Harta Karun Kerajaan Sung 6
Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Ketua Thai-san-pai juga setuju dan merasa lebih tenang. Malam itu tidak terjadi sesuatu dan Ceng Ceng bermalam di situ, sekamar dengan Kui Lan dan Kui Lin sehingga mereka bertiga dapat bercakap-cakap, mempererat perkenalan dan semakin banyak mengetahui keadaan masing-masing. Dari percakapan dua orang gadis kembar itu, dengan hati senang Ceng Ceng dapat melihat bahwa Kui Lan tertarik kepada Liong Kun sedangkan Kui Lin tertarik kepada Thio Kui. Hal ini terungkap dari suara dan tarikan muka dua orang gadis kembar itu ketika bicara tentang dua orang pemuda Bu-tong-pai itu.
Ia juga merasa girang mendengar mereka bercerita tentang Pouw Cun Giok, akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir karena tidak mendengar tentang adik angkatnya, Li Hong, dan Yauw Tek. Akan tetapi ia berharap agar kedua orang itu dalam keadaan selamat dan mereka berdua tentu akan mendengar pula berita tentang adanya harta karun di Thai-san-pai dan mendengar ini, mereka pasti akan datang pula di Thai-san-pai.
Dua orang gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu pun dengan hati kagum dan senang mendengar tentang diri Ceng Ceng dan pengalaman gadis cantik jelita dan lembut itu ketika terpaksa menyerahkan peta harta karun peninggalan ayahnya kepada Kim Bayan untuk menolong Tan Li Hong yang menjadi tawanan Kim Bayan. Menceritakan ketika ia bersama Pouw Cun Giok membantu Kim Bayan mencari harta karun lalu mendapatkan peti harta karun telah kosong.
"Huh, si keparat jahanam Kim Bayan!" Kui Lin memaki marah. "Kalau aku bertemu dengan dia, pasti akan kupukul remuk kepalanya!"
"Aih, Adik Kui Lin, mengapa engkau agaknya demikian benci kepada Panglima Kim Bayan?" tanya Ceng Ceng heran.
"Enci Ceng Ceng," kata Kui Lan. "Ayah kandung kami tewas oleh pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan."
Ceng Ceng mengangguk-angguk, lalu berkata memperingatkan kepada Kui Lin. "Adik Kui Lin, kalau besok Ketua Thai-san-pai mengadakan pertemuan, andaikata Panglima Kim Bayan muncul, harap engkau tidak memancing keributan dengan menyerang dia karena hal itu akan dapat menggagalkan usaha Thai-san-pai untuk melepaskan diri dari fitnah. Kalau engkau tidak mampu menahan kesabaran dan menyerang Kim Bayan, mungkin saja hal itu bagaikan api dapat menyulut kebakaran lain dan Thai-san-pai menjadi ajang pertempuran."
"Enci Ceng Ceng berkata benar, Lin-moi. Engkau tidak boleh mengacaukan pertemuan besok karena dengan begitu, berarti kita tidak membantu Thai-san-pai malah sebaliknya mendatangkan malapetaka kepada Thai-san-pai," kata Kui Lan.
Kui Lin cemberut. "Baiklah, baiklah! Memang aku tukang membikin kacau!"
Ceng Ceng dan Kui Lan hanya tersenyum melihat ulah gadis yang galak dan manja itu.
Pada keesokan harinya, ketika matahari naik cukup tinggi, pintu gerbang Thai-san-pai dibuka dan keluarlah Thai-san Sianjin dari dalam, diiringkan oleh lima orang sutenya, yaitu Song Bu Tosu, Song Tek Tosu, Koa Lai Kim Tosu, Wong Kian Tosu, dan Wong Han Tosu. Di sampingnya keluar pula Ceng Ceng, Kui Lan dan Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Para murid Thai-san-pai dengan senjata lengkap mengiringkan ketua mereka, hampir seratus orang banyaknya karena sebagian kecil masih melakukan penjagaan di sekeliling perkampungan mereka.
Berita tentang keluarnya ketua Thai-san-pai segera terdengar oleh semua orang yang sedang berada di sekitar perkampungan Thai-san-pai dan berbondong-bondong mereka datang memasuki halaman depan perkampungan yang luas. Diam-diam Thai-san Sianjin dan lima orang sutenya, juga lima orang muda yang mendampinginya, mengamati siapa yang datang berkumpul.
Thai-san Sianjin merasa terkejut juga ketika melihat betapa banyaknya para tokoh kang-ouw yang kini berkumpul di luar pekarangan depan perkampungan Thai-san-pai. Yang membuat dia dan lima orang sutenya, juga lima orang muda yang menjadi tamunya, merasa agak khawatir adalah hadirnya dua rombongan, yaitu Huo Lo-sian dan anak buahnya yang didampingi Bu-tek Sin liong Cu Liong, majikan Bukit Merak dan puterinya Cu Ai Yin!
Para pimpinan Thai-san-pai itu memang tidak mengenal Ai Yin, akan tetapi mereka tahu siapa kakek tinggi besar muka merah itu! Rombongan kedua yang membuat mereka terkejut adalah rombongan yang terdiri dari tiga orang, yaitu Kong Sek, Cui-beng Kui-ong, dan Song-bun Mo-1i. Mereka memang tidak mengenal Kong Sek, akan tetapi mereka tahu siapa kakek dan nenek itu, yang merupakan datuk sesat yang amat terkenal dan ditakuti di dunia kang-ouw.
Selain dua rombongan ini, masih ada beberapa orang tokoh sesat yang hadir, termasuk para tokoh sungai telaga (golongan pembajak) dan para tokoh rimba persilatan (golongan perampok). Akan tetapi, perasaan Thai-san Sianjin Ketua Thai-san-pai menjadi tenang ketika dia melihat pula hadirnya mereka dari golongan bersih, partai-partai persilatan yang terdiri dari para pendekar seperti Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin dari Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang dan beberapa orang hwesio yang mereka duga adalah murid-murid Siauw-lim-pai. Kemudian baru muncul Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka.
10.3. Siapakah Golongan Murka Harta"
Setelah berada di luar dan berhadapan dengan banyak orang itu, Thai-san Sianjin lalu menjura dan dengan sikap tenang dia berkata. "Saudara-saudara sekalian! Kami Thai-san-pai tidak sedang mengadakan perayaan dan tidak menyebar undangan, akan tetapi Saudara-saudara berdatangan dari semua penjuru dan memasuki wilayah kami tanpa memberitahu. Ada kepentingan besar apakah yang membuat Saudara sekalian datang dan mengepung tempat kami?"
Huo Lo-sian tertawa bergelak sambil menghadapkan mukanya ke atas dan perutnya bergelombang, "Hua-ha-ha, Ketua Thai-san-pai, jangan pura-pura bodoh dan menyembunyikan kenyataan. Beritanya sudah tersebar bahwa Thai-san-pai yang mencuri harta karun itu! Aku sudah menduga sejak semula. Hayo serahkan setengahnya kepadaku dan aku akan membantumu mengusir semua orang ini!"
"Heh, Lo-sian! Jangan lupa, akulah yang akan mengalahkan semua orang ini kalau mereka berani campur tangan!" kata Bu-tek Sin-liong dengan lantang dan dia memandang ke sekeliling sikapnya menantang.
"Ho-ho, nanti dulu, Huo Lo-sian!" Tiba-tiba muncul Hek Mo-ko, didampingi Pek Mo-ko. "Kalau harta karun itu berada di Thai-san, maka sudah sepantasnya kalau dibagi rata kepada semua penghuni Thai-san termasuk kami. Ini baru adil namanya dan kami menuntut bagian kami sebagai penduduk Thai-san!"
"Hi-hi-heh-heh-heh?"!" Terdengar suara melengking setengah tawa setengah tangis yang keluar dari leher Song-bun Mo-li sehingga membuat banyak orang merasa serem. "Kui-ong, dengar itu orang-orang sinting bicara seenak perutnya sendiri, heh-heh-hi-hik!"
"Hemm, kalian orang-orang tidak tahu malu! Membicarakan harta karun yang menjadi hak milik kami!" kata Cui-beng Kui-ong dengan suaranya yang berat dan mengandung wibawa kuat sekali.
Mendengar ini, Ceng Ceng yang berdiri di samping Thai-san Sianjin berkata dengan suaranya yang lembut namun nyaring sehingga terdengar banyak orang.
"Cui-beng Kui-ong, bicara tentang hak milik, siapa yang mempunyai hak milik atas harta karun itu" Aku berada di sini, apakah engkau tidak malu mengatakan bahwa harta karun itu hak milikmu?"
Banyak suara terdengar memberi sambutan atas ucapan Ceng Ceng itu, terutama mereka yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah Pek-eng Sianli, puteri mendiang Liu Bok Eng yang dianggap berhak atas harta karun itu. Kui-tung Sin-kai yang sudah tahu dari Ceng Ceng tentang harta karun itu, berkata lantang.
"Hemm, siapa pun sudah mendengar bahwa harta karun itu yang berhak adalah bekas Panglima Liu Bok Eng yang diwariskan kepada puterinya, Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng! Kemudian harta karun itu dicuri orang yang mengaku sebagai penghuni Thai-san. Sungguh lucu kalau sekarang ada orang lain yang mengakui sebagai haknya!"
Mendengar ini, Cui-beng Kui-ong memandang kepada ketua Ang-tung Kai-pang dengan mata melotot, lalu dia menghardik. "Pengemis kotor jangan ikut campur!" Tangannya yang memegang tongkat bergerak, menudingkan tongkat berujung runcing itu ke arah Kui-tung Sin-kai dan tiba-tiba ada sinar hitam kecil meluncur dari ujung tongkat itu ke arah leher ketua Kai-pang itu!
"Tringg?"!" Sinar hitam itu adalah sebatang panah kecil dan menyambar cepat, namun Kui-tung Sin-kai bukan orang sembarangan. Dia sudah mengangkat tongkat merah dengan gerakan menangkis dan panah kecil itu tertangkis dan terpental jauh!
"Hi-hi-heh-heh, Kui-ong! Mengapa melayani segala macam jembel busuk" Harta karun berada di Thai-san-pai, mari kita bekuk ketuanya dan paksa dia menyerahkan harta itu kepada kita, hi-hi-hik!" Song-bun Mo-li melangkah maju. Cui-beng Kui-ong juga maju diikuti Kong Sek yang sudah mencabut pedangnya.
"Ho-ho, perlahan dulu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li! Kami juga berhak atas harta karun itu karena harta itu sudah berada di Thai-san. Kami penghuni Thai-san sejak dulu!" terdengar bentakan dan Hek Mo-ko bersama Pek Mo-ko sudah melompat ke depan, diikuti barisan anak buah mereka!
"Ha-ha, kami juga tidak mau ketinggalan! Kalau Thai-san-pai mau membagi dengan kami, kami akan membantu Thai-san-pai untuk mengusir kalian!" kata pula Huo Lo-sian.
"Hai, kalian semua dengarlah baik-baik!" tiba-tiba Kong Sek berseru dengan suara lantang. "Harta karun itu tadinya berada di Bukit Sorga, tempat kediaman dan milik Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li. Oleh karena itu mereka berdualah yang sesungguhnya berhak atas harta itu. Kini ada yang mencurinya dan pencurinya adalah Thai-san-pai, maka jangan halangi kami untuk merampasnya kembali dari Thai-san-pai!"
"Kong Sek, manusia tak mengenal malu! Engkau sejak dulu belajar ilmu dari Ayahku, engkau murid Ayahku, bagaimana kini engkau mengaku murid kakek dan nenek iblis ini?" Cu Ai Yin membentak marah sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah pemuda yang tadinya menjadi suhengnya, bahkan biarpun belum sah, menjadi tunangannya itu.
Sambil tersenyum mengejek Kong Sek menjawab. "Ayahmu adalah calon ayah mertuaku, sedangkan guruku sekarang adalah Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li!"
"Keparat!" Bu-tek Sin-liong membentak sambil menatap wajah Kong Sek dengan mata terbelalak marah. "Siapa sudi mempunyai mantu atau murid seorang jahanam macam kamu?"
Keadaan menjadi tegang dan agaknya Thai-san-pai akan menghadapi penyerbuan banyak pihak yang agaknya percaya bahwa harta karun itu berada di Thai-san-pai dan ingin berlumba merebutnya.
Pada saat itu, tanpa memperlihatkan diri, Pouw Cun Giok juga berada di situ. Dia bersembunyi di atas sebuah pohon besar dan hanya mengintai untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Diam-diam dia telah melakukan penyelidikan setelah berpisah dari kakak beradik kembar The Kui Lan dan The Kui Lin. Kemudian, mendengar berita bahwa harta karun berada di Thai-san-pai, dia datang pula ke tempat itu, hanya tidak memperlihatkan diri.
Demikian pula dengan Yauw Tek dan Li Hong. Mereka datang pula ke situ dan Li Hong tadinya ingin keluar dari persembunyian untuk menemui kakak angkatnya, Ceng Ceng, dan membantunya membela Thai-san-pai. Akan tetapi Yauw Tek menahannya dan menganjurkannya untuk tetap bersembunyi, mengintai dan melihat perkembangan selanjutnya. Li Hong kini telah mengalami perubahan yang tentu akan mengherankan hati mereka yang telah mengenalnya. Dahulu ia merupakan seorang gadis yang berwatak liar dan galak, tidak dapat dikendalikan siapa pun. Akan tetapi kini, setelah ia menyerahkan dirinya dan menjadi kekasih Yauw Tek, ia seolah-olah menjadi jinak dan penurut.
Melihat keadaan menjadi tegang dan gawat, Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, segera maju dan menggabungkan diri dengan tuan rumah, yaitu Thai-san-pai. Mereka berdiri dekat Ceng Ceng dan memandang kepada Cui-beng Kui-ong dengan mata berapi karena dendam dan marah teringat akan dua orang murid wanita yang telah dihina dan dibunuh kakek iblis itu!
"Totiang, kami dari Go-bi-pai akan membantu Thai-san-pai menghadapi para iblis dan manusia sesat yang hendak mengganggu!" kata Thian-li Niocu setelah memberi hormat kepada Thai-san Sianjin. Ketua Thai-san-pai membalas penghormatan itu sambil membungkuk hormat dan senang.
Setelah orang-orang Go-bi-pai maju membela Thai-san-pai, kini mereka yang berjiwa pendekar dan tahu bahwa Ceng Ceng bermaksud mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, berbondong menggabungkan diri dengan Thai-san-pai. Mereka adalah lima orang Hoa-san Ngo-heng-tin, Ang-tung Kai-pang, dan beberapa orang tokoh bersih dunia kang-ouw. Hanya lima orang hwesio (Pendeta Buddha) dari Siauw-lim-pai yang sejak tadi hanya diam saja, kini masih berdiri, agaknya tidak memihak dan hanya ingin melihat perkembangan keadaan yang menegangkan itu.
Perlu diketahui bahwa Pemerintah Kerajaan Boan (Mongol) berusaha mendekati Siauw-lim-pai. Keluarga Kaisar Mongol sebagian besar beragama Buddha, maka dengan sendirinya mereka itu condong berbaik dengan para pendeta Buddha (Hwesio). Apalagi karena mereka mengetahui bahwa Siauw-lim-pai yang menyebarkan Agama Buddha juga dikenal sebagai tempat penggemblengan para pendekar yang tangguh. Pemerintah Mongol bersikap longgar kepada para hwesio, bahkan membebaskan mereka dari pajak dan kewajiban lain yang memberatkan.
Oleh karena sikap yang baik dari Pemerintah Mongol inilah yang membuat para pimpinan Siauw-lim-pai berhati-hati dan memesan kepada para muridnya agar bersikap bijaksana dan lunak, tidak memperlihatkan sikap bermusuhan atau menentang pemerintah Kerajan Mongol. Ini pula yang menyebabkan lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu kini hanya sebagai penonton yang tidak berpihak.
Melihat betapa banyaknya orang yang menggabungkan diri dengan Thai-san-pai, rombongan Huo Lo-sian, Hek Pek Mo-ko, dan Cui-beng Kui-ong menjadi ragu. Keadaan Thai-san-pai kini sungguh kuat. Selain Thai-san-pai sendiri merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan, kini yang bergabung dengan mereka adalah wakil-wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang, masih ditambah lagi dengan adanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, dua orang gadis kembar The Kui Lan dan The Kui Lin dari Lembah Seribu Bunga, dan beberapa orang pendekar lain yang bersikap membela Thai-san-pai. Bukan saja Thai-san-pai kini menjadi kuat sekali, akan tetapi mereka pun masih harus berhadapan dengan para saingan yang hendak memperebutkan harta karun!
Bu-tek Sin-liong Cu Liong adalah seorang datuk yang gila ilmu silat dan gila bertanding! Kini, melihat banyaknya tokoh persilatan berkumpul di situ, kedua tangannya sudah gatal-gatal rasanya karena ingin sekali dia untuk pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan mereka. Dia tidak peduli akan harta karun, tidak membutuhkan harta karun. Yang dibutuhkan adalah mempertahankan nama julukannya Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding)! Dia ingin membuktikan bahwa tidak percuma dia berjuluk Tanpa Tanding. Dengan gagah dia lalu melangkah maju dan memandang ke sekeliling.
"Sobat sekalian!" katanya lantang. "Aku Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak peduli apakah harta karun itu ada ataukah tidak. Akan tetapi setelah di sini berkumpul banyak tokoh persilatan yang terkenal, aku tidak mau sia-siakan kesempatan ini! Aku tantang siapa saja yang berani maju untuk bertanding ilmu silat dengan aku untuk menemukan siapa yang pantas menjadi Thian-te Te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Kolong Langit)!"
Biarpun tantangan ini membuat merah muka para datuk yang tentu saja tidak takut melawan Bu-tek Sin-liong, namun pada saat itu mereka hanya memikirkan harta karun dan sama sekali tidak ingin bertanding hanya untuk mencari kemenangan kosong belaka.
Pada saat itu, Pouw Cun Giok mengambil keputusan untuk bertindak. Dia tahu bahwa orang-orang yang biasanya disebut para datuk dan tokoh dunia persllatan itu sudah dimabok harta karun yang kabarnya menghebohkan itu. Untuk mendapatkan dan memperebutkan itu, agaknya mereka siap untuk mengadu nyawa! Hal ini amat berbahaya karena darah mereka sedang panas. Kalau tantangan Bu-tek Sin-liong itu ada yang menyambutnya, bukan tidak mungkin perkelahian itu akan menjalar dan orang-orang akan nekat menyerbu Thai-san-pai untuk merebut harta karun yang dikabarkan berada di Thai-san-pai. Biarpun banyak yang membela Thai-san-pai, namun pertempuran besar itu pasti akan menjatuhkan banyak korban terbunuh.
Dengan pengerahan gin-kang yang memang menjadi keahliannya sehingga dengan gin-kangnya yang amat tinggi itu dia dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sukar diikuti dengan pandang mata dan dia mendapat julukan Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), Pouw Cun Giok melompat ke hadapan mereka dan berkelebatan bagaikan seekor burung menyambar-nyambar. Semua orarg terkejut karena hanya melihat bayangan yang berkelebat ke sana sini, lalu terdengar suaranya lantang.
"Para Lo-cianpwe dan Saudara sekalian! Jangan mudah ditipu berita bohong yang disebarkan orang untuk memancing kekacauan. Harta karun itu tidak berada di Thai-san-pai. Harap Cu-wi (Anda Sekalian) menyadari ini dan jangan tertipu. Harta karun itu berada di tangan orang yang sengaja menyebarkan fitnah kepada Thai-san-pai agar Cu-wi saling tuduh dan saling bentrok di sini. Kalau Cu-wi memaksa dan menuduh Thai-san-pai, terpaksa aku yang muda dan bodoh akan membelanya!" Setelah berhenti bicara, Cun Giok juga berhenti bergerak cepat dan kini dia telah berdiri dekat Thai-san Sianjin.
"Giok-ko?"!" seruan ini keluar dari mulut Ceng Ceng, Kui Lan, dan Kui Lin. Mereka girang melihat munculnya pemuda ini. Terutama sekali Ceng Ceng, begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cun Giok, hati mereka berdua tergetar.
"Bu-eng-cu Pouw Cun Giok! Jahanam busuk!" Kong Sek memaki dan dia hendak langsung menyerang, akan tetapi Cui-beng Kui-ong memegang lengannya dan mencegahnya. Orang-orang yang belum mengenal Cun Giok, terkejut mendengar disebutnya Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan)
karena nama ini menjadi amat terkenal setelah peristiwa pembunuhan atas diri Panglima Kong Tek Kok dan banyak perajurit di kota raja.
Melihat Thai-san-pai terancam, Hoa-san Ngo-heng-tin maju dan dengan lantang Thian-huo Tosu berkata. "Kami dari Hoa-san-pai tidak mencari permusuhan, akan tetapi kami percaya bahwa Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu. Maka kalau mereka difitnah, kami siap membelanya!"
Biarpun tidak mengeluarkan kata-kata, namun sikap para murid Go-bi-pai dan Ang-tung Kai-pang, juga beberapa orang pendekar, tampak dari sikap mereka bahwa mereka siap bertempur membela Thai-san-pai!
Thai-san Sianjin kini mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata. "Sobat sekalian, percayalah bahwa kami sama sekali tidak tahu apa-apa tentang harta karun, apalagi mencurinya. Kalau kami mencurinya, tidak mungkin para orang gagah di sini membela kami. Maka, kami harap kalian tidak sembarangan menuduh dan mempercayai berita bohong, dan memancing keributan dan permusuhan di sini. Kalau memang ada yang mencuri harta karun dan mengaku tinggal di Thai-san, marilah kita berlumba mencarinya, dan tidak saling bermusuhan memperebutkan barang yang tidak ketahuan di mana adanya!"
"Siapa yang butuh dan peduli akan harta benda" Sekarang, selagi kita berkumpul, hayo aku tantang siapa saja yang berani pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan aku, Bu-tek Sin-liong, silakan maju!" Terdengar kakek gagah perkasa yang gila bertanding itu berseru.
Akan tetapi, semua orang menganggap ucapan Thai-san Sianjin tadi benar dan mereka tidak peduli akan tantangan Bu-tek Sin-liong. Selain agak jerih menyambut tantangan Majikan Bukit Merak ini, juga mereka semua datang ke Thai-san karena tertarik kepada harta karun Kerajaan Sung, bukan untuk mengadu ilmu yang mungkin akan mendatangkan maut bagi mereka. Mati untuk sesuatu yang tidak ada artinya, sungguh bodoh! Mereka lalu mulai bubaran meninggalkan tempat itu. Ai Yin ingin sekali menemui Cun Giok, akan tetapi ayahnya sudah menarik lengannya, diajak pergi dari situ bersama Huo Lo-sian dan yang lain-lain.
Sementara itu, dengan ramah dan hormat Thai-san Sianjin mempersilakan mereka yang tadi berpihak dan mendukung Thai-san-pai untuk masuk dan berbincang-bincang di bangunan induk Thai-san-pai. Yang menerima undangan itu adalah Thian-li Niocu dari Go-bi-pai dan lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai, Hoa-san Ngo-heng-tin, The Kui Lan dan The Kui Lin bersama dua orang murid Bu-tong-pai Liong Kun dan Thio Kui, Liu Ceng Ceng, dan Pouw Cun Giok.
Setelah semua orang duduk dalam ruangan yang luas, Thai-san Sianjin mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka semua. Para tamu yang dlhormati itu dijamu minuman dan Ketua Thai-san-pai itu lalu berkata dengan ramah.
"Terima kasih atas pembelaan Cu-wi yang terhormat, terutama sekali atas kepercayaan Cu-wi bahwa kami sungguh tidak mengambil harta karun itu. Kami juga mendengar bahwa harta karun peninggalan Kerajaan Sung itu kabarnya dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Kalau hal itu benar, marilah kita masing-masing menyelidiki karena Thai-san itu luas sekali. Akan tetapi tentu Cu-wi sudah mengetahui bahwa sesungguhnya yang berhak memiliki adalah Nona Liu Ceng Ceng ini, yang menerima peta sebagai warisan ayahnya, yaitu Panglima Kerajaan Sung, mendiang Liu Bok Eng. Sekarang, kami harap Nona Liu suka menceritakan kembali asal-usul harta karun itu kepada kami semua agar kami mengetahui lebih jelas, juga niat Nona Liu mendapatkan harta karun itu."
Semua mata memandang kepada Ceng Ceng. Cun Giok tidak berani memandang langsung karena setiap kali bertemu pandang dengan gadis yang dicintanya itu, hatinya tergetar. Dia merasa bahwa dia telah melukai perasaan hati gadis itu ketika dahulu menceritakan bahwa dia telah bertunangan dengan gadis lain, padahal antara dia dan Ceng Ceng sudah terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam. Akan tetapi dalam pandang mata Ceng Ceng kepadanya, sama sekali tidak terkandung penyesalan atau kemarahan, hanya keharuan yang membuat Cun Giok semakin tunduk, iba dan haru memenuhi hatinya.
Kemudian terdengar Ceng Ceng bercerita dengan suaranya yang selalu lembut dan tenang itu. "Cu-wi yang terhormat, saya akan menceritakan dengan singkat saja. Harta karun itu adalah harta Kerajaan Sung yang dikorup atau dicuri oleh Thaikam Bong yang dulu berkuasa dalam istana. Harta itu lalu disembunyikan oleh Thaikam Bong dan dia membuat sehelai peta untuk tempat persembunyian harta itu. Ketika Ayah sebagai panglima menyerbu dan membinasakan thaikam yang korup, jahat dan yang bersekutu dengan orang Mongol itu, Ayah menemukan peta itu dan menyimpannya. Kemudian sebelum Ayah dan Ibu tewas dikeroyok pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan dan para pembantunya, Ayah meninggalkan peta itu kepada saya. Dengan cara yang licik Panglima Kim Bayan dapat memaksa saya dan Twako Pouw Cun Giok ini dengan menawan adik angkat saya Tan Li Hong. Kami terpaksa menyerahkan peta dan membantunya mencari harta karun. Ternyata harta karun itu ditanam di Bukit Sorga akan tetapi setelah kami temukan, peti tempat harta karun itu kosong dan hanya ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Kami berhasil meloloskan diri dan sejak itulah tersiar berita bahwa harta karun itu dicuri orang dari Thai-san maka semua orang lalu berbondong-bondong datang ke Thai-san. Kami sendiri juga datang ke Thai-san karena saya merasa berkewajiban untuk menemukan harta karun itu dan memenuhi pesan Ayahku bahwa harta karun itu harus saya serahkan kepada yang berhak menerimanya."
"Siapa yang berhak menerimanya itu" Nona Liu, harap jelaskan agar kita semua mengetahui dan merasa yakin bahwa kami berada di pihak yang benar," kata Thai-san Sianjin.
"Seperti yang sudah saya ceritakan kepada siapa saja, saya sendiri atau mendiang Ayah sama sekali tidak menginginkan harta karun itu untuk diri kami sendiri. Harta karun itu milik Kerajaan Sung, maka jangan sampai terjatuh ke tangan Pemerintah Mongol atau ke tangan orang lain. Yang berhak menerimanya adalah para patriot yang akan berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol."
Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.
"Kalau demikian tujuannya, kami semua siap untuk membantumu menemukan harta karun itu, Nona Liu!" kata mereka. Mereka lalu bersepakat untuk mencari secara berpencar dan kalau ada yang menemukan tanda-tanda di mana adanya harta karun itu, mereka akan memberi kabar melalui Thai-san-pai agar mereka dapat bersama-sama merampas harta karun itu untuk diserahkan kepada Liu Ceng Ceng agar dapat disumbangkan kepada para patriot pejuang. Setelah bersepakat, mereka pun berpamit.
Yang masih tinggal di Thai-san-pai kini adalah Pouw Cun Giok, Liu Ceng Ceng, The Kui Lan, The Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Enam orang muda ini mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap dan saling berkenalan. Kui Lin dengan lincahnya memperkenalkan dua orang murid Bu-tong-pai kepada Cun Giok. Dalam suasana gembira, mereka mengatur rencana pencarian harta karun itu.
"Enci Ceng Ceng, kami berdua akan membantumu dan kami akan mencari. Kalau berhasil, tentu kami akan memberi kabar melalui Thai-san-pai," kata Kui Lan.
"Kami berdua akan menemani kalian, Adik Lan dan Lin!" kata Liong Kun gembira.
11.1. Obrolan Pertama Sepasang . . . . .
Ceng Ceng dan Cun Giok tersenyum. Dua orang pemuda Bu-tong-pai itu sama sekali tidak menyembunyikan rasa kagum dan sukanya kepada dua orang gadis kembar itu.
"Baiklah, dan terima kasih atas bantuan kalian," kata Ceng Ceng.
Dua pasang orang muda itu setelah berpamit kepada Ceng Ceng dan Cun Giok, juga kepada pimpinan Thai-san-pai, lalu meninggalkan perkampungan itu, melakukan perjalanan berempat untuk menyelidiki harta karun yang masih belum diketahui di mana tempatnya dan siapa pula pencurinya.
Seperti dengan sendirinya, tanpa berunding dan bersepakat, Cun Giok dan Ceng Ceng juga berpamit kepada tuan rumah untuk melanjutkan penyelidikan mereka.
"Mudah-mudahan kalian berdua memperoleh hasil yang baik, Pouw-sicu dan Liu-siocia. Pinto juga akan menyebar murid Thai-san-pai untuk melakukan penyelidikan lagi," kata Ketua Thai-san-pai.
Cun Giok dan Ceng Ceng melakukan perjalanan berdua, keluar dari perkampungan Thai-san-pai tanpa mengeluarkan suara. Padahal, seribu satu macam ucapan yang memenuhi hati mereka, akan tetapi entah mengapa, sukar rasanya untuk bicara setelah mereka kini berdua saja. Karena merasa seperti terjebak ke dalam suasana hening dan macet ini.
