Pencarian

Harta Karun Kerajaan Sung 3

Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Bu-tek Sin-liong Cu Liong mengelus jenggotnya, mengangguk-angguk lemah dan pandang matanya tampak ragu. "Sebaiknya begitu, mungkin lebih baik begitu......" Dia lalu memberi tanda dengan tangannya menyuruh muridnya pergi.
"Selamat tinggal, Suhu. Teecu hendak kembali ke kota raja dan melaporkan tentang Pouw Cun Giok kepada panglima bagian keamanan, minta dibantu pasukan untuk mencari jahanam itu."
Cu Liong hanya mengangguk dan pemuda itu segera meninggalkan tempat itu lalu turun dari Bukit Merak dan menuju ke kota raja.
Setelah muridnya pergi, Bu-tek Sin-liong Cu Liong duduk termenung di kursinya. Teringat dia akan keadaan keluarganya. Dia telah malang melintang di dunia persilatan dan berhasil mengumpulkan kekayaan yang cukup besar. Ketika usianya hampir empatpuluh tahun, dia menikah dan mempunyai seorang anak, yaitu Cu Ai Yin. Setelah mempunyai anak, barulah dia merasa berkeluarga dan dia lalu tinggal di Bukit Merak bersama Isteri dan anaknya. Akan tetapi, baru setahun tinggal di situ, isterinya meninggal dunia karena sakit, padahal ketika itu usia Cu Ai Yin baru tiga tahun.
Setelah isterinya meninggal dan dia harus memelihara puterinya seorang diri, Cu Liong lalu mengambil empat orang wanita muda menjadi selir-selirnya, bahkan dia lalu menerima sebanyak limapuluh orang yang menjadi anak buahnya di Bukit Merak.
Bu-tek Sin-liong Cu Liong menghela napas panjang. Dia amat menyayang puterinya, akan tetapi sekali ini Ai Yin bertindak keterlaluan. Tidak saja gadis itu berani minggat tanpa pamit, juga puterinya itu telah membebaskan Pouw Cun Giok bahkan melukai Kong Sek, putera mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok, suhengnya sendiri.
Mengingat puterinya, terbayanglah semua kenangan tentang Cu Ai Yin. Gadis itu amat disayangnya, juga biasanya gadis itu amat sayang dan patuh kepadanya walaupun agak manja. Dan dia tahu betul bahwa Ai Yin adalah seorang gadis yang keras hati dan teguh pendiriannya. Bahkan niatnya untuk menjodohkan puterinya itu dengan muridnya, Kong Sek, agaknya tidak disetujui Ai Yin.
Dan sekarang, agaknya Ai Yin jatuh cinta atau memilih seorang pemuda buruan pemerintah seperti Pouw Cun Giok. Dia sendiri memang kagum kepada pemuda itu yang memiliki ilmu silat lihai sekali, juga wajah pemuda itu cukup tampan, tidak kalah oleh ketampanan Kong Sek. Akan tetapi Pouw Cun Giok yang berjuluk Bu-eng-cu itu adalah seorang buronan yang telah membunuh sahabat baiknya, Kong Tek Kok, dan Pangeran Lu Kok Kong, di samping membunuh banyak perajurit. Pemuda itu adalah seorang pemberontak yang selalu menjadi buruan pemerintah. Dia membayangkan betapa kehidupan puterinya akan selalu menderita dan terancam bahaya kalau menjadi isteri Pouw Cun Giok. Sebaliknya kalau Ai Yin menjadi isteri Kong Sek, ia tentu akan menjadi seorang puteri bangsawan yang dimuliakan dan dihormati.
Berhari-hari lamanya laki-laki setengah tua yang jantan dan gagah perkasa ini lebih banyak duduk melamun di dalam kamarnya. Bahkan dia melarang empat orang isterinya mendekatinya. Dia merasa tidak bahagia. Empat orang isterinya itu tidak ada yang mempunyai anak. Anaknya hanya Cu Ai Yin seorang dan kini anaknya itu pergi meninggalkannya. Baru terasa betapa sunyi hidupnya tanpa adanya Ai Yin di situ. Dia ingin menyusul dan mencari puterinya, akan tetapi ke mana" Anaknya pergi tanpa pamit dan dia tidak dapat menduganya ke mana anaknya pergi.
Setelah mengurung diri dengan muka muram selama beberapa bulan lamanya, akhirnya Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak kuat menahan lagi keinginannya untuk mencari dan menemukan puterinya.
Pada suatu hari dia memanggil keempat isterinya lalu berkata kepada mereka. "Kalian berempat jagalah rumah baik-baik, Aku akan pergi meninggalkan Bukit Merak untuk entah berapa lamanya, tergantung kapan aku dapat menemukan Ai Yin. Aku akan pergi mencari Ai Yin dan baru pulang kalau ia telah dapat kutemukan. Sekarang panggil semua anak buah untuk berkumpul di sini."
Setelah semua anak buahnya datang, Cu Liong memesan agar mereka semua melaksanakan tugas seperti biasa dan jangan ada yang melanggar peraturan.
Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar seruan seorang anak buah yang bertugas jaga di gapura perkampungan, yang berseru sambil berlari-lari datang ke ruangan depan gedung di mana para anak buah berkumpul menghadap majikan Bukit Merak.
"Thai-ya (Tuan Besar)...... Siocia (Nona) telah pulang!"
Mendengar ini Cu Liong bangkit dari duduknya, wajahnya yang beberapa hari lamanya ini muram dan kusut, tiba-tiba menjadi berseri dan pandang matanya bersinar gembira. Tak lama kemudian dia melihat Cu Ai Yin berjalan cepat memasuki pekarangan dan menuju ke ruangan depan gedung itu.
Begitu melihat ayahnya, Ai Yin yang juga rindu kepada ayahnya lari menghampiri dan di lain saat ia telah berada dalam rangkulan ayahnya.
"Anak nakal!" Cu Liong mengomel akan tetapi mulutnya tersenyum lega. "Ke mana saja engkau pergi" Hayo kita bicara di dalam!"
Ayah dan anak itu bergandengan tangan memasuki ruangan dalam dan empat orang selir itu lalu membubarkan para anak buah yang ikut merasa lega bahwa nona majikan mereka sudah pulang dengan selamat. Empat orang wanita selir yang usianya antara tigapuluh lima tahun itu tidak berani mengganggu ayah dan anak yang bicara di ruangan dalam. Mereka tidak berani memasuki ruangan itu tanpa dipanggil.
Cu Liong tidak mau langsung memarahi puterinya. Dia khawatir kalau-kalau puterinya yang berhati keras itu marah dan pergi lagi. Setelah mereka duduk, dia bertanya.
"Ai Yin, ke mana saja engkau pergi selama ini?"
Sambil memandang kepada ayahnya dengan sikap manja, Ai Yin menjawab, "Ayah, telah lama sekali aku ingin melihat dunia ramai di luar wilayah Bukit Merak. Aku pergi merantau."
"Hemm, mengapa engkau pergi tanpa pamit?"
"Maafkan aku, Ayah......" Ai Yin merengek.
"Hemm, jawab dulu mengapa engkau pergi tanpa pamit kepada Ayahmu?"
"Karena aku...... ketika itu, aku marah dan jengkel, Ayah."
"Eh" Marah dan jengkel" Kepadaku" Mengapa?"
"Karena Ayah hendak memaksa aku menikah dengan Suheng......"
"Hemm, siapa yang memaksa" Aku hanya ingin engkau menjadi isteri bangsawan dan terhormat. Pula, apa salahnya menjadi isteri Kong Sek" Dia seorang pemuda bangsawan yang baik, cukup tampan dan gagah. Pula, aku melihat bahwa hubunganmu dengannya tampak akrab."
"Aku memang suka kepada Suheng, Ayah, akan tetapi tidak mencintanya dan tidak ingin menjadi isterinya. Ayah tidak akan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak kusukai dan tidak ingin kulakukan, bukan?"
"Ya sudahlah, aku tidak akan memaksamu menikah dengan siapapun juga apabila tidak engkau sukai. Akan tetapi ada sebuah hal yang membuat aku menjadi penasaran. Mengapa engkau membela seorang asing seperti Pouw Cun Giok itu, menentang keputusanku untuk membawa pembunuh dan pemberontak itu ke kota raja untuk diadili, bahkan engkau tega melukai lengan Suhengmu sendiri" Nah, jawab, apa alasanmu membela Pouw Cun Giok mati-matian?"
Cun Ai Yin tersenyum dan mengangguk-angguk "Hemm, aku mengerti, Ayah. Sudah pasti Suheng Kong Sek itu mengadu kepada Ayah, bukan" Hal ini saja membuktikan bahwa dia adalah seorang yang curang dan pembohong besar!"
"Eh" Apa maksudmu, Ai Yin" Engkau malah memaki dia curang dan pembohong besar?"
"Ayah, Ayah tahu bahwa sejak kecil Ayah mendidikku untuk bersikap adil dan hidup sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan sebagai seorang gagah. Pouw Cun Giok berada di sini adalah aku yang menolongnya ketika dia kudapatkan pingsan di tepi sungai, berarti dia adalah tanggung jawabku. Kemudian Ayah dapat menerimanya sebagai tamu setelah kita mengujinya dan ternyata dia adalah seorang pendekar yang tinggi ilmunya. Kemudian muncul Suheng yang menyerang Cun Giok dan dalam perkelahian mereka Suheng juga bukan tandingan Cun Giok. Akan tetapi Ayah mencampuri urusan mereka dan membela Suheng."
"Tentu saja!" bantah Cu Liong. "Pouw Cun Giok itu membunuh ayah Kong Sek, yaitu Panglima Besar Kong Tek Kok yang menjadi sahabat baikku. Dan tentu saja aku membela Kong Sek karena dia muridku. Apa salahnya dengan itu?"
"Ayah telah khilaf dan tidak adil, membela satu pihak saja tanpa mempertimbangkan persoalannya. Ketahuilah, Cun Giok membunuh Kong Tek Kok karena panglima itu telah membasmi seluruh keluarganya, yaitu keluarga Pouw di So-couw. Kakek Buyutnya, Ayahnya, Ibunya, semua terbasmi oleh Panglima Kong Tek Kok! Bukankah sudah sepantasnya kalau Cun Giok membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk itu" Kemudian ketika diserang Suheng, Cun Giok mengalah dan tidak melukainya, padahal kalau dia mau, tentu dengan mudah dia dapat membunuh Suheng! Dia tidak mau mengaitkan Suheng dengan dosa-dosa Ayahnya. Kemudian, Ayah mencampuri dan hendak menangkap Cun Giok agar dibawa Suheng ke pengadilan di kota raja. Lagi-lagi Cun Giok mengalah, tidak melawan dan menyerah karena dia merasa telah ditolong Ayah maka tidak mau membantah dan menentang kehendak Ayah yang berat sebelah itu. Bukankah itu menunjukkan bahwa Cun Giok memiliki watak jantan dan seorang pendekar sejati?"
Cu Liong mengangguk-angguk. "Hemm, mungkin aku telah keliru, akan tetapi agaknya engkau membela Cun Giok' mati-matian, membebaskannya dengan kekerasan dan melukai Kong Sek. Apakah tindakanmu itu bisa dianggap adil dapat dibenarkan?"
"Lebih dari adil dan seratus persen benar, Ayah! Ayah telah dikelabuhi kebohongan Suheng Kong Sek. Sesungguhnya kejadiannya begini, Ayah. Ketika aku melarikan diri dari sini, di tengah perjalanan tanpa kusengaja aku melihat Kong Sek mengayun pedang hendak membunuh Cun Giok yang menjadi tawanan tak berdaya itu. Tentu saja aku tidak bisa melihat perbuatan licik dan curang lagi sewenang-wenang itu. Aku lalu menangkis dan ketahuilah, Ayah, pada saat itu Cun Giok dengan mudah mampu mematahkan belenggu dan membebaskan diri sendiri! Jelas dia di sini mengalah dan mau ditawan karena melihat muka Ayah. Suheng Kong Sek tidak mau mengerti, mengerahkan pasukan untuk menyerang aku dan Cun Giok. Tentu saja kami berdua melakukan perlawanan dan aku melukai, lengan Suheng. Kalau aku tidak ingat dia itu Suhengku, tentu pedangku bukan menggores lengan, melainkan memenggal lehernya! Akhirnya dia melarikan diri bersama pasukannya. Nah, harap Ayah pertimbangkan. Kalau Ayah masih tetap menganggap aku yang bersalah, silakan Ayah menghukumku, biar dihukum mati sekalipun aku tidak akan membantah, Ayah." Setelah berkata demikian, Ai Yin yang merasa penasaran dan terharu, tak dapat menahan diri dan menangis terisak-isak!
05.1. Luluhnya Kekerasan Hati Sang Ayah
Melihat puterinya menangis, Bu-tek Sin-liong merangkulnya.
"Sudahlah, kalau begitu halnya, ternyata aku telah salah pilih ketika menerimanya sebagai murid. Sudah, jangan menangis. Aku tidak menyalahkanmu dan kalau Kong Sek datang ke sini, aku akan memaki dan memarahinya!"
"Apakah sekarang setelah melihat kelakuannya, Ayah masih ingin mengambil dia sebagai mantu?" tanya Ai Yin sambil menahan isaknya.
"Hemm, untuk itu...... ah, kalau engkau tidak mau, aku pun tidak akan memaksamu."
"Ah, terima kasih, Ayah! Hatiku menjadi lega sekarang. Ternyata Cun Giok memang benar sekali!"
"Eh" Cun Giok benar sekali" Apa maksudmu?"
"Ayah, dalam perjalananku ketika aku melewati sebuah dusun, ada tiga orang perajurit Mongol bersikap kurang ajar terhadapku. Aku menghajar mereka dan membunuh dua orang di antara mereka akan tetapi yang seorang dapat lolos. Agaknya yang lolos itu lalu memberi tahu kawan-kawannya dan aku dikejar-kejar. Ketika aku menyeberangi sungai dengan sebuah perahu, tiba-tiba muncul dua perahu besar yang penuh dengan perajurit Mongol. Aku melawan dan mengamuk, berhasil membunuh banyak perajurit yang mengeroyokku, akan tetapi ketika aku dihujani anak panah, sebatang anak panah mengenai punggungku sehingga aku terjatuh ke dalam air sungai."
"Ah......! Keparat pasukan itu! Lalu bagaimana, Ai Yin?"
"Dalam keadaan pingsan aku hanyut, akan tetapi ada yang menolongku dan membawaku berenang ke darat. Orang itu menyelamatkan aku dari maut dan mengobati luka di punggungku."
"Bagus, siapa orang itu?"
"Dia adalah Pouw Cun Giok, Ayah."
"Ahh! Dia" Hemm, dia telah membayar hutang kepadamu karena engkau juga menyelamatkan nyawanya."
"Setelah menolongku dia lalu bercerita tentang urusannya dengan Panglima Besar Kong Tek Kok. Setelah itu, mendengar ceritaku bahwa aku minggat dari Bukit Merak karena hendak dipaksa menikah dengan Kong Sek, Cun Giok menasihati aku agar aku segera pulang dan minta maaf padamu, Ayah. Dia meyakinkan aku bahwa Ayah yang menyayangku pasti tidak akan memaksaku menikah dengan orang yang tidak aku suka."
