Pencarian

Elemen Kekosongan 10

Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen Bagian 10


"Di punggung saja kayaknya, masih terbuka..," ujar kakek itu kemu-
dian. Lalu Pelaut Ompong itu pun segerah perlahan mengusap pung-
gung Telaga, sampai ia merasakan sebuah jalan darah yang dicari,
dan... "Tukk!!!" jempolnya memijit pelan. Tubuh Telaga tampak
sedikit tersentak tapi pemuda itu tidak terjaga. Mungkin tubuhnya
sedikit bereaksi secara re"ek terhadap aliran tenaga totokan itu, tapi
tidak cukup kuat untuk menolak dan membangunkan orangnya.
"Sudah, kek?" tanya dara itu kemudian, memecah keheningan yang
hanya terisi oleh deburan ombak dan gemerisikan angin di sela-sela
daun kelapa. "Sudah! Sekarang kamu yang bawa, Mayiya!" perintah kakeknya.
Gadis itu mengangguk. Lalu dengan sigap ia mengambil barang
bawaan Telaga, menyatukannya dalam kontong dan memanggul sang
pemuda. Bobot Telaga seakan-akan tiada berarti bagi gadis itu,
walaupun tingginya hampir sama dengan Telaga. Bila saja Telaga
sadar mungkin ia bisa merasa malu, dipanggul sedemikian rupa oleh
seorang gadis. Dan malam itu pun berlalu dengan tenangnya. Mayiya tenang karena
pemuda yang diduganya punya maksud jahat terhadap dirinya telah
ditangkap dan disekap di ruang kecil di belakang rumah sana. Sedan-
gkan Telaga tenang kerana tidak tahu apa-apa, bahwa tempat tidurnya
telah berpindah tempat. Hanya Pelaut Ompong yang masih agak
tertegun saat membantu membawakan barang-barang pemuda itu.
Sebilah pedang panjang. Mirip dengan pedang seseorang yang per-
nah dikenalnya dulu, jauh di sebelah utara. Pedang itu dibungkus
kain-kain dan kulit kayu dan digunakan sebagai tongkat. Bila ia tidak
memegang sendiri, mungkin masih dikiranya itu adalah tongkat. Den-
446 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
gan itu, Pelaut Ompong menjadi lebih berhati-hati. Mungkin saja
dugaan cucunya benar, pemuda itu bukan orang biasa.
*** "Kukuruyukkkk!!! Kukuruyukkkk!!!" suara satu dua ayam jago
memecah kehehingan pagi. Didahului dengan sepercik cahaya per-
tama dari ufuk timur, ayam-ayam pejantan itu berdulu-dulu meneri-
akan kabar bahwa hari baru telah datang.
"Agggghhhh!!!" ucap merdu seorang gadis yang menggeliat. Ia tam-
pak manis dengan rona merah wajahnya yang masih kusut akibat
tidurnya. Mayiya baru saja bangun dan sempat bermimpi soal pe-
muda yang dipanggulnya kemarin. Saat ia benar-benar tersadar, lang-
sung ia bangkit dan menuju ruang tengah rumahnya, hendak bertanya
pada kakeknya apa yang kemarin itu benar-benar nyata atau hanya
mimpi belaka. "Pagi, Mayiya!" sahut kakeknya yang sudah duduk di ruang tengah
dengan ditemani kepulan kopi.
Mayiya tidak segera menjawab karena mulutnya terasa tersumbat.
Di samping kakeknya tampak seorang pemuda sedang meniup-niup
gelas kopi yang ada di dalam tangannya. "Huuuhh!! Huhhh!! Masih
panas...," ucapnya pelan.
"Kakek, itu.... dia...?" ucap Mayiya pelan sambil menunjuk sang pe-
muda. Pemuda yang dipanggulnya kemarin malam.
"Ah, nak Telaga" Nak Telaga ini cucuku, Mayiya. Dia yang minta
engkau tadi malam diperlakukan secara "istimewa"," ucap Pelaut Om-
pong dengan gurau. Wajah merona tampak pada muka Mayiya. Malu sekali ia. Orang
yang "ditangkap"-nya tampak tenang-tenang saja, sudah bangun dan
malah sedang menemani kakeknya minum kopi. Dan ia sendiri...
masih belum merapikan rambutnya. Bergegas ia kembali menghilang
dalam kamarnya, menyibakkan kain penutup ruangan tersebut.
"Hahahahaha...!" kakek Mayiya tampak tertawa puas. Senang ia
menggoda cucunya. Memang hubungan antara kedua orang itu, cucu
dan kakek, benar-benar akrab. "Itulah cucuku, nak Telaga. Ayo jan-
447 gan sungkan-sungkan, bila sudah dingin langsung saja dihirup. Nanti
siang, minuman dan masakan yang lebih enak, buatan Mayiya lebih
enak dari buatanku, bisa engkau nikmati."
Telaga yang tak tahu harus mengucap apa, hanya mengangguk-angguk
saja. Sambil perlahan diambilnya ubi bakar yang disajikan dan men-
guyahnya pelan-pelan. Sambil tak lupa tetap meniup-niup kopi yang
sekarang sudah mulai agak dingin.
"Ceritakan soal Walinggih! Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya
Pelaut Ompong kemudian. Benar seperti dugaanya, pemuda itu ada
kaitannya dengan Walinggih, seorang yang pernah dikenalnya dulu.
Seorang pengguna pedang panjang.
Setelah kunyahan ubi bakar dilancarkan dengan kopi yang dihirupnya.
Telaga pun mulai menceritakan mengenai keadaan Walinggih, sampai
terakhir ia bertemu dan pamit untuk melanjutkan merantau ke arah
selatan. *** "Jadi engkau ingin mencari Suku Pelaut?" tanya gadis itu kepada
seorang pemuda. "Iya. Tahukah engkau di mana mereka bisa ditemui?" tanya pemuda
itu balik. "Aku pernah mendengarnya dari kakek, bahwa mereka itu sulit dicari.
Hidup benar-benar di tengah laut dan jarang merapat. Hanya saat-
saat tertentu saja mereka merapat. Benar-benar "orang laut"," jawab
sang gadis. "Adakah yang bisa menunjukkan di mana aku bisa mencari mereka?"
tanya pemuda itu kemudian.
"Tunggulah sampai kakakku, Mayayo, pulang! Ia banyak tahu.
Bahkan dengar-dengar ia pernah bertemu dengan salah seorang dari
mereka. Ia diselamatkan dari amukan badai oleh mereka dan diantar
pulang ke darat karena perahunya telah hancur," cerita gadis itu.
Mengangguk-angguk pemuda itu mendengar penjelasan sang gadis.
448 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
"Eh.., Telaga..," ucap gadis itu lirih.
"Ya... Mayiya..?" jawab sang pemuda.
"Soal waktu itu..., aku...," ucap sang gadis dengan wajah tersipu malu.
Merona merah wajahnya. "Ah, tak usah dipikirkan. Engkau bisa daja benar, bahwa aku adalah
orang jahat yang hendak menunggu tengah malah untuk menyelinap
menyerangmu. Itu sudah tindakan bagus. Paling tidak engkau tidak
melukai aku sebelum bertanya," jawab pemuda itu sambil tersenyum.
"Aku... minta maaf!!" ucap gadis itu.
"Tak ada yang perlu dimaafkan, hanya kesalahpahaman saja," jawab
sang pemuda. "Terima kasih!!" berkata gadis itu kemudian.
*** Mayayo, kakak Mayiya, masih membutuhkan waktu kira-kira beber-
apa minggu sebelum kembali ke desa itu, Tepi Darat Selatan. Jadi
selama menunggu Telaga diajar oleh Mayiya dan kakeknya Pelaut
Ompong hal-hal mengenai laut. Kalau-kalau Telaga harus berlayar
seorang diri dan bertahan hidup di tengah laut. Dari cara mencari
ikan, menghemat tenaga sambil berendam di sisi perahu, menyuling air
laut untuk minum dan mengobati sengatan matahari dan juga ubur-
ubur serta ular laut. Banyak hal yang diajarkan oleh kedua orang itu
kepada Telaga. Jarang mereka mendapat kunjungan orang luar, dan
orang luar yang tertarik dengan penghidupan mereka. Kepada Telaga
mereka menjadi amat terbuka dan menceritakan banyak hal.
Sebagai balasan Telaga mengajarkan Mayiya, karena Pelaut Ompong
sudah merasa terlalu tua untuk belajar, ilmu-ilmu yang dimilikinya.
Salah satunya adalah ilmu pedang panjang dan jurus-jurus beladiri
tangan kosong warisan Arasan.
Mayiya yang cerdas dapat dengan mudah mencerap apa-apa yang dia-
jarkan. Bahkan teman-temannya, baik laki-laki maupun wanita men-
jadi bersemangat dan ikut berlatih. Telaga menjadi tamu yang amat
diterima di sana. Membuat suasana desa itu menjadi ceria.
449 "Ini yang disebut Gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi...," ucap Telaga
sambil menunjukkan gerakan-gerakan yang bersalto balik, menyerang
dengan pedangnya dan tidak terjatuh, melainkan melenting kembali
ke tempat pijakan tadi ia melompat. Suatu serangan yang sulit diduga
oleh lawan yang belum tahu.
Dikarenakan pedang panjangnya hanya satu dan anak-anak muda
yang lain ingin ikut juga berlatih, akhirnya dibuat pedang-pedangan
dari bambu yang ditengahnya diisi oleh pasir besi, agar beratnya
menyerupai berat pedang panjang. Jurus-jurus pedang panjang hanya
bisa dilakukan apabila pedang yang digunakan cukup berat dengan
titik beratnya berada di pertengahan ujung dari pedang. Bagi yang
tidak tahu dan ingin meniru tanpa tahu seluk-beluk pedang yang di-
gunakan, tidak akan berhasil. Apalagi menggunakan pedang biasa.
Tapi bukanlah desa atau kota atau kumpulan komunitas lain bila se-
orang baru yang datang, mendapat banyak perhatian dan tidak ada
yang tidak senang. Ada seorang pemuda, Wassa, yang telah lama
menaruh hati kepada Mayiya. Ia menjadi tidak senang dengan ke-
datangan Telaga yang tampaknya dekat dengan pujaan hatinya. Ia
menjadi gusar terbakar api cemburu, walaupun ia sendiri belum per-
nah menyatakan maksud hatinya kepada sang gadis. Wassa memang
berniat untuk mengatakan apa isi hatinya, tapi untuk itu ia hendak
menunggu Mayayo, sang kakak dari Mayiya. Di kampung itu ada
adat bahwa pernyataan suka dan ada niat untuk meminang harus
dikatakan kepada wakil dari yang hendak dipinang. Dalam ini Mayayo
adalah wakil dari Mayiya. Pelaut Ompong, sang kakek telah berpesan
akan hal itu kepada Wassa. Sebagai orang tua dari ayah Mayiya dan
Mayayo ia wajib menikahkan cucu-cucunya, tapi menerima pernyataan
ingin meminang Mayiya adalah kewajiban Mayayo.
*** Ombak yang bergulung-gulung tinggi, berkejar-kerjaran dalam angin,
berlomba-lomba datang, menghantam perahu dan menjatuhkan airnya
ke atas geladak kecil tersebut. Seorang pemuda dengan tabah tampak
masih berusaha menurunkan layar perahu kecilnya, mengurangi kuasa
angin atas perahunya. Kekuatan pengaruh air atas biduknya tak da-
pat ia reduksi, kecuali harapan dalam hati kepada Sang Pencipta, agar
ia masih dapat pulang dengan selamat ke kampungnya. Tampak lelah
450 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
sudah wajah sang pemuda. Kampungnya, Tepi Darat Selatan. Kakeknya, Pelaut Ompong.
Adiknya, Mayiya. Berkelebat cepat semua apa-apa yang ada di dalam
angan. Apa ini tandanya orang yang menjelang maut" "Tidak!!"
ucap pemuda itu membantin. "Ini belum berakhir! Selama masih ada
nafas, tak akan ia menyerah!!"
Segera setelah semangatnya pulih, ia teringat pada ujar-ujar dari para
tua-tua, bahwa dalam keadaan badai menggila dan berangin, ikatkan
diri pada tiang perahu. Jangan sampi jauh dari satu-satunya pelam-
pung kehidupan di tengah lautan. Segera dengan tali yang dapat di-
gapainya, dililitkan dirinya kepada tiang layar perahu kecilnya. Dilil-
itkannya berkali-kali. Satu, dua, tiga.., entah sampai berapa kali
putar. Sebanyak-banyaknya, sampai ia sendiri berdiri lemas. Basah,
kedinginan dan lelah. Dengan topangan ikatan tali itu, ia masih bisa
berdiri. Ombak yang bergulung tinggi, datang seakan tak hendak berhenti.
Bertubi-tubi dan silih-berganti. Perahu diombang-ambing ke kanan
dan ke kiri. Dibolak-balik sesuka hati. Untuk saja ada konstruksi,
yang membuat perahu dapat tegak kembali. Bila tidak, sudah pasti,
sang pemuda bagi ikan-ikan menjadi sarapan pagi.
Kesadaran yang perlahan menghilang menyambut sang pemuda. Ter-
tunduk kepalanya lemas. Bak orang yang telah tiada nyawa. Pasrah
biarkan diri dipermainkan gelombang laut tiada iba.
Tapi memang hari itu bukan hari akhir bagi Mayayo, sang pemuda
yang terikat di tiang perahu. Alam berangsur-angsur mulai melu-
nak. Menaruh iba dan berbaik hati. Angin meredup dan gelombang
berangsur-angsur mengecil. Laut lalu menjadi tenang. Amat tenang
seakan-akan hampir tiada angin bertiup. Suatu kontras yang amat
sangat, bila dibandingkan dengan keadaan beberapa saat sebelum-
nya. Kuasa Sang Pencipta, sosok dari mana seluruh isi alam ini be-
rasal, yang kuasanya bertebaran di mana-mana. Hanya sayang kita
kadang kurang menyadarinya sehingga sering terlupa untuk bersyukur
dan mengharap dengan tulus.
Perlahan-lahan matahari pagi mulai menampakkan sinarnya dari arah
biasanya. Kaki langit sebelah timur tampak bersinggungan dengan
451 lautan sejauh mata memandang. Sinar temaram kuning mentari
peralahan-lahan mulai menjadi semakin cerah. Ia muncul untuk
menghantarkan kehangatan kepada seluruh lautan dan penghuninya.
*** "Hiattt!!!" teriak seorang dara dengan lantangnya. Dengan gerakan
yang lincah dan menawan ia melompat ke sana-ke mari di atas balok-
balok kayu yang terapung-apung di tengah laut tersebut. Balonk-
balok yang satu sama lain diikat dengan tali sehingga tidak dapat
saling menjauh atau mendekat. Balok-balok tersebut diikat memben-
tuk jaring kotak-kotak yang di keempat ujung jauhnya ditancapkan
pada sebuah pelampung besar yang dijangkarkan ke dasar laut.