Sebagai seorang wanita, Ceng Ceng merasa sukar dan malu untuk membuka pembicaraan. Akan tetapi keadaan seperti itu sungguh tidak nyaman rasanya di hati sehingga ia menarik napas panjang dua kali. Tarikan napas panjang yang halus ini tidak terlewatkan oleh pendengaran Cun Giok. Dia tiba-tiba merasa betapa canggung dan tidak enaknya suasana itu dan dia merasa telah membuat gadis yang dikasihinya ini menderita yang dinyatakan dengan helaan napas panjang dua kali tadi.
"Ceng-moi......"
"Giok-ko......" Entah siapa yang mendahului, akan tetapi keduanya berhenti melangkah dan saling pandang. Agaknya, hanya dengan menyebut nama itu saja sudah mewakili segenap perasaan yang menekan menyatakan diri!
"Ceng-moi, mari kita mengaso sebentar. Duduklah," kata Cun Giok sambil menghampiri sekumpulan batu yang cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atas batu. Setelah mereka duduk, Cun Giok mendapatkan ketenangan hatinya sehingga tanpa ketegangan seperti yang dia rasakan tadi, dia bertanya.
"Ceng-moi, cukup lama kita saling berpisah. Bagaimana keadaanmu selama ini?"
"Terima kasih kepada Thian (Tuhan) aku selalu dalam lindungan-Nya dan baik-baik saja. Bagaimana dengan engkau, Giok-ko?"
"Aku juga baik-baik saja, Ceng-moi." Pertanyaan pertama mereka itu saja yang dikeluarkan dengan suara penuh perhatian sudah menunjukkan betapa mereka itu selalu saling memikirkan dan saling mengkhawatirkan.
"Ceng-moi, mengapa engkau hanya seorang diri saja" Mana Adik angkatmu, mengapa...... Li Hong tidak bersamamu?"
Ceng Ceng tersenyum dan melihat senyum itu saja, belum mendengar jawabannya, sudah membuat hati Cun Giok lega. Ah, baru sekarang dia merasakan betapa dekat dengan Ceng Ceng mendatangkan kedamaian dan agaknya tiada hal yang dapat merisaukannya karena sikap gadis itu selalu demikian tenang, sabar, dan penuh senyum tulus seolah tidak ada masalah apa pun yang akan mampu menggoyahkannya.
"Adikku yang manis dan bengal itu. Entah kenapa ia menghilang dan tidak kembali padaku. Akan tetapi aku tidak khawatir, Giok-ko, karena ada Yauw-twako yang mengejarnya dan sekarang tentu Yauw-twako sudah menemaninya."
"Yauw-twako" Siapa itu" Apa yang terjadi?" tanya Cun Giok heran.
"Panjang ceritanya, Giok-ko. Akan tetapi yang lain itu nanti kuceritakan, sekarang berita yang amat menggembirakan dulu untukmu."
"Eh" Berita baik untukku" Apa itu, Ceng-moi?"
"Ketahuilah bahwa Adik Tan Li Hong itu adalah piauw-moimu (adik misanmu)."
"Apa" Bagaimana......?"
"Giok-ko, ayah dari Li Hong, yaitu Tan Kun Tek yang dulu tinggal di Seng-hai-lian, adalah kakak dari mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian."
Cun Giok terbelalak akan tetapi hatinya girang. "Ah, sungguh menggembirakan! Li Hong yang nakal, dan galak itu adikku sendiri! Ya, aku ingat bahwa Suhu pernah bilang Ibu mempunyal seorang kakak dekat Nan-king, akan tetapi karena tak pernah bertemu, aku lupa lagi. Kiranya kakak Ibuku itu ayah Li Hong! Akan tetapi, bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu, Ceng-moi?"
"Aku ikut Hong-moi ke Pulau Ular untuk bertemu dengan ibunya yang sudah kita kenal. Ingat waktu kita berdua berkunjung ke pulau berbahaya itu?"
"Tentu saja aku ingat. Ibu Li Hong adalah Ban-tok Kui-bo......"
"Bukan, Giok-ko. Ketika kita berkunjung ke sana, Ban-tok Kui-bo adalah gurunya, bukan ibunya. Akan tetapi sekarang ia telah menjadi ibunya, ibu tiri."
"Eh" Aku tidak mengerti. Kaubilang tadi Li Hong itu puteri pamanku......"
"Benar. Paman Tan Kun Tek itu dahulu sebelum menikah dengan ibu kandung Hong-moi, adalah pacar Ban-tok Kui-bo yang kini berganti julukan Ban-tok Niocu. Nah, ketika Paman Tan Kun Tek menikah dengan gadis lain, ia menjadi marah. Ia mendendam dan ketika Paman Tan Kun Tek mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Adik Tan Li Hong, ia lalu menculik anak itu, dibawanya ke Pulau Ular dan diambil murid."
"Ah, kasihan sekali Hong-moi!"
"Akan tetapi semua itu kini berakhir dengan kebahagiaan bagi keluarga itu, Giok-ko. Setelah Hong-moi dewasa, Ban-tok Niocu menceritakan semua itu dan membiarkan Hong-moi mencari ayah ibunya. Bahkan mereka berdua telah menyelamatkan Paman Tan Kun Tek dan isterinya yang ditawan Kim Bayan. Akhirnya Paman Tan Kun Tek dan isterinya tinggal di Pulau Ular dan Ban-tok Niocu menjadi isteri Paman Tan Kun Tek. Mereka menjadi satu keluarga yang bahagia dan tidak terdapat permusuhan lagi di antara mereka. Nah, ketika aku berkunjung ke Pulau Ular bersama Hong-moi, Paman Tan Kun Tek yang mendengar disebutnya namamu, lalu menceritakan tentang mendiang ibumu kepada kami. Wah, Hong-moi merasa terharu dan gembira bukan main ketika mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya dan ia ingin sekali segera bertemu dengan kakak misannya, Giok-ko!"
Cun Giok tertawa. "Ha-ha, anak nakal itu! Kiranya adikku sendiri! Akan tetapi, di mana ia sekarang dan siapa orang yang kausebut Yauw-twako tadi, Ceng-moi?"
"Begini, Giok-ko. Aku dan Hong-moi meninggalkan Pulau Ular dan pergi ke Thai-san untuk mencari harta karun seperti juga semua orang setelah mendengar bahwa harta karun itu dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Akan tetapi kami berdua ditemani seorang pemuda bernama Yauw Tek. Sebelum kami berangkat, anak buah Pulau Ular melaporkan bahwa ada seorang pemuda berperahu dikeroyok oleh banyak pasukan Mongol dalam empat buah perahu besar. Mendengar ini kami lalu pergi menolongnya. Dia terluka akan tetapi tidak parah dan setelah kami selamatkan, dan kami bawa ke pulau, dia menceritakan bahwa dia bernama Yauw Tek dan sejak kecil ayah ibunya telah meninggal. Dia merantau sampai ke Himalaya dan mempelajari ilmu silat dari para pertapa di sana, kemudian dia belajar pula dari para Pendeta Lhama di Tibet. Ilmu silatnya hebat juga. Ketika mendengar bahwa aku dan Hong-moi hendak mencari harta karun yang dicuri orang dan berada di Thai-san, dia menyatakan hendak ikut dan membantu. Sikapnya baik dan sopan sekali, maka kami tidak keberatan dia menyertai kami."
"Hemm, menarik sekali. Lalu bagaimana, Ceng-moi?"
"Kami bertiga mengunjungi Ang-tung Kai-pang dan perkumpulan itu ditantang Hek Pek Mo-ko. Karena Hek Pek Mo-ko amat lihai, maka Yauw Tek lalu membantu Ang-tung Kai-pang, bersama Kui-tung Sin-kai akan menghadapi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi ketika mereka berhadapan, Hek Pek Mo-ko memperlihatkan sikap yang kurang ajar. Hong-moi marah dan menyerang mereka, aku membantunya. Hek Pek Mo-ko melarikan diri dan Hong-moi melakukan pengejaran. Karena khawatir kalau-kalau Hong-moi terjebak, maka Yauw Tek mengejarnya. Setelah menanti beberapa lama dan mereka belum kembali, aku lalu ikut mengejar. Akan tetapi aku tidak dapat menemukan mereka dan sampai sekarang aku berpisah dari mereka. Nah, begitulah, Giok-ko."
"Hemm, Hong-moi memang terlalu berani sehingga terkadang kurang perhitungan dan hal ini dapat membahayakan dirinya sendiri. Aku akan mencarinya...... hemm, mari kita pergi mencarinya, Ceng-moi. Aku khawatir kalau ia mengalami hal yang membahayakan."
"Jangan khawatir, Giok-ko. Aku yakin bahwa dengan adanya Yauw-twako, ia akan selamat. Yauw-twako benar-benar lihai, Giok-ko, dan selain dari itu...... mereka berdua...... agaknya kalau aku tidak salah kira, mereka berdua itu saling mencinta."
Cun Giok mengangguk-angguk. "Hemm, begitukah" syukurlah kalau ia menemukan seorang pemuda yang tepat untuk menjadi calon suaminya."
"Kalau engkau merasa khawatir, mari kita mencari mereka, Giok-ko. Ketika itu, Hong-moi pergi mengejar Hek Pek Mo-ko, dan kedua iblis itu melarikan diri, kukira mereka itu pasti kembali ke tempat tinggal mereka yaitu di sebelah Utara pegunungan ini. Tentu Hong-moi dan Yauw-twako juga mengejar ke arah sana."
"Ceng-moi, aku sungguh gembira sekali mendengar bahwa Li Hong adalah adik misanku sendiri. Dengan demikian aku harap ia tidak akan marah lagi kepadaku."
"Tidak, Giok-ko. Ia juga gembira sekali mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya. Ia tidak marah kepadamu, engkau tidak bersalah apa-apa, Giok-ko. O ya, engkau belum menceritakan tentang pengalamanmu sejak berpisah dari kami. Kemana saja engkau pergi, Giok-ko?"
Wajah Cun Giok berubah muram karena dia teringat akan peristiwa yang menyebabkan kematian tunangannya. Maka, beberapa lamanya dia tidak mampu memberi jawaban.
"Giok-ko, maafkan aku kalau pertanyaanku tadi mengganggumu. Kalau engkau tidak ingin menceritakan, sudahlah, aku tarik kembali pertanyaanku tadi."
Cun Giok menghela napas beberapa kali, menenangkan perasaannya baru menjawab. "Aku yang minta maaf, Ceng-moi. Apa yang kualami memang membuat hatiku menjadi menyesal dan sedih sekali karena aku telah berbuat dosa yang besar sekali kepada tunanganku Siok Eng. Dosaku yang tak dapat diampuni lagi karena aku menyebabkan tunanganku itu, ayahnya, juga encinya dan kakak iparnya, mengalami kematian yang mengenaskan......" Cun Giok menundukkan mukanya karena merasa betapa kedua matanya menjadi basah oleh air mata.
"Aih, Giok-ko?"! Engkau mengejutkan hatiku! Mereka tewas" Mengapa, Giok-ko" Engkau harus ceritakan padaku agar hatiku tidak merasa penasaran."
Cun Giok lalu dengan nada sedih menceritakan tentang terbasminya keluarga Siok Eng oleh putera Kim Bayan yang bernama Kim Magu dan temannya yang bernama Kui Con, di Cin-yang. Betapa mereka itu tewas gara-gara dua orang pemuda anak pejabat itu tergila"gila kepada Siok Eng dan Siok Hwa namun ditolak sehingga mereka lalu menggunakan paksaan, menculik dua orang wanita itu dan membunuh Siok Kan dan Chao Kung. Kemudian tunangannya, Siok Eng dan encinya itu pun tewas di tangan kedua orang muda itu.
"Aih, sungguh keterlaluan dua orang pemuda itu. Giok-ko, aku ikut merasa berduka dengan malapetaka yang menimpa keluarga tunanganmu! Betapa malang nasibmu, Giok-ko......" kata Ceng Ceng dan tiba-tiba ia teringat akan peristiwa yang ia alami di Cin-yang dahulu. "Ah, aku teringat sekarang akan dua orang pemuda yang kauceritakan itu, Giok-ko! Dan aku pun teringat akan keluarga Siok yang mereka ganggu! Ah, aku pernah bertemu dengan tunanganmu itu, encinya, kakak iparnya, dan ayahnya!"
"Benarkah itu, Ceng-moi?" tanya Cun Giok. "Aku pernah mendengar akan peristiwa itu dan sudah menduga bahwa engkaulah orangnya yang menolong mereka."
"Sama sekali tidak kusangka bahwa Enci Siok Eng adalah tunanganmu, Giok-ko. Aku sudah memberi hajaran cukup keras kepada dua orang pemuda she Kim dan she Kui itu, dan aku menitipkan keluarga Siok kepada Kepada Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam yang terkenal adil. Yo-thaijin berjanji akan melindungi keluarga itu. Bagaimana dua orang pemuda jahat itu dapat mengganggu lagi?"
"Ceng-moi, Yo-thaijin itu juga dibunuh oleh Panglima Kim Bayan sebelum peristiwa yang menimpa keluarga Siok terjadi."
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. "Ah, sungguh jahat sekali Kim Bayan, bahkan puteranya juga amat jahat. Kiranya setelah kuberi hajaran kepada mereka, masih juga belum jera."
"Akan tetapi sekarang mereka takkan dapat melakukan kejahatan lagi, Ceng-moi."
"Engkau telah membunuh mereka, Giok-ko?"
Cun Giok menggelengkan kepalanya, "Tidak, Ceng-moi. Aku telah banyak belajar darimu dan aku tidak mau membunuh orang yang tidak dapat melawan. Akan tetapi aku telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak mungkin dapat melakukan kekejaman mengganggu orang lagi."
Tiba-tiba Ceng Ceng mengeluarkan seruan tertahan, dan ketika Cun Giok memandang kepadanya, gadis itu memejamkan kedua matanya dan sepasang alisnya berkerut.
"Ceng-moi, ada apakah......?"
Ceng Ceng sejenak tidak menjawab. Ia sedang melawan dan mendorong keluar perasaannya sendiri yang tiba-tiba muncul. Tadi ia merasa betapa diam-diam ada kegirangan menyelinap dalam hatinya mendengar bahwa Siok Eng, tunangan Cun Giok, telah tiada! Ia merasa betapa jahatnya perasaan ini sehingga untuk melawannya, ia mengeluarkan seruan dan memejamkan kedua matanya. Ia merasa betapa jahatnya perasaan itu, bergirang mendengar tunangan Cun Giok tewas! Akhirnya ia dapat menenangkan hatinya, membuka kedua matanya dan menghela napas panjang. Kedua matanya basah dan wajahnya berubah kemerahan. Ketika ia melihat betapa Cun Giok memandang kepadanya dengan heran dan khawatir, ia berkata lirih.
"Giok-ko, sudahlah, tidak baik mengenang kembali peristiwa lalu yang hanya mendatangkan perasaan duka dan mungkin akan mendatangkan perasaan dendam dan benci yang akan meracuni hati kita sendiri. Lebih baik kita sekarang melanjutkan perjalanan mencari Adik Li Hong, dan menyelidiki tentang harta karun itu. Aku merasa yakin bahwa harta karun itu pasti berada di pegunungan ini, entah di mana dan entah siapa yang kini menguasainya."
Cun Giok menghela napas panjang. "Engkau benar sekali, Ceng-moi. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan mereka, menuju ke arah utara untuk mencari Li Hong.
Yauw Tek duduk di atas akar pohon yang tersembul memanjang dari permukaan tanah di luar hutan kecil dan Li Hong duduk di sebelahnya. Mereka berada di sebuah lereng yang tinggi dan pemandangan indah terbentang di bawah, depan mereka. Sejenak Yauw Tek mengamati wajah Li Hong, wajah yang jelita dan melihat rambut halus melingkar di leher yang putih halus itu, dia tidak dapat menahan gelora hatinya dan membelai rambut halus di leher gadis itu. Li Hong menggelinjang dan menoleh kepada pemuda itu, tersenyum senang melihat betapa pandang mata pemuda itu penuh kasih sayang kepadanya.
"Hong-moi, engkau sungguh cantik jelita?"!" bisik Yauw Tek dan Li Hong merasa senang bukan main.
Selama ini, sejak peristiwa di dalam gubuk di mana karena pengaruh obat perangsang Li Hong menyerahkan diri kepada Yauw Tek, hubungan antara mereka berdua menjadi semakin mesra dan akrab. Yauw Tek selalu memperlihatkan sikap yang amat menyenangkan hatinya. Pemuda itu amat mencintanya, juga menghormatinya, sikapnya selalu sopan sehingga ia pun semakin jatuh cinta. Mendapat pujian itu, yang seringkali diucapkan Yauw Tek dengan pandang mata penuh kagum dan kasih sayang, Li Hong tersenyum dan di lain saat ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu yang merangkulnya.
11.2. Kau...... kau...... seorang Pangeran"
"Koko, katakan bahwa engkau masih mencintaku," bisiknya.
"Aih, Hong-moi, mengapa engkau berkata demikian" Kata masih mencinta itu menunjukkan seolah cintaku kepadamu belum hilang dan kelak akan hilang! Tidak, Hong-moi, aku bukan masih mencintamu, melainkan selama hidupku akan mencintamu, bahkan setelah mati kelak aku ingin selalu bersamamu."
Mendengar ini, Li Hong menghela napas dengan hati merasa bahagia sekali dan ia menyandarkan kepala di dada yang bidang itu dan memejamkan matanya. Bibirnya tersenyum manis.
"Koko, aku ingin engkau ikut bersamaku ke Pulau Ular menemui Ayah dan kedua orang Ibuku dan di sana engkau dapat melamarku dengan resmi. Kita langsungkan pernikahan di sana."
"Moi-moi, apakah engkau sungguh mencintaku?"
Mendengar pertanyaan ini, Li Hong menegakkan diri dan memandang wajah pemuda itu dengan heran dan penasaran. "Koko, kenapa engkau bertanya begitu" Bukankah aku telah menjadi isterimu walaupun hal itu belum diresmikan orang tuaku" Tentu saja aku mencintamu!"
"Engkau akan tetap mencintaku walaupun andaikata aku orang macam apa, bangsa apa, golongan apa dan siapapun juga orang tuaku?"
"Aneh-aneh pertanyaanmu ini, Koko. Bukankah orang tuamu telah tiada?"
"Jawab dulu pertanyaanku tadi, Moi-moi. Jawabanmu amat penting bagiku."
"Baiklah, Koko. Aku tetap mencintamu walaupun engkau bangsa apa pun dan siapa pun orang tuamu. Aku telah menjadi isterimu dan selama hidupku aku akan tetap menjadi isterimu yang dicinta dan mencinta. Hanya kematian yang dapat memisahkan kita!" jawab Li Hong dengan tegas.
"Hong-moi......!" Yauw Tek merangkulnya dan mencium dahi gadis itu dengan mesra. "Bahagia sekali hatiku mendengar jawabanmu, sungguh tidak keliru aku memilihmu menjadi kekasih dan calon isteriku!"
"Akan tetapi, mengapa engkau bertanya seperti itu, Koko?"
"Ini ada hubungannya dengan permintaanmu tadi, Hong-moi. Permintaanmu agar aku ikut denganmu ke Pulau Ular dan melamarmu kepada orang tuamu."
"Akan tetapi, bukankah hal itu sudah semestinya, Koko" Bukankah kita menghendaki menjadi suami isteri yang resmi, diresmikan orang tuaku?"
"Tentu saja, Moi-moi, aku ingin hidup denganmu sebagai suami isteri yang diresmikan orang tua. Akan tetapi tidak sekarang."
"Koko, apakah engkau ingin mencari harta karun itu lebih dulu?"
"Bukan hanya itu, Hong-moi." Pemuda itu menghela napas panjang lalu melanjutkan. "Hong-moi, aku minta maaf kepadamu, sesungguhnya aku berbohong ketika mengatakan bahwa orang tuaku telah meninggal dunia. Sebenarnya, Ayah Ibuku masih hidup. Karena itu, urusan pernikahan, untuk meminangmu maksudku, harus dilakukan oleh orang tuaku kepada orang tuamu."
"Ah, bagus sekali! Aku ikut girang bahwa ayah ibumu masih ada, Koko. Siapakah mereka dan di mana mereka tinggal" Mari kita menghadap mereka, Koko!"
Yauw Tek menggelengkan kepalanya. "Sekarang belum dapat aku menceritakan, Moi-moi. Bersabarlah, kelak engkau pasti akan mengetahui dan yakinlah, pada suatu hari orang tuaku pasti akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu di Pulau Ular untuk menikahkan kita secara resmi."
"Akan tetapi, Koko......"
Yauw Tek mendekap muka Li Hong dan menciumnya. "Bersabarlah, Hong-moi. Engkau cinta dan percaya padaku, bukan" Aku berjanji, setelah selesai urusanku di sini, engkau pasti akan kuajak menemui orang tuaku!"
Li Hong terpaksa mengangguk walaupun hatinya merasa penasaran dan heran sekali. Ia tidak ingin memaksa dan, membikin kekasihnya menjadi tidak senang.
Tiba-tiba Li Hong melompat dari pangkuan Yauw Tek, tangan kirinya meraih ke kantung senjata rahasianya dan cepat ia mengambil beberapa batang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang menjadi senjata rahasianya yang ampuh. Akan tetapi Yauw Tek menangkap lengannya.
"Tenang, Moi-moi. Jangan sampai salah menyerang bukan musuh!"
Li Hong memandang ke arah jajaran pohon besar darimana ia tadi mendengar gerakan orang. Muncul lima orang yang memiliki gerakan ringan, berpakaian seperti petani biasa namun sikap mereka gagah berwibawa. Lima orang itu dengan gesit berlompatan ke depan Yauw Tek dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu dengan sikap hormat sekali. Yauw Tek memandang tajam dan mengerutkan sepasang alisnya.
"Hemm, ada kepentingan apa kalian menghadap tanpa dipanggil?" tanyanya.
Seorang di antara lima orang itu, yang bertubuh tinggi kurus, berusia sekitar limapuluh tahun, berkata setelah menempelkan dahi ke atas tanah.
"Mohon beribu ampun, Pangeran. Karena ada berita penting sekali, maka hamba berlima memberanikan diri menghadap tanpa dipanggil. Ampunkan kalau kami mengganggu."
"Cepat katakan! Ada berita penting apakah?"
"Ada berita bahwa harta karun telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan dan pasukannya. Kini mereka sedang bergerak membawa harta karun turun gunung, di sebelah selatan lereng sana." Orang itu menunjuk ke arah lereng tak jauh dari situ.
"Hemm, bayangi dan selidiki, kerahkan pasukan untuk membayangi, jangan lepaskan mereka."
"Baik, Pangeran. Hamba mohon pamit."
"Pergilah!" Lima orang itu melompat dan lenyap di antara pohon-pohon dalam hutan.
Li Hong masih berdiri terbelalak. Matanya terbuka lebar-lebar menatap wajah Yauw Tek dan mulutnya ternganga. Ia seolah telah berubah menjadi patung saking kaget dan herannya. Ia merasa seperti bermimpi! Yauw Tek seorang pangeran"
"Hong-moi......!" Yauw Tek mendekat dan merangkulnya.
Li Hong melangkah mundur. "Kau...... kau...... seorang Pangeran" Akan tetapi mengapa......"
Yauw Tek maju, menangkap tangan Li Hong dan menariknya sehingga gadis itu kembali jatuh ke dalam pelukannya. "Hong-moi, ingat ucapanmu tadi. Engkau mencintaku dan akan selalu mencintaku tak peduli aku ini orang apa?"
Li Hong merasa lemas dan membiarkan dirinya dipeluk. "Akan tetapi, kalau engkau seorang pangeran, mengapa engkau menyamar sebagai Yauw Tek" Siapakah engkau" Dan mengapa seorang pangeran berada di sini dan...... dan...... memperisteri aku......?"
"Mari kita duduk lagi, Hong-moi dan akan kuceritakan semua tentang diriku. Percayalah, aku tidak akan membohongimu, aku cinta padamu, Hong-moi."
Li Hong menjadi tenang kembali, walaupun jantungnya masih berdebar penuh keheranan dan ketegangan. Ia duduk di atas akar pohon dan Yauw Tek duduk di depannya.
"Dengarlah pengakuanku, Hong-moi dan kuharap engkau tidak akan menyesal mempunyai seorang calon suami seperti aku yang telah membohongimu. Aku adalah Pangeran Youtechin, sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat, terutama dari para Pendeta Lhama di Tibet. Belasan tahun aku bahkan tinggal di sana. Ayahku adalah Pangeran Banagan, masih adik tiri dari mendiang Kaisar Kubilai Khan. Ketika aku setahun yang lalu pulang ke kota raja, dan mengetahui bahwa aku telah mempelajari berbagai ilmu, Ayah, menugaskan aku untuk mengabdi Kerajaan Goan kami, dengan persetujuan Kaisar, bahkan aku mendapatkan tanda kekuasaan dari Kaisar. Aku bertugas mengamankan negara dan mengamati para pembesar kami yang menyeleweng. Aku telah melaporkan banyak pembesar yang korup dan jahat dan dari istana telah dikeluarkan perintah untuk menangkapi dan menghukum mereka. Karena itu, diam-diam aku dimusuhi banyak pembesar dan panglima yang menganggap aku sebagai ancaman bagi kedudukan mereka. Diam-diam mereka itu berusaha untuk membunuh atau menyingkirkan aku."
"Karena itukah engkau dulu dikepung dan dikeroyok di perairan Pulau Ular?"
"Ya, itu satu di antara usaha mereka membunuhku."
"Akan tetapi mengapa engkau berperahu dekat Pulau Ular dan ketika kami tolong, engkau mengaku bernama Yauw Tek?"
"Dalam perjalananku memang aku menyamar sebagai seorang pemuda Han bernama Yauw Tek. Terus terang saja, Hong-moi, aku mendengar berita tentang harta karun peninggalan Kerajaan Sung maka aku mewakili pemerintah untuk menyelidiki dan mendapatkan harta karun itu. Aku sudah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa Panglima Kim Bayan yang ditugaskan pemerintah, berniat untuk menguasai harta karun untuk dirinya sendiri. Setelah mendengar bahwa asal mula peta harta karun itu menjadi millk Nona Liu Ceng Ceng, maka aku mengambil kesimpulan bahwa sumber pertama yang akan dapat memberi keterangan jelas tentang harta karun itu adalah Nona Liu. Para pengikutku yang melakukan penyelidikan memberitahu bahwa Nona Liu berada di Pulau Ular, maka aku lalu menggunakan perahu menyusul ke sana. Akan tetapi setelah dekat, aku dikepung pasukan dan dikeroyok sehingga terluka. Untung ada keluargamu yang menolongku, Hong-moi. Ketika aku mendengar bahwa Nona Liu dan engkau akan menyelidiki ke Thai-san mencari harta karun, aku lalu menawarkan diri membantu dan kalian menerimaku. Itulah kesempatan baik bagiku untuk mendapatkan harta karun itu agar dapat kuserahkan kepada pemerintahan kami."
"Akan tetapi...... Ko...... eh, Pangeran......"
"Hush, Hong-moi. Jangan sebut aku pangeran. Sekarang ini aku masih tetap Yauw Tek bagimu. Kelak kalau engkau sudah menjadi isteriku dan tinggal di istana Ayah, boleh saja aku disebut Pangeran. Nah, engkau tadi hendak berkata apa, Hong-moi?"
"Koko, harta karun itu adalah peninggalan Kerajaan Sung, mengapa engkau hendak menyerahkannya kepada Kerajaan Mongol" Bukankah yang berhak adalah Kerajaan Sung atau pendukungnya?"
"Hong-moi, peraturan dalam perang, harta benda yang kalah menjadi hak milik yang menang, maka harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milik Kerajaan Mongol. Kerajaan Sung sudah terbasmi dan tidak ada lagi, bukan" Dan jangan lupa, aku adalah seorang Pangeran Mongol, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membela Kerajaan Mongol. Aku tidak menyalahkan Nona Liu Ceng Ceng dan teman-temannya kalau hendak menyerahkan harta itu kepada para pejuang, akan tetapi sekarang ini sudah tidak ada perang sehingga yang kalian sebut pejuang itu bukan lain adalah pemberontak. Apakah kalian menghendaki perang lagi yang selalu menyengsarakan rakyat jelata?"
"Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku tidak mengerti soal perang dan sebetulnya aku tidak begitu peduli. Aku hanya terbawa oleh Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok."
"Akan tetapi sekarang engkau adalah keluargaku, Hong-moi, keluargaku terdekat. Engkau isteriku walaupun belum diresmikan orang tua kita. Kalau urusan harta karun ini sudah selesai, orang tuaku pasti akan mengirim utusan untuk meminangmu dari orang tuamu di Pulau Ular, dan kita menikah dengan resmi. Maka, sekarang juga engkau harus mengambil keputusan, Hong-moi, engkau akan membantu aku, atau membantu orang lain?" Setelah berkata demikian, Yauw Tek atau Pangeran Youtechin itu merangkul Li Hong. Gadis itu balas merangkul.
"Sudah tentu aku membantumu, Koko, akan tetapi aku minta dengan sangat, jangan engkau memusuhi dan mencelakakan kakak angkatku Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok."
"Aku berjanji tidak akan memusuhi mereka, Hong-moi, tentu saja kalau mereka yang memusuhi aku, aku harus membela diri. Bukankah engkau juga akan membela aku kalau aku dimusuhi orang?"
Li Hong hanya mengangguk, namun hatinya merasa risau sekali.
"Sekarang, mari kita hadang rombongan Kim Bayan yang katanya telah menemukan harta karun itu! Kalau ternyata dia hendak menguasai sendiri harta itu, akan kuhukum dia!"
Mereka lalu cepat meninggalkan tempat itu dan menuju ke arah yang ditunjuk anak buah pangeran itu yang sebetulnya terdiri dari jagoan-jagoan istana yang menyamar.
"Y" Di sebuah antara bukit-bukit yang tersebar banyak sekali di Pegunungan Thai-san, Kim Bayan mengumpulkan para perwira pembantunya yang belasan orang banyaknya, dan pasukannya yang tidak kurang dari duaratus orang jumlahnya. Dengan para pembantunya dia mengadakan perundingan.
