Pencarian

Elemen Kekosongan 5

Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen Bagian 5


Tampan akhirnya dapat mengikuti langkah makhluk-makhluk Troll
itu memasuki gua di ujung kanan sana. Kanand dari arah ia tadi
datang. Troll yang didepan masih saja membuat Pematang Es yang baru,
bersama-sama dengan sang Ikan Kolakan, Kakak Ikan Berduri Bersirip
Kipas. Paras Tampan tidak berada paling belakang. Masih ada dua
makhluk Troll sesudahnya. Ia tidak tahu apa yang mereka lakukan.
Mungkin merusakkan Pematang Es yang mereka lewati, agar tidak
ada yang mengikut mereka masuk ke dalam gua itu.
Sekarang keadaan telah berubah menjadi gelap. Selain malam telah
menjelang, juga karena mereka telah berada di dalam gua di hulu Sun-
gai Batu Jernih. Pintu masuk gua yang berada di tengah sungai yang
cukup dalam tersebut tidak menggambarkan bahwa di dalamnya ter-
dapat sungai bawah tanah yang cukup lebar dengan ruangan di atas-
nya mencapai tiga sampai empat tombak lebih tingginya. Benar-benar
ruangan yang memukau. Dihiasi dengan Rumput Berkilau Dalam
Gelap pada dinding-dindingnya. Terlihat sengaja di tanam dan den-
gan lantainya yang merupakan air belaka. Bagi orang yang tidak bisa
berjalan di atas Pematang Es atau tidak memiliki perahu, tidak akan
bisa masuk ke dalam tempat ini.
Mereka masih berjalan beberapa saat sampai ada semacam pantai
atau dataran di ujung sana, di mana Sungai Batu Jernih berasal
dari belokan sebelah kiri dan kanan dataran tersebut. Kecil dan di
ujungnya tercurah dari lubang-lubang di atasnya.
Dataran itu cukup luas. Paras Tampan dan para makhluk Troll telah
194 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
berada di tengah-tengah dataran itu dan masih juga terasa lengang.
Ikan Kolakan, Kakak Ikan Berduri Bersirip Kipas, tampak berenang-
renang di kejauhan. Tidak ikut ia naik ke dataran itu. Bukan tempat
bagi makhluk air. Paras Tampan melihat berkeliling di dinding di depannya tampak
lubang-lubang seperti lubang-lubang pada Ruang Dinding Berlubang.
Banyak celah-celah mengisi sampai ke langit-langitnya. Di atas langit-
langit tampak beberapa lubang besar dan kecil. Yang besar kiranya
cukup bagi dirinya dan makhluk Troll untuk masuk ke dalamnnya.
Salah seorang Troll tua yang memperkenalkan dirinya sebagai Bagadsh,
yang terlihat sebagai pemimpin di sana, menerangkan ujian yang akan
diterima oleh Paras Tampan. Dijelaskan bahwa ujian pertama tadi,
yaitu berjalan di atas Pematang Es telah dilampaui. Mereka senang
bahwa Paras Tampan bisa berjalan sampai ke tahap ini. Dan mereka
berharap pula bahwa ia bisa menyelesaikan tahapan berikutnya.
Dijelaskan bahwa tujuan akhir dari ujian ini adalah memasuki ruan-
gan dia atas sana. Ada beberapa lubang yang cukup besar di atas
langit-langit ruangan itu. Paras Tampan harus bisa melampauinya
dan masuk ke dalamnya. Ujian ini lebih berat dari latihan yang pernah
dilakukannya di Ruang Dinding Berlubang. Umumnya ia melakukan
latihan dalam lubang-lubang mendatar atau miring, tapi belum per-
nah yang tegak seperti ini.
Lalu ditambahkan bahwa proses untuk mecapai ruangan yang ada di
atas itu, dapat dilakukan dalam waktu dua setengah hari. Jadi pe-
muda itu diberikan kesempatan sebanyak-banyaknya dalam dua seten-
gah hari untuk masuk ke dalam ruangan itu.
Mulanya Paras Tampan agak bingung juga, apabila hanya masuk ke
dalam ruangan di atas itu, mengapa diperlukan waktu sampai dua
setengah hari. Tapi pertanyaan dalam hatinya itu terjawab selang tak
berapa lama. Setelah tak ada tanggapan dari Paras Tampan, para Troll itu men-
ganggap ujian telah boleh dimulai. Mereka membagi dirinya menjadi
tiga kelompok. Dua kelompok bergerak ke sisi kiri dan kanan dataran
dan duduk Mengheningkan Cipta. Tidak ambil pusing lagi pada Paras
Tampan dan rekan-rekannya.
195 Satu kelompok yang tersisa bergegas bergerak memanjat dinding-
dinding yang berisikan lubang-lubang itu. Hampir tanpa bantuan
tangan mereka berjalan di dinding itu sampai ke langit-langit yan
berlubang-lubang itu. Dengan hanya mencengkeram sisi-sisi lubang
atau tonjolan-tonjolan yang ada, para makhluk Troll itu dapat seakan-
akan "melekat" dan "berjalan" di dinding dan langit-langit. Berdecak
kagum Paras Tampan menyaksikan demonstrasi itu.
Ada empat orang yang bergantung pada kakinya. Mereka membawa
sebatang tongkat setinggi dirinya. Sepanjang satu tombak kira-kira.
Keempatnya berhenti pada sebuah lubang di tengah-tengah langit-
langit. Berputar dan menjaganya dari empat arah secara terbalik.
Bagadsh yang tidak termasuk salah seorang dari mereka, mencoba
kekuatan barisan itu. Ia melompat dari tanah, jauh tinggi mendekati
langit-langit sambil mengayunkan tongkat yang dibawanya.
"Tak-tak-tak" seorang dari mereka memapaki serangannya dan se-
orang lagi menyerang jalan darah-jalan darah penting di tubuhnya.
Terpaksa Bagadsh menghindar dengan bersalto beberapa kali dan
melompat turun. Sekali lagi dicobanya dengan merambat pada dind-
ing, menjejak terbalik pada langit-langit. Kembali keempat penjaga
itu mempertahankan lubang itu dengan rapat. Setelah yakin akan
kekuata nbarisan tersebut, kemudian sang pempimpin Troll itu pun
membuang tongkatnya dan ia menyusup dengan lincah di antara per-
tahanan keempat penjaga tersebut. Ia menghilang di lubang di atas
langit-langit sana. Menunggu Paras Tampan melewati lubang yang
sama. Berdesir Paras Tampan menyaksikan rapatnya penjagaan keempat
penjaga lubang di langit-langit itu. Mereka dapat dengan enaknya
bergantungan, berjalan di tembok dan langit-langit yang berlubang
dan juga mempertahankan diri, seakan-akan berjalan di atas tanah
datar saja. Bagaimana caranya ia bisa ke sana. Memanjat secara ter-
balik saja sudah rumit. Belum lagi ditambah dengan penjagaan yang
dilakukan oleh keempat makhluk tersebut.
Akan tetapi bukan Paras Tampan, bila pemuda itu langsung meny-
erah menghadapi keadaan yang tidak masuk akal tersebut. Berbagai
gagasan masuk ke dalam kepalanya, tentang bagaimana caranya bisa
196 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
menyiasati keempat makhluk itu untuk masuk ke lubang yang dijaga
mereka. Pertama-tama dicobanya untuk memanjat dinding di hadapannya,
untuk menjajal apakah ia juga bisa menggantung dengan mudah di
langit-langit yang berlubang tersebut. Pada bagian dinding yang
tegak, tidak ada masalah. Ia dapat dengan cepat menggunakan tan-
gan dan kakinya yang mencengkeram kuat untuk mencapai awal dari
langit-langit batu tersebut. Sekarang saat dimulai masalahnya. Ia
mencoba untuk bergantung terbalik pada langit-langit. Pusing di-
rasakannya. Tak lama ia bisa bertahan. Kedudukan yang berbalik itu
membuat banyak darah mengalir ke kepala. Akibatnya Paras Tampan
tampak bergoyang-goyang cepat. Hampir lepas pegangannya.
Tiba-tiba, "tukk..!" sebutir es tampak menyentuh pembuluh darah di
lehernya. Sekejap pandangan matanya menjadi lebih terang. Darah
tidak mengalir deras seperti tadi. Rupanya saat bergantung terbalik
itu, ia hanya boleh mengerahkan tenaga untuk memperkuat cengk-
eraman dan pijakan. Akan tetapi jangan sampai mengirim tenaga ke
arah kepala. Totokan tadi membuat tenaga yang diarahkan ke kepala
berbalik tersimpan. Paras Tampan melirik ke dalam air di kejauhan. Ikan Kolakan itu tam-
pak berenang menyelam menjauh. Tak tega sang ikan melihat pemuda
itu terjatuh. Dikirimnya totokan menggunakan Sentilan Kelereng Es
untuk mengambat peredaran tenaga pemuda itu yang membuncah ke
kepala. Sekarang Paras Tampan mulai bisa membiasan diri dalam posisi
bergantung itu dan kemudian mengerahkan tenaga ke tangan dan
kakinya, tapi membatasi aliran yang menuju kepala. Sesaat sulit juga,
apalagi dalam posisi yang sama sekali baru baginya itu.
Waktu pun berjalan pelan. Paras Tampan mulai bisa menikmati posisi
bergantung seperti itu. Tapi tenaganya sudah hampir habis. Bila
dilanjutkan ia tidak ada tenaga untuk turun kembali. Ia kemudian
memutuskan untuk turun terlebih dahulu dan mengumpulkan kembali
tenaganya. Akan dicobanya lagi naik ke langit-langit untuk mendekat
lubang yang menjadi tujuannya.
Setelah tiga kali dicobanya, sudah mulai terbiasa Paras Tampan untuk
197 bergerak bolak-balik di langit-langit yang penuh lubang dan tonjolan
itu. Walaupun belum selincah Troll, tapi ia sudah bisa berputar-putar
ke sana kemari menyelidiki lubang-lubang yang ada. Lubang-lubang
selain yang dijaga oleh para Troll berukuran terlalu kecil untuk dirinya.
Tak ada jalan lain, memang ia harus menggunakan lubang yang dijaga
tersebut. Selain itu telah dicobanya pula untuk melompat dalam keadaan ter-
balik itu ke bawah. Dilepaskannya pegangan dan pijakan, berayun
memutar beberapa kali dan mendarat dengan kaki sedikit bergetar.
Setelah beberapa kali mencoba, dapat ia melompat dengan sempurna
ke bawah. Dengan cara ini ia tidak takut lagi bila pegangannya ter-
lepas atau jatuh. Walaupun Paras Tampan telah terbiasa untuk bergerak di langit-
langit, akan tetapi ia masih menggunakan kedua tangan dan kakinya.
Belum bisa menggunakan kaki saja seperti para penjaga lubang itu.
Dengan kondisi seperti ini ia tidak bisa menyerang mereka. Pernah
dicobanya sekali mendekati lubang tersebut, dengan santai mereka
menukil sedikit tubuhnya. Pada suatu jalan darah tertentu. Aki-
batnya pusing kembali diperolehnya. Untuk mencegahnya cepat ia
melepaskan pegangannya bersalto beberapa kali dan mendarat den-
gan selamat di lantai di bawahnya.
Ia harus menemukan cara untuk berjalan seperti para Troll sehingga
kedua tangannya dapat bebas untuk menyerang. Bisa juga cara lain
sehingga ia bisa menangkis serangan-serangan mereka.
Tak terasa telah lewat tengah malam. Paras Tampan pun telah lelah.
Seorang dari para Troll menghampirinya dan memberinya sesuatu un-
tuk dimakan. Semacam buah yang mirip dengan buah yang dulu
diberikan oleh sang Ikan Kolakan. Hanya saja yang ini berwarna
keperakkan dan tidak biru. Mereka juga memakan satu setiap orang.
Tidak lebih. Dirasakan asupan tenaga yang nikmat. Menghilangkan sedikit rasa
lelah dan juga rasa kantuknya. Para Troll tampak berganti kelompok.
Empat orang tampak memanjat cepat ke arah keempat temannya yang
sedang menjaga. Penjaga yang lama dengan sigap meloncat turun,
bersalto beberapa kali di udara dan mendarat dengan ringan di atas
198 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
dataran batu itu. Kelompok yang baru beristirahat itu tampak juga memakan buah
keperakan tadi, untuk kemudian Mengheningkan Cipta.
"Hmmm, berabe nih!" gumam Paras Tampan, "jika mereka semua
berganti-ganti menjaga lubang itu, bagaimana aku dapat menca-
painya." Berpikir keras ia bagaimana cara untuk mencapai lubang
tujuan itu. Tapi sempat terlintas bahwa ia akan menunggu agar para
penjaga itu lelah untuk kemudian menyerangnya. Tak dinyana bahwa
mereka melakukan penjagaan berganti-ganti. Oleh karena itu perlu
dicari siasat lain agar dapat memasuki lubang itu. Paras Tampan pun
akhinya merasa lelah. Diputuskannya untuk Mengheningkan Cipta se-
mentara. Memulihkan tenaga dan juga sembari memikirkan cara-cara
untuk mengatasi penjagaan yang berganti-ganti itu.
*** Tiga orang tampak berhadapan di tengah tanah lapang yang luas di
kaki sebuah gunung. Seorang dari mereka tampak senyam-senyum
memandang kedua orang lawannya. Ia orang yang masih setengah
baya dengan wajah yang selalu menebarkan keceriaan. Rambutnya
yang panjang hitam sebahu dihiasi uban-uban putih akan tetapi hanya
di sebelah kanan. Hal ini membuat sebelah kanan kepalanya berwarna
terang dan sisi sebaliknya berwarna gelap. Perawakannya kekar dan
dengan tubuh yang tinggi jangkung, jauh di atas tinggi rata-rata orang
kebanyakan. Gerakannya ringan. Terlihat dari tidak banyak rusaknya
rumput-rumput di sekitar tempatnya berdiri.
Kedua lawannya juga bukan orang biasa-biasa dan juga tidak terlihat
jahat. Melainkan cenderung sebagai petapa yang sederhana hidupnya.
Seorang dari mereka rambutnya telah memutih semua. Tubuhnya ku-
rus akan tetapi kekar. Rambutnya yang juga panjang digelung ke atas
dan dikonde di atas kepalanya. Bajunya dari bahan yang kasar akan
tetapi bersih. Sama seperti lawannya yang tampak jauh lebih muda
darinya, sosok ini pun senang tersenyum.
Sedangkan temannya berambut pendek. Dengan wajah yang juga su-
dah lanjut, akan tetapi sosok ini terlihat lebih gemuk dari kawannya.
Mungkin disebabkan dari potongan rambutnya yang pendek. Wajah
199 sosok ini tidak seperti kawannya. Ia lebih serius terlihat.
"Rawarang..," ucap orang yang rambutnya digelung ke atas, "atau
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
yang dikenal orang-orang sebagai Maling Kitab, apa maksudmu men-
gundang kami kemari?"
