Pencarian

Pendekar Wanita Baju Merah 5

Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


menghibur hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah menghadapi musuh-musuh lihai
dan memutar daya upaya untuk membalas dendam, ia teringat akan ucapan Hek-te-
ong, tokoh pertama dari barat atau suhunya yang pertama ketika gurunya ini
menyaksikan ia bermain Bi-jin-khai-i. "Pek Hoa, sayang ilmu silat ciptaan Pek-
in-sute ini tidak ada isinya. Ataukah kau yang tidak berlatih sungguh-sungguh.
Kalau kau sudah dapat menangkap isinya dan kaumainkan dengan pengerahan tenaga
rahasia, kiranya kelak akan dapat kaupergunakan merobohkan lawan yang ilmu
silatnya jauh melebihi tingkatmu."
Teringat akan ini, Pek Hoa lalu melatih diri dengan ilmu silat Bi-jin-khai-i.
Kini terbukalah ingatan dan matanya akan kelihaian dan keajaiban ilmu silat ini
maka diam-diam ia merasa bersukur sekali. Selama empat tahun ia membawa Im Giok
bersembunyi di sebelah puncak yang sunyi dari Pegunungan Ci-lin-san. Setiap
hari, tiada bosannya Pek Hoa melatih diri dan melatih muridnya.
Im Giok makin lama makin nampak kecantikannya. Akan tetapi setelah bertahun-
tahun ia hidup bersama Pek Hoa, banyak sifat-sifat Pek Hoa menurun pula
kepadanya. Yang terutama sekali adalah kesukaannya untuk berhias. Artinya, Im
Giok juga menjadi seorang pesolek!
Anak ini semenjak kecil sudah dilatih cara menghias diri dan menjaga wajah serta
tubuh agar selalu kelihatan bersih menarik. Bahkan pada suatu hari Im Giok
melihat Pek Hoa mengeluarkan sebutir telur yang kemudian dipecahkan lalu
dicampur dengan obat, lalu diminumnya!
"Eh, Enci Pek Hoa. Biasanya kita makan telur setelah dimasak dahulu, mengapa kau
minum telur mentah?"
"Kau tahu apa, Im Giok" Telur yang tadi kuminum dapat membuat aku selama hidup
tidak akan menjadi tua!"
Im Giok yang baru berusia sepuluh tahun itu menggerak-gerakkan alisnya seperti
cara Pek Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
109 Hoa menggerakkan alisnya, gerakan yang amat genit sungguhpun harus diakui amat
menarik hati pula. Memang, banyak gerak-gerik genit dari Pek Hoa, seperti
menggerakkan bibir di waktu bicara dan cara senyumnya yang kesemuanya amat manis
dan menarik, telah menurun kepada Im Giok!
"Enci Pek Hoa, aku selalu percaya kepadamu, akan tetapi kali ini agaknya aku
sukar untuk percaya. Bagaimana telur dapat membikin orang menjadi muda
selamanya?"
Pek Hoa tersenyum dan kembali Im Giok melihat betapa manisnya senyum ini.
Kembali diam-diam ia harus mengakui bahwa gurunya ini adalah seorang wanita yang
cantik dan muda.
"Im Giok, yang biasa kita makan itu bukan telur seperti ini. Telur ini bukan
sembarang telur, dan amat sukar didapatkan. Ini adalah telur burung rajawali
putih yang hanya dapat ditemukan di daerah yang amat sukar di utara. Yang
kuminum tadi telur terakhir, maka kau akan kuajak ke sana untuk mencari telur
ini." "Akan tetapi apa buktinya bahwa telur itu betul-betul dapat membuat orang
selamanya menjadi tetap muda?"
"Kaulihat aku" Coba katakan, Im Giok, apakah aku tidak cantik?"
"Kau cantik sekali, Enci Pek Hoa." Pek Hoa tersenyum puas. "Kelak kau lebih
cantik daripada aku, Im Giok. Kaubilang aku cantik dan berapa kaukira usiaku?"
"Kalau kubandingkan dengan wanita-wanita lain yang kita jumpai, paling banyak
kau tentu berusia dua puluh tahun."
Kembali senyum manis membayang bibir Pek Hoa yang merah tanpa gincu itu.
"Dua puluh tahun" Anak baik, usiaku sudah, dua kali itu, lebih lagi..."
"Empat puluh tahun?" Im Giok berseru tidak percaya.
Pek Hoa mengangguk. "Inilah bukti khasiat telur pek-tiauw (burung rajawali
putih)." Im Giok menjadi girang sekali. "Mari kita mencari telur seperti itu, Enci. Aku
pun ingin muda selalu dan cantik seperti engkau."
Demikianlah sifat-sifat Pek Hoa banyak yang menurun kepada anak itu, dan memang
benar seperti yang dikatakan oleh Pek Hoa, anak itu makin lama makin cantik dan
agaknya ia takkan kalah oleh Pek Hoa dalam kecantikan.
Im Giok juga amat suka mempercantik diri dengan pakaian indah. Pek Hoa yang
sayang kepadanya sering kali datang membawa pakaian-pakaian indah dan mahal,
terbuat dari sutera halus. Dan yang selalu dipilih oleh Im Giok adalah pakaian
berwarna merah.
"Bagus, kau mempunyai kesukaan yang sama dengan aku di waktu masih remaja, Im
Giok. Aku pun suka akan warna merah. Warna merah membuat hati gembira dan membesarkan
nyali. Juga kau amat pantas memakai pakaian merah, cocok betul dengan kulitmu
yang putih halus itu."
Selain mewarisi beberapa sifat dan watak Pek Hoa, juga selama empat tahun ini,
Im Giok sudah menerima pelajaran dasar-dasar ilmu silat tinggi. Bakatnya memang
luar biasa sekali, apalagi memang Pek Hoa mengajar dengan sungguh hati. Dalam
waktu empat tahun saja, Im Giok sudah menjadi seorang anak yang lihai permainan
pedangnya, bahkan kalau ia melihat Pek Hoa berlatih ilmu silat Bi-jin-i, ia
menonton dan memperhatikan.
"Enci Pek Hoa, ilmu silat yang kaumainkan itu seperti tarian yang indah sekali.
Aku ingin mempelajari ilmu silat itu Enci?"
Pek Hoa tiba-tiba menghentikan permainan silatnya dan memandang dengan mata
bersinar-sinar dan wajah berseri.
"Hush, kau anak kecil bagaimana bisa mempelajari ilmu silat ini" Ilmu silat ini
hanya boleh dimainkan oleh seorang dara yang sudah dewasa."
Im Giok merasa aneh dan kecewa. Diam-diam tiap kali gurunya bersilat, ia
memperhatikan dan diam-diam ia dapat memetik beberapa jurus dari ilmu silat ini,
di bagian yang indah Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 110 gerakannya. Im Giok tentu saja memandang ilmu silat ini dari segi keindahan dan
ia ingin memetiknya untuk memperindah gaya dan gerakan ilmu silat yang
dilatihnya. Memang nona cilik ini amat suka akan tari-tarian dan akan segala
yang indah-indah.
Pada suatu hari, Pek Hoa mengajak muridnya turun dari puncak persembunyian itu.
Tidak seperti biasanya kalau mengajak muridnya turun gunung bertamasya ke dusun-
dusun, kali ini Pek Hoa membawa buntalan pakaian dan menyuruh muridnya membawa
semua pakaiannya pula.
"Enci Pek Hoa, kita akan pergi ke manakah?" tanya Im Giok yang seperti semua
anak-anak, amat girang diajak bepergian.
"Kita turun gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi."
Hampir saja Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan saja,
menindas hatinya yang rindu kepada ibu dan rumah.
Akan tetapi setelah mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali
menyembunyikan perasaannya. Maka betapapun girang hatinya, pada wajahnya yang
manis sekali itu tidak nampak perubahan.
"Apakah Enci akan membawaku ke Sian-koan" Ataukah hendak mencari Ayah?" Dua
macam pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan
pertama ia menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena
ibunya tinggal di Siankoan. Adapun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek
Hoa bahwa ayahnya telah meninggalkan ibunya, ayahnya yang bernama Kiang Liat dan
berjuluk Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw yang suka
merantau. Ia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja meninggalkan
ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya!
"Sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu telah mempunyai seorang kekasih.
Kekasihnya itu seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih
gagah dan lebih menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan
kekasih lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya dan hal
ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih ibumu
itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu." Demikian Pek Hoa mengarang, hati
Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela
sikap ibunya, sungguhpun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.
"Akan tetapi sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila." Kata-kata ini membuat
hati Im Giok terharu sekali sehingga pernah ia mengajukan permohonan kepada
gurunya untuk mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum
tiba waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak gunung. Sekarang begitu
gurunya mengajaknya turun gunung, otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu
atau ayahnya. "Tidak, Im Giok. Kita tidak pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku
mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san,
kemudian ke kuil Siauw-lim-si untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!"
Tentu saja Im Giok tidak berani membantah.
"Ingatlah, Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang
kang-ouw yang selain telah membunuh tiga orang guruku, juga telah mendatangkan
malu besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan
tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan
mencari dan membalasnya.
Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku kelak akan dapat
membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su."
"Bu Pun Su...?" baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya
sederhana sekali itu.
"Im Giok, jangan kaupandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun
Su (Tiada Kepandaian), akan tetapi dialah orang yang paling lihai di antara
semua musuhku. Aku Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 111 sendiri tidak berdaya terhadap dia, dan kelak kau orangnya yang kuharapkan akan
dapat membalasnya."
Demikianlah, sambil menuturkan pengalamannya, Pek Hoa melakukan perjalanan
bersama muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu
berlari cepat, menuruni puncak bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih
silat selama empat tahun lebih. Setelah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat
baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar hati dan berani muncul lagi. Yang ia
takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Ia
gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh besar ini adalah seorang wanita
sedangkan ilmu silat Bi-jin-khai-i yang baru ia latih sama sekali tidak ada
pengaruhnya terhadap lawan wanita.
Adapun rasa gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat
kepandaian pendekar sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat
kepandaian mendiang tiga orang suhunya sendiri! Karena itu, ia merasa ragu-ragu
apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su.
*** Tidak ada orang yang berjumpa dengan mereka terutama sekali kaum pria, yang
tidak memandang dengan penuh kekaguman yang tak mudah dilihat setiap kali.
Seorang dara berbaju biru putih, cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari
dua puluh tahun usianya.
Rambutnya hitam panjang, digelung dengan model gelung dewi kahyangan, di sebelah
kiri dihias setangkai bunga putih yang harum, yakni bunga Cilan, di sebelah
kanan terhias burung hong dari emas dan permata. Sepasang anting-anting panjang
berrnata merah tergantung di bawah telinga, bergerak-gerak membelai pipi
menambah kemanisan. Pakaian dan sepatunya baru dan terbuat dari bahan mahal.
Gagang sepasang pedang yang, menempel di punggung, dengan ronce-ronce pedang
warna merah berkibar di atas pundak, membuat Si Cantik itu nampak gagah sekali.
Sepasang pedang ini pula yang membuat tiap orang laki-laki yang memandang kagum,
tidak berani bersikap kurang ajar.
Yang ke dua masih belum dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan
tetapi sudah kelihatan luar biasa cantiknya. Dillhat sepintas lalu, wajahnya
hampir sama dengan wajah dara yang dewasa itu, patut kiranya menjadi adiknya.
Akan tetapi kalau diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh,
terutama sekali pada sinar mata dan tekukan bibir.
Juga gadis cilik ini menarik hati setiap orang. Tidak saja manis dan jelita,
juga amat gagah.
Pakaiannya serba merah, terbuat dari sutera indah pula. Rambutnya dikucir dan
dihias dengan pita merah pula. Juga di punggung bocah perempuan ini kelihatan
gagang sebatang pedang pendek dan langkah kakinya yang tegap dan lincah itu
mendatangkan kesan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi seperti kawannya.
Pek Hoa dan Im Giok, dua orang itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi
pamandangan di kota-kota, terutama sekali Im Giok. Mereka tidak mempedulikan
pandangan mata kagum dari para laki-laki yang mereka jumpai di tengah
perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang mata itu tidak ada artinya. Akan tetapi
tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah empat tahun lebih ia tidak pernah
menghadapi pandang mata kagum dari para pria maka kini ia merasa gembira dan
bangga bukan main. yata bahwa empat lima tahun tidak mengurangi
kecantikannya, tidak merubah usianya! Ini semua berkat telur pek-tiauw yang
benar-benar memiliki khasiat membuat orang menjadi awet muda. Yang menyebalkan
hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak ada laki-laki yang cukup tampan dan
gagah di antara mereka yang ia jumpai. Maka ia pun bersikap seperti Im Giok,
tidak peduli sama sekali akan pandang mata orang-orang itu, melainkan tersenyum
makin manis dan bangga.
Akan tetapi, setelah kembali terjun ke dalam dunia ramai, timbul pula penyakit
lama dalam diri Pek Hoa. Hati dan tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan
perbuatan seperti dahulu-dahulu.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
112 Mulailah Im Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan gurunya. Sering
kali di waktu malam Im Giok diajak mendatangi rumah orang di mana Pek Hoa
mengambil barang
berharga dan emas sekehendak hati sendiri. Bahkan di depan mata Im Giok, ketika
tuan rumah bangun dari tidur dan melihat pencurian yang dilakukan, Pek Hoa
membunuh tuan rumah itu bagaikan orang membunuh semut saja!
"Enci Pek Hoa, mengapa setelah mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya
yang tidak mempunyai dosa apa-apa?" Im Giok memprotes.
"Im Giok, mengapa ribut-ribut urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia"
Dia telah memergoki kita, ini artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati
atau hidup apa sih artinya" Kita boleh berbuat sesuka kita, itulah hukum kang-
ouw, siapa kuat dia menang!"
Jawaban ini meragukan hati Im Giok. Biarpun semenjak berusia enam tahun ia telah
ikut Pek Hoa dan selalu melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah
keturunan orang baik-baik. Ibunya seorang wanita bijaksana, ayahnya seorang
laki-laki gagah perkasa maka sedikitnya ia pun mempunyai watak yang baik dan
gagah. Menghadapi perbuatan yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak.
Apalagi ketika ia melihat beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel
dan diam-diam pergi meninggalkannya sampai semalam suntuk dan keesokan harinya
pagi-pagi baru datang dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi makin curiga. Namun
ia tidak dapat menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini.
Betapapun juga, ia harus akui bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik
terhadapnya, amat baik dan penuh kasih sayang.
Beberapa pekan kemudian, Pek Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan
sebuah gedung besar di tengah kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya
kalau Pek Hoa memasuki gedung besar, waktunya tengah malam dan jalan masuknya
melalui genteng!
"Enci Pek Hoa, rumah siapakah ini?"
"Rumah seorang gagah bernama Kam Kin berjuluk Giam-ong-to (Si Golok Maut). Kau
harus sebut Susiok (Paman Guru) kepadanya."
Kedatangan mereka segera disambut oleh tuan rumah, seorang laki-laki berusia
tiga puluh lebih, tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup
gagah. Hanya sayangnya, pandang matanya kejam dan senyum bibirnya membayangkan
watak mata keranjang dan curang.
