah Barat ke Timur, telah naik ke rakit itu. Tetapi ternyata tidak semua dapat terangkut, karena orang yang menunggu lebih banyak dari kemampuan rakit itu.
Dengan demikian, maka beberapa orang masih harus menunggu rakit berikutnya. Namun rakit di penyeberangan Selatan itu jumlahnya lebih banyak dari rakit yang ada di penyeberangan yang lain.
Beberapa saat kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu dengan kedua orang prajuritnya telah mulai bergerak menyeberangi Kali Praga.
Mereka tidak membutuhkan waktu terlalu lama. Sampai di tepian di sebelah Timur, maka Ki Lurah telah memberikan uang penyeberangan bagi dirinya dan kedua orang prajuritnya, sebagaimana seharusnya.
Sementara itu, di tepian sudah ada beberapa orang yang telah menunggu pula.
Namun nampaknya ada sesuatu yang menggelisahkan orang-orang yang berada di seberang Timur itu. Beberapa orang nampak berkerumun. Bahkan ada yang menunjukkan sikap yang keras.
Sebagai seorang prajurit, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan kedua orang pengiringnya merasa tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi. Bahkan jika perlu, Ki Lurah dapat membantu menyelesaikannya.
Tetapi ketika Ki Lurah itu mendekat, maka ternyata sambutan sekelompok orang yang berkerumun itu tidak bersahabat.
"Nah, ini juga ada tiga orang prajurit. Ia harus bertanggung jawab atas kelakuan kawan-kawannya."
Beberapa orang itupun kemudian telah mengerumuni Ki Lurah Agung Sedayu dan kedua orang pengiringnya.
"Ada apa Ki Sanak?" Ki Lurah Agung Sedayu itupun bertanya.
"Jangan pura-pura tidak tahu."
Ki Lurah Agung Sedayu menjadi bingung. Dipandanginya kedua pengi-ringnya berganti-ganti. Tetapi keduanya juga bingung.
"Aku tidak tahu maksudmu, Ki Sanak."
"Bohong. Kau tentu telah bekerja sama dengan kawanmu. Kau tentu siap di tepian ini untuk menjemputnya."
"Menjemput siapa?" Ki Lurah bertambah bingung.
"Kenapa kau masih berpura-pura tidak tahu, he?"
Ki Lurah menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu, ia mencoba untuk meyakinkan, "Aku benar-benar tidak tahu, Ki Sanak. Aku adalah prajurit Mataram yang tinggal dalam barak di Tanah Perdikan Menoreh. Aku baru saja menyeberang, sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi disini."
"Kau tentu telah bersiap-siap untuk menjemputnya," berkata seorang yang berwajah keras.
"Katakan saja. Apa yang terjadi. Agaknya kita tidak membuang-buang waktu dengan berbicara tanpa ujung pangkal," berkata Ki Lurah kemudian.
"Baik. Baik," berkata seorang yang sudah mulai ubanan, "kau tentu sudah siap menjemput kawanmu yang melarikan anak gadis di padukuhan kami. Kau tentu datang kemari untuk menjemputnya. Menurut keterangan yang kami dapat, prajurit yang melarikan gadis itu akan menyeberang ke Barat Kali Praga untuk menghilangkan jejak. Tetapi ia tidak akan luput dari tangan kami. Sebagian dari kami telah siap di setiap jalan penyeberangan."
"Jadi ada seorang prajurit yang melarikan seorang gadis di padukuhanmu."
"Jika kau masih berpura-pura bertanya, baiklah. Aku jawab, ya." sahut seorang yang wajahnya keras itu.
"Ki Sanak," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "aku adalah prajurit Mataram. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga aku memang tidak banyak mengetahui, apa yang terjadi disini. Bahkan para prajurit yang tinggal di sebelah Timur Kali Pragapun aku kira tidak selalu mengetahui apa yang terjadi."
"Tentu bukan satu kebetulan bahwa kalian telah datang ke tepian hari ini."
"Ki Sanak," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "dengarlah. Kami benar-benar tidak tahu menahu tentang prajurit yang melarikan gadis itu. Bahkan seandainya aku dapat bertemu dengan prajurit itu, aku akan memberinya nasehat, agar ia tidak melarikan seornag gadis. Menculik seseorang, tentu akan dianggap sebagai kejahatan. Apalagi bila itu dilakukan oleh seorang prajurit."
"Tidak menculik," berkata seorang anak muda, "tetapi melarikan seorang gadis. Mereka berdua telah berjanji untuk hidup bersama dalam satu ikatan keluarga."
"Tetapi itu sama saja dengan menculik," berkata yang lain, "prajurit itu memang menculik seorang gadis. Gadis itu sudah dipertunangkan dengan seorang laki-laki pilihan orangtuanya. Prajurit itu sudah tahu. Tetapi ia masih juga melarikan gadis itu."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kedua orang itu telah menyatakan niatnya bersama-sama. Jadi aku kira prajurit itu tidak melarikan seorang gadis, tetapi mereka lari bersama-sama."
"Kau ingin membela kawanmu yang kau jemput di tepian ini ya?"
"Tidak, tidak. Bukan begitu."
Pembicaraan mereka terputus ketika tukang satang yang sudah siap menyeberang berteriak, "Siapa yang akan menyeberang. Masih tersisa beberapa tempat."
Ada beberapa orang yang ikut berkerumun itu berlari-lari ke rakit yang sudah siap. Sejenak kemudian, rakit itupun mulai bergerak tanpa menunggu lagi, karena rakit itu memang sudah penuh. Apalagi di sisi Barat, beberapa orang telah menunggu.
"Ki Sanak," berkata Ki Lurah kemudian, "sebaiknya aku minta diri. Aku tidak terkait dengan peristiwa ini, sementara aku sedang mengemban tugasku sendiri yang harus segera aku selesaikan."
"Tunggu dulu," berkata orang yang mulai ubanan, "kau tidak boleh pergi. Kau harus menunggu disini, sampai prajurit itu lewat."
"Padahal belum tentu kalau prajurit yang lari bersama seorang gadis itu akan lewat jalur ini."
Tetapi orang yang rambutnya mulai ubanan itu menjawab, "Tidak. Kalian tidak boleh pergi sebelum kami mendapat kepastian tentang prajurit yang melarikan gadis itu."
"Maksud Ki Sanak, yang lari bersama-sama dengan gadis itu."
"Yang melarikan gadis itu. Yang menculik gadis itu," geram seorang laki-laki yang bertubuh raksasa.
Ki Lurah Agung Sedayu memang menjadi ragu-ragu untuk mengambil sikap. Jika ia memaksa pergi, maka tentu orang-orang itu tidak akan dapat mencegahnya.
Tetapi jika benar prajurit yang lari bersama-sama seorang gadis itu akan lewat di penyeberangan itu, maka mungkin sekali ia akan mengalami nasib buruk. Keadaan akan menjadi semakin buruk jika prajurit itu kemudian memberi tahukan kepada kawan-kawannya sesama prajurit dan berhasil membakar gejolak perasaan kawan-kawannya itu. Maka akan terjadi permusuhan yang berkepanjangan.
