Pencarian

Manusia Setengah Dewa 13

Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat keluar. Liem Toan Ki tersenyum
memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun yang memimpin rombongan empat orang itu. Kakek ini
bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan, yaitu Thian-tok Bhong
Sek Bin! Adapun tiga orang yang lain adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya tunduk
kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka
tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang she Thio ini lihai. "Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan
kita hanya untuk menghalau Kaisar lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada
hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak mencampuri urusan pribadi dan suka
mengalah, membiarkan kami pergi dengan aman."."ha-ha-ha-ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah
berhasil memperoleh pusaka-pusaka keramat,
mau lolos begitu saja dan melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima
uluran tanganmu yang bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan
membagikan sebagian pusaka itu. Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian" Membagi sedikit
kepada kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!" Thio Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata
toya ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang
dititipkan kepadanya oleh Swat Hong.
"Ya, sebaiknnya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki
dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua sedangkan teman-temannya juga mengangguk
setuju. Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat ini malam tadi ikut
mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat Hong , maka mereka lalu diam-diam
mengejar sampai di hutan ini. "Hem, saudara-saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian
tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan tidak
berhak membagi-bagikan kepada siapapun juga." Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau
percaya omonganmu" Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang-
ouw sebagai dalam dongeng telah berada di tangan kalian dan kalian benar-benar
tidak menghendakinya" Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek. Bohong
atau tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat!
kami tidak kan membagi pusaka kepada kalian atau siapapun juga. Habis kalian mau
apa?" Bu Swi Nio membentak sambil mencabut pedangnya.
"Ha-ha, wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian
berdua, mati atau hidup, akan kami seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi
sambil memutar toyanya, di kuti oleh tiga orang kawannya.
Swi Nio dan Toan Ki menggerakan senjata dan melawan dengan mati-matian. Ilmu
toya yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid
dari Thian-tok. Thian-tok (Racun langit) terkenal sebagai seorang ahli racun dan sebagai pemuja
tokoh dongeng Kauw-cee-thian Si Raja Monyet, maka yang paling hebat di antara ilmu
silatnya adalah ilmu silat toya panjang yang disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh
dongeng Kau-cee-thian sendiri! Muridnya ini, biarpun senjatanya toya, namun
dimainkan dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya. Namun,
Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu yang bersih
dan kuat. Selain itu, dia sudah mempunyai banyak pengalaman, bahkan tidak ada yang tahu
bahwa dia adalah murid Hoa-san-pai karena selain dia tidak pernah mengaku karena
takut membawa-bawa nama Hoa-san-pai dengan pemberontakan, juga ilmu silatnya
sudah dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan
gerakan pedang yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di
tangan Thio Sek Bi. Di lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga
orang itu, tidak mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng
oleh The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari
wanita itu, maka kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya dibawah
dia, tentu saja dia dengan mudah dapat mempermainkan mereka. Terdengar Swi Nio
mengeluarkan suara melengking berturut-turut seperti yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat
Lin, dan tiga orang lawannya roboh berturut-turut dan terluka parah, tidak mampu
melawan lagi. Sambil melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya
yang terdesak oleh toya Thio Sek Bi.
"Cring! Tranggggg......!" Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa
betapa telapak tangannya panas.
Liem Toan Ki tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, menubruk maju dan memutar
pedangnya kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus mendesak sehingga permainan toya dari
murid Thian-tok itu menjadi kacau. Akhirnya, tiga puluh jurus kemudian, robohlah
Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka parah, juga pundak kirinya
terobek ujung pedang Swi Nio..JILID 24 "Lekas.....! Kita pakai kuda mereka!"
Liem Toan Ki berkata kepada kekasihnya.
Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan Toan Ki lalu
mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur ketakutan. Kemudian
mereka meloncat ke atas punggung kuda rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan
tempat itu. "Mestinya mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata
Toan Ki. "Benar, belum tentu mereka itu jahat."
"Moi-moi, berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata.
Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti orang bingung.
"Ada apakah?" "Tidak baik kalau kita menuruti permintaan Nona Han Swat Hong pergi ke Awan
Merah." Bu Swi Nio mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan
penuh selidik. Selama ini, dia selain mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya
yang dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa dan patut dibanggakan. Akan tetapi
sekarang dia memandang penuh curiga. jangan-jangan kekasihnya juga ketularan
penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es! Biarpun dia sendiri belum pernah
membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia maklum bahwa pusaka-pusaka Pulau Es
yang berada di tangan gurunya adalah pusaka yang tak ternilai harganya, benda keramat
yang tentu mengandung ilmu-ilmu mujijat!
"Kok, apa..... apa maksudmu?" Mendengar nada suara kekasihnya, Toan Ki
mengangkat muka memandang. Mereka bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum,
memegang tangan kekasihnya dan mencium tangan itu.
"Ihhhh! kau berdosa padaku, memandang penuh curiga seperti itu!" katanya
tertawa. "Tidak, Moi-moi, tidak ada pikiran yang bukan-bukan di dalam hatiku.
Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah. Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian-kok,
sedangkan Thian-kok adalah suheng dari Puncak Awan Merah di tai-hang-san! Kalau
murid dari Sang Suheng seperti Thio Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute akan lebih
baik" Jangan-jangan kita seperti ular-ular menghampiri penggebuk!" "Sialan! Kausamakan
aku dengan ular" Koko, kalau begitu, bagaimana baiknya sekarang?" Swi Nio
menghentikan kelakarnya karena menjadi khawatir juga.
"Swi-moi, tugas yang kita pikul bukanlah ringan. Apalagi karena agaknya sudah
banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang memegang pusaka-pusaka Pulau Es, maka
kurasa langkah-langkah kita tentu akan dibayangi orang-orang kang-ouw yang ingin
merampas Pusaka Pulau Es. Ke mana pun kita pergi, kita tentu akan dicari oleh
mereka." Swi Nio menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka.
"Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya"'
"Tidak ada jalan lain kecuali berlindung ke Hoa-san. Aku akan minta bantuan Hoa-
san-pai agar suka menerima kita bersembunyi di sana dan menyembunyikan pusaka di
sana. Hanya Hoa-sa n-pai saja yang dapat kupercaya dan kiranya tidak sembarangan
orang berani main gila di Hoa-san-pai." "Engkau benar, Koko dan aku setuju
sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti kalau yang mempunyai pusaka ini menyusul
kita ke Puncak Awan Merah dan tidak mendapatkan
kita di sana?" "Lebih baik begitu daripada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi, atau
mendengar bahwa kita tewas
dan pusaka dirampas orang! Sebagai orang-orang yang sakti, tentu mereka akan
dapat mencari kita atau.menduga bahwa aku berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita
berangkat, Moi-moi, hatiku tidak enak sebelum
kita tiba di Hoa-san."
Demikianlah, dua orang itu lalu bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa-san.
Setelah tanpa halangan mereka tiba di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya
langsung menghadap ketua Hoa-san-pai yang terhitung twa-supeknya (uwak guru
pertama) sendiri yang tidak pernah
dijumpainya. Setelah bertemu dengan Kong Thian Cu, ketua Hoa-san-pai pada waktu
itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah lembut dan rambutnya sudah putih
semua, serta merta kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut. "Teecu Liem
Toan Ki menghaturkan hormat kepada Twa-supek," kata Toan Ki.
"Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat kepada Locianpwe," kata Swi Nio penuh
hormat. Kakek itu mengangguk-angguk. "Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto
sebagai Twa-supek, orang muda?" "Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang
membuka perguruan silat di Kun-min dan menurut Suhu, katanya beliau adalah sute
dari Twa-supek yang menjadi ketua di Hoa-san-pai, sungguhpun Suhu berpesan agar
teecu tidak menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapapun juga." Kakek itu
kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang, mengelus jenggotnya dan kembali
mengangguk-angguk. "Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia
membuat mendiang Suhu marah dan
mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekal i. Kiranya dia membuka perguruan silat"
Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoa-san-pai" Bagus, ternyata dia
jantan juga. Di manakah dia sekarang dan bagaimana keadaannya?"
"Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak
dan dijatuhi hukuman mati."
"Ahhh....!" "Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena orang tua
teecu juga menjadi korban keganasan pembesar pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan,
kemudian setelah berhasil tecu mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apalagi
melihat betapa An-goanswe
menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri."
"Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu, karena biarpun engkau tidak
menyebut nama Hoa-san-pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi
kepandain Hoa-san-pai mempergunakan kepandaian itu untuk urusan pemberontak.
Sekarang engkau bersama Nona ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?"
"Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu,
dia puteri dari mendiang Lu-san Lojin."
"Siancai....! Lu-san Lojin sudah meninggal" Pinto pernah bertemu satu kali
dengan ayahmu, Nona. Seorang yang gagah perkasa!"
Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan apakah
yang kalian harapkan dari pinto?"
Dengan terus terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan
tentang penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri
Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian betapa mereka dihadang
orang jahat yang hendak merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan untuk
bersembunyi di Hoa-san-pai. Kakek itu menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu, beberapa kali
memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah mereka berdua seperti
orang yang kurang percaya. "Siancai.... kalau tidak melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan
orang gila dan bukan pembohong, pinto sukar untuk percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan
bertanding bahu-membahu dengan orang-orang Pulau Es! Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanay terdapat dalam
dongeng belaka."."Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia kang-ouw
akan saling berebut untuk merampas
pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan untuk berlindung di
Hoa-san-pai sampai yang berhak atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya."
Sampai lama kakek itu termenung dan menundukan kepalanya, dipandang dengan hati
gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat
mukanya memandang dan berkata, suaranya bersungguh-sungguh. "Selamanya Hoa-san-pai
menjaga nama dan kehormatan sebagai partai orang-orang gagah. Entah berapa
banyak anak murid Hoa-san-pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan ada pula
yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana tewasnya seperti Kee-san Ngo-
han, lima orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi Sin-tong....."
"Aihhhh....!!" Tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek
itu memandang kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas ratu
Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo Cai-li Liok Si
memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar
penuturan Subi ketika menceritakan kelihaian Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-
hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."
Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm,
kiranya iblis betina itu yang membunuh murid-murid pinto....!
"Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona Han Swat Hong puteri Pulau Es
yang menitipkan pusaka kepada teecu berdua, Twa-supek," Toan Ki berkata. Kakek
itu mengangguk-angguk dan mendengarkan penuturan mereka berdua tentang penyerbuan
hebat di kota raja, di dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang
minggat dan melarikan Pusaka-pusaka Pulau Es itu. "Kalau begitu, sudah
sepatutnya kalau Hoa-san-pai membantu para penghuni Pulau Es. Kalian boleh
tinggal di sini dan biarlah Hoa-san-pai yang melindungi kalian dan pusaka-pusaka
itu sampai yang berhak datang mengambilnya."
"Sebelumnya teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanan dan
kemuliaan hati Twa-supek. dan teecu ingin mengajukan permohonan ke dua......"
Kakek itu tersenyum. "Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan berbahaya
telah pinto terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga saja yang
mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan keluar agar tidak menimbulkan
keributan. Sekarang, ada permohonan apa
lagi yang hendak kaukemukakan?" "Teecu...... mohon .....karena teecu berdua


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tidak mempunyai keluarga lagi, dan teecu berdua sudah cukup lama
bertunangan, maka.... teecu mohon berkah dan doa restu Twa-supek untuk menikah
di sini." Toan Ki yang hidupnya sudah penuh dengan segala macam pengalaman hebat
itu, tidak urung tergagap ketika
mengucapkan permintaan ini, sedangkan Bu Swi Nio menundukkan mukanya yang
menjadi mereh sekali. Kong Thian-cu tertawa bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa amat
menggembirakan. Tentu saja pinto suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem Toan
Ki, engkau adalah murid Hoa-san-pai pula, tentu saja engkau berhak untuk menikah di
sini, disaksikan oleh semua murid Hoa-san-pai yang berada di sini."
Demikianlah, Pusaka-pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh Kong
Thian-cu sendiri di dalam kamar pusaka yang tersembunyi, tidak ada anggauta Hoa-
san-pai lain yang mengetahuinya
dan sebulan kemudian diadakanlah perayaan sederhana namun khidmat untuk
melangsungkan upacara pernikahan antara Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Pada malam pertama pernikahan itu
Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya, menangis dengan penuh keharuan, kedukaan yang
bercampur dengan kegembiraan mengenangkan semua pengalamannya, kematian ayahnya dan kakaknya,
malapetaka yang menimpa dirinya ketika dalam keadaan mabok dan tidak ingin diri dia diperkosa
oleh Pangeran Tan Sin Ong. Dia memeluk suaminya dan berterima kasih sekali karena dia dapat
membayangkan bahwa kalau tidak ada pria yang kini menjadi suaminya dengan syah dan terhormat ini tentu
dia sudah membunuh diri dan andai kata dalam keadaan hiduppun ia akan mendrita aib dan terhina..Sampai
dua tahun suami isteri yang saling mencinta dan berbahagia ini hidup di Hoa-san-
pai, menjadi anggota-anggota dan anak murid Hoa-san-pai yang tekun berlatih dan rajin
bekerja. Akan tetapi mereka gelisah sekal i karena sampai selama ini, Han Swat
Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak ada yang muncul bahkan gadis luar biasa dari
Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga tidak muncul. Tentu saja hati mereka akan
menjadi lebih lega dan bebas dari kekhawatiran kalau saja pusaka-pusaka Pulau Es
itu sudah diambil oleh yang berhak dan tidak menjadi tanggung jawab mereka..
