Pencarian

Bidadari Dari Sungai Es 5

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 5


bercakrukan. Thian Oe tidak tega dan segera berkata: "Penyakit begini siauwtee mengerti juga
sedikit." la lalu keluarkan dua butir pel yang berwarna biru dan berikan kepada mereka.
Beberapa saat sesudah menelan pel itu, dalam badan mereka muncul semacam hawa panas yang
menembus sampai di pusar. Kedua perwira itu mempunyai lweekang yang cukup tinggi. Buru-
buru mereka kerahkan pernapasannya buat bikin hawa panas itu mengalir terus sampai ke tangan
dan kaki. Semakin lama mereka rasakan semakin segar.
"Besok, sesudah semua hawa dingin keluar, kesehatan djiewie taydjin (kedua tuan
pembesar) akan pulih kembali," kata Thian Oe.
Kedua perwira itu - yang satu bernama Mauwyan dan yang satunya lagi bernama
Lunpo -- adalah ahli silat di bawah perintahnya jenderal Hok Kong An. Jika hari itu
mereka waspada dan
kerahkan tenaga dalamnya buat melindungi badannya, meskipun kena serangan
Pengpok Sintan,
mereka tidak akan menderita begitu hebat. Waktu itu, lantaran sedang gembira
minum arak dan juga sebab tidak menduga wanita itu berkepandaian tinggi, mereka jadi tidak
berjaga-jaga. Sesudah hawa dingin menyerang masuk ke dalam sumsum, barulah mereka kerahkan
tenaganya buat melawan, tapi sudah kasep.
Sekarang, begitu telan pelnya Thian Oe, mereka rasakan banyak entengan dan
mereka tentu saja jadi merasa sangat heran. Mereka lantas ingat, bahwa si orang tua yang
turut bertempur di
Shigatse adalah kawannya Thian Oe. Tanpa merasa, mereka terkesiap dan salah
seorang menanya
lagi: "Sebenarnya kau siapa?"
"Bukankah aku sudah beritahukan?" kata Thian Oe.
"Apa benar kau Tan Kongtjoe?" Mauwyan menegasi.
"Jika kalian tidak percaya, nanti setibanya di Lhasa kita boleh sama-sama pergi
ke kantornya Hok Tayswee buat cari ayahku," kata Thian Oe.
"Tapi cara bagaimana kau bisa mempunyai yowan (pel) yang dapat punahkan ilmunya
wanita siluman itu?" tanya Lunpo.
Sebelumnya para dayang Pengtjoan Thianlie keluar dari gua es, Thian Oe telah
ketemukan banyak sekali yowan dalam keraton es. Ia ambil seraup dan simpan dalam
bungkusannya. Ia
kenali, bahwa di antara yowan itu terdapat Yanghowan, yaitu pel buat lawan hawa
dingin. Pel itulah yang ia berikan kepada Mauwyan dan Lunpo.
Didedas secara begitu, Thian Oe gelagapan dan tidak tahu mesti menyahut
bagaimana. Kedua
perwira jadi semakin curiga dan Mauwyan membentak: "Apa kau di kirim oleh wanita
siluman itu?"
Baru saja Mauwyan habis ucapkan perkataannya, di luar jendela mendadakan
terdengar suara
tertawanya seorang wanita yang lantas membentak: "Inilah yang dinamakan sang
anjing gigit Lu
Tong Pin. Kau tidak mengenal kebaikannya orang. Aku kirim obat, kau berbalik
mencaci aku. Apa
kau mau sakit lagi beberapa hari?"
Kedua perwira itu yang badannya masih sangat lemas, jadi kaget sekali dan tidak
berani buka suara lagi. "Orang yang curi lengtan (pel mustajab), lekas keluar ketemui aku," demikian
terdengar lagi suaranya wanita itu, yang lagu suaranya mirip-mirip dengan suaranya Pengtjoan
Thianlie. Dengan hati berdebar-debar, Thian Oe loncat keluar kamar, tapi wanita itu sudah
loncat naik ke atas genteng. Buru-buru ia balik ke kamarnya buat ambil buntalannya, dan sesudah
lemparkan uang penginapan, ia lantas memburu. Wanita itu lari sangat keras, tapi untung
ilmu entengi badannya Thian Oe sudah maju jauh, sehingga begitu keluar dari pintu kota, ia
dapat menyandak.
Wanita itu menengok dan berkata sembari tertawa: "Ilmu silatmu sudah banyak
maju. Apa Puteri kami yang memberi pelajaran" Apa ia sudah balik ke keraton?"
Di bawahnya sinar rembulan, Thian Oe kenali bahwa wanita itu adalah Yoe Peng,
dayangnya Pengtjoan Thianlie yang sangat disayang. Sedari kecil ia ikuti majikannya dan di
antara para dayang, ilmu surat dan ilmu silatnya terhitung salah seorang dari kelas satu.
Pada harian gempa
bumi, ia diperintah Pengtjoan Thianlie buat menemani Tjia In Tjin pergi petik
daun obat. Thian Oe tentu saja merasa sangat girang dapat bertemu dengan ianya. Tapi
mendengar pertanyaannya, ia jadi jengah dan berkata: "Aku curi belajar. Apakah kau mau
jalankan perintah
majikanmu buat menghukum aku?"
Yoe Peng tertawa-tawa dan menyahut: "Puteri kami sebenarnya sangat sayang kau.
Sebetulbetulnya,
ia sudah perintah aku ajarkan kau beberapa macam ilmu silat, sebelumnya kau
meninggalkan keraton. Cuma menyesal malam itu kau mencuri masuk ke dalam tempat
pemujaan, sehingga Kongtjoe jadi gusar sekali. Menurut dugaanku, ia cuma mau gertak kau,
dan sehabis mengadu pedang, rasanya ia akan segera lepaskan kau dari kurungan. Sesudah
mengalami bencana alam yang hebat, tak dinyana kau dan aku masih bisa hidup terus. Cobalah
tuturkan pengalaman dalam keraton selama tiga bulan yang lalu."
Thian Oe segera tuturkan segala kejadian secara ringkas. "Aku sudah duga semua
saudarasaudara tidak akan sampai binasa," kata Yoe Peng setelah dengar penuturan Thian Oe.
"Sebetulbetulnya,
waktu itu aku cuma kuatirkan keselamatanmu yang sedang dikurung dalam gua. Jika
kau sampai kenapa-kenapa, Kongtjoe tentu akan merasa tidak enak hati."
"Dan bagaimana dengan Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe.
Yoe Peng geleng-gelengkan kepalanya dan menyahut: "Selagi menemani soenio-mu
memetik daun obat, aku lihat tanda-tanda bakal terjadinya gempa bumi. Maka itu, buru-
buru kita naik perahu dan turun ke telaga Thian-ouw. Aku sama sekali tidak mengetahui
keadaannya Kongtjoe."
Thian Oe merasa putus harapan. "Soenio-ku?" ia tanya lagi.
"Ia sudah pulang ke Soetjoan buat tunggu lahirnya anak yang sedang dikandung,"
sahut Yoe Peng. Mendengar begitu, Thian Oe jadi sadar. Ia sekarang mengetahui, bahwa soenio-nya
sedang hamil, sehingga tidaklah heran gurunya sudah tinggalkan pesanan begitu
kepadanya. "Tak lama lagi kau akan mempunyai soetee atau soemoay. Apa kau tidak girang?"
kata Yoe Peng sembari tertawa.
Mengingat kebinasaan yang menyedihkan dari gurunya, hatinya Thian Oe kembali
merasa sedih. "Tapi kenapa kau tidak buru-buru balik ke keraton?" tanya ia dengan suara
menegor. "Kau tahu, hari itu gunung berapi meledak dan gempa bumi yang hebat telah
terjadi," menerangkan Yoe Peng. "Sesudah gempa bumi itu, di selebar gunung penuh dengan
batu-batu dan lahar yang sangat panas. Selainnya itu, jalanan juga sudah tertutup
semuanya. Melihat
begitu, kita tahu tidak akan bisa naik ke gunung pada sebelumnya lahar itu
menjadi dingin.
Soenio-mu sedang hamil, mana bisa ia berdiam lama-lama di daerah pegunungan yang
tidak mempunyai tempat meneduh. Aku tahu dalam keraton sudah siap sedia tempat
berlindung, sehingga, kecuali pikirkan keselamatanmu, aku anggap keselamatan para saudara
dan Thiekoay sian sudah terjamin. Aku segera bujuk soenio-mu supaya pulang lebih dahulu ke
Soetjoan buat melahirkan dan begitu ada kemungkinan, aku percaya Thiekoay sian juga akan
segera menyusul."
"Tapi guruku tak akan bisa pulang lagi," kata Thian Oe dengan suara serak.
Mendengar kebinasaannya Thiekoay sian, Yoe Peng juga merasa sangat terharu. Ia
berdiri bengong beberapa saat dan kemudian menanya: "Kemana kau mau pergi?"
"Ke Lhasa. Dan kau?" Thian Oe balas tanya.
"Aku tak tahu mau pergi kemana," jawab Yoe Peng sembari tertawa. "Sebetulnya,
aku cuma niat berdiam di daerah ini buat sementara waktu dan lantas pulang begitu lekas
lahar menjadi dingin dan keras."
"Sekarang, selainnya satu kawah yang masih semburkan api dan asap, di atas
gunung sudah tidak terdapat lahar panas lagi," menerangkan Thian Oe.
"Itulah aku tidak tahu," kata Yoe Peng. "Aku sebetulnya niat menunggu sampai
musim semi baru pulang buat lihat-lihat keadaan." Ia berdiam beberapa saat dan kemudian
berkata lagi sembari mesem: "Apa kau masih ingat itu toeilian yang digubah oleh si pemuda
baju putih dengan mengambil namaku" Ia persamakan diriku seperti seorang wanita suci yang
berdiam dalam lembah gunung yang sunyi. Tapi sebenar-benarnya, sebagai manusia
biasa, aku pun ingin sekali melihat-lihat keadaan di dunia luar. Selama berdiam begitu
banyak tahun dalam
keraton, sering-sering aku merasa sangat kesepian."
Dengan senyumannya yang manis, di bawah sinarnya sang bulan, Yoe Peng seakan-
akan satu bocah yang nakal. Hatinya Thian Oe juga masih bebocahan. Ia tertawa dan berkata:
"Hm! Kau rupanya ingin menggunakan kesempatan ini buat jalan-jalan. Di seluruh Tibet,
Lhasa-lah yang paling ramai. Disitu terdapat gereja
Lhama yang luar biasa indahnya. Paling baik kau ikut aku pergi ke Lhasa."
"Bagus! Kita juga bisa sekalian dengar-dengar halnya Kongtjoe," sahut Yoe Peng
dengan suara girang. Mendengar namanya Pengtjoan Thianlie, hatinya Thian Oe jadi berdebar. Ia berdiam
beberapa saat dan kemudian berkata sambil menghela napas: "Tu hari mereka sedang adu
pedang di kakinya Puncak Es. Apa mereka bisa selamatkan diri?"
"Puteri kami bergelar Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai Es)," kata Yoe
Peng. "Meskipun
ia tidak dapat disamakan seperti sebangsa dewi, akan tetapi kepandaiannya
sesungguhnya tak
dapat diukur bagaimana dalamnya. Aku sama sekali tidak percaya ia sampai hilang
jiwa lantaran bencana alam itu." Dari perkataan dan sikapnya, Yoe Peng kelihatan pandang
majikannya betulbetul
seperti seorang dewi, sehingga Thian Oe jadi terpengaruh dan tidak percaya lagi
Pengtjoan Thianlie binasa dalam gempa bumi. Dengan demikian, hatinya jadi legaan.
"Kau lihat Puteri kami bertempur seru dengan si pemuda baju putih, tapi
janganlah kau anggap
mereka berkelahi seperti musuh," kata Yoe Peng sembari tertawa. "Aku sudah dapat
lihat, Kongtjoe sebenarnya suka pemuda itu!"
Thian Oe tertawa besar seraya berkata: "Kau ini benar-benar setan yang cerdik!"
"Kau juga setan pintar yang berlagak bodoh," membalas Yoe Peng. "Kau mencintai
siapa, aku juga sudah tahu."
Paras mukanya Thian Oe lantas berubah guram. "Ilmu kepandaiannya Chena masih
sangat cetek. Belum tentu ia dapat loloskan diri," katanya dengan suara perlahan.
"Orang baik tentu akan dilindungi Tuhan. Kalau belum takdirnya mati, ia tentu
tidak akan mati,"
kata Yoe Peng dengan suara menghibur. Kata-kata itu sebenarnya cuma merupakan
hiburan belaka, akan tetapi, sesudah mendengar, hatinya Thian Oe jadi terhibur juga.
Sesudah berjalan beberapa lama, Thian Oe menanya: "Kau selalu memanggil
Pengtjoan Thianlie sebagai Paduka Puteri. Bolehkah aku mendapat tahu, ia sebenarnya puteri
dari negara mana" Kenapa ia mempunyai kedudukan Kongtjoe, sedang ayahnya hanya seorang
pendekar dalam Rimba Persilatan?"
"Baiklah," sahut Yoe Peng. "Buat hilangkan kesepian, aku akan ceritakan asal-
usulnya Kongtjoe."
Demikianlah, dengan diterangi sinar bulan yang bagaikan perak, Yoe Peng segera
jalan lebih dekat dengan Thian Oe dan mulai dengan penuturannya:
"Pada tiga puluh tahun yang lalu, di negara Nepal hidup seorang puteri raja yang
bernama Hoa Giok. Ia diberi nama Hoa Giok oleh karena raja sangat mengagumi sifat ke
Tionghoa-an dan juga
oleh karena sang puteri berparas sangat cantik, ibarat batu giok dari bangsa
Han. Sesudah besar,
Hoa Giok Kongtjoe menjadi seorang gadis yang boenboe songtjoan (mahir dalam ilmu
surat dan ilmu silat). Ia belajar ilmu surat dari guru-guru yang sengaja diundang dari
Tiongkok, sehingga
ia bukan saja apal macam-macam kitab, tapi juga pandai menggubah syair-syair
Tionghoa. Buat menjadi guru silatnya, Raja Nepal undang ahli silat dari negara Arab. Di
sebelahnya itu, ia
tentu saja mahir dalam ilmu menunggang kuda dan ilmu memanah yang menjadi
kesukaannya. "Sang tempo berjalan cepat sekali. Dalam tempo sekejap, sang puteri sudah


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusia delapan
belas tahun. Para pemuda di Nepal tentu saja sangat ingin dapatkan Hoa Giok
sebagai isterinya,
akan tetapi, tak ada barang satu yang dipenuju oleh sang puteri. Tahun lepas
tahun dan Hoa Giok
sudah berusia dua puluh dua tahun. Raja Nepal yang cuma mempunyai seorang puteri
jadi merasa bingung juga. Supaya puterinya tidak sia-siakan usia muda, ia niat pilih satu
Hoema (menantu raja) dan kemudian paksa supaya puterinya mau menikah dengan pemuda pilihannya
itu. Akan tetapi, Hoa Giok menolak dengan keras dan ajukan satu usul balasan.
"Sesuai dengan apa yang ia sering baca dalam buku-buku Tionghoa, ia ingin
memilih sendiri
suaminya dengan berdirikan loeitay. Ia usulkan kepada ayahnya, supaya
dibcrdirikan dua loeitay,
yaitu loeitay buat adu ilmu surat dan loeitay buat adu ilmu silat. Setiap calon
harus lebih dahulu
dijajal ilmu silatnya, dan jika lulus, baru dicoba ilmu suratnya. Dalam ilmu
silat, sesudah lulus
beberapa ujian sulit, seorang calon harus adu pedang dengan ia sendiri, dan
kalau menang, barulah diuji ilmu suratnya. Dalam ilmu surat, satu calon bukan saja harus mahir
dalam kesusasteraan Nepal, tapi juga mesti mengenal kitab-kitab dan syair Tionghoa. Di
antara orang Nepal memang banyak yang mengenal bahasa Tionghoa, tapi pengetahuan mereka
kebanyakan sangat cetek dan manalah bisa gampang-gampang lulus dari ujiannya sang pulen.
