Elemen Kekosongan 4
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen Bagian 4
membuat keadaan tenang tanpa pertentangan akan tetapi bisa jadi su-
atu saat kehausdarahannya akan memakan korban yang tak bersalah.
Orang yang terkena "tnah misalnya. Tapi tak ada balasan atau pun
upaya dari pemerintah pusat mengenai hal itu.
Oleh sebab itu cemaslah penduduk Desa Batu Timur yang menemukan
jenasah Ki Rontok yang adalah warga Desa Batu Barat. Ini bisa jad
merupakan upaya untuk menyulut pertentangan. Bila terjadi perten-
tangan dan terdengar oleh Hakim Haus Darah, sudah pasti akan ada
pembantaian. Terlepas dari siapa yang bersalah, sudah pasti fatal
akibatnya dari kedua belah pihak.
*** Penduduk Desa Batu Timur pun berkumpul di pendopo desa mereka.
Di tengahnya berbaring tubuh kaku Ki Rontok. Seorang pedagang
dari Desa Batu Barat. Cemas-cemas tertampak dari wajah-wajah
mereka. Ujung-ujung dari peristiwa ini yang akan menjadi masalah
bagi mereka. "Bagaimana ini, kepala desa?" tanya seorang warga.
"Lebih baik kita urus secara kekeluargaan dengan Desa Batu Barat,
sebelum Walinggih mendengarnya," usul seseorang.
Beberapa mengangguk-angguk mengiyakan. Alternatif itu lebih baik.
146 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Jika orang-orang Desa Batu Barat mau menerima hal ini dan tidak
mempersoalkan, akan selesai masalah. Tidak ada korban dari Waling-
gih, si Hakim Haus Darah. Akan tetapi siapa pelaku dari pembunuhan
ini, perlu pula diusut. "Ada yang bisa menceritakan, bagaimana kejadian sebenarnya?"
tanya seorang tua-tua sambil menatap berkeliling.
Rombongan gadis-gadis yang tadi saat mencuci dan mandi di Danau
Genangan Batu menemukan jenasah Ki Rontok saling dorong-mendorong.
Sampai akhirnya terdorong ke tengah Sarini, gadis yang tadi tidak
ikut mandi. Setelah tak mungkin mungkir sebagai wakil dari saksi
mata, berceritalah Sarini tentang apa yang ia dan kawan-kawannya
tadi lihat. Bagaimana mayat itu mulai mengapung dan ditemukan
oleh mereka-mereka yang berenang-renang agak ke tengah.
Salah seorang dari ketiga orang yang dilihat Telaga tadi maju dan
memeriksa korban. Kehadirannya tidak terlalu diperhatikan oleh para
warga desa yang sedang tegang itu. Mereka masih membayangkan
siapa yang akan nanti jadi sasaran dari Hakim Haus Darah. Kemu-
dian kata orang itu setelah memeriksa, "lihat seperti ada bekas poton-
gan dan kemudian dijahit kembali..!" katanya sambil menunjuk pada
jenasah Ki Rontok yang telah dibuka bajunya.
Dan memang benar, seperti ditunjukkannya, bahwa dari ujung kepala
sampai ke dada, terdapat suatu celah, seakan-akan Ki Rontok pernah
dibelah dan direkatkan kembali.
"Mirip Potongan Simetris dari Hakim Haus Darah," gumam seorang
takut-takut. Berapa suara-suara lain pun mengiyakan.
"Jika demikian pasti Hakim Haus Darah pelakunya," ucap seorang.
Ucapan itu bagai hantu yang lewat di siang bolong. Suasana pun
menjadi sunyi menakutkan. Seakan-akan sang Hakim Haus Darah
ada sendiri di sana dan mendengarkan ucapan itu.
Bingunglah warga Desa Batu Timur mendengar ungkapan itu dan
juga kenyataan bahwa Ki Rontok mati mengenaskan akibat Potongan
Simetris. Sebuah jurus yang hanya dimiliki oleh Hakim Haus Darah,
147 sejauh pengetahuan penduduk desa itu. Bagaimana ini dapat terjadi"
Biasanya Hakim Haus Darah akan turun tangan bila terlebih dulu ada
kon"ik, di mana kon"ik itu telah berlarut-larut sehingga menimbulkan
pertempuran di antara dua desa. Saat itulah ia turun tangan. Tak
pandang bulu. Semua pelaku pertempuran akan dibantainya habis
dan dipotong masing-masing setiap orang menjadi dua bagian.
Jika sekarang Hakim Haus Darah sudah membunuh orang tanpa ter-
lebih dahulu adanya kon"ik yang berwujud pertempuran, semakin
merinding orang-orang Desa Batu Timur. Mereka membayangkan
bahwa kapan saja mereka dapat dibantai oleh sang hakim tanpa perlu
alasan yang jelas. Seperti halnya Ki Rontok, tak jelas alasannya, tahu-
tahu sudah terbujur kaku di dalam danau.
Melihat orang-orang desa yang terdiam seribu bahasa, seorang yang
agak tua tapi berwibawa angkat bicara, "warga desa yang terhormat,
perkenalkan kami... Kami adalah tiga orang utusan dari pemerintah
pusat. Berkaitan dengan laporan yang menyatakan adanya seorang
pembantai yang dikenal sebagai Hakim Haus Darah di kawasan ini,
kami datang untuk menangkapnya." Sementara orang yang tadi me-
nunjukka bekas luka itu entah sudah hilang kemana.
Terdiam lagi penduduk desa mendengar pernyataan itu. Orang-orang
yang semula dikenal hanya sebagai pedagang dari kota besar itu,
ternyata adalah perwira-perwira yang menyamar. Mereka ditugaskan
untuk menangkap Hakim Haus Darah. Kemudian diceritakan oleh
mereka bahwa pengamatan akan sang hakim telah dilakukan lama
sebelumnya. Akan tetapi dengan tidak adanya peristiwa "pembanta-
ian" tak dapat sang hakim di tangkap. Perintah dari pusat adalah
bahwa harus terjadi peristiwa saat pengamatan dilakukan dan akan
dijalankan penangkapan. Dengan adanya peristiwa ini, sebagai bukti,
dapatlah sang hakim saat ini ditangkap.
Beberapa orang yang selama ini merasa tertekan dengan kehadiran
Hakim Haus Darah bersorak dalam hatinya. Sementara yang lain,
dengan tanpa adanya sang hakim telah hidup dengan damai, agak
menyesalkan juga kedatangan ketiga perwira itu. Mereka yang ter-
akhir ini kuatir, apabila Hakim Haus Darah ditangkap, akan kembali
ke masa lalu keadaan di sini. Dikuasai kembali oleh para preman dan
pedagang. Tapi orang-orang ini tak berani menyuarakan hatinya.
148 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Lalu kata seorang dari ketiga perwira itu, "ada baiknya bila kita
menghubungi orang-orang dari Desa Batu Barat. Kita berkumpul
untuk menuju ke kediaman Hakim Haus Darah. Kalian penduduk
desa, hanya perlu menjadi saksi. Kami yang akan menangkap sang
hakim. Tak perlu takut!"
Orang-orang desa yang sedang dicekam kebingungan itu tak tahu
harus berbuat apa. Sang kepala desa tampaknya membiarkan saja
ketiga orang yang mengaku perwira dari pemerintah pusat itu mengatur-
atur. Tak lama kemudian dikirim kabar ke Desa Batu Barat mengenai
apa yang terjadi dan agar mereka berkumpul di kediaman Hakim Haus
Darah, untuk bersama-sama dengan warga Desa Batu Timur menjadi
saksi penangkapan sang hakim. Rencana itu akan dilaksanakan besok
pagi, karena saat ini hari telah menjelang senja.
Sementara itu jauh di ujung pelosok desa tampak seorang pemuda ber-
jalan perlahan-lahan memasuki pintu desa. Telaga adalah pemuda itu.
Masih berdebar-debar ia mengingat pertemuannya dengan orang tua
berbaju kasar dua warna itu. Tak ingin ia melibatkan diri sebenarnya,
tapi rasa ingin tahunya mengalahkan nalar untuk menyelamatkan diri.
Ingin dicarinya keterangan, bagaimana akhir dari peristiwa ini.
Dilihatnya kerumunan orang dikejauhan telah bubar. Masing-masing
orang bergegas berjalan ke arah masing-masing. Tak tahu harus ke
mana, Telaga menuju ke suatu warung makanan yang ada di pinggir
jalan. Ditujunya sebuah meja yang masih kosong. Beberapa meja
telah terisi oleh orang-orang yang berkumpul dan berbicara dengan
meriah. Sebagian orang berasal dari kerumunan tadi, sebagian tetap
duduk di meja untuk mendengarkan hasil pendengaran rekannya yang
bergabung dalam kerumunan tadi.
"Mau makan apa, nak?" sapa seorang pelayan yang menghampiri meja
Telaga dengan ramah. "Yang murah saja, paman," jawab Telaga sopan. Lalu tanyanya sam-
bil lalu, "ada peristiwa besar ya, paman" Kok orang-orang itu pada
sibuk ngobrol-ngobrol."
"Ya, nak. Anak pasti bukan orang sini," katanya sambil melihat
Telaga. Sudah jelas dapat terlihat dari warna kulit dan juga paka-
ian yang dikenakan Telaga. Sudah banyak memang pedangan dan
149 orang luar yang berdiam di sini sejak Hakim Haus Darah "memerin-
tah", akan tetapi tetap saja penduduk asli kedua desa adalah mereka-
mereka yang berkulit kebiruan dan kehijauan.
"Iya, paman. Saya lagi merantau. Saya berasal dari utara," jawabnya
cepat. Tak ingin ia membicarakan asal-usulnya kepada orang yang
belum dikenalnya. Mengangguk-angguk sang pelayan mendengar jawaban yang sopan
akan tetapi pendek dan tegas itu. Lalu dengan senang hati diceri-
takannya apa yang terjadi. Mengenai ditemukannya jenasah Ki Ron-
tok oleh gadis-gadis yang sedang mencuci dan mandi. Lalu muncul-
nya dugaan bahwa itu dilakukan oleh Hakim Haus Darah dan juga
adanya perwakilan dari pusat, tiga perwira, yang ditugaskan untuk
menangkap Hakim Haus Darah. Sudah tentu cerita itu ditambah-
tambahinya dengan bumbu-bumbu sehingga semakin menarik dan
dramatis. Telaga yang telah tahu sebagian besar kejadian sebenarnya hanya
tersenyum menangguk-angguk, sambil sesekali memberi komentar
pendek dan bertanya sana-sini. Semua dijawab dengan lancar oleh
sang pelayan, yang amat senang ceritanya dilayani dengan antusias.
Sampai-sampai ia kemudian dipanggil oleh atasannya untuk melayani.
Dikatakan bahwa ia bertugas mencatat dan mengantarkan pesanan,
bukan bercerita. Dengan malu-malu sang pelayan meminta maaf
sambil kembali menegaskan pesanan yang diminta Telaga. Kemudian
ditinggalkannya Telaga. Tak berapa lama pesanannya pun datang. Cukup sederhana Pepes
Keuyeup, Gule Julung-julung, Daun Singkong Bakar dan Sejumput
Sagu Rebus. Takjub pula Telaga melihat makanan yang belum per-
nah dilihatnya dipadukan sedemikian rupa. Agak ragu dicobanya
makanan-makanan itu. Rasa aneh tapi lezet tercipta saat rupa-rupa
makanan itu menyentuh lidahnya. Tiada lagi ragu sekarang, dila-
hapnya semua yang dihidangkan sampai licin tandas. Setelah selesai
dipanggilnya lagi pelayan itu dan dibayarkannya makanan yang tadi
telah disantapnya. Sekarang Telaga tak tahu harus bagaimana, perut telah terisi dan hari
telah menjelang malam. Ia tidak punya tempat menginap. Di desa itu
150 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
kelihatannya hanya ada warung itu dan tidak penginapan. Dicarinya
sebuah tempat di antara batu-batu untuk merebahkan badannya. Dip-
ilihnya suatu legokan yang terletak agak di luar desa. Saat akan mere-
bahkan dirinya, tampak olehnya pelayan yang di warung tadi. Begitu
melihat dirinya, pelayan itu pun tersenyum dan menghampiri, lalu
sapanya, "tidak tidur di rumah nak?"
"Maaf, paman. Saya tidak kenal siapa-siapa di sini. Jadi bermalam
saja saya di luar. Sudah biasa kok," jawabnya sopan.
"Marilah mampir," katanya, "kebetulan saya tinggal hanya dengan
putri saya. Cukup tempat bagi kami untuk masih menampung satu
orang lagi. Marilah..!" Tangannya sambil menggapai mengisyaratkan
Telaga untuk ikut padanya.
Maka berjalanlah mereka berdua menuju rumah paman pelayan itu,
yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Arasan. Arasan ting-
gal di rumah itu hanya dengan putri satu-satunya. Istrinya telah
meninggal karena sakit, sejak putrinya masih kecil. Arasan men-
gatakan pada Telaga bahwa rumahnya agak di luar desa letaknya.
Ia lebih suka kesunyian saat beristirahat, akan tetapi suka keramaian
saat bekerja. Itulah sebabnya mengapa ia bekerja sebagai pelayan.
Dengan bekerja sebagai pelayan dapatlah ia banyak bercakap-cakap
dengan pengunjung, sebagaimana dilakukannya tadi dengan Telaga.
Dan juga bisa banyak informasi yang diperolehnya dari orang-orang
yang mampir untuk makan di warung tempatnya bekerja itu.
Tak berapa lama sampailah mereka di sebuah rumah yang cukup
sederhana apabila dibandingkan dengan rumah-rumah di atas batu
yang terdapat di dalam Desa Batu Timur. Tidak dihias macam-
macam, melainkan hanya berwarna alami. Batu dan kayu belaka.
Akan tetapi lingkungannya yang masih alami dan juga adanya se-
buah aliran kecil air di dekatnya, membuatnya lebih terlihat natural
ketimbang rumah-rumah di atas batu yang telah ditambah-tambahi
pernak-pernik. "Beda ya, sama yang di dalam desa..?" pancing Arasan. "Saya tidak
suka aneh-aneh seperti orang-orang. Selain tidak bagus juga mahal."
Telaga mengangguk-angguk, lalu jawabnya, "bagus juga, paman.
Malah lebih terlihat alami dan cocok dengan lingkungannya. Tidak
151 terlihat asal dalam menatanya." Lalu tanyanya, "Paman sendiri yang
buat?" Arasan tersenyum menggeleng, "bukan, tapi putriku. Nanti kuperke-
nalkan. Senang pasti hatinya, bertemu dengan orang yang memuji
hasil karyanya." Bertanya-tanya Telaga dalam hati, bagaimana rupa dari putri Arasan.
Sekilas dibayangkannya apabila begitu wajah Arasan, pastilah ada
mirip-mirip darinya pada wajah putrinya. Seakan-akan pernah dirinya
melihat wajah itu. Tapi lupa.
Lalu naiklah mereka ke atas rumah melalui sebuah tangga batu yang
dipahat sedemikan rupa pada batu-batu sebesar lima-enam kerbau
bunting itu. Sampai depan rumahnya, berseru Arasan memanggil
putrinya, "Sarini, putriku! Ayah pulang. Lihatlah ada tamu kubawa serta.."
Tak lama menyahut suara dari dalam rumah itu, "Ayah, selamat
datang." Lalu muncullah putri Arasan. Hampir berhenti jantung Telaga begitu
melihat wajah gadis itu. Wajah salah seorang gadis yang dilihatnya
tadi di Danau Genangan Batu. Untung saja gadis itu tidak tahu
bahwa ia ada di sana. Walaupun ia tidak mengintip mereka dengan
sengaja, tetap saja ia merasa malu. Arasan yang tidak mengerti duduk
persoalannya, merasa bahwa Telaga adalah pemuda yang masih malu-
malu terhadap seorang gadis. Seorang pemuda yang lugu.
"Mari.., mari masuk..!" ajaknya.
Sang gadis pun mempersilahkan ayahnya dan tamu ayahnya masuk.
Diambilnya barang-barang ayahnya yang merupakan bahan makanan
bagi mereka besok pagi. Biasanya keluarga itu makam malam ter-
pisah. Sarini makan sendiri, sedangnya ayahnya telah makan di
warung tempat ia bekerja. Telaga juga kebetulan telah makan tadi di
sana. Jadi tidak ada acara makan malam saat itu.
Rumah itu cukup besar, dengan tidak terdapat ruangan lain di dalam-
nya. Akan tetapi terdapat sekat-sekat dari daun kelapa yang berfungsi
membentuk ruang. Ruang depan dan ruang belakang, tempat yang
152 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
berfungsi sebagai dapur. Arasan pun meluruskan kakinya pada salah
satu sudut dari ruang depan. Telaga mengikutinya. Tak lama ke-
mudian muncul Sarini membawa sejenis minuman yang dihidangkan
dalam gelas atau mangkuk yang terbuat dari batok kelapa yang di-
pancung atasan. Bibuat sedemikian rupa sehingga pada salah satu
ujungnya ada tempat untuk meletakkan bibir, sehingga mudah untuk
mengunakan gelas atau mangkuk itu untuk menghirup isinya.
Setelah sedikit melepaskan lelah kemudian mereka pun terlibat dalam
pembicaraan, terutama pembicaraan mengenai peristiwa yang terjadi
hari ini yang berkaitan dengan kasus Hakim Haus Darah. Juga men-
genai munculnya ketiga perwira yang akan menangkap sang hakim.
Ibu Sarini ternyata bukan berasal dari desa ini melainkan dari Desa
Batu Barat. Mirip seperti kasus Walinggih si Hakim Haus Darah.
Akan tetapi Sarini tidak mewarisi kulit ibunya, melainkan ayahnya.
Jika orang tidak mengenal sejarah keluarga itu, pastilah dikira bahwa
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sarini merupakan penghuni asli Desa Batu Timur.
Tak lama kemudian mereka tidurlah. Memang sudah menjadi kebi-
asaan keluarga yang terdiri hanya dari anak dan ayah itu tidur tidak
terlalu larut. Salah satu hal karena mereka harus bangun pagi-pagi
untuk kembali bekerja, juga secara diam-diam Arasan ternyata adalah
seorang berilmu juga. Ia melatih anaknya Sarini diam-diam, hanya di
pagi hari. Di saat orang-orang belum bangun. Hal ini diketahui Telaga
pada esok paginya. "Huut, hyaaaaa..!" teriak suara seorang gadis. Sambil meloncat disa-
betkan tangannya miring ke atas menuju kepala seorang tua di depan-
nya. Orang tua itu mengelak tipis, memutar tubuhnya, menangkap
tanggan yang lewat lembat karena telah mencapai batas sendinya,
menekuk dan melemparkan gadis itu. Alih-alih terjatuh, gadis itu
bersalto sekali di udara dan mendarat dengan teguh pada kedua
kakinya. Pendaratan yang ringan, hampir tidak memperdengarkan
suara, hanya terdengar napasnya yang tersengal sedikit. Dan sedikit
keringat menetes pada wajahnya yang manis kemerahan itu. Gadis
itu adalah Sarini dan orang tua itu adalah Arasan. Mereka berdua
sedang melatih ilmu keluarga mereka Sabetan dan Tangkapan Tangan.
Ilmu beladiri tangan kosong yang menggunakan telapak tangan untuk
menyabet bagian-bagian tubuh seperti kepala dan pundak leher. Juga
adanya tusukan-tusukan, tetap dengan menggunakan telapak tangan
153 yang dibuka. Tujuaannya adalah ulu hati dan tengah hidup di an-
tara kedua mata. Selain serangan ada pula tangkisan dan tangkapan.
Barusan yang diperagakan oleh Sarini adalah jurus Menebang Kelapa
dan dibalas oleh ayahnya dengan jurus Berkelit Membanting Padi,
mirip gerakan-gerakan membanting-banting rumput padi yang ingin
dirontokkan butir-butiran gabahnya.
Terbangun oleh hentakan-hentakan itu, Telaga lalulah turun dan
menyaksikan dari dekat penyebab bunyi-bunyian itu. Kedua orang
yang sedang berlatih itu menyadari kehadirannya dan menghentikan
latihan dan kemudian menyapanya. Tanpa berbasa-basi lebih lanjut
Arasan kemudian mengajak Telaga untuk ikut berlatih. Ia mempera-
gakan sedikit-sedikit gerakan dan menyuruh Arasan untuk menirukan-
nya. Dikarenakan telah mempelajari Tenaga Air, dapat dengan mu-
dah Telaga menirukan gerakan-gerakan yang pada dasarnya lemas itu.
Sampai pada gerakan yang menghentak, agar susah ia mencobanya.
"Nak Telaga, pernah belajar ilmu beladiri?" tanya Arasan begitu meli-
hat kemudahan Telaga dalam menirukan jurus-jurus lemas yang diper-
agakannya. "Belum, paman Arasan. Saya hanya belajar cara menghimpun hawa
saja," jawabnya jujur.
"Ah, itu sebanya engkau bisa menirukan dengan baik jurus-jurus
lemas tapi tidak yang menghentak," kata Arasan sambil mengangguk-
angguk. Lalu tanyanya kemudian, "boleh paman tahu apa nama ilmu
penghimpun hawa yang engkau telah pelajari?"
Ragu sejenak Telaga mendengar pertanyaan itu, ia tidak tahu apakah
pertanyaan itu harus dijawab apa tidak. Sebagai keturunan terakhir
Pelestari Ilmu dari Tenaga Air sudah seharusnya ia merahasiakan hal
itu. Melihat keragu-raguan Telaga, berkatalah Arasan kemudian, "tak
perlu kau katakan pun, kelihatannya aku dapat menebak asal ilmumu.
Engkau pernah berkata bahwa engkau datang dari utara. Salah satu
penerus ilmu-ilmu lemas adalah sebuah keluarga yang tinggl di Danau
Tengah Gunung di Gunung Berdanau Berpulau di utara Padang Batu-
batu. Guruku pernah bercerita mengenai mereka itu. Orang-orang
yang hanya melatih Tenaga Air, akan tetapi tidak melatih bagaimana
154 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
cara menggunakannya. Mereka hanyalah orang-orang yang bertugas
sebagai Pelestari Ilmu dari Tenaga Air. Betulkan demikian?"
Telaga hanya tersenyum kecut begitu mendengar uraian Arasan.
Banyak pengalaman ternyata paman yang berkerja sebagai pelayan
di warung ini. Tak terlihat dari sosoknya yang sederhana.
"Marilah, nak Telaga. Guruku sendiri pernah berujar, sayang sekali
bahwa orang-orang Pelestari Ilmu Tenaga Air itu tidak mempela-
jari ilmu bela diri. Mereka memang melestarikan ilmu itu tapi tidak
mengamalkannya. Suatu saat jika ada kelompok yang tidak suka pada
mereka, bisa saja mereka ditumpas dan ilmu-ilmu penghimpun hawa
itu akan punah selamanya," jelasnya kemudian.
"Paman Arasan..," tanya Telaga bimbang, "bolehkan saya men-
gangkat paman sebagai guru.., maksud saya belajar ilmu beladiri
dari paman.." Tersenyum Arasan mendengar permintaan itu. Benar pikirnya. Anak
muda ini bukanlah seorang pemuda biasa. Sudah tentu senang hatinya
menjadi guru seorang pemuda yang telah mempelajari Tenaga Air.
"Sudah tentu, nak Telaga. Tapi jangan panggil aku guru. Dan hal ini
harus dirahasiakan bahwa kamu belajar ilmu beladiri dari aku. Perihal
mengapa, suatu saat akan kami ceritakan," jawabnya.
Telaga pun mengangguk. Mulai pagi itu Arasan pun mengajarkan
ilmu-ilmunya, yaitu Sabetan dan Tangkapan Tangan. Awalnya Telaga
memang terlihat tertinggal bila dibandingkan dengan Sarini akan
tetapi lambat laun ia dapat menyusul dan terlihat lebih pandai,
terutama untuk gerakan-gerakan yang memanfaatkan kelemasan. Ini
sudah tentu dibantu dengan hawa dalam yang telah dimilikinya, yaitu
Tenaga Air. Setelah matahari mulai sedikit tampak, mereka pun menghentikan
latihan. Arasan memang sembunyi-sembunyi dalam melatih anaknya
Sarini. Ia tidak ingin dikenal sebagai seorang yang bisa ilmu bela diri.
Ia ingin hidupnya aman-aman saja. Akan tetapi sebagai seorang ayah,
sudah tentu ia tidak bisa selamanya bersama-sama dengan putrinya
terus-menerus dan menjaganya. Untuk itulah ia mengajari putrinya
ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan, untuk menjaga diri belaka.
155 Setelah sarapan Arasan dan Sarini mengajak Telaga untuk mengikuti
kelanjutan peristiwa yang terjadi kemarin di daerah itu, yaitu penangka-
pan Hakim Haus Darah. Hari ini Arasan tidak bekerja, juga warung
tempatnya menjadi pelayan tidak buka. Hal ini dikarenakan semua
penduduk dari kedua desa akan berada di kediaman Hakim Haus
Darah untuk memenuhi himbauan dari ketiga orang perwira dari pe-
merintah pusat, yang katanya akan menangkap Hakim Haus Darah
atas tuduhan membunuh Ki Rontok.
Dalam perjalanan mereka apabila bertemu dengan orang-orang de-
sanya, Arasan selalu memperkenalkan Telaga sebagai anak dari
saudara jauhnya di kota besar, yang saat ini sedang menginap di
tempatnya. Dengan cara itu orang-orang tidak akan curiga bahwa
Telaga berguru kepadanya. Lagi pula saat itu topik mengenai Hakim
Haus Darah sedang pada puncaknya, tidaklah keberadaan Telaga men-
jadi perhatian orang. Telaga dalam pada itu tak lupa menceritakan
mengenai apa yang dilihatnya waktu ia berada di Danau Genangan
Batu, tentu saja dengan muka merah mengingat adanya Sarini di
situ. Sarini yang mendengar cerita itu amat tertarik, selain juga
menjadi malu. Untung saja ia saat itu tidak ikut mandi bertelanjang
tubuh. Jika tidak, pastilah seluruh penjuru tubuhnya telah dilihat
Telaga dari kejauhan. Arasan mendengarkan cerita Telaga dengan
serius, lalu usulnya agar Telaga untuk sementara menyimpan rahasia
itu di tengah mereka bertiga dan juga kakek aneh yang ditemuinya
itu. Arasan berpendapat bahwa jika persoalannya menjadi genting,
bisa-bisa Telaga tersangkut-paut. Belum lagi alasan mengapa ketiga
perwira pemerintah pusat itu menyembunyikan mayat Ki Rontok
di legokan dalam Danau Genangan Batu. Masih banyak misteri
yang tersimpan dalam peristiwa itu. Baiknya Telaga berhati-hati
dulu. Mendengar alasan dan nasihat itu Telaga pun mengiyakan.
Lalu berbicaralah mereka hal-hal lain yang lebih ringan, melihat su-
dah banyak orang yang berpapasan dan juga berjalan bersama-sama
mereka ke tempat kediaman Hakim Haus Darah.
*** Telah berkumpul banyak orang di suatu tempat agak jauh ke selatan
dari Danau Genangan Batu. Tempat kediaman Hakim Haus Darah,
Walinggih. Sebuah rumah di atas batu, tampak sederhana. Di hada-
pannya tampak halaman atau bebatuan lapang cukup luas. Terlihat
156 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
guratan-guratan pada halaman berbatu itu. Sesekali seperti guratan
kaki, akan tetapi juga tampak seperti guratan yang dibuat menggu-
nakan logam panjang. Pedang mungkin. Orang-orang yang pernah
melihat Hakim Haus Darah melatih ilmunya, dapat mengenali bahwa
gurata-guratan itu merupakan hasil peninggalannya saat ia berlatih
pedang panjangnya di pelataran itu. Meninggalakn jejak kaki di atas
tanah batu dan juga angin sabetan-sabetan pedangnya.
"Walinggih atau yang dikenal sebagai Hakim Haus Darah, keluar-
lah engkau..!" salah seorang dari tiga perwira perwakilan pemerintah
pusat itu. Sunyi tak terdengar jawaban. Penduduk yang mendengar ucapan itu
menjadi merinding. Belum pernah sampai saat itu mereka mendengar
ada orang yang berani menyapa Walinggih seperti itu. Baru kali ini.
Mereka, para penduduk kedua desa berada pada keadaan terjepit.
Ingin tidak hadir, akan tetapi berarti melawan wakil dari pemerintah
pusat. Ingin ikut tapi jerih terhadap Walinggih.
Tak lama kemudian tampak pintu rumah di atas batu itu berderit
terbuka. Seorang tua muncul dari dalamnya. Hampir saja Telaga
menyeru perlahan karena miripnya wajah orang itu dengan orang tua
yang ditemuinya di Gunung Genangan Batu saat dulu itu terjadi.
Tapi setelah diperhatikannya dengan seksama, tampak perbedaan-
perbedaan yang ada pada orang yang baru keluar itu. Memang sama-
sama tua, dan tua karena pikiran, akan tetapi orang ini, Walinggih
masih terlihat lebih segar dibandingkan orang tua kemarin. Juga ram-
butnya berbeda. Orang tua kemarin sudah putih semua, sedangkan
Walinggih masih tercampur-campur antar rambut yang putih dan hi-
tam. Hanya ada satu persamaan, yaitu baju yang dipakainya. Sama
seperti yang dikenakan oleh orang tua kemarin dulu itu, yaitu se-
belah berwarna kanan biru muda dan sebelah kiri berawarna hijau
muda. Tapi tidak seperti orang tua kemarin yang berbusana bersih,
baju Walinggih tampak kotor oleh bercak-bercak coklat kehitaman.