Kepada kedua orang pengiringnya, Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Baiklah kita menunggu sebentar. Hari masih belum terlalu siang. Tetapi jika kami harus berada disini terlalu lama, maka kami terpaksa harus pergi."
Kedua orang prajurit yang menyertainya itupun mengangguk-angguk.
Ki Lurah Agung Sedayu itupun kemudian berkata, "Baiklah, Ki Sanak. Kami akan menunggu. Tetapi tidak terlalu lama, karena kamipun sedang bertugas."
"Lama atau tidak itu tergantung kepada kawanmu itu."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nagas panjang.
Namun yang terjadi itu telah membuat Ki Lurah Agung Sedayu bertanya-tanya didalam hatinya, apa yang sudah dilakukan oleh para prajurit, sehingga sekelompok orang itu nampak begitu marah dan benci.
Apakah para prajurit sudah melakukan pelanggaran yang mendasar sehingga orang-orang itu membencinya. Atau hanya karena persoalan yang sangat pribadi" Mungkin satu dua orang prajurit telah menyakiti hati banyak orang. Sedangkan banyak orang itu tidak sempat membedakan, prajurit yang manakah yang telah melakukannya.
Ki Lurah dan kedua orang pengiringnya itupun kemudian telah bergeser dan duduk diatas rerumputan di pinggir tepian yang berbatasan dengan padang perdu yang sempit.
"Jangan mencoba melarikan diri," teriak orang yang rambutnya mulai ubanan itu.
"Kami akan menunggu disini," jawab Ki Lurah. Seorang diantara kedua prajurit yang menyertainya itupun berkata perlahan, "Sangat menjengkelkan. Apakah kita akan benar-benar menunggu Ki Lurah?"
"Untuk beberapa waktu saja."
"Jika kita dengan cepat meloncat ke punggung kuda dan melarikannya, mereka tidak akan dapat mengejar kita."
"Tetapi kebencian mereka kepada prajurit akan menjadi semakin besar. Sementara itu, mereka tidak tahu membedakan, sikap seorang sebagai prajurit dan sikap seseorang sebagai dirinya sendiri. Sebagai pribadi."
Kedua pengiring Ki Lurah itu mengangguk-angguk.
Namun selagi mereka mulai gelisah, karena mereka sudah terlalu lama duduk di tepian, tiba-tiba saja mereka melihat seorang yang melarikan kudanya. Diatas punggung kuda itu, duduk pula seorang perempuan, sehingga kuda itu telah dibebani oleh dua orang.
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian berdesis, "Mungkin orang itulah yang dimaksud."
Sebenarnyalah, demikian kuda itu sampai di tepian, maka tiba-tiba saja beberapa orang yang duduk bergerombol itu bangkit berdiri.
Orang yang berkuda berdua itu terkejut. Dengan cepat orang itu menarik kendali kudanya. Ia berusaha untuk berbalik dan menghindari orang-orang yang bergerombol itu. Tetapi dua orang dengan tangkas berlari dan langsung memegang kendali kuda itu.
"Kau tidak akan dapat lari lagi," geram seorang diantara mereka yang menunggu.
"Turun," bentak seorang diantara mereka.
Orang yang berkuda itupun meloncat turun. Wajahnya menjadi pucat. Demikian pula perempuan yang ikut berkuda bersamanya.
Perempuan yang ketakutan itu, tiba-tiba saja telah berpegangan tangan laki-laki yang membawanya itu dengan kencang.
"Kakang, aku takut," desis perempuan itu.
"Lepaskan tanganmu," bentak orang yang rambutnya mulai beruban itu.
Tetapi perempuan itu justru berpegangan semakin erat.
"Kami tidak akan membiarkan kau menculik gadis itu," bentak orang yang rambutnya mulai beruban.
"Ia tidak menculik aku, paman." perempuan itulah yang menjawab, "Tetapi kami sepakat untuk pergi."
"Bohong," bentak orang yang rambutnya ubanan itu.
"Kami tidak lari paman, apalagi aku melarikan gadis ini. Kami hanya ingin menyingkir, karena paman dan beberapa orang tua tidak setuju bahwa kami akan menikah. Kami menyingkir dengan maksud baik."
Jilid 386 TETAPI orang yang rambutnya ubanan itu membentak, "Semua itu omong kosong. Sekarang aku akan membawa kalian kembali ke padukuhan. Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian. Aku juga ingin membawa prajurit yang berusaha menjemput kalian itu bersama kami. Mereka juga harus ikut bertanggungjawab. Mereka telah membantu usahamu untuk melarikan gadis itu."
"Prajurit yang mana?" bertanya prajurit yang dituduh melarikan gadis itu.
"Kemari kalian," teriak orang berambut ubanan itu.
Setelah mengikat kudanya, Ki Lurah Agung Sedayu dan kedua orang pengiringnya melangkah mendekati prajurit yang dituduh melarikan gadis itu.
Prajurit itupun dengan serta-merta telah menunduk hormat.
"Maaf, Ki Lurah. Aku tidak tahu, bahwa Ki Lurah berada disini."
"Siapa yang kau sebut, Ki Lurah?"
"Aku belum mengenal sebelumnya. Tetapi menilik pakaian serta ciri-cirinya, maka ia adalah seorang Lurah prajurit."
"Jadi, orang ini Lurah prajurit?"
"Ya." "Maaf, Ki Lurah. Kami tidak tahu, bahwa kami berhadapan dengan seorang Lurah prajurit. Tetapi bukankah dugaan kami benar, bahwa Ki Lurah telah menjemput prajurit yang melarikan gadis ini."
"Jangan menuduh yang bukan-bukan. Aku tidak mengenal Ki Lurah, Ki Lurahpun tidak mengenal aku. Jika aku tahu, bahwa aku berhadapan dengan seorang prajurit, seperti yang aku katakan, aku dapat mengenali ciri-ciri kepangkatannya."
"Paman," berkata gadis itu, "sebaiknya painan tidak mencegah kami. Biarlah kami melakukan apa yang sesuai dengan keinginan kami."
"Apa" Kau akan melakukan menurut kemauanmu sendiri?"
"Paman. Kakek sama sekali tidak berkeberatan aku menikah dengan kakang Wiradat. Iapun tidak berkeberatan."
"Aku tidak peduli dengan mereka. Sejak ayahmu meninggal, kau menjadi tanggunganku. Akulah yang membesarkanmu. Apa yang dilakukan ibumu dan kakekmu terhadapmu" Sekarang, setelah kau dewasa, mereka merasa berhak mengambil keputusan."
"Mereka tidak mengambil keputusan, paman. Akulah yang mengambil keputusan. Mereka hanyalah tidak berkeberatan."
"Cukup. Kau tidak dapat berkata seperti itu. Kau harus tunduk kepada perintahku. Aku sudah berbicara dengan pamanmu Bikan, bahwa kau akan diambil menjadi menantunya. Segala sesuatunya sudah disiapkan. Kau tidak dapat lari dari keputusanku itu."
