Pencarian

Bidadari Dari Sungai Es 15

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 15


menurut pantas, ia juga bukan tandingan Keng Thian. Akan tetapi, keadaan sekarang
sedikit berlainan
dengan keadaan dulu. Pertama, senjata rahasia Pengpok Sintan dari Koei Peng Go
merupakan senjata sangat istimewa yang disegani oleh si pendeta dan kedua, sekarang si
pendeta dibantu
oleh keponakan muridnya yang memiliki ilmu Yoga dan yang selalu menyerang dari
samping dan belakang secara gerilya. Maka itulah, sesudah bertempur seratus jurus lebih,
perlahan-lahan Keng
Thian jatuh di bawah angin. Ia melirik Thian Oe dan ternyata, kawan itu masih
terus menyender di
pohon dengan mata mendelong, seperti orang kehilangan semangat, seolah-olah
tidak mengetahui, bahwa sang kawan sedang bertempur mati-matian untuknya. Keng Thian
jadi bingung, karena kedudukannya jadi semakin jelek.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan gergetan Keng Thian mengirim dua
tikaman ke arah
Teruchi, tapi dua serangan itu telah ditangkis dengan mangkok emas. Berbareng
dengan dua kali
suara "trang! trang!" Teruchi mengedut Kongso yang lantas saja menjadi lurus
keras seperti tombak dan yang lalu ditikamkan ke tenggorokan Keng Thian. Dengan gerakan
Honghong tiamtauw (Burung hong manggutkan kepala), Keng Thian mengegos tikaman itu yang
lewat di atas kepalanya. Tapi Teruchi pun bukan anak kemarin dulu. Hampir berbareng ia
menggentak, sehingga Kongso itu, yang berubah menjadi pecut lemas, menyabet punggung musuh.
Berbareng dengan serangan keponakan muridnya, si pendeta menekan Yoeliong kiam dengan
mangkok emas dan menotok jalan darah Djiekie hiat, di kempungan Keng Thian. Dua serangan itu,
yang menyambar dengan berbareng, tak bisa ditangkis atau dikelit lagi. Pada detik
berbahaya, Keng
Thian mengempos semangat untuk menerima kedua pukulan musuh. Dengan mengenakan
baju mustika, ia merasa pasti akan bisa mempertahankan diri terhadap sabetan pecut
yang menyambar ke punggung. Tapi totokan si pendeta adalah totokan membinasakan yang sangat
liehay dari ilmu
tongkat Thianmo Tianghoat dan totokan itu memang untuk memecahkan lweekang dari
ahli-ahli Lweekeeh. Maka itu, Keng Thian sendiri masih belum tahu, apa ia akan berhasil
mempertahankan diri dengan menutup semua jalanan darah.
Pada detik Kongso dan tongkat hampir menyentuh tubuhnya, mendadak saja si
pendeta mengeluarkan teriakan aneh, tongkatnya terpental ke belakang, seakan-akan
didorong dengan
semacam tenaga yang sangat besar. Tubuh si pendeta kemudian terputar beberapa
kali, dan sesudah roboh, menggelinding ke bawah tanjakan. Sementara itu, begitu lekas
Kongso menghantam punggung Keng Thian, badan Teruchi pun terpental setombak lebih
karena didorong
dengan tenaga dalam pemuda itu. Dia bergulingan beberapa kali dan kemudian,
seperti juga Soesiok-nya, menggelinding ke bawah tanjakan.
Semua kejadian itu, telah terjadi dalam beberapa detik. Keng Thian terlolos dari
bencana, tapi ia tak tahu, apa sebabnya. Robohnya Teruchi memang merupakan akibat dari
serangan tenaga
dalamnya. Waktu Kongso menghantam punggungnya, yang tidak terluka karena
dilindungi baju
mustika, ia mengerahkan lweekang sambil menggoyang punggung, sehingga tubuh
Teruchi terpental akibat dorongan tenaga dalam itu. Apa yang mengherankan adalah
robohnya si pendeta
berkelana itu, Kenapa, sedang tongkat belum menyentuh badannya, si pendeta
mendadak menarik pulang senjatanya, seperti didorong oleh semacam tenaga yang sangat
besar" Siapa yang
sudah menolongnya" Keng Thian sungguh tak mengerti.
Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa yang sangat nyaring, suara tertawa yang
kedengarannya tak asing lagi. Tanpa memikir panjang-panjang, ia melompat ke hutan, ke arah
suara itu. Sekonyong-konyong dari dalam hutan terbang menyambar seikat bunga yang masih
basah dengan air embun. Keng Thian menangkap ikatan bunga itu yang di dalamnya terselip selembar kertas
dengan tulisan: Lekas berlalu dari Sakya!
Ia terkejut. Melihat gubahan dan cara menimpuknya ikatan kembang itu, ia ingat
itu ikatan bunga yang ditimpukkan pada waktu ia mencari Pengtjoan Thianlie di atas gunung
Gobie san. Ketika itu, ia menduga, bahwa orang yang menimpuk adalah Koei Peng Go.
Belakangan, ia menyangsikan dugaan tersebut, karena si nona pasti tak mempunyai lweekang yang
sedemikian tinggi. Tapi sekarang, sebab mengetahui, bahwa Peng Go belum tiba di Sakya, ia
berani menentukan, bahwa orang yang menimpuk bukan Pengtjoan Thianlie. Tapi siapa"
Sekonyong-konyong di dalam hutan kembali terdengar suara tertawa nyaring, yang
dalam sekejap mata, sudah terdengar jauh sekali. Jantung Keng Thian memukul keras.
Dalam dunia ini,
tidak seberapa orang yang mempunyai ilmu entengkan badan begitu tinggi, yang
bisa berlari begitu cepat. Mendadak, dalam otaknya berkelebat satu nama dan ia lantas saja
berteriak: "Ie-ie
(bibi)!" Tak bisa salah lagi orang yang menimpuk adalah Phang Lin, bibinya yang
mahir dalam ilmu
Tjekyap Hoeihoa (Ilmu menimpuk dengan daun dan bunga) dan yang suka sekali
berguyonan. Untuk sejenak Keng Thian berdiri terpaku. Ia yakin, bahwa tak guna ia mengubar
bibinya yang liehay itu. "Tapi kenapa Ie-ie juga datang kesini?" tanyanya di dalam hati.
"Kenapa ia
menasehatkan supaya aku meninggalkan Sakya?" Itulah pertanyaan yang tak dapat
dijawab olehnya, tapi sesudah memikir beberapa saat, ia menarik kesimpulan, bahwa sang
bibi hanya berguyon-guyon. Tapi ia tak tahu, bahwa nasehat Phang Lin bukan guyonan.
Ia lalu menghampiri Thian Oe yang sedang duduk di bawah pohon dan menggurat-
gurat tanah dengan sebatang kayu. Ternyata, pemuda itu tengah menulis huruf-huruf "Chena."
Keng Thian menghela napas dan sambil menarik tangan orang, ia berkata: "Hayolah!"
"Kemana?" tanya Thian Oe. "Kemana kita cari Chena?"
"Dengarlah!" kata Keng Thian dengan suara sungguh-sungguh. "Chena sudah
meninggal dunia
dan tentu bakal ada buntutnya. Jika kau tidak mengurus urusan-urusan yang
merupakan akibat
dari kebinasaannya, di alam baka ia tentu merasa penasaran."
Mendengar perkataan itu, Thian Oe agak tersadar. "Bagaimana mengurusnya?"
tanyanya. "Paling terutama kau harus menyayang diri sendiri," jawabnya. "Sekarang marilah
kita pulang untuk berunding terlebih jauh."
Setibanya di gedung Soanwiesoe, mereka menuju langsung ke kamar Thian Oe, dimana
Keng Thian lalu memeriksa nadinya pemuda itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa
mengalirnya darah
kacau balau karena kedukaan yang melampaui batas.
"Sekarang coba kau bersila dan mengeluarkan segala pikiran dari otakmu," kata
Keng Thian. Thian Oe menurut, tapi beberapa saat kemudian, ia membuka mata seraya berkata:
"Tak bisa!
Tak dapat aku menolak gangguan pikiran."
Keng Thian memikir sejenak dan lalu berkata: "Bersilalah dengan tenang dan turut
segala petunjukku." Sesudah itu, ia lalu menurunkan ilmu melatih lweekang dari Thiansan
pay. Sebagai seorang penggemar ilmu silat, perhatian Thian Oe lantas saja ditujukan
kepada pelajaran itu. Dengan sepenuh hati, ia mendengari petunjuk-petunjuk dan lalu
mulai berlatih.
Berselang kurang lebih setengah jam, benar saja ia bisa membebaskan diri dari
segala gangguan
pikiran dan terus berlatih dengan tenang. Perlahan-lahan Keng Thian meninggalkan
kamar itu untuk mendengar-dengar warta tentang kejadian barusan.
Waktu itu, peristiwa di kuil Lhama sudah diketahui oleh segenap penghuni gedung
Soanwiesoe. Keng Thian memanggil pengurus rumah tangga dan memesan supaya semua penghuni
dilarang keluar sembarangan dan supaya pintu depan dijaga baik-baik. Sesudah lewat
magrib, Tan Teng
Kie barulah pulang dengan paras muka kusut.
Si pengurus rumah tangga terkejut, karena belum pernah majikannya kelihatan
begitu berduka.
Begitu pulang, Teng Kie segera memerintahkan pengurus rumah tangga menutup pintu
tengah dan memerintahkan juga dua puluh serdadu untuk menjaga diluar pintu. Sesudah
itu, ia mengundang Keng Thian masuk ke kamar tamu untuk berunding.
Begitu lekas mereka berduduk, Teng Kie menanya: " Mana Oe-djie?"
Dengan ringkas Kang Thian menuturkan segala kejadian yang dialaminya. "Baru
sekarang aku tahu, gadis yang dipenujui Oe-djie adalah puterinya Raja muda Chinpu," kata Tan
Teng Kie. "Semula aku menduga Yoe Peng, itu dewi dari istana es." Ia menghela napas dan
kemudian berkata pula: "Dengan demikian keadaan jadi semakin sulit."
"Kenapa?" tanya Keng Thian.
"Jika tak salah, Omateng bakal menimbulkan kekacauan besar," jawabnya. "Sesudah
kau dan Oe-djie melarikan diri, dalam kuil terjadi lain peristiwa."
"Kehadiran kami dilihat olehmu?" tanya Keng Thian.
Teng Kie mengangguk. "Meskipun Oe-djie mengenakan pakaian orang Tibet, aku tentu
mengenalinya," jawabnya. "Sebelum kau orang kabur dari pintu Goatgee boen, Hoat-
ong sudah mengubar. Pada saat itu, aku bingung bukan main. Mendadak, muncul seorang pemuda
aneh, badannya jangkung, parasnya cakap, mirip-mirip Oe-djie. Ah! Pemuda itu benar-
benar besar nyalinya, entah dia pernah makan nyali singa atau jantung macan tutul. Begitu
muncul, begitu dia
menerjang Budha Hidup!"
Keng Thian lantas saja mengetahui, bahwa "pemuda aneh" itu adalah Kim Sie Ie.
"Habis bagaimana?" tanyanya dengan hati berdebar-debar.
"Seperti seekor garuda, dia melayang turun dari payon rumah," Teng Kie
melanjutkan penuturannya. "Begitu kakinya menginjak bumi, begitu dia mengirim tinju ke arah
Hoat-ong. Dalam jarak yang agak jauh, sang Budha Hidup mengebas tangannya dan sungguh
heran, pemuda itu seperti kena didorong dengan semacam tenaga yang sangat besar,
sehingga dia terpental dan melompat naik lagi ke atas genteng. Sesaat kemudian, ia turun
kembali, Hoat-ong
mengebas lagi dan untuk kedua kalinya, ia ngapung ke atas genteng. Sesudah
kejadian itu berulang tiga kali, empat murid Hoat-ong melompat ke atas dan lalu
mengurungnya."-
"Dan bagaimana dengan Hoat-ong sendiri?" tanya Keng Thian.
"Hoat-ong sendiri tidak bergerak," jawabnya. "Empat murid yang sudah berada di
genteng, tidak lantas menyerang. Dengan sikap hati-hati, seperti sedang menghadapi lawan
berat, perlahan-lahan mereka mengurung. Dengan tetap berdiri di tanah, Hoat-ong
mengirim beberapa
pukulan ke arah si pemuda yang berada di genteng.
Sungguh aneh, setiap kali Hoat-ong mengirim pukulan, badan pemuda itu bergoyang-
goyang. Sementara itu, empat Lhama sudah mengurung semakin rapat dan mereka akan segera
menyerang. Mendadak, entah kenapa, tubuh Hoat-ong bergoyang-goyang dan sebelum
mengirim pukulan lagi, ia menghela napas panjang dan berkata sambil mengebas tangannya:
"Biarkan dia
pergi!" Sambil tertawa nyaring, seperti seekor walet, pemuda itu melompat ke
wuwungan dan dalam sekejap, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Keadaan jadi
semakin kalut dan
orang ramai membicarakan kejadian itu. Ada yang mengatakan bahwa pemuda itu
adalah jejadian
yang sengaja datang untuk menjajal Hoat-ong.
Bahwa Hoat-ong tak berhasil menangkapnya, adalah suatu tanda, bahwa
kepandaiannya belum
cukup tinggi, demikian katanya orang-orang itu yang sebagian besar terdiri dari
orang-orang Sekte
Topi Kuning."
Keng Thian kaget berbareng kagum. Di dalam hati ia mengerti, bahwa pukulan yang
di kirim Hoat-ong dari bawah genteng adalah pukulan Pekpo sinkoen (Pukulan malaikat dari
jarak seratus kaki). "Dengan kepandaian yang dimiliki Kim Sie Ie, paling banyak ia bisa
mempertahankan diri
dari serangan Hoat-ong ," pikirnya. "Bagaimana, selagi diserang Hoat-ong dan
dikepung empat Lhama yang berkepandaian tinggi, ia masih bisa meloloskan diri" Apakah ada orang


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandai yang membantunya" Didengar dari penuturan Tan Teng Kie, Hoat-ong rupanya telah
mendapat peringatan dari seorang pandai. Tapi siapakah orang itu?"
Keng Thian telah menebak jitu, hanya ia tidak menduga, bahwa orang yang sudah
menolong Kim Sie Ie, adalah bibinya sendiri.
Sesudah berdiam sejenak, Tan Teng Kie berkata pula: "Tentang puteri Raja muda
Chinpu..."
"Namanya Chena," memotong Keng Thian.
"Ya, Chena," membenarkan Teng Kie sambil mengangguk. "Hal Chena membunuh Touwsoe
dan kemudian membunuh diri sendiri, sudah dilihat oleh kau orang. Sesudah nona
itu roboh, Omateng segera menghampiri dan membuka kudungan mukanya. 'Hei! Coba kau orang
datang kemari!' ia berteriak. 'Puteri Raja muda Chinpu adalah penjahat perempuan yang
dulu pernah mencuri kuda dan membakar gedung Touwsoe!' Orang-orangnya Touwsoe segera
mendekati dan sebagian besar antaranya mengenali Chena. Mereka manggut-manggutkan kepala dan
membenarkan perkataan Nyepa gemuk itu. Di lain saat, sambil berpaling kepadaku,
Omateng berkata: 'Tan Taydjin, dia adalah itu penjahat perempuan yang dulu pernah
dilindungi olehmu
dengan mengajukan permohonan pengampunan kepada Touwsoe.' Dia tertawa, tertawa
yang membangunkan bulu romaku. Baru saja aku ingin menjawab, bahwa tindakanku itu
adalah karena desakannya sendiri, mendadak Hoat-ong dan empat muridnya berjalan masuk ke
ruangan sembahyang. Sementara itu, Omateng dan orang-orangnya Touwsoe sudah menggotong
jenazah Touwsoe dan Chena keluar dari ruangan sembahyang. Dia juga sudah berhasil
membujuk utusan
Dalai Lama untuk mengikutinya, dengan membawa utusan Panchen yang mendapat luka.
Sambil berjalan keluar, dia berteriak-teriak, mengatakan ingin membalas sakit hati
Touwsoe dan mengajak pulang semua orang-orangnya Touwsoe. Hoat-ong kelihatan bingung, tapi
tidak merintangi perbuatan Nyepa gemuk itu. Demikianlah, dengan sikap sombong, dengan
diikuti oleh utusan Dalai dan Panchen Lama, Omateng berlalu dari kuil tersebut. Coba kau
pikir, siasat apa
yang akan dijalankan olehnya" Satu hal yang sudah boleh dipastikan, Omateng
sedang bersiap untuk menerbitkan badai di Tibet."
Keng Thian kaget tak kepalang. "Asal-usul Omateng tak diketahui olehku,"
katanya. "Tapi aku
sependapat, bahwa dia akan menimbulkan keonaran besar. Tan Taydjin, menurut
pendapatku, jalan yang paling baik adalah segera melaporkan kepada Hok Kong An."
Tan Teng Kie menyetujui usul Keng Thian dan ia segera menulis surat. Tapi belum
selesai ia menulis surat itu, mendadak di luar gedung terdengar suara ribut-ribut.
Di lain saat, pengurus rumah tangga masuk dengan tersipu-sipu. "Dengan membawa
sepasukan tentara, Omateng telah mengurung gedung ini," katanya dengan suara
gugup. Tan Teng Kie tertawa getir. "Sakit hati apakah yang didendam olehnya, sehingga
dia datang begitu cepat"' katanya. "Apa dia takut aku melarikan diri?"
Sehabis berkata begitu, dengan mengajak Keng Thian, ia lalu naik ke atas
ranggon. Mereka melihat Omateng dan isteri Touwsoe sedang mencaci di bawah tembok. Dalam
rombongan itu terdapat juga para Nyepa, si pendeta berkelana dan Teruchi. Sambil
mengebas dengan tangannya. Omateng berteriak: "Mampuskan semua pembesar Han! Mereka semua
bukan manusia baik-baik. Mereka datang ke Tibet untuk mengacau."
Dari atas ranggon, Tan Teng Kie membungkuk kepada nyonya Touwsoe seraya berkata
dengan suara nyaring: "Kebinasaan Touwsoe memang merupakan kejadian yang sangat
menyedihkan dan
kami turut berduka cita. Tapi, ada hubungan apakah antara terbunuhnya Touwsoe
dan aku pribadi" Bolehkah aku mendapat tahu, untuk urusan apa Hoedjin datang kemari
dengan sepasukan tentara" Kenapa kalian menumplek kegusaran di atas pundak orang Han?"
Nyonya Touwsoe menangis keras dan sambil menuding Tan Teng Kie, ia berteriak:
"Tan Teng Kie! Jangan kau berpura-pura! Jika penjahat perempuan itu bukan suruhanmu,
kenapa dulu kau
sudah coba melindunginya" Kenapa anakmu sudah menolongnya dengan mempertaruhkan
jiwanya sendiri?"
"Tan Teng Kie, kau dengarlah!" Omateng menyambungi dengan suara menggeledek'
"Urusan kami di Tibet bisa diurus oleh kami sendiri. Kami tak memerlukan bantuan orang
Han. Dengan menggunakan tangannya seorang penjahat perempuan, kau sudah membunuh Touwsoe dan
kau sudah memerintahkan supaya penjahat itu mengaku sebagai puterinya Raja muda
Chinpu. Terang-terangan kau ingin menimbulkan kekacauan di Tibet, supaya kau bisa
menarik segala keuntungan dan bisa berkuasa terus di wilayah kami. Sebelum manusia-manusia
seperti kau diusir
semuanya, di Tibet tak akan bisa tercapai perdamaian kekal."
Bukan main gusarnya Tan Teng Kie. Sekarang sudah nyata, bahwa Omateng memang
berniat menimbulkan kekacauan dan sengaja menuduh dirinya secara membabi buta. Baru saja
ia ingin balas mencaci, si gemuk sudah mementang busur dan melepaskan sebatang anak
panah. Dengan cepat Keng Thian melompat dan berdiri di depan Tan Teng Kie, akan
kemudian, dengan dua jeriji, ia menjepit anak panah yang menyambar itu. "Manusia tak punya
malu!" bentaknya. "Sambutlah anak panah ini!" Ia mementil dengan dua jerijinya dan anak panah itu
menyambar balik dengan tenaga lebih hebat daripada waktu dilepaskan dengan menggunakan
busur. Cepatcepat
Omateng mengangkat busur dan menangkisnya. "Tak!", busur itu patah dua!
Omateng kaget tak kepalang, buru-buru ia menggulingkan badan dan menyelesap
masuk di antara orang banyak. "Lepaskan anak panah!" teriaknya.
Dalam sekejap, ribuan anak panah menyambar bagaikan hujan gerimis ke arah
ranggon. Sambil memutar Yoeliong kiam, Keng Thian melindungi Tan Teng Kie turun dari
ranggon itu dan
begitu turun, mereka lalu mengatur pembelaan.
Gedung Soanwiesoe hanya dijaga oleh seratus lebih serdadu, sedang jumlah musuh
kurang lebih seribu orang. Akan tetapi, sebab semua tentara memiliki ilmu silat yang
lumayan berkat pelajaran yang diberikan oleh Thian Oe dan juga karena gedung Soanwiesoe kekar
dan kuat buatannya, maka tentara Omateng tak gampang-gampang masuk. Mereka menggunakan
"tangga awan" untuk memanjat tembok, tapi tangga-tangga itu semua kena dirobohkan.
Sehari dan semalam. Mereka menyerang terus menerus, tapi gedung Soanwiesoe masih tidak
bergeming. Di pihak Tan Teng Kie, semua orang sudah lelah bukan main dan Keng Thian, yang
belum tidur sekejap, mengetahui, bahwa mereka tak bisa mempertahankan diri terus menerus
secara begitu. Pada hari ketiga, waktu fajar mulai menyingsing, Keng Thian melihat, bahwa
tentara Omateng
telah ditarik mundur kurang lebih separuh. "Eh-eh!" katanya di dalam hati. "Aku
justru kualir mereka menambah kekuatan. Kenapa mereka mundur" Apa Omateng menukar siasat?"
Tentara Tibet itu hanya mengurung, sama sekali tidak memperlihatkan tanda untuk
menyerang, sedangkan Omateng dan Teruchi tidak berada dalam tentara. Selagi Keng Thian
mengawasi dengan perasaan sangsi, dari sebelah timur sekonyong-konyong terlihat satu
bayangan manusia
yang mendatangi dengan cepat sekali dan melewati bagian yang agak kosong dari
tentara musuh. Karena cuaca masih belum terang, tentara Tibet itu tak bisa segera mengenali
siapa yang datang, entah musuh atau kawan, sehingga mereka tidak segera merintangi. Dalam
sekejap, bayangan manusia itu sudah melewati dua lapis tentara dan sekarang baru orang
melihat tegas, bahwa ia itu adalah seorang lelaki yang berusia empat puluh tahun lebih dan
mengenakan pakaian
sasterawan. Beberapa tentara yang menjaga gedung, lantas saja berteriak: "Aha! Siauw
Loosoe!" Waktu
Siauw Tjeng Hong masih menjadi guru dalam gedung Soanwiesoe, ia kelihatan tua
dan loyo. Bahwa sekarang ia muncul dengan gerakan yang begitu gesit, sudah menimbulkan
perasaan heran dalam hati segenap tentara yang mengenalnya.
Sesaat itu, tentara Tibet yang juga sudah mengetahui, bahwa Siauw Tjeng Hong
bukan seorang kawan, lantas saja merintangi dan coba mengepungnya. Dengan cepat ia
mengebut dengan hudtim dan setiap kali mengebut, satu serdadu roboh terguling. Tentara
Tibet jadi ketakutan, mereka menduga musuh mempunyai ilmu siluman dan tidak berani mengejar
terus. Sesaat itu, orang satu-satunya yang mengubar adalah si pendeta berkelana yang,
dengan beberapa kali lompatan saja, sudah menyandak Siauw Tjeng Hong.
Keng Thian kaget, karena ia yakin, Siauw Tjeng Hong bukan tandingan si pendeta.
Sambil mengerahkan lweekang, ia menimpuk dengan dua batang Thiansan Sinbong. Si pendeta
menangkis dengan mangkoknya dan dua kali suara "trang!", senjata rahasia itu
menancap di mangkok. Si pendeta terkesiap, ia tak menduga, bahwa di dalam dunia terdapat
senjata rahasia
yang begitu liehay dan bisa menembus emas.
Karena musuhnya tertahan Sinbong, Siauw Tjeng Hong bisa lari terus dan melompat
naik ke atas tembok. "Siauw Loosoe, lagi kapan kau datang?" tanya Keng Thian sesudah Tjeng Hong
hilang sengalsengalnya.
"Sesudah selesai mengubur jenazah Moh Tayhiap, aku segera menyusul kemari,"
jawabnya. "Kau tiba lebih dahulu kira-kira satu setengah hari."
"Pengtjoan Thianlie?" tanya pula Keng Thian.
"Ia berangkat belakangan," sahutnya. "Sesudah aku berlalu, ia masih harus
berdiam di Gobie
san dua hari lagi, untuk mengurus urusan-urusan partai Boetong pay. Ia akan
berangkat berbareng dengan Lu Liehiap."
Keng Thian berdiam sejenak. "Ilmu entengkan badan Peng Go banyak lebih tinggi
daripada Siauw Tjeng Hong, sehingga, biarpun berangkat dua hari belakangan, sebenarnya ia
sudah mesti tiba disini," katanya di dalam hati. "Kenapa sampai sekarang ia belum kelihatan
mata hidungnya"
Apa terjadi kejadian luar biasa?"
Memikir begitu, ia segera menanya pula: "Lagi kapan kau tiba di Sakya?"
"Kemarin," sahutnya. "Aku tak bisa lantas masuk kesini, karena penjagaan di luar
sangat kuat. Baru hari ini, aku mendapat kesempatan. Mana Thian Oe"'
"Jika mau dituturkan, ceritanya panjang sekali," jawab Keng Thian. "Dia sekarang
sedang beristirahat dalam kamarnya. Sekarang lebih dulu aku minta kau tuturkan keadaan
di luar." "Kalut bukan main," jawabnya. "Menurut pendengaranku, Omateng telah "membakar'
utusan Dalai Lama dengan mengatakan, bahwa Hoat-ong Sekte Topi Putih telah menghina
Sekte Topi Kuning, karena ia memerintahkan Wanita Suci untuk melukakan utusan Panchen Lama.
Katanya, mereka ingin memohon supaya Dalai dan Panchen Lama mengirim tentara untuk
mengusir Sekte Topi Putih, Aku kuatir kejadian ini akan berbuntut dengan perang agama."
Keng Thian terperanjat. Semula ia menduga Omateng hanya ingin mengusir orang Han
dari wilayah Tibet, tapi sesudah mendengar penuturan itu, si Nyepa gemuk ternyata
sudah menyulut api di beberapa tempat untuk membakar seluruh Tibet. Apa maksudnya"
"Kuil Lhama juga sudah diawasi oleh tentara Tibet, tapi mereka belum berani
mengacau, karena rupanya masih merasa segan terhadap Hoat-ong," kata pula Siauw Tjeng
Hong. "Menurut
pendengaranku Omateng ingin minta bala bantuan dari Kalimpong dan Nepal untuk
mempersatukan Tibet."
"Bagaimana baiknya?" kata Keng Thian dengan suara bingung. "Jalan satu-satunya
adalah memberi laporan kepada Hok Kong An, supaya segera di kirim bantuan tentara."
Tapi, siapa yang harus membawa surat itu" Selagi mereka bersangsi, pasukan Tibet
mendadak berpencaran dan minggir ke kiri kanan dan di jalanan yang terbuka itu muncul
Omateng yang mengiring dua orang Lhama Sekte Topi Putih, yang menunggang seekor gajah putih.
Keng Thian lantas saja mengenali, bahwa mereka adalah murid-murid utama dari
Hoat-ong yang pernah dikirim untuk merebut guci emas. "Sungguh heran," katanya di dalam
hati. "Menurut
keterangan, Omateng mengambil sikap bermusuh terhadap Hoat-ong. Tapi kenapa
Hoat-ong mengirim dua muridnya datang kesini!"


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekonyong-konyong pasukan Touwsoe juga berpencaran dan membuka satu jalanan
lebar. Di lain saat, seorang gadis Tsang yang mengenakan pakaian warna hijau dan
menunggang seekor
kuda, mendatangi dengan cepat sekali. Kedatangan wanita itu disambut dengan
membungkuk oleh semua perwira.
"Itulah puterinya Touwsoe!" kata Siauw Tjeng Hong.
Sementara itu, sambil mengaburkan tunggangannya, nona itu berteriak: "Omateng!
Omateng!" Si gemuk menoleh seraya berkata: "Sanpiie Kangma Kusiu (Nona Sanpiie), perlu apa
kau datang kemari" Pulang! Lekas pulang!"
Si nona mendelik dn membentak: "Omateng! Dengan siapa kau bicara" Bukan kau,
tapi akulah yang memerintahkan kau lekas pulang!"
Omateng tertawa dingin. "Tindakanku ini adalah atas perintah Hoat-ong dan sudah
disetujui oleh ibumu," katanya. "Ayahmu binasa dibunuh penjahat perempuan dan ia mati
dengan mata melek. Aku adalah seorang yang ingin membekuk musuh ayahmu!"
Sanpiie kelihatan jengkel sekali, tapi ia tak dapat menjawab perkataan Nyepa
itu. Sementara itu, Omateng dan dua murid Hoat-ong sudah tiba di depan pintu dan berteriak-
teriak minta bicara
dengan Tan Teng Kie. Kedua Lhama itu mengacungkan Kioehoan Sekthung (tongkat
timah) yang pada ujungnya tergantung satu Patkwa tertata mutiara, yaitu tanda kekuasaan
Hoat-ong. "Kami, utusan Budha Hidup, minta bertemu dengan Taytjeng Ponpo (pembesar
kerajaan Tjeng)!" berteriak satu antaranya.
"Tan Taydjin bagaimana?" tanya Siauw Tjeng Hong, "Buka pintu atau jangan?"
Tan Teng Kie bersangsi, tapi akhirnya ia menyahut: "Buka!"
Dengan segala kehormatan Tan Teng Kie menyambut empat tetamunya (Omateng, kedua
Lhama dan Sanpiie) dan mengundang mereka ke kamar tamu. Keng Thian mengikut
sebagai pengawal pribadi Soanwiesoe dan duduk di pinggiran. Sesudah
mempersembahkan khata dan mengajak tetamunya minum teh, Tan Teng Kie segera
menanya maksud kedatangan mereka.
"Karena merasa tak tega jika sampai terjadi bentrokan senjata, maka Budha Hidup
bersedia untuk mengadakan perdamaian," kata salah seorang murid Hoat-ong. "Orang-orang
sebawahan Touwsoe semua mengatakan, bahwa penjahat perempuan itu adalah kawan puteramu,
yang sudah turut campur tangan dalam pembunuhan itu. Maka itu, kami meminta supaya
Ponpo Taydjin suka menyerahkan puteramu kepada Hoat-ong untuk diadili."
Hati Tan Teng Kie mencelos. Ia tak menduga, bahwa Omateng sudah bisa
mempengaruhi Budha Hidup sampai begitu rupa. Tentu saja ia tak sudi meluluskan permintaan
itu. Tapi, baru saja
ia mau membuka mulut, Sanpiie sudah mendahului: "Ayahku telah dibunuh oleh
puteri Raja muda
Chinpu dan sekarang si pembunuh sudah membunuh dirinya sendiri. Maka itu,
menurut pendapatku, tidak pantas kita menyeret-nyeret Thian Oe. Jika mau dikatakan Thian
Oe turut berdosa, karena ia pernah menolong pembunuh itu, maka cukuplah kiranya jika ia
diperintah menjaga peti mati ayahku selama tujuh hari."
Si nona yang mencintai Thian Oe, mengetahui, bahwa jika pemuda itu jatuh ke
dalam tangan Omateng, hampir boleh dipastikan ia akan celaka. Maka itu, dengan mendusta pada
ibunya, cepatcepat
ia menyusul. Teng Kie girang bukan main. "Perkataan Sanpiie Kangma Kusiu benar sekali,"
katanya. "Aku
menyetujui pemberesan itu. Begitu lekas kau mundurkan tentara, aku akan segera
memerintahkan Oe-djie pergi ke gedung Touwsoe."
Omateng tertawa dingin. "Urusan di Sakya diurus olehku dan ibumu," katanya. "Tak
perlu kau campur-campur. Aku sekarang ingin menandaskan sekali lagi: Aku datang kemari
atas perintah Hoat-ong dan ibumu. Apa kau belum mengerti?"
Jika Touwsoe masih hidup, Omateng tentu tak berani berlaku begitu kurang ajar.
Tapi sekarang, sesudah kekuasaan jatuh ke dalam tangannya, ia tak memandang sebelah
mata lagi puterinya Touwsoe. Sementara itu, si gemuk selalu menggunakan nama Hoat-ong dan
ibunya serta saban-saban mengatakan, bahwa segala tindakannya adalah untuk membalas
sakit hatinya ayahnya, Sanpiie pun tak bisa bertengkar lagi.
Omateng berpaling lagi kepada Teng Kie sambil memperlihatkan tertawa licik, ia
berkata pula: "Ponpo Taydjin, aku mengharap, bahwa dengan mengingat kepentingan yang lebih
besar, kau suka segera menyerahkan puteramu."
Teng Kie bingung bukan main dan berkata dengan suara gugup: "Ini... ini..."
"Orang Han sering mengatakan bahwa siapa yang berbuat, dialah yang harus
menanggung segala akibatnya," si gemuk memutuskan omongan tuan rumah. "Dulu di gedung
Touwsoe, puteramu sudah berani membelah buah dengan golok terbang. Apa sekarang ia tak
mempunyai nyali untuk mengikut kami?"
Sekonyong-konyong, dari dalam terdengar tertawa nyaring dan seorang pemuda
muncul dengan tindakan perlahan. "Oe-djie!..." Teng Kie mengeluarkan seman tertahan. Ia
mau bicara lagi, tapi mulutnya seperti terkancing, karena melihat hal yang sangat aneh.
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Omateng!" katanya. "Benar katamu: orang yang
berani berbuat harus berani menanggung akibatnya. Aku justru ingin menemui Hoat-ong
untuk bicara dengannya. Hayolah! Mari kita berangkat sekarang."
Tan Teng Kie menatap wajah pemuda tersebut dengan mata terbelalak. Dia
mengenakan pakaian Thian Oe dan romannya memang mirip dengan puteranya itu, tapi sudah
pasti, dia bukan
Thian Oe. Keng Thian pun kelihatan kaget, tapi di lain saat, ia memberi isyarat kepada
Teng Kie dengan
kedipan mata. "Saudara Thian Oe," katanya. "Kau belum sembuh, bagaimana kau bisa
pergi?" Si pemuda tertawa dingin seraya berkata: "Tak usah kau memperdulikan aku.
Andaikata aku tak sakit, Nyepa Omateng tentu tak sudi membiarkan aku hidup tenang. Eh, Nyepa!
Kenapa kau belum mau berangkat?"
Tan Teng Kie yakin, bahwa pemuda itu yang ingin menolong puteranya, mengenal
Keng Thian, tapi ia sendiri belum pernah melihatnya dan Thian Oe belum pernah memberitahukan
tentang sahabat itu. Jika Tan Teng Kie heran, Keng Thian sebenarnya lebih heran lagi, sebab pemuda
itu bukan lain daripada Kim Sie Ie. Kenapa dia mendadak muncul dalam peranan sebagai Thian Oe"
la ingat, bahwa menurut Lu Soe Nio, si pengemis kusta hanya bisa hidup tiga puluh enam
hari lagi. Ia menghitung-hitung dan ternyata, sedari Liehiap mengatakan begitu sampai
sekarang, sudah
berselang tiga puluh tiga hari, atau dengan lain perkataan, Kim Sie Ie hanya
bisa hidup tiga hari
lagi. Tapi kenapa mukanya masih tetap seperti biasa, sedikitpun tak
memperlihatkan tanda-tanda
jelek" Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa berkat bantuan lweekang dari
bibinya, umur Kim Sie
Ie diperpanjang lagi tiga puluh enam hari.
Sanpiie juga tak kurang kagetnya. Ia pun tahu, pemuda itu bukan Tan Thian Oe.
Sementara itu, kedua Lhama lalu bangun berdiri dan berkata sambil merangkap
kedua tangannya: "Terimakasih atas bantuan Ponpo Taydjin." Sehabis berkata begitu, ia
segera bergerak
untuk berlalu dengan membawa Kim Sie Ie.
Harus diketahui, bahwa Hoat-ong dan empat muridnya sebenarnya merasa bersimpati
terhadap Tan Teng Kie dan mendongkol terhadap Omateng. Akan tetapi, karena Nyepa gemuk
itu menggunakan utusan Dalai dan Penchen Lama untuk menekannya dan juga karena
mengingat kepentingan Agama Topi Putih, maka dengan terpaksa, ia menuruti segala permintaan
Omateng. Pada hakekatnya, ia sama sekali tak berniat menyusahkan Tan Teng Kie dan
keluarganya. Di lain pihak, sesudah menatap wajah Kim Sie Ie beberapa saat, Omateng maju
setindak sambil
membentak: "Siapa kau?"
Kim Sie Ie mendelik. "Siapa kau?" ia balas membentak.
"Aku adalah Nyepa besar dari Sakya, namaku Omateng," jawabnya. "Siapa tidak
mengenal aku?" "Aku adalah Tan Thian Oe, menantu Touwsoe Sakya," Kim Sie Ie menimpali. "Siapa
tidak mengenal aku" Sesudah Touwsoe meninggal dunia, aku sudah menjadi separuh
majikanmu. Jangan kau berlaku kurang ajar di hadapanku."
"Bocah! Apa kau mau cari mampus?" mencaci Omateng dengan gusar sekali. "Jangan
kau coba-coba memalsukan nama orang lain?"
"Memalsukan nama orang lain?" menegas Kim Sie Ie. "Dalam dunia ini, mana ada
manusia yang mau memalsukan diri sebagai suami orang lain."
Kedua Lhama itu melirik Sanpiie yang paras mukanya berubah merah. "Thian Oe,"
kata si nona dengan suara bergemetar. "Omateng mengandung maksud kurang baik. Kau tak boleh
pergi." Dengan berkata begitu, ia mengakui Kim Sie Ie sebagai Tan Thian Oe. Sebenarnya,
ia juga mengetahui, bahwa pemuda itu bukan kecintaannya, tapi karena tak ingin Thian Oe
mengantarkan jiwa, maka, dengan menahan malu, ia sudah berkata begitu.
Mendengar perkataan Sanpiie, kedua Lhama itu tidak bersangsi lagi. Mereka
menganggap, tak
mungkin seorang gadis mengakui orang lain sebagai tunangannya dan di samping
itu, juga tak mungkin seorang manusia sudi mengantarkan jiwa untuk orang lain. Mengingat
begitu, satu antaranya lantas saja berkata; "Aku rasa dia adalah Thian Oe tulen, Nyepa tak
usah bersangsi lagi." Omateng tertawa dingin. "Aku mengenal Tan Thian Oe," katanya. "Tan Thian Oe
mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi." Sambil berkata begitu, ia mengangsurkan tangan
untuk mencengkeram. "Terima kasih," kata Kim Sie Ie seraya menggoyang pundaknya dan... si gemuk
jatuh terjengkang. Ia merasa badannya sakit dan untuk sementara tak bisa bangun
berdiri. "Ilmu silatnya memang cukup tinggi," kata Keng Thian, tertawa. "Apa sekarang
Nyepa percaya?" Dalam tindakannya yang barusan, Omateng ternyata sudah salah menduga. Ia
menaksir, bahwa pemuda itu adalah orang yang dibeli oleh Tan Teng Kie. Maka itu, dalam
anggapannya, seorang tenaga belian tentu tak mempunyai kepandaian suatu apa. Tapi kali ini ia
membentur tembok dan bertemu dengan si pengemis kusta yang berkepandaian lebih tinggi
daripada Thian Oe. Masih untung, Kim Sie Ie tidak menggunakan seluruh tenaganya, sehingga si
gemuk tak sampai patah tulang.
"Siapa berani kata, aku memalsukan nama?" membentak Kim Sie Ie sambil mendelik.
Omateng tak berani berkata apa-apa lagi.
"Nyepa tak usah bersangsi lagi," kata sang Lhama sambil tersenyum. "Budha Hidup
tengah menunggu. Marilah kita berangkat sekarang."
Keng Thian buru-buru bangun dan sesudah mendekati Kim Sie Ie, ia berkata:
"Saudara Thian
Oe, dalam pergimu ini, aku mengharap kau bisa menjaga diri. Inilah yowan-mu
(pil). Bawalah."
Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan satu botol perak kecil yang berisi tiga
biji Pekleng tan. Menurut katanya Lu Soe Nio, setiap pil itu bisa memperpanjang umur Kim Sie
Ie untuk tiga puluh enam hari. Sesaat itu, karena merasa kagum akan pengorbanan si pengemis
kusta, Keng Thian rela menyerahkan semua pil bekalannya.
Sebagaimana diketahui, Pekleng tan dibuat dari Soatlian (Teratai salju) yang
terdapat di gunung Thiansan. Soatlian adalah bahan obat yang tiada bandingannya dalam dunia
dan yang bisa memunahkan racun serta menyembuhkan luka. Dulu, dalam pertempuran antara
Tjoei In Tjoe dan Siauw Tjeng Hong, Tjoei In Tjoe telah mendapat luka berat sehingga
separuh badannya
tidak bisa bergerak. Hanya dengan sekuntum Soatlian saja, luka itu sudah menjadi
sembuh. Maka itulah, melihat Keng Thian menyerahkan botol obat kepada Kim Sie Ie, Siauw
Tjeng Hong jadi kagum bukan main.
Tapi di luar dugaan, pemuda itu mengebas tangan bajunya seraya tertawa terbahak-
bahak.

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tong Keng Thian!" katanya. "Aku tak sudi menerima budimu."
Karena dikebas secara tak terduga, botol itu terbang dan Keng Thian buru-buru
menangkapnya kembali. "Bukan kau, tapi akulah yang menerima budi," katanya. Selagi ia mau
melanjutkan omongannya, Kim Sie Ie sudah memotong: "Hm! Kau hanya ingin memperlihatkan
ksatriaanmu kepada Pengtjoan Thianlie. Tapi aku tak mau kau mewujutkan niatan itu. Mati atau
hidup adalah takdir Tuhan. Perlu apa aku menerima pertolonganmu?" Kata-kata itu dikeluarkan
dengan suara angkuh dan sebelum Keng Thian bisa menjawab, ia sudah bertindak keluar.
Keng Thian mengantar mereka sampai di depan pintu, tapi Kim Sie Ie terus
berjalan tanpa menoleh. "Orang itu sungguh-sungguh aneh," kata Keng Thian sesudah kembali di kamar tamu.
"Siapa dia?" tanya Teng Kie.
"Orang itu adalah yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe
Hongkay," jawabnya. "Biar bagaimanapun juga, perbuatannya di kali ini adalah perbuatan seorang
ksatria," kata
Siauw Tjeng Hong. "Ia sama sekali tidak mengenal Thian Oe dan aku sungguh tidak
mengerti, kenapa ia rela berbuat begitu." Mereka coba menebak-nebak, tapi tak dapat
memecahkan tekateki
itu. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa tindakan Kim Sie Ie itu bukan ditujukan
untuk Thian Oe, tapi untuk Keng Thian. Ia adalah seorang aneh yang gerak-geriknya aneh pula.
la mengetahui, bahwa jiwanya hanya dapat ditolong dengan Iweekang Thiansan pay.
Tapi karena menganggap Keng Thian sebagai lawannya, keangkuhannya tidak mempermisikan untuk
ia menerima belas kasihan. Ia jadi nekat dan tidak menghiraukan lagi soal mati atau
hidup. Diamdiam
ia mengambil keputusan, bahwa sebelum mati, ia akan membuang budi kepada Tong
Keng Thian, supaya lawan itu berhutang budi untuk selama-lamanya. Ia mengetahui,
bahwa Keng Thian
adalah sahabat Thian Oe dan pemuda itu sedang kebingungan karena tidak mendapat
jalan untuk menolongnya. Mendadak ia mendapat serupa ingatan. "Dengan menolong sahabatnya,
aku mendapat jalan untuk membuang budi kepadanya," pikirnya. Tapi jalan pikiran itu
tentu saja tak dapat ditebak oleh Keng Thian, yang merasa sangat berduka dan menyesal akan
keangkuhan orang aneh itu.
Kira-kira seminuman teh, serdadu yang menjaga di luar memberi laporan, bahwa
sebagian besar tentara Touwsoe sudah ditarik pulang dan si pendeta berkelana pun sudah
berlalu. Tapi di
sekitar gedung Soanwiesoe masih ditaruh sejumlah tentara untuk mengamatamati.
Teng Kie dan yang lain-lain merasa heran dan tidak dapat meraba-raba apa maksud
Omateng. Sesudah berpikir sejenak, Keng Thian lalu minta Siauw Tjeng Hong pergi keluar
untuk menyelidiki.
Sesudah lewat magrib, barulah Siauw Tjeng Hong kembali. "Dari keterangan yang
dikumpul olehku, Omateng menarik tentaranya untuk menghadapi lain musuh," katanya. "Apa
kalian pernah mendengar nama Lochu?"
"Dia adalah saudara lelaki dari isteri Raja muda Chinpu," jawab Teng Kie. "Aku
dengar, dia adalah orang gagah nomor satu di bawah perintah Raja muda Chinpu."
"Begitu mendapat warta, bahwa keponakan perempuannya meninggal dunia dan
jenazahnya dirampas Omateng, Lochu segera mengerahkan sepasukan tentara untuk membalas
sakit hati Tjiehoe dan Gweesenglie-nya (Tjiehoe berarti suami kakak perempuan, sedang
Gweesenglie berarti keponakan perempuan)," Siauw Tjeng Hong melanjutkan keterangannya. "Pada
waktu tentara Omateng mengurung gedung ini, pasukan Lochu sudah mengepung bentengan
Touwsoe. Maka itu, mau tak mau, Omateng terpaksa menarik mundur tentaranya. Nyepa itu
beranggapan, bahwa Oe-djie adalah orang yang paling tinggi ilmu silatnya dalam gedung
Soanwiesoe. Jika Oedjie
disingkirkan, maka disini tak ada orang pandai lagi. Memikir begitu, ia lalu
menggunakan macam-macam akal licik untuk mendesak Hoat-ong, supaya Budha Hidup itu menangkap
Oe-djie. Keadaan di seluruh kota ini bukan main kalutnya. Omateng sudah memerintahkan
orang pergi ke Kalimpong dan Nepal untuk minta bantuan tentara, katanya guna mengusir orang Han
dan mempersatukan Tibet di bawah kekuasaan orang Tibet sendiri. Warta itu sudah
tersiar luas dan
semua orang Han menutup pintu rapat-rapat, tanpa berani keluar rumah. Kekacauan
sudah terjadi dan jika tentara asing sampai masuk disini, dapatlah kita membayangkan hebatnya
kekalutan yang bakal terjadi. Menurut keterangan, tentara Lochu berjumlah kecil dan diduga akan
dipukul hancur dalam beberapa hari. Sesudah membasmi Lochu, Omateng tentu akan menggerayang
kesini lagi."
Tan Teng Kie menghela napas berulang-ulang. "Pangkat Soanwiesoe adalah pangkat
yang tidak dihiraukan olehku," katanya dengan suara duka. "Tapi jika di Tibet sampai
terjadi huru-hara, aku
tak ada muka untuk menghadapi kaizar dan rakyat."
Keng Thian mengasah otaknya, tapi ia tak bisa mendapatkan daya yang sempurna.
"Paling baik
kita menjalankan tindakan yang sudah disetujui pagi ini," katanya. "Secepat
mungkin mengirim
orang untuk melaporkan kepada Hok Kong An dan meminta bantuan bala tentara."
"Suruh siapa?" tanya Teng Kie.
"Aku bersedia untuk menjalankan tugas itu," Siauw Tjeng Hong menawarkan diri.
Keng Thian melirik tanpa berkata suatu apa. Dengan kepandaian yang dimilikinya,
Siauw Tjeng Hong belum tentu ia bisa tiba di Lhasa dengan selamat. Sebenarnya ia sendiri
yang ingin pergi,
tapi mengingat keselamatan Tan Teng Kie dan segenap penghuni gedung Soanwiesoe,
ia jadi bersangsi. "Tong Tayhiap, bagaimana pendapatmu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
Keng Thian merasa tak enak untuk bicara terus terang. Selagi bimbang, mendadak
ia ingat satu orang. "Siauw Loosoe," katanya. "Bukankah kau ingin menemui Oe-djie" Sekarang
kau sudah boleh menemuinya."
Sesudah melatih Iweekang Thiansan pay sehari dan semalam, kesehatan jasmani dan
rohani Thian Oe sudah pulih kembali. Mendengar teriakan ayahnya, buru-buru ia
menyelesaikan latihan
dan keluar dari kamarnya. Begitu melihat gurunya, ia mengeluarkan teriakan
girang dan lalu
memeluknya. "Oe-djie," kata sang guru dengan air mata berlinang-linang. "Dua tahun kita
berpisahan dan baru hari ini kita bisa bertemu kembali. Aku dengar, selama dua tahun ini, ilmu
silatmu sudah maju jauh sekali. Aku sungguh merasa girang."
"Hal ini sudah terjadi berkat pelajaran yang diberikan oleh Djiewie Soehoe
(kedua guru, yaitu
Siauw Tjeng Hong dan Thickoay sian) dan petunjuk Tong Tayhiap," katanya.
"Sepanjang warta,
soehoe sudah menikah" Mana Socbo (isteri guru)" Apa beliau datang bersama-sama?"
Siauw Tjeng Hong merasa jengah, karena, sebagaimana diketahui, ia baru menikah
sesudah berusia lanjut. "Dia menunggu di Soetjoan," jawabnya dengan pendek.
Bicara tentang pernikahan, pemuda itu mendadak ingat Chena dan mukanya lantas
saja berubah sedih. "Dengan membunuh Touwsoe yang kejam, Chena telah menyingkirkan satu kekuasaan
jahat dari kota Sakya," kata Keng Thian dengan suara perlahan. "Perbuatan itu harus
mendapat pujian
tinggi." Air mata Thian Oe sebenarnya sudah hampir mengucur, tapi begitu mendengar
perkataan Keng Thian, sebisa-bisa ia menahan rasa sedihnya. "Tapi dia tak bisa kembali kepada
kita," katanya
dengan suara duka.
Teng Kie turut berduka, ia merasa sangat kasihan kepada puteranya yang malang
itu. Akan tetapi, mengingat pentingnya urusan negara, ia segera berkata dengan suara
keras: "Oe-djie!
Pelajaran apa yang diberikan oleh nabi dan pujangga kita?"
Thian Oe terkejut seraya berkata: "Aku memohon petunjuk ayah."
"Di ini saat, pemberontakan sudah meledak di Tibet," katanya. "Tapi kau sendiri,
sebaliknya daripada bangkit untuk melindungi rakyat, sudah mengambil sikap seperti seorang
perempuan yang lemah. Apa kau tidak merasa malu?"
Thian Oe menatap wajah ayahnya, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.
"Hanya sayang Chena meninggal dunia dengan mata melek," kata Keng Thian sambil
menghela napas. "Kenapa mata melek?" menegas Thian Oe, jantungnya memukul keras.
"Selama hidupnya, Chena selalu berangan-angan supaya orang Han dan orang Tibet
bisa hidup akur bersama-sama seperti satu keluarga," kata Keng Thian. "Kenyataan ini tentu
juga diketahui olehmu." "Sebagai puteri seorang raja muda, belum pernah ia memandang rendah kepada orang
Han," kata Thian Oe. "Hal ini tak akan bisa dilupakan olehku."
"Hm!" kata Keng Thian. "Sekarang, dengan menggunakan alasan dari kebinasaannya,
Omateng sudah menyulut api pemberontakan supaya orang Tibet saling membunuh dengan orang
Han. Bagaimana Chena bisa mati dengan mata meram" Omateng telah merampas jenazahnya
yang sampai sekarang masih belum dikubur. Bagaimana dia bisa mati dengan mata meram"
Di samping itu, orang yang dicintainya bukan saja tidak berusaha untuk mencegah
pemberontakan itu, tapi
malahan enak-enak menonton sambil berpeluk tangan. Coba kau pikir: Bagaimana dia
tidak mati dengan mata melek?"
Perkataan Keng Thian itu bagaikan halilintar yang menyambar kuping Thian Oe,
sehingga ia berdiri terpaku seperti patung. Sesudah lewat beberapa lama, ia mendongak dan
berkata dengan suara perlahan: "Apakah yang harus dilakukan olehku?"
"Kita berniat mengirim orang untuk membawa surat kepada Hok Kong An," kata Keng
Thian, seperti juga ia bicara pada dirinya sendiri. "Hanya sayang, belum didapat orang
untuk membawa surat itu."
"Kenapa kau tidak memberitahukan siang-siang?" kata Thian Oe dengan cepat. "Guna
ayah dan Chena, aku bersedia untuk melakukan tugas itu."
"Surat ini penting luar biasa, sehingga kau harus bersungguh hati dan berlaku
sangat hati-hati,"
memperingatkan Keng Thian.
"Biarpun mesti masuk ke dalam lautan api, aku pasti akan menyampaikan surat itu
kepada alamatnya," kata Thian Oe dengan suara tetap.
Mendengar begitu, Keng Thian jadi girang bukan main.
Harus diketahui, bahwa pada waktu itu, ilmu silat Thian Oe sudah lebih tinggi
daripada gurunya. Biarpun kepandaiannya masih belum bisa menandingi si pendeta berkelana,
akan tetapi ilmu mengentengkan badannya lebih tinggi setingkat daripada pendeta tersebut.
Maka itu, andaikata ia dikalahkan dalam pertempuran, ia masih dapat melarikan diri.
Tan Teng Kie lantas saja menyerahkan surat yang sudah ditulisnya, kepada Thian
Oe dengan memberi banyak nasehat dan pesanan. Waktu itu, matahari sudah selam ke barat.
Sesudah menangsal perut, Thian Oe segera berdandan dan mengenakan pakaian jalan malam
yang berwarna hitam, akan kemudian berangkat dengan menggunakan ilmu entengkan badan.
Berkat gerakannya yang sangat gesit, ia bisa meloloskan diri dari belasan serdadu musuh
yang menjaga di luar, tanpa diketahui.
*** Dengan hati jengkel dan bingung, Hoat-ong jalan mundar-mandir di dalam kuil,
sambil menunggu kedua muridnya yang diperintah menangkap putera Soanwiesoe.
Ia menghela napas berulang-ulang dan berkata dalam hatinya: "Hai! Aku tahu,
Omateng seorang jahat yang licik, sedang Tan Teng Kie seorang pembesar jujur. Kenapa
juga aku sudah menyediakan diri untuk diperalat Omateng guna mencelakakan orang yang baik.
Dengan perbuatan yang rendah itu, apakah aku masih ada muka untuk menjadi pemimpin dari
satu agama?" Di lain saat, ia ingat kepentingan agamanya sendiri. Jika ia tidak
menunduk kepada
Omateng, terdapat kemungkinan besar, agama Sekte Topi Putih bakal diusir lagi
dari wilayah Tibet. Ia bingung dan sangsi. Di satu pihak, ia ingat kehormatan diri sendiri,
di lain pihak, ia harus


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikan kepentingan agamanya.
Sebelum ia mengambil keputusan, seorang Lhama melaporkan bahwa kedua muridnya
sudah kembali dengan membawa putera Tan Teng Kie.
Hoat-ong segera mengeluarkan perintah supaya "Thian Oe" dibawa ke hadapannya,
sedang Omateng boleh lantas pulang. Beberapa saat kemudian, dua muridnya sudah masuk
dengan mengiring Kim Sie Ie. Sekali melihat pemuda itu, Hoat-ong terkesiap.
Pemimpin agama yang matanya sangat awas itu, lantas saja mengenali, bahwa pemuda
yang berdiri di hadapannya, adalah si pemuda angin-anginan yang pernah mengacau waktu
diadakan upacara pembukaan kuil.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara dalam.
Kim Sie Ie tertawa dingin. "Kau sendiri yang mengundang aku," jawabnya. "Apa
benar kau tak tahu siapa adanya aku?"
Kedua muridnya kaget bukan main dan buru-buru memberi keterangan: "Puteri
Touwsoe telah mengakui, bahwa dia adalah tunangannya sendiri. Tan Teng Kie juga mengakui,
bahwa dia adalah
puteranya. Maka itu, kami menganggap tak bisa salah lagi."
Mulutnya berkata begitu, hatinya ketakutan, karena mengingat perkataan Omateng.
Hoat-ong jadi semakin bercuriga. "Jika benar dia putera Soanwiesoe, tak bisa
jadi dia cari permusuhan denganku," pikirnya. Memikir begitu, ia mengebas tangannya supaya
kedua muridnya berlalu dan kemudian mengunci pintu.
"Bocah!" bentaknya. "Sungguh sayang, sebagai seorang yang berkepandaian tinggi,
kau sudah berani menggunakan nama orang lain."
"Hoat-ong!" Kim Sie Ie balas membentak. "Sungguh sayang, sebagai kepala dari
satu agama, kau sudah rela diperalat Omateng, guna mencelakakan orang baik."
Hoat-ong merasa malu dan untuk sejenak, ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata.
Kim Sie Ie tertawa nyaring. "Ha-ha! Aku tak nyana, seorang Budha Hidup juga bisa
menjadi bingung," ia mengejek. "Tak usah kau bingung-bingung. Tak usah kau menghiraukan,
apa aku Tan Thian Oe atau bukan. Sebegitu jauh kau bisa menghukum satu manusia, kau
sudah bisa memuaskan hatinya binatang Omateng."
Bahwa satu manusia berani bicara begitu kasar di hadapan Hoat-ong, adalah
kejadian yang baru pernah terjadi. Selama Kim Sie Ie mengejek, beberapa pikiran keluar masuk
dalam otaknya. Bagaimana ia harus berbuat" Melepaskan pemuda itu" Menyerahkannya kepada
Omateng" Tapi, jika diserahkan kepada Omateng, pemuda yang mempunyai kepandaian
tinggi itu, mungkin akan menerbitkan keonaran yang lebih hebat.
Kim Sie Ie terus mengawaskan sambil tertawa dingin.
Tiba-tiba paras muka Hoat-ong berubah menyeramkan. "Anak muda," katanya. "Apa
benar kau rela pergi ke bentengan Touwsoe untuk mewakili putera Soanwiesoe menerima
hukuman?" "Itu urusanku, tak perlu kau campur-campur," jawabnya dengan ketus.
"Baiklah," kata Hoat-ong. "Aku mengantar kau dengan memberi berkah." Ia membalik
tangannya yang lantas menyambar ke kepala Kim Sie Ie.
Sambil tertawa, Kim Sie Ie menangkis. "Aku tak percaya malaikat, tak menyembah
Budha," katanya. "Tak perlu segala berkahmu."
Tapi, begitu lekas tangannya kebentrok tangan Hoat-ong, ia terkejut, karena
tangan itu menindih dengan tenaga yang luar biasa besar. Buru-buru ia mengempos semangat
dan menahan dengan sekuat tenaga.
"Anak muda," kata Hoat-ong. "Kesombongan dan kekurang ajaranmu pantas mendapat
hukuman. Kau adalah seorang yang sangat mengandalkan ilmu silatmu. Biarlah
sekarang aku memusnahkan ilmumu itu." Ia menambah tenaga dan menekan semakin kuat. Kim Sie Ie
sebenarnya masih mau mengejek, tapi ia tidak dapat berbuat begitu, sebab harus
mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan serangan musuh.
Meskipun lweekang Tokliong Tjoentjia bukan dari cabang persilatan yang "tulen",
akan tetapi, dalam Rimba Persilatan, ilmu itu mempunyai kedudukan istimewa, sebagai lweekang
yang tiada keduanya di dalam dunia. Maka itu, biarpun Kim Sie Ie baru mempunyai latihan
belasan tahun, dalam tempo setengah jam, ia masih bisa mempertahankan diri. Hoat-ong merasa
kagum dan berkata dalam hatinya: "Sayang, sungguh sayang! Orang yang berbakat begini baik,
tidak mengambil jalanan lurus."
Sesudah bertahan kurang lebih sepasangan hio, Kim Sie Ie merasa badannya panas
dan tenaganya mulai berkurang. Ia mengerti, lama-lama ia pasti akan roboh sebagai
orang yang bercacat. Dengan nekat, ia lalu mengempos semangat untuk mempertahankan diri
sedapat mungkin. Sesudah lewat lagi beberapa lama, Kim Sie le merasa bibir dan lidahnya kering,
sedang tubuhnya seperti dibakar. Di lain pihak, Hoat-ong pun merasa tulang-tulangnya
sakit, suatu tanda
ia sudah mengeluarkan tenaga secara melampaui batas. Tapi biar bagaimanapun
juga, berkat latihan puluhan tahun, lweekang Hoat-ong lebih unggul setingkat daripada pemuda
itu. Tiba-tiba Hoat-ong mengempos semangat sambil menekan keras dengan telapakan
tangannya. Mendadak ia berpikir: "Dia masih berusia begitu muda, tapi ilmunya sudah begitu
tinggi. Apa tidak
kasihan, jika aku memusnahkan kepandaiannya?" Di lain detik, dalam otaknya masuk
lain pikiran: "Jika aku tidak memusnahkan ilmunya, bagaimana aku bisa menyerahkan kepada
Omateng?" Pada detik itu, selagi Hoat-ong bersangsi, sinar mata Kim Sie Ie tiba-tiba
berubah beringas dan
bibirnya bergerak. Hoat-ong adalah seorang Lhama yang berilmu sangat tinggi.
Tapi, melihat sinar
mata itu, tanpa merasa hatinya berdebar-debar. Ia tak mengetahui, bahwa pada
detik itu, dalam
hati Kim Sie Ie timbul keinginan untuk membinasakan lawannya. Sebagaimana
diketahui, dalam
mulutnya tersimpan senjata rahasia yang paling beracun didalam dunia, yaitu
jarum Tjitsat Tokbcng Sintjiam (Jarum Pembetot Nyawa), yang telah direndam di dalam bisa ular
dari pulau Tjoato. Waktu Tong Keng Thian kena jarum itu, ia harus berobat sebulan lebih,
biarpun sudah menelan Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan Soatlian. Lweekang Keng Thian dan
Hoat-ong kira-kira setanding, tapi Hoat-ong tidak memiliki obat semacam Pekleng tan,
sehingga, jika ia kena
jarum itu, hampir boleh dipastikan, ia akan binasa. Pada saat Kim Sie Ie hendak
menyemburkan senjata rahasianya, sekonyong-konyong dalam otaknya berkelebat satu pikiran:
"Aku dan dia sama
sekali tidak bermusuhan. Hatiku tentu tak enak, jika ia sampai binasa." Di lain
saat, ia berkata
pada dirinya sendiri: "Jika aku tidak membinasakannya, dialah yang bakal
memusnahkan seantero
kepandaianku. Tanpa ilmu silat, aku pasti diinjak-injak manusia, sehingga tak
guna aku hidup terus." Memikir begitu, bibirnya bergerak pula dan jarum racunnya sudah tersedia
di atas lidah. Tapi, mendadak saja ia mendapat lain ingatan: "Ah! Biar bagaimanapun juga, dia
adalah pemimpin
dari satu agama. Apa tak sayang, jika ia binasa dalam tanganku" Waktu hidupku
sudah tidak lama
lagi. Biarlah aku mengalah terhadapnya." Sesaat itu,
Hoat-ong kembali menambah tenaganya dan lagi-lagi ia mendapat lain pikiran:
"Sedari aku
meninggalkan pulau Tjoato, banyak sekali jago-jago sudah dirobohkan olehku. Jika
aku dirobohkan, bukankah orang yang tak tahu akan mengatakan bahwa aku kalah dalam
mengadu ilmu. Mereka tentu tak menduga, bahwa kekalahanku adalah karena aku yang
mengalah."
Demikianlah, pada detik yang sangat genting itu, beberapa pikiran keluar masuk
bagaikan kilat di dalam otaknya. Kim Sie Ie adalah seorang yang tak mau kalah dari siapapun
juga. Pada detik
itu, dalam alam pikirannya ia lebih suka mati daripada dihina orang.
Yang harus dikasihani adalah empat murid Hoat-ong yang menunggu di luar pintu.
Mereka menungggu dan menunggu dengan tidak sabaran, tapi sesudah menunggu lebih dari
satu jam, pintu masih tetap tertutup. Mereka sama sekali tidak mimpi, bahwa dalam kamar
itu dua jago kelas utama sedang mengadu jiwa dan tengah berada pada detik yang memutuskan.
*** Sekarang marilah kita balik kepada Tan Thian Oe yang mendapat tugas untuk
membawa surat ayahnya kepada Hok Kong An. Karena harus berlomba dengan sang waktu, malam-malam
Thian Oe berangkat juga.
Sesudah melewati serdadu-serdadu Touwsoe yang menjaga di luar gedung Soanwiesoe,
dengan menggunakan ilmu entengkan badan, ia meneruskan perjalanan ke Lhasa.
Dalam perjalanan itu, ia harus melewati bentengan (gedung) Touwsoe yang berdiri di
atas gunung dan
jalanan yang harus diambilnya, terletak melintang di satu lembah. Sesudah
melewati lembah itu,
di tengah gunung ia melihat tentara dan bendera yang besar jumlahnya, sedang di
bentengan pun terlihat bayangan-bayangan hitam dan bendera yang berlapis-lapis. Ia mengetahui,
bahwa tentara yang berkumpul di tengah gunung adalah tentara Lochu yang sedang mengepung
bentengan Touwsoe. Dengan cepat ia sudah tiba di bagian utara gunung tersebut. Hatinya
lega dan sambil
mengempos semangat, ia mendaki bukit yang menghadang di depannya. Tapi baru saja
berlari-lari beberapa puluh tombak, sekonyong-konyong berkelebat satu bayangan manusia yang
lantas berdiri di tengah jalan. Thian Oe mengawaskan dengan kaget dan ternyata, orang
itu bukan lain daripada si pendeta berkelana.
Di bawah sinar rembulan, pendeta itu juga segera mengenali, bahwa yang
dicegatnya adalah
Tan Thian Oe. "Aha! Kalau begitu kau?" katanya sambil tertawa terbahak-bahak dan
menghantam dengan tongkat bambunya. Thian Oe melompat seraya membabat dengan pedangnya
dalam pukulan Tokoa ginho (Bima Sakti yang tergantung nyungsang), yaitu salah satu
pukulan terliehay
dari Pengtjoan Kiamhoat. Ia menduga bahwa dengan sekali menyabet, tongkat itu
akan menjadi putus. Tapi, di luar dugaan, begitu kedua senjata kebentrok, tongkat si pendeta
"menempel" di
pedang dan bergerak menurut gerakan pedang. Thian Oe terkejut, buru-buru ia
mengebas senjatanya untuk melepaskan "tempelan" itu. Baru saja ia mengangkat kaki untuk
kabur, mendadak si pendeta berteriak: "Ih! Omateng, kemari! Coba lihat, apa bocah ini
benar Tan Thian
Oe?" Kenapa si pendeta bersangsi"
Pada waktu ia bertemu Thian Oe untuk pertama kali, yaitu waktu ia coba merebut
guci emas, kepandaian pemuda itu paling banyak hanya bisa menandingi muridnya. Tapi
sekarang, ia bukan
saja bisa mempertahankan diri dari serangan tongkat, tapi juga sudah berhasil
melepaskan senjatanya dari "tempelan" tongkat. Si pendeta merasa, bahwa lweekang pemuda itu
sudah tidak berjauhan dengan lwee4cang-nya sendiri. Itulah sebabnya ia bersangsi dan
memanggil Omateng
untuk mendapat kepastian.
Sehabis berteriak begitu, si pendeta lalu mengirim dua serangan berantai, yang
satu menggunakan tenaga "lembek", yang lain tenaga "keras". Thian Oe menjejak kedua
kakinya dan bagaikan seekor garuda, tubuhnya terbang lewat di samping si pendeta dan dalam
sekejap, ia sudah lari belasan tombak.
Tiba-tiba, dari pinggir jalanan muncul seorang yang tertawa bergelak-gelak.
"Bocah! Mau lari
kemana kau?" bentaknya.
Begitu mengenali orang yang mencegatnya, Thian Oe lantas saja menjadi kalap.
Orang itu adalah Omateng yang menjadi gara-gara dari kebinasaan Chena dan yang sudah
merampas jenazah kecintaannya itu. Matanya merah, darahnya mendidih dan ia melupakan
segala pesanan ayahnya dan Keng Thian. Ia mengangkat pedang dan mengirim satu tikaman kilat.
"Bret!", pedang
Thian Oe menembus Djoanka (pakaian perang yang lemas) dan ujung pedang membuat
satu goresan panjang di pundak Omateng.
Ia berhasil melukakan musuh, tapi karena itu, si pendeta berkelana sudah
menyandak. Sesaat
itu, ia sebenarnya masih bisa melarikan diri. Tapi dalam kalapnya, sebaliknya
dari kabur, ia lalu
mengirim serangan-serangan nekat. Kepandaian Omateng tidak terlalu rendah.
Biarpun ia kalah
setingkat dari Tan Thian Oe, tapi untuk sementara, sedikitnya ia masih bisa


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membela diri. Dalam
sekejap tiga serangan Thian Oe sudah ditangkis olehnya dan waktu Thian Oe
mengirim serangan
keempat, si pendeta sudah meloncat masuk ke dalam gelanggang pertempuran dan
menyampok pedangnya. Sekali ini, pendeta itu tidak berani berlaku ceroboh lagi. Dengan hati-hati ia
melayani dan mengunakan taktik gerilya. Jika Thian Oe mundur, ia merangsak, kalau Thian Oe
merangsak, ia mundur. Dilihat sekelebatan, mereka seperti juga dua bocah yang lagi main petak,
tapi sebenarnya kedua lawan itu sedang mengadu ilmu dengan menggunakan lweekang yang
sangat tinggi. Dilayani secara begitu, Thian Oe yang lweekang-nya masih kalah kuat,
perlahan-lahan jatuh
di bawah angin. Selang kira-kira setengah jam, keadaannya sudah berbahaya
sekali, hampirhampir
ia tak dapat mempertahankan diri lagi.
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Thian Oe bergidik karena menyambarnya
hawa dingin yang sangat hebat dan berbareng dengan itu, tekanan si pendeta lenyap.
Dengan cepat ia
melompat ke-belakang dan sesudah menegakkan badannya yang bergoyang-goyang, ia
menoleh ke belakang. Di antara uap dingin yang berwarna abu-abu, ia melihat seorang
wanita. Hatinya
meluap dengan kegirangan, karena wanita itu bukan lain daripada Yoe Peng. Tak
usah dikatakan lagi, hawa dingin yang barusan adalah akibat dari Pengpok Sintan yang dilepaskan
oleh si nona. Tapi karena lweekang Yoe Peng masih belum cukup, ia tidak berhasil melukakan
pendeta itu. Meskipun begitu, serangan tersebut sudah membantu Thian Oe meloloskan diri.
Si pendeta gusar tak kepalang. Sambil menggereng, ia menerjang si nona. Dengan
gerakgerakannya
yang sangat lincah, Yoe Peng mengegos tiga serangan berantai. Selagi Thian Oe
mau membantu, mendadak Yoe Peng tertawa nyaring seraya berteriak: "Manusia tak tahu
diri! Dulu majikanku telah mengampuni jiwamu. Apa sekarang kau masih berani melawannya?"
Si pendeta terkesiap karena ia lantas saja ingat, bahwa wanita itu adalah
kawannya Pengtjoan
Thianlie. Selagi ia bersangsi, Yoe Peng bersiul nyaring, disusul dengan suara tertawa yang
merdu. "Yoe
Peng! Dengan siapa kau bertempur" Aku segera datang!" kata satu suara yang
merayu. Suara itu
datang dari bukit di seberang, tapi setiap perkataannya terdengar nyata sekali.
Bagi si pendeta, suara yang merdu itu seakan-akan menggeledeknya halilintar. Ia
mengenali, bahwa itulah suara Pengtjoan Thianlie yang disegani olehnya. Tanpa mengeluarkan
sepatah kata, ia memutar badan dan lantas kabur.
Gerakan Pengtjoan Thianlie cepat luar biasa. Sedang suaranya masih berkumandang
di lembah, orangnya sudah berdiri di tanjakan gunung- Dengan pakaiannya yang serba putih
dan yang berkibar-kibar karena ditiup angin, ia seolah-olah seorang dewi. Si pendeta jadi
semakin ketakutan
dan ia kabur bagaikan orang gila.
Omateng yang bertubuh gemuk tak bisa lari cepat. "Manusia itu jahat sekali!"
berteriak Thian
Oe sambil melompat untuk mengejar.
"Tak usah begitu berabe!" kata Yoe Peng sambil mementil sebutir Pengpok Sintan.
Omateng yang tengah merat mendadak merasakan hawa yang luar biasa dingin di jalanan
darah Thiantjoe
hiat, di belakang lehernya, dan hawa itu menembus sampai di uluhatinya. Di lain
saat, badannya kesemutan, tenaganya musna dan tanpa bersuara, ia roboh di tanah.
"Thian Oe," kata Yoe Peng. "Perlu apa di tengah malam buta kau bergelandangan
disini?" Air mata pemuda itu lantas saja mengucur deras. "Chena... dia... dia..." katanya
terputus-putus.
Tak dapat ia meneruskan perkataannya.
Yoe Peng menghela napas seraya berkata dengan suara duka: "Hal meninggalnya
Chena Tjietjie sudah diketahui oleh kami."
Pengtjoan Thianlie pun kelihatan sedih sekali. "Sayang sekali, karena waktu
tidak mengijinkan,
waktu itu aku hanya menurunkan ilmu melepaskan golok terbang," katanya dengan
suara perlahan. "Aku tak keburu memberi pelajaran untuk melindungi diri. Tapi, ia
sekarang sudah berhasil membalas sakit hati kedua orang tuanya. Aku percaya, ia mati dengan
mata meram."
Pengtjoan Thianlie adalah seorang yang tidak gampang memperlihatkan perasaannya.
Tapi meninggalnya Chena sudah mendukakan sangat hatinya, sehingga parasnya jadi guram
sekali. Ia menghela napas seraya berkata: "Pada sebelum kau berguru dengan Thiekoay sian,
Chena telah memohon pertolonganku untuk memberi petunjuk-petunjuk kepadamu. Ia mengatakan,
bahwa sayang sungguh jika kau yang mempunyai bakat sangat baik, tidak mendapat guru
yang berkepandaian tinggi. Waktu itu aku telah menolak permintaannya. Siapa nyana,
karena robohnya Puncak Es, secara kebetulan kau telah makan Tjoeko (buah merah) dalam
istanaku, sehingga, tanpa belajar lagi, kau sudah memperoleh ilmu entengkan badan dari
partai kami. Belakangan, kau juga telah mencuri ilmu pedangku. Ini semua adalah maunya Tuhan
dan aku tidak menyalahkan kau. Tapi, biarpun kau sudah memiliki Kiamhoat-ku (ilmu
pedang), kau belum mengenal Kiamkoat (pelajaran praktek untuk menggunakan ilmu pedang itu).
Sekarang, sesudah Chena meninggal dunia, aku ingin sekali meluluskan permohonannya, agar
di alam baka, arwahnya jadi terhibur..." Bicara sampai disitu, si nona berhenti karena
terharunya. Sesaat
kemudian, barulah ia berkata pula: "Aku bersedia untuk menurunkan Kiamkoat
kepadamu. Akan tetapi, oleh karena usia kita kira-kira bersamaan, maka tak dapat aku menjadi
gurumu. Baik juga
Yoe Peng yang sudah mengikuti aku dalam banyak tahun, sudah mendapat intisari
dari Kiamhoat dan Kiamkoat dari partai kami. Maka itulah, aku sekarang mempermisikan Yoe Peng
untuk menurunkan pelajaran itu kepadamu." Bukan main girangnya Thian Oe dan ia buru-
buru berlutut untuk menghaturkan terima kasih.
Dengan memperoleh ilmu silat Pengtjoan Thianlie, ditambah dengan Iweekang
Thiansan pay dan ilmu silat Thiekoay sian serta Siauw Tjeng Hong, di belakang hari Tan Thian
Oe menjadi seorang Tayhiap (pendekar) yang ternama. Sesudah Tong Keng Thian dan Koei Peng
Go kembali ke keraton es untuk menuntut penghidupan yang terpisah dari pergaulan umum, ia
mengikuti ayahnya pulang ke Kanglam, dimana ia dikenal sebagai ahli waris Kam Hong Tie dan
dikenal juga sebagai Kanglam Tayhiap (Pendekar besar dari daerah Kanglam)
Pengtjoan Thianlie mengegos tubuhnya dan hanya menerima separuh kehormatan Thian
Oe. "Apa Tong Keng Thian berada di rumahmu?" tanyanya.
"Benar," jawabnya. "Aku justru menerima perintah Tong Tayhiap untuk pergi ke
Lhasa guna meminta bala bantuan tentara."
Si nona tersenyum seraya berkata: "Kau tak usah pergi ke tempat Hok Kong An."
Thian Oe kaget. Selagi ia mau menanya, Peng Go sudah berkata lagi: "Bagaimana dengan Kim
Sie Ie" Kau
sendiri belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi aku merasa, Keng Thian sudah
pernah menceritakannya."
"Kim Sie Ie telah datang ke rumahku," menerangkan Thian Oe. "Biarpun belum
pernah bertemu muka, tapi ia sudah menolong jiwaku."
Peng Go heran. "Kau belum mengenalnya, bagaimana ia bisa menolong jiwamu?"
tanyanya. Thian Oe segera menuturkan apa yang telah terjadi.
Si nona terkejut dan segera menanya: "Kapan ia berangkat untuk menemui Hoat-
ong?" "Kira-kira tengah hari, mengikuti dua Lhama itu, jawabnya. "Ia berangkat dari
rumahku dan jika
Hoat-ong tidak lantas menyerahkannya kepada Omateng, sekarang mungkin ia masih
berada di kuil." Sesudah berpikir sejenak, si nona segera berkata: "Yoe Peng, lihatlah! Aku sudah
mengatakan bahwa Kim Sie Ie bukan manusia jahat. Hatinya cukup mulia. Ia rela menolong
orang dengan mengorbankan diri sendiri. Tak bisa aku memeluk tangan. Kau dan Thian Oe
berangkat lebih dulu
untuk menemui Keng Thian, sedang aku sendiri ingin mengunjungi Hoat-ong."
Sehabis berkata
begitu, dengan menggunakan ilmu entengkan badan, ia segera berlalu dan dalam
sekejap, ia sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Thian Oe dan Yoe Peng saling mengawaskan tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Mengingat perkataan Chena, pemuda itu merasa agak jengah dan ia hanya mengawasi dayangnya
Peng Go dengan mata mendelong.
Yoe Peng menghela napas dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Chena dan
aku adalah seperti saudara sendiri dan aku pun merasa duka akan kebinasaannya. Akan
tetapi, orang yang sudah mati tentu tak bisa hidup kembali. Sekarang, karena kebinasaannya, di
Tibet timbul gelombang hebat. Jika kita tidak berusaha untuk meredakan gelombang itu,
arwahnya tentu merasa tidak senang."
Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya. "Ya, pergiku ke Lhasa juga adalah untuk
meredakan gelombang itu," katanya. "Eh, barusan Pengtjoan Thianlie mengatakan,
bahwa aku tak usah pergi menemui Hok Kong An. Bagaimana duduknya persoalan?"
Yoe Peng tersenyum. "Pada harian pembukaan kuil baru, kami berdua sebenarnya
sudah berada di Sakya," ia menerangkan. "Segala kejadian sudah disaksikan oleh kami.
Kongtjoe yang sangat pintar, lantas saja bisa menduga bakal munculnya badai. Maka itu, tanpa
menemui kalian,
buru-buru kami pergi ke Lhasa. Mengingat bantuan kami pada waktu terjadi
perebutan guci emas,
Hok Kong An bersikap sangat ramah tamah dan percaya segala keterangan kami."
Selagi bicara, mendadak mereka mendengar suara merintihnya Omateng. "Segala
kejadian ini semuanya adalah gara-gara bangsat itu!" kata Thian Oe dengan suara gergetan.
"Bagus! Sekarang kita boleh berurusan dengannya," kata Yoe Peng.
Omateng yang baru sadar dari pingsannya, menggigil karena hawa dingin yang
sangat hebat. Yoe Peng segera meminta Thian Oe mengurut dua jalanan darah di punggung si
gemuk, untuk mengurangkan hawa dingin.
"Tan Kongtjoe," kata si gemuk dengan suara gemetaran. "Dengan memandang muka
Sang Budha dan muka Chena, aku memohon kau sudi mengampuni jiwaku."
"Jika kau tidak menyebut nama Chena, masih tidak apa," kata Thian Oe dengan
gusar. "Dengan
menyebutkan Chena, lebih-lebih aku harus mengambil jiwa anjingmu."
"Terhadap Chena, aku selalu membuang budi," kata Omateng. "Dulu, waktu ia
ditangkap Touwsoe, aku pernah meminta perantaraan ayahmu untuk menolongnya. Dalam usahanya
untuk membunuh Touwsoe, aku pun sudah memberi bantuan secara diam-diam. Hal ini adalah
satu kenyataan. Kongtjoe, masakah kau tak tahu?"
Yoe Peng tertawa dingin dan mengeluarkan suara di hidung. "Eh, apa kau kira kami
tak tahu rahasiamu?" katanya dengan suara mengejek. "Kau adalah mata-mata Raja Kalimpong.
Tujuanmu yang satu-satunya adalah menimbulkan kekacauan di Tibet, supaya, dengan bantuan
tentara asing, kau bisa memancing ikan di air keruh. Kau ingin mengangkat diri sendiri
sebagai raja. Tipu
muslihatmu bisa mengelabui Touwsoe, tapi tak bisa mempedayai Kongtjoe-ku.
Bantuanmu kepada
Chena Tjietjie hanyalah untuk meminjam tangannya guna mewujutkan maksudmu
sendiri." Perkataan Yoe Peng benar-benar mengejutkan Omateng, sehingga tubuhnya menggigil
semakin hebat. Thian Oe pun terperanjat, tapi sebelum ia sempat menanya lebih jauh, di tanjakan
gunung mendadak terlihat bayangan-bayangan manusia yang mendatangi dengan cepat sekali
dan di antara beberapa orang yang jalan di depan, terdapat si pendeta berkelana.
"Si pendeta datang kembali dengan membawa bantuan," kata rhian Oe.
Yoe Peng mengangguk seraya berkata: "Sekarang paling baik kita buru-buru kembali
di rumahmu untuk menunggu Kongtjoe."
"Tapi aku mempunyai lain pikiran," kata Thian Oe. "Dengan kedatangan si pendeta
bersama kawan-kawannya yang
berkepandaian tinggi, di bentengan Touwsoe tentu tidak terdapat lagi orang
pandai. Dengan menggunakan kesempatan itu, aku ingin menyatroni sarangnya."


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Guna apa kita menempuh bahaya yang begitu besar?" kata Yoe Peng yang tidak
menyetujui pendapat Thian Oe.
"Bagaimana aku tega melihat jenazah Chena terus berada di tangan musuh?" kata
Thian Oe dengan suara duka. Sehabis berkata begitu, ia mengangkat pedang untuk
membinasakan Omateng. "Tahan!" mencegah si nona. "Biarkan dia hidup terus untuk sementara waktu.
Mungkin masih ada kegunaannya." Berbareng dengan perkataannya, ia menekan badan Omateng dengan
jerijinya, sehingga mulut si gemuk terbuka lebar. Hampir berbareng, ia mementil
dua butir Pengpok Sintan ke dalam mulut si gemuk yang lalu menelannya. Mata si gemuk
terbalik dan ia
pingsan seketika itu juga.
Yoe Peng tersenyum. "Kecuali Kongtjoe dan aku sendiri, di dalam dunia tiada
orang yang bisa
menyadarkannya," katanya.
"Sekarang kita boleh pergi dengan hati tenang."
Dengan menggunakan ilmu entengkan badan, mereka mendaki gunung dan menuju ke
bentengan Touwsoe. Mereka mengambil jalanan mutar dan naik dari bagian belakang
gunung yang dijaga oleh sejumlah kecil serdadu. Berkat kegesitan mereka, dengan tidak
banyak susah, mereka bisa masuk ke dalam bentengan.
Sesudah menyelidiki beberapa lama, mereka menghampiri sebuah kamar yang terang
dan dari kain jendela, mereka melihat bayangan dua wanita.
"Mari kita lihat," berbisik Yoe Peng.
"Guna apa?" Thian Oe bersangsi.
"Siapa dia?" Yoe Peng menanya.
"Puteri Touwsoe, Sanpiie," jawabnya.
Si nona tertawa. "Kau takut?" ia menggoda. "Jangan takut. Ada aku yang
melindungi." Sambil
berkata begitu, ia menarik tangan Thian Oe dan mereka lalu bersembunyi di bawah
jendela. Yang berada dalam kamar itu adalah Sanpiie bersama ibunya.
Sesaat kemudian, terdengar helaan napas nyonya Touwsoe. "Hai!" katanya. "Tak
nyana, urusan jadi begini. Aku kuatir peninggalan ayahmu semua akan jatuh kedalam tangan
Omateng!" "Semenjak dulu aku tak senang dengan orang itu," kata Sanpiie. "Ibulah yang
selalu mendengar segala omongannya."
"Bagaimana aku bisa membaca hatinya yang jahat?" sang ibu sungkan menerima
salah. "Dia
selalu mengatakan, bahwa dia ingin membalas sakit hati ayahmu. Bagaimana aku
bisa mencegahnya?"
"Masih untung Thian Oe tak jatuh ke dalam tangannya," kata puterinya.
"Anak," kata nyonya Touwsoe dengan suara menyesal. "Apa kau tak bisa melupakan
Thian Oe?" Jantung Thian Oe memukul keras.
Sanpiie tak menjawab pertanyaan ibunya, ia hanya tertawa.
Nyonya Touwsoe kembali menghela napas seraya berkata: "Sesudah keadaan menjadi
begini, apa kita masih ada muka untuk membicarakan soal pernikahanmu dengan keluarga
Tan?" "Ada jalan," Sanpiie mendadak berkata. "Kita membekuk Omateng dan menyerahkannya
kepada Soanwiesoe untuk diadili."
Nyonya Touwsoe terkejut, buru-buru ia menekap mulut puterinya. "Anak, apa kau
gila!" ia berbisik "Tak boleh kau mengeluarkan perkataan itu lagi. Kekuasaan tentara
sekarang berada
dalam tangannya dan jika mau, ia bisa mengambil jiwa kita dengan mudah sekali!"
"Hm!" menggerendeng Sanpiie. "Menurut penglihatanku, ia bukan hanya ingin
merampas kekuasaan Touwsoe. Ia malahan kepingin menjadi raja di Tibet."
"Benar," kata sang ibu. "Sekarang aku baru tahu. Sebelum ayahmu meninggal dunia,
ia sudah memerintahkan orang pergi ke Kalimpong untuk meminta bantuan tentara."
"Ibu," kata Sanpiie. "Kita tak boleh main takut saja. Kita harus berusaha untuk
menghadapinya. Kenapa ibu tak mau coba berunding dengan utusan Budha Hidup Dalai dan Panchen?"
Nyonya Touwsoe menggelengkan kepala. "Aku tak berani mendekati mereka," ia
berbisik. "Jiwa
mereka sendiri mungkin sukar dilindungi lagi!"
Sanpiie terperanjat. "Apa?" ia menegasi. "Apa Omateng bernyali begitu besar?"
Sang ibu tak menjawab, ia mengawasi tembok kamar dengan mata mendelong.
"Ibu, apa yang sedang dipikir olehmu?" tanya puterinya.
Mendadak nyonya Touwsoe bangun berdiri dan menghampiri jendela yang lalu
dipentang. Untung juga Thian Oe dan Yoe
Peng yang buru-buru berjongkok di bawah jendela tak dilihat olehnya. "Anak,"
katanya dengan suara perlahan. "Aku justru ingin berdamai dengan kau."
Sanpiie mendekati. "Bicaralah," katanya.
"Memang benar Omateng ingin membunuh utusan Budha hidup Panchen," ia berbisik.
Paras muka Sanpiie berubah pucat. "Bagaimana ibu tahu?" tanyanya.
"Sebagaimana kau tahu, utusan Budha Hidup terluka dengan golok terbang, tapi
luka itu tidak membahayakan jiwanya," menerangkan sang ibu. "Urusan ini adalah urusan besar dan
Omateng ingin menggunakannya untuk kepentingannya sendiri. Dia ingin menggunakan utusan
kedua Budha Hidup supaya mereka mengirim laporan yang menumplek semua kesalahan atas
pundak Hoat-ong Sekte Topi Putih dan yang meminta agar agama Topi Putih diusir lagi
dari wilayah Tibet." "Hal ini memang sudah didengar olehku," kata Sanpiie.
"Untung juga, kedua wakil itu tidak kena dijebak dengan begitu saja," kata pula
sang ibu. "Mereka hanya melaporkan kejadian yang sebenarnya, tidak menambah dan tidak
mengurangkan apapun juga. Mereka tidak menyarankan supaya Budha Hidup Dalai dan Panchen
bertindak untuk
mengusir Hoat-ong. Tapi Omateng tak mau mengerti, setiap hari dia terus
mendesak. Utusan
Budha Hidup Panchen ingin sekali menemui Hoat-ong untuk menyelidiki keadaan yang
sebenarbenarnya,
tapi Omateng tentu saja sungkan mempermisikannya. Diam-diam dia memerintahkan
tabib untuk memberi obat beracun kepada utusan Budha Hidup Panchen sehingga,
sebaliknya daripada sembuh, lukanya jadi semakin berat. Dengan memberi alasan tak boleh
menemui tamu, dia memutuskan perhubungan kedua utusan itu dengan dunia luar. Sementara itu,
saban hari dia terus mendesak utusan Budha Hidup Panchen untuk menulis surat yang diinginkan
olehnya, sehingga utusan tersebut jadi semakin bercuriga dan menolak dengan getas. Dia
jadi nekat dan memerintahkan supaya tabib memberi racun yang membinasakan dan memberi batas
tempo, bahwa tengah malam ini, jiwa utusan itu sudah mesti melayang. Semua orang
mengetahui, bahwa
utusan Budha Hidup telah mendapat luka karena golok si pembunuh. Maka itu,
dengan mudah dia
bisa mengatakan, bahwa utusan itu binasa karena lukanya. Dia sudah menghitung
pasti, bahwa tiada orang yang akan mencurigainya. Sesudah utusan itu binasa, dia akan coba
'membakar' Budha Hidup Panchen untuk mencapai maksudnya yang keji."
Mendengar penuturan itu, Sanpiie terbang semangatnya. Untuk beberapa saat, ia
mengawasi ibunya dengan mulut ternganga. Walaupun mengetahui, bahwa si gemuk sangat jahat,
ia tidak menduga Omateng bisa mengambil tindakan yang begitu kejam. "Ibu," katanya
beberapa saat kemudian. "Jika utusan itu binasa di Sakya, mungkin semua orang dalam kota ini
tidak akan terluput dari hukuman."
"Benar, dan itulah sebabnya, tabib tersebut tidak berani segera menuruti kemauan
Omateng," kata sang ibu. "Tapi ia juga jeri, jika membangkang. Lantaran begitu, diam-diam
ia memberitahukan hal ini kepadaku dan memohon pertolongan. Tapi, apakah yang bisa
dilakukan olehku" Jiwa kita sendiri berada dalam tangan Omateng."
"Jalan satu-satunya melawan mati-matian," kata sang puteri.
"Dengan apa melawannya?" tanya nyonya Touwsoe dengan suara getir. "Keadaan kita
adalah seperti telur diadu dengan batu!"
"Ibu! Apa kita mau menyerahkan jiwa dengan mentah-mentah saja!" kata Sanpiie
dengan kegusaran meluap-luap.
Sang ibu tidak menjawab, ia menatap wajah puterinya dengan paras sangat berduka.
Sekonyong-konyong dari jendela melompat masuk dua bayangan hitam.
Sanpiie meloncat sambil menghunus golok.
"Aku!" kata suara yang sudah tak asing lagi.
Si nona mengawasi dengan mata membelalak, la hampir tak percaya matanya sendiri,
karena yang berdiri di hadapannya bukan lain daripada Tan Thian Oe. Ia ingin melompat
untuk memeluk orang yang dicintainya itu, tapi lantas saja ia mundur setindak dengan hati
berdebar-debar, karena
orang yang berdiri di belakang Thian Oe adalah seorang wanita cantik.
"Sanpiie, katakanlah: Kau percaya aku atau tidak?" tanya Thian Oe dengan suara
halus. Sedari berkenalan, belum pernah Thian Oe menggunakan kata-kata yang begitu halus
terhadapnya. Sanpiie girang bukan main dan ia manggut-manggutkan kepalanya.
"Omateng sudah
dirobohkan olehku," kata Thian Oe. "Kalian tak usah takut."
Perkataan itu seakan-akan sebuah perahu untuk orang yang hampir kelelap.
Kegirangan nyonya Touwsoe dan puterinya meluap-luap.
"Ingatlah pesananku," kata pula Thian Oe. "Kalian jangan menghalang-halangi si
tabib. Biarkan dia memberi racun kepada utusan Budha Hidup."
"Apa arti perkataanmu?" tanya Sanpiie dengan suara kaget.
"Waktu sangat mendesak, sebentar saja aku memberitahukan sebabnya," jawabnya.
"Dimana tempatnya wakil Budha Hidup Panchen?"
Sebagai seorang tua yang banyak pengalaman, nyonya Touwsoe lantas saja mengerti
maksud Thian Oe. "Benar, kau harus bertindak cepat," katanya. "Ia berada di atas
pagoda, di sebelah
barat bentengan ini, di tingkatan kedua."
Tanpa menunggu lagi, Thian Oe menarik tangan Yoe Peng dan mereka lantas saja
melompat dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Jantung Sanpiie memukul keras, tanpa
merasa ia turut melompat, tapi begitu tiba di depan jendela, ia menghentikan tindakannya.
"Ibu, apa yang
mau dilakukan mereka?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Mereka ingin membuka rahasia Omateng kepada utusan Budha Hidup," jawabnya.
"Tabib akan
segera datang kembali. Lebih baik kau balik ke kamarmu"
*** Sementara itu, sesudah mendapat petunjuk, dengan tak banyak sukar Thian Oe dan
Yoe Peng sudah mendapatkan pagoda itu, yang ternyata bertingkat tiga. Dengan sekali
mengenjot badan,
kaki Thian Oe hinggap di tingkatan kedua, tapi Yoe Peng yang ilmunya belum
setinggi kawannya,
harus melompat dua kali sebelum mencapai tingkatan itu. Sesaat itu, beberapa
serdadu penjaga
melongok keluar, tapi sebelum bersuara, mereka sudah roboh karena ditimpuk
dengan Pengpok Sintan. Dengan cepat mereka masuk ke dalam kamar yang diterangi lampu minyak. Ternyata,
utusan Panchen Lama sedang meringkuk di atas dipan, sambil mengeluarkan rintihan
perlahan. Melihat
masuknya dua tetamu yang tidak diundang, bukan main kagetnya utusan itu sehingga
sambil menahan sakit, ia bangun duduk.
"Atas titah Budha Hidup kami sengaja datang kemari untuk menyambangi kau," kata
Yoe Peng, yang lalu mendekati sambil memperlihatkan Lenghoe (Jimat) yang tergantung di
dadanya. Waktu Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng ke Lhasa, Peng Go telah menemui Dalai Lama
sebagai seorang Liehoehoat (Pelindung agama wanita). Lenghoe yang berada di dada Yoe
Peng adalah hadiah Budha Hidup itu.
Walaupun sudah melihat Lenghoe itu, utusan Panchen masih bersangsi. "Bagaimana
Budha Hidup Dalai bisa mengetahui bahwa aku sedang menghadapi bencana?" tanyanya di
dalam hati. Yoe Peng lalu mendekati lampu dan membesarkan sumbu. Ia memeriksa luka utusan
itu yang ternyata sudah bernanah dan bengkak merah. "Sungguh jahat hati Omateng,"
pikirnya sambil
mengeluarkan sebutir pil yang lalu dihancurkan di dalam air teh. Sesudah
melaburkan obat itu di
atas luka, ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Dengan berkah Sang
Budha, lukamu akan segera sembuh." Obat dari istana es tak bisa dibandingkan dengan obat-
obatan biasa. Begitu
kena, rasa sakit mendadak menghilang dan luka yang barusan dirasakan panas
berubah adem. Sekarang utusan Panchen tidak bersangsi lagi. Sambil merangkap kedua tangan, ia
menanya: "Siapa kalian" Apakah kedatangan kalian tidak diketahui orang?"
"Kami sengaja datang untuk menolong kau," jawab Yoe Peng. "Omateng sudah
dirobohkan dan orang-orangnya belum tahu kejadian itu. Sebentar, jika ada orang membawa obat


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau jangan minum obat itu." Sehabis berkata begitu, ia menarik tangan Thian Oe dan lalu
menyembunyikan diri di belakang patung Budha.
Utusan Panchen jadi bingung, karena ia tak mengerti apa maksud perkataan itu. Ia
lalu merangkap kedua tangan, meramkan mata dan membaca doa dengan suara perlahan.
Beberapa saat kemudian, satu orang masuk ke dalam.
"Kenapa tabib tidak datang sendiri?" tanya utusan Panchen.
Orang yang datang adalah pembantu sang tabib. Ternyata, karena ketakutan, tabib
itu tidak berani datang sendiri dan telah memerintahkan seorang pembantunya untuk membawa
obat. Pembantu itu yang tak menduga, bahwa obat yang dibawanya adalah racun, segera
menjawab dengan sikap hormat: "Tabib kebetulan mempunyai urusan penting dan sudah
memerintahkan aku
untuk membawa obat..."
Belum habis perkataannya, Yoe Peng sudah melompat keluar dan mencengkeram
tangannya. "Aduh!" teriaknya dan mangkok obat direbut si nona. Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, Yoe Peng lalu menuang racun itu ke dalam mulutnya. Hampir berbareng, mukanya berubah
pucat dan dari pucat menjadi hitam dan jiwanya melayang.
Utusan Panchen kaget bukan main. "Omateng benar-benar jahat!" katanya dengan
suara bergemetar. Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata kepada Yoe Peng. "Sekarang
aku mengerti. Tapi, dengan adanya kejadian ini, kedoknya terlocot dan dia tentu akan
menjadi gusar. Bagaimana kita bisa meloloskan diri dari bentengan ini yang terjaga kuat?"
"Jangan kuatir," menghibur Thian Oe. "Kami akan melindungi kau." Baru saja ia
mengeluarkan perkataan itu, di luar sudah terdengar suara orang.
Sambil menghunus pedang Thian Oe membuka pintu dan melongok keluar. Ia melihat
lima enam orang sedang mendatangi, yang paling dulu adalah si pendeta berkelana dan
Teruchi sedang yang paling belakang adalah dua boesoe yang menggotong Omateng. Di antara
mereka terdapat dua orang kepercayaan Nyepa itu. Mereka sebenarnya ingin mencari
Pengtjoan Thianlie,
tapi yang diketemukan adalah tubuh Omateng yang dingin seperti es. Si pendeta
yang berpengalaman lantas saja menduga, bahwa di bentengan mesti terjadi kejadian
luar biasa, maka
buru-buru ia mengajak kawan-kawannya pulang.
Melihat Pengtjoan Thianlie tidak berada disitu, hati si pendeta menjadi lega.
"Bocah!"
bentaknya. "Kau orang berani datang untuk merampas utusan Budha Hidup" Nyalimu
sungguh tak kecil!" Thian Oe mengeluarkan suara di hidung. "Jangan banyak bacot!' ia lantas
membentak. "Lekas
serahkan Omateng untuk dihukum!"
Orang kepercayaan Omateng jadi sangat gusar. "Binatang!" satu antaranya
berteriak. "Ilmu
siluman apakah yang digunakan olehmu untuk mencelakakan Nyepa" Jika kau tak
mengembalikan kesehatannya, aku akan cabut jiwa anjingmu!" Sambil mencaci, mereka menerjang,
yang satu menggunakan golok, sedang yang lain menggunakan kampak.
"Peng-moay, kau lindungi utusan Budha Hidup," kata Thian Oe sambil menangkis
serangan musuh. Dalam sekejap mereka sudah bertempur seru.
Sementara itu, si pendeta tertawa dingin dan menjaga di luar sambil mencekal
kedua senjatanya. Thian Oe tak takut kedua musuhnya itu, tapi ia merasa jeri terhadap
si pendeta. Ia yakin, bahwa meskipun ia mengerubuti bersama Yoe Peng, mereka berdua masih belum
tentu bisa melawannya. Semakin lama ia jadi semakin bingung, karena tiada jalan untuk
meloloskan diri.
Melihat pemuda itu tak berani menerjang keluar, si pendeta jadi lebih girang dan
sambil tertawa nyaring, ia merangsek.
*** Sementara itu, Hoat-ong dan Kim Sie Ie yang sedang mengadu tenaga mati-matian,
sudah mencapai pada detik yang memutuskan. Mendadak, Hoat-ong menghantam sekeras-
kerasnya dan berbareng Kim Sie le menyemburkan jarum beracun! Pada detik yang sangat genting
itu, sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring dan merdu! Kim Sie Ie terkejut
sehingga jarumnya mencong dan dikebut terpental dengan tangan baju Hoat-ong. Di lain
pihak, karena kagetnya sebab bentakan itu, tenaga pukulan Hoat-ong pun berkurang banyak,
sehingga, biarpun
terpukul jatuh, Kim Sie Ie tak sampai mendapat luka di dalam badan. Sesudah
bergulingan, ia
melompat bangun kembali.
Semenjak meninggalkan pulau Tjoato, inilah untuk pertama kali Kim Sie Ie
bertempur dengan
menggunakan seantero tenaganya. Tadi, karena sedang memusatkan seluruh semangat
dan perhatian kepada pertempuran itu, ia tak tahu kedatangan Pengtjoan Thianlie.
Sekarang begitu
melompat bangun, ia melihat Peng Go yang berdiri sambil tersenyum. Dalam
kagetnya, ia mengeluarkan teriakan "Aya!" dan mengawaskan dengan mulut ternganga. Tiba-tiba
ia merasakan hawa sangat dingin menyambar masuk ke dalam tubuhnya Ternyata, selagi ia
ternganga, si nona
telah mementil dua butir Pengpok Sintan ke dalam mulutnya!
Barusan, karena ditindih tenaga Hoat-ong, Kim Sie Ie merasa panas dan haus luar
biasa. Maka itu, Pengpok Sintan seolah-olah air sejuk bagi seorang pelancong di tengah
padang pasir dan
mendadak saja, badannya menjadi adem dan rasa hausnya hilang. Sebagai seorang
yang memiliki kepandaian tinggi, ia segera mengerti, bahwa si nona sudah menolong dirinya
dengan menggunakan "racun untuk melawan racun". Tanpa pertolongan itu, meskipun tak
sampai menjadi binasa, sedikitnya ia bakal mendapat sakit berat.
Untuk sejenak, ia berdiri dengan kepala pusing dan pikiran kalut. Kedatangannya
kepada Hoatong adalah untuk melampiaskan rasa mendongkolnya terhadap Tong Keng Thian. Diluar
dugaan, hampir-hampir ia binasa dan kekalahannya yang menyedihkan telah disaksikan oleh
Pengtjoan Thianlie. Bukan saja disaksikan, malahan ditolong oleh si nona. Baginya, soal
mati atau hidup
adalah soal remeh. Yang dipandang penting adalah soal kehormatan, menurut
tafsirannya sendiri.
Maka itu, pada detik itu, ia merasa sangat jengah dan penasaran.
Koei Peng Go tentu saja tak dapat menebak jalan pikiran pemuda yang aneh itu.
Perlahanlahan ia mendekati dan menanya sambil bersenyum: "Apa kau tidak mendapat luka" Hm! Apa
kau telah bertemu dengan Tong Keng Thian" Mari kita berangkat dan jika bertemu, kita
boleh minta beberapa butir Pekleng tan. Menurut katanya Lu Soe Nio, latihan lweekang-mu
kurang tepat dan
hanya Pekleng tan yang dapat menolong kesehatanmu." Si nona bicara dengan suara
lemahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lembut, tapi bagi Kim Sie Ie, setiap perkataan seperti juga jarum yang menusuk
perasaannya. Sekonyong-konyong, sambil berteriak keras, ia kabur. Pengtjoan Thianlie
mengubar, tapi ia sudah
berada di atas genteng dan sebelum mabur lebih jauh, ia melirik si nona dengan
sorot mata dingin
dan mendongkol.
Dengan hati berat, Peng Go kembali kepada Hoat-ong dan berkata seraya
menggelengkan kepala: "Ah! Benar-benar sukar diurus!"
"Benar-benar sukar diurus!" mengulangi Hoat-ong yang kemudian, sambil merangkap
kedua tangannya, menanya: "Apakah pemuda itu dikenal oleh Liehoehoat?"
"Dia adalah seorang sahabat yang aku pernah bertemu beberapa kali," jawabnya.
"Bahwa dia
telah berlaku kurang ajar terhadap Budha Hidup, hatiku sungguh merasa tidak
enak." Hoat-ong tersenyum. "Sedang usianya masih begitu muda, kepandaiannya sudah
begitu tinggi,"
katanya. "Dapat dikatakan, bahwa dalam dunia ini tidak berapa orang yang dapat
direndengkan dengannya. Jika Liehoehoat tidak keburu datang, mungkin sekali aku dan dia akan
binasa bersama-sama."
Pengtjoan Thianlie melirik ke jurusan yang diawaskan Hoat-ong. Ternyata, Budha
Hidup itu tengah mengawaskan jarum Kim Sie le yang menancap di batu marmer dan yang di
seputarnya berwarna hitam!
Waktu masih berada di Tjenghay (Kokonor), Peng Go pernah menjadi tamu Hoat-ong.
Maka itu, pertemuan yang kedua kali ini sangat menggirangkan kedua belah pihak. Hoat-ong
segera mengundang tamunya duduk minum teh. Sambil minum dan omong-omong, mata si nona
terus mengincar sebuah lukisan di tembok.
"Liehoehoat, apa kau merasa ketarik dengan lukisan itu?" tanya Hoat-ong.
Si nona mengangguk dan lalu bangun berdiri, akan kemudian perlahan-lahan
mendekati lukisan
tersebut. Mendadak, pada paras mukanya terlihat perasaan heran.
"Lukisan itu adalah lukisan 'Phaspa mengunjungi Kublai di Mongolia',"
menerangkan Hoat-ong.
"Baik lukisan wanitanya, maupun binatang-binatangnya, semua kelihatan hidup
sekali. Pemandangan di gurun utara juga dilukiskan secara indah sekali." Selagi memberi
penjelasan, sambil menunjuk-nunjuk lukisan itu, tiba-tiba Hoat-ong mengeluarkan seruan
tertahan dan matanya mengincar muka gambar wanita itu yang ternyata sangat mirip dengan muka
si nona. "Apakah pelukisnya masih berada disini?" tanya Peng Go.
"Para pelukis datang dari Lhasa dan mereka datang kemari atas undangan Touwsoe
almarhum," jawabnya. "Dalam kuil ini masih ada beberapa gambar yang belum
selesai dan pelukis-pelukis masih belum dibubarkan. Aku akan memerintahkan orang untuk
menyelidiki." Ia
memanggil seorang muridnya yang lalu diperintah memanggil pelukis yang melukis
gambar di tembok itu. Dalam omong-omong, si nona menceritakan apa yang sudah dilakukannya di Lhasa. Ia
menuturkan, bahwa dalam pertemuannya dengan Dalai Lama, Budha Hidup itu sudah
mengerti akan kejahatan Omateng dan menyetujui, bahwa Hoat-ong Agama Topi Putih memegang
kekuasaan tertinggi yang tak boleh diganggu-gugat di seluruh wilayah Sakya. Ia
juga memberitahukan, bahwa Hok Kong An telah berjanji untuk mengirim tentara guna
mencegat pasukan dari Kalimpong.
