Pencarian

Bidadari Dari Sungai Es 3

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 3


saudara dalam keluarga Koei, Koei Hoa Seng yang paling muda usianya, tapi yang
paling tinggi kepandaiannya dalam ilmu pedang. Loei Tjin Tjoe pernah dengar penuturannya orang
tua-tua, bahwa Koei Hoa Seng telah meninggalkan daerah Tionggoan dengan hati penuh
kegusaran. Dan sungguh tidak terduga, puterinya Koei Hoa Seng bisa berada di Thian-ouw.
Loei Tjin Tjoe keluarkan helahan napas dan lemparkan pedangnya.
Sesudah itu, ia hampiri Pengtjoan Thianlie dan berlutut tiga kali. Pedang es
sudah lumer dan
cuma ketinggalan satu kepingan kecil saja. Sembari tertawa Thianlie gosok kedua
telapakan tangannya dan es yang ketinggalan lantas lumer menjadi air. Mendadak mukanya
berubah dan membentak: "Kau belum mau jalankan kehormatan kepada Siauw sinshe?"
Mukanya Loei Tjin Tjoe pucat seperti kertas. Tanpa berkata suatu apa, ia lari
menghampiri Siauw Tjeng Hong dan berlutut tiga kali. Mendadak ia membungkuk, jumput pedang
yang menggeletak di atas tanah dan gorok lehernya sendiri.
Harus diingat, bahwa nasibnya Loei Tjin Tjoe ada buruk sekali. Ia bukan saja
gagal dalam percintaan, tapi malahan juga kena dirusak mukanya oleh wanita yang ia pernah
cintakan. Maka itu, perasaan cinta berobah jadi satu dendaman hebat. Di sebelahnya membenci
Gobie Liehiap Tjia
In Tjin, kegusarannya ditujukan terhadap Siauw Tjeng Hong. Sesudah menaruh
dendam belasan tahun, ia sekarang dapat ketemukan musuhnya, tapi siapa nyana, selagi mau bikin
pembalasan, ia bertemu dengan Pengtjoan Thianlie dan mengalami lagi penghinaan yang begitu
besar. Maka tidaklah heran, dalam putus harapan dan kegusaran, ia jadi nekat dan mengambil
putusan pendek. Siauw Tjeng Hong keluarkan teriakan tertahan. Ia tak keburu menolong, sebab
gerakannya Loei Tjin Tjoe terlalu cepat. Mendadak dengan satu suara "trang" dan muncratnya
kepingan es, pedangnya Loei Tjin Tjoe jatuh di atas tanah. Orang yang menolong bukan lain
daripada Pengtjoan Thianlie yang telah menimpuk dengan sekeping es.
"Manusia tak punya nyali!" berkata si nona. "Kalau kepandaian kurang, apa tak
bisa dipelajari
lagi?" Mendengar perkataan itu, matanya Loei Tjin Tjoe berkunang-kunang dan dadanya
dirasakan seperti mau meledak. "Benar," kata ia dalam hatinya. "Kalau aku bunuh diri, ia
akan kira aku benar-benar tidak mempunyai nyali."
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berkata pula: "Kalau kau harus mendapat
hukuman mati lantaran dosamu, siang-siang aku sudah jatuhkan hukuman mati. Tidak perlu kau
sendiri yang turun tangan, Segala kejadian pada tahun itu sudah dituturkan oleh Thiekoay sian
suami isteri kepadaku. Dalam urusan itu, hatimu memang mengandung niatan yang kurang baik,
tapi kau sendiri tidak mengetahui, bahwa dalam urusan itu, kau sudah dipermainkan oleh
seorang jahat. Sungguh kau harus dikasihani dan ditertawai dengan berbareng. Apa kau tahu
bagaimana maksud
hatinya Ong Lioe Tjoe" Kalau kau ingin tahu, pada Tiongtjhioe (pertengahan musim
rontok, atau Bulan Delapan tanggal 15) tahun ini, kau boleh pergi ke Chaklun buat mencari
tahu." Loei Tjin Tjoe terperanjat mendengar omongan itu. "Ong Lioe Tjoe sudah binasa,
cara bagaimana orang masih bisa dapat mengetahui isi hatinya," pikir ia. "Cara
bagaimana, dengan
pergi ke Chaklun, aku bisa mendapat tahu isi hatinya Ong Lioe Tjoe yang sekarang
sudah tidak ada lagi dalam dunia?" Dengan timbulnya perasaan heran, ia tidak ingat lagi soal
membunuh diri. Sesudah pungut pedangnya, bersama Tjoei In Tjoe, ia segera turun gunung sembari
tundukkan kepala. Ketika itu Siauw Tjeng Hong seperti juga berada dalam mengimpi. Ia lihat Tjia In
Tjin dan Thiekoay sian bicara dengan suara perlahan sembari tertawa-tawa, dengan tingkah
laku yang hangat sekali. Menyaksikan itu, hatinya seperti diremas-remas. "Suatu orang
mempunyai nasib
sendiri-sendiri dan segala apa tidak dapat dipaksa," pikir Tjeng Hong. "Walaupun
Thiekoay sian beroman buruk, akan tetapi ia adalah murid yang mewarisi kepandaiannya Kanglam
Tayhiap Kam Hong Tie sehingga dengan jadi pasangannya Tjia In Tjin, ia tidaklah membikin
turun derajatnya
Gobie Liehiap."
Mengingat bahwa bekas kecintaannya sekarang sudah mendapat pasangan yang
setimpal, hatinya Siauw Tjeng Hong jadi tenang. Mendadak ia lihat Thiekoay sian
menghampiri dengan
terpincang-pincang dan memberi hormat sesudah berhadapan. Siauw Tjeng Hong buru-
buru balas hormatnya, sambil ucapkan perkataan-perkataan merendah.
"Siauw loote," katanya sembari tertawa. "Apakah kau tahu kenapa aku sudah gebuk
kau dan sekarang memberi hormat padamu?"
Siauw Tjeng Hong gaga-gugu dan tak tahu harus menjawab bagaimana. Thiekoay sian
tertawa lagi dan berkata: "Aku tahu, bahwa aku adalah seorang yang berparas buruk
sekali. Maka itu,
maka itu..."
Sebelum ia dapat teruskan omongannya, Tjia In Tjin sudah membentak: "Setan tak
kenal malu! Apa kau mau ditertawakan orang" Tutup mulutmu!" Sang isteri membentak begitu,
sebab mengetahui, kalau si suami bicara terus, ia bakal jadi jengah sekali. Thiekoay
sian tahu parasnya
jelek sekali. Apa mau, ia dapat isteri yang sangat cantik. Sebagai seorang yang
mempunyai adat aneh, dalam hatinya timbul rasa cemburu yang aneh pula. Hatinya belum merasa
puas kalau belum hantam siapa juga yang pernah jatuh hati pada isterinya itu. Siauw Tjeng
Hong mana tahu adatnya Thiekoay sian yang luar biasa itu.
Dengan omongannya diputuskan oleh sang isteri, Thiekoay sian tertawa meringis.
"Baiklah,"
kata ia. "Aku tak omong lagi sebabnya kenapa aku memukul kau. Sekarang aku mau
bicara tentang kenapa aku jalankan kehormatan padamu. Hei, Siauw Tjeng Hong, berapa
usiamu sekarang?"
Siauw Tjeng Hong kembali terkejut. "Buat apa dia tanya begitu?" pikirnya.
"Siauwtee sekarang
baru berusia empat puluh lebih sedikit," ia jawab.
"Kalau begitu, kau banyak lebih muda dari aku," kata Thiekoay sian. "Sungguh
kasihan, rupamu
sudah kelihatan begitu tua, dan rambutmu sudah putih semua. Aku dengar, pada
belasan tahun berselang, kau masih jadi pemuda yang cakap sekali."
Mukanya Siauw Tjeng Hong yang putih mendadakan saja bersemu merah. "Itu semua
lantaran gara-gara isterimu," kata ia dalam hatinya.
"Siauw loote," kata lagi Thiekoay sian. "Aku tahu adanya perasaan kecewa dalam
hatimu. Maka itu, isteriku minta aku wakilkan ia menjalankan kehormatan di hadapanmu buat
meminta maaf. Ia
kata, hatinya merasa sangat tidak enak lantaran sudah menyeret kau kedalam
gelombang. Dari
sebab begitu, di sebelahnya meminta maaf, isteriku ingin persembahkan serupa
barang kepada kau." Sehabis berkata begitu, ia rogoh sakunya, keluarkan satu kotak batu kemala yang
lantas diserahkan kepada Siauw Tjeng Hong. "Bukalah!" kata ia.
Siauw Tjeng Hong buka dan kotak itu berisi sekuntum bunga warna merah darah yang
sebesar mangkok. Heran sekali hatinya Siauw Tjeng Hong yang tak tahu harganya hadiah
itu. "Itu adalah kembang dewa Yoetam Sianhoa," menerangkan Thiekoay sian. "Orang yang
makan kembang itu, rambut putih bisa berobah jadi hitam, sedang parasnya yang tua
dapat berobah menjadi muda lagi. Aku si jelek tak gunanya makan bunga itu, maka aku rela
mempersembahkan
kepada kau."
Waktu masih muda, Tjia In Tjin digelarkan Tokbeng Siantjoe (Dewi tukang betot
jiwa orang). Hatinya kejam dan tangannya telengas. Pada belasan tahun berselang, tanpa pikir-
pikir lagi ia turunkan tangannya secara ganas, dan sebagai akibatnya, Siauw Tjeng Hong yang
kena getahnya. Tapi sesudah menikah, adatnya jadi berubah. Saban-saban ingat Siauw Tjeng Hong,
hatinya merasa menyesal sekali. Satu ketika, bersama suaminya, ia berkelana di daerah
Utara barat. Waktu pesiar di pegunungan Thiansan, ia telah dapatkan kembang itu dan lantas
saja ia mengambil putusan buat menghadiahkan kepada Tjeng Hong buat menebus dosa.
"Ah, kalau begitu kembang ini Yoetam Sianhoa?" kata Tjeng Hong dengan perasaan
terkejut tercampur girang. Ia jadi ingat penuturannya orang-orang tua, bahwa buat satu
kali mekar, kembang itu harus melalui tempo 60 tahun. Pada seratus tahun lebih yang lalu,
leluhur Boetong
pay Toh It Hang ingin petik kembang itu buat dipersembahkan kepada Pekhoat
Molie, tapi sesudah menunggu seluruh penghidupannya, kembang itu belum mekar juga.
Belakangan Thiansan Liehiap Ie Lan Tjoe telah dapatkan dan makan kembang tersebut, sehingga
sampai mati rambutnya masih tetap tidak berobah putih. Sekarang bukan saja ia dapat lihat
benda yang langka
itu, tapi juga bisa punyakan sebagai hadiah dari Thiekoay sian.
Siauw Tjeng Hong mengawasi kembang itu dengan mata mendelong. Ia tak berani
menerima. Tjia In Tjin menghampiri dengan perlahan dan berkata sesudah berhadapan: "Tjeng
Hong! Kau makanlah. Pada lima tahun berselang, di Soetjoan barat aku telah bertemu
piauwmoay-mu (saudara misan perempuan) Gouw Tjiang Sian, yang tanyakan keselamatanmu. Ibumu
juga sekarang masih kuat dan sehat. Apakah kau tidak niat pulang buat tengok mereka?"
Hatinya Tjeng Hong lantas saja tergerak. Secara mendadakan saja, ia jadi ingat
kepada orang tua, famili, sahabat dan kampung kelahirannya. "Sekarang sedang permusuhan sudah
menjadi beres, memang seharusnya aku pulang," kata ia dalam hatinya. "Lantaran gara-gara
dia, aku telah menderita begitu hebat, maka adalah sepantasnya saja, jika aku menerima
hadiahnya itu."
Memikir begitu, ia lantas ambil kembang.-tersebut dan berkata sambil dongakkan
kepala dan menghela napas: "Terombang-ambing di dunia Kangouw puluhan tahun lamanya.
Bermula ketemu, rambut belum putih, usia masih muda."
"Maka sekarang lebih baik pulang, buat cari kawan memain waktu masih kecil," In
Tjin sambungi. "Benar, benar!" kata Tjeng Hong sembari tertawa berkakakan. "Perkataanmu benar
sekali! Oedjie,
gurumu sekarang mau berpisahan denganmu!"
Selama setengah harian itu, Thian Oe telah saksikan banyak sekali kejadian
mengherankan, sehingga ia seperti juga sedang mengimpi. Sekarang mendadak ia dengar gurunya
mau pulang ke kampung kelahirannya, maka ia jadi sangat kaget dan buat beberapa saat, tidak
dapat mengucapkan sepatah kata. Siauw Tjeng Hong juga merasa berat buat berpisahkan
dengan murid yang baik itu. "Muridmu itu sangat baik hatinya dan aku sangat penuju padanya," kata Thiekoay
sian sembari tertawa. "Aku si pengemis, kalau lihat barang baik, memang lantas mau meminta,
Siauw Loote, serahkan saja muridmu kepadaku."
"Sungguh mujur jika kau sudi menerima Oe-djie sebagai murid," kata Tjeng Hong
dengan girang sekali. "Oe-djie, lekas berlutut!"
"Soehoe," kata Thian Oe dengan suara sedih. "Apakah benar kau mau pulang?"
"Kalau tidak pulang, aku mau bikin apa disini?" jawab sang guru. "Aku pun merasa
sangat berat harus berpisahan dengan kau, tapi oleh karena orang tuamu berada di daerah ini,
aku tentu tak dapat ajak kau pergi bersama-sama."
"Ha, bocah," kata Thiekoay sian. "Apa kau tidak.suka angkat pengemis busuk
sebagai gurumu?"
Thian Oe buru-buru membantah pernyataan itu dan segera berlutut di hadapan
Thiekoay sian. "Aku tidak begitu sabar sebagai gurumu," kata si pengemis sembari tertawa
terbahak-bahak.
"Sebagai muridku, kau mesti mengemis nasi dan uang, dan kalau tidak dengar kata,
aku akan hantam pantatmu dengan tongkat ini."
"Jangan bikin takut anak baik ini," kata Tjia In Tjin. "Aku bicara terus terang,
kalau kau sengaja


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cari, biar kau jalan sampai pecah sepatu besi, tak nanti kau dapat ketemukan
murid yang begini
baik." Sembari tahan air matanya, Siauw Tjeng Hong awasi sang murid dan kemudian bekas
kecintaannya. "Nah, sekarang aku berangkat saja," kata ia dengan suara sedih.
"Oe-djie, kau
harus dengar segala perintah gurumu. Kalau ada jodoh, di belakang hari .kita
akan bertemu pula."
Tidak lama sesudah pulang ke kampung kelahirannya, Siauw Tjeng Hong telah dapat
pasangan yang setimpal sekali dan berkat latihannya yang terus menerus, di kemudian hari,
ia jadi seorang
yang ilmu silatnya paling tinggi dalam Tjengshia pay.
Sesudah Siauw Tjeng Hong berangkat, sembari tertawa Thiekoay sian berkata: "Mau
pergi, pergi saja, buat apa begitu rewel-rewel."
"Kau lihat, ada orang yang lebih rewel lagi," berbisik isterinya.
Thiekoay sian menoleh dan lihat kedua boesoe Nepal, yang tadi berlutut di
pinggir telaga,
sekarang sedang bicara sama Pengtjoan Thianlie dengan suara perlahan. Pengtjoan
Thianlie sendiri sedang dongakkan kepalanya, sikapnya tawar dan seperti acuh tak acuh.