"Tidak, paman. Aku tidak mau. Sudah aku katakan, aku tidak mau menjadi menantu paman Bikan. Anak paman Bikan adalah orang gila. Ia orang yang tidak berperasaan sama sekali. Wajahnya yang keras itu membuat aku ketakutan. Sikap dan tingkah lakunya sangat kasar. Matanya menyala seperti mata kucing candramawa jika ia melihat perempuan. Paman tentu tahu, bahwa laki-laki itu sudah beberapa kali menerkam perempuan. Bahkan di padukuhan sebelah ia pernah dipukuli sampai hampir mati oleh anak-anak muda karena ia tiba-tiba saja merunduk dan menerkam seorang gadis. Untung gadis itu sempat menjerit, sehingga beberapa orang berdatangan dan memukulinya. Di padukuhan kita, ia dapat berbuat semena-mena karena uang ayahnya yang melimpah. Paman tentu juga sudah menerima uangnya, sehingga paman akan memaksa aku untuk menikah dengan laki-laki itu."
"Cukup," teriak orang yang rambutnya mulai ubanan itu. Sementara itu, seorang yang lain berkata, "Kakang. Kita tidak usah terlalu banyak berbicara. Kita seret saja prajurit itu pulang. Sementara itu, kakang dapat membawa gadis kemanakan kakang yang akan menjadi menantu kakang Bikan itu."
"Tidak. Lebih baik aku mati daripada aku harus menjadi isteri laki-laki liar itu."
"Kau harus menurut perintahku. Kau harus membalas segala kebaikanku dan bibimu. Aku dan bibimu memeliharamu dengan kasih-sayang. Berapa banyak uang sudah aku keluarkan untuk membesarkanmu. Apalagi aku sendiri tidak mempunyai anak. Sekarang waktunya kau membalas kasih sayangku. Membalas jerih payahku."
"Aku tahu bahwa aku harus membalas budi paman dan bibi. Tetapi tidak dengan cara ini, paman."
"Aku tidak melihat cara lain. Cara inilah yang aku kehendaki."
"Ki Sanak," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "cobalah mendengarkan alasan-alasannya."
"Ki Lurah. Meskipun kau Lurah prajurit, kau tidak berhak mencampuri urusanku. Bahkan kau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu, karena kau sudah membantu prajuritmu menculik gadis itu."
"Tidak, paman. Sama sekali tidak."
"Persetan kau. Kau kira kamni takut menghadapi empat orang prajurit" Kami akan melumpuhkan kalian dan menyeret kalian kepudukuhan."
"Sabarlah, Ki Sanak," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "bukankah kita dapat berbicara dengan baik-baik."
"Tidak ada lagi pembicaraan. Gadis itu harus bersedia menikah dengan anak Ki Bikan. Habis perkara."
Tetapi yang tidak pernah terpikirkan itu tiba-tiba telah terjadi. Gadis itu ternyata tidak hanya mengancam memilih mati daripada menikah dengan anak Ki Bikan.
Tiba-tiba saja, diluar dugaan semua orang, gadis itupun berlari sekencang-kencang menuju ke Kali Praga yang arusnya cukup deras.
"Nuri, Nuri," teriak prajurit yang dianggap telah melarikannya itu. Dengan cepat prajurit itu meloncat memburu Nuri yang seperti orang kesurupan berlari di tepian berpasir.
Ketika prajurit itu hampir menggapainya, maka Nuri itupun tiba-tiba saja telah meloncat, menceburkan dirinya ke Kali Praga yang airnya berwarna lumpur.
Prajurit itupun tidak berpikir panjang. Ia adalah anak yang lahir dan dibesarkan di sebuah padukuhan di tepi Kali Praga, sehingga prajurit itupun langsung terjun pula memburu gadis itu.
Orang yang rambutnya mulai ubanan itu terkejut bukan kepalang. Sebenarnyalah bahwa iapun menyayangi gadis itu, karena ia telah merawatnya sejak kecil.
Ketika ia menyadari apa yang terjadi, maka orang itupun tiba-tiba saja telah berteriak, "Tolong, tolong anakku."
Pada saat yang bersamaan, sebuah rakit telah merapat ditepian sebelah Timur. Ketika seorang tukang satangnya sedang menambatkan tali ke patok kayu di tepian, maka seorang tukang satang yang lain, yang melihat gadis itu berlari dan menceburkan diri, telah terjun pula ke arus sungai Praga.
Orang-orang yang berkerumunan di tepian, termasuk Ki Lurah Agung Sedayu dan kedua prajurit pengiringnya, berlari-larian mengikuti arus.
Mereka masih melihat gadis itu menggeliat. Tangannya nampak menggapai-gapai. Sementara itu, prajurit yang dituduh melarikannya itupun berenang dengan cepat menyusulnya. Sedikit dibelakangnya, tukang satang yang juga terjun ke sungai itu menyusul pula. Tetapi agaknya tukang satang yang setiap hari berhubungan akrab dengan air Kali Praga itu dapat berenang lebih cepat.
Meskipun prajurit yang dituduh melarikan Nuri itu dapat menggapai Nuri lebih dahulu, tetapi ia mengalami kesulitan untuk menolongnya. Baru kemudian, ketika tukang satang itu berhasil menyusul, maka tukang satang itulah yang dengan trampil menolongnya.
Tetapi agaknya Nuri sendiri tidak ingin mendapat pertolongan. Karena itu, maka iapun meronta-ronta sekuat tenaganya.
Tetapi tukang satang itu cukup berpengalaman. Dipukulnya tengkuk Nuri sehingga gadis itu menjadi pingsan. Barulah tukang satang itu sempat menyeret gadis itu menepi.
Demikian tukang satang itu mengangkat gadis itu ketepian dan meletakkannya di atas pasir, prajurit yang dituduh melarikannya itupun telah naik ke tepian pula. Iapun segera berlari mendapatkan Nuri yang masih pingsan.
Dengan cekatan, tukang satang itu telah memberikan pertolongan kepada gadis itu dengan menelungkupkannya, sehingga air yang terminum olehnya, telah tumpah lewat mulutnya sedikit demi sedikit, sehingga perutnya-pun kemudian menjadi semakin kecil.
"Nuri, Nuri," prajurit itupun segera berjongkok disampingnya. Diguncang-guncangnya kepala gailis itu sambil memanggil namanya, "Nuri, Nuri."
Tetapi Nuri masih diam saja.
Dalam pada itu, orang-orang yang berlari-larian di tepian telah sampai pula ke tempat gadis itu diletakkan. Namun tiba-tiba prajurit yang dituduh melarikan gadis itupun bangkit berdiri. Wajahnya menjadi tegang. Sedangkan matanya menjadi merah seperti bara.
"Aku akan membunuh kalian semuanya. Selama ini aku telah menghindari kekerasan. Aku memilih untuk menyingkir. Tetapi kalian telah berusaha merampas kebebasan kami menentukan nasib kami sendiri."
"Tunggu, tunggu," berkata orang yang rambutnya ubanan itu, "aku juga menyayangi Nuri. Aku juga tidak ingin Nuri mati."