Lebih hebat lagi kegelisahan hati mereka ketika pada suatu hari Ketua Hoasan-
pai, Kong Thian-cu yang sudah tua itu, meninggal dunia karena sakit. Sebelum
meninggal dunia, Kong Thian-cu memberitahukan di mana dia menyembunyikan pusaka-
pusaka itu yang tidak diketahui orang lain. Setelah Kong Thian-cu meninggal dunia, kedudukan
Ketua Hoa-san-pai digantikan oleh seorang tokoh Hoa-san-pai lain, terhitung sute
dari Kong Thian-cu yang telah menjadi seorang tosu yang saleh, berjuluk Pek Sim
Tojin. Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan rahasia Pusaka Pulau Es, sehingga
kini rahasia pusaka itu seluruhnya menjadi tangung jawab Liem Toan Ki dan
isterinya. Biarpun selama dua tahun itu tidak terjadi sesuatu, namun hati suami isteri ini
selalu merasa tidak tenteram. Bahkan mereka berdua seringkali merundingkan
bagaimana baiknya. Hendak meninggalkan Hoa-san-pai dan mencari Swat Hong, mereka
tidak berani meninggalkan Hoasan-pai di mana pusaka itu disimpan, juga mereka
tidak tahu ke mana harus mencari Han Swat Hong. Tinggal diam saja di Hoa-san
mereka merasa makin lama makin gelisah. Selama itu, tidak ada satu kali pun
mereka berani memeriksa pusaka yang disimpan di tempat yang amat rapat di kamar
pusaka oleh mendiang Kong Thian-cu. Akhirnya mereka terpaksa menahan diri, dan
saling berjanji bahwa kalau setahun lagi pemilik pusaka yang sah tidak muncul,
mereka akan menghadap Pek Sim Tojin, menceritakan dengan terus terang dan
menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari bersama sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya
demi kemajuan dan kebaikan Hoa-san-pai sendiri.
"Suheng, kita berhenti istirahat dulu di sini!" Swat Hong berkata.
Sin Liong menoleh kepada dara itu, tersenyum dan berkata, "Engkau lelah, Sumoi?"
Swat Hong mengangguk dan Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk
dibawah sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu ditepi
jalan yang merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di
sebelah kanan jurang yang amat curam. Pemandangan di seberang jurang amatlah
indahnya, tamasya alam yang
tergelar di bawah kaki mereka, sehelai permadani hidup yang permai dengan segala
macam warna berselang-seling, kelihatan kacau namun menyedapkan pandangan karena
di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan yang wajar. Sawah ladang bekas hasil tangan
manusia berpetak-petak, digaris oleh sebatang sungai yang berbelok-belok, dengan
rumpun di sana-sini diseling pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara
perobahan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia. Sebatang pohon yang daun-
daunnyatelah menguning dan
banyak yang rontok, kelihatan menyendiri dan menonjol di antara segala tumbuh-
tumbuhan menghijau , dan seolah-olah segala keindahan berpusak kepada pohon
menguning hampir mati itu. Matahari yang berada di atas kepala tidak menimbulkan bayangan-
bayangan sehingga hari tampak cerah sekali. Sinar matahari dengan langsung dan bebas
menyinari bumi dan segala yang berada di atasnya, terang menderang tidak ada
gangguan awan. Di dalam keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini semua.
Ketika tanpa disengaja tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu
dengan lengan Sin Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan
dia terheran. Semenjak dia bertemu dengan suhengnya dan melakukan perjalanan
ini, seringkali dia tenggelam ke dalam keindahan yang amat luar bias, yang sukar
dia ceritakan dengan kata-kata. Dia merasa tenteram, tenang dan penuh damai
sungguhpun suhengnya jarang mengeluarkan kata-kata.
Dia seperti merasa betapa diri pribadi suhengnya bersinar cahaya yang hangat dan
aneh, terasa ada getaran yang ajaib keluar dari pribadi suhengnya yang
mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang menakjubkan, yang mengusir segala kekesalan,
segala kerisauan, dan segala kedukaan. Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini
kepada suhengnya, namun setiap kali dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya
sendiri oleh keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap
suhengnya itu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta
suhengnya, ini sudah jelas. Namun
sekarang timbul perasaan lain yang lebih agung daripada sekedar cinta biasa,
perasaan yang membuat dia penuh damai.
"Suheng......." Dia memberanikan hatinya berkata. "Ya......?" Sin Liong
mengangkat muka memandangnya
sambil tersenyum. Senyumnya begitu lembut penuh kasih, pandang matanya begitu
bersinar penuh pengertian sehingga Swat Hong merasa betapa seolah-olah sebelum dia bicara,
suhengnya itu telah tahu apa.yang terkandung di dalam hatinya! Inilah yang
biasanya membuat membungkam dan tidak dapat
melanjutkan kata-katanya. Kini dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara
lirih, "Suheng, kita akan ke manakah?"
"Ke Hoa-san, sudah kuberitahukan kepadamu," jawabnya sederhana.
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa-san?"
Sin Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu, senyum
yang bebas dan wajar tidak menyembunyikan sesuatu tidak membawa arti sesuatu.
"Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki dan tunangannya, dan karena
Liem Toan Ki adalah murid
Hoa-san-pai, maka tentu saja mereka berada di Hoa-san."
Swat Hong mengangguk-angguk, memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid Hoa-san,
akan tetapi dia lupa bahwa dia tidak pernah menceritakan hal ini kepada
suhenngya! "Bagaimana kalau mereka tidak berada si sana, Suheng?"
Kembali senyum itu. Senyum seorang yang begitu pasti akan segala sesuatu, senyum
penuh pengertian, seperti senyum seorang tua yang melihat kenakalan anak-anak
dan maklum pengapa anak itu nakal! "Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal-hal yang belum
terjadi" Membayangkan hal-hal yang belum terjadi adalah permainan buruk dari pikiran,
karena hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan kekhawatiran belaka. Apa
yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana mestinya kalau sudah terjadi di depan kita." Swat
Hong tertarik sekali. "Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang
membayangkan masa depan, Suheng?"
"Agaknya jelas demikian, bukan" Yang takut akan sakit tentulah dia yang belum
terkena penyakit itu, kalau sudah sakit, dia tidak takut lagi kepada sakit,
melainkan takut kepada kematian yang belum tiba. Perlukah hidup dicekam rasa
takut dan rasa kekhawatiran" Pikiran yang bertanggung jawab atas timbulnya rasa
takut. Pikiran mengingat-ingat kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan
terulangnya kesenangan itu di masa depan, maka timbul ah
kekhawatiran kalau-kalau kesenangan itu tidak akan terulang. Pikiran mengenang
penderitaan masa lalu dan ingin menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu
tidak terulang kembali maka timbulah kekhawatiran kalau-kalau dia tertimpa
penderitaan itu lagi!" "Habis bagaimana, Suheng?"
"Hiduplah saat ini, curahkan seluruh perhatian, seluruh hati dan pikiran, untuk
menghadapi saat ini, apa yang terjadi kepadamu di saat ini, bukan apa yang boleh
terjadi di masa depan, bukan pula mengenang apa yang telah terjadi di masa
lalu." "Kalau begitu kita menjadi tidak acuh dan bersikap masa bodoh....." "Justru
biasanya kita bersikap masa bodoh dan tidak acuh, tidak menaruh perhatian yang
mendalam terhadap saat ini, karena seluruh perhatian kita sudah dihabiskan untuk
mengingat-ingat masa lalu dan untuk membayang-bayangkan masa depan dengan
seluruh pengharapannya, seluruh cita-citanya, seluruh nafsu keinginannya,
seluruh kesenangan dan kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak
lagi ada bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh perhatian, dan
ini barulah di namakan hidup sepenuhnya, hidup sempurna dan lengkap
karena kita menghayati hidup dengan penuh kewajaran, tidak terbuai dalam aalam
kenangan dan harapan yang muluk-muluk namun sesungguhnya kosong belaka." Sampai
lama hening di situ. Pengertian yang mendalam meresap di hati sanubari Swat Hong
dan di dalam keheningan itu tercakup seluruh alam mayapada.
