Pencarian

Misteri Dewa Seribu Kepalan 2

Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan Bagian 2


"Aku sama sekali tidak merasa kesepian," lanjut Lawata ketika melihat Palasena
terdiam. "Sebelum kau datang, aku sudah sendirian di sini. Kau tahu, Sena. Bagi
orang yang berusia sepertiku, tidak ada yang lebih menarik hati kecuali
mengasingkan diri. Tinggal di sebuah tempat yang sunyi dan terpencil serta jauh
dari keramaian. Ini adalah tempat tinggalku, dan aku amat mencintainya."
Palasena kontan terdiam mendengar
ucapan itu. Tapi itu hanya sesaat saja.
"Tapi, Kek. Aku belum sempat
membalas budi baikmu dengan menemanimu di sini, dan melayani segala keperluanmu.
Jelas, hatiku tak akan tenang," bantah Palasena.
"Justru kalau kau tinggal di sini, malah membuatku tidak senang, Sena. Kau,
tahu. Kalau benar-benar ingin membalas budiku, terjunlah ke dunia persilatan.
Cegah kejahatan semampumu. O, ya. Kau harus mencari orang yang berjuluk Iblis
Tanpa Wajah dan Memedi Tangan Merah.
Mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang banyak menyebar kejahatan di muka bumi!"
tegas Lawata. "Hhh...! Baiklah, Guru. Aku akan terjun ke dunia persilatan. Akan kucamkan semua
nasihatmu. Lagi pula..., aku pun mempunyai seorang musuh besar yang harus
kubinasakan! Seorang tokoh laknat yang telah membunuh ayah dan ibuku. Dia adalah
Dewa Seribu Kepalan! Aku harus membalas dendam padanya agar arwah kedua orang
tuaku tenteram di alam baka!"
Ada kebencian yang amat sangat di
dalam ucapan Palasena. Raut wajah dan
sorot matanya pun menyiratkan dendam menggelora. Dari sini saja bisa
diperkirakan sakit hati yang melanda pemuda berpakaian coklat itu.
"Hhhh...!" Lawata menghembuskan napas berat. "Mudah-mudahan kau menemukan orang
yang telah membuat kedua orang tuamu terbunuh, Sena."
"Pasti, Kek! Biar bersembunyi di ujung langit pun, akan terus kukejar!
Hutang darah harus dibayar darah!" tandas Palasena tegas.
Lawata diam, tidak berkata-kata
lagi. Dan karena Palasena tidak
melanjutkan ucapannya, maka suasana menjadi hening.
"Kurasa, sudah tiba saatnya untuk berangkat, Sena," ujar Lawata. "Tidak baik
berlama-lama di sini. Lagi pula, aku akan bersemedi dan tidak ingin diganggu
hingga beberapa hari."
"Kalau demikian, aku berangkat sekarang juga, Kek," cepat Palasena mengambil
keputusan. Kini, tidak ada lagi keraguan di
wajah Palasena. Keinginannya untuk terjun ke dunia persilatan langsung berkobar
ketika teringat keinginannya. Dia harus mencari Dewa Seribu Kepalan untuk
membalaskan sakit hati kedua orang tuanya.
"Lebih cepat lebih baik, Sena."
Hanya itu yang diucapkan Lawata.
Dan ketika gema perkataan itu selesai, pengemis berkulit kemerahan itu melompat
ke bawah. Padahal, dia masih berada dalam keadaan duduk bersila. Dan kini,
tubuhnya melayang ke bawah.
Melihat hal ini, Palasena tidak mau kalah. Dia pun ikut melompat ke bawah tanpa
merubah keadaan kaki. Sesaat kemudian, dengan keadaan duduk bersila tubuhnya
meluruk turun. Kini, terlihat pemandangan aneh
dan mungkin jarang
terlihat dalam dunia persilatan. Dua sosok tubuh yang memiliki perbedaan
menyolok dalam usia, sama-sama melayang turun ke tanah dengan keadaan bersila.
Tapi sekitar setengah tombak
sebelum menyentuh tanah, baik Lawata maupun Palasena membuka lipatan kakinya.
Maka.... Tappp! Luar biasa! Lawata dan Palasena
mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu. Bahkan mereka langsung berdiri
di atas tanah. "Berangkatlah, Sena! Camkan baik-baik semua nasihatku. Dan yang perlu kau ingat,
berhari-hatilah! Dunia persilatan tidak selamanya jujur. Apalagi, bila kau
bertempur dengan tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Kau harus lebih hati-hati.
Bagi mereka, yang penting dalam
pertarungan adalah menang. Cara apa pun akan dilakukan untuk mencapainya!"
Usai berkata demikian, Pengemis
berkulit kemerahan itu memberitahukan sebagian cara yang dipergunakan tokoh-
tokoh persilatan aliran hitam untuk memperoleh kemenangan.
Palasena mendengarkan penuh per-
hatian. Disimaknya baik-baik semua ucapan Lawata. Dia yakin, perkataan pengemis
berkulit kemerahan ini akan terbukti dalam pengembaraannya nanti.
Setelah cukup memberi pesan-pesan
pada Palasena, Lawata memerintahkan pemuda berpakaian coklat itu untuk segera
meninggalkan tempat itu. Dan agar tidak membuat Palasena bimbang, Palasena
segera ditinggalkannya.
Lawata sengaja tidak menoleh-noleh, dan terus saja berjalan seolah-olah tidak
mempedulikan Palasena lagi. Hal itu terpaksa dilakukan, agar tidak memberat-kan
langkah pemuda berpakaian coklat untuk terjun dalam dunia persilatan.
Sementara itu, Palasena pun
membalikkan tubuh dan berjalan menempuh arah yang berlawanan dengan gurunya. Itu
dilakukan ketika bayangan tubuh Lawata telah lenyap di balik gundukan batu
besar. Palasena sama sekali tidak tahu
kalau Lawata memperhatikannya dari balik
gundukan batu dengan mata berkaca-kaca.
Pengemis berwajah kemerahan ini
memperhatikan semua tindak-tanduk muridnya, penuh rasa haru.
Tampak olehnya Palasena mendorong
perahu yang tertambat di pinggir pantai, ke air. Lalu, pemuda berpakaian coklat
itu memasukkan bekal-bekalnya ke dalam perahu, dan segera mendayung hingga
meninggalkan tempat tinggal Lawata.
Memang, tempat tinggal Lawata
berada di sebuah pulau terpencil di tengah laut. Sambil mendayung, sebentar-
sebentar Palasena menoleh ke arah pulau yang ditinggalkannya. Ada titik-titik
air bening di sudut matanya, ketika teringat budi baik Lawata.
4 "Begitulah ceritanya, Ki. Hingga akhirnya, aku ada di sini," tutur Palasena,
mengakhiri ceritanya.
Walaupun cerita Palasena demikian
panjang, tapi Ki Tiwung tetap setia mendengarkan. Bahkan tanpa memotong sedikit
pun. "Dan salah satu alasan yang
mendorong hatiku untuk datang ke sini sebenarnya karena perasaan rindu ingin
melihat desa kelahiranku. Tapi, ternyata
desa ini telah jauh berubah. Untung saja, aku ingat kedaimu yang belum begitu
berubah. Dan lagi, ayah dan ibu juga sering mengajakku ke sini. Jadi, aku hapal
juga tempatnya."
"Ya! Kami memang bersahabat erat, Sena.
Orangtua mu meskipun memiliki
kepandaian tinggi, tapi tidak sombong.
Hhh...! Sayang, nasibnya tidak begitu baik," keluh laki-laki kecil kurus itu.
"Itulah sebabnya aku kemari, Ki,"
celetuk Palasena. "Di samping karena rindu desa kelahiran, juga aku ingin
mengetahui berita tentang keadaan di sini. Juga, aku ingin melihat apakah desa
kelahiranku tetap aman seperti pada masa ayahku masih hidup!"