Selama dua tahun, jumlah pemuda yang majukan lamaran semuanya ada seratus dua puluh empat
orang, tapi yang berhak adu pedang dengan sang puteri cuma ada tujuh orang, sedang yang bisa
menangkan Hoa Giok cuma tiga orang saja. Akhirnya ketiga orang itu jatuh semuanya dalam
ujian kesusasteraan Tionghoa.
"Raja jadi bingung sekali dan belakangan malahan permisikan masuknya calon-calon
bangsa Han. Tapi semua calon Tionghoa pun siang-siang sudah pada roboh dalam ujian ilmu
silat. "Tanpa merasa, usianya Kongtjoe sudah menanjak jadi dua puluh empat tahun. Pada
suatu hari, dengan suara sungguh-sungguh Raja Nepal berkata kepada puterinya:
'Sekarang kau sudah
gagal dalam usaha memilih Hoema, maka sepantasnya kau serahkan urusan itu ke
dalam tanganku. Aku tak dapat permisikan kau membuka loeitay terus-menerus dalam tempo
yang tidak terbatas.' Hoa Giok lalu minta tempo seratus hari lagi, dan kalau sudah lewat
seratus hari lagi ia
belum juga berhasil, barulah ayah dan anak berunding lagi. Akan tetapi, diam-
diam Kongtjoe yang
beradat tinggi dan agung itu sudah mengambil putusan pasti buat tidak menikah
dengan lelaki sembarangan, dan jika sesudah seratus hari ia beium juga berhasil, ia rela
menjadi pendeta dan
tidak menikah seumur hidupnya.
"Sesudah lewat sembilan puluh sembilan hari belum juga ada calon yang berhasil,
sehingga Kongtjoe sendiri juga merasa putus harapan. Pada hari yang ke seratus mendadak
datang satu calon bangsa Han yang mukanya penuh debu dan mengatakan, bahwa ia baru saja tiba
dari tempat jauh dan ingin ajukan diri sebagai seorang calon. Dalam ujian ilmu silat,
pemuda itu ternyata pandai menunggang kuda dan memanah, sedang kedua tangannya sanggup
angkat batu yang beratnya ribuan kati. Sesudah lulus berbagai ujian berat, ia akhirnya
berhadapan dengan
puteri Hoa Giok sendiri. Ia layani sang puteri dari tengah hari sampai magrib
dan akhirnya secara
indah sekali, ia sontek tutupan mukanya Puteri dengan ujung pedangnya.
"Ketika dijajal ilmu suratnya, Puteri Hoa Giok sendiri sampai merasa sangat
kagum. Ia ternyata
mengenal baik kesusasteraan Nepal dan tentu saja sangat mahir dalam
kesusasteraan Tionghoa
dan malahan banyak penjelasan-penjelasan yang belum dikenal oleh sang puteri
sendiri. "Sekarang tinggal dua ujian terakhir buat coba kecepatan otakmu" kata Puteri Hoa
Giok. "Jika kau
lulus, kau..." Kongtjoe tidak dapat teruskan perkataannya dan mukanya jadi
bersemu merah. Pemuda itu lantas saja minta ia keluarkan dua ujian terakhir itu..."
"Pemuda itu tentulah juga ayahnya Pengtjoan Thianlie, Koei Hoa Seng Tayhiap,"
Thian Oe potong penuturan orang. "Koei Tayhiap sedari kecil mendapat didikan langsung
dari ibunya sendiri, maka tidaklah heran kalau ia mempunyai pengetahuan tinggi sekali dalam
ilmu surat dan ilmu silat. Apakah adanya itu dua ujian terakhir?"
"Ujian yang pertama ialah Kongtjoe rninta Koei Tayhiap menggubah sepasang
toeilian," Yoe
Peng lanjutkan penuturannya. "Toeilian tersebut harus digubah dengan menggunakan
namanya, yaitu Hoa Giok. Buat itu Koei Tayhiap diberi tempo sepasangan hio, dan kalau
sampai hio terbakar
habis, toeilian belum selesai, Koei Tayhiap jatuh dari ujian itu. Sesudah
mendengar penjelasan
Kongtjoe, Koei Tayhiap segera berkata: "Toeilian itu sudah ada, cuma mungkin
kata-katanya sedikit menyinggung, sehingga aku mohon Paduka Puteri sudi maafkan." Sehabis
berkata begitu,
Koei Tayhiap segera menulis toeilian yang bunyinya seperti berikut:
"Gunung indah, pemandangan permai,
siapakah yang mau diajak pesiar"
Melihat pohon Buhdi berkembang, Sa Kya bermesem simpul.
Suling giok (batu kemala), suaranya merdu,
mengundang tetamu turut bersuka ria.
Mendengar Siang Djie mementil khim, Tjoe Tjin meniup suling."
"Pada baris pertama dari toeilian itu, Koei Tayhiap telah mengambil petikan dari
kitab Budha, sedang pada baris kedua, ia menggunakan hikayatnya Soema Siang Djie yang
meminang Tjo Boen
Koen dengan mementil khim dan hikayatnya Tjoe Tjin yang dengan meniup suling,
telah mengundang burung Hong buat melamar puterinya Raja muda Tjin Bok Kong, yang
bernama Long Giok. Demikianlah, pada baris kedua itu, Koei Tayhiap telah kutib cara melamar
isteri dari dua
orang dahulu kala itu. Ketika ia menulis habis, hio baru saja terbakar
sepertiga. Begitu membaca
toeilian tersebut, Hoa Giok Kongtjoe tertawa dengan paras muka girang dan lalu
maju dengan ujian yang kedua, yaitu ujian yang paling akhir." (Perkataan "indah" -- hoa --
dari baris pertama,
jika dirangkap dengan perkataan "giok" dari baris kedua, jadilah Hoa Giok, yaitu
namanya sang puteri). Thian Oe tertawa seraya berkata: "Kalau begitu tidak heran Pengtjoan Thianlie
begitu suka menggubah toeilian dari namanya orang. Tak tahunya ia mewarisi kesukaan itu dari
ayah ibunya."
"Kedatangan si pemuda baju putih ke keraton es adalah seperti kedatangan Koei
Tayhiap ke Nepal buat meminang dirinya Kongtjoe," kata Yoe Peng.
"Tapi bagaimana dengan ujian kedua?" tanya Thian Oe dengan suara tidak sabaran.
"Hayolah jangan omongi segala hal yang tidak ada perlunya."
"Cerita ini adalah cerita didalam cerita," demikian Yoe Peng lanjutkan
penuturannya. "Pendahuluan dari ujian kedua ialah satu cerita dahulu kala. Cerita itu belum
berakhir dan dapat
di akhiri menurut sukanya orang. Dengan lain perkataan, cerita itu bisa berakhir
girang dan juga
bisa berakhir sedih. Buat uji kecerdasan otaknya, Kongtjoe minta Koei Tayhiap
menulis akhirnya
cerita itu."
"Cerita itu adalah begini: Dahulu kala, seorang puteri diam-diam jatuh cinta
kepada seorang boesoe (pahlawan). Tidak terduga, boesoe itu bercintaan dengan satu dayang. Apa
mau rahasia ini terbuka. Dalam kegusarannya, sang puteri beritahukan ayahnya. Kedosaan itu
adalah kedosaan
besar dan si boesoe harus mendapat hukuman berat.
"Akan tetapi, negeri itu mempunyai cara menghukum yang sangat luar biasa. Mereka
percaya, bahwa di langit terdapat dewa yang memegang nasibnya manusia. Apakah terdakwa
berdosa atau tidak juga diputuskan oleh sang dewa itu. Caranya adalah begini: Si terdakwa
dilepaskan di atas
satu lapangan terbuka yang sangat luas. Di sebelah kiri dan kanannya lapangan
tersebut terdapat
satu pintu. Dalam pintu yang satu ditaruh seekor singa kelaparan, sehingga kalau
si terdakwa masuk kesitu, ia tentu akan dibeset dan dimakan oleh singa tersebut. Dalam pintu
yang satunya lagi terdapat satu jalanan yang menerus keluar lapangan. Jika si terdakwa masuk
di pintu itu, ia
segera dapat pulang kemerdekaannya dan segala tuduhan dibikin habis. Menurut
kepercayaan, orang itu mendapat berkahnya dewa dan siapa yang mendapat berkahnya dewa,
bukannya seorang jahat."
"Oleh karena tidak mengetahui bahwa puterinya mencintai si boesoe dan juga oleh
karena sangat sayang pahlawan itu, maka raja sengaja menaruh belas kasihan yang
istimewa. Seperti
biasa, dalam pintu yang satu ditaruh seekor singa kelaparan. Akan tetapi, dalam
pintu yang satunya lagi, raja perintah taruh si dayang kecintaannya boesoe itu. Jika boesoe
itu masuk ke dalam pintu yang terisi singa, memang sudah nasibnya ia mesti binasa dan dewa
anggap ia berdosa. Akan tetapi, manakala ia masuk ke dalam pintu yang berisi dayang, maka
bukan saja ia akan memperoleh kemerdekaannya, tapi juga diperbolehkan menikah dengan
kecintaannya itu."
"Pada harian penentuan nasibnya boesoe tersebut, sang puteri juga turut
menonton. Panggungnya keluarga raja berdiri di tengah-tengah antara kedua pintu nasib.
Waktu lewat di depan panggung, boesoe tersebut mengawasi sang puteri dengan sorot mata mohon
dikasihani. Kongtjoe itu tahu pintu mana yang berisi singa dan pintu mana yang berisi
dayang." "Saat itu, nasibnya si boesoe terletak dalam tangannya Kongtjoe. Dengan sekali
tunjuk, ia dapat memutuskan, apa boesoe itu mati atau hidup. Pintu manakah yang akan
ditunjuk oleh sang
puteri" Di satu pihak, hatinya gusar dan sakit hati lantaran perbuatannya boesoe
itu, ditambah pula dengan perasaan mengiri terhadap sang dayang yang sudah merebut
kecintaannya. Akan
tetapi di lain pihak, dengan cintanya yang sangat besar, dimana ia tega kalau
boesoe itu sampai
dibeset singa?"
"Pada saat itu, dua rupa pemandangan berkelebat di depan matanya Kongtjoe. Di
ini detik, ia lihat boesoe itu menikah dengan sang dayang dengan penuh kecintaan dan
kemanisan. Di lain
detik, ia lihat tubuh yang berlumuran darah dari boesoe tersebut, akibat dibeset
singa. Ketika ia
dongakkan kepalanya, ia lihat sorot mata yang memohon kasihan dari kecintaannya
itu. Pintu manakah yang sang puteri harus tunjuk?"
Thian Oe sudah dibikin begitu ketarik dengan cerita itu, sehingga ia mendengari
dengan mata mendelong dan mulut ternganga, dan tanpa merasa, hatinya berdebar-debar dan
turut memikiri,
pintu mana yang harus ditunjuk oleh Kongtjoe.
Yoe Peng tertawa dan berkata pula: "Waktu itu, pertanyaannya Hoa Giok Kongtjoe
juga adalah sedemikian. 'Andaikata kau jadi puteri itu,' kata Puteri Hoa Giok kepada Koei
Tayhiap, 'pintu
manakah yang kau akan tunjuk"' Jawabannya Koei Tayhiap haruslah cocok dengan
pendapatnya sang puteri yang menurut sukanya dapat memutuskan sendiri, apa jawaban Koei
Tayhiap benar atau salah. "Pertanyaan itu bukan main sukarnya. Tidak perduli pintu mana juga yang ditunjuk
oleh Koei Tayhiap, Hoa Giok Kongtjoe bisa bilang ia tidak mengerti soal cinta. Soal cinta
dapat ditafsirkan
secara berbeda-beda, menurut pendapat pribadi dari sesuatu orang. Sebagai
contoh, jika sang
puteri dalam cerita itu menunjuk pintu yang ada singanya, maka dapat
ditafsirkan, bahwa ia
menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab cinta menimbulkan cemburu dan cinta
yang sangat dapat menimbulkan kebencian yang sangat. Jika sang puteri tunjuk pintu yang
berisi dayang, itu
juga bisa ditafsirkan bahwa ia menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab orang
yang betulbetul
mencinta selamanya bersedia buat mengampuni orang yang dicinta, dan di
sebelahnya itu,
cinta berarti juga pengorbanan guna keberuntungannya orang yang dicinta. Tapi
bagaimanakah pendapat Hoa Giok Kongtjoe mengenai soal itu" Itulah ada soal sulit
yang mesti ditebak dengan jitu oleh Koei Tayhiap!"


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Koei Tayhiap memikir beberapa saat dan kemudian tanya Hoa Giok Kongtjoe:
'Puteri dalam cerita itu, apakah puteri dari negara Timur atau puteri dari negara Barat"'
Cerita itu sebenarnya
adalah cerita dari Eropa yang belakangan masuk ke Timur dan menjadi bahan dari
berbagai penulis. Koei Tayhiap mengetahui sumbernya cerita itu, akan tetapi ia sengaja
menanya begitu."
"Hoa Giok Kongtjoe yang tidak mengerti maksudnya segera balas menanya: 'Kalau
puteri Timur bagaimana" Kalau puteri Barat bagaimana"' Koei Tayhiap tertawa dan menyahut:
'Kalau sang puteri adalah puteri dari negara Timur, ia tentu akan tunjuk pintu yang berisi
dayang. Tapi jika ia
adalah puteri dari Barat, ia tentu akan tunjuk pintu yang ada singanya. Orang
Timur biasanya lebih
bersedia saling mengampuni, sedang kaum wanitanya kebanyakan berhati welas asih,
sehingga sepuluh sembilan ia tidak akan tega melihat kecintaannya dibeset singa. Di lain
pihak, cintanya
wanita negara Barat bersifat monopoli, yaitu tidak sudi membagi kepada lain
orang. Orang Barat
suka mengatakan bahwa cinta adalah seperti biji mata dan disitu tidak boleh
menyelip barang
sebutir pasir. Maka itulah, jika sang puteri adalah puteri negara Barat, sepuluh
sembilan ia akan
tunjuk pintu yang berisi singa, sebab ia kebanyakan lebih suka kecintaannya
binasa daripada
direbut oleh lain perempuan. Akan tetapi, jika boesoe itu adalah seorang
Tionghoa, siang-siang ia
tentu dapat mengetahui kecintaannya sang puteri, sehingga kejadian itu
sebenarnya tidak usah
terjadi!" "Bukan main licinnya jawaban itu. Tapi Koei Tayhiap sebenarnya boleh tidak usah
susah-susah. Kita bisa duga, tak perduli Koei Tayhiap menjawab bagaimana juga, Hoa Giok
Kongtjoe tentu akan
merasa puas."
"Begitulah Hoa Giok Kongtjoe segera menetapkan Koei Tayhiap sebagai Hoema. Bukan
main girangnya raja. Waktu dilangsungkan pesta pernikahan, tiga hari libur diberikan
di seluruh negeri
dan semua orang pada bersuka ria. Pada lain tahunnya, Hoa Giok Kongtjoe
melahirkan seorang
puteri yang diberi nama Peng Go oleh Koei Tayhiap. Ia itulah yang belakangan
dikenal sebagai
Pengtjoan Thianlie. Raja tidak mempunyai anak lelaki. Hoa Giok Kongtjoe adalah
anaknya yang tunggal. Dari sebab begitu, sang cucu Peng Go juga diberi gelaran Kongtjoe."