Bu-tek Sin-liong mengelus jenggotnya dan tersenyum. "Hemm, Ai Yin, agaknya engkau akrab dengan Pouw Cun Giok dan dia amat baik kepadamu. Katakan, apakah pemuda itu mencintaimu?"
Wajah gadis itu menjadi kemerahan. "Aku...... aku mana tahu, Ayah" Dia memang baik sekali padaku, akan tetapi tentang hal itu, aku...... ah, bagaimana aku dapat mengetahui isi hatinya?"
"Hemm, apakah engkau mencintanya?"
Wajah Ai Yin menjadi semakin merah dan beberapa kali ia mengerutkan alis, menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya sebelum menjawab. "Ini...... aku pun tidak tahu, Ayah! Dia memang baik sekali dan aku kagum padanya, akan tetapi cinta" Ah, aku tidak tahu cinta itu bagaimana."
"Ha-ha, kalau engkau cinta padanya, dia harus mau menjadi suamimu. Akan kuceritakan hal ini dengan dia kalau aku bertemu dengan Cun Giok."
"Ih, Ayah! Malu dong kalau kita yang mulai membicarakan soal itu! Sudahlah, Ayah, jangan kita bicarakan soal itu sekarang. Ada berita yang lebih penting lagi dan Ayah pasti tertarlk mendengarnya."
"Berita tentang apa, Ai Yin?"
"Tentang Harta Karun Kerajaan Sung!"
"Harta karun Kerajaan Sung" Apa itu dan bagaimana ceritanya?" Bu-tek Sin-long tertarik sekali.
Ai Yin sudah mendengar tentang harta karun itu dari Cun Giok maka ia menceritakan dengan singkat bahwa harta karun itu milik Kerajaan Sung yang disembunyikan, akan tetapi ketika tempat persembunyian itu ditemukan, harta karun telah lenyap. Peti harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya terdapat tulisan huruf THAI SAN.
"Sekarang, berita itu telah tersebar luas, Ayah. Semua orang di Bu-lim (Rimba Persilatan, kaum pendekar) dan Kang-ouw (Sungai Telaga, kaum sesat) hendak mencari dan memperebutkan harta itu. Mereka semua mencari ke Thai-san. Cun Giok juga hendak pergi ke sana untuk mencari pencuri harta dan merebutnya."
"Hemm, untuk apa mereka semua memperebutkan harta itu?"
"Ayah, menurut cerita Cun Giok, harta itu adalah hasil korupsi seorang pembesar korup dari Kerajaan Sung yang bernama Thaikam Bong. Dia mencuri harta karun itu dan menyembunyikannya, lalu membuat peta. Peta itu tadinya terjatuh ke tangan Cun Giok dan kawan-kawannya, akan tetapi mereka tertawan oleh Panglima Kim Bayan, bahkan Suheng Kong Sek juga berada dalam rombongan Panglima Kim Bayan. Cun Giok dan kawan-kawannya dipaksa membantu Panglima Kim Bayan mencari harta karun menurut petunjuk peta. Akan tetapi, ketika ditemukan tempat itu hartanya telah lenyap, tinggal peti kosong di mana terdapat tulisan THAI SAN."
"Hemm, biarkan mereka berebut. Aku tidak butuh harta karun. Hartaku sudah cukup."
"Akan tetapi, Ayah. Harta karun itu banyak sekali dan pula, perebutan itu juga berarti persaingan nama, siapa yang berhasil mendapatkan harta karun, berarti dialah yang paling kuat!"
Kelemahan Bu-tek Sin-liong adalah soal nama besar. Dia menggunakan julukan Bu-tek (Tidak Terlawan) sudah menunjukkan betapa dia amat mementingkan nama besar. Maka begitu Ai Yin yang cerdik menyebut tentang persaingan nama besar, hatinya segera tertarik.
"Siapa saja yang memperebutkan harta karun itu?"
"Aku tidak tahu, Ayah. Akan tetapi yang jelas ada tiga golongan. Pertama adalah orang-orang Kerajaan Mongol seperti Panglima Besar Kim Bayan dan mungkin juga Suheng Kong Sek dan mereka ini berusaha mendapatkan harta karun mungkin untuk diserahkan kepada pemerintah Kerajaan Mongol atau mungkin juga untuk diri mereka sendiri. Golongan kedua adalah para tokoh sesat, para petualang yang ingin memiliki harta besar itu, atau para datuk dan tokoh besar yang ingin membuat nama besar. Adapun golongan ketiga adalah para pendekar yang menentang Kerajaan Mongol dan seperti yang diceritakan Cun Giok, mereka ini berusaha mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para pejuang yang menentang dan ingin menumbangkan kekuasaan penjajah Mongol."
Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk. Hatinya semakin tertarik.
"Dan bagaimana dengan engkau, Ai Yin" Apakah engkau juga ingin mencari harta itu?"
"Aku ingin sekali, Ayah, bukan karena ingin memiliki harta itu, melainkan ingin mencari pengalaman. Perebutan harta karun itu tentu ramai sekali, Ayah. Banyak orang-orang sakti akan datang ke tempat itu. Kalau aku datang ke sana, tentu aku akan mendapatkan banyak pengalaman. Akan tetapi, terus terang saja, aku agak takut, Ayah. Dengan kepandaian yang kumiliki, bagaimana mungkin aku dapat menghadapi orang-orang sakti itu dengan aman?"
"Apakah engkau tidak ingin ke sana agar dapat bertemu dengan Cun Giok?" tanya Sang Ayah.
"Aih, Ayah. Tentu saja kalau bertemu dia, kami dapat bekerja sama. Aku akan membantunya memperebutkan harta itu."
"Dan dia akan menyerahkan kepada para pejuang" Bukankah kita ini orang-orang yang tidak ingin memihak, baik memihak Kerajaan Mongol maupun memihak para pejuang yang memusuhinya?"
"Tentu saja, Ayah. Akan tetapi aku hanya membantu, karena Cun Giok adalah sahabat baikku. Akan tetapi kalau Ayah pergi juga, tentu saja aku akan membantu Ayah."
"Baik, kita pergi ke Thai-san!" akhirnya Bu-tek Sin-liong tertarik juga karena kalau dia dapat merampas harta karun itu, seluruh tokoh di dunia persilatan akan mengakuinya sebagai pendekar yang benar-benar Bu-tek (Tanpa Tanding)! Ai Yin gembira sekali mendengar ini dan ia merangkul ayahnya dengan gembira dan manja.
"Y" Pegunungan Thai-san adalah sebuah pegunungan yang amat luas. Thai-san memiliki banyak puncak yang tinggi menjulang ke langit dan menembus awan. Ratusan bukit-bukit terdapat di pegunungan itu. Biasanya, pegunungan ini sepi karena biarpun tanah pegunungan itu cukup subur, namun banyak bagian daerah itu merupakan daerah rawan yang ditakuti penduduk. Hanya di bagian timur, yang menjadi pusat Partai Persilatan Thai-san-pai saja yang tidak ditakuti rakyat sehingga di daerah itu terdapat beberapa buah desa yang dihuni para petani. Akan tetapi di daerah barat, utara, dan selatan merupakan daerah rawan yang amat berbahaya dan dikabarkan sebagai daerah maut oleh penduduk di sekitar Thai-san.
Di daerah Barat dikuasai oleh seorang yang oleh penduduk dianggap sebagai seorang manusia iblis. Tidak ada yang mengetahui nama tokoh ini, karena hanya julukannya saja dikenal orang. Julukannya adalah Huo Lo-sian (Dewa Api) dan siapa saja yang kebetulan melihat dia, dari jauh saja orang itu akan melarikan diri ketakutan. Tokoh ini berusia sekitar limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya mirip muka singa penuh berewok. Hebatnya, baik rambutnya yang panjang riap-riapan maupun berewoknya yang menutupi muka itu berwarna kemerahan seperti api!
Huo Lo-sian yang menguasai pegunungan bagian barat ini mempunyai anak buah sebanyak kurang lebih limapuluh orang. Mereka tinggal di sebuah perkampungan bersama keluarga para anak buahnya dan Huo Lo-sian sendiri tinggal di sebuah rumah gedung di tengah perkampungan, sedangkan anak buahnya tinggal di pondok-pondok di sekeliling rumah gedung itu bersama keluarga mereka. Huo Lo-sian tidak mempunyai keluarga. Sejak dulu datuk ini tidak pernah berkeluarga, hanya hidup seorang diri saja. Wataknya amat aneh dan ganas maka andaikata dia berkeluarga, tentu keluarganya tidak akan dapat tinggal bersama seorang seperti dia.
Tentu saja wataknya yang ganas liar dan kasar itu dicontoh anak buahnya. Anak buahnya dapat dikenal dengan pakaian mereka yang serba hijau. Mereka memang segolongan perampok, akan tetapi kalau saja ada yang berani melanggar wilayah kekuasaan mereka, jangan harap orang itu dapat keluar dari situ dengan selamat!
Adapun tokoh yang menguasai bagian Utara pegunungan itu adalah sepasang orang kembar yang di dunia kang-ouw dikenal sebagai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), Yang pertama atau yang lebih tua berjuluk Hek Mo-ko (Iblis Hitam), disebut demikian karena memang mukanya hitam seperti arang, juga kedua telapak tangannya hitam. Adapun orang kedua atau yang lebih muda dijuluki Pek Mo-ko, yang artinya Iblis Putih. Muka Pek Mo-ko juga aneh, putih seperti kapur sehingga lebih mengerikan lagi dibandingkan kakaknya. Juga telapak tangan Pek Mo-ko berwarna putih seperti kapur.
Kalau bagian barat yang menjadi tempat tinggal Huo Lo-sian disebut Bukit Merah, maka bagian Utara tempat tinggal Hek Pek Mo-ko inl dlkenal dengan sebutan Bukit Batu. Hek Pek Mo-ko juga mempunyai anak buah sebanyak kurang lebih limapuluh orang.
Di bagian selatan pegunungan itu, disebut Bukit Cemara, menjadi markas perkumpulan Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang sebetulnya memiliki cabang hampir di semua kota besar, bahkan di kota raja juga ada. Akan tetapi pusatnya, atau tempat tinggal tokoh utama berada di Bukit Cemara di bagian Selatan Pegunungan Thai-san. Ketuanya adalah seorang pengemis tua berusia sekitar limapuluh lima tahun yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan). Di situ tinggal kurang lebih seratus orang murid atau anggautanya.
Perkumpulan ini dahulunya juga merupakan perkumpulan orang-orang yang anti penjajah. Akan tetapi setelah penjajah Mongol berkuasa, mereka menjadi diam dan tidak acuh. Hal ini adalah karena mereka takut kalau-kalau pemerintah baru akan membasmi mereka. Karena mereka merupakan perkumpulan pengemis, maka tentu akan mudah diketahui pemerintah dan tidak sulit membasmi para pengemis ini. Demikianlah, Kui-tung Sin-kai memberi peringatan keras kepada para anggautanya di seluruh kota-kota besar agar tidak mengambil sikap memusuhi pemerintah.
Demikianlah, di empat penjuru Pegunungan Thai-san terdapat empat golongan yang dipimpin orang-orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja besar kemungkinan masih ada tokoh-tokoh rahasia yang lain yang menyendiri, pertapa-pertapa sakti yang mengasingkan diri dari dunia luar.
Akan tetapi, yang paling terpandang dan disegani di dunia persilatan tentu saja adalah Thai-san-pai, sebuah perguruan silat yang terkenal memiliki murid-murid yang menjadi pendekar gagah perkasa. Thai-san-pai, seperti aliran persilatan lain kecuali Siauw-lim-pai yang dipimpin para hwesio (Pendeta Buddha) yang menyebarkan Agama Buddha, dipimpin oleh para tosu (Pendeta Agama To).
Pada waktu itu, yang menjadi ketua Thai-san-pai adalah Thai-san Sianjin Thio Kong, seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun. Wajahnya bersih tanpa kumis, hanya terhias jenggot pendek yang dipotong rapi sehingga tampak tampan. Namun tarikan mulut dan pandang matanya menimbulkan kesan angkuh, seperti sikap kebanyakan pemimpin perkumpulan yang besar dan kuat. Selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga saktinya.
Thai-san Sianjin ini amat terkenal kelihaian siang-kiamnya (sepasang pedang nya). Murid Thai-san-pai terdiri dari sekitar seratus orang dan ketuanya diwakili lima orang sutenya (adik seperguruannya). Mereka berlima itu dikenal dengan sebutan Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti Thai-san). Sebagai adik-adik seperguruan Ketua Thai-san-pai, tentu saja ilmu silat mereka juga tinggi. Bahkan kalau mereka berlima maju bersama, tingkat kepandaian mereka hanya kalah sedikit dibandingkan tingkat suheng (kakak seperguruan) mereka.
Pada masa itu, biarpun terdapat banyak agama dan aliran kebatinan, namun yang terbesar dan dianut sebagian besar rakyat adalah tiga agama, yaitu Agama Buddha, Agama To, dan Agama Khong-hu-cu. Sungguhpun semua agama di dunia ini berdasarkan wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa, yang diturunkan kepada manusia untuk memberi tuntunan agar manusia hidup di dunia ini dapat menjadi penyalur berkat dari Tuhan, saling mengasihi, saling tolong, dan bersama-sama mengatur agar kehidupan manusia di dunia ini tenteram, damai, aman dan sejahtera, namun kenyataannya oleh manusia bahkan dipertentangkan.
Banyak yang tidak dapat melihat kenyataan bahwa semua agama itu menuntun manusia agar mendekati dan kembali kepada Sang Sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Tunggal. Memang cara yang ditempuh saling berbeda karena wahyu-wahyu itu diturunkan dalam waktu yang berbeda, kepada bangsa yang latar beIakang kebudayaannya berbeda. Namun, biarpun cara atau jalan itu berlainan dan berbeda, itu hanya merupakan upacaranya belaka. Intinya adalah membimbing manusia agar berusaha mendekati Tuhan dengan hidup sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Bukti bahwa semua agama itu merupakan wahyu dari Tuhan adalah bahwa semua agama, biarpun dengan cara yang berbeda, pada intinya adalah hidup melalui jalan kebenaran dan kebajikan, dan menjauhi dosa dan kejahatan.
Namun sungguh menyedihkan melihat betapa manusia dikuasai oleh nafsu-nafsunya sendiri sehingga memiliki ke-akuan yang amat kuat, lebih kuat daripada pelajaran agama masing-masing. Karena ke-akuan inilah yang masing-masing menganggap agama sendiri yang benar, jalannya sendiri yang tepat menuju kepada Tuhan, sedangkan agama lain itu salah dan nyeleweng, bahkan ada yang lebih bengis lagi menganggap bahwa Tuhan yang disembah agama lain itu bukan Tuhan mereka, bukan Tuhan yang aseli! Masing-masing memperebutkan Kebenaran, lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu sudah tidak benar lagi.
Ada pula golongan yang dapat menerima tiga agama terbesar saat itu. Mereka mempelajari ketiganya dan melihat perpecahan bahkan permusuhan di antara agama-agama itu, mereka lebih suka mengasingkan diri, bertapa di tempat-tempat sunyi, tidak mencampuri urusan manusia ramai yang hanya mendatangkan pertentangan dan permusuhan.