"Dari julukanku, sudah tentu ki sanak berdua dapat menduga,
bukan?" jawab orang yang dipanggil Rawarang itu.
"Hmmm..., memberimu kitab ilmu-ilmu kami, atau jika tidak ada,
kami harus menuliskannya dahulu. Benar-benar suatu sifat yang ju-
mawa." kata orang yang berambut pendek itu.
"Maafkan saya, bila permintaan ini terdengar kurang ajar," jawab
Rawarang, "Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es.." sambil ia
membungkuk sedikit, menghormat kepada orang yang berkonde dan
berambut pendek itu. "Jika memang maksudmu demikian, mengapa perlu meninggalkan pe-
san, seakan-akan adik kami Seberang yang meminta kami datang ke
sini," tanya orang berkonde yang dipanggil Petapa Lain Pulau itu.
Sebelum menjawabnya, Rawarang tersenyum kecil sambil memandang
langit di atasnya. Lalu jawabnya, "siapa yang tidak tahu persaudaraan
ketiga petapa sakti yang diikrarkan di Pulau Gunung Api. Orang-
orang yang telah mencapai kesempurnaan dalam beladiri dan tidak
lagi menginginkan pertentangan."
Kemudian ia menundukkan kepalanya sehingga kembali memandang
ke arah kedua lawannya itu, "jika aku tidak menggunakan nama adik
ki sanak berdua, Petapa Seberang, mana mungkin ki sanak berdua
akan datang. Betul begitu?"
Petapa Lain Pulau tersenyum mendengar hal itu. Bila dipikir-pikir
Rawarang ini memang benar. Mereka bertiga yang sudah tidak lagi
mau ikut campur urusan duniawi, tidaklah begitu tertarik apabila
diundang atau ditantang untuk berkelahi. Tapi lain halnya jika un-
dangan itu berkaitan dengan salah seorang dari mereka. Sudah tentu
yang lain akan datang untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Apa tidak ada jalan lain?" tanya Petapa Lain Pulau. "Haruskan kita
berseteru untuk memuaskan keinginanmu itu?"
200 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
"Jika ki sanak berdua mau memberikan kitab ki sanak kepadaku,
pastilah tak perlu kita bersilang pendapat," jawab Rawarang masih
jenaka. "Jika kami tidak memberikannya?" tanya Petapa Lain Pulau kem-
bali. Ia mencoba-coba untuk memeriksa perangai sebenarnya dari
Rawarang ini. "Ya.., itu jadi susah," jawab Rawarang sambil menghilangkan senyum-
nya. "Jika tidak memberikan, sebaiknya ki sanak berdua menyerang
saya, sehingga ada alasan untuk membalas."


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petapa Gunung Es yang jarang tersenyum, tak bisa ia menahan sung-
gingan di ujung bibirnya. Ia melihat bahwa Rawarang ini walaupun
aneh, tapi tidaklah jahat. Lalu katanya, "kalau begitu jelaskan dulu,
mau apa engkau dengan kitab-kitab kami. Dan kudengar juga engkau
telah mencuri banyak kitab-kitab dari berbagai orang dan tempat."
Rawarang yang dikenal sebagai Maling Kitab itu tersenyum. Ia pun
kemudian menceritakan mengapa ia getol mencuri kitab-kitab ilmu
silat dan juga ujar-ujar kuno.
Ia pernah bertandang ke suatu tempat di seberang lautan. Di sana ter-
dapat suatu kerajaan yang amat besar dan megah. Walapun besar dan
megah, akan tetapi kerajaan itu tumbuh dan berkembang atas dukun-
gan dari rakyat-rakyatnya. Hal ini terlihat dari selalu sumringah wa-
jah orang-orang yang ditemui Rawarang di sana. Baik orang-orang
yang terlihat berduit, maupun para rakyat kecil seperti petani dan
pengrajin. Makmurnya kerajaan tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan raja
yang memerintah dan juga penasehat kerajaan yang pandai. Raja dari
negara tersebut memiliki satu kelompok penasehat yang terdiri dari
empat orang. Dinamai dengan arah-arah utama mata angin. Keem-
pat penasehat ini tidak memiliki sanak keluarga sehingga konsentrasi
mereka benar-benar tercurahkan untuk menghasilkan nasehat-nasehat
dan keputusan-keputusan yang baik bagi masyarakat dan kerajaan
tersebut. Kepandaian para penasehat itu sebenarnya akibat dari kebiasaan
masyarakat daerah tersebut yang dulunya berawal dari desa dan kota
201 kecil, akan tetapi tumbuh dan berkembang menjadi suatu kerajaan.
Kebiasaan yang dimaksud adalah membaca dan menulis.
Kebiasaan membaca, terutama buku-buku yang bermutu sudah tidak
bisa dipungkiri lagi akan membawa pembacanya pada proses pem-
belajaran sehingga dapat menjadi lebih baik dalam menyikapi hidup
ini. Tidak lagi perlu bertemu dengan pengalaman-pengalaman yang
merugikan, yang telah diwanti-wanti para penulis dalam kisah-kisahnya.
Akan tetapi kebiasaan menulis pun penting. Jika tidak ada kebiasaan
menulis, tidak akan ada buku yang bisa dibaca. Umumnya buku-buku
yang ada adalah hasil dari orang-orang tertentu yang bisa atau mau
menuliskan ide-ide atau pengalaman mereka. Dan ini sudah tentu
terbatas. Akan tetapi dengan banyaknya orang-orang "biasa" yang
juga menulis, akan menciptakan sumber-sumber literatur yang tak ada
habis-habisnya. Itulah yang terjadi di kerajaan tersebut.
Di negara itu, jauh sebelum negara berbentuk kerajaan itu terbentuk,
nenek moyang mereka mempunyai kebiasaan untuk menuliskan apa-
apa yang mereka alami. Mirip dengan buku harian dewasa ini. Den-
gan demikian anak-cucu mereka tidak lagi perlu mengulang kesalahan-
kesalahan mereka. Pun hal-hal yang berguna, seperti waktu bercocok
tanam, cara membuat perahu dan lainnya dapat dipelajari dengan
mudah. Tidak lagi perlu mencoba-coba sendiri untuk mencari cara
atau waktu yang tepat untuk bercocok tanam, atau mencari bahan
yang tepat untuk membuat perahu.
Dengan menggunakan catatan-catatan leluhurnya, para penduduk
negara itu dapat langsung memodi"kasi apa-apa yang telah dicoba
nenek-moyangnya. Hasil yang baik atau pun buruk dari modi"kas itu
kembali dicatat. Catatan-catatan yang telah ribuan tahun usianya itu
pun tumbuh menjadi semacam basis ilmu pengetahuan bagi kerajaan
mereka. Kerajaan dalam hal ini pun mengakomodasi tumbuhnya kebiasaan
mencatat ini. Buku-buku kosong dan alat tulis disediakan gratis oleh
mereka. Begitu pula dengan sekolah-sekolah. Selain itu terdapat pula
suatu fasilitas yang dikenal sebagai Perpustakaan Kerajaan. Namanya
saja Perpustakaan Kerajaan yang menandakan bahwa perpustakaan
itu dikelola oleh kerajaan, tapi pada pelaksanaannya semua orang da-
202 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
pat berperan di sana. Dari membantu melengkapinya, sampai me-
manfaatkannya. Di dalam Perpustakaan Kerajaan terdapat pula tempat penitipan
buku, dalam artian keluarga atau orang-orang yang tidak punya
tempat cukup untuk menyimpan buku-bukunya, dapat menitipkan
buku-buku mereka di sana. Dengan imbalan buku-buku mereka boleh
dibaca orang lain di tempat. Tidak dibawa pulang. Hanya buku-buku
umum yang benar-benar milik Perpustakaan Kerajaan yang dapat
dipinjam untuk dibawa pulang.
Bagi orang-orang yang sudah wafat dan ahli warisnya tidak berke-
mampuan untuk mengurus buku-bukunya, dapat dilakukan penghiba-
han, sehingga koleksi orang-orang yang wafat tersebut menjadi milik
Perpustakaan Kerajaan. Dengan cara ini koleksi-koleksi tersebut da-
pat dipinjam untuk dibawa pulang.
Melalui cara ini, Perpustakaan Kerajaan adalah salah satu gedung
atau tempat yang paling banyak dikunjungi oleh orang-orang di ker-
ajaan itu, selain pasar-pasar dan tempat-tempat ibadat tentunya. Di
sana orang dapat menambah ilmunya dan juga menelurkan karya-
karya yang langsung dapat dinikmati orang.
Ada pula bagian arsip orang-orang di Perpustakaan Negara. Di
bagian ini orang-orang dapat meletakkan buku-buku yang berisikan
perjalanan hidup mereka. Buku harian. Diurutkan berdasarkan tahun
kelahiran dan abjad. Dalam tiap buku harian biasanya dicantumkan
juga hubungan sanak keluarga yang ada. Dengan cara ini, seorang
anak dapat melacak nenek moyangnya, dan apa-apa yang mereka
lakukan. Langsung dari tulisan mereka sendiri dan bukan dari cerita
orang-orang. Bila terdapat jasa besar atau hukuman dari negara,
umumnya dituliskan dalam lembar tambahan dengan segel kerajaan.
Dengan cara itu sejarah dapat diveri"kasi dari para pelakunya sendiri.
Walaupun belum tentu apa-apa yang ditulis selalu obyektif.
Rawarang yang saat itu sedang merantau ke sana, amat takjub pada
kemegahan itu. Minatnya pada ilmu telah tumbuh sejak kecil. Ayah-
nya yang seorang pedagang perantau, sering membawakannya oleh-
oleh buku-buku dari negeri-negeri asing jauh di sana. Dengan per-
antaraan buku-buku itulah, khayalan Rawarang kecil tumbuh dan
203 membekas sampai ia dewasa, saat ia kemudian mewujudkan sendiri
impian-impiannya untuk melihat luasnya dunia.
Banyak waktu dihabiskannya saat berada di kerajaan tersebut den-
gan membaca buku-buku di Perpustakaan Kerajaan. Buku-buku yang
menarik perhatiannya antar lain adalah buku-buku sejarah, ilmu ka-
nuragan, ilmu alam dan bahasa. Buku-buku lain tidak menjadi pilihan
utamanya. Di sana pulalah ia bertemu dengan gurunya. Seorang pen-
jaga tua yang mewariskan ilmu silat dan mencuri padanya. Penjaga itu
dulunya adalah seorang yang gandrung terhadap ilmu-ilmu kanuragan
sehingga berguru ke sana kemari. Ia juga punya kegemaran membaca
buku-buku dan juga senang mencuri.
Ia dipekerjakan di sana karena selain memiliki kemampuan dalam ilmu
pengetahuan, dan juga karena riwayat masa mudanya sebagai pencuri
yang andal. Ia benar-benar mahir mencuri di berbagai tempat, ter-
masuk di dalam istana kerajaan. Dengan berbekal kemahiran siasat
dan berpikir keras keempat Penasehat Kerajaan menciptakan jebakan
untuk menangkap sang pencuri tersebut. Setelah itu ia diadu ke-
cerdikan dengan mereka dan kalah. Sampai akhirnya ia bersedia men-
jadi salah seorang penjaga dari Perpustakaan Kerajaan. Kesalahan-
kesalahannya diampuni asal ia mau bekerja dan mengabdi demi ke-
pentingan masyarakat. Bakat sang mantan pencuri itu, digunakan oleh Perpustakaan Kera-
jaan untuk mencuri balik buku-buku yang dipinjam melewati tenggat
waktu. Umumnya dilakukan oleh orang-orang yang malas mengem-
balikan buku. Buku-buku yang terlambat itu, "dicuri" kembali oleh
sang penjaga dan digantikan dengan tulisan untuk membayar denda.
Umumnya orang-orang yang memperoleh kertas denda itu tak berani
macam-macam. Keesokan harinya mereka datang ke Perpustakaan
Kerajaan, meminta maaf atas keteledoran mereka sambil membayar
denda yang dijatuhkan. Dari penjaga perpustakaan ini, yang tidak mau memberitahukan na-
manya, Rawarang menimba ilmu sehingga seakan-akan ia menjadi
sang penjaga di masa mudanya. Mahir ilmu silat dan juga ilmu men-
curi. Ia dipesankan oleh sang penjaga untuk baik-baik mengamalkan
ilmunya. Jangan seperti gurunya. Semahir-mahirnya tupai melompat,
suatu saat jatuh juga. Untung saja kerajaan masih berbaik hati mau
204 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
mempekerjakan guru Rawarang dan tidak menghukumnya. Sehingga
di hari tuanya ia masih dapat hidup dengan tenteram dan damai.
Mendengar cerita itu kedua orang tua yang menjadi lawan Rawarang,
Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es hampir bersamaan menghela
nafas. Lalu kata seorang dari mereka, "jadi maksudmu, Rawarang, en-
gkau ingin membangun suatu tempat yang bisa seperti Perpustakaan
Kerajaan yang pernah engkau kunjungi itu, begitu?"
Agak malu Rawarang mengangguk mengiyakan.
"Tapi dengan mencuri kitab-kitab?" tanya Petapa Gunung Es tidak
sabar. Umumnya Petapa Gunung Es tidak banyak berbicara. Bi-
asanya ia membiarkan kedua adiknya yang mengajukan pertanyaan.
Hanya kali ini tidak bisa ditahan penasarannya. Memang menurutnya,
apabila tujuan dari Rawarang ini benar, membangun sesuatu pusat
ilmu pengetahuan bagi tanah ini adalah baik. Tetapi tidak begitu
caranya. Sebaik manapun suatu tujuan, akan tetapi apabila dicapai dengan cara
yang buruk, pastilah akan menodai kebaikan dari tujuan itu sendiri.
Sekarang mencoba untuk membangun suatu perpustakaan di tanah
ini, agar pengetahuan orang-orang di tanah ini dapat berkembang
dengan baik akan tetapi fasilitas itu dilengkapi dengan cara mencuri
kitab-kitab yang dimiliki oleh orang-orang. Para pesilat atau sas-
trawan. "Saya tidak punya jalan lain," jawab Rawarang, "jika diminta begitu
saja, pasti orang-orang tersebut tidak memberikannya. Biasanya saya
menantang mereka dengan taruhan kitab-kitab mereka. Umumnya
saya menang." "Dan sekarang.." tanya Petapa Lain Pulau.
"Sekarang, jika ki sanak berdua tidak menyerang saya, atau tidak
mau menanggapi saya, jadi susah. Saya jadi tidak punya alasan untuk
bertarung dan menggunakan kitab-kitab ki sanak sebagai taruhan."
Saat berkata begitu terlihat bahwa Rawarang masih berpikir keras,
mengerahkan kecerdikannya untuk mengakali agar kedua petapa yang
ada di depannya itu mau menyerahkan kitab-kitabnya, atau seti-
daknya melawan dirinya. 205 Tiba-tiba ia teringat siasat yang digunakannya saat dulu menghadapi
Petapa Seberang, adik angkat dari Petapa Lain Pulau dan Petapa Gu-
nung Es. Segera ia mengumpulkan tenaganya dan berkonsentrasi. Ali-
ran hawa tampak berputar-putar di sepanjang aliran darahnya. Per-
lawan merambat ke seluruh urat-urat kecil di sepanjang tubuhnya.