"Kedua mempelai hidup beruntung sekali dan tidak terasa lima tahun sudah lewat.
Usianya raja sudah lanjut dan ia merasa jengkel memikiri soal ahli waris yang harus gantikan
ia menjadi raja."
"Dalam banyak negara, seorang puteri dapat naik ke atas tahta. Akan tetapi,
menurut kebiasaan di Tiongkok, cuma orang lelaki yang boleh menjadi kaizar. Sudah lama
Nepal kena pengaruhnya kebudayaan Tionghoa, sehingga soal itu menjadi pertentangan antara
dua partai. Satu partai menghendaki supaya Hoa Giok Kongtjoe gantikan ayahnya, sedang lain
pihak ingin Raja Nepal angkat keponakan lelakinya sebagai ahli waris. Keponakan itu sudah
lama sekali incarincar
tahta kerajaan. Dia sudah mempunyai banyak sekali konco-konco dan tukang pukul.
Tak usah dibilang lagi, dia sangat membenci Hoa Giok Kongtjoe. Pertentangan antara
kedua partai semakin lama jadi semakin hebat, sehingga dalam kerajaan Nepal yang tenteram
jadi timbul hujan
angin." "Hoa Giok Kongtjoe yang tidak tega melihat negaranya terancam bahaya, segera
berdamai dengan Hoema. Koei Tayhiap anjurkan isterinya melepaskan haknya dan sama-sama
menyingkirkan diri ke Tibet. Kedua suami isteri itu, yang mempunyai ilmu silat
sangat tinggi, telah
melebur ilmu pedang Tionghoa dan ilmu pedang daerah Barat menjadi satu dan
menggubah satu ilmu pedang baru. Hoa Giok menyetujui pikiran suaminya. Ia pun merasa, bahwa
hidup tenteram bersama-sama suaminya yang tercinta, ada lebih beruntung daripada menjadi ratu.
Maka itulah, ia
tinggalkan sepucuk surat buat ayahandanya dan diam-diam tinggalkan keraton
bersama suami, puterinya dan sejumlah dayang. Selama hidup dalam keraton, sang puteri sangat
dicintai orang.
Waktu mau berangkat, beberapa puluh dayangnya berkeras mau mengikut juga,
sehingga ia terpaksa mesti mengajak."
"Sesudah keraton es berdiri, sejumlah dayang yang usianya lebih tua telah pulang
ke Nepal buat sementara waktu, guna memilih sejumlah anak perempuan dari kalangan
keluarga mereka
buat diajak datang ke keraton supaya dapat mengawani Puteri Peng Go. Anak-anak
perempuan itu menjadi besar bersama-sama Pengtjoan Thianlie dan mereka semuanya mempunyai ilmu
silat yang cukup tinggi."
"Sesudah Hoa Giok Kongtjoe meninggalkan keraton tiga tahun lamanya, Raja Nepal
wafat dan keponakan lelakinya naik ke atas tahta sebagai gantinya."
"Menurut katanya orang, begitu naik tahta, raja baru coba menyelidiki dimana
adanya Koei Tayhiap suami isteri, akan tetapi mana dia bisa mencarinya. Sesudah berdiam di
atas Thian-ouw,
hatinya Kongtjoe menjadi lebih tawar terhadap segala urusan ke negaraan. Ia
lebih-lebih tidak
sudi balik ke negaranya, ketika dapat dengar bahwa saudara misanannya adalah
satu raja yang kejam dan sombong. Hoa Giok Kongtjoe meninggal dunia terlebih dahulu dari Koei
Hoema. Waktu mau menutup mata, ia tinggalkan pesanan, bahwa, kecuali kalau Puncak Es roboh,
semua penghuni dari keraton es tidak boleh turun gunung. Sesudah isterinya meninggal
dunia, Koei Tayhiap berdirikan sebuah kuil yang berbentuk kuil Nepal dalam taman keraton.
Selainnya membuat sebuah patung isterinya guna pemujaan, ia ukir ilmu pedang gubahannya
pada dinding kuil tersebut. Kecuali Pengtjoan Thianlie, tak ada lain orang yang boleh masuk
kedalam kuil tersebut yang jadi semacam tempat terlarang.
"Lewat setahun sesudah meninggalnya sang puteri, Koei Tayhiap susul isterinya ke
alam baka dan Pengtjoan Thianlie menjadi majikan tunggal dari keraton es. Seperti kedua
orang tuanya, ia
juga sangat suka dengan kesusasteraan Tionghoa dan semua dayang-dayangnya
diberikan nama Han." Demikian penuturan mengenai riwayatnya Pengtjoan Thianlie yang diberikan oleh
Yoe Peng. "Apa cerita itu cukup menarik?" tanya Yoe Peng dengan tertawa sedih, setelah
selesai dengan ceritanya. Sesudah berdiam beberapa saat, Thian Oe berkata: "Cerita ini juga belum
berakhir. Seperti juga
cerita si boesoe, cerita Pengtjoan Thianlie juga bisa berakhir sedih atau
berakhir girang."
"Bagaimana?" tanya Yoe Peng.
"Perangkapan jodoh antara dua orang yang berlainan bangsa dan kemudian hidup seperti di
dalam surga, ceritamu luar biasa indahnya," menerangkan Thian Oe. "Sepasang
merpati itu kemudian dapat satu puteri - yaitu Pengtjoan Thianlie - yang benar-benar seperti
satu bidadari dari kahyangan. Jika Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih bisa terangkap
jodoh dan dapat
hidup seperti Koei Tayhiap dan Hoa Giok Kongtjoe, maka cerita ini berakhir
girang. Akan tetapi,
jika Pengtjoan Thianlie tak dapat loloskan diri dari bencana gempa bumi dan
binasa secara kecewa
sekali, maka cerita ini berakhir sedih."
"Tentu bisa lolos! Tentu bisa lolos!" Yoe Peng berkata dengan suara tetap.
"Harap saja begitu," berkata Thian Oe sembari dongakkan kepalanya. Dengan hati
sedih ia mengawasi itu rembulan yang sinarnya dingin. Mendadakan saja ia ingat cerita
tentang ia sendiri
dan Chena. Ia juga tak tahu, apa cerita itu akan berakhir sedih atau akan
berakhir girang.
Thian Oe bengong terlongong-longong. Lama, lama sekali ia tak dapat keluarkan
sepatah kata. "Anak tolol!" kata Yoe Peng sembari towel pipinya. "Apa yang kau lagi pikirkan."
Mendadak ia lihat paras mukanya Thian Oe berobah, seperti juga sedang mendengari
apa-apa. Yoe Peng juga pasang kupingnya dan sudah dengar suara itu. "Ih! Ada orang!" ia
berbisik di kupingnya Thian Oe. Mereka berdua lantas saja loncat dan sembunyikan dirinya di
belakang satu batu besar. Di lain saat, beberapa bayangan orang kelihatan berkelebat mendatangi. Di
sebelah timur terdengar dua tepukan tangan, sedang di sebelah barat juga terdengar dua tepukan
tangan. "Mari kita ke tempat yang lebih tinggi, supaya tak dapat dilihat oleh mereka,"
kata Thian Oe. Dengan menggunakan ilmu entengi badan yang sangat tinggi, seperti monyet mereka
naik ke lereng gunung dan mengumpat di belakangnya satu batu besar, dari mana, dengan
bantuan sinar rembulan, mereka dapat lihat keadaan di sebelah bawah dengan nyata sekali.
Dengan beruntun, bayangan-bayangan hitam itu berhenti di tempat dimana barusan
Thian Oe dan Yoe Peng berdiri. Mereka lalu bersila di atas tanah dalam bentuk satu
lingkaran bundar.
"Dilihat begini, mereka rupanya mau berunding," berbisik Thian
Oe, yang mempunyai lebih banyak pengetahuan daripada Yoe Peng tentang kebiasaan
orangorang Kangouw, berkat pengunjukannya Thiekoay sian.
Mendadak Yoe Peng tertawa dan berkata: "Pedagang-pedagang dari Eropa yang sangat
tahayul, sangat tidak menyukai hari Jumat dan angka tiga belas. Mereka anggap,
hari Jumat dan angka tiga belas membawa kesialan. Coba lihat! Mereka itu berjumlah tiga belas
orang dan kalau
tidak salah, hari ini adalah hari Jumat."
"Mana boleh!" kata Thian Oe. "Kalau toh benar-benar sial, aku anggap cuma
kebetulan saja."
Mendengar Yoe Peng menyebutkan hari, tiba-tiba Thian Oe ingat apa-apa. "Eh,"
katanya. "Tanggal
berapa ini" Tanggal penanggalan Tionghoa (Imlek)."
"Tak ingat," jawab Yoe Peng. "Penanggalan Tionghoa rewel sekali, ada bulan
besar, bulan kecil.
Cuma semalam dan pagi tadi di dalam kota aku lihat banyak orang Han membeli kue,
katanya mau digunakan buat sembahyang Tiongtjhioe (Pertengahan Musim Rontok)."
"Dengan Puteri Kecil (Pengtjoan Thianlie) kau pernah baca banyak bukunya orang
Han, apa kau tidak tahu bahwa perayaan Tiongtjhioe adalah salah satu perayaan bangsa Han yang
sangat penting?" kata Thian Oe. "Apa kau tak tahu, perayaan itu jatuh pada Pegwee
Tjapgo (bulan delapan tanggal lima belas)?"
"Aku tahu," jawab Yoe Peng. "Tapi ada urusan apa dengan Pegwee Tjapgo" Perlu apa
kau begitu perhatikan penanggalan?"
"Aku jadi ingat perkataannya Pengtjoan Thianlie," jawab Thian Oe. "Ah, aku
kuatir benar-benar
ada alamat jelek!"
Yoe Peng jadi merasa heran sekali. "Apa?", tanya ia. "Pengtjoan Thianlie pernah
bilang apa?"
"Apa kau tidak ingat kejadian pada harian aku tiba di keraton es?" tanya Thian
Oe. "Hari itu
guruku yang pertama (Siauw Tjeng Hong) telah bertemu musuhnya, yang belakangan
diusir oleh Pengtjoan Thianlie."
"Aku tidak turut menyaksikan," kata Yoe Peng. "Baru belakangan aku dengar
penuturannya Kongtjoe. Ia bilang musuhnya Siauw Soehoe bernama Loei Tjin Tjoe. Nama itu
kedengarannya luar biasa sekali."
"Benar", kata Thian Oe. "Musuhnya Siauw Soehoe semuanya ada tiga orang. Satu
bernama Loei Tjin Tjoe, satu bernama Tjoei In Tjoe dan satunya lagi bernama Ong Lioe
Tjoe, yang sudah
kena dibinasakan oleh guruku. Yang hari itu kita bertemu di Thian-ouw adalah
Loei Tjin Tjoe dan
Tjoei In Tjoe. Orang yang turun tangan cuma Loei Tjin Tjoe seorang. Dengan
gunakan pedang es,
Pengtjoan Thianlie telah robohkan Loei Tjin Tjoe yang mungkin lantaran malu, mau
coba bunuh diri. Pengtjoan Thianlie menolong dan mengatakan, bahwa ia sebenarnya sudah kena
dipermainkan oleh Ong Lioe Tjoe dan kalau mau tahu terang duduk persoalan, ia
boleh datang di
Chaklun pada tanggal Pegwee Tjapgo tahun ini. Nah, tempat ini adalah Chaklun dan
justru Pegwee Tjapgo!"
Yoe Peng merasa heran sekali dan berkata: "Puteri Kecil selamanya belum pernah
turun gunung, cara bagaimana ia bisa mengetahui kejadian yang bakal terjadi pada malam
ini?" Tapi
lantaran percaya Thian Oe tidak berdusta, ia menanya pula: "Coba kau lihat, apa
di antara tiga belas orang itu terdapat Loei Tjin Tjoe?"


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian Oe mengawasi dan lalu geleng-gelengkan kepalanya. "Tak ada," katanya.
"Heran betul!
Apa ia tidak datang" Sst! Diam! Mereka sudah mulai bicara."
Ketiga belas orang itu pasang hio, rupanya sedang jalankan semacam upacara.
"Kenapa Ong
Lioe Tjoe sampai sekarang belum datang?" demikian terdengar suaranya satu orang.
Thian Oe terkejut. Rupanya mereka belum mengetahui, bahwa Ong Lioe Tjoe sudah binasa.
"Mana boleh tidak datang?" kata seorang lain. "Ia sendiri yang janjikan supaya
malam ini kita berkumpul disini."
"Tak usah tunggu padanya," kata orang yang pertama. "Mari kita mulai. Bermula
Hok Tayswee (Jenderal Hok, yaitu Hok Kong An) mau perintah kita melindungi itu guci emas,
tapi sekarang tidak
perlu lagi. Ia perintah kita memberitahukan kawan-kawan, supaya pada sebelum
buntut tahun, semua kawan pada pergi ke Sinkiang."
"Kenapa tenaga kita tidak dipakai lagi?" tanya seorang.
"Aku dengar suku Hapsatkek di Sinkiang memberontak," jawab orang yang pertama.
"Dalam pemberontakan itu ada turut sejumlah murid-murid Boetong pay. Buat menghadapi
mereka itu, Hok Tayswee memerlukan sekali tenaga kita. Maka itu, Hok Tayswee bukannya
pandang kita rendah. Saudara tak usah banyak pikiran."
Mendengar perkataan itu, hatinya Thian Oe jadi berdebar. Ia ingat penuturannya
Siauw Tjeng Hong dan Thiekoay sian tentang riwayatnya berbagai partai Rimba Persilatan.
Partai Boetong dahulu sebenarnya mempunyai peraturan keras yang melarang murid-muridnya
mencampuri urusan negara dan politik. Belakangan, pada buntutnya ahala Beng dan permulaan
dinasti Tjeng, muncul seorang pendekar Boetong yang bernama Toh It Hang. Oleh karena mencintai
Liehiap Giok Lo Sat, yang belakangan dikenal sebagai Pekhoat Molie (Siluman Perempuan
Rambut Putih), ia tinggalkan Boetongsan dan pergi ke Sinkiang, dimana ia berdirikan satu partai
baru yang membantu Yo In Tjong (muridnya Hoei Beng Siansu) melawan tentara Boantjeng.
Demikianlah peraturan Boetong pay yang lama telah jadi berobah. Hal itu terjadi pada kira-
kira seratus tahun
berselang. Belakangan Koei Tiong Beng menjadi Tjiangboen (pemimpin) Boetong pay
dan mempunyai banyak sekali murid di wilayah Sinkiang. Sebagian besar murid-murid
itu adalah pencinta-pencinta negeri yang tentangkan pemerintahan Boantjeng. Itulah sebabnya
kenapa cabang Boetong di Sinkiang lebih dihargai rakyat daripada Partai Boetong di
Tionggoan (wilayah Tiongkok asli).
"Kalau begitu orang-orang itu maui tentang murid-murid Boetong," kata Thian Oe
dalam hatinya. "Tapi ada hubungan apa sama Ong Lioe Tjoe" Ong Lioe Tjoe adalah saudara
angkatnya Loei Tjin Tjoe dari Boetong pay, sehingga sebenar-benarnya ia pun ada musuhnya
orang-orang yang sedang berunding itu."
Selagi hatinya bimbang, kupingnya sudah dengar lagi perkataannya satu orang:
"Kita tak dapat
menghadapi Boetong pay, tanpa Ong Lioe Tjoe. Kenapa sih ia belum juga datang"
Apa ia sudah kena ditarik ke pihak Boetong?"
