Bara Maharani 13
Bara Maharani Karya Khu Lung Bagian 13
kakimu, kugebuk sampai kutung!"
Sejak terjun ke dalam dunia persilatan Hoa Thianhong
selalu punya hubungan luas dengan para jago
Bulim terutama beberapa saat belakangan dia selalu
dianggap sebagai pemimpin dari golongan kekuatan
baru, ini hari setelah digampar orang tanpa sebab
hatinya panas dan mendongkol sekali, tapi pemuda itu
cerdik dan tahu gelagat, dia sadar bahwa nenek tua ini
punya asal usul yang besar, meskipun lagaknya sok
sekali akan tetapi sama sekali tiada maksud jahat
terhadap dirinya.
Karena itu setelah termenung sebentar akhirnya ia
menahan sabar dan segera berlalu dari situ.
Diarah sebelah Barat laut terdapat serentetan rumah
penduduk, rupanya seperti sebuah dusun kecil, cepat
Hoa Thian-hong lari menuju ke dusun tersebut, belum
jauh dia lari tiba-tiba pemuda itu merasa dandanan
sendiri lucu sekali, bukan saja pakaian luarnya tak ada
sepatu yang dipakai cuma sebelah, maka dilepaskan
sepatu yang tinggal satu satunya itu kemudian
meneruskan perjalanan dengan kaki telanjang.
Setelah hampir masuk dusun, Hoa Thian-hong baru
teringat kalau dalam sakunya tak ada uang sebab
bajunya telah dibuang ke laut, pikirnya, "Sekarang aku
tak punya uang untuk membeli makanan, apa daya"
Apakah aku musti mencuri" Atau menodong?"
Sambil berkata tanpa terasa ia telah mengelilingi
dusun itu satu kali, dusun yang terdiri dari sebuah jalan
raya belaka itu hanya mempunyai sebuah rumah makan
saja di ujung jalan, pemuda itu segera berpikir, "Para
hweesio saja dapat mencari makan dimana-mana,
kenapa aku tidak berusaha mencobanya" Bagaimanapun
toh aku tak boleh mati kelaparan, Yaah....... rupanya aku
terpaksa tebalkan muka untuk makan gratis...."
Setelah ambil keputusan, ia segera melangkah masuk
ke rumah makan itu.
Pelayan di pintu nampak tertegun dan berdiri melongo
ketika menyaksikan Hoa Thian-hong dengan dandanan
seperti pengemis masuk ke dalam rumah makannya,
dengan suara ragu-ragu ia berseru, "Saudara
adalah......."
Orang-orang dusun seperti itu adalah orang yang
menghargai pakaian tidak menghargai orangnya, melihat
dandanan Hoa Thian-hong yang tidak karuan itu
timbullah rasa sangsi dan curiga di dalam hatinya.
"Bocah bagus... rupanya kau barusan mencari
perempuan dan pulang kesiangan... haaah haaah...lain
kali kau musti tahu diri," tiba-tiba terdengar seseorang
berteriak dengan suara lantang.
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, gelak
tertawa segera meledak memenuhi seluruh ruangan.
Hoa Thian-hong sangat gusar, dia berpaling ke arah
mana berasalnya suara tertawa itu, tampaklah pada meja
makan sebelah kanan duduk tiga orang toojin berusia
pertengahan yang menyoren pedang di punggung, orang
yang barusan bicara adalah toojin yang duduk ditengah,
gelak tertawa mereka bertiga pula yang kedengaran
paling keras. Terdengar toojin yang berada di sebelah kirinya ikut
menimbrung sambil tertawa.
"Ngo Seng memang hebat sekali, rupanya tebakanmu
tepat, coba lihat di atas pipinya terdapat lima buah bekas
cakar yang nampak jelas sekali!...."
Gelak tertawa yang amat nyaring kembali
berkumandang memecahkan kesunyian.
Hoa Thian-hong merasa gelak tertawa yang muncul
dari samping kiri nyaring dan amat memekikkan telinga,
jelas suara tertawa itu dipancarkan oleh seseorang yang
memiliki tenaga dalam sangat lihay, tampak di meja
makan sebelah kiri dekat pintu, duduklah empat orang
pria, dua orang kakek berjubah warna hitam dan dua
orang lainnya pria kekar berpakaian ketat, keempat
orang itu sama-sama menggembol senjata.
Ketika itu Sang surya telah condong ke barat dan
merupakan waktu orang mencari penginapan, ruangan
rumah makan boleh dibilang penuh dan sebagian besar
telah terisi oleh tamu.
Kecuali dua rombongan tersebut, para tamu lainnya
rata-rata berdandan pedagang atau pekerja kasar, Hoa
Thian-hong dengan sorot mata yang tajam segera
menyapu sekejap seluruh ruangan itu, mendadak ia
tertegun dan hampir saja berseru tertahan.
Kiranya di sudut ruangan duduklah seorang dara baju
kasar yang memiliki kecantikan wajah yang luar biasa,
Hoa Thian-hong bukan hidung bangor tapi setelah
menemui gadis cantik itu dia nampak begitu terkejut dan
kaget hal ini menunjukkan bahwa gadis itu luar biasa
sekali. Tidak Salah, dari raut wajah dan potongan badannya
gadis itu ternyata mirip sekali dengan Pek Kun-gie, hanya
saja gadis ini jauh lebih tenang kalem, halus dan
sederhana. Waktu itu dengan kepala tertunduk dara itu sedang
menikmati bakmi dihadapannya, terhadap gelak tertawa
yang memenuhi seluruh ruangan bukan saja tidak ambil
perduli bahkan bersikap seolah-olah tidak melihatnya.
Mula-mula Hoa Thian-hong tertegun, kemudian satu
ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera dapat
menduga siapakah dara itu.
Entah apa sebabnya tiba-tiba pemuda itu merasa
tersipu-sipu dan menyesal sekali mengapa masuk ke
rumah makan dengan potongan badan yang tidak
karuan. Tiba-tiba terdengar toojin berusia pertengahan yang
duduk di tengah itu berseru kembali, "Keparat, melihat
Wanita cantik sepasang matanya langsung terbelalak
lebar, rupanya dia memang benar-benar seorang
manusia hidung bangor!"
Hoa Thian-hong teramat gusar sekali ketika dilihatnya
orang-orang itu sebentar memandang ke arahnya
sebentar lagi melirik ke arah dara cantik itu dengan
wajah penuh ejekan, diam-diam dia menyumpah, "Tosu
bajingan, kalian memang punya mata tak berbiji......"
Teringat akan gamparan yang diterimanya hari ini,
rasa mendongkol yang selama itu masih berkecamuk di
dadanya segera disalurkan ke arah toojin berusia
pertengahan itu, dalam hati timbullah rencana untuk
memberi ganjaran kepada tosu tadi.
Tepat di depan pintu masih ada meja kosong, setelah
melirik sebentar pemuda itu segera maju ke depan dan
duduk dengan membelakangi pintu.
Rupanya sang pelayan juga tak tahu diri, dengan
wajah cengar-cengir penuh ejekan dia menghampiri
pemuda itu sambil bertanya, Tuan, apakah engkau juga
akan minum arak?"
"Bawa dulu secawan air teh!" jawab Hoa Thian-hong
sambil menahan hawa marahnya.
Melihat si anak muda itu adalah sasaran bahan
tertawa bagi semua orang, mendengar pula logatnya
berasal dari luar daerah, timbul pula niat pelayan itu
untuk menggoda, dengan suara keras sengaja ia
berteriak, "Ambilkan secawan air teh, air teh itu untuk
kongcu yang sedang ketimpa kesusahan, kalau bisa cari
yang dingin...."
"Budak tak tahu diri!" sumpah Hoa Thian-hong di
dalam hati, "kau juga berani menggoda diriku,
Hmmm....tunggu saja nanti, akan kubereskan pula
dirimu!" Beberapa saat kemudian pelayan telah muncul dengan
membawa sepoci air teh dingin, sambil siapkan cawan
dan sumpit sambil tertawa cengar-cengir ujarnya lagi,
"Kongcu ya, rupanya kau baru saja mengalami
perampokan, kau hendak pesan apa?"
Sambil berkata, biji matanya dengan tajam menyapu
seluruh tubuh Hoa Thian-hong, rupanya dia sedang
memperingatkan kepada pemuda itu kalau di sakunya
tak ada uang. Hoa Thian-hong mendengus dingin, ia letakkan poci
air teh itu di tengah meja, cawan didekatkan dengan
mulut poci lalu mengambil sebatang sumpit dan
ditancapkan di dalam cawan tersebut. Sungguh aneh
sekali, sumpit itu seakan-akan menancap di dalam hiolo
saja ternyata berdiri tegak dan sama sekali tidak goyang.
Dalam sekejap mata ketiga orang toojin berusia
pertengahan maupun dua orang kakek baju hitam dan
dua orang pria berpakaian ketat itu berubah air muka,
suasana jadi hening dan sunyi hingga tak kedengaran
sedikit suarapun.
Haruslah diketahui demonstrasi mengerahkan tenaga
dalam ke tubuh sumpit itu sehingga dapat berdiri tegak
di dasar cawan tak bisa dilakukan oleh setiap orang
dengan mudah, namun Hoa Thian-hong bisa
melakukannya dengan gampang dan tak berbekas,
kejadian ini benar-benar luar biasa sekali.
Tetapi yang terutama adalah kode rahasia yang
diperlihatkan si anak muda itu, membuat orang merasa
tercengang dan sama sekali diluar dugaan.
Para pelancong dan pedagang yang hadir pula dalam
rumah makan itu meskipun bingung dan tak habis
mengerti, tetapi merekapun tahu kalau Hoa Thian-hong
adalah se orang jago kangouw, untuk sesaat suasana ia
di hening tak kedengaran sedikit suarapun, berpuluhpuluh
pasang mata sama-sama dicurahkan ke arah
pemuda itu. Tampak Hoa Thian-hong membuka penutup poci air
teh tadi kemudian mengetuk tubuh poci itu perlahan.
Traaang...traang...traaang...! bunyi nyaring yang
bening dan merdu berkumandang keluar dari balik poci
porslen yang kecil, ketika tersebar di udara suara
tersebut kedengaran bagaikan bunyi lonceng kuil tosu
yang berdentang nyaring.
Semua hadirin terkesiap dan duduk dengan mata
terbelalak mulut melongo, perhatian mereka semua
terhisap oleh demonstrasi permainan yang aneh itu,
bahkan dara cantik itupun menghentikan sumpitnya dan
alihkan sepasang matanya yang bulat besar ke arah poci
air teh tadi. Hoa Thian-hong berlagak bodoh, seolah-olah tak
pernah terjadi sesuatu apapun, ia berpaling ke arah sang
pelayan yang telah pucat pias bagaikan mayat itu sambil
berseru, "Tong thian It cuhiang, kau mengerti?"
"Hamba mengerti.... hamba mengerti... Kongcu ya
mau apa?" tanya pelayan dengan gemetar.
"Hmm! Siapkan empat macam sayur yang paling lezat,
nasi, arak wangi dan siapkan di atas nampan"
Pelayan itu mengiyakan berulang kali, dengan badan
masih gemetar buru-buru dia ngeloyor ke dapur.
Tiba-tiba ketiga orang toojin berusia pertengahan itu
saling bertukar pandangan sekejap kemudian bangkit
berdiri dan maju menghampiri Hoa Thian-hong.
Setelah tiba dihadapan pemuda itu, mereka berdiri
berjejer dengan toojin yang disebut Ngo suheng berada
ditengah, sambil silangkan telapak di dada memberi kode
rahasia ia berkata, "Siapakah nama sahabat" Apakah
baru saja masuk menjadi anggota perkumpulan?"
"Aku tak boleh berbuat bodoh, kalau tidak tingkah
lakuku pasti akan jadi bahan tertawaan di dalam Bulim"
pikir Hoa Thian-hong di dalam hati.
Bukan menjawab dia segera balik bertanya,
"Bagaimana sebutan kalian dengan Thian Seng
Tootiang?"
"Dia adalah susiok pinto bertiga!"
Dengan wajah serius Hoa Thian-hong mengangguk.
"Ehmm....... jadi kalian adalah anak murid dari kaucu?"
Toojin itu membenarkan, ia menyahut, "Pinto bertiga
adalah anak murid dari kaucu, sahabat, engkau
mendapat penghormatan di sektor mana?"
"Tak usah banyak bertanya," tukas pemuda itu sambil
goyangkan tangannya, "Thian Seng tootiang menyebut
saudara dengan aku, bila kalian tahu salah, ayoh cepat
bayar rekening kalian dan cepat pergi!"
"Ngo suheng, dia tentu orang gadungan yang
mengaku-ngaku saja!" teriak Toojin di sebelah kiri
mendadak. Toojin yang ada di tengah mendengus dingin, ia
memandang sekejap ke arah Hoa Thian-hong lalu
berkata, "Sahabat, kalau engkau tak mau menerangkan
asal usulmu lagi, jangan salahkan kalau pinto akan
kurang sopan terhadap dirimu!"
"Huuuuh,..! Sejak tadi kau sudah tak tahu sopan, dosa
kalian musti dihukum..... ayoh jalankan hukuman sendiri
daripada aku musti repot!"
Criiiiing....! Ketiga orang toojin itu mencabut keluar
pedangnya dan segera menyebarkan diri, dengan
membentuk posisi segitiga mereka tutup jalan mundur si
anak muda itu. Suara hiruk-pikuk memecahkan kesunyian, para tamu
yang sekeliling tempat itu sama-sama bangkit dari
tempat duduknya dan mundur ke belakang, hanya empat
pria baju hitam serta gadis cantik itu saja yang masih
tetap duduk tak berkutik di tempat semula.
Sikap Hoa Thian-hong tenang sekali, ia duduk tak
berkutik di tempat semula dan sama sekali tidak
berpaling ke sekeliling tempat itu, ujarnya, "Aku pernah
menyaksikan suatu barisan yang disebut Sam Seng Bukek-
tin, apakah kalian juga bisa menggunakannya?"
Barisan Sam Seng Bu-kek-tin adalah barisan yang
diwariskan Kiu-tok Sianci kepada tiga harimau dari
keluarga Tiong, ilmu simpanan dari wilayah Biau itu
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jarang ditemui dalam Bulim, tiga orang toojin tersebut
segera mengira kalau mereka sedang diejek, hawa
amarah kontan berkobar dan nafsu membunuh tak
terkendalikan lagi,
Toojin yang berdiri di depan pintu tiba-tiba
membentak keras, pedangnya digetarkan ke udara
menciptakan berpuluh-puluh buah titik cahaya bintang
yang mana langsung menusuk tulang punggung si anak
muda itu. Hoa Thian-hong menjengek sinis, tubuhnya sama
sekali tidak goyah dari tempat semula, menanti ujung
pedang hampir menyentuh tulang punggungnya ia
gerakkan lengan dan tiba-tiba mengirim satu pukulan ke
belakang. Selama setahun dua tahun ke belakangan ini, dia
selalu tekun memperdalam jurus pukulan 'Kun-siu-citauw'
nya, terhadap penggunaan jurus pukulan tersebut
boleh dibilang sudah hapal dan matang sekali, serangan
yang dilancarkan barusan bukan saja hebat bahkan tepat
mengarah kedada musuh.
Tatkala Toojin itu menyaksikan ujung pedangnya
sudah hampir menyentuh tubuh lawan namun pihak
musuh tidak menunjukkan reaksi apapun, ia merasa
terkejut bercampur girang, hawa murninya segera
disalurkan keluar dan sekuat tenaga dia dorong
pedangnya menusuk ke depan.
Tiba-tiba segulung angin pukulan yang maha dahsyat
bagaikan gulungan ombak disamudra meluncur ke muka,
pedang dalam genggamannya segera bergetar keras,
bukan saja tusukannya menceng setengah depa ke
samping bahkan kuda-kudanya gempur dan badan Toya
terjerumus ke depan langsung menumbuk bahu kanan
pemuda lawannya.
Ketika pertama kali Hoa Thian-hong berjumpa dengan
Ciu It-bong, kakek telaga dingin pernah menyapu salju
membentuk tiang salju yang berpusing di udara sehingga
mengejutkan hatinya, jurus yang pernah dipergunakan
oleh Ciu It-bong itu sekarang dipergunakan olehnya,
semua inti kebagusan dan kehebatan dikeluarkan
membuat pukulan itu bukan saja nampak aneh dan
membingungkan bahkan bila seseorang tak punya
kepandaian yang lihay, tentu tak akan tahu dimana letak
kelihayan dari serangan tersebut.
Bentakan keras bergema memecahkan kesunyian,
cahaya kilat menyambar lewat, dua bilah pedang
bersama-sama meluncur datang, satu dari kiri yang lain
dari kanan. Semangat Hoa Thian-hong berkobar, tangannya
berputar mencengkeram pergelangan tangan toojin yang
ada di belakang tubuhnya, sekali ayun pedang tersebut
segera menangkis ancaman dari sebelah kanan, tangan
kiri diayun mengirim pula satu pukulan ke depan.
Traaang...! bentrokan keras terjadi menimbulkan suara
dentingan yang nyaring, percikan bunga api muncrat
keempat penjuru dan kedua bilah pedang itu sama-sama
tergetar patah.
Semua peristiwa terjadi dalam sekejap mata, serangan
Hoa Thian-hong mencekal pergelangan musuh, dengan
pedang lawan memukul kutung pedang lawan semuanya
dilakukan dalam sekali gerakan, dibalik serangan
membawa pula pertahanan yang kuat dan rapat, tahuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tahu telapak kirinya telah menyampok miring pedang
toojin yang lain kemudian merampas gagang pedangnya
dengan jitu. Bagaikan sukmanya melayang tinggalkan, segera
dengan ketakutan ketiga orang toojin itu loncat mundur
ke belakang, andaikata di belakang bukan membentur
dinding tembok mungkin mereka akan mundur lebih jauh
lagi ke belakang....
Hoa Thian-hong tertawa dingin, cengkeramannya pada
seorang toojin yang kena ditangkap makin dipererat,
telapak kirinya diayun siap menampeleng orang itu, tapi
ingatan lain segera berkelebat dalam benaknya, ia
berpikir, "Ketiga orang ini tidak lebih cuma anak murid
dari Thian Ik si tosu tua itu. ilmu silat mereka tak bisa
menangkan diriku, kenapa aku musti gaplok mereka?"
Sambil lepaskan celananya dia lantas membentak,
"Bayar rekening kalian dan cepat enyah dari sini, lain kali
kalau berani bicara sembarangan lagi.... Hmmm! lihat
saja, akan kucabut jiwa kalian semua!"
Dengan wajah pucat pias bagaikan mayat, ketiga
orang toojin itu saling berpandangan sekejap, tiba-tiba
tooin di tengah melemparkan sekeping uang perak ke
atas meja kemudian putar badan dan kabur dari situ.
"Hay, masih ada uang arakku!" bentak Hoa Thianhong.
Toojin yang mencekal pedang itu berjalan paling
belakang, belum sempat tubuhnya melangkah keluar dari
pintu telinganya terasa mendengung keras, dengan
ketakutan dia melemparkan sekeping uang kemeja dan
buru-buru ikut kabur dari situ.
Jilid 22: Pek Soh Gie, saudara kembar Pek Kun Gie
Hoa Thian-hong memandang hingga bayangan tubuh
ketiga orang toojin itu lenyap dari pandangan, ketika
menjumpai para tetamu tak berani kembali ke tempat
duduknya masing-masing, ia tertawa geli dan segera
serunya, "Mau apa kalian berdiri saja disitu" Masingmasing
makan punya sendiri, apa yang musti ditakuti?"
Mendengar perkataan itu para tamupun segera duduk
kembali ke tempat semula, suara ramai dan hiruk pikuk
semua orang berebut untuk duduk lebih dahulu
ditempatnya semula, seolah-olah mereka takut kalau
sampai terlambat sehingga menggusarkan Hoa Thianhong.
Pada saat itulah dua orang kakek baju hitam serta dua
orang pria berbaju ringkas itu membuang sekeping perak
kemeja, kemudian diam-diam berjalan keluar dari pintu.
Dalam hati Hoa Thian-hong berpikir, "Pek Soh-gie
benar-benar seorang nona yang lembut, dan kalem
sekali, aku dengar ia tak pernah melakukan perjalanan di
dalam dunia persilatan, kenapa bisa sampai disini?"
Berpikir sampai disitu timbullah rasa pendekar dalam
hatinya, kepada seorang kakek baju hitam yang
kebetulan lewat disisinya dia menegur, "Eeei.... .apakah
kalian berempat anggota perkumpulan Sin-kie-pang?"
"Benar," kakek baju hitam itu mengangguk dan
memberi hormat, "kongcu ada urusan apa?"
"Jin Hian ada maksud mencelakai jiwa kalian,
berangkatlah dari sini ke arah timur dan lebih baik
jangan sampai berjumpa dengan orang-orang dari pihak
Hong-im-hwie"
Air muka kakek baju hitam itu berubah hebat setelah
mendengar perkataan itu, tetapi dalam sekejap mata
telah pulih kembali seperti sedia kala, segera sahutnya,
"Terima kasih atas petunjukmu.... setelah memberi
hormat iapun berlalu dari situ.
Dalam sekejap mata keempat orang tadi sudah keluar
dari pintu dan lenyap dari pandangan, sebaliknya dara
ayu tadi masih tetap duduk di tempat semula sambil
menikmati bakmi di mangkoknya.
"Kenapa Pek Soh-gie kalau makan begitu lambat?"
pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, "rupanya dia sengaja
hendak mengulur waktu, entah apa maksudnya?"
Dengan pakaiannya yang tidak genah, pemuda itu
merasa rendah diri, tanpa terasa ia putar badan dan
menanti sayur dan arak sendiri.
Beberapa saat kemudian pelayan telah muncul dengan
membawa sebuah nampan, di atas nampan terdapat
empat macam sayur, sepoci arak wangi, satu tong kecil
nasi putih dan empat perangkat cawan serta sumpit.
Pemilik rumah makan berjalan mengikuti di belakang
pelayannya, setelah memberi hormat katanya tergagap,
"Dua macam sayur ini merupakan makanan paling baik
dari rumah makan kami, kami tak sanggup membuatkan
yang lebih bagus lagi.... dan arak.... araknya adalah...."
Hoa Thian-hong geli melihat sikap orang itu, wajahnya
berubah jadi hijau pucat, rupanya ia sudah ketakutan
setengah mati sehingga berbicarapun terlalu dipaksakan,
ia segera goyangkan tangannya sambil berseru,
"Cukup.... cukup.... bukankah uangnya sudah dibayar?"
"Oh.... sudah.... sudah.... masih ada sisa!" buru-buru
pemilik rumah makan itu lari ke lacinya.
Hoa Thian-hong tersenyum, sambil membawa nampan
itu dia berjalan keluar dari pintu ruangan, dengan
pandangan yang sengaja dia melirik sekejap ke arah
gadis itu. Ketika tiba di jalanan ia tak bisa menahan diri lagi dan
segera berpaling kembali ke arah rumah makan tadi.
Sesosok bayangan manusia nampak berjalan pada
jarak tiga empat tombak di belakang tubuhnya, orang itu
bukan lain adalah gadis ayu tadi. sikap maupun
langkahnya tenang seolah-olah seorang gadis yang
mengerti ilmu silat, siapapun tak menyangka kalau dia
adalah putri sulung dari ketua perkumpulan Sin-kie-pang.
Ketika gadis ayu itu melihat Hoa Thian-hong berhasil
menemukan jejaknya, pipi yang putih segera bersemu
merah, biji matanya yang jeli berputar disekeliling tempat
itu seakan-akan sedang mencari tempat persembunyian.
Hoa Thian-hong sendiripun merasa pipinya jadi panas
dan jengah sekali, setelah tertegun beberapa saat dia
lantas bertanya, "Nona Pek apakah engkau ada urusan
yang hendak disampaikan kepadaku....?"
Perlahan-lahan dara ayu itu maju ke depan, lalu
menjawab dengan suara ringan, "Koko, keempat orang
yang kau jumpai tadi bukan anggota perkumpulan Sinkie-
pang" "Oooh.... jadi mereka orang-orang dari perkumpulan
Hong-im-hwie" tanya sang pemuda setelah tertegun
sebentar. Gadis itu mengangguk.
"Mereka sudah sembilan hari lamanya membuntuti
diriku, dari Keng oh sampai tempat ini, orang-orang
tersebut selalu mengun til di belakang atau denganku"
"Sudah terjadi bentrokan?" tanya Hoa Thin Hong
dengan alis berkerut.
Gadis ayu itu menggeleng.
"Belum!"
Hoa Thian-hong termenung dan berpikir sebentar,
tiba-tiba sambil tertawa ujarnya, "Aku dan seorang
angkatan tua yang sedang menantikan arak dan sayur,
bagaimana kalau nona juga ikut kesitu?"
Gadis cantik itu mengangguk, sambil mengikuti di
belakang Hoa Thian-hong, berangkatlah mereka
tinggalkan dusun tersebut menuju ke tempat dimana
nenek baju abu-abu menunggu.
Nenek itu masih tetap menanti di tempat semula,
tongkat di tangannya masih tergenggam tapi ia sedang
mengantuk, dalam hati. Hoa Thian-hong segera berpikir,
"Waah.... untung dia tertidur, kalau tidak aku tentu
dimarahi lagi...."
Rupanya nenek tua itu mendengar suara langkah
manusia, mendadak sambil menengadah dia membuka
matanya. Buru-buru Hoa Thian-hong maju ke depan, serunya
sambil tertawa paksa, "Nenek, arak dan sayur telah
datang!" Dengan mata melotot nenek tua itu menyapu sekejap
sayur dan arak di atas nampan, la lu tegurnya, "Huuh....
hasil mencuri?"
"Oooh.... tidak, tidak.... toojin dari Thong-thian-kauw
yang telah membayarkan rekeningku, lain kali kalau
bertemu lagi pas ti akan kubayar hutang tersebut"
Nenek tua itu mencibirkan bibirnya, sorot mata segera
dialihkan ke arah gadis cantik yang berada di belakang
pemuda itu. "Nona ini bernama Pek Soh-gie" buru-buru Hoa Thianhong
memperkenalkan, "dia ada lah putri sulung dari
ketua perkumpulan Sin-kie-pang!"
Mendengar ucapan itu dari, balik mata nenek tua itu
segera memancarkan cahaya yang amat tajam, dengan
cepat dia menyapu sekejap wajah gadis she Pek itu.
Pek Soh-gie buru-buru maju ke depan dan memberi
hormat, katanya, "Soh-gie menyampaikan salam buat
nenek" Kalau gadis itu bersikap wajar maka Hoa Thian-hong
gelisah sekali, pikirnya dengan hati cemas, "Nona ini
adalah seorang gadis baik, wah.... berabe kalau nenek ini
naik pitam dan mengumbar nafsunya...."
"Nona tak usah banyak adat!" terdengar nenek itu
menyahut. Pek Soh-gie mengucapkan terima kasih sambil
berpaling segera tanyanya, "Toako ini siapa namanya"
Siaute baru pertama kali melakukan perjalanan,
darimana toako bisa tahu asal usulku?"
"Aku bernama Hoa Thian-hong...." pemuda itu
memperkenalkan diri sambil tertawa.
"Telur busuk cilik!" tiba-tiba suara nenek tua itu
berkumandang disisi telinganya bagaikan bisikan
nyamuk, baru saja aku peringatkan dirimu, Huuh.... baru
berapa menit kau sudah mencari perempuan lagi!"
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, dia
tahu nenek tua itu memberi peringatan dengan ilmu
menyampaikan suara, dengan wajah serius buru-buru
sambungnya kembali, "Aku pernah mendengar nama
nona dari ayahmu, maka setelah berjumpa aku segera
mengenali kembali."
Pek Soh-gie mengangguk, biji matanya yang jeli
melirik sekejap ke arah nampan di tangan Hoa Thianhong
lalu melirik pula ke arah nenek tua itu, mulutnya
membungkam sedang otaknya berputar mencari penyakit
diantara sikap yang tak wajar dari kedua orang itu.
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoa Thian-hong maju kembali ke depan, sambil
tertawa paksa ujarnya kepada nenek tua itu, "Nenek kau
tentu lapar bukan" tempat ini tak ada meja, bagaimana?"
"Hmm! Kau tanya aku, lalu aku harus tanya siapa?"
bentak sang nenek dengan mata melotot.
Hoa Thian-hong jadi gelagapan, melihat dia tak mau
duduk di lantai terpaksa sambil berlutut dia angkat
nampan itu ke atas, katanya lagi, "Nenek, silahkan
minum arak. kalau sayurnya sudah dingin tentu tidak
enak." Rupanya Pek Soh-gie tidak tega, ia maju ke depan dan
segera siapkan cawan dan sumpit untuk nenek tua itu
bahkan penuhi pula cawannya dengan arak wangi.
Melihat ada arak wajah nenek itu menunjukkan rasa
girang yang tak terhingga, dia angkat cawan dan
menghabiskan arak terse but beberapa kali.
Pek Soh-gie penuhi kembali cawan itu de ngan arak,
sang nenek segera menggerakkan sumpit menikmati
sayur dimangkok, Hoa Thian-hong yang menyungging
nampan seketika merasa perutnya jadi keroncongan
setelah mencium bau harum yang membuat perut jadi
lapar itu. "Nona, kau sudah bersantap?" terdengar nenek tua itu
menegur. Terima kasih nenek, Pek Soh-gie baru saja bersantap!"
"Mau makan sedikit lagi?"
"Soh-gie ikut ibuku bermakah pantang, aku tak berani
mendekati barang-barang berjiwa!"
Sekali teguk nenek tua itu menghabiskan isi
cawannya, tiba-tiba ia menghela napas panjang dan
berkata, "Kho Hong-bwee kawin dengan Pek Siau-thian,
kejadian itu benar-benar patut disesalkan. kasihan Kho
Hong-bwee yang matanya buta tak bisa milih suami yang
genah, Bun Siau-ih kawin dengan Hoa Goan-siu, orang
bilang mereka adalah pasangan yang setimpal dan
bahagia, siapa tahu burung terbang berpisah toh hidup
mereka lebih banyak sengsaranya daripada bahagia,
aaai.... gadis cantik kebanyakan bernasib jelek!"
"Nenek kenal dengan ibuku?" tanya Pek Soh-gie
dengan wajah sedih.
"Aku si nenek tua telah seratus tahun hidup di kolong
langit, sudah banyak kejadian tragis yang kusaksikan,
siapa bilang tidak kenal dengan dua wanita tercantik di
dalam dunia persilatan?"
"Siapa nenek?" tiba-tiba Hos Thian-hong bertanya.
"Aku adalah aku, apa itu siapa-siapa?" bentak sang
nenek dengan mata melotot.
Hoa Thian-hong yang kebentur pada batunya cuma
bisa meringis tersipu-sipu, pikirnya, "Waaah.... rupanya
nenek tua ini lebih suka anak perempuan daripada anak
laki, tiap kali aku yang tanya tentu disemprot dengan
kata tajam.... Huuh.... Sialan benar...."