Thai-san-pai termasuk umat beragama To yang bersikap keras, yang menolak pelajaran agama lain, menganggap golongan sendiri yang paling benar, paling baik, dan karenanya paling dekat dengan Tuhan, seolah Tuhan hanya milik pribadi golongan mereka sendiri. Sikap umat beragama seperti inilah yang menimbulkan persaingan dan pertentangan sehingga seringkali terjadi perang di antara mereka.
Biarpun Thai-san-pai menganut aliran agama yang teguh dan fanatik, namun mereka tidak pernah memusuhi golongan atau agama lain secara terbuka. Mereka bukanlah golongan sesat yang memiliki watak jahat.
Karena berita tentang harta karun yang dicuri orang yang mengaku berasal dari Thai-san itu tersebar luas, maka Thai-san-pai juga sudah mendengar berita itu. Thai-san Sianjin memanggil kelima orang sutenya dan mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa akibat pengakuan pencuri harta karun itu, pasti Thai-san-pai merupakan satu di antara golongan yang dicurigai mencuri harta karun. Juga diam-diam mereka ingin ikut menemukan harta karun itu, karena di lubuk hati para pimpinan Thai-san-pai itu, mereka juga membenci pemerintahan penjajah Mongol dan mereka akan merasa lebih suka kalau harta karun terjatuh ke tangan para pejuang. Mulai hari itu, para murid diperintahkan untuk melakukan penjagaan ketat di sekeliling perkampungan Thai-san-pai. Bahkan Thai-san Ngo-sin-kiam sendiri sering mengadakan perondaan, menjaga segala kemungkinan.
Pada suatu pagi, ketika matahari telah naik agak tinggi sehingga sinarnya mulai mengusir hawa dingin di puncak bukit yang menjadi markas Thai-san-pai, tampak Pouw Cun Giok berjalan santai di samping sepasang gadis kembar, yaitu The Kui Lan dan The Kui Lin. Seperti kita ketahui, Cun Giok bersahabat dengan sepasang gadis kembar puteri The Toanio majikan Lembah Seribu Bunga dan ketika dia bercerita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dicuri orang, Kui Lan dan Kui Lin merengek kepada ibu mereka, minta agar diperkenankan ikut dan membantu Cun Giok mencari harta karun itu ke Thai-san.
Ketika mereka bertiga tiba di kaki Pegunungan Thai-san yang amat luas, Kui Lin berkata dengan alis berkerut.
"Wah, Thai-san merupakan pegunungan yang demikian panjang dan luasnya. Bagaimana mungkin mencari pencuri itu" Untuk menjelajahi pegunungan ini, kukira biar sampai bertahun-tahun sekalipun pasti tidak akan dapat selesai!"
"Kukira tidak perlu menjelajahi seluruh pegunungan ini, Lin-moi," kata Cun Giok. "Aku mendengar bahwa perkumpulan terbesar di daerah ini adalah Thai-san-pai, aliran persilatan yang cukup terkenal walaupun tidak sebesar Siauw-lim-pai atau Bu-tong-pai. Aku memang tidak percaya kalau Thai-san-
pai yang terdiri dari para pendekar itu melakukan pencurian harta karun dan dengan sombongnya menantang para ahli silat dengan memberitahukan tempat tinggalnya. Akan tetapi setidaknya kita akan bisa mendapatkan keterangan dari mereka."
"Kalau begitu sebaiknya kita mencari dan mengunjungi Thai-san-pai, Giok-ko!" kata Kui Lan.
Mereka lalu mencari keterangan kepada penduduk dusun di sekitar kaki Pegunungan Thai-san. Dengan mudah mereka mendapatkan keterangan karena semua orang di daerah itu tahu belaka di mana adanya markas Thai-san-pai, yaitu di bagian Timur pegunungan itu.
05.2. Sambutan Tokoh-tokoh Thai-san-pai
Demikianlah, pagi hari itu, Cun Giok, Kui Lan dan Kui Lin mendaki bukit yang menjadi asrama Thai-san-pai. Keindahan pemandangan alam di sekeliling mereka ketika mereka mendaki bukit di pagi hari itu membuat mereka berjalan dengan santai sambil menikmati keindahan panorama sepuas hati. Kui Lin yang berwatak riang dan lincah itu berulang-ulang mengeluarkan seruan kagum memuji keindahan itu.
Setelah tiba di lereng paling tinggi, mereka bertiga memandang takjub. Bukan main luasnya pegunungan itu. Pun"cak-puncak bukit menjulang di sekelilingnya dan mereka merasa betapa di setiap bukit itu mungkin saja menjadi kediaman si pencuri harta karun! Akan tetapi yang mana" Benar Kui Lin tadi, kalau harus dikunjungi satu demi satu, mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun!
Akhirnya mereka itu tiba di depan perkampungan Thai-san-pai. Terdapat sebuah gapura besar dan di atas gapura terdapat papan nama THAI-SAN-PAI yang ditulis dengan huruf-huruf besar yang gagah dan indah.
Tiba-tiba dari dalam gapura itu berloncatan tujuh orang laki-laki yang memegang pedang terhunus. Mereka adalah anak murid Thai-san-pai yang melakukan penjagaan. Ketika dari jauh mereka melihat seorang pemuda dan dua orang gadis mendaki puncak, mereka bersembunyi di balik gapura dan mengintai gerak-gerik mereka. Melihat tiga orang pengunjung itu tampak santai dan tidak menimbulkan kesan mencurigakan, setelah Cun Giok dan dua orang gadis kembar tiba di depan gapura, mereka bertujuh berlompatan keluar dan menghadang di depan tiga orang pengunjung itu.
"Berhenti!" Seorang di antara mereka yang paling tua, berusia sekitar empatpuluh tahun, menegur dengan suara lantang. "Kalian bertiga melanggar wilayah Thai-san-pai! Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang berkunjung ke tempat kami?"
Sikap tujuh orang yang memandang penuh kecurigaan itu membuat Kui Lin merasa jengkel. "Uih, Giok-ko, apakah mereka ini murid-murid Thai-san-pai yang kaubilang terdiri dari para pendekar" Sikapnya lebih mendekati penjahat daripada pendekar!"
Biasanya, kalau atasan bersikap keras kepada bawahannya, maka si bawahan itupun bersikap keras kepada yang lebih rendah kedudukannya, dan yang paling bawah tentu bersikap keras pula kepada orang lain. Tujuh orang murid atau anak buah Thai-san-pai ini pun demikian. Karena sudah terbiasa menghadapi sikap keras dari atasan mereka, kini mereka pun memuntahkan sikap keras mereka terhadap orang lain.
"Kami adalah murid-murid Thai-san-pai yang gagah, dan kalian bertiga tentulah orang-orang yang tidak mempunyai niat baik. Maka, menyerahlah kalian untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami!" hardik kepala regu penjaga itu. Dia memandang dengan mata melotot dan tujuh orang murid itu melintangkan pedang di depan dada dan tangan kiri mereka bertolak pinggang.
Kui Lin yang lincah dan galak itu bertolak pinggang dengan kedua tangannya, melangkah maju dengan sikap menantang dan berkata sambil tersenyum mengejek.
"Apa" Tikus-tikus macam kalian ini hendak menangkap kami" Tidak usah menangkap kami bertiga, kalian coba tangkap aku saja, kalau kalian berhasil baru kalian patut menjadi murid-murid Thai-san-pai!" Tantangan dengan sikap mengejek dan merendahkan ini tentu saja membuat tujuh orang murid Thai-san-pai itu marah sekali.
"Tangkap gadis sombong ini!" teriak kepala regu itu dan tujuh orang murid Thai-san-pai itu bergerak maju setelah menyimpan pedang masing-masing. Tangan-tangan mereka meluncur seolah berebutan untuk dapat menangkap gadis yang tertawa-tawa mengejek itu.
"Lin-moi, jangan lukai orang!" seru Kui Lan yang khawatir kalau-kalau adiknya melukai dan membunuh orang. Padahal mereka datang berkunjung ke Thai-san-pai bukan dengan niat bermusuhan.
Biarpun wataknya keras, namun Kui Lin bukan seorang gadis kejam dan dia selalu taat kepada kakak kembarnya. Maka, ketika tujuh orang itu menyerbu, ia pun mengandalkan kelincahan gerakannya, mengerahkan gin-kang dan tubuhnya berkelebatan di antara para pengeroyoknya. Jari-jari tangannya yang lembut dan kecil runcing itu pun menotok ke kanan kiri dan tubuh tujuh orang murid Thai-san-pai itu pun berpelantingan roboh dan tidak dapat berkutik pula karena jalan darah mereka tertotok sehingga tubuh mereka lemas tidak mampu menggerakkan tangan dan kaki lagi!
Kui Lin mengusap-usap dan mengebut-ngebutkan kedua telapak tangannya seolah hendak membersihkan bekas sentuhan tangannya kepada tubuh tujuh orang pengeroyok itu.
Tiba-tiba terdengar seruan "Siancai......!" dan tampak bayangan lima orang berkelebat. Tahu-tahu di situ muncul lima orang berpakaian tosu (Pendeta To) yang masing-masing mempunyai pedang di punggung mereka. Seorang di antara mereka yang paling tua, usianya sekitar limapuluh dua tahun, berjenggot panjang dan rambutnya diikat ke atas dengan sehelai pita putih, memandang ke arah tiga orang muda itu, lalu memandang kepada tujuh orang murid yang rebah tanpa luka namun tidak mampu bergerak itu. Dia lalu menghampiri para murid dan jari tangannya menotok mereka satu demi satu. Tujuh orang murid itu dapat bangkit berdiri dan dengan suara ribut mereka berkata.
"Suhu, gadis liar ini......"
Tosu itu membentak dengan suara tegas. "Kalian mundur! Bikin malu saja!" Mendapatkan bentakan ini, tujuh orang murid itu pun mundur dengan patuh setelah membungkuk dengan hormat.
Kui Lin terkekeh senang. "Nah, bagus! Murid-murid kurang ajar harus mendapatkan teguran keras!"
Tosu itu adalah Song Bu Tosu, orang pertama dari Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti dari Thai-san). Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Kui Lin yang masih tersenyum.
"Nona, engkaukah yang menghina murid-murid kami dan menotok mereka?"
Sebelum Kui Lin menjawab, Cun Giok yang tidak ingin gadis lincah galak itu memperburuk keadaan dengan sikapnya yang keras, cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat.
"To-tiang (Bapak Pendeta), harap maafkan kelancangan Adik kami. Kami datang tidak dengan niat buruk, melainkan hendak menghadap Lo-cianpwe Thai-san Sianjin. Akan tetapi tujuh orang murid tadi bersikeras hendak menangkap kami sehingga timbul pertengkaran antara mereka dengan Adik kami ini. Maafkan kami, To-tiang dan perkenankan kami menghadap Ketua Thai-san-pai."
Song Bu Tosu yang tadinya marah kepada Kui Lin, menjadi agak reda kemarahannya melihat sikap dan kata-kata Cun Giok yang lembut dan sopan.
"Orang muda, kalian bertiga ini siapakah dan apa keperluan kalian ingin bicara dengan Ketua Thai-san-pai?"
"Perkenalkan, To-tiang, saya bernama Pouw Cun Giok......"
"Siapa gurumu?" Song Bu Tosu memotong, seolah nama pemuda itu tidak ada artinya baginya, maka dia menanyakan gurunya.
"Suhu adalah mendiang Suma Tiang Bun, kemudian Kakek Guru saya Pek-kong Lojin membimbing saya."
Mendengar nama dua orang tokoh itu, lima orang tosu itu agak terkejut juga. "Hemm, siapa tidak mengenal nama besar Suma Tiang Bun, pendekar pahlawan bangsa murid Siauw-lim-pai itu" Sayang sungguh sayang, sekarang Siauw-lim-pai bukan lagi perkumpulan pahlawan bangsa, melainkan penjilat bangsa Mongol! Siapa dua orang gadis kembar ini" Apakah juga murid-murid Siauw-lim-pai?"
"Kami bukan murid Siauw-lim-pai!" Kui Lin berseru. "Kami adalah puteri Ibu kami yang menjadi majikan Lembah Seribu Bunga!"
Mendengar ini, lima orang tosu itu saling pandang dan mereka merasa terkejut. Mereka sudah pernah mendengar tentang Lembah Seribu Bunga yang kabarnya merupakan tempat yang amat gawat, tempat yang amat sukar didatangi karena mengandung banyak alat rahasia dan jebakan berbahaya. Juga mereka mendengar bahwa majikan Lembah Seribu Bunga yang disebut The Toanio adalah seorang wanita aneh yang tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw akan tetapi yang memiliki kepandaian tinggi.
"To-tiang, sekali lagi kami bertiga mohon maaf atas kelancangan kami berkunjung ke Thai-san-pai dan mohon Totiang memberi kesempatan kepada kami untuk bertemu dan menghadap Ketua Thai-san-pai," kata Cun Giok.
"Siancai! Suheng kami Ketua Thai-san-pai tidak mempunyai banyak waktu untuk bertemu dengan sembarang orang. Akan tetapi mendengar bahwa kalian bertiga adalah murid-murid orang pandai, kami hendak menguji kebenaran keterangan kalian."
Tosu itu menggerakkan tangan kanannya ke belakang punggung dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. "Kalau engkau sebagai wakil kalian bertiga mampu menandingi ilmu pedang pinto (aku) selama lebih dari tigapuluh jurus, maka kalian cukup berharga untuk menghadap Ketua Thai-san-pai."
"Giok-ko, biarkan aku yang maju menandinginya!" kata Kui Lin.
"Lin-moi, biar aku yang mewakili kalian," kata Cun Giok.
"Giok-ko, aku tidak takut padanya!" kata Kui Lin.
"Lin-moi, jangan mencampuri. Biarkan Giok-ko yang mengambil keputusan!" kata Kui Lan menegur adiknya dan Kui Lin tidak membantah lagi, hanya memandang kepada lima tosu itu dengan mulut diruncingkan, cemberut.
Cun Giok menjura kepada Song Bu Tosu. "Totiang, kami datang berkunjung bukan untuk menguji kepandaian. Kami percaya sepenuhnya bahwa ilmu pedang Totiang berlima pasti amat tinggi dan lihai. Kami tidak berani main-main dan harap Totiang perkenankan kami menghadap Ketua Thai-san-pai."
"Tidak bisa, kalau kalian tidak mau diuji tingkat kepandaian kalian atau seorang di antara kalian, maka terpaksa kami tidak dapat mengijinkan kalian memasuki markas kami."
Cun Giok menghela napas panjang. Dia tahu bahwa lima orang tosu itu agaknya berwatak keras dan seperti kebanyakan ahli silat, selalu haus untuk menguji kepandaian dengan orang lain.
"Baiklah, Totiang, saya akan melayani kehendak Totiang, akan tetapi harap Totiang menaruh hati kasihan kepada saya yang bodoh." Setelah berkata demikian, dengan perlahan Cun Giok mencabut pedangnya dan tampaklah sinar keemasan ketika pedang Kim-kong-kiam berada di tangannya.
"Kim-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Emas)?" kata Song Bu Tosu sambil memandang pedang di tangan Cun Giok dengan mata terbelalak.
"Benar, Totiang. Pedang ini pemberian mendiang Suhu Suma Tiang Bun," jawab Cun Giok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
Biarpun kaget melihat Kim-kong-kiam, Song Bu Tosu tentu saja tidak merasa gentar karena melihat bahwa calon lawannya itu masih amat muda usia sehingga betapapun pandainya tidak mungkin dapat menandinginya yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun! Dia membuat gerakan perlahan mengatur pasangan kuda-kuda ilmu pedang Thai-san Kiam-hoat (Ilmu Pedang Thian-san), pedangnya menjulur lurus ke depan menyambung pundak dan dua jari tangan kirinya menunjuk ke atas.