"Siasat kita untuk mengadu domba di Thai-san-pai telah gagal. Dan agaknya memang Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu," kata Kim Bayan yang diam-diam mengintai ketika semua orang berkumpul di depan pintu gerbang Thai-san-pai. "Kita harus mencari siasat yang lebih baik untuk memancing keluar pencuri harta karun itu sehingga kita dapat merampasnya."
Setelah berunding sampai lama akhirnya mereka menemukan siasat yang mereka anggap baik sekali untuk memancing keluar pencuri aseli harta karun yang diperebutkan itu.
"Kita siarkan bahwa kita telah menemukan harta karun itu dan kita bawa turun gunung. Tentu mereka akan berbondong datang dan berusaha merampasnya dari kita. Kita tinggal melihat saja, kalau ada mereka yang tidak datang mencoba merampas harta karun, berarti di antara mereka itulah pencurinya. Kalau harta karun sudah ada padanya, tentu dia tidak percaya akan berita itu dan tidak akan mengganggu kita," kata Kim Bayan.
Setelah semua setuju dan pasukan maklum akan siasat yang dimainkan pemimpin mereka, mulailah mereka menyiarkan kabar bahwa harta karun sudah ditemukan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin Panglima Kim Bayan dan bahwa pasukan akan membawa harta karun itu turun gunung!
Kalau berita bahwa harta berada di Thai-san-pai cukup menimbulkan kekacauan, berita kedua ini lebih menggemparkan lagi. Berita pertama hanya merupakan dugaan bahwa Thai-san-pai pencurinya, tanpa adanya bukti. Akan tetapi kini Panglima Kim Bayan telah menemukan harta karun dan pasukannya sedang membawa harta karun itu turun gunung! Berarti sekarang ada buktinya dan tentu saja semua orang yang mencari harta karun itu menjadi gempar dan berbondong-bondong mereka hendak melihat sendiri dan kalau mungkin merampasnya!
Setelah mempersiapkan segalanya, pada suatu pagi, rombongan pasukan yang dipimpin Panglima Kim Bayan menuruni gunung mengawal sebuah gerobak dorong di mana terdapat dua buah peti besar. Melihat betapa beberapa orang perajurit mendorong kereta itu dengan sukar, bahkan ada yang membantu dengan menariknya dari depan, maka dapat diketahui bahwa dua buah peti hitam itu tentu berat sekali.
Klm Bayan dan dua belas orang perwira pembantunya menunggang kuda berada di depan, diiringkan dua losin perajurit berkuda. Di bagian terbelakang ada dua losin perajurit berkuda lagi yang dipimpin seorang perwira. Puluhan orang perajurit yang lain berjalan kaki. Kereta atau gerobak dorong itu berada di tengah, dijaga ketat!
Dalam perjalanan menuruni gunung yang hanya dapat dilakukan secara lambat ini, rombongan itu beberapa kali mendapat gangguan mereka yang mencoba untuk merampas peti. Akan tetapi pengganggu itu dengan mudah dipukul mundur oleh Kim Bayan dan para perwiranya, ada yang tewas dan yang lainnya melarikan diri.
Diam-diam Kim Bayan mencatat mereka yang telah berusaha merampas peti sebagai orang-orang yang sama sekali tidak mencuri harta karun. Mereka yang telah mencuri dan memiliki harta karun itu pasti tidak akan mau mencoba merebut peti itu dan dapat menduga bahwa peti itu kosong. Hanya yang belum mendapatkan harta karun sajalah yang akan mencoba untuk merebut peti yang dibawanya turun gunung. Dia tinggal memperhatikan dan mencatat saja siapa-siapa yang tidak muncul untuk merampas peti. Merekalah atau seorang di antara mereka yang menjadi pencurinya!
Makin ke bawah, semakin banyak orang yang berusaha merampas peti-peti di atas gerobak itu. Bahkan mulai bermunculan para datuk dan perkumpulan besar.
Yang pertama muncul adalah Ang-tung Kai-pang yang dipimpin sendiri oleh Kui-tung Sin-kai. Mereka terdiri dari sekitar tujuhpuluh orang dan mereka menghadang di bagian lereng yang terbuka dan landai, merupakan padang rumput yang luas. Kedua rombongan itu berhadapan dan Panglima Kim Bayan membentak nyaring.
"Hei! Kalian ini rombongan pengemis mau apa menghadang pasukan kami?"
Kui-tung Sin-kai melangkah maju menghadapi Kim Bayan dan dia berkata dengan suara tidak kalah nyaringnya. "Panglima Kim Bayan, tinggalkan peti harta karun itu, baru engkau dan pasukanmu boleh melanjutkan perjalanan turun gunung!"
"Setan busuk! Pengemis kotor! Berani engkau hendak merampas harta milik kerajaan?"
"Bukan kami yang merampok, melainkan engkau, Panglima Kim! Harta karun itu yang berhak adalah keluarga Liu, akan tetapi engkau telah merampoknya. Kami hanya ingin mengembalikan kepada yang berhak!"
"Ho-ho, keparat! Minggirlah, pengemis, jembel busuk!" Kim Bayan melompat turun, diikuti dua belas orang perwira pembantunya dan mereka telah mencabut golok.
Biarpun dari sikap Kui-tung Sin-kai itu Kim Bayan tahu bahwa harta karun itu tidak berada pada Ang-tung Kai-pang, namun dia merasa perlu untuk membasmi perkumpulan pengemis yang bersikap menentang Kerajaan Mongol itu. Kim Bayan sudah melompat dan menyerang Kui-tung Sin-kai dengan goloknya. Ketua Ang-tung Kai-pang ini pun menggerakkan tongkat merahnya, menangkis dan balas menyerang. Dua belas orang perwira pembantu Kim Bayan juga disambut para pimpinan pembantu dari Ang-tung Kai-pang. Terjadilah pertempuran, apalagi ketika anak buah Ang-tung Kai-pang juga bertempur melawan para perajurit anak buah Kim Bayan.
Akan tetapi, ilmu silat Kim Bayan masih terlalu tangguh bagi Kui-tung Sin-kai sehingga dia mulai terdesak oleh sinar golok yang bergulung-gulung. Juga para pembantunya tidak kuat melawan para perwira. Apalagi anak buah Ang-tung Kai-pang yang kalah banyak jumlahnya, sedangkan para perajurit yang menjadi anak buah Kim Bayan itu merupakan perajurit pilihan yang tangguh dari balatentara Mongol. Banyak anggauta Ang-tung Kai-pang yang roboh tewas atau terluka.
Ketika Kui-tung Sin-kai sendiri mengalami terluka pada pundaknya, ketua ini maklum bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu, pasti pihaknya kalah dan akan jatuh lebih banyak korban lagi. Maka, dengan hati menyesal, Kui-tung Sin-kai lalu melompat ke belakang dan memberi isyarat kepada para pembantu dan anak buahnya untuk mundur dan melarikan diri.
Sambil mengeluarkan sorak kemenangan dan membantu kawan-kawan yang terluka, pasukan yang dipimpin Kim Bayan itu melanjutkan perjalanan. Setelah mereka pergi, barulah para anggauta Ang-tung Kai-pang muncul untuk merawat teman yang terluka dan mengurus teman yang tewas.
11.3. Panglima Mongol Korban Siasat Sendiri
Penghadangan selanjutnya dilakukan oleh rombongan Thai-san-pai yang lebih kuat dan merupakan lawan berat bagi Kim Bayan dan pasukannya. Rombongan murid Thai-san-pai itu dipimpin sendiri oleh Thai-san Sianjin Thio Kong, dibantu lima orang sutenya dan memimpin anak buah sebanyak delapanpuluh orang lebih!
"Hemm, agaknya Thai-san-pai yang menghadang perjalanan pasukan Kerajaan! Mau apa kalian?" bentak Kim Bayan.
"Kim Bayan manusia licik! Para murid kami yang menyelidiki melaporkan bahwa engkaulah yang menyebar fitnah, mengatakan bahwa kami Thai-san-pai yang mencuri harta karun Kerajaan Sung. Tidak tahunya engkau sendiri yang diam-diam hendak melarikan harta karun itu. Tinggalkan harta karun itu atau terpaksa kami menggunakan kekerasan!"
"Heh, Ketua Thai-san-pai! Apakah kalian hendak memberontak terhadap Kerajaan Goan (Mongol)?"
"Tidak ada yang memberontak! Akan tetapi engkau yang mencuri harta karun yang bukan hakmu. Tinggalkan harta karun itu dan pergilah dari wilayah kami!"
Kedua pihak bertempur dan sekali ini Kim Bayan harus mengakui bahwa dia mendapat lawan yang amat kuat. Dia sendiri bertanding mati-matian melawan Thai-san Sianjin. Akan tetapi permainan golok besarnya sukar dapat menembus sepasang pedang yang dimainkan oleh Ketua Thai-san-pai dengan cepat dan kuat itu. Sebaliknya, dia mulai terdesak oleh lawan. Demikian pula, permainan pedang lima orang sute dari Ketua Thai-san-pai tidak tertandingi duabelas orang perwira dan dua orang di antara mereka bahkan telah terluka. Biarpun jumlah perajurit lebih banyak daripada jumlah murid Thai-san-pai, namun murid-murid itu telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi sehingga pertempuran di antara kedua pihak itu berlangsung seru.
Selagi Kim Bayan merasa khawatir karena pihaknya terdesak dan dia akan membuka rahasia bahwa kedua buah peti itu kosong sehingga tidak ada yang perlu direbutkan dan dipertentangkan untuk menghemikan pertempuran, tiba-tiba muncul Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.
Tanpa banyak cakap, kedua orang ini sudah melompat dekat gerobak. Mereka hendak merampas dua buah peti, akan tetapi enam orang perajurit menghadangnya dengan tombak di tangan. Hek Pek Mo-ko mengeluarkan suara tawa mengejek dan mengamuk. Kasihan para perajurit itu. Tentu saja mereka bukan lawan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang amat lihai dan sebentar saja mereka berenam roboh. Akan tetapi selagi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko sambil tertawa hendak merampas peti, tiba-tiba muncul Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin!
"Ha-ha-ha, Iblis Hitam Putih tak tahu malu! Jangan seenaknya saja mengambil harta karun!" bentak Huo Lo-sian sambil tertawa.
Melihat munculnya Huo Lo-sian, Pek Mo-ko marah sekali dan cepat dia menyerang dengan dorongan telapak tangannya yang seputih kapur. Uap putih yang amat kuat menyambar ke arah Huo Lo-sian. Akan tetapi majikan Bukit Merah ini tidak gentar dan menyambut dengan dorongan tangannya pula.
"Desss......" Kedua orang datuk ini terpental ke belakang. Ternyata tenaga sakti mereka berimbang dan Huo Lo-sian yang juga sudah tahu betapa lihainya Pek Mo-ko, segera mencabut senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji. Pek Mo-ko juga telah mencabut pedangnya dan dua orang datuk itu segera saling serang dengan dahsyatnya.
Pertemuan golok dan pedang menimbulkan suara berdentang nyaring diikuti percikan bunga api. Pek Mo-ko menyelingi serangan pedangnya dengan dorongan telapak tangan kiri yang seputih kapur. Kalau telapak tangan itu dipukulkan, maka ada semacam uap putih meluncur ke arah lawan. Itulah Ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang menjadi andalan Pek Mo-ko. Akan tetapi lawannya kini adalah Huo Lo-sian yang berilmu tinggi maka setiap kali Pek Mo-ko mengirim serangan Pek-tok-ciang, Huo Lo-sian menangkis dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sehingga setiap kali dua tenaga sakti ini bertemu, kedua orang datuk itu terdorong mundur tanpa menderita luka. Mereka kini berusaha mati-matian untuk mengalahkan lawan dan pertandingan berlangsung seru dan mati-matian.
Orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu kemurkaan mengejar harta benda, beranggapan bahwa hanya harta benda atau uang yang akan dapat membahagiakan hidupnya, bagaikan orang buta. Mereka sama sekali tidak merasa bahwa mereka sudah dicengkeram daya rendah harta benda dan mau melakukan apa saja, halal maupun haram, untuk mendapatkannya. Padahal, harta benda yang diperebutkan secara haram itu karena bukan hak miliknya sehingga dapat dikatakan merampas atau merampok, hanya akan mendatangkan kesengsaraan belaka kepada mereka.
Yang kalah dan mati dalam perebutan itu jelas tidak akan dapat menikmati harta benda, demikian pula kalau dia sampai terluka parah dan menjadi cacat. Yang menang dan mendapatkan harta benda itu pun akan selalu tersiksa karena selalu terancam orang lain yang hendak merampas benda itu atau terancam oleh mereka yang hendak membalas dendam atas warganya yang telah dikalahkan, dilukai atau dibunuh dalam perebutan harta benda itu. Orang-orang yang menjadi hamba nafsu seperti ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, baik melalui penipuan, pencurian, perampokan, korupsi dan sebagainya lagi.
Berbeda dengan orang yang menjadi majikan dari nafsunya, mengatur dan mengendalikannya, tidak akan membuta dalam mencari uang, karena nafsunya terkendali sehingga selalu mencarinya dengan cara yang benar, cara yang halal, dapat membedakan antara mencari dan mencuri atau menipu. Mencari uang dengan jalan yang benar merupakan kewajiban bagi manusia karena memang hidup ini tidak mungkin tanpa menggunakan uang. Akan tetapi bukan berarti dia harus mencari uang dengan jalan mencuri atau merampas hak orang lain atau menipu.
Sementara Pek Mo-ko bertanding mati-matian melawan Huo Lo-sian, Hek Mo-ko berhadapan dengan Bu-tek Sin-liong. Dia sebetulnya merasa gentar menghadapi datuk besar majikan Bukit Merak ini, akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, terpaksa dia melawan dan menyerang dengan golok di tangan kanan dan dengan pukulan Hek-tok-ciang di tangan kiri. Bu-tek Sin-liong adalah seorang yang paling suka bertanding mengadu ilmu. Lebih lihai lawannya, dia lebih gembira melayaninya, maka dengan gembira dia lalu menerjang Hek Mo-ko dan keduanya sudah saling serang dengan dahsyatnya.
Pertempuran di tempat itu menjadi semakin seru. Pihak Thai-san-pai mendesak pihak pasukan yang dipimpin Kim Bayan sedangkan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko terdesak oleh Bu-tek Sin-liong dan Huo Lo-sian. Adapun Cu Ai Yin yang tadinya hanya menonton saja, ketika teringat kepada Pouw Cun Giok dan keinginannya untuk menyerahkan harta karun itu kepada pemuda itu, lalu melompat dengan gerakan ringan mendekati dua buah peti yang berada di atas kereta. Akan tetapi sebelum ia sempat menyentuh peti harta karun itu, selosin orang perajurit yang bertugas menjaga harta karun itu, segera menyambutnya dengan pengeroyokan.
Selosin orang perajurit ini merupakan perajurit pilihan yang memiliki kepandaian ilmu silat lumayan maka mereka ditugaskan menjaga dan mempertahankan dua buah peti itu. Ai Yin mengamuk dengan siang-kiam (sepasang pedang) pendek dengan gerakan yang amat cepat sehingga yang tampak hanya gulungan sinar sepasang pedangnya, membuat selosin orang perajurit itu terkejut dan saling bantu untuk menyelamatkan diri dari sambaran sinar pedang gadis perkasa itu.
Baru saja Ai Yin merobohkan tiga orang perajurit yang mengeroyoknya, tiba-tiba seorang pemuda tinggi besar muncul dan menangkis pedang Ai Yin yang menyambar-nyambar.
"Tranggg......!" Ai Yin terkejut karena tangkisan itu cukup kuat dan ketika ia memandang, ia menjadi marah sekali karena yang menangkisnya itu adalah Kong Sek, murid ayahnya atau suhengnya sendiri.
Akan tetapi Kong Sek tidak menjawab. Cintanya terhadap Ai Yin , kini memudar setelah dia mendapat kenyataan betapa Ai Yin lebih condong membela Pouw Cun Giok dan bahkan memusuhinya. Dia sudah melepaskan harapannya untuk berjodoh dengan gadis itu. Maka, tanpa bicara dia lalu menyerang dengan pedangnya, membantu perajurit yang mengeroyok Ai Yin.
Ternyata Kong Sek tidak datang seorang diri. Seperti telah diketahui, pemuda ini telah menjadi sekutu Cui-beng Kui-ong dan kini dia hendak menggunakan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli menginginkan harta karun itu untuk membantunya membalas dendamnya terhadap Pouw Cun Giok! Maka, kini pun dia tidak muncul sendiri. Ketika dia membantu para perajurit menahan Ai Yin yang hendak mengambil atau merampas harta karun, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli cepat melompat dekat kereta atau gerobak yang memuat dua buah peti hitam.
Empat orang perajurit menyambut mereka akan tetapi sekali kakek dan nenek iblis itu menggerakkan tangannya, empat orang perajurit itu memekik dan tubuh mereka terlempar dengan kepala pecah dan tewas seketika! Akan tetapi baru saja dua orang kakek dan nenek iblis itu membunuh empat orang perajurit, sebelum mereka sempat menghampiri dua buah peti dalam gerobak, tampak bayangan yang gerakannya cepat seperti terbang meluncur ke arah gerobak dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berada di atas gerobak.
Pemuda itu bukan lain adalah Pouw Cun Giok yang datang bersama Ceng Ceng. Akan tetapi hanya Cun Giok sendiri yang melayang ke atas gerobak dan sebelum ada yang sempat mencegah, Cun Giok mengerahkan tenaga, menghantam ke arah dua buah peti hitam itu.
"Wuuuttt...... brak-brakk?"!" Dua buah peti itu pecah berantakan dan batu-batu kerikil yang berada dalam peti-peti itu berhamburan!
"Peti itu hanya berisi batu-batu!" terdengar banyak orang berteriak dan teriakan ini sekaligus menghentikan semua orang yang berkelahi. Mereka menahan senjata, melompat ke belakang dan menghampiri gerobak, lalu dengan mata terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang sudah pecah dan batu-batu kerikil yang berhamburan!
Bukan hanya mereka yang tadinya berkelahi kini memandang bengong. Juga rombongan-rombongan pencari harta yang baru datang seperti Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai, dua orang murid utusan Bu-tong-pai yaitu Liong Kun dan Thia Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin, mereka semua kini memandang dengan heran melihat betapa dua buah peti yang diperebutkan itu hanya berisi batu-batu kerikil!
"Kita semua tertipu! Panglima Kim Bayan hanya membawa peti harta karun palsu!" seru Pouw Cun Giok lantang.
Semua orang yang tadinya berkelahi kini mengomel panjang pendek, merasa tertipu dan dipermainkan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menyalahkan Kim Bayan, karena mereka sendirilah yang datang menghadang dan mencoba untuk merampas harta karun yang mereka kira benar-benar telah ditemukan panglima itu dan pasukannya.
Yang merasa amat marah adalah Cui-beng Kui-ong. Dia mengeluarkan suara gerengan dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah berdiri di depan Panglima Kim Bayan. Mukanya merah dan tubuhnya yang kurus itu seperti menjadi semakin bongkok, akan tetapi sikap dan suaranya penuh wibawa ketika dia membentak.
"Kim Bayan! Apa yang kaulakukan ini" Hanya dengan pangkatmu sebagai panglima, engkau berani mempermainkan kami?"
Panglima Kim Bayan cepat memberi hormat kepada gurunya dengan membungkuk sampai dalam. "Maafkan saya, Suhu. Bukan maksud saya mempermainkan Suhu dan Subo. Siasat ini saya pergunakan untuk memancing mereka yang mencari harta karun. Yang datang hendak merampas dua peti itu pasti bukan pencurinya. Dengan jalan ini saya dapat mengetahui siapa yang menjadi pencurinya, yaitu mereka yang tidak datang mencoba untuk merampas peti-peti ini."
"Dan engkau melakukan siasat ini tanpa memberi laporan kepadaku" Apakah engkau bermaksud untuk mendapatkan harta itu bagi dirimu sendiri" Engkau membikin malu kami berdua!"
"Dia pantas dihukum!" terdengar Song-bun Moli berseru dengan suaranya yang serak dan tinggi.
Biarpun dia berhadapan dengan suhu dan subonya, akan tetapi Kim Bayan teringat bahwa dia adalah seorang panglima kerajaan dan biarpun dua orang kakek nenek itu pun merupakan orang-orang berjasa dan dianugerahi Kaisar, namun mereka tidak memiliki kedudukan resmi. Maka, kini dihina di depan orang banyak, dia menjadi malu dan bangkit melawan.
Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suhu dan Subo, saya adalah panglima kerajaan, tidak akan merampas harta karun untuk diri sendiri. Akan tetapi Suhu dan Subo bukan utusan kerajaan, sepatutnya membantu kami mencari harta karun itu untuk diserahkan kepada Yang Mulia Sribaginda Kaisar!"
"Bangsat! Berani engkau menuduh kami" Jangan dikira kami tidak tahu bahwa usahamu mencari harta karun ini sama sekali bukan atas perintah Sribaginda Kaisar. Engkau memang tidak pantas lagi menjadi murid kami!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cui-beng Kui-ong menerjang menyerang Kim Bayan, muridnya sendiri itu, dengan tongkatnya.
Kim Bayan terkejut. Tak disangkanya kakek itu berani menyerangnya. Biarpun dia murid kakek itu, namun dia berkedudukan sebagai seorang panglima kerajaan! Akan tetapi kakek itu sudah menyerangnya, maka cepat dia menggunakan golok yang masih dipegangnya untuk menangkis.
"Tranggg......!" Bunga api berpijar, akan tetapi disusul teriakan Panglima Kim Bayan yang roboh berkelojotan karena sebatang anak panah kecil sudah menancap di tenggorokannya. Tak lama kemudian panglima itu pun diam dan tewas.
Sebetulnya Kim Bayan tentu saja sudah tahu bahwa di ujung tongkat gurunya itu tersembunyi anak panak kecil yang beracun. Akan tetapi dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa gurunya tega untuk membunuhnya, apalagi selain murid kakek itu dia pun seorang panglima kerajaan. Akan tetapi ternyata Cui-beng Kui-ong yang berwatak aneh itu sama sekali tidak mempedulikan semua itu dan langsung membunuh muridnya sendiri yang dia anggap menghina dan mempermalukannya karena dia dan Song-bun Moli juga tertipu dan ikut menghadang, bahkan tadi hampir saja merampas dua buah peti yang ternyata isinya hanya batu kerikil!
Melihat Kim Bayan dibunuh kakek itu, para perwira yang membantu Kim Bayan menjadi terkejut dan marah. Tentu saja mereka mempunyai rasa setia kawan kepada Kim Bayan, maka mereka memberi isyarat kepada para perajurit untuk mengepung Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Kong Sek berdiri di luar kepungan karena tadi dia bertanding melawan Cu Ai Yin dan kini setelah perkelahian berhenti dia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi Ai Yin tetap berhadapan dengan dia, agaknya siap menentangnya kalau pemuda ini hendak menyerang Cun Giok. Semua orang kini mengarahkan perhatiannya kepada kakek dan nenek iblis itu yang dikepung para perwira dan perajurit mereka.
Melihat sikap para perwira dan perajurit itu, Cui-beng Kui-ong mengerutkan alisnya dan membentak marah. "Heh, kalian mau apa" Apakah kalian buta, tidak mengenal siapa kami dan berani hendak menentang kami?"
Seorang perwira yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, menjawab lantang. "Kami semua mengenal siapa Ji-wi (Kalian Berdua), akan tetapi Ji-wi telah membunuh panglima kami, berarti Ji-wi memberontak terhadap kerajaan dan harus kami tangkap!"
"He-he-heh! Kui-ong, tikus-tikus ini hendak menangkap kita! Mari kita kirim mereka ke neraka menyusul Bayan!" Song-bun Moli terkekeh. Kakek dan nenek itu siap untuk membasmi para perwira dan perajurit itu, sedangkan semua orang yang berada di situ hanya menonton dengan hati tegang.
"Tahan......!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua sosok tubuh berkelebat dan seorang pemuda dan seorang gadis sudah berdiri di depan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Mereka adalah Yauw Tek dan Li Hong!
Para perwira dan perajurit yang segera mengenal pemuda itu sebagai Pangeran Youtechin, segera menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.
Kakek dan nenek itu tidak banyak mengenal para pangeran, akan tetapi mereka mengenal Pangeran Youtechin karena pangeran muda ini dikenal sebagai seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak merasa lebih rendah derajatnya dan tidak menyambut pangeran itu dengan penghormatan yang berlebihan. Mereka berdua hanya menghormati Kaisar, apalagi Cui-beng Kui-ong yang menganggap dirinya sebagai penasihat Kaisar dan sudah memiliki jasa besar. Maka kini menghadapi Yauw Tek atau Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong berkata dengan sikap angkuh.
"Pangeran, mengapa Pangeran menahan kami berdua yang hendak memberi hajaran kepada tikus-tikus ini?"
"Cui-beng Kui-ong. Lihat, dengan siapa engkau berhadapan?" Yauw Tek membentak dan dia mengeluarkan sebuah kim-pai (lencana emas) dan memperlihatkannya kepada Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli.
Cui-beng Kui-ong terkejut sekali melihat lencana emas yang ada cap dari kaisar itu karena lencana itu menandakan bahwa dia berhadapan dengan orang yang telah diberi kekuasaan oleh Kaisar dan dapat bertindak atas nama Kaisar! Maka, dia seolah kini berhadapan dengan Kaisar sendiri.
Cepat Cui-beng Kui-ong memberi hormat dan Song-bun Moli mengikutinya. "Maaf, kami tidak tahu bahwa Paduka adalah utusan Sribaginda Kaisar yang diberi Kim-pai, Pangeran Youtechin! Kami siap mentaati perintah Paduka!"
Semua orang juga terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda adalah seorang Pangeran Mongol yang memiliki kekuasaan besar. Terutama sekali Ceng Ceng. Ia terkejut dan heran, sama sekali tidak pernah mengira bahwa Yauw Tek adalah seorang pangeran yang menyamar. Pada saat itu, Li Hong menghampiri Ceng Ceng dan keduanya saling rangkul.
"Hong-moi...... dia...... dia itu...... pangeran?" Ceng Ceng berbisik.
Li Hong mengangguk dan tersenyum. "Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan, Enci Ceng." Dalam suara gadis ini terdapat kebanggaan dan diam-diam Ceng Ceng ikut merasa senang melihat adik angkatnya berbahagia. Karena perhatian mereka ditujukan kepada Yauw Tek dan kakek nenek iblis itu, maka Ceng Ceng belum sempat mempertemukan Li Hong dengan Cun Giok, kakak misan gadis dari Pulau Ular itu.
Kini Yauw Tek atau Pangeran Youtechin berkata kepada Cui-beng Kui-ong. "Cui-beng Kui-ong, engkau bersalah membunuh seorang panglima kerajaan. Sepatutnya engkau ditangkap dan diadili, akan tetapi mengingat bahwa Kim Bayan adalah muridmu, biarlah kami menganggap bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya, tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Akan tetapi kalian berdua harus memperlihatkan bukti bahwa kalian tidak bermaksud memberontak terhadap kerajaan dengan membantu kami mencari harta karun!"
"Baik, kami siap membantu Paduka dan terima kasih atas kebijaksanaan Paduka, Pangeran!" kata Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang kini tampaknya "mati kutu" menghadap seorang pangeran yang memegang sebuah Kim-pai tanda kekuasaan dari Kaisar.
Kini Yauw Tek memutar tubuhnya menghadapi mereka yang telah berkumpul di situ. Mereka semua kini memandang pemuda yang ternyata seorang pangeran yang besar kekuasaannya sehingga sepasang kakek nenek iblis seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli juga gentar dan tunduk kepadanya. Mereka itu adalah Huo Lo-sian dan Bu-tek Sin-liong dan anak buah Bukit Merah, Ketua Thai-san-pai dan para muridnya, para utusan Go-bi-pai, juga utusan Kun-lun-pai, Ketua Ang-tung Kai-pang dan para anggautanya, Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka, Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid dan utusan Bu-tong-pai dan dua orang gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, Ceng Ceng dan Cun Giok yang kini ditemani Li Hong, dan beberapa tokoh lain yang tertarik datang ke Thai-san-pai untuk melihat keadaan dan juga ingin sekali ikut mencari harta karun.
Dengan suara lantang Pangeran Youtechin lalu berkata kepada mereka. "Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat. Kita semua tahu untuk apa kita berbondong-bondong datang ke Thai-san ini. Jelas bahwa kita semua datang dengan satu tujuan, yaitu mencari dan mendapatkan harta karun yang kita kira berada di sini karena setelah tempat penyimpanan harta itu didapatkan di Bukit Sorga, yang ditemukan hanya peti kosong yang ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Tentu Cuwi mengetahui bahwa harta karun itu sebetulnya menjadi hak milik Pemerintah Kerajaan......"
12.1. Lihat Puncak Bukit Di Sana!
"Harta karun itu adalah harta karun Kerajaan Sung!" Tiba-tiba ada suara wanita berseru lantang memotong ucapan pangeran itu. Ketika semua mata memandang, ternyata yang berseru itu adalah seorang gadis muda cantik jelita yang gagah perkasa, di rambutnya terdapat setangkai bunga putih.
Bu-tek Sin-liong Cu Liong memandang puterinya, Pek-hwa (Dewi Berbunga Putih) Cu Ai Yin dengan bangga atas keberanian puterinya itu walaupun sebetulnya dia tidak setuju puterinya membela
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Kerajaan Sung yang sudah jatuh. Dia adalah seorang tokoh yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan kerajaan.
Yauw Tek atau Pangeran Youtechin menoleh dan memandang kepada Ai Yin, matanya mencorong dan dia tersenyum. "Kerajaan Sung telah dikalahkan Kerajaan Goan yang kini berkuasa dan menurut peraturan perang, semua milik yang kalah menjadi barang rampasan dan menjadi hak milik yang menang. Apalagi tadinya harta itu merupakan harta curian seorang Thai-kam korup dari Kerajaan Sung, dan disembunyikan di Bukit Surga dekat kota raja. Maka, pemerintah yang berhak memiliki harta karun itu."
"Harta dari kerajaan mana pun berasal dari milik rakyat, maka rakyat pun berhak atas harta karun itu!" tiba-tiba ada yang berseru dan sekali ini yang berseru dengan suara amat nyaring karena mengancung tenaga sakti, adalah Pouw Cun Giok.