Tubuhnya tampak memucat dan memerah silih berganti, tergantung
pada suatu saat ke mana aliran hawa hangat dan dingin mengalir.
"Hey.., apa maksudmu..?" tiba-tiba Petapa Lain Pulau mengamat-
amati Rawarang, tiba-tiba ia bergerak cepat.
Bersamaan dengan itu bergerak pula Petapa Gunung Es. Keduanya
memukul hampir bersamaan dada dan perut Rawarang.
"Buk-buk-buk...!" terdengar bunyi pukulan keras. Akibatnya Rawarang
terhuyung dua tiga tindak dengan mata terpejam.
Tak lama kemudian ia pun batuk mengeluarkan darah, karena luka
dalam yang dideritanya. Langsung ia duduk bersila untuk mengatur
nafas dan membereskan jalan darahnya yang kacau-balau.
"Orang ini benar-benar berhati keras dan aneh," gerutu Petapa Gu-
nung Es. Dalam usahanya untuk mendapatkan ilmui-ilmu kedua petapa terse-
but Rawarang telah membalik jalan darahnya sendiri sehingga ia ter-
luka. Jika saja kedua petapa itu tidak menyadari maksudnya, dan
memukulnya di dada dan perut untuk membuyarkan tenaga peng-
hancurnya, sudah bisa dipastikan bahwa Rawarang akan terluka lebih
parah dan mungkin mati. Sekarang dalam keadaan yang terluka itu, mau tak mau, didasari rasa
kemanusiaan, kedua petapa itu mengobati Rawarang. Secara tak lang-
sung mereka harus mengoperkan sedikit tenaga dalam mereka. Dari
jenis tenaga dalam yang diberikan itu, sedikit banyak Rawarang da-
pat mempelajari ilmu-ilmu mereka. Pengetahuan ini diperolehnya dari
penjaga tua Perpustakaan Kerajaan, Merasai Hawa Pelajari Ilmu.
Setelah diobati oleh Petapa Lain Pulau dan Petapa Gunung Es,
keadaan Rawarang berangsur-angsur membaik. Ia dapat kembali
membuka matanya. Walaupun wajahnya masih pucat, berusaha ia
206 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
menyunggingkan sedikit senyum di ujung mulutnya. Ia telah berhasil
merasai sedikit aliran hawa kedua petapa itu. Kira-kira sudah diper-
olehnya satu dari sepuluh bagian ilmu-ilmu mereka dalam pengolahan
hawa. Selagi kedua petapa itu memperhatikan Rawarang yang masih berusaha
untuk bangun, tiba-tiba terdengar suara lirih di udara. Mengambang
tapi jelas. "Kakak Gunung Es.., kakak Lain Pulau..., kena juga kalian diakali
bocah nakal ini..!" Tak berapa lama yang empunya suara pun tiba di hadapan mereka.
Sama-sama berambut panjang seperti Petapa Lain Pulau, akan tetapi
orang itu tidak mengikat rambutnya yang putih dan panjang. Dib-
iarkannya tergerai saja. Bajunya juga sederhana dan kasar. Wajahnya
tampak lebih muda, paling muda dari ketiga petapa tersebut. Itulah
adik angkat kedua petapa yang telah datang lebih dulu ke tempat itu.
Petapa Seberang. Gembira ketiganya saling merangkul dan berpelukan. Tak perlu kata-
kata diucapkan. Pandangan dan sentuhan di pundak sudah mewakili
rasa persaudaraan yang telah tumbuh sejak di Pulau Gunung Api.
Tak jauh dari sana tampak Rawarang memandangi ketiga orang itu.
Ada suatu rasa yang hilang dirasakannya. Tidak seperti ketiga orang
itu yang saling memiliki satu sama lain, ia tidak memiliki siapa-siapa.
Tiba-tiba terselit rasa kesepian dalam hatinya.
Ketiga orang itu saling berbincang dengan ramai, seakan-akan Rawarang
tidak lagi ada di dekat mereka. Petapa Gunung Es yang biasanya lebih
senang mendengarkan pembicaraan, juga bertanya-tanya banyak hal
pada adikn angkatnya, Petapa Seberang.
Menghadapai hujan pertanyaan dari kedua kakak angkatnya terse-
but, Petapa Seberang hanya bisa tersenyum. Walaupun mereka sudah
sama-sama tua dan mungkin hanya tinggal menunggu waktu, kapan
mereka harus melepas nyawa dari tubuh yang rapuh ini, masih terlihat
rasa saling menyayangi antar ketiga saudara angkat tersebut.
Petapa Seberang kemudian menjawab satu-persatu pertanyaan-pertanyaan
207 yang diajukan oleh kakak-kakaknya tersebut. Kadang-kadang penje-
lasan atau ceritanya disela oleh yang lain, karena ada hal-hal yang
ingin ditanyakan. Ramai sekali suasananya.
Sampai suatu saat teringat kembali mereka akan orang yang "menger-
jai" mereka bertiga sehingga tiba di tempat ini. Rawarang si Mal-
ing Kitab. Mereka bertiga pun melihat berkeliling. Akan tetapi tak
tampak wujud dari orang yang dicari itu. Kelihatannya saat mereka
bertiga sedang asik bercengkrama beranjak pergi Rawarang. Tak
tahan ia melihat keakraban yang ada di antara ketiga saudara angkat
tersebut. Petapa Seberang yang telah lebih dahulu datang ke tempat ini, Rimba
Hijau, sudah tahu di mana harus mencari Rawarang. Tanpa bicara,


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digerakkan tangannya ke suatu arah sambil mengajak kedua kakak
angkatnya beranjak dari sana. Keduanya pun mengangguk tanda
mengerti. Ketiganya kemudian melesat cepat bagai terbang. Hanya sesekali
kaki-kaki mereka menotol tanah untuk kembali meloncat jauh bagai
melayang di udara. Benar-benar ilmu meringankan tubuh yang sudah
amat mumpuni. Menggirisi apabila menyaksikannya.
Setelah berbelok ke sana dan kemari dan berlari mendaki, sampaillah
ketiganya di suatu tangga tinggi di lereng gunung itu. Gunung Hijau.
Tangga itu terpahat indah di lereng yang terjal itu. Zig-zag ke kanan
dan ke kiri. Dipahat sedemikian rapi dan halus. Entah siapa dan
bagaimana bisa anak-anak tangga itu dibuat.
Seakan tidak memberi kesempatan bagi kedua orang kakaknya un-
tuk sebentar mengagumi arsitektur tangga tersebut, Petapa Seberang
bergegas menaikinya. Lima enam anak tangga sekaligus. Kedua
saudara angkatnya pun tak mau kalah, bergegas mereka mendaki
tangga-tangga batu itu. Cepat dan pesat. Menuju atas, melampau
ratusan mungkin sampai seribu anak tangga. Menuju suatu tempat
di atas sana. Rawarang berjalan dengan sempoyongan. Hampir habis tenaganya.
Luka-luka yang dideritanya menguras benar-benar tenaga dalamnya.
Ada hal yang lebih penting, yang harus dilakukan ketimbang mengob-
ati lukanya itu. Ia harus mencatat bagaimana kedua orang yang baru
208 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
saja mencegahnya tewas itu mengolah tenaga dalamnya. Dengan ilmu
Merasai Hawa Pelajari Ilmu ia sudah bisa mencerap satu dari sepuluh
bagian ilmu kedua orang petapa itu. Dengan menganalisa arah tenaga
mereka bisa sampai dua bagian lagi diperolehnya. Sudh cukup untuk
dituliskan. Jadi buku yang akan menghiasi koleksi-koleksinya.
Tiba-tiba pandangannya gelap. Hampir ia terjadi dari anak tangga
yang baru dua puluhan itu dilampauinya. Masih ratusan lain yang
menunggu. Sebelum ia mencapai lereng puncak. Tempat ia menyim-
pan kitab-kitabnya. Tiba-tiba dirasanya sama sekali tak ada tenaga.
Tubuhnya melemas seperti tak bertulang. Doyong dan bergerak jatuh.
Jika saja tidak ada tangan kekar dan sosok gempal pendek bergerak
ringan memapahnya, jatuh pasti ia menggelundung ke bawah. Dan
mungkin tak sadarkan diri lagi.
Sosok itu, seorang makhluk Troll muda, Bagadsh namanya tampak
menyeringai seram menyanggahnya. Rawarang tersenyum lemah. Ia
bersyukur makhluk yang dianggap adiknya itu ada di sana. Membantu
dirinya sehingga tidak terjatuh.
Seakan-akan sudah mengerti apa kemauan dari Rawarang, Bagadsh
langsung menggendongnya di punggung. Dengan langkah ringan dan
cepat ia melompat-lompat melampau anak-anak tangga itu. Cepat
dan lembut. Seakan-akan tak ada bobotnya. Tak cocok dengan per-
awakannya yang gempal dan terlihat berat.
Pada akhir dari anak tangga itu membentang tembok tinggi di atas-
nya. Pada sisi kirinya, tampak air terjun yang tinggi dan megah
menjatuh turun. Membuat udara terasa basah dan segar. Sampai
di sana Bagadsh berhenti dan kemudian mengeluarkan sesuatu dari
balik bajunya. Secarik kain panjang. Kain itu akan digunakannya
untuk membelit-belit tubuh Rawarang yang masih bersandar lemah
di punggungnya. Rupanya Bagadsh menyadari bahwa perjalan mendaki tebing karang
ini lebih sulit dari hanya menaiki anak-anak tangga tadi. Ia mungkin
membutuhkan kedua tangannya. Dan untuk itu tidak ada cukup tan-
gan untuk mengendong Rawarang. Lebih baik diikat saja, agar ia bisa
cepat memanjat ke atas. 209 Segera hal itu dikerjakannya dengan cepat. Tak perlu agak mem-
bungkuk karena makhluk Troll umumnya telah memiliki tubuh yang
lebih pendek dari manusia, Bagadsh menyenderkan Rawarang yang
masih sadar akan tetapi tidak memiliki tenaga lagi untuk bergerak itu
di punggungnya. Dilemparkannya kain tersebut ke belakang bahunya
dan disambar oleh kakinya yang melengkung ke belakang. Tangan
yang satu masih memegang Rawarang agar tidak tergelincir dari pung-
gungnya. Bergantian tangan yang melempar kain ke belakang bahu
dan yang memegang Rawarang bekerja. Juga kaki-kakinya. Tak lama
selesailah pekerjaan itu. Rawarang tampak telah terikat dengan erat
tapi nyaman di punggung Bagadsh.
Seperti menarik napas sebentar untuk berkonsentrasi, Bagadsh ter-
mangu sebentar untuk kemudian melompat naik. Memanjat dengan
cepat dinding batu dari tebing terjal di hadapannya itu.
Tak berapa lama sampailah makhluk itu dengan seorang manusia di
punggungnya pada suatu ruang luas yang mirip balkon alam dari
di atas dinding terjal itu, di mana di satu sisinya mengalirkan sun-
gai bening ke bawah sebagai air terjun. Bagadsh kemudian mem-
bawa Rawarang ke sebuah lorong di sebelah kanannya. Berkelok-
kelok sebentar dan sampailah pada suatu ruang luas tempat tersimpan
banyak kitab-kitab yang tersusun pada lubang-lubang dalam dinding.
Usul Bagadsh agar Rawarang beristirahat lebih dahulu sebelum
menuliskan suatu kitab, ditampiknya dengan lemas.
"Tak banyak lagi waktunya, adik Bagadsh, kitab ini harus disele-
saikan. Mungkin dirimu berpikir aku agak gila, yang mau mengantar
nyawa hanya sekedar untuk mencari tahu sesuatu untuk kemudian
dituangkan dalam sebuah kitab..," ia berhenti sejenak karena ham-
pir putus napasnya saat berbicara tadi, lalu lanjutnya, "tapi itulah
diriku." Makhluk Troll itu tidak bisa berbuat banyak. Lalu ia pun duduk
bersila di belakang Rawarang, berkonsentrasi sebentar untuk kemu-
dian menempelkan kedua telapak tangannya di punggung sang kakak.
Mengalirkan hawa Tenaga Tanah, membantu Rawarang untuk menye-
lesaikan pekerjaan terakhirnya.
Penulisan kitab itu pun berlangsung. Ilmu Tiga Petapa, judulnya.
210 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
Sunyi kemudian suasana, hanya terdengar goresan-goresan bulu bert-
inta yang beradu dengan kertas kasar bahan dasar kitab-kitab pada
masa itu. Sampai suatu saat Rawarang merasakan waktunya datang. Dihen-
takkannya punggungnya dari tangan Bagadsh. Tak ingin ia adiknya
itu membuang terlalu banyak energi hanya untuk dirinya. Lalu berge-
gas ia menuju ke salah satu dinding batu di situ. Dinding yang
telah lama dipersiapkannya untuk dituliskan pesan-pesan terakhirnya.
Tak dipikirnya bahwa hari ini dinding itu akan ditulisiknya. Orang-
orang yang beruntung bisa masuk ke sini harus menjadi penerusnya.
Meneruskan cita-citanya. Membangun perpustakaan di tanah ini.
Agar orang-orangnya dapat belajar dengan cuma-cuma. Membuat
orang-orang menjadi lebih pintar dan maju.
Dikerahkan tenaga terakhirnya untuk menuliskan pesan-pesannya den-
gan guratan-guratan di atas dinding batu itu. Semakin lama semakin
lemah. Coretan-coretannya semakin tak lagi dalam. Juga semakin
lama semakin miring ke bawah. Condong ke arah ketiadaan tenaga
untuk dikerahkan. Tangannya pun terkulai lemah. Dirinya akan ter-
antuk lantai batu apabila tak ada tangan besar dan kasar dari Bagadsh
yang menyambutnya. Memeluknya.
"Adik Bagadsh, selamat tinggal... Aku minta taruh jenasahku di
ruang sana.., sebagai bagian dari kalian...," dan menutup matalah
Rawarang di dalam pelukan adiknya, Bagadsh, sang makhluk Troll.
Sang adik hanya bisa menggereng-gereng sedih. Tak ada air mata
dalam kebiasaan mereka. Hanya ungkapan kecewa atas perginya
orang-orang atau sanak-saudara yang dihormati dan dikasihi.
Bagadsh pun bergegas memanggul jasad Rawarang. Tak lupa disam-
barnya sejilid kitab yang belum selesai hasil karya sang kakak tadi.
Berangkat ia menuju suatu ruangan, tempat di mana jasad Rawarang
akan diletakkan. Ruang yang dituju oleh Bagadsh disebut sebagai Ruangan Kediaman
Terakhir, tempat jasad-jasad para Troll diletakkan di dinding dan dib-
iarkan mengering dimakan waktu. Mirip dengan yang dilakukan oleh
orang-orang suatu bangsa dalam Katakombe (Katakombe) mereka.
