Pencarian

Bidadari Dari Sungai Es 14

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 14


Kim Sie Ie terkejut ketika sabetannya jatuh di tempat kosong. Ia jadi semakin
gusar dan menghantam kalang-kabut. Dalam sekejap Kim Bwee sudah terkurung, antara
lingkungan tongkatnya dan semua jalanan mundur si nona sudah tertutup seanteronya.
Ternyata, dalam
keadaan was-was, Kim Sie Ie berubah buas.
Bukan main herannya Lie Kim Bwee. Pemuda itu disebut orang Toktjhioe Hongkay
(Pengemis gila yang tangannya beracun), tapi menurut ibunya, ia bukan gila benar-benar.
Dalam pertempurannya yang pertama dengan pemuda itu, walaupun serangan-serangannya
hebat, tapi semua serangan itu hanyalah gertakan belaka. Tapi sekarang, setiap serangan Kim
Sie Ie bersifat
sungguh-sungguh dan jika ia terkena, akibatnya tentu hebat. "Baik juga ibu sudah
mengajarkan ilmu baru kepadaku untuk melayani kau," katanya di dalam hati.
Sesudah belasan kali memukul angin, Kim Sie Ie berteriak-teriak seakan-akan
orang gila sembari menyerang kalang-kabut. "Awas!" kata Lie Kim Bwee disertai tertawanya.
"Aku akan menotok Siauwyauw hiat-mu!" Dengan suatu gerakan aneh, ia mendesak dan kedua
jerijinya menyambar ke arah Siauwyauw hiat Kim Sie Ie. Ilmu silat Kim Sie Ie sebenarnya
lebih tinggi daripada Lie Kim Bwee, tapi karena gerakan si nona sangat luar biasa, pukulan
tongkatnya tak dapat merintangi Kim Bwee. Dalam keadaan berbahaya, seorang yang berkepandaian
tinggi sering mengeluarkan pukulan aneh untuk menolong diri. Demikian juga dengan Kim Sie Ie.
Ia mendadak memukul tanah dengan tongkatnya dan badannya lantas saja berjungkir balik,
sehingga totokan
Kim Bwee jatuh di tempat kosong.
"Lari ke kedudukan Sunwie! Totok Honghoe hiat-nya!" demikian terdengar suara
ibunya. Begitu Kim Sie Ie menyerang lagi, Kim Bwee sudah melompat ke sampingnya sembari
menotok dengan jerijinya. Tapi totokan itu lagi-lagi meleset karena Kim Sie Ie sudah
berhasil meloloskan
diri dengan berjungkir balik.
"Aku dan ibu sudah berlatih tiga hari, tapi masih tetap aku hampir tak dapat
melayani dia," pikir
Kim Bwee dengan heran.
Tapi di lain pihak, keheranan Kim Sie Ie bahkan lebih besar. "Kenapa Tiamhiat
hoat wanita ini
begitu liehay?" tanyanya kepada dirinya sendiri. "Siapakah wanita yang barusan
bicara" Dimana
dia bersembunyi?"
Sesudah berjungkir balik beberapa kali untuk meloloskan diri dari totokan si
nona, napas Kim
Sie Ie jadi tersengal-sengal. "Aku sudah mengatakan, bahwa kau tak akan dapat
menghina diriku,"
kata Kim Bwee sembari tertawa. "Apakah kau masih belum percaya" Sekarang kau
sudah lelah. Mengasohlah dulu."
Diejek begitu, bukan main gusarnya pemuda itu. "Fui!" mendadak ia menyemburkan
ludahnya. "Bwee-djie!" teriak Phang Lin yang bersembunyi di dalam hutan. "Lekas mundur!"
Kim Bwee berkelit secepat mungkin. Mendadak matanya berkunang-kunang, kakinya
lemas dan ia roboh di atas tanah.
Tiba-tiba saja, Kim Sie Ie sadar, pikirannya jernih kembali. Ia ingat, bahwa
dalam dunia ini, Kim
Bwee adalah wanita kedua yang memperlakukan dia sebagai sahabat (wanita pertama
adalah Pengtjoan Thianlie). Teringat itu, bukan main rasa menyesalnya. Semenjak
berkelana dalam
kalangan Kangouw ia telah mengganggu banyak sekali orang-orang gagah, tapi
sebegitu jauh, belum pernah ia membunuh manusia secara sembarang. Tak dinyana, hari ini ia
telah mengambil
jiwa seorang nona muda yang telah menganggap dirinya sebagai kawan. Dalam
perasaan menyesalnya yang sangat besar, tanpa merasa ia berlutut dan merangkapkan kedua
tangannya sembari menundukkan kepala. Tak berani ia melihat si nona yang rebah di atas
tanah, karena hatinya tak kuat melihat penderitaan gadis itu. Jangankan nona cilik itu,
sedangkan Tongbengtjoe
yang berkepandaian begitu tinggi masih tak mampu menahan serangan racun
tersebut. Selagi ia berlutut dengan pikiran linglung, mendadak terdengar suara tertawa Kim
Bwee yang sangat nyaring. "Kenapa kau?" tanya si nona. "Aku bukan nenekmu. Kenapa kau
berlutut di hadapanku?"
Kim Sie Ie terperanjat tidak kepalang. Bagaikan dipagut ular, ia melompat
bangun. Di hadapannya berdirilah Lie Kim Bwee yang sedang tertawa terpingkal-pingkal.
Hampir-hampir ia tak
mempercayai kedua matanya sendiri!
Mendadak si nona meloncat dan berkata sembari tertawa: "Sekarang akan kuajarkan
semacam Tiamhiat hoat kepadamu!" Berbareng dengan perkataannya, jeriji Kim Bwee sudah
menyambar. Cepat-cepat Kim Sie Ie coba menangkis, tapi gerakan menotok itu aneh sekali,
baru saja ia mengangkat tangannya, tahu-tahu jalan darah di pinggangnya sudah tertotok.
Seketika itu juga, ia
menari-nari dan tertawa tiada hentinya seperti seorang gila.
Si nona nakal menjadi kegirangan, ia bertepuk tangan sembari tertawa geli,
seperti anak kecil
melihat kelakar pelawak. "Hi-hi-hi! Inilah yang dinamakan budi dibalas dengan
budi," kata Kim
Bwee. "Akan kulihat, apakah kau masih berani mempermainkan orang atau tidak." Ia
menengok ke arah hutan dan berteriak: "Ibu! Lekas keluar! Ilmu yang kau ajarkan, benar-
benar liehay. Sekarang dia sudah menjadi seekor kera. Sungguh lucu!"
Ternyata, selama tiga hari bersembunyi di dalam hutan, Phang Lin telah
mengajarkan semacam
Tiamhiat hoat (Ilmu menotok jalanan darah) kepada puterinya untuk menaklukkan
Kim Sie Ie. Pada hakekatnya, ilmu menotok itu sama dengan ilmu yang diajarkan kepada Tong
Keng Thian oleh Moh Tjoan Seng. Hanya saja, sedang Moh Tjoan Seng, sekali melihat ilmu
silat Kim Sie Ie,
sudah lantas bisa menggubah semacam ilmu untuk menaklukkan pemuda itu, Phang Lin
harus mengasah otak dua hari untuk menyusun ilmu tersebut. Terbuktilah, bahwa jalan ke
arah ilmu silat yang paling tinggi, adalah satu.
Lie Kim Bwee yang sedang bertepuk tangan dan melompat-lompat, mendadak melihat
suatu perubahan aneh pada wajah pemuda itu, perubahan yang lain daripada semestinya,
jika hanya tertotok jalan darah Siauwyauw hiat-nya. Kim Bwee berhenti tertawa dan memandang
muka Kim Sie Ie dengan terkejut.
Sesaat itu Phang Lin keluar dari dalam hutan. Begitu melihat muka Kim Sie Ie, ia
berteriak: "Celaka! Inilah tanda-tanda dari lweekang yang makan tuan!" Buru-buru, ia
meloncat dan menarik
tangan Kim Sie Ie, sembari membuka jalan darah Siauwyauw hiat-nya yang barusan
ditotok oleh puterinya. Begitu jalan darahnya terbuka, Kim Sie Ie berontak. Tapi Phang Lin
sudah bersiap sedia, ia menekan tempat pertemuan antara Tayyang hiat dan Siauw-im hiat Kim Sie
Ie. Seketika itu juga, Kim Sie Ie merasakan semacam hawa sejuk perlahan-lahan
mengalir ke dalam tubuhnya yang lantas saja terasa nyaman luar biasa. Ia memejamkan kedua
matanya, sedang pundaknya ditepuk-tepuk perlahan-lahan oleh Phang Lin. Dalam keadaan
begitu ia ingat
kepada kejadian di jaman yang lampau, di waktu ia masih kecil, bila ibunya
sedang menepuknepuknya
supaya dia lekas-lekas tidur. Tak lama kemudian, ia pulas dengan bibir
menyuntingkan senyuman. Kepandaian Phang Lin memang beraneka ragam. Pada saat itu ia menggunakan ilmu
Tjiansim modjie koeitjin (ilmu memulihkan tenaga dalam yang mendapat gangguan) yang
didapatkannya dari kaum Ihama Topi Merah di Tibet. Sambil mengerahkan lweekang-nya, ia
mengurut sekujur
badan pemuda itu. Sebentar pula, aliran darah dan hawa Kim Sie Ie yang tadinya
kacau balau sudah menjadi beres dan tenang kembali. Ketika itu, Phang Lin sudah mengerti,
bahwa latihan lweekang Kim Sie Ie menyimpang dari jalan yang benar, tapi ia belum mengetahui
apa sebabnya sehingga pemuda itu mendapat serangan mendadak. Sesudah membuka baju Kim Sie Ie
dan melihat lukanya, akibat pukulan Tongbengtjoe, barulah nyonya itu mengerti. Tapi
dengan rasa menyesal, ia harus mengakui, bahwa ia tak dapat menolong jiwa Kim Sie Ie.
"Lweekang pemuda ini berbeda sekali dengan lweekang dari cabang persilatan
lain," katanya
pada puterinya. "Semakin besar kemajuannya, semakin besar pula bencana yang
terhimpun dalam
tubuhnya. Tjiansim modjie koeitjin hanya dapat memperpanjang usianya untuk tujuh
puluh dua hari, tapi tak dapat menolong jiwanya."
"Habis bagaimana ibu?" tanya si nona dengan hati berdebar-debar.
"Jalan satu-satunya adalah mengajaknya pergi ke Thiansan," kata sang ibu.
"Iethio dan lebomu
(Tong Siauw Lan dan Phang Eng) adalah ahli-ahli Lweekeeh dari cabang persilatan
yang asli. Mungkin sekali mereka akan dapat menolongnya, apapula jika diingat, bahwa kita
sudah mengetahui siapa gurunya. Di samping itu, guru pemuda ini mempunyai hubungan
yang akrab dengan Iethio dan lebo-mu."
Selagi Kim Bwee akan bertanya lebih lanjut, Kim Sie Ie sudah sadar dari pulasnya
dan perlahanlahan
membuka kedua matanya.
Ia mendapat kenyataan, bahwa di samping Kim Bwee, terdapat seorang nyonya cantik
yang sedang memandangnya secara
menyayang. Wajah nyonya itu mirip sekali dengan Kim Bwee dan cara-caranya juga
serupa dengan gadis yang nakal itu.
"Apakah artinya, semua ini?" tanyanya kepada Kim Bwee. "Kau terkena jarum
racunku. Kenapa
kau masih hidup" Siapakah nyonya itu?"
Phang Lin tertawa dan menanya: "Bukankah kau murid Tokliong Tjoentjia?"
Kim Sie Ie lantas saja bangun berduduk. "Dalam dunia ini tak ada yang mengetahui
asalusulku,"
katanya dengan nada heran. "Bagaimana kau mengenal nama guruku?"
"Tak usah bertanya melit-melit," kata Phang Lin sembari tertawa. "Senjata
rahasiamu hanya
dapat digunakan oleh Tokliong Tjoentjia. Kecuali muridnya sendiri, tak ada pula
yang mampu menggunakan senjata rahasia itu. Aku juga tahu, bahwa racun jarum itu hanya
dapat dipunahkan
dengan pil yang dibuat dari ilar burung Niauw-eng. Bukankah begitu?"
"Benar," jawabnya. "Tapi pil itu harus segera diberikan, lagi pula, meskipun
sudah menelan obat itu, tak bisa ia sembuh begitu cepat. Untuk berterus terang, di seluruh
dunia sudah tidak ada
yang punya obat itu lagi, bahkan juga aku sendiri. Dari mana kau mendapatkan
obat itu?"
Ketika meninggalkan Pulau Ular, Kim Sie Ie memang membekal sejumlah pil itu.
Sebagaimana diketahui, dalam pertemuan pertama dengan Pengtjoan Thianlie di gunung Gobie
san, ia sudah disemprot Yoe Peng dengan kata-kata tajam. Dalam gusarnya, ia bergulingan di
tanah, merobek bajunya dan kemudian melompat ke sungai. Karena itu, semua obatnya hilang di
dalam air. Ia merasa sangat menyesal tapi tak bisa mengambil kembali obat itu.
Phang Lin tertawa haha-hihi seraya berkata: "Obatku jauh lebih liehay dari
obatmu." Ia
.mengeluarkan sebutir pil merah sebesar bola kecil dan menggoyang-goyangnya di
tengah udara. Seketika itu juga, Kim Sie Ie mencium semacam bau aneh yang dikenalnya baik-
baik. Ia meloncat
dan berteriak: "Bagaimana kau bisa memiliki mustika itu" Apakah kau sahabat
guruku" Apakah
kau Lu Soe Nio?"
Phang Lin tertawa terpingkal-pingkal. "Hm! Kau hanya mengenal Lu Soe Nio,"
katanya. Sebenarnya ia lantas hendak memperkenalkan dirinya, tapi di lain saat ia
berpikir lain. Ia tidak
membenarkan dan juga tidak membantah dugaan Kim Sie Ie.
Pil merah itu mempunyai riwayat menarik, dan telah diperolehnya sebagai hadiah
dari Phang Eng, kakak perempuannya. Kira-kira tiga puluh tahun sebelumnya, ketika akan
menghembuskan napasnya yang penghabisan, majikan pulau Niauw-eng to, yaitu Sat Thian Tjek,
telah menghadiahkan pil tersebut kepada Phang Eng. Sebagai telah dikatakan oleh nyonya
itu, obat tersebut jauh lebih mustajab untuk memunahkan racun senjata rahasia Tokliong
Tjoentjia. Ketika
sang adik mau berangkat ke wilayah Tionggoan, Phang Eng telah memberikan pil itu


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada adiknya yang dikuatirkan akan mampir di Pulau Ular.
"Dimana gurumu?" tanya Phang Lin.
"Sudah meninggal dunia," jawabnya.
"Ah! Sayang! Sungguh sayang!" kata Phang Lin sembari menghela napas panjang-
panjang. Mendengar perkataan itu, di dalam hati Kim Sie Ie lantas saja timbul perasaan
suka terhadap nyonya tersebut. "Jika ia bukan Lu Soe Nio, paling sedikitnya ia tentu sahabat
Soehoe," pikirnya.
"Coba jalankanlah pernapasanmu," kata Phang Lin.
Kim Sie Ie segera bersila dan melakukan apa yang diminta oleh nyonya itu.
Mendadak kepalanya pusing dan terasalah hawa kotor naik, menyesakkan dadanya.
Dengan perlahan Phang Lin segera mengurut punggung pemuda itu. "Apakah kau
sekarang sudah insyaf, bahwa jiwamu berada dalam bahaya?" tanyanya.