"Tetapi kau dan kalian semuanya telah menjerumuskannya, sehingga Nuri membunuh dirinya sendiri. Kalian tentu telah diupah oleh Ki Bikan. Dan pamanpun telah menjual Nuri kepada Ki Bikan pula. Sekarang, kalau Nuri mati, maka bunuh aku sama sekali. Tetapi aku tidak mau mati sendiri. Aku akan bertempur. Aku akan membunuh kalian. Aku tidak akan menyerahkan kepalaku. Tetapi aku akan berkelahi sampai mati dengan membawa serta kalian sebanyak-banyaknya. Aku adalah prajurit. Aku tahu caranya, bagaimana aku harus membunuh kalian."
"Tunggu, tunggu dahulu."
Tetapi prajurit itu nampaknya. Sudah menjadi mata gelap. Hampir saja ia menerkam orang yung rambutnya sudah ubanan itu.
Namun tiba-tiba saja Ki Lurah Agung Sedayu sudah berdiri di hadapannya.
"Jangan kehilangan akal. Bukankah Nuri belum mati. Ia tentu hanya pingsan saja."
"Gadis itu sudah mati. Merekalah yang telah membunuhnya."
"Sabarlah sedikit. Kita tunggu beberapa saat. Mungkin ia akan segera sadar. Bukankah kau akan menyesal jika itu terjadi?"
Prajurit itu sempat berpikir. Dihadapannya berdiri seorang Lurah Prajurit. Bagaimanapun juga sikap Ki Lurah Agung Sedayu itupun berpengaruh atas prajurit itu.
Selagi prajurit itu berdiri dalam kebimbangan, tukang satang yang telah membantu menolong Nuri itupun berkata, "Ki Sanak. Lihat gadis ini mulai menggeliat."
Sebenarnyalah, Nuri telah membuka matanya perlahan-lahan.
Prajurit yang dituduh melarikannya itupun segera berpaling. Ia memang melihat Nuri membuka matanya dan bahkan mulai menggerakkan tubuhnya.
"Nuri, Nuri," prajurit itupun segera berjongkok disampingnya sambil berdesis, "bagaimana keadaanmu, Nuri."
Nuri itupun termangu-mangu. Perlahan-lahan iapun bangkit dan duduk sambil bertelekan pada kedua tangannya.
"Apa yang terjadi, kakang?" bertanya Nuri sambil mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
"Nuri," orang yang berambut ubanan itu kemudian mendekat pula dan berjongkok disampingnya.
Ketika Nuri melihat orang itu, maka iapun segera teringat apa yang telah terjadi. Orang yang rambutnya mulai ubanan itu telah memburunya dan memaksanya untuk menikah dengan anak Ki Bikan yang kaya raya, tetapi jiwanya lebih kotor dari sampah.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Nuri itu bangkit berdiri sambil meloncat berlari sekali lagi menuju ke arus Kali Praga yang cukup deras.
"Nuri," tetapi kali ini prajurit itu tidak terlambat. Iapun dengan cepat memburu dan kemudian mendekap Nuri dari belakang, "jangan Nuri. Jangan lakukan itu."
"Aku tidak mau menikah dengan orang gila itu. Lebih baik aku mati. Biar tubuhku diseret arus Kali Praga sampai ke muara."
"Jangan, Nuri. Dengarkan aku."
Nuri meronta. Namun kemudian terdengar suara pamannya, "Nuri. Jangan lakukan itu Nuri. Aku tidak akan memaksamu lagi. Aku tidak ingin kehilangan kau Nuri."
Nuri yang meronta itu tiba-tiba menjadi agak tenang. Bahkan ketika prajurit itu melepaskannya, Nuri tidak berusaha untuk berlari lagi.
"Nuri," berkata pamannya, "aku berjanji. Aku tidak akan memaksamu lagi."
"Nuri memandang pamannya itu dengan pandangan curiga. Katanya, "Paman berusaha membujukku sekarang. Tetapi nanti, ketika aku sudah sampai di rumah, paman akan mengikat aku ditiang pendapa sambil memanggil Ki Bikan dan anaknya. Paman akan menyerahkan aku kepada mereka."
"Tidak, Nuri. Aku berjanji dihadapan Lurah Prajurit Mataram ini, bahwa aku tidak akan memaksamu lagi."
Agaknya Nuri masih tetap dicengkam oleh kebimbangan. Dipandanginya prajurit yang dituduh melarikannya itu, seakan-akan ia menunggu keputusan yang justru datang dari prajurit itu.
"Baiklah Nuri," berkata prajurit itu, "sekarang kita mencoba mempercayai kata-kata pamanmu. Tetapi sekarang akupun sudah bertekad, bahwa aku tidak akan menghindari lagi kekerasan jika perlu, jika Ki Bikan masih saja mempergunakan pengaruh uangnya, maka akupun dapat mempergunakan kepedulian kawan-kawanku atas nasibku. Jika Ki Bikan mencoba mempergunakan kekerasan dengan mengupah orang untuk memaksakan kehendaknya, maka kawan-kawan sekelompok prajurit tentu akan bersedia membantuku. Selama ini aku memang menghindari kekerasan. Sehingga kita sepakat untuk menyingkir. Tetapi sekarang tidak. Kita tidak akan menyingkir. Kita akan menghadapi segala macam rintangan yang menghalangi niat kita. Jika rintangan itu berujud kekerasan, maka kitapun akan melawan dengan kekerasan pula."
"Aku berjanji," berkata orang yang sudah ubanan itu, "aku berjanji untuk tidak mengganggu kau lagi, Nuri. Tetapi jangan mencoba lagi melakukan perbuatan yang sangat menakutkan itu."
"Kita akan melihat, paman. Apa yang akan terjadi. Jika kemudian segala sesuatunya masih akan kembali kepada kesepakatan paman dan Ki Bikan, maka umurku memang tidak akan panjang. Aku tidak akan sekedar mengancam. Tetapi aku akan menjalaninya."
"Tidak, Nuri. Itu tidak perlu. Kita tidak akan lari lagi. Seandainya kita harus mati, maka kita akan mati dengan cara yang lain. Seperti yang aku katakan, kawan-kawanku tentu akan membantu kita."
"Aku berjanji, Nuri," berkata pamannya, "aku bersumpah dihadapan Ki Lurah."
"Baiklah," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "aku menjadi saksi. Meskipun aku belum mengenal kalian semuanya dari kedua belah pihak. Akupun bukan sedang menjemput kawanku yang dituduh melarikan seorang gadis."
"Aku minta maaf, Ki Lurah. Aku memang khilaf," berkata orang yang rambutnya ubanan itu.
Ki Lurahpun kemudian berkata kepada prajurit yang pakaiannya basah kuyup itu, "Aku ikut berharap, mudah-mudahan segala sesuatunya dapat berlangsung dengan baik. Jika kau memerlukan kesaksianku, kau dapat menghubungi. Barakku tidak terlalu jauh dari tempat penyeberangan ini."
"Baik, Ki Lurah. Tetapi siapakah sebutan Ki Lurah ini?"
"Aku adalah Ki Lurah Agung Sedayu."
"Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh?"
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Ya. Aku adalah Lurah Prajurit yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh."
Tiba-tiba saja prajurit itupun mengangguk hormat sambil berkata, "Maaf, Ki Lurah. Aku tidak tahu, bahwa aku berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu dari Pasukan.Khusus di Tanah Perdikan Menoreh."