"Orang muda, bersiaplah dan coba tahan seranganku."
"Saya sudah siap, Totiang. Harap Totiang tidak terlalu mendesak."
"Sambutlah, hiaaaattt?"!" Tosu itu menggerakkan tubuhnya dan pedangnya berubah menjadi sinar yang gemilang menyambar ke arah leher Cun Giok dengan jurus San-jin-sia-houw (Orang Gunung Menahan Harimau).
Cun Giok maklum bahwa lawannya seorang ahli pedang yang amat tangguh, maka dia pun cepat memutar tubuh ke samping sambil mengelebatkan pedangnya untuk menangkis. Tentu saja dia membatasi tenaganya karena dia sadar akan keampuhan Kim-kong-kiam dan tidak ingin merusak pedang tosu itu.
"Tranggg?"!" Bunga api berpijar dan merasa betapa tangannya tergetar, Song Bu Tosu melangkah ke belakang untuk memeriksa pedangnya. Bagaimanapun juga, melihat Kim-kong-kiam tadi, dia merasa khawatir kalau pedangnya rusak walaupun pedangnya itu juga sebatang pedang pusaka yang ampuh. Melihat pedangnya masih utuh tidak rusak sama sekali, tosu itu berbesar hati dan mengira bahwa lawannya tadi telah mengerahkan seluruh sin-kangnya akan tetapi pedangnya tidak sampai rusak. Nama besar Kim-kong-kiam itu agaknya hanya kosong belaka.
"Hiaaattt?"!" Dia menyerang lagi dengan jurus Cap-sha-kiam-ci-tian (Tigabelas Pedang Mengeluarkan Kilat). Ini merupakan jurus ampuh dari Thai-san Kiam-hoat. Merupakan serangan berantai yang kesemuanya terdiri dari tigabelas jurus serangan pedang yang susul menyusul dan amat sukar bagi lawan untuk dapat membebaskan diri dari serangan berantai susul menyusul yang amat cepat ini.
Cun Giok membela diri dengan mengelak, berlompatan ke sana-sini, bahkan terkadang harus bergulingan dan ada kalanya pedangnya menangkis. Rangkaian serangan itu datang seperti hujan, seolah olah pedang di tangan tosu itu telah berubah menjadi tigabelas batang pedang yang menyambar-nyambar seperti kilat.
Bukan main heran dan penasaran rasa hati tosu itu setelah tigabelas jurus serangannya sama sekali tidak mengenai tubuh lawan, dan semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua jurus simpanannya, namun semua hasilnya sia-sia belaka. Karena pemuda itu hanya mengelak dan menangkis, sama sekali tidak pernah membalas, dia merasa penasaran dan juga marah karena sikap pemuda itu seperti mempermainkan atau memandang rendah padanya. Maka, sambil mempercepat serangannya, dia berseru.
"Orang muda, balaslah seranganku!" Tadinya dia mengira bahwa Cun Giok tidak mampu membalas karena terdesak olehnya dan tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangannya. Akan tetapi kini dia mulai menyadari bahwa pemuda itu mengalah dan tidak mau membalas. Hal ini membuat dia penasaran sekali.
Kini Song Bu Tosu mengeluarkan jurus simpanannya, yaitu Sin-kiam-toat-beng (Pedang Sakti Pencabut Nyawa), yaitu ilmu pedang yang tidak pernah diajarkan kepada para murid. Yang menguasai ilmu pedang ini hanyalah Sang Ketua dan lima orang sutenya ini. Maka dapat dibayangkan betapa dahsyat ilmu pedang ini yang merupakan ilmu pedang simpanan dari para pimpinan Thai-san-pai dan hanya kalau keadaan amat mendesak, baru ilmu ini dikeluarkan. Agaknya, Song Bu Tosu yang berwatak keras itu lupa bahwa dia hanya ingin menguji kepandaian Cun Giok. Baginya, karena sejak tadi serangannya gagal, dia merasa dipermalukan kalau tidak mampu mengalahkan pemuda itu.
Ketika dia mainkan ilmu pedang ini, terdengar suara berdesingan, dan angin gerakan pedang itu menyambar-nyambar, pedangnya lenyap menjadi gulungan sinar putih yang melingkar-lingkar. Sepasang gadis kembar itu sampai merasa khawatir, bahkan Kui Lin yang biasanya tak kenal takut dan galak itu kini diam dan hanya memandang dengan mata terbelalak, demikian pula Kui Lan.
Empat orang tosu itu pun terbelalak, bukan karena kehebatan ilmu pedang Song Bu Tosu yang juga mereka kuasai itu, melainkan karena kini tampak pemandangan yang luar biasa dalam pertandingan ilmu pedang itu. Tiba-tiba saja bayangan Cun Giok lenyap sama sekali dan yang ada hanya sinar kuning emas yang bergulung-gulung mengelilingi Song Bu Tosu dan gerakan pedangnya. Gulungan sinar pedang putih dari tosu itu makin lama semakin mengecil dan menciut, seolah terdesak dari luar oleh sinar kuning emas yang berputar mengelilinginya! Setelah beberapa lama saat lamanya, terdengar seruan Song Bu Tosu.
"Siancai......! Cukup sudah......!" Bayangannya melompat jauh ke belakang dan dia sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan, lalu dimasukkannya pedangnya itu kembali ke sarung pedang di punggungnya. Gulungan sinar kuning emas itu pun lenyap dan tahu-tahu Cun Giok sudah berdiri di depan Song Bu Tosu dengan pedang sudah disimpannya kembali.
Kini Song Bu Tosu memandang pemuda itu dengan sinar mata kagum. Dia tadi kehilangan lawannya dan menjadi bingung, juga khawatir. Kalau lawannya menyerangnya, maka amat berbahaya baginya. Akan tetapi pemuda itu tidak menyerangnya sehingga dia melompat keluar dari medan perkelahian karena merasa bahwa kalau dilanjutkan, dia pasti akan kalah.
"Pouw-sicu (Orang Gagah Pouw), ilmu pedangmu sungguh luar biasa sekali!" katanya dengan nada suara sungguh-sungguh.
"Totiang telah banyak mengalah. Terima kasih atas petunjuk Totiang," kata Cun Giok merendah.
"Hemm, sekarang baru tahu akan kelihaian Bu-eng-cu!" kata Kui Lin dengan lantang.
Mendengar disebutnya julukan ini, Song Bu Tosu membelalakkan matanya. "Ah, jadi engkaukah Bu-eng-cu yang menggemparkan kota raja itu?"
"Tentu saja Giok-ko adalah Bu-eng-cu!" kata Kui Lin. "Sekarang bagaimana" Bolehkah kami bertemu Ketua Thai-san-pai ataukah kami enci adik juga akan kau uji?"
Kini tahulah lima orang tosu itu bahwa tiga orang muda yang datang ini memang benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan mereka tidak ragu lagi bahwa dua orang gadis kembar itu juga benar-benar puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Mereka kini bersikap lain dan Song Bu Tosu menghela napas panjang.
05.3. Wejangan Ketua Thai-san-pay
"Pouw-sicu dan Ji-wi The-siocia (Kedua Nona The), apakah kedatangan kalian ini ada hubungannya dengan harta karun Kerajaan Sung yang ramai dibicarakan itu?"
"Hei! Bagaimana Totiang tahu?" Kui Lin bertanya heran.
"Berita itu kami dengar dibicarakan ramai di dunia kang-ouw, kabarnya harta karun itu dicuri orang yang bertempat tinggal di Thai-san-pai. Keadaan yang tidak menentu ini, yang mungkin membuat sebagian orang menduga bahwa kami yang menjadi pencurinya, membuat kami mencurigai siapa saja yang datang ke sini. Karena itu ketika kalian muncul, tentu saja kami menaruh curiga. Sekarang kami percaya bahwa engkau adalah Bu-eng-cu dan dua orang Nona ini puteri-puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Maka, marilah kalian kami antarkan menghadap Suheng Thai-san Sianjin."
Mereka lalu memasuki perkampungan Thai-san-pai yang terdiri dari sebuah kuil besar dan beberapa bangunan kecil. Thai-san Sianjin, ketua Thai-san-pai yang tinggal di kuil itu menerima mereka dalam sebuah bangunan tanpa dinding yang berada di tengah sebuah taman. Ketua itu bersama lima orang sutenya mempersilakan Cun Giok, Kui Lan dan Kui Lin duduk dalam ruangan tanpa dinding yang kecil namun indah itu. Udara amat sejuknya dan keharuman bunga di taman itu menyambut mereka.
Ketika Cun Giok bertiga memberi hormat kepada Thai-san Sianjin dan diperkenalkan oleh Song Bu Tosu, Thai-san Sianjin Thio Kong tersenyum mengangguk-angguk sambil merangkap kedua telapak tangan depan dada sebagai sambutan penghormatan.
"Siancai......!" Dia berseru gembira. "Sungguh merupakan kegembiraan besar sekali bagi Thai-san-pai dapat menyambut kunjungan murid Suma Tiang Bun dan Pek-kong Lojin, juga dua orang puteri Nyonya The dari Lembah Seribu Bunga. Duduklah, Pouw-sicu dan kalian juga, dua orang Nona, dan ceritakan apa keperluan kalian bertiga datang berkunjung ke Thai-san-pai dan ingin berjumpa dengan pinto (saya)."
"Maafkan kami bertiga yang telah mengganggu ketenangan di sini, Lo-cianpwe. Terus terang saja kunjungan kami bertiga ini ada hubungannya dengan hilangnya harta karun Kejaraan Sung. Kami bertiga bertugas untuk mencarinya......"
"Siancai......!" Ketua Thai-san-pai itu memotong sambil mengerutkan alisnya yang sudah beruban. "Berita yang menggemparkan itu sudah pinto dengar. Akan tetapi, apakah kalian tiga orang-orang muda ini mempunyai dugaan bahwa kami yang mencuri harta karun itu?" Suaranya mengandung penasaran karena kalau Thai-san-pai dituduh mencuri, hal itu sungguh merupakan penghinaan!
"Sama sekali tidak, Lo-cianpwe. Justeru kedatangan kami menghadap Lo-cianpwe adalah untuk mohon petunjuk Lo-cianpwe, siapa kiranya pencuri yang berani mengambil harta karun yang menjadi hak para pejuang untuk membela tanah air dari penjajahan bangsa Mongol," kata Cun Giok.
"Siancai, pinto tidak berani sembarangan menyangka seseorang sebelum mendengar bagaimana terjadinya pencurian itu, dan siapa yang memiliki peta harta karun sehingga jelas siapa yang berhak. Akan tetapi, besar kemungkinan yang merampas atau mencurinya tentulah pihak Pemerintah Mongol."
"Saya kira bukan, Lo-cianpwe, karena mereka pun masih mencari."
Cun Giok lalu menceritakan betapa dahulu Thaikam Bong dari Kerajaan Sung korup mencuri harta itu dari istana Sung dan menyembunyikan harta karun itu lalu membuat sehelai peta. Ketika mendiang Panglima Sung Liu Bok Eng membasminya, Liu Bok Eng mendapatkan peta itu dan sebelum dia dibunuh para panglima Mongol, dia meninggalkan peta itu kepada puterinya, yaitu Liu Ceng Ceng. Kemudian dia menceritakan dengan singkat betapa Liu Ceng Ceng, dia dan seorang gadis lain tertawan oleh Panglima Mongol Kim Bayan dan terpaksa mereka bertiga menyerahkan peta dan bahkan membantu panglima itu mencari harta karun. Harta karun itu akhirnya ditemukan, berada di Bukit Sorga di dekat kota raja yang kini menjadi tempat tinggal Cui-beng Kui-ong.
"Demikianlah, Lo-cianpwe. Tempat harta karun dapat ditemukan akan tetapi ketika digali, yang ada hanya peti harta yang sudah kosong dan di dalamnya terdapat tulisan THAI SAN. Maka, jelaslah bahwa pencuri itu bukan Pemerintah Mongol, kemungkinan besar pencurinya bertempat tinggal di Thai-san. Maka kami mohon petunjuk Lo-cianpwe, siapa kiranya yang patut dicurigai."
Mendengar cerita Cun Giok tadi, Ketua Thai-san-pai dan lima orang sutenya saling pandang dan kini Thai-san Sianjin menghela napas panjang.
"Siancai......! Panglima Kim Bayan itu dibantu Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li, sepasang iblis yang sakti dan amat jahat itu" Wah, kalau bukan Pemerintah Mongol yang mengambilnya, tentu dicuri orang yang berilmu tinggi! Akan tetapi mungkinkah ada pencuri yang mengakui tempat tinggalnya" Pinto kira pencuri harta karun yang amat berharga itu bukan orang yang demikian tololnya untuk memberitahukan tempat tinggalnya. Siapa tahu hal itu hanya untuk menyesatkan para pencarinya dan untuk menghilangkan jejaknya, Pouw-sicu."
"Memang kami juga sudah memikirkan kemungkinan itu, Lo-cianpwe. Akan tetapi karena kami tidak tahu harus mencari ke mana, maka terpaksa kami melakukan penyelidikan ke Thai-san, siapa tahu pencuri itu memang seorang yang amat sombong sehingga dia berani menentang siapa saja yang hendak merampas harta karun dari tangannya."
"Pouw-sicu dan The-siocia berdua, Thai-san-pai sejak dulu membenci penjajah Mongol. Tentu saja kami tidak dapat berbuat apa-apa karena apa artinya kekuatan kami yang hanya kurang lebih seratus orang dibandingkan balatentara mereka yang ratusan ribu jumlahnya. Akan tetapi, kalau ada usaha perjuangan menentang mereka, kami pasti akan mendukung dan membantu. Kami siap membantu kalian yang hendak mencari pencuri itu dan merampas kembali harta karun Kerajaan Sung yang sepatutnya diserahkan kepada para pejuang untuk membiayai perjuangan mereka mengusir penjajah Mongol dari tanah air."
"Bagus sekali!" Kui Lin berseru gembira. "Sekarang baru aku percaya bahwa Thai-san-pai adalah perkumpulan para pendekar!"
"Lo-cianpwe, terima kasih atas kesiapan Thai-san-pai untuk membantu agar harta karun itu dapat dirampas kembali dan diserahkan kepada yang berhak. Sekarang kami mohon petunjuk, siapakah kiranya tokoh di daerah pegunungan ini yang pantas dicurigai."
"Memang ada beberapa tokoh dari berbagai golongan yang bertempat tinggal di daerah pegunungan Thai-san ini. Akan tetapi, untuk menduga siapa yang kiranya mencuri harta karun itu, memang sukar. Huo Lo-sian (Dewa Api) yang tinggal di Bukit Merah sebelah Barat pegunungan ini memang merupakan datuk sesat. Akan tetapi dia seorang yang kaya raya sehingga meragukan juga kalau menyangka dia yang melakukan pencurian itu."
"Bagaimana kalau Hek Pek Mo-ko (Sepasang Iblis Hitam Putih) itu, Lo-cianpwe?" tanya Kui Lin.