Sesaat itu, Kim Sie le merasakan semacam hawa dingin menerobos masuk ke dalam
jantungnya dan ia kembali berada dalam keadaan setengah sadar. Dengan perlahan Phang Lin
menyentil kedua pipinya dan ia segera sadar kembali.
Pengalaman itu -- dadanya terasa sesak begitu lekas ia mengerahkan lweekang-nya
- - adalah pengalaman yang baru bagi Kim Sie Ie. Sebagai orang yang berkepandaian tinggi,
ia juga lantas insyaf, bahwa perkataan nyonya tersebut bukan gertakan belaka. Bukan main
terperanjatnya,
tetapi sedetik kemudian ia sudah tertawa terbahak-bahak. "Kawanan semut sukar
hidup untuk sehari, kutu-kutu tak mengenal musim semi dan musim rontok," katanya dengan
nyaring. "Aku
sudah hidup dua puluh tahun dan dibandingkan dengan mereka, aku sudah hidup
cukup lama. Sedang semua orang membenci aku, lebih cepat aku mati agaknya lebih baik, supaya
mata mereka tak usah melihat lagi romanku yang menyebalkan!"
"Bagaimana kau tahu, semua orang membenci kau?" tanya Phang Lin. "Bagiku, hidup
lebih lama malah lebih menyenangkan. Dunia ini sungguh indah dan penghidupan selalu
penuh kegembiraan!" Sembari berkata begitu, ia menekan punggung pemuda itu dengan
jerijinya. Pada
saat itu juga, hilanglah rasa sesak di dada Kim Sie Ie dan ia dapat bernapas
lagi dengan bebas. Ia
mengerti, bahwa dengan lweekang-nya yang sangat sempurna, si nyonya sudah
melancarkan lagi
aliran darahnya yang kalang kabut dan untuk bantuan itu, besar sekali terima
kasihnya. "Bagiku, ia
bukan sanak dan bukan saudara, tapi dengan suka rela ia sudah menolong diriku,"
katanya di dalam hati. "Benar juga, tidak semua orang membenci aku."
"Bagaimana?" tanya Phang Lin. "Apakah kau masih ingin mati?"
"Ah!" kata Kim Sie Ie. "Mengapa kau begitu memaksa hendak menolongku?"
"Aku senang, jika semua orang bisa hidup gembira," jawabnya. "Hatiku jengkel,
jika melihat kedukaan orang lain. Maka, pada hakekatnya, pertolongan itu kuberikan kepada
diriku sendiri,
yaitu untuk menyenangkan hatiku. Eh, hayolah ikut aku! Biarpun aku tak bisa
menjamin kau akan
hidup seratus tahun, tapi kutanggung kau akan dapat mencapai usia tua. Dalam
dunia terdapat banyak sekali hal yang menggembirakan hati. Kesalahanmu satu-satunya adalah,
bahwa kau tak mampu mencari kegembiraan!'
Selama berkelana dalam dunia Kangouw, setiap kali ia mempermainkan orang,
tujuannya adalah untuk mencari kegembiraan. Tentu saja ia menjadi kaget ketika mendengar
Phang Lin mengatakan, bahwa ia tak mampu mencari kegembiraan. "Kau benar-benar sangat
menarik," katanya sembari tertawa. "Baiklah, sekarang aku tak mau mati. Aku akan mengikuti
kalian mencari kegembiraan hidup. Kemana kau mau mengajak aku!"
"Jika diberitahukan, sebagian kegembiraanmu akan menjadi hilang," sahut Phang
Lin. Kim Sie Ie yang wataknya sama dengan ibu dan anak itu, lantas saja bertepuk
tangan dan berkata: "Bagus! Hayolah kita berangkat."
Demikianlah mereka segera meninggalkan Gobie san. Dari Soetjoan utara, mereka
melewati gunung Thaysoat san, Lengtjeng san dan lalu masuk ke Tibet, dari mana mereka
akan terus pergi
ke Sinkiang. Dengan watak mereka yang hampir serupa, di sepanjang jalan mereka
berkelakar dan bercakap-cakap dengan gembira, sehingga mereka tidak merasa kesepian. Tapi Phang
Lin tetap tak mau memperkenalkan diri dan juga sungkan memberitahukan kemana mereka
menuju. Jika sedang mengasoh di waktu malam, ia menurunkan ilmu Tjiansim modjie koeitjin
kepada Kim Sie le, sehingga, dengan bantuan ilmu tersebut, kecerdasan otak pemuda itu jadi
kembali seluruhnya,
juga lagaknya yang gila sudah berkurang banyak dan muncullah kegembiraan yang
wajar bagi seorang pemuda. Tak usah dikatakan lagi, bahwa ia sangat cocok dan bisa bergaul
secara baik sekali dengan Lie Kim Bwee.
Dengan masing-masing memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, dalam
dua puluh hari saja, mereka sudah tiba di Tibet.
Pada suatu hari, sedang mereka berjalan dengan gembira, tiba-tiba mereka melihat
suatu iringiringan
manusia di lembah sebelah bawah. Iring-iringan itu didahului delapan gajah putih
dengan payung-payung emasnya dan seluruh rombongan itu kelihatan megah sekali.
"Ibu, coba lihat!" kata Kim Bwee. "Bukankah iring-iringan Hoan-ong (raja) itu,
yang sedang meronda?" Phang Lin memperhatikan rombongan itu dengan matanya yang tajam. "Bukan,"
jawabnya. "Hoan-ong tidak biasanya begitu mewah. Mungkin sekali iring-iringan itu adalah
rombongan salah
seorang kepala agama. Ah! Sungguh menarik. Coba kuselidiki." Hampir berbareng
dengan perkataannya, badannya sudah meluncur turun belasan tombak. "Anak-anak!" ia
berseru dari tanjakan. "Ingat pesanku! Kamu jangan pergi ke tempat lain. Jika ada apa-apa
yang menarik, sudah pasti aku akan segera kembali untuk
memberitahukannya." Baru saja mengucapkan perkataan itu, dengan sekali
berkelebat, ia sudah menghilang, sehingga Kim Sie Ie sangat kagum akan ilmu mengentengkan badan
si nyonya yang begitu tinggi.
Pemuda itu tentu saja tidak tahu, bahwa Phang Lin -- selain ingin menyelidiki
iring-iringan itu --
mempunyai maksud lain. Dengan kesempatan itu, ia ingin membiarkan Kim Sie Ie
berada berduadua
saja dengan puterinya, agar mereka jadi lebih bebas untuk membicarakan segala
urusan pribadi. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa perginya itu sudah membawa akibat
lain. Sambil mengawaskan iring-iringan itu, sesaat kemudian Kim
Sie Ie berkata semhari menghela napas: "Kau sungguh beruntung mempunyai ibu yang
begitu baik!" "Ibumu?" tanya si nona.
"Sejak kecil aku sudah menjadi piatu, tak punya ayah ibu lagi," jawabnya dengan
sedih. "Kasihan!" kata Kim Bwee.
Mendadak, wajah pemuda itu berubah dan ia berkata dengan suara kaku: "Aku tak
perlu dikasihani orang!"
"Aku salah," kata si nakal sembari tertawa. "Janganlah gusar. Kau memang seorang
laki-laki luar biasa yang bisa berdiri di atas kedua kakimu sendiri." Sebagaimana
diketahui, Lie Kim Bwee
adalah seorang gadis berandalan yang suka sekali membawa maunya sendiri. Akan
tetapi, entah kenapa, terhadap Kim Sie Ie yang sifatnya lebih berandalan lagi, ia menjadi
jinak. Mendengar pujian itu, kemendongkolan Kim Sie Ie lantas saja reda. "Aku pun belum
pernah bertemu dengan orang yang begitu luar biasa seperti kau dan ibumu," katanya
sembari tertawa.
"Ibumu simpatik sekali, kepandaiannya tinggi, kepribadiannya menarik."
"Apa iya?" tanya Kim Bwee sembari tertawa nyaring. "Koko (kakak) tolol!
Sebenarnya ibuku
seperti juga ibumu sendiri. Kau tahu" Ia menyayang kau lebih-lebih daripada
aku." Inilah untuk
pertama kali dalam
penghidupannya, bahwa seorang manusia, wanita cantik, memanggil "Koko tolol!"
kepadanya dengan nada yang penuh kecintaan. Jantungnya berdebar keras dan ia merasakan
kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan.
Untuk beberapa saat, ia memandang ke tempat jauh tanpa melihat suatu apa.
Mendadak ia melompat dan berkata: "Eh, kenapa ibumu berlaku begitu baik terhadapku?"
"Ia mengatakan, bahwa sebatang kara kau terombang-ambing dalam dunia ini," jawab
si nona. "Nasib itu sangat mirip dengan nasibnya sendiri di waktu ia masih kecil."
"Apakah sedari kecil ibumu sudah tidak mempunyai ayah dan ibu?" tanya Kim Sie
Ie. "Benar," jawabnya. "Menurut ceritanya, ketika ia baru berusia kira-kira setahun,
keluarganya telah ditimpa bencana hebat. Kakek telah binasa dalam peristiwa itu dan sesudah
berselang kurang lebih dua puluh tahun, barulah nenek bisa bertemu pula dengan ibu."
"Kalau begitu, ibumu bukan Lu Soe Nio," kata pemuda itu.
Harus diketahui, bahwa Lu Soe Nio adalah orang yang paling dikagumi dan
dihormati oleh Tokliong Tjoentjia. Ketika masih hidup, sering sekali ia menceritakan riwayat
hidup pendekar wanita itu kepada muridnya. Kakek Lu Soe Nio, yaitu Lu Lioe Liang, adalah
seorang sasterawan
kenamaan pada jamannya. Ketika ayah Lu Liehiap, Lu Po Tiong, dibinasakan oleh
kerajaan Tjeng,
pendekar wanita tersebut sudah berusia dua puluh tahun lebih.
"Siapa kata ibuku Lu Soe Nio?" tanya si nona. "Kenapa kau menganggap ia sebagai
Lu Soe Nio?". "Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi, siapapun akan menduga, bahwa ia adalah
Lu Liehiap," kata Kim Sie Ie.
"Kau seperti juga kodok di dalam sumur," kata si nona sembari tertawa. "Hm!
Lagi-lagi aku mengejek kau. Jangan marah."
"Ejekanmu sekali ini kuterima dengan tangan terbuka," katanya. "Baru sekarang
aku percaya, bahwa dalam dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai."
"Terus terang saja, ibuku mungkin belum bisa menandingi Lu Soe Nio," kata si
nona. "Tapi ibu
sama tersohornya dengan Lu Liehiap, karena ia memang salah seorang dari tiga
pendekar wanita
di jaman ini."
Bukan main girangnya Kim Sie Ie. "Siapakah pendekar wanita yang satu lagi?"
tanya ia. "Iebo-ku," jawabnya.
"Kepandaian bibi masih jauh lebih tinggi daripada ibuku. Walaupun Iethio
sekarang menjadi
Tjiangboendjin Thiansan pay, tapi masuknya ke partai itu masih terlebih belakang
daripada Iebo. Tahukah kau, siapa bibiku" Ia bukan lain daripada ahli waris le Lan Tjoe, salah
seorang pendekar
dari Thiansan."
Dalam kegembiraannya memuji bibinya, Kim Bwee melupakan segala apa. Mendadak,
muka Kim Sie Ie menjadi pucat dan ia menanya dengan perlahan: "Ah! Kalau begitu,
Iethio-mu adalah
Tjiangboen dari Thiansan pay. Bukankah ia bernama Tong Siauw Lan?"
Si nona yang belum melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, lantas saja
menjawab sembari tertawa: "Benar. Kau ternyata sudah mengenal juga nama Iethio-ku.
Sekarang ini ibu
akan mengajak kau naik ke Thiansan untuk meminta pertolongan Iebo dan Iethio,
supaya mereka suka mengobati penyakit yang mengeram dalam tubuhmu!"
Kata-kata Kim Bwee itu dirasakan Kim Sie Ie sebagai sebuah palu yang menghantam
jantungnya. Mukanya lantas saja menjadi merah. Tabir rahasia yang sudah lama
ingin dibukanya,
sekarang sudah terbuka lebar-lebar. Insyaflah ia sekarang, bahwa lweekang yang
telah diyakinkannya adalah ilmu yang tidak benar, dan juga telah menewaskan gurunya
sendiri. Baru sekarang ia mengerti pesan gurunya supaya ia mencari ahli Thiansan pay untuk
memohon pertolongan. Dalam sekejap itu, segala kesangsian yang bertahun-tahun, telah
mengganggu pikirannya sudah terjawab semua.
Kim Sie Ie mempunyai watak angkuh dan ia gampang sekali tersinggung. Ia
senantiasa menganggap, bahwa ilmu silat gurunya nomor satu di kolong langit, sehinggga ia
tak mau tunduk kepada orang lain, apapula jika orang itu justru ayah Tong Keng Thian.
Sesaat kemudian, Kim Bwee sudah melihat perubahan pada wajah Kim Sie Ie itu.
"Koko tolol,"
katanya, sembari memaksakan diri untuk tertawa. "Kau sedang memikirkan apa?"
Kim Sie Ie menahan amarahnya. "Kalau begitu, Tong Keng Thian adalah piauwheng-mu


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

(saudara misan)," katanya.
"Benar! Kau kenal ia?" jawabnya dengan girang.
"Bukan saja kenal, malah bersahabat baik," kata Kim Sie Ie sembari tertawa
dingin. Mulutnya
mengatakan begitu, tapi hatinya berpikir lain. Tahulah ia sekarang, bahwa Phang
Lin adalah bibi
Keng Thian. Ia menganggap, bahwa nyonya itu sengaja mengatur siasat supaya ayah
Tong Keng Thian melepaskan budi kepadanya, sehingga ia tak mampu mengangkat kepala lagi di
hadapan Keng Thian. Dengan demikian, maksud Phang Lin yang sangat mulia, sudah salah
diartikan olehnya. Pada saat itu, ia kembali merasakan, bahwa dirinya sebatang kara dan di
mana-mana selalu dihina orang. Daripada dihina orang, ia lebih suka mati lekas-lekas.
Lie Kim Bwee tak bisa menebak pikiran pemuda itu. Sembari tertawa dan bertepuk
tangan ia berkata: "Ah! Kalau kalian memang sudah bersahabat, aku benar-benar merasa
girang." "Tak salah! Sungguh bagus!" kata Kim Sie Ie, suaranya sumbang. "Siasatmu juga
sangat bagus. Mari sini!"
Melihat muka Kim Sie Ie yang merah padam, si nona menduga, bahwa pemuda itu
diserang demam. "Kau sakit?" tanyanya sembari mendekati.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak, tertawa yang membangunkan
bulu roma. "Terima kasih banyak-banyak kepada kalian yang sudah mengatur siasat
begitu bagus!"
katanya. Mendadak, mendadak saja, jerijinya menotok jalan darah si nona!
Sedetikpun tak pernah
terkilas dalam pikiran Kim Bwee bahwa ia akan diserang secara begitu tiba-tiba.
Keruan saja, tanpa mengeluarkan suara, ia terguling dan roboh di atas tanah.
Di detik selanjutnya, ia mendengar suara tertawa kegila-gilaan pemuda itu, yang
semakin lama sudah semakin jauh.
Kim Bwee -- yang tertotok Djoanma hiat-nya (jalan darah yang membikin orang
lemas) - tak bisa berbangkit. Untung juga, sesudah mempelajari Tiamhiat hoat Kim Sie Ie dari
ibunya, ia bisa
membuka jalan darahnya sendiri. Sesudah mengerahkan lweekang-nya selama setengah
jam, kaki tangannya mulai bisa bergerak pula dan beberapa saat kemudian, ia sudah dapat
berdiri. Termangu-mangu, seperti kehilangan apa-apa, ia memandang gunung-gunung di
kejauhan. "Kenapa, baru saja ia masih baik-baik, mendadak kumat lagi penyakit gilanya,"
pikir si nona yang
menduga, bahwa pemuda itu benar-benar menderita penyakit gila. Suatu perasaan
aneh yang sukar dijelaskan datang kepadanya dan tanpa merasa, ia berlari-lari ke bawah
untuk mengejar si
Koko tolol. Begitu tiba di dasar lembah, sekonyong-konyong dari jurusan depan datanglah
iring-iringan itu
dengan delapan ekor gajah putihnya yang sangat besar.
Di punggung seekor gajah putih yang berjalan di tengah-tengah, kelihatan
berduduk seorang
Lhama yang bertubuh tinggi besar dan yang dipayungi dengan payung kuning.
Barisan gajah itu
diiring oleh enam belas Lhama yang menunggang kuda, sedang di kedua sampingnya
terdapat barisan wanita muda yang mengenakan pakaian putih. Di antara mereka, terdapat
satu nona yang sangat cantik dengan paras dingin dan agung. Ia duduk di atas kuda dengan badan
tak bergerak, seolah-olah satu patung batu.
Lie Kim Bwee yang menghampiri barisan itu sembari lari keras, tiba-tiba
mendengar satu bentakan: "Siapakah yang berani mengganggu iring-iringi Hoat-ong (Raja agama)?"
Berbareng dengan bentakan itu, seorang wanita yang memakai kudungan muka loncat turun dari
kudanya dan coba mencengkeram tangan si nona. Kim Bwee berkelit sembari mendorong dengan
kedua tangannya. Wanita itu, yang lantas saja terhuyung beberapa tindak, mengeluarkan
seman tertahan dan kemudian, sesudah memutar badan, ia merangsek pula.
Lie Kim Bwee tentu saja tidak mengetahui, bahwa wanita tersebut adalah Sengbo
atau Ibu Suci dari Lhama sekte Topi Putih. Ia juga tidak mendusin, bahwa secara tidak
disengaja, ia sudah
mengganggu iring-iringan Hoat-ong. Kedudukan Hoat-ong atau Raja agama dari sekte
Topi Putih adalah setingkat dengan kedudukan Dalai atau Panchen. Mereka dipandang sebagai
Budha Hidup. Maka itu, di mata para Lhama, gangguan Kim Bwee adalah pelanggaran yang sangat
hebat. Di lain saat, enam belas Lhama yang berpakaian putih sudah mengurung Kim Bwee
dalam satu lingkaran. Mereka mengawasi si nona tanpa mengeluarkan sepatah kata dan maju
mendekati setindak demi setindak.
Kim Bwee jadi bingung. "Eh, mau apa kau orang?" tanyanya.
"Perempuan siluman!" membentak satu antaranya. "Besar benar nyalimu, berani
mengganggu iring-iringan Hoat-ong! Kenapa kau tak lekas memohon ampun kepada Budha Hidup?"
"Yang mana Budha Hidup?" tanya si nona. "Coba beritahukan kepadaku." Ia berkata
begitu seperti satu anak kecil yang sangat ingin melihat apa-apa yang luar biasa.
Semua Lhama jadi sangat gusar dan dua antaranya segera bergerak. Yang satu
mengeluarkan tangan kiri, yang lain mengeluarkan tangan kanan dan membuat satu lingkaran,
akan kemudian, dengan serentak mereka coba membekuk Kim Bwee.
Dalam Rimba Persilatan, ilmu silat sekte Topi Putih merupakan satu cabang yang
istimewa. Pukulan itu, yang dinamakan Kimkong Menangkap Siluman, adalah lebih hebat
daripada Kinna tjhioehoat (ilmu menangkap) dari wilayah Tionggoan. Tapi di luar dugaan, Kim
Bwee yang semenjak kecil sudah dilatih baik oleh kedua orang tuanya, gesit luar biasa.
Baru saja tangan
kedua Lhama itu bergerak, sembari tertawa nyaring, bagaikan seekor ikan, ia
melejit dari serangan itu. Kedua Lhama tersebut terkesiap dan buru-buru balik ke kedudukannya
yang semula. Masih untung, si nona belum menoblos keluar dari kurungan.
"Eh!" berteriak Kim Bwee dengan suara nyaring. "Jalan raya bukan dimiliki oleh
kau orang. Seorang Budha Hidup mestinya mempunyai hati yang murah. Kenapa kau orang
menjajah jalan"
Apakah berjalan disini merupakan satu kedosaan?" Enam belas Lhama itu sama
sekali tak menggubris teguran si nona. Perlahan-lahan mereka memperkecil lingkaran. Dengan
hati bingung, Kim Bwee menerjang ke sana-sini, tapi kurungan itu teguh bagaikan tembok
tembaga. "Hei!" ia berteriak pula sesudah usahanya untuk menoblos keluar tidak berhasil.
"Masakah enam belas lelaki gagah menghina seorang perempuan" Apa kau orang tak mengenal
malu?" Dalam jengkelnya, ia menunduk dan terus menyeruduk kurungan itu.
Sekonyong-konyong dua Lhama mengeluarkan suara tertawa aneh sedang mukanya
memperlihatkan paras seperti orang yang kena digaruk di bagian badannya yang
gatal. Karena tertawanya itu, badan mereka agak miring dan Kim Bwee sungkan menyia-nyiakan
kesempatan bagus, lantas saja menerobos keluar dari lubang itu. Sembari melompat, si nona
merasa heran dalam hatinya. "Ah! Mereka tentu merasa jengah karena dicaci olehku dan sengaja
melepaskan aku," katanya didalam hati. Ia menengok, menjebi dan terus kabur.
Tapi, baru saja lari beberapa tindak, dua ekor gajah sudah menghadang di depan
dan dua Lhama yang bersenjata Kioehoan Sekthung (toya timah) mencegat jalan.
"Hei! Benar-benar kau orang mau berkelahi?" membentak Kim Bwee sembari membabat
dengan pedang pendeknya. Dengan satu suara "trang!", pedangnya terpukul balik,
sedang toya si Lhma sama sekali tidak bergeming. Kedua Lhama itu adalah murid Hoat-ong yang
berkepandaian paling tinggi dan yang dulu pernah dikirim untuk coba merampas guci emas.
Sekarang Kim Bwee yang nakal benar-benar bingung. Jalan di depan dicegat, sedang
dari belakang mendatangi enam belas Lhama. Selagi hatinya kebat-kebit, sekonyong-
konyong Lhama yang badannya tinggi besar dan paras mukanya merah, berkata dengan suara agung:
"Anak itu belum mengerti apa-apa, biarlah dia pergi." Sembari berkata begitu, dari atas
punggung gajah, ia
mengebas dengan hudtim-nya. Mendadak, Kim Bwee merasa dirinya didorong dengan
semacam tenaga yang tidak kelihatan, sehingga ia jungkir balik. Hampir berbareng, dua
Lhama yang menghadang di depan minggir ke kiri kanan, dan enam belas Lhama yang sedang
merangsek dari belakang, juga menghentikan gerakannya. "Benar juga apa yang dikatakan oleh anak
itu," kata
pula Lhama yang tinggi besar. "Seorang Budha Hidup harus mempunyai hati yang
murah." Sehabis berkata begitu, ia mengucapkan beberapa perkataan dalam bahasa Tibet,
seperti orang sedang memberi berkah kepada si nona.
Kim Bwee menengok dan mendapat kenyataan, bahwa semua Lhama berdiri tegak dengan
sikap menghormat. "Ah! Kalau begitu dia adalah Budha Hidup yang dimaksudkan,"
katanya di dalam hati. Ia tak berani mengawaskan lama-lama dan lalu kabur secepat mungkin.
Sesudah lari dua tiga li, di tanjakan sebelah depan kelihatan menunggu seorang
wanita. "Kimdjie!"
berseru wanita itu yang bukan lain daripada ibunya sendiri. "Kau sungguh berani
mati! Lekas kemari!" Kim Bwee mempercepat tindakannya dan di lain saat, ia sudah berada dalam pelukan
ibunya. "Aku sendiri tidak berani mengganggu mereka," kata Phang Lin sembari tertawa.
"Jika tidak
ditolong olehku, kau akan merasakan lebih banyak penderitaan!"
"Ah! Sekarang aku tahu!" kata si nona. "Dua Lhama itu tentu juga ditimpuk
Siauwyauw hiat-nya
(jalan darah yang membangkitkan perasaan geli) olehmu. Tadinya aku menduga,
bahwa mereka melepaskan aku karena merasa jengah dicaci olehku."
Ternyata, kedua Lhama itu sudah ditimpuk oleh Phang Lin dengan menggunakan ilmu
Hoeihoa tjekyap (menggunakan bunga dan daun sebagai senjata rahasia). Dengan menggunakan
bunga atau daun, ia dapat membinasakan musuh atau menotok jalanan darah. Lie Kim Bwee
yang lweekang-nya masih sangat cetek, tentu saja belum bisa belajar ilmu yang tinggi
itu. Tapi begitu
mendengar perkataan ibunya, ia segera mengetahui, bahwa tadi ia sudah dibantu
oleh sang ibu. Ia tertawa dan berkata: "Hm! Tadinya aku kira Budha Hidup itu seorang baik. Tak
tahunya, ia sudah melepaskan aku karena takuti ibuku!"
"Jangan ngaco!" membentak Phang Lin dengan suara keras. "Hoat-ong adalah seorang
yang berhati sangat mulia. Aku sendiri sangat menghormati padanya. Jangan kau mengaco
belo! Apa kau tahu, untuk apa mereka datang kesini?"
"Tidak," jawab puterinya.
"Barusan, sesudah menyelidiki, aku mengetahui duduknya persoalan," menerangkan
sang ibu. "Di sebelah depan terdapat satu kota, Sakya namanya. Sekarang ini, Raja agama
dari sekte Topi Putih sudah mengadakan perdamaian dengan Lhama dari sekte Topi Kuning.
Panchen sudah mempermisikan mereka untuk menyebarkan pula agama mereka di Tibet dan mendirikan
satu kuil Lhama yang sangat besar di kota Sakya. Kedatangan Hoat-ong dengan murid-muridnya
ke kota Sakya, adalah untuk meresmikan pembukaan kuil tersebut."
"Apakah dalam tempo yang sependek itu ibu sudah pergi ke
Sakya?" tanya Kim Bwee.
"Pendek" Sudah setengah harian!' kata Phang Lin sembari tertawa. "Apa belum
cukup kau beromong-omong dengan dia" Eh! Mana Kim Sie Ie?"
Paras muka si nona lantas saja berubah. "Dia kumat lagi penyakit gilanya,"
jawabnya dengan
suara duka. "Dia kabur, entah kemana."
"Ngaco!" membentak sang ibu. "Beruntun beberapa hari, dengan ilmu Tjiansimmo aku
menekan 'api' yang bisa membakar dirinya. Menurut perhitunganku, paling sedikit
ia bisa mempertahankan diri selama tujuh puluh dua hari. Tak mungkin ia gila mendadak.
Urusan apa yang sudah dibicarakan oleh kau orang selama aku pergi?"
"Tidak, sama sekali kita tidak bicarakan apa-apa yang penting," kata Kim Bwee.
"Aku hanya
memberitahukan kepadanya, bahwa kau ingin membawa dia ke Thiansan untuk memohon
supaya Iethio suka mengobati padanya."
Phang Lin menghela napas panjang. "Kau benar-benar bocah tak tahu urusan," ia
berkata dengan suara menyesal. "Aku justru sangat kuatir, ia sungkan menerima budi
orang, karena wataknya yang angkuh. Maka itu, aku sengaja sudah mempedayai ia. Tapi, kau yang
membuka rahasia! Kau tentu tak mengetahui, bahwa dia dan Tong Keng Thian mempunyai
ganjelan hati."


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ganjelan apa?" tanya Kim Bwee dengan suara heran.
Sang ibu kembali menghela napas panjang. "Hai!" katanya. "Benar-benar kau lebih
gila daripada aku, waktu aku semuda kau. Kau lebih suka mencampuri urusan orang lain,
daripada aku. Sudahlah! Tak perlu aku memberitahukan kau. Sekarang sekali lagi aku mesti
capai hati untuk mencari dia. Hai! Anak perempuan sudah besar, benar-benar memusingkan
kepala!" Paras muka si nona lantas saja berubah merah. "Siapa suruh kau mencari dia?" ia
tanya sembari monyongkan mulut.
"Baiklah," jawab sang ibu. "Hm! Di kolong langit memang terdapat banyak sekali
lelaki gagah. Tapi aku tahu, tak satupun yang cocok dengan adat gilamu. Bukankah begitu?"
"Benar," jawab puterinya sembari merengut.
"Nah, kalau begitu paling baik kita cari dia," kata pula sang ibu sambil
menyengir. "Mari! Kita
pergi ke Sakya untuk melihat-lihat keramaian. Kim Sie Ie juga suka ramai-ramai.
Dia tentu tidak
pergi jauh." Sambil berkata begitu, ia berjalan dengan menyeret tangan
puterinya. Sakya adalah sebuah kota pegunungan yang sangat indah di Tibet Selatan. Biasanya
kota itu sangat sepi, tapi sekarang, berhubung dengan kedatangan Hoat-ong Sekte Topi
Putih, maka tempat yang sunyi itu dengan mendadak menjadi ramai, dikunjungi tetamu dari
tempat-tempat jauh. Touwsoe dan Soanwiesoe Tan Teng Kie jadi repot bukan main, karena mereka
harus menyediakan tempat penginapan dan makanan untuk Raja agama (Hoat-ong) itu dan
sekalian pengiringnya. Di seluruh kota Sakya hanya ada seorang yang senggang dan nganggur
dan yang duduk melamun di taman bunga Soanwiesoe sambil menghela napas berulang-ulang.
Orang itu adalah Tan Thian Oe, putera Tan Teng Kie.
Begitu Thian Oe kembali ke Sakya bersama ayahnya, si Touwsoe lantas saja
mengajukan pula
soal yang lama, yaitu soal perangkapan jodoh antara puterinya dan pemuda itu.
Thian Oe menghadapi desakan itu dengan menggunakan siasat mengulur waktu, sedang sang
ayah pun, yang tak penuju calon menantu itu, membantu puteranya dengan mengusap-usap si
Touwsoe. Sementara itu, atas nasehat puteranya, Teng Kie telah memerintahkan Kang Lam
pergi ke kota raja dengan membawa suratnya untuk seorang berpangkat Tjiesoe yang masih terkena
sanak dengannya. Dalam surat itu ia meminta pertolongan supaya sanak tersebut
mengajukan permohonan kepada kaizar, agar ia diperbolehkan pulang dengan mengingat jasanya
waktu menyambut guci emas. Akan tetapi, karena perjalanan yang sangat jauh, sesudah
pergi kurang lebih setengah tahun, Kang Lam belum juga memberi warta suatu apa. Ayah dan anak
itu melewati hari dengan hati mendongkol, karena si Touwsoe sering sekali mengganggu
mereka dengan undangan-undangan untuk menghadiri perjamuan, dimana sang puteri coba
memikatmikat Thian Oe, yang jadi serba salah, tertawa salah, menangis pun keliru.