Orang yang macamnya seperti toako (saudara tua) berkata sembari tertawa:
"Saudara janganlah terlalu bercuriga. Ong Lioe Tjoe adalah tokoh dari partai Khongtong
pay kita. Dengan
banyak susah, sudah hampir dua puluh tahun ia mendekati orang-orang Boetong pay,
dengan tujuan mempelajari rahasia ilmu pedang Boetong. Jika kita dapat melayani
pukulan-pukulan aneh
dari ilmu pedang Boetong, kita jadi mempunyai pegangan dalam usaha menindas
pemberontakan di Sinkiang. Ong Lioe Tjoe sudah janjikan supaya kita berkumpul disini, aku rasa
ia tidak akan hilang kepercayaan."
"Pada musim semi tahun ini, ada orang lihat ia datang bersama-sama dua saudara
angkatnya,"
berkata lagi seorang lain. "Tapi dalam beberapa bulan, lantas tidak ada wartanya
lagi. Apakah sudah terjadi kejadian di luar dugaan?"
"Kejadian apa?" tanya seorang. "Mungkin ia kena ditahan oleh Loei Tjin Tjoe dan
tak dapat loloskan diri," kata orang itu. "Dalam soal ini ada satu hal yang hiantee (adik)
tidak mengetahui,"
menerangkan sang toako. "Tujuannya Loei Tjin Tjoe adalah membalas sakit hati dan
ia tak nanti mau campur-campur urusan negeri. Kedatangannya bersama-sama Ong Lioe Tjoe adalah
buat membalas sakit hati terhadap Siauw Tjeng Hong. Mereka sudah datang disini
beberapa bulan lamanya, sehingga aku duga ia sudah balas sakit hatinya dan sudah pulang ke
kampungnya. Pada
musim semi yang baru lalu, Ong Lioe Tjoe telah memberi warta begitu kepadaku dan
mengatakan juga, bahwa ia akan berdiam terus disini dan tidak akan ikut Loei Tjin Tjoe
pulang ke Soetjoan."
Mendengar pembicaraan itu, bulu badannya Thian Oe jadi pada berdiri. Ia sama
sekali tidak menduga, bahwa dalam kalangan Kangouw terdapat orang-orang yang begitu macam. Ia
bayangkan bagaimana gusarnya Loei Tjin Tjoe andaikata ia dapat mendengar
perundingan tersebut. Meskipun Tan Thian Oe adalah puteranya seorang pembesar Boantjeng,
akan tetapi oleh
karena sedari kecil ia telah mendapat didikannya Siauw Tjeng Hong, diam-diam
hatinya membenci
pemerintahan yang menjajah bangsa Han itu.
Sang rembulan dengan perlahan doyong ke barat. Ketiga belas orang itu jadi
semakin gelisah
dan masing-masing lalu utarakan pikirannya tentang tidak munculnya Ong Lioe
Tjoe. Yang satu
kata begini, yang lain kata begitu, sedang yang satunya lagi berkata dengan
suara keras: "Aku tak
percaya ilmu pedang Boetong begitu liehay. Jika Ong Lioe Tjoe tidak datang,
apakah kita tidak
berani pergi ke Sinkiang?"
Di antara ramainya suara orang bicara, mendadak terdengar suara tertawa dingin
dan dari belakangnya batu-batu loncat keluar dua orang! Pada mukanya orang yang jalan
duluan terdapat
tanda tapak golok, sehingga mukanya jadi menyeramkan sekali. Orang itu bukan
lain daripada Loei Tjin Tjoe, jagoan nomor satu dari turunan kedua partai Boetong pay dan
saudara angkatnya
Ong Lioe Tjoe! Orang yang jalan belakangan dengan satu tangan mencekal gendewa,
adalah Tjoei In Tjoe, ahli silat Gobie pay.
Ketiga belas orang Khongtong pay itu hampir berbareng loncat bangun dengan
perasaan kaget sekali. Yang menjadi kepala, yaitu Tjiangboen (pemimpin) Khongtong pay yang
bernama Tio Leng
Koen, segera berseru sembari rangkap tangannya: "Ah, kalau begitu orang sendiri!
Loei Toako, Tjoei Toako, lagi kapan kalian datang?"
"Kami sudah datang lama sekali," jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara tawar.
"Kenapa tidak lantas datang duduk-duduk disini?" tanya Tio Leng Koen.
"Lantaran aku tidak berani menjadi orang sendirimu," jawab Loei Tjin Tjoe dengan
menyindir. Paras mukanya Tio Leng Koen berobah mendadak. Ia tahu, pembicaraan tadi tentu
sudah dapat didengar oleh Loei Tjin Tjoe dan satu pertempuran hebat tidak akan dapat
disingkirkan lagi.
Ia segera kasih tanda dengan lirikan mata kepada kawan-kawannya dan berkata
dengan suara nyaring: "Oleh karena Loei Toako pernahkan diri sebagai orang luar, maka
dapatkah aku menanya, dengan maksud apa Toako datang pada malam ini?"
"Aku sengaja datang buat memberitahukan kau orang, bahwa Ong Lioe Tjoe tidak
bisa datang pada malam ini," jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara tawar. "Nanti juga dia tidak
akan bisa datang!" "Apa?" Tio Leng Koen menegasi.
"Kalau mau cari dia, kau orang boleh pergi menghadap Giam Loo Ong (Raja Akhirat)
di neraka!" jawabnya.
"Binatang!" membentak Tio Leng Koen. "Besar benar nyalimu! Sesudah membunuh, kau
masih berani datang kemari." Dengan sekali kebas tangannya, saudara-saudaranya lantas
bergerak mengurung Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe.
Loei Tjin Tjoe dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Sungguh sayang
bukannya tanganku sendiri yang membinasakan padanya!" katanya dengan suara menyesal.
Perasaan kecewanya sukar dilukiskan bagaimana besarnya. Mengimpi pun ia tak pernah
mengimpi, bahwa
orang yang sudah jadi saudara angkatnya hampir dua puluh tahun, sebenar-benarnya
adalah mata-mata dari Khongtong pay. Hatinya sedih dan suara tertawanya kedengaran
menyayatkan hati. "Ong Lioe Tjoe bukan dibunuh olehmu?" tanya Tio Leng Koen dengan terkejut.
Pertanyaan itu disusul dengan bentakannya lain-lain jago Khongtong pay yang memaki dan menanya
siapa yang sudah membunuh Ong Lioe Tjoe.
Loei Tjin Tjoe adalah seorang yang beradat angkuh dan dalam kegusarannya, ia
sungkan banyak bicara lagi. "Biarpun dimampuskan, Ong Lioe Tjoe belum habis bayar
dosanya," kata ia
dengan suara tawar. "Siapa juga boleh bunuh padanya. Kalau kau orang mau balas
sakit hati, terjang saja diriku!"
Dengan gusar Tio Leng Koen angkat tangannya dan lantas menerjang. Loei Tjin Tjoe
lantas tempel pundak dengan Tjoei In Tjoe dan segera putar pedangnya.
Tio Leng Koen adalah Tjiangboen (Pemimpin) Khongtong pay, sehingga dapat
dimengerti kalau
ilmu silat dan tenaga dalamnya sudah sampai di puncak yang tinggi. Melihat
serangan musuh yang hebat, tangan kirinya menyambar sembari tekuk dua jerijinya dan coba
cangkol lengannya
Loei Tjin Tjoe dengan ilmu Siauwkinna Tjhioehoat (Ilmu Menangkap dengan tangan).
Berbareng dengan itu, pedangnya yang dipegang dengan tangan kanan, menuding dengan gerakan
Wankiong siapeng (Pentang gendewa memanah garuda). Maksudnya gerakan itu ialah,
begitu lekas Loei Tjin Tjoe bergerak menyerang, pedang tersebut akan mendahului. Tapi
tidak dinyana, Tatmo Kiamhoat yang digunakan oleh Loei Tjin Tjoe tidak bergerak menurut
jalannya ilmu pedang
biasa. Mendadakan saja, pedangnya Loei Tjin Tjoe berbalik dan papas pundak satu
soeteenya Tio Leng Koen yang sedang menyerang dari sebelah kanan. Dengan suara "brt", baju
dengan dagingnya sudah sempoak!
Tio Leng Koen loncat sembari berteriak: "Serang dari empat penjuru!" Dua belas
murid Khongtong pay segera terbagi jadi tiga rombongan dengan empat orang setiap
rombongan dan mereka lalu menyerang bagaikan gelombang, Tio Leng Koen sendiri berdiri di sama
tengah buat amat-amati serangan-serangannya Loei Tjin Tjoe yang luar biasa. Sambil tempel
pundak, Loei Tjin
Tjoe dan Tjoei In Tjoe tancap kakinya di atas tanah dan melawan secara nekat.
Sesudah menonton beberapa lama Yoe Peng berbisik di kupingnya Thian Oe:
"Walaupun kiamhoat-nya Loei Tjin Tjoe cukup mahir, ia kelihatannya belum mendapat
sumsumnya Tatmo
Kiamhoat yang tulen." Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya dan berkata: "Aku
rasa Loei Tjin Tjoe masih bisa bertahan setengah jam lagi, tapi Tjoei In Tjoe sudah sangat
kepayahan." Tali
gendewanya Tjoei In Tjoe terbuat dari urat binatang Kauw dan benang emas hitam,
sehingga sebenarnya adalah semacam senjata mustika yang dapat membetot serta memutuskan
senjata musuh. Dalam pertempuran di Sakya, tali gendewa itu telah diputuskan dengan
hudtim-nya Siauw
Tjeng Hong. Belakangan ia perbaiki dan sambung tali itu, akan tetapi,
kekuatannya sudah banyak
berkurang. Kalau bertemu sama lawanan setanding, dengan menggunakan gendewa
tersebut, memang Tjoei In Tjoe bisa menang seurat Akan tetapi, dengan dikerubuti begitu
banyak orang, gendewa tersebut tentu saja tidak dapat menolong banyak dan semakin lama ia jadi
semakin kepayahan. Keadaannya Loei Tjin Tjoe cuma mendingan sedikit. Tiga belas orang
itu semuanya adalah jago-jago dari Khongtong pay. Kalau satu lawan satu, memang mereka semua
bukannya tandingan Loei Tjin Tjoe. Akan tetapi, dengan mengerubuti dan menyerang saling
ganti seperti gelombang, mereka segera berada di atas angin.
Selagi pertempuran berlangsung sedang serunya, badannya Tio Leng Koen mendadak
"terbang" ke atas dan selagi tubuhnya melayang ke bawah, pedangnya menyambar ke
arah

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tengah-tengah antara Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe, dengan pukulan Hoenkang
toanlioe (Membendung sungai memutuskan aliran). Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe yang
repot melayani serangan bergelombang, tidak keburu menangkis lagi dan terpaksa masing-masing
mengegos ke depan buat singkirkan sambaran pedang. Dengan demikian, mereka jadi terpisah
satu sama lainnya. Hampir berbareng, kedua belas musuhnya meluruk, sehingga mereka tidak
dapat tempel pundak kembali.
Tio Leng Koen tertawa terbahak-bahak sembari pimpin kawan-kawannya mengepung
secara rapat sekali. Dengan andalkan pukulan-pukulan aneh dari Tatmo Kiamhoat, buat
sementara Loei Tjin Tjoe masih dapat pertahankan diri. Tapi keadaannya Tjoei ln Tjoe tidak
sedemikian, la kelihatannya sudah kewalahan dan tali gendewanya tak hentinya berbunyi "ting-
tang, ting-tang."
Beberapa saat kemudian, dengan satu teriakan kesakitan, pundak kirinya kena
dipapas pedang,
sedang gendewanya pecah tersabet golok.
"Tjoei Loojie!" membentak Tio Leng Koen. "Kau bukannya penjahat utama. Lepaskan
gendewamu! Aku akan ampuni jiwamu!"
"Kau mau aku menakluk terhadap kawanan tikus?" jawabnya sembari tertawa getir.
"Hm! Tjoei
In Tjoe boleh mati, tapi tak sudi dihinakan oleh manusia sebangsa kau!"
"Bagus! Itulah baru saudaraku!" berseru Loei Tjin Tjoe sembari menerjang secara
nekat buat menggabungkan dirinya sama saudaranya itu. Akan tetapi, ia tidak berhasil
lantaran sudah keburu
dicegat oleh Tio Leng Koen.
Terhadap Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe, Thian Oe tidak mempunyai rasa
simpati. Akan tetapi,
sesudah menyaksikan pertempuran tersebut, ia kagumkan juga keangkuhannya kedua
orang itu, yang ternyata masih mempunyai tulang punggung.
Lewat lagi beberapa saat, keadaan kedua orang itu, lebih-lebih Tjoei In Tjoe,
jadi semakin berbahaya. Suara tali gendewanya Tjoei In Tjoe sudah kedengaran dengkek dan
sumbang. "Orang itu bisa hilang jiwa sembarang waktu," kata Yoe Peng. "Eh, kau tak mau
membantu?"
"Apa?" Thian Oe menegasi.
"Asalnya ilmu pedang Pengtjoan Thianlie adalah dari Boetong," kata Yoe Peng.
"Kau sudah
belajarkan ilmu pedang tersebut, sehingga sama Loei Tjin Tjoe kau masih
terhitung saudara
seperguruan."
"Baik, kita menyerbu bersama-sama!" kata Thian Oe yang lantas munculkan dirinya
di atas batu. "Loei Tjin Tjoe!" ia berseru. "Jangan takut! Aku menolong!"
Orang-orang Khongtong pay, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe terkejut semuanya.
Mereka dongak dan lihat sepasang orang muda, satu lelaki dan satu perempuan, sedang
berlari-lari ke
arah mereka. Di bawahnya sinar bulan, muka mereka dapat dilihat nyata sekali.
Hatinya Loei Tjin Tjoe tergetar. "Aku kira siapa, tak tahunya murid Siauw Tjeng
Hong," kata ia
dalam hatinya. Harus diketahui, bahwa Loei Tjin Tjoe adalah seorang beradat
tinggi yang anggap
ilmu silatnya sudah sempurna sekali. Sedang sang guru ia tak pandang sebelah
mata, cara bagaimana ia dapat hargakan muridnya Siauw Tjcng Hong"
Di lain pihak, melihat yang datang adalah orang-orang yang baru berusia belasan
tahun, Tio Leng Koen jadi tertawa besar. "Apa kamu tahu berapa tingginya langit dan berapa
tebalnya bumi?" katanya sembari tertawa bergelak-gelak. "Bau susumu belum hilang, sudah
berani datang kesini buat cari mampus!"
"Tan kongtjoe! Lekas menyingkir!" Loei Tjin Tjoe juga berseru. "Tolong
beritahukan gurumu,
aku sudah tidak membenci ia!"
"Lantaran kau sudah tidak membenci soehoe, maka aku mau menolong," jawab Thian
Oe yang bagaikan kilat sudah menikam Tio Leng Koen dengan pedangnya. Sembari kebas
tangannya, Tio Leng Koen menyampok dengan pedangnya buat bikin terpental senjatanya Thian Oe.
Tapi siapa nyana gerakan pedangnya Thian Oe malahan lebih aneh daripada pedangnya Loei Tjin
Tjoe. Tibatiba saja, ujung pedangnya tukar haluan dan sambar dadanya Tio Leng Koen, yang jadi
terbang semangatnya sebab sama sekali tak menduga bakal diserang secara begitu. Sebagai
orang yang berpengalaman dan tinggi ilmunya, dalam bahaya ia tak jadi gugup. Dengan gerakan
Tiatpankio (Jembatan papan besi), badannya melenggak ke belakang sampai hampir nempel ke
tanah. Jantungnya tergetar, sebab meskipun bagaimana cepat juga gerakannya, toh
rambutnya masih
kena terpapas juga! Begitu lekas pedangnya Thian Oe lewat, Tio Leng Koen segera
berdiri pula sembari menyapu dengan tangannya. Ujung pedangnya Thian Oe, yang baru disabetkan
lagi, jadi mencong sebab kena getaran pukulan musuh. Hal ini sudah terjadi lantaran tenaga
dalamnya Thian Oe belum cukup kuat, meskipun ilmu pedangnya sangat luar biasa. Melihat
pemimpinnya hampir-hampir binasa dalam tangannya satu bocah, semua murid Khongtong pay jadi
kaget bukan main. "Hati-hati terhadap bocah ini!" Tio Leng Koen kasih peringatan sembari loncat
tinggi. Yoe Peng sudah lantas loncat menyerbu dan berkata sembari tertawa: "Masih ada
aku! Aku mau menyerang dengan senjata rahasia. Kau orang juga harus berlaku hati-hati!"