Hoat-ong jadi girang sekali dan berkata dengan suara berterima kasih: "Aku
merasa sangat berhutang budi kepada Liehoehoat yang sudah membebaskan Tibet dari bencana yang
sangat besar." "Itu semua bukan karena pahalaku," si nona merendahkan diri. "Hal itu sudah
terjadi karena beberapa Budha Hidup mempunyai pandangan yang jauh dan hati yang welas asih,
serta tidak menghendaki pecahnya
peperangan yang merupakan bencana bagi umat manusia. Sekarang ini, tentara
Omateng sedang berhadapan dengan tentara Lochu. Aku berpendapat, secepat mungkin kita
harus membereskan soal ini."
Hoat-ong manggutkan kepala dan berkata: "Siang-siang aku sudah tahu, bahwa
Omateng bukan manusia baik. Jika sebegitu jauh aku belum bertindak, adalah karena
memandang Agama
Topi Kuning. Sebagai tamu, tak pantas aku menentang tuan rumah. Tapi sekarang,
sesudah Budha Hidup, Dalai menyerahkan semua kekuasaan kepadaku, biarpun Omateng
mempunyai kepandaian yang lebih tinggi lagi, dia tak akan terlolos dari tanganku." Sehabis
berkata begitu, ia
segera memerintahkan muridnya untuk bersiap, karena malam itu juga ia ingin
pergi ke bentengan
Touwsoe untuk membereskan kekacauan.
Sebelum berangkat, seorang murid melaporkan, bahwa pelukis yang dicari sudah
diketemukan dan bahwa ia itu adalah orang dari Nepal.
"Siapa namanya?" tanya Peng Go.
"Dia baru mau memberitahukan, sesudah bertemu Liehoehoat," jawabnya.
"Bagaimana dia tahu, aku berada disini?" tanya pula Peng Go dengan saura heran.
"Apa kau yang memberitahukannya?"
"Tidak," jawab murid itu. "Begitu bertemu, ia mengatakan, bahwa yang mencari
padanya tak bisa lain daripada Peng Go Siauwkongtjoe."
"Undanglah ia masuk," kata si nona dengan tak sabaran.
Sesaat kemudian, seorang tua yang rambutnya putih dan yang matanya terus
mengincar Pengtjoan Thianlie, berjalan masuk. Begitu berhadapan, ia segera berkata dalam


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahasa Nepal: "Aha! Sungguh mirip dengan Hoa Giok Kongtjoe!"
"Siapa kau?" tanya si nona. "Kenapa kau tahu nama ibuku?"
"Budakmu bernama Ngotu," ia memperkenalkan diri. "Pada tiga puluh tahun
berselang, aku pernah bekerja di bawah Hoema dan Kongtjoe."
Peng Go mengeluarkan seruan tertahan sambil bangun berdiri. "Kalau begitu, kau
adalah Ngotu Kongkong," katanya. "Sungguh tak nyana, kita masih bisa bertemu di tempat ini."
Sambil berkata begitu, ia membungkuk dan memberi hormat kepada orang tua itu.
Murid-murid Hoat-ong kaget. Mereka tak nyana, pelukis miskin itu bisa mendapat
kehormatan yang begitu tinggi dari seorang tamu Budha Hidup dan seorang Liehoehoat, seorang
Pelindung Agama, yang mempunyai Pweeyap Lenghoe.
Buru-buru Hoat-ong memerintahkan muridnya mengambil kursi untuk Ngotu. "Aku tak
duga, kalian adalah sahabat lama," katanya.
"Bukan, bukan begitu," menerangkan si nona. "dengan Ngotu Kongkong aku baru
pernah bertemu muka. Tapi aku mengetahui, bahwa ia adalah guru melukis dari mendiang
ibuku. Dulu, ibuku sering mengatakan, bahwa Ngotu Kongkong adalah pelukis nomor satu di
seluruh Nepal dan
di dalam istana es aku masih menyimpan beberapa rupa buah tangannya."
Hoat-ong merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Pertemuan luar biasa di
negara asing sungguh merupakan merupakan jodoh yang luar biasa pula."
"Kongkong," kata si nona. "Dalam usia yang sudah begitu lanjut, kenapa kau tak
mau berdiam saja di dalam istana" Perlu apa Kongkong merantau ke negeri orang?"
Si tua mengurut-urut jenggotnya dan berkata dengan suara perlahan: "Aku berdiam
disini justru untuk menunggu kau. Semula, aku tak tahu, berapa lama aku harus menunggu.
Tapi atas belas kasihan Sang Budha, hari ini kita bisa bertemu dan aku percaya Nepal masih
dapat ditolong."
"Ada apa" Kenapa Kongkong mengatakan begitu?" tanya Peng Go.
"Raja Nepal yang dulu adalah saudara misan ibumu," kata Ngotu. "Dia seorang
kejam dan serakah, sehingga di dalam negeri ia tidak disuka rakyat,di luar negeri ia
bermusuhan dengan
negara-negara tetangga. Apakah kau tahu hal itu?"
"Aku pernah mendengarnya dari ibu," jawab si nona. "Ibu pernah meminta
pertolongan orang
untuk membujuknya. Dan jika tak salah, karena kejamnya paman, maka ibu telah
bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Nepal. Tapi kenapa Kongkong mengatakan raja yang
dulu?" Ngotu mengirup teh dan kemudian, sesudah menghela napas panjang, ia berkata:
"Dua tahun
berselang, yaitu dalam tahun terjadinya perebutan guci emas, ia mendapat luka
waktu bertempur
dengan sebuah negara tetangga. Luka itu, luka kena anak panah, ternyata tak bisa
disembuhkan, sehingga tak lama kemudian ia meninggal dunia. Putera mahkota yang menggantikan
kedudukannya sebagai raja, lebih kejam daripada ayahnya. Penderitaan rakyat
menghebat dan secara wajar, orang-orang yang lebih tua mengingat Hoa Giok Kongtjoe, Mereka
mengatakan, bahwa tahta kerajaan sebenarnya harus diduduki oleh ibumu dan jika dulu ibumu
menggantikan kedudukan ayahnya, keadaan di Nepal tentu tidak jadi begitu kacau. Semua orang
mengharap, supaya Hoema dan Kongtjoe bisa kembali ke negeri sendiri untuk menolong Nepal
dari kemusnahan."
"Ibuku sudah meninggal belasan tahun lamanya," kata si nona dengan suara duka.
"Hal ini sudah didengar olehku, tapi belum diketahui rakyat," kata Ngotu.
"Bagaimana kau tahu, ibuku sudah meninggal dunia?" tanya Peng Go.
"Raja yang dulu pernah memerintahkan Koksoe (Guru negara) pergi ke Tibet untuk
menyelidiki Hoa Giok Kongtjoe," jawabnya. "Menurut pendengaranku, dia pernah bertemu muka
dengan kau."
Pengtjoan Thianlie mengangguk. "Benar," katanya. "Pendeta jubah merah itu dua
kali menyateroni istana es, tapi dipukul mundur olehku. Belakangan, ia binasa waktu
terjadi perebutan
guci emas."
"Biarpun dia sudah mati, tapi dalam laporannya kepada raja, dia sudah menanam
bibit bencana," kata Ngotu.
"Apa yang dikatakannya kepada raja?" tanya si nona dengan perasaan heran.
"Dia mengatakan telah bertemu dengan seorang dewi yang kecantikannya tiada
bandingan dalam dunia ini," jawabnya. "Dewi itu adalah kau sendiri. Dia juga melaporkan,
bahwa kau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, malahan setiap dayangmu pun mempunyai
kepandaian lumayan. Jika kau suka membantu raja, Nepal tentu bisa menjagoi, tapi menurut
pendapatnya, kau tak akan sudi kembali ke negara sendiri.
Selanjutnya dia berpendapat, bahwa karena tidak setia kepada raja, kau bisa
merupakan bibit
penyakit jika dibiarkan hidup terus. Maka itu, dia mengusulkan, supaya raja
mengumpulkan orangorang
pandai untuk mengambil jiwamu."
Si nona tertawa dingin. "Aku tak takut," katanya.
"Tapi Raja yang dulu tidak mengambil tindakan apa-apa, karena ia tengah
menghadapi banyak
urusan di dalam negeri dan bermusuhan dengan beberapa negara tetangga," kata
Ngotu. "Tapi bahaya apa yang barusan disebutkan olehmu?" tanya si nona.
"Pada waktu Koksoe memberi laporan, Thaytjoe (putera mahkota) juga berada
disitu," menerangkan si tua. "Sebagai pelukis istana, aku pun kebetulan berada dalam
ruangan itu. Sesudah Thaytjoe menjadi raja dua tahun lamanya, sampai sekarang ia belum
mengambil permaisuri dan sebabnya adalah karena ia ingin menunggu kau."
"Binatang!" menggerendeng si nona dengan suara gusar. "Dia jangan mimpi."
"Dia membuat persiapan dengan sungguh hati," si tua melanjutkan keterangannya.
"Selama dua tahun, dia telah mengumpulkan banyak sekali jago-jago dari negara-negara
Arab dan Eropa dan telah melatih satu pasukan untuk mendaki gunung. Sesudah persiapannya
selesai, dia akan
segera datang ke Tibet untuk menyambut kau."
"Biarpun dia mengirim puluhan laksa tentara, aku tak akan menunduk," kata si
nona dengan suara mendongkol.
"Tapi dia mempunyai perhitungan lain," kata Ngotu. "Dia menganggap, bahwa dengan
ancaman perang, dia akan bisa menekan Hok Kong An dan Raja Tibet yang tentu tak
sudi berperang karena kau seorang. Maka itu, andaikata kau tak suka mengikut, kau
tentu tak akan bisa berdiam lebih lama lagi di wilayah Tibet."
Paras muka si nona jadi merah padam karena gusar dan jengkel, la tak menduga,
bahwa karena gara-garanya, di Tibet bakal muncul satu kejadian hebat.
Sesudah berdiam sejenak, Ngotu berkata pula: "Karena pernah menerima budi ibumu
yang sangat besar dan juga sebab mengingat penderitaan rakyat, maka aku sudah
meninggalkan penghidupan mewah dalam istana dan merantau ke Tibet untuk mencari kau. Sebab
sudah berusia lanjut, aku merasa tak sanggup untuk pergi ke istana es dan hanya menunggu untuk
melihat lain kesempatan. Kebetulan sekali, orang mencari pelukis untuk kuil Lhama yang baru
didirikan dan aku segera melamar pekerjaan itu.
Aku ingat, bahwa ibumu adalah seorang yang memuja Budha, sehingga mungkin sekali
kau pun akan datang berkunjung kesini. Memikir begitu, aku lalu melukis gambar itu dan
benar saja, atas
berkah Sang Budha, sekarang kita bisa bertemu muka."
"Terima kasih untuk segala capai lelahmu," kata si nona sambil membungkuk.
"Aku datang kemari dengan membawa pengharapan rakyat dan pengharapanku sendiri,"
kata pula Ngotu. "Aku memohon supaya kau suka mempertimbangkannya. Pengharapan itu
adalah, jika kau menganggap bahwa kau mampu membinasakan raja kejam itu, pulanglah dan
merebut kekuasaan dari tangannya. Tapi, andaikata kau tak bisa membunuh dia dengan
tangan sendiri,
begitu kau pulang dan memanggil rakyat, rakyat pasti akan bangkit untuk membunuh
raja kejam itu dan mengangkat kau sebagai raja. Tahta kerajaan memang adalah hak ibumu,
sehingga kalau kau menduduki tahta, hal itu tidak lebih daripada pantas."
Si nona bersenyum seraya berkata: "Aku sedikitpun tak mempunyai minat untuk
menjadi raja. Jika Puncak Es tidak roboh, aku tentu tidak berada disini. Sebenarnya aku sudah
berkeputusan pasti untuk hidup mengasingkan diri di istana es selama-lamanya."
"Jika kau tidak ingin menjadi raja, lebih baik kau segera menyingkir secepat
mungkin," kata
Ngotu. "Aku kuatir, dalam waktu cepat dia akan datang kemari dengan tentaranya."
"Bagaimana Kongkong tahu?" tanya Peng Go.
"Omateng telah mengundangnya untuk mengirim tentara dan dia pasti tak mau
menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu," jawabnya.
Pengtjoan Thianlie merasa duka sekali. Ia duduk bengong dan tidak mengeluarkan
sepatah kata. Dalam hatinya penuh dengan kesangsian, ia tak tahu tindakan apa yang harus
diambilnya. Sementara itu, seorang murid Hoat-ong melaporkan, bahwa segala apa sudah siap
sedia untuk keberangkatan raja agama itu ke bentengan Touwsoe.
"Ngotu Kongkong, terima kasih banyak untuk segala kebaikanmu," kata si nona.
"Untuk sementara, kau berdiam saja disini dan sesudah keadaan di Nepal menjadi beres,
barulah kau kembali ke negara sendiri." Si nona tidak memberitahukan apa yang akan
dilakukannya, tapi bagi
Ngotu, perkataan itu sudah merupakan jaminan, bahwa sang puteri tak akan
berpeluk tangan.
Maka itu, dengan perasaan syukur, ia lantas mengundurkan diri. Sesudah itu,
Pengtjoan Thianlie
segera mengikut rombongan Hoat-ong berangkat ke bentengan Touwsoe.
*** Sementara itu, keadaan Tan Thian Oe dan Yoe Peng yang terkepung di dalam pagoda
sudah diliputi bahaya. Si pendeta berkelana menyerang hebat dengan tongkat dan mangkok
emasnya, sehingga Thian Oe terpaksa berkelahi sembari mundur. Yoe Peng yang
melindungi utusan Panchen, juga sudah mulai bertempur dengan Teruchi. Dua boesoe
kepercayaan Omateng lantas saja menerjang si nona dengan tujuan merebut utusan Panchen.
Dikerubuti tiga
orang, dalam sekejap Yoe Peng terdesak dan dalam keadaan berbahaya, buru-buru ia
melepaskan dua butir Pengpok Sintan, yang mengenakan tepat pada jalanan darah kedua boesoe
itu. Sambil berteriak-teriak, mereka melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan terus
kabur. Si nona girang dan lalu melepaskan pula sebutir Pengpok Sintan. Teruuchi yang
berkepandaian lebih tinggi
cepat-cepat memutar Djoanpian bagaikan titiran, sehingga, biarpun ia menggigil
kedinginan, senjata rahasia itu kena terpukul jatuh. Dengan beruntun Yoe Peng melepaskan
lagi beberapa Sintan, tapi semuanya dikebas terpental dengan tangan baju si pendeta.
Sekarang, sedang Yoe Peng bisa bernapas lebih lega, Thian Oe jadi semakin repot.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan bentakan "kena!", mangkok si pendeta menyambar
ujung pedang Thian Oe. Sebisa-bisa pemuda itu coba menarik pulang senjatanya, tapi
sudah tidak keburu lagi, sehingga ujung pedang kena ditungkrup mangkok yang lalu diputar dan
pedang Thian Oe pun mengikuti terputar. Dengan mengerahkan seluruh lweekang, ia coba membetot
Badai Awan Angin 31 Tengkorak Maut Karya Khu Lung Sumpah Palapa 10
^