Walaupun terlihat balok-balik tersebut mengapung, akan tetapi tidak-
lah terlalu besar beban yang dapat ditampungnya. Oleh karena itu
orang yang berlompatan di atasnya harus hanya hinggap sebentar un-
tuk kemudian berpindah pada balok yang lain. Jika tidak, sudah
dipastikan yang hinggap di atasnya akan tenggelam. Ini adalah salah
satu bentuk latihan ilmu meringankan tubuh yang dilatih di tengah-
tengah laut. Dara tersebut dengan busana ringkas berwarna biru muda, warna
yang dominan di daerah yang didominasi oleh air, tampak tak kenal
lelah berlompatan sana-sini sambil menyabetkan tangan dan kakinya.
Sabetan yang bukan sembarang sabetan, melainkan sabetan dengan
penuh tenaga. Kesiuran angin tampak di sana-sini, di permukaan
air yang telah terkena hawa pukulan dan tendangannya. Tampak
segumpal air yang lebih putih dari sekelilingnya, menggumpal dan
mengapung perlahan untuk kemudian menghilang. Bongkahan es. Ya,
ilmu yang dilatih dara tersebut berkaitan dengan penggunaan Tenaga
Air. Ia dapat memanipulasi air dengan hawa pukulannya sehingga
menjadi dingin, dan sampai membeku.
"Plok-plok-plok!!" terdengar tepukan tangan seorang tua yang berdiri
tidak jauh dari sana. Jika dara berjubah biru muda tersebut sudah terlihat menggiriskan
dengan pukulan serta tendangannya yang mampu mendinginkan
air laut sampai menjadi bongkahan kecil es, ditambah pula ilmu
meringankan tubuhnya yang mampu membuatnya "terbang" di atas
452 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
air dengan bantuan balok-balok kayu yang terapung, lain pula den-
gan orang tua itu. Ia tampak berdiri seenaknya, dengan kedua kaki
dipentang, di atas air. Sebenarnya tidak benar-benar di atas air,
karena apabila diperhatikan tampak bahwa di bawah kedua kakinya,
di bawah permukaan air di bawah tubuhnya, tampak segumpal es
besar. Bongkahan yang menyanggah dirinya sehingga tidak tengge-
lam dan seakan-akan terapung atau dapat berdiri di atas permukaan
air. Es sebesar satu dua gajah dan dalam siang yang seterik ini"
Kemampuan yang tidak boleh dibuat main-main.
"Ah, kakek!! Masak sudah latihan hari ini?" rengek dara itu manja
kepada orang tua yang ternyata adalah kakeknya sendiri.
Tampak mengeluarkan sepatah kata pun orang tua itu lalu menunjuk
ke suatu arah di tengah laut, tak tampak apa-apa di sana. Tapi per-


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lahan muncul sebuah titik yang semakin lama semakin jelas. Sebuah
perahu. Perahu kecil dengan tiang layar yang doyong miring. Per-
ahu yang jelas-jelas tampak telah didera badai dan dipermainkan om-
bak laut yang ganas. Pada tiangnya tampak seorang pemuda terikat.
Diam. Wajahnya yang pucat dan bibir membiru, menandakan ia
sedang dalam keadaan yang kurang baik. Pingsan.
"Kakek, apa yang harus kita lakukan?" tanya dara itu saat ia dan
kakeknya telah tiba di atas perahu yang terombang-ambing dengan
sang empunya terikat pada tiang perahu.
Sang kakek hanya menggerak-gerakkan tangannya. Dara tersebut ke-
mudian mengangguk mengerti. Lalu ia mengeluarkan sebuah keong
dari saku bajunya, meliuk melengkung dan berwarna hitam mengk-
ilat. Keong Pemanggil. Suatu alat yang digunakan dengan ditiup,
untuk memanggil bala bantuan apabila terjadi suatu peristiwa yang
membutuhkan pertolongan dari kerabat atau kawan.
Tak lama kemudian tampak sebuah titik dari arah berlawanan perahu
yang terombang-ambing tadi datang. Titik tersebut perlahan-lahan
menjadi semakin besar dan memecah menjadi tiga buah. Tiba buah
perahu yang bergerak dengan cepat atas bantuan dayung-dayung yang
berumlah empat buah, dua di masing-masing sisinya. Selain itu masih
ada dua orang di depan dan belakang yang mengerak-gerakkan tan-
gannya mengendalikan air di depan dan belakang perahu.
453 Orang yang didepan menggerakkan tangannya ke depan sehingga di
depan perahu mereka terbuka lubang yang cukup dalam akibat angin
pukulannya, sedangkan yang dibelakang mendorong air dengan luasan
yang lebih lebar, tidak membuat lubang akan tetapi mendorong per-
ahu ke muka. Gerak mereka berganti-ganti dan dibantu dengan para
pendayung yang menyibakkan air ke belakang. Paduan tenaga yang
membuat perahu mereka bergerak dengan amat cepat. Seakan-akan
seperti perahu yang memiliki "ilmu meringankan tubuh" di atas air.
Tak lama kemudian ketiga perahu tersebut telah merapat ke per-
ahu yang terombang-ambing tadi. Sang pemuda yang pucat dan tak
sadarkan diri telah dibuka ikatannya oleh sang dara dan dibaringkan di
atas perahu, beralaskan gumpalan layar pada kepalanya. Perahu dara
dan sang kakek serta ketiga perahu yang baru datang melingkar men-
gelilingi perahu yang tadi terombang-ambing. Semua orang tampak
mengamati pemuda yang masih saja tak sadarkan diri itu.
Orang-orang yang baru datang itu tampak menggerak-gerakkan tan-
gannya dengan cepat. Kakek sang dara juga membalaskan dengan
isyarat-isyarat yang tak kalah cepatnya, ingin mengatakan bahwa,
"Perahu ini harus ditarik ke pantai."
Rekan-rekannya yang baru datang itu mengangguk-angguk setuju,
kemudian mereka melemparkan tali dan mengaitkannya pada per-
ahu sang pemuda yang masih pingsan itu. Mengikatnya pada empat
bagian dan kemudian ke perahu mereka masing-masing termasuk si
kakek. Setelah ikat-mengikat selesai, kelima perahu itu segera melaju
dengan cara yang sama seperti mereka datang. Di sini terlihat bahwa
sang kakek memiliki kemampuan lebih tinggi dari yang lain. Dengan
hanya sendiri ia dapat melajukan perahunya selaju ketiga perahu yang
lain. Cucunya hanya berdiam di depan perahu sambil mengamati pe-
muda yang masih pingsan itu.
Perjalanan mereka akhirnya berhenti pada sebuah bentuk yang men-
gapung di tengah-tengah air. Bukan pulau bukan pula perahu.
Mungkin lebih tepat dikatakan perahu, akan tetapi dengan ukuran
dan bentuk yang tidak lajim. Besar dan luas dan juga ditumbuhi oleh
tanam-tanaman. Bukan pulau karena dapat berpindah-pindah. Para
penghuninya menamakan Desa Terapung.
454 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
Kelima perahu tersebut, empat yang menarik dan satu yang ditarik
melabuh pada satu sisi Desa Terapung. Pada sisi tersebut sengaja
dibentuk mirip pantai sehingga perahu-perahu dapat merapat dan di-
tarik pada bidang yang miring, sebelum disangkutkan pada suatu kai-
tan dan diikat. Segera kelimat perahu tersebut telah dilabuhkan dan
diikat dengan rapi, mencegahnya lepas dan hanyut ke lautlepas. Bagi
mereka perahu adalah suatu alat yang penting untuk hidup di tengah
laut. Daerah yang hanya terisi oleh air dan langit di atasnya.
*** Pemuda itu tampak membuka matanya. Ia merasa menggigil dan pen-
ing. Tiba-tiba ia teringat saat-saat terakhir kesadaran masih ada di
kepalanya. Ya, di tengah laut, di atas perahu dan dihantam badai dan
hujan. Segera ia bangung dan menyadari bahwa ia sedang berbaring
di dalam sebuah kamar yang bersih dan terang. Bajunya juga telah
berganti dengan baju lain yang kering dan nyaman.
Sebelum ia dapat berpikir lebih jauh di mana ia berada, tiba-tiba
tampak sebuah pintu, satu-satunya pintu pada ruangan itu, terbuka.
Sesosok orang tampak masuk dan tersenyum padanya. Seorang gadis.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya gadis tersebut.
"Eh.., aku.." Di mana aku" Bagaimana.. bisa.." Badai itu...," ucap
pemuda tersebut yang masih tampak bingung dengan keadaannya itu.
Gadis tersebut berkata menenangkan, "Jangan terburu-buru untuk
mengingat! Istirahat sajalah masih banyak waktu. Lebih penting
untuk memulihkan kesehatanmu. Ini makananmu!"
Pemuda itu mengangguk. Dan benar, ia merasakan bahwa sekujur
tubuhnya sakit-sakit dan juga tak mampu untuk bertahan lama dalam
berbicara. Terasa tanpa tenaga. Mungkin akibat demam yang di-
alaminya. "Bisa makan sendiri?" tanya gadis itu setelah melihat wajah yang
pemuda yang masih pucat tersebut.
Pemuda itu mengangguk mengiyakan.
"Ini kuletakkan makananmu. Campuran bubur dan ikan. Baik untuk
455 tubuh yang masih demam dan lemah. Makanlah! Pelan-pelan saja.
Jika bisa habiskan," ucap gadis itu sambil meletakkan makanan dan
minuman yang ia bawa. "Apa nama tempat ini?" tanya pemuda itu setelah ia memperoleh agak
sedikit tenaga setelah beberapa suap bubur dan seteguk teh hangat
dicernanya. "Desa Terapung," jawab gadis itu pendek. "Istirahatlah dulu!"
katanya kemudian setelah melihat bubur dan teh yang dihidangkannya
telah habis berpindah ke perut sang pemuda.
Pemuda itu kembali menangguk. Kali ini ia tidak lagi bertanya-tanya
dan segera merebahkan badan dan menutup matanya. Berusaha untuk
beristirahat, memulihkan tenaganya.
"Desa Terapung..," kata-kata tersebut masih terngian-ngiang di telinga
dan kepalanya saat ia kemudian terlelap. Rupanya di dalam bubur
tersebut diberikan sejenis ramuan yang membuat pelahapnya menjadi
mengantuk. Hal ini dengan tujuan agar membuat tubuh lebih cepat
pulih dengan banyak beristirahat. Tidur.
*** Dua orang pemuda tampak berdiri berhadapan di tengah-tengah
nisan-nisan batu yang tersebar tak beraturan. Di kejauhan terden-
gar deburan ombak samar-samar. Saat itu tengah hari lewat sedikit.
Bayang-bayang benda mulai kembali menampakkan dirinya.
"Jadi hanya karena itu engkau menantangku untuk berkelahi, Wassa?"
tanya pemuda pertama yang beridiri gagah dengan badan tegap dan
berotot. Lawannya yang juga tak kalah gagahnya hanya mengangguk pendek.
"Tapi...," ucap pemuda pertama itu lagi.
"Tak usah banyak alasan! Jika engkau takut, katakan saja, Telaga!"
ucap Wassa dengan senyum agak mengejak.
Takut, kata itulah yang membuat Telaga hampir tidak dapat berpikir
jernih. Ia tidak suka kata itu, apalagi jika kata itu dilemparkan orang
456 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
kepada dirinya. Ia hanya melihat tidak ada alasan untuk berkelahi
dengan pemuda di hadapannya ini. Pemuda yang hanya cemburu
karena ia dekat dan tinggal serumah dengan Mayiya dan kakeknya,
Pelaut Ompong. Suatu alasan yang picik.
Sebelum Telaga sempat mengeluarkan kalimat lain, Wassa telah berg-
erak dan memukulnya lurus. Kaku dan keras. Pukulan yang hanya di-
isikan oleh tenaga kasar dan dilakukan oleh orang yang tidak mengerti
banyak ilmu bela diri. Suatu serangan tanpa pertahanan diri.
Dengan mudah Telaga menggeser sebuah kakinya ke belakang dan
menghindari pukulan itu. Ia belum ingin menjatuhkan pemuda lawan-
nya itu, walau hatinya juga sudah mulai panas akibat ejekan lawannya.
Demi melihat pukulannya dapat dielakkan degan mudah, wajah Wassa
menjadi semakin merah gelap. Segera ia menarik serangannya yang
luput itu, melanjutkan dengan tendangan lurus ke arah kepala Telaga.
Kembali tendangan itu dapat dielakkan dengan tipis oleh Telaga yang
hanya memiringkan sedikit kepalanya dan membiarkan kaki tersebut
kehilangan daya dorongnya dan terhenti dengan sendirinya di udara
karena telah terentang habis. Sebenarnya Telaga dapat dengan mudah
menangkap kaki itu dan menekuk lalu membanting Wassa dengan mu-
dah. Berbekal jurus Berkelit Membanting Padi hasil ajaran gurunya
Arasan, ia dapat segera melihat kedudukan lemah dari posisi Wassa.
Suatu celah yang benar-benar tepat untuk dimakan oleh jurus terse-
but. Tapi kembali Telaga hanya berdiam diri. Ia masih ingin melihat
sejauh mana Wassa punya kemampuan.
Berulang-ulang Wassa menyerang dengan beringas. Serangan kasar
dan membabi-buta. Berulang kali pula Telaga dengan mudahnya
mengelak. Tidak hanya mengelak bahkan mengelak dengan tipis
dan hanya pada saat-saat terakhir. Suatu elakan yang seakan-akan
berbicara bahwa kepandaian Wassa belum ada cukup untuk dikelu-
arkan baginya. Satu waktu yang cukup untuk memasak nasi pun telah lewat. Jika
Telaga masih tampak segar dan sigap, adalah Wassa yang sudah ter-
lihat lelah dengan keringat bercucuran di mana-mana. Wajah, dada,
pungguh dan lehernya telah basah olehnya. Napasnya pun terlihat
mulai terengah-engah. 457 "Telaga... jangan engkau menghindar... terus...!! Ayo lawan... aku!!"
ucap Wassa yang diselilingi dengan napasnya yang bersambung dan
putus. Terengah-engah sekali tampaknya.
Telaga yang tadinya merasa agak dongkol kepada pemuda lawannya
itu menjadi merasa kasihan. Pemuda yang telah dibutakan cintanya
kepada Mayiya. Padahal ia tidak tahu apakah apakah sang gadis
membalas cintanya atau tidak.
"Wassa, kita sudahkan saja hal ini. Tak ada gunanya," ucap Telaga
perlahan. Walaupun mendongkol Wassa tidak dapat berkata apa-apa. Lelah su-
dah pemuda itu. Tenaganya terkuras habis hanya untuk memberikan
pukulan dan tendangan kosong. Serangan-serangan yang tidak pernah
mencapai tubuh Telaga. Ia pun terduduk lelah. Sedih. Dan termenung.