Hari itu, Tan Teng Kie dan Touwsoe menyambut Hoan-ong, sedang semua pegawai
kantor Soanwiesoe pun pergi keluar untuk melihat keramaian. Thian Oe sendiri yang tidak
mempunyai kegembiraan untuk pelesir, dan ia menyembunyikan diri di dalam gedung. Sampai
jauh malam, ayahnya belum pulang dan suara ramai-ramai pun belum mereda. Kira-kira tengah
malam, seorang diri ia pergi ke taman bunga. Sang rembulan memancarkan sinarnya yang
dingin dan taman itu seolah-olah mandi dalam lautan perak. Sambil menghela napas, Thian Oe
mendongak dan berkata dengan suara duka: "Ah, malam ini tiada bedanya dengan malam dulu
itu. Malam di musim semi dan bulan yang bersinar perak. Tapi dimana sekarang adanya Chena"
Malam itu ia mendampingi aku, tapi sekarang..."
Pada saat itu, Chena yang cantik manis, dengan senyuman yang penuh rahasia,
kembali terbayang di depan matanya. Hanya beberapa kali ia bertemu dengan gadis Tsang
itu, tapi tak dapat ia melupakannya lagi. Ia ingat peristiwa melempar golok di gedung Touwsoe,
ia ingat pertemuan di gunung belukar pada malam itu, dimana untuk pertama kalinya ia
mengetahui asalusul
si nona, ia ingat pula pertemuan di istana es yang seperti surga, pertemuan yang
tak akan dapat dilupakannya. Tak dinyana, bahwa Puncak Es akan roboh dan akhirnya ia
kembali ke Sakya
tanpa mendapat warta apapun juga tentang gadis yang dicintainya itu.
"Apakah Chena binasa dalam bencana alam itu?" ia tanya dirinya sendiri berulang-
ulang. Di lain saat, ia menghibur hatinya: "Jika Yoe Peng selamat, Chena juga tentu bisa
meloloskan diri."
Sementara itu, suara keramaian sudah mulai mereda, tapi Thian Oe masih duduk
terpekur di antara pohon-pohon bunga.
Mendadak terdengar suara berkreseknya daun-daun dan tindakan kaki yang sangat
enteng. Thian Oe agak terkejut dan menoleh ke arah suara itu. Ia terkesiap karena apa
yang dilihatnya
adalah seorang wanita muda yang mengenakan pakaian serba putih dan yang
menghampirinya dengan bibir tersungging senyuman.
Ia mengawaskan dengan mata membelalak. "Chena!" teriaknya. "Apa aku lagi mimpi?"
"Bukan, bukan mimpi," kata wanita itu. "Tapi, memang tiada beda dengan impian."
Senyumannya belum hilang, air matanya sudah berlinang-linang. Wanita itu memang
Chena adanya! Thian Oe menggigit jarinya kuat-kuat. Ia melompat karena kesakitan dan berteriak
sebab kegirangan. "Chena! Bukan impian! Kita benar-benar bertemu pula. Kita tak akan
berpisahan lagi!"
"Ya, kita tak akan berpisahan lagi," kata si nona.
Thian Oe memeluk erat-erat seolah-olah ia kuatir kecintaannya menghilang dengan
mendadak. Sekonyong-konyong ia melihat berlinangnya air mata dan paras yang penuh
kedukaan. Ia merasa
seperti diguyur dengan air dingin. "Chena," katanya dengan suara bingung.
"Kenapa kau" Apa
yang dipikiri olehmu" Bukankah kau sudah berjanji, bahwa kita tak akan
berpisahan lagi!"
"Aku selalu berada di dampingmu," jawabnya secara menyimpang. "Apakah dalam
impian, kau tak pernah mimpi bertemu denganku?"
"Benar," kata Thian Oe. "Setiap kali bermimpi, aku selalu mimpi bertemu
denganmu... kau
sedang tertawa, sedang berdiri di bawah sinar bulan, sedang menangis... Tapi itu
semua sudah lewat. Mulai dari sekarang, kita tak akan mengenal kesedihan lagi, kita akan
berada dalam - kebahagiaan."
"Aku juga sering mimpi bertemu denganmu," kata Chena. "Dengan demikian dapat
dikatakan, bahwa kita sebenarnya belum pernah berpisahan."
"Tidak," kata Thian Oe. "Apa yang diingin olehku bukan dunia mimpi. Aku
menghendaki berkumpul secara abadi."
Mata si nona mengawasi ke tempat jauh dan ia berkata dengan suara serak: "Apa
artinya sungguh" Apa artinya mimpi" Apa yang dikatakan sekejap mata" Dan apa yang
dinamakan abadi?" Thian Oe terperanjat. Ia menatap muka si nona tanpa bisa menjawab. Pertanyaan-
pertanyaan itu sudah terdengar semenjak dahulu, memang belum dapat dijawab oleh ahli-ahli
pemikir sehingga di jaman ini.
Di luar, sayup-sayup masih terdengar suara orang berpesta, suara penjual silat,
suara tukang sulap, suara menyanyi...
Untuk beberapa lama, kedua orang muda itu saling memandang tanpa mengeluarkan
sepatah kata. Kemudian, dengan sorot mata berduka dan dengan suara agak gemetar. Chena
menyanyi dengan perlahan:
Cinta abadi adalah sinar terang
yang sekelebatan,
Bagaikan berkeredepnya kilat di
tengah udara gelap gulita,
Tapi walaupun hanya untuk
sekejapan. Kemuliaan sang kekasih sudah terlihat nyata.
Itulah sebuah nyanyian rakyat Nepal yang merembes masuk ke Tibet, nyanyian yang
gembira, tercampur sedih. Thian Oe berduka sangat. Ia bengong dan kemudian berkata dengan
suara perlahan: ."Apa artinya sekejap mata" Apa arti abadi" Tidak! Yang dikehendaki
olehku adalah abadi yang bahagia!"
"Thian Oe," kata si nona sembari mesem. "Sekarang kita jangan rewel tentang hal
yang tak penting. Biarpun bagaimana juga, kita sudah bertemu kembali dan biarpun bagaikan
berkeredepnya kilat di tengah udara yang gelap gulita, apakah dalam tempo yang
sependek itu, kita tak bisa mengicipi kebahagiaan yang sebesar-besarnya" Thian Oe, cobalah kau
bicara tentang sesuatu yang menggembirakan."
Thian Oe terperanjat, mukanya lantas saja berubah pucat. "Apa?" ia menegas.
"Apakah pertemuan kita ini hanya seperti berkelebatnya kilat" Kenapa kau tak bisa
berdiam terus disini?"
Si nona menghela napas. "Hai! Kau tak tahu," katanya. "Untuk mengadakan
pertemuan ini, aku
sebenarnya sudah menempuh bahaya yang sangat besar. Sudahlah, Thian Oe! Jangan
kau menanya banyak-banyak. Marilah, kita bicarakan saja tentang sesuatu yang
menggirangkan hati.
Aku tak bisa berdiam lama-lama. Aku mesti segera berlalu!"
Kata-kata itu adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Thian Oe
ternganga. Ia hanya
mengawasi muka si nona dengan sorot mata menanya.
"Thian Oe..." kata pula Chena, sambil tertawa. "Hayolah! Mari kita
bergembira..." Suaranya
bergemetar dan meskipun ia tertawa, nada suara itu lebih menyayatkan hati
daripada tangisan.
"Chena... sesudah kau mengatakan, bahwa kau akan segera berlalu, apakah aku
masih bisa bergembira?" tanya Thian Oe.
"Satu kali, kita pernah mengalami bencana robohnya Puncak Es dan kita sudah
terlolos dari bencana itu. Apakah sekarang kita sedang menghadapi bencana yang kedua, yang
lebih hebat daripada yang pertama?"
"Sedari dilahirkan, bencana memang membayangi diriku terus menerus," jawabnya.
"Aku tak dapat mengelakkannya. Ah! Kau tak tahu..."
"Aku tahu! Aku tahu semuanya," kata Thian Oe. "Aku tahu, kau ingin membalas
sakit hati. Chena, kita sama-sama hidup dan mati pun sama-sama. Marilah kita pergi membalas
sakit hati bersama-sama. Andaikata, dengan berkah Tuhan, kita tak mati, kita boleh lantas
melarikan diri ke
selatan, ke kampung kelahiranku."
Si nona kembali tertawa, tertawa duka. "Anak tolol," katanya. "Sakit hati yang
dalam bagaikan lautan, mana bisa diwakili" Di samping itu, aku tak bisa mempermisikan
mengamuknya badai di
Tibet, karena urusan pribadiku. Soal pembalasan sakit hatiku adalah soal remeh.
Tapi begitu lekas
kau campur tangan, soal itu akan menjadi besar."
Thian Oe insyaf, bahwa si nona bicara sejujurnya. Ayahnya adalah Soanwiesoe dari
Sakya. Karena kuatir terjadi pemberontakan para Touwsoe di Tibet, maka selain mengirim
Hok Kong An untuk menilik dari Lhasa, kaizar Tjeng telah mengirim juga Soanwiesoe ke
berbagai tempat
dengan tugas "menempel" dan mengawasi sepak terjangnya para Touwsoe itu. Jika ia
benarbenar membantu Chena dan membinasakan Touwsoe dari Sakya, maka ayahnya sudah pasti
akan mendapat hukuman mati. Juga terdapat kemungkinan timbulnya sengketa yang lebih
besar garagara itu. Dengan air mata berlinang-linang, Chena dongak mengawasi awan yang terombang-
ambing di atas langit. "Jika kau mati, aku pun tak bisa hidup terus," kata Thian Oe.
"Tidak, kau tak boleh mati," kata si nona. "Kau masih mempunyai banyak sekali
tugas. Di samping itu, aku pun belum tentu mati."
"Kalau begitu, biarlah aku menunggu kau," kata Thian Oe. "Tak perduli apa kau
hidup atau mati, aku akan menunggu terus."
Chena menghela napas. "Terima kasih," katanya. "Tapi, apa kau tahu, siapa aku
sekarang" Seumur hidup, aku tak boleh mencintai atau menikah dengan seorang pria.
Kedatanganku

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang sudah melanggar peraturan. Thian Oe, sebaiknya kau menganggap, bahwa
pertemuan ini adalah pertemuan di dalam mimpi."
Mendengar perkataan itu, bukan main kaget dan herannya Thian Oe. "Kenapa?" ia
menegaskan. "Aku mengetahui, bahwa kau adalah puteri Raja muda Chinpu. Apakah
puteri seorang raja muda di negerimu tidak boleh menikah dengan seorang Han"'
Pada jaman itu, di Tibet memang ada kebiasaan tersebut. Akan tetapi, Thian Oe
sudah menebak salah, karena hal itu bukan sebab yang terutama.
Si nona tak menyahut, ia terus menunduk.
"Sudahlah!" kata Thian Oe dengan suara keras. "Jika begitu, aku tak akan menikah
seumur hidup." Chena menyeka air matanya dengan tangan baju dan mendadak ia tertawa. "Kau
adalah manusia pertama yang mengenal jiwaku," katanya. "Kebahagiaanmu adalah
keberuntunganku.
Aku ingin sekali kau bisa hidup beruntung. Apa kau tahui"
"Aku tahu," jawabnya.
"Kalau begitu, kau dengarlah perkataanku," katanya pula. "Pengtjoan Thianlie
telah membuang banyak budi kepadaku dan ia adalah orang kedua dalam dunia ini yang dapat
menyelami isi hatiku. Aku menganggapnya sebagai kakakku sendiri."
"Aku tahu," kata Thian Oe. "Aku pun pernah mendapat banyak sekali pertolongannya
dan aku merasa sangat berterima kasih."
Chena kembali menghela napas, sedang kedua matanya mengawasi ke tempat jauh.
"Thianlie Tjietjie banyak lebih beruntung daripadaku," katanya dengan suara perlahan.
"Tong Keng Thian
mencintainya dengan segenap hati, seperti juga kau..." Mukanya mendadak berubah
merah dan ia tak dapat meneruskan perkataannya.
"Dalam ilmu silat, aku memang tak dapat dibandingkan dengan Tong Keng Thian,"
kata Thian Oe. "Tapi... mengenai rasa cintaku, aku sedikitpun tak kalah dengannya."
Chena tersenyum, senyuman puas yang, untuk sejenak, telah menyapu awan kedukaan
dari mukanya. Sesaat kemudian, ia berkata pula: "Orang ketiga yang mengenal jiwaku
adalah Yoe Peng, dayangnya Thianlie Tjietjie. Ia adalah seorang yang selalu bergembira,
sehingga siapa juga
yang bergaul dengannya, akan turut merasa gembira."
Thian Oe terkejut. "Apa maksudnya perkataan Chena?" ia tanya dirinya sendiri, la
menatap wajah si nona dengan rasa kasihan dan kemudian berkata: "Chena, aku hanya bisa
berkumpul dengan kau seorang. Dalam dunia ini, tiada lain manusia yang bisa dibandingkan
denganmu."
Si nona dongak dan melihat sang rembulan yang sudah doyong ke barat. Untuk
sekian kalinya ia menghela napas. "Sekarang benar-benar aku mesti lantas berlalu," katanya.
"Tidak!... Tidak!... Chena, kau tak boleh meninggalkan aku dengan begitu saja!"
kata Thian Oe dengan suara serak, sambil mencekal erat-erat ujung baju si nona.
Tiba-tiba di sebelah kejauhan terdengar suara lonceng. Si nona kelihatan
terkejut dan lalu mulai
menghitung dengan suara perlahan: Satu... dua... tiga... dua belas... tiga
belas... tujuh belas...
delapan belas..."
"Kenapa kau menghitung?" tanya Thian Oe. "Apa suara lonceng itu dari istana
sementara Hoatong?"
"Sudah hampir sembahyang pagi," jawabnya.
"Sembahyang pagi?" menegas Thian Oe, sambil menatap wajah si nona.
Chena melengos. Mendadak ia berkata: "Hoat-ong sudah tiba disini dan kota Sakya
ramai bukan main. Dua hari lagi akan diadakan upacara pembukaan kuil Lhama."
"Tanpa kau, aku tak mempunyai kegembiraan untuk menyaksikan keramaian apapun
juga," kata Thian Oe. "Aku tak ingin menyaksikan pembukaan kuil itu."
"Baiklah," kata si nona dengan tertawa sedih. "Biarlah sekarang saja kita
berpisahan." Hampir
berbareng dengan perkataannya, ia menghunus sebilah pisau dan memotong ujung
bajunya yang sedang dicekal Thian Oe dan di lain saat, ia sudah berada di atas tembok!...
Bagaikan orang lupa ingatan, Thian Oe berdiri terpaku dengan mulut ternganga.
Kejadian barusan seolah-olah suatu impian menakuti. Ia merasa otaknya pusing dan tak
dapat bekerja lagi.
Kenapa Chena datang untuk segera pergi lagi dengan begitu terburu-buru" Apa arti
perkataanperkataannya"
Kenapa ia tak boleh menikah" Peraturan apa yang dilanggarnya" Berbagai
pertanyaan masuk ke dalam otaknya, pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat
jawabnya. Sementara itu, fajar mulai menyingsing dan orang-orang yang bersuka ria sudah
mulai pulang. Mereka tak tahu, bahwa sang majikan muda juga tak tidur semalam suntuk. Karena
sudah ketelanjur, mereka tidak lantas pergi tidur dan lalu beromong-omong. Thian Oe
adalah majikan yang selalu bersikap manis terhadap pegawai dan bujang, sehingga mereka tidak
merasa takut untuk bicara di hadapannya.
"Sayang sungguh Wanita-wanita Suci itu mengenakan kudungan muka," kata yang
satu. Thian Oe kaget dan segera mendekati sambil menanya: "Wanita Suci apa?"
Yang baru pulang menonton ada delapan orang dan mereka lantas saja memberi
keterangan. "Wanita Suci yang dibawa Budha Hidup. Agama Topi Putih berbeda dengan Topi
Kuning. Topi Putih boleh mempunyai Lhama wanita."
"Menurut katanya orang, Wanita Suci itu pandai menyanyi dan menari. Pada upacara
pembukaan kuil, mereka akan memperlihatkan kepandaiannya."