"Suheng, telah dua tahun pusaka itu berada di tangan mereka. Aku telah mencari
ke mana-mana, hanya ke Hoa-san-pai yang belum. Kurasa mereka itu tidak jujur, dan agaknya tentu mereka
telah menyembunyikan pusaka itu. Kalau tidak demikian mengapa mereka tidak pergi menanti aku di
Puncak Awan Merah seperti
yang kupesankan" Memang hati manusia tidak atau jarang sekali ada yang jujur.
Sekali saja melihat.sesuatu yang dapat menguntungkan diri pribadi, maka
terlupalah semua pelajaran tentang kegagahan dan
kebaikan. Aku ingin mencari dan menghajar mereka itu!"
"Sumoi, prasangka adalah satu di antara racun-racun yang merusak kehidupan kita.
Prasangka di lahirkan oleh pikiran yang mengada-ada, yang membayangkan sesuatu
yang direka-reka, yang timbul karena kekhawatiran. Prasangka adalah suatu
kebodohan yang menyiksa diri
sendiri. Kalau kita sudah bertemu dengan mereka dan sudah melihat keadaan yang
sesungguhnya, apakah kegunaannya prasangka" Prasangka dan sebagainnya lenyap
setelah kita membuka mata melihat kenyataan apa adanya, dan sebelum itu, berprasangka
berarti membiarkan pikiran mempermainkan diri. Apakah kegunaannya bagi kehidupan kita?"
Kembali hening. Swat Hong tak mampu menjawab karena dia dihadapkan dengan
keadaan yang nyata. Memang, dia memikirkan hal-hal yang belum terjadi, maka timbul ah
kekhawatiran, dan dari kekhawatiran ini timbulah prasangka yang bukan-bukan.
Yang salah dalam semua itu adalah pikiran! Setelah tubuh mereka beristirahat
dengan cukup, keduanya lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Hoa-san. Makin lama
Swat Hong makin mendapat kesan bahwa suhengnya benar-benar telah berubah, jahu bedanya dengan dahulu.
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa-san dan beristirahat,
Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan tahunya dan dia berkata, "Suheng,
setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa kembali, aku memperoleh
kenyataan bahwa engkau telah berubah
sekali!" "Begitukah, Sumoi?"
"Aku tidak tahu apanya yang berubah, memang kelihatannya engkau masih biasa
sepeti dulu, Suhengku yang sabar, tenang dan bijaksana. Akan tetapi entahlah,
engkau berubah benar, sungguhpun aku sendiri tidak dapat mengatakan apanya yang
berubah." Sin Liong tersenyum dan sinar matanya berseri. "Memang setiap manusia seyogianya
mengalami perubahan, Sumoi. Kita masing-masing haruslah berubah, tidak terikat
dengan masa lalu, dengan segala macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap detik
kita haruslah baru! Kalau demikian, barulah hidup ada artinya!" Swat Hong hendak
berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Liong memegang tangannya dan mengajaknya
bangkit berdiri lalu berlahan-lahan melanjukan perjalanan mulai mendaki bukit
pertama. Ketika Swat Hong hendak menanyakan sikap yang tiba-tiba ini dari
suhengnya, dia mendengar suara orang dan tampaklah olehnya banyak orang
berbondong-bondong naik ke pegunungan Hoa-san, datangnya dari berbagai
penjuru. Mereka itu terdiri dari bermacam orang, dengan pakaian yang bermacam-
macam pula, namun jelas bahwa rata-rata memiliki gerakan yang ringan dan tangkas dan
mudah bagi Swat Hong untuk mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang kang-ouw!
Melihat kenyataan bahwa tidak ada di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong
dan Swat Hong, hanya memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu saling
memandang, tahulah Swat Hong bahwa mereka itu bukan merupakan satu rombongan, melainkan terdiri
dari banyak rombngan sehingga tentu saja mereka mengira bahwa dia dan suhengnya
adalah anggauta rombongan lain. Hati Swat Hong diliputi penuh pertanyaan. Siapakah mereka dan apa kehendak
mereka itu" Apakah di Puncak Hoa-san terdapat perayaan dan mereka ini adalah para tamu yang berkujung
ke Hoasan-pai"Akan tetapi melihat sikap suhengnya diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu untuk
bertanya dan teringatlah dia akan kata-kata suhengnya tentang permainan pikiran yang
membayangkan masa depan yang menimbulkan kekhawatiran belaka. Mau tidak mau dia harus membenarkan karena kini
dia merasakan sendiri. Biarlah dia hadapi apa yang sedang terjadi sebagaimana mestinya dan
sebagai apa adanya tanpa merisaukan hal-hal yang belum terjadi! Ketia akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa-
san, di depan markas perkumpulan Hoa-san-pai yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat itu
ternyata tidak terdapat perayaan apa-apa dan kini banyak tosu dan anggauta Hoa-san-pai berkumpul dan
berdiri di ruangan depan

Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tinggi, sedangkan di bawah anak tangga, di halaman depan penuh dengan
orang-orang kang-ouw yang
bersikap menantang! Ketika dia melirik ke arah suhengnya, dia melihat Sin Liong
bersikap masih biasa dan tenang, dan suhengnya ini pun memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya.
Maka dia pun lalu memandang lagi dan dia melihat seorang tosu berambut putih dengan tenang berdiri
menghadapi para.orang-orang kang-ouw itu sambil menjura dengan sikap hormat lalu
berkata dengan suara halus namun
cukup nyaring, "Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Cu-wi
maka tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Pinto melihat bahwa Cu-
wi adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari bermacam golongan dan tingkat, dan pada hari ini
berbondong datang mengunjungi Hoa-san-pai, tidak tahu ada keperluan apakah?"
Swat Hong memandang para orang kang-ouw itu dan diantaranya banyak tokoh aneh
yang tidak dikenalnya itu, dengan heran dia melihat adanya Siang-koan Houw Tee Tok,
tokoh yang tinggal di Puncak Awan Merah di tai-hang-san itu!
"Suheng, itu Tee Tok berada pula di sini," bisikannya sambil menyentuh lengan
suhengnya. "Aku sudah melihatnya," kata Sin Liong perlahan, "dan yang di sebelah sana itu adalah Bhong
Sek Bin yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit). Bekas suheng dari Tee Tok, dan itu adalah Thian-he
Tee-it Ciang Ham Ketua kang-jiu-pang di Secuan. yang di sana itu adalah Lam-hai Seng-jin, tosu majikan
Pulau Kura-kura di Lam-hai....."
"Guru Kwee-toako?"
Sin Liong mengangguk. Swat Hong memandang penuh perhatian dan terheran-heran
melihat suhengnya mengenal orang-orang yang memiliki julukan aneh-aneh itu. Thian-he
Tee-it berarti Di Kolong Langit Nomer Satu! Dan Lam-hai Seng-jin berarti Manusia dari
laut Selatan! "Dan itu adalah Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang bertapa di
Bukit Bengsan dan yang di ujung itu adalah seorang yang pernah menyerang Pulau
Neraka seperti yang pernah kuceritakan kepadamu, Sumoi. Dialah Tok-gan Hai-liong (Naga Laut Mata
Satu) Koan Sek, seorang bekas bajak laut." "Wah, begitu banyak orang pandai
mendatangi Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?"