"Bukankah aku tidak ada bedanya dengan Lurah Prajurit yang lain, yang bertugas di tempat lain pula."
"Jauh berbeda, Ki Lurah. Ki Lurah adalah Lurah Prajurit yang aneh. Setiap orang mempertanyakan, kenapa Ki Lurah masih saja seorang Lurah Prajurit."
"Kenapa?" "Banyak orang yang memiliki jabatan yang lebih tinggi dari Ki Lurah, tetapi tidak memiliki kemampuan apalagi kelebihan sebagaimana Ki Lurah."
Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Tidak, Ki Sanak. Aku adalah seorang Lurah Prajurit. Aku tidak pernah merasa bahwa aku memiliki kemampuan melebihi para Lurah Prajurit yang lain."
"Ki Lurah memang lebih senang merendah. Tetapi itu adalah kenyataan yang dilihat oleh para prajurit Mataram."
"Sudahlah," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, sekarang ajak Nuri pulang. Biarlah ia membenahi pakaiannya. Jika terlalu lama ia mengenakan pakaian yang basah, maka ia akan dapat menjadi sakit."
"Baik, Ki Lurah. Kami akan pulang."
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian minta diri kepada prajurit itu serta gadis yang dituduh dilarikannya itu. Kemudian Ki Lurah minta diri pula kepada orang-orang yang berkerumun di tepian. Iapun sempat mengucapkan terima kasih kepada tukang satang yang telah membantu menolong dan menyelamatkan nyawa Nuri.
Demikianlah Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian telah meninggalkan tepian. Orang-orang yang berkerumun di tepian itu sempat memandanginya sehingga Ki Lurah itu naik ke atas tebing yang landai, meninggalkan debu yang kelabu di belakang kaki kudanya.
Prajurit itu masih memandangi arah perjalanan Ki Lurah yang menuju ke Mataram itu.
"Beruntunglah bahwa paman bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu. Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi jika prajurit itu bukan Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Tiga orang prajurit itu akan dapat dengan mudah membuat kalian tidak berdaya. Jika saja tantangan paman itu diterima."
Wajah orang yang rambutnya mulai ubanan itu menjadi tegang. Sementara prajurit itu berkata, "Kalian semuanya tidak akan mampu melawan dua orang prajurit pengiring Ki Lurah itu. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu memang berbeda. Ia adalah seorang lurah prajurit yang rendah hati. Sabar dan tidak tergesa-gesa bertindak, sehingga ia tidak cepat menjadi marah, meskipun kalian telah menuduhnya yang bukan-bukan. Tetapi jika Ki Lurah Agung Sedayu itu sudah marah, maka dengan sapuan sorot matanya, kalian hanya akan tinggal nama saja, karena tubuh kalian akan hangus terbakar."
Jantung orang yang rambutnya mulai ubanan itupun berdebar semakin cepat. Ia sadari, betapa ia telah kehilangan kendali diri. Seperti yang dikatakan oleh prajurit itu, jika Ki Lurah dan pengiringnya itu bukan orang-orang yang sabar, maka mereka tentu sudah menerima tantangannya. Akibatnya tentu akan sangat buruk bagi mereka. Meskipun jumlah mereka lebih banyak. Tetapi mereka tidak memiliki ilmu kanuragan sebagai seorang prajurit. Meskipun mereka berani melawan prajurit-prajurit itu, tetapi kemampuan mereka tidak akan mampu mendukung keberanian mereka.
"Aku menyesal," desis orang yang rambutnya mulai ubanan itu.
"Sekarang, aku akan membawa Nuri pulang, paman," berkata prajurit itu, "aku akan mendahului paman. Kami harus segera berganti pakaian."
Orang yang rambutnya mulai ubanan itu termangu-mangu. Sementara prajurit itupun berkata pula, "Aku akan mengantar Nuri pulang. Tetapi jika terjadi lagi usaha paman untuk menyerahkan Nuri kepada anak Ki Bikan, maka seperti yang aku katakan, aku tidak akan menghindari lagi jika harus terjadi kekerasan. Seperti yang aku katakan, kawan-kawanku tentu akan membantuku. Apalagi jika aku menyampaikannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu."
"Tidak. Aku tidak akan mengganggu kalian lagi."
"Jika Ki Bikan datang kepada paman?"
"Aku akan mengatakan apa adanya. Aku juga akan mengatakan, bahwa kau akan membawa kawan-kawanmu memasuki persoalan ini."
"Baiklah, paman. Sekarang, aku akan membawa Nuri mendahului paman."
Demikianlah, maka prajurit itupun telah membawa Nuri pulang. Seperti ketika mereka datang, maka prajurit itu membawa Nuri bersamanya di punggung kuda.
Sejenak kemudian, maka kuda itupun berlari dengan kencangnya meninggalkan tepian Kali Praga. Masih terdengar prajurit itu berkata, "Paman, paman harus berterima kasih pula kepada tukang satang itu. Tentu tidak cukup dengan kata-kata, karena ia sudah mengorbankan waktunya pula."
Orang yang rambutnya ubanan itupun menarik nafas panjang. Iapun kemudian mendekati tukang satang itu sambil berkata, "Aku mengucapkan terima kasih, kang. Kakang telah menyelamatkan anakku. Aku tidak dapat membalas kebaikan kakang. Semoga Yang Maha Agung memberikan balasannya yang setimpal."
Ketika orang yang rambutnya ubanan itu membuka kantong pada ikat pinggangnya untuk mengambil uang, maka tukang satang itupun berkata, "Jangan, Ki Sanak. Aku menolong gadis itu dengan ikhlas. Kalau aku menarik rakit menyeberang, aku memang minta upah, karena itu adalah pekerjaanku. Tetapi untuk menolong sesama, aku tidak ingin mendapatkan upah."
"Bukan upah, kang. Tetapi kakang sudah membuang waktu. Seharusnya kakang sudah menyeberangkan beberapa orang. Tetapi kakang harus menunggu disini, sehingga rakit berikutnya sudah lebih dahulu menyeberang, Kakang sudah kehilangan beberapa orang yang seharusnya menumpang rakit kakang."
Tukang satang itu tertawa. Katanya, "Penumpang itu masih akan berdatangan."
Tukang satang itu tetap tidak dapat menerima ketika orang yang rambutnya mulai ubanan itu aguk memaksa memberikan uang kepadanya.
Akhirnya orang berambut ubanan itu hanya dapat minta diri. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih kepada tukang satang yang telah menyelamatkan nyawa Nuri itu.
Dernikianlah, beberapa saat kemudian, orang ynng rambutnya ubanan serta beberapa orang yang menyertainya itupun meninggalkan tepian.
"Apa yang akan kita katakan kepada Ki Bikan ?" bertanya seorang yang berjalan disamping orang yang rambutnya ubanan itu.
"Kita akan mengatakan apa adanya. Kita akan berbicara sebagaimana yang kita lihat, terjadi di tepian. Tentang Nuri yang akan membunuh diri dan tentang seorang Lurah Prajurit yang kebetulan lewat dari seberang Kali Praga."