Seperti bercak darah yang mengering.
"Huh, mau apa kalian orang-orang desa kemari?" jawabnya kasar.
"Ada yang mau disembelih?"
Kecut hati sebagian hati orang-orang mendengarnya. Hanya beberapa
157 yang cukup berilmu tidak, termasuk di antaranya ketiga perwira dari
pemerintah pusat, Sarini, Arasan ayahnya dan Telaga. Juga beberapa
orang yang berdiri di kejauhan, di atas batu tinggi. Ketiga orang yang
pernah dilihat Telaga di Danau Genangan Batu tampak di antara
orang-orang tersebut. "Walinggih atau Hakim Haus Darah, kami tiga orang wakil dari pe-
merintah pusat, atas permintaan dari kedua desa ini hendak menangkapmu
atau tuduhan telah membunuh Ki Rontok dari Desa Batu Barat,"
terang seorang dari mereka sambil dilemparkannya sebuah gulungan
kertas. Kertas yang berisi perintah untuk menangkap Walinggih.
Lemparan itu bukan sembaran lemparan. Dalam jarak yang cukup
jauh orang masih dapat mendengar deru gulungan itu. Kertas yang
ringan akan tetapi dapat menderu dan menempuh jarak setinggi po-
hon kelapa untuk mencapai Walinggih yang berada di depan pintu
rumahnya, menandakan kuatnya tenaga yang dimiliki oleh perwira
tersebut. Walinggih dengan santainya menangkap sambitan itu, membacanya
sekilas kemudian lemparkannya melambung turun. Bersamaan dengan
itu diayunkan pedang pajangnya menyilang beberapa kali dengan ke-
cepatanya yang sukar diikuti oleh mata. Saat ia menapakkan kakinya
dengan berdebam di atas bebatuan di pelataran di depan rumahnya.
Turun potongan-potongan kertas perintah penangkapan atas dirinya
tadi. Halus bagai salju atau serbuk sari bunga yang terbawa angin.
Benar-benar ilmu pedang yang dahsyat.
"Hmm..," kata seorang dari mereka bertiga, "apakah itu artinya bahwa
engkau menolak perintah pemerintah pusat?"
Walinggih tersenyum jumawa, lalu katanya, "Bila pedang sudah
bicara, tak perlu ada kata-kata lagi. Mana pemerintah pusat saat
di sini ada penekakan oleh pedagang dan preman" Mana pemerintah
pusat waktu keluargaku dibantai" Giliran sekarang sudah beres, baru
datang. Huh!" Seorang dari ketiga perwira itu masih berusaha membujuk, "serahkan
dirimu, Walinggih! Kami akan beri peradilan bagimu. Juga dengan
melihat latar belakang tindakanmu itu. Biarkan hakim sebenarnya
yang memutuskan." 158 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Alih-alih menyetujui saran itu, Walinggih malah mendengus dan melu-
dah ke kanan-kirinya. Melihat penghinaan itu dan juga sikap bahwa ia
masih mengandalkan kekuatannya, ketiga perwira itu saling bertukar
pandangan mata. Lalu secara bersamaan mereka bergerak maju.
Ketiganya telah mengelilingi Walinggih. Bersenjatakan tongkat set-
inggi pinggang. Dua buah. Satu di tangan kanan dan satu di tangan
kiri. Tongkat khas penjaga penjara para tahanan. Ketiganya kemu-
dian menyerang bersamaan. Satu menyabet ke arah kepala, yang ke-
dua ke arah perut dan yang ketiga ke arah kaki. Hampir tertutup
semua ruang gerak Walinggih, diserang dari ketiga arah pada ketiga
ketinggian yang berbeda. Benar-benar serangan yang lengkap.
Akan tetapi bukan Hakim Haus Darah apabila dengan serangan seperti
itu dapat langsung ditumbangkan. Dengan tenang ia melangkah
mundur mendekati orang yang menyabetkan tongkatnya ke arah
kepalanya. Ditundukkan kepalanya sehingga serangan itu luput. Aki-
bat mundurnya itu, dua serangan yang di depan kiri dan kanannya pun
tak mengena. Bersamaan dengan itu diayunkan pedang panjangnya
ke kiri dan kanan. Pedangnya lebih panjang dari tongkat ketiga orang
itu, akibatnya kedua orang yang menyabet kaki dan perutnya terpaksa
mundur setelah serangan mereka gagal. Tidak sempat ada serangan
kedua karena pedang Walinggih telah mendekati. Hampir mencium
perut-perut mereka. Selagi orang yang di belakang Walinggih tertegun melihat seran-
gannya gagal, diputarnya pedang panjangnya sedemikian rupa se-
hingga ujungnya berarah ke belakang. Lalu dihujamkannya ke arah
di mana orang itu berada. Tak diduganya bahwa Walinggih akan
menyerangnya tanpa membalikkan badanya membuat kewaspadaan
orang itu berkurang. Untung saja re"eksnya masih bekerja, dige-
sernya badannya sedikit ke samping sehingga pedang Walinggih hanya
menderukan angin di pinggir kulit pinggangnya.
Bekeringat dingin ketiga perwira itu. Dalam serangan pertama,
dalam satu jurus mereka hampir dikalahkan oleh Walinggih. Serangan
mereka yang umumnya membuahkan hasil dapat dimentahkan dengan
serta-merta. "Bagus..!" ucap salah seorang dari mereka.
159 Kembali ketiganya maju serantak, tapi kali ini tidak berani sekaligus
menyerang melainkan satu per satu. Saat satu orang menyerang, te-
mannya membantu dengan menjaga serangan balik Walinggih. Cara
ini ternyata lebih berhasil, sulit Walinggih menyerang balik dengan
tepat. Ada dukungan dari kawan di kiri-kanan dari sasarannya.
Pertempuran itu pun berlangsung seru. Sudah setengah hari tiada
tanda-tanda akan berkesudahan. Matahari sudah menempati titik
kulminasinya. Sebagai seorang manusia, sudah pasti dimiliki batas
daya tahan untuk terus bertempur. Bagitu pula dengan ketiga orang
perwira itu. Mereka tidak biasanya menangkap para penjahat sampai
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selama ini. Belum pernah sebelumnya. Pada Walinggih tidak terlihat
tanda-tanda ia menjadi lelah. Mungkin kegilaannya itu yang membuat
ia tidak bisa lelah. Menyadari bahwa jika pertempuran berlarut-larut
berlangsung, dapat saja kekalahan menyambangi pihaknya, salah se-
orang dari ketiga perwira itu memberi isyarat pada sekelompok orang
yang berdiri di atas batu tinggi di kejauhan. Kelimanya bergerak
ringan, turun dari batu dan bagai melayang tiba di arena pertempu-
ran. Semakin kecut penduduk kedua desa melihat bahwa akan ada lagi
tokoh-tokoh yang berlaga. Arasan, Sarini dan Telaga juga semakin
tertarik melihat bahwa kelima orang yang tadi tak begitu jerih pada
Walinggih ternyata juga orang-orang yang berilmu.
"Hehehe, akhirnya muncul juga orang-orang Asasin," kata Walinggih
begitu melihat kedatangan lima orang itu. "Jadi begitu...! Perwira
wakil pemerintah pusat bekerja sama dengan pembunuh bayaran. Ha-
hahaha, benar-benar "penegakan hukum"."
Tak terpancing emosi ketiga perwira itu juga para Asasin. Lalu ucap
salah seorang perwira, "Walinggih, urusan apa pekerjaan mereka kami
tidak tahu-menahu. Mereka-mereka ini hanya membantu kami dalam
menunaikan tugas untuk menangkapmu. Itu saja."
"Hehehe, tak usah berpura-pura," kata Walinggih, "sudah jelas men-
gapa dulu wakil pemerintah tidak datang, rupanya sudah sekongkol
pemerintah dengan preman-preman dan pembunuh bayaran."
Mendengar itu berkecamuk pikiran dalam benak Telaga. Sedari tadi
belum sekalipun Walinggih mengaku telah membunuh Ki Rontok.
160 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Dan dengan adanya kelima orang itu, yang disebut sebagai Asasin. Di
mana tiga di antaranya adalah orang-orang yang dilihatnya menyem-
bunyikan mayat, menjadi semakin bingun Telaga. Masih dicobanya
untuk memahami kejadian itu. Saat itu tangan Sarini menyentuh tan-
gannya lembut, dengan isyarat dikatakannya bahwa Telaga sebaiknya
tidak berbicara mengenai apa yang dilihatnya itu.
Kedelapan orang yang telah mengurung Walinggih itu, alih-alih men-
jawab pernyataanya, malah bergerak berputar, langsung menyerang.
Dongkol pula Walinggih bahwa ucapannya tidak ditanggapi. Di
tariknya pedang panjangnya ke dadanya sehingga ujungnya meng-
hadap ke atas. kakinya meregang terbuka selebar dada. Satu ke
depan satu ke belakang. Ia sedang merapal jurus Sabetan Tung-
gal Menuai Dua, yaitu suatu jurus dari ilmu pedang panjangnya,
di mana dalam satu serangan dua titik yang dituju. Dua titik dari
dua orang lawan yang berbeda. Biasanya dua titik itu berada bukan
pada dua orang lawan yang berdekatan atau berurutan melainkan
berseberangan. Dengan cara ini biasanya dua orang lawan tidak akan
sadar bahwa mereka berdua yang akan dituju. Lain halnya bila dua
orang yang berurutan yang menjadi sasaran. Teman sebelahnya tentu
waspada apabila rekan terdekatnya sedang diserang.
Walinggih belum tahu berapa lihai kelima orang Asasin yang beru
berlaga itu. Ia pun tak punya waktu untuk mencari tahu. Dari piki-
rannya, dipandang mereka lebih lemah dari ketiga perwira perwakilan
pemerintah pusat itu. Jika tidak, mengapa mereka butuh ketiga per-
wira itu untuk membalaskan dendamnya. Dugaan itu tidak salah.
Kelima orang itu memang ingin membalaskan dendam kepada Wal-
inggih atas pembunuhan yang dilakukannya pada rekan-rekan mereka
dulu. Saat Walinggih membalaskan dendam atas kematian keluar-
ganya. Sebagai seorang pembunuh bayaran, Asasin tidak mengerti
kesedihan Walinggih. Pembunuhan bagi mereka adalah suatu pro-
fesi. Akan tetapi para Asasin pun menyadari bahwa Walinggih bukan
orang sembarangan. Mereka saja tidak akan mampu menanganinya,
untuk itu mereka berpura-pura meminta pertolongan pada pemerintah
pusat, sehingga ketiga orang perwira itu dikirim.
Sebelum kedelapan orang itu bergerak, telah dengan cepat Waling-
gih mendahului menyerang. Diserangnya salah seorang Asasin yang
berada di kirinya dengan tipuan tusukan. Akibatnya rekan-rekannya
161 berupaya melindungi. Dengan menggunakan saat yang tepat diubah-
nya serangan itu ke arah dua orang di kanan dan belakangnya. Dua
orang yang jauh dari sasaran pertama, juga kedua Asasin, tidak sadar
akan kembangan serangan dari Walinggih. Mereka masih tenang
karena merasa berada pada jarak yang aman.
"Settt...!" serangan kedua membuahkan hasil. Sasaran itu tertusuk
pada pinggangnya dan berguling ke samping. Tak berhenti diputarnya
pedangnya ke atas kepala dan dibacokkan ke tujuan berikutnya.
"Cappp...!" serangan ini pun membuahkan hasil. Terbelah simetris
Asasin ini. Tak sempat ia menghindar karena masih terpesona pada
luka yang diderita rekan sebelumnya.
Melihat hasil ini, keenam orang yang tersisa segera melompat mundur
karena pedang Walinggih masih berpusing ke beberapa arah. Hanya
tipuan. Tapi pada keadaan genting seperti itu tak ada yang berani
coba-coba apa serangan susulah itu benar-benar atau hanya gertak
belaka. Kembali Walinggih memegang pedangnya rapat ke dada dengan ujung
menuju ke atas. Kaki dibuka selebar bahu, ke depan dan belakang.
Diatur napasnya tenang. Siap untuk serangan berikutnya.
Kecewa tampak wajah salah seorang perwira. Bantuan dari Asasin
yang tampaknya akan memperkuat penangkapan ini ternyata sia-sia.
Asasin hanyalah gentong kosong belaka, pikirnya. Omong besar di
depan. Tak ada hasil setelahnya.
Tiga orang Asasin yang tersisa tampak geram. Sekilas melihat tahu-
lah mereka bahwa kedua rekannya telah merengkuh ajal. Tak ada
yang dapat dilakukan kali. Ketiganya saling menukar pandang dan
mengambil sesuatu dari sakunya. Masing-masing membawa sebatang
tabung kecil sepanjang lengan. Diujungnya terlihat sumbat kain ter-
lekat. "Hei..! Apa mau kalian..?" tegur salah seorang perwira demi melihat
apa yang dilakukan oleh ketiga Asasin tersebut. "Tunggu dulu..!"
Akan tetapi terlambat, ketiganya telah melemparkan tabung itu yang
telah dibuka sumbatnya ke arah Walinggih. Bukan ke atas melainkan
162 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
ke tanah di sekitar Walinggih berdiri. Sekilas terlihat asap putih
kekuningan keluar. Cairan kuning muda tampak mengalir keluar dari
ketiga tabung itu dan langsung meresap ke dalam tanan.
Walinggih yang melihat itu tetap diam tak bergeming. Ia tak in-
gin hilang konsentrasinya pada posisinya untuk menyerang. Keenam
orang itu masih di luar jangkauan pedangnya, tak dapat ia meny-
erang keenammnya. Oleh karena itu dibiarkannya tabung-tabung itu
dilemparkan di sekelilingnya.
Tak berapa lama, seperti menunggu sesuatu bergeraklah sisa orang
Asasin itu menyerang Walinggih. Dengan cara yang sama Walinggih
menyerang mereka bertiga secara acak.
"Wuttt..!" hampir saja salah seorang dari mereka terkena. Masih sem-
pat calong korban Walinggih itu bergeser mundur sehingga pedang
panjang Hakim Haus Darah hanya lewat tipis di atas rampbutnya.
Terasa sehelai dua rambutnya terpapas ringan. Keringat dingin
menetes dengan sendirinya dan juga merindingnya bulu kuduk, mem-
bayangkan bila tadi bukan ramput yang terpapas melainkan kepala.
Walinggih kembali ke tengah. Kembali ke posisi semula. Tegak dan
lemas. Siap melepas serangan lagi bagi pegas. Menyerang untuk kem-
bali pada posisi bertahan.
Tiba-tiba terasa sesuatu pada kakinya. Tak berani ia melihat ke
bawah, takut di saat sekejap itu ketiga orang musuhnya menyerang
balik. Orang-orang di sekitar Walinggih melihat bahwa cairan kuning susu
yang tadi meresap ke dalam tanah, tampak muncul kembali dan tepat
di bawah kaki Walinggih. Perlahan-lahan kumpulan-kumpulan cairan
itu merayap naik. Seakan-akan hidup merambat merambat mereka
pada kaki dan betis Walinggih.
Pada saat itulah sambil melempar senyum ketiga orang Asasin yang
tersisa menyerang Walinggih sang Hakim Haus Darah dengan serentak.
Membacokkan golokn mereka secara bersamaan.
Walinggih yang akan bergerak, tiba-tiba mearasa bahwa kakinya
tidak lagi dapat digerakkan. Terpaku bagai akar pohon. Ini sudah
163 tentu disebabkan oleh cairan kuning susu itu. Entah apa namanya.
Masih dengan tenang Walinggih mendengus. Alih-alih menggeser
kedudukannya, ia memutar pedang panjangnya sedemikian rupa se-
hingga terlihat ia akan membacok paha depannya sendiri. Di saat
ketiga orang yang sedang mendekat padanya itu terpesona pada ger-
akan itu, Walinggih mencengkeram ujung pedangnya yang sedang
mengayun. Ternyata pedang panjang itu bisa dibuat menjadi dua
bagian yang kira-kira sama panjangnya. Dengan cantik serangan
yang tadi diduga akan membelah pahanya itu menjadi melengkung ke
atas dan membacok lawan-lawannya di kedua arah.
"Crakkk!" dan "croott!" lawan yang ada di kanan dan dirinya ter-
pancung dagunya dari bawah. Bersamaan dengan terbelahnya muka
mereka, terbang pula nyawa mereka dari raganya semula. Bersamaan
dengan itu dua bagian pedang panjang yang masih bergerak ke atas
kanan dan kiri itu melingkar ke atas menuju punggung Walinggih, di
mana orang ketiga sedang menyerang.
"Heggg..!!" menyelinap golok orang ketiga ke pinggang Walinggih.
Luka bacokan tak dapat dihindari. Akan tetapi pada saat yang
bersamaan "crott!!" menghujam kedua potong goloknya ke kepala
seorang Asasin yang masih tersisa itu.
Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Ketiga Asasin tampak
terbujur menjadi mayat. Sementara itu Walinggih si Hakim Haus
Darah tampak masih gagah berdiri di tengah-tengah. Walaupun
kakinya tak dapat bergerak dari atas tanah dan pinggangnya telah
meneteskan luka, masih tampak wibawa dan keangkerannya.
Sunyi. Tak tahan akan keadaan itu tiba-tiba Telaga melesat. Ia menyobek
lengan bajunya untuk disematkan pada luka di pinggang Walinggih.
Andai saja Walinggih belum terkuras habis tenaganya dan juga belum
terluka, bisa tak selamat Telaga. Bisa dikira musuh yang akan meny-
erang oleh Walinggih. Tapi pada saat itu ia tidak bisa lain hanya
menerima saja. Dan ia amat bersyukur bahwa anak muda itu hanya
membalut lukanya. Ketiga perwira itu tampak tertegun menyaksikan perbuatan Telaga.
Mereka sebagai perwira tak ingin menyerang orang yang sudah tak
164 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
berdaya. Mereka juga malu bahwa orang-orang yang menolong mereka
ternyata menggunakan cara licik dengan memakai sejenis cairan yang
tidak mereka kenal itu. Ketiganya tampak termangu. Seakan-akan
menunggu Telaga sampai selesai membalut luka di pinggang Waling-
gih. Walinggih merasa amat terharu atas sikap Telaga itu. Dipandangnya
anak muda yang masih membalutnya itu. Teringat akan anaknya.
Jika anaknya masih hidup, sudah pasti sebesar ini tentunya. Tiba-tiba
dilihatnya suatu tanda di dada anak muda itu, yang bajunya sedikit
tersingkap saat ia menyobekkan lengan bajunya, untuk dibuat bahan
membalut. Terkesiap ia melihat semacam sinar temaram. Sinar yang
hanya dimiliki oleh orang-orang seperti dirinya, yang pernah belajar
ilmu dari guru yang sama.
"Siapakah, kau?" tanyanya tergagap.
"Maaf, paman.. Saya hanya tak tega melihat paman terluka. Su-
dah itu mereka-mereka ini licik sekali. Bertempur, kok menggunakan
racun..," jawab Telaga sedikit malu. Ia seharunya tidak mencampuri
urusan orang, akan tetapi perkataan orang tua yang berbusana sama
dengan Walinggih ini mengingatkannya bahwa ia harus mengatakan
kebenaran. Jangan disimpan.
Lalu Telaga pun menceritakan apa-apa yang dilihatnya kepada Wal-
inggih juga kepada ketiga perwira wakil pemerintah tersebut. Isyarat
Sarini untuk mencegahnya diabaikannya. Diceritakannya dari sejak
awal ia berada di Danau Genangan Batu sampai perjumpaannya den-
gan orang tua yang berbusana sama dengan Walinggih. Orang itu
juga dapat menjadi saksi mengenai apa yang terjadi.
Mendengar cerita Telaga, bergumam orang-orang yang berkerumun di
sana. Juga ketiga perwira menjadi bingung mengenai apa yang harus
dilakukan. Setelah mereka bertiga berunding, akhinya diputuskan
bahwa untuk kasus ini sudah selesai. Dalam hal ini Walinggih tidak
bersalah karena pelaku pembunuhan Ki Rontok adalah kelompok
Asasin itu. Salah seorang perwira yang kemudian memeriksa saku-
saku mayat Asasin kemudian menemukan jarum jahit dan benang kulit
yang digunakan untuk menjahit kembali tubuh Ki Rontok. Rupanya
mereka berlima sudah tidak sabar untuk membalaskan dendamnya
165 kepada Walinggih, akhirnya dengan cara membunuh dan mem"tnah
Walinggih, diharapkan rencana mereka dapat berjalan. Sayangnya
kemampuan silat mereka masih jauh dari mumpuni. Itupun masih
dibantu dengan cairan kuning susu tadi.
Ketiga perwira pun membubarkan orang-orang desa. Akhirnya di sana
hanya tinggal mereka bertiga, Walinggih, Telaga, Sarini dan Arasan.
Ketiga perwira wakil pemerintah pusat yang tadinya berwajah keren
dan galak itu, membantu Telaga memamapah Walinggih ke rumahnya
di atas batu. Mereka tadi bersikap garang kepada Walinggih karena
mereka yakin Walinggih adalah yang bersalah. Yang telah membunuh
Ki Rontok. Akant tetapi sekarang, setelah terbukti bukan, bersikap
mereka ramah seperti ke kebanyakan orang. Setelah itu mereka pamit,
sambil tak lupa berpesan kepada Walinggih untuk meninggalkan tabi-
atnya yang cepat marah dan main hakim sendiri. Di kedua desa
telah ada perangkat pemerintah, biarkan mereka yang mengatur, ucap
mereka. Walinggih yang telah tersentuh oleh perawatan Telaga ber-
janji akan mengubah dirinya, tidak seganas dulu.
Tinggalah saa itu Walinggih yang terbujur lemah masih menahan sakit
dan tiga orang di sekitarnya.
"Katakan sekali lagi, nak Telaga.. Bagaimana rupa orang tua itu?"
pintanya pada Telaga. Telaga kemudian menceritakan bagaimana rupa orang tua yang dite-
muinya di Danau Genangan Batu dan apa yang dilakukannya sebelum
berpisah. Mendorong dadanya secara halus dan menggetarkan isinya.
Dikatakannya pula bahwa rupanya mirip dengan Walinggih, juga bu-
sana yang dikenakannya. Tersenyum Walinggih mendengarkan kejadian itu. Katanya menghela
napas, "kakangku itu Wananggo, masih saja mengawasiku dari jauh.
Ia masih juga belum mau bertemu denganku."
Terdiam ketiga orang pendengar itu. Orang tua itu ternyata adalah
kakak dari Walinggih. Wananggo namanya. Pantas Telaga melihat
banyak kemiripan di antara mereka berdua itu.
Walinggih kemudian bercerita bahwa Wananggo juga mengalami
kesedihan yang sama dengan dirinya. Ia mengalami pula diting-
166 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
gal keluarganya. Akan tetapi berbeda dengan Walinggih, istri dan
anaknya meninggal karena penyakit, bukan dibunuh orang. Ada
satu hal yang sama dari ketiga orang itu, Walinggih, Arasan dan
Wananggo, yaitu mereka sama-sama beristrikan wanita bukan dari
desa asal mereka. Jika Walinggih dan Wananggo yang berasal dari
Desa Batu Barat yang kemudian memperistri wanita dari Desa Batu
Timur. Sebaliknya Arasan yang berasal dari Desa Batu Timur mem-
peristri wanita dari Desa Batu Barat.
Diterangkannya pula oleh Walinggih bahwa kakaknya itu mendorong
halus dada Telaga untuk mengoperkan sedikit tenaga pada Telaga
yang juga menjadi kesepakatan dari mereka bahwa Telaga adalah se-
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang cocok untuk dijadikan murid. Mendengar itu Telaga ke-
mudian menceritakan bahwa ia sedang berguru pada Arasan. Arasan
sendiri, sang guru tidak berkeberatan jika Telaga juga berguru pada
Walinggih. Ia melihat bahwa Walinggih perlu teman. Dengan adanya
teman akan lebih baik hidupnya. Dapat membantunya keluar dari ke-
biasaanya yang ganas seperti pada masa lalu. Walinggih pun berkata
bahwa selama ia masih sakit, ia belum dapat mengajarkan Telaga.
Jadi bisa saja Telaga berguru padanya setelah ia sembuh. Akhirnya
disepakati bahwa Telaga tinggal bersama Walinggih dan baru berkun-
jung pagi-pagi buta untuk belajar. Selain itu para penduduk juga
telah tahu bahwa Telaga bukanlah anak dari saudara jauhnya lagi,
melainkan hanya mampir. Tidak baik bagi seorang gadis seperti Sarini
bila ada seorang pemuda seperti Telaga, yang bukan keluarganya,
tinggal serumah. Kedua orang tua itu tertawa-tawa mendiskusikan
bagaimana mereka akan melatih Telaga kelak. Sedangkan orang yang
dibicarakan tidak diberi kesempatan.
Melihat itu semua Sarini hanya tertawa kecil sambil sesekali meli-
hat ayahnya. Belum pernah dilihatnya Arasan sesemangat itu mem-
bicarakan sesuatu. Apalagi terhadap orang yang ditakuti, Hakim Haus
Darah. *** Pemuda itu berjalan pelan mendaki gunung tinggi di depannya. Gu-
nung Hijau. Gunung yang puncaknya tidak jelas karena tertutup
awan. Paras Tampan nama pemuda itu. Ia adalah seorang dari
lima pemuda yang sedang menghadapi ujian akhir dari gurunya Ki
167 Tapa salah seorang penghuni Rimba Hijau. Di atas gunung ini ter-
dapat persembunyian kitab-kitab ahli-ahli silat tinggi. Belum jelas
bagaimana kabarnya mengapa banyak ahli-ahli silat tinggi menyem-
bunyikan kitab-kitab mereka di gunung itu pada akhir hayat mereka.
Ada yang menyembunyikannya di balik batu, di rumah di atas po-
hon, dalam ceruk, di lobang-lobang karang dan sebagainya. Saking
sulitnya menemukan kitab-kitab itu, bolah dikatakan nasiblah yang
menentukan. Atau dengan kata lain, kitab-kitab itu yang mencari
penerusnya, bukan sebaliknya. Itu yang dikatanan gurunya Ki Tapa.
Paras Tampan berjalan perlahan masih saja tebing-tebing yang dili-
hatnya. Walau kadang ada jalan setapak, tapi tidak mengisyaratkan
bahwa itu akan membawanya ke suatu tempat. Ia memutuskan un-
tuk selalu mencari jalan yang lebih menuju atas, apabila menemui
persimpangan. Semakin tinggi, mungkin semakin sakti orang yang
meninggalkan kitab itu, pikirnya.
Berbagai tebing dan batu-batu telah ditelitinya. Batu-batu yang
tinggi dan pendek. Celah yang lebar dan sempit. Juga pohon-pohon
yang terdapat di sana. Sampai saat ini baru dua rumah pohon dite-
muinya. Akan tetapi di sana tidak terdapat kitab apapun. Hanya
beberapa baris tulisan. Tulisan dari orang yang juga mencari kitab.
Tulisan mengenai keputusasaanya bahwa ia belum juga menemukan
apa yang dicari. Tersenyum kecil Paras Tampan membaca tulisan itu.
Ia tidak akan berkeluh kesah seperti orang yang menorehkan tulisan
itu pada dinding rumah pohon. Ia akan berusaha sekuatnya untuk
mencari kitab-kitab itu. Atau tepatnya ia akan terus berjalan, sampai
kitab-kitab itu menemukan dirinya.
Hari telah menjelang senja. Paras Tampan telah sampai ke suatu
batas di mana kabut tipis di atas Gunung Hijau terlihat bertambah
lebat. Ia harus beristirahat. Sulit dalam kegelapan kabut dan juga
malam untuk terus berjalan, bahkan dengan adanya bantuan obor
yang telah dibekalnya tadi. Umumnya pantulan api obor akan malah
menghalangi pandangan. Jalan yang dapat dilihat tidak sampai dua
kambing ke muka. Benar-benar hampir buta rasanya.
Sementara masih berpikir untuk terus berjalan atau beristirahat,
Paras Tampan mencari suatu tempat untuk melepaskan lelah dan
memakan bekal yang menyertainya. Akhirnya diperoleh suatu tem-
168 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
pat yang cukup nyaman. Legokan dalam batu-batu sebesar gajah.
Memberikan ruang yang cukup untuk berlindung dari angin dan juga
bila nanti turun hujan. Dibukanya perlengkapan yang dibawa. Lauk-
pauk, obor, beberapa tali dan barang-barang lainnya. Dicarinya di
sudut-sudut legokan itu, yang ternyata lebih menyerupai sebuah gua
yang dangkal, dan didapatinya ranting-ranting bekas sarang binatang.
Diambilnya beberapa buah yang kering-kering. Kembali ke tempat
perbekalannya semula diletakkan dan mulailah ia membuat api sambil
memakan perbekalannya. Selang tak berapa lama dirasakannya kantuk dan juga lelah meny-
erang. Tak dapat ditahankannya. Ia pun lalu tertidur. Lelap
sekali sehingga tidak diketahuinya beberapa mata sejenis makhluk
menatapnya. Mata-mata yang dapat bersinar dalam gelap. Bila
saja Paras Tampan tersadar, mungkin terkejut pula dirinya. Beber-
apa makhluk itu muncul mengitari dirinya dan menjamah beberapa
barang-barangnya. Geliat Paras Tampan dalam tidurnya mengagetkan mereka. Makhluk-
makhluk itu langsung kabur sambil tak lupa membawa barang-barang
yang bagi mereka menarik itu. Sebagian masih tercecer. Juga tali-tali
yang dibekal oleh Paras Tampan.
