Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 21

16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 21


Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Keterangan itu sangat berarti baginya. Dengan demikian, maka mereka akan pergi ke Timur dengan satu keyakinan untuk menemukan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati- Orang itu tentu akan berada di sekitar Pangeran Jayaraga yang mendapat kuasa memerintah di Panaraga. Bahkan mungkin dengan niat yang tidak sewajarnya.
"Jika demikian, kakang," berkata Glagah Putih kemudian, "langkah pertamaku dalam tugas ini adalah pergi ke Timur. Akupun harus mengamati orang-orang yang ada disekitar Pangeran Jayaraga yang mendapat kuasa untuk memerintah Panaraga itu."
"Ya. Mungkin orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu akan dapat berbuat sesuatu yang justru mencemarkan nama baik Mataram dan bahkan orang-orang Mataram. Telah sering terjadi, bahwa orang-orang Mataram sendirilah yang telah menodai nama baik Mataram itu sendiri."
"Kakang benar," berkata Glagah Putih sambil mengangguk-angguk, "agaknya hal ini juga disadari oleh Ki Patih Mandaraka, sehingga Ki Patih menaruh perhatian terhadap orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu. Sehingga Ki Patih telah memerintahkan kami berdua untuk melacaknya."
"Tugas yang berat adi Glagah Putih dan adi Rara Wulan," berkata Pandan Wangi kemudian, "kalian harus sangat berhati-hati. Di limur, mungkin orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu telah bergabung dengan sekelompok orang yang bekerja bersamanya. Dengan demikian maka yang akan kalian hadapi bukan saja orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sendiri. Tetapi kalian akan berhadapan dengan sekelompok orang yang sadar atau tidak sadar, akan bekerja bersama dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu."
"Ya, kakang. Kemungkinan itu besar sekali."
"Karena itulah, maka kalian harus benar-benar bersiap lahir dan batin."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.
Namun kemudian Glagah Putih itupun berkata, "Kakang Aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat berada disini terlalu lama. Aku akan melanjutkan perjalananku ke Timur."
Swandaru dan Pandan Wangi terkejut. Dengan serta merta Pandan Wangipun berkata, "Aku kira kalian akan bermalam disini malam ini."
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Rara Wulanpun berkata, "Kami sudah terhenti di padepokan, Mbokayu . Bahkan kami sudah bermalam di rumah cantrik yang tinggal di dekat padepokan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Karena itu, maka sebaiknya kami segera berangkat menuju ke Timur."
"Apa bedanya jika adi berangkat esok?"
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Rasa-rasanya kami terlalu lamban menangani tugas ini."
Pandan Wangilah yang tersenyum. Katanya, "Ya. Kadang-kadang kita merasa dikejar-kejar oleh kegelisahan karena kelambanan kita sendiri. Tetapi bukankah hari sudah siang sehingga sinar matahari sudah terasa mulai menyengat kulit."
"Bukankah kami sudah terbiasa berjemur di bawah terik matahari. Di perjalanan kami sudah sering kepanasan. Di sawah kitapun selalu berjemur di panasnya matahari sementara kaki kita berendam di lumpur."
"Baiklah," berkata Swandaru kemudian, "Kami doakan agar kalian berhasil dengan baik serta selamat kembali sampai di Mataram."
Pandan Wangipun kemudian telah minta Ki Demang untuk keluar sejenak karena Glagah Putih dan Rara Wulan akan minta diri.
Ki Demangpun terkejut pula, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan hanya singgah sebentar saja di Sangkal Putung.
"Kalian tidak menginap disini, ngger ?"
"Lain kali Ki Demang. Sekarang kami sedang mengemban tugas. Pada kesempatan lain kami akan singgah lebih lama lagi."
"Tetapi hari sudah siang. Kenapa tidak menunggu saja sampai esok."
"Terima kasih Ki Demang."
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat ditahan lagi, sehingga Ki Demang hanya dapat mengucapkan selamat jalan saja kepada mereka.
Demikianlah, di tengah hari, Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan kademangan Sangkal Putung. Terasa panas matahari menusuk sampai ke tulang. Tetapi mereka berdua adalah pengembara yang sudah terbiasa berjalan di panasnya sengatan sinar matahari atau di dinginnya embun malam.
Ketika matahari mulai turun, maka keduanya mulai merasa haus dan lapar. Karena itu, maka Glagah Putihpun berkata, "Kita telah salah langkah."
"Kenapa ?" "Kalau kita menunggu sebentar lagi, maka kita tidak perlu singgah di kedai. Kita akan mendapat hidangan makan di Sangkal Putung. Tidak hanya sekedar minuman dan makanan."
"Ah, kakang. Apa bedanya kita singgah di kedai ?"
"Bukankah di kedai kita harus membayar ?"
"Bekal uang yang kita bawa, sisa yang terdahulu serta uang yang ditambahkan lagi dari Ki Patih, masih cukup banyak."
"Tetapi kita tidak tahu, berapa lama kita akan mengembara. Bahkan mungkin uang itu tidak akan cukup."
"Ah, kakang. Apa saja yang akan kita beli, sehingga keping-keping uang yang kita bawa itu kurang ?"
Glagah Putih tertawa. Namun kemudian ketika mereka melewati sebuah kedai yang terhitung besar, maka merekapun telah singgah di dalamnya.
Demikian mereka duduk di sudut, maka Glagah Putihpun berdesis, "Kita telah memasuki satu kedai yang menjadi tempat singgah orang-orang kaya."
Rara Wulan mengangguk. Katanya, "Ya. Terutama para saudagar."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Yang terbanyak berada di kedai itu menilik pakaiannya, sikapnya serta pembicaraan mereka, agaknya mereka memang para saudagar.
Di sebelah kedai itu memang terdapat pasar yang besar pula.
Tetapi pengunjungnya sudah hampir tidak ada lagi karena hari sudah terlalu siang. Para pedagangpun sudah beristirahat di kedai-kedai di sekitar pasar itu. Tetapi yang terbanyak di kedai yang terhitung besar itu, sementara para pekerjanya sedang sibuk membenahi barang-barang dagangan mereka. Kemudian menaikkannya ke dalam pedati.
"Kita seperti orang padesan yang tersesat masuk ke dalam kota," berkata Glagah Putih.
"Kita tidak usah memperhatikan mereka."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi di luar sadarnya ia justru memandang beberapa orang yang ada di dalam kedai itu. Orang-orang yang ditilik dari ujud lahiriahnya memang nampak sebagaimana orang-orang kaya.
Di luar sadarnya pula Glagah Putih memperhatikan dirinya dan Rara Wulan yang mengenakan pakaian sederhana.
Beberapa saat keduanya duduk di sudut kedai itu. Mereka memperhatikan para pelayan yang sibuk melayani para tamunya. Sehingga belum seorangpun yang datang kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.
Ada beberapa orang saudagar yang baru datang memasuki kedai itu. Para pelayanpun telah dengan tergesa-gesa mendekatinya dan menanyakan apa yang akan dipesannya.
"Nampaknya para pelayan mempunyai penilaian tersendiri terhadap tamu-tamunya," berkata Glagah Putih, "mereka sibuk melayani tamu-tamunya yang menurut gelar lahiriahnya adalah orang-orang yang kaya yang tentu memesan makanan dan minuman yang termahal."
"Apakah sebenarnya minuman dan makanan yang termahal itu kakang ?"
"Kau lihat, ada diantara mereka yang memesan tuak. Kemudian memesan nasi langgi dengan telur ceplok, dengan ragi serta pesanan beberapa jenis lauk yang lain secara khusus. Selebihnya para Saudagar itu tentu memberi hadiah khusus bagi para pelayan yang telah melayani mereka dengan cepat."
"Kalau begitu, marilah kita pergi saja kakang. Kita singgah di kedai yang lain."
"Tidak. Aku justru ingin berada di sini sampai kapanpun."
Rara Wulan tertawa. Sebenarnya iapun tertarik untuk melakukannya.
Sebenarnyalah keduanya tidak beranjak dari tempat mereka. Meskipun masih belum ada peiayan yang datang kepadanya, namun mereka masih duduk saja sambil berbincang diantara mereka tentang kedai serta para pelayannya itu.
Baru beberapa saat kemudian dengan malas seorang pelayan telah mendatanginya.
-ooo0dw0ooo- Jilid 393 DENGAN wajah yang tidak nampak ceria pelayan itupun bertanya dengan kalimat-kalimat pendek, "Kalian mau pesan apa ?"
Glagah Putihlah yang menjawab, "Wedang sere satu mangkuk dan nasi tumpang dua mangkuk, Ki Sanak."
"Apa lagi ?" "Sudah." "Hanya itu. Kenapa wedang serenya hanya satu ?"
"Cukup untuk dua orang Ki Sanak."
"Kalian telah tersesat memasuki kedai ini. Seharusnya kau beli saja nasi tumpang dan wedang sere di sebelah pintu gerbang pasar itu sambil duduk lesehan di bawah pohon gayam. Kalian tidak perlu masuk ke dalam kedai ini untuk semangkuk wedang sere dan dua mangkuk nasi tumpang."
"Tetapi bukankah di kedai ini ada nasi tumpang."
Pelayan itu tidak menjawab. Sambil bersungut-sungut ia meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Pesan apa mereka ?" bertanya pemilik kedai yang nampaknya juga kurang senang atas keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Apalagi ketika ia mendengar pesan kedua orang itu, maka pemilik kedai itupun mengumpat kasar.
"Segera hidangkan pesanan itu kepada mereka, agar mereka segera pergi."
Pemilik kedai itupun dengan cepat menyiapkan pesan Glagah Putih dan Rara Wulan. Kemudian pelayannya pun segera menghidangkan pula, agar kedua orang itu segera meninggalkan kedai itu.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak makan cepat-cepat. Mereka makan perlahan-lahan, sementara Rara Wulan berkata sambil tertawa tertahan, "Kakang hanya memesan semangkuk minuman. Itupun hanya wedang sere."
Glagah Putihpun tertawa pula.
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar tidak menghiraukan orang-orang yang sedang berada di kedai itu pula. Mereka sadar, bahwa beberapa orang sedang memperhatikan mereka. Tatapi mereka tidak peduli. Mereka makan saja seenaknya dan bergantian mereka meneguk wedang sere dengan gula kelapa itu.
Namun akhirnya nasi merekapun habis juga. Demikian minuman mereka. Agaknya seorang pelayan sangat memperhatikan mereka. Karena demikian mereka selesai makan, pelayan itu segera datang kepadanya untuk mengambil mangkuk-mangkuk yang kotor itu.
Namun pelayan itu terkejut ketika Rara Wulan kemudian mengambil sekeping uang perak dari kampilnya dan memberikannya kepada pelayan itu.
Sejenak pelayan itu termangu-mangu. Namun kemudian pelayan itupun segera pergi ke pemilik kedai itu sambil menyerahkan keping uang perak itu.
"Siapa yang membayar dengan uang perak ini ?" bertanya pemilik kedai itu.
"Kedua orang yang memesan semangkuk wedang sere itu, paman."
"Jadi mereka mempunyai uang perak ?"
"Tidak hanya satu. Ketika ia mengambil uang ini dari kampilnya, aku melihat ada beberapa uang perak di dalamnya."
"Mereka sengaja menyinggung perasaan kita."
"Kenapa ?" "Mereka telah tersinggung karena sikap kita. Tetapi kedai ini kedai kita. Kita dapat berbuat apa saja di sini. Kitapun bebas melayani langganan-langganan kita. Bahkan seandainya kita akan mengusir orang itu, itu adalah hak kita."
"Jadi, bagaimana dengan uang ini ?" bertanya pelayan itu.
Pemilik kedai itupun mengambil uang perak itu dari tangan pelayannya. Iapun kemudian mendatangi Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil melemparkan uang perak itu dihadapan Glagah Putih, pemilik kedai itupun berkata, "Kau hanya minum wedang sere semangkuk untuk dua orang. Kemudian nasi megana yang harganya paling murah di kedai ini. Sekarang kalian membayar dengan uang perak."
"Aku tidak mempunyai mata uang yang lebih kecil."
"Ambil uang itu. Kalian tidak usah membayar minuman yang kalian minum, serta nasi yang kau makan. Harganya tidak seberapa. Bagi kami minum dan makan yang kalian pesan itu tidak ada harganya."
Rara Wulan terkejut ketika Glagah Putih itu bangkit berdiri. Setelah memungut uang perak itu, maka iapun mengangguk hormat sambil berkata, "Jika demikian, aku mengucapkan terima kasih. Hal ini merupakan satu pengalaman yang menarik. Kami akan melakukan lagi nanti dan esok di kedai-kedai yang lain, sehingga uang kami akan tetap utuh."
Jantung pemilik kedai itu terasa berdegup semakin keras. Demikian kemarahan bergejolak di dadanya, maka justru orang itu diam mematung. Hanya nafasnya sajalah yang terdengar tersengal-sengal.
Glagah Puth dan Rara Wulan dengan sikap yang wajar-wajar saja kemudian meninggalkan kedai itu sambil berkata, "Terima kasih atas kemurahan hati Ki Sanak."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian benar-benar meninggalkan kedai itu tanpa membayar sebagaimana dikatakan oleh pemilik kedai itu.
Orang-orang yang berada di kedai itu memperhatikan peristiwa dengan tanggapan yang bermacam-macam. Bahkan ada yang terpaksa menahan tertawanya memperhatikan sikap kedua orang itu.
"Mereka tidak bersalah," desis seorang saudagar yang semula duduk disebelah Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbisik.
Tetapi kawannya menjawab, "Tetapi mereka tidak membayar makan dan minuman yang mereka pesan dan bahkan sudah mereka habiskan."
"Siapa yang tidak membayar " Mereka mau membayarnya. Bahkan dengan sekeping uang perak. Tetapi pemilik kedai itu tersinggung dan menolak pembayaran itu. Nah, bukankah kedai ini sendiri yang mengatakan kepada mereka, agar mereka tidak usah membayar."