Senjata rahasia adalah senjata yang digunakan buat membokong musuh. Dimana ada
orang mau lepas senjata rahasia lebih dahulu memberitahukan kepada
musuhnya" Tio Leng Koen jadi merasa geli dan tertawa terbahak-bahak. "Bocah!"
katanya. "Kau punya senjata apa" Coba kasih 'ku lihat."
Yoe Peng mementil dengan jerijinya dan di tengah udara lantas terdengar suara
"srr, srr".
Menduga serangan jarum, Tio Leng Koen putar pedangnya buat melindungi badan.
Dengan suara "peletak!", senjata rahasia itu yang berbentuk bundar seperti mutiara, hancur
kena terpukul pedang. Berbareng dengan itu, semacam hawa yang luar biasa dinginnya menyambar-
nyambar, sehingga Tio Leng Koen jadi bergidik. Itulah bukan lain dari Pengpok Sintan yang
tiada keduanya dalam dunia! Tio Leng Koen terkesiap. "Ilmu iblis!" ia berteriak. "Kepung! Jangan kasih dia
menimpuk lagi!"
Yoe Peng mementil kembali dan lepaskan empat butir Pengpok Sintan. Tiga
antaranya mengenakan tiga orang, sedang yang keempat kena dipukul jatuh dengan Kimtjhie
piauw-nya Tio Leng Koen. Tiga orang itu yang tenaga dalamnya belum seberapa, lantas saja
gemetar sekujur
badannya, tapi dari janggutnya mengeluarkan keringat yang turun berketel-ketel.
"Kalau setiap orang aku persen dua peluru, mereka tak akan dapat tahan lagi,"
katanya Yoe Peng dalam hatinya. "Cuma sayang, persediaanku tak mencukupi."
Pengpok Sintan dibuat dari "rohnya es" yang diambil oleh Pengtjoan Thianlie
dalam gua es yang dalamnya ribuan tombak. Di seluruh dunia, bahan tersebut cuma bisa
didapatkan di daerah
Nyenchin Dangla. Dalam sakunya, Yoe Peng cuma membawa belasan peluru. Berbeda
dengan senjata rahasia lainnya yang bisa diambil pulang, begitu dilepaskan Pengpok
Sintan lantas meledak
dan musnah. Sekali lepas berarti hilangnya satu peluru. Maka itu, mau tidak mau
Yoe Peng harus irit, dan selagi ia bersangsi, gelombang musuh yang kedua sudah meluruk dan
kepung padanya.
Sembari membentak, Yoe Peng cabut Pengpok Hankong kiam yang lantas saja
mengeluarkan sinar gemerlapan yang sangat dingin, sehingga empat musuhnya kembali bergidik.
Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu kemala hangat), yaitu keluaran istimewa dari
Puncak Es. Sesudah direndam di dalam Hantjoan (Umbul dingin) dan diolah tiga tahun lamanya,
barulah pembuatannya selesai. Dari sebab begitu, Pengpok Hankong kiam mengeluarkan
semacam hawa dingin, yang, meskipun tidak sehebat Pengpok Sintan, dapat mencelakakan orang-
orang yang tenaga dalamnya belum kuat betul.
Ketiga belas jago Khongtong pay rata-rata sudah mempunyai lweekang yang kuat,
sehingga, biarpun merasa sangat tidak enak diserang sinar dan hawa dingin, mereka masih
dapat mempertahankan diri. Di bawah pimpinan Tio Leng Koen, mereka dipecah jadi empat
rombongan dan kepung empat musuhnya itu.
Thian Oe dan Yoe Pcng segera keluarkan Tokboen Kiamhoat (Ilmu pedang tunggal)
dari Pengtjoan Thianlie dengan pukulan-pukulannya yang aneh-aneh. Sesudah bertempur
kurang lebih lima puluh jurus, murid-murid Khongtong pay masih belum dapat mengetahui, ilmu
pedang apa adanya itu! Tio Leng Koen sendiri juga merasa bingung. "Ilmu siluman! Ilmu
siluman!" ia berkata
sembari geleng-gelengkan kepala.
"Ilmu siluman apa!" membentak Yoe Peng sembari mementil lagi dengan dua
jerijinya. Dua butir Pengpok Sintan menyambar. Buru-buru Leng Koen lepaskan dua Kimtjhie piauw.
Sebutir peluru kena terpukul jatuh, tapi sebutir lagi keburu meledak sendiri dan
mengenakan tepat
mukanya Tio Leng Koen. Seperti kena arus listrik, hawa dingin yang sangat hebat
masuk ke dalam dua biji matanya, dan ia lantas tak dapat membuka matanya lagi.
Saat itu, dengan gerakan Pengho kiattang (Sungai es membeku), Yoe Peng putar
pedangnya dan menyerang dari tiga jurusan, yaitu dari atas, tengah dan bawah. Pukulan ini
adalah salah satu
pukulan paling luar biasa dari ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Diserang dari
tiga jurusan hampir berbareng, pihak musuh jadi kabur penglihatannya, dan dalam usaha
sambutannya, ia bisa
membikin kesalahan yang dapat mencelakakan dirinya sendiri. Yoe Peng keluarkan
pukulan itu dengan maksud buat lebih dahulu merobohkan Tio Leng Koen, yang jadi pemimpin
dari ketiga belas musuh itu.
Akan tetapi, tidak dinyana, baru saja pedangnya bergerak, badannya Tio Leng Koen
berkelebat dan tangannya sudah menyambar dari sebelah kanan. Thian Oe coba menolong, tapi
sudah tidak keburu. Dengan suara "plak!", pundaknya Yoe Peng kena terpukul, sehingga
terhuyung dan Pengpok Hankong kiam hampir-hampir jatuh dari tangannya.
Keliehayannya pukulan Pengho kiattang ialah dapat membikin kabur penglihatan
musuh. Dalam serangan itu, Yoe Peng tidak ingat, bahwa lantaran kedua matanya musuh tertutup
rapat akibat serangan Pengpok Sintan, Tio Leng Koen jadi tidak kena dibikin bingung.
Sementara itu, dalam
kedudukannya yang sangat berbahaya, ia sudah keluarkan pukulan Bittjiong tjiang
dari Khongtong pay. Masih untung, lantaran matanya rapat, arah tangannya jadi kurang tepat dan
cuma mengenakan pundak. Kalau lebih ke bawah beberapa dim saja, tangannya bisa
menghantam dada
dan Yoe Peng bisa dapat luka berat.
Sesudah berhasil, Leng Koen loncat mundur beberapa tindak dan kucek-kucek
matanya yang penglihatannya jadi samar-samar dan seperti juga melihat uap putih, la kaget
berbareng gusar
dan membentak dengan suara keras: "Perempuan kejam! Kalau tak korek biji matamu,
aku tak puas!" la segera teriaki kawan-kawannya buat kepung Yoe Peng secara lebih keras,
sedang ia sendiri, dengan andalkan ilmu "Membedakan datangnya senjata dengan mendengari
sambaran angin," sudah turut menerjang.
Walaupun Yoe Peng merupakan salah satu dayang terkemuka dalam keraton es, akan
tetapi ilmu silatnya masih kacek jauh jika dibandingkan dengan musuh-musuhnya. Maka
itu, begitu dikepung sungguh-sungguh, ia lantas berada di bawah angin. Buat sementara waktu,
ia masih bisa pertahankan diri dengan andalkan kegesitannya, akan tetapi, ia sudah tidak
mempunyai tempo buat menimpuk lagi dengan Pengpok Sintan.
Thian Oe terkejut dan menyerang dengan mati-matian dengan gunakan segala rupa
pukulannya Pcngtjoan Thianlie yang luar biasa. Di antara dayang-dayang, meskipun
mendapat didikan langsung dari Pengtjoan Thianlie, akan tetapi tidak ada barang seorang
yang belajarkan
seluruh Tokboen Kiamhoat. Di lain pihak, Thian Oe mencuri belajar dari gambar-
gambar di dinding
gedung terlarang. Maka itu dibandingkan dengan para dayang, ia dapat lebih
banyak sumsumnya ilmu pedang tersebut. Dalam terjangannya yang mati-matian, ia sudah


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil membuka satu jalanan dan dapat mempersatukan dirinya sama Yoe Peng. Oleh karena
mesti meladeni Thian Oe dan Yoe Peng yang mengamuk seperti kerbau edan, barisannya
Khongtong pay jadi kalut, sehingga Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe juga dapat menerjang
keluar dan gabungkan diri sama Thian Oe dan Yoe Peng. Dengan demikian, ke empat orang itu
menjadi dua pasangan, yang, dengan saling tempel pundak, melawan serangan-serangannya ketiga
belas jago Khongtong pay. Loei Tjin Tjoe sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa dalam tempo beberapa
bulan saja, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju begitu jauh dan kelihatannya sudah berada di
sebelah atasan gurunya sendiri. Semangatnya jadi terbangun dan ia dapat menyerang dan membela
diri secara rapi. Tjoei In Tjoe pun dapat pulang ketenangannya dan tali gendewanya kembali
bersuara nyaring. Dengan perlahan sinar bulan condong ke sebelah barat dan mereka sudah bertempur
lebih dari satu jam. Perlahan tapi tentu, keadaan di gelanggang kembali berobah.
Sesudah berkelahi begitu lama, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe jadi lelah. Oleh
karena tenaga dalamnya belum begitu kuat, Thian Oe dan Yoe Peng juga sekarang cuma dapat
membela diri. Tio Leng Koen dan kawan-kawannya jadi girang dan mereka menyerang semakin hebat.
"Perempuan siluman! Sekarang baru kau tahu keliehayan kami! Lekas keluarkan obat
pemunah!" berseru Tio Leng Koen. Dengan andalkan Iweekang-nya yang sangat tinggi, buat
sementara ia masih dapat menahan hawa dinginnya Pengpok Sintan. Tapi belakangan, ia rasakan
kedua biji matanya seperti juga ditusuk-tusuk jarum sehingga ia kuatir menjadi buta, jika
terlambat pengobatannya. Maka itu, ia mendesak hebat dan mau paksa Yoe Peng keluarkan
obatnya. Yoe Peng ambil sikap acuh tak acuh. "Obat apa?" tanya ia sembari tertawa.
"Kau tak mau keluarkan?" kata Tio Leng Koen. "Kalau kau tidak keluarkan, biarpun
buta, aku masih dapat membunuh engkau!" Sembari tekap matanya dengan tangan kiri,
pedangnya kembali
menyerang hebat dengan pukulan-pukulan yang membinasakan. Ketika itu, matanya
sudah jadi bengkak seperti buah engtoh dan hatinya takut bukan main.
Yoe Peng benar nakal. Dalam keadaan yang berbahaya, ia masih bisa tertawa. "Ha!
Tadi aku sudah suruh kau hati-hati!" katanya. "Kau sendiri yang tak hati-hati, sekarang
berbalik salahkan
orang!" sembari tempel pundak dengan Thian Oe, ia kembali singkirkan beberapa
serangan. "Hai,
aku dengar lelaki Han lebih suka keluarkan darah daripada keluarkan air mata.
Tapi kau lebih suka
menangis! Apa tak malu?" Yoe Peng mengejek pula.
Tio Leng Koen jadi seperti orang kalap. Bersama empat saudaranya, ia menyerang
seperti macan edan, sehingga Thian Oe dan Yoe Peng jadi benar-benar kedesak.
"Aku lihat kau, benar-benar kasihan! Biarlah aku berikan obat pemunah!" kata Yoe
Peng. "Mari!" Leng Koen membentak.
"Galak benar, kau!" kata Yoe Peng. Kalau kau minta baik-baik, mungkin aku mau
juga kasihkan."
"Yah, hayo kasihkan!" kata Tio Leng Koen dengan suara lebih lunak.
"Mana bisa begitu gampang!" kata Yoe Peng sembari nyengir. "Kau lebih dahulu
harus minta maaf pada Loei-ya dan bersumpah tak akan pergi ke Sinkiang buat satrukan orang-
orang Boetong. Kau pun harus minta maaf kepada kami. Sesudah itu, barulah aku mau kasihkan
obatku." Tio Leng Koen sangat bersangsi. Ia tak tahu mesti ambil jalanan yang mana. Ia
paksakan membuka kedua matanya dan samar-samar lihat cara bersilatnya Loei Tjin Tjoe
sudah menjadi kalut. "Lebih dahulu mampuskan siluman perempuan ini!" mendadak ia berseru sesudah
mengambil putusan. "Saudara Thio, Oey dan Yo, kau bertiga pergi layani itu dua manusia.
Cukup kalau kau
bikin mereka tak bisa membantu kedua bocah ini!"
Sehabis memerintah begitu, di bawah pimpinannya sendiri, sepuluh jagoan
Khongtong pay segera meluruk mengepung Thian Oe dan Yoe Peng. Maksudnya Tio Leng Koen adalah
coba membinasakan Yoe Peng selekas mungkin supaya bisa ambil obat pemunah dari
badannya. Akan tetapi, ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sangat luar biasa dan tak
gampang-gampang
dapat dipecahkan dalam tempo yang pendek. Tio Leng Koen jadi bingung sekali dan
dengan sepenuh tenaga, ia cecer kedua orang muda itu dengan pukulan-pukulan yang paling
hebat. Belasan jurus kembali lewat. Thian Oe dan Yoe Peng sengal-sengal dan mereka
tahu, tak akan dapat pertahankan diri lebih lama lagi. Di lain pihak, kedua biji matanya Tio
Leng Koen juga dirasakan semakin sakit, sehingga kedua belah pihak jadi sama-sama bingungnya.
Dalam keadaan yang sangat genting, mendadak terdengar suara nyanyian:
"Pada malam Tiongtjhioe sama-sama memandang bidan, tapi kenapa hawa pedang
melonjak ke tengah awan?"
Suara itu kedengarannya datang dari tempat yang sangat jauh, dengan kecepatan
luar biasa. Begitu nyanyian berhenti, seorang pemuda baju putih dengan mulut tersungging
senyuman, sudah
berada disitu. Kecepatan bergeraknya pemuda itu, membikin semua orang jadi terkejut. Tio Leng
Koen loncat mundur tiga tindak dan berkata sembari lintangkan pedangnya: "Sahabat dari mana
adanya tuan"
Pengajaran apakah yang tuan hendak berikan kepada kami?"
Pemuda itu tertawa dingin seraya menyahut dengan suara nyaring: "Kedatanganku
adalah buat memberi sedikit pengajaran kepada kau orang. Khongtong pay adalah salah satu
partai besar dalam Rimba Persilatan dan dengan banyak susah payah partai itu telah
diberdirikan. Pada jaman
yang lampau, Tjiangboen Khongtong pay, Ouw Bong Tootiang, adalah seorang pendeta
beribadat yang menjaga keras peraturan partai. Akan tetapi, begitu pimpinan jatuh ke dalam
tanganmu, orang-orang Khongtong pay lantas saja lakukan segala perbuatan yang tidak
pantas. Apa kamu
orang tidak merasa malu kepada leluhurmu yang sudah berada di alam baka?"
Pemuda baju putih itu baru saja berusia kurang lebih dua puluh tahun, akan
tetapi ia bawa sikap seperti caranya seorang tingkatan tua bicara terhadap orang dari tingkatan
muda. Maka tidaklah heran jika Tio Leng Koen lantas naik darahnya dan ia dongak sembari
tertawa besar. "Dengan berkata begitu, tuan rupanya ingin membersihkan rumah tangga Khongtong
pay!" katanya dengan suara dingin.