"Kita melihat dan mendengarkan saja."
Sementara itu, ucapan dan pertanyaan Ketua Hoa-san-pai tadi mendatangkan suasana
berisik ketika para pendatang yang jumlahnya ada lima puluhan orang itu saling
bicara sendiri tanpa ada yang menjawab langsung pertanyaan Ketua Hoa-san-pai.
Agaknya mereka itu merasa
sungkan dan saling menanti, menyerahkan jawaban kepada orang lain yang hadir di
situ. Betapapun juga, para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena Hoa-san-pai
terkenal sebagai sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar, yang selama ini
tidak pernah mencampuri urusan perebutan kekuasaan atau tidak pernah pula
mencampuri urusan kang-ouw yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Orang-orang
Hoa-san-pai terkenal sebagai orang-orang gagah yang disegani di dunia
persilatan, maka tentu saja mereka itu diliputi perasaan sungkan. Pek Sim Tojin
yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat
seorang kakek tinggi besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke depan,
maka melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu berkata ditujukan
kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu. "Kalau pinto tidak salah
mengenal orang, Sicu adalah Thian-tok Bhong Sek Bin. Sicu adalah seorang yang
amat terkenal di dunia kang-ouw dan
mengingat bahwa kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar, maka pinti
harap Sicu suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu." Thian-tok Bhong
Sek Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha-ha-ha, engkau benar, Totiang! Aku adalah
Bhong Sek Bin dan memang bukan percuma jauh-jauh aku datang mengunjungi Hoa-san-
pai. Tentang mereka semua ini
aku tidak tahu, akan tetapi kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang
yang bernama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua keluara bicara dengan
aku dan aku tidak akan membawa-bawa Hoa-san-pai!"
Ucapan ini disambut oleh suara berisik lagi di antara para tamu, bahkan banyak
kepala dianggukan tanda setuju dan di sana sini terdengar teriakan, "Suruh mereka keluar!".Pek Sim
Tojin mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang putih. "Pinto tidak
menyangkal bahwa di antara anak murid Hoa-san-pai terdapat dua orang yang
bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama Bu Swi Nio. Akan tetapi, selama ini mereka adalah murid-murid
Hoa-san-pai yang tekun dan baik, bahkan tidak pernah turun dari Hoa-san, tidak
pernah melakukan keonaran di luar, apalagi membuat permusuhan dengan golongan manapun. Kini Cu-wi
sekalian berbondong datang, agaknya bersatu tujuan untuk menemui mereka! Pinto
sebagai ketua Hoa-san-pai yang bertanggung jawab atas semua sepak terjang murid-
murid Hoa-san-pai, berhak mengetahui apa yang terjadi antara Cu-wi dengan
mereka!" hening sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa sungkan dan ragu-
ragu untuk menjawab. Sementara
itu, hati Swat Hong terasa tegang begitu mendengar nama Liem Toan Ki dan Bu Swi
Nio disebut-sebut. Dia menunjukan pandang matanya ke atas ruangan depan, namun di
antara para anggauta Hoa-san-pai, dia tidak meliahat adanya kedua orang itu.
"Suheng...., agaknya mereka benar berada di sini seperti yang Suheng duga...."
bisik Swat Hong dengan hati tegang, akan tetapi suhengnya memberi isyarat agar
dia tenang saja. "Sumoi, aku berpesan, kalau nanti terjadi apa-apa, kau serahkan saja kepadaku
dan jangankau ikut turun tangan, ya!"
Dengan penuh kepercayaan akan kemampuan suhengnya, Swat Hong mengangguk akan
tetapi hatinya berdebar penuh ketegangan. Tidak salah lagi, pikirnya yang
menduga-duga, tentu orang-orang kang-ouw ini mencari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio
berhubung dengan Pusaka-pusaka Pulau Es itu! Kalau tidak demikian apalagi"
Melihat bahwa tidak ada orang yang menjawab pertanyaan Ketua Hoa-san-pai itu,
Thian-he Tee-it Ciang Ham yang datang bersama lima orang muridnya, mengacungkan
tombak di tangan kanannya, ke atas dan berteriak. "Totiang, sebagai Ketua Hoa-san-pai
tentu saja kau berhak mengetahui sepak terjang muridmu, akan tetapi kalau urusan
ini tidak menyangkut Hoa-san-pai, bagaiman kami dapat bicara denganmu" Ini
adalah urusan pribadi, urusan Liem Toan Ki sendiri, maka suruh dia keluar agar
kami dapat bicara dengan dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti Hoa-san-pai akan
mencampuri urusan pribadi!" Berkerut alis Ketua Hoasan-pai itu. Ucapan tadi,
biarpun tidak secara langsung, sudah merupakan tantangan dan hanya terserah
kepada Hoa-san-pai untuk melayani tantangan itu ataukah tidak. Maka dia tidak
mau bertindak sembrono dan ingin melihat dulu bagaimana duduk perkaranya. Ketua
Hoa-san-pai ini memang belum sempat diberi tahu oleh Liem Toan Ki dan isterinya
tentang pusaka Pulau Es itu. "Supek, biarlah teecu berdua yang menghadapi
mereka!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncul ah Liem Toan Ki dan
isterinya dari dalam, mereka sudah kelihatan mempersiapkan diri dengan senjata
pedang di pinggang dan pakaian ringkas. Wajah mereka agak pucat, namun sikap
mereka gagah dan tidak jerih. Liem Toan Ki meloncat ke depan, Di atas ruangan
depan itu berdampingan dengan istrinya, menghadapi orang-orang
kang-ouw itu sambil berkata, "Sayalah Liem Toan Ki dan isteri saya Bu Swi Nio.
Tidak tahu urusan apakah yang membawa Cu-wi sekalian datang mencari kami di Hoa-
san?" Hiruk pikuklah para tamu itu setelah mereka melihat sepasang suami isteri muda
muncul dari dalam. Pertama-tama yang berteriak adalah Thian-tok Bhong Sek Bin,
"Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio,
kalian telah berani melukai muridku! Aku baru bisa mengampuni kalian kalau
kalian menyerahkan pusaka-pusaka
yang kaubawa itu!" Liem Toan Ki tersenyum. "hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia
menyerang kami, Locianpwe. Pusaka apa yang Locianpwe maksudkan?"
"Pura-pura lagi, keparat! Pusaka Pulau Es!" teriak Thian-tok marah.
"Serahkan Pusaka Pulau Es kepada kami!"
"Kepada kami!" "Bagi-bagi rata!"."Dijadikan sayembara!"
Macam-macam teriakan para tokoh kang-ouw dan Liem Toan Ki mengangkat kedua
lengannya ke atas. "Cu-wi sekalian, apa buktinya bahwa kami berdua menyimpan Pusaka Pulau
Es?" "Orang she Liem, kau masih berpura-pura lagi bertanya" Aku dan banyak orang
melihat betapa gadis Pulau Es itu menyerahkan pusaka itu kepadamu!" Tiba-tiba
terdengar suara orang yang bukan lain adalah Thio Sek Bi, murid Thian-tok yang
pernah berusaha merampok pusaka itu.
Mendengar ucapan ini dan melihat munculnya murid Thian-tok dan beberapa orang
bekas pengawal yang dulu ikut bertempur di istana The Kwat Lin, tahulah Toan Ki dan
Swi Nio bahwa menyangkal tidak akan ada gunanya lagi.