Kawannyapun tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia-pun berkata, "Ya. Mereka memang tidak bersalah."
Beberapa orang yang lain sependapat dengan saudagar itu. Bahkan ada pula yang menyesalkan sikap pemilik kedai serta para pelayan yang meremehkan pembelinya hanya dengan melihat ujud lahiriahnya saja. Seperti kedua orang itu. ternyata mereka bukan orang-orang yang tidak dapat membayar harga makanan dan minuman yang mahal sekalipun. Jika kemudian mereka hanya memesan wedang sere dan nasi tumpang itu, justru karena mereka merasa direndahkan oleh para pelayan yang segan melayani mereka.
Ketika keduanya membayar dengan sekeping uang perak, pemilik kedai itulah yang tersinggung.
Ternyata persoalan itu masih belum selesai bagi pemilik kedai itu. Seorang pelayannya telah memanggil dua orang upahan pemilik kedai itu untuk melindunginya serta kedainya dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi.
"Ada apa lurahe ?" bertanya seorang diantara mereka.
Dengan singkat pemilik kedai itu menceriterakan, apa yang telah terjadi di kedainya.
"Terserah kepada kalian. Aku hanya ingin membuat mereka jera. Jika kemudian uangnya berceceran dan kalian menemukan keping-keping perak itu, terserah saja kepada kalian."
Kedua orang itu tertawa. Yang berambut ubanan berkata, "Jika itu terjadi, aku dapat membelikan gelang anakku perempuan."
"Cepat, pergilah. Mumpung belum terlalu jauh ?"
"Bukankah kedua orang yang masih kelihatan itu " Mereka tidak akan sempat pergi jauh."
Demikianlah, maka kedua orang itupun kemudian berjalan mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan yang kemudian berbelok di tikungan. Keduanya tidak terlalu tergesa-gesa. Mereka akan membuat Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi jera jika mereka sudah sampai di bulak panjang. Mereka mempunyai alasan yang kuat untuk memberi sedikit pelajaran kepada kedua orang itu. Mereka makan dan minum di kedai tanpa membayar.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari pintu gerbang padukuhan. Mereka mulai memasuki bulak yang terhitung panjang. Disebelah menyebelah jalan, tanaman padi nampak hijau segar diatas lumpur yang digenangi air melimpah. Parit di pinggir jalan itupun terdengar gemericik mengalirkan air yang nampak jernih.
Namun dalam pada itu, Rara Wulanpun berbisik, "Kakang. Agaknya dua orang sedang mengikuti kita."
"Ya. Agaknya pemilik kedai itu menjadi sangat marah kepada kita."
"Lalu, ia memerintahkan dua orangnya untuk mengikuti kita."
"Tentu tidak sekadar mengikuti kita. Mereka tentu akan menghentikan kita jika kita sudah menjadi agak jauh dari padukuhan. Sementara jalan bulak ini nampaknya sudah menjadi sepi."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Rara Wulan itu berjalan saja di sebelah Glagah Putih, menyusuri bayang-bayang pohon perindang yang tumbuh di pinggir jalan.
Seperti yang mereka duga, ketika mereka menjadi semakin jauh dari padukuhan, maka kedua orang itu mempercepat langkfh mereka menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berpura-pura tidak mengetahuinya, sehingga akhirnya kedua orang itu sudah berada disamping mereka sambil berkata, "Berhenti Ki Sanak."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun berhenti. Mereka berdiri di pinggir jalan, dibawah bayangan sebatang pohon turi.
"Apakah kami yang Ki Sanak maksudkan ?" bertanya Glagah Putih.
"Jangan berpura-pura," berkata seorang diantara keduanya, "disini tidak ada orang lain kecuali kalian berdua dan kami berdua. Seharusnya kalian tidak usah bertanya."
"Baik. Biarlah kami tidak bertanya apa-apa lagi."
"Akulah yang akan bertanya," berkata orang itu, "kenapa kalian lari setelah kalian makan dan minum di kedai kami tanpa membayar."
"Pertanyaan itu lebih bodoh dari pertanyaanku," sahut Glagah Putih, "kau bukan saja berpura-pura. Tetapi kau sudah sengaja menyesatkan persoalan yang sebenarnya."
"Persetan," geram orang itu, "jika demikian. Baik. Kita tidak usah berbasa-basi. Aku datang untuk sedikit memberi pelajaran karena kau sudah meremehkan dan menyinggung harga diri pemilik kedai itu."
"Kalianlah yang telah menyinggung perasaan kami. Pelayan-pelayan di kedai itu sama sekali tidak menghiraukan kami ketika kami masuk ke dalam kedai itu."
"Kalian berdua memang tidak pantas dihormati. Meskipun kalian mempunyai banyak uang, tetapi ujud kalian pantas di rendahkan."
Glagah Putih tersenyum katanya, "Bukankah aku tidak menuntut untuk dihormati. Bukankah aku diam saja. Aku sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ketika pemilik kedai itu minta aku pergi, maka akupun pergi."
"Dengan tanpa membayar makanan dan minuman yang kalian pesan."
"Kau memang dungu. Pemilik kedai itu yang menolak pembayaran yang aku berikan."
"Cukup. Sekarang kalian harus kembali ke kedai itu."
"Untuk apa ?" "Kalian harus minta maaf kepada lurahku, pemilik kedai itu. Kaupun harus memenuhi kewajibanmu."
"Semua itu omong kosong. Kau tentu hanya mencari perkara agar kau dapat melakukan kekerasan. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah berputar-putar. Kalau kau ingin berkelahi, mari kita berkelahi. Begitu saja."
Kedua orang itu menjadi heran. Ternyata orang itu sama sekali tidak merasa cemas, bahwa ia berhadapan dengan dua orang yang berwajah garang.
"Apakah wajahku sudah tidak garang ?" bertanya orang yang rambutnya mulai ubanan itu kepada diri sendiri.
Bukan saja laki-kali itu sajalah yang tidak menjadi cemas. Tetapi perempuan itupun nampak tenang-tenang saja. Bahkan sambil tersenyum Rara Wulan itupun berkata, "Selain sekedar memenuhi keinginan lurahmu untuk menyakiti kami, tubuh dan hati kami, kau tentu juga berpikir tentang kaping-keping uang perak yang ada di kampilku. Ia tentu menceriterakannya kepadamu."
"Tutup mulutmu, iblis betina."
"Ternyata kau memang seorang pemarah. Sudahlah, jangan berputar-putar lagi. Suamiku akan berkelahi melawan kalian berdua. Aku akan berteduh saja dibawah pohon turi ini."
Kedua orang itu benar-benar menjadi sakit hati melihat sikap kedua orang itu. Mereka benar-benar telah meremehkan mereka berdua.
"Baik. Bersiaplah. Jika kami berkelahi berpasangan menghadapi kau seorang diri, sama sekali bukan salah kami. Seperti kau tidak mau membayar harga makanan dan minuman itu dengan alasan bahwa pemilik kedai itu yang menyuruhmu, maka sekarang kami berkelahi berdua karena perempuan itulah yang menyuruh kami."
Glagah Putihpun kemudian melangkah ketengah jalan menghadapi kedua orang yang marah itu. Namun sikap Glagah Putih masih tetap tenang-tenang saja.
Orang yang rambutnya mulai ubanan itu menjadi tidak sabar melihat sikap Glagah Putih. Ia merasa Glagah Putih itu memang meremehkannya, sebagaimana ia meremehkan pemilik kedai itu. Karena itu, maka orang itupun segera meloncat menyerang Glagah Putih yang memang sudah siap menunggunya.
Glagah Putihpun dengan tangkasnya mengelak, sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.
Namun dalam pada itu, yang seorang lagi telah menyerangnya pula. Dengan kakinya yang terjulur, orang itu berusaha menggapai dadanya.
Tetapi Glagah Putih ternyata sangat tangkas. Kakinya berloncatan menghindari serangan-serangan itu. Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara mereka telah terdorong dengan derasnya. Tubuhnya terperosok ke dalam parit yang mengalir deras di pinggir jalan. Sementara itu, ketika yang lain siap meloncat menyerang, justru Glagah Putihlah yang telah melenting tinggi. Tubuhnyapun berputar sementara kakinya terayun mendatar menyambar wajah orang itu.
Orang itu pun telah terlempar pula. Ia tidak saja tercebur kedalam parit. Tetapi tubuhnya justru terperosok kedalam lumpur sawah yang digenangi air.
Tertatih-tatih keduanya bangkit berdiri. Yang seorang menjadi basah kuyup, yang seorang lagi penuh dengan lumpur yang mengotori tubuh dan pakaiannya.
Kedua orang itupun mengumpat-umpat. Mata mereka bagaikan memancarkan api kemarahan vang menyala dari dadanya.
"Aku bunuh kau," geram yang ubanan.
Tetapi Glagah Putih tersenyum sambil berkata, "Sudahlah. Jangan mencoba-coba lagi. Jika kalian masih ingin mencoba lagi, maka aku ingin membenamkan wajahmu ke dalam lumpur atau ke dalam air parit itu."
"Kau terlalu sombong. Kau kira kau sendiri laki-laki di dunia ini."
"Berapa kau diupah oleh pemilik kedai itu sehingga kau berniat untuk membunuh orang. Apakah upah yang kau terima itu memadai atau bahkan melampaui harga leherku ?"
"Bukan lagi soal upah yang aku terima. Tanpa diupah-pun aku berniat untuk membunuhmu, karena kau sudah merendahkan harga diriku."
"Bukan aku yang telah merendahkan harga diri kalian. Tetapi kalian sendiri. Semakin banyak kalian bertingkah, maka harga diri kalianpun akan menjadi semakin terpuruk sehingga akhirnya kau tidak lagi mempunyai harga diri sama sekali."
"Persetan dengan igauanmu. Bersiaplah untuk mati."
"Kau benar-benar akan membunuh ?"
Orang yang rambutnya mulai ubanan itu menggeram, "Kau mulai menjadi ketakutan."
"Aku memang mulai ketakutan, banwa justru akulah yang akan membunuh."
Kedua orang itu tidak dapat menahan diri lagi. Keduanyapun kemudian bergeser mendekati Glagah Putih dari arah yang berbeda. Namun dengan serta-merta keduanyapun segera meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi Glagah Putih mampu bergerak lebih cepat dari serangan-serangan mereka. Karena itu, maka serangan-serangan mereka tidak dapat menyentuhnya sama sekali. Bahkan Glagah Putihlah yang kemudian bagaikan meluncur menjulurkan kakinya menyerang seorang lawannya tepat mengenai lambungnya.
Serangan itu telah melemparkan lawannya dengan kerasnya. Orang itu tidak tercebur ke dalam parit dipinggir jalan, karena tubuhnya membentur sebatang pohon turi.
Terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Sementara itu, lawannya yang lain, yang meloncat sambil menjulurkan tangannya mengarah ke dada, telah ditangkis dengan keras oleh Glagah Putih. Kemudian dengan tangannya yang lain, Glagah Putih telah memukul perut orang itu.
Orang itupun tertunduk sambil mengaduh. Namun sisi telapak tangan Glagah Putih telah menghantam tengkuknya. Tidak terlalu keras. Tetapi orang itu jatuh terjerembab.
Rara Wulan menarik nafas. Ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Glagah Putih mengangkat tangannya. Jika Glagah Putih benar-benar memukul tengkuk orang itu dengan sepenuh tenaga, maka leher orang itupun akan patah.
Demikianlah, maka kedua orang itupun sudah menjadi tidak berdaya.
Tetapi Glagah Putih masih menarik kedua orang itu bergantian dan menceburkan mereka kedalam genangan air berlumpur.
Rara Wulan tidak tahu, kenapa Glagah aputih harus menceburkan keduanya kedalam lumpur. Namun kemudian iapun mengerti juga bahwa Glagah Putih ingin juga berbicara dengan pemilik kedai itu.
"Bangkit, atau aku benamkan wajahmu ke dalam lumpur."
Kedua orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali bangkit dengan tertatih-tatih.
"Naik," perintah Glagah Putih.
Keduanyapun kemudian berusaha naik. Mereka meloncati tanggul dan kemudian berdiri di pinggir jalan dengan tubuh dan pakaian penuh dengan lumpur.
"Kalian mempunyai beberapa kesempatan. Meneruskan perkelahian atau kembali ke kedaimu."
"Baiklah kami kembali ke kedai saja, Ki Sanak. Tetapi biarlah kami mandi dahulu."
"Tidak. Aku tidak ingin kalian mandi. Aku ingin kalian kembali dalam keadaan seperti itu."
"Tidak, Ki Sanak. Kami harus membersihkan diri dahulu."
"Tidak kau dengar. Atau kita akan berkelahi lagi. Jika kalian tidak mau berkelahi, aku akan memukuli kalian, sehingga mata kalian menjadi biru. Wajah kalian menjadi lebam serta gigi kalian rontok semuanya. Kalau kalian ingin melawan, lawanlah."
"Jangan berbuat seperti itu Ki Sanak. Kami jangan dipermalukan di hadapan langganan-langganan di kedai itu."
"Persetan. Aku akan menghitung sampai tiga. Jika kalian tidak bergerak, maka aku akan memukul kalian."
Glagah Putihpun menghitung sampai tiga hitungan. Ternyata keduanya masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
Glagah Putih memang tidak main-main. Iapun segera menampar wajah seorang di antara mereka, sampai tubuhnya berputar. Sedangkan dengan tangan kirinya, Glagah Putih memukul wajah orang itu, sehingga wajahnya benar-benar menjadi lebam.
"Aku tidak main-main Ki sanak. Aku lakukan hal ini karena kalian telah berusaha membunuhku. Menurut kalian bukan berapa kalian menerima upah, tetapi hal itu kalian lakukan karena harga diri kalian tersinggung. Aku sudah memperingatkan, bahwa semakin banyak kalian bertingkah, maka harga diri kalian akan semakin terpuruk sehingga sampai ke dasar. Sekarang aku benar-benar ingin membuktikan, bahwa kau sudah tidak mempunyai harga diri lagi."