"Ya. Mereka kelihatannya cantik sekali, hanya sayang mengenakan kudungan muka."
"Kau jangan mengeluarkan perkataan gila-gila! Menurut pendengaranku, Wanita Suci
itu sungguh-sungguh suci dan tak boleh dilanggar-langgar. Jika kau tak turut
menghadiri upacara,
mencuri lihat saja sudah merupakan satu kedosaan."
"Apa dia tak boleh menikah?"
"Tidak! Jangankan menikah, sedangkan bicara dengan lelaki sudah tak boleh."
"Ah! Sungguh sayang! Setiap Wanita Suci itu pasti cantik luar biasa. Pakaiannya
saja sudah begitu indah. Baju dan koen serba putih dan dua ikatan pinggang sutera yang
berwarna putih pula. Setiap orang ramping badannya, ceking pinggangnya dan kalau dia berjalan,
aduh! Bagaikan Puteri Kahyangan yang turun ke bumi!'
Thian Oe mendengari pembicaraan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata, hanya
jantungnya semakin lama memukul semakin keras. "Apa Chena sudah jadi Wanita Suci" Kenapa ia
mau jadi Wanita Suci?" tanyanya di dalam hati. Pikirannya jadi semakin kusut, kepalanya
semakin pusing.
Semalam ayahnya menginap di gedung Touwsoe dan sampai tengah hari belum juga
pulang. Pagi itu, seperti orang kehilangan semangat, Thian Oe duduk termenung dalam
kamar tulis sambil
mengasah otak untuk memecahkan teka-teki sekitar kecintaannya itu.
Tiba-tiba ia terkejut karena terdengarnya suara orang memanggil: "Kongtjoe, ada
tamu." "Siapa?" tanyanya. Alisnya berkerut dan ia berkata pula sambil mengebas tangan:
"Hari ini aku
tidak menerima tamu. Minta dia datang di lain hari saja."
"Baiklah," kata si pelayan, tapi ia terus berdiri di depan pintu.
"Ada apa?" tanya pula Thian Oe.
"Menurut katanya tamu itu, ia adalah sahabat Kongtjoe," jawabnya. "Pengurus
rumah tanga sedang menemaninya di kamar tamu."
"Siapa ia?" menegas Thian Oe dengan perasaan heran, karena si pengurus rumah
tangga sudah berani menerima tamu itu tanpa permisi.
"Dandannya seperti seorang sasterawan dan ia she Tong," menerangkan si pelayan.
"Menurut katanya pengurus rumah tangga, ia pernah membuang budi besar kepada Looya."
"Aduh!" teriak Than Oe sambil berlari-lari keluar tanpa menukar pakaian lagi.
Tamu itu bukan lain daripada Tong Keng Thian. Pengurus rumah tangga keluarga Tan
pernah mengikut Tan Teng Kie waktu menyambut guci emas, sehingga ia mengenali pemuda
itu. Tak usah dikatakan lagi, pertemuan itu sangat menggirangkan kedua belah pihak.
"Tong-heng," kata Thian Oe sambil menjabat erat-erat tangan Keng Thian. "Angin
apa yang sudah meniup kau datang kemari" Benar-benar aku bisa pingsan karena kegirangan."
"Kebetulan lewat, aku mampir," jawabnya. "Dan lebih-lebih kebetulan, karena kota
ini sedang bersuka ria."
"Apa Tong-heng ingin menyaksikan upacara pembukaan kuil?" tanyanya.
"Boleh dikatakan ya, boleh dikatakan tidak," sahutnya.
Melihat paras tamunya seperti orang yang ingin membicarakan suatu rahasia, Thian
Oe lantas saja berkata: "Marilah masuk, supaya kita bisa bicara dengan leluasa dan
gembira." Tanpa
menunggu jawaban, ia menuntun tangan Keng Thian yang lalu diajak ke kamar buku.
Baru saja pelayan mengantarkan teh, Keng Thian sudah berbisik: "Bagaimana dengan
Chena?" Thian Oe berjingkrak bahna kagetnya. Cangkir teh jatuh dan hancur di lantai.
"Tong-heng, kau
kenal Chena?" tanyanya dengan suara gemetar.
Sebagai seorang yang sangat pintar, Keng Thian lantas saja dapat menebak, bahwa
gadis Tsang itu adalah jantung hatinya Thian Oe.
"Dimana Tong-heng bertemu dengannya?" tanya Thian Oe, tak sabaran.
"Di istana Hoat-ong Sekte Topi Putih," jawabnya. "Sungguh sayang, waktu itu aku
belum tahu, bahwa ia adalah gadis idam-idamanmu. Jika 'ku tahu, aku tentu akan membujuk
supaya ia mengurungkan niatan untuk menjadi Wanita Suci." Sesudah itu, secara ringkas ia
lalu menuturkan
segala pengalamannya di istana Hoat-ong dan di keraton Wanita Suci.
"Kalau begitu, dia sendiri yang rela menjadi Wanita Suci," kata Thian Oe dengan
suara perlahan. "Tapi kenapa" Kenapa"..."
Mereka segera coba menduga-duga, tapi tak dapat menebak apa maksudnya Chena.
Waktu magrib, Tan Teng Kie pulang dan kunjungan Keng Thian menggirangkan sangat
hatinya. Biarpun
sangat lelah, ia memaksakan diri untuk menemani pemuda itu dan menghaturkan
terima kasih untuk segala pertolongannya pada waktu penyambutan guci emas. Dalam omong-omong,
mereka tentu saja membicarakan juga soal kedatangan rombongan Hoat-ong dengan Wanita-
wanita Suci yang sangat menarik perhatian. "Sebenarnya Touwsoe ingin membuat satu tempat
istimewa dalam bentengannya untuk tempat menginap para Wanita Suci," "menerangkan Teng
Kie. "Ia juga
ingin memerintahkan budak-budak perempuannya untuk belajar menari dengan Wanita
Suci itu. Hoat-ong tidak berkeberatan, tapi Ibu Suci katanya tidak menyetujui. Belakangan
mereka membuat sebuah tempat penginapan di dalam taman istana sementara Hoat-ong.
Touwsoe merasa sangat mendongkol, tapi ia tak bisa berbuat suatu apa."
Hati Thian Oe berdebar-debar, tapi tidak mengatakan apa-apa. Tak lama kemudian,
sebab merasa terlalu capai, Teng Kie lalu meminta maaf kepada Keng Thian dan masuk ke
dalam untuk mengasoh. Begitu ayahnya berlalu, Thian Oe segera mengajak tamunya kembali ke kamar tamu
dan begitu mereka mengambil tempat duduk, ia segera berkata: "Malam ini aku ingin
mengunjungi Chena."
Keng Thian terkejut: "Tidak! Kau tak boleh pergi!" ia mencegah. "Istana
sementara Hoat-ong
bukan tempat sembarangan. Tahun yang lalu, waktu menyelidiki keraton Wanita
Suci, hampirhampir
aku hilang jiwa."
Thian Oe mengawaskan tamunya dengan sorot mata duka. "Terima kasih untuk
nasehatmu,"
katanya dengan suara perlahan. "Tapi, walaupun mesti berenang di air atau
menyerbu api, biarpun badanku bisa hancur lebur, malam ini aku mesti menemuinya. Andaikata tak
dapat bicara, sedikitnya aku harus melihat dia."
Tong Keng Thian yang cukup mengenal penderitaan cinta, menghela napas panjang.
Ia menatap wajah Thian Oe dengan perasaan kasihan. "Baiklah," katanya. "Malam ini
aku akan mengantar kau."
Bukan main girangnya Thian Oe. Ia menjabat tangan Keng Thian erat-erat dan
mencekalnya lama sekali. "Sekarang pergilah kau mengasoh, supaya sebentar kau mempunyai cukup tenaga dan
semangat," kata Keng Thian.
"Mana aku bisa pulas?" kata Thian Oe sambil tertawa getir. "Jika mungkin,
sekarang juga aku
ingin pergi kesana."
Keng Thian tersenyum, ia bisa merasakan apa yang dirasakan pemuda itu. "Jika kau
tak mau mengasoh, aku ingin menanya tentang satu orang," katanya.
"Siapa?" tanya Thian Oe.
"Seorang pengemis yang lagaknya gila-gilaan dan selalu cari-cari urusan," kata
Keng Thian. "Menurut katanya beberapa pegawai, beberapa hari berselang di kota ini
berkeliaran seorang
pemuda otak miring yang membagi-bagikan kembang gula dan kue-kue kepada anak-
anak di

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepanjang jalan," menerangkan Thian Oe. "Tapi dia bukan pengemis, pakaiannya
bagus sekali."
"Dimana dia sekarang?" tanya Keng Thian.
"Entah," sahutnya. "Dalam beberapa hari ini, orang tidak memperhatikannya lagi
karena repot menyambut rombongan Hoat-ong. Aku pun hanya mendengar cerita orang."
Alis Keng Thian berkerut, tapi ia tak menyatakan suatu apa. "Kalau begitu Kim
Sie Ie tentu sudah berada dalam kota ini," katanya didalam hati.
"Untuk apa Tong-heng menyelidiki orang itu?" tanya Thian Oe.
Keng Thian menghela napas panjang seraya berkata: "Biarpun urusanku tidak
sesedih urusanmu, tapi cukup sulit. Aku ingin menolong seorang yang tak disuka olehku.
Jika mau diceritakan, urusan ini panjang sekali. Hai! Biarlah nanti saja aku
memberitahukannya."
Malam itu, dengan menggunakan lweekang, Keng Thian membantu Thian Oe menjalankan
pernapasannya. Kira-kira tengah malam mereka lalu menukar pakaian jalan malam
dan segera berangkat ke istana sementara Hoat-ong.
Istana sementara itu adalah sebuah gedung yang berdiri membelakangi gunung.
Gedung itu sebenarnya adalah rumah tinggal seorang Nyepa (semacam pangkat di sebelah bawah
Touwsoe). Untuk menyambut kedatangan Hoat-ong, maka pada satu bulan berselang, Touwsoe
telah memerintahkan supaya Nyepa dan keluarganya pindah dari gedung itu yang lalu
diperbarui, diperindah dan ditambah segala kekurangannya.
Sebab hatinya tidak sabaran, Thian Oe lari secepat-cepatnya dengan menggunakan
ilmu mengentengkan badan, sehingga kedua kakinya seolah-olah tidak menginjak bumi.
Keng Thian kaget karena ia tidak menduga, bahwa selama beberapa tahun saja, pemuda itu
sudah mendapat kemajuan yang sedemikian jauh. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa kemajuan
tersebut adalah
berkat buah luar biasa yang telah dimakan Thian Oe di istana es.
Belum cukup setengah jam, mereka sudah tiba di istana Hoat-ong dan lalu melompat
masuk ke dalam taman bunga. Sesudah berjalan beberapa tombak, di antara ratusan pohon bunga yang
menyiarkan wewangian
menyedapkan, mereka melihat sebuah loteng cat merah yang agak tertutup dengan
pohonpohon tinggi yang rindang daunnya. Selagi Thian Oe jalan memutari gunung-gunungan batu
untuk melompat ke atas loteng itu, sekonyong-konyong Keng Thian menarik tangan bajunya
dan mereka lalu bersembunyi di belakang gunung-gunungan itu.
Tiba-tiba terdengar kesiuran angin dan tiga bayangan manusia berkelebat masuk ke
dalam taman. Waktu mereka hinggap di muka bumi, hanya seorang yang kakinya
memperdengarkan
suara, sehingga dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dua orang lainnya mempunyai
ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi. Begitu masuk, mereka mengawasi ke empat
penjuru dan kemudian bersembunyi di belakang gunung-gunungan batu yang lain. Thian Oe
mengintip dari sela-sela batu dan lapat-lapat ia melihat bayangan badan mereka. Sesaat
kemudian, seorang
antaranya yang bertubuh gemuk dan yang tadi kakinya mengeluarkan suara waktu
hinggap di atas
tanah, tiba-tiba menoleh ke belakang. Dalam sekelebatan Thian Oe melihat mukanya
dan ia terkejut. Orang itu ternyata bukan lain daripada orang kepercayaan Touwsoe,
yaitu Omateng, yang pada suatu malam dua tahun berselang, telah mengubar-ubar Chena di sebuah
gunung. Mendadak kuping Thian Oe menangkap suara yang sangat perlahan. "Apa kau sudah
melihat tegas, bahwa wanita itu adalah puteri Raja muda Chinpu?" tanya seorang.
"Ya, biarpun dia mengenakan kudungan, aku bisa
memastikannya," jawab Omateng.
Thian Oe heran tak kepalang. "Kenapa dia begitu memperhatikan Chena?" ia menanya
dirinya sendiri. "Kedatangannya di kali ini juga adalah untuk menyelidiki Chena." Sesaat
itu, ia lantas saja
ingat segala tindakan Omateng dalam waktu yang lalu. Dulu, ketika Chena jatuh ke
dalam tangan Touwsoe, dialah yang sudah memohon ayahnya untuk menolongnya. Tapi belakangan,
kenapa ia terus mengubar-ubar, sampai di Puncak Es" Apa maksudnya" Maksud baik atau maksud
jahat?" "Apa kau ingin memberitahukan Touwsoe?" tanya kawannya.
"Jika Touwsoe diberitahukan, ada baiknya, ada juga tidak baiknya," jawabnya.
"Paling bagus
jika kita bisa bertemu dengan Chena. Tapi..."
Belum habis perkataannya, di atas loteng mendadak terdengar suara apa-apa. Thian
Oe mendongak dan melihat terbukanya pintu di satu sudut, disusul dengan keluarnya
seorang wanita yang tangannya memegang serupa alat musik. Perlahan-lahan ia menghampiri langkan
dan kemudian, sambil menyender di langkan, ia mementil alat musik yang dibawanya.
Sesaat kemudian, terdengar nyanyian yang seperti berikut:
Sungai es di puncak gunung, laksana Bima Sakti (Milky Way) yang nyungsang.
Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan perlahan sekali.
Ibarat suara letabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita.
Si nona menanya si pengembara: Berapa gunung es lagi harus kau mendaki"
Berapa topan lagi harus kau lewati"
Itulah suatu lagu gembala di wilayah Tibet yang sangat mengharukan hati, yang
dulu pernah didengar Thian Oe, waktu pertama kali ia bertemu dengan si nona di padang
rumput. Hatinya
perih seperti diiris-iris dan matanya terus mengawasi seperti orang lupa
ingatan. Tiba-tiba salah
satu jendela yang bersinar terang, terbuka dan seorang Wanita Suci memanggil
dengan suara perlahan: "Sudah malam, Chena Tjietjie. Apa kau tak mau tidur" Jangan melamun!"
"Aku tak bisa pulas," jawabnya. "Aku ingin turun sebentaran dan waktu kembali,
aku akan membawa bunga bwee untukmu." Sehabis berkata begitu, sambil memeluk alat
musiknya ia turun
dari atas loteng dan menyanyi dengan suara perlahan:
Di langit, sang elang terbang berputaran.
Di bumi, kawanan binatang lari lintang pukang.
Ah! Sungguh 'ku ingin menjadi sang elang!
Sungguh 'ku ingin menjadi pisau pembalasan!
Untuk menerkam si raja singa yang kejam.
Untuk menikam jantungnya musuh!