Sinar matahari yang hangat datang menggelitik pelupuk mata Paras
Tampan yang tertidur di legokan batu itu. Usikan sang surya mem-
buatnya menggeliat sesaat untuk kemudian tersadar dan bangun.
Masih galau ingatannya, di mana ia saat ini berada. Diingat-ingatnya
kembali. Akhirnya disadarinya bahwa dirinya sedang mendaki Gu-
nung Hijau untuk mencari kitab-kitab peninggalan para pendekar
yang menyimpannya di sini. Di suatu tempat di gunung ini. Sete-
lah ingatannya pulih sepenuhnya, dirasakan lapar menggaruk-garuk
perutnya. Diedarkannya pandangan mata berkeliling. Seharusnya
sisa perbekalannya kemarin ada di suatu tempat di sekitar tempat ia
tertidur. Tapi apa yang dilihatnya" Barang-barangnya berserakan, berceceran.
Seperti ada seseorang atau sekelompok orang yang mengacak-acak
barang-barang bawaannya itu. Makanannya tercecer-cecer juga obor
dan lain-lainnya. Sejumput tali yang dibawanya masih tampak, akan
tetapi lainnya telah raib. Penasaran Paras Tampan melihat hal ini.
169 Geram dan juga bergidik. Bila benar ada seseorang atau sesuatu yang
tadi malam mampir tanpa disadarinya, benar-benar berbahaya. Un-
tuk saja tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Ia benar-benar telah
teledor, dengan membiarkan dirinya terlelap begitu saja.
Setelah menenangkan dirinya dengan sedikit mengheningkan cipta, be-
ranjak Paras Tampan keluar dari legokan batu itu. Dilihatnya lan-
git cerah telah menantinya untuk kembali mencari kitab-kitab seperti
yang dituturkan oleh gurunya, Ki Tapa. Di bawah sana, di bawah
tebing di mana legokan tempat Paras Tampan tadi malam tertidur,
tampak kabut awan tebal. Gumpalan putih itu menghalangi pandan-
gan Paras Tampan ke kaki gunung, di mana Rimba Hijau berada.
Bisanya ia berada di bawah sana tidak bisa melihat ke atas sini. Kali
ini malah sebaliknya. Ia berada di atas sini dan tidak bisa melihat ke
bawah sana. Pagi hari kedudukan gumpalan putih itu ternyata lebih
rendah dibandingkan pada sore hari. Mungkin panasnya hari yang
membawa gumpalan-gumpalan itu naik pada siang hari dan dingin-
nya malam yang membawanya kembali turun pada malam hari.
Teringat kembali Paras Tampan akan hilangnya perbekalannya. Dicari-
carinya dengan matanya ke berbagai arah, siapa tahu tercecer masih
barang-barangnya. Tak berapa jauh, kira-kira dua tiga tombak dili-
hatnya sejumput tali-tali yang dibawanya tergeletak terurai menuju ke
suatu arah. Bergegas ia menghampiri. Menggulung kembali tali itu.
Mungkin diperlukannya kelak. Baru dua gulung diperolehnya. Semua
seharusnya tujuh gulung tali-tali sebesar ibu jari. Cukup kecil tapi
ulet dan kuat. Terbuat dari rumput-rumputan yang diberi ramuan.
Ringan tapi ulet, begitu kata gurunya.
Dengan berbekal ceceran tali-tali yang terurai itu berjalan Paras Tam-
pan ke suatu legokan lain yang lebih lebar agak ke atas dari tempat
ia tertidur tadi malam. Legokan ini sudah dilihatnya tadi malam.
Dikarenakan bentuknya yang lebih luas dan lapang sehingga angin
lebih leluasa untuk masuk, dipilihnya legokan yang kemarin dan bukan
ini. Walaupun demikian ia telah juga memeriksa legokan ini. Kalau-
kalau terdapat ruang atau gua tempat meletakkan kitab-kitab. Dan
kali ini dijumpainya hal yang menarik.
Di ujung legokan batu tersebut, di tengah sebuah batu besar yang
retak, tampak seutas tali yang dibawanya tersembul. Mustahil.
170 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Bagaimana talinya dapat tesembul dari retakan batu itu" Apa ada
orang atau makhluk yang iseng menyisipkannya di situ. Bingung
Paras Tampan memikirkan hal itu. Saat sedang termenung, datang
kembali usikan sang usus. Meminta makan ia. Belum pagi ini perut
Paras Tampan diisi. Sudah sewajarnya tuntutan alamiah itu datang.
Teringat itu, kembalilah Paras Tampan ke bawah. Ke tempat ia
tertidur semalam. Barang-barangnya masih berserakan di bawah. Di-
rapikannya. Dikemasnya. Masih tersisa sedikit penganan yang tidak
terambil oleh suatu malam tadi. Dimakannya perlahan sambil kem-
bali berjalan ke legokan di atas. Kembali memikirkan bagaimana tali
itu dapat tersisipkan pada legokan batu.
Hari berlangsung dengan cepat tanpa dirasa bila ada yang dikerjakan.
Begitu pula yang dirasakan oleh Paras Tampan. Tidak terasa senja
telah kembali datang menjelang. Dan ia boleh dikatakan hampir tidak
meninggalkan legokan itu. Dicari-carinya lubang-lubang. Diketuk-
ketuknya batu. Dipanjatnya batu retak itu. Digali-galinya sedikit
pasir yang terdapat dikakinya. Tapi hasilnya nihil Tak ada petunjuk
sedikitpun bagaimana tali itu dapat masuk ke dalam retakan batu.
Retakan itu seakan-akan begitu rapat. Tidak dapat dibuka. Tapi
bagaimana tali itu dapat masuk" Makin bingung Paras Tampan dibu-
atnya. Tiba-tiba datang gagasan pada diri pemuda itu. Bagaimana jika sesu-
atu yang mencuri tali-tali dan barang-barangnya itu datang kembali
malam ini. Mungkin dari balik batu itu. Baiknya ditunggu saja. Ia
kemudian memilih suatu tempat agak ke atas dari retakan itu. Ke-
betulan di sana terdapat pula legokan mirip liang. Bisa dimasukinya
dengan memanjat. Kaki duluan baru kepala. Cukup luas, tapi ia
tidak bisa sampai menekut lutunya. Cukup hanya untuk berbaring.
Tapi cukuplah, ini hanya untuk keperluan mengintai, pikirnya.
Tunggu punya tunggu, hampir saja Paras Tampan yang terkantuk-
kantuk itu tertidur. Kalau saja kakinya tidak kesemutan, bisa saja
terulang kembali kejadian kemarin malam. Kembali tertidur saat sesu-
atu itu menggerayangi barang-barangnya.
"Kriiittt...!" suatu suara muncul memecah keheningan malam yang
hanya diisi oleh suara jengkerik.
171 Mendengar itu semakin diam badan Paras Tampan. Diatur teratur
nafasnya sehingga sedapat mungkin tidak terdengar. Diatur hawanya
supaya tanda-tanda keberadaanya tidak dapat dideteksi oleh sesuatu
itu. Sambil memicingkan matanya, dilihatnya bahwa batu tempat
talinya tersembul dari retakan itu, terbelah. Perlahan tapi pasti se-
buah liang gelap tersembul dari dalamnya. Teryata batu itu bisa
berputar ke kanan dan kiri membuka.
Meloncat keluar dari dalamnya beberapa orang kerdil gemuk den-
gan hidung yang amat panjang, dua tiga kali hidung seorang dewasa,
dilengkapi dengan rambutnya yang gondrong dan kusam. Telapak kaki
dan tangan mereka lebar-lebar, menandakan mereka penggenggam
dan penginjak yang kuat. Paras Tampan tertakjub melihat makhluk-
makhluk itu melihat waspada ke kiri dan kanan. Ia pernah mem-
baca mengenai makhluk itu dalam salah satu kitab di rumah gu-
runya. Di sana disebutkan makhluk itu bernama Troll, salah satu dari
makhluk-makhluk elemen tanah atau Roh Tanah, di samping Manu-
sia Tiga Kaki, Gnomen dan Orang Gunung (Bergmnnchen). Disebut
roh karena kadang mereka mempunyai kemampuan yang tidak dimi-
liki oleh seorang manusia, seperti kekuatan dan juga kebisaan untuk
menghilang atau tidur lama sekali.
Para Troll itu memandang sekeliling ruang di depannya dengan was-
pada. Dilihatnya berkali-kali spasial di depannya. Berhati-hati agar
tidak berjumpa dengan musuh-musuh mereka. Setelah yakin bahwa
tiada yang mengintai mereka, para Troll itu pun beranjak pergi. Salah
seorang diantaranya menggulung tali yang terjepit di retakan batu
karang itu. Rupanya ia yang membawa-bawa tali itu sejak kemarin.
Di pinggangnya terselip tali-tali lain milik Paras Tampan. Senang
kelihatannya ia bermain-main dengan tali.
Temannya pun memanggil mereka. Mereka semua kembali ke lekukan
batu, di mana mereka tadi malam menemukan Paras Tampan sedang
tertidur. Para Troll itu mencoba mengulangi penjelajahannya ke-
marin. Malam ini mereka mengharapkan Paras Tampan tidak berg-
erak, sehingga mereke dapat melihat-lihat dan mengambil barangnya
tanpa takut-takut. Sebenarnya seorang dari mereka terlihat enggan
untuk ikut. Akan tetapi atas ajakan yang lain, mau tidak mau ia tu-
rut. Lebih besar rasa ingin tahunya ketimbang ketakutannya untuk
melihat lagi manusia yang tertidur di sana seperti kemarin malam.
172 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Tersenyum Paras Tampan melihat para Troll itu menghilang di balik
batuan untuk berbelok ke bawah. Di lekukan tempat ia tertidur ke-
marin malam telah diletakkannya berbagai perlengkapan juga anyam-
anyaman yang dibuatnya dari tali dan juga ranting-ranting. Mainan
buat Para Troll agar mereka memberinya kesempatan untuk menye-
lidiki rekahan batu karang yang terbuka itu.
Setelah merasa yakin bahwa Troll-trol itu sedang sibuk dengan
mainan-mainan dan perlengkapan yang dibuatnya, berbegas Paras
Tampan beringsut keluar dari persembunyiannya. Hampir ia terjatuh
bila tidak mengingat kakinya yang masih agak kesemutan. Jatuh
dari ketinggian pohon pepaya itu, benar-benar dapat membuatnya
remuk. Apalagi dengan kepala terlebih dahulu menyentuh lantai
tanah berbatu itu. Selah kakinya agak baikan dengan digosok-gosok
perlahan, mulai ia merambat turun. Perlahan, agar tidak memper-
dengarkan bunyi-bunyian yang dapat memancing para Troll untuk
kembali. Ia belum mengetahui bagaimana mekanisma pembukaan
dan penutupan pintu karang itu. Biarlah, yang penting sekarang ia
masuk dan mencari-cari di dalam karang itu. Siapa tahu di sana
terdapat kitab-kitab yang dicarinya.
Berbekal dengan keyakinan masuklah Paras Tampan ke dalam reka-
han batu karang yang terbuka itu. Dibiarkannya dahulu agar matanya
terbiasa dalam kegelapan. Tidak berani ia menggunakan obor karena
takut terlihat oleh para Troll. Setelah agak lama, keadaan di dalam
lorong itu ternyata tidak segelap dugaannya semula. Di dasar lorong
terdapat sinar-sinar temaram yang berasal dari sejenis rumput-
rumputan. Rupanya para Troll sengaja menanam tumbuh-tumbuhan
itu sebagai penerang jalan mereka. Benar-benar suatu pemikiran yang
maju. Melengkapi lorong-lorong mereka dengan penerangan.
Paras Tampan pun maju selangkah demi selangkah. Tak berani ia
terlalu cepat karena tak tahu apa yang akan dihadapinya di depan
sana. Lebih baik perlahan agar dapat lebih hati-hati. Sudah lebih
dari sepeminum teh ia berjalan, hanya dipandu oleh rumput-rumbut
yang bercahaya di dalam gelap itu. Sampai akhirnya ia menemui dua
buah percabangan. Bingung hatinya. Tak tahu ia harus ke mana.
"Buk-buk-buk-buk..!" tiba-tiba terdengar langkah-langkah datang
dari belakangnya. Terkejut Paras Tampan mendengar hal itu. Pasti
173 itu para Troll yang telah bosan dengan hal-hal yang ditemuinya, dan
mereka sekarang akan kembali ke dalam tempat tinggalnya ini. Paras
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tampan berpikir keras dan cepat, kemana ia harus beranjak. Harus
dipilihnya satu dari dua percabangan ini, ke arah ke mana para Troll
itu tidak akan berjalan. Tapi tak ada panduan ke arah mana mereka
akan menuju, sehingga ia bisa mengambil arah yang berlawanan.
Cepat diperhatikannya kedua lorong di hadapannya itu. Lorong yang
kiri tampak agak terang karena terdapat masih rumput-rumput pe-
nunjuk jalan yang ditanam di kiri dan kanannya, sedangkan lorong
sebelah kanan tampak lebih suram. Malah boleh dikatakan tak ada
tanaman berkilau dalam gelap itu di dalam lorong tersebut. Akhirnya
dengan dasar bahwa lorong itu tidak digunakan, ia berjalan cepat
memilih lorong yang kanan. Lorong yang sering digunakan haruslah
ditanami rumput-rumput itu, begitu pikirnya.
Dengan tersandung-sandung Paras Tampan berjalan memasuki lorong
yang gelap itu. Sampai suatu saat tangannya menyentuh suatu
legokan dalam dinding batu. Ditariknya badangnya untuk merapat
dalam legokan itu. Dari sana masih dapat dilihatnya percabangan
yang tadi. Bersinar temaram karena adanya Rumput-Rumput Berki-
lau Dalam Gelap di sana. "Buk-buk-buk-buk..!!" terdengar langkah-langkah mereka semakin
dekat. Sampai di persimpangan itu rombongan itu berhenti. Hal ini
dikarenakan Troll terdepan menghentikan langkahnya. Nampaknya ia
ingin berjalan ke arah di mana Paras Tampan bersembunyi. Berdegup
Paras Tampan melihat adegan ini. Bila mereka berarah ke sini, bisa
tertangkap dirinya. Uratnya pun menegang. Bersiap-siap untuk hal-
hal yang akan terjadi. Tampak teman sang Troll menggoyang-goyangkan tangannya sam-
bil menunjuk-nunjuk arah lorong yang lain. Digeleng-gelengkan
kepalanya, seakan-akan hendak mengatakan bahwa jangan memasuki
lorong di sebelah kanan itu. Sebaiknya kita cepat kembali pulang,
kira-kira katanya. Akhirnya Troll yang paling depan itu pun menu-
rut, dan mereka mulai berjalan kembali melewati lorong yang sebelah
kiri. "Buk-buk-buk-buk..!" suara langkah-langkah itu terdengar lamat-
lamat menjauh dan menghilang. Sunyai. Hanya tinggal suara
174 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
degug jantung Paras Tampan yang masih dapat dirasakannya sendiri.
Perlahan-lahan dilepaskannya ketegangan itu. Duduklah ia untuk
mengatur napasnya. Sunyi dan sepi, juga gelap.
Setelah ketenangan dan keberaniannya pulih kembali Paras Tam-
pan berdiri. Mulai memperhatikan lorong di mana ia berada. Di
arah berlawanan dengan percabangan itu tak dilihatnya sama sekali
apapun. Benar-benar gelap gulita adanya. Akhirnya diputuskan
untuk kembali ke percabangan, mengambil berapa Rumput-rumput
Berkilau Dalam Gelap untuk dijadikan penerangan. Tak dapat ia
berjalan begitu saja dalam gelap.
Dengan hati-hati ia kembali ke percabangan itu. Diambilnya sedikit
rumput dari sejumput yang ada, begitu pula dari jumput lainnya. Tak
ingin ia mengambil banyak dari satu jumput. Bisa ketahuan nanti
kalau ada yang mencabut jumput itu. Paras Tampan telah memper-
hatikan bahwa jumput-jumput itu ditanam pada ukuran yang kira-
kira sama berjarak satu sama lainnya. Benar-benar ditanam beratu-
ran. Sudah cukup banyak rumput-rumput di tangannya, Rumput-rumput
Berkilau Dalam Gelap. Dilangkahkan lagilah kakinya kembali ke
lorong sebelah kanan yang sama sekali gelap itu. Kali tidak terlalu
karena telah ada rumput-rumput sebagai penerangan itu di tangan-
nya. Perlahan-lahan ia melangkah dengan melihat langkah-langkahnya
dibantu rumput-rumput itu. Lorong itu ternyata berbeda dengan
lorong sebelum percabangan. Dindingnya lebih halus dan terbuat
dari bahan yang terlihat lebih keras dan dingin tapi kering. Aki-
batnya dirasakan juga tubuhnya sedikit agak menggigil saat melalui
lorong itu. Berjalan ia perlahan-lahan tanpa tahu kapan atau apa
yang akan ditemuinya nanti.
Waktu pun berlalu dengan amat lambat dalam lorong yang gelap itu.
Paras Tampan akan tetapi tidak putus asa. Tak ada jalan lain, lebih
baik ia terus menyusuri lorong ini. Untuk kembali resikonya lebih
besar, yaitu selain akan bertemu Troll, juga ia belum tahu bagaimana
cara membuka batu karang yang retak tengahnya itu. Bisa dikatakan
175 jalan kembali tak ada kesempatan.
Tak berapa lama dilihatnya seperti ada cahaya di depan sana. Lamat-
lamat. Ia bergegas berjalan cepat. Ada pintu keluar, pikirnya.
Kegembiraan itu menurunkan kewaspadaanya, sehingga tiba-tiba,
"dukkk!" Kepalanya terantuk dengan langit-langit lorong. Rupa-
nya lorong itu sedikit memendek dan jalan di bawahnya menanjak.
Karena cahaya datang dari tengahnya masih temaram, tak dilihat
Paras Tampan perubahan itu.
Setelah mengusap-usap kepalanya yang agaknya benjol, Paras Tam-
pan mulai agak berhati-hati berjalan. Untung itu hanya langit-langit,
bagaimana bila lubang atau jurang. Sudah mati dia bisa-bisa. Lorong
itu pun bertambah pendek sehingga ia harus merangkat untuk mele-
watinya. Akan tetapi cahayanya yang terlihat dari ujung sana semakin
jelas dan terang. Ini menambah semangat Paras Tampan untuk terus
melangkah, akan tetapi tetap dengan hati-hati. Setelah merangkak
beberapa saat sampailah Paras Tampan di suatu ruang yang cukup
lapang. Ruang itu terbuat dari batu cadas dengan tinggi kira-kira lima kali
dirinya dan seluas sebuah sawah kecil. Udaranya bersih dan cahaya
yang dilihatnya berasal dari lubang-lubang pada dinding batu sebesar
pelukan tangan orang dewasa. Puluhan lubang terdapat di dinding
batu berlawanan arah dengan lorong yang membawanya ke ruangan
itu. Seperti jendela saja layaknya lubang-lubang udara itu terpasang
pada dinding batu tersebut. Seakan-akan terpancing dengan adanya
cahaya tersebut berjalan pelan Paras Tampan menyeberangi ruangan
menuju jendela-jendela alam itu.
Di luar sana, dibalik dinding batu cadas besar tebal dan berlubang-
lubang alami itu, sedikit dapat diintip oleh Paras Tampan hanya langit
dan awan putih yang terlihat. Di kejauhan baru dilihatnya pepohonan
dan juga sungai serta sawah. Lain tidak. Dicobanya untuk merampat
naik ke salah satu lubang-lubang itu. Ingin dilihatnya hal lain yang
ada di ujung sebelah sana.
Perlahan ia merangkak. Pelan. Sampai dua tombak lebih, sampailah
ia di ujung sana. Hampir loncat jantungnya saat menyadari bahwa
lubang-lubang itu bermuara pada suatu tebing yang tinggi di Gunung
176 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Hijau. Di bawahnya terdapat dinding cadas dan tinggi. Awan-awan
putih susu tampak sesekali menghalangi pemandangan ke pada pohon-
pohon hijau di bawahnya. Sudah pasti bukan jalan keluar lubang-
lubang ini. Dengan masih merinding mengingat ketinggian dinding di mana
lubang-lubang itu berada dari bawah sana, Paras Tampan merangkak
mundur. Ia tidak bisa berputar. Lubang itu terlalu kecil untuk
berputar atau duduk. Satu-satunya jalan hanyalah mundur perlahan-
lahan. Paras Tampan telah berada kembali pada ruang semula. Diperiksanya
dengan seksama, apa-apa yang ada di sana. Dua sisi lainnya selain
lubang-lubang jendela dan lorong tempat ia datang tidak terdapat
apa-apa melainkan hanya dinding batu cadas belaka. Hitam dan din-
gin. Berbeda dengan udara yang agak hangat akibat masuknya sinar
matahari dari lubang-lubang itu. Kemudian ia berputar kembali pada
dinding di mana terdapat lorong ia masuk ke ruangan itu. Lubang ke
lorong terdapat di ketinggian sepinggangnya. Jauh di atasnya terda-
pat sebuah lubang lain. Cukup lebar dan tinggi. Akan letaknya jauh
di atas, hampir dekat dengan langit-langit. Oleh karena tinggi dan
kerasnya dinding itu tak memungkin kiranya ia untuk memanjat naik.
Diraba-rabanya dinding di hadapannya itu dengan tangannya, sam-
pai ketinggian yang dapat dicapainya. Tiba-tiba ia bersorak girang,
ada seperti anak tangga di atas itu. Tak terlihat karena warna dind-
ing yang kelam dan tingginya tempat tersebut. Bergegas ia berg-
erak mundur mendekati lubang-lubang jendela. Dicobanya untuk
meloncat-loncat agar tempat yang diduganya itu lebih jelas terlihat.
Ada, soraknya dalam hati. Ada pijakan atau anak tangga di keting-
gian lebih dari tinggi dirinya. Mungkin itu semacam anak tangga
yang dirancang supaya lubang yang di atas itu tidak mudah dicapai.
Tiba-tiba didapatnya akal, dipanjatnya dinding tempat lubang-lubang
jendela itu terletak. Mudah karena jarak masing-masing jendela tidak
berjauhan. Setelah memanjat kira-kira dua kali tinggi badannya,
Paras Tampan bersorak gembira.
Di hadapannya, di dinding di mana terdapat jalan masuk ke ruan-
gan ini, terdapat semacam anak tangga. Anak tangga pertama lebih
177 tinggi dari dirinya dan masuk lebih dalam ke arah dinding. Yang
kedua setinggi dirinya dan masuk lagi lebih ke dalam. Berikutnya
semakin rendah dan akhinya mengarah pada sebuah lubang di samp-
ingnya. Lubang di mana jauh di bawahnya terdapat lubang tempat
ia masuk tadi. Benar-benar akal yang cerdik untuk membuat anak
tangga melebihi pandangan orang. Orang yang cepat putus asa tidak
akan melihat anak tangga itu.
Sekarang tinggal bagaimana caranya ia melewati anak tangga per-
tama itu. Bila bisa, anak tangga berikutnya lebih rendah. Dan
berikutnya lebih rendah lagi. Ada lima anak tangga semuanya. Sete-
lah berada kembali pada dinding yang dimaksud ia berusaha melon-
cat ringan. Tangannya berhasil mencengkeram lantai di atas dinding
itu. Tapi tidak cukup kuat untuk mengangkat dirinya naik. Berulang
kali dicobanya. Masih saja gagal. Paras Tampan pun berpikir keras
bagaimana naik ke atas dinding tersebut.
Salah satu cara adalah bahwa ia harus dapat melompat tinggi, seti-
daknya setengah pinggah lebih tinggi dari daya lompatnya saat ini.
Kemampuan itu sulit untuk dilatihnya dalam waktu hanya beber-
apa saat saja. Butuh waktu lama. Harus ada pemecahan bagaimana
caranya sehingga ia bisa melompak jauh lebih tinggi dari sebelumnya.
Cara lain adalah dengan mencari pijakan sehingga ia dapat merambat
naik. Cara ini mungkin lebih masuk akal. Akan tetapi dalam ruan-
gan yang kosong ini bagaimana ia dapat menemukan sesuatu untuk
mendukungnya" Mungkin di lorong sana, tempat dari mana ia datang tadi ada sesuatu.
Dengan berbekal pikiran itu Paras Tampan pun kembali ke lorong
tersebut. Merangkak pelan. Agak sukar dibandingkan tadi karena
sumber cahaya berada di belakangnya. Setelah sampai di tempat ia
terantuk kepalanya tadi diedarkan pandangannya. Di salah satu sudut
lorong, setelah diraba-raba ditemuinya dua buah batu yang cukup
besar dan berat dengan permukaan atasnya rata. Seperti dipotong
dengan sengaja. Dengan berdebar-debar penuh semangat didorongnya
kedua batu itu perlahan-lahan pelan tapi pasti. Hampir habis tenaga
Paras Tampan mendorong kedua batu tersebut, karena selain jarak
yang jauh juga karena beratnya.
Duduklah Paras Tampan terpekur di dalam ruangan yang terang dan
178 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
berudara bersih itu. Dua buah batu persegi empat yang rapih ter-
potong itu telah berhasil didorongnya. Ia perlu beristirahat seben-
tar untuk beristirahat. Tak lama kemudian pulih kembali tenaganya.
Dengan bersemangat ia geser kedua batu itu berganti-ganti mendekati
dinding, di mana lantai diatasnya paling rendah terlihat. Kemudian
diangkatnya salah satu batu untuk ditumpangkannya di atas batu
yang lain. Yang lebih kecil di atas yang lebih besar, agar lebih sta-
bil. Berkeringat tubuh dan wajah Paras Tampan, menandakan banyak
sudah tenaga yang dikeluarkannya untuk usaha itu.
Kemudian ia menarik napas panjang. Puas melihat pekerjaan-
nya. Sekarang tinggal saatnya memanjat naik. Berhasil, tangannya
sekarang dapat menggapai lantai di atas itu sampai siku. Dengan cara
ini ia dapat menggapai lantai itu untuk menarik dirinya. Lalu melom-
patlah ia dengan menjejak ke kedua batu yang menjadi tumpuannya.
Dan naiklah ia. Anak tangga kedua tidak begitu menjadi masalah
karena memang lebih rendah ukurannya. Juga yang berikutnya sam-
pai yang kelima. Akhirnya sampailah ia di lubang yang berbentuk
mirip pintu itu. Hitam di dalamnya dengan sedikit cahaya terlihat di
sisi kanannya. Sisi itu merupakan suatu pintu tanpa penutup yang
mengarah pada suatu ruangan yang besar. Lebih besar dari ruangan
sebelumnya dan lebih tinggi.
Hal yang membuat Paras Tampan gemetar menahan kegembiraan-
nya adalah bahwa selain lubang-lubang yang sama seperti dalam ru-
ang sebelumnya yang berisikan lubang-lubang udara, terdapat pula
lubang-lubang lain yang berada di antaranya. Lubang-lubang yang
berisikan berjilid-jilid kitab. Ruangan yang seakan-akan merupakan
sebuah perpustakaan. Perpustakaan kitab-kitab kuno.
Pemuda itu melihat berkeliling. Di semua dinding dalam ruangan
itu bertahta lubang-lubang yang masing-masing berisikan kitab-kitab
kuno. Beratus-ratus jumlahnya. Dicobanya untuk melirik beberapa
judul yang ada. Diantaranya bernama Jaga Kesehatan Tubuh dan
Jiwa, Pukulan Inti Es dan Salju, Racun Selaksa Macam, Angin-angin,
Tenaga Air, Seribu Ramuan, Batu-batu, Pukulan Tanpa Tanding,
Seni Beperang, Ilmu Muda Selamanya, Tujuh Rahasia, Rancang Jiwa
Raga dan masih banyak lainnya. Aneh-aneh judulnya. Gemetar pe-
muda itu membaca judul-judul yang ada. Ia hanya pernah mendengar
salah satu dari judul-judul kitab tersebut dari gurunya. Dan Sekarang
179 kitab-kitab tersebut berada di depan matanya. Siap untuk dilahap.
Dipelajari. Pemuda itu, Paras Tampan, hanya pernah melihat satu kitab ilmu silat
yang ditunjukkan oleh gurunya, Jalan Selaras dengan Alam Semesta.
Ilmu itu telah diajarkan kepadanya. Dengan berbekal ilmu beladiri
tersebut ia dan saudara-saudara perguruannya secara terpisah mencari
ilmu-ilmu lain yang konon katanya terdapat di gunung ini. Gunung
Hijau, gunung yang terletak di tengah Rimba Hijau. Atas kehen-
dak Sang Pencipta, hari ini Paras Tampan dapat menemukan gua ini.
Gua di mana tersimpan kitab-kitab ilmu-ilmu dari segala penjuru an-
gin. Teringat Paras Tampan pada keempat saudara seperguruannya:
Asap, Misbaya, Rintah dan Gentong. Jika saja ia bisa menghubungi
keempatnya, pastilah diajak keempatnya itu untuk berdiam di sini.
Mempelajari bersama-sama kitab-kitab yang ada di sini. Tak akan
kurang mereka bagi mereka berlima. Sayangnya ia tidak tahu di mana
mereka berempat berada. Ia berharap bahwa saudara-saudara seper-
guruannya pun seberuntung dirinya, dapat menemukan kitab-kitab
yang cocok bagi mereka. Ia sendiri malah bingung harus mulai bela-
jar dari kitab apa. Ia teringat akan pembicaraan dengan gurunya Ki Tapa pada suatu
saat. Hanya mereka berdua.
"Paras Tampan, apakah kamu tahu apa yang dimaksud dengan Jaga
Kesehatan Tubuh dan Jiwa, Angin-angin, Batu-batu dan Seribu Ra-
muan" Pernahkah engkau mendengarnya?" tanya gurunya hati-hati.