"Aduuh, pantas saja aku bermimpi kejatuhan bulan!" laki-laki itu berseru sambil
tertawa-tawa dan kedua lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa,
seakan-akan siap hendak memeluknya. "Tidak tahunya benar saja dewiku yang jelita
datang berkunjung..."
Kata-katanya berhenti ketika Pek Hoa mengerutkan alis dan memberi isarat dengan
matanya ke arah Im Giok, mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di
depan Im Giok. Kam Kin, laki-laki itu, tertawa menyeringai dan ketika ia
menengok ke arah Im Giok, sinar kagum terbayang dalam pandang matanya.
"Aha Pek Hoa-suci, muridmu ini benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau
seperti bunga cilan putih yang sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah
tunas cilan yang merah. Ha, ha, ha!"
Sekali pandang saja, Im Giok merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka
ini. Sungguhpun ia dapat menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serinya. "Im Giok, beri hormat kepada Kam-susiok," kata Pek Hoa.
Terpaksa Im Giok menjura untuk memberi hormat tanpa memandang wajah orang.
"Teecu Kiang Im Giok memberi hormat kepada Kam-susiok," katanya sederhana lalu
berdiri lagi di samping gurunya.
"Ha, ha, bagus sekali. Orangnya manis, namanya indah dan suaranya merdu seperti
gurunya," Kam Kin menepuk tangan tiga kali dan dari dalam muncullah tiga orang wanita muda
yang cantik-cantik. Mereka ini adalah pelayan-pelayan dari hartawan ini, akan
tetapi pakaian Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
113 mereka sesungguhnya tidak patut bagi para pelayan, lebih pantas kalau mereka ini
disebut selir-selir dari Kam Kin.
"Siapkan, kamar yang bersih dan layani Nona Kiang Im Giok ini baik-baik,"
katanya kepada mereka. Sambil tertawa-tawa tiga orang perempuan muda itu lalu
menggandeng tangan Im Giok dan ditariknya nona cilik ini di dalam gedung.
Tadinya Im Giok hendak menolak, akan tetapi Pek Hoa berkata, "Kau pergilah
beristirahat, Im Giok. Tak usah sungkan-sungkan, kita berada di rumah sendiri.
Besok pagi-pagi kita bertemu kembali di ruang depan ini. Aku ada perundingan
penting dengan susiokmu."
Terpaksa Im Giok ikut dengan tiga orang pelayan itu dan di belakangnya ia
mendengar suara ketawa-ketawa dari Pek Hoa dan Kam Kin, dan lapat-lapat ia
mendengar lagi sebutan-sebutan mesra dari mulut Kam Kin kepada gurunya.
Di dalam kamarnya Im Giok hampir menangis. Ia kecewa sekali. Makin terbukalah
matanya dan biarpun belum berani ia menuduh gurunya sebagai seorang penjahat
wanita cabul, akan tetapi kepercayaannya mulai berkurang dan hatinya mulai ragu-
ragu. Ia tidak ragu lagi bahwa tuan rumah yang bernama Giam-ong-to Kam Kin ini
bukanlah orang baik-baik.
Bagaimanakah gurunya bisa bergaul dengannya" Ia tidak dapat tidur sama sekali.
Bocah yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini mulai merasa sengsara dan
gelisah. Ia amat merindukan ibunya, bahkan ia mencoba untuk mengingat-ingat
bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ketika ayahnya pergi meninggalkan ibunya, ia
baru berusia dua tahun dan tak dapat mengingat lagi bagaimana bentuk wajah
ayahnya. Ia mulai rindu kepada ibunya, kepada ayahnya, kepada kebebasan! Biarpun
Pek Hoa baik terhadapnya, namun ia tidak merasa bebas. Ia harus tunduk dan taat,
harus menelan apa saja yang disuguhkan kepadanya. Semua perbuatan gurunya yang
sebetulnya ia anggap amat tidak patut dan tidak menyenangkan hatinya, mau tidak
mau harus ia terima dan ia anggap baik, atau setidaknya, ia tidak boleh
menyatakan pendapatnya.
Seperti biasa, di mana saja Pek Hoa membawanya, ia tidak pernah kekurangan
makan. Di rumah gedung dari orang she Kam ini pun ia dilayani dengan baik-baik,
bahkan ia disuguhi makanan-makanan lezat dan mewah. Akan tetapi, Im Giok tidak
dapat merasai kenikmatan makanan itu, bahkan ia menelan makanan dengan paksa
hanya untuk berlaku pantas karena ia sungkan menolak sambutan orang yang
demikian baik. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Im Giok sudah siap untuk melanjutkan
perjalanan dengan gurunya. Alangkah girangnya ketika pagi itu Pek Hoa sudah
datang ke kamarnya dan berkata dengan wajah berseri,
"Im Giok, mari kita berangkat! Kau akan melihat betapa aku memberi hajaran
kepada seorang di antara musuh-musuh besarku."
"Yang mana, Enci?" tanya Im Giok ikut gembira karena hendak menyaksikan
pertempuran. "Hwesio-hwesio dari Siauw-lim-si, Kok Beng Hosiang dan dua orang hwesio
muridnya. Kebetulan sekali dia dan muridnya berada di sebuah kelenteng tak jauh dari kota
ini." Akan tetapi, kegembiraan Im Giok segera lenyap ketika ia melihat Giam-ong-to Kam
Kin telah menanti di pekarangan rumah dengan tiga ekor kuda. Jelas bahwa laki-
laki ini hendak ikut pergi pula! Pek Hoa bermata tajam dan ia dapat melihat
kerutan alis muridnya, maka ia cepat berkata,
"Susiokmu akan ikut membantuku, Im Giok, kau naiki kuda yang putih itu,
kelihatannya paling, baik." Kata-kata terakhir ini diucapkan oleh Pek Hoa untuk
menyenangkan hati muridnya.
"Jangan yang itu. Kuda itu masih setengah liar. Lebih baik Im Giok naik yang
ini!" Kam Kin cepat berkata sambil menuntun seekor kuda bulu hitam dan
didekatkan kepada Im Giok.
Im Giok tidak biasa menunggang kuda. Akan tetapi sebagal murid orang pandai yang
sudah memiliki kepandaian lumayan, ia tidak merasa takut dan dengan gerakan
ringan ia melompat ke atas punggung kuda hitam itu.
Mereka segera berangkat. Kam Ki dan Pek Hoa menjalankan kuda berdampingan,
sedangkan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
114 Im Giok menjalankan kuda di belakang mereka. Dengan hati sebal dan muak ia
melihat betapa sikap gurunya dan susioknya amat mesra. Di sepanjang jalan kedua
orang itu bersendau-gurau dengan sikap mesra. Makin besarlah perasaan tidak suka
mendesak di hati Im Giok, rasa tidak suka terhadap orang yang selama ini ia
anggap sebagai gurunya.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Pek Hoa kepada Im Giok. Kok Beng Hosiang,
tokoh ke tiga dari Siauw-lim-pai, murid ke dua dari Hok Bin Taisu yang dulu ikut
pula menyerbu Thian-te Sam-kauwcu bersama suhengnya untuk mengambil kembali
kitab yang tercuri, pada waktu itu sedang keluar dari Siauw-lim-si dan berada di
sebuah kelenteng yang tidak jauh letaknya menyebarkan Agama Budha di belakang
kelenteng lain. Dalam perjalanan ini ia dikawani oleh dua orang muridnya. Hal
ini diketahui oleh Kam Kin yang segera memberi tahu kepada Pek Hoa dan siap pula
membantunya. Kam Kin yang berjuluk Giam-ong-to adalah seorang bekas perampok tunggal yang
kini sudah mengundurkan diri setelah berhasil mengumpulkan banyak harta
kekayaan. Ia kini hidup sebagai seorang hartawan muda yang tidak beristeri, akan
tetapi bukan rahasia lagi bahwa ia mempunyai banyak selir dan dia pun terkenal
sebagai seorang hartawan mata keranjang yang tidak segan-segan mempergunakan
harta dan kepandaiannya untuk merampas anak bini orang lain. Kalau orang tidak
merasa takut terhadap pengaruh hartanya, tentu ia akan merasa gentar menghadapi
goloknya, karena Kam Kin memang termasuk seorang ahli silat kelas tinggi.
Biarpun Kam Kin bukan murid Thian-te Sam-kauwcu, namun ia memang termasuk adik
seperguruan dari Pek Hoa, karena Pek Hoa pernah pula menjadi murid Cheng-jiu
Tok-ong (Raja Beracun Berlengan Seribu), seorang tokoh besar rimba persilatan di
daerah barat. Sedangkan raja beracun ini adalah guru dari Kam Kin. Hanya bedanya, kalau Kam
Kin hanya menerima kepandaian silat dari Cheng-jiu Tok-ong, adalah Pek Hoa
melanjutkan pelajaran dan berguru kepada banyak tokoh lain sehingga kepandaian
Pek Hoa tentu saja lebih lihai daripada kepandaian Kam Kin.
Semenjak berusia belasan tahun, Pek Hoa memang sudah bejat moralnya. Ketika
masih berguru kepada Cheng-jiu Tok-ong, ia sudah jatuh hati kepada Kam Kin yang
lebih muda dan memang tampan. Kedua orang ini seperti sampah dengan keranjang,
cocok sekali dan sudah lama mempunyai perhubungan yang tidak bersih.
Lewat tengah hari mereka tiba di depan kelenteng yang dimaksudkan. Dengan tenang
Pek Hoa melompat turun dari kudanya, diikuti oleh Kam Kin dan Im Giok, kemudian
tiga ekor kuda itu diikat pada pohon yang tumbuh di halaman kelenteng.
Sunyi saja di kelenteng itu. Akan tetapi meja depan dipasangi lilin, tanda bahwa
ada penghuninya di dalam kelenteng.
"Kok Beng Hosiang, keluarlah untuk menerima binasa!" Pek Hoa berseru keras.
Terdengar suara orang dari dalam kelenteng dan muncullah dua orang hwesio muda.
Mereka merangkap kedua tangan di depan dan sebagai tanda penghormatan, lalu
seorang di antara mereka bertanya,
"Sam-wi dari manakah dan ada keperluan apa mencari Suhu yang sedang
bersembahyang?"
"Kalian ini dua orang keledai gundul murid Kok Beng Hosiang" Bagus, berangkatlah
dulu ke neraka untuk mempersiapkan tempat bagi gurumu!" kata Kam Kin yang sudah
mencabut goloknya sambil bergerak maju menyerang secara hebat sekali. Im Giok
terkejut bukan main, juga merasa penasaran dan ngeri, maka ia cepat melompat
mundur dan berdiri di tempat jauh sambil menonton. Hatinya berdebar tidak
karuan, dan kembali rasa tidak suka menyerang batinnya, kini bahkan demikian
hebat sehingga mulai timbul benci di dalam hatinya kepada Pek Hoa dan Kam Kin.
"Eh, eh, kalu ini perampok atau orang gila?" hwesio muda itu berteriak marah
sambil mengejek. Kemudian secepat kilat kedua orang hwesio itu menyerang, yang
pertama Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
115 menendang ke arah sambungan lutut, yang kedua menghantam ke arah lambung. Mereka
adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang sudah diperkenankan ikut guru mereka
merantau, ini menjadi bukti bahwa kepandaian mereka bukan rendah, maka tentu
saja mereka tidak mudah dirobohkan oleh serangan golok Kam Kin bahkan dapat
membalas dengan serangan yang cukup berbahaya.
Sekali pandang saja Pek Hoa cukup maklum bahwa ia tak perlu membantu sutenya.
Tingkat kepandaian sutenya masih lebih tinggi dari dua orang hwesio muda ini.
Maka sekali menggerakkan tubuh, ia telah melompat di dekat Im Giok dan menonton
jalannya pertempuran. Im Giok mendongkol bukan main. Ia anggap Pek Hoa dan Kam Kin keterlaluan sekali,
datang-datang menyerang dua orang pendeta yang tidak terang apa salahnya. Akan
tetapi tentu saja untuk membantu dua orang hwesio itu atau mencela Kam Kin ia
tidak berani kepada gurunya. Untuk melampiaskan kemendongkolannya, ia sengaja
berkata kepada gurunya,
"Enci Pek Hoa, tidak tahunya julukan Susiok Giam-ong-to kosong belaka.
Menghadapi dua orang hwesio bertangan kosong saja ia tidak mampu menjatuhkani"
Mendengar ini, Pek Hoa menjadi merah mukanya. Kata-kata itu biarpun ditujukan
untuk mengejek Kam Kin akan tetapi seperti juga menampar mukanya sendiri karena
Kam Kin adalah sutenya. Ia memandang lagi ke arah pertempuran dan harus ia akui
bahwa kiranya sutenya itu masih agak lama untuk dapat mengalahkan dua orang
lawannya. Maka dengan gemas sekali ia melompat mendekati tempat pertempuran,
lalu mengayun tangan kiri sambil berseru,
"Sute, lekas robohkan mereka. Untuk apa main-main dengan dua ekor keledai macam
ini?" Gerakan tangan kiri Pek Hoa tadi bukan sembarangan gerakan, melainkan gerakan
melepaskan Pek-hoa-ciam yang lihai. Segera dua orang hwesio muda itu terhuyung-
huyung dan dua kali golok besar di tangan Kam Kin berkelebat, muncratlah darah
dan robohlah dua orang hwesio itu dengan leher terbacok dan nyawa melayang.
"Omitohud...! Siluman wanita Pek Hoa, kau benar-benar keji sekali dan tidak
kenal tobat. Datang-datang kau telah membunuh murid-murid pinceng, benar-benar siluman
jahat." Kata-kata ini disusul dengan keluarnya seorang hwesio gemuk yang memegang
senjata rantai panjang. Dahulu dalam pertempuran di lembah Sungai Yalu Cangpo,
hwesio ini sudah merasai kelihaian Pek-in-ong, seorang di antara guru-guru Pek
Hoa. Maka kali ini ia berlaku hati-hati menghadapi Pek Hoa, maklum bahwa wanita
siluman ini lihai sekali, apalagi senjata rahasianya.
Melihat musuhnya sudah berdiri di depannya, tanpa banyak cakap lagi Pek Hoa lalu
mencabut siang-kiamnya dan melakukan serangan secepat kilat. Kok Beng Hosiang,
hwesio gemuk itu, cepat pula menggerakkan senjata rantainya menangkis. Terdengar
suara nyaring dan bunga api berpijar ketika pedang bertemu dengan rantai.
Kemudian terjadilah pertandingan ilmu silat tinggi yang seru.
Im Giok tidak senang sekali melihat Kam Kin tadi membunuh dua orang hwesio muda,
kini ia lebih gelisah melihat hwesio tua gemuk bertempur melawan gurunya. Kalau
saja para pendeta itu bertempur dengan lain orang, bukan dengan gurunya, kiranya
Im Giok akan turun tangan membantu pendeta-pendeta itu. Biarpun baru empat lima
tahun ia berlatih silat, namun berkat latihan sungguh-sungguh dan ilmu silat
tinggi yang diturunkan oleh Pek Hoa, kepandaian Im Giok sudah lumayan dan
nyalinya besar sekali. Kini melihat Kok Beng Hosiang bertempur melawan
gurunya... Im Giok dapat menduga bahwa hwesio itu takkan menang.