Orang yang berjalan di sebelahnya itupun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak yakin, bahwa Ki Bikan akan dapat menerima begitu saja keputusan orang yang rambutnya mulai ubanan itu.
Tetapi ia tidak berkata lebih lanjut. Orang itupun mengerti, jika prajurit yang dituduh melarikan Nuri itu menyeret kawan-kawannya kedalam persoalan pribadinya, maka keadaan akan menjadi semakin parah. Prajurit itu agaknya telah kehilangan kesabarannya pula.
Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu serta kedua orang pengiringnya melarikan kuda mereka semakin kencang jika mereka sedang menempuh jalan-jalan yang sepi. Tetapi jika mereka memasuki ruas jalan yang banyak dilalui orang, maka merekapun memperlambat derap kuda mereka.


16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun mereka terhambat di tepian, tetapi mereka berhenti tidak terlalu lama, sehingga karena itu, maka mereka masih belum terlalu siang ketika mereka memasuki pintu gerbang kota.
"Mudah-mudahan Ki Patih ada di Kepatihan," desis Ki Lurah Agung Sedayu.
"Bukankah hari ini bukan hari pasowanan," sahut salah seorang prajuritnya.
"Ya. Tetapi Ki Patih sering berada di istana meskipun bukan hari pasowanan. Apalagi jika sedang ada persoalan-persoalan penting yang harus dibicarakan oleh para pemimpin di Mataram. Tetapi kita berharap, bahwa hari ini, Ki Patih berada di Kepatihan sehingga kita dapat menghadap langsung. Tidak usah menunggu Ki Patih pulang, atau menyusul ke istana."
Kedua orang prajurit pengiringnya mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian, mereka bertiga telah berada di gerbang dalem Kepatihan. Ketiganyapun segera turun dari punggung kudanya dan menuntunnya memasuki pintu gerbang yang sedikit terbuka.
Dua orang prajurit yang bertugas di pintu gerbang tidak menghentikan mereka, karena mereka mengenal dengan baik Ki Lurah Agung Sedayu.
"Selamat siang, Ki Lurah," sapa salah seorang prajurit yang bertugas itu.
"Apakah Ki Patih ada ?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ada Ki Lurah. Ki Patih baru saja pulang dari istana."
"O. Jika Ki Patih telah pulang dari istana pada wayah begini. Apakah Ki Patih pagi-pagi telah pergi ke istana ?"
"Ya." "Apakah ada masalah penting yang harus dibicarakan ?"
"Kami tidak tahu, Ki Lurah."
Ki Lurahpun mengangguk-angguk. Bertiga mereka menuntun kuda mereka ke gardu para prajurit yang bertugas di Kepatihan.
Setelah mengikat kuda-kuda mereka pada patok-patok yang sudah disediakan, maka Ki Lurahpun telah pergi ke gardu.
"Silakan, Ki Lurah Agung Sedayu," Lurah Prajurit yang bertugaspun segera mempersilakannya, "Ki Lurah akan menghadap Ki Patih ?"
"Ya," jawab Ki Lurah Agung Sedayu sambil duduk di gardu itu pula bersama para pengiringnya.
"Kebetulan, Ki Patih telah pulang. Biarlah seseorang memberitahukan kepada yang bertugas di dalam."
Seorang prajuritpun kemudian telah pergi memasuki seketeng untuk menyampaikan permohonan Ki Lurah Agung Sedayu untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.
Ketika permohonan itu disampaikan kepada Ki Patih Mandaraka, maka Ki Patihpun dengan serta-merta menjawab, "Baik Bawa Ki Lurah ke serambi."
Ki Lurah itupun kemudian telah masuk lewat pintu seketeng ke serambi samping. Sementara kedua orang prajurit pengiringnya menunggu di gardu penjagaan.
"Kebetulan sekali kau datang Ki Lurah," berkata Ki Patih Mandaraka setelah Ki Patih itu duduk di serambi pula.
"Apakah ada titah Ki Patih ?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.
"Jika kau datang menemui aku Ki Lurah, agaknya kau mempunyai satu kepentingan. Nah, biarlah kau katakan lebih dahulu kepentinganmu."
"Ampun Ki Patih. Aku datang untuk menanggapi titah Ki Patih beberapa waktu yang lalu. Apakah Glagah Putih bersedia menjadi seorang prajurit."
"O," Ki Patihpun mengangguk-angguk, "apa kata Glagah Putih tentang hal ini ?"
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian mencoba menjelaskan sikap Glagah Putih dan Rara Wulan sebagaimana dikatakan oleh mereka berdua.
Ki Patih Mandaraka mendengarkan keterangan Ki Lurah Agung Sedayu itu dengan sungguh-sungguh. Kemudian sambil mengangguk-angguk Ki Patih itupun berdesis, "Ya. Aku mengetahui sifat Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi tolong, ingatkan kepada mereka, bahwa ada sesuatu yang menunggu mereka. Satu kehidupan keluarga yang utuh."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya, "Ya, Ki Patih. Biarlah yang sudah terlanjur seperti keluargaku yang terasa sangat sepi."
Ki Patih Mandaraka mengerutkan dahinya. Katanya, "Maaf Ki Lurah. Bukan maksudku, aku menunjuk salah satu kekurangan dalam keluarga Ki Lurah."
"Aku mengerti, Ki Patih."
"Baiklah. Aku dapat menerima permohonan Glagah Putih dan Rara Wulan. Juga keinginan mereka untuk berada dalam kesatuanmu yang pada saatnya akan segera berkembang menjadi satu kesatuan yang lebih besar."
"Maksud Ki Patih ?"
"Ki Lurah. Aku akan memberitahukan keputusanku untuk menerima Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi prajurit sandi yang seperti dimginkan akan berada dalam kesatuanmu, kepada Ki Tumenggung Purbasena, Ki Tumenggung Purbasena adalah seorang Tumenggung yang sekarang mendapat tugas untuk mengatur para petugas sandi yang ada di Mataram. Ki Tumenggung Purbasena berada langsung dibawah perintah Pangeran Singasari."
"Ki Tumenggung Purbasena ?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu, "nama itu masih agak asing bagiku."
"Tidak. Mungkin nama itu memang agak asing. Tetapi orangnya tentu tidak asing bagi Ki Lurah. Ki Tumenggung Purbasena adalah seorang yang baru saja diangkat setelah perang di Demak selesai. Sebelum ditetapkan menjadi seorang Tumenggung, namanya adalah Ki Rangga Wirasena. Ia adalah salah seorang yang mendapat anugerah pangkat dan kedudukan setelah perang di Demak selesai."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar bahwa ada beberapa orang yang mendapat berbagai macam anugerah. Bukan sekedar kesatuannya yang mendapat penghargaan Tunggul yang berlapis emas, tetapi beberapa orang langsung mendapat anugerah bagi dirinya. Bagi pribadinya. Antara lain Ki Rangga Wirasena yang mendapat anugerah pangkat dan kedudukan, ditetapkan menjadi seorang Tumenggung dengan nama baru Ki Tumenggung Purbasena.
"Nah, bukankah kau mengenalnya ?"
"Ya, Ki Patih. Aku mengenal Ki Rangga Wirasena. Ia memang seorang yang keras hati dan berilmu tinggi."
"Nah. Kau harus membawa Glagah Putih dan Rara Wulan datang ke Mataram. Mereka akan aku pertemukan dengan Ki Tumenggung Purbasena. Selanjutnya Ki Tumenggung Purbasena akan menyerahkan keduanya kepada Ki Lurah Agung Sedayu untuk ditempatkan di kesatuan Ki Lurah."
"Baik, Ki Patih. Jadi kapan Glagah Putih dan Rara Wulan harus menghadap " Apakah mereka harus menghadap langsung Ki Tumenggung Purbasena atau lebih baik aku bawa menghadap Ki Patih lebih dahulu ?"
"Bawa kepadaku lebih dahulu. Biarlah aku nanti menjelaskan kepada Ki Tumenggung Purbasena."
"Baik, Ki Patih."
"Datanglah sepekan lagi bersama Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku akan menunggumu sampai kalian datang. Bukankah kalian tidak akan terlalu siang ?"
"Kami akan datang sebelum wayah pasar temawon, Ki Patih."
"Kalian akan berangkat pagi-pagi sekali ?"
"Bagi kami, apalagi Glagah Putih dan Rara Wulan, dapat saja berangkat setiap saat. Bagi pengembara, mereka harus dapat mengatur waktu sebaik-baiknya."
Ki Patih Mandarakapun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, "Nah, sekarang biarlah aku yang memberitahukan kepadamu, tentang dirimu sendiri, Ki Lurah."
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, "Maksud Ki Patih ?"
"Ki Lurah Agung Sedayu. Biarlah aku mendahului Surat Kekancingan yang bakal kau terima. Surat Kekancingan yang menetapkan bahwa Ki Lurah telah ditetapkan dinaikkan pangkatnya dari Lurah Prajurit menjadi seorang Rangga. Kenaikan pangkat ini akan diikuti oleh pemekaran Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Pasukan Khusus itu akan menjadi kesatuan yang lebih besar. Ki Rangga Agung Sedayu nantinya akan membawahi lima orang Lurah Prajurit. Empat orang Lurah akan memimpin kelompok-kelompoknya, sedangkan yang seorang akan membantu Ki Rangga memimpin pasukan itu."
Jantung Ki Lurah Agung Sedayu tergetar. Namun kemudian Ki Lurah itu mengangguk hormat sambil berkata, "Kami, seluruh pasukan mengucapkan terima kasih, Ki Patih. Kepercayaan itu merupakan ujud penghargaan bagi seluruh kesatuan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh."
"Sebelum Ki Lurah menerima Surat Kekancingan yang menetapkan kedudukan Ki Lurah dengan resmi, biarlah aku tetap menyebutmu Ki Lurah Agung Sedayu."
"Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih, Ki Patih. Penghargaan itu merupakan pengakuan pengabdianku selama ini kepada Mataram."
"Ketetapan itu sebenarnya sudah sangat terlambat, Ki Lurah. Hampir semua pemimpin di Mataram mempertanyakan kepangkatan Ki Lurah. Pertanyaan-pertanyaan itu telah dipertegas dengan langkah-langkah dan sikap yang kau ambil dalam pertempuran di Demak Jika kemenangan-kemenangan yang tidak dapat diingkari lagi selama perang itu terjadi."
"Semua itu adalah termasuk dalam rangkaian tugasku, Ki Patih."
"Karena itulah, maka kau pantas untuk mendapat pengakuan atas kelebihan-kelebihanmu, Ki Lurah. Tetapi aku baru sekedar memberitahukan saja kepadamu, mendahului Surat Kekancingan yang bakal kau terima."
"Terima kasih, Ki Patih."
"Nah, sebaiknya kau menunggu. Kau akan dipanggil secara resmi untuk menerima Surat Kekancingan itu dalam satu dua pekan ini. Mudah-mudahan Surat Kokancingan itu akan dapat kau terima bersama dengan Surat Kekancingan bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, sekaligus menyerahkannya kepadamu, sehingga keduanya akan menjadi bagian dari pasukanmu."
"Sungguh satu penghargaan yang sangat tinggi bagi kami, Ki Patih."
"Segala sesuatunya akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan. Aku hanya sekedar memberitahukan kepadamu. Selebihnya, aku akan menyelesaikan segala sesuatunya yang berhubungan dengan pengangkatan Glagah Putih dan Rara Wulan dalam tugas sandi, yang sebenarnya selama ini telah dilakukannya, meskipun mereka belum ditetapkan menjadi prajurit dalam tugas sandi."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
Selebihnya, Ki Patih Mandaraka masih memberikan beberapa keterangan tentang beberapa pergeseran kedudukan di Mataram. Namun sebagian besar adalah semacam penghargaan kedudukan atau lambang-lambang bagi kesatuan yang telah banyak berjasa. Tidak saja selama perang di Demak, tetapi juga atas pengabdian yang telah mereka tunjukkan sebelumnya.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Lurah Agung Sedayupun diperkenankan untuk meninggalkan kepatihan dengan pesan agar dalam waktu sepekan lagi, Ki Lurah itu datang ke Mataram bersama Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Aku ingin segala sesuatunya dapat diselesaikan, agar keduanya dapat menerima Surat Kekancingan bersamaan dengan Surat Kekancingan bagi Ki Lurah dise kitar dua pekan mendatang. Jika Glagah Putih dan Rara wulan dapat segera datang, maka mereka akan segera dapat memberikan keterangan tentang diri mereka bagi kelengkapan Surat Kekancingan yang akan diberikan kepada mereka berdua."
"Kami akan datang sebagaimana yang Ki Patih perintahkan. Sepekan lagi, kami akan menghadap sebelum wayah Pasar Temawon."
Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayupun segera mohon diri. Sepekan lagi mereka harus menghadap Ki Patih Mandaraka kembali."
Beberapa saat kemudian, Ki Lurahpun telah meninggalkan dalem Kepatihan bersama kedua orang prajurit pengiringnya. Sementara itu, mataharipun telah melampaui titik puncaknya.
Ki Lurah dan kedua orang pengiringnya itupun segera meninggalkan pintu gerbang kota. Kuda-kuda mereka berlari kencang menyusuri bulak-bulak panjang.
Ketika matahari mulai turun, mereka bertiga telah berada di tepian. Orang yang menyeberang tidak lagi sebanyak penyeberang di pagi hari. Sebuah rakit telah tertambat pada patok di pinggir kali Praga. Agaknya tukang satang yang membawa rakit itu sedang pulang untuk beristirahat atau bahkan mungkin rakit itu sudah tidak akan menyeberang lagi untuk hari itu.
Ketika sebuah rakit yang lain menepi, serta para penumpangnya sudah turun, maka Ki Lurah dan kedua pengiringnyapun telah naik ke rakit itu.
Ternyata tukang satang yang membawa rakit itu menyeberang, seorang di antaranya adalah tukang satang yang tadi pagi telah menolong gadis yang berusaha membunuh diri itu.
"Kasihan gadis itu," berkata tukang satang yang mengenali Ki Lurah yang pagi tadi lewat pada saat gadis itu meloncat ke Kali Praga.