"Kita harus mempertahankan mati-matian," bisik Swi Nio kepada suaminya yang
mengangguk dan berkata dengan suara lantang, "Cu-wi sekalian! Kami berdua tidak
menyangkal lagi bahwa memang kami telah dititipi pusaka oleh Nona Han Swat Hong,
dua tahun yang lalu. Akan
tetapi, kami tidak akan menyerahkan pusaka itu kepada siapapun juga kecuali
kepada yang berhak, yaitu Nona Han Swat Hong!" Teriakan-teriakan hiruk pikuk
menyambut ucapan lantang ini. "Kalau begitu, kalian akan menjadi tawananku!"
Thian-tok membentak marah sambil melangkah ke depan, akan tetapi gerakannya ini
segera di kuti oleh banyak orang dan jelas bahwa mereka hendak memperebutkan
Liem Toan Ki dan istrinya agar menjadi orang
tawanan mereka, tentu untuk dipaksa menyerahkan pusaka! "Siancai..... harap Cu-
wi bersabar dulu.....!" Tiba-tiba dengan suara yang halus namun berpengaruh,
Ketua Hoa-san-pai berkata sambil mengangkat kedua tangan ke atas, "Biarkan pinto
bicara dulu!" "Totiang, kau hendak bicara apa lagi?" Thian-tok membentak marah,
alisnya berdiri dan matanya melotot.
"Pinto mengaku bahwa urusan pusaka Pulau Es itu sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan Hoa-san-pai dan Hoa-san-pai pun tidak mengetahuinya. Maka sebagai
Ketua Hoa-san-pai, pinto hendak bertanya dulu kepada murid Liem Toan Ki. Ini
adalah urusan dalam dari Hoa-san-pai, kiranya Cu-wi tidak akan mencampurinya!"
Terdengar teriakan-teriakan, "Silahkan! Silahkan, tapi cepat dan serahkan mereka
kepada kami!" Pek Sim Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan bertanya, "Toan Ki,
apa artinya ini semua" Benarkah kalian menyembunyikan Pusaka Pulau Es di Hoa-
san-pai?" Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ketua
Hoa-san-pai itu. Liem Toan Ki segera berkata, "Harap Supek mengampunkan teecu
berdua. Adalah mendiang Twa-supek yang mengijinkan teecu berdua dan Beliau yang
melarang teecu berdua menceritakan kepada siapapun juga, bahkan Beliau yang
membantu teecu berdua dalam hal
ini. Karena sekarang mereka telah mengetahuinya dan hendak menggunakan paksaan,
biarlah teecu berdua menghadapinya sendiri tanpa membawa-bawa Hoa-san-pai."
Setelah berkata demikian, Toan Ki dan Bu Swi Nio meloncat bangun, mencabut
pedang dan berkatalah Toan Ki dengan suara lantang, "Hai i , kaum kang-ouw dengarlah!
Urusan ini adalah urusan kami berdua suami isteri, bukan sebagai murid Hoa-san-
pai, maka kalau kalian begitu tidak tahu malu hendak merampas Pusaka Pulau Es,
biar kami menghadapi kalian sampai titik darah penghabisan!" "Keparat, aku tidak
membiarkan kau mapus sebelum kalian
menyerahkan pusaka itu." Thian-tok membentak.
"Tahan!" Tiba-tiba Pek Sim Tojin membentak dan sikapnya angker sekalil. "Cu-wi
sekalian sungguh terlalu, memperebutkan pusaka milik orang lain dan sama sekali
tidak memandang mata kepada Hoa-san-pai, hendak membikin ribut di sini. Siapa
saja tidak akan pinto ijinkan untuk menggunakan kekerasan di Hoa-san-pai!"
"Tepat sekali! Aku Tee-tok Siangkoan Houw pun bukan seorang yang tak tahu malu!
Aku tidak akan membolehkan siapa pun menjamah Pusaka Pulau Es yang menjadi milik Nona Han Swat
Hong!" Tiba-tiba.tokoh Tai-han-san yang tinggi besar itu sudah melompat ke atas
ruangan luar dan mendampingi Toan Ki
dan Swi Nio dengan sikap gagah!
"ha-ha-ha, itu baru namanya laki-laki sejati! Tee-tok, kau membikin aku merasa
malu saja! Aku pun tua bangka yang tidak berguna mana ingin memperebutkan pusaka
orang lain" Aku pun tidak membiarkan siapa pun memperebutkan pusaka itu!" Lam-hai Seng-jin, guru
Kwee Lun, tosu yang bersikap halus dengan tangan kiri memegang kipas dan tangan
kanan memegang hudtim (kebutan pertapa), telah melangkah ke ruangan depan mendampingi Tee-tok.
"Masih ada aku yang menentang orang-orang kang-ouw tak tahu malu hendak merampas
pusaka lain orang!" Tampak bayangan berkelebat disertai suara halus melengking
dan diruang depan itu nampak Gin-siauw Siucai Si Sastrawan yang bersenjata
suling perak dan mauwpit!
Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak dengan hati penuh kemarahan, apalagi
melihat bekas sutenya, Tee Tok, memelopori lebih dulu membela Hoa-san-pai dan
murid Hoa-san-pai yang membawa Pusaka Pulau Es yang amat dikehendakinya. "Ha-ha-
ha! Kalian pura-pura menjadi pendekar budiman" Hendak kulihat sampai di mana
kepandaian kalian!" Thian-tok sudah lari ke depan, di kuti oleh banyak tokoh
kang-ouw lagi dan dapat dibayangkan betapa tentu
sebentar akan terjadi perang kecil yang amat hebat antara para anggauta Hoa-san-
pai dibantu oleh tiga tokoh kang-ouw itu melawan para orang kang-ouw yang
memperebutkan pusaka. "Tahan....!" Seruan ini halus dan ramah, tidak mengandung kekerasan sesuatu pun, akan tetapi
anehnya, semua orang merasa ada getaran yang membuat mereka menghentikan gerakan
mereka mencabut senjata dan kini semua mata memandang ke arah ruangan depan itu karena
tadi ada berkelebat dua sosok bayangan orang ke arah situ.
Ternyata Sin Liong dan Swat Hong telah berdiri di ruangan depan markas Hoa-san-
pai. Dengan sikap tenang sekali Sin Liong menghadapi semua orang, terutama
sekali memandang tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang hadir, dan yang semua
memandang kepadanya dengan
mata terbelalak, kemudian terdengar pemuda ini berkata, "Cu-wi Locian-pwe
mengapa sejak dahulu sampai sekarang gemar sekali memperebutkan sesuatu?" Thian-
tok Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang dengan terbelalak, demikian pula
Thian-he Tee-it Ciang Ham, Lam-hai Seng-jin, Gin-siauw Siucai dan para tokoh lain yang belasan tahun
lalu pernah hendak memperebutkan bocah ajaib, Sin-tong yang bukan lain adalah
Sin Liong sendiri. Mereka merasa kenal dengan pemuda ini, akan tetapi lupa lagi.
"Ka...... kau siapakah.....?" akhirnya Thian-tok bertanya.