"Siancai, agaknya kalian sudah menyelidiki tentang tokoh-tokoh yang berada di pegunungan ini!" kata Ketua Thai-san-pai itu. "Sepasang Iblis Hitam Putih itu memang dapat digolongkan tokoh sesat juga. Mereka ganas, kejam, dan tinggal di Bukit Batu sebelah Utara pegunungan. Akan tetapi entahlah, apakah mereka berdua dengan anak buah mereka yang sekitar limapuluh orang banyaknya itu mencuri harta pusaka Kerajaan Sung. Mereka memang terkenal suka memaksakan kehendak sendiri dengan mengandalkan kekuatan dan kekerasan, akan tetapi pinto belum pernah mendengar mereka melakukan pencurian."
"Dan Ang-tung Kai-pang itu bagaimana, Lo-cianpwe?" tanya Pouw Cun Giok.
"Mereka itu golongan pengemis dan biasanya mereka itu membenci pencurian. Selain itu, biasanya mereka pun tidak suka kepada Pemerintah Penjajah Mongol. Ketuanya, Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan) merupakan kenalan baik dari kami dan sukar menuduh mereka melakukan pencurian."
"Selain mereka itu, apakah masih ada tokoh lain, Lo-cianpwe?"
Ketua Thai-san-pai mengangguk-angguk. "Thai-san ini amatlah luasnya, Sicu dan terdapat banyak tempat yang sunyi dan baik sekali bagi mereka yang ingin mengundurkan diri dari dunia ramai dan bertapa. Tentu banyak pertapa di daerah ini yang tidak mau mencampuri urusan dunia dan bukan mustahil kalau di antara mereka itu terdapat banyak orang-orang sakti. Sebaiknya sekarang kalian bertiga mengaso dulu. Pinto melihat kedua orang Nona ini sudah tampak kelelahan." Ketua Thai-san-pai lalu menoleh kepada Song Bu Tosu dan berkata. "Sute, ajaklah kedua orang Nona ini ke dalam dan suruh beberapa orang anggauta wanita menyiapkan kamar untuk mereka."
Song Bu Tosu mengangguk, lalu dia bangkit berdiri dan berkata kepada sepasang gadis kembar itu dengan sikap hormat. "Marilah, Nona-nona, pinto antar ke bangunan samping yang memang menjadi bangunan untuk tamu yang kami hormati."
Sepasang gadis kembar itu memandang kepada Cun Giok dan pemuda itu mengangguk. "Sebaiknya kalau kalian beristirahat, Lan-moi dan Lin-moi."
Dua orang gadis itu lalu mengikuti Song Bu Tosu. Di bangunan samping tosu itu memanggil dua orang wanita yang menjadi anggauta Thai-san-pai, dan dua orang wanita setengah tua ini segera mengantar Kui Lan dan Kui Lin ke sebuah kamar yang cukup rapi dan bersih.
Kini Thai-san Sianjin berkata kepada lima orang sutenya setelah Song Bu Tosu kembali ke ruangan itu. "Sute, kalian lanjutkanlah mengatur penjagaan yang ketat, pinto masih ingin berbincang-bincang dengan Sicu Pouw Cun Giok."
Setelah lima orang tosu itu keluar dari ruangan, Ketua Thai-san-pai berkata kepada Cun Giok. "Pouw-sicu, kalau Sicu tidak terlalu lelah, pinto ingin mengobrol denganmu. Banyak yang ingin pinto tanyakan tentang dunia ramai yang sudah lama sekali pinto tinggalkan. Sebelumnya, pinto ingin sekali mengetahui bagaimana Sicu yang menjadi murid Lo-cianpwe Pak-kong Lojin dapat melakukan perjalanan dengan gadis kembar puteri The Toanio majikan Lembah Seribu Bunga. Maukah engkau menceritakannya kepada pinto, Sicu?"
Cun Giok hanya menceritakan bahwa dia bertemu dengan gadis kembar itu di tepi sungai tak jauh dari Lembah Seribu Bunga. Mereka berkenalan dan dia diajak naik ke Lembah Seribu Bunga, bertemu dan berkenalan dengan Nyonya The, majikan lembah yang penuh rahasia itu.
"Ketika mendengar bahwa saya hendak mencari pencuri yang mengambil harta karun Kerajaan Sung, dua orang gadis kembar itu lalu ingin ikut pergi membantu saya. Begitulah, Lo-cianpwe."
"Siancai, pinto sudah menduga bahwa engkau adalah seorang pemuda yang jujur, polos dan baik hati. Terus terang saja, Sicu, pinto adalah seorang yang sudah banyak pengalaman dan pinto melihat bahwa kedua orang Nona kembar itu menaruh hati cinta kepadamu."
"Eh" Bagaimana Lo-cianpwe dapat mengetahui atau menduga begitu?"
"Sicu, dari pandang mata dan sikap mereka saja pinto yakin bahwa kakak beradik itu jatuh cinta kepadamu. Hal ini berbahaya karena mereka dapat bersaing untuk mendapatkan cintamu. Pinto dapat melihat pula bahwa tidak atau belum ada perasaan cinta dalam hati Sicu kepada mereka, hanya rasa suka sebagai sahabat saja."
"Lo-cianpwe sungguh memiliki pandangan yang tajam dan waspada. Saya sendiri yakin bahwa agaknya tidak mungkin saya jatuh cinta kepada seorang wanita. Tidak lagi......" Cun Giok menghela napas panjang, hatinya terasa hampa.
"Ah, semuda ini Sicu sudah mengalami gagal cinta agaknya. Apakah Sicu sudah menikah" Atau bertunangan?"
"Saya pernah ditunangkan kepada seorang gadis oleh mendiang Guru saya. Akan tetapi, tunangan saya itu mati terbunuh. Saya sudah membalaskan kematiannya dengan memberi hajaran keras kepada pembunuhnya. Biarpun ia sudah mati, saya akan tetap menganggap ia itulah isteri saya."
Tosu tua itu mengangguk-angguk. "Sicu, engkau seorang laki-laki yang setia. Akan tetapi kesetiaanmu itu tidak pada tempatnya. Pinto kira tunanganmu itu pun tidak akan tenang melihat engkau menutup dirimu terhadap cinta seorang wanita."
"Lo-cianpwe, justeru cinta yang membuat saya merasa berdosa dan merana. Saya sudah ditunangkan dengan seorang gadis, akan tetapi saya jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Ah, Lo-cianpwe, benarkah pendapat bahwa cinta itu selain mendatangkan kebahagiaan, juga seringkali mendatangkan kedukaan?"
Tosu itu tersenyum. Pertanyaan yang sebetulnya janggal karena urusan cinta ditanyakan kepada seorang tosu! Akan tetapi sebagai seorang yang banyak pengalaman dalam kehidupan, Ketua Thai-san-pai merasa berkewajiban untuk menerangkan apa yang dianggapnya benar.
"Sicu, cinta kasih tidak pernah mendatangkan senang maupun susah walaupun cinta kasih tidak pernah terpisah dari setiap mahluk hidup. Yang dapat mengumbang-ambingkan manusia antara suka dan duka bukanlah cinta kasih, melainkan cinta berahi atau cinta nafsu yang tidak didasari cinta kasih."
"Bagaimana sifat cinta kasih, Lo-cianpwe, dan bagaimanakah yang dinamakan cinta kasih sejati itu?"
"Cinta kasih sejati menuntun manusia untuk menyerahkan diri sepenuhnya dalam Kekuasaan Tuhan karena Kekuasaan Tuhan itulah ujud cinta kasih sejati. Dituntun cinta kasih, manusia akan merelakan diri sepenuhnya demi kesejahteraan dunia dan manusia pada umumnya, lembut sabar dan tulus setia, tidak mementingkan diri sendiri, seperti halnya sinar matahari, keharuman bunga, kemerduan kicau burung, kesejukan angin, keindahan tamasya alam. Semua itu adalah Kekuasaan Tuhan dan di situ terkandung cinta kasih. Tanpa pamrih untuk diri pribadi dan selalu bermanfaat bagi semua mahluk, terutama manusia. Seluruh alam dan isinya ini dicipta oleh Tuhan dengan cinta kasih. Cinta kasih bekerja setelah nafsu mementingkan diri sendiri tidak hadir dalam hati dan akal pikiran kita. Tindakan yang didasari cinta kasih sudah pasti benar karena dibimbing oleh Kekuasaan Tuhan, mendatangkan perasaan iba dan sayang dalam hati terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Seperti sinar matahari, mendatangkan kehidupan dan kenikmatan kepada siapa saja, seperti keharuman bunga akan tetap harum ketika dicium siapapun juga tanpa memandang bangsa, agama, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, yang berkedudukan tinggi atau rakyat jelata yang paling bawah sekalipun."
"Alangkah indahnya, Lo-cianpwe. Lalu bagaimana sifat cinta berahi atau cinta nafsu?"
"Cinta berahi mengandung nafsu untuk mencari kesenangan diri sendiri dan condong untuk menganggap orang yang dicintanya itu sebagai sumber kesenangan diri sendiri."
"Alangkah kotornya, Lo-cianpwe. Kalau begitu, untuk apa kita membiarkan diri dikuasai cinta berahi semacam itu" Lebih baik dimatikan saja nafsu berahi seperti itu. Bukankah begitu, Lo-cianpwe?"
"Siancai......!" Tosu itu tersenyum lebar. "Tidak begitu, Pouw-sicu. Tidak ada nafsu yang boleh dimatikan! Nafsu-nafsu memang sudah disertakan kepada manusia sejak lahir dan nafsu-nafsu itulah yang mendorong dan menjamin keberadaan dan kelangsungan hidup manusia. Bahkan nafsu berahi merupakan nafsu yang teramat penting, terutama untuk jaminan perkembang-biakan manusia di dunia. Akan tetapi kalau hubungan antara pria dan wanita hanya dilandasi nafsu berahi saja, tanpa adanya cinta kasih sejati, maka hal itu akan menghancurkan manusia itu sendiri. Nafsu berahi tanpa cinta kasih membuat orang mencari kesenangan sendiri, ingin menguasai, memiliki, mendatangkan cemburu dan dapat mengubah cintanya menjadi benci kalau yang dicinta tidak menyenangkannya lagi! Adapun nafsu berahi yang didasari cinta kasih membuat orang bersikap menghormati, melindungi, menyayangi, menaruh iba, menanamkan kewajiban, kesetiaan dan mendatangkan sikap ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, senang sama dinikmati dan susah sama ditanggung."
"Terima kasih, Lo-cianpwe. Apa yang saya dengar dari keterangan Lo-cianpwe menerangi hati saya yang selama ini dirundung kegelapan," kata Cun Giok yang teringat akan Ceng Ceng. Dia mencintai gadis itu sepenuh hati, mencinta selengkapnya.
Memang terasa olehnya ada dua macam cinta dalam hatinya terhadap Ceng Ceng. Yang pertama adalah cinta kasih berahi yang timbul karena kecantikan gadis itu. Adapun yang kedua adalah cinta sejati seperti yang disinggung Ketua Thai-san-pai tadi, yang timbul karena kebijaksanaan dan budi pekerti gadis itu. Cinta berahi dapat saja menguap bahkan beralih kepada gadis lain, sebaliknya cinta sejati akan tetap ada, walaupun dia harus berpisah dari yang dicintanya dan tidak dapat menjadi satu.
Dia dapat merasakan bahwa cinta kasih Ceng Ceng terhadap dirinya tentu merupakan cinta kasih sejati seperti yang diuraikan Ketua Thai-san-pai tadi. Buktinya, dulu Ceng Ceng pernah mengalah kepada Li Hong yang mencintanya, bahkan biarpun ia diserang oleh Li Hong kemudian dikhianati Li Hong yang memihak Kim Bayan, Ceng Ceng masih tetap membela Li Hong dan rela menyerahkan peta harta karun. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang memiliki cinta kasih murni seperti itu!
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari arah belakang gedung rumah induk Thai-san-pai itu.
"Hemm, apa yang terjadi di sana?" kata Ketua Thai-san-pai dengan sikap masih tenang, namun alisnya berkerut, agaknya merasa tidak senang oleh gangguan itu.
"Lo-cianpwe, pasti terjadi sesuatu di sana!"
Tiba-tiba dua orang murid memasuki ruangan itu, memberi hormat kepada ketua mereka dan melapor. "Suhu, beberapa orang liar memasuki perpustakaan dan mengacau di sana, kini dihadapi oleh Lima Suhu."
"Lo-cianpwe, biar saya yang melihat ke sana!" kata Cun Giok sambil bangkit dari tempat duduknya.
Ketua Thai-san-pai mengangguk dan Cun Giok segera mengikuti dua orang murid itu menuju ke belakang. Di ruangan tengah dia bertemu Kui Lan dan Kui Lin yang juga mendengar keributan itu dan mereka keluar dari kamar mereka.
"Ada apakah, Giok-ko?" tanya Kui Lin.
"Menurut laporan dua orang ini, ada beberapa orang datang membuat kekacauan di sini!"
"Mari kita pergi lihat!" kata Kui Lan dan mereka bertiga lalu mengikuti dua orang murid Thai-san-pai itu.
Ketika mereka tiba di luar ruangan perpustakaan yang merupakan sebagian dari taman yang cukup luas, Cun Giok dan dua orang gadis kembar melihat kelima Thai-san Ngo-sin-kiam sedang berkelahi melawan lima orang laki-laki tinggi besar berusia sekitar empatpuluh tahun. Lima orang tinggi besar itu tampak garang dan pakaian mereka serba hijau dan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji. Ilmu silat mereka ternyata cukup hebat dan gerakan mereka liar dan aneh sehingga agaknya mereka mampu mengimbangi permainan pedang dari Lima Pedang Sakti Thai-san itu. Di sekitar tempat perkelahian itu tampak belasan orang murid Thai-san-pai yang sudah terluka dan sedang ditolong oleh para murid lainnya.
Kui Lin yang galak sudah hendak menyerbu dan membantu Ngo-sin-kiam, akan tetapi Cun Giok memegang lengannya. "Jangan, Lin-moi. Membantu mereka tanpa diminta akan menyinggung harga diri mereka, dan lihatlah, mereka tidak terdesak oleh lawan."
Dicegah oleh Cun Giok yang memegang lengannya, Kui Lin tidak jadi menyerbu dan jantungnya berdebar, mukanya berubah kemerahan karena pegangan tangan itu pada lengannya seolah mengandung getaran yang menjalar ke seluruh tubuhnya! Ia menyimpan kembali pedangnya dan menonton perkelahian Ngo-sin-kiam melawan lima orang musuh mereka itu.
Benar seperti yang dikatakan Cun Giok, biarpun lima orang berpakaian hijau itu memiliki gerakan yang amat aneh dan dahsyat, golok mereka menyambar-nyambar bagaikan naga mengamuk, namun ilmu pedang Ngo-sin-kiam memang hebat. Mereka berlima telah menguasai ilmu pedang Thai-san-pai dengan baik sehingga mereka bukan saja mampu menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan terhadap serangan lawan, bahkan kini mereka mulai dapat mendesak orang-orang berpakaian hijau itu. Cun Giok melihat betapa Ngo-sin-kiam itu memiliki gerakan pedang yang teratur, saling dukung baik dalam pertahanan maupun penyerangan. Mereka merupakan barisan pedang yang amat tangguh, jauh lebih tangguh daripada kalau mereka maju sendiri-sendiri.