Yauw Tek menengok dan dia melihat betapa pemuda tampan dan gagah yang bicara lantang itu berdiri dekat Ceng Ceng dan Li Hong, maka dia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu yang bernama Pouw Cun Giok dan berjuluk Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan). Dia tersenyum dan memandang kagum karena sudah banyak dia mendengar pujian Li Hong yang bercerita tentang Pouw Cun Giok. Dia mengangguk dan berkata, suaranya juga nyaring seperti suara Cun Giok tadi karena sekali ini, Pangeran Mongol itu mengerahkan sin-kang sehingga suaranya lantang sekali.
"Tepat sekali ucapan...... Bu-eng-cu tadi! Saudara tentu Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang terkenal itu, bukan" Memang tepat, harta milik pemerintah itu berasal dari rakyat, maka sudah sepatutnya kalau dipergunakan untuk kepentingan rakyat pula! Dan penggunaan untuk rakyat Itu harus diatur oleh pemerintah, kalau tidak akan terjadi perebutan dan kekacauan. Pemerintah Kerajaan Goan juga bermaksud menggunakan harta itu untuk kesejahteraan rakyat jelata. Akan tetapi kami sangsi apakah kalau harta karun itu terjatuh ke tangan Cu-wi, juga akan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat" Ataukah hanya untuk kepentingan golongan sendiri dan pribadi atau juga untuk menimbulkan kekacauan sehingga akibatnya bahkan merugikan rakyat?"
Hening sejenak setelah Pangeran Youtechin berhenti bicara. Dia lalu melanjutkan. "Akan tetapi kareha harta karun itu sampai sekarang belum ditemukan, dan kita bersama tidak tahu apakah harta itu benar-benar ada, maka biarlah kita berlumba untuk menemukannya. Setelah ditemukan, baru kita bicarakan siapa yang berhak atas harta itu!"
Bagaimanapun juga, mereka yang berada situ merasa segan untuk berterang menentang pangeran yang menjadi wakil Kerajaan karena menentang seorang wakil Kaisar dapat berarti pemberontakan. Maka, satu demi satu rombongan itu pergi.
Li Hong kini saling pandang dengan Cun Giok. Mereka berdiri berhadapan dan hati keduanya diliputi perasaan terharu.
"Li Hong, benarkah keterangan Ceng-moi bahwa engkau adalah adik misanku?"?" Akhirnya Cun Giok bertanya.
Ll Hong yang cepat dapat menguasai keharuan hatinya, tersenyum, mengangguk dan berkata. "Tentu saja benar, Piauw-ko (Kakak Misan)! Mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian adalah adik kandung Ayahku yang bernama Tan Kun Tek dan yang dulu tinggal di Seng-hai-lian."
"Ah, senang sekali aku mempunyai seorang adik sepertimu, Hong-moi!" kata Cun Giok sambil tersenyum.
"Aku juga bangga mempunyai seorang kakak sepertimu, Giok-ko!" kata Li Hong. Kedua orang muda itu saling menghampiri dan mereka berangkulan seperti kakak dan adik.
Tiba-tiba terdengar suara lembut. "Li Hong, aku hendak melanjutkan perjalanan. Engkau mau ikut denganku ataukah dengan mereka?"
Li Hong melepaskan rangkulannya dan memutar tubuhnya. Tentu saja ia mengenal suara Yauw Tek, kekasihnya.
"Tentu saja aku ikut denganmu, ko-ko!" katanya, lalu ia berpaling kepada Cun Giok dan Ceng Ceng. "Giok-ko, Enci Ceng, aku harus ikut dengan dia, ke mana pun dia pergi. Aku...... tak dapat hidup tanpa dia!" Setelah berkata demikian, gadis itu melompat dan bersama Pangeran Youtechin ia lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, dan Kong Sek.
Cun Giok dan Ceng Ceng memandang sampai bayangah Li Hong menghilang di antara pohon-pohon, lalu mereka saling pandang. Tanpa bicara pun mereka berdua dapat merasakan dan tahu bahwa adik mereka yang tabah, liar dan galak itu agaknya telah jinak terhadap Yauw Tek atau Pangeran Mongol itu. Jelas bahwa keduanya saling mencinta. Mereka berdua merasa khawatir dan diam-diam mendoakan semoga Li Hong dapat hidup berbahagia dengan Pangeran Mongol itu.
Cun Giok dan Ceng Ceng mendengar langkah orang dan ketika mereka memandang, ternyata yang menghampiri mereka adalah Kui Lan, Kui Lin dan dua orang pemuda murid Bu-tong-pai, yaitu Liong Kun dan Thio Kui yang sudah mereka kenal baik ketika mereka semua berada di Thai-san-pai.
"Aih, kita semua dibohongi jahanam Kim Bayan itu!" kata Kui Lin. "Untung engkau muncul dan membuka rahasia itu dengan memukul hancur peti-peti itu. Kalau tidak, wah, kita semua akan memperebutkan peti-peti yang berisi batu-batu tak berharga!"
"Lin-moi, siasat Kim Bayan itu membuat kita merasa ragu apakah harta karun itu ada ataukah hanya kabar angin saja. Kim Bayan menggunakan siasat itu agaknya karena sudah putus asa dalam mencari harta itu," kata Thio Kui, murid Bu-tong-pai yang tinggi besar, gagah dan bersuara berat serius itu.
"Pendapat Thio-twako (Kakak Thio) itu agaknya memang benar sekali bahwa mendiang Kim Bayan sudah putus asa maka menggunakan siasat itu untuk memancing keluar semua pencari harta agar diketahui siapa kiranya yang telah mendapatkan harta itu," kata Cun Giok.
"Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa harta karun itu memang ada, hanya di mana disembunyikannya, itulah yang harus kita cari," kata Ceng Ceng. "Kiranya mendiang Ayahku tidak akan mempertahankan harta karun itu dengan nyawa Ayah dan Ibu kalau harta itu tidak ada, dan tidak akan meninggalkan peta itu kepadaku. Ayah amat setia kepada Kerajaan Sung dan amat membenci penjajah, maka dia bercita-cita membantu perjuangan mengusir penjajah dengan menyerahkan harta karun itu," kata Ceng Ceng dengan suara lembut namun yakin.
"Enci Ceng Ceng benar," kata Kui Lan yang pendiam. "Harta karun itu pasti ada dan kita harus mencarinya lagi. Sebaiknya kita berpencar mencarinya."
"Baiklah, kita berpencar dan mencari dengan teliti. Sebaiknya setelah ada yang menemukan, langsung dibawa ke Thai-san-pai karena semua yang mendukung niat Ceng-moi pasti akan singgah dulu di sana untuk mencari keterangan sebelum mereka meninggalkan Thai-san. Di sana kita semua akan membicarakan bersama kepada siapa harta karun itu harus diserahkan," kata Pouw Cun Giok.
Semua orang menyatakan setuju dan mereka pun berpencar meninggalkan tempat itu. Cun Giok pergi bersama Ceng Ceng, sedangkan gadis kembar itu pergi bersama dua orang pemuda murid Bu-tong-pai.
"Y" Malam itu bulan sedang purnama. Bulatan kuning emas itu merupakan bola emas yang memancarkan cahayanya yang lembut ke permukaan pegunungan Thai-san, membentuk bayang-bayang dan perpaduan antara gelap dan terang, mendatangkan pemandangan yang indah tak terlukiskan. Hawa sejuk menyusup di antara pohon-pohon di puncak-puncak banyak bukit yang terdapat di pegunungan Thai-san yang luas.
Suasananya menjadi tenteram, sunyi mencekam, indah romantis, akan tetapi juga mendatangkan sesuatu yang penuh rahasia, yang membuat orang merasa kagum, terpesona, hanyut dan terkadang juga seram. Suara gemersik daun-daun pohon yang ditiup angin semilir, suara gemericik air yang turun dari sumber air membentuk anak sungai berair jernih dan dingin, suara binatang dan serangga malam yang menciptakan musik ajaib, semua itu dapat menyihir manusia yang kebetulan berada di tempat itu.
Cun Giok dan Ceng Ceng duduk di tepi sebuah tebing jurang yang amat dalam. Mereka nemilih tempat ini untuk mengaso dan melewatkan malam karena tempat ini amat indah. Dari tepi jurang itu mereka dapat memandang ke depan bawah tanpa terhalang pohon-pohon besar. Bulan purnama menciptakan tamasya alam di depan sana, membuat kedua orang muda ini terpesona dan sejak tadi hanya duduk setengah samadhi karena terpesona keindahan alam. Mereka seolah kehilangan diri dan bersatu dengan alam. Mereka merupakan sebagian dari alam di malam yang luar biasa indahnya itu.
Cun Giok termenung ketika merasa dirinya tenggelam ke dalam keindahan malam syahdu itu. Dia teringat akan apa yang pernah dikatakan Ceng Ceng tentang kemurahan Tuhan Maha Pencipta bagi manusia. Kalau kita berada dalam, keadaan seperti itu, seolah diri terlebur menjadi bagian dari alam semesta, tampaklah jelas betapa segala ciptaan Tuhan itu diberikan kepada manusia untuk kesejahteraan hidup manusia di atas bumi ini.
Semua isi alam ini diperuntukkan manusia, bahkan membantu kehidupan manusia sehingga sudah menjadi kewajiban kita untuk memeliharanya, untuk melestarikannya. Air, hawa udara, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain merupakan kebutuhan hidup kita, akan tetapi betapa kita, sadar mau pun tidak, mengotori dan merusaknya. Bahkan semua keindahan itu tidak terasa lagi karena hati akal pikiran kita dipenuhi harta benda yang kita puja sebagai sumber kesenangan.
Pengejaran harta benda yang kita puja-puja itu menimbulkan permusuhan dan segala bentuk kejahatan, membuat dunia menjadi panas dan manusia menjadi tipis prikemanusiaannya. Manusia hanya mementingkan apa yang menempel pada dirinya. Padahal, segala bagian alam yang berada di luar kita itu seharusnya kita pelihara seperti kita memelihara anggauta badan kita, karena semua yang di luar kita itu juga merupakan penunjang dan penyambung hidup kita.
"Giok-ko, lihat?"" Tiba-tiba suara Ceng Ceng membuyarkan renungannya.
Cun Giok memandang gadis yang duduk di sebelah kirinya itu dan melihat Ceng Ceng memandang dengan penuh gairah ke depan sana.
Cun Giok tersenyum. "Memang indah sekali, Ceng-moi. Aku juga sudah mengaguminya sejak tadi."
"Bukan itu maksudku, Giok-ko. Lihat puncak bukit di sana, yang sebelah kiri itu!" Ceng Ceng menudingkan telunjuknya.
Cun Giok mengikuti arah itu dengan pandang matanya. Di sana terdapat sebuah puncak bukit yang tampak hitam bermandikan cahaya keemasan. Indah sekali!
"Bukit itu juga indah, merupakan bagian dari semua keindahan ini, Ceng-moi."
"Sadarlah sejenak, Giok-ko. Keluarlah dari pesona keindahan itu dan pandang dengan akal pikiranmu. Seperti apakah bentuk puncak yang hitam itu?"
Cun Giok memandang dengan penuh perhatian ke arah puncak bukit yang ditunjuk, memperhatikan bentuk lekuk-lengkung garis puncak bukit yang hitam itu. Dan dia pun berseru. "Ah, bukankah bentuknya seperti seekor naga" Memanjang dan berlekuk-lekuk, itu yang di kiri seperti ekornya dan kepalanya di sebelah kanan......"
"Benar, Giok-ko...... dan sekarang lihat bukit di kanan itu, lihat puncaknya seperti tadi......"
Suara gadis itu agak gemetar sehingga Cun Giok menjadi tertarik sekali, juga merasa heran. Dia cepat memandang bukit yang di kanan, bukit yang sejajar dengan bukit pertama dan mencurahkan perhatiannya memandang ke puncak bukit kedua itu. Mula-mula memang hanya tampak puncak yang hitam dengan garis-garis lengkung yang berbeda dengan yang pertama. Kalau yang pertama memanjang seperti naga, yang kedua ini hanya bergerombol di tengah, mencuat di sana-sini. Khayalnya berkembang dan dia lalu berkata.
"Ceng-moi, yang kedua itu merupakan bentuk seekor ayam, ayam jantan karena ekornya menjulang ke atas dan memanjang......"
"Bukan ayam, Giok-ko, melainkan Burung Hong......" Suara gadis itu kini semakin gemetar seolah dalam keadaan tegang dan terharu.
Mendengar suara itu, Cun Giok mengalihkan perhatiannya kepada wajah gadis itu yang tampak terlongong memandang puncak kedua bukit itu berganti-ganti. Mulutnya agak terbuka dan wajahnya tampak tegang.
"Burung Hong" Ceng-moi, mengapa engkau tampak begini tegang" Apa yang terjadi?" Karena khawatir, Cun Giok menjulurkan tangannya memegang lengan Ceng Ceng.
Seperti tanpa disadari Ceng Ceng membalas, memegang tangan pemuda itu dan meremasnya dengan kuat sehingga Cun Giok terpaksa mengerahkan tenaga agar tangannya tidak cidera.
"Giok-ko...... apakah engkau tidak ingat ......" Peta itu...... ada gambar naga dan burung Hong...... bukankah ini cocok sekali dengan keadaan dua buah bukit di sana itu......?"
Cun Giok berdebar. Baru dia teringat dan kembali dia mengamati dua buah bukit itu. Memang tepat! Seperti yang tertera di peta. Kedua puncak itu merupakan gambar naga dan burung Hong dan...... tempat penyimpanan harta karun itu tentu berada di sebelah selatan kedua bukit itu, di antara bukit-bukit lain!
"Aih, engkau benar, Ceng-moi! Kalau begitu, mungkin sekali harta karun itu memang disimpan di sini. Peti kosong yang berada di Bukit Sorga itu memang sengaja ditanam oleh Thaikam Bong untuk mengelabuhi para pencari harta dan tulisan THAI SAN itu merupakan petunjuk bahwa hartanya berada di sini. Bukan dicuri orang Thai-san seperti yang kita semua mengira."
Ceng Ceng mengangguk-angguk. "Ahh, mudah-mudahan saja benar demikian, Giok-ko. Menemukan harta karun itu amat penting artinya bagiku, karena hal itu berarti aku telah menaati dan melaksanakan pesan Ayah."
Mereka berdua tidak bicara lagi, akan tetapi sampai jauh lewat tengah malam mereka masih duduk dan memandang ke arah dua buah bukit itu. Di dalam hati, mereka kini merasa gembira dan timbul harapan baru. Kemudian mereka tidur bergilir. Seorang tidur dan yang lain berjaga sambil duduk di dekat api unggun.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka sudah bangun dan ketika sinar matahari mulai mengirim sinarnya menerangi bumi, dan mereka memandang ke arah dua bukit itu, Ceng Ceng berseru kaget.
"Giok-ko, lihat?"!"
Cun Giok memandang ke arah dua bukit yang ditunjuk Ceng Ceng, dan dia terkejut karena puncak dua buah bukit yang semalam di bawah sinar bulan purnama tampak jelas membentuk naga dan burung Hong, kini gambaran itu hilang sama sekali. Di kedua puncak itu kini hanya tampak gerombolan pohon yang mencuat ke sana-sini, sama sekali tidak tampak sebagai naga dan burung Hong!
"Eh, mana naga dan burung Hong itu, Ceng-moi?"
Ceng Ceng menghela napas panjang, "Aku tidak tahu, Giok-ko. Mungkin di bawah sinar bulan, gerombolan pohon itu tampak seperti bentuk naga dan burung Hong," kata Ceng Ceng kecewa. "Ataukah kita terlalu terpengaruh gambar di peta sehingga membayangkan dua gambar itu?"
Mendengar suara gadis itu seperti orang kecewa dan menyesal, juga ada nada sedih, Cun Giok merasa iba dan tiba-tiba dia teringat akan gambar pada peta itu.
"Ah, Ceng-moi, coba ingat baik-baik isi peta yang telah dirampas Kim Bayan itu. Bukankah di bawah gambar naga dan burung Hong itu ada bulatan besar" Nah, bukankah bulatan itu dimaksudkan bulan purnama" Jadi, puncak dua buah bukit itu hanya berbentuk naga dan burung Hong kalau ada bulan purnama!"
Wajah gadis itu berseri dan seolah baru melihat wajah itu untuk pertama kalinya, Cun Giok terpesona. Wajah yang baru bangun tidur itu, dengan rambut agak awut-awutan dan pakaian kusut, tanpa bedak gincu, tampak aseli dan kecantikannya bagaikan setangkai bunga mawar di waktu pagi masih segar oleh embun!
Melihat pemuda itu memandangnya seperti orang terkesima atau hilang ingatan, kulit muka Ceng Ceng berubah kemerahan dan tersipu karena ia baru ingat bahwa ia belum mencuci muka. Tentu ia tampak kusut dan buruk sekali!
"Aih, aku mau cuci muka...... eh, mandi dulu, Giok-ko!" katanya sambil bangkit dan memutar tubuhnya.
"Di sebelah sana ada sumber air, di balik batu besar itu, Ceng-moi."
"Aku tahu, kemarin aku sudah melihatnya," kata Ceng Ceng yang segera menuju ke batu besar sambil membawa buntalan pakaiannya.
Mereka bergantian mandi dan bertukar pakaian sambil mencuci pakaian kotor. Setelah itu mereka kemba1i duduk di tepi jurang.
"Hi-hi-hik?"!" Ceng Ceng menahan tawanya dan menutupi mulutnya, namun suara tawanya masih terdengar oleh Cun Giok.
"Ceng-moi, mengapa engkau tertawa?"
12.2. Bukit Naga dan Bukit Burung Hong"
"Aku mendengar suara ayam jantan berkeruyuk," kata gadis itu sambil tersenyum.
Cun Giok memusatkan pendengarannya sejenak. "Aku tidak mendengar ayam jantan berkeruyuk," katanya heran. "Di mana kau mendengarnya?"
"Di sini, dekat saja," kata Ceng Ceng sambil menahan tawa dan menunjuk ke arah perut Cun Giok.
Cun Giok terbelalak, lalu tersenyum sambil mengelus perutnya.
"Ha-ha-ha, wah, memalukan, buka rahasia saja!" Dia menepuk perutnya. "Memang sejak malam tadi aku merasa lapar, Ceng-moi.
"Hemm, perut lapar tidak perlu malu, Giok-ko. Aku sendiri pun merasa lapar. Akan tetapi di tempat seperti ini, di mana kita bisa mendapatkan makanan?"
"Ceng-moi, lihat di lereng bawah itu. Ada kepulan asap, agaknya di sana ada sebuah desa atau setidaknya ada orang tinggal di sana. Mari kita ke sana, mencari makanan dulu baru melanjutkan penyelidikan."
Mereka lalu menuruni puncak bukit itu dan tepat dugaan Cun Giok, di lereng bukit itu terdapat sebuah dusun kecil yang tertutup pohon-pohonan, hanya terdiri dari belasan rumah. Mereka adalah petani-petani sederhana yang menggantungkan nafkahnya dari menggarap tanah di lereng itu yang cukup subur.
Seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang menjadi tua-tua di dusun itu, menyambut Cun Giok dan Ceng Ceng dengan ramah penuh kekeluargaan yang akrab. Sudah menjadi watak orang-orang dusun yang lugu, sederhana dan jujur, yang hidup tenteram dan bahagia karena tidak banyak keinginan, selalu menyambut tamu, apalagi yang asing, dengan ramah tamah. Mereka merasa terhormat kalau ada "orang kota" mengunjungi mereka, dan tanpa ragu-ragu mereka akan menghidangkan apa saja yang mereka miliki untuk tamu mereka.
Demikian pula laki-laki itu, setelah Cun Giok dan Ceng Ceng memperkenalkan diri sebagai pelancong yang kehabisan makanan dan hendak membeli makanan, tua-tua dusun itu serta-merta menghidangkan makanan sederhana yang dimilikinya dan mengajak dua orang tamu itu makan bersama! Ketika Ceng Ceng hendak membayar harga makanan dan minuman yang dihidangkan, laki-laki itu mengerutkan alis dan menolak keras, bahkan tampak tersinggung dan segera Ceng Ceng minta maaf.
Ketika mereka mengobrol setelah makan, iseng-iseng Ceng Ceng bertanya kepada tuan rumah. "Paman, apakah nama dua buah bukit yang berjajar di sana itu?" Ia menunjuk ke arah dua buah bukit yang semalam ia tonton bersama Cun Giok. Petani itu memandang keluar melalui jendela dan melihat dua buah bukit itu.
"Ah, dua bukit itukah, Nona" Orang-orang menyebutnya Bukit Kembar karena mereka berdiri berdampingan dan besarnya sama. Akan tetapi dua buah bukit itu mempunyai nama, yang satu adalah Liong-san (Bukit Naga) dan yang lain Hong-san (Bukit Burung Hong)."
Mendengar ini, berdebar jantung dua orang muda itu. Tadi setelah pagi tiba dan mereka memandang ke puncak dua buah bukit itu, bentuk naga dan burung Hong lenyap sehingga mereka hampir putus asa dan menganggap penglihatan mereka semalam dipengaruhi harapan mereka setelah melihat gambar peta. Akan tetapi kini ternyata bahwa dua buah bukit itu benar-benar bernama Bukit Naga dan Bukit Burung Hong! Mereka berdua saling pandang penuh arti, lalu Cun Giok bertanya kepada petani itu.
"Paman, mengapa kedua bukit itu disebut Bukit Naga dan Bukit Burung Hong?"
Petani itu tersenyum lebar sehingga tampak giginya yang sudah banyak yang ompong. "Dua buah bukit itu memang aneh, Kongcu. Kalau malam bulan purnama, gerombolan di puncaknya berbentuk naga dan burung Hong. Menurut dongeng, jaman dahulu dua bukit itu katanya menjadi tempat tinggal kedua binatang suci itu."
Wajah Ceng Ceng dan Cun Giok berseri. Bukan main girang rasa hati mereka. Kini mereka yakin bahwa dua bukit itulah yang dimaksudkan dalam gambar peta!
Mereka segera pamit dari tua-tua dusun itu dan setelah mereka berdua pergi, baru petani itu menemukan uang emas tiga keping di atas meja! Dia terkejut karena tiga keping uang emas itu merupakan harta yang besar baginya. Dia mengejar keluar untuk mengembalikannya kepada dua orang tamunya, akan tetapi dua orang itu sudah tidak tampak lagi bayangan mereka! Hal ini sungguh terlalu aneh bagi petani itu. Bagaimana mungkin dua orang muda itu dapat menghilang begitu saja"
Ketika dia menceritakan kepada para penghuni dusun, orang-orang sederhana yang masih tebal kepercayaan mereka akan adanya dewa dewi yang suka menolong manusia, merasa yakin bahwa pemuda dan pemudi yang ikut makan di rumah kepala atau tua-tua dusun itu, pasti seorang dewa dan seorang dewi! Buktinya, mereka meninggalkan emas dan pandai menghilang.
"Tidak salah lagi!" seru tua-tua itu. "Mereka pasti dewa dan dewi penunggu Liong-san dan Hong-san. Baru melihat pemuda yang begitu tampan dan gagah, juga gadis yang demikian cantik jelita dan lembut, aku sudah curiga bahwa mereka berdua itu bukan manusia biasa!"
Seluruh penduduk dusun kecil itu lalu melakukan sembahyang untuk menghormati dan berterima kasih kepada Dewa dan Dewi penunggu Bukit Naga dan Bukit Burung Hong!
"Y" Sampai belasan hari Cun Giok dan Ceng Ceng mencari harta karun setelah merasa yakin bahwa harta itu pasti berada di daerah itu karena mereka telah menemukan Bukit Naga dan Bukit Burung Hong. Ada tiga bukit kecil di sebelah selatan kedua bukit itu, dan agaknya tiga bukit ini yang digambar dalam peta. Mereka berdua menjelajahi tiga bukit itu dan sekitar tiga minggu kemudian, pada suatu pagi mereka tiba di bukit tengah dari ketiga bukit itu. Sudah dua kali mereka mencari di bukit ini dan pagi hari itu, dari kaki bukit mereka melihat betapa puncak bukit itu dikepung hutan lebar yang tumbuh di sekeliling bukit. Mereka menembus hutan dan tiba di puncak bukit yang landai dan penuh lapangan rumput yang luas.
Mereka melihat bahwa di ujung lapangan rumput terdapat tebing puncak dan di tebing itu terdapat tiga buah guha. Guha-guha di pinggir kanan kiri tampak jelas, merupakan guha besar yang mulut guhanya terbuka seperti mulut raksasa ternganga. Akan tetapi guha di tengah tertutup semak belukar dan berduri. Kini mereka berdiri di depan guha yang tertutup semak belukar itu dan mengamati penuh perhatian.
"Rasanya tidak mungkin menyimpan harta karun di tempat seperti ini," kata Cun Giok.
Ceng Ceng diam saja tidak menjawab, hanya berdiri memandang ke arah guha itu dengan alis berkerut dan penuh perhatian. Karena gadis itu tidak menjawab, Cun Giok menoleh dan memandang kepadanya. Dia melihat betapa gadis itu kini tampak kurus. Wajahnya sama sekali tidak memancarkan kegembiraan. Kini dia teringat betapa selama mereka berdua melakukan perjalanan, jarang sekali Ceng Ceng tersenyum atau tertawa, pada hal biasanya gadis ini dahulu selalu berwajah ceria.
Baru sekarang Cun Giok menyadari betapa gadis itu telah mengalami berbagai rintangan, halangan dan jerih payah yang sia-sia selama melakukan pencarian harta karun itu. Bahkan beberapa kali terancam bahaya maut. Semua usaha mati-matian itu tidak juga menemukan hasil. Dia sendiri sudah tiada nafsu lagi untuk mencari harta karun yang belum dapat dipastikan ada itu. Akan tetapi agaknya Ceng Ceng tak pernah putus asa sehingga tubuhnya tampak kurus dan wajahnya kehilangan cahayanya, bahkan agak pucat karena lelah dan juga karena tidak tentu makannya. Tiba-tiba saja hati Cun Giok merasa pedih penuh keharuan dan iba terhadap gadis itu yang dicintainya semenjak pertemuan pertama itu.
Memandang wajah yang amat disayangnya itu, wajah yang tampak demikian menyedihkan, tak terasa lagi Cun Giok menghela napas panjang dan berat. Dia merasa sangat iba hepada Ceng Ceng, dan harus diakuinya bahwa cinta kasihnya semakin mendalam. Dia ingin melihat gadis yang mengalami banyak penderitaan ini berbahagia. Akan tetapi bagaimana mungkin" Ceng Ceng kehilangan ayah bunda dan gurunya, yang tewas terbunuh. Bahkan kehilangan harapannya ketika gadis ini saling mencinta dengan dia dan kemudian ternyata dia telah bertunangan dengan Siok Eng.
Akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah mengeluh bahkan tidak pernah merasa sakit hati atau dendam. Gurunya, Im Yang Yok-sian, terbunuh oleh Li Hong tanpa ada kesalahan apapun, akan tetapi Ceng Ceng tidak mendendam, bahkan sebaliknya ia pernah mengorbankan peta untuk menyelamatkan gadis pembunuh gurunya itu. Bahkan kemudian ia mengangkat Li Hong sebagai adiknya! Di dunia ini, mana ada gadis sebijaksana, sebaik hati, dan selembut Ceng Ceng" Sedangkan dirinya sendiri"
Ah, tampak jelas bahwa dia sama sekali tidak sepadan dengan Ceng Ceng, sama sekali tidak berharga untuk menjadi pendamping hidup gadis itu! Dia seorang pemuda gagal, seorang laki-laki yang tidak mampu melindungi calon istrinya sendiri. Walaupun belum menikah resmi dengan Siok Eng dia menganggap dirinya telah menjadi duda setelah Siok Eng terbunuh. Dia seorang pemuda sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa! Apa yang dapat diharapkan dari seorang pemuda seperti dia bagi seorang gadis seperti Ceng Ceng"
"Giok-ko, lihat semak belukar yang menutupi guha ini. Di sekeliling tempat, ini tidak ada semak belukar seperti itu!" Suara gadis itu terdengar sungguh-sungguh.
"Ada apa dengan semak-semak itu, Ceng-moi" Kulihat itu hanya semak belukar biasa," kata Cun Giok tidak mengerti sambil memandang semak belukar itu baik-baik akan tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang aneh.
"Kalau di suatu tempat tumbuh semak seperti itu, tentu di sekeliling sini terdapat pula semak yang sama. Akan tetapi lihat sekeliling sini, tidak ada lagi semak seperti itu!"
"Hemm, jadi ......?" Cun Giok tetap tidak mengerti.
"Berarti, semak belukar yang menutupi guha ini sengaja ditanam orang, Giok-ko! Bukan tumbuh alami melainkan sengaja ada orang mencari semak belukar dan berduri untuk ditanam dengan sengaja di sini agar menutupi guha ini!"
"Ah, jadi maksudmu, orang sengaja menutupi guha ini dengan semak belukar yang ditanam agar jangan ada orang memasuki guha ini?"
"Tepat! Dan itu berarti bahwa di balik semak belukar, di dalam guha itu, tentu ada sesuatu yang disembunyikan dan yang menyembunyikan tidak ingin ada orang dapat memasuki guha!"
Cun Giok terbelalak, "Maksudmu...... harta karun itu?"
Pedang Langit Dan Golok Naga 28 Dewa Arak 76 Penjara Langit Ciuman Selamat Malam 1
Ketua Thai-san-pai juga setuju dan merasa lebih tenang. Malam itu tidak terjadi sesuatu dan Ceng Ceng bermalam di situ, sekamar dengan Kui Lan dan Kui Lin sehingga mereka bertiga dapat bercakap-cakap, mempererat perkenalan dan semakin banyak mengetahui keadaan masing-masing. Dari percakapan dua orang gadis kembar itu, dengan hati senang Ceng Ceng dapat melihat bahwa Kui Lan tertarik kepada Liong Kun sedangkan Kui Lin tertarik kepada Thio Kui. Hal ini terungkap dari suara dan tarikan muka dua orang gadis kembar itu ketika bicara tentang dua orang pemuda Bu-tong-pai itu.