"Ha-ha-ha, kalian lupa lagi siapa dia ini?" Tiba-tiba Tee Tok Siangkoan Houw
berseru keras, hatinya girang dan lega bukan main bahwa dia tadi tidak ragu-ragu
melindungi Pusaka Pulau Es. Melihat munculnya pemuda yang dia tahu memiliki
kelihaian yang luar biasa itu, dia girang sekali. "Coba lihat dengan baik-baik,
belasan tahun yang lalu di lereng Pegunungan jeng-hoa-san kalian juga
memperebutkan sesuatu. Siapa dia?"
"Sin-tong....!"
"Bocah ajaib......!!"
Teringatlah mereka semua dan kini memandang Sin Liong dengan mata terbelalak.
"Mau apa kau datang ke sini?" thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang
galaknya.

Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Liong sudah menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, kepada Tee tok dan lain tokoh
yang tadi membela Hoa-san-pai, di kuti oleh Swat Hong kemudian Swat Hong berkata kepada Toan Ki
dan Swi Nio, "Terima kasih kami haturkan kepada Ji-wi (Kalian Berdua) yang ternyata adalah orang-
orang gagah yang pantas dipuji dan dikagumi kesetiaan dan kegagahannya. Sekarang saya harap Ji-wi suka
mengembalikan pusaka-.pusaka itu kepadaku." Toan Ki dan Swi Nio menjura an Toan
Ki menjawab, "Harap Lihiap suka menanti
sebentar." kemudian pergilah dia bersama Swi Nio ke sebelah dalam, di kuti
pandang mata Ketua Hoa-san-pai yang menjadi terheran-heran.
"Mau apa kalian dua orang muda datang ke sini?" kembali Thian-tok bertanya.
"Harap Locianpwe ketahui bahwa kami berdua adalah penghuni Pulau Es yang datang
untuk mengambil kembali Pusaka Pulau Es.
Pusaka itu adalah milik Pulau Es dan harus dikembalikan ke sana."
"Penghuni Pulau Es....?"" Suara ini bukan hanya keluar dari mulut para tamu,
tetapi juga dari pihak Hoa-san-pai dan mereka yang membelanya, kecuali Tee Tok
Siangkoan Houw yang sudah tahu akan keadaan pemuda dan pemudi itu.
Tak lama kemudian muncul ah Toan Ki dan Swi Nio. Toan Ki membawa bungkusan yang
dulu dia terima dari Swat Hong, lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Swat Hong
sambil menjura dan berkata, "Dengan ini kami mengembalikan pusaka yang Lihiap titipkan
kepada kami dengan hati lega!" Memang hatinya lega dan girang sekali dapat
terlepas dari tanggung jawab yang amat berat itu. Swat Hong membuka dan meneliti
pusaka-pusaka itu. Melihat
bahwa pusaka itu masih lengkap, dia makin kagum. "Suheng tidak pantas kalau kita
tidak membalas budi mereka ini." Sin Liong tersenyum, mengangguk, kemudian dia
berkata kepada Thian-tok dan lain tamu yang masih memandang dengan bengong dan
kini dari mata mereka itu terpancar ketegangan dan keinginan besar. Setelah Pusaka Pulau Es yang
terkenal itu tampak di depan mata, mana mungkin mereka mundur begitu saja tanpa
usaha untuk mendapatkannya" "Cu-wi Locianpwe jauh-jauh datang ke sini, harap suka memaklumi bahwa pusaka-
pusaka ini telah kembali ke pemiliknya dan akan dikembalikan ke Pulau Es. Maka
kami berdua mengharap sudilah Su-wi tidak mengganggu lagi Hoa-san-pai dan suka meninggalkan
tempat ini." "Kami harus mendapatkan pusaka itu!"
"Kami juga!" "Kami minta bagian!"
Teriakan-teriakan itu terdengar riuh rendah dan Sin Liong lalu berkata lagi
dengan halus, "Kami berdua akan berada di sini selama tiga hari, kemudia kami akan
meninggalkan Hoa-san-pai. Kalau kita tidak berada di sini, masih belum terlambat
bagi kita untuk bicara lagi tentang pusaka. Amatlah tidak baik bagi nama Cu-wi
Locianpwe kalau mengganggu Hoa-san-pai yang sama sekali tidak tahu-menahu
tentang hal ini. Nanti kalau kami sudah meninggalkan Hoasan-pai, boleh kita
bicara lagi." Melihat sikap orang-orang Hoa-san-pai, dan sekarang sudah jelas
bahwa pusaka itu berada di tangan Sin-tong dan dara muda itu, Thian-tok lalu
mendengus dan berkata, "Baik, kami menanti di bawah bukit. Kalian berdua tidak
akan dapat terbang lalu."
Pergilah mereka itu meninggalkan Hoa-san-pai, akan tetapi semua orang tahu
belaka bahwa mereka tentu
akan mengurung tempat itu dan tidak akan membiarkan Sin Liong dan Swat Hong
lolos dari situ membawa pergi pusaka-pusaka Pulau Es yang amat mereka inginkan itu. Sin Liong lalu
menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, para tokoh Hoa-san-pai, Toan Ki dan Swi Nio,
juga kepada Tee Tok dan mereka yang tadi membela Hoa-san-pai, kemudian berkata,
"Terutama kepada Saudara Liem Toan Ki dan
Nyonya, sudah sepantasnya kalau kami meninggalkan sedikit ilmu untuk Jiwi pelajari. Dan kepada
para Locianpwe, kiranya akan ada manfaatnya kalau saya melayani para Locianpwe main-main sedikit
untuk memperluas pengetahuan ilmu silat.".Semua orang menjadi ragu-ragu karena tidak tahu akan
maksud hati pemuda yang aneh itu, akan
tetapi Tee-tok Siangkoan Houw sudah tertawa bergelak lalu meloncat ke halaman
depan. "Marilah, ingin aku tua bangka ini memperdalam sedikit kepandaianku!"
Sin Liong tersenyum lalu melangkah perlahan ke pekarangan. "Silahkan Siangkoan
Locianpwe menggunakan Pek-liu-kun (Ilmu Silat Tangan Geledek)!" katanya tenang.
"Harap Locianpwe jangan sungkan dan keluarkanlah jurus-jurus simpanan dari Pek-
liu-kun!" Tee Tok sudah maklum akan kehebatan pemuda ini, dan setelah dua tahun tidak
jumpa, kini sikap pemuda ini luar biasa sekali, bahkan dengan kata-kata biasa
saja pemuda itu sudah mengundurkan semua orang yang tadi sudah bersitegang
hendak menggunakan kekerasan.
Dia dapat menduga bahwa bukanlah percuma pemuda ini mengajak dia berlatih silat,
tentu ada niat-niat tertentu. Karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai maksud
jahat dan tadi membela Pusaka Pulau Es dengan sungguh hati, dia kini pun tanpa
ragu-ragu lagi lalu mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan sepenuh
tenaga dan perhatiannya, dia menyerang pemuda itu dengan jurus-jurus simpanan dari Ilmu
Silat Pek-lui-kun yang dahsyat. "Hai ittt..... eihhh.....?" Bukan main heran dan
kagetnya ketika melihat pemuda itu menghadapi dengan gerakan-gerakan yang sama!