Pertandingan itu cukup hebat. Sebagai tokoh ke tiga dan Siauw-lim-pai,
kepandaian Kok Beng Hosiang tinggi sekali. Tenaga lwee-kangnya sebenarnya masih
mengatasi tenaga Pek Hoa, dan ilmu silatnya amat kokoh kiuat dan tangguh dalam
pertahanan. Namun ia harus mengaku kalah gesit dan kalah cepat oleh nona itu.
Gerakan Pek Hoa cepat sekali, Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 116 menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda hingga Kong Beng Hosiang nampak
terdesak. Betapapun juga, jago Siauw-lim-si ini dapat mempertahankan diri sampai lima
puluh jurus lebih sebelum pundaknya terserempet ujung pedang kiri Pek Hoa.
Gerakan yang dilakukan oleh Pek Hoa dalam penyerangan yang berhasil itu memang
hebat sekali, mengandalkan gin-kang yang sudah tinggi. Sebuah serangan Kok Beng
Hosiang dengan rantainya yang menyambar pinggang, dapat ia elakkan dengan
lompatan indah dan cepat bagaikan burung tebang, kemudian selagi tubuhnya masih
berada di udara, nona ini membalikkan tubuh dan sepasang pedangnya menyerang
bertubi-tubi dari atas. Kok Beng Hosiang sudah berusaha menangkis, namun ia
kalah cepat sehingga pedang kiri Pek Hoa yang menyambar leher masih saja dapat
menyerempet pundaknya, darah membasahi jubah pendetanya.
Kok Beng Hosiang terhuyung ke belakang. Sambil tertawa nyaring dan mengejek, Pek
Hoa mendesak terus, siap memberi tusukan-tusukan terakhir. Tiba-tiba berkelebat
bayangan dan "traang!" pedang Pek Hoa yang sudah menyambar ke arah ulu hati Kok Beng Hosiang
bertemu dengan sebatang pedang lain.
"Im Giok....!" Pek Hoa berseru marah sekali ketika melihat bahwa yang menangkis
pedangnya adalah muridnya sendiri. Bocah ini melihat gurunya mendesak dan hendak
membunuh hwesio tua gemuk, tak dapat menahan perasaannya lagi, mencabut pedang
pendek dan menangkis pedang Pek Hoa!
"Enci, untuk apa membunuh seorang pendeta yang suci" Dia sudah kalah terluka,
tak perlu didesak terus, Enci."
"Bocah, kau lancang sekali!" Kam Kin melompat dan sekali bergerak ia telah
merampas pedang Im Giok dan menyambar tubuh bocah itu, dipeluk pinggangnya terus
dikempit. Im Giok yang tidak menduga sebelumnya tidak berdaya dan terpaksa ia
hanya membikin tubuhnya kaku dalam kempitan susioknya yang tertawa-tawa
menyebalkan. Sementara itu, Pek Hoa terus mendesak Kok Beng Hosiang dengan sepasang
pedangnya. Kok Beng Hosiang melawan terus, namun dalam beberapa gebrakan saja,
kembali ujung pedang Pek Hoa telah melukai lengannya.
"Hwesio keparat, mampuslah kau!" Pek Hoa menggerakkan sepasang pedangnya secara
istimewa, menyerang dari kanan kiri dengan gerak tipu Kim-peng-tian-ci (Garuda
Emas Mementang Sayap). Kok Beng Hosiang yang sudah terluka mana dapat menjaga
serangan yang datang dari kanan kiri dengan hebat ini" Ia tahu bahwa kali ini ia
takkan dapat menghindarkan maut lagi, maka ia hanya menarik napas panjang.
"Pek Hoa Pouwsat, kau benar-benar keterlaluan sekali!" terdengar suara bentakan
halus dan Pek Hoa mengeluarkan jerit kecil ketika tiba-tiba pedangnya terbentur
oleh sesuatu sehingga terpental. Ia cepat melompat ke belakang dan ketika ia
memandang, ternyata yang menangkis pedangnya tadi adalah sebatang ranting yang
dipegang oleh seorang pengemis yang amat dikenalnya, yakni Han Le! Orang sakti
itu tersenyum. Han Le adalah seorang yang berwajah tampan dan menarik. Walaupun kini rambut dan
jenggotnya tidak terpelihara dan pakaiannya seperti seorang jembel, namun
setelah berhadapan muda dan memandang penuh perhatian, ternyatalah oleh Pek Hoa
Pouwsat bahwa kulit muka itu bersih dan terawat baik-baik, merupakan wajah
seorang jantan yang menggerakkan hati wanitanya! Han Le dan Bu Pun Su merupakan
dua orang yang paling berbahaya di antara musuh-musuhnya. Kini melihat Han Le
berdiri di hadapannya dengan ranting di tangan, bibir tersenyum dan wajah
tenang, dua macam pikiran memasuki kepala Pek Hoa Pouwsat. Pertama bahwa Han Le
seorang laki-laki yang sudah masak dan menarik hatinya, kedua bahwa akan
menguntungkan sekali baginya kalau ia dapat memikat hati musuh besar ini, selain
ia dapat memuaskan hatinya, juga ia mendapat jalan untuk membalas dendam!
Dengan senyum yang manis sekali, Pek Hoa Pouwsat menghadapi Han Le, memainkan
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
117 matanya yang sinarnya dapat membetot hati setiap pria, baru ia berkata,
"Eh, kiranya Han Le Tai-hiap yang muncul. Kebetulan sekali, siauwmoi sudah lama
sekali ingin mengunjungimu dan melihat-lihat keadaan Pulau Pek-le-thio!"
Kulit muka di balik cambang itu memerah dan Han Le menekan perasaan hatinya yang
berdebar aneh ketika ia melihat sikap Pek Hoa Pouwsat dan mendengar wanita
cantik itu menyebut diri sendiri "siauwmoi" (adinda)! Semenjak pertama kali
bertemu dengan Pek Hoa Pouwsat, memang diam-diam di dalam hatinya Han Le kagum
sekali dan merasa menyesal serta sayang mengapa seorang wanita demikian manis
jelita telah tersesat dan menyeleweng jalan hidupnya. Han Le adalah seorang yang


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mudah tertarik oleh kecantikan wanita, bahkan semenjak muda ia terkenal
sebagai seorang pria pembenci wanita. Akan tetapi, kali ini menghadapi Pek Hoa
Pouwsat yang segala-galanya serba cocok dengan seleranya, dan amat menarik
hatinya, Han Le harus mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan yang
tergoncang. Akan tetapi Han Le dengan pandang mata keren menegurnya,
"Pek Hoa Pouwsat, mengapa kau melukai dan hendak membunuh hwesio Siauw-lim-si
ini?" Pek Hoa mengerling ke arah Kok Beng Hosiang yang masih sibuk mengobati luka-
lukanya, lalu tersenyum dan dengan tubuh digerak-gerakkan secara genit dan
kepala dimiringkan, ia berkata kepada Han Le,
"Dia ini musuh besarku, mengapa tidak harus kubunuh" Akan tetapi karena Han Le
Tai-hiap datang dan melihat muka Tai-hiap, biarlah kali ini siauwmoi mengampuni
kepala gundul ini.
Kok Beng Hosiang, kau tidak lekas pergi dari sini" Apa menanti sampai aku
bergerak lagi"
Hayo pergi lekas!"
Kok Beng Hosiang sudah merasa bahwa ia takkan menang menghadapi Pek Hoa Pouwsat.
Biarpun kini ia melihat kedatangan Han Le, akan tetapi ia telah dibikin malu dan
tidak ada muka untuk berdiam terus di tempat itu.
"Kau telah menghina Siauw-lim-si, nantikan pembalasan kami!"
katanya geram, lalu hwesio ini pergi dengan langkah lebar. Akan tetapi ia tidak
pergi jauh karena ia mengambil jalan memutar dan dengan sembunyi ia mengintai,
ingin menyaksikan bagaimana Han Le memberi hajaran kepada Pek Hoa Pouwsat dan
kawan-kawannya. Kok Beng Hosiang diam-diam merasa sakit hati dan mendongkol
sekali, maka ingin ia melihat wanita yang membikin malu padanya itu menerima
hajaran keras. Akan tetapi, apa yang dilihat oleh hwesio Siauw-lim-si ini
membuat sepasang matanya terbelalak lebar, mukanya merah seperti kepiting
direbus dan kepalanya yang gundul licin berdenyut-denyut.
Setelah Kok Beng Hosiang pergi, Pek Hoa mendekati Han Le dengan lenggang dibuat-
buat, amat menarik hati karena memang wanita ini memiliki bentuk tubuh yang
indah menarik. "Tai-hiap, seperti kukatakan tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-le-
to tempat tinggalmu mengandung banyak rahasia, juga amat indah seperti sorga.
Bolehkah aku mengunjungimu" Bawalah aku ke sana, Tai-hiap."
Han Le mengerutkan keningnya. "Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang
kaukeluarkan ini" Kau adalah murid Thian-te Sam-kauwcu dan kau tahu bahwa aku
dan suhengku, juga kawan-kawan lain telah..."
Pek Hoa mengangkat kedua lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari
dalam lengan bajunya keluar keharuman bunga cilan!
"Han-taihiap, harap kau jangan menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat,
sudahlah. Terhadap seorang gagah seperti Tai-hiap, bagaimana siauwmoi berani menaruh
dendam hati"
Yang ada di dalam hati siauwmoi bukanlah dendam dan marah, melainkan...
kekaguman dan ingin sekali mempererat persahabatan..." Suaranya terdengar
demikian merdu dan penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar merah sebentar
pucat. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
118 "Jembel busuk, lekas pergi dari sini!" Tiba-tiba Giam-ong-to Kam Kin yang
semenjak tadi mendengarkan percakapan itu dan melihat sikap genit sucinya dengan
hati sebal dan cemburu, lalu menggerakkan sepasang goloknya menyerang Han Le!
"Sute... jangan...!" Pek Hoa membentak Kam King akan tetapi terlambat karena
sepasang golok itu dengan ganasnya telah menyambar tubuh Han Le.
Bentakan ini sebetulnya bukan dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan
keselamatan Han Le, bahkan sebaliknya ia amat khawatir akan keselamatan sutenya.
Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Han Le jauh lebih tinggi daripada ilmu
kepandaian Kam Kin.
Memang betul apa yang dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja
Han Le dapat menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan
secara cepat dan tak terduga, rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa
dapat dielakkan oleh Kam Kin.
Giam-ong-to Kam Kin menjerit dan roboh berkelojotan.
Pek Hoa menghampiri dan sekali menepuk punggung dan leher sutenya, Si Golok Maut
itu terbebas dari rasa sakit yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan
menyeringai, mukanya merah sekali. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia
mengambil sepasang golok yang tadi terlempar di atas tanah ketika ia roboh,
memasukkan sepasang golok itu di dalam sarung golok, lalu ia melompat ke
pinggir, ke dekat Im Giok yang memandang semua itu dengan kagum.
Kam-susiok, mengapa baru sejurus kau mundur lagi?" tanya Im Giok kepada Giam-
ong-to dengan nada suara mengejek. Anak ini memang tidak suka kepda Kam Kin,
maka kini ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kam Kin memandang kepada bocah
itu dengan mata mendelik. Im Giok menahan geli hatinya lalu menengok dan
menonton apa yang akan terjadi antara gurunya dan pengemis sakti itu.
"Han-taihiap, kau makin gagah saja, benar-benar siauwmoi kagum dan tunduk.
Siauwmoi ulangi lagi keinginan hati siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu,
di mana kita dapat saling menukar ilmu dan bercakap-cakap gembira tanpa gangguan
orang lain."
Pek Hoa Pouwsat, kau bicara apakah" Kau dan sutemu telah berlaku kejam, membunuh
dua orang hwesio Siauw-lim-si dan menghina seorang tokoh Siauw-lim. Untuk
perbuatan jahat ini mana bisa aku mendiamkannya saja?"
Sambil berkata demikian, Han Le sudah menggerakkan ranting di tangannya,
mengirim serangan langsung ke arah leher Pek Hoa Pouwsat. Biarpun ia harus
mengaku bahwa hatinya amat tertarik, kejantanannya bangkit oleh kecantikan dan
kelembutan yang demikian memikat hati, namun kesadaran Han Le masih penuh
sehingga ia mengeraskan hati dengan anggapan bahwa wanita cantik menarik yang
dihadapinya adalah seorang jahat dan keji dan sebagai seorang pendekar ia harus
membasminya. Pek Hoa Pouwsat mencelat ke belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir,
"Ayaa, Han-taihiap, galak sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!" Sambil
berkata demikian, Pek Hoa Pouwsat cepat mencabut siang-kiamnya lalu menghadapi
Han -Le dengan sikap gagah menarik.
"Awas serangan!" Han Le memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan
sungguh-sungguh. Ia maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia
pernah menghadapi Pek Hoa Pouwsat dan tahu akan kelihaiannya. Akan tetapi,
beberapa hari saja berkumpul dengan suhengnya Bu Pun Su, Han Le telah memperoleh
kemajuan yang amat banyak. Sehari berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar
nasihat serta penjelasannya dalam hal ilmu silat, sama halnya dengan berlatih
satu tahun di bawah pimpinan guru pandai.
Oleh karena itu, pertemuan akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han Le
memperoleh kemajuan banyak dalam ilmu silat, dan Bu Pun Su telah membuka matanya
untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri.
Oleh nasihat Bu Pun Su ia maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat
mengandalkan kelihaiannya dengan kecepatan, kelincahan, dan siang-kiam-hoat yang
tidak terduga gerakannya, mengandalkan gin-kang yang tinggi. Untuk melawan orang
seperti ini ia harus Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 119 berlaku tenang, tidak boleh mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawan,
sebaliknya berlaku tenang dan mengandalkan lwee-kang membentuk pertahanan yang
kuat dan melindungi tubuh dengan hawa pukulan dari rantingnya. Maka ketika Han Le
mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan suhengnya, ia minta petunjuk untuk
menyempurnakan ilmu pedangnya bagian gerakan Jit-in-to-goat (Tujuh Awan
Membungkus Bulan), sebuah gerakan ilmu pedangnya yang merupakan benteng
pertahanan kuat sekali.
Han Le melakukan gerakan ini dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak
bergerak. Kedua kakinya hanya dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang disebut
Kung-si dengan tubuh agak dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda Ci-kung-si.
Biarpun kedudukan tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini
memungkinkan dia untuk menggerakkan rantingnya ke mana.saja sepasang pedang Pek
Hoa meluncur. Tanpa banyak mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua
serangan Pek Hoa yang pedang itu susul-menyusul ramai seperti sepasang ular
berlumba. "Han-taihiap, kau benar-benar mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu
pedangku yang baru, kaulihat bagus atau tidak!"
Perubahan hebat terjadi pada gerakan pedang Pek Hoa Pouwsat. Biarpun sepasang
pedang itu masih melakukan serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat
tinggi, namun gerakan-gerakannya demikian indah dan menarik, tak ubahnya seperti
sedang menari saja.