Ia juga merasa girang mendengar mereka bercerita tentang Pouw Cun Giok, akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir karena tidak mendengar tentang adik angkatnya, Li Hong, dan Yauw Tek. Akan tetapi ia berharap agar kedua orang itu dalam keadaan selamat dan mereka berdua tentu akan mendengar pula berita tentang adanya harta karun di Thai-san-pai dan mendengar ini, mereka pasti akan datang pula di Thai-san-pai.
Dua orang gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu pun dengan hati kagum dan senang mendengar tentang diri Ceng Ceng dan pengalaman gadis cantik jelita dan lembut itu ketika terpaksa menyerahkan peta harta karun peninggalan ayahnya kepada Kim Bayan untuk menolong Tan Li Hong yang menjadi tawanan Kim Bayan. Menceritakan ketika ia bersama Pouw Cun Giok membantu Kim Bayan mencari harta karun lalu mendapatkan peti harta karun telah kosong.
"Huh, si keparat jahanam Kim Bayan!" Kui Lin memaki marah. "Kalau aku bertemu dengan dia, pasti akan kupukul remuk kepalanya!"
"Aih, Adik Kui Lin, mengapa engkau agaknya demikian benci kepada Panglima Kim Bayan?" tanya Ceng Ceng heran.
"Enci Ceng Ceng," kata Kui Lan. "Ayah kandung kami tewas oleh pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan."
Ceng Ceng mengangguk-angguk, lalu berkata memperingatkan kepada Kui Lin. "Adik Kui Lin, kalau besok Ketua Thai-san-pai mengadakan pertemuan, andaikata Panglima Kim Bayan muncul, harap engkau tidak memancing keributan dengan menyerang dia karena hal itu akan dapat menggagalkan usaha Thai-san-pai untuk melepaskan diri dari fitnah. Kalau engkau tidak mampu menahan kesabaran dan menyerang Kim Bayan, mungkin saja hal itu bagaikan api dapat menyulut kebakaran lain dan Thai-san-pai menjadi ajang pertempuran."
"Enci Ceng Ceng berkata benar, Lin-moi. Engkau tidak boleh mengacaukan pertemuan besok karena dengan begitu, berarti kita tidak membantu Thai-san-pai malah sebaliknya mendatangkan malapetaka kepada Thai-san-pai," kata Kui Lan.
Kui Lin cemberut. "Baiklah, baiklah! Memang aku tukang membikin kacau!"
Ceng Ceng dan Kui Lan hanya tersenyum melihat ulah gadis yang galak dan manja itu.
Pada keesokan harinya, ketika matahari naik cukup tinggi, pintu gerbang Thai-san-pai dibuka dan keluarlah Thai-san Sianjin dari dalam, diiringkan oleh lima orang sutenya, yaitu Song Bu Tosu, Song Tek Tosu, Koa Lai Kim Tosu, Wong Kian Tosu, dan Wong Han Tosu. Di sampingnya keluar pula Ceng Ceng, Kui Lan dan Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Para murid Thai-san-pai dengan senjata lengkap mengiringkan ketua mereka, hampir seratus orang banyaknya karena sebagian kecil masih melakukan penjagaan di sekeliling perkampungan mereka.
Berita tentang keluarnya ketua Thai-san-pai segera terdengar oleh semua orang yang sedang berada di sekitar perkampungan Thai-san-pai dan berbondong-bondong mereka datang memasuki halaman depan perkampungan yang luas. Diam-diam Thai-san Sianjin dan lima orang sutenya, juga lima orang muda yang mendampinginya, mengamati siapa yang datang berkumpul.
Thai-san Sianjin merasa terkejut juga ketika melihat betapa banyaknya para tokoh kang-ouw yang kini berkumpul di luar pekarangan depan perkampungan Thai-san-pai. Yang membuat dia dan lima orang sutenya, juga lima orang muda yang menjadi tamunya, merasa agak khawatir adalah hadirnya dua rombongan, yaitu Huo Lo-sian dan anak buahnya yang didampingi Bu-tek Sin liong Cu Liong, majikan Bukit Merak dan puterinya Cu Ai Yin!
Para pimpinan Thai-san-pai itu memang tidak mengenal Ai Yin, akan tetapi mereka tahu siapa kakek tinggi besar muka merah itu! Rombongan kedua yang membuat mereka terkejut adalah rombongan yang terdiri dari tiga orang, yaitu Kong Sek, Cui-beng Kui-ong, dan Song-bun Mo-1i. Mereka memang tidak mengenal Kong Sek, akan tetapi mereka tahu siapa kakek dan nenek itu, yang merupakan datuk sesat yang amat terkenal dan ditakuti di dunia kang-ouw.
Selain dua rombongan ini, masih ada beberapa orang tokoh sesat yang hadir, termasuk para tokoh sungai telaga (golongan pembajak) dan para tokoh rimba persilatan (golongan perampok). Akan tetapi, perasaan Thai-san Sianjin Ketua Thai-san-pai menjadi tenang ketika dia melihat pula hadirnya mereka dari golongan bersih, partai-partai persilatan yang terdiri dari para pendekar seperti Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin dari Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang dan beberapa orang hwesio yang mereka duga adalah murid-murid Siauw-lim-pai. Kemudian baru muncul Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka.
10.3. Siapakah Golongan Murka Harta"
Setelah berada di luar dan berhadapan dengan banyak orang itu, Thai-san Sianjin lalu menjura dan dengan sikap tenang dia berkata. "Saudara-saudara sekalian! Kami Thai-san-pai tidak sedang mengadakan perayaan dan tidak menyebar undangan, akan tetapi Saudara-saudara berdatangan dari semua penjuru dan memasuki wilayah kami tanpa memberitahu. Ada kepentingan besar apakah yang membuat Saudara sekalian datang dan mengepung tempat kami?"
Huo Lo-sian tertawa bergelak sambil menghadapkan mukanya ke atas dan perutnya bergelombang, "Hua-ha-ha, Ketua Thai-san-pai, jangan pura-pura bodoh dan menyembunyikan kenyataan. Beritanya sudah tersebar bahwa Thai-san-pai yang mencuri harta karun itu! Aku sudah menduga sejak semula. Hayo serahkan setengahnya kepadaku dan aku akan membantumu mengusir semua orang ini!"
"Heh, Lo-sian! Jangan lupa, akulah yang akan mengalahkan semua orang ini kalau mereka berani campur tangan!" kata Bu-tek Sin-liong dengan lantang dan dia memandang ke sekeliling sikapnya menantang.
"Ho-ho, nanti dulu, Huo Lo-sian!" Tiba-tiba muncul Hek Mo-ko, didampingi Pek Mo-ko. "Kalau harta karun itu berada di Thai-san, maka sudah sepantasnya kalau dibagi rata kepada semua penghuni Thai-san termasuk kami. Ini baru adil namanya dan kami menuntut bagian kami sebagai penduduk Thai-san!"
"Hi-hi-heh-heh-heh?"!" Terdengar suara melengking setengah tawa setengah tangis yang keluar dari leher Song-bun Mo-li sehingga membuat banyak orang merasa serem. "Kui-ong, dengar itu orang-orang sinting bicara seenak perutnya sendiri, heh-heh-hi-hik!"
"Hemm, kalian orang-orang tidak tahu malu! Membicarakan harta karun yang menjadi hak milik kami!" kata Cui-beng Kui-ong dengan suaranya yang berat dan mengandung wibawa kuat sekali.
Mendengar ini, Ceng Ceng yang berdiri di samping Thai-san Sianjin berkata dengan suaranya yang lembut namun nyaring sehingga terdengar banyak orang.
"Cui-beng Kui-ong, bicara tentang hak milik, siapa yang mempunyai hak milik atas harta karun itu" Aku berada di sini, apakah engkau tidak malu mengatakan bahwa harta karun itu hak milikmu?"
Banyak suara terdengar memberi sambutan atas ucapan Ceng Ceng itu, terutama mereka yang sudah tahu bahwa Ceng Ceng adalah Pek-eng Sianli, puteri mendiang Liu Bok Eng yang dianggap berhak atas harta karun itu. Kui-tung Sin-kai yang sudah tahu dari Ceng Ceng tentang harta karun itu, berkata lantang.
"Hemm, siapa pun sudah mendengar bahwa harta karun itu yang berhak adalah bekas Panglima Liu Bok Eng yang diwariskan kepada puterinya, Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng! Kemudian harta karun itu dicuri orang yang mengaku sebagai penghuni Thai-san. Sungguh lucu kalau sekarang ada orang lain yang mengakui sebagai haknya!"
Mendengar ini, Cui-beng Kui-ong memandang kepada ketua Ang-tung Kai-pang dengan mata melotot, lalu dia menghardik. "Pengemis kotor jangan ikut campur!" Tangannya yang memegang tongkat bergerak, menudingkan tongkat berujung runcing itu ke arah Kui-tung Sin-kai dan tiba-tiba ada sinar hitam kecil meluncur dari ujung tongkat itu ke arah leher ketua Kai-pang itu!
"Tringg?"!" Sinar hitam itu adalah sebatang panah kecil dan menyambar cepat, namun Kui-tung Sin-kai bukan orang sembarangan. Dia sudah mengangkat tongkat merah dengan gerakan menangkis dan panah kecil itu tertangkis dan terpental jauh!
"Hi-hi-heh-heh, Kui-ong! Mengapa melayani segala macam jembel busuk" Harta karun berada di Thai-san-pai, mari kita bekuk ketuanya dan paksa dia menyerahkan harta itu kepada kita, hi-hi-hik!" Song-bun Mo-li melangkah maju. Cui-beng Kui-ong juga maju diikuti Kong Sek yang sudah mencabut pedangnya.
"Ho-ho, perlahan dulu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li! Kami juga berhak atas harta karun itu karena harta itu sudah berada di Thai-san. Kami penghuni Thai-san sejak dulu!" terdengar bentakan dan Hek Mo-ko bersama Pek Mo-ko sudah melompat ke depan, diikuti barisan anak buah mereka!
"Ha-ha, kami juga tidak mau ketinggalan! Kalau Thai-san-pai mau membagi dengan kami, kami akan membantu Thai-san-pai untuk mengusir kalian!" kata pula Huo Lo-sian.
"Hai, kalian semua dengarlah baik-baik!" tiba-tiba Kong Sek berseru dengan suara lantang. "Harta karun itu tadinya berada di Bukit Sorga, tempat kediaman dan milik Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li. Oleh karena itu mereka berdualah yang sesungguhnya berhak atas harta itu. Kini ada yang mencurinya dan pencurinya adalah Thai-san-pai, maka jangan halangi kami untuk merampasnya kembali dari Thai-san-pai!"
"Kong Sek, manusia tak mengenal malu! Engkau sejak dulu belajar ilmu dari Ayahku, engkau murid Ayahku, bagaimana kini engkau mengaku murid kakek dan nenek iblis ini?" Cu Ai Yin membentak marah sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah pemuda yang tadinya menjadi suhengnya, bahkan biarpun belum sah, menjadi tunangannya itu.
Sambil tersenyum mengejek Kong Sek menjawab. "Ayahmu adalah calon ayah mertuaku, sedangkan guruku sekarang adalah Suhu Cui-beng Kui-ong dan Subo Song-bun Mo-li!"
"Keparat!" Bu-tek Sin-liong membentak sambil menatap wajah Kong Sek dengan mata terbelalak marah. "Siapa sudi mempunyai mantu atau murid seorang jahanam macam kamu?"
Keadaan menjadi tegang dan agaknya Thai-san-pai akan menghadapi penyerbuan banyak pihak yang agaknya percaya bahwa harta karun itu berada di Thai-san-pai dan ingin berlumba merebutnya.
Pada saat itu, tanpa memperlihatkan diri, Pouw Cun Giok juga berada di situ. Dia bersembunyi di atas sebuah pohon besar dan hanya mengintai untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Diam-diam dia telah melakukan penyelidikan setelah berpisah dari kakak beradik kembar The Kui Lan dan The Kui Lin. Kemudian, mendengar berita bahwa harta karun berada di Thai-san-pai, dia datang pula ke tempat itu, hanya tidak memperlihatkan diri.
Demikian pula dengan Yauw Tek dan Li Hong. Mereka datang pula ke situ dan Li Hong tadinya ingin keluar dari persembunyian untuk menemui kakak angkatnya, Ceng Ceng, dan membantunya membela Thai-san-pai. Akan tetapi Yauw Tek menahannya dan menganjurkannya untuk tetap bersembunyi, mengintai dan melihat perkembangan selanjutnya. Li Hong kini telah mengalami perubahan yang tentu akan mengherankan hati mereka yang telah mengenalnya. Dahulu ia merupakan seorang gadis yang berwatak liar dan galak, tidak dapat dikendalikan siapa pun. Akan tetapi kini, setelah ia menyerahkan dirinya dan menjadi kekasih Yauw Tek, ia seolah-olah menjadi jinak dan penurut.
Melihat keadaan menjadi tegang dan gawat, Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, segera maju dan menggabungkan diri dengan tuan rumah, yaitu Thai-san-pai. Mereka berdiri dekat Ceng Ceng dan memandang kepada Cui-beng Kui-ong dengan mata berapi karena dendam dan marah teringat akan dua orang murid wanita yang telah dihina dan dibunuh kakek iblis itu!
"Totiang, kami dari Go-bi-pai akan membantu Thai-san-pai menghadapi para iblis dan manusia sesat yang hendak mengganggu!" kata Thian-li Niocu setelah memberi hormat kepada Thai-san Sianjin. Ketua Thai-san-pai membalas penghormatan itu sambil membungkuk hormat dan senang.
Setelah orang-orang Go-bi-pai maju membela Thai-san-pai, kini mereka yang berjiwa pendekar dan tahu bahwa Ceng Ceng bermaksud mendapatkan harta karun untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, berbondong menggabungkan diri dengan Thai-san-pai. Mereka adalah lima orang Hoa-san Ngo-heng-tin, Ang-tung Kai-pang, dan beberapa orang tokoh bersih dunia kang-ouw. Hanya lima orang hwesio (Pendeta Buddha) dari Siauw-lim-pai yang sejak tadi hanya diam saja, kini masih berdiri, agaknya tidak memihak dan hanya ingin melihat perkembangan keadaan yang menegangkan itu.
Perlu diketahui bahwa Pemerintah Kerajaan Boan (Mongol) berusaha mendekati Siauw-lim-pai. Keluarga Kaisar Mongol sebagian besar beragama Buddha, maka dengan sendirinya mereka itu condong berbaik dengan para pendeta Buddha (Hwesio). Apalagi karena mereka mengetahui bahwa Siauw-lim-pai yang menyebarkan Agama Buddha juga dikenal sebagai tempat penggemblengan para pendekar yang tangguh. Pemerintah Mongol bersikap longgar kepada para hwesio, bahkan membebaskan mereka dari pajak dan kewajiban lain yang memberatkan.
Oleh karena sikap yang baik dari Pemerintah Mongol inilah yang membuat para pimpinan Siauw-lim-pai berhati-hati dan memesan kepada para muridnya agar bersikap bijaksana dan lunak, tidak memperlihatkan sikap bermusuhan atau menentang pemerintah Kerajan Mongol. Ini pula yang menyebabkan lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu kini hanya sebagai penonton yang tidak berpihak.
Melihat betapa banyaknya orang yang menggabungkan diri dengan Thai-san-pai, rombongan Huo Lo-sian, Hek Pek Mo-ko, dan Cui-beng Kui-ong menjadi ragu. Keadaan Thai-san-pai kini sungguh kuat. Selain Thai-san-pai sendiri merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan, kini yang bergabung dengan mereka adalah wakil-wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang, masih ditambah lagi dengan adanya Liu Ceng Ceng yang berjuluk Pek-eng Sianli, dua orang gadis kembar The Kui Lan dan The Kui Lin dari Lembah Seribu Bunga, dan beberapa orang pendekar lain yang bersikap membela Thai-san-pai. Bukan saja Thai-san-pai kini menjadi kuat sekali, akan tetapi mereka pun masih harus berhadapan dengan para saingan yang hendak memperebutkan harta karun!
Bu-tek Sin-liong Cu Liong adalah seorang datuk yang gila ilmu silat dan gila bertanding! Kini, melihat banyaknya tokoh persilatan berkumpul di situ, kedua tangannya sudah gatal-gatal rasanya karena ingin sekali dia untuk pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan mereka. Dia tidak peduli akan harta karun, tidak membutuhkan harta karun. Yang dibutuhkan adalah mempertahankan nama julukannya Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding)! Dia ingin membuktikan bahwa tidak percuma dia berjuluk Tanpa Tanding. Dengan gagah dia lalu melangkah maju dan memandang ke sekeliling.
"Sobat sekalian!" katanya lantang. "Aku Bu-tek Sin-liong Cu Liong tidak peduli apakah harta karun itu ada ataukah tidak. Akan tetapi setelah di sini berkumpul banyak tokoh persilatan yang terkenal, aku tidak mau sia-siakan kesempatan ini! Aku tantang siapa saja yang berani maju untuk bertanding ilmu silat dengan aku untuk menemukan siapa yang pantas menjadi Thian-te Te-it Bu-hiap (Pendekar Silat Nomor Satu di Kolong Langit)!"
Biarpun tantangan ini membuat merah muka para datuk yang tentu saja tidak takut melawan Bu-tek Sin-liong, namun pada saat itu mereka hanya memikirkan harta karun dan sama sekali tidak ingin bertanding hanya untuk mencari kemenangan kosong belaka.
Pada saat itu, Pouw Cun Giok mengambil keputusan untuk bertindak. Dia tahu bahwa orang-orang yang biasanya disebut para datuk dan tokoh dunia persllatan itu sudah dimabok harta karun yang kabarnya menghebohkan itu. Untuk mendapatkan dan memperebutkan itu, agaknya mereka siap untuk mengadu nyawa! Hal ini amat berbahaya karena darah mereka sedang panas. Kalau tantangan Bu-tek Sin-liong itu ada yang menyambutnya, bukan tidak mungkin perkelahian itu akan menjalar dan orang-orang akan nekat menyerbu Thai-san-pai untuk merebut harta karun yang dikabarkan berada di Thai-san-pai. Biarpun banyak yang membela Thai-san-pai, namun pertempuran besar itu pasti akan menjatuhkan banyak korban terbunuh.
Dengan pengerahan gin-kang yang memang menjadi keahliannya sehingga dengan gin-kangnya yang amat tinggi itu dia dapat bergerak cepat sekali sehingga bayangannya sukar diikuti dengan pandang mata dan dia mendapat julukan Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), Pouw Cun Giok melompat ke hadapan mereka dan berkelebatan bagaikan seekor burung menyambar-nyambar. Semua orarg terkejut karena hanya melihat bayangan yang berkelebat ke sana sini, lalu terdengar suaranya lantang.
"Para Lo-cianpwe dan Saudara sekalian! Jangan mudah ditipu berita bohong yang disebarkan orang untuk memancing kekacauan. Harta karun itu tidak berada di Thai-san-pai. Harap Cu-wi (Anda Sekalian) menyadari ini dan jangan tertipu. Harta karun itu berada di tangan orang yang sengaja menyebarkan fitnah kepada Thai-san-pai agar Cu-wi saling tuduh dan saling bentrok di sini. Kalau Cu-wi memaksa dan menuduh Thai-san-pai, terpaksa aku yang muda dan bodoh akan membelanya!" Setelah berhenti bicara, Cun Giok juga berhenti bergerak cepat dan kini dia telah berdiri dekat Thai-san Sianjin.
"Giok-ko?"!" seruan ini keluar dari mulut Ceng Ceng, Kui Lan, dan Kui Lin. Mereka girang melihat munculnya pemuda ini. Terutama sekali Ceng Ceng, begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cun Giok, hati mereka berdua tergetar.
"Bu-eng-cu Pouw Cun Giok! Jahanam busuk!" Kong Sek memaki dan dia hendak langsung menyerang, akan tetapi Cui-beng Kui-ong memegang lengannya dan mencegahnya. Orang-orang yang belum mengenal Cun Giok, terkejut mendengar disebutnya Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan)
karena nama ini menjadi amat terkenal setelah peristiwa pembunuhan atas diri Panglima Kong Tek Kok dan banyak perajurit di kota raja.
Melihat Thai-san-pai terancam, Hoa-san Ngo-heng-tin maju dan dengan lantang Thian-huo Tosu berkata. "Kami dari Hoa-san-pai tidak mencari permusuhan, akan tetapi kami percaya bahwa Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu. Maka kalau mereka difitnah, kami siap membelanya!"
Biarpun tidak mengeluarkan kata-kata, namun sikap para murid Go-bi-pai dan Ang-tung Kai-pang, juga beberapa orang pendekar, tampak dari sikap mereka bahwa mereka siap bertempur membela Thai-san-pai!
Thai-san Sianjin kini mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata. "Sobat sekalian, percayalah bahwa kami sama sekali tidak tahu apa-apa tentang harta karun, apalagi mencurinya. Kalau kami mencurinya, tidak mungkin para orang gagah di sini membela kami. Maka, kami harap kalian tidak sembarangan menuduh dan mempercayai berita bohong, dan memancing keributan dan permusuhan di sini. Kalau memang ada yang mencuri harta karun dan mengaku tinggal di Thai-san, marilah kita berlumba mencarinya, dan tidak saling bermusuhan memperebutkan barang yang tidak ketahuan di mana adanya!"
"Siapa yang butuh dan peduli akan harta benda" Sekarang, selagi kita berkumpul, hayo aku tantang siapa saja yang berani pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan aku, Bu-tek Sin-liong, silakan maju!" Terdengar kakek gagah perkasa yang gila bertanding itu berseru.
Akan tetapi, semua orang menganggap ucapan Thai-san Sianjin tadi benar dan mereka tidak peduli akan tantangan Bu-tek Sin-liong. Selain agak jerih menyambut tantangan Majikan Bukit Merak ini, juga mereka semua datang ke Thai-san karena tertarik kepada harta karun Kerajaan Sung, bukan untuk mengadu ilmu yang mungkin akan mendatangkan maut bagi mereka. Mati untuk sesuatu yang tidak ada artinya, sungguh bodoh! Mereka lalu mulai bubaran meninggalkan tempat itu. Ai Yin ingin sekali menemui Cun Giok, akan tetapi ayahnya sudah menarik lengannya, diajak pergi dari situ bersama Huo Lo-sian dan yang lain-lain.
Sementara itu, dengan ramah dan hormat Thai-san Sianjin mempersilakan mereka yang tadi berpihak dan mendukung Thai-san-pai untuk masuk dan berbincang-bincang di bangunan induk Thai-san-pai. Yang menerima undangan itu adalah Thian-li Niocu dari Go-bi-pai dan lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai, Hoa-san Ngo-heng-tin, The Kui Lan dan The Kui Lin bersama dua orang murid Bu-tong-pai Liong Kun dan Thio Kui, Liu Ceng Ceng, dan Pouw Cun Giok.
Setelah semua orang duduk dalam ruangan yang luas, Thai-san Sianjin mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka semua. Para tamu yang dlhormati itu dijamu minuman dan Ketua Thai-san-pai itu lalu berkata dengan ramah.
"Terima kasih atas pembelaan Cu-wi yang terhormat, terutama sekali atas kepercayaan Cu-wi bahwa kami sungguh tidak mengambil harta karun itu. Kami juga mendengar bahwa harta karun peninggalan Kerajaan Sung itu kabarnya dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Kalau hal itu benar, marilah kita masing-masing menyelidiki karena Thai-san itu luas sekali. Akan tetapi tentu Cu-wi sudah mengetahui bahwa sesungguhnya yang berhak memiliki adalah Nona Liu Ceng Ceng ini, yang menerima peta sebagai warisan ayahnya, yaitu Panglima Kerajaan Sung, mendiang Liu Bok Eng. Sekarang, kami harap Nona Liu suka menceritakan kembali asal-usul harta karun itu kepada kami semua agar kami mengetahui lebih jelas, juga niat Nona Liu mendapatkan harta karun itu."
Semua mata memandang kepada Ceng Ceng. Cun Giok tidak berani memandang langsung karena setiap kali bertemu pandang dengan gadis yang dicintanya itu, hatinya tergetar. Dia merasa bahwa dia telah melukai perasaan hati gadis itu ketika dahulu menceritakan bahwa dia telah bertunangan dengan gadis lain, padahal antara dia dan Ceng Ceng sudah terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam. Akan tetapi dalam pandang mata Ceng Ceng kepadanya, sama sekali tidak terkandung penyesalan atau kemarahan, hanya keharuan yang membuat Cun Giok semakin tunduk, iba dan haru memenuhi hatinya.
Kemudian terdengar Ceng Ceng bercerita dengan suaranya yang selalu lembut dan tenang itu. "Cu-wi yang terhormat, saya akan menceritakan dengan singkat saja. Harta karun itu adalah harta Kerajaan Sung yang dikorup atau dicuri oleh Thaikam Bong yang dulu berkuasa dalam istana. Harta itu lalu disembunyikan oleh Thaikam Bong dan dia membuat sehelai peta untuk tempat persembunyian harta itu. Ketika Ayah sebagai panglima menyerbu dan membinasakan thaikam yang korup, jahat dan yang bersekutu dengan orang Mongol itu, Ayah menemukan peta itu dan menyimpannya. Kemudian sebelum Ayah dan Ibu tewas dikeroyok pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan dan para pembantunya, Ayah meninggalkan peta itu kepada saya. Dengan cara yang licik Panglima Kim Bayan dapat memaksa saya dan Twako Pouw Cun Giok ini dengan menawan adik angkat saya Tan Li Hong. Kami terpaksa menyerahkan peta dan membantunya mencari harta karun. Ternyata harta karun itu ditanam di Bukit Sorga akan tetapi setelah kami temukan, peti tempat harta karun itu kosong dan hanya ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Kami berhasil meloloskan diri dan sejak itulah tersiar berita bahwa harta karun itu dicuri orang dari Thai-san maka semua orang lalu berbondong-bondong datang ke Thai-san. Kami sendiri juga datang ke Thai-san karena saya merasa berkewajiban untuk menemukan harta karun itu dan memenuhi pesan Ayahku bahwa harta karun itu harus saya serahkan kepada yang berhak menerimanya."
"Siapa yang berhak menerimanya itu" Nona Liu, harap jelaskan agar kita semua mengetahui dan merasa yakin bahwa kami berada di pihak yang benar," kata Thai-san Sianjin.
"Seperti yang sudah saya ceritakan kepada siapa saja, saya sendiri atau mendiang Ayah sama sekali tidak menginginkan harta karun itu untuk diri kami sendiri. Harta karun itu milik Kerajaan Sung, maka jangan sampai terjatuh ke tangan Pemerintah Mongol atau ke tangan orang lain. Yang berhak menerimanya adalah para patriot yang akan berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol."
Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.
"Kalau demikian tujuannya, kami semua siap untuk membantumu menemukan harta karun itu, Nona Liu!" kata mereka. Mereka lalu bersepakat untuk mencari secara berpencar dan kalau ada yang menemukan tanda-tanda di mana adanya harta karun itu, mereka akan memberi kabar melalui Thai-san-pai agar mereka dapat bersama-sama merampas harta karun itu untuk diserahkan kepada Liu Ceng Ceng agar dapat disumbangkan kepada para patriot pejuang. Setelah bersepakat, mereka pun berpamit.
Yang masih tinggal di Thai-san-pai kini adalah Pouw Cun Giok, Liu Ceng Ceng, The Kui Lan, The Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Enam orang muda ini mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap dan saling berkenalan. Kui Lin dengan lincahnya memperkenalkan dua orang murid Bu-tong-pai kepada Cun Giok. Dalam suasana gembira, mereka mengatur rencana pencarian harta karun itu.
"Enci Ceng Ceng, kami berdua akan membantumu dan kami akan mencari. Kalau berhasil, tentu kami akan memberi kabar melalui Thai-san-pai," kata Kui Lan.
"Kami berdua akan menemani kalian, Adik Lan dan Lin!" kata Liong Kun gembira.
11.1. Obrolan Pertama Sepasang . . . . .
Ceng Ceng dan Cun Giok tersenyum. Dua orang pemuda Bu-tong-pai itu sama sekali tidak menyembunyikan rasa kagum dan sukanya kepada dua orang gadis kembar itu.
"Baiklah, dan terima kasih atas bantuan kalian," kata Ceng Ceng.
Dua pasang orang muda itu setelah berpamit kepada Ceng Ceng dan Cun Giok, juga kepada pimpinan Thai-san-pai, lalu meninggalkan perkampungan itu, melakukan perjalanan berempat untuk menyelidiki harta karun yang masih belum diketahui di mana tempatnya dan siapa pula pencurinya.
Seperti dengan sendirinya, tanpa berunding dan bersepakat, Cun Giok dan Ceng Ceng juga berpamit kepada tuan rumah untuk melanjutkan penyelidikan mereka.
"Mudah-mudahan kalian berdua memperoleh hasil yang baik, Pouw-sicu dan Liu-siocia. Pinto juga akan menyebar murid Thai-san-pai untuk melakukan penyelidikan lagi," kata Ketua Thai-san-pai.
Cun Giok dan Ceng Ceng melakukan perjalanan berdua, keluar dari perkampungan Thai-san-pai tanpa mengeluarkan suara. Padahal, seribu satu macam ucapan yang memenuhi hati mereka, akan tetapi entah mengapa, sukar rasanya untuk bicara setelah mereka kini berdua saja. Karena merasa seperti terjebak ke dalam suasana hening dan macet ini.
Sebagai seorang wanita, Ceng Ceng merasa sukar dan malu untuk membuka pembicaraan. Akan tetapi keadaan seperti itu sungguh tidak nyaman rasanya di hati sehingga ia menarik napas panjang dua kali. Tarikan napas panjang yang halus ini tidak terlewatkan oleh pendengaran Cun Giok. Dia tiba-tiba merasa betapa canggung dan tidak enaknya suasana itu dan dia merasa telah membuat gadis yang dikasihinya ini menderita yang dinyatakan dengan helaan napas panjang dua kali tadi.