"Benar," jawab si pemuda dengan suara sungguh-sungguh. "Lantaran tidak tega
melihat seluruh Khongtong pay dikorbankan dalam tanganmu, maka tanpa perdulikan
kecapaian, aku sengaja datang kesini buat mengurus kamu orang!"
Harus diketahui, bahwa menurut peraturan Rimba Persilatan, pekerjaan
"membersihkan rumah
tangga" hanya dapat dilakukan oleh tetua dari partai itu sendiri. Manakala
seorang luar hendak
"membersihkan rumah tangga" partai lain, maka orang itu haruslah seorang yang
tingkatannya sangat tinggi dengan mempunyai ilmu silat yang dapat menindih semua anggauta
dari partai yang
mau dibersihkan. Maka itu, dapat dimengerti jika perkataannya si pemuda bukan
saja sudah membikin gusarnya Tio Leng Koen, tapi juga sudah keja dua belas orang Khongtong
pay yang berada disitu, jadi mata merah.
Sembari paksa buka kedua matanya, Tio Leng Koen tertawa terbahak-bahak dan
menuding dengan pedangnya.
"Sungguh malu, sebagai Tjiangboen dari Khongtong pay, aku mesti membikin
Lootjianpwee jadi
berabe buat membersihkan rumah tangga kita!" ia berseru sekeras suara. "Cuma
saja aku orang she Tio sangat kepala batu dan sukar menerima pengajaranmu! Maaf, maaf, aku yang
rendah terpaksa menolak segala kemauanmu!" Mendengar perkataan pemimpinnya, semua murid
Khongtong pay jadi tertawa keras. Mereka ejek si pemuda yang dianggap sangat
tidak tahu diri.
Tapi si pemuda tetap berlaku tenang. Ia menyapu dengan matanya dan berkata pula:
"Apa kau orang benar-benar mau aku turun tangan?"
"Binatang!" membentak Tio Leng Koen. "Kau betul-betul sudah bosan hidup! Cabut
pedangmu! Lihat, apa kau ajar aku, atau aku mengajar kamu!"
Si pemuda tertawa besar. "Buat menghadapi orang-orang seperti kau, perlu apa aku
mencabut pedang?" katanya. "Thian Oe! Kau semua menyingkir, supaya tak menghalangkan
gerakanku. Tio Leng Koen! Panggil semua kawanmu, supaya aku tak usah turun tangan dua kali!"
Thian Oe manggutkan kepalanya dan sembari tarik tangannya Yoe Peng, ia segera
loncat keluar dari gelanggang. Bukan main herannya Loei Tjin Tjoe. "Apa pemuda itu
berotak miring?"
tanya ia dalam hatinya. Selagi terheran-heran, mendadakan kupingnya dengar
teriakan Thian Oe:
"Loei Toako! Lekas mundur!" Mau tidak mau, ia lantas turut loncat keluar dari
kalangan. Pada saat itu, ketiga belas jago Khongtong pay sudah meluruk ke arah si pemuda
itu. Dengan mata berkilat, pemuda itu ayun satu tangannya dan di tengah udara lantas
terdengar suara "srr,
srr, srr!" Buat keheranannya semua penonton, hampir pada detik yang bersamaan,
tiga belas orang itu, terhitung juga Tio Leng Koen, keluarkan teriakan kesakitan dan roboh
menggoser di atas tanah! Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe ternganga bahna herannya.
"Tio Leng Koen! Apa kau menyerah?" tanya si pemuda sembari tertawa.
Sebagai orang yang mempunyai tenaga dalam yang lebih kuat daripada saudara-
saudaranya, dengan paksakan diri, Tio Leng Koen bisa juga bangun duduk. "Terima kasih buat
pengajaranmu,"
kata ia. "Jika kami tidak binasa, kejadian ini tentulah tak dapat dilupakan.
Dapatkah aku mendapat
tahu nama tuan yang mulia?"
Sebagai Tjiangboen dari satu partai, dalam kekalahannya, ia masih tidak lupa
buat keluarkan kata-kata yang sesuai dengan kebiasaan Rimba Persilatan. Dengan berkata begitu,
ia rnemberitahu, bahwa sebegitu lama masih hidup, ia tentu akan membalas sakit
hati. "Kamu orang mau balas sakit hati" Jangan ngimpi!" kata si pemuda dengan suara
tawar. "Semua tulang pundakmu sudah kena ditobloskan! Yah, mati sih tidak, tapi buat
bisa bersilat lagi,
jangan kau harap! Pulanglah dan hidup tenteram!"
Baru perkataan itu habis diucapkan, semua orang kembali terkejut. Bahwa dengan
sekali gerakkan tangan, si pemuda sudah dapat robohkan tiga belas ahli silat Khongtong
pay, sudah sangat luar biasa. Tapi, bahwa semua senjata rahasianya dengan tepat mengenakan
tulang pundak orang, adalah satu kepandaian yang sungguh tak dapat dibayangkan
bagaimana tingginya! Tanpa merasa Tio Leng Koen meraba tulang pundaknya, dan benar saja, tulang itu
sudah hancur dan sakitnya sampai membikin ia keluarkan air mata. Ia mengetahui,
sekarang ia sudah
jadi orang bercacat seumur hidup, ilmu silatnya musnah dan ia cuma bisa hidup
seperti orang biasa. Si pemuda baju putih mesem dan berkata: "Aku sudah ampuni jiwamu, apa kau masih
tidak merasa puas" Pulanglah dan hidup secara tenteram."
Bukan main sedihnya Tio Leng Koen. "Apakah tuan dapat menaruh belas kasihan buat
perlihatkan senjata rahasia itu, supaya kita dapat membuka mata kita?", katanya
dengan suara perlahan. Pemuda itu kembali mesem. Mendadak ia cabut pedangnya yang lantas pancarkan
sinar terang ke empat penjuru. "Barusan aku tak gunakan ia. Sekarang perlu digunakan,"
katanya. Hatinya Leng Koen berdebar-debar dan sebelum ia tahu si pemuda mau berbuat apa,
ujung pedang sudah sontek pundaknya dan ia merasa seperti juga serupa benda panjang
loncat keluar dari daging pundak. Pemuda itu pegang benda tersebut dengan kedua jerijinya dan
goyanggoyang di depan matanya Tio Leng Koen. "Sudah lihat?" tanya ia.
Senjata rahasia itu bukannya emas dan juga bukannya besi. Warnanya hitam dan
bentuknya kecil panjang seperti anak panah tanpa bulu. Dengan senjata itu, si pemuda ketok


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya yang lantas saja keluarkan suara mengaung yang sangat jernih dan bersih.
Tio Leng Koen pucat bagaikan mayat. "Ah", ia berseru dengan suara di
tenggorokan. "Thiansan
Sinbong dan Yoeliong kiam!"
"Benar," kata si pemuda. "Apa sekarang kau sudah tahu asal-usulku?"
Pedang Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang dipandang suci dalam kalangan
partai Thiansan pay. Siapa yang membawa senjata itu, ia tak bisa lain daripada ahli
waris tulen dari
Thiansan pay. Tjiangboen Thiansan pay di waktu itu adalah Tong Siauw Lan yang
tingkatannya dua kali lebih tinggi dari Tio Leng Koen. Maka itu, jika si pemuda adalah
muridnya Tong Siauw
Lan, tingkatannya berada lebih atas daripada Tio Leng Koen.
Dengan cepat si pemuda keluarkan dua belas Thiansan Sinbong lainnya dari
pundaknya lainlain
jago Khongtong pay.
"Dia sudah tidak mempunyai ilmu silat lagi dan tak dapat jadi bibit penyakit.
Tak usah bikin matanya menjadi buta," kata si pemuda sembari berpaling pada Yoe Peng.
"Baik," sahut Yoe Peng sembari keluarkan sebutir Yangho wan yang lantas
diberikan kepada Tio
Leng Koen. "Telan ini dan mengasoh tiga hari," katanya.
Tio Leng Koen kucek-kucek matanya, sikapnya seperti seekor ayam jantan yang baru
dipecundangkan. Sesudah memberi hormat kepada si pemuda baju putih, dengan
dipepayang oleh
kawan-kawannya, ia segera berlalu dari situ. Si pemuda tertawa bergelak-gelak
dan berkata kepada Thian Oe: "Pertempuran yang barusan sungguh menyenangkan! Eh, bocah,
nasibmu benar-benar baik. Baru berdiam di keraton es tiga bulan, ilmu silatmu sudah maju
begitu jauh."
"Bukankah kau berada sama-sama Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe.
"Dialah yang tak sudi berada sama-sama aku," sahut si pemuda sembari tertawa.
"Aku justru
mau tanya keterangan mengenai dirinya dari kalian."
Yoe Peng terkejut dan buru-buru menanya: "Bukankah pada hari itu kau sedang adu
pedang dengan Kongtjoe kami?"
"Janji adu pedang harus ditangguhkan sampai di lain hari," sahut si pemuda.
"Meskipun adu pedang tidak dapat dilangsungkan, tapi kau toh mesti bertemu muka
dengan ianya!" kata Yoe Peng lagi.
"Sebelum tiba di kakinya Puncak Es, aku sudah rasakan alamat bakal adanya gempa
bumi," menerangkan si pemuda. "Apa kau kira aku masih berani maju terus buat cari
mati?" "Kalau begitu, jadi kau tak pernah lihat padanya?" Thian Oe menegasi.
"Ah, buat apa kau begitu berkuatir?" katanya dengan suara jengkel. "Sedang aku
dapat loloskan diri, apa kau kira ia tak mampu selamatkan jiwanya" Hari itu, selagi
aku kabur ke arah
utara, aku lihat bayangannya kabur ke jurusan selatan. Belakangan, sesudah
gunung berapi meledak, biarpun mau, aku pun tak akan dapat mencarinya. Barulah sekarang aku
mendapat tahu, ia belum balik ke keraton es."
Mendengar keterangan si pemuda, bahwa Pengtjoan Thianlie sudah terlolos dari
bencana alam, hatinya Thian Oe dan Yoe Peng menjadi lega.
"Apakah kalian mau pergi ke Lhasa?" tanya si pemuda.
Thian Oe manggutkan kepalanya, sedang si pemuda berdiam beberapa saat seperti
orang lagi berpikir. Mendadak ia keluarkan satu kotak sulam dari sakunya dan berkata:
"Ayahmu berada di
tempatnya Hok Kong An. Sekarang aku mau minta pertolonganmu buat serahkan kotak
ini kepada Hok Kong An, supaya aku tak usah berabe mundar-mandir."
Thian Oe sambuti kotak itu, dan selagi mau menanya, si pemuda sudah mendahului
sembari tertawa: "Kasihkan saja padanya. Percayalah, barang ini mempunyai banyak
kebaikan bagi ayahmu. Di belakang hari kita bakal bertemu pula. Kau tak usah banyak menanya."
Ia berpaling kepada Loei Tjin Tjoe dan lanjutkan perkataannya: "Kau juga harus segera pulang
ke Soetjoan. Jika bertemu dengan Moh Tayhiap, tolong sampaikan salamku kepadanya." Sehabis
berkata begitu, ia angkat kedua tangannya dan dalam sekejap, ia sudah lenyap dari
pemandangan. Sesudah dapat banyak pengalaman pahit getir, habislah segala kesombongannya Loei
Tjin Tjoe. Dengan mulut ternganga dan hati yang kagum tak habisnya, ia awasi
bayangannya si pemuda baju putih yang melesat seperti anak panah. Sesudah mengasoh beberapa
lama, keempat orang lantas berpisahan. Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe menuju ke Soetjoan,
sedang Thian Oe
dan Yoe Peng teruskan perjalanan ke Lhasa.
Tanpa mendapat rintangan suatu apa, pada satu magrib Thian Oe dan Yoe Peng tiba
di ibukota Tibet itu. Begitu masuk ke dalam kota, selagi Thian Oe mau tanya orang dimana
letaknya markas
besar Hok Kong An, Yoe Peng mendadak berkata: "Kenapa begitu terburu-buru"
Marilah kita pesiar barang semalaman, buat lihat-lihat pemandangan Lhasa di waktu malam.
Biarlah besok saja
cari ayahmu."
Thian Oe mesem. Ia jadi ingat janjinya buat ajak Yoe Peng pesiar di kota Lhasa
dan ia juga merasa, bahwa begitu lekas sudah masuk ke markas besarnya Hok Kong An, mereka
tidak dapat keluar masuk lagi sesuka hati. Maka itu, tanpa membantah, ia lantas tuntun
tangannya Yoe Peng
dan keliling di seputar kota.
Sebagai ibukota Tibet, Lhasa dikurung oleh bukit-bukit yang tingginya dari empat
sampai lima ribu kaki. Rumah-rumah yang papak dan tenda-tenda di sana-sini memperlihatkan
pemandangan yang lain daripada apa yang terlihat di Tiongkok Asli. Di waktu malam, sinar
lilin yang muncul dari
beribu-ribu tenda memberi satu pemandangan yang sangat luar biasa. Keraton
Potala yang berdiri
di atas bukit dan atapnya mengeluarkan sinar emas berkredepan, kelihatannya
angker dan indah
sekali. "Mari kita pergi kesana," mengajak Yoe Peng.
"Itulah keratonnya Budha Hidup, mana boleh orang sembarangan masuk," menerangkan
Thian Oe. "Mari kita pergi ke lapangan yang terletak di sebelah bawahnya."
Lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala adalah pusatnya keramaian dari
kota Lhasa. Di seputar lapangan berdiri tenda-tenda yang berjejer-jejer, sedang di
tengah-tengah terdapat macam-macam pedagang yang gelar barang-barangnya di atas tanah. Di
sebelahnya itu,
terdapat juga rombongan-rombongan penyanyi, wayang, dangsu dan sebagainya. Yoe
Peng yang biasa berdiam dalam keraton yang sepi, tentu saja belum pernah saksikan
keramaian yang sedemikian rupa. Ia merasa, keindahan bilang ribu lilin dan lampu yang gilang-
gemilang adalah
lebih mengagumkan dari apa yang dapat dilihat di keraton es. Sesudah nonton
orang India bermain ular, mereka pergi saksikan pertunjukan yang diberikan oleh rombongan
orang-orang Hapsatkek dari Sinkiang. Yang satu kasih lihat kepandaian menelan pedang, sedang
yang lain semburkan api menyala dari mulutnya. Orang itu kasih masuk sebatang pedang yang
panjangnya tiga kaki ke dalam mulutnya. Pedang itu amblas dan yang ketinggalan di luar
mulut cuma gagangnya saja yang pendek.
"Ah!" kata Yoe Peng dengan suara kagum. "Ilmu silatnya orang itu kelihatannya
melebihi si pemuda baju putih!"
"Bukan ilmu sejati, semacam sulap," menerangkan Thian Oe sembari tertawa. Baru
saja Thian Oe berkata begitu, orang itu cabut pedangnya yang lantas ditekuk-tekuk. Ternyata
pedang itu terbuat dari timah tipis yang sangat lemas. Yoe Peng tertawa terbahak-bahak dan
hatinya girang sekali. Mendadak ia rasakan badannya disenggol orang dan ketika ia meraba dengan
tangannya, Pengpok Hankong kiam sudah lenyap!
Bukan main kagetnya Yoe Peng. Ia menengok dan lihat Thian Oe sedang cekal satu
orang sembari membentak: "Dia!" Tak salah lagi orang itu adalah si pencopet, sebab
sarung pedang kelihatan nongol di bawah jubahnya yang panjang. Yoe Peng enjot badannya buat
rebut pulang pedangnya. Tiba-tiba orang itu tertawa nyaring dan dengan sekali goyang
badannya, ia sudah
terlepas dari cekalannya Thian Oe, akan kemudian kabur dengan menyelesap di
antara orang banyak. Thian Oe ternganga sambil pegangi jubahnya si copet, yang tenyata sudah
akali ia dengan tipu "Tonggeret lepaskan kulit." Selagi Thian Oe pegang tangan jubahnya
dan hendak membekuk dengan cekalan Kinna hoat, si copet loloskan tangannya dari tangan
jubah dan kabur
dengan tinggalkan jubahnya.
Sembari berteriak "tangkap!", Thian Oe loncat memburu. Meskipun ilmu entengi
badannya sudah cukup tinggi, tapi si copet terlebih gesit lagi dan dalam tempo sekejap,
ia sudah kabur keluar dari antara orang banyak. Thian Oe mengubar terus tanpa perdulikan
beberapa orang yang
jadi terpelanting lantaran ditubruk olehnya. Di lain saat, ia lihat si copet
sudah loncat ke atas
sebuah tenda. Pencopetan adalah kejadian lumrah di tempat tersebut dan orang
banyak mengambil sikap acuh tak acuh, malahan beberapa antaranya yang kena dibikin
terpelanting jadi
berbalik maki Thian Oe yang dikatakan ceroboh.
Dengan berdiri di atas tenda, si copet buat main Pengpok Hankong kiam dan
mulutnya memuji
tak hentinya: "Pedang bagus! Sungguh bagus!" Dengan gusar, Yoe Peng dan Thian Oe
loncat ke atas tenda itu, tapi si copet yang luar biasa gesitnya, sudah pindah ke lain
tenda dan dengan
beberapa lompatan, ia sudah turun ke atas lapangan yang terletak di belakangnya
tenda-tenda. Thian Oe terkejut. Ilmu entengi badannya si copet ternyata tidak berada di
sebelah bawahnya!
Lapangan tersebut terletak di bawahnya suatu bukit, di atas mana berdiri keraton
Potala. Si copet
lari dengan mendaki tanjakan gunung, tapi ia menuju ke arah selatan barat dan
bukannya ke jurusan Potala.
Thian Oe dan Yoe Peng mengubar terus sekeras-kerasnya, tapi mereka tetap
ketinggalan di belakang dalam jarak beberapa tombak. "Orang ini mungkin bukan copet sewajar,"
kata Thian Oe. "Tak perduli," kata Yoe Peng. "Dia sudah curi pedangku, aku mesti merebut
pulang." Mereka terus ubar-ubaran, dari depan sampai di belakang bukit dan akhirnya masuk
ke satu daerah pegunungan yang sangat sepi.
"Sahabat!" Thian Oe berteriak. "Sudahlah, jangan main-main!"
Orang itu tidak meladeni dan lari terus, sambil mencekal Pengpok Hankong kiam
yang sinarnya menerangi jalanan. Sesudah kabur lagi beberapa lama, si copet mendadak berhenti
di depannya satu rumah, yang mengeluarkan sinar lilin. Bentuknya rumah itu agak luar biasa,
bukan pasegi tapi
bundar seperti tenda, sedang seputarnya dikurung tembok. Si copet mendadak
lompati tembok dan masuk ke dalam.
"Ha! Inilah sarangnya!" berseru Yoe Peng sembari enjot badannya. Thian Oe mau
mencegah, tapi sudah tidak keburu, sehingga ia pun lantas turut loncat.
Begitu masuk, mereka menghadapi penerangan yang menyilaukan mata. Di ruangan
tengah terpasang dua baris lilin sebesar lengan, sehingga ruangan itu jadi terang
seperti siang. Di tengah
ruangan duduk seorang pembesar militer Boan dan si copet menyerahkan Pengpok
Hankong kiam kepadanya. Orang itu meneliti pedang tersebut dan berkata: "Benar! Benar pedang
ini! Apa wanita
itu datang bersama-sama?" Sebagaimana diketahui, Pengpok Hankong kiam
mengeluarkan sinar
dingin yang luar biasa dan dapat membikin pingsan orang yang belum mempunyai
cukup tenaga dalam. Tapi pembesar itu, yang lantas cabut pedang tersebut dari sarungnya dan
bulangbalingkan
beberapa lama, seperti juga tidak merasakan suatu apa.
Yoe Peng memburu bagaikan terbang seraya membentak: "Pulangkan pedangku!"
Pembesar itu mengawasi dengan mata tajam dan berkata: "Apa pedang ini milikmu"
Ah, tak benar!" "Kenapa tak benar?" tanya Yoe Peng.
Si pembesar mengawasi pula dan lalu berkata: "Coba kau jalan dua tindak."
Bukan main gusarnya Yoe Peng yang segera enjot badannya sembari ayun tangannya
buat melepaskan dua butir Pengpok S intan, yang satu menyambar ke arah si pembesar
dan yang satunya lagi ke jurusan si copet.
Sungguh sebet gerakannya pembesar tersebut! Dengan satu gerakan kilat, tangannya


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah menyambar ke depannya si copet, dan dengan gerakan Tjianpie Djie Lay (Djie Lay
Hud dengan seribu tangan), ia sudah sambuti kedua senjata rahasianya Yoe Peng! Ia pencet
dan kedua Pengpok Sintan lantas meledak dalam telapakan tangannya! Gelombang demi
gelombang, hawa
yang sangat dingin keluar dari sela-sela jarinya.
"Sekarang kau tahu keliehayanku!" kata Yoe Peng sembari tertawa. "Hayo,
pulangkan pedangku!" Dari jarak beberapa kaki, hawa dinginnya Pengpok Sintan sudah menusuk
sampai ke tulang-tulang, apa lagi jika peluru itu meledak didalam tangan. Yoe Peng merasa
pasti, pembesar
itu tak akan dapat mempertahankan dirinya lagi dan bakal segera memohon ampun.
Tapi tak dinyana, sedikitpun ia tidak kelihatan kedinginan, dan seperti juga tidak
terjadi apa-apa, ia susut
kedua tangannya yang penuh air es di bajunya. "Ah!" kata ia. "Baik juga ketemu
aku. Kalau lain
orang, biar tak mati, sedikitnya mesti sakit keras."
Thian Oe terkesiap. Dengan meledakkan Pengpok Sintan secara demikian,
kepandaiannya orang itu kelihatannya tidak berada di sebelah bawahnya si pemuda baju putih.
Baru saja ia niat memberi hormat, Yoe Peng sudah kebaskan tangan kirinya dan
membuat setengah lingkaran dengan tangan kanannya, akan kemudian loncat menerjang.
Itulah satu pukulan yang sangat liehay dari Tatmo Tjianghoat. "Ah! Ini jadi semakin tak
benar!" kata si
pembesar sembari lonjorkan tangannya buat tangkap lengannya Yoe Peng.
Thian Oe terkejut melihat gerakan orang yang sangat hebat. Dalam kebingungannya
tanpa memikir lagi, ia enjot badannya sembari mencabut pedang. "Sungguh indah!"
berseru pembesar
itu. "Di antara tingkatan muda, kepandaian seperti ini sungguh jarang terdapat!"
Selagi mulutnya
bicara, tangan kirinya bekerja terus. Mendadakan saja, Thian Oe rasakan jari-
jarinya terbuka dan
pedangnya sudah pindah ke tangannya orang itu, sedang lengannya pun kena
tercekal! Demikianlah dengan satu gerakan saja, orang itu sudah dapat cekal lengannya Yoe
Peng dan Thian Oe yang lalu dilemparkan. Belum sempat berteriak, mereka sudah jatuh duduk
di atas kursi, tanpa mendapat luka sedikit pun!
Thian Oe dan Yoe Peng mengawasi dengan mata mendelong dan mulut ternganga.
Mereka hampir tak percaya, bahwa dalam dunia masih ada orang yang mempunyai kepandaian
begitu tinggi. Pembesar itu mesem dan berkata: "Tak susah buat dapat pulang kedua pedang ini.
Aku cuma mau minta kalian bicara sebenarnya. Siapakah adanya kalian?"
"Ayahku adalah Tan Teng Kie, Soanwiesoe dari Sakya," sahut Thian Oe. Orang itu
keluarkan satu seruan kaget dan berkata: "Ah, kalau begitu kau adalah Tan Kongtjoe. Maaf
buat perbuatanku yang barusan." Ia lalu berpaling kepada Yoe Peng dan menanya: "Dan
kau?" Lantaran masih berdongkol, Yoe Peng tutup mulutnya. "Kekeliruanku yang tadi
sudah terjadi lantaran adanya salah mengerti," kata si pembesar dengan suara halus. "Aku
menduga, kau adalah seorang wanita lain, tapi siapa nyana, biarpun pedangmu mirip dengan
pedangnya, ilmu
silatmu masih kacek terlalu jauh dengan ilmu silatnya! Itu sebabnya kenapa
barusan aku bilang,
tak benar."
Begitu mendengar perkataannya si pembesar, Thian Oe dan Yoe Peng loncat bangun
dengan berbareng. "Wanita siapa yang kau ketemu?" tanya Yoe Peng.
"Bagaimana sebenarnya hubungan antara kau dan wanita itu?" ia balas menanya.
"Aku adalah dayangnya," jawab Yoe Peng.
Pembesar itu manggut-manggutkan kepalanya seraya berkata: "Nah, kalau begitu
barulah benar. Siapakah adanya majikanmu?"
Oleh karena tidak kenal siapa adanya orang itu, hatinya Yoe Peng jadi sangsi.
"Aku she Liong,
namaku Leng Kiauw," ia perkenalkan dirinya sembari mesem. "Banyak sahabat bilang
namaku sukar diingat, dan oleh karena aku adalah anak yang ketiga, mereka pada panggil
aku Liong Sam. Bukankah Tan Kongtjoe sudah pernah dengar namaku yang rendah?"
Thian Oe jadi berdebar hatinya. Ia sama sekali tak duga, bahwa pembesar yang
kelihatannya begitu sederhana adalah orang luar biasa nomor satu di bawah perintahnya Hok
Kong An -- Liong
Sam Sianseng yang kesohor namanya!
Dari ayahnya, Thian Oe pernah dengar, bahwa di bawah perintahnya panglima besar
tersebut terdapat seorang pandai yang tak mau munculkan mukanya. Orang itu dikenal
sebagai Liong Sam
Sianseng. Pangkatnya kecil saja, yaitu pangkat Tjamtjan (semacam penulis), tapi
pengaruhnya sangat besar dan semua nasehatnya selalu diturut oleh Hok Tayswee. Banyak sekali
usaha yang berfaedah di daerah perbatasan keluar dari otaknya.
Menurut katanya orang, kepandaian Liong Sam tak dapat diukur bagaimana
tingginya. Tugas
Hok Kong An di Lhasa adalah tugas yang bukan main beratnya, akan tetapi, selama
beberapa tahun, ia selalu dapat lakukan pekerjaannya secara licin, dan ini, menurut
katanya orang, sebagian besar adalah berkat bantuannya Liong Sam Sianseng. Namanya Liong Sam
tidak banyak dikenal orang dan cuma diketahui oleh beberapa pembesar penting di bawahnya Hok
Kong An. Dahulu, setiap kali Siauw Tjeng Hong dan Tan Thian Oe bicara mengenai dirinya
Liong Sam, mereka selalu merasa sangsi, apakah benar orang itu mempunyai kepandaian yang
tinggi. Mereka anggap, manakala benar ia mempunyai kepandaian seperti yang diagulkan orang,
Liong Sam tentu
tak akan sudi bekerja sebagai satu Tjamtjan di bawahnya Hok Tayswee.
Tapi belakangan, ketika berada di keraton es, Thiekoay sian pernah utarakan
perasaan kagumnya terhadap Liong Sam. Dikatakan olehnya, bahwa Liong Sam adalah seperti
satu naga malaikat, yang kelihatan kepalanya, tapi tak kelihatan buntutnya. Ketika itu,
Thian Oe pernah
tanyakan asal-usulnya Liong Sam, akan tetapi sang guru sungkan banyak bicara dan
cuma gelenggelengkan
kepalanya. Ia cuma bilang, kalau nanti sudah turun gunung, ia mau bawa Thian Oe
pergi ketemukan orang pandai itu. Cuma sungguh menyesal, sebelum niatan itu
terwujut, Thiekoay sian sudah tinggalkan dunia ini buat selamalamanya. Dan sekarang,
secara kebetulan
sekali, dengan matanya sendiri, Thian Oe dapat saksikan kepandaiannya Liong Leng
Kiauw. "Sesudah aku perkenalkan diri, apakah kau dapat memberitahukan namanya
majikanmu?"
tanya Liong Sam sembari tertawa. Yoe Peng masih juga belum menyahut. Ia hanya
mengawasi dengan perasaan bimbang.
"Lagi kapan kau bertemu ia?" tanya Thian Oe.
"Apa kau kenal majikannya?" Liong Sam balas menanya.
"Majikannya adalah Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
Liong Sam kelihatan terkejut. "Hm!" ia menggerendeng. "Aku kira Pengtjoan
Thianlie cuma cerita burung. Tak tahunya, benar ada orangnya!"
"Lagi kapan kau bertemu Kongtjoe kami?" tanya Yoe Peng.
"Tiga hari yang lalu, di waktu malam," sahutnya.
"Bagaimana bertemunya?" tanya lagi Yoe Peng.
"Ia datang disini dan ambil serupa barang," menerangkan Liong Sam.
"Ia ambil barangmu?" tanya Yoe Peng sembari tertawa dingin, lantaran ia sama
sekali tak percaya. Puterinya mau mengambil barang lain orang.
"Barang apa?" tanya Thian Oe.
"Bukan barang terlalu penting, cuma aku tak mau ia mengambilnya," sahut Liong
Sam secara menyimpang. "Cuma sayang, aku tak dapat tahan padanya."
Pada tiga malam yang lalu, seorang wanita telah satroni rumahnya Liong Sam dan
curi satu rencana cara bagaimana Hok Tayswee akan menyambut guci emas yang di kirim dari
Pakkhia. Rencana itu telah disusun oleh Liong Sam sendiri. Wanita tersebut mempunyai ilmu
entengi badan yang luar biasa tingginya dan menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan
sinar terang serta hawa dingin. Liong Sam mengubar dan sesudah beberapa gebrakan, ia masih
belum dapat jatuhkan wanita itu. Dalam kegelapan malam, ia tak dapat lihat tegas mukanya
wanita tersebut
yang mendadak tertawa bergelak-gelak dan berkata: "Cuma sebegini ilmunya Naga
Malaikat!"
Sehabis berkata begitu, ia menyerang dengan serangan aneh, sehingga Liong Sam
terpaksa loncat
mundur, dan dengan gunakan kesempatan itu, ia enjot badannya dan menghilang di
tempat gelap. Kejadian itu sudah membikin Liong Sam yang pandai dan banyak pengalamannya jadi
garukgaruk kepalanya. Itu sebabnya kenapa sudah terjadi salah mengerti dan Yoe Peng, yang
diduga adalah wanita itu sebab mempunyai pedang yang mirip dengan pedangnya wanita
tersebut, sudah
dipancing datang kesitu.
Sesudah Liong Leng Kiauw tuturkan duduknya persoalan, semua orang jadi bengong
dengan masing-masing mempunyai pendapat sendiri-sendiri. Thian Oe sendiri sudah merasa
pasti, bahwa wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie. Di lain pihak, Yoe Peng tidak percaya
omongannya tuan
rumah, bahwa Pengtjoan Thianlie datang menyatroni buat mencuri barangnya.
