Api Di Bukit Menoreh 11
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 11
"Persetan perguruan Kedung Jati. Yang penting bagiku, aku harus menghancurkan Mataram. Jika Ki Saba Lintang gagal, maka aku sendirilah yang akan menghancurkannya. Setelah membunuh perempuan iblis itu, aku akan membunuh Panembahan Hanyakrawati. Kemudian siapapun yang akan membela Mataram, aku akan musnahkan. Dendamku kepada Mataram tidak akan pernah padam."
"Kenapa kau membenci Mataram?"
"Guruku, yang bertapa di Bukit Telamaya telah dibunuh oleh Raden Rangga. Karena itu, Mataram harus menerima hukumanku."
"Raden Rangga" Raden Rangga sudah meninggal. Jika yang terbunuh itu benar gurumu, bukankah ia sudah tua ketika ia bertemu dengan Raden Rangga?"
"Persetan dengan Raden Rangga. Karena Raden Rangga sekarang sudah tidak ada, maka aku akan membunuh saudara-saudaranya termasuk Panembahan Hanyakrawati."
"Umurmu agaknya sudah lebih tua dari Raden Rangga. Jadi bagaimana dengan gurumu,"
"Cukup. Minggirlah. Biar aku membunuh perempuan itu sebelum aku membunuh Hanyakrawati."
"Pangeran Puger yang menjadi Adipati Demak itu juga saudara Raden Rangga."
"Tetapi ia orang yang baik. sangat berbeda dengan Raden Rangga dan saudara-saudaranya yang lain."
"Sudahlah. Pergilah. Jangan mengigau disini."
"Iblis jahanam kau" Kau berani bersikap kasar kepadaku?"
"Hari-harimu sudah lewat. Jangan bermimpi untuk dapat berbuat terlalu banyak."
"Kau mengukur umurku dengan warna rambut, kumis dan janggutku?"
"Ya." "Persertan. Bersiaplah untuk mati."
Namun sebelum mereka mulai bertempur, tiba-tiba saja terdengar suara sangkakala disambut dengan gaung bende yang mengumandang di seluruh medan pertempuran.
"Sayang sekali," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "tetapi besok masih ada hari. Besok kita dapat bertemu lagi disini."
"Persetan dengan suara sangkakala dan suara bende itu. Aku tidak peduli. Aku bukan prajurit Demak yang terikat pada ketentuan perang. Aku adalah seorang pertapa yang akan menggulung seluruh kekuatan Mataram. Jika mereka berhenti, maka mereka akan mengalami nasib buruk malam ini. Aku akan membunuh semua prajurit Mataram dengan kesaktianku. Termasuk Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
"Kau tidak dapat menyimpang dari ketentuan perang yang berlaku."
"Aku tidak peduli. Tetapi aku akan menyimpang. Jika kau mampu menghentikan lakuku. Jika tidak, maka aku akan menyapu prajurit Mataram dalam semalam."
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi nampaknya orang yang rambut, kumis dan janggutnya berwarna putih itu bersungguh-sungguh. Ia tidak akan menunda sampai esok.
Sementara itu, kedua pasukan Mataram dan Demak mulai menarik pasukan mereka. Kangjeng Adipati Demak telah memerintahkan pertempuran dihentikan. Demikian pula Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Sementara itu seorang tabib dengan tergesa-gesa telah berusaha mendampingi Kangjeng Adipati Demak yang terluka lengan dan bahunya. Meskipun luka itu tidak seberapa, tetapi luka itu harus mendapat perawatan yang sebaik-baiknya, karena esok Kangjeng Adipati masih harus turun ke medan dan bahkan mungkin masih harus menghadapi Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
Namun sementara itu, dada sebelah kanan Kangjeng Panembahanpun telah tergores ujung tombak pendek Kangjeng Adipati. Goresan kecil itupun harus mendapat perawatan yang sebaik-haiknya pula. Bahkan harus dibersihkan dengan cairan yang dapat meredam racun yang mungkin terdapat dalam warangan mata tombak Kangjeng Pangeran Puger.
Tetapi ternyata bahwa pertapa dari Bukit Telamaya itu tetap berniat untuk melanjutkan pertempuran. Apapun yang akan dilakukan oleh para prajurit Mataram dan Demak, orang itu tidak peduli. Baginya secepatnya kita harus membalaskan dendam kematian gurunya yang telah dibunuh oleh Raden Rangga dan bahkan muridnya yang menjadi tumpuan harapannyapun telah dibunuh oleh seorang perempuan.
Ki Lurah Agung Sedayu menjadi bimbang. Tetapi ia tidak akan dapat meninggalkan orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang.
Sebenarnyalah bahwa guru Ki Saba Lintang dari Bukit Telamaya itu benar-benar berniat menyerang pasukan Mataram. Sehingga karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayupun tidak berniat meninggalkan medan.
Namun Ki Lurah Agung Sedayu itu telah memerintahkan para penghubung untuk menghadap para pemimpin pasukan Mataram, terutama Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, untuk melaporkan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat meninggalkan medan.
"Laporkan semuanya yang kau ketahui tentang orang yang mengaku guru Ki Saba Lintang itu sepeninggal Ki Saba Lintang sendiri."
Demikianlah, maka para penghubung yang mendapat tugas itupun segera pergi meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu.
Sementara itu, Nyi Lurah Agung Sedayu yang masih lemah, meskipun keadaannya menjadi berangsur baik setelah Nyi Lurah itu menelan reramuan obat yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, tidak mau meninggalkan medan.
"Aku akan tetap bersama kakang Agung Sedayu," berkata Sekar Mirah.
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak memaksanya. Tetapi bersama beberapa orang Senapati dan Prajurit Mataram, Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu Sekar Mirah yang kemudian duduk agak menjauhi arena.
Ketika Prastawa mendapat laporan tentang sikap orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu harus menghadapinya, maka iapun segera pergi ke arena pertempuran itu pula.
"Baiklah Ki Sanak," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian setelah ia berdiri beberapa langkah dihadapan pertapa dari Bukit Telamaya itu, "kita akan bertempur sampai tuntas. Kita tidak akan terikat oleh pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Demak, meskipun kita harus bertempur tiga hari tiga malam."
"Bagus. Jarang ada prajurit yang tanggon seperti kau, Ki Lurah. Namun aku berharap bahwa kau bertempur dengan jujur. Kita berjanji untuk berperang tanding. Baru kemudian setelah kau mati, maka aku akan menghadapi para prajurit Mataram. Aku tidak peduli apakah mereka akan bertempur bersama-sama, berkelompok atau Senapati Agung Mataram itulah yang nkan melawan aku."
"Kita belum berjanji untuk berperang tanding. Tetapi jika itu yang kau kehendaki, maka akupun akan menerima tantanganmu untuk berperang tanding."
"Bagus. Bersiaplah. Kita tidak akan terlalu banyak membuang waktu. Kita akan segera mulai. Aku tidak akan memerlukan waktu terlalu lama untuk membunuhmu. Kemudian malam ini pasukan Mataram sudah akan aku hancurkan. Besok pagi, pasukan Demak tinggal membersihkan saja sisa-sisa prajurit Mataram yang malam ini sempat bersembunyi. Sedangkan mereka yang sempat lari dari medan adalah orang-orang yang bernasib baik."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi Ki Lurah itupun kemudian justru mengikatkan cambuknya di lambungnya. Kemudian melangkah beberapa langkah maju mendekati orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu.
"Kau lekatkan kembali ke lambungmu senjatamu itu."
"Tidak seharusnya aku melawan orang yang tidak bersenjata dengan mempergunakan senjata."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau sombong sekali. Tetapi baiklah. Akhirnya kau akan tahu dengan siapa kau berhadapan."
Ki Lurah tidak menjawab lagi. Tetapi iapun telah bersiap untuk bertempur.
Ternyata beberapa orang Senapati Mataram dan Senapati Demak telah berdatangan. Mereka ingin menyaksikan pertempuran antara dua orang yang berilmu sangat tinggi. Beberapa orang di antara mereka justru membawa oncor untuk menerangi medan yang mulai menjadi gelap.
Beberapa orang prajurit Demakpun segera mengenal Ki Lurah Agung Sedayu. Meskipun ia tidak lebih dari seorang Lurah prajurit, tetapi ia memiliki banyak kelebihan dari para Senapati yang memiliki pangkat lebih tinggi.
Sementara itu, di sisi lain, para prajurit yang bertugas, tetap saja menjalankan tugas mereka mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka parah serta yang gugur di pertempuran.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang rumit. Orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itupun agaknya tidak mau kehilangan banyak waktu. Ia berharap pada malam itu, ia sudah akan dapat menyapu seluruh pasukan Mataram. Sepeninggal prajurit Mataram yang memberanikan diri melawannya itu, maka ia akan mengerahkan semua murid dari perguruan Kedung Jati untuk bangkit menuntut ke-matian pemimpin besar mereka. Seandainya prajurit Demak tidak bergerak, maka bersama para murid dari perguruan Kedung Jati itu, pertapa dari Bukit Temalaya itu merasa bahwa ia akan dapat menyapu bersih seluruh prajurit Mataram termasuk Senapati Agungnya.
Karena itu, maka pertapa dari Bukit Telamaya itupun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ia memperhitungkan bahwa dalam waktu yang singkat, ia sudah dapat membunuh prajurit yang sombong itu. Kemudian perempuan yang telah membunuh Ki Saba lintang. Yang ia tahu, bahwa perempuan itu tidak meninggalkan medan. Baru kemudian, maka pertapa itu akan beramai-ramai membantai orang-orang Mataram bersama para murid dari Kedung Jati.
Tetapi pertapa itu ternyata tidak segera dapat menguasai Ki Lurah Agung Sedayu.
Pertempuran diantara merekapun justru menjadi semakin sengit ketika kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka.
Orang-orang yang merasa dirinya murid dari perguruan Kedung Jati itupun merasa yakin, bahwa guru Ki Saba Lintang itu akan dapat segera menyelesuikan lawannya. Seorang prajurit Mataram yang sombong, yang merasa dirinya mampu mengimbangi kemampuan guru Ki Saba Lintang itu dalam perang tanding.
Di mata mereka, Ki Saba Lintang adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, meskipun akhirnya mereka harus melihat kenyataan, bahwa perempuan yang memiliki tongkat kepeniimpinan perguruan Kedung Jati yang satu lagi, ternyata mampu mengalahkan Ki Saba Lintang dan bahkan membunuhnya. Tetapi yang kemudian tampil adalah guru, Ki Saba Lintang. Jika ia kemudian dapat membunuh prajurit Mataram dan kemudian perempuan bertongkat baja putih itu, maka mereka akan minta agar pertapa itu memimpin perguruan Kedung Jati.
Tetapi pertempuran diantara pertapa itu dengan prajurit Mataram itu berlangsung semakin lama semakin seru.
Seranganpun datang silih berganti. Sementara itu, pertahanan kedua belah pihak ternyata sangat rapatnya, sehingga .untuk beberapa lama, mereka masih belum berhasil menembus pertahanan masing-masing.
Keadaanpun semakin lama menjadi semakin tegang. Orang-orang yang mengerumuni perang tanding itu menjadi semakin banyak dari kedua belah pihak. Bahkan para Senapatipun seakan-akan telah berkumpul.
Pertapa yang tidak segera dapat mengalahkan Agung Sedayu itupun telah menghertakkan ilmunya pula. Serangan-serangannya menjadi semakin deras seperti arus banjir bandang.
Ketika kemudian datang serangan beruntun, maka dengan kecepatan yang sangat tinggi, akhirnya pertapa itu berhasil menembus pertahanan Ki Lurah Agung Sedayu. Ketika ia melihat satu kemungkinan, maka dengan cepat orang itu menyambar Ki Lurah Agung Sedayu di lambungnya.
Ki Lurah Agung Sedayu tergetar beberapa langkah surut. Namun serangan itu tidak menyakitinya. Dalam perang tanding yang keras itu. Ki Lurah Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya.
Ketika pertapa itu memburunya dengan menjulurkan tangannya dengan jari-jari terbuka. Ki Lurahpun sempat meloncat kesamping. Justru pada saat tangan pertapa itu terjulur, maka Ki Lurah menghentakkan tangannya lurus ke bagian samping dada pertapa itu.
Pertapa itulah yang kemudian tergetar kesamping. Namun kemudian orang itu justru melenting tinggi sambil berputar di udara.
Ternyata kaki orang itu telah menyambar kening Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu telah terdorong beberapa langkah surut. Namun dengan perundungan ilmu kebalnya, maka serangan itu tidak terlalu menyakitinya.
Bahkan ketika orang itu mengulangi serangannya, maka Ki Lurah justru telah menjatuhkan dirinya. Kakinya dengan keras menjepit kaki lawannya yang satu lagi. Ketika kemudian Ki Lurah itu berputar, maka pertapa itu telah terbanting jatuh di tanah.
Terdengar orang itu mengaduh tertahan. Dengan cepat ia berusaha untuk bangkit berdiri. Namun demikian ia tegak, maka Ki Lurah Agung Sedayupun telah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Ternyata kau telah melindungi dirimu dengan ilmu kebal," geram pertapa itu, "jangan kau kira, bahwa hanya kau sajalah yang dapat melindungi dirimu. Aku juga mampu membuat perisai dengan ilmu Lembu Sekilan."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia sadar, bahwa ilmu Lembu Sekilan adalah ilmu yang memiliki kemampuan melindungi tubuh seseorang, sehingga setiap serangan tidak akan mampu menyentuhnya.
Tetapi kekuatan ilmu Lembu Sekilan, sebagaimana juga kekuatan ilmu kebalnya, bukannya berarti sama sekali tidak dapat tertembus serangan. Serangan serangan yang memiliki kekuatan serta dorongan tenaga dalam yang besar, maka kekuatan itu akan dapat menembus berbagai jenis ilmu kebal.
Demikianlah, keduanyapun telah terlibat dalam pertarungan yang snagat rumit. Mereka masing-masing telah melindungi dirinya dengan ilmu kebal.
Pertapa itupun akhirnya harus mengakui, bahwa prajurit Mataram itu benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapinya.
Pertapa itu tidak lagi ingin mempergunakan ilmu angin pusarannya. Ilmunya itu akan sia-sia saja untuk melawan prajurit Mataram itu, karena dengan cambuknya, prajurit Mataram itu dapat memecah ilmu angin pusarannya.
Pertempuranpun berlangsung semakin dahsyat. Serangan-serangan merekapun menjadi semakin mengerikan. Hanya karena perlindungan ilmu kebal masing-masing sajalah, mereka masih tetap mampu bertahan.
Dalam saat-saat yang rumit, maka pertapa itu tiba-tiba saja telah melemparkan tiga ekor ular kecil yang berwarna hitam ke tubuh Agung Sedayu. Ular yang diambilnya dari kantung yang tergantung di pinggangnya. Karena serangan-serangannya tidak lagi banyak berpengaruh karena perlindungan ilmu kebalnya, maka orang itu telah menyerang Ki Lurah dengan cara yang lain.
Ki Lurah terkejut mendapat serangan sejenis senjata rahasia yang hidup itu. Dengan cepat ia berusaha mengelak. Dua ekor ular lepas tanpa menyentuhnya, tetapi seekor yang lain justru tepat mengenai lehernya.
Ular kecil itu dengan cepat membelit dan menggigit leher Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara itu dengan tangkasnya Ki Lurahpun menangkap ular itu dan kemudian membantingnya di tanah. Dengan serta-merta Ki Lurah Agung Sedayupun telah menginjak kepala ular itu sehingga kepala ular itupun telah diremukkannya, meskipun ular itu masih juga sempat mematuk tumitnya.
Terdengar pertapa dari Bukit Telamaya itu tertawa. Dengan lantang iapun berkata, "Ternyata mudah sekali membunuh prajurit Mataram yang sombong. Yang sesumbar seakan-akan dapat menangkap petir."
Ki Lurah itupun berdiri tegak. Kemudian selangkah demi selangkah iapun bergerak maju mendekati lawannya.
"Kita belum selesai, Ki Sanak," geram Ki Lurah Agung Sedayu.
"Tidak ada yang dapat melawan racun ular bandotan jantan itu. Ular itu telah menggigitmu. Maka sebentar lagi kau akan mati. Para prajurit dan Senapati Mataram yang sempat menyaksikan perang tanding ini akan melihat, bagaimana kau berlutut. Kemudian berguling jatuh di tanah. Merekapun akan menyaksikan bagaimana aku membunuh perempuan yang telah membunuh murid yang aku harapkan dapat membalaskan dendamku itu. Kemudian para prajurit dan Senapati itu sendirilah yang akan mati."
"Bersiaplah, Ki Sanak. Jalan yang akan kita lalui masih jauh. Mungkin aku, tetapi mungkin kau yang akan terkapar mati disini."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ia mulai menjadi berdebar-debar. Prajurit Mataram yang telah digigit ularnya itu tidak segera menjadi lemah dan jatuh berguling. Tetapi ia masih saja berdiri dengan tegapnya.
Bahkan Ki Lurah Agung Sedayu itupun telah mulai bergeser dan siap untuk menyerang.
Pertapa dari Bukit Telamaya itu tidak dapat berbuat lain. Iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun dengan geram orang itupun berkata, "Iblis kau. Agaknya kau telah memiliki bukan saja ilmu kebal yang melindungi tubuhmu, tetapi kau juga kebal dan bisa yang sangat tajam. Kau mampu membebaskan dirimu dari bisa ularku."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun segera meloncat menyerang pertapa yang mengaku guru Ki Saba Lintang itu.
Api pertarunganpun segera berkobar lagi. Keduanya berloncatan saling menyerang Seperti yang terjadi sebelumnya, maka sekali-sekali mereka dapat menembus pertahanan lawannya. Namun serangan-serangan merekapun telah membentur ilmu kebal masing-masing.
Tetapi serangan-serangan yang dilambani dengan tenaga dalam yang besar, ternyata telah berhasil menggoyang pertahanan mereka, sehingga ilmu merekapun menjadi goyah.
Dengan demikian, maka pertempuran di antara merekapun menjadi semakin dahsyat. Para prajurit dan Senapati yang menyaksikan pertempuran itupun berdiri termangu-mangu. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi.
Dalam pada itu, pertapa dari Bukit Telamaya yang tidak dapat mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu dengan bisa-bisa ularnya, telah berusaha untuk menembus ilmu kebalnya dengan api. Dari tubuhnya seakan-akan telah mengepul uap yang berwarna putih kehitam-hitaman. Didalamnya nampak peletik-peletik merah yang telah membuat uap yang putih kehitam-hitaman itu menjadi sepanas bara api.
Perlahan-lahan uap itu bergerak bergulung-gulung mendekati Ki Lurah Agung Sedayu. Namun demikian gumpalan uap yang bergulung itu menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba saja uap itu bagaikan masuk ke dalam hembusan perlahan asap yang sangat tipis. Namun asap itu seakan-akan telah mengisap seluruh udara panas yang timbul oleh uap yang putih kehitam-hitaman itu. Sehingga dengan demikian, maka panas itu tidak dapat membakar tubuh Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ilmu kebal prajurit itu rasa-rasanya hampir sempurna," geram pertapa dari bukit Telamaya itu. Ternyata bahwa kekuatan api yang dihembuskannya, tidak mampu menembus tirai yang melindungi tubuh Ki Lurah Agung Sedayu. Kekuatan air dalam ilmu kebalnya, yang menjadi semakin mapan, telah berhasil menyerap panas yang terpancar pada serangan pertapa dari Bukit Telamaya itu.
Pertapa itu mengumpat didalam hati. Beberapa jenis ilmunya yang ditumpahkan, dapat dipatahkan oleh prajurit Mataram yang sombong itu. Namun pertapa itu tidak kehabisan cara untuk mencoba mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu.
Ketika keduanya kemudian terbbat dalam pertarungan yang sangat menegangkan, tiba-tiba saja Ki Lurah Agung Sedayu terkejut. Lawannya yang berloncatan didalam keremangan cahaya oncor di sekitar arena itu, tiba-tiba menjadi semakin samar.
"Permainan apa lagi yang akan dilakukannya," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
Oncor serta obor yang berada di sekitar arena masih menyala. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat melihat lawannya dengan jelas. Apalagi ketika lawannya itu mulai berloncatan menyerangnya. Ki Lurah Agung Sedayu sering menjadi terlambat sehingga serangan-serangan lawannya beberapa kali dapat mengenainya.
Untuk memperjelas penglihatannya Ki Lurah Agung Sedayu telah mengetrapkan Aji Sapta Pandulu. Sesaat penglihatannya menjadi lebih jelas, sehingga ia mampu mengikuti gerak-gerik lawannya
Tetapi penglihatannya meskipun sudah dengan Aji Sapta Pandulu, semakin lama menjadi semakin kabur pula. Bahkan lawannya itu kadang-kadang saja kelihatan samar. Tetapi kadang malahan tidak nampak sama sekali.
"Aji Penglimunan," desis Ki Lurah Agung Sedayu. Kembali Ki Lurah menjadi lebih sering terlambat.
Serangan-serangan lawannya lebih banyak mengenai tubuhnya. Sementara Ki Lurah sendiri nampaknya sering menjadi bingung.
Untuk membantu penglihatannya yang kabur, meskipun ia sudah mengetrapkan Aji Sapta Pandulu, Ki Lurahpun mengetrapkan Aji Sapta Panggraita. Meskipun ia tidak melihat dimana lawannya itu berloncatan, namun Panggraitannya menjadi sangat tajam. Ia dapat merasakan getar keberadaan lawannya.
Meskipun demikian, Ki Lurah masih saja sering terlambat menanggapi serangan-serangan lawannya. Bahkan Ki Lurah sendiri seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk menyerang.
Untuk mengatasi keadaan, maka Ki Lurahpun telah meningkatkan ilmu kebalnya sehingga serangan-serangan lawannya tidak terlalu terasa menyakitinya karena tertahan oleh ilmu kebal Ki Lurah yang semakin meningkat. Bahkan sejalan dengan meningkatnya ilmu kebalnya, maka di sekitar tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan udara telah menjadi panas.
Panas di sekitar tubuh Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin tinggi. Namun panas itu tidak begitu berpengaruh terhadap lawannya, meskipun lawannya kadang-kadang harus dengan tergesa-gesa berloncatan menjauh.
Orang-orang yang ada di sekitar arena pertempuran itu menjadi tegang. Sekar Mirah yang masih lemah, Glagah Putih dan Rara Wulanpun menjadi tegang pula. Seperti Ki Lurah Agung Sedayu, merekapun kadang-kadang melihat pertapa itu samar-samar. Namun kadang-kadang orang itu sama sekali tidak dapat dilihatnya.
Tetapi Ki Lurahpun masih berusaha meningkatkan ilmu kebalnya lagi sejalan dengan peningkatan Aji Sapta Penggraita. Dengan Aji sapta penggraita, Ki Lurah Agung Sedayu menjadi agak tertolong. Serangan-serangannyapun mulai mengarah.
Bahkan dibantu oleh Aji sapta Pangrungu yang membuat pendengarannya menjadi sangat tajam, maka Ki Lurah menjadi semakin yakin akan keberadaan lawannya.
Namun sekali-sekali Ki Lurah Agung Sedayu masih mendengar pertapa itu mentertawakannya. Jika serangan Ki Lurah tidak tepat mengarah ke sasaran, maka pertapa itupun tertawa berkepanjangan. Bahkan kadang-kadang di sela-sela derai tertawanya, terdengar kata-kata hinaannya.
Dalam keadaan yang rumit itu, maka Ki Lurahpun berusaha untuk mengaburkan dirinya pula. Dalam keremangan cahaya oncor di sekitar arena pertempuran, maka tiba-tiba saja ujud Ki Lurah Agung Sedayu itupun menjadi rangkap tiga.
"Gila," geram pertapa dari Bukit Telamaya itu, "kau memiliki Aji Kakang Kawah Adi Ari-ari."
Ketiga sosok Agung Sedayu itupun berdiri di tiga arah dalam arena pertempuran itu. Terdengar ketiganya tertawa berkepanjangan sebagaimana pertapa itu tertawa.
Sebenarnyalah suara tertawa pertapa itu telah membantu Ki Lurah Agung Sedayu mengenal arah serta keberadaannya. Apalagi orang itu masih juga melontarkan kata-kata hinaan dan umpatan.
Dengan demikian, maka Ki Lurah Agung Sedayu berhasil menghambat gerakan-gerakan serta serangan-serangan lawannya. Pertapa itu masih memerlukan waktu beberapa saat untuk dapat mengenali Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah sekedar ujud-ujud semu saja. Dengan demikian, waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan Ki Lurah dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, maka Aji panglimunan itu tidak lagi banyak berarti. Dengan ujud-ujud semu itu, maka pertapa dari Bukit Telamaya itupun menjadi sama bingungnya dengan Ki Lurah Agung Sedayu.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, akhirnya keduanya tidak lagi bersembunyi di balik Aji Panglimunan serta Aji Kakang Kawah Adi Ari-ari. Tetapi merekapun telah berdiri tegak dalam ujud mereka masing-masing.
Pertempuran selanjutnya justru menjadi semakin dahsyat. Mereka telah meningkatkan tenaga dalam mereka sampai ke puncak.
Tanah di seputar arena itupun menjadi bagaikan di bajak. Pepohonan dan tanaman-tanaman perdu menjadi layu. Dahan dan ranting-rantingnya menjadi kering, sehingga daunnyapun berguguran jatuh di tanah.
Di bentangan lembah yang luas itu, rasa-rasanya telah bertiup angin prahara. Hentakan hentakan dan benturan-benturan ilmu membuat lembah itu bagaikan diguncang gempa.
Ternyata keduanya benar-benar orang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan para Senapati dari Mataram dan Demakpun menjadi terheran-heran.
Sementara itu, walaupun menjadi semakin malam. Bahkan tengah mal ampun telah dilampaui. Bintang Gubug Penceng sudah bergeser agak jauh ke Barat. Demikian pula bintang waluku.
Kedua orang yang bertempur itu telah mengerahkan segenap daya dan kekuatan mereka. Bahkan mereka telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi, sehingga dengan demikian, maka tenaga merekapun bagaikan terkuras. Betapa tinggi ilmu mereka namun mereka tetap saja memerlukan dukungan kewadagan mereka.
Semakin malam, maka suasanapun menjadi semakin tegang. Mereka berada di seputar arena pertarungan antara hidup dan mati itu, bagaikan larut dalam gejolak yang tidak terkendali.
Namun dalam pada itu, meskipun daya tahan kedua orang yang sedang bertempur itu sangat tinggi, namun setelah mereka melepaskan berbagai macam ilmu puncak mereka, maka kemampuan merekapun mulai terpengaruh oleh tenaga mereka yang menyusut.
Karena itu, maka pertapa dari Bukit Telamaya itupun tidak mau menunggu lebih lama lagi. Jika tenaganya menjadi semakin menyusut, maka kemampuannya untuk melepaskan ilmu pamungkasnyapun akan menyusut pula.
Dengan demikian, maka pertapa itu tidak lagi berpikir lebih panjang. Meskipun ia mengakui bahwa lawannyapun berilmu sangat tinggi, tetapi ia masih saja yakin, bahwa ilmu pamungkasnya akan dapat menyelesaikan pertarungan antara hidup dan mati itu. Sebenarnyalah bahwa pertapa itu jarang sekali merambah sampai ke ilmu pamungkasnya itu. Biasanya ia sudah dapat mengakhiri perlawanan musuh-musuhnya dengan berbagai macam ilmu yang telah dilepaskan sebelumnya. Namun sampai pada Aji Panglimunan, lawannya dari Mataram itu masih dapat mengimbanginya. Karena itu, maka pertapa itu tidak mempunyai pilihan lain dari pada menghancurkannya dengan puncak dari segala ilmunya.
Demikianlah, maka ketika keduanya berloncatan saling menyerang dan menghindar, maka pertapa itu telah meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Demikian tinggi ilmunya, sehingga ia tidak memerlukan waktu sekejap untuk melepaskan ilmu puncaknya. Demikian ia berdiri tegak dengan kaki renggang, iapun segera mengangkat kedua tangannya dengan kaki sedikit merendah pada lututnya.
Dari telapak tangannya yang menghadap kepada Ki Lurah Agung Sedayu, orang itu telah melontarkan seleret sinar yang berwarna putih kehitam-hitaman.
Ki Lurah Agung Sedayu memang terkejut. Tetapi iapun memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga ia tidak memerlukan waktu yang lebih lama untuk membentur ilmu puncak pertapa itu dengan ilmu puncaknya.
Dengan tajamnya Ki Lurah Agung Sedayu memandang telapak tangan lawannya yang terbuka dan mengarah kepadanya. Demikian seleret sinar meluncur dari telapak tangan itu, maka dari sepasang mata Ki Lurahpun telah memancar pula sinar yang kebiru-biruan meluncur membentur seleret sinar yang meluncur dari telapak tangan pertapa itu.
Terjadi benturan yang amat dahsyat. Sinar yang menyilaukan memancar menerangi langit dan seluruh lembah yang menjadi ajang pertempuran yang dahsyat antara pasukan Mataram dan Pasukan Demak itu di siang hari. Seperti kilat yang memancar di udara, maka cahaya yang menyilaukan itupun diikuti oleh gelegar yang mengguncang lembah itu.
Ki Lurah Agung Sedayupun terdorong beberapa langkah surut. Namun Ki Lurah itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga iapun terjatuh pada lututnya. Namun Ki Lurah itupun kemudian telah terduduk.
Sekar Mirah yang masih sangat lemah itu tiba-tiba saja telah bangkit dan berlari ke samping Ki Lurah Agung Sedayu itu duduk.
"Mbokayu-mbokayu," Rara Walaupun dengan cepat menyusul, "mbokayu masih terlalu lemah untuk berlari."
Tetapi Sekar Mirah tidak mendengarkannya.
Sementara itu Glagah Putihpun telah menyusulnya pula.
Ki Lurahpun segera mengatur pernafnsannya. Iapun segera mengambil reramuan obatnya dua butir. Kemudian obat itupun ditelannya. Reramuan itu adalah reramuan sebagaimana telah diberikan kepada Sekar Mirah.
Dalam pada itu, orang-orang yang berada di seputar arenapun telah bergejolak. Sebagian berlari mendekati Ki Lurah Agung Sedayu, sedangkan yang lain berlari-lari dan berjongkok di sisi tubuh pertapa dari Bukit Telamaya.
Dalam benturan yang dahsyat itu, ternyata pertapa dari Bukit Telamaya itu telah terlempar beberapa langkah. Tubuhnya terbanting di atas tanah berbatu-batu padas.
Namun pertapa itu tidak pernah dapat bangkit lagi.
Ketika orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati mengerumuninya, maka pertapa itu masih dapat berdesis, "Dimana prajurit Mataram itu ?"
"Ia terpelanting beberapa langkah dari arena, Kiai." jawab salah seorang dari para murid itu.
"Apakah ia mati ?"
"Agaknya belum, Kiai. Tetapi kami tidak tahu, seberapa parah luka di dalam tubuhnya."
"Ternyata ia seorang yang berilmu sangat tinggi. Aku tidak tahu, apakah ilmunya dapat menyamai Raden Rangga yang pernah membunuh guruku."
"Ya, Kiai," jawab orang itu.
Namun pertapa itupun menjadi semakin lemah. Dengan suara yang kadang-kadang terdengar tetapi kadang-kadang hilang, iapun berkata, "Jika ada dua atau tiga orang prajurit Mataram yang memiliki ilmu setinggi orang itu, maka tidak ada gunanya Demak melanjutkan perang ini."
"Tidak Kiai. Tidak ada orang lain yang dapat menyamainya."
Suara orang itu semakin lambat, "Tentu ada. Yang menjadi Senapati Agung pasukan Mataram adalah Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri. Aku dengar di pasukan Mataram terdapat juga Ki Patih Mandaraka. Tanpa menyebut orang lain, maka Demak harus berpikir ulang. Kangjeng Adipati Demak sekarang tinggal sendiri. Ki Patih Tandanegara tidak akan dapat berbuat banyak. Saba Lintang sudah tidak ada. Tumenggung Gending dan Tumenggung Panjer juga sudah tidak ada lagi."
"Tetapi masih banyak para Tumenggung serta para pemimpin dari perguruan Kedung Jati berada dalam pasukan Demak."
Pertapa itu tidak menjawab. Tetapi baginya, Demak tidak akan dapat bertahan terlalu lama lagi.
Ternyata pertapa itu tidak lagi mampu bertahan lebih lama pula. Nafasnya menjadi tersendat-sendat. Pandangan matanya menjadi semakin kabur. Nyala oncor disekitar arena itu semakin lama nampak menjadi semakin redup.
Pertapa itu memejamkan matanya. Ternyata pertapa itu telah meninggalkan dunia itu untuk selama-lamanya.
Para pemimpin dari Demakpun segera meninggalkan arena dengan membawa tubuh pertapa yang menjadi semakin dingin di dinginnya malam. Sementara itu, orang-orang Matarampun telah membawa Ki Lurah Agung Sedayu yang terluka didalam serta Sekar Mirah yang juga terluka kembali ke induk pasukan.
Yang pasti Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah esok tidak akan sanggup turun ke medan.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan akan mengambil alih keberadaan mereka di medan. Glagah Putih dan Rara Wulan esok telah mempersiapkan diri untuk memburu orang-orang yang mengaku pemimpin dari perguruan Kedung Jati.
Ketika berita kematian Ki Sabn Lintang, balikan kemudian gurunya, pertapa dari Bukit Telamaya itu sampai ke telinga Kangjeng Adipati Demak, maka Kangjeng Adipatipun menjadi gelisah. Baginya Ki Saba Lintang merupakan lambang keikutsertaan sepasukan yang kuat dari perguruan Kedung Jati untuk bertempur bersama-sama meskipun perguruan itu pernah mengganggu Kangjeng Pangeran Puger pada saat Kangjeng Pangeran Puger berangkat ke Demak.
Beberapa orang Senapati Demak serta beberapa orang pemimpin dari perguruan Kedung Jati ternyata masih tetap berpengharapan.
"Bukankah Demak masih memiliki beberapa Tumenggung yang dapat dibanggakan " Sedangkan masih ada beberapa orang pemimpin perguruan Kedung Jati yang berilmu tinggi ?"
Kangjeng Adipati itu menarik nafas panjang sambil berdesis, "Ya. Kita masih mempunyai banyak Senapati pilihan."
Demikianlah, maka Kangjeng Adipati Demak, masih juga berniat untuk meneruskan perang. Meskipun sebenarnya batinya sudah menjadi bimbang.
Malam itu Kangjeng Adipati Demak hanya beristirahat beberapa saat. Menjelang dini hari, Kangjeng Adipati sempat tertidur sejenak. Namun kemudian iapun segera bangun. Kemudian pergi ke pakiwan untuk membersihkan serta membenahi diri. Lahir dan batinnya.
Tetapi sebenarnyalah, bahwa sudah ada sedikit keraguan yang membayang di hatinya.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, langitpun menjadi semakin terang. Kangjeng Adipati Demak yang kemudian keluar dari pesanggrahannya, masih melihat Wajah para Senapati Demak serta para pemimpin dari perguruan Kedung Jati itu menyala.
Dengan demikian, maka api dihatinya yang sempat menjadi agak redup itupun telah menyala menjadi semakin besar. Dengan geram iapun berkata kepada diri sendiri, "Hancurkan Panembahan Hanyakrawati. Aku adalah saudara yang lebih tua. Aku akan dapat mengalahkannya. Baik secara pribadi, maupun seluruh pasukanku."
Karena itu, maka Kangjeng Adipati Demak itupun telah berada diantara para Senapatinya pula.
Sementara itu, Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun telah mempersiapkan dirinya pula. Demikian pula seluruh pasukannya. Para Senapatinyapun telah berada diantara pasukan masing-masing.
Sejenak kemudian telah terdengar suara sangkakala serta disusul oleh gaung bende untuk yang pertama kalinya.
Para prajurit dari kedua belahpun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka telah memeriksa senjata-senjata mereka serta kelengkapan-kelengkapan perang yang akan dibawanya ke medan.
Sejenak kemudian, maka telah terdengar suara sangkakala disusul oleh suara bende untuk yang kedua kalinya. Para prajuritpun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya di kesatuan mereka masing-masing, serta siap untuk bergerak.
Baru sejenak kemudian terdengar suara sangkakala serta bende untuk yang ketiga kalinya. Maka kedua pasukanpun mulai berderap maju memasuki arena pertempuran.
Kedua pasukan itu masih mempergunakan gelar sebagaimana mereka pergunakan sehari sebelumnya. Keduanya masih membawa ciri-ciri kebesaran mereka masing-masing.
Tidak hanya di induk pasukan. Tetapi pasukan di lambung yang membuat gelarnya sendiri, juga dihiasi dengan ciri-ciri kebesaran kesatuan yang ada di gelar itu. ltontek, umbul-umbul, kelebet yang terikat pada tunggul-tunggulnya.
Kedua pasukan itu bergerak dongan cepat. Bahkan seperti hari-hari sebelumnya, maka merekapun mulai bersorak gemuruh. Semakin dekat jarak keduu pasukan itu, maka sorak-soraipun menjadi semakin membidianu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, kedua pasukan itupun telah berbenturan. Kedua gelar pasukan induk yang berada di tengah. Kemudian kedua gelar yang ada di lambung kiri dan kananpun telah bertemu dengan pasukan lawan pula. Pangeran Puger muda dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil masih tetap memimpin gelar di lambung. Jika nada hari sebelumnya, pasukan mereka berhasil mendesak setapak demi setapak, maka kedua pangeran itupun telah menghentakkan pasukannya sejak awal untuk menguasai garis pertempuran.
Tetapi Pangeran Puger muda serta Pangeran Demang anpa Nangkil tidak melupakan keharusan untuk menyimpan tenaga. Sehingga kedua pasukan itu dalam gelarnya asih menyimpan tenaga cadangan di ekornya.
Meskipun para prajurit yang berada di garis pertempuran mulai mengerahkan tenaganya sejak terjadi benturan antara pasukan Mataram dengan pasukan Demak, namun pada saat tertentu, pasukan cadangan yang ada di ekor gelar itu akan mengambil alih medan di garis pertempuran.
Di induk pasukan, pasukan Mataram yang kembali pada gelar Cakra Byuha telah berbekal rencana, bahwa pada saat tertentu gelar itupun akan berubah lagi menjadi gelar Wulan Tumanggal jika dipandang menguntungkan pada satu saat yang tepat.
Demikianlah, ketika matahari mulai naik, maka pertem-puranpun mulai menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak yang masih segar itupun bertempur dengan mengerahkan segala kemampuan.
Dalam pada itu, Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun telah menempatkan dirinya untuk dapat bertemu kembali dengan Kangjeng Adipati Demak. Kangjeng Panembahan Hanyakrawati telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Luka yang tergores kemarin telah tidak mempengaruhinya lagi.
Demikian pula goresan-goresan pada tubuh Kangjeng Adipati Demak. Iapun benar-benar telah siap untuk bertempur menghadapi adiknya, Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
Tetapi kedua orang Senapati Agung itu masih belum dapat bertemu. Para prajurit dibawah Senapati masing-masing masih tetap saja bertempur dengan garangnya di garis benturan kedua pasukan itu. Sementara gelar Cakra Byuha yang masih ditrapkan prajurit Mataram itu mulai berputar perlahan-lahan.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, serta keringat mulai membasahi pakaian para prajurit di kedua pasukan itu, maka pertempuranpun menjadi semakin garang. Darahpun mulai mengalir dari luka. Tubuhpun mulai jatuh terbaring, sehingga kawan-kawannya berusaha untuk menyingkirkannya ke belakang garis pertempuran.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah tidak mengikuti Sekar Mirah memburu Ki Saba Lintang, telah berada kembali dalam Pasukan Pengawal Tanah Perdikan. Sementara Agung Sedayu dan Sekar Mirah hari itu masih belum dapat turun ke arena pertempuran.
Namun ternyata bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengacaukan medan. Bersama dengan Prastawa serta Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, mereka telah memporak porandakan pasukan lawan.
Namun Glagah Putih itupun terkejut ketika ia melihat seseorang yang bersenjata tongkat baja putih. Seorang yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang. Wajahnya yang keras serta matanya yang cekung menandai hatinya yang keras serta kecerdasannya mengurai setiap persoalan yang dihadapinya. Orang itupun tentu dengan cepat mengambil keputusan jika ia menghadapi permasalahan yang rumit.
"Rara," berkata Glagah Putih kepada Rara Wulan, "bukankah kita belum menyelesaikan tugas kita untuk menguasai tongkat baja putih itu dan menyerahkannya kepada Mataram?"
"Tetapi kenapa tiba-tiba saja tongkat baja putih itu ada di tangannya?"
"Dilingkungan orang-orang yang mengaku murid perguruan Kedung Jati itupun tentu telah terjadi persaingan untuk memperebutkan tongkat baja putih itu. Agaknya orang itu kemarin dengan serta-merta menguasai tongkat baja putih itu yang langsung diamnbilnya dari tangan Ki Saba Lintang. Sekarang orang itu ingin membuktikan, bahwa ia akan benar-benar mampu menjadi pemimpin dari perguruan Kedung Jati sepeninggal Ki Saba Lintang."
"Lalu, apa yang akan kakang lakukan?"
"Aku akan mengambil tongkat baja putih itu. Sebaiknya kau pergi bersamaku dan mengamati jika ada orang lain yang berniat berbuat curang."
"Baik, kakang. Aku akan mengamati usaha kakang mengambil tongkat baja putih itu. Sebaiknya kita memberitahukan lebih dahulu kepada kakang Prastawa."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah menemui Prastawa untuk memberitahukan niat mereka menemui orang yang bersenjata tongkat baja putih itu.
"Silahkan," berkata Prastawa, "mudah-mudahan kalian berhasil. Kami akan meneruskan tugas kami disini."
Demikianlah Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menyibak para prajurit yang sedang bertempur untuk mendekati orang yang bersenjata tongkat baja putih itu.
Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang itu mengamuk seperti harimau yang terluka.
Ketika kemudian Glagah Putih mendekatinya, maka orang itupun memandanginya dengan tajamnya. Matanya yang cekung itu menyorotkan sinar kemarahannya. Ia memang merasa agak terganggu dengan kehadiran orang yang masih terhitung muda itu.
Glagah Putihpun kemudian minta agar para prajurit yang berusaha menahan gerak maju orang yang bersenjata tongkat baja putih itu menyingkir.
"Apakah kau sengaja ingin melawan aku ?" berkata orang itu.
"Ya," jawab Glagah Putih tanpa basa-basi, "aku akan mengambil tongkat baja putih di tanganmu itu. Apakah tongkat baja putih itu asli atau tiruan ?"
"Aku ingin mengoyakkan mulutmu bocah edan," geram orang itu.
Glagah Putih melangkah maju. Katanya, "Kita bertemu di medan perang. Kau tidak usah sesumbar. Kita akan bertempur."
"Bagus. Tetapi aku ingin tahu namamu sebelum aku mematahkan lehermu."
"Aku Glagah Putih. Aku salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh."
"Kau seorang pengawal Tanah Perdikan " Kenapa kau berani mencoba menghalangiku " Kau tidak tahu siapa aku ?"
"Aku memang ingin bertanya kepadamu. Kau siapa dan kenapa tongkat baja putih itu berada di tanganmu, kecuali jika tongkat baja putih itu palsu."
"Anak iblis. Namaku Wiradipa. Sepeninggal Ki Saba Lintang, akulah pemimpin perguruan Kedung Jati."
"Jika demikian, serahkan tongkat itu kepadaku. Aku akan menyerahkan tongkat itu kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang sekarang menjadi Senapati Agung pasukan Mataram."
"Apakah kau gila," geram orang itu, "katakan sekali lagi. Maka aku akan mematahkan lehermu dengan tongkat baja putih ini."
"Serahkan tongkat baja putih itu kepadaku."
Orang itupun tiba-tiba berteriak nyaring. Kemarahannya telah membakar jantungnya, sehingga rasa-rasanya darahnya telah mendidih dan memanasi seluruh tubuhnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, orang itupun segera meloncat sambil mengayunkan tongkat baja putihnya mengarah ke leher Glagah Putih.
Tetapi dengan tangkas Glagah Putihpun telah merendah sehingga tongkat baja putih itu terayun di atas kepalanya.
Ketika Glagah Putih kemudian berdiri tegak, maka di tangannya telah tergenggam ikat pinggangnya yang telah diurainya.
"Apa yang kau lakukan ?" teriak orang yang menggenggam tongkat baja putih itu.
"Kita akan bertempur. Siapakah diantara kita yang akan sempat keluar dari lingkaran pertempuran ini."
"Kau benar-benar seorang yang sombong dan tidak tahu diri. Apa arti ikat pinggangmu itu dibandingkan dengan tongkat baja putih ini ?"
"Kita akan melihatnya."
Sekali lagi orang itu meloncat sambil mengayunkan tongkat baja putihnya. Kali ini mengarah ke pelipis Glagah Putih.
Namun Glagah Putih tidak merendahkan diri untuk menghindari ayunan tongkat baja putih itu. Tetapi Glagah Putih dengan sengaja telah membentur tongkat baja putih itu dengan ikat pinggangnya dengan keyakinan yang tinggi bahwa ikat pinggangnya akan mampu mengimbangi kekuatan tongkat baja putih itu.
Sebenarnyalah telah terjadi benturan yang sangat keras. Getar dari benturan tongkat baja putih yang diayunkan dengan kekuatan serta tenaga dalam yang sangat besar itu telah membentur ikat pinggang Glagah Putih.
Terasa telapak tangan Glagah Pulih menjadi panas. Namun ikat pinggangnya telah berada di tangannya. Bahkan ikat pinggangnya itu mampu menahan benturan tongkat baja putih itu.
Sebagaimana telapak tangan Glagah Putih yang menjadi panas, maka telapak tangan orang bertubuh lingi dan bermata cekung itupun terasa menjadi pedih. Bahkan hampir saja tongkat baja putih itu terlepas dari tangannya, sehingga orang itu terpaksa memeganginya dengan kedua belah tangannya.
Namun Glagah Putih sempat tertawa. Katanya, "Kemampuanmu tidak dapat diperbandingkan dengan Ki Saba Lintang yang sudah sangat terbiasa dengan tongkat baja putih itu, sehingga tongkat baja putih itu seakan akan telah menjadi bagian dari anggota tubuhnya. Tetapi kau masih sangat gagap bagaimana caranya mempergunakan tongkat baja putih itu.
"Persetan kau Glagah Putih. Hanya namamu yang akan keluar dari arena pertempuran ini."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap untuk bertempur melawan orang bertubuh tinggi, berdada bidang dengan wajah yang keras serta mata yang cekung dan mengaku bernama Wiradipa itu.
Demikianlah, maka keduanyapun kemudian telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Tongkat baja putih di tangan Wiradipa itupun terayun-ayun mengerikan. Sementara itu di tangan Glagah Putih berputaran ikat pinggang yang merupakan senjata andalannya
Beberapa kali telah terjadi benturan-benturan yang keras dari kedua senjata itu. Namun Wiradipa harus mengakui bahwa orang yang masih terhitung muda itu ternyata memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya pula.
Tetapi Wiradipa yang telah melanglang bukan saja sepanjang pesisir Utara. Tetapi iapun pernah menjelajahi daerah Selatan sampai ke Lautan Kidul, telah memiliki pengalaman yang sangat luas. Ia telah bertemu dan bertempur melawan orang-orang yang berilmu tinggi. Namun Wiradipa itu rasa-rasanya sangat sulit untuk dikalahkan, sehingga pada suatu saat ia telah bergabung dengan Ki Saba Lintang. Dengan kemampuannya yang tinggi, Wiradipa dengan cepat dapat merebut hati Ki Saba Lintang sehingga menjadi salah satu dari beberapa orang yang dekat dengan pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati itu dan bahkan telah masuk kedalam sekelompok orang yang bersaing untuk menjadi orang kedua di perguruan Kedung Jati itu.
Namun selagi Ki Saba Lintang masih ada, maka mereka masing-masing masih harus menahan diri, karena mereka masih tetap menghormati kuasa Ki Saba Lintang.
Tetapi demikian Ki Saba Lintang tidak ada, maka merekapun seakan berebut untuk menguasai tongkat baja putihnya. Demikian Ki Wiradipa sempat mendahului yang lain memiliki tongkat baja putih itu, maka iapun ingin membuktikan, bahwa ia memang seorang yang pantas untuk menggantikan Ki Saba Lintang.
Tetapi demikian ia turun di medan pertempuran, Ki Wiradipa telah bertemu dengan Glagah Putih. Seorang yang meskipun masih terhitung muda, tetapi ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sebenarnyalah dalam umurnya yang masih terhitung muda, Glagah Putih telah mempunyai pengalaman yang tidak kalah luasnya dengan lawannya. Bahkan selain berbekal pengalaman, landasan ilmu Glagah Pulihpun cukup tinggi. Terakhir ia telah membekali dirinya serta melengkapi ilmunya dengan ilmu yang diserapnya dari kitab Ki Namaskara yang telah mengikatnya dalam laku Tapa Ngidang di tengah-tengah hutan yang lebat.
Dengan demikian, kedua orang yang berlimu tinggi itupun telah bertempur dengan sengitnya mewarnai perang yang sedang berkecamuk itu.
Sementara itu, pasukan Mataram perlahan-lahan mulai mendesak lawannya. Beberapa orang Senapati yang sangat berpengaruh dari Demak telah tidak ada lagi. Bahkan Ki Saba Lintangpun sudah terbunuh di pertempuran. Sehingga dengan demikian, maka gelora didalam jiwa para prajurit Demak, mereka yang mengaku para murid duri perguruan Kedung Jati, apalagi para Wiratani, menjadi semakin menyusut.
Sementara itu, gelar yang dipimpin oleh Pangeran Puger mudapun bergerak semakin maju pula. Bahkan pasukan yang dipimpin Pangeran Demang Tanpa Nungkilpun telah bergeser lebih cepat dari hari-hari sebelumnya.
Di induk pasukan, Kangjeng Adipati Demak merasakan tekanan yang semakin berat dan pasukan Mataram. Maka Kangjeng Adipati itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali langsung berhadapan dengan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Jika Kangjeng Adipati berhasil menguasai Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, maka pasukannya akan dapat menguasai pasukan Mataram.
Tetapi yang terjadi sebenarnyalah mempunyai pengaruh yang besar pada perang antara Demak dan Mataram itu. Terbunuhnya beberapa orang Senapati terpercaya dari Demak, ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Beberapa saat kemudian, maka Kangjeng Adipati Demakpun telah menguak medan. Sehingga akhirnya, ia pun telah bertemu dengan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
"Dimas Panembahan," berkata Kangjeng Adipati Demak, "kita akan menyelesaikan persoalan di antara kita."
"Kangmas Pangeran, sebaiknya Kangmas sempat menilai apa yang telah terjadi. Pasukan Demak telah terguncang. Para prajurit yang merasa telah kehilangan orang-orang yang mereka banggakan, telah membuat hati mereka menyusut. Bahkan orang-orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jatipun telah kehilangan pemimpin tertinggi mereka."
"Para murid dari perguruan Kedung Jati telah menemukan pemimpin mereka yang baru."
"Anak Tanah Perdikan itu telah menghambatnya. Bahkan orang yang mengaku pengganti Ki Saba Lintang itu tidak akan mampu menembus pertahanan anak Tanah Perdikan itu."
"Tidak Dimas. Kami akan menembus pertahanan Dimas Panembahan. Kami akan memecahkan gelar pasukan Dimas. Meskipun beberapa orang kami telah tewas, tetapi kami masih akan sanggup melakukannya."
Namun belum lagi getar kata-kata Kangjeng Adipati Demak itu reda, telah terjadi goncangan yang keras di induk pasukan itu. Ternyata beberapa orang Senapati Mataram menghentakkan pasukannya mendesak pasukan Demak, sehingga garis pertempuran itu bergeser.
Kangjeng Adipati Demakpun tidak mau kehilangan banyak waktu. Iapun segera bersiap sambil berkata, "Aku masih memberimu waktu Dimas Pangeran. Jika kau memerintahkan pasukanmu berhenti bertempur, maka kau akan selamat."
"Maaf, kangmas Adipati. Akulah yang seharusnya menawarkan pengampunan."
Kangjeng Adipati Demakpun tidak berbicara lagi. Iapun segera memutar senjatanya. Dengan gerangnya Kangjeng Adipati itupun menyerang Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang pada saat itu bersenjata sebatang tombak pendek yang ujungnya bercabang dua. Sebuah canggah.
Demikianlah pertempuran diantara keduanyapun menjadi semakin sengit. Namun bersamaan dengan itu, maka pasukan Demak yang sudah kehilangan beberapa orang Senapati terpentingnya, menjadi lebih mudah goyah.
Sementara itu, Glagah Putih masih bertempur dengan garangnya melawan Wiradipa yang telah mengangkat dirinya menggantikan Ki Saba Lintang. Bahkan dengan lantang iapun berkata, "Bocah edan. Jangan samakan aku dengan Ki Saba Lintang yang telah banyak berada di padepokan induk perguruan Kedung Jati, sehingga wawasan serta pengalamannya menjadi sempit. Tetapi aku adalah pengembara yang telah menjelajahi tanah ini. Aku telah bertempur dan bahkan membunuh puluhan orang berilmu tinggi, sehingga pengalaman serta landasan ilmuku jauh lebih tinggi dari Ki Saba Lintang."
"Tetapi ilmumu tentu belum setinggi orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu."
"Apakah kau merasa mampu menandingi orang itu" "
"Tentu saja aku merasa mampu."
"Anak iblis. Bersiaplah untuk mati."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
-ooo0dw0ooo- Jilid 385 PERTEMPURANPUN menjadi semakin sengit. Tongkat baja putih yang berada di tangan orang itu ternyata tidak mampu menembus pertahanan ikat pinggang Glagah Putih.
Namun semakin lama mereka bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka, maka pertahanan merekapun mulai merenggang. Sekali-sekali tongkat baja putih Ki Wiradipa serta ikat pinggang Glagah Putih mampu menembus pertahanan mereka masing-masing.
Namun akhirnya, Ki Wiradipa itupun harus mengakui kenyataan, bahwa serangan-serangan Glagah Putih mempunyai peluang lebih banyak untuk menyentuh tubuh Ki Wiradipa yang bertubuh tinggi, tegap dan bermata cekung itu.
Demikianlah, maka ketika ikat pinggang Glagah Putih menyentuh lengan Ki Wiradipa, maka kulit lengan Ki Wiradipa itupun telah dilekati oleh tapak ikat pinggang itu sehingga menjadi merah kebiru-biruan. Dengan serta-merta Ki Wiradipa meloncat surut. Lengannya terasa menjadi sangat sakit. Bahkan rasa-rasanya tulang lengannya itu bagaikan menjadi retak.