Rupanya Pek Soh-gie tak menyangka kalau pemuda
itupun tak kenal dengan asal usul nenek tua ini, seielab
tertegun sebentar katanya, "Hoa toako, apakah kau
adalah keturunan dari Hoa Tayhiap dari perkampungan
Liok Soat Sanceng?"
Hoa Thian-hong mengangguk, teringat akan ayahnya
yang sudah meninggal dan jejak ibunya yang tak
menentu, hatinya jadi sedih dan sikappun menjadi uringuringan.
Melihat pemuda itu murung, setelah termenung
sebentar Pek Soh-gie berkata lagi, "Seringkali ibu
membicarakan tentang ibu mu, katanya selama hidup
dialah yang paling dikagumi, apakah dia orang tua terada
dalam keadaan sehat walafiat?"
Pemuda itu menggeleng.
"Kesehatan ibuku buruk sekali, karena hendak
mencari, aku sekarang telah berkelana di dalam Bulim,
entah kini ia berada di mana" dan bagaimana Dasibnya?"
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya kembali,
"Urusan ini rahasia sekali, harap nona jangan
membocorkan di tempat luaran...."
Soh-gie mengerti, tak usah toako peringatkan
lagi"gadis itu menghela napas pan jang, sambungnya,
akhir tahun berselang adikku telah datang dan
berkumpu1 dengan kami, dia bilang sewaktu berada di
tepi sungai Huang-ho telah memaksa Hoa toako sampai
mati, setelah mendengar berita itu ibu amat sedih hingga
muntah darah tak hen tinya, sejak itu hari kesehatan
ibuku jadi melorot sampai akhirnya adikku mengirim
surat lagi yang mengabarkan Hoa toako muncul kembali
di kota Cho ciu, saat itulah hati ibuku jadi lega dan
sakitpun berangsur-angsur pulih kembali seperti sedia
kala" "Ibumu terhitung ibu yang bijaksana, sungguh
membuat aku kagum, bila di kemudian hari ada jodoh
tentu akan kusambangi sendiri dia orang tua," kata sang
pemuda lirih. "Pek Soh-gie segera menyatakan rasa
terima kasih. "Setelah adikku mendapat peringatan dan teguran dari
ibuku, dia mulai menyesal terhadap perbuatan yang
pernah dilakukan dan bersumpah akan merubah
sikapnya yang jelek, dalam surat berikutnya dia telah
memuji-muji sikap Hoa toako yang gagah dan berjiwa
ksatria, tulisannya penuh mengandung pujian dan rasa
hormat...."
"Budak yang masih muda harus berwatak pendiam"
sela nenek baju abu-abu itu dari samping" kalau binal
memang sudah sewajarnya mendapat pendidikan yang
ketat!" Ucapan nenek memang benar!" kepada Hoa Thianhong
ia melanjutkan." adikku adalah sebangsa kaum
wanita, sedang Hoa toako adalah seorang lelaki sejati
yang berjiwa besar, kau pasti tak akan mendendam
terhadap dirinya bukan?"
"Kejadian toh sudah lewat, kenapa aku musti
mendendam?"
Nenek tua baju abu-abu itu menghabiskan kembali isi
cawannya, tiba-tiba ia bertanya, "Pek Soh-gie, seorang
diri engkau datang ke Timur, entah ada urusan apa?"
"Ibu mengetahui bahwa badai pembunuhan bakal
melanda dunia persilatan, karena kejadian itu hati beliau
merasa murung dan sela lu tak tenang, beliau telah
menulis sepucuk surat untuk ayahku dengan harapan
ayah bisa menyadari usia tuanya serta mengundurkan
diri dari masalah dunia, Soh-gie mendapat perintah untuk
menyampaikannya"
Nenek tua itu segera tertawa dingin.
"Heeh.... heeh.... kau anggap Pek Siau-thian mau
mendengarkan nasehat orang" ibumu memang berhati
mulia, sayang dia te lah salah mencari orang!"
"Menurut apa yang kuketahui," ujar Hoa Thian-hong
pula, "Pek lo pangcu amat sayang dan menghormati
istrinya, bahkan sayang sekali terhadap nona Soh-gie,
cuma...." "Cuma kenapa?" bentak nenek itu.
"Aaai....! Situasi dalam dunia persilatan dewasa ini
amat kalut dan rumit sekali, sekalipun Pek Lo pangcu
tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan pun
tindakannya tak akan bisa menyelamatkan badai
pembunuhan ini...."
Ia berhenti sebentar kemudian dengan wajah serius
terusnya, "Walaupun urusan sudah tak bisa ditolong lagi,
tapi cita-cita dan tujuan Pek Hujien serta nona Soh-gie
memang patut dihormati dan dipuji setinggi langit"
"Hmm....! rupanya tidak sedikit rahasia yang kau
ketahui!" seru nenek tua baju abu-abu itu dengan suara
dingin, "siang tadi aku lihat kau bicara lama sekali
dengan Giok Teng Hujin, ditinjau dari sikapmu yang
serius dan sungguh-sungguh rupanya banyak urusan
penting yang telah kalian bicarakan?"
Teringat pemandangan ketika ia sedang bercakapcakap
dengan Giok Teng Hujin di tepi pantai ombak
menggulung kencang, angin berhembus menderu-deru,
lagipula ada Soat-jie berjaga di pantai, sekalipun nenek
tua itu punya ketajaman telinga yang luar biasa rasanya
juga tak mungkin bisa mendengar pembicaraannya,
maka sambil tersenyum ia berkata, "Giok Teng Hujin
membicarakan tentang asal usulnya. Aaai.... perempuan
berwajah cantik seringkali bernasib jelek!"
Dari sikap pemuda itu, sang nenek tahu bahwa ia
tidak bicara jujur, dengan wajah gusar segera hardiknya,
"Kau berani bicara bohong?"
Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, pikirnya di
dalam hati, "Teka teki yang menyelimuti asal usul Giok
Teng Hujin, persoalan mengenai pedang emas jantan
dan betina serta Pui Che-giok asli dan gadungan
semuanya merupakan persoalan yang menyangkut
masalah besar dalam dunia persi1atan, lagi pula diba1ik
persoalan itu terdapat hal-hal yang bisa dipsrcaya dan
hal-hal yang pasti dicurigai, perduli siapakah nenek tua
ini rahasia besar tersebut tak boleh kubocorkan dengan
begitu saja."
Berpikir demikian, iapun lantas tertawa berhaha hihi
sambil berseru, "Hiiih.... hiiih.... nenek, maaf yaah,
berhubung soal ini menyangkut masalah besar dalam
dunia persilatan, maka terpaksa aku tak dapat
memberitahukan kepadamu"
"Kau sungguh-sungguh tak mau bicara?" hardik sang
nenek baju abu-abu dengan suara dingin matanya
memancarkan cahaya tajam dan menatap wajah pemuda
itu tak berkedip sementara tangannya diayun siap
menggaplok pipinya.
Hoa Thian-hong tersenyum.
"Nenek.... kalau mau pukul silahkan pukul, karena
urusan ini menyangkut rahasia dunia persilatan.... maka
apa boleh buat, aku tak berani banyak bicara"
Baik sang nenek baju abu-abu maupun Pek Soh-gie
jadi tertegun, kalau dilihat dari sikapnya yang penurut
terutama sewaktu diperintahkan untuk berlutut sambil
memegang nampan, tak sangka kalau pemuda itu jadi
berandal dan keras kepala sesudah berhadapan dengan
urusan yang serius.
Setelah tertegun beberapa waktu, nenek baju abu-abu
itu jadi marah, tegurnya, "Engkau tahu siapa aku?"
"Sekalipun aku sudah tahu siapakah nenek dalam
persoalan ini akupun tak berani bicara sembarangan"
Rupanya hawa gusar yang berkobar dalam dada
nenek tua itu sudah tak terbendung lagi, ia berteriak
kembali. "Kurang ajar.... dihadapan siapapun engkau sama saja
tak akan bicara....?"
"Benar, kecuali terhadap ibuku kepada si apapun aku
tak akan menjawab...."
Dengan gusar nenek baju abu abu itu segera bangkit
berdiri, ia mengetukkan toyanya ke tanah dan
membanting cawan sampai hancur kemudian
gembornya, "Bun Sian Ih sekarang ada dimana?"
Hoa Thian-hong jadi takut sekali, ia takut pipinya
digaplok lagi oleh nenek itu, buru-buru jawabnya, "Aku
sudah lama berpisah dengan ibuku sekarang aku benarbenar
tak tahu beliau berada dimana?"
"Hmm! telur busuk kecil, aku akan pergi mencari
ibumu, akan kulihat engkau mau bicara atau tidak?"
Sekali enjotkan badan tubuhnya sudah berada
puluhan tombak jauhnya dari tempat semula.
Hoa Thian-hong jadi amat gelisah, segera teriaknya,
"Eeei.... orang tua, kitab catatan Ci yu jit ciatku...."
"Nenekmu, apa itu Jit jiat pat ciat.... aku sama sekali
tak tahu maki sang nenek.
Dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan.
Hoa Thian-hong jadi melongo dan tak tahu apa yang
maa dilakukan, sambil memandang ke arah tenggara
pikirnya, "Kalau dia tak tahu dimanakah ibuku berada,
kenapa larinya menuju ke arah sana?"
Lewat beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar
Pek Soh-gie berbisik dengan suara lirih, "Hoa toako, hari
sudah hampir gelap, kau sudah makan belum?"
Hoa Thian-hong segera mendusin kembali dari
lamunannya, ia lihat udara benar-benar sudah gelap
gulita dan malam telah menjelang tiba, sedang ia sendiri
sambil memegang nampan masih tetap berlutut di atas
tanah, buru-buru si anak muda itu bangkit berdiri,
katanya, "Nona, silahkan duduk di atas batu!"
Pek Soh-gie menurut dan segera duduk, Hoa Thianhong
yang sudah lapar sekali tanpa sungkan-sungkan
segera menyambar semangkuk nasi dan menyikatnya
dengan lahap. Takaran perutnya tidak kecil lagi pula makannya cepat
sekali, dalam waktu singkat ia sudah menyikat habis
semua makanan yang ada. Setelah kenyang ia baru
letakkan nampan di samping sambil ujarnya, "Nona,
dewasa ini wilayah Kanglam sedang banyak persoalan,
tempat itu tidak aman dan berbahaya sekali, lebih baik
kau tak usah pergi kesana....!"
"Tapi aku harus bertemu dengan ayahku untuk
menyampaikan surat dari ibuku!"
"Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan ayahmu,
titipkan saja surat itu kepadaku agar aku yang
menyampaikan kepadanya, dengan begitu bukankah
nona tak usah pergi kesitu sendiri!"
"Hoa toako, dibalik perkataanmu aku dengar ada
maksud tertentu, bolehkah aku tahu lebih jelas lagi?"
tanya Pek Soh-gie tercengang.
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, ia
menjawab, Ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie
bernama Jin Hian, dia mempunyai seorang putra yang
bernama Jin Hiong mati di tangan seorang perempuan,
apakah nona tahu akan peristiwa ini?"
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku pernah dengar tentang peristiwa ini dari adikku,
apakah teka teki yang menyelubungi peristiwa
pembunuhan itu sudah berhasil dipecahkan....?"
"Peiistiwa itu sampai sekarang masih tertangguh dan
belum berhasil dipecahkan, Jin Hian menaruh curiga
bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh nona, tetapi
berhubung kekuatan dan perkumpulan Sin-kie-pang dan
Hong-im-hwie adalah seimbang ditambah pula masih ada
perkumpulan Thong-thian-kauw di samping maka
pertarungan untuk sementara waktu masih bisa
dihindari. Kendati begitu situasi dalam dunia persilatan
dewasa ini amat keritis dan berbahaya sekali pertarungan
setiap saat bisa berlangsung. Kepergian nona menuju ke
wilayah Kanglam boleh dibilang berbahaya sekali...."
000O0000 30 AKU keluar rumah baru pertama kali ini, aku tak
pernah melakukan kesalahan apa pun juga!" seru Pek
Soh-gie, "aku akan mengajak Jin Hian untuk
membicarakan persoalan ini sebaik-baiknya sehingga
urusan jadi jernih dan duduk perkara pun bisa dibikin
terang, aku tak ingin kesalahpahaman ini berlarut-larut
terus" Hoa Thian-hong menengadah dan menghela napas
panjang. "Aaaaai dalam menghadapi persoalan dalam dunia
persilatan, siapa kuat dia menang, sepatah dua patah
kata tidak cocok, mayat akan bergelimpangan dimanamana
dan darah akan mengalir memenuhi sungai,
menanti ceng li bisa dibikin terang saat itu semuanya
sudah terlambat"
"Perkataan dari Hoa toako memang tidak salah" ujar
Pek Soh-gie kemudian setelah berpikir sebentar. "Tetapi
sebelum berjumpa dengan ayahku, aku tetap merasa tak
lega hati, ditambah pula aku sudah rirdu sekali dengan
adikku, aku ingin sekali berjumpa muka dengan dirinya.
Mendengar ucapan itu, Hoa Thian-hong berpikir di
dalam hatinya, "Nona ini cuma tahu soal cengli dan
peraturan, tidak tahu bagaimana licik dan berbahayanya
manusia di kolong langit, kalau ku biarkan ia berkelana
seorang diri dalam dunia persilatan maka jiwanya setiap
saat tentu akan terancam oleh mara bahaya"
Tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berkata kembali.
"Apa rencana Hoa toako selanjutnya" Kau adalah
keturunan dari keluarga pendekar, ilmu silat yang dimiliki
sangat tinggi dan aku rasa musuh besarmu tentu tidak
sedikit bukan jumlahnya?"
"Benar, musuhku terbesar dimana-mana...." ia
menghela napas panjang dan melanjutkan," aku
bermaksud mengunjungi gunung Toa pa-san dan pergi
ke markas besar perkumpulan Sin-kie-pang!"
"Ayah dan adikku berada di wilayah Kanglam semua,
ada urusan apa Hoa toako hendak berkunjung ke gunung
Toa pa san?" tanya Pek Soh-gie dengan mata terbelalak.
"Aku punya sebilah pedang baja yang tertinggal di
dalam markas besar perkumpulan Sin-kie-pang, sekarang
senjata itu hendak kugunakan karena itu terpaksa harus
kucari kembali."
"Perjalanan teramat jauh, menuju kesana pun
membutuhkan banyak waktu, apakah tak bisa carikan
gantinya dengan senjata lain?"
Hoa Thian-hong menggeleng,
"Thong-thian Kaucu menggunakan sebilah pedang
'Boan liong poo kiam' yang teramat tajam, aku harus
menggunakan pedang baja yang berat untuk
menandinginya, sebab kalau tidak maka pedangku tentu
akan tergetar patah oleh pedang mustikanya!"
"Aaaah....! Thong-thian Kaucu adalah seorang tokoh
silat yang amat tersohor di kolong langit, apakah Hoa
toaku harus bertempur melawan dia....?"
"Ehmm, meskipun tenaga dalamnya sempurna dan
ilmu silatnya tinggi, seandainya senjata andalanku bisa
kutemukan kembali, maka aku mampu untuk bertarung
melawan dirinya"
Sambil loncat bangun sambungnya kembali,
"Persoalan sudah ada di depan mata, aku tak berani
membuang waktu dengan percuma lagi.... Nah selamat
tinggal...."
"Eeeei.... tunggu sebentar!" seru Pek Soh-gie setelah
tertegun beberapa saat lamanya, gerakan tubuh yang
dimiliki nenek tadi cepat sekali, sayang toako telah
menyalahi dirinya...."
"Percuma orang tua itu terlalu sombong dan tinggi
hati, ia tak mampu membantu apa-apa terhadap diriku,
apakah nona sudah pasti akan berangkat ke Timur?"
"Benar, aku rasa tidak baik kalau urungkan maksud di
tengah jalan," setelah berpikir sebentar, ia
menambahkan, "Perjalananku lambat sekali, sekalipun
ingin balik juga tak mungkin bisa mendampingi Hoa
toako.... bila urusan memang sudah kritis sekali, salahkan
toako berangkat lebih dahulu!"
"Keempat orang jago dari perkumpulan) Hong-im-hwie
tadi tentu sudah menantikan kedatanganmu disebe1ah
depan sana, nona lebih baik menyingkir saja daripada
harus berjumpa dengan orang-orang itu"
"Siau li akan menuruti perkataan dari toako!"
Untuk sesaat dua pasang mata saling bertemu dan
memancarkan rasa berat hati untuk berpisah kemudian
menunduk dan sama-sama membungkam.
Lama sekali suasana jadi hening, tiba-tiba Hoa Thianhong
menengadahkan dan berkata, "Nona, baik-baiklah
jaga diri, aku mohon diri lebih dahulu"
Dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap
dibalik kegelapan malam yang mencekam seluruh jagad,
angin berhembus sepoi-sepoi mengibarkan ujung baju
Pek Soh-gie yang berdiri seorang diri.... ia begitu polos
dan sama sekali tak nampak genit, begitu tenang dan
kalem seakan-akan tak tahu betapa licik dan
berbahayanya kehidupan manusia di kolong langit....
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya ia putar
badan dan berangkat menuju ke arah timur laut
meskipun perjalanan dilanjutkan dengan ilmu
meringankan tubuh namun sikapnya masih tetap tenang
dan sama sekali tidak menunjukkan tergesa-gesa atau
gelisah. Tiba-tiba dari balik kegelapan malam yang mencekam
seluruh jagad, muncul empat sosok bayangan manusia
yang menghadang jalan perginya.
Buru-buru Pek Soh-gie menghentikan langkahnya dan
memandang ke depan, setelah mengetahui bahwa
keempat orang itu bukan lain adalah empat orang yang
selama ini membuntuti perjalanannya, ia segera memberi
hormat dan menyapa, "Saudara-saudara sekalian ada
urusan apa menghalangi jalan pergiku" Kalau ada
persoalan harap segera diutarakan keluar"
"Kami rasa nona sudah tahu tentang asal usul kami
semua bukan?" ujar kakek baju hitam yang ada disebelah
kiri. "Jika kutinjau dari pembicaraan kalian yang seringkali
mengungkap tentang Tang-kee kalian, aku juga saudara
berempat tentulah para enghiong dari perkumpulan
Hong-im-hwie, bukan begitu?"
Rupanya kakek baju hitam itu adalah pemimpin
rombongan diantara keempat orang itu, ia segera
menjawab, "Tebakan nona sedikitpun tidak salah, kami
berempat memang saudara-saudara dari perkumpulan
Hong-im-hwie, lalu tahukah nona apa maksud kami
datang kemari?"
"Itulah yang tidak kuketahui! Sedari wilayah Kanglam
sampai ke tempat ini, saudara berempat selalu mengikuti
di belakang siaute, bolehkah aku tahu apa maksud kalian
semua?" "Cong Tang-keeh kami ada sedikit urusan hendak
ditanyakan Kepada nona, maka dari itu kami berempat
sengaja ditugaskan untuk datang mengundang kehadiran
nona, tetapi berhubung nona adalah kaum wanita yang
patut dihormati maka selama ini kami tak berani
mengganggu secara gegabah!"
"Kalau begitu, siaute ucapkan banyak terima kasih
atas kebaikan hati saudara berumpat"
"Nona tak usah mengucapkan terima kasih kepadaku,
kini situasinya agak berbeda dan terpaksa kami harus
menyalahi diri nona.
"Jadi apa maksud kalian semua?" seru Pek Soh-gie
dengan mata terbelalak.
Kakek baju hitam itu tertawa kering.
"Haaah.... haaah.... haaah.... dari sini menuju ke timur
kita akan bertemu dengan para enghiong dari peibagai
aliran, kami tahu bahwa kedudukan nona sangat
terhormat, asal telah bertemu dengan anak buah dari
perkumpulan Sin-kie-pang, maka dengan andalkan muka
, kami tak mungkin undangan kami bisa dipenuhi oleb
nona" "Kalau tidak kupenuhi bagaimana?"
Kakek baju hitam itu tertawa terbahak-bahak.
"Haaah.... haaah.... haaaah.... kalau kami gagal untuk
mengundang kehadiran nona, terpaksa kita musti
menanggung dosa dan harus menerima pancung kepala"
Tertegun hati Pek Soh-gie mendengar ucapan itu.
"Kalau memang begitu, aku akan mengikuti saudara
sekalian untuk berjumpa dengan Jin Loo enghiong!"
katanya. "Oooh.... nona sungguh berbesar hati, kami ucapkan
banyak terima kasih lebih dahulu"
Bicara sampai disini kakek baju hitam itu segera
berpaling, dan memberi tanda kepada salah seorang pria
berpakaian ringkas yang ada disisinya....
Pria baju ringkas itu Segera mengangguk dan
menggerakkan tubuhnya, sekali lompat ia sudah berada
di samping tubuh Pek Soh-gie, jari tangannya bagaikan
sebatang tombak langsung menotok jalan darah cian ji
hiat di tubuh gadis itu.
Pek Soh-gie terperanjat, tubuhnya laksana kilat
menyingkir ke samping, lima jari di pentang dan baru
balas menyambar urat nadi dipergelangan pria baju
ringkas tadi. Kebutan lima jarinya ini sepintas lalu nampak enteng
dan lambat, tetapi penggunaan waktu dan ketelitian
arahnya ternyata luar biasa sekali, andaikata pria baju
ringkas itu tidak segera batalkan ancaman-nya maka dia
tentu akan tersambar oleh ujung jari Pek Soh-gie.
"Oooh.... kepandaian itu adalah ilmu andalan dari Kho
Hong Kui tempo hari!" terdengar kakek baju hitam yang
lain berseru, "ilmu silat keluarga kenamaan memang luar
biasa sekali!"
Sementara itu pertarungan di tengah kalangan sudah
berlangsung lima jurus banyaknya, seharusnya ilmu silat
yang dimiliki pria baju ringkas itu masih bukan tandingan
dari Pek Soh-gie, sayang sekali dalam setiap
serangannya gadis itu hanya berusaha untuk
memunahkan ancaman lawan sambil melakukan
pertahnan diri belaka, tak satu jurus seranganpun yang
ditujukan untuk merobohkan musuh, dalam keadaan
begini walaupun pria baju ringkas tadi tak mampu
merebut kemenangan namun keadaannya tetap
seimbang dan siapapun tak bisa merubuhkan lawannya.
Setelah menyaksikan jalannya pertarungan beberapa
saat, kakek baju hitam yang memegang komando itu
mengerutkan alisnya, ia memberi tanda kepada pria baju
ringkas lainnya.
Pria tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun
segera menerjang masuk ke dalam gelanggang.
Dalam waktu singkat dua orang pria kekar itu segera
mengerubuti seorang gadis yang cantik jelita dengan
ketat. Pek Soh-gie yang baru pertama kali bergebrak
melawan orang melayani serangan-serangan musuhnya
dengan serius dan penuh ketegangan, semua serangan
yang dilancarkan hanya ditujukan untuk memunahkan
ancaman serta melakukan pertahanan diri, rupanya ia
memang tak mampu melakukan serangan balasan.
Tiba-tiba terdengar kakek baju hitam yang lain
berkata, "Ang Jit ko, tadi setelah bajingan cilik itu
meringkus tiga orang toojin dari perkumpulan Thongthian-
kauw, ketiga orang hidung kerbau itu pasti tak mau
sudahi persoalan itu sampai disitu saja, urusan dinas kita
penting sekali, lebih baik cepat-cepat kita ringkus orang
itu dan melaporkan kepada Tang-kee kita!"
Benar, ayoh kita turun tangan!" jawab kakek baju
hitam yang satu sambil mengangguk.
Tubuhnya segera menerjang ke depan, telapak
tangannya menyambar dan membacok tubuh gadis itu.
Pek Soh-gie yang sedang bertempur dengan serunya
melawan dua orang musuh, jadi amat terperanjat ketika
munculnya segulung desiran angin tajam yang
mengancam punggungnya.
Ia segera tekuk pinggang, bungkukkan badan lalu
loncat maju ke depan, sepasang telapak disilangkan ke
samping membendung datangnya ancaman itu.
Kakek baju hitam kedua selama ini hanya berdiri di sisi
lapangan segera ikut menerjang pula ke depan setelah
menyaksikan kelincahan dan kegesitan gerak tubuh
musuhnya, telapak tangan bagaikan golok langsung
membacok kemuka.
Dalam waktu singkat empat orang pria kekar bersamasama
turun tangan mengerubuti seorang gadis cantik,
hal ini membuat dara ayu itu jadi kerepotan dan musti
loncat ke kanan berkelit ke kiri untuk meloloskan diri dari
ancaman. Diam-diam Pek Soh-gie jadi gelisah melihat keadaan
itu, cepat teriaknya dengan suara lantang, "Saudarasaudara
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekalian adalah orang gagah dari dunia
persilatan, masa kalau ingin bertarung musti main
kerubut" Hey.... kalian tahu akan peraturan Bulim atau
tidak?" Kakek baju hitam yang memberi komando itu segera
tertawa dingin.
"Ayahmu sendiri juga suka berbuat demikian, apa
salahnya kalau kami pun meniru cara ayahmu itu" Kalau
nona ingin bicara tentang cengli, lebih baik bicarakan
saja persoalan ini dengan ayahmu di kemudian hari!"
"Hmm! Sedari tadi aku sudah tahu kalau kalian adalah
manusia-manusia yang menggemaskan dan tak tahu
dirif" tiba-tiba terdengar seseorang membentak dengan
penuh kegusaran.
Di tengah kegelapan meloncatlah keluar sesosok
bayangan manusia, dia bukan lain adalah Hoa Thianhong,
dengan serangan jari di tangan kanan serangan
telapak di tangan kiri serentak dia lancarkan serangan
secara berbareng.
Plooook....! telapak kirinya dengan telak bersarang di
atas bahu pria baju ringkas yang berada di hadapannya
membuat tulang bahu pria itu terpukul hancur dan
menjerit kesakitan, tubuhnya terlempar sejauh beberapa
tombak dari tempat semula.
Sebaliknya totokan tangan kanannya segera
mengakibatkan jeritan ngeri yang menyayatkan hati
bergema di angkasa, kakek baju hitam yang turun
tangan belakangan tiba-tiba mundur sempoyongan ke
belakang dengan tubuh gemetar keras, kemudian
badannya roboh terjengkang ke atas tanah dan binasalah
seketika itu juga.
Hoa Thian-hong jadi sangat terperanjat, tiga jurus
ilmu totokan 'menyerang sampai mati' yang dipelajari
dari kitab Ci yu jit ciat itu sebenarnya hendak diturunkan
kepada Bong Pay tempo hari, sewaktu bergebrak
melawan Yan-san It-koay ia pernah menggunakannya
satu kali, tapi karena kepandaian silat yang dimiliki Yansan
It-koay jauh lebih tinggi daripada dirinya, maka
keampuhan dari tiga jurus totokan itu tidak terlihat.
Siapa tahu serangan yang dilancarkan saat ini tanpa
maksud apa-apa telah mengakibatkan kematian dari
musuhnya, hal ini membuat dia jadi melongo dan berdiri
tertegun. Semua kejadian berlangsung dalam sekejap mata,
ketika jeritan ngeri itu berkumandang di angkasa kedua
belah pihak sama-sama terperanjat dan pertempuranpun
terhenti untuk sementara waktu.
Dalam hati Hoa Thian-hong segera berpikir, "Jin Hian
adalah seorang manusia yang licik dan berbahaya,
dengan pembunuhan yang kulakukan sekarang berarti
antara kita berdua sudah terikat oleh dendam, kenapa
aku tidak bunuh sekalian keempat orang ini sehingga
persoalan untuk sementara waktu bisa ditutup...."
Setelah ambil keputusan di dalam hati, nafsu
membunuh seketika menyelimuti seluruh wajahnya,
dengan ganas ia terjang kakek baju hitam yang memberi
komando itu. "Hoa toako, jangan turun tangan keji!" teriak Pek Sohgie
secara tiba-tiba.
"Eeei.... aneh benar nona ini," batin pemuda itu dalam
hati, "aku bantu dirinya untuk mengusir musuh, dia
malah mintakan ampun bagi musuh-musuhnya"
Tangan kanan bagaikan pagutan ular berbisa, laksana
kilat segera menyeruduk ke depan.
Melihat datangnya ancaman totokan jari yang begitu
aneh, kakek biju hitam itu jadi terkesiap karena dia tak
tahu bagaimana caranya untuk memunahkan ancaman
tersebut, dalam gugupnya pinggang segera dite-kuk dan
ia jatuhkan diri berguling di atas tanah, dengan suatu
gerakan yang manis kakek itu melepaskan diri dari
ancaman dan menggulung sampat sejauh satu dua
tombak dari tempat semula.
Tentu saja Hoa Thian-hong tidak mengijinkan
lawannya kabur dengan begitu saja, kakinya segera
melangkah ke depan dan dalam waktu singkat ia sudah
berada di depan tubuhnya, dua jari ditekuk dan langsung
menotok tubuh lawannya.
"Hoa toako...." tiba-tiba Pek Soh-gie berteriak.
Bentakan keras bergema di angkasa, pria baju ringkas
yang masih segar tiba-tiba maju menyerang dari
belakang. Hoa Thian-hong sama sekali tak pandang sebelah
matapun terhadap datangnya ancaman itu, telapak kiri
diayun kemuka dan dengan jurus Kun-siu-ci-tauw, ia
sambut datangnya serangan itu.
Tenaga pukulan yang dipancarkan dari telapak kirinya
jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan kekuatan
serangan ketiga jari tangan kanannya, serangan yang
dilancarkan laksana kilat itu dengan telak bersarang di
atas tengkuk pria baju ringkas itu.
"Aduuuh....!" jerit kesakitan berkumandang di
angkasa, tubuh pria itu terpental ke udara dan segera
roboh terjengkang di atas tanah,
Karena harus dibaginya kekuatan serangan ini,
datangnya serangan jari di tangan kanannya jadi lebih
terlambat dari gerakan semula, menggunakan
kesempatan itulah kakek baju hitam tersebut mendorong
telapak nya ke depan lalu mengundurkan diri dari sana.
"Hmmm.... mau lari kemana?" jengek Hoa Thian-hong
sambil tertawa dingin, "kau tak bisa diampuni....!"
Bagaikan bayangan tubuhnya segera mengejar ke
depan. Tenaga dalam yang dimiliki si anak muda ini telah
mendapat kemajuan yang amat pesat, serangan yang
dilancarkan pada saat ini sukar ditandingi oleh manusia
biasa. Kakek baju hitam itu tahu bahwa dirinya bukan
tandingan lawan, melihat pemuda itu mengejar terus
sadarlah dia bahwa sulit bagi dirinya untuk melepaskan
diri. Dalam nekadnya ia segera membentak keras, telapak
tangan didorong berbareng dan sambil mengerahkan
segenap kekuatan yang dimilikinya ia hajar si anak muda
itu. Hoa Thian-hong mendengus dingin, telapak kiranya
diayun menerima datangnya serangan tersebut dengan
keras lawan keras. Blaam di tengah bentrokan nyaring
kakek baju hitam itu mundur dua langkah ke belakang
dengan sempoyongan, sepasang kakinya jadi lemas dan
robohlah ia ke atas tanah.
Tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong sekarang
amat sempurna sekali, pukulan itu menggetarkan sekujur
tubuh kakek baju hitam tadi sehingga isi perutnya
bergeser semua dari tempat semula, pandangan
matanya jadi gelap dan tak tahan lagi ia muntah segar,
jelas luka dalam yang dideritanya teramat parah.
Hoa Thian-hong maju ke depan sambil ayun
tangannya, tapi tangan itu diturunkan lagi, pikirnya.
"Seharusnya aku tak boleh melepaskan mereka
berempat barang seorangpun, tetap membunuh orang
yang sudah tak punya kekuatan untuk melawan adalah
suatu perbuatan yang melanggar semangat jantan
seorang pendekar sejati....
"Hmm! apa yang musti kulakukan?"
Tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berkata dengan nada
lembut, "Hoa toako, apakah beberapa orang ini hendak
kau bunuh?"
"Siaute masih muda dan tak tahu urusan harap nona
tak usah sungkan-sungkan kalau ingin bicara"
Pek Soh-gie mengerutkan dahinya lalu maju selangkah
ke depan, ujarnya, "Diantara keempat orang itu ada satu
sudah mati terbunuh sedang sisanya terluka parah, Hoa
toako! bagaimana kalau engkau bermurah hati serta
mengampuni jiwa mereka untuk kali ini saja?"
"Mereka sudah kenal siapa aku, bila kulepaskan
mereka pergi maka Jin Hian pasti tak akan menyudahi
persoalan ini...."
Pek Soh-gie tundukkan kepalanya setelah mendengar
ucapan itu, kepada kakek baju hitam itu segera tegurnya,
"Kau kenal dengan kongcu ini?"
"Kakek baju hitam itu meronta bangun, sorot mata
penuh kebencian memancar keluar dari balik matanya,
sambil menggigit bibir dia menjawab, "Hmm! telapak kiri
Hoa Thian-hong.... sampai matipun aku tetap ingat."
Pek Soh Oie jadi tertegun mendengar perkataan itu,
meskipun ia berhati Welas dan tak suka membunuh
orang, tetapi diapun merasa tak leluasa untuk memaksa
Hoa Thian-hong melepaskan harimau pulang gunung,
apalagi kalau sampat menanam permusuhan dengan
orang. Tiba-tiba terdengar Hoa Thian-hong berkata dengan
suara hambar, "Mengingat kau tidak takut mati dari
masih terhitung sebagai seorang pria sejati, ini hari aku
orang she Hoa mengampuni selembar jiwamu, setelah
pulang katakan kepada Jin Hian bahwa dibalik peristiwa
pembunuhan itu masih terdapat hal-hal yang lain.
pembunuhnya adalah orang lain yang jauh diluar
dugaannya, bila kami berjumpa lagi di kemudian hari
akan kujelaskan sendiri persoalan itu kepadanya"
Sementara itu dua pria baju ringkas yang terkejar oleh
Hoa Thian-hong tadi, yang satu menderita patah tulang
kaki sedang yang lain menderita patah tulang tangan,
berhubung pemimpin mereka belum mati maka
merekapun tak berani kabur lebih dahulu, kini setelah
mendengar ucapan tersebut, mereka baru maju ke
depan membopong tubuh kakek tadi kemudian kabur
dari situ. Menanti ketiga orang itu sudah pergi jauh, Pek Soh-gie
baru maju ke depan sambil berkata, "Hoa toako, kenapa
kau balik lagi setelah pergi?"
"Sejak tadi aku sudah melihat kalau keempat orang itu
sedang berjaga-jaga di sekitar tempat ini, karena itu aku
tidak pergi terlalu jauh"
Perlahan-lahan mereka lanjutkan perjalanan ke depan,
sambil tundukan kepalanya Pek Soh-gie berkata, "Terima
kasih atas pertolongan dari toako...."
Hoa Thian menghela napas panjang.
"Aaaai....! Urusan sepele kenapa musti dipikirkan
terus?" Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Bertempur
adalah suatu kejadian yang tak kenal akan belas kasihan,
dalam menghadapi serangan musuh kita harus berusaha
membuat posisi di atas angin, jangan hanya bertahan
melulu tanpa melakukan serangan, sebab jika kau
bertindak begitu maka menang tak mungkin bisa diraih,
bila kau kehabisan tenaga maka saat itulah kematian
akan membayangi dirimu.
"Aku hanya bisa bertahan, tak bisa melancarkan
serangan balasan" sahut Pek Soh-gie dengan kepala
tertunduk, "Ilmu silat macam apapun bisa digunakan untuk
bertahan maupun menyerang, asal kau punya niat untuk
memukul orang maka serangan bisa kau lancarkan
dengan segera"
"Tapi aku tak ingin pukul orang"
"Aaai....! Kau tak ingin pukul orang, sebaliknya orang
lain ingin memukul dirimu, selama manusia masih hidup
di kolong langit maka dia harus berusaha untuk
mempertahankan diri, manusia itu berhati dengki dan
penuh kebusukan, bila kau mudah dianiaya maka yang
rugi akhirnya adalah engkau, sendiri, apakah kau ingin
mati dengan penasaran?"
"Aku bisa mempertahankan diri dengan sepenuh
tenaga!" bisik gadis itu.
"Nona ini punya watak suka damai.... lumrahnya tabiat
itu sukar dirubah...." pikir pemuda itu.
Dalam pada itu Pek Soh-gie sudah menengadah ke
atas dan memandang wajah si anak muda itu dengan
sepasang biji matanya yang bening, kemudian ujarnya,
"Hoa toako, ada permusuhan apa antara engkau dengan
Thong-thian Kaucu....?"
"Thian Ik-cu sitosu tua itu adalah salah satu diantara
pembunuh ayahku....!"
Pek Soh-gie membungkam sejenak, selelah berpikir ia
berkata kembali, "Daerah kekuasaan perkumpulan
Thong-thian-kauw amat luas dan pengikutnya banyak
sekali, dengan kekuatan Hoa toako seorang, mana kau
mampu menandingi dirinya" Aku lihat lebih baik engkau
cari ayahku saja serta merundingkan suatu siasat yang
bagus untuk menyelesaikan persoalan ini...."
Hoa Thian-hong tertawa nyaring dan segera
gelengkan kepalanya.
"Persoalan yang terjadi dalam dunia persilatan
seringkali didasarkan pada budi dan dendam,
bagaimanakah keadaannya sukar ditebak secara jitu,
sekalipun memandang di atas wajah nona mungkin
ayahmu suka menolong aku, tapi aku rasa ayahmu tak
akan sudi bentrok secara langsung dengan orang-orang
dari perkumpulan Thong-thian-kauw"
Merah padam selembar wajah Pek Soh-gie setelah
mendengar perkataan itu, bisiknya kemudian, "Adikku
sangat mengagumi diri pribadi Hoa toako, dia pasti akan
membantu diri toako untuk mewujudkan cita-cita
tersebut, aku rasa ayah yang amat mencintai adikku
pasti akan mengabulkan permintaannya.... tentang soal
ini aku rasa toako tak perlu pusing kepala"
"Huuh.... mana kau tahu tentang peristiwa yang baru
saja lewat, berhubung pinangan ayahmu yang kutolak,
mungkin karena cinta bisa berubah jadi dendam," pikir
Hoa Thian-hong, "hal ini semakin tak mungkin terjadi
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi...." Tiba-tiba terdengarlah suara irama musik dan
tetabuhan berkumandang datang dari kejauhan, dari
ujung jalan raya sebelah tenggara muncullah beberapa
titik cahaya lampu.
Pek Seh Gie angkat kepala memandang sekejap ke
arah pemuda itu, lalu katanya, "Toako, kalau kau ada
urusan lebih baik berangkatlah lebih dahulu.... jangan
karena aku urusanmu jadi berabe...."
"Hehmm.... aku akan menghantar nona beberapa jauh
lagi. "Bagaimana kalau kita bersama menemui ayah" Aku
akan suruh dia orang tua untuk mengutus seseorang
pulang ke markas besar serta ambilkan pedang baja milik
toako?" Hoa Thian-hong tertawa.
"Pedang baja itu terjatuh ke tangan seorang manusia
aneh yang bernama Ciu It-bong, orang itu ada
permusuhan dengan ayahmu, aku rasa tidak gampang
untuk merampas kembali pedang bajaku itu...."
Mendadak dia angkat kepala dengan wajah tertegun,
kiranya dari arah depan muncullah delapan orang tosu
cilik berusia dua belas tahunan yang memakai jubah
warna putih, di tangan mereka masing-masing
memegang sebuah lampu lentera, dibelakangnya
mengikuti pula delapan orang tosu cilik berjubah kuning,
di tangan mereka memegang alat musik dan sambil
memainkan alat tetabuhan itu selangkah demi selangkah
mereka berjalan mendekat.
Di belakang keenam belas orang tosu cilik tadi
mengikuti pula delapan orang tosu berjubah merah yang
pada bahunya tergantung sebilah pedang pendek, usia
mereka rata-rata diantara empat lima belas tahunan, dan
pada barisan paling belakang mengikuti pada sebuah
tandu kecil yang digotong oleh empat orang tosu cilik
berjubah kuning.
Di atas tandu duduklah seorang tosu tua yang
rambutnya berwarna keperak-perakan, dua orang tosu
baju merah yang berusia tanggung mengikuti di kedua
belah samping tandu tersebut, di tangan mereka yang
seorang memegang sebilah senjata Ji gi berwarna hijau
kumala sedang yang lain membawa sebilah pedang
mustika. Beberapa saat kemudian kedua bilah pihak sudah
semakin mendekat, terlihatlah tosu tua yang duduk di
atas tandu kecil itu punya muka yang merah segar
bagaikan bayi, sepasang alisnya yang putih bergoyang
dan matanya memandang ke depan dengan sorot cahaya
tajam Sekejap mata kedelapan buah lampu lentera itu telah
menyebarkan diri ke kedua belah samping, permainan
musikpun tiba-tiba berhenti.
Pek Soh-gie segera menggeserkan badannya
mendekati Hoa Thian-hong, bisiknya lirih, "Toako,
rupanya ada urusan lagi?"
"Benar!" jawab Hoa Thian-hong sambil tersenyum,
"rupanya mereka sengaja datang untuk mencari garagara
dengan kita...."
Sementara itu tanda telah berhenti, tosu tua itu
menekuk pinggangnya dan bangkit berdiri, tosu cilik yang
membawa senjata Ji gi serta Poo kiam tadi segera berdiri
di kedua belah sisinya.
Tosu tua itu membuka matanya, sambil memandang
ke arah Hoa Thian-hong dengan sorot mata tajam ia
menegur, "Ooh, jadi kau adalah Hoa Thian-hong putra
dari Hoa Goan-siu" Kenapa wajahmu kotor kakimu
telanjang dan pakaianmu tidak genah?"
Hoa Thian-hong tersenyum.
"Dan kau sendiri" Apakah Thian Ik tosu tua dari
perkumpulan Thong-thian-kauw" Kenapa lagakmu seperti
pembesar korup begitu?"
"Kurangajar!" bentak tosu cilik yang membawa senjata
Ji gi di belakang tosu tua itu. "Berhadapan dengan
Kaucu, kau berani kurangajar.... ayoh berlutut!"
"Oooh.... rupanya benar-benar tosu Siluman ini," pikir
Hoa Thian-hong di dalam hati, "aku harus tetap bersikap
tenang dan jangan menyebut dulu soal dendam
ayahku...."
Berpikir sampai disitu dia pun tertawa, katanya,
"Pangcu dari perkumpulan Sin-kie-pang serta Cong Tangkee
dari perkumpulan Hong-im-hwie sudah kutemui
beberapa kali, mereka semua tak seorangpun yang
bersikap lucu dan membadut seperti ketua dari
perkumpulan Thong-thian-kauw ini"
"Haaah.... haaaah.... haaaah...." kaucu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw itu segera tertawa
terbahak-bahak, tukasnya, "perkumpulan kami adalah
perhimpunan suatu agama, jauh berbeda kalau
dibandingkan dengan Sin-kie-pang ataupun Hong-imhwie,
kami sengaja berbuat demikian demi laki
perempuan penganut agama kami, tiupan terompet dan
pukulan genderang adalah demi mengundang perhatian
dari para penganut agama kami.... tentu saja
keadaannya berbeda jauh sekali"
"Oooh, kiranya begitu," ujar Hoa Thian-hong sambil
tersenyum. "Kaucu tidak bersemayan dalan kuil It-goanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
koan untuk menyucikan diri, mau apa engkau berkunjung
kesini?" Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw itu
mengelus jenggotnya dan menjawab.
"Tempat bersemayanku tidak jauh letaknya dari
tempat ini, kuil It-goan-koan hanya kugunakan sebagai
tempat penyebaran agama kami, tempat itu bukan
tempat kediamanku....
"Kaucu," tukas Hoa Thian-hong sebelum iman tua itu
menyelesaikan kata-katanya. "pasukan musuh telah
masuk ke wilayah kekuasaanmu, engkau bukannya
pusing kepala menyusun siasat dan rencana untuk
menghadapi serangan total itu, enaknya saja hidup
senang di dalam rumah, apakah kan hendak menunggu
sampai pasukan musuh telah tiba diambang pintu, kau
baru buka pintu benteng untuk menyerah?"
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah.... haaah. .haaaah.... bulan tujuh tanggal lima
belas nanti, pinto akan membuka suatu pertemuan besar
Kian ciau tay bwee di See thian, pada waktu itu aku
mengharapkan pelbagai orang gagah dari segala lapisan
masyarakat bisa ikut menghadiri pertemuan tersebut.
Undangan buat saudara kecil telah kami sampaikan dan
sekarang disimpan oleh Ciong Lian-khek....!"
Ia berhenti sebentar, lalu sambil tertawa tergelak
lanjutnya, "Saat ini pelbagai orang gagah di kolong langit
sedang siapkan kuda melatih tentara agar bisa
memperlihatkan kelihaiannya dalam pertemuan besar itu,
saudara cilik, kenapa kau masih berlarian di tempat
luaran" Kalau sampai jiwamu melayang, pertemuan
besar Kian ciau tay hwee pasti akan keku-rangan kau
seorang.... waaah! Kalau sampai begitu suasana tentu
kurang meriah"
"Bulan tujuh tanggal lima belas?" tanya Hoa Thianhong
dengan alis berkerut." bukankah berarti tinggal
delapan hari lagi?"
Sambil tertawa Thong-thian Kaucu mengangguk.
"Betul, selama beberapa hari ini sebagai besar para
orang gagah dari kolong langit telah berdatangan semua
kemari" "Senja tadi, aku telah menyalahi tiga orang muridmu,"
ujar sang pemuda sambil tersenyum.
"Aaai.... itu bukan soal besar" tukas sang kaucu sambil
tertawa. "Mereka berani mencari gara-gara dengan
dirimu, itu berarti bahwa mereka tak tahu diri. Manusia
yang tak tahu dari memang sudah sepantasnya kalau
diberi hukuman"
Setelah tertawa tergelak, lanjutnya, "Kalau
dibandingkan terhadap beberapa orang dari Hong-imhwie,
saudara cilik sudah bersiap lebih murah hati
terhadap mereka, disini pinto ucapkan banyak terima
kasih terlebih dahulu"
Selesai berkata ia segera memberi hormat.
Hoa Thian-hong balas memberi hormat, mereka
berdua bicara dan bergurau dengan bebasnya seakanakan
dua sahabat lama yang saling bertemu lagi setelah
lama berpisah. Thong-thian Kaucu alihkan sorot matanya ke samping,
sambil memandang wajah Pek Soh-gie dengan muka
berseri-seri serunya. "Siapa nona ini" wajahnya cantik
jelita bagaikan bidadari sedang pakaiannya sederhana
sekali, sampai pinto sendiripun tak bisa menebak asal
usulnya" Menyaksikan tingkah laku iman tua itu sedikit kurang
beres, Pek Soh-gie tak sudi menjawab. Ia segera
melengos dan memandang ke arah Hoa Thian-hong yang
berada di sisinya.
Hoa Thian-hong dapat menangkap maksud hati gadis
itu, dengan wajah dingin jawabnya, "Dia adalah putri
kesayangan dari Pek loo pangcu dari perkumpulan Sinkie-
pang, lebih baik pangcu tak usah banyak bertanya"
Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw ini benarbenar
bermuka tebal, bukan gusar malah dia tertawa.
"Sudah lama aku dengar katanya Pek Siau-thian
mempunyai sepasang putri kembar yang memiliki raut
wajah cantik jelita, raut wajah nona ini mirip sekali
dengan wajah Pek Kun-gie yang seringkali berkelana di
dalam dunia persilatan, apakah dia adalah siputri sulung
nona Soh-gie?"
"Hmmm.... sungguh banyak utusan yang diketahui
kaucu, tidak salah nona ini memang nona Pek Soh-gie"
"Kalau memang begitu sungguh aneh sekali," kata
Thong-thian Kaucu dengan alis berkerut, "sudah lama
aku dengar berita yang tersiar dalam Bulim mengatakan
bahwa antara saudara cilik dengan Pek Kun-gie dari
bermusuhan akhirnya berubah jadi sahabat dan
kemudian jadi sahabat kental, kenapa sekarang malah
melakukan perjalanan bersama dengan si sulung?"
Hawa amarah kontan membakar dalam dada Hoa
Thian-hong sesudah mendengar perkataan itu, pikirnya
di dalam hati, "Thian Ik si hidung kerbau ini adalah salah
seseorang diantara pembunuh ayahku, cepat atau lambat
aku akan mencabut pula selembar wajahnya, kenapa aku
musti memburu napas pada saat ini....?"
Ia tahu gelagat serta enteng beratnyan urusan,
setelah berpikir begitu hawa amarah pun segera ditekan
kembali, ujarnya dengan suara ketus.
"Urusan pribadi dari aku orang she Hoa lebih baik tak
usah dicampuri oleh Kaucu, saat pertemuan pada bulan
tujuh tanggal lima belas sebentar lagi sudah tiba, bila
perkataan dari kaucu belum selesai maka silahkan
dilanjutkan pada pertemuan Kiam ciau tay hwee nanti!"
Kepada Pek Soh-gie serunya.
"Nona mari kita pergi"
Gadis itu mengangguk, mereka berdua segera putar
badan dan berlalu dari situ.
Tiba-tiba Thong-thian-kauw mengerdipkan matanya ke
kiri dan kanan, seketika itu juga terdengarlah desiran
angin tajam menderu-deru, delapan orang tosu cilik
berbaju merah segera menyebarkan diri di tengah jalan
dan menghadang jalan pergi kedua orang itu dengan
pedang pendek terhunus ditangan.
Di bawah sorot cahaya bintang tampaklah sinar tajam
yang mengilaukan mata memancar keudara, rupanya
pedang pendek yang berada di dalam genggaman
kedelapan orang tosu cilik jubah merah itu merupakan
senjata mustika yang tajam sekali.
0000O0000 31 TERDENGARLAH Thong-thian Kaucu angkat kepala
dan tertawa terbahak-bahak, suaranya keras hingga
menggetarkan seluruh jagad, ia berkata, "Hoa Thianhong,
kau jangan gegabah dan bertindak seenaknya
sendiri, ketahuilah bahwa ilmu silat yang kau miliki
sekarang masih belum mampu digunakan untuk
menerobos pertahanan ilmu barisan Kan lee kiam tin dari
pun kaucu ini!"
"Ilmu barisan Kan lee kiam-tin?" tanya sang pemuda
dengan alis berkerut, "belum pernah kudengar nama
barisan itu!"
"Kalau engkau tak puas, silahkan untuk mencobanya
sendiri!" Hoa Thian-hong mendengus dingin, sorot matanya
menyapu sekejap sekeliling tempat itu, rupanya dalam
waktu yang amat singkat itulah kedelapan orang tosu
cilik berjubah merah itu telah menyebarkan diri ke
sekeliling kalangan, setiap orang menyilangkan
pedangnya di depan dada dan berdiri tegak bagaikan
batu karang, dilihat dari wajah mereka yang begitu serius
tampaklah bahwa barisan itu benar-benar luar biasa
sekali. Setelah seringkali mengalami bencana, pengalaman
yang dimiliki Hoa Thian-hong luas sekali. Setelah
mengamati sebentar situasi yang terbentang di depan
mata saat ini, sadarlah pemudaitu bahwa musuh tangguh
sedang dirinya lemah, kalau pertarungan dilangsungkan
maka dialah yang bakal kalah atau bahkan terancam
jiwanya. Oleh sebab itu sambil menahan hawa amarah yang
berkobar dalam dadanya, ia berkata kepada Pek Soh-gie,
"Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan dengan
kaucu ini, silahkan nona berangkat lebih dahulu"
Melangak hati Pek Soh-gie mendengar perkataan itu,
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah termenung sebentar katanya lirih, "Aku tidak
terburu-buru ingin pergi, lebih baik kutunggu saja dirimu
di tempat ini!"
Hoa Thian-hong segera mengerutkan dahinya, ia
berpikir, "Aaaai....! Nona ini benar-benar terlalu jujur,
musuh berada di depan mata ia masih tak sadar,
bukannya berusaha untuk mencari akal guna meloloskan
diri, ia malah bersikeras untuk tinggal disini.... aaai, apa
dayaku sekarang?"
Sementara itu Thong-thian Kaucu dengan sorot mata
yang tajam sedang mengawasi kedua orang itu, dia
merasa yang pria tinggi kekar dan berwajah tampan
sedang perempuan lemah lembut berwajah cantik, bila
mereka berdua berdiri berdampingan nampaklah begitu
serasi dan mempersonakan hati orang.
Lama kelamaan hatinya jadi panas, dari rasa kagum ia
jadi dengki dan iri, sambil mendengus berat segera
ujarnya, "Hoa Thian-hong, ayah dan ibumu adalah jagojago
lihay dari kalangan lurus, sebaliknya kau rela
menggabungkan diri ke dalam tubuh perkumpulan Sinkie-
pang, apakah tindakanmu ini tidak takut memalukan
nama keluarga serta menurunkan derajat nenek
moyangmu?"
"Hmm! Selamanya aku orang she Hoa berkelana
kesana kemari seorang diri, perbuatan suci bersih dan
yakin tak pernah ternoda!, sampai sekarang aku sama
sekali tidak bergabung dengan pihak Sin-kie-pang
maupun Hong-im-hwie...."
Tidak menanti sampai pemuda itu menyelesaikan
kata-katanya, kaucu dari perkumpula Thong-thian-kauw
itu sudah menukas, Pengaruh perkumpulan Sin-kie-pang
meliputi tujuh propinsi, jago lihay yang tergabung dalam
perkumpulan itu banyak sekal sukar dihitung dengan jari,
bilamana engkau memang bukan anak buah dari
perkumpula Sin-kie-pang, lebih baik janganlah
mencampuri urusan kami, tinggalkan Pek Soh Gi di
tempat ini dan berlalulah seorang diri"
"Eeei.... ada apa" jadi engkau hendak menahan nona
Pek Soh-gie di tempat ini?" seru Hoa Thian-hong dengan
alis berkerut. Dia adalah enghiong sejati, dalam pemikirannya Pek
Soh-gie yang mulia dan halus berbudi tak pernah
bermusuhan dengan orang, tak pernah bermusuhan
dengan umat Bulim, siapapun tak punya alasan untuk
bermusuhan dengan dirinya, tindakan Thong-thian Kaucu
yang hendak menahan dirinya benar-benar merupakan
satu kejadian yang sama sekali berada diluar dugaannya.
Terdengar kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw
itu tertawa dingin, lalu berkata, "Kau tak mau banyak
bicara lagi, sekarang pun kaucu akan membuka sebuah
jalan hidup bagimu, asal engkau suka berpeluk tangan
dalam soal ini maka kau akan kubiarkan berlalu dari sini
dalam keadaan sela-mat, sebaliknya kalau engkau
membangkang maka kemungkinan besar dalam
pertemuan Kiam ciau Tay hwee pada bulan tujuh tanggal
lima belas nanti akan kekurangan engkau seorang"
Hoa Thian benar-benar jadi naik pitam, bentaknya,
"Sungguh memalukan sekali, tak kusangka engkau
sebagai ketua dari suatu perkumpulan besar ternyata
bermoral sebejad itu, aku orang she Hoa...."
Tiba-tiba ia marasa bahwa sikap Thong-thian Kaucu
sama sekali berdiam.
ketika datang tadi ia bersikap bebas dan wajah penuh
senyuman, sebaliknya sekarang nampak begitu licik dan
memuakkan sekali.
Tiba-tiba Pek Soh-gie berkata, "Kaucu! aku masih ada
urusan dibadan sehingga tak dapat berdiam terlalu lama
di sini, bila kaucu ada urusan harap segera diutarakan
sekarang juga!"
"Eeei.... bukankah barusan kau mengatakan sendiri
bahwa kau tak ada urusan dan tidak ingin cepat-cepat
berlalu dari sini?" seru sang kaucu dengan mata berkilat.
Merah padam selembar wajah Pek Soh-gie karena
jengah, bibirnya bergerak seperti mau mengatakan
sesuatu tapi akhirnya maksud itu dibatalkan, dengan
wajah berubah ia bungkam dalam seribu bahasa.
Thong-thian Kaucu tertawa dingin, sorot matanya
dengan pandangan tengik menyapu terus raut wajahnya
yang cantik itu, ujarnya kembali, "Dewasa ini para jago
sedang saling bermusuhan satu sama lainnya, masingmasing
pihak berusaha agar rencana besarnya bisa
dicapai dengan sukses, Jin Hian serta ayahmu juga
sedang bentrok dan kini malah bermusuhan satu sama
lainnya, jika mereka tahu akan jejakmu dan engkau
lanjutkan kembali perjalanannya ke depan, maka orangorang
dari pihak Hong-im-hwie pasti akan berusaha
menangkap dirimu"
"Terima kasih atas petunjuk dari kaucu, asal aku
bersiap lebih hati-hati, rasanya itu sudah lebih dari
cukup" "Pihak Hong-im-hwie sangat berhasrat menangkap
dirimu, sekalipun engkau bersikap hati-hati juga tak ada
gunanya, apakah kau mampu menahan serangan
mereka?" Jilid 23. Bertemu Kakek Telaga Dingin lagi
KINI aku sedang menjalankan titah dari ibuku untuk
segera berangkat ke kota Ceng kang guna menjumpai
ayahku, sekalipun harus menempuh mara bahaya, tugas
ini tak bisa kutunda dengan begitu saja"
"Haaah.... haaaah.... haaaah...." Thong-thian Kaucu
segera tertawa terbahak bahak" Meskipun kau memiliki
keberanian untuk melanjutkan perjalanan dengan
menempuh bahaya, tetapi pun-kaucu merasa tidak lega
membiarkan engkau lanjutkan perjalanan seorang diri"
Dari pembicaraan yang selama ini berlangsung, Hoa
Thian-hong dapat menarik kesimpulan bahwa Thongthian
Kaucu mempunyai maksud jelek terhadap dara ayu
itu, dengan gusar ia mendengus lalu serunya, "Hmmm!
Musuh tangguh sedang berada diambang pintu, kau
sebagai kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw
bukanya memikirkan perkumpulannya yang berada
dipintu gerbang kehancuran, sebaliknya malah
mencampuri urusan orang lain.... apakah engkau tak
takut kalau perbuatanmu itu akan ditertawakan orang?"
Dengan wajah berubah dan mata melotot besar
Thong-thian Kaucu berpaling, kemudian serunya ketus,
"Kau sibocah cilik, tahu apa" Saat ini situasi amat kritis
dan masing-masing pihak sekarang berusaha merebut
posisi yang lebih menguntungkan dengan menggunakan
kecerdikan-nya masing-masing, andaikata Jin Hian
berhasil menawan putri sulung dari Pek Siau-thian ini,
dengan adanya sandera di tangan maka apa yang dia
minta pasti akan dikabulkan oleh orang she Pek itu....
coba bayangkan apakah urusan ini tidak menyangkut
soal keamanan dari pihak Thong-thian-kauw" Apakah
pun kaucu tidak pantas untuk mengurusinya?"
"Benar juga perkataan itu," pikir Hoa Thian-hong di
dalam hati, "Seandainya pihak Hong-im-hwie berhasil
menguasai Sin-kie-pang, maka dengan kekuatan
gabungan dua perkumpulan yang maha besar, pihak
Thong-thian-kauw pasti akan mengalami kehancuran
total." Sementara itu Pek Soh-gie telah berkata, "Kecerdasan
kaucu benar-benar mengagumkan hati siau li, tolong
tanya apakah maksud kaucu dan apa pula yang musti
siau li lakukan sekarang...."
"Turutilah anjuran dari kaucu dan jadilah tamu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw untuk sementara waktu,
dengan cepat aku akan mengirim orang untuk memberi
kabar kepada ayahmu agar dia datang menjemput
sendiri dirimu...."
Setelah mendengar perkataan itu, adalah Hoa Thianhong
tentang apa yang sedang terjadi, bukannya gusar
dia malah tertawa, katanya, "Haaah.... haaah.... suatu
rencana yang amat bagus, suatu siasat yang benar-benar
licik, rupanya bicara pulang pergi selama ini tujuannya
tidak lain adalah engkau sedang menjalankan rencana
besarmu.... agaknya kau hendak menganggap nona ini
sebagai saudara agar pangcu dari Sin-kie-pang menuruti
kemauanmu...."
"Hmmm! bukan begitu, saja," tukas kaucu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw dengan alis berkerut,
"engkaupun akan sekalian kuringkus, agar orang tuamu
serta komplotanmu bisa kupergunakan pula tenaganya"
"Seandainya Sin-kie-pangcu serta sahabat dan kerabat
keluarga Hoa kami tak mau menuruti kemauanmu, apa
yang hendak kaulakukan?"
"Hmmm! gampang sekali, kalau memang demikian
keadaannya maka jiwa kalian berdua tak bisa
diselamatkan lagi!"
Hoa Thian-hong segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaah.... haaaah.... haaaaah.... cara kerjamu benarbenar
terkutuk dan memalukan sekali, aku rasa Jin Hian
pribadi belum tentu mempunyai jalan pikiran serendah
itu, ditinjau dari hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa
kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw ada lah
manusia yang paling tak tahu malu diantara tiga
kekuatan besar"
"Hmmm! Siapa yang berhasil dia jadi raja, siapa yang
gagal dia jadi buronan, siapa tinggi siapa rendah tak bisa
ditetapkan dengan perkataan semacam itu!"
"Haah.... haah.... haaah.... pendapat yang tinggi,
pendapat yang tinggi.... meskipun aku orang she Hoa
tidak becus, namun aku tak sudi menyerah kalah dengan
begitu saja, silahkan kaucu turun tangan, aku ingin sekali
minta beberapa petunjuk darimu!"
"Hmm! aku sebagai ketua dari suatu kekuatan besar
tak sudi turun tangan melayani kurcaci macam engkau!"
Sambil berkata dia segera angkat senjata hudtimnya
dan dikebutkan ke arah kawanan tosu cilik berjubah
merah itu. Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya.
"Kau anggap sebuah barisan pedang yang begini kecil
benar-benar mampu mengurung kami...." teriaknya.
Bentakan keras berkumandang di angkasa, cahaya
tajam berkelebat menyilaukan mata, tiba-tiba selapis
hawa pedang yang amat tajam mengurung datang
dengan hebatnya.
Hoa Thian-hong melototkan matanya, ia lihat kabut
pedang yang menyelimuti tempat itu rapat sekali seolaholah
dari enpat penjuru memancar masuk sinar perak
yang amat tajam, begitu cepat datangnya serangan itu
hingga tahu-tahu sudah tiba di depan mata.
Dalam keadaan dan apa boleh buat, terpaksa dia
enjotkan badan dan berkeling ke samping.
Belum sempat tubuhnya berdiri tegak, tiba-tiba terasa
beberapa desiran angin tajam kembali membokong
tubuhnya dan mengancam jalan darah penting di
belakang pinggang.
Buru-buru ia tekuk pinggang ke depan, menyalurkan
hawa pukulan dan putar badan mengirim satu serangan
dengan jurus Kun Siu Ci sau untuk membendung
datangnya ancaman angin dingin dari belakang itu.
Sementara itu Pek Soh-gie yang masih tetap berdiri di
sisi lapangan, tiba-tiba diserang oleh seorang tosu cilik
baju merah dengan sebuah totokan kilat, ia jadi kaget
dan buru-buru loncat ke belakang untuk menghindar,
dalam waktu singkat kedua orang itu segera terjerumus
di dalam kepungan delapan orang tosu cilik dengan
barisan pedangnya yang lihay itu.
Hoa Thian-hong yang harus menerima kekalahan
dalam satu jurus belaka, diam-diam merasa amat
terkejut, ia segera pertingkat kewaspadaannya untuk
menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Dengan telapak kiri mainkan jurus Kun siu ci sau untuk
melak ukan pertahanan, tangan kanannya diam-diam
disaluri dan siap melancarkan serangan dengan jurus
'menyerang sampai mati' yang diketahui amat ampuh
dan mengerikan itu.
Sebagai pemuda yang, berpengalaman dan tenaga
dalamnya cukup sempurna, setelah bertempur beberapa
jurus dia mulai bisa menangkap gerak-gerik kedelapan
orang tosu cilik baju merah itu, ia tahu bahwa mereka
memiliki serangkaian ilmu pedang yang amat sakti
dengan kematangan yang luar biasa, bila harus
bertempur satu lawan satu mungkin mereka masih bukan
tandingannya, tetapi setelah bergabung di dalam barisan
pedang Kan Lee kiam tin ini maka kehebatan-nya
sungguh luar biasa.
Di tengah pertempuran, bayangan tubuh kedelapan
orang tosu cilik baju merah itu mendadak lenyap tak
berbekas, yang terrlihat hanyalah cahaya pedang yang
berkelebat silih berganti, kian lama pertempuran itu
berlangsung barisan pedang itupun bergerak semakin
cepat, dengan sendirinya daya tekanan pun semakin
hebat sehingga jauh diluar dugaan Hoa Thian-hong....
Hoa Thian-hong serta Pek Soh-gie yang terjebak
dalam barisan itu lama kelamaan jadi gugup dan
gelagapan, mereka merasa keteter hebat dan tak mampu
bergerak lebih banyak.
Untung tujuan lawan ingin menangkap mereka dalam
keadaan hidup, sehingga setiap saat terancam bahaya
mereka selalu berhasil meloloskan diri dalam keadaan
selamat kendati begitu keadaan mereka cukup
mengcemaskan. Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu berteriak
dengan suara keras, "Pek Soh-gie, pedang dan golok tak
bermata kalau kau mau menyerah dan mengaku kalah
maka jiwamu bisa selamat, tetapi kalau tetap
membandel, jangan salahkan kalau sampai jiwamu
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terancam" Pek Soh-gie tetap berlagak pilon dan seolah-olah tidak
mendengar sesuatu di tengah pertarungan ia tetap
bekerja keras menangkis serta membendung datangnya
ancaman ancaman pedang yang muncul dari empat
penjuru.... Pada dasarnya kepandaian silat yang dia kuasahi
hanya ilmu mempertahankan diri, justru karena itulah
kepandaian tersebut se gera menunjukkan manfaatnya
dalam kerubutan barisan pedang itu.
Lain keadaannya dengan Hoa Thian-hong, ilmu
pukulan tangan kirinya hanya khusus digunakan untuk
menyerang belaka, di bawah perubahan barisan Kan Lee
Kiam tin yang serba rumit dan membingungkan ia jadi
kewalahan sendiri, sebaliknya ilmu totokan Ci yu jit ciat
di tangan kanannya tak mampu mengimbangi permainan
telapak kirinya yang begitu cepat dan gencar itu....
Dalam waktu singkat pertempuran sudah berlangsung
ratusan jurus banyaknya, tampak cahaya tajam
memancar keempat penjuru, hawa pedang
membumbung ke angkasa, cahaya tajam yang
menyilaukan mata memancar keluar dari barisan Kan Lee
kiam tin itu dan menelan tubuh Hoa Thian-hong
berdua.... Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw yang
menonton jalan-nya pertempuran itu dari sisi lapangan
diam-diam merasa senang hati setelah menyaksikan
kemenangan berada di pihaknya, setelah menyaksikan
pula kecantikan wajah Pek Soh-gie yang begitu menawan
hati, tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya.
"Gadis itu begitu cantik dan menawan hati, dalam
seratus tahun sulit untuk menemui perempuan semacam
ini, sedang Hoa Thian-hong adalah pemuda berbakat
yang bisa di pakai tenaganya, aku tak boleh bertindak
gegabah sehingga melukai kedua orang itu...."
Berpikir sampai disitu ia segera enjotkan bidan dan
menerjang masuk ke dalam barisan, jari tangannya
bekerja cepat melancarkan sebuah totokan ke arah tubuh
Pek Soh-gie. Sementara itu putri sulung dari Pek Siau-thian ini
sudah tak kuasa menahan diri, ketika Thong-thian Kaucu
melancarkan serangannya ia tak mampu melakukan
perlawanan lagi. Tampak bayangan manusia berkelebat
lewat, tahu-tahu jalan darah Gi sim nya jadi kaku dan
sambil menjerit tertahan robohlah tubuhnya terkulai ke
atas tanah. Thong-thian-kauw bekerja cepat, ia segera
menyambar pinggangnya dan mengepit di bawah ketiak,
senjata hud-timnya berkelebat kemuka langsung
menyapu tubuh Hoa Thian-hong.
Pemuda itu sangat gusar, tubuhnya dengan cepat
menyingkir ke samping menghindarkan diri dari kebutan
tersebut, telapaknya lang sung membabat ke depan.
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan marah ini
sungguh luar biasa sekali, sulit bagi Thong-thian Kaucu
untuk melayani dengan begitu saja, suara bentakan
segera berkumandang diangkat, cahaya pedang yang
menyilaukan mata meluncur datang dari depan belakang
kiri maupun kanan, begitu gencar serangan itu memaksa
Hoa Thian-hong harus menarik kembali serangannya
sambil loncat ke samping.
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, dia putar
senjata hud-timnya, kemudian laksana kilat berkelebat
kemuka. Sebelum Hoa Thian-hong sempat melakukan suatu
tindakan, dua buah jalan darahnya tahu-tahu sudah
ditotok oleh kebutan tersebut, kakinya jadi lemas dan tak
tahan lagi ia roboh terjengkang ke atas tanah.
Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata,
angin malam masih berhembus sepoi-sepoi. cahaya
bintang bertaburan di angkasa, fajar sama sekali belum
menyingsing. Air muka Thong-thian Kaucu berseri-seri, ia
memandang sekejap ke arah Pek Soh-gie yang berada
dalam kepitannya, dari balik mata memancarkan sorot
cahaya yang mengandung birahi.
Setelah jalan darah kakunya tertotok, Pek Soh-gie
kehilangan semua tenaganya dan tak bisa berkutik,
ketika ia sadar dan menyaksi kan dirinya berada dalam
pelukan orang, wajahnya berubah jadi merah karena
jengah, rasa malu dan marah bercampur aduk membuat
gadis itu hampir saja menangis.
Dalam keadaan begini ia tak bisa berbuat lain kecuali
pejamkan mata rapat-rapat dengan wajah hijau kepucatpucatan,
diam-diam ia merasa menyesal sekali....
Hoa Thian-hong sendiri berbaring di atas tanah
dengan mata melotot bulat, ia memandang ke arah
Thong-thian Kaucu dengan sorot mata dingin penuh
kegusaran, ingin sekali dia loncat bangun dan
melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, tapi
sayang, jalan darahnya tertotok dan ia tak mampu
melakukan apa yang diinginkannya itu.
Dalam keadaan begini pemuda tersebut hanya bisa
mengatur napas sambil berusaha untuk membebaskan
diri dari pengaruh totokan.
"Hoa Thian-hong!" terdengar kaucu dari perkumpulan
Thong-thian-kauw itu berseru, "menurut laporan anak
buahku, katanya kau malang melintang di dalam dunia
persilatan tanpa tandingan, menurut penglihatanku berita
yang tersiar dalam dunia persilatan tak bisa dipercaya
sama sekali"
"Tak usah banyak bacot" tukas Hoa Thian-hong
dengan mata melotot, "mau cincang mau bunuh, cepat
lakukan!" "Haah.... haaah.... haah...." Thong-thian Kaucu tertawa
terbahak-bahak sambil mengelus jenggotnya, "hanya
beberapa orang bocah cilik saja tak mampu menangkan,
buat apa engkau melakukan penjalanan di dunia
persilatan serta mencari nama di kolong langit?"
Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya, dengan gusar ia
berseru, "Seorang lelaki boleh dibunuh tak sudi di hina,
engkau sebagai ketua dari suatu perkumpulan besar
apakah tidak malu merosotkan derajat sendiri dengan
sikap seperti itu?"
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, ia duduk
kembali di atas tandunya dan meletakkan tubuh Pek Sohgie
disampingnya, kemudian kepada tosu cilik yang
membawa senjata Ji gi titahnya, "Totok jalan darah Sam
yang nya!"
Toosu cilik itu mengiakan dengan hormat lalu berjalan
menghampiri si anak muda itu, dia ambil keluar tiga
batang jarum perak yang panjangnya dua cun kemudian
di tancapkan di atas jalan darah Gi cung, Gi ji serta Jit
kan tiga buah jalan darah penting.
Setelah jarum itu ditusuk ke dalam tubuhnya, dengan
gerakan yang cekatan sekali dia tepuk bebas jalan darah
sang pemuda yang tertotok.
Setelah tiga urat pentingnya terkunci maka hawa
murni tak dapat disalurkan lagi, dalam keadaan begini
sekalipun seorang jago lihay yang memiliki tenaga dalam
amat sempurnapun akan berubah menjadi seorang
manusia lemah yang sama sekali tidak bertenaga. Cara
ini aneh sekali dan hanya Thong-thian Kaucu seorang
yang memahami. Hoa Thian-hong berusaha mencoba beberapa kali tapi
setiap kali hawa murninya tak mampu dikerahkan keluar,
akhirnya dia menghela napas panjang dan tanpa
mengatakan sepatah katapun menantikan hukuman yang
akan dijatuhkan kepadanya.
Thong-thian Kaucu tertawa, dia ketuk gagang hudtimnya
di atas tandu, empat tosu cilik baju kuning itu
segera menggotong tandu tadi dan diiringi bunyi musik
aneh, berangkatlah rombongan itu balik melalui jalan
semula.... Hoa Thian-hong dengan digotong oleh dua orang tosu
cilik baju merah berjalan di belakang tandu itu,
sepanjang perjalanan otaknya berputar terus memikirkan
semua ke jadian yang dialaminya selama sehari ini....
Pagi tadi ia masih menjadi tamu terhormat dari Giok
Teng Hujin. waktu itu keadaannya begitu agung dan
penuh wibawa. Kemudian tengah hari.... terbayang kembali kejadian
ditepi laut, dimana Giok Teng Hujin munculkan diri di
depannya dalam keadaan telanjang ia gelengkan kepala
berulang kali, rasa malu dan menyesal muncul dalam hati
kecilnya. Terbayang akan diri Giok Teng Hujin, tanpa terasa dia
angkat kepala dan menengok ke arah Pek Soh-gie yang
berbaring di atas tandu, ia temukan ketika itu Thongthian
Kaucu yang berada disisinya dengan mengamati
tubuh gadis itu dengan sorot mata aneh, ia segera
teringat akan soal pedang emas, pikirnya, "Menurut
petunjuk dari Giok Teng Hujin, katanya pedang itu
semuanya terdiri dari dua batang yakni pedang jantan
dan pedang betina, menurut dia pedang yang betina
sekarang tersimpan di dalam pedang pusaka milik
Thong-thian Kaucu...."
Berpikir sampai disini tanpa terasa sinar matanya
segera dialihkan ke arah kanan di mana tosu cilik baju
merah itu memegang sebilah senjata pedang pusaka,
ditinjau dari warna sarung pedangnya yang coklat dan
antik bisa dibayangkan bahwa pedang itu tentulah
sebilah pedang mustika....
Tapi.... benarkah pedang emas berada di dalam
pedang pusaka itu" dan Thong-thian Kaucu sendiri
tahukah tentang persoalan ini"
Kemudian ia teringat kembali akan nenek baju abuabu
yang munculkan diri secara mendadak, ia teringat
kembali ketika pipinya di tampar dengan keras....
Pikirnya di dalam hati, "Aaaai....! Seharusnya dari dulu
aku mesti tahu diri, berbicara tentang adat istiadat aku
tidak terlalu terikat oleh adat yang tetek bengek tak
karuan itu, sebaliknya tentang ilmu pedang aku hanya
mengandalkan sejurus ilmu pukulan belaka, bukan saja
ilmu pedang sudah kulupakan, tiga jurus ilmu totokan
dari Ci yu jit ciat pun tak berhasil kuyakini...."
Makin kupikir ia semakin menyesal hingga tanpa
terasa keringat mengucur keluar membasahi tubuhnya,
kini ia sudah tertawan dan mati hidupnya sukar
diramalkan, kemungkinan bagi dirinya untuk merubah
semua kesalahan itu kian menipis.
Sementara ia sedang menyesal dan kecewa sambil
berusaha mencari akal untuk meloloskan diri, tiba-tiba
suara musik berhenti dan suasana berubah jadi sunyi
senyap. Ia segera menengadahkan ke atas, tampaklah sebuah
kuil yang megah dengan atap hijau tembok merah
muncul di depan mata.
Beberapa saat kemudian rombongan imam itu sudah
berada diruang dalam, sambil bangkit dari tandunya
Thong-thian Kaucu segera, memerintahkan, "Bawa nona
itu masuk istana Yang sim tian dan jebloskan Hoa Thianhong
ke dalam penjara bawah tanah!"
Mendengar perintah itu Hoa Thian-hong serta Pek
Soh-gie tanpa sadar saling bertukar pandangan, sorot
mata mereka berdua sama-sama memancarkan
kecemasan, bibir bergerak seperti mau mengucapkan
sesuatu namun tak sepatah katapun yang diutarakan
keluar. Tampaklah empat orang tosu cilik itu segera
menggotong tandu itu dan membawa Pek Soh-gie berlalu
dari sana, sebaliknya dua orang tosu yang lain segera
menggusur tubuh Hoa Thian-hong menuju ke arah bela
kang istana....
Di belakang bangunan kuil itu didirikan sebuah rumah
yang terbuat dari batu, disanalah biasanya Thong-thian
Kaucu memenjarakan buronannya, setelah tiba disana
kedua orang tosu baju merah itu segera serahkan Hoa
Thian-hong kepada petugas penjara, oleh sang petugas
pemuda itu dijebloskan ke dalam sebuah ruang batu
yang kecil dan bertirai besi.
Ruangan itu luasnya hanya delapan depa, ampat
penjuru tiada jendela kecuali sebuah lubang hawa
sebesar mangkuk di atas pintu baja, karena itu meskipun
di tengah hari namun suasana dalam ruangan itu tetap
gelap gulita dan terasa lembab sekali.
Terdengar bunyi suara gemerincingan yang
menggema memecahkan kesunyian, pintu ruangan
ditutup dari depan. Hoa Thian-hong melihat ruangan itu
kosong melompong, kecuali ia sendiri tak nampak ada
benda lain lagi yang berada disitu.
Diam-diam segera pikirnya, "Asal ketiga batang jarum
perak yang menancap di atas dadaku bisa kucabut
keluar, niscaya penjara batu yang kecil ini tak mampu
mengurung diriku, cuma...." dia lepaskan pakaiannya dan
meraba ketiga batang jarum perak itu, terasalah bendabenda
itu menancap ke dalam tubuhnya hingga lenyap,
bila dihari biasa asal dia mengerah kan tenaga dalam di
atas jarinya maka jarum itu akan segera tercabut keluar,
tapi sekarang hawa murninya tak mampu disalurkan
maka tindakan semaeam itupun tak mungkin bisa
dilakukan. Dengan putus asa pemuda itu hanya bergumam
seorang diri, "Waaah.... kalau aku mati di tempat ini, hal
itu benar-benar tak ada harganya...."
Setelah termenung sebentar, ia berpikir lebih jauh,
Bulan tujuh tanggal lima belas pihak perkumpulan
Thong-thian-kauw akan mengadakan pertemuan Kian
ciau tay-hwee.... Hmmm! pertemuan Kian ciau tay
hwee.... hanya akan berlangsung tujuh delapan hari lagi,
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu itu pelbagai aliran akan saling berjumpa, pelbagai
keluarga yang bermusuhan akan bertemu satu sama
lainnya pada waktu itu pembicaraan yang tidak cocok
akan mengakibatkan banjir darah.... mayat akan
bertumpuk bagaikan bukit.... dalam menghadapi
pertemuan yang begini pentingnya, apa ibu akan hadir
atau tidak.... Terbayang akan ibunya, ia merasa rindu bercampur
sedih, rasa ingin hidup semakin menjadi.... dia ingin
cepat-cepat lolos dari tempat itu dan bertemu kembali
dengan ibunya. Mendadak suara gemerincingan berkumandang dari
luar ruangan. Satu ingatan berkelebat dalam benaknya, seolah-olah
dia melihat Giok Teng Hujin dengan sanggulnya yang
tinggi serta gaunnya yang panjang sedang munculkan
diri diternpat itu.
Suara gemerincingan sekali demi sekali berkumandang
terus tiada hentinya, jantung terasa berdebar semakin
keras, lama kelamaan ia mulai tak kuasa menahan diri....
Beberapa saat kemudian suara langkah kaki yang
santai berhenti tepat di depan pintu ruangannya, diikuti
pintu besi itupun dibuka orang....
Hoa Thian-hong mengintip keluar lewat celah pintu
yang terbuka, namun tidak nampak seorang manusiapun
berada disana, tanpa terasa ia bertanya dengan suara
lirih, "Siapa?"
Gelak tertawa yang rendah dan berat bergema
diseluruh ruangan, suara tertawa itu begitu dingin dan
menyeramkan seakan-akan muncul dari liang salju yang
amat dalam, Hoa Thian-hong jadi merinding dan bulu
kuduknya tanpa terasa pada bangun berdiri.
Tiba-tiba pintu besi dibuka orang, seorang imam
perawakan tinggi dengan sebilah pedang tersoren pada
punggungnya bagaikan sukma gentayangan murcul di
depan pintu. Hoa Thian-hong dengan tajam menatap imam itu
beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia teringat kembali
siapakah orang itu, tanpa te rasa sambil tertawa nyaring
serunya, "Oooh.... aku kira siapa yang datang, tak
tahunya adalah Ang Yap tootiang.... selamat datang,
selamat datang...."
Ang Yap toojin mendengus dingin, sambil menyeringai
seram serunya, Hoa Thian-hong, kau tak mengira bukan,
bakal menjumpai hari seperti ini....?"
Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya lalu tertawa,
katanya, "Kenapa musti ini hari" Kalau engkau hendak
membalas dendam silahkan saja untuk turun tangan...."
"Huuuh....! dalam keadaan begini kau masih bisa
bicara keras" Kalau sucoumu sudah turun tangan....
Hmmm! Mungkin kau tak kuat menahan diri"
Sembari berkata perlahan-lahan imam itu maju ke
depan. Dari sikap lawannya dingin menyeramkan, diam-diam
Hoa Thian-hong terkejut juga, pikirnya, "Kedatangannya
pasti mengandung maksud maksud tertentu, tosu tua ini
tentu akan menyiksa dan membunuh aku untuk
melampiaskan rasa dendamnya...."
Setelah tiga buah jalan darahnya disumbat oleh
tusukan jarum perak, segenap kepandaian silatnya tak
mampu digunakan lagi, sekalipun mara bahaya
mengancam di depan mata namun ia tak mempunyai
kemampuan untuk melarikan diri.
Kiranya Ang Yap toojin secara diam-diam menaruh
hati kepada Giok Teng Hujin, siapa tahu pihak
perempuan sama sekali tidak punya minat terhadap
dirinya, membuat hasrat yang terbenam itu selalu gagal
un tuk mencapai apa yang dikehendakinya.
Setelah melihat kemesraan yang di perlihatkan Giok
Teng Hujin terhadap Hoa Thian-hong, rasa dengki dan
cemburunya kontan berkobar dalam benak imam itu,
rasa marah dan iri tadi berkecambuk terus kian lama kian
bertambah tebal sehingga akhirnya hawa amarahnya tadi
dilampiaskan pada si anak muda she Hoa.
Suatu ketika pukulan Sau yang ceng kie yang
dilancarkan Hoa In telah mengakibatkan ia menderita
luka parah dan sampai saat itu belum juga sembuh,
kejadian ini semakin membuat imam itu mendendam Hoa
Thian-hong hingga merasuk ketulang sumsum, ia
bersumpah dalam hatinya hendak membinasakan musuh
cintanya itu dalam keadaan apapun jua.
Criiing....! Suara gemerincingan bergema memenuhi
angkasa, perlahan-lahan Ang Yap Toojin meloloskan
pedangnya, dengan sorot mata memancarkan hawa
nafsu membunuh dan muka menyeringai menyeram-kan,
serunya, "Manusia she Hoa, kau pingin mati atau pingin
hidup?" "Eeei.... aneh sekali pertanyaanmu itu!" kata sang
pemuda dengan alis berkerut, "bukankah engkau
bermaksud menghabisi jiwaku" Apa gunanya
mengajukan penawaran tersebut?"
Ang Yap Toojin tertawa dingin.
"Heeeh.... heeeh.... jika engkau ingin hidup, tentu saja
Too-ya dapat memberikan sebuah jalan kehidupan
bagimu, cuma jalan itu sempit dan kecil sekali, aku takut
engkau tak punya keberanian untuk melewatinya!"
"Aku orang she Hoa tidak memiliki kemampuan apaapa,
tapi aku rasa masih memiliki sedikit keberangan
untuk menghadapi segala kejadian yang bakal menimpa
diriku, coba katakanlah bagaimana sempit dan ke-cilnya
jalan tersebut" Seandainya aku merasa sanggup untuk
melewatinya, aku orang she Hoa pasti akan
mencobanya"
Ang Yap Toojin menggetarkan ujung pedangnya di
atas raut wajah Hoa Thian-hong, ujarnya sambil tertawa
menyeringai. "Jika dibicarakan sebenarnya tidak begitu
menakutkan, bilamana engkau ingin hidup maka Too-ya
akan merobek raut wajahmu yang tampan itu, agar
Ciong Lian-khek mendapat kawan berwajah busuk
macam diri mu itu!"
mendengar perkataan tersebut, dalam benak Hoa
Thian-hong segera terbayang kembali raut wajah Ciong
Lian-khek yang penuh bercodet dan bekas bacokan
senjata itu, wajah yang menyeramkan membuat hati pe
muda itu jadi bergidik, pikirnya di dalam hati, "Sungguh
aneh sekali peristiwa ini, apa sih sangkut pautnya antara
wajahku dengan rasa dendamnya?"
Tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya,
tanpa sadar ia berteriak.
"Oooh....! Sekarang aku mengerti"
"Hmm! engkau belum tentu mengerti," jengek Ang
Yap toojin dengan suara dingin.
Hoa Thian-hong tersenyum.
"Kedatanganmu kesini adalah masuk secara pribadi
dan tanpa sepengetahuan ataupun seijin kaucu kalian,
karena kau takut tidak mendapat persetujuan dari sang
kaucu untuk mencabut jiwaku, maka muncullah ingatan
dalam benakmu untuk merusak raut wajahku ini agar
rasa dendam yang berkecamuk dalam dadamu bisa
dilampiaskan, bukankah begitu?"
"Heeeeh.... heeeh.... heeeh.... tebakanmu memang
sama sekali tidak salah," jawab Ang Yap Toojin sambil
tertawa seram, "tapi tahukah engkau bahwa Too-ya pun
sudah mengambil keputusan Untuk ber buat nekad" Asal
engkau ingin mati maka Too-ya akan segera memenggal
batok kepala ku kemudian kabur jauh-jauh dari tempat
ini, perduli amat dengan kaucu atau bukan!"
"Oooh....! rupanya rasa benci orang ini terhadap diriku
sudah terlalu mendalam" pikir Hoa Thian-hong di dalam
hati, "waah.... berabe juga ini, apa yang musti
kulakukan?"
Setelah berpikir sebentar, dia alihkan kembali sorot
matanya menatap tajam raut wajah imam tersebut, ia
temukan bahwa ketika itu sepasang matanya telah
berubah jadi merah membara, bibirnya bergetar keras
sekali dengan air mukanya berubah jadi begitu
mengerikan macam malaikat pembunuh dari neraka,
sadarlah pemuda itu bahwa apa yang diucapkan
lawannya mungkin sekali dapat dilakukan benar-benar.
Maka diapun lantas mengangguk sambil ujarnya
sungguh-sungguh, "Kalau begitu.... baiklah, akan
kupikirkan sebentar...."
"Too-ya malas untuk menunggu terlalu lama!" bentak
Ang Yap Toojin sambil menggerakkan senjata
pedangnya. Hoa Thian-hong berlagak pilon dan seolah-olah tidak
mendengar perkataan itu pikirnya, "Meskipun raut wajah
Ciong Lian-khek cianpwee sudah rusak dan menjadi
buruk, akan tetapi ia tetap merupakan seorang lelaki
sejati, ia tetap merupakan seorang pendekar besar yang
berjiwa pahlawan.... urusanku belum sempat
kuselesaikan semua, aku tak boleh mati dengan begitu
saja.... aku harus berusaha untuk mempertahankan
hidupku agar semua pekerjaan yang tertunde bisa
kuselesaikan...."
Berpikir sampai disitu, ia terbayang kembali akan
pinangan dari Pek Siau-thian untuk putri bungurnya, lalu
teringat pula akan perbuatan Giok Teng Hujin dirinya....
setelah berpikir sebentar akhirnya dia mengambil
keputusan, dengan terus terang ujarnya.
"Ang Yap, akan menyerah kalah.... anggap saja ini hari
engkau lebih lihay dariku, si1ahkan merusak raut
wajahku ini dengan ujung pedangmu itu.... aku orang
she Hoa sudah ambil keputusan untuk memilih jalan
kehidupan saja....
Rupanya Ang Yap Toojin merasa tercengang dan
diluar dugaan mendengar keputusan dari lawannya,
setelah tertegun sejenak ia segera menengadahkan ke
atas dan tertawa seram.
"Haahh.... haahh.... bagus sekali! rupanya kau si
bangsat cilikpun merupakan manusia kurcaci yang takut
mati!" Tubuhnya menerjang maju ke depan, pedangnya
dikebaskan dan.... Sreeet! langsung membacok wajah
pemuda itu. Keputusan Hoa Thian-hong untuk mengorbankan raut
wajahnya dan mempertahankan kehidupan diambil
karena keadaan yang terpaksa dan mendesak sekali,
melihat datangnya sambaran cahaya pedang yang
menyilaukan mata, hati terasa tercekat, tak mungkin bagi
dirinya untuk menghindarkan diri lagi dari bacokan
tersebut, terpaksa ia pejamkan matanya rapat-rapat.
Criiing....! terdengar bunyi gemerincingan yang amat
nyaring berkumandang memenuhi seluruh angkasa, pintu
besi di depan penjara seolah-olah didorong oleh suatu
kekuatan yang maha besar, tiba-tiba terbentang lebar
dengan sendirinya.
Begitu keras bunyi gemerincing tersebut sehingga
membuat Ang Yap Toojin maupun Hoa Thian-hong
merasakan telinganya jadi amat sakit sekali, imam
setengah baya itu segera menghentikan gerakan
pedangnya di tengah udara sedang Hoa Thian-hong pun
membuka matanya kembali, tubuh mereka berdua samasama
tergetar keras, pada saat yang ber samaan pula
mereka sadar bahva diluar pintu ada orang, hanya tak
tahu jago lihay darimanakah yang telah muncul disitu"
Sementara itu pantulan suara yang amat nyaring tadi
masih mendengung tiada hentinya diseluruh penjuru
ruang penjara itu, dari kedahsyatan suara pantulan
tersebut Ang Yap Toojin semakin yakin kalau orang yang
bersembunyi di balik pintu adalah seorang jago lihay
berkepandaian tinggi, dalam kejutnya dan kedernya
timbul pikiran dalam benak imam tersebut untuk
mengundurkan diri dari tempat itu.
Tetapi ia merasa amat membenci terhadap Hoa Thianhong,
rasa dendamnya sudah merasuk ketulang
sumsum, meskipun berada dalam keadaan gugup dan
kacau pikiran, namun imam tersebut tak rela melepaskan
Hoa Thian-hong dengan begitu saja, pedangnya segera
digetarkan kembali dan langsung menusuk ke arah ulu
hati si anak muda itu.
Hoa Thian-hong sangat terperanjat, dalam keadaan
yang kritis dan sargat berbahaya itu dia himpun sisa
tenaga yang dimilikinya dan segera lompat ke arah
samping. "Binatang, sungguh besar nyalimu!" mendadak
serentetan suara bentakan keras yang amat nyaring
berkumandang memenuhi angkasa.
Weeesss....! diiringi suara benturan keras, tiba-tiba
pintu baja itu terpentang lebar.
Semua peristiwa itu berlangsung hampir pada saat
yang bersamaan, ketika mendengar suara bentakan, Ang
Yap Toojin merasa hatinya tercekat, tanpa sadar
tangannya jadi lemas dan tusukan pedangnya pun jadi
miring ke samping hingga menyambar dada sebelah kiri
lawannya. Selesai melancarkan tusukan tersebut, tanpa
memandang sekejappun ia segera putar badan dan
kabur keluar dari ruangan itu.
Mendadak.... dihadapannya muncul seorang manusia
aneh berperawakan tinggi basar, berambut panjang
bagaikan akar dan berlengan tunggal menghadang tepat
di depan pintu.
Keempat anggota badan manusia aneh itu! ada tiga
yang cacad, tinggi badannya mencapai empat depa dan
persis menyumbat seluruh pintu masuk itu, mulutnya
besar dengan sepasang mata memancarkan Cahaya biru,
satu-satunya anggota badan yang masih utuh hanyalah
tangan kirinya, waktu itu dalam genggaman tangan
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kirinya mencekal sebilah pedang baja yang besar dan
Bentrok Rimba Persilatan 11 Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian Kekaisaran Rajawali Emas 5
kakimu, kugebuk sampai kutung!"
Sejak terjun ke dalam dunia persilatan Hoa Thianhong
selalu punya hubungan luas dengan para jago
Bulim terutama beberapa saat belakangan dia selalu
dianggap sebagai pemimpin dari golongan kekuatan
baru, ini hari setelah digampar orang tanpa sebab
hatinya panas dan mendongkol sekali, tapi pemuda itu
cerdik dan tahu gelagat, dia sadar bahwa nenek tua ini
punya asal usul yang besar, meskipun lagaknya sok
sekali akan tetapi sama sekali tiada maksud jahat
terhadap dirinya.
Karena itu setelah termenung sebentar akhirnya ia
menahan sabar dan segera berlalu dari situ.
Diarah sebelah Barat laut terdapat serentetan rumah
penduduk, rupanya seperti sebuah dusun kecil, cepat
Hoa Thian-hong lari menuju ke dusun tersebut, belum
jauh dia lari tiba-tiba pemuda itu merasa dandanan
sendiri lucu sekali, bukan saja pakaian luarnya tak ada
sepatu yang dipakai cuma sebelah, maka dilepaskan
sepatu yang tinggal satu satunya itu kemudian
meneruskan perjalanan dengan kaki telanjang.
Setelah hampir masuk dusun, Hoa Thian-hong baru
teringat kalau dalam sakunya tak ada uang sebab
bajunya telah dibuang ke laut, pikirnya, "Sekarang aku
tak punya uang untuk membeli makanan, apa daya"
Apakah aku musti mencuri" Atau menodong?"
Sambil berkata tanpa terasa ia telah mengelilingi
dusun itu satu kali, dusun yang terdiri dari sebuah jalan
raya belaka itu hanya mempunyai sebuah rumah makan
saja di ujung jalan, pemuda itu segera berpikir, "Para
hweesio saja dapat mencari makan dimana-mana,
kenapa aku tidak berusaha mencobanya" Bagaimanapun
toh aku tak boleh mati kelaparan, Yaah....... rupanya aku
terpaksa tebalkan muka untuk makan gratis...."
Setelah ambil keputusan, ia segera melangkah masuk
ke rumah makan itu.
Pelayan di pintu nampak tertegun dan berdiri melongo
ketika menyaksikan Hoa Thian-hong dengan dandanan
seperti pengemis masuk ke dalam rumah makannya,
dengan suara ragu-ragu ia berseru, "Saudara
adalah......."
Orang-orang dusun seperti itu adalah orang yang
menghargai pakaian tidak menghargai orangnya, melihat
dandanan Hoa Thian-hong yang tidak karuan itu
timbullah rasa sangsi dan curiga di dalam hatinya.
"Bocah bagus... rupanya kau barusan mencari
perempuan dan pulang kesiangan... haaah haaah...lain
kali kau musti tahu diri," tiba-tiba terdengar seseorang
berteriak dengan suara lantang.
Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, gelak
tertawa segera meledak memenuhi seluruh ruangan.
Hoa Thian-hong sangat gusar, dia berpaling ke arah
mana berasalnya suara tertawa itu, tampaklah pada meja
makan sebelah kanan duduk tiga orang toojin berusia
pertengahan yang menyoren pedang di punggung, orang
yang barusan bicara adalah toojin yang duduk ditengah,
gelak tertawa mereka bertiga pula yang kedengaran
paling keras. Terdengar toojin yang berada di sebelah kirinya ikut
menimbrung sambil tertawa.
"Ngo Seng memang hebat sekali, rupanya tebakanmu
tepat, coba lihat di atas pipinya terdapat lima buah bekas
cakar yang nampak jelas sekali!...."
Gelak tertawa yang amat nyaring kembali
berkumandang memecahkan kesunyian.
Hoa Thian-hong merasa gelak tertawa yang muncul
dari samping kiri nyaring dan amat memekikkan telinga,
jelas suara tertawa itu dipancarkan oleh seseorang yang
memiliki tenaga dalam sangat lihay, tampak di meja
makan sebelah kiri dekat pintu, duduklah empat orang
pria, dua orang kakek berjubah warna hitam dan dua
orang lainnya pria kekar berpakaian ketat, keempat
orang itu sama-sama menggembol senjata.
Ketika itu Sang surya telah condong ke barat dan
merupakan waktu orang mencari penginapan, ruangan
rumah makan boleh dibilang penuh dan sebagian besar
telah terisi oleh tamu.
Kecuali dua rombongan tersebut, para tamu lainnya
rata-rata berdandan pedagang atau pekerja kasar, Hoa
Thian-hong dengan sorot mata yang tajam segera
menyapu sekejap seluruh ruangan itu, mendadak ia
tertegun dan hampir saja berseru tertahan.
Kiranya di sudut ruangan duduklah seorang dara baju
kasar yang memiliki kecantikan wajah yang luar biasa,
Hoa Thian-hong bukan hidung bangor tapi setelah
menemui gadis cantik itu dia nampak begitu terkejut dan
kaget hal ini menunjukkan bahwa gadis itu luar biasa
sekali. Tidak Salah, dari raut wajah dan potongan badannya
gadis itu ternyata mirip sekali dengan Pek Kun-gie, hanya
saja gadis ini jauh lebih tenang kalem, halus dan
sederhana. Waktu itu dengan kepala tertunduk dara itu sedang
menikmati bakmi dihadapannya, terhadap gelak tertawa
yang memenuhi seluruh ruangan bukan saja tidak ambil
perduli bahkan bersikap seolah-olah tidak melihatnya.
Mula-mula Hoa Thian-hong tertegun, kemudian satu
ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera dapat
menduga siapakah dara itu.
Entah apa sebabnya tiba-tiba pemuda itu merasa
tersipu-sipu dan menyesal sekali mengapa masuk ke
rumah makan dengan potongan badan yang tidak
karuan. Tiba-tiba terdengar toojin berusia pertengahan yang
duduk di tengah itu berseru kembali, "Keparat, melihat
Wanita cantik sepasang matanya langsung terbelalak
lebar, rupanya dia memang benar-benar seorang
manusia hidung bangor!"
Hoa Thian-hong teramat gusar sekali ketika dilihatnya
orang-orang itu sebentar memandang ke arahnya
sebentar lagi melirik ke arah dara cantik itu dengan
wajah penuh ejekan, diam-diam dia menyumpah, "Tosu
bajingan, kalian memang punya mata tak berbiji......"
Teringat akan gamparan yang diterimanya hari ini,
rasa mendongkol yang selama itu masih berkecamuk di
dadanya segera disalurkan ke arah toojin berusia
pertengahan itu, dalam hati timbullah rencana untuk
memberi ganjaran kepada tosu tadi.
Tepat di depan pintu masih ada meja kosong, setelah
melirik sebentar pemuda itu segera maju ke depan dan
duduk dengan membelakangi pintu.
Rupanya sang pelayan juga tak tahu diri, dengan
wajah cengar-cengir penuh ejekan dia menghampiri
pemuda itu sambil bertanya, Tuan, apakah engkau juga
akan minum arak?"
"Bawa dulu secawan air teh!" jawab Hoa Thian-hong
sambil menahan hawa marahnya.
Melihat si anak muda itu adalah sasaran bahan
tertawa bagi semua orang, mendengar pula logatnya
berasal dari luar daerah, timbul pula niat pelayan itu
untuk menggoda, dengan suara keras sengaja ia
berteriak, "Ambilkan secawan air teh, air teh itu untuk
kongcu yang sedang ketimpa kesusahan, kalau bisa cari
yang dingin...."
"Budak tak tahu diri!" sumpah Hoa Thian-hong di
dalam hati, "kau juga berani menggoda diriku,
Hmmm....tunggu saja nanti, akan kubereskan pula
dirimu!" Beberapa saat kemudian pelayan telah muncul dengan
membawa sepoci air teh dingin, sambil siapkan cawan
dan sumpit sambil tertawa cengar-cengir ujarnya lagi,
"Kongcu ya, rupanya kau baru saja mengalami
perampokan, kau hendak pesan apa?"
Sambil berkata, biji matanya dengan tajam menyapu
seluruh tubuh Hoa Thian-hong, rupanya dia sedang
memperingatkan kepada pemuda itu kalau di sakunya
tak ada uang. Hoa Thian-hong mendengus dingin, ia letakkan poci
air teh itu di tengah meja, cawan didekatkan dengan
mulut poci lalu mengambil sebatang sumpit dan
ditancapkan di dalam cawan tersebut. Sungguh aneh
sekali, sumpit itu seakan-akan menancap di dalam hiolo
saja ternyata berdiri tegak dan sama sekali tidak goyang.
Dalam sekejap mata ketiga orang toojin berusia
pertengahan maupun dua orang kakek baju hitam dan
dua orang pria berpakaian ketat itu berubah air muka,
suasana jadi hening dan sunyi hingga tak kedengaran
sedikit suarapun.
Haruslah diketahui demonstrasi mengerahkan tenaga
dalam ke tubuh sumpit itu sehingga dapat berdiri tegak
di dasar cawan tak bisa dilakukan oleh setiap orang
dengan mudah, namun Hoa Thian-hong bisa
melakukannya dengan gampang dan tak berbekas,
kejadian ini benar-benar luar biasa sekali.
Tetapi yang terutama adalah kode rahasia yang
diperlihatkan si anak muda itu, membuat orang merasa
tercengang dan sama sekali diluar dugaan.
Para pelancong dan pedagang yang hadir pula dalam
rumah makan itu meskipun bingung dan tak habis
mengerti, tetapi merekapun tahu kalau Hoa Thian-hong
adalah se orang jago kangouw, untuk sesaat suasana ia
di hening tak kedengaran sedikit suarapun, berpuluhpuluh
pasang mata sama-sama dicurahkan ke arah
pemuda itu. Tampak Hoa Thian-hong membuka penutup poci air
teh tadi kemudian mengetuk tubuh poci itu perlahan.
Traaang...traang...traaang...! bunyi nyaring yang
bening dan merdu berkumandang keluar dari balik poci
porslen yang kecil, ketika tersebar di udara suara
tersebut kedengaran bagaikan bunyi lonceng kuil tosu
yang berdentang nyaring.
Semua hadirin terkesiap dan duduk dengan mata
terbelalak mulut melongo, perhatian mereka semua
terhisap oleh demonstrasi permainan yang aneh itu,
bahkan dara cantik itupun menghentikan sumpitnya dan
alihkan sepasang matanya yang bulat besar ke arah poci
air teh tadi. Hoa Thian-hong berlagak bodoh, seolah-olah tak
pernah terjadi sesuatu apapun, ia berpaling ke arah sang
pelayan yang telah pucat pias bagaikan mayat itu sambil
berseru, "Tong thian It cuhiang, kau mengerti?"
"Hamba mengerti.... hamba mengerti... Kongcu ya
mau apa?" tanya pelayan dengan gemetar.
"Hmm! Siapkan empat macam sayur yang paling lezat,
nasi, arak wangi dan siapkan di atas nampan"
Pelayan itu mengiyakan berulang kali, dengan badan
masih gemetar buru-buru dia ngeloyor ke dapur.
Tiba-tiba ketiga orang toojin berusia pertengahan itu
saling bertukar pandangan sekejap kemudian bangkit
berdiri dan maju menghampiri Hoa Thian-hong.
Setelah tiba dihadapan pemuda itu, mereka berdiri
berjejer dengan toojin yang disebut Ngo suheng berada
ditengah, sambil silangkan telapak di dada memberi kode
rahasia ia berkata, "Siapakah nama sahabat" Apakah
baru saja masuk menjadi anggota perkumpulan?"
"Aku tak boleh berbuat bodoh, kalau tidak tingkah
lakuku pasti akan jadi bahan tertawaan di dalam Bulim"
pikir Hoa Thian-hong di dalam hati.
Bukan menjawab dia segera balik bertanya,
"Bagaimana sebutan kalian dengan Thian Seng
Tootiang?"
"Dia adalah susiok pinto bertiga!"
Dengan wajah serius Hoa Thian-hong mengangguk.
"Ehmm....... jadi kalian adalah anak murid dari kaucu?"
Toojin itu membenarkan, ia menyahut, "Pinto bertiga
adalah anak murid dari kaucu, sahabat, engkau
mendapat penghormatan di sektor mana?"
"Tak usah banyak bertanya," tukas pemuda itu sambil
goyangkan tangannya, "Thian Seng tootiang menyebut
saudara dengan aku, bila kalian tahu salah, ayoh cepat
bayar rekening kalian dan cepat pergi!"
"Ngo suheng, dia tentu orang gadungan yang
mengaku-ngaku saja!" teriak Toojin di sebelah kiri
mendadak. Toojin yang ada di tengah mendengus dingin, ia
memandang sekejap ke arah Hoa Thian-hong lalu
berkata, "Sahabat, kalau engkau tak mau menerangkan
asal usulmu lagi, jangan salahkan kalau pinto akan
kurang sopan terhadap dirimu!"
"Huuuuh,..! Sejak tadi kau sudah tak tahu sopan, dosa
kalian musti dihukum..... ayoh jalankan hukuman sendiri
daripada aku musti repot!"
Criiiiing....! Ketiga orang toojin itu mencabut keluar
pedangnya dan segera menyebarkan diri, dengan
membentuk posisi segitiga mereka tutup jalan mundur si
anak muda itu. Suara hiruk-pikuk memecahkan kesunyian, para tamu
yang sekeliling tempat itu sama-sama bangkit dari
tempat duduknya dan mundur ke belakang, hanya empat
pria baju hitam serta gadis cantik itu saja yang masih
tetap duduk tak berkutik di tempat semula.
Sikap Hoa Thian-hong tenang sekali, ia duduk tak
berkutik di tempat semula dan sama sekali tidak
berpaling ke sekeliling tempat itu, ujarnya, "Aku pernah
menyaksikan suatu barisan yang disebut Sam Seng Bukek-
tin, apakah kalian juga bisa menggunakannya?"
Barisan Sam Seng Bu-kek-tin adalah barisan yang
diwariskan Kiu-tok Sianci kepada tiga harimau dari
keluarga Tiong, ilmu simpanan dari wilayah Biau itu
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jarang ditemui dalam Bulim, tiga orang toojin tersebut
segera mengira kalau mereka sedang diejek, hawa
amarah kontan berkobar dan nafsu membunuh tak
terkendalikan lagi,
Toojin yang berdiri di depan pintu tiba-tiba
membentak keras, pedangnya digetarkan ke udara
menciptakan berpuluh-puluh buah titik cahaya bintang
yang mana langsung menusuk tulang punggung si anak
muda itu. Hoa Thian-hong menjengek sinis, tubuhnya sama
sekali tidak goyah dari tempat semula, menanti ujung
pedang hampir menyentuh tulang punggungnya ia
gerakkan lengan dan tiba-tiba mengirim satu pukulan ke
belakang. Selama setahun dua tahun ke belakangan ini, dia
selalu tekun memperdalam jurus pukulan 'Kun-siu-citauw'
nya, terhadap penggunaan jurus pukulan tersebut
boleh dibilang sudah hapal dan matang sekali, serangan
yang dilancarkan barusan bukan saja hebat bahkan tepat
mengarah kedada musuh.
Tatkala Toojin itu menyaksikan ujung pedangnya
sudah hampir menyentuh tubuh lawan namun pihak
musuh tidak menunjukkan reaksi apapun, ia merasa
terkejut bercampur girang, hawa murninya segera
disalurkan keluar dan sekuat tenaga dia dorong
pedangnya menusuk ke depan.
Tiba-tiba segulung angin pukulan yang maha dahsyat
bagaikan gulungan ombak disamudra meluncur ke muka,
pedang dalam genggamannya segera bergetar keras,
bukan saja tusukannya menceng setengah depa ke
samping bahkan kuda-kudanya gempur dan badan Toya
terjerumus ke depan langsung menumbuk bahu kanan
pemuda lawannya.
Ketika pertama kali Hoa Thian-hong berjumpa dengan
Ciu It-bong, kakek telaga dingin pernah menyapu salju
membentuk tiang salju yang berpusing di udara sehingga
mengejutkan hatinya, jurus yang pernah dipergunakan
oleh Ciu It-bong itu sekarang dipergunakan olehnya,
semua inti kebagusan dan kehebatan dikeluarkan
membuat pukulan itu bukan saja nampak aneh dan
membingungkan bahkan bila seseorang tak punya
kepandaian yang lihay, tentu tak akan tahu dimana letak
kelihayan dari serangan tersebut.
Bentakan keras bergema memecahkan kesunyian,
cahaya kilat menyambar lewat, dua bilah pedang
bersama-sama meluncur datang, satu dari kiri yang lain
dari kanan. Semangat Hoa Thian-hong berkobar, tangannya
berputar mencengkeram pergelangan tangan toojin yang
ada di belakang tubuhnya, sekali ayun pedang tersebut
segera menangkis ancaman dari sebelah kanan, tangan
kiri diayun mengirim pula satu pukulan ke depan.
Traaang...! bentrokan keras terjadi menimbulkan suara
dentingan yang nyaring, percikan bunga api muncrat
keempat penjuru dan kedua bilah pedang itu sama-sama
tergetar patah.
Semua peristiwa terjadi dalam sekejap mata, serangan
Hoa Thian-hong mencekal pergelangan musuh, dengan
pedang lawan memukul kutung pedang lawan semuanya
dilakukan dalam sekali gerakan, dibalik serangan
membawa pula pertahanan yang kuat dan rapat, tahuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tahu telapak kirinya telah menyampok miring pedang
toojin yang lain kemudian merampas gagang pedangnya
dengan jitu. Bagaikan sukmanya melayang tinggalkan, segera
dengan ketakutan ketiga orang toojin itu loncat mundur
ke belakang, andaikata di belakang bukan membentur
dinding tembok mungkin mereka akan mundur lebih jauh
lagi ke belakang....
Hoa Thian-hong tertawa dingin, cengkeramannya pada
seorang toojin yang kena ditangkap makin dipererat,
telapak kirinya diayun siap menampeleng orang itu, tapi
ingatan lain segera berkelebat dalam benaknya, ia
berpikir, "Ketiga orang ini tidak lebih cuma anak murid
dari Thian Ik si tosu tua itu. ilmu silat mereka tak bisa
menangkan diriku, kenapa aku musti gaplok mereka?"
Sambil lepaskan celananya dia lantas membentak,
"Bayar rekening kalian dan cepat enyah dari sini, lain kali
kalau berani bicara sembarangan lagi.... Hmmm! lihat
saja, akan kucabut jiwa kalian semua!"
Dengan wajah pucat pias bagaikan mayat, ketiga
orang toojin itu saling berpandangan sekejap, tiba-tiba
tooin di tengah melemparkan sekeping uang perak ke
atas meja kemudian putar badan dan kabur dari situ.
"Hay, masih ada uang arakku!" bentak Hoa Thianhong.
Toojin yang mencekal pedang itu berjalan paling
belakang, belum sempat tubuhnya melangkah keluar dari
pintu telinganya terasa mendengung keras, dengan
ketakutan dia melemparkan sekeping uang kemeja dan
buru-buru ikut kabur dari situ.
Jilid 22: Pek Soh Gie, saudara kembar Pek Kun Gie
Hoa Thian-hong memandang hingga bayangan tubuh
ketiga orang toojin itu lenyap dari pandangan, ketika
menjumpai para tetamu tak berani kembali ke tempat
duduknya masing-masing, ia tertawa geli dan segera
serunya, "Mau apa kalian berdiri saja disitu" Masingmasing
makan punya sendiri, apa yang musti ditakuti?"
Mendengar perkataan itu para tamupun segera duduk
kembali ke tempat semula, suara ramai dan hiruk pikuk
semua orang berebut untuk duduk lebih dahulu
ditempatnya semula, seolah-olah mereka takut kalau
sampai terlambat sehingga menggusarkan Hoa Thianhong.
Pada saat itulah dua orang kakek baju hitam serta dua
orang pria berbaju ringkas itu membuang sekeping perak
kemeja, kemudian diam-diam berjalan keluar dari pintu.
Dalam hati Hoa Thian-hong berpikir, "Pek Soh-gie
benar-benar seorang nona yang lembut, dan kalem
sekali, aku dengar ia tak pernah melakukan perjalanan di
dalam dunia persilatan, kenapa bisa sampai disini?"
Berpikir sampai disitu timbullah rasa pendekar dalam
hatinya, kepada seorang kakek baju hitam yang
kebetulan lewat disisinya dia menegur, "Eeei.... .apakah
kalian berempat anggota perkumpulan Sin-kie-pang?"
"Benar," kakek baju hitam itu mengangguk dan
memberi hormat, "kongcu ada urusan apa?"
"Jin Hian ada maksud mencelakai jiwa kalian,
berangkatlah dari sini ke arah timur dan lebih baik
jangan sampai berjumpa dengan orang-orang dari pihak
Hong-im-hwie"
Air muka kakek baju hitam itu berubah hebat setelah
mendengar perkataan itu, tetapi dalam sekejap mata
telah pulih kembali seperti sedia kala, segera sahutnya,
"Terima kasih atas petunjukmu.... setelah memberi
hormat iapun berlalu dari situ.
Dalam sekejap mata keempat orang tadi sudah keluar
dari pintu dan lenyap dari pandangan, sebaliknya dara
ayu tadi masih tetap duduk di tempat semula sambil
menikmati bakmi di mangkoknya.
"Kenapa Pek Soh-gie kalau makan begitu lambat?"
pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, "rupanya dia sengaja
hendak mengulur waktu, entah apa maksudnya?"
Dengan pakaiannya yang tidak genah, pemuda itu
merasa rendah diri, tanpa terasa ia putar badan dan
menanti sayur dan arak sendiri.
Beberapa saat kemudian pelayan telah muncul dengan
membawa sebuah nampan, di atas nampan terdapat
empat macam sayur, sepoci arak wangi, satu tong kecil
nasi putih dan empat perangkat cawan serta sumpit.
Pemilik rumah makan berjalan mengikuti di belakang
pelayannya, setelah memberi hormat katanya tergagap,
"Dua macam sayur ini merupakan makanan paling baik
dari rumah makan kami, kami tak sanggup membuatkan
yang lebih bagus lagi.... dan arak.... araknya adalah...."
Hoa Thian-hong geli melihat sikap orang itu, wajahnya
berubah jadi hijau pucat, rupanya ia sudah ketakutan
setengah mati sehingga berbicarapun terlalu dipaksakan,
ia segera goyangkan tangannya sambil berseru,
"Cukup.... cukup.... bukankah uangnya sudah dibayar?"
"Oh.... sudah.... sudah.... masih ada sisa!" buru-buru
pemilik rumah makan itu lari ke lacinya.
Hoa Thian-hong tersenyum, sambil membawa nampan
itu dia berjalan keluar dari pintu ruangan, dengan
pandangan yang sengaja dia melirik sekejap ke arah
gadis itu. Ketika tiba di jalanan ia tak bisa menahan diri lagi dan
segera berpaling kembali ke arah rumah makan tadi.
Sesosok bayangan manusia nampak berjalan pada
jarak tiga empat tombak di belakang tubuhnya, orang itu
bukan lain adalah gadis ayu tadi. sikap maupun
langkahnya tenang seolah-olah seorang gadis yang
mengerti ilmu silat, siapapun tak menyangka kalau dia
adalah putri sulung dari ketua perkumpulan Sin-kie-pang.
Ketika gadis ayu itu melihat Hoa Thian-hong berhasil
menemukan jejaknya, pipi yang putih segera bersemu
merah, biji matanya yang jeli berputar disekeliling tempat
itu seakan-akan sedang mencari tempat persembunyian.
Hoa Thian-hong sendiripun merasa pipinya jadi panas
dan jengah sekali, setelah tertegun beberapa saat dia
lantas bertanya, "Nona Pek apakah engkau ada urusan
yang hendak disampaikan kepadaku....?"
Perlahan-lahan dara ayu itu maju ke depan, lalu
menjawab dengan suara ringan, "Koko, keempat orang
yang kau jumpai tadi bukan anggota perkumpulan Sinkie-
pang" "Oooh.... jadi mereka orang-orang dari perkumpulan
Hong-im-hwie" tanya sang pemuda setelah tertegun
sebentar. Gadis itu mengangguk.
"Mereka sudah sembilan hari lamanya membuntuti
diriku, dari Keng oh sampai tempat ini, orang-orang
tersebut selalu mengun til di belakang atau denganku"
"Sudah terjadi bentrokan?" tanya Hoa Thin Hong
dengan alis berkerut.
Gadis ayu itu menggeleng.
"Belum!"
Hoa Thian-hong termenung dan berpikir sebentar,
tiba-tiba sambil tertawa ujarnya, "Aku dan seorang
angkatan tua yang sedang menantikan arak dan sayur,
bagaimana kalau nona juga ikut kesitu?"
Gadis cantik itu mengangguk, sambil mengikuti di
belakang Hoa Thian-hong, berangkatlah mereka
tinggalkan dusun tersebut menuju ke tempat dimana
nenek baju abu-abu menunggu.
Nenek itu masih tetap menanti di tempat semula,
tongkat di tangannya masih tergenggam tapi ia sedang
mengantuk, dalam hati. Hoa Thian-hong segera berpikir,
"Waah.... untung dia tertidur, kalau tidak aku tentu
dimarahi lagi...."
Rupanya nenek tua itu mendengar suara langkah
manusia, mendadak sambil menengadah dia membuka
matanya. Buru-buru Hoa Thian-hong maju ke depan, serunya
sambil tertawa paksa, "Nenek, arak dan sayur telah
datang!" Dengan mata melotot nenek tua itu menyapu sekejap
sayur dan arak di atas nampan, la lu tegurnya, "Huuh....
hasil mencuri?"
"Oooh.... tidak, tidak.... toojin dari Thong-thian-kauw
yang telah membayarkan rekeningku, lain kali kalau
bertemu lagi pas ti akan kubayar hutang tersebut"
Nenek tua itu mencibirkan bibirnya, sorot mata segera
dialihkan ke arah gadis cantik yang berada di belakang
pemuda itu. "Nona ini bernama Pek Soh-gie" buru-buru Hoa Thianhong
memperkenalkan, "dia ada lah putri sulung dari
ketua perkumpulan Sin-kie-pang!"
Mendengar ucapan itu dari, balik mata nenek tua itu
segera memancarkan cahaya yang amat tajam, dengan
cepat dia menyapu sekejap wajah gadis she Pek itu.
Pek Soh-gie buru-buru maju ke depan dan memberi
hormat, katanya, "Soh-gie menyampaikan salam buat
nenek" Kalau gadis itu bersikap wajar maka Hoa Thian-hong
gelisah sekali, pikirnya dengan hati cemas, "Nona ini
adalah seorang gadis baik, wah.... berabe kalau nenek ini
naik pitam dan mengumbar nafsunya...."
"Nona tak usah banyak adat!" terdengar nenek itu
menyahut. Pek Soh-gie mengucapkan terima kasih sambil
berpaling segera tanyanya, "Toako ini siapa namanya"
Siaute baru pertama kali melakukan perjalanan,
darimana toako bisa tahu asal usulku?"
"Aku bernama Hoa Thian-hong...." pemuda itu
memperkenalkan diri sambil tertawa.
"Telur busuk cilik!" tiba-tiba suara nenek tua itu
berkumandang disisi telinganya bagaikan bisikan
nyamuk, baru saja aku peringatkan dirimu, Huuh.... baru
berapa menit kau sudah mencari perempuan lagi!"
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong, dia
tahu nenek tua itu memberi peringatan dengan ilmu
menyampaikan suara, dengan wajah serius buru-buru
sambungnya kembali, "Aku pernah mendengar nama
nona dari ayahmu, maka setelah berjumpa aku segera
mengenali kembali."
Pek Soh-gie mengangguk, biji matanya yang jeli
melirik sekejap ke arah nampan di tangan Hoa Thianhong
lalu melirik pula ke arah nenek tua itu, mulutnya
membungkam sedang otaknya berputar mencari penyakit
diantara sikap yang tak wajar dari kedua orang itu.
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoa Thian-hong maju kembali ke depan, sambil
tertawa paksa ujarnya kepada nenek tua itu, "Nenek kau
tentu lapar bukan" tempat ini tak ada meja, bagaimana?"
"Hmm! Kau tanya aku, lalu aku harus tanya siapa?"
bentak sang nenek dengan mata melotot.
Hoa Thian-hong jadi gelagapan, melihat dia tak mau
duduk di lantai terpaksa sambil berlutut dia angkat
nampan itu ke atas, katanya lagi, "Nenek, silahkan
minum arak. kalau sayurnya sudah dingin tentu tidak
enak." Rupanya Pek Soh-gie tidak tega, ia maju ke depan dan
segera siapkan cawan dan sumpit untuk nenek tua itu
bahkan penuhi pula cawannya dengan arak wangi.
Melihat ada arak wajah nenek itu menunjukkan rasa
girang yang tak terhingga, dia angkat cawan dan
menghabiskan arak terse but beberapa kali.
Pek Soh-gie penuhi kembali cawan itu de ngan arak,
sang nenek segera menggerakkan sumpit menikmati
sayur dimangkok, Hoa Thian-hong yang menyungging
nampan seketika merasa perutnya jadi keroncongan
setelah mencium bau harum yang membuat perut jadi
lapar itu. "Nona, kau sudah bersantap?" terdengar nenek tua itu
menegur. Terima kasih nenek, Pek Soh-gie baru saja bersantap!"
"Mau makan sedikit lagi?"
"Soh-gie ikut ibuku bermakah pantang, aku tak berani
mendekati barang-barang berjiwa!"
Sekali teguk nenek tua itu menghabiskan isi
cawannya, tiba-tiba ia menghela napas panjang dan
berkata, "Kho Hong-bwee kawin dengan Pek Siau-thian,
kejadian itu benar-benar patut disesalkan. kasihan Kho
Hong-bwee yang matanya buta tak bisa milih suami yang
genah, Bun Siau-ih kawin dengan Hoa Goan-siu, orang
bilang mereka adalah pasangan yang setimpal dan
bahagia, siapa tahu burung terbang berpisah toh hidup
mereka lebih banyak sengsaranya daripada bahagia,
aaai.... gadis cantik kebanyakan bernasib jelek!"
"Nenek kenal dengan ibuku?" tanya Pek Soh-gie
dengan wajah sedih.
"Aku si nenek tua telah seratus tahun hidup di kolong
langit, sudah banyak kejadian tragis yang kusaksikan,
siapa bilang tidak kenal dengan dua wanita tercantik di
dalam dunia persilatan?"
"Siapa nenek?" tiba-tiba Hos Thian-hong bertanya.
"Aku adalah aku, apa itu siapa-siapa?" bentak sang
nenek dengan mata melotot.
Hoa Thian-hong yang kebentur pada batunya cuma
bisa meringis tersipu-sipu, pikirnya, "Waaah.... rupanya
nenek tua ini lebih suka anak perempuan daripada anak
laki, tiap kali aku yang tanya tentu disemprot dengan
kata tajam.... Huuh.... Sialan benar...."
Rupanya Pek Soh-gie tak menyangka kalau pemuda
itupun tak kenal dengan asal usul nenek tua ini, seielab
tertegun sebentar katanya, "Hoa toako, apakah kau
adalah keturunan dari Hoa Tayhiap dari perkampungan
Liok Soat Sanceng?"