Rawarang ingin jasad dirinya pun dimakamkan di sana. Ia tidak in-
211 gin dirinya dibedakan dari makhluk-makhluk yang selama ini telah
banyak membantunya. Makhluk-makhluk yang kesetiaannya kadang
melebihi kesetiaan antar sesama manusia.
Dalam perjalanannya menuju ruangan tersebut Bagadsh berpapasan
dengan ketiga petapa di Sungai Batu Bening. Ia hanya meman-
dang sayu mereka. Mengangsurkan kitab setengah jadi yang ditulis
Rawarang pada saat-saat terakhirnya. Dan menunggu.
Sebagai seorang Troll yang kemampuan dalam membedakan manusia
yang jahat dan baik di atas manusia pada umumnya, ia dapat mengerti
bahwa ketiga orang petapa ini bukanlah orang-orang yang berniat
tidak baik. Hanya tak dimengertinya, mengapa kakaknya Rarawarang
tidak berteman saja dengan mereka dalam mewujudkan cita-citanya.
Petapa Gunung Es yang menerima sejilid kitab tersebut, dibacanya
dengan cepat tulisan-tulisan yang tertera di dalamnya. Tak tahan
berkaca-kaca matanya membaca isi dari kitab tersebut. Tersentuh
ia akan kesungguhan dari Rawarang yang ingin menuliskan apa-apa
yang diketahuinya mengenai ilmu-ilmu mereka bertiga. Bahkan sam-
pai merelakan nyawanya sebagai imbalannya. Lalu diangsurkannya
kitab itu kepada kedua adiknya.
Sama pula yang dialami oleh kedua adiknya tersebut. Mereka benar-
benar terharu atas kegigihan Rawarang yang ingin menuliskan kitab
mengenai ilmu-ilmu mereka, demi melengkapi koleksinya untuk mewu-
judkan suatu perpustakaan yang di tanah ini.
Akhirnya diputuskan sebagai penghormatan mereka bagi Rawarang
dan juga peringatan bagi dirinya serta orang-orang yang telah tera-
cuni ambisi, akan diciptakan ilmu yang hanya dapat dipelajari oleh
orang-orang yang berhati teguh. Pada orang-orang dengan keinginan
yang utuh dan tekun, mengalirnya hawa akan berlainan dengan pada
orang-orang yang malas ataupun amat ambisius. Ilmu ini yang me-
mang ditujukan hanya bagi orang-orang yang sabar dan tekun, dan di-
namakan oleh ketiga petapa itu sebagai Ilmu Menanti Tekun Memukul
Tegas. Suatu ilmu yang gerakan awalnya lambat, akan tetapi dapat
membalas dengan cepat dan keras.
Ilmu ini dirancang untuk orang-orang yang tidak suka mencari-cari
masalah lebih dulu. Lebih banyak bertahan, akan tetapi dapat mem-
212 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
balas dengan ampuh. Kelebihan dari ilmu Menanti Tekun Memukul
Tegas ini terletak pada kuda-kuda dan posisi yang harus dilakukan
dalam jangka waktu yang lama. Dengan cara ini mau tak mau lawan
akan terlebih dahulu menyerang karena tak sabar. Saat mereka meny-
erang itulah muncul kelemahan-kelemahan yang harus segera diman-
faatkan untuk diserang. Jika tidak tekun merapal ilmu ini, kesabaran untuk menanti terlebih
dahulu serangan lawan tidak akan tercapai. Dengan sendirinya jurus-
jurus yang dipelajari tidak akan banyak berguna dan seampuh seperti
yang dituliskan. Ketiga petapa itu pun akhirnya memutuskan untuk berdiam di tem-
pat itu. Selain karena indahnya tempat itu juga untuk merampungkan
sedikit-sedikit catatan-catatan yang pernah dimulai oleh Rawarang.
Mereka kemudian merancang sedemikian rupa cara mencapai ruang
kitab itu dan juga petunjuk-petunjuk untuk mempelajari kitab-kitab
yang ada. Kitab-kitab tertentu apa saja yang perlu dipelajari un-
tuk dapat memahami kitab-kitab yang lain. Mempelajari keselu-
ruhan kitab-kitab yang dikumpulkan Rawarang akan menghabiskan
waktu, dan tidak sempat mengamalkannya. Mengenai misi untuk
melaksanakan rencana Rawarang lebih lanjut, hal itu diserahkan pada
Bagadsh untuk menceritakannya, atau keturunan-keturunannya. Hal
ini dikarenakan umur Troll yang relatif bisa tiga sampai empat kali
lamanya umur manusia. Setelah melihat ruangan Kediaman Terakhir yang menyerupai Katakombe,
ketiga petapa itu pun berpesan kepada Bagadsh agar mereka bertiga
apabila nanti juga telah tidak lagi bernyawa, agar dimakamkan pula
di sana. Mengikuti tradisi dari para penghuni dataran tebing itu.
Atas permintaan Bagadsh dan hasil urung-rembug, kitab karangan
ketiga petapa, yaitu ilmu Menanti Tekun Memukul Tegas itu tidak
diletakkan di Ruang Kitab melainkan di Kediaman Terakhir, mengin-
gat bahwa ilmu itu bukanlah hasil pencurian dari Rawarang melainkan
hasil karya ketiga petapa itu. Ilmu yang boleh dipelajari oleh orang-
orang yang dapat terlebih dahulu masuk ke Ruang Kitab dan mem-
pelajari ilmu-ilmu yang di ada di sana sesuai dengan petunjuk yang
ada. 213 Untuk pesan yang tidak selesai dituliskan oleh Rawarang, ketiga
petapa itu tidak tahu apa yang harus dijelaskan. Mereka sendiri pun
tidak memahami hal itu. Bahkan Bagadsh pun sebagai orang terdekat
dari Rawarang tidak mengerti maksud dari pesan terakhir yang tidak
selesai dituliskan kakaknya itu.
Dalam pada itu Bagadsh sempat menceritakan misi lain dari pencurian
kitab-kitab yang dilakukan oleh Rawarang. Sang Maling Kitab juga
melihat dirinya sebagai Penjaga Keseimbangan, yaitu ia juga mencuri
kitab-kitab dari orang-orang yang juga dianggapnya jahat dan men-
guncinya dalam suatu tempat di gunung itu. Sedangkan kitab-kitab
dari orang-orang yang dianggapnya baik diletakkan di Ruang Kitab.
Dengan cara ini diharapkan tokoh-tokoh jahat tidak memiliki pewaris,
sedangkan kitab-kitab tokoh-tokoh baik dapat dipelajari oleh orang-
orang yang dapat mencapai ruangan itu.
Mendengar hal itu ketiga petapa hanya dapat tersenyum. Pemiki-
ran dan ambisi Rawarang telah sedemikian jauh merasuki jiwanya,
sehingga apapun tindakannya dapat ia benarkan dengan argumen-
argumen tertentu. Letak ruang tempat meletakkan kitab-kitab dari tokoh-tokoh sesat
dunia persilatan tidak ditanyakan oleh ketiga petapa, hanya pesan
mereka kepada Bagadsh, agar keterangan mengenai ruangan itu jan-
gan sampai jatuh ke tangan orang-orang jahat. Perlu dituliskan cukup
keterangan di ruangan itu, agar orang-orang yang tidak sengaja men-
emukan ruangan itu tidak mempelajari ilmu-ilmu yang terdapat di
dalamnya. Hal itu untuk keselamatan mereka sendiri pula. Bagadsh
pun mengiyakan hal ini. Ia melihat ada benarnya permintaan dari
ketiga petapa itu. Mulanya Kediaman Terakhir dapat dicapai dengan memanjat dinding
tempat sungai Batu Bening mengalir ke luar, akan tetapi kemudian
lubang di atas tebing itu ditutup dan digantikan dengan lubang di
langit-langit dalam gua. Hal ini dilakukan oleh para Troll setelah
ketiga petapa tersebut menutup mata. Mereka tidak ingin makam
mereka mudah dicapai oleh orang-orang yang tidak berhak. Hanya
orang-orang yang telah mereka restui saja akan diberi tahu di mana
letak makam dalam gua atau Katakombe tersebut berada.
214 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
Di pintu tempat dulunya terdapat jalan masuk ke Kediaman terakhir
ditanam beberapa pohon dalam rekahan-rekahan karang. Dengan cara
ini diharapakan agar terlihat bahwa tempat itu tidak pernah sebelum-
nya menjadi jalan masuk ke suatu tempat di dalamnya, melainkan me-
mang begitu adanya sejak lama. Suatu cara kamu"ase yang dikenal
oleh para Troll. *** Hari pertama pun telah berakhir bagi Paras Tampan. Ia belum
sekalipun berhasil memasuki lubang di langit-langit untuk menca-
pai ruang berikutnya itu. Walaupun demikian secara tak sengaja,
ia sekarang telah terampil untuk bergerak secara terbalik di langit-


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langit, dengan hanya kakinya yang mencengkeram langit-langit batu.
Akan tetapi belum sehandal para Troll yang bahkan dapat berlari
secara terbalik. Paras Tampan baru dapat berjalan perlahan-lahan.
Dikarenakan telah dapat berjalan secara terbalik pada langit-langit, ia
pun mulai membiasakan diri untuk melakukan serangan dengan meng-
gunakan tongkat. Hanya saja sekarang lain rasanya. Umumnya saat
menyerang kita juga memanfaatkan gaya berat bumi pada tongkat.
Dalam posisi terbalik ini justru ungkitan ke atas yang memanfaatkan
gaya berat tersebut. Bacokan ke bawah malah terasa lebih berat.
Berlatih dengan cara terbalik ini mengembangkan kemampuan baru
bagi Paras Tampan dalam penguasaan menggunakan tongkat.
Tak terasa hari kedua pun berlalu dengan cepatnya. Sudah mandi
keringat Paras Tampan hari itu menyerang sana-sini para Troll yang
menjaga lubang di langit-langit itu dari empat jurusan. Seakan-akan
tanpa celah, tak pernah sampai pukulan atau sodokan tongkatnya
pada bagian-bagian berbahaya dari tubuh mereka.
Dengan tubuh yang lelah dan mata penat, walaupun masih dilengkapi
dengan semangat yang membara, Paras Tampan pun akhirnya harus
beristirahat. Tak kuat badannya dipaksakan untuk terus bergayut
terbalik dan melakukan serangan-serangan terus menerus. Perlu
dipikirkan cara yang efesien untuk menyerang.
Terduduk dalam capainya, Paras Tampan pun kemudian bermimpi.
Ia sedang duduk dalam suatu ruangan beratap tinggi, kira-kira dua
215 tiga tombak di hadapan seorang agak tua. Kira-kira setua gurunya
Ki Tapa akan tetapi dengan tubuh yang jauh lebih tinggi dan be-
sar. Paras Tampan yang untuk ukuran pemuda di kampungnya
telah berbadang besar dan tinggi, masih terlihat lebih pendek apa-
bila dibandingkan dengan orang itu. Rambutnya yang berwarna dua
merupakan tanda yang khas dari orang itu, warna hitam dihiasi uban-
uban putih di sebelah kanan dan warna hitam belaka di sebelah kiri.
Entah apa yang menyebabkan hal itu.
Orang itu tersenyum-senyum sambil menatap Paras Tampan yang
sedang duduk bersimpuh di hadapannya. Tak ada kata-kata di an-
tara mereka. Dicobanya Paras Tampan mengingat-ingat. Seakan-akan tidak lagi
asing wajah orang itu. Atau hal lain pada orang itu yang rasa-rasanya
pernah dikenalnya. Entah apa.
Tak lama kemudian muncul sesosok Troll tua di samping orang itu,
Bagadsh. Ia hanya muncul sebentar sambil menunjuk pada orang
itu, seakan-akan memberi tahu Paras Tampan bahwa ini adalah orang
yang dimaksud. Setelah itu ia pun kembali menghilang.
Orang tua berambut putih sebelah itu pun melambaikan tangannya,
meminta agar Paras Tampan mendekat.
Beringsut Paras Tampan mengikuti permintaan orang itu.
Setelah cukup dekat, orang tersebut kemudian mengambil sebuah batu
yang ada di sekitarnya. Diletakkannya di atas telapak tangannya.
Batu itu terlihat menempel. Kemudian dibalikkan telapak tangannya
dan batu itu pun masih menempel, seakan-akan tidak mau lepas dari
telapak tangannya. Ia kemudian menggambarkan segitiga terbalik dengan garis mendatar
di puncak bawah segitiga. Lambang Tanah. Lalu diangsurkan batu itu
kepada Paras Tampan seakan meminta untuk mencobanya melakukan
hal yang sama. Dengan masih sedikit bingung Paras Tampan pun mencoba menger-
ahkan Tenaga Tanah yang pernah dipelajarinya. Umumnya dikelu-
arkan bersamaan dengan ia mencengkeram atau menjejak, dan di-
216 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
gunakan saat memanjat lubang-lubang di Ruang Dinding Berlubang.
Terlihat sedikit hasil. Batu itu sempat bertahan beberapa lama untuk
kemudian terjatuh. Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya, ia lalu memberi isyarat
bahwa jangan terlalu keras, lembut tapi mengalirkan Tenaga Tanah.
Ini bukan menjejak, tapi menempelkan benda.
Paras Tampan pun mencoba lagi. Kali ini berhasil. Ia berhasil mem-
buat batu itu menempel pada telapak tangannya. Lama dan stabil.
Tersungging senyum pada wajah orang itu menyaksikan keberhasilan
Paras Tampan melakukan petunjuknya. Lalu ia berdiri, mengisyaratkan
Paras Tampan untuk mencoba kebisaan barunya itu pada dinding di
sekitarnya. Setelah beberapa kali mencoba Paras Tampan mengerti bahwa yang
selama ini dilakukannya terlalu menguras tenaga. Tenaga Tanah da-
pat dikeluarkan tanpa perlu terlalu mengeluarkan tenaga "sik. Dengan
cara ini ia tidak akan terlalu lelah saat menempel pada dinding atau
bebatuan. Saat ia sedang gembira akan pengertian dan pemanfaatan barunya
mengenai Tenaga Tanah, orang itu menepuk bahunya dari belakang.
Ia mengajak Paras Tampan menuju ke suatu tempat.
Paras Tampan pun mengikuti orang itu ke suatu ruangan terbuka
beratapkan langit. Di sana tampak bertumpuk-tumpuk kerikil dan
batu bersebaran. Bermacam-macam warna dan ukuran.
Orang itu kemudian mengambil sebuah batu yang cukup besar. Mem-
inta Paras Tampan dengan isyarat tangannya untuk mencoba agar
batu itu menempel pada telapak tangannya yang menghadap ke
bawah. Paras Tampan pun mengiyakan.
Perbedaan struktur dan komposisi bahan dari batuan yang diberikan
orang itu, menimbulkan sensasi yang berbeda saat Paras Tampan men-
coba menempelkannya pada telapak tangannya. Hal itu juga tampak
dari penjelasan orang itu, yang berusaha mengatakan bahwa tenaga
yang dikeluarkan harus disesuaikan, sehingga efesien pemanfaatannya.