Keduanya tidak dapat berbuat lain. Mereka melihat mata Glagah Putih menjadi merah. Agaknya orang itu benar-benar menjadi marah, karena mereka berdua berniat untuk membunuhnya.
Dengan tubuh dan pakaian penuh dengan lumpur mereka berdua berjalan kembali menuju ke kedai mereka. Demikian mereka memasuki regol padukuhan, maka orang-orang yang berpapasanpun memandang mereka dengan heran. Sementara itu, seorang laki-laki dan seorang perempuan mengikuti mereka di belakangnya.
Tetapi tidak seorangpun yang berani menegur mereka. Bahkan mereka yang sempat menghindar, tentu akan menghindarinya. Mereka tahu, bahwa dua orang yang tubuh dan pakaiannya penuh dengan lumpur yang mulai mengering itu adalah dua orang upahan pemilik kedai yang besar di dekat pasar itu.
Demikian keduanya sampai di depan kedai, maka pemilik kedai itupun terkejut. Glagah Putih mendorong mereka dengan kuatnya sehingga keduanyapun jatuh terjerembab di depan kedai yang masih banyak pengunjungnya itu.
"Terima kasih atas salam yang kau kirimkan lewat kedua orangmu itu," berkata Glagah Putih.
Pemilik kedai itu menjadi tegang. Demikian pula para pelayannya. Kedua orang itu bagi mereka adalah pelindung dan penyelamat jika ada orang yang berniat buruk terhadap mereka.
Orang-orang yang berada di kedai itupun menjadi berdebar-debar pula. Kedua orang upahan itu adalah orang yang berilmu tinggi. Namun mereka ctigiring seperti itik yang tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan tubuh dan pakaian mereka penuh dengan lumpur. Kesannya, mereka telah bertempur, namun mereka telah dikalahkan.
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih kemudian, "sekarang apa yang Ki Sanak maui " Jika Ki Sanak menuntut karena aku tidak membayar, maka itu adalah salah Ki Sanak sendiri. Aku sudah membayar, bahkan berlebih. Ki Sanak tidak memberikan uang kembali, tetapi uangku itu Ki Sanak kembalikan sambil mengatakan, bahwa kami berdua tidak usah membayar harga minuman dan makanan yang kami pesan, karena harganya tidak seberapa. Sekarang, katakan. Apa yang kau maui sebenarnya. Jika kau hanya sekedar ingin berselisih dan berkelahi, aku juga tidak berkeberatan."
Wajah pemilik kedai itu menjadi pucat. Sementara orang-orang yang berada di kedai itu nampaknya tidak ingin mencampuri persoalan itu. Karena itu, maka merekapun hanya berdiam diri.
"Tidak. Tidak Ki Sanak," jawab pemilik kedai itu, "aku tidak berniat apa-apa. Sungguh. Aku tidak berniat apa-apa."
"Tetapi kau kirim kedua orangmu. Mereka menganggap kami bersalah karena kami tidak membayar harga makanan dan minuman. Tetapi lebih dari itu, mereka tentu akan merampas uangku, karena mereka tahu, bahwa aku mempunyai tidak hanya sekeping uang perak di dalam kampilku."
"Tidak. Sungguh aku tidak minta mereka melakukannya. Jika mereka melakukannya, itu tentu atas kemauan mereka sendiri."
"Jangan bohong Ki Sanak. Aku dapat berbuat lebih banyak dari sekedar membuat kedua orangmu itu tidak berdaya."
"Sungguh Ki Sanak. Aku tidak bermaksud apa-apa." Pemilik kedai itu benar-benar menjadi ketakutan, ia tidak mengira, bahwa orang itu akan mampu mengalahkan kedua orang upahannya yang berilmu tinggi itu.
"Baik. Jika kau tidak memerintahkan kedua orang upahanmu itu menyusul aku, maka yang dilakukan itu benar-benar atas kemauan mereka. Kalau begitu, maka segala tanggung jawab terletak pada mereka berdua itu sendiri. Karena keduanya sudah berniat untuk membunuhku, maka mereka harus mempertanggungjawabkannya. Karena itu maka aku akan membunuh mereka berdua."
Kedua orang upahan itu terkejut. Merekapun kemudian untuk bangkit dan merangkak mendekatiGalgah Putih sambil berkata, "Jangan bunuh kami. Kami tidak bersalah. Kami diperintahkan oleh pemilik kedai itu untuk minta uang untuk membayar minuman dan makanan yang kalian pesan."
"Aku hanya minta uang itu. Tetapi untuk membunuh."
"Kau perintahkan kepada kami agar kami memberi pelajaran kepada mereka. Kalian perintahkan kepada kami untuk merampok uang mereka."
"Tidak. Bohong."
"Apa " Kau menuduh kami bohong," bentak orang yang rambutnya ubanan, "aku akan memotong lidahmu."
"Jangan, jangan," pemilik kedai itu menjadi ketakutan.
"Lebih baik memotong lidahmu daripada aku harus dibunuh oleh orang ini."
"Tetapi kau adalah orangku. Aku telah mengupahmu."
"Berapa kau mengupah kami sehingga kami harus mempertaruhkan nyawa kami, he " Bukankah lebih baik memotong lidahmu yang telah menfitnahku."
"Jangan. Jangan. Aku akan memberikan upah lebih banyak kepada kalian."
Glagah Putih menarik nafas. Katanya, "Nah, ternyata kalian dapat memetik manfaat dari peristiwa ini. Tetapi hati-hati. Jika kau masih saja menakut-nakuti pembeli, maka aku akan datang lagi. Aku akan berbuat lebih buruk dari apa yang aku lakukan sekarang."
Kedua orang yang tubuh dan pakaiannya penuh dengan lumpur itu berdiri termangu-mangu. Sementara Glagah Putihpun berkata, "Baik. Anggap persoalan ini sudah selesai. Jangan membuat persoalan baru, terutama kepada para pengunjung di kedai kalian."
"Baik, Ki Sanak," jawab kedua orang itu hampir berbareng.
"Upah kalian akan naik. Kalian harus bersukur. Tetapi kalian untuk selanjutnya jangan melakukan pemerasan, karena aku akan sering melintas dijalan ini. Aku akan mendengar dan melihat, apa yang telah terjadi di sini."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian meninggalkan kedai itu. Dua orang yang berlumuran dengan lumpur itupun segera pergi ke pakiwan. Namun seorang diantara mereka sempat berkata, "Kau sendiri berjanji untuk menaikkan upah kami. Tentu saja kenaikan itu harus memadai dengan runtuhnya harga diri kami saat ini."
"Jangan memeras. Aku akan mengatakannya kepada kedua orang itu, jika mereka lewat."
"Tetapi kenaikan itupun harus pantas. Jika tidak, maka akupun dapat mengatakan kepada orang itu jika ia lewat."
Pemilik kedai itu tidak menjawab. Tetapi ia sudah terlanjur berjanji untuk menaikkan upah kedua orang itu.
Ada beberapa tanggapan dari orang-orang yang berada di kedai itu. Ada yang mentertawakannya. Ada yang menganggapnya sebagai lelucon. Tetapi ada yang menanggapinya dengan gejolak di dalam dada mereka.
"Sombongnya orang itu," berkala seorang yang berkumis lebat, "ia sudah memamerkan kelebihannya di depan banyak orang, seakan-akan seluruh dunia ini harus tunduk kepadanya."
"Kau ini kenapa?" bertanya kawannya, "bukankah yang dilakukannya itu lebih baik daripada ia mambunuh mereka berdua. Aku senang dengan caranya. Pemilik kedai inilah yang aku anggap sombong dan memang pantas untuk mendapat peringatan. Peringatan yang diterimanya kali ini berbau kelakar yang segar. Jika saja orang itu seorang pemarah dan mudah tersinggung harga dirinya maka akibatnya akan lain."
"Orang itu tidak pantas berbuat demikian. Apa pula maksudnya ia mengenakan pakaian sederhana seperti itu, kemudian memasuki kedai yang memang menjadi tempat singgah bagi orang-orang berada."
"Mungkin ia tidak mempunyai maksud apa-apa, ia masuk saja ke dalam sebuah kedai. Baru disadarinya setelah ia berada di dalam dan bahkan dengan perlakuan yang menyakitkan dari para pelayan, bahwa kedai ini sudah terbiasa dikunjungi oleh orang-orang yang ujudnya saja, gebyar luarnya saja, sebagai orang-orang berada. Mungkin tamu yang duduk di sudut itu. Yang mengenakan pakaian mahal, dengan timang emas yang sengaja diperlihatkan. Hiasan bajunya yang bermata berlian, mempunyai hutang lebih banvak dari harga barang miliknya."
"Itu bukan urusan kita. Yang kita lihat disini adalah ujud lahiriahnya."
"Nah, jika demikian bukan orang itu yang sombong. Tetapi kitalah yang telah menyombongkan diri dengan selimut gebyar lahiriah."
"He, jadi kau sudah kejangkitan penyakit seperti itu pula?"
"Mungkin. Tetapi aku senang melihatnya. Aku senang melihat pemilik kedai itu menjadi ketakutan kepada orang upahannya sendiri. Akupun senang melihat kedua orang upahan yang berlumuran lumpur badan dan pakaiannya."
Kawannya itupun bergumam, "Tidak sepantasnya ia menghinakan orang seperti itu."
"Iapun tidak sepantasnya diperlakukan seperti itu oleh pemilik dan pelayan kedai ini."
Kawannya terdiam. Tetapi wajahnya masih menunjukkan gejolak perasaannya.
Namun yang lain berkata, "Seandainya kita tidak setuju dengan sikapnya, apa yang dapat kami lakukan?"
"Aku punya beberapa orang gegedug yang akan dapat memilin lehernya."
"Apakah kita akan mencari perkara" Aku juga punya pengawal yang terpercaya. Tetapi pengawalku tidak akan dapat berbuat apa-apa menghadapinya."
Kawannya terdiam pula. Meskipun demikian nampaknya ia masih saja tersinggung oleh sikap Glagah Putih.
Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah menjadi semakin jauh dari kedai itu. Mereka sudah kembali keluar dari pintu gerbang padukuhan dan berjalan di bulak panjang.
Sementara itu, panas matahari terasa bagaikan membakar tubuh. Namun perlahan-lahan matahari itupun mulai menuruni sisi langit di sebelah Barat.
Terasa angin yang mengalir mengipasi tubuh-tubuh yang kepanasan itu. Tetapi jika Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti di bawah bayangan daun turi yang tumbuh berjajar di pinggir jalan, maka angin yung mengusap wajahnya telah membuatnya malas untuk beranjak lagi
Tetapi keduanya adalah arang orang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Karena itu. maka mi reknpun berjalan terus meski jalan yang terbentang di hadapannya bagaikan dilapisi dengan uap air yang mendidih
Namun mataharipun semakin lama menjadi semakin rendah. Jalan yang mereka tempuh justru membelakangi arah sinar matahari sehingga punggung merekalah yang menjadi basah oleh keringat.
Semakin lama, mataharipun menjadi semakin rendah. Sinarnya tidak lagi terasa menggigit. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah berjalan semakin jauh.
Di sebuah bulak pendek, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat beberapa orang yang pulang dan sawah. Setelah mencuci kaki dan tangannya di sebuah pancuran di sebuah lereng berbatu cadas.
Agaknya di bulak itu para petani sedang sibuk mencabuti rumput-rumput liar di antara tanaman padi di sawah.
Sementara itu, mataharipun semakin rendah. Sinarnya menjadi merah kekuning-kuningan. Cahayanya yang tajam menusuk bibir mega yang mengalir ke Utara.
Sekelompok burung blekok putih terbang berjajar dalam tatanan yang rapi.
"Sebentar lagi senja akan turun," berkata Rara Wulan.
"Ya. Kita harus mencari tempat untuk bermalam. Jika mungkin di banjar padukuhan."
"Jika tidak mungkin?" bertanya Rara Wulan, "Ya, di banjar kademangan."
Rara Wulan mencibir. Katanya, "Kau pilih enaknya saja. Kalau tidak ada banjar apapun?"
Glagah Putih tertawa. Sambil menggeser mengambil jarak dari Rara Wulan itupun berkata, "Kalau tidak ada barak, kita akan bermalam di rumah Ki Bekel atau Ki Demang."
"Kau justru akan ditangkap," sahut Rara Wulan.
"Kenapa ?" "Kau pantas dicurigai."
Glagah Putih masih saja tertawa sambil menjawab, "Kalau ditangkap, bagaimana dengan kau" Kau tentu akan menjadi ketakutan. Seorang perempuan berjalan sendiri lewat bulak yang ditunggu oleh beberapa orang penyamun. Kau tentu akan merengek minta tolong kepada suamimu."
"Aku akan berkata kepada Ki Bekel atau Ki Demang yang menangkapmu, bahwa kau memang pantas dicurigai. Kau harus ditangkap dan baru dilepas di keesokan harinya."
"Lalu semalaman kau sendiri berada di mana?"
"Aku akan mendapat sebuah bilik yang hangat di gandok banjar padukuhan."
Glagah Putih tertawa berkepanjangan. Ia akan mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi, karena ia terlanjur tertawa.
"Apa yang akan kau katakan, kakang. Apa he?"
"Tidak. Aku tidak akan mengatakan apa-apa."


16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tentu akan berkata sesuatu. Katakan, ayo katakan."
"Tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa."
Ketika Rara Wulan mendekatinya, Glagah Putih justru menjauhinya sambil berkata, "Benar. Aku tidak akan mengatakan apa-apa."
Keduanyapun terdiam ketika mereka melihat di depan mereka, keluar dari padukuhan di depan, sekelompok orang dalam satu iring-iringan berjalan perlahan-lahan.
"Siapakah mereka?"
"Matahari sudah menjadi kian rendah."
"Iring-iringan penganten," berkata Rara Wulan.
"Ya. Iring-iringan penganten."