"Indah sekali...!" berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji. Gadis cilik
ini tadinya bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya, akan
tetapi sekarang melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama
sekali akan adanya Kam Kin di situ.
Sepasang matanya bercahaya, wajahnya berseri dan tanpa berkedip ia menonton ilmu
pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memang mempunyai darah seni,
suka sekali akan keindahan, maka tarian pedang itu benar-benar mempesonakannya.
"Aaiih, memalukan sekali..." kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat.
Biarpun ia tidak terkena pengaruh langsung dari ilmu pedang yang dimainkan oleh
Pek Hoa Pouwsat, namun keindahan gerakan pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek
Hoa, tetap saja terasa olehnya sebagai gerakan-gerakan yang memikat hati,
gerakan yang tidak sopan. Pinggang Pek Hoa seakan-akan tidak bertulang,
menggeliat-geliat seperti ular, menggerak-gerakkan tubuh bagian bawah, bibir
tersenyum manis dan merah membasah, sepasang mata setengah redup dan berkaca-
kaca, semua ini ditujukan kepada Han Le.
Pengemis sakti itu masih menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan
dua batang pedang yang lihai itu. Akan tetapi ketika Pek Hoa Pouwsat merubah
ilmu pedangnya dan mulai dengan ilmu pedang yang seperti tarian indah itu, hati
Han Le terguncang hebat. Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang
memainkan ilmu pedang Bi-jin-khai-i, ilmu silat yang sebenarnya merupakan
setengah ilmu sihir karena di dalamnya mengandung pengaruh mujijat dari
kecantikan wanita untuk merobohkan hati pria. Inilah ilmu silat aneh yang selama
ini dilatih secara mendalam oleh Pek Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan
musuh-musuh besarnya yang tangguh dan kini untuk pertama kalinya, ia pergunakan
dalam menghadapi Han Le!
Ilmu silat Bi-jin-khai-i ini memang hebat. Andaikata dimainkan oleh seorang
perempuan yang berwajah buruk dan bertubuh tak menarik sekalipun, tetap akan
mengeluarkan pengaruh yang dapat merobohkan hati laki-laki. Apalagi sekarang
dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh
sepenuhnya wanita, tentu saja daya rangsangnya berlipat ganda. Dalam belasan
jurus saja, Han Le mulai terkena pengaruhnya. Dalam penglihatan Han Le, sepasang
pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari pedang yang amat indah.
Tubuh yang berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu seakan-akan melambai dan
mengajaknya bergembira dan menari. Lebih hebat lagi, makin lama gerakan Pek Hoa
dalam mata Han Le makin luar biasa sehingga nampak olehnya benar-benar Ang I Nio
Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
120 seperti lawannya yang cantik itu sedang menanggalkan pakaian sedikit demi
sedikit! Walaupun tidak sehelai pun pakaian tanggal dari tubuhnya, namun gerakannya
menanggalkan pakaian demikian sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh
dalam pengaruh Pek Hoa.
Pendekar sakti yang selama hidupnya belum pernah berdekatan dengan wanita ini
sekarang menjadi lemas seluruh tubuhnya, semangatnya seakan-akah terbang
meninggalkan tubuhnya dan pertahanannya menjadi gempur karena caranya bersilat
sudah kacau sekali! Demikianiah lihainya ilmu silat Bi-jin-khai-i yang dimainkan
oleh Pek Hoa Pouwsat.
Kalau sekiranya Pek Hoa menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le,
dengan mudah ia akan dapat merobohkan dan menewaskan pengemis sakti itu. Akan
tetapi Pek Hoa berpikir lain! Wanita ini memang sudah mendengar tentang keadaan
Han Le sebagai seorang laki-laki yang selamanya tidak pernah mau berdekatan
dengan wanita, terkenal sebagai seorang laki-laki pembenci wanita, hidup seorang
diri di Pulau Pek-le-tho dan menjadi sute dari Bu Pun Su. Ini saja sudah menarik
hatinya, apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa Han Le pada dasarnya
memiliki wajah yang tampan dan gagah. Maka timbullah hati suka dan ia ingin
menjadikan pria pembenci wanita ini sebagai kekasihnya.
Tidak saja demikian, juga ia mempunyai niat untuk mempelajari ilmu silat yang
lihai dari Han Le. Disamping semua ini, ia pun ingin menarik Han Le di pihaknya
untuk membantunya menghancurkan musuh-musuhnya, kemudian setelah usahanya
berhasil dan ia sudah merasa bosan, mudah baginya untuk melenyapkan Han Le dari
muka bumi ini. Pek Hoa memperhebat gerakan-gerakannya yang penuh gairah dan pengaruh ajaib. Han
Le makin mabuk sehingga akhirnya dengan napas memburu pengemis sakti ini
mengeluh, "Pek Hoa Pouwsat... hentikanlah... aku tidak kuat lagi..."
Pek Hoa tersenyum lebar, gembira dan puas bukan main. Kalau ia mau, dengan
sekali tusuk saja akan tembus dada Han Le. Dengan ilmu silatnya yang baru ini,
ia akan dapat menjagoi dunia kang-ouw! Tentu saja tidak begitu besar pengaruhnya
terhadap lawan wanita namun untuk menghadapi lawan wanita, ia cukup memiliki
ilmu silat tinggi. Biar Bu Pun Su sekalipun ia tidak takut menghadapinya!
"Han-taihiap, tidak indahkah tarianku ini...?" tanya Pek Hoa dengan suara
berlagu. "Indah, indah sekali, Pek Hoa Pouwsat. Bukan main indahnya," jawab Han Le sambil
berusaha menggerakkan. ranting karena masih saja sepasang pedang itu menyambar
dan mengancam, biarpun digerakkan dengan cara yang amat manis dan sedap
dipandang. "Sukakah kau melihat aku memainkannya?"
"Suka, Pek Hoa Pouwsat, aku suka sekali..."
"Han-taihiap," suara Pek Hoa Pouwsat makin merdu merayu sambil ia memperhebat
gerakan-gerakan tubuhnya secara tidak tahu malu. "Sukakah kau kepadaku...?""
Agak lama Han Le tak dapat menjawab, akan tetapi sepasang matanya tak pernah
berkedip menelan semua gerakan tubuh lawan dan ia seperti terkena hikmat,
terpesona oleh keindahan dan kecantikan yang telah mencengkeram seluruh semangat
dan perasaannya. Kini ia sudah tidak menggerakkan rantingnya lagi, berdiri
bagaikan patung dan tidak ingat lagi bahwa ia tengah menghadapi lawan, tengah
bertempur. "Aku suka sekali padamu, Pek Hoa..." akhirnya ia menjawab dengan suara perlahan,
seperti bukan suaranya sendiri.
Terdengar suara ketawa Pek Hoa Pouwsat, suara ketawa yang terdengar nyaring dan
merdu, penuh kegenitan, akan tetapi bagi yang sadar, suara ketawa ini mengandung
sesuatu yang mengerikan. Namun bagi Han Le terdengar merdu menarik. Di lain saat
Pek Hoa Pouwsat telah menyimpan sepasang pedangnya, melompat maju dan
menggandeng lengan kanan Han Le dengan gaya yang manja dan genit, tersenyum-
senyum dan melirik-lirik ke arah wajah pengemis sakti itu, membetotnya dan
berkata, "Kalau begitu, Han-taihiap, marilah kita pergi ke pulaumu!"
Han Le yang sudah berada dalam cengkeraman pengaruh jahat, sudah seperti orang
mabuk Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
121 atau orang bermimpi, hanya menurut saja ketika ia ditarik-tarik oleh Pek Hoa
Pouwsat. Pek Hoa berpaling kepada Kam Kin yang memandang semua itu dengan mata
melotot marah. Ia penuh dengan hati cemburu, akan tetapi apakah yang dapat ia
lakukan" Ia tidak berdaya di depan sucinya atau kekasihnya yang memang lebih
lihai daripadanya.
"Sute, kau pulanglah dulu, aku titip murid keponakanmu Im Giok, biar menanti
kembaliku di rumahmu." Kemudian dengan suara ketawa seperti siluman, Pek Hoa
Pouwsat yang menggandeng lengan Han Le menarik bekas lawannya itu. Han Le tidak membantah dan
keduanya berlari cepat sambil bergandengan!
*** "Tidak! Aku tidak mau ikut, jangan sentuh aku!" Dengan gerakan lincah Im Giok
melompat dan mengelak menjauhi Giam-ong-to Kam Kin yang hendak menggandeng
tangannya. Kam Kin menyeringai dan memandang kepada Im Giok selaku seekor kucing memandang
tikus. Tadinya ia marah dan jengkel sekali melihat sikap Pek Hoa yang pergi
bersama Han Le.
Laki-laki mana yang takkan menjadi gemas menyaksikan kekasihnya main gila dengan
lelaki lain" Akan tetapi setelah ia memandang Im Giok, kegemasannya lenyap,


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terganti oleh kegembiraan. Biarpun Im Giok baru berusia sepuluh tahun lebih,
namun gadis cilik ini sudah mempunyai kecantikan luar biasa. Ia hampir
menyerupai Pek Hoa dan pantaslah kalau ia disebut Pek Hoa kecil atau seorang
adik dari Pek Hoa Pouwsat. Dalam pandang mata Kam Kin, Im Giok merupakan seorang
calon bidadari, atau seperti sebuah kuncup kembang yang tidak kalah menariknya
oleh kecantikan Pek Hoa Pouwsat. Dan bocah mungil ini dititipkan kepadanya!
Dengan girang ia lalu mendekati Im Giok dan hendak menggandeng. Akan tetapi
siapa kira, bocah itu menolak dan menjauhinya.
"Im Giok, jangan banyak tingkah. Gurumu telah menyerahkan kau dalam rawatanku.
Hayo ke sini dan ikut aku pulang!" kata Kam Kin sambil melangkah lebar
menghampiri gadis cilik itu.
"Aku tidak mau! Kau pergilah sendiri, aku tidak mau ikut denganmu." Im Giok
membandel. "Eh, eh, bocah bandel. Kalau kau tidak makin manis kalau membandel, tentu sudah
kutempeleng kepalamu. Hayo ke sini, berani kau membantah susiokmu?" Kini Kam Kin
melompat dan tangannya diulur untuk menangkap pergelangan tangan Im Giok.
"Tidak, aku tidak punyai susiok seperti engkau. Aku tidak mau ikut!" Im Giok
mengelak, kemudian melihat Kam Kin berusaha menangkapnya, ia segera melarikan
diri. "Kurang ajar! Sekecil ini sudah kurani ajar dan keras kepala. Benar-benar calon
kuda betina liar! Kuncup mawar berduri! Ke sini kau, Im Giok!" Kam Ki mengejar.
Akan tetapi Im Glok mempercepat larinya. Dasar bocah ini memang lincah dan
ringan tubuhnya, ditambah lagi oleh latihan gin-kang yang ia terima dari Pek Hoa
Pouwsat. Sekarang, perasaan wanitanya memperingatkan bahwa ia menghadapi bahaya
besar yang mengancam membuat ia ketakutan, maka larinya cepat seperti rusa muda.
"Im Giok, berhenti kau...!" Kam Kin mulai marah dan mengejar secepatnya.
Betapapun juga, ia seorang laki-laki dewasa dan ilmu silatnya sudah tinggi maka
tentu saja ia dapat mengejar dan menyusul Im Giok. Hanya kelincahan anak itu
yang membuat ia mengkal sekali. Setiap kali ia telah mendekat dan hendak
menangkap, anak itu tiba-tiba miringkan tubuh dan mengganti arah sehingga Kam
Kin terpaksa harus membalikkan tubuh dan kembali telah tertinggal agak jauh.
Namun Im Giok maklum pula bahwa ia takkan dapat menghindarkan diri lebih lama.
Kam Kin telah memiliki ilmu lari cepat yang tak dapat dilawannya. Ia berlari
terus dan akhirnya Im Giok memasuki sebuah hutan. Di sini ia lebih leluasa
mempermainkan Kam Kin karena hutan ini banyak pohonnya. Dengan cara melompat ke
sana ke mari dari balik pohon ini ke pondok itu ia dapat menghindarkan diri.
"Manusia tak tahu malu!" makinya berkali-kali. "Mengapa kau tidak mau membiarkan
aku pergi" Kau mau apakah" Cih, tak tahu malu. Namanya saja besar, Giam-ong-to,
hemm, tak tahunya seorang laki-laki tiada guna, pengecut dan pengganggu anak
kecil!" Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
122 Kam Kin makin marah. "Siluman cilik, kautunggu saja dan rasakan kalau kau sudah
tertangkap olehku!" Dengan amat bernafsu ia menubruk lagi, akan tetapi kemball
ia memeluk batang pohon karena Im Giok telah melompat ke tempat persembunyian
lain dengan cekatan seperti seekor kera.
"Awas kau, setan cilik, kulumatkan dagingmu, kugerogoti tulangmu...!" Kam Kin
memaki-maki gemas. Akan tetapi ia menjadi girang sekali ketika melihat bahwa Im
Giok makin mendekati lapangan terbuka yang tidak ada pohonnya. Adapun Im Giok
saking sibuknya dan gugupnya, tidak tahu bahwa di belakangnya adalah lapangan
terbuka, tempat yang tidak ada pohon dan berarti ia tak akan dapat
menyembunyikan diri seperti kalau berada di hutan yang lebat. Kam Kin memaki-
maki, mengancam-ancam dan mengejar terus. Akhirnya, Im Giok memekik kaget ketika
ia melompat dari pohon terakhir, ia tiba di padang rumput yang tiada berpohon.
"Ha, ha, ha, kupu-kupu cantik, kau hendak lari ke manakah" Lebih baik kau
berlaku manis dan menurut saja pergi dengan susiokmu. Kalau kau menurut dan
tidak banyak membantah, aku takkan bersikap kasar kepadamu, Im Giok yang
jelita," kata Kam Kin sambil tertawa lebar.
Im Giok melompat dan melarikan diri lagi. Saking gugupnya kakinya terjerat
rumput dan ia roboh terguling. Di belakangnya ia mendengar suara Kam Kin tertawa
bergelak. Im Giok dalam terguling itu, kedua tangannya menyambar batu dan kayu
kering. Kemudian ia melompat berdiri, tangan kirinya digerakkan dan batu tadi
melayang ke arah kepala Kam Kin yang hendak menubruknya.
"Eh, kau berani melawanku!" bentak Kam Kin yang mudah saja mengelak dari
sambaran batu. Kemudian ia melangkah maju, tangan kanan digerakkan untuk
menangkap. "Jangan sentuh aku!" Im Giok berteriak keras dan ranting kering yang tadi
diambilnya dari atas tanah ketika ia jatuh, cepat ditusukkan ke arah pusar
susioknya. Kam Kin terkejut, cepat mengelak. Biarpun yang menyerangnya hanya seorang gadis
cilik yang berusia sepuluh tahun, akan tetapi serangan itu dilakukan menurut
ilmu silat tinggi, dan biarpun masih kecil, tenaga Im Giok bukanlah tenaga
biasa, melainkan tenaga yang sudah teriatih. Apalagi kalau dilihat bagian yang
diserang pun bukan bagian tubuh yang kuat.
