Api Di Bukit Menoreh 18
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 18
Keduanyapun kemudian berjalan memasuki padukuhan itu. Seorang anak muda yang berpapasan dengan merekapun bertanya, "Kakang Glagah Putih. Kau akan pergi ke mana?"
"Aku sedang menelusuri air. Parit di sebelah padukuhan ini airnya hanya mengalir sedikit sekali. Padahal seharusnya parit itu mengalir lebih deras. Apalagi setelah air dari bendungan Pucung itu sudah naik ke susukan. Maka parit itupun akan selalu mengalirkan air yang cukup."
"Apakah air di parit itu tidak mengalir, kakang?"
"Lihat saja sendiri."
"Aku tidak begitu menghiraukannya," gumam anak muda itu sambil berlari-lari ke parit yang melintas di padukuhannya, menyusuri halaman rumah di pinggir padukuhan.
"Ada apa?" bertanya orang yang halamannya dilewati parit itu.
"Aku ingin melihat parit itu paman. Menurut kakang Glagah Putih parit itu tidak mengalir. Padahal air parit itu disediakan untuk mengairi sawah di sekitar padukuhan induk."
Ternyata pemilik halaman yang dilintasi parit itu juga tidak memperhatikannya.
Baru ketika keduanya melihat parit itu, maka mereka baru tahu, bahwa parit itu memang tidak mengalir.
Anak muda itupun kemudian berlari-lari mendapatkan Glagah Putih sambil berkata, "Ya, kakang. Parit itu tidak mengalir. Tetapi tentu bukan orang padukuhan ini yang nakal dan membendung air parit itu. Ketika parit itu menembus padukuhan itu, parit itu sudah tidak mengalir."
"Baik. Kami akan melihat lebih ke atas."
"Aku ikut, kakang."
"Jangan. Jangan terlalu banyak orang. Nanti dapat menimbulkan salah paham. Biarlah kami berdua saja pergi ke padukuhan di seberang bulak itu."
"Biarlah aku yang pergi," berkata anak muda itu, "sebaiknya kakang kembali saja ke padukuhan induk."
Glagah Putih dan Ki Jayaraga tertawa pendek. Dengan nada datar Glagah Putih berkata, "Biarlah aku dan Ki Jayaraga saja yang pergi."
Anak muda itu menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mau memaksakan kehendaknya. Ia tahu, siapakah Glagah Putih dan Ki Jayaraga itu.
Glagah Putih dan Ki Jayaragapun melanjutkan usahanya menelusuri air yang tiba-tiba tidak mengalir itu.
Tetapi di padukuhan berikutnya, airpun sudah tidak mengalir, sehingga Glagah Putih dan Ki Jayaraga harus pergi ke bulak di sebelah padukuhan itu. Bulak yang sudah berada di perbatasan dengan sebuah Kademangan tetangga Tanah Perdikan Menoreh.
Langit sudah menjadi muram. Sementara itu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah sampai ke bendungan Pucung yang masih berada di wilayah Tanah Perdikan Menoreh.
Glagah Putih itu mengerutkan dahinya ketika ia melihat air yang naik dari bendungan Pucung itu telah dibendung dan dialirkan ke arah yang lain. Bahkan susukannya yang dibendung, sehingga dua jalur parit yang mengalir untuk mengairi sawah di sekitar padukuhan induk dan sebuah padukuhan lain telah tersumbat.
Dengan demikian, maka air yang mengalir di parit itu hanya kecil sekali. Sehingga ketika sampai di padukuhan induk, hampir-hampir tidak mengalir sama sekali.
"Siapa yang melakukan ini?" berkata Glagah Putih.
"Ke mana air itu dialirkan," desis Ki Jayaraga.
"Kita akan menelusuri, Ki Jayaraga."
"Kenapa kita harus membuang tenaga menelusuri parit yang telah mencuri air bagi sawah kita. Aku akan membukanya agar airnya mengalir seperti seharusnya. Bukankah kita mengambil hak kita sendiri."
Ki Jayaraga yang seakan-akan ke mana-mana membawa cangkul itupun segera mencangkul tanah yang menyumbat parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya, sehingga dengan demikian, maka airpun telah mengalir kembali lewat kedua parit yang semula telah tersumbat itu.
Namun dengan demikian, maka parit yang lain, yang mengalirkan air ke arah yang belum diketahui itupun telah berhenti mengalir. Bahkan Ki Jayaraga telah menimbun parit itu dengan tanah yang semula menyumbat kedua parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya.
Beberapa saat kemudian, maka kedua parit itupun telah terbuka. Airpun mengalir sebagaimana seharusnya. Sedangkan air yang mengalir ke parit baru yang belum diketahui itupun menjadi berhenti mengalir.
Sejenak Glagah Putih dan Ki Jayaraga berdiri mengamati air yang mengalir dengan deras itu, Sambil berdiri di tanggul parit berpegangan tangkai cangkulnya Ki Jayaragapun berkata, "Nah, mudah-mudahan Ki Tanda masih menunggui sawahnya, hingga ia dapat menikmati air yang mengalir deras itu."
"Ki Tanda tentu masih berada di sawahnya," sahut Glagah Putih, "air yang tersumbat itu tentu belum membasahi seperempat sawah Ki Tanda."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja dalam keremangan ujung malam mereka melihat beberapa orang datang mendekati keduanya.
"Jahanam," geram seorang yang berwajah seram. Kumisnya yang tebal melintang di atas bibirnya hingga hampir sampai ke telinganya. Matanya yang liar mencerminkan sikapnya yang liar pula.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih berdiam diri.
"Apa yang kau lakukan?" bertanya orang berkumis tebal itu.
Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Aku mengembalikan aliran parit itu seperti semula Ki Sanak."
"Bodoh kau. Kami telah memindahkan aliran parit itu."
"Kedua parit itu kita pakai untuk mengaliri sawah di padukuhan induk dan sekitarnya. Jika air itu ditutup, maka ada beberapa bulak sawah yang akan mengalami kekeringan."
"Kami tidak peduli. Kami memerlukan air itu untuk mengaliri sendang buatan di pasanggrahan yang baru dibuat oleh Ki Tumenggung Wirataruna. Pasanggrahan yang dibuat untuk ibunda Ki Tumenggung yang sudah menjadi semakin tua, dan ingin tinggal di satu tempat yang tenang dan tidak banyak tersentuh oleh persoalan-persoalan yang mendebarkan sebagaimana terjadi di Kotaraja. Karena itu, maka Ki Tumenggung telah membangun sebuah pesanggrahan di tempat yang jauh dari Kotaraja."
"Ki Tumenggung siapa yang kau maksud?" bertanya Glagah Putih.
"Ki Tumenggung Wirataruna. Apakah kau tidak niendengarnya?"
"Ya. Aku mendengarnya. Ki Tumenggung Wirataruna."
"Ki Tumenggung telah menerima anugerah pangkat Tumenggungnya beberapa waktu yang lalu. Sebagai pernyataan sukur atas keberhasilannya, maka Ki Tumenggung telah membangun sebuah pesanggrahan bagi ibundanya."
"Kami ikut bersukur atas anugerah itu Tetapi kami tidak akan dapat membiarkan sawah-sawah kami menjadi kering. Bukannya kami tidak bersedia membagi air dari. bendungan Pucung ini. Tetapi sebaiknya kita bicarakan, berapa bagian kami dapat memberikan air bagi sendang buatan Ki Tumenggung itu."
"Anak iblis. Kalianlah yang harus menerima seber-apapun bagian yang kami berikan. Kalian orang-orang pedesaan tidak dapat banyak bicara tentang kepentingan kalian. Apa yang dapat kami sisakan, dapat kalian ambil."
"Jangan berkata begitu, Ki Sanak," sahut Glagah Putih, "seharusnya kalianlah yang mengalah. Sendang itu tidak akan kekeringan. Mungkin tidak segera dapat penuh, tetapi kami tentu tidak akan dapat mengorbankan sawah kami."
"Jangankan tanaman di sawah. Jika Ki Tumenggung memerlukan, apapun harus kalian korbankan. Bahkan jika perlu Ki Tumenggung dapat menggiring kalian untuk bekerja bagi Ki Tumenggung."
"Ki Sanak. Aturan apa yang kalian trapkan untuk memaksa kami bekerja bagi Ki Tumenggung?"
"Jangan banyak bicara, orang-orang dungu. Sekarang, kembalikan aliran air seperti semula."
"Sudah. Kami sudah mengembalikan aliran air seperti semula."
"Tidak seperti itu, setan alas. Aliran air itu ke sendang buatan di pasanggrahan Ki Tumenggung. Jika itu kau lakukan, aku berjanji untuk tidak melaporkan tingkah laku kalian."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi Glagah Putih itupun bertanya, "Kau akan melaporkan kepada siapa, Ki Sanak. Kepada Ki Gede Menoreh?"
"Ki Gede Menoreh" Aku tidak mengenal Ki Gede Menoreh. Pemimpinku adalah Ki Tumenggung Wirataruna. Jika aku melaporkan kalian kepada Ki Tumenggung, maka habislah kalian berdua."
"Ki Sanak," berkata Ki Jayaraga, "daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Yang memimpin Tanah Perdikan ini adalah Ki Gede Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Tidak ada kekuasaan lain yang ada di Tanah Perdikan Menoreh ini selain kekuasaan yang ada di tangan Ki Gede Menoreh."
"Ki Tumenggung Warataruna akan memanggil Ki Gede Menoreh. Jika Ki Gede Menoreh itu melindungi kalian, maka Ki Tumenggung Wirataruna akan menghukum Ki Gede Menoreh."
"Kau ini mengigau atau karena kau benar-benar tidak tahu tatanan. Apalagi tatanan pemerintahan."
"Baik. Baik. Sekarang tidak memakai tatanan pemerintahan, bahkan tidak memakai tatanan apapun juga. Jika kau tidak mau mengembalikan aliran air ini ke sendang buatan, maka aku akan memukuli kalian berdua. Kawan-kawanku ini akan menjadi saksi, apa yang telah terjadi di sini."
"Kau akan memukuli kami berdua?"
"Ya. Apa boleh buat. Kalian tidak mau mendengarkan peringatanku. Aku akan memukuli kalian berdua sehingga kalian bersedia membendung parit-parit itu, sehingga airnya mengalir ke sendang buatan di pesanggrahan Ki Tumenggung Wirataruna."
"Jadi kau sendiri akan memukuli kami berdua?" bertanya Ki Jayaraga.
"Ya." "Sulit untuk kau lakukan, Ki Sanak. Kami berdua akan lari ke arah yang berbeda. Aku yakin, bahwa kau tidak akan dapat mengejar kami. Kami adalah pelari-pelari tercepat di Tanah Perdikan Menoreh."
"Persetan kalian," geram orang itu. Namun tiba-tiba ia berkata hampir berteriak kepada kawan-kawannya, "kepung mereka. Jangan beri kesempatan mereka melarikan diri. Aku akan memukuli mereka sampai mereka mau membendung parit itu."
Perintah itu tidak perlu diulangi. Orang-orang yang berdatangan bersama orang yang berkumis melintang itupun segera menebar. Mereka telah mengepung Glagah Putih dan Ki Jayaraga sehingga sulit bagi mereka untuk melarikan diri.
"Nah, sekarang lakukan perintahku."
Ki Jayaragalah yang menyahut, "Betapa kasarnya kau, tetapi kau masih baik hati. Kalian hanya mengancam agar kami bersedia membendung parit-parit itu."
Wajah orang itu menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya iapun berkata, "Jadi, apa yang harus aku katakan kepadamu?"
"Kau tidak mengancam untuk membunuhku. Karena itu, aku masih menaruh hormat padamu."
"Apa yang kau katakan itu Ki Sanak. Kau orang tua yang tidak tahu diri. Kau kira aku tidak berani membunuhmu."
"Bukan itu maksudku. Tetapi kau tidak berniat membunuh. Tidak ada keinginanmu untuk melakukan pembunuhan. Sikap itu pantas dihormati."
"Persetan kau. Aku tidak tahu maksudmu. Tetapi sekarang jawab pertanyaanku. Kau mau membendung parit itu atau tidak."
Ki Jayaragapun menggeleng. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Aku tidak akan membendung parit itu. Bukankah sudah aku katakan berkali-kali."
"Bagus. Sekarang aku akan memukuli kalian berdua. Jika kalian mencoba untuk lari, maka kawanku itulah yang akan memukuli kalian."
Orang itupun tiba-tiba meloncat sambil mengayunkan tangannya ke wajah Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga tidak membiarkan tangan orang berkumis itu menyentuhnya. Karena itu, dengan gerak yang sederhana, Ki Jayaraga itu bergeser ke samping sambil memiringkan kepalanya, sehingga tangan orang itu tidak menyentuhnya.
Orang itu memang terkejut. Tetapi ia belum menyadari apa yang terjadi. Yang dilakukannya itu memang belum bersungguh-sungguh sehingga mungkin sekali ia masih berdiri pada jarak yang terlalu jauh.
Namun dalam pada itu, maka kakinyapun telah terjulur pula mengarah ke lambung Glagah Putih.
Tetapi seperti Ki Jayaraga, maka Glagah Putih itupun bergeser ke samping pula. Kakinya yang terjulur itu tidak dapat menyentuh sasarannya. Sementara Glagah Putih itu masih saja bersikap tenang-tenang dan bahkan seakan-akan tidak peduli.
Orang berkumis melintang itu menggeram, "Anak iblis. Kalian mencoba menghindar, he."
Namun ternyata Ki Jayaraga tidak memberikan kesempatan. Iapun kemudian berkata, "Tangkap saja orang ini."
Glagah Putih tanggap akan maksud Ki Jayaraga. Iapun segera meloncat dan menangkap satu tangan orang berkumis lebat itu, sementara Ki Jayaragapun menangkap yang sebelah lagi. Dengan tangkapan yang utuh, Glagah Putih memegangi tangan orang berkumis yang terpilin itu, sebagaimana Ki Jayaraga memegangi tangannya yang satu lagi.
Orang berkumis melintang itupun seakan-akan telah dijepit oleh dua kekuatan yang tidak teratasi.
Sementara itu Glagah Putihpun berkata, "Nah, sekarang kamilah yang akan memukuli kau, Ki Sanak. Bukan kau yang memukuli kami."
Orang itu meronta. Tetapi semakin ia meronta, maka Glagah Putih dan Ki Jayaraga semakin keras menekan tangannya itu.
"Lepaskan. Lepaskan," teriak orang itu.
"Tidak mau," jawab Glagah Putih, "jika aku lepaskan tanganmu, maka tanganmu akan kau pakai untuk memukuli aku."
Orang berkumis itupun kemudian berteriak pula kepada kawan-kawannya, "He, apa yang kau lihat. Kenapa kalian menjadi kebingungan. Bantu aku untuk melepaskan tanganku."
Kawan-kawannya baru sadar atas apa yang terjadi dengan orang yang berkumis lebat. Orang yang menurut pendapat mereka adalah orang yang mempunyai tenaga dan kekuatan yang sangat besar. Namun satu kenyataan, bahwa ketika kedua orang yang akan dipukulinya itu memegangi tangannya, orang berkumis lebat itu tidak mampu melepaskannya.
Serentak kawan-kawan orang berkumis lebat itu berloncatan. Sementara itu Glagah Putih dan Ki Jayaragapun telah mengangkat orang berkumis itu pada lengannya dan melemparkannya kepada sebagian orang yang menyerangnya bersama-sama.
Tubuh orang berkumis itupun kemudian terlempar dan menimpa sebagian dari kawan-kawannya. Merekapun terdorong beberapa langkah surut dan akhirnya berjatuhan. Bahkan ada yang terjatuh di parit yang sudah tidak mengalir lagi. Tetapi tubuhnya justru menjadi berlumuran lumpur.
Dalam pada itu, kawan-kawannya yang lain telah menyergapnya pula. Tetapi Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun telah berloncatan saling menjauhi. Bahkan tibatiba saja Ki Jayaraga dan Glagah Putihlah yang berloncatan menyerang. Kaki merekapun terayun mendatar menyambar orang-orang yang datang menyerang itu.
Demikianlah, maka pertempuranpun telah berubah warnanya. Glagah Putih dan Ki Jayaraga harus menghadapi beberapa orang sekaligus. Orang berkumis tebal yang tangannya kesakitan itu, telah ikut pula bertempur melawan Glagah Putih dan Ki Jayaraga.
Sejenak perkelahian itu menjadi sengit. Namun orang berkumis melintang dan kawan-kawannya itu sama sekali tidak mampu mengimbangi ilmu Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
Beberapa saat kemudian, maka orang berkumis tebal itu serta kawan-kawannya telah menjadi semakin tertekan.
Akhirnya, maka orang berkumis tebal itupun memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk melarikan diri dari arena. Tetapi sambil berlari, orang berkumis itu masih berteriak, "Persoalan di antara kita masih belum selesai."
Glagah Putih dan Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Mereka melihat orang-orang itu melarikan diri. Tetapi keduanya tidak mengejarnya.
"Marilah," berkata Ki Jayaraga, "kita harus segera melaporkan kepada Ki Gede Menoreh. Jika benar sendang buatan itu milik seorang Tumenggung, biarlah Ki Gede Menoreh yang menyelesaikannya. Mungkin ia memerlukan bantuan Ki Rangga Agung Sedayu."
"Jadi, apakah kita sekarang langsung ke rumah Ki Gede?"
"Ya. Kita sekarang langsung pergi ke rumah Ki Gede."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Ki Jayaraga itupun meninggalkan bendungan. Tetapi air masih tetap mengalir ke Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, malam sudah menjadi semakin gelap. Ketika mereka sampai di rumah Ki Gede, lampu minyak telah menyala di mana-mana.
Kedatangan Glagah Putih dan Ki Jayaraga memang mengejutkan. Merekapun langsung diterima oleh Ki Gede di Pringgitan.
Ternyata Ki Jayaraga tidak lagi berbasa-basi. Ki Gede tidak sempat bertanya kepada Glagah Putih, kapan ia pulang dan apakah tugas-tugasnya selanjutnya.
"Ki Gede," berkata Ki Jayaraga setelah melaporkan apa yang telah terjadi, "Mungkin orang yang disebutnya sebagai Ki Tumenggung Wirataruna itu akan menelusuri persoalan itu dan menemui Ki Gede. Karena itu, maka sebaiknya Ki Gede mengetahui persoalannya yang sebenarnya."
Ki Gede Menoreh itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak usah memikirkannya terlalu dalam. Jika benar Ki Tumenggung Wirataruna itu datang menemui aku, aku akan meletakkan persoalannya pada tempat yang sewajarnya. Meskipun ia seorang Tumenggung, tetapi Tanah Perdikan Menoreh memiliki kebebasan untuk mengurus dirinya sendiri. Jika ada barak prajurit Mataram yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan ini, itu adalah karena kelonggaran para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh. Pada angkatan pertama, para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, banyak yang terdiri dari anak-anak muda dari Tanah Perdikan ini yang sampai sekarang masih cukup banyak pula. Apalagi pemimpinnya, adalah orang yang mendapat tempat yang khusus di hati orang-orang Tanah Perdikan ini."
"Segala sesuatunya kami serahkan kepada Ki Gede," berkata Ki Jayaraga, "selanjutnya kami akan memberikan laporan pula kepada Ki Rangga Agung Sedayu."
"Baiklah Ki Jayaraga. Aku akan memanggil Prastawa. Jika besok parit itu dibendung lagi, biarlah Prastawa yang membuka."
Ki Jayaraga yang ingin segera memberikan laporan kepada Ki Rangga Agung Sedayupun segera minta diri. Glagah Putihpun minta diri pula sambil berkata, "Maaf Ki Gede. Aku belum dapat menghadap. Tetapi aku akan menghadap Ki Gede pada kesempatan lain."
"Tidak apa-apa ngger. Kita sedang berada dalam keadaan yang khusus. Sebaiknya angger Rangga Agung Sedayu segera diberi tahu pula, agar ia dapat bersiap-siap mengambil langkah terbaik seandainya orang yang menyebut dirinya Ki Tumenggung Wirataruna itu datang menemuinya."
Demikianlah, maka Ki Jayaraga dan Glagah Putih itupun telah meninggalkan rumah Ki Gede, sementara Ki Gedepun segera memerintahkan seorang pembantunya untuk memanggil Prastawa.
"Katakan, bahwa ada yang penting yang akan aku bicarakan."
"Ya, Ki Gede," sahut pembantunya yang segera pergi ke rumah Prastawa.
Prastawa masih duduk-duduk di ruang dalam. Makan malam baru saja disingkirkan. Namun masih ada minuman hangat yang masih ditinggalkan.
Kedatangan pembantu Ki Gede memang agak mengejutkan. Apalagi ketika pembantu Ki Gede itu mengatakan, bahwa ada hal yang penting yang akan dibicarakan.
"Tentang apa?" bertanya Prastawa.
"Aku tidak mendapat pesan lebih jauh. Tetapi Ki Jayaraga dan Glagah Putih baru saja menghadap."
Prastawa itu menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah aku akan menghadap."
"Apakah kita akan berjalan bersama?"
"Pergilah dahulu. Aku akan segera menyusul." Sepeninggal orang itu, maka Prastawa itupun bergumam, "Aku akan lapar lagi."
"Apakah aku harus menyediakan lagi buat nanti tengah malam, kakang?"
Prastawa tertawa. Katanya, "Tidak usah. Mudah-mudahan di rumah paman, aku akan disuguhi pondoh dengan dendeng ragi."
"Dari mana mendapat pondoh dan dendeng ragi pada wayah seperti ini?"
"Mungkin paman sudah menyediakannya sebelum memerintahkan pembantunya memanggil aku."
Keduanya tertawa. Namun sejenak kemudian, Prastawapun meninggalkan rumahnya menuju ke rumah Ki Gede Menoreh.
Ketika Prastawa sampai di rumah Ki Gede, maka Ki Gedepun mempersilahkannya duduk di ruang dalam.
"Di pringgitan, anginnya terasa dingin," berkata Ki Gede.
"Ya, paman. Anginnya memang terasa basah." Sejenak kemudian, maka keduanyapun duduk di ruang dalam. Seorang pembantu Ki Gedepun segera menghidangkan minuman hangat serta beberapa potong makanan.
Sambil menghirup minumannya Ki Gedepun kemudian menceriterakan bahwa seorang Tumenggung telah membangun sebuah pesanggrahan yang memiliki sendang buatan.
"Memang ada yang pernah berbicara tentang sebuah bangunan yang terhitung besar dan lengkap. Halamannya luas namun berdinding cukup tinggi, sehingga hanya sedikit bagian depannya sajalah yang kelihatan dari pintu regol jika pintunya terbuka. Mungkin rumah itulah yang dimaksud. Tetapi rumah itu berada di luar Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya. Rumah itu memang tidak berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi orang-orangnya telah membendung parit yang mengalirkan air di padukuhan induk dan sekitarnya. Dua jalur parit telah dibendungnya, sementara airnya dialirkan ke sendang buatan di pesanggrahan itu."
Prastawa mengangguk-angguk. Sementara Ki Gedepun berceritera sebagaimana dilaporkan oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
"Jadi Ki Jayaraga dan kakang Glagah Putih telah melihat parit yang telah mereka sumbat itu?"
"Ya," sahut Ki Gede yang kemudian telah menceriterakan peristiwa selengkapnya.
Prastawa menarik nafas panjang. Katanya, "Kita harus mencegah peristiwa itu terulang, paman. Jika parit , itu dibendung lagi, maka sawah padukuhan induk dan sekitarnya akan kering. Sementara itu, tanaman yang sedang tumbuh menjadi besar itu sangat membutuhkan air."
"Karena itu, aku telah memanggilmu Prastawa. Sebaiknya kau awasi bendungan Pucung. Jangan sampai Ki Tumenggung yang telah membuat pesanggrahan itu, atau orang-orangnya menyumbat parit kita. Bukan berarti bahwa kita tidak mau memberi air kepadanya. Tetapi sebaiknya kita harus berbagi. Seberapa banyak air yang akan kita berikan kepada mereka. Bukankah sendang buatan itu tidak harus penuh dalam sehari?"
"Setelah penuh, sendang itupun masih harus dialiri air paman. Air di sendang itu tentu meresap dan menguap. Bahkan mungkin untuk menyiram tanaman-tanaman di taman yang ada di sekitar sendang itu."
"Karena itu, bicarakan baik-baik. Mereka tidak dapat merampas seluruh aliran air dari bendungan Pucung itu."
"Baik, paman. Jika besok mereka membendung parit itu lagi, maka aku akan menemui mereka. Atas nama paman aku akan bertemu dengan Ki Tumenggung yang telah membuat pesanggrahan itu. Kita akan menjelaskan masalahnya."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Sebaiknya malam ini kau perintahkan satu dua orang anak muda yang sedang meronda untuk melihat parit itu. Apakah masih tetap mengalir atau parit itu telah disumbat lagi."
"Baik, paman." "Tetapi untuk membicarakannya, sebaiknya kau menunggu sampai esok pagi. Kau tidak perlu datang menemui Ki Tumenggung malam ini."
"Tetapi mungkin Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah mengambil tindakan langsung seperti yang dilakukannya senja tadi."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Sebaiknya kaupun menghubungi mereka. Pergilah ke rumah Ki Rangga."
"Baik, paman. Aku akan bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih, agar langkah yang kita ambil dapat sejalan."
Malam itu, setelah minum minuman hangat serta makan sepotong jenang nangka, maka Prastawapun minta diri untuk pergi ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Prastawa tahu, bahwa pada saat apapun, Ki Rangga akan dapat menerima tamu dengan terbuka.
Ketika Prastawa sampai di rumah Ki Rangga Agung Sedayu, Prastawa justru terkejut. Di halaman rumah itu terdapat sekelompok orang yang sedang sibuk berbincang dengan Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Ki Rangga Agung Sedayu sendiri.
"Marilah, silahkan duduk di pendapa," Ki Rangga mempersilahkan.
Tetapi orang-orang itu tidak mau. Seorang di antaranya menyahut, "Terima kasih, Ki Rangga. Kami hanya ingin tahu, kenapa Ki Tanda mengeluh, bahwa air di parit itu tidak mengalir. Ki Tandapun mengatakan, bahwa Ki Jayaraga dan Glagah Putih sudah pergi menyusuri parit itu."
"Sekarang parit itu sudah mengalir lagi. Tetapi entah nanti, jika demikian kami berdua pergi, mereka membendung parit itu lagi."
"Kita akan membicarakannya Ki Jayaraga," sahut Prastawa tiba-tiba.
Orang-orang yang ada di halaman itupun menyibak. Dalam keremangan malam mereka melihat Prastawa melangkah mendekati Ki Rangga Agung Sedayu.
"Marilah. Naiklah," Ki Rangga mempersilahkan. Prastawa itupun kemudian naik ke pendapa dan langsung ke pringgitan di temui oleh Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Tetapi orang-orang yang berkerumun di halaman tidak mau dipersilahkan naik. Mereka justru minta diri.
"Biarlah angger Prastawa membicarakannya dengan Ki Rangga," berkata seorang yang rambutnya sudah ubanan.
Orang-orang yang berkerumun di halaman itupun kemudian meninggalkan rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika mereka melihat Prastawa datang menemui Ki Rangga, maka merekapun yakin, bahwa segala sesuatunya akan dapat diselesaikan, karena Prastawa tentu sudah bertemu dan berbicara dengan Ki Gede.
Di pringgitan, Prastawapun kemudian telah berbincang dengan Ki Rangga, Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Ki Jayaraga telah menjelaskan semakin terperinci, apa yang telah terjadi dengan air dari bendungan Pucung itu.
"Jika mereka membendung parit itu lagi, biarlah esok aku menemui Ki Tumenggung," berkata Prastawa, "paman berpesan bahwa aku tidak perlu datang malammalam ke rumah itu."
"Ya. Sebaiknya memang begitu," sahut Ki Rangga Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Pendapatnya memang agak berbeda. Menurut Ki Jayaraga, jika malam ini mereka membendung parit itu lagi, maka sebaiknya mereka datang malam itu juga.
"Kita memang tidak perlu menemui Ki Tumenggung malam ini. Tetapi jika penyumbatan parit itu terjadi, kita langsung saja membukanya tanpa harus berbicara dengan Ki Tumenggung. Baru esok, seperti dikatakan oleh Ki Gede dan Ki Rangga Agung Sedayu, kita menemui Ki Tumenggung."
"Bukankah kita tidak memerlukan air malam ini?" bertanya Ki Rangga Agung Sedayu.
"Jika air berhenti mengalir, mereka yang mendapat giliran mengairi sawahnya menjelang fajar, akan mendalami kesulitan. Padahal setelah matahari terbit, mereka yang mendapat giliran tetap minta air itu dialirkan ke sawahnya."
"Aku akan menemui Ki Ulu-ulu."
"Tetapi lebih baik kalau parit itu tidak berhenti mengalir sehingga orang-orang di padukuhan induk dan sekitarnya tidak akan mengalami penundaan beruittun untuk mengairi sawahnya."
Glagah Putihpun kemudian berkata, "Aku sependapat dengan Ki Jayaraga. Kita akan menemui Ki Tumenggung Wirataruna esok pagi. Tetapi malam ini, air itu harus tetap mengalir di padukuhan induk dan sekitarnya. Jika mereka bertindak kasar, maka kitapun akan bertindak kasar pula. Tetapi jika mereka dapat mengerti penjelasan kita, agaknya keadaan akan menjadi lebih baik."
Ki Rangga Agung Sedayu memang menjadi agak sulit untuk mengambil keputusan. Dengan nada datar iapun berkata, "Ki Tumenggung Wirataruna adalah seorang Tumenggung yang baru saja diwisuda. Mungkin berbareng dengan Ki Tumenggung Purbasena. Karena itu, aku berniat untuk berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna sebelum terjadi kekerasan."
Namun dalam pada itu, selagi mereka berbicara di pringgitan, seorang laki-laki yang masih terhitung muda, yang agaknya sedikit lebih tua dari Glagah Putih, memasuki regol halaman itu dengan tergesa-gesa.
"Prastawa," panggil orang itu.
Prastawapun kemudian bangkit berdiri dan berjalan turun ke halaman. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu berkata, "Silahkan naik saja. Kita dapat berbicara disini."
"Terima kasih, Ki Rangga. Aku hanya sebentar. Kakang Panggih mengatakan bahwa Prastawa ada disini."
"Ada apa?" bertanya Prastawa. Laki-laki itu adalah kawannya bermain sejak kanak-kanak sehingga menjadi orang tua. Keduanya senang sekali bermain layang-layang.
"Paritnya tidak mengalir lagi."
Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun segera bangkit pula. Namun Ki Rangga Agung Sedayupun telah ikut bangkit dan turun ke halaman.
"Jadi orang-orang Ki Tumenggung Wirataruna itu memang mencari perkara," berkata Ki Jayaraga.
"Apakah kau memerlukan air sekarang?" bertanya Ki Rangga Agung Sedayu.
"Giliranku memang sekarang, Ki Rangga," jawab orang itu.
"Bagaimana jika ditunda sampai esok?"
"Sawahku sudah kering. Meskipun jika terpaksa, tanamanku memang masih dapat bertahan. Tetapi jika giliran berikutnya memaksa untuk membuka pematangnya dan mengalirkan airnya pagi-pagi sekali, maka aku keberatan."
"Sebaiknya kita tidak usah menunda," berkata Ki Jayaraga, "aku dan Glagah Putih akan membuka parit itu. Bahkan seandainya Ki Tumenggung Wirataruna itu menungguinya."
Namun tiba-tiba saja Prastawapun berkata, "Tetapi mereka telah menyinggung hak kita, Ki Rangga."
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang. Prastawa masih juga terhitung muda, sehingga jika ia tersinggung, maka darahnya masih cepat menjadi panas.
"Bukankah Ki Gede berpesan untuk membicarakannya esok pagi?" bertanya Ki Rangga Agung Sedayu kepada Prastawa.
"Paman memang selalu lamban. Paman sudah tua. Agaknya paman selalu menghindari perselisihan. Tetapi jika hak kita sudah dilanggar, agaknya kita tidak dapat tinggal diam."
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang. Agaknya sulit baginya untuk mencegah orang-orang itu pergi menelusuri air. Apalagi Ki Jayaragapun kemudian berkata, "Ki Rangga jarang sekali langsung berhubungan dengan tanaman di sawah. Tetapi kami yang setiap hari menyatukan diri dengan tanaman di sawah akan merasa seakan-akan kamilah yang kehausan."
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita akan berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna, kecuali jika Ki Tumenggung juga menunggui ujung paritnya."
"Baik Ki Rangga," sahut laki-laki yang masih terhitung muda, yang telah melaporkan bahwa paritnya tidak mengalir.
"Bukan kau yang akan pergi. Tetapi.kami. Aku, Prastawa, Ki Jayaraga dan Glagah Putih."
"Jika Ki Tumenggung itu menyiapkan orang-orangnya?"
"Tidak apa-apa. Asal kita tidak datang untuk berkelahi, tentu tidak akan terjadi kekerasan."
"Tetapi kekerasan itu sudah terjadi."
"Hanya sedikit salah paham. Karena itu jangan pergi bersama kami, nanti akan terjadi salah paham yang lebih parah lagi."
Laki-laki itu tidak dapat memaksa. Meksipun demikian, iapun berkata kepada Prastawa, "Jika kau perlukan kami, beri kami isyarat."
Tetapi Ki Rangga Agung Sedayupun bertanya, "Kami siapa?"
"Maksudku. Pengawal Tanah Perdikan."
"Apakah kita akan berperang" " Laki-laki itu terdiam.
Demikianlah, maka Ki Rangga Agung Sedayu, Prastawa, Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun kemudian pergi menelusuri parit yang aliran airnya menjadi kecil sekali itu. Seperti biasanya jika pergi ke sawah, Ki Jayaragapun membawa cangkulnya pula.
Sebelum mereka pergi, Ki Rangga Agung Sedayu sempat berpesan, "Ingat. Tidak boleh ada seorangpun yang menyusul kami. Jika itu terjadi, maka orang itu akan kami kenakan hukuman."
Laki-laki itupun mengangguk. Ia sadar, bahwa Ki Rangga Agung Sedayu itu bersungguh-sngguh.
Demikianlah, ketika malam menjadi semakin pekat, empat orang telah menelusuri jalan menuju ke ujung parit yang tersumbat. Agaknya padukuhan-padukuhan apalagi bulak-bulak panjang dan pendek sudah menjadi sepi.
Ketika mereka sampai di ujung parit yang tersumbat, mereka berempat menjadi agak terkejut. Di sekitar mulut parit yang tersumbat itu, beberapa orang yang berjalan hilir mudik mengawasinya. Sementara itu, masih ada orang lain yang duduk-duduk di tanggul parit yang hampir tidak mengalir itu.
"Nampaknya mereka telah bersiap-siap untuk bertindak kasar," desis Ki Jayaraga.
"Aku akan mencoba berbicara dengan mereka -berkata Ki Rangga Agung Sedayu.
Meskipun agak ragu, Ki Rangga Agung Sedayu dan ketiga orang yang lainpun mendekati orang-orang yang berada di sekitar ujung parit yang telah disumbat lagi itu.
Demikian orang-orang itu melihat kedatangan empat orang dari arah Tanah Perdikan, maka merekapun serentak berdiri. Dua orang diantara merekapun telah menyongsong Ki Rangga Agung Sedayu. Tetapi orang itu bukan Ki Tumenggung Wirataruna.
Namun sebelum Ki Rangga Agung Sedayu berkata sesuatu, maka seorang diantara'kedua orang yang menyongsong Ki Rangga itu sudah menggeram, "Pergi. Pergi dari sini."
"Sebentar Ki Sanak," sahut Ki Rangga, "ada yang ingin aku jelaskan."
"Pergi. Aku tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan igauan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
"Dengarlah. Aku datang bersama Prastawa atas nama Ki Gede Menoreh, Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
"Diam. Sudah aku katakan, tidak ada yang akan kita bicarakan. Sekarang, kalian harus pergi dari sini. Atau kalian akan mengalami nasib buruk."
"Jangan begitu Ki Sanak. Bukankah kita dapat berbicara baik-baik. Masalahnya bukanlah satu hal yang tidak akan dapat diselesaikan."
"Cukup," teriak yang seorang lagi, "kami tidak mau dengar igauan orang-orang Tanah Perdikan. Sekarang pergi atau kami akan mengikat kalian disini sampai esok pagi."
"Ki Sanak," sahut Prastawa, "aku ingin berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna. Atas nama Ki Gede Menoreh, aku membawa wewenang untuk membicarakan penyelesaian soal air ini. Bagi kami, para petani di Tanah Perdikan Menoreh, air merupakan satu kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda, apalagi pada saat tanaman kami sedang tumbuh menjadi besar, menjelang musimnya padi bunting. Air adalah sama halnya dengan hidup kami."
"Cukup. Cukup," teriak seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan yang berdiri di atas tanggul parit yang sudah disumbat itu.
"Belum Ki Sanak," sahut Prastawa.
"Usir mereka. Aku muak melihat kehadiran mereka."
"Dua orang diantara mereka adalah orang-orang yang tadi telah datang kemari, kakang. Orang-orang yang dengan kasar dan kekerasan membuka sumbat pada kedua parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk itu."
"Bagus. Agaknya mereka merasa menang. Sekarang mereka akan mengulangi kemenangannya itu lagi."
"Tidak. Bukan begitu Ki Sanak," sahut Ki Rangga Agung Sedayu, "kami datang untuk membicarakannya dengan baik-baik."
"Cukup, cukup. Aku tidak mau dengar lagi apapun yang akan kalian katakan."
"Tapi kami harus berbicara."
Belum lagi Ki Rangga Agung Sedayu selesai berbicara, maka orang yang berdiri di atas tanggul parit yang sudah disumbat itu mencengkam lumpur dibawah kakinya. Kemudian dilemparkannya ke arah Ki Rangga Agung Sedayu.
Dengan gerak naluriah Ki Rangga Agung Sedayu telah bergeser serta memiringkan tubuhnya, sehingga segenggam lumpur yang diarahkan ke dadanya itu tidak mengenainya.
Tetapi mereka yang melihat segenggam lumpur itu meluncur, telah terkejut karenanya. Lumpur itu meluncur lebih cepat dari anak panah. Karena segenggam lumpur itu tidak mengenai Ki Rangga Agung Sedayu, maka lumpur itupun telah menerobos gerumbul perdu yang ada di belakang Ki Rangga berdiri.
Akibatnya memang mengejutkan. Ranting-ranting pada gerumbul perdu itupun menjadi rantas berpatahan.
Ki Rangga Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Prastawa menjadi berdebar-debar. Jantung merekapun terasa semakin cepat berdetak.
Namun ketika Ki Jayaraga bergeser maju, Ki Rangga Agung Sedayu telah menggamitnya.
"Sudah aku katakan, jangan ada yang berbicara lagi," geram orang yang berdiri di atas tanggul itu. Kata-katanya tiba-tiba terpotong oleh kesadarannya, bahwa orang yang telah dilempar dengan segenggam lumpur itu ternyata mampu menghindar.
"Tunggu, Ki Sanak," berkata Ki Rangga Agung Sedayu, "aku akan berbicara dengan Ki Tumenggung."
Tetapi orang itu tidak mau mendengarkannya. Tiba-tiba saja ia berteriak, "Usir mereka. Yang melawan, tangkap dan ikat pada batang pepohonan di halaman pasanggrahan. Besok kita akan mengadili mereka."
Orang-orang yang bertebaran di sekitar tempat orang-orang itu menyumbat parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan itupun serentak bergerak. Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan kepada orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu untuk berbicara.
Ki Rangga Agung Sedayu memang menjadi agak bingung. Tetapi tidak ada waktu untuk berpikir lebih jauh. Orang-orang itupun telah berdatangan menyerangnya. Yang lain menyerang Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Prastawa.
Perkelahian sudah tidak dapat dihindari lagi. Orang-orang yang menyumbat parit itu benar-benar telah siap untuk berkelahi.
Glagah Putih, Prastawa dan Ki Jayaraga, sebagaimana juga Ki Rangga Agung Sedayu, memang tidak mempunyai pilihan. Mereka harus melindungi diri mereka dari serangan-serangan yang datang seperti angin ribut.
Ternyata orang-orang yang menunggui parit yang telah mereka sumbat itu benar-benar telah mempersiapkan diri. Orang-orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Ki Jayaraga sebelumnya, telah memberikan laporan, bahwa orang Tanah Perdikan itu adalah orang yang berilmu tinggi.
Karena itu, orang yang diserahi sebagai pemimpin yang harus mengamankan pesanggrahan itu telah datang sendiri untuk menghalau orang-orang Tanah Perdikan yang diperhitungkan tentu akan datang lagi.
Karena itu, maka beberapa orang yang kemudian menunggui parit itu adalah orang-orang terpilih diantara para penunggu pesanggrahan itu.
Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi itupun menjadi semakin sengit. Para pengawal pesanggrahan itu telah meningkatkan ilmu mereka untuk menghadapi orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan itu.
Ki Rangga Agung Sedayu masih saja ragu-ragu untuk bertindak. Namun orang-orang yang bertempur melawan Ki Rangga itu, telah mengerahkan kemampuan mereka. Mereka berusaha untuk menangkap Ki Rangga Agung Sedayu untuk diikat di halaman pesanggrahan untuk diadili esok pagi.
Pemimpin pengawal pesanggrahan itu telah bergabung dengan mereka yang bertempur melawan Ki Rangga Agung Sedayu serta berusaha menangkapnya.
Yang lain telah berusaha untuk menangkap Prastawa. Prastawa yang mengaku mendapat wewenang dari Ki Gede Menoreh itu, akan ditangkap dan kemudian Ki Gede Menoreh akan dipanggil oleh Ki Tumenggung.
Tetapi ternyata tidak mudah menangkap keempat orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Seperti yang telah dilaporkan oleh orang berkumis lebat melintang dibawah hidungnya itu, bahwa orang-prang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ternyata orang-orang yang menunggui parit yang disumbat itu semakin lama semakin mengalami kesulitan. Orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu jumlahnya tidak lebih dari empat orang. Tetapi ternyata bahwa sekelompok pengawal pesanggrahan itu sama sekali tidak mampu mendesak mereka, apalagi menangkap. Bahkan setiap kali ada diantara mereka yang terlempar jatuh. Ada yang dengan cepat dapat bangkit kembali, tetapi ada yang kesakitan yang harus berdiri dengan menekan pinggangnya dengan telapak tangannya.
Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Para pengawal pesanggrahan itu telah mencoba mengerahkan kemampuan mereka. Namun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu tidak dapat mereka kalahkan.
Prastawa yang kadang-kadang agak terdesak, selalu saja dicampuri arenanya oleh Ki Jayaraga atau Glagah Putih.
Sementara itu pemimpin pengawal pesanggrahan itupun menjadi heran, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh yang jauh' dari Mataram itu terdapat orang-orang berilmu tinggi.
Ternyata sekelompok pengawal yang jumlahnya berlipat itu tidak dapat mengusir empat orang yang datang untuk membuka sumbat yang menutup aliran air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya. Bahkan semakin lama keempat orang itu semakin menekan mereka sehingga beberapa orang mulai kesakitan dan sulit untuk dapat bangkit berdiri apabila mereka terlempar jatuh.
Ketika tiba-tiba saja beberapa orang diantara mereka menarik senjata mereka, maka keempat orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu berloncatan mundur.
"Ki Sanak," berkata Ki Rangga Agung Sedayu, "jangan bermain dengan api. Nanti kulit kalian akan tersengat dan akan terluka."
"Kalian menjadi ketakutan," geram pemimpin pengawal pesanggrahan itu, "jika kalian tidak menyerah, maka kalian akan dicincang habis oleh orang-orangku."
"Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya. Karena itu, berhentilah. Biarlah aku berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna. Ki Tumenggung tentu akan dapat mengerti kesulitan yang kami alami. Para petani dari padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya."
"Persetan. Menyerah atau kami akan mencincang kalian," geram pemimpin pengawal itu.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(Bersambung ke Jilid 391)
Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja Jilid : 391- 396 ________________________________________
Jilid 391 TERNYATA Prastawa yang masih terhitung muda itu tidak sabar lagi. Iapun telah menarik pedangnya sambil berkata, "Jika ada diantara kalian yang terbunuh , itu bukan salahku."
"Persetan dengan kalian," geram pemimpin pengawal itu. Yang dilihatnya hanya seorang saja diantara empat orang yang datang dari Tanah Perdikan itu yang bersenjata.
Namun ketika para pengawal itu mengacu-acukan senjata mereka, Ki Jayaragapun telah memungut cangkulnya sambil berkata, "Senjataku ini jauh lebih baik dari senjata-senjata kalian."
Tetapi para pengawal itu tidak menghiraukannya. Merekapun dengan serta mereka telah menyerang orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu.
Tetapi pada benturan pertama, orang-orang yang menye rang Ki Jayaraga telah kehilangan senjata mereka. Cangkul Ki Jayaraga itu berputar dengan cepat, menyambar senjata-senjata yang teracu kepadanya. Karena kemampuan Ki Jayaraga yang tinggi, serta tenaga dalamnya yang besar, maka beberapa pucuk senjata telah terlepas dan terpelanting jatuh.
Sedangkan Prastawa yang memiliki ilmu pedang yang tinggi itupun telah membingungkan lawannya. Serangan yang datang dari beberapa arah, mampu dihindari dan ditangkisnya dengan pedangnya. Bahkan benturan yang terjadi telah membuat lawannya menjadi semakin gelisah.
Namun tiba-tiba saja pertempuran itu terhenti. Beberapa orang pengawal pesanggrahan itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang bagaikan ledakan petir di langit.
Orang-orang upahan yang mengawal pesanggrahan itupun di luar sadar mereka telah berloncatan mundur.
"Aku dapat membunuh dua tiga orang sekaligus," berkata Ki Rangga Agung Sedayu," demikian pula saudara saudaraku yang lain. Karena itu, jangan salah langkah, karena akibatnya akan menjadi sangat buruk bagi kalian."
Orang-orang itupun masih saja berdiri termangu-mangu.
"Dengar. Aku akan mengulangi pesanku. Pergilah. Sampaikan kepada Ki Tumenggung, bahwa aku ingin bertemu. Sebenarnya aku akan datang menemuinya esok pagi. Tetapi kalian telah menyumbat lagi parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya. Sekarang, kami akan membuka parit kami agar airnya dapat mengairi sawah kami yang sudah mulai haus. Tanaman-tanaman di sawah sedang membutuhkan air."
Ternyata Ki Jayaraga tidak menunggu Ki Rangga Agung Sedayu selesai berbicara. Iapun segera mengayunkan cangkulnya, membuka parit yang tersumbat itu.
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa hubungan Ki Jayaraga dengan air menjadi sangat erat, karena hampir setiap saat Ki Jayaraga berada diantara tanaman di sawah.
"Sekarang pergilah," berkata Ki Rangga Agung Sedayu," katakan kepada Ki Tumenggung, bahwa aku, Agung Sedayu ingin bertemu dan berbicara tentang air yang naik dari bendungan Pucung. Air itu tidak terlalu banyak, karena sungainyapun bukan sungai yang besar pula. Karena itu, kami harus mengatur pembagian air sebaik-baiknya. Semua yang membutuhkan dapat terpenuhi dan tidak saling merugikan."
Orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika Ki Rangga Agung Sedayu menghentakkan cambuknya sekali lagi, maka orang-orang itupun telah beringsut surut beberapa langkah.
"Cepat, sampaikan kepada Ki Tumenggung," berkata Agung Sedayu lantang.
"Baik, baik," sahut pemimpin pengawal pesanggrahan itu, "aku akan menyampaikannya kepada Ki Tumenggung. Kau akan menyesali kesombonganmu nanti. Adalah kebetulan bahwa Ki Tumenggung sekarang ada di pesanggrahan ini bersama beberapa orang prajurit pengawalnya. Para prajurit itu akan datang kemari dan menangkap kalian seperti menangkap pencuri jemuran."
Orang-orang itupun kemudian telah meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa . Sementara itu, beberapa buah cangkul telah mereka tinggalkan.
Tanpa ada yang memerintah, maka Glagah Putih dan Prastawapun segera mengambil cangkul dan membantu Ki Jayaraga membuka sumbat parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya.
Dalam pada itu, beberapa orang upahan yang mengawal pesanggrahan Ki Tumenggung itupun telah sampai di pesanggrahan. Pemimpin mereka dan seorang diantara merekapun segera berusaha menghadap Ki Tumenggung.
Tetapi seorang Pelayan Dalam telah memberitahukan bahwa Ki Tumenggung sudah tidur.
"Ini penting sekali," berkata pemimpin pengawal itu, "jika aku tidak dapat menemui Ki Tumenggung sekarang, maka esok sendang buatan itu belum terisi air sama sekali. Sedangkan jika air parit itu mengalir penuh, belum tentu sendang itu akan terisi separonya. Meskipun demikian, sendang itu tentu sudah nampak berair meskipun masih keruh."
Pelayan dalam itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun menggeleng sambil berkata, "Aku tidak berani membangunkan Ki Tumenggung yang belum lama tidur."
Namun ternyata pembicaraan itu terdengar oleh Ki Tumenggung yang terbangun. Bahkan Ki Tumenggung itupun telah bangkit dan membuka pintu biliknya, "Ada apa?"
"Ampun Ki Tumenggung," sahut pelayan dalam itu, "pemimpin pengawal akan menghadap Ki Tumenggung. Tetapi aku tidak berani membangunkan Ki Tumenggung."
"Ada apa?" bertanya Ki Tumenggung kepada pemimpin pengawal itu.
"Ampun Ki Tumenggung. Ada orang yang telah mengacaukan usaha menyempurnakan keasrian pesanggrahan ini."
"Apa yang mereka lakukan" Apakah kalian tidak dapat mengatasinya?"
"Ampun Ki Tumenggung. Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Tumenggung Wirataruna mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi lapun bertanya, "Orang Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya. Seorang mengaku membawa wewenang dari Ki Gede Menoreh. Pemimpin Tanah Perdikan Menoreh."
"Sombongnya Ki Gede Menoreh. Panggil Ki Gede Menoreh itu kemari."
"Sekarang Ki Tumenggung."
"Sekarang." "Ki Gede Menoreh atau orang yang mendapat wewenang dari Ki Gede itu."
"Ki Gede Menoreh itu sendiri. Pergilah ke Tanah Perdikan dan sampaikan perintahku kepadanya, bahwa malam ini juga ia harus menghadap aku disini."
"Tetapi mereka akan menghadang kami, Ki Tumenggung. Ternyata kami tidak dapat mengalahkan mereka."
"Kalian hanya dapat sesumbar. Tetapi ternyata kalian tidak dapat mengatasi persoalan kecil yang ditimbulkan oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
"Ternyata orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang berilmu tinggi."
"Buat apa aku mengupah kalian, he" Jika kalian tidak dapat berbuat apa-apa, uangku adalah uang yang sia-sia."
Pemimpin pengawal itu menundukkah wajahnya. Ia merasa bersalah, bahwa ia tidak dapat mengatasi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang berani menentang perintah Ki Tumenggung itu.
Namun Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, "Kalian memang pengecut. Biarlah lima orang prajurit pe ngawalku menyertai kalian. Mereka akan mengenakan ciri ciri keprajuritan, sehingga siapa yang melawan mereka, sengaja atau tidak sengaja telah melawan Mataram."
"Baik, Ki Tumenggung. Seorang yang mengaku bernama Agung Sedayu dengan sombongnya menyatakan untuk menghadap Ki Tumenggung. Ia berniat untuk berbicara dengan Ki Tumenggung, seakan-akan ia mempunyai hak untuk melakukannya. Orang yang tidak tahu diri itu merasa bahwa ia memiliki derajad yang sama dengan Ki Tumenggung sendiri..."
"Diamlah," tiba-tiba Ki Tumenggung membentak, "sebut nama orang itu."
"Agung Sedayu," orang itu mengucapkannya dengan agak ragu.
"Agung Sedayu" Ki Rangga Agung Sedayu, maksudmu?"
"Ia hanya menyebut namanya Agung Sedayu. Biarlah para prajurit itu menangkapnya. Kemudian menyeretnya menghadap Ki Tumenggung."
"Kau bertempur melawan Agung Sedayu itu?"
"Ya, Ki Tumenggung. Ia bersenjata cambuk yang suaranya menggetarkan udara seperti suara tujuh guruh yang meledak bersama-sama di langit."
"Agung Sedayu yang bersenjata cambuk?"
"Ya, Ki Tumenggung."
"Gila. Jadi kau bertemu dengan Agung Sedayu yang bersenjata cambuk itu."
"Ya, Ki Tumenggung," pemimpin pengawal itu menjadi heran mendengar nada suara Ki Tumenggung.
"Dimana Agung Sedayu itu sekarang?"
"Orang-orang Tanah Perdikan itu telah membuka parit yang telah kami sumbat dan airnya kami alirkan ke sendang ini."
"Beruntunglah kau, bahwa kepalamu sekarang masih melekat di lehermu. Ki Rangga Agung Sedayu adalah seorang Senapati besar dari Mataram."
"Jadi ia seorang Rangga?"
"Ya." "Tetapi?" "Aku akan menemuinya. Aku sendiri akan berbicara dengan Ki Rangga Agung Sedayu."
"Kenapa Ki Tumenggung tidak memanggilnya saja untuk menghadap" Meskipun ia seorang senapati, tetapi ia adalah seorang Rangga. Sedangkan Ki Tumenggung adalah seorang Tumenggung. Sehingga Ki Tumenggung berhak untuk memanggilnya atau memerintahkannya untuk menghadap."
"Gila kau. Meskipun ia seorang Rangga, tetapi ia adalah Agung Sedayu. Tadi aku agak melupakannya, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat barak Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Seorang Senapati besar Mataram yang namanya lebih besar dari para Tumenggung. Jangankan Ki Rangga Agung Sedayu. Isterinya, Nyi Rangga yang bernama Sekar Mirah itu, telah membunuh orang yang mengaku pemimpin besar perguruan Kedung Jati."
"Jadi?" "Aku akan pergi menemui Ki Rangga Agung Sedayu. Tetapi jika orang itu bukan pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, maka aku akan menangkapnya."
Demikianlah, Ki Tumenggung sendiri akan pergi ke dekat bendungan Pucung untuk bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
Lima orang prajurit telah diperintahkannya untuk menyertainya, sementara beberapa orang pengawal membawa oncor byi jarak yang dirangkai agak panjang, sehingga dapat bertahan cukup lama.
Ketika para pengawal pesanggrahan itu diperintahkan untuk ikut bersama Ki Tumenggung, maka merekapun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu, apa yang bakal terjadi di dekat bendungan Pucung itu.
Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan yang d antaranya adalah Ki Tumenggung Wirataruna sendiri telah pergi ke dekat bendungan Pucung. Ke tempat parit-parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya ditutup.
Keempat orang yang membuka sumbat parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk itu sudah selesai. Air sudah mengalir lagi dengan lancar seperti sediakala. Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu dan ketiga orang lain memang tidak segera meninggalkan tempat itu. Mereka sudah menduga, bahwa persoalannya tidak akan selesai sampai sekian saja.
Ketika keempat orang yang telah selesai membuka sumbat parit itu melihat sebuah iring-iringan, bahkan diantara mereka nampak beberapa orang yang mengenakan pakaian serta ciri-ciri keprajuritan, maka merekapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Mereka sudah terlanjur bertindak langsung sebelum bertemu dan berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu telah menjadi semakin dekat. Namun keempat orang yang masih berada di tanggul parit itu tidak melihat pertanda, bahwa orang-orang dalam iring-iringan itu akan melakukan kekerasan.
Meskipun demikian, mereka masih harus tetap berhati-hati. Mungkin mereka akan menghadapi tindakan yang tiba-tiba.
Ketika iring-iringan itu kemudian berhenti, seorang diantara mereka masih melangkah mendekat. Sinar oncor jarak yang menyala di sebelah menyebelah sempat menerangi wajah orang yang masih melangkah beberapa langkah maju itu.
"Ki Tumenggung Wirataruna," sapa Ki Rangga Agung Sedayu yang juga melangkah maju.
"Ki Rangga Agung Sedayu," sahut Ki Tumenggung Wirataruna, "aku sungguh tidak mengira, bahwa Ki Rangga telah berkenan datang sendiri ke dekat bendungan ini."
"Ki Tumenggung," berkata Ki Rangga Agung Sedayu," sebenarnya aku ingin bertemu dengan Ki Tumenggung esok pagi, setelah hari menjadi terang. Tetapi malam ini parit kami telah tersumbat lagi, sehingga para petani terutama dipadukuhan induk dan sekitarnya telah mengeluh. Tanaman padi diantaranya yang sudah menjelang waktunya bunting, sangat membutuhkan air."
"Baik, baik, Ki Rangga. Marilah. Aku ingin mempersi-lahkan Ki Rangga dan saudara-saudara dari Tanah Perdikan Menoreh untuk singgah di rumahku. Sudah lama aku memang ingin mempunyai sebuah rumah kecil di tempat yang jauh dan benar-benar terpisah dari keramaian kota. Karena keluarga kami memang berasal dari padesan. Tanah yang diatasnya aku dirikan rumah itu juga hanyalah tanah warisan dari kakek lewat ibuku."
Ki Rangga Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Rangga Agung Sedayu itupun berkata kepada Prastawa, "Daripada esok kita menemui Ki Tumenggung Wirataruna, sebaiknya sekarang saja kita berbicara tentang air ini."
"Terserah saja kepada Ki Rangga," sahut Prastawa, "sekarangpun tidak ada salahnya. Paman telah menyerahkan persoalan ini kepadaku."
"Baiklah Ki Tumenggung," berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, "aku memang ingin membicarakan persoalan air ini."
"Marilah. Silahkan singgah, Ki Rangga. Demikian pula Ki Sanak yang lain."
"Marilah Ki Jayaraga. Kita singgah di pesanggrahan Ki Tumenggung Wirataruna."
"Jangan sebut pesanggrahan Ki Rangga. Hanya sebuah rumah kecil yang aku bangun di atas tanah warisan."
"Bukankah kita tidak perlu kemana-mana, Ki Rangga," berkata Ki Jayaraga," Ki Rangga dan angger Prastawa telah bertemu dengan Ki Tumenggung disini. Bukankah segala sesuatunya dapat dibicarakan disini?"
"Tetapi akan lebih tenang jika kita berbicara di rumahku, Ki Sanak," berkata Ki Tumenggung.
"Sebaiknya kita singgah sebentar Ki Jayaraga. Mungkin kita dapat duduk di tempat yang lebih hangat dari di dekat bendungan ini. Bukankah letaknya juga tidak terlalu jauh."
"Biarlah aku menunggui air itu disini," berkata Ki Jayaraga, "Jika kita semua pergi, maka parit ini tentu akan disumbat lagi."
"Tidak. Tidak akan," sahut Ki Tumenggung Wirataruna, "tidak akan. Aku tidak akan membiarkan orang-orangku menyumbat parit itu lagi."
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, "Baiklah."
Iring-iringan itupun kemudian bergerak kembali ke pesanggrahan Ki Tumenggung Wirataruna. Pesanggrahan yang terhitung besar di tanah yang luas.
Beberapa saat kemudian, merekapun memasuki sebuah regol halaman pesanggrahan itu. Demikian mereka memasuki halaman, maka merekapun telah mengedarkan tatapan mata mereka berkeliling. Lampu-lampu minyak tergantung di berbagai tempat. Sedangkan halamannya yang agaknya sedang ditata, nampak asri meskipun ada tanaman-tanaman baru yang masih belum nampak hijau subur.
Orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu menarik nafas panjang. Mereka bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin seorang Tumenggung dapat membangun pesanggrahan sebesar itu.
Sambil berjalan ke tangga pendapa, Ki Jayaraga sempat berbisik di telinga Ki Rangga Agung Sedayu, "Kalau Ki Rangga kapan-kapan sempat menjadi Tumenggung, maka Ki Rangga Agung Sedayu juga akan dapat membangun pesanggrahan seperti ini."
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum sambil berdesis, "Ki Jayaraga lihat, ada Tumenggung yang harus menjual sawahnya ketika ia berniat membuat rumah di dekat tempat tugasnya ?"
"Ya, Jadi bagaimana mungkin Ki Tumenggung ini dapat membangun sebuah pesanggrahan seperti ini ?"
"Mungkin orang tuanya atau kakeknya seorang yang kaya. Bukankah tanah ini tanah warisan " Mungkin masih ada warisan yang lain yang membuat Ki Tumenggung menjadi kaya."
Ki Jayaraga tertawa. Namun iapun segera menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
Orang-orang yang berjalan di depan termasuk Ki Tumenggung Wirataruna itupun berpaling. Namun Ki Jayaraga sudah tidak tertawa lagi.
Demikianlah maka Ki Tumenggung itupun mempersilakan Ki Rangga Agung Sedayu dan ketiga orang yang datang bersamanya dari Tanah Perdikan Menoreh itu untuk naik ke pendapa yang kemudian-duduk di pringgitan.
Sementara itu, para pengawal dan para prajurit telah kembali ke tempat mereka masing-masing.
Ki Tumenggungpun kemudian masuk ke ruang dalam. Nyi Tumenggung yang gelisah itupun segera menyongsongnya, "Apa yang terjadi, kakang Tumenggung ?"
Ki Tumenggung tersenyum sambil menjawab, "Tidak ada apa-apa. Sediakan minuman hangat dan makanan. Yang datang adalah Ki Rangga Agung Sedayu."
"Seorang Rangga " Malam-malam begini " Kenapa kakang tidak memerintahkannya esok saja datang kemari?"
"Tidak. Aku memang ingin segera bertemu dengan Ki Rangga."
"Apakah kakang memang memerintahkannya menghadap malam ini karena persoalan yang akan kakang bicarakan tidak dapat ditunda sampai esok"
"Kau pernah mendengar nama Agung Sedayu " Mungkin sekali-sekali .aku pernah berceritera tentang seorang Lurah Prajurit yang bernama Agung Sedayu. Lurah Prajurit yang namanya bahkan lebih besar dari seorang Tumenggung. Apalagi sekarang Ki Lurah itu telah menerima anugerah kenaikan pangkat menjadi Rangga."
Nyi Tumenggung itu mengerutkan dahinya. Ia memang pernah mendengar nama Agung Sedayu. Tetapi ia tidak dapat segera mengingatnya.
"Sudahlah," berkata Ki Tumenggung, "nanti aku akan berceritera panjang. Sekarang, biarlah para pembantu itu menyiapkan hidangan."
"Mereka tentu sedang tidur nyenyak."
"Bangunkan mereka."
Nyi Tumenggungpun kemudian pergi ke belakang, membangunkan pembantunya untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamu Ki Tumenggung yang ada di pringgitan.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung telah duduk menemui Ki Rangga Agung Sedayu, Prastawa yang datang atas nama Ki Gede Menoreh, Ki Jayaraga dan Glagah Putih, yang mewakili para petani yang memerlukan air setiap saat, karena dialirkan bargantian kekotak-kotak sawah di Padukuhan Induk dan sekitarnya.
"Ki Tumenggung," berkata Ki Rangga Agung Sedayu, "Ki Tumenggung tentu sudah tahu, maksud kedatangan kami. Bahkan kami telah bertindak lebih dahulu sebelum kami berbicara dengan Ki Tumenggung.
"Tidak apa-apa, Ki Rangga. Tidak apa-apa. Aku kira Ki Rangga serta Ki Gede Menoreh memang lebih baik berterus terang, sehingga aku dapat mengerti persoalan yang sebenarnya."
"Kami berniat untuk membicarakan, seberapa banyak sebenarnya Ki Tumenggung itu memerlukan air. Tentunya, tidak seluruh arus air yang naik dari bendungan Pucung, yang seharusnya untuk mengairi sawah di padukuhan induk dan sekitarnya itu dialirkan ke sendang buatan Ki Tumenggung."
"Tidak. Memang tidak. Aku juga tidak berniat begitu. Tetapi ternyata orang-orangku telah melakukan kesalahan dalam pelaksanaannya. Apakah mereka sengaja melampaui batas-batas pesanku atau mereka memang tidak memahaminya."
"Karena itu, aku minta kesalahan itu dapat diluruskan, Ki Tumenggung."
"Ya, ya. Aku berjanji untuk i.ieluruskan kesalahan itu. Untuk selanjutnya, aku memang tidak akan mengambil air dari parit yang mengairi sawah di padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya itu."
"Lalu, Ki Tumenggung akan mengambil air dari mana ?"
"Sebenarnya kami sudah siap mengambil air dari air terjun kecil di bukit sebelah. Tetapi saluran dan pipa-pipa bambu yang kami buat masih belum selesai. Sementara itu, kami ingin segera melihat sendang buatan itu bermuatan air yang cukup. Tetapi itu hanya kesalahan pelaksanaan saja. Kesalahan yang segera dapat dibetulkan."
"Jadi, Ki Tumenggung tidak akan mengambil air dari parit itu lagi ?" bertanya Ki Jayaraga.
"Tidak. Tidak lagi."
Ki Jayaragapun menyahut dengan nada dalam, "Terima kasih Ki Tumenggung. Dengan demikian, kami tidak harus membuat tatanan ulang tentang pembagian air yang mengalir dari bendungan Pucung ini. Jika aliran air itu berkurang, maka para petani di padukuhan induk dan sekitarnya harus mengadakan pembagian waktu yang baru agar sawah mereka tidak menjadi kering. Tetapi dengan pernyataan Ki Tumenggung Wirataruna bahwa Ki Tumenggung akan mengambil air dari air terjun kecil di bukit sebelah, maka kami tidak harus merubah apa-apa lagi. Pembagian air yang sudah berlaku beberapa lama tanpa ada masalah itu akan dapat dilanjutkan. Dengan demikian tidak akan timbul kesan apapun pada para petani di padukuhan induk dan sekitarnya. Yang terjadi hari ini hanyalah sekedar gangguan kecil yang tidak berakibat apa-apa."
Ki Tumenggung Wirataruna itu mengangguk-angguk. Katanya, "Betapapun kecilnya, tetapi aku merasa perlu untuk minta maaf kepada para petani di Tanah Perdikan Menoreh, khususnya di padukuhan induk dan sekitarnya."
"Tidak apa-apa Ki Tumenggung, rakyat Tanah Perdikan Menoreh akan dapat mengerti, bahwa airnya diperlukan dalam keadaan khusus. Jika aliran air itu sudah pulih kembali, maka mereka akan melupakannya," sahut Ki Rangga Agung Sedayu.
Pembicaraan merekapun terputus ketika seorang pelayan menghidangkan minuman hangat.
"Silahkan, Ki Rangga. Silahkan Ki Sanak yang lain. Mumpung masih hangat," berkata Ki Tumenggung.
Ki Rangga Agung Sedayu serta ketiga orang yang datang bersamanya itupun kemudian telah menghirup minuman hangat itu. Di Malam yang dingin, serta setelah mereka berendam di air untuk membuka sumbat parit yang mengalir ke padukuhan induk Tanah Perdikan itu, maka minuman hangat itupun terasa sangat menyegarkan tubuh mereka.
Karena itu, maka minuman yang hangat itupun menjadi cepat sekali menyusut sehingga Ki Tumenggung Wirataruna merasa perlu untuk minta agar pelayannya menghidangkan lagi minuman hangat itu.
Namun ketika Ki Tumenggung itu masuk ke ruang dalam, maka Nyi Tumenggung yang duduk di ruang dalam itupun tiba-tiba saja bertanya, "Kenapa kakang Tumenggung rasa-rasanya terlalu menghormati orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu " Sebesar-besarnya nama seorang Rangga, maka kedudukannya berada di bawah kedudukan kakang Tumenggung. Apalagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu. Maaf kakang, bahwa aku tertarik akan pembicaraan kakang dengan mereka, sehingga aku mendengarkan dari belakang gebyok kayu itu. Agaknya kakang melangkah mundur dan menghentikan aliran air untuk mengisi sendang kita itu. Kenapa kakang begitu mudah menuruti kemauan orang-orang padesan itu " Seharusnya kakang Tumenggung bertindak tegas. Juga kepada Rangga yang agaknya menjadi sandaran orang-orang padesan itu. Mereka menganggap bahwa seorang Rangga adalah seorang yang pangkatnya tertinggi di seluruh Mataram."
"Bukan begitu, Nyi. Nanti aku beri tahu. Mungkin aku memang belum pernah berceritera tentang Ki Rangga Agung Sedayu."
"Ceritera apapun yang akan kakang katakan, namun menurut pendapatku kakang yang pangkat dan tentu juga kedudukannya lebih tinggi akan dapat mengendalikannya, sehingga air yang mengalir ke sendang kita itu tidak terhambat. Seberapa tinggi kuasa Kepala Tanah Perdikan dan seorang Rangga sehingga mereka dapat menghentikan rencana seorang Tumenggung ?"
"Ada banyak pertimbangan yang harus kita cermati, Nyi. Bukan sekedar pangkat Tumenggung."
"Apa " Pertimbangan apa lagi, Kakang ?" sahut Nyi Tumenggung, "bagiku yang penting esok sendang buatan itu penuh. Aku akan mencoba perahu kecil itu. Tentu sangat menyenangkan."
"Apa salahnya jika kita menunda dua atau tiga hari. Besok orang-orang kita akan menyelesaikan pipa-pipa bambu yang akan mengalirkan air dari air terjun kecil di lereng bukit sebelah. Dengan beberapa batang pipa bambu petung, air yang mengalir dari air terjun kecil itu tentu cukup deras, sementara itu kita tidak merugikan siapa-siapa. Tidak ada petani yang sawahnya menjadi kekeringan."
"Bukankah kita hanya memerlukan air dalam tiga empat hari saja. Sementara itu pipa-pipa bambu kita sudah selesai. Seandainya belum selesai, maka apa salahnya kita perpanjang sampai sepekan atau bahkan sepuluh hari agar sendang kita benar-benar penuh sampai ke lekuk-lekuk kecil di bawah rumpun-rumpun bambu itu. Dengan demikian, taman kita akan menjadi asri. Tetapi dalam sepekan atau lebih, tanaman padi, apalagi menjelang masa padi itu bunting, sangat memerlukan air, Jika terlambat, maka padinya akan banyak yang tidak berisi."
"Itu kata mereka. Kakang mempercayai saja kata mereka " Mereka tentu berbohong. Apapun alasannya, tetapi kakang mempunyai kuasa untuk mengambil sikap terhadap mereka. Juga terhadap Rangga yang kakang katakan mempunyai nama yang besar itu. Jika kebesarannya melampaui para Tumenggung, tentu ia sudah diangkat menjadi Tumenggung."
"Sudahlah Nyi. Kita jangan berbantah sekarang. Perintahkan saja pembantu kita untuk menyediakan lagi minuman hangat."
Ki Tumenggung tidak menunggu lagi.Iapun segera kembali ke pringgitan.
Sambil bersungut-sungut Nyi Tumenggung Wiratarunapun pergi ke dapur. Diperintahkannya pembantunya untuk membawa minuman hangat lagi ke pringgitan.
"Ki Tumenggung telah memanjakan tamu-tamunya dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengajak seorang prajurit yang dapat menjadi sandaran. Maksudnya tentu menakut-nakuti Ki Tumenggung. Tetapi orang Tanah Perdikan itu tidak tahu, bahwa prajurit yang dibawanya itu tidak lebih dari seorang Rangga, yang kedudukannya berada di bawah seorang Tumenggung. Mungkin Ki Tumenggung hanya segan saja untuk berkata kepada orang-orang Tanah Perdikan, bahwa sandarannya, prajurit yang mereka harapkan dapat menjadi pelindungnya itu, pangkatnya terlalu rendah."
Pembantunya mengangguk-angguk. Dengan sikap yang dibuat-buat pembantunya itupun berkata, "Jika demikian, apakah sebaiknya aku tidak usah membawa minuman lagi ke pringgitan."
"Jangan begitu, Nanti Ki Tumenggung yang marah kepadamu dan kepadaku."
Pembantu itupun mengangguk-angguk pula. Katanya, "Baiklah. Aku akan membawa minuman lugi ke pringgitan. Tetapi gulanya sedikit saja, biar tidak begitu manis."
"Ah kamu. Nanti kalau Ki Tumenggung ikut minum."
"Tidak, Nyi, Ki Tumenggung kalau minum hanya sedikit saja. Sedangkan minumannya yang tadi, masih cukup banyak."
Nyi Tumenggungpun tidak mencegahnya. Pembantu itupun kemudian pergi ke pringgitan untuk menghidangkan minuman yang tidak begitu manis.
Tetapi ternyata selera orang-orang Tanah Perdikan itu agak berbeda. Minuman yang pertama itu agak terlalu manis. Karena itu, minuman yang kemudian dihidangkan lagi itu ternyata terasa manisnya cukupan bagi mereka.
Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu masih berbincang beberapa lama dengan Ki Tumenggung sambil menghirup minuman hangat yang menyegarkan tubuh mereka di dinginnya malam itu.
Baru beberapa saat kemudian, Ki Rangga Agung Sedayu serta yang lainpun telah minta diri.
"Terima kasih atas pengertian Ki Tumenggung terhadap kepentingan para petani di Tanah Perdikan," berkata Ki Rangga Agung Sedayu.
"Aku juga berterima kasih kepada Ki Rangga dan yang lain-lain. Kalian telah memperingatkan aku bahwa dalam kedudukanku sebag n seorang Tumenggung seharusnya aku berbuat sobaliknyu dari yung teluh uku lakukan. Sekali lagi aku minta maaf. Kenalulmn itu tidak akan terulung kembali. Besok aku akan memasang pipa-pipa bambu petung yang sebenarnya telah tersedia. Tetapi orang-orangku ingin melakukan yang termudah."
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Prastawa telah meninggalkan pasanggrahan Ki Tumenggung yang terhitung mewah itu. Ki Jayaraga masih saja merasa heran, bahwa seorang Tumenggung mampu membangun pesanggrahan yang sedemikian besar dan baik. Tiang-tiangnya serta gebyognya yang berukir dan bersungging lembut.
Sekali Ki Rangga Agung Sedayu berkata, "Mungkin orang tua Ki Tumenggung pada dasarnya adalah orang yang kaya. Ia mempunyai tanah dan sawah yang luas. Setiap panen, orang tua Ki Tumenggung dapat menjual hasil sawahnya yang berlumbung-lumbung, sementara penghasilan Ki Tumenggung Wirataruna sendiri sudah cukup besar."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk.
Sementara itu, Prastawapun berkata, "Mudah-mudahan esok pagi, sikap Ki Tumenggung tidak berbalik. Jika ia sempat mempersiapkan diri dengan memanfaatkan kedudukannya, kemudian berniat menentang paman Argapati, maka keadaannya akan menjadi gawat. Paman tentu tidak akan mau tunduk kepada Ki Tumenggung. Sedangkan Ki Tumenggung dapat saja memaksakan kemauannya dengan kekuatannya."
"Tidak. Itu tidak akan terjadi," sahut Ki Rangga Agung Sedayu, "bagaimanapun juga nampak kesungguhan Ki Tumenggung Wirataruna dalam pembicaraan tadi."
Prastawapun mengangguk-angguk.
Sementara itu, merekapun telah melewati tanggul parit yang telah disumbat oleh para pengawal Ki Tumenggung. Namun seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung, pengawal-pengawal-nya tidak melakukannya lagi. Air di parit itu masih tetap mengalir lancar menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya.
Dalam pada itu, Di pesanggrahannya, Ki Tumenggung masih saja berbincang dengan Nyi Tumenggung yang tidak mengerti akan sikap Ki Tumenggung terhadap seorang Rangga dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu.
"Mereka akan menjadi besar kepala, kakang. Mereka akan merasa menang, sehingga mereka akan memberikan tuntutan-tuntutan lain yang bermacam-macam."
"Tidak akan. Mereka tidak akan menuntut apa-apa. Aku harus mengakui bahwa akulah yang salah. Aku telah membelokkan air yang seharusnya mengalir ke padukukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh."
"Kakang seorang Tumenggung. Kakang dapat mempergunakan pengaruh kedudukan kakang Apa yang dapat dilakukan seorang Rangga terhadap seorang Tumenggung ?"
"Sudah aku katakan, Rangga itu adalah Agung Sedayu. Bahkan seandainya bukan Agung Sedayupun aku tidak boleh berbuat semau-mauku sendiri."
Nyi Tumenggung masih juga menyahut, "Kenapa tiba-tiba sikap kakang berubah " Apakah karena Rangga yang kakang sebut bernama Agung Sedayu itu " Kenapa dengan Ki Rangga Agung Sedayu sehingga ia dapat mempengaruhi sikap kakang Tumenggung yang memiliki pangkat dan kedudukan yang lebih tinggi?"
"Bukan karena pengaruh pangkat dan kedudukan. Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu dapat meyakinkan aku, bahwa aku memang bersalah."
"Salah atau tidak salah, kakang Tumenggung dapat melangsungkan rencana kakang, mengisi sendang itu sampai penuh."
"Nyi," berkata Ki Tumenggung, "jika aku memaksakan kehendak, Ki Rangga Agung Sedayu akan dapat mengambil langkah-langkah yang sangat merugikan kedudukanku. Ki Rangga adalah Senapati yang membawahi Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Jika aku menyalahgunakan kedudukan dan kekuasaanku, Ki Ranggapun akan dapat melakukannya pula. Jalan lain yang dapat ditempuh oleh Ki Rangga, melaporkan sikapku yang keliru itu kepada Ki Patih Mandaraka. Kau harus tahu, bahwa Ki Rangga Agung Sedayu itu seolah-olah mempunyai hubungan yang khusus dengan Ki Patih Mandaraka."
"Jika Ki Rangga itu mempunyai hubungan yung khusus dengin Ki Patih, sedangkan ia mempunya kelebihan, kenapa ia masih saja berpangkat Rangga " Kenapa Ki Patih tidak segera mengungkatnya menjadi Tumenggung."
"Justru karena hubungannya dengan Ki Patih sangat dekat maka Ki Rangga menjadi agak lambat merambat kejenjang Kepangkatan yang lebih tinggi. Baik Ki Rangga maupun Ki Patih tidak ingin disebut menyalahgunakan hubungan pribadi yang baik itu untuk mempercepat kenaikan pangkat Ki Rangga. Baru kemudian ketika para Senapati besar di Mataram menyaksikan sendiri kelebihan Ki Lurah dalam perang di Demak, mereka baru ingat, bahwa sebaiknya Ki Lurah Agung Sedayu mendapat anugerah pangkat. Tetapi sebenarnyalah bahwa kelebihan dari Ki Rangga Agung Sedayu itu telah melampaui kelebihan beberapa orang Tumenggung. Terus terang, aku harus mengakui bahwa Ki Rangga memiliki banyak kelebihan dari aku sendiri."
"Kakang Tumenggung terlalu merendahkan diri. Tetapi justru karena itu, aku ingin mengenal keluarga Ki Rangga itu lebih dekat. Siapa yang berada di belakang Ki Rangga sehingga ia berani datang menantang kakang Tumenggung."
"Ia tidak menantang. Ia tidak mengatakan lebih dari satu kebenaran bahwa para petani memerlukan air. Apalagi tanaman padi sudah menjadi semakin besar sehingga hampir datang waktunya padi itu bunting. Karena itu maka airnya tidak boleh terlambat."
"Kakang," berkata Nyi Tumenggung kemudian, "ada baiknya kakang mengunjungi Ki Rangga di rumahnya. Aku ingin berkenalan dengan Nyi Rangga yang barangkali banyak memberikan dorongan kepada suaminya sehingga Ki Rangga Agung Sedayu mendapat anugerah pangkat setelah perang di Demak berakhir."
"Nyi. Sebelum kau mengunjungi Nyi Rangga, aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa Nyi Rangga memang seorang yang mampu ikut serta mengangkat derajad suaminya sehingga Ki Lurah Agung Sedayu mendapat anugerah kenaikan pangkat. Mungkin kau perlu mengetahui sebelum kau mengenalnya secara pribadi, bahwa Nyi Rangga Agung Sedayulah yang telah membunuh orang yang mengaku menjadi pemimpin besar perguruan Kedung Jati yang menjadi buruan untuk waktu yang lama. Seorang yang dianggap tidak terkalahkan itu ternyata tidak mampu menandingi ilmu Nyi Rangga Agung Sedayu yang lebih dikenal dengan nama Sekar Mirah."
Nyi Tumenggung memang terkejut. Dengan serta merta ia-pun bertanya, "Maksud kakang, Nyi Rangga itulah yang telah membunuhnya. Atau Ki Rangga ?"
"Nyi Rangga. Perguruan Kedung Jati mempunyai sepasang pertanda kepemimpinan. Satu berada di tangan Ki Saba Lintang, satunya berada di tangan Nyi Rangga Agung Sedayu. Namun dalam perang tanding yang terjadi, Ki Saba Lintang telah terbunuh oleh Nyi Rangga Agung Sedayu."
"Kakang berkata sebenarnya ?"
"Ya." "Jadi yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi itu sebenarnya Nyi Rangga Agung Sedayu."
"Nyi Rangga Agung Sedayu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Terbukti bahwa ia mampu mengalahkan Ki Saba Lintang. Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu mempunyai ilmu yang lebih tinggi lagi. Ilmu Ki Rangga Agung Sedayu itu dapat disejajarkan ilmu para Pangeran di Mataram, atau setidak-tidaknya mampu membayanginya."
Nyi Tumenggung itupun terdiam. Kepalanya menunduk, sementara iapun mulai membayangkan betapa tinggi ilmu Nyi Rangga Agung Sedayu yang telah mampu mengalahkan Ki Saba Lintang. Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu memiliki ilmu dan kemampuan yang lebih tinggi lagi.
Karena Nyj Tumenggung tidak segera menyahut, maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Baiklah. Sekarang tidurlah. Besok kita pergi ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu jika kau ingin berkenalan dengan isterinya."
Tetapi Nyi Tumenggung itupun menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku tidak ingin pergi ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu."
Ki Tumenggung itu menarik nafas panjang. Kemudian iapun mengulangi, "Tidurlah. Masih ada sedikit waktu menjelang fajar."
Nyi Tumenggung itupun kemudian segera bangkit dan pergi ke pembaringan. Namun ia tidak segera dapat tidur. Ternyata suami isteri Ki Rangga Agung Sedayu adulah orang-orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga meskipun ia hanya seorang Rangga, tetapi Ki Tumenggung harus berpikir dua tiga kali untuk menghadapinya. Bahkan akhirnya Ki Tumenggung itu harus mengalah.
Dihari berikutnya, sendang buatan di pesanggrahan Ki Tumenggung itu masih belum terisi penuh. Ki Tumenggung masih harus menyelesaikan pembuatan pipa-pipa bambu yang akan mengalirkan air dari grojogan di bukit kecil sebelah. Dengan beberapa batang pipa bambu petung, maka arus airnya tentu cukup deras.
Nyi Tumenggung memang menjadi kecewa. Ia ingin segera mencoba turun ke sendang buatannya dengan perahu kecil yang sudah disiapkan. Tetapi Nyi Tumenggung harus menerima keadaannya itu jika ia tidak ingin Ki Tumenggung mendapat kesulitan. Apalagi jika Ki Rangga itu menyampaikan pengaduan kepada Ki Patih Mandaraka, bahwa Ki Tumenggung telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menyakiti hati rakyat kecil. Ki Patih Mandaraka, sebagaimana kangjeng Panembahan Senapati pada mulanya adalah rakyat kecil yang karena perjuangan mereka, maka mereka dapat memanjat sampai ke tataran yang tinggi.
Dengan demikian, maka rakyat Tanah Perdikan Menoreh tidak akan terganggu lagi. Khususnya para petani di padukuhan induk dan sekitarnya. Parit merekapun selalu mengalir sebagaimana seharusnya.
Sebenarnyalah Ki Gede Menoreh sudah siap untuk menerima kedatangan Ki Tumenggung seandainya Ki Tumenggung merasa dirugikan dan menuntut Ki Gede Menoreh untuk memberikan air kepadanya. Tetapi ternyata bahwa Ki Tumenggung itu tidak pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui Ki Gede.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat mempergunakan hari-hari istirahatnya yang pendek. Glagah Putih dan Rara Wulan sempat mengunjungi Ki Gede untuk mohon doa restu, agar dalam tugas-tugasnya mendatang, Yang Maha Agung selalu melindunginya.
"Kami di Tanah Perdikan ini selalu berdoa, ngger," berkata Ki Gede, "tetapi kamipun mempunyai doa yang lain."
"Maksud Ki Gede?"
"Bukankah kau tidak akan menjadi pengembara sepanjang umurmu " Kakangmu, Ki Rangga Agung Sedayu ternyata tidak mempunyai keturunan. Menilik umurnya, maka agaknya Ki Rangga sudah tidak akan mempunyai anak. Meskipun anak itu sangat tergantung kepada kurnia, tetapi bukankah kalian akan memohonnya ?"
"Ya, Ki Gede. Kami akan mohon agar kami dikaruniai keturunan. Kami merasakan betapa sepinya hidup kakang Agung Sedayu serta mbokayu Sekar Mirah. Untunglah bahwa keduanya menerima kenyataan itu dengan hati terbuka dengan satu keyakinan, bahwa apa yang direncanakan Yang Maha Agung atas diri mereka, tentulah yang terbaik bagi mereka."
"Ya, ya. Satu sikap pasrah yang utuh setelah dilakukan segala usaha."
"Ya. Bahkan kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah sebagai murid Kiai Gringsing yang memiliki pengetahuan tentang berbagai macam obat-obatan sudah berusaha sejauh dapat mereka lakukan."
Demikianlah selain berkunjung kepada Ki Gede, Glagah Putih dan Rara Wulan juga menemui para Demang dan Bekel di Tanah Perdikan Menoreh yang dikenalnya dengan baik. Kemudian para pemimpin pengawal Tanah Perdikan . Kepada Prastawa, Glagah Putih sempat memberikan berbagai macam pesan yang ditujukan kepada para Pengawal.
Demikianlah Glagah Putih dan Rara Wulan telah mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Ia sudah sering pergi mengemban tugas untuk waktu yang lama. Namun rasa-rasanya kepergiannya saat itu mempunyai arti yang agak berbeda. Ia tidak pergi sebagai dua orang penghuni Tanah Perdikan.
Tetapi mereka pergi sebagai dua orang prajurit Mataram yang akan menjalankan tugasnya. Mungkin tugas itupun akan disusul dengan tugas-tugas yang lain, sehingga mereka tidak akan segera dapat melihat Tanah Perdikan itu kembali. Bahkan mungkin mereka tidak akan sempat bertugas didalam kesatuan yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu yang akan menjadi semakin besar.
Ketika saatnya telah menjadi semakin dekat, maka Ki Rangga Agung Sedayu masih sempat memberikan beberapa petunjuk kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Ki Rangga merasa bahwa sudah saatnya bagi Glagah Putih dan Rara Wulan untuk menjalani laku, agar ilmu keduanya menjadi semakin mapan. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan sudah melandasi ilmunya dengan kitab Namaskara, namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih ketinggalan dibandingkan dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
"Bukan karena tingkat ilmumu lebih rendah," berkata Ki Rangga Agung sedayu," tetapi karena kau dan Rara Wulan masih terlalu muda. Karena itu, maka dengan menjalani laku sebagaimana aku tunjukkan kepadamu, maka semoga kau akan menjadi semakin matang. Kau berdua akun berada dalam laku untuk menguasai ilmu kekebalan tubuh. Tetapi kau berdua masih harus tetap berada pada jalur langkahmu yiuig menganut jalan kebenaran. Bukan kebenaran menurut ukuranmu sendiri. Tetapi kebenaran dijalan Yang Maha Agung."
Glagah Putih dan Rara Wulan menundukkan kepalanya. Mereka sadar bahwa laku yang akan mereka jalani sesuai dengan petunjuk Ki Rangga Agung Sedayu itu mengarah pada pembinaan ilmu kebal sebagaimana dimiliki oleh Agung Sedayu. Namun laku yang akan dijalani oleh Glagah Putih dan Rara Wulan itu memerlukan waktu, karena laku itu berbeda dengan yang pernah dijalani oleh Agung Sedayu. Tetapi laku yang ditunjukkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu kepada Glagah Putih dan Rara Wulan itu adalah laku yang sesuai bagi keduanya yang akan mengemban tugas keprajuritan.
Meskipun demikian, pada akhirnya mereka harus menyisihkan waktu khusus diujung laku yang mereka jalani.
Dihari terakhir, Glagah Putih dan Rara Wulan akhirnya mempercayakan kitab yang mereka yakini sengaja diberikan oleh Kiai Namaskara yang masih saja diselubungi oleh rahasia yang mungkin tidak akan terpecahkan kepada Ki Rangga Agung Sedayu. Mereka tidak akan dapat membawa kitab itu dalam tugas-tugas keprajuritan mereka yang memungkinkan kitab itu jatuh ketangan orang lain yang tidak seharusnya.
"Baiklah. Aku akan menyimpannya.Kitab Kiai Gringsing yang kebetulan saat ini ada padaku, juga aku simpan baik-baik. Aku dapat menyimpan kitabmu itu bersama kitab yang ditinggalkan oleh Kiai Gnngsing."
Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mulai merasa tenang. Namun Glagah Putihpun kemudian berkata, "Kitab itu sebenarnya tersimpan dalam sebuah peti kayu yang bagus sekali buatannya. Tetapi peti kayu itu aku sembunyikan di sebuah goa. Tetapi kami masih ingat sekali tempat persembunyian itu."
"Mungkin peti kayu itu sudah rusak sekarang," sahut Sekar Mirah, "bukankah peti itu tidak terlalu penting dibandingkan dengan kitab ini sendiri ?"
"Ya, mbokayu," Glagah Putihpun mengangguk-angguk.
Demikianlah, dimalam keberangkatan mereka, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Namun Glagah Putih memerlukan berbicara khusus dengan Sukra.
"Kau sudah bukan anak-anak lagi Sukra," berkata Glagah Putih, "karena itu, maka kau sudah harus dapat menempatkan dirimu dengan sebaik-baiknya. Jika kau jumpai masalah, bahkan masalah pribadimu yang kau anggap rumit, maka jangan segan-segan minta petunjuk kakang Rangga Agung Sedayu atau mbokayu Sekar Mirah. Bahkan agaknya kaupun dekat dengan Ki Jayaraga. Kau dapat berbicara dengan Ki Jayaraga jika kau kebetulan ikut bersamanya pergi ke sawah."
"Ya, kakang." "Usahakan agar ilmumu lebih cepat meningkat dari sekedar ikut dalam latihan-latihan para pengawal. Bukan berarti bahwa latihan-latihan itu tidak penting, karena dengan latihan-latihan dalam kesatuan, kau akan menguasai ilmu perang gelar serta kerja sama yang mapan antara sesama anggota kesatuan. Tetapi peningkatan ilmumu secara peribadi akan dapat mengisi kelemahan-kelemahan dalam kesatuanmu."
"Ya, kakang." "Seterusnya kau harus selalu berhati-hati menempatkan diri dalam hubungan sesamamu."
Sukra mengangguk-angguk. Agaknya ia mencoba dengan sungguh-sungguh untuk menyerap semua pesan-pesan Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih telah memberikan pesan-pesan sebagaimana pernah dikatakan oleh Ki Rangga Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan orang-orang tua yang lain yang pemah ditemuinya dalam pengembaraannya. Yang sebagian besar hanya tinggal berada di dalam ingatannya saja, karena kesempatan untuk bertemu lagi dengan mereka sudah menjadi semakin sempit.
Meskipun demikian, berbagai ilmu yang telah diwarisinya tetap saja memperkaya tingkat kemampuannya.
Demikianlah, malam itu Ki Jayaraga telah memperingatkannya, agar Glagah Putih dan Rara Wulan segera beristirahat.
"Esok kalian akan bangun pagi-pagi sekali. Kemudian menempuh perjalanan ke Mataram. Meskipun perjalanan itu tidak sangat panjang, tetapi sebaiknya kalian sampai di kepatihan sebelum tengah hari."
Menjelang tengah malam, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di biliknya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, sebaiknya mereka segera beristirahat karena esok mereka akan berangkat pagi-pagi sekali.
Namun justru karena itu, maka keduanya tidak segera dapat tidur. Mereka masih berbicara beberapa lama. Baru kemudian, ketika angin malam terdengar gemensik di dinding dan atap rumah, merekapun terdiam. Terasa dinginnya malam menyusup disela-sela raguman menyentuh tubuh mereka, maka keduanya-pun menjadi lelap.
Menjelang fajar keduanya telah terbangun. Bergantian mereka mandi dan kemudian berbenah diri. Namun sementara itu, Sekar Mirahpun telah berada di dapur pula menyiapkan minuman dan makan pagi bagi Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu telah duduk di ruang dalam pula.
Di halaman samping terdengar pula suara sapu lidi dengan iramanya tersendiri. Ki Jayaraga ternyata telah sibuk membersihkan halaman sebagaimana setiap hari dilakukannya. Sedangkan Sukra sibuk mengisi gentong di dapur.
Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan selesai berbenah diri, maka Sekar Mirahpun telah mempersilahkan mereka untuk makan pagi.
Ki Jayaraga dan Agung Sedayu tidak dapat makan bersama keduanya. Mereka hanya duduk menunggui sambil minum minuman hangat.
"Masih terlalu pagi untuk makan pagi," berkata Ki Jayaraga.
Setelah makan pagi, Glagah Putih dan Rara Wulan masih beristirahat beberapa saat, sementara Ki Rangga Agung Sedayu masih memberikan pesan-pesan terakhirnya.
Namun sebelum matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan telah minta diri untuk berangkat ke Mataram.
Ki Rangga Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Sukra melepas mereka sampai ke regol halaman. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan sudah terbiasa pergi meninggalkan rumah itu, namun rasa-rasanya saat itu Glagah Putih dan Rara Wulan akan menempuh perjalanan yang lama. Mereka tidak sekedar mengembara sebagaimana pernah mereka lakukan, tetapi mereka akan melakukan tugas mereka sebagai prajurit.
Dari para pelatih pada saat mereka berada dalam penempaan diri sebagai seorang prajurit serta dari Ki Rangga Agung Sedayu, keduanya sudah tahu benar akan kewajiban mereka sebagai seorang prajurit. Keduanyapun bertekad untuk dapat melakukannya dengan sebaik-baiknya. Kewajiban seorang prajurit sama sekali tidak bertentangan dengan pesan-pesan orang tua, agar Glagah Putih dan Rara Wulan menganut jalan kebenaran. Bukan sekedar kebenaran menurut ukuran mereka sendiri. Tetapi kebenaran dijalan Yang Maha Agung.
"Itulah yang sering kita lupakan," berkata Ki Rangga Agung Sedayu dalam pesan-pesannya, "pada saat kita mengambil kepu-tusan untuk bersikap, kadang-kadang kita melupakan bahwa sikap kita itu juga harus kita pertanggung-jawabkan kepada Yang Maha Agung pada jaman yang tidak berkesudahan. Kadang-kadang kita mengambil keputusan untuk bersikap sekedar mencari kepuasan hati kita sendiri. Itulah sebabnya sering terjadi pembunuhan, pembantaian dan bahkan tindakan-tindakan yang lebih keji lagi tanpa mengingat, bahwa pada suatu saat, kita akan dihadapkan kepada pengadilan yang tidak dapat dikendalikan oleh siapapun, tidak akan pernah dapat terjadi tawar-menawar, tidak pula dapat direkayasa oleh siapapun dan dengan cara apapun. Mungkin seseorang pernah menyadari akan hal itu. Tetapi ketika ia dihadapkan kepada kepuasan duniawi, maka ia telah melupakannya. Pada saat mereka sadari akan kekhilafan mereka, maka segala sesuatunya sudah terjadi dan harus mereka pertanggungjawabkan kepada Yang Maha Pencipta. Tetapi memang ada juga orang yang memang tidak percaya kepada pengadilan akhir itu. Orang-orang itu adalah orang yang mengingkari Penciptanya, sehingga orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang sangat berbahaya, karena mereka tidak akan pernah bertobat. Tetapi orang-orang yang demikianlah, yang pada saatnya akan menyesal disepanjang jaman, karena mereka akan dilemparkan ke dalam kegelapan abadi."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun berjalan semakin cepat. Sinar matahari pagi yang muncul dari balik cakrawala, terasa menghangatkan tubuh. Embun yang bergayutan di dedaunanpun mulai terhapus perlahan-lahan. Sementara itu, kabut tipis yang menutupi lembah-lembah perbukitanpun mulai terkuak.
Di padukuhan padukuhan yang mereka lewati, anak-anak muda yang berpapasan dengan keduanya, selalu bertanya, kemana mereka akan pergi di pagi-pagi sekali.
"Ke Mataram," jawab Glagah Putih dan Rara Wulan bergantian.
Bukan hanya di padukuhan padukuhan, tetapi orang-orang yang akan pergi ke Bawah dan berpapasan di bulakpun selalu bertanya pula.
Baru kemudian, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan semakin jauh, semakin sedikit pula orang yang bertemu di jalan. Tetapi keduanyapun harus menghindari sebuah pasar di padukuhan yang terhitung besar agar mereka tidak terlalu banyak berpanasan dengan orang-orang yang sudah mengenali mereka dan memberikan bermacam-macam pertanyaan.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka merekapun telah menuruni jalan yang menuju ke tempat penyeberangan. Sebagaimana biasanya, keduanya memilih menyeberang di penyeberangan sebelah Selatan.
Hari itu, penyeberangan itu ternyata tidak terlalu ramai. Hanya ada dua tiga orang saja yang menunggu disisi Barat, sementara itu sebuah rakit sedang meluncur dari arah Timur. Rakit itu juga tidak membawa terlalu banyak orang dari tepian sebelah Timur, sehingga rakit itu dapat melaju lebih cepat.
Beberapa saat kemudian, maka rakit itupun telah merapat ke sisi Barat. Demikian para penumpangnya turun, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera naik bersama beberapa orang yang telah menunggu.
Tetapi sebelum rakit itu menyeberang, seorang berkuda memacu kudanya sambil berteriak, "Tunggu-tunggu."
Rakit yang sudah siap untuk menyeberang itu berhenti.
Penunggang kuda itupun kemudian meloncat turun sambil berkata, "Tunggu. Kami akan menyeberang bersama sepasang pengantin. Sebentar lagi mereka akan tiba."
Tukang satang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya para penumpang yang telah berada di atas rakitnya, minta pertimbangan.
Karena beberapa orang yang sudah ada di atas rakit itu tidak menjawab, maka Glagah Putihlah yang menjawab. Baiklah. Kita menunggu sebentar. Apakah ada di antara Ki sanak yang sangat tergesa-gesa ?"
Orang-orang yang sudah ada di atas rakit itupun menggeleng.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, kakang," berkata Glagah Putih kepada tukang satang, "kita menunggu. Bukankah masih banyak tempat di rakit kakang?"
Rakit itupun urung untuk bergerak ke Timur. Sementara itu rakit yang ada di seberang juga masih belum bergerak. Masih ada dua orang yang akan naik bersama kuda mereka.
Beberapa saat kemudian, maka datanglah iring-iringan pengantin yang akan menyeberang itu. Ternyata pengiringnya cukup banyak. Empat orang di antara mereka berkuda. Termasuk orang yang berkuda mendahului iring-iringan itu.
Demikian mereka mendekati rakit itu, maka orang berkuda yang mendahului iring-iringan itupun berkata kepada tukang satang," Ki Sanak. Kami akan menyeberang bersama-sama, karena kami sedang mengiringi sepasang pengantin yang akan diboyong ke rumah pengantin laki-laki di sebelah Timur Kali Praga."
"Tetapi tentu tidak dapat sekaligus," jawab tukang satang itu, "beberapa orang akan tinggal. Sementara itu, rakit dari seberang itu sudah mulai bergerak. Sebentar lagi rakit itu akan sampai di sini. Kemudian sebagian yang tertinggal akan dapat segera menyusul. Apalagi ada di antara kalian yang membawa kuda."
"Tidak baik kalau rombongan kami harus dibagi."
"Tetapi kalau dipaksakan naik ke rakit, aku mengkhawatirkan, bahwa beban akan menjadi terlalu berat."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Biarlah orang-orang yang sudah ada di atas rakit itu turun. Biarlah kami memakai rakit itu seutuhnya tanpa orang lain. Bukankah mereka dapat menunggu dan tidak harus pergi bersama-sama."
Beberapa orang yang sudah ada di atas rakit itu saling berpandangan sejenak. Ada di antara mereka yang nampaknya agak berkeberatan jika mereka harus turun lebih dahulu.
Tetapi orang itu berkata, "Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami terpaksa minta kalian untuk turun."
Suasana terasa menjadi agak tegang. Namun Glagah Putihlah yang kemudian berkata, "Baiklah. Aku dan isteriku akan turun. Tetapi aku tidak tahu, apakah yang lain juga bersedia untuk turun."
Ternyata sikap Glagah Putih itu telah mempengaruhi sikap beberapa orang yang lain, sehingga seorang diantara mereka berkata, "Biarlah mereka mendapat kesempatan untuk dapat menyeberang bersama-sama."
Orang-orang yang sudah berada di atas rakit itu ternyata semuanya bersedia untuk turun dan memberi tempat kepada sepasang pengantin dan para pengiringnya, agar mereka dapat bersama-sama menyeberang.
Tetapi ketika mereka kemudian berebut naik, maka tukang satang itupun berkata, "Terlalu banyak Ki sanak. Apakah sebagian kecil dari kalian dapat turun dan menyeberang dengan rakit berikutnya. Rakit itu sudah bergerak kemari. Tentu tidak akan lama lagi rakit itu merapat di tepian."
Namun ternyata tidak ada diantara para pengiring itu yang bersedia turun dan ikut menumpang rakit yang sedang bergerak ke Barat.
Karena tidak ada yang bersedia, maka tukang satang itupun bertanya sekali lagi, "Apakah ada diantara kalian yang bersedia turun dan menumpang rakit berikutnya?"
Ternyata masih belum ada yang bersedia turun. Bahkan seorang diantara mereka berkata, "Jika penumpang rakitmu kelebihan, Ki Sanak, bukankah hanya kelebihan sedikit " Aku kira kelebihan sedikit itu tidak akan membahayakan. Aku sudah terbiasa menyeberang. Bahkan aku pernah naik rakit, dan bahkan mungkin juga rakit ini, bersama dengan beberapa ekor kuda yang membawa keranjang berisi gula kelapa."
"Tetapi tentu tidak memuat orang sebanyak ini."
"Sudahlah. Jika kau ragu-ragu, akibatnya tentu kurang baik. Menyeberanglah."
Dua tukang satang di rakit itu saling berpandangan. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Merekapun kemudian mulai mendorong rakitnya bergerak menyeberang ke Timur. Namun mereka lebih dahulu menyisir tepian justru ke arah hulu. Baru kemudian mereka bergerak ke tengah dan selanjutnya sedikit mengikuti arah arus Kali Praga yang terhitung deras itu.
Sementara itu, rakit yang satu lagi sudah sampai di tepian Barat pula. Setelah penumpangnya turun, maka beberapa orang-pun segera naik. Tidak terlalu banyak, sehingga terasa rakit itu cukup longgar.
Dalam waktu singkat, rakit yang ditumpangi Glagah Putih dan Rara Wulan itupun segera bergerak pula.
Namun tiba-tiba saja mereka melihat rakit yang terdahulu itu mulai goncang. Didorong oleh arus Kali Praga, dengan penumpang yang terlalu banyak, maka rasa-rasanya rakit itu tidak kuat lagi mengusung bebannya.
"Kakang," berkata Glagah Putih kepada tukang satang yang ada di rakitnya, "rakit itu nampak berguncang."
Kedua tukang satang yang melayani rakit yang membawa Glagah Putih dan Rara Wulan itu memperhatikan rakit yang berguncang. Seorang diantara mereka itupun bergumam, "Kang Naya terlalu serakah. Orang sekian banyak dibawanya semua. Itu sangat membahayakan penumpangnya."
"Kang Naya tukang satang rakit itu yang kau maksud?" bertanya Glagah Putih.
"Ya." "Bukan salahnya, kang. Kang Naya sebenarnya sudah menolak. Tetapi orang-orang berkuda itu memaksa. Sehingga akhirnya kang Naya terpaksa membawa mereka semua."
Percakapan itu terhenti. Mereka mendengar beberapa orang perempuan yang naik rakit yang terdahulu itu menjerit.
Kedua tukang satang rakit yang ditumpangi Glagah Putih itupun kemudian sepakat untuk mencoba membantunya. Karena itu, maka mereka telah mempercepat rakit yang disatanginya, menyusul rakit yang berguncang itu.
"Jangan bingung. Duduk sajalah. Jangan bergeser-geser. Nanti rakit ini akan berguncang semakin keras," teriak tukang satang pada rakit yang berguncang itu.
Tetapi orang-orang yang ketakutan itu justru saling tarik menarik, saling berdekapan sambil berteriak-teriak tidak keruan.
Kedua tukang satangnya mencoba untuk mengatasi kesulitan itu. Kang Naya masih saja berteriak-teriak menenangkan penumpang-penumpangnya. Tetapi mereka masih saja kebingungan dan ketakutan. Dengan demikian guncangan-guncangan itupun menjadi semakin keras. Apalagi ketika kuda-kuda diatas rakit itu mulai menjadi gelisah pula.
Pada saat yang gawat maka rakit yang ditumpangi Glagah Putih itupun menjadi semakin dekat. Seorang tukang satangnya-pun kemudian melemparkan tali kepada kang Naya yang berada di rakit yang terguncang itu.
"Tenanglah, tenanglah. Semuanya duduk diam." Suaranya tenggelam diantara jerit dan teriakan para penumpang rakit yang terguncang-guncang itu.
Air Kali Pragapun mulai membasahi alas rakit bambu yang terhitung besar itu. Rakit bambu yang ditompang di atas dua perahu kecil di kedua sisinya.
Sejenak kemudian, maka kedua rakit itupun menjadi semakin dekat. Yang terdengar kemudian adalah suara Glagah Putih, "Marilah. Aku minta beberapa orang laki-laki meloncat ke rakit ini. Rakit ini masih cukup untuk menampung banyak orang. Dengan demikian rakit kalian tidak akan kelebihan penumpang."
Tetapi nampaknya tidak ada seorangpun yang berani melakukannya. Beberapa orang laki-laki pengiring pengantin itu nampak pucat dan ketakutan sebagaimana perempuan-perempuan.
"Cepat," teriak Glagah Putih yang berusaha membantu menarik tali yang telah dilemparkan oleh tukang satang dari rakit yang ditumpanginya dan yang telah dipegang oleh Kang Naya.
Kedua rakit itu menjadi semakin dekat. Tetapi ketika keduanya bersinggungan, maka rakit-rakit itu telah terguncang. Terutama rakit yang penuh penumpang itu.
"Jangan menjadi kehilangan akal," teriak Glagah Putih. Tukang satangpun telah berteriak pula, "Loncat kemari. Cepat, sebelum rakit itu tenggelam."
Orang-orang di rakit itu menjadi bertambah ketakutan. Sementara Glagah Putih mengulurkan tangannya sambil berteriak, "Tangkap tanganku."
Orang-orang di rakit yang penuh itu masih saja nampak bimbang dalam ketakutan. Namun seorang anak muda di antara mereka agaknya telah memberanikan diri menggapai tangan Glagah Putih.
Glagah Putihpun kemudian berteriak pula, "Loncat."
Anak muda itu meloncat sementara Glagah Putih menariknya, sehingga anak muda itupun akhirnya terjatuh di rakit yang ditumpangi oleh Glagah Putih itu.
Ketika Rara Wulan menolong anak muda itu, maka Glagah Putihpun telah menjulurkan tangannya pula, "Marilah. Siapa yang lain. Berusahalah. Jangan menyerah dan tenggelam bersama rakit itu."
Keberhasilan anak muda itu telah menumbuhkan keberanian pada beberapa orang laki-laki. Merekapun menjulurkan tangan mereka bergantian, sehingga beberapa orang akhirnya telah berpindah dari satu rakit ke rakit yang lain.
Dengan demikian, maka rakit yang terguncang itu menjadi agak mereda setelah beberapa orang berada di rakit yang ditumpangi oleh Glagah Putih.
Namun tiba-tiba saja seorang perempuan yang menggendong bakul dan berada di rakit yang ditumpangi Glagah Putih berteriak sambil menyerahkan sepasang telur ayam. "berikan telur ini kepada pengantinnya. Biarlah mereka yang melemparkan telur ini ke Kali Praga. Aku belum melihat mereka melempar sepasang telur sejak mereka naik di tepian sebelah Barat."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi Rara Wulanlah yang kemudian menerima telur itu. Ia melangkah ke tepi dan menjulurkan telur itu kepada orang yahg berada di rakit yang terguncang itu, "berikan kepada pengantinnya. Biarlah mereka yang melemparkannya ke Kali Praga."
Kang Nayalah yang menerima sepasang telur itu dan memberikannya kepada sepasang pengantin itu. Merekapun kemudian melemparkan sepasang telur itu ke arus Kali Praga.
Sejenak kemudian, maka kedua tukang satang dari rakit yang terguncang itupun berhasil menguasai rakitnya. Rakit yang ditumpangi Glagah Putih dan Rara Wulanpun mulai mengambil jarak, agar kedua rakit itu tidak bersinggungan.
"Nah," berkata perempuan yang memberikan dua butir telur itu, "pengantin baru yang belum genap selapan hari, jika menyeberangi sungai apalagi sebesar Kali Praga ini, harus melemparkan sepasang telur ke dalam arus sungai itu. Nampaknya sepasang pengantin itu tidak melakukannya. Mungkin bagi mereka, melemparkan telur itu hanya takhayul saja, sehingga tidak perlu dilakukan. Tetapi hampir saja mereka ditelan arus Kali Praga yang deras ini. Untung aku membawa lima butir telur yang diberikan oleh menantuku. Tetapi sebenarnya telur-telur itu adalah telur ayam bangkok yang akan aku tetaskan di rumah."
"Tetapi korban yang bibi berikan tidak sia-sia," sahut salah seorang pengiring pengantin yang telah berada di dekat perempuan itu setelah berhasil melompat, "kami sangat berterima kasih."
"Lain kali sebaiknya kalian bertanya-tanya kepada orang tua. Syarat-syarat yang harus dipenuhi jika kalian akan membawa sepasang pengantin menempuh perjalanan. Jauh atau dekat, syarat-syarat itu harus dipenuhi."
"Ya, bibi. Sekali lagi, atas nama sepupuku yang menjadi pengantin itu, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih."
Tetapi seorang yang duduk di sampingnya berbisik- Apakah sebaiknya kita ganti harga telur itu. Telur itu ternyata telur ayam bangkok yang akan ditetaskan."
Pendekar Pedang Sakti 8 Pendekar Slebor 34 Bunga Neraka Memanah Burung Rajawali 12
Keduanyapun kemudian berjalan memasuki padukuhan itu. Seorang anak muda yang berpapasan dengan merekapun bertanya, "Kakang Glagah Putih. Kau akan pergi ke mana?"
"Aku sedang menelusuri air. Parit di sebelah padukuhan ini airnya hanya mengalir sedikit sekali. Padahal seharusnya parit itu mengalir lebih deras. Apalagi setelah air dari bendungan Pucung itu sudah naik ke susukan. Maka parit itupun akan selalu mengalirkan air yang cukup."
"Apakah air di parit itu tidak mengalir, kakang?"
"Lihat saja sendiri."
"Aku tidak begitu menghiraukannya," gumam anak muda itu sambil berlari-lari ke parit yang melintas di padukuhannya, menyusuri halaman rumah di pinggir padukuhan.
"Ada apa?" bertanya orang yang halamannya dilewati parit itu.
"Aku ingin melihat parit itu paman. Menurut kakang Glagah Putih parit itu tidak mengalir. Padahal air parit itu disediakan untuk mengairi sawah di sekitar padukuhan induk."
Ternyata pemilik halaman yang dilintasi parit itu juga tidak memperhatikannya.
Baru ketika keduanya melihat parit itu, maka mereka baru tahu, bahwa parit itu memang tidak mengalir.
Anak muda itupun kemudian berlari-lari mendapatkan Glagah Putih sambil berkata, "Ya, kakang. Parit itu tidak mengalir. Tetapi tentu bukan orang padukuhan ini yang nakal dan membendung air parit itu. Ketika parit itu menembus padukuhan itu, parit itu sudah tidak mengalir."
"Baik. Kami akan melihat lebih ke atas."
"Aku ikut, kakang."
"Jangan. Jangan terlalu banyak orang. Nanti dapat menimbulkan salah paham. Biarlah kami berdua saja pergi ke padukuhan di seberang bulak itu."
"Biarlah aku yang pergi," berkata anak muda itu, "sebaiknya kakang kembali saja ke padukuhan induk."
Glagah Putih dan Ki Jayaraga tertawa pendek. Dengan nada datar Glagah Putih berkata, "Biarlah aku dan Ki Jayaraga saja yang pergi."
Anak muda itu menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mau memaksakan kehendaknya. Ia tahu, siapakah Glagah Putih dan Ki Jayaraga itu.
Glagah Putih dan Ki Jayaragapun melanjutkan usahanya menelusuri air yang tiba-tiba tidak mengalir itu.
Tetapi di padukuhan berikutnya, airpun sudah tidak mengalir, sehingga Glagah Putih dan Ki Jayaraga harus pergi ke bulak di sebelah padukuhan itu. Bulak yang sudah berada di perbatasan dengan sebuah Kademangan tetangga Tanah Perdikan Menoreh.
Langit sudah menjadi muram. Sementara itu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah sampai ke bendungan Pucung yang masih berada di wilayah Tanah Perdikan Menoreh.
Glagah Putih itu mengerutkan dahinya ketika ia melihat air yang naik dari bendungan Pucung itu telah dibendung dan dialirkan ke arah yang lain. Bahkan susukannya yang dibendung, sehingga dua jalur parit yang mengalir untuk mengairi sawah di sekitar padukuhan induk dan sebuah padukuhan lain telah tersumbat.
Dengan demikian, maka air yang mengalir di parit itu hanya kecil sekali. Sehingga ketika sampai di padukuhan induk, hampir-hampir tidak mengalir sama sekali.
"Siapa yang melakukan ini?" berkata Glagah Putih.
"Ke mana air itu dialirkan," desis Ki Jayaraga.
"Kita akan menelusuri, Ki Jayaraga."
"Kenapa kita harus membuang tenaga menelusuri parit yang telah mencuri air bagi sawah kita. Aku akan membukanya agar airnya mengalir seperti seharusnya. Bukankah kita mengambil hak kita sendiri."
Ki Jayaraga yang seakan-akan ke mana-mana membawa cangkul itupun segera mencangkul tanah yang menyumbat parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya, sehingga dengan demikian, maka airpun telah mengalir kembali lewat kedua parit yang semula telah tersumbat itu.
Namun dengan demikian, maka parit yang lain, yang mengalirkan air ke arah yang belum diketahui itupun telah berhenti mengalir. Bahkan Ki Jayaraga telah menimbun parit itu dengan tanah yang semula menyumbat kedua parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya.
Beberapa saat kemudian, maka kedua parit itupun telah terbuka. Airpun mengalir sebagaimana seharusnya. Sedangkan air yang mengalir ke parit baru yang belum diketahui itupun menjadi berhenti mengalir.
Sejenak Glagah Putih dan Ki Jayaraga berdiri mengamati air yang mengalir dengan deras itu, Sambil berdiri di tanggul parit berpegangan tangkai cangkulnya Ki Jayaragapun berkata, "Nah, mudah-mudahan Ki Tanda masih menunggui sawahnya, hingga ia dapat menikmati air yang mengalir deras itu."
"Ki Tanda tentu masih berada di sawahnya," sahut Glagah Putih, "air yang tersumbat itu tentu belum membasahi seperempat sawah Ki Tanda."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja dalam keremangan ujung malam mereka melihat beberapa orang datang mendekati keduanya.
"Jahanam," geram seorang yang berwajah seram. Kumisnya yang tebal melintang di atas bibirnya hingga hampir sampai ke telinganya. Matanya yang liar mencerminkan sikapnya yang liar pula.
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih berdiam diri.
"Apa yang kau lakukan?" bertanya orang berkumis tebal itu.
Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Aku mengembalikan aliran parit itu seperti semula Ki Sanak."
"Bodoh kau. Kami telah memindahkan aliran parit itu."
"Kedua parit itu kita pakai untuk mengaliri sawah di padukuhan induk dan sekitarnya. Jika air itu ditutup, maka ada beberapa bulak sawah yang akan mengalami kekeringan."
"Kami tidak peduli. Kami memerlukan air itu untuk mengaliri sendang buatan di pasanggrahan yang baru dibuat oleh Ki Tumenggung Wirataruna. Pasanggrahan yang dibuat untuk ibunda Ki Tumenggung yang sudah menjadi semakin tua, dan ingin tinggal di satu tempat yang tenang dan tidak banyak tersentuh oleh persoalan-persoalan yang mendebarkan sebagaimana terjadi di Kotaraja. Karena itu, maka Ki Tumenggung telah membangun sebuah pesanggrahan di tempat yang jauh dari Kotaraja."
"Ki Tumenggung siapa yang kau maksud?" bertanya Glagah Putih.
"Ki Tumenggung Wirataruna. Apakah kau tidak niendengarnya?"
"Ya. Aku mendengarnya. Ki Tumenggung Wirataruna."
"Ki Tumenggung telah menerima anugerah pangkat Tumenggungnya beberapa waktu yang lalu. Sebagai pernyataan sukur atas keberhasilannya, maka Ki Tumenggung telah membangun sebuah pesanggrahan bagi ibundanya."
"Kami ikut bersukur atas anugerah itu Tetapi kami tidak akan dapat membiarkan sawah-sawah kami menjadi kering. Bukannya kami tidak bersedia membagi air dari. bendungan Pucung ini. Tetapi sebaiknya kita bicarakan, berapa bagian kami dapat memberikan air bagi sendang buatan Ki Tumenggung itu."
"Anak iblis. Kalianlah yang harus menerima seber-apapun bagian yang kami berikan. Kalian orang-orang pedesaan tidak dapat banyak bicara tentang kepentingan kalian. Apa yang dapat kami sisakan, dapat kalian ambil."
"Jangan berkata begitu, Ki Sanak," sahut Glagah Putih, "seharusnya kalianlah yang mengalah. Sendang itu tidak akan kekeringan. Mungkin tidak segera dapat penuh, tetapi kami tentu tidak akan dapat mengorbankan sawah kami."
"Jangankan tanaman di sawah. Jika Ki Tumenggung memerlukan, apapun harus kalian korbankan. Bahkan jika perlu Ki Tumenggung dapat menggiring kalian untuk bekerja bagi Ki Tumenggung."
"Ki Sanak. Aturan apa yang kalian trapkan untuk memaksa kami bekerja bagi Ki Tumenggung?"
"Jangan banyak bicara, orang-orang dungu. Sekarang, kembalikan aliran air seperti semula."
"Sudah. Kami sudah mengembalikan aliran air seperti semula."
"Tidak seperti itu, setan alas. Aliran air itu ke sendang buatan di pasanggrahan Ki Tumenggung. Jika itu kau lakukan, aku berjanji untuk tidak melaporkan tingkah laku kalian."
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi Glagah Putih itupun bertanya, "Kau akan melaporkan kepada siapa, Ki Sanak. Kepada Ki Gede Menoreh?"
"Ki Gede Menoreh" Aku tidak mengenal Ki Gede Menoreh. Pemimpinku adalah Ki Tumenggung Wirataruna. Jika aku melaporkan kalian kepada Ki Tumenggung, maka habislah kalian berdua."
"Ki Sanak," berkata Ki Jayaraga, "daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Yang memimpin Tanah Perdikan ini adalah Ki Gede Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Tidak ada kekuasaan lain yang ada di Tanah Perdikan Menoreh ini selain kekuasaan yang ada di tangan Ki Gede Menoreh."
"Ki Tumenggung Warataruna akan memanggil Ki Gede Menoreh. Jika Ki Gede Menoreh itu melindungi kalian, maka Ki Tumenggung Wirataruna akan menghukum Ki Gede Menoreh."
"Kau ini mengigau atau karena kau benar-benar tidak tahu tatanan. Apalagi tatanan pemerintahan."
"Baik. Baik. Sekarang tidak memakai tatanan pemerintahan, bahkan tidak memakai tatanan apapun juga. Jika kau tidak mau mengembalikan aliran air ini ke sendang buatan, maka aku akan memukuli kalian berdua. Kawan-kawanku ini akan menjadi saksi, apa yang telah terjadi di sini."
"Kau akan memukuli kami berdua?"
"Ya. Apa boleh buat. Kalian tidak mau mendengarkan peringatanku. Aku akan memukuli kalian berdua sehingga kalian bersedia membendung parit-parit itu, sehingga airnya mengalir ke sendang buatan di pesanggrahan Ki Tumenggung Wirataruna."
"Jadi kau sendiri akan memukuli kami berdua?" bertanya Ki Jayaraga.
"Ya." "Sulit untuk kau lakukan, Ki Sanak. Kami berdua akan lari ke arah yang berbeda. Aku yakin, bahwa kau tidak akan dapat mengejar kami. Kami adalah pelari-pelari tercepat di Tanah Perdikan Menoreh."
"Persetan kalian," geram orang itu. Namun tiba-tiba ia berkata hampir berteriak kepada kawan-kawannya, "kepung mereka. Jangan beri kesempatan mereka melarikan diri. Aku akan memukuli mereka sampai mereka mau membendung parit itu."
Perintah itu tidak perlu diulangi. Orang-orang yang berdatangan bersama orang yang berkumis melintang itupun segera menebar. Mereka telah mengepung Glagah Putih dan Ki Jayaraga sehingga sulit bagi mereka untuk melarikan diri.
"Nah, sekarang lakukan perintahku."
Ki Jayaragalah yang menyahut, "Betapa kasarnya kau, tetapi kau masih baik hati. Kalian hanya mengancam agar kami bersedia membendung parit-parit itu."
Wajah orang itu menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya iapun berkata, "Jadi, apa yang harus aku katakan kepadamu?"
"Kau tidak mengancam untuk membunuhku. Karena itu, aku masih menaruh hormat padamu."
"Apa yang kau katakan itu Ki Sanak. Kau orang tua yang tidak tahu diri. Kau kira aku tidak berani membunuhmu."
"Bukan itu maksudku. Tetapi kau tidak berniat membunuh. Tidak ada keinginanmu untuk melakukan pembunuhan. Sikap itu pantas dihormati."
"Persetan kau. Aku tidak tahu maksudmu. Tetapi sekarang jawab pertanyaanku. Kau mau membendung parit itu atau tidak."
Ki Jayaragapun menggeleng. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Aku tidak akan membendung parit itu. Bukankah sudah aku katakan berkali-kali."
"Bagus. Sekarang aku akan memukuli kalian berdua. Jika kalian mencoba untuk lari, maka kawanku itulah yang akan memukuli kalian."
Orang itupun tiba-tiba meloncat sambil mengayunkan tangannya ke wajah Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga tidak membiarkan tangan orang berkumis itu menyentuhnya. Karena itu, dengan gerak yang sederhana, Ki Jayaraga itu bergeser ke samping sambil memiringkan kepalanya, sehingga tangan orang itu tidak menyentuhnya.
Orang itu memang terkejut. Tetapi ia belum menyadari apa yang terjadi. Yang dilakukannya itu memang belum bersungguh-sungguh sehingga mungkin sekali ia masih berdiri pada jarak yang terlalu jauh.
Namun dalam pada itu, maka kakinyapun telah terjulur pula mengarah ke lambung Glagah Putih.
Tetapi seperti Ki Jayaraga, maka Glagah Putih itupun bergeser ke samping pula. Kakinya yang terjulur itu tidak dapat menyentuh sasarannya. Sementara Glagah Putih itu masih saja bersikap tenang-tenang dan bahkan seakan-akan tidak peduli.
Orang berkumis melintang itu menggeram, "Anak iblis. Kalian mencoba menghindar, he."
Namun ternyata Ki Jayaraga tidak memberikan kesempatan. Iapun kemudian berkata, "Tangkap saja orang ini."
Glagah Putih tanggap akan maksud Ki Jayaraga. Iapun segera meloncat dan menangkap satu tangan orang berkumis lebat itu, sementara Ki Jayaragapun menangkap yang sebelah lagi. Dengan tangkapan yang utuh, Glagah Putih memegangi tangan orang berkumis yang terpilin itu, sebagaimana Ki Jayaraga memegangi tangannya yang satu lagi.
Orang berkumis melintang itupun seakan-akan telah dijepit oleh dua kekuatan yang tidak teratasi.
Sementara itu Glagah Putihpun berkata, "Nah, sekarang kamilah yang akan memukuli kau, Ki Sanak. Bukan kau yang memukuli kami."
Orang itu meronta. Tetapi semakin ia meronta, maka Glagah Putih dan Ki Jayaraga semakin keras menekan tangannya itu.
"Lepaskan. Lepaskan," teriak orang itu.
"Tidak mau," jawab Glagah Putih, "jika aku lepaskan tanganmu, maka tanganmu akan kau pakai untuk memukuli aku."
Orang berkumis itupun kemudian berteriak pula kepada kawan-kawannya, "He, apa yang kau lihat. Kenapa kalian menjadi kebingungan. Bantu aku untuk melepaskan tanganku."
Kawan-kawannya baru sadar atas apa yang terjadi dengan orang yang berkumis lebat. Orang yang menurut pendapat mereka adalah orang yang mempunyai tenaga dan kekuatan yang sangat besar. Namun satu kenyataan, bahwa ketika kedua orang yang akan dipukulinya itu memegangi tangannya, orang berkumis lebat itu tidak mampu melepaskannya.
Serentak kawan-kawan orang berkumis lebat itu berloncatan. Sementara itu Glagah Putih dan Ki Jayaragapun telah mengangkat orang berkumis itu pada lengannya dan melemparkannya kepada sebagian orang yang menyerangnya bersama-sama.
Tubuh orang berkumis itupun kemudian terlempar dan menimpa sebagian dari kawan-kawannya. Merekapun terdorong beberapa langkah surut dan akhirnya berjatuhan. Bahkan ada yang terjatuh di parit yang sudah tidak mengalir lagi. Tetapi tubuhnya justru menjadi berlumuran lumpur.
Dalam pada itu, kawan-kawannya yang lain telah menyergapnya pula. Tetapi Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun telah berloncatan saling menjauhi. Bahkan tibatiba saja Ki Jayaraga dan Glagah Putihlah yang berloncatan menyerang. Kaki merekapun terayun mendatar menyambar orang-orang yang datang menyerang itu.
Demikianlah, maka pertempuranpun telah berubah warnanya. Glagah Putih dan Ki Jayaraga harus menghadapi beberapa orang sekaligus. Orang berkumis tebal yang tangannya kesakitan itu, telah ikut pula bertempur melawan Glagah Putih dan Ki Jayaraga.
Sejenak perkelahian itu menjadi sengit. Namun orang berkumis melintang dan kawan-kawannya itu sama sekali tidak mampu mengimbangi ilmu Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
Beberapa saat kemudian, maka orang berkumis tebal itu serta kawan-kawannya telah menjadi semakin tertekan.
Akhirnya, maka orang berkumis tebal itupun memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk melarikan diri dari arena. Tetapi sambil berlari, orang berkumis itu masih berteriak, "Persoalan di antara kita masih belum selesai."
Glagah Putih dan Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Mereka melihat orang-orang itu melarikan diri. Tetapi keduanya tidak mengejarnya.
"Marilah," berkata Ki Jayaraga, "kita harus segera melaporkan kepada Ki Gede Menoreh. Jika benar sendang buatan itu milik seorang Tumenggung, biarlah Ki Gede Menoreh yang menyelesaikannya. Mungkin ia memerlukan bantuan Ki Rangga Agung Sedayu."
"Jadi, apakah kita sekarang langsung ke rumah Ki Gede?"
"Ya. Kita sekarang langsung pergi ke rumah Ki Gede."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Ki Jayaraga itupun meninggalkan bendungan. Tetapi air masih tetap mengalir ke Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, malam sudah menjadi semakin gelap. Ketika mereka sampai di rumah Ki Gede, lampu minyak telah menyala di mana-mana.
Kedatangan Glagah Putih dan Ki Jayaraga memang mengejutkan. Merekapun langsung diterima oleh Ki Gede di Pringgitan.
Ternyata Ki Jayaraga tidak lagi berbasa-basi. Ki Gede tidak sempat bertanya kepada Glagah Putih, kapan ia pulang dan apakah tugas-tugasnya selanjutnya.
"Ki Gede," berkata Ki Jayaraga setelah melaporkan apa yang telah terjadi, "Mungkin orang yang disebutnya sebagai Ki Tumenggung Wirataruna itu akan menelusuri persoalan itu dan menemui Ki Gede. Karena itu, maka sebaiknya Ki Gede mengetahui persoalannya yang sebenarnya."
Ki Gede Menoreh itupun mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak usah memikirkannya terlalu dalam. Jika benar Ki Tumenggung Wirataruna itu datang menemui aku, aku akan meletakkan persoalannya pada tempat yang sewajarnya. Meskipun ia seorang Tumenggung, tetapi Tanah Perdikan Menoreh memiliki kebebasan untuk mengurus dirinya sendiri. Jika ada barak prajurit Mataram yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan ini, itu adalah karena kelonggaran para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh. Pada angkatan pertama, para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, banyak yang terdiri dari anak-anak muda dari Tanah Perdikan ini yang sampai sekarang masih cukup banyak pula. Apalagi pemimpinnya, adalah orang yang mendapat tempat yang khusus di hati orang-orang Tanah Perdikan ini."
"Segala sesuatunya kami serahkan kepada Ki Gede," berkata Ki Jayaraga, "selanjutnya kami akan memberikan laporan pula kepada Ki Rangga Agung Sedayu."
"Baiklah Ki Jayaraga. Aku akan memanggil Prastawa. Jika besok parit itu dibendung lagi, biarlah Prastawa yang membuka."
Ki Jayaraga yang ingin segera memberikan laporan kepada Ki Rangga Agung Sedayupun segera minta diri. Glagah Putihpun minta diri pula sambil berkata, "Maaf Ki Gede. Aku belum dapat menghadap. Tetapi aku akan menghadap Ki Gede pada kesempatan lain."
"Tidak apa-apa ngger. Kita sedang berada dalam keadaan yang khusus. Sebaiknya angger Rangga Agung Sedayu segera diberi tahu pula, agar ia dapat bersiap-siap mengambil langkah terbaik seandainya orang yang menyebut dirinya Ki Tumenggung Wirataruna itu datang menemuinya."
Demikianlah, maka Ki Jayaraga dan Glagah Putih itupun telah meninggalkan rumah Ki Gede, sementara Ki Gedepun segera memerintahkan seorang pembantunya untuk memanggil Prastawa.
"Katakan, bahwa ada yang penting yang akan aku bicarakan."
"Ya, Ki Gede," sahut pembantunya yang segera pergi ke rumah Prastawa.
Prastawa masih duduk-duduk di ruang dalam. Makan malam baru saja disingkirkan. Namun masih ada minuman hangat yang masih ditinggalkan.
Kedatangan pembantu Ki Gede memang agak mengejutkan. Apalagi ketika pembantu Ki Gede itu mengatakan, bahwa ada hal yang penting yang akan dibicarakan.
"Tentang apa?" bertanya Prastawa.
"Aku tidak mendapat pesan lebih jauh. Tetapi Ki Jayaraga dan Glagah Putih baru saja menghadap."
Prastawa itu menarik nafas panjang. Katanya, "Baiklah aku akan menghadap."
"Apakah kita akan berjalan bersama?"
"Pergilah dahulu. Aku akan segera menyusul." Sepeninggal orang itu, maka Prastawa itupun bergumam, "Aku akan lapar lagi."
"Apakah aku harus menyediakan lagi buat nanti tengah malam, kakang?"
Prastawa tertawa. Katanya, "Tidak usah. Mudah-mudahan di rumah paman, aku akan disuguhi pondoh dengan dendeng ragi."
"Dari mana mendapat pondoh dan dendeng ragi pada wayah seperti ini?"
"Mungkin paman sudah menyediakannya sebelum memerintahkan pembantunya memanggil aku."
Keduanya tertawa. Namun sejenak kemudian, Prastawapun meninggalkan rumahnya menuju ke rumah Ki Gede Menoreh.
Ketika Prastawa sampai di rumah Ki Gede, maka Ki Gedepun mempersilahkannya duduk di ruang dalam.
"Di pringgitan, anginnya terasa dingin," berkata Ki Gede.
"Ya, paman. Anginnya memang terasa basah." Sejenak kemudian, maka keduanyapun duduk di ruang dalam. Seorang pembantu Ki Gedepun segera menghidangkan minuman hangat serta beberapa potong makanan.
Sambil menghirup minumannya Ki Gedepun kemudian menceriterakan bahwa seorang Tumenggung telah membangun sebuah pesanggrahan yang memiliki sendang buatan.
"Memang ada yang pernah berbicara tentang sebuah bangunan yang terhitung besar dan lengkap. Halamannya luas namun berdinding cukup tinggi, sehingga hanya sedikit bagian depannya sajalah yang kelihatan dari pintu regol jika pintunya terbuka. Mungkin rumah itulah yang dimaksud. Tetapi rumah itu berada di luar Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya. Rumah itu memang tidak berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi orang-orangnya telah membendung parit yang mengalirkan air di padukuhan induk dan sekitarnya. Dua jalur parit telah dibendungnya, sementara airnya dialirkan ke sendang buatan di pesanggrahan itu."
Prastawa mengangguk-angguk. Sementara Ki Gedepun berceritera sebagaimana dilaporkan oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
"Jadi Ki Jayaraga dan kakang Glagah Putih telah melihat parit yang telah mereka sumbat itu?"
"Ya," sahut Ki Gede yang kemudian telah menceriterakan peristiwa selengkapnya.
Prastawa menarik nafas panjang. Katanya, "Kita harus mencegah peristiwa itu terulang, paman. Jika parit , itu dibendung lagi, maka sawah padukuhan induk dan sekitarnya akan kering. Sementara itu, tanaman yang sedang tumbuh menjadi besar itu sangat membutuhkan air."
"Karena itu, aku telah memanggilmu Prastawa. Sebaiknya kau awasi bendungan Pucung. Jangan sampai Ki Tumenggung yang telah membuat pesanggrahan itu, atau orang-orangnya menyumbat parit kita. Bukan berarti bahwa kita tidak mau memberi air kepadanya. Tetapi sebaiknya kita harus berbagi. Seberapa banyak air yang akan kita berikan kepada mereka. Bukankah sendang buatan itu tidak harus penuh dalam sehari?"
"Setelah penuh, sendang itupun masih harus dialiri air paman. Air di sendang itu tentu meresap dan menguap. Bahkan mungkin untuk menyiram tanaman-tanaman di taman yang ada di sekitar sendang itu."
"Karena itu, bicarakan baik-baik. Mereka tidak dapat merampas seluruh aliran air dari bendungan Pucung itu."
"Baik, paman. Jika besok mereka membendung parit itu lagi, maka aku akan menemui mereka. Atas nama paman aku akan bertemu dengan Ki Tumenggung yang telah membuat pesanggrahan itu. Kita akan menjelaskan masalahnya."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Sebaiknya malam ini kau perintahkan satu dua orang anak muda yang sedang meronda untuk melihat parit itu. Apakah masih tetap mengalir atau parit itu telah disumbat lagi."
"Baik, paman." "Tetapi untuk membicarakannya, sebaiknya kau menunggu sampai esok pagi. Kau tidak perlu datang menemui Ki Tumenggung malam ini."
"Tetapi mungkin Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah mengambil tindakan langsung seperti yang dilakukannya senja tadi."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Sebaiknya kaupun menghubungi mereka. Pergilah ke rumah Ki Rangga."
"Baik, paman. Aku akan bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih, agar langkah yang kita ambil dapat sejalan."
Malam itu, setelah minum minuman hangat serta makan sepotong jenang nangka, maka Prastawapun minta diri untuk pergi ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Prastawa tahu, bahwa pada saat apapun, Ki Rangga akan dapat menerima tamu dengan terbuka.
Ketika Prastawa sampai di rumah Ki Rangga Agung Sedayu, Prastawa justru terkejut. Di halaman rumah itu terdapat sekelompok orang yang sedang sibuk berbincang dengan Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Ki Rangga Agung Sedayu sendiri.
"Marilah, silahkan duduk di pendapa," Ki Rangga mempersilahkan.
Tetapi orang-orang itu tidak mau. Seorang di antaranya menyahut, "Terima kasih, Ki Rangga. Kami hanya ingin tahu, kenapa Ki Tanda mengeluh, bahwa air di parit itu tidak mengalir. Ki Tandapun mengatakan, bahwa Ki Jayaraga dan Glagah Putih sudah pergi menyusuri parit itu."
"Sekarang parit itu sudah mengalir lagi. Tetapi entah nanti, jika demikian kami berdua pergi, mereka membendung parit itu lagi."
"Kita akan membicarakannya Ki Jayaraga," sahut Prastawa tiba-tiba.
Orang-orang yang ada di halaman itupun menyibak. Dalam keremangan malam mereka melihat Prastawa melangkah mendekati Ki Rangga Agung Sedayu.
"Marilah. Naiklah," Ki Rangga mempersilahkan. Prastawa itupun kemudian naik ke pendapa dan langsung ke pringgitan di temui oleh Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Tetapi orang-orang yang berkerumun di halaman tidak mau dipersilahkan naik. Mereka justru minta diri.
"Biarlah angger Prastawa membicarakannya dengan Ki Rangga," berkata seorang yang rambutnya sudah ubanan.
Orang-orang yang berkerumun di halaman itupun kemudian meninggalkan rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika mereka melihat Prastawa datang menemui Ki Rangga, maka merekapun yakin, bahwa segala sesuatunya akan dapat diselesaikan, karena Prastawa tentu sudah bertemu dan berbicara dengan Ki Gede.
Di pringgitan, Prastawapun kemudian telah berbincang dengan Ki Rangga, Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Ki Jayaraga telah menjelaskan semakin terperinci, apa yang telah terjadi dengan air dari bendungan Pucung itu.
"Jika mereka membendung parit itu lagi, biarlah esok aku menemui Ki Tumenggung," berkata Prastawa, "paman berpesan bahwa aku tidak perlu datang malammalam ke rumah itu."
"Ya. Sebaiknya memang begitu," sahut Ki Rangga Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Pendapatnya memang agak berbeda. Menurut Ki Jayaraga, jika malam ini mereka membendung parit itu lagi, maka sebaiknya mereka datang malam itu juga.
"Kita memang tidak perlu menemui Ki Tumenggung malam ini. Tetapi jika penyumbatan parit itu terjadi, kita langsung saja membukanya tanpa harus berbicara dengan Ki Tumenggung. Baru esok, seperti dikatakan oleh Ki Gede dan Ki Rangga Agung Sedayu, kita menemui Ki Tumenggung."
"Bukankah kita tidak memerlukan air malam ini?" bertanya Ki Rangga Agung Sedayu.
"Jika air berhenti mengalir, mereka yang mendapat giliran mengairi sawahnya menjelang fajar, akan mendalami kesulitan. Padahal setelah matahari terbit, mereka yang mendapat giliran tetap minta air itu dialirkan ke sawahnya."
"Aku akan menemui Ki Ulu-ulu."
"Tetapi lebih baik kalau parit itu tidak berhenti mengalir sehingga orang-orang di padukuhan induk dan sekitarnya tidak akan mengalami penundaan beruittun untuk mengairi sawahnya."
Glagah Putihpun kemudian berkata, "Aku sependapat dengan Ki Jayaraga. Kita akan menemui Ki Tumenggung Wirataruna esok pagi. Tetapi malam ini, air itu harus tetap mengalir di padukuhan induk dan sekitarnya. Jika mereka bertindak kasar, maka kitapun akan bertindak kasar pula. Tetapi jika mereka dapat mengerti penjelasan kita, agaknya keadaan akan menjadi lebih baik."
Ki Rangga Agung Sedayu memang menjadi agak sulit untuk mengambil keputusan. Dengan nada datar iapun berkata, "Ki Tumenggung Wirataruna adalah seorang Tumenggung yang baru saja diwisuda. Mungkin berbareng dengan Ki Tumenggung Purbasena. Karena itu, aku berniat untuk berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna sebelum terjadi kekerasan."
Namun dalam pada itu, selagi mereka berbicara di pringgitan, seorang laki-laki yang masih terhitung muda, yang agaknya sedikit lebih tua dari Glagah Putih, memasuki regol halaman itu dengan tergesa-gesa.
"Prastawa," panggil orang itu.
Prastawapun kemudian bangkit berdiri dan berjalan turun ke halaman. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu berkata, "Silahkan naik saja. Kita dapat berbicara disini."
"Terima kasih, Ki Rangga. Aku hanya sebentar. Kakang Panggih mengatakan bahwa Prastawa ada disini."
"Ada apa?" bertanya Prastawa. Laki-laki itu adalah kawannya bermain sejak kanak-kanak sehingga menjadi orang tua. Keduanya senang sekali bermain layang-layang.
"Paritnya tidak mengalir lagi."
Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun segera bangkit pula. Namun Ki Rangga Agung Sedayupun telah ikut bangkit dan turun ke halaman.
"Jadi orang-orang Ki Tumenggung Wirataruna itu memang mencari perkara," berkata Ki Jayaraga.
"Apakah kau memerlukan air sekarang?" bertanya Ki Rangga Agung Sedayu.
"Giliranku memang sekarang, Ki Rangga," jawab orang itu.
"Bagaimana jika ditunda sampai esok?"
"Sawahku sudah kering. Meskipun jika terpaksa, tanamanku memang masih dapat bertahan. Tetapi jika giliran berikutnya memaksa untuk membuka pematangnya dan mengalirkan airnya pagi-pagi sekali, maka aku keberatan."
"Sebaiknya kita tidak usah menunda," berkata Ki Jayaraga, "aku dan Glagah Putih akan membuka parit itu. Bahkan seandainya Ki Tumenggung Wirataruna itu menungguinya."
Namun tiba-tiba saja Prastawapun berkata, "Tetapi mereka telah menyinggung hak kita, Ki Rangga."
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang. Prastawa masih juga terhitung muda, sehingga jika ia tersinggung, maka darahnya masih cepat menjadi panas.
"Bukankah Ki Gede berpesan untuk membicarakannya esok pagi?" bertanya Ki Rangga Agung Sedayu kepada Prastawa.
"Paman memang selalu lamban. Paman sudah tua. Agaknya paman selalu menghindari perselisihan. Tetapi jika hak kita sudah dilanggar, agaknya kita tidak dapat tinggal diam."
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang. Agaknya sulit baginya untuk mencegah orang-orang itu pergi menelusuri air. Apalagi Ki Jayaragapun kemudian berkata, "Ki Rangga jarang sekali langsung berhubungan dengan tanaman di sawah. Tetapi kami yang setiap hari menyatukan diri dengan tanaman di sawah akan merasa seakan-akan kamilah yang kehausan."
Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita akan berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna, kecuali jika Ki Tumenggung juga menunggui ujung paritnya."
"Baik Ki Rangga," sahut laki-laki yang masih terhitung muda, yang telah melaporkan bahwa paritnya tidak mengalir.
"Bukan kau yang akan pergi. Tetapi.kami. Aku, Prastawa, Ki Jayaraga dan Glagah Putih."
"Jika Ki Tumenggung itu menyiapkan orang-orangnya?"
"Tidak apa-apa. Asal kita tidak datang untuk berkelahi, tentu tidak akan terjadi kekerasan."
"Tetapi kekerasan itu sudah terjadi."
"Hanya sedikit salah paham. Karena itu jangan pergi bersama kami, nanti akan terjadi salah paham yang lebih parah lagi."
Laki-laki itu tidak dapat memaksa. Meksipun demikian, iapun berkata kepada Prastawa, "Jika kau perlukan kami, beri kami isyarat."
Tetapi Ki Rangga Agung Sedayupun bertanya, "Kami siapa?"
"Maksudku. Pengawal Tanah Perdikan."
"Apakah kita akan berperang" " Laki-laki itu terdiam.
Demikianlah, maka Ki Rangga Agung Sedayu, Prastawa, Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun kemudian pergi menelusuri parit yang aliran airnya menjadi kecil sekali itu. Seperti biasanya jika pergi ke sawah, Ki Jayaragapun membawa cangkulnya pula.
Sebelum mereka pergi, Ki Rangga Agung Sedayu sempat berpesan, "Ingat. Tidak boleh ada seorangpun yang menyusul kami. Jika itu terjadi, maka orang itu akan kami kenakan hukuman."
Laki-laki itupun mengangguk. Ia sadar, bahwa Ki Rangga Agung Sedayu itu bersungguh-sngguh.
Demikianlah, ketika malam menjadi semakin pekat, empat orang telah menelusuri jalan menuju ke ujung parit yang tersumbat. Agaknya padukuhan-padukuhan apalagi bulak-bulak panjang dan pendek sudah menjadi sepi.
Ketika mereka sampai di ujung parit yang tersumbat, mereka berempat menjadi agak terkejut. Di sekitar mulut parit yang tersumbat itu, beberapa orang yang berjalan hilir mudik mengawasinya. Sementara itu, masih ada orang lain yang duduk-duduk di tanggul parit yang hampir tidak mengalir itu.
"Nampaknya mereka telah bersiap-siap untuk bertindak kasar," desis Ki Jayaraga.
"Aku akan mencoba berbicara dengan mereka -berkata Ki Rangga Agung Sedayu.
Meskipun agak ragu, Ki Rangga Agung Sedayu dan ketiga orang yang lainpun mendekati orang-orang yang berada di sekitar ujung parit yang telah disumbat lagi itu.
Demikian orang-orang itu melihat kedatangan empat orang dari arah Tanah Perdikan, maka merekapun serentak berdiri. Dua orang diantara merekapun telah menyongsong Ki Rangga Agung Sedayu. Tetapi orang itu bukan Ki Tumenggung Wirataruna.
Namun sebelum Ki Rangga Agung Sedayu berkata sesuatu, maka seorang diantara'kedua orang yang menyongsong Ki Rangga itu sudah menggeram, "Pergi. Pergi dari sini."
"Sebentar Ki Sanak," sahut Ki Rangga, "ada yang ingin aku jelaskan."
"Pergi. Aku tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan igauan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
"Dengarlah. Aku datang bersama Prastawa atas nama Ki Gede Menoreh, Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
"Diam. Sudah aku katakan, tidak ada yang akan kita bicarakan. Sekarang, kalian harus pergi dari sini. Atau kalian akan mengalami nasib buruk."
"Jangan begitu Ki Sanak. Bukankah kita dapat berbicara baik-baik. Masalahnya bukanlah satu hal yang tidak akan dapat diselesaikan."
"Cukup," teriak yang seorang lagi, "kami tidak mau dengar igauan orang-orang Tanah Perdikan. Sekarang pergi atau kami akan mengikat kalian disini sampai esok pagi."
"Ki Sanak," sahut Prastawa, "aku ingin berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna. Atas nama Ki Gede Menoreh, aku membawa wewenang untuk membicarakan penyelesaian soal air ini. Bagi kami, para petani di Tanah Perdikan Menoreh, air merupakan satu kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda, apalagi pada saat tanaman kami sedang tumbuh menjadi besar, menjelang musimnya padi bunting. Air adalah sama halnya dengan hidup kami."
"Cukup. Cukup," teriak seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan yang berdiri di atas tanggul parit yang sudah disumbat itu.
"Belum Ki Sanak," sahut Prastawa.
"Usir mereka. Aku muak melihat kehadiran mereka."
"Dua orang diantara mereka adalah orang-orang yang tadi telah datang kemari, kakang. Orang-orang yang dengan kasar dan kekerasan membuka sumbat pada kedua parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk itu."
"Bagus. Agaknya mereka merasa menang. Sekarang mereka akan mengulangi kemenangannya itu lagi."
"Tidak. Bukan begitu Ki Sanak," sahut Ki Rangga Agung Sedayu, "kami datang untuk membicarakannya dengan baik-baik."
"Cukup, cukup. Aku tidak mau dengar lagi apapun yang akan kalian katakan."
"Tapi kami harus berbicara."
Belum lagi Ki Rangga Agung Sedayu selesai berbicara, maka orang yang berdiri di atas tanggul parit yang sudah disumbat itu mencengkam lumpur dibawah kakinya. Kemudian dilemparkannya ke arah Ki Rangga Agung Sedayu.
Dengan gerak naluriah Ki Rangga Agung Sedayu telah bergeser serta memiringkan tubuhnya, sehingga segenggam lumpur yang diarahkan ke dadanya itu tidak mengenainya.
Tetapi mereka yang melihat segenggam lumpur itu meluncur, telah terkejut karenanya. Lumpur itu meluncur lebih cepat dari anak panah. Karena segenggam lumpur itu tidak mengenai Ki Rangga Agung Sedayu, maka lumpur itupun telah menerobos gerumbul perdu yang ada di belakang Ki Rangga berdiri.
Akibatnya memang mengejutkan. Ranting-ranting pada gerumbul perdu itupun menjadi rantas berpatahan.
Ki Rangga Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Prastawa menjadi berdebar-debar. Jantung merekapun terasa semakin cepat berdetak.
Namun ketika Ki Jayaraga bergeser maju, Ki Rangga Agung Sedayu telah menggamitnya.
"Sudah aku katakan, jangan ada yang berbicara lagi," geram orang yang berdiri di atas tanggul itu. Kata-katanya tiba-tiba terpotong oleh kesadarannya, bahwa orang yang telah dilempar dengan segenggam lumpur itu ternyata mampu menghindar.
"Tunggu, Ki Sanak," berkata Ki Rangga Agung Sedayu, "aku akan berbicara dengan Ki Tumenggung."
Tetapi orang itu tidak mau mendengarkannya. Tiba-tiba saja ia berteriak, "Usir mereka. Yang melawan, tangkap dan ikat pada batang pepohonan di halaman pasanggrahan. Besok kita akan mengadili mereka."
Orang-orang yang bertebaran di sekitar tempat orang-orang itu menyumbat parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan itupun serentak bergerak. Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan kepada orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu untuk berbicara.
Ki Rangga Agung Sedayu memang menjadi agak bingung. Tetapi tidak ada waktu untuk berpikir lebih jauh. Orang-orang itupun telah berdatangan menyerangnya. Yang lain menyerang Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Prastawa.
Perkelahian sudah tidak dapat dihindari lagi. Orang-orang yang menyumbat parit itu benar-benar telah siap untuk berkelahi.
Glagah Putih, Prastawa dan Ki Jayaraga, sebagaimana juga Ki Rangga Agung Sedayu, memang tidak mempunyai pilihan. Mereka harus melindungi diri mereka dari serangan-serangan yang datang seperti angin ribut.
Ternyata orang-orang yang menunggui parit yang telah mereka sumbat itu benar-benar telah mempersiapkan diri. Orang-orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Ki Jayaraga sebelumnya, telah memberikan laporan, bahwa orang Tanah Perdikan itu adalah orang yang berilmu tinggi.
Karena itu, orang yang diserahi sebagai pemimpin yang harus mengamankan pesanggrahan itu telah datang sendiri untuk menghalau orang-orang Tanah Perdikan yang diperhitungkan tentu akan datang lagi.
Karena itu, maka beberapa orang yang kemudian menunggui parit itu adalah orang-orang terpilih diantara para penunggu pesanggrahan itu.
Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi itupun menjadi semakin sengit. Para pengawal pesanggrahan itu telah meningkatkan ilmu mereka untuk menghadapi orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan itu.
Ki Rangga Agung Sedayu masih saja ragu-ragu untuk bertindak. Namun orang-orang yang bertempur melawan Ki Rangga itu, telah mengerahkan kemampuan mereka. Mereka berusaha untuk menangkap Ki Rangga Agung Sedayu untuk diikat di halaman pesanggrahan untuk diadili esok pagi.
Pemimpin pengawal pesanggrahan itu telah bergabung dengan mereka yang bertempur melawan Ki Rangga Agung Sedayu serta berusaha menangkapnya.
Yang lain telah berusaha untuk menangkap Prastawa. Prastawa yang mengaku mendapat wewenang dari Ki Gede Menoreh itu, akan ditangkap dan kemudian Ki Gede Menoreh akan dipanggil oleh Ki Tumenggung.
Tetapi ternyata tidak mudah menangkap keempat orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Seperti yang telah dilaporkan oleh orang berkumis lebat melintang dibawah hidungnya itu, bahwa orang-prang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ternyata orang-orang yang menunggui parit yang disumbat itu semakin lama semakin mengalami kesulitan. Orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu jumlahnya tidak lebih dari empat orang. Tetapi ternyata bahwa sekelompok pengawal pesanggrahan itu sama sekali tidak mampu mendesak mereka, apalagi menangkap. Bahkan setiap kali ada diantara mereka yang terlempar jatuh. Ada yang dengan cepat dapat bangkit kembali, tetapi ada yang kesakitan yang harus berdiri dengan menekan pinggangnya dengan telapak tangannya.
Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Para pengawal pesanggrahan itu telah mencoba mengerahkan kemampuan mereka. Namun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu tidak dapat mereka kalahkan.
Prastawa yang kadang-kadang agak terdesak, selalu saja dicampuri arenanya oleh Ki Jayaraga atau Glagah Putih.
Sementara itu pemimpin pengawal pesanggrahan itupun menjadi heran, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh yang jauh' dari Mataram itu terdapat orang-orang berilmu tinggi.
Ternyata sekelompok pengawal yang jumlahnya berlipat itu tidak dapat mengusir empat orang yang datang untuk membuka sumbat yang menutup aliran air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya. Bahkan semakin lama keempat orang itu semakin menekan mereka sehingga beberapa orang mulai kesakitan dan sulit untuk dapat bangkit berdiri apabila mereka terlempar jatuh.
Ketika tiba-tiba saja beberapa orang diantara mereka menarik senjata mereka, maka keempat orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu berloncatan mundur.
"Ki Sanak," berkata Ki Rangga Agung Sedayu, "jangan bermain dengan api. Nanti kulit kalian akan tersengat dan akan terluka."
"Kalian menjadi ketakutan," geram pemimpin pengawal pesanggrahan itu, "jika kalian tidak menyerah, maka kalian akan dicincang habis oleh orang-orangku."
"Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya. Karena itu, berhentilah. Biarlah aku berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna. Ki Tumenggung tentu akan dapat mengerti kesulitan yang kami alami. Para petani dari padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya."
"Persetan. Menyerah atau kami akan mencincang kalian," geram pemimpin pengawal itu.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(Bersambung ke Jilid 391)
Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja Jilid : 391- 396 ________________________________________
Jilid 391 TERNYATA Prastawa yang masih terhitung muda itu tidak sabar lagi. Iapun telah menarik pedangnya sambil berkata, "Jika ada diantara kalian yang terbunuh , itu bukan salahku."
"Persetan dengan kalian," geram pemimpin pengawal itu. Yang dilihatnya hanya seorang saja diantara empat orang yang datang dari Tanah Perdikan itu yang bersenjata.
Namun ketika para pengawal itu mengacu-acukan senjata mereka, Ki Jayaragapun telah memungut cangkulnya sambil berkata, "Senjataku ini jauh lebih baik dari senjata-senjata kalian."
Tetapi para pengawal itu tidak menghiraukannya. Merekapun dengan serta mereka telah menyerang orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu.
Tetapi pada benturan pertama, orang-orang yang menye rang Ki Jayaraga telah kehilangan senjata mereka. Cangkul Ki Jayaraga itu berputar dengan cepat, menyambar senjata-senjata yang teracu kepadanya. Karena kemampuan Ki Jayaraga yang tinggi, serta tenaga dalamnya yang besar, maka beberapa pucuk senjata telah terlepas dan terpelanting jatuh.
Sedangkan Prastawa yang memiliki ilmu pedang yang tinggi itupun telah membingungkan lawannya. Serangan yang datang dari beberapa arah, mampu dihindari dan ditangkisnya dengan pedangnya. Bahkan benturan yang terjadi telah membuat lawannya menjadi semakin gelisah.
Namun tiba-tiba saja pertempuran itu terhenti. Beberapa orang pengawal pesanggrahan itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang bagaikan ledakan petir di langit.
Orang-orang upahan yang mengawal pesanggrahan itupun di luar sadar mereka telah berloncatan mundur.
"Aku dapat membunuh dua tiga orang sekaligus," berkata Ki Rangga Agung Sedayu," demikian pula saudara saudaraku yang lain. Karena itu, jangan salah langkah, karena akibatnya akan menjadi sangat buruk bagi kalian."
Orang-orang itupun masih saja berdiri termangu-mangu.
"Dengar. Aku akan mengulangi pesanku. Pergilah. Sampaikan kepada Ki Tumenggung, bahwa aku ingin bertemu. Sebenarnya aku akan datang menemuinya esok pagi. Tetapi kalian telah menyumbat lagi parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya. Sekarang, kami akan membuka parit kami agar airnya dapat mengairi sawah kami yang sudah mulai haus. Tanaman-tanaman di sawah sedang membutuhkan air."
Ternyata Ki Jayaraga tidak menunggu Ki Rangga Agung Sedayu selesai berbicara. Iapun segera mengayunkan cangkulnya, membuka parit yang tersumbat itu.
Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa hubungan Ki Jayaraga dengan air menjadi sangat erat, karena hampir setiap saat Ki Jayaraga berada diantara tanaman di sawah.
"Sekarang pergilah," berkata Ki Rangga Agung Sedayu," katakan kepada Ki Tumenggung, bahwa aku, Agung Sedayu ingin bertemu dan berbicara tentang air yang naik dari bendungan Pucung. Air itu tidak terlalu banyak, karena sungainyapun bukan sungai yang besar pula. Karena itu, kami harus mengatur pembagian air sebaik-baiknya. Semua yang membutuhkan dapat terpenuhi dan tidak saling merugikan."
Orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika Ki Rangga Agung Sedayu menghentakkan cambuknya sekali lagi, maka orang-orang itupun telah beringsut surut beberapa langkah.
"Cepat, sampaikan kepada Ki Tumenggung," berkata Agung Sedayu lantang.
"Baik, baik," sahut pemimpin pengawal pesanggrahan itu, "aku akan menyampaikannya kepada Ki Tumenggung. Kau akan menyesali kesombonganmu nanti. Adalah kebetulan bahwa Ki Tumenggung sekarang ada di pesanggrahan ini bersama beberapa orang prajurit pengawalnya. Para prajurit itu akan datang kemari dan menangkap kalian seperti menangkap pencuri jemuran."
Orang-orang itupun kemudian telah meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa . Sementara itu, beberapa buah cangkul telah mereka tinggalkan.
Tanpa ada yang memerintah, maka Glagah Putih dan Prastawapun segera mengambil cangkul dan membantu Ki Jayaraga membuka sumbat parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya.
Dalam pada itu, beberapa orang upahan yang mengawal pesanggrahan Ki Tumenggung itupun telah sampai di pesanggrahan. Pemimpin mereka dan seorang diantara merekapun segera berusaha menghadap Ki Tumenggung.
Tetapi seorang Pelayan Dalam telah memberitahukan bahwa Ki Tumenggung sudah tidur.
"Ini penting sekali," berkata pemimpin pengawal itu, "jika aku tidak dapat menemui Ki Tumenggung sekarang, maka esok sendang buatan itu belum terisi air sama sekali. Sedangkan jika air parit itu mengalir penuh, belum tentu sendang itu akan terisi separonya. Meskipun demikian, sendang itu tentu sudah nampak berair meskipun masih keruh."
Pelayan dalam itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun menggeleng sambil berkata, "Aku tidak berani membangunkan Ki Tumenggung yang belum lama tidur."
Namun ternyata pembicaraan itu terdengar oleh Ki Tumenggung yang terbangun. Bahkan Ki Tumenggung itupun telah bangkit dan membuka pintu biliknya, "Ada apa?"
"Ampun Ki Tumenggung," sahut pelayan dalam itu, "pemimpin pengawal akan menghadap Ki Tumenggung. Tetapi aku tidak berani membangunkan Ki Tumenggung."
"Ada apa?" bertanya Ki Tumenggung kepada pemimpin pengawal itu.
"Ampun Ki Tumenggung. Ada orang yang telah mengacaukan usaha menyempurnakan keasrian pesanggrahan ini."
"Apa yang mereka lakukan" Apakah kalian tidak dapat mengatasinya?"
"Ampun Ki Tumenggung. Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
Ki Tumenggung Wirataruna mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi lapun bertanya, "Orang Tanah Perdikan Menoreh?"
"Ya. Seorang mengaku membawa wewenang dari Ki Gede Menoreh. Pemimpin Tanah Perdikan Menoreh."
"Sombongnya Ki Gede Menoreh. Panggil Ki Gede Menoreh itu kemari."
"Sekarang Ki Tumenggung."
"Sekarang." "Ki Gede Menoreh atau orang yang mendapat wewenang dari Ki Gede itu."
"Ki Gede Menoreh itu sendiri. Pergilah ke Tanah Perdikan dan sampaikan perintahku kepadanya, bahwa malam ini juga ia harus menghadap aku disini."
"Tetapi mereka akan menghadang kami, Ki Tumenggung. Ternyata kami tidak dapat mengalahkan mereka."
"Kalian hanya dapat sesumbar. Tetapi ternyata kalian tidak dapat mengatasi persoalan kecil yang ditimbulkan oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh."
"Ternyata orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang berilmu tinggi."
"Buat apa aku mengupah kalian, he" Jika kalian tidak dapat berbuat apa-apa, uangku adalah uang yang sia-sia."
Pemimpin pengawal itu menundukkah wajahnya. Ia merasa bersalah, bahwa ia tidak dapat mengatasi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang berani menentang perintah Ki Tumenggung itu.
Namun Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, "Kalian memang pengecut. Biarlah lima orang prajurit pe ngawalku menyertai kalian. Mereka akan mengenakan ciri ciri keprajuritan, sehingga siapa yang melawan mereka, sengaja atau tidak sengaja telah melawan Mataram."
"Baik, Ki Tumenggung. Seorang yang mengaku bernama Agung Sedayu dengan sombongnya menyatakan untuk menghadap Ki Tumenggung. Ia berniat untuk berbicara dengan Ki Tumenggung, seakan-akan ia mempunyai hak untuk melakukannya. Orang yang tidak tahu diri itu merasa bahwa ia memiliki derajad yang sama dengan Ki Tumenggung sendiri..."
"Diamlah," tiba-tiba Ki Tumenggung membentak, "sebut nama orang itu."
"Agung Sedayu," orang itu mengucapkannya dengan agak ragu.
"Agung Sedayu" Ki Rangga Agung Sedayu, maksudmu?"
"Ia hanya menyebut namanya Agung Sedayu. Biarlah para prajurit itu menangkapnya. Kemudian menyeretnya menghadap Ki Tumenggung."
"Kau bertempur melawan Agung Sedayu itu?"
"Ya, Ki Tumenggung. Ia bersenjata cambuk yang suaranya menggetarkan udara seperti suara tujuh guruh yang meledak bersama-sama di langit."
"Agung Sedayu yang bersenjata cambuk?"
"Ya, Ki Tumenggung."
"Gila. Jadi kau bertemu dengan Agung Sedayu yang bersenjata cambuk itu."
"Ya, Ki Tumenggung," pemimpin pengawal itu menjadi heran mendengar nada suara Ki Tumenggung.
"Dimana Agung Sedayu itu sekarang?"
"Orang-orang Tanah Perdikan itu telah membuka parit yang telah kami sumbat dan airnya kami alirkan ke sendang ini."
"Beruntunglah kau, bahwa kepalamu sekarang masih melekat di lehermu. Ki Rangga Agung Sedayu adalah seorang Senapati besar dari Mataram."
"Jadi ia seorang Rangga?"
"Ya." "Tetapi?" "Aku akan menemuinya. Aku sendiri akan berbicara dengan Ki Rangga Agung Sedayu."
"Kenapa Ki Tumenggung tidak memanggilnya saja untuk menghadap" Meskipun ia seorang senapati, tetapi ia adalah seorang Rangga. Sedangkan Ki Tumenggung adalah seorang Tumenggung. Sehingga Ki Tumenggung berhak untuk memanggilnya atau memerintahkannya untuk menghadap."
"Gila kau. Meskipun ia seorang Rangga, tetapi ia adalah Agung Sedayu. Tadi aku agak melupakannya, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat barak Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Seorang Senapati besar Mataram yang namanya lebih besar dari para Tumenggung. Jangankan Ki Rangga Agung Sedayu. Isterinya, Nyi Rangga yang bernama Sekar Mirah itu, telah membunuh orang yang mengaku pemimpin besar perguruan Kedung Jati."
"Jadi?" "Aku akan pergi menemui Ki Rangga Agung Sedayu. Tetapi jika orang itu bukan pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, maka aku akan menangkapnya."
Demikianlah, Ki Tumenggung sendiri akan pergi ke dekat bendungan Pucung untuk bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
Lima orang prajurit telah diperintahkannya untuk menyertainya, sementara beberapa orang pengawal membawa oncor byi jarak yang dirangkai agak panjang, sehingga dapat bertahan cukup lama.
Ketika para pengawal pesanggrahan itu diperintahkan untuk ikut bersama Ki Tumenggung, maka merekapun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu, apa yang bakal terjadi di dekat bendungan Pucung itu.
Sejenak kemudian, sebuah iring-iringan yang d antaranya adalah Ki Tumenggung Wirataruna sendiri telah pergi ke dekat bendungan Pucung. Ke tempat parit-parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya ditutup.
Keempat orang yang membuka sumbat parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk itu sudah selesai. Air sudah mengalir lagi dengan lancar seperti sediakala. Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu dan ketiga orang lain memang tidak segera meninggalkan tempat itu. Mereka sudah menduga, bahwa persoalannya tidak akan selesai sampai sekian saja.
Ketika keempat orang yang telah selesai membuka sumbat parit itu melihat sebuah iring-iringan, bahkan diantara mereka nampak beberapa orang yang mengenakan pakaian serta ciri-ciri keprajuritan, maka merekapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Mereka sudah terlanjur bertindak langsung sebelum bertemu dan berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu telah menjadi semakin dekat. Namun keempat orang yang masih berada di tanggul parit itu tidak melihat pertanda, bahwa orang-orang dalam iring-iringan itu akan melakukan kekerasan.
Meskipun demikian, mereka masih harus tetap berhati-hati. Mungkin mereka akan menghadapi tindakan yang tiba-tiba.
Ketika iring-iringan itu kemudian berhenti, seorang diantara mereka masih melangkah mendekat. Sinar oncor jarak yang menyala di sebelah menyebelah sempat menerangi wajah orang yang masih melangkah beberapa langkah maju itu.
"Ki Tumenggung Wirataruna," sapa Ki Rangga Agung Sedayu yang juga melangkah maju.
"Ki Rangga Agung Sedayu," sahut Ki Tumenggung Wirataruna, "aku sungguh tidak mengira, bahwa Ki Rangga telah berkenan datang sendiri ke dekat bendungan ini."
"Ki Tumenggung," berkata Ki Rangga Agung Sedayu," sebenarnya aku ingin bertemu dengan Ki Tumenggung esok pagi, setelah hari menjadi terang. Tetapi malam ini parit kami telah tersumbat lagi, sehingga para petani terutama dipadukuhan induk dan sekitarnya telah mengeluh. Tanaman padi diantaranya yang sudah menjelang waktunya bunting, sangat membutuhkan air."
"Baik, baik, Ki Rangga. Marilah. Aku ingin mempersi-lahkan Ki Rangga dan saudara-saudara dari Tanah Perdikan Menoreh untuk singgah di rumahku. Sudah lama aku memang ingin mempunyai sebuah rumah kecil di tempat yang jauh dan benar-benar terpisah dari keramaian kota. Karena keluarga kami memang berasal dari padesan. Tanah yang diatasnya aku dirikan rumah itu juga hanyalah tanah warisan dari kakek lewat ibuku."
Ki Rangga Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Rangga Agung Sedayu itupun berkata kepada Prastawa, "Daripada esok kita menemui Ki Tumenggung Wirataruna, sebaiknya sekarang saja kita berbicara tentang air ini."
"Terserah saja kepada Ki Rangga," sahut Prastawa, "sekarangpun tidak ada salahnya. Paman telah menyerahkan persoalan ini kepadaku."
"Baiklah Ki Tumenggung," berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, "aku memang ingin membicarakan persoalan air ini."
"Marilah. Silahkan singgah, Ki Rangga. Demikian pula Ki Sanak yang lain."
"Marilah Ki Jayaraga. Kita singgah di pesanggrahan Ki Tumenggung Wirataruna."
"Jangan sebut pesanggrahan Ki Rangga. Hanya sebuah rumah kecil yang aku bangun di atas tanah warisan."
"Bukankah kita tidak perlu kemana-mana, Ki Rangga," berkata Ki Jayaraga," Ki Rangga dan angger Prastawa telah bertemu dengan Ki Tumenggung disini. Bukankah segala sesuatunya dapat dibicarakan disini?"
"Tetapi akan lebih tenang jika kita berbicara di rumahku, Ki Sanak," berkata Ki Tumenggung.
"Sebaiknya kita singgah sebentar Ki Jayaraga. Mungkin kita dapat duduk di tempat yang lebih hangat dari di dekat bendungan ini. Bukankah letaknya juga tidak terlalu jauh."
"Biarlah aku menunggui air itu disini," berkata Ki Jayaraga, "Jika kita semua pergi, maka parit ini tentu akan disumbat lagi."
"Tidak. Tidak akan," sahut Ki Tumenggung Wirataruna, "tidak akan. Aku tidak akan membiarkan orang-orangku menyumbat parit itu lagi."
Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, "Baiklah."
Iring-iringan itupun kemudian bergerak kembali ke pesanggrahan Ki Tumenggung Wirataruna. Pesanggrahan yang terhitung besar di tanah yang luas.
Beberapa saat kemudian, merekapun memasuki sebuah regol halaman pesanggrahan itu. Demikian mereka memasuki halaman, maka merekapun telah mengedarkan tatapan mata mereka berkeliling. Lampu-lampu minyak tergantung di berbagai tempat. Sedangkan halamannya yang agaknya sedang ditata, nampak asri meskipun ada tanaman-tanaman baru yang masih belum nampak hijau subur.
Orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu menarik nafas panjang. Mereka bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin seorang Tumenggung dapat membangun pesanggrahan sebesar itu.
Sambil berjalan ke tangga pendapa, Ki Jayaraga sempat berbisik di telinga Ki Rangga Agung Sedayu, "Kalau Ki Rangga kapan-kapan sempat menjadi Tumenggung, maka Ki Rangga Agung Sedayu juga akan dapat membangun pesanggrahan seperti ini."
Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum sambil berdesis, "Ki Jayaraga lihat, ada Tumenggung yang harus menjual sawahnya ketika ia berniat membuat rumah di dekat tempat tugasnya ?"
"Ya, Jadi bagaimana mungkin Ki Tumenggung ini dapat membangun sebuah pesanggrahan seperti ini ?"
"Mungkin orang tuanya atau kakeknya seorang yang kaya. Bukankah tanah ini tanah warisan " Mungkin masih ada warisan yang lain yang membuat Ki Tumenggung menjadi kaya."
Ki Jayaraga tertawa. Namun iapun segera menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
Orang-orang yang berjalan di depan termasuk Ki Tumenggung Wirataruna itupun berpaling. Namun Ki Jayaraga sudah tidak tertawa lagi.
Demikianlah maka Ki Tumenggung itupun mempersilakan Ki Rangga Agung Sedayu dan ketiga orang yang datang bersamanya dari Tanah Perdikan Menoreh itu untuk naik ke pendapa yang kemudian-duduk di pringgitan.
Sementara itu, para pengawal dan para prajurit telah kembali ke tempat mereka masing-masing.
Ki Tumenggungpun kemudian masuk ke ruang dalam. Nyi Tumenggung yang gelisah itupun segera menyongsongnya, "Apa yang terjadi, kakang Tumenggung ?"
Ki Tumenggung tersenyum sambil menjawab, "Tidak ada apa-apa. Sediakan minuman hangat dan makanan. Yang datang adalah Ki Rangga Agung Sedayu."
"Seorang Rangga " Malam-malam begini " Kenapa kakang tidak memerintahkannya esok saja datang kemari?"
"Tidak. Aku memang ingin segera bertemu dengan Ki Rangga."
"Apakah kakang memang memerintahkannya menghadap malam ini karena persoalan yang akan kakang bicarakan tidak dapat ditunda sampai esok"
"Kau pernah mendengar nama Agung Sedayu " Mungkin sekali-sekali .aku pernah berceritera tentang seorang Lurah Prajurit yang bernama Agung Sedayu. Lurah Prajurit yang namanya bahkan lebih besar dari seorang Tumenggung. Apalagi sekarang Ki Lurah itu telah menerima anugerah kenaikan pangkat menjadi Rangga."
Nyi Tumenggung itu mengerutkan dahinya. Ia memang pernah mendengar nama Agung Sedayu. Tetapi ia tidak dapat segera mengingatnya.
"Sudahlah," berkata Ki Tumenggung, "nanti aku akan berceritera panjang. Sekarang, biarlah para pembantu itu menyiapkan hidangan."
"Mereka tentu sedang tidur nyenyak."
"Bangunkan mereka."
Nyi Tumenggungpun kemudian pergi ke belakang, membangunkan pembantunya untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamu Ki Tumenggung yang ada di pringgitan.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung telah duduk menemui Ki Rangga Agung Sedayu, Prastawa yang datang atas nama Ki Gede Menoreh, Ki Jayaraga dan Glagah Putih, yang mewakili para petani yang memerlukan air setiap saat, karena dialirkan bargantian kekotak-kotak sawah di Padukuhan Induk dan sekitarnya.
"Ki Tumenggung," berkata Ki Rangga Agung Sedayu, "Ki Tumenggung tentu sudah tahu, maksud kedatangan kami. Bahkan kami telah bertindak lebih dahulu sebelum kami berbicara dengan Ki Tumenggung.
"Tidak apa-apa, Ki Rangga. Tidak apa-apa. Aku kira Ki Rangga serta Ki Gede Menoreh memang lebih baik berterus terang, sehingga aku dapat mengerti persoalan yang sebenarnya."
"Kami berniat untuk membicarakan, seberapa banyak sebenarnya Ki Tumenggung itu memerlukan air. Tentunya, tidak seluruh arus air yang naik dari bendungan Pucung, yang seharusnya untuk mengairi sawah di padukuhan induk dan sekitarnya itu dialirkan ke sendang buatan Ki Tumenggung."
"Tidak. Memang tidak. Aku juga tidak berniat begitu. Tetapi ternyata orang-orangku telah melakukan kesalahan dalam pelaksanaannya. Apakah mereka sengaja melampaui batas-batas pesanku atau mereka memang tidak memahaminya."
"Karena itu, aku minta kesalahan itu dapat diluruskan, Ki Tumenggung."
"Ya, ya. Aku berjanji untuk i.ieluruskan kesalahan itu. Untuk selanjutnya, aku memang tidak akan mengambil air dari parit yang mengairi sawah di padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya itu."
"Lalu, Ki Tumenggung akan mengambil air dari mana ?"
"Sebenarnya kami sudah siap mengambil air dari air terjun kecil di bukit sebelah. Tetapi saluran dan pipa-pipa bambu yang kami buat masih belum selesai. Sementara itu, kami ingin segera melihat sendang buatan itu bermuatan air yang cukup. Tetapi itu hanya kesalahan pelaksanaan saja. Kesalahan yang segera dapat dibetulkan."
"Jadi, Ki Tumenggung tidak akan mengambil air dari parit itu lagi ?" bertanya Ki Jayaraga.
"Tidak. Tidak lagi."
Ki Jayaragapun menyahut dengan nada dalam, "Terima kasih Ki Tumenggung. Dengan demikian, kami tidak harus membuat tatanan ulang tentang pembagian air yang mengalir dari bendungan Pucung ini. Jika aliran air itu berkurang, maka para petani di padukuhan induk dan sekitarnya harus mengadakan pembagian waktu yang baru agar sawah mereka tidak menjadi kering. Tetapi dengan pernyataan Ki Tumenggung Wirataruna bahwa Ki Tumenggung akan mengambil air dari air terjun kecil di bukit sebelah, maka kami tidak harus merubah apa-apa lagi. Pembagian air yang sudah berlaku beberapa lama tanpa ada masalah itu akan dapat dilanjutkan. Dengan demikian tidak akan timbul kesan apapun pada para petani di padukuhan induk dan sekitarnya. Yang terjadi hari ini hanyalah sekedar gangguan kecil yang tidak berakibat apa-apa."
Ki Tumenggung Wirataruna itu mengangguk-angguk. Katanya, "Betapapun kecilnya, tetapi aku merasa perlu untuk minta maaf kepada para petani di Tanah Perdikan Menoreh, khususnya di padukuhan induk dan sekitarnya."
"Tidak apa-apa Ki Tumenggung, rakyat Tanah Perdikan Menoreh akan dapat mengerti, bahwa airnya diperlukan dalam keadaan khusus. Jika aliran air itu sudah pulih kembali, maka mereka akan melupakannya," sahut Ki Rangga Agung Sedayu.
Pembicaraan merekapun terputus ketika seorang pelayan menghidangkan minuman hangat.
"Silahkan, Ki Rangga. Silahkan Ki Sanak yang lain. Mumpung masih hangat," berkata Ki Tumenggung.
Ki Rangga Agung Sedayu serta ketiga orang yang datang bersamanya itupun kemudian telah menghirup minuman hangat itu. Di Malam yang dingin, serta setelah mereka berendam di air untuk membuka sumbat parit yang mengalir ke padukuhan induk Tanah Perdikan itu, maka minuman hangat itupun terasa sangat menyegarkan tubuh mereka.
Karena itu, maka minuman yang hangat itupun menjadi cepat sekali menyusut sehingga Ki Tumenggung Wirataruna merasa perlu untuk minta agar pelayannya menghidangkan lagi minuman hangat itu.
Namun ketika Ki Tumenggung itu masuk ke ruang dalam, maka Nyi Tumenggung yang duduk di ruang dalam itupun tiba-tiba saja bertanya, "Kenapa kakang Tumenggung rasa-rasanya terlalu menghormati orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu " Sebesar-besarnya nama seorang Rangga, maka kedudukannya berada di bawah kedudukan kakang Tumenggung. Apalagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu. Maaf kakang, bahwa aku tertarik akan pembicaraan kakang dengan mereka, sehingga aku mendengarkan dari belakang gebyok kayu itu. Agaknya kakang melangkah mundur dan menghentikan aliran air untuk mengisi sendang kita itu. Kenapa kakang begitu mudah menuruti kemauan orang-orang padesan itu " Seharusnya kakang Tumenggung bertindak tegas. Juga kepada Rangga yang agaknya menjadi sandaran orang-orang padesan itu. Mereka menganggap bahwa seorang Rangga adalah seorang yang pangkatnya tertinggi di seluruh Mataram."
"Bukan begitu, Nyi. Nanti aku beri tahu. Mungkin aku memang belum pernah berceritera tentang Ki Rangga Agung Sedayu."
"Ceritera apapun yang akan kakang katakan, namun menurut pendapatku kakang yang pangkat dan tentu juga kedudukannya lebih tinggi akan dapat mengendalikannya, sehingga air yang mengalir ke sendang kita itu tidak terhambat. Seberapa tinggi kuasa Kepala Tanah Perdikan dan seorang Rangga sehingga mereka dapat menghentikan rencana seorang Tumenggung ?"
"Ada banyak pertimbangan yang harus kita cermati, Nyi. Bukan sekedar pangkat Tumenggung."
"Apa " Pertimbangan apa lagi, Kakang ?" sahut Nyi Tumenggung, "bagiku yang penting esok sendang buatan itu penuh. Aku akan mencoba perahu kecil itu. Tentu sangat menyenangkan."
"Apa salahnya jika kita menunda dua atau tiga hari. Besok orang-orang kita akan menyelesaikan pipa-pipa bambu yang akan mengalirkan air dari air terjun kecil di lereng bukit sebelah. Dengan beberapa batang pipa bambu petung, air yang mengalir dari air terjun kecil itu tentu cukup deras, sementara itu kita tidak merugikan siapa-siapa. Tidak ada petani yang sawahnya menjadi kekeringan."
"Bukankah kita hanya memerlukan air dalam tiga empat hari saja. Sementara itu pipa-pipa bambu kita sudah selesai. Seandainya belum selesai, maka apa salahnya kita perpanjang sampai sepekan atau bahkan sepuluh hari agar sendang kita benar-benar penuh sampai ke lekuk-lekuk kecil di bawah rumpun-rumpun bambu itu. Dengan demikian, taman kita akan menjadi asri. Tetapi dalam sepekan atau lebih, tanaman padi, apalagi menjelang masa padi itu bunting, sangat memerlukan air, Jika terlambat, maka padinya akan banyak yang tidak berisi."
"Itu kata mereka. Kakang mempercayai saja kata mereka " Mereka tentu berbohong. Apapun alasannya, tetapi kakang mempunyai kuasa untuk mengambil sikap terhadap mereka. Juga terhadap Rangga yang kakang katakan mempunyai nama yang besar itu. Jika kebesarannya melampaui para Tumenggung, tentu ia sudah diangkat menjadi Tumenggung."
"Sudahlah Nyi. Kita jangan berbantah sekarang. Perintahkan saja pembantu kita untuk menyediakan lagi minuman hangat."
Ki Tumenggung tidak menunggu lagi.Iapun segera kembali ke pringgitan.
Sambil bersungut-sungut Nyi Tumenggung Wiratarunapun pergi ke dapur. Diperintahkannya pembantunya untuk membawa minuman hangat lagi ke pringgitan.
"Ki Tumenggung telah memanjakan tamu-tamunya dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengajak seorang prajurit yang dapat menjadi sandaran. Maksudnya tentu menakut-nakuti Ki Tumenggung. Tetapi orang Tanah Perdikan itu tidak tahu, bahwa prajurit yang dibawanya itu tidak lebih dari seorang Rangga, yang kedudukannya berada di bawah seorang Tumenggung. Mungkin Ki Tumenggung hanya segan saja untuk berkata kepada orang-orang Tanah Perdikan, bahwa sandarannya, prajurit yang mereka harapkan dapat menjadi pelindungnya itu, pangkatnya terlalu rendah."
Pembantunya mengangguk-angguk. Dengan sikap yang dibuat-buat pembantunya itupun berkata, "Jika demikian, apakah sebaiknya aku tidak usah membawa minuman lagi ke pringgitan."
"Jangan begitu, Nanti Ki Tumenggung yang marah kepadamu dan kepadaku."
Pembantu itupun mengangguk-angguk pula. Katanya, "Baiklah. Aku akan membawa minuman lugi ke pringgitan. Tetapi gulanya sedikit saja, biar tidak begitu manis."
"Ah kamu. Nanti kalau Ki Tumenggung ikut minum."
"Tidak, Nyi, Ki Tumenggung kalau minum hanya sedikit saja. Sedangkan minumannya yang tadi, masih cukup banyak."
Nyi Tumenggungpun tidak mencegahnya. Pembantu itupun kemudian pergi ke pringgitan untuk menghidangkan minuman yang tidak begitu manis.
Tetapi ternyata selera orang-orang Tanah Perdikan itu agak berbeda. Minuman yang pertama itu agak terlalu manis. Karena itu, minuman yang kemudian dihidangkan lagi itu ternyata terasa manisnya cukupan bagi mereka.
Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu masih berbincang beberapa lama dengan Ki Tumenggung sambil menghirup minuman hangat yang menyegarkan tubuh mereka di dinginnya malam itu.
Baru beberapa saat kemudian, Ki Rangga Agung Sedayu serta yang lainpun telah minta diri.
"Terima kasih atas pengertian Ki Tumenggung terhadap kepentingan para petani di Tanah Perdikan," berkata Ki Rangga Agung Sedayu.
"Aku juga berterima kasih kepada Ki Rangga dan yang lain-lain. Kalian telah memperingatkan aku bahwa dalam kedudukanku sebag n seorang Tumenggung seharusnya aku berbuat sobaliknyu dari yung teluh uku lakukan. Sekali lagi aku minta maaf. Kenalulmn itu tidak akan terulung kembali. Besok aku akan memasang pipa-pipa bambu petung yang sebenarnya telah tersedia. Tetapi orang-orangku ingin melakukan yang termudah."
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Prastawa telah meninggalkan pasanggrahan Ki Tumenggung yang terhitung mewah itu. Ki Jayaraga masih saja merasa heran, bahwa seorang Tumenggung mampu membangun pesanggrahan yang sedemikian besar dan baik. Tiang-tiangnya serta gebyognya yang berukir dan bersungging lembut.
Sekali Ki Rangga Agung Sedayu berkata, "Mungkin orang tua Ki Tumenggung pada dasarnya adalah orang yang kaya. Ia mempunyai tanah dan sawah yang luas. Setiap panen, orang tua Ki Tumenggung dapat menjual hasil sawahnya yang berlumbung-lumbung, sementara penghasilan Ki Tumenggung Wirataruna sendiri sudah cukup besar."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk.
Sementara itu, Prastawapun berkata, "Mudah-mudahan esok pagi, sikap Ki Tumenggung tidak berbalik. Jika ia sempat mempersiapkan diri dengan memanfaatkan kedudukannya, kemudian berniat menentang paman Argapati, maka keadaannya akan menjadi gawat. Paman tentu tidak akan mau tunduk kepada Ki Tumenggung. Sedangkan Ki Tumenggung dapat saja memaksakan kemauannya dengan kekuatannya."
"Tidak. Itu tidak akan terjadi," sahut Ki Rangga Agung Sedayu, "bagaimanapun juga nampak kesungguhan Ki Tumenggung Wirataruna dalam pembicaraan tadi."
Prastawapun mengangguk-angguk.
Sementara itu, merekapun telah melewati tanggul parit yang telah disumbat oleh para pengawal Ki Tumenggung. Namun seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung, pengawal-pengawal-nya tidak melakukannya lagi. Air di parit itu masih tetap mengalir lancar menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya.
Dalam pada itu, Di pesanggrahannya, Ki Tumenggung masih saja berbincang dengan Nyi Tumenggung yang tidak mengerti akan sikap Ki Tumenggung terhadap seorang Rangga dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu.
"Mereka akan menjadi besar kepala, kakang. Mereka akan merasa menang, sehingga mereka akan memberikan tuntutan-tuntutan lain yang bermacam-macam."
"Tidak akan. Mereka tidak akan menuntut apa-apa. Aku harus mengakui bahwa akulah yang salah. Aku telah membelokkan air yang seharusnya mengalir ke padukukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh."
"Kakang seorang Tumenggung. Kakang dapat mempergunakan pengaruh kedudukan kakang Apa yang dapat dilakukan seorang Rangga terhadap seorang Tumenggung ?"
"Sudah aku katakan, Rangga itu adalah Agung Sedayu. Bahkan seandainya bukan Agung Sedayupun aku tidak boleh berbuat semau-mauku sendiri."
Nyi Tumenggung masih juga menyahut, "Kenapa tiba-tiba sikap kakang berubah " Apakah karena Rangga yang kakang sebut bernama Agung Sedayu itu " Kenapa dengan Ki Rangga Agung Sedayu sehingga ia dapat mempengaruhi sikap kakang Tumenggung yang memiliki pangkat dan kedudukan yang lebih tinggi?"
"Bukan karena pengaruh pangkat dan kedudukan. Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu dapat meyakinkan aku, bahwa aku memang bersalah."
"Salah atau tidak salah, kakang Tumenggung dapat melangsungkan rencana kakang, mengisi sendang itu sampai penuh."
"Nyi," berkata Ki Tumenggung, "jika aku memaksakan kehendak, Ki Rangga Agung Sedayu akan dapat mengambil langkah-langkah yang sangat merugikan kedudukanku. Ki Rangga adalah Senapati yang membawahi Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Jika aku menyalahgunakan kedudukan dan kekuasaanku, Ki Ranggapun akan dapat melakukannya pula. Jalan lain yang dapat ditempuh oleh Ki Rangga, melaporkan sikapku yang keliru itu kepada Ki Patih Mandaraka. Kau harus tahu, bahwa Ki Rangga Agung Sedayu itu seolah-olah mempunyai hubungan yang khusus dengan Ki Patih Mandaraka."
"Jika Ki Rangga itu mempunyai hubungan yung khusus dengin Ki Patih, sedangkan ia mempunya kelebihan, kenapa ia masih saja berpangkat Rangga " Kenapa Ki Patih tidak segera mengungkatnya menjadi Tumenggung."
"Justru karena hubungannya dengan Ki Patih sangat dekat maka Ki Rangga menjadi agak lambat merambat kejenjang Kepangkatan yang lebih tinggi. Baik Ki Rangga maupun Ki Patih tidak ingin disebut menyalahgunakan hubungan pribadi yang baik itu untuk mempercepat kenaikan pangkat Ki Rangga. Baru kemudian ketika para Senapati besar di Mataram menyaksikan sendiri kelebihan Ki Lurah dalam perang di Demak, mereka baru ingat, bahwa sebaiknya Ki Lurah Agung Sedayu mendapat anugerah pangkat. Tetapi sebenarnyalah bahwa kelebihan dari Ki Rangga Agung Sedayu itu telah melampaui kelebihan beberapa orang Tumenggung. Terus terang, aku harus mengakui bahwa Ki Rangga memiliki banyak kelebihan dari aku sendiri."
"Kakang Tumenggung terlalu merendahkan diri. Tetapi justru karena itu, aku ingin mengenal keluarga Ki Rangga itu lebih dekat. Siapa yang berada di belakang Ki Rangga sehingga ia berani datang menantang kakang Tumenggung."
"Ia tidak menantang. Ia tidak mengatakan lebih dari satu kebenaran bahwa para petani memerlukan air. Apalagi tanaman padi sudah menjadi semakin besar sehingga hampir datang waktunya padi itu bunting. Karena itu maka airnya tidak boleh terlambat."
"Kakang," berkata Nyi Tumenggung kemudian, "ada baiknya kakang mengunjungi Ki Rangga di rumahnya. Aku ingin berkenalan dengan Nyi Rangga yang barangkali banyak memberikan dorongan kepada suaminya sehingga Ki Rangga Agung Sedayu mendapat anugerah pangkat setelah perang di Demak berakhir."
"Nyi. Sebelum kau mengunjungi Nyi Rangga, aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa Nyi Rangga memang seorang yang mampu ikut serta mengangkat derajad suaminya sehingga Ki Lurah Agung Sedayu mendapat anugerah kenaikan pangkat. Mungkin kau perlu mengetahui sebelum kau mengenalnya secara pribadi, bahwa Nyi Rangga Agung Sedayulah yang telah membunuh orang yang mengaku menjadi pemimpin besar perguruan Kedung Jati yang menjadi buruan untuk waktu yang lama. Seorang yang dianggap tidak terkalahkan itu ternyata tidak mampu menandingi ilmu Nyi Rangga Agung Sedayu yang lebih dikenal dengan nama Sekar Mirah."
Nyi Tumenggung memang terkejut. Dengan serta merta ia-pun bertanya, "Maksud kakang, Nyi Rangga itulah yang telah membunuhnya. Atau Ki Rangga ?"
"Nyi Rangga. Perguruan Kedung Jati mempunyai sepasang pertanda kepemimpinan. Satu berada di tangan Ki Saba Lintang, satunya berada di tangan Nyi Rangga Agung Sedayu. Namun dalam perang tanding yang terjadi, Ki Saba Lintang telah terbunuh oleh Nyi Rangga Agung Sedayu."
"Kakang berkata sebenarnya ?"
"Ya." "Jadi yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi itu sebenarnya Nyi Rangga Agung Sedayu."
"Nyi Rangga Agung Sedayu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Terbukti bahwa ia mampu mengalahkan Ki Saba Lintang. Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu mempunyai ilmu yang lebih tinggi lagi. Ilmu Ki Rangga Agung Sedayu itu dapat disejajarkan ilmu para Pangeran di Mataram, atau setidak-tidaknya mampu membayanginya."
Nyi Tumenggung itupun terdiam. Kepalanya menunduk, sementara iapun mulai membayangkan betapa tinggi ilmu Nyi Rangga Agung Sedayu yang telah mampu mengalahkan Ki Saba Lintang. Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu memiliki ilmu dan kemampuan yang lebih tinggi lagi.
Karena Nyj Tumenggung tidak segera menyahut, maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Baiklah. Sekarang tidurlah. Besok kita pergi ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu jika kau ingin berkenalan dengan isterinya."
Tetapi Nyi Tumenggung itupun menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku tidak ingin pergi ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu."
Ki Tumenggung itu menarik nafas panjang. Kemudian iapun mengulangi, "Tidurlah. Masih ada sedikit waktu menjelang fajar."
Nyi Tumenggung itupun kemudian segera bangkit dan pergi ke pembaringan. Namun ia tidak segera dapat tidur. Ternyata suami isteri Ki Rangga Agung Sedayu adulah orang-orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga meskipun ia hanya seorang Rangga, tetapi Ki Tumenggung harus berpikir dua tiga kali untuk menghadapinya. Bahkan akhirnya Ki Tumenggung itu harus mengalah.
Dihari berikutnya, sendang buatan di pesanggrahan Ki Tumenggung itu masih belum terisi penuh. Ki Tumenggung masih harus menyelesaikan pembuatan pipa-pipa bambu yang akan mengalirkan air dari grojogan di bukit kecil sebelah. Dengan beberapa batang pipa bambu petung, maka arus airnya tentu cukup deras.
Nyi Tumenggung memang menjadi kecewa. Ia ingin segera mencoba turun ke sendang buatannya dengan perahu kecil yang sudah disiapkan. Tetapi Nyi Tumenggung harus menerima keadaannya itu jika ia tidak ingin Ki Tumenggung mendapat kesulitan. Apalagi jika Ki Rangga itu menyampaikan pengaduan kepada Ki Patih Mandaraka, bahwa Ki Tumenggung telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menyakiti hati rakyat kecil. Ki Patih Mandaraka, sebagaimana kangjeng Panembahan Senapati pada mulanya adalah rakyat kecil yang karena perjuangan mereka, maka mereka dapat memanjat sampai ke tataran yang tinggi.
Dengan demikian, maka rakyat Tanah Perdikan Menoreh tidak akan terganggu lagi. Khususnya para petani di padukuhan induk dan sekitarnya. Parit merekapun selalu mengalir sebagaimana seharusnya.
Sebenarnyalah Ki Gede Menoreh sudah siap untuk menerima kedatangan Ki Tumenggung seandainya Ki Tumenggung merasa dirugikan dan menuntut Ki Gede Menoreh untuk memberikan air kepadanya. Tetapi ternyata bahwa Ki Tumenggung itu tidak pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui Ki Gede.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat mempergunakan hari-hari istirahatnya yang pendek. Glagah Putih dan Rara Wulan sempat mengunjungi Ki Gede untuk mohon doa restu, agar dalam tugas-tugasnya mendatang, Yang Maha Agung selalu melindunginya.
"Kami di Tanah Perdikan ini selalu berdoa, ngger," berkata Ki Gede, "tetapi kamipun mempunyai doa yang lain."
"Maksud Ki Gede?"
"Bukankah kau tidak akan menjadi pengembara sepanjang umurmu " Kakangmu, Ki Rangga Agung Sedayu ternyata tidak mempunyai keturunan. Menilik umurnya, maka agaknya Ki Rangga sudah tidak akan mempunyai anak. Meskipun anak itu sangat tergantung kepada kurnia, tetapi bukankah kalian akan memohonnya ?"
"Ya, Ki Gede. Kami akan mohon agar kami dikaruniai keturunan. Kami merasakan betapa sepinya hidup kakang Agung Sedayu serta mbokayu Sekar Mirah. Untunglah bahwa keduanya menerima kenyataan itu dengan hati terbuka dengan satu keyakinan, bahwa apa yang direncanakan Yang Maha Agung atas diri mereka, tentulah yang terbaik bagi mereka."
"Ya, ya. Satu sikap pasrah yang utuh setelah dilakukan segala usaha."
"Ya. Bahkan kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah sebagai murid Kiai Gringsing yang memiliki pengetahuan tentang berbagai macam obat-obatan sudah berusaha sejauh dapat mereka lakukan."
Demikianlah selain berkunjung kepada Ki Gede, Glagah Putih dan Rara Wulan juga menemui para Demang dan Bekel di Tanah Perdikan Menoreh yang dikenalnya dengan baik. Kemudian para pemimpin pengawal Tanah Perdikan . Kepada Prastawa, Glagah Putih sempat memberikan berbagai macam pesan yang ditujukan kepada para Pengawal.
Demikianlah Glagah Putih dan Rara Wulan telah mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Ia sudah sering pergi mengemban tugas untuk waktu yang lama. Namun rasa-rasanya kepergiannya saat itu mempunyai arti yang agak berbeda. Ia tidak pergi sebagai dua orang penghuni Tanah Perdikan.
Tetapi mereka pergi sebagai dua orang prajurit Mataram yang akan menjalankan tugasnya. Mungkin tugas itupun akan disusul dengan tugas-tugas yang lain, sehingga mereka tidak akan segera dapat melihat Tanah Perdikan itu kembali. Bahkan mungkin mereka tidak akan sempat bertugas didalam kesatuan yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu yang akan menjadi semakin besar.
Ketika saatnya telah menjadi semakin dekat, maka Ki Rangga Agung Sedayu masih sempat memberikan beberapa petunjuk kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Ki Rangga merasa bahwa sudah saatnya bagi Glagah Putih dan Rara Wulan untuk menjalani laku, agar ilmu keduanya menjadi semakin mapan. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan sudah melandasi ilmunya dengan kitab Namaskara, namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih ketinggalan dibandingkan dengan Ki Rangga Agung Sedayu.
"Bukan karena tingkat ilmumu lebih rendah," berkata Ki Rangga Agung sedayu," tetapi karena kau dan Rara Wulan masih terlalu muda. Karena itu, maka dengan menjalani laku sebagaimana aku tunjukkan kepadamu, maka semoga kau akan menjadi semakin matang. Kau berdua akun berada dalam laku untuk menguasai ilmu kekebalan tubuh. Tetapi kau berdua masih harus tetap berada pada jalur langkahmu yiuig menganut jalan kebenaran. Bukan kebenaran menurut ukuranmu sendiri. Tetapi kebenaran dijalan Yang Maha Agung."
Glagah Putih dan Rara Wulan menundukkan kepalanya. Mereka sadar bahwa laku yang akan mereka jalani sesuai dengan petunjuk Ki Rangga Agung Sedayu itu mengarah pada pembinaan ilmu kebal sebagaimana dimiliki oleh Agung Sedayu. Namun laku yang akan dijalani oleh Glagah Putih dan Rara Wulan itu memerlukan waktu, karena laku itu berbeda dengan yang pernah dijalani oleh Agung Sedayu. Tetapi laku yang ditunjukkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu kepada Glagah Putih dan Rara Wulan itu adalah laku yang sesuai bagi keduanya yang akan mengemban tugas keprajuritan.
Meskipun demikian, pada akhirnya mereka harus menyisihkan waktu khusus diujung laku yang mereka jalani.
Dihari terakhir, Glagah Putih dan Rara Wulan akhirnya mempercayakan kitab yang mereka yakini sengaja diberikan oleh Kiai Namaskara yang masih saja diselubungi oleh rahasia yang mungkin tidak akan terpecahkan kepada Ki Rangga Agung Sedayu. Mereka tidak akan dapat membawa kitab itu dalam tugas-tugas keprajuritan mereka yang memungkinkan kitab itu jatuh ketangan orang lain yang tidak seharusnya.
"Baiklah. Aku akan menyimpannya.Kitab Kiai Gringsing yang kebetulan saat ini ada padaku, juga aku simpan baik-baik. Aku dapat menyimpan kitabmu itu bersama kitab yang ditinggalkan oleh Kiai Gnngsing."
Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mulai merasa tenang. Namun Glagah Putihpun kemudian berkata, "Kitab itu sebenarnya tersimpan dalam sebuah peti kayu yang bagus sekali buatannya. Tetapi peti kayu itu aku sembunyikan di sebuah goa. Tetapi kami masih ingat sekali tempat persembunyian itu."
"Mungkin peti kayu itu sudah rusak sekarang," sahut Sekar Mirah, "bukankah peti itu tidak terlalu penting dibandingkan dengan kitab ini sendiri ?"
"Ya, mbokayu," Glagah Putihpun mengangguk-angguk.
Demikianlah, dimalam keberangkatan mereka, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Namun Glagah Putih memerlukan berbicara khusus dengan Sukra.
"Kau sudah bukan anak-anak lagi Sukra," berkata Glagah Putih, "karena itu, maka kau sudah harus dapat menempatkan dirimu dengan sebaik-baiknya. Jika kau jumpai masalah, bahkan masalah pribadimu yang kau anggap rumit, maka jangan segan-segan minta petunjuk kakang Rangga Agung Sedayu atau mbokayu Sekar Mirah. Bahkan agaknya kaupun dekat dengan Ki Jayaraga. Kau dapat berbicara dengan Ki Jayaraga jika kau kebetulan ikut bersamanya pergi ke sawah."
"Ya, kakang." "Usahakan agar ilmumu lebih cepat meningkat dari sekedar ikut dalam latihan-latihan para pengawal. Bukan berarti bahwa latihan-latihan itu tidak penting, karena dengan latihan-latihan dalam kesatuan, kau akan menguasai ilmu perang gelar serta kerja sama yang mapan antara sesama anggota kesatuan. Tetapi peningkatan ilmumu secara peribadi akan dapat mengisi kelemahan-kelemahan dalam kesatuanmu."
"Ya, kakang." "Seterusnya kau harus selalu berhati-hati menempatkan diri dalam hubungan sesamamu."
Sukra mengangguk-angguk. Agaknya ia mencoba dengan sungguh-sungguh untuk menyerap semua pesan-pesan Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih telah memberikan pesan-pesan sebagaimana pernah dikatakan oleh Ki Rangga Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan orang-orang tua yang lain yang pemah ditemuinya dalam pengembaraannya. Yang sebagian besar hanya tinggal berada di dalam ingatannya saja, karena kesempatan untuk bertemu lagi dengan mereka sudah menjadi semakin sempit.
Meskipun demikian, berbagai ilmu yang telah diwarisinya tetap saja memperkaya tingkat kemampuannya.
Demikianlah, malam itu Ki Jayaraga telah memperingatkannya, agar Glagah Putih dan Rara Wulan segera beristirahat.
"Esok kalian akan bangun pagi-pagi sekali. Kemudian menempuh perjalanan ke Mataram. Meskipun perjalanan itu tidak sangat panjang, tetapi sebaiknya kalian sampai di kepatihan sebelum tengah hari."
Menjelang tengah malam, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada di biliknya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, sebaiknya mereka segera beristirahat karena esok mereka akan berangkat pagi-pagi sekali.
Namun justru karena itu, maka keduanya tidak segera dapat tidur. Mereka masih berbicara beberapa lama. Baru kemudian, ketika angin malam terdengar gemensik di dinding dan atap rumah, merekapun terdiam. Terasa dinginnya malam menyusup disela-sela raguman menyentuh tubuh mereka, maka keduanya-pun menjadi lelap.
Menjelang fajar keduanya telah terbangun. Bergantian mereka mandi dan kemudian berbenah diri. Namun sementara itu, Sekar Mirahpun telah berada di dapur pula menyiapkan minuman dan makan pagi bagi Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu telah duduk di ruang dalam pula.
Di halaman samping terdengar pula suara sapu lidi dengan iramanya tersendiri. Ki Jayaraga ternyata telah sibuk membersihkan halaman sebagaimana setiap hari dilakukannya. Sedangkan Sukra sibuk mengisi gentong di dapur.
Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan selesai berbenah diri, maka Sekar Mirahpun telah mempersilahkan mereka untuk makan pagi.
Ki Jayaraga dan Agung Sedayu tidak dapat makan bersama keduanya. Mereka hanya duduk menunggui sambil minum minuman hangat.
"Masih terlalu pagi untuk makan pagi," berkata Ki Jayaraga.
Setelah makan pagi, Glagah Putih dan Rara Wulan masih beristirahat beberapa saat, sementara Ki Rangga Agung Sedayu masih memberikan pesan-pesan terakhirnya.
Namun sebelum matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan telah minta diri untuk berangkat ke Mataram.
Ki Rangga Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Sukra melepas mereka sampai ke regol halaman. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan sudah terbiasa pergi meninggalkan rumah itu, namun rasa-rasanya saat itu Glagah Putih dan Rara Wulan akan menempuh perjalanan yang lama. Mereka tidak sekedar mengembara sebagaimana pernah mereka lakukan, tetapi mereka akan melakukan tugas mereka sebagai prajurit.
Dari para pelatih pada saat mereka berada dalam penempaan diri sebagai seorang prajurit serta dari Ki Rangga Agung Sedayu, keduanya sudah tahu benar akan kewajiban mereka sebagai seorang prajurit. Keduanyapun bertekad untuk dapat melakukannya dengan sebaik-baiknya. Kewajiban seorang prajurit sama sekali tidak bertentangan dengan pesan-pesan orang tua, agar Glagah Putih dan Rara Wulan menganut jalan kebenaran. Bukan sekedar kebenaran menurut ukuran mereka sendiri. Tetapi kebenaran dijalan Yang Maha Agung.
"Itulah yang sering kita lupakan," berkata Ki Rangga Agung Sedayu dalam pesan-pesannya, "pada saat kita mengambil kepu-tusan untuk bersikap, kadang-kadang kita melupakan bahwa sikap kita itu juga harus kita pertanggung-jawabkan kepada Yang Maha Agung pada jaman yang tidak berkesudahan. Kadang-kadang kita mengambil keputusan untuk bersikap sekedar mencari kepuasan hati kita sendiri. Itulah sebabnya sering terjadi pembunuhan, pembantaian dan bahkan tindakan-tindakan yang lebih keji lagi tanpa mengingat, bahwa pada suatu saat, kita akan dihadapkan kepada pengadilan yang tidak dapat dikendalikan oleh siapapun, tidak akan pernah dapat terjadi tawar-menawar, tidak pula dapat direkayasa oleh siapapun dan dengan cara apapun. Mungkin seseorang pernah menyadari akan hal itu. Tetapi ketika ia dihadapkan kepada kepuasan duniawi, maka ia telah melupakannya. Pada saat mereka sadari akan kekhilafan mereka, maka segala sesuatunya sudah terjadi dan harus mereka pertanggungjawabkan kepada Yang Maha Pencipta. Tetapi memang ada juga orang yang memang tidak percaya kepada pengadilan akhir itu. Orang-orang itu adalah orang yang mengingkari Penciptanya, sehingga orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang sangat berbahaya, karena mereka tidak akan pernah bertobat. Tetapi orang-orang yang demikianlah, yang pada saatnya akan menyesal disepanjang jaman, karena mereka akan dilemparkan ke dalam kegelapan abadi."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun berjalan semakin cepat. Sinar matahari pagi yang muncul dari balik cakrawala, terasa menghangatkan tubuh. Embun yang bergayutan di dedaunanpun mulai terhapus perlahan-lahan. Sementara itu, kabut tipis yang menutupi lembah-lembah perbukitanpun mulai terkuak.
Di padukuhan padukuhan yang mereka lewati, anak-anak muda yang berpapasan dengan keduanya, selalu bertanya, kemana mereka akan pergi di pagi-pagi sekali.
"Ke Mataram," jawab Glagah Putih dan Rara Wulan bergantian.
Bukan hanya di padukuhan padukuhan, tetapi orang-orang yang akan pergi ke Bawah dan berpapasan di bulakpun selalu bertanya pula.
Baru kemudian, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan semakin jauh, semakin sedikit pula orang yang bertemu di jalan. Tetapi keduanyapun harus menghindari sebuah pasar di padukuhan yang terhitung besar agar mereka tidak terlalu banyak berpanasan dengan orang-orang yang sudah mengenali mereka dan memberikan bermacam-macam pertanyaan.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka merekapun telah menuruni jalan yang menuju ke tempat penyeberangan. Sebagaimana biasanya, keduanya memilih menyeberang di penyeberangan sebelah Selatan.
Hari itu, penyeberangan itu ternyata tidak terlalu ramai. Hanya ada dua tiga orang saja yang menunggu disisi Barat, sementara itu sebuah rakit sedang meluncur dari arah Timur. Rakit itu juga tidak membawa terlalu banyak orang dari tepian sebelah Timur, sehingga rakit itu dapat melaju lebih cepat.
Beberapa saat kemudian, maka rakit itupun telah merapat ke sisi Barat. Demikian para penumpangnya turun, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera naik bersama beberapa orang yang telah menunggu.
Tetapi sebelum rakit itu menyeberang, seorang berkuda memacu kudanya sambil berteriak, "Tunggu-tunggu."
Rakit yang sudah siap untuk menyeberang itu berhenti.
Penunggang kuda itupun kemudian meloncat turun sambil berkata, "Tunggu. Kami akan menyeberang bersama sepasang pengantin. Sebentar lagi mereka akan tiba."
Tukang satang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya para penumpang yang telah berada di atas rakitnya, minta pertimbangan.
Karena beberapa orang yang sudah ada di atas rakit itu tidak menjawab, maka Glagah Putihlah yang menjawab. Baiklah. Kita menunggu sebentar. Apakah ada di antara Ki sanak yang sangat tergesa-gesa ?"
Orang-orang yang sudah ada di atas rakit itupun menggeleng.
16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, kakang," berkata Glagah Putih kepada tukang satang, "kita menunggu. Bukankah masih banyak tempat di rakit kakang?"
Rakit itupun urung untuk bergerak ke Timur. Sementara itu rakit yang ada di seberang juga masih belum bergerak. Masih ada dua orang yang akan naik bersama kuda mereka.
Beberapa saat kemudian, maka datanglah iring-iringan pengantin yang akan menyeberang itu. Ternyata pengiringnya cukup banyak. Empat orang di antara mereka berkuda. Termasuk orang yang berkuda mendahului iring-iringan itu.
Demikian mereka mendekati rakit itu, maka orang berkuda yang mendahului iring-iringan itupun berkata kepada tukang satang," Ki Sanak. Kami akan menyeberang bersama-sama, karena kami sedang mengiringi sepasang pengantin yang akan diboyong ke rumah pengantin laki-laki di sebelah Timur Kali Praga."
"Tetapi tentu tidak dapat sekaligus," jawab tukang satang itu, "beberapa orang akan tinggal. Sementara itu, rakit dari seberang itu sudah mulai bergerak. Sebentar lagi rakit itu akan sampai di sini. Kemudian sebagian yang tertinggal akan dapat segera menyusul. Apalagi ada di antara kalian yang membawa kuda."
"Tidak baik kalau rombongan kami harus dibagi."
"Tetapi kalau dipaksakan naik ke rakit, aku mengkhawatirkan, bahwa beban akan menjadi terlalu berat."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Biarlah orang-orang yang sudah ada di atas rakit itu turun. Biarlah kami memakai rakit itu seutuhnya tanpa orang lain. Bukankah mereka dapat menunggu dan tidak harus pergi bersama-sama."
Beberapa orang yang sudah ada di atas rakit itu saling berpandangan sejenak. Ada di antara mereka yang nampaknya agak berkeberatan jika mereka harus turun lebih dahulu.
Tetapi orang itu berkata, "Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami terpaksa minta kalian untuk turun."
Suasana terasa menjadi agak tegang. Namun Glagah Putihlah yang kemudian berkata, "Baiklah. Aku dan isteriku akan turun. Tetapi aku tidak tahu, apakah yang lain juga bersedia untuk turun."
Ternyata sikap Glagah Putih itu telah mempengaruhi sikap beberapa orang yang lain, sehingga seorang diantara mereka berkata, "Biarlah mereka mendapat kesempatan untuk dapat menyeberang bersama-sama."
Orang-orang yang sudah berada di atas rakit itu ternyata semuanya bersedia untuk turun dan memberi tempat kepada sepasang pengantin dan para pengiringnya, agar mereka dapat bersama-sama menyeberang.
Tetapi ketika mereka kemudian berebut naik, maka tukang satang itupun berkata, "Terlalu banyak Ki sanak. Apakah sebagian kecil dari kalian dapat turun dan menyeberang dengan rakit berikutnya. Rakit itu sudah bergerak kemari. Tentu tidak akan lama lagi rakit itu merapat di tepian."
Namun ternyata tidak ada diantara para pengiring itu yang bersedia turun dan ikut menumpang rakit yang sedang bergerak ke Barat.
Karena tidak ada yang bersedia, maka tukang satang itupun bertanya sekali lagi, "Apakah ada diantara kalian yang bersedia turun dan menumpang rakit berikutnya?"
Ternyata masih belum ada yang bersedia turun. Bahkan seorang diantara mereka berkata, "Jika penumpang rakitmu kelebihan, Ki Sanak, bukankah hanya kelebihan sedikit " Aku kira kelebihan sedikit itu tidak akan membahayakan. Aku sudah terbiasa menyeberang. Bahkan aku pernah naik rakit, dan bahkan mungkin juga rakit ini, bersama dengan beberapa ekor kuda yang membawa keranjang berisi gula kelapa."
"Tetapi tentu tidak memuat orang sebanyak ini."
"Sudahlah. Jika kau ragu-ragu, akibatnya tentu kurang baik. Menyeberanglah."
Dua tukang satang di rakit itu saling berpandangan. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Merekapun kemudian mulai mendorong rakitnya bergerak menyeberang ke Timur. Namun mereka lebih dahulu menyisir tepian justru ke arah hulu. Baru kemudian mereka bergerak ke tengah dan selanjutnya sedikit mengikuti arah arus Kali Praga yang terhitung deras itu.
Sementara itu, rakit yang satu lagi sudah sampai di tepian Barat pula. Setelah penumpangnya turun, maka beberapa orang-pun segera naik. Tidak terlalu banyak, sehingga terasa rakit itu cukup longgar.
Dalam waktu singkat, rakit yang ditumpangi Glagah Putih dan Rara Wulan itupun segera bergerak pula.
Namun tiba-tiba saja mereka melihat rakit yang terdahulu itu mulai goncang. Didorong oleh arus Kali Praga, dengan penumpang yang terlalu banyak, maka rasa-rasanya rakit itu tidak kuat lagi mengusung bebannya.
"Kakang," berkata Glagah Putih kepada tukang satang yang ada di rakitnya, "rakit itu nampak berguncang."
Kedua tukang satang yang melayani rakit yang membawa Glagah Putih dan Rara Wulan itu memperhatikan rakit yang berguncang. Seorang diantara mereka itupun bergumam, "Kang Naya terlalu serakah. Orang sekian banyak dibawanya semua. Itu sangat membahayakan penumpangnya."
"Kang Naya tukang satang rakit itu yang kau maksud?" bertanya Glagah Putih.
"Ya." "Bukan salahnya, kang. Kang Naya sebenarnya sudah menolak. Tetapi orang-orang berkuda itu memaksa. Sehingga akhirnya kang Naya terpaksa membawa mereka semua."
Percakapan itu terhenti. Mereka mendengar beberapa orang perempuan yang naik rakit yang terdahulu itu menjerit.
Kedua tukang satang rakit yang ditumpangi Glagah Putih itupun kemudian sepakat untuk mencoba membantunya. Karena itu, maka mereka telah mempercepat rakit yang disatanginya, menyusul rakit yang berguncang itu.
"Jangan bingung. Duduk sajalah. Jangan bergeser-geser. Nanti rakit ini akan berguncang semakin keras," teriak tukang satang pada rakit yang berguncang itu.
Tetapi orang-orang yang ketakutan itu justru saling tarik menarik, saling berdekapan sambil berteriak-teriak tidak keruan.
Kedua tukang satangnya mencoba untuk mengatasi kesulitan itu. Kang Naya masih saja berteriak-teriak menenangkan penumpang-penumpangnya. Tetapi mereka masih saja kebingungan dan ketakutan. Dengan demikian guncangan-guncangan itupun menjadi semakin keras. Apalagi ketika kuda-kuda diatas rakit itu mulai menjadi gelisah pula.
Pada saat yang gawat maka rakit yang ditumpangi Glagah Putih itupun menjadi semakin dekat. Seorang tukang satangnya-pun kemudian melemparkan tali kepada kang Naya yang berada di rakit yang terguncang itu.
"Tenanglah, tenanglah. Semuanya duduk diam." Suaranya tenggelam diantara jerit dan teriakan para penumpang rakit yang terguncang-guncang itu.
Air Kali Pragapun mulai membasahi alas rakit bambu yang terhitung besar itu. Rakit bambu yang ditompang di atas dua perahu kecil di kedua sisinya.
Sejenak kemudian, maka kedua rakit itupun menjadi semakin dekat. Yang terdengar kemudian adalah suara Glagah Putih, "Marilah. Aku minta beberapa orang laki-laki meloncat ke rakit ini. Rakit ini masih cukup untuk menampung banyak orang. Dengan demikian rakit kalian tidak akan kelebihan penumpang."
Tetapi nampaknya tidak ada seorangpun yang berani melakukannya. Beberapa orang laki-laki pengiring pengantin itu nampak pucat dan ketakutan sebagaimana perempuan-perempuan.
"Cepat," teriak Glagah Putih yang berusaha membantu menarik tali yang telah dilemparkan oleh tukang satang dari rakit yang ditumpanginya dan yang telah dipegang oleh Kang Naya.
Kedua rakit itu menjadi semakin dekat. Tetapi ketika keduanya bersinggungan, maka rakit-rakit itu telah terguncang. Terutama rakit yang penuh penumpang itu.
"Jangan menjadi kehilangan akal," teriak Glagah Putih. Tukang satangpun telah berteriak pula, "Loncat kemari. Cepat, sebelum rakit itu tenggelam."
Orang-orang di rakit itu menjadi bertambah ketakutan. Sementara Glagah Putih mengulurkan tangannya sambil berteriak, "Tangkap tanganku."
Orang-orang di rakit yang penuh itu masih saja nampak bimbang dalam ketakutan. Namun seorang anak muda di antara mereka agaknya telah memberanikan diri menggapai tangan Glagah Putih.
Glagah Putihpun kemudian berteriak pula, "Loncat."
Anak muda itu meloncat sementara Glagah Putih menariknya, sehingga anak muda itupun akhirnya terjatuh di rakit yang ditumpangi oleh Glagah Putih itu.
Ketika Rara Wulan menolong anak muda itu, maka Glagah Putihpun telah menjulurkan tangannya pula, "Marilah. Siapa yang lain. Berusahalah. Jangan menyerah dan tenggelam bersama rakit itu."
Keberhasilan anak muda itu telah menumbuhkan keberanian pada beberapa orang laki-laki. Merekapun menjulurkan tangan mereka bergantian, sehingga beberapa orang akhirnya telah berpindah dari satu rakit ke rakit yang lain.
Dengan demikian, maka rakit yang terguncang itu menjadi agak mereda setelah beberapa orang berada di rakit yang ditumpangi oleh Glagah Putih.
Namun tiba-tiba saja seorang perempuan yang menggendong bakul dan berada di rakit yang ditumpangi Glagah Putih berteriak sambil menyerahkan sepasang telur ayam. "berikan telur ini kepada pengantinnya. Biarlah mereka yang melemparkan telur ini ke Kali Praga. Aku belum melihat mereka melempar sepasang telur sejak mereka naik di tepian sebelah Barat."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi Rara Wulanlah yang kemudian menerima telur itu. Ia melangkah ke tepi dan menjulurkan telur itu kepada orang yahg berada di rakit yang terguncang itu, "berikan kepada pengantinnya. Biarlah mereka yang melemparkannya ke Kali Praga."
Kang Nayalah yang menerima sepasang telur itu dan memberikannya kepada sepasang pengantin itu. Merekapun kemudian melemparkan sepasang telur itu ke arus Kali Praga.
Sejenak kemudian, maka kedua tukang satang dari rakit yang terguncang itupun berhasil menguasai rakitnya. Rakit yang ditumpangi Glagah Putih dan Rara Wulanpun mulai mengambil jarak, agar kedua rakit itu tidak bersinggungan.
"Nah," berkata perempuan yang memberikan dua butir telur itu, "pengantin baru yang belum genap selapan hari, jika menyeberangi sungai apalagi sebesar Kali Praga ini, harus melemparkan sepasang telur ke dalam arus sungai itu. Nampaknya sepasang pengantin itu tidak melakukannya. Mungkin bagi mereka, melemparkan telur itu hanya takhayul saja, sehingga tidak perlu dilakukan. Tetapi hampir saja mereka ditelan arus Kali Praga yang deras ini. Untung aku membawa lima butir telur yang diberikan oleh menantuku. Tetapi sebenarnya telur-telur itu adalah telur ayam bangkok yang akan aku tetaskan di rumah."
"Tetapi korban yang bibi berikan tidak sia-sia," sahut salah seorang pengiring pengantin yang telah berada di dekat perempuan itu setelah berhasil melompat, "kami sangat berterima kasih."
"Lain kali sebaiknya kalian bertanya-tanya kepada orang tua. Syarat-syarat yang harus dipenuhi jika kalian akan membawa sepasang pengantin menempuh perjalanan. Jauh atau dekat, syarat-syarat itu harus dipenuhi."
"Ya, bibi. Sekali lagi, atas nama sepupuku yang menjadi pengantin itu, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih."
Tetapi seorang yang duduk di sampingnya berbisik- Apakah sebaiknya kita ganti harga telur itu. Telur itu ternyata telur ayam bangkok yang akan ditetaskan."
Pendekar Pedang Sakti 8 Pendekar Slebor 34 Bunga Neraka Memanah Burung Rajawali 12