Ketika mereka berpapasan, maka Rara Wulanpun bertanya, "Tidak ada pengantin perempuannya?"
"Itu adalah iring-iringan pengantin laki-laki yang akan pergi ke rumah pengantin perempuan."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Nampaknya iring-iringan itu tidak tergesa-gesa. Mungkin rumah pengantin perempuan hanya dekat saja. Mungkin di padukuhan sebelah bulak pendek itu.
Glagah Putihpun menengadahkan wajahnya. Sinar kuning di langit menjadi semakin tajam. Namun agaknya masih ada waktu bagi iring-iringan itu untuk sampai di rumah pengantin perempuan sebelum gelap.
Demikian iring-iringan pengantin itu lewat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan yang berdiri menepi, segera melanjutkan perjalanan. Tetapi mereka berdiri tertegun di pintu gerbang padukuhan itu. Mereka melihat dua buah tugu yang dibuat dari batu bata. Dua buah tugu yang mirip yang satu dengan yang lain.
Keduanya mencoba mengamati kedua tugu yang tidak begitu tinggi itu. Tidak lebih tinggi dari Glagah Putih.
"Mungkin hanya pertanda perbatasan," berkata Glagah Putih, "mungkin kita telah memasuki sebuah kademangan yang lain dari kademangan yang baru saja kita lewati."
"Ya. Mungkin batas kademangan. Tetapi mungkin batas padukuhan saja."
"Biasanya padukuhan-padukuhan yang termasuk dalam satu kademangan tidak diberi batas yang jelas seperti ini. Apalagi di sini ada dua buah tugu yang satu mirip dengan yang lain, meski aku menduga bahwa keduanya tidak dibuat pada waktu yang bersamaan."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Marilah, kita memasuki padukuhan ini. Kita akan minta ijin untuk bermalam di banjar. Mungkin ada cerita tentang kedua tugu yang selain tidak dibuat pada waktu yang bersamaan, tugu ini bukan termasuk tugu yang sudah tua. Tetapi kedua tugu ini termasuk tugu yang baru, sehingga tentu banyak orang yang mengetahuinya.
Keduanyapun kemudian memasuki padukuhan yang di depan pintu gerbangnya itu, di sisi sebelah kanan, terdapat dua buah tugu.
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi teringat kepada iring-iringan penganten yang memang memasuki padukuhan sebelah yang hanya dipisahkan oleh bulak pendek dengan padukuhan yang mempunyai dua tugu di pintu gerbangnya itu.
Rara Wulan sempat memperhatikan pintu gerbang padukuhan itu pula. Nampaknya padukuhan itu termasuk padukuhan yang terhitung besar serta tingkat kesejahteraan yang baik.
Namun ketika Glagah Putih sudah berjalan memasuki pintu gerbang itu, maka Rara Wulanpun segera mengikutnya pula.
Demikian mereka memasuki padukuhan itu, maka rasa-rasanya senja sudah mulai turun. Sinar matahari yang condong terhalang oleh pepohonan yang tumbuh di halaman dan kebun yang luas dibatasi oleh dinding batu yang tidak terlalu tinggi.
Keduanyapun kemudian menelusuri jalan utama padukuhan itu. Mereka sudah menduga, bahwa dengan mengikuti jalan utama itu, mereka akan sampai ke banjar padukuhan atau jika padukuhan itu padukuhan induk kademangan maka mereka akan sampai di sebuah banjar kademangan.
Beberapa lama mereka berjalan di jalan utama padukuhan itu. Kadang-kadang mereka berpapasan dengan orang-orang padukuhan yang berjalan di jalan utama itu. Namun orang-orang itu tidak begitu memperhatikan mereka berdua. Agaknya jalan itu adalah jalan yang memang sering dilalui oleh orang-orang yang bepergian dari satu tempat ke tempat lain, sehingga orang yang lewat di jalan bagi penghuni padukuhan itu adalah hal yang wajar-wajar saja. Karena itu mereka tidak terlalu menarik perhatian mereka.
Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah terus menyusuri jalan utama itu. Semakin lama langitpun menjadi semakin buram. Beberapa orang justru sudah mulai menyalakan lampu minyak diserambi rumahnya yang nampak dari sela-sela pintu regol halaman yang terbuka.
Seperti dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, padukuhan itu termasuk padukuhnn yang kehidupan rakyatnya termasuk cukup baik. Memang tidak semuanya. Ada juga satu dua rumah yang kecil dan sederhana terletak di halaman yang tidak begitu luas. Tidak seluas halaman rumah di sebelah menyebelah. Tetapi kehidupan rata-rata penghuni padukuhan itu tidak memprihatinkan.
Ternyata seperti yang diduga oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, maka akhirnya mereka berdiri di depan regol sebuah bangunan yang terhitung benar, di tengah-tengah halaman yang luas. Menurut pengamatan Ghigah Putih dan Rara Wulan, bangunan itu tentu banjar padukuhan atau banjar kademangan. Bukan rumah yang dihuni oleh seseorang. Juga bukan rumah Ki Bekel atau Ki Demang.
"Kita akan singgah," berkata Glagah Putih, "kita akan menemui petugas penunggu banjar ini. Jika kita diperkenankan bermalam di banjar mi, maka kita akan bertanya tentang kedua tugu di sebelah pintu gerbang itu."
Rara Wulanpun mengangguk sambil menjawab, "Ya. Kita akan mencoba."
Keduanyapun kemudian memasuki regol banjar yang terhitung besar itu. Nampaknya bangunan itu baru saja diperbaiki atau diperluas. Ada bagian bagian yang nampak baru. Gandoknyapun nampnk baru saja diperluas. Pintu seketengnyapun nampak baru saja diperbaharui pula.
"Nampaknya padukuhan ini baru saja membangun dirinya," berkata Glagah Putih.
"Ya. Gerbang padukuhan inipun nampaknya juga baru saja diperbaiki."
"Kau sempat memperhatikannya?"
"Ya. Sementara kau langsung saja memasuki padukuhan ini."
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun berhenti di halaman ketika seorang yang sudah separo baya mendatanginya. Dengan hormat orang itu mengangguk. Kemudian bertanya, "Maaf Ki Sanak. Apakah Ki Sanak mempunyai keperluan yang barangkali dapat aku bantu?"
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat pula. Dengan nada rendah Glagah Putih menyahut, " Maaf Ki Sanak. Kami sedang dalam perjalanan. Kami ternyata kemalaman. Kami ingin menemui penunggu banjar ini untuk minta ijin bermalam semalam saja di banjar ini."
"Akulah penunggu banjar ini, Ki Sanak."
"Kebetulan sekali," sahut Glagah Putih, "seperti yang aku katakan, jika diperkenankan kami berdua minta ijin untuk bermalam malam ini di banjar ini. Kami dapat ditempatkan dimana saja yang tidak mengganggu kegiatan di banjar ini pada malam hari, jika ada."
Penunggu banjar itu tersenyum. Katanya, "Ki Sanak ini agaknya akan bepergian jauh."
"Kami berdua akan pergi ke Ngadireja."
"Ke Ngadireja" Kalian tinggal di Ngadireja?"
"Tidak, Ki Sanak. Kami tinggal di Jati Anom. Kami berdua akan pergi ke Ngadireja, tetapi kami belum pernah pergi ke Ngadireja sebelumnya."
"Untuk apa kalian pergi ke Ngadireja?"
"Ayah minta kami mengunjungi paman yang sudah lama tidak datang menengok ayah. Ayah menjadi agak cemas, kemudian minta kami menengoknya. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa."
"Ngadireja sudah tidak terlalu jauh lagi, jika Ki Sanak berdua malam ini akan bermalam di sini dan berangkat esok pagi-pagi maka esok sore atau mungkin menjelang senja, Ki Sanak sudah akan sampai ke Ngadireja. Kemudian Ki Sanak masih harus mencari tempat tinggal paman Ki Sanak itu."
"Ayah sudah memberikan ancar-ancarnya. Nampaknya tidak terlalu sulit untuk mencari rumah paman."
"Baiklah Ki Sanak. Aku kira kami tidak berkeberatan Ki Sanak berdua bermalam di banjar, meskipun aku belum melapor kepada Ki Jagabaya. Biarlah aku mendahuluinya, karena Ki Jagabaya baru mengantar pengantin ke padukuhan sebelah. Nanti malam, biarlah aku melaporkannya. Tetapi biasanya tidak ada masalah apa-apa jika ada seseorang yang bermalam di banjar ini."
"Terima kasih, Ki Sanak."
"Marilah. Ikut aku. Aku akan menunjukkan sebuah bilik di belakang yang dapat kalian pakai berdua. Bukankah kalian berdua ini suami isteri?"
"Ya. Kami berdua adalah suami isteri."
"Baik. Jika demikian, marilah."
Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian mengkuti penunggu banjar itu ke bagian belakang banjar. Penunggu banjar itupun mempersilahkan mereka masuk ke dalam sebuah bilik yang tidak begitu luas, tetapi mencukupi bagi mereka berdua.
"Nah, nanti malam kalian dapat tidur di bilik itu. Tetapi jika kalian ingin membersihkan diri atau mandi, di belakang ada pakiwan. Silahkan. Mungkin setelah mandi kalian akan menjadi segar kembali."
"Terima kasih, Ki Sanak. Kami akan pergi ke pakiwan."
"Nah, silahkan. Aku akan keluar sebentar. Hanya ke rumah di seberang jalan, jika memerlukan sesuatu, katakan kepada isteriku. Aku akan memberitahukan kepadanya bahwa di sini ada dua orang yang akan menginap."
"Terima kasih, Ki Sanak," ulang Glagah Putih dan Rara Wulan berbareng.
Demikianlah, maka keduanyapun pergi ke pakiwan. Ketika Rara Wulan mandi, maka Glagah Putihpun menimba air mengisi jambangan. Baru kemudian, Glagah Putihpun mandi pula.
Seperti yang dikatakan oleh penunggu banjar itu, setelah mandi, merekapun menjadi segar kembali.
Setelah berbenah diri di dalam bilik di bagian belakang banjar itu, maka mereka berduapun duduk di amben bambu yang cukup besar bagi mereka berdua. Di atas gelar bambu wulung, terbentang tikar pandan yang putih bergaris-garis biru.
Sementara itu, lampu minyak yang menyala ditaruh di atas ajug-ajug di sudut ruangan.
Namun baru saja mereka mulai berbincang, seorang perempuan separo baya telah mendatangi mereka. Dengan ramah perempuan itu mempersilahkan mereka pergi ke rumahnya yang kecil yang berada di belakang banjar itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat menolak. Merekapun kemudian pergi ke rumah penunggu banjar itu. Ternyata penunggu banjar itu sudah ada di rumahnya.
"Silahkan Ki Sanak berdua. Silahkan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian duduk di sebuah amben yang agak besar, hampir memenuhi ruang depan rumah penunggu banjar itu.
Di tengah-tengah amben itu telah dihidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian duduk bersama penunggu banjar itu suami isteri. Sambil minum minuman hangat mereka berbicara tentang berbagai hal. Tentang perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan, sehingga tujuan yang akan didatanginya.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan teringat akan dua buah tugu yang ada di sebelah pintu gerbang. Karena itu, maka Glagah Putihpun bertanya, "Ki Sanak. Ketika aku memasuki padukuhan ini, aku melihat ada dua buah tugu yang ada di pinggir jalan di sebelah pintu gerbang. Apakah arti dari kedua tugu itu. Mungkin tugu untuk memperingati satu peristiwa penting yang pernah terjadi di padukuhan ini. Mungkin lambang dari satu pengharapan atau cita-cita yang sedang diperjuangkan oleh penghuni padepokan ini atau hal-hal lain yang semacam itu."
"Kalau yang kalian maksud tugu yang dibuat dari batu bata, serta tidak terlalu tinggi di sebelah pintu gerbang itu, memang tugu untuk memperingati satu peristiwa yang kami anggap penting, meskipun tidak merupakan satu peristiwa yang penting sekali."
"Peristiwa apa, Ki Sanak?" bertanya Glagah Putih.
"Tugu itu belum terlalu lama dibuat. Ketika itu, seorang Pangeran dari Mataram sedang dalam perjalanan ke Panaraga dengan keluarganya. Sebuah iring-iringan yang tidak terlalu panjang, tetapi mengesankan. Di dalam iring-iringan itu terdapat pula beberapa orang puteri. Sekelompok prajurit dengan setia mengawal Pangeran yang akan pergi ke Panaraga beserta keluarganya itu. Ternyata iring-iringan itu sampai di padukuhan ini malam hari. Mungkin semula mereka berniat untuk tidak berhenti. Tetapi iring-iringan itu nampak sangat letih, sehingga akhirnya, menjelang tengah malam, iring-iringan itu berhenti di padukuhan ini."
"Bagaimana para puteri itu dapat berjalan sedemikian jauhnya ?" bertanya Rara Wulan.
"Ada yang naik tandu. Tetapi ada yang naik pedati. Tentu saja pedati khusus."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.
Mereka langsung mengetahui, bahwa iring-iringan itu tentu iring-iringan Pangeran Jayaraga yang akan pergi ke Panaraga.
"Ketika iring-iringan itu berhenti, maka kami, terutama para bebahu telah menyambut kedatangan mereka dan dengan tergesa-gesa mempersiapkan tempat untuk bermalam. Terutama bagi paru puteri. Sedangkan bagi Pangeran itu sendiri serta para prajurit dan pengawalnya dapat berada di mana saja. Bahkan nampaknya mereka telah berjaga-jaga dengan sangat berhati-hati."
Glagah Putih dan Rara Wulnn mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sementara penunggu banjar itupun meneruskannya, "Ternyata bahwa menjelang dini hari, telah terjadi malapetaka. Segerombolan perampok telah menyerang mereka serta berusaha untuk merebut harta-benda yang mereka bawa."
"Segerombolan perampok" Bukankah Pangeran itu dikawal dengan kuat?"
"Ya. Tetapi gerombolan itu juga sebuah gerombolan yang besar."