Nyanyian itu adalah nyanyian pembalasan sakit hati di wilayah padang rumput dan
bahwa nyanyian itu dinyanyikan oleh seorang Wanita Suci, adalah kejadian yang sungguh
luar biasa. Setindak demi setindak Chena berjalan ke arah tempat bersembunyinya Thian Oe
yang terus mengincarnya sambil menahan napas. Tak jauh dari situ adalah gunung-gunungan
tempat bersembunyinya Omateng dan kedua kawannya. Thian Oe melirik dan kebetulan si
gemuk sedang mengintip sambil menongolkan sedikit kepalanya. Di bawah sinar rembulan yang
remang-remang, tiba-tiba ia melihat Omateng ' tersenyum, satu senyuman licik dan kejam yang
membangunkan bulu roma. Beberapa tahun berselang, waktu bertemu Chena dan Omateng di bukit es
pada suatu malam terang bulan, ia pun pernah melihat senyuman begitu. Tanpa merasa ia
bergidik. Tiba-tiba si nona menghentikan tindakannya dan mendongak memandang rembulan
sambil menghela napas berulang-ulang. "Ah! Thian Oe, Thian Oe!" ia mengeluh dengan
suara perlahan.
"Sungguh-sungguh aku kejam terhadapmu!"
Mendengar itu, Thian Oe tak dapat menguasai dirinya lagi. Ia tak ingat lagi
dimana ia berada
dan lalu melompat sambil berteriak: "Chena!"
Di lain saat. Dalam taman itu sudah terdengar teriakan-teriakan orang.
Tiba-tiba Thian Oe merasa dirinya dikempit dan dibawa terbang, akan kemudian
kedua kakinya hinggap di atas tembok. Hampir berbareng ia melihat satu sinar merah menyambar
ke bawah. "Lekas! Lekas lari!" Keng Thian berbisik. Thian Oe segera meloncat ke bawah dan
terus kabur, diikuti oleh kawannya. Sayup-sayup mereka mendengar suara ramai-ramai di dalam
taman. "Hoatong
sudah keluar," kata Keng Thian sambil tertawa. "Omateng bisa celaka."
Sesuai dengan dugaan Keng Thian, sebelum keburu kabur, Omateng bertiga sudah
dikepung. Orang yang menerjang paling dulu adalah si Ibu Suci dan empat murid utama dari
Hoat-ong yang meronda di taman itu.
Dua kawan Omateng, yang satu bernama Teruchi dan yang lain Kili Singh, adalah
jago-jago yang mempunyai kepandaian paling tinggi di Kalimpong. Begitu berhadapan, si Ibu
Suci yang bersenjata sepasang pantek konde yang panjangnya satu kaki, segera menikam
Teruchi. Senjata
itu yang terang-terangan mengenakan tepat di dada musuh, mendadak melejit
seperti melanggar
benda licin, sehingga, waktu Teruchi melompat ke samping, si Ibu Suci terhuyung
ke depan dan menubruk salah satu Lhama. Ia malu bercampur gusar, sehingga mukanya berubah
merah padam. Ternyata jago Kalimpong itu memiliki ilmu Yoga yang sangat liehay. Sementara
itu, Kili Singh yang
tidak mempunyai ilmu Yoga, tapi yang ilmu silatnya lebih tinggi daripada
Teruchi, sudah mulai
bergebrak dengan murid Hoat-ong. Sesudah lewat beberapa jurus, murid Hoat-ong
mendadak mengirim satu pukulan geledek yang menyambar bagaikan kilat ke dada musuh.
Sambil mengerahkan tenaga dalam, Kili Singh menangkis kekerasan dengan kekerasan.
Begitu kedua tangan beradu, murid Hoat-ong sempoyongan, sedang Kili Singh pun bergoyang-
goyang badannya. Melihat kesempatan baik, Ibu Suci menerjang dan menikam jalanan darah
Tiongpeng hiat dan Kietjong hiat, di kempungan Kili Singh. Tapi, biarpun diserang mendadak
selagi badannya
tergetar akibat pukulan musuh, Kili Singh yang memiliki ilmu silat Poloboen,
bisa juga menolong
diri dengan jungkir balik. Pantek konde itu menembus celananya, tapi tak sampai
mengenakan jalanan darah. Sesudah itu, dengan gerakan Leehie tahteng (Ikan gabus meletik),
ia melompat berdiri dan terus kabur.
Ibu Suci jadi kalap karena gusarnya. Ia menganggap, bahwa dua musuh itu sengaja
mempermainkannya dengan ilmu yang aneh. Ia berteriak memberi komando dan dalam
sekejap empat murid utama dan sejumlah Lhama sudah mengubar dan mencegat dua jago
Kalimpong itu. Melihat ketika baik, dengan hati berdebar-debar Omateng melompat ke arah loteng
merah dengan niatan menyembunyikan diri untuk sementara waktu. Tapi apa mau, Hoat-ong
yang baru keluar dari istana, telah melihat gerak-geriknya. Ia lantas saja mematahkan
cabang pohon yang
lalu dipentilnya. Bagaikan kilat cabang itu menyambar kaki Omateng yang segera
roboh terguling
di atas tanah. Muka si gemuk jadi pucat seperti kertas waktu mengetahui siapa yang
merobohkannya, sedang
Hoat-ong sendiri agak terkejut ketika melihat, bahwa si pengacau adalah Nyepa
dari Touwsoe Sakya sendiri. Tangannya yang sudah terangkat diturunkan lagi dan ia lalu
memerintahkan seorang Lhama untuk mengikat tawanan itu.
Sementara itu, Teruchi dan Kili Singh sudah kabur sampai di pinggir tembok.
Dalam keadaaan terdesak, buru-buru Kili Singh membuka Djoanso (tali) yang mengikat pinggangnya
dan lalu memutarnya bagaikan titiran. Karena titiran tali itu disertai dengan tenaga
hebat, maka semua
Lhama tidak berani maju menyerang.
Dengan gusar Hoat-ong lalu memburu kesitu dan begitu tiba, Teruchi justru sedang
naik ke atas tembok. Sekali menjejak kaki, badannya melesat bagaikan anak panah dan
tangannya menjambret tumit kaki jago Kalimpong itu. Mendadak ia merasa tangannya seperti
mencengkeram kapas, tumit itu mengkeret dan terlepas dari cengkeramannya. Ia mendongkol bukan
main dan sambil mengerahkan lweekang, lalu menekuk jerijinya untuk mementil dengan ilmu
Tantjie Sinthong (ilmu mementil). Jika kena, tulang kaki Teruchi pasti akan hancur. Kili
Singh terkesiap.
Untuk menolong kawan, buru-buru ia menyapu dengan Djoanso-nya. Hoat-ong marah,
ia membalik tangan dan lalu membabatnya. Hebat sungguh babatan itu yang disertai
lweekang! Begitu tersentuh, Djoanso Kili
Singh putus jadi dua potong. Sementara itu, berkat pertolongan sang kawan,
Teruchi berhasil
meloloskan diri dan terus mabur. Dengan gergetan Hoat-ong menotok jalan darah
Kili Singh yang
terus roboh dan lalu diikat oleh seorang Lhama.
Semua kejadian itu terjadi dalam tempo pendek. Chena sendiri berdiri terpaku
bagaikan patung


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil memeluk alat musiknya yang bertali lima. Kedua matanya mengawasi ke
tempat jauh, sedang di kupingnya masih terus berkumandang teriakan Thian Oe. Seolah-olah
tidak melihat segala kekacauan dan tidak mendengar teriakan-teriakan dalam taman itu. Sesudah
Omateng dan Kili Singh dibekuk dan Hoat-ong memanggil namanya, barulah ia tersadar dari
lamunannya. Ia mendongak dan matanya kebentrok dengan mata Omateng. Ia kelihatan kaget dan
berkata dengan suara perlahan: "Hm! Omateng!"
"Kau kenal dia?" tanya Hoat-ong.
"Kenal," jawabnya "Dia adalah Nyepa dari Touwsoe Sakya."
"Nona itu adalah piauwmoay-ku (adik misan)," kata Omateng.
"Chena," kata Ibu Suci dengan perasaan heran. "Kenapa kau tidak pernah
memberitahukan,
bahwa kau masih punya saudara misan?"
Sebelum menjawab, si nona melirik Omateng yang parasnya kelihatan bingung
sekali. Sesaat itu juga, ia ingat beberapa kejadian pada waktu yang lalu. Ia ingat, bahwa
Omateng pernah meminta pertolongan Tan Teng Kie untuk menyelamatkan dirinya dari cengkeraman
Touwsoe. Ia ingat pula perkataan Omateng pada malam terang bulan itu, bahwa Touwsoe adalah
musuh bersama dari mereka berdua dan bahwa dia bersedia memberi bantuan dalam usaha
membalas sakit hati. Walaupun ia tidak melupakan perkataan Thian Oe yang memperingatkan, bahwa
Omateng bukan manusia baik-baik, tapi, baik atau jahat, ia belum mempunyai bukti yang
teguh. "Tak
perduli dia baik atau jahat, dia adalah seorang yang pernah coba menolong aku,"
katanya di dalam hati. Mengingat begitu, dengan suara tawar ia menjawab: "Sesudah mengabdi
kepada Budha Hidup dan menjadi Wanita Suci secara suka rela, aku telah membebaskan diri
dari segala ikatan dunia. Jangankan piauwko (saudara misan), sedangkan ayah dan ibu sendiri
pun sudah jadi seperti orang luar."
Si Ibu Suci manggut-manggutkan kepalanya seraya memuji: "Bagus! Dengan demikian,
kau adalah seorang Wanita Suci yang benar-benar sudah memisahkan diri dari segala
keduniawian."
Hoat-ong yang sudah agak mereda kegusarannya, lantas saja berkata: "Sebagai
seorang Nyepa, kau sudah mengacau dalam istana kami. Apa kau tak tahu, bahwa perbuatanmu
itu adalah satu kedosaan?"
"Tahu," jawabnya, menunduk. "Aku memohon pengampunan Budha Hidup."
"Apa kau datang kemari hanya untuk bertemu Chena?" tanyanya pula.
"Benar," sahutnya. "Aku mengetahui, bahwa seorang Wanita Suci tidak boleh
bertemu dengan orang luar dan dengan tersesat, aku sudah masuk kesini seorang diri. Untuk
kedosaan itu, aku
memohon pengampunan."
Alis Hoat-ong berkerut. "Kau datang sendirian?" ia menegas. "Apa dua orang itu
bukan kawanmu?" "Bukan," si gemuk menyangkal. "Waktu tiba disini, dua penjahat itu sudah berada
di dalam taman. Lantaran begitu, aku segera menimpuk dengan batu untuk memperingatkan
orang-orang yang menjaga disini. Jika mereka adalah kawanku, aku tentu tak begitu gila."
Si gemuk ternyata satu pendusta yang liehay juga otaknya. Thiansan Sinbong yang
ditimpukkan oleh Tong Keng Thian, diakui sebagai batu yang dilontarkan olehnya. Hoat-ong
merasa sangsi dan
lalu menanya pula: "Bagaimana kau tahu, bahwa mereka adalah penjahat?"
"Mereka sudah sering mengacau disini," jawabnya. "Mereka merampok dan melakukan
banyak kejahatan lain. Sebagai Nyepa, aku bertugas untuk membekuk orang-orang jahat,
tapi karena tidak mempunyai pembantu pandai, sebegitu lama mereka belum dapat ditangkap!"
Bukan main gusarnya Kili Singh. Tapi ia tidak dapat membela diri, sebab jalanan
darahnya sudah ditotok. Hoat-ong tertawa terbahak-bahak. "Apa benar begitu?" tanyanya.
Sekonyong-konyong Omateng melompat dan menghantam kepala Kili Singh.
"Bikin apa kau?" membentak Hoat-ong sambil mengebas dengan tangannya, sehingga
si gemuk terjungkir balik. Tapi pertolongan itu agak terlambat, karena kepala Kili Singh
sudah terpukul hancur dan tewas jiwanya.
Sambil merangkak bangun, Omateng berkata dengan kegusaran yang dibuat-buat:
"Berulangulang
manusia itu menghina aku dan mengacau dalam kota Sakya. Sekarang ia malahan
berani masuk kesini dan melawan Budha Hidup. Sewaktu hilap, aku tak bisa menahan sabar
dan sudah menurunkan tangan sebelum mendapat permisi. Untuk kesalahan itu, aku memohon
Budha Hidup sudi mengampuninya."
Hoat-ong sangat menyangsikan keterangan si gemuk, tapi ia mempunyai lain
pertimbangan. Biar bagaimanapun juga Omateng adalah orang sebawahannya Touwsoe sehingga, jika
ia sendiri menjatuhkan hukuman, seperti juga ia tidak memandang mukanya Touwsoe. Di samping
itu, dia adalah saudara misan Chena. Karena adanya pertimbangan itu, ia lantas saja
berkata: "Baiklah.
Kejadian malam ini aku akan segera memerintahkan orang untuk melaporkan kepada
Touwsoe. Apa kau benar atau salah, apa kau harus dihukum atau tidak, biarlah Touwsoe yang
memutuskannya."
Omateng girang bukan main. Buru-buru ia berlutut sambil manggutkan kepala
berulang-ulang.
"Terima kasih, terima kasih untuk belas kasihan Budha Hidup," katanya. "Tapi
apakah aku bisa
bicara dengan Chena?"
"Boleh, kau boleh bicara disini," sahutnya. "Apa aku boleh mendengari
pembicaraan itu?"
"Tentu saja boleh," jawabnya terburu-buru. "Hanya urusan kecil saja. Bahwa Budha
Hidup memberi ijin, sudah merupakan suatu budi yang sangat besar. Hm! Chena,
sebagaimana kau tahu,
aku telah mempelajari Gwakang (ilmu luar) dari Agama Topi Merah. Dengan memiliki
ilmu itu, tulang-tulangku keras bagaikan besi. Tapi entah kenapa, belakangan ini kepalaku
sering sakit. Bagian yang sakit ialah tiga dim di bawah belakang kepala. Aku ingat, bahwa
dalam keluargamu
terdapat kayu Simhio bok (semacam kayu garu) yang berusia ribuan tahun. Menurut
katanya orang, jika kita menggodok kayu itu dan diminum airnya, sakit kepala akibat
latihan gwakang bisa
menjadi sembuh. Apa kau menyimpan kayu itu" Bolehkah aku meminjamnya untuk
sementara waktu?" Chena bingung, ia tak mengerti apa maksudnya si gemuk. Apa itu Simhio bok" Ia
sama sekali tidak memilikinya.
Sementara itu Omateng mengacungkan jempol tangan dan meraba bagian belakang
lehernya, di tempat yang cekung. "Disini, disini yang sakit," katanya.
Tiba-tiba Hoat-ong mengangsurkan tangan dan menekan di bagian itu dengan
jerijinya. "Disini?" tanyanya.
"Aduh!" berteriak Omateng. "Benar disitu!"
"Baiklah, aku akan menolong," kata Hoat-ong sambil mengurut beberapa kali.
Omateng berteriakteriak kesakitan dan menghaturkan terima kasih berulang-ulang. Sesudah
itu, dengan terbirit-birit dia lari keluar dari taman itu. Hoat-ong tersenyum dan membiarkan
dia kabur. Sesudah si gemuk berlalu, Hoat-ong berkata dengan suara dingin: "Aku tak
mengerti, kenapa
Touwsoe menggunakan orang gila itu sebagai Nyepa. Semua perkataannya dusta
belaka." Chena kaget. "Apa dia berdusta?" tanya Ibu Suci.
"Bahwa dia pernah mempelajari Gwakang dari Agama Topi Merah, adalah hal yang
sebenarnya," menerangkan Hoat-ong. "Dan juga benar, bahwa jika seseorang
berlatih salah, ia
bisa merasakan sakit di bagian kepala. Tapi barusan, waktu aku mencobanya,
ternyata dia berdusta. Jika benar ia mendapat luka di dalam badan karena latihan salah, ia
tentu akan memuntahkan darah hitam waktu diurut olehku."