Tiap jurus yang dimainkannya, dihadapi oleh Sin Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai
sebagai serangan balasan namun dengan cara yang sedemikian hebatnya sehingga jurus yang
dimainkannya itu tidak ada artinya lagi! Jurus yang dimainkan oleh pemuda itu
untuk menghadapinya jauh lebih ampuh, dan sekaligus menutup semua kelemahan yang ada,
menambah daya serang yang amat hebat sehingga dalam jurus pertama saja, kalau
pemuda itu menghendaki, tentu dia sudah dirobohkan sungguhpun dia sudah hafal benar
akan jurusnya sendiri itu! Bukan main girang hati kakek itu. Dia terus menyerang lagi
dengan jurus lain, dan sama sekali dia menggunakan delapan belas jurus terampuh
dari Pek-lui-kun dan yang kesemuanya selain dapat dihindarkan dengan baik oleh
Sin Liong, juga telah dengan sekaligus "diperbaiki" dengan sempurna. Semua
gerakan ini dicatat oleh Tee Tok dan setelah dia selesai mainkan delapan belas
jurus pilihan itu, dia melangkah mundur dan menjura
sangat dalam ke arah Sin Liong.
"Astaga.... kepandaian Taihiap seperti dewa saja......., saya...... saya
menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk Taihiap....." katanya agak
tergagap. "Ah, Locianpwe terlalu merendah," jawab Sin Liong. Tee Tok lalu menjura ke arah
Ketua Hoasan-pai dan yang lain-lain, seketika pamit dan pergi dengan langkah
lebar dan wajah termenung karena dia masih terpesona dan mengingat-ingat gerakan-gerakan baru
yang menyempurnakan delapan belas jurus pilihannya tadi!
Lam Hai Seng-jin bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh kawakan yang
berilmu tinggi. Melihat peristiwa tadi, tahulah dia bahwa pemuda ini memang bukan orang
sembarangan dan agaknya telah mewarisi ilmu mujijat yang kabarnya dimiliki oleh
penghuni Pulau Es. Maka dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu dan dai
sudah meloncat maju dengan senjata hudtim dan kipasnya. "Orang muda yang hebat,
kauberilah petunjuk kepadaku!" "Totiang, muridmu Kwee Lun Toako adalah sahabat baik kami, harap Totiang sudi
mengajarnya baik-baik," jawab Sin Liong dan dia pun segera menghadapi serangan
kipas dan hudtim dengan kedua tangannya. Biarpun dia tidak menggunakan kedua
senjata itu, namun kedua tangannya digerakan seperti kedua senjata itu, dan dia pun mainkan jurus-
jurus yang sama, namun gerakannya jauh lebih hebat, bahkan sempurna. Seperti
juga tadi, kakek ini memperhatikan dan dia telah menghafal dua puluh jurus
campuran ilmu hudtim dan kipas.
"Terima kasih, terima kasih..... Siancai, pengalaman ini takkan kulupakan
selamanya." Dia menjura kepada yang lain lalu berlari pergi.
"Totiang, sampaikan salamku kepada Kwee-toako!" seru Swat Hong, akan tetapi
kakek itu hanya mengangguk tanpa menoleh karena dia pun sedang mengingat-ingat semua jurus tadi
agar tidak sampai.lupa. Berturut-turut Gin-siauw Siucai juga menerima petunjuk ilmu
silat suling perak dan mauwpitnya,
kemudian Ketua Hoa-san-pai juga menerima petunjuk ilmu pedang Hoasan-kiamsut.
Para tokoh kang-ouw yang mengurung tempat itu di lereng puncak, terheran-heran
melihat tiga orang tokoh itu meninggalkan puncak seperti orang yang termenung.
Akan tetapi diam-diam mereka menjadi girang karena tiga orang lihai itu tidak
membantu atau mengawal muda-mudi Pulau Es yang mereka hadang. Tiga hari lamanya
Sin Liong dan Swat Hong tinggal di Hoa-san, setiap hari menurunkan ilmu-ilmu
tingi kepada Toan Ki dan Swi Nio sehingga kedua orang suami isteri ini kelak
akan menjadi tokoh-tokoh kenamaan dan mengangkat nama Hoa-san-pai sebagai partai
persilatan yang besar dan lihai. Pada hari ke empatnya, pagi-pagi mereka
meninggalkan markas Hoa-san-pai, diantar sampai ke pintu gerbang oleh Ketua Hoa-
san-pai, Toan Ki, Swi Nio dan para pimpinan Hoa-san-pai. "Taihiap, Lihiap, pinto
khawatir Jiwi akan mengalami gangguan di jalan. Menurut laporan para anak murid
pinto, orang-orang kang-ouw itu masih menanti di lereng gunung." Pek Sim Tojin
berkata dengan alis berkerut. "Bagaimana kalau kami mengantar Ji-wi sampai
melewati mereka dengan selamat?" Sin Liong tersenyum.
"Terima kasih, Locianpwe. Akan tetapi, menghindari mereka berarti membuat mereka
terus merasa penasaran. Sebaliknya malah kalau kami berdua menemui mereka dan
membereskan persoalan seketika juga."
Toan Ki dan Swi Nio yang selama tiga hari menerima petunjuk dari Sin Liong,
telah menaruh kepercayaan penuh akan kesaktian pemuda Pulau Es ini, maka mereka
tidak merasa khawatir. Mereka maklum bahwa pemuda dan gadis dari Pulau Es itu bukanlah manusia
sembarangan, apalagi pemuda itu memiliki wibawa yang tidak lumrah manusia, gerak-geriknya
demikian penuh kelembutan, penuh belas kasih sehingga tidaklah mungkin dapat terjadi
sesuatu yang buruk menimpa seorang manusia seperti ini! Memang benar seperti
yang dilaporkan oleh anak buah Hoa-san-pai bahwa para tokoh kang-ouw itu, dipelopori oleh Thian-tok,
masih menghadang di lereng puncak. Thian-tok yang tadinya mengandalkan kepandaiannya
sendiri, setelah menyaksikan betapa pemuda dan dara Pulau Es itu telah
mendapatkan kembali pusaka-pusakanya, diam-diam telah mengajak semua tokoh lain bersekutu dengan
janji bahwa kalau pusaka dapat dirampas, dia akan memberi bagian kepada mereka semua.
Terutama yang menjadi pembantunya sebagai orang ke dua adalah Thian-he Tee-it
Ciang Ham yang tingkat kepandaiannya hanya berselisih atau kalah sedikit saja
dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu.
Maka ketika Sin Liong yang membawa pusaka di punggungnya bersama Swat Hong
berjalan berlahan dan tenang melalui tempat itu, segera para tokoh kang-ouw itu muncul dan telah
mengurung dua orang muda itu dengan ketat, mempersiapkan senjata masing-masing dengan sikap mengancam.
Sin Liong menggeleng-gelengkan
kepala. "Hal itu tidak bisa dilakukan, Cu-wi Locianpwe. Pusaka-pusaka ini adalah
milik Pulau Es turun-temurun, mana mungkin sekarang diserahkan kepada orang
lain" Setelah kami berdua berhasil menemukannya kembali, kami harus
mengembalikannya kepada Pulau Es, tempatnya
semula. Maka harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak memaksa kepada kami."
"Orang muda yang keras kepala! Kalau kami memaksa, bagaimana?" "Terserah kepada
Cu-wi sekalian. Sumoi, harap Sumoi suka pergi dulu ke pinggir, jangan
menghalangi para Locianpwe ini."
Swat Hong mengangguