Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 17

16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 17


"Aku minta maaf, Ki Sanak," sahut Rara Wulan, "aku terpaksa melakukannya. Sudah aku katakan bahwa aku ingin membuktikan, jika kami ingin merampok, maka kami tidak perlu menunggu orang lain."
"Aku percaya bahwa kalian tidak akan merampok. Tetapi bukan berarti bahwa kalian dengan mudah dapat melakukan seandainya kalian mau."
"Perlukah itu Ki Sanak buktikan."
"Ya. Tetapi sebaiknya aku tidak berkelahi dengan perempuan. Mungkin aku memang tidak dapat mengalahkan kau, Nyi. Meskipun demikian, rasa-rasanya aku lebih mantap jika aku menjajagi ilmu suamimu. Kecuali jika suamimu tidak bersedia."
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Glagah Putih yang berdiri saja, seakan-akan tidak terlibat dalam persoalan itu.
Namun tantangan laki-laki yang sudah separo baya itu telah menyentuh perasaannya. Tentu tidak seharusnya Glagah Putih membiarkan Rara Wulan menanggapinya.
Karena itu, maka Glagah Putihpun berkata, "Jika itu yang kau kehendaki Ki Sanak, baiklah aku mencoba untuk melayanimu, meskipun mungkin apa yang aku lakukan tidak sebagaimana kau harapkan. Tetapi seperti yang dikatakan isteriku, maka jika kami ingin merampok, maka kami tidak perlu menunggu orang lain."
Orang yang sudah separo baya itupun bergeser maju ketika Glagah Putihpun melangkah maju pula. Sementara Rara Wulan bergerak ke samping.
Dalam pada itu, orang-orang yang akan pergi menyeberang kali Praga untuk menyampaikan asok tukon itu menjadi tegang. Orang yang sudah separo baya itu adalah orang yang paling diandalkan diantara mereka. Menurut pengertian sekelompok orang yang pergi bersamanya itu, maka orang yang sudah separo baya itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.
Sejenak kedua orang itu berhadapan. Orang yang sudah separo baya itupun berkata, "Kita akan mulai ngger. Mungkin kita memerlukan waktu. Tetapi agaknya permainan kita akan menarik."
"Mudah-mudahan aku mendapat pengalaman baru, Ki Sanak Mungkin akan sangat berarti bagiku."
Orang itupun segera mempersiapkan diri. Ia bergeser selangkah, sementara Glagah Putihpun telah siap menghadapinya.
Sejenak kemudian, maka orang itupun mulai meloncat menyerang, namun serangannya masih belum terasa berbahaya bagi Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putihpun masih belum meningkatkan ilmunya pula.
Namun beberapa saat kemudian, maka keduanyapun mulai bersungguh-sungguh. Serangan-serangan mereka menjadi semakin bertenaga.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin tegang. Orang yang sudah separo baya itu bergerak menjadi semakin cepat. Kakinya berloncatan, sementara tangannya menyambar-nyambar.
Tetapi Glagah Putihpun telah meningkatkan ilmunya pula. Bahkan Glagah Putih yang ingin segera sampai di rumah itupun tidak mau membuang-buang waktu terlalu banyak.
Karena itu, kita keringatnya menjadi semakin banyak mengalir di punggungnya, Glagah Putihpun meningkatkan ilmunya semakin tinggi.
Orang yang sudah separo baya itupun telah meningkatkan ilmunya pula. Tetapi ia mulai merasakan, betapa rumitnya ilmu orang yang masih terhitung muda itu. Bahkan ketika orang itu semakin meningkatkan ilmunya, orang yang sudah separo baya itupun merasa menjadi semakin kesulitan.
Glagah Putih bahkan tidak memberikan banyak kesempatan. Ia ingin persoalan yang tidak ada gunanya itu cepat berakhir, sehingga ia akan semakin cepat pulang.
Tekanan-tekanan Glagah Putihpun semakin tidak dapat dielakkan. Bahkan ketika kaki Glagah Putih menyusup disela-sela pertahanan lawannya, maka lawannya itu telah terlempar dan terpelanting jatuh.
Tetapi dengan tangkas orang itupun segera melenting berdiri serta siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam perkelahian selanjutnya, orang itu benar-benar menjadi bingung. Serangan-serangan Glagah Putih memang tidak dilambari dengan kekuatan sepenuhnya. Bahkan kadang-kadang Glagah Putih itu hanya menyentuh saja tempat-tempat yang lemah di tubuh lawannya. Namun unsur-unsur gerak yang sangat rumit membuat lawannya menjadi pening. Bahkan akhirnya lawannya itu tahu, bahwa Glagah Putih memang tidak bersungguh-sungguh untuk membuatnya tidak berdaya. Tetapi laki-laki yang masih terhitung muda itu ingin ia menyadari, bahwa bagi laki-laki yang masih terhitung muda itu, dirinya bukan apa-apa.
Akhirnya laki-laki separo baya itu memang berniat untuk menghentikan pertempuran, selagi lawannya belum menjadi marah. Jika laki-laki yang masih terhitung muda dan kira-kira masih sebaya dengan kemenakannya itu mulai merasa terganggu, ia akan dapat berbuat lebih jauh dari sekedar menggodanya dengan unsur-unsur geraknya yang sangat rumit.
Tetapi sebelum orang itu menghentikan perkelahian, terdengar derap kaki kuda yang berlari dari arah tepian. Orang yang sudah separo baya itupun segera meloncat mengambil jarak. Namun Glagah Putihpun memang tidak ingin memburunya. Iapun tertarik kepada derap kaki kuda yang berlari dari arah tepian.
Ternyata sekelompok orang berkuda melarikan kudanya dengan kencang, sehingga debupun nampak berhamburan.
Beberapa langkah dari orang-orang yang berhenti di bulak panjang menjelang tepian Kali Praga itu, sekelompok orang berkuda itu berhenti.
Merekapun segera berloncatan turun serta mengikat kuda-kuda mereka pada pohon perindang yang tumbuh di pinggir jalan bulak panjang itu.
"Aku tidak telaten menunggu di tepian," berkata seorang yang berkumis tebal, "waktunya sudah lewat. Ternyata kalian justru bermain-main disini."
Laki-laki separo baya yang baru saja berkelahi melawan Glagah Putih itupun bertanya, "Siapakah kalian Ki Sanak " Apa pula keperluan kalian dengan kami ?"
"Waktuku sudah banyak terbuang. Kalian seharusnya sudah tadi lewat jalan ini."
"Memang ada sedikit hambatan Ki Sanak."
"Sekarang, serahkan saja uang dan benda-benda berharga yang akan kalian bawa menyeberang untuk asok tukon itu. Kemudian kalian akan dapat segera melanjutkan perjalanan."
"Nah," laki-laki yang masih terhitung muda, yang berjalan berempat dan yang telah mencoba berkelahi dengan Rara Wulan itupun berteriak, "bukankah kami benar. Kedua orang yang mengaku suami istri itu ternyata adalah bagian dari sekelompok penyamun yang akan merampas uang dan benda-benda berharga yang kita bawa untuk asok tukon."
Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang. Dipandanginya orang yang berteriak itu dengan tajamnya.
Tetapi justru laki-laki yang sudah separo baya itu bertanya, "dari mana kau mengetahuinya ?"
"Aku hanya menduga-duga, paman. Jika ia mengikuti kami dalam perjalanan yang jauh, tentu bukannya tanpa maksud."
"Tetapi kenapa kau langsung menghubungkannya dengan sekelompok penyamun ?"
Laki-laki yang masih terhitung muda itupun menjawab agak sendat, "Firasat, paman. Firasatku mengatakan bahwa kedua orang itu bermaksud jahat."
Tetapi orang yang berkumis tebal itupun berkata lantang, "Aku tidak tahu apa yang kalian katakan. Yang penting serahkan uang dan benda-benda berharga itu kepada kami secepatnya."
"Nanti dulu Ki Sanak. Darimana Ki Sanak tahu bahwa kami membawa uang dan benda-benda berharga ?"
"Kalian tidak usah banyak bicara. Serahkan, atau aku akan mengambil sendiri dengan paksa. Aku tahu, bahwa uang dan benda-benda berharga yang terdiri dari perhiasan emas dan berlian itu kalian bawa dalam kampil yang berwarna hitam. Serahkan kampil yang berwarna hitam itu."
Orang yang sudah separo baya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Apakah ada di antara kalian yang dapat melihat tembus ruang dan waktu, sehingga kalian tahu terlalu banyak tentang kerja yang kami lakukan sekarang ini Ki Sanak."
"Cukup. Sekarang serahkan saja kampil yang berwarna hitam itu."
"Jangan, Ki Sanak. Kami adalah sekelompok orang yang sudah menyatakan kesediaan kami untuk melakukan kerja ini. Karena itu, maka kami harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. Apapun yang akan terjadi harus kami pertanggungjawabkan."
"Kalian jangan mencoba menghambat pekerjaan kami. Jika kalian mencoba untuk mempertahankannya, maka kami tidak akan ragu-ragu merampas kampil yang berwarna hitam itu dengan kekerasan."
"Jika kau memilih melakukan kekerasan, maka kamipun akan mempertahankannya dengan kekerasan."
"Agaknya kau sudah gila. Apakah kau belum pernah mendengar namaku ?"
Orang yang sudah separo baya itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang berkumis tebal itu dengan ta-jamnya. Namun kemudian iapun menggeleng sambil menjawab, "Belum Ki Sanak Aku belum pernah mengenalmu."
"Aku adalah Ki Sura Jingga. Akulah penunggu tepian di daerah penyeberangan Selatan ini."
Orang yang sudah separo baya itu termangu-mangu. Namun Rara Wulanpun berkata, "Setiap hari aku menyeberang di penyeberangan Selatan ini. Aku baru kali ini bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Ki Sura Jingga. Tetapi aku yakin, bahwa nama itu tentu bukan namamu yang sebenarnya. Kau hanya ingin membuat dirimu menakutkan karena kau akan merampok orang-orang yang akan mengantarkan uang dan perhiasan ini."
"Persetan kau perempuan yang tidak tahu diri. Jangan ikut campur, agar kau tidak mengalami perlakuan kami yang buruk."
"Apa yang akan kau lakukan terhadap aku " Bukankah aku adalah bagianmu dengan harus mmberikan isyarat jika iring-iringan ini lewat."
"Apa yang kau katakan itu perempuan iblis ?" Rara Wulan tersenyum. Ketika ia memandang laki-laki yang sudah separo baya itu, maka laki-laki itupun mengangguk. Katanya, "Aku mengerti."
"Apa yang kalian bicarakan ?"
"Bukan apa-apa," Glagah Putihpun yang menjawab, "agaknya kau akan mengingkari perjanjian kita. Bukankah aku harus berjalan mengikuti iring-iringan kecil ini. Kemudian memberi isyarat kepadamu, jika iring-iringan ini lewat."
"Gila. Apa yang kau katakan " Apakah itu menjadi caramu untuk menyelamatkan diri agar kami tidak menganggap kalian ikut serta dalam iring-iringan yang akan menyeberang Kali Praga untuk menyampaikan asok tukon itu ?"
"Semuanya sudah jelas Ki Sanak," berkata Glagah Putih kepada laki-laki yang sudah separo baya itu, "sekarang aku berdiri dipihak Ki Sanak untuk mempertahankan uang dan perhiasan yang akan kalian serahkan untuk asok tukon itu."
"Jadi kalian akan mempertahankan kampil berwarna hitam itu dengan mempertaruhkan nyawa kalian ?" bertanya orang yang menyebut dirinya Ki sura Jingga itu.
"Ya," jawab orang yang sudah separo baya itu.
"Bagus," teriak Ki Sura Jingga, "aku tidak pernah gagal. Orang-orang yang menghalangi niatku, akan aku babat abis sampai orang yang terakhir."
Orang-orang dari kedua belah pihak itupun segera mempersiapkan diri. Ki Sura Jinggapun telah memberikan isyarat kepada para pengkutnya untuk bersiap.
"Mereka ternyata orang-orang yang keras kepala," berkata Ki Sura Jingga kepada para pengikutnya, "karena itu, kita harus memakai kekerasan untuk mengambil kampil hitam itu. Jangan ragu-ragu. Mereka yang melawan, harus disingkirkan. Jika mereka terbunuh, itu bukan salah kalian. Tetapi salah-nyawa mereka sendiri, kenapa tidak cukup lekat dengan tubuhnya.
Ketika kedua belah pihak sudah siap untuk bertempur, maka Rara Wulan sempat melihat kedua orang perempuan di antara orang-orang yang akan menyeberang untuk menyampaikan asok tukon itu menjadi ketakutan. Tubuh mereka gemetar serta wajah merekapun menjadi pucat.
Karena itu, maka Rara Wulanpun mendekati mereka sambil berkata, "Jangan takut Nyi. Mereka bukan orang-orang berbahaya. Ki Sanak yang sudah separo baya, yang kalian panggil paman itu tentu akan segera dapat menyelesaikannya."
Kedua orang perempuan itu tidak menjawab.
Sementara itu, kedua orang laki-laki yang sebaya dengan Glagah Putih, yang berjalan berempat mendahului saudara-saudaranya yang menyusulnya berkuda, menjadi sangat gelisah pula. Pakaian merekapun telah basah oleh keringat.
Bahkan wajah mereka tidak kalah pucatnya dengan kedua orang perempuan yang berjalan bersama mereka.
Demikianlah, maka kedua kelompok itupun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ternyata orang-orang berkuda yang datang bersama laki-laki yang sudah separo baya itu, bukannya orang-orang yang mempunyai bekal ilmu yang cukup. Meskipun mereka mampu juga melindungi diri mereka sendiri, tetapi menghadapi orang-orang yang kasar, merekapun segera mengalami kesulitan.
Hanya laki-laki yang sudah separo baya itu sajalah yang dapat dengan tanggon menghadapi lawannya, orang yang berkumis tebal, yang memimpin sekelompok penyamun berkuda itu.
Namun Glagah Putih yang sudah berjanji untuk melibatkan diri di pihak laki-laki yang sudah separo baya itu, tidak tinggal diam. Demikian ia mulai meloncat memasuki arena pertempuran, maka dua orang penyamun telah terlempar dari arena.
Tetapi merekapun segera berloncatan bangkit. Meskipun punggung mereka terasa sakit, tetapi mereka dengan cepat telah memasuki arena pertempuran itu kembali.
Pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Sementara itu Rara Wulan masih berdiri saja bersama kedua orang laki-laki yang sebaya dengan Glagah Putih itu serta kedua orang perempuan yang berjalan bersama mereka.
Menilik sikap kedua orang perempuan yang sangat ketakutan itu, agaknya keduanya tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, sementara pertempuran masih berlangsung semakin sengit.
Orang-orang berkuda yang akan menyeberang ke Barat serta dua orang laki-laki yang berjalan kaki lebih dahulu itu, ternyata merasa semakin sulit untuk bertahan. Hanya orang yang separo baya itu sajalah yang masih belum merasa terdesak.
Tetapi Glagah Putihpun kemudian telah meningkatkan kemampuan dan tenaganya. Seseorang yang telah terpelanting jatuh, akan mengalami kesulitan untuk segera bangkit kembali. Punggung mereka akan terasa bagaikan retak. Atau tulang-tulang iga mereka terasa sangat nyeri. Ada diantara mereka yang pernafasannya bagaikan tersumbat. Sementara yang lain kepala seakan-akan telah berputar sementara badannya terbaring diam.
Orang-orang yang akan merampas kampil yang berwarna hitam itupun menjadi sangat gelisah. Ternyata sulit bagi mereka untuk mengatasi seorang saja diantara mereka yang berada di iring-iringan itu, meskipun yang lainnya hampir tidak berdaya apa-apa.
Tiba-tiba dua orang diantara mereka saling berbisik. Keduanya sempat memperhatikan tiga orang perempuan yang berdiri di pinggir jalan.
"Yang seorang itu nampaknya agak berbeda. Perempuan itu mengenakan pakaian yang khusus, sementara ia sama sekali tidak menjadi ketakutan seperti dua orang yang lain."
"Kita singkirkan dahulu perempuan itu. Kemudian dua orang perempuan yang lain akan kita ancam. Jika mereka tidak mau memberikan kampil hitam itu, maka kedua perempuan itu akan menjadi korban."
"Bukankah kita berjanji bahwa tidak akan ada korban yang jatuh dalam peristiwa ini?"
"Tetapi keadaannya ternyata berbeda dari yang kita bayangkan. Suasananya jauh berbeda. Orang-orang yang ada disinipun sangat berbeda dengan yang kita gambarkan. Karena itu, maka tidak ada salahnya jika kita melanggar janji itu."
Kawannya mengangguk-angguk.
Ketika kawannya memberikan isyarat, maka kedua orang itupun segera meloncat menyerang Rara Wulan.
Rara Wulan memang tidak lengah. Bahkan iapun sudah menduga, bahwa serangan itu akan terjadi. Dua orang itu sekali-sekali berpaling kepadanya serta saling berbisik.
Karena itu, ketika kedua orang itu menyerangnya, Rara Wulanpun telah siap untuk melawan mereka.
Kedua orang itupun menyerang Rara Wulan dengan garangnya. Keduanya telah mengayun-ayunkan senjata mereka masing-masing. Pedang yang berwarna kehitam-hitaman segera berputar mengerikan. Sementara tombak pendek yang berujung rangkap telah merunduk pula.
"Jangan takut," berkata Rara Wulan kepada kedua orang perempuan itu, "aku akan menghadapi mereka."
Kedua orang perempuan yang ketakutan itu tidak menjawab. Sementara itu, Rara Wulanpun telah mengurai selendangnya dan kemudian memutarnya disisi tubuhnya.
Kedua orang yang menyerangnya itupun tertegun. Senjata perempuan itu bukan senjata yang sewajarnya. Tetapi justru senjata yang tidak wajar itu biasanya adalah senjata yang sangat berbahaya.
Karena itu, maka kedua orang itupun segera berpencar. Mereka berniat menyerang Rara Wulan dari arah yang berbeda.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian keduanyapun telah berloncatan menyerang.
Tetapi Rara Wulan dengan tangkasnya menggeliat, kemudian meloncat dan bahkan mengibaskan selendangnya.
Ternyata serangan kedua orang itu tidak menyentuh sasarannya sama sekali. Ketika ujung tombak yang rangkap itu menyentuh selendang Rara Wulan, terasa tombak itu bagaikan ditepis dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga hampir saja tombak itu terlepas dari tangannya.
Ketika kedua orang itu meningkatkan kecepatan gerak mereka, maka mereka justru menjadi bingung. Ternyata Rara Wulan mampu bergerak jauh lebih cepat lagi, sehingga kadang-kadang keduanya telah kehilangan perempuan yang bersenjata selendang itu.
Bahkan ketika ujung selendang itu menyentuh lambung seorang dari mereka, maka orang itupun telah terpelanting jatuh. Lambungnya menjadi sangat nyeri. Perutnya mual dan nafasnya menjadi sesak.
Ketika orang itu kemudian bangkit berdiri, maka untuk beberapa saat ia masih saja berusaha untuk mengatasi perasaan sakitnya yang menggigit.
Sedangkan kawannya yang seorang lagi, merasa tidak akan mampu menghadapi perempuan itu sendiri, sehingga ketika Rara Wulan melangkah maju mendekatinya, orang itupun bergeser surut beberapa langkah, sehingga kawannya, meskipun dengan kesakitan, dapat memasuki arena pertempuran itu lagi.
Tetapi keseimbangannya sudah jauh berubah. Kedua orang itu sudah tidak lagi dapat berbuat banyak. Apalagi ketika selendang Rara Wulan mengenai dada yang seorang lagi, maka rasa-rasanya nafasnyapun terhenti.
Sejenak kemudian, maka para penyamun itu benar-benar sudah tidak berdaya lagi, kecuali pemimpinnya yang masih bertempur.
Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian berdiri termangu-mangu menyaksikan orang berkumis tebal itu bertempur melawan orang yang sudah separo baya, yang bersama-sama dengan saudara-saudaranya berniat menyeberang Kali Praga itu.
Namun orang berkumis tebal itu harus melihat kenyataan, bahwa ia tidak lagi mempunyai kawan yang masih sanggup untuk bertempur. Sementara itu, iapun harus mengakui, bahwa sulit baginya untuk dapat memenangkan perempuran itu.
Tetapi agaknya iapun tidak mempunyai jalan untuk melarikan diri. Selain orang yang masih bertempur melawannya itu, dua orang laki-laki dan perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi itu berdiri di dua arah di belakangnya. Jika ia mencoba juga untuk lari, maka seorang diantara mereka tentu harus dihadapinya.
Sementara itu, dua orang laki-laki yang masih sebaya dengan Glagah Putih, yang berjalan berempat bersama dengan dua orang perempuan mendahului keempat saudara-saudaranya yang berkuda itupun berteriak dengan sangat marah, "Bunuh saja orang itu paman. Bunuh saja."
Tetapi orang yang sudah separo baya itu tidak melakukannya. Bahkan ketika lawannya yang berkumis tebal itu menyerah, maka orang yang sudah separo baya itupun telah berhenti bertempur pula.
"Seharusnya paman membunuhnya," teriak laki-laki yang masih terhitung muda itu.
Laki-laki separo baya itu seakan-akan tidak mendengarnya. Tetapi iapun bertanya kepada orang berkumis lebat itu, "Apakah kau sadar tentang apa yang kau lakukan ini?"
"Ya, Ki Sanak."
"Darimana kau mengetahui, bahwa kami membawa uang banyak. Membawa benda-benda berharga untuk diserahkan kepada calon isteri cucu kakakku" Apalagi kalian tahu benar bahwa uang dan benda-benda berharga itu kami simpan di dalam kampil yang berwarna hitam."
"Aku tidak tahu, Ki Sanak. Aku hanya berbicara asal saja. Bukankah biasanya kampil tempat uang dan benda-benda berharga itu berwarna hitam?"
"Tidak. Biasanya berwarna putih."
"Aku tidak tahu bahwa kampil itu biasanya berwarna putih."
"Katakan yang sebenarnya, atau aku akan mengikatmu di belakang kaki kuda. Kau harus memberikan keterangan yang jelas dan yang sebenarnya. Mungkin para pengikutmu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi kau tentu mengetahuinya."
"Ki Sanak sendiri tahu apa yang sudah terjadi."
"Kau tentu sudah mendapat keterangan lebih dahulu tentang uang dan benda-benda berharga itu. Kau tentu sudah benar-benar tahu, bahwa uang dan benda-benda berharga itu disimpan dalam kampil yang berwarna hitam."
"Tidak. Aku tidak tahu. Aku hanya menduga-duga."
"Baiklah. Jika demikian aku benar-benar akan membunuhmu. Tetapi aku tidak akan menikam dadamu den n keris sehingga kau akan cepat mati. Aku akan mengikat tubuhmu di belakang kaki kuda. Aku akan menyeretmu ke tepian. Kemudian tubuhmu yang terikat itu akan aku ikat dengan rakit yang akan menyeberang .
Jika tukang rakit itu berkeberatan, maka aku akan mempergunakan kekerasan.
"Jangan. Jangan."
"Apa hakmu menolak" Kau sudah kalah. Kau sekarang berada di tanganku apapun yang aku lakukan. Jika kau menolak untuk aku ikat tubuhmu di belakang kaki kuda, maka kita akan berkelahi lagi. Aku akan membuat tubuhmu terkoyak-koyak."
Wajah orang itu menjadi pucat. Ia memang tidak dapat memilih apa yang harus dilakukan atas dirinya.
Namun orang yang sudah separo baya itupun kemudian berkata, "Masih ada satu pilihan lagi. Tidak diikat di belakang kaki kuda dan diseret ke tepian, kemudian diceburkan ke Kali Praga. Tidak pula berkelahi lagi sehingga tubuhmu terkoyak-koyak. Justru jauh lebih ringan dari semuanya itu. Katakan, darimana kau tahu bahwa kami membawa uang dan perhiasan di dalam kampil yang berwarna hitam."
Orang itu menjadi gemetar. Diluar sadarnya ia berpaling kepada salah seorang diantara kedua orang laki-laki yang berjalan berempat bersama dua orang perempuan itu.
"Aku hanya memberi waktu sebentar," berkata orang yang sudah separo baya itu, "jika kau tidak segera mengatakannya, maka aku menganggap bahwa kau telah memilih salah satu dari kedua tawaranku. Aku ikat di belakang kaki kuda, atau berkelahi sampai tubuhmu terkoyak-koyak."
Orang itu menjadi semakin gelisah. Ketika orang separo baya itu melangkah maju, maka orang itupun bergeser surut.
"Pilih salah satu. Jika aku yang harus memilih, mungkin tidak sesuai dengan pilihanmu."
"Baik, baik, Ki Sanak. Aku akan mengatakannya."
"Bohong," teriak salah seorang laki-laki muda yang masih sebaya dengan Glagah Putih.
Orang yang separo baya itu berpaling kepadanya dan bertanya, "Apa yang bohong ngger?"
"Orang itu tentu berbohong."
"Ia belum mengatakan apa-apa."
Wajah orang yang sebaya dengan Glagah Putih itupun menjadi sangat tegang, sementara orang yang berkumis tebal itu berkata, "Orang itulah yang telah menghubungi aku. Ia telah memberikan banyak keterangan tentang uang dan perhiasan yang akan kalian bawa keseberang untuk upacara asok tukon itu."
Orang-orang yang akan pergi menyeberang dengan membawa uang dan perhiasan itu terkejut. Tetapi orang yang separo baya itu memang sudah menduga sebelumnya, sehingga ia tidak terkejut lagi.
"Nah, itukah kenyataannya?" bertanya orang yang sudah separo baya itu.
"Ya, Ki Sanak," jawab orang berkumis tebal.
"Satu permainan yang sangat buruk. Seharusnya anak itu menghubungi seorang yang benar-benar penyamun dengan para pengikutnya yang mempunyai pengalaman yang lebih luas. Bukan kalian yang sebenarnya hanya tanggung saja."
"Ampun paman, ampun." laki-laki muda itu bersujud di hadapan pamannya sambil menangis, "aku bersalah paman. Aku mohon ampun."
Ternyata isterinya sama sekali tidak tahu menahu akan permainan buruk yang dilakukan suaminya itu. Salah seorang dari kedua orang perempuan itupun berlari dan berlutut pula disamping suaminya. Tetapi ia tidak berlutut kepada orang yang sudah separo baya itu, tetapi ia telah mengguncang-guncang tubuh suaminya sambil menangis, "jadi, kau lakukan perbuatan terkutuk itu kakang. Jadi kau berniat merampok uang dan perhiasan yang akan kita bawa ke seberang Kali Praga sebagai pelengkap upacara asok tukon malam nanti" Jika ini benar terjadi, lalu apa kata paman dan bibi di seberang Kali Praga. Upacara itu akan dapat batal, sementara beberapa orang yang dituakan telah menyatakan akan hadir pada upacara itu."
Laki-laki itupun kemudian bersimpuh. Ia masih menangis.
"Aku minta ampun. Aku minta ampun."
Suasanapun menjadi lebih tegang daripada saat perkelahian terjadi.
Namun orang yang sudah separo baya itupun berkata, "Baiklah. Kita akan menyelesaikan masalah ini kemudian. Sekarang kita harus segera melanjutkan perjalanan. Uang dan perhiasan itu telah ditunggu. Upacara itu malam nanti akan berlangsung, sementara itu, uang dan perhiasan yang kita bawa itu masih harus diatur dalam tempat-tempat yang khusus bersama beberapa helai kain dan perangkat pakaian yang lain yang sudah disiapkan.
Kepada orang berkumis tebal itupun ia berkata, "Persoalan kita belum selesai Ki Sanak. Kita masih akan bertemu lagi."
Sejenak orang berkumis tebal itu tercenung. Namun kemudian orang yang sudah separo baya itupun berkata, "Minggirlah. Kemanakanku itu tentu tahu dimana rumahmu, karena ia sudah menghubungimu sebelum peristiwa ini terjadi. Kau tidak akan dapat ingkar lagi. Tetapi kami tidak ingin memperpanjang persoalan ini. Kemanakanku sendiri telah tersangkut didalamnya. Tetapi bukan berarti bahwa kami akan begitu saja melupakannya."
"Lalu, sekarang apakah yang harus kami lakukan?" bertanya orang berkumis tebal itu.
"Pergilah. Tetapi ingat, bahwa kita masih akan bertemu lagi pada kesempatan yang lain."
Orang itu termangu-mangu sejenak, sementara orang yang sudah separo baya itu menggeram, "Pergilah, sebelum kami berubah pendirian."
Orang berkumis tebal itupun kemudian bergeser surut. Iapun memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu.
Beberapa orang tertatih-tatih bangkit. Ada diantara mereka yang menyeret kakinya ke kuda-kuda mereka. Ada yang timpang, dan ada yang harus menekan lambungnya dengan tangannya. Tidak ada satupun diantara mereka yang tidak kesakitan.
Tetapi sebaliknya, orang-orang berkuda yang menyusul keempat orang yang berjalan kaki itupun merasakan tubuh mereka sakit-sakit pula. Bahkan orang yang sudah separo baya itupun merasakan perutnya menjadi mual.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, para penyamun itu telah melarikan kuda-kuda mereka menjauh. Sementara itu orang yang sudah separo baya itupun berkata, "Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan."
Jilid 390 MEREKA kemudian segera berkemas. Orang yang sudah separo baya serta yang lain, yang menyusul dengan naik kuda, menuntun kuda-kuda mereka. Mereka berjalan beriring bersama Glagah Putih dan Rara Wulan.
Seorang anak muda yang berkuda bersama orang yang separo baya itupun tiba-tiba saja bertanya, "Kang. Kenapa kau lakukan hal ini" Jadi kau tuduh kedua orang itu mengikuti perjalananmu sekedar untuk membelokkan perhatian."
"Sudahlah," berkata orang yang sudah separo baya, "kita akan membicarakannya kemudian. Sekarang kita harus mempercepat perjalanan kita agar kita tidak terlalu terlambat dari rencana. Biarlah mereka yang akan melakukan upacara asok tukon itu sempat menata segala macam uba rampe yang akan dibawa dalam upacara pasok tukon itu."
Demikianlah, maka iring-iringan itupun berjalan terus. Bahkan menjadi lebih cepat.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah ikut pula dalam iring-iringan itu. Merekapun berjalan diantara mereka sambil berbincang-bincang.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah berada ditepian. Tidak terlalu banyak orang yang menyeberang, sehingga merekapun segera mendapatkan rakit yang akan membawa mereka menyeberangi Kali Praga.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan akan membayar upah penyeberangan, maka orang yang sudah separo baya itupun mencegahnya. Katanya, "Sudahlah Ki Sanak. Biarlah kami membayarnya sama sekali. Bukankah tidak seberapa?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak sampai hati untuk menolaknya.
Demikian mereka sampai di seberang, maka merekapun melanjutkan perjalanan. Mereka mulai melintas di daerah Tanah Perdikan Menoreh.
Glagah Putih dan Rara Wulan tertegun ketika mereka melihat empat orang prajurit berkuda berpapasan dengan mereka. Tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar. Sehingga demikian para prajurit itu melihatnya, maka merekapun menghentikan kuda-kuda mereka beberapa langkah didepan iring-iringan itu.
"Adi Glagah Putih dan Adi Rara Wulan," berkata seorang Lurah prajurit yang ada diantara mereka.
"Kakang Lurah Kertawirya. Apakah kakang dari barak kakang Lurah Agung Sedayu?"
"Ki Rangga Agung Sedayu."
"Ya, kakang Rangga Agung Sedayu."
"Aku memang baru saja menemui Ki Rangga Agung Sedayu. Aku akan berada di kesatuannya nanti. Bukankah adi Glagah Putih dan adi Rara Wulan juga akan berada di kesatuan Ki Rangga Agung Sedayu?"
"Ya, kakang. Tetapi agaknya aku masih akan mendapat tugas yang lain sebelum aku ditempatkan di kesatuan kakang Rangga Agung Sedayu."
"Aku kira itu lebih baik, adi. Rasa-rasanya agak kurang mapan jika adi berdua berada langsung dibawah Ki Rangga Agung Sedayu."
"Aku mengerti, kakang Lurah."
"Sekarang adi berdua akan pergi kemana?"
"Kami mendapat waktu istirahat sebelum kami berangkat untuk memasuki tugas kami yang baru. Aku akan minta diri kepada kakang Rangga Agung Sedayu dan keluarga."
"Baiklah. Marilah. Aku akan kembali ke Mataram. Dua tiga hari lagi, aku akan datang lagi ke barak bersama petugas yang akan memperluas bangunan barak dari Pasukan Khusus itu. Aku juga mendapat perintah untuk terlibat dalam pembangunan itu disamping penempatanku dikesatuan yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu itu."
"Nah, silakah kakang Lurah. Kami juga akan meneruskan perjalanan kami."
"Tetapi siapakah mereka ini?" bertanya Ki Lurah.
"Oh, kami hanya kebetulan bersama-sama lewat jalan ini."
"O, Ki Lurah Kertawirya itu mengangguk-angguk. Ki Lurah dan para prajurit yang berkuda bersamanya itupun telah minta diri. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan masih merupakan seorang prajurit baru, tetapi Ki Lurah Kertawirya itu telah mengenalnya dengan baik.Selain Glagah Putih adalah sepupu Ki Rangga Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan itu dikenalinya sebagai dua orang suami isteri yang berilmu sangat tinggi. Seandainya Glagah Putih itu bukan sepupu Ki Rangga Agung Sedayupun, Ki Lurah Kertawirya tetap saja menghormati mereka karena kemampuan mereka yang angat tinggi."
Demikian Ki Lurah Kertawirya meninggalkan mereka bersama para pengiringnya, maka orang yang sudah separo baya itupun berkata, "Maaf Ki Sanak. Agaknya Ki Sanak, bahkan Ki Sanak berdua adalah prajurit Mataram."
Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, "Ya, Ki Sanak. Kami adalah prajurit Mataram."
"Agaknya Ki Sanak berdua adalah seorang perwira. Seorang Lurah prajurit nampak begitu hormat kepada Ki Sanak."
"Tidak. Bukan. Kami adalah seorang prajurit yang baru saja diwisuda. Kami belum mempunyai pangkat apa-apa."
"Siapapun Ki Sanak berdua, tetapi ternyata Ki Sanak mendapat penghormatan yang tinggi. Karena itu, kami mohon maaf, Ki Sanak. Kami tidak tahu bahwa Ki Sanak berdua adalah prajurit Mataram. Karena itu, maka Ki Sanak telah berbuat bijaksana. Juga terhadap kemenakanku itu."
"Sudahlah. Kita akan meneruskan perjalanan kita."
Orang yang sudah separo baya itu terdiam. Namun ketika mereka sampai disimpang tiga, Glagah Putih dan Rara Wulan harus memisahkan diri dari iring-iringan itu.
"Maaf Ki Sanak. Kami akan mengambil jalan simpang itu. Kami akan langsung pergi kepadukuhan induk Tanah Perdikan."
"Jadi Ki Sanak akan berbelok?"
"Jika saja Ki Sanak sempat, aku persilahkan Ki Sanak singgah di rumah kakakku."
"Terima kasih. Tetapi rasa-rasanya aku ingin juga sekali-sekali singgah di rumah Ki Sanak berdua," lalu katanya kepada kemenakannya, "kau harus minta maaf."
Wajah kemenakannya itu menjadi semakin pucat. Ternyata orang yang dituduhnya akan merampok itu adalah prajurit. Bahkan seorang prajurit yang agaknya dihormati oleh sesama prajurit.
"Cepat," berkata pamannya.
Orang itupun mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan dengan tubuh gemetar. Bahkan kemudian berjongkok dihadapan mereka sambil berkata, "Ki Sanak. Aku minta ampun. Aku tidak tahu bahwa Ki Sanak berdua adalah prajurit."
"Jadi, seandainya kami bukan prajurit, kau tidak akan menyesal dan minta maaf?"
"Ya, ya. Meskipun bukan kepada prajurit, aku juga akan minta maaf."
"Sudahlah," berkata Glagah Putih kemudian, "kita akan berpisah di sini. Selamat jalan. Tetapi aku ingin berpesan, bahwa peristiwa ini hendaknya menjadi pengalaman yang tidak akan pernah kau lupakan."
"Ya, ya. Ki Sanak."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian segera minta diri untuk mengambil jalan simpang yang akan langsung pergi ke padukuhan induk.
Demikian, merekapun telah berpisah. Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengambil jalan simpang, sementara yang lain meneruskan perjalanan dengan membawa uang dan benda-benda berharga yang akan mereka serahkan kepada calon pengantin perempuan.
Sementara itu, matahari telah condong ke Barat. Glagah Putih dan Rara Wulan telah kehilangan waktunya beberapa lama. Tetapi mereka memang tidak begitu terikat oleh waktu.
Beberapa lama Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjalan menyusuri jalan bulak di Tanah Perdikan Menoreh.
Jika mereka memasuki padukuhan sebelum sampai ke padukuhan induk, maka orang-orang yang berpapasan-pun menyapanya dengan ramah. Bahkan ada yang bertanya, mereka baru datang darimana.
"Kami baru pulang dari Mataram, kang," jawab Glagah Putih ketika seorang laki-laki yang sedikit lebih tua dari padanya itu bertanya.
"Kapan kau pergi" Pagi tadi?"
"Tidak, kang. Aku sudah beberapa hari berada di Mataram."
"Beberapa hari" Ada apa kau berada di Mataram beberapa hari?"
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Tetapi mereka tidak menjawab. Bahkan Glagah Putih kemudian berkata, "Sudahlah, kang. Aku akan meneruskan perjalanan."
"Silahkan, silahkan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun berjalan terus. Tetapi mereka masih harus menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa dari mereka yang bertemu di sepanjang jalan.
Di sore hari, keduanya baru sampai di rumah. Kedatangan mereka disambut oleh Sekar Mirah dengan wajah ceria.
"Apakah kakang Rangga belum pulang?" bertanya Glagah Putih.
"Belum. Kakang Agung Sedayu masih belum pulang. Dihari-hari terakhir, kakang Agung Sedayu sibuk. Agaknya kakangmu sedang merencanakan perluasan bangunan baraknya. Kesatuannya akan menjadi lebih besar, sehingga jumlah prajuritnya akan menjadi lebih banyak."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirahpun kemudian mempersilahkan keduanya untuk masuk ke ruang dalam.
"Duduklah. Biarlah aku membuat minum bagi kalian. Kalian tentu haus."
Tetapi Rara Wulanpun menyahut, "Biarlah aku membuat sendiri, mbokayu."
"Kau tentu letih."
"Tidak. Bukankah hari ini perjalananku tidak begitu panjang."
"Tetapi panasnya seperti membakar langit."
"Sudahlah mbokayu. Jangan menjadi sibuk karena kedatanganku dan kakang Glagah Putih."
Ternyata justru Rara Wulanlah yang lebih dahulu pergi ke dapur.
"Biarlah kakang Glagah Putih ke pakiwan."
Ketika Rara Wulan dan Sekar Mirah pergi ke dapur, maka Glagah Putih itupun pergi ke pakiwan untuk membersihkan kaki dan tangannya. Tetapi dari pakiwan Glagah Putih tidak langsung masuk kembali ke ruang dalam. Ketika ia melihat Sukra mengisi gentong air di dapur, maka Glagah Putihpun kemudian menemuinya di sumur.
"Apakah kau sudah berkelahi lagi?"
"Ah, kakang. Agaknya kakang Glagah Putih menganggap bahwa aku termasuk anak muda seperti kakang Glagah Putih di waktu semuda aku."
"Kenapa?" "Kakang memang seorang anak muda yang gemar berkelahi melawan siapapun juga. Aku tidak. Sedangkan bekalnyapun berbeda. Kakang mempunyai bekal yang tinggi. Aku tidak, karena kakang mengajariku hanya kapan saja kakang mempunyai waktu luang."
"Ah, tentu bukan begitu. Aku benar-benar tidak mempunyai cukup kesempatan. Tetapi bukankah kakang Agung Sedayu, mbokayu Sekar Mirah dan Ki Jayaraga telah ikut membantumu meningkatkan ilmumu. Jika kau merasa hal itu tidak pernah mereka lakukan, aku akan menemui mereka dan bertanya kepada mereka."
Sukra dengan cepat menjawab, "Tentu. Justru dengan bantuan mereka, aku dapat memiliki kemampuan yang dapat aku pergunakan sebagai bekal untuk memasuki kesatuan Pengawal Tanah Perdikan."
"Bagus," sahut Glagah Putih, "bukankah di lingkungan Pengawal Tanah Perdikan, kau juga mendapat latihan-latihan yang sangat berarti bagimu. Kemampuanmu secara pribadi akan ditingkatkan. Sementara itu, kau berlatih bertempur dalam satu kesatuan dengan berbagai macam gelar perang."
"Ya." "Berapa kali sepekan kau berlatih?"
"Sebagai para anggota Pengawal Tanah Perdikan yang baru harus mengikuti latihan sepekan tiga kali. Ada yang sudah dianggap memiliki bekal yang cukup sehingga hanya berlatih sepekan dua kali. Sedangkan mereka yang sudah mapan, hanya berlatih sepekan sekali untuk menjaga agar mereka tetap berada dalam kemapanan mereka, sehingga mereka tidak lupa bahwa mereka adalah anggauta Pengawal Tanah Perdikan. Namun kadang-kadang dalam keadaan yang khusus, mereka juga mengikuti latihan-latihan yang berat. Apalagi setelah para pemimpin pengawal minta bantuan Ki Jayaraga."
"Ki Jayaraga" Jadi Ki Jayaraga telah diminta untuk ikut memberikan latihan-latihan bagi para Pengawal Tanah Perdikan?"
"Khusus untuk para anggauta yang telah mapan. Sementara itu, Prastawa juga minta bantuan prajurit dari Pasukan Khusus untuk memberikan latihan-latihan kepada para anggauta yang masih baru."
"Termasuk kau?"
"Ya." "Bagus. Kau akan menjadi pengawal yang baik bagi Tanah Perdikan ini."
"Jika saja kakang sering berada di rumah, maka kakang tentu akan dapat membantu memberikan latihan-latihan kepada kami."
"Bukankah sudah ada pelatih dari Pasukan Khususnya kakang Rangga Agung Sedayu. Bahkan Ki Jayaraga sudah bersedia turun langsung memberikan latihan-latihan. Pengawal Tanah Perdikan akan menjadi semakin kokoh."
Sukra tidak menjawab lagi. Sementara Glagah Putihpun masuk kembali ke ruang dalam.
Namun yang justru dipikirkan kemudian adalah Prastawa. Gagasan-gagasannya ternyata baik dan sangat berarti bagi Pasukan Pengawal Tanah Perdikan. Tetapi bagaimana dengan Prastawa sendiri secara pribadi. Seharusnya ia juga meningkatkan kemampuannya. Ia harus memiliki kemampuan lebih dari para Pengawal yang lain, termasuk para Pengawal yang sudah mapan, yang memimpin kelompok-kelompok pengawal yang lain.
Ketika kemudian Glagah Putih duduk kembali di ruang dalam, maka Ki Jayaragapun telah pulang dari sawah. Setelah mencuci kaki dan tangannya di pakiwan, maka iapun telah duduk pula menemui Glagah Putih. Sementara itu, minuman hangatpun telah dihidangkan.
"Kau sekarang sudah benar-benar menjadi prajurit, Glagah Putih."
"Ya. Ki Jayaraga."
"Bersama Rara Wulan?"
"Ya, Ki Jayaraga."
"Lalu, apa tugasmu yang pertama" Apakah kau langsung dimasukkan dalam satu kesatuan untuk menangani tugas-tugas sandi di kesatuan itu, atau kau mendapat tugas khusus yang lain?"
"Kami akan mendapat tugas khusus yang lain, Ki Jayaraga. Kami tidak segera ditempatkan. Semula kami memang akan ditempatkan di kesatuan Kakang Agung Sedayu yang akan dikembangkan. Tetapi ternyata kami akan mendapat tugas khusus lebih dahulu."
"Tugas apa yang harus kau lakukan?"
"Ki Patih Mandaraka masih belum mengatakannya. Baru setelah kami beristirahat sepekan, kami akan menghadap Ki Patih untuk menerima perintah itu."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah Putih yang kemudian bertanya, "Menurut Sukra, Ki Jayaraga sekarang langsung ikut terjun menangani Pasukan Pengawal Tanah Perdikan."
"Prastawa datang menemui aku. Ia minta agar aku membantu meningkatkan lagi kemampuan para anggauta Pasukan Pengawal yang telah memiliki pengalaman yang luas serta ilmu yang mapan. Prastawa sendiri merasa bahwa ilmunya berada pada tataran yang hampir sama dengan mereka. Jika Prastawa memiliki kelebihan yang diwarisi dari Ki Ragajaya, maka kelebihan itu tidak terlalu jauh dari pengawal yang sudah memiliki pengalaman yang luas itu. Aku tidak dapat menolak permintaannya. Setelah berbicara dengan Ki Rangga Agung Sedayu, maka akupun memutuskan untuk menerimanya. Tetapi aku sudah mengatakannya, bahwa waktuku tidak terlalu banyak. Angger Prastawa memang mentertawakan alasanku. Tetapi Prastawa setuju aku turun sepekan sekali."


16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Glagah Putihpun tertawa pula. Katanya, "Apakah benar waktu Ki Jayaraga tidak terlalu banyak?"
Ki Jayaragapun tertawa pula. Katanya, "Waktuku sudah habis untuk merawat tanaman di sawah. Tetapi bukankah hasilnya memadai dibandingkan dengan sawah yang tidak dipelihara dengan baik?"
"Ya, ya. Ki Jayaraga. Apalagi dibandingkan dengan sawah yang tidak ditanami."
Keduanyapun tertawa berkepanjangan.
Sementara itu, maka Sekar Mirah dan Rara Wulanpun kemudian telah menghidangkan nasi yang masih mengepul, sayur dan lauknya.
"Kami menunggu, kakang Rangga saja mbokayu," berkata Glagah Putih.
"Kau tentu lapar. Apalagi dari Rara Wulan aku mendengar bahwa perjalananmu terhambat di seberang Kali Praga. Karena itu, kau tentu lapar."
"Belum. Aku belum lapar."
Tetapi Rara Wulanlah yang menyahut, "Akulah yang sudah lapar. Apalagi menurut mbokayu Sekar Mirah, kakang Rangga pulang pada waktu yang tidak dapat ditentukan. Bahkan kadang-kadang sampai malam. Apalagi jika ada tamu dari Mataram."
"Tamunya sudah pulang," sahut Glagah Putih, "bukankah kita tadi berpapasan di jalan ?"
"Apakah tamunya hanya Ki Lurah Kertawirya. Mungkin ada tamu yang lain yang juga bersangkut paut dengan pemekaran kesatuan kakang Rangga Agung Sedayu."
Glagah Putih tersenyum. Meskipun Glagah Putih memang belum merasa lapar, tetapi nasi hangat, sambal terasi, lalapan ketimun dan sayur lembayung itu telah membangkitkan seleranya pula.
"Nah, Ki Jayaraga juga baru pulang dari sawah," berkata Rara Wulan, "kita akan makan bersama."
Demikianlah, maka mereka bertigapun segera mulai makan dengan lahapnya. Sekar Mirah tidak makan bersama mereka. Sekar Mirah memang menunggu Ki Rangga Agung Sedayu pulang.
Tetapi demikian mereka mulai makan, maka terdengar derap kaki kuda. Kemudian, Ki Rangga Agung Sedayu telah memasuki ruang dalam pula.
"Nah, apa kataku," berkata Glagah Putih, "bukankah sebaiknya kita menunggu."
"Aku akan menyusul," sahut Ki Rangga Agung Sedayu yang kemudian pergi ke pakiwan.
Sejenak kemudian, Ki Rangga dan Sekar Mirahpun telah ikut makan bersama mereka pula, sehingga suasananya menjadi semakin segar. Rasa-rasanya mereka menjadi semakin banyak makan. Bahkan rasa-rasanya Glagah Putih yang sudah makan lebih dahulu itu baru mulai pada saat Ki Rangga Agung Sedayu mulai makan.
Sambil makan Ki Ranggapun bertanya tentang keadaan Glagah Putih, perkembangan kedudukannya serta tugas-tugas yang harus diembannya.
"Untuk pertama kali, kami berdua akan menerima tugas khusus, kakang. Kami tidak langsung bertugas di kesatuan kakang di Tanah Perdikan Menoreh."
"Tugas apa yang harus kau lakukan lebih dahulu ?"
"Aku belum tahu, kakang. Baru setelah aku beristirahat selama sepekan, aku akan mendapatkan perintah langsung dari Ki Patih Mandaraka."
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah tugas-tugas seperti itu bagi Glagah Putih dan Rara Wulan bukan hal yang baru. Sejak sebelum mereka menjadi prajurit, mereka telah sering menjalankan tugas-tugas khusus ke mana-mana.
Setelah mereka selesai makan, maka Ki Rangga Agung Sedayu mengajak Glagah Putih dan Ki Jayaraga untuk duduk di pringgitan. Sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan membenahi dan kemudian menyingkirkan mangkuk-mangkuk yang kotor.
Di pringgitan Ki Rangga, Glagah Putih dan Ki Jayaraga masih saja berbincang tentang perkembangan keadaan di saat-saat terakhir.
"Jika kau sempat, esok kau dapat ikut pergi ke barak," berkata Ki Rangga Agung Sedayu, "kau akan dapat melihat rencana pembangunan perluasan barak Pasukan Khusus."
"Baik, kakang. Besok aku akan pergi."
"Aku juga ingin melihat," berkata Ki Jayaraga, "apakah aku yang bukan prajurit boleh ikut memasuki lingkungan barak yang sedang dikembangkan itu."
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Asal Ki Jayaraga tidak memata-matai barak yang sedang kami kembangkan itu."
Ki Jayaragapun tertawa pula.
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin pergi kemana-mana. Mereka baru akan mengunjungi Ki Gede Menoreh di keesokan harinya. Rasa-rasanya mereka masih malas beranjak dari rumah. Apalagi mal ampun segera turun.
Setelah mandi dan berbenah diri, maka Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat duduk di ruang dalam, berbincang beberapa lama. Semengara Ki Jayaraga pergi ke sawah untuk melihat apakah air yang mengalir ke sawah sudah mencukupi.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah pergi ke bilik mereka, pada wayah sepi uwong.
Tetapi ketika mereka berbaring, mereka masih mendengar suara tembang yang ngelangut. Suara tembang yang mengalun dari rumah tetangga di arah belakang.
"Menurut mbokayu Sekar Mirah, yu Binem telah melahirkan dua hari yang lalu," berkata Rara Wulan.
"Jadi suara tembang itu datang dari rumah yu Binem."
"Ya. Semalam kakang Rangga juga hadir di rumah yu Binem. Tetapi malam ini tidak. Mungkin esok malam kakang Rangga akan dagang lagi."
Glagah Putih mengagguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Esok aku akan ikut Ki Rangga Agung Sedayu mengunjungi yu Binem. Sudah lama aku tidak membaca tembang. Mudah-mudahan suaraku tidak menjadi sumbang."
Demikianlah, maka suara tembang yang ngelangut di rumah tetangga yang baru saja melahirkan itu, rasa-rasanya telah membuai Glagah Putih dan Rara Wulan yang hari itu baru pulang dari Mataram.
Di hari berikutnya, Glagah Putih dan Rara Wulan, bahkan Ki Jayaraga, ikut pergi ke barak Pasukan Khusus yang sedang direncanakan untuk dikembangkan.
"Mbokayu tidak ikut pergi ke barak ?" bertanya Rara Wulan kepada Sekar Mirah.
"Aku tidak akan bertugas kemana-mana, Rara. Kapan-kapan aku dapat melihat-lihat barak itu."
Demikianlah, maka Ki Rangga, Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga itupun pergi berkuda ke barak Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.
Demikian mereka sampai di barak, maka merekapun langsung pergi melihat-lihat lingkungan yang akan dibangun di sebelah bangunan yang lama.
"Aku sudah berbicara dengan Ki Gede Menoreh," berkata Ki Rangga Agung Sedayu, "bahkan Ki Gede sudah meninjau tempat ini. Segala sesuatunya telah disetujuinya, sehingga tidak ada hambatan apa-apa lagi. Para petugas yang akan membangun barak itu juga sudah melihat-lihat lingkungannya serta beberapa jenis bahannya telah tertimbun di belakang."
Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaragapun mengangguk-angguk. Mereka memang melihat setumpuk batu bata, timbunan kayu serta bahan-bahan yang lain.
Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga yang melihat lingkungan yang akan dibangun itu mulai membayangkan bangunan barak yang akan menjadi barak yang besar di lingkungan yang luas. Bahkan agaknya Ki Rangga Agung Sedayu telah mengambil pola lingkungan sebuah padepokan yang terasa sejuk dan tenang.
Bangunan induk akan dibangun di bagian depan. Kemudian halaman yang cukup luas. Halaman di depan bangunan induk dan sebuah tanah yang lapang, yang ada di bagian belakang. Di sebelah tanah yang lapang itu terdapat dua sanggar tertutup dan dua sanggar terbuka yang luas.
"Barak ini akan dapat membuat Senapati yang lain menjadi iri," berkata Ki Jayaraga.
"Tidak. Mereka tidak dapat merasa iri. Kita mendapat tanah yang luas ini dari Ki Gede Menoreh. Demikian pula sebagian dari bahan-bahan bangunan. Batu bata, bambu dan bahkan kayu. Dana dari Mataram bagi bangunan ini tidak lebih banyak dari barak-barak yang lain. Tetapi ketika kami usulkan untuk membangun barak dengan bentuk dan susunan seperti ini, Mataram tidak berkeberatan asal kami tidak minta tambahan dana."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Bahkan mungkin barak ini kelak akan dapat menjadi contoh bagi barak-barak baru yang akan dibangun kemudian, atau barak-barak yang sudah ada yang ingin diperluas."
Demikianlah, maka merekapun telah melihat-lihat jauh ke bagian belakang lingkungan barak itu. Kandang kuda yang memanjang di dekat dinding di halaman belakang. Kemudian sebuah parit yang mengalir deras lewat di sebelah kandang itu. Kotoran dari kandang itu akan dibuang ke dalam parit yang mengalir deras itu. Bahkan air limbah dari kandang kuda itu akan dapat menjadi pupuk tanah di sawah di belakang barak itu.
Namun demikian mereka berada di halaman belakang, maka seorang prajurit telah menemui Ki Rangga Agung Sedayu sambil berkata, "Ada tamu, Ki Rangga."
"Tamu?" "Ya, Ki Rangga."
"Berapa orang ?"
"Tiga orang, Ki Rangga."
"Biarlah mereka duduk di pringgitan bangunan induk. Bukankah bangunannya masih utuh."
Prajurit itu tersenyum sambil mengangguk, "Baik, Ki Rangga."
Demikianlah prajurit itu pergi, maka Glagah Putihpun berkata, "Silahkan kakang. Biarlah kami melihat-lihat kandang ini sebentar. Nanti kamipun akaii segera pergi ke pringgitan."
Ki Ranggapun kemudian memanggil seorang prajurit. Katanya. "Temani mereka melihat-lihat."
"Baik, Ki Rangga."
Dengan demikian, muka Glagidi Putih, Kara Wulan dan Ki Jayaraga itupun kemudian melihat-lihat bagian belakang dari rencana bangunan barak itu bersama seorang prajurit. Prajurit itu masih muda. Namun ternyata ia adalah seorang prajurit yang cerdas. Prajurit itu dapat memberikan beberapa keterangan dengan jelas.
"Kau sudah lama berada di barak ini ?"
"Sudah lebih dari dua tahun. Aku sering melihat Ki Glagah Putih berdua singgah di barak ini. Tetapi Ki Glagah Putih berdua tidak mengenal aku."
"Maaf," sahut Glagah Putih, "ingatanku agak lemah. Berbeda dengan kakang Rangga Agung Sedayu. Apa yang pernah dilihatnya sekali lagi saja, ia tidak akan pernah lupa. Bahkan isi kitab yang pernah dibacanya, akan diingatnya huruf perhuruf."
Prajurit itu tertawa. Katanya, "Bukan karena ingatan Ki Glagah Putih lemah. Tetapi aku memang berada diantara banyak prajurit. Sedangkan Ki Glagah Putih dan Nyi Glagah Putih hanya berdua saja, sehingga kami mudah mengenalinya."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa pula. Sementara itu, Ki Jayaragapun bertanya, "Apakah Ki Sanak juga mengenal aku ?"
Prajurit itu menggeleng. Katanya, "Tidak. Jika Ki Sanak pernah datang ke barak ini bersama Ki Rangga Agung Sedayu, mungkin sekali aku kebetulan sedang tidak berada di barak, atau aku kebetulan berada di belakang atau di mana saja."
Ki Jayaragapun tertawa sambil mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Merekapun kemudian melanjutkan pengamatan mereka terhadap lingkungan barak yang akan dikembangkan itu. Nampaknya telah direncanakan dengan cermat bukan saja bangunan-bangunan baru. Tetapi wajah barak itu memang akan berubah ujudnya sehingga mirip dengan sebuah padepokan.
Dalam pada itu, selagi Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga diantar seorang prajurit berkeliling lingkungan barak itu, Ki Rangga Agung Sedayu telah menemui seorang Lurah prajurit dengan dua orang prajurit pengiringnya.
"Bukankah aku sekarang sedang menghadap Ki Rangga Agung Sedayu ?"
"Ya, Ki Sanak," jawab Ki Rangga Agung Sedayu.
"Terima kasih atas penerimaan Ki Rangga," berkata orang itu.
"Maaf, siapakah Ki Sanak itu. Menilik pakaian serta pertanda keprajuritan, Ki Sanak adalah seorang Lurah Prajurit."
"Ya. Aku Ki Lurah Sanggabaya."
"Ki Lurah Sanggabaya " Nama Ki Lurah telah sampai kepadaku. Bukankah Ki Lurah telah menerima kekancingan untuk berada dalam pasukanku ?"
"Ya. Aku telah menerima kekancingan itu. Karena itu aku datang kemari. Aku ingin melihat tempatku yang baru. Senapati yang akan menjadi pemimpinku serta berbagai hal yang lain yang ada hubungannya dengan penugasanku kemari."
"Apa yang ingin Ki Lurah ketahui " Mungkin aku dapat menjelaskannya. Tetapi sebelumnya aku ingin tahu, di-manakah kedudukan Ki Lurah sebelum Ki Lurah mendapat tugas ke barak ini ?"
"Aku adalah seorang Lurah Prajurit yang diperbantukan kepada Tumenggung penghubung antara Pajang dan Mataram. Aku adalah seorang Lurah prajurit yang selama ini telah melakukan tugas yang sangat khusus. Sayang, bahwa aku bertugas agak jauh dari Mataram, sehingga para pemimpin di Mataram tidak dapat langsung melihat kelebihanku sebagai seorang prajurit."
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang.
"Seandainya aku berada di Mataram," Ki Lurah itu melanjutkan, "mungkin aku sudah dua kali naik pangkat. Mungkin aku sudah menjadi seorang Tumenggung seperti Ki Tumenggung Purbasena. Ketika Ki Tumenggung Purbasena masih seorang Lurah Prajurit, aku juga sudah seorang Lurah Prajurit. Tetapi ketika kemudian aku mendapat tugas untuk membantu seorang Tumenggung yang bertugas di Pajang, sebagai penghubung bidang keprajuritan antara Pajang dan Mataram, maka sejak itu, aku sudah mengira, bahwa aku akan merayap seperti siput pada jenjang kepangkatanku."
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun merasakan kelambatan kenaikan jenjang kepangkatannya. Ketika Ki Tumenggung Purbasena masih seorang Lurah Prajurit, Agung Sedayu juga sudah menjadi Lurah Prajurit sebagaimana Ki Lurah Sanggabaya. Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu tidak pernah mempersoalkannya.
Sementara itu, Ki Lurah Sanggabayapun berkata pula, "Menurut keterangan yang aku dengar, bukankah Ki Rangga Agung Sedayu juga baru saja menerima anugerah pangkat dari seorang Lurah Prajurit menjadi seorang Rangga."
"Ya. Baru beberapa hari yang lalu."
"Baiklah. Dengan demikian, maka selisih diantara kita tidak terlalu jauh. Tetapi agaknya Ki Rangga Agung Sedayu memang lambat. Menilik umur Ki Rangga, seharusnya Ki Rangga sudah menjadi Tumenggung seperti Ki Tumenggung Purbasena."
"Bagiku, pangkat bukan landasan satu-satunya bagi satu pengabdian."
"Jangan munafik. Kita ingin naik pangkat. Kita ingin jabatan kita juga naik. Kita ingin gaji kita naik. Kita ingin segala sesuatunya menjadi lebih baik."
"Aku mengerti, Ki Lurah. Kau jujur sekali. Tetapi akupun berkata sebenarnya, bahwa pangkat, jabatan, gaji, bukan landasan utama untuk menjalani tugas-tugas yang dipikulkan di pundak kita."
"Baik. Baik. Satu sikap yang jarang kita temui di lingkungan para prajurit. Aku hargai sikap itu."
"Nah, sekarang apa yang sebenarnya yang ingin Ki Lurah ketahui" Jika barakku sudah jadi, sekitar enam atau tujuh bulan lagi, maka Ki Lurah akan berada disini. Bahkan mungkin lebih cepat dari itu. Kita tidak perlu menunggu bangunan kita selesai seluruhnya."
"Ya. Akupun segera ingin tahu, kenapa Ki Rangga mendapat anugerah kenaikan pangkat. Jasa apa saja yang pernah Ki Rangga berikan kepada Mataram."
"Tidak ada, Ki Lurah. Mungkin sebagai satu kehormatan saja karena aku sudah mengabdikan diri cukup lama di Mataram."
Ki Lurah Sanggabaya mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Memang mungkin. Meskipun aku juga sudah lama menjadi Lurah Prajurit, tetapi aku masih lebili muda dari Ki Rangga. Aku masih mempunyai kesempatan lebih luas di hari-hari mendatang. Seandainya saja aku tidak ditempatkan di Pajang, mungkin aku sudah lebih dahulu menapak ke pangkat yang lebih tinggi."
"Memang mungkin sekali, Ki Lurah."
"Ketika aku mendapat perintah untuk ditarik kembali ke Mataram, aku mengira bahwa aku akan diserahi untuk memimpin satu kesatuan seperti halnya pada saat Ki Rangga masih menjadi Lurah Prajurit di barak ini. Tetapi ternyata aku akan ditempatkan di bawah pimpinan Ki Rangga."
"Bukankah kita tinggal menjalankan tugas."
"Ya. Kita memang tinggal menjalankan tugas."
"Aku senang bahwa Ki Lurah Sanggabaya ditempatkan di kesatuanku, sehingga kesatuanku akan menjadi lebih kuat."
"Ya. Ki Rangga tentu akan merasakan arti keberadaanku. Meskipun pangkat Ki Rangga lebih tinggi dari pangkatku, tetapi sebenarnyalah kemampuan seorang prajurit tidak dapat diukur dari pangkat dan jabatannya."
Dahi Ki Rangga Agung Sedayu nampak berkerut.
Dengan nada datar iapun bertanya, "Apa maksud Ki Lurah ?"
"Aku tidak bermaksud apa-apa, Ki Rangga. Tetapi bukankah yang aku katakan itu sudah jelas " Pangkat dan jabatan seorang prajurit tidak mesti sejalan dengan tingkat kemampuannya ?"
Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Ki Lurah benar. Tetapi sebaiknya seorang pemimpin itu memiliki kelebihan dari orang yang dipimpinnya. Dengan demikian maka seorang pemimpin akan dapat memberikan petunjuk dan pengarahan kepada orang-orang yang dipimpinnya. Sedangkan jika orang yang dipimpin itu tidak mampu menyelesaikan persoalan yang ditugaskan kepadanya, maka ia akan dapat bertanya serta minta bimbingan kepada pemimpinnya."
"Sebaiknya memang demikian, Ki Rangga. Tetapi susunan keprajuritan di Mataram tidak selalu berlandas pada tatanan yang seharusnya itu."
Sebelum Agung Sedayu menjawab, mereka yang duduk di pringgitan itu terkejut. Seseorang keluar dari ruang dalam bangunan induk barak itu sambil berkata, "Ki Lurah benar. Di Mataram ini susunan keprajuritannya tidak selalu berlandas pada tatanan yang benar. Bisa saja terjadi bahwa seorang prajurit memiliki kemampuan lebih tinggi dari seorang Lurah Prajurit."
"Glagah Putih," desis Ki Rangga Agung Sedayu.
"Aku sependapat dengan Ki Lurah ini Ki Rangga. Aku hanya seorang prajurit. Tetapi belum tentu kemampuanku berada di bawah Ki Lurah."
Wajah Ki Lurah itu menjadi tegang. Dengan suara yang bergetar iapun berkata, "Kau sombong sekali, Ki Sanak, apakah orang ini prajurit di barak ini Ki Rangga."
"Ya," Glagah Putih yang menyahut, "aku adalah prajurit di barak ini. Tetapi aku juga murid Ki Rangga Agung Sedayu. Aku tahu bahwa Ki Lurah ingin menjajagi kemampuan Ki Rangga, karena Ki Lurah akan menjadi bawahan Ki Rangga. Namun sebelumnya Ki Lurah ingin tahu, apakah Ki Rangga benar-benar seorang yang pantas menjadi seorang pemimpin di barak ini. Jika Ki Rangga dapat memenangkan pertarungan penjajagan itu, maka barulah Ki Lurah akan mengakui kepemimpinan Ki Rangga."
"Ya. Prajuritmu sudah menterjemahkan niatku, Ki Rangga."
"Jika demikian, Ki Lurah juga tidak percaya kepada para pemimpin di Mataram yang telah menganugerahkan pangkat Rangga kepadaku."
"Sudah aku katakan, susunan keprajuritan di Mataram kadang-kadang tidak mengikuti tatanan yang seharusnya."
"Jika Ki Lurah menang ?"
"Aku akan menolak ditempatkan di barak ini. Kedua orang prajurit yang menyertaiku akan menjadi saksi. Jika penolakannya mempunyai dasar yang kuat, maka penolakanku tentu akan diperhitungkan oleh para pemimpin di Mataram."
"Ki Lurah," potong Glagah Putih, "sebelum Ki Lurah menjajaki kemampuan Ki Rangga, sebaiknya Ki Lurah menjajagi kemampuanku lebih dahulu. Baru jika Ki Lurah mampu mengalahkan aku, Ki Lurah akan dapat bertarung dengan gurunya. Jika kebetulan muridnya itu seorang prajurit yang kemudian dapat mengalahkan seorang Lurah Prajurit, maka yang pantas diumpati adalah Lurah Prajurit itu."
"Kata-katamu sangat menyakitkan, Ki Sanak."
"Kau kira tantanganmu terhadap guru tidak lebih menyakitkan lagi " Apalagi Ki Lurah adalah seorang prajurit yang mengetahui tatanan dan paugeran. Adakah seorang prajurit yang lain berbuat seperti Ki Lurah itu ?"
"Persetan kau prajurit yang sombong. Jika kau memang menantangku, aku akan melayanimu."
"Bagus, Ki Rangga. Aku ingin meminjam sanggar tertutup yang lama. Aku akan menjajagi kemampuan Lurah Prajurit yang sombong ini. Apakah ia dapat mengalahkan aku, yang tidak lebih dari seorang prajurit."
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia sudah mengenal watak dan sifat Glagah Putih dengan baik, sehingga ia tidak dapat mencegahnya.
Dengan demikian, maka Ki Rangga telah membawa Ki Lurah Sanggabaya dan kedua orang prajuritnya kedalam sanggar tertutup. Tidak ada orang lain yang mengetahui, untuk apa mereka masuk ke dalam sanggar. Sementara itu, Rara Wulan dan Ki Jayaragapun kemudian telah dipanggil pula untuk menjadi saksi pertarungan antara Ki Lurah Sanggabaya dengan Glagah Putih.
Namun Ki Lurah Sanggabaya itupun masih juga berkata, "Tetapi aku minta janji Ki Rangga Agung Sedayu."
"Janji apa?" "Bahwa setelah aku membungkam mulut prajurit yang sombong dan bermulut besar ini, Ki Rangga akan bersedia turun ke gelanggang dan memberi aku kesempatan untuk menjajagi kemampuan Ki Rangga untuk menentukan, apakah aku akan bersedia ditempatkan di bawah kepemimpinan Ki Rangga atau tidak."
"Baik. Baik. Ki Rangga tidak akan berkeberatan," Glagah Putihlah yang menjawab.
Tetapi Ki Lurah Sanggabaya itupun mendesaknya, "Aku minta jawaban Ki Rangga sendiri."
"Baik, Ki Lurah. Setelah kau menghentikan perlawanan prajuritku yang kebetulan adalah muridku itu, kau akan dapat menjajagi ilmuku."
"Bagus. Dengan demikian hubungan kita akan terbuka Siapakah yang lebih pantas menjadi pemimpin. Ki Rangga Agung Sedayu ataukah aku."
Glagah Putih menjadi tidak sabar lagi. Karena itu maka iapun berkata, "Sudahlah. Jangan banyak bicara Ki Lurah. Turunlah ke arena."
"Kata-katamu kasar sekali. Ingat kau berbicara dengan seorang Lurah Prajurit," berkata salah seorang prajurit yang menyertai Ki Lurah Sanggabaya itu.
"Sikap dan kata-kata Ki Lurah terhadap Ki Rangga Agung Sedayu lebih tidak sopan lagi," sahut Glagah Putih.
"Kenapa Ki Lurah tidak memerintahkan aku saja untuk menandingi prajurit itu ?" bertanya seorang prajurit yang menyertai Ki Lurah Sanggabaya, "nanti Ki Lurah akan menjajagi kemampuan Ki Rangga. Biarlah prajurit yang sombong itu aku redamnya, sehingga mulutnya tidak akan mengigau lagi."
"Persetan kau," geram Glagah Putih.
Tetapi Ki Lurah Sanggabaya itu tersenyum sambil berkata, "Ya. Kenapa tidak kau saja yang membungkam mulut prajurit yang sombong itu. Kau adalah murid dari Padepokan Wiring Kuning. Kenapa tidak kau saja yang menunjukkan bahwa prajurit-prajuritku memiliki ilmu yang lebih baik dari prajurit-prajurit yang lain."
"Cukup. Cukup. Siapapun yang akan turun ke gelanggang turunlah, supaya segala sesuatunya cepat selesai."
Seorang diantara kedua orang prajurit yang menyertai Ki Lurah Sanggabaya itulah yang kemudian turun ke gelanggang. Iapun kemudian berdiri di tengah-tengah sanggar tertutup berhadapan dengan Glagah Putih.
Agaknya Glagah Putih tidak ingin terlalu banyak berbicara lagi. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan diri sambil berkata, "bersiaplah. Aku hargai sikapmu. Kita sama-sama seorang prajurit."
"Bagus. Aku akan merintis jalan, agar Ki Lurah segera sempat bertarung dengan Ki Rangga Agung Sedayu."
Glagah Putih tidak menyahut. Ketika ia kemudian bergeser, maka prajurit yang akan menjadi lawannya bertanding itupun bergeser pula.
Sebenarnyalah Glagah Putih tersinggung sekali dengan sikap prajurit itu. Tetapi akhirnya iapun melihat kenyataan tentang dirinya, bahwa iapun hanya seorang prajurit.
Sejenak kemudian prajurit yang menyertai Ki Lurah Sanggabaya itupun telah meloncat menyerangnya. Namun dengan tangkasnya Glagah Putih menghindar. Bahkan Glagah Putih yang ingin segera bertanding melawan Ki Lurah Sanggabaya itu tidak memberi kesempatan kepada lawannya.
Dengan kecepatan yang tinggi, Glagah Putih itupun segera meloncat tinggi dan berputar sekali di udara dengan kaki terayun mendatar.
Demikian cepatnya, sehingga prajurit yang menyertai Ki Lurah Sanggabaya itu tidak sempat mengelak. Kaki Glagah Putih itupun dengan derasnya telah menghantam kening.
Prajurit itu memang agak terkejut karena gerakan-gerakan yang sangat cepat. Bahkan kaki Glagah Putih yang mengenai keningnya itu terasa bagaikan sebongkah batu padas yang sangat berat.
Prajurit itupun terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia berusaha mempertahankan keseimbangannya. Pada saat lawannya menjadi goyah, maka Glagah Putih telah mempergunakan kesempatan itu dengan baik. Tiba-tiba saja Glagah Putih itu meloncat mendekatinya sambil menjulurkan tangannya menghantam dada prajurit itu.
Prajurit itu ternyata tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Iapun terdorong beberapa langkah surut. Kemudian terbanting jatuh di lantai sanggar itu.
Terasa dadanya menjadi nyeri. Nafasnyapun menjadi sesak. Namun prajurit itupun segera meloncat bangkit serta mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan-serangan Glagah Putih berikutnya.
Tetapi ternyata bahwa serangan Glagah Putihpun tidak terbendung lagi. Serangan kakinya yang terjulur mendatar telah menembus pertahanan prajurit itu, sehingga mengenai lambungnya.
Sekali lagi prajurit itu terhuyung-huyung. Sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, kaki Glagah Putih terjulur menyamping. Tubuhnya meluncur seperti lembing dengan kecepatan yang tinggi.
Kaki Glagah Putih yang mengenai bahu lawannya telah membuat prajurit itu terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh.
Hampir saja kepalanya menghantam tonggak batang glugu yang utuh, yang ditanam tegak berdiri diantara beberapa tonggak yang lain yang tidak sama tinggi.
Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu meloncat dengan kecepatan yang sangat tinggi, mendorong tubuh itu, sehngga jatuh diantara tonggak batang pohon kelapa itu.
Namun ketika prajurit itu berusaha untuk segera bangkit, maka mulutnya telah menyeringai menahan sakit.
Bahkan demikian ia berdiri, maka sambil meletakkan tangannya di pinggangnya, prajurit itu tertatih-tatih bergeser maju.
Glagah Putih berdiri tegak di tengah-tengah arena di dalam sanggar itu. Ketika ia melihat prajurit itu berjalan dengan menekan pinggangnya, maka iapun berkata kepada Ki Lurah Sanggabaya, "inikah prajurit yang kau banggakan itu, Ki Lurah."
"Persetan dengan anak cengeng itu. Tetapi ia memang bukan ukuran. Sekarang bersiaplah. Aku akan menghukum kesombonganmu serta tingkah lakumu yang tidak mengenal unggah-ungguh keprajuritan itu."
"Kau sendiri mungkin mengenal unggah-ungguh itu, Ki Lurah. Tetapi ternyata kau tidak menghargainya sama sekali."
Wajah Ki Lurah itupun menjadi merah. Iapun segera turun ke arena dan berkata kepada prajuritnya yang kesakitan, "Minggir kau anak cengeng. Kau akan menjadi saksi, bagaimana aku membungkam mulut prajurit yang sombong ini. Kemudian menundukkan Ki Rangga Agung Sedayu."
Namun sebenarnyalah, bahwa kepercayaan dirinya yang sangat besar itu mulai terusik ketika ia melihat betapa dengan sangat mudah Glagah Putih menundukkan prajuritnya yang disebutnya sebagai murid dari perguruan Wiring Kuning. Kemudian ia melihat seakan-akan Ki Rangga Agung Sedayu bagaikan terbang mendorong prajuritnya yang hampir saja terbanting menimpa tonggak batang pohon kelapa yang utuh itu.
"Gerak naluriahnya memang cepat," berkata Ki Lurah dalam hatinya, "tetapi ia tidak akan mampu melawan ilmuku."
Dalam pada itu, Glagah Putih telah bersiap menghadapi Ki Lurah Sanggabaya. Sekilas Glagah Putih itu teringat, betapa ia bersikap keras menghadapi Ki Tumenggung Purbasena pada saat ia mengkuti pendadaran dan bimbingan sebelum ia benar-benar memasuki dunia keprajuritan.
Sekarang, dihadapannya itu berdiri seorang Lurah prajurit yang dengan sombongnya menantang Ki Rangga Agung Sedayu.
"Aku harus dapat menundukkannya. Jika aku dapat mengalahkannya, apalagi guruku. Kakang Rangga Agung Sedayu."
Demikianlah, sejenak kemudian keduanya telah bersiap. Ki Lurah yang telah menyaksikan bagaimana Glagah Putih dalam waktu yang sangat pendek dapat mengalahkan prajuritnya, menjadi berhati-hati menghadapi prajurit yang masih terhitung muda itu.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun mulai terlibat dalam pertarungan yang semakin lama menjadi semakin cepat. Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah memang seorang yang berilmu tinggi. Selain ilmu yang disadapnya dalam dunia keprajuritan, Ki Lurah adalah seorang yang telah mempunyai bekal yang mapan. Ia adalah seorang murid utama dari seorang yang berilmu sangat tinggi. Yang sangat dihormati oleh lingkungannya.
"Aku tidak boleh mempermalukan guru," berkata Ki Lurah Sanggabaya didalam hatinya, "aku akan menghentikan anak ini dalam waktu sesingkat ia mengalahkan prajuritku."
Demikianlah, maka pertarungan diantara merekapun menjadi semakin sengit. Ki Lurah Sanggabaya ingin dengan cepat menundukkan prajurit yang mengaku murid Ki Rangga Agung Sedayu itu.
Namun sebenarnyalah Glagah Putih dengan sengaja telah menunjukkan bahwa ia adalah seorang murid yang baik. Sehingga karena itu, maka Ki Lurah Sanggabaya itu mulai menjadi gelisah, bahwa ia tidak dapat menundukkan lawannya itu dalam waktu sesingkat lawannya mengalahkan prajuritnya.
Bahkan semakin lama Glagah Putih yang mulai meningkatkan ilmunya itu justru mampu menunjukkan ilmunya yang semakin tinggi, sehingga Ki Lurah Sanggabayapun harus meningkatkan ilmunya pula.
Demikianlah pertarungan antara keduanya menjadi semakin sengit. Kedua orang prajurit Ki Lurah Sanggabaya itu menjadi tegang. Sementara yang seorang masih saja menekan pinggangnya dengan telapak tangannya.
"Anak itu mempunyai ilmu iblis," geram prajurit yang pinggangnya masih terasa sangat sakit itu, sehingga sulit baginya untuk dapat berdiri tegak.
Sementara itu, Ki Rangga Agung Sedayu, Rara Wulan dan Ki Jayaragapun menjadi tegang pula. Namun mereka tahu pasti, bahwa Glagah Putih telah memiliki bekal ilmu yang sangat tinggi.
Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Sanggabaya semakin lama menjadi semakin gelisah menyadari kenyataan tentang lawannya itu.
Ketika Ki Lurah Sanggabaya meningkatkan kemampuannya serta menyerang Glagah Putih seperti banjir bandang, Glagah Putihpun mampu mengimbanginya. Iapun berloncatan menghindari serangan-serangan itu, sehingga itu tidak mampu menyentuh sasarannya.
Tetapi Glagah Putih tidak mau menghindar terus, sementara lawannya memburunya. Karena itu, maka ketika Ki Lurah Sanggabaya itu meloncat menyerang dengan kaki yang terjulur lurus menyamping Glagah Putih tidak mau lagi bergeser surut serta menghindar dengan memiringkan tubuhnya. Tetapi Glagah Putih itu justru menyilangkan tangannya di dadanya.
Ketika kaki Ki Lurah menyentuh tangannya yang bersilang itu, Glagah Putih seakan-akan terdesak surut selangkah. Namun tiba-tiba saja tangannya menghentak mendorong kaki Ki Lurah Sanggabaya.
Ki Lurah terkejut. Bahkan Ki Lurah itupun telah terdorong surut selangkah. Sejenak Ki Lurah itu terhuyung huyung. Ia mencoba untuk mempertahankan keseimbangannya.
Tetapi sebelum Ki Lurah itu berhasil, maka Glagah Putihlah yang datang menyerang. Sambil meloncat, Glagah Putih itu memutar tubuhnya, sementara kakinya terayun mendatar.
Ki Lurah yang masih belum mapan itu tidak dapat mengelak lagi. Kaki Glagah Putih itu telah menyambar keningnya.
Ki Lurah itupun terpental beberapa langkah dan jatuh terbanting di lantai.
Namun dengan sigapnya, Ki Lurah itu meloncat bangkit benliri. Meskipun kepalanya masih terasa pening, tetapi ia sudah siap untuk menghadapi lawannya.
Serangan Glagah Putihlah yang kemudian datang beruntun. Namun Ki Lurah yang mengerahkan kemampuannya itupun masih berhasil mempertahankan diri. Bahkan sekali-sekali Ki Lurah Sanggabaya itu masih sempat menyerang Glagah Putih.
Tetapi serangan-serangannya mulai terasa sedikit men-gendor. Bahkan Ki Lurah Sanggabaya itu mulai memperhitungkan ketahanan tubuhnya. Jika ia memaksa mengerahkan tenaga dan kemampuannya, maka tenaganya akan menjadi semakin cepat menyusut.
Sementara itu, Glagah Putih justru tidak lagi mengekang dirinya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat, sehingga semakin sering menembus pertahanan lawannya.
Ki Lurah Sanggabaya mengumpat didalam hatinya. Ia tidak boleh dikalahkan oleh seorang prajurit, justru pada saat ia ingin menjajagi ilmu Ki Rangga Agung Sedayu.
Tetapi Ki Lurah Sanggabaya tidak dapat mengingkari kenyataan, Ki Lurah itupun jatuh terguling ketika kaki Glagah Putih dengan kerasnya menyambar lambungnya.
Ki Lurah Sanggabaya itupun justru bergulir menjauh untuk mengambil jarak. Baru kemudian ia melenting berdiri.
Namun Ki Lurah Sanggabaya harus menahan sakit di lambungnya dan bahkan dipunggungnya.
Glagah Putih tidak memburunya. Seakan-akann ia sengaja memberi kesempatan kepada Ki Lurah Sanggabaya untuk menilai pertarungan itu.
Sejenak keduanya berdiri bagaikan membeku. Namun Glagah Putihpun kemudian melangkah mendekat.
Ki Lurah yang sempat mengatur pernafasannya, tidak menunggu lagi. Justru pada saat Glagah Putih bergeser mendekat, maka Ki Lurah Sanggabaya itupun meloncat menyerangnya.
Glagah Putih tidak menghindar. Tetapi ia sengaja membentur serangan Ki Lurah Sanggabaya.
Glagah Putih memang tergetar setapak surut. Tetapi Ki Lurah Sanggabaya telah terdorong selangkah.
Tetapi ternyata Ki Lurah Sanggabaya tidak mau menerima kekalahannya begitu saja. Apalagi dua orang prajuritnya yang sangat mengaguminya menyaksikan pertarungan itu.
Kedua orang prajuritnya itu tentu akan menjadi sangat kecewa jika ia tidak mampu memenangkan pertarungan itu.
Karena itu, Ki Lurah Sanggabaya masih berusaha meningkatkan ilmunya. Ia bergerak lebih cepat. Sementara tenaganya telah dihentakkannya, sehingga serangan-serangannya menjadi semakin garang.
Meskipun demikian, sulit bagi Ki Lurah Sanggabaya untuk dapat menembus pertahanan Glagah Putih. Bahkan serangan-serangan Glagah Putihlah yang telah menembus pertahanannya. Dengan kerasnya tangan Glagah Putih telah menyambar mulutnya. Demikian kerasnya, sehingga satu giginya telah terlepas. Dengan demikian, maka darahpun telah mengalir dari sela-sela bibirnya. Darah yang mengalir dari giginya yang terlepas itu.
Sementara itu, serangan-serangan Glagah Putih semakin menderanya, Glagah Putih yang tersinggung oleh sikap Ki Lurah Sanggabaya itu benar-benar ingin memberinya peringatan yang keras, bahwa tidak sepantasnya ia menantang seorang prajurit yang akan membawahinya sekedar untuk mengetahui, apakah ia pantas menjadi pemimpinnya atau tidak.
Dengan demikian, maka Ki lurah Sanggabaya itu menjadi semakin kesulitan. Serangan-serangan Glagah Putih menjadi semakin tidak terbendung.
Akhirnya Ki Lurah Sanggabaya itu menjadi yakin, bahwa dengan pertarungan itu, ia tidak akan dapat menang melawan prajurit yang mengaku murid Ki Rangga Agung Sedayu itu.
Sementara itu, Ki Lurah Sanggabaya tidak mau menunjukkan kekalahannya dihadapan kedua orang murid yang dibawanya untuk menjadi saksi, bahwa Ki Lurah itu memiliki kelebihan dari Ki Rangga Agung Sedayu, sehingga tidak sepantasnya, bahwa Ki Lurah itu berada dibawah perintah Ki Rangga Agung Sedayu.
Namun sebelum ia sempat bertarung melawan Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Lurah Sanggabaya harus bertarung lebih dahulu melawan seorang prajurit yang mengaku murid Ki Rangga Agung Sedayu.
Karena itu, maka Ki Lurah Sanggabaya itupun menjadi mata gelap. Ia tidak lagi menghiraukan apa yang akan terjadi. Ketika ia menjadi semakin terdesak, maka Ki Lurah Sanggabaya itu justru meloncat surut. Tetapi Ki Lurah itupun segera mengambil ancang-ancang. Ia mulai memusatkan nalar budinya untuk melepaskan ilmu puncaknya.
Namun tiba-tiba saja terdengar suara Ki Rangga Agung Sedayu. "Tunggu. Jangan menjadi gila, Ki Lurah."
Ki Lurah yang sudah mempersiapkan diri untuk menghentakkan ilmunya itupun bergeser setapak surut. Dengan sedikit mengendorkan ancang-ancangnya Ki Lurah itupun berkata, "Aku akan menyelesaikan dengan tuntas. Apapun yang terjadi. Jika kau sayang akan nyawa muridmu, perintahkan muridmu itu menyerah. Jika tidak maka aku meningkatkan pertarungan ini menjadi perang tanding. Kami yang bertarung sudah mendapatkan kesempatan yang adil, sehingga jika terjadi sesuatu tidak akan ada yang bersalah. Bahkan jika ada yang terbunuh sekalipun."
"Ki Lurah," sahut Ki Rangga Agung Sedayu, "jika kau melontarkan ilmu puncakmu, maka Glagah Putih tentu juga akan melakukannya. Aku tahu, bahwa ilmu puncakmu tidak akan dapat mengalahkannya, sehingga jika terjadi pertarungan ilmu puncak diantara kalian berdua, maka Ki Lurahlah yang akan mati. Mati sia-sia, karena apa yang Ki Lurah lakukan sekarang ini adalah pekerjaan yang sia-sia."
"Tidak. Aku akan mempertahankan harga diri. Bahkan seandainya Ki Rangga memfitnahku dan menganggap aku bersalah apabila murid Ki Rangga itu mati."
"Dalam keadaan yang sulit, kau masih saja sempat menyombongkan diri Ki Lurah."
"Jangan halangi aku."
"Aku mempunyai cara yang terbaik untuk memperbandingkan ilmumu dengan ilmu Glagah Putih."
"Cara yang mana."
"Kita akan menempatkan batu padas itu diatas kotak pasir tempat berlatih prajurit-prajurit bertempur diatas pasir."
"Untuk apa?" "Aku akan mengatakan kemudian."
Ki Rangga Agung Sedayupun kemudian minta orang-orang yang berada di sanggar itu untuk mengusung segumpal batu padas dan meletakkannya di atas pasir yang berada dalam sebuah kotak yang besar. Para prajurit sering melakukan latihan pertarungan di atas pasir itu. Terutama bagi mereka yang harus berlatih secara khusus. Baru kemudian mereka akan berlatih di sanggar terbuka.
"Nah, sekarang arahkan ilmu puncakmu itu pada sebongkah batu padas itu. Apa yang terjadi. Tetapi kau harus mampu membidikkan ilmumu tepat pada gumpalan batu padas itu. Jika meleset, kau akan dapat merusakkan dinding sanggar. Kau harus menggantinya atau memperbaikinya hingga utuh kembali."
"Kau paksa aku melakukan permainan anak-anak ini?"
"Ya, Glagah Putihpun nanti akan melakukannya pula. Kalian akan melihat akibat dari benturan ilmu kalian masing-masing. Dengan demikian kalian akan mengetahui ilmu siapakah yang lebih baik di antara kalian tanpa melukai yang satu dan yang lainnya."
"Permainan orang-orang cengeng."
"Lakukan." Wajah Ki Lurah itu menjadi merah. Namun iapun kemudian telah mengambil ancang-ancang. Sementara itu sekali lagi Ki Rangga Agung Sedayu memperingatkan, "Kau harus membidik dengan tepat. Ingat itu."
Sekejap kemudian, setelah Ki Lurah itu mengerahkan tenaganya dengan memusatkan nalar dan budinya, maka dari kedua telapak tangannya telah meluncur ilmu puncaknya.
Dengan bidikan yang tepat, maka ilmu puncak Ki Lurah itu telah mengenai seonggok batu padas yang telah diusung oleh orang-orang yang berada di sanggar itu.
Ternyata ilmu puncak Ki Lurah Sanggabaya itu telah melontarkan kekuatan yang besar sekali. Segumpal batu padas yang harus diusung oleh beberapa orang itu telah terlempar dan berguling hampir saja menimpa dinding sanggar tertutup itu.
"Luar biasa, Ki Lurah," berkata Ki Rangga Agung Sedayu, "ternyata ilmu puncak Ki Lurah yang dilandasi dengan tenaga dalam Ki Lurah itu memiliki kekuatan yang sangat besar."
"Kalau saja kekuatan ilmuku itu mengenai dada muridmu," geram Ki Lurah Sanggabaya, "tulang-tulang iganya tentu akan menjadi lumat berpatahan."
"Kalau muridku itu sebuah patung, kau akan dapat melakukannya. Tetapi muridku itu hidup. Ia dapat menghindar atau membentur kekuatan ilmu itu dengan ilmunya."
"Seberapa besar kekuatan ilmu muridmu, Ki Rangga?"
"Baiklah. Kita harus menempatkan sebongkah batu padas itu kembali ke tempatnya. Di atas pasir itu."
Ki Rangga Agung Sedayu serta orang-orang yang berada di sanggar itupun telah mengusung kembali segumpal batu padas yang berat itu dan diletakkannya di atas pasir yang ada di dalam kotak yang besar yang berada di sanggar itu.
Ki Rangga Agung Sedayupun kemudian berkata kepada Glagah Putih, "Glagah Putih. Sekarang kaulah yang akan melontarkan aji pamungkasmu. Kau tahu bahwa batu-batu padas itu yang ada di sanggar ini memang disediakan untuk menempa kekuatan, tenaga dan kemampuan para prajurit dari pasukan khusus. Kau sudah melihat, seberapa besar tenaga dan kekuatan ilmu puncak Ki Lurah Sanggabaya. Kalau kau tidak mampu menunjukkan kelebihan dari apa yang sudah dipertunjukkan oleh Ki Lurah Sanggabaya, maka kau akan dinyatakan kalah."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Ki Lurah Sanggabaya itu juga berkata, "Nampaknya muridmu tidak mau melihat kenyataan. Apa yang dapat dilakukannya, sehingga akan dapat dinyatakan lebih berhasil dari lontaran aji pamungkasku."
"Kita akan melihat, apa yang terjadi," sahut Ki Rangga Agung Sedayu.
"Supaya segala sesuatunya selesai lebih cepat, sebaiknya Ki Rangga saja yang menunjukkan kemampuan ilmu puncak Ki Rangga sehingga hasilnya akan merupakan hasil dari pertarungan kita. Aku dan Ki Rangga, tanpa memperhatikan prajurit yang mengaku murid Ki Rangga itu."
"Ki Lurah. Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Kita akan melihat, apa yang dapat dilakukan oleh prajurit yang sekaligus muridku itu. Jika ia kalah, maka aku akan menyatakan bahwa ia kalah. Kedua orang prajuritmu itu dapat menjadi saksi. Tetapi jika ia menang, aku akan menyatakan bahwa ia menang. Kedua orang prajuritmu itu juga yang menjadi saksimu."
"Baik. Jika kau ingin mengulur waktu, aku tidak berkeberatan. Biarlah murid Ki Rangga itu melakukannya."
Rasa-rasanya Glagah Putih tidak tahan lagi. Tetapi ia tidak boleh hanyut dalam gejolak arus perasaannya. Jika ia menjadi terlalu menuruti perasaannya, maka ia tidak akan dapat memusatkan nalar budinya dengan sebaik-baiknya.
Karena itu, maka Glagah Putih itupun tidak menghiraukan lagi kata-kata yang telah diucapkan oleh Ki Lurah Sanggabaya. Yang dilakukan kemudian adalah memusatkan nalar budinya. Dikerahkannya segala kekuatan serta tenaga dalamnya. Bertumpu pada Aji Namaskara, maka Glagah Putihpun telah membuat ancang-ancang.
Dengan sepenuh kekuatan serta kemampuannya, maka Glagah Putihpun telah melontarkan Aji Namaskara yang sudah sampai ke puncak itu.
Semua orang yang menyaksikannya menjadi tegang.
Bahkan Rara Wulanpun menjadi tegang pula. Meskipun ia yakin, bahwa Aji Namaskara adalah kekuatan aji yang sangat besar, tetapi jantung Rara Wulanpun ikut berdebar-debar pula.
Dalam sekejap, maka meluncurlah kekuatan Aji Namaskara itu mengarah ke segumpal batu padas yang berada diatas onggokan pasir yang ada di sanggar itu.
Rasa-rasanya seluruh sanggar itupun telah terguncang. Seleret sinar yang meluncur dari telapak tangan Glagah Putih itupun telah menghantam gumpalan batu padas di atas pasir itu.
Batu padas itu memang tidak terlempar dari atas pasir itu. Tetapi gumpalan batu padas itupun seakan-akan telah meledak. Serpihan-serpihan yang kecil telah berhamburan ke segala arah didalam ruang sanggar tertutup itu.
Beberapa jenis senjata yang bergantungan di dinding sanggarpun telah runtuh dan jatuh di lantai. Tonggak-tonggak batang kelapa yang ditanam di dalam sanggar itu bagaikan diguncang gempa. Palang-palang kayu dan bambu yang terbujur silang, banyak yang berjatuhan.
Semua orang yang ada didalam sanggar itu terkejut. Bahkan Ki Rangga Agung Sedayupun menggeleng-gelengkan kepalanya pula.


16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak itu sudah menguasai puncak ilmu yang sulit tertandingi," berkata Ki Rangga Agung Sedayu didalam hatinya. Bahkan iapun sadar, bahwa Rara Wulanpun telah menguasai ilmu itu pula, meskipun mungkin masih ada selisih selapis tipis dengan Glagah Putih.
Dalam pada itu, Ki Lurah Sanggayuda justru bagaikan membeku. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ada orang yang memiliki ilmu sedahsyat itu. Ki Lurah sendiri sudah merasa bahwa ilmunya sudah merupakan ilmu yang pilih tanding. Bahkan Ki Lurah menduga, bahwa dalam jajaran keprajuritan sulit untuk mendapatkan orang yang dapat mengimbangi kemampuannya.
Namun tiba-tiba ia dihadapkan pada satu kenyataan bahwa prajurit yang mengaku murid Ki Rangga Agung Sedayu itu memiliki ilmu yang sulit dijangkau oleh penalarannya.
Tubuh Ki Lurah itupun terasa bergetar. Ketika Glagah Putih kemudian berdiri tegak sambil memandangi serpihan-serpihan batu batas itu, ki Lurahpun melangkah mendekatinya. Sambil membungkuk hormat Ki lurah itupun berkata dengan nada dalam, "Aku mengaku kalah, Ilmumu adalah ilmu kanuragan yang sempurna."
Glagah Putihpun kemudian mengangguk pula sambil menjawab, "Tidak ada yang sempurna itu Ki Lurah. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi ia tentu mempunyai kelemahan, karena itu tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat membanggakan ilmunya."
Ternyata hati Ki Lurah tersentuh pula. Katanya, "Ya. Aku mengerti sekarang. Kau benar Ki Sanak. Memang tidak ada ilmu yang sempurna. Tidak ada kemampuan yang dapat dibanggakan. Meskipun demikian, apa yang dapat Ki Sanak lakukan itu adalah satu kebanggaan. Bukan tingkat kemampuan Ki sanak yang seperti Ki Sanak katakan tidak ada yang dapat dibanggakan. Tetapi bagaimana Ki sanak mengendalikan diri sehingga Ki sanak dapat mengamalkan ilmu Ki sanak tepat pada sasarannya. Jika saja Ki sanak dan Ki Rangga tidak dapat mengendalikan diri, maka aku tidak akan pernah dapat keluar dari sanggar ini."
"Sudahlah. Lupakan. Selanjutnya tergantung kepada Ki Lurah Sanggabaya. Apakah Ki Lurah bersedia berada di kesatuanku nanti atau tidak."
"Tentu Ki Rangga. Aku akan merasa senang sekali berada di kesatuan Ki Rangga. Aku yakin bahwa aku akan berada dibawah pimpinan seorang prajurit yang mumpuni."
"Bukankah kita sependapat sebagaimana dikatakan oleh Glagah Putih, bahwa tidak ada seorangpun yang dapat membanggakan ilmunya" Karena setiap orang tentu mempunyai kelemahan."
"Ya. Ki Rangga."
"Nah, sekarang silakan duduk di pringgitan. Tetapi sebaiknya Ki Lurah membenahi pakaian Ki Lurah. Mungkin terdapat sedikit bekas yang nampak dari pertarungan yang Ki Lurah lakukan. Tetapi tidak akan menarik perhatian."
Ki Rangga Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan Ki Lurah Sanggabaya duduk di pringgitan. Namun Glagah Putih merasa tidak perlu ikut menemuinya.
"Aku akan berada di belakang saja, kakang," desis Glagah Putih, "tetapi aku akan membenahi sanggar ini lebih dahulu bersama Rara Wulan dan Ki Jayaraga."
Ki Rangga mengangguk. Ia melihat berbagai jenis senjata yang berjatuhan, berserakan di lantai. Kemudian palang-palang kayu dan bambu.
"Baik, benahilah agar yang akan mempergunakan kemudian tidak menjadi heran, kenapa senjata-senjata itu berserakan."
Ketika kemudian Ki Rangga itu membawa Ki Lurah Sanggayuda serta kedua prajuritnya ke pringgitan, maka Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga menjadi sibuk mengatur kembali senjata-senjata yang disangkutkan di dinding yang jatuh berserakan pada saat Glagah Putih melepaskan ilmunya, Aji Namaskara."
"Kau telah membuatnya menyadari kelemahannya itu," berkata Ki Jayaraga, "untunglah bahwa kau masih dapat mengendalikan dirimu."
"Seandainya kakang Rangga Agung Sedayu tidak dapat mencegahnya, entahlah, apa yang terjadi Ki Jayaraga."
"Ya. Aku tahu. Jika ia benar-benar melepaskan ilmu puncaknya, maka kau tidak akan dapat berbuat lain. Tetapi akibat dari benturan ilmu itu tentu bukan salahmu. Kedua orang prajurit yang menyertai Ki Lurah Sanggabaya itu akan dapat menjadi saksi."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu mereka bertiga masih sibuk menyangkutkan kembali senjata-senjata yang berjatuhan. Bahkan Glagah Putih harus memanjat untuk mengikat palang-palang kayu dan bambu yang terlepas.
Demikian mereka selesai membenahi sanggar itu, maka seorang prajurit telah minta mereka ke bangunan utama," Ki Lurah Sanggabaya akan minta diri. Ki Rangga minta kalian menemuinya di pringgitan."
Bertiga merekapun pergi ke pringgitan bangunan utama barak prajurit yang sedang disiapkan untuk dibangun kembali itu.
Demikian mereka duduk di pringgitan, maka Ki Lurah Sanggabaya itupun telah minta diri bersama kedua orang prajuritnya. Dengan nada datar Ki Lurah Sanggabaya itupun berkata, "Sekali lagi aku minta maaf. Nampaknya aku merasa sangat berbangga dengan ilmu yang sudah aku kuasai itu. Padahal tidak ada seorangpun yang pantas membanggakan ilmunya. Hal itu baru aku sadari kemudian, sehingga akupun sangat menyesalinya."
Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Sanggabaya itupun meninggalkan barak Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Rangga sadar, bahwa ia dapat mengetrapkan hukuman pada Ki Lurah Sanggabaya yang menjalankan perintah atasannya dengan menentukan persyaratan menurut kemauannya sendiri. Tetapi agaknya penyesalannya itu sudah merupakan hukuman tersendiri baginya.
"Pipinya menjadi lebam dan matanya yang sebelah kiri menjadi merah kebiruan. Ki Lurah itupun berjalan agak timpang, karena kakinya yang masih terasa sakit sekali," desis Ki Rangga Agung Sedayu.
"Satu pelajaran yang sangat berharga baginya," sahut Ki Jayaraga, "mudah-mudahan pengalamannya ini dapat sedikit menyusut kesombongannya. Meskipun sulit sekali untuk merubah sifat seseorang tetapi pengalaman yang menusuk sampai ke jantung akan dapat mempengaruhinya."
"Mudah-mudahan," berkata Ki Rangga Agung Sedayu, "tetapi akupun wajib mengawasinya secara khusus kelak jika ia berada di barak ini."
Sementara itu ketika hari menjadi semakin siang, maka Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaragapun minta diri pula.
"Makanlah lebih dahulu, makan siang sudah disiapkan di dapur."
"Jika kami makan disini, kasihan mbokayu Sekar Mirah yang sudah terlanjur sibuk di dapur," sahut Rara Wulan
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum. Tetapi iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah. Aku nanti akan pulang pada saat seperti biasanya."
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaragapun telah meninggalkan barak Pasukan Khusus yang sudah siap dibangun kembali sesuai dengan pola yang diusulkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu, yang mengacu pada sebuah padepokan yang besar.
Demikian mereka sampai di rumah, maka Sekar Mirah sudah mulai mengatur mangkuk-mangkuk untuk makan siang di ruang dalam. Karena itu, maka Rara Wulanpun berdesis, "Jika kita makan di barak, mbokayu akan sangat kecewa."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, Rara Wulanpun segera ikut membantu menyiapkan makan siang.
Sejenak kemudian, segala sesuatunya sudah siap. Sekar Mirahpun kemudian mempersilahkan mereka yang baru datang dari barak itu untuk makan.
"Aku makan bersama mbokayu," berkata Rara Wulan.
"Kita makan bersama-sama," sahut Sekar Mirah.
Sekar Mirahpun kemudian pergi ke pakiwan untuk mencuci mukanya yang basah oleh keringat. Kemudian membenahi diri sebentar sebelum duduk bersama yang lain di ruang dalam.
Sambil makan Rara Wulan sempat berceritera tentang apa yang telah terjadi di barak. Seorang Lurah prajurit yang tidak yakin, bahwa orang yang akan menjadi pemimpinnya itu memiliki kelebihan daripadanya.
"Tetapi orang itu tidak sempat menghadapi kakang Rangga Agung Sedayu. Kakang Glagah Putih telah mendahului menantangnya. Sehingga orang itu harus yakin, bahwa Ki Rangga Agung Sedayu pantas menjadi pemimpinnya."
"Sombongnya orang itu," desis Sekar Mirah, "bukankah ia tidak berhak menilai siapakah yang ditetapkan menjadi pemimpinnya. Sebagai seorang prajurit ia harus menjalankan perintah yang diturunkan kepadanya."
"Ya," sahut Ki Jayaraga, "jika saja bukan Ki Rangga Agung Sedayu mungkin orang itu sudah ditangkap dan dibawa menghadap para pemimpin prajurit di Mataram."
"Tetapi kakang Rangga Agung Sedayu menganggap bahwa penyesalannya sudah merupakan hukuman tersendiri. Ia memang harus menanggung malu, bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang prajurit. Bukan oleh seorang Rangga," berkata Ki jayaraga.
"Ya," Sekar Mirah mengangguk-angguk, "tetapi apakah orang itu tidak mendendam kepada Glagah putih?"
"Nampaknya tidak, mbokayu," sahut Glagah Putih, "ia dapat menerima kenyataan tentang dirinya."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi keberadaan orang itu dalam kesatuan Ki Rangga Agung Sedayu tentu sebaiknya mendapat perhatian yang khusus. Mungkin ia benar-benar dapat menerima kenyataan tentang Glagah Putih. Tetapi ia belum menyaksikan atau bahkan mengalami penja-jagan ilmu yang sebenarnya dari Ki Rangga Agung Sedayu.
Tetapi mudah-mudahan seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, orang itu dapat menerima kenyataan tentang kemampuannya dan seharusnya juga tentang kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu.
Setelah mereka selesai makan serta beristirahat sejenak sambil duduk-duduk di pringgitan, maka Ki Jayaragapun tiba-tiba saja bangkit sambil berkata, "Aku akan melihat sawah kita."
"Kenapa dengan sawah kita" Bukankah sawah kita tidak akan hilang diambil orang?" bertanya Glagah putih.
Ki jayaraga tertawa pendek. Namun iapun menjawab, "sawahnya tidak akan hilang, tetapi airnya. Tanaman kita sedang tumbuh sehingga sangat memerlukan air."
"Bukankah parit-parit selalu mengalir sehingga kita tidak akan kekurangan air?"
"Tetapi kadang-kadang tetangga kita lupa, bahwa saatnya kitalah yang mendapat giliran air jika salah satu di antara kita tidak nampak di sawah pada saat giliran itu datang."
"Sukra sudah pergi ke sawah, Ki Jayaraga," berkata Sekar Mirah.
Tetapi nampaknya Ki Jayaraga sendiri belum puas kalau ia sendiri belum berada di sawah. Karena itu maka Glagah Putihpun justru berkata, "Baiklah. Jika demikian, aku ikut."
"Kapan kita pergi menghadap para sesepuh dan bebahu Tanah Perdikan ini, kakang?"
"Mulai nanti malam. Kita masih mempunyai waktu sedikit."
Demikianlah, maka Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun telah meninggalkan pringgitan. Ki Jayaraga singgah sebentar didapur untuk mengambil cangkul dan caping bambu untuk melindungi kepalanya dari terik matahari yang terasa bagaikan membakar justru pada saat matahari mulai turun di sisi Barat.
Ketika keduanya sampai di sawah ternyata air sudah mengalir ke kotak-kotak sawah yang ditumbuhi padi yang nampak hijau subur sebagaimana tanaman padi di kotak-kotak sawah tetangga.
Sementara itu, Sukra sedang duduk di tanggul parit dip-inggir jalan bersama seorang kawannya yang juga seorang anggota pasukan pengawal Tanah Perdikan yang baru diterima bersamaan dengan Sukra.
"Kakang Glagah Putih," kawan Sukra itupun bangkit berdiri sambil mengangguk hormat.
Glagah Putihpun mengangguk hormat pula. Sambil tersenyum Glagah Putihpun bertanya, "Bagaimana keadaanmu" Baik-baik saja selama ini?"
"Baik, kakang. Aku sekarang bergabung dengan Sukra dalam Pasukan Pengawal Tanah Perdikan."
"Bagus Tanah Perdikan ini selalu memanggil anak-anak mudanya untuk memagarinya dari berbagai macam kemungkinan buruk. Yang terdahulu sudah menjadi semakin tua. Karena itu, yang muda harus selalu tumbuh."
"Ya, kakang," jawab anak muda itu.
Glagah Putih dan Ki Jayaragapun kemudian langsung pergi ke gubug kecil di tengah sawah itu. Kepada Sukra Ki Jayaraga bertanya, "Pematang di sebelah Timur sudah kau buka airnya, Sukra?"
"Sudah Ki Jayaraga. Kotak-kotak sawah di ujung telah penuh."
"Bagus," Ki Jayaraga itupun mengangguk-angguk sambil melangkah meloncati parit dan turun ke pematang.
Sejenak kemudian merekapun duduk di gubug kecil itu. Angin semilir menyentuh tanaman yang subur di sawah, sehingga seakan-akan gelombang yang hijau mengalir dari ujung bulak sampai ke ujung bulak
Glagah Putihpun kemudian duduk bersandar tiang bambu sambil berdesis, "Di sini suasana terasa tenang dan damai. Ki Jayaraga. Agak berbeda dengan suasana di Mataram. Terasa ada kegelisahan. Segala sesuatunya nampak tergesa-gesa."
"Arus kehidupan di Mataram tentu lebih cepat dari tempat-tempat yang segala sesuatunya masih terasa lamban ini, Glagah Putih. Ada orang yang merasa kehidupan di sini tenang dan damai. Tetapi ada yang menganggap bahwa kehidupan di padesaan itu seakan-akan berhenti. Tidak ada gejolak dan segala sesuatunya terasa sangat lamban. Orang-orang yang sedang menghadang tantangan, hidup di padesaan tentu terasa sangat menjemukan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia adalah seorang pengembara. Irama hidupnyapun berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya pada suatu saat. Ia bahkan sering berada di tempat-tempat yang penuh gejolak dan kekerasan. Tetapi ketika ia duduk di gubug kecil itu, maka justru ia merasakan ketenangan dan kedamaian. Sebagai seorang yang sudah terlalu sering mengalami tantangan kehidupan, maka suasana di padesaan itu terasa sangat menyejukkan hatinya.
Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi memang terasa lamban sekali. Yang dilihatnya beberapa tahun yang lalu, sekarang masih saja seperti dahulu.
Demikian pula irama kehidupan rakyat di padesaan. Tetapi justru karena itu, maka terasa kehidupan di padesaan itu demikian tenang dan damai.
Glagah Putih itupun seperti tersadar dari angan-angannya ketika Ki Jayaraga meloncat turun dari gubug kecil sambil berkata, "Aku akan melihat kotak-kotak sawah di ujung."
"Bukankah Sukra mengatakan, bahwa airnya telah penuh."
"Ya. tetapi rasa-rasanya lebih mantap jika aku sudah melihat sendiri."
Nampaknya Glagah putih tidak mau duduk saja di gubug kecil itu. Iapun kemudian mengikuti Ki Jayaraga menyusuri pematang melihat-lihat sawah yang menjorok ke tengah-tengah bulak yang luas itu.
Seperti yang dikatakan Sukra ternyata airnya telah merata. Jika sebelum senja pematangnya akan ditutup serta air-pun akan dialirkan ke kotak-kotak sawah yang lain tidak akan ada masalah lagi.
Setelah melihat-lihat berkeliling, maka Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun telah kembali ke gubug kecil. Sementara Sukra menemui mereka dan minta diri untuk mendahului pulang.
"Bukankah sudah tidak ada kerja lagi di sini Ki Jayaraga?" bertanya Sukra.
"Nampaknya tidak lagi Sukra."
"Bukankah aku dapat pulang dahulu?"
"Ya." "Dimana kawanmu tadi?" bertanya Glagah Putih.
"Sudah mendahului kakang."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi Glagah Putih dan Ki Jayaraga masih belum pulang. Ki Jayaraga masih mempunyai tugas untuk menutup pematang jika air sudah benar-benar penuh.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka airpun telah memenuhi segala kotak sawah Ki Rangga Agung Sedayu yang lebih banyak dikerjakan oleh Ki jayaraga itu. Hanya dalam kerja-kerja tertentu, Ki Jayaraga dibantu oleh dua tiga orang yang diupah untuk ikut menggarap sawah yang terhitung luas itu.
Demikian Ki Jayaraga menutup pematang maka seorang yang sudah setua Ki Jayaraga mendekatinya sambil bertanya, "Sudah cukup, Ki Jayaraga."
Dengan serta merta Ki Jayaraga itupun berpaling sambil menjawab, "Sudah, Ki Tanda. Nampaknya sudah cukup kenyang tanaman di kotak kotak sawah ini. Ki Tanda juga akan mengairi sawah Ki Tanda?"
"Ya. Anakku sedang pening. Biasanya anakku yang pergi ke sawah. Ia tahu, bahwa aku sudah tua. Sudah waktunya untuk beristirahat."
"Ya. Ki Tanda memang sudah waktunya untuk beristirahat."
"Ki Jayaraga juga. Nampaknya kita hampir sebaya."
Ki Jayaraga tertawa. Katanya, "Tidak, Ki Tanda. Aku tentu masih jauh lebih muda. Tetapi agaknya masa kecilku yang prihatin membuat aku cepat nampak tua."
Ki Tanda itupun tertawa pula.
Demikianlah sejenak kemudian, Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun minta diri. Yang kemudian menunggui air adalah Ki Tanda yang mulai mengalirkan air dari parit ke sawahnya. Tetapi aliran di parit itu cukup deras, sehingga orang tua itu tidak akan terlalu lama berada di tengah-tengah sawah.
Tetapi sebelum Ki Jayaraga dan Glagah Putih beranjak pergi, maka tiba-tiba aliran air di parit itu menyusut. Semakin lama menjadi semakin kecil, sehingga akhirnya hampir berhenti.
"Siapa yang nakal di padukuhan sebelah," berkata Ki Tanda.
Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun tertegun pula. Kepada Ki Tanda, Glagah Putihpun bertanya, "Apakah di padukuhan sebelah ada orang yang sering nakal" Jika benar, kita akan menyampaikannya kepada Ki Ulu-ulu yang bertugas mengatur air."
"Dulu pernah ada. Tetapi ketika Ki Ulu-ulu datang menemui orang itu, maka orang itu tidak pernah melakukannya lagi. Entah jika penyakitnya kambuh."
"Marilah kita lihat," berkata Ki Jayaraga.
"Sudahlah Ki Jayaraga," berkata Ki Tanda, "parit itu masih mengalir meskipun sangat kecil. Jika aku menunggui semalam suntuk, maka aku kira sawahku sudah cukup basah."
"Tetapi dengan demikian, tetangga-tetangga kita yang lain tidak akan mendapat bagian, Ki Tanda."
Ki Tanda itupun mengangguk-angguk.
"Sudahlah. Ki Tanda di sini saja menunggui air yang sedikit itu daripada tidak sama sekali. Biarlah aku dan Ki Jayaraga melihat ke padukuhan sebelah."
Glagah Putih dan Ki Jayaragapun kemudian menyusuri parit itu sampai ke ujung bulak. Tetapi air di ujung bulak itupun hanya mengalir kecil sekali.
"Tentu ada orang padukuhan itu yang nakal di bulak berikut," berkata Ki Jayaraga.
Golok Halilintar 12 Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Naga Pendekar Pedang Dari Bu Tong 25
^