Wajah pemilik kedai itu berubah
memucat. Malah sorot matanya menampakkan kebingungan. Karuan saja, hal ini
membuat Palasena merasa heran bukan kepalang.
Tapi sebelum sempat menanyakan sebab-musabab perubahan itu tiba-tiba terdengar
bentakan keras menggelegar.
"Ki Tiwung!"
Aneh! Meskipun bentakan itu ter-
dengar mengejutkan hati, namun hampir tidak ada satu pun pengunjung kedai yang
mengangkat kepala. Bahkan mereka malah menundukkan kepala. Meskipun demikian,
masih tampak pucatnya wajah-wajah mereka!
Hanya ada tiga kepala yang tidak
menunduk. Kepala pemilik kedai yang ternyata bernama Ki Tiwung, kepala Palasena,
dan kepala seorang laki-laki berambut putih keperakan. Pakaiannya ungu.
Sedangkan wajahnya tidak tampak jelas, karena tertutup sebuah caping bambu.
Laki-laki berambut putih keperakan itu tetap bersikap tenang. Sikapnya
menunjukkan kalau keadaan panas yang mulai timbul, sama sekali tidak patut
dikhawatirkannya. Dan dia terus saja menggeragoti potongan ayam panggang
santapannya. Raut wajah Ki Tiwung kontan memucat ketika melihat dua sosok tubuh yang berdiri
di ambang pintu kedainya.
Apalagi, ketika melihat tarikan wajah mereka yang kelam, dan sinar mata yang
menyorotkan kemarahan. Maka, nyalinya kontan menciut.
Buru-buru laki-laki pemilik kedai
itu bangkit dari duduknya, tanpa
mendengar teguran Palasena. Kini yang ada di benaknya hanya dua orang kasar itu.
Dan dengan tubuh terbungkuk-bungkuk, Ki Tiwung mendekati dua sosok tubuh itu.
"Bagaimana, Tiwung" Apakah pesanan pemimpin kami sudah beres?" tanya salah
seorang dari dua sosok tubuh itu.
Dia adalah seorang laki-laki
berwajah kasar dan berkumis melintang.
Sambil mengajukan pertanyaan demikian, tangannya memelintir kumisnya yang tebal,
lebat, dan melintang.
"Maafkan aku, Den Sangga.... Aku belum bisa memenuhi permintaan pemimpin kalian.
Putriku Nawangsih, sukar dibujuk.... Berilah waktu lagi untuk membujuknya.
Barangkali saja...."
"Kurang ajar...!"
Sosok tubuh yang satu lagi
menggeram, seraya menggerakkan tangannya.
Dan.... Plakkk! Keras bukan kepalang tamparan sosok tubuh orang kasar yang bertubuh pendek kekar
itu. Apalagi, tamparannya mengenai sasaran dengan telak di pipi. Seketika itu
juga, tubuh Ki Tiwung terpelanting!
"Ki...!"
Palasena yang melihat kejadian itu menjerit kaget. Bahkan hampir berdiri dari
kursinya. Menilik dari kedua
tangannya yang terkepal kencang, bisa diketahui kalau pemuda berpakaian coklat
ini telah bersiap-siap turun tangan.
Sementara itu, Ki Tiwung bergegas
bangkit. Tampak di pipinya telah
bergambar telapak tangan berwarna merah.
Di sudut-sudut mulutnya tampak titik-titik darah segar!
"Percayalah, Den Raka. Aku pasti akan bisa membujuk Nawangsih untuk
memenuhi permintaan pemimpin kalian.
Tapi, tidak sekarang. Berilah aku waktu dan...."
"Omong kosong!" hardik laki-laki pendek kekar yang ternyata bernama Raka.
Tidak hanya itu saja yang
dilakukannya. Seiring selesai ucapannya, kedua tangannya bergerak mendorong.
"Minggir, Tua Bangka! Biar kami yang akan mengambilnya sendiri, Hih!"
Brukkk! Untuk yang kedua kalinya, tubuh Ki Tiwung terkapar di lantai. Hanya saja, kali
ini tidak terlalu sakit. Kecuali, rasa nyeri yang mendera pinggulnya.
Masalahnya, dorongan Raka keras bukan kepalang sehingga membuat pinggulnya
membentur lantai dengan keras pula.
"Manusia-manusia biadab...!"
Didahului bentakan keras mengge-
legar, Palasena bergerak menghampiri tempat Ki Tiwung dan dua orang laki-laki
kasar itu berada. Memang, putra Pendekar Tombak Sakti ini sudah tidak sanggup
menahan kemarahannya lagi. Tindakan Sangga dan Raka memang sudah melampaui
batas. Maka meskipun tidak mengetahui masalahnya, Palasena memutuskan untuk ikut
campur. *** Sangga dan Raka tentu saja
mendengar seruan keras tadi.
Maka seketika mereka membatalkan langkah saat hendak menuju ke bagian dalam kedai.
Yang sekaligus menjadi tempat tinggal Ki Tiwung pula.
Dengan sorot mata penuh ancaman,
Sangga dan Raka menatap Palasena yang tengah menghampiri mereka. Tampak wajah
pemuda berpakaian coklat itu merah padam karena amarah yang menggelegak.
Tapi, ternyata bukan hanya Sangga
dan Raka saja yang menatap Palasena.
Semua pengunjung kedai pun mengangkat kepala, untuk melihat orang yang telah
begitu berani menentang Sangga dan Raka.
Padahal, kedua orang kasar itu amat ditakuti penduduk Desa Sawang. Dan
sebenarnya, kedua orang itu hanyalah segelintir orang-orang kasar yang telah
menguasai desa ini. Di samping Sangga dan Raka, masih ada belasan orang kawan
mereka yang juga berkepandaian lumayan.
Itu pun masih ditambah sang pemimpin.
Maka, tak ada satu penduduk yang berani menentang mereka.
Dulu, pernah ada orang-orang
berkepandaian lumayan dari golongan putih yang datang untuk menumpas kelompok
Sangga dan Raka ini. Tapi tidak pernah ada yang berhasil. Bahkan mereka semua
tewas. Kalau tidak di tangan Sangga dan
Raka, pasti di tangan sang pemimpin!
Maka melihat Palasena berani
menentang Sangga dan Raka, para
pengunjung kedai yang sebagian besar penduduk Desa Sawang, menatap disertai
perasaan khawatir. Mereka sudah menduga kalau Palasena akan menjadi korban
seperti orang-orang sebelumnya.
"Ha ha ha...!" Raka tertawa menghina. "Ada kucing pincang berlagak jadi macan!
Lucu! Lucu dan menggelikan!"
"Kau akan membayar mahal atas tindakanmu yang sok pahlawan itu, Anjing Buduk!"
Sangga ikut angkat bicara.
"Sena! Pergilah dari sini! Cepat, sebelum terlambat! Tidak usah kau campuri
urusan ini! Kau akan celaka!" seru Ki Tiwung penuh kekhawatiran.
"Apa yang dikatakan Tiwung benar belaka, Kucing Pincang!
Sudah tidak terhitung pahlawan kesiangan yang telah membuang nyawa di desa ini. Dan semua
itu terjadi karena berani mencampuri urusan kami! Dan, kau pun akan mengalami
nasib serupa!" desis Sangga yang mempunyai watak pemberang.
"O... rupanya kalian penjahat-penjahat hina yang menggunakan kekuatan untuk
menindas si lemah"! Kebetulan sekali! Rupanya tidak sia-sia perjala-nanku kemari
untuk melanjutkan perjuangan ayahku. Orang-orang macam kalian memang
patut dibasmi!"
"Keparat! Mampuslah kau, Anjing Buduk! Hih...!"
Sangga menerjang Palasena disertai kemarahan menggebu-gebu. Kedua tangannya yang
dikepalkan, dan langsung dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada pemuda
berpakaian coklat itu.
Wut, wut, wut! Deru angin yang cukup kuat
mengiringi tibanya pukulan beruntun Sangga. Jelas, serangan itu dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam cukup kuat.
Tapi Palasena bukan lawan empuk.
Dia itu telah mendapat warisan seluruh ilmu Lawata, seorang pengemis sakti! Maka
menghadapi serangan seperti itu, sikapnya demikian tenang. Ditunggunya hingga
pukulan lawan mendekat, kemudian
tangannya diulurkan.
Kelihatannya sembarangan saja
Palasena menggerakkan tangan. Tapi, akibatnya cukup hebat. Dan tahu-tahu, kedua
pergelangan tangan Sangga telah tercekal. Dan sekali pemuda berpakaian coklat
itu memutarkan pergelangan
tangannya, sambungan kedua pergelangan Sangga pun terlepas.
"Akh...!"


Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangga memekik kesakitan karena
perasaan nyeri yang melanda seketika. Dan
sebelum dia sempat berbuat sesuatu, Palasena bergerak membetot. Tak pelak lagi,
tubuh Sangga pun tertarik ke depan.
Maka, saat itulah jari telunjuk kanan Palasena meluncur ke arah samping leher.
Tukkk! "Akh!"
Tubuh Sangga kontan terkulai. Dan
ketika Palasena melepaskan cekalannya, tubuh laki-laki kasar itu ambruk ke
lantai. Sangga tewas seketika, dengan totokan Palasena yang mendarat di jalan
darah kematiannya!
Semua pasang mata yang berada di
dalam kedai membelalak lebar melihat kematian Sangga yang demikian mudah. Sama
sekali tidak disangka kalau Palasena akan selihai itu.
Namun, orang yang paling terkejut
adalah Raka. Hampir tidak dipercaya pemandangan yang disaksikannya. Sangga tewas
hanya dalam segebrakan. Jadi, betapa dia tidak menjadi kaget"
Dari heran, Raka menjadi murka.
Walaupun telah dilihat sendiri bukti kelihaian Palasena, kegentaran Raka tidak
susut Pada pikirnya, Sangga tewas karena terlalu ceroboh.
Srattt! Sinar terang berkeredep, ketika
Raka mencabut senjatanya berupa sebuah golok besar. Dan dengan senjata terhunus
di tangan, diterjangnya Palasena.
Singgg! Dibarengi desingan yang menyakitkan telinga, golok besar itu meluncur ke arah
leher Palasena. Seketika itu juga, semua pengunjung kedai menundukkan kepala.
Terutama sekali Ki Tiwung. Mereka tidak sanggup melihat kepala pemuda berpakaian
coklat itu terlepas dari badannya karena babatan golok Raka.
Namun ada seorang pengunjung kedai yang tidak menundukkan kepala. Bahkan malah
menatap ke arah pertarungan.
Dia adalah laki-laki berpakaian
ungu yang mengenakan caping bambu di kepalanya.
Sementara itu, di arena perta-
rungan, Palasena tetap bersikap tenang menghadapi serangan golok itu. Baru
ketika telah hampir mendekati sasaran, tangannya bergerak cepat. Dan....
Tappp! Gila! Mata golok yang tajam itu
malah ditangkapnya dengan jari-jari tangan telanjang. Hebatnya, tidak sedikit
pun tangan itu terluka. Seakan-akan yang dicekalnya hanyalah sebatang ranting.
Dan ternyata tindakan Palasena tidak berhenti sampai di situ saja. Tangannya
yang menggenggam golok segera disodokkan.
Hal ini membuat Raka terperanjat,
karena mengetahui bahaya yang tengah
mengancam. Maka buru-buru seluruh
tenaganya dikerahkan untuk mempertahankan diri.
Tapi, usaha Raka sia-sia! Apalagi
kekuatan tenaga dalam mereka terpaut terlalu jauh. Betapapun telah dikerahkan
tenaganya, tetap saja golok itu meluncur terus ke arah perutnya. Lancar tanpa
hambatan! Blesss! "Akh...!"
Raka meraung ketika golok
itu menghunjam perutnya. Padahal, bukan mata golok yang terlebih dulu menembus
perutnya, melainkan gagangnya. Tapi meskipun demikian, tetap saja menembus
sampai ke punggung.
Darah muncrat-muncrat seiring lim-
bungnya tubuh Raka yang tengah meregang nyawa. Dan ketika Palasena melepaskan
genggamannya pada golok itu, tubuh Raka pun ambruk ke tanah. Laki-kali itu
langsung diam untuk selama-lamanya.
5 Suasana di dalam kedai kontan
gempar. Semua pengunjung bergegas bangkit dari kursinya masing-masing, karena
tidak ingin ikut terbawa sial. Sangga dan Raka telah tewas. Dan kejadian itu
saja sudah membuat kawan-kawannya mempunyai alasan untuk membasmi semua orang yang berada
di situ. Dan hal seperti itu memang pernah terjadi.
Hanya laki-laki berpakaian ungu
yang masih tetap duduk di tempatnya.
Diperhatikannya saja para pengunjung yang saling dahulu mendahului keluar. Dan
ternyata bukan hanya para pengunjung itu saja yang menjadi kalap, Ki Tiwung pun
demikian pula. "Kenapa mesti jadi begini, Sena"!
Celaka! Kawan-kawan kedua orang ini pasti datang untuk menuntut balas! Cepat
tinggalkan tempat ini! Cepat, sebelum mereka datang!"
"Kuucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas perhatianmu pada keselamatanku, Ki. Tapi, aku bukan
seorang pengecut yang hanya berani berbuat tanpa bertanggung jawab!"
Lantang dan tegas ucapan Palasena, sehingga membuat Ki Tiwung diam. Disadari
kalau Palasena tidak mungkin bisa dibujuk untuk meninggalkan tempat itu. Ada
tekanan yang tidak menghendaki adanya bantahan dalam ucapannya.
"Lagi pula bila aku pergi, maka para penduduk desa ini yang menjadi pelampiasan
kemarahan mereka. Terutama sekali, kau, Ki. Dan aku tidak
menginginkan hal itu terjadi," sambung
Palasena lagi. "Biar akan kuhadapi mereka, apa pun yang terjadi!"
"Hhh!"
Ki Tiwung hanya bisa menghela napas berat. Dalam hatinya, dia memuji sikap
Palasena. Pemuda berpakaian coklat ini ternyata mempunyai pendirian yang teguh!
Sementara, Palasena mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Tampak seisi kedai sudah sepi. Tidak ada pengunjung
lagi yang tergopoh-gopoh untuk keluar.
Memang, mereka semua telah keluar dari kedai dengan meninggalkan pembayaran atas
pesanannya di meja masing-masing.
Namun Palasena terperanjat juga
ketika melihat ada seorang pengunjung yang belum keluar kedai dan masih duduk
tenang di kursinya. Bahkan sambil menggeragoti potongan ayam panggang. Mengapa
orang ini tidak ikut keluar"
Perasaan heran yang melanda, mem-
buat Palasena menatap sekujur tubuh laki-laki berpakaian ungu penuh selidik.
Seketika itu pula, muncul kernyitan pada dahinya. Keadaan sosok tubuh itulah
yang membuat Palasena bingung.
Tampak jelas kalau laki-laki berpakaian ungu itu mempunyai rambut panjang
berwarna putih keperakan. Tapi, mengapa tubuhnya tampak demikian kekar" Bahkan
kedua tangan yang tengah sibuk memegang potongan ayam panggang yang sesekali
dibawa ke mulutnya tampak kekar dan tidak berkeriput! Aneh!
Sayangnya, Palasena tidak bisa
melihat wajah laki-laki berpakaian ungu itu. Karena di samping laki-laki
berambut putih keperakan itu mengenakan caping, makannya pun sambil menundukkan
kepala. Sehingga, yang terlihat hanyalah caping bambu dan juntaian rambut yang melewati
leher. "Kau kenal orang itu, Ki," bisik Palasena sambil menoleh ke arah Ki Tiwung.
Laki-laki pemilik kedai itu
menggelengkan kepala.
"Dia seperti juga kau, Sena! Baru sekali bersantap di sini," jawab Ki Tiwung
dengan suara tak kalah pelan.
"Hm...!"
Palasena hanya bisa mengguman pelan sambil
mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara, sepasang matanya masih tertuju pada laki-laki bercaping bambu itu
disertai perasaan curiga.
"Memangnya kenapa, Sena?" tanya Ki Tiwung ingin tahu.
"Orang ini kelihatan mencurigakan, Ki. Jangan-jangan dia merupakan anggota
gerombolan itu...."
"Tidak, Sena!" Ki Tiwung menggelengkan kepala. "Aku tahu betul. Tidak ada
anggota gerombolan itu yang mempunyai
ciri-ciri seperti dia!"
Palasena kontan terdiam.
"Bisa kau ceritakan padaku, siapa mereka dan apa yang tengah terjadi di desa
ini, Ki?" tanya Palasena Ki Tiwung tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat.
Seakan-akan, dia tengah membuang sebuah ganjalan yang bersarang di dalam rongga
dadanya. "Kejadiannya berawal dari tewasnya ayahmu, Sena," Ki Tiwung mulai membuka
cerita. "Jadi.., pengacau-pengacau itu mempunyai hubungan dengan si Keparat Dewa Seribu
Kepalan"!" tukas Palasena, geram.
"Bukan demikian maksudku, Sena,"
sahut Ki Tiwung masih tetap tenang.
"Gerombolan ini sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Dewa Seribu Kepalan,
tapi dengan murid-murid Memedi Tangan Api! Mereka semua tadi adalah pengikut
Memedi Tangan Api! Entah, siapa itu Memedi Tangan Api. Aku sendiri sama sekali
tidak mengetahuinya. Yang kutahu, gerombolan itu datang kemari, dua tahun
setelah kematian ayahmu!"
"Dan selama itu..., mereka telah mengacau desa ini?" tanya Palasena, untuk
mendapatkan kepastian.
Ki Tiwung menganggukkan kepala.
"Hal ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus menumpasnya! Hhh...! Kalau tidak karena
perbuatan Dewa Seribu Kepalan, desa ini tidak akan diporak-porandakan orang!"
tandas Palasena geram. "Apabila urusan ini telah kuselesaikan, akan kucari Dewa
Seribu Kepalan! Biar ke perut bumi sekalipun kau bersembunyi, tetap akan
kukejar!" Ki Tiwung tidak menyambuti. Dia
tahu perasaan yang tengah berkecamuk dalam hati Palasena. Itulah sebabnya, laki-
laki tua ini mengambil sikap
demikian. "Aku mendengar banyak langkah kaki menuju kemari, Ki," kata Palasena. "Kau
tunggu di sini. Biar aku yang akan menyambut kedatangan mereka di luar, agar
kedaimu tidak hancur."
Pemuda berpakaian coklat itu lalu
melesat keluar. Luar biasa! Hanya dengan sekali lesat saja, dia telah berada di
luar. Bahkan bentuk tubuhnya hampir tidak terlihat ketika melesat. Yang terlihat
hanyalah sekelebatan bayangan coklat yang, tahu-tahu telah berada di depan pintu
kedai. Ki Tiwung menggeleng-gelengkan
kepala melihat hal ini. Sungguh tidak disangka kalau Palasena akan selihai ini.
Meskipun demikian, dia tidak yakin kalau Palasena akan mampu menghadapi
gerombolan itu. *** Ki Tiwung tercenung, dan hatinya
dilanda kebimbangan. Apakah dia di dalam saja, atau keluar untuk menemani pemuda
berpakaian coklat itu. Setelah
mempertimbangkannya masak-masak diputuskannya untuk ikut keluar. Tapi baru saja
melangkah beberapa tindak, sesosok bayangan ungu melintas di hadapannya.
Gerakannya cepat bukan main, sehingga yang terlihat hanya sekelebat bayangan
ungu yang tidak jelas bentuknya.
Karena tahu kalau yang berada di
dalam kedai hanya laki-laki berambut putih keperakan, Ki Tiwung segera
menolehkan kepala ke sana. Dan ternyata, dugaannya benar! Laki-laki berpakaian
ungu sudah tidak ada lagi di tempatnya semula. Buktinya, kursi tempat duduknya
telah kosong. Ki Tiwung menggeleng-gelengkan
kepala. Ternyata, laki-laki berambut putih keperakan yang diduga seorang kakek
itu memiliki kepandaian tinggi pula.
Buktinya, dia mampu melesat tanpa bisa dilihat.
Tapi, Ki Tiwung buru-buru melupakan hal itu. Segera langkahnya dilanjutkan
kembali. Sehingga beberapa saat kemudian,
dia telah berada di luar kedai.
Ki Tiwung kini melihat Palasena
tengah berdiri berjarak tiga tombak di depannya. Sikap pemuda berpakaian coklat
itu tampak tenang. Padahal, tak jauh di depannya tengah bergerak mendatangi
belasan orang laki-laki berwajah dan bersikap kasar.
Dada Ki Tiwung berdebar tegang
melihat hal ini. Hatinya merasa cemas bukan kepalang. Karena disadari, bila
Palasena gagal menahan serbuan gerombolan itu, dia dan anaknya akan menjadi
korban kemarahan rekan-rekan Sangga dan Raka.
Mendadak, Ki Tiwung teringat
kembali pada laki-laki berpakaian ungu yang tadi berada dalam kedainya. Ke mana
gerangan laki-laki itu" Di pihak manakah dia berdiri" Kalau di pihak lawan,
jelas akan semakin menambah beratnya beban Palasena! Buktinya ilmu meringankan
tubuhnya telah cukup tinggi.
Teringat akan hal itu, Ki Tiwung
pun mengedarkan pandangan. Tapi, ternyata tetap saja tidak dijumpai keberadaan
laki-laki bercaping bambu tadi.
"Sudah pergikah orang itu?" tanya Ki Tiwung dalam hati. "Kalau sudah pergi,
memang lebih baik ketimbang berada di pihak lawan. Hhhh..."
Tanpa sadar, Ki Tiwung menghela
napas sambil mendongakkan kepala. Kontan
sepasang matanya terbelalak lebar, karena orang yang dicari-carinya ternyata
berada di atas cabang sebatang pohon yang tumbuh lima tombak dari depan
kedainya. Ki Tiwung mengucek-ngucek matanya
untuk meyakinkan kalau tidak salah lihat.
Betapa tidak bingung" Di situ, tampak laki-laki bercaping itu tengah duduk
bersila di atas sebuah cabang pohon kecil sebesar ibu jari kaki! Bahkan cabang
pohon itu sampai melengkung, karena hampir tak mampu menahan bobot laki-laki
berpakaian ungu itu. Tapi hebatnya, tubuh laki-laki itu sama sekali tidak
bergeming! Setelah beberapa kali mengucek-
ngucek mata, ternyata pemandangan itu masih tetap terlihat oleh Ki Tiwung. Kini
laki-laki tua itu yakin kalau sepasang matanya tidak keliru! Maka kontan bulu
kuduk laki-laki pemilik kedai ini pun merinding. Apakah laki-laki berambut putih
keperakan itu bukan manusia" Atau memang hantu"
Perasaan takut yang muncul, memaksa Ki Tiwung mengalihkan pandangan ke arah
Palasena yang tengah berdiri menunggu tibanya gerombolan teman-teman Sangga dan
Raka. Ternyata gerombolan itu telah
berjarak empat tombak dari Palasena yang masih juga berdiri tenang. Dan ketika
telah berjarak tiga tombak, mereka semua menghentikan langkah. Dan kini, kedua
belah pihak telah saling berhadapan.
Palasena seorang diri, sedangkan gerombolan itu berjumlah belasan.
Palasena menatap wajah orang-orang kasar yang berdiri di hadapannya. Sekali
lihat saja, bisa diketahui kalau mereka, memiliki kepandaian yang tidak jauh
berbeda dengan Sangga dan Raka.
Hanya satu orang saja yang mendapat perhatian lebih dari Palasena, yakni seorang
laki-laki berusia tiga puluh lima tahun, dan berkepala botak. Sebuah rompi
berwarna hitam tampak membungkus tubuhnya yang pendek gemuk. Perutnya yang
gendut, membuat rompi yang dikenakannya tidak mampu menutup seluruh bagian depan
tubuhnya. "Inikah yang disebut sang
Pemimpin?" tanya Palasena dalam hati.
Palasena menduga demikian, karena
melihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki pendek gemuk ini dengan belasan
orang lainnya. Buktinya, gerombolan orang kasar itu terlihat menghormati orang
ini. Ditambah lagi, langkah kaki dan sorot matanya semakin meyakinkan Palasena akan


Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebenaran dugaannya.
Langkah kaki laki-laki pendek gemuk itu terlihat ringan dan gesit, tidak
terlihat kalau bentuk tubuhnya menyu-
litkan langkahnya. Sementara, sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam menatap
bengis ke arah Palasena.
"Kaukah orang yang telah membunuh anak buahku, Keparat Busuk"!" tanya laki-laki
pendek gemuk itu, penuh ancaman.
"Benar!" Palasena menganggukkan kepala. "Bahkan bukan hanya mereka berdua saja
yang akan kulenyapkan. Tapi juga kau dan semua orang-orangmu!"
"Keparat! Kau benar-benar tidak tahu penyakit, Anjing Buduk"! Tidak tahukah,
dengan siapa kau berhadapan sekarang"!" bentak laki-laki berperut gendut itu.
"Aku memang tidak kenal orang yang tengah berada di hadapanku. Yang jelas,
sekarang aku tengah berhadapan dengan seorang penjahat rendah yang hanya berani
menindas orang-orang tidak berdaya!"
sambut Palasena, lantang.
"Keparat! Cincang dia!" teriak laki-laki berkepala botak itu, keras sambil
mengibaskan tangan ke depan.
Tanpa menunggu perintah dua kali,
belasan orang di belakangnya yang sejak tadi sudah tidak sabar, segera bergerak.
Srattt, singgg, wukkk!
Desing suara senjata kontan
terdengar ketika belasan orang itu mengeluarkan senjata masing-masing.
Golok, pedang, tombak, dan trisula telah
tergenggam di tangan masing-masing.
Dalam siraman sinar matahari siang, kilatan lidah senjata gerombolan itu sangat
menyilaukan mata.
Sehingga, membuat Ki Tiwung
terpaksa menutup mata karena silau.
"Haaat..,!"
Diiringi teriakan-teriakan keras
yang membahana, belasan orang itu meluruk ke arah Palasena. Senjata-senjata di
tangan masing-masing langsung bergerak, disertai suara mendesing nyaring.
Namun Palasena tidak gugup melihat hujan berbagai macam senjata yang meluruk ke
arahnya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia tidak berdiam diri. Pemuda
berpakaian coklat itu melesat, menyambut serbuan lawan-lawannya. Hebatnya,
Palasena hanya menggunakan tangan kosong.
*** Laki-laki berperut gendut itu
mengerutkan alisnya ketika melihat Palasena sama sekali tidak menggunakan
senjata. Ini menandakan kalau pemuda berpakaian coklat itu merasa yakin akan
kemampuannya dalam menundukkan lawan-lawan dengan tangan kosong. Dan hal itu
berarti tingkat kepandaian Palasena tidak bisa dianggap remeh.
Melihat hal itu, membuatnya jadi
penasaran. Benarkah Palasena mampu menghadapi dan mengalahkan serbuan anak
buahnya dengan tangan kosong" Maka dengan penuh perhatian, pandangannya
dipalingkan ke arah pertarungan.
Laki-laki bertubuh pendek gemuk ini bukan satu-satunya orang yang menyaksikan
jalannya pertarungan. Masih banyak penonton pertarungan Palasena. Dua di
antaranya adalah laki-laki berambut putih keperakan, dan Ki Tiwung.
Di samping mereka, ada juga orang-
orang yang menyaksikan jalannya pertarungan secara sembunyi-sembunyi. Mereka
adalah para penduduk desa yang mengintai dari tempat tersembunyi. Baik melalui
celah-celah dinding, pintu, maupun jendela.
Sementara itu, kedua belah pihak
yang tengah bertarung sama sekali tidak mempedulikan sekelilingnya. Masing-
masing memusatkan perhatian pada lawan yang tengah dihadapi. Memang, baik
Palasena maupun lawan-lawannya berusaha untuk secepatnya membunuh satu sama
lain. Itulah sebabnya, Palasena harus
mengerahkan seluruh kemampuannya. Ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang
dimiliki, dikeluarkan semua. Akibatnya pun menakjubkan. Setiap serangan anggota
gerombolan itu selalu mengenai tempat kosong. Dalam pengerahan ilmu meringankan
tubuhnya, Palasena bagaikan berubah menjadi bayangan. Malah dengan mudah
tubuhnya menyelinap ke sana kemari, di sela-sela hujan serangan senjata lawan-
lawannya. Palasena benar-benar membuat lawan-lawannya seakan-akan tengah
menyerang bayangan.
Tentu saja yang dilakukan Palasena tidak hanya mengelak saja. Sering pula dia
menangkis. Bahkan dengan tangan telanjang! Hebatnya, setiap serangan golok,
tombak, pedang, dan trisula, tidak membuat kulit tangannya lecet. Memang dalam
lindungan tenaga dalamnya, tangan pemuda berpakaian coklat itu tidak kalah kuat
dibanding senjata-senjata lawannya.
Maka tidak aneh bila pertarungan
baru berlangsung beberapa gebrakan, korban di pihak lawan telah jatuh.
Palasena memang tidak main-main dalam bertindak. Pengeroyok yang sial itu
langsung tewas setelah mengeluarkan lolong kematian yang membuat bulu roma
berdiri. Dan sebelum jeritan kematian itu
lenyap, kembali terdengar lolong kematian lainnya, diikuti robohnya sesosok
tubuh ke tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Hebat bukan kepalang sepak terjang Palasena. Setiap kali tangan atau kakinya
bergerak, satu nyawa pasti roboh ke tanah
dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Dalam waktu sebentar saja, lawan-lawan yang
dihadapinya hanya tinggal empat orang!
Tidak heran, akhir dari pertarungan sudah bisa ditebak.
"Keparat!"
Laki-laki berperut gendut tidak
bisa menahan kesabaran lagi. Memang, sudah sejak tadi hatinya geram melihat
kematian anak buahnya satu persatu. Maka begitu ucapan makiannya keluar, kakinya
menjejak tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya segera telah meluruk ke arah Palasena
membawa ancaman kematian.
Gerakan laki-laki berkepala botak
ini tampak aneh. Malah, lompatan yang dilakukannya, lebih mirip lompatan seekor
kodok. Apalagi, jangkauan lompatannya
memang amat jauh.
Palasena tahu adanya serangan dari laki-laki berkepala botak itu. Tapi karena
saat itu serangannya tengah meluncur ke arah salah seorang lawan, maka
diputuskannya untuk meneruskan serangannya lebih dulu.
"Akh!"
Kembali terdengar jerit kematian
dari salah seorang gerombolan pengacau Desa Sawang, ketika jari tangan Palasena
menotok jalan darah kematian di leher.
Maka, orang itu kontan roboh tanpa nyawa di tanah.
Pada saat yang hanya sekejapan
mata, laki-laki berkepala botak itu telah berada di dekatnya. Dan begitu
Palasena menarik pulang tangannya, pemimpin gerombolan itu menghentakkan kedua
tangannya ke arah dada.