"Pernah guru, Asap pernah menceritakan pada kami bahwa itu adalah
kitab-kitab yang dibawa guru atau perintah kakek guru ke Rimba
Hijau ini untuk disembunyikan," jawab Paras Tampan.
"Benar. Itu adalah kitab-kitab titipan dari guruku Ki Makam. Kitab-
kitab yang harus disembunyikan dari orang-orang Perguruan Atas An-
gin. Tapi itu cerita lama..," kemudian lanjutnya, "dan sekarang.."
Bingung juga Paras Tampan mendengar cerita gurunya yang tidak
jelas itu. Pembicaraan yang tahu-tahu membahas keempat kitab yang
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya pernah didengarnya dari Asap itu.
Akhirnya gurunya menceritakan bahwa kitab-kitab itu telah dicuri
180 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
darinya, saat ia baru masuk ke dalam Rimba Hijau. Ia tidak per-
sis tahu bagaimana peristiwa itu terjadi. Hanya diingatnya sebelum
dan sesudah ia menyadari bahwa kitab-kitab itu tidak berada lagi
pada tempatnya, telah terjadi pertarungannya antara dirinya dengan
Hitam-Putih, pemimpin dari kaum Manusia Tiga Kaki. Akibat dari
pertarungan yang berlangsung lama itu, ia baru menyadari jauh hari
kemudian bahwa kitab-kitab tersebut tidak lagi berada di tempatnya
semula. Di balik tempat tidurnya, dekat dengan bagian kepala.
Kitab Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang ada di tangan gurunya
saat itu adalah potongan bagian akhir dari kitab Jaga Kesehatan
Tubuh dan Jiwa. Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa ternyata ter-
diri dari dua bagian. Bagian pertama berisikan cara-cara mengolah
keempat macam elemen sebagai tenaga yang tertuang dalam jurus-
jurus: Jurus Air, Jurus Tanah, Jurus Api dan Jurus Air. Sedangkan
bagian kedua adalah Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang meru-
pakan implementasi dari Jurus Air. Entah kenapa tidak ada bagian
lain dari kitab yang menerangkan penggunaan jurus-jurus lainnya, se-
lain jurus air ini. Dikarenakan oleh gurunya, Ki Tapa hanya diajarkan kitab Jaga Kese-
hatan Tubuh dan Jiwa, maka ia pun tidak begitu menaruh perhatian
pada kitab-kitab lainnya. Pun gurunya saat itu sebelum kematiannya
hanya sempat mengajari bagaimana cara mengolah keempat elemen
tenaga tersebut. Tidak pernah disinggungnya ada bagian penggu-
naan dari Jurus Air pada bagian belakang kitab tersebut, yang boleh
dikatakan seakan-akan merupakan kitab tersendiri yang sepertinya di-
tambahkan belakangan. Entah oleh siapa. Oleh karena itu Ki Tapa
mencopot bagian tersebut, karena menarik untuk dipelajari lebih lan-
jut. Dan sering dibawa-bawanya kitab itu. Kebetulan saja Ki Tapa
mencobot bagian tersebut, sehingga bagian kitab itu tidak sempat
hilang bersama dengan kitab-kitab lainnya.
Kembali Paras Tampan dari kenangannya diperhatikannya sekarang
dinding di mana kitab-kitab yang menggoda untuk dipelajari itu
bertengger. Tiba-tiba padangannya tertumbuk pada sesuatu tulisan di dinding.
Dinding di pinggir rongga atau lubang tempat menyimpan kitab-kitab
itu. Tulisan itu mirip prasasti. Huruf-hurufnya tampak dipahatkan
181 dalam keadaan yang buru-buru. Arahnya tidak rata tiap barisnya.
Semakin ke bawah, semakin miring dengan guratan yang tidak lagi
dalam. Seperti ditulis seseorang dalam saat-saat terakhir hidupnya.
Di sana tertulis, "Bagi seorang manusia yang bisa membaca tulisan ini, ia berarti
berjodoh untuk menjadi muridku, Penjaga Keseimbangan. Ia yang
berjodoh harus meneruskan apa yang sudah kumulai. Bacalah itu
pada kitab-kitab awal. Untuk menunaikan tugas, pelajari hanya
ilmu-ilmu yang masih murni. Jangan lupa untuk..."
Tulisan tersebut berhenti di sana. Tampak seperti sang penulis telah
tidak lagi memiliki kemampuan untuk menuliskannya. Dicobanya lagi
mencari-cari apa-apa yang dapat dijadikan petunjuk pada sambungan
tulisan itu di sekitarnya. Tidak ada. Hanya lambang-lambang aneh di
awal tulisan yang kemudian terlihat olehnya. Lambang-lambang yang
mirip dengan lambang-lambang yang pernah dijelaskan gurunya.
Bertanya-tanya juga Paras Tampan dalam hati apa kelanjutan dari
kalimat "Jangan lupa untuk...". Tapi kemudian hal itu dilupakannya
karena ia lebih tertarik untuk melihat di lain tempat, judul-judul kitab
yang ada. Sebelum ia belajar, ada baiknya ia membaca dulu semua
judul-judul yang ada, biar ada gambaran ilmu-ilmu apa yang tersedia
di dalam ruangan itu. Untuk sementara tulisan pada dinding itu tidak
diambil pusing. Setelah hampir setengah hari melihat-lihat dirasakan bahwa perutnya
telah berkukuruyuk. Lapar. Minta untuk diisi. Badannya juga terasa
lelah. Sudah sejak malam kemarin ia belum beristirahat. Sepanjang
malam ia lewatkan di dalam terowongan hingga sampai ke ruangan ini.
Sedari waktu itu, belum ada makanan yang dilewatkan ke lambungnya.
Teringat itu, Paras Tampan melupakan dulu kitab-kitab itu untuk
mencari apa-apa yang bisa dimakan untuk menyambung hidupnya di
tempat itu. Dilihatnya kembali berkeliling. Di salah satu ujung ruangan, berlawanan
dengan ujung lain tempat ia masuk ke ruangan yang penuh den-
gan kitab-kitab itu Paras Tampan menemukan semacam lorong lain.
Sedikit berliku dan tidak terlalu gelap keadaannya. Dengan hati-hati
ia mengikuti lorong itu sampai tiba di suatu tempat terbuka yang
182 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
cukup luas. Mirip seperti semacam balkon alam yang terbuat dari
batu dengan pandangan tebing ke bawah pada sisi kirinya dan dinding
tebing menjulang tinggi pada sisi kanannya. Sebuah sungai jernih dan
dalam membelah pelataran batu tersebut.
Sungai itu mengalir keluar dari lubang besar di dinding sebelah kanan
dan jatuh membentuk air terjun pada sisi sebelah kiri. Sungai Batu
Jernih. Di seberang sungai tersebut terdapat lagi dinding tebing yang
tinggi dengan banyak lubang-lubang gelap di permukaannya. Tebing
tinggi seperti dalam arah ia datang tadi.
Sungai yang keluar dari lubang, air terjun dan juga lubang-lubang
pada dinding batu di seberangnya tidak terlalu menarik Paras Tam-
pan. Matanya melirik pada sesuatu agak ke atas dari arah padangan
matanya. Sesuatu itu adalah buah-buahan yang tergantung pada po-
hon yang tumbuh pada dinding batu di mulut sungai. Ranum dan
segar kelihatannya. Ditambah dengan laparnya, ingin ia meraih un-
tuk memakannya. Dan sebelum Paras Tampan sempat berpikir bagaimana cara menca-
pai buah-buahan yang menarik hatinya itu, tiba-tiba dari dalam air
yang jernih itu melompat seekor ikan berduri yang cukup besar. Ham-
pir seukuran dirinya. Benar-benar ikan yang mengagumkan karena
tubuhnya dipenuhi dengan sisik-sisik kasar seperti batu. Ekor dan
sirip-siripnya berbentuk kipas. Matanya besar. Warna tubuhnya biru
tua keunguan. Belum pernah Paras Tampan melihat ikan seperti
itu sebelumnya. Dari gurunya ia pernah diceritakan adanya sejenis
ikan purba berciri demikian yang bernama Kolakan (coelacanth), yang
dalam suatu bahasa (Yunani) berarti duri berlubang pada sirip. Dan
hal ini memang cocok dengan keadaan ikan ini. Di mana pada sirip-
siripnya yang seperti kipas terlihat lubang-lubang.
Ikan Kolakan itu dengan tangkas melompat ke arah buah-buahan
itu, tidak cukup tinggi sehingga ia dapat mencapainya. Akan tetapi
dengan menggunakan kecipakan air yang masih melekat ditubuhnya
ikan tersebut mengibas sedemikian rupa sehingga percikan-percikan
air melesat bagai butiran-butiran batu. Pesat menuju buah-buahan
itu. Dan "tak-tak" beberapa buah-buahan yang ranum itu terjatuh
ke dalam air. Mengambang.
183 Alih-alih memakannya ikan besar itu menyundulnya dengan mocon-
gnya dan melemparkannya ke hadapan Paras Tampan. Tertegun pe-
muda itu melihat hal tersebut. Tak tahu ia apa yang seharusnya
dilakukan. 184 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Bagian 4 Penjaga Keseimbangan Sementara itu, ikan Kolakan tersebut kembali mengulangi beberapa
kali pertunjukkan yang luar biasa itu sampai didapatnya kira-kira
enam butir buah-buahan dari pohon itu, dan kemudian dilontarkan-
nya kembali buah-buahan ke hadapan Paras Tampan. Ia seakan-akan
ingin berkata bahwa buah-buahan itu dapat dimakan oleh sang pe-
muda. Ragu-ragu Paras Tampan mengambil sebuah darinya. Diperiksanya
perlahan-lahan. Mirip buah pir bentuknya akan tetapi harum seperti
durian dengan warna yang biru memikat. Masih di sana ikan Ko-
lakan itu mondar-mandir dalam sungai yang jernih. Seakan-akan ikan
tersebut menunggu sang pemuda untuk memakan buah-buahan yang
diberikannya. Akhirnya dicobanya untuk untuk memakan buah yang telah di-
genggamnya itu. Perutnya telah lapar. Dan peristiwa "diberi makan"
oleh seekor ikan menumbuhkan kepercayaan bahwa buah-buahan itu
tidaklah beracun. Digigitnya perlahan. Manis dan berair. Lem-
but menyegarkan. Seketika dirasakannya asupan tenaga yang sedari
kemarin malam belum diperolehnya.
Melihat itu sang ikan pun kemudian berkecipak pelan dan kemudian
menghilang. Entah kemana. Ke sungai dalam tebing batu itu, atau
ke dalam rongga-rongga batu di dalam sungai jernih tersebut. Ter-
lihat sekilas di dalamnya terdapat rongga-rongga yang tak terhitung
185 186 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
banyaknya. Setelah habis satu butir tersebut Paras Tampan pun membungkus
buah-buahan yang tersisa hasil pemberian ikan tersebut dengan baju
luarnya. Dibawanya kembali ke ruangan tempat terdapat kitab-kitab
yang berjajar dalam lubang-lubang di dinding.
Sesampainya di sana. Tiba-tiba saja datang rasa kantuk. Mungkin
karena kelelahan dan juga pengaruh dari buah yang dimakannya itu.
Paras Tampan tak dapat menahan rasa itu. Akhirnya diputuskan
untuk tidur di salah satu pojok ruangan tempat penyimpanan kitab-
kitab itu. Ia pun tak lama kemudian mendengkur. Pulas.
Langkah-langkah ringan hampir tak terdengar mendekat perlahan.
Muncul beberapa sosok orang bertubuh gemuk pendek dengan hidung
yang panjang serta berambut kusam. Telapan kaki dan tangan mereka
lebar-lebar dan kuat. Troll. Beberapa sosok makhluk itu berjalan hati-
hati mendekati Paras Tampan. Tidak seperti kemarin dalam lorong
gelap yang diterangi Rumput-rumput Berkilau Dalam Gelap, di mana
mereka berjalan dengan langkah-langkah berat dan berdebam, kali ini
mereka berjalan ringan perlahan. Seakan-akan tidak cocok dengan
postur tubuh mereka yang terlihat gempal dan berat.
"Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas baru saja memberi tahu ada
seorang pemuda datang dari arah Ruang Kitab," kata seorang dari
mereka. "Bukankah ini pemuda yang kemarin?" tanya yang lain.
"Hehehe, betul. Pemuda yang bermalam di lereng di luar sana," jawab
orang ketiga dari mereka sambil tersenyum. Senyum Troll tidak ter-
lihat sebagai senyum bagi makhluk lain. Bahkan menambah seram
bagi yang melihatnya. "Seorang pemuda yang cerdik," kembali kata orang pertama, "ia bisa
mengecoh kita untuk bermain-main dengan barang-barangnya semen-
tara ia masuk ke sini."
"Bukankah adik Gobagkh telah menunjukkan bahwa ada seseorang
yang berjalan ke lorong sebelah kanan kemarin malam?" tanya yang
lain. 187 "Benar, tapi kakak Bagadsh sudah memerintahkan bahwa kita tidak
boleh menghalang-halangi orang yang masuk ke lorong sebelah kanan.
Biarkan nasib yang membawa mereka. Toh kita sudah sering member-
sihkan orang-orang yang akhirnya mati kelaparan di sana. Tak sampai
mereka mencapai Ruang Kitab," kata temannya.
"Tapi pemuda ini benar-benar beruntung dan juga cerdik. Sudah bisa
selamat dari Lorong Panjang Gelap. Kemudian bahkan bisa mencapai
Ruang Kitab dengan menggunakan dua buah Batu Persegi yang dis-
embunyikan itu, untuk naik tangga dalam Ruang Dinding Berlubang,"
kata seorang yang lain, "benar-benar berjodoh."
"Jadi..?" tanya seseorang dari mereka.
"Kita layani dia, seperti janji kita pada Maling Kitab atau yang lebih
senang disebut Penjaga Keseimbangan, kakak Rawarang," tegas salah
seorang dari mereka. Rekan-rekan yang lain menangguk-angguk. Lalu mereka kemudian
beringsut pergi dengan ringan. Meninggalkan Paras Tampan yang
masih tertidur pulas di salah satu sudut Ruang Kitab. Tak tahu
dirinya, bahwa dirinya tadi telah jadi bahan pembicaraan beberapa
sosok Troll. Mulai saat itu jika tidak diberi makan oleh ikan Kolakan yang di-
panggil Ikan Berduri Bersirip Kipas sebagai kakak oleh para Troll,
Paras Tampan mendapatkan bungkusan makanan yang terdiri dari
buah-buahan, sayuran tanpa daging dan nasi, pinggir sungai jernih
dan dalam di tengah pelataran batu tersebut. Mula-mula ragu-ragu
ia memakannya. Akan tetapi rasa laparnya menang.
Kemudian ditemukannya tulisan pada salah satu kitab yang seper-
tinya merupakan buku harian dari orang yang menuliskan guratan
pada dinding. Guratan yang belum selesai itu. Dalam kitab tersebut
dituliskan bahwa orang yang berjodoh akan ditemani dan diberi makan
oleh ikan Berduri Bersirip Kipas dan para Troll. Membaca demikian,
yakinlah Paras Tampan bahwa yang memberikan bungkusan makanan
itu adalah makhluk-makhluk Troll itu. Hanya herannya ia, mengapa
makhluk-makhluk itu tak mau menampakkan diri kepadanya.
Dengan tidak mengambil banyak pusing terhadap keanehan-keanehan
188 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
yang ditemuinya, Paras Tampan mulai membaca-baca kitab-kitab
yang ditemuinya. Ditelusurinya dulu kitab-kitab yang disebut-sebut
dalam Guratan Di Dinding sebagai Kitab-kitab Awal. Petunjuk men-
genai kitab-kitab tersebut ditemuinya pada akhir dari buku harian
sang penulis Guratan Di Dinding. Dengan mempelajari Kitab-kitab
Awal yang merupakan dasar dari kitab-kitab lainnya, Paras Tampan
dapat menghemat waktu. Tidak terlalu banyak yang dipelajari akan
tetapi telah cukup memiliki kehebatan.
Ruangan sebelah yang disebut sebagai Ruang Dinding Berlubang
oleh makhluk-makhluk Troll ternyata berperan dalam salah satu lati-
han yang dituliskan dalam Kitab-kitab Awal. Dengan menggunakan
lubang-lubang tersebut dengan masih berada di dalam ruangan Paras
Tampan belajar memanjat naik dan turun. Kadang kepala di atas
kadang di bawah. Dengan cara ini ia dapat merampat naik dan turun
pada dinding itu, berpijak pada lubang-lubang yang ada. Setelah
cukup mahir untuk naik sampai langit-langit, latihan selanjutnya di-
lakukan di sisi luar dari dinding. Ia harus terlebih dahulu merangkak
dalam salah satu lubang untuk mencapai ujungnya di dinding sebelah
luar. Dengan ketinggian yang menggiriskan Paras Tampan berlatih
naik dan turun kembali pada dinding.
Awalnya takut juga Paras Tampan berlatih di dinding sebelah luar.
Akan tetapi karena pada dasarnya latihan yang sama, akhirnya dapat
ia menekan rasa takutnya. Latihan di bagian luar ruangan itu, selain
disertai bahaya untuk jatuh, juga adanya angin menyebabkan tangan
dan kaki harus lebih kuat mencengkeram dan berpijak.
Lebih lanjut pada lubang-lubang, baik di luar dan di dalam ruangan
terpahatkan simbol-simbol kecil yang menjadi urut-urutan lubang-
lubang mana yang harus dipanjat atau dilalui. Tahapan ini baru
boleh dilakukan setelah orang yang belajar kitab tersebut yakin bahwa
cengkeraman dan pijakannya kuat pada dinding dan lubang-lubang
itu. Dengan melalui latihan ini Paras Tampan dapat masuk keluar
suatu lubang dalam dinding dengan cepat, untuk kemudian masuk
dan keluar pada lubang lainnya. Tak terasa bahwa ilmu meman-
jat dinding, cengkeraman, pijakan sekaligus meringankan tubuhnya
berkembang dengan pesat. Sejalan dengan semakin berkembang ilmu yang dipelajarinya, se-
189 makin jarang pula ikan Kolakan tersebut menyediakan buah-buahan
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Ia sekarang harus memanjatnya sendiri sekarang. Mengambil
buah-buahan pada pohon yang terletak lebih tinggi pada dinding di
atas lubang tempat keluarnya Sungai Batu Jernih tersebut. Jauh
lebih tinggi dari pohon yang dapat dikecipak dengan air oleh sang
ikan Kolakan. Pohon-pohon yang tumbuh lebih rendah, telah habis
buah-buahannya. Berdasarkan tulisan dalam salah satu Kitab-kitab Awal, Paras Tam-
pan sebagai orang yang sedang belajar, tidak diperbolehkan untuk
meninggalkan tempat itu sebelum tamat. Hal itu termasuk menye-
berangi sungai atau masuk ke dalam lubang tempat keluarnya Sun-
gai Batu Jernih. Dan Paras Tampan pun mematuhi peraturan itu.
Dikonsentrasikan pikirannya untuk benar-benar menyerap ilmu-ilmu
yang tertuliskan ataupun tersirat dalam kitab-kitab yang dikenal se-
bagai Kitab-kitab Awal. Kitab-kitab lain hanya dilihatnya sepintas,
jika ia merasa bosan mempelajari Kitab-kitab Awal.
Tak terasa waktu satu tahun pun berlalu. Sudah setengah waktu yang
diberikan gurunya untuk berguru di atas Gunung Hijau. Pemuda itu,
Paras Tampan, tampak semakin tegap. Badannya berisi. Dengan
tidak memakan daging, hanya buah-buahan dan sayur yang disedi-
akan oleh para Troll disertai latihan-latihan yang keras, membuat
otot-ototnya tumbuh dengan baik. Badannya menjadi tampak pas
sekali, tidak terlalu gemuk dan juga tidak terlalu kurus. Benar-benar
menjadi pemuda yang menarik hati dengan wajah yang selalu ceria.
Hanya mungkin rambutnya saja yang tidak terlalu diurus. Tumbuh
panjang dan digelungnya asal saja. Walaupun demikian sering dicuci
rambut dan badannya dengan cara mandi berendam di Sungai Batu
Jernih. Untuk pakaian, para Troll pun menyediakan bahan-bahan seperti yang
mereka pakai, yaitu kulit binatang berbulu. Entah binatang apa.
Yang penting nyaman dan hangat dipakai. Tidak terlalu banyak.
Para Troll hanya memberikan bahan pakaian untuk dijahitnya sendiri
setiap dua atau tiga bulan, saat mereka merasa pakaian yang dike-
nakan pemuda itu sudah tidak terlalu baik. Peralatan menjahit dise-
diakan mereka, terdiri dari jarum yang berasal dari tulang, benang
dari rumput-rumputan dan pisau batu untuk memotong. Sederhana
tapi cukup memadai. 190 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
Dan selama itu pula para Troll belum sekalipun menampakkan dirinya.
Pernah sekali waktu Paras Tampan ingin melihat makhluk-makhluk
yang selama ini menyediakannya makan, ditunggunya mereka di luar
ruangan. Di tepi Sungai Batu Bening. Tapi mereka tidak muncul-
muncul. Alih-alih, malah makanannya dengan dibungkus rapat den-
gan daun-daun agar isinya tidak basah, dilontarkan oleh ikan Ko-
lakan. Sang ikan pun berkecipak-cipuk, seakan-akan mengatakan
bahwa belum saatnya untuk bertemu dengan para Troll.
Akhirnya Paras Tampan pun menyerah, tak lagi ia mencoba untuk
menunggu-nunggu mereka hanya sekedar untuk melihatnya. Ditengge-
lamkan lagi dirinya pada pelajaran-pelajaran yang disebutkan dalam
Kitab-kitab Awal. Salah satu pelajaran yang menarik adalah bagian dari kitab Puku-
lan Inti Es dan Salju, dimana disebutkan bahwa orang bisa menggu-
nakan air yang disertai dengan hawa dingin sehingga menjadi butir-
butiran es untuk dilontarkan. Dan hal ini adalah yang dilakukan
oleh ikan Kolakan saat ia dulu memyambit buah-buahan dari pohon
yang tumbuh pada dinding mulut Sungai Batu Bening. Bukan hanya
sekedar mencipak-cipuk air belaka, melainkan membekukannya untuk
kemudian disambitkan dengan gerakan ekornya. Benar-benar men-
gagumkan. Dan untuk belajar jurus itu, Sentilan Kelereng Es, Paras Tampan
harus berendam dalam Sungai Batu Bening pada saat-saat di mana
udara benar-benar terasa dingin. Mengambil energi dari hawa din-
gin itu untuk diolahnya membekukan sepercik air dan disambitkan.
Jurus ini hanyalah sebagian kecil dari jurus yang tersimpan dalam
kitab Pukulan Inti Es dan Salju. Petunjuk yang diperoleh tidak
mengharuskan ia untuk mempelajari Pukulan Inti Es dan Salju secara
menyeluruh karena selain lama, juga tempat ini tidak sesuai untuk
melatih jenis pukulan tersebut. Perlu ia pergi ke daerah yang benar-
benar dingin untuk melatihnya. Ke daerah di mana terdapat roh-roh
air, Undinen misalnya. Ikan Kolakan sendiri sebenarnya dapat dipandang memiliki sedikit
hawa dingin sehingga bisa secara alami melakukan jurus Sentilan Kel-
ereng Es. Akan tetapi ia tidak sehebat roh-roh air dalam menyimpan
hawa dingin. Tempat di mana Paras Tampan saat ini berada lebih
191 dikategorikan sebagai tempat Roh-roh Tanah. Contoh dari mereka
adalah para Troll dan Manusia Tiga Kaki. Yang terakhir ini pernah
diceritakan gurunya. Dengan menggabungkan kedua unsur, Tenaga Air dan Tanah dapat
diciptakan hawa dingin. Tenaga Tanah secara tak sengaja dilatih
Paras Tampan dengan memperkuat pijakan-pijakan, cengkeraman dan
panjatan-panjatan. Dengan cara ini ia bisa meminjam tenaga bumi
untuk memindahkan berat tubuhnya ke arah yang ia inginkan. Akan
tetapi itu belum Tenaga Tanah yang sebenarnya. Untuk memperoleh
Tenaga Tanah perlu bantuan Roh-roh Tanah. Menurut petunjuk yang
dibacanya. Apabila ia berlatih serius, akan tahulah mereka, para Troll,
kapan ia siap untuk dilatih. Pada saat itulah makhluk-makhluk itu
akan menampakkan dirinya. Memberinya petunjuk lebih jauh.
Hari ini, sesuai dengan tahapan yang telah ia pelajari dari petun-
juk mengenai Kitab-kitab Awal, ia akan bertemu dengan para Troll
untuk diuji apakah ia telah cukup mahir dalam memiliki gerakan-
gerakan dasar untuk melatih Tenaga Tanah. Bila iya, para Troll akan
mengajarinya. Akan tetapi bila ternyata ia belum siap, sesuai den-
gan petunjuk dari kitab tersebut, ia harus kembali melatih gerakan-
gerakan tersebut. Termasuk di dalamnya keluar masuk lubang-lubang
dalam Ruang Dinding Berlubang dan juga Sentilan Kelereng Es. Se-
cara pribadi tak mau Paras Tampan menunggu lebih lama, ingin ia
cepat memasuki tahap berikutnya. Waktu yang diberikan gurunya
tidak tersisa banyak lagi.
Siang sudah belalu setengahnya. Belum ada tanda-tanda kedatangan
para Troll. Sang Ikan Kolakan pun tidak tampak batang hidungnya.
Semua seakan-akan ingin membuatnya bertanya-tanya atau penasaran
dalam hatinya. Sengaja hari itu Paras Tampan tidak berlatih berat. Dikosongkan
pikirannya dan ditenangkan hatinya dengan Mengheningkan Cipta. Ia
ingin dirinya siap untuk menerima petunjuk akan tahapan berikutnya.
Juga apabila dirinya dinyatakan belum siap. Toh, satu hari latihan
tidak akan mengubah hasil dari latihannya selama setahun ini.
Senja pun tiba. Matahari telah condong ke arah mana ia akan be-
ranjak sembunyi. Tiba-tiba terdengar siulan tinggi rendah. Otaknya
192 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
bereaksi seakan-akan ia mengerti arti dari siulan itu. Paras Tampan
tidak menyadari bahwa ilmu-ilmu yang dipelajarinya secara bawah
sadar menumbuhkan inderanya sehingga siulan semacam itu menjadi
memiliki arti. Orang biasa yang mendengarnya tidak akan dapat
menangkap maksudnya tanpa diberitahu terlebih dahulu.
Ia pun beranjak menyusuri lorong yang menuju ke Sungai Batu Jernih.
Sesampainya di sana bergetar pula hatinya. Di seberang sungai sana
tampak berjejer beberapa makhluk Troll. Berjajar menatap dirinya.
Gagah walaupun terlihat tidak terlalu besar.
Tak tahu apa yang dilakukan, Paras Tampan pun berdiam diri. Me-
nunggu. Dari siulan tadi, ia hanya mengerti bahwa ia diminta datang
ke pinggir Sungai Batu Jernih. Tidak tersurat apa yang harus di-
lakukannya setelah berada di tempat itu.
"Kecipak..!" lalu terdengar bunyi air diganggu. Tampaklah wujud
sang Ikan Kolakan. Ikan yang dipanggil sebagai Kakak Ikan Berduri
Bersirip Kipas oleh para Troll. Ia juga menjadi bagian dari pemerik-
saan kesiapan Paras Tampan untuk tahapan pembelajaran berikutnya.
Seorang dari mereka, makhluk-makhluk Troll yang berada pada sisi
lain Sungai Batu Jernih, menggapai Paras Tampan agar mengikuti
mereka. Lalu terlihatlah apa yang menurut Paras Tampan benar-
benar mengagumkan. Berjalan seorang dari mereka ke arah air dalam Sungai Batu Jernih.
Tampak ia berkonsentrasi sebentar dan kemudian datanglah sang Ikan
Kolakan. Keduanya tampak melihat pada arah yang sama. Dan kemu-
dian muncullah seperti bongkah-bongkahan es. Perlahan tapi pasti.
Menyebar lambat. Membesar. Tak jauh melebar melainkan meman-
jang. Jauh memanjang sampai ke seberang sungai tersebut, mencapai
sisi di mana Paras Tampan berdiri.
Tidak berhenti sampai di sana, bekuan es itu merampat perlahan
menyebar kembali ke hulu Sungai Batu Bening. Memasuki gua
batu di tengahnya. Sekarang terlihat semacam jalur dari es yang
melayang di atas air. Membentuk huruf "T" terbalik. Garis mendatar
menghubungkan kedua sisi sungai dan garis tegaknya menuju ke sisi
dalam gua di hulu sungai.
193 Satu per satu dari mereka melangkah di atas Pematang Es itu, perla-
han tapi pasti. Tak terlihat goyangan yang berarti. Padahal apabila
dibayangkan, tidak cocok dengan postur tubuh mereka yang tampak
besar dan berat. Paras Tampan kemudian mengikut mereka berjalan di atas Pematang
Es itu menuju gua di hulu Sungai Batu Jernih. Awalnya tak mudah
untuk menjejakkan kaki dengan mantap di atas Pematang Es, tapi
pengalaman latihannya di Ruang Dinding Berlubang membuat kaki-
kakinya berpijak kuat dan juga lemas. Cepat berubah kedudukan
apabila tempat pijakannya berubah posisinya. Dengan cara ini Paras
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 2 Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Pena Wasiat 24
membuat keadaan tenang tanpa pertentangan akan tetapi bisa jadi su-
atu saat kehausdarahannya akan memakan korban yang tak bersalah.
Orang yang terkena "tnah misalnya. Tapi tak ada balasan atau pun
upaya dari pemerintah pusat mengenai hal itu.
Oleh sebab itu cemaslah penduduk Desa Batu Timur yang menemukan
jenasah Ki Rontok yang adalah warga Desa Batu Barat. Ini bisa jad
merupakan upaya untuk menyulut pertentangan. Bila terjadi perten-
tangan dan terdengar oleh Hakim Haus Darah, sudah pasti akan ada
pembantaian. Terlepas dari siapa yang bersalah, sudah pasti fatal
akibatnya dari kedua belah pihak.
*** Penduduk Desa Batu Timur pun berkumpul di pendopo desa mereka.
Di tengahnya berbaring tubuh kaku Ki Rontok. Seorang pedagang
dari Desa Batu Barat. Cemas-cemas tertampak dari wajah-wajah
mereka. Ujung-ujung dari peristiwa ini yang akan menjadi masalah
bagi mereka. "Bagaimana ini, kepala desa?" tanya seorang warga.
"Lebih baik kita urus secara kekeluargaan dengan Desa Batu Barat,
sebelum Walinggih mendengarnya," usul seseorang.
Beberapa mengangguk-angguk mengiyakan. Alternatif itu lebih baik.
146 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Jika orang-orang Desa Batu Barat mau menerima hal ini dan tidak
mempersoalkan, akan selesai masalah. Tidak ada korban dari Waling-
gih, si Hakim Haus Darah. Akan tetapi siapa pelaku dari pembunuhan
ini, perlu pula diusut. "Ada yang bisa menceritakan, bagaimana kejadian sebenarnya?"
tanya seorang tua-tua sambil menatap berkeliling.
Rombongan gadis-gadis yang tadi saat mencuci dan mandi di Danau
Genangan Batu menemukan jenasah Ki Rontok saling dorong-mendorong.
Sampai akhirnya terdorong ke tengah Sarini, gadis yang tadi tidak
ikut mandi. Setelah tak mungkin mungkir sebagai wakil dari saksi
mata, berceritalah Sarini tentang apa yang ia dan kawan-kawannya
tadi lihat. Bagaimana mayat itu mulai mengapung dan ditemukan
oleh mereka-mereka yang berenang-renang agak ke tengah.
Salah seorang dari ketiga orang yang dilihat Telaga tadi maju dan
memeriksa korban. Kehadirannya tidak terlalu diperhatikan oleh para
warga desa yang sedang tegang itu. Mereka masih membayangkan
siapa yang akan nanti jadi sasaran dari Hakim Haus Darah. Kemu-
dian kata orang itu setelah memeriksa, "lihat seperti ada bekas poton-
gan dan kemudian dijahit kembali..!" katanya sambil menunjuk pada
jenasah Ki Rontok yang telah dibuka bajunya.
Dan memang benar, seperti ditunjukkannya, bahwa dari ujung kepala
sampai ke dada, terdapat suatu celah, seakan-akan Ki Rontok pernah
dibelah dan direkatkan kembali.
"Mirip Potongan Simetris dari Hakim Haus Darah," gumam seorang
takut-takut. Berapa suara-suara lain pun mengiyakan.
"Jika demikian pasti Hakim Haus Darah pelakunya," ucap seorang.
Ucapan itu bagai hantu yang lewat di siang bolong. Suasana pun
menjadi sunyi menakutkan. Seakan-akan sang Hakim Haus Darah
ada sendiri di sana dan mendengarkan ucapan itu.
Bingunglah warga Desa Batu Timur mendengar ungkapan itu dan
juga kenyataan bahwa Ki Rontok mati mengenaskan akibat Potongan
Simetris. Sebuah jurus yang hanya dimiliki oleh Hakim Haus Darah,
147 sejauh pengetahuan penduduk desa itu. Bagaimana ini dapat terjadi"
Biasanya Hakim Haus Darah akan turun tangan bila terlebih dulu ada
kon"ik, di mana kon"ik itu telah berlarut-larut sehingga menimbulkan
pertempuran di antara dua desa. Saat itulah ia turun tangan. Tak
pandang bulu. Semua pelaku pertempuran akan dibantainya habis
dan dipotong masing-masing setiap orang menjadi dua bagian.
Jika sekarang Hakim Haus Darah sudah membunuh orang tanpa ter-
lebih dahulu adanya kon"ik yang berwujud pertempuran, semakin
merinding orang-orang Desa Batu Timur. Mereka membayangkan
bahwa kapan saja mereka dapat dibantai oleh sang hakim tanpa perlu
alasan yang jelas. Seperti halnya Ki Rontok, tak jelas alasannya, tahu-
tahu sudah terbujur kaku di dalam danau.
Melihat orang-orang desa yang terdiam seribu bahasa, seorang yang
agak tua tapi berwibawa angkat bicara, "warga desa yang terhormat,
perkenalkan kami... Kami adalah tiga orang utusan dari pemerintah
pusat. Berkaitan dengan laporan yang menyatakan adanya seorang
pembantai yang dikenal sebagai Hakim Haus Darah di kawasan ini,
kami datang untuk menangkapnya." Sementara orang yang tadi me-
nunjukka bekas luka itu entah sudah hilang kemana.
Terdiam lagi penduduk desa mendengar pernyataan itu. Orang-orang
yang semula dikenal hanya sebagai pedagang dari kota besar itu,
ternyata adalah perwira-perwira yang menyamar. Mereka ditugaskan
untuk menangkap Hakim Haus Darah. Kemudian diceritakan oleh
mereka bahwa pengamatan akan sang hakim telah dilakukan lama
sebelumnya. Akan tetapi dengan tidak adanya peristiwa "pembanta-
ian" tak dapat sang hakim di tangkap. Perintah dari pusat adalah
bahwa harus terjadi peristiwa saat pengamatan dilakukan dan akan
dijalankan penangkapan. Dengan adanya peristiwa ini, sebagai bukti,
dapatlah sang hakim saat ini ditangkap.
Beberapa orang yang selama ini merasa tertekan dengan kehadiran
Hakim Haus Darah bersorak dalam hatinya. Sementara yang lain,
dengan tanpa adanya sang hakim telah hidup dengan damai, agak
menyesalkan juga kedatangan ketiga perwira itu. Mereka yang ter-
akhir ini kuatir, apabila Hakim Haus Darah ditangkap, akan kembali
ke masa lalu keadaan di sini. Dikuasai kembali oleh para preman dan
pedagang. Tapi orang-orang ini tak berani menyuarakan hatinya.
148 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Lalu kata seorang dari ketiga perwira itu, "ada baiknya bila kita
menghubungi orang-orang dari Desa Batu Barat. Kita berkumpul
untuk menuju ke kediaman Hakim Haus Darah. Kalian penduduk
desa, hanya perlu menjadi saksi. Kami yang akan menangkap sang
hakim. Tak perlu takut!"
Orang-orang desa yang sedang dicekam kebingungan itu tak tahu
harus berbuat apa. Sang kepala desa tampaknya membiarkan saja
ketiga orang yang mengaku perwira dari pemerintah pusat itu mengatur-
atur. Tak lama kemudian dikirim kabar ke Desa Batu Barat mengenai
apa yang terjadi dan agar mereka berkumpul di kediaman Hakim Haus
Darah, untuk bersama-sama dengan warga Desa Batu Timur menjadi
saksi penangkapan sang hakim. Rencana itu akan dilaksanakan besok
pagi, karena saat ini hari telah menjelang senja.
Sementara itu jauh di ujung pelosok desa tampak seorang pemuda ber-
jalan perlahan-lahan memasuki pintu desa. Telaga adalah pemuda itu.
Masih berdebar-debar ia mengingat pertemuannya dengan orang tua
berbaju kasar dua warna itu. Tak ingin ia melibatkan diri sebenarnya,
tapi rasa ingin tahunya mengalahkan nalar untuk menyelamatkan diri.
Ingin dicarinya keterangan, bagaimana akhir dari peristiwa ini.
Dilihatnya kerumunan orang dikejauhan telah bubar. Masing-masing
orang bergegas berjalan ke arah masing-masing. Tak tahu harus ke
mana, Telaga menuju ke suatu warung makanan yang ada di pinggir
jalan. Ditujunya sebuah meja yang masih kosong. Beberapa meja
telah terisi oleh orang-orang yang berkumpul dan berbicara dengan
meriah. Sebagian orang berasal dari kerumunan tadi, sebagian tetap
duduk di meja untuk mendengarkan hasil pendengaran rekannya yang
bergabung dalam kerumunan tadi.
"Mau makan apa, nak?" sapa seorang pelayan yang menghampiri meja
Telaga dengan ramah. "Yang murah saja, paman," jawab Telaga sopan. Lalu tanyanya sam-
bil lalu, "ada peristiwa besar ya, paman" Kok orang-orang itu pada
sibuk ngobrol-ngobrol."
"Ya, nak. Anak pasti bukan orang sini," katanya sambil melihat
Telaga. Sudah jelas dapat terlihat dari warna kulit dan juga paka-
ian yang dikenakan Telaga. Sudah banyak memang pedangan dan
149 orang luar yang berdiam di sini sejak Hakim Haus Darah "memerin-
tah", akan tetapi tetap saja penduduk asli kedua desa adalah mereka-
mereka yang berkulit kebiruan dan kehijauan.
"Iya, paman. Saya lagi merantau. Saya berasal dari utara," jawabnya
cepat. Tak ingin ia membicarakan asal-usulnya kepada orang yang
belum dikenalnya. Mengangguk-angguk sang pelayan mendengar jawaban yang sopan
akan tetapi pendek dan tegas itu. Lalu dengan senang hati diceri-
takannya apa yang terjadi. Mengenai ditemukannya jenasah Ki Ron-
tok oleh gadis-gadis yang sedang mencuci dan mandi. Lalu muncul-
nya dugaan bahwa itu dilakukan oleh Hakim Haus Darah dan juga
adanya perwakilan dari pusat, tiga perwira, yang ditugaskan untuk
menangkap Hakim Haus Darah. Sudah tentu cerita itu ditambah-
tambahinya dengan bumbu-bumbu sehingga semakin menarik dan
dramatis. Telaga yang telah tahu sebagian besar kejadian sebenarnya hanya
tersenyum menangguk-angguk, sambil sesekali memberi komentar
pendek dan bertanya sana-sini. Semua dijawab dengan lancar oleh
sang pelayan, yang amat senang ceritanya dilayani dengan antusias.
Sampai-sampai ia kemudian dipanggil oleh atasannya untuk melayani.
Dikatakan bahwa ia bertugas mencatat dan mengantarkan pesanan,
bukan bercerita. Dengan malu-malu sang pelayan meminta maaf
sambil kembali menegaskan pesanan yang diminta Telaga. Kemudian
ditinggalkannya Telaga. Tak berapa lama pesanannya pun datang. Cukup sederhana Pepes
Keuyeup, Gule Julung-julung, Daun Singkong Bakar dan Sejumput
Sagu Rebus. Takjub pula Telaga melihat makanan yang belum per-
nah dilihatnya dipadukan sedemikian rupa. Agak ragu dicobanya
makanan-makanan itu. Rasa aneh tapi lezet tercipta saat rupa-rupa
makanan itu menyentuh lidahnya. Tiada lagi ragu sekarang, dila-
hapnya semua yang dihidangkan sampai licin tandas. Setelah selesai
dipanggilnya lagi pelayan itu dan dibayarkannya makanan yang tadi
telah disantapnya. Sekarang Telaga tak tahu harus bagaimana, perut telah terisi dan hari
telah menjelang malam. Ia tidak punya tempat menginap. Di desa itu
150 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
kelihatannya hanya ada warung itu dan tidak penginapan. Dicarinya
sebuah tempat di antara batu-batu untuk merebahkan badannya. Dip-
ilihnya suatu legokan yang terletak agak di luar desa. Saat akan mere-
bahkan dirinya, tampak olehnya pelayan yang di warung tadi. Begitu
melihat dirinya, pelayan itu pun tersenyum dan menghampiri, lalu
sapanya, "tidak tidur di rumah nak?"
"Maaf, paman. Saya tidak kenal siapa-siapa di sini. Jadi bermalam
saja saya di luar. Sudah biasa kok," jawabnya sopan.
"Marilah mampir," katanya, "kebetulan saya tinggal hanya dengan
putri saya. Cukup tempat bagi kami untuk masih menampung satu
orang lagi. Marilah..!" Tangannya sambil menggapai mengisyaratkan
Telaga untuk ikut padanya.
Maka berjalanlah mereka berdua menuju rumah paman pelayan itu,
yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Arasan. Arasan ting-
gal di rumah itu hanya dengan putri satu-satunya. Istrinya telah
meninggal karena sakit, sejak putrinya masih kecil. Arasan men-
gatakan pada Telaga bahwa rumahnya agak di luar desa letaknya.
Ia lebih suka kesunyian saat beristirahat, akan tetapi suka keramaian
saat bekerja. Itulah sebabnya mengapa ia bekerja sebagai pelayan.
Dengan bekerja sebagai pelayan dapatlah ia banyak bercakap-cakap
dengan pengunjung, sebagaimana dilakukannya tadi dengan Telaga.
Dan juga bisa banyak informasi yang diperolehnya dari orang-orang
yang mampir untuk makan di warung tempatnya bekerja itu.
Tak berapa lama sampailah mereka di sebuah rumah yang cukup
sederhana apabila dibandingkan dengan rumah-rumah di atas batu
yang terdapat di dalam Desa Batu Timur. Tidak dihias macam-
macam, melainkan hanya berwarna alami. Batu dan kayu belaka.
Akan tetapi lingkungannya yang masih alami dan juga adanya se-
buah aliran kecil air di dekatnya, membuatnya lebih terlihat natural
ketimbang rumah-rumah di atas batu yang telah ditambah-tambahi
pernak-pernik. "Beda ya, sama yang di dalam desa..?" pancing Arasan. "Saya tidak
suka aneh-aneh seperti orang-orang. Selain tidak bagus juga mahal."
Telaga mengangguk-angguk, lalu jawabnya, "bagus juga, paman.
Malah lebih terlihat alami dan cocok dengan lingkungannya. Tidak
151 terlihat asal dalam menatanya." Lalu tanyanya, "Paman sendiri yang
buat?" Arasan tersenyum menggeleng, "bukan, tapi putriku. Nanti kuperke-
nalkan. Senang pasti hatinya, bertemu dengan orang yang memuji
hasil karyanya." Bertanya-tanya Telaga dalam hati, bagaimana rupa dari putri Arasan.
Sekilas dibayangkannya apabila begitu wajah Arasan, pastilah ada
mirip-mirip darinya pada wajah putrinya. Seakan-akan pernah dirinya
melihat wajah itu. Tapi lupa.
Lalu naiklah mereka ke atas rumah melalui sebuah tangga batu yang
dipahat sedemikan rupa pada batu-batu sebesar lima-enam kerbau
bunting itu. Sampai depan rumahnya, berseru Arasan memanggil
putrinya, "Sarini, putriku! Ayah pulang. Lihatlah ada tamu kubawa serta.."
Tak lama menyahut suara dari dalam rumah itu, "Ayah, selamat
datang." Lalu muncullah putri Arasan. Hampir berhenti jantung Telaga begitu
melihat wajah gadis itu. Wajah salah seorang gadis yang dilihatnya
tadi di Danau Genangan Batu. Untung saja gadis itu tidak tahu
bahwa ia ada di sana. Walaupun ia tidak mengintip mereka dengan
sengaja, tetap saja ia merasa malu. Arasan yang tidak mengerti duduk
persoalannya, merasa bahwa Telaga adalah pemuda yang masih malu-
malu terhadap seorang gadis. Seorang pemuda yang lugu.
"Mari.., mari masuk..!" ajaknya.
Sang gadis pun mempersilahkan ayahnya dan tamu ayahnya masuk.
Diambilnya barang-barang ayahnya yang merupakan bahan makanan
bagi mereka besok pagi. Biasanya keluarga itu makam malam ter-
pisah. Sarini makan sendiri, sedangnya ayahnya telah makan di
warung tempat ia bekerja. Telaga juga kebetulan telah makan tadi di
sana. Jadi tidak ada acara makan malam saat itu.
Rumah itu cukup besar, dengan tidak terdapat ruangan lain di dalam-
nya. Akan tetapi terdapat sekat-sekat dari daun kelapa yang berfungsi
membentuk ruang. Ruang depan dan ruang belakang, tempat yang
152 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
berfungsi sebagai dapur. Arasan pun meluruskan kakinya pada salah
satu sudut dari ruang depan. Telaga mengikutinya. Tak lama ke-
mudian muncul Sarini membawa sejenis minuman yang dihidangkan
dalam gelas atau mangkuk yang terbuat dari batok kelapa yang di-
pancung atasan. Bibuat sedemikian rupa sehingga pada salah satu
ujungnya ada tempat untuk meletakkan bibir, sehingga mudah untuk
mengunakan gelas atau mangkuk itu untuk menghirup isinya.
Setelah sedikit melepaskan lelah kemudian mereka pun terlibat dalam
pembicaraan, terutama pembicaraan mengenai peristiwa yang terjadi
hari ini yang berkaitan dengan kasus Hakim Haus Darah. Juga men-
genai munculnya ketiga perwira yang akan menangkap sang hakim.
Ibu Sarini ternyata bukan berasal dari desa ini melainkan dari Desa
Batu Barat. Mirip seperti kasus Walinggih si Hakim Haus Darah.
Akan tetapi Sarini tidak mewarisi kulit ibunya, melainkan ayahnya.
Jika orang tidak mengenal sejarah keluarga itu, pastilah dikira bahwa
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sarini merupakan penghuni asli Desa Batu Timur.
Tak lama kemudian mereka tidurlah. Memang sudah menjadi kebi-
asaan keluarga yang terdiri hanya dari anak dan ayah itu tidur tidak
terlalu larut. Salah satu hal karena mereka harus bangun pagi-pagi
untuk kembali bekerja, juga secara diam-diam Arasan ternyata adalah
seorang berilmu juga. Ia melatih anaknya Sarini diam-diam, hanya di
pagi hari. Di saat orang-orang belum bangun. Hal ini diketahui Telaga
pada esok paginya. "Huut, hyaaaaa..!" teriak suara seorang gadis. Sambil meloncat disa-
betkan tangannya miring ke atas menuju kepala seorang tua di depan-
nya. Orang tua itu mengelak tipis, memutar tubuhnya, menangkap
tanggan yang lewat lembat karena telah mencapai batas sendinya,
menekuk dan melemparkan gadis itu. Alih-alih terjatuh, gadis itu
bersalto sekali di udara dan mendarat dengan teguh pada kedua
kakinya. Pendaratan yang ringan, hampir tidak memperdengarkan
suara, hanya terdengar napasnya yang tersengal sedikit. Dan sedikit
keringat menetes pada wajahnya yang manis kemerahan itu. Gadis
itu adalah Sarini dan orang tua itu adalah Arasan. Mereka berdua
sedang melatih ilmu keluarga mereka Sabetan dan Tangkapan Tangan.
Ilmu beladiri tangan kosong yang menggunakan telapak tangan untuk
menyabet bagian-bagian tubuh seperti kepala dan pundak leher. Juga
adanya tusukan-tusukan, tetap dengan menggunakan telapak tangan
153 yang dibuka. Tujuaannya adalah ulu hati dan tengah hidup di an-
tara kedua mata. Selain serangan ada pula tangkisan dan tangkapan.
Barusan yang diperagakan oleh Sarini adalah jurus Menebang Kelapa
dan dibalas oleh ayahnya dengan jurus Berkelit Membanting Padi,
mirip gerakan-gerakan membanting-banting rumput padi yang ingin
dirontokkan butir-butiran gabahnya.
Terbangun oleh hentakan-hentakan itu, Telaga lalulah turun dan
menyaksikan dari dekat penyebab bunyi-bunyian itu. Kedua orang
yang sedang berlatih itu menyadari kehadirannya dan menghentikan
latihan dan kemudian menyapanya. Tanpa berbasa-basi lebih lanjut
Arasan kemudian mengajak Telaga untuk ikut berlatih. Ia mempera-
gakan sedikit-sedikit gerakan dan menyuruh Arasan untuk menirukan-
nya. Dikarenakan telah mempelajari Tenaga Air, dapat dengan mu-
dah Telaga menirukan gerakan-gerakan yang pada dasarnya lemas itu.
Sampai pada gerakan yang menghentak, agar susah ia mencobanya.
"Nak Telaga, pernah belajar ilmu beladiri?" tanya Arasan begitu meli-
hat kemudahan Telaga dalam menirukan jurus-jurus lemas yang diper-
agakannya. "Belum, paman Arasan. Saya hanya belajar cara menghimpun hawa
saja," jawabnya jujur.
"Ah, itu sebanya engkau bisa menirukan dengan baik jurus-jurus
lemas tapi tidak yang menghentak," kata Arasan sambil mengangguk-
angguk. Lalu tanyanya kemudian, "boleh paman tahu apa nama ilmu
penghimpun hawa yang engkau telah pelajari?"
Ragu sejenak Telaga mendengar pertanyaan itu, ia tidak tahu apakah
pertanyaan itu harus dijawab apa tidak. Sebagai keturunan terakhir
Pelestari Ilmu dari Tenaga Air sudah seharusnya ia merahasiakan hal
itu. Melihat keragu-raguan Telaga, berkatalah Arasan kemudian, "tak
perlu kau katakan pun, kelihatannya aku dapat menebak asal ilmumu.
Engkau pernah berkata bahwa engkau datang dari utara. Salah satu
penerus ilmu-ilmu lemas adalah sebuah keluarga yang tinggl di Danau
Tengah Gunung di Gunung Berdanau Berpulau di utara Padang Batu-
batu. Guruku pernah bercerita mengenai mereka itu. Orang-orang
yang hanya melatih Tenaga Air, akan tetapi tidak melatih bagaimana
154 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
cara menggunakannya. Mereka hanyalah orang-orang yang bertugas
sebagai Pelestari Ilmu dari Tenaga Air. Betulkan demikian?"
Telaga hanya tersenyum kecut begitu mendengar uraian Arasan.
Banyak pengalaman ternyata paman yang berkerja sebagai pelayan
di warung ini. Tak terlihat dari sosoknya yang sederhana.
"Marilah, nak Telaga. Guruku sendiri pernah berujar, sayang sekali
bahwa orang-orang Pelestari Ilmu Tenaga Air itu tidak mempela-
jari ilmu bela diri. Mereka memang melestarikan ilmu itu tapi tidak
mengamalkannya. Suatu saat jika ada kelompok yang tidak suka pada
mereka, bisa saja mereka ditumpas dan ilmu-ilmu penghimpun hawa
itu akan punah selamanya," jelasnya kemudian.
"Paman Arasan..," tanya Telaga bimbang, "bolehkan saya men-
gangkat paman sebagai guru.., maksud saya belajar ilmu beladiri
dari paman.." Tersenyum Arasan mendengar permintaan itu. Benar pikirnya. Anak
muda ini bukanlah seorang pemuda biasa. Sudah tentu senang hatinya
menjadi guru seorang pemuda yang telah mempelajari Tenaga Air.
"Sudah tentu, nak Telaga. Tapi jangan panggil aku guru. Dan hal ini
harus dirahasiakan bahwa kamu belajar ilmu beladiri dari aku. Perihal
mengapa, suatu saat akan kami ceritakan," jawabnya.
Telaga pun mengangguk. Mulai pagi itu Arasan pun mengajarkan
ilmu-ilmunya, yaitu Sabetan dan Tangkapan Tangan. Awalnya Telaga
memang terlihat tertinggal bila dibandingkan dengan Sarini akan
tetapi lambat laun ia dapat menyusul dan terlihat lebih pandai,
terutama untuk gerakan-gerakan yang memanfaatkan kelemasan. Ini
sudah tentu dibantu dengan hawa dalam yang telah dimilikinya, yaitu
Tenaga Air. Setelah matahari mulai sedikit tampak, mereka pun menghentikan
latihan. Arasan memang sembunyi-sembunyi dalam melatih anaknya
Sarini. Ia tidak ingin dikenal sebagai seorang yang bisa ilmu bela diri.
Ia ingin hidupnya aman-aman saja. Akan tetapi sebagai seorang ayah,
sudah tentu ia tidak bisa selamanya bersama-sama dengan putrinya
terus-menerus dan menjaganya. Untuk itulah ia mengajari putrinya
ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan, untuk menjaga diri belaka.
155 Setelah sarapan Arasan dan Sarini mengajak Telaga untuk mengikuti
kelanjutan peristiwa yang terjadi kemarin di daerah itu, yaitu penangka-
pan Hakim Haus Darah. Hari ini Arasan tidak bekerja, juga warung
tempatnya menjadi pelayan tidak buka. Hal ini dikarenakan semua
penduduk dari kedua desa akan berada di kediaman Hakim Haus
Darah untuk memenuhi himbauan dari ketiga orang perwira dari pe-
merintah pusat, yang katanya akan menangkap Hakim Haus Darah
atas tuduhan membunuh Ki Rontok.
Dalam perjalanan mereka apabila bertemu dengan orang-orang de-
sanya, Arasan selalu memperkenalkan Telaga sebagai anak dari
saudara jauhnya di kota besar, yang saat ini sedang menginap di
tempatnya. Dengan cara itu orang-orang tidak akan curiga bahwa
Telaga berguru kepadanya. Lagi pula saat itu topik mengenai Hakim
Haus Darah sedang pada puncaknya, tidaklah keberadaan Telaga men-
jadi perhatian orang. Telaga dalam pada itu tak lupa menceritakan
mengenai apa yang dilihatnya waktu ia berada di Danau Genangan
Batu, tentu saja dengan muka merah mengingat adanya Sarini di
situ. Sarini yang mendengar cerita itu amat tertarik, selain juga
menjadi malu. Untung saja ia saat itu tidak ikut mandi bertelanjang
tubuh. Jika tidak, pastilah seluruh penjuru tubuhnya telah dilihat
Telaga dari kejauhan. Arasan mendengarkan cerita Telaga dengan
serius, lalu usulnya agar Telaga untuk sementara menyimpan rahasia
itu di tengah mereka bertiga dan juga kakek aneh yang ditemuinya
itu. Arasan berpendapat bahwa jika persoalannya menjadi genting,
bisa-bisa Telaga tersangkut-paut. Belum lagi alasan mengapa ketiga
perwira pemerintah pusat itu menyembunyikan mayat Ki Rontok
di legokan dalam Danau Genangan Batu. Masih banyak misteri
yang tersimpan dalam peristiwa itu. Baiknya Telaga berhati-hati
dulu. Mendengar alasan dan nasihat itu Telaga pun mengiyakan.
Lalu berbicaralah mereka hal-hal lain yang lebih ringan, melihat su-
dah banyak orang yang berpapasan dan juga berjalan bersama-sama
mereka ke tempat kediaman Hakim Haus Darah.
*** Telah berkumpul banyak orang di suatu tempat agak jauh ke selatan
dari Danau Genangan Batu. Tempat kediaman Hakim Haus Darah,
Walinggih. Sebuah rumah di atas batu, tampak sederhana. Di hada-
pannya tampak halaman atau bebatuan lapang cukup luas. Terlihat
156 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
guratan-guratan pada halaman berbatu itu. Sesekali seperti guratan
kaki, akan tetapi juga tampak seperti guratan yang dibuat menggu-
nakan logam panjang. Pedang mungkin. Orang-orang yang pernah
melihat Hakim Haus Darah melatih ilmunya, dapat mengenali bahwa
gurata-guratan itu merupakan hasil peninggalannya saat ia berlatih
pedang panjangnya di pelataran itu. Meninggalakn jejak kaki di atas
tanah batu dan juga angin sabetan-sabetan pedangnya.
"Walinggih atau yang dikenal sebagai Hakim Haus Darah, keluar-
lah engkau..!" salah seorang dari tiga perwira perwakilan pemerintah
pusat itu. Sunyi tak terdengar jawaban. Penduduk yang mendengar ucapan itu
menjadi merinding. Belum pernah sampai saat itu mereka mendengar
ada orang yang berani menyapa Walinggih seperti itu. Baru kali ini.
Mereka, para penduduk kedua desa berada pada keadaan terjepit.
Ingin tidak hadir, akan tetapi berarti melawan wakil dari pemerintah
pusat. Ingin ikut tapi jerih terhadap Walinggih.
Tak lama kemudian tampak pintu rumah di atas batu itu berderit
terbuka. Seorang tua muncul dari dalamnya. Hampir saja Telaga
menyeru perlahan karena miripnya wajah orang itu dengan orang tua
yang ditemuinya di Gunung Genangan Batu saat dulu itu terjadi.
Tapi setelah diperhatikannya dengan seksama, tampak perbedaan-
perbedaan yang ada pada orang yang baru keluar itu. Memang sama-
sama tua, dan tua karena pikiran, akan tetapi orang ini, Walinggih
masih terlihat lebih segar dibandingkan orang tua kemarin. Juga ram-
butnya berbeda. Orang tua kemarin sudah putih semua, sedangkan
Walinggih masih tercampur-campur antar rambut yang putih dan hi-
tam. Hanya ada satu persamaan, yaitu baju yang dipakainya. Sama
seperti yang dikenakan oleh orang tua kemarin dulu itu, yaitu se-
belah berwarna kanan biru muda dan sebelah kiri berawarna hijau
muda. Tapi tidak seperti orang tua kemarin yang berbusana bersih,
baju Walinggih tampak kotor oleh bercak-bercak coklat kehitaman.
Seperti bercak darah yang mengering.
"Huh, mau apa kalian orang-orang desa kemari?" jawabnya kasar.
"Ada yang mau disembelih?"
Kecut hati sebagian hati orang-orang mendengarnya. Hanya beberapa
157 yang cukup berilmu tidak, termasuk di antaranya ketiga perwira dari
pemerintah pusat, Sarini, Arasan ayahnya dan Telaga. Juga beberapa
orang yang berdiri di kejauhan, di atas batu tinggi. Ketiga orang yang
pernah dilihat Telaga di Danau Genangan Batu tampak di antara
orang-orang tersebut. "Walinggih atau Hakim Haus Darah, kami tiga orang wakil dari pe-
merintah pusat, atas permintaan dari kedua desa ini hendak menangkapmu
atau tuduhan telah membunuh Ki Rontok dari Desa Batu Barat,"
terang seorang dari mereka sambil dilemparkannya sebuah gulungan
kertas. Kertas yang berisi perintah untuk menangkap Walinggih.
Lemparan itu bukan sembaran lemparan. Dalam jarak yang cukup
jauh orang masih dapat mendengar deru gulungan itu. Kertas yang
ringan akan tetapi dapat menderu dan menempuh jarak setinggi po-
hon kelapa untuk mencapai Walinggih yang berada di depan pintu
rumahnya, menandakan kuatnya tenaga yang dimiliki oleh perwira
tersebut. Walinggih dengan santainya menangkap sambitan itu, membacanya
sekilas kemudian lemparkannya melambung turun. Bersamaan dengan
itu diayunkan pedang pajangnya menyilang beberapa kali dengan ke-
cepatanya yang sukar diikuti oleh mata. Saat ia menapakkan kakinya
dengan berdebam di atas bebatuan di pelataran di depan rumahnya.
Turun potongan-potongan kertas perintah penangkapan atas dirinya
tadi. Halus bagai salju atau serbuk sari bunga yang terbawa angin.
Benar-benar ilmu pedang yang dahsyat.
"Hmm..," kata seorang dari mereka bertiga, "apakah itu artinya bahwa
engkau menolak perintah pemerintah pusat?"
Walinggih tersenyum jumawa, lalu katanya, "Bila pedang sudah
bicara, tak perlu ada kata-kata lagi. Mana pemerintah pusat saat
di sini ada penekakan oleh pedagang dan preman" Mana pemerintah
pusat waktu keluargaku dibantai" Giliran sekarang sudah beres, baru
datang. Huh!" Seorang dari ketiga perwira itu masih berusaha membujuk, "serahkan
dirimu, Walinggih! Kami akan beri peradilan bagimu. Juga dengan
melihat latar belakang tindakanmu itu. Biarkan hakim sebenarnya
yang memutuskan." 158 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Alih-alih menyetujui saran itu, Walinggih malah mendengus dan melu-
dah ke kanan-kirinya. Melihat penghinaan itu dan juga sikap bahwa ia
masih mengandalkan kekuatannya, ketiga perwira itu saling bertukar
pandangan mata. Lalu secara bersamaan mereka bergerak maju.
Ketiganya telah mengelilingi Walinggih. Bersenjatakan tongkat set-
inggi pinggang. Dua buah. Satu di tangan kanan dan satu di tangan
kiri. Tongkat khas penjaga penjara para tahanan. Ketiganya kemu-
dian menyerang bersamaan. Satu menyabet ke arah kepala, yang ke-
dua ke arah perut dan yang ketiga ke arah kaki. Hampir tertutup
semua ruang gerak Walinggih, diserang dari ketiga arah pada ketiga
ketinggian yang berbeda. Benar-benar serangan yang lengkap.
Akan tetapi bukan Hakim Haus Darah apabila dengan serangan seperti
itu dapat langsung ditumbangkan. Dengan tenang ia melangkah
mundur mendekati orang yang menyabetkan tongkatnya ke arah
kepalanya. Ditundukkan kepalanya sehingga serangan itu luput. Aki-
bat mundurnya itu, dua serangan yang di depan kiri dan kanannya pun
tak mengena. Bersamaan dengan itu diayunkan pedang panjangnya
ke kiri dan kanan. Pedangnya lebih panjang dari tongkat ketiga orang
itu, akibatnya kedua orang yang menyabet kaki dan perutnya terpaksa
mundur setelah serangan mereka gagal. Tidak sempat ada serangan
kedua karena pedang Walinggih telah mendekati. Hampir mencium
perut-perut mereka. Selagi orang yang di belakang Walinggih tertegun melihat seran-
gannya gagal, diputarnya pedang panjangnya sedemikian rupa se-
hingga ujungnya berarah ke belakang. Lalu dihujamkannya ke arah
di mana orang itu berada. Tak diduganya bahwa Walinggih akan
menyerangnya tanpa membalikkan badanya membuat kewaspadaan
orang itu berkurang. Untung saja re"eksnya masih bekerja, dige-
sernya badannya sedikit ke samping sehingga pedang Walinggih hanya
menderukan angin di pinggir kulit pinggangnya.
Bekeringat dingin ketiga perwira itu. Dalam serangan pertama,
dalam satu jurus mereka hampir dikalahkan oleh Walinggih. Serangan
mereka yang umumnya membuahkan hasil dapat dimentahkan dengan
serta-merta. "Bagus..!" ucap salah seorang dari mereka.
159 Kembali ketiganya maju serantak, tapi kali ini tidak berani sekaligus
menyerang melainkan satu per satu. Saat satu orang menyerang, te-
mannya membantu dengan menjaga serangan balik Walinggih. Cara
ini ternyata lebih berhasil, sulit Walinggih menyerang balik dengan
tepat. Ada dukungan dari kawan di kiri-kanan dari sasarannya.
Pertempuran itu pun berlangsung seru. Sudah setengah hari tiada
tanda-tanda akan berkesudahan. Matahari sudah menempati titik
kulminasinya. Sebagai seorang manusia, sudah pasti dimiliki batas
daya tahan untuk terus bertempur. Bagitu pula dengan ketiga orang
perwira itu. Mereka tidak biasanya menangkap para penjahat sampai
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selama ini. Belum pernah sebelumnya. Pada Walinggih tidak terlihat
tanda-tanda ia menjadi lelah. Mungkin kegilaannya itu yang membuat
ia tidak bisa lelah. Menyadari bahwa jika pertempuran berlarut-larut
berlangsung, dapat saja kekalahan menyambangi pihaknya, salah se-
orang dari ketiga perwira itu memberi isyarat pada sekelompok orang
yang berdiri di atas batu tinggi di kejauhan. Kelimanya bergerak
ringan, turun dari batu dan bagai melayang tiba di arena pertempu-
ran. Semakin kecut penduduk kedua desa melihat bahwa akan ada lagi
tokoh-tokoh yang berlaga. Arasan, Sarini dan Telaga juga semakin
tertarik melihat bahwa kelima orang yang tadi tak begitu jerih pada
Walinggih ternyata juga orang-orang yang berilmu.
"Hehehe, akhirnya muncul juga orang-orang Asasin," kata Walinggih
begitu melihat kedatangan lima orang itu. "Jadi begitu...! Perwira
wakil pemerintah pusat bekerja sama dengan pembunuh bayaran. Ha-
hahaha, benar-benar "penegakan hukum"."
Tak terpancing emosi ketiga perwira itu juga para Asasin. Lalu ucap
salah seorang perwira, "Walinggih, urusan apa pekerjaan mereka kami
tidak tahu-menahu. Mereka-mereka ini hanya membantu kami dalam
menunaikan tugas untuk menangkapmu. Itu saja."
"Hehehe, tak usah berpura-pura," kata Walinggih, "sudah jelas men-
gapa dulu wakil pemerintah tidak datang, rupanya sudah sekongkol
pemerintah dengan preman-preman dan pembunuh bayaran."
Mendengar itu berkecamuk pikiran dalam benak Telaga. Sedari tadi
belum sekalipun Walinggih mengaku telah membunuh Ki Rontok.
160 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Dan dengan adanya kelima orang itu, yang disebut sebagai Asasin. Di
mana tiga di antaranya adalah orang-orang yang dilihatnya menyem-
bunyikan mayat, menjadi semakin bingun Telaga. Masih dicobanya
untuk memahami kejadian itu. Saat itu tangan Sarini menyentuh tan-
gannya lembut, dengan isyarat dikatakannya bahwa Telaga sebaiknya
tidak berbicara mengenai apa yang dilihatnya itu.
Kedelapan orang yang telah mengurung Walinggih itu, alih-alih men-
jawab pernyataanya, malah bergerak berputar, langsung menyerang.
Dongkol pula Walinggih bahwa ucapannya tidak ditanggapi. Di
tariknya pedang panjangnya ke dadanya sehingga ujungnya meng-
hadap ke atas. kakinya meregang terbuka selebar dada. Satu ke
depan satu ke belakang. Ia sedang merapal jurus Sabetan Tung-
gal Menuai Dua, yaitu suatu jurus dari ilmu pedang panjangnya,
di mana dalam satu serangan dua titik yang dituju. Dua titik dari
dua orang lawan yang berbeda. Biasanya dua titik itu berada bukan
pada dua orang lawan yang berdekatan atau berurutan melainkan
berseberangan. Dengan cara ini biasanya dua orang lawan tidak akan
sadar bahwa mereka berdua yang akan dituju. Lain halnya bila dua
orang yang berurutan yang menjadi sasaran. Teman sebelahnya tentu
waspada apabila rekan terdekatnya sedang diserang.
Walinggih belum tahu berapa lihai kelima orang Asasin yang beru
berlaga itu. Ia pun tak punya waktu untuk mencari tahu. Dari piki-
rannya, dipandang mereka lebih lemah dari ketiga perwira perwakilan
pemerintah pusat itu. Jika tidak, mengapa mereka butuh ketiga per-
wira itu untuk membalaskan dendamnya. Dugaan itu tidak salah.
Kelima orang itu memang ingin membalaskan dendam kepada Wal-
inggih atas pembunuhan yang dilakukannya pada rekan-rekan mereka
dulu. Saat Walinggih membalaskan dendam atas kematian keluar-
ganya. Sebagai seorang pembunuh bayaran, Asasin tidak mengerti
kesedihan Walinggih. Pembunuhan bagi mereka adalah suatu pro-
fesi. Akan tetapi para Asasin pun menyadari bahwa Walinggih bukan
orang sembarangan. Mereka saja tidak akan mampu menanganinya,
untuk itu mereka berpura-pura meminta pertolongan pada pemerintah
pusat, sehingga ketiga orang perwira itu dikirim.
Sebelum kedelapan orang itu bergerak, telah dengan cepat Waling-
gih mendahului menyerang. Diserangnya salah seorang Asasin yang
berada di kirinya dengan tipuan tusukan. Akibatnya rekan-rekannya
161 berupaya melindungi. Dengan menggunakan saat yang tepat diubah-
nya serangan itu ke arah dua orang di kanan dan belakangnya. Dua
orang yang jauh dari sasaran pertama, juga kedua Asasin, tidak sadar
akan kembangan serangan dari Walinggih. Mereka masih tenang
karena merasa berada pada jarak yang aman.
"Settt...!" serangan kedua membuahkan hasil. Sasaran itu tertusuk
pada pinggangnya dan berguling ke samping. Tak berhenti diputarnya
pedangnya ke atas kepala dan dibacokkan ke tujuan berikutnya.
"Cappp...!" serangan ini pun membuahkan hasil. Terbelah simetris
Asasin ini. Tak sempat ia menghindar karena masih terpesona pada
luka yang diderita rekan sebelumnya.
Melihat hasil ini, keenam orang yang tersisa segera melompat mundur
karena pedang Walinggih masih berpusing ke beberapa arah. Hanya
tipuan. Tapi pada keadaan genting seperti itu tak ada yang berani
coba-coba apa serangan susulah itu benar-benar atau hanya gertak
belaka. Kembali Walinggih memegang pedangnya rapat ke dada dengan ujung
menuju ke atas. Kaki dibuka selebar bahu, ke depan dan belakang.
Diatur napasnya tenang. Siap untuk serangan berikutnya.
Kecewa tampak wajah salah seorang perwira. Bantuan dari Asasin
yang tampaknya akan memperkuat penangkapan ini ternyata sia-sia.
Asasin hanyalah gentong kosong belaka, pikirnya. Omong besar di
depan. Tak ada hasil setelahnya.
Tiga orang Asasin yang tersisa tampak geram. Sekilas melihat tahu-
lah mereka bahwa kedua rekannya telah merengkuh ajal. Tak ada
yang dapat dilakukan kali. Ketiganya saling menukar pandang dan
mengambil sesuatu dari sakunya. Masing-masing membawa sebatang
tabung kecil sepanjang lengan. Diujungnya terlihat sumbat kain ter-
lekat. "Hei..! Apa mau kalian..?" tegur salah seorang perwira demi melihat
apa yang dilakukan oleh ketiga Asasin tersebut. "Tunggu dulu..!"
Akan tetapi terlambat, ketiganya telah melemparkan tabung itu yang
telah dibuka sumbatnya ke arah Walinggih. Bukan ke atas melainkan
162 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
ke tanah di sekitar Walinggih berdiri. Sekilas terlihat asap putih
kekuningan keluar. Cairan kuning muda tampak mengalir keluar dari
ketiga tabung itu dan langsung meresap ke dalam tanan.
Walinggih yang melihat itu tetap diam tak bergeming. Ia tak in-
gin hilang konsentrasinya pada posisinya untuk menyerang. Keenam
orang itu masih di luar jangkauan pedangnya, tak dapat ia meny-
erang keenammnya. Oleh karena itu dibiarkannya tabung-tabung itu
dilemparkan di sekelilingnya.
Tak berapa lama, seperti menunggu sesuatu bergeraklah sisa orang
Asasin itu menyerang Walinggih. Dengan cara yang sama Walinggih
menyerang mereka bertiga secara acak.
"Wuttt..!" hampir saja salah seorang dari mereka terkena. Masih sem-
pat calong korban Walinggih itu bergeser mundur sehingga pedang
panjang Hakim Haus Darah hanya lewat tipis di atas rampbutnya.
Terasa sehelai dua rambutnya terpapas ringan. Keringat dingin
menetes dengan sendirinya dan juga merindingnya bulu kuduk, mem-
bayangkan bila tadi bukan ramput yang terpapas melainkan kepala.
Walinggih kembali ke tengah. Kembali ke posisi semula. Tegak dan
lemas. Siap melepas serangan lagi bagi pegas. Menyerang untuk kem-
bali pada posisi bertahan.
Tiba-tiba terasa sesuatu pada kakinya. Tak berani ia melihat ke
bawah, takut di saat sekejap itu ketiga orang musuhnya menyerang
balik. Orang-orang di sekitar Walinggih melihat bahwa cairan kuning susu
yang tadi meresap ke dalam tanah, tampak muncul kembali dan tepat
di bawah kaki Walinggih. Perlahan-lahan kumpulan-kumpulan cairan
itu merayap naik. Seakan-akan hidup merambat merambat mereka
pada kaki dan betis Walinggih.
Pada saat itulah sambil melempar senyum ketiga orang Asasin yang
tersisa menyerang Walinggih sang Hakim Haus Darah dengan serentak.
Membacokkan golokn mereka secara bersamaan.
Walinggih yang akan bergerak, tiba-tiba mearasa bahwa kakinya
tidak lagi dapat digerakkan. Terpaku bagai akar pohon. Ini sudah
163 tentu disebabkan oleh cairan kuning susu itu. Entah apa namanya.
Masih dengan tenang Walinggih mendengus. Alih-alih menggeser
kedudukannya, ia memutar pedang panjangnya sedemikian rupa se-
hingga terlihat ia akan membacok paha depannya sendiri. Di saat
ketiga orang yang sedang mendekat padanya itu terpesona pada ger-
akan itu, Walinggih mencengkeram ujung pedangnya yang sedang
mengayun. Ternyata pedang panjang itu bisa dibuat menjadi dua
bagian yang kira-kira sama panjangnya. Dengan cantik serangan
yang tadi diduga akan membelah pahanya itu menjadi melengkung ke
atas dan membacok lawan-lawannya di kedua arah.
"Crakkk!" dan "croott!" lawan yang ada di kanan dan dirinya ter-
pancung dagunya dari bawah. Bersamaan dengan terbelahnya muka
mereka, terbang pula nyawa mereka dari raganya semula. Bersamaan
dengan itu dua bagian pedang panjang yang masih bergerak ke atas
kanan dan kiri itu melingkar ke atas menuju punggung Walinggih, di
mana orang ketiga sedang menyerang.
"Heggg..!!" menyelinap golok orang ketiga ke pinggang Walinggih.
Luka bacokan tak dapat dihindari. Akan tetapi pada saat yang
bersamaan "crott!!" menghujam kedua potong goloknya ke kepala
seorang Asasin yang masih tersisa itu.
Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Ketiga Asasin tampak
terbujur menjadi mayat. Sementara itu Walinggih si Hakim Haus
Darah tampak masih gagah berdiri di tengah-tengah. Walaupun
kakinya tak dapat bergerak dari atas tanah dan pinggangnya telah
meneteskan luka, masih tampak wibawa dan keangkerannya.
Sunyi. Tak tahan akan keadaan itu tiba-tiba Telaga melesat. Ia menyobek
lengan bajunya untuk disematkan pada luka di pinggang Walinggih.
Andai saja Walinggih belum terkuras habis tenaganya dan juga belum
terluka, bisa tak selamat Telaga. Bisa dikira musuh yang akan meny-
erang oleh Walinggih. Tapi pada saat itu ia tidak bisa lain hanya
menerima saja. Dan ia amat bersyukur bahwa anak muda itu hanya
membalut lukanya. Ketiga perwira itu tampak tertegun menyaksikan perbuatan Telaga.
Mereka sebagai perwira tak ingin menyerang orang yang sudah tak
164 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
berdaya. Mereka juga malu bahwa orang-orang yang menolong mereka
ternyata menggunakan cara licik dengan memakai sejenis cairan yang
tidak mereka kenal itu. Ketiganya tampak termangu. Seakan-akan
menunggu Telaga sampai selesai membalut luka di pinggang Waling-
gih. Walinggih merasa amat terharu atas sikap Telaga itu. Dipandangnya
anak muda yang masih membalutnya itu. Teringat akan anaknya.
Jika anaknya masih hidup, sudah pasti sebesar ini tentunya. Tiba-tiba
dilihatnya suatu tanda di dada anak muda itu, yang bajunya sedikit
tersingkap saat ia menyobekkan lengan bajunya, untuk dibuat bahan
membalut. Terkesiap ia melihat semacam sinar temaram. Sinar yang
hanya dimiliki oleh orang-orang seperti dirinya, yang pernah belajar
ilmu dari guru yang sama.
"Siapakah, kau?" tanyanya tergagap.
"Maaf, paman.. Saya hanya tak tega melihat paman terluka. Su-
dah itu mereka-mereka ini licik sekali. Bertempur, kok menggunakan
racun..," jawab Telaga sedikit malu. Ia seharunya tidak mencampuri
urusan orang, akan tetapi perkataan orang tua yang berbusana sama
dengan Walinggih ini mengingatkannya bahwa ia harus mengatakan
kebenaran. Jangan disimpan.
Lalu Telaga pun menceritakan apa-apa yang dilihatnya kepada Wal-
inggih juga kepada ketiga perwira wakil pemerintah tersebut. Isyarat
Sarini untuk mencegahnya diabaikannya. Diceritakannya dari sejak
awal ia berada di Danau Genangan Batu sampai perjumpaannya den-
gan orang tua yang berbusana sama dengan Walinggih. Orang itu
juga dapat menjadi saksi mengenai apa yang terjadi.
Mendengar cerita Telaga, bergumam orang-orang yang berkerumun di
sana. Juga ketiga perwira menjadi bingung mengenai apa yang harus
dilakukan. Setelah mereka bertiga berunding, akhinya diputuskan
bahwa untuk kasus ini sudah selesai. Dalam hal ini Walinggih tidak
bersalah karena pelaku pembunuhan Ki Rontok adalah kelompok
Asasin itu. Salah seorang perwira yang kemudian memeriksa saku-
saku mayat Asasin kemudian menemukan jarum jahit dan benang kulit
yang digunakan untuk menjahit kembali tubuh Ki Rontok. Rupanya
mereka berlima sudah tidak sabar untuk membalaskan dendamnya
165 kepada Walinggih, akhirnya dengan cara membunuh dan mem"tnah
Walinggih, diharapkan rencana mereka dapat berjalan. Sayangnya
kemampuan silat mereka masih jauh dari mumpuni. Itupun masih
dibantu dengan cairan kuning susu tadi.
Ketiga perwira pun membubarkan orang-orang desa. Akhirnya di sana
hanya tinggal mereka bertiga, Walinggih, Telaga, Sarini dan Arasan.
Ketiga perwira wakil pemerintah pusat yang tadinya berwajah keren
dan galak itu, membantu Telaga memamapah Walinggih ke rumahnya
di atas batu. Mereka tadi bersikap garang kepada Walinggih karena
mereka yakin Walinggih adalah yang bersalah. Yang telah membunuh
Ki Rontok. Akant tetapi sekarang, setelah terbukti bukan, bersikap
mereka ramah seperti ke kebanyakan orang. Setelah itu mereka pamit,
sambil tak lupa berpesan kepada Walinggih untuk meninggalkan tabi-
atnya yang cepat marah dan main hakim sendiri. Di kedua desa
telah ada perangkat pemerintah, biarkan mereka yang mengatur, ucap
mereka. Walinggih yang telah tersentuh oleh perawatan Telaga ber-
janji akan mengubah dirinya, tidak seganas dulu.
Tinggalah saa itu Walinggih yang terbujur lemah masih menahan sakit
dan tiga orang di sekitarnya.
"Katakan sekali lagi, nak Telaga.. Bagaimana rupa orang tua itu?"
pintanya pada Telaga. Telaga kemudian menceritakan bagaimana rupa orang tua yang dite-
muinya di Danau Genangan Batu dan apa yang dilakukannya sebelum
berpisah. Mendorong dadanya secara halus dan menggetarkan isinya.
Dikatakannya pula bahwa rupanya mirip dengan Walinggih, juga bu-
sana yang dikenakannya. Tersenyum Walinggih mendengarkan kejadian itu. Katanya menghela
napas, "kakangku itu Wananggo, masih saja mengawasiku dari jauh.
Ia masih juga belum mau bertemu denganku."
Terdiam ketiga orang pendengar itu. Orang tua itu ternyata adalah
kakak dari Walinggih. Wananggo namanya. Pantas Telaga melihat
banyak kemiripan di antara mereka berdua itu.
Walinggih kemudian bercerita bahwa Wananggo juga mengalami
kesedihan yang sama dengan dirinya. Ia mengalami pula diting-
166 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
gal keluarganya. Akan tetapi berbeda dengan Walinggih, istri dan
anaknya meninggal karena penyakit, bukan dibunuh orang. Ada
satu hal yang sama dari ketiga orang itu, Walinggih, Arasan dan
Wananggo, yaitu mereka sama-sama beristrikan wanita bukan dari
desa asal mereka. Jika Walinggih dan Wananggo yang berasal dari
Desa Batu Barat yang kemudian memperistri wanita dari Desa Batu
Timur. Sebaliknya Arasan yang berasal dari Desa Batu Timur mem-
peristri wanita dari Desa Batu Barat.
Diterangkannya pula oleh Walinggih bahwa kakaknya itu mendorong
halus dada Telaga untuk mengoperkan sedikit tenaga pada Telaga
yang juga menjadi kesepakatan dari mereka bahwa Telaga adalah se-
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang cocok untuk dijadikan murid. Mendengar itu Telaga ke-
mudian menceritakan bahwa ia sedang berguru pada Arasan. Arasan
sendiri, sang guru tidak berkeberatan jika Telaga juga berguru pada
Walinggih. Ia melihat bahwa Walinggih perlu teman. Dengan adanya
teman akan lebih baik hidupnya. Dapat membantunya keluar dari ke-
biasaanya yang ganas seperti pada masa lalu. Walinggih pun berkata
bahwa selama ia masih sakit, ia belum dapat mengajarkan Telaga.
Jadi bisa saja Telaga berguru padanya setelah ia sembuh. Akhirnya
disepakati bahwa Telaga tinggal bersama Walinggih dan baru berkun-
jung pagi-pagi buta untuk belajar. Selain itu para penduduk juga
telah tahu bahwa Telaga bukanlah anak dari saudara jauhnya lagi,
melainkan hanya mampir. Tidak baik bagi seorang gadis seperti Sarini
bila ada seorang pemuda seperti Telaga, yang bukan keluarganya,
tinggal serumah. Kedua orang tua itu tertawa-tawa mendiskusikan
bagaimana mereka akan melatih Telaga kelak. Sedangkan orang yang
dibicarakan tidak diberi kesempatan.
Melihat itu semua Sarini hanya tertawa kecil sambil sesekali meli-
hat ayahnya. Belum pernah dilihatnya Arasan sesemangat itu mem-
bicarakan sesuatu. Apalagi terhadap orang yang ditakuti, Hakim Haus
Darah. *** Pemuda itu berjalan pelan mendaki gunung tinggi di depannya. Gu-
nung Hijau. Gunung yang puncaknya tidak jelas karena tertutup
awan. Paras Tampan nama pemuda itu. Ia adalah seorang dari
lima pemuda yang sedang menghadapi ujian akhir dari gurunya Ki
167 Tapa salah seorang penghuni Rimba Hijau. Di atas gunung ini ter-
dapat persembunyian kitab-kitab ahli-ahli silat tinggi. Belum jelas
bagaimana kabarnya mengapa banyak ahli-ahli silat tinggi menyem-
bunyikan kitab-kitab mereka di gunung itu pada akhir hayat mereka.
Ada yang menyembunyikannya di balik batu, di rumah di atas po-
hon, dalam ceruk, di lobang-lobang karang dan sebagainya. Saking
sulitnya menemukan kitab-kitab itu, bolah dikatakan nasiblah yang
menentukan. Atau dengan kata lain, kitab-kitab itu yang mencari
penerusnya, bukan sebaliknya. Itu yang dikatanan gurunya Ki Tapa.
Paras Tampan berjalan perlahan masih saja tebing-tebing yang dili-
hatnya. Walau kadang ada jalan setapak, tapi tidak mengisyaratkan
bahwa itu akan membawanya ke suatu tempat. Ia memutuskan un-
tuk selalu mencari jalan yang lebih menuju atas, apabila menemui
persimpangan. Semakin tinggi, mungkin semakin sakti orang yang
meninggalkan kitab itu, pikirnya.
Berbagai tebing dan batu-batu telah ditelitinya. Batu-batu yang
tinggi dan pendek. Celah yang lebar dan sempit. Juga pohon-pohon
yang terdapat di sana. Sampai saat ini baru dua rumah pohon dite-
muinya. Akan tetapi di sana tidak terdapat kitab apapun. Hanya
beberapa baris tulisan. Tulisan dari orang yang juga mencari kitab.
Tulisan mengenai keputusasaanya bahwa ia belum juga menemukan
apa yang dicari. Tersenyum kecil Paras Tampan membaca tulisan itu.
Ia tidak akan berkeluh kesah seperti orang yang menorehkan tulisan
itu pada dinding rumah pohon. Ia akan berusaha sekuatnya untuk
mencari kitab-kitab itu. Atau tepatnya ia akan terus berjalan, sampai
kitab-kitab itu menemukan dirinya.
Hari telah menjelang senja. Paras Tampan telah sampai ke suatu
batas di mana kabut tipis di atas Gunung Hijau terlihat bertambah
lebat. Ia harus beristirahat. Sulit dalam kegelapan kabut dan juga
malam untuk terus berjalan, bahkan dengan adanya bantuan obor
yang telah dibekalnya tadi. Umumnya pantulan api obor akan malah
menghalangi pandangan. Jalan yang dapat dilihat tidak sampai dua
kambing ke muka. Benar-benar hampir buta rasanya.
Sementara masih berpikir untuk terus berjalan atau beristirahat,
Paras Tampan mencari suatu tempat untuk melepaskan lelah dan
memakan bekal yang menyertainya. Akhirnya diperoleh suatu tem-
168 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
pat yang cukup nyaman. Legokan dalam batu-batu sebesar gajah.
Memberikan ruang yang cukup untuk berlindung dari angin dan juga
bila nanti turun hujan. Dibukanya perlengkapan yang dibawa. Lauk-
pauk, obor, beberapa tali dan barang-barang lainnya. Dicarinya di
sudut-sudut legokan itu, yang ternyata lebih menyerupai sebuah gua
yang dangkal, dan didapatinya ranting-ranting bekas sarang binatang.
Diambilnya beberapa buah yang kering-kering. Kembali ke tempat
perbekalannya semula diletakkan dan mulailah ia membuat api sambil
memakan perbekalannya. Selang tak berapa lama dirasakannya kantuk dan juga lelah meny-
erang. Tak dapat ditahankannya. Ia pun lalu tertidur. Lelap
sekali sehingga tidak diketahuinya beberapa mata sejenis makhluk
menatapnya. Mata-mata yang dapat bersinar dalam gelap. Bila
saja Paras Tampan tersadar, mungkin terkejut pula dirinya. Beber-
apa makhluk itu muncul mengitari dirinya dan menjamah beberapa
barang-barangnya. Geliat Paras Tampan dalam tidurnya mengagetkan mereka. Makhluk-
makhluk itu langsung kabur sambil tak lupa membawa barang-barang
yang bagi mereka menarik itu. Sebagian masih tercecer. Juga tali-tali
yang dibekal oleh Paras Tampan.
Sinar matahari yang hangat datang menggelitik pelupuk mata Paras
Tampan yang tertidur di legokan batu itu. Usikan sang surya mem-
buatnya menggeliat sesaat untuk kemudian tersadar dan bangun.