Ki Wiradipa mengumpat kasar. Ternyata orang yang masih terhitung muda itu mempunyai bekal ilmu yang sangat tinggi.
Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, maka Ki Wiradipa itu telah menghentakkan ilmunya. Namun Glagah Putihpun telah meningkatkan ilmunya pula.
Sentuhan ikat pinggang Glagah Putih itupun kemudian telah mengenainya lagi. Tetapi dengan meninggalkan jejak yang berbeda. Ketika sisi ikat pinggang itu mengenai pundaknya, maka di pundak itu telah tergores luka seperti goresan pedang yang sangat tajam.
"Setan alas kau Glagah Putih. Apakah yang sebenarnya kau genggam di tanganmu itu."
"Bukankah kau tahu, bahwa aku menggenggam sehelai ikat pinggang."
"Dari iblis manakah kau dapatkan ikat pinggang itu."
"Kalau aku anak iblis, maka ikat pinggang ini tentu aku warisi dari ayahku."
Kemarahan Wiradipa tidak dapat dikendalikannya lagi. Iapun segera berloncatan menyerang Glagah Putih.
Namun kemarahannya itu justru telah menyulitkan keadaannya. Karena kemarahannya itu, maka perhitungannya menjadi kabur. Dengan demikian maka serangan-serangannya menjadi tidak mapan. Apalagi orang itu masih belum benar-benar menguasai watak dan sifat tongkat baja putih yang berada di tangannya itu.
Karena itu, maka semakin lama orang itupun menjadi semakin terdesak. Ayunan tongkatnya menjadi semakin tidak terarah, hingga justru serangan-serangan Glagah Putihlah yang menjadi semakin sering menembus pertahanannya.
Ternyata orang itu semakin lama menjadi semakin gelisah. Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu telah memberikan isyarat dengan suitan nyaring.
Dari antara mereka yang sedang bertempur dengan sengitnya itu, telah muncul seseorang yang nampaknya mirip dengan orang yang memegang tongkat baja putih itu. Ia juga seorang yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang. Wajahnyapun mirip sekali, bahkan matanyapun nampak cekung dan dalam.
Tetapi orang itu nampak sedikit lebih muda dari Ki Wiradipa.
Ketika orang itu muncul dengan tiba-tiba, maka dua orang prajurit Mataram mencoba menghalanginya. Namun pertempuran diantara mereka tidak berlangsung lama. Kedua orang prajurit Mataram itupun segera terdesak. Bahkan ketika datang dua orang prajurit Mataram yang lain, maka merekapun telah terlempar dari arena. Seorang diantara mereka tidak segera dapat bangkit karena punggungnya menjadi sangat kesakitan. Seorang lagi lengannya serasa patah. Sedang kedua orang yang lain, sama sekali tidak berdaya. Seorang diantara merekapun terbanting dan menjadi pingsan, sedang yang lain jatuh terlentang ketika kaki orang itu mengenai dadanya.
Orang itupun kemudian dengan cepat meloncat mendekati orang yang bersenjata tongkat baja putih itu. Ia tahu apa yang harus dilakukannya.
Tetapi tiba-tiba saja seorang perempuan telah berdiri menghadapinya sebelum ia sempat membantu orang yang bernama Wiradipa itu.
"Kau mau apa, he ?" bertanya orang itu.
"Akulah yang bertanya, kau mau apa" Biarkan saja mereka menyelesaikan pertempuran diantara mereka."
"Kita berada dalam pertempuran. Siapapun dapat melibatkan diri. Apa maumu, he?"
"Baik. Semua orang dapat melibatkan diri. Karena itu, jika kau akan melibatkan diri maka aku pun akan melibatkan diri pula."
"Kau" Kau akan melibatkan diri" Apakah Mataram sudah kehabisan laki-laki sehingga seorang perempuan harus melibatkan diri?"
"Mataram tidak kehabisan laki-laki. Tetapi perempuan di Mataram merasa mengemban kewajiban yang sama dengan laki-laki. Bukankah kau tahu, bahwa yang mengalahkan Ki Saba Lintang adalah seorang perempuan ?"
"Persetan. Tetapi jika kau tidak mau pergi, maka kau akan menyesal."
"Aku tidak mau pergi. Aku justru datang untuk menghadapimu sekarang, agar kau tidak mengganggu mereka yang bertempur memperebutkan tongkat baja putih itu."
"Sebenarnya aku malu bertempur melawan seorang perempuan. Tetapi kesombonganmu telah menyinggung perasaanku."
"Agaknya kau memang seorang pemalu. Tetapi tidak apa. Kau akan mengalami nasib yang sama seperti Ki Saba Lintang."
Orang itu menjadi sangat marah. Karena itu maka iapun kemudian menggeram, "Baik. Baik. Aku akan membunuhmu."
Tetapi di wajah perempuan itu sama sekali tidak terbayang kecemasannya. Bahkan sambil tersenyum perempuan itu berkata, "Aku sudah siap Ki Sanak. Siapakah diantara kita yang akan keluar dari arena pertarungan ini."
"Sebelum kau mati, sebut namamu, nduk?"
"Namaku Rasa Wulan. Aku adalah isteri Glagah Putih yang sedang bertempur melawan orang yang telah memegang tongkat baja putih itu."
"Kau isterinya ?"
"Ya. Nah, sekarang sebut namamu."
"Namaku Patradipa. Aku adalah adik kakang Wiradipa yang sedang menjadi pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati."
"O. Jadi kakakmu itu menganggap dirinya pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati."
"Bukan sekedar menganggap dirinya, tetapi ia memang pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati. Bahkan kuasanya akan melampaui kuasa Ki Saba Lintang."
"Ia akan kehilangan tongkatnya hari ini."
"Persetan. Bersiaplah untuk mati Rara Wulan. Sebenarnya sayang sekali untuk membunuhmu. Tetapi apaboleh buat."
Rara Wulan tidak menjawab lagi. Ketika ia sempat melihat sejenak pertempuran antara Glagah Putih dan Wiradipa, maka Glagah Putihpun semakin menguasai pertempuran itu.
Demikianlah, maka Patradipa itupun segera meloncat menyerang Rara Wulan. Namun Rara Wulan cukup tangkas. Sambil mengelak iapun berkata, "Sebentar lagi, kakakmu akan kehilangan segala kesempatannya."
Patradipa tidak menyahut. Tetapi serangan-serangannya menjadi semakin cepat.
Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Patradipa ingin segera mengalahkan perempuan yang telah berani menantangnya itu.
Tetapi setiap kali Patradipa meningkatkan ilmunya, lawannyapun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga perempuan itu selalu saja mampu mengimbanginya.
Demikianlah, maka keduanyapun telah mengerahkan kemampuan mereka. Sekali-sekali Patradipa telah mendesak Rara Wulan. Namun pada kesempatan lain, justru Rara Wulanlah yang telah mendesak lawannya.
Sementara itu, Wiradipa telah menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan Glagah Putih menjadi semakin cepat. Ikat pinggangnya berputaran dengan cepatnya disekitar tubuhnya.
Wiradipa yang melihat adiknya harus bertempur dengan seorang perempuan itu mengumpat kasar. Sebenarnya ia telah berniat untuk bertempur berpasangan untuk melawan Glagah Putih. Tetapi adiknya itupun telah terlibat dalam pertempuran yang tidak kalah sengitnya.
Sebenarnyalah bahwa Patradipa itu tidak mengira, bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu mampu mengimbanginya, bahkan akhirnya Patradipa seakan-akan telah kehilangan akal. Apapun yang dilakukannya, perempuan yang menyebut dirinya Rara Wulan itu telah berhasil mendahuluinya.
Karena itu, maka Patradipa itupun semakin lama justru menjadi semakin terdesak, sehingga akhirnya Patradipa itu harus melindungi dirinya dengan senjata meskipun ia hanya melawan seorang perempuan.
"Perempuan ini tentu perempuan iblis," geram Patradipa sambil mencabut kerisnya yang ujudnya jauh lebih besar dari keris kebanyakan. Keris yang diselipkan di punggungnya, sehingga hulunya mencuat di belakang punggungnya.
Demikian keris itu tercerabut dari wrangkanya, maka keris itu seakan-akan menyala dengan cahayanya yang kemerah-merahan.
"Keris ini adalah bukan keris kebanyakan," berkata Patradipa, "Sebelum kakang Wiradipa memperoleh pertanda tongkat baja putih pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati, maka keris ini adalah pusakanya, peninggalan dari leluhur kami. Sebenarnya aku tidak perlu mencabut keris ini, karena jika keris ini sudah keluar dari wrangkanya, maka keris ini harus dibasahi dengan darah. Apalagi untuk melawan seorang perempuan. Tetapi ternyata waktuku tidak terlalu banyak, sehingga aku harus segera membunuhmu."
Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak menjadi gentar melihat tubuh keris yang berwarna kemerah-merahan itu. Bahkan Rara Wulan sempat menyahut, "Karena kerismu itu harus dibasahi dengan darah, bukankah kau dapat pergi ke padukuhan untuk mencari ayam atau bahkan kambing yang dapat kau kucurkan darahnya."
"Persetan kau perempuan iblis," geram Patradipa, "jangan menyesali nasibmu yang buruk. Aku akan menghujamkan keris ini di dadamu."
Orang itu tidak berbicara lagi. Iapun dengan serta merta telah meloncat sambil menjulurkan kerisnya mengarah ke dada Rara Wulan.
Rara Wulan itupun meloncat mengelakkan serangan itu sambil berkata, "Kenapa kau menjadi sangat tergesa-gesa" Apakah kau mencemaskan kakakmu yang membawa tongkat baja putih itu."
"Aku akan mengoyakkan mulutmu."
Rara Wulan tertawa. Namun Rara Wulanpun segera mengurai selendangnya. Sambil memutar selendangnya iapun berkata, "Jangan terlalu bangga dengan kerismu."
Patradipa itupun meloncat surut. Sambil mengamati selendang Rara Wulan iapun berkata, "Apa yang akan kau lakukan dengan selendang" Kau kira, kau ini berhadapan dengan apa?"
"Bukankah aku berhadapan dengan adik dari orang yang mengaku pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati sepeninggal Ki Saba Lintang. Tetapi apakah kau sendiri pernah menyadap ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati ?"
Orang itu tidak menjawab. Tetapi iapun menggeram, "Bersiaplah untuk mati."
Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat lagi dalam pertarungan antara hidup dan mati. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Dengan keris yang besar ditangannya, maka Patradipa telah menunjukkan ilmu pedangnya yang sangat tinggi, yang ternyata dapat di-trapkan dengan jenis senjatanya yang baru diterimanya dari kakaknya.
Tetapi selendang Rara Wulan bukanlah selendang kebanyakan. Dengan dilambari dengan tenaga dalamnya yang tinggi, maka Rara Wulan mampu mempermainkan selendang gnya sehingga membuat lawannya menjadi berdebar-debar.
"Selendang itu tentu selendang iblis," geram Patradipa, "kerisku tidak mampu menebas putus selendang itu."
Namun ketika ujung selendang itu mematuk dadanya, Patradipa itupun terdorong beberapa langkah surut. Rasa-rasanya segumpal batu padas telah menghentak mengenai dadanya itu.
Demikianlah maka keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat.
Namun serangan-serangan Rara Wulanlah yang telah banyak mengenai tubuh lawannya yang menjadi semakin marah, tetapi juga gelisah.
Keringatnya terasa membasahi seluruh tubuhnya.
Dalam pada itu, pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Demak itupun mulai menampakkan perubahan keseimbangan.
Pasukan Mataram perlahan-lahan telah semakin mendesak pasukan Demak. Bahkan Mataram telah merubah gelarnya pula, menjadi gelar Wulan Tumanggal, sehingga gelar pasukan Mataram itu dapat menggapai ujung-ujung pasukan Demak. Jika semula sayap-sayap gelar pasukan Demak seakan-akan membuat setengah lingkaran di hadapan gelar pasukan Mataram, maka dengan perubahan gelar itu, maka sayap-sayap gelar pasukan Demakpun telah terdorong ke belakang.
Selain itu, keseimbangan gelar pasukan di lambungpun telah berubah. Pasukan Mataram di kedua sisi telah berhasil mendesak pasukan Demak.
Apalagi setelah lewat tengah hari, ketika pasukan Mataram telah menurunkan pasukan cadangannya yang semula berada di ekor gelarnya.
Kangjeng Adipati Demak tidak dapat mengingkari kenyataan itu.
Dalam pertempuran yang sengit itu, tiba-tiba saja sesuatu telah bergetar di pusat jantung Kangjeng Pangeran Puger. Ketika ia sempat memperhatikan korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak, maka Pangeran Puger itu seakan-akan baru terbangun dari sebuah mimpi yang sangat buruk. Seakan-akan Pangeran Puger itu baru melihat pada saat itu, apa yang sebenarnya terjadi di medan pertempuran itu. Darah, erang kesakitan serta wajah-wajah yang membayangkan kebencian dan dendam.
Tiba-tiba saja Pangeran Puger itupun menggeram, "Dimas Panembahan. Persoalan ini adalah persoalan antara kau dan aku. Antara dua orang saudara yang berebut kuasa. Kenapa kita harus melibatkan ribuan orang serta harus mengorbankan ratusan diantara mereka" Kenapa kita tidak menyelesaikan persoalan di antara kita itu tanpa menyeret orang lain dalam kesulitan, kebencian dan dendam."
"Kangmas Pangeran Puger. Aku juga bertanya demikian. Persoalan ini adalah persoalan dari dua orang putera Panembahan Senapati yang memperebutkan kamukten. Dua orang bersaudara yang berkelahi karena menginginkan warisan yang satu lebih banyak dari yang lain. Meskipun sudah ada tatanan dan paugeran tentang pewarisan kekuasaan dan kemukten itu, namun kita masih juta bersengketa. Karena itu, aku sependapat dengan kangmas Pangeran Puger. Marilah kita berdua menyelesaikan persoalan kita. Kita hentikan perang yang akan menelan korban semakin banyak ini. Jika kangmas Pangeran Puger tidak puas dengan tatanan dan paugeran yang ada, sehingga kangmas memilih jalan berdarah, aku akan melayaninya."
Pangeran Puger tidak segera menjawab, sementara itu Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun berkata selanjutnya, "Kangmas dapat mengambil keputusan sekarang. Perang yang akan menelan ratusan korban jiwa, merenggut anak-anak muda dari ibunya. Merampas suami-suami dari isteri dan anak-anaknya. Atau perang tanding di antara dua orang putera Panembahan Senapati yang berebut kemukten, jika tahta Mataram itu kita terjemahkan sebagai kamukten tanpa menghiraukan kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang pemimpin terhadap rakyatnya. Jika kedudukan seorang raja itu hanya dibaca sebagai muara dari kesenangan, kemukten, bahkan semua kemauan dan keinginannya akan dapat dipenuhi, serta kuasa tanpa batas, sehingga memperebutkan tahta kerajaan Mataram tidak ubahnya seperti dua ekor kucing yang memperebutkan tulang. Tanpa rasa tanggung-jawab sama sekali. Atau kangmas dapat melihat penyelesaian yang lain, yang lebih baik dari apa yang telah terjadi di medan perang ini."
Wajah Panembahan Puger menjadi tegang. Ia masih sempat melihat seorang prajurit yang sedang bertempur, tiba-tiba saja seseorang yang datang dari arah samping dengan serta-merta menusukkan ujung tombak pendeknya ke lambungnya.
Prajurit itu terkejut. Ketika ia berpaling, ia sempat melihat lawannya yang menusuk lambungnya itu. Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, prajurit itu berteriak nyaring. Namun demikian ia menghentakkan suaranya, maka darahpun semakin banyak mengalir dari luka. Tetapi ketika prajurit yang marah itu akan membalas menyerang prajurit yang menusuk lambungnya, maka lawannya yang lain telah menusuk dadanya dengan pedangnya.
Prajurit itu terhempas jatuh di tanah. Tetapi agaknya lawannya menjadi seperti orang mabuk. Prajurit yang sudah tidak berdaya itu telah diinjak dadanya sambil meneriakkan kemenangannya.
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati tidak mengusik Pangeran Puger yang kemudian menarik nafas panjang.
Di peperangan tentu banyak terjadi peristiwa kekejaman seperti itu. Para prajurit yang berada di medan perang, tentu akan sangat sulit untuk mengendalikan perasaannya, sehingga terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat menyentuh hati.
Dalam keadaan yang penuh kebimbangan itu, Pangeran Puger merasakan goncangan-goncangan di induk pasukannya yang semakin terdesak.
Agaknya sepeletik sinar terang telah menyala di hati Pangeran Puger. Karena itu, maka akhirnya Pangeran Puger itu mengambil keputusan, biarlah dirinya yang dikorbankan untuk keselamatan prajurit-prajurit serta rakyat yang telah mendukungnya.
Dengan dada tengadah Pangeran Puger itupun kemudian menancapkan tombak pendeknya menghujam di bumi. Dengan lantang iapun berkata, "Dimas Panembahan Hanyakrawati. Aku akan menghentikan perang, tetapi aku mempunyai beberapa permohonan."
"Apa saja permohonan Kangmas Pangeran."
"Dimas harus juga menghentikan permusuhan. Tidak sekedar menghentikan perang. Dimas memberi kesempatan kepada pasukan Demak untuk menarik diri dan meninggalkan medan, sedangkan pasukan Mataram tidak memburu mereka. Aku akan memikul segala tanggung jawab atas terjadinya perang ini. Karena itu, maka Dimas jangan menghukum orang lain. Kemudian tindakan-tindakan yang berdasarkan peri kemanusiaan yang lain, sehingga Mataram tidak bertindak sewenang-wenang. Demak harus tetap berdiri, siapapun yang akan menjadi pemimpinnya."
Panembahan Hanyakrawati berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku akan memenuhi permintaan kangmas Adipati."
"Baik. Jika demikian, aku akan menyerah, dimas." Pangeran Pugerpun kemudian telah memerintahkan pasukan Demak untuk mundur dari medan pertempuran.
Sementara itu, lewat para Senapati pengapitnya, Panembahan Hanyakrawatipun telah memerintahkan pasukan Mataram untuk membiarkan pasukan Demak menarik dirinya. Para pemimpin Demakpun segera memerintahkan pasukannya untuk menjauhi garis pertempuran dan selanjutnya mereka telah mempersiapkan diri untuk menarik seluruh kekuatannya kembali ke Demak. Apalagi setelah mereka mengetahui, bahwa Kangjeng Adipati Demak telah menyerah.
"Kenapa kita justru meninggalkan Kangjeng Adipati itu berada di tangan orang-orang Mataram?" bertanya seorang Senapati yang setia kepada Kangjeng Adipati Demak.
"Kangjeng Adipati sendiri yang memberikan perintah itu."
"Beri kesempatan aku dan sekelompok prajuritku untuk merebut Kangjeng Adipati."
"Tidak perlu, adi."
"Kakang bukan seorang yang setia. Atau kakang memang menghendaki Kangjeng Adipati tertawan" Kemudian kakang akan mendukung orang lain untuk menduduki jabatan itu ?"
"Aku adalah seorang prajurit yang patuh akan perintah. Karena itu, aku tidak berani melanggar perintah Kangjeng Adipati itu sendiri."
Namun akhirnya para Senapati Demak itupun harus menerima keputusan yang telah diambil langsung oleh Kangjeng Adipati sendiri.
Namun dalam pada itu, ketika pasukan Demak mulai ditarik, maka pertempuran antara Patradipa melawan Rara Wulanpun telah sampai ke puncaknya pula. Ternyata Patradipa masih belum sempat mematangkan ilmunya. Ketika Patradipa merasa tidak mampu lagi mengatasi selendang Rara Wulan dengan kerisnya yang besar, maka Patradipapun mencoba untuk mengalahkan Rara Wulan dengan ilmu pamungkas yang ternyata belum dikuasainya dengan matang.
Namun Rara Wulan yang melihat Patradipa itu memusatkan nalar budinya, maka Rara Wulanpun melakukan hal yang sama. Rara Wulan masih belum tahu, seberapa jauh kemampuan lawannya, sehingga karena itu, ia tidak ingin mengalami akibat, yang sangat buruk oleh ilmu andalan lawannya itu.
Namun ketika kedua ilmu dari kedua orang yang sedang bertempur itu berbenturan, maka ternyata bahwa ilmu andalan Patradipa masih jauh dari ilmu yang dikuasai oleh Rara Wulan, sehingga karena itu, maka Patradipa itupun bagaikan telah dihempaskan oleh kekuatan yang sangat besar.
Patradipa itupun kemudian terkapar dengan isi dadanya yang bagaikan telah terbakar hangus.
Melihat adiknya terbunuh, maka Wiradipapun menjadi semakin gelisah. Sementara ia sendiri semakin mengalami kesulitan. Sedangkan pasukan Demak telah mulai bergeser meninggalkan pertempuran.
Beberapa orang yang menyebut dirinya murid dari perguruan Kedung Jati masih saja memperhatikan pertempuran itu. Tetapi mereka tidak dapat bertahan lebih lama, karena prajurit Demak semakin deras mengalir meninggalkan medan. Sementara perintah dari para Senapati Mataram, agar pasukan Mataram tetap tinggal di tempat dan membiarkan para prajurit Demak itu bergeser surut.
Wiradipa yang bertempur melawan Glagah Putih itupun akhirnya tidak dapat berbuat lain. Ia merasa bahwa ilmu pamungkasnya jauh lebih masak dari ilmu adiknya, sehingga karena itu, maka Wiradipa itupun berniat untuk mengetrapkan ilmu puncaknya itu pula.
Demikianlah, maka pada saat-saat terakhir, pertempuran antara Demak dan Mataram itu, Wiradipa telah menghentakkan ilmu puncaknya.
Namun ternyata bahwa ilmu Wiradipapun tidak dapat diperbandingkan dengan ilmu puncak Glagah Putih yang disebutnya Aji Namaskara. Karena itu, maka seperti yang terjadi pada adiknya, maka Wiradipa itupun telah terhempas dan jatuh terbanting di tanah.
Beberapa orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jatipun telah berloncatan mendekatinya, namun Glagah Putihpun membentak, "Jangan dekati orang itu, atau kalian akan mengalami nasib yang sama."
Orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itupun menjadi termangu-mangu, sementara Glagah Putih melangkah dengan hati-hati mendekati tubuh Wiradipa yang terbaring.
Ternyata Glagah Putihpun telah memungut tongkat baja putih yang masih berada di tangan Wiradipa yang terbaring diam. Bahkan nafasnyapun telah berhenti mengalir lewat lubang hidungnya.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya seorang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati.
"Aku akan menyerahkannya kepada yang berhak."
"Siapa ?" "Aku tidak dapat mengatakannya sekarang. Tetapi perguruan Kedung Jati akan segera ditertibkan. Hanya murid-murid perguruan Kedung Jati sajalah yang akan tetap diakui dengan melewati pendadaran. Baik ilmunya, maupun sikap dan pandangan hidupnya."
Orang-orang itu tidak ada yang berani mencegahnya ketika Glagah Putih bergeser surut sambil membawa tongkat baja putih itu.
"Sekarang, pergilah. Pasukan Demak sudah meninggalkan garis pertempuran. Sementara itu, langit sudah menjadi kekuning-kuningan."
Untuk beberapa saat orang-orang itu masih saja termangu-mangu. Namun kemudian Glagah Putih itupun berkata, "Cepat, pergilah. Bawa mayat kawanmu itu, atau kau menunggu orang-orang Mataram merubah pendirian?"
Orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itupun kemudian telah membawa tubuh-tubuh pemimpin mereka yang telah terbunuh itu dan dengan cepat merekapun meninggalkan medan, menyusul para prajurit Demak yang telah ditarik mundur.
Yang tinggal di medan adalah prajurit prajurit Mataram yang termangu-mangu. Tetapi mereka tidak dapat melanggar perintah Kangjeng Panembahan Hanyakrawati untuk tidak memburu para prajurit Demak yang menarik diri.
Sementara itu, Kangjeng Adipati Demak yang menyerah, telah dikelilingi oleh beberapa orang Senapati Mataram.
Ki Patih Mandarakapun telah menyibak para Senapati itu. Didekatinya Kangjeng Adipati yang berdiri termangu-mangu.
"Eyang," desis Kangjeng Adipati Demak.
Ki Patihpun kemudian melangkah mendekati Kangjeng Adipati sambil berdesis, "Sokurlah wayah, bahwa wayah segera menyadari sebelum keadaan menjadi semakin buruk."
Kangjeng Adipati itupun kemudian berlutut di depan Ki Patih Mandaraka. Namun dengan cepat Ki Patihpun menarik kedua lengannya agar Kangjeng Adipati Demak itu bangkit berdiri.
"Jangan ngger. Jangan."
"Eyang." Kangjeng Adipati itupun kemudian telah memeluk Ki Patih Mandaraka yang tua itu sambil berkata sendat, "Aku mohon maaf, eyang. Juga kepada Dimas Panembahan Hanyakrawati. Aku telah melakukan kesalahan yang besar sekali. Aku hanya dapat mohon ampun."
"Marilah kangmas. Aku persilahkan kangmas pergi ke pasanggrahan kami."
Seorang Senapatipun kemudian telah mengalungkan sehelai cinde di bahu Kangjeng Adipati sebagai pertanda, bahwa Kangjeng Adipati Demak adalah seorang tawanan.
Semalam itu Kangjeng Adipati Demak berada di pasanggrahan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sebagai tawanan. Ditempatkannya Kangjeng Adipati itu di dalam bilik yang khusus, dijaga dengan kuat oleh beberapa orang Senapati pilihan.
Malam itu juga, Glagah Putih dan Rara Wulan, diantar oleh Ki Lurah Agung Sedayu dan isterinya, yang kedua-duanya masih lemah, menyerahkan tongkat baja putih yang semula berada di tangan Ki Saba Lintang.
Di pasanggrahan malam itu telah berkumpul Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, Ki Patih Mandaraka, Pangeran Singasari yang sudah menjadi semakin baik, Pangeran Puger, Pangeran Demang Tanpa Nangkil serta para Senapati terpenting dari Mataram. Dihadapan mereka, Kangjeng Panembahan Hanyakrawati menyatakan penghargaannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan istrinya, serta Glagah Putih dan istrinya pula. Tanpa mereka, maka orang-orang yang menyebut dirinya murid perguruan Kedung Jati itu masih saja akan sangat mengganggu.
"Tanpa Ki Saba Lintang serta tongkat baja putih itu, maka mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi," berkata Panembahan Hanyakrawati selanjutnya.
"Mereka tentu akan terpecah-pecah dan tercerai berai, Panembahan," sahut Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ya. Mereka akan segera terlempar kembali ke dalam kelompok-kelompok kecil dari mana mereka berasal. Mereka akan kembali ke tempat mereka masing-masing serta merenungi apa yang telah mereka lakukan. Ternyata Ki Saba Lintang dengan pengakuannya, bahwa ia adalah pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati itu tidak memberikan apa-apa kepada mereka."
"Hamba Panembahan."
"Aku juga tidak boleh mengabaikan, apa yang telah Ki Lurah lakukan terhadap orang yang menyebut guru dari Ki Saba Lintang itu. Aku sudah menerimu laporan tentang perang tanding yang dilakukan oleh Ki Lurah Agung Sedayu melawan orang yang mengaku guru dari Ki Saba Lintang dan bahkan telah mendendam karena gurunya telah dibunuh oleh kangmas Rangga semasa hidupnya."
"Hamba hanya sekedar menjalankan kewajiban hamba Panembahan. Sudah seharusnya hamba melakukannya."
"Ki Lurah telah melakukan kewajiban Ki Lurah dengan sangat baik. Kecuali itu, Ki Lurah ternyata telah berbekal ilmu yang sangat tinggi sehingga Ki Lurah dapat mengalahkan orang yang mengaku guru dari Ki Saba Lintang itu."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang, sementara Panembahan Hanyakrawati itupun berkata selanjutnya, "Aku sudah mendapat laporan terperinci dari perang tanding yang sudah terjadi itu, Ki Lurah, disamping laporan tentang kematian kakak beradik yang mencoba mengambil alih kepemimpinan dari apa yang mereka sebut perguruan Kedung Jati itu."
Ki Lurah itupun kemudian menyahut, "Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
Demikianlah, maka Kangjeng Panembahan itupun mengijinkan keempat orang itu untuk beristirahat, sementara Kangjeng Panembahan masih akan berbicara dengan para pemimpin Mataram.
Hampir semua pemimpin di Mataram yang ikut dalam pembicaraan itu telah memuji Ki Lurah Agung Sedayu suami isteri serta Glagah Putih suami isteri pula. Merekapun mengakui bahwa lelabuhan mereka tidak hanya baru dalam perang besar antara Mataram dan Demak itu. Tetapi jauh belum itu, dalam berbagai kesempatan, mereka telah menunjukkan pengabdian mereka. Beberapa kali mereka telah mempertaruhkan nyawa mereka demi tugas-tugas yang harus mereka lakukan.
Namun hampir semua pemimpin di Mataram seolah-olah baru sadar, bahwa orang yang memiliki ilmu yang tinggi serta pengabdian yang tulus itu masih saja tetap seorang Lurah.
Sementara itu, para pemimpin di Matarampun agaknya sependapat bahwa bagi Glagah Putih, dapat diberi kesempatan untuk menjadi seorang prajurit apabila ia menghendaki.
Tetapi segala sesuatunya baru akan dibicarakan kemudian, setelah para pemimpin itu kembali di Mataram.
Yang mereka bicarakan malam itu adalah Kangjeng Adipati di Demak. Apa yang akan mereka lakukan terhadap Kangjeng Adipati.
Namun para pemimpin di Mataram itu merasa lebih baik berdiam diri. Segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Kangjeng Adipati Demak adalah saudara tua Kangjeng Panembahan Hanyakrawati itu.
Dalam suasana yang tegang, Panembahan Hanyakrawati itu akhirnya bertanya kepada sesepuh di Mataram, "Bagaimana pendapat paman Patih Mandaraka?"
Ki Patih menarik nafas panjang. Kemudian katanya, "Wayah Panembahan. Kangjeng Adipati Demak itu adalah saudara wayah Panembahan sendiri. Mungkin wayah Panembahan akan tega melihat saudara sendiri sakit. Tetapi wayah tentu tidak akan tega melihatnya mati. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada wayah Panembahan. Namun perlu dipertimbangkan keputusan akhir yang telah diambil wayah Pangeran Puger, bahwa ia telah menyerah. Ia bersedia mempertanggungjawabkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan perang antara Mataram dan Demak. Ia telah mengorbankan dirinya agar keadaan tidak menjadi semakin buruk. Korban tidak menjadi semakin banyak."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Baiklah, eyang. Aku telah mengambil keputusan, bahwa kangmas Pangeran Puger tidak akan aku kembalikan lagi ke Demak."
"Lalu, apa yang akan wayah lakukan terhadap wayah Pangeran Puger?"
"Aku masih belum tahu, eyang. Untuk sementara, biarlah kangmas Pangeran Puger aku bawa ke Mataram."
Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Segala sesuatunya memang terserah kepada kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Namun bahwa Pangeran Puger akan dibawa ke Mataram, telah membuat sesepuh Mataram itu menjadi berdebar-debar.
Para pemimpin yang lainpun termangu-mangu mendengar keputusan itu. Tetapi sebenarnyalah sikap para pemimpin di Mataram itu sangat berbeda-beda. Bahkan ada yang saling bertentangan.
Seorang Senapati yang terluka di dada serta bahunya, menganggap bahwa Pangeran Puger adalah seorang pemberontak. Ia telah melawan tahta Mataram. Bahkan karena pemberontakannya itu, banyak para pemimpin dan prajurit Mataram yang terbunuh. Senapati itu sendiri terluka parah. Bahkan prajurit-prajurit di pasukannya banyak yang telah gugur.
Seorang Senapati yang lain, berpendapat, bahwa kangjeng Panembahan Hanyakrawati harus menegakkan wibawanya dengan bertindak tegas terhadap siapapun, termasuk saudaranya sendiri. Yang bersalah harus dihukum, meskipun yang bersalah itu adalah kakaknya.
Tetapi seorang pemimpin yang lain, mempunyai pandangan yang berbeda. Kangjeng Adipati Demak telah mengakui segala kesalahannya. Ia telah berusaha untuk mengurangi korban di saat-saat terakhir dari pertempuran yang besar itu.
Sebagaimana dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka, bahwa sikap Pangeran Puger pada saat terakhir itu justru perlu dipertimbangkan.
Tetapi dalam keragu-raguan, Panembahan Hanyakrawati tidak segera menjatuhkan keputusan. Ia akan membawa Pangeran Puger ke Mataram.
Ketika keputusan itu disampaikan kepada pangeran Puger, maka Pangeran Puger mohon untuk dapat berbicara dengan adiknya, Panembahan Hanyakrawati.
Ternyata Panembahan Hanyakrawati tidak berkeberatan. Pada malam itu juga, menjelang dini hari, Panembahan Hanyakrawati telah menemui Pangeran Puger di dalam bilik tahanannya yang dijaga dengan sangat ketat.
"Dimas," berkata Pangeran Puger, "jika aku akan dimas bawa ke Mataram hanya untuk dimas jadikan pengewan-ewan, aku minta agar aku dihukum mati di sini saja."
"Tidak kangmas. Sama sekali tidak. Aku hanya menjadi bingung, sehingga aku belum dapat memutuskan hukuman apa yang pantas aku trapkan bagi kangmas Pangeran Puger. Aku tahu, bahwa aku harus menjatuhkan hukuman. Tetapi hukuman apa?"
"Aku pantas dihukum mati, dimas. Aku tidak akan ingkar. Bahkan aku mohon hukuman mati itu segera dilaksanakan di sini."
Tetapi Kangjeng Panembahan Hanyakrawati itupun menggeleng. Katanya, "Aku belum mengambil keputusan apa-apa kangmas, kecuali bahwa aku menetapkan kangmas tidak akan kembali lagi ke Demak. Yang lain, masih akan aku putuskan kemudian. Aku masih harus berpikir serta membuat pertimbangan-pertimbangan yang masak. Aku tidak boleh tergesa-gesa kangmas."
"Tertundanya hukuman mati yang akan dimas putuskan hanya akan membuat aku menjadi gelisah setiap hari."
"Tetapi untuk mengambil keputusan dengan tergesa-gesa, akan dapat membuat aku menyesal jika kemudian aku sadari, bahwa keputusanku itu keliru, kangmas. Karena itu, maka aku tidak akan membuat keputusan dengan tergesa-gesa. Tetapi aku berjanji, bahwa aku tidak akan mempermalukan kangmas di hadapan rakyat Mataram. Itulah sebabnya, maka aku sudah mempersiapkan tandu yang tertutup untuk membawa kangmas kembali ke Mataram. Aku berharap bahwa tidak ada orang yang memperhatikan tandu itu, karena mereka tidak tahu, siapakah yang berada di dalamnya. Tentu .saja uku tidak hanya menyiapkan sebuah tandu. Mungkin empat atau lima tandu yang tertutup akan berada di antara pasukan Mataram yang kembali dari medan ini."
Pangeran Puger menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata, "Segala sesuatunya terserah kepada dimas Panembahan."
Panembahan Hanyakrawatipun kemudian meninggalkan Kangjeng Adipati Demak di dalam bilik tahanannya, yang dijaga dengan sangat ketat. Selain karena Pangeran Puger sendiri seorang yang berilmu sangat tinggi, namun tentu masih ada Senapatinya yang setia kepadanya.
Kangjeng Adipati Demak sendiri tentu tidak akan berusaha melarikan diri dari bilik tahanannya. Tetapi jika orang-orang yang setia kepadanya datang untuk membebaskannya dengan mempertaruhkan nyawanya, maka keadaan akan dapat menjadi sangat gawat.
Karena itu, maka penjagaan di sekitar bilik tahanan itupun menjadi sangat kuat.
Ternyata malam itu, para prajurit Mataram masih sangat sibuk. Namun mereka tetap mentaati perintah Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Mereka sama sekali tidak mengganggu para prajurit Demak, orang-orang yang mengaku para murid dari perguruan Kedung Jati serta para Wiratani untuk mengambil kawan-kawan mereka yang tertinggal di medan. Yang terbunuh dan yang terluka parah.
Namun malam itu, para prajurit Mataram tidak dengan tergesa-gesa mengadakan upacara pemakaman kawan-kawan mereka yang gugur. Esok mereka tidak perlu turun ke medan, sehingga mereka dapat memakamkan kawan-kawan mereka esok pagi.
Demikianlah, di samping upacara pemakaman, maka para prajurit itupun telah mempersiapkan semua peralatan serta segala macam bekal yang masih ada. Para prajuritpun telah mempersiapkan pedati-pedati serta tandu yang akan mereka bawa kembali ke Mataram.
Para Senapati pun telah menyusun pasukan mereka masing-masing. Mereka harus meneliti para prajuritnya. Mereka harus tahu pasti, berapakah di antara prajuritnya yang gugur, yang terluka parah serta yang terluka ringan.
Namun persiapan para prajurit itu tidak selesai dalam waktu sehari. Karena itu, maka mereka baru dapat meninggalkan pesanggrahan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati tiga hari kemudian.
Tetapi Mataram masih akan meninggalkan sekelompok prajuritnya untuk menyelesaikan segala sesuatunya yang mungkin masih harus dibenahi kemudian. Sekelompok prajurit pilihan yang akan dapat mengatasi masalah-masalah yang dapat timbul. Bahkan jika ada orang-orang Demak yang mendendam.
"Para prajurit Demak tidak akan merunduk mereka," berkata seorang Senapati, "mereka tentu menghormati sika Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Bahkan jika Demak berani mengganggu sekelompok prajurit yang tinggal itu, maka pasukan Mataram akan kembali pula dan menghancurkan mereka sampai lumat."
"Bagaimana dengan mereka yang mengaku para murid dari perguruan Kedung Jati?"
"Sepeninggal Ki Saba Lintang, serta setelah tongkat baja putihnya berada di tangan Mataram, maka mereka akan tercerai berai. Tidak ada orang yang dapat memimpin mereka. Merekapun akan kembali kepada kepentingan mereka masing-masing."
Demikianlah, maka ketika segala sesuatunya sudah siap, maka pasukan Mataram yang besar itupun telah meninggalkan pesanggrahan, kembali ke Mataram. Segala sesuatunya tentang rumah-rumah di kademangan yang telah dipergunakan oleh pasukan Mataram akan diselesaikan urusannya oleh para prajurit yang tinggal.
Sepanjang jalan, nampak wajah-wajah berseri dari para prajurit yang merasa telah memenangkan perang itu. Jika saja Kangjeng Panembahan Hanyakrawati tidak menahan mereka, maka mereka tentu tidak akan membiarkan pasukan Demak mengundurkan diri dengan tanpa gangguan. Jika saja pasukan Mataram dibiarkan memburu pasukan Demak yang mundur dari medan, maka korban tentu akan menjadi sangat banyak. Bukan saja prajurit Demak, tetapi juga prajurit-prajurit Mataram. Prajurit-prajurit Demak yang putus asa tentu akan memberikan perlawanan membabi buta, sehingga keadaan akan menjadi semakin buruk.
Sebaliknya, para prajurit Matarampun akan dapat kehilangan kendali sehingga dapat melakukan perbuatan di luar dugaan.
Di dalam iring-iringan pasukan Mataram itu terdapat sejumlah pedati serta beberapa tandu yang tertutup.
Di dalam pedati itu terdapat berbagai macam perlengkapan. Dari perlengkapan perang sampai ke perlengkapan dapur. Bahkan bahan-bahan pangan yang masih tersisa, sementara sebagian mereka tinggalkan di pesanggrahan bagi para prajurit Mataram yang harus melanjutkan tugasnya.
Sementara itu, iring-iringan yang panjang, yang di antaranya terdapat beberapa pedati serta tandu yang tertutup, berjalan dengan lambat. Para pemimpin serta para Senapati yang berkuda, bahkan merasa pasukan itu bagaikan siput yang merayap di tanah berabu.
Tetapi mereka tidak dapat memaksa iring-iringan itu berjalan lebih cepat lagi. Apalagi beberapa buah pedati yang ditarik oleh sepasang lembu yang berisi hampir penuh.
Semakin jauh dari medan pertempuran, semakin banyak rakyat yang menyambut pasukan itu di pinggirpinggir jalan. Mereka tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan Mataram yang pulang sambil membawa kemenangan.
Namun perjalanan ke Mataram agaknya diperlukan waktu yang panjang. Agaknya mereka memerlukan setidaknya tiga hari, baru mereka akan memasuki pintu gerbang kota.
Ketika matahari mulai turun di sisi Barat langit, maka iring-iringan itu berjalan semakin lambat. Panas matahari rasa-rasanya bagai membakar kulit. Keringatpun telah membasahi pakaian para prajurit yang sudah penuh dengan debu.
Tetapi para prajurit itu masih saja berjalan dengan wajah tengadah. Mereka telah memenangkan perang. Yang terluka, tidak lagi merasakan pedih meskipun luka itu kemudian menjadi basah oleh keringat. Bahkan luka-luka itu rasanya membuat para prajurit itu menjadi berbangga.
Tetapi yang terluka lebih parah, masih harus mengerang kesakitan. Mereka berbaring dalam pedati yang berjalan lamban serta bergoyang-goyang karena jalan yang tidak rata.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah, meskipun, sudah menjadi berangsung baik, namun mereka masih harus duduk di punggung kuda sepanjang perjalanan. Tetapi . Glagah Putih dan Rara Wulan, lebih sering berjalan kaki bersama para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dari pada duduk di punggung kudanya.
"Naiklah," berkata seorang pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan. "Kalian akan menjadi terlalu letih jika kalian berjalan bersama kami."
"Jika kalian tidak merasa letih, maka kamipun tentu tidak merasa letih pula."
Ketika senja turun, maka pasukan itupun telah berhenti di sebuah padang perdu yang luas. Sekelompok prajurit dengan tangkas telah mempersiapkan tempat yang khusus untuk menyediakan makan dan minum.
Disilangkannya, beberapa buah pedati setelah lembu-lembunya dilepas, sehingga telah terjadi sebuah ruang yang agak terpisah, yang kemudian dipergunakannya sebagai dapur.
Para prajurit yang bekerja di dapur itu telah minta tolong beberapa orang prajurit yang lain untuk mengambil air di padukuhan terdekat.
"Kelentingnya tidak cukup banyak," jawab prajurit yang malas.
"Kita pinjam kelenting di padukuhan."
"Kau tahu, kakiku sakit?"
Namun prajurit itu tidak membantah lagi ketika Lurahnya yang tiba-tiba saja telah berdiri di belakangnya berkata, "Ia memang sakit. Bukan hanya kakinya, tetapi perutnya, sehingga ia tidak mau makan hari ini."
Prajurit itupun kemudian bangkit berdiri dan ikut bersama kawan-kawannya pergi ke padukuhan untuk mengambil air.
Dengan cepat para prajurit yang bertugas di dapur itu mempersiapkan makan bagi seluruh pasukan. Namun karena tugas-tugas itu telah mereka lakukan dari waktu ke waktu, maka merekapun tidak merasa canggung lagi.
Malam itu, para prajurit Mataram, berkemah di tempat terbuka. Mereka menebar di sebuah padang perdu yang luas, yang membentang dari bulak di sebelah padukuhan sampai ke pinggir hutan yang agak jauh. Di ujung padang perdu terdapat tanah berbukit-bukit kecil yang nampaknya tandus.
Di beberapa tempat, para prajurit yang merasakan dingin yang menggigit, telah membuat perapian untuk sedikit memanaskan udara di sekitarnya.
Sementara itu, bagi Kangjeng Panembahan Hanyakrawati serta para pangeran telah disediakan beberapa tempat khusus yang dilindungi oleh beberapa buah pedati yang sengaja diatur membujur dan melintang.
Namun agaknya Kangjeng Panembahan Hanyakrawati serta para Pangeran tetap saja berada di antara para Senapati. Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun telah membuat perapian pula, dikelilingi oleh para pangeran yang lain. Sementara itu, Ki Patih Mandaraka justru berjalan-jalan di antara para prajurit yang sedang beristirahat.
Ketika Ki Patih itu melangkah di dekat Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang duduk bersandar roda pedati, Ki Patih itupun berhenti.
"Bagaimana keadaan kalian?" bertanya Ki Patih.
"Kami sudah menjadi semakin baik, Ki Patih."
Ketika keduanya akan bangkit berdiri, maka Ki Patih itupun justru duduk di depan mereka sambil berkata, "Duduk sajalah. Aku juga ingin duduk di sini."
"Tempatnya kotor, Ki Patih?"
"Bukankah semua juga berada di padang perdu ini?"
Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, "Ya, Ki Patih."
"Kalian tidak membuat perapian" Udara terasa sangat dingin. Agaknya angin basah bertiup dari lembah."
"Lebih baik udara agak dingin seperti ini daripada udara terasa panas sekali. Di udara dingin jika perlu, kami dapat membuat perapian atau memakai pakaian rangkap. Tetapi di udara panas, kami hanya kebingungan"
"Kau dapat berendam di sungai."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah tertawa. Ki Patihpun tertawa pula.
"Di mana Glagah Putih dan Rara Wulan?"
"Mereka berada di antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama Prastawa, Ki Patih."
"Putera Ki Gede?"
"Kemenakan. Prastawa adalah putera Ki Argajaya."
"Ya, ya." Ki Patih itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian dengan nada dalam Ki Patih itupun bertanya, "Bagaimana pendapatmu, jika Glagah Putih menjadi seorang prajurit?"
Ki Lurah Agung Sedayu itu menarik nafas. Dengan agak ragu Ki Lurah itupun menjawab, "Anak itu agaknya sulit untuk menetap dan melakukan tugas keseharian sebagai seorang prajurit. Ia harus melakukan kewajibannya dalam ikatan tatanan yang kuat. Agaknya sulit bagi Glagah Putih untuk melakukannya. Bersama dengan istrinya Glagah Putih itu tentu masih ingin mengembara, mengunjungi berbagai tempat. Bahkan mereka masih saja ingin meningkatkan ilmu mereka. Agaknya kedudukannya sebagai prajurit tidak akan dapat mendukung keinginan-keinginannya itu."
Ki Patih Mandaraka itu mengangguk-angguk. Namun kemudian Ki Patih itupun berkata, "Bukankah kau dahulu juga pengembara yang tidak dapat menetap di suatu tempat?"
"Hamba lebih banyak berada di Tanah Perdikan. Apalagi setelah kami menikah."
"Tetapi pada suatu hari Glagah Putih pun harus menetap. Ia tidak dapat mengembara sepanjang hidupnya."
"Ya, Ki Patih. Tetapi agaknya Glagah Putih masih memerlukan waktu. Meskipun demikian, jika Ki Patih menghendaki, kami akan menawarkan kepadanya."
Ki Patih menarik nafas panjang. Dengan nada yang agak meninggi Ki Patih itupun bertanya, "Bagaimana pendapatmu jika Glagah Putih diangkat menjadi prajurit sandi. Mungkin pengangkatan itu dapat dilakukan bukan saja bagi Glagah Putih sendiri, Tetapi juga bagi istrinya."
"Prajurit sandi?" Ki Lurah Agung Sedayu mengulang.
"Ya. Selama ini Glagah putih mendapat pertanda bahwa ia sedang mengemban tugas dari Mataram. Tetapi ia bukan seorang prajurit. Tentu akan lebih baik jika Glagah Putih dan Rara Wulan diangkat menjadi prajurit dalam tugas sandi. Ia terikat dalam tugas-tugasnya, tetapi ia mempunyai kebebasan dengan cara-cara mereka untuk melaksanakan tugasnya. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan masih mendapat kesempatan untuk melakukan pengembaraan."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah itupun berkata, "Jika dikehendaki oleh Mataram, agaknya kedudukan itu sesuai bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun pada saatnya keduanya harus menetap dan tinggal sebagaimana kebanyakan keluarga. Glagah Putih harus menjadi seorang ayah dan Rara Wulan menjadi seorang ibu."
Tiba-tiba saja suara Sekar Mirah menjadi dalam. Bagaimanapun juga Sekar Mirah sulit menyembunyikan perasaannya jika ia berbicara tentang anak dan keturunan.
Namun Ki Patih cukup bijaksana. Iapun segera mengalihkan perhatian Sekar Mirah. Dengan suara yang lembut Ki Patih itupun kemudian bertanya, "Apakah kalian berdua sudah menjadi semakin baik?"
"Ya, Ki Patih," jawab Ki Lurah Agung Sedayu.
"Orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu adalah orang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Untunglah bahwa kau sempat menghentikan amuknya."
"Tetapi orang itu bukan apa-apa bagi Ki Patih."
"Aku sudah tua, Ki Lurah. Sudah waktunya aku beristirahat. Mudah-mudahan keadaan menjadi semakin baik, sehingga tidak lagi terjadi gejolak. Apapun alasannya, akhirnya rakyat kecillah yang menderita paling parah. Sementara rakyat kecillah yang paling sedikit mendapat pengaruh dari satu kemenangan. Tetapi ia akan menerima akibat teburuk bagi satu kekalahan."
"Ya. Ki Patih."
"Namun kadang-kadang kita dihadapkan pada pilihan tunggal. Kekerasan."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun termangu-mangu sejenak. Tetapi bagi setiap orang, perang adalah peristiwa terburuk yang terjadi dalam hubungan antar sesama. Tetapi pada suatu saat yang terburuk itu menjadi satu satunya pilihan.
Sejenak mereka bertigapun terdiam. Sementara itu angin mal ampun terasa semakin dingin menusuk sampai ke tulang.
Dua orang prajurit yang nampaknya sedang mencari-cari, berhenti di hadapan Ki Patih Mandaraka dengan sikap prajuritnya.
"Kalian mencari aku ?" bertanya Ki Patih Mandaraka.
"Ya, Ki Patih. Kami mendapat perintah untuk menyampaikan pesan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati bagi Ki Patih."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pesan apa ?" "Ki Patih ditunggu oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
Ki Patih Mandarakapun mengangguk-angguk sambil menjawab. "Baik Aku akan segera menghadap."
Kedua orang prajurit itupun kemudian meninggalkan Ki Patih Mandaraka yang masih saja duduk bersama Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Namun Ki Patih itupun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, "Kalian harus banyak beristirahat. Tidurlah. Semakin banyak beristirahat, maka keadaan kalian akan menjadi semakin cepat pulih kembali."
"Ya, Ki Patih. Kami akan beristirahat sebaik-baiknya."
Sejenak kemudian Ki Patihpun telah meninggalkan mereka. Ki Patih Mandaraka itu berjalan di antara para prajurit yang sedang beristirahat dalam kelompok mereka masing-masing.
Sejenak kemudian, Ki Patih itupun telah menghadap Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang masih duduk bersama para Pangeran serta beberapa orang pemimpin tertinggi Mataram disekeliling perapian.
"Wayah memanggil aku menghadap?"
"Ya, eyang. Kami baru saja berbicara tentang kangmas Pangeran Puger."
"Kenapa dengan Pangeran Puger?"
"Bagaimana pendapat eyang tentang kangmas Pangeran?"
"Apa yang wayah bicarakan tentang wayah Pangeran Puger?"
"Eyang. Menurut pendapatku, kangmas Pangeran Puger yang sudah mengakui kesalahannya itu, tidak perlu kita bawa sampai ke Mataram. Bahkan ketika tadi aku datang menemuinya, Kangmas Pangeran Puger yang sudah menjadi semakin tenang, mengulangi lagi pengakuannya. Bahkan. Kangmas Pangeran telah menyampaikan permintaan maafnya, tidak hanya kepadaku, tetapi juga kepada seluruh rakyat Mataram, bahwa kangmas Pangeran telah melakukan kesalahan sehingga telah terjadi perang yang menelan banyak korban."
"Wayah Panembahan telah mengampuninya?"
"Belum eyang. Aku ingin pendapat eyang lebih dahulu."
Ki Patih menarik nafas panjang. Katanya, "Jika pengampunan itu yang terbersit di hati wayah Panembahan, maka sebaiknya wayah Panembahan mengampuninya. Apalagi wayah Pangeran Puger sudah mengaku bersalah serta minta maaf kepada wayah Panembahan serta kepada seluruh rakyat Mataram. Aku sependapat jika wayah ingin memberikan pengampunan dan memperingan hukumannya. Apakah aku boleh tahu, hukuman apa yang akan wayah berikan kepada wayah Pangeran Puger?"
"Eyang. Seharusnya kangmas Pangeran Puger dihukum mati karena kangmas Pangeran Puger telah memberontak terhadap Mataram serta menimbulkan bencana yang besar sehingga banyak korban yang jatuh."
Ki Patih menarik nafas panjang, sementara Kangjeng Panembahan Hanyakrawati berkata selanjutnya. "Tetapi karena kangmas Pangeran Puger sudah mengakui kesalahan, menyesalinya dan minta maaf kepada seluruh rakyat Mataram, maka aku berniat tidak menjatuhkan hukuman mati itu, eyang."
Ki Patihpun mengangguk-anggguk sambil menjawab, "Aku sependapat wayah. Satu sikap yang baik dari seorang penguasa."
"Eyang. Aku akan memperingan hukuman kangmas Pangeran Puger yang telah memberontak itu. Aku telah memutuskan bahwa aku tidak akan mengembalikan kangmas Pangeran Puger sebagai seorang Adipati. Selanjutnya aku akan menempatkan kangmas Pangeran Puger dan keluarga, di Kudus dengan kebebasan yang terbatas."
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, "Satu keputusan yang bijaksana, ngger. Aku sependapat."
Hukuman mati bukannya satu-satunya cara yang terbaik untuk meredam permusuhan. Tetapi justru pengampunan akan dapat memberikan kesan yang lebih mendalam."
"Jadi eyang sependapat bahwa aku akan memperingan hukuman kangmas Pangeran Puger?"
"Tentu wayah Panembahan. Aku sependapat."
Demikianlah, maka malam itu Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, di pesanggrahannya di Jatisari, telah memutuskan untuk menghukum Pangeran Puger dengan menurunkan kedudukannya sebagai Adipati Demak serta menempatkannya dibawah pengawasan, di Kudus bersama keluarganya."
Jejak Jejak Kematian 2 Antologi Rasa Karya Ika Natassa Rahasia Kampung Garuda 6
"Persetan perguruan Kedung Jati. Yang penting bagiku, aku harus menghancurkan Mataram. Jika Ki Saba Lintang gagal, maka aku sendirilah yang akan menghancurkannya. Setelah membunuh perempuan iblis itu, aku akan membunuh Panembahan Hanyakrawati. Kemudian siapapun yang akan membela Mataram, aku akan musnahkan. Dendamku kepada Mataram tidak akan pernah padam."
"Kenapa kau membenci Mataram?"
"Guruku, yang bertapa di Bukit Telamaya telah dibunuh oleh Raden Rangga. Karena itu, Mataram harus menerima hukumanku."
"Raden Rangga" Raden Rangga sudah meninggal. Jika yang terbunuh itu benar gurumu, bukankah ia sudah tua ketika ia bertemu dengan Raden Rangga?"
"Persetan dengan Raden Rangga. Karena Raden Rangga sekarang sudah tidak ada, maka aku akan membunuh saudara-saudaranya termasuk Panembahan Hanyakrawati."
"Umurmu agaknya sudah lebih tua dari Raden Rangga. Jadi bagaimana dengan gurumu,"
"Cukup. Minggirlah. Biar aku membunuh perempuan itu sebelum aku membunuh Hanyakrawati."
"Pangeran Puger yang menjadi Adipati Demak itu juga saudara Raden Rangga."
"Tetapi ia orang yang baik. sangat berbeda dengan Raden Rangga dan saudara-saudaranya yang lain."
"Sudahlah. Pergilah. Jangan mengigau disini."
"Iblis jahanam kau" Kau berani bersikap kasar kepadaku?"
"Hari-harimu sudah lewat. Jangan bermimpi untuk dapat berbuat terlalu banyak."
"Kau mengukur umurku dengan warna rambut, kumis dan janggutku?"
"Ya." "Persertan. Bersiaplah untuk mati."
Namun sebelum mereka mulai bertempur, tiba-tiba saja terdengar suara sangkakala disambut dengan gaung bende yang mengumandang di seluruh medan pertempuran.
"Sayang sekali," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "tetapi besok masih ada hari. Besok kita dapat bertemu lagi disini."
"Persetan dengan suara sangkakala dan suara bende itu. Aku tidak peduli. Aku bukan prajurit Demak yang terikat pada ketentuan perang. Aku adalah seorang pertapa yang akan menggulung seluruh kekuatan Mataram. Jika mereka berhenti, maka mereka akan mengalami nasib buruk malam ini. Aku akan membunuh semua prajurit Mataram dengan kesaktianku. Termasuk Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
"Kau tidak dapat menyimpang dari ketentuan perang yang berlaku."
"Aku tidak peduli. Tetapi aku akan menyimpang. Jika kau mampu menghentikan lakuku. Jika tidak, maka aku akan menyapu prajurit Mataram dalam semalam."
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi nampaknya orang yang rambut, kumis dan janggutnya berwarna putih itu bersungguh-sungguh. Ia tidak akan menunda sampai esok.
Sementara itu, kedua pasukan Mataram dan Demak mulai menarik pasukan mereka. Kangjeng Adipati Demak telah memerintahkan pertempuran dihentikan. Demikian pula Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Sementara itu seorang tabib dengan tergesa-gesa telah berusaha mendampingi Kangjeng Adipati Demak yang terluka lengan dan bahunya. Meskipun luka itu tidak seberapa, tetapi luka itu harus mendapat perawatan yang sebaik-baiknya, karena esok Kangjeng Adipati masih harus turun ke medan dan bahkan mungkin masih harus menghadapi Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
Namun sementara itu, dada sebelah kanan Kangjeng Panembahanpun telah tergores ujung tombak pendek Kangjeng Adipati. Goresan kecil itupun harus mendapat perawatan yang sebaik-haiknya pula. Bahkan harus dibersihkan dengan cairan yang dapat meredam racun yang mungkin terdapat dalam warangan mata tombak Kangjeng Pangeran Puger.
Tetapi ternyata bahwa pertapa dari Bukit Telamaya itu tetap berniat untuk melanjutkan pertempuran. Apapun yang akan dilakukan oleh para prajurit Mataram dan Demak, orang itu tidak peduli. Baginya secepatnya kita harus membalaskan dendam kematian gurunya yang telah dibunuh oleh Raden Rangga dan bahkan muridnya yang menjadi tumpuan harapannyapun telah dibunuh oleh seorang perempuan.
Ki Lurah Agung Sedayu menjadi bimbang. Tetapi ia tidak akan dapat meninggalkan orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang.
Sebenarnyalah bahwa guru Ki Saba Lintang dari Bukit Telamaya itu benar-benar berniat menyerang pasukan Mataram. Sehingga karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayupun tidak berniat meninggalkan medan.
Namun Ki Lurah Agung Sedayu itu telah memerintahkan para penghubung untuk menghadap para pemimpin pasukan Mataram, terutama Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, untuk melaporkan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat meninggalkan medan.
"Laporkan semuanya yang kau ketahui tentang orang yang mengaku guru Ki Saba Lintang itu sepeninggal Ki Saba Lintang sendiri."
Demikianlah, maka para penghubung yang mendapat tugas itupun segera pergi meninggalkan Ki Lurah Agung Sedayu.
Sementara itu, Nyi Lurah Agung Sedayu yang masih lemah, meskipun keadaannya menjadi berangsur baik setelah Nyi Lurah itu menelan reramuan obat yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, tidak mau meninggalkan medan.
"Aku akan tetap bersama kakang Agung Sedayu," berkata Sekar Mirah.
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak memaksanya. Tetapi bersama beberapa orang Senapati dan Prajurit Mataram, Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu Sekar Mirah yang kemudian duduk agak menjauhi arena.
Ketika Prastawa mendapat laporan tentang sikap orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu harus menghadapinya, maka iapun segera pergi ke arena pertempuran itu pula.
"Baiklah Ki Sanak," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian setelah ia berdiri beberapa langkah dihadapan pertapa dari Bukit Telamaya itu, "kita akan bertempur sampai tuntas. Kita tidak akan terikat oleh pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Demak, meskipun kita harus bertempur tiga hari tiga malam."
"Bagus. Jarang ada prajurit yang tanggon seperti kau, Ki Lurah. Namun aku berharap bahwa kau bertempur dengan jujur. Kita berjanji untuk berperang tanding. Baru kemudian setelah kau mati, maka aku akan menghadapi para prajurit Mataram. Aku tidak peduli apakah mereka akan bertempur bersama-sama, berkelompok atau Senapati Agung Mataram itulah yang nkan melawan aku."
"Kita belum berjanji untuk berperang tanding. Tetapi jika itu yang kau kehendaki, maka akupun akan menerima tantanganmu untuk berperang tanding."
"Bagus. Bersiaplah. Kita tidak akan terlalu banyak membuang waktu. Kita akan segera mulai. Aku tidak akan memerlukan waktu terlalu lama untuk membunuhmu. Kemudian malam ini pasukan Mataram sudah akan aku hancurkan. Besok pagi, pasukan Demak tinggal membersihkan saja sisa-sisa prajurit Mataram yang malam ini sempat bersembunyi. Sedangkan mereka yang sempat lari dari medan adalah orang-orang yang bernasib baik."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi Ki Lurah itupun kemudian justru mengikatkan cambuknya di lambungnya. Kemudian melangkah beberapa langkah maju mendekati orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu.
"Kau lekatkan kembali ke lambungmu senjatamu itu."
"Tidak seharusnya aku melawan orang yang tidak bersenjata dengan mempergunakan senjata."
Orang itu tertawa. Katanya, "Kau sombong sekali. Tetapi baiklah. Akhirnya kau akan tahu dengan siapa kau berhadapan."
Ki Lurah tidak menjawab lagi. Tetapi iapun telah bersiap untuk bertempur.
Ternyata beberapa orang Senapati Mataram dan Senapati Demak telah berdatangan. Mereka ingin menyaksikan pertempuran antara dua orang yang berilmu sangat tinggi. Beberapa orang di antara mereka justru membawa oncor untuk menerangi medan yang mulai menjadi gelap.
Beberapa orang prajurit Demakpun segera mengenal Ki Lurah Agung Sedayu. Meskipun ia tidak lebih dari seorang Lurah prajurit, tetapi ia memiliki banyak kelebihan dari para Senapati yang memiliki pangkat lebih tinggi.
Sementara itu, di sisi lain, para prajurit yang bertugas, tetap saja menjalankan tugas mereka mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka parah serta yang gugur di pertempuran.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang rumit. Orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itupun agaknya tidak mau kehilangan banyak waktu. Ia berharap pada malam itu, ia sudah akan dapat menyapu seluruh pasukan Mataram. Sepeninggal prajurit Mataram yang memberanikan diri melawannya itu, maka ia akan mengerahkan semua murid dari perguruan Kedung Jati untuk bangkit menuntut ke-matian pemimpin besar mereka. Seandainya prajurit Demak tidak bergerak, maka bersama para murid dari perguruan Kedung Jati itu, pertapa dari Bukit Temalaya itu merasa bahwa ia akan dapat menyapu bersih seluruh prajurit Mataram termasuk Senapati Agungnya.
Karena itu, maka pertapa dari Bukit Telamaya itupun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ia memperhitungkan bahwa dalam waktu yang singkat, ia sudah dapat membunuh prajurit yang sombong itu. Kemudian perempuan yang telah membunuh Ki Saba lintang. Yang ia tahu, bahwa perempuan itu tidak meninggalkan medan. Baru kemudian, maka pertapa itu akan beramai-ramai membantai orang-orang Mataram bersama para murid dari Kedung Jati.
Tetapi pertapa itu ternyata tidak segera dapat menguasai Ki Lurah Agung Sedayu.
Pertempuran diantara merekapun justru menjadi semakin sengit ketika kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka.
Orang-orang yang merasa dirinya murid dari perguruan Kedung Jati itupun merasa yakin, bahwa guru Ki Saba Lintang itu akan dapat segera menyelesuikan lawannya. Seorang prajurit Mataram yang sombong, yang merasa dirinya mampu mengimbangi kemampuan guru Ki Saba Lintang itu dalam perang tanding.
Di mata mereka, Ki Saba Lintang adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, meskipun akhirnya mereka harus melihat kenyataan, bahwa perempuan yang memiliki tongkat kepeniimpinan perguruan Kedung Jati yang satu lagi, ternyata mampu mengalahkan Ki Saba Lintang dan bahkan membunuhnya. Tetapi yang kemudian tampil adalah guru, Ki Saba Lintang. Jika ia kemudian dapat membunuh prajurit Mataram dan kemudian perempuan bertongkat baja putih itu, maka mereka akan minta agar pertapa itu memimpin perguruan Kedung Jati.
Tetapi pertempuran diantara pertapa itu dengan prajurit Mataram itu berlangsung semakin lama semakin seru.
Seranganpun datang silih berganti. Sementara itu, pertahanan kedua belah pihak ternyata sangat rapatnya, sehingga .untuk beberapa lama, mereka masih belum berhasil menembus pertahanan masing-masing.
Keadaanpun semakin lama menjadi semakin tegang. Orang-orang yang mengerumuni perang tanding itu menjadi semakin banyak dari kedua belah pihak. Bahkan para Senapatipun seakan-akan telah berkumpul.
Pertapa yang tidak segera dapat mengalahkan Agung Sedayu itupun telah menghertakkan ilmunya pula. Serangan-serangannya menjadi semakin deras seperti arus banjir bandang.
Ketika kemudian datang serangan beruntun, maka dengan kecepatan yang sangat tinggi, akhirnya pertapa itu berhasil menembus pertahanan Ki Lurah Agung Sedayu. Ketika ia melihat satu kemungkinan, maka dengan cepat orang itu menyambar Ki Lurah Agung Sedayu di lambungnya.
Ki Lurah Agung Sedayu tergetar beberapa langkah surut. Namun serangan itu tidak menyakitinya. Dalam perang tanding yang keras itu. Ki Lurah Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya.
Ketika pertapa itu memburunya dengan menjulurkan tangannya dengan jari-jari terbuka. Ki Lurahpun sempat meloncat kesamping. Justru pada saat tangan pertapa itu terjulur, maka Ki Lurah menghentakkan tangannya lurus ke bagian samping dada pertapa itu.
Pertapa itulah yang kemudian tergetar kesamping. Namun kemudian orang itu justru melenting tinggi sambil berputar di udara.
Ternyata kaki orang itu telah menyambar kening Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu telah terdorong beberapa langkah surut. Namun dengan perundungan ilmu kebalnya, maka serangan itu tidak terlalu menyakitinya.
Bahkan ketika orang itu mengulangi serangannya, maka Ki Lurah justru telah menjatuhkan dirinya. Kakinya dengan keras menjepit kaki lawannya yang satu lagi. Ketika kemudian Ki Lurah itu berputar, maka pertapa itu telah terbanting jatuh di tanah.
Terdengar orang itu mengaduh tertahan. Dengan cepat ia berusaha untuk bangkit berdiri. Namun demikian ia tegak, maka Ki Lurah Agung Sedayupun telah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Ternyata kau telah melindungi dirimu dengan ilmu kebal," geram pertapa itu, "jangan kau kira, bahwa hanya kau sajalah yang dapat melindungi dirimu. Aku juga mampu membuat perisai dengan ilmu Lembu Sekilan."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia sadar, bahwa ilmu Lembu Sekilan adalah ilmu yang memiliki kemampuan melindungi tubuh seseorang, sehingga setiap serangan tidak akan mampu menyentuhnya.
Tetapi kekuatan ilmu Lembu Sekilan, sebagaimana juga kekuatan ilmu kebalnya, bukannya berarti sama sekali tidak dapat tertembus serangan. Serangan serangan yang memiliki kekuatan serta dorongan tenaga dalam yang besar, maka kekuatan itu akan dapat menembus berbagai jenis ilmu kebal.
Demikianlah, keduanyapun telah terlibat dalam pertarungan yang snagat rumit. Mereka masing-masing telah melindungi dirinya dengan ilmu kebal.
Pertapa itupun akhirnya harus mengakui, bahwa prajurit Mataram itu benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapinya.
Pertapa itu tidak lagi ingin mempergunakan ilmu angin pusarannya. Ilmunya itu akan sia-sia saja untuk melawan prajurit Mataram itu, karena dengan cambuknya, prajurit Mataram itu dapat memecah ilmu angin pusarannya.
Pertempuranpun berlangsung semakin dahsyat. Serangan-serangan merekapun menjadi semakin mengerikan. Hanya karena perlindungan ilmu kebal masing-masing sajalah, mereka masih tetap mampu bertahan.
Dalam saat-saat yang rumit, maka pertapa itu tiba-tiba saja telah melemparkan tiga ekor ular kecil yang berwarna hitam ke tubuh Agung Sedayu. Ular yang diambilnya dari kantung yang tergantung di pinggangnya. Karena serangan-serangannya tidak lagi banyak berpengaruh karena perlindungan ilmu kebalnya, maka orang itu telah menyerang Ki Lurah dengan cara yang lain.
Ki Lurah terkejut mendapat serangan sejenis senjata rahasia yang hidup itu. Dengan cepat ia berusaha mengelak. Dua ekor ular lepas tanpa menyentuhnya, tetapi seekor yang lain justru tepat mengenai lehernya.
Ular kecil itu dengan cepat membelit dan menggigit leher Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara itu dengan tangkasnya Ki Lurahpun menangkap ular itu dan kemudian membantingnya di tanah. Dengan serta-merta Ki Lurah Agung Sedayupun telah menginjak kepala ular itu sehingga kepala ular itupun telah diremukkannya, meskipun ular itu masih juga sempat mematuk tumitnya.
Terdengar pertapa dari Bukit Telamaya itu tertawa. Dengan lantang iapun berkata, "Ternyata mudah sekali membunuh prajurit Mataram yang sombong. Yang sesumbar seakan-akan dapat menangkap petir."
Ki Lurah itupun berdiri tegak. Kemudian selangkah demi selangkah iapun bergerak maju mendekati lawannya.
"Kita belum selesai, Ki Sanak," geram Ki Lurah Agung Sedayu.
"Tidak ada yang dapat melawan racun ular bandotan jantan itu. Ular itu telah menggigitmu. Maka sebentar lagi kau akan mati. Para prajurit dan Senapati Mataram yang sempat menyaksikan perang tanding ini akan melihat, bagaimana kau berlutut. Kemudian berguling jatuh di tanah. Merekapun akan menyaksikan bagaimana aku membunuh perempuan yang telah membunuh murid yang aku harapkan dapat membalaskan dendamku itu. Kemudian para prajurit dan Senapati itu sendirilah yang akan mati."
"Bersiaplah, Ki Sanak. Jalan yang akan kita lalui masih jauh. Mungkin aku, tetapi mungkin kau yang akan terkapar mati disini."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ia mulai menjadi berdebar-debar. Prajurit Mataram yang telah digigit ularnya itu tidak segera menjadi lemah dan jatuh berguling. Tetapi ia masih saja berdiri dengan tegapnya.
Bahkan Ki Lurah Agung Sedayu itupun telah mulai bergeser dan siap untuk menyerang.
Pertapa dari Bukit Telamaya itu tidak dapat berbuat lain. Iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun dengan geram orang itupun berkata, "Iblis kau. Agaknya kau telah memiliki bukan saja ilmu kebal yang melindungi tubuhmu, tetapi kau juga kebal dan bisa yang sangat tajam. Kau mampu membebaskan dirimu dari bisa ularku."
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun segera meloncat menyerang pertapa yang mengaku guru Ki Saba Lintang itu.
Api pertarunganpun segera berkobar lagi. Keduanya berloncatan saling menyerang Seperti yang terjadi sebelumnya, maka sekali-sekali mereka dapat menembus pertahanan lawannya. Namun serangan-serangan merekapun telah membentur ilmu kebal masing-masing.
Tetapi serangan-serangan yang dilambani dengan tenaga dalam yang besar, ternyata telah berhasil menggoyang pertahanan mereka, sehingga ilmu merekapun menjadi goyah.
Dengan demikian, maka pertempuran di antara merekapun menjadi semakin dahsyat. Para prajurit dan Senapati yang menyaksikan pertempuran itupun berdiri termangu-mangu. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi.
Dalam pada itu, pertapa dari Bukit Telamaya yang tidak dapat mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu dengan bisa-bisa ularnya, telah berusaha untuk menembus ilmu kebalnya dengan api. Dari tubuhnya seakan-akan telah mengepul uap yang berwarna putih kehitam-hitaman. Didalamnya nampak peletik-peletik merah yang telah membuat uap yang putih kehitam-hitaman itu menjadi sepanas bara api.
Perlahan-lahan uap itu bergerak bergulung-gulung mendekati Ki Lurah Agung Sedayu. Namun demikian gumpalan uap yang bergulung itu menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba saja uap itu bagaikan masuk ke dalam hembusan perlahan asap yang sangat tipis. Namun asap itu seakan-akan telah mengisap seluruh udara panas yang timbul oleh uap yang putih kehitam-hitaman itu. Sehingga dengan demikian, maka panas itu tidak dapat membakar tubuh Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ilmu kebal prajurit itu rasa-rasanya hampir sempurna," geram pertapa dari bukit Telamaya itu. Ternyata bahwa kekuatan api yang dihembuskannya, tidak mampu menembus tirai yang melindungi tubuh Ki Lurah Agung Sedayu. Kekuatan air dalam ilmu kebalnya, yang menjadi semakin mapan, telah berhasil menyerap panas yang terpancar pada serangan pertapa dari Bukit Telamaya itu.
Pertapa itu mengumpat didalam hati. Beberapa jenis ilmunya yang ditumpahkan, dapat dipatahkan oleh prajurit Mataram yang sombong itu. Namun pertapa itu tidak kehabisan cara untuk mencoba mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu.
Ketika keduanya kemudian terbbat dalam pertarungan yang sangat menegangkan, tiba-tiba saja Ki Lurah Agung Sedayu terkejut. Lawannya yang berloncatan didalam keremangan cahaya oncor di sekitar arena itu, tiba-tiba menjadi semakin samar.
"Permainan apa lagi yang akan dilakukannya," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
Oncor serta obor yang berada di sekitar arena masih menyala. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat melihat lawannya dengan jelas. Apalagi ketika lawannya itu mulai berloncatan menyerangnya. Ki Lurah Agung Sedayu sering menjadi terlambat sehingga serangan-serangan lawannya beberapa kali dapat mengenainya.
Untuk memperjelas penglihatannya Ki Lurah Agung Sedayu telah mengetrapkan Aji Sapta Pandulu. Sesaat penglihatannya menjadi lebih jelas, sehingga ia mampu mengikuti gerak-gerik lawannya
Tetapi penglihatannya meskipun sudah dengan Aji Sapta Pandulu, semakin lama menjadi semakin kabur pula. Bahkan lawannya itu kadang-kadang saja kelihatan samar. Tetapi kadang malahan tidak nampak sama sekali.
"Aji Penglimunan," desis Ki Lurah Agung Sedayu. Kembali Ki Lurah menjadi lebih sering terlambat.
Serangan-serangan lawannya lebih banyak mengenai tubuhnya. Sementara Ki Lurah sendiri nampaknya sering menjadi bingung.
Untuk membantu penglihatannya yang kabur, meskipun ia sudah mengetrapkan Aji Sapta Pandulu, Ki Lurahpun mengetrapkan Aji Sapta Panggraita. Meskipun ia tidak melihat dimana lawannya itu berloncatan, namun Panggraitannya menjadi sangat tajam. Ia dapat merasakan getar keberadaan lawannya.
Meskipun demikian, Ki Lurah masih saja sering terlambat menanggapi serangan-serangan lawannya. Bahkan Ki Lurah sendiri seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk menyerang.
Untuk mengatasi keadaan, maka Ki Lurahpun telah meningkatkan ilmu kebalnya sehingga serangan-serangan lawannya tidak terlalu terasa menyakitinya karena tertahan oleh ilmu kebal Ki Lurah yang semakin meningkat. Bahkan sejalan dengan meningkatnya ilmu kebalnya, maka di sekitar tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan udara telah menjadi panas.
Panas di sekitar tubuh Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin tinggi. Namun panas itu tidak begitu berpengaruh terhadap lawannya, meskipun lawannya kadang-kadang harus dengan tergesa-gesa berloncatan menjauh.
Orang-orang yang ada di sekitar arena pertempuran itu menjadi tegang. Sekar Mirah yang masih lemah, Glagah Putih dan Rara Wulanpun menjadi tegang pula. Seperti Ki Lurah Agung Sedayu, merekapun kadang-kadang melihat pertapa itu samar-samar. Namun kadang-kadang orang itu sama sekali tidak dapat dilihatnya.
Tetapi Ki Lurahpun masih berusaha meningkatkan ilmu kebalnya lagi sejalan dengan peningkatan Aji Sapta Penggraita. Dengan Aji sapta penggraita, Ki Lurah Agung Sedayu menjadi agak tertolong. Serangan-serangannyapun mulai mengarah.
Bahkan dibantu oleh Aji sapta Pangrungu yang membuat pendengarannya menjadi sangat tajam, maka Ki Lurah menjadi semakin yakin akan keberadaan lawannya.
Namun sekali-sekali Ki Lurah Agung Sedayu masih mendengar pertapa itu mentertawakannya. Jika serangan Ki Lurah tidak tepat mengarah ke sasaran, maka pertapa itupun tertawa berkepanjangan. Bahkan kadang-kadang di sela-sela derai tertawanya, terdengar kata-kata hinaannya.
Dalam keadaan yang rumit itu, maka Ki Lurahpun berusaha untuk mengaburkan dirinya pula. Dalam keremangan cahaya oncor di sekitar arena pertempuran, maka tiba-tiba saja ujud Ki Lurah Agung Sedayu itupun menjadi rangkap tiga.
"Gila," geram pertapa dari Bukit Telamaya itu, "kau memiliki Aji Kakang Kawah Adi Ari-ari."
Ketiga sosok Agung Sedayu itupun berdiri di tiga arah dalam arena pertempuran itu. Terdengar ketiganya tertawa berkepanjangan sebagaimana pertapa itu tertawa.
Sebenarnyalah suara tertawa pertapa itu telah membantu Ki Lurah Agung Sedayu mengenal arah serta keberadaannya. Apalagi orang itu masih juga melontarkan kata-kata hinaan dan umpatan.
Dengan demikian, maka Ki Lurah Agung Sedayu berhasil menghambat gerakan-gerakan serta serangan-serangan lawannya. Pertapa itu masih memerlukan waktu beberapa saat untuk dapat mengenali Ki Lurah Agung Sedayu yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah sekedar ujud-ujud semu saja. Dengan demikian, waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan Ki Lurah dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, maka Aji panglimunan itu tidak lagi banyak berarti. Dengan ujud-ujud semu itu, maka pertapa dari Bukit Telamaya itupun menjadi sama bingungnya dengan Ki Lurah Agung Sedayu.
Karena itu, maka beberapa saat kemudian, akhirnya keduanya tidak lagi bersembunyi di balik Aji Panglimunan serta Aji Kakang Kawah Adi Ari-ari. Tetapi merekapun telah berdiri tegak dalam ujud mereka masing-masing.
Pertempuran selanjutnya justru menjadi semakin dahsyat. Mereka telah meningkatkan tenaga dalam mereka sampai ke puncak.
Tanah di seputar arena itupun menjadi bagaikan di bajak. Pepohonan dan tanaman-tanaman perdu menjadi layu. Dahan dan ranting-rantingnya menjadi kering, sehingga daunnyapun berguguran jatuh di tanah.
Di bentangan lembah yang luas itu, rasa-rasanya telah bertiup angin prahara. Hentakan hentakan dan benturan-benturan ilmu membuat lembah itu bagaikan diguncang gempa.
Ternyata keduanya benar-benar orang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan para Senapati dari Mataram dan Demakpun menjadi terheran-heran.
Sementara itu, walaupun menjadi semakin malam. Bahkan tengah mal ampun telah dilampaui. Bintang Gubug Penceng sudah bergeser agak jauh ke Barat. Demikian pula bintang waluku.
Kedua orang yang bertempur itu telah mengerahkan segenap daya dan kekuatan mereka. Bahkan mereka telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi, sehingga dengan demikian, maka tenaga merekapun bagaikan terkuras. Betapa tinggi ilmu mereka namun mereka tetap saja memerlukan dukungan kewadagan mereka.
Semakin malam, maka suasanapun menjadi semakin tegang. Mereka berada di seputar arena pertarungan antara hidup dan mati itu, bagaikan larut dalam gejolak yang tidak terkendali.
Namun dalam pada itu, meskipun daya tahan kedua orang yang sedang bertempur itu sangat tinggi, namun setelah mereka melepaskan berbagai macam ilmu puncak mereka, maka kemampuan merekapun mulai terpengaruh oleh tenaga mereka yang menyusut.
Karena itu, maka pertapa dari Bukit Telamaya itupun tidak mau menunggu lebih lama lagi. Jika tenaganya menjadi semakin menyusut, maka kemampuannya untuk melepaskan ilmu pamungkasnyapun akan menyusut pula.
Dengan demikian, maka pertapa itu tidak lagi berpikir lebih panjang. Meskipun ia mengakui bahwa lawannyapun berilmu sangat tinggi, tetapi ia masih saja yakin, bahwa ilmu pamungkasnya akan dapat menyelesaikan pertarungan antara hidup dan mati itu. Sebenarnyalah bahwa pertapa itu jarang sekali merambah sampai ke ilmu pamungkasnya itu. Biasanya ia sudah dapat mengakhiri perlawanan musuh-musuhnya dengan berbagai macam ilmu yang telah dilepaskan sebelumnya. Namun sampai pada Aji Panglimunan, lawannya dari Mataram itu masih dapat mengimbanginya. Karena itu, maka pertapa itu tidak mempunyai pilihan lain dari pada menghancurkannya dengan puncak dari segala ilmunya.
Demikianlah, maka ketika keduanya berloncatan saling menyerang dan menghindar, maka pertapa itu telah meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Demikian tinggi ilmunya, sehingga ia tidak memerlukan waktu sekejap untuk melepaskan ilmu puncaknya. Demikian ia berdiri tegak dengan kaki renggang, iapun segera mengangkat kedua tangannya dengan kaki sedikit merendah pada lututnya.
Dari telapak tangannya yang menghadap kepada Ki Lurah Agung Sedayu, orang itu telah melontarkan seleret sinar yang berwarna putih kehitam-hitaman.
Ki Lurah Agung Sedayu memang terkejut. Tetapi iapun memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga ia tidak memerlukan waktu yang lebih lama untuk membentur ilmu puncak pertapa itu dengan ilmu puncaknya.
Dengan tajamnya Ki Lurah Agung Sedayu memandang telapak tangan lawannya yang terbuka dan mengarah kepadanya. Demikian seleret sinar meluncur dari telapak tangan itu, maka dari sepasang mata Ki Lurahpun telah memancar pula sinar yang kebiru-biruan meluncur membentur seleret sinar yang meluncur dari telapak tangan pertapa itu.
Terjadi benturan yang amat dahsyat. Sinar yang menyilaukan memancar menerangi langit dan seluruh lembah yang menjadi ajang pertempuran yang dahsyat antara pasukan Mataram dan Pasukan Demak itu di siang hari. Seperti kilat yang memancar di udara, maka cahaya yang menyilaukan itupun diikuti oleh gelegar yang mengguncang lembah itu.
Ki Lurah Agung Sedayupun terdorong beberapa langkah surut. Namun Ki Lurah itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga iapun terjatuh pada lututnya. Namun Ki Lurah itupun kemudian telah terduduk.
Sekar Mirah yang masih sangat lemah itu tiba-tiba saja telah bangkit dan berlari ke samping Ki Lurah Agung Sedayu itu duduk.
"Mbokayu-mbokayu," Rara Walaupun dengan cepat menyusul, "mbokayu masih terlalu lemah untuk berlari."
Tetapi Sekar Mirah tidak mendengarkannya.
Sementara itu Glagah Putihpun telah menyusulnya pula.
Ki Lurahpun segera mengatur pernafnsannya. Iapun segera mengambil reramuan obatnya dua butir. Kemudian obat itupun ditelannya. Reramuan itu adalah reramuan sebagaimana telah diberikan kepada Sekar Mirah.
Dalam pada itu, orang-orang yang berada di seputar arenapun telah bergejolak. Sebagian berlari mendekati Ki Lurah Agung Sedayu, sedangkan yang lain berlari-lari dan berjongkok di sisi tubuh pertapa dari Bukit Telamaya.
Dalam benturan yang dahsyat itu, ternyata pertapa dari Bukit Telamaya itu telah terlempar beberapa langkah. Tubuhnya terbanting di atas tanah berbatu-batu padas.
Namun pertapa itu tidak pernah dapat bangkit lagi.
Ketika orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati mengerumuninya, maka pertapa itu masih dapat berdesis, "Dimana prajurit Mataram itu ?"
"Ia terpelanting beberapa langkah dari arena, Kiai." jawab salah seorang dari para murid itu.
"Apakah ia mati ?"
"Agaknya belum, Kiai. Tetapi kami tidak tahu, seberapa parah luka di dalam tubuhnya."
"Ternyata ia seorang yang berilmu sangat tinggi. Aku tidak tahu, apakah ilmunya dapat menyamai Raden Rangga yang pernah membunuh guruku."
"Ya, Kiai," jawab orang itu.
Namun pertapa itupun menjadi semakin lemah. Dengan suara yang kadang-kadang terdengar tetapi kadang-kadang hilang, iapun berkata, "Jika ada dua atau tiga orang prajurit Mataram yang memiliki ilmu setinggi orang itu, maka tidak ada gunanya Demak melanjutkan perang ini."
"Tidak Kiai. Tidak ada orang lain yang dapat menyamainya."
Suara orang itu semakin lambat, "Tentu ada. Yang menjadi Senapati Agung pasukan Mataram adalah Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri. Aku dengar di pasukan Mataram terdapat juga Ki Patih Mandaraka. Tanpa menyebut orang lain, maka Demak harus berpikir ulang. Kangjeng Adipati Demak sekarang tinggal sendiri. Ki Patih Tandanegara tidak akan dapat berbuat banyak. Saba Lintang sudah tidak ada. Tumenggung Gending dan Tumenggung Panjer juga sudah tidak ada lagi."
"Tetapi masih banyak para Tumenggung serta para pemimpin dari perguruan Kedung Jati berada dalam pasukan Demak."
Pertapa itu tidak menjawab. Tetapi baginya, Demak tidak akan dapat bertahan terlalu lama lagi.
Ternyata pertapa itu tidak lagi mampu bertahan lebih lama pula. Nafasnya menjadi tersendat-sendat. Pandangan matanya menjadi semakin kabur. Nyala oncor disekitar arena itu semakin lama nampak menjadi semakin redup.
Pertapa itu memejamkan matanya. Ternyata pertapa itu telah meninggalkan dunia itu untuk selama-lamanya.
Para pemimpin dari Demakpun segera meninggalkan arena dengan membawa tubuh pertapa yang menjadi semakin dingin di dinginnya malam. Sementara itu, orang-orang Matarampun telah membawa Ki Lurah Agung Sedayu yang terluka didalam serta Sekar Mirah yang juga terluka kembali ke induk pasukan.
Yang pasti Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah esok tidak akan sanggup turun ke medan.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan akan mengambil alih keberadaan mereka di medan. Glagah Putih dan Rara Wulan esok telah mempersiapkan diri untuk memburu orang-orang yang mengaku pemimpin dari perguruan Kedung Jati.
Ketika berita kematian Ki Sabn Lintang, balikan kemudian gurunya, pertapa dari Bukit Telamaya itu sampai ke telinga Kangjeng Adipati Demak, maka Kangjeng Adipatipun menjadi gelisah. Baginya Ki Saba Lintang merupakan lambang keikutsertaan sepasukan yang kuat dari perguruan Kedung Jati untuk bertempur bersama-sama meskipun perguruan itu pernah mengganggu Kangjeng Pangeran Puger pada saat Kangjeng Pangeran Puger berangkat ke Demak.
Beberapa orang Senapati Demak serta beberapa orang pemimpin dari perguruan Kedung Jati ternyata masih tetap berpengharapan.
"Bukankah Demak masih memiliki beberapa Tumenggung yang dapat dibanggakan " Sedangkan masih ada beberapa orang pemimpin perguruan Kedung Jati yang berilmu tinggi ?"
Kangjeng Adipati itu menarik nafas panjang sambil berdesis, "Ya. Kita masih mempunyai banyak Senapati pilihan."
Demikianlah, maka Kangjeng Adipati Demak, masih juga berniat untuk meneruskan perang. Meskipun sebenarnya batinya sudah menjadi bimbang.
Malam itu Kangjeng Adipati Demak hanya beristirahat beberapa saat. Menjelang dini hari, Kangjeng Adipati sempat tertidur sejenak. Namun kemudian iapun segera bangun. Kemudian pergi ke pakiwan untuk membersihkan serta membenahi diri. Lahir dan batinnya.
Tetapi sebenarnyalah, bahwa sudah ada sedikit keraguan yang membayang di hatinya.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, langitpun menjadi semakin terang. Kangjeng Adipati Demak yang kemudian keluar dari pesanggrahannya, masih melihat Wajah para Senapati Demak serta para pemimpin dari perguruan Kedung Jati itu menyala.
Dengan demikian, maka api dihatinya yang sempat menjadi agak redup itupun telah menyala menjadi semakin besar. Dengan geram iapun berkata kepada diri sendiri, "Hancurkan Panembahan Hanyakrawati. Aku adalah saudara yang lebih tua. Aku akan dapat mengalahkannya. Baik secara pribadi, maupun seluruh pasukanku."
Karena itu, maka Kangjeng Adipati Demak itupun telah berada diantara para Senapatinya pula.
Sementara itu, Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun telah mempersiapkan dirinya pula. Demikian pula seluruh pasukannya. Para Senapatinyapun telah berada diantara pasukan masing-masing.
Sejenak kemudian telah terdengar suara sangkakala serta disusul oleh gaung bende untuk yang pertama kalinya.
Para prajurit dari kedua belahpun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka telah memeriksa senjata-senjata mereka serta kelengkapan-kelengkapan perang yang akan dibawanya ke medan.
Sejenak kemudian, maka telah terdengar suara sangkakala disusul oleh suara bende untuk yang kedua kalinya. Para prajuritpun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya di kesatuan mereka masing-masing, serta siap untuk bergerak.
Baru sejenak kemudian terdengar suara sangkakala serta bende untuk yang ketiga kalinya. Maka kedua pasukanpun mulai berderap maju memasuki arena pertempuran.
Kedua pasukan itu masih mempergunakan gelar sebagaimana mereka pergunakan sehari sebelumnya. Keduanya masih membawa ciri-ciri kebesaran mereka masing-masing.
Tidak hanya di induk pasukan. Tetapi pasukan di lambung yang membuat gelarnya sendiri, juga dihiasi dengan ciri-ciri kebesaran kesatuan yang ada di gelar itu. ltontek, umbul-umbul, kelebet yang terikat pada tunggul-tunggulnya.
Kedua pasukan itu bergerak dongan cepat. Bahkan seperti hari-hari sebelumnya, maka merekapun mulai bersorak gemuruh. Semakin dekat jarak keduu pasukan itu, maka sorak-soraipun menjadi semakin membidianu.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, kedua pasukan itupun telah berbenturan. Kedua gelar pasukan induk yang berada di tengah. Kemudian kedua gelar yang ada di lambung kiri dan kananpun telah bertemu dengan pasukan lawan pula. Pangeran Puger muda dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil masih tetap memimpin gelar di lambung. Jika nada hari sebelumnya, pasukan mereka berhasil mendesak setapak demi setapak, maka kedua pangeran itupun telah menghentakkan pasukannya sejak awal untuk menguasai garis pertempuran.
Tetapi Pangeran Puger muda serta Pangeran Demang anpa Nangkil tidak melupakan keharusan untuk menyimpan tenaga. Sehingga kedua pasukan itu dalam gelarnya asih menyimpan tenaga cadangan di ekornya.
Meskipun para prajurit yang berada di garis pertempuran mulai mengerahkan tenaganya sejak terjadi benturan antara pasukan Mataram dengan pasukan Demak, namun pada saat tertentu, pasukan cadangan yang ada di ekor gelar itu akan mengambil alih medan di garis pertempuran.
Di induk pasukan, pasukan Mataram yang kembali pada gelar Cakra Byuha telah berbekal rencana, bahwa pada saat tertentu gelar itupun akan berubah lagi menjadi gelar Wulan Tumanggal jika dipandang menguntungkan pada satu saat yang tepat.
Demikianlah, ketika matahari mulai naik, maka pertem-puranpun mulai menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak yang masih segar itupun bertempur dengan mengerahkan segala kemampuan.
Dalam pada itu, Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun telah menempatkan dirinya untuk dapat bertemu kembali dengan Kangjeng Adipati Demak. Kangjeng Panembahan Hanyakrawati telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Luka yang tergores kemarin telah tidak mempengaruhinya lagi.
Demikian pula goresan-goresan pada tubuh Kangjeng Adipati Demak. Iapun benar-benar telah siap untuk bertempur menghadapi adiknya, Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
Tetapi kedua orang Senapati Agung itu masih belum dapat bertemu. Para prajurit dibawah Senapati masing-masing masih tetap saja bertempur dengan garangnya di garis benturan kedua pasukan itu. Sementara gelar Cakra Byuha yang masih ditrapkan prajurit Mataram itu mulai berputar perlahan-lahan.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, serta keringat mulai membasahi pakaian para prajurit di kedua pasukan itu, maka pertempuranpun menjadi semakin garang. Darahpun mulai mengalir dari luka. Tubuhpun mulai jatuh terbaring, sehingga kawan-kawannya berusaha untuk menyingkirkannya ke belakang garis pertempuran.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah tidak mengikuti Sekar Mirah memburu Ki Saba Lintang, telah berada kembali dalam Pasukan Pengawal Tanah Perdikan. Sementara Agung Sedayu dan Sekar Mirah hari itu masih belum dapat turun ke arena pertempuran.
Namun ternyata bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengacaukan medan. Bersama dengan Prastawa serta Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, mereka telah memporak porandakan pasukan lawan.
Namun Glagah Putih itupun terkejut ketika ia melihat seseorang yang bersenjata tongkat baja putih. Seorang yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang. Wajahnya yang keras serta matanya yang cekung menandai hatinya yang keras serta kecerdasannya mengurai setiap persoalan yang dihadapinya. Orang itupun tentu dengan cepat mengambil keputusan jika ia menghadapi permasalahan yang rumit.
"Rara," berkata Glagah Putih kepada Rara Wulan, "bukankah kita belum menyelesaikan tugas kita untuk menguasai tongkat baja putih itu dan menyerahkannya kepada Mataram?"
"Tetapi kenapa tiba-tiba saja tongkat baja putih itu ada di tangannya?"
"Dilingkungan orang-orang yang mengaku murid perguruan Kedung Jati itupun tentu telah terjadi persaingan untuk memperebutkan tongkat baja putih itu. Agaknya orang itu kemarin dengan serta-merta menguasai tongkat baja putih itu yang langsung diamnbilnya dari tangan Ki Saba Lintang. Sekarang orang itu ingin membuktikan, bahwa ia akan benar-benar mampu menjadi pemimpin dari perguruan Kedung Jati sepeninggal Ki Saba Lintang."
"Lalu, apa yang akan kakang lakukan?"
"Aku akan mengambil tongkat baja putih itu. Sebaiknya kau pergi bersamaku dan mengamati jika ada orang lain yang berniat berbuat curang."
"Baik, kakang. Aku akan mengamati usaha kakang mengambil tongkat baja putih itu. Sebaiknya kita memberitahukan lebih dahulu kepada kakang Prastawa."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah menemui Prastawa untuk memberitahukan niat mereka menemui orang yang bersenjata tongkat baja putih itu.
"Silahkan," berkata Prastawa, "mudah-mudahan kalian berhasil. Kami akan meneruskan tugas kami disini."
Demikianlah Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menyibak para prajurit yang sedang bertempur untuk mendekati orang yang bersenjata tongkat baja putih itu.
Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang itu mengamuk seperti harimau yang terluka.
Ketika kemudian Glagah Putih mendekatinya, maka orang itupun memandanginya dengan tajamnya. Matanya yang cekung itu menyorotkan sinar kemarahannya. Ia memang merasa agak terganggu dengan kehadiran orang yang masih terhitung muda itu.
Glagah Putihpun kemudian minta agar para prajurit yang berusaha menahan gerak maju orang yang bersenjata tongkat baja putih itu menyingkir.
"Apakah kau sengaja ingin melawan aku ?" berkata orang itu.
"Ya," jawab Glagah Putih tanpa basa-basi, "aku akan mengambil tongkat baja putih di tanganmu itu. Apakah tongkat baja putih itu asli atau tiruan ?"
"Aku ingin mengoyakkan mulutmu bocah edan," geram orang itu.
Glagah Putih melangkah maju. Katanya, "Kita bertemu di medan perang. Kau tidak usah sesumbar. Kita akan bertempur."
"Bagus. Tetapi aku ingin tahu namamu sebelum aku mematahkan lehermu."
"Aku Glagah Putih. Aku salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh."
"Kau seorang pengawal Tanah Perdikan " Kenapa kau berani mencoba menghalangiku " Kau tidak tahu siapa aku ?"
"Aku memang ingin bertanya kepadamu. Kau siapa dan kenapa tongkat baja putih itu berada di tanganmu, kecuali jika tongkat baja putih itu palsu."
"Anak iblis. Namaku Wiradipa. Sepeninggal Ki Saba Lintang, akulah pemimpin perguruan Kedung Jati."
"Jika demikian, serahkan tongkat itu kepadaku. Aku akan menyerahkan tongkat itu kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang sekarang menjadi Senapati Agung pasukan Mataram."
"Apakah kau gila," geram orang itu, "katakan sekali lagi. Maka aku akan mematahkan lehermu dengan tongkat baja putih ini."
"Serahkan tongkat baja putih itu kepadaku."
Orang itupun tiba-tiba berteriak nyaring. Kemarahannya telah membakar jantungnya, sehingga rasa-rasanya darahnya telah mendidih dan memanasi seluruh tubuhnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, orang itupun segera meloncat sambil mengayunkan tongkat baja putihnya mengarah ke leher Glagah Putih.
Tetapi dengan tangkas Glagah Putihpun telah merendah sehingga tongkat baja putih itu terayun di atas kepalanya.
Ketika Glagah Putih kemudian berdiri tegak, maka di tangannya telah tergenggam ikat pinggangnya yang telah diurainya.
"Apa yang kau lakukan ?" teriak orang yang menggenggam tongkat baja putih itu.
"Kita akan bertempur. Siapakah diantara kita yang akan sempat keluar dari lingkaran pertempuran ini."
"Kau benar-benar seorang yang sombong dan tidak tahu diri. Apa arti ikat pinggangmu itu dibandingkan dengan tongkat baja putih ini ?"
"Kita akan melihatnya."
Sekali lagi orang itu meloncat sambil mengayunkan tongkat baja putihnya. Kali ini mengarah ke pelipis Glagah Putih.
Namun Glagah Putih tidak merendahkan diri untuk menghindari ayunan tongkat baja putih itu. Tetapi Glagah Putih dengan sengaja telah membentur tongkat baja putih itu dengan ikat pinggangnya dengan keyakinan yang tinggi bahwa ikat pinggangnya akan mampu mengimbangi kekuatan tongkat baja putih itu.
Sebenarnyalah telah terjadi benturan yang sangat keras. Getar dari benturan tongkat baja putih yang diayunkan dengan kekuatan serta tenaga dalam yang sangat besar itu telah membentur ikat pinggang Glagah Putih.
Terasa telapak tangan Glagah Pulih menjadi panas. Namun ikat pinggangnya telah berada di tangannya. Bahkan ikat pinggangnya itu mampu menahan benturan tongkat baja putih itu.
Sebagaimana telapak tangan Glagah Putih yang menjadi panas, maka telapak tangan orang bertubuh lingi dan bermata cekung itupun terasa menjadi pedih. Bahkan hampir saja tongkat baja putih itu terlepas dari tangannya, sehingga orang itu terpaksa memeganginya dengan kedua belah tangannya.
Namun Glagah Putih sempat tertawa. Katanya, "Kemampuanmu tidak dapat diperbandingkan dengan Ki Saba Lintang yang sudah sangat terbiasa dengan tongkat baja putih itu, sehingga tongkat baja putih itu seakan akan telah menjadi bagian dari anggota tubuhnya. Tetapi kau masih sangat gagap bagaimana caranya mempergunakan tongkat baja putih itu.
"Persetan kau Glagah Putih. Hanya namamu yang akan keluar dari arena pertempuran ini."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap untuk bertempur melawan orang bertubuh tinggi, berdada bidang dengan wajah yang keras serta mata yang cekung dan mengaku bernama Wiradipa itu.
Demikianlah, maka keduanyapun kemudian telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Tongkat baja putih di tangan Wiradipa itupun terayun-ayun mengerikan. Sementara itu di tangan Glagah Putih berputaran ikat pinggang yang merupakan senjata andalannya
Beberapa kali telah terjadi benturan-benturan yang keras dari kedua senjata itu. Namun Wiradipa harus mengakui bahwa orang yang masih terhitung muda itu ternyata memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya pula.
Tetapi Wiradipa yang telah melanglang bukan saja sepanjang pesisir Utara. Tetapi iapun pernah menjelajahi daerah Selatan sampai ke Lautan Kidul, telah memiliki pengalaman yang sangat luas. Ia telah bertemu dan bertempur melawan orang-orang yang berilmu tinggi. Namun Wiradipa itu rasa-rasanya sangat sulit untuk dikalahkan, sehingga pada suatu saat ia telah bergabung dengan Ki Saba Lintang. Dengan kemampuannya yang tinggi, Wiradipa dengan cepat dapat merebut hati Ki Saba Lintang sehingga menjadi salah satu dari beberapa orang yang dekat dengan pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati itu dan bahkan telah masuk kedalam sekelompok orang yang bersaing untuk menjadi orang kedua di perguruan Kedung Jati itu.
Namun selagi Ki Saba Lintang masih ada, maka mereka masing-masing masih harus menahan diri, karena mereka masih tetap menghormati kuasa Ki Saba Lintang.
Tetapi demikian Ki Saba Lintang tidak ada, maka merekapun seakan berebut untuk menguasai tongkat baja putihnya. Demikian Ki Wiradipa sempat mendahului yang lain memiliki tongkat baja putih itu, maka iapun ingin membuktikan, bahwa ia memang seorang yang pantas untuk menggantikan Ki Saba Lintang.
Tetapi demikian ia turun di medan pertempuran, Ki Wiradipa telah bertemu dengan Glagah Putih. Seorang yang meskipun masih terhitung muda, tetapi ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sebenarnyalah dalam umurnya yang masih terhitung muda, Glagah Putih telah mempunyai pengalaman yang tidak kalah luasnya dengan lawannya. Bahkan selain berbekal pengalaman, landasan ilmu Glagah Pulihpun cukup tinggi. Terakhir ia telah membekali dirinya serta melengkapi ilmunya dengan ilmu yang diserapnya dari kitab Ki Namaskara yang telah mengikatnya dalam laku Tapa Ngidang di tengah-tengah hutan yang lebat.
Dengan demikian, kedua orang yang berlimu tinggi itupun telah bertempur dengan sengitnya mewarnai perang yang sedang berkecamuk itu.
Sementara itu, pasukan Mataram perlahan-lahan mulai mendesak lawannya. Beberapa orang Senapati yang sangat berpengaruh dari Demak telah tidak ada lagi. Bahkan Ki Saba Lintangpun sudah terbunuh di pertempuran. Sehingga dengan demikian, maka gelora didalam jiwa para prajurit Demak, mereka yang mengaku para murid duri perguruan Kedung Jati, apalagi para Wiratani, menjadi semakin menyusut.
Sementara itu, gelar yang dipimpin oleh Pangeran Puger mudapun bergerak semakin maju pula. Bahkan pasukan yang dipimpin Pangeran Demang Tanpa Nungkilpun telah bergeser lebih cepat dari hari-hari sebelumnya.
Di induk pasukan, Kangjeng Adipati Demak merasakan tekanan yang semakin berat dan pasukan Mataram. Maka Kangjeng Adipati itu tidak mempunyai pilihan lain kecuali langsung berhadapan dengan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Jika Kangjeng Adipati berhasil menguasai Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, maka pasukannya akan dapat menguasai pasukan Mataram.
Tetapi yang terjadi sebenarnyalah mempunyai pengaruh yang besar pada perang antara Demak dan Mataram itu. Terbunuhnya beberapa orang Senapati terpercaya dari Demak, ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Beberapa saat kemudian, maka Kangjeng Adipati Demakpun telah menguak medan. Sehingga akhirnya, ia pun telah bertemu dengan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
"Dimas Panembahan," berkata Kangjeng Adipati Demak, "kita akan menyelesaikan persoalan di antara kita."
"Kangmas Pangeran, sebaiknya Kangmas sempat menilai apa yang telah terjadi. Pasukan Demak telah terguncang. Para prajurit yang merasa telah kehilangan orang-orang yang mereka banggakan, telah membuat hati mereka menyusut. Bahkan orang-orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jatipun telah kehilangan pemimpin tertinggi mereka."
"Para murid dari perguruan Kedung Jati telah menemukan pemimpin mereka yang baru."
"Anak Tanah Perdikan itu telah menghambatnya. Bahkan orang yang mengaku pengganti Ki Saba Lintang itu tidak akan mampu menembus pertahanan anak Tanah Perdikan itu."
"Tidak Dimas. Kami akan menembus pertahanan Dimas Panembahan. Kami akan memecahkan gelar pasukan Dimas. Meskipun beberapa orang kami telah tewas, tetapi kami masih akan sanggup melakukannya."
Namun belum lagi getar kata-kata Kangjeng Adipati Demak itu reda, telah terjadi goncangan yang keras di induk pasukan itu. Ternyata beberapa orang Senapati Mataram menghentakkan pasukannya mendesak pasukan Demak, sehingga garis pertempuran itu bergeser.
Kangjeng Adipati Demakpun tidak mau kehilangan banyak waktu. Iapun segera bersiap sambil berkata, "Aku masih memberimu waktu Dimas Pangeran. Jika kau memerintahkan pasukanmu berhenti bertempur, maka kau akan selamat."
"Maaf, kangmas Adipati. Akulah yang seharusnya menawarkan pengampunan."
Kangjeng Adipati Demakpun tidak berbicara lagi. Iapun segera memutar senjatanya. Dengan gerangnya Kangjeng Adipati itupun menyerang Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang pada saat itu bersenjata sebatang tombak pendek yang ujungnya bercabang dua. Sebuah canggah.
Demikianlah pertempuran diantara keduanyapun menjadi semakin sengit. Namun bersamaan dengan itu, maka pasukan Demak yang sudah kehilangan beberapa orang Senapati terpentingnya, menjadi lebih mudah goyah.
Sementara itu, Glagah Putih masih bertempur dengan garangnya melawan Wiradipa yang telah mengangkat dirinya menggantikan Ki Saba Lintang. Bahkan dengan lantang iapun berkata, "Bocah edan. Jangan samakan aku dengan Ki Saba Lintang yang telah banyak berada di padepokan induk perguruan Kedung Jati, sehingga wawasan serta pengalamannya menjadi sempit. Tetapi aku adalah pengembara yang telah menjelajahi tanah ini. Aku telah bertempur dan bahkan membunuh puluhan orang berilmu tinggi, sehingga pengalaman serta landasan ilmuku jauh lebih tinggi dari Ki Saba Lintang."
"Tetapi ilmumu tentu belum setinggi orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu."
"Apakah kau merasa mampu menandingi orang itu" "
"Tentu saja aku merasa mampu."
"Anak iblis. Bersiaplah untuk mati."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
-ooo0dw0ooo- Jilid 385 PERTEMPURANPUN menjadi semakin sengit. Tongkat baja putih yang berada di tangan orang itu ternyata tidak mampu menembus pertahanan ikat pinggang Glagah Putih.
Namun semakin lama mereka bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka, maka pertahanan merekapun mulai merenggang. Sekali-sekali tongkat baja putih Ki Wiradipa serta ikat pinggang Glagah Putih mampu menembus pertahanan mereka masing-masing.
Namun akhirnya, Ki Wiradipa itupun harus mengakui kenyataan, bahwa serangan-serangan Glagah Putih mempunyai peluang lebih banyak untuk menyentuh tubuh Ki Wiradipa yang bertubuh tinggi, tegap dan bermata cekung itu.
Demikianlah, maka ketika ikat pinggang Glagah Putih menyentuh lengan Ki Wiradipa, maka kulit lengan Ki Wiradipa itupun telah dilekati oleh tapak ikat pinggang itu sehingga menjadi merah kebiru-biruan. Dengan serta-merta Ki Wiradipa meloncat surut. Lengannya terasa menjadi sangat sakit. Bahkan rasa-rasanya tulang lengannya itu bagaikan menjadi retak.
Ki Wiradipa mengumpat kasar. Ternyata orang yang masih terhitung muda itu mempunyai bekal ilmu yang sangat tinggi.
Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, maka Ki Wiradipa itu telah menghentakkan ilmunya. Namun Glagah Putihpun telah meningkatkan ilmunya pula.
Sentuhan ikat pinggang Glagah Putih itupun kemudian telah mengenainya lagi. Tetapi dengan meninggalkan jejak yang berbeda. Ketika sisi ikat pinggang itu mengenai pundaknya, maka di pundak itu telah tergores luka seperti goresan pedang yang sangat tajam.
"Setan alas kau Glagah Putih. Apakah yang sebenarnya kau genggam di tanganmu itu."
"Bukankah kau tahu, bahwa aku menggenggam sehelai ikat pinggang."
"Dari iblis manakah kau dapatkan ikat pinggang itu."
"Kalau aku anak iblis, maka ikat pinggang ini tentu aku warisi dari ayahku."
Kemarahan Wiradipa tidak dapat dikendalikannya lagi. Iapun segera berloncatan menyerang Glagah Putih.
Namun kemarahannya itu justru telah menyulitkan keadaannya. Karena kemarahannya itu, maka perhitungannya menjadi kabur. Dengan demikian maka serangan-serangannya menjadi tidak mapan. Apalagi orang itu masih belum benar-benar menguasai watak dan sifat tongkat baja putih yang berada di tangannya itu.
Karena itu, maka semakin lama orang itupun menjadi semakin terdesak. Ayunan tongkatnya menjadi semakin tidak terarah, hingga justru serangan-serangan Glagah Putihlah yang menjadi semakin sering menembus pertahanannya.
Ternyata orang itu semakin lama menjadi semakin gelisah. Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu telah memberikan isyarat dengan suitan nyaring.
Dari antara mereka yang sedang bertempur dengan sengitnya itu, telah muncul seseorang yang nampaknya mirip dengan orang yang memegang tongkat baja putih itu. Ia juga seorang yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang. Wajahnyapun mirip sekali, bahkan matanyapun nampak cekung dan dalam.
Tetapi orang itu nampak sedikit lebih muda dari Ki Wiradipa.
Ketika orang itu muncul dengan tiba-tiba, maka dua orang prajurit Mataram mencoba menghalanginya. Namun pertempuran diantara mereka tidak berlangsung lama. Kedua orang prajurit Mataram itupun segera terdesak. Bahkan ketika datang dua orang prajurit Mataram yang lain, maka merekapun telah terlempar dari arena. Seorang diantara mereka tidak segera dapat bangkit karena punggungnya menjadi sangat kesakitan. Seorang lagi lengannya serasa patah. Sedang kedua orang yang lain, sama sekali tidak berdaya. Seorang diantara merekapun terbanting dan menjadi pingsan, sedang yang lain jatuh terlentang ketika kaki orang itu mengenai dadanya.
Orang itupun kemudian dengan cepat meloncat mendekati orang yang bersenjata tongkat baja putih itu. Ia tahu apa yang harus dilakukannya.
Tetapi tiba-tiba saja seorang perempuan telah berdiri menghadapinya sebelum ia sempat membantu orang yang bernama Wiradipa itu.
"Kau mau apa, he ?" bertanya orang itu.
"Akulah yang bertanya, kau mau apa" Biarkan saja mereka menyelesaikan pertempuran diantara mereka."
"Kita berada dalam pertempuran. Siapapun dapat melibatkan diri. Apa maumu, he?"
"Baik. Semua orang dapat melibatkan diri. Karena itu, jika kau akan melibatkan diri maka aku pun akan melibatkan diri pula."
"Kau" Kau akan melibatkan diri" Apakah Mataram sudah kehabisan laki-laki sehingga seorang perempuan harus melibatkan diri?"
"Mataram tidak kehabisan laki-laki. Tetapi perempuan di Mataram merasa mengemban kewajiban yang sama dengan laki-laki. Bukankah kau tahu, bahwa yang mengalahkan Ki Saba Lintang adalah seorang perempuan ?"
"Persetan. Tetapi jika kau tidak mau pergi, maka kau akan menyesal."
"Aku tidak mau pergi. Aku justru datang untuk menghadapimu sekarang, agar kau tidak mengganggu mereka yang bertempur memperebutkan tongkat baja putih itu."
"Sebenarnya aku malu bertempur melawan seorang perempuan. Tetapi kesombonganmu telah menyinggung perasaanku."
"Agaknya kau memang seorang pemalu. Tetapi tidak apa. Kau akan mengalami nasib yang sama seperti Ki Saba Lintang."
Orang itu menjadi sangat marah. Karena itu maka iapun kemudian menggeram, "Baik. Baik. Aku akan membunuhmu."
Tetapi di wajah perempuan itu sama sekali tidak terbayang kecemasannya. Bahkan sambil tersenyum perempuan itu berkata, "Aku sudah siap Ki Sanak. Siapakah diantara kita yang akan keluar dari arena pertarungan ini."
"Sebelum kau mati, sebut namamu, nduk?"
"Namaku Rasa Wulan. Aku adalah isteri Glagah Putih yang sedang bertempur melawan orang yang telah memegang tongkat baja putih itu."
"Kau isterinya ?"
"Ya. Nah, sekarang sebut namamu."
"Namaku Patradipa. Aku adalah adik kakang Wiradipa yang sedang menjadi pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati."
"O. Jadi kakakmu itu menganggap dirinya pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati."
"Bukan sekedar menganggap dirinya, tetapi ia memang pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati. Bahkan kuasanya akan melampaui kuasa Ki Saba Lintang."
"Ia akan kehilangan tongkatnya hari ini."
"Persetan. Bersiaplah untuk mati Rara Wulan. Sebenarnya sayang sekali untuk membunuhmu. Tetapi apaboleh buat."
Rara Wulan tidak menjawab lagi. Ketika ia sempat melihat sejenak pertempuran antara Glagah Putih dan Wiradipa, maka Glagah Putihpun semakin menguasai pertempuran itu.
Demikianlah, maka Patradipa itupun segera meloncat menyerang Rara Wulan. Namun Rara Wulan cukup tangkas. Sambil mengelak iapun berkata, "Sebentar lagi, kakakmu akan kehilangan segala kesempatannya."
Patradipa tidak menyahut. Tetapi serangan-serangannya menjadi semakin cepat.
Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Patradipa ingin segera mengalahkan perempuan yang telah berani menantangnya itu.
Tetapi setiap kali Patradipa meningkatkan ilmunya, lawannyapun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga perempuan itu selalu saja mampu mengimbanginya.
Demikianlah, maka keduanyapun telah mengerahkan kemampuan mereka. Sekali-sekali Patradipa telah mendesak Rara Wulan. Namun pada kesempatan lain, justru Rara Wulanlah yang telah mendesak lawannya.
Sementara itu, Wiradipa telah menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan Glagah Putih menjadi semakin cepat. Ikat pinggangnya berputaran dengan cepatnya disekitar tubuhnya.
Wiradipa yang melihat adiknya harus bertempur dengan seorang perempuan itu mengumpat kasar. Sebenarnya ia telah berniat untuk bertempur berpasangan untuk melawan Glagah Putih. Tetapi adiknya itupun telah terlibat dalam pertempuran yang tidak kalah sengitnya.
Sebenarnyalah bahwa Patradipa itu tidak mengira, bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu mampu mengimbanginya, bahkan akhirnya Patradipa seakan-akan telah kehilangan akal. Apapun yang dilakukannya, perempuan yang menyebut dirinya Rara Wulan itu telah berhasil mendahuluinya.
Karena itu, maka Patradipa itupun semakin lama justru menjadi semakin terdesak, sehingga akhirnya Patradipa itu harus melindungi dirinya dengan senjata meskipun ia hanya melawan seorang perempuan.
"Perempuan ini tentu perempuan iblis," geram Patradipa sambil mencabut kerisnya yang ujudnya jauh lebih besar dari keris kebanyakan. Keris yang diselipkan di punggungnya, sehingga hulunya mencuat di belakang punggungnya.
Demikian keris itu tercerabut dari wrangkanya, maka keris itu seakan-akan menyala dengan cahayanya yang kemerah-merahan.
"Keris ini adalah bukan keris kebanyakan," berkata Patradipa, "Sebelum kakang Wiradipa memperoleh pertanda tongkat baja putih pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati, maka keris ini adalah pusakanya, peninggalan dari leluhur kami. Sebenarnya aku tidak perlu mencabut keris ini, karena jika keris ini sudah keluar dari wrangkanya, maka keris ini harus dibasahi dengan darah. Apalagi untuk melawan seorang perempuan. Tetapi ternyata waktuku tidak terlalu banyak, sehingga aku harus segera membunuhmu."
Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak menjadi gentar melihat tubuh keris yang berwarna kemerah-merahan itu. Bahkan Rara Wulan sempat menyahut, "Karena kerismu itu harus dibasahi dengan darah, bukankah kau dapat pergi ke padukuhan untuk mencari ayam atau bahkan kambing yang dapat kau kucurkan darahnya."
"Persetan kau perempuan iblis," geram Patradipa, "jangan menyesali nasibmu yang buruk. Aku akan menghujamkan keris ini di dadamu."
Orang itu tidak berbicara lagi. Iapun dengan serta merta telah meloncat sambil menjulurkan kerisnya mengarah ke dada Rara Wulan.
Rara Wulan itupun meloncat mengelakkan serangan itu sambil berkata, "Kenapa kau menjadi sangat tergesa-gesa" Apakah kau mencemaskan kakakmu yang membawa tongkat baja putih itu."
"Aku akan mengoyakkan mulutmu."
Rara Wulan tertawa. Namun Rara Wulanpun segera mengurai selendangnya. Sambil memutar selendangnya iapun berkata, "Jangan terlalu bangga dengan kerismu."
Patradipa itupun meloncat surut. Sambil mengamati selendang Rara Wulan iapun berkata, "Apa yang akan kau lakukan dengan selendang" Kau kira, kau ini berhadapan dengan apa?"
"Bukankah aku berhadapan dengan adik dari orang yang mengaku pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati sepeninggal Ki Saba Lintang. Tetapi apakah kau sendiri pernah menyadap ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati ?"
Orang itu tidak menjawab. Tetapi iapun menggeram, "Bersiaplah untuk mati."
Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat lagi dalam pertarungan antara hidup dan mati. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Dengan keris yang besar ditangannya, maka Patradipa telah menunjukkan ilmu pedangnya yang sangat tinggi, yang ternyata dapat di-trapkan dengan jenis senjatanya yang baru diterimanya dari kakaknya.
Tetapi selendang Rara Wulan bukanlah selendang kebanyakan. Dengan dilambari dengan tenaga dalamnya yang tinggi, maka Rara Wulan mampu mempermainkan selendang gnya sehingga membuat lawannya menjadi berdebar-debar.
"Selendang itu tentu selendang iblis," geram Patradipa, "kerisku tidak mampu menebas putus selendang itu."
Namun ketika ujung selendang itu mematuk dadanya, Patradipa itupun terdorong beberapa langkah surut. Rasa-rasanya segumpal batu padas telah menghentak mengenai dadanya itu.
Demikianlah maka keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat.
Namun serangan-serangan Rara Wulanlah yang telah banyak mengenai tubuh lawannya yang menjadi semakin marah, tetapi juga gelisah.
Keringatnya terasa membasahi seluruh tubuhnya.
Dalam pada itu, pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan Demak itupun mulai menampakkan perubahan keseimbangan.
Pasukan Mataram perlahan-lahan telah semakin mendesak pasukan Demak. Bahkan Mataram telah merubah gelarnya pula, menjadi gelar Wulan Tumanggal, sehingga gelar pasukan Mataram itu dapat menggapai ujung-ujung pasukan Demak. Jika semula sayap-sayap gelar pasukan Demak seakan-akan membuat setengah lingkaran di hadapan gelar pasukan Mataram, maka dengan perubahan gelar itu, maka sayap-sayap gelar pasukan Demakpun telah terdorong ke belakang.
Selain itu, keseimbangan gelar pasukan di lambungpun telah berubah. Pasukan Mataram di kedua sisi telah berhasil mendesak pasukan Demak.
Apalagi setelah lewat tengah hari, ketika pasukan Mataram telah menurunkan pasukan cadangannya yang semula berada di ekor gelarnya.
Kangjeng Adipati Demak tidak dapat mengingkari kenyataan itu.
Dalam pertempuran yang sengit itu, tiba-tiba saja sesuatu telah bergetar di pusat jantung Kangjeng Pangeran Puger. Ketika ia sempat memperhatikan korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak, maka Pangeran Puger itu seakan-akan baru terbangun dari sebuah mimpi yang sangat buruk. Seakan-akan Pangeran Puger itu baru melihat pada saat itu, apa yang sebenarnya terjadi di medan pertempuran itu. Darah, erang kesakitan serta wajah-wajah yang membayangkan kebencian dan dendam.
Tiba-tiba saja Pangeran Puger itupun menggeram, "Dimas Panembahan. Persoalan ini adalah persoalan antara kau dan aku. Antara dua orang saudara yang berebut kuasa. Kenapa kita harus melibatkan ribuan orang serta harus mengorbankan ratusan diantara mereka" Kenapa kita tidak menyelesaikan persoalan di antara kita itu tanpa menyeret orang lain dalam kesulitan, kebencian dan dendam."
"Kangmas Pangeran Puger. Aku juga bertanya demikian. Persoalan ini adalah persoalan dari dua orang putera Panembahan Senapati yang memperebutkan kamukten. Dua orang bersaudara yang berkelahi karena menginginkan warisan yang satu lebih banyak dari yang lain. Meskipun sudah ada tatanan dan paugeran tentang pewarisan kekuasaan dan kemukten itu, namun kita masih juta bersengketa. Karena itu, aku sependapat dengan kangmas Pangeran Puger. Marilah kita berdua menyelesaikan persoalan kita. Kita hentikan perang yang akan menelan korban semakin banyak ini. Jika kangmas Pangeran Puger tidak puas dengan tatanan dan paugeran yang ada, sehingga kangmas memilih jalan berdarah, aku akan melayaninya."
Pangeran Puger tidak segera menjawab, sementara itu Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun berkata selanjutnya, "Kangmas dapat mengambil keputusan sekarang. Perang yang akan menelan ratusan korban jiwa, merenggut anak-anak muda dari ibunya. Merampas suami-suami dari isteri dan anak-anaknya. Atau perang tanding di antara dua orang putera Panembahan Senapati yang berebut kemukten, jika tahta Mataram itu kita terjemahkan sebagai kamukten tanpa menghiraukan kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang pemimpin terhadap rakyatnya. Jika kedudukan seorang raja itu hanya dibaca sebagai muara dari kesenangan, kemukten, bahkan semua kemauan dan keinginannya akan dapat dipenuhi, serta kuasa tanpa batas, sehingga memperebutkan tahta kerajaan Mataram tidak ubahnya seperti dua ekor kucing yang memperebutkan tulang. Tanpa rasa tanggung-jawab sama sekali. Atau kangmas dapat melihat penyelesaian yang lain, yang lebih baik dari apa yang telah terjadi di medan perang ini."
Wajah Panembahan Puger menjadi tegang. Ia masih sempat melihat seorang prajurit yang sedang bertempur, tiba-tiba saja seseorang yang datang dari arah samping dengan serta-merta menusukkan ujung tombak pendeknya ke lambungnya.
Prajurit itu terkejut. Ketika ia berpaling, ia sempat melihat lawannya yang menusuk lambungnya itu. Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, prajurit itu berteriak nyaring. Namun demikian ia menghentakkan suaranya, maka darahpun semakin banyak mengalir dari luka. Tetapi ketika prajurit yang marah itu akan membalas menyerang prajurit yang menusuk lambungnya, maka lawannya yang lain telah menusuk dadanya dengan pedangnya.
Prajurit itu terhempas jatuh di tanah. Tetapi agaknya lawannya menjadi seperti orang mabuk. Prajurit yang sudah tidak berdaya itu telah diinjak dadanya sambil meneriakkan kemenangannya.
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati tidak mengusik Pangeran Puger yang kemudian menarik nafas panjang.
Di peperangan tentu banyak terjadi peristiwa kekejaman seperti itu. Para prajurit yang berada di medan perang, tentu akan sangat sulit untuk mengendalikan perasaannya, sehingga terjadi peristiwa-peristiwa yang sangat menyentuh hati.
Dalam keadaan yang penuh kebimbangan itu, Pangeran Puger merasakan goncangan-goncangan di induk pasukannya yang semakin terdesak.
Agaknya sepeletik sinar terang telah menyala di hati Pangeran Puger. Karena itu, maka akhirnya Pangeran Puger itu mengambil keputusan, biarlah dirinya yang dikorbankan untuk keselamatan prajurit-prajurit serta rakyat yang telah mendukungnya.
Dengan dada tengadah Pangeran Puger itupun kemudian menancapkan tombak pendeknya menghujam di bumi. Dengan lantang iapun berkata, "Dimas Panembahan Hanyakrawati. Aku akan menghentikan perang, tetapi aku mempunyai beberapa permohonan."
"Apa saja permohonan Kangmas Pangeran."
"Dimas harus juga menghentikan permusuhan. Tidak sekedar menghentikan perang. Dimas memberi kesempatan kepada pasukan Demak untuk menarik diri dan meninggalkan medan, sedangkan pasukan Mataram tidak memburu mereka. Aku akan memikul segala tanggung jawab atas terjadinya perang ini. Karena itu, maka Dimas jangan menghukum orang lain. Kemudian tindakan-tindakan yang berdasarkan peri kemanusiaan yang lain, sehingga Mataram tidak bertindak sewenang-wenang. Demak harus tetap berdiri, siapapun yang akan menjadi pemimpinnya."
Panembahan Hanyakrawati berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku akan memenuhi permintaan kangmas Adipati."
"Baik. Jika demikian, aku akan menyerah, dimas." Pangeran Pugerpun kemudian telah memerintahkan pasukan Demak untuk mundur dari medan pertempuran.
Sementara itu, lewat para Senapati pengapitnya, Panembahan Hanyakrawatipun telah memerintahkan pasukan Mataram untuk membiarkan pasukan Demak menarik dirinya. Para pemimpin Demakpun segera memerintahkan pasukannya untuk menjauhi garis pertempuran dan selanjutnya mereka telah mempersiapkan diri untuk menarik seluruh kekuatannya kembali ke Demak. Apalagi setelah mereka mengetahui, bahwa Kangjeng Adipati Demak telah menyerah.
"Kenapa kita justru meninggalkan Kangjeng Adipati itu berada di tangan orang-orang Mataram?" bertanya seorang Senapati yang setia kepada Kangjeng Adipati Demak.
"Kangjeng Adipati sendiri yang memberikan perintah itu."
"Beri kesempatan aku dan sekelompok prajuritku untuk merebut Kangjeng Adipati."
"Tidak perlu, adi."
"Kakang bukan seorang yang setia. Atau kakang memang menghendaki Kangjeng Adipati tertawan" Kemudian kakang akan mendukung orang lain untuk menduduki jabatan itu ?"
"Aku adalah seorang prajurit yang patuh akan perintah. Karena itu, aku tidak berani melanggar perintah Kangjeng Adipati itu sendiri."
Namun akhirnya para Senapati Demak itupun harus menerima keputusan yang telah diambil langsung oleh Kangjeng Adipati sendiri.
Namun dalam pada itu, ketika pasukan Demak mulai ditarik, maka pertempuran antara Patradipa melawan Rara Wulanpun telah sampai ke puncaknya pula. Ternyata Patradipa masih belum sempat mematangkan ilmunya. Ketika Patradipa merasa tidak mampu lagi mengatasi selendang Rara Wulan dengan kerisnya yang besar, maka Patradipapun mencoba untuk mengalahkan Rara Wulan dengan ilmu pamungkas yang ternyata belum dikuasainya dengan matang.
Namun Rara Wulan yang melihat Patradipa itu memusatkan nalar budinya, maka Rara Wulanpun melakukan hal yang sama. Rara Wulan masih belum tahu, seberapa jauh kemampuan lawannya, sehingga karena itu, ia tidak ingin mengalami akibat, yang sangat buruk oleh ilmu andalan lawannya itu.
Namun ketika kedua ilmu dari kedua orang yang sedang bertempur itu berbenturan, maka ternyata bahwa ilmu andalan Patradipa masih jauh dari ilmu yang dikuasai oleh Rara Wulan, sehingga karena itu, maka Patradipa itupun bagaikan telah dihempaskan oleh kekuatan yang sangat besar.
Patradipa itupun kemudian terkapar dengan isi dadanya yang bagaikan telah terbakar hangus.
Melihat adiknya terbunuh, maka Wiradipapun menjadi semakin gelisah. Sementara ia sendiri semakin mengalami kesulitan. Sedangkan pasukan Demak telah mulai bergeser meninggalkan pertempuran.
Beberapa orang yang menyebut dirinya murid dari perguruan Kedung Jati masih saja memperhatikan pertempuran itu. Tetapi mereka tidak dapat bertahan lebih lama, karena prajurit Demak semakin deras mengalir meninggalkan medan. Sementara perintah dari para Senapati Mataram, agar pasukan Mataram tetap tinggal di tempat dan membiarkan para prajurit Demak itu bergeser surut.
Wiradipa yang bertempur melawan Glagah Putih itupun akhirnya tidak dapat berbuat lain. Ia merasa bahwa ilmu pamungkasnya jauh lebih masak dari ilmu adiknya, sehingga karena itu, maka Wiradipa itupun berniat untuk mengetrapkan ilmu puncaknya itu pula.
Demikianlah, maka pada saat-saat terakhir, pertempuran antara Demak dan Mataram itu, Wiradipa telah menghentakkan ilmu puncaknya.
Namun ternyata bahwa ilmu Wiradipapun tidak dapat diperbandingkan dengan ilmu puncak Glagah Putih yang disebutnya Aji Namaskara. Karena itu, maka seperti yang terjadi pada adiknya, maka Wiradipa itupun telah terhempas dan jatuh terbanting di tanah.
Beberapa orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jatipun telah berloncatan mendekatinya, namun Glagah Putihpun membentak, "Jangan dekati orang itu, atau kalian akan mengalami nasib yang sama."
Orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itupun menjadi termangu-mangu, sementara Glagah Putih melangkah dengan hati-hati mendekati tubuh Wiradipa yang terbaring.
Ternyata Glagah Putihpun telah memungut tongkat baja putih yang masih berada di tangan Wiradipa yang terbaring diam. Bahkan nafasnyapun telah berhenti mengalir lewat lubang hidungnya.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya seorang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati.
"Aku akan menyerahkannya kepada yang berhak."
"Siapa ?" "Aku tidak dapat mengatakannya sekarang. Tetapi perguruan Kedung Jati akan segera ditertibkan. Hanya murid-murid perguruan Kedung Jati sajalah yang akan tetap diakui dengan melewati pendadaran. Baik ilmunya, maupun sikap dan pandangan hidupnya."
Orang-orang itu tidak ada yang berani mencegahnya ketika Glagah Putih bergeser surut sambil membawa tongkat baja putih itu.
"Sekarang, pergilah. Pasukan Demak sudah meninggalkan garis pertempuran. Sementara itu, langit sudah menjadi kekuning-kuningan."
Untuk beberapa saat orang-orang itu masih saja termangu-mangu. Namun kemudian Glagah Putih itupun berkata, "Cepat, pergilah. Bawa mayat kawanmu itu, atau kau menunggu orang-orang Mataram merubah pendirian?"
Orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itupun kemudian telah membawa tubuh-tubuh pemimpin mereka yang telah terbunuh itu dan dengan cepat merekapun meninggalkan medan, menyusul para prajurit Demak yang telah ditarik mundur.
Yang tinggal di medan adalah prajurit prajurit Mataram yang termangu-mangu. Tetapi mereka tidak dapat melanggar perintah Kangjeng Panembahan Hanyakrawati untuk tidak memburu para prajurit Demak yang menarik diri.
Sementara itu, Kangjeng Adipati Demak yang menyerah, telah dikelilingi oleh beberapa orang Senapati Mataram.
Ki Patih Mandarakapun telah menyibak para Senapati itu. Didekatinya Kangjeng Adipati yang berdiri termangu-mangu.
"Eyang," desis Kangjeng Adipati Demak.
Ki Patihpun kemudian melangkah mendekati Kangjeng Adipati sambil berdesis, "Sokurlah wayah, bahwa wayah segera menyadari sebelum keadaan menjadi semakin buruk."
Kangjeng Adipati itupun kemudian berlutut di depan Ki Patih Mandaraka. Namun dengan cepat Ki Patihpun menarik kedua lengannya agar Kangjeng Adipati Demak itu bangkit berdiri.
"Jangan ngger. Jangan."
"Eyang." Kangjeng Adipati itupun kemudian telah memeluk Ki Patih Mandaraka yang tua itu sambil berkata sendat, "Aku mohon maaf, eyang. Juga kepada Dimas Panembahan Hanyakrawati. Aku telah melakukan kesalahan yang besar sekali. Aku hanya dapat mohon ampun."
"Marilah kangmas. Aku persilahkan kangmas pergi ke pasanggrahan kami."
Seorang Senapatipun kemudian telah mengalungkan sehelai cinde di bahu Kangjeng Adipati sebagai pertanda, bahwa Kangjeng Adipati Demak adalah seorang tawanan.
Semalam itu Kangjeng Adipati Demak berada di pasanggrahan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati sebagai tawanan. Ditempatkannya Kangjeng Adipati itu di dalam bilik yang khusus, dijaga dengan kuat oleh beberapa orang Senapati pilihan.
Malam itu juga, Glagah Putih dan Rara Wulan, diantar oleh Ki Lurah Agung Sedayu dan isterinya, yang kedua-duanya masih lemah, menyerahkan tongkat baja putih yang semula berada di tangan Ki Saba Lintang.
Di pasanggrahan malam itu telah berkumpul Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, Ki Patih Mandaraka, Pangeran Singasari yang sudah menjadi semakin baik, Pangeran Puger, Pangeran Demang Tanpa Nangkil serta para Senapati terpenting dari Mataram. Dihadapan mereka, Kangjeng Panembahan Hanyakrawati menyatakan penghargaannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan istrinya, serta Glagah Putih dan istrinya pula. Tanpa mereka, maka orang-orang yang menyebut dirinya murid perguruan Kedung Jati itu masih saja akan sangat mengganggu.
"Tanpa Ki Saba Lintang serta tongkat baja putih itu, maka mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi," berkata Panembahan Hanyakrawati selanjutnya.
"Mereka tentu akan terpecah-pecah dan tercerai berai, Panembahan," sahut Ki Lurah Agung Sedayu.
"Ya. Mereka akan segera terlempar kembali ke dalam kelompok-kelompok kecil dari mana mereka berasal. Mereka akan kembali ke tempat mereka masing-masing serta merenungi apa yang telah mereka lakukan. Ternyata Ki Saba Lintang dengan pengakuannya, bahwa ia adalah pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati itu tidak memberikan apa-apa kepada mereka."
"Hamba Panembahan."
"Aku juga tidak boleh mengabaikan, apa yang telah Ki Lurah lakukan terhadap orang yang menyebut guru dari Ki Saba Lintang itu. Aku sudah menerimu laporan tentang perang tanding yang dilakukan oleh Ki Lurah Agung Sedayu melawan orang yang mengaku guru dari Ki Saba Lintang dan bahkan telah mendendam karena gurunya telah dibunuh oleh kangmas Rangga semasa hidupnya."
"Hamba hanya sekedar menjalankan kewajiban hamba Panembahan. Sudah seharusnya hamba melakukannya."
"Ki Lurah telah melakukan kewajiban Ki Lurah dengan sangat baik. Kecuali itu, Ki Lurah ternyata telah berbekal ilmu yang sangat tinggi sehingga Ki Lurah dapat mengalahkan orang yang mengaku guru dari Ki Saba Lintang itu."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang, sementara Panembahan Hanyakrawati itupun berkata selanjutnya, "Aku sudah mendapat laporan terperinci dari perang tanding yang sudah terjadi itu, Ki Lurah, disamping laporan tentang kematian kakak beradik yang mencoba mengambil alih kepemimpinan dari apa yang mereka sebut perguruan Kedung Jati itu."
Ki Lurah itupun kemudian menyahut, "Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
Demikianlah, maka Kangjeng Panembahan itupun mengijinkan keempat orang itu untuk beristirahat, sementara Kangjeng Panembahan masih akan berbicara dengan para pemimpin Mataram.
Hampir semua pemimpin di Mataram yang ikut dalam pembicaraan itu telah memuji Ki Lurah Agung Sedayu suami isteri serta Glagah Putih suami isteri pula. Merekapun mengakui bahwa lelabuhan mereka tidak hanya baru dalam perang besar antara Mataram dan Demak itu. Tetapi jauh belum itu, dalam berbagai kesempatan, mereka telah menunjukkan pengabdian mereka. Beberapa kali mereka telah mempertaruhkan nyawa mereka demi tugas-tugas yang harus mereka lakukan.
Namun hampir semua pemimpin di Mataram seolah-olah baru sadar, bahwa orang yang memiliki ilmu yang tinggi serta pengabdian yang tulus itu masih saja tetap seorang Lurah.
Sementara itu, para pemimpin di Matarampun agaknya sependapat bahwa bagi Glagah Putih, dapat diberi kesempatan untuk menjadi seorang prajurit apabila ia menghendaki.
Tetapi segala sesuatunya baru akan dibicarakan kemudian, setelah para pemimpin itu kembali di Mataram.
Yang mereka bicarakan malam itu adalah Kangjeng Adipati di Demak. Apa yang akan mereka lakukan terhadap Kangjeng Adipati.
Namun para pemimpin di Mataram itu merasa lebih baik berdiam diri. Segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Kangjeng Adipati Demak adalah saudara tua Kangjeng Panembahan Hanyakrawati itu.
Dalam suasana yang tegang, Panembahan Hanyakrawati itu akhirnya bertanya kepada sesepuh di Mataram, "Bagaimana pendapat paman Patih Mandaraka?"
Ki Patih menarik nafas panjang. Kemudian katanya, "Wayah Panembahan. Kangjeng Adipati Demak itu adalah saudara wayah Panembahan sendiri. Mungkin wayah Panembahan akan tega melihat saudara sendiri sakit. Tetapi wayah tentu tidak akan tega melihatnya mati. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada wayah Panembahan. Namun perlu dipertimbangkan keputusan akhir yang telah diambil wayah Pangeran Puger, bahwa ia telah menyerah. Ia bersedia mempertanggungjawabkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan perang antara Mataram dan Demak. Ia telah mengorbankan dirinya agar keadaan tidak menjadi semakin buruk. Korban tidak menjadi semakin banyak."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Baiklah, eyang. Aku telah mengambil keputusan, bahwa kangmas Pangeran Puger tidak akan aku kembalikan lagi ke Demak."
"Lalu, apa yang akan wayah lakukan terhadap wayah Pangeran Puger?"
"Aku masih belum tahu, eyang. Untuk sementara, biarlah kangmas Pangeran Puger aku bawa ke Mataram."
Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Segala sesuatunya memang terserah kepada kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Namun bahwa Pangeran Puger akan dibawa ke Mataram, telah membuat sesepuh Mataram itu menjadi berdebar-debar.
Para pemimpin yang lainpun termangu-mangu mendengar keputusan itu. Tetapi sebenarnyalah sikap para pemimpin di Mataram itu sangat berbeda-beda. Bahkan ada yang saling bertentangan.
Seorang Senapati yang terluka di dada serta bahunya, menganggap bahwa Pangeran Puger adalah seorang pemberontak. Ia telah melawan tahta Mataram. Bahkan karena pemberontakannya itu, banyak para pemimpin dan prajurit Mataram yang terbunuh. Senapati itu sendiri terluka parah. Bahkan prajurit-prajurit di pasukannya banyak yang telah gugur.
Seorang Senapati yang lain, berpendapat, bahwa kangjeng Panembahan Hanyakrawati harus menegakkan wibawanya dengan bertindak tegas terhadap siapapun, termasuk saudaranya sendiri. Yang bersalah harus dihukum, meskipun yang bersalah itu adalah kakaknya.
Tetapi seorang pemimpin yang lain, mempunyai pandangan yang berbeda. Kangjeng Adipati Demak telah mengakui segala kesalahannya. Ia telah berusaha untuk mengurangi korban di saat-saat terakhir dari pertempuran yang besar itu.
Sebagaimana dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka, bahwa sikap Pangeran Puger pada saat terakhir itu justru perlu dipertimbangkan.
Tetapi dalam keragu-raguan, Panembahan Hanyakrawati tidak segera menjatuhkan keputusan. Ia akan membawa Pangeran Puger ke Mataram.
Ketika keputusan itu disampaikan kepada pangeran Puger, maka Pangeran Puger mohon untuk dapat berbicara dengan adiknya, Panembahan Hanyakrawati.
Ternyata Panembahan Hanyakrawati tidak berkeberatan. Pada malam itu juga, menjelang dini hari, Panembahan Hanyakrawati telah menemui Pangeran Puger di dalam bilik tahanannya yang dijaga dengan sangat ketat.
"Dimas," berkata Pangeran Puger, "jika aku akan dimas bawa ke Mataram hanya untuk dimas jadikan pengewan-ewan, aku minta agar aku dihukum mati di sini saja."
"Tidak kangmas. Sama sekali tidak. Aku hanya menjadi bingung, sehingga aku belum dapat memutuskan hukuman apa yang pantas aku trapkan bagi kangmas Pangeran Puger. Aku tahu, bahwa aku harus menjatuhkan hukuman. Tetapi hukuman apa?"
"Aku pantas dihukum mati, dimas. Aku tidak akan ingkar. Bahkan aku mohon hukuman mati itu segera dilaksanakan di sini."
Tetapi Kangjeng Panembahan Hanyakrawati itupun menggeleng. Katanya, "Aku belum mengambil keputusan apa-apa kangmas, kecuali bahwa aku menetapkan kangmas tidak akan kembali lagi ke Demak. Yang lain, masih akan aku putuskan kemudian. Aku masih harus berpikir serta membuat pertimbangan-pertimbangan yang masak. Aku tidak boleh tergesa-gesa kangmas."
"Tertundanya hukuman mati yang akan dimas putuskan hanya akan membuat aku menjadi gelisah setiap hari."
"Tetapi untuk mengambil keputusan dengan tergesa-gesa, akan dapat membuat aku menyesal jika kemudian aku sadari, bahwa keputusanku itu keliru, kangmas. Karena itu, maka aku tidak akan membuat keputusan dengan tergesa-gesa. Tetapi aku berjanji, bahwa aku tidak akan mempermalukan kangmas di hadapan rakyat Mataram. Itulah sebabnya, maka aku sudah mempersiapkan tandu yang tertutup untuk membawa kangmas kembali ke Mataram. Aku berharap bahwa tidak ada orang yang memperhatikan tandu itu, karena mereka tidak tahu, siapakah yang berada di dalamnya. Tentu .saja uku tidak hanya menyiapkan sebuah tandu. Mungkin empat atau lima tandu yang tertutup akan berada di antara pasukan Mataram yang kembali dari medan ini."
Pangeran Puger menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata, "Segala sesuatunya terserah kepada dimas Panembahan."
Panembahan Hanyakrawatipun kemudian meninggalkan Kangjeng Adipati Demak di dalam bilik tahanannya, yang dijaga dengan sangat ketat. Selain karena Pangeran Puger sendiri seorang yang berilmu sangat tinggi, namun tentu masih ada Senapatinya yang setia kepadanya.
Kangjeng Adipati Demak sendiri tentu tidak akan berusaha melarikan diri dari bilik tahanannya. Tetapi jika orang-orang yang setia kepadanya datang untuk membebaskannya dengan mempertaruhkan nyawanya, maka keadaan akan dapat menjadi sangat gawat.
Karena itu, maka penjagaan di sekitar bilik tahanan itupun menjadi sangat kuat.
Ternyata malam itu, para prajurit Mataram masih sangat sibuk. Namun mereka tetap mentaati perintah Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Mereka sama sekali tidak mengganggu para prajurit Demak, orang-orang yang mengaku para murid dari perguruan Kedung Jati serta para Wiratani untuk mengambil kawan-kawan mereka yang tertinggal di medan. Yang terbunuh dan yang terluka parah.
Namun malam itu, para prajurit Mataram tidak dengan tergesa-gesa mengadakan upacara pemakaman kawan-kawan mereka yang gugur. Esok mereka tidak perlu turun ke medan, sehingga mereka dapat memakamkan kawan-kawan mereka esok pagi.
Demikianlah, di samping upacara pemakaman, maka para prajurit itupun telah mempersiapkan semua peralatan serta segala macam bekal yang masih ada. Para prajuritpun telah mempersiapkan pedati-pedati serta tandu yang akan mereka bawa kembali ke Mataram.
Para Senapati pun telah menyusun pasukan mereka masing-masing. Mereka harus meneliti para prajuritnya. Mereka harus tahu pasti, berapakah di antara prajuritnya yang gugur, yang terluka parah serta yang terluka ringan.
Namun persiapan para prajurit itu tidak selesai dalam waktu sehari. Karena itu, maka mereka baru dapat meninggalkan pesanggrahan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati tiga hari kemudian.
Tetapi Mataram masih akan meninggalkan sekelompok prajuritnya untuk menyelesaikan segala sesuatunya yang mungkin masih harus dibenahi kemudian. Sekelompok prajurit pilihan yang akan dapat mengatasi masalah-masalah yang dapat timbul. Bahkan jika ada orang-orang Demak yang mendendam.
"Para prajurit Demak tidak akan merunduk mereka," berkata seorang Senapati, "mereka tentu menghormati sika Kangjeng Panembahan Hanyakrawati. Bahkan jika Demak berani mengganggu sekelompok prajurit yang tinggal itu, maka pasukan Mataram akan kembali pula dan menghancurkan mereka sampai lumat."
"Bagaimana dengan mereka yang mengaku para murid dari perguruan Kedung Jati?"
"Sepeninggal Ki Saba Lintang, serta setelah tongkat baja putihnya berada di tangan Mataram, maka mereka akan tercerai berai. Tidak ada orang yang dapat memimpin mereka. Merekapun akan kembali kepada kepentingan mereka masing-masing."
Demikianlah, maka ketika segala sesuatunya sudah siap, maka pasukan Mataram yang besar itupun telah meninggalkan pesanggrahan, kembali ke Mataram. Segala sesuatunya tentang rumah-rumah di kademangan yang telah dipergunakan oleh pasukan Mataram akan diselesaikan urusannya oleh para prajurit yang tinggal.
Sepanjang jalan, nampak wajah-wajah berseri dari para prajurit yang merasa telah memenangkan perang itu. Jika saja Kangjeng Panembahan Hanyakrawati tidak menahan mereka, maka mereka tentu tidak akan membiarkan pasukan Demak mengundurkan diri dengan tanpa gangguan. Jika saja pasukan Mataram dibiarkan memburu pasukan Demak yang mundur dari medan, maka korban tentu akan menjadi sangat banyak. Bukan saja prajurit Demak, tetapi juga prajurit-prajurit Mataram. Prajurit-prajurit Demak yang putus asa tentu akan memberikan perlawanan membabi buta, sehingga keadaan akan menjadi semakin buruk.
Sebaliknya, para prajurit Matarampun akan dapat kehilangan kendali sehingga dapat melakukan perbuatan di luar dugaan.
Di dalam iring-iringan pasukan Mataram itu terdapat sejumlah pedati serta beberapa tandu yang tertutup.
Di dalam pedati itu terdapat berbagai macam perlengkapan. Dari perlengkapan perang sampai ke perlengkapan dapur. Bahkan bahan-bahan pangan yang masih tersisa, sementara sebagian mereka tinggalkan di pesanggrahan bagi para prajurit Mataram yang harus melanjutkan tugasnya.
Sementara itu, iring-iringan yang panjang, yang di antaranya terdapat beberapa pedati serta tandu yang tertutup, berjalan dengan lambat. Para pemimpin serta para Senapati yang berkuda, bahkan merasa pasukan itu bagaikan siput yang merayap di tanah berabu.
Tetapi mereka tidak dapat memaksa iring-iringan itu berjalan lebih cepat lagi. Apalagi beberapa buah pedati yang ditarik oleh sepasang lembu yang berisi hampir penuh.
Semakin jauh dari medan pertempuran, semakin banyak rakyat yang menyambut pasukan itu di pinggirpinggir jalan. Mereka tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan Mataram yang pulang sambil membawa kemenangan.
Namun perjalanan ke Mataram agaknya diperlukan waktu yang panjang. Agaknya mereka memerlukan setidaknya tiga hari, baru mereka akan memasuki pintu gerbang kota.
Ketika matahari mulai turun di sisi Barat langit, maka iring-iringan itu berjalan semakin lambat. Panas matahari rasa-rasanya bagai membakar kulit. Keringatpun telah membasahi pakaian para prajurit yang sudah penuh dengan debu.
Tetapi para prajurit itu masih saja berjalan dengan wajah tengadah. Mereka telah memenangkan perang. Yang terluka, tidak lagi merasakan pedih meskipun luka itu kemudian menjadi basah oleh keringat. Bahkan luka-luka itu rasanya membuat para prajurit itu menjadi berbangga.
Tetapi yang terluka lebih parah, masih harus mengerang kesakitan. Mereka berbaring dalam pedati yang berjalan lamban serta bergoyang-goyang karena jalan yang tidak rata.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah, meskipun, sudah menjadi berangsung baik, namun mereka masih harus duduk di punggung kuda sepanjang perjalanan. Tetapi . Glagah Putih dan Rara Wulan, lebih sering berjalan kaki bersama para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dari pada duduk di punggung kudanya.
"Naiklah," berkata seorang pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan. "Kalian akan menjadi terlalu letih jika kalian berjalan bersama kami."
"Jika kalian tidak merasa letih, maka kamipun tentu tidak merasa letih pula."
Ketika senja turun, maka pasukan itupun telah berhenti di sebuah padang perdu yang luas. Sekelompok prajurit dengan tangkas telah mempersiapkan tempat yang khusus untuk menyediakan makan dan minum.
Disilangkannya, beberapa buah pedati setelah lembu-lembunya dilepas, sehingga telah terjadi sebuah ruang yang agak terpisah, yang kemudian dipergunakannya sebagai dapur.
Para prajurit yang bekerja di dapur itu telah minta tolong beberapa orang prajurit yang lain untuk mengambil air di padukuhan terdekat.
"Kelentingnya tidak cukup banyak," jawab prajurit yang malas.
"Kita pinjam kelenting di padukuhan."
"Kau tahu, kakiku sakit?"
Namun prajurit itu tidak membantah lagi ketika Lurahnya yang tiba-tiba saja telah berdiri di belakangnya berkata, "Ia memang sakit. Bukan hanya kakinya, tetapi perutnya, sehingga ia tidak mau makan hari ini."
Prajurit itupun kemudian bangkit berdiri dan ikut bersama kawan-kawannya pergi ke padukuhan untuk mengambil air.
Dengan cepat para prajurit yang bertugas di dapur itu mempersiapkan makan bagi seluruh pasukan. Namun karena tugas-tugas itu telah mereka lakukan dari waktu ke waktu, maka merekapun tidak merasa canggung lagi.
Malam itu, para prajurit Mataram, berkemah di tempat terbuka. Mereka menebar di sebuah padang perdu yang luas, yang membentang dari bulak di sebelah padukuhan sampai ke pinggir hutan yang agak jauh. Di ujung padang perdu terdapat tanah berbukit-bukit kecil yang nampaknya tandus.
Di beberapa tempat, para prajurit yang merasakan dingin yang menggigit, telah membuat perapian untuk sedikit memanaskan udara di sekitarnya.
Sementara itu, bagi Kangjeng Panembahan Hanyakrawati serta para pangeran telah disediakan beberapa tempat khusus yang dilindungi oleh beberapa buah pedati yang sengaja diatur membujur dan melintang.
Namun agaknya Kangjeng Panembahan Hanyakrawati serta para Pangeran tetap saja berada di antara para Senapati. Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun telah membuat perapian pula, dikelilingi oleh para pangeran yang lain. Sementara itu, Ki Patih Mandaraka justru berjalan-jalan di antara para prajurit yang sedang beristirahat.
Ketika Ki Patih itu melangkah di dekat Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang duduk bersandar roda pedati, Ki Patih itupun berhenti.
"Bagaimana keadaan kalian?" bertanya Ki Patih.
"Kami sudah menjadi semakin baik, Ki Patih."
Ketika keduanya akan bangkit berdiri, maka Ki Patih itupun justru duduk di depan mereka sambil berkata, "Duduk sajalah. Aku juga ingin duduk di sini."
"Tempatnya kotor, Ki Patih?"
"Bukankah semua juga berada di padang perdu ini?"
Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, "Ya, Ki Patih."
"Kalian tidak membuat perapian" Udara terasa sangat dingin. Agaknya angin basah bertiup dari lembah."
"Lebih baik udara agak dingin seperti ini daripada udara terasa panas sekali. Di udara dingin jika perlu, kami dapat membuat perapian atau memakai pakaian rangkap. Tetapi di udara panas, kami hanya kebingungan"
"Kau dapat berendam di sungai."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah tertawa. Ki Patihpun tertawa pula.
"Di mana Glagah Putih dan Rara Wulan?"
"Mereka berada di antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama Prastawa, Ki Patih."
"Putera Ki Gede?"
"Kemenakan. Prastawa adalah putera Ki Argajaya."
"Ya, ya." Ki Patih itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian dengan nada dalam Ki Patih itupun bertanya, "Bagaimana pendapatmu, jika Glagah Putih menjadi seorang prajurit?"
Ki Lurah Agung Sedayu itu menarik nafas. Dengan agak ragu Ki Lurah itupun menjawab, "Anak itu agaknya sulit untuk menetap dan melakukan tugas keseharian sebagai seorang prajurit. Ia harus melakukan kewajibannya dalam ikatan tatanan yang kuat. Agaknya sulit bagi Glagah Putih untuk melakukannya. Bersama dengan istrinya Glagah Putih itu tentu masih ingin mengembara, mengunjungi berbagai tempat. Bahkan mereka masih saja ingin meningkatkan ilmu mereka. Agaknya kedudukannya sebagai prajurit tidak akan dapat mendukung keinginan-keinginannya itu."
Ki Patih Mandaraka itu mengangguk-angguk. Namun kemudian Ki Patih itupun berkata, "Bukankah kau dahulu juga pengembara yang tidak dapat menetap di suatu tempat?"
"Hamba lebih banyak berada di Tanah Perdikan. Apalagi setelah kami menikah."
"Tetapi pada suatu hari Glagah Putih pun harus menetap. Ia tidak dapat mengembara sepanjang hidupnya."
"Ya, Ki Patih. Tetapi agaknya Glagah Putih masih memerlukan waktu. Meskipun demikian, jika Ki Patih menghendaki, kami akan menawarkan kepadanya."
Ki Patih menarik nafas panjang. Dengan nada yang agak meninggi Ki Patih itupun bertanya, "Bagaimana pendapatmu jika Glagah Putih diangkat menjadi prajurit sandi. Mungkin pengangkatan itu dapat dilakukan bukan saja bagi Glagah Putih sendiri, Tetapi juga bagi istrinya."
"Prajurit sandi?" Ki Lurah Agung Sedayu mengulang.
"Ya. Selama ini Glagah putih mendapat pertanda bahwa ia sedang mengemban tugas dari Mataram. Tetapi ia bukan seorang prajurit. Tentu akan lebih baik jika Glagah Putih dan Rara Wulan diangkat menjadi prajurit dalam tugas sandi. Ia terikat dalam tugas-tugasnya, tetapi ia mempunyai kebebasan dengan cara-cara mereka untuk melaksanakan tugasnya. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan masih mendapat kesempatan untuk melakukan pengembaraan."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah itupun berkata, "Jika dikehendaki oleh Mataram, agaknya kedudukan itu sesuai bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun pada saatnya keduanya harus menetap dan tinggal sebagaimana kebanyakan keluarga. Glagah Putih harus menjadi seorang ayah dan Rara Wulan menjadi seorang ibu."
Tiba-tiba saja suara Sekar Mirah menjadi dalam. Bagaimanapun juga Sekar Mirah sulit menyembunyikan perasaannya jika ia berbicara tentang anak dan keturunan.
Namun Ki Patih cukup bijaksana. Iapun segera mengalihkan perhatian Sekar Mirah. Dengan suara yang lembut Ki Patih itupun kemudian bertanya, "Apakah kalian berdua sudah menjadi semakin baik?"
"Ya, Ki Patih," jawab Ki Lurah Agung Sedayu.
"Orang yang menyebut dirinya guru Ki Saba Lintang itu adalah orang yang memiliki ilmu sangat tinggi. Untunglah bahwa kau sempat menghentikan amuknya."
"Tetapi orang itu bukan apa-apa bagi Ki Patih."
"Aku sudah tua, Ki Lurah. Sudah waktunya aku beristirahat. Mudah-mudahan keadaan menjadi semakin baik, sehingga tidak lagi terjadi gejolak. Apapun alasannya, akhirnya rakyat kecillah yang menderita paling parah. Sementara rakyat kecillah yang paling sedikit mendapat pengaruh dari satu kemenangan. Tetapi ia akan menerima akibat teburuk bagi satu kekalahan."
"Ya. Ki Patih."
"Namun kadang-kadang kita dihadapkan pada pilihan tunggal. Kekerasan."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun termangu-mangu sejenak. Tetapi bagi setiap orang, perang adalah peristiwa terburuk yang terjadi dalam hubungan antar sesama. Tetapi pada suatu saat yang terburuk itu menjadi satu satunya pilihan.
Sejenak mereka bertigapun terdiam. Sementara itu angin mal ampun terasa semakin dingin menusuk sampai ke tulang.
Dua orang prajurit yang nampaknya sedang mencari-cari, berhenti di hadapan Ki Patih Mandaraka dengan sikap prajuritnya.
"Kalian mencari aku ?" bertanya Ki Patih Mandaraka.
"Ya, Ki Patih. Kami mendapat perintah untuk menyampaikan pesan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati bagi Ki Patih."
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pesan apa ?" "Ki Patih ditunggu oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati."
Ki Patih Mandarakapun mengangguk-angguk sambil menjawab. "Baik Aku akan segera menghadap."
Kedua orang prajurit itupun kemudian meninggalkan Ki Patih Mandaraka yang masih saja duduk bersama Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Namun Ki Patih itupun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, "Kalian harus banyak beristirahat. Tidurlah. Semakin banyak beristirahat, maka keadaan kalian akan menjadi semakin cepat pulih kembali."
"Ya, Ki Patih. Kami akan beristirahat sebaik-baiknya."
Sejenak kemudian Ki Patihpun telah meninggalkan mereka. Ki Patih Mandaraka itu berjalan di antara para prajurit yang sedang beristirahat dalam kelompok mereka masing-masing.
Sejenak kemudian, Ki Patih itupun telah menghadap Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang masih duduk bersama para Pangeran serta beberapa orang pemimpin tertinggi Mataram disekeliling perapian.
"Wayah memanggil aku menghadap?"
"Ya, eyang. Kami baru saja berbicara tentang kangmas Pangeran Puger."
"Kenapa dengan Pangeran Puger?"
"Bagaimana pendapat eyang tentang kangmas Pangeran?"
"Apa yang wayah bicarakan tentang wayah Pangeran Puger?"
"Eyang. Menurut pendapatku, kangmas Pangeran Puger yang sudah mengakui kesalahannya itu, tidak perlu kita bawa sampai ke Mataram. Bahkan ketika tadi aku datang menemuinya, Kangmas Pangeran Puger yang sudah menjadi semakin tenang, mengulangi lagi pengakuannya. Bahkan. Kangmas Pangeran telah menyampaikan permintaan maafnya, tidak hanya kepadaku, tetapi juga kepada seluruh rakyat Mataram, bahwa kangmas Pangeran telah melakukan kesalahan sehingga telah terjadi perang yang menelan banyak korban."
"Wayah Panembahan telah mengampuninya?"
"Belum eyang. Aku ingin pendapat eyang lebih dahulu."
Ki Patih menarik nafas panjang. Katanya, "Jika pengampunan itu yang terbersit di hati wayah Panembahan, maka sebaiknya wayah Panembahan mengampuninya. Apalagi wayah Pangeran Puger sudah mengaku bersalah serta minta maaf kepada wayah Panembahan serta kepada seluruh rakyat Mataram. Aku sependapat jika wayah ingin memberikan pengampunan dan memperingan hukumannya. Apakah aku boleh tahu, hukuman apa yang akan wayah berikan kepada wayah Pangeran Puger?"
"Eyang. Seharusnya kangmas Pangeran Puger dihukum mati karena kangmas Pangeran Puger telah memberontak terhadap Mataram serta menimbulkan bencana yang besar sehingga banyak korban yang jatuh."
Ki Patih menarik nafas panjang, sementara Kangjeng Panembahan Hanyakrawati berkata selanjutnya. "Tetapi karena kangmas Pangeran Puger sudah mengakui kesalahan, menyesalinya dan minta maaf kepada seluruh rakyat Mataram, maka aku berniat tidak menjatuhkan hukuman mati itu, eyang."
Ki Patihpun mengangguk-anggguk sambil menjawab, "Aku sependapat wayah. Satu sikap yang baik dari seorang penguasa."
"Eyang. Aku akan memperingan hukuman kangmas Pangeran Puger yang telah memberontak itu. Aku telah memutuskan bahwa aku tidak akan mengembalikan kangmas Pangeran Puger sebagai seorang Adipati. Selanjutnya aku akan menempatkan kangmas Pangeran Puger dan keluarga, di Kudus dengan kebebasan yang terbatas."
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, "Satu keputusan yang bijaksana, ngger. Aku sependapat."
Hukuman mati bukannya satu-satunya cara yang terbaik untuk meredam permusuhan. Tetapi justru pengampunan akan dapat memberikan kesan yang lebih mendalam."
"Jadi eyang sependapat bahwa aku akan memperingan hukuman kangmas Pangeran Puger?"
"Tentu wayah Panembahan. Aku sependapat."
Demikianlah, maka malam itu Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, di pesanggrahannya di Jatisari, telah memutuskan untuk menghukum Pangeran Puger dengan menurunkan kedudukannya sebagai Adipati Demak serta menempatkannya dibawah pengawasan, di Kudus bersama keluarganya."
Jejak Jejak Kematian 2 Antologi Rasa Karya Ika Natassa Rahasia Kampung Garuda 6