Melihat hal ini, tanpa pikir
panjang lagi Palasena langsung memapak serangan lawan dengan gedoran kedua
tangannya pula. Keadaan jari-jari tangannya pun terbuka, seperti halnya laki-
laki gemuk itu.
"Jangan lakukan itu, Sena!"
Terdengar seruan keras menggelegar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu.
Jelas, teriakan itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi.
Palasena terkejut mendengar peri-
ngatan itu. Dan ketika hidungnya mencium bau amis yang memuakkan dari kedua
tangan lawan, baru disadari adanya bahaya mengancam. Rupanya, serangan lawan
mengandung racun ganas.
Tapi, kesadaran yang datang telah
terlambat! Karena....
Plakkk! Benturan keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung
tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, tubuh masing-masing sama-sama
terjengkang ke belakang.
Lelaki pendek gemuk menyeringai
saat merasakan kedua tangannya seperti lumpuh ketika benturan terjadi Jelas,
tenaga dalam Palasena jauh lebih kuat ketimbang dirinya. Bukan itu saja.
Tubuhnya pun juga melayang ke atas.
Memang, sewaktu benturan tadi terjadi, tubuhnya tengah berada di udara.
Setelah melayang sejauh beberapa
tombak, laki-laki berkepala botak ini berhasil mendarat di tanah. Meskipun,
dengan agak sempoyongan. Langsung dike-rahkannya tenaga untuk menghilangkan rasa
sesak di dada dan sakit-sakit pada kedua tangan, akibat benturan keras tadi.
Memang buruk keadaan yang dialami
kepala gerombolan pengacau itu. Tapi, masih lebih buruk lagi keadaan yang
diderita Palasena. Meskipun murid Lawata itu hanya terhuyung satu langkah ke
belakang, tapi keadaannya lebih mengkhawatirkan.
Kedua telapak tapak tangannya
segera, penuh bintik-bintik merah. Yang lebih mengerikan, perlahan-lahan bintik-
bintik itu merayap naik ke atas disertai rasa gatal, panas, dan nyeri!
"Akh...!"
6 Palasena memekik tertahan. Padahal, telah diusahakan dengan sekuat tenaga untuk
tidak mengeluarkan jeritan itu.
Tapi, ternyata tidak mampu juga. Pengaruh racun itu memang terlalu kuat untuk
bisa ditangkal.
"Cepat kemarikan tanganmu! Jangan lalai!"
Dan seiring lenyapnya gema suara
itu, di sebelah Palasena telah berdiri seorang laki-laki berpakaian ungu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Palasena segera mengulurkan kedua
tangannya. Kekhawatiran yang amat sangat terhadap akibat racun, membuatnya harus
melupakan dugaan sebelumnya. Palasena tidak ingat lagi kalau sebelumnya sudah
menaruh curiga terhadap laki-laki
bercaping bambu ini.
Palasena memang telah melupakan
kecurigaannya. Dia tahu pasti, laki-laki berambut putih keperakan itu bukan
orang yang patut dicurigai. Suara laki-laki berpakaian ungu ini dikenalinya
betul sebagai suara yang tadi mencegahnya agar jangan membenturkan tangan dengan
lawan. Memang, orang berpakaian ungu itu
tadi segera melompat turun dari cabang pohon yang diduduki, ketika melihat
Palasena keracunan. Dan begitu Palasena
mengangsurkan tangan, segera ditotoknya beberapa jalan darah pada kedua tangan
itu. Ini dilakukan untuk mencegah racun agar tidak menjalar lebih jauh.
"Apa yang kau rasakan, Sena?" tanya laki-laki berambut putih keperakan itu,
seraya menatap wajah Palasena yang dibanjiri peluh.
"Tanganku terasa gatal, perih, dan panas sekali," jawab Palasena sambil
menggigit bibir.
"Kalau begitu, kau telah terkena racun yang mengandung hawa panas," jelas laki-
laki berambut putih keperakan itu.
"Ah! Kalau begitu, aku punya
obatnya. Guruku telah memberi bekal padaku berupa obat penawar beberapa macam
racun. Tolong ambilkan obatku, Kek,"
pinta Palasena pada laki-laki bercaping itu.
Tapi sebelum laki-laki berpakaian
ungu itu melaksanakannya, laki-laki pendek gemuk yang menjadi lawan Palasena
tadi telah meluruk ke arah Palasena. Dia tidak membiarkan laki-laki muda itu
diobati. Kini, kedua tangannya tidak kosong seperti sebelumnya, karena telah
tergenggam sepasang kapak kecil berwarna hitam mengkilat.
"Orang sepertimu ingin menumpas Gajah Kecil Berbisa" Sungguh mengagumkan.
Apa kau punya nyawa rangkap, heh"!
Sekarang, terimalah kematianmu! Hih!"
Sepasang kapak berwarna hitam di
tangan laki-laki bertubuh pendek gemuk yang ternyata berjuluk Gajah Kecil
Berbisa itu meluncur ke arah Palasena dengan gerakan menggunting.
Palasena terperanjat sesaat melihat datangnya ancaman maut ini. Dia sudah
bersiap-siap untuk melompat ke belakang, tapi cepat diurungkan ketika laki-laki
bercaping itu telah lebih dulu bergerak.
Tangan kanannya bergerak mengambil caping yang menutup kepalanya, lalu
dikibaskan. Wunggg! Trakkk! Serangan kapak Gajah Kecil Berbisa langsung kandas terbentur caping bambu yang
dilemparkan laki-laki berambut putih keperakan. Dan akibatnya, penutup kepala
itu hancur berantakan. Namun meskipun demikian, tubuh Gajah Kecil Berbisa
terhuyung-huyung karenanya. Jelas, tenaga yang terkandung dalam lemparan caping
itu kuat bukan kepalang.
"Hahhh..."!"
Sepasang mata Palasena langsung
terbelalak ketika melihat wajah laki-laki berambut putih keperakan yang tadi
disapa dengan panggilan kakek. Wajah laki-laki itu ternyata masih muda. Paling
tidak usianya baru dua puluh dua tahun. Di samping muda, wajahnya pun tampak
tampan dan gagah. Bahkan masih lebih tampan ketimbang Palasena!
Jadi, tidak aneh kalau Palasena
terkejut bukan kepalang. Memang, siapa sangka kalau pemilik rambut yang berwarna
putih keperakan itu ternyata seorang pemuda!
"Namaku Arya Buana, Sena. Orang-orang biasa memanggilku Arya!" kata pemuda
berambut putih keperakan yang memang Arya alias Dewa Arak. "Maaf, aku tadi telah
mendengarkan pembicaraanmu dengan pemilik kedai ini. Jadi, akupun telah tahu
namamu." Usai berkata demikian, Arya lalu
mengulurkan tangannya ke balik baju Palasena. Diambilnya buntalan kain hitam,
lalu isinya dikeluarkan. Ternyata, obat pulung berwarna coklat.
"Apakah ini obat yang kau maksud?"
tanya Arya meminta kepastian.
Tanpa ragu sedikit pun, Palasena
menganggukkan kepala. Dan Arya pun segera memasukkan obat pulung itu ke dalam
mulut Palasena.
Sebelum Arya mengembalikan buntalan itu ke tempat semula, serangan Gajah Kecil
Berbisa kembali meluncur. Sepasang kapak di tangannya dibabatkan bertubi-tubi ke
arah berbagai bagian tubuh lawannya, yang kini adalah Dewa Arak.
Gajah Kecil Berbisa benar-benar
tidak tahu penyakit! Jangankan menghadapi Dewa Arak, melawan Palasena saja belum
tentu menang. Sementara itu, Dewa Arak sama
sekali tidak gugup melihat serangan datang. Tanpa menggeser kaki, tubuhnya
segera dicondongkan ke belakang.
Hasilnya, serangan-serangan kapak Gajah Kecil Berbisa lewat beberapa jari di
depan tubuhnya.
Dan, pada saat itulah, kaki kanan
Dewa Arak bergerak menendang dua kali.