Masih galau ingatannya, di mana ia saat ini berada. Diingat-ingatnya
kembali. Akhirnya disadarinya bahwa dirinya sedang mendaki Gu-
nung Hijau untuk mencari kitab-kitab peninggalan para pendekar
yang menyimpannya di sini. Di suatu tempat di gunung ini. Sete-
lah ingatannya pulih sepenuhnya, dirasakan lapar menggaruk-garuk
perutnya. Diedarkannya pandangan mata berkeliling. Seharusnya
sisa perbekalannya kemarin ada di suatu tempat di sekitar tempat ia
tertidur. Tapi apa yang dilihatnya" Barang-barangnya berserakan, berceceran.
Seperti ada seseorang atau sekelompok orang yang mengacak-acak
barang-barang bawaannya itu. Makanannya tercecer-cecer juga obor
dan lain-lainnya. Sejumput tali yang dibawanya masih tampak, akan
tetapi lainnya telah raib. Penasaran Paras Tampan melihat hal ini.
169 Geram dan juga bergidik. Bila benar ada seseorang atau sesuatu yang
tadi malam mampir tanpa disadarinya, benar-benar berbahaya. Un-
tuk saja tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Ia benar-benar telah
teledor, dengan membiarkan dirinya terlelap begitu saja.
Setelah menenangkan dirinya dengan sedikit mengheningkan cipta, be-
ranjak Paras Tampan keluar dari legokan batu itu. Dilihatnya lan-
git cerah telah menantinya untuk kembali mencari kitab-kitab seperti
yang dituturkan oleh gurunya, Ki Tapa. Di bawah sana, di bawah
tebing di mana legokan tempat Paras Tampan tadi malam tertidur,
tampak kabut awan tebal. Gumpalan putih itu menghalangi pandan-
gan Paras Tampan ke kaki gunung, di mana Rimba Hijau berada.
Bisanya ia berada di bawah sana tidak bisa melihat ke atas sini. Kali
ini malah sebaliknya. Ia berada di atas sini dan tidak bisa melihat ke
bawah sana. Pagi hari kedudukan gumpalan putih itu ternyata lebih
rendah dibandingkan pada sore hari. Mungkin panasnya hari yang
membawa gumpalan-gumpalan itu naik pada siang hari dan dingin-
nya malam yang membawanya kembali turun pada malam hari.
Teringat kembali Paras Tampan akan hilangnya perbekalannya. Dicari-
carinya dengan matanya ke berbagai arah, siapa tahu tercecer masih
barang-barangnya. Tak berapa jauh, kira-kira dua tiga tombak dili-
hatnya sejumput tali-tali yang dibawanya tergeletak terurai menuju ke
suatu arah. Bergegas ia menghampiri. Menggulung kembali tali itu.
Mungkin diperlukannya kelak. Baru dua gulung diperolehnya. Semua
seharusnya tujuh gulung tali-tali sebesar ibu jari. Cukup kecil tapi
ulet dan kuat. Terbuat dari rumput-rumputan yang diberi ramuan.
Ringan tapi ulet, begitu kata gurunya.
Dengan berbekal ceceran tali-tali yang terurai itu berjalan Paras Tam-
pan ke suatu legokan lain yang lebih lebar agak ke atas dari tempat
ia tertidur tadi malam. Legokan ini sudah dilihatnya tadi malam.
Dikarenakan bentuknya yang lebih luas dan lapang sehingga angin
lebih leluasa untuk masuk, dipilihnya legokan yang kemarin dan bukan
ini. Walaupun demikian ia telah juga memeriksa legokan ini. Kalau-
kalau terdapat ruang atau gua tempat meletakkan kitab-kitab. Dan
kali ini dijumpainya hal yang menarik.
Di ujung legokan batu tersebut, di tengah sebuah batu besar yang
retak, tampak seutas tali yang dibawanya tersembul. Mustahil.
170 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Bagaimana talinya dapat tesembul dari retakan batu itu" Apa ada
orang atau makhluk yang iseng menyisipkannya di situ. Bingung
Paras Tampan memikirkan hal itu. Saat sedang termenung, datang
kembali usikan sang usus. Meminta makan ia. Belum pagi ini perut
Paras Tampan diisi. Sudah sewajarnya tuntutan alamiah itu datang.
Teringat itu, kembalilah Paras Tampan ke bawah. Ke tempat ia
tertidur semalam. Barang-barangnya masih berserakan di bawah. Di-
rapikannya. Dikemasnya. Masih tersisa sedikit penganan yang tidak
terambil oleh suatu malam tadi. Dimakannya perlahan sambil kem-
bali berjalan ke legokan di atas. Kembali memikirkan bagaimana tali
itu dapat tersisipkan pada legokan batu.
Hari berlangsung dengan cepat tanpa dirasa bila ada yang dikerjakan.
Begitu pula yang dirasakan oleh Paras Tampan. Tidak terasa senja
telah kembali datang menjelang. Dan ia boleh dikatakan hampir tidak
meninggalkan legokan itu. Dicari-carinya lubang-lubang. Diketuk-
ketuknya batu. Dipanjatnya batu retak itu. Digali-galinya sedikit
pasir yang terdapat dikakinya. Tapi hasilnya nihil Tak ada petunjuk
sedikitpun bagaimana tali itu dapat masuk ke dalam retakan batu.
Retakan itu seakan-akan begitu rapat. Tidak dapat dibuka. Tapi
bagaimana tali itu dapat masuk" Makin bingung Paras Tampan dibu-
atnya. Tiba-tiba datang gagasan pada diri pemuda itu. Bagaimana jika sesu-
atu yang mencuri tali-tali dan barang-barangnya itu datang kembali
malam ini. Mungkin dari balik batu itu. Baiknya ditunggu saja. Ia
kemudian memilih suatu tempat agak ke atas dari retakan itu. Ke-
betulan di sana terdapat pula legokan mirip liang. Bisa dimasukinya
dengan memanjat. Kaki duluan baru kepala. Cukup luas, tapi ia
tidak bisa sampai menekut lutunya. Cukup hanya untuk berbaring.
Tapi cukuplah, ini hanya untuk keperluan mengintai, pikirnya.
Tunggu punya tunggu, hampir saja Paras Tampan yang terkantuk-
kantuk itu tertidur. Kalau saja kakinya tidak kesemutan, bisa saja
terulang kembali kejadian kemarin malam. Kembali tertidur saat sesu-
atu itu menggerayangi barang-barangnya.
"Kriiittt...!" suatu suara muncul memecah keheningan malam yang
hanya diisi oleh suara jengkerik.
171 Mendengar itu semakin diam badan Paras Tampan. Diatur teratur
nafasnya sehingga sedapat mungkin tidak terdengar. Diatur hawanya
supaya tanda-tanda keberadaanya tidak dapat dideteksi oleh sesuatu
itu. Sambil memicingkan matanya, dilihatnya bahwa batu tempat
talinya tersembul dari retakan itu, terbelah. Perlahan tapi pasti se-
buah liang gelap tersembul dari dalamnya. Teryata batu itu bisa
berputar ke kanan dan kiri membuka.
Meloncat keluar dari dalamnya beberapa orang kerdil gemuk den-
gan hidung yang amat panjang, dua tiga kali hidung seorang dewasa,
dilengkapi dengan rambutnya yang gondrong dan kusam. Telapak kaki
dan tangan mereka lebar-lebar, menandakan mereka penggenggam
dan penginjak yang kuat. Paras Tampan tertakjub melihat makhluk-
makhluk itu melihat waspada ke kiri dan kanan. Ia pernah mem-
baca mengenai makhluk itu dalam salah satu kitab di rumah gu-
runya. Di sana disebutkan makhluk itu bernama Troll, salah satu dari
makhluk-makhluk elemen tanah atau Roh Tanah, di samping Manu-
sia Tiga Kaki, Gnomen dan Orang Gunung (Bergmnnchen). Disebut
roh karena kadang mereka mempunyai kemampuan yang tidak dimi-
liki oleh seorang manusia, seperti kekuatan dan juga kebisaan untuk
menghilang atau tidur lama sekali.
Para Troll itu memandang sekeliling ruang di depannya dengan was-
pada. Dilihatnya berkali-kali spasial di depannya. Berhati-hati agar
tidak berjumpa dengan musuh-musuh mereka. Setelah yakin bahwa
tiada yang mengintai mereka, para Troll itu pun beranjak pergi. Salah
seorang diantaranya menggulung tali yang terjepit di retakan batu
karang itu. Rupanya ia yang membawa-bawa tali itu sejak kemarin.
Di pinggangnya terselip tali-tali lain milik Paras Tampan. Senang
kelihatannya ia bermain-main dengan tali.
Temannya pun memanggil mereka. Mereka semua kembali ke lekukan
batu, di mana mereka tadi malam menemukan Paras Tampan sedang
tertidur. Para Troll itu mencoba mengulangi penjelajahannya ke-
marin. Malam ini mereka mengharapkan Paras Tampan tidak berg-
erak, sehingga mereke dapat melihat-lihat dan mengambil barangnya
tanpa takut-takut. Sebenarnya seorang dari mereka terlihat enggan
untuk ikut. Akan tetapi atas ajakan yang lain, mau tidak mau ia tu-
rut. Lebih besar rasa ingin tahunya ketimbang ketakutannya untuk
melihat lagi manusia yang tertidur di sana seperti kemarin malam.
172 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Tersenyum Paras Tampan melihat para Troll itu menghilang di balik
batuan untuk berbelok ke bawah. Di lekukan tempat ia tertidur ke-
marin malam telah diletakkannya berbagai perlengkapan juga anyam-
anyaman yang dibuatnya dari tali dan juga ranting-ranting. Mainan
buat Para Troll agar mereka memberinya kesempatan untuk menye-
lidiki rekahan batu karang yang terbuka itu.
Setelah merasa yakin bahwa Troll-trol itu sedang sibuk dengan
mainan-mainan dan perlengkapan yang dibuatnya, berbegas Paras
Tampan beringsut keluar dari persembunyiannya. Hampir ia terjatuh
bila tidak mengingat kakinya yang masih agak kesemutan. Jatuh
dari ketinggian pohon pepaya itu, benar-benar dapat membuatnya
remuk. Apalagi dengan kepala terlebih dahulu menyentuh lantai
tanah berbatu itu. Selah kakinya agak baikan dengan digosok-gosok
perlahan, mulai ia merambat turun. Perlahan, agar tidak memper-
dengarkan bunyi-bunyian yang dapat memancing para Troll untuk
kembali. Ia belum mengetahui bagaimana mekanisma pembukaan
dan penutupan pintu karang itu. Biarlah, yang penting sekarang ia
masuk dan mencari-cari di dalam karang itu. Siapa tahu di sana
terdapat kitab-kitab yang dicarinya.
Berbekal dengan keyakinan masuklah Paras Tampan ke dalam reka-
han batu karang yang terbuka itu. Dibiarkannya dahulu agar matanya
terbiasa dalam kegelapan. Tidak berani ia menggunakan obor karena
takut terlihat oleh para Troll. Setelah agak lama, keadaan di dalam
lorong itu ternyata tidak segelap dugaannya semula. Di dasar lorong
terdapat sinar-sinar temaram yang berasal dari sejenis rumput-
rumputan. Rupanya para Troll sengaja menanam tumbuh-tumbuhan
itu sebagai penerang jalan mereka. Benar-benar suatu pemikiran yang
maju. Melengkapi lorong-lorong mereka dengan penerangan.
Paras Tampan pun maju selangkah demi selangkah. Tak berani ia
terlalu cepat karena tak tahu apa yang akan dihadapinya di depan
sana. Lebih baik perlahan agar dapat lebih hati-hati. Sudah lebih
dari sepeminum teh ia berjalan, hanya dipandu oleh rumput-rumbut
yang bercahaya di dalam gelap itu. Sampai akhirnya ia menemui dua
buah percabangan. Bingung hatinya. Tak tahu ia harus ke mana.
"Buk-buk-buk-buk..!" tiba-tiba terdengar langkah-langkah datang
dari belakangnya. Terkejut Paras Tampan mendengar hal itu. Pasti
173 itu para Troll yang telah bosan dengan hal-hal yang ditemuinya, dan
mereka sekarang akan kembali ke dalam tempat tinggalnya ini. Paras
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tampan berpikir keras dan cepat, kemana ia harus beranjak. Harus
dipilihnya satu dari dua percabangan ini, ke arah ke mana para Troll
itu tidak akan berjalan. Tapi tak ada panduan ke arah mana mereka
akan menuju, sehingga ia bisa mengambil arah yang berlawanan.
Cepat diperhatikannya kedua lorong di hadapannya itu. Lorong yang
kiri tampak agak terang karena terdapat masih rumput-rumput pe-
nunjuk jalan yang ditanam di kiri dan kanannya, sedangkan lorong
sebelah kanan tampak lebih suram. Malah boleh dikatakan tak ada
tanaman berkilau dalam gelap itu di dalam lorong tersebut. Akhirnya
dengan dasar bahwa lorong itu tidak digunakan, ia berjalan cepat
memilih lorong yang kanan. Lorong yang sering digunakan haruslah
ditanami rumput-rumput itu, begitu pikirnya.
Dengan tersandung-sandung Paras Tampan berjalan memasuki lorong
yang gelap itu. Sampai suatu saat tangannya menyentuh suatu
legokan dalam dinding batu. Ditariknya badangnya untuk merapat
dalam legokan itu. Dari sana masih dapat dilihatnya percabangan
yang tadi. Bersinar temaram karena adanya Rumput-Rumput Berki-
lau Dalam Gelap di sana. "Buk-buk-buk-buk..!!" terdengar langkah-langkah mereka semakin
dekat. Sampai di persimpangan itu rombongan itu berhenti. Hal ini
dikarenakan Troll terdepan menghentikan langkahnya. Nampaknya ia
ingin berjalan ke arah di mana Paras Tampan bersembunyi. Berdegup
Paras Tampan melihat adegan ini. Bila mereka berarah ke sini, bisa
tertangkap dirinya. Uratnya pun menegang. Bersiap-siap untuk hal-
hal yang akan terjadi. Tampak teman sang Troll menggoyang-goyangkan tangannya sam-
bil menunjuk-nunjuk arah lorong yang lain. Digeleng-gelengkan
kepalanya, seakan-akan hendak mengatakan bahwa jangan memasuki
lorong di sebelah kanan itu. Sebaiknya kita cepat kembali pulang,
kira-kira katanya. Akhirnya Troll yang paling depan itu pun menu-
rut, dan mereka mulai berjalan kembali melewati lorong yang sebelah
kiri. "Buk-buk-buk-buk..!" suara langkah-langkah itu terdengar lamat-
lamat menjauh dan menghilang. Sunyai. Hanya tinggal suara
174 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
degug jantung Paras Tampan yang masih dapat dirasakannya sendiri.
Perlahan-lahan dilepaskannya ketegangan itu. Duduklah ia untuk
mengatur napasnya. Sunyi dan sepi, juga gelap.
Setelah ketenangan dan keberaniannya pulih kembali Paras Tam-
pan berdiri. Mulai memperhatikan lorong di mana ia berada. Di
arah berlawanan dengan percabangan itu tak dilihatnya sama sekali
apapun. Benar-benar gelap gulita adanya. Akhirnya diputuskan
untuk kembali ke percabangan, mengambil berapa Rumput-rumput
Berkilau Dalam Gelap untuk dijadikan penerangan. Tak dapat ia
berjalan begitu saja dalam gelap.
Dengan hati-hati ia kembali ke percabangan itu. Diambilnya sedikit
rumput dari sejumput yang ada, begitu pula dari jumput lainnya. Tak
ingin ia mengambil banyak dari satu jumput. Bisa ketahuan nanti
kalau ada yang mencabut jumput itu. Paras Tampan telah memper-
hatikan bahwa jumput-jumput itu ditanam pada ukuran yang kira-
kira sama berjarak satu sama lainnya. Benar-benar ditanam beratu-
ran. Sudah cukup banyak rumput-rumput di tangannya, Rumput-rumput
Berkilau Dalam Gelap. Dilangkahkan lagilah kakinya kembali ke
lorong sebelah kanan yang sama sekali gelap itu. Kali tidak terlalu
karena telah ada rumput-rumput sebagai penerangan itu di tangan-
nya. Perlahan-lahan ia melangkah dengan melihat langkah-langkahnya
dibantu rumput-rumput itu. Lorong itu ternyata berbeda dengan
lorong sebelum percabangan. Dindingnya lebih halus dan terbuat
dari bahan yang terlihat lebih keras dan dingin tapi kering. Aki-
batnya dirasakan juga tubuhnya sedikit agak menggigil saat melalui
lorong itu. Berjalan ia perlahan-lahan tanpa tahu kapan atau apa
yang akan ditemuinya nanti.
Waktu pun berlalu dengan amat lambat dalam lorong yang gelap itu.
Paras Tampan akan tetapi tidak putus asa. Tak ada jalan lain, lebih
baik ia terus menyusuri lorong ini. Untuk kembali resikonya lebih
besar, yaitu selain akan bertemu Troll, juga ia belum tahu bagaimana
cara membuka batu karang yang retak tengahnya itu. Bisa dikatakan
175 jalan kembali tak ada kesempatan.
Tak berapa lama dilihatnya seperti ada cahaya di depan sana. Lamat-
lamat. Ia bergegas berjalan cepat. Ada pintu keluar, pikirnya.
Kegembiraan itu menurunkan kewaspadaanya, sehingga tiba-tiba,
"dukkk!" Kepalanya terantuk dengan langit-langit lorong. Rupa-
nya lorong itu sedikit memendek dan jalan di bawahnya menanjak.
Karena cahaya datang dari tengahnya masih temaram, tak dilihat
Paras Tampan perubahan itu.
Setelah mengusap-usap kepalanya yang agaknya benjol, Paras Tam-
pan mulai agak berhati-hati berjalan. Untung itu hanya langit-langit,
bagaimana bila lubang atau jurang. Sudah mati dia bisa-bisa. Lorong
itu pun bertambah pendek sehingga ia harus merangkat untuk mele-
watinya. Akan tetapi cahayanya yang terlihat dari ujung sana semakin
jelas dan terang. Ini menambah semangat Paras Tampan untuk terus
melangkah, akan tetapi tetap dengan hati-hati. Setelah merangkak
beberapa saat sampailah Paras Tampan di suatu ruang yang cukup
lapang. Ruang itu terbuat dari batu cadas dengan tinggi kira-kira lima kali
dirinya dan seluas sebuah sawah kecil. Udaranya bersih dan cahaya
yang dilihatnya berasal dari lubang-lubang pada dinding batu sebesar
pelukan tangan orang dewasa. Puluhan lubang terdapat di dinding
batu berlawanan arah dengan lorong yang membawanya ke ruangan
itu. Seperti jendela saja layaknya lubang-lubang udara itu terpasang
pada dinding batu tersebut. Seakan-akan terpancing dengan adanya
cahaya tersebut berjalan pelan Paras Tampan menyeberangi ruangan
menuju jendela-jendela alam itu.
Di luar sana, dibalik dinding batu cadas besar tebal dan berlubang-
lubang alami itu, sedikit dapat diintip oleh Paras Tampan hanya langit
dan awan putih yang terlihat. Di kejauhan baru dilihatnya pepohonan
dan juga sungai serta sawah. Lain tidak. Dicobanya untuk merampat
naik ke salah satu lubang-lubang itu. Ingin dilihatnya hal lain yang
ada di ujung sebelah sana.
Perlahan ia merangkak. Pelan. Sampai dua tombak lebih, sampailah
ia di ujung sana. Hampir loncat jantungnya saat menyadari bahwa
lubang-lubang itu bermuara pada suatu tebing yang tinggi di Gunung
176 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Hijau. Di bawahnya terdapat dinding cadas dan tinggi. Awan-awan
putih susu tampak sesekali menghalangi pemandangan ke pada pohon-
pohon hijau di bawahnya. Sudah pasti bukan jalan keluar lubang-
lubang ini. Dengan masih merinding mengingat ketinggian dinding di mana
lubang-lubang itu berada dari bawah sana, Paras Tampan merangkak
mundur. Ia tidak bisa berputar. Lubang itu terlalu kecil untuk
berputar atau duduk. Satu-satunya jalan hanyalah mundur perlahan-
lahan. Paras Tampan telah berada kembali pada ruang semula. Diperiksanya
dengan seksama, apa-apa yang ada di sana. Dua sisi lainnya selain
lubang-lubang jendela dan lorong tempat ia datang tidak terdapat
apa-apa melainkan hanya dinding batu cadas belaka. Hitam dan din-
gin. Berbeda dengan udara yang agak hangat akibat masuknya sinar
matahari dari lubang-lubang itu. Kemudian ia berputar kembali pada
dinding di mana terdapat lorong ia masuk ke ruangan itu. Lubang ke
lorong terdapat di ketinggian sepinggangnya. Jauh di atasnya terda-
pat sebuah lubang lain. Cukup lebar dan tinggi. Akan letaknya jauh
di atas, hampir dekat dengan langit-langit. Oleh karena tinggi dan
kerasnya dinding itu tak memungkin kiranya ia untuk memanjat naik.
Diraba-rabanya dinding di hadapannya itu dengan tangannya, sam-
pai ketinggian yang dapat dicapainya. Tiba-tiba ia bersorak girang,
ada seperti anak tangga di atas itu. Tak terlihat karena warna dind-
ing yang kelam dan tingginya tempat tersebut. Bergegas ia berg-
erak mundur mendekati lubang-lubang jendela. Dicobanya untuk
meloncat-loncat agar tempat yang diduganya itu lebih jelas terlihat.
Ada, soraknya dalam hati. Ada pijakan atau anak tangga di keting-
gian lebih dari tinggi dirinya. Mungkin itu semacam anak tangga
yang dirancang supaya lubang yang di atas itu tidak mudah dicapai.
Tiba-tiba didapatnya akal, dipanjatnya dinding tempat lubang-lubang
jendela itu terletak. Mudah karena jarak masing-masing jendela tidak
berjauhan. Setelah memanjat kira-kira dua kali tinggi badannya,
Paras Tampan bersorak gembira.
Di hadapannya, di dinding di mana terdapat jalan masuk ke ruan-
gan ini, terdapat semacam anak tangga. Anak tangga pertama lebih
177 tinggi dari dirinya dan masuk lebih dalam ke arah dinding. Yang
kedua setinggi dirinya dan masuk lagi lebih ke dalam. Berikutnya
semakin rendah dan akhinya mengarah pada sebuah lubang di samp-
ingnya. Lubang di mana jauh di bawahnya terdapat lubang tempat
ia masuk tadi. Benar-benar akal yang cerdik untuk membuat anak
tangga melebihi pandangan orang. Orang yang cepat putus asa tidak
akan melihat anak tangga itu.
Sekarang tinggal bagaimana caranya ia melewati anak tangga per-
tama itu. Bila bisa, anak tangga berikutnya lebih rendah. Dan
berikutnya lebih rendah lagi. Ada lima anak tangga semuanya. Sete-
lah berada kembali pada dinding yang dimaksud ia berusaha melon-
cat ringan. Tangannya berhasil mencengkeram lantai di atas dinding
itu. Tapi tidak cukup kuat untuk mengangkat dirinya naik. Berulang
kali dicobanya. Masih saja gagal. Paras Tampan pun berpikir keras
bagaimana naik ke atas dinding tersebut.
Salah satu cara adalah bahwa ia harus dapat melompat tinggi, seti-
daknya setengah pinggah lebih tinggi dari daya lompatnya saat ini.
Kemampuan itu sulit untuk dilatihnya dalam waktu hanya beber-
apa saat saja. Butuh waktu lama. Harus ada pemecahan bagaimana
caranya sehingga ia bisa melompak jauh lebih tinggi dari sebelumnya.
Cara lain adalah dengan mencari pijakan sehingga ia dapat merambat
naik. Cara ini mungkin lebih masuk akal. Akan tetapi dalam ruan-
gan yang kosong ini bagaimana ia dapat menemukan sesuatu untuk
mendukungnya" Mungkin di lorong sana, tempat dari mana ia datang tadi ada sesuatu.
Dengan berbekal pikiran itu Paras Tampan pun kembali ke lorong
tersebut. Merangkak pelan. Agak sukar dibandingkan tadi karena
sumber cahaya berada di belakangnya. Setelah sampai di tempat ia
terantuk kepalanya tadi diedarkan pandangannya. Di salah satu sudut
lorong, setelah diraba-raba ditemuinya dua buah batu yang cukup
besar dan berat dengan permukaan atasnya rata. Seperti dipotong
dengan sengaja. Dengan berdebar-debar penuh semangat didorongnya
kedua batu itu perlahan-lahan pelan tapi pasti. Hampir habis tenaga
Paras Tampan mendorong kedua batu tersebut, karena selain jarak
yang jauh juga karena beratnya.
Duduklah Paras Tampan terpekur di dalam ruangan yang terang dan
178 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
berudara bersih itu. Dua buah batu persegi empat yang rapih ter-
potong itu telah berhasil didorongnya. Ia perlu beristirahat seben-
tar untuk beristirahat. Tak lama kemudian pulih kembali tenaganya.
Dengan bersemangat ia geser kedua batu itu berganti-ganti mendekati
dinding, di mana lantai diatasnya paling rendah terlihat. Kemudian
diangkatnya salah satu batu untuk ditumpangkannya di atas batu
yang lain. Yang lebih kecil di atas yang lebih besar, agar lebih sta-
bil. Berkeringat tubuh dan wajah Paras Tampan, menandakan banyak
sudah tenaga yang dikeluarkannya untuk usaha itu.
Kemudian ia menarik napas panjang. Puas melihat pekerjaan-
nya. Sekarang tinggal saatnya memanjat naik. Berhasil, tangannya
sekarang dapat menggapai lantai di atas itu sampai siku. Dengan cara
ini ia dapat menggapai lantai itu untuk menarik dirinya. Lalu melom-
patlah ia dengan menjejak ke kedua batu yang menjadi tumpuannya.
Dan naiklah ia. Anak tangga kedua tidak begitu menjadi masalah
karena memang lebih rendah ukurannya. Juga yang berikutnya sam-
pai yang kelima. Akhirnya sampailah ia di lubang yang berbentuk
mirip pintu itu. Hitam di dalamnya dengan sedikit cahaya terlihat di
sisi kanannya. Sisi itu merupakan suatu pintu tanpa penutup yang
mengarah pada suatu ruangan yang besar. Lebih besar dari ruangan
sebelumnya dan lebih tinggi.
Hal yang membuat Paras Tampan gemetar menahan kegembiraan-
nya adalah bahwa selain lubang-lubang yang sama seperti dalam ru-
ang sebelumnya yang berisikan lubang-lubang udara, terdapat pula
lubang-lubang lain yang berada di antaranya. Lubang-lubang yang
berisikan berjilid-jilid kitab. Ruangan yang seakan-akan merupakan
sebuah perpustakaan. Perpustakaan kitab-kitab kuno.
Pemuda itu melihat berkeliling. Di semua dinding dalam ruangan
itu bertahta lubang-lubang yang masing-masing berisikan kitab-kitab
kuno. Beratus-ratus jumlahnya. Dicobanya untuk melirik beberapa
judul yang ada. Diantaranya bernama Jaga Kesehatan Tubuh dan
Jiwa, Pukulan Inti Es dan Salju, Racun Selaksa Macam, Angin-angin,
Tenaga Air, Seribu Ramuan, Batu-batu, Pukulan Tanpa Tanding,
Seni Beperang, Ilmu Muda Selamanya, Tujuh Rahasia, Rancang Jiwa
Raga dan masih banyak lainnya. Aneh-aneh judulnya. Gemetar pe-
muda itu membaca judul-judul yang ada. Ia hanya pernah mendengar
salah satu dari judul-judul kitab tersebut dari gurunya. Dan Sekarang
179 kitab-kitab tersebut berada di depan matanya. Siap untuk dilahap.
Dipelajari. Pemuda itu, Paras Tampan, hanya pernah melihat satu kitab ilmu silat
yang ditunjukkan oleh gurunya, Jalan Selaras dengan Alam Semesta.
Ilmu itu telah diajarkan kepadanya. Dengan berbekal ilmu beladiri
tersebut ia dan saudara-saudara perguruannya secara terpisah mencari
ilmu-ilmu lain yang konon katanya terdapat di gunung ini. Gunung
Hijau, gunung yang terletak di tengah Rimba Hijau. Atas kehen-
dak Sang Pencipta, hari ini Paras Tampan dapat menemukan gua ini.
Gua di mana tersimpan kitab-kitab ilmu-ilmu dari segala penjuru an-
gin. Teringat Paras Tampan pada keempat saudara seperguruannya:
Asap, Misbaya, Rintah dan Gentong. Jika saja ia bisa menghubungi
keempatnya, pastilah diajak keempatnya itu untuk berdiam di sini.
Mempelajari bersama-sama kitab-kitab yang ada di sini. Tak akan
kurang mereka bagi mereka berlima. Sayangnya ia tidak tahu di mana
mereka berempat berada. Ia berharap bahwa saudara-saudara seper-
guruannya pun seberuntung dirinya, dapat menemukan kitab-kitab
yang cocok bagi mereka. Ia sendiri malah bingung harus mulai bela-
jar dari kitab apa. Ia teringat akan pembicaraan dengan gurunya Ki Tapa pada suatu
saat. Hanya mereka berdua.
"Paras Tampan, apakah kamu tahu apa yang dimaksud dengan Jaga
Kesehatan Tubuh dan Jiwa, Angin-angin, Batu-batu dan Seribu Ra-
muan" Pernahkah engkau mendengarnya?" tanya gurunya hati-hati.