Setelah mengelak Kam Kin lalu menubruk lagi. Namun sia-sia, Im Giok yang sudah
berlatih selama empat tahun tidak membuang waktu sia-sia. Ia telah memiliki
dasar ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan yang otomatis dan lincah
sekali. Tubrukan Kam Kin dapat ia hindarkan dengan lom patan ke kiri dan sebagai
pembalasan, rantingnya kini meluncur cepat menusuk ke arah mata paman gurunya.
Tusukan ke arah mata ini hanya pancingan belaka karena ujung ranting, itu
sebelum lawan mengelak, telah meluncur, ke arah jalan darah di leher!
Inilah serangan hebat dan luar biasa bagi seorang anak kecil itu. "Kurang ajar!"
Kam Kin membentak marah dan juga kaget karena kalau tangannya tidak cepat-cepat
menyampok, hampir saja jalan darah di lehernya terkena totokan ujung ranting,
dan hal ini bukan merupakan hal yang tidak berbahaya baginya. Saking marahnya,
Kam Kin lalu mengeluarkan kepandaiannya, sepasang tangannya ditekuk merupakan
kuku harimau dan ia mengeluarkan ilmu silat Hauw-jiauw-kang. Beberapa kali saja
ia bergerak, ranting di tangan Im Giok telah kena disambar dan dibetot terlepas
dari pegangan Im Giok. Kemudian ia menubruk lagi, Im Giok mencoba untuk
mengelak. "Breettt!" pakaian Im Giok bagian pundak kiri robek hingga nampak kulit pundak
yang putih bersih dan halus. Melihat ini, Kam Kin makin menggila dan sambil
tertawa-tawa ia menubruk lagi.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
123 Im Giok menjadi bingung. Hanya dengan menjatuhkan diri dan bergulingan ia dapat
menghindarkan tubrukan Kam Kin. Kemudian ia melompat lagi dan berlari
secepatnya. Diam-diam ia mengeluh karena sekarang habislah dayanya untuk menyelamatkan diri.
Akan tetapi ia pun mengambil keputusan nekat untuk melawan mati-matian, kalau
perlu ia akan melawan dengan dua pasang kaki tangan dan juga giginya.
Setelah mendengar derap kaki pengejarnya sudah dekat sekali di belakangnya
sampai-sampai ia mendengar dengus napas Kam Kin, Im Giok memasang kuda-kuda dan
membalikkan tubuh, langsung menyerang dengan menonjokkan kedua tangannya ke
depan. "Ha, ha, ha, kau kuda betina liar..." Kam Kin tertawa sambil menggerakkan tangan
kiri. Di lain saat, tangan kirinya itu telah memegang erat-erat sepasang
pergelangan tangan Im Giok, membuat gadis cilik itu tak dapat berkutik.
Namun Im Giok sudah nekat.
"Lepaskan tanganku!" bentaknya dan kakinya menendang ke arah bawah pusar.
Biarpun kakinya kecil, namun sekiranya tendangan ini mengenai sasaran, biarpun
Kam Kin berkepandaian tinggi, kiranya Kam Kin akan roboh binasa atau setidaknya
pingsan! Kam Kin cepat menangkap kaki kecil ini dengan tangan kanannya dan di lain saat
tubuh Im Giok sudah diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil tertawa
terbahak-bahak.
"Ha, ha, ha, burung cilik, coba kulihat kau mau berbuat apa lagi sekarang, ha,
ha, ha!" Tiba-tiba Kam Kin merasa tubuh Im Giok meronta keras atau seperti juga direnggut
orang dari tangannya. Ia tidak tahu betul apa yang telah terjadi, akan tetapi
tahu-tahu kedua tangannya sudah kosong dan Im Giok sudah lenyap. Ketika ia
membalikkan tubuh, ia melihat bocah itu telah berdiri di atas tanah dan di
sebelahnya berdiri seorang kakek yang bermata bintang! Sepasang mata kakek ini
demikian tajam berpengaruh sehingga Kam Kin merasa gentar juga, maklum bahwa ia
menghadapi seorang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, karena ia tidak mengenal
siapa adanya kakek ini, Kam Kin memberanikan hatinya dan membentak keras,
"Anjing tua, siapakah kau berani bermain gila di depan Giam-ong-to Kam Kin?"
"Kakek, jangan takut. Nama Giam-ong-to hanya untuk menakut-nakuti belaka,
sebetulnya dia pengecut besar!" Im Giok berkata dan nona cilik ini kembali
dengan nekat maju menyerang Kam Kin dengan pukulan ke arah lambung.
Dengan mudah Kam Kin menangkis, kini karena ia merasa gemas, tangkisannya keras
membuat tubuh Im Giok terhuyung lalu roboh tertelungkup di atas rumput. Namun
gadis cilik itu tidak menjadi kapok atau takut, bahkan dengan marah ia bangkit
kembali dan menyerang susioknya.
"Bocah edan, apakah kau ingin aku marah dan memukul mampus padamu?" bentak Kam
Kin dan kali ini ia kembali dapat menangkap tangan Im Giok.
"Boleh pukul mampus, siapa takut?" bentak Im Giok yang meronta-ronta.
"Lepaskan dia!" tiba-tiba kakek itu membentak keras dan aneh sekali. Biarpun Kam
Kin tidak melihat kakek itu bergerak, namun ia merasa tangannya. yang memegang
lengan Im Giok menjadi lemas dan gadis cilik itu dapat merenggut diri dan
terlepas. Kam Kin memandang kepada kakek itu dengan mata merah.
"Bangsat tua, kau berani mencampuri urusahku?" Sepasang tangannya bergerak dan
tahu-tahu golok besarnya telah berada di tangan dan di lain saat ia telah
mengirim serangan hebat ke arah kakek itu. Golok itu dibacokkan ke arah kepala
untuk kemudian disusul dengan babatan ke leher. Memang permainan golok dari Kam
Kin amat ganas dan kuat, dan tidak terlalu dilebihkan kalau ia mempunyai julukan
Golok Maut. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba kakek itu dengan tenang dan
cepat menggerakkan tangan kiri, lalu menyentil golok itu dengan jari tangannya.
Terdehgar suara
"Cring" yang keras dan golok itu menjadi somplak! Sentilan kedua menyusul dan
kini golok Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
124 itu terlempar jauh. Kam Kin tidak kuasa menahan karena seakan-akan golok itu
direnggut oleh tangan yang bertenaga raksasa.
"Ini untuk kekurangajaranmu kepadaku, dan ini untuk kekejamanmu terhadap seorang
gadis cilik!" kakek itu berkata sambil menggerakkan jari tangannya menyentil.
Kam Kin menjerit kesakitan sambil memegangi kedua telinganya yang daunnya
sebelah bawah hancur terkena sentilan jari tangan kakek yang lihai itu. Biarpun
luka itu tidak berbahaya sama sekali, akan tetapi sakitnya cukup membuat Kam Kin
mengaduh-aduh. Darah mengalir di sepanjang lehernya kanan kiri.
"Setan tua, harap suka memperkenalkan nama. Kelak Giam-ong-to Kam Kin pasti akan
membalas penghinaan ini!" Kata Kam Kin sambil menggigit bibir menahan rasa
nyeri. Kakek itu tersenyum duka, mengeleng-geleng kepalanya lalu berkata perlahan,
"Untuk mencapai tingkat kosong, kau harus belajar puluhan tahun lagi, dan kalau
kau sudah mencapai tingkat itu, aku pun sudah mati. Akan tetapi kalau kau
menghendaki, biarlah kau tahu bahwa aku kakek tua bangka ini tidak punya nama
juga tidak punya kepandaian. Nah, kaupergilah!"
Tiba-tiba wajah Kam Kin menjadi pucat sekali. Ia melangkah mundur tiga tindak
seakan-akan kata-kata itu merupakan pukulan yang menyambar mukanya.
"Bu Pun Su...!" katanya setengah berbisik, kemudian ia lari lintang-pukang tanpa
menghiraukan goloknya yang masih menggeletak di atas tanah.
Tiba-tiba Bu Pun Su mengeluarkan suara terkejut dan terheran ketika anak
perempuan yang baru saja ditolongnya itu menyerangnya kalang-kabut. Im Giok
menyerang dengan nekat, sama nekatnya ketika ia tadi menyerang Kam Kin.
"Eh, eh, bukan laku seorang gagah menyerang orang tanpa memberitahukan sebab-
sebabnya. Bocah galak, mengapa kau menyerang aku?" tanya Bu Pun Su tanpa mempedulikan
tangan Im Giok yang memukul tubuhnya.
"Karena kau bernama Bu Pun Su dan menurut guruku, Bu Pun Su adalah seorang
paling jahat di dunia ini dan harus dibasmi," jawab Im Giok sambil melompat
mundur karena pukulannya yang mengenai tubuh kakek itu seakan-akan mengenai
tumpukan kain belaka, membuat terheran dan gentar.
Bu Pun Su mengerutkan kening lalu tertawa. "Gurumu memang betul, siapa sih nama
gurumu yang mulia."
"Guruku adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat," jawab Im Giok bangga. Ia memang
selalu merasa bangga mengaku Pek Hoa sebagai gurunya, bukan hanya bangga karena
ilmu kepandaian Pek Hoa yang tinggi, terutama sekali bangga karena Pek Hoa
dianggapnya wanita paling cantik di dunia ini dan amat mengagumkan hatinya.
Akan tetapi, kalau biasanya orang-orang lelaki mendengar nama Pek Hoa Pouwsat
nampak kagum dan gembira, tidaklah demikian dengan kakek ini. Sepasang matanya
yang seperti bintang itu bercahaya dan memandang kepada Im Giok dengan tajam
berapi seakan hendak membakarnya.
"Dan kau she Kiang?"
"Betul, aku she Kiang bernama Im Giok," kata gadis cilik itu kini tiba
gilirannya terheran.
"Sungguh tak baik! Kalau kau dipelihara dan diambil murid seekor serigala
kiranya takkan begitu buruk. Dan kau bahkan girang dan bangga menjadi muridnya.
Benar-benar tanda tak baik bagi keluarga Kiang. Eh, bocah tolol, tidak tahukah
kau bahwa kau telah diculik oleh siluman betina yang ganas dan jahat?"
"Enci Pek Hoa bukan siluman betina dan aku suka menjadi muridnya," Im Giok
membantah, biarpun di dalam hatinya ia sudah mulai tak suka kepada gurunya itu
semenjak mereka turun gunung dan ia melihat perbuatan-perbuatan yang ganjil dan
memalukan dari gurunya.
"Bodoh, tolol! Tak tahukah kau bahwa penculikan terhadapmu ini mengakibatkan
matinya ibumu dan gilanya ayahmu?" Bu Pun Su membentak.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
125 Wajah Im Giok seketika menjadi pucat. Sepasang mata yang lebar dan indah
bentuknya itu terpentang menatap wajah Bu Pun Su tanpa berkedip, kemudian
perlahan-lahan mata itu menjadi basah dan air mata mulai menitik turun.
"Ibu... meninggal?" Anak ini sudah lupa lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya yang
telah pergi meninggalkan ibunya semenjak ia masih kecil sekali. Selama ia pergi
ikut Pek Hoa, yang terbayang di depan matanya hanya wajah ibunya dan ia memang
merasa amat rindu kepada ibunya. Kini mendengar bahwa ibunya telah meninggal,
tentu saja hatinya seperti diiris-iris dan hanya kemauan dan perasaan yang keras
saja yang dapat menahannya sehingga ia tidak menjerit-jerit. Sebaliknya, ia
hanya menggigit bibirnya menahan pekik tangis sampai-sampai bibirnya terluka dan
berdarah! Pandangan mata Bu Pun Su agak berubah, kini, ia merasa kagum melihat bocah itu.
Tadinya ia mengira bahwa Im Giok tentu akan menangis menjerit-jerit mendengar
tentang ibunya meninggal dan ayahnya gila. Perempuan-perempuan cantik biasanya
mengandalkan tangisnya. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan bahwa gadis cilik ini tidak
menangis, bahkan memperlihatkan kekerasan hatinya dengan menggigit bibir sampai
berdarah. Baru berusia sepuluh tahun sudah memiliki kekerasan hati seperti itu,
benar-benar seorang anak yang berbakat untuk menjadi orang gagah, pikir Bu Pun
Su senang. Kakek ini mendengar tentang nasib Kiang Liat, merasa kasihan sekali.
Maka, kini melihat puteri Kiang Liat "ada isinya", ia ikut gembira.
"Kau tidak ingin bertemu dengan ayahmu?"
Kesedihan membuat Im Giok tak dapat berkata-kata sampai beberapa lama. Kemudian
ia mengeraskan hati menindas perasaannya, dan bertanya. "Di mana ayah" Mengapa
ia menjadi gila dan mengapa ia dahulu meninggalkan ibu?"
Bu Pun Su mengerti bahwa anak ini sudah terkena pengaruh Pek Hoa, dapat dilihat
tanda-tandanya dari cara anak ini berpakaian, bersolek dan bergaya ketika
bicara, maka ia sengaja hendak menjauhkan hati anak ini dari Pek Hoa.
"Ibumu meninggal adalah karena Pek Hoa telah menculikmu. Di depan ibumu, Pek Hoa
mengaku sebagai dewi dan dipercaya penuh oleh ibumu. Tidak tahunya, di balik
semua itu, Pek Hoa hendak membalas dendam kepada ayahmu yang membencinya.
Sengaja Pek Hoa membawamu untuk membikin duka ibumu. Betul saja, ibumu menjadi
sedih, bingung dan akhirnya jatuh sakit lalu meninggal. Ayahmu menjadi gila
karena melihat ibumu meninggal."
Im Giok adalah seorang yang masih kecil, usianya baru sepuluh tahun lebih. Tentu
saja ia mudah dibakar hatinya. Mendengar kata-kata Bu Pun Su mukanya yang tadi
pucat kini menjadi merah sekali.
"Kalau begitu, Suci Pek Hoa yang membunuh ibuku dan merusak hidup ayahku!"
Diam-diam Bu Pun Su menyesal karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang
buruk, yakni menanam kebencian dalam hati seorang anak-anak. Akan tetapi ini


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demi kebaikannya sendiri, pikirnya. Kalau anak ini tidak membenci Pek Hoa,
banyak bahayanya kelak ia akan meniru sepak terjang Pek Hoa yang dikaguminya.
"Kau boleh anggap begitu. Akan tetapi ibumu sudah meninggal, tak perlu
diributkan lagi.
Yang penting adalah ayahmu, karena kalau tidak cepat-cepat kau hibur hatinya,
kiraku tak lama lagi ayahmu akan menyusul ibumu."
Bercucuran air mata dari sepasang mata gadis cilik itu ketika mendengar kata-
kata ini. Akan tetapi tetap saja ia tidak memperdengarkan isak tangis.
"Kakek yang baik, harap kau suka membawaku kepada Ayah..."
Kata-kata terhenti dan di lain saat Im Giok telah "terbang". Pergelangan
tangannya dipegang oleh Bu Pun Su dan ketika kakek ini berlari, Im Giok merasa
seakan-akan ia telah terbang.