Tuk, tuk! "Akh!"
Gajah Kecil Berbisa memekik
tertahan. Kedua kapak di tangannya kontan terlempar jauh ketika kedua kaki Dewa
Arak telak mengenai pergelangan tangannya, hingga terasa lumpuh. Dan sebelum
laki-laki bertubuh pendek gemuk itu sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Dewa Arak
telah meluncur ke arah perutnya.
Bukkk! "Hugh!"
Tubuh Gajah Kecil Berbisa kontan
terjengkang ke belakang dan terbanting keras di tanah. Bahkan langsung tidak
sadarkan diri tanpa sempat mengeluh lagi.
Palasena benar-benar takjub melihat Dewa Arak yang dengan mudahnya merobohkan
Gajah Kecil Berbisa. Memang, dia mampu pula merobohkan laki-laki berperut gendut
itu, tapi tidak akan secepat itu.
Palasena segera sadar kalau pemuda berambut putih keperakan itu pasti memiliki
kepandaian amat tinggi. Maka, dia segera mengingat-ingat cerita gurunya tentang


Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tokoh-tokoh persilatan yang terkenal. Hanya sebentar saja waktu yang
dibutuhkannya, dan dia langsung teringat.
"Jadi..., kau Dewa Arak"!" tanya Palasena tergagap.
Palasena benar-benar tidak
menyangka akan bertemu Dewa Arak. Ki Lawata maupun Garuda Cakar Lima sering
menceritakan padanya tentang tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan.
Bahkan kedua orang pendidiknya itu tampak sangat mengagumi Dewa Arak!
"Begitulah julukan yang diberikan orang persilatan padaku, Sena. Tapi, aku lebih
suka kau memanggilku Arya," sahut pemuda berambut putih keperakan itu, buru-
buru. Palasena hanya tersenyum saja,
tanpa menyambuti ucapan Arya.
"Rupanya obat yang diberikan gurumu manjur, Sena," kata Arya.
Palasena segera memandang ke arah
kedua tangannya. Dan ternyata, memang benar. Bintik merah pada kedua tangannya
sudah mulai melenyap. Sampai akhirnya, lenyap sama sekali.
Mendadak.... "Selamat tinggal, Sena!"
Palasena terperanjat mendengar
ucapan itu. Tapi belum sempat berkata apa-apa, Arya telah melesat meninggalkan
dirinya. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu telah belasan tombak di depan.
"Hhh...!"
Palasena hanya bisa menghela napas, tanpa berusaha mengejar. Dia sadar, hal itu
akan sia-sia. Jarak antara mereka terpaut terlalu jauh. Lagi pula, hanya sekali
lihat saja, pemuda berpakaian coklat itu bisa menilai kalau ilmu lari Dewa Arak
jauh di atasnya.
"Guru dan Ki Lawata ternyata tidak salah dalam hal mengagumi orang. Dewa Arak
memang merupakan seorang tokoh kosen yang patut dikagumi," kata Palasena dalam
hati. Palasena terus menatap tubuh Dewa
Arak, hingga lenyap di kejauhan. Dalam pertemuan sekali saja, Palasena telah
kagum pada Dewa Arak. Gerak-gerik Dewa Arak terlihat begitu tenang. Sikapnya
terlihat demikian matang.
Baru setelah tubuh Dewa Arak tidak terlihat lagi, Palasena melangkah menuju
kedai. Ki Tiwung yang sejak tadi hanya memperhatikan, segera melangkah
mengikuti. Sesaat kemudian, seisi Desa Sawang gempar ketika terdengar berita dari mulut ke
mulut kalau Gajah Kecil Berbisa bersama rombongannya telah berhasil ditumpas
putra Pendekar Tombak Sakti yang datang bersama kawannya.
*** "Apa"! Tidak salahkah berita yang kudengar ini, Sena"!"
Pertanyaan bernada kaget terdengar dari mulut seorang kakek kecil kurus berwajah
pucat, seperti orang penyakitan.
Sepasang matanya merayapi selebar wajah Palasena penuh selidik.
"Tidak, Guru. Memang itulah
maksudku sejak pertama kali mempelajari ilmu silat," sahut Palasena yang duduk
bersila di hadapan gurunya.
"Bisa kau beritahukan padaku, apa maksudmu mencari Dewa Seribu Kepalan dan
membalas dendam padanya?" tanya Garuda Cakar Lima setelah terlebih dulu menghela
napas berat. Palasena tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Dia termenung untuk mencari kata-kata yang tepat, guna memulai
ceritanya. Memang, pemuda berpakaian coklat belum pernah menceritakan tentang
sakit hatinya. Maka ketika keinginan hatinya diutarakan, Garuda
Cakar Lima terkejut bukan kepalang.
"Si Keparat Dewa Seribu Kepalan telah membunuh ayah dan ibuku, Guru,"
jawab Palasena, penuh dendam.
"Hentikan makianmu terhadap Dewa Seribu Kepalan, Sena! Dari siapa cerita busuk
seperti itu kau dapat"!" hardik Garuda Cakar Lima keras penuh kemarahan.
"Tapi itu bukan cerita busuk, Guru.
Buktinya seluruh penduduk Desa Sawang menyaksikan pertarungan yang berlangsung
antara ayah dan Dewa Seribu Kepalan.
Bibiku pun mengatakan kalau pembunuh ayah dan ibuku adalah Dewa Seribu Kepalan!"
bantah Palasena tak mau kalah.
"Hhh...!" Garuda Cakar Lima menghela napas, melihat sikap keras muridnya.
"Apakah kau sudah menceritakan maksudmu ini pada Ki Lawata"!"
"Sudah, Guru."
"Bagaimana sambutannya, Sena?"
tanya Garuda Cakar Lima penuh gairah.
Palasena menggelengkan kepala.
"Ki Lawata sama sekali tidak
mengatakan apa pun. Aku hanya disuruhnya mengamalkan ilmu yang kumiliki. Dia pun
menyuruhku untuk mencari Memedi Tangan Api dan Iblis Tanpa Wajah."
"Hanya itu"!" celetuk Garuda Cakar Lima, setengah tidak percaya.
Kembali Palasena menganggukkan
kepala. Garuda Cakar Lima tercenung.
"Memangnya ada apa Guru?" tanya Palasena heran melihat sikap Garuda Cakar Lima.
"Tidak apa," jawab Garuda Cakar Lima setengah mendesah. "Hanya saja aku merasa
heran, mengapa Ki Lawata tidak menceritakannya padamu."
"Maksud, Guru?" desak Palasena ingin tahu.
"Mengenai kematian ayahmu di tangan Dewa Seribu Kepalan!"
"Aku masih belum mengerti maksud guru," dahi pemuda berpakaian coklat itu
berkernyit dalam.
Garuda Cakar Lima menatap wajah
Palasena lekat-lekat.
"Lupakanlah, Sena. Kelak, kau pun akan tahu. Hanya kalau kau bersedia mendengar
saranku, lupakan saja niatmu untuk membalas dendam pada Dewa Seribu Kepalan. Oh,
ya. Apakah Ki Lawata pernah menceritakan padamu tentang Dewa Seribu Kepalan"!"
Palasena menggelengkan kepala.
Garuda Cakar Lima mengernyitkan dahi.
"Benar-benar aku tidak habis mengerti tindakan Ki Lawata, Sena. Seharusnya hal
itu harus sudah diceritakannya padamu.
Paling tidak, agar pandanganmu berubah.
Tapi, biarlah. Aku yang akan mewakilinya untuk menceritakannya."
Garuda Cakar Lima menghentikan
ucapannya sejenak, untuk mengambil napas.
"Dewa Seribu Kepalan sebenarnya seorang tokoh golongan putih, dan amat sakti.