Setelah terus mendesak lawan, akhirnya Ngo-sin-kiam dapat merobohkan lima orang penyerbu itu. Ada yang terluka lengan atau pundaknya, ada yang terlempar goloknya, ada pula yang terkena pukulan tangan kiri atau tendangan. Ketika Thai-san Ngo-sin-kiam hendak melanjutkan serangan untuk menangkap lima orang penyerbu itu, tiba-tiba ada angin bertiup dibarengi suara gerengan seperti binatang buas. Entah darimana datangnya, tahu-tahu di depan lima orang tosu Thai-san-pai sudah berdiri seorang raksasa berusia sekitar limapuluh tahun dan keadaannya sungguh amat menyeramkan.
06.1. Kecurigaan Kelompok Huo Lo-sian
Laki-laki tinggi besar ini mempunyai muka yang seperti singa bentuknya, penuh berewok dan yang mengerikan, rambut, kumis dan jenggotnya berwarna merah! Lalu sambil membentak dengan suara melengking, raksasa itu mendorongkan kedua tangannya yang besar beberapa kali dan lima orang tosu Thai-san-pai itu seolah terdorong angin yang amat kuat sehingga mereka berlima terhuyung-huyung ke belakang!
Ketika Ngo-sin-kiam dapat menguasai diri, baru saja mereka hendak maju menghadapi lawan yang tinggi besar itu, Si Raksasa rambut merah kembali mendorongkan kedua tangannya sambil mengeluarkan bentakan melengking-lengking. Dan, angin pukulan yang amat kuat kembali melanda lima orang tosu itu, membuat mereka yang sudah mempersiapkan diri itu tetap saja terdorong ke belakang, sehingga ada yang menjatuhkan diri dan bergulingan agar terhindar dari bantingan.
"Hayo, serahkan harta karun itu kepadaku, kalau tidak, seluruh Thai-san-pai akan kubasmi habis!" Kakek rambut merah itu berteriak dan kini dia berdiri tegak sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang lebar. Kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu kini berubah merah seperti api membara dan asap putih membubung ke atas. Melihat ini, Ngo-sin-kiam terkejut dan Song Bu Tosu berkata heran.
"Kiranya Huo Lo-sian (Dewa Api) yang sedang berkunjung! Di antara pihakmu dan pihak kami tidak pernah ada permusuhan, mengapa hari ini anak buahmu datang membuat kacau dan melukai beberapa orang murid kami?" Ngo-sin-kiam sudah lama mendengar akan nama besar Huo Lo-sian, akan tetapi baru sekarang mereka melihat orangnya yang sungguh menyeramkan.
"Ho-ho-hoh! Thai-san-pai mendapatkan rejeki besar, sudah sepatutnya membagi-bagi rejeki itu dengan teman-teman sepegunungan. Serahkan harta karun itu, setidaknya setengah bagian, dan kami akan tetap tinggal menjadi tetangga yang baik. Kalau kalian murka dan hendak memilikinya sendiri, aku akan membasmi Thai-san-pai dan merampas harta karun itu!"
Tiba-tiba Kui Lin yang sejak tadi sudah menahan-nahan rasa penasaran dan kemarahannya, melompat ke depan kakek rambut merah itu. Matanya yang jeli melotot, alisnya berkerut, mulutnya cemberut dan tangan kanan bertolak pinggang, telunjuk tangan kiri menuding ke arah muka singa itu.
"Hei, siluman jelek dan sombong! Jangan ngoceh asal membuka mulutmu yang lebar itu saja! Siapa yang mendapatkan harta karun" Andaikata ada yang mendapatkan sekalipun, siapa sudi membagi dengan siluman sombong macam engkau" Boleh jadi engkau dapat menakut-nakuti anak-anak kecil, akan tetapi aku The Kui Lin, puteri Lembah Seribu Bunga, sama sekali tidak gentar kepadamu!"
Terlambat bagi Kui Lan maupun Cun Giok untuk mencegah gadis pemberani yang galak itu mengeluarkan ucapan menantang. Mereka berdua hanya maju mendekati Kui Lin untuk melindunginya karena mereka tahu betapa lihai dan berbahayanya raksasa itu.
Huo Lo-sian (Dewa Api) terbelalak memandang kepada Kui Lin. Datuk ini lebih merasa heran daripada marah. Bagaimana mungkin seorang gadis remaja semuda ini berani menantangnya! Dengan sikap dan kata-kata sombong pula! Saking herannya datuk ini sampai berdirl tercengang, kemudian kemarahannya mulai berkobar, membuat dia sukar mengeluarkan suara. Wajahnya yang seperti singa itu tampak semakin menyeramkan, rambut, kumis dan jenggotnya yang merah itu seperti bangkit berdiri!
Sebagai seorang datuk besar, walaupun kini jarang terjun ke dunia persilatan, dia sudah mendengar akan nama besar Lembah Seribu Bunga. Akan tetapi sesuai dengan wataknya yang tekebur dan selalu mengagulkan diri sendiri memandang rendah orang lain, tentu saja dia tidak gentar. Apalagi yang muncul dari Lembah Seribu Bunga hanya seorang gadis remaja yang masih ingusan!
"Kamu...... kamu bocah setan! Apa kamu sudah bosan hidup!?" bentaknya dengan mata melotot dan seperti mengeluarkan sinar berapi.
Kui Lin tersenyum mengejek. "Kamulah yang bosan hidup! Memang kamu layak mampus karena selain sudah tua, juga dosamu sudah bertumpuk-tumpuk! Setan-setan sudah menunggumu di neraka!"


Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lin-moi......!" Kui Lan menegur adiknya. Ia menganggap adiknya itu seolah menyulut permusuhan dengan Dewa Api yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Buktinya, Thai-san Ngo-sin-kiam yang berilmu tinggi itu pun tadi kewalahan menghadapi dorongan tangan yang mengandung tenaga sakti amat kuatnya dari datuk itu.
"Biarkan aku, Lan-ci (Kakak Lan)! Aku akan menghajar siluman tua ini agar dia tidak berani sombong lagi!" kata Kui Lin yang terlampau berani namun kurang perhitungan itu.
Huo Lo-sian sudah habis kesabarannya. "Bocah gila, mampuslah kamu!" bentaknya dan dia sudah mendorongkan kedua tangannya yang merah membara itu ke arah dada Kui Lin!
Dasar gadis muda yang hanya mengandalkan keberanian, seolah seekor burung muda yang baru keluar dari sarangnya, Kui Lin tidak menjadi gentar menghadapi serangan dahsyat itu. Ia malah mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, lalu mendorongkan kedua tangan pula menyambut serangan lawan!
Biarpun Kui Lan juga seperti adiknya, tidak mempunyai banyak pengalaman bertanding, namun ia lebih cerdik dan hati-hati. Ia dapat menduga bahwa tidak mungkin adik kembarnya mampu menahan serangan tenaga sakti lawan yang amat kuat itu dan bukan tidak mungkin nyawa adiknya terancam maut, maka cepat ia lalu menjulurkan kedua telapak tangannya, menempel punggung adiknya dari belakang dan menyalurkan sin-kangnya membantu adiknya sehingga kini yang menyambut serangan Huo Lo-sian adalah tenaga sinkang gabungan dua saudara kembar itu.
"Wuuuuuttt......plakkk!" Kedua telapak tangan Huo Lo-sian yang seperti membara itu bertemu dengan kedua telapak tangan Kui Lin.
Kalau saja gadis ini tidak dibantu encinya dan tenaga sepasang gadis kembar itu tidak bergabung, memang amat berbahaya bagi keselamatan Kui Lin. Namun gabungan dua tenaga itu cukup kuat untuk menahan gempuran lawan. Akan tetapi, bagaimanapun juga, setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan tenaga raksasa rambut merah itu, tetap saja tubuh kedua orang gadis kembar itu tergetar. Dari dua pasang telapak tangan yang saling menempel itu kini keluar asap, dan dua orang gadis kembar itu mandi keringat!
"Wah, panas...... panas......!" Kui Lin menjerit-jerit ketika merasa betapa kedua telapak tangannya seperti menempel pada besi membara yang amat panas!
Cun Giok maklum bahwa saatnya tiba baginya untuk turun tangan membantu dan menyelamatkan dua orang gadis itu. Dia menjulurkan kedua tangannya dan kedua telapak tangannya menempel pada punggung Kui Lan. Dia mengerahkan sinkangnya dan berseru, "Lin-moi, dorong!"
Kui Lin yang merasa kepanasan segera mendorong. Kekuatannya bergabung dengan kekuatan Kui Lan dan Cun Giok, maka dorongannya mengandung sin-kang yang amat kuat.
"Wesss......!!" Tubuh Huo Lo-sian terpental dan dia terhuyung ke belakang sampai tujuh langkah! Sepasang matanya terbelalak kaget dan heran karena tadi dia merasa betapa dari telapak tangan halus dan kecil dari gadis remaja itu keluar tenaga yang amat dahsyat, yang bukan saja membuat kedua lengannya tergetar dan nyeri, bahkan membuat dia terpental ke belakang seperti dilontarkan! Dia merasa gentar juga. Baru tiga orang muda itu saja sudah demikian kuatnya. Apalagi Ketua Thai-san-pai! Maka, dia laiu menoleh kepada lima orang pembantunya.
"Kita pergi!" Dan dia pun melompat jauh, diikuti lima orang berpakaian hijau itu dan sebentar saja mereka lenyap dari perkampungan Thai-san-pai.
"Heii, siluman rambut merah! Mau lari ke mana kamu!" teriak Kui Lin yang hendak melakukan pengejaran, merasa seolah ia yang mengalahkan datuk tadi!
Akan tetapi Kui Lan segera memegang lengannya. "Jangan dikejar!" katanya.
"Wah, Enci Lan, siluman seperti dia itu yang amat sombong sebaiknya dibasmi saja. Kalau engkau tidak menahanku, tentu ia dapat kukejar dan kupenggal lehernya, betul tidak, Giok-ko?" kata Kui Lin sambil memandang pemuda itu.
Cun Giok tersenyum. "Lin-moi, aku kagum akan keberanianmu."
"Bukan berani, melainkan nekat dan ngawur!" Kui Lan mengomel karena ia tahu benar bahwa kalau tadi tidak dibantu Cun Giok, tenaga mereka berdua tidak cukup untuk mengalahkan Huo Lo-sian dan bukan tidak mungkin nyawa mereka terancam maut.
Mereka bertiga lalu kembali ke dalam gedung induk bersama Ngo-sin-kiam, menghadap Ketua Thai-san-pai, dan lima orang tosu itu melaporkan kepada suheng mereka tentang munculnya Huo Lo-sian.
"Siancai......! Urusan harta karun mulai menimbulkan kekacauan. Pinto kira ekornya akan menimbulkan persaingan dan perebutan."
"Siapa tahu, kakek siluman itu malah yang menjadi pencurinya!" tiba-tiba Kui Lin berseru.
"Kiranya hal itu tidak mungkin, Lin-moi," kata Kui Lan lembut. "Kalau dia yang mencuri harta karun, untuk apa dia dan para pembantunya menyerbu ke sini dan mencari di perpustakaan Thai-san-pai?"
"Mungkin sekali, Enci Lan! Dia melakukan penyerbuan ke sini untuk mengalihkan perhatian agar yang disangka mencuri harta karun adalah Thai-san-pai! Huh, dikira aku tidak tahu akan akal bulusnya itu!" Kui Lin lalu memandang Cun Giok. "Betul tidak, Giok-ko?"
"Memang segala kemungkinan bisa terjadi. Bisa seperti yang disangka Lin-moi bahwa dia pencuri harta karun dan ingin mengalihkan perhatian kepada Thai-san-pai. Akan tetapi mungkin juga benar seperti yang dikatakan Lan-moi, dia hanya menduga bahwa Thai-san-pai yang mengambil harta karun maka dia ingin mencari dan merampasnya." Cun Giok lalu memandang Ketua Thai-san-pai. "Lo-cianpwe, kami yang muda-muda hanya bingung dengan dugaan kami masing-masing. Bagaimana kalau menurut pendapat Lo-cianpwe. Harap suka memberi petunjuk kepada kami."
"Siancai......!" Kakek itu mengelus jenggotnya. "Memang semua kemungkinan itu bisa saja terjadi. Akan tetapi, Huo Lo-sian adalah seorang datuk sesat yang kasar dan mengandalkan kekuatan dan kelihaian ilmu silatnya. Orang berwatak kasar seperti dia, kiranya tidak akan dapat menggunakan cara-cara yang mengandung muslihat rumit. Maka, pinto kira bukan dia pencuri harta karun itu."
"Kalau begitu, Lo-cianpwe, kita sudah mendapatkan dua kenyataan, yaitu dua di antara penghuni Thai-san, yang pertama Thai-san-pai dan kedua Huo Lo-sian, bukan pencuri harta karun. Dengan demikian, kita dapat menjuruskan penyelidikan kita kepada pihak lain yang berada di Thai-san ini," kata Cun Giok.
"Wah, aku tahu sekarang! Sudah pasti yang mencurinya adalah sepasang iblis yang berjuluk Hek Pek Mo-ko itu! Bukankah sisa para tokoh di sini hanya tinggal dua, yaitu Hek Pek Mo-ko dan Ang-tung Kai-pang" Menurut keterangan Lo-cianpwe tadi, perkumpulan Pengemis Tongkat Merah itu tidak biasa bahkan membenci pencurian dan mereka juga menentang penjajah Mongol sehingga tidak sangat mencurigakan. Tinggal Hek Pek Mo-ko yang patut kita curigai," kata Kui Lin.
"Hemm, pendapat Lin-moi itu benar sekali. Aku setuju dengan pendapatnya," kata Kui Lan.
Hati Kui Lin gembira sekali. Biasanya, encinya itu selalu menegur dan menyalahkannya, akan tetapi sekali ini mendukung pendapatnya! Ia berseru girang dengan wajah berseri.
"Nah, betul bukan pendapatku" Giok-ko, mengapa kita tunggu lebih lama" Mari kita pergi menyelidiki Iblis Hitam Putih itu!"
"Tidak perlu tergesa-gesa, Nona," kata Ketua Thai-san-pai. "Sebentar lagi malam tiba dan perjalanan ke Bukit Batu, tempat tinggal Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka yang berada di bagian Utara pegunungan ini, tidaklah mudah dan cukup jauh. Kalian perlu mempelajari perjalanan yang akan kalian tempuh, dan sebaiknya dilakukan besok pagi."
"Lo-cianpwe berkata benar. Kita tidak perlu tergesa-gesa, Lin-moi," kata Kui Lan.
Malam itu, Cun Giok, Kui Lan, dan Kui Lin bermalam di markas Thai-san-pai dan mendengarkan keterangan tentang perjalanan ke sana dari para murid Thai-san-pai yang sudah pernah mengenal daerah Utara di mana terdapat Bukit Batu.
"Y" Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong yang melakukan perjalanan jauh dari Pulau Ular yang berada di Lautan Po-hai menuju Pegunungan Thai-san, setelah makan waktu berbulan-bulan menunggang kuda, akhirnya mereka tiba di kaki pegunungan Thai-san. Mereka kini menjadi akrab sekali karena dalam perjalanan panjang yang makan waktu berbulan itu, Yauw Tek memperlihatkan sikap sopan dan budi yang baik sekali. Bahkan Ceng Ceng juga merasa tertarik dan kagum karena ketika beberapa kali mereka dihadang perampok dan diganggu, Yauw Tek selalu mencegah Li Hong kalau gadis itu hendak membunuh para penjahat. Kemudian pemuda itu mengalahkan semua perampok dengan mudah tanpa melukai mereka.