Kedua kakinya tidak menginjak tanah, akan tetapi tubuhnya melayang sedemikian
cepatnya sehingga ia terpaksa harus menutup kedua matanya. Hanya telinganya saja
yang mendengar suara angin dan mukanya terasa dingin tertiup angin. Diam-diam
bocah ini merasa kagum dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 126 juga terkejut sekali. Ia tadi memang telah menyaksikan betapa lihainya kakek ini
yang dengan mudah mengalahkan Kam Kin. Akan tetapi karena memang ia memandang
rendah kepada Kam Kin, kemenangan Bu Pun Su tadi tidak dianggap istimewa.
Gurunya sendiri pasti dengan mudah mengalahkan Kam Kin. Akan tetapi berlari
cepat seperti ini, benar-benar luar biasa sekali dan gurunya sendiri kiranya tak
mungkin dapat menirunya.
*** Di luar kota tembok Liong-san-mui terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah lama
tak pernah mengebulkan asap hio, tanda bahwa kelenteng itu tidak dipakai orang
lagi. Sudah bertahun-tahun kelenteng itu tinggal kosong dan makin lama makin
rusak tidak terpelihara.
Penghuninya hanya laba-laba yang membuat sarang di setiap sudut, membuat
kelenteng itu nampak menyeramkan sekali. Tidak ada orang berani masuk ke dalam,
bahkan para jembel yang tidak mempunyai tempat tinggal dan mempergunakan ruang
depan kelenteng itu untuk tempat tidur dan berteduh, tidak berani sembarangan
masuk ke dalam kelenteng.
Akan tetapi akhir-akhir ini, kurang lebih seminggu sudah, terjadi perubahan
besar. Tidak ada lagi jembel yang berani tinggal di situ dan keadaan kelenteng
itu tidak kosong lagi. Seorang laki-laki bertubuh gagah dan tampan, berpakaian
sebagai seorang pendekar, menjadikan itu tempat tinggalnya. Orang ini gerak-
geriknya aneh sekali, wajahnya selalu nampak muram dan berduka, akan tetapi
tidak jarang orang mendengar gema suara ketawanya memecah kesunyian tengah
malam. Semenjak ia mengusiri semua jembel dari ruang depan kelenteng, kemudian
memukul kocar-kacir belasan orang pengemis yang datang hendak merampas kembali
tempat berteduh, tidak ada lagi orang berani datang mengganggunya.
"Dia pendekar aneh," kata seorang yang mengerti ilmu silat, "gerakan-gerakannya
menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat tinggi. Lihat saja cara ia menyarungkan
pedangnya, tentu pedang pusaka."
"Dia berotak miring," berbisik orang ke dua, "Pernah di tengah malam aku
mendengar dia tertawa bergelak seperti iblis, dan pernah aku mendengar ia
menangis tersedu-sedu dan akhirnya memaki-maki."
"Dia orang aneh, benar-benar pendekar aneh," demikian akhirnya orang mengambil
kesimpulan. Tadinya penduduk Liong-san-mui mengeluarkan sebutan "pendekar aneh"
ini dengan nada mengejek dan menertawakan, akan tetapi tiga hari kemudian
semenjak orang itu berada di situ, sebutan ini berubah menjadi sebutan yang
disertai rasa kagum, segan, dan menghormat. Tak seorang pun berani lagi
menganggapnya "berotak miring" betapapun aneh kelakuan orang ini. Hal ini
terjadi setelah pendekar aneh yang dianggap gila ini pada suatu malam, seorang
diri dan bertangan kosong, telah merobohkan serombongan perampok yang mengganggu
kota Liong-san-mui, dan menyerahkan rombongan perampok terdiri dari tujuh belas
orang ini kepada yang berwajib!
Tikoan, pembesar yang menerima tawanan perampok itu, menghaturkan terima kasih
dan menanyakan nama orang gagah itu. Akan tetapi, benar-benar orang aneh. Dia
tidak mengaku bahkan nampak marah-marah ketika berkata, "Kewajiban Taijin hanya
menerima dan menghukum orang-orang jahat itu, habis perkara. Perlu apa tanya-
tanya namaku" Aku tidak minta hadiah!" Maka pergilah ia meninggalkan Tikoan yang
menjadi bengong akan tetapi tidak berani berbuat apa-apa terhadap orang-orang
yang bersikap aneh dan kurang ajar itu.
Karena sikap yang kurang ajar ini, maka selanjutnya pada pembesar setempat tidak
mau dan sungkan menghubunginya. Akan tetapi betapapun juga, penduduk amat
berterima kasih dan menganggapnya sebagai tuan penolong atau pendekar budiman.
Siapakah pendekar aneh itu" Untuk mengenalnya, mari kita melihat ke dalam
kelenteng dan mengikuti gerak-geriknya.
Di ruangan yang paling dalam di kelenteng itu, ruangan yang gelap akan tetapi
bersih dari sarang laba-laba karena ruangan ini dijadikan kamar tidur dan telah
dibersihkan, nampak seorang laki-laki duduk bersila di atas lantai yang telah
disapu bersih. Seperti seorang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com 127 bersamadhi, laki-laki ini duduk bersila menghadapi meja sembahyang yang sudah
tua dan sudah amat lama tak pernah dipakai orang. Kalau orang melihatnya dari
belakang, tentu mengira bahwa ia sedang bersamadhi, tak bergerak seperti patung.
Akan tetapi kalau orang melihat dari depan dan berada dekat dengannya, akan
kelihatan jelas bahwa orang biarpun tubuhnya tak bergerak, akan tetapi bibirnya
bergerak-gerak dan terdengar ia bercakap-cakap dengan suara perlahan. Dari
sepasang mata yang dipejamkan itu bercucuran air mata dan kalau orang mendengar
ia seperti bercakap-cakap tanya jawab dengan seorang yang tidak kelihatan, orang
tentu akan menganggap ia gila.
"Bi Li, aku memang berdosa besar padamu, isteriku... Aku mengaku sekarang akulah
sebenarnya yang membunuhmu, aku yang memaksamu meninggal dunia karena menyiksa
hatimu. Aku orang berdosa besar, Bi Li. Kauampunkan suamimu yang hina dan bodoh
ini, isteriku..."
Mendengar ucapan dalam bisikan ini, tahulah kita bahwa orang itu bukan lain
adalah Jeng-jiu-san Kiang Liat. Seperti telah dituturkan di bagian depan,
setelah menerima pukulan hebat dari penuturan Ceng Si bekas pelayan isterinya
bahwa sesungguhnya isterinya itu tidak berdosa apa-apa, dan bahwa isterinya
meninggal dunia karena menyesal dan berduka ditinggal suaminya, Kiang Liat
seperti orang gila. Hatinya penuh penyesalan dan ia merantau ke sana ke mari.
Hidupnya hanya bertujuan satu, yakni mencari puterinya yang diculik oleh Pek Hoa
Pouwsat. Kalau kiranya Bi Li tidak meninggalkan anak, tentu Kiang Liat sudah
membunuh diri untuk menyusul isterinya yang tercinta. Ia tidak mempedulikan lagi
keadaan tubuhnya yang menderita pukulan batin dan membuat ia kadang-kadang
muntah darah. Akan tetapi ia mulai mengumpulkan uang, dan sesuai dengan
wataknya, ia memberantas kejahatan. Tiap kali ia membasmi penjahat, selalu ia
merampas milik penjahat itu dan sebentar saja ia telah dapat mengumpulkan harta
kekayaan yang besar juga, yang disembunyikan dalam sebuah gua.
Selama empat tahun lebih ia merantau, mencari-cari Pek Hoa akan tetapi sia-sia
belaka, tak seorang pun di dunia kang-ouw tahu ke mana siluman itu menghilang.
Kiang Liat mengumpulkan uang bukan sekali-kali karena ia ingin hidup bersenang-
senang, akan tetapi ia sengaja mengumpulkan harta untuk kelak dipakai
menyenangkan hidup Im Giok anaknya.
Bahkan ia mulai pula mengganti pakaiannya yang kotor dengan pakaian bersih dan
indah, karena ia ingin kelihatan gagah apabila ia berhasil bertemu dengan
puterinya. Setiap malam ia teringat kepada isterinya itu. Keadaan pendekar ini
benar-benar amat memilukan hati.
Hukuman yang dideritanya akibat kecerobohannya terhadap isterinya, benar-benar
amat berat. Setelah mengeluarkan kata-kata itu sambil memandang ke atas meja, Kiang Liat
diam beberapa lama, sikapnya seperti mendengarkan orang bicara kepadanya.
Kemudian ia mengangguk-angguk dan berkata,
"Tentu saja, Bi Li. Aku pasti akan mencari Im Giok sampai dapat. Aku akan
mengadu nyawa dengan siluman Pek Hoa dan merampas kembali anak kita. Sudah empat
tahun aku mencari jejaknya dengan sia-sia, akan tetapi aku tidak putus asa.
Sebelum putus nyawaku, aku takkan berhenti berusaha mencari Im Giok."
Kemudian Kian Liat menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan ujung
lengan bajunya dan berkata lagi, "Kau tidak percaya kepadaku, Bi Li" Sudah
sepantasnya kalau kau tidak mempercaya seorang suami goblok seperti aku, seorang
suami buta yang menuduh isterinya yang setia berlaku tidak patut. Memang kau
berhak tidak percaya kepadaku, Bi Li isteriku. Akan tetapi, biarlah aku Kiang
Liat bersumpah, aku akan mencari Im Giok sampai saat penghabisan. Biarlah
rambutku menjadi saksi!" Setelah berkata demikian, Kiang Liat mencabut pedangnya
dan berlutut. Dengan tangan kiri dijambaknya rambutnya yang hitam panjang, dan
tangan kanan yang memegang pedang bergerak membabat rambutnya sendiri!
Putuslah rambut di kepalanya dan kepala itu kini hanya tinggal ditumbuhi rambut
pendek saja. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
128 "Ayaaah....,!" Tiba-tiba bayangan merah melayang turun dan ternyata yang
melompat turun adalah seorang gadis cilik berpakaian merah sedangkan di
belakangnya turun seorang kakek.
Kiang Liat memandang dengan mata bengong, tidak mengenal siapa adanya anak yang
menyebut ayah kepadanya itu. Kemudian ketika ia melirik ke arah kakek yang telah
berdiri di belakang gadis cilik itu ia terkejut sekali, melempar pedangnya dan
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Kiang Liat boleh jadi agak gendeng
dan miring otaknya apabila ia tenggelam dalam lamunan sendiri dan mengingat akan
isterinya, akan tetapi di lain saat ia merupakan seorang manusia biasa yang
sadar, "Teecu tidak tahu akan kedatangan Suhu Bu Pun Su, mohon ampun jika teecu tidak
menyambutnya," katanya penuh hormat dan segan. Memang kalau ada orang di dunia
ini yang disegani dan ditakuti oleh Kiang Liat, orang itu tak lain hanya Bu Pun
Su dan mungkin juga Han Le.
Bu Pun Su memandang kepada Kiang Liat, sinar matanya penuh belas kasihan.
"Kiang Liat, jangan terlalu jauh dilarutkan oleh lamunan dan kedukaan. Inilah
Kiang Im Giok puterimu, sengaja kubawa ke sini agar kau dapat hidup kembali
bersama puterimu.
Pergunakanlah sisa hidupmu sebaiknya untuk mendidik anakmu ini, Kiang Liat."
Mendengar ini, dengan muka pucat Kiang Liat menengok ke arah Im Giok. Ayah dan
anak berpandangan, dua pasang mata perlahan-lahan mengeluarkan air mata, dua
pasang bibir bergerak-gerak dan bergemetar tanpa dapat mengeluarkan sepatah
kata. Kiang Liat mengulurkan dua lengan yang tangannya menggigil, dan Im Giok
perlahan melangkah maju.
"Im Giok... kau... anakku...?"
"Ayaah...!"
Di lain saat ayah dan anak itu sudah berpelukan dan bertangisan. Bu Pun Su
terbatuk-batuk untuk menenangkan hatinya sendiri yang ikut merasa terharu dan
pilu, kemudian setelah membiarkan mereka melepaskan perasaan hati untuk
sementara, lalu berkata,
"Sudahlah, tak baik menurutkan perasaan, mendatangkan kelemahan saja. Kiang Liat, anakmu ini berbakat baik dalam ilmu silat, biar aku tinggalkan
dua macam ilmu silat untuk kelak kauturukan kepadanya. Akan tetapi kauhati-
hatilah, wataknya keras dan aneh, perlu dikendalikan dengan kuat!"
Kiang Liat girang sekali mendengar ini.
"Im Giok, anakku, lekas kau menghaturkan terima kasih kepada Susiok-couw-mu
(Paman Kakek Guru)." Kiang Liat menarik tangan Im Giok dan keduanya berlutut di
depan kakek sakti itu.
Dengan amat tekun, Kiang Liat mempelajari dua ilmu silat yang diturunkan oleh Bu
Pun Su untuk Im Giok. Pertama-tama Bu Pun Su minta supaya Im Giok bersilat
menurut apa yang ia pelajari dari Pek Hoa Pouwsat. Bu Pun Su adalah seorang
sakti yang memiliki kepandaian aneh dan luar biasa. Sekali saja melihat, ilmu
silat apapun juga dapat ia tiru dengan gerakan yang jauh lebih sempurna daripada
aselinya! Demikian pula dengan ilmu silat yang dimainkan oleh Im Giok, sekali
melihat kakek ini dapat menurunkan ilmu silat yang sama, akan tetapi yang sama
sekali bebas dari kelemahan dan kekurangan. Pendeknya, Bu Pun Su memperbaiki dan
menyempurnakan ilmu silat yang seperti tarian, yang dipelajari oleh Im Giok dari
Pek Hok Pouwsat. Adapun ilmu silat ke dua yang ia turunkan kepada Kiang Liat
untuk Im Giok adalah ilmu silat pedang yang disesuaikan pula dengan gerakan dan
bakat yang sudah menjadi dasar dari Im Giok. Selain dua macam ilmu silat yang
khusus untuk Im Giok ini, juga kepada Kiang Liat kakek ini menurunkan ilmu
berlatih lwee-kang dan gin-kang sehingga Kiang Liat merasa bersukur sekali.
Sampai dua pekan Bu Pun Su tinggal di kelenteng kuno itu bersama Kiang Liat dan
Im Giok dan siang malam mereka tekun menerima pelajaran baru dari kakek sakti
itu. Setelah selesai dan hendak meninggalkan mereka, Bu Pun Su berkata dengan suara
sungguh-Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
129 sungguh. "Kiang Liat, dan kau juga Im Giok, dengarkan baik-baik. Setelah kalian menerima
pelajaran dariku, maka selanjutnya kalian harus menjaga diri baik-baik. Sekali
saja aku mendengar kalian menggunakan kepandaian yang kalian pelajari dariku
untuk melakukan perbuatan menyeleweng dan sewenang-wenang, aku sendiri akan
datang memberi hukuman berat."
Setelah Bu Pun Su pergi, Kiang Liat memeluk puterinya dan berkata dengan hati
gembira. "Anakku, mari kita pulang ke Sian-koan dan mulai hidup baru. Akan kusediakan
rumah gedung untukmu, pakaian-pakaian indah dan jangan kau khawatir, anakku. Aku
akan berusaha supaya kau kelak menjadi seorang dara perkasa yang jarang
tandingannya, seorang yang hidup penuh kebahagiaan tidak kekurangan sesuatu!"