Setelah Paras Tampan dapat mengerti orang itu kemudian mem-
217 berikan batu-batu yang lain dari berbagai jenis, agar ia dapat merasakan
perbedaannya dari berbagai contoh.
Kemudian, seakan-akan mengatakan cukup, orang itu menunjukkan
hal lain. Hal yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh Paras Tampan.
Dulunya ia menganggap Tenaga Tanah itu hanya bisa muncul seba-
gai tenaga menempel apabila bagian tubuhnya bersentuhan langsung,
akan tetapi orang itu menunjukkan sesuatu yang sama sekali lain.
Diambilnya sebutir batu sembarang, diletakkannya di atas telapak
tangannya dan kemudian dibalikkan. Batu itu menempel, dan ke-
mudian perlahan-lahan turun ke atas tanah. Naik kembali mendekati
telapak tangan dan kemudian turun kembali.
Ia menunjukkan pula bahwa hal yang sama bisa berlaku sebaliknya.
Batu yang tadi diletakkan kembali ke atas telapak tangannya, akan
tetapi ia tidak membalik telapak tangannya itu, melainkan mem-
biarkannya menghadap ke atas. Kemudian tampak bahwa batu itu
melayang jauh ke atas seakan-akan terdorong oleh tenaga tak tam-
pak dari telapak tangannya. Naik terus sampai dua tombak lebih.
Kemudian turun perlahan-lahan kembali ke telapak tangan orang itu.
Kagum Paras Tampan akan demonstrasi yang dilakukan oleh orang
itu. Dicobanya untuk melakukan hal yang sama. Tapi ia hanya
mampu untuk menahan batu itu tergantung di bawa tangannya sejauh
dua kuku. Lebih jauh ke bawah, batu tersebut kehilangan kendali dan
jatuh berdebam. Demikian pula untuk mengapungkan batu, ia hanya
bisa sejauh satu jari di atas telapak tangannya. Ternyata lebih sulit
membangkitkan tenaga tolak ketimbang tarik menggunakan Tenaga
Tanah. Belum Paras Tampan sempat mengucap sesuatu berkaitan dengan
cara yang baik untuk membangkitkan tenaga tarik dan tolak itu, orang
tersebut telah berdiri di tengah-tengah lapang yang dihiasi berbagai
jenis batu itu. Ia mengisyaratkan agar Paras Tampan memperhatikan
gerak-geriknya. Orang itu tampak berkonsentrasi sebentar, mengatur nafasnya se-
hingga hampir tak lagi terdengar dan kemudian menggerakkan tubuh-
nya. Beberapa gerakan yang langsung dapat diserap oleh Paras Tam-
pan yang memiliki ingatan baik. Hal yang dilihatnya seakan-akan
218 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
tak akan terlupa kembali, yang merupakan salah satu kelebihannya.
Hanya gurunya Ki Tapa yang mengetahui bakatnya ini.
Tak berapa lama terdengar suara bergemuruh, seakan-akan akan ter-
jadi longsor atau badai. Seluruh batu-batu yang berada di lapangan
itu bergetar, seperti halnya air yang mendidih. Di mana semua bagian
dari air bergetar liar, ingin bergegas menjadi gas, uap air.
Selanjutnya orang itu menggerakkan tangan dan kakinya sedemikian
rupa sehingga menghasilkan angin sapuan yang dasyat. Angin puku-
lan belaka bagi Paras Tampan mungkin tidak lagi menakutkan karena
ia telah melihat demonstrasi gurunya akan hal itu, tapi di sini gerakan
angin itu tidak hanya diikuti hawa belaka melainkan juga batu-batu.
Serangkum batu-batu bergerak bergerombol mengambang di udara.
Membentuk kelompok-kelompok yang berubah-ubah sesuai dengan
gerakan orang itu. Liar. Tak terasa Paras Tampan menahan nafas menyaksikan peragaan ini.
Inilah apa yang dikenal sebagai Pukulan Badai Pasir. Pukulan yang
menyertakan batu-batu dan pasir dalam hawa pukulannya. Ada hawa
tenaga luar dan tenaga dalam secara bersamaan. Sejenis pukulan yang
yang sulit untuk dihindari. Benar-benar pukulan yang mengerikan.
Setelah mengurangi tenaganya, batu-batu yang mengambang itu pun
kembali terjadi ke atas tanah. Kembali mati seperti keadannya sem-
ula. Lalu orang itu mulai mengayunkan anggota-anggota tubuhnya.
Menunjukkan sepuluh jurusa dari Pukulan Badai Pasir.
Paras Tampan menyaksikan dan mencoba mengingat-ingat sekecil-
kecilnya perubahan yang dilihatnya. Sampai di akhir jurus ke sepuluh,
orang itu merangkumkan kembali jurusnya dengan Tenaga Tanah se-
hingga kembali batu-batu kecil dan besar beterbangan bagai debu.
Mengambang dan liar. Pada pukulan penutup diarahkannya jurus
tersebut ke arah Paras Tampan. Ia tercengang akan serangan itu dan
tak sempat mengelak. Padangannya tiba-tiba gelap, dan...
"Dukkk...!!" Paras Tampan terbangun dari tidurnya karena kepalanya mengantuk
batu yang ada di sisinya. Rupanya dalam posisi duduk tadi, perlahan-
lahan tubuhnya membungkuk sampai posisi tertentu dan kemudian
219 jatuh membentur dinding di sampingnya. Sakit.
Digosok-gosokkan kepalanya yang membenjol kecil. Teringat ia kem-
bali akan mimpinya itu. Dicobanya untuk melakukan jurus-jurus yang
tadi dilihatnya dalam mimpi. Perlahan. Sambil kadang berhenti un-
tuk kembali merangkai ingatannya kembali. Tak berapa lama telah
berhasil ia melakukan kesepuluh jurus itu, walaupun masih kaku.
Kegiatannnya ini tak lepas dari pengamatan keempat penjaga Troll
yang masih nemplok di langit-langit gua tersebut. Salah seorang
dari mereka tampak tersenyum ala Troll melihat Paras Tampan yang
sedang asik bergerak-gerak sendiri di bawah sana.
Karena belum menemukan alternatif untuk masuk ke lubang di langit-
langit gua itu, Paras Tampan memutuskan untuk berlatih jurus-jurus
dalam mimpinya itu. Pukulan Badai Pasir. Tapi ia belum dapat
menggerahkan Tenaga Tanah seperti dalam mimpinya, untuk menarik
dan menolak benda-benda padat. Pun di sana tidak terdapat batu-
batu seperti dalam mimpinya.
Setengah hari pun lewat. Kesepuluh jurus dari Pukulan Badai Pasir
telah dapat dilakukannya dengan lancar. Masih berupa gerakan saja,
belum terisi oleh Tenaga Tanah. Sekarang ia berpikir untuk melatih
jenis tenaga tersebut. Tapi tanpa batu.
"Kecipak..!" tiba-tiba terdengar deburan air yang diciptakan oleh ikan
Kolakan, seakan-akan ia hendak memberikan jawaban atas kebingun-
gan Paras Tampan yang sedang mencari-cari batu-batu.
Karena Paras Tampan tidak terlihat mengerti, ikan Kolakan tersebut
kemudian menggerakkan ekornya setelah berputar beberapa kali, tam-
pak sebongkah es terbentuk mengambang. Dilontarkannya bongkahan
es tersebut. Cepat dan keras. Paras Tampan yang tidak siaga hampir
saja benjol kepalanya untuk kedua kalinya. Untung ikan kolakan itu
tidak bermaksud untuk benar-benar menyambitnya.
Dengan tipis mengelak Paras Tampan menangkap bongkahan es sebe-
sar kepalan tangannya itu. Tiba-tiba ia mengerti. Batu yang tidak
ada dapat digantikan dengan es. Untuk itu ia harus membuat air yang
ada di sekelilingnya menjadi es dahulu, baru kemudian dikendalikan
dengan Tenaga Tanah menjadi hawa pukulannya. Mendapatkan ban-
tuan itu Paras Tampan pun membungkuk kepada sang ikan Kolakan
220 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
untuk berterima kasih. Penghormatannya dibalas dengan lompatan tinggi sang ikan yang ke-
mudian menghilang dalam air yang jernih dan dalam itu.
Sunyi. Hari pun telah menjelang senja.
Buah yang berwarna keperakkan pun telah diberikan sebuah kepadanya.
Saatnya untuk sedikit beristirahat. Para Troll sudah berganti kembali
penjagaan. Yang baru turun dari langit-langit tampak Menghen-
ingkan Cipta untuk memulihkan tenaganya, sedangkan rekannya
menggantikan posisinya untuk menjaga lubang di langit-langit itu.
Paras Tampan tidak mempedulikan mereka. Ia memikirkan bagaimana
cara yang paling cepat untuk melatih ilmu barunya. Pukulan Badai
Pasir yang tidak menggunakan pasir dan batu melainkan butiran-
butiran es. Lebih tepat disebut Pukulan Butiran Es. Ia masih bin-
gung membagi tenaganya antara membekukan air dan menjalankan
Tenaga Tanah untuk mengendalikan butiran-butiran padat tersebut.
Dicobanya dengan sedikit butir-butiran es. Perlahan-lahan.
Tak terasa tengah malam telah menjelang. Akhir hari kedua. Tinggal
setengah hari lagi sampai batas waktu yang diperbolehkan bagi Paras
Tampan untuk mencapai ruangan di atas langit-langit itu. Sudah
ditemukannya jenis pukulan dan serangan yang dapat digunakan. Tapi
ia belum dapat menguasainya dengan baik.
Pukulan Badai Salju efektif apabila batu-batu es yang digunakan
cukup banyak, akan tetapi untuk membentuk batu es yang cukup
banyak diperlukan tenaga awal yang besar. Mengingat Paras Tampan
tidak melatih Tenaga Air dengan mendalam, ia tidak bisa membuat
bongkahan es melebihi kepalan tangannya. Dan lagi dalam memutar-
mutarkan bongkahan es itu, semakin lama diputarkan semakin kecil
bongkahan es jadinya karena bergesekan dengan udara. Jadi ju-
rus yang harus digunakannya tidak boleh menggunakan banyak per-
putaran, melainkan harus langsung. Jika tidak serangan es itu tidak
akan berhasil. Selain itu Paras Tampan juga telah menemukan cara lain meman-
221 faatkan Tenaga Tanah selain menolak dan menarik yang diajarkan
orang agak tua itu dalam mimpinya. Sekarang ia bisa melakukan lev-
itasi (levitation) atau mengambang di udara. Sebenarnya ia tidak
benar-benar mengambang akan tetapi menyeimbangkan antara gaya
tarik bumi, gaya tarik dari tubuhnya ke langit-langit dan gaya tolak
dari tubuhnya terhadap lantai. Dengan cara ini ia bisa melompat lebih
tinggi dan bertahan lebih lama di udara baru kemudian turun kembali
dengan ringat. Hampir-hampir "terbang".
Ia merencanakan akan menggunakan tenaganya habis-habisan untuk
menyerang keempat penjaga itu besok pagi. Sekarang yang ia bu-
tuhkan hanyalah istirahat. Capai sudah baik "sik maupun pikirannya
untuk melatih jurus-jurus yang akan dirapalnya besok, juga siasat
yang diaturnya. Paras Tampan pun mencari posisi yang enak di salah satu sudut gua,
melingkarkan tubuhnya dan tidur. Benar-benar tidur, tidak seperti
dua malam berturut-turut yang lalu yang hanya setengah tidur.
***

Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi telah datang. Tinggal setengah hari kurang waktu yang diberikan
pada Paras Tampan untuk mencapai ruangan di atas langit-langit
itu. Pemuda itu menggeliat bangun. Tidur enam jam sudah cukup
baginya. Sekarang ia harus bersiap-siap untuk kembali mencoba ma-
suk ke lubang di langit-langit itu. Percobaan terakhir. Jika gagal ia
harus berlatih lagi ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya, satu tahun lagi.
Saat ia bangun, tampak satu buah keperakan tampak telah tersedia di
sampingnya. Ia memakannya dan segera terasa asupan tenaga segar
menyebar ke seluruh pembuluh darahnya. Tenaga yang diperlukan
untuk pertarungan terakhir hari ini, untuk memasuki ruangan di atas
langit-langit sebagai tujuan ujiannya.
Paras Tampan pun segera berdiri. Digerak-gerakkan tubuhnya. Dile-
maskan otot-otot yang kaku akibat tidurnya. Sudah tidak terasa lagi
lelahnya kemarin malam. Semangat mulai mengisi tubuhnya. Ia ke-
mudian mulai memperaktekkan jurus-jurus Pukulan Butiran Es yang
ditemukannya kemarin. Gabungan dari Pukulan Badai Pasir dan Sen-
tilan Kelereng Es. Ia amat berterima kasih pada orang tua yang dite-
muinya dalam mimpi dan juga sang ikan Kolakan.
222 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
Untuk menenteramkan jiwanya, Paras Tampan pun Mengheningkan
Cipta sebentar. Memohon pada Sang Pencipta restu-Nya, agar ia
dapat berhasil pada pagi hari ini.
Setelah merasa penuh oleh semangat dan juga aliran hawa, Paras Tam-
pan pun bangkit dari sikap heningnya. Ia menegadah. Dilihatnya para
Troll penjaga baru saja berganti tugas. Penjaga-penjaga yang baru
tampak segar bergayut terbalik di atas sana. Menjaga lubang yang
menjadi tujuan akhir dari ujiannya selama dua setengah hari ini.
Ia akan mulai menyerang para penjaga itu. Pertama-tama diambilnya
tempat mangkuk minumnya yang terbuat dari semacam kayu yang
berasal dari tempurung buah-buahan mirip kelapa. Satu tidak cukup.
Dilihatnya bahwa para Troll pun menggunakan tempat yang sama. Di-
hampirinya para Troll yang sedang beristirahat, dimintanya ijin untuk
menggunakan mangkuk minum mereka. Salah seorang dari mereka
mempersilakannya. Paras Tampan kemudian mengisi mangkuk-mangkuk kayu tersebut
dengan air. Meletakkannya di atas lantai di bawah sekeliling po-
sisi para penjaga lubang yang bergelantungan itu. Ditariknya napas
dalam-dalam dan ia pun bersiaga untuk mulai menyerang.