"Ceng-moi......"
"Giok-ko......" Entah siapa yang mendahului, akan tetapi keduanya berhenti melangkah dan saling pandang. Agaknya, hanya dengan menyebut nama itu saja sudah mewakili segenap perasaan yang menekan menyatakan diri!
"Ceng-moi, mari kita mengaso sebentar. Duduklah," kata Cun Giok sambil menghampiri sekumpulan batu yang cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atas batu. Setelah mereka duduk, Cun Giok mendapatkan ketenangan hatinya sehingga tanpa ketegangan seperti yang dia rasakan tadi, dia bertanya.
"Ceng-moi, cukup lama kita saling berpisah. Bagaimana keadaanmu selama ini?"
"Terima kasih kepada Thian (Tuhan) aku selalu dalam lindungan-Nya dan baik-baik saja. Bagaimana dengan engkau, Giok-ko?"
"Aku juga baik-baik saja, Ceng-moi." Pertanyaan pertama mereka itu saja yang dikeluarkan dengan suara penuh perhatian sudah menunjukkan betapa mereka itu selalu saling memikirkan dan saling mengkhawatirkan.
"Ceng-moi, mengapa engkau hanya seorang diri saja" Mana Adik angkatmu, mengapa...... Li Hong tidak bersamamu?"
Ceng Ceng tersenyum dan melihat senyum itu saja, belum mendengar jawabannya, sudah membuat hati Cun Giok lega. Ah, baru sekarang dia merasakan betapa dekat dengan Ceng Ceng mendatangkan kedamaian dan agaknya tiada hal yang dapat merisaukannya karena sikap gadis itu selalu demikian tenang, sabar, dan penuh senyum tulus seolah tidak ada masalah apa pun yang akan mampu menggoyahkannya.
"Adikku yang manis dan bengal itu. Entah kenapa ia menghilang dan tidak kembali padaku. Akan tetapi aku tidak khawatir, Giok-ko, karena ada Yauw-twako yang mengejarnya dan sekarang tentu Yauw-twako sudah menemaninya."
"Yauw-twako" Siapa itu" Apa yang terjadi?" tanya Cun Giok heran.
"Panjang ceritanya, Giok-ko. Akan tetapi yang lain itu nanti kuceritakan, sekarang berita yang amat menggembirakan dulu untukmu."
"Eh" Berita baik untukku" Apa itu, Ceng-moi?"
"Ketahuilah bahwa Adik Tan Li Hong itu adalah piauw-moimu (adik misanmu)."
"Apa" Bagaimana......?"
"Giok-ko, ayah dari Li Hong, yaitu Tan Kun Tek yang dulu tinggal di Seng-hai-lian, adalah kakak dari mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian."
Cun Giok terbelalak akan tetapi hatinya girang. "Ah, sungguh menggembirakan! Li Hong yang nakal, dan galak itu adikku sendiri! Ya, aku ingat bahwa Suhu pernah bilang Ibu mempunyal seorang kakak dekat Nan-king, akan tetapi karena tak pernah bertemu, aku lupa lagi. Kiranya kakak Ibuku itu ayah Li Hong! Akan tetapi, bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu, Ceng-moi?"
"Aku ikut Hong-moi ke Pulau Ular untuk bertemu dengan ibunya yang sudah kita kenal. Ingat waktu kita berdua berkunjung ke pulau berbahaya itu?"
"Tentu saja aku ingat. Ibu Li Hong adalah Ban-tok Kui-bo......"
"Bukan, Giok-ko. Ketika kita berkunjung ke sana, Ban-tok Kui-bo adalah gurunya, bukan ibunya. Akan tetapi sekarang ia telah menjadi ibunya, ibu tiri."
"Eh" Aku tidak mengerti. Kaubilang tadi Li Hong itu puteri pamanku......"
"Benar. Paman Tan Kun Tek itu dahulu sebelum menikah dengan ibu kandung Hong-moi, adalah pacar Ban-tok Kui-bo yang kini berganti julukan Ban-tok Niocu. Nah, ketika Paman Tan Kun Tek menikah dengan gadis lain, ia menjadi marah. Ia mendendam dan ketika Paman Tan Kun Tek mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Adik Tan Li Hong, ia lalu menculik anak itu, dibawanya ke Pulau Ular dan diambil murid."
"Ah, kasihan sekali Hong-moi!"
"Akan tetapi semua itu kini berakhir dengan kebahagiaan bagi keluarga itu, Giok-ko. Setelah Hong-moi dewasa, Ban-tok Niocu menceritakan semua itu dan membiarkan Hong-moi mencari ayah ibunya. Bahkan mereka berdua telah menyelamatkan Paman Tan Kun Tek dan isterinya yang ditawan Kim Bayan. Akhirnya Paman Tan Kun Tek dan isterinya tinggal di Pulau Ular dan Ban-tok Niocu menjadi isteri Paman Tan Kun Tek. Mereka menjadi satu keluarga yang bahagia dan tidak terdapat permusuhan lagi di antara mereka. Nah, ketika aku berkunjung ke Pulau Ular bersama Hong-moi, Paman Tan Kun Tek yang mendengar disebutnya namamu, lalu menceritakan tentang mendiang ibumu kepada kami. Wah, Hong-moi merasa terharu dan gembira bukan main ketika mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya dan ia ingin sekali segera bertemu dengan kakak misannya, Giok-ko!"
Cun Giok tertawa. "Ha-ha, anak nakal itu! Kiranya adikku sendiri! Akan tetapi, di mana ia sekarang dan siapa orang yang kausebut Yauw-twako tadi, Ceng-moi?"
"Begini, Giok-ko. Aku dan Hong-moi meninggalkan Pulau Ular dan pergi ke Thai-san untuk mencari harta karun seperti juga semua orang setelah mendengar bahwa harta karun itu dicuri orang yang mengaku tinggal di Thai-san. Akan tetapi kami berdua ditemani seorang pemuda bernama Yauw Tek. Sebelum kami berangkat, anak buah Pulau Ular melaporkan bahwa ada seorang pemuda berperahu dikeroyok oleh banyak pasukan Mongol dalam empat buah perahu besar. Mendengar ini kami lalu pergi menolongnya. Dia terluka akan tetapi tidak parah dan setelah kami selamatkan, dan kami bawa ke pulau, dia menceritakan bahwa dia bernama Yauw Tek dan sejak kecil ayah ibunya telah meninggal. Dia merantau sampai ke Himalaya dan mempelajari ilmu silat dari para pertapa di sana, kemudian dia belajar pula dari para Pendeta Lhama di Tibet. Ilmu silatnya hebat juga. Ketika mendengar bahwa aku dan Hong-moi hendak mencari harta karun yang dicuri orang dan berada di Thai-san, dia menyatakan hendak ikut dan membantu. Sikapnya baik dan sopan sekali, maka kami tidak keberatan dia menyertai kami."
"Hemm, menarik sekali. Lalu bagaimana, Ceng-moi?"
"Kami bertiga mengunjungi Ang-tung Kai-pang dan perkumpulan itu ditantang Hek Pek Mo-ko. Karena Hek Pek Mo-ko amat lihai, maka Yauw Tek lalu membantu Ang-tung Kai-pang, bersama Kui-tung Sin-kai akan menghadapi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi ketika mereka berhadapan, Hek Pek Mo-ko memperlihatkan sikap yang kurang ajar. Hong-moi marah dan menyerang mereka, aku membantunya. Hek Pek Mo-ko melarikan diri dan Hong-moi melakukan pengejaran. Karena khawatir kalau-kalau Hong-moi terjebak, maka Yauw Tek mengejarnya. Setelah menanti beberapa lama dan mereka belum kembali, aku lalu ikut mengejar. Akan tetapi aku tidak dapat menemukan mereka dan sampai sekarang aku berpisah dari mereka. Nah, begitulah, Giok-ko."
"Hemm, Hong-moi memang terlalu berani sehingga terkadang kurang perhitungan dan hal ini dapat membahayakan dirinya sendiri. Aku akan mencarinya...... hemm, mari kita pergi mencarinya, Ceng-moi. Aku khawatir kalau ia mengalami hal yang membahayakan."
"Jangan khawatir, Giok-ko. Aku yakin bahwa dengan adanya Yauw-twako, ia akan selamat. Yauw-twako benar-benar lihai, Giok-ko, dan selain dari itu...... mereka berdua...... agaknya kalau aku tidak salah kira, mereka berdua itu saling mencinta."
Cun Giok mengangguk-angguk. "Hemm, begitukah" syukurlah kalau ia menemukan seorang pemuda yang tepat untuk menjadi calon suaminya."
"Kalau engkau merasa khawatir, mari kita mencari mereka, Giok-ko. Ketika itu, Hong-moi pergi mengejar Hek Pek Mo-ko, dan kedua iblis itu melarikan diri, kukira mereka itu pasti kembali ke tempat tinggal mereka yaitu di sebelah Utara pegunungan ini. Tentu Hong-moi dan Yauw-twako juga mengejar ke arah sana."
"Ceng-moi, aku sungguh gembira sekali mendengar bahwa Li Hong adalah adik misanku sendiri. Dengan demikian aku harap ia tidak akan marah lagi kepadaku."
"Tidak, Giok-ko. Ia juga gembira sekali mendengar bahwa engkau adalah kakak misannya. Ia tidak marah kepadamu, engkau tidak bersalah apa-apa, Giok-ko. O ya, engkau belum menceritakan tentang pengalamanmu sejak berpisah dari kami. Kemana saja engkau pergi, Giok-ko?"
Wajah Cun Giok berubah muram karena dia teringat akan peristiwa yang menyebabkan kematian tunangannya. Maka, beberapa lamanya dia tidak mampu memberi jawaban.
"Giok-ko, maafkan aku kalau pertanyaanku tadi mengganggumu. Kalau engkau tidak ingin menceritakan, sudahlah, aku tarik kembali pertanyaanku tadi."
Cun Giok menghela napas beberapa kali, menenangkan perasaannya baru menjawab. "Aku yang minta maaf, Ceng-moi. Apa yang kualami memang membuat hatiku menjadi menyesal dan sedih sekali karena aku telah berbuat dosa yang besar sekali kepada tunanganku Siok Eng. Dosaku yang tak dapat diampuni lagi karena aku menyebabkan tunanganku itu, ayahnya, juga encinya dan kakak iparnya, mengalami kematian yang mengenaskan......" Cun Giok menundukkan mukanya karena merasa betapa kedua matanya menjadi basah oleh air mata.
"Aih, Giok-ko?"! Engkau mengejutkan hatiku! Mereka tewas" Mengapa, Giok-ko" Engkau harus ceritakan padaku agar hatiku tidak merasa penasaran."
Cun Giok lalu dengan nada sedih menceritakan tentang terbasminya keluarga Siok Eng oleh putera Kim Bayan yang bernama Kim Magu dan temannya yang bernama Kui Con, di Cin-yang. Betapa mereka itu tewas gara-gara dua orang pemuda anak pejabat itu tergila"gila kepada Siok Eng dan Siok Hwa namun ditolak sehingga mereka lalu menggunakan paksaan, menculik dua orang wanita itu dan membunuh Siok Kan dan Chao Kung. Kemudian tunangannya, Siok Eng dan encinya itu pun tewas di tangan kedua orang muda itu.
"Aih, sungguh keterlaluan dua orang pemuda itu. Giok-ko, aku ikut merasa berduka dengan malapetaka yang menimpa keluarga tunanganmu! Betapa malang nasibmu, Giok-ko......" kata Ceng Ceng dan tiba-tiba ia teringat akan peristiwa yang ia alami di Cin-yang dahulu. "Ah, aku teringat sekarang akan dua orang pemuda yang kauceritakan itu, Giok-ko! Dan aku pun teringat akan keluarga Siok yang mereka ganggu! Ah, aku pernah bertemu dengan tunanganmu itu, encinya, kakak iparnya, dan ayahnya!"
"Benarkah itu, Ceng-moi?" tanya Cun Giok. "Aku pernah mendengar akan peristiwa itu dan sudah menduga bahwa engkaulah orangnya yang menolong mereka."
"Sama sekali tidak kusangka bahwa Enci Siok Eng adalah tunanganmu, Giok-ko. Aku sudah memberi hajaran cukup keras kepada dua orang pemuda she Kim dan she Kui itu, dan aku menitipkan keluarga Siok kepada Kepada Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam yang terkenal adil. Yo-thaijin berjanji akan melindungi keluarga itu. Bagaimana dua orang pemuda jahat itu dapat mengganggu lagi?"
"Ceng-moi, Yo-thaijin itu juga dibunuh oleh Panglima Kim Bayan sebelum peristiwa yang menimpa keluarga Siok terjadi."
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. "Ah, sungguh jahat sekali Kim Bayan, bahkan puteranya juga amat jahat. Kiranya setelah kuberi hajaran kepada mereka, masih juga belum jera."
"Akan tetapi sekarang mereka takkan dapat melakukan kejahatan lagi, Ceng-moi."
"Engkau telah membunuh mereka, Giok-ko?"
Cun Giok menggelengkan kepalanya, "Tidak, Ceng-moi. Aku telah banyak belajar darimu dan aku tidak mau membunuh orang yang tidak dapat melawan. Akan tetapi aku telah membuat mereka menjadi orang-orang yang tidak mungkin dapat melakukan kekejaman mengganggu orang lagi."
Tiba-tiba Ceng Ceng mengeluarkan seruan tertahan, dan ketika Cun Giok memandang kepadanya, gadis itu memejamkan kedua matanya dan sepasang alisnya berkerut.
"Ceng-moi, ada apakah......?"
Ceng Ceng sejenak tidak menjawab. Ia sedang melawan dan mendorong keluar perasaannya sendiri yang tiba-tiba muncul. Tadi ia merasa betapa diam-diam ada kegirangan menyelinap dalam hatinya mendengar bahwa Siok Eng, tunangan Cun Giok, telah tiada! Ia merasa betapa jahatnya perasaan ini sehingga untuk melawannya, ia mengeluarkan seruan dan memejamkan kedua matanya. Ia merasa betapa jahatnya perasaan itu, bergirang mendengar tunangan Cun Giok tewas! Akhirnya ia dapat menenangkan hatinya, membuka kedua matanya dan menghela napas panjang. Kedua matanya basah dan wajahnya berubah kemerahan. Ketika ia melihat betapa Cun Giok memandang kepadanya dengan heran dan khawatir, ia berkata lirih.
"Giok-ko, sudahlah, tidak baik mengenang kembali peristiwa lalu yang hanya mendatangkan perasaan duka dan mungkin akan mendatangkan perasaan dendam dan benci yang akan meracuni hati kita sendiri. Lebih baik kita sekarang melanjutkan perjalanan mencari Adik Li Hong, dan menyelidiki tentang harta karun itu. Aku merasa yakin bahwa harta karun itu pasti berada di pegunungan ini, entah di mana dan entah siapa yang kini menguasainya."
Cun Giok menghela napas panjang. "Engkau benar sekali, Ceng-moi. Mari kita lanjutkan perjalanan."
Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan mereka, menuju ke arah utara untuk mencari Li Hong.
Yauw Tek duduk di atas akar pohon yang tersembul memanjang dari permukaan tanah di luar hutan kecil dan Li Hong duduk di sebelahnya. Mereka berada di sebuah lereng yang tinggi dan pemandangan indah terbentang di bawah, depan mereka. Sejenak Yauw Tek mengamati wajah Li Hong, wajah yang jelita dan melihat rambut halus melingkar di leher yang putih halus itu, dia tidak dapat menahan gelora hatinya dan membelai rambut halus di leher gadis itu. Li Hong menggelinjang dan menoleh kepada pemuda itu, tersenyum senang melihat betapa pandang mata pemuda itu penuh kasih sayang kepadanya.
"Hong-moi, engkau sungguh cantik jelita?"!" bisik Yauw Tek dan Li Hong merasa senang bukan main.
Selama ini, sejak peristiwa di dalam gubuk di mana karena pengaruh obat perangsang Li Hong menyerahkan diri kepada Yauw Tek, hubungan antara mereka berdua menjadi semakin mesra dan akrab. Yauw Tek selalu memperlihatkan sikap yang amat menyenangkan hatinya. Pemuda itu amat mencintanya, juga menghormatinya, sikapnya selalu sopan sehingga ia pun semakin jatuh cinta. Mendapat pujian itu, yang seringkali diucapkan Yauw Tek dengan pandang mata penuh kagum dan kasih sayang, Li Hong tersenyum dan di lain saat ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu yang merangkulnya.
11.2. Kau...... kau...... seorang Pangeran"
"Koko, katakan bahwa engkau masih mencintaku," bisiknya.
"Aih, Hong-moi, mengapa engkau berkata demikian" Kata masih mencinta itu menunjukkan seolah cintaku kepadamu belum hilang dan kelak akan hilang! Tidak, Hong-moi, aku bukan masih mencintamu, melainkan selama hidupku akan mencintamu, bahkan setelah mati kelak aku ingin selalu bersamamu."
Mendengar ini, Li Hong menghela napas dengan hati merasa bahagia sekali dan ia menyandarkan kepala di dada yang bidang itu dan memejamkan matanya. Bibirnya tersenyum manis.
"Koko, aku ingin engkau ikut bersamaku ke Pulau Ular menemui Ayah dan kedua orang Ibuku dan di sana engkau dapat melamarku dengan resmi. Kita langsungkan pernikahan di sana."
"Moi-moi, apakah engkau sungguh mencintaku?"
Mendengar pertanyaan ini, Li Hong menegakkan diri dan memandang wajah pemuda itu dengan heran dan penasaran. "Koko, kenapa engkau bertanya begitu" Bukankah aku telah menjadi isterimu walaupun hal itu belum diresmikan orang tuaku" Tentu saja aku mencintamu!"
"Engkau akan tetap mencintaku walaupun andaikata aku orang macam apa, bangsa apa, golongan apa dan siapapun juga orang tuaku?"
"Aneh-aneh pertanyaanmu ini, Koko. Bukankah orang tuamu telah tiada?"
"Jawab dulu pertanyaanku tadi, Moi-moi. Jawabanmu amat penting bagiku."
"Baiklah, Koko. Aku tetap mencintamu walaupun engkau bangsa apa pun dan siapa pun orang tuamu. Aku telah menjadi isterimu dan selama hidupku aku akan tetap menjadi isterimu yang dicinta dan mencinta. Hanya kematian yang dapat memisahkan kita!" jawab Li Hong dengan tegas.
"Hong-moi......!" Yauw Tek merangkulnya dan mencium dahi gadis itu dengan mesra. "Bahagia sekali hatiku mendengar jawabanmu, sungguh tidak keliru aku memilihmu menjadi kekasih dan calon isteriku!"
"Akan tetapi, mengapa engkau bertanya seperti itu, Koko?"
"Ini ada hubungannya dengan permintaanmu tadi, Hong-moi. Permintaanmu agar aku ikut denganmu ke Pulau Ular dan melamarmu kepada orang tuamu."
"Akan tetapi, bukankah hal itu sudah semestinya, Koko" Bukankah kita menghendaki menjadi suami isteri yang resmi, diresmikan orang tuaku?"
"Tentu saja, Moi-moi, aku ingin hidup denganmu sebagai suami isteri yang diresmikan orang tua. Akan tetapi tidak sekarang."
"Koko, apakah engkau ingin mencari harta karun itu lebih dulu?"
"Bukan hanya itu, Hong-moi." Pemuda itu menghela napas panjang lalu melanjutkan. "Hong-moi, aku minta maaf kepadamu, sesungguhnya aku berbohong ketika mengatakan bahwa orang tuaku telah meninggal dunia. Sebenarnya, Ayah Ibuku masih hidup. Karena itu, urusan pernikahan, untuk meminangmu maksudku, harus dilakukan oleh orang tuaku kepada orang tuamu."
"Ah, bagus sekali! Aku ikut girang bahwa ayah ibumu masih ada, Koko. Siapakah mereka dan di mana mereka tinggal" Mari kita menghadap mereka, Koko!"
Yauw Tek menggelengkan kepalanya. "Sekarang belum dapat aku menceritakan, Moi-moi. Bersabarlah, kelak engkau pasti akan mengetahui dan yakinlah, pada suatu hari orang tuaku pasti akan mengajukan pinangan kepada orang tuamu di Pulau Ular untuk menikahkan kita secara resmi."
"Akan tetapi, Koko......"
Yauw Tek mendekap muka Li Hong dan menciumnya. "Bersabarlah, Hong-moi. Engkau cinta dan percaya padaku, bukan" Aku berjanji, setelah selesai urusanku di sini, engkau pasti akan kuajak menemui orang tuaku!"
Li Hong terpaksa mengangguk walaupun hatinya merasa penasaran dan heran sekali. Ia tidak ingin memaksa dan, membikin kekasihnya menjadi tidak senang.
Tiba-tiba Li Hong melompat dari pangkuan Yauw Tek, tangan kirinya meraih ke kantung senjata rahasianya dan cepat ia mengambil beberapa batang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang menjadi senjata rahasianya yang ampuh. Akan tetapi Yauw Tek menangkap lengannya.
"Tenang, Moi-moi. Jangan sampai salah menyerang bukan musuh!"
Li Hong memandang ke arah jajaran pohon besar darimana ia tadi mendengar gerakan orang. Muncul lima orang yang memiliki gerakan ringan, berpakaian seperti petani biasa namun sikap mereka gagah berwibawa. Lima orang itu dengan gesit berlompatan ke depan Yauw Tek dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu dengan sikap hormat sekali. Yauw Tek memandang tajam dan mengerutkan sepasang alisnya.
"Hemm, ada kepentingan apa kalian menghadap tanpa dipanggil?" tanyanya.
Seorang di antara lima orang itu, yang bertubuh tinggi kurus, berusia sekitar limapuluh tahun, berkata setelah menempelkan dahi ke atas tanah.
"Mohon beribu ampun, Pangeran. Karena ada berita penting sekali, maka hamba berlima memberanikan diri menghadap tanpa dipanggil. Ampunkan kalau kami mengganggu."
"Cepat katakan! Ada berita penting apakah?"
"Ada berita bahwa harta karun telah ditemukan oleh Panglima Kim Bayan dan pasukannya. Kini mereka sedang bergerak membawa harta karun turun gunung, di sebelah selatan lereng sana." Orang itu menunjuk ke arah lereng tak jauh dari situ.
"Hemm, bayangi dan selidiki, kerahkan pasukan untuk membayangi, jangan lepaskan mereka."
"Baik, Pangeran. Hamba mohon pamit."
"Pergilah!" Lima orang itu melompat dan lenyap di antara pohon-pohon dalam hutan.
Li Hong masih berdiri terbelalak. Matanya terbuka lebar-lebar menatap wajah Yauw Tek dan mulutnya ternganga. Ia seolah telah berubah menjadi patung saking kaget dan herannya. Ia merasa seperti bermimpi! Yauw Tek seorang pangeran"
"Hong-moi......!" Yauw Tek mendekat dan merangkulnya.
Li Hong melangkah mundur. "Kau...... kau...... seorang Pangeran" Akan tetapi mengapa......"
Yauw Tek maju, menangkap tangan Li Hong dan menariknya sehingga gadis itu kembali jatuh ke dalam pelukannya. "Hong-moi, ingat ucapanmu tadi. Engkau mencintaku dan akan selalu mencintaku tak peduli aku ini orang apa?"
Li Hong merasa lemas dan membiarkan dirinya dipeluk. "Akan tetapi, kalau engkau seorang pangeran, mengapa engkau menyamar sebagai Yauw Tek" Siapakah engkau" Dan mengapa seorang pangeran berada di sini dan...... dan...... memperisteri aku......?"
"Mari kita duduk lagi, Hong-moi dan akan kuceritakan semua tentang diriku. Percayalah, aku tidak akan membohongimu, aku cinta padamu, Hong-moi."
Li Hong menjadi tenang kembali, walaupun jantungnya masih berdebar penuh keheranan dan ketegangan. Ia duduk di atas akar pohon dan Yauw Tek duduk di depannya.
"Dengarlah pengakuanku, Hong-moi dan kuharap engkau tidak akan menyesal mempunyai seorang calon suami seperti aku yang telah membohongimu. Aku adalah Pangeran Youtechin, sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat, terutama dari para Pendeta Lhama di Tibet. Belasan tahun aku bahkan tinggal di sana. Ayahku adalah Pangeran Banagan, masih adik tiri dari mendiang Kaisar Kubilai Khan. Ketika aku setahun yang lalu pulang ke kota raja, dan mengetahui bahwa aku telah mempelajari berbagai ilmu, Ayah, menugaskan aku untuk mengabdi Kerajaan Goan kami, dengan persetujuan Kaisar, bahkan aku mendapatkan tanda kekuasaan dari Kaisar. Aku bertugas mengamankan negara dan mengamati para pembesar kami yang menyeleweng. Aku telah melaporkan banyak pembesar yang korup dan jahat dan dari istana telah dikeluarkan perintah untuk menangkapi dan menghukum mereka. Karena itu, diam-diam aku dimusuhi banyak pembesar dan panglima yang menganggap aku sebagai ancaman bagi kedudukan mereka. Diam-diam mereka itu berusaha untuk membunuh atau menyingkirkan aku."
"Karena itukah engkau dulu dikepung dan dikeroyok di perairan Pulau Ular?"
"Ya, itu satu di antara usaha mereka membunuhku."
"Akan tetapi mengapa engkau berperahu dekat Pulau Ular dan ketika kami tolong, engkau mengaku bernama Yauw Tek?"
"Dalam perjalananku memang aku menyamar sebagai seorang pemuda Han bernama Yauw Tek. Terus terang saja, Hong-moi, aku mendengar berita tentang harta karun peninggalan Kerajaan Sung maka aku mewakili pemerintah untuk menyelidiki dan mendapatkan harta karun itu. Aku sudah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa Panglima Kim Bayan yang ditugaskan pemerintah, berniat untuk menguasai harta karun untuk dirinya sendiri. Setelah mendengar bahwa asal mula peta harta karun itu menjadi millk Nona Liu Ceng Ceng, maka aku mengambil kesimpulan bahwa sumber pertama yang akan dapat memberi keterangan jelas tentang harta karun itu adalah Nona Liu. Para pengikutku yang melakukan penyelidikan memberitahu bahwa Nona Liu berada di Pulau Ular, maka aku lalu menggunakan perahu menyusul ke sana. Akan tetapi setelah dekat, aku dikepung pasukan dan dikeroyok sehingga terluka. Untung ada keluargamu yang menolongku, Hong-moi. Ketika aku mendengar bahwa Nona Liu dan engkau akan menyelidiki ke Thai-san mencari harta karun, aku lalu menawarkan diri membantu dan kalian menerimaku. Itulah kesempatan baik bagiku untuk mendapatkan harta karun itu agar dapat kuserahkan kepada pemerintahan kami."
"Akan tetapi...... Ko...... eh, Pangeran......"
"Hush, Hong-moi. Jangan sebut aku pangeran. Sekarang ini aku masih tetap Yauw Tek bagimu. Kelak kalau engkau sudah menjadi isteriku dan tinggal di istana Ayah, boleh saja aku disebut Pangeran. Nah, engkau tadi hendak berkata apa, Hong-moi?"
"Koko, harta karun itu adalah peninggalan Kerajaan Sung, mengapa engkau hendak menyerahkannya kepada Kerajaan Mongol" Bukankah yang berhak adalah Kerajaan Sung atau pendukungnya?"
"Hong-moi, peraturan dalam perang, harta benda yang kalah menjadi hak milik yang menang, maka harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milik Kerajaan Mongol. Kerajaan Sung sudah terbasmi dan tidak ada lagi, bukan" Dan jangan lupa, aku adalah seorang Pangeran Mongol, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membela Kerajaan Mongol. Aku tidak menyalahkan Nona Liu Ceng Ceng dan teman-temannya kalau hendak menyerahkan harta itu kepada para pejuang, akan tetapi sekarang ini sudah tidak ada perang sehingga yang kalian sebut pejuang itu bukan lain adalah pemberontak. Apakah kalian menghendaki perang lagi yang selalu menyengsarakan rakyat jelata?"
"Ah, aku tidak tahu, Koko. Aku tidak mengerti soal perang dan sebetulnya aku tidak begitu peduli. Aku hanya terbawa oleh Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok."
"Akan tetapi sekarang engkau adalah keluargaku, Hong-moi, keluargaku terdekat. Engkau isteriku walaupun belum diresmikan orang tua kita. Kalau urusan harta karun ini sudah selesai, orang tuaku pasti akan mengirim utusan untuk meminangmu dari orang tuamu di Pulau Ular, dan kita menikah dengan resmi. Maka, sekarang juga engkau harus mengambil keputusan, Hong-moi, engkau akan membantu aku, atau membantu orang lain?" Setelah berkata demikian, Yauw Tek atau Pangeran Youtechin itu merangkul Li Hong. Gadis itu balas merangkul.
"Sudah tentu aku membantumu, Koko, akan tetapi aku minta dengan sangat, jangan engkau memusuhi dan mencelakakan kakak angkatku Enci Ceng Ceng dan kakak misanku Pouw Cun Giok."
"Aku berjanji tidak akan memusuhi mereka, Hong-moi, tentu saja kalau mereka yang memusuhi aku, aku harus membela diri. Bukankah engkau juga akan membela aku kalau aku dimusuhi orang?"
Li Hong hanya mengangguk, namun hatinya merasa risau sekali.
"Sekarang, mari kita hadang rombongan Kim Bayan yang katanya telah menemukan harta karun itu! Kalau ternyata dia hendak menguasai sendiri harta itu, akan kuhukum dia!"
Mereka lalu cepat meninggalkan tempat itu dan menuju ke arah yang ditunjuk anak buah pangeran itu yang sebetulnya terdiri dari jagoan-jagoan istana yang menyamar.
"Y" Di sebuah antara bukit-bukit yang tersebar banyak sekali di Pegunungan Thai-san, Kim Bayan mengumpulkan para perwira pembantunya yang belasan orang banyaknya, dan pasukannya yang tidak kurang dari duaratus orang jumlahnya. Dengan para pembantunya dia mengadakan perundingan.
"Siasat kita untuk mengadu domba di Thai-san-pai telah gagal. Dan agaknya memang Thai-san-pai tidak mencuri harta karun itu," kata Kim Bayan yang diam-diam mengintai ketika semua orang berkumpul di depan pintu gerbang Thai-san-pai. "Kita harus mencari siasat yang lebih baik untuk memancing keluar pencuri harta karun itu sehingga kita dapat merampasnya."
Setelah berunding sampai lama akhirnya mereka menemukan siasat yang mereka anggap baik sekali untuk memancing keluar pencuri aseli harta karun yang diperebutkan itu.
"Kita siarkan bahwa kita telah menemukan harta karun itu dan kita bawa turun gunung. Tentu mereka akan berbondong datang dan berusaha merampasnya dari kita. Kita tinggal melihat saja, kalau ada mereka yang tidak datang mencoba merampas harta karun, berarti di antara mereka itulah pencurinya. Kalau harta karun sudah ada padanya, tentu dia tidak percaya akan berita itu dan tidak akan mengganggu kita," kata Kim Bayan.
Setelah semua setuju dan pasukan maklum akan siasat yang dimainkan pemimpin mereka, mulailah mereka menyiarkan kabar bahwa harta karun sudah ditemukan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin Panglima Kim Bayan dan bahwa pasukan akan membawa harta karun itu turun gunung!
Kalau berita bahwa harta berada di Thai-san-pai cukup menimbulkan kekacauan, berita kedua ini lebih menggemparkan lagi. Berita pertama hanya merupakan dugaan bahwa Thai-san-pai pencurinya, tanpa adanya bukti. Akan tetapi kini Panglima Kim Bayan telah menemukan harta karun dan pasukannya sedang membawa harta karun itu turun gunung! Berarti sekarang ada buktinya dan tentu saja semua orang yang mencari harta karun itu menjadi gempar dan berbondong-bondong mereka hendak melihat sendiri dan kalau mungkin merampasnya!
Setelah mempersiapkan segalanya, pada suatu pagi, rombongan pasukan yang dipimpin Panglima Kim Bayan menuruni gunung mengawal sebuah gerobak dorong di mana terdapat dua buah peti besar. Melihat betapa beberapa orang perajurit mendorong kereta itu dengan sukar, bahkan ada yang membantu dengan menariknya dari depan, maka dapat diketahui bahwa dua buah peti hitam itu tentu berat sekali.
Klm Bayan dan dua belas orang perwira pembantunya menunggang kuda berada di depan, diiringkan dua losin perajurit berkuda. Di bagian terbelakang ada dua losin perajurit berkuda lagi yang dipimpin seorang perwira. Puluhan orang perajurit yang lain berjalan kaki. Kereta atau gerobak dorong itu berada di tengah, dijaga ketat!
Dalam perjalanan menuruni gunung yang hanya dapat dilakukan secara lambat ini, rombongan itu beberapa kali mendapat gangguan mereka yang mencoba untuk merampas peti. Akan tetapi pengganggu itu dengan mudah dipukul mundur oleh Kim Bayan dan para perwiranya, ada yang tewas dan yang lainnya melarikan diri.
Diam-diam Kim Bayan mencatat mereka yang telah berusaha merampas peti sebagai orang-orang yang sama sekali tidak mencuri harta karun. Mereka yang telah mencuri dan memiliki harta karun itu pasti tidak akan mau mencoba merebut peti itu dan dapat menduga bahwa peti itu kosong. Hanya yang belum mendapatkan harta karun sajalah yang akan mencoba untuk merebut peti yang dibawanya turun gunung. Dia tinggal memperhatikan dan mencatat saja siapa-siapa yang tidak muncul untuk merampas peti. Merekalah atau seorang di antara mereka yang menjadi pencurinya!
Makin ke bawah, semakin banyak orang yang berusaha merampas peti-peti di atas gerobak itu. Bahkan mulai bermunculan para datuk dan perkumpulan besar.
Yang pertama muncul adalah Ang-tung Kai-pang yang dipimpin sendiri oleh Kui-tung Sin-kai. Mereka terdiri dari sekitar tujuhpuluh orang dan mereka menghadang di bagian lereng yang terbuka dan landai, merupakan padang rumput yang luas. Kedua rombongan itu berhadapan dan Panglima Kim Bayan membentak nyaring.
"Hei! Kalian ini rombongan pengemis mau apa menghadang pasukan kami?"
Kui-tung Sin-kai melangkah maju menghadapi Kim Bayan dan dia berkata dengan suara tidak kalah nyaringnya. "Panglima Kim Bayan, tinggalkan peti harta karun itu, baru engkau dan pasukanmu boleh melanjutkan perjalanan turun gunung!"
"Setan busuk! Pengemis kotor! Berani engkau hendak merampas harta milik kerajaan?"
"Bukan kami yang merampok, melainkan engkau, Panglima Kim! Harta karun itu yang berhak adalah keluarga Liu, akan tetapi engkau telah merampoknya. Kami hanya ingin mengembalikan kepada yang berhak!"
"Ho-ho, keparat! Minggirlah, pengemis, jembel busuk!" Kim Bayan melompat turun, diikuti dua belas orang perwira pembantunya dan mereka telah mencabut golok.
Biarpun dari sikap Kui-tung Sin-kai itu Kim Bayan tahu bahwa harta karun itu tidak berada pada Ang-tung Kai-pang, namun dia merasa perlu untuk membasmi perkumpulan pengemis yang bersikap menentang Kerajaan Mongol itu. Kim Bayan sudah melompat dan menyerang Kui-tung Sin-kai dengan goloknya. Ketua Ang-tung Kai-pang ini pun menggerakkan tongkat merahnya, menangkis dan balas menyerang. Dua belas orang perwira pembantu Kim Bayan juga disambut para pimpinan pembantu dari Ang-tung Kai-pang. Terjadilah pertempuran, apalagi ketika anak buah Ang-tung Kai-pang juga bertempur melawan para perajurit anak buah Kim Bayan.
Akan tetapi, ilmu silat Kim Bayan masih terlalu tangguh bagi Kui-tung Sin-kai sehingga dia mulai terdesak oleh sinar golok yang bergulung-gulung. Juga para pembantunya tidak kuat melawan para perwira. Apalagi anak buah Ang-tung Kai-pang yang kalah banyak jumlahnya, sedangkan para perajurit yang menjadi anak buah Kim Bayan itu merupakan perajurit pilihan yang tangguh dari balatentara Mongol. Banyak anggauta Ang-tung Kai-pang yang roboh tewas atau terluka.
Ketika Kui-tung Sin-kai sendiri mengalami terluka pada pundaknya, ketua ini maklum bahwa kalau dilanjutkan pertempuran itu, pasti pihaknya kalah dan akan jatuh lebih banyak korban lagi. Maka, dengan hati menyesal, Kui-tung Sin-kai lalu melompat ke belakang dan memberi isyarat kepada para pembantu dan anak buahnya untuk mundur dan melarikan diri.
Sambil mengeluarkan sorak kemenangan dan membantu kawan-kawan yang terluka, pasukan yang dipimpin Kim Bayan itu melanjutkan perjalanan. Setelah mereka pergi, barulah para anggauta Ang-tung Kai-pang muncul untuk merawat teman yang terluka dan mengurus teman yang tewas.
11.3. Panglima Mongol Korban Siasat Sendiri
Penghadangan selanjutnya dilakukan oleh rombongan Thai-san-pai yang lebih kuat dan merupakan lawan berat bagi Kim Bayan dan pasukannya. Rombongan murid Thai-san-pai itu dipimpin sendiri oleh Thai-san Sianjin Thio Kong, dibantu lima orang sutenya dan memimpin anak buah sebanyak delapanpuluh orang lebih!
"Hemm, agaknya Thai-san-pai yang menghadang perjalanan pasukan Kerajaan! Mau apa kalian?" bentak Kim Bayan.
"Kim Bayan manusia licik! Para murid kami yang menyelidiki melaporkan bahwa engkaulah yang menyebar fitnah, mengatakan bahwa kami Thai-san-pai yang mencuri harta karun Kerajaan Sung. Tidak tahunya engkau sendiri yang diam-diam hendak melarikan harta karun itu. Tinggalkan harta karun itu atau terpaksa kami menggunakan kekerasan!"
"Heh, Ketua Thai-san-pai! Apakah kalian hendak memberontak terhadap Kerajaan Goan (Mongol)?"
"Tidak ada yang memberontak! Akan tetapi engkau yang mencuri harta karun yang bukan hakmu. Tinggalkan harta karun itu dan pergilah dari wilayah kami!"
Kedua pihak bertempur dan sekali ini Kim Bayan harus mengakui bahwa dia mendapat lawan yang amat kuat. Dia sendiri bertanding mati-matian melawan Thai-san Sianjin. Akan tetapi permainan golok besarnya sukar dapat menembus sepasang pedang yang dimainkan oleh Ketua Thai-san-pai dengan cepat dan kuat itu. Sebaliknya, dia mulai terdesak oleh lawan. Demikian pula, permainan pedang lima orang sute dari Ketua Thai-san-pai tidak tertandingi duabelas orang perwira dan dua orang di antara mereka bahkan telah terluka. Biarpun jumlah perajurit lebih banyak daripada jumlah murid Thai-san-pai, namun murid-murid itu telah memiliki tingkat ilmu silat yang cukup tinggi sehingga pertempuran di antara kedua pihak itu berlangsung seru.
Selagi Kim Bayan merasa khawatir karena pihaknya terdesak dan dia akan membuka rahasia bahwa kedua buah peti itu kosong sehingga tidak ada yang perlu direbutkan dan dipertentangkan untuk menghemikan pertempuran, tiba-tiba muncul Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko.
Tanpa banyak cakap, kedua orang ini sudah melompat dekat gerobak. Mereka hendak merampas dua buah peti, akan tetapi enam orang perajurit menghadangnya dengan tombak di tangan. Hek Pek Mo-ko mengeluarkan suara tawa mengejek dan mengamuk. Kasihan para perajurit itu. Tentu saja mereka bukan lawan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang amat lihai dan sebentar saja mereka berenam roboh. Akan tetapi selagi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko sambil tertawa hendak merampas peti, tiba-tiba muncul Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin!
"Ha-ha-ha, Iblis Hitam Putih tak tahu malu! Jangan seenaknya saja mengambil harta karun!" bentak Huo Lo-sian sambil tertawa.
Melihat munculnya Huo Lo-sian, Pek Mo-ko marah sekali dan cepat dia menyerang dengan dorongan telapak tangannya yang seputih kapur. Uap putih yang amat kuat menyambar ke arah Huo Lo-sian. Akan tetapi majikan Bukit Merah ini tidak gentar dan menyambut dengan dorongan tangannya pula.
"Desss......" Kedua orang datuk ini terpental ke belakang. Ternyata tenaga sakti mereka berimbang dan Huo Lo-sian yang juga sudah tahu betapa lihainya Pek Mo-ko, segera mencabut senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji. Pek Mo-ko juga telah mencabut pedangnya dan dua orang datuk itu segera saling serang dengan dahsyatnya.
Pertemuan golok dan pedang menimbulkan suara berdentang nyaring diikuti percikan bunga api. Pek Mo-ko menyelingi serangan pedangnya dengan dorongan telapak tangan kiri yang seputih kapur. Kalau telapak tangan itu dipukulkan, maka ada semacam uap putih meluncur ke arah lawan. Itulah Ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang menjadi andalan Pek Mo-ko. Akan tetapi lawannya kini adalah Huo Lo-sian yang berilmu tinggi maka setiap kali Pek Mo-ko mengirim serangan Pek-tok-ciang, Huo Lo-sian menangkis dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sehingga setiap kali dua tenaga sakti ini bertemu, kedua orang datuk itu terdorong mundur tanpa menderita luka. Mereka kini berusaha mati-matian untuk mengalahkan lawan dan pertandingan berlangsung seru dan mati-matian.
Orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu kemurkaan mengejar harta benda, beranggapan bahwa hanya harta benda atau uang yang akan dapat membahagiakan hidupnya, bagaikan orang buta. Mereka sama sekali tidak merasa bahwa mereka sudah dicengkeram daya rendah harta benda dan mau melakukan apa saja, halal maupun haram, untuk mendapatkannya. Padahal, harta benda yang diperebutkan secara haram itu karena bukan hak miliknya sehingga dapat dikatakan merampas atau merampok, hanya akan mendatangkan kesengsaraan belaka kepada mereka.
Yang kalah dan mati dalam perebutan itu jelas tidak akan dapat menikmati harta benda, demikian pula kalau dia sampai terluka parah dan menjadi cacat. Yang menang dan mendapatkan harta benda itu pun akan selalu tersiksa karena selalu terancam orang lain yang hendak merampas benda itu atau terancam oleh mereka yang hendak membalas dendam atas warganya yang telah dikalahkan, dilukai atau dibunuh dalam perebutan harta benda itu. Orang-orang yang menjadi hamba nafsu seperti ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, baik melalui penipuan, pencurian, perampokan, korupsi dan sebagainya lagi.
Berbeda dengan orang yang menjadi majikan dari nafsunya, mengatur dan mengendalikannya, tidak akan membuta dalam mencari uang, karena nafsunya terkendali sehingga selalu mencarinya dengan cara yang benar, cara yang halal, dapat membedakan antara mencari dan mencuri atau menipu. Mencari uang dengan jalan yang benar merupakan kewajiban bagi manusia karena memang hidup ini tidak mungkin tanpa menggunakan uang. Akan tetapi bukan berarti dia harus mencari uang dengan jalan mencuri atau merampas hak orang lain atau menipu.
Sementara Pek Mo-ko bertanding mati-matian melawan Huo Lo-sian, Hek Mo-ko berhadapan dengan Bu-tek Sin-liong. Dia sebetulnya merasa gentar menghadapi datuk besar majikan Bukit Merak ini, akan tetapi karena mereka sudah berhadapan, terpaksa dia melawan dan menyerang dengan golok di tangan kanan dan dengan pukulan Hek-tok-ciang di tangan kiri. Bu-tek Sin-liong adalah seorang yang paling suka bertanding mengadu ilmu. Lebih lihai lawannya, dia lebih gembira melayaninya, maka dengan gembira dia lalu menerjang Hek Mo-ko dan keduanya sudah saling serang dengan dahsyatnya.
Pertempuran di tempat itu menjadi semakin seru. Pihak Thai-san-pai mendesak pihak pasukan yang dipimpin Kim Bayan sedangkan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko terdesak oleh Bu-tek Sin-liong dan Huo Lo-sian. Adapun Cu Ai Yin yang tadinya hanya menonton saja, ketika teringat kepada Pouw Cun Giok dan keinginannya untuk menyerahkan harta karun itu kepada pemuda itu, lalu melompat dengan gerakan ringan mendekati dua buah peti yang berada di atas kereta. Akan tetapi sebelum ia sempat menyentuh peti harta karun itu, selosin orang perajurit yang bertugas menjaga harta karun itu, segera menyambutnya dengan pengeroyokan.
Selosin orang perajurit ini merupakan perajurit pilihan yang memiliki kepandaian ilmu silat lumayan maka mereka ditugaskan menjaga dan mempertahankan dua buah peti itu. Ai Yin mengamuk dengan siang-kiam (sepasang pedang) pendek dengan gerakan yang amat cepat sehingga yang tampak hanya gulungan sinar sepasang pedangnya, membuat selosin orang perajurit itu terkejut dan saling bantu untuk menyelamatkan diri dari sambaran sinar pedang gadis perkasa itu.
Baru saja Ai Yin merobohkan tiga orang perajurit yang mengeroyoknya, tiba-tiba seorang pemuda tinggi besar muncul dan menangkis pedang Ai Yin yang menyambar-nyambar.
"Tranggg......!" Ai Yin terkejut karena tangkisan itu cukup kuat dan ketika ia memandang, ia menjadi marah sekali karena yang menangkisnya itu adalah Kong Sek, murid ayahnya atau suhengnya sendiri.
Akan tetapi Kong Sek tidak menjawab. Cintanya terhadap Ai Yin , kini memudar setelah dia mendapat kenyataan betapa Ai Yin lebih condong membela Pouw Cun Giok dan bahkan memusuhinya. Dia sudah melepaskan harapannya untuk berjodoh dengan gadis itu. Maka, tanpa bicara dia lalu menyerang dengan pedangnya, membantu perajurit yang mengeroyok Ai Yin.
Ternyata Kong Sek tidak datang seorang diri. Seperti telah diketahui, pemuda ini telah menjadi sekutu Cui-beng Kui-ong dan kini dia hendak menggunakan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli menginginkan harta karun itu untuk membantunya membalas dendamnya terhadap Pouw Cun Giok! Maka, kini pun dia tidak muncul sendiri. Ketika dia membantu para perajurit menahan Ai Yin yang hendak mengambil atau merampas harta karun, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli cepat melompat dekat kereta atau gerobak yang memuat dua buah peti hitam.
Empat orang perajurit menyambut mereka akan tetapi sekali kakek dan nenek iblis itu menggerakkan tangannya, empat orang perajurit itu memekik dan tubuh mereka terlempar dengan kepala pecah dan tewas seketika! Akan tetapi baru saja dua orang kakek dan nenek iblis itu membunuh empat orang perajurit, sebelum mereka sempat menghampiri dua buah peti dalam gerobak, tampak bayangan yang gerakannya cepat seperti terbang meluncur ke arah gerobak dan tahu-tahu seorang pemuda sudah berada di atas gerobak.
Pemuda itu bukan lain adalah Pouw Cun Giok yang datang bersama Ceng Ceng. Akan tetapi hanya Cun Giok sendiri yang melayang ke atas gerobak dan sebelum ada yang sempat mencegah, Cun Giok mengerahkan tenaga, menghantam ke arah dua buah peti hitam itu.
"Wuuuttt...... brak-brakk?"!" Dua buah peti itu pecah berantakan dan batu-batu kerikil yang berada dalam peti-peti itu berhamburan!
"Peti itu hanya berisi batu-batu!" terdengar banyak orang berteriak dan teriakan ini sekaligus menghentikan semua orang yang berkelahi. Mereka menahan senjata, melompat ke belakang dan menghampiri gerobak, lalu dengan mata terbelalak memandang ke arah dua buah peti yang sudah pecah dan batu-batu kerikil yang berhamburan!
Bukan hanya mereka yang tadinya berkelahi kini memandang bengong. Juga rombongan-rombongan pencari harta yang baru datang seperti Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai, dua orang murid utusan Bu-tong-pai yaitu Liong Kun dan Thia Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin, mereka semua kini memandang dengan heran melihat betapa dua buah peti yang diperebutkan itu hanya berisi batu-batu kerikil!
"Kita semua tertipu! Panglima Kim Bayan hanya membawa peti harta karun palsu!" seru Pouw Cun Giok lantang.
Semua orang yang tadinya berkelahi kini mengomel panjang pendek, merasa tertipu dan dipermainkan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menyalahkan Kim Bayan, karena mereka sendirilah yang datang menghadang dan mencoba untuk merampas harta karun yang mereka kira benar-benar telah ditemukan panglima itu dan pasukannya.
Yang merasa amat marah adalah Cui-beng Kui-ong. Dia mengeluarkan suara gerengan dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah berdiri di depan Panglima Kim Bayan. Mukanya merah dan tubuhnya yang kurus itu seperti menjadi semakin bongkok, akan tetapi sikap dan suaranya penuh wibawa ketika dia membentak.
"Kim Bayan! Apa yang kaulakukan ini" Hanya dengan pangkatmu sebagai panglima, engkau berani mempermainkan kami?"
Panglima Kim Bayan cepat memberi hormat kepada gurunya dengan membungkuk sampai dalam. "Maafkan saya, Suhu. Bukan maksud saya mempermainkan Suhu dan Subo. Siasat ini saya pergunakan untuk memancing mereka yang mencari harta karun. Yang datang hendak merampas dua peti itu pasti bukan pencurinya. Dengan jalan ini saya dapat mengetahui siapa yang menjadi pencurinya, yaitu mereka yang tidak datang mencoba untuk merampas peti-peti ini."
"Dan engkau melakukan siasat ini tanpa memberi laporan kepadaku" Apakah engkau bermaksud untuk mendapatkan harta itu bagi dirimu sendiri" Engkau membikin malu kami berdua!"
"Dia pantas dihukum!" terdengar Song-bun Moli berseru dengan suaranya yang serak dan tinggi.
Biarpun dia berhadapan dengan suhu dan subonya, akan tetapi Kim Bayan teringat bahwa dia adalah seorang panglima kerajaan dan biarpun dua orang kakek nenek itu pun merupakan orang-orang berjasa dan dianugerahi Kaisar, namun mereka tidak memiliki kedudukan resmi. Maka, kini dihina di depan orang banyak, dia menjadi malu dan bangkit melawan.
Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suhu dan Subo, saya adalah panglima kerajaan, tidak akan merampas harta karun untuk diri sendiri. Akan tetapi Suhu dan Subo bukan utusan kerajaan, sepatutnya membantu kami mencari harta karun itu untuk diserahkan kepada Yang Mulia Sribaginda Kaisar!"
"Bangsat! Berani engkau menuduh kami" Jangan dikira kami tidak tahu bahwa usahamu mencari harta karun ini sama sekali bukan atas perintah Sribaginda Kaisar. Engkau memang tidak pantas lagi menjadi murid kami!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Cui-beng Kui-ong menerjang menyerang Kim Bayan, muridnya sendiri itu, dengan tongkatnya.
Kim Bayan terkejut. Tak disangkanya kakek itu berani menyerangnya. Biarpun dia murid kakek itu, namun dia berkedudukan sebagai seorang panglima kerajaan! Akan tetapi kakek itu sudah menyerangnya, maka cepat dia menggunakan golok yang masih dipegangnya untuk menangkis.
"Tranggg......!" Bunga api berpijar, akan tetapi disusul teriakan Panglima Kim Bayan yang roboh berkelojotan karena sebatang anak panah kecil sudah menancap di tenggorokannya. Tak lama kemudian panglima itu pun diam dan tewas.
Sebetulnya Kim Bayan tentu saja sudah tahu bahwa di ujung tongkat gurunya itu tersembunyi anak panak kecil yang beracun. Akan tetapi dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa gurunya tega untuk membunuhnya, apalagi selain murid kakek itu dia pun seorang panglima kerajaan. Akan tetapi ternyata Cui-beng Kui-ong yang berwatak aneh itu sama sekali tidak mempedulikan semua itu dan langsung membunuh muridnya sendiri yang dia anggap menghina dan mempermalukannya karena dia dan Song-bun Moli juga tertipu dan ikut menghadang, bahkan tadi hampir saja merampas dua buah peti yang ternyata isinya hanya batu kerikil!
Melihat Kim Bayan dibunuh kakek itu, para perwira yang membantu Kim Bayan menjadi terkejut dan marah. Tentu saja mereka mempunyai rasa setia kawan kepada Kim Bayan, maka mereka memberi isyarat kepada para perajurit untuk mengepung Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Kong Sek berdiri di luar kepungan karena tadi dia bertanding melawan Cu Ai Yin dan kini setelah perkelahian berhenti dia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi Ai Yin tetap berhadapan dengan dia, agaknya siap menentangnya kalau pemuda ini hendak menyerang Cun Giok. Semua orang kini mengarahkan perhatiannya kepada kakek dan nenek iblis itu yang dikepung para perwira dan perajurit mereka.
Melihat sikap para perwira dan perajurit itu, Cui-beng Kui-ong mengerutkan alisnya dan membentak marah. "Heh, kalian mau apa" Apakah kalian buta, tidak mengenal siapa kami dan berani hendak menentang kami?"
Seorang perwira yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, menjawab lantang. "Kami semua mengenal siapa Ji-wi (Kalian Berdua), akan tetapi Ji-wi telah membunuh panglima kami, berarti Ji-wi memberontak terhadap kerajaan dan harus kami tangkap!"
"He-he-heh! Kui-ong, tikus-tikus ini hendak menangkap kita! Mari kita kirim mereka ke neraka menyusul Bayan!" Song-bun Moli terkekeh. Kakek dan nenek itu siap untuk membasmi para perwira dan perajurit itu, sedangkan semua orang yang berada di situ hanya menonton dengan hati tegang.
"Tahan......!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua sosok tubuh berkelebat dan seorang pemuda dan seorang gadis sudah berdiri di depan Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli. Mereka adalah Yauw Tek dan Li Hong!
Para perwira dan perajurit yang segera mengenal pemuda itu sebagai Pangeran Youtechin, segera menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.
Kakek dan nenek itu tidak banyak mengenal para pangeran, akan tetapi mereka mengenal Pangeran Youtechin karena pangeran muda ini dikenal sebagai seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak merasa lebih rendah derajatnya dan tidak menyambut pangeran itu dengan penghormatan yang berlebihan. Mereka berdua hanya menghormati Kaisar, apalagi Cui-beng Kui-ong yang menganggap dirinya sebagai penasihat Kaisar dan sudah memiliki jasa besar. Maka kini menghadapi Yauw Tek atau Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong berkata dengan sikap angkuh.
"Pangeran, mengapa Pangeran menahan kami berdua yang hendak memberi hajaran kepada tikus-tikus ini?"
"Cui-beng Kui-ong. Lihat, dengan siapa engkau berhadapan?" Yauw Tek membentak dan dia mengeluarkan sebuah kim-pai (lencana emas) dan memperlihatkannya kepada Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli.
Cui-beng Kui-ong terkejut sekali melihat lencana emas yang ada cap dari kaisar itu karena lencana itu menandakan bahwa dia berhadapan dengan orang yang telah diberi kekuasaan oleh Kaisar dan dapat bertindak atas nama Kaisar! Maka, dia seolah kini berhadapan dengan Kaisar sendiri.
Cepat Cui-beng Kui-ong memberi hormat dan Song-bun Moli mengikutinya. "Maaf, kami tidak tahu bahwa Paduka adalah utusan Sribaginda Kaisar yang diberi Kim-pai, Pangeran Youtechin! Kami siap mentaati perintah Paduka!"
Semua orang juga terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda adalah seorang Pangeran Mongol yang memiliki kekuasaan besar. Terutama sekali Ceng Ceng. Ia terkejut dan heran, sama sekali tidak pernah mengira bahwa Yauw Tek adalah seorang pangeran yang menyamar. Pada saat itu, Li Hong menghampiri Ceng Ceng dan keduanya saling rangkul.
"Hong-moi...... dia...... dia itu...... pangeran?" Ceng Ceng berbisik.
Li Hong mengangguk dan tersenyum. "Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan, Enci Ceng." Dalam suara gadis ini terdapat kebanggaan dan diam-diam Ceng Ceng ikut merasa senang melihat adik angkatnya berbahagia. Karena perhatian mereka ditujukan kepada Yauw Tek dan kakek nenek iblis itu, maka Ceng Ceng belum sempat mempertemukan Li Hong dengan Cun Giok, kakak misan gadis dari Pulau Ular itu.
Kini Yauw Tek atau Pangeran Youtechin berkata kepada Cui-beng Kui-ong. "Cui-beng Kui-ong, engkau bersalah membunuh seorang panglima kerajaan. Sepatutnya engkau ditangkap dan diadili, akan tetapi mengingat bahwa Kim Bayan adalah muridmu, biarlah kami menganggap bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya, tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah. Akan tetapi kalian berdua harus memperlihatkan bukti bahwa kalian tidak bermaksud memberontak terhadap kerajaan dengan membantu kami mencari harta karun!"
"Baik, kami siap membantu Paduka dan terima kasih atas kebijaksanaan Paduka, Pangeran!" kata Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang kini tampaknya "mati kutu" menghadap seorang pangeran yang memegang sebuah Kim-pai tanda kekuasaan dari Kaisar.
Kini Yauw Tek memutar tubuhnya menghadapi mereka yang telah berkumpul di situ. Mereka semua kini memandang pemuda yang ternyata seorang pangeran yang besar kekuasaannya sehingga sepasang kakek nenek iblis seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli juga gentar dan tunduk kepadanya. Mereka itu adalah Huo Lo-sian dan Bu-tek Sin-liong dan anak buah Bukit Merah, Ketua Thai-san-pai dan para muridnya, para utusan Go-bi-pai, juga utusan Kun-lun-pai, Ketua Ang-tung Kai-pang dan para anggautanya, Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka, Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid dan utusan Bu-tong-pai dan dua orang gadis kembar Kui Lan dan Kui Lin, Ceng Ceng dan Cun Giok yang kini ditemani Li Hong, dan beberapa tokoh lain yang tertarik datang ke Thai-san-pai untuk melihat keadaan dan juga ingin sekali ikut mencari harta karun.
Dengan suara lantang Pangeran Youtechin lalu berkata kepada mereka. "Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhormat. Kita semua tahu untuk apa kita berbondong-bondong datang ke Thai-san ini. Jelas bahwa kita semua datang dengan satu tujuan, yaitu mencari dan mendapatkan harta karun yang kita kira berada di sini karena setelah tempat penyimpanan harta itu didapatkan di Bukit Sorga, yang ditemukan hanya peti kosong yang ada tulisan THAI SAN di dalamnya. Tentu Cuwi mengetahui bahwa harta karun itu sebetulnya menjadi hak milik Pemerintah Kerajaan......"
12.1. Lihat Puncak Bukit Di Sana!
"Harta karun itu adalah harta karun Kerajaan Sung!" Tiba-tiba ada suara wanita berseru lantang memotong ucapan pangeran itu. Ketika semua mata memandang, ternyata yang berseru itu adalah seorang gadis muda cantik jelita yang gagah perkasa, di rambutnya terdapat setangkai bunga putih.
Bu-tek Sin-liong Cu Liong memandang puterinya, Pek-hwa (Dewi Berbunga Putih) Cu Ai Yin dengan bangga atas keberanian puterinya itu walaupun sebetulnya dia tidak setuju puterinya membela
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Kerajaan Sung yang sudah jatuh. Dia adalah seorang tokoh yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan kerajaan.
Yauw Tek atau Pangeran Youtechin menoleh dan memandang kepada Ai Yin, matanya mencorong dan dia tersenyum. "Kerajaan Sung telah dikalahkan Kerajaan Goan yang kini berkuasa dan menurut peraturan perang, semua milik yang kalah menjadi barang rampasan dan menjadi hak milik yang menang. Apalagi tadinya harta itu merupakan harta curian seorang Thai-kam korup dari Kerajaan Sung, dan disembunyikan di Bukit Surga dekat kota raja. Maka, pemerintah yang berhak memiliki harta karun itu."
"Harta dari kerajaan mana pun berasal dari milik rakyat, maka rakyat pun berhak atas harta karun itu!" tiba-tiba ada yang berseru dan sekali ini yang berseru dengan suara amat nyaring karena mengancung tenaga sakti, adalah Pouw Cun Giok.
Yauw Tek menengok dan dia melihat betapa pemuda tampan dan gagah yang bicara lantang itu berdiri dekat Ceng Ceng dan Li Hong, maka dia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu yang bernama Pouw Cun Giok dan berjuluk Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan). Dia tersenyum dan memandang kagum karena sudah banyak dia mendengar pujian Li Hong yang bercerita tentang Pouw Cun Giok. Dia mengangguk dan berkata, suaranya juga nyaring seperti suara Cun Giok tadi karena sekali ini, Pangeran Mongol itu mengerahkan sin-kang sehingga suaranya lantang sekali.
"Tepat sekali ucapan...... Bu-eng-cu tadi! Saudara tentu Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang terkenal itu, bukan" Memang tepat, harta milik pemerintah itu berasal dari rakyat, maka sudah sepatutnya kalau dipergunakan untuk kepentingan rakyat pula! Dan penggunaan untuk rakyat Itu harus diatur oleh pemerintah, kalau tidak akan terjadi perebutan dan kekacauan. Pemerintah Kerajaan Goan juga bermaksud menggunakan harta itu untuk kesejahteraan rakyat jelata. Akan tetapi kami sangsi apakah kalau harta karun itu terjatuh ke tangan Cu-wi, juga akan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat" Ataukah hanya untuk kepentingan golongan sendiri dan pribadi atau juga untuk menimbulkan kekacauan sehingga akibatnya bahkan merugikan rakyat?"
Hening sejenak setelah Pangeran Youtechin berhenti bicara. Dia lalu melanjutkan. "Akan tetapi kareha harta karun itu sampai sekarang belum ditemukan, dan kita bersama tidak tahu apakah harta itu benar-benar ada, maka biarlah kita berlumba untuk menemukannya. Setelah ditemukan, baru kita bicarakan siapa yang berhak atas harta itu!"
Bagaimanapun juga, mereka yang berada situ merasa segan untuk berterang menentang pangeran yang menjadi wakil Kerajaan karena menentang seorang wakil Kaisar dapat berarti pemberontakan. Maka, satu demi satu rombongan itu pergi.
Li Hong kini saling pandang dengan Cun Giok. Mereka berdiri berhadapan dan hati keduanya diliputi perasaan terharu.
"Li Hong, benarkah keterangan Ceng-moi bahwa engkau adalah adik misanku?"?" Akhirnya Cun Giok bertanya.
Ll Hong yang cepat dapat menguasai keharuan hatinya, tersenyum, mengangguk dan berkata. "Tentu saja benar, Piauw-ko (Kakak Misan)! Mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian adalah adik kandung Ayahku yang bernama Tan Kun Tek dan yang dulu tinggal di Seng-hai-lian."
"Ah, senang sekali aku mempunyai seorang adik sepertimu, Hong-moi!" kata Cun Giok sambil tersenyum.
"Aku juga bangga mempunyai seorang kakak sepertimu, Giok-ko!" kata Li Hong. Kedua orang muda itu saling menghampiri dan mereka berangkulan seperti kakak dan adik.
Tiba-tiba terdengar suara lembut. "Li Hong, aku hendak melanjutkan perjalanan. Engkau mau ikut denganku ataukah dengan mereka?"
Li Hong melepaskan rangkulannya dan memutar tubuhnya. Tentu saja ia mengenal suara Yauw Tek, kekasihnya.
"Tentu saja aku ikut denganmu, ko-ko!" katanya, lalu ia berpaling kepada Cun Giok dan Ceng Ceng. "Giok-ko, Enci Ceng, aku harus ikut dengan dia, ke mana pun dia pergi. Aku...... tak dapat hidup tanpa dia!" Setelah berkata demikian, gadis itu melompat dan bersama Pangeran Youtechin ia lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, dan Kong Sek.
Cun Giok dan Ceng Ceng memandang sampai bayangah Li Hong menghilang di antara pohon-pohon, lalu mereka saling pandang. Tanpa bicara pun mereka berdua dapat merasakan dan tahu bahwa adik mereka yang tabah, liar dan galak itu agaknya telah jinak terhadap Yauw Tek atau Pangeran Mongol itu. Jelas bahwa keduanya saling mencinta. Mereka berdua merasa khawatir dan diam-diam mendoakan semoga Li Hong dapat hidup berbahagia dengan Pangeran Mongol itu.
Cun Giok dan Ceng Ceng mendengar langkah orang dan ketika mereka memandang, ternyata yang menghampiri mereka adalah Kui Lan, Kui Lin dan dua orang pemuda murid Bu-tong-pai, yaitu Liong Kun dan Thio Kui yang sudah mereka kenal baik ketika mereka semua berada di Thai-san-pai.
"Aih, kita semua dibohongi jahanam Kim Bayan itu!" kata Kui Lin. "Untung engkau muncul dan membuka rahasia itu dengan memukul hancur peti-peti itu. Kalau tidak, wah, kita semua akan memperebutkan peti-peti yang berisi batu-batu tak berharga!"
"Lin-moi, siasat Kim Bayan itu membuat kita merasa ragu apakah harta karun itu ada ataukah hanya kabar angin saja. Kim Bayan menggunakan siasat itu agaknya karena sudah putus asa dalam mencari harta itu," kata Thio Kui, murid Bu-tong-pai yang tinggi besar, gagah dan bersuara berat serius itu.
"Pendapat Thio-twako (Kakak Thio) itu agaknya memang benar sekali bahwa mendiang Kim Bayan sudah putus asa maka menggunakan siasat itu untuk memancing keluar semua pencari harta agar diketahui siapa kiranya yang telah mendapatkan harta itu," kata Cun Giok.
"Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa harta karun itu memang ada, hanya di mana disembunyikannya, itulah yang harus kita cari," kata Ceng Ceng. "Kiranya mendiang Ayahku tidak akan mempertahankan harta karun itu dengan nyawa Ayah dan Ibu kalau harta itu tidak ada, dan tidak akan meninggalkan peta itu kepadaku. Ayah amat setia kepada Kerajaan Sung dan amat membenci penjajah, maka dia bercita-cita membantu perjuangan mengusir penjajah dengan menyerahkan harta karun itu," kata Ceng Ceng dengan suara lembut namun yakin.
"Enci Ceng Ceng benar," kata Kui Lan yang pendiam. "Harta karun itu pasti ada dan kita harus mencarinya lagi. Sebaiknya kita berpencar mencarinya."
"Baiklah, kita berpencar dan mencari dengan teliti. Sebaiknya setelah ada yang menemukan, langsung dibawa ke Thai-san-pai karena semua yang mendukung niat Ceng-moi pasti akan singgah dulu di sana untuk mencari keterangan sebelum mereka meninggalkan Thai-san. Di sana kita semua akan membicarakan bersama kepada siapa harta karun itu harus diserahkan," kata Pouw Cun Giok.
Semua orang menyatakan setuju dan mereka pun berpencar meninggalkan tempat itu. Cun Giok pergi bersama Ceng Ceng, sedangkan gadis kembar itu pergi bersama dua orang pemuda murid Bu-tong-pai.
"Y" Malam itu bulan sedang purnama. Bulatan kuning emas itu merupakan bola emas yang memancarkan cahayanya yang lembut ke permukaan pegunungan Thai-san, membentuk bayang-bayang dan perpaduan antara gelap dan terang, mendatangkan pemandangan yang indah tak terlukiskan. Hawa sejuk menyusup di antara pohon-pohon di puncak-puncak banyak bukit yang terdapat di pegunungan Thai-san yang luas.
Suasananya menjadi tenteram, sunyi mencekam, indah romantis, akan tetapi juga mendatangkan sesuatu yang penuh rahasia, yang membuat orang merasa kagum, terpesona, hanyut dan terkadang juga seram. Suara gemersik daun-daun pohon yang ditiup angin semilir, suara gemericik air yang turun dari sumber air membentuk anak sungai berair jernih dan dingin, suara binatang dan serangga malam yang menciptakan musik ajaib, semua itu dapat menyihir manusia yang kebetulan berada di tempat itu.
Cun Giok dan Ceng Ceng duduk di tepi sebuah tebing jurang yang amat dalam. Mereka nemilih tempat ini untuk mengaso dan melewatkan malam karena tempat ini amat indah. Dari tepi jurang itu mereka dapat memandang ke depan bawah tanpa terhalang pohon-pohon besar. Bulan purnama menciptakan tamasya alam di depan sana, membuat kedua orang muda ini terpesona dan sejak tadi hanya duduk setengah samadhi karena terpesona keindahan alam. Mereka seolah kehilangan diri dan bersatu dengan alam. Mereka merupakan sebagian dari alam di malam yang luar biasa indahnya itu.
Cun Giok termenung ketika merasa dirinya tenggelam ke dalam keindahan malam syahdu itu. Dia teringat akan apa yang pernah dikatakan Ceng Ceng tentang kemurahan Tuhan Maha Pencipta bagi manusia. Kalau kita berada dalam, keadaan seperti itu, seolah diri terlebur menjadi bagian dari alam semesta, tampaklah jelas betapa segala ciptaan Tuhan itu diberikan kepada manusia untuk kesejahteraan hidup manusia di atas bumi ini.
Semua isi alam ini diperuntukkan manusia, bahkan membantu kehidupan manusia sehingga sudah menjadi kewajiban kita untuk memeliharanya, untuk melestarikannya. Air, hawa udara, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain merupakan kebutuhan hidup kita, akan tetapi betapa kita, sadar mau pun tidak, mengotori dan merusaknya. Bahkan semua keindahan itu tidak terasa lagi karena hati akal pikiran kita dipenuhi harta benda yang kita puja sebagai sumber kesenangan.
Pengejaran harta benda yang kita puja-puja itu menimbulkan permusuhan dan segala bentuk kejahatan, membuat dunia menjadi panas dan manusia menjadi tipis prikemanusiaannya. Manusia hanya mementingkan apa yang menempel pada dirinya. Padahal, segala bagian alam yang berada di luar kita itu seharusnya kita pelihara seperti kita memelihara anggauta badan kita, karena semua yang di luar kita itu juga merupakan penunjang dan penyambung hidup kita.
"Giok-ko, lihat?"" Tiba-tiba suara Ceng Ceng membuyarkan renungannya.
Cun Giok memandang gadis yang duduk di sebelah kirinya itu dan melihat Ceng Ceng memandang dengan penuh gairah ke depan sana.
Cun Giok tersenyum. "Memang indah sekali, Ceng-moi. Aku juga sudah mengaguminya sejak tadi."
"Bukan itu maksudku, Giok-ko. Lihat puncak bukit di sana, yang sebelah kiri itu!" Ceng Ceng menudingkan telunjuknya.
Cun Giok mengikuti arah itu dengan pandang matanya. Di sana terdapat sebuah puncak bukit yang tampak hitam bermandikan cahaya keemasan. Indah sekali!
"Bukit itu juga indah, merupakan bagian dari semua keindahan ini, Ceng-moi."
"Sadarlah sejenak, Giok-ko. Keluarlah dari pesona keindahan itu dan pandang dengan akal pikiranmu. Seperti apakah bentuk puncak yang hitam itu?"
Cun Giok memandang dengan penuh perhatian ke arah puncak bukit yang ditunjuk, memperhatikan bentuk lekuk-lengkung garis puncak bukit yang hitam itu. Dan dia pun berseru. "Ah, bukankah bentuknya seperti seekor naga" Memanjang dan berlekuk-lekuk, itu yang di kiri seperti ekornya dan kepalanya di sebelah kanan......"
"Benar, Giok-ko...... dan sekarang lihat bukit di kanan itu, lihat puncaknya seperti tadi......"
Suara gadis itu agak gemetar sehingga Cun Giok menjadi tertarik sekali, juga merasa heran. Dia cepat memandang bukit yang di kanan, bukit yang sejajar dengan bukit pertama dan mencurahkan perhatiannya memandang ke puncak bukit kedua itu. Mula-mula memang hanya tampak puncak yang hitam dengan garis-garis lengkung yang berbeda dengan yang pertama. Kalau yang pertama memanjang seperti naga, yang kedua ini hanya bergerombol di tengah, mencuat di sana-sini. Khayalnya berkembang dan dia lalu berkata.
"Ceng-moi, yang kedua itu merupakan bentuk seekor ayam, ayam jantan karena ekornya menjulang ke atas dan memanjang......"
"Bukan ayam, Giok-ko, melainkan Burung Hong......" Suara gadis itu kini semakin gemetar seolah dalam keadaan tegang dan terharu.
Mendengar suara itu, Cun Giok mengalihkan perhatiannya kepada wajah gadis itu yang tampak terlongong memandang puncak kedua bukit itu berganti-ganti. Mulutnya agak terbuka dan wajahnya tampak tegang.
"Burung Hong" Ceng-moi, mengapa engkau tampak begini tegang" Apa yang terjadi?" Karena khawatir, Cun Giok menjulurkan tangannya memegang lengan Ceng Ceng.
Seperti tanpa disadari Ceng Ceng membalas, memegang tangan pemuda itu dan meremasnya dengan kuat sehingga Cun Giok terpaksa mengerahkan tenaga agar tangannya tidak cidera.
"Giok-ko...... apakah engkau tidak ingat ......" Peta itu...... ada gambar naga dan burung Hong...... bukankah ini cocok sekali dengan keadaan dua buah bukit di sana itu......?"
Cun Giok berdebar. Baru dia teringat dan kembali dia mengamati dua buah bukit itu. Memang tepat! Seperti yang tertera di peta. Kedua puncak itu merupakan gambar naga dan burung Hong dan...... tempat penyimpanan harta karun itu tentu berada di sebelah selatan kedua bukit itu, di antara bukit-bukit lain!
"Aih, engkau benar, Ceng-moi! Kalau begitu, mungkin sekali harta karun itu memang disimpan di sini. Peti kosong yang berada di Bukit Sorga itu memang sengaja ditanam oleh Thaikam Bong untuk mengelabuhi para pencari harta dan tulisan THAI SAN itu merupakan petunjuk bahwa hartanya berada di sini. Bukan dicuri orang Thai-san seperti yang kita semua mengira."
Ceng Ceng mengangguk-angguk. "Ahh, mudah-mudahan saja benar demikian, Giok-ko. Menemukan harta karun itu amat penting artinya bagiku, karena hal itu berarti aku telah menaati dan melaksanakan pesan Ayah."
Mereka berdua tidak bicara lagi, akan tetapi sampai jauh lewat tengah malam mereka masih duduk dan memandang ke arah dua buah bukit itu. Di dalam hati, mereka kini merasa gembira dan timbul harapan baru. Kemudian mereka tidur bergilir. Seorang tidur dan yang lain berjaga sambil duduk di dekat api unggun.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka sudah bangun dan ketika sinar matahari mulai mengirim sinarnya menerangi bumi, dan mereka memandang ke arah dua bukit itu, Ceng Ceng berseru kaget.
"Giok-ko, lihat?"!"
Cun Giok memandang ke arah dua bukit yang ditunjuk Ceng Ceng, dan dia terkejut karena puncak dua buah bukit yang semalam di bawah sinar bulan purnama tampak jelas membentuk naga dan burung Hong, kini gambaran itu hilang sama sekali. Di kedua puncak itu kini hanya tampak gerombolan pohon yang mencuat ke sana-sini, sama sekali tidak tampak sebagai naga dan burung Hong!
"Eh, mana naga dan burung Hong itu, Ceng-moi?"
Ceng Ceng menghela napas panjang, "Aku tidak tahu, Giok-ko. Mungkin di bawah sinar bulan, gerombolan pohon itu tampak seperti bentuk naga dan burung Hong," kata Ceng Ceng kecewa. "Ataukah kita terlalu terpengaruh gambar di peta sehingga membayangkan dua gambar itu?"
Mendengar suara gadis itu seperti orang kecewa dan menyesal, juga ada nada sedih, Cun Giok merasa iba dan tiba-tiba dia teringat akan gambar pada peta itu.
"Ah, Ceng-moi, coba ingat baik-baik isi peta yang telah dirampas Kim Bayan itu. Bukankah di bawah gambar naga dan burung Hong itu ada bulatan besar" Nah, bukankah bulatan itu dimaksudkan bulan purnama" Jadi, puncak dua buah bukit itu hanya berbentuk naga dan burung Hong kalau ada bulan purnama!"
Wajah gadis itu berseri dan seolah baru melihat wajah itu untuk pertama kalinya, Cun Giok terpesona. Wajah yang baru bangun tidur itu, dengan rambut agak awut-awutan dan pakaian kusut, tanpa bedak gincu, tampak aseli dan kecantikannya bagaikan setangkai bunga mawar di waktu pagi masih segar oleh embun!
Melihat pemuda itu memandangnya seperti orang terkesima atau hilang ingatan, kulit muka Ceng Ceng berubah kemerahan dan tersipu karena ia baru ingat bahwa ia belum mencuci muka. Tentu ia tampak kusut dan buruk sekali!
"Aih, aku mau cuci muka...... eh, mandi dulu, Giok-ko!" katanya sambil bangkit dan memutar tubuhnya.
"Di sebelah sana ada sumber air, di balik batu besar itu, Ceng-moi."
"Aku tahu, kemarin aku sudah melihatnya," kata Ceng Ceng yang segera menuju ke batu besar sambil membawa buntalan pakaiannya.
Mereka bergantian mandi dan bertukar pakaian sambil mencuci pakaian kotor. Setelah itu mereka kemba1i duduk di tepi jurang.
"Hi-hi-hik?"!" Ceng Ceng menahan tawanya dan menutupi mulutnya, namun suara tawanya masih terdengar oleh Cun Giok.
"Ceng-moi, mengapa engkau tertawa?"
12.2. Bukit Naga dan Bukit Burung Hong"
"Aku mendengar suara ayam jantan berkeruyuk," kata gadis itu sambil tersenyum.
Cun Giok memusatkan pendengarannya sejenak. "Aku tidak mendengar ayam jantan berkeruyuk," katanya heran. "Di mana kau mendengarnya?"
"Di sini, dekat saja," kata Ceng Ceng sambil menahan tawa dan menunjuk ke arah perut Cun Giok.
Cun Giok terbelalak, lalu tersenyum sambil mengelus perutnya.
"Ha-ha-ha, wah, memalukan, buka rahasia saja!" Dia menepuk perutnya. "Memang sejak malam tadi aku merasa lapar, Ceng-moi.
"Hemm, perut lapar tidak perlu malu, Giok-ko. Aku sendiri pun merasa lapar. Akan tetapi di tempat seperti ini, di mana kita bisa mendapatkan makanan?"
"Ceng-moi, lihat di lereng bawah itu. Ada kepulan asap, agaknya di sana ada sebuah desa atau setidaknya ada orang tinggal di sana. Mari kita ke sana, mencari makanan dulu baru melanjutkan penyelidikan."
Mereka lalu menuruni puncak bukit itu dan tepat dugaan Cun Giok, di lereng bukit itu terdapat sebuah dusun kecil yang tertutup pohon-pohonan, hanya terdiri dari belasan rumah. Mereka adalah petani-petani sederhana yang menggantungkan nafkahnya dari menggarap tanah di lereng itu yang cukup subur.
Seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun yang menjadi tua-tua di dusun itu, menyambut Cun Giok dan Ceng Ceng dengan ramah penuh kekeluargaan yang akrab. Sudah menjadi watak orang-orang dusun yang lugu, sederhana dan jujur, yang hidup tenteram dan bahagia karena tidak banyak keinginan, selalu menyambut tamu, apalagi yang asing, dengan ramah tamah. Mereka merasa terhormat kalau ada "orang kota" mengunjungi mereka, dan tanpa ragu-ragu mereka akan menghidangkan apa saja yang mereka miliki untuk tamu mereka.
Demikian pula laki-laki itu, setelah Cun Giok dan Ceng Ceng memperkenalkan diri sebagai pelancong yang kehabisan makanan dan hendak membeli makanan, tua-tua dusun itu serta-merta menghidangkan makanan sederhana yang dimilikinya dan mengajak dua orang tamu itu makan bersama! Ketika Ceng Ceng hendak membayar harga makanan dan minuman yang dihidangkan, laki-laki itu mengerutkan alis dan menolak keras, bahkan tampak tersinggung dan segera Ceng Ceng minta maaf.
Ketika mereka mengobrol setelah makan, iseng-iseng Ceng Ceng bertanya kepada tuan rumah. "Paman, apakah nama dua buah bukit yang berjajar di sana itu?" Ia menunjuk ke arah dua buah bukit yang semalam ia tonton bersama Cun Giok. Petani itu memandang keluar melalui jendela dan melihat dua buah bukit itu.
"Ah, dua bukit itukah, Nona" Orang-orang menyebutnya Bukit Kembar karena mereka berdiri berdampingan dan besarnya sama. Akan tetapi dua buah bukit itu mempunyai nama, yang satu adalah Liong-san (Bukit Naga) dan yang lain Hong-san (Bukit Burung Hong)."
Mendengar ini, berdebar jantung dua orang muda itu. Tadi setelah pagi tiba dan mereka memandang ke puncak dua buah bukit itu, bentuk naga dan burung Hong lenyap sehingga mereka hampir putus asa dan menganggap penglihatan mereka semalam dipengaruhi harapan mereka setelah melihat gambar peta. Akan tetapi kini ternyata bahwa dua buah bukit itu benar-benar bernama Bukit Naga dan Bukit Burung Hong! Mereka berdua saling pandang penuh arti, lalu Cun Giok bertanya kepada petani itu.
"Paman, mengapa kedua bukit itu disebut Bukit Naga dan Bukit Burung Hong?"
Petani itu tersenyum lebar sehingga tampak giginya yang sudah banyak yang ompong. "Dua buah bukit itu memang aneh, Kongcu. Kalau malam bulan purnama, gerombolan di puncaknya berbentuk naga dan burung Hong. Menurut dongeng, jaman dahulu dua bukit itu katanya menjadi tempat tinggal kedua binatang suci itu."
Wajah Ceng Ceng dan Cun Giok berseri. Bukan main girang rasa hati mereka. Kini mereka yakin bahwa dua bukit itulah yang dimaksudkan dalam gambar peta!
Mereka segera pamit dari tua-tua dusun itu dan setelah mereka berdua pergi, baru petani itu menemukan uang emas tiga keping di atas meja! Dia terkejut karena tiga keping uang emas itu merupakan harta yang besar baginya. Dia mengejar keluar untuk mengembalikannya kepada dua orang tamunya, akan tetapi dua orang itu sudah tidak tampak lagi bayangan mereka! Hal ini sungguh terlalu aneh bagi petani itu. Bagaimana mungkin dua orang muda itu dapat menghilang begitu saja"
Ketika dia menceritakan kepada para penghuni dusun, orang-orang sederhana yang masih tebal kepercayaan mereka akan adanya dewa dewi yang suka menolong manusia, merasa yakin bahwa pemuda dan pemudi yang ikut makan di rumah kepala atau tua-tua dusun itu, pasti seorang dewa dan seorang dewi! Buktinya, mereka meninggalkan emas dan pandai menghilang.
"Tidak salah lagi!" seru tua-tua itu. "Mereka pasti dewa dan dewi penunggu Liong-san dan Hong-san. Baru melihat pemuda yang begitu tampan dan gagah, juga gadis yang demikian cantik jelita dan lembut, aku sudah curiga bahwa mereka berdua itu bukan manusia biasa!"
Seluruh penduduk dusun kecil itu lalu melakukan sembahyang untuk menghormati dan berterima kasih kepada Dewa dan Dewi penunggu Bukit Naga dan Bukit Burung Hong!
"Y" Sampai belasan hari Cun Giok dan Ceng Ceng mencari harta karun setelah merasa yakin bahwa harta itu pasti berada di daerah itu karena mereka telah menemukan Bukit Naga dan Bukit Burung Hong. Ada tiga bukit kecil di sebelah selatan kedua bukit itu, dan agaknya tiga bukit ini yang digambar dalam peta. Mereka berdua menjelajahi tiga bukit itu dan sekitar tiga minggu kemudian, pada suatu pagi mereka tiba di bukit tengah dari ketiga bukit itu. Sudah dua kali mereka mencari di bukit ini dan pagi hari itu, dari kaki bukit mereka melihat betapa puncak bukit itu dikepung hutan lebar yang tumbuh di sekeliling bukit. Mereka menembus hutan dan tiba di puncak bukit yang landai dan penuh lapangan rumput yang luas.
Mereka melihat bahwa di ujung lapangan rumput terdapat tebing puncak dan di tebing itu terdapat tiga buah guha. Guha-guha di pinggir kanan kiri tampak jelas, merupakan guha besar yang mulut guhanya terbuka seperti mulut raksasa ternganga. Akan tetapi guha di tengah tertutup semak belukar dan berduri. Kini mereka berdiri di depan guha yang tertutup semak belukar itu dan mengamati penuh perhatian.
"Rasanya tidak mungkin menyimpan harta karun di tempat seperti ini," kata Cun Giok.
Ceng Ceng diam saja tidak menjawab, hanya berdiri memandang ke arah guha itu dengan alis berkerut dan penuh perhatian. Karena gadis itu tidak menjawab, Cun Giok menoleh dan memandang kepadanya. Dia melihat betapa gadis itu kini tampak kurus. Wajahnya sama sekali tidak memancarkan kegembiraan. Kini dia teringat betapa selama mereka berdua melakukan perjalanan, jarang sekali Ceng Ceng tersenyum atau tertawa, pada hal biasanya gadis ini dahulu selalu berwajah ceria.
Baru sekarang Cun Giok menyadari betapa gadis itu telah mengalami berbagai rintangan, halangan dan jerih payah yang sia-sia selama melakukan pencarian harta karun itu. Bahkan beberapa kali terancam bahaya maut. Semua usaha mati-matian itu tidak juga menemukan hasil. Dia sendiri sudah tiada nafsu lagi untuk mencari harta karun yang belum dapat dipastikan ada itu. Akan tetapi agaknya Ceng Ceng tak pernah putus asa sehingga tubuhnya tampak kurus dan wajahnya kehilangan cahayanya, bahkan agak pucat karena lelah dan juga karena tidak tentu makannya. Tiba-tiba saja hati Cun Giok merasa pedih penuh keharuan dan iba terhadap gadis itu yang dicintainya semenjak pertemuan pertama itu.
Memandang wajah yang amat disayangnya itu, wajah yang tampak demikian menyedihkan, tak terasa lagi Cun Giok menghela napas panjang dan berat. Dia merasa sangat iba hepada Ceng Ceng, dan harus diakuinya bahwa cinta kasihnya semakin mendalam. Dia ingin melihat gadis yang mengalami banyak penderitaan ini berbahagia. Akan tetapi bagaimana mungkin" Ceng Ceng kehilangan ayah bunda dan gurunya, yang tewas terbunuh. Bahkan kehilangan harapannya ketika gadis ini saling mencinta dengan dia dan kemudian ternyata dia telah bertunangan dengan Siok Eng.
Akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah mengeluh bahkan tidak pernah merasa sakit hati atau dendam. Gurunya, Im Yang Yok-sian, terbunuh oleh Li Hong tanpa ada kesalahan apapun, akan tetapi Ceng Ceng tidak mendendam, bahkan sebaliknya ia pernah mengorbankan peta untuk menyelamatkan gadis pembunuh gurunya itu. Bahkan kemudian ia mengangkat Li Hong sebagai adiknya! Di dunia ini, mana ada gadis sebijaksana, sebaik hati, dan selembut Ceng Ceng" Sedangkan dirinya sendiri"
Ah, tampak jelas bahwa dia sama sekali tidak sepadan dengan Ceng Ceng, sama sekali tidak berharga untuk menjadi pendamping hidup gadis itu! Dia seorang pemuda gagal, seorang laki-laki yang tidak mampu melindungi calon istrinya sendiri. Walaupun belum menikah resmi dengan Siok Eng dia menganggap dirinya telah menjadi duda setelah Siok Eng terbunuh. Dia seorang pemuda sebatang kara, tidak mempunyai apa-apa! Apa yang dapat diharapkan dari seorang pemuda seperti dia bagi seorang gadis seperti Ceng Ceng"
"Giok-ko, lihat semak belukar yang menutupi guha ini. Di sekeliling tempat, ini tidak ada semak belukar seperti itu!" Suara gadis itu terdengar sungguh-sungguh.
"Ada apa dengan semak-semak itu, Ceng-moi" Kulihat itu hanya semak belukar biasa," kata Cun Giok tidak mengerti sambil memandang semak belukar itu baik-baik akan tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang aneh.
"Kalau di suatu tempat tumbuh semak seperti itu, tentu di sekeliling sini terdapat pula semak yang sama. Akan tetapi lihat sekeliling sini, tidak ada lagi semak seperti itu!"
"Hemm, jadi ......?" Cun Giok tetap tidak mengerti.
"Berarti, semak belukar yang menutupi guha ini sengaja ditanam orang, Giok-ko! Bukan tumbuh alami melainkan sengaja ada orang mencari semak belukar dan berduri untuk ditanam dengan sengaja di sini agar menutupi guha ini!"
"Ah, jadi maksudmu, orang sengaja menutupi guha ini dengan semak belukar yang ditanam agar jangan ada orang memasuki guha ini?"
"Tepat! Dan itu berarti bahwa di balik semak belukar, di dalam guha itu, tentu ada sesuatu yang disembunyikan dan yang menyembunyikan tidak ingin ada orang dapat memasuki guha!"
Cun Giok terbelalak, "Maksudmu...... harta karun itu?"
Pedang Langit Dan Golok Naga 28 Dewa Arak 76 Penjara Langit Ciuman Selamat Malam 1