Hoa Thian-hong mengangguk, teringat akan ayahnya
yang sudah meninggal dan jejak ibunya yang tak
menentu, hatinya jadi sedih dan sikappun menjadi uringuringan.
Melihat pemuda itu murung, setelah termenung
sebentar Pek Soh-gie berkata lagi, "Seringkali ibu
membicarakan tentang ibu mu, katanya selama hidup
dialah yang paling dikagumi, apakah dia orang tua terada
dalam keadaan sehat walafiat?"
Pemuda itu menggeleng.
"Kesehatan ibuku buruk sekali, karena hendak
mencari, aku sekarang telah berkelana di dalam Bulim,
entah kini ia berada di mana" dan bagaimana Dasibnya?"
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya kembali,
"Urusan ini rahasia sekali, harap nona jangan
membocorkan di tempat luaran...."
Soh-gie mengerti, tak usah toako peringatkan
lagi"gadis itu menghela napas pan jang, sambungnya,
akhir tahun berselang adikku telah datang dan
berkumpu1 dengan kami, dia bilang sewaktu berada di
tepi sungai Huang-ho telah memaksa Hoa toako sampai
mati, setelah mendengar berita itu ibu amat sedih hingga
muntah darah tak hen tinya, sejak itu hari kesehatan
ibuku jadi melorot sampai akhirnya adikku mengirim
surat lagi yang mengabarkan Hoa toako muncul kembali
di kota Cho ciu, saat itulah hati ibuku jadi lega dan
sakitpun berangsur-angsur pulih kembali seperti sedia
kala" "Ibumu terhitung ibu yang bijaksana, sungguh
membuat aku kagum, bila di kemudian hari ada jodoh
tentu akan kusambangi sendiri dia orang tua," kata sang
pemuda lirih. "Pek Soh-gie segera menyatakan rasa
terima kasih. "Setelah adikku mendapat peringatan dan teguran dari
ibuku, dia mulai menyesal terhadap perbuatan yang
pernah dilakukan dan bersumpah akan merubah
sikapnya yang jelek, dalam surat berikutnya dia telah
memuji-muji sikap Hoa toako yang gagah dan berjiwa
ksatria, tulisannya penuh mengandung pujian dan rasa
hormat...."
"Budak yang masih muda harus berwatak pendiam"
sela nenek baju abu-abu itu dari samping" kalau binal
memang sudah sewajarnya mendapat pendidikan yang
ketat!" Ucapan nenek memang benar!" kepada Hoa Thianhong
ia melanjutkan." adikku adalah sebangsa kaum
wanita, sedang Hoa toako adalah seorang lelaki sejati
yang berjiwa besar, kau pasti tak akan mendendam
terhadap dirinya bukan?"
"Kejadian toh sudah lewat, kenapa aku musti
mendendam?"
Nenek tua baju abu-abu itu menghabiskan kembali isi
cawannya, tiba-tiba ia bertanya, "Pek Soh-gie, seorang
diri engkau datang ke Timur, entah ada urusan apa?"
"Ibu mengetahui bahwa badai pembunuhan bakal
melanda dunia persilatan, karena kejadian itu hati beliau
merasa murung dan sela lu tak tenang, beliau telah
menulis sepucuk surat untuk ayahku dengan harapan
ayah bisa menyadari usia tuanya serta mengundurkan
diri dari masalah dunia, Soh-gie mendapat perintah untuk
menyampaikannya"
Nenek tua itu segera tertawa dingin.
"Heeh.... heeh.... kau anggap Pek Siau-thian mau
mendengarkan nasehat orang" ibumu memang berhati
mulia, sayang dia te lah salah mencari orang!"
"Menurut apa yang kuketahui," ujar Hoa Thian-hong
pula, "Pek lo pangcu amat sayang dan menghormati
istrinya, bahkan sayang sekali terhadap nona Soh-gie,
cuma...." "Cuma kenapa?" bentak nenek itu.
"Aaai....! Situasi dalam dunia persilatan dewasa ini
amat kalut dan rumit sekali, sekalipun Pek Lo pangcu
tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan pun
tindakannya tak akan bisa menyelamatkan badai
pembunuhan ini...."
Ia berhenti sebentar kemudian dengan wajah serius
terusnya, "Walaupun urusan sudah tak bisa ditolong lagi,
tapi cita-cita dan tujuan Pek Hujien serta nona Soh-gie
memang patut dihormati dan dipuji setinggi langit"
"Hmm....! rupanya tidak sedikit rahasia yang kau
ketahui!" seru nenek tua baju abu-abu itu dengan suara
dingin, "siang tadi aku lihat kau bicara lama sekali
dengan Giok Teng Hujin, ditinjau dari sikapmu yang
serius dan sungguh-sungguh rupanya banyak urusan
penting yang telah kalian bicarakan?"
Teringat pemandangan ketika ia sedang bercakapcakap
dengan Giok Teng Hujin di tepi pantai ombak
menggulung kencang, angin berhembus menderu-deru,
lagipula ada Soat-jie berjaga di pantai, sekalipun nenek
tua itu punya ketajaman telinga yang luar biasa rasanya
juga tak mungkin bisa mendengar pembicaraannya,
maka sambil tersenyum ia berkata, "Giok Teng Hujin
membicarakan tentang asal usulnya. Aaai.... perempuan
berwajah cantik seringkali bernasib jelek!"
Dari sikap pemuda itu, sang nenek tahu bahwa ia
tidak bicara jujur, dengan wajah gusar segera hardiknya,
"Kau berani bicara bohong?"
Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, pikirnya di
dalam hati, "Teka teki yang menyelimuti asal usul Giok
Teng Hujin, persoalan mengenai pedang emas jantan
dan betina serta Pui Che-giok asli dan gadungan
semuanya merupakan persoalan yang menyangkut
masalah besar dalam dunia persi1atan, lagi pula diba1ik
persoalan itu terdapat hal-hal yang bisa dipsrcaya dan
hal-hal yang pasti dicurigai, perduli siapakah nenek tua
ini rahasia besar tersebut tak boleh kubocorkan dengan
begitu saja."
Berpikir demikian, iapun lantas tertawa berhaha hihi
sambil berseru, "Hiiih.... hiiih.... nenek, maaf yaah,
berhubung soal ini menyangkut masalah besar dalam
dunia persilatan, maka terpaksa aku tak dapat
memberitahukan kepadamu"
"Kau sungguh-sungguh tak mau bicara?" hardik sang
nenek baju abu-abu dengan suara dingin matanya
memancarkan cahaya tajam dan menatap wajah pemuda
itu tak berkedip sementara tangannya diayun siap
menggaplok pipinya.
Hoa Thian-hong tersenyum.
"Nenek.... kalau mau pukul silahkan pukul, karena
urusan ini menyangkut rahasia dunia persilatan.... maka
apa boleh buat, aku tak berani banyak bicara"
Baik sang nenek baju abu-abu maupun Pek Soh-gie
jadi tertegun, kalau dilihat dari sikapnya yang penurut
terutama sewaktu diperintahkan untuk berlutut sambil
memegang nampan, tak sangka kalau pemuda itu jadi
berandal dan keras kepala sesudah berhadapan dengan
urusan yang serius.
Setelah tertegun beberapa waktu, nenek baju abu-abu
itu jadi marah, tegurnya, "Engkau tahu siapa aku?"
"Sekalipun aku sudah tahu siapakah nenek dalam
persoalan ini akupun tak berani bicara sembarangan"
Rupanya hawa gusar yang berkobar dalam dada
nenek tua itu sudah tak terbendung lagi, ia berteriak
kembali. "Kurang ajar.... dihadapan siapapun engkau sama saja
tak akan bicara....?"
"Benar, kecuali terhadap ibuku kepada si apapun aku
tak akan menjawab...."
Dengan gusar nenek baju abu abu itu segera bangkit
berdiri, ia mengetukkan toyanya ke tanah dan
membanting cawan sampai hancur kemudian
gembornya, "Bun Sian Ih sekarang ada dimana?"
Hoa Thian-hong jadi takut sekali, ia takut pipinya
digaplok lagi oleh nenek itu, buru-buru jawabnya, "Aku
sudah lama berpisah dengan ibuku sekarang aku benarbenar
tak tahu beliau berada dimana?"
"Hmm! telur busuk kecil, aku akan pergi mencari
ibumu, akan kulihat engkau mau bicara atau tidak?"
Sekali enjotkan badan tubuhnya sudah berada
puluhan tombak jauhnya dari tempat semula.
Hoa Thian-hong jadi amat gelisah, segera teriaknya,
"Eeei.... orang tua, kitab catatan Ci yu jit ciatku...."
"Nenekmu, apa itu Jit jiat pat ciat.... aku sama sekali
tak tahu maki sang nenek.
Dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan.
Hoa Thian-hong jadi melongo dan tak tahu apa yang
maa dilakukan, sambil memandang ke arah tenggara
pikirnya, "Kalau dia tak tahu dimanakah ibuku berada,
kenapa larinya menuju ke arah sana?"
Lewat beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar
Pek Soh-gie berbisik dengan suara lirih, "Hoa toako, hari
sudah hampir gelap, kau sudah makan belum?"
Hoa Thian-hong segera mendusin kembali dari
lamunannya, ia lihat udara benar-benar sudah gelap
gulita dan malam telah menjelang tiba, sedang ia sendiri
sambil memegang nampan masih tetap berlutut di atas
tanah, buru-buru si anak muda itu bangkit berdiri,
katanya, "Nona, silahkan duduk di atas batu!"
Pek Soh-gie menurut dan segera duduk, Hoa Thianhong
yang sudah lapar sekali tanpa sungkan-sungkan
segera menyambar semangkuk nasi dan menyikatnya
dengan lahap. Takaran perutnya tidak kecil lagi pula makannya cepat
sekali, dalam waktu singkat ia sudah menyikat habis
semua makanan yang ada. Setelah kenyang ia baru
letakkan nampan di samping sambil ujarnya, "Nona,
dewasa ini wilayah Kanglam sedang banyak persoalan,
tempat itu tidak aman dan berbahaya sekali, lebih baik
kau tak usah pergi kesana....!"
"Tapi aku harus bertemu dengan ayahku untuk
menyampaikan surat dari ibuku!"
"Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan ayahmu,
titipkan saja surat itu kepadaku agar aku yang
menyampaikan kepadanya, dengan begitu bukankah
nona tak usah pergi kesitu sendiri!"
"Hoa toako, dibalik perkataanmu aku dengar ada
maksud tertentu, bolehkah aku tahu lebih jelas lagi?"
tanya Pek Soh-gie tercengang.
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, ia
menjawab, Ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie
bernama Jin Hian, dia mempunyai seorang putra yang
bernama Jin Hiong mati di tangan seorang perempuan,
apakah nona tahu akan peristiwa ini?"
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku pernah dengar tentang peristiwa ini dari adikku,
apakah teka teki yang menyelubungi peristiwa
pembunuhan itu sudah berhasil dipecahkan....?"
"Peiistiwa itu sampai sekarang masih tertangguh dan
belum berhasil dipecahkan, Jin Hian menaruh curiga
bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh nona, tetapi
berhubung kekuatan dan perkumpulan Sin-kie-pang dan
Hong-im-hwie adalah seimbang ditambah pula masih ada
perkumpulan Thong-thian-kauw di samping maka
pertarungan untuk sementara waktu masih bisa
dihindari. Kendati begitu situasi dalam dunia persilatan
dewasa ini amat keritis dan berbahaya sekali pertarungan
setiap saat bisa berlangsung. Kepergian nona menuju ke
wilayah Kanglam boleh dibilang berbahaya sekali...."
000O0000 30 AKU keluar rumah baru pertama kali ini, aku tak
pernah melakukan kesalahan apa pun juga!" seru Pek
Soh-gie, "aku akan mengajak Jin Hian untuk
membicarakan persoalan ini sebaik-baiknya sehingga
urusan jadi jernih dan duduk perkara pun bisa dibikin
terang, aku tak ingin kesalahpahaman ini berlarut-larut
terus" Hoa Thian-hong menengadah dan menghela napas
panjang. "Aaaaai dalam menghadapi persoalan dalam dunia
persilatan, siapa kuat dia menang, sepatah dua patah
kata tidak cocok, mayat akan bergelimpangan dimanamana
dan darah akan mengalir memenuhi sungai,
menanti ceng li bisa dibikin terang saat itu semuanya
sudah terlambat"
"Perkataan dari Hoa toako memang tidak salah" ujar
Pek Soh-gie kemudian setelah berpikir sebentar. "Tetapi
sebelum berjumpa dengan ayahku, aku tetap merasa tak
lega hati, ditambah pula aku sudah rirdu sekali dengan
adikku, aku ingin sekali berjumpa muka dengan dirinya.
Mendengar ucapan itu, Hoa Thian-hong berpikir di
dalam hatinya, "Nona ini cuma tahu soal cengli dan
peraturan, tidak tahu bagaimana licik dan berbahayanya
manusia di kolong langit, kalau ku biarkan ia berkelana
seorang diri dalam dunia persilatan maka jiwanya setiap
saat tentu akan terancam oleh mara bahaya"
Tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berkata kembali.
"Apa rencana Hoa toako selanjutnya" Kau adalah
keturunan dari keluarga pendekar, ilmu silat yang dimiliki
sangat tinggi dan aku rasa musuh besarmu tentu tidak
sedikit bukan jumlahnya?"
"Benar, musuhku terbesar dimana-mana...." ia
menghela napas panjang dan melanjutkan," aku
bermaksud mengunjungi gunung Toa pa-san dan pergi
ke markas besar perkumpulan Sin-kie-pang!"
"Ayah dan adikku berada di wilayah Kanglam semua,
ada urusan apa Hoa toako hendak berkunjung ke gunung
Toa pa san?" tanya Pek Soh-gie dengan mata terbelalak.
"Aku punya sebilah pedang baja yang tertinggal di
dalam markas besar perkumpulan Sin-kie-pang, sekarang
senjata itu hendak kugunakan karena itu terpaksa harus
kucari kembali."
"Perjalanan teramat jauh, menuju kesana pun
membutuhkan banyak waktu, apakah tak bisa carikan
gantinya dengan senjata lain?"
Hoa Thian-hong menggeleng,
"Thong-thian Kaucu menggunakan sebilah pedang
'Boan liong poo kiam' yang teramat tajam, aku harus
menggunakan pedang baja yang berat untuk
menandinginya, sebab kalau tidak maka pedangku tentu
akan tergetar patah oleh pedang mustikanya!"
"Aaaah....! Thong-thian Kaucu adalah seorang tokoh
silat yang amat tersohor di kolong langit, apakah Hoa
toaku harus bertempur melawan dia....?"
"Ehmm, meskipun tenaga dalamnya sempurna dan
ilmu silatnya tinggi, seandainya senjata andalanku bisa
kutemukan kembali, maka aku mampu untuk bertarung
melawan dirinya"
Sambil loncat bangun sambungnya kembali,
"Persoalan sudah ada di depan mata, aku tak berani
membuang waktu dengan percuma lagi.... Nah selamat
tinggal...."
"Eeeei.... tunggu sebentar!" seru Pek Soh-gie setelah
tertegun beberapa saat lamanya, gerakan tubuh yang
dimiliki nenek tadi cepat sekali, sayang toako telah
menyalahi dirinya...."
"Percuma orang tua itu terlalu sombong dan tinggi
hati, ia tak mampu membantu apa-apa terhadap diriku,
apakah nona sudah pasti akan berangkat ke Timur?"
"Benar, aku rasa tidak baik kalau urungkan maksud di
tengah jalan," setelah berpikir sebentar, ia
menambahkan, "Perjalananku lambat sekali, sekalipun
ingin balik juga tak mungkin bisa mendampingi Hoa
toako.... bila urusan memang sudah kritis sekali, salahkan
toako berangkat lebih dahulu!"
"Keempat orang jago dari perkumpulan) Hong-im-hwie
tadi tentu sudah menantikan kedatanganmu disebe1ah
depan sana, nona lebih baik menyingkir saja daripada
harus berjumpa dengan orang-orang itu"
"Siau li akan menuruti perkataan dari toako!"
Untuk sesaat dua pasang mata saling bertemu dan
memancarkan rasa berat hati untuk berpisah kemudian
menunduk dan sama-sama membungkam.
Lama sekali suasana jadi hening, tiba-tiba Hoa Thianhong
menengadahkan dan berkata, "Nona, baik-baiklah
jaga diri, aku mohon diri lebih dahulu"
Dalam waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap
dibalik kegelapan malam yang mencekam seluruh jagad,
angin berhembus sepoi-sepoi mengibarkan ujung baju
Pek Soh-gie yang berdiri seorang diri.... ia begitu polos
dan sama sekali tak nampak genit, begitu tenang dan
kalem seakan-akan tak tahu betapa licik dan
berbahayanya kehidupan manusia di kolong langit....
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya ia putar
badan dan berangkat menuju ke arah timur laut
meskipun perjalanan dilanjutkan dengan ilmu
meringankan tubuh namun sikapnya masih tetap tenang
dan sama sekali tidak menunjukkan tergesa-gesa atau
gelisah. Tiba-tiba dari balik kegelapan malam yang mencekam
seluruh jagad, muncul empat sosok bayangan manusia
yang menghadang jalan perginya.
Buru-buru Pek Soh-gie menghentikan langkahnya dan
memandang ke depan, setelah mengetahui bahwa
keempat orang itu bukan lain adalah empat orang yang
selama ini membuntuti perjalanannya, ia segera memberi
hormat dan menyapa, "Saudara-saudara sekalian ada
urusan apa menghalangi jalan pergiku" Kalau ada
persoalan harap segera diutarakan keluar"
"Kami rasa nona sudah tahu tentang asal usul kami
semua bukan?" ujar kakek baju hitam yang ada disebelah
kiri. "Jika kutinjau dari pembicaraan kalian yang seringkali
mengungkap tentang Tang-kee kalian, aku juga saudara
berempat tentulah para enghiong dari perkumpulan
Hong-im-hwie, bukan begitu?"
Rupanya kakek baju hitam itu adalah pemimpin
rombongan diantara keempat orang itu, ia segera
menjawab, "Tebakan nona sedikitpun tidak salah, kami
berempat memang saudara-saudara dari perkumpulan
Hong-im-hwie, lalu tahukah nona apa maksud kami
datang kemari?"
"Itulah yang tidak kuketahui! Sedari wilayah Kanglam
sampai ke tempat ini, saudara berempat selalu mengikuti
di belakang siaute, bolehkah aku tahu apa maksud kalian
semua?" "Cong Tang-keeh kami ada sedikit urusan hendak
ditanyakan Kepada nona, maka dari itu kami berempat
sengaja ditugaskan untuk datang mengundang kehadiran
nona, tetapi berhubung nona adalah kaum wanita yang
patut dihormati maka selama ini kami tak berani
mengganggu secara gegabah!"
"Kalau begitu, siaute ucapkan banyak terima kasih
atas kebaikan hati saudara berumpat"
"Nona tak usah mengucapkan terima kasih kepadaku,
kini situasinya agak berbeda dan terpaksa kami harus
menyalahi diri nona.
"Jadi apa maksud kalian semua?" seru Pek Soh-gie
dengan mata terbelalak.
Kakek baju hitam itu tertawa kering.
"Haaah.... haaah.... haaah.... dari sini menuju ke timur
kita akan bertemu dengan para enghiong dari peibagai
aliran, kami tahu bahwa kedudukan nona sangat
terhormat, asal telah bertemu dengan anak buah dari
perkumpulan Sin-kie-pang, maka dengan andalkan muka
, kami tak mungkin undangan kami bisa dipenuhi oleb
nona" "Kalau tidak kupenuhi bagaimana?"
Kakek baju hitam itu tertawa terbahak-bahak.
"Haaah.... haaah.... haaaah.... kalau kami gagal untuk
mengundang kehadiran nona, terpaksa kita musti
menanggung dosa dan harus menerima pancung kepala"
Tertegun hati Pek Soh-gie mendengar ucapan itu.
"Kalau memang begitu, aku akan mengikuti saudara
sekalian untuk berjumpa dengan Jin Loo enghiong!"
katanya. "Oooh.... nona sungguh berbesar hati, kami ucapkan
banyak terima kasih lebih dahulu"
Bicara sampai disini kakek baju hitam itu segera
berpaling, dan memberi tanda kepada salah seorang pria
berpakaian ringkas yang ada disisinya....
Pria baju ringkas itu Segera mengangguk dan
menggerakkan tubuhnya, sekali lompat ia sudah berada
di samping tubuh Pek Soh-gie, jari tangannya bagaikan
sebatang tombak langsung menotok jalan darah cian ji
hiat di tubuh gadis itu.
Pek Soh-gie terperanjat, tubuhnya laksana kilat
menyingkir ke samping, lima jari di pentang dan baru
balas menyambar urat nadi dipergelangan pria baju
ringkas tadi. Kebutan lima jarinya ini sepintas lalu nampak enteng
dan lambat, tetapi penggunaan waktu dan ketelitian
arahnya ternyata luar biasa sekali, andaikata pria baju
ringkas itu tidak segera batalkan ancaman-nya maka dia
tentu akan tersambar oleh ujung jari Pek Soh-gie.
"Oooh.... kepandaian itu adalah ilmu andalan dari Kho
Hong Kui tempo hari!" terdengar kakek baju hitam yang
lain berseru, "ilmu silat keluarga kenamaan memang luar
biasa sekali!"
Sementara itu pertarungan di tengah kalangan sudah
berlangsung lima jurus banyaknya, seharusnya ilmu silat
yang dimiliki pria baju ringkas itu masih bukan tandingan
dari Pek Soh-gie, sayang sekali dalam setiap
serangannya gadis itu hanya berusaha untuk
memunahkan ancaman lawan sambil melakukan
pertahnan diri belaka, tak satu jurus seranganpun yang
ditujukan untuk merobohkan musuh, dalam keadaan
begini walaupun pria baju ringkas tadi tak mampu
merebut kemenangan namun keadaannya tetap
seimbang dan siapapun tak bisa merubuhkan lawannya.
Setelah menyaksikan jalannya pertarungan beberapa
saat, kakek baju hitam yang memegang komando itu
mengerutkan alisnya, ia memberi tanda kepada pria baju
ringkas lainnya.
Pria tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun
segera menerjang masuk ke dalam gelanggang.
Dalam waktu singkat dua orang pria kekar itu segera
mengerubuti seorang gadis yang cantik jelita dengan
ketat. Pek Soh-gie yang baru pertama kali bergebrak
melawan orang melayani serangan-serangan musuhnya
dengan serius dan penuh ketegangan, semua serangan
yang dilancarkan hanya ditujukan untuk memunahkan
ancaman serta melakukan pertahanan diri, rupanya ia
memang tak mampu melakukan serangan balasan.
Tiba-tiba terdengar kakek baju hitam yang lain
berkata, "Ang Jit ko, tadi setelah bajingan cilik itu
meringkus tiga orang toojin dari perkumpulan Thongthian-
kauw, ketiga orang hidung kerbau itu pasti tak mau
sudahi persoalan itu sampai disitu saja, urusan dinas kita
penting sekali, lebih baik cepat-cepat kita ringkus orang
itu dan melaporkan kepada Tang-kee kita!"
Benar, ayoh kita turun tangan!" jawab kakek baju
hitam yang satu sambil mengangguk.
Tubuhnya segera menerjang ke depan, telapak
tangannya menyambar dan membacok tubuh gadis itu.
Pek Soh-gie yang sedang bertempur dengan serunya
melawan dua orang musuh, jadi amat terperanjat ketika
munculnya segulung desiran angin tajam yang
mengancam punggungnya.
Ia segera tekuk pinggang, bungkukkan badan lalu
loncat maju ke depan, sepasang telapak disilangkan ke
samping membendung datangnya ancaman itu.
Kakek baju hitam kedua selama ini hanya berdiri di sisi
lapangan segera ikut menerjang pula ke depan setelah
menyaksikan kelincahan dan kegesitan gerak tubuh
musuhnya, telapak tangan bagaikan golok langsung
membacok kemuka.
Dalam waktu singkat empat orang pria kekar bersamasama
turun tangan mengerubuti seorang gadis cantik,
hal ini membuat dara ayu itu jadi kerepotan dan musti
loncat ke kanan berkelit ke kiri untuk meloloskan diri dari
ancaman. Diam-diam Pek Soh-gie jadi gelisah melihat keadaan
itu, cepat teriaknya dengan suara lantang, "Saudarasaudara
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekalian adalah orang gagah dari dunia
persilatan, masa kalau ingin bertarung musti main
kerubut" Hey.... kalian tahu akan peraturan Bulim atau
tidak?" Kakek baju hitam yang memberi komando itu segera
tertawa dingin.
"Ayahmu sendiri juga suka berbuat demikian, apa
salahnya kalau kami pun meniru cara ayahmu itu" Kalau
nona ingin bicara tentang cengli, lebih baik bicarakan
saja persoalan ini dengan ayahmu di kemudian hari!"
"Hmm! Sedari tadi aku sudah tahu kalau kalian adalah
manusia-manusia yang menggemaskan dan tak tahu
dirif" tiba-tiba terdengar seseorang membentak dengan
penuh kegusaran.
Di tengah kegelapan meloncatlah keluar sesosok
bayangan manusia, dia bukan lain adalah Hoa Thianhong,
dengan serangan jari di tangan kanan serangan
telapak di tangan kiri serentak dia lancarkan serangan
secara berbareng.
Plooook....! telapak kirinya dengan telak bersarang di
atas bahu pria baju ringkas yang berada di hadapannya
membuat tulang bahu pria itu terpukul hancur dan
menjerit kesakitan, tubuhnya terlempar sejauh beberapa
tombak dari tempat semula.
Sebaliknya totokan tangan kanannya segera
mengakibatkan jeritan ngeri yang menyayatkan hati
bergema di angkasa, kakek baju hitam yang turun
tangan belakangan tiba-tiba mundur sempoyongan ke
belakang dengan tubuh gemetar keras, kemudian
badannya roboh terjengkang ke atas tanah dan binasalah
seketika itu juga.
Hoa Thian-hong jadi sangat terperanjat, tiga jurus
ilmu totokan 'menyerang sampai mati' yang dipelajari
dari kitab Ci yu jit ciat itu sebenarnya hendak diturunkan
kepada Bong Pay tempo hari, sewaktu bergebrak
melawan Yan-san It-koay ia pernah menggunakannya
satu kali, tapi karena kepandaian silat yang dimiliki Yansan
It-koay jauh lebih tinggi daripada dirinya, maka
keampuhan dari tiga jurus totokan itu tidak terlihat.
Siapa tahu serangan yang dilancarkan saat ini tanpa
maksud apa-apa telah mengakibatkan kematian dari
musuhnya, hal ini membuat dia jadi melongo dan berdiri
tertegun. Semua kejadian berlangsung dalam sekejap mata,
ketika jeritan ngeri itu berkumandang di angkasa kedua
belah pihak sama-sama terperanjat dan pertempuranpun
terhenti untuk sementara waktu.
Dalam hati Hoa Thian-hong segera berpikir, "Jin Hian
adalah seorang manusia yang licik dan berbahaya,
dengan pembunuhan yang kulakukan sekarang berarti
antara kita berdua sudah terikat oleh dendam, kenapa
aku tidak bunuh sekalian keempat orang ini sehingga
persoalan untuk sementara waktu bisa ditutup...."
Setelah ambil keputusan di dalam hati, nafsu
membunuh seketika menyelimuti seluruh wajahnya,
dengan ganas ia terjang kakek baju hitam yang memberi
komando itu. "Hoa toako, jangan turun tangan keji!" teriak Pek Sohgie
secara tiba-tiba.
"Eeei.... aneh benar nona ini," batin pemuda itu dalam
hati, "aku bantu dirinya untuk mengusir musuh, dia
malah mintakan ampun bagi musuh-musuhnya"
Tangan kanan bagaikan pagutan ular berbisa, laksana
kilat segera menyeruduk ke depan.
Melihat datangnya ancaman totokan jari yang begitu
aneh, kakek biju hitam itu jadi terkesiap karena dia tak
tahu bagaimana caranya untuk memunahkan ancaman
tersebut, dalam gugupnya pinggang segera dite-kuk dan
ia jatuhkan diri berguling di atas tanah, dengan suatu
gerakan yang manis kakek itu melepaskan diri dari
ancaman dan menggulung sampat sejauh satu dua
tombak dari tempat semula.
Tentu saja Hoa Thian-hong tidak mengijinkan
lawannya kabur dengan begitu saja, kakinya segera
melangkah ke depan dan dalam waktu singkat ia sudah
berada di depan tubuhnya, dua jari ditekuk dan langsung
menotok tubuh lawannya.
"Hoa toako...." tiba-tiba Pek Soh-gie berteriak.
Bentakan keras bergema di angkasa, pria baju ringkas
yang masih segar tiba-tiba maju menyerang dari
belakang. Hoa Thian-hong sama sekali tak pandang sebelah
matapun terhadap datangnya ancaman itu, telapak kiri
diayun kemuka dan dengan jurus Kun-siu-ci-tauw, ia
sambut datangnya serangan itu.
Tenaga pukulan yang dipancarkan dari telapak kirinya
jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan kekuatan
serangan ketiga jari tangan kanannya, serangan yang
dilancarkan laksana kilat itu dengan telak bersarang di
atas tengkuk pria baju ringkas itu.
"Aduuuh....!" jerit kesakitan berkumandang di
angkasa, tubuh pria itu terpental ke udara dan segera
roboh terjengkang di atas tanah,
Karena harus dibaginya kekuatan serangan ini,
datangnya serangan jari di tangan kanannya jadi lebih
terlambat dari gerakan semula, menggunakan
kesempatan itulah kakek baju hitam tersebut mendorong
telapak nya ke depan lalu mengundurkan diri dari sana.
"Hmmm.... mau lari kemana?" jengek Hoa Thian-hong
sambil tertawa dingin, "kau tak bisa diampuni....!"
Bagaikan bayangan tubuhnya segera mengejar ke
depan. Tenaga dalam yang dimiliki si anak muda ini telah
mendapat kemajuan yang amat pesat, serangan yang
dilancarkan pada saat ini sukar ditandingi oleh manusia
biasa. Kakek baju hitam itu tahu bahwa dirinya bukan
tandingan lawan, melihat pemuda itu mengejar terus
sadarlah dia bahwa sulit bagi dirinya untuk melepaskan
diri. Dalam nekadnya ia segera membentak keras, telapak
tangan didorong berbareng dan sambil mengerahkan
segenap kekuatan yang dimilikinya ia hajar si anak muda
itu. Hoa Thian-hong mendengus dingin, telapak kiranya
diayun menerima datangnya serangan tersebut dengan
keras lawan keras. Blaam di tengah bentrokan nyaring
kakek baju hitam itu mundur dua langkah ke belakang
dengan sempoyongan, sepasang kakinya jadi lemas dan
robohlah ia ke atas tanah.
Tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong sekarang
amat sempurna sekali, pukulan itu menggetarkan sekujur
tubuh kakek baju hitam tadi sehingga isi perutnya
bergeser semua dari tempat semula, pandangan
matanya jadi gelap dan tak tahan lagi ia muntah segar,
jelas luka dalam yang dideritanya teramat parah.
Hoa Thian-hong maju ke depan sambil ayun
tangannya, tapi tangan itu diturunkan lagi, pikirnya.
"Seharusnya aku tak boleh melepaskan mereka
berempat barang seorangpun, tetap membunuh orang
yang sudah tak punya kekuatan untuk melawan adalah
suatu perbuatan yang melanggar semangat jantan
seorang pendekar sejati....
"Hmm! apa yang musti kulakukan?"
Tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berkata dengan nada
lembut, "Hoa toako, apakah beberapa orang ini hendak
kau bunuh?"
"Siaute masih muda dan tak tahu urusan harap nona
tak usah sungkan-sungkan kalau ingin bicara"
Pek Soh-gie mengerutkan dahinya lalu maju selangkah
ke depan, ujarnya, "Diantara keempat orang itu ada satu
sudah mati terbunuh sedang sisanya terluka parah, Hoa
toako! bagaimana kalau engkau bermurah hati serta
mengampuni jiwa mereka untuk kali ini saja?"
"Mereka sudah kenal siapa aku, bila kulepaskan
mereka pergi maka Jin Hian pasti tak akan menyudahi
persoalan ini...."
Pek Soh-gie tundukkan kepalanya setelah mendengar
ucapan itu, kepada kakek baju hitam itu segera tegurnya,
"Kau kenal dengan kongcu ini?"
"Kakek baju hitam itu meronta bangun, sorot mata
penuh kebencian memancar keluar dari balik matanya,
sambil menggigit bibir dia menjawab, "Hmm! telapak kiri
Hoa Thian-hong.... sampai matipun aku tetap ingat."
Pek Soh Oie jadi tertegun mendengar perkataan itu,
meskipun ia berhati Welas dan tak suka membunuh
orang, tetapi diapun merasa tak leluasa untuk memaksa
Hoa Thian-hong melepaskan harimau pulang gunung,
apalagi kalau sampat menanam permusuhan dengan
orang. Tiba-tiba terdengar Hoa Thian-hong berkata dengan
suara hambar, "Mengingat kau tidak takut mati dari
masih terhitung sebagai seorang pria sejati, ini hari aku
orang she Hoa mengampuni selembar jiwamu, setelah
pulang katakan kepada Jin Hian bahwa dibalik peristiwa
pembunuhan itu masih terdapat hal-hal yang lain.
pembunuhnya adalah orang lain yang jauh diluar
dugaannya, bila kami berjumpa lagi di kemudian hari
akan kujelaskan sendiri persoalan itu kepadanya"
Sementara itu dua pria baju ringkas yang terkejar oleh
Hoa Thian-hong tadi, yang satu menderita patah tulang
kaki sedang yang lain menderita patah tulang tangan,
berhubung pemimpin mereka belum mati maka
merekapun tak berani kabur lebih dahulu, kini setelah
mendengar ucapan tersebut, mereka baru maju ke
depan membopong tubuh kakek tadi kemudian kabur
dari situ. Menanti ketiga orang itu sudah pergi jauh, Pek Soh-gie
baru maju ke depan sambil berkata, "Hoa toako, kenapa
kau balik lagi setelah pergi?"
"Sejak tadi aku sudah melihat kalau keempat orang itu
sedang berjaga-jaga di sekitar tempat ini, karena itu aku
tidak pergi terlalu jauh"
Perlahan-lahan mereka lanjutkan perjalanan ke depan,
sambil tundukan kepalanya Pek Soh-gie berkata, "Terima
kasih atas pertolongan dari toako...."
Hoa Thian menghela napas panjang.
"Aaaai....! Urusan sepele kenapa musti dipikirkan
terus?" Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Bertempur
adalah suatu kejadian yang tak kenal akan belas kasihan,
dalam menghadapi serangan musuh kita harus berusaha
membuat posisi di atas angin, jangan hanya bertahan
melulu tanpa melakukan serangan, sebab jika kau
bertindak begitu maka menang tak mungkin bisa diraih,
bila kau kehabisan tenaga maka saat itulah kematian
akan membayangi dirimu.
"Aku hanya bisa bertahan, tak bisa melancarkan
serangan balasan" sahut Pek Soh-gie dengan kepala
tertunduk, "Ilmu silat macam apapun bisa digunakan untuk
bertahan maupun menyerang, asal kau punya niat untuk
memukul orang maka serangan bisa kau lancarkan
dengan segera"
"Tapi aku tak ingin pukul orang"
"Aaai....! Kau tak ingin pukul orang, sebaliknya orang
lain ingin memukul dirimu, selama manusia masih hidup
di kolong langit maka dia harus berusaha untuk
mempertahankan diri, manusia itu berhati dengki dan
penuh kebusukan, bila kau mudah dianiaya maka yang
rugi akhirnya adalah engkau, sendiri, apakah kau ingin
mati dengan penasaran?"
"Aku bisa mempertahankan diri dengan sepenuh
tenaga!" bisik gadis itu.
"Nona ini punya watak suka damai.... lumrahnya tabiat
itu sukar dirubah...." pikir pemuda itu.
Dalam pada itu Pek Soh-gie sudah menengadah ke
atas dan memandang wajah si anak muda itu dengan
sepasang biji matanya yang bening, kemudian ujarnya,
"Hoa toako, ada permusuhan apa antara engkau dengan
Thong-thian Kaucu....?"
"Thian Ik-cu sitosu tua itu adalah salah satu diantara
pembunuh ayahku....!"
Pek Soh-gie membungkam sejenak, selelah berpikir ia
berkata kembali, "Daerah kekuasaan perkumpulan
Thong-thian-kauw amat luas dan pengikutnya banyak
sekali, dengan kekuatan Hoa toako seorang, mana kau
mampu menandingi dirinya" Aku lihat lebih baik engkau
cari ayahku saja serta merundingkan suatu siasat yang
bagus untuk menyelesaikan persoalan ini...."
Hoa Thian-hong tertawa nyaring dan segera
gelengkan kepalanya.
"Persoalan yang terjadi dalam dunia persilatan
seringkali didasarkan pada budi dan dendam,
bagaimanakah keadaannya sukar ditebak secara jitu,
sekalipun memandang di atas wajah nona mungkin
ayahmu suka menolong aku, tapi aku rasa ayahmu tak
akan sudi bentrok secara langsung dengan orang-orang
dari perkumpulan Thong-thian-kauw"
Merah padam selembar wajah Pek Soh-gie setelah
mendengar perkataan itu, bisiknya kemudian, "Adikku
sangat mengagumi diri pribadi Hoa toako, dia pasti akan
membantu diri toako untuk mewujudkan cita-cita
tersebut, aku rasa ayah yang amat mencintai adikku
pasti akan mengabulkan permintaannya.... tentang soal
ini aku rasa toako tak perlu pusing kepala"
"Huuh.... mana kau tahu tentang peristiwa yang baru
saja lewat, berhubung pinangan ayahmu yang kutolak,
mungkin karena cinta bisa berubah jadi dendam," pikir
Hoa Thian-hong, "hal ini semakin tak mungkin terjadi
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi...." Tiba-tiba terdengarlah suara irama musik dan
tetabuhan berkumandang datang dari kejauhan, dari
ujung jalan raya sebelah tenggara muncullah beberapa
titik cahaya lampu.
Pek Seh Gie angkat kepala memandang sekejap ke
arah pemuda itu, lalu katanya, "Toako, kalau kau ada
urusan lebih baik berangkatlah lebih dahulu.... jangan
karena aku urusanmu jadi berabe...."
"Hehmm.... aku akan menghantar nona beberapa jauh
lagi. "Bagaimana kalau kita bersama menemui ayah" Aku
akan suruh dia orang tua untuk mengutus seseorang
pulang ke markas besar serta ambilkan pedang baja milik
toako?" Hoa Thian-hong tertawa.
"Pedang baja itu terjatuh ke tangan seorang manusia
aneh yang bernama Ciu It-bong, orang itu ada
permusuhan dengan ayahmu, aku rasa tidak gampang
untuk merampas kembali pedang bajaku itu...."
Mendadak dia angkat kepala dengan wajah tertegun,
kiranya dari arah depan muncullah delapan orang tosu
cilik berusia dua belas tahunan yang memakai jubah
warna putih, di tangan mereka masing-masing
memegang sebuah lampu lentera, dibelakangnya
mengikuti pula delapan orang tosu cilik berjubah kuning,
di tangan mereka memegang alat musik dan sambil
memainkan alat tetabuhan itu selangkah demi selangkah
mereka berjalan mendekat.
Di belakang keenam belas orang tosu cilik tadi
mengikuti pula delapan orang tosu berjubah merah yang
pada bahunya tergantung sebilah pedang pendek, usia
mereka rata-rata diantara empat lima belas tahunan, dan
pada barisan paling belakang mengikuti pada sebuah
tandu kecil yang digotong oleh empat orang tosu cilik
berjubah kuning.
Di atas tandu duduklah seorang tosu tua yang
rambutnya berwarna keperak-perakan, dua orang tosu
baju merah yang berusia tanggung mengikuti di kedua
belah samping tandu tersebut, di tangan mereka yang
seorang memegang sebilah senjata Ji gi berwarna hijau
kumala sedang yang lain membawa sebilah pedang
mustika. Beberapa saat kemudian kedua bilah pihak sudah
semakin mendekat, terlihatlah tosu tua yang duduk di
atas tandu kecil itu punya muka yang merah segar
bagaikan bayi, sepasang alisnya yang putih bergoyang
dan matanya memandang ke depan dengan sorot cahaya
tajam Sekejap mata kedelapan buah lampu lentera itu telah
menyebarkan diri ke kedua belah samping, permainan
musikpun tiba-tiba berhenti.
Pek Soh-gie segera menggeserkan badannya
mendekati Hoa Thian-hong, bisiknya lirih, "Toako,
rupanya ada urusan lagi?"
"Benar!" jawab Hoa Thian-hong sambil tersenyum,
"rupanya mereka sengaja datang untuk mencari garagara
dengan kita...."
Sementara itu tanda telah berhenti, tosu tua itu
menekuk pinggangnya dan bangkit berdiri, tosu cilik yang
membawa senjata Ji gi serta Poo kiam tadi segera berdiri
di kedua belah sisinya.
Tosu tua itu membuka matanya, sambil memandang
ke arah Hoa Thian-hong dengan sorot mata tajam ia
menegur, "Ooh, jadi kau adalah Hoa Thian-hong putra
dari Hoa Goan-siu" Kenapa wajahmu kotor kakimu
telanjang dan pakaianmu tidak genah?"
Hoa Thian-hong tersenyum.
"Dan kau sendiri" Apakah Thian Ik tosu tua dari
perkumpulan Thong-thian-kauw" Kenapa lagakmu seperti
pembesar korup begitu?"
"Kurangajar!" bentak tosu cilik yang membawa senjata
Ji gi di belakang tosu tua itu. "Berhadapan dengan
Kaucu, kau berani kurangajar.... ayoh berlutut!"
"Oooh.... rupanya benar-benar tosu Siluman ini," pikir
Hoa Thian-hong di dalam hati, "aku harus tetap bersikap
tenang dan jangan menyebut dulu soal dendam
ayahku...."
Berpikir sampai disitu dia pun tertawa, katanya,
"Pangcu dari perkumpulan Sin-kie-pang serta Cong Tangkee
dari perkumpulan Hong-im-hwie sudah kutemui
beberapa kali, mereka semua tak seorangpun yang
bersikap lucu dan membadut seperti ketua dari
perkumpulan Thong-thian-kauw ini"
"Haaah.... haaaah.... haaaah...." kaucu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw itu segera tertawa
terbahak-bahak, tukasnya, "perkumpulan kami adalah
perhimpunan suatu agama, jauh berbeda kalau
dibandingkan dengan Sin-kie-pang ataupun Hong-imhwie,
kami sengaja berbuat demikian demi laki
perempuan penganut agama kami, tiupan terompet dan
pukulan genderang adalah demi mengundang perhatian
dari para penganut agama kami.... tentu saja
keadaannya berbeda jauh sekali"
"Oooh, kiranya begitu," ujar Hoa Thian-hong sambil
tersenyum. "Kaucu tidak bersemayan dalan kuil It-goanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
koan untuk menyucikan diri, mau apa engkau berkunjung
kesini?" Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw itu
mengelus jenggotnya dan menjawab.
"Tempat bersemayanku tidak jauh letaknya dari
tempat ini, kuil It-goan-koan hanya kugunakan sebagai
tempat penyebaran agama kami, tempat itu bukan
tempat kediamanku....
"Kaucu," tukas Hoa Thian-hong sebelum iman tua itu
menyelesaikan kata-katanya. "pasukan musuh telah
masuk ke wilayah kekuasaanmu, engkau bukannya
pusing kepala menyusun siasat dan rencana untuk
menghadapi serangan total itu, enaknya saja hidup
senang di dalam rumah, apakah kan hendak menunggu
sampai pasukan musuh telah tiba diambang pintu, kau
baru buka pintu benteng untuk menyerah?"
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah.... haaah. .haaaah.... bulan tujuh tanggal lima
belas nanti, pinto akan membuka suatu pertemuan besar
Kian ciau tay bwee di See thian, pada waktu itu aku
mengharapkan pelbagai orang gagah dari segala lapisan
masyarakat bisa ikut menghadiri pertemuan tersebut.
Undangan buat saudara kecil telah kami sampaikan dan
sekarang disimpan oleh Ciong Lian-khek....!"
Ia berhenti sebentar, lalu sambil tertawa tergelak
lanjutnya, "Saat ini pelbagai orang gagah di kolong langit
sedang siapkan kuda melatih tentara agar bisa
memperlihatkan kelihaiannya dalam pertemuan besar itu,
saudara cilik, kenapa kau masih berlarian di tempat
luaran" Kalau sampai jiwamu melayang, pertemuan
besar Kian ciau tay hwee pasti akan keku-rangan kau
seorang.... waaah! Kalau sampai begitu suasana tentu
kurang meriah"
"Bulan tujuh tanggal lima belas?" tanya Hoa Thianhong
dengan alis berkerut." bukankah berarti tinggal
delapan hari lagi?"
Sambil tertawa Thong-thian Kaucu mengangguk.
"Betul, selama beberapa hari ini sebagai besar para
orang gagah dari kolong langit telah berdatangan semua
kemari" "Senja tadi, aku telah menyalahi tiga orang muridmu,"
ujar sang pemuda sambil tersenyum.
"Aaai.... itu bukan soal besar" tukas sang kaucu sambil
tertawa. "Mereka berani mencari gara-gara dengan
dirimu, itu berarti bahwa mereka tak tahu diri. Manusia
yang tak tahu dari memang sudah sepantasnya kalau
diberi hukuman"
Setelah tertawa tergelak, lanjutnya, "Kalau
dibandingkan terhadap beberapa orang dari Hong-imhwie,
saudara cilik sudah bersiap lebih murah hati
terhadap mereka, disini pinto ucapkan banyak terima
kasih terlebih dahulu"
Selesai berkata ia segera memberi hormat.
Hoa Thian-hong balas memberi hormat, mereka
berdua bicara dan bergurau dengan bebasnya seakanakan
dua sahabat lama yang saling bertemu lagi setelah
lama berpisah. Thong-thian Kaucu alihkan sorot matanya ke samping,
sambil memandang wajah Pek Soh-gie dengan muka
berseri-seri serunya. "Siapa nona ini" wajahnya cantik
jelita bagaikan bidadari sedang pakaiannya sederhana
sekali, sampai pinto sendiripun tak bisa menebak asal
usulnya" Menyaksikan tingkah laku iman tua itu sedikit kurang
beres, Pek Soh-gie tak sudi menjawab. Ia segera
melengos dan memandang ke arah Hoa Thian-hong yang
berada di sisinya.
Hoa Thian-hong dapat menangkap maksud hati gadis
itu, dengan wajah dingin jawabnya, "Dia adalah putri
kesayangan dari Pek loo pangcu dari perkumpulan Sinkie-
pang, lebih baik pangcu tak usah banyak bertanya"
Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw ini benarbenar
bermuka tebal, bukan gusar malah dia tertawa.
"Sudah lama aku dengar katanya Pek Siau-thian
mempunyai sepasang putri kembar yang memiliki raut
wajah cantik jelita, raut wajah nona ini mirip sekali
dengan wajah Pek Kun-gie yang seringkali berkelana di
dalam dunia persilatan, apakah dia adalah siputri sulung
nona Soh-gie?"
"Hmmm.... sungguh banyak utusan yang diketahui
kaucu, tidak salah nona ini memang nona Pek Soh-gie"
"Kalau memang begitu sungguh aneh sekali," kata
Thong-thian Kaucu dengan alis berkerut, "sudah lama
aku dengar berita yang tersiar dalam Bulim mengatakan
bahwa antara saudara cilik dengan Pek Kun-gie dari
bermusuhan akhirnya berubah jadi sahabat dan
kemudian jadi sahabat kental, kenapa sekarang malah
melakukan perjalanan bersama dengan si sulung?"
Hawa amarah kontan membakar dalam dada Hoa
Thian-hong sesudah mendengar perkataan itu, pikirnya
di dalam hati, "Thian Ik si hidung kerbau ini adalah salah
seseorang diantara pembunuh ayahku, cepat atau lambat
aku akan mencabut pula selembar wajahnya, kenapa aku
musti memburu napas pada saat ini....?"
Ia tahu gelagat serta enteng beratnyan urusan,
setelah berpikir begitu hawa amarah pun segera ditekan
kembali, ujarnya dengan suara ketus.
"Urusan pribadi dari aku orang she Hoa lebih baik tak
usah dicampuri oleh Kaucu, saat pertemuan pada bulan
tujuh tanggal lima belas sebentar lagi sudah tiba, bila
perkataan dari kaucu belum selesai maka silahkan
dilanjutkan pada pertemuan Kiam ciau tay hwee nanti!"
Kepada Pek Soh-gie serunya.
"Nona mari kita pergi"
Gadis itu mengangguk, mereka berdua segera putar
badan dan berlalu dari situ.
Tiba-tiba Thong-thian-kauw mengerdipkan matanya ke
kiri dan kanan, seketika itu juga terdengarlah desiran
angin tajam menderu-deru, delapan orang tosu cilik
berbaju merah segera menyebarkan diri di tengah jalan
dan menghadang jalan pergi kedua orang itu dengan
pedang pendek terhunus ditangan.
Di bawah sorot cahaya bintang tampaklah sinar tajam
yang mengilaukan mata memancar keudara, rupanya
pedang pendek yang berada di dalam genggaman
kedelapan orang tosu cilik jubah merah itu merupakan
senjata mustika yang tajam sekali.
0000O0000 31 TERDENGARLAH Thong-thian Kaucu angkat kepala
dan tertawa terbahak-bahak, suaranya keras hingga
menggetarkan seluruh jagad, ia berkata, "Hoa Thianhong,
kau jangan gegabah dan bertindak seenaknya
sendiri, ketahuilah bahwa ilmu silat yang kau miliki
sekarang masih belum mampu digunakan untuk
menerobos pertahanan ilmu barisan Kan lee kiam tin dari
pun kaucu ini!"
"Ilmu barisan Kan lee kiam-tin?" tanya sang pemuda
dengan alis berkerut, "belum pernah kudengar nama
barisan itu!"
"Kalau engkau tak puas, silahkan untuk mencobanya
sendiri!" Hoa Thian-hong mendengus dingin, sorot matanya
menyapu sekejap sekeliling tempat itu, rupanya dalam
waktu yang amat singkat itulah kedelapan orang tosu
cilik berjubah merah itu telah menyebarkan diri ke
sekeliling kalangan, setiap orang menyilangkan
pedangnya di depan dada dan berdiri tegak bagaikan
batu karang, dilihat dari wajah mereka yang begitu serius
tampaklah bahwa barisan itu benar-benar luar biasa
sekali. Setelah seringkali mengalami bencana, pengalaman
yang dimiliki Hoa Thian-hong luas sekali. Setelah
mengamati sebentar situasi yang terbentang di depan
mata saat ini, sadarlah pemudaitu bahwa musuh tangguh
sedang dirinya lemah, kalau pertarungan dilangsungkan
maka dialah yang bakal kalah atau bahkan terancam
jiwanya. Oleh sebab itu sambil menahan hawa amarah yang
berkobar dalam dadanya, ia berkata kepada Pek Soh-gie,
"Aku masih ada urusan yang harus diselesaikan dengan
kaucu ini, silahkan nona berangkat lebih dahulu"
Melangak hati Pek Soh-gie mendengar perkataan itu,
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah termenung sebentar katanya lirih, "Aku tidak
terburu-buru ingin pergi, lebih baik kutunggu saja dirimu
di tempat ini!"
Hoa Thian-hong segera mengerutkan dahinya, ia
berpikir, "Aaaai....! Nona ini benar-benar terlalu jujur,
musuh berada di depan mata ia masih tak sadar,
bukannya berusaha untuk mencari akal guna meloloskan
diri, ia malah bersikeras untuk tinggal disini.... aaai, apa
dayaku sekarang?"
Sementara itu Thong-thian Kaucu dengan sorot mata
yang tajam sedang mengawasi kedua orang itu, dia
merasa yang pria tinggi kekar dan berwajah tampan
sedang perempuan lemah lembut berwajah cantik, bila
mereka berdua berdiri berdampingan nampaklah begitu
serasi dan mempersonakan hati orang.
Lama kelamaan hatinya jadi panas, dari rasa kagum ia
jadi dengki dan iri, sambil mendengus berat segera
ujarnya, "Hoa Thian-hong, ayah dan ibumu adalah jagojago
lihay dari kalangan lurus, sebaliknya kau rela
menggabungkan diri ke dalam tubuh perkumpulan Sinkie-
pang, apakah tindakanmu ini tidak takut memalukan
nama keluarga serta menurunkan derajat nenek
moyangmu?"
"Hmm! Selamanya aku orang she Hoa berkelana
kesana kemari seorang diri, perbuatan suci bersih dan
yakin tak pernah ternoda!, sampai sekarang aku sama
sekali tidak bergabung dengan pihak Sin-kie-pang
maupun Hong-im-hwie...."
Tidak menanti sampai pemuda itu menyelesaikan
kata-katanya, kaucu dari perkumpula Thong-thian-kauw
itu sudah menukas, Pengaruh perkumpulan Sin-kie-pang
meliputi tujuh propinsi, jago lihay yang tergabung dalam
perkumpulan itu banyak sekal sukar dihitung dengan jari,
bilamana engkau memang bukan anak buah dari
perkumpula Sin-kie-pang, lebih baik janganlah
mencampuri urusan kami, tinggalkan Pek Soh Gi di
tempat ini dan berlalulah seorang diri"
"Eeei.... ada apa" jadi engkau hendak menahan nona
Pek Soh-gie di tempat ini?" seru Hoa Thian-hong dengan
alis berkerut. Dia adalah enghiong sejati, dalam pemikirannya Pek
Soh-gie yang mulia dan halus berbudi tak pernah
bermusuhan dengan orang, tak pernah bermusuhan
dengan umat Bulim, siapapun tak punya alasan untuk
bermusuhan dengan dirinya, tindakan Thong-thian Kaucu
yang hendak menahan dirinya benar-benar merupakan
satu kejadian yang sama sekali berada diluar dugaannya.
Terdengar kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw
itu tertawa dingin, lalu berkata, "Kau tak mau banyak
bicara lagi, sekarang pun kaucu akan membuka sebuah
jalan hidup bagimu, asal engkau suka berpeluk tangan
dalam soal ini maka kau akan kubiarkan berlalu dari sini
dalam keadaan sela-mat, sebaliknya kalau engkau
membangkang maka kemungkinan besar dalam
pertemuan Kiam ciau Tay hwee pada bulan tujuh tanggal
lima belas nanti akan kekurangan engkau seorang"
Hoa Thian benar-benar jadi naik pitam, bentaknya,
"Sungguh memalukan sekali, tak kusangka engkau
sebagai ketua dari suatu perkumpulan besar ternyata
bermoral sebejad itu, aku orang she Hoa...."
Tiba-tiba ia marasa bahwa sikap Thong-thian Kaucu
sama sekali berdiam.
ketika datang tadi ia bersikap bebas dan wajah penuh
senyuman, sebaliknya sekarang nampak begitu licik dan
memuakkan sekali.
Tiba-tiba Pek Soh-gie berkata, "Kaucu! aku masih ada
urusan dibadan sehingga tak dapat berdiam terlalu lama
di sini, bila kaucu ada urusan harap segera diutarakan
sekarang juga!"
"Eeei.... bukankah barusan kau mengatakan sendiri
bahwa kau tak ada urusan dan tidak ingin cepat-cepat
berlalu dari sini?" seru sang kaucu dengan mata berkilat.
Merah padam selembar wajah Pek Soh-gie karena
jengah, bibirnya bergerak seperti mau mengatakan
sesuatu tapi akhirnya maksud itu dibatalkan, dengan
wajah berubah ia bungkam dalam seribu bahasa.
Thong-thian Kaucu tertawa dingin, sorot matanya
dengan pandangan tengik menyapu terus raut wajahnya
yang cantik itu, ujarnya kembali, "Dewasa ini para jago
sedang saling bermusuhan satu sama lainnya, masingmasing
pihak berusaha agar rencana besarnya bisa
dicapai dengan sukses, Jin Hian serta ayahmu juga
sedang bentrok dan kini malah bermusuhan satu sama
lainnya, jika mereka tahu akan jejakmu dan engkau
lanjutkan kembali perjalanannya ke depan, maka orangorang
dari pihak Hong-im-hwie pasti akan berusaha
menangkap dirimu"
"Terima kasih atas petunjuk dari kaucu, asal aku
bersiap lebih hati-hati, rasanya itu sudah lebih dari
cukup" "Pihak Hong-im-hwie sangat berhasrat menangkap
dirimu, sekalipun engkau bersikap hati-hati juga tak ada
gunanya, apakah kau mampu menahan serangan
mereka?" Jilid 23. Bertemu Kakek Telaga Dingin lagi
KINI aku sedang menjalankan titah dari ibuku untuk
segera berangkat ke kota Ceng kang guna menjumpai
ayahku, sekalipun harus menempuh mara bahaya, tugas
ini tak bisa kutunda dengan begitu saja"
"Haaah.... haaaah.... haaaah...." Thong-thian Kaucu
segera tertawa terbahak bahak" Meskipun kau memiliki
keberanian untuk melanjutkan perjalanan dengan
menempuh bahaya, tetapi pun-kaucu merasa tidak lega
membiarkan engkau lanjutkan perjalanan seorang diri"
Dari pembicaraan yang selama ini berlangsung, Hoa
Thian-hong dapat menarik kesimpulan bahwa Thongthian
Kaucu mempunyai maksud jelek terhadap dara ayu
itu, dengan gusar ia mendengus lalu serunya, "Hmmm!
Musuh tangguh sedang berada diambang pintu, kau
sebagai kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw
bukanya memikirkan perkumpulannya yang berada
dipintu gerbang kehancuran, sebaliknya malah
mencampuri urusan orang lain.... apakah engkau tak
takut kalau perbuatanmu itu akan ditertawakan orang?"
Dengan wajah berubah dan mata melotot besar
Thong-thian Kaucu berpaling, kemudian serunya ketus,
"Kau sibocah cilik, tahu apa" Saat ini situasi amat kritis
dan masing-masing pihak sekarang berusaha merebut
posisi yang lebih menguntungkan dengan menggunakan
kecerdikan-nya masing-masing, andaikata Jin Hian
berhasil menawan putri sulung dari Pek Siau-thian ini,
dengan adanya sandera di tangan maka apa yang dia
minta pasti akan dikabulkan oleh orang she Pek itu....
coba bayangkan apakah urusan ini tidak menyangkut
soal keamanan dari pihak Thong-thian-kauw" Apakah
pun kaucu tidak pantas untuk mengurusinya?"
"Benar juga perkataan itu," pikir Hoa Thian-hong di
dalam hati, "Seandainya pihak Hong-im-hwie berhasil
menguasai Sin-kie-pang, maka dengan kekuatan
gabungan dua perkumpulan yang maha besar, pihak
Thong-thian-kauw pasti akan mengalami kehancuran
total." Sementara itu Pek Soh-gie telah berkata, "Kecerdasan
kaucu benar-benar mengagumkan hati siau li, tolong
tanya apakah maksud kaucu dan apa pula yang musti
siau li lakukan sekarang...."
"Turutilah anjuran dari kaucu dan jadilah tamu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw untuk sementara waktu,
dengan cepat aku akan mengirim orang untuk memberi
kabar kepada ayahmu agar dia datang menjemput
sendiri dirimu...."
Setelah mendengar perkataan itu, adalah Hoa Thianhong
tentang apa yang sedang terjadi, bukannya gusar
dia malah tertawa, katanya, "Haaah.... haaah.... suatu
rencana yang amat bagus, suatu siasat yang benar-benar
licik, rupanya bicara pulang pergi selama ini tujuannya
tidak lain adalah engkau sedang menjalankan rencana
besarmu.... agaknya kau hendak menganggap nona ini
sebagai saudara agar pangcu dari Sin-kie-pang menuruti
kemauanmu...."
"Hmmm! bukan begitu, saja," tukas kaucu dari
perkumpulan Thong-thian-kauw dengan alis berkerut,
"engkaupun akan sekalian kuringkus, agar orang tuamu
serta komplotanmu bisa kupergunakan pula tenaganya"
"Seandainya Sin-kie-pangcu serta sahabat dan kerabat
keluarga Hoa kami tak mau menuruti kemauanmu, apa
yang hendak kaulakukan?"
"Hmmm! gampang sekali, kalau memang demikian
keadaannya maka jiwa kalian berdua tak bisa
diselamatkan lagi!"
Hoa Thian-hong segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaah.... haaaah.... haaaaah.... cara kerjamu benarbenar
terkutuk dan memalukan sekali, aku rasa Jin Hian
pribadi belum tentu mempunyai jalan pikiran serendah
itu, ditinjau dari hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa
kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw ada lah
manusia yang paling tak tahu malu diantara tiga
kekuatan besar"
"Hmmm! Siapa yang berhasil dia jadi raja, siapa yang
gagal dia jadi buronan, siapa tinggi siapa rendah tak bisa
ditetapkan dengan perkataan semacam itu!"
"Haah.... haah.... haaah.... pendapat yang tinggi,
pendapat yang tinggi.... meskipun aku orang she Hoa
tidak becus, namun aku tak sudi menyerah kalah dengan
begitu saja, silahkan kaucu turun tangan, aku ingin sekali
minta beberapa petunjuk darimu!"
"Hmm! aku sebagai ketua dari suatu kekuatan besar
tak sudi turun tangan melayani kurcaci macam engkau!"
Sambil berkata dia segera angkat senjata hudtimnya
dan dikebutkan ke arah kawanan tosu cilik berjubah
merah itu. Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya.
"Kau anggap sebuah barisan pedang yang begini kecil
benar-benar mampu mengurung kami...." teriaknya.
Bentakan keras berkumandang di angkasa, cahaya
tajam berkelebat menyilaukan mata, tiba-tiba selapis
hawa pedang yang amat tajam mengurung datang
dengan hebatnya.