Tapi kedua boesoe terus bicara sembari pentang-pentang tangan, seperti orang yang sedang
memohonmohon, dengan paras muka yang bingung sekali. Thiekoay sian tidak mengerti bahasa
Nepal, sehingga biarpun pasang kuping, ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang
dibicarakan. Thian Oe sudah berdiam tujuh delapan tahun di Tibet, yang sering dikunjungi oleh
pedagang Nepal, sehingga sedikit-sedikit ia mengenal juga bahasa itu. Ia pun turut pasang
kuping dan dapat
tangkap beberapa perkataan, seperti "guci emas", "ayahanda raja" dan sebagainya,
tapi tidak dapat hubungkan perkataan-perkataan itu sampai dapat dimengerti apa maksudnya.
Mendadak ia ingat perebutan guci porselen di Shigatse antara Bek Tayhiap,
Thiekoay sian dan
yang lain-lain. "Apakah urusan yang sedang dibicarakan oleh kedua boesoe
mempunyai hubungan
dengan guci porselen itu?" ia tanya dalam hatinya. "Tapi guci itu adalah
porselen, dan bukannya
emas. Apa artinya itu perkataan ayahanda raja?"
Sedang Thian Oe diliputi perasaan heran, Pengtjoan Thianlie, yang rupanya sudah
tidak sabaran, membentak dalam bahasa Nepal: "Kecuali Puncak Es roboh, aku tak nanti
turun dari gunung ini." Bentakan itu dikeluarkan dengan keras, sehingga Thian Oe dapat
dengar nyata sekali.
"Pergi! Pergi! Kalian pergi pulang," kata lagi Pengtjoan Thianlie. Suaranya
tidak keras, tapi
berpengaruh sekali dan diucapkan dengan sikap angker, seperti juga seorang
jenderal yang sedang pimpin ratusan laksa tentara.
Kedua boesoe itu saling mengawasi. Mereka mundur tanpa berani buka suara lagi,
sedang pada paras mukanya terbayang perasaan putus harapan.
Sesudah itu, dengan muka yang bersorot sedih, seperti juga hatinya sedang
dipengaruhi oleh
serupa perasaan, Pengtjoan Thianlie petik sekuntum bunga yang ia lemparkan ke
telaga dan jatuh
pada tempat, dimana sungai es masuk ke dalam telaga. Bunga itu digulung pusar
air akan kemudian selembar-lembar terombang-ambing, menurut alirannya gelombang-gelombang
halus. Thian Oe jadi bergidik sebab ia ingat: "Jika benda tak berjiwa (sang kembang)
bisa bernasib sedemikian, apa lagi manusia?" la lihat itu gunung salju dengan puncaknya yang
menjulang menembus awan dan hawanya dingin bukan main, akan tetapi di tempat dimana ia
berdiri, sang telaga dengan kembang-kembangnya memberi suatu pemandangan dari musim semi. Dan
di pinggir telaga berdiri seorang wanita cantik yang hidup sendirian di atas Puncak Es. Keadaan
sedemikian seakan-akan merupakan suatu musim semi dalam musim dingin, cuma
sayang, pemandangan yang begitu indah, tidak banyak diketahui oleh manusia dalam dunia.
Bahwa dalam gunung salju terdapat telaga Thian-ouw, sudah merupakan kejadian yang
mengherankan. Akan
tetapi, bahwa di atas sungai es hidup seorang bidadari, ada lebih mengherankan
lagi! Apakah Bidadari dari Sungai es ini akan mendapat nasib seperti sang kembang, yang
terbuka dan rontok
sendirinya, akan kemudian terombang-ambing menurut alirannya air"
Selagi Thian Oe ngelamun begitu, kupingnya mendadak dengar Pengtjoan Thianlie
berkata lagi: "Aku sebenarnya tidak pernah menerima tetamu, akan tetapi, lantaran Kam Tayhiap
dan ayahku adalah sahabat-sahabat baik, maka, Thiekoay sian, sebab atas perintahnya Kam
Tayhiap dengan susah payah kau sudah mencari aku, dengan melanggar kebiasaan, aku sekarang
undang kalian berdua suami isteri buat menginap di rumahku beberapa hari."
Sesudah Koei Hoa Seng menghilang, kedua kandanya telah mencari ubak-ubakan dan
memesan kawan-kawannya buat bantu mencari. Salah seorang yang pernah diminta
bantuannya, adalah Kam Hong Tie. Selama tiga puluh tahun Hong Tie sudah berdaya tanpa
mendapat hasil. Ia
adalah seorang ksatria yang pegang teguh janjinya, maka itu, pada sebelum
menutup mata, ia
telah pesan muridnya supaya sang murid talangi ia melakukan satu pekerjaan yang
belum dapat dipenuhi. Thiekoay sian tidak sia-siakan pesanan gurunya. Belakangan ia mendapat
warta, bahwa di atas sungai es ada hidup seorang wanita yang mendapat julukan Pengtjoan
Thianlie. Ia menduga, bahwa wanita itu sepuluh sembilan adalah puterinya Koei Hoa Seng. Pada
waktu ia sedang bertempur melawan Loei Tjin Tjoe, isterinya justru sedang menemui
Bidadari dari Sungai
es itu. "Sudah lama aku pangeni tempat ini yang seperti surga, akan tetapi aku tidak
berani membuka mulut," kata Thiekoay sian sembari tertawa. "Maka itu, tentu saja aku merasa
sangat girang, jika
kau sudi menerima kami berdiam beberapa hari."
"Kalau begitu, marilah kita turun ke perahu," kata Pengtjoan Thianlie. "Kau
adalah muridnya
Thiekoay sian dan juga sahabatnya Chena moaymoay. Maka itu, kaupun boleh ikut."
Thian Oe bermula merasa sedikit bersangsi, akan tetapi, ia lantas turut turun ke dalam
perahu, tanpa berkata suatu apa.
Waktu itu sudah lewat tengah hari. Kepingan-kepingan es yang mengambang di atas
sungai jadi semakin lumer dan air mengalir semakin deras, dari puncak gunung menyapu ke
bawah. "Naik
ke atas dengan melawan aliran air ada banyak lebih sukar dari turun ke bawah,"
pikir Thian Oe.
"Biarpun ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sedemikian tinggi, tapi apakah ia
mampu bikin perahu itu manjat ke atas" Apakah ia bukan terdiri dari darah dan daging seperti
manusia biasa?"
Selagi hatinya sangat bersangsi, kupingnya sudah dengar Pengtjoan Thianlie
berkata: "Semua
orang duduk biar benar. Perahu mulai jalan."
Sehabis berkata begitu, dengan sebatang kejen batu kemala, ia totol sekeping es
dan perahu itu lantas meluncur beberapa tombak jauhnya. Mendadak perahu terpukul arus dan
mundur lagi setombak lebih. Pengtjoan Thianlie sapu kepingan-kepingan es yang ngambang akan
kemudian menotol lagi dengan kejennya dan sang perahu kembali meluncur beberapa tombak.
Thian Oe lihat Pengtjoan Thianlie pusatkan Seantero perhatiannya dan menggunakan
banyak sekali tenaga, sedang orang-orang yang berduduk di dalam perahu semuanya
berpeluk tangan.
"Sedang dia begitu capai, bagaimana kita bisa enak diam saja?" kata Thian Oe
dalam hatinya. Tiba-tiba arus yang sangat keras menerjang hebat sekali, sehingga sang perahu
terputar-putar dalam pusar air dan air yang muncrat membasahi mukanya semua orang.
Thian Oe terkesiap. Melihat tongkat besi gurunya yang disenderkan di pinggir
perahu, tanpa banyak pikir, ia lantas jumput tongkat itu, yang ternyata sangat berat, buat
bantu mendorong.
Tapi begitu lekas ia mendorong dengan tongkat, sang perahu bergoncang dan
berputar keras, dan
dengan dibarengi sama sambaran satu gelombang, sebagian badan perahu tenggelam
di dalam air, tapi untung timbul lagi dengan goncangan keras.
"Kau cari mampus?" membentak Thiekoay sian sembari rampas tongkat itu dari
tangan muridnya. "Maksudnya baik sekali, kau tak usah marahi dia," kata Pengtjoan Thianlie
sembari tertawa.
Thian Oe rasakan mukanya panas lantaran malu. Ketika itu, setahu bagaimana,
badannya perahu sudah tetap kembali, sehingga hatinya jadi legaan. Sekonyong-konyong satu
arus yang lebih hebat daripada tadi, menyambar dari sebelah kiri. Thian Oe mencelos dan
berkata dalam hatinya: "Sekarang matilah!" Mukanya jadi pucat seperti kertas. Tiba-tiba
badannya perahu
terlempar ke atas, seperti juga terbang di tengah udara, dan di lain saat, sudah
hinggap di muka
air dengan selamat dan terpisah agak jauh dari tempat tadi!
Bukan main herannya Thian Oe. Melihat keheranan pemuda itu, Chena berkata
sembari tertawa: "Waktu pertama datang, aku pun sudah dibikin kaget setengah mati oleh
arus itu. Belakangan barulah aku mendapat tahu, bahwa tanpa adanya arus tersebut, sang
perahu malahan tak dapat naik turun."
Pengtjoan Thianlie yang sedari kecil hidup di tempat tersebut, mengenal baik
sifatnya arus sungai, yang mempunyai tenaga menyapu balik. Sifatnya arus sungai tersebut
adalah ibarat sifatnya angin puyuh yang terputar, dan dalam putarannya itu, dapat melempar
sang perahu ke sebelah atas. Maka itu, dalam menjalankan perahu di sungai es, biarpun benar
seorang harus mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, tetapi kejadian tersebut bukanlah suatu
kejadian yang mujijat. Belum cukup sejam, perahu sudah tiba di puncak gunung. Keraton yang nangkring di
puncak terbuat dari kristal, marmer atau balokan-balokan es, sehingga di dalamnya jadi
terang benderang, dan jika tertojo sinarnya matahari, keraton itu berkredepan dalam
rupa-rupa warna.
Sungguh satu pemandangan yang langka! Melihat itu semua, Thian Oe yang tadinya
sudah lelah sekali, mendadak jadi segar kembali. "Dengan berdiam seorang diri dalam keraton
ini, apakah Pengtjoan Thianlie tidak merasa kesepian?" tanya ia dalam hatinya.
"Thianlie tjietjie," kata Chena sembari tertawa. "Jika kau sudi menerima aku
sebagai pelayan,
aku rela berdiam di tempat ini seumur hidupku."
"Anak otak!" menyahut Pengtjoan Thianlie sembari mesem. "Mana kau bisa betah
tinggal di tempat ini" Dan bukankah kau siang malam terus pikirkan soal membalas sakit
hatinya kedua orang tuamu?" Mendengar omongan itu, Chena tidak berkata suatu apa lagi.
"Aku dengar kau selalu memanggil aku sebagai Thianlie tjietjie." Berkata lagi
Pengtjoan Thianlie. "Apa dengan memanggil begitu, kau tidak kuatir orang nanti
mentertawakan" Aku cuma
bertempat tinggal di Pengtjoan (Sungai es), dan manalah boleh disebut bidadari
(Thianlie). Aku
sebenarnya she Koei bernama Peng Go. Thiekoay sian berdua suami isteri juga
rasanya belum mengetahui namaku."
"Nama itu sungguh bagus," kata Tjia In Tjin sembari tertawa. "Tapi kau benar-
benar cantik laksana bidadari, maka biarlah aku memanggil saja Thianlie tjietjie."
Pengtjoan Thianlie segera anter semua tetamunya masuk ke dalam keraton.
Berbareng dengan
tepukan kedua tangannya, di depan saban keraton lantas muncul satu wanita muda,
yang berpakaian indah sekali. Walaupun di antara bangunan-bangunan terdapat banyak
pintu, tapi oleh
karena keraton tersebut terbuat dari bahan-bahan yang terang seperti kristal dan
es, maka semua wanita itu lapat-lapat bisa dilihat. Semua dayang itu, yang rata-rata berparas
cantik, berpakaian
secara luar biasa, bukan pakaian Tibet maupun Han, dan sekali lihat lantas dapat
diketahui, bahwa
mereka itu bukannya orang Tionghoa.
Thian Oe rasakan seperti masuk ke dalam surga. "Kalau begitu, Pengtjoan Thianlie
bukannya hidup sendirian," kata ia dalam hatinya. "Cuma dari manakah ia dapatkan begitu
banyak nonanona?"
"Kalian tentu capai sekali, maka biarlah kalian mengasoh dahulu," kata Pengtjoan
Thianlie. Suami isteri Thiekoay sian, Tan Thian Oe dan Chena lalu diantar oleh dayang-
dayang itu ke gedung-gedung yang terpisah. Sesudah melalui jalanan bulak-belok dengan diantar
oleh sang

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dayang, Thian Oe tiba di satu kebun kembang. Bunga-bunga dan rumput-rumput yang
tumbuh disitu dengan warna-warni yang gilang gemilang, hampir semua belum pernah
dilihat oleh Thian
Oe. "Siangkong (tuan) masuklah ke dalam gedung ini buat mengasoh," kata dayang itu.
"Jika siangkong memerlukan aku, tarik saja tali tembaga yang terdapat di pojokan.
Jalanan disini banyak belitannya, dan jika siangkong mau jalan-jalan di dalam taman, ingatkan
saja tanda itu,
supaya tak kesasar." Sembari berkata begitu, jerijinya menunjuk ke atas gedung,
dimana terukir satu singa-singaan batu. Ternyata di atas saban gedung terdapat ukiran-ukiran
binatang yang berlainan. Ada ukiran kuda, macan, burung Hong dan sebagainya. Biarpun bukannya
orang Tionghoa, akan tetapi dayang itu dapat bicara bahasa Pakkhia dengan lancar
sekali. Sesudah
memesan begitu, ia lantas undurkan diri.
Thian Oe tolak pintu dan masuk ke dalam gedung. Hatinya kaget lantaran beberapa
pemuda kelihatan mendatangi ke arah ia. Tapi segera juga ia mengerti, bahwa semua
pemuda itu adalah
bayangannya sendiri, lantaran di empat penjuru tembok dipasang kaca yang sangat
besar. Gedung itu dihias indah sekali dengan perabotan yang mahal harganya. Dalam kamar
tidur, kasurnya terbuat dari sutera mahal dengan kelambu sulam, sedang di atas meja
tulis terdapat satu vas yang ditancapkan semacam bunga luar biasa, yang menyiarkan bau harum
sekali. Di atas
tembok tergantung sebuah lonceng dari negara Barat yang mengeluarkan suara "tik-
tak, tik-tak"
tak henti-hentinya. Pada jaman itu, yaitu jaman Kaizar Kianliong, masih sedikit
sekali lonceng Barat yang di impor ke Tiongkok. Pertama kali Thian Oe lihat lonceng itu adalah
di rumahnya Touwsoe. Selainnya itu, di atas tembok juga terdapat sepasang gambar lukisan dengan sajak
yang tulisannya indah sekali.
Gambar yang satu memperlihatkan seorang pemuda yang memakai baju warna kuning,
sedang pada pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Romannya pemuda itu bukan
saja cakap, tapi juga angker sekali. Gambar yang lain adalah gambarnya seorang wanita
yang pakai pakaian kuno. Dengan kedua alis yang bengkok dan potongan muka seperti kuaci,
wanita itu cantik luar biasa dan matanya sedikit mirip dengan Pengtjoan Thianlie.