Telaga yang merasa tidak enak bahwa kedatangannya ke tempat ini
menyebabkan pemuda itu teracuni pikiran cemburu, mencoba untuk
membantu. Sudah dilupakannya perkataan Wassa yang mengatakan-
nya takut tadi sehingga ia terpancing emosinya untuk melayani.
"Aku sama sekali tidak tertarik pada Mayiya," ucap Telaga sambil
duduk di samping pemuda yang sudah tempak tak bertenaga itu.
Sebersit semangat dan juga kebingungan tampak terlihat sejenak di
matanya. Lalu katanya, "Tapi aku sering melihat engkau dan dia..."
"Aku "kan menumpang di sana. Lucu jika orang yang menumpang di
rumah orang lain, akan tetapi tidak berinteraksi dengan yang punya.
Bukan begitu?" tanya Telaga balik.
Wassa hanya tersenyum malu. Tapi masih ada rasa penasaran dalam
hatinya. Ia kemudian lanjut berkata, "Aku melihat bahwa Mayiya
tampak kagum pada kemampuanmu mengayunkan pedang panjang
dan juga bersilat. Aku merasa ia sudah jatuh cinta kepadamu."
"Aku ini sudah bertunangan, Wassa. Dan aku tidak akan mencoba-
coba untuk tertarik dengan gadis lain selain tunanganku," jelas Telaga.
"Bila engkau merasa bahwa bersilat dengan pedang panjang dan
458 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
tangan kosong bisa menarik perhatian seorang gadis, mari sini aku
ajarkan!" "Engkau mau mengajarkan aku ilmu silat itu..." Setelah aku hampir
mati-matian ingin menghajarmu?" tanya Wassa tidak percaya akan
tawaran yang diajukan oleh Telaga.
Telaga menganggguk, lalu katanya, "Ini semua hanya salah paham.
Dengan ini kita jadi bersahabat. Atau engkau tidak mau bersahabat
denganku, Wassa?" "Tidak!! Tidak!!" sahut Wassa cepat, "Sudah tentu senang sekali
bersahabat denganmu, Telaga. Seorang berilmu dan juga ramah. Aku
senang sekali!" "Baiklah kalau begitu. Nanti malam kita bertemu lagi di sini. Aku
rasa, untuk suatu kejutan, baiknya kita latihan diam-diam. Biar nanti
Mayiya tahu setelah engkau mahir. Bagaimana?" usul Telaga.
Wassa mengangguk setuju. "Di samping itu, aku juga tertarik dengan tempat ini," katanya sambil
mengedarkan pandangan, melihat berkeliling pada nisan-nisan batu
yang tersebar tak beraturan itu. Tampak kuno dan beberapa sudah
terguling. "Pemakaman kuno ini" Ada cerita menarik mengenai tempat ini.
Nanti kuceritakan," ucap Wassa yang sudah merasa gembira bahwa ia
akan diajari ilmu beladiri oleh Telaga. Sudah lupa ia akan kekesalan-
nya tadi. Sudah menjadi sahabat rupanya mereka berdua.
Keduanya kemudian bersama-sama berjalan menuruni bukit kecil itu.
Menuju desa Tepi Darat Selatan. Sekarang mereka berjalan berdua
bagai seorang sahabat, tidak seperti semula yang terisi dengan rasa
curiga dan ketidaktahuan. Perkelahian yang barusan terjadi membuat
keduanya menjadi akrab satu sama lain.
Angin pun berhembus perlahan, menyisir lembut daun-daun nyiur.
Gembira akan persahabatan dua manusia yang baru saja terbentuk.
*** 459 "Pernah dengan kata Fibonacci?" tanya Wassa seusai Telaga menga-
jarkan beberapa gerakan beladiri dan juga latihan kuda-kuda yang
cukup melelahkan. "Belum," jawab Telaga singkat. Ia tertarik pada ucapan Wassa tadi
siang, saat mereka masih belum bersahabat bahwa ada cerita menarik
di balik posisi nisan-nisan yang terlihat tidak beraturan di pemakaman
kuno di atas bukit ini. "Alkisah ada dua orang dari Tlatah Bharat (India), yaitu Gopala dan
Hemachandra, yang tidak secara sengaja menemukan suatu keter-
aturan. Mereka sedang memasukkan barang-barang ke dalam kan-
tong. Ditemukan bahwa barang-barang yang berbeda ukurannya da-
pat memenuhi kantong dengan sangat pas seperti barang-barang yang
berukuran sama," cerita Mayayo. "Seratus tahun kemudian para pen-
gujar dari tlatah lain mempelajari hal tersebut dengan lebih tekun dan
berhasil merumuskan aturannya, yang dinamakan deret Fibonacci."
"Menarik, tapi apa hubungannya dengan makam ini" Eh, sebelummya
tunjukkan dulu bagaimana keteraturan yang engkau maksud dalam
cerita itu! Aku sama sekali belum mengerti," ucap Telaga penuh ingin
tahu. Wassa merasa bangga bahwa Telaga yang dikaguminya dalam ilmu
beladiri masih merasa tertarik dengan ceritanya mengenai keteraturan
pemakaman kuno ini. "Perhatikan angka-angka berikut ini!" ucap Wassa sambil menuliskan
sederat angka-angka di atas tanah menggunakan potongan ranting
kayu.

Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

O I I II III V VIII XIII XXI XXXIV LV LXXXIX CXLIV CCXXXIII
CCCLXXVIII DCX CMLXXXVII "Sampai di sini saja, selebihnya aku tidak hapal," ucap Wassa.
Telaga kemudian mengamati akan tetapi ia tidak melihat keteraturan
dari angka-angka yang baru saja dituliskan oleh Wassa. "Masih belum
mengerti," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Perhatikan bahwa suatu bilangan, setelah bilangan ketiga, adalah
hasil penjumlahan dua bilangan sebelumnya," ucap Wassa memberi
460 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
petunjuk. "Iya, benar!!" ucap Telaga kemudian yang setelah menghitung-hitung,
dan benar menemukan apa yang diucapkan oleh Wassa. Benar sam-
pai bilangan terakhir yang dituliskan oleh Wassa, CMLXXXVII.
"Menarik!" ucapnya kemudian.
Hening sejenak. Wassa membiarkan Telaga menikmati keteratu-
ran dari hal baru yang baru saja dijelaskan. Lalu terdengar Telaga
bertanya, "Dan hubungannya dengan pemakaman kuno ini?"
Tersenyum Wassa mendengar itu. Ceritanya ternyata membuat
Telaga amat tertarik. Dinginnya udara malam di bukit itu tidak
dapat menghalangi dua pemuda itu untuk berlalu dari sana. Yang
satu bersemangat untuk bercerita dan yang satu bersemangat untuk
mencari tahu apa cerita di balik pemakaman kuno itu.
Lalu Wassa menceritakan bahwa pemakaman kuno itu dibagi men-
jadi delapan bagian. Tapi tidak delapan luasan yang sama besar,
melainkan delapan daerah berbentuk bujur sangkar yang sisi-sisinya
mengikuti ukuran delapan angka pertama derat Fibonacci. Batas
dari kedelapan bujursangkar tersebut ditandai dengan nisan batu yang
tinggi. Sedangkan nisan-nisan lain yang lebih kecil berada di dalam
kedelapan daerah bujursangkar tersebut.
Mengangguk-angguk Telaga mendengar penjelasan tersebut. Dibalik
ketidakteraturan yang sekilas terlihat itu, ternyata tersembunyi suatu
keteraturan yang mengagumkan.
"Di balik itu..," ucap Wassa dengan penuh kemisteriusan, "terdapat
rahasia ilmu beladiri tinggi, yang sayangnya tidak ada orang sampai
saat ini berhasil memecahkannya."
"Sungguhkan" Ceritakan tentang hal itu!" pinta Telaga ingin tahu.
Rahasia, apalagi berkaitan dengan ilmu beladiri tinggi, membuatnya
benar-benar tertarik. "Sayangnya aku juga tidak banyak tahu. Pelaut Ompong, kakek
Mayiya yang paling mengetahui di kampung ini. Coba tanyakan
kepadanya," jawab Wassa.
Kemudian keduanya menyudahi latihan dan juga cerita mengenai pe-
461 makaman kuno tersebut. Keduanya akan bertemu kembali di tempat
itu untuk meneruskan latihan dalam beberapa hari ini.
*** "Mengapa engkau ingin tahu cerita mengenai pemakaman kuno di
atas bukit itu?" tanya Pelaut Ompong saat mereka sedang menikmati
sarapan pada suatu pagi. "Saya dengar dari Wassa, bahwa ada keteraturan Fibonacci terkait
dengan pembagian pemakaman itu. Dan di balik itu malah ada rahasia
ilmu silat tinggi," jawab Telaga jujur.
"Hahaha..! Anak muda selalu ingin tahu sesuatu yang berkaitan den-
gan ilmu silat. Waktu aku seumurmu juga demikian," berkata Pelaut
Ompong arif. "Bahkan, sampai kami-kami saat itu menggali sana-sini
untuk mencari-cari di mana letak kitab silat tersebut dikuburkan. Jika
ada nisan-nisan yang tidak lagi tegak, itu karena pernah kami geser
dan tidak kokoh kembali dikuburkan."
Mengangguk-angguk Telaga mendengarkan penjelasan itu.
"Jadi paman tidak menemukan kitab silat itu?" tanya Telaga kemu-
dian. "Kami tidak berhasil menemukannya," jawab Pelaut Ompong. "Hanya
lelah-lelah dan rasa dongkol yang kami peroleh saat itu."
"Jika memang kitab itu tidak ada, mengapa bisa ada cerita mengenai
hal itu?" tanya Telaga kembali.
"Orang yang menceritakan berita itu.., hmmm..., tunggu dulu..!" ucap
Pelaut Ompong yang tampak memikirkan suatu nama yang sudah
lama tidak diingatnya itu, "benar-benar lupa aku."
Tampak ada sirat kecewa pada wajah Telaga mendengar hal itu. Jika
Pelaut Ompong tidak bisa menceritakan lebih jauh ketimbang cerita
Wassa, berarti tidak banyak informasi yang bisa diperolehnya. Jadi,
mungkin saja cerita mengenai ilmu silat tinggi di balik keteraturan
dalam pembagian pemakaman kuno di atas bukit itu hanyalah suatu
isapan jempol belaka. 462 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
"Mungkin itu hanya isapan jempol, ya paman?" ucap Telaga kemudian
kepada Pelaut Ompong dengan nada putus asa.
Pelaut Ompong hanya tersenyum dan tidak menjawab lebih jauh.
Ia membiarkan sang pemuda tenggelam dahulu pada kekecewaannya
akan ketidaktahuannya akan cerita lebih lanjut mengenai pemakaman
kuno di atas bukit itu. *** Malamnya, karena tidak ada janji untuk melatih Wassa dan juga
pemuda-pemudi di desa tersebut, Telaga beristirahat lebih cepat. Ia
tidak menemukan baik Pelaut Ompong maupun Mayiya di rumah
mereka, rumah di mana ia menumpang tinggal. Sejenak dirasakannya
suatu keanehan, akan tetapi cepat rasa itu dihapuskannya. Ia orang
baru di rumah dan juga di kampung itu. Bisa jadi ia tidak banyak tahu
kegiatan orang-orang di sana, sehingga kemungkinan mereka baik-baik
saja. Mungkin mereka melakukan hal-hal yang mereka tidak ingin bagi
tahu kepada Telaga. Saat ia merebahkan diri di ruangan tempat ia biasa beristirahat, tiba-
tiba ia melihat sebuah catatan ditempelkan dengan pisau di langit-
langit. Secara re"ek ia tersentak dan berdiri, melompat meloloskan
pesan tersebut dari langit-langit dengan mencabut pisaunya. Sebuah
pesan pendek tertera di atas kertas tersebut,
"Jika ingin tahu rahasia di balik pemakaman kuno di atas bukit,
datanglah ke sana tiga malam lagi saat bulan benar-benar gelap. Jan-
gan beritahu siapa-siapa."
Tidak ada tanda-tangan di bawah pesan itu. Suatu pesan yang dikenal
sebagai surat kaleng. Bisa berarti suatu kabar benar bisa juga palsu.
Berdebar-debar Telaga saat setelah membaca pesan tersebut. Mungkin
ini petunjuk yang dicari-carinya. Segera ia menyembunyikan pesan
itu di balik pakaiannya dan juga pisau yang digunakan untuk menan-
capkan pesan itu tadi di balok kayu langit-langit rumah itu. Segera ia
berpura-pura tidur sambil pikirannya bergerak kemana-mana, mem-
bayangkan apa yang akan dihadapinya dan siapa yang akan ditemuinya
di sana. 463 Tak berapa lama ia mendengar Pelaut Ompong dan Mayiya pulang.
Segera ia mengatur napasnya semakin teratur dan pelan, agar terlihat
ia sudah tidur dan tidak terjadi apa-apa. Sementara itu pikiran sang
pemuda semakin liar dan berkecamuk macam-macam.
Tak berapa lama beristirahat pula Pelaut Ompong di samping sang
pemuda dan Mayiya di kamarnya.
Malampun semakin larut. Angin masih berhembus lembut di ke-
jauhan, membelai lembung daun-daun pohon kelapa dan juga ujung-
ujung rerumputan. *** Dalam beberapa hari itu, sebelum hari yang dituliskan dalam surat
tanpa pengirim itu datang, Telaga masih bimbang apa ia harus
meninggalkan pesan atau tidak kepada Pelaut Ompong dan Mayiya,
karena masih merasa agak curiga pada pengirim pesan tersebut. Lagi
pula ia masih orang asing di desa itu. Tidak tahu ia siapa yang men-
giriminya pesan tersebut dan apa yang akan dihadapinya di sana, di
atas bukit. Hari-hari pun berlalu dengan cepat. Dan malam ini adalam malam
di mana bulan sedang gelap-gelapnya. Saat untuk pergi ke bukit, ke
tempat di mana pemakaman kuno tersebut berada. Pergi mencari
tahu rahasia di balik pemakaman kuno tersebut, jika pesan tanpa
pengirim itu benar adanya.
*** Malam baru menjelang tiba. Setelah bersantap malam dengan Pelaut
Ompong dan Mayiya, Telaga minta diri untuk beristirahat. Kedua
orang pemilik rumah merasa agak sedikit aneh karena tidak biasanya
Telaga buru-buru minta beradu, biasanya ia malah tidur paling larut
setelah berbicara ngalor-ngidul dengan Pelaut Ompong.
"Kamu ada apa dengan Telaga?" tanya Pelaut Ompong pada cucunya,
Mayiya. "Enggak ada apa-apa, kek. Memang kenapa?" tanya balik Mayiya.
"Itu Telaga, kok masih hari ini sudah minta diri. Tumben." jawab
464 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
sang kakek. "Mungkin ia capek sedari tadi pagi melatih anak-anak muda beladiri,"
tebak Mayiya. Ia baru memperhatikan perubahan kelakuan Telaga
saat kakeknya bertanya. "Ah, mungkin juga," jawab kakeknya. "Kalau begitu, kita istirahat
juga saja." "Iya, kek. Tapi sehabis saya bereskan ini cucian piring dan bekas
makan kita tadi," jawab cucunya.
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Kemudian Mayiya membereskan bekas-bekas makan, di mana sang
kakek tampak mengepul-kepulkan rokoknya menunggu cucunya sele-
sai. Setelah itu mereka berdua pergi tidur. Sang kakek di samping
Telaga dan Mayiya di kamarnya sendiri.
Hari itu bulan benar-benar pada titik terendahnya. Langit benar-
benar gelap. Dan secara kebetulan angin sedang tenang-tenangnya,
membuat malam itu gelap dan lengang.
*** Adalah seorang pemuda yang sedari tadi tidak dapat tidur. Ia me-
nunggu sampai dengkur orang di sebelahnya benar-benar teratur.
Tapi waktu itu tak kunjung tiba. Sang kakek yang tidur di sebe-
lahnya tampak masih bolak-balik mencoba terlelap, mungkin udara
malam tanpa angin membuatnya sedikit kegerahan.
Setelah hampir-hampir tertidur, Telaga mendengar bahwa dengkur
orang di sebelahnya telah teratur. Begitu pula orang lain di ruang se-
belah, Mayiya. Untuk benar-benar meyakinkan ia menunggu sebentar
untuk kemudian mengendap-endap beranjak keluar. Dengan hati-hati
ia melangkah agar jangan sampai menerbitkan bunyi yang dapat mem-
bangunkan kedua orang dalam rumah tersebut.
Akhirnya ia berada di luar rumah. Malam tanpa bulan. Untung
saja masih ada bintang-bintang yang tidak tertutup awan yang mem-
berikan sinarnya untuk menerangi padangan saat itu. Setelah mem-
biasakan matanya pada keadaan yang gelap itu, Telaga pun beranjak
menuju suatu arah. Arah di mana suatu bukit berada, yang di atasnya
terdapat suatu pemakaman kuno.
465 Agak sulit Telaga berjalan terseok-seok akibat gelapnya malam. Ham-
pir ia terjatuh pada suatu parit di luar desa. Untung saja re"eknya
bagus sehingga dapat segera menarik kakinya dan mencari pijakan
lain. Jika tidak, bisa memar-memar ia terhantam pinggiran parit yang
terbuat dari tanah dan batu.
Setelah berjalan beberapa saat, tahulah Telaga bahwa ia telah ter-
sasar. Akibat parit tadi ia jadi kehilangan konsentrasi untuk memper-
hatikan arah ke mana ia harus berjalan. Dan tiba-tiba awan menutup
langit sehingga ia sama-sekali buta dalam kegelapan malam.
Berdebar-debar jantung Telaga. Ia memikirkan apa yang harusnya
ia lakukan. Menunggu awan menghilang atau menyalakan obor yang
ia bawa. Kemungkinan kedua dapat menyebabkannya terlihat oleh
orang yang berjaga. Kemungkinan pertama bisa lama datangnya, dan
ia tidak tahu apakah orang yang menantinya di pemakaman kuno di
atas bukit itu akan selalu berada di sana atau tidak.
Sebelum ia sempat menyalakan obornya, tiba-tiba terdengar suara
lirih yang hampir-hampir tidak terdengar bila tidak memiliki penden-
garan yang tajam. "Jangan nyalakan api, ikuti arah berlawanan dengan deburan ombak.
Bukit ada di sana..."
Merinding sedikit buluk kuduk Telaga. Orang yang menantinya telah
tahu ia kesasar dan memberi petunjuk.
Hening. Setelah rasa terkejutnya pulih, ia pun mengikuti petunjuk orang terse-
but. Perlahan mendengarkan dengan baik dari mana bunyi ombak
berdebur. Setelah yakin, ia pun mengambil arah berlawanan. Perla-
han, meraba-raba sana-sini.
Akhirnya saat ia tersandung sebuah batu setelah merambah agak
menanjak, awan pun tertiup angin sehingga bintang-bintang kembali
menampakkan sinarnya. Telaga kemudian memperhatikan batu yang
membuatnya tersandung, segera ia melihat bahwa itu adalah sebuah
batu nisan tua. Ia sudah hampir berada di sana. Pemakaman kuno di atas bukit
466 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
terlihat hanya beberapa tombak lagi jauhnya. Nisan yang tersandung
oleh kakinya rupanya tergeletak agak jauh dari lokasi pemakaman itu.
Beberapa langkah kemudian di tempuhnya. Sekarang ia telah berada
di sana. Di tengah-tengah pemakaman kuno, tempat yang sering ia
gunakan untuk melatih Wassa. Suasana tampak lengang. Tak ada se-
orang pun kecuali dirinya. Juga tak tampak orang yang membisikanya
tadi. Sepi. Dan Telaga pun menunggu dalam kesunyian.
Telaga telah berada cukup lama di pemakaman kuno di atas bukit
tersebut. Sunyi. Kecuali dirinya ia tidak merasa ada siapa-siapa di
sana. Sendiri. Satu, dua, tiga kali waktu yang cukup untuk menanak nasi telah lewat,
akan tetapi tidak ada suatu pun terjadi. Sedikit gelisah ia menunggu.
Suasana yang terlalu sepi, kecuali deburan ombak di kejauhan serta
gemerisik angin membelai daun-daun nyiur ang melambai, membuat-
nya sedikit tidak tenang.
Tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang menusuk mengembang.
Hawa dingin yang sekali dua kali pernah dirasakannya saat ia masih
menuntut ilmu pada kedua orang tuanya di Pulau Tengah Danau
di Gunung Berdanau Berpulau. Suatu hawa dingin yang umumnya
dimiliki oleh mahluk-makhluk yang memiliki Tenaga Air secara alami.
Jenis tenaga dalam seperti yang dilatihnya.
Hawa tersebut bertambah kuat semakin lama. Tak terasa tubuh
Telaga menjadi menggigil. Mau tak mau ia harus mengerahkan tenaga
dalamnya, merapalkan Tenaga Air, mengalirkan hawa hangat yang
berputar perlahan dalam tubuhnya untuk mengimbangi hawa dingin
tak wajar yang ia rasakan.
Setelah ia merasa sedikit nyaman, mulai Telaga mencoba-coba un-
tuk memperhatikan, lebih tepatnya merasakan apa atau siapa yang
menjadi sumber dari hawa dingin tersebut. Dengan berkonsentrasi ia
mulai "membaca" dari arah mana datangnya hawa tak wajar itu.
Serangkum aliran hawa dirasakannya berasal dari muka, menjurus ke
sebuah pohon besar yang berdiri dengan angker di tengah kegelapan
467 malam yang hanya dihiasi oleh bintang-bintang. Dengan perlahan dan
hati-hati Telaga beranjak ke sana.
Belum belasan langkah ia melangkah, dan masih sejarah dua tombak
dari tempat yang diduganya terdapat apa atau siapa penyebab hawa
dingin tersebut, aliran hawa itu tiba-tiba hilang. Dan udara malam


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali terasa seperti sebelumnya.
Sebelum Telaga sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba serangkum ali-
ran hawa kembali dirasakannya, kali ini dari arah kirinya. Menyambar
dengan lembut, dingin, dan perlahan-lahan semakin kuat intensitas-
nya. Membuatnya kali ini menjadi lebih menggigil dari sebelumnya.
Untuk itu bahkan ia sampai perlu memejamkan mata untuk berkon-
sentrasi menghalau hawa tersebut.
Akan tetapi saat ia kembali memburu arah datangnya hawa tersebut,
kembali keberadaannya menghilang dari pengamatan Telaga. Sunyi.
Udara malam kembali terasa "hangat" seperti semula.
Tak perlu waktu lama berlalu kali ini kembali datang "serangan" dari
arah yang berbeda. Dan kembali berlaku hal yang sama, menghi-
lang saat Telaga telah berhasil mengatasinya dan mencoba untuk
mencari sumber dari hawa tersebut. Berkali-kali, dan juga kembali
datang rangkuman hawa dingin dari arah yang sebelumnya telah
datang. Akhirnya Telaga menyadari bahwa seseorang atau pun sesu-
atu mungkin sedang "menguji" dirinya.
"Maaf, bila saya Telaga mengganggu ketengangan ki sanak," ucapnya
pelan dan menghormat ke pada kegelapan di sekelilingnya, sambil tak
lupa mengedarkan pandangan ke segala arah.
Hening tak ada jawaban. Tapi tak lagi datang rangkuman hawa dingin
untuk beberapa saat. "Bilakah ki sanak akan memunculkan diri?" ucapnya lagi, kali ini den-
gan dada agak berdebar-debar, menduga-duga apa atau bagaimana
wujud dari sosok yang bisa membangkitkan hawa dingin sekuat itu
dari jarah yang tidak dapat dirasakannya.
Kembali hening. Tiba-tiba seberkas angin menyambar perlahan dari belakangnya. Se-
468 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
cara re"ek Telaga berbalik, menghindar karena menyangka dirinya
diserang. Dan di depannya, di udara, mengambang sebuah kain lusuh
terlipat. Tampak di salah satu ujungnya corak-corak seperti tulisan.
Ia menggapai kain lusuh tersebut, yang segera jatuh lunglai di telapak
tangannya. Suatu demonstrasi pengendalian tenaga dalam dari jauh
yang mengagumkan. Mengirimkannya hampir tanpa suara, mena-
hannya bertahan di udara dan melepaskannya terjatuh dalam tangan
Telaga tanpa menyakiti pemuda itu. Pengendalian tenaga yang men-
gagumkan. "Baca baik-baik pesan yang tertulis di sana. Kita akan bersua lagi
nanti..," suatu suara lirih terdengar samar-samar, pelan, tapi jelas.
Suara yang sama, yang memberinya tadi petunjuk saat ia tersesat
dalam perjalanan menuju pemakaman kuno ini.
Setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada apa-apa lagi, hawa
dingin yang menyerang ataupun suara lirih yang memberikan petun-
juk, Telaga pun beranjak dari sana kembali ke rumah Pelaut Ompong
dan Mayiya. Hari pun sudah mulai mendekati fajar, ia harus cepat-
cepat pulang atau nanti akan memperoleh hujan pertanyaan menge-
nai kepergiannya yang diam-diam ini pada malam hari. Sesuatu yang
agak sulit dijelaskkanny kepada kedua orang yang telah amat baik
menampungnya dalam rumah mereka.
*** Sinar matahari yang telah cukup tinggi, yang menerobos masuk ke
dalam jendela ruangan itu, mengusik seorang pemuda yang sedang
terlelap. Perlahan ia terbangun dan tampak berusaha mengingat-
ingat sesuatu. Jelas tampak dalam raut wajahnya bahwa ia masih
bingung di mana ia sekarang berada.
"Desa Terapung...," tiba-tiba kata itu terucap oleh mulutnya.
Ya, itu kata-kata yang diucapkan oleh seorang gadis yang kemarin
memberinya makan dan juga mengawasinya. Merawatnya dan mem-
berikan apa-apa keperluannya. Ia tidak begitu ingat. Saat itu tubuh-
nya masih lemah dan istirahatlah hanya hal yang dapat dilakukannya.
Dan itu pula yang diperintahkan oleh gadis itu.
469 Sekarang ia telah merasa lebih sehat tubuhnya. Minuman dan
makanan yang disuguhkan kepadanya telah memulihkan tubuh sang
pemuda yang lelah dan lemas akibat dihantam badai serta angin,
sebelum ia ditemukan oleh seseorang di laut sana. Kapan dan
bagaimana ia ditemukan pun ia belum tahu. Akan ia tanyakan nanti
kepada orang-orang yang membawanya ke sini. Ke tempat yang ia
tahu hanyalah dari nama yang disebut oleh gadis itu, Desa Terapung.
Ia pun kemudian berusaha menggerak-gerakkan tubuhnya. Kaku
masih, mungkin akibat terlalu lama tidur setelah memakan penganan
yang diberikan. Tapi ia merasa dirinya lebih segar dan bertenaga,
tidak seperti saat ia pertama kali sadar. Terasa benar lemasnya.
Setelah mencoba dan yakin bahwa ia benar-benar kuat untuk berdiri
dan berjalan-jalan, pemuda itu bergerak ke sana-ke mari dalam ruan-
gan. Melemas-lemaskan kaki dan tangannya. Tak lama mulailah ia
bosan dan ingin keluar untuk melihat-lihat.
Dibukanya pintu kamar tempat ia selama ini tinggal. Pintu yang
terbuat dari kayu sederhana akan tetapi rapih pengerjaannya. Tak
berbunyi. Menandakan yang membuatnya benar-benar memahami
cara membuat pintu dan engsel yang baik.
Sekarang tampak di depannya, sejauh mata memandang bangunan-
bangunan kayu yang bersebaran di atas lantai yang juga terbuat dari
kayu. Bentuknya yang kotak-kotak sederhana dan berwarna murni
kayu, dengan dihiasi sedikit daun-daun kering dan jala-jala, menya-
jikan nuansa yang belum pernah dilihat pemuda itu sebelumnya.
Perlahan ia mulai berjalan ke suatu arah. Sampai saat itu belum
ditemuinya seorang pun. Ia pun kembali berjalan ke arah tersebut.
Menyusuri jalan di antara bangunan-bangunan kayu tersebut. Jalan
yang juga terbuat dari kayu. Semuanya serba kayu.
Akhirnya ia sampai di ujung jalan itu. Membentang di hadapannya
tampak air. Laut. Merebak sejauh mata memandang air lautan yang
saat itu hanya berombak perlahan. Pertemuan antara "daratan" tem-
pat ia berdiri dengan air di hadapannya, hanyalah berupa pinggiran
kayu yang dipahat miring dan ujungnya terendam dalam air. De-
buran ombak perlahan menyembunyikan dan memperlihatkan secara
berganti-ganti ujung dari "pantai kayu" tersebut. Terkagum-kagum
470 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
pemuda itu menyaksikan "pulau" tempat ia berada saat itu.
Saat ia tenggelam dalam lamunannya menikmati tempat tersebut,
tiba-tiba sebuah lengan menepuk bahunya. Kaget pemuda itu karena
kedatangan orang itu benar-benar tidak dapat dirasakannya. Memang
benar-benar orang itu dapat menghilangkan keberadaannya, atau ia
saja yang sedang melamun mengagumi keindahan dari tempat terse-
but. Orang yang menepuknya hanya tesenyum melihat kekagetan sang pe-
muda. Lalu dengan isyarat tangannya ia meminta maaf telah men-
gagetkan. Lalu ia menunjuk ke satu arah di mana dari sana terdengar
bunyi-bunyian dan tampak bahwa terdapat banyak orang berkeru-
mun. Rupanya di sanalah orang-orang berada sehingga sedari tadi
pemuda itu tidak berjumpa dengan siapa-siapa. Dengan mengikuti
orang yang menepuknya tadi pemuda itu pun beranjak ke sana menuju
orang-orang yang sedang berkumpul.
Di sana, di tengah-tengah orang yang membentuk setengah lingkaran,
tampak sebuah mayat yang telah dibungkus dengan kain dan dima-
sukkan ke dalam kotak kayu berbentuk perahu. Peti mati bentuk khas
Desa Terapung. Di sana tampak pula gadis yang memberinya makan.
Ia berdiri bersama dengan orang-orang lain memperhatikan seorang
dengan rambut dan jenggot yang panjang, yang tampaknya sedang
memimpin upaca pemakaman tersebut.
Orang tua berjenggot dan berambut panjang yang duduk dekat mayat
yang akan disemayamkan itu tampak menggerak-gerakkan tangannya.
Kadang ke atas kadang ke bawah, lalu juga menunjuk ke arah orang-
orang dan juga ke arah yang telah wafat. Mengangguk-angguk orang-
orang yang "mendengarkan" wejangannya tersebut. Lalu setelah diam
sesaat ia kembali menggerak-gerakkan tangannya. Dan akhirnya mem-
persilakan dua orang untuk menutup peti mati itu dan mengikatnya
erat-erat dengan akar-akaran yang telah disediakan. Lalu delapan
orang menggotong peti mati itu, membawanya sampai ke tepi air dan
meluncurkannya ke dalam air.
Berdebur pelan peti itu tampak sebentar terapung. Perlahan-lahan ia
mulai tenggelam dengan mengeluarkan gelembung-gelembung udara.
Kurang dari sepeminum teh, peti itu telah hilang dari pandangan
471 mata. Hanya bayangannya yang terlihat samar-samar di dalam air,
perlahan-lahan semakin kabur dan akhirnya lenyap sama-sekali.
Orang yang mati telah dikuburkan. Dikuburkan dengan peti yang
berat di bawah air. Dibiarkan bersemayam dengan damai di dasar
lautan. Takjub pemuda itu melihat cara penguburan yang belum pernah dili-
hatnya. Ya, mungkin dengan tinggal di atas "pulau" buatan ini, tidak
terdapat cukup tanah untuk mengubur orang yang meninggal. Untuk
itu, laut adalah satu-satunya solusi. Bila sudah tentu tidak dibakar.
Tak berapa lama orang-orang itu pun berbubaran. Tinggal beberapa
orang di antara mereka, termasuk si pemuda, orang yang menepuk
bahunya tadi dan sang gadis yang memberi sang pemuda makan. Ada
juga orang-orang tua dan pemimpin upacara penguburan tadi. Baru
sekarang mereka menyadari kehadiran sang pemuda. Orang yang
membawa pemuda itu tadi ke sana menjelaskan dengan menggerak-
gerakkan tangannya. Sang pemimpin upacara pun mengangguk-
angguk. Lalu seorang dari mereka, yang kelihatannya dituakan, men-
gajak semua masuk ke salah satu bangunan kayu berwarna cerah
tak jauh dari sana. Sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk
pertemuan. Balai desa dari Desa Terapung.
Orang-orang pun duduk melingkar dalam ruangan besar itu. Dari
luar terlihat biasa, ternyata di dalamnya lebih besar dari kelihatan
dari luar. Mungkin dari warna di dalam yang lebih cerah. Pada-
hal warna bangunan tersebut dari luar sudah cerah. Di dinding kayu
yang membatasi ruangan tersebut dengan ruang di luarnya, tampak
beragam hiasan menempel, gambar-gambar dan juga ukiran. Umum-
nya topik-topik yang terkait dengan isi laut dan air. Ada ikan, kapal,
gurita raksasa, ikan paus dan sebagainya.
Tak ada kata-kata yang terucap. Pemuda itu, orang yang disela-
matkan dari amukan badai, mulai bertanya-tanya, mengapa sedari
ia datang, hanya dengan sang gadis ia berbicara. Dengan orang yang
tadi menepuk bahunya pun ia tidak bertukar kata. Tapi ia mengerti
kira-kira apa yang akan diungkapkan. Dan dalam pertemuan ini se-
makin besar tanda-tanya dalam dirinya. Benar-benar tak ada suara
yang terucap, masing-masing orang hanya menggerak-gerakkan kedua
472 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
tangannya ke sana-ke mari disertai mimik dan juga perubahan kernyit
wajah. Salah seorang dari mereka menepuk tangannya dan menunjuk pada
sang gadis. Orang yang ditunjuk mengerti. Ia mengangguk dan be-
rangsur bangkit, dan menempatkan dirinya di samping pemuda, ke
tempat yang segera diberikan oleh orang-orang yang tadinya duduk
bersisian dengan sang pemuda.
Gadis tersebut tersenyum padanya. Setelah mengangguk kepada
orang tua-tua yang ada di sekitarnya, ia kemudian mulai membuka
percakapan. "Siapa namamu?" tanyanya ramah.
"Saya bernama Mayayo," jawabnya. Senang rasanya ada yang bisa
diajak berbicara. "Saya Akanamia," jawab gadis itu. Lalu ia memperkenalkan masing-
masing tetua dan juga orang yang tadi memimpin upacara. Se-
mua orang disebutkan namanya oleh gadis itu. Jumlah nama yang
tidak akan diingat oleh Mayayo dalam sekali temu itu. Tapi tam-
paknya mereka tidak terlalu ambil pusing, tersenyum saat namanya
disebutkan dan menepuk dada kiri mereka dengan telapak tangan
masing-masing. Mayayo pun mengikuti apa yang mereka lakukan. Mungkin itu salam
untuk di antara orang-orang ini.
Lalu seorang dari mereka, orang yang sudah terlihat cukup tua, maju
dan bercerita menggunakan gerak-gerak tangannya dan mimik muka
yang berubah-ubah. Akanamia dengan perlahan mengucapkan apa-
apa yang diceritakan oleh orang tua yang bercerita tersebut. Rupa-
nya itu adalah budaya menceritakan sejarah kepada orang baru yang
singgah di tengah komunitas mereka. Bila tidak ada orang baru, kebi-
asaan ini pun tetap dilakukan, dengan pendengar orang-orang sendiri.
Dengan cara ini cerita mengenai mereka dan leluhurnya tidak hilang.
Mereka rupanya dalah orang-orang yang tidak dapat berbicara, seba-
gian dari Suku Pelaut yang sering disebut Suku Pelaut Sunyi. Sunyi
karena tiada percakapan selain gerak-gerak tangan mereka Kesun-
473 yian yang diperoleh akibat suatu dan lain hal terkait dengan kebi-
asaan mereka yang tinggal seumur hidup mereka di atas laut dan
tidak berkawin-campur dengan suku-suku lain sehingga variasi gen
mereka tidak terlalu kaya. Tapi di luar kekurangan mereka itu, mereka
memiliki kelebihan, yaitu dapat berkomunikasi dengan makhluk air
melalu pikiran, yang membuat mereka mudah untuk memanen hasil
laut berupa ikan dan tumbuh-tumbuhan. Selain itu terdapat pula,
berkaitan dengan tempat mereka tinggal, kepandaian mengendalikan
Tenaga Air dengan lebih alami karena cocok dengan susunan aliran
hawa yang membuat mereka tidak bisa berbicara tersebut.
Mengangguk-angguk Mayayo mendengarkan penjelasan itu. Kakeknya,
Pelaut Ompong, pernah bercerita adanya orang-orang yang hidup se-
lamanya di atas air. Mereka-mereka itu disebut sebagai Suku Pelaut.
Tapi belum pernah ia mendengar cerita bahwa ada Suku Pelaut Sunyi,
bagian dari Suku Pelaut yang tidak bisa berbicara akan tetapi mahir
Tenaga Air dan bisa berkomunikasi dengan makhluk-makhluk dalam
laut. Setelah cerita itu selesai, Mayayo diminta Akanamia untuk bercerita
tentang dirinya. Sudah tentu atas permintaan orang tua-tua tersebut.
Dengan perlahan Mayayo menceritakan perihal dirinya dan mengapa
ia sampai teramuk badai. Kali ini Akanamia tidak "menerjemahkan",
rupanya orang-orang itu hanya tidak bisa berbicara, tapi mereka dapat
mendengar dengan baik. Tak lupa setelah cerita Mayayo habis, beberapa dari mereka menga-
jukan pertanyaan ini-itu kepadanya. Sudah tentu dilakukan melalui
perantaraan Akanamia. Cukup sulit juga ternyata kegiatan itu, terli-
hat bahwa kadang-kadang Akanamia bertanya balik dengan menggerak-
gerakkan tangannya. Untung saja tidak ada pertanyaan aneh-aneh
yang diajukan. Akhirnya selesai juga pertemuan itu. Orang-orang
pun berbubaran. Dua orang menghampiri Mayayo. Satu adalah Akanamia dan seo-
rang lagi seorang tua, yang dikenalkan sebagai kakeknya tadi oleh
gadis tersebut. Mayayo kemudian berterima kasih kepada kedua orang
tersebut setelah mendengar bahwa mereka yang pertama menemukan
dirinya dan memanggil rekan-rekan mereka untuk membawanya ke
Desa Terapung, berikut pula perahunya.
474 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
"Mari kita makan siang!" ajak Akanamia setelah kakeknya memberi
isyarat kepadanya. Mayayo mengangguk dan berjalan mengikut kedua orang itu. Kembali
menyusuri lorong-lorong di antara bangunan kayu yang "tumbuh" di
atas tanah berupa papan-papan kayu.
*** Ikan bakar, sayur-sayuran hasil bercocok tanpa atau dengan sedikit
tanah, dan bubur rebusan tulang dan sumsum ikan besar adalah menu


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makan siang itu. Tiga orang itu tampak mengelilingi hidangan yang
disajikan dalam piring dan mangkok yang terbuat dari kayu dan per-
abotan dari tulang ikan. Lahap ketiganya menyantap apa-apa yang ada. Tidak terdengar per-
cakapan kecuali kunyahan samar-samar. Begitulah makan yang baik.
Berkonsentrasi, menyerap kenikmatan yang hanya sejengkal usianya,
dari ujung bibir, dibaui hidung, sampai akhir lidah. Setelah itu tak
ada lagi perbedaan rasa makanan yang hambar ataupun nikmat. Bila
menyadari, proses memakan hidangan akan menjadi lebih sakral dan
khidmat. Akanamia dan kakeknya tak lupa menjelaskan bagaimana makanan-
makanan itu disiapkan. Sang kakek dengan gerakan-gerakan tan-
gannya, yang kemudian dijelaskan dengan ucapan oleh cucunya,
Akanamia. Mayayo mengangguk-angguk mendengarkan. Sebagai
seorang nelayan ia telah banyak berkecimpung di laut dan makan-
makanan ikan, tapi apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang Suku
Pelaut ini, menambah sedikit-banyak pengetahuannya. Cara memasak
yang lebih hemat energi, cara mengawetkan ikan yang lebih baik dan
memanfaatkan tulang-tulang ikan untuk perabot makan dan lain-
nya. Bagi Suku Pelaut, pergi ke darat untuk mencari bahan-bahan
dasar untuk perabot amat jarang dilakukan. Begitu kebiasaan leluhur
mereka, begitu pula yang mereka lakukan tanpa banyak bertanya-
tanya. Suatu kearifan orang-orang yang sederhana.
"Apakah engkau telah beristri?" tanya sang kakek itu setelah makan
siang mereka selesai. Suatu pertanyaan yang diterjemahkan dengan
muka merah padam oleh Akanamia, cucunya.
475 "Belum!" jawab Mayayo pendek. Nalurinya mengatakan ada yang
"tidak beres" dengan pertanyaan ini. Orang yang baru kenal, memi-
liki cucu yang telah dewasa dan cantik, dan mengajukan pertanyaan
seperti itu kepadanya. "Bagus!!" ucap kakek itu kemudian. Untuk kata-kata pendek seperti
"ya", "tidak", "bagus" dan "jelek" Mayayo telah diajari dan den-
gan cepat mengerti. Bahasa isyarat yang diajarkan tidak terlau sulit,
hanya saja kembangannya yang banyak dan gerakannya yang cepat
membuatnya tidak dengan mudah dapat mengikutinya.
"Akanamia juga belum," ucap kakek itu kemudian melalui peran-
taraan mulut kakeknya. Merahnya wajah sang cucu menjadi semakin
jelas. Bila bisa terbakar, mungkin sudah terbakar wajah itu. Sudah
memerah bahkan sampai ke lehernya yang putih dan jenjang. Ia sudah
bisa merasakan ke mana akan arah pembicaraan ini selanjutnya.
Hening mengisi sesaat waktu di antara mereka. Kakek Akanamia yang
telah banyak makan asam garam dunia masih menjajagi tanggapan
Mayayo atas pernyataannya. Ia melihat sedikit banyak bahwa cucunya
tertarik pada pemuda itu. Dan sekarang ia ingin tahu apakah terdapat
juga hal yang sama dari pemuda itu kepada cucunya. Bila ya, amatlah
menggembirakan karena ia juga suka akan sikap pemuda itu yang baik
menurut pandangannya. "Aku ingin menjodohkan cucuku dengan dirimu, Mayayo!" ucap kakek
itu. Akanamia, sang cucu yang menjadi penerjemah sudah tentu
menjadi kikuk sekali. Hampir-hampir ia salah menyampaikan pe-
san kakeknya. Sempat ia ditepuk oleh kakeknya pelan, yang tampak
senyam-senyum kecil. Bengon Mayayo mendengar itu. Ia telah dapat menduga hal ini, tapi
terjadi banyak hal dalam beberapa hari belakangan ini. Ia terkena
hantaman badai, tidak tahu berada di mana. Harus juga ia segera
pulang, atau kakeknya dan adiknya kuatir, sedangkan ia belum tahu
jalan pulang. Di luar itu ia malah ditawarkan untuk dijodohkan den-
gan cucu kakek yang duduk di hadapannya ini. Cucu yang mener-
jemahkan pesan-pesan sang kakek yang hanya bisa berisyarat tangan
tapi tak bisa berbicara. "Ini..., aku..., eh..,!!" katanya tak jelas. Sudah tentu kakek itu tahu,
476 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
setelah ia bercerita bahwa ia telah pula tidak berorang tua, dan hanya
berkakek dan beradik. Jadi ia sendiri, sebagai seorang pemuda dewasa
yang menentukan dia siapa ia akan menikah nanti. Tak lagi ada alasan
untuk meminta persetujuan orang lain. Memerah wajah sang pemuda.
Hatinya telah bicara, ia pun tertarik kepada Akanamia. Ya, siapa
tak tertarik pada dara yang ada di depannya ini. Wajah dan cara
berbicaranya yang menawan, juga sikapnya yang tidak dibuat-buat
serta ramah. Tak perlu dua kali setiap pemuda ditawarkan kesem-
patan seperti ini. "Jika engkau tidak suka...!!" kata kakek tersebut dengan gerakan-
gerakan tangannya. Berdebar-debar pula Akanamia saat mener-
jemahkan kalimat ini. Hatinya telah jatuh hati pada sang pemuda,
dan ia tidak ingin mendapat jawaban yang berlawanan dari keinginan
hatinya. "Tidak!! Bukan itu!! Saya suka... Akanamia..," ucap pemuda itu
dengan agak bergetar. Mungkin ia tidak takut badai di lautan, tapi
pengucapan rasa suka terasa lebih berat dari hantaman angin dan
air ke atas diri dan perahunya. Lucu memang, mengucapkan isi hati
kadang-kadang sulit. "Bila demikian, engkau menerima...?" tanya kakek itu kemudian.
Menangguk pemuda itu perlahan. Lalu ia tertunduk. Demikian pula
dengan dara yang duduk di dekat kakeknya itu. Suara tawa kakek
tersebut tanpa nada, hanya udara yang keluar masuk dengan cepat
dari mulutnya menggema lirih-lirih. Senang ia bahwa cucunya men-
dapatkan seorang pemuda seperti Mayayo.
"Tapi saya harus memberitahu dulu kakek dan adikku, tak bisa saya
tiba-tiba membawa Akanamia ke sana..," ucap pemuda itu ragu-ragu.
Ya, amatlah aneh. Ia hilang, terserang badai dan pingsan, tahu-tahu
muncul kembali membawa seorang istri.
"Sudah tentu.., sudah tentu...! Itu bisa diatur. Engkau tinggalkan saja
sesuatu tanda pada Akanamia dan janji akan menjemputnya kembali.
Setelah itu engkau sendiri atau bersama pengantarmu bisa kembali
dan membawanya ke desamu," ucap kakek itu kemudian.
Mengangguk Mayayo mengiyakan. Akanamia memandangnya den-
477 gan tersenyum bahagia. Tak terasa air matanya menetes. Andai ibu
dan ayahnya masih hidup dan dapat melihat ini. Kakeknya kemudian
memegang bahunya sebentar dan mengangguk-angguk puas.
*** Hari-hari pun berlangsung dengan cepat bagi Mayayo di Desa Tera-
pung. Persiapan kepulangannya dan juga untuk memberitahu kelu-
arga akan perjodohannya dengan Akanamia. Tak lupa ia diajari be-
berapa Jurus Air dan juga pengolahan tenaganya, Tenaga Air. Itu
adalah ilmu-ilmu khas yang dimiliki oleh anggota Suku Pelaut. Waktu
beberapa hari itu tak cukup bagi Mayayo kecuali untuk menyerap
dasar-dasar dari kedua ilmu tersebut. Untung saja ada sedikit bakat
dan otaknya yang cerdas, membuat pemuda itu sedikit banyak dapat
mengingat-ingat apa-apa yang telah diajarkan.
"Masih banyak waktu nanti untuk belajar lebih lanjut. Akanamia ke-
lak sebagai istrimu akan dapat mengajarimu setiap hari," ucap kakek
sang dara. Sekarang setelah isi kedua hari muda-mudi itu jelas, tak
lagi jengah Akanamia menerjemahkan isyarat tangan kakeknya kepada
sang pemuda, bahkan dengan muka yang gembira.
Selain itu Mayayo diajarkan pula cara-cara membaca cuaca tidak
hanya dengan memperhatikan panas dinginnya udara, kencangnya
angin serta riak gelombang laut, melainkan juga dengan kelakuan
ikan-ikan di dalam air. Sudah tentu untuk itu ia harus mencelupkan
kepalanya ke dalam air dan mengamati. Berbicara melalui pikiran
tidak mudah diajarkan bagi orang-orang luar yang aliran darah dan
hawanya tidak seperti orang-orang dari Suku Pelaut. Tapi walaupun
demikian kakek Akanamia menjelaskan teorinya kepada Mayayo, kali-
kali pemuda itu dapat merapalkannya.
Tak terasa telah tiba saatnya untuk berpisah sementara. Dua muda-
mudi, Mayayo dan Akanamia, merasa bahwa perpisahan itu akan
berlangsung lama. Suatu hal yang wajar antara dua insan yang sedang
menjalin kasih. Kakek Akanamia hanya memandang kedua insan yang
sedang berbicara itu dengan tersenyum. Ia merasa tenang bahwa cu-
cunya akhirnya memperoleh tambatan hati. Tidak mudah untuk men-
cari pasangan hidup di Desa Terapung untuk masa-masa ini. Orang-
orang telah banyak yang menjadi tua. Anak-anak kecil baru mulai
478 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
belajar berjalan. Tidak ada yang cocok untuk umur cucunya saat ini.
Itulah salah satu kekurangan komunitas yang terpencil. Dengan ke-
beraniannya dan hasil urun rembug, kakek Akanamia menjodohkan
cucunya dengan orang luar. Ini bukanlah suatu kebiasaan koloni itu.
Tapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan melihat jumlah orang
pada umur yang ada sekarang, kebiasaan lama untuk hanya menikah
antar sesama mereka perlu sedikit diperlunak. Perlu ada kesempatan
untuk orang-orang pergi atau masuk. Jika tidak koloni Suku Pelaut
Sunyi akan dapat punah dengan sendirinya.
Sendiri, begitulah yang dirasakan Mayayo saat ini. Baru saja dua
orang dari Suku Pelaut Sunyi mengangatarnya dengan sampan mereka.
Mendampinginya kanan kiri agar perahunya dapat melaju dengan
cepat meninggalkan pulau terapung mereka. Tidak mudah bagi orang
biasa untuk mendekati, masuk atau keluar dari pulau tersebut, Desa
Terapung, tanpa dibekali pengetahuan khusus. Bisa mereka akan
berkeliling-liling saja sampai kecapaian akibat arus putar di bawah
permukaan air yang tidak terlihat. Arus putar yang memang sengaja
dibuat untuk menjaga Desa Terapung dari pendaratan pihak-pihak
yang tidak diinginkan. Setelah lepas dari arus putar tersebut, kedua orang yang berasal dari
Suku Pelaut Sunyi itu melepaskan Mayayo untuk berlayar seorang diri.
Berlayar kembali ke desanya. Bertemu dengan adiknya Mayiya dan
juga kakeknya Pelaut Ompong. Ia membawa kabar yang menggembi-
rakan bahwa ia telah berjodoh dengan seorang dari Suku Pelaut Sunyi,
Akanamia. Seorang dara yang sejak awal pertemuannya dikagumi oleh
pemuda itu. Tak terasa telah lama ia berlayar. Desa terapung telah tidak lagi
terlihat, begitu pula dua orang pengantarnya tadi. Sekarang ia sendiri,
seperti keadaanya beberapa hari yang lalu, sebelum dihantam badai
dan ditemukan oleh Akanamia dan kakeknya.
Masih perlu beberapa waktu lagi sebelum ia tiba di desanya. Tangka-
pan ikan yang hilang akibat dihantam badai telah digantikan dengan
oleh-oleh dari Suku Pelaut Sunyi. Pasti orang-orang di kampungnya
akan senang dengan oleh-oleh ini. Ia harap juga adiknya suka dengan
hias-hiasan dari dasar laut yang merupakan rantaian mutiara yang
khusus diberikan oleh Akanamia untuk calon ipar perempuannya.
479 Angin pun perlahan bertiup kencang dengan riak air yang bersaha-
bat, seakan-akan mengatakan bahwa "Gunakan aku untuk memacu
perahumu melaju ke rumah!" Dengan sigap Mayayo membentangkan
layarnya. Mengarahkan kemudinya ke arah pulang dan perahu pun
melaju dengan lebih cepat.
*** "Baru melaut?" tanya seorang kepada pemuda yang sedang menarik
sampannya, mendaratkannya di atas pasir dan kemudian mengikatnya
pada tonggak-tonggak kayu yang memang disediakan untuk itu.
"Iya!" jawab pemuda itu pendek. Ia tidak kenal orang yang baru
menyapanya itu. Aneh, tidak biasanya ia tidak kenal seseorang yang
berada di pantai dekat dengan desanya. Mungkin tamu orang-orang
desa, pikirnya. Kemudian ia mulai menurunkan muatannya dari dalam
perahu. "Wah, tangkapan yang bagus dan juga hias-hiasan ini. Berdagang
pula rupanya?" ucap orang itu lagi. Kali ini ada sesuatu yang tidak
enak yang terkandung dalam nada bicaranya.
Pemuda yang sedang menurunkan muatan sampannya ke atas pasir,
merasa agak tidak nyaman karena orang tersebut benar-benar mem-
perhatikan satu-satu barang-barang yang dikeluarkannya dari perahu.
Apa orang ini tidak mengerti bahwa itu adalah urusan pribadi, se-
hingga mengamati sampai sedekat itu. Tapi tak lama kemudian se-
muanya jelas, memang ada maksud tidak baik di sana.
"Engkau harus membayar pajak atas barang-barangmu ini!" ucap
orang itu. Kali ini nadanya tidak lagi ramah.
Terkejut pemuda tersebut mendengar hal ini. Sejak kapan ada pa-
jak penangkapan ikan dan penukaran barang-barang di laut. Bila
berdagang di pasar, barulah ada pajak. Itu pun pajak-pajak itu digu-
nakan untuk membersihkan tempat sehabis berdagang dan memper-
baiki gubug-gubug yang digunakan untuk menggelar barang-barang
yang akan dijual. "Sejak kapan ada pajak?" tanya pemuda itu balik. Masih ramah dan
sedikit bingung. 480 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
"Sejak detik ini!" ucap orang itu dengan nada kurang ajar. Sambil tak
lupa ia menyampirkan tangannya ke arah pinggang, di mana sebatang
golok dengan pongahnya bertengger di sana.
Sebelum pemuda itu berpikir untuk bertindak, tiba-tiba datang be-
berapa orang dari arah semak-semak di pinggir pantai. Enam orang
yang segera menghampiri mereka berdua yang baru akan bersitegang.
"Hahahaha!!" ucap seorang dari mereka. "Buat apa lama-lama, jika
tak mau bayar, rampas saja barangnya!" Rupanya mereka adalah te-
man dari orang yang memamerkan goloknya itu. Orang yang ingin
menarik "pajak" atas jerih payah orang dari melaut.
Senyam dan senyum kecongakkan dan tampak mengiasi wajah mereka.
Ciri-ciri orang yang tidak jantang. Mengandalkan jumlah banyak dan
senjata untuk memeras satu orang yang berada di tempat yang sunyi
sehingga tidak bisa meminta bantuan kepada siapa-siapa.
Sang pemuda masih sedikit berpikir, melawan kelihatannya berat,
walau bukan berarti tidak mungkin. Tapi bukan itu yang menjadi
bebannya, melainkan harga diri. Ia tidak suka dilecehkan seperti itu.
Dan sekali hal ini terjadi pada para nelayan, orang-orang ini pasti
akan melanggengkan pemerasan mereka kepada orang-orang lain yang
tinggal di sini. Ini yang ia tidak mau.
"Jadi kalian ini yang disebut orang Bajak Pantai. Para pemeras
nelayan-nelayan yang baru saja melaut?" tanya pemuda itu tanpa
takut sambil memperhatikan satu-satu bakal lawannya dan berpikir-
pikir bagaimana cara melawan mereka tanpa merugikan dirinya. Ia
pernah mendengar soal Bajak Pantai, yang tidak seperti Bajak Laut
yang merampok kapal-kapal, orang-orang ini memeras para nelayan
dan penghuni desa yang tinggal di tepi pantai. Orang-orang yang
tinggal jauh di dari perlindungan para Paturan sehingga tidak bisa
berbuat apa-apa. "Jika engkau sudah tahu siapa kami, bagus itu! Jadi tinggal berikan
saja barang-barangmu," ucap seorang dari mereka yang segera men-
gulurkan tangan hendak mengambil salah satu bungkusan milik si
pemuda. "Nanti dulu!" ucap sang pemuda pelan. Dayungnya telah diayunkan
481 mencegah tangan itu menggapai barang-barang miliknya. Walaupun
digerakkan perlahan tapi dayung itu menimbulkan sedikit angin.
Tenaga kasar yang perlu diperhatikan.
"Jadi engkau ingin melawan?" ucap rekannya yang lain yang diikuti
oleh seluruh kawannya meloncat mundur dan mencabut golok masing-
masing. Sekarang tujuh orang tampak mengelilingi pemuda itu dengan golok
yang terhunus. Tidak ada lagi wajah-wajah ramah palsu yang tadi
disajikan mereka. Sebenarnya mereka tidak ingin beramah-ramah,
melainkan mencoba hanya untuk menghemat tenaga, kalau-kalau


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat memperoleh rampasan tanpa harus mengeluarkan keringat.
Cukup dengan ancaman. Tapi sayangnya tidak berhasil dengan pe-
muda ini. Sekarang mau tidak mau mereka harus berlaga. Selain un-
tuk mendapatkan hasil, perlu pula untuk menjaga keangkeran nama
besar mereka. "Wutttt!!" serangan golok seorang dari mereka dapat dielakkan den-
gan mudah oleh sang pemuda. Sementara bacokan golok yang lain
terpaksa ditangkisnya dengan dayungnya, "Dheggg!!"
Bergetar tangan orang yang goloknya ditangkis, ternyata si pemuda
memiliki tenaga kasar yang cukup besar sehingga dapat dengan mudah
menangkis goloknya serta masih menggetarkan tangannya.
"Wutt!! Plakk!!! Bleggg!!" bertubi-tubi hujan golok dan juga tendan-
gan dijatuhkan oleh para Bajak Pantai kepada si pemuda nelayan itu
yang mengelak, menangkis dan membalas dengan dayung kayunya,
Perkelahian yang jelas-jelas tidak seimbang. Satu lawan tujuh dan
golok lawan dayung. Bisa dipastikan si pemuda tak lama lagi akan
bersimbah darah. Sebaret luka telah diperolehnya saat ia tidak cepat
menghindar sehingga punggungnya kena sabetan golok.
Dengan menggigit bibir pemuda itu memantapkan semangatnya untuk
terus berlaga. Luka yang mulai meneteskan darah dan memberikan
perasaan perih itu coba untuk dia tahan.
"Duggg!!!" dayung sang pemuda memakan salah satu kepala peny-
erangnya yang segera tersuruk ke atas pasir dengan kepala pecah.
Rupanya walaupun tidak bisa bersilat dengan baik, pemuda itu men-
482 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
genal beberapa gerakan yang mengalir dan tak terduga. Ia serang
sana-sini dengan kacau, tapi kadang berurutan dan saling mengejar.
Lawannya yang meremehkan tidak menyangka bahwa dayung tersebut
dapat berbali arah dengan cepat dan menyerang balik dirinya.
"Hati-hati!!" ucap seorang lawannya memperingatkan rekan-rekan
sesama pengeroyok sang pemuda. "Dia bisa juga sedikit-sedikit ilmu
beladiri...!! Kurung rapat!!"
"Telaga, itu Mayayo!" ucap seorang pemuda yang segera berlari-lari
dengan disusul temannya yang dipanggil Telaga tadi.
Kedua pemuda itu segera berlari cepat ke arah batas air dan pantai di
mana pertarungan telah berpindah tempat. Mayayo yang dikeroyok
dengan tubuh terluka sana-sini tampak berdiri dengan air telah meren-
dam kakinya sebatas dengkul, yang terlihat menyulitkannya untuk
mengelak. Tampak di pantai tak jauh dari sana seorang dengan kepala
retak dan permukaan pasir yang memerah di bawah kepalanya tergele-
tak. Di tangannya tampak masih golok tergenggam erat.
Ada enam orang yang mengeroyok Mayayo. Yang dikeroyok sudah
tampak kelelahan. Bibirnya tampak terkatup rapat menahan sakit
akibat luka sabetan golok dan lebam pukulan serta tendangan. Saat
ia melihat kedua orang yang datang, berucap ia "Wassa!!". Tidak
kenal ia pemuda yang datang bersama Wassa. Tapi melihat adanya
bantuan datang, naik kembali semangat bertarugnya.
Demi mendengar bahwa pemuda yang dikeroyok itu adalah Mayayo,
kakak dari Mayiya. Telaga tak terasa tersenyum. Kejadian ini amat
baik untuk menonjolkan kemampuan Wassa yang baru diajarinya dan
juga sebagai kepedulian Wassa kepada orang-orang di desanya. Bisa
jadi hal ini akan menjadi nilai yang baik bagi pemuda itu di mata
kakak dari orang yang dicintainya.
Segera kedua pemuda itu, Wassa dan Telaga, menceburkan diri dalam
pertarungan. Segera jalannya bertarungan berpindah dari tadi berat
ke kekalahan Mayayo menjadi seimbang. Mungkin lebih berat ke ke-
menangan pihak Mayayo andai saja ia tidak terluka dan Telaga tidak
menahan serangannya. Dengan tangan kosong saja kedua pemuda itu dapat menahan seran-
483 gan orang-orang Bajak Pantai yang menggunakan golok, tapi tidak
mendesaknya. Pertarungan pun berjalan sedikit lama dengan ke-
dudukan seimbang. Karena bertangan kosong, kedua pemuda yang
baru datang itu tidak bisa mendesak terlalu dalam orang-orang yang
bersenjatakan golok tersebut.
Lawan dari ketiga pemuda itu, begitu melihat adanya bala ban-
tuan, menjadi kecut hatinya. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk
memeras hanya di tempat yang sunyi. Sekarang hati mereka menjadi
kebat-kebit kalau-kalau orang sekampung akan datang mengeroyok
mereka. Begitulah watak yang pengecut, tidak berbanyak atau bersen-
jata, tak ada keberanian.
Tiba-tiba Telaga berbisik kepada Wassa, "Serang yang jauh darimu
dengan loncatan belakang, ingat gerakan yang aku ajari!".
Menangguk Wassa mendengar petunjuk itu. Dari hasil diskusi mereka
saat berlatih di makam kuno di atas bukit mereka menciptakan gerak-
gerak menyerang yang tak terduga. Menyerang orang yang jauh dan
mengabaikan yang dekat. Sudah tentu Telaga tidak menceritakan se-
jujurnya bahwa ide itu datang dari orang yang ditemuinya seorang diri
di sana. Sesosok wujud yang sama sekali belum dikenalnya. Kepada
Wassa ia hanya mengatakan bahwa ide itu datang dengan memper-
hatikan keteraturan dari pemakaman kuno di atas bukit tersebut.
Dengan mendadak Wassa meloncat mundur saat serangan di sebe-
lah kirinya kosong dan lawan yang dituju sedang menarik goloknya.
Ia menyerang cepat dan mengejar. Lawan itu terkejut karena tak
disangka dirinya yang berdiri paling jauh dari sang pemuda, malah
diserang dan dikejar. Rekannya yang mencoba menyerang, dipapaki
serangannya oleh Telaga. Sebenarnya bila Wassa cukup hati-hati dan
melakukan gerakan dengan tipuan secara tiba-tiba, tak perlu Telaga
membantunya. Ini karena Wassa belum begitu paham gerakan ini se-
hingga perubahan serangannya dapat terbaca oleh rekan sang lawan
yang ditujunya. "Deggg!!!" pukulan Wassa masuk ke dada lawannya tersebut. Dan
selagi lawannya itu terhuyung ke belakang untuk menghindar, Wassa
terus merengsek maju. Ia membungkukkan tubuhnya sehingga ba-
cokan ngawur lawannya yang dilakukan sambil menahan dadanya yang
484 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
sakit lewat di atas kepalanya, lalu menyelinap di bawah tinggi bahu
lawannya, mengait tangan yang tidak memegang golok, memutarnya
dan melakukan bantingan dengan jurus Berkelit Membanting Padi.
Gerakan yang diajarkan Telaga. Suatu ilmu tangan kosong yang diper-
oleh Telaga dari gurunya Arasan.
Akibatnya Bajak Pantai itu terbanting di atas pasir dan pingsang.
Tak bergerak-gerak. Gerakan yang cepat ini juga membungkamkan
mulut rekan-rekannya yang semakin ciut nyalinya. Sudah dua teman
mereka ditumbangkan. Belum lagi jika penduduk kampung datang.
Dengan saling melirik antara mereka, orang-orang Bajak Pantai itu
pun bersuitan dan segera ambil langkah seribu dari tempat itu. Tak
lupa salah seorang dari mereka mengucapkan sumpah serapah dan
juga ancaman kepada ketiga pemuda itu.
Mayayo segera terduduk letih. Dengan dipapah oleh Wassa dan Telaga
ia didudukan di atas pasir, menyandar pada perahunya. Segera Wassa
meminumkan air yang dibawanya di pinggang. Sunyi kemudian di
antara mereka. Sementara kedua lawan mereka, yang satu mati dan
yang satu pingsan, tampak tergeletak tak jauh dari sana.
Sementara itu tampak riuh-rendah di kejauhan. Rupanya selain Wassa
dan Telaga yang melihat dan terjun langsung ke perkelahian itu, ada
pula orang desa lain yang melihat dan segera melaporkan hal ini.
Berbondong-bondong orang dengan tongkat dan golok datang men-
jelang. Tajam juga intuisi para Bajak Pantai, sehingga melihat ke-
dudukan yang tidak seimbang melawan Mayayo, Wassa dan Telaga,
segera mereka mengambil langkah seribu. Jika telat mereka memilih
keputusan itu, bisa jadi mereka sudah berbaring di atas pasir dan
babak-belur dihajar orang-orang desa ini.
*** "Kakak!!" teriak Mayiya saat melihat kakaknya dipapah oleh Telaga
dan Wassa. Menghambur gadis itu dalam rengkuhan kakaknya dan
menangis sesenggukan. Ia tidak menyangka bahwa perkelahian di pan-
tai yang disampaikan oleh seseorang sehingga para pemuda dan laki-
laki bersama-sama ke sana, melibatkan kakaknya. Untung saja tidak
terjadi apa-apa terhadap sang kakak.
"Huss!! Sudahlah adiku, aku tidak apa-apa! Terima kasih pada ke-
485 dua orang ini, terutama Wassa yang sudah membelaku sehingga para
Bajak Pantai itu lari terbirit-birit," katanya sambil menunjuk pada
Telaga dan Wassa. Menangguk dan memandang dengan penuh terima kasih Mayiya
kepada kedua orang ini. Wassa yang dipandang seperti itu menjadi
jengah dan berdebar-debar hatinya.
Segera Mayiya membawa kakaknya ke serambi rumahnya. Di sana
telah berkumpul orang tua-muda yang segera berdatangan serta-merta
mendengar kedatangan Mayayo dan juga perkelahian di pantai terse-
but. Dengan cekakan Mayiya mengobati kakaknya. Membubuhkan
luka sang kakak dengan ramuan dan membalutnya, setelah terlebih
dahulu membersihkannya. Untung saja para Bajak Pantai itu adalah
orang-orang kasar biasa, sehingga golok mereka tidak dibubuhi racun.
Luka yang terkena racun dapat berbahaya sekali.
Tak lupa Mayiya juga menanyakan keadaan Telaga dan Wassa. Telaga
mengatakan ia baik-baik saja, dan menunjuk ke pada Wassa yang ter-
luka ringan. Dengan segera gadis itu mengobati sang pemuda yang
ditunjuk, yang menjadi berdebar-debar dan bergemuruh dadanya saat
gadis itu menyentuh dan mengobati lengannya yang luka tergores
golok. Pelaut Ompong tak ada di tempat. Ia sedang pergi ke desa lain untuk
suatu urusan. Kemudian warga pun bubaran setelah mereka saling
membicangkan soal penyerangan di pantai itu. Rasa-rasa cemas tam-
pak dalam wajah mereka. Bila suatu saat mereka mendapat giliran,
menjadi bahan pikiran masing-masing orang. Ada yang mengusulkan
bahwa masalah ini harus dibicarakan sedesa dan dicarikan pemecahan-
nya. Menangguk-angguk beberapa orang menyetujui usul itu. Dan
dalam waktu dekat rencananya akan diadakah rembug desa untuk
membahas hal ini. Setelah mengucapkan selamat datang dan semoga
cepat sembuh kepada Mayayo, orang-orang pun mulai berpamitan,
kembali ke rumah masing-masing dan meneruskan pekerjaan mereka
yang tadi terhenti. *** Beberapa hari kemudian Pelaut Ompong pun pulang. Dengan gem-
bira ia mendapati bahwa cucu laki-lakinya, Mayayo, telah tiba kembali
486 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
di rumah. Perkara perkelahian di pantai tidak terlalu menyita per-
hatiannya melainkan jauh lebih senang ia mendengar bahwa Mayayo
telah berjodoh dengan Akanamia dari Suku Pelaut. Tak lupa pula
Pelaut Ompong menyampaikan maksud dari Wassa yang ingin mem-
inang Mayiya. Tadinya Wassa bagi Mayayo adalah seorang pemuda
biasa, akan tetapi setelah pemuda itu menolongnya dari serangan para
Bajak Pantai waktu ia baru mendaratkan perahu, pandagangannya
terhadap pemuda itu berubah banyak. Ia kagum akan sikap pemuda
itu. Dengan segera ia menyetujui pinangan Wassa. Hanya waktu
belum ditentukan kapan mereka berdua akan menikah. Mayiya yang
merasa berhutang budi pada Wassa menerima bahwa pemuda itu men-
jadi jodohnya, terlebih setelah mendengar bahwa Telaga yang dikagu-
minya pun sudah bertunangan. Jadilah kebahagiaan pada keluarga
Pelaut Ompong. Kedua cucunya akan segera menikah karena telah
memiliki jodoh masing-masing.
Adapun Telaga setelah orang yang ditunggu-tunggunya tiba, Mayayo,
segera meminta keterngan perihal Suku Pelaut. Awalnya Mayayo
tidak mau banyak bercerita mengingat Suku Pelaut tidak terlalu suka
dikunjungi oleh orang tak dikenal. Akan tetapi mengingat bahwa
Telaga pulalah yang mengajarkan ilmu beladiri kepada Wassa sehingga
pemuda itu dapat menolong dirinya, bercerita pulalah ia. Bahwa Suku
Pelaut umumnya memiliki tempat yang berpindah-pindah, dan ia se-
cara kebetulan dapat bertemu dengan mereka. Ia saja yang telah
berjodoh dengan seorang dari mereka, tidak tahu bagaimana cara men-
cari kediaman mereka. Ia hanya akan berlayar kembali ke tempat ia
terakhir berpisah dari mereka dan menunggu tanda-tanda di sana.
Mendengar itu Telaga pun semakin bersemangat untuk mencari tahu
mengenai Suku Pelaut itu. Ia merasa keterangan lebih lanjut dari
orang-orang di desa itu tidak dapat diperolehnya. Sudah saatnya ia
melanjutkan perjalanan. Mungkin ke desa lain masih di sepanjang
pantai. Jika ada satu hal yang memberatkannya adalah orang yang
mengundangnya ke makam kuno di atas bukit itu. Sampai sekarang
ia belum tahu siapa orang itu dan apa maksudnya. Pelaut Om-
pong dan juga Mayayo tidak bisa memberikan keterangan tambahan,
bahkan setelah Telaga menceritakan perihal pertemuannya dengan
suara tanpa wujud di sana. Keduanya hanya menggeleng-gelengkan
kepala saat ia menceritakan hal itu.
487 Telaga kemudian setelah melihat Mayayo sembuh dan para Bajak
Pantai tidak lagi datang untuk membalaskan kekalahannya, minta
diri. Pemuda dan pemudi yang telah sedikit banyak dilatih beladiri
olehnya merasa cukup kehilangan karena telah tercipta keakraban di
antara mereka. Yang paling merasa kehilangan sudah tentu Wassa.
Ia merasa pemuda itu telah banyak membantunya sehingga ia sampai
bisa merebut hati gadis yang dicintainya.
Dilepas dengan rasa persahabatan Telaga pun berlalu dari desa yang
bernama Tepi Darat Selatan itu. Beberapa orang sahabat telah diper-
olehnya di tempat itu. Tempat yang suatu saat akan dikunjungi kem-
bali. Mungkin. *** "Itu paman! Itu pulau yang diceritakan Telaga, past!" ucap seorang
dara kepada lelaki tua yang menyertainya, yang hanya mengangguk
mengiyakan. Keduanya terdiam saat langkah kaki mereka hampir menyentuh batas
antara darat dan air. Sebuah danau yang luas dan indah, yang di
tengah-tengahnya terdapat sebuah pula. Pulau yang menjadi tujuan
mereka. "Sekarang bagaimana caranya menyeberang ke sana?" tanya orang tua
itu perlahan, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Engkau ada
ide, Sarini?" katanya kemudian kepada dara yang ada di dekatnya.
Dara yang dipanggil Sarini itu hanya menggelengkan kepalanya. Ya, ia
tidak tahu harus bagaimana menyeberang danau itu untuk mencapai
pulau di tengahnya. Terpikir hanya satu jalan, yaitu berenang. Tapi
ia masih ragu-ragu melihat jarak tempuh yang harus dilampauinya
sebelum mereka mencapai pulau di tengah itu. Belum lagi apa-apa
yang hidup di dalam danau itu, yang mungkin dapat menghambat
penyeberangan mereka. "Mari kita kelilingi dulu danau ini, paman Walinggih! Siapa tahu ada
tempat untuk menyeberang," usulnya kemudian.
Orang tua, sang paman Walinggih mengangguk setuju karena ia tidak
ada ide lain yang lebih baik untuk dilakukan.
488 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
Mereka pun mulai menyusuri pantai di tepi bagian luar danau terse-
but. Berjalan agak cepat, dan makin lama makin cepat. Kegembiraan
akan keindahan tempat itu rupanya menulari sang dara dan sang lelaki
tua, sehingga mereka memacu langkah mereka dalam mengelilingi pan-
tai itu. Tak terasa akhirnya mereka tiba di tempat semua.
"Cape paman...., dan itu matahari sudah mulai hilang...," ucap Sarini
sambil menunjuk ke arah barat. Di langit bagian tersebut tampak
sinarnya sudah mulai menguning dan bertambah temaram.
"Lebih baik kita mencari tempat untuk bermalam dulu," ucap Waling-
gih, "kelihatannya kita tidak dapat menyeberang sekarang. Mungkin


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada nelayan atau orang yang suatu saat ingin menyeberang dan kita
dapat meminta tolong."
Seakan-akan tahu kebutuhan mereka tiba-tiba dari arah daratan tam-
pak dua orang berjalan sambil menggotong perahu mereka. Mereka
rupanya ingin mencari ikan di danau itu pada malam hari. Mungkin
ikan-ikan yang hanya muncul dalam gelap, pikir Walinggih.
Segera Walinggin menyapa mereka dan menyatakan maksudnya untuk
minta diseberangkan ke pulau di tengah-tengah danau tersebut.
Kedua orang nelayan yang baru datang itu tampak agak curiga ter-
hadap Walinggih dan Sarini. Hal ini karena jarang sekali ada orang
luar yang berkunjung ke danau itu, apalagi menyeberang ke pulau di
tengahnya. Untuk itu berceritalah Walinggih tentang maksudnya dan
juga perihal Sarini. "Ah, jadi anda berdua ini, tamunya Ki dan Nyi Sura?" ucap seorang
dari mereka. "Baiklah kalau begitu, kami bantu menyeberang."
"Kalian tidak usah kuatir masalah penangkapan ikan, saya akan meng-
ganti ongkos penyeberangan ini," ucap Walinggih ramah. Ia sudah
amat berterima kasih ada yang akan membantunya menyeberang ke
pulau itu. Kedua orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak!! Tidak!!
Kami membantu dengan cuma-cuma. Ketiga orang yang hidup di
tengah pulau itu telah cukup membantu kami. Kami ingin sekali mem-
bantu mereka kembali, dan saat ini adalah kesempatan kami."
489 Mengangguk-angguk Walinggih mendengar itu. Orang-orang desa
yang masih mengingat jasa orang lain dan mau membalas budi. Andai
saja orang-orang kota saat ini juga masih seperti itu, saling tolong-
menolong dan membantu tanpa perhitungan.
Naiklah kemudian mereka berempat di atas sampan itu. Awalnya seo-
rang dari nelayan tersebut agak kuatir perahu mereka akan tenggelam
atau terbalik dikarenakan muatan yang berlebih. Umumnya perahu
mereka hanya kuat mengangkut dua sampai tiga orang. Tapi alangkah
herannya mereka bahwa perahu mereka tidak melesak ke dalam air
seperti perhitungan mereka semula. Yang mereka tidak ketahui adalah
bahwa Walinggih dan Sarini mengerahkan ilmu meringankan tubuh
selama penyeberangan itu sehingga seolah-olah perahu kedua nelayan
itu hanya mendapatkan tambahan bobot dua orang anak kecil saja.
Sembari menyeberang itu berceritalah kedua nelayan tentang peker-
jaan mereka dan ikan apa yang ingin ditangkap mereka hari itu. Dan
benar seperti dugaan Walinggih semula, mereka mencari ikan yang
hanya keluar pada malam hari. Ikan tersebut terutama keluar saat
bulan bersinar. Entah mengapa sinar bulan menarik jenis ikan terse-
but untuk berenang-renang dekat permukaan seperti halnya laron yang
terbang mendekati nyala api. Untuk itu para nelayan akan memasak
jebakan jaring yang membuat ikan tersebut mendekati permukaan
karena sinar bulan, akan tetapi tidak melihat jaring yang dipasangkan.
Suatu perangkap satu arah, ikan dapat masuk tapi tidak lagi dapat
keluar atau berbalik. Kedua penumpang mereka mendengarkan cerita kedua nelayan den-
gan membisu. Samar-samar terdengar suara perut mereka minta diisi.
Keduanya saling memandang dan tersenyum. Nelayan yang bercerita
tidak mendengar karena sendang asiknya mendongeng sedangkan te-
mannya sedang asik mengemudikan perahu yang bergerak perlahan ke
arah pulau karena adanya arus di bawahnya.
*** Tak lama sampailah perahu yang ditumpangi Walinggih dan Sarini ke
pulau di tengah danau itu. Dengan sigap kedua nelayan yang mem-
bawa mereka mendaratkan perahu mereka dan mempersilakan mereka
untuk mendarat. Keduanya sempat menanyakan apakah Walinggih
490 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
dan Sarini ingin diantar kembali ke seberang setelah berjumpa den-
gan Ki dan Nyi Sura, akan tetapi kedua orang itu mengatakan bahwa
waktu untuk itu tidak dapat dipastikan. Kedua nelayan tersebut ke-
mudian mengangguk mengerti.
Lalu kata seorang dari mereka, "Ki dan Nyi Sura pasti juga memi-
liki sampan. Atau jika kalian ingin dijemput, apungkan saja sesuatu
dan sertakan kertas di atasnya. Arus danau ini akan membawanya ke
tempat kami." Menangguk mengiyakan Sarini dan Walinggih, walaupun mereka sebe-
narnya tidak terlalu mengerti bagaimana cara itu bisa menyampaikan
pesan kepada nelayan yang tinggal di pinggir pantai danau itu. Tapi
mereka tidak bertanya lebih lanjut melainkan menyimpannya dalam
hati. Mungkin sebaiknya ditanyakan kepada kedua orang yang akan
mereka temui di pulau itu. Setelah mengucapkan terima kasih, kedua
nelayan itu pun kembali ke air untuk menangkap ikan yang tadinya
merupakan tujuan mereka mendanau.
"Nah, paman.., kita sudah di sini. Ke arah mana kita harus berjalan?"
tanya Sarini kemudian. Walinggih mempelajari dulu rerimbunan yang ada di hadapannya, di
belakang hamparan pasir putih yang sunyi akan tetapi bergemerlap
oleh timpaan sinar bulan. "Mungkin ke sana," tunjuk orang tua itu
pada sebuah jalan setapak yang terlihat samar-samar di balik rerim-
bunan rumput. "Betul, paman! Saya tidak melihatnya tadi. Itu pasti jalan setapak
yang akan membawa kita ke tempat orang tua Telaga," ucap gadis
itu. Tak terasa ada rasa sungkan dan jengah. Ya, bagaimana tidak, ia
akan bertemu dengan orang tua dari pemuda yang akan menikahinya.
Keduanya kemudian beranjak dari sana dan mulai menyusuri jalan
setapak yang mulai tampak ditumbuhi rerumputan sehingga tidak ter-
lalu jelas terlihat. Keadaan jalan itu seakan-akan menceritakan bahwa
ia sudah cukup lama tidak digunakan sehingga rumput-rumputan
memperoleh kesempatan untuk tumbuh dan menghapus jalur-jalur
lindasan kaki yang tadinya ada. Untung tidak terlalu lama, jika tidak,
harusnya Sarini dan Walinggih berjalan sambil membuat jalan setapak
baru. 491 Tak lama kemudian sampailah mereka ke suatu tempat yang agak ter-
buka, tetapi juga telah dipenuhi rerumputan. Di sana berdiri sebuah
saung. Akan tetapi sama dengan kondisi jalan setapak yang baru saja
mereka lewati, kondisinya pun tak terurus. Terlihat telah lama tidak
disentuh oleh tangan manusia yang menggunakannya.
"Paman, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Sarini perlahan, "keli-
hatannya mereka tidak ada di sini?"
"Iya, terlihat seperti sudah lama tidak ada orang di sini," jawab Wal-
inggih mengiyakan. Tapi bila kedua orang yang ingin dikunjungi
mereka tidak berada di tempatnya, mengapa kedua nelayan yang men-
gatakan kenal dengan mereka tidak mengatakan apa-apa tadi. Malah
senang bahwa ia dan Sarini hendak berkunjung ke pulau itu. Piki-
rannya melayang ke mana-mana. Ada yang dirasanya tidak beres dan
telah terjadi di tempat ini.
Tiba-tiba matanya melihat ke sebuah catatan yang terlihat sengaja
disimpan di dinding saung itu. Agak terletak di sebelah dalam, se-
hingga orang yang tidak masuk tidak akan menyadari bahwa ada
catatan di sana. Tidak diambilnya catatan itu melainkan hanya diba-
canya. "Di gua dekat ceruk Sungai Batu Hitam."
Tak ada kata-kata lain. Mungkin pesan yang sengaja ditinggalkan
bagi orang yang sudah tidak asing lagi dengan keadaan tempat ini,
yang tahu di mana itu "Sungai Batu Hitam".
"Mari kita ikuti petunjuk ini," katanya kemudian kepada Sarini yang
setelah diberitahu juga terlihat bingung. Sudah keadaan tempat ini
yang tidak terurus ditambah dengan petunjuk yang asing bagi mereka.
Keduanya pun mulai mencari-cari di mana kiranya dari tempat itu bisa
terdapat sebuah sungai, dan syukur-syukur dekat batu yang berwarna
hitam, sehingga bisa saja adalah sungai yang dimaksud. Setelah lama
mencari-cari, akhirnya gemerik air terdengar samar-samar. Keduanya
pun berjalan ke arah sana dengan ditemani oleh sinar bulan yang
cukup membantu mereka menemukan jalan dalam rerimbunan terse-
but. 492 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
Sebuah ceruk yang digenangi air yang cukup lebar dan berwarna kege-
lapan berada di sana, di bawah sebuah sungai yang sebagian airnya
merembes dan mengalir perlahan ke bawahnya. Sebagian lain men-
galir menuju tempat lain dan menuju danau.
"Jika ceruk ini yang dimaksud dan sungai tersebut, maka guanya be-
rada tak jauh dari ini," ucap Walinggih perlahan.
Sarini mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi matanya belum dapat
menemukan di mana sekiranya sebuah gua dapat berada di tempat itu.
Tiba-tiba serangkum hawa dingin memembelai mereka sehingga
tersentak dan menuju ke suatu arah, di mana dalam arah terse-
but tampak sebuah lubang gelap dalam dinding batu hitam, dengan
gemerlapan kemilau putih samar-samar terpancar dari dalamnya.
Sebuah gua yang memancarkan sedikit sinar temaran dari dalamnya.
"Itu seharusnya gua yang dimaksud dalam pesan itu," ucap Walinggih.
Keduanya pun segera beranjak ke sana.
"Hati-hati, paman!" ucap Sarini saat mereka tiba di muka gua terse-
but. "Benar, kita harus hati-hati!" ucap Walinggih mengiyakan. Ia tidak
tahu siapa yang tadi mengirimkan serangkum hawa dingin sehingga
mereka dapat mengetahui posisi gua ini. Siapapun orang itu, mereka
berdua belum mengetahui maksudnya, tapi yang pasti ilmu kepanda-
iannya tidak boleh dianggap sepele.
Dengan hati-hati mereka masuk ke dalam gua dan melalui beberapa
stalaktit dan staklamit yang hampir membentuk tiang-tiang. Perlahan
mereka menyelinap di antara tiang-tiang batu yang ada dan tetap
hati-hati, sampai akhirnya mereka di suatu ruangan dengan langit-
langit yang lebar dan tinggi. Di sana-sini tampak air perlahan menetes
perlahan, mungkin rembesan air dari sungai yang mengalir di atas gua
batu ini. Di sana ditengah-tengah ruangan yang temaram disinari rerumputan
dan tanaman yang bersinar dalam gelap. Tampak sesosok sedang
duduk di hadapan dua buah gundukan berwarna putih pualam setinggi
dirinya. 493 Perlahan kedua orang itu, Walinggih dan Sarini, mendekati sesosok
yang tampak sedang berkonsentrasi tersebut. Tak berani menganggu,
keduanya pun duduk bersila dalam jarak setombak darinya dan me-
nunggu. Hening sejenak meliputi suasana di sana, menambah intensitas hawa
dingin yang terasa mengisi dengan pekat udara di sekitar mereka.
"Kalian mencari Ki dan Nyi Sura?" tanya orang itu perlahan sambil
membuka matanya. Tampak bola matanya yang tidak seperti biasanya
melainkan berwarna keputihan, seperti kulitnya yang pucat dan ram-
butnya yang seluruhnya telah memutih.
"Ya, kami mencari mereka. Bisa tolong tunjukkan di mana mereka
berada?" tanya Walinggih dengan sopan.
Orang itu dengan raut muka sedih menunjuk kepada kedua gundukan
berwarna putih yang "duduk" di hadapannya.
"Ini.... mereke!!!" ucap Sarini yang tidak dapat menahan keterkejutan-
nya demi melihat bahwa di balik pualam putih, yang ternyata adalah
es, tampak samar-samar wajah seorang manusia. Dua buah manusia
yang telah membeku. Ki dan Nyi Sura.
"Engkau yang membuat mereka demikian?"" ucap Walinggih yang
segera siapa dengan gerakan siap mencabut pedang panjangnya.
Walaupun ia tahu orang dengan kemampuan yang dapat membuat
orang membeku seperti itu adalah di atas kemampuan dirinya dan
Sarini. "Aku adalah sahabat mereka...," ucapnya perlahan, "aku melakukan
ini untuk mencegah mereka terluka lebih parah."
"Terluka" Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Walinggih yang
sikapnya kemudian melunak demi mendengar jawaban yang jujur dari
orang tersebut. Tak tersembunyi kepura-puraan dari cara orang itu
berbicara dan mejawab pertanyaannya tadi.
"Mereka sedang melatih Tenaga Air tingkat tertentu, di mana mereka
harus membolak-balik aliran darah mereka untuk menerobos titik-titik
yang tersumbat. Tapi sayangnya terdapat kesalahan sehingga mereka
terluka," jelas orang itu. Lalu lanjutnya, "pada saat-saat itu kebetulan
494 BAGIAN 8. MENARI BERSAMA AIR
aku kembali dan menemukan mereka dalam keadaan terluka dengan
jalan darah terbalik-balik. Dengan membekukan mereka, untuk se-
mentara mereka berada dalam keadaan aman. Tapi perlu dicari orang
yang dapat mengobati mereka."
Walinggih dan Sarini mendengarkan penjalasan itu dengan penuh per-
hatian. Tak disangkanya kedua orang yang membeku tersebut sedang
ditolong oleh sang sosok yang hampir berwarna seluruh tubunya
keputihan tersebut. Lalu setelah ditanya, Walinggih dan Sarini pun menjelaskan maksud
kedatangan mereka untuk bertemu dengan Ki dan Nyi Sura. Tersung-
ging senyum di wajah pucat orang itu demi mendengar kabar gembira
yang dibawa oleh kedua pengunjung itu.
Lalu katanya, "Ah, kalian membawa kabar baik. Tentunya kedua saha-
Duel Di Butong 3 Pedang Siluman Darah 28 Runtuhnya Samurai Iblis Golok Sakti 1
^