"Ingat, Hong-moi. Mereka itu menjadi jahat oleh keadaan. Para penjajah itulah yang membuat kehidupan rakyat jelata menjadi susah dan serba kekurangan dan hal ini mendorong mereka untuk merampok! Bagaimanapun juga, mereka itu adalah bangsa kita sendiri, maka bersikaplah murah, jangan sembarangan membunuh mereka. Musuh utama kita adalah penjajah Mongol. Kalau kita sudah berhasil mengenyahkan penjajah, kuyakin kehidupan rakyat kita akan dapat membaik dan kejahatan pun pasti berkurang."
Ceng Ceng mengagguk-anggukkan kepalanya. "Apa yang dikatakan Yauw-twako memang benar, Adik Hong. Banyak sekali kejahatan terjadi karena desakan keadaan, karena kekurangan dan penindasan. Yauw-twako berjiwa patriot dan cinta bangsa, hal itu patut dijadikan contoh."
"Yauw-twako, bagaimana kalau kita bertemu pasukan Kerajaan Mongol" Apa yang akan kaulakukan?" tanya Li Hong.
"Tentu bodoh sekali kalau kita menyerang pasukan yang besar jumlahnya, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi kalau ada pasukan kecil mengganggu kita, sudah sepatutnya kita basmi mereka."
Dan Yauw Tek bukan hanya bicara saja untuk menyatakan permusuhannya dengan Pemerintah Mongol. Dalam perjalanan mereka, setiap kali mereka berada di kota atau desa di mana terdengar ada pembesar Mongol yang sewenang-wenang, pemuda itu pasti turun tangan memberi hajaran keras!
Tiga orang muda itu tiba di kaki Pegunungan Thai-san bagian Selatan. Hari telah menjelang senja ketika mereka memasuki sebuah dusun di kaki gunung itu. Dusun Kok-lo merupakan dusun yang cukup ramai dan memiliki banyak penduduk. Kehidupan di dusun itu cukup makmur karena daerah ini merupakan daerah yang subur tanahnya sehingga para penduduk yang bekerja sebagai petani mendapatkan penghasilan yang lumayan. Bahkan banyak pedagang hasil bumi dan rempa-rempa dari kota berdatangan ke dusun itu untuk membeli dagangan.
Hal ini membuat dusun itu semakin maju dan selain terdapat pedagang-pedagang barang dari kota raja untuk keperluan keluarga petani, di situ terdapat pula dua buah rumah penginapan yang lumayan besarnya, berikut rumah makannya. Dua buah rumah penginapan berikut rumah makan ini untuk melayani para tamu pedagang yang terpaksa harus bermalam selama beberapa hari di situ.
Tiga orang itu merasa lega, terutama sekali Li Hong yang selama lima hari ini mengomel terus karena mereka terpaksa bermalam di tempat terbuka karena tidak ada dusun yang menyediakan rumah penginapan dan rumah makan. Dusun-dusun yang mereka lewati selama belasan hari terdiri dari dusun-dusun kecil dan sepi. Kini, memasuki dusun yang cukup besar dan ramai, dan terdapat rumah penginapan berikut rumah makannya, tentu saja Li Hong merasa gembira sekali. Ia mendahului dua temannya dan memimpin di depan menuju ke sebuah rumah penginapan AN HOK.
Semenjak memasuki dusun itu, mereka bertiga menarik perhatian banyak orang. Memang banyak di situ kedatangan orang-orang kota, namun belum pernah mereka melihat dua orang gadis sejelita itu dan melihat tiga ekor kuda yang besar dan bagus. Tiga orang muda itu memang sudah beberapa kali terpaksa berganti kuda karena kuda mereka sudah kelelahan melakukan perjalanan sejauh itu. Dan setiap kali berganti kuda, Li Hong pasti memilih kuda-kuda terbaik untuk mereka bertiga. Gadis ini membawa bekal yang cukup banyak pemberian orang tuanya di Pulau Ular.
Setibanya di depan rumah penginapan, Li Hong melompat turun dari atas kudanya, diikuti Yauw Tek dan Ceng Ceng yang tersenyum melihat kegembiraan Li Hong. Di dalam hatinya, Yauw Tek dan Ceng Ceng merasa kasihan juga di samping geli melihat sikap Li Hong. Mereka tahu bahwa Li Hong banyak menderita dalam perjalanan itu. Gadis yang sudah biasa hidup enak di Pulau Ular itu, kini benar-benar menderita melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Pantaslah kalau kini ia demikian gembira mendapatkan sebuah dusun yang memiliki rumah penginapan dan rumah makan!
06.2. Tantangan Pie-bu Hek Pek Mo-ko
Tiga orang pelayan rumah penginapan segera menyambut dan mengurus tiga ekor kuda itu yang mereka bawa ke kandang kuda di pekarangan belakang rumah penginapan. Rumah penginapan itu memang mempunyai banyak pelayan untuk melayani para pedagang yang bermalam di situ. Seorang pelayan setengah tua menyambut mereka dengan sikap hormat dan ramah.
"Selamat datang di rumah penginapan AN HOK kami, Kongcu (Tuan Muda) dan ji-wi Siocia (Nona Berdua). Apakah Sam-wi (Anda Bertiga) ingin menyewa kamar?"
"Ya, cepat siapkan sebuah kamar biasa dan sebuah yang agak besar untuk aku dan Enciku, akan tetapi pilih kamar yang paling bersih, ganti semua tilamnya dengan yang baru dan bersih!" kata Li Hong dengan sikap keren dan memerintah.
"Baik, Nona, akan kami siapkan sekarang," kata pelayan itu dengan sikap hormat.
Li Hong lalu mengambil sekeping uang dari balik ikat pinggangnya dan memberikan kepada pelayan itu. Pelayan itu menerima dengan mata terbelalak karena hadiah ini amat banyak dan tidak seperti biasanya para tamu memberi hadiah setelah akan meninggalkan penginapan.
"Jangan lupa, sediakan air yang banyak untuk kami mandi, setelah itu siapkan makan malam dengan lauk-pauk komplit dari rumah makan," perintah Li Hong.
"Baik-baik, Siocia, akan kami siapkan semua," kata pelayan itu yang lalu membawa mereka kedua buah kamar yang kosong. Dia memerintahkan pelayan lain untuk segera mengganti tilam-tilam di kedua kamar itu, bahkan menyuruh bersihkan lantai dan semua perabot dalam dua kamar itu.
Tiga orang muda itu lalu mandi dan bertukar pakaian, lalu mereka makan hidangan yang sudah disediakan. Memenuhi pesanan Li Hong, hidangan itu cukup mewah sehingga Ceng Ceng setelah mereka selesai makan, berkata sambil tersenyum.
"Wah, engkau royal sekali, Hong-moi, dan engkau minum banyak sekali arak. Akan tetapi kulihat engkau sama sekali tidak mabok!"
"Ih, Enci Ceng, kalau puteri Pulau Ular mabok oleh minuman arak, sungguh memalukan! Bukankah engkau juga sama sekali tidak tampak mabok setelah minum cukup banyak pula" Lihatlah Yauw-twako itu! Mukanya menjadi merah seperti kepiting direbus, hi-hi-hik!"
Yauw Tek yang memang merah mukanya karena melayani dua orang gadis yang amat kuat minum arak itu, tertawa pula.
"Ha-ha, tentu saja aku tidak dapat menandingi kalian, Ceng-moi dan Hong-moi! Dahulu, ketika kecil dan menjadi pemuda remaja, aku hidup di antara pertapa dan pendeta, sama sekali tidak diperbolehkan minum arak. Kalian berdua tentu saja kuat minum. Ceng-moi seorang ahli pengobatan, tentu sebelumnya sudah menelan obat penjaga mabok, demikian pula engkau, Hong-moi. Pulau Ular terkenal dengan racun-racunnya yang berbahaya, tentu saja engkau dapat mengatasi pengaruh racun arak yang bagimu kecil tidak ada artinya itu!" kata Yauw Tek dan dari suaranya yang ringan, dua orang gadis itu dapat mengetahui bahwa pemuda itu memang agak teler (mabuk). Mereka berdua tertawa walaupun tawa Ceng Ceng tidak selebar dan selantang Li Hong.
"Maaf, Yauw-twako, kami hanya berkelakar, bukan mentertawakanmu!" kata Li Hong. "Yang membuat aku heran, bagaimana engkau kulihat tidak pernah merasa janggal menanggapi segala kemewahan, seolah engkau sudah biasa dengan kamar yang nyaman dan makanan yang mewah."
Ceng Ceng juga memandang pemuda itu karena baru sekarang ia teringat bahwa pemuda itu agaknya tak pernah tertarik atau heran menyaksikan kemewahan, bahkan pakaian pemuda ini juga terbuat dari sutera halus, seolah Yauw Tek seorang pemuda kaya raya yang biasa hidup mewah.
Yauw Tek tersenyum. "Ah, itukah yang membuat kalian heran" Ceng-moi dan Hong-moi, ketahuilah bahwa selama tinggal di rumah para Pendeta Lhama di Tibet sebagai murid mereka, aku sudah terbiasa hidup mewah. Kalian tahu, banyak di antara pendeta Lhama itu memiliki gedung yang mewah, kehidupan mereka juga serba mewah dan kaya raya."
Dua orang gadis itu kini baru mengerti. Tidak heran Yauw Tek bersikap biasa saja menghadapi hidangan mewah, kiranya pernah hidup di rumah para pendeta Lhama yang kaya raya. Mereka merasa heran juga mengapa para pendeta di Tibet dapat hidup mewah dan kaya, tidak seperti para hwesio (Pendeta Buddha) yang berada di kuil-kuil di Cina.
Pada keesokan harinya mereka mendapat keterangan bahwa di atas bukit di depan, yaitu Bukit Cemara, terdapat pusat Perkumpulan Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah).
Mereka bertiga berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Karena Ang-tung Kai-pang merupakan satu di antara golongan yang kuat dan mungkin menjadi pencuri harta karun, maka mereka sudah mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan kepada perkumpulan pengemis yang terkenal memiliki cabang di mana-mana. Pagi-pagi sekali tiga orang muda itu sudah keluar dari rumah penginapan dan berada di jalan umum depan rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Tadi, mereka sudah sarapan bubur yang disiapkan oleh pelayan.
Sepagi itu, jalan umum di depan rumah penginapan itu sudah ramai dengan orang-orang yang lalu-lalang. Mereka adalah orang-orang yang memikul barang dagangan berupa hasil bumi daerah itu.
Selagi mereka berdiri di tepi jalan, memandang ke arah Bukit Cemara yang menurut keterangan menjadi markas Ang-tung Kai-pang, tiba-tiba mereka melihat serombongan orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian pengemis, berbondong pergi ke arah timur. Mereka terdiri dari lima orang berpakaian tambal-tambalan dan masing-masing memegang sebatang tongkat yang berwarna merah. Mudah saja bagi Yauw Tek untuk menduga bahwa mereka berlima itu tentulah para anggauta Ang-tung Kai-pang. Karena mereka memang berniat mengunjungi dan menyelidiki keadaan perkumpulan pengemis itu, maka lima orang itu menarik perhatian mereka. Dengan saling pandang saja, ketiganya bersepakat untuk membayangi lima orang pengemis itu.
Usia lima orang itu antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun. Biarpun di antara mereka, yang tiga orang bertubuh kurus seperti kebanyakan pengemis, sedangkan yang dua orang sedang-sedang saja, namun mereka itu sungguh jauh berbeda dari pengemis biasa. Pakaian mereka memang tambal-tambalan, namun bersih dan mudah diduga bahwa mereka tentu sering bertukar pakaian. Sepatu mereka yang berwarna hitam juga tidak butut seperti pengemis biasa.
Gerak-gerik mereka ketika mereka berjalan tergesa-gesa itu pun membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak lemah. Terutama sekali tongkat mereka yang berwarna merah itu mencolok dan membuat mereka tampak lebih mirip regu yang berpakaian seragam daripada serombongan pengemis. Juga keberadaan mereka di dusun yang ramai itu agaknya sama sekali tidak menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di jalan umum, hal ini menandakan bahwa kehadiran para pengemis di dusun itu merupakan hal yang biasa.
Selain itu, sikap para penduduk yang tenang saja melihat mereka membuktikan bahwa golongan pengemis itu tidak ditakuti. Ini saja sudah membuat Yauw Tek dan dua orang gadis itu mengambil kesimpulan bahwa para pengemis tongkat merah itu bukan golongan yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan mereka seperti dilakukan banyak anggauta perkumpulan yang merasa dirinya kuat.
Lima orang pengemis itu melangkah lebar dan berjalan tanpa bicara. Setelah tiba di pintu gerbang dusun sebelah timur, mereka tidak berhenti dan berjalan terus. Terang bahwa mereka tidak hendak pergi ke Bukit Cemara yang menjadi tempat asrama mereka, karena Bukit Cemara berada di sebelah Barat sedangkan mereka kini melangkah terus menuju ke arah Timur. Tiga orang muda itu tetap mengikuti rombongan pengemis itu dari belakang, agak jauh karena mereka tidak ingin diketahui bahwa mereka sedang membayangi rombongan pengemis itu.
Setelah keluar dari pintu gerbang dan berada di jalan yang sepi, lima orang pengemis itu mulai berlari! Yauw Tek, Ceng Ceng dan Li Hong juga berjalan cepat, terus membayangi.
Tak lama kemudian mereka tiba di tepi sebuah hutan kecil dan dari jauh sudah tampak ada dua orang sedang berkelahi! Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun, tinggi kurus, pakaiannya serba putih dan dia menggunakan senjata sebatang pedang. Adapun lawannya adalah seorang pengemis berusia sekitar limapuluh tahun dan dia bersenjatakan sebatang tongkat merah. Jelaslah bahwa yang sedang berkelahi itu seorang anggauta Ang-tung Kai-pang melawan seorang yang berpakaian putih-putih dan yang memiliki ilmu pedang cukup tangguh. Perkelahian itu memang seimbang dan ramai, akan tetapi agaknya pengemis bertongkat merah itu mulai terdesak oleh permainan pedang lawannya.
"Apakah lima orang pengemis itu hendak mengeroyok Si Baju Putih itu?" kata Ceng Ceng lirih.
"Wah, biarpun aku tidak mengenal Si Baju Putih itu, kalau dia dikeroyok, aku pasti akan membelanya!" kata Li Hong.
"Ceng-moi dan Hong-moi, kuharap kalian tidak tergesa-gesa bertindak sebelum kita mengetahui permasalahannya maka mereka itu berkelahi. Jangan sampai kita salah tangan," kata Yauw Tek.
Mereka mendekati lalu mengintai dari balik pohon-pohon. Lima orang pengemis tongkat merah itu kini telah tiba dekat mereka yang bertanding, akan tetapi mereka berlima hanya berdiri menonton pertandingan itu dan agaknya tidak akan turun tangan membantu rekan mereka.