"Ya. Tetapi agaknya ia tidak akan mengalami tekanan lagi dari pamannya."
"Mudah-mudahan," berkata tukang satang itu, "agaknya gadis yang bernama Nuri itu tidak main-main. Ia tidak sekedar mengancam. Seandainya akhirnya ia dipaksa juga, maka ia tentu benar-benar akan bunuh diri."
Ki Lurah Agung Sedayupun mengangguk-angguk.
Demikianlah sambil berbincang, maka rakit itupun bergerak membelah arus Kali Praga menuju ke sisi Barat Kali Praga.
Cahaya matahari yang menjadi semakin rendah terasa menyilaukan pandangan mata mereka. Sementara langit nampak cerah menjelang senja hari.
Sekelompok burung bangau terbang melintas di langit yang mulai menjadi kemerah-merahan.
Sejenak kemudian, maka Ki Lurah dan kedua orang pengiringnya telah turun di sisi Barat Kali Praga. Kemudian mereka memacu kuda mereka menuju ke barak Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan. Namun Ki Lurah masih belum mengatakan apa-apa tentang dirinya sendiri sebagaimana dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka. Bahkan kedua orang prajurit yang mengiringnya itupun masih belum tahu, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan mendapat anugerah pangkat. Serta Glagah Putih dan Rara Wulan akan memasuki tugas keprajuritan.
Ki Lurah singgah sebentar di baraknya. Namun kemudian iapun segera meninggalkan barak itu langsung pulang ke rumahnya.
Ki Lurah tidak juga segera memberitahukan anugerah yang diterimanya itu kepada keluarganya. Baru kemudian, ketika malam turun, setelah Ki Lurah berbenah diri dan kemudian duduk melingkar di ruang dalam untuk makan malam, maka Ki Lurahpun mulai bercerita tentang titah yang disampaikan oleh Ki Patih Mandaraka.
"Tetapi semuanya ini masih rahasia. Ki Patih berbaik hati memberitahukan kepadaku sebelum aku mendapatkan Surat Kekancingannya. Demikian pula bagi Glagah Putih dan Rara Wulan."
"Kita semua wajib bersukur," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, "ini adalah kurnia bagi keluarga kita."
"Ya, pada saatnya kita akan menyatakan ucapan sukur itu," sahut Sekar Mirah itu.
Demikianlah keluarga Ki Lurah Agung Sedayu itu telah diliputi oleh suasana yang cerah. Sudah sekian lama Ki Lurah Agung Sedayu mengabdi dalam kedudukan yang masih sama saja. Meskipun sebenarnya Ki Lurah tidak terlalu berharap akan anugerah apapun, namun ia menerima anugerah itu dengan ucapan sukur kepada Yang Maha Agung.
"Anugerah yang Ki Lurah terima sekarang ini seharusnya sudah Ki Lurah terima beberapa tahun yang lalu," berkata Ki Jayaraga, "apa yang Ki Lurah berikan kepada Mataram sudah jauh lebih banyak dari kedudukan Ki Lurah selama ini."
"Tidak banyak yang telah aku berikan kepada Mataram."
"Ya, Ki Lurah tentu merasa bahwa apa yang Ki Lurah berikan itu masih terlalu sedikit, karena selama ini Ki Lurah berpegang pada satu sikap, apa yang dapat Ki Lurah berikan kepada negeri ini. Bukan apa yang akan Ki Lurah terima. Tetapi bagi orang lain akan dapat terjadi sebaliknya, apa yang akan kau dapatkan dari negeri ini. Bukan apa yang dapat aku berikan."
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Ki Jayaraga masih saja selalu membesarkan hatiku. Terima kasih. Tetapi sanjungan itu akan dapat membuat ikat kepalaku menjadi terlalu kecil."
Yang mendengarkan gurau Ki Lurah Agung Sedayu itupun tertawa. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Kalianpun harus bersukur," berkata Ki Jayaraga pula kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, "kalian akan mendapatkan kesempatan semakin luas untuk mengabdikan dirimu kepada Mataram. Sehingga hidup kalian akan semakin berarti bagi banyak orang."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk angguk kecil.
Dalam pada itu, Ki Lurahpun telah memberitahukan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, bahwa sepekan lagi mereka akan pergi ke Mataram, menghadap Ki Patih Mandaraka. Segala sesuatunya akan diselesaikan oleh Ki Patih dengan seorang Tumenggung baru, Ki Tumenggung Purbasena yang sebelumnya dikenal sebagai Ki Rangga Wirasena."
"Ki Tumenggung itu juga baru saja menerima anugerah pangkat dan jabatan ?"
"Ya." "Jadi tidak bersama-sama dengan kakang Lurah Agung Sedayu ?"
"Tidak." "Kenapa tidak kakang. Kenapa mereka yang menerima anugerah tidak mendapatkan Surat Kekancingan pada waktu yang bersamaan ?"
"Kenapa harus bersamaan " Mungkin anugerah yang diterima oleh Ki Tumenggung Purbasena itu seharusnya bahkan sudah harus diterima jauh sebelumnya."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, "Bukankah Ki Tumenggung itu juga menerima anugerah karena peranannya dalam perang di Demak?"
"Mungkin tidak hanya itu. Mungkin sebelumnya Ki Tumenggung Purbasena telah menunjukkan kelebihannya. Ia telah banyak berjasa bagi Mataram bukan saja dalam bidang keprajuritan."
Glagah Putih mengangguk-angguk Tetapi ia tidak mempersoalkannya lagi.
Malam itu, terasa cahaya lampu minyak di ruang dalam rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu menjadi lebih terang. Suasananyapun terasa lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Sambil makan malam merekapun berbincang berkepanjangan.
Waktu sepekan bagi Glagah Putih dan Rara Wulan terasa lebih lama dari hari-hari yang telah lewat. Sebenarnyalah mereka menunggu saat mereka dapat menghadap dan bertemu dengan Ki Patih Mandaraka. Meskipun mereka masih belum dapat meyakini, bahwa mereka akan dapat melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, lebih baik dari sebelum mereka resmi menjadi prajurit, namun kesempatan yang ditawarkan oleh Ki Patih Mandaraka itu kepada mereka, merupakan satu kehormatan bagi mereka.
Sambil menunggu, maka Glagah Putih mempunyai waktu untuk berada di lingkungan para Pengawal Tanah Perdikan. Glagah Putih sempat menemui Prastawa untuk membicarakan kemungkinan menambah jumlah Pengawal Tanah Perdikan, karena beberapa orang yang waktu dan kesempatannya menjadi semakin sempit karena urusan keluarga mereka, harus meninggalkan kedudukan mereka sebagai Pengawal Tanah Perdikan. Namun bukan berarti bahwa mereka akan benar-benar tidak lagi berhubungan dengan jajaran Pengawal Tanah Perdikan. Jika diperlukan, maka mereka masih akan tetap bersedia menjalankan tugas-tugas Pengawal Tanah Perdikan.
Pendekar Penyebar Maut 31 Jentara Bianglala Karya Ahmad Tohari Cintaku Di Kampus Biru 1
^