"Tapi kenapa dia mengaco belo?" tanya pula Ibu Suci.
"Entah," sahutnya. "Aku juga tak tahu. Chena, apa benar keluargamu memiliki
Simhio bok yang
berusia ribuan tahun" Memang benar, air godokan Simhio bok bisa menyembuhkan
penyakit begitu." "Semenjak kecil, Piauwko-ku memang mempunyai penyakit otak miring yang kadang-
kadang kambuh," kata si nona. "Malam ini, penyakit itu rupanya kumat lagi. Dulu,
keluargaku memang
mempunyai kayu mustika itu. Belakangan waktu ayah meninggal dunia, kayu itu
dimasukkan ke dalam peti matinya. Hal ini rupanya tidak diketahui Piauwko."
Di Tibet memang terdapat kepercayaan, bahwa Simhio bok bisa mencegah rusaknya
jenazah dalam tempo lama dan banyak hartawan menyimpan kayu begitu. Maka itu, Hoat-ong
percaya akan keterangan Chena dan tidak mendesak lagi. Ia tak tahu, bahwa Chena pun
telah berdusta kepadanya. Malam itu, si nona tak tidur. Ia rebah di pembaringan sambil mengasah otak untuk
coba memecahkan apa maksud Omateng. Chena adalah seorang yang berotak cerdas dan
sesudah memikir beberapa lama, ia dapat meraba-raba maksud si gemuk. "Ya! Dengan
mengacungkan jempol mungkin ia ingin mengatakan bahwa Touwsoe tak boleh dibuat gegabah, bahwa
Touwsoe juga pernah mempelajari ilmu Gwakang Agama Topi Merah," katanya di dalam hati.
"Mungkin ia
ingin memberitahukan, bahwa Touwsoe memakai baju lapis besi yang tidak dapat
ditembuskan senjata tajam dan bahwa bagian kelemahannya adalah di belakang kepala, tiga dim
di bawah otak." Semakin ia memikir, semakin ia merasa, bahwa tafsirannya adalah tafsiran
yang tepat dan diam-diam ia merasa berterima kasih untuk petunjuk itu.
Tanpa merasa fajar sudah menyingsing.
"Chena," memanggil Ibu Suci. "Lekas berdandan. Tengah hari tepat kita harus
pergi ke kuil untuk menjalankan upacara pembukaan."
Dengan perasaan duka, ia bangun dan lalu membersihkan badan. Ia berdandan dengan
hati seperti diiris-iris, karena mengingat Thian Oe.
"Apakah Thian Oe akan datang?" tanyanya di dalam hati. "Aku ingin sekali bertemu
pula dengannya untuk penghabisan kali. Tapi... ah! Lebih baik dia jangan datang."
Di lain pihak, Thian Oe pun berada dalam kedudukan yang sama. Ia berkeras ingin
menyaksikan upacara pembukaan kuil, tapi Keng Thian sebisa-bisa coba
mencegahnya. "Bagaimana kau sendiri" Kau pergi tidak?" tanya Thian Oe.
"Aku pergi," jawabnya. "Aku pergi sendirian, kau tunggu saja di rumah."
"Kenapa kau boleh, aku tak boleh?" kata Thian Oe, uring-uringan.
"Pergiku ini adalah untuk menemui seorang yang sedang dicari olehku,"
menerangkan Keng
Thian. "Tapi kau" Guna apa kau cari-cari urusan" Kau sendiri sudah tahu, dia
menjadi Wanita Suci
dengan suka rela."
"Justru itu," kata pula Thian Oe. "Justru karena ia sudah menjadi Wanita Suci,
aku ingin melihat
wajahnya sekali lagi."
"Hai! Benar-benar kau kepala batu," kata Keng Thian. "Semalam, jika tak keburu
lari, kita tentu
sudah celaka. Upacara hari ini bukan upacara kecil. Di samping rombongan Hoat-
ong, hadir juga
utusan Dalai dan Panchen Lama, Touwsoe dan lain-lain pembesar negeri. Jika
sampai terjadi onar,
bagaimana kita menghadapinya?"
"Mana bisa onar?" Thian Oe terus mendesak. "Aku berdiri di antara orang banyak
dan tujuanku hanyalah untuk melihat wajahnya, satu kali saja."
"Hm!" Keng Thian mengeluarkan suara di hidung. "Siapa berani tanggung" Semalam
jika kau tidak berteriak, Hoat-ong tentu tidak sampai keluar dari istananya."
"Aku bersumpah tak akan mengeluarkan sepatah kata!" kata Thian Oe dengan suara
keras. "Begini saja. Kau totok saja jalanan darah gagu, supaya aku tak bisa bicara."
Keng Thian jadi kewalahan. Ia tersenyum seraya berkata: "Baiklah! Aku merasa tak
tega. Biarlah, satu kali lagi aku menjalankan tugas sebagai pengantar."
Kuil Lhama Topi Putih yang baru itu berdiri di atas sebuah gunung dan dibuat
menurut contoh keraton Potala di Lhasa. Biarpun besarnya dan luasnya tidak bisa dibandingkan
dengan Potala yang bertingkat tiga belas, kuil itu mempunyai tujuh tingkatan dan tingginya
lebih dari dua puluh
tombak. Tak usah dikatakan lagi, pembuatannya teguh dan indah luar biasa, dengan
tiang-tiang yang diukir, dengan batu-batu marmer dan tembok tinggi yang berwarna merah. Dari
jarak

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puluhan li, orang sudah bisa melihat bangunan itu yang sangat angker.
Dengan mengenakan pakaian penduduk Sakya, Keng Thian dan Thian Oe mendaki gunung
itu bersama orang-orang yang ingin memasang hio dan menonton keramaian. Kira-kira
tengah hari, tibalah mereka di depan kuil tersebut. Dengan melalui jalanan yang ditutup
dengan batu-batu
marmer hijau, mereka mulai masuk ke dalam pekarangan. Sesaat itu, dua belas
pintu besar sudah
dibuka semuanya dan dari pintu-pintu itu kelihatan mengepul ke atas asap hio dan
kayu garu yang sangat sedap baunya. Wewangian itu, keindahan seluruh kuil, suara tambur dan
lonceng yang dipukul tak henti-hentinya, menimbulkan suasana yang angker dan suci.
Tetamu yang datang berkunjung berjumlah ribuan, dan malahan mungkin laksaan
orang. Tapi, kecuali suara lonceng dan tambur, keadaan sunyi senyap, karena tiada seorang pun
yang berani bicara atau berbisik.
Dengan mengikuti iring-iringan yang panjang, Keng Thian dan Thian Oe maju
setindak demi setindak, melewati tiang-tiang jalanan yang tertutup genteng. Dinding di sekitar
itu penuh dengan
lukisan, satu antaranya adalah lukisan "Phaspa mengunjungi Kublai di Mongolia."
Lukisan itu indah luar biasa. Di sebelah kiri dilukiskan sepasukan tentara
Mongol yang sedang
mengiring joli Phaspa dan di sebelah depan terdapat sejumlah pembesar tinggi
yang menyambut kedatangannya. Tak jauh dari itu, dilukiskan tenda-tenda Mongol dan di belakang
tenda, terlihat
sejumlah orang yang sedang menyalakan api sambil menunggu kedatangan tamu agung
itu. Di samping itu, terlihat juga unta-unta, keledai-keledai dan kerbau-kerbau yang
sedang makan rumput. Yang paling menyolok adalah lukisan seorang wanita muda yang mengenakan
pakaian bangsawan Nepal dan yang sedang berdiri di atas rumput. Paling menyolok, karena
wanita itu berparas luar biasa cantik dan sungguh mengherankan, mukanya sangat mirip dengan
muka Pengtjoan Thianlie.
Melihat lukisan tersebut, jantung Keng Thian memukul keras. "Siapa yang melukis
gambar itu?"
ia tanya dirinya sendiri. "Tibet adalah tempat yang terpencil. Dari mana
datangnya ahli gambar
yang begitu pandai" Kenapa muka wanita itu sangat mirip dengan muka Peng Go?"
Ia melirik Thian Oe, tapi kawan itu ternyata tidak memperhatikan gambar atau
lainnya, sebab kedua matanya tetap mengawaskan pintu, seperti juga Chena bisa muncul di
sembarang saat. Ia
menghela napas, tapi lantas saja ia ingat, bahwa ia pun tiada banyak bedanya.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan ruangan sembahyang yang indah dan besar.
Semua orang segera berdiri di undakan batu, sambil menunggu dimulainya upacara.
Di antara segala kemewahan yang terlihat dalam ruangan itu, yang paling menarik
perhatian adalah dua pagoda suci yang terbuat dari emas dan yang di atasnya ditata dengan
giok, mutiara dan lain-lain batu permata.
Selagi semua orang menunggu dengan hati berdebar-debar, tiba-tiba terdengar
suara lonceng dan tambur yang sangat gencar, disusul dengan keluarnya seiringan Lhama yang
mengenakan pakaian serba putih. Yang jalan paling muka adalah Hoat-ong, yang di kiri
kanannya diapit oleh
empat muridnya yang terutama. Mereka berhenti dan berdiri di tengah-tengah kedua
pagoda suci itu. Sesudah itu, keluar utusan-utusan Dalai dan Panchen Lama yang masing-masing
diiring oleh empat pengikut. Sebagai tetamu agung, mereka berdiri berendeng dengan Hoat-ong,
di samping pagoda suci. Belakangan, barulah keluar Touwsoe dari Sakya dengan empat Nyepa,
antaranya Omateng yang bibirnya tersungging senyuman licik. Dilihat parasnya yang agak
ketakutan dan sikapnya yang kikuk, dapat diduga, bahwa kejadian semalam belum dilaporkan
kepada Touwsoe.
Mata Thian Oe terus mengawasi ruangan sembahyang dengan tidak berkesip, tapi
rombongan Wanita Suci belum juga keluar. Keng Thian pun memasang mata ke empat penjuru,
tapi Kim Sie Ie yang dicarinya tak kelihatan bayang-bayangannya.
Sesaat kemudian, perlahan-lahan Hoat-ong mengangkat tangan dan berkata dengan
suara nyaring: "Semenjak agama kami meninggalkan Tibet, sampai sekarang sudah lebih dari
seratus tahun. Hari ini, berkat belas kasihannya Sang Budha kami bisa kembali ke negeri sendiri
dan atas dukungan Budha Hidup Dalai serta Panchen, kami memperoleh Sakya sebagai pusat
untuk menyiarkan agama kami. Kami mengharap, bahwa mulai dari sekarang tidak akan
terjadi sengketa
apa-pun juga dan dengan dipayungi Sang Budha, kita sama-sama bisa mengicipi
suatu perdamaian yang abadi."
Harus diketahui, bahwa sedari tahun Tjong Tjeng (kaizar Beng) ke enam belas,
Sekte Topi Putih telah didesak keluar dari Tibet oleh. Sekte Topi Kuning, dan sedari waktu
itu sampai pada
pembukaan kuil tersebut, sudah berselang lebih dari seratus tahun. Selama seabad
lebih, sudah terjadi puluhan kali benterokan senjata. Sekarang, walaupun di Sakya sudah tidak
terdapat banyak
pengikut Sekte Topi Putih, akan tetapi kejadian itu sangat menggirangkan hatinya
semua orang. Maka itu, pidato Hoat-ong disambut dengan sorak-sorai yang gemuruh. Keng Thian
manggutmanggutkan
kepalanya dan di dalam hati, ia mengakui, bahwa segala tenaga dan uang yang
digunakan untuk membuat kuil itu, mempunyai harga yang setimpal dengan
maksudnya, yaitu
perdamaian. Sesudah suara sorak-sorai mereda, lonceng di ruangan sembahyang dibunyikan tiga
kali dan dua baris Lhama lalu jalan memutari ruang itu sambil membaca doa dan menciprat-
cipratkan air suci. Mendadak, seluruh ruangan seolah-olah kena arus listrik dan para hadirin membuka
mata mereka lebar-lebar. Sererotan wanita muda, semuanya berjumlah tiga puluh enam
orang, yang mengenakan pakaian serba putih dan kudungan muka, muncul dari pedalaman. Semua
orang mengetahui, bahwa upacara pembukaan kuil akan segera dimulai. Mereka mengawasi
sambil menahan napas, tapi orang yang hatinya berdebaran paling hebat adalah Thian Oe.
Dengan tangan masing-masing mencekal botol kristal yang berisi air suci, Wanita-
wanita Suci itu mulai menari-nari di depan patung Sang Budha, sambil menciprat-cipratkan air
suci di seluruh
ruangan. Thian Oe mengawasi dengan mata tidak berkesip, akan tetapi, ia tak bisa
membedakan yang mana Chena. Sesudah menari-nari beberapa lama. mereka menyanyikan lagu
agama dalam bahasa Tibet, yang bunyinya kira-kira seperti berikut:
Air suci. Membersihkan kekotoran di dunia.
Tenaga Sang Budha tidak terbatas.
Memayungi umat manusia.
Mendadak, pada bagian terakhir dari empat baris nyanyian itu, terdengar suara
yang bernada agak tinggi dan agak gemetar. Dengan cepat Thian Oe mengawasi ke arah suara itu.
Tiba-tiba ia melihat seorang Wanita Suci yang tubuhnya bergoyang-goyang dan gerakannya agak
berlainan dengan kawan-kawannya yang lain.
Jantung Thian Oe memukul keras. "Itulah Chena! Katanya di dalam hati dan matanya
mengawasi dengan tidak berkesip. "Chena, aku sungguh tak mengerti," ia mengeluh
di dalam hati. "Apa benar kau rela menjadi Wanita Suci seumur hidup?" Ia tentu saja tidak
menduga, bahwa pada waktu itu, kedukaan si nona adalah seratus kali lipat lebih hebat daripada
penderitaannya.
Pada saat itu, Chena telah menggunakan seantero tenaganya untuk mempertahankan
diri. Sesudah memutari ruangan sembahyang sekali lagi, para Wanita Suci itu kembali
memperdengarkan nyanyiannya:
Air suci. Mencuci hati, debu kotoran.
Langit dan manusia menyaksikan kebenaran.
Tersadar, bahwa dunia penuh kekosongan.
Mendadak, tiga puluh enam Wanita Suci itu berhenti menari dan menyanyi dan lalu
berdiri berjejer di depan patung Budha. Perlahan-lahan salah seorang membuka sebuah
kelambu yang terbuat dari sutera kuning dan terlihatlah delapan belas patung Budha yang
sangat indah dan
halus buatannya. Di tengah-tengah adalah patung Sakyamuni (Djielayhoed) yang
tingginya dua tombak empat kaki. Para Wanita Suci segera mencipratkan air suci kepada patung-
patung itu dan kemudian lalu mundur dan berbaris di kedua samping. Demikian berakhirlah upacara
resmi pembukaan kuil baru.
Perlahan-lahan Hoat-ong maju ke depan patung dan dengan sikap hormat
mempersembahkan
khata kepada patung Djielayhoed. Sesudah Hoat-ong, utusan Dalai dan Panchen Lama
mendapat giliran. Selama diadakan upacara tersebut, semua hadirin merangkap kedua
tangannya sambil
menundukkan kepala dan membaca doa di dalam hati.
Sehabis utusan Dalai dan Panchen, Touwsoe Sakya lalu maju ke depan. Ia berlutut
di hadapan patung Djielayhoed dan mempersembahkan khata yang lalu disambuti oleh
seorang Lhama dan diselendangkan di lengan patung.
Pada detik itulah, mendadak, mendadak saja terdengar teriakan Touwsoe! Hampir
berbareng dengan berkelebatnya sinar putih, sebilah golok terbang menancap di belakang
kepala Touwsoe!