Dia disegani kawan, dan ditakuti lawan. Maaf. Hanya itu yang bisa kukatakan
padamu, Sena. Dewa Seribu Kepalan bukan tokoh golongan hitam seperti yang kau
duga." "Tapi, ayahku berjuluk Pendekar
Tombak Sakti, Guru. Dia juga seorang pendekar. Kalau Dewa Seribu Kepalan tokoh
golongan putih, mengapa mesti membunuhnya"!" bantah Palasena penasaran.
"Aku tidak berhak menjawab pertanyaan itu, Sena. Lebih baik, tanyakanlah pada
keluargamu," tolak Garuda Cakar Lima halus.
"Mereka sudah tidak tinggal di rumah itu lagi, Guru. Sewaktu aku singgah di
sana, bangunan itu sudah kosong. Entah ke mana mereka pergi. Aku pergi ke sana
dalam usaha untuk menanyakan pada mereka mengenai Dewa Seribu Kepalan. Karena,
tokoh itu telah lenyap bagaikan ditelan bumi!" jelas Palasena.
Kontan Garuda Cakar Lima diam.
Mendadak.... "Garuda Cakar Lima! Keluar kau!
Jangan suka sembunyi seperti seorang pengecut!"
Suatu bentakan keras membuat Garuda
Cakar Lima dan Palasena mengalihkan kepala ke arah luar.
Memang, mereka berdua tengah duduk di dalam sebuah ruangan dalam yang cukup
luas. Wajah Garuda Cakar Lima kontan
merah padam. Makian 'pengecut' itulah yang membuatnya marah. Dengan gerakan
kasar, dia bangkit dan segera berjalan menuju ke luar.
Tanpa banyak cakap, Palasena
mengikutinya. Dia memang penasaran dan ingin tahu orang yang mengeluarkan
bentakan seperti itu. Karena, tenaga dalam yang terkandung dalam teriakan tadi
amat kuat. Begitu Palasena telah berada di
luar, tampak Garuda Cakar Lima tengah berdiri berhadap-hadapan dengan tiga sosok
tubuh. Kedua belah pihak saling pandang, dalam jarak tiga tombak.
Palasena menatap tiga sosok tubuh
yang berdiri di hadapan Garuda Cakar Lima, penuh selidik.
"Akhirnya, kutemukan juga tempat persembunyianmu, Garuda Cakar Lima!"
Suara yang tadi terdengar mem-
bentak, kembali terdengar. Ternyata suara itu berasal dari laki-laki bertubuh
tinggi kurus. Tinggi tubuhnya mungkin satu setengah kali orang biasa. Wajahnya
tirus, ditumbuhi kumis dan jenggot kasar-
kasar. Pakaian berwarna abu-abu yang membungkus tubuhnya, semakin membuat pucat
wajahnya. "Hi hi hik!"
Sebuah suara mengikik, menimpali.
Ternyata, tawa itu berasal dari seorang wanita berpakaian indah. Wajahnya
terlihat cantik, meskipun usianya tak kurang dari empat puluh tahun.
"Dikiranya, dia sudah lepas dari cengkeraman tangan kita, Memedi Tangan Api.
Lucu! Lucu sekali," sambut wanita berpakaian indah itu.
Laki-laki bertubuh jangkung yang
ternyata berjuluk Memedi Tangan Api mendengus. Keras sekali dengusannya,
sehingga tak kalah dengan dengusan seekor kerbau liar!
"Sekarang ingin kulihat, ke mana dia akan melarikan diri, Iblis Tanpa Wajah,"
sambut Memedi Tangan Api sambil mengumandangkan tawa penuh ejekan pada Garuda
Cakar Lima. "Biar aku yang membunuhnya, Bu,"
kata gadis cantik berpakaian hitam. Nada suaranya terdengar dingin, sedingin
sorot mata dan raut wajahnya.
"Tidak usah, Widuri," tolak Iblis Tanpa Wajah. "Biar Memedi Tangan Api yang akan
membunuhnya. Dan kita tinggal menontonnya."
*** "Widuri?" gumam Palasena dengan bibir bergetar.
Ingatan pemuda berpakaian coklat
itu melayang pada seorang gadis kecil yang ditinggalkannya enam tahun yang
silam. Sama sekali tidak disangka kalau Widuri tumbuh menjadi seorang gadis
berwatak seperti itu. Dingin.
Sementara itu, Garuda Cakar Lima
tetap bersikap tenang. Padahal, sebenarnya jantung di dalam dadanya berdebar
tegang. "Kiranya Memedi Tangan Api dan Iblis Tanpa Wajah. Sama sekali tidak kusangka
akan bisa bertemu kalian lagi."
Terlihat tenang sikap Garuda Cakar Lima melihat kehadiran tiga orang itu.
"Bersenang-senanglah sebelum kami mencabut nyawamu, Garuda Cakar Lima.
Muridku pun tengah bersenang-senang dengan cucumu. Mereka kami tinggalkan
sewaktu adegan yang tak pantas dilihat orang tua sepertiku terpampang di depan
mata." Kalem saja Memedi Tangan Api
mengucapkan-nya. Tapi, akibatnya bagi Garuda Cakar Lima tidak sesederhana itu.
Wajah kakek kecil kurus ini pucat pasi.
Tarikan wajahnya menunjukkan keterkejutan yang amat sangat.
"Kau jahanam! Apa yang kalian perbuat terhadap cucuku, Manusia-manusia iblis?"
bentak Garuda Cakar Lima, berang.
Bukan hanya Garuda Cakar Lima saja yang merasa terkejut. Bahkan Palasena hampir
terjingkat. Tanpa sadar, dia melangkah menghampiri dan berdiri di sebelah Garuda
Cakar Lima. Memedi Tangan Api, Iblis Tanpa
Wajah, dan Widuri menatap wajah Palasena sekilas.
"Inilah pemuda yang telah membawa kami kemari, Garuda Cakar Lima. Pemuda ini
telah menghancurkan gerombolan Gajah Kecil Berbisa di Desa Sawang. Begitu
mendapat penjelasan anak buah kami tentang gerakannya, bisa terduga kalau dia
adalah muridmu. Maka, kami menyu-sulnya. Dan, inilah akhirnya"!"
"Tutup mulutmu, Memedi Tangan Api!
Sekarang aku tidak perduli dengan maksud kedatangan kalian kemari! Yang ku-
tanyakan, apa yang kalian lakukan terhadap cucuku!?" dengus Garuda Cakar Lima
kalap. "Lho"! Mana mungkin kami melakukan sesuatu terhadap cucumu. Iblis Tanpa Wajah
dan putrinya adalah seorang wanita.
Sedangkan aku sudah terlalu tua. Jadi, muridkulah yang mendapat keberuntungan.
Maklum, dia seorang laki-laki dan masih muda."
"Keparat! Kubunuh kalian!"
Sambil meraung keras seperti seekor binatang buas murka, Garuda Cakar Lima
melompat menerjang Memedi Tangan Api.
Disadari kalau lawan yang dihadapinya amat tangguh. Maka, tanpa ragu-ragu lagi
seluruh kemampuannya dikerahkan.
Ciiit...! Suara mencicit nyaring terdengar
ketika Garuda Cakar Lima mengayunkan kedua tangannya yang terkembang membentuk
cakar, ketika tubuhnya telah berada di udara. Memang, kakek kecil kurus ini
telah mengeluarkan ilmu andalannya yakni jurus 'Garuda'.
7 "Hmh...!"
Memedi Tangan Api mendengus melihat serangan itu. Dengan sikap sembarangan,
tangannya cepat diayunkan untuk menangkis serangan Garuda Cakar Lima!
Prattt! Benturan keras antara dua pasang
tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tingkat tinggi terjadi. Hasilnya,
tubuh Garuda Cakar Lima kembali
terjengkang ke belakang. Sedangkan Memedi Tangan Api hanya tergempur saja
kedudukannya. "Keparat!" desis kakek tinggi kurus ini geram ketika melihat pergelangan bajunya
hancur berantakan.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 23 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Kaki Tiga Menjangan 17
^