Sajak yang tertulis pada kedua gambar itu seperti juga buah kalamnya seorang
wanita dan berbunyi seperti berikut:
Mengangkat cawan berpisahan.
Nyanyikan lagu berpisahan.
Bisiki kata-kata berpisahan, Siapakah yang membuat lagu itu, seperti seekor
burung berkelebat
di atas air dan menghilang dalam sekejapan mata" Tjioe Nio nyanyikan lagu Kim
Louw. Nyanyian berakhir, penonton bubar, cuma ketinggalan beberapa puncak gunung yang
hijau. Tapi kumandangnya sang lagu tak putus-putusnya,
Sampai mengimpi tiba di kota Pakkhia.
Cawan penuh, tapi toh kosong. Nyanyian merdu, toh kosong juga,
Tetabuhan khim indah, pun kosong.
Rembulan terang, akhirnya kosong juga.
Semua orang sudah bubaran dari taman bunga anggrek dan ketinggalan debu yang
berhamburan. Musim dingin meliputi daerah Kanglam,
Dalam liati mengutuk salju dan angin yang meresap ke tulang-tulang.
Orang yang dicinta berada di ujung langit.
Siapa lagi yang dapat hiburi hatinya anak yang terlantar"
Sebagai peringatan dari marhum ayah dan ibu,
Hoan Lian. Tan Thian Oe sekarang tahu, bahwa lelaki dan wanita itu adalah kakek dan
neneknya Pengtjoan Thianlie, yaitu Koei Tiong Beng dan isterinya Moh Hoan Lian, sedang
sajak itu adalah
buah kalam ayahnya Moh Hoan Lian, yaitu Moh Pie Kiang.
Hatinya Thian Oe diliputi dengan perasaan heran yang sangat besar. Bahwa
Pengtjoan Thianlie
adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng, sudah merupakan satu hal yang
mengherankan. Akan tetapi, keraton di puncak gunung dengan dayang-dayangnya yang terdiri dari
wanita-wanita asing, merupakan keheranan yang lebih besar lagi. Walaupun asal-usulnya
Pengtjoan Thianlie
sudah terbentet sekali, akan tetapi, dalam keseluruhannya, ia masih merupakan
satu teka-teki.
Malam itu, sesudah bersantap dengan hidangan yang diantar oleh sang dayang,
Thian Oe gulak-gulik di atas pembaringan dan tidak dapat tidur pulas. Ia ingat Chena, itu
gadis Tsang yang
aneh, ia ingat Pengtjoan Thianlie yang diliputi rahasia, ia ingat suami isteri
Thiekoay sian, ia ingat
macam-macam hal yang datang saling-susul dalam otaknya.
Ia melongok keluar jendela dan saksikan satu dunia yang diselimuti dengan sinar
perak. Dengan sinar salju yang datang dari atas puncak gunung, ditambah sama bunga-
bunga yang memenuhi seluruh taman, Thian Oe merasa seperti juga berada di tengah-tengah
dunia kaca dengan warna-warninya yang indah luar biasa.
Seperti dibetot besi berani, Thian Oe pakai jubah luarnya dan dengan tindakan
perlahan, ia keluar dari gedung itu buat menikmati pemandangan alam yang seindah itu.
Mendadak kupingnya dengar orang bicara yang datang dari kejauhan. Thian Oe lalu
mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan dan lihat dua bayangan orang
sedang mendatangi ke arah ia. Yang jalan duluan adalah Pengtjoan Thianlie, sedang yang
belakangan bukan lain daripada Thiekoay sian. Thian Oe merasa heran. Ada urusan apa, mereka
jalan-jalan dalam taman, di tengah malam buta itu"
Dalam jarak belasan tombak dari tempat sembunyinya Thian Oe, mereka mendadak
berhenti. "Terima kasih banyak buat berita yang kau sampaikan," demikian kedengaran
Pengtjoan Thianlie
berkata. "Dan terima kasih juga kepada paman-paman sekalian yang sudah begitu
memperhatikan diriku. Tapi aku sudah bersumpah, bahwa selama hidup, aku tidak nanti turun dari
gunung ini."
"Tapi... Tapi guci emas itu ada luar biasa pentingnya," kata Thiekoay sian.
"Dahulu, pada jaman
tujuh ahli pedang turun dari gunung Thiansan, kakek dan nenekmu, bersama-sama
Leng Bwee Hong Tayhiap, dengan bersatu padu sudah melawan kerajaan Tjeng. Kau sendiri
adalah cucunya Koei Tayhiap. Apakah kau tega melihat Tibet menjadi jajahannya bangsa Boan"
Begitu lekas guci
emas itu tiba, tamatlah riwayatnya Tibet."
"Aku tidak urus urusan begitu," kata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar.
Thiekoay sian menghela napas. Baru ia mau buka mulut, Pengtjoan Thianlie sudah
mendahului: "Kecuali Puncak Es roboh, putusanku tak dapat dirobah lagi. Sebenarnya terhadap
kalian suami isteri yang jauh-jauh sudah datang disini, aku harus penuhkan kewajiban sebagai
tuan-rumah buat
melayani beberapa hari Cuma menyesal, lantaran dahulu aku pernah bersumpah,
bahwa siapa saja yang berani membujuk aku turun gunung, biarpun ia adalah seorang dari
tingkatan yang lebih
tua, aku tak dapat menahan lagi padanya. Thiekoay sian! Terima kasih buat
kebaikan hatimu, tapi
besok aku akan perintah dayang antar kalian turun gunung dan di kemudian hari
tak usah datang
lagi disini."
Thian Oe tak dapat lihat mukanya Pengtjoan Thianlie yang berdiri membelakangi
ia. Suaranya halus, tapi tegas, seperti satu ratu yang sedang keluarkan firman.
Thiekoay sian berdiri diam tanpa menjawab sepatah kata. Thian Oe juga merasa
heran, kenapa seorang wanita yang begitu cantik bisa bersikap sedemikian keras dan
mengeluarkan kata-kata
yang terang-terangan mengusir tetamunya. Ia merasa berat buat tinggalkan tempat
itu yang sepera surga, terutama itu gadis Tsang yang aneh. Hatinya merasa sedih, sebab
ingat besok ia harus berlalu bersama-sama gurunya dan tak akan bisa datang lagi ke tempat itu.
Sesudah lewat sekian lama, barulah kedengaran Thiekoay sian berkata: "Sesudah
berbuat kesalahan terhadap nona, aku tak berani meminta maaf. Aku akan turut apa yang
diinginkan oleh
nona." Sesudah itu lantas kedengaran suara tindakan kaki yang semakin lama jadi
semakin jauh, dan waktu Thian Oe melongok dari gunung-gunungan, kedua orang itu sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sembari tarik napas panjang, Thian Oe keluar dari tempat mengumpatnya. Tiba-
tiba, dari antara pohon-pohon kembang muncul satu orang. Baru saja ia niat menyingkir,
orang itu sudah
menanya dengan suara nyaring: "Kau belum tidur?"
Thian Oe mengawasi dan ia itu adalah Chena, yang kepalanya dibungkus dengan
sutera putih, sedang kedua matanya yang jeli bersinar terang dalam malam yang remang-remang
itu dan pada mulutnya tersungging meseman yang sukar dijajaki.
"Terima kasih buat budimu yang beberapa kali sudah menolong jiwaku," katanya
sembari mesem. "Cuma sayang besok kau sudah harus berlalu dari sini."
"Hm," kata Thian Oe. "Apa kau juga dengar pembicaraan yang barusan?"
Chena manggutkan kepalanya dan berkata: " Menurut Thianlie tjietjie, jiwanya
gurumu berada dalam bahaya, jika ia teruskan niatannya buat merampas guci emas itu. Ia bilang,
kau haruslah berlaku hati-hati."
Thian Oe terkejut. "Aku sungguh tidak mengerti persoalan ini," kata ia. "Barang
apakah adanya guci emas itu yang mau direbut?"
"Apa kau belum pernah dengar halnya guci emas itu?" menegasi Chena.
"Belum," jawab Thian Oe. Chena kerutkan alisnya dan paras mukanya berobah jadi
sungguhsungguh sekali. "Apakah kau tahu, bahwa Dalai Lama, Panchen Lama, Hutuketu dan lain-lain Budha
hidup semuanya menjalankan lahir mengulang (reinkarnasi) ?"" tanya Chena dengan suara
perlahan. Sebagai orang yang menjadi besar di Tibet, Thian Oe tentu saja mengetahui
kepercayaan itu.
Ia menggutkan kepalanya dan Chena berkata pula: "Oleh karena dalam soal
reinkarnasi ini seringsering
timbul percekcokan, maka kaizar Tjeng mengirimkan sebuah guci emas buat
mengakhiri segala pertentangan. Manakala timbul percekcokan, maka Naichung yang berhak
harus menulis nama-namanya semua calon di atas sepotong kertas yang sesudah digulung, dikasih
masuk ke dalam guci emas itu. Kemudian, di hadapan orang banyak diambillah salah satu
gulungan kertas
dan calon yang namanya kena diambil dianggap sebagai Budha hidup yang tulen. Aku
dapat dengar, guci emas itu sudah dikirim dari Pakkhia dan setibanya di Lhasa akan
disambut secara
besar-besaran oleh Dalai Lama dan lain-lain pembesar, akan kemudian ditaruh
dalam Gereja Pusat
di Lhasa. Dengan demikian, guci tersebut akan menjadi semacam benda suci yang
sifatnya abadi.
Kau tentu mengerti, bahwa pengiriman barang yang begitu penting tentu saja bakal
dilindungi oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi. Maka itu, bukankah gurumu
seperti mau antarkan jiwa, jika ia coba merampasnya?"
Thian Oe tadinya niat menanya, cara bagaimana Chena bisa mengetahui persoalan
itu. Akan tetapi mengingat gadis tersebut adalah puterinya Raja muda Chinpu, Thian Oe jadi
urungkan niatannya. Ayahnya Thian Oe adalah seorang pembesar yang dikirim oleh Kaizar Kianliong ke
Tibet sebagai Amban. Walaupun hatinya merasa tidak puas terhadap bangsa Boan, akan tetapi ia
merasa, tindakannya kaisar Boan di ini kali tidaklah boleh terlalu disalahkan, sebab
sedikitnya dapat
menyingkirkan segala pertentangan di Tibet. Maka itu, ia tidak mengerti sebab
apa gurunya niat
rampas guci emas tersebut.
"Kita orang Tibet paling memuja Budha hidup," kata lagi Chena sesudah menghela
napas panjang. "Jika orang Han bikin rusak guci emas itu atau merampas benda suci
kita, maka permusuhan antara bangsa Tibet dan Han akan jadi semakin dalam. Aku dengar, di
antara kau orang Han terdapat sejumlah pendekar yang merasa kuatir, bahwa sesudah menerima
guci emas itu, pemerintahan yang berdasarkan keagamaan di Tibet akan jatuh di bawah
perintahnya kerajaan Tjeng dan Tibet akan jadi semacam jajahannya bangsa Boan. Dari sebab
begitu, mereka

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati-matian mau merampas guci emas itu. Cuma aku kuatir, maksud yang baik itu
akan dianggap sebagai maksud jahat oleh orang Tibet. Maka itu, aku rasa lebih baik kau bujuk
supaya gurumu batalkan niatannya."
"Adatnya guruku sangat luar biasa dan sebagai murid baru, cara bagaimana aku
berani membuka mulut?" kata Thian Oe.
Kedua orang muda berdiam buat beberapa lama. "Chena," kata Thian Oe. "Cara
bagaimana kau jadi bermusuhan dengan Touwsoe di Sakya?" Baru saja ucapkan perkataan itu, Thian
Oe lantas merasa menyesal sebab kuatir ia sudah melewati batas kesopanan.
Tapi Chena kelihatannya tidak merasa tersinggung. "Kau sudah menolong jiwaku
dalam rumahnya Touwsoe, maka biarpun kau tidak menanya, aku seharusnya memberitahukan
padamu," katanya dengan suara perlahan. "Biarlah sekarang aku tuturkan satu
cerita, yang selainnya Thianlie tjietjie, kau adalah orang kedua yang pernah mendengar ini.
"Dahulu, yaitu pada jaman kerajaan Tong, suku Tukuhun (daerah Koko Nor) telah
menyerang Tibet. Satu panglima Tibet yang gagah perkasa sudah berhasil pukul mundur musuh
yang menyerang itu. Tak lama kemudian, raja Tibet mengadakan pesta pernikahan besar
dan permaisurinya adalah Puteri Boenseng dari Kaisar Tong. Dengan menggunakan
kesempatan itu sang raja memberi hadiah kepada mereka yang berjasa. Panglima yang sudah pukul
mundur serangan Tukuhun adalah orang yang paling berjasa, maka Raja Tibet menghadiahkan
ia sebidang tanah yang luasnya ditentukan dengan larinya seekor kuda dalam tempo seharian.
Panglima tersebut tersohor mahir dalam ilmu menunggang kuda dan sepanjang cerita, dalam
tempo seharian kudanya dapat melalui satu lingkaran dari 5000 li lebih. Tanah yang
seluas itu segera
dihadiahkan kepadanya dan ia diberi pangkat Hoan-ong (raja muda). Panglima
tersebut adalah
leluhurku. "Tanah dan pangkat itu dipegang turun menurun. Ayahku adalah turunan yang ke 50.
Ia berkuasa atas empat Touwsoe, antaranya Touwsoe di Sakya yang mempunyai pengaruh
paling besar. Isterinya Touwsoe Sakya itu adalah puterinya paman misananku. Lantaran
adanya hubungan pangkat dan hubungan keluarga, maka kedua keluarga bergaul dengan
sangat rapat. "Ayahku suka sekali berburu. Siapa nyana, pada satu hari ketika sedang mengubar
seekor rase bulu emas, kepalanya kebentur cabang pohon dan ia terguling dari kudanya akan
terus meninggal
dunia. "Aku tak mempunyai saudara lelaki, maka setelah diadakan perundingan, telah
disetujui bahwa
kedudukan ayahku harus diwarisi kepada pamanku, dan jika sang paman meninggal
dunia, kepada saudara-saudara misananku.
"Tapi siapa kira beberapa kejadian ajaib terjadi dengan beruntun. Pertama,
sehabis minum semangkok susu kuda, badan pamanku mendadak pada matang biru dan bengkak-bengkak
dan meninggal dunia tidak lama kemudian. Sesudah itu, beberapa saudara misananku
dengan beruntun meninggal secara luar biasa sekali. Badan mereka pada matang biru,
sedang darah keluar dari lubang mulut, kuping, hidung dan sebagainya. Orang-orang tua bilang,
kejadian ini adalah akibat gangguan setan memedi, maka sekeluarga kita pada mengumpat dalam
sebuah gereja yang terletak di dalam pekarangan gedung. Sebuah kunci besar dipasang
diluar gereja dan
di seputar tembok disebarkan kapur. Katanya, penjagaan itu dapat menahan
masuknya kawanan
setan. Ah, sungguh menakutkan hari-hari yang seram itu!"
Thian Oe bergidik. Keindahan alam yang terbentang di depannya segera juga
berobah jadi pemandangan yang menyeramkan.
"Demikianlah saudara-saudara misananku satu persatu binasa secara mengerikan
itu," Chena
lanjutkan penuturannya. "Aku ingat, itu hari, saudara misananku yang terakhir,
yang baru saja berusia tiga tahun, juga tidak terluput dari kebinasaan. Bukan main rasa
takutku. Aku merasa,
bahwa aku sendiri pun tidak akan hidup lama lagi di dalam dunia. "Hari itu
adalah hari Hoeihoentjee 81 ayah. Sebenarnya satu sembahyangan harus dibikin dalam gedung
raja muda, akan tetapi, berhubung dengan terjadinya kejadian-kejadian hebat, kami tidak
berani mengisar
dari dalam gereja, sedang orang luar pun tak berani datang di rumah kita.
"Tapi masih ada satu orang yang tidak takut. Orang itu adalah koekoe-ku (paman,
saudara lelaki dari ibu) yang bernama Lochu. Apa kau pernah dengar namanya?"
"Ya," menyahut Thian Oe. "Ayah kata, ia adalah orang gagah nomor satu di bawah
perintahnya Chinpu. Menurut katanya soehoe, ia adalah seorang kenamaan dari Thianliong pay."
"Ilmu kepandaian koekoe sangat tinggi," kata Chena sambil manggutkan kepalanya,
"Ia juga tidak takuti segala setan memedi. Hari itu ia kebetulan datang dan turut
bersembahyang pada
malam itu. "Hatiku selalu ketakutan. Biasanya setiap malam aku tidur bersama ibu di satu
kamar. Tapi malam itu, koekoe yang temani aku, sedang ibu mau menjaga meja sembahyang sampai
jam lima pagi bersama dua dayang.
"Malam itu aku tak dapat pulas. Saban kesiuran angin atau bergoyangnya rumput
membuat aku kaget dan menduga kedatangannya roh ayah. Aku ingat, bahwa semasa hidupnya ayah
sangat mencintai aku, dan sekarang, sesudah menjadi roh halus, ia haruslah menjaga aku,
menjaga juga ibuku, supaya kita jangan diganggu oleh segala setan keliaran.
"Jam tiga sudah lewat dan jam empat menyusul. Semua bujang sudah pada tidur,
sehingga keadaan jadi sunyi senyap, sedang di luar cuma kedengaran suara ketak-ketiknya
sang lonceng. Dalam kamar terdapat dua pembaringan kayu. Aku tidur di pembaringan sebelah
dalam, sedang koekoe di pembaringan sebelah luar. Aku mengintip dari sela-sela pintu dan lihat
api lilin bergoyang-goyang. Mengingat seramnya keadaan diluar, aku mau teriaki ibu supaya
masuk saja ke dalam buat temani aku. Tapi sebelum dapat buka suara, api lilin mendadak
padam semuanya!
"Berbareng dengan itu, aku dengar teriakan ibu yang membikin bulu badanku jadi
berdiri. Tibatiba
koekoe membentak sembari menjotos, sehingga tiang ranjang sempal. Sekarang aku
dapat lihat, satu bayangan hitam sudah bertempur seru dengan koekoe.
"Sesudah bertempur beberapa lama, koekoe desak dia keluar kamar dan mereka terus
berkelahi dengan hebatnya. Setiap pukulan mengeluarkan deruan angin dan mataku
tak dapat membedakan, yang mana koekoe, yang mana musuh. Perabot rumah tangga banyak yang
hancur lantaran kepukul atau ketendang. Tiba-tiba aku dengar teriakan koekoe yang
menyeramkan. Semangatku terbang, hampir-hampir aku pingsan, sebab duga koekoe kena
dirobohkan. Tapi,
sesudah teriakan itu, keadaan jadi sunyi kembali. Aku buka kedua mataku dan
merasa satu orang
usap-usap kepalaku."
"Apa koekoe?" Thian Oe menanya tanpa merasa.
Chena tarik napas panjang dan menyahut: "Benar, ia adalah koekoe. Napasnya
sengal-sengal dan suaranya gemetar waktu ia berkata: "Chena, aku... Lekas ikut padaku." Ketika
itu, aku sudah jadi begitu ketakutan, sehingga kedua kakiku menjadi lemas. Koekoe pondong aku
dan berjalan keluar. "Mana ibu" Ajaklah ibu bersama-sama," kata aku. Koekoe tidak menjawab.
Ia buka pintu gereja dan lantas loncat ke atas punggung kuda, yang lantas dikaburkan secepat
bisa. Belakangan
aku baru tahu, bahwa ibu dan dua dayang semuanya binasa dalam tangannya
pembunuh. Si pembunuh sebenarnya maui juga jiwaku, dan kalau tidak ada koekoe, sekarang aku
tentu sudah tidak hidup lagi. Koekoe terus kaburkan kudanya dan dalam tempo semalaman sudah
melalui lebih dari dua ratus li. Disitu barulah ia memberitahukan aku, bahwa paman dan
saudara-saudara
misanan semua binasa dalam tangannya pembunuh itu, yang mempunyai semacam ilmu
pukulan sangat beracun yang dinamakan Tjit-im tjiang. Siapa yang kena pukulan itu,
sekujur badannya
lantas matang biru dan dari lubang-lubang tubuhnya mengeluarkan darah! Tak usah
dibilang lagi, si korban tidak akan dapat ditolong jiwanya. Dengan taruhkan jiwanya, koekoe
lawan pembunuh itu, yang dapat juga dipukul mundur, tapi koekoe sendiri sudah kena satu
pukulannya. "Semangatku rasanya terbang dan buru-buru tanya bagaimana baiknya. Koekoe
menerangkan, bahwa lantaran mempunyai tenaga dalam yang cukup kuat, maka ia masih bisa tahan
tujuh hari lamanya. Koekoe dengar, di pegunungan Nyenchin Dangla terdapat satu telaga
Thian-ouw dan di
pinggir telaga tersebut hidup seorang dewi. Sepanjang cerita, air suci dari
telaga tersebut dan
bunga Mantolo yang tumbuh di atas gunung dapat mengobati macam-macam penyakit.
Lantaran tidak terdapat lain jalan lagi, dengan tidak perdulikan benar atau tidaknya
cerita itu, sambil
mendukung diriku, koekoe panjat gunung
Nyenchin Dangla. Waktu matanya melihat air telaga, mendadak koekoe keluarkan
teriakan dan jatuh pingsan, mungkin lantaran lukanya dan kecapaian, tercampur dengan perasaan
girang sudah bisa sampai di telaga tersebut. Sembari menangis, aku coba bikin sadar padanya.
Lantaran lapar dan lelah, sesudah menangis beberapa lama, aku pun jatuh pingsan.
"Tak tahu sudah selang berapa lama, perlahan-lahan aku jadi sadar. Koekoe sudah
tidak berada disitu, tapi di hadapanku berdiri seorang wanita yang parasnya cantik sekali.
Aku menduga, ia itu
tentu sang dewi yang bertempat tinggal di pinggir telaga. 'Sianlie tjietjie,
mana koekoe-ku"' aku
menanya. Ia mesem dan menyahut: 'Apa ia koekoe-mu" Aku bukannya dewi. Aku she
Koei bernama Peng Go. Orang luar namakan aku sebagai Pengtjoan Thianlie.' Mendengar
begitu, aku segera berkata kembali: 'Kalau begitu, Thianlie tjietjie, dimanakah adanya
koekoe"' 'Aku belum
pernah permisikan orang luar naik disini, maka itu aku sudah usir koekoe-mu ke
bawah gunung,' jawab Pengtjoan Thianlie. Kembali aku menangis keras. 'Jangan nangis,' ia
membujuk. 'Aku sudah
obati lukanya koekoe-mu dan sekarang jiwanya sudah ketolongan. Kalau bukannya
begitu, cara bagaimana ia bisa turun dari gunung ini"' Aku merasa heran mendengar cara-
caranya Thianlie
tjietjie, yang sesudah menolong, lalu mengusir koekoe. 'Thianlie tjietjie apakah
kau akan usir juga
diriku"' aku menanya. Waktu itu, aku tidak mengerti barang sedikit ilmu silat,
sehingga kalau benar diusir, aku tentu mesti binasa, kalau tidak lantaran terpleset jatuh,
tentu juga lantaran
kelaparan. "Pengtjoan Thianlie kembali mesem dan berkata dengan suara halus: 'Aku dan kau
ada berjodoh, maka aku bersedia buat menahan dirimu untuk sementara waktu.'
Belakangan aku baru
mendapat tahu, bahwa Thianlie tjietjie belum pernah bergaul dengan orang luar
dan ia ingin sekali
mengetahui keadaan dalam dunia. Selainnya itu, ia juga merasa senang terhadapku
sebab mataku mirip sekali dengan matanya. Itulah sebabnya, maka ia sudi menahan aku."
Mendengar begitu, Thian Oe segera awasi kedua matanya Chena yang bundar dan
besar, dengan kedua biji mata yang warnanya sedikit blau. Kalau biji mata itu sedang
memain, orang seperti juga melihat dua gumpalan air perak putih yang memeluk dua titik hitam,
sedang bergulikan ke kiri-kanan. Sungguh indah kedua mata itu dan benar mirip dengan
matanya Pengtjoan Thianlie.
Diimplang dengan mata tajam oleh Thian Oe, paras mukanya Chena jadi bersemu
merah. "Lantaran lihat ia bersikap ramah tamah, aku segera berdiam padanya dan
ceritakan segala asalusulku,"
kata lagi Chena sembari tundukkan kepala.
"Belakangan bagaimana?" tanya Thian Oe.
"Biarpun ia belum mengasih lihat kepandaian luar biasa, aku sudah merasa,
Pengtjoan Thianlie
bukannya sembarang orang," kata lagi Chena. "Aku segera memohon buat menjadi
muridnya, tapi ia mengatakan ia selamanya tidak suka campur urusan dunia dan tidak ingin
menjadi guru. Sesudah aku memohon berulang-ulang, ia berkata: 'Baiklah, lantaran aku merasa


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasihan akan nasibmu, sebagai seorang saudara, aku akan turunkan pelajaran ilmu silat secara
lisan kepadamu,
buat tiga hari lamanya. Berapa banyak pelajaran kau bisa dapat selama tiga hari
itu, tergantung
atas untungmu.' Demikianlah ia lalu turunkan pelajaran ilmu silat secara lisan
kepadaku. Sebulan
lamanya aku berdiam dalam keraton Thianlie tjietjie, dimana diam-diam aku
berlatih di bawah
petunjuk para dayangnya. Dalam tempo yang sangat pendek itu, benar saja aku
sudah mendapat kemajuan yang sangat besar. Sebetulnya Thianlie tjietjie masih mau menahan
padaku, tapi lantaran hatiku sangat ingin membalas sakit hati secepat mungkin, maka, tanpa
mendengar nasihatnya, aku lalu turun gunung. Dan tak dinyana, benar saja ilmu silatku
masih terlalu rendah,
sehingga bukan saja aku sudah gagal dalam percobaan membalas sakit hati, tapi
juga hampirhampir
jiwaku sendiri turut melayang."
Harus diketahui, bahwa ilmu silatnya Chena pada ketika itu, sudah terhitung
tinggi. Ilmu entengi badannya sudah berada di sebelah atasan Thian Oe. Mendengar penuturan
itu, hatinya Thian Oejadi kagum sekali. "Ia cuma belajar tiga hari, tapi ilmunya sudah begitu
tinggi," kata
Thian Oe dalam hatinya. "Dari sini bisa dilihat, bahwa kepandaiannya Pengtjoan
Thianlie sungguhsungguh
sukar diukur bagaimana dalamnya. Dan kecerdasannya Chena mungkin sukar dicari
keduanya dalam dunia ini."
"Sesudah turun gunung barulah aku mendapat tahu, bahwa segala kebencanaan dalam
keluargaku adalah perbuatannya Touwsoe di Sakya," demikian Chena teruskan
penuturannya. "Sesudah peristiwa hebat pada malam itu, kapan ibuku binasa dan aku sendiri
hilang, sedang sang
paman dan saudara-saudara misanan sudah binasa terlebih dahulu, maka di antara
keluarga dekat, sudah tidak ada orang lagi yang berhak mewarisi kedudukan Raja muda
Chinpu. Pada besokan harinya, dengan membawa satu pasukan tentara, Touwsoe Sakya angkat paman
misananku (yang bukan lain dari mertua sang Touwsoe) menjadi raja muda. Orang-
orang sekaumku tidak ada yang berani membantah lantaran takuti pengaruh dan
kekuasaannya yang
besar. Paman misananku sudah berusia 60 tahun lebih dan adalah ibarat api lilin
di tengah-tengah
angin. Touwsoe Sakya segera perintah anak lelakinya yang sulung menjadi Chiepa
(semacam kuasa). Secara merdu dikatakan, bahwa sang cucu membantu kakek, akan tetapi
sebenarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
benarnya si cuculah yang menjadi raja muda dan sudah rampas banyak sekali
tanahnya Raja muda Chinpu. Mendengar itu, aku tak dapat menahan sabar lagi. Bagaimana
buntutnya sudah
diketahui olehmu, sehingga aku tak perlu menuturkan lagi."
"Apa Pengtjoan Thianlie meluluskan buat turunkan lagi ilmu silatnya kepadamu?"
tanya Thian Oe. "Ia sudah meluluskan buat mengajar lagi tiga hari lamanya," jawab Chena "Sesudah
itu, apa aku mampu membalas sakit hati atau tidak, adalah urusanku sendiri."
"Biarlah aku saja yang balaskan sakit hatimu," kata Thian Oe dengan suara
terharu. Chena mesem dan berkata: "Apa" Terima kasih banyak buat kebaikanmu. Cuma saja,
buat balas sakit hatinya orang tua, kalau bukan terlalu terpaksa, aku tidak mau
pinjam tangannya
orang lain. Selainnya itu, Touwsoe di Sakya mempunyai banyak sekali orang
pandai, antaranya itu
pembunuh yang mempunyai ilmu Tjit-im tjiang. Dengan ilmu silat yang dipunyai
oleh kau dan aku,
biarpun kita belajar lagi tiga sampai lima tahun, aku rasa belum tentu dapat
menandingi dia."
Mengingat kepandaiannya yang masih sangat rendah dan sudah keluarkan omongan
besar, Thian Oe jadi merasa jengah sekali.
Di bawah sinarnya sang rembulan, Thian Oe dapat lihat sorot sangat berterima
kasih dalam kedua matanya Chena yang jeli. "Bukankah besok kau akan ikut gurumu berlalu dari
sini?" ia tanya
dengan suara perlahan.
Hatinya Thian Oe bergoncang. "Benar, besok aku sudah mesti berlalu," katanya
dengan suara serak. Tapi baru ia habis ucapkan perkataannya, di sebelah kejauhan mendadak
terdengar bentakannya Thiekoay sian.
Keraton kristal dari Pengtjoan Thianlie adalah keraton yang transparan dan
terang benderang.
Jauh di tengah-tengah taman terlihat dua bayangan orang yang sedang bertempur
hebat. Satu antaranya yang bersenjata tongkat besi, yang diputar seperti titiran cepatnya,
adalah Thiekoay
sian. Yang satunya lagi berbadan tinggi besar, seperti juga bukan badannya orang
Han, dan memakai jubah pertapaan yang berwarna merah. Di antara sinar rembulan yang
seperti perak, warna merah itu kelihatan menyolok sekali, seakan-akan segumpal awan merah yang
memain di antara awan-awan putih.
"Dengan dapat panjat sungai es dan bisa masuk ke dalam keraton ini,
kepandaiannya orang itu
mestinya tinggi sekali," kata Thian Oe dalam hatinya dengan perasaan kaget.
"Peraturan Thianlie tjietjie ada sangat keras, tapi kenapa ia belum juga keluar
dan biarkan orang itu bikin ribut dalam keratonnya?" kata Chena dengan suara heran.
Chena kenal baik jalanan dalam keraton. Sesudah bulak-belok bersama-sama Thian
Oe mereka tiba dalam taman di depannya keraton dengan ukiran kuda emas. Orang yang sedang
berkelahi sama Thiekoay sian adalah satu Hoantjeng (pendeta asing), yang hidungnya
berpatok, mulutnya
lebar dan romannya jelek sekali. Ia bersenjata sianthung (tongkat pertapaan)
yang banyak lebih
kecil dari tongkatnya Thiekoay sian, tapi yang dengan mudah dapat punahkan
sesuatu serangan.
Tidak jauh dari situ, di kaki satu gunung-gunungan, berdiri dua orang lain yang
mulutnya menggerendeng sembari rangkap kedua tangannya. Mereka itu adalah kedua boesoe
Nepal yang kita sudah kenal.
Thian Oe merasa heran sekali, kenapa kedua boesoe itu, yang kelihatannya sangat
memuja Pengtjoan Thianlie, berani ikut si pendeta masuk ke dalam keraton tanpa permisi.
"Dua boesoe itu
memanggil Koksoe (Guru negara) kepada si pendeta," berbisik Chena.
"Mereka kata apa?" tanya Thian Oe.
"Aku pun tak dengar terang. Rupa-rupanya mereka sedang membujuk supaya si Koksoe
jangan berkelahi terus." jawab Chena.
Semakin berkelahi, Thiekoay sian jadi semakin bersemangat. Tongkatnya terputar
bagaikan titiran yang kurung badannya si pendeta, dan pada saat-saat beradunya kedua
tongkat, sang kuping menjadi pengeng lantaran kerasnya suara.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih 50 jurus. Makin lama
Thian Oe jadi makin heran. Suara beradunya tongkat ada cukup keras buat bikin sadar orang
yang tidur bagaimana nyenyak pun. Tapi, bukan saja Pengtjoan Thianlie, malahan sang dayang
pun tidak kelihatan mata hidungnya.
"Chena," kata Thian Oe yang sudah tidak dapat menahan sabar lagi. "Perlukah
panggil kau punya Thianlie tjietjie?"
"Gerak-geriknya Thianlie tjietjie sangat luar biasa," jawab Chena. "Sekarang ia
belum keluar, tentulah juga ada sebab lain."
Tiba-tiba kedua tongkat beradu luar biasa kerasnya, sehingga membikin pengeng
kupingnya Thian Oe dan Chena. Di lain saat, si pendeta sudah bersila di atas tanah, sedang
sianthung-nya digoyang-goyang dengan perlahan. Dengan kumis yang berdiri, Thiekoay sian
menubruk dan menghantam dengan sepenuh tenaga.
Melihat begitu, Thian Oe jadi girang dan berkata dalam hatinya: "Sekarang tak
perlu lagi bantuannya Pengtjoan Thianlie. Manusia itu sudah bukan tandingannya guruku
lagi." Tapi ia tidak tahu, justru pada saat itu gurunya berada dalam keadaan kejepit.
Sebagai murid kepala dari Kam Hong Tie, tenaga dalamnya Thiekoay sian tidak ada tandingannya,
baik di sebelah
selatan, "maupun di sebelah utara Sungai Besar. Tapi tak nyana, berhadapan
dengan pendeta asing itu, ia tidak bisa mendapat angin. Ia menyerang sehebat-hebatnya dengan
menggunakan tenaga Kimkong Toalek, akan tetapi semua serangannya dengan gampang dapat
dipunahkan oleh
si pendeta Dua puluh tahun lebih Thiekoay sian malang melintang dalam dunia Kangouw, dan
inilah buat pertama kali ia bertemu musuh yang tangguh, sehingga dengan terpaksa, ia mesti
gunakan juga Hokmo Tianghoat (Ilmu silat tongkat takluki iblis).
Hokmo Tianghoat adalah gubahan Tokpie Sinnie (Malaikat Wanita Lengan Satu,
gurunya Delapan Pendekar Kanglam) dan kemudian dipelajari dan ditambah lagi oleh Liauw
In Hweeshio. Ilmu tongkat tersebut mempunyai 108 jalan dan setiap pukulan mempunyai tenaga
yang seribu kati beratnya. Selainnya itu, kepala dan ujung tongkat juga dapat digunakan buat
menotok jalanan
darahnya musuh. Ilmu silat tersebut luar biasa liehaynya, tapi juga sangat
memakan tenaga dalam. Sesudah bersilat habis 108 jalan, orang mesti mengasoh sedikitnya tiga
hari buat dapat
pulang lagi tenaganya. Itulah sebabnya kenapa Thiekoay sian jarang sekali
menggunakan Hokmo
Tianghoat itu. Sekarang dengan terpaksa ia gunakan juga! Mendadakan saja, sang tongkat
menyambarnyambar
bagaikan hujan dan angin dan benar saja si pendeta menjadi ripuh. Thiekoay sian
segera kerahkan tenaga dalam yang lebih besar buat hantam jatuh padanya. Tiba-tiba si
pendeta terputar
dan lantas bersila di atas tanah sambil meremkan mata dan tundukkan kepalanya,
seperti juga orang lagi bersemedhi, sedang tongkatnya digoyang-goyang dengan perlahan.
Thiekoay sian adalah seorang yang berpengalaman, tapi melihat begitu, hatinya
jadi terkejut. "Apa maunya dia?" ia tanya dalam hatinya.
Di lain saat, ia rasakan serangan-serangannya kena ditutup dan satu tenaga yang
sangat besar terasa menolak dirinya. Semakin hebat ia menghantam, semakin besar lagi tenaga
yang menolak itu. Tongkatnya si pendeta yang digoyang-goyang dengan perlahan merupakan satu
tembok tembaga yang tak dapat ditembuskan dengan serangan apapun juga.
Thiekoay sian terkesiap dan menyerang semakin gencar. Dalam sekejap ia sudah
gunakan habis 36 jalan yang pertama. 108 jalan Hokmo Tianghoat dipecah jadi tiga bagian.
Bagian pertama, yang terdiri dari 36 jalan, adalah serangan-serangan hebat yang
menggunakan tenaga
Kimkong. Kalau ini tidak berhasil, lantas menyusul bagian kedua, yang juga terdiri dari
36 jalan. Pukulanpukulan
dari bagian kedua ini semuanya dikeluarkan dengan menggunakan tenaga lweekeh
(tenaga dalam) yang sejati, dan hebatnya bukan kepalang, sehingga satu batu
besar bisa hancur
lebur kalau kena pukulan itu. Pukulan-pukulan dari bagian pertama semuanya
mengeluarkan suara
angin yang keras, tapi pukulan-pukulan bagian kedua sama sekali tidak
menerbitkan suara,
sehingga jadi lebih sukar dijaganya. Tapi sungguh heran, biarpun ia meremkan
mata dan tundukkan kepala, bebokongnya si pendeta seperti juga ada matanya, sehingga
tidak perduli pukulan Thiekoay sian datang dari mana, ia selalu dapat mengebas dengan
tongkatnya. Selainnya
begitu, tenaga yang menolak juga jadi bertambah besar dan beberapa kali hampir-
hampir tongkatnya Thiekoay sian terlepas dari tangannya!
Ilmu yang digunakan oleh si pendeta adalah ilmu Yoga dari India, yang dicampur
dengan ilmu silat Djioekang (ilmu silat lembek) dari cabang silat Bittjong di Tibet.
Djioekang ini juga adalah
satu ilmu silat lweekeh yang sangat tinggi, tapi berbeda dengan lweekeh dari
Tiongkok asli. Orang yang mempelajari Djioekang, paling terutama harus melatih isi perutnya
Kalau ilmunya sudah tinggi, ia bisa dimasukkan di dalam peti yang kemudian direndam dalam
laut, dan sesudah
tiga hari diangkat lagi, ia masih hidup seperti biasa. Yang paling sukar
dipelajari adalah
menghentikan jalannya
pernapasan. Orang yang sudah berlatih sampai di puncak itu, badannya seperti
juga badan dewa yang tidak bisa rusak.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmunya si pendeta belum sampai pada puncaknya, akan tetapi, dibanding dengan
tenaga Thiekoay sian, ia sudah menang seurat. Ilmu yang dikeluarkan oleh si pendeta
memerlukan kedudukan sila buat mengerahkan napas, yang semakin lama mengeluarkan tenaga
semakin besar. Itulah sebabnya, walaupun Hokmo Tianghoat makin lama jadi makin hebat,
tapi masih terus dapat dipukul mundur oleh tenaga dalamnya si pendeta.
Dengan cepat, 36 jalan yang kedua juga sudah digunakan hampir habis. Di atas
kepalanya Thiekoay sian sudah kelihatan keluar uap putih, tapi Pengtjoan Thianlie belum
juga muncul. Melihat begitu, hatinya Thiekoay sian jadi berdongkol. "Kalau begitu, buat apa
aku campur urusannya?" kata ia dalam hatinya. Memikir begitu, ia ambil putusan buat tidak
keluarkan bagian
ketiga dari Hokmo Tianghoat dan sembari sabetkan tongkatnya, ia niat loncat
keluar dari gelanggang. Tapi siapa nyana usaha itu tidak berhasil! Sianthung si pendeta jubah merah
seperti juga mempunyai tenaga menghisap dan ia tidak dapat loloskan diri!
Kaget dan gusarnya Thiekoay sian teraduk menjadi satu. Buru-buru ia kerahkan
tenaga dalam dan kebas tongkatnya, yang bisa bergoyang tapi tidak bisa copot sebab tenaga
yang menghisap jadi semakin kuat. Maka itu, Thiekoay sian tak dapat berbuat lain daripada
tambah tenaganya buat
layani lawanan itu dan kemudian keluarkan bagian ketiga dari Hokmo Tianghoat.
Bagian ketiga inilah yang paling memakan tenaga dalam. Thian Oe lihat pukulan-
pukulan kedua lawanan itu jadi semakin perlahan. Si pendeta masih terus meremkan mata dan
tundukkan kepala,
tapi sekarang uap putih juga sudah muncul di atas kepalanya, sedang napasnya
mulai sengalsengal.
Tapi keadaan gurunya ada terlebih menyedihkan. Pakaiannya Thiekoay sian sudah
cipruk dengan keringat yang terus mengetel-ngetel sebesar kacang. Saban kali gerakkan
tongkatnya, buku-buku tulangnya kedengaran peratak-perotok.
Biarpun Thian Oe belum mengerti ilmu silat tinggi, tapi ia tahu keadaan gurunya
sudah kepayahan. Lewat beberapa saat lagi, si pendeta mendadak buka kedua matanya dan membentak:
"Roboh kau!" Thiekoay sian sempoyongan dan badannya bergoyang-goyang. Ia kertek giginya,
tongkatnya membuat setengah lingkaran dan terus menindih ke jurusan bawah. "Belum tentu aku
roboh!" kata ia. Waktu itu Thiekoay sian menyerang dengan pukulan yang ke 96, yaitu
Hangliong Hokhouw (Pukulan takluki naga dan macan), dan Seantero tenaga dalamnya
dipusatkan kepada
kepala tongkat.
Si pendeta mesem tawar dan berkata: "Apa kau mau cari mampus?" Ia lantas angkat
sianthung-nya ke atas dan bentur tongkatnya Thiekoay sian. Sungguh aneh,
tongkatnya Thiekoay
sian yang sebesar mangkok lantas melengkung dengan perlahan!
Mukanya Thiekoay sian jadi pias. Mendadak, dengan satu suara "trang!",
tongkatnya Thiekoay
sian terpisah dari tempelan tongkat lawannya, sedang si pendeta loncat mundur
beberapa tindak,
tongkatnya diturunkan ke bawah dan ia berdiri dengan sikap hormat. Thian Oe
heran sungguh melihat perubahan yang begitu mendadak.
Waktu menoleh, ia segera tahu sebabnya. Dengan memakai jubah sutera putih,
Pengtjoan Thianlie kelihatan muncul dari antara pohon-pohon kembang dengan tindakan
perlahan, sedang di
dampingnya kelihatan isterinya Thiekoay sian, Gobie Liehiap Tjia In Tjin.
Sembari keluarkan
teriakan perlahan, Tjia In Tjin loncat dan pegang tangan suaminya. Dengan
berpegangan tangan,
mereka berdua lalu bersila di atas tanah sambil jalankan napasnya.
Pengtjoan Thianlie tertawa dingin. Setindak demi setindak, ia menghampiri. Kedua
boesoe Nepal itu ketakutan sekali. Sembari rangkap kedua tangannya, mereka berlutut dan
meratap seperti juga sedang memohon ampun.
Sambil cekal tongkatnya, si pendeta juga memberi hormat dan keluarkan sehelai
firman warna kuning dari kantongnya dan ucapkan beberapa perkataan.
Chena keluarkan suara kaget dan berbisik di kupingnya Thian Oe: "Ini Hoantjeng
menggunakan panggilan puteri terhadap Thianlie tjietjie dan minta ia menerima firman.
Sungguh mengherankan."
Pengtjoan Thianlie terima firman itu, yang sesudah dibaca selewatan lantas
dipulangkan lagi.
Mukanya si pendeta jadi merah dan ia ketruk tongkatnya di atas tanah. "Kita
orang tidak bisa
biarkan guci emasnya Kaizar Tjeng tiba di Lhasa," kata ia dalam bahasa Nepal.
"Raja telah
memerintahkan supaya kau turun gunung buat memberi bantuan. Apakah kau tidak
sudi meluluskan?" Dengan adanya Chena sebagai juru bahasa, Thian Oe juga mengerti apa
yang dikatakan oleh pendeta itu.
Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berobah sedikit, tapi pada bibirnya masih terus
tersungging senyuman. Si pendeta jubah merah kelihatannya mau buka mulut lagi, tapi
Pengtjoan Thianlie
sudah menuding dengan jerijinya dan berkata dengan suara tawar: "Semua orang
menggelinding turun dari gunung ini!"
Di bawah sinar rembulan yang putih dingin, mukanya si pendeta yang barusan merah
sekarang berubah menjadi hijau, sehingga kelihatannya menakuti sekali! "Lihatlah,
lantaran malu ia jadi
gusar," berbisik Chena di kupingnya Thian Oe.
Sebagai Koksoe (Guru negara) dari negara Nepal, manalah si pendeta dapat menelan
hinaan itu" Amarahnya meluap luber, sehingga jerijinya jadi gemetar. Mendadak ia dongak
dan tertawa terbahak-bahak akan kemudian menuding sambil membentak: "Kau, kau suruh aku
menggelinding turun" Raja sendiri tak berani berlaku begitu kurang ajar terhadapku!"
"Tak salah," kata Pengtjoan Thianlie. "Aku perintah kau menggelinding turun dari
sini. Habis kau mau apa" Aku sebenarnya sudah beri muka yang sangat besar kepadamu dengan
membiarkan kau masuk ke dalam keraton ini dan menemui aku. Apa kau tidak kenal
puas" Aku sudah bersumpah, bahwa siapapun berani membujuk aku turun gunung, ia itu mesti
berlalu dari sini. Kau pun tak terkecuali."
Si pendeta kembali tertawa berkakakan seperti orang kalap. Ia ketruk lagi
tongkatnya, sehingga
mengeluarkan suara yang sangat nyaring. Sesudah itu ia manggutkan .kepala dan
berkata dengan suara nyaring: "Dari tempat yang jauhnya laksaan li, aku datang disini buat
menemui Paduka Puteri. Memang juga hatiku tidak mengenal kepuasan. Aku dengar ilmu silatnya
Paduka Puteri terhitung nomor satu di daerah Tiongkok dan wilayah Barat. Maka itu, aku
sekarang ingin sekali
dapat menambah pengalaman."
"Apa?" menegasi Pengtjoan Thianlie. Ia tertawa dingin dan tepuk kedua tangannya
sambil berseru: "Kemari!"
Di lain saat, sembilan dayang sudah kelihatan muncul. Pengtjoan Thianlie
dongakkan kepalanya
dan kebaskan tangannya dengan sikap agung. "Usir ini pendeta liar!" ia
memerintah. "Ah, kalau begitu kau tidak sudi turun tangan sendiri?" kata si pendeta. "Dengan
demikian, undanganku yang barusan agaknya terlalu melanggar pri kesopanan. Maka itu,
dengan tidak mengimbangi kebodohan sendiri, aku mohon belas kasihannya Paduka Puteri."
Kedua boesoe Nepal itu ketakutan setengah mati dan membujuk-bujuk supaya Koksoe
nya menyingkir saja, tapi si pendeta tidak meladeni.
Pengtjoan Thianlie ambil sikap acuh tak acuh. Begitu ia kebaskan tangannya,
sembilan dayang
itu lantas kurung si pendeta. Kedua matanya yang angker dan tajam laksana
pedang, kemudian
mengawasi si pendeta yang tanpa merasa lantas mundur beberapa tindak. Sembilan
dayang itu lalu gerakkan tangannya seperti orang menggebah ayam, sehingga si pendeta
menjadi kalap lantaran gusarnya. "Baiklah!" ia membentak. "Biarlah lebih dahulu aku minta
pengajaran dari
dayang-dayangmu dan kemudian barulah minta pengajarannya Paduka Puteri sendiri."
Sebaliknya dari meladeni omongan si pendeta, Pengtjoan Thianlie hampiri Chena
yang lantas dipegang tangannya.
"Perhatikanlah, kiamhoat yang mereka gunakan, semuanya diajarkan olehku," kata
ia dengan suara menyayang. Thian Oe merasa bahwa sikapnya Pengtjoan Thianlie terhadap
Chena benarbenar
seperti sikap seorang kakak terhadap adiknya sendiri dan berbeda seperti langit
dan bumi dengan keangkerannya yang barusan. "Sifatnya Pengtjoan Thianlie benar-benar tak
dapat ditebak," demikian Thian Oe pikir dalam hatinya.
Si pendeta kebaskan tongkatnya dan pasang kuda-kuda, tapi tidak lantas
menyerang, mungkin
sebab mau pertahankan kedudukannya sebagai seorang yang lebih tua.
Apa yang mengherankan adalah pedangnya sembilan dayang yang semuanya seperti
kristal, dan begitu digerakkan, sinar serta hawa dingin menyambar-nyambar sehingga Thian
Oe jadi bergidik. Di lain saat, ia rasakan dirinya seperti juga masuk ke dalam jurang es
dan giginya bercakrukan. Ia lirik Chena dan gadis itu juga ternyata gemetaran sekujur
badannya lantaran
kedinginan. Pengtjoan Thianlie berkata sembari tertawa; "Aku lupa kalian belum dapat lawan
hawa ini. Biarlah kalian menahan buat sementara waktu."
Mendadak, bagaikan kilat jerijinya menotok batang lehernya Thian Oe.
Thian Oe terperanjat, sebab begitu kena, ia rasakan seperti juga kena listrik
dan sekujur badan
jadi kesemutan. Tapi di lain saat, semacam hawa panas naik dari tantian (bagian
pusar) dan mengalir di seluruh badannya. Ia rasakan jantung mengetok keras dan darahnya
mengalir lebih deras, seperti orang habis lari keras. Di luar hawa sangat dingin, tapi badan
berasa panas. Chena
juga sudah mendapat totokan begitu. Ia sudah tidak gemetaran dan kedua pipinya
bersemu merah. Thian Oe pernah dengar penuturan gurunya, bahwa orang yang mempunyai lweekang
(ilmu dalam) sangat tinggi, bukan saja dapat membinasakan manusia dengan totokannya,
tapi juga bisa mengobati penyakit dengan totokan itu. Waktu mendengar itu, ia anggap penuturan
tersebut seperti cerita dongeng. Tapi sekarang, sesudah mengalami sendiri, barulah ia
percaya, bahwa dalam dunia benar-benar ada kepandaian yang sedemikian tinggi.
"Thianlie tjietjie, apakah mereka menggunakan pedang es?" tanya Chena. Ia
menanya begitu sebab sudah pernah lihat Pengtjoan Thianlie robohkan Loei Tjin Tjoe dengan
sebatang pedang es.
Thian Oe juga sebenarnya ingin majukan pertanyaan begitu, maka itu, ia sangat
perhatikan jawabannya Pengtjoan Thianlie.
"Ah, manalah mereka mempunyai kepandaian begitu tinggi?" jawab Pengtjoan
Thianlie sembari
tertawa. "Pedang mereka adalah buatanku sendiri yang diberi nama Pengpok Hankong
kiam (Pedang Roh Es Sinar Dingin). Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu kemala
hangat) yang sudah ribuan tahun tuanya dan merupakan keluaran istimewa dari gunung ini. Batu
kemala tersebut, yang ribuan tahun teruruk es, harus diolah tiga tahun lamanya barulah
menjadi pedang yang demikian. Ituiah sebabnya kenapa kalau digerakkan, pedang tersebut lantas
keluarkan hawa dingin yang sangat hebat. Orang yang belum mempelajari Iweekang yang tinggi
tidak bisa tahan
hawa itu."
Melihat sinar dan merasa hawanya sembilan batang pedang itu, si pendeta jubah
merah juga kelihatannya sangat terkejut. Tapi berkat lweekangnya, ia tidak takuti hawa itu.
Sembilan batang
pedang yang bagian kepalanya bersambung dengan bagian buntut, segera merupakan
satu jala yang bersinar terang dan yang dengan perlahan menjadi semakin ciut.
Pendeta jubah merah tak dapat menahan sabar lagi. Dengan pukulan Lekhoa hongkouw
(Dengan tenaga menggurat perbatasan), sianthung-nya mendorong keluar. Dengan
beberapa suara kerontangan, empat batang pedang beradu dengan tongkat itu. Melihat
tongkatnya yang
mempunyai tenaga ribuan kati, kena ditahan oleh empat dayang itu, hatinya si
pendeta merasa heran. Berbareng dengan itu, empat pedang dari garisan belakang, menikam
bagaikan kilat

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepatnya. Sembari berkelit, si pendeta sampok pedang yang datang dari belakang
dan pentil miring pedang yang datang dari sebelah depan. Tapi dua pedang dari kiri dan
kanan sudah menyambar ke badannya!
"Bagus!" berseru Thian Oe.
"Anak-anak, awas!" Pengtjoan Thianlie berteriak hampir berbareng.
Pada detik itu, ke empat dayang kelihatan loncat dengan berbareng, sedang si
pendeta, sembari membentak keras, menyerang seperti hujan angin dengan tangan dan
sianthung-nya. Ternyata, dengan mahir dalam ilmu Yoga, ototnya si pendeta dapat berobah-robah
menurut sukanya. Pada waktu pedangnya nempel pada jubahnya si pendeta, kedua dayang yang
menyerang dari kiri dan kanan mendadak rasakan ujung pedang mereka terpeleset,
sebab otot pundaknya si pendeta mendadak berubah bentuknya dan jadi lebih besar beberapa
dim. Berbareng dengan itu, si pendeta lalu menyerang dengan tongkat dan tangannya
sembari kerahkan tenaga dalamnya.
Si pendeta sama sekali tidak duga, dayang-dayang itu mempunyai ilmu entengi
badan begitu tinggi. Begitu tongkatnya menyambar, mereka sudah menghilang ke empat penjuru
seperti cecapung menotol air atau kupu-kupu berterbangan di antara bunga-bunga, sebentar
ke kiri sebentar ke kanan, sebentar berkumpul sebentar berpencaran. Beberapa kali ia
kirim pukulanpukulan
hebat, tapi semuanya jatuh di tempat kosong, dan tanpa merasa, ia sendirilah
yang berbalik kena dikepung di sama tengah.
Dengan perasaan sangat berdongkol, ia lalu bersila di atas tanah dengan niatan
menggunakan ilmu yang tadi ia gunakan terhadap Thiekoay sian. Akan tetapi, melayani sembilan
orang sangat berbeda dengan melawan satu orang. Sembilan dayang itu bergerak tak hentinya dan
tikamantikaman pedang mereka selalu ditujukan ke arah jalanan darah yang berbahaya. Oleh karena
ilmu Yoga si pendeta belum sampai pada puncaknya, maka adalah sangat sukar buat ia
menutup semua jalanan darahnya dan berbareng meladeni sembilan lawanan itu. Demikianlah,
menghadapi serangan yang bertubi-tubi, sesudah bersila sementara waktu, ia terpaksa loncat
bangun lagi sembari putar tongkatnya. Sesudah bertempur beberapa gebrakan, ia bersila lagi,
akan kemudian loncat bangun kembali. Kejadian itu terulang sampai beberapa kali, sehingga
kelihatannya lucu
sekali sampai Thian Oe yang tak tahan buat tidak tertawa berkakakan.
Bukan main gusarnya si pendeta mendengar hinaan itu. "Biar aku lukakan dua orang
lebih dahulu," kata ia dalam hatinya sembari loncat bangun dan putar tongkatnya. Ia
mengamuk seperti
kerbau gila, seakan-akan sudah tidak pcrdulikan lagi keselamatannya sendiri dan
turunkan tangannya tanpa sungkan-sungkan lagi. Disurung dengan hawa amarah, bukan main
hebat pukulan-pukulan tongkatnya, sehingga sembilan dayang itu tidak berani menyambut
lagi dan cuma berkelit ke sana-sini. Melihat begitu, Thian Oe jadi terkejut. "Kalau terus
begini, satu dua
orang tentu akan kena terpukul," kata ia dalam hatinya.
Tapi Pengtjoan Thianlie tetap tenang dan pada bibirnya terus tersungging meseman
yang manis. Mendadakan, satu perobahan terlihat dalam barisannya sembilan dayang itu.
Sekarang mereka
berlari-lari di empat penjuru, sebentar berkumpul sebentar berpencaran, dan
gunakan batu-batu
hiasan taman sebagai tameng mereka. Barisan itu berobah-robah bentuknya tak
henti-hentinya,
sehingga matanya orang yang menyaksikan jadi kekunangan. Dengan gerak-gerakannya
yang seperti kilat, itu sembilan dayang berobah seperti ratusan orang, dengan
selendang suteranya
yang berkibar-kibar dan pakaiannya berkelebat-kelebat, sehingga dalam taman itu
seperti juga sedang dipertunjukan tarian "Bidadari Menyebar Bunga."
Thickoay sian sebenarnya sedang bersila sembari meramkan mata dan jalankan
pernapasannya. Dengan adanya perobahan itu, ia buka kedua matanya dan hatinya
merasa sangat heran. Ia heran oleh karena barisannya sembilan dayang itu ada mirip-
mirip dengan barisan Pattintouw dari Tjoekat Boehouw (Tjoekat Boehouw adalah Tjoekat Liang
atau Khong Beng, koensoe Lauw Pie dari jaman Samkok). Cuma mirip dan tidak seluruhnya
bersamaan dengan Pattintouw. Kedudukannya delapan dayang adalah sesuai dengan kedudukan
delapan pintu, yaitu Hioe, Seng, Siang, Touw, Sie, Keng, Kheng dan Kay. Delapan pintu
ini saling bantu
satu sama lainnya. Perbedaan dengan Pattintouw adalah kelebihan satu orang dalam
barisan itu. Dayang yang ke sembilan tidak ikut bergerak. Ia menjaga di sama tengah dan
seperti juga otaknya barisan itu.
Si pendeta juga rupanya mendapat lihat kedudukannya barisan itu, maka ia terus
cecar dayang yang berdiri di tengah buat coba menjatuhkannya. Tapi barisan itu berobah luar
biasa cepatnya.
Begitu ia bergerak ke timur, musuh yang di sebelah barat lantas meluruk. Begitu
ia ke barat, pedang dari sebelah timur dan selatan lantas menyambar.
Biar bagaimanapun juga, ilmu silatnya si pendeta memang ada sangat tinggi. Tanpa
mengenal barisan itu, ia terus mengamuk dan tongkatnya sapu segala apa yang menghadang di
tengah jalan, sehingga banyak gunung-gunungan dan batu-batu hiasan taman jadi hancur
lebur. Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya dan paras mukanya jadi berobah. Di
lain saat, dayang
yang menjadi kepala kedengaran membentak: "Kau benar keterlaluan! Keindahan
taman ini sampai menjadi rusak." Sehabis membentak, ia mementil dengan dua jerijinya dan
beberapa sinar terang menyambar ke arah pendeta itu.
"Senjata rahasia mana bisa celakakan aku?" kata si pendeta sembari tertawa dan
lalu putar tongkatnya seperti titiran. Senjata rahasia itu, yang masing-masing sebesar
mutiara, terus menyambar-nyambar dan jadi hancur lantaran sampokannya tongkat. Dan dalam
kehancurannya itu, sinar dan hawa yang sangat dingin menyambar-nyambar, sehingga si pendeta
sendiri sampai bergidik. Di atas puncak gunung dari Telaga Thian-ouw terdapat semacam es yang ribuan
tahun tak pernah lumer. "Jantung"-nya es itulah yang diambil oleh Pengtjoan Thianlie dan
diolah menjadi serupa senjata rahasia yang tidak ada keduanya dalam dunia dan diberi nama
Pengpok Sintan (Peluru malaikat roh-nya es). Dalam pembuatan lain-lain senjata rahasia di muka
bumi, tak perduli
senjata rahasia buat lukakan musuh atau buat memukul jalanan darah, yang
diperhatikan adalah
kejituannya dan ketajamannya senjata rahasia tersebut. Cuma Pengpok Sintan yang
lain dari yang lain. Yang diandalkan adalah hawa dinginnya yang sangat luar biasa. Begitu lekas
senjata rahasia
itu tersampok, keluarlah hawa dingin yang menusuk ke tulang-tulang dan hebatnya
bukan buatan. Dengan tenaga dalam yang dipunyai olehnya, si pendeta sebenarnya masih dapat
melawan hawa dingin itu. Cuma saja, lantaran mesti layani serangannya sembilan musuh, ia
tak dapat pusatkan perhatiannya buat kerahkan tenaga dalamnya. Di sebelahnya itu, lantaran
Pengpok Hankong kiam juga adalah senjata yang mengeluarkan hawa dingin, maka hawa dingin
itu makin lama jadi makin hebat, sehingga badannya si pendeta jadi gemetaran dan giginya
bercakrukan. Bagaikan orang edan, ia terus mengamuk. Dari jidatnya keringat turun berketel-
ketel, tapi badannya tetap gemetaran.
Pengtjoan Thianlie mesem dan berkata pada Chena: "Dia anggap dengan gunakan
tenaga Iweekeh, dia bisa keluarkan hawa panas buat melawan hawa dingin itu. Tapi dia
tak tahu, dengan
demikian, dingin dan panas jadi berkelahi dan bisa mencelakakan. Ini kali,
biarpun tidak menjadi
mati, rasanya dia bakal sakit keras beberapa hari."
Thian Oe yang hatinya sangat mulia lantas saja berkata: "Kalau begitu, ampuni
sajalah ia."
"Kau mintakan ampun?" kata Chena sembari melirik. Pengtjoan Thianlie tidak
berkata apa-apa
dan cuma mesem.
Semakin lama pendeta itu kelihatan semakin lelah. Sesudah bertempur lagi
beberapa lama, dayang yang menjadi pemimpin membentak: "Robohlah!" Ia ayun tangannya dan
sebutir peluru kembali menyambar. Jantungnya si pendeta gemetar, kedua kakinya lemas, kepalanya
terputar dan badannya bergoyang-goyang seperti mau jatuh.
"Berhenti!" Pengtjoan Thianlie membentak.
Di lain saat, sembilan dayang itu sudah tarik pulang pedangnya dan berdiri
berbaris di kedua
pinggirnya Pengtjoan Thianlie.
Mukanya si pendeta jadi seperti kepiting direbus. Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, ia tarik napas panjang beberapa kali, memberi hormat kepada Pengtjoan Thianlie dan lantas
lari keluar dari keraton es. Kedua boesoe Nepal juga lalu memberi hormat dan dengan paras
muka ketakutan lalu mengikut di belakangnya si pendeta. Dalam sekejap, keadaan kembali menjadi
sunyi. "Dengan dapat menerobos masuk kedalam keraton, kepandaiannya orang itu tidaklah
rendah," berkata Chena sembari tertawa.
"Tak bakal ada orang kedua yang bisa masuk secara begitu," kata Pengtjoan
Thianlie. "Sebenarnya akulah yang sengaja membiarkan dia masuk. Kalau bukannya begitu,
walaupun dia bisa menyebrangi sungai es, tak nanti dia dapat tembus barisan Kioethian Hianlie
(Dewi sembilan lapisan langit)."
Mendengar omongan temberang itu, Thiekoay sian tertawa dalam hatinya. "Kalau
begitu, ia merobah sedikit Pattintouw Tjoekat Boehouw dan ganti namanya," kata Thiekoay
sian dalam hatinya. "Liehay memang cukup liehay, tapi kalau mau dibilang barisan itu dapat
menahan semua orang pandai dalam dunia, rasanya terlalu terkebur."
Thiekoay sian adalah murid kepala Kam Hong Tie dan pengalamannya luas sekali. Ia
yakin, bahwa kepandaian manusia tak ada batasnya dan di luar langit masih terdapat
langit. Maka itu, ia
tidak sependapat dengan temberangnya Pengtjoan Thianlie.
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berpaling kepada Thiekoay sian dan bibirnya
bergerak seperti
orang mau bicara. Tapi lantaran lihat mukanya Thiekoay sian yang sangat pucat,
ia urungkan niatannya dan lantas jalan menghampiri.
"Dia menghaturkan banyak terima kasih buat budimu," berkata Tjia In Tjin. "Tapi
sekarang dia belum bisa jalan, maka aku mohon kau suka kirim dua dayang buat antar dia turun
gunung." Pengtjoan Thianlie awasi mukanya Thiekoay sian dan kemudian berkata: "Masih
untung kau cuma jalankan 96 jurus Hokmo Tianghoat. Kalau kau jalankan habis 108 jurus,
biarpun diberi obat
dewa, tidak nanti kau dapat pulang tenagamu yang sediakala. Sekarang benar-benar
kau tidak boleh berangkat."
"Apa?" Tjia In Tjin menegasi dengan suara kaget.
"Tak apa-apa," sahut yang ditanya dengan suara tawar. "Cuma lantaran gunakan
tenaga melewati batas, jalanan darahnya jadi kalang kabut dan isi perutnya bergerak.
Kalau ia turun gunung juga, begitu kena goncangan di sungai es, walaupun tidak sampai menjadi
mati, rasanya ia akan bercacat seumur hidup dan tidak akan bisa jalan lagi, meskipun memakai
tongkat. Berkat
tenaga dalamnya yang sangat kuat, dengan mengasoh lima hari dan ditambah sama
obat, aku rasa ia akan jadi sembuh kembali. Baiklah aku beri tempo lima hari lagi." Ia
lantas gapekan satu
dayang dan memberi perintah: "Bereskan satu kamar supaya ia bisa atur
pernapasannya ---
siapapun tak boleh ganggu padanya. Dan juga pinjamkan Oen-giok padanya."
Sesudah memesan begitu, ia berpaling pada Tjia In Tjin dan berkata sembari
tertawa: "Kali ini
"menyimpang dari kebiasaan, aku permisikan kalian berdiam lima hari lagi.
Sesudah lewat lima
hari, kalian boleh turun gunung dengan tak usah pamitan!"
Mendengar perkataannya Pengtjoan Thianlie, Tjia In Tjin merasa sangat terkejut,
sebab ia tidak duga, suaminya mendapat luka di dalam yang begitu berat. Di satu pihak sikapnya
Pengtjoan

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thianlie seperti juga kurang mempunyai perasaan kemanusiaan, akan tetapi di lain
pihak, ia rela meminjamkan mustika Oen-giok buat mengobati suaminya, satu pertolongan yang
penuh pri kemanusiaan. Maka itulah, perkataan-perkataannya Pengtjoan Thianlie membikin Thiekoay sian
suami isteri tak tahu mesti menangis atau tertawa. Perasaan berdongkol dan berterima kasih
tercampur menjadi satu. "Kau boleh rawat ia, dan kalau tidak ada urusan penting jangan cari padaku,"
kata lagi Pengtjoan Thianlie yang lantas saja berlalu dengan dayang-dayangnya.
Dahulu, sifatnya Tjia In Tjin juga sombong dan dingin. Sesudah mendapat banyak
pengalaman pahit getir, ia berobah banyak, akan tetapi toh ia masih tak dapat menelan
kesombongan orang
yang ditujukan kepadanya. Tidak dinyana, kali ini sesudah melalui perjalanan
laksaan li, ia sudah
mendapat perlakuan sedemikian, cuma lantaran membujuk supaya Pengtjoan Thianlie
suka turun gunung. Semakin diingat, ia jadi semakin mendeluh dan hampir-hampir saja ia
keluarkan perkataan perkataan keras buat menimpali. Cuma saja, walaupun Pengtjoan Thianlie
sepuluh kali lipat lebih angkuh dari ianya, keangkuhan itu keluar dengan sewajarnya. Sikapnya
yang agung tanpa dibuat-buat membikin orang jadi tidak berani banyak rewel terhadapnya.
Tjia In Tjin coba
tahan perasaan mendeluhnya yang malang di tengah uluhatinya, dan beberapa saat
kemudian dengan satu suara "wah!", ia muntahkan cairan pahit yang naik dari kantong
nasinya. "Soenio (isteri dari guru), kau kenapa?" tanya Thian Oe dengan perasaan kaget.
Mukanya Tjia In Tjin pucat, disusul dengan semu merah. "Anak kecil jangan campur urusan lain
orang," kata ia
sembari kebaskan tangannya dan lalu ajak sang dayang tuntun Thiekoay sian pergi
ke kamar buat mengasoh. Dengan rasa masgul Thian Oe berdiri bengong.
"Sesudah repot setengah malaman, kau pun harus mengasoh," kata Chena. "Besok aku
akan ajak kau jalan-jalan buat saksikan pemandangan-pemandangan luar biasa dalam
keraton." Sehabis
berkata begitu, ia lantas berlalu.
Thian Oe awasi belakangnya si nona, yang semakin lama jadi semakin jauh dan
akhirnya menghilang di antara pohon-pohon kembang. Ia ingat, lima hari lagi ia toh bakal
turun gunung juga, dan berhubung dengan kekeliruan gurunya terhadap Pengtjoan Thianlie, mulai
waktu itu ia tidak akan dapat bertemu lagi. Mengingat begitu, hatinya jadi semakin masgul.
Pada besokan paginya, begitu mcndusin ia melongok keluar jendela dan kedua
matanya kembali saksikan pemandangan luar biasa. Di bawah sorotnya matahari, keraton es
yang terang benderang mengeluarkan cahaya aneka warna, sehingga Thian Oe merasa seakan-akan
berada dalam dunia dongengan. Tidak lama kemudian, sang dayang antarkan makanan pagi
yang terdiri dari dua buah merah yang sangat besar. Dua buah itu bukan saja rasanya manis,
tapi baunya pun
harum sekali. Sebagaimana telah dijanjikan, Chena menyamper dan ajak ia keluar jalan-jalan.
Sesudah berdiam di keraton es, walaupun pada sinar matanya masih terdapat sorot
kesedihan, Chena
sudah banyak lebih gembira. Ia jalan perlahan-lahan sembari omong-omong dan
tertawa-tawa, seperti juga pohon yang sudah dapat hawanya musim semi yang menyegarkan.
Adalah sukar buat melukiskan pemandangan-pemandangan indah permai di sekitar
keraton itu. Pendopo-pendopo yang mungil, jalanan-jalanan bulat-belit yang terawat baik,
jendela-jendela
dengan macam-macam ukiran, gunung-gunungan dan batu-batu perhiasan yang hampir
semuanya terbuat dari kristal, beberapa air mancur yang tersebar di seluruh
taman, solokansolokan
dan empang-empang yang airnya jernih bagaikan kaca.
"Air pengempang dan solokan semuanya ditarik naik dari Thian-ouw, makanya jernih
luar biasa," kata Chena. "Aku paling suka minum air itu."
Buat memperlengkap keindahan disitu, di seluruh taman penuh dengan pohon-pohon
bebuahan dan pohon-pohon kembang yang menyiarkan bebauan sangat harum. "Tempat ini
seperti juga tempat dewa-dewa, maka tidaklah heran kalau Pengtjoan Thianlie sungkan turun
gunung," kata
Thian Oe sembari tertawa.
Demikianlah mereka pesiar ke sana-sini dan kalau merasa lapar mereka petik buah-
buah matang buat tangsel perut. Oleh karena luasnya, sesudah jalan setengah harian
mereka belum juga dapat putari habis seluruh wilayah keraton itu.
Selagi enak jalan, hidungnya Thian Oe mendadak dapat endus bebauan yang sangat
luar biasa, harumnya melebihi bunga yang paling harum, tapi bagaimana harumnya, tak mungkin
dapat dilukiskan. Thian Oe segera cepatkan tindakannya dan menuju ke arah keluarnya
wewangian itu. Beberapa saat kemudian, matanya dapat lihat sebuah bangunan yang sangat
berbedaan dengan
semua gedung yang berada disitu. Bangunan tersebut berbentuk gereja yang atapnya
lancip, dan kalau lain-lain bangunan semuanya terbuat dari kristal, marmer atau es yang
keras, adalah bangunan itu berwarna hitam, sehingga kelihatan menyolok sekali. Wewangian yang
luar biasa itu ternyata keluar dari rumah tersebut.
Dengan perasaan heran Thian Oe coba menolak pintunya. Parasnya Chena berobah
dengan mendadak dan buru-buru mencegah. "Waktu aku berdiam disini pertama kali,
Thianlie tjietjie
pernah memesan, bahwa aku boleh pergi kemana juga, cuma ke dalam rumah itu aku
tidak boleh masuk," kata Chena dengan suara berbisik.
"Kenapa?" tanya Thian Oe.
"Siapa tahu?" kata Chena.
"Menurut katanya para dayang, saban malam Tje-it (Tanggal 1 penanggalan Imlek,
bulan gelap), ia pergi sendirian ke dalam rumah itu, dimana ia berdiam kira-kira satu
jam lamanya. Apa
yang ia lakukan, tak ada yang berani menanya. Dari dayang-dayang itu aku
mendapat tahu, bahwa rumah itu terbuat dari semacam kayu garu, yang kalau dibakar, baunya yang
harum bisa diendus dari tempat belasan li jauhnya."
Mendengar penuturan itu, hatinya Thian Oe jadi lebih-lebih heran lagi.
Malam itu, Thian Oe tidak dapat tidur lantaran tidak dapat melupakan rumah yang
penuh tekateki itu. Dalam layap-layap ia masuk ke dalam dunia impian, la mengimpi lihat
Pengtjoan Thianlie
pasang hio dan bersembahyang dalam rumah itu, dengan di dampingi oleh Chena.
Setahu bagaimana, ia sendiri juga berada dalam rumah tersebut. Mendadak Pengtjoan
Thianlie cabut sebatang pedang yang sinarnya bergemilapan dan tikam uluhatinya. Rambutnya
Pengtjoan Thianlie mendadak berobah jadi ular terbang yang tak dapat dihitung berapa
banyaknya dan terbang menyambar ke arah dirinya. Chena keluarkan teriakan kaget dan rumah itu
mendadak roboh, dengan sebatang balok wuwungan menindih dirinya sendiri. Dalam
mengimpinya Thian Oe
berteriak-teriak dan berontak-rontak.
"Jangan ngigo! Bangun, hayo bangun!" mendadak ia dengar suaranya satu wanita di
kupingnya. Thian Oe sadar. Ia buka kedua matanya dan ternyata Chena berdiri di
hadapannya. "Hayo, bangun!" kata si nona sembari goyang-goyang badannya. "Seorang aneh
kembali masuk ke dalam keraton es tanpa permisi!"
Begitu mendengar, Thian Oe hilang ngantuknya. Ada orang lagi! "Apa dia sudah
bisa seberangi sungai es dan terobos barisan Kioethian Hianlie yang dipasang di sebelah luar?"
tanya Thian Oe.
"Kalau bukan sudah menerobos barisan itu, cara bagaimana ia bisa sampai di
keraton es?"
jawab Chena. "Sekarang lonceng pertandaan bahaya sudah dipukul dan Thianlie
tjiitjie segera juga
akan keluar!"
Thian Oe buru-buru pakai baju luarnya dan ikut Chena berlari-lari keluar. Sembilan dayang
yang kemarin sudah mengambil masing-masing kedudukannya dan seorang pemuda yang
memakai baju putih berada di tengah-tengah mereka. Waktu itu mereka belum
bergebrak. Begitu
lihat, Thian Oe keluarkan teriakan tertahan.
"Kenapa?" tanya Chena.
"Aku kenal orang itu!" jawabnya.
Si pemuda baju putih juga rupanya sudah lihat Thian Oe, sebab ia lantas menengok
sembari mesem. Orang itu bukan lain daripada si anak sekolah yang pernah tolong jiwanya
Siauw Tjeng Hong dengan jarum emas dan yang pernah bikin repot Bek Tayhiap dan yang lain-
lain di kota Shigatse. "Siapa ia?" tanya lagi Chena.
"Aku tak tahu namanya," jawab Thian Oe. "Tapi ia pernah tolong jiwanya guruku.
Aku rasa ia adalah seorang baik."
"Wah, celaka!" kata Chena. "Menurut dayang-dayang, Thianlie tjietjie merasa
sangat gusar dan
mengatakan, bahwa orang itu harus diajar adat sekeras-kerasnya. Tanpa memberi
hajaran keras, keraton es bisa-bisa tidak aman lagi. Garisan pertahanan keraton es, semakin ke
belakang, semakin kuat. Ini dayang-dayang keraton sangat tinggi ilmu silatnya. Aku kuatir,
kalau toh tidak
sampai mati, orang itu akan luka berat!"
Sembilan dayang itu lantas cabut pedangnya, tapi mendadak hentikan gerakannya.
Keadaan jadi sunyi senyap, sehingga kalau sebatang jarum jatuh di atas tanah, suaranya
akan bisa terdengar nyata. Thian Oe menoleh dan lihat Pengtjoan Thianlie sudah berjalan
keluar dengan paras muka yang penuh kegusaran.
Begitu lihat si pemuda, ia keluarkan satu seruan perlahan. Sikapnya lantas
berobah, seperti
orang yang sedang merasa heran. Pengtjoan Thianlie tadinya kira, bahwa orang
yang datang adalah sebangsa pendeta jubah merah. Tapi tidak terduga, yang ia ketemukan
adalah seorang pemuda Han yang parasnya cakap sekali.
"Tanpa latihan puluhan tahun, tak gampang-gampang orang bisa lewati sungai es
dan terobos barisan depan," pikir ia dalam hatinya. "Apakah pemuda ini yang usianya
sepantaran denganku
mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari si pendeta jubah merah?"
Dua pasang mata lantas kebentrok. Pemuda baju putih itu tertawa dan menanya:
"Apa kau ini
majikan dari keraton es" Kenapa kau begitu lambat menyambut tetamu?"
"Siapa kau?" Pengtjoan Thianlie balas tanya. "Ada urusan apa kau datang disini?"
"Jika aku menyebutkan namaku, kau tentu akan terlebih tidak sungkan-sungkan lagi
terhadapku," kata pemuda itu. "Biar bagaimana juga, lambat laun aku harus
memberitahukan,
asal saja kau suka luluskan satu permintaanku."
"Permintaan apa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Apa kau tahu halnya guci emas?" si pemuda balas tanya.
Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya. "Ah, lagi-lagi guci emas!" katanya.
"Benar menyebalkan. Apakah kau mau minta aku turun gunung buat rampas guci emas itu"
Kalian bermusuhan sama bangsa Boan, sama aku tak ada sangkut pautnya."
"Kau menebak salah," kata si pemuda sembari mesem. "Aku mau minta kau turun
gunung, justru buat melindungi guci emas itu! Orang Nepal mau rampas guci itu. Beberapa
hiapkek tolol, seperti sebangsa Thiekoay sian, juga ingin merampas. Dengan sendirian saja, aku
repot. Maka itu,
kau mestilah turun gunung buat membantu!"
Caranya si pemuda seperti juga sedang minta bantuan dengan satu sahabat karib,
yang seolaholah
tidak boleh tidak meluluskan. Pengtjoan Thianlie merasa gusar sekali, sehingga
kedua alisnya berdiri. "Dengan memiliki ilmu silat seperti sekarang, boleh dibilang
kepandaianmu sudah lumayan.
Lekas berlalu, supaya kau tidak, menyesal," kata Pengtjoan Thianlie sembari
kebaskan tangannya.
Bahwa ia tidak lantas memberi perintah kepada sembilan dayangnya buat mengusir
dengan kekerasan, Pengtjoan Thianlie sebenarnya sudah berlaku sungkan sekali.
Tapi, sebaliknya dari mundur, pemuda itu malahan maju setindak dan pada kedua
bibirnya terus tersungging senyuman. "Apa" Apakah kau tak sudi memberi muka padaku?"
tanya ia. Pengtjoan Thianlie berobah parasnya. Dayang yang jadi pemimpin lantas saja
membentak: "Kau benar tak mengenal kesopanan" Apa benar-benar kau mau kami mengusir dengan
kekerasan?"
Si pemuda berbangkes dan berkata sembari tertawa: "Naik gampang, turun sukar.
Hari ini aku sudah capai sekali dan ingin tidur sebentaran!"


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang dayang tepuk kedua tangannya dan barisan itu segera mulai bergerak. Delapan
batang pedang yang hawanya dingin lantas saja menyambar bagaikan kilat.
"Dingin! Dingin! Ah, hilanglah perasaan ngantukku!" berseru si pemuda yang
badannya lantas
saja berkelebat-kelebat di antara sinarnya pedang-pedang itu. Sebagaimana
diketahui, seranganserangannya
barisan itu hebat sekali dan delapan pedang menyambar-nyambar saling susul
bagaikan gelombang. Sang pedang cepat, tapi si pemuda lebih cepat lagi. Ujung
pedang kelihatannya sudah menempel pada badannya, en toh pada detik yang terakhir, ia
selalu dapat mengegos dengan tepat sekali. Melihat begitu, mau tak mau, Pengtjoan Thianlie
jadi merasa kagum. Semakin lama serangan delapan pedang jadi semakin seru dan badannya si
pemuda seperti juga sudah dikurung sinar pedang yang seperti jala.
Thian Oe amat berkuatir. "Chena tjietjie," berbisik ia. "Dapatkah kau menolong
padaku buat minta Pengtjoan Thianlie hentikan pertempuran?" Chena tidak menyahut. Ia cuma
gelenggelengkan
kepalanya. Tiba-tiba si pemuda tertawa terbahak-bahak. "Ilmu pedang bagus! Sungguh bagus
sekali!" ia
berseru. "Sekarang maafkan padaku."
Setahu bagaimana, selagi ia kelit delapan batang Pengpok Hankong kiam, tahu-tahu
tangannya sudah mencekal sebatang pedang panjang, yang mengeluarkan sinar berkeredepan dan
mengaung kapan dikebaskan. "Pedang bagus!" Pengtjoan Thianlie berkata tanpa
merasa. Sesudah mengebas sekali, si pemuda membuat satu lingkaran bundar dengan
pedangnya dan di lain saat, dengan suara berkrontangan, pedangnya dua dayang sudah terbabat
putus! Semua dayang terkesiap dan lantas pada loncat mundur. Dengan kecepatan yang tak dapat
dilukiskan dan pengetahuan akan Pattintouw dari Tjoekat Boehouw, ia menindak di pintu Hioe,
biluk di pintu Kay, putari pintu Sie, injak pintu Seng dan lantas balas menyerang. Di lain
saat, pedangnya
dayang yang menjaga pintu Keng dan pintu Siang sudah terbabat putus.
Dayang yang menjaga di tengah-tengah lantas saja timpukkan Pengpok Sintan dengan
gerakan Thianli Sanhoa (Bidadari sebar kembang). Di tengah udara lantas saja
penuh dengan peluru yang seperti mutiara dan bersinar terang.
Si pemuda juga lantas ayun tangannya dan lepaskan senjata rahasianya. Pengpok
Sintan sudah luar biasa, tapi senjata rahasianya si pemuda lebih luar biasa lagi. Senjata
rahasia itu ada
sedemikian halus, sehingga tak dapat dikenali dengan sang mata, dan yang
terlihat cuma sinar
emas yang berkredep. Dalam tempo sekejapan, Pengpok Sintan sudah tidak kelihatan
lagi. Pengtjoan Thianlie terkesiap sebab lihat tenaga dalam si pemuda yang luar biasa
besarnya. Senjata rahasia itu macamnya seperti rumput bong (rumput buat bikin kasut).
Begitu nempel, Pengpok Sintan lantas mental beberapa tombak dan jatuh di atas tanah! Hatinya si
nona jadi tergoncang, sebab ia mendadak ingat penuturan mendiang ayahnya mengenai Thiansan
Sinbong (Bong malaikat dari gunung Thiansan), semacam senjata rahasia ahli-ahli pedang
Thiansan, yang kalau dilepaskan mengeluarkan sinar merah yang mengkredep. Mengingat begitu,
pandangannya terhadap pemuda itu lantas jadi lain.
Di lain saat, badannya si pemuda mendadak terputar-putar seperti kilat. Para
dayang cuma merasa bayangannya berkelebat dan empat batang Pengpok Hankong kiam sudah pindah
ke dalam tangannya si pemuda!
Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. "Berhenti!" ia berseru. Dengan satu
kelebatan, si pemuda sudah berdiri tegak di luar barisan dan sembari tertawa ia mengawasi
Pengtjoan Thianlie.
"Kenapa?" ia tanya.
"Tak apa-apa," jawabnya dengan tawar. "Perkataanku tak dapat dirobah lagi."
"Kalau begitu kau mau turun tangan sendiri buat mengusir aku?" tanya si pemuda.
"Benar," jawabnya. "Kau masuk dengan kekerasan, maka tuan rumah juga harus
mengusir dengan kekerasan."
"Tak ada yang lebih baik daripada itu," kata si pemuda sembari tertawa. "Aku
jadi dapat kesempatan buat tambah pengalaman dan saksikan Tatmo Kiamhoat yang sudah hilang
dari wilayah Tiongkok."
Ia sama sekali tidak keder menghadapi sorot matanya Pengtjoan Thianlie yang
dingin. Pada kedua bibirnya terus tersungging senyuman dan balas mengawasi dengan mata tajam.
Thian Oe dan Chena duga Pengtjoan Thianlie akan segera turun tangan. Tapi tak
dinyana, sembari menyapu dengan matanya yang bagus, Pengtjoan Thianlie berkata: "Sesudah
menyebrangi sungai es dan bertempur lama, kau tentu lelah sekali. Maka itu
biarlah besok tengah
hari kau datang lagi!"
Si pemuda memberi hormat dan berkata sembari tertawa: "Baiklah. Kalau kau
perintah aku datang lagi, aku tentu datang." Sesudah kasih masuk pedangnya ke dalam sarung,
ia putar badannya, tapi sebelum berjalan pergi, ia berkata pula sembari mesem: "Masih
boleh jugalah perlakuan itu terhadap seorang sahabat."
"Apa kau bilang?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Tak apa-apa," sahutnya. "Dalam dunia ini, memang ada manusia yang tidak
tergerak perasaannya biarpun ia bertemu dengan sahabat yang saling mengenal isi sang
hati. Kau hidup
tanpa sahabat dalam keraton yang begini indah. Itulah yang dinamakan kekurangan
dalam serba kecukupan."
Mukanya Pengtjoan Thianlie bersemu merah. Perkataan itu kena betul pada
uluhatinya. Memang juga, sedari ayah dan ibunya meninggal dunia, tak ada seorangpun terhadap
siapa ia dapat tumpleki isi hatinya. Saban-saban bertemu dengan malam terang bulan, mau
tak mau ia merasakan juga satu kesepian.
"Kau terlalu rewel," kata Pengtjoan Thianlie. "Siapa suruh kau campur urusan
lain orang?"
Sehabis berkata begitu, tanpa merasa ia melangkah beberapa tindak, mengikuti si
pemuda yang sedang naik ke atas jembatan yang terbentang di atas satu pengempang teratai. Di
sebelahnya pohon-pohon teratai yang sedang berbunga, atas empang itu terdapat beberapa
macam pohon air
yang bunganya luar biasa dan menyiarkan bau harum sekali. Di atas jembatan itu
terdapat satu pendopo yang di kedua sampingnya tergantung sepasang lian (toeilian) yang
bunyinya seperti
berikut: Sinar rembulan, harumnya bunga
semua masuk impian. Keraton dewi,
ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan.
"Perkataannya cukup bagus, cuma kurang cocok sama keadaannya," kata si pemuda
sembari tertawa. Ia tak tahu bahwa toeilian itu adalah buah kalamnya Pengtjoan Thianlie
sendiri. Moh Hoan Lian, neneknya Pengtjoan Thianlie, adalah satu tjaylie (wanita pintar) yang
tersohor namanya. Sebagai satu cucu yang mewarisi pelajaran keluarganya, sedari kecil
Koei Peng Go (Pengtjoan Thianlie) sudah belajar membuat syair, menabuh khim dan main tiokie.
Semua toeilian yang terdapat dalam keraton itu adalah buah kalamnya sendiri. Lantaran begitu,
tidaklah heran kalau ia jadi merasa berdongkol waktu dengar celaannya si pemuda.
Ia maju lebih dekat dan menanya dengan suara menantang: "Kenapa tak cocok sama
keadaannya" Coba kau bilang?"
"Sinar rembulan dan harumnya bunga bisa diketemukan dimana juga," menerangkan
pemuda itu. "Keraton dewi dan ranggon indah juga cuma kata-kata yang melukiskan
keindahannya suatu
gedung dan dapat digunakan di segala tempat. Maka itulah, perkataan-perkataan
tersebut tidak cukup melukisi pemandangan istimewa yang terdapat disini. Apalagi, toeilian
tersebut cuma melukis pemandangan dan tidak melukis manusia. Itulah yang aku namakan satu
cacat dalam keindahan."
Walaupun bersifat sangat angkuh, tapi Pengtjoan Thianlie adalah seorang gadis
yang suci bersih. Mendengar penjelasannya si pemuda yang beralasan, ia jadi mesem dan
berkata: "Kalau
begitu, cobalah kau tolong bikinkan gantinya."
Baru saja si pemuda mau buka mulurnya, satu dayang menyeletuk: "Apakah kau tahu,
bahwa toeilian itu digubah berdasarkan namanya orang" Tak gampang mengubah itu."
"Jangan banyak bacot," membentak Pengtjoan Thianlie sembari lirik dayangnya.
Sesudah itu, ia
berpaling kepada si pemuda dan berkata: "Cobalah kau sebutkan syairmu buat
gantikan sepasang
lian itu, supaya aku dapat menimbang apa cocok dengan pemandangan disini."
"Kalau begitu, baiklah aku mempersembahkan kebodohanku," kata si pemuda sembari
mesem dan lalu bersyair:
"Sinar bulan atas sungai es, dewi rembulan turun,
Bidadari menyebar bunga. Sang penyair datang."
Sehabis bersyair, ia tertawa dan berkata pula: "Walaupun kata-katanya tidak
begitu bagus, tapi
sang manusia yang disebutkan dalam lian itu betul-betul cantik luar biasa,
sehingga aku rasa,
toeilian ini bolehlah juga."
Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang dan mukanya jadi bersemu dadu. Syair yang
disebutkan barusan bukan saja terdapat kata-kata "Pengtjoan Thianlie," tapi juga
menggenggam namanya
sendiri, yaitu Peng Go. (Sungai es = Pengtjoan, Bidadari = Thianlie, Es = Peng,
yang kalau digabung dengan Go-Dewi rembulan -- menjadi Peng Go).
Syair tersebut terang-terangan digubah untuk dirinya sendiri dan di dalamnya
menggenggam arti, bahwa si penyair mengagumi ia. Sinar rembulan di atas sungai es adalah
seperti sang dewi
rembulan sudah turun ke muka bumi. Belakangan disebutkan, bidadari sebarkan
bunga, sehingga
menyebabkan datangnya si penyair. Dengan berkata begitu, si pemuda mau bilang,
bahwa ia datang kesitu lantaran kagumi Pengtjoan Thianlie. Akan tetapi, orang tidak dapat
katakan ia memberi umpakan murah, sebab syair itu memang sesuai dengan keadaannya. Maka
itulah, diamdiam
Koei Peng Go kagumi kepintarannya pemuda itu.
"Nah, sekarang aku sudah persembahkan syairku," kata si pemuda sembari berpaling
kepada sang dayang. "Barusan kau bilang, lian ini dibuat berdasarkan nama orang. Nama
siapa" Apa
boleh kau memberitahukan?" Dayang itu tidak menjawab, tapi tekap mulutnya sambil
tertawa. "Biarlah aku saja yang memberitahukan," Pengtjoan Thianlie menyelak. "Kata-kata
dalam toeilian itu aku gubah berdasarkan namanya. Dalam taman ini ada dua belas
pemandangan istimewa. Di saban tempat ada toeilian dan setiap toeilian digubah berdasarkan
namanya dayangdayangku."
"Sinar rembulan, harumnya bunga semua masuk impian,
keraton dewi, ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan,"
demikian si pemuda ulangi bunyinya toeilian itu dan kemudian berkata sambil
menunjuk si dayang: "Kalau begitu, namamu Goat Sian." (Rembulan = Goat, Dewi = Sian, kalau
Misteri Dewa Seribu Kepalan 2 Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Pendekar Pengejar Nyawa 21
^