"Bukankah di
keraton es bertumpuk-tumpuk macam-macam mustika" Mana bisa dipercaya, Kongtjoe
mau curi barangnya!" kata Yoe Peng dalam hatinya. Tapi Yoe Peng tidak tahu, bahwa rencana
yang dicuri oleh Pengtjoan Thianlie ada lebih berharga dari mustika apapun juga. Sementara
itu, Liong Leng
Kiauw tak habis mengerti, kenapa Pengtjoan Thianlie sudah curi rencananya.
Apakah ia mau campur tangan" Mengingat ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie yang sangat tinggi,
mau tak mau hatinya jadi keder juga.
Matanya Liong Sam yang sangat tajam dapat lihat kesangsiannya Yoe Peng, tapi ia
tidak kata apa-apa dan lantas pulangkan Pengpok Hankong kiam. Selagi Thian Oe mau pamitan,
Liong Sam sudah mendahului dengan berkata: "Tan Kongtjoe, jika kalian tak mencela tempatku
yang buruk, aku undang kalian mengasoh semalaman disini. Besok aku akan antar kau pergi ke
gedungnya Hok Tayswee. Mungkin sekali ayahmu juga berada disitu."
"Apa ayah tinggal disitu?" tanya Thian Oe.
"Bukan," sahut Liong Sam. "Ia menyewa rumah lain. Besok Hok Tayswee mau
berunding dengan ia, dan aku dengar, tak lama lagi ia sudah boleh balik ke Sakya.
Besok paginya, bersama Liong Sam, Thian Oe pergi ke gedungnya Hok Kong An,
sedang Yoe Peng menunggu di rumah. Gedungnya Hok Tayswee terletak di tengah-tengah kota dan
berdekatan dengan Gereja Besar (Thaytjiauw Sie). Di tengah jalan Liong Leng
Kiauw tanyakan mengenai Pengtjoan Thianlie dan dijawab dengan sejujurnya oleh Thian Oe.
Setibanya di gedung Hok Kong An, Liong Sam minta Thian Oe menunggu di kamar
peranti tetamu menulis nama. Tak lama kemudian, seorang pelayan muncul dan undang Thian
Oe masuk ke dalam. Baru saja kakinya menginjak undakan batu, ia dengar suaranya Liong Sam
yang berkata sembari tertawa: "Tan Taydjin, aku bilang hari ini kau bakal dapat kegirangan
besar, tapi kau tidak
mau percaya. Coba lihat, siapa yang datang!" Begitu masuk, ia lihat di tengah-tengah ruangan
berduduk seorang pembesar Boantjiu yang berusia kurang lebih 40 tahun. Ia berwajah angker
sekali, tapi pada keangkeran itu terselip sinar kejengkelan. Orang yang duduk di sebelahnya
pembesar Boan tersebut bukan lain daripada ayahnya sendiri, Tan li-ny Kie.
Melihat puteranya, Teng kie girang tak terhingga. "Oe-djie!" ia berseru. "Lekas
memberi hormat kepada Hok Tayswee!" Thian Oesegera jalankan peradatan sesuai dengan adat
istiadat, dan sesudah itu, ia lalu berdiri di samping ayahnya.
Hok Tayswee lirik Thian Oe dan berkata: "Dengan lihat romannya Tan Sieheng,
dengan sesungguhnya burung Hong muda boleh berendeng dengan Hong tua. Aku berani
bilang, di belakang hari nama dan keberuntungannya Tan Sieheng akan berada di sebelah
atasannya Taydjin sendiri. Sungguh aku harus memberi selamat kepada Taydjin."
"Buat itu semua kami ayah dan anak tentu saja harus mengandal kepada bantuannya
Tayswee," sahut Teng Kie.
Thian Oe sebal mendengar kata-kata yang manis-manis dari kalangan pembesar
negeri, maka itu, tanpa menunggu sampai Hok Kong An membuka mulut lagi, ia sudah mendahului.
"Hok

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tayswee," katanya. "Ada orang minta aku sampaikan serupa barang kepadamu."
"Ada orang minta kau sampaikan barang kepadaku?" menegasi panglima itu dengan
suara heran. "Barang apa?"
Thian Oe rogoh sakunya dan keluarkan kotak sulam yang ia terima dari si pemuda
baju putih dan serahkan itu kepada Hok Kong An, yang lantas buka tutupnya. Kotak itu
ternyata berisi sejilid
buku. Begitu membaca, paras mukanya Hok Kong An jadi berobah, dan sembari pegang
buku itu dengan satu tangannya, ia menanya dengan suara tidak sabaran: "Siapa yang
berikan buku ini?"
Pada mukanya panglima itu, yang tadi kelihatan begitu tenang, sekarang terlukis
perasaan kaget dan girang. Teng Kie gelisah dan awasi puteranya.
"Yang memberikan adalah seorang muda yang kelihatannya seperti anak sekolah,
yang aku ketemu di tengah jalan," menerangkan Thian Oe.
Tan Teng Kie yang tidak mengetahui apa isinya buku itu, jadi merasa bingung dan
tidak mengerti, cara bagaimana puteranya boleh sembarangan terima saja barangnya orang
yang tak dikenal, buat disampaikan kepada panglima besar itu. Tapi Hok Kong An tidak jadi
gusar dan tangannya menggape kepada Liong Leng Kiauw, yang, begitu lihat isinya buku
tersebut, segera
berkata dengan suara girang: "Hok Tayswee, sekarang kau sudah boleh legakan
hati. Tan Kongtjoe, sahabatmu sudah banyak membantu kami."
"Urusan ini, benar-benar mengherankan," kata lagi Hok Kong An. "Tan Sieheng, aku
minta kau bicara terus terang. Siapakah adanya sahabatmu itu?"
"Aku bertemu padanya secara kebetulan saja dan tak mengetahui asal-usulnya,"
sahut Thian Oe. "Aku rasa orang itu adalah seorang pendekar yang berkepandaian sangat tinggi,"
berkata Liong Sam. "Menurut pendapatku, buku ini bukannya dicuri olehnya."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Hok Kong An.
"Jika ia yang curi, tentu ia tak akan kirim pulang dengan begitu saja," jawab
Liong Sam. Hok Kong An diam, ia rupanya sedang berpikir keras.
"Orang luar biasa dalam kalangan Kangouw, sering lakukan perbuatan yang luar
biasa pula,"
kata lagi Liong Leng Kiauw. "Aku rasa Tan Sieheng sudah bicara sejujurnya,
sehingga Tayswee tak
usah sangsikan lagi. Menurut anggapanku, kita memerlukan juga bantuannya Tan
Sieheng." "Benar," sahut Hok Kong An. "Sekarang lebih baik kita rundingkan soal cara
bagaimana harus
menyambut guci emas itu. Tan Sieheng duduklah."
"Aku mohon tanya, buku apakah itu sebenarnya?" tanya Tan Teng Kie yang sudah tak
dapat menahan sabar lagi.
"Ini adalah firman yang dikirim oleh Hongsiang (kaizar)," sahut Hok Kong An.
Teng Kie keluarkan teriakan kaget dan mukanya jadi pucat. Cara bagaimana firman
yang begitu penting bisa jatuh di tangan orang sembarangan, dan malahan, nyasar juga ke
dalam tangannya
puteranya sendiri"
Hatinya jadi berdebar-debar, ia tak tahu apa sedang menghadapi kecelakaan atau
kegirangan. "Dalam firman ini ditulis dengan terang seluruh perjalanannya guci emas itu,"
Hok Kong An lanjutkan keterangannya. "Segala jalanan yang diambil dan tempat mengasoh pada
setiap hari semuanya ditentukan secara jelas sekali. Menurut rencana ini, tanggal satu lain
tahun, guci emas
tersebut sudah mesti tiba di Lhasa dan kita ditugaskan buat menyambut dari
tempat lima ratus li
jauhnya dari sini. Setibanya disini, guci itu harus ditaruh di Gereja Besar dan
segala upacaranya
juga sudah ditentukan dalam firman ini. Sedari mendapat laporan yang duluan, aku
sudah tahu, bahwa guci itu sudah berangkat dari kota raja. Tadi aku justru sedang buat
pikiran, kenapa firman
ini belum juga datang, tapi sekarang hatiku sudah menjadi lega."
Tan Teng Kie gemetaran dan keringat dingin keluar dari dahinya. Ia lirik kotak
itu dan kemudian lirik puteranya sendiri. Sementara itu Hok Kong An sudah berkata lagi:
"Cuma saja,
sekarang kita tahu terang, bahwa firman ini sudah kena dirampas orang di tengah
jalan. Dimana adanya pengawal yang melindungi firman, kita tidak mengetahui, dan jika
Hongsiang menyelidiki,
kedosaan ini tidaklah enteng."
"Tayswee tak usah kuatir," kata Liong Leng Kiauw. "Biar bagaimana pun juga,
firman itu sekarang sudah berada dalam tangan kita. Di kemudian hari, kalau pengawalnya
datang, kita anggap saja dialah yang sudah antar sampai kesini. Aku rasa, dia juga takut
memikul kedosaan
buat ketidak becusannya. Maka itu, soal hilangnya firman di tengah jalan tentu
tidak akan sampai
diketahui oleh Hongsiang."
"Bagaimana kau dapat pastikan, pengawal yang mengantar firman masih hidup atau
sudah mati?" tanya Hok Kong An.
"Menurut peraturan dalam kalangan Kangouw, kalau pengawal itu kena dibinasakan,
dalam kotak tentu mesti ditaruh pisau atau lain benda buat memberitahukannya,"
menerangkan Liong
Leng Kiauw. Hok Kong An cuma menggerendeng dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia tidak begitu
percaya dipegangnya peraturan begitu dalam kalangan Kangouw, cuma saja, oleh karena
keadaannya ada sedemikian, ia juga tidak dapat berbuat lain daripada tunggu perkembangan
selanjutnya. "Apa yang aku kuatirkan adalah kemungkinan hilangnya guci emas di tengah jalan,"
kata Liong Sam. "Tak boleh terjadi!" kata Hok Kong An. "Kalau sampai dirampok di tengah jalan,
kita pembesarpembesar
yang bertugas di Seetjong (Tibet) bisa kehilangan kepala! Liong Tjamtjan, apakah
kita tetap akan menyambut guci itu menurut rencana yang sudah ditetapkan?" Hok Kong
An tak tahu, bahwa rencana itu sudah kena dicuri oleh Pengtjoan Thianlie. Kalau tahu, ia
tentu akan jadi lebih
kaget lagi. Liong Leng Kiauw diam beberapa saat dan matanya lirik Thian Oe. "Yah, kita turut
rencana semula, dengan sedikit perobahan," sahutnya.
"Perobahan apa?" tanya Hok Kong An.
"Menurut rencana semula, aku menetap di Lhasa buat bantu Tayswee pimpin upacara
penyambutan," sahut Liong Leng Kiauw. "Sekarang dirobah, biarlah aku yang pergi
menyambut guci emas itu."
Matanya Hok Kong An memain dan hatinya bimbang. Liong Leng Kiauw adalah pengawal
pribadinya, dan tanpa kawalannya, ia kuatir keselamatannya terancam.
Melihat panglima itu bersangsi, Liong Leng Kiauw segera berkata: "Kalau toh ada
orang maui guci itu, percobaan merampas tentu dilakukan... di tengah jalan. Penjagaan
disini ada cukup kuat,
sehingga aku rasa Tayswee tak usah berkuatir. Di sebelahnya itu, aku akan minta
soetee-ku bantu
mengawal Tayswee. Andaikata sampai ada penjahat, aku anggap ia masih dapat
menghadapinya,"
Soetee-nya Liong Leng Kiauw bernama Gan Lok, yaitu orang yang telah copet
pedangnya Yoe Peng. Biarpun ilmu silatnya masih kacek jauh dengan sang soeheng, ia mempunyai
ilmu entengi badan yang istimewa. Walaupun mengetahui kepandaiannya Gan Lok masih kalah
dengan soeheng-nya, tapi mengingat pentingnya guci itu, yang memang juga harus
dilindungi oleh orang
semacam Liong Leng Kiauw, Hok Kong An segera manggutkan kepalanya buat
menyatakan persetujuannya.
"Aku pun ingin minta bantuannya Tan Kongtjoe," kata Liong Sam.
Tan Tang Kie kaget dan buru-buru berkata: "Anakku bisa apa?"
"Orang bilang, mengetahui anak tidak melebihi ayahnya," kata Liong Sam sembari
tertawa. "Tan Kongtjoe mempunyai kepandaian sangat tinggi, maka buat apalah Taydjin
berlaku begitu sungkan!" "Pujian Liong Sianseng tentu tak salah," Hok Kong An sambungi. "Baiklah, kita
atur begitu saja." Liong Leng Kiauw mesem dan berkata pula: "Di sebelahnya itu, kita pun perlu
minta bantuannya Tan Taydjin."
"Sebagai pembesar sipil, aku bisa membantu apa?" kata Teng Kie.
"Kalau sudah tiba temponya, aku bersama Tan Kongtjoe dan beberapa pengikut akan
berangkat lebih dahulu buat membuka jalan," kata Liong Leng Kiauw. "Tan Taydjin
sendiri boleh pimpin seribu serdadu pilihan buat menyambut di tempat lima ratus li jauhnya.
Berhubung dengan
itu, aku minta Hok Tayswee suka angkat Tan Taydjin sebagai utusan istimewa buat
menyambut guci emas itu."
"Liong Sianseng, kau... kau jangan main-main," kata Teng Kie dengan suara gugup.
"Bagaimana aku bisa pimpin pasukan tentara?"
"Tan Taydjin, aku bukan minta kau pergi perang atau atur barisan," jawabnya
sembari mesem. "Bawa serdadu ada apa sukarnya" Tan Taydjin adalah seorang keluaran Hanlim yang
hafal dalam segala rupa adat istiadat dan upacara. Menurut pendapatku, kau adalah calon
satu-satunya yang
paling cocok buat menjadi utusan istimewa guna menyambut guci emas itu."
Tan Tang Kie cuma berpangkat Soanwiesoe (Amban) pada sekte Sakya, yaitu pangkat
sipil kelas empat. Menurut kepantasan, pangkatnya memang tidak cukup tinggi buat
menjadi utusan guna menyambut kiriman yang begitu penting dari sang kaizar. Akan tetapi,
sebagaimana diketahui, Hok Kong An biasanya selalu turut nasehatnya Liong Sam, maka kali ini
pun ia segera menyetujui. Ia merasa, bahwa dengan terlebih dahulu minta bantuannya sang putera
dan kemudian memberi tugas kepada sang ayah, Liong Leng Kiauw tentu mempunyai
perhitungan yang sudah dipikir masak-masak, dan di sebelahnya itu, firman kaizar telah
didapat pulang dari
tangannya Thian Oe, yang menerimanya dari seorang lain, sehingga biar
bagaimanapun juga,
Thian Oe tentu masih mempunyai hubungan apa-apa dengan orang tersebut. Dengan
diangkatnya Teng Kie sebagai utusan, sang putera tentulah juga akan mengeluarkan segala
tenaganya buat bantu melindungi keselamatannya guci emas itu. Demikianlah jalan pikirannya Hok
Kong An ketika ia memberi persetujuannya. Saat itu juga, ia perintah seorang pegawai menulis
satu surat pengangkatan. "Banyak tahun Tan Taydjin menderita dalam menjalankan tugas di daerah
perbatasan," kata
Hok Kong An sembari tertawa. "Ini kali Taydjin menjalankan tugas yang sangat
berat dan penting
dan pahala Taydjin tentu akan sangat dihargakan oleh Hongsiang. Sesudah selesai,
terdapat kemungkinan besar Taydjin akan dapat pulang pangkat yang dahulu atau malahan
akan diberi pangkat yang terlebih tinggi. Inilah benar-benar satu kesempatan sangat baik
bagi Taydjin."
Teng Kie anggap omongannya panglima itu ada benarnya, maka, walaupun mengetahui
Pendekar Remaja 9 Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara Perawan Maha Sakti 2
^