"Chena!" demikian terdengar bentakan Hoat-ong. Seluruh ruangan sembahyang lantas
kacau balau. Untuk membalas sakit hati, bertahun-tahun puterinya Raja muda Chinpu melatih
diri dalam ilmu
melepaskan golok terbang. Ia sudah memahami ilmu tersebut sampai di dasar-
dasarnya dan timpukannya tepat luar biasa, menancap di atas leher, tiga dim di bawah otak
Tapi, karena kuatir
golok itu belum cukup untuk membinasakan musuh besarnya, hampir berbareng dengan
bentakan Hoat-ong, ia melepaskan pula golok kedua dan ketiga dengan beruntun. Hoat-ong
yang berdiri beberapa tombak jauhnya dari patung Djielayhoed, cepat-cepat melompat sambil
mengebas tangan bajunya, sehingga golok kedua terpental balik dan menancap di pundak
Chena, yang badannya lantas saja bergoyang-goyang, Thian Oe mencelos hatinya, hampir-hampir
ia berteriak, tapi untung mulutnya masih keburu ditekap oleh Tong Keng Thian.
Golok ketiga tidak mengenakan sasarannya dan mengenakan punggung Touwsoe.
"Tring!",
golok itu terpental dan menyambar utusan Panchen, yang tidak mengenal ilmu
silat. Dengan terkesiap buru-buru ia menundukkan kepala, tapi golok itu menancap di dekat
tulang punggungnya. Pada saat itu, dengan sekali melompat, Hoat-ong sudah mencekal tangan Chena.
Tapi ia terkejut bukan main setelah melihat utusan Panchen mendapat luka. Buru-buru ia
melepaskan Chena dan menolong utusan Panchen.
Begitu terlepas dari cekalan, Chena lalu melompat naik ke atas meja sembahyang
dan membuka kudungan mukanya. "Aku adalah anak Raja muda Chinpu!" teriaknya. "Aku
membunuh Touwsoe untuk membalas sakit hati orang tua dan kejadian ini sama sekali tiada
sangkut pautnya
dengan orang lain."
Sesaat itu, empat murid Hoat-ong sudah meloncat ke arah Chena dan seorang
antaranya sudah
menyentuh pakaian si nona. Hampir berbareng dengan ucapannya, Chena mencabut
golok yang menancap di pundaknya dan lalu menikam leher sendiri! Darah muncrat dan ia roboh
terguling. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang menyapu ke empat penjuru. Di lain saat,
ia meramkan kedua matanya dan dengan bibir tersungging senyuman, ia berpulang ke alam baka.
Ia merasa puas, bahwa pada detik penghabisan, ia masih bisa melihat wajah Tan Thian Oe,
yang juga mengawasinya dengan mata tidak berkesip.
Dapatlah dibayangkan, betapa kagetnya semua orang melihat kejadian yang tidak
diduga-duga itu. Untuk sejenak, semua orang berdiri terpaku dengan mulut ternganga. Di lain
saat, mereka mengeluarkan teriakan dan bagaikan gelombang, berlomba lari keluar dengan saling
desak. Hanya Thian Oe sendiri yang tetap berdiri tegak, sambil terus mengawaskan tubuh Chena


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berlumuran darah. Pada waktu si nona roboh, darahnya bergolak dan tanpa merasa,
ia berteriak: "Chena! Chena!" Sambil berteriak, ia melompat ke depan untuk menghampiri
kecintaannya. Keng
Thian buru-buru mencekal tangannya seraya berbisik: "Thian Oe, kuatkan hatimu!
Jangan menerbitkan keonaran!" Ia menyeret pemuda itu, yang, seperti orang linglung,
lalu mengikuti.
Di dalam dan di luar ruangan sembahyang, keadaan kacau balau. Di antara
teriakan-teriakan,
tiba-tiba terdengar jeritan: "Touwsoe binasa!" Itulah jeritan dari salah seorang
pengikut Touwsoe.
Kekalutan menghebat dengan ribuan orang berlari-lari bagaikan kalap. Sekonyong-
konyong terdengar teriakan Omateng yang sangat nyaring: "Tangkap kawan pembunuh! Tangkap
konco pembunuh!"
Sesaat itu, Keng Thian dan Thian Oe sedang berlari-lari keluar dari pintu
Goatgee boen. Mendadak, seorang Lhama mecegat jalanan mereka. Tanpa menegur lagi, Keng Thian
menyikut dan Lhama itu lantas saja roboh terguling. Gelombang manusia terus merangsak
dari belakang dengan dahsyatnya, sehingga tubuh si Lhama terinjak-injak. Waktu ia merangkak
bangun, Keng Thian dan Thian Oe sudah tak kelihatan bayang-bayangannya.
Antara begitu banyak orang, hanyalah Hoat-ong yang bisa mempertahankan
ketenangannya. Sesudah kagetnya hilang, mata dan kupingnya memperhatikan segala apa. Teriakan
Thian Oe tentu saja tidak terlolos dari perhatiannya, akan tetapi, sebab Keng Thian dan
Thian Oe mengenakan pakaian penduduk Sakya dan juga karena mereka berada di antara ribuan
orang, untuk sementara Hoat-ong tak bisa mengenali siapa yang sudah mengeluarkan
teriakan itu. Begitu
melihat seorang Lhama terpukul roboh, ia lantas memburu sambil berteriak:
"Jangan lari! Semua
orang berpencar kedua pinggiran. Kawan pembunuh adalah dua bocah itu! Semua
orang jangan lari!" Teriakan Hoat-ong yang sangat berpengaruh memberi hasil yang diharapkan dan,
meskipun ketakutan, semua orang lantas saja menghentikan tindakannya.
Keng Thian kaget bukan main. "Hoat-ong sungguh liehay!" katanya di dalam hati.
Selagi ia berusaha untuk mencari jalan guna meloloskan diri, tiba-tiba terdengar suara
tertawa yang aneh.
"Semua orang minggir! Aku ingin berjumpa dengan Budha Hidup!" katanya. Itulah
suara Kim Sie Ie! Dengan hati berdebar-debar, Keng Thian menengok ke arah suara itu. Sesaat itu
semua orang sudah mulai lari lagi dan sambil menyeret Thian Oe, Keng Thian lalu menggunakan
kesempatan yang baik itu. Dalam sekejap mereka sudah keluar dari pintu kuil dan terus kabur ke belakang
gunung dengan mengambil jalanan kecil. Kira-kira sepasangan hio, mereka tiba di belakang
gunung yang sepi dan
sampai disitu, barulah hati Keng Thian menjadi lega. Ia menepuk pundak Thian Oe
seraya berkata: "Tan-heng, sadarlah!"
Thian Oe mengawaskan dengan sorot mata lupa ingat. "Chena! Ah, Chena!" ia
mengeluh dengan suara hampir tak kedengaran. "Sekarang aku tahu, kenapa kau menjadi
Wanita Suci."
"Chena yang sudah mati tak bisa hidup kembali," kata Keng Thian dengan suara
membujuk. "Menurut pendapatku, kejadian ini akan menerbitkan keonaran besar. Paling benar
kita cepatcepat
pulang untuk berdamai."
"Berdamai apa" Aku toh tak bisa mengambil jenazahnya," jawab Thian Oe.
Keng Thian insyaf, bahwa otak pemuda itu masih kacau akibat pukulan yang hebat.
Tanpa bicara lagi, ia menyeret pula tangan Thian Oe dan terus berlari-lari ke arah
gedung Soanwiesoe.
Selagi enak jalan, sekonyong-konyong terdengar suara orang dalam bahasa Tibet:
"Hm! Sesudah menerbitkan keonaran, kau orang mau mabur?" Keng Thian menoleh dan dari
arah belakang pohon muncul dua orang. Yang satu adalah seorang pendeta India yang
tangan kanannya mencekal tongkat bambu warna hijau, sedang tangan kirinya memegang
sebuah mangkok emas. Orang itu bukan lain dari si pendeta berkelana yang pernah coba
merebut guci emas dan yang telah dirobohkan dengan Pengpok Sintan. Orang yang satunya lagi
adalah Teruchi yang semalam mengacau di taman Hoat-ong.
Tanpa menegur lagi, si pendeta lalu membabat dengan tongkatnya dan menghantam
kepala Thian Oe dengan mangkok emas.
Melihat sambaran dahsyat dari mangkok itu, pada detik yang sangat berbahaya,
Keng Thian menyikut, sehingga tubuh Thian Oe terpental dan berbareng dengan itu, ia
memapaki senjata
tersebut dengan tinju kiri, dengan menggunakan tenaga Toalek Kimkong. Di luar
dugaan, begitu tersentuh, mangkok itu terputar-putar bagaikan terbang dan Keng Thian merasa
tinjunya "diisap"
dengan semacam tenaga yang sangat kuat. Ia terkesiap, tapi tak jadi bingung.
Sambil mengerahkan Iweekang dan dengan pukulan Ngoteng kaysan yang sangat keras, ia
membabat dengan telapakan tangan kanan. Akibat babatan itu, tongkat si pendeta terpental
ke atas, akan tetapi, sebagai ahli silat jempolan, hampir berbareng ia sudah menyodok jalanan
darah Hianki hiat,
di dada Keng Thian. Serangan susulan ini memang sudah diduga Keng Thian. Cepat
bagaikan kilat, pukulan Ngoteng kaysan berubah menjadi Toakinna tjhioe (ilmu menangkap)
dan ia menangkap ujung tongkat. Si pendeta kaget bukan main dan lalu membetot dengan
menggunakan Iweekang, tapi tidak bergeming. Kedua jago itu lantas saja mengadu
tenaga dalam dan saling membetot. Tongkat si pendeta dicekal Keng Thian, sedang tinju kiri
Keng Thian "diisap"
mangkok si pendeta.
Sesaat kemudian, dari atas kepala si pendeta mengepul uap putih, suatu tanda
bahwa ia sedang mengerahkan Seantero lweekang-nya. Teruchi, yang sedari tadi menonton
tanpa bergerak,
jadi sangat kaget. Ia adalah soetit (keponakan murid) si pendeta dan mengetahui,
bahwa paman gurunya biasanya sungkan dibantu orang. Tapi keadaan sekarang adalah lain dari
keadaan biasa. Sesudah memikir sejenak, tanpa menghiraukan kemungkinan dimaki, ia membuka
Kongso (tali ikatan pinggang yang terbuat dari baja) yang lalu disabetkan ke muka Keng Thian.
Pada detik itu Keng Thian berada dalam bahaya besar. Karena sedang mengadu
tenaga dengan menggunakan dua tangannya, ia tak bisa berkelit atau menangkis lagi, sedang
Thian Oe terus berdiri terlongo-Iongo, seperti orang yang lupa ingatan. Pada saat genting itu,
dalam bingungnya
Keng Thian membentak keras, suaranya menggeledek seolah-olah halilintar di
tengah hari bolong.
Teruchi terkesiap dan tangannya agak bergemetar, sehingga Kongso itu meleset
dari sasarannya,
lewat tiga dim dari kulit muka Keng Thian. Akibat bentakan itu, Thian Oe
tersadar dan sambil
menghunus pedang, ia segera melompat dan menyampok Kongso yang telah disabetkan
untuk kedua kalinya ke muka Keng Thian.
Begitu senjata musuh terpental, ia mengirim serangan kedua dengan pukulan
Taypeng tiantjie
(Burung garuda membuka sayap), sehingga dengan hati mencelos, buru-buru Teruchi
meloncat ke samping. Ia sungkan memberi napas kepada musuh dan lalu mengirim serangan ketiga
dengan ilmu Pengtjoan hoeipo (Sungai es berterbangan), ialah salah satu pukulan yang
paling liehay dari
Pengtjoan Kiamhoat. Sebisa-bisa Teruchi coba menolong diri dengan melompat ke
belakang, tapi ia agak terlambat, karena topinya kena dibabat putus. Melihat liehaynya pemuda
itu, Keng Thian
jadi sangat girang dan ia sama sekali tidak menduga, bahwa dengan berdiam
beberapa bulan di
keraton es, ilmu silat Thian Oe sudah maju begitu jauh. Karena mengetahui, bahwa
jago Kalimpong itu bukan tandingan Thian Oe, maka dengan hati mantap, Keng Thian
segera mengerahkan Seantero lweekang-nya dan membetot sekeras-kerasnya. Sekali ini,
kaki si pendeta
terangkat dari bumi dan tubuhnya terputar.
Melihat lawannya keteter, Keng Thian segera mengerahkan tenaga di tangan kiri
untuk melepaskan "isapan" mangkok. Sesaat itu, tiba-tiba ia mendengar suara Teruchi
yang berkata dalam bahasa Tibet: "Jangan banyak tingkah, kau! Kecintaan sendiri kau masih tak
bisa melindunginya, guna apa kau membantu kawan?" Sambil berkata begitu, ia mengawasi
Thian Oe dengan sorot mata mengejek.
Mendengar perkataan itu yang tajam seperti pisau, Thian Oe menjadi kalap. Ia
melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan sambil menyender di pohon dengan badan
bergoyanggoyang,
ia berteriak: "Benar! Benar! Guna apa aku menjadi manusia" Kecintaan sendiri
saja, aku sudah tak mampu melindungi. Chena! Chena! Aku sungguh merasa malu terhadap kau!"
Melihat siasatnya berhasil, sambil tertawa nyaring, Teruchi melompat dan
menyabet muka Keng
Thian dengan senjatanya. Apa mau, sebelum Kongso mengenakan sasarannya, tubuh si
pendeta dan Keng Thian sudah mulai terputar-putar dengan cepatnya, sehingga, karena
kuatir melukakan
paman guru sendiri, ia terpaksa menarik pulang senjatanya. Di lain detik,
berbareng dengan
teriakan Keng Thian yang sangat nyaring, mereka berpencaran dan dengan gerakan
kilat, Keng Thian sudah menghunus pedang Yoeliong kiam.
Begitu melihat musuh terpencar dari Soesiok-nya, Teruchi segera menghantam
dengan Kongso. "Awas!" teriak si pendeta.
Teruchi kaget dan coba menarik pulang senjatanya, tapi sudah tidak keburu lagi.
Ujung Kongso terbabat putus dan dua bola baja yang tercantel disitu, jatuh di tanah.
Ternyata, sesudah saling membetot beberapa saat, Keng Thian mengetahui, bahwa
tenaga "mengisap" dari mangkok itu muncul dari gerakan terputarnya, sehingga semakin ia
membetot tangannya, "isapan" itu jadi semakin keras. Buru-buru ia menukar siasat dan
memutar tangannya,
tapi arah putaran tangan itu adalah sebaliknya dari arah putaran mangkok. Benar
saja, sesudah dua putaran, tangannya terlepas dari "isapan". Di lain pihak, pada saat Keng
Thian memusatkan
tenaganya di tangan kiri, si pendeta membetot tongkatnya dengan sekuat tenaga
dan ia pun berhasil melepaskan cekalan lawan. Begitu terlepas, mereka berpencaran dengan
masing-masing melompat ke samping, sedang Keng Thian sendiri menghunus Yoeliong kiam sembari
meloncat. Melihat keponakan muridnya berada dalam bahaya, si pendeta berkelana segera
menerjang pula dan mengirim pukulan-pukulan berantai dengan tongkat dan mangkoknya. Karena
menghadapi musuh yang terlalu kuat, ia tidak menghiraukan kebiasaannya lagi dan
malahan memerintahkan supaya Teruchi memberi bantuan. Keng Thian sedikitpun tak menjadi
keder dan ia lalu melayani dengan ilmu pedang Toeihong Kiamhoat.
Sebagaimana diketahui, si pendeta adalah pecundang Pengtjoan Thianlie, sehingga
Bukit Kematian 1 Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa Rahasia Tombak Dewa 2
^