"Heghh...!!" hentaknya. Ia pun melompat tinggi dengan membawa be-
berapa mangkuk kayu yang berisi air. Dihamburkannya isi mangkuk
tersebut ke arah para penjaga dengan cara ditendang atau dilem-
parkannya. Sebelum para penjaga sadar apa yang akan menerima
mereka Paras Tampan telat merapal sedikit Tenaga Air yang dimi-
likinya. Sekejap butir-butiran air yang sedang melaju itu mengeras
menjadi es kecil-kecil. Melihat itu para Troll penjaga menjadi bersiaga. Tapi mereka tidak
terlihat panik karena butir-butir es yang kecil itu, apalah artinya bagi
kulit mereka yang tebal. Saat para Troll penjaga itu akan menangkis butiran-butiran es terse-
but, Paras Tampan telah berganti menggunakan Tenaga Tanah. Ia
memutar-mutar tangan dan kakinya dengan masih melayang di udara
sedemikian rupa sehingga butiran-butiran es tersebut tidak lagi lang-
sung menuju para penjaga melainkan menari-nari mengikui gerakan
tangannya. 223 Setelah cukup membingungkan para penjaga dengan arah gerak
butiran-butiran es-nya, Paras Tampan meluruskan tangannya ke de-
pan. Akibat gerakan itu butir-butiran yang tadinya telah menyebar
ke empat penjuru dari para penjaga, tiba-tiba terdiam di udara dan
mendekat dengan pesat ke arah pusat lubang. Menyerang keempat-
nya dari empat penjuru sekaligus. Sasaran yang dituju adalah jalan
darah-jalan darah penting dan juga mata. Hal ini tentu saja mem-
buat sibuk pada penjaga yang berusaha melindungi bagian-bagian
tubuhnya itu. Pada saat mereka berempat sedang kebingungan akan serangan
butiran-butiran es tersebut, Paras Tampan turun kembali dan melem-
parkan sisa air yang ada di mangkuk kayu yang masih belum digu-
nakan. Kembali dengan cara yang sama, akan tetapi kali ini tidak
memutar-mutar dulu, melainkan langsung dengan serangan langsung.
Butiran-butiran yang terbentuk kali ini lebih besar, sampai sekepalan
tangan. Kembali serangan ini menambah bingung keempat pejaga Troll yang
sedari tadi masih menangkis serangan butiran-butiran es yang lebih
kecil. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Paras Tampan. Dengan
merapal Tenaga Tanah untuk mengambangkan diri atau levitas, ia
melompat, melesat menuju lubang itu. Di sisi-sisi tubuhnya tampak
butiran-butiran es mengambang bergerak melingkar cepat, melindungi
tubuhnya dari kemungkinan serangan-serangan tongkat para penjaga.
"Tak-tak-tak..!!" beberapa tongkat dari penjaga yang telah ter-
lepat dari serangan butir-butiran es-nya mendarat di depan dan
belakangnya, tapi luput karena terhalang perisai butir-butir es.
Dengan badan sedikit bergetar akibat hawa pukulan tersebut, Paras
Tampan masih melaju memanjat lubang di atas langit-langit tersebut.
Dan ia berhasil..! Masuk ia ke lubang di atas sana.
Masih terasa napasnya yang kembang-kempis karena mengeluarkan
banyak tenaga untuk menggunakan sekaligus Tenaga Air dan Tenaga
Tanah. Hampir habis tenaganya.
Tapi kelelahan itu tak ada artinya apabila dibandingkan dengan ke-
berhasilannya memasuki ruang di atas langit-langit itu.
224 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
Ruang itu tidak setinggi dengan ruangan di bawahnya. Dan lebih
terang. Tampak beberapa garis-garis sinar jatuh dari langit-langit.
Semacam lubang-lubang yang dibuat untuk membiarkan sinar mata-
hari masuk dan menerangi ruangan itu.
Kemudian ia mengedarkan pandangannya turun, berkeliling menjela-
jahi apa-apa yang bisa dilihat.
Apa yang dilihatnya dalam ruangan itu hampir-hampir membuatnya
tersentak. Di sana. Di ruangan di atas langit-langit gua yang berhasil
dicapainya terdapat berpuluh-puluh lubang di dinding sebesar manu-
sia. Dan di dalam lubang-lubang tersebut terdapat sebuah kerangka
mirip manusia yang lengkap dengan pakaian dan beberapa perlengka-
pannya. Sebuah kuburan dalam gua (Katakombe). Bingung dan juga takjub
Paras Tampan menyaksikan hal ini. Ia tidak mengerti mengapa ia
harus diuji untuk masuk ke dalam kuburan ini.
Lamat-lamat terdengar suara, "Bagus nak Paras Tampan. Hampir
habis waktu ujian. Dan anak telah berhasil."
Sunyai sebentar. Suara tersebut tidak dapat dipastikan berasal dari
mana. Bisa dari depan atau belakangnya. Luband dari ruangan di
bawahnya berada di tengah-tengah ruangan itu.
"Majulan terus, sampai ke suatu pintu di sebelah kananmu. Ikuti
jalan itu. Bagadsh akan menunjukkan sesuatu bagimu," kembali suara
terdengar memberinya petunjuk.
Ia pun melangkah mengikut petunjuk itu. Dilaluinya rongga-rongga
yang berisikan tulang-belulang Troll. Ada kerangka yang benar-benar
tinggal tulang saja, ada pula yang masih dilengkapi dengan kulit yang
mengering. Wajah-wajah mereka menjadi lebih mengerikan diband-
ingkan di saat masih hidup. Kurus kering dan menyeringai dengan
rongga mata yang bolong hitam. Rambut-rambut kasarnya menjadi
terlihat lebih panjang, karena sebagaian akarnya terlihat akibat kulit
kepala yang telah mengering atau terkelupas.
Paras Tampan pun berjalan terus hingga ke ruangan yang diisyaratkan
oleh Bagadsh. Di sana tampak Troll tua tersebut menantinya.
225 Setelah dekat dengannya, Troll tersebut mengangsurkan tangannya
menunjuk sesuatu di dinding. Di tempat yang ditunjukkannya terse-
but terdapat empat buat lubang di dinding. Tiga buah kerangka tam-
pat duduk bersila. Kerangka mereka belum tinggal tulang, melainkan
masih terbalut kulit dan ditutupi dengan jubah yang sederhana. Paka-
iannya mirip dengan pakaian para petapa pada umumnya. Di sisi
mereka tampak sebuah lubang tegak cukup tinggi dengan kerangka
orang yang jangkung di dalamnya. Samar-samar terasa Paras Tam-
pan teringat pada sosok tubuh sejangkung itu.
"Ini adalah Rawarang yang oleh orang-orang dunia persilatan disebut
sebagai Maling Kitab. Ia sendiri lebih senang menamakan dirinya Pen-
jaga Keseimbangan," jelas Bagadsh sambil menunjuk pada kerangka
manusia jangkung itu. "Dan ketiga orang ini adalah tiga bersaudara petapa. Petapa Gu-
nung Es, Petapa Lain Pulau dan Petapa Seberang. Mereka mengikat
tali persaudaraan di Pulau Gunung Api," sambil ditunjukkan oleh
Bagadsh ketiga kerangka yang duduk bersila dekat kerangkat Rawarang.
"Engkau seharusnya tahu mengenai Petapa Seberang, karena ilmu-
ilmu yang engkau bawa sebelum ke sini bersumber dari beliau," jelas
Troll tua tersebut. Paras Tampan menggelengkan kepalanya. Ya, ia tak banyak tahu
mengenai hal itu, mungkin gurunya Ki Tapa pernah sekali dua kali
menyebutkan. Tapi tidak menegaskan siapa Petapa Seberang itu.
Melihat kebingungan Paras Tampan, Bagadsh sang Troll tua pun
akhirnya menceritakan kisah ketiga Petapa tersebut. Pengembaraan
mereka dari luar pulau sampai tidak di tanah ini. Murid-murid mereka
dan hal-hal lain yang memang dititipkan oleh ketiga orang petapa itu
untuk diceritakan pada orang yang dapat mencapai tempat ini.
Menangguk-angguk Paras Tampan mendengar cerita itu. Ia seakan-
akan dibawa ke masa lampau, ke masa di mana orang-orang yang
diceritakan itu masih hidup dan menjalani pengalaman hidup mereka.
Kadang tegang, kadang juga sedih atau gembira. Bagadsh menceri-
takannya dengan kata-kata yang amat memukai bagi telinganya.
"Nah, sekarang setelah engkau berada di tempat ini. Engkau mem-
226 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
punyai tugas untuk belajar ilmu yang diciptakan oleh ketiga petapa
itu pada akhir hidupnya. Ilmu untuk mengenang dan juga sebagai
peringatan akan ambisi Rawarang. Semoga engkau dapat mempela-
jari dan mengamalkannya. Tidak mengulangi kesalahan yang sama,"
jelas Bagadsh. Lalu diceritakannya perihal ilmu Menanti Tekun Memukul Tegas.
Ilmu yang kelihatannya sederhana akan tetapi sulit untuk dilakukan
karena terlihat kadang amat lambat. Satu jurus dapat dilakukan
cukup lama, baru kemudian menyerang dengan cepat. Dan kemudian
kembali diam. Bagadsh yang telah sedikit dilatih oleh ketiga petapa
itu, memperagakan sebagian gerakan-gerakannya.
Paras Tampan mengangguk-angguk melihat peragaan itu. Ia pun
mengiyakan akan mempelajari ilmu itu. Untuk waktu pembelajaran
tersebut, tidak dibatasi. Terserah ia. Bisa juga ia turun gunung
sekarang apabila telah hapal teori dari ilmu itu atau apabila ia dapat
menyalinnya. Kitab yang asli tidak boleh dibawa, harus ditinggalkan
di sini. Di Katakombe itu. Disamping keempat tokoh yang berkaitan
dengan penciptaan ilmu tersebut.
"Aku Bagadsh, ada satu permintaan padamu, nak Paras Tampan,"
ucap sang Troll tua, "ku harap engkau mau mengabulkannya."
"Sejauh yang saya bisa, Ki Bagadsh..," jawab Paras Tampan sopan. Ia
menghargai benar-benar kesetiaan Troll tua itu atas pesan Rawarang
dan ketiga petapa, untuk masih menanti orang yang dapat dijadikan
penerus ilmu-ilmu mereka.
"Setelah engkau keluar dari tempat ini, jangan ceritakan pada siapa-
siapa tempat ini. Biarkan kami hidup dengan damai di sini. Kitab-
kitab hasil curian Rawarang boleh engkau bawa keluar. Kembalikan
pada keturunan-keturunan dari pemilik yang terdahulu. Bila mereka
telah tiada, boleh engkau bangun suatu perguruan untuk menyim-
pannya dan mengamalkannya," kemudian lanjut Bagadsh, "tiap kitab
yang telah dicurinya telah disalin ulang oleh Rawarang. Jadi di sini
masih akan tersimpan arsipnya. Kitab yang asli dikembalikan agar
orang-orang tidak lagi mendendam pada Rawarang si Maling Kitab,
dan juga engkau selaku pewaris ilmunya."
Mengangguk-angguk Paras Tampan mendengarkan hal itu. Terli-
227 hat jelas rasa sayang dari Bagadsh pada Rawarang kakak angkatnya
itu. Bahkan setelah sang kakak meninggal, masih ia berupaya agar
sang kakak tidak meninggalkan dendam dan penasaran bagi keturunan
orang-orang atau keluarga-keluarga yang kitab-kitabnya dicuri dulu.
Bagadsh tentu saja tidak menceritakan masih adanya tempat penyim-
panan kitab-kitab yang dicuri Rawarang dari para tokoh-tokoh sesat.
Ketiga petapa telah berpesan kepadanya, agar tempatt tersebut di-
rahasiakan sama sekali. Biar tidak ada orang yang memanfaatkan
kitab-kitab yang tidak baik tersebut.
*** "Hiattt..!" "Tringgg.., trangg.., takkk!!"
Terdengar dentang-denting beradunya senjata di pagi hari di dalam
Rimba Hijau. Puluhan orang berseragam hitam-hitam tampak men-
gayunkan senjatanya melawan lima orang yang bersenjatakan tongkat
belaka. Rimba Hijau diserang. Ya, Perguruan Kapak Ganda akhirnya dapat menguraikan pesan yang
tertulis di bawah prasasti yang ada di perguruan mereka. Prasasti
yang dicuri dari Air Jatuh dalam Perguruan Atas Angin oleh Murid
Rahasia. Cermin Maut, Mayat Pucat dan Sabit Kematian bersepa-
kat untuk menyerang saja Rimba Hijau untuk merampas kitab-kitab
tersebut. Dengan kitab-kitab itu mereka akan dapat meningkatkan
ilmu-ilmu mereka. Di tengah kepungan para prajurit Perguruan Kapak Ganda itu, tam-
pak Ki Tapa dan keempat muridnya, Asap, Gentong, Misbaya dan
Rintah. Keempatnya telah turun gunung dari mencari kitab-kitab
untuk menambah ilmu mereka. Hal ini terlihat dari cara mereka
melangkah yang lain saat bila dibandingkan saat mereka naik dulu.
Akan tetapi sayang, kali ini yang dihadapi adalah murid-murid tingkat
atas Perguruan Kapak Ganda. Murid-murid yang dilatih khusus oleh
ketiga pimpinannya. Sudah cukup lama mereka bertanding. Stamina sudah menurun. Lain
228 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
halnya dengan para penyerang. Mereka dapat berganti-ganti meny-
erang dan beristirahat karena jumlanya yang lebih banyak.
"Jika saja Paras Tampan ada di sini," kata Misbaya.
"Ya.., tapi belum tentu bantuannya berarti banyak..," sanggah Rin-
tah, "kita yang baru turun gunung saja, tidak banyak kemajuannya
apabila dibandingkan dengan mereka."
Ki Tapa sendiri tampak tegang. Ia yang selama ini yakin akan ker-
ahasiaan dari Rimba Hijau benar-benar tidak dapat mempercayai
bahwa musuh dapat masuk sampai sejauh ini. Masuk sampai ke pon-
dokannya. Jalan-jalan rahasia dan juga tanda-tanda tidak lagi berarti
untuk menyesatkan para penyerang. Bingung apabila ia memikirkan
hal itu. Hal yang tidak diketahui oleh Ki Tapa adalah bahwa di luar sana, di
Kota Luar Rimba Hijau. Telah terjadi pembantaian oleh Perguruan
Kapak Ganda ini. Penduduk kota itu telah dibunuh dan kotanya
dibakar. Demi untuk mencari keterangan bagaimana memasuki
Rimba Hijau. Akhirnya dengan siksaan-siksaan, diperoleh keterangan-
keterangan dari Ki Tampar dan Ki Gisang yang akhirnya pun dibunuh
oleh mereka. Hanya dengan berbekal lontar yang dimiliki Ki Tampar dan Ki Gisang
saja, ketiga pemimpin Perguruan Kapak Ganda dapat menguraikan


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan-jalan rahasia untuk masuk ke dalam Rimba Hijau. Hal ini dikare-
nakan mereka berasal dari negeri jauh di seberang lautan, di mana
bahasa dan tanda-tanda yang dipergunakan dlaam lontar itu adalah
sama artinya. Dulu cara tersebut dirancang untuk menyulitkan orang-orang dari
tanah ini, Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman, dan bukan untuk
orang-orang dari seberang.
Akibatnya fatal. Orang-orang Perguruan Kapak Ganda dapat dengan
leluasa masuk ke dalam Rimba Hijau dan melakukan serangan tiba-
tiba. Kebetulan saja keempat murid Ki Tapa baru turun gunung,
sehingg mereka bisa membantu gurunya untuk melawan musuh-musuh
itu. 229 "Tahan...!" tiba-tiba terdengar suara merdu dan bening melayang di
udara. Mendengar ini para prajurit Perguruan Kapak Ganda pun menarik
serangannya. Mundur dengan teratur dalam posisi masih mengepung
kelima orang itu di tengah.
Bersamaan dengan itu melayangnya seorang wanita yang masih terli-
hat cantik walaupun telah berumur. Cermin Maut, salah satu de-
dengkok Perguruan Kapak Ganda. Ia turun dengan ringannya di
hadapan kelima orang itu. Rambutnya yang hitam panjang tampak
sebentar mengembang melayang untuk kemudian jatuh lurus di be-
lakang kepalanya. "Ki Tapa.., bila saya tak salah..," ucapnya sambi memandang lurus
pada orang tua di depannya, "salah satu pewaris Petapa Seberang..!"
"Benar, saya Ki Tapa. Dengan siapa saya berhadapan?" tanya Ki
Tapa kemudian. "Hik-hik-hik, kemana saja engkau selama sini orang tua, sampai tidak
mengenai kami. Tiga pimpinan Perguruan Kapak Ganda..," tawanya
sambil menutup mulutnya. Berpura-pura sebagai perempuan baik-
baik. "Maaf bila kami tidak tahu," ucap Ki Tapa, "sejauh yang saya dengar.
Bukankah Perguruan Kapak Ganda itu dipimpin oleh Naga Geni?"
"Orang tua, itu sudah cerita lama. Kakak Naga Geni telah berpulang
lama. Dibunuh orang. Kami masih mencari siapa yang melakukannya.
Untuk kita kami perlu meningkatkan ilmu kami. Jadi serahkan kitab-
kitab tersebut kepada kami..!" jawabnya langsung dengan nada bicara
yang tidak lagi ramah. "Kitab-kitab mana yang dimaksud?" tanya Ki Tapa masih tidak
mengerti, karena ia memang tidak mengerti apa yang dimaksud oleh
wanita itu. "Jangan berpura-pura...!" tiba-tiba melayang seorang lain. Tinggi
kurus dengan wajah yang tertutup tudung panjang sehingga wajah-
nya tidak terlihat. Tersembunyikan oleh bayangan tudungnya. Sabit
yang dibawanya, menunjukkan perangainya yang kejam. Hanya orang-
230 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
orang kejam saja yang membawa senjata yang aneh-aneh dan meny-
erampkan. Orang itu Sabit Kematian.
Belum sempat Ki Tapa berbicara, telah melayang seorang lagi dari
mereka. Wajahnya kurus putih pucat. Badannya agak tinggi. Ram-
butnya yang agak jarang tergerai kusam. Kuku-kuknya tampak pan-
jang dan bewarna kuning kehitaman. Tanda racun yang amat ganas.
Mayat Pucat. Telah lengkap tiga pimpinan dari Perguruan Kapak Ganda. Mereka
tidak sabar lagi karena para prajuritnya belum dapat mengalahkan
kelima orang itu, bahkan yang empat masih amat muda tampangnya.
Orang yang baru datang itu lalu membuka pembicaraan, "Maaf Ki
Tapa, jika adik-adikku ini tidak menjelaskan apa maksud kedatangn
kami ini." Lalu ia menjelaskan apa yang dicari oleh mereka setelah
sebelumnya memperkenal diri dan juga adik-adiknya. Berdasarkan
ukiran lambang di bawah prasasti yang mereka peroleh, dikatakan
bahwa kitab-kitab peninggalan Petapa Seberang berada di timur. Dan
tempat di timur yang mungkin untuk menyimpan rahasia itu adalah
di sini, Rimba Hijau. "Jadi, tolong Ki Tapa serahkan saja kitab-kitab tersebut. Setelah itu
kami akan angkat kaki dari ini," akhirnya Mayat Pucat menyelesaikan
uraiannya. "Kami tak punya kitab-kitab itu!" jawab Misbaya yang tak dapat
menahan sabar melihat sikap mengalah terus dari gurunya, "pun jika
kami punya tak akan kami berikan..!"
"Anak baik, tulang baik...!" gumam Mayat Pucat sambil melihat siapa
yang berani berkata demikian.
Lain pula dengan Cermin Maut, berdesir darahnya menyaksikan kemu-
daan dari Misbaya. Cocok anak ini untuk melampiaskan kebiasaannya
yang sesat. Memuaskan dahaganya, dan kemudian menyerap sari-sari
dari anak itu. Tak terasa dileletkan lidahnya.
"Tak usah banyak bicara, kakak Mayat Pucat..," jawab Sabit Kema-
tian tak sabar, "kita bunuh saja semua, seperti orang-orang di Kota
Luar Rimba Hijau, baru kita geledah hutan ini."
231 Mendengar bahwa mereka telah membantai para penduduk Kota Luar
Rimba hijau tak sadar ketiga orang yang memang berasal dari sana
menjadi amat marah. Tak dapat lagi mereka menahan sabarnya.
Gapaian tangan Ki Tapa tak dihiraukan lagi oleh mereka. Mereka
menyerang dengan ganasnya. Ingin membalaskan kematian keluarga-
keluarga mereka. Asap sebagai bukan orang dari Kota Luar Rimba Hijau pun tak dapat
menahan amarahnya mendengar hal itu. Ia pun juga menyerang ketiga
orang itu dengan cepat, tapi tidak semarah ketiga rekannya.
Ki Tapa yang tidak memiliki kesempatan untuk meredakan amarah
murid-muridnya mau tak mau ikut terjun ke dalam pertempuran
itu. Setelah Cermin Maut, Sabit Kematian dan Mayat Pucat ikut
dalam pertempuran itu, terlihat sudah ketimpangannya. Kelima
orang Rimba Hijau boleh dikatakan sama sekali tidak memiliki ke-
sempatan untuk menang. Kekalahan hanyalah masalah waktu saja.
Pertempuran itu berlangsung singkat. Satu persatu murid-murid Ki
Tapa terjatuh di tangan ketiga dedengkok Perguruan Kapak Ganda
dibantu dengan murid-murid tingkat satu mereka. Ki Tapa yang
hanya tinggal sendiri tampak tak lagi bersemangat untuk melawan.
Murid-murid yang dilatihnya untuk meneruskan tugasnya habis hari
ini. Juga karena kesalahannya tidak sering lagi memeriksa kehidupan
di luar rimba itu. Memang sejak ia mendidik murid-muridnya, seakan-
akan telah putus hubungannya dengan luar rimba saking sibuknya.
Ia berharap Paras Tampan dan kedua murid lainnya selamat dan tidak
muncul saat ini. Tiba-tiba terdengar siulan yang melengking nyaring panjang dan pen-
dek ditambah pukulan beberapa batang kayu. Tanda rahasia dari
Perguruan Kapak Ganda. "Hmm, mereka telah menemukan sesuatu, mari kita pergi..!" kata
Mayat Pucat sambil tak lupa melemparkan sesuatu ke sekeliling Ki
Tapa yang telah terluka sana-sini. Asap kekuningan tampak mengam-
bang perlahan. Meninggalkan jejak gosong kehitaman pada rumput
yang dikenai sesuatu itu.
Bergeges orang-orang Perguruan Kapak Ganda pun menghilang,
232 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
menuju pemberi isyarat tadi.
Sunyi. Ki Tapa mencoba mengatur lagi pernafasannya. Lukanya telah cukup
parah, ditambah lagi dengan racun yang baru saja disebarkan oleh
Mayat Pucat. Tak ada kesempatan ia untuk beranjat dalam keadaan
hidup dari sana. "Coreng.., Moreng..," ucapnya lirih dengan sisa-sisa tenaganya, "beri-
tahu Paras Tampan apa yang terjadi. Tak usah dibalas. Tapi tegakkan
saja keadilan.. bagi.. semua orang..." Terhenti ucapannya karena
racun yang dihirupnya telah tiba ke jantung dan juga otaknya. Ki
Tapa berusaha tersenyum saat menghembuskan nafas terakhirnya.
Jauh di pinggir lapang sana, tampak dua orang Manusia Tiga Kaki
menyaksikan sisa-sisa pertempuran yang menyedihkan itu. Mereka
tadi telah dipesankan untuk tidak ikut campur. Urusan manusia
bukan urusan mereka. Angin pun berhembus pelan. Turut berduka atas pergi selamanya be-
berapa manusia penghuni Rimba Hijau. Beberapa diantaranya masih
terlalu muda untuk berpulang.
*** Tertulis di atas secarik kertas terlipat-lipat itu kalimat-kalimat,
"Cari Seh Pratahu (Pratahu Tua) dan minta kesediaan Nah Pratahu
(Pratahu Muda) untuk menyertai. Ramalan mereka kelihatannya
menjadi kenyataan. Sayang terlambat untuk mencegahnya. Telah
dilakukan hal-hal yang diusulkan. Hawa kembar mungkin bersatu."
Kesedihan tampak jelas di wajah pemuda itu. Kertas itu adalah pe-
san terakhir gurunya yang ditemukan oleh Coreng dan Moreng, kedua
Manusia Tiga Kaki di balik jubahnya, saat akan memakamkan mereka.
Ki Tapa gurunya dan keempat saudara-saudara seperguruannya di
Rimba Hijau telah meninggalkan kehidupan di dunia ini. Kembali ke
suatu tempat, untuk menanti bertemu dengan Sang Pencipta.
Didengarkannya dengan tabah penuturan Corang dan Moreng men-
genai serangan yang dilakukan oleh orang-orang Perguruan Kapak
233 Ganda yang dipimpin oleh tiga dedengkotnya, Cermin Maut, Sabit
Kematian dan Mayat Pucat. Di luar sana, di Kota Luar Rimba Hijau
mereka juga melakukan pekerjaan besar. Membantai hampir seluruh
penghuni kota itu. *** "Guru, saya tidak mengerti apa maksud dari ujar-ujar ini?" tanya
seorang pemuda pada seorang tua yang duduk di balik meja kayu
sederhana di depannya. Duduk di atas pembaringan yang terbuat
dari kayu-kayu dan daun. Orang yang dipanggil guru oleh pemuda itu tidak langsung menjawab,
melainkan tampak berpikir sebentar untuk kemudian membungkuk
dan menuliskan sesuatu dalam buku yang ada di pangkuannya.
Setelah menyelesaikan hasrat untuk menorehkan sesuatu dalam bukunya,
ia meletakkan alat-alat tulisnya dan menengadah melihat pada sang
pemuda, muridnya yang menanyakan sesuatu tadi.
"Ujar-ujar mana maksudmu?" tanyanya kemudian.
"Ini..," jawab pemuda itu sambil menunjuk sebuah buku yang ten-
gah dibacanya. Sebuah buku tua dengan tulisan-tulisan yang aneh,
bukan tulisan yang biasa dikenal di tanah di tempat mereka berdua
bermukim. "Hmmm....!" Tampak sang guru termenung sejenak, berkerut-kerut
keningnya memikirkan kata-kata itu. Lalu ia pun bangkit dari pem-
baringannya. Berderit-derit ranjang itu berbunyi saat ia berlalu
darinya. Sang guru pun kemudian berjalan menghampiri sebuah perabotan
yang berfungsi sebagai rak buku. Tempa ia menumpukkan kitab-kitab
lainnya. Dipilih-pilihnya beberapa kitab yang berjejer di sana. Diba-
canya satu per satu judul-judul di hadapannya. Sampai suatu saat
ia berhenti, dan diambilnya sebuah buku bersampul merah tua yang
tampak telah lama menghuni alam ini. Lusuh dan buram warnanya.
Lalu dibolak-baliknya buku bersampul merah tua tersebut, sampai
ditemukannya suatu halaman. Raut mukanya berubah gembira. Telah
ditemukan apa yang dicarinya. Beranjak ia kemudian ke arah meja
234 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
kayu tempat sang murid sedang berada. Dihempaskannya buku itu
ke atas meja. Debu-debu tampak sedikit beterbangan keluar dari
buku tua tersebut. Kebiasaan menghempaskan buku yang mengan-
dung sesuatu yang dicarinya dan telah ditumukan, memang benar-
benar telah mendarah daging. Suatu perwujudan kegembiraan bisa
menemukan suatu rujukan atau menandakan bahwa ingatannya masih
jalan. Orang yang tidak mengerti tentu bisa merasa tersinggung atas
sikap seperti itu. Sang murid tampak tenang-tenang saja melihat kelakukan gurunya
yang telah berulang-ulang kali disaksikannya itu.
"Ini, ada di sini.. apa yang engkau tanyakan tadi...," tunjuknya den-
gan bersemangat. Lalu lanjutnya sambil membacakan kalimat-kalimat
yang ditemuinya, "... dapat disebut ruang, apabila ada yang dijadikan
rujukan atau acuan. Dalam suatu kekosongan mutlak (tiada apa-apa
dan siapa-siapa) tidak bisa dide"nisikan ruang. Setidaknya harus ada
dua (benda/hal) agar satu dapat dinyatakan terhadap yang lainnya.
Rujukan menciptakan ruang .."
Sang guru membacakan beberapa kalimat yang dirasanya penting un-
tuk diketahui oleh muridnya setelah ia kembali duduk di pembaringan-
nya. Kemudian berlangsung diskusi dua arah antara guru dan murid-
nya tersebut. Percakapan mengenai arti dan makna ujar-ujar itu
berlangsung cukup lama, sampai tiba-tiba terputuskan oleh suatu deru
angin lemah dan berat. Samar-samar tapi jelas terdengar.
Bergegas sang guru beranjak dari tempatnya. Dibukanya pintu pon-
dok di mana mereka berada. Ia berdiri di tengah-tengah pintu.
Memastikan apa yang didengarnya barusan.
"Betul, itu suara air..," katanya gembira. "Mari kita jelang.. Kehidu-
pan akan mulai muncul kembali.."
Masih tak mengerti sang murid pun mengikuti gurunya. Keluar
menuju ke suatu arah dari pondokan mereka. Ke arah di mana di
tengah-tengah gurun pasir tersebut, Gurun Besar, terdapat alur-alur
batu-batu kecil di tengah-tengah lautan pasir yang membentang.
Bekas sungai yang kering saat kemarau. Pada musim tersebut hanya
danau tersebut yang tersisa. Lainnya kering. Binatang-binatang
umumnya bermigrasi ke luar Gurun Besar untuk mencari tempat
235 yang lebih subur dan banyak makanannya. Hanya sedikit hewan yang
tidak bisa pindah jauh tetap bertahan dengan berlindung di balik
batu-batu atau di dalam pasir.
Perlahan dengan mendesis pelan. Air mengalir pelan tapi pasti.
Mengisi kembali jejak-jejaknya yang telah mengering. Jalur-jalur
batu kecil tersebut bergulung-gulung terisi oleh air bercampur pasir
yang mengalir. Memberikan kehidupan kembali di sepanjang aliran-
nya. Suatu pemandangan yang indah. Rahmat yang tiada tara yang
diberikan oleh Sang Pencipta.
Orang tua itu berdiri diam. Menikmati semua itu. Merasakan
bagaimana hawa atau aura alam sekitarnya seakan-akan tergugah
bangkit dengan munculnya aliran itu. Kehidupan renik-renik seakan-
akan dibangunkan dari tidurnya. Dibebaskan dari tapanya. Diberi-
tahu bahwa salah satu sumber kehidupan telah tiba kembali. Air.
Aliran itu mengalir cukup aneh. Hanya sedikit pecahannya yang
menuju danau dekat pondokan kedua orang itu. Sisanya yang sebagian
besar melaju terus menuju utara. Entah ke mana. Ke tengah-tengah
Gurun Besar. Tak terasa orang tua itu menitikkan air matanya. Terharu ia merasakan
kedahsyatan alam dalam membangun kembali kehidupan. Benar-
benar mengharukan hatinya.
Pemuda itu mau tak mau tergugah pula oleh suasana yang baru per-
tama kali ditemuinya itu. Ia pernah diceritakan oleh gurunya menge-
nai hal itu, akan tetapi baru kali ini ia mengalami sendiri. Umumnya
peristiwa itu berulang setiap tahun. Akan tetapi sebelumnya ada saja
keperluan gurunya yang harus dipenuhi, sehingga saat-saat aliran itu
datang ia tidak berada di sana untuk menyaksikannya. Baru saat ini
ia bisa melihatnya sendiri. Umumnya bila ia ada di sana, sungai itu
telah ada atau sama sekali kering. Tidak seperti saat ini, terbentuk
dari tiada menjadi ada. Setelah lama aliran tersebut telah menghilang ujungnya di kejauhan.


Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di hadapan kedua orang itu terbentang sungai kecil yang dangkal
dengan lebar dua tiga tombak akan tetapi membelah gurun itu dari
selatan ke utara. Dari arah Gunung Berdanau Berpulau menuju ke
tengah-tengah Gurun Besar. Ke suatu tempat di tengah sana.
236 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
"Sudah saatnya.., sudah saatnya..." orang tua itu seakan-akan berbicara
pada dirinya sendiri. Lalu ia menutup mata sebentar, seakan-akan
mengheningkan cipta untuk bersyukur atas fenomena alam yang baru
saja disaksikannya itu. Hening. "Muridku..," panggil orang itu perlahan.
"Ya guru..," jawab sang murid hormat.
"Sudah saatnya aku ceritakan padamu tentang keluarga Pratahu.
Keluarga orang-orang yang memiliki kemampuan untuk membaca
masa depan, mendengarkan yang tak terdengar, mengendalikan sesu-
atu dengan pikiran, dan mencari tahu siapa-siapa anggota keluar-
ganya..." Menarik napas sebentar orang tua itu. Kemudian lanjutnya,
"cerita ini akan merupakan bekalmu nanti. Mencari paman dan
sepupumu. Anggota keluarga Pratahu."
Kemudian diajaknya sang murid untuk beranjak dari sungai yang baru
saja airnya mengalir kembali setelah melewati musim kering yang pan-
jang. Dicarinya sebuah batu bundar besar datar yang di sisi-sisinya
terdapat beberapa batu-batu bundar kecil. Lebih rendah dari batu
pertama tersebut. Sembilan buah semuanya. Delapan yang kecil,
mengelilingi satu yang besar. Tersusun secara alami, seakan-akan se-
buah meja bundar dengan delapan buah bangkunya. Alami terbuat
dari batu. Halus seakan-akan dikerjakan dengan tangan. Di sana-
sini terdapat celah-celah yang ditumbuhi oleh lumut dan tumbuhan-
tumbuhan perintis lainnya.
Orang tua itu kemudian duduk di salah satu bangku alam itu. Murid-
nya si anak muda duduk di sisinya. Di atas bangku alam yang lain.
Siap mendengarkan kisah yang akan dibawakan oleh gurunya.
Sudah lama sejak beberapa ratus tahun yang lalu, di suatu tempat di
Tanah Tongkat Ditanam Jadi Tanaman terdengar kabar akan adanya
suatu keluarga yang pandai meramal. Melihat apa-apa yang akan
terjadi di masa depan. Pratahu dikenal orang-orang. Keluarga terse-
but umumnya tidak memiliki banyak orang dalam satu generasinya.
Akibatnya keberadaan keluarga itu boleh dikatakan hampir-hampir
seperti dongeng saja. Akan tetapi kadang-kadang terdapat peristiwa-
237 peristiwa besar yang terjadi akibat adanya kisikan dari orang-orang
yang berasal dari keluarga Pratahu ini.
Dalam satu jaman terdapat suatu kerajaan yang menguasai tanah ini.
Kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang mengambil kekuasaan
dari raja sebelumnya dengan cara paksa. Membentuk kerajaan baru
dengan nama keluarganya sebagai nama era pemerintahan yang baru.
Perebutan kekuasaan tersebut dilakukan dengan menuduh bahwa
raja yang lama terlalu terlena dalam semangat nasionalis kerajaan se-
hingga menelantarkan rakyatnya. Raja yang lama hanya mengerjakan
pembangunan-pembangunan menara gading. Pembangunan dengan
tujuan agar dipuji oleh kerajaan tetangga Ingin dibilang pemerinta-
hannya maju. Dengan alasan ini raja yang baru, yang saat itu merupakan seorang
senopati kepercayaan pula melakukan pembenaran atas tindakannya
itu. Demi rakyat dan kerajaannya agar tidak terpuruk lebih dalam ke
arah kekeliruan. Bersamaan dengan itu sang senopati pun menangkap
belasan orang senopati-senopati utama yang rekannya sendiri, dan
merupakan kawan-kawan dekat dan kepercayaan raja yang lama, un-
tuk sama-sama dihabisi. Dituduh akan berkhianak kepada raja yang
lama. Suatu kejadian yang sebenarnya pun sulit diterima oleh para
rakyatnya. Untunglah raja yang baru itu bersikap lebih baik. Rakyat dalam hal
ini tidak dikorbankan. Hanya terjadi sedikit peristiwa berdarah dalam
internal keprajuritan kerajaan. Korban dalam pihak tentara saja.
Lain tidak. Kekuasaan pun berpindah dengan mulus.
Hanya saja orang-orang tidak tahu apa sebenarnya peristiwa di be-
lakang itu. Sang senopati yang kemudian menjadi raja, mendapat
kisikan dari salah seorang anggota keluarga Pratahu bahwa ia bisa
menjadi penguasa, apabila melakukan gerakan pada saat yang tepat.
Ia pun diberikan petunjuk-petunjuk tersirat dalam syair-syair. Dikare-
nakan bakatnya yang memang cerdas, sang senopati pun bisa memec-
ahkan syair-syair tersebut dan memperolah apa yang diinginkannya.
Akan tetapi kemudian terbersit suatu pikiran gila yang umumnya
menghinggapi orang dalam tampuk kekuasaannya. Sang raja yang
baru itu merasa takut, jika anggota keluarga Pratahu mencari orang
238 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
lain dan memberikan kisikan yang sama atau mirip seperti dirinya.
Bisa jadi kekuasaan akan berpindah dari tangannya ke orang terse-
but. Hal ini harus dicegah. Untuk itu ia memerintahkan untuk men-
cari seluruh keluarga Pratahu dan membunuhnya. Demi hanya untuk
melanggengkan kekuasaannya.
Terjadilah bencana tersebut. Seluruh keluarga Pratahu hampir
dibasmi. Hampir habis dan musnah dari muka bumi. Seorang yang
berhasil selamat mengungsikan dirinya di gurun pasir, Gurun Besar.
Bertahan di sana selama bertahun-tahun. Bersembunyai di gua-gua
batu dalam pasir yang kadang-kadang muncul, kadang-kadang hilang
tertelan pasir. Dengan cara itu ia bisa bertahan dan tidak didapati
oleh tentara kerajaan. Orang terakhir itu bernama Kas Pratahu (Pratahu Terakhir). Den-
gan adanya niatan raja untuk membasmi seluruh keluarganya, sulit
baginya untuk melanjutkan keturunan. Akan tetapi tanpa keturunan
ia tidak bisa mewariskan kemampuan keluarga Pratahu kepada orang-
orang. Ramalannya tidak bisa dimanfaatkan.
Pada suatu malam, ia didatangi oleh roh-roh leluhurnya dan juga
anggota keluarga Pratahu yang mati dibantai oleh para prajurit kera-
jaan atas perintah raja. Dalam mimpi tersebut ia diberi kisikan agar
menjalankan ilmu leluhurnya yang sudah lama tidak digunakan. Kelu-
arga Semesta. Ilmu itu membuka aliran keturunan keluarga Pratahu
agar bakat dan ilmu mereka tidak lagi perlu diturunkan melalui per-
talian darah, melainkan melalui pertalian aura atau hawa.
Setelah ilmu Keluarga Semesta itu dirapalkan, Kas Pratahu ting-
gal mengembara mencari "anaknya". Bisa berada di tanah ini, bisa
pula di seberang pulau. Bisa berasal dari suku yang sama, bisa pula
berbeda. Bisa anak laki-laki, bisa pula anak perempuan. Ia hanya
harus berkelana, mencari-cari tanda-tanda yang menunjukkan seo-
rang anak adalah anggota keluarga Pratahu. Keluarga yang ditun-
jukkan oleh ilmu Keluarga Semesta. Dengan cara ini Kas Pratahu
tidak perlu lagi berkeluarga. Ia tinggal mencari anak yang dimaksud.
Mendidiknya secara diam-diam bila anak itu masih berkeluarga. Bila
telah yatim piatu lebih mudah, tinggal diambilnya sebagai murid.
Begitulah tiga ratusan tahun belakangan ini keluarga Pratahu berkem-
239 bang satu persatu melalui cara ini. Sampai saat ini baru ada empat
orang, Seh Pratahu dan Nah Pratahu serta dua orang lainnya.
Nah Pratahu sendiri ditemukan oleh Seh Pratahu sebagai anak yang
baru saja ditinggal mati oleh kedua orang tuanya yang dibunuh oleh
perampok. Anak itu kemudian terlunta-lunta di jalanan di sekitar
sisa-sisa rumahnya yang telah hancur terbakar. Seperti seorang yang
tidak lagi punya keinginan atau tahu apa yang akan dilakukannya
dalam hidup ini. Sampai lewatnya Seh Pratahu.
Si orang tua itu kemudian menguburkan jasad orang-orang yang
tergeletak di sekitar situ. Menggapai si anak dan menenangkannya.
Pada saat itulah ia melihat tanda-tanda pada anak itu yang meny-
atakannya sebagai keturunan dari Pratahu. Keturunan akibat ilmu
Keluarga Semesta. Seh Pratahu kemudian mengangkat si anak yang kemudian diberi
nama Nah Pratahu menjadi muridnya. Menurunkan ilmu-ilmunya.
Melatihnya agar dapat menjadi penerusnya kelak.
Hari inilah baru kisah turun-temurun keluarga Pratahu dibeberkan
oleh Seh Pratahu kepada Nah Pratahu. Dan bahwa akan menjadi
kewajibannya kelak untuk mewariskan ilmunya pada orang-orang yang
ditandai merupakan keturunan atau keluarga mereka.
"Jadi guru..., adalah ayahku dalam keluarga Pratahu..," ucap anak
muda itu tersekat. Tak disangkanya bahwa ia masih dapat memiliki
seorang ayah. Bukan ayah akibat pertalian darah, melainkan ayah
karena pertalian aura atau hawa.
Mendengar pertanyaan penuh haru itu, Seh Pratahu hanya mengang-
guk. Terbersit pula rasa haru di dadanya. Ia kini punya seorang anak.
Rahasia telah dibeberkan. Pemuda itu bukan lagi sekedar muridnya,
melainkan anak dalam ilmu Keluarga Semesta.
Tak tahan dengan keharuannya dan juga rasa hormatnya pada sang
orang tua, pemuda itu pun berlutuh. "Ayah....," ucapnya sambil
bersujud. "Anakku..," jawab sang ayah sambil turun menyambut sujud anaknya.
Dielus-elusnya kepala sang anak dan kemudian dipeluknya. Dialirkan
240 BAGIAN 4. PENJAGA KESEIMBANGAN
rasa sayangnya yang selama ini ditahan-tahannya. Lega rasanya sete-
lah rahasia ini diberitakan.
"Ayah, jika dalam keluarga Pratahu aku adalah anakmu, mengapa
baru saat ini ayak katakan dengan selama ini ayah menjaga jarak
padaku sebagai guru..," tanya anaknya tak mengerti.
Sambil tersenyum sang ayah berkata, "tak mudah untuk melakukan
hal itu, anakku. Engkau sudah memiliki orang tua saat aku temukan,
walau mereka baru saja tiada saat itu. Sudah tentu telah terpa-
tri dalam ingatanmu akan mereka. Perlu waktu agar engkau dapat
menerimaku sebagai ayah dalam keluarga Pratahu." Lalu lanjutnya,
"demikian pula dengan aku. Engkau pada awalnya adalah orang as-
ing. Seorang anak yang aku temui dalam perantauan. Syukurnya rasa
sayang ini dapat tumbuh, sehingga aku benar-benar dapat merasakan
bahwa engkau adalah anakku dalam keluarga."
Rasa sayang dan cocok yang tidak dikatakan terpancar dari kedua
sosok manusia itu. Kecocokan yang menandakan bahwa mereka
bertalian aura dalam keluarga Pratahu.
*** Tak terasa waktu telah lama berlalu. Sudah hampir setahun lewat
Telaga berdiam di rumah Walinggih. Di sana ia belajar ilmu-ilmu
pedang yang dikenal sebagai ilmu Pedang Panjang, ilmu yang mem-
buat Walinggih dikenal sebagai Hakim Haus Darah. Dikarenakan lihai
dan juga kejam. Tapi itu dulu, sekarang ia tidak lagi kejam setelah
memperoleh seorang murid dan juga seorang teman, Telaga.
Selain belajar ilmu Pedang Panjang dari Walinggih, Telaga juga be-
lajar ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan dari Arasan dan putrinya,
Sarini. Kedua orang itu adalah orang-orang pertama yang akrab den-
gannya di daerah di mana ia bermukin saat ini. Dan sebagai tambahan
ia mendapat pula sedikit operan tenaga dalam dari Wananggo, kakak
Walinggih saat ia bertemu dengan Telaga di Danau Genangan Batu.
Di Padang Batu-batu jauh lagi ke selatan dari kedua desa, Desa Batu
Barat dan Desa Batu Timur, terdapat suatu ceruk atau jurang dalam
yang di mana sebagian aliran sungai masuk ke dalamnya. Lubangnya
amat lebar dengan di tengahnya terdapat lubang yang jauh lebih kecil
241 yang dalam dan gelap. Tak bisa diduga berapa dalam dan jauhnya.
Akibat tercurahnya air ke dalam lubang yang dipinggirnya dihiasi
Terminal Cinta Terakhir 3 Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Hitam Harimau Mendekam Naga Sembunyi 10
^