Im Giok sudah mendengar sumpah ayahnya dari atas genteng, maka ia tidak perlu
mendengar janji-janji yang lain. Ia sudah merasa amat kasihan dan terharu
melihat nasib ayahnya, dan ia merasa amat bangga karena ternyata ayahnya adalah
seorang laki-laki gagah yang patut dibanggakan.
Demikianlah, ayah dan anak itu pulang ke Sian-koan. Dengan uang yang ia simpan,
Kiang Liat membangun sebuah gedung baru dengan taman bunga yang luas dan indah,
perabot-perabot rumah serba baru, pendeknya ia berusaha untuk membikin senang
hati puteri tunggalnya. Im Giok baru berusia hampir sebelas tahun, maka menerima
budi kecintaan ayahnya yang berlimpah-limpah ini, mau tidak mau timbul sifat
manja dalam hatinya.
Memang beginilah, tidak hanya Kiang Liat, banyak orang tua-tua di dunia ini yang
keliru menyatakan sayangnya kepada anak sehingga bukan anak menjadi baik
sebagaimana yang diharapkan, sebaliknya anak menjadi manja. Untungnya, Im Giok
memang sudah mempunyai dasar watak gagah dan baik sehingga sikap ayahnya itu
hanya mendatangkan sebuah cacat lagi, yaitu manja dan ingin dituruti segala
kehendaknya. Di samping ini lain sifat yang ia warisi dari Pek Hoa Pouwsat
adalah sifat pesolek, suka berhias dan berpakaian serba indah dan serba merah,
tidak lupa untuk menambah merah pada bibirnya, menambah hitam pada alisnya
sehingga setiap saat gadis ini kelihatan seperti seorang bidadari baru turun
dari kahyangan!
Akan tetapi harus diakui bahwa Im Giok benar-benar baik sekali bakatnya dalam
ilmu silat. Ditambah lagi oleh semangat Kiang Liat yang amat besar. Pendekar ini benar-benar
mempunyai cita-cita untuk membuat puterinya menjadi seorang gagah, maka ia amat
tekun dan hati-hati memimpin puterinya dalam ilmu silat, maka dapat dibayangkan
betapa pesat kemajuan yang diperoleh Im Giok.
Akan tetapi, kadang-kadang Im Giok merasa kesepian. Hidup di dekat Kiang Liat
jauh bedanya dengan ketika ia masih bersama dengan Pek Hoa. Betapapun besar
sayangnya Kiang Liat kepadanya, akan tetapi ayahnya itu seorang pria, dan Im
Giok membutuhkan pergaulan dengan sesama kelamin. Selain ini, Im Giok yang
melihat ayahnya masih belum tua dan begitu gagah, diam-diam juga prihatin dan
berduka kalau teringat akan ibunya. Banyak buku yang ia baca karena ayahnya
menyediakan untuknya dan mengajarnya pula, memberi pelajaran kepada Im Giok
bahwa seorang seperti ayahnya itu sudah sepatutnya kalau menikah lagi dengan
seorang gadis cantik pengganti ibunya yang telah meninggal.
Sifat Im Giok yang tidak pemalu dan periang itu membuat ia sebentar saja
mempunyai banyak kawan di kota Sian-koan. Tidak jarang gadis ini keluar rumah
dan mengunjungi tetangga dan biarpun hal ini termasuk kebiasaan yang janggal,
namun ayahnya tidak melarangnya. Kiang Liat cukup maklum bahwa puterinya telah
memiliki kepandaian yang cukup untuk dipakai menjaga diri, dan selain ini,
siapakah yang berani mengganggu puteri Jeng-jiu-sian Kiang Liat"
Setahun kemudian, pada suatu sore, Im Giok pulang dari tetangga bersama seorang
gadis yang cantik. Gadis ini pipinya kemerahan, sepasang matanya yang jeli dan
kocak kelihatan agak berduka. Namun harus diakui bahwa gadis memiliki sepasang
mata yang indah dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by
buyankaba.com

Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

130 bening, seperti sepasang kemala. Usianya kurang lebih enam belas tahun dan
tubuhnya sehat dan nampaknya biasa bekerja berat.
Kiang Liat bangkit dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak heran.
Dengan malu-malu gadis remaja itu menjura sebagai penghormatan kepada Kiang
Liat. "Im Giok, siapakah nona ini dan mengapa kau membawa dia ke sini?" tanya Kiang
Liat dengan nada menegur dalam suaranya.
"Ayah, jangan marah dulu," kata Im Giok dengan sikap manja, "dia ini adalah
sahabat baikku, namanya Kim Lian, Song Kim Lian, rumahnya di sebelah barat itu.
Enci Kim Lian, kau duduk dulu di sini, ya! Aku mau bicara dengan Ayah," Im Giok
lalu menghampiri ayahnya, memegang tangan ayahnya itu dan menariknya ke ruangan
sebelah dalam. Dengan kening berkerut Kiang Liat mengikuti puterinya, hatinya tidak enak.
"Kau mau apakah, Im Giok?" tanyanya setelah mereka berada di ruang dalam.
"Ayah, bagaimana ayah lihat Enci Kim Lian itu" Cantik dan matanya seperti mata
burung Hong, bukan?"
Kerut di kening Kiang Liat makin mendalam. "Kalau dia cantik dan bermata bagus,
habis mengapa?"
"Ayah, aku selalu merasa kesunyian."
"Kan ada Ayah, ada banyak pelayan."
"Ayah laki-laki dan para pelayan... ah, mereka selalu bermuka-muka, aku tidak
suka. Ayah juga... Ayah juga kesepian, bukan?"
Kiang Liat memegang pundak Im Giok, memandang tajam dan berkata,
"Im Giok, pikiran ganjil apakah yang terkandung dalam kepalamu" Hayo katakan
terus terang, jangan berputar-putar."
Im Giok menarik napas panjang, sukar agaknya untuk bicara. Akhirnya ia
memberanikan hatinya, memegang tangan ayahnya dengan sikap manja dan berkata,
"Jangan marah, ya Ayah" Aku bermaksud baik. Sahabatku Kim Lian ini adalah
seorang sahabat yang baik, lagi pula dia sudah yatim piatu, kalau saja... kalau
saja dia dapat tinggal di sini, aku mempunyai kawan, alangkah baiknya."
"Menjadi pelayan?" Kiang Liat menjelaskan.
Im Giok cemberut. "Dia sahabatku, bagaimana harus menjadi pelayan" Biarkan saia
dia tinggal di sini, serumah dengan kita, Ayah."
Kembali kening Kiang Liat berkerut. "Ah, Im Giok. Ada-ada saja kau ini. Tak
tahukah kau bahwa seorang gadis dewasa seperti dia itu tidak patut sekali kalau
tinggal di rumah orang lain, apalagi di rumah seorang duda?"
"Karena itu, alangkah baiknya kalau Ayah... kawin saja dia!" kata Im Giok cepat.
Tangan ayahnya yang tadinya memegang pundak tiba-tiba terlepas dan Kiang Liat
terduduk di atas kursi, wajahnya pucat dan matanya melotot memandang kepada Im
Giok. Gadis cilik ini kaget sekali dan agak ketakutan, mundur dua langkah.
"Im Giok..." akhirnya terdengar suara Kiang Liat, lambat dan perlahan, dengan
gigi dirapatkan menahan nafsu marah. "Kalau bukan kau yang mengajukan usul macam
ini, tentu kupukul mampus sekarang juga! Apa kau sudah gila" Kalau tidak untuk
kau aku sudah menyusul ibumu. Untuk apa hidupku di dunia ini melainkan untuk
kau" Bagaimana kau bisa menyuruh aku menikah dengan perempuan lain dan
mengkhianati ibumu?"
Im Giok menangis dan menubruk ayahnya. Ia berlutut dan menaruh kepala di atas
pangkuan ayahnya.
"Ampunkan aku, Ayah. Aku tidak sengaja menyakiti hati Ayah. Aku hanya ingin
punya kawan, aku... aku kehilangan Enci Pek Hoa. Ayah..."
Melihat keadaan anaknya, luluh hati Kiang Liat, lenyap marahnya. Ia berpikir
sejenak lalu berkata,
"Sudah, diamlah, anakku. Aku bisa memenuhi keinginanmu, akan tetapi bukan
menikah. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
131 Mengingat bahwa Kim Lian sudah yatim piatu, dan selain engkau aku pun tidak
punya murid, dan melihat gerak kakinya tadi cukup tegap dan kuat, biarlah dia
menjadi muridku belajar di sini dan mengawanimu. Bagaimana?"
Im Giok hampir bersorak. Ia bangkit berdiri, memeluk ayahnya dan berlari ke
ruangan depan. Tak lama kemudian ia sudah datang lagi berlarian sambil menggandeng tangan Kim
Lian. Agaknya dia sudah menuturkan kepada sahabatnya itu, karena begitu berhadapan
dengan Kiang Liat, Kim Lian lau menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-
anggukkan kepala sambil menyebut,
"Suhu...!" suaranya merdu dan halus.
"Bangunlah! Kau menjadi muridku atas desakan Im Giok. Akan tetapi entah kau suka
atau tidak belajar ilmu silat yang kasar," kata Kiang Liat.
"Ayah... jangan Ayah memandang rendah kepada Enci Kim... eh, kepada Suci (Kakak
Seperguruan) Kim Lian. Dalam bermain-main dan selama setahun menjadi kawanku,
dia telah banyak dapat meniru gerakan silatku. Suci, coba kauperlihatkan
kebisaanmu kepada Ayah."
"Ah Sumoi, kau membikin aku malu saja..." Kim Lian mengerling dengan muka merah
dan senyum dihukum.
Kiang Liat kembali mengerutkan kening melihat lagak yang genit dan menarik hati
laki-laki ini. Hem, dalam banyak hal gerak-gerik Kim Lian ini hampir sama dengan
anaknya, pikirnya.
"Tak usah malu-malu, kauperlihatkanlah apa yang sudah kaupelajari. Dengan
melihat gerakanmu, aku bisa mengira-ira sampai di mana tingkatmu."
Mendengar perintah suhunya, Kim Lian lalu bersilat seperti apa yang ia lihat dan
pelajari dari Im Giok. Dan Kiang Liat tercengang. Benar sekali kata-kata Im
Giok. Gadis cantik ini memiliki bakat yang luar biasa, sungguhpun tidak sebesar
bakat Im Giok, akan tetapi kelemasan gerak kaki tangannya menunjukkan bahwa Kim
Lian mempunyai bakat ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada gadis-gadis
biasa. Memang sukar mencari seorang murid wanita dengan bakat seperti ini.
Timbullah kegembiraan hati Kiang Liat dan mulai hari itu Kim Lian menjadi murid
Jeng-jiu-sian Kiang Liat, belajar ilmu silat bersama Im Giok yang tentu saja
sudah amat jauh meninggalkannya. Bahkan dalam latihan sehari-hari, boleh
dibilang Kim Lian dilatih oleh Im Giok yang mewakili ayahnya. Kiang Liat masih
saja berlaku sungkan dan likat-likat, maka ia hanya memberi contoh dan petunjuk-
petunjuk teori saja, sedangkan prakteknya ia serahkan kepada Im Giok untuk
mengajar sucinya.
Benar saja, setelah Kim Lian tinggal di rumah gedung itu, Im Giok menjadi
gembira sekali.
Tidak saja ia menjadi makin giat berlatih ilmu silat, juga ia tekun memperdalam
ilmu surat dan bahkan suka belajar menyulam bersama sucinya. Adapun dalam hal
mempersolek diri, agaknya Kim Lian merupakan imbangan yang baik bagi Im Giok.
Tentu saja Kim Lian tidak secantik Im Giok, karena sesungguhnya sukar mencari
seorang gadis secantik Im Giok, akan tetapi pada umumnya Kim Lian juga seorang
gadis yang manis dan cantik, lagi pandai beraksi.
Biarpun Kim Lian mulai belajar ilmu silat setelah ia berusia belasan tahun dan
telah dewasa, akan tetapi berkat bakatnya yang baik dan terutama sekali oleh
karena ia belajar di bawah pimpinan seorang ahli silat kelas tinggi, maka ia pun
mewarisi ilmu silat tinggi dan menjadi seorang ahli silat yang pandai. Seperti
juga Im Giok, ia memiliki gin-kang yang luar biasa, hanya sedikit saja kalah
oleh sumoinya itu, sungguhpun dalam hal lwee-kang ia kalah jauh.
Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat merasa amat khawatir kalau ia melihat watak
muridnya ini. Sering kali Kim Lian memperhatikan sikap genit dan memikat di
depannya, mengingatkan pendekar ini akan sikap Ceng Si dahulu. Kadang-kadang ia membentak
dan menegur muridnya ini, yang diterima oleh Kim Lian dengan senyum manis
memikat. Beberapa kali Kiang Liat bahkan menyuruh puterinya menegur, dan kalau Im Giok
sudah menegur, baru Kim Lian menghentikan aksinya. Memang Kim Lian tidak takut
kepada Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
132 suhunya karena ia merasa lebih leluasa dan dapat menghadapi seorang laki-laki,
akan tetapi terhadap Im Giok, ia merasa takut dan segan. Pertama karena ia
merasa berhutang budi kepada sumoinya ini. Kalau tidak ada sumoinya yang
menariknya ke dalam rumah gedung mewah itu, hidupnya tentu kekurangan dan
mungkin sekali terlantar. Ke dua, ia memang tahu bahwa kepandaian sumoinya jauh
lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri.
"Im Giok, sekarang sucimu telah berusia dua puluh tahun lebih, kiranya sudah
cukup lama ia berada di sini dan sudah patut baginya untuk berumah tangga.
Bagaimana pikiranmu kalau aku mencarikan seorang suaminya untuknya?" pada suatu
hari Kiang Liat berkata demikian kepada Im Giok yang sudah berusia empat belas
tahun lebih. Gadis ini sudah cukup dewasa untuk mengerti akan maksud ayahnya.
Sering kali Kim Lian memperlihatkan sikap yang memikat di depan ayahnya, maka
tentu ayahnya merasa tidak enak sekali. Memang, bagi ayahnya, akan lebih baik
kalau Kim Lian keluar dari situ dan menikah dengan seorang pemuda yang baik.
"Baiklah, akan saya sampaikan kepadanya, Ayah," kata Im Giok yang akhir-akhir
ini merasa kasihan dan juga gelisah melihat keadaan ayahnya. Setelah beberapa
kali menghadapi godaan Kim Lian, Kiang Liat teringat lagi kepada isterinya dan
kepada Ceng Si yang dahulu menggodanya, maka terkenanglah ia akan kebodohannya,
akan kekejamannya terhadap isterinya. Kenangan ini membikin kambuh sakit
jantungnya, membuatnya pucat dan kadang-kadang batuk-batuk, bahkan sering di
tengah malam ia tertawa-tawa dan menangis lagi!
Akan tetapi ketika Im Giok menyampaikan usul ayahnya kepada Kim Lian, sucinya
itu memperlihatkan muka berduka, bahkan lalu menghadap Kiang Liat sambil
berlutut dan menangis.
"Suhu, teecu mohon supaya Suhu jangan menyuruh teecu pergi dari sini. Teecu
rasanya tidak sanggup untuk berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Suhu, tentang
menikah, teecu sama sekali tidak ada niat, karena selamanya teecu ingin melayani
Suhu dan mengawani Sumoi..."
Kata-kata ini biarpun diucapkan dengan suara bersedih dan terputus-putus, akan
tetapi bagi pendengaran Kiang Liat hanya bermaksud satu, yakni Kim Lian akan
menerima dengan hati terbuka kalau gurunya mau mengambilnya sebagai isteri
sehingga gadis ini selamanya akan melayaninya, juga takkan berpisah dari Im
Giok! Merah muka Kiang Liat dan ia merasa dadanya sakit. Ia selalu ingat akan
kesetiaan mendiang isterinya dan akan kekejiannya memfitnah isterinya, maka ia
telah bersumpah untuk membalas isterinya itu dengan kesetiaan selama hidup. Oleh
karena ini, setiap godaan seorang wanita membangkitkan penyesalannya kepada diri
sendiri dan membuat dadanya terasa sakit.
"Kim Lian, jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu. Setiap pertemuan pasti
akan berakhir dengan perpisahan. Kami tentu saja tidak mengusirmu, dan terus
terang saja, kehadiranmu di rumah ini banyak mendatangkan kegembiraan Im Giok
dan untuk ini aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi tentang menikah, kau
sudah berusia dua puluh tahun lebih, sudah lebih dari cukup waktunya untuk
berumah tangga sendiri, Kim Lian. Jangan kau khawatir, aku dapat memilihkan
seorang calon suami yang baik, percayalah kepadaku karena sebagai guru aku
takkan menyesatkan murid sendiri..."
Makin sedih tangis Kim Lian mendengar ini. Ia merangkul Im Giok lalu berkata,
"Suhu, apa saja kehendak Suhu pasti teecu taati asal saja teecu jangan disuruh
berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Tentang menikah... teecu akan menanti Sumoi.
Kalau Sumoi sudah menikah , barulah teecu suka menikah pula... ini sudah menjadi
sumpah di dalam hati teecu."
Kiang Liat menjadi mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kata-kata itu hanya akal
saja, alasan untuk menggagalkan usulnya.
"Hm, perempuan memang aneh. Lain di mulut lain di hati," pikirnya. "Pada hatinya
jelas nampak ia ingin melayani laki-laki, akan tetapi mulutnya bilang tidak mau
menikah!" Kemudian dengan suara marah ia berkata,
"Kim Lian, kau yang bersumpah, bukan aku yang memaksa. Kau harus memegang teguh
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
133 sumpahmu itu, kalau tidak, aku akan marah kepadamu. Aku tidak sudi melihat
muridku bermain lidah dan tidak dapat dipegang kata-katanya. Ingat, kau sudah
bersumpah takkan menikah sebelum Im Giok menikah. Baik, akan begitulah jadinya!"
Setelah berkata demikian, Kiang Liat meninggalkan dua orang gadis itu dan masuk
ke dalam kamarnya.
Semenjak saat itu, sikap Kiang Liat makin pendiam. Jarang sekali ia bicara
dengan Im Giok.
Kepada Kim Lian, ia sama sekali tidak pernah bicara lagi. Akan tetapi anehnya,
mulai saat itu ia makin giat melatih dua orang gadis itu. Pagi-pagi sekali ia
sudah memaksa mereka bangun, berlatih ilmu silat sampai kedua orang gadis itu
hampir tidak kuat lagi. Demikian pun pada siang hari, bahkan sering kali pada
malam hari. Pendeknya, Kiang Liat tidak memberi mereka kesempatan untuk
bermalas-malasan.
"Seorang wanita harus kuat, baru aman hidupnya," katanya di depan dua orang
gadis itu. "Kalian harus dapat menerima semua kepandaianku sebelum aku lupa lagi."
Demikianlah, hampir tiga tahun lamanya Kiang Liat menggembleng puterinya dan
muridnya. Payah-payah Im Giok dan Kim Lian mengikuti latihan ilni, akan tetapi hasilnya
juga luar biasa sekali. Im Giok secara terpisah telah menerima latihan ilmu-ilmu
silat yang ditinggalkan oleh Bu Pun Su untuknya, dan ternyata ia memang cocok
sekali dengan ilmu silat gubahan Bu Pun Su ini. Gerakannya memang lemas dan
indah, sehingga sering kali diam-diam Kiang Liat mengerutkan keningnya karena
kalau ia melihat puterinya itu bersilat seperti orang menari dengan mata
bersinar-sinar, pipi kemerah-merahan dan bibir tersenyum-senyum, teringatlah ia
akan Pek Hoa Pouwsat! Alangkah miripnya anaknya itu dengan Pek Hoa. Benar
seperti pernah dikatakan oleh Bi Li isterinya dahulu.
Adapun Kim Lian, selama tiga tahun ini pun memperoleh kemajuan hebat. Tujuh
tahun ia menjadi murid Kiang Liat, akan tetapi yang tiga tahun terakhir ini
hasilnya jauh melampaui empat tahun pertama. Kepandaian Kim Lian kini sudah
dapat direndengkan dengan tingkat orang-orang pandai, bahkan sudah hampir
menyusul kepandaian Kiang Liat sendiri. Tentu saja ia masih kalah oleh Im Giok
yang ternyata bahkan telah melampaui ayahnya sendiri! Hal ini adalah karena ia
mempelajari jimu silat gubahan Bu Pun Su secara mendalam, sedangkan Kiang Liat
hanya menghafal saja agar tidak lupa. Apalagi Kiang Liat memang hanya bersilat
untuk mengajar, sama sekali tidak pernah ia berlatih untuk kemajuan diri
sendiri. Bahkan kalau terlalu lama ia bersilat, dada kirinya terasa sakit
sekali. Ia maklum bahwa ia telah mendapat luka di dalam, mendapat penyakit di
dalam jantungnya, akan tetapi ia sengaja tidak mau mengobati, tidak mau mencari
obat. Tidak jarang ia batuk-batuk darah, akan tetapi semua ini ia sembunyikan
dari Im Giok, takut kalau-kalau puterinya akan menjadi gelisah dan berduka
karenanya. *** Pada suatu pagi dan indah di musim Chun (Semi). Matahari muncul di angkasa yang
bersih sambil tersenyum gembira, disambut dengan segala kehormatan oleh kicau
burung dan mekarnya bunga di dalam hutan. Binatang-binitang hutan pun nampak
bergembira di saat seperti itu. Ayam-ayam hutan berkejar-kejaran di atas tanah
dan di atas pohon. Kelinci dan tikus melompat ke sana ke mari di antara
gerombolan pohon kembang. Kupu-kupu bersayap indah beterbangan dan menari-nari
mengelilingi bunga cantik. Seperti kelinci yang tidak takut akan ancaman
harimau, kupu-kupu ini pun tidak takut akan ancaman burung-burung.
Agaknya di saat seindah itu, binatang-binatang yang paling buas pun merasa
enggan untuk mengotori suasana damai dan tenteram dengan pembunuhan kepada
sesama mahluk, sungguhpun pembunuhan itu berarti mengisi perut yang kosong dan lapar! Ataukah
kebetulan saja harimau-harimau dan burung-burung itu sudah kenyang maka mereka
tidak mengganggu kelenci dan kupu-kupu" Mungkin sekali, karena, hanya manusia-
manusia saja yang masih temaha dan murka dalam kekenyangannya. Lain mahluk tidak
ada yang sekejam manusia.
Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
134 Tiba-tiba terdengar suara manusia tertawa yang nyaring dan merdu, mula-mula
sayup-sampai kemudian makin jelas datang dari jauh memasuki hutan itu.
Terdengarnya suara ketawa semerdu itu memang cocok sekali dengan keadaan hutan
yang indah dan gembira menyambut munculnya matahari itu. Kemudian tersusul bunyi
derap kaki kuda dan suara ketawa-ketawa gadis remaja.
Kalau orang memperhatikan seruan-seruan itu, ia tentu akan merasa heran sekali
mengapa mula-mula terdengar suara nyaring baru kemudian terdengar derap kaki
kuda bagaimana suara ketawa sedemikian merdu tanda suara ketawa wanita, dapat
mengatasi suara derap kaki kuda yang biasanya dapat terdengar sampai jauh" Akan
tetapi kalau pendengar tadi seorang ahli silat tinggi, ia akan tahu bahwa suara
ketawa tadi dikeluarkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang dan penggunaan ilmu
yang disebut Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara dari Jarak Jauh).


Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian terdengar suara yang bening, merdu dan genit dari seorang gadis remaja,
"Sumoi (Adik Perempuan Seperguruan), jangan terlalu cepat! Kaulihat bunga ini,
alangkah indahnya...!" Yang bicara ini adalah seorang gadis yang bertubuh agak
tinggi langsing, berwajah cantik, sepasang matanya luar biasa sekali dan menjadi
bagian yang paling indah dari kecantikannya, mata yang bercahaya, bening dan
bagus bentuknya. Ia memakai baju warna kuning, celana sutera biru, ikat
pinggangnya merah, tangan kiri memegang kendali kudanya yang berbulu coklat,
sedangkan tangan kanan memegang sebatang cambuk pendek.
Benar-benar seorang gadis yang selain cantik juga amat gagah sikapnya. Usianya
sudah dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa, laksana buah sudah masak dan
sedap dipandang.
Gadis baju kuning ini menghentikan kudanya di depan serumpun pohon kembang di
mana terdapat kembang-kembang berwarna putih, kuning, dan merah. Ia tersenyum-
senyum memandang bunga-bunga itu dengan kagum, kemudian sekali cambuk di
tangannya digerakkan, cambuk itu meluncur ke arah setangkai bunga putih dan di lain saat
setangkai bunga putih telah berada di tangan kirinya. Lihai sekali ia mainkan
cambuk sehingga cambuk itu dapat memetik kembang demikian tepat dan membawa
kembang itu kepadanya tanpa merusak kembang putih, bahkan rontok sedikit pun
tidak! Tanda bahwa lwee-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi. Gadis itu
tertawa-tawa dan kembali berkata,
"Sumoi, lihat alangkah indahnya bunga-bunga ini!"
Kembali cambuk pendeknya bergerak dan setangkai bunga kuning di lain saat telah
berada di tangan kirinya. Ia memandang dan mencium dua tangkai bunga putih dan
kuning itu, kemudian ia memandang ke arah bunga merah. Tangan kanan yang
memegang cambuk
bergerak lagi. Cambuk meluncur ke bawah.
"Tar...!" Sinar merah melayang dengan cepat sekali ke arah cambuk pendek yang
terpental melayang ke atas. Gadis itu tertawa pahit sambil menengok ke arah
kanan. "Suci, bunga merah tak boleh sembarang dipetik!" kata dara yang baru datang dan
yang menunggang seekor kuda bulu putih.
Kalau orang gagah kagum dan tertarik melihat gadis baju kuning yang cantik manis
itu, kini ia akan terpesona dan boleh jadi lupa bernapas kalau ia melihat gadis
yang baru datang ini. Ia jauh melebihi gadis baju kuning dalam segala hal,
bahkan kiranya akan jauh melampaui mimpi dan lamunan tiap orang pemuda. Cantik
jelita sukar menemukan cacat-celanya.
Rambutnya hitam sekali, halus panjang, biarpun digelung secara istimewa di atas
kepala dengan hiasan-hiasan dari emas permata, masih saja rambut itu kelebihan,
memanjang dan bermain-main di atas punggung dan kedua pundaknya. Sepasang alis
yang juga hitam kecil memanjang menghias dua buah mata yang indah, dilindungi
oleh butu-bulu mata yang melengkung dan panjang. Mata itu memang tidak begitu
bercahaya dan indah seperti mata gadis baju kuning, akan tetapi begitu bening
dan jelas terisi api kehidupan yang tak pernah padam, membayangkan semangat yang
kuat, ketabahan luar biasa, dan kegembiraan hidup Ang I Nio Cu > karya Kho Ping
Hoo > published by buyankaba.com
135 yang sehat. Yang paling mengesankan adalah bibirnya yang berbentuk manis sekali,
akan tetapi kadang-kadang kulit di bawah bibir, pada lekukan dagu nampak
mengeras, tanda bahwa dara ini memiliki hati yang kadang-kadang dapat keras
membaja, sungguhpun pada bibirnya dapat diketahui bahwa hati ini pun dapat
melembut mesra, hati seorang wanita sejati.
Gadis ini usianya baru tujuh belas tahun paling banyak, namun sinar matanya
sudah menunjukkan kematangan jiwa, juga bentuk tubuhnya amat bagus, berisi dan
sedang. Tubuh ini tertutup oleh pakaian serba merah, berpotongan indah dan
terbuat dari sutera mahal. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang
gagangnya terukir indah. Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang berwarna
merah pula. Inilah sinar yang tadi menangkis cambuk gadis baju kuning mencegah
cambuk gadis kuning itu memetik bunga merah.
"Sumoi, mengapa kau mencegah aku memetik bunga?" tanya gadis baju kuning,
keningnya berkerut tanda tak senang hati, akan tetapi sikapnya tetap menghormat
seakan-akan ia takut terhadap gadis baju merah yang menjadi adik seperguruannya
itu. "Suci, apakah kau tidak melihat warna bunga itu?"
Nona baju kuning memandang ke arah rumpun bunga, lalu tertawa gembira dan
berkata, "Aha, Ang I Niocu (Nona Baju Merah), akhirnya bunga merahmu pun pasti akan
dipetik orang!" Ia tertawa lagi dengan sikap genit.
Dara baju merah itu pun tertawa dan menjawab, "Giok-gan Niocu, (Nona Bermata
Kemala), tidak boleh sembarangan saja orang memetik bunga merah!"
Keduanya tertawa gembira. Nona baju juning itu melemparkan bunga putih ke arah
sumoinya yang tidak mengelak atau menyambut, dan bukan main... bunga itu dengan
tepat sekali menancap di atas kepala sebelah kiri, menjadi penghias rambut
seolah-olah ditancapnya tangan-tangan. Dari sini saja dapat dibuktikan betapa
hebat dan tinggi kepandaian menyambit dari Nona Baju Kuning itu.
"Terima, kasih, Suci. Terima kasih untuk bunga putih ini. Putih artinya suci."
"Aku lebih suka yang kuning ini," dan Nona Baju Kuning itu menancapkan bunga
kuning di atas rambutnya, menambah kecantikannya.
Siapakah dua orang gadis yang seperti bidadari ini" Dara-dara jelita yang selain
cantik remaja menarik hati, juga memiliki kepandaian istimewa" Dara baju merah
itu bukan lain adalah Kiang Im Giok yang semenjak ikut Pek Hoa Pouwsat memang
suka sekali mengenakan pakaian merah dan oleh orang-orang di kota Sian-koan
mendapat sebutan Ang I Niocu.
Kisah Si Naga Langit 3 Pendekar Kelana Sakti 11 Durjana Pemenggal Kepala Pendekar Bloon 29
^