Hoa Thian-hong melototkan matanya, ia lihat kabut
pedang yang menyelimuti tempat itu rapat sekali seolaholah
dari enpat penjuru memancar masuk sinar perak
yang amat tajam, begitu cepat datangnya serangan itu
hingga tahu-tahu sudah tiba di depan mata.
Dalam keadaan dan apa boleh buat, terpaksa dia
enjotkan badan dan berkeling ke samping.
Belum sempat tubuhnya berdiri tegak, tiba-tiba terasa
beberapa desiran angin tajam kembali membokong
tubuhnya dan mengancam jalan darah penting di
belakang pinggang.
Buru-buru ia tekuk pinggang ke depan, menyalurkan
hawa pukulan dan putar badan mengirim satu serangan
dengan jurus Kun Siu Ci sau untuk membendung
datangnya ancaman angin dingin dari belakang itu.
Sementara itu Pek Soh-gie yang masih tetap berdiri di
sisi lapangan, tiba-tiba diserang oleh seorang tosu cilik
baju merah dengan sebuah totokan kilat, ia jadi kaget
dan buru-buru loncat ke belakang untuk menghindar,
dalam waktu singkat kedua orang itu segera terjerumus
di dalam kepungan delapan orang tosu cilik dengan
barisan pedangnya yang lihay itu.
Hoa Thian-hong yang harus menerima kekalahan
dalam satu jurus belaka, diam-diam merasa amat
terkejut, ia segera pertingkat kewaspadaannya untuk
menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Dengan telapak kiri mainkan jurus Kun siu ci sau untuk
melak ukan pertahanan, tangan kanannya diam-diam
disaluri dan siap melancarkan serangan dengan jurus
'menyerang sampai mati' yang diketahui amat ampuh
dan mengerikan itu.
Sebagai pemuda yang, berpengalaman dan tenaga
dalamnya cukup sempurna, setelah bertempur beberapa
jurus dia mulai bisa menangkap gerak-gerik kedelapan
orang tosu cilik baju merah itu, ia tahu bahwa mereka
memiliki serangkaian ilmu pedang yang amat sakti
dengan kematangan yang luar biasa, bila harus
bertempur satu lawan satu mungkin mereka masih bukan
tandingannya, tetapi setelah bergabung di dalam barisan
pedang Kan Lee kiam tin ini maka kehebatan-nya
sungguh luar biasa.
Di tengah pertempuran, bayangan tubuh kedelapan
orang tosu cilik baju merah itu mendadak lenyap tak
berbekas, yang terrlihat hanyalah cahaya pedang yang
berkelebat silih berganti, kian lama pertempuran itu
berlangsung barisan pedang itupun bergerak semakin
cepat, dengan sendirinya daya tekanan pun semakin
hebat sehingga jauh diluar dugaan Hoa Thian-hong....
Hoa Thian-hong serta Pek Soh-gie yang terjebak
dalam barisan itu lama kelamaan jadi gugup dan
gelagapan, mereka merasa keteter hebat dan tak mampu
bergerak lebih banyak.
Untung tujuan lawan ingin menangkap mereka dalam
keadaan hidup, sehingga setiap saat terancam bahaya
mereka selalu berhasil meloloskan diri dalam keadaan
selamat kendati begitu keadaan mereka cukup
mengcemaskan. Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu berteriak
dengan suara keras, "Pek Soh-gie, pedang dan golok tak
bermata kalau kau mau menyerah dan mengaku kalah
maka jiwamu bisa selamat, tetapi kalau tetap
membandel, jangan salahkan kalau sampai jiwamu
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terancam" Pek Soh-gie tetap berlagak pilon dan seolah-olah tidak
mendengar sesuatu di tengah pertarungan ia tetap
bekerja keras menangkis serta membendung datangnya
ancaman ancaman pedang yang muncul dari empat
penjuru.... Pada dasarnya kepandaian silat yang dia kuasahi
hanya ilmu mempertahankan diri, justru karena itulah
kepandaian tersebut se gera menunjukkan manfaatnya
dalam kerubutan barisan pedang itu.
Lain keadaannya dengan Hoa Thian-hong, ilmu
pukulan tangan kirinya hanya khusus digunakan untuk
menyerang belaka, di bawah perubahan barisan Kan Lee
Kiam tin yang serba rumit dan membingungkan ia jadi
kewalahan sendiri, sebaliknya ilmu totokan Ci yu jit ciat
di tangan kanannya tak mampu mengimbangi permainan
telapak kirinya yang begitu cepat dan gencar itu....
Dalam waktu singkat pertempuran sudah berlangsung
ratusan jurus banyaknya, tampak cahaya tajam
memancar keempat penjuru, hawa pedang
membumbung ke angkasa, cahaya tajam yang
menyilaukan mata memancar keluar dari barisan Kan Lee
kiam tin itu dan menelan tubuh Hoa Thian-hong
berdua.... Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw yang
menonton jalan-nya pertempuran itu dari sisi lapangan
diam-diam merasa senang hati setelah menyaksikan
kemenangan berada di pihaknya, setelah menyaksikan
pula kecantikan wajah Pek Soh-gie yang begitu menawan
hati, tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya.
"Gadis itu begitu cantik dan menawan hati, dalam
seratus tahun sulit untuk menemui perempuan semacam
ini, sedang Hoa Thian-hong adalah pemuda berbakat
yang bisa di pakai tenaganya, aku tak boleh bertindak
gegabah sehingga melukai kedua orang itu...."
Berpikir sampai disitu ia segera enjotkan bidan dan
menerjang masuk ke dalam barisan, jari tangannya
bekerja cepat melancarkan sebuah totokan ke arah tubuh
Pek Soh-gie. Sementara itu putri sulung dari Pek Siau-thian ini
sudah tak kuasa menahan diri, ketika Thong-thian Kaucu
melancarkan serangannya ia tak mampu melakukan
perlawanan lagi. Tampak bayangan manusia berkelebat
lewat, tahu-tahu jalan darah Gi sim nya jadi kaku dan
sambil menjerit tertahan robohlah tubuhnya terkulai ke
atas tanah. Thong-thian-kauw bekerja cepat, ia segera
menyambar pinggangnya dan mengepit di bawah ketiak,
senjata hud-timnya berkelebat kemuka langsung
menyapu tubuh Hoa Thian-hong.
Pemuda itu sangat gusar, tubuhnya dengan cepat
menyingkir ke samping menghindarkan diri dari kebutan
tersebut, telapaknya lang sung membabat ke depan.
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan marah ini
sungguh luar biasa sekali, sulit bagi Thong-thian Kaucu
untuk melayani dengan begitu saja, suara bentakan
segera berkumandang diangkat, cahaya pedang yang
menyilaukan mata meluncur datang dari depan belakang
kiri maupun kanan, begitu gencar serangan itu memaksa
Hoa Thian-hong harus menarik kembali serangannya
sambil loncat ke samping.
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, dia putar
senjata hud-timnya, kemudian laksana kilat berkelebat
kemuka. Sebelum Hoa Thian-hong sempat melakukan suatu
tindakan, dua buah jalan darahnya tahu-tahu sudah
ditotok oleh kebutan tersebut, kakinya jadi lemas dan tak
tahan lagi ia roboh terjengkang ke atas tanah.
Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata,
angin malam masih berhembus sepoi-sepoi. cahaya
bintang bertaburan di angkasa, fajar sama sekali belum
menyingsing. Air muka Thong-thian Kaucu berseri-seri, ia
memandang sekejap ke arah Pek Soh-gie yang berada
dalam kepitannya, dari balik mata memancarkan sorot
cahaya yang mengandung birahi.
Setelah jalan darah kakunya tertotok, Pek Soh-gie
kehilangan semua tenaganya dan tak bisa berkutik,
ketika ia sadar dan menyaksi kan dirinya berada dalam
pelukan orang, wajahnya berubah jadi merah karena
jengah, rasa malu dan marah bercampur aduk membuat
gadis itu hampir saja menangis.
Dalam keadaan begini ia tak bisa berbuat lain kecuali
pejamkan mata rapat-rapat dengan wajah hijau kepucatpucatan,
diam-diam ia merasa menyesal sekali....
Hoa Thian-hong sendiri berbaring di atas tanah
dengan mata melotot bulat, ia memandang ke arah
Thong-thian Kaucu dengan sorot mata dingin penuh
kegusaran, ingin sekali dia loncat bangun dan
melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, tapi
sayang, jalan darahnya tertotok dan ia tak mampu
melakukan apa yang diinginkannya itu.
Dalam keadaan begini pemuda tersebut hanya bisa
mengatur napas sambil berusaha untuk membebaskan
diri dari pengaruh totokan.
"Hoa Thian-hong!" terdengar kaucu dari perkumpulan
Thong-thian-kauw itu berseru, "menurut laporan anak
buahku, katanya kau malang melintang di dalam dunia
persilatan tanpa tandingan, menurut penglihatanku berita
yang tersiar dalam dunia persilatan tak bisa dipercaya
sama sekali"
"Tak usah banyak bacot" tukas Hoa Thian-hong
dengan mata melotot, "mau cincang mau bunuh, cepat
lakukan!" "Haah.... haaah.... haah...." Thong-thian Kaucu tertawa
terbahak-bahak sambil mengelus jenggotnya, "hanya
beberapa orang bocah cilik saja tak mampu menangkan,
buat apa engkau melakukan penjalanan di dunia
persilatan serta mencari nama di kolong langit?"
Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya, dengan gusar ia
berseru, "Seorang lelaki boleh dibunuh tak sudi di hina,
engkau sebagai ketua dari suatu perkumpulan besar
apakah tidak malu merosotkan derajat sendiri dengan
sikap seperti itu?"
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, ia duduk
kembali di atas tandunya dan meletakkan tubuh Pek Sohgie
disampingnya, kemudian kepada tosu cilik yang
membawa senjata Ji gi titahnya, "Totok jalan darah Sam
yang nya!"
Toosu cilik itu mengiakan dengan hormat lalu berjalan
menghampiri si anak muda itu, dia ambil keluar tiga
batang jarum perak yang panjangnya dua cun kemudian
di tancapkan di atas jalan darah Gi cung, Gi ji serta Jit
kan tiga buah jalan darah penting.
Setelah jarum itu ditusuk ke dalam tubuhnya, dengan
gerakan yang cekatan sekali dia tepuk bebas jalan darah
sang pemuda yang tertotok.
Setelah tiga urat pentingnya terkunci maka hawa
murni tak dapat disalurkan lagi, dalam keadaan begini
sekalipun seorang jago lihay yang memiliki tenaga dalam
amat sempurnapun akan berubah menjadi seorang
manusia lemah yang sama sekali tidak bertenaga. Cara
ini aneh sekali dan hanya Thong-thian Kaucu seorang
yang memahami. Hoa Thian-hong berusaha mencoba beberapa kali tapi
setiap kali hawa murninya tak mampu dikerahkan keluar,
akhirnya dia menghela napas panjang dan tanpa
mengatakan sepatah katapun menantikan hukuman yang
akan dijatuhkan kepadanya.
Thong-thian Kaucu tertawa, dia ketuk gagang hudtimnya
di atas tandu, empat tosu cilik baju kuning itu
segera menggotong tandu tadi dan diiringi bunyi musik
aneh, berangkatlah rombongan itu balik melalui jalan
semula.... Hoa Thian-hong dengan digotong oleh dua orang tosu
cilik baju merah berjalan di belakang tandu itu,
sepanjang perjalanan otaknya berputar terus memikirkan
semua ke jadian yang dialaminya selama sehari ini....
Pagi tadi ia masih menjadi tamu terhormat dari Giok
Teng Hujin. waktu itu keadaannya begitu agung dan
penuh wibawa. Kemudian tengah hari.... terbayang kembali kejadian
ditepi laut, dimana Giok Teng Hujin munculkan diri di
depannya dalam keadaan telanjang ia gelengkan kepala
berulang kali, rasa malu dan menyesal muncul dalam hati
kecilnya. Terbayang akan diri Giok Teng Hujin, tanpa terasa dia
angkat kepala dan menengok ke arah Pek Soh-gie yang
berbaring di atas tandu, ia temukan ketika itu Thongthian
Kaucu yang berada disisinya dengan mengamati
tubuh gadis itu dengan sorot mata aneh, ia segera
teringat akan soal pedang emas, pikirnya, "Menurut
petunjuk dari Giok Teng Hujin, katanya pedang itu
semuanya terdiri dari dua batang yakni pedang jantan
dan pedang betina, menurut dia pedang yang betina
sekarang tersimpan di dalam pedang pusaka milik
Thong-thian Kaucu...."
Berpikir sampai disini tanpa terasa sinar matanya
segera dialihkan ke arah kanan di mana tosu cilik baju
merah itu memegang sebilah senjata pedang pusaka,
ditinjau dari warna sarung pedangnya yang coklat dan
antik bisa dibayangkan bahwa pedang itu tentulah
sebilah pedang mustika....
Tapi.... benarkah pedang emas berada di dalam
pedang pusaka itu" dan Thong-thian Kaucu sendiri
tahukah tentang persoalan ini"
Kemudian ia teringat kembali akan nenek baju abuabu
yang munculkan diri secara mendadak, ia teringat
kembali ketika pipinya di tampar dengan keras....
Pikirnya di dalam hati, "Aaaai....! Seharusnya dari dulu
aku mesti tahu diri, berbicara tentang adat istiadat aku
tidak terlalu terikat oleh adat yang tetek bengek tak
karuan itu, sebaliknya tentang ilmu pedang aku hanya
mengandalkan sejurus ilmu pukulan belaka, bukan saja
ilmu pedang sudah kulupakan, tiga jurus ilmu totokan
dari Ci yu jit ciat pun tak berhasil kuyakini...."
Makin kupikir ia semakin menyesal hingga tanpa
terasa keringat mengucur keluar membasahi tubuhnya,
kini ia sudah tertawan dan mati hidupnya sukar
diramalkan, kemungkinan bagi dirinya untuk merubah
semua kesalahan itu kian menipis.
Sementara ia sedang menyesal dan kecewa sambil
berusaha mencari akal untuk meloloskan diri, tiba-tiba
suara musik berhenti dan suasana berubah jadi sunyi
senyap. Ia segera menengadahkan ke atas, tampaklah sebuah
kuil yang megah dengan atap hijau tembok merah
muncul di depan mata.
Beberapa saat kemudian rombongan imam itu sudah
berada diruang dalam, sambil bangkit dari tandunya
Thong-thian Kaucu segera, memerintahkan, "Bawa nona
itu masuk istana Yang sim tian dan jebloskan Hoa Thianhong
ke dalam penjara bawah tanah!"
Mendengar perintah itu Hoa Thian-hong serta Pek
Soh-gie tanpa sadar saling bertukar pandangan, sorot
mata mereka berdua sama-sama memancarkan
kecemasan, bibir bergerak seperti mau mengucapkan
sesuatu namun tak sepatah katapun yang diutarakan
keluar. Tampaklah empat orang tosu cilik itu segera
menggotong tandu itu dan membawa Pek Soh-gie berlalu
dari sana, sebaliknya dua orang tosu yang lain segera
menggusur tubuh Hoa Thian-hong menuju ke arah bela
kang istana....
Di belakang bangunan kuil itu didirikan sebuah rumah
yang terbuat dari batu, disanalah biasanya Thong-thian
Kaucu memenjarakan buronannya, setelah tiba disana
kedua orang tosu baju merah itu segera serahkan Hoa
Thian-hong kepada petugas penjara, oleh sang petugas
pemuda itu dijebloskan ke dalam sebuah ruang batu
yang kecil dan bertirai besi.
Ruangan itu luasnya hanya delapan depa, ampat
penjuru tiada jendela kecuali sebuah lubang hawa
sebesar mangkuk di atas pintu baja, karena itu meskipun
di tengah hari namun suasana dalam ruangan itu tetap
gelap gulita dan terasa lembab sekali.
Terdengar bunyi suara gemerincingan yang
menggema memecahkan kesunyian, pintu ruangan
ditutup dari depan. Hoa Thian-hong melihat ruangan itu
kosong melompong, kecuali ia sendiri tak nampak ada
benda lain lagi yang berada disitu.
Diam-diam segera pikirnya, "Asal ketiga batang jarum
perak yang menancap di atas dadaku bisa kucabut
keluar, niscaya penjara batu yang kecil ini tak mampu
mengurung diriku, cuma...." dia lepaskan pakaiannya dan
meraba ketiga batang jarum perak itu, terasalah bendabenda
itu menancap ke dalam tubuhnya hingga lenyap,
bila dihari biasa asal dia mengerah kan tenaga dalam di
atas jarinya maka jarum itu akan segera tercabut keluar,
tapi sekarang hawa murninya tak mampu disalurkan
maka tindakan semaeam itupun tak mungkin bisa
dilakukan. Dengan putus asa pemuda itu hanya bergumam
seorang diri, "Waaah.... kalau aku mati di tempat ini, hal
itu benar-benar tak ada harganya...."
Setelah termenung sebentar, ia berpikir lebih jauh,
Bulan tujuh tanggal lima belas pihak perkumpulan
Thong-thian-kauw akan mengadakan pertemuan Kian
ciau tay-hwee.... Hmmm! pertemuan Kian ciau tay
hwee.... hanya akan berlangsung tujuh delapan hari lagi,
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu itu pelbagai aliran akan saling berjumpa, pelbagai
keluarga yang bermusuhan akan bertemu satu sama
lainnya pada waktu itu pembicaraan yang tidak cocok
akan mengakibatkan banjir darah.... mayat akan
bertumpuk bagaikan bukit.... dalam menghadapi
pertemuan yang begini pentingnya, apa ibu akan hadir
atau tidak.... Terbayang akan ibunya, ia merasa rindu bercampur
sedih, rasa ingin hidup semakin menjadi.... dia ingin
cepat-cepat lolos dari tempat itu dan bertemu kembali
dengan ibunya. Mendadak suara gemerincingan berkumandang dari
luar ruangan. Satu ingatan berkelebat dalam benaknya, seolah-olah
dia melihat Giok Teng Hujin dengan sanggulnya yang
tinggi serta gaunnya yang panjang sedang munculkan
diri diternpat itu.
Suara gemerincingan sekali demi sekali berkumandang
terus tiada hentinya, jantung terasa berdebar semakin
keras, lama kelamaan ia mulai tak kuasa menahan diri....
Beberapa saat kemudian suara langkah kaki yang
santai berhenti tepat di depan pintu ruangannya, diikuti
pintu besi itupun dibuka orang....
Hoa Thian-hong mengintip keluar lewat celah pintu
yang terbuka, namun tidak nampak seorang manusiapun
berada disana, tanpa terasa ia bertanya dengan suara
lirih, "Siapa?"
Gelak tertawa yang rendah dan berat bergema
diseluruh ruangan, suara tertawa itu begitu dingin dan
menyeramkan seakan-akan muncul dari liang salju yang
amat dalam, Hoa Thian-hong jadi merinding dan bulu
kuduknya tanpa terasa pada bangun berdiri.
Tiba-tiba pintu besi dibuka orang, seorang imam
perawakan tinggi dengan sebilah pedang tersoren pada
punggungnya bagaikan sukma gentayangan murcul di
depan pintu. Hoa Thian-hong dengan tajam menatap imam itu
beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia teringat kembali
siapakah orang itu, tanpa te rasa sambil tertawa nyaring
serunya, "Oooh.... aku kira siapa yang datang, tak
tahunya adalah Ang Yap tootiang.... selamat datang,
selamat datang...."
Ang Yap toojin mendengus dingin, sambil menyeringai
seram serunya, Hoa Thian-hong, kau tak mengira bukan,
bakal menjumpai hari seperti ini....?"
Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya lalu tertawa,
katanya, "Kenapa musti ini hari" Kalau engkau hendak
membalas dendam silahkan saja untuk turun tangan...."
"Huuuh....! dalam keadaan begini kau masih bisa
bicara keras" Kalau sucoumu sudah turun tangan....
Hmmm! Mungkin kau tak kuat menahan diri"
Sembari berkata perlahan-lahan imam itu maju ke
depan. Dari sikap lawannya dingin menyeramkan, diam-diam
Hoa Thian-hong terkejut juga, pikirnya, "Kedatangannya
pasti mengandung maksud maksud tertentu, tosu tua ini
tentu akan menyiksa dan membunuh aku untuk
melampiaskan rasa dendamnya...."
Setelah tiga buah jalan darahnya disumbat oleh
tusukan jarum perak, segenap kepandaian silatnya tak
mampu digunakan lagi, sekalipun mara bahaya
mengancam di depan mata namun ia tak mempunyai
kemampuan untuk melarikan diri.
Kiranya Ang Yap toojin secara diam-diam menaruh
hati kepada Giok Teng Hujin, siapa tahu pihak
perempuan sama sekali tidak punya minat terhadap
dirinya, membuat hasrat yang terbenam itu selalu gagal
un tuk mencapai apa yang dikehendakinya.
Setelah melihat kemesraan yang di perlihatkan Giok
Teng Hujin terhadap Hoa Thian-hong, rasa dengki dan
cemburunya kontan berkobar dalam benak imam itu,
rasa marah dan iri tadi berkecambuk terus kian lama kian
bertambah tebal sehingga akhirnya hawa amarahnya tadi
dilampiaskan pada si anak muda she Hoa.
Suatu ketika pukulan Sau yang ceng kie yang
dilancarkan Hoa In telah mengakibatkan ia menderita
luka parah dan sampai saat itu belum juga sembuh,
kejadian ini semakin membuat imam itu mendendam Hoa
Thian-hong hingga merasuk ketulang sumsum, ia
bersumpah dalam hatinya hendak membinasakan musuh
cintanya itu dalam keadaan apapun jua.
Criiing....! Suara gemerincingan bergema memenuhi
angkasa, perlahan-lahan Ang Yap Toojin meloloskan
pedangnya, dengan sorot mata memancarkan hawa
nafsu membunuh dan muka menyeringai menyeram-kan,
serunya, "Manusia she Hoa, kau pingin mati atau pingin
hidup?" "Eeei.... aneh sekali pertanyaanmu itu!" kata sang
pemuda dengan alis berkerut, "bukankah engkau
bermaksud menghabisi jiwaku" Apa gunanya
mengajukan penawaran tersebut?"
Ang Yap Toojin tertawa dingin.
"Heeeh.... heeeh.... jika engkau ingin hidup, tentu saja
Too-ya dapat memberikan sebuah jalan kehidupan
bagimu, cuma jalan itu sempit dan kecil sekali, aku takut
engkau tak punya keberanian untuk melewatinya!"
"Aku orang she Hoa tidak memiliki kemampuan apaapa,
tapi aku rasa masih memiliki sedikit keberangan
untuk menghadapi segala kejadian yang bakal menimpa
diriku, coba katakanlah bagaimana sempit dan ke-cilnya
jalan tersebut" Seandainya aku merasa sanggup untuk
melewatinya, aku orang she Hoa pasti akan
mencobanya"
Ang Yap Toojin menggetarkan ujung pedangnya di
atas raut wajah Hoa Thian-hong, ujarnya sambil tertawa
menyeringai. "Jika dibicarakan sebenarnya tidak begitu
menakutkan, bilamana engkau ingin hidup maka Too-ya
akan merobek raut wajahmu yang tampan itu, agar
Ciong Lian-khek mendapat kawan berwajah busuk
macam diri mu itu!"
mendengar perkataan tersebut, dalam benak Hoa
Thian-hong segera terbayang kembali raut wajah Ciong
Lian-khek yang penuh bercodet dan bekas bacokan
senjata itu, wajah yang menyeramkan membuat hati pe
muda itu jadi bergidik, pikirnya di dalam hati, "Sungguh
aneh sekali peristiwa ini, apa sih sangkut pautnya antara
wajahku dengan rasa dendamnya?"
Tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya,
tanpa sadar ia berteriak.
"Oooh....! Sekarang aku mengerti"
"Hmm! engkau belum tentu mengerti," jengek Ang
Yap toojin dengan suara dingin.
Hoa Thian-hong tersenyum.
"Kedatanganmu kesini adalah masuk secara pribadi
dan tanpa sepengetahuan ataupun seijin kaucu kalian,
karena kau takut tidak mendapat persetujuan dari sang
kaucu untuk mencabut jiwaku, maka muncullah ingatan
dalam benakmu untuk merusak raut wajahku ini agar
rasa dendam yang berkecamuk dalam dadamu bisa
dilampiaskan, bukankah begitu?"
"Heeeeh.... heeeh.... heeeh.... tebakanmu memang
sama sekali tidak salah," jawab Ang Yap Toojin sambil
tertawa seram, "tapi tahukah engkau bahwa Too-ya pun
sudah mengambil keputusan Untuk ber buat nekad" Asal
engkau ingin mati maka Too-ya akan segera memenggal
batok kepala ku kemudian kabur jauh-jauh dari tempat
ini, perduli amat dengan kaucu atau bukan!"
"Oooh....! rupanya rasa benci orang ini terhadap diriku
sudah terlalu mendalam" pikir Hoa Thian-hong di dalam
hati, "waah.... berabe juga ini, apa yang musti
kulakukan?"
Setelah berpikir sebentar, dia alihkan kembali sorot
matanya menatap tajam raut wajah imam tersebut, ia
temukan bahwa ketika itu sepasang matanya telah
berubah jadi merah membara, bibirnya bergetar keras
sekali dengan air mukanya berubah jadi begitu
mengerikan macam malaikat pembunuh dari neraka,
sadarlah pemuda itu bahwa apa yang diucapkan
lawannya mungkin sekali dapat dilakukan benar-benar.
Maka diapun lantas mengangguk sambil ujarnya
sungguh-sungguh, "Kalau begitu.... baiklah, akan
kupikirkan sebentar...."
"Too-ya malas untuk menunggu terlalu lama!" bentak
Ang Yap Toojin sambil menggerakkan senjata
pedangnya. Hoa Thian-hong berlagak pilon dan seolah-olah tidak
mendengar perkataan itu pikirnya, "Meskipun raut wajah
Ciong Lian-khek cianpwee sudah rusak dan menjadi
buruk, akan tetapi ia tetap merupakan seorang lelaki
sejati, ia tetap merupakan seorang pendekar besar yang
berjiwa pahlawan.... urusanku belum sempat
kuselesaikan semua, aku tak boleh mati dengan begitu
saja.... aku harus berusaha untuk mempertahankan
hidupku agar semua pekerjaan yang tertunde bisa
kuselesaikan...."
Berpikir sampai disitu, ia terbayang kembali akan
pinangan dari Pek Siau-thian untuk putri bungurnya, lalu
teringat pula akan perbuatan Giok Teng Hujin dirinya....
setelah berpikir sebentar akhirnya dia mengambil
keputusan, dengan terus terang ujarnya.
"Ang Yap, akan menyerah kalah.... anggap saja ini hari
engkau lebih lihay dariku, si1ahkan merusak raut
wajahku ini dengan ujung pedangmu itu.... aku orang
she Hoa sudah ambil keputusan untuk memilih jalan
kehidupan saja....
Rupanya Ang Yap Toojin merasa tercengang dan
diluar dugaan mendengar keputusan dari lawannya,
setelah tertegun sejenak ia segera menengadahkan ke
atas dan tertawa seram.
"Haahh.... haahh.... bagus sekali! rupanya kau si
bangsat cilikpun merupakan manusia kurcaci yang takut
mati!" Tubuhnya menerjang maju ke depan, pedangnya
dikebaskan dan.... Sreeet! langsung membacok wajah
pemuda itu. Keputusan Hoa Thian-hong untuk mengorbankan raut
wajahnya dan mempertahankan kehidupan diambil
karena keadaan yang terpaksa dan mendesak sekali,
melihat datangnya sambaran cahaya pedang yang
menyilaukan mata, hati terasa tercekat, tak mungkin bagi
dirinya untuk menghindarkan diri lagi dari bacokan
tersebut, terpaksa ia pejamkan matanya rapat-rapat.
Criiing....! terdengar bunyi gemerincingan yang amat
nyaring berkumandang memenuhi seluruh angkasa, pintu
besi di depan penjara seolah-olah didorong oleh suatu
kekuatan yang maha besar, tiba-tiba terbentang lebar
dengan sendirinya.
Begitu keras bunyi gemerincing tersebut sehingga
membuat Ang Yap Toojin maupun Hoa Thian-hong
merasakan telinganya jadi amat sakit sekali, imam
setengah baya itu segera menghentikan gerakan
pedangnya di tengah udara sedang Hoa Thian-hong pun
membuka matanya kembali, tubuh mereka berdua samasama
tergetar keras, pada saat yang ber samaan pula
mereka sadar bahva diluar pintu ada orang, hanya tak
tahu jago lihay darimanakah yang telah muncul disitu"
Sementara itu pantulan suara yang amat nyaring tadi
masih mendengung tiada hentinya diseluruh penjuru
ruang penjara itu, dari kedahsyatan suara pantulan
tersebut Ang Yap Toojin semakin yakin kalau orang yang
bersembunyi di balik pintu adalah seorang jago lihay
berkepandaian tinggi, dalam kejutnya dan kedernya
timbul pikiran dalam benak imam tersebut untuk
mengundurkan diri dari tempat itu.
Tetapi ia merasa amat membenci terhadap Hoa Thianhong,
rasa dendamnya sudah merasuk ketulang
sumsum, meskipun berada dalam keadaan gugup dan
kacau pikiran, namun imam tersebut tak rela melepaskan
Hoa Thian-hong dengan begitu saja, pedangnya segera
digetarkan kembali dan langsung menusuk ke arah ulu
hati si anak muda itu.
Hoa Thian-hong sangat terperanjat, dalam keadaan
yang kritis dan sargat berbahaya itu dia himpun sisa
tenaga yang dimilikinya dan segera lompat ke arah
samping. "Binatang, sungguh besar nyalimu!" mendadak
serentetan suara bentakan keras yang amat nyaring
berkumandang memenuhi angkasa.
Weeesss....! diiringi suara benturan keras, tiba-tiba
pintu baja itu terpentang lebar.
Semua peristiwa itu berlangsung hampir pada saat
yang bersamaan, ketika mendengar suara bentakan, Ang
Yap Toojin merasa hatinya tercekat, tanpa sadar
tangannya jadi lemas dan tusukan pedangnya pun jadi
miring ke samping hingga menyambar dada sebelah kiri
lawannya. Selesai melancarkan tusukan tersebut, tanpa
memandang sekejappun ia segera putar badan dan
kabur keluar dari ruangan itu.
Mendadak.... dihadapannya muncul seorang manusia
aneh berperawakan tinggi basar, berambut panjang
bagaikan akar dan berlengan tunggal menghadang tepat
di depan pintu.
Keempat anggota badan manusia aneh itu! ada tiga
yang cacad, tinggi badannya mencapai empat depa dan
persis menyumbat seluruh pintu masuk itu, mulutnya
besar dengan sepasang mata memancarkan Cahaya biru,
satu-satunya anggota badan yang masih utuh hanyalah
tangan kirinya, waktu itu dalam genggaman tangan
Bara Maharani Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kirinya mencekal sebilah pedang baja yang besar dan
Bentrok Rimba Persilatan 11 Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian Kekaisaran Rajawali Emas 5