"Pernah guru, Asap pernah menceritakan pada kami bahwa itu adalah
kitab-kitab yang dibawa guru atau perintah kakek guru ke Rimba
Hijau ini untuk disembunyikan," jawab Paras Tampan.
"Benar. Itu adalah kitab-kitab titipan dari guruku Ki Makam. Kitab-
kitab yang harus disembunyikan dari orang-orang Perguruan Atas An-
gin. Tapi itu cerita lama..," kemudian lanjutnya, "dan sekarang.."
Bingung juga Paras Tampan mendengar cerita gurunya yang tidak
jelas itu. Pembicaraan yang tahu-tahu membahas keempat kitab yang
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya pernah didengarnya dari Asap itu.
Akhirnya gurunya menceritakan bahwa kitab-kitab itu telah dicuri
180 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
darinya, saat ia baru masuk ke dalam Rimba Hijau. Ia tidak per-
sis tahu bagaimana peristiwa itu terjadi. Hanya diingatnya sebelum
dan sesudah ia menyadari bahwa kitab-kitab itu tidak berada lagi
pada tempatnya, telah terjadi pertarungannya antara dirinya dengan
Hitam-Putih, pemimpin dari kaum Manusia Tiga Kaki. Akibat dari
pertarungan yang berlangsung lama itu, ia baru menyadari jauh hari
kemudian bahwa kitab-kitab tersebut tidak lagi berada di tempatnya
semula. Di balik tempat tidurnya, dekat dengan bagian kepala.
Kitab Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang ada di tangan gurunya
saat itu adalah potongan bagian akhir dari kitab Jaga Kesehatan
Tubuh dan Jiwa. Kitab Jaga Kesehatan Tubuh dan Jiwa ternyata ter-
diri dari dua bagian. Bagian pertama berisikan cara-cara mengolah
keempat macam elemen sebagai tenaga yang tertuang dalam jurus-
jurus: Jurus Air, Jurus Tanah, Jurus Api dan Jurus Air. Sedangkan
bagian kedua adalah Jalan Selaras dengan Alam Semesta yang meru-
pakan implementasi dari Jurus Air. Entah kenapa tidak ada bagian
lain dari kitab yang menerangkan penggunaan jurus-jurus lainnya, se-
lain jurus air ini. Dikarenakan oleh gurunya, Ki Tapa hanya diajarkan kitab Jaga Kese-
hatan Tubuh dan Jiwa, maka ia pun tidak begitu menaruh perhatian
pada kitab-kitab lainnya. Pun gurunya saat itu sebelum kematiannya
hanya sempat mengajari bagaimana cara mengolah keempat elemen
tenaga tersebut. Tidak pernah disinggungnya ada bagian penggu-
naan dari Jurus Air pada bagian belakang kitab tersebut, yang boleh
dikatakan seakan-akan merupakan kitab tersendiri yang sepertinya di-
tambahkan belakangan. Entah oleh siapa. Oleh karena itu Ki Tapa
mencopot bagian tersebut, karena menarik untuk dipelajari lebih lan-
jut. Dan sering dibawa-bawanya kitab itu. Kebetulan saja Ki Tapa
mencobot bagian tersebut, sehingga bagian kitab itu tidak sempat
hilang bersama dengan kitab-kitab lainnya.
Kembali Paras Tampan dari kenangannya diperhatikannya sekarang
dinding di mana kitab-kitab yang menggoda untuk dipelajari itu
bertengger. Tiba-tiba padangannya tertumbuk pada sesuatu tulisan di dinding.
Dinding di pinggir rongga atau lubang tempat menyimpan kitab-kitab
itu. Tulisan itu mirip prasasti. Huruf-hurufnya tampak dipahatkan
181 dalam keadaan yang buru-buru. Arahnya tidak rata tiap barisnya.
Semakin ke bawah, semakin miring dengan guratan yang tidak lagi
dalam. Seperti ditulis seseorang dalam saat-saat terakhir hidupnya.
Di sana tertulis, "Bagi seorang manusia yang bisa membaca tulisan ini, ia berarti
berjodoh untuk menjadi muridku, Penjaga Keseimbangan. Ia yang
berjodoh harus meneruskan apa yang sudah kumulai. Bacalah itu
pada kitab-kitab awal. Untuk menunaikan tugas, pelajari hanya
ilmu-ilmu yang masih murni. Jangan lupa untuk..."
Tulisan tersebut berhenti di sana. Tampak seperti sang penulis telah
tidak lagi memiliki kemampuan untuk menuliskannya. Dicobanya lagi
mencari-cari apa-apa yang dapat dijadikan petunjuk pada sambungan
tulisan itu di sekitarnya. Tidak ada. Hanya lambang-lambang aneh di
awal tulisan yang kemudian terlihat olehnya. Lambang-lambang yang
mirip dengan lambang-lambang yang pernah dijelaskan gurunya.
Bertanya-tanya juga Paras Tampan dalam hati apa kelanjutan dari
kalimat "Jangan lupa untuk...". Tapi kemudian hal itu dilupakannya
karena ia lebih tertarik untuk melihat di lain tempat, judul-judul kitab
yang ada. Sebelum ia belajar, ada baiknya ia membaca dulu semua
judul-judul yang ada, biar ada gambaran ilmu-ilmu apa yang tersedia
di dalam ruangan itu. Untuk sementara tulisan pada dinding itu tidak
diambil pusing. Setelah hampir setengah hari melihat-lihat dirasakan bahwa perutnya
telah berkukuruyuk. Lapar. Minta untuk diisi. Badannya juga terasa
lelah. Sudah sejak malam kemarin ia belum beristirahat. Sepanjang
malam ia lewatkan di dalam terowongan hingga sampai ke ruangan ini.
Sedari waktu itu, belum ada makanan yang dilewatkan ke lambungnya.
Teringat itu, Paras Tampan melupakan dulu kitab-kitab itu untuk
mencari apa-apa yang bisa dimakan untuk menyambung hidupnya di
tempat itu. Dilihatnya kembali berkeliling. Di salah satu ujung ruangan, berlawanan
dengan ujung lain tempat ia masuk ke ruangan yang penuh den-
gan kitab-kitab itu Paras Tampan menemukan semacam lorong lain.
Sedikit berliku dan tidak terlalu gelap keadaannya. Dengan hati-hati
ia mengikuti lorong itu sampai tiba di suatu tempat terbuka yang
182 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
cukup luas. Mirip seperti semacam balkon alam yang terbuat dari
batu dengan pandangan tebing ke bawah pada sisi kirinya dan dinding
tebing menjulang tinggi pada sisi kanannya. Sebuah sungai jernih dan
dalam membelah pelataran batu tersebut.
Sungai itu mengalir keluar dari lubang besar di dinding sebelah kanan
dan jatuh membentuk air terjun pada sisi sebelah kiri. Sungai Batu
Jernih. Di seberang sungai tersebut terdapat lagi dinding tebing yang
tinggi dengan banyak lubang-lubang gelap di permukaannya. Tebing
tinggi seperti dalam arah ia datang tadi.
Sungai yang keluar dari lubang, air terjun dan juga lubang-lubang
pada dinding batu di seberangnya tidak terlalu menarik Paras Tam-
pan. Matanya melirik pada sesuatu agak ke atas dari arah padangan
matanya. Sesuatu itu adalah buah-buahan yang tergantung pada po-
hon yang tumbuh pada dinding batu di mulut sungai. Ranum dan
segar kelihatannya. Ditambah dengan laparnya, ingin ia meraih un-
tuk memakannya. Dan sebelum Paras Tampan sempat berpikir bagaimana cara menca-
pai buah-buahan yang menarik hatinya itu, tiba-tiba dari dalam air
yang jernih itu melompat seekor ikan berduri yang cukup besar. Ham-
pir seukuran dirinya. Benar-benar ikan yang mengagumkan karena
tubuhnya dipenuhi dengan sisik-sisik kasar seperti batu. Ekor dan
sirip-siripnya berbentuk kipas. Matanya besar. Warna tubuhnya biru
tua keunguan. Belum pernah Paras Tampan melihat ikan seperti
itu sebelumnya. Dari gurunya ia pernah diceritakan adanya sejenis
ikan purba berciri demikian yang bernama Kolakan (coelacanth), yang
dalam suatu bahasa (Yunani) berarti duri berlubang pada sirip. Dan
hal ini memang cocok dengan keadaan ikan ini. Di mana pada sirip-
siripnya yang seperti kipas terlihat lubang-lubang.
Ikan Kolakan itu dengan tangkas melompat ke arah buah-buahan
itu, tidak cukup tinggi sehingga ia dapat mencapainya. Akan tetapi
dengan menggunakan kecipakan air yang masih melekat ditubuhnya
ikan tersebut mengibas sedemikian rupa sehingga percikan-percikan
air melesat bagai butiran-butiran batu. Pesat menuju buah-buahan
itu. Dan "tak-tak" beberapa buah-buahan yang ranum itu terjatuh
ke dalam air. Mengambang.
183 Alih-alih memakannya ikan besar itu menyundulnya dengan mocon-
gnya dan melemparkannya ke hadapan Paras Tampan. Tertegun pe-
muda itu melihat hal tersebut. Tak tahu ia apa yang seharusnya
dilakukan. 184 BAGIAN 3. HAKIM HAUS DARAH
Bagian 4 Penjaga Keseimbangan Sementara itu, ikan Kolakan tersebut kembali mengulangi beberapa
kali pertunjukkan yang luar biasa itu sampai didapatnya kira-kira
enam butir buah-buahan dari pohon itu, dan kemudian dilontarkan-
nya kembali buah-buahan ke hadapan Paras Tampan. Ia seakan-akan
ingin berkata bahwa buah-buahan itu dapat dimakan oleh sang pe-
muda. Ragu-ragu Paras Tampan mengambil sebuah darinya. Diperiksanya
perlahan-lahan. Mirip buah pir bentuknya akan tetapi harum seperti
durian dengan warna yang biru memikat. Masih di sana ikan Ko-
lakan itu mondar-mandir dalam sungai yang jernih. Seakan-akan ikan
tersebut menunggu sang pemuda untuk memakan buah-buahan yang
diberikannya. Akhirnya dicobanya untuk untuk memakan buah yang telah di-
genggamnya itu. Perutnya telah lapar. Dan peristiwa "diberi makan"
oleh seekor ikan menumbuhkan kepercayaan bahwa buah-buahan itu
tidaklah beracun. Digigitnya perlahan. Manis dan berair. Lem-
but menyegarkan. Seketika dirasakannya asupan tenaga yang sedari
kemarin malam belum diperolehnya.
Melihat itu sang ikan pun kemudian berkecipak pelan dan kemudian
menghilang. Entah kemana. Ke sungai dalam tebing batu itu, atau
ke dalam rongga-rongga batu di dalam sungai jernih tersebut. Ter-
lihat sekilas di dalamnya terdapat rongga-rongga yang tak terhitung
185 186 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
banyaknya. Setelah habis satu butir tersebut Paras Tampan pun membungkus
buah-buahan yang tersisa hasil pemberian ikan tersebut dengan baju
luarnya. Dibawanya kembali ke ruangan tempat terdapat kitab-kitab
yang berjajar dalam lubang-lubang di dinding.
Sesampainya di sana. Tiba-tiba saja datang rasa kantuk. Mungkin
karena kelelahan dan juga pengaruh dari buah yang dimakannya itu.
Paras Tampan tak dapat menahan rasa itu. Akhirnya diputuskan
untuk tidur di salah satu pojok ruangan tempat penyimpanan kitab-
kitab itu. Ia pun tak lama kemudian mendengkur. Pulas.
Langkah-langkah ringan hampir tak terdengar mendekat perlahan.
Muncul beberapa sosok orang bertubuh gemuk pendek dengan hidung
yang panjang serta berambut kusam. Telapan kaki dan tangan mereka
lebar-lebar dan kuat. Troll. Beberapa sosok makhluk itu berjalan hati-
hati mendekati Paras Tampan. Tidak seperti kemarin dalam lorong
gelap yang diterangi Rumput-rumput Berkilau Dalam Gelap, di mana
mereka berjalan dengan langkah-langkah berat dan berdebam, kali ini
mereka berjalan ringan perlahan. Seakan-akan tidak cocok dengan
postur tubuh mereka yang terlihat gempal dan berat.
"Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas baru saja memberi tahu ada
seorang pemuda datang dari arah Ruang Kitab," kata seorang dari
mereka. "Bukankah ini pemuda yang kemarin?" tanya yang lain.
"Hehehe, betul. Pemuda yang bermalam di lereng di luar sana," jawab
orang ketiga dari mereka sambil tersenyum. Senyum Troll tidak ter-
lihat sebagai senyum bagi makhluk lain. Bahkan menambah seram
bagi yang melihatnya. "Seorang pemuda yang cerdik," kembali kata orang pertama, "ia bisa
mengecoh kita untuk bermain-main dengan barang-barangnya semen-
tara ia masuk ke sini."
"Bukankah adik Gobagkh telah menunjukkan bahwa ada seseorang
yang berjalan ke lorong sebelah kanan kemarin malam?" tanya yang
lain. 187 "Benar, tapi kakak Bagadsh sudah memerintahkan bahwa kita tidak
boleh menghalang-halangi orang yang masuk ke lorong sebelah kanan.
Biarkan nasib yang membawa mereka. Toh kita sudah sering member-
sihkan orang-orang yang akhirnya mati kelaparan di sana. Tak sampai
mereka mencapai Ruang Kitab," kata temannya.
"Tapi pemuda ini benar-benar beruntung dan juga cerdik. Sudah bisa
selamat dari Lorong Panjang Gelap. Kemudian bahkan bisa mencapai
Ruang Kitab dengan menggunakan dua buah Batu Persegi yang dis-
embunyikan itu, untuk naik tangga dalam Ruang Dinding Berlubang,"
kata seorang yang lain, "benar-benar berjodoh."
"Jadi..?" tanya seseorang dari mereka.
"Kita layani dia, seperti janji kita pada Maling Kitab atau yang lebih
senang disebut Penjaga Keseimbangan, kakak Rawarang," tegas salah
seorang dari mereka. Rekan-rekan yang lain menangguk-angguk. Lalu mereka kemudian
beringsut pergi dengan ringan. Meninggalkan Paras Tampan yang
masih tertidur pulas di salah satu sudut Ruang Kitab. Tak tahu
dirinya, bahwa dirinya tadi telah jadi bahan pembicaraan beberapa
sosok Troll. Mulai saat itu jika tidak diberi makan oleh ikan Kolakan yang di-
panggil Ikan Berduri Bersirip Kipas sebagai kakak oleh para Troll,
Paras Tampan mendapatkan bungkusan makanan yang terdiri dari
buah-buahan, sayuran tanpa daging dan nasi, pinggir sungai jernih
dan dalam di tengah pelataran batu tersebut. Mula-mula ragu-ragu
ia memakannya. Akan tetapi rasa laparnya menang.
Kemudian ditemukannya tulisan pada salah satu kitab yang seper-
tinya merupakan buku harian dari orang yang menuliskan guratan
pada dinding. Guratan yang belum selesai itu. Dalam kitab tersebut
dituliskan bahwa orang yang berjodoh akan ditemani dan diberi makan
oleh ikan Berduri Bersirip Kipas dan para Troll. Membaca demikian,
yakinlah Paras Tampan bahwa yang memberikan bungkusan makanan
itu adalah makhluk-makhluk Troll itu. Hanya herannya ia, mengapa
makhluk-makhluk itu tak mau menampakkan diri kepadanya.
Dengan tidak mengambil banyak pusing terhadap keanehan-keanehan
188 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
yang ditemuinya, Paras Tampan mulai membaca-baca kitab-kitab
yang ditemuinya. Ditelusurinya dulu kitab-kitab yang disebut-sebut
dalam Guratan Di Dinding sebagai Kitab-kitab Awal. Petunjuk men-
genai kitab-kitab tersebut ditemuinya pada akhir dari buku harian
sang penulis Guratan Di Dinding. Dengan mempelajari Kitab-kitab
Awal yang merupakan dasar dari kitab-kitab lainnya, Paras Tampan
dapat menghemat waktu. Tidak terlalu banyak yang dipelajari akan
tetapi telah cukup memiliki kehebatan.
Ruangan sebelah yang disebut sebagai Ruang Dinding Berlubang
oleh makhluk-makhluk Troll ternyata berperan dalam salah satu lati-
han yang dituliskan dalam Kitab-kitab Awal. Dengan menggunakan
lubang-lubang tersebut dengan masih berada di dalam ruangan Paras
Tampan belajar memanjat naik dan turun. Kadang kepala di atas
kadang di bawah. Dengan cara ini ia dapat merampat naik dan turun
pada dinding itu, berpijak pada lubang-lubang yang ada. Setelah
cukup mahir untuk naik sampai langit-langit, latihan selanjutnya di-
lakukan di sisi luar dari dinding. Ia harus terlebih dahulu merangkak
dalam salah satu lubang untuk mencapai ujungnya di dinding sebelah
luar. Dengan ketinggian yang menggiriskan Paras Tampan berlatih
naik dan turun kembali pada dinding.
Awalnya takut juga Paras Tampan berlatih di dinding sebelah luar.
Akan tetapi karena pada dasarnya latihan yang sama, akhirnya dapat
ia menekan rasa takutnya. Latihan di bagian luar ruangan itu, selain
disertai bahaya untuk jatuh, juga adanya angin menyebabkan tangan
dan kaki harus lebih kuat mencengkeram dan berpijak.
Lebih lanjut pada lubang-lubang, baik di luar dan di dalam ruangan
terpahatkan simbol-simbol kecil yang menjadi urut-urutan lubang-
lubang mana yang harus dipanjat atau dilalui. Tahapan ini baru
boleh dilakukan setelah orang yang belajar kitab tersebut yakin bahwa
cengkeraman dan pijakannya kuat pada dinding dan lubang-lubang
itu. Dengan melalui latihan ini Paras Tampan dapat masuk keluar
suatu lubang dalam dinding dengan cepat, untuk kemudian masuk
dan keluar pada lubang lainnya. Tak terasa bahwa ilmu meman-
jat dinding, cengkeraman, pijakan sekaligus meringankan tubuhnya
berkembang dengan pesat. Sejalan dengan semakin berkembang ilmu yang dipelajarinya, se-
189 makin jarang pula ikan Kolakan tersebut menyediakan buah-buahan
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Ia sekarang harus memanjatnya sendiri sekarang. Mengambil
buah-buahan pada pohon yang terletak lebih tinggi pada dinding di
atas lubang tempat keluarnya Sungai Batu Jernih tersebut. Jauh
lebih tinggi dari pohon yang dapat dikecipak dengan air oleh sang
ikan Kolakan. Pohon-pohon yang tumbuh lebih rendah, telah habis
buah-buahannya. Berdasarkan tulisan dalam salah satu Kitab-kitab Awal, Paras Tam-
pan sebagai orang yang sedang belajar, tidak diperbolehkan untuk
meninggalkan tempat itu sebelum tamat. Hal itu termasuk menye-
berangi sungai atau masuk ke dalam lubang tempat keluarnya Sun-
gai Batu Jernih. Dan Paras Tampan pun mematuhi peraturan itu.
Dikonsentrasikan pikirannya untuk benar-benar menyerap ilmu-ilmu
yang tertuliskan ataupun tersirat dalam kitab-kitab yang dikenal se-
bagai Kitab-kitab Awal. Kitab-kitab lain hanya dilihatnya sepintas,
jika ia merasa bosan mempelajari Kitab-kitab Awal.
Tak terasa waktu satu tahun pun berlalu. Sudah setengah waktu yang
diberikan gurunya untuk berguru di atas Gunung Hijau. Pemuda itu,
Paras Tampan, tampak semakin tegap. Badannya berisi. Dengan
tidak memakan daging, hanya buah-buahan dan sayur yang disedi-
akan oleh para Troll disertai latihan-latihan yang keras, membuat
otot-ototnya tumbuh dengan baik. Badannya menjadi tampak pas
sekali, tidak terlalu gemuk dan juga tidak terlalu kurus. Benar-benar
menjadi pemuda yang menarik hati dengan wajah yang selalu ceria.
Hanya mungkin rambutnya saja yang tidak terlalu diurus. Tumbuh
panjang dan digelungnya asal saja. Walaupun demikian sering dicuci
rambut dan badannya dengan cara mandi berendam di Sungai Batu
Jernih. Untuk pakaian, para Troll pun menyediakan bahan-bahan seperti yang
mereka pakai, yaitu kulit binatang berbulu. Entah binatang apa.
Yang penting nyaman dan hangat dipakai. Tidak terlalu banyak.
Para Troll hanya memberikan bahan pakaian untuk dijahitnya sendiri
setiap dua atau tiga bulan, saat mereka merasa pakaian yang dike-
nakan pemuda itu sudah tidak terlalu baik. Peralatan menjahit dise-
diakan mereka, terdiri dari jarum yang berasal dari tulang, benang
dari rumput-rumputan dan pisau batu untuk memotong. Sederhana
tapi cukup memadai. 190 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
Dan selama itu pula para Troll belum sekalipun menampakkan dirinya.
Pernah sekali waktu Paras Tampan ingin melihat makhluk-makhluk
yang selama ini menyediakannya makan, ditunggunya mereka di luar
ruangan. Di tepi Sungai Batu Bening. Tapi mereka tidak muncul-
muncul. Alih-alih, malah makanannya dengan dibungkus rapat den-
gan daun-daun agar isinya tidak basah, dilontarkan oleh ikan Ko-
lakan. Sang ikan pun berkecipak-cipuk, seakan-akan mengatakan
bahwa belum saatnya untuk bertemu dengan para Troll.
Akhirnya Paras Tampan pun menyerah, tak lagi ia mencoba untuk
menunggu-nunggu mereka hanya sekedar untuk melihatnya. Ditengge-
lamkan lagi dirinya pada pelajaran-pelajaran yang disebutkan dalam
Kitab-kitab Awal. Salah satu pelajaran yang menarik adalah bagian dari kitab Puku-
lan Inti Es dan Salju, dimana disebutkan bahwa orang bisa menggu-
nakan air yang disertai dengan hawa dingin sehingga menjadi butir-
butiran es untuk dilontarkan. Dan hal ini adalah yang dilakukan
oleh ikan Kolakan saat ia dulu memyambit buah-buahan dari pohon
yang tumbuh pada dinding mulut Sungai Batu Bening. Bukan hanya
sekedar mencipak-cipuk air belaka, melainkan membekukannya untuk
kemudian disambitkan dengan gerakan ekornya. Benar-benar men-
gagumkan. Dan untuk belajar jurus itu, Sentilan Kelereng Es, Paras Tampan
harus berendam dalam Sungai Batu Bening pada saat-saat di mana
udara benar-benar terasa dingin. Mengambil energi dari hawa din-
gin itu untuk diolahnya membekukan sepercik air dan disambitkan.
Jurus ini hanyalah sebagian kecil dari jurus yang tersimpan dalam
kitab Pukulan Inti Es dan Salju. Petunjuk yang diperoleh tidak
mengharuskan ia untuk mempelajari Pukulan Inti Es dan Salju secara
menyeluruh karena selain lama, juga tempat ini tidak sesuai untuk
melatih jenis pukulan tersebut. Perlu ia pergi ke daerah yang benar-
benar dingin untuk melatihnya. Ke daerah di mana terdapat roh-roh
air, Undinen misalnya. Ikan Kolakan sendiri sebenarnya dapat dipandang memiliki sedikit
hawa dingin sehingga bisa secara alami melakukan jurus Sentilan Kel-
ereng Es. Akan tetapi ia tidak sehebat roh-roh air dalam menyimpan
hawa dingin. Tempat di mana Paras Tampan saat ini berada lebih
191 dikategorikan sebagai tempat Roh-roh Tanah. Contoh dari mereka
adalah para Troll dan Manusia Tiga Kaki. Yang terakhir ini pernah
diceritakan gurunya. Dengan menggabungkan kedua unsur, Tenaga Air dan Tanah dapat
diciptakan hawa dingin. Tenaga Tanah secara tak sengaja dilatih
Paras Tampan dengan memperkuat pijakan-pijakan, cengkeraman dan
panjatan-panjatan. Dengan cara ini ia bisa meminjam tenaga bumi
untuk memindahkan berat tubuhnya ke arah yang ia inginkan. Akan
tetapi itu belum Tenaga Tanah yang sebenarnya. Untuk memperoleh
Tenaga Tanah perlu bantuan Roh-roh Tanah. Menurut petunjuk yang
dibacanya. Apabila ia berlatih serius, akan tahulah mereka, para Troll,
kapan ia siap untuk dilatih. Pada saat itulah makhluk-makhluk itu
akan menampakkan dirinya. Memberinya petunjuk lebih jauh.
Hari ini, sesuai dengan tahapan yang telah ia pelajari dari petun-
juk mengenai Kitab-kitab Awal, ia akan bertemu dengan para Troll
untuk diuji apakah ia telah cukup mahir dalam memiliki gerakan-
gerakan dasar untuk melatih Tenaga Tanah. Bila iya, para Troll akan
mengajarinya. Akan tetapi bila ternyata ia belum siap, sesuai den-
gan petunjuk dari kitab tersebut, ia harus kembali melatih gerakan-
gerakan tersebut. Termasuk di dalamnya keluar masuk lubang-lubang
dalam Ruang Dinding Berlubang dan juga Sentilan Kelereng Es. Se-
cara pribadi tak mau Paras Tampan menunggu lebih lama, ingin ia
cepat memasuki tahap berikutnya. Waktu yang diberikan gurunya
tidak tersisa banyak lagi.
Siang sudah belalu setengahnya. Belum ada tanda-tanda kedatangan
para Troll. Sang Ikan Kolakan pun tidak tampak batang hidungnya.
Semua seakan-akan ingin membuatnya bertanya-tanya atau penasaran
dalam hatinya. Sengaja hari itu Paras Tampan tidak berlatih berat. Dikosongkan
pikirannya dan ditenangkan hatinya dengan Mengheningkan Cipta. Ia
ingin dirinya siap untuk menerima petunjuk akan tahapan berikutnya.
Juga apabila dirinya dinyatakan belum siap. Toh, satu hari latihan
tidak akan mengubah hasil dari latihannya selama setahun ini.
Senja pun tiba. Matahari telah condong ke arah mana ia akan be-
ranjak sembunyi. Tiba-tiba terdengar siulan tinggi rendah. Otaknya
192 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
bereaksi seakan-akan ia mengerti arti dari siulan itu. Paras Tampan
tidak menyadari bahwa ilmu-ilmu yang dipelajarinya secara bawah
sadar menumbuhkan inderanya sehingga siulan semacam itu menjadi
memiliki arti. Orang biasa yang mendengarnya tidak akan dapat
menangkap maksudnya tanpa diberitahu terlebih dahulu.
Ia pun beranjak menyusuri lorong yang menuju ke Sungai Batu Jernih.
Sesampainya di sana bergetar pula hatinya. Di seberang sungai sana
tampak berjejer beberapa makhluk Troll. Berjajar menatap dirinya.
Gagah walaupun terlihat tidak terlalu besar.
Tak tahu apa yang dilakukan, Paras Tampan pun berdiam diri. Me-
nunggu. Dari siulan tadi, ia hanya mengerti bahwa ia diminta datang
ke pinggir Sungai Batu Jernih. Tidak tersurat apa yang harus di-
lakukannya setelah berada di tempat itu.
"Kecipak..!" lalu terdengar bunyi air diganggu. Tampaklah wujud
sang Ikan Kolakan. Ikan yang dipanggil sebagai Kakak Ikan Berduri
Bersirip Kipas oleh para Troll. Ia juga menjadi bagian dari pemerik-
saan kesiapan Paras Tampan untuk tahapan pembelajaran berikutnya.
Seorang dari mereka, makhluk-makhluk Troll yang berada pada sisi
lain Sungai Batu Jernih, menggapai Paras Tampan agar mengikuti
mereka. Lalu terlihatlah apa yang menurut Paras Tampan benar-
benar mengagumkan. Berjalan seorang dari mereka ke arah air dalam Sungai Batu Jernih.
Tampak ia berkonsentrasi sebentar dan kemudian datanglah sang Ikan
Kolakan. Keduanya tampak melihat pada arah yang sama. Dan kemu-
dian muncullah seperti bongkah-bongkahan es. Perlahan tapi pasti.
Menyebar lambat. Membesar. Tak jauh melebar melainkan meman-
jang. Jauh memanjang sampai ke seberang sungai tersebut, mencapai
sisi di mana Paras Tampan berdiri.
Tidak berhenti sampai di sana, bekuan es itu merampat perlahan
menyebar kembali ke hulu Sungai Batu Bening. Memasuki gua
batu di tengahnya. Sekarang terlihat semacam jalur dari es yang
melayang di atas air. Membentuk huruf "T" terbalik. Garis mendatar
menghubungkan kedua sisi sungai dan garis tegaknya menuju ke sisi
dalam gua di hulu sungai.
193 Satu per satu dari mereka melangkah di atas Pematang Es itu, perla-
han tapi pasti. Tak terlihat goyangan yang berarti. Padahal apabila
dibayangkan, tidak cocok dengan postur tubuh mereka yang tampak
besar dan berat. Paras Tampan kemudian mengikut mereka berjalan di atas Pematang
Es itu menuju gua di hulu Sungai Batu Jernih. Awalnya tak mudah
untuk menjejakkan kaki dengan mantap di atas Pematang Es, tapi
pengalaman latihannya di Ruang Dinding Berlubang membuat kaki-
kakinya berpijak kuat dan juga lemas. Cepat berubah kedudukan
apabila tempat pijakannya berubah posisinya. Dengan cara ini Paras
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 2 Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Pena Wasiat 24