Sambil mengerutkan dahinya, Glagah Pulih bertanya, "Apakah pemimpin gerombolan itu dapat diketahui?"
"Tidak. Gerombolan itu tidak dapat dikenali. Tetapi tentu tidak hanya terdiri dari satu gerombolan saja. Mungkin dua atau bahkan tiga gerombolan perampok yang bergabung, mencegat perjalanan Pangernn Jayaraga dan keluarganya."
Penunggu banjar itupun kemudian bercerita, bahwa gerombolan itu memasuki padukuhan dari tiga arah. Yang memasuki jalan utama dari dua arah langsung bertemu dengan prajurit yang bertugas. Tetapi sekelompok yang lain, berhasil mendekati banjar. Bahkan mereka hampir saja mencapai regol halaman banjar ini. Untunglah, bahwa dua orang prajurit yang meronda berhasil menjumpai mereka, sehingga dengan isyarat merekapun telah membuat semua prajurit yang ada mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi gerombolan itu ternyata terlalu banyak, sehingga para prajurit mengalami kesulitan. Sementara itu, Pangeran Jayaraga sendiri segera turun ke arena. Seperti seekor banteng terluka, Pangeran Jayaraga itupun telah mengamuk. Siapa yang mendekat, orang itu akan dibabatnya dengan pedangnya yang justru berwarna kehitaman dengan pamor yang berkeredipan.
Sementara itu, para bebahu yang segera diberitahu oleh para perondapun telah bangkit pula. Ki Jagabaya telah memukul kentongan di gardu perondan. Suara kentongan yang memecah sepinya malam itupun segera bersambut dari gardu di ujung padukuhan. Kemudian terdengar suara kentongan yang lain lagi.
Bersama para bebahu yang dipimpin oleh Ki Bekel dan Ki Jagabaya, maka anak-anak muda padukuhan inipun segera terjun ke medan. Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari beberapa orang, karena mereka tidak akan mungkin menghadapi seorang dengan seorang.
Namun jumlah anak-anak muda serta laki-laki yang masih kuat untuk turun ke arena di padukuhan ini cukup banyak, sehingga kehadiran mereka telah membuat para perampok agak kebingungan.
Selain kehadiran anak-anak muda dan hampir semua laki-laki di padukuhan ini, agaknya suara kentongan yang bersahut-sahutan di segala sudut padukuhan, bahkan kemudian telah disahut pula oleh kentongan di padukuhan terdekat, membuat para perampok itu gelisah.
Salah seorang gegedug yang berkumis lebat, telah berusaha menghentakkan kemampuan gerombolannya untuk dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Ia telah dengan garangpya menyerang Pangeran Jayaraga. Menurut pendapatnya, jika ia berhasil menyelesaikan Pangeran itu, maka yang lain tentu akan segera menyerah.
Gerombolan-gerombolan perampok itu akan segera dapat mengambil harta benda yang dibawa oleh iring-iringan itu, termasuk perhiasan serta persediaan uang, dan bahkan jika dikehendaki, mereka akan dapat membawa puteri-puteri keraton itu pula.
Namun gegedug yang berkumis lebat itu lelah salah menilai kemampuan para Senapati Mataram. Gegedug yang merasa dirinya sangat tidak terkalahkan itu ternyata telah membentur kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu, maka bukan gegedug itulah yang dengan cepat menyelesaikan Pangeran Jayaraga, tetapi setelah bertempur dengan sengitnya, maka pedang Pangeran Jayaragalah yang telah mengoyak dada gegedug itu.
Gegedug itu berteriak nyaring. Ia masih mencoba menghindari Pangeran Jayaraga. Beberapa orang pengikutnya telah berusaha melindunginya. Tetapi mereka tidak berdaya menghadapi Pangeran Jayaraga serta pengawal terpilih yang selalu berada di dekat Pangeran Jayaraga.
Karena itu, gegedug itu sendiri tidak berhasil berlindung di balik kemampuan para pengikutnya. Kalikan pengikutnya itupun seakan-akan telah menyibak ketika Pangeran Jayaraga meloncat sambil menjulurkan pedangnya, langsung menancap ke dada gegedug itu.
Dengan demikian, maka gegedug dari para perampok itupun kemudian jatuh terbaring di tanah. Darahnya mengalir dari luka-luka di tubuhnya.
Kematian gegedug dari para perampok itu telah sangat mempengaruhi pertempuran. Para perampok yang masih sempat, segera melarikan diri. Mereka menyelinap dalam kegelapan dan menghilang di bawah rumpun-rumpun bambu.
Para prajurit tidak segera memburu mereka. Para prajurit itu tidak meninggalkan banjar dan sekitarnya. Jika saja masih ada kekuatan lain yang datang untuk menyerang dan merebut harta benda yang dibawa dalam iring-iringan itu.
Sementara itu, anak-anak mudapun merasa ragu untuk mengejar mereka. Bahkan seorang Lurah prajurit telah berusaha mencegah agar anak-anak muda itu tidak mengejar mereka, agar mereka tidak justru terjebak karenanya.
"Dengan demikian, maka para perampok itupun telah terusir," berkata penunggu banjar itu selanjutnya.
"Apakah tidak ada yang tertangkap sama sekali?"
"Ada. Tetapi mereka adalah perampok-perampok kecil yang tidak pernah berhubungan langsung dengan gegedug yang terbunuh itu. Sementara satu dua orang pemimpin perampok yang lain telah melarikan diri pula."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada datar Glagah Putihpun bertanya, "Di mana para perampok yang tertangkap itu kemudian?"
"Mereka telah dibawa oleh Pangeran Jayaraga ke Panaraga dengan ancaman, jika kawan-kawan mereka menyerang di perjalanan sebelum mereka sampai di Panaraga untuk membebaskan mereka, maka mereka semua akan dibunuh."
"Apakah sudah ada berita dari Panaraga bahwa mereka selamat sampai di tujuan?"
"Sudah. Pangeran Jayaraga sudah selamat sampai di Panaraga. Pangeran Jayaraga telah mengirimkan utusan kemari untuk menyampaikan berita itu. Bahkan Pangeran Jayaraga telah berkenan membuat satu pertanda untuk memperingati peristiwa yang pernah terjadi itu. Sebagai pernyataan terima kasih, Pangeran Jayaraga juga berpesan untuk membuat sebuah tugu kecil sebagai peringatan bahwa telah terjadi peristiwa yang menegangkan itu. Berkat bantuan rakyat di padukuhan ini, maka Pangeran Jayaraga dengan seluruh pengikutnya, para puteri serta para prajurit, telah terlepas dari bencana. Jika saja para prajurit pengawal gagal, maka semua harta benda yang dibawa dari Mataram akan dijarah oleh para perampok. Yang lebih parah lagi, jika ada puteri keraton yang dengan paksa dibawa oleh para perampok, maka nasibnya akan menjadi buruk sekali.
Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkannya dengan seksama. Merekapun kemudian dapay membayangkan apa yang terjadi, sehingga akhirnya tugu kecil di sebelah pintu gerbang itupun telah didirikan.
"Kami membuat dua tugu," berkata penunggu banjar itu, "satu dipintu gerbang Utara dan satu di pintu gerbang Selatan."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Kemudian dengan agak ragu Glagah Putih bertanya, "Tetapi ketika aku memasuki padukuhan ini, sudah ada dua buah tugu di sebelah pintu gerbang."
"O," penunggu banjar itu mengangguk-angguk, "yang satu lain lagi. Yang lebih kecil itu dibuat beberapa bulan kemudian."
"Juga dalam hubungan dengan kehadiran Pangeran Jayaraga?"
"Bukan. Ada cerita lain lagi yang terjadi di padukuhan ini sehingga telah dibuat tugu kedua itu."
"Cerita apa lagi, Ki Sanak."
"Beberapa lama setelah Pangeran Jayaraga lewat dan bermalam di padukuhan ini, maka telah lewat pula seorang Pangeran dari Mataram. Tidak dalam sebuah iring-iringan sebagaimana Pangeran Jayaraga yang akan pergi ke Panaraga. Tetapi Pangeran ini hanya seorang diri."
"Seorang diri," Glagah Putih dan Rara Wulan mengulang hampir berbareng.
"Ya, seorang diri."
"Siapakah nama Pangeran itu?"
"Ia menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Bahkan ia mengaku saudara tua dari Sinuhun Hanyakrawati. Ia putera Panembahan Senapati yang lebih senang mengasingkan diri dan bertapa di lereng Gunung Merapi di sisi Timur. Menurut Pangeran Ranapati, ia merasa dapat hidup lebih tenang di pertapaannya daripada di istana. Di istana, Pangeran Ranapati melihat, betapa kekuasaan yang ada di tangan Sinuhun Hanyakrawati tidak dipergunakan sebagaimana seharusnya. Karena itu, daripada Pangeran Ranapati setiap kali harus mengelus dada karena melihat betapa kekuasaan tidak ditrapkan sebagaimana seharusnya, maka Pangeran Ranapati lebih baik menjauh. Ia tidak mempunyai wewenang untuk mencegah. Sekali Pangeran Ranapati mencoba untuk memperingatkan Ingkang Sinuhun serta para Sentana serta Narapraja yang menyalah gunakan kekuasaannya, maka hampir saja Pangeran Ranapati itu dihukum kisas di alun-alun. Untunglah bahwa Ki Patih Mandaraka, sesepuh Mataram yang masih dihormati mencegahnya, sehingga apa yang dianggap oleh para pemimpin Mataram itu sebagai satu kesalahan, telah diampuni.
Jantung Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Ceritera itu merupakan ceritera yang dapat menyesatkan. Tentu saja ceritera itu tidak benar. Glagah Putih mengenal para pemimpin di Mataram. Glagah Putihpun mengenal Ki Patih Mandaraka. Dari beberapa sumber, Glagah Putihpun mengetahui, bahwa orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati, putera Panembahan Senapati itu diragukan kebenarannya.
Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja sebagaimana Rara Wulan.
"Pangeran Ranapati yang menempuh satu perjalanan ke Timur itu, telah bermalam di padukuhan ini pula. Ketika ia mengetahui, bahwa Pangeran Jayaraga telah membuat sebuah tugu kecil untuk kenang-kenangan bahwa ia pernah singgah dan merasa dirinya diselamatkan oleh rakyat padukuhan ini, maka Pangeran Ranapatipun ingin membuat sebuah kenang-kenangan pula.
"Bahwa aku diperkenankan bermalam di sini ini merupakan satu kebaikan hati yang harus aku kenang," berkata Pangeran Ranapati, "karena itu, akupun ingin membuat satu kenang-kenangan, meskipun kecil saja. Kenang-kenangan bahwa aku pernah atas kebaikan hati penghuni padukuhan ini, diperkenankan bermalam di sini."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih tetap berdiam diri.
Sementara itu penunggu banjar itupun berkata selanjutnya, "Untuk membuat tugu itu, Pangeran Ranapati berada di Padukuhan ini beberapa hari."
"Beberapa hari?" bertanya Rara Wulan dengan serta-merta.
"Ya. Pangeran Ranapati langsung menunggui beberapa orang yang mengerjakan tugu itu. Sekali-sekali Pangeran Ranapati merasa kurang puas, sehingga Pangeran Ranapati perlu memperbaikinya. Sehingga akhirnya jadilah tugu yang sekarang itu."
"Ternyata Panjeran Ranapati memiliki selera keindahan yang tinggi. Tugu yang kecil itu memang nampak lebih menarik dari tugu yang lebih besar, yang nampaknya lebih sederhana," berkata Glagah Putih.
"Ya. Tugu yang besar itu kita buat sendiri. Pangeran Jayaraga tidak menungguinya. Hanya utusannya sajalah yang berada di padukuhan ini ketika tugu itu dibuat."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.
"Namun ada masalah sampingan yang kemudian timbul pada saat Pangeran Ranapati berada di sini."
"Masalah sampingan?"
"Ya." "Sudahlah, pake. Jangan sebut-sebut lagi. Bukankah persoalannya sudah selesai," berkata isteri penunggu banjar itu.
Penunggu banjar itu memperhatikan pintu ruangan itu sejenak. Kemudian berkata hampir berbisik, "Bukankah kau bukan orang Mataram dan bukan pula sanak kadang Pangeran Ranapati?"
"Mana mungkin aku termasuk sanak kadang seorang pangeran," jawab Glagah Putih.
"Apalagi yang akan kau ceritakan pake."
"Diceritakan atau tidak, bukankah hampir semua orang sudah tahu?"
"Orang-orang di padukuhan ini. Tetapi bukan orang asing."
"Orang asingpun akan dapat mendengar pula dari orang-orang padukuhan ini."
Isterinya menarik nafas panjang. Sementara itu penunggu banjar itupun berkata, "Aku akan menceriterakan akibat samping yang terjadi itu, Ki Sanak. Tetapi jangan kau katakan kepada orang lain. Jika ada orang padukuhan ini yang bercerita kepada orang asing, biarlah itu menjadi tanggung jawab mereka sendiri."
Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang. Dengan nada datar Glagah Putihpun berkata, "Baiklah, Ki Sanak. Kami tidak akan mengatakannya kepadaa siapapun juga."
Penunggu banjar itupun berpaling kepada isterinya sambil berkata, "Apa salahnya aku mengatakannya. Jika sekarang sudah ada puluhan orang yang tahu, malam ini hanya akan bertambah dua orang lagi. Mungkin kau cemas karena kedua orang ini adalah orang asing, sehingga berita ini akan tersebar sampai ke mana-mana. Tetapi bukankah tidak dapat dijamin bahwa orang-orang padukuhan ini yang mengetahui persoalannya tidak akan berbicara dengan orang asing."
Isterinya tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas panjang saja.
Glagah Putih dan Rara Wulan memang menunggu, akibat sampingan apakah yang terjadi sementara orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu berada di padukuhan itu.
"Ki Sanak berdua," berkata penunggu banjar itu, "ternyata selama Pangeran Ranapati beberapa hari berada di padukuhan, ia sudah berhubungan dengaan seorang gadis. Gadis yang selama ini menjadi bahan rerasan anak-anak muda bukan saja sepadukuhan, tetapi sekademangan. Namun agaknya Pangeran Ranapati tidak dapat membuat penyelesaian terbaik dengan gadis itu. Itulah sebabnya, ia telah meninggalkan pesan kepada Ki Bekel. Jika ia dinikahkan saja dengan salah seorang anak muda di padukuhan ini. Untuk keperluan itu. Pangeran Ranapati telah meninggalkan uang dan sebilah keris yang akan menjadi lambang pernyataan dirinya, meskipun kemudian, yang akan menjalaninya orang lain."
Wajah Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya, Rara Wulan bertanya, "Jika gadis itu tidak mengandung?"
"Pernikahan itupun dapat dilakukan Tetapi tentu tersedia waktu lebih banyak untuk memiikirkannya. Mungkin gadis itu masih mendapat kesempatan untuk memilih laki-laki yang akan bersedia menikahinya meskipun ia bukan perawan lagi. Tetapi bahwa ia pernah berhubungan dengan seorang pangeran, maka hal itu justru akan menjadi kebanggaannya."
"Lalu apa yang terjadi dengan gadis itu?" bertanya Glagah Putih.
"Gadis itu mengandung," jawab penunggu banjar itu.
"Jadi gadis itu akan menikah dengan anak muda yang akan mengaku anak di dalam kandungannya itu sebagai anaknya."
"Ya." Isteri penunggu banjar itupun menyambung, "Perkawinan itu telah berlangsung sekarang. Ki Bekel sekarang sedang mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan."
"Jadi gadis itu bukan gadis padukuhan itu?"
"Gadis padukuhan ini. Tetapi sejak ia sadar, bahwa ia mengandung, ia tinggal bersama neneknya di padukuhan sebelah."
Glagah Putih dan Rara Wulan rasa-rasanya telah menahan nafasnya beberapa saat lamanya.
Sementara itu penunggu banjar itupun berkata, "Meskipun gadis itu bukan anak seorang bebahu atau seorang yang mempunyai pengaruh yang besar di padukuhan ini, tetapi sekarang hampir semua bebahu ikut mengantarkan pengantin laki-laki ke rumah nenek pengantin perempuan itu. Bagaimanapun juga, para bebahu itu masih menaruh hormat kepada anak yang berada di dalam kandungan pengantin perempuan itu, karena bayi dalam kandungan itu adalah anak seorang pangeran.
Dada Glagah Putih dan Rara Wulan terasa berdebaran semakin keras. Iring-iringan yang ditemuinya keluar dari pintu gerbang padukuhan itu tadi tentu yang dimaksudkan.
Sementara itu penunggu banjar itupun berkata pula, "dengan uang yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranapati, maka di rumah nenek pengantin perempuan malam ini telah dilangsungkan upacara pernikahan yang ramai. Segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Nanti malam akan diselenggarakan tari topeng semalam suntuk. Bagi para tamu yang tidak terbatas, disediakan hidangan yang sangat memadai. Siapapun boleh hadir di dalam upacara pernikahan itu."
"Ternyata Pangeran Ranapati sangat kaya."
"Ya. Ia adalah seorang Pangeran. Ia mempunyai uang yang banyak sekali."
Demikianlah, malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk berbincang bersama penunggu banjar itu dan isterinya sampai larut malam. Penunggu banjar itu sempat menghidangkan makan malam, minuman yang hangat pula untuk menggantikan minuman yang sudah dingin.
"Nanti, pada wayah sepi uwong, para peronda akan berdatangan. Biasanya ada lima atau enam orang yang meronda. Tetapi kadang-kadang lebih dari itu. Mereka yang tidak segera dapat tidur di rumahnya, sering pergi ke banjar untuk berbincang-bincang dengan tetangga-tetangganya. Anak-anak muda sering bermain bas-basan atau macanan."
Glagah Putih dan Rara Widan mengangguk-angguk.
"Apakah kalian akan memperkenalkan diri kepada para peronda?" bertanya penunggu banjar, "agaknya satu dua orang sudah ada yang datang."
"Terima kasih, Ki Sanak. Jika diperkenankan aku ingin beristirahat. Esok kami akan melanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali."
"Silahkan. Silahkan Ki Sanak. Ki Sanak tentu letih. Sekarang ada baiknya Ki Sanak pergi ke bilik itu. Sudah waktunya untuk tidur. Apalagi esok Ki Sanak masih akan menempuh perjalanan cukup panjang."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian bergeser turun dari amben yang besar itu. Mereka sudah mendengar suara beberapa orang peronda di pendnpa banjar. Sekali-sekali terdengar suara tertawa di antara mereka.
Namun tiba-tiba telah terdengar keributan di pendapa. Penunggu banjar itupun kemudian berkata, "Masuklah ke dalam bilikmu. Aku akan melihnt, apa yang sudah terjadi di pendapa."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak membantah. Merekapun segera masuk ke dalam bilik yang diperuntukkan bagi mereka.
Meskipun kemudian mereka menutup pintu lereg pada bilik itu, tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan apa yang terjadi di halaman depan. Dengan mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu mereka mendengar semua pembicaraan dari beberapa orang yang mendatangi banjar itu dengan para peronda serta penunggu banjar.
"Jangan kau lindungi perempuan itu. Siapa yang mencoba melindunginya, maka ia akan mati."
"Perempuan yang mana yang kau maksudkan ?" bertanya penunggu banjar.
"Hari ini perempuan itu menikah dengan seorang laki-laki yang bukan ayah anak yang ada dalam kandungannya. Anak di perut perempuan itu adalah anak Pangeran Ranapati. Karena Pangeran Ranapati telah membunuh ayahku, maka sekarang aku datang untuk membalas dendam. Aku akan membunuh anak di dalam perut perempuan yang sedang menikah itu. Sebenarnya aku tidak ingin membunuh perempuan itu, karena ia tidak bersalah. Tetapi jika ia mati bersama bayi di dalam kandungannya, maka itu adalah nasibnya."
"Kami tidak menyembunyikan siapa-siapa Ki Sanak. Apalagi perempuan itu."
"Perempuan itu menikah malam ini."
Suasana menjadi tegang. Terdengar beberapa orang berkata hampir berbareng, "jangan lindungi perempuan itu, atau aku bunuh kalian semuanya."
Tidak ada yang menjawab. "Di mana perempuan itu, he" Di mana ia menikah. Aku telah datang ke rumahnya, tetapi rumahnya nampak sepi-sepi saja."
Karena tidak ada yang menjawab, maka orang-orang yang datang itu telah menarik seorang anak muda di antara para peronda sambil berkata, "Jika kalian tidak mau menunjukkan di mana perempuan itu berada, maka aku akan membunuhnya. Jika kalian masih tetap diam, maka aku akan membunuh orang kedua, ketiga dan selanjutnya sampai kalian mau berbicara, dimana perempuan yang di dalam perutnya terdapat anak Pangeran Ranapati itu."
Suasanapun benar-benar telah mencengkam.
Tetapi karena tidak ada yang segera menjawab, maka salah seorang yang datang itupun berteriak, "Cepat, katakan. Aku tidak mempunyai waktu. Jika tidak ada yang menunjukkan dimana perempuan itu, maka anak muda ini akan aku bunuh."
"Tunggu," berkata penunggu banjar itu, "membunuh anak muda itu sungguh tidak adil. Apa salah anak muda itu" Ia sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Pangeran Ranapati."
"Tutup mulutmu. Atau kaulah yang akan aku bunuh lebih dahulu. Aku datang tidak untuk berbicara tentang keadilan. Aku datang untuk menemukan perempuan itu. Ia menikah hari ini. Tetapi dimana?"
Tangan orang itu mulai mencengkeram leher anak muda itu, sehingga anak muda itu berteriak, "Tolong."
Tetapi suaranyapun terputus karena tekanan di lehernya.
"Baik," berkata orang yang mencekik anak muda itu, "anak ini akan mati dengan sia-sia. Setelah anak ini akan ada orang lain yang mati. Mungkin kalian menunggu setelah ada tiga atau empat orang yang mati, kalian baru akan berbicara. Bukankah orang-orang yang mati itu akan sia-sia. Akhirnya kalian akan berbicara juga tentang perempuan itu."
"Aku akan menunjukkan perempuan itu," berkata penunggu banjar itu, "tetapi perempuan itupun tidak bersalah. Jangan bunuh perempuan itu."
"Aku akan membunuh anak yang berada dalam kandungannya. Aku akan menusuk dengan pedangku. Jika perempuan yang mengandungnya itu mati, itu adalah salahnya sendiri."
"Itu tidak adil."
"Cukup. Sejak tadi kau berbicara tentang keadilan. Sudah aku katakan, aku tidak peduli, apakah yang aku lakukan itu adil atau tidak."
Suasana menjadi semakin tegang. Namun akhirnya penunggu banjar atau salah seorang yang ada di banjar itu tidak mempunyai pilihan. Mereka harus mengatakan, dimana perempuan itu berada. Dimana pernikahan itu dilangsungkan. Penunggu banjar dan orang-orang yang ada dibanjar itu memang harus memilih, siapakah yang akan dikorbankan. Orang-orang yang berada di banjar itu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Pangeran Ranapati. Jika banjar itu serta beberapa bangunan padukuhan itu dibangun, karena padukuhan itu mendapat kiriman uang yang cukup banyak dari Pangeran Jayaraga, termasuk untuk membuat tugu kecil itu. Sedangkan Pangeran Ranapati hanya membuat tugu kecil itu serta meninggalkan uang, tetapi khusus untuk perempuan yang mengandung itu jika ia akan menikah.
Karena itu, maka seorang yang rambutnya sudah mulai ubanan, akhirnya berkata, "Kami memang tidak mempunyai pilihan lain. Jangan bunuh anak muda itu. Jangan bunuh kami. Kami sama sekali tidak bersentuhan dengan Pangeran Ranapati. Jika kami menunjukkan perempuan itu, bukan karena kami merasa dengki atau iri akan keberuntungannya, tetapi berdasarkan pada pertimbangan, bahwa perempuan itu memang pernah berhubungan dengan Pangeran Ranapati ketika Pangeran Ranapati berada di padukuhan ini."
"Akhirnya penalaran kalian dapat berjalan pula. Nah sekarang katakan, dimana perempuan itu."
"Pernikahan itu berlangsung di padukuhan sebelah. Di rumah nenek perempuan itu. Demikian ia mengandung, maka iapun telah tinggal bersama neneknya di padukuhan sebelah."
"Bagus. Aku akan pergi ke padukuhan sebelah. Tetapi jika kau berbohong sehingga aku tidak menemukan perempuan itu dipadukuhan sebelah, maka semua rumah di kedua padukuhan ini akan aku bakar. Orang yang mencoba mencegah akan aku bunuh."
Orang-orang itupun kemudian telah meninggalkan banjar itu untuk pergi ke padukuhan sebelah.
Orang-orang yang berada di banjar itupun berdiri termangu-mangu. Jantung mereka masih berdebaran. Rasa-rasanya nyawa mereka sudah berada diujung rambut.
"Bukan maksudku untuk mengumpankan perempuan itu," desis orang yang rambutnya ubanan yang kemudian duduk di tangga banjar sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Aku tahu," sahut seorang tetangganya. Penunggu banjar itupun mendekatinya pula sambil berkata, "Bukan salahmu. Siapapun mempunyai pertimbangan yang sama dengan pertimbanganmu. Jika kau tidak mengatakannya, maka akulah yang akan mengatakannya."
Orang itu menarik nafas panjang. Sementara itu, penunggu banjar itupun teringat kepada Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada didalam bilik di bagian belakang banjar.
"Aku akan memberitahukan kepada mereka dan kepada isteriku, apa yang telah terjadi," berkata penunggu banjar itu.
"Mereka siapa?"
"Ada dua orang suami isteri yang menginap di bilik belakang banjar ini."
"O," orang-orang yang berada di banjar itu tidak begitu menghiraukannya lagi. Memang sudah sering terjadi orang-orang yang kemalaman bermalam di banjar itu.
Namun penunggu banjar itu terkejut ketika ia berdiri di depan bilik. Bilik itu sedikit terbuka, sedangkan suami isteri yang bermalam di banjar itu tidak ada di dalamnya.
Penunggu banjar itupun segera masuk kerumahnya untuk mencari isterinya dan bertanya kepadanya, "Dimana suami isteri itu?"
Tetapi isterinya justru ganti bertanya, "Suami isteri yang mana?"
"Yang bermalam di banjar ini."
"Bukankah sudah ada dibiliknya?"
"Mereka tidak ada di biliknya," geram penunggu banjar itu, "jadi mereka berdua adalah bagian dari para penjahat yang akan membunuh pengantin perempuan itu. Aku sudah terlanjur memberitahukan bahwa perempuan itu menikah hari ini. Tetapi mereka tidak dapat dipercaya. Agaknya mereka memang menyusup untuk mencari keterangan tentang hari pernikahan itu. Kemudian, mereka memanggil kawannya yang segera berdatangan dan berniat untuk membunuh perempuan itu."
"Itu tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Mereka baru saja tahu, bahwa malam ini perempuan itu menikah. Kapan ia sempat memberitahukan kepada kawan-kawannya" Bukankah yang kau maksud dengan kawan-kawannya adalah orang-orang yang datang membuat kekisruhan di halaman banjar itu."
"Kau melihatnya?"
"Aku melihatnya. Bukankah mereka akan membunuh orang-orang yang ada di banjar jika tidak ada yang mau memberitahukan dimana perempuan itu menikah?"
"Ya. Tetapi kenapa suami isteri itu lari?"
"Mungkin mereka tidak lari. Mereka hanya bersembunyi karena ketakutan."
Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku harus pergi ke rumah pengantin perempuan itu. Mereka harus tahu, bahwa ada orang yang sedang mencarinya."
"Mereka sudah pergi lebih dahulu."
"Aku akan mengambil jalan pintas, lewat pematang. Mudah-mudahan aku datang lebih dahulu."
"Lalu apa yang dapat kau lakukan, pake?"
"Entahlah. Tetapi aku harus pergi ke sana." Penunggu banjar itu tidak berbicara lagi. Iapun segera berlari menuju ke padukuhan sebelah. Tetapi ia tidak mengikuti jalan pintas, apalagi jalan utama. Agar lebih cepat sampai, penunggu banjar itu berlari meniti pematang dan tanggul parit.
Ternyata penunggu banjar itu memang datang lagi lebih dahulu. Sementara itu, upacara pernikahan memang sedang berlangsung dengan khidmat.
Namun tiba-tiba penunggu banjar itupun langsung naik ke pendapa untuk menemui Ki Bekel dan Ki Jagabaya yang menghadiri upacara pernikahan itu. Pernikahan seorang perempuan yang pernah berhubung an dengan seorang Pangeran dari Mataram, yang kemudian setelah mengandung lalu diberikan sebagai triman kepada seorang anak muda yang mau menerimanya. Bukan hanya menerima perempuan itu saja, tetapi ia juga menerima banyak uang yang sebagian dapat dijadikan bekal bagi hidupnya kemudian.
Kedatangan penunggu banjar dengan tergesa-gesa serta langsung naik ke pendapa itu telah mengejutkan banyak orang. Apalagi ketika kemudian, dengan terengah-engah penunggu banjar itu berceritera dengan singkat, apa yang telah terjadi di banjar.
Orang-orang yang berada di pendapa rumah nenek pengantin perempuan itu menjadi gelisah. Ki Bekel dan Ki Jagabaya harus bertindak cepat. Ki Bekel berpikir untuk mencoba mengetrapkan perlawanan rakyatnya menghadapi para penjahat yang ingin merampok Pangeran Jayaraga.
Namun selagi Ki Bekel memandang berkeliling untuk mencari kentongan yang mungkin tergantung disekitar pendapa itu, beberapa orang yang ingin membunuh bayi dalam kandungan pengantin perempuan itu telah berdatangan.
"Jangan mencoba melawan," berkata pemimpin mereka, "kalian tidak akan dapat melakukannya. Bahkan seandainya kalian sempat mengerahkan rakyat seluruh kademangan, kalian tidak akan berhasil. Seandainya kalian berhasil menggagalkan niat kami membunuh bayi dalam perut perempuan itu, tetapi korban yang jatuh diantara kalian tentu tidak akan terhitung jumlahnya. Mungkin Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu. Anak-anak muda dan laki-laki yang sekarang sedang menikah itu sendiri."
Suasanapun menjadi sangat tegang.
"Ketahuilah, bahwa kami datang dengan membawa masalah pribadi. Antara aku dan Pangeran Ranapati. Pangeran Ranapati telah membunuh ayahku. Sekarang aku ingin membunuh anaknya. Jika aku menusuk bayi didalam perut perempuan itu, kemudian perempuan itu ikut mati, maka itu adalah salahnya sendiri."
"Kau tidak dapat berbuat demikian, Ki Sanak. Baik perempuan itu maupun anak didalam kandungannya, meskipun anak itu adalah anak Pangeran Ranapati, tetapi mereka tidak bersalah. Jika dapat dianggap bersalah karena Pangeran Ranapati membunuh ayahmu, namun yang bersalah itu adalah Pangeran Ranapati itu sendiri. Apalagi jika pembunuhan itu dilakukan dalam perang tanding, sehingga kalian tidak dapat menganggap Pangeran Ranapati bersalah sehingga pantas menjadi sasaran balas dendam."
"Cukup," bentak pemimpin kelompok itu, "aku tidak peduli apapun. Aku akan membunuh anak itu. Bukan karena aku tidak berani berhadapan dengan Pangeran Ranapati, tetapi sekarang kami akan sangat kesulitan untuk menemukan Pangeran Ranapati."
"Seharusnya kau balaskan dendammu dengan cara yang jantan," tiba-tiba terdengar suara seseorang dari dalam kegelapan.
Semua orangpun berpaling ke arah suara itu. Mereka melihat dua orang laki-laki dan perempuan keluar dari kegelapan di halaman samping.
Orang-orang yang datang untuk membunuh itupun berdiri termangu-mangu. Pemimpin mereka itupun menggeram, "Kau siapa he" Dan apa maksudmu?"
"Ternyata kau bukan seorang laki-laki. Kau hanya mencari dalih agar kau dapat membalas dendam dengan mudah, tanpa harus bersikap sebagai seorang laki-laki. Kalau kau memang seorang laki-laki, betapapun sulitnya, kau tentu akan mencari Pangeran Ranapati. Tetapi kau tidak berani melakukannya, karena jika kau benar-benar berhadapan dengan Pangeran Ranapati, maka kau bukan tandingannya. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa kecuali menyerahkan lehermu untuk dipilin sampai patah."
"Cukup. Siapakah kau sebenarnya" Dan apa pula hubunganmu dengan Pangeran Ranapati."
"Kau kira Pangeran Ranapati pergi begitu saja dengan meninggalkan anaknya tanpa perlindungan. Kami berdua adalah orang-orang yang ditugaskan oleh Pangeran Ranapati untuk melindungi anaknya yang masih berada dalam kandungan. Karena itu, jika kau akan membunuhnya, maka kau akan berhadapan dengan kami."
Pemimpin dari sekelompok orang itu menggeram. Dengan lantang iapun berkata, "Apa sebenarnya yang kau banggakan sehingga kau berani berkata seperti itu kepadaku. Kau lihat bahwa aku tidak sendiri. Aku datang dalam satu kelompok. Jika ada orang yang mencoba menghalangiku, atau bahkan rakyat padukuhan ini, maka kami tidak akan segan-segan untuk membunuh. Jika itu terjadi, maka korban tidak akan terhitung lagi. Dan ini akan menjadi tanggungjawab Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Jika kau yang memicu perlawanan, maka kaulah yang bertanggungjawab."
"Kami memang akan melawan untuk melindungi putera Pangeran Ranapati. Tetapi kami tidak akan melibatkan seorangpun penghuni padukuhan ini. Kami bertanggungjawab penuh atas keselamatan putera Pangeran Ranapati sehingga kami akan bertempur antara hidup dan mati."
"Kau sudah gila. Kau seorang diri mencoba untuk menghalangi kami."
"Kalau kau laki-laki, maka persoalannya adalah persoalan antara kau dan aku. Kau ingin membalas dendam kematian ayahmu, sementara aku bertugas melindungi anak dalam kandungan yang sama sekali tidak bersalah."
"Bagus," geram orang itu, "kau menantang berperang tanding. Jangan menyesal nasib burukmu. Kau akan mati dan anak dalam kandungan itu juga akan mati. Aku memang tidak berniat membunuh ibunya. Tetapi seperti yang aku katakan jika ia mati, itu karena nasib buruknya."
"Bersiaplah. Kau sudah menerima tantanganku berperang tanding. Apapun yang akan terjadi diantara kita, maka tidak akan ada yang ikut campur. Kawan-kawanmu tidak dan penghuni padukuhan inipun tidak. Mereka akan menjadi saksi, siapakah yang akan keluar dengan selamat dari perang tanding ini."
Demikianlah, maka keduanyapun saling berhadapan. Penunggu banjar itu berdiri kebingungan. Ternyata orang yang disangkanya kawan para pembunuh itu, justru pelindung dari anak yang masih berada dalam kandungan itu.
Beberapa orang kawan dari orang yang datang untuk membalas dendam itupun masih berdiri mengerumuni pemimpinnya yang akan berperang tanding. Perlahan sekali orang itu memberikan pesan-pesan kepada kawan-kawannya. Perlahan, sekali, sehingga tidak dapat didengar oleh Glagah Putih. Pada saat ia mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, orang itu sudah selesai dengan pesan-pesannya.
Namun Rara Wulanlah yang ternyata sempat mempergunakan Aji Sapta Pangrungu sehingga ia tahu, apa yang dipesankan oleh orang yang membalas dendam itu.
Orang itu berpesan agar para pengikutnya itu jangan lengah. Jika perlu, mereka tidak usah merasa terikat dengan perang tanding itu. Pengawal anak yang masih dalam kandungan itupun harus dibunuh lebih dahulu. Sedangkan jika ada orang yang mencoba untuk membantunya, maka merekapun akan dibunuhnya pula.
Karena itu, maka Rara Wulan telah menangkap ada isyarat kecurangan pada orang-orang yang datang untuk membalas dendam itu. Karena itu, maka iapun menjadi lebih berhati-hati.
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan pemimpin sekelompok orang yang akan membalas dendam itu sudah berhadapan di halaman rumah nenek pengantin perempuan yang sudah menjadi hampir pingsan itu. Ia tidak mengira, bahwa pada hari pernikahannya itu telah datang malapetaka yang akan merenggut jiwanya.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, di halaman rumah itupun telah terjadi perang tanding antara Glagah Putih yang mengaku sebagai pengawal dan pelindung anak Pangeran Ranapati yang masih ada dalam kandung an itu, melawan orang yang ingin membunuhnya untuk membalas dendam, bahwa Pangeran Ranapati pernah membunuh ayahnya.
Glagah Putih yang belum mengetahui sama sekali tataran kemampuan lawannya itupun menjadi sangat berhati-hati.


16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, beberapa saat kemudian, pertempuran di antara merekapun menjadi semakin sengit. Ternyata orang yang ingin membalas dendam itu juga seorang yang berilmu tinggi.
Orang itu juga mempunyai tenaga dan kekuatan yang sangat besar, sehingga pada setiap benturan yang terjadi, maka Glagah Putihpun merasakan getarannya menekan bagian dalam dadanya.
Tetapi dengan lambaran tenaga dalamnya, maka perlahan-lahan Glagah Putih berhasil mengatasi tenaga dan kekuatan orang itu.
Tetapi orang itu dengan serangan-serangan yang cepat berusaha untuk menembus pertahanan Glagah Putih. Tetapi ternyata sangat sulit untuk melakukannya. Pertahanan Glagah Putih menjadi sedemikian rapatnya, sehingga rasa-rasanya tidak seujung duripun yang mampu menerobosnya.
Sedangkan pada setiap benturan Glagah Putih yang sudah meningkatkan lambaran tenaga dalamnya, tidak lagi dapat digetarkan, apalagi didesak surut.
Meskipun demikian, orang yang berniat membunuh anak yang masih dalam kandungan itu tidak segera menyadari kenyataan itu. Ia sendiri merasa sebagai seorang yang berilmu tinggi. Sementara itu, orang yang mengaku pelindung dari anak yang masih berada dalam kandungan itu, adalah orang yang masih terhitung muda, jauh lebih muda dari dirinya sendiri.
Namun orang yang masih lebih muda itu, ternyata sulit untuk ditundukkan. Serangan-serangannya semakin lama datang semakin cepat. Jika orang yang berniat membunuh itu sangat sulit untuk menembus pertahanan Glagah Putih, maka justru Glagah Putih sekali dua kali telah berhasil menguak pertahanannya.
Ketika orang itu menyerang Glagah Putih dengan menjulurkan tangannya mengarah ke dada Glagah Putih, maka Glagah Putih berhasil menepisnya dengan lengannya. Dengan demikian, maka justru dada orang itulah yang terbuka, sehingga dengan tangannya yang lain Glagah Putih memukulnya.
Tetapi ternyata orang itupun tangkas pula. Dengan cepat ia bergeser menyamping. Iapun segera menangkis serangan itu dengan tangannya yang sebelah.
Tetapi Glagah Putih menarik serangan tangannya. Yang kemudian terjulur adalah kakinya menyambar lambung.
Orang itupun terpental beberapa langkah surut. Sementara itu, seperti lembing Glagah Putih meluncur dengan kakinya yang terjulur memburu orang itu. Demikian kaki Glagah Putih mengenai dadanya, maka orang itupun terlempar semakin jauh. Meskipun ia berusaha mempertahankan keseimbangannya, namun akhirnya orang itupun jatuh terlentang.
Glagah Putih tidak memburunya. Ia sengaja memberi kesempatan kepada orang itu untuk bangkit.
Orang yang jatuh terlentang itu memang segera melenting berdiri. Ia mencoba menyembunyikan rasa sakit di punggungnya dengan meningkatkan daya tahannya. Namun mulutnya masih juga nampak menyeringai menahan sakit.
Dengan demikian, maka kemarahan itupun semakin menyala di dadanya, sehingga jantungnya bagaikan membara.
Sambil menggeram orang itupun melangkah mendekat, "Aku bunuh kau dan akan aku lemparkan jantungmu kepada anjing-anjing liar."
Glagah Putih dengan tenang justru berkata, "Sudahlah. Sebaiknya kau menyerah. Kalau kau pergi, aku anggap persoalan ini sudah selesai. Aku tidak akan menyelesaikan perang tanding ini sampai tuntas. Pangeran Ranapatipun tentu akan melupakan perbuatanmu hari ini atau bahkan mengampuninya."
"Persetan dengan Pangeran Ranapati. Jika aku menemukannya, maka aku tentu akan membunuhnya."
"Bagaimana mungkin kau dapat membunuh Pangeran Ranapati. Sekarang, melawan akupun kau tidak mampu berbuat apa-apa. Jangankan berhadapan dengan Pangeran Ranapati."
"Jaga mulutmu, penjilat. Apa yang sudah kau terima dari Pangeran Ranapati sehingga kau umpankan nyawamu bagi keselamatan anaknya yang masih dalam kandungan."
"Bukan soal imbalan yang aku terima dari Pangeran Ranapati. Seandainya aku belum mengenal Pangeran Ranapatipun aku akan melakukannya, karena apa yang akan kau lakukan itu adalah perbuatan yang biadab."
"Cukup. Aku tidak membutuhkan sesorahmu. Sekarang kau pergi dari halaman ini dan membiarkan aku menumpahkan dendamku. Aku akan membunuh anak itu. Kemudian aku akan pergi dan untuk selanjutnya aku tidak akan mencarimu lagi."