Laki-laki berpakaian putih itu tampak terkejut ketika dia melihat munculnya lima orang pengemis tongkat merah. Dia agaknya tahu benar bahwa kalau lima orang itu mengeroyoknya, dia pasti akan terancam bahaya maut. Baru melawan seorang ini saja, dia hanya mampu mendesak setelah bertanding lebih dari limapuluh jurus dan ini pun baru mendesak, belum mampu melukai apalagi merobohkannya. Sebaliknya, pengemis yang sedang bertanding itu ketika melihat lima orang rekannya, bangkit semangatnya dan dia kini membalas desakan lawan dengan serangan-serangan maut. Tongkatnya yang berwarna merah itu membentuk gulungan sinar merah yang cepat dan kuat.
Pria berpakaian putih itu melompat jauh ke belakang. "Huh, orang Ang-tung Kai-pang curang. Kalian hendak mengeroyok aku?" bentaknya sambil melintangkan pedang di depan dada.
Pengemis yang tadi menjadi lawannya menudingkan tongkat merahnya dan menjawab. "Ang-tung Kai-pang bukan perkumpulan orang-orang yang curang dan suka main keroyokan!"
Seorang di antara lima pengemis yang baru datang, berseru lantang. "Manusia sombong! Kalau kami melakukan pengeroyokan, apa kaukira sekarang engkau masih hidup?"
Bagaimanapun Si Baju Putih itu agaknya sudah gentar menghadapi enam orang pengemis tongkat merah, maka dia lalu berkata dengan sikap menantang.
"Baik, sekarang aku mengajukan tantangan atas nama kedua orang pimpinan kami. Esok lusa, setelah matahari terbit, pimpinan kami akan datang ke tempat ini dan menantang pimpinan kalian. Hendak kita lihat siapa yang lebih unggul dan yang patut mendapatkan harta karun, majikan Bukit Batu ataukan pimpinan Ang-tung Kai-pang di Bukit Cemara! Kalau esok lusa pimpinan kalian tidak muncul, berarti Ang-tung Kai-pang pengecut!" Setelah berkata demikian, orang berpakaian putih itu melompat ke dalam hutan dan melarikan diri.
Pengemis yang marah tadi mengepal tinjunya dengan marah. "Jahanam itu seharusnya tidak kita biarkan pergi!"
Pengemis yang tadi berkelahi dan lebih tua di antara mereka, berkata. "Ah, tidak ada gunanya, Sute (Adik Seperguruan). Bukankah Pangcu (Ketua) berpesan agar kita tidak mengambil sikap bermusuhan dengan siapa saja yang tinggal di pegunungan ini" Sudahlah, tidak perlu penasaran, akan tetapi bagaimana kalian berlima dapat datang ke sini dan mengetahui bahwa aku sedang bertanding?"
"Seorang rekan memberi tahu kami ketika kami sedang berada di dusun Kok-lo, bahwa engkau sedang bertengkar di sini dengan seorang anak buah Bukit Batu. Maka kami cepat menyusul ke sini, dan melihat Suheng (Kakak Seperguruan) tadi bertanding dengan Si Baju Putih brengsek itu. Suheng, kita tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Bukit Batu, bagaimana Suheng sampai bertengkar lalu berkelahi dengan orang itu?"
Pengemis yang berjenggot seperti kambing itu menghela napas dan mengelus jenggotnya. "Aku pun tahu akan larangan Pangcu agar kita tidak mencari permusuhan. Akan tetapi orang itu ketika bertemu dengan aku di sini, langsung menghinaku dan mengatakan bahwa orang-orang Ang-tung Kai-pang adalah pencuri-pencuri, mencuri harta karun dan tidak tahu malu. Tentu saja aku marah sekali dan kami lalu bertengkar dan berkelahi."
"Jahanam sombongan itu! Mereka yang tak tahu malu, mereka yang tidak pantang melakukan kejahatan, malah menuduh kita! Biarpun pekerjaan kita mengemis, mencuri merupakan pantangan besar bagi kita. Semua orang juga mengetahuinya!" kata yang lain. Mereka berenam tampaknya marah dan penasaran sekali.
"Mari, kita laporkan kepada Pangcu. Dikiranya kita takut menghadapi tantangan mereka!"
Pada saat itu, Yauw Tek yang merasa sudah cukup mengintai, mengajak Ceng Ceng dan Li Hong keluar dari tempat pengintaian mereka tadi. Begitu melihat tiga orang muncul dari balik pohon-pohon, enam orang anggauta Ang-tung Kai-pang ini melompat dengan gerakan ringan dan mereka sudah berdiri di depan tiga orang muda itu dengan tongkat merah siap di tangan untuk menyerang.
"Hemm, apakah kalian juga ingin mencari gara-gara dengan kami?" tanya pengemis tertua dengan pandang mata penuh kecurigaan.
Yauw Tek cepat maju dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan lalu berkata lembut. "Maafkan, kami sama sekali tidak mempunyai niat buruk. Tadi secara kebetulan kami melihat seorang di antara kalian berkelahi melawan orang berpakaian putih itu, maka kami tidak keluar dan bersembunyi di balik pohon. Setelah orang itu pergi, baru kami berani menghampirl kalian."
Enam orang pengemis itu mengerutkan alisnya. "Kalian bertiga ini siapakah dan apa maksud kalian menghampiri dan memperhatikan kami?"
Li Hong tidak sabar melihat sikap Yauw Tek demikian hormat kepada enam orang pengemis itu. "Kami tertarik mendengar ada orang menuduh kalian mencuri harta pusaka! Benarkah kalian mencuri harta karun itu?"
"Hong-moi......!" Ceng Ceng menegur adik angkatnya.
"Nona, apakah engkau juga bermaksud menghina kami?" tanya pengemis tertua dengan suara kaku.
Li Hong membelalakkan mata dan bertolak pinggang, "Siapa yang menghina siapa" Aku hanya bertanya, apa salahnya orang bertanya" Kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku mencuri harta karun, aku akan menjawab tidak karena aku tidak mencurinya. Kalau aku mencuri, tentu akan kuakui karena aku bukan pengecut!"
Dijawab seperti itu, pengemis itu gelagapan, tidak mampu bicara. Yauw Tek yang melihat bahwa sikap dan ucapan Li Hong mungkin menyulut kemarahan dan permusuhan, segera memberi hormat kepada enam orang pengemis itu dan berkata dengan lembut.
"Harap Paman berenam suka memaafkan kami. Sesungguhnya, kami bertiga tertarik sekali mendengar orang baju putih tadi bicara tentang harta karun karena kami bertiga justeru hendak menyelidiki, siapa pencuri harta karun itu. Untuk penyelidikan kami inilah maka kami hendak pergi menghadap Ketua Ang-tung Kai-pang untuk mohon petunjuk."
Ucapan Yauw Tek menyabarkan para pengemis itu. Pengemis tua lalu bertanya, suaranya kini juga halus. "Siapakah kalian bertiga dan mengapa pula kalian hendak menyelidiki tentang pencurian harta karun yang menggemparkan dunia kang-ouw itu?"
"Lo-pek (Paman Tua), harta karun itu adalah peninggalan mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng yang harus diberikan kepada yang berhak, akan tetapi ternyata dicuri orang. Menjadi kewajiban kami bertiga untuk mencarinya. Ketahuilah bahwa Nona ini bernama Liu Ceng Ceng berjuluk Pek-eng Sianli, dan yang ini adalah Nona Tan Li Hong puteri majikan Pulau Ular. Adapun aku sendiri bernama Yauw Tek, seorang pengembara yang membantu kedua orang gadis ini."
Enam orang pengemis itu terbelalak. Mereka sudah mendengar bahwa harta karun itu kabarnya milik seorang gadis pendekar berjuluk Pek-eng Sianli dan kini gadis berpakaian serba putih di depan mereka itu adalah gadis yang nama julukannya amat terkenal setelah terjadinya geger tentang harta karun itu! Juga mereka mengenal betul Pulau Ular dengan majikannya yang berjuluk Ban-tok Kui-bo dan yang dikenal sebagai seorang datuk wanita yang ditakuti. Pantas gadis itu demikian galak, kiranya puteri majikan Pulau Ular. Hanya nama pemuda itu yang tidak mereka kenal, akan tetapi sikap pemuda itu hormat dan lembut sehingga mendatangkan rasa suka dalam hati mereka.
"Ah, kiranya kalian bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang ternama. Maafkan sikap kami tadi dan kalau Sam-wi (Anda Bertiga) ingin menghadap ketua kami, mari silakan, kami antarkan."
Mereka bertiga lalu mengikuti enam orang pengemis itu mendaki Bukit Cemara. Ternyata bukit yang ditumbuhi banyak pohon cemara itu merupakan daerah subur dan di situ terdapat banyak sawah ladang penuh dengan tanaman sayur dan buah-buahan. Dari keadaan ini saja tiga orang muda itu dapat mengetahui bahwa para pengemis itu ternyata juga bertani dan tampak belasan orang anggauta Ang-tung Kai-pang sedang sibuk bekerja di sawah ladang.
Ketika mereka tiba di perkampungan Ang-tung Kai-pang di puncak bukit, mereka pun kagum melihat betapa perkampungan itu tidak seperti daerah kumuh yang biasa merupakan ciri tempat tinggal para pengemis. Perkampungan itu terdiri dari puluhan bangunan rumah yang kecil sederhana, namun teratur dan bersih, di halaman setiap rumah terdapat taman bunga sehingga kampung itu kelihatan indah dan bersih terpelihara. Rumah induk perkumpulan berada di tengah dan merupakan bangunan terbesar. Di situlah tinggal ketua perkumpulan itu dan Yauw Tek bertiga diajak masuk ke dalam rumah besar itu.
Mereka bertiga diterima Ketua Ang-tung Kai-pang di ruangan depan yang luas. Pengemis tertua yang tadi berkelahi melawan orang berpakaian putih hadir pula dalam pertemuan itu. Yang lima lainnya tidak ikut hadir. Tiga orang muda itu memperhatikan Sang Ketua. Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan) adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berusia sekitar enampuluh tahun. Wajahnya masih membayangkan ketampanan dan jenggotnya panjang terpelihara rapi. Pakaiannya sederhana, juga tambal-tambalan namun bersih. Sikapnya penuh wibawa seorang yang biasa memimpin banyak anak buah.
Yauw Tek dan dua orang gadis itu memberi hormat dengan merangkap tangan depan dada, dibalas dengan hormat oleh ketua itu yang lalu mempersilakan mereka duduk berhadapan dengannya. Kemudian dia memberi kesempatan pertama kepada anak buahnya untuk membuat laporan.
Pengemis itu lalu melaporkan tentang pertemuannya dengan Yauw Tek bertiga, setelah lebih dulu dia berkelahi melawan seorang anak buah dari Bukit Batu dan lawannya itu kemudian pergi sambil menantang agar Ketua Ang-tung Kai-pang berani bertanding melawan ketuanya pada esok lusa pagi hari di tempat di mana mereka berkelahi tadi.
Kui-tung Sin-kai mengerutkan alisnya. Suaranya mengandung teguran ketika dia berkata kepada anak buahnya. "Hemm, bagaimana engkau berani mengabaikan pesanku agar jangan membuat permusuhan, sekarang bahkan menimbulkan pertentangan sehingga aku terbawa-bawa ditantang oleh Hek Pek Mo-ko?"
06.3. Murid Baru Ang-tung Kai-pang
Pengemis itu menjawab dengan sikap takut-takut. "Mohon maaf, Pangcu. Sesungguhnya saya tidak berani melanggar pesan Pangcu, akan tetapi orang itu muncul dan tanpa sebab memaki bahwa Ang-tung Kai-pang adalah pencuri-pencuri dan katanya perkumpulan kita mencuri harta karun. Dimaki pencuri, saya tentu saja membantah sehingga terjadi pertengkaran yang berekor menjadi perkelahian. Harap Pangcu sudi memaafkan saya."
"Pangcu, kami yang menjadi saksi! Bukan Paman pengemis ini yang mulai dan menantang untuk mengadakan pertandingan antara pemimpin kedua golongan adalah orang berbaju putih itu!" kata Li Hong dengan lantang.
Ketua Ang-tung Kai-pang mengangguk-angguk dan menghela napas sambil mengelus jenggotnya yang panjang, lalu berkata kepada anak buahnya. "Sudahlah, engkau boleh keluar, aku akan bicara dengan tiga orang tamu ini."
Setelah pengemis itu keluar, Kui-tung Sin-kai memandang kepada tiga orang muda itu dan berkata, "Anggauta perkumpulan kami tadi hanya mengatakan bahwa kalian bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang sedang menyelidiki tentang harta karun yang dihebohkan di dunia kang-ouw, dan kalian hendak minta petunjukku tentang pencurian harta karun itu. Coba perkenalkan dulu, kalian ini siapa?"
Yauw Tek yang menjadi wakil pembicara segera menjawab. "Pangcu, ini adalah Nona Liu Ceng Ceng dan yang ini adalah Nona Tan Li Hong. Saya sendiri bernama Yauw Tek."
"Mengapa kalian hendak menyelidiki dan mencari pencuri harta karun yang kabarnya memperkenalkan diri sebagai penghuni Thai-san?"
Yauw Tek lalu menceritakan asal mula pencarian harta karun itu. Bagaimana dari peta yang ditinggalkan Liu Bok Eng kepada puterinya, Liu Ceng Ceng, tempat harta karun itu telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan, akan tetapi ternyata hanya tinggal petinya yang kosong dan di dalam peti itu terdapat tulisan THAI SAN.
"Nona Liu Ceng Ceng ini merasa berkewajiban untuk menemukan kembali harta karun yang ditinggalkan mendiang ayahnya. Nona Tan Li Hong dan saya membantunya dan kami menghadap Pangcu untuk mohon petunjuk, siapa kiranya yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu."
"Nanti dulu, Yauw-sicu. Katakan dulu, untuk apa kalian mencari pencuri harta karun itu!"
"Tentu untuk merampasnya kembali, habis untuk apa lagi?" jawab Li Hong mendahului Yauw Tek. Li Hong yang dibesarkan di Pulau Ular oleh ibu tirinya yang dulu terkenal sebagai datuk wanita berjuluk Ban-tok Kui-bo memang berwatak keras dan tidak mengenal segala macam aturan bersopan santun, apalagi bermanis muka, namun ia jujur.
Kini ketua itu memandang kepada tiga orang muda itu dengan alis berkerut, kemudian dia berkata lantang dan tegas. "Aku pernah mendengar akan nama Liu Bok Eng sebagai seorang gagah yang setia kepada Kerajaan Sung dan berjiwa patriot dan aku akan suka membantunya mencari harta karun karena aku yakin bahwa dia akan mempergunakannya demi nusa dan bangsa. Akan tetapi kalau kalian orang-orang muda mencari harta karun untuk diri kalian sendiri, jangan harap akan mendapat dukungan dariku. Aku tidak sudi membantu orang-orang memperebutkan harta seperti anjing"anjing kelaparan memperebutkan tulang!"
"Apa" Engkau menganggap kami ini anjing-anjing?" Li Hong sudah merah mukanya karena ia marah sekali.
Akan tetapi Ceng Ceng menyentuh lengannya dan ketika adik angkatnya memandang"nya, ia menggeleng kepala mencegah adiknya itu bicara terus. Kemudian ia menoleh kepada Kui-tung Sin-kai dan berkata dengan suaranya yang lembut dan sikapnya yang ramah.
Misteri Pulau Neraka 12 Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Pembalasan Nyoman Dwipa 1
^