"Jika demikian, maka kita memang harus menyelesaikannya sekarang. Kita harus menuntaskan perang tanding ini sehingga tidak akan ada persoalan di masa mendatang."
Orang itu menggeram. Namun dengan garangnya iapun segera meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putihpun sudah siap menghadapinya sehingga dengan demikian, maka pertempuran yang sengitpun telah berlangsung kembali.
Sementara itu, Rara Wulanpun menjadi semakin berhati-hati. Ia tahu, bahwa cepat atau lambat akan terjadi kecurangan jika pemimpin kelompok itu akan dikalahkan oleh Glagah Putih.
Untuk beberapa saat, perang tanding itu masih berlangsung. Tetapi orang yang berniat membunuh itu sudah menjadi semakin terdesak, sehingga para pengikutnyapun segera mempersiapkan diri. Mereka tahu, bahwa mereka harus segera bertindak jika pemimpinnya yang semakin terdesak itu memberikan isyarat.
Namun Rara Wulanpun memperhatikan mereka dengan sungguh-sungguh.
Rara Wulan berhasil mendengarkan pesan pemimpin mereka yang sedang berperang tanding itu, jika ia menjatuhkan perintah, maka para pengikutnya harus segera turun ke arena.
Sebenarnyalah bahwa orang yang berperang tanding dengan Glagah Putih itu sudah tidak berdaya untuk melawan. Ketika Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya serta mengayunkan kakinya mendatar, maka kakinya itu telah menyambar kening lawannya. Demikian kerasnya, sehingga lawannya itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terlentang.
Sulit baginya untuk segera bangkit. Punggungnya terasa sakit sekali, sehingga terdengar ia mengerang.
Glagah Putih ternyata tidak memburunya. Dibiarkannya orang itu menggeliat. Namun tiba-tiba Glagah Putih itu mendengar orang itu bersuit nyaring.
Glagah Putih tidak tahu maksud isyarat itu. Tetapi ia sudah menduga, bahwa akan terjadi kecurangan dalam perang tanding itu. Karena itu, iapun justru bergeser surut untuk mengambil jarak.
Namun sebelum segala sesuatunya terjadi, Rara Wulan telah melangkah ke tengah arena sambil berkata, "Nah, pemimpin kalian telah memberikan isyarat itu. Bukankah ia berpesan, jika terdengar isyarat agar kalian turun ke arena dan tidak menghiraukan lagi ketentuan dan paugeran yang berlaku bagi perang tanding" Bahwa dengan demikian, maka kalian tidak perlu lagi berpijak pada sifat seorang kesatria dan mengesampingkan harga diri?"
Tetapi orang yang kesakitan itupun berteriak, "Jangan dengarkan. Bunuh orang itu. Bunuh anak Pangeran Ranapati dan bunuh perempuan itu pula."
Para pengikutnyapun segera bersiap. Dua orang di antara mereka mendekati pemimpin mereka yang kesakitan. Kemudian membantunya untuk bangkit berdiri.
Beberapa orangpun kemudian berusaha untuk mengepung Glagah Putih. Tetapi karena Rara Wulan sudah berdiri di arena, maka iapun berada pula di dalam kepungan. Apalagi pemimpin mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya untuk membunuh laki-laki dan perempuan yang mengaku pelindung anak yang berada didalam kandungan dan yang akan dibunuhnya pula. Bahkan ibunyapun tentu akan ikut mati pula.
Namun orang-orang yang mengepung itupun menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Rara Wulan menyingsingkan kain panjangnya, sehingga iapun kemudian telah mengenakan pakaian khususnya.
"Marilah. Kita lupakan perang tanding yang masih belum tuntas. Tetapi yang akan mati di arena inipun menjadi semakin banyak. Bukan hanya orang yang mendendam itu saja. Tetapi juga para pengikutnya."
Pemimpin sekelompok orang yang sudah bangkit, berdiri itupun kemudian bertanya dengan suara serak, "Kau juga akan ikut campur dalam pertempuran ini" Sebaiknya kau menepi. Kalau tidak, maka kau akan lebih dahulu mati. Sebelum anak yang masih di dalam kandung an itu serta orang yang mengaku pelindungnya itu, maka kaulah yang akan lebih dahulu mati."
"Aku sudah siap untuk menghadapi kemungkinan apapun. Namun aku masih memberi kalian kesempatan. Sebaiknya kalian tidak melanjutkan niat buruk itu, karena jika kalian akan melanjutkannya, maka kalianlah yang akan mengalami kesulitan."
"Persetan. Bunuh mereka. Jangan ragu-ragu. Aku datang untuk membalas dendam. Niatku itu harus dapat aku lakukan."
Para pengikutnya itupun tidak menunggu lagi. Dalam jumlah yang jauh lebih banyak, mereka memperhitungkan bahwa mereka akan dengan cepat menyelesaikan tugas itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian saling mendekat. Mereka sudah terbiasa bertempur berpasang an. Karena itu, mereka sudah tidak merasa canggung lagi berpasangan menghadapi orang-orang yang datang untuk membalas dendam itu.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tetap saja berhati-hati. Pemimpin kelompok itu memiliki ilmu yang tinggi. Mungkin ada pula di antara pengikut-pengikutnya itu yang berilmu tinggi pula.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah bersiap sepenuhnya menghadapi lawan-lawannya. Satu dua orang di antara mereka mulai menyerang meskipun dengan ragu-ragu. Mereka sadar, bahwa setidaknya seorang diantara kedua orang itu telah mengalahkan pemimpin mereka yang selama ini mereka banggakan. Sementara perempuan yang kemudian mendampinginya itu nampaknya demikian yakin pula dengan kemampuannya.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Satu-satu para pengikut orang yang mendendam itupun terjun ke medan pertempuran. Dengan garangnya mereka menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan dari segala arah.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan adalah dua orang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, meskipun mereka menghadapi banyak orang sekaligus, namun mereka tidak segera mengalami kesulitan. Bahkan setiap kali, lawan-lawannya itupun telah terlempar dari arena. Meskipun mereka berusaha untuk segera bangkit dan kembali ke arena, namun mereka masih harus menahan sakit di tubuh mereka.
Orang yang mendendam, yang berniat membunuh anak yang masih berada di dalam kandungan itupun tidak mampu lagi berbuat banyak. Serangan-serangan Glagah Putih yang ditujukan kepadanya, semakin sering mengenainya, sehingga tulang-tulangnya serasa berpatahan.
Di halaman rumah nenek pengantin perempuan itu telah terjadi ketegangan yang sangat mencekam. Mereka tidak mengenal siapakah kedua orang yang menyatakan dirinya sebagai pelindung anak Pangeran Ranapati yang masih berada dalam kandungan itu. Hanya penunggu banjar itulah yang pernah melihat kedua orang itu. Kedua orang itu telah datang ke banjar padukuhan untuk minta ijin menginap. Tetapi mereka sama sekali tidak menyebutkan bahwa dirinya mempunyai hubungan dengan Pangeran Ranapati. Bahkan penunggu banjar itulah yang berceritera kepada mereka tentang Pangeran Ranapati serta anak yang masih dalam kandungan itu.
Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Para pengikut orang yang mengaku mendendam itu tidak berhasil melindungi pemimpinnya yang sudah hampir tidak berdaya karena serangan-serangan Glagah Putih.
Bahkan ketika kemudian orang itu menarik senjatanya, demikian pula para pengikutnya, mereka tidak dapat berbuat banyak.
Orang yang mengaku melindungi anak yang masih berada dalam kandungan itu telah mempergunakan ikat pinggangnya sebagai senjata, sementara isterinya bersenjatakan selendangnya yang mampu mematuk seperti hentakkan tongkat baja.
Demikianlah, maka orang yang menyatakan diri mendendam kepada anak yang masih berada didalam kandungan itupun telah berusaha menghentakkan kemampuannya yang tersisa sambil berteriak lantang, "Cepat. Bunuh mereka. Bunuh anak itu."
Tetapi mereka tidak sempat melakukannya.
Seorang yang berusaha meloncat naik tangga pendapa untuk menyerang perempuan yang sedang mengikuti upacara pernikahan yang kacau itu, telah terlempar dan terbaring pingsan demikian ia membentur salah satu tiang pendapa.
Namun akhirnya, ternyata orang yang menyatakan diri mendendam karena ayahnya telah dibunuh oleh Pangeran Ranapati itulah yang berusaha naik ke pendapa. Tetapi Rara Wulanpun dengan cepat telah berdiri di sebelah perempuan yang sedang mengandung anak Pangeran Ranapati itu.
Namun ternyata orang itu tidak menyerang perempuan itu. Ia justru menyerang pengantin laki-laki yang menyaksikan pertempuran itu dengan sangat tegang.
Tiba-tiba, diluar dugaan, maka orang yang mendendam itu telah menjulurkan pedangnya menukik menghunjam didada pengantin laki-laki itu.
"Kau telah menjerumuskan aku, he?" geram orang yang sudah tidak berdaya itu. Hentakkan pedangnya adalah sisa tenaganya yang terakhir. Sementara tubuhnya sendiri telah terluka silang melintang oleh sentuhan ikat pinggang Glagah Putih meskipun para pengikutnya berusaha untuk melindunginya.
Pengantin laki-laki itu tidak mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri. Namun iapun masih bertanya dengan suara sendat, "Kenapa kau bunuh aku, he?"
Darah menyembur dari luka didadanya. Namun sejenak kemudian, iapun jatuh berguling.
Sementara itu, orang yang mengaku mendendam dan akan membunuh anak dalam kandungan itu masih berdiri meskipun tidak lagi dapat tegak. Ketika tubuhnya berguncang, maka iapun berkata, "Laki-laki itulah yang telah mengupah aku untuk membunuh pengantin perempuan yang sudah mengandung itu. Sebenarnya ia tidak mau menerima seorang perempuan yang telah mengandung. Tetapi ia menginginkan harta benda peninggalan Pangeran Ranapati. Karena itu, maka ia pura-pura bersedia menikahinya. Tetapi ia telah minta pada malam pernikahannya aku datang untuk membunuh perempuan itu."
"Jadi bukan karena aku mendendamnya?" bertanya Glagah Putih.
"Tidak. Aku tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan perempuan itu. Laki-laki itu mengupahku dan mengatakan bahwa tidak akan ada yang akan mencegahnya. Ternyata anak dalam kandungan itu mempunyai sepasang pelindung yang tidak mampu kami kalahkan, meskipun kami datang dengan sekelompok orang upahan."
"Jadi kenapa kau pura-pura tidak tahu dimana perempuan itu berada dan datang ke banjar itu lebih dahulu."
"Pengantin laki-laki itu ingin menghilangkan jejak."
Mendengar pembicaraan itu, pengantin perempuan itupun menjerit. Namun kemudian iapun jatuh pingsan.
Sementara itu, laki-laki yang gagal membunuh itu masih berdiri meskipun terhuyung-huyung. Tubuhnyapun sudah menjadi sangat lemah, darah telah mengalir dari goresan-goresan lukanya. Bahkan ada lukanya yang dalam menganga, sementara darah mengalir dengan derasnya.
Akhirnya laki-laki itu tidak dapat lagi bertahan.
Tubuhnyapun kemudian rebah di lantai pendapa rumah nenek pengantin perempuan itu.
Ketegangan menjadi semakin mencengkam. Beberapa orang upahanpun terbaring di halaman. Mereka merasa sangat sulit untuk dapat bangkit berdiri, karena tulang-tulangnya yang terasa sangat nyeri serta ada pula yang nafasnya bagaikan tersumbat didadanya.
Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Beberapa orang perempuan berusaha menyadarkan pengantin perempuan yang pingsan.
Ki Bekel, Ki Jagabaya, para bebahu yang hadir serta mereka yang berada di halaman itupun masih termangu-mangu sejenak.
Baru kemudian, Glagah Putih itupun bertanya kepada Ki Bekel, "Apakah aku berbicara dengan Ki Bekel ?"
"Ya, ya, ngger. Aku Bekel padukuhun ini. Ini adalah Ki Jagabaya dan sebagian besar para bebahu ada di tempat ini pula."
"Tolong, Ki Jagabaya. Perintahkan untuk mengumpulkan orang-orang yang datang bersama orang yang mengaku mendendam kepada Pangeran Ranapati, tetapi ternyata bahwa ia adalah orang yang diupah untuk membunuh pengantin perempuan itu oleh calon suaminya sendiri. Lihat pula, apakah calon pengantin laki-laki itu telah terbunuh. Demikian pula orang yang datang diupah untuk membunuh calon pengantin perempuan itu."
"Baik, ngger," berkata Ki Jagabaya yang kemudian menjadi sibuk. Orang-orang upahan itupun kemudian dikumpulkan di tangga pendapa. Yang tidak mampu berjalan, telah dipapah oleh orang-orang padukuhan yang sedianya menghadiri upacara pernikahan itu.
Namun ternyata bahwa pemimpin mereka telah tidak bernyawa lagi sebagaimana pengantin laki-laki.
"Ki Bekel," berkata Glagah Putih kemudian, "Ki Bekel dan Ki Jagabaya dan para bebahu sudah dapat mengetahui apa yang telah terjadi. Siapa sebenarnya yang telah merancang kekacauan ini. Pengantin laki-laki yang serakah itu menginginkan harta benda yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranapati. Tetapi ia tidak ingin menikah dengan seorang perempuan yang telah mengandung. Persoalan ini tidak dapat Ki Bekel biarkan saja. Ki Bekel harus ikut membantu, mencari penyelesaiannya. Ki Bekel dan para bebahu sebaiknya berusaha mempertemukan perempuan yang sudah mengandung itu dengan laki laki yang bersedia menerimanya apa adanya. Bukankah perempuan itu sudah tidak merahasiakan lagi, bahwa dirinya sudah mengandung."
Pendekar Bego 14 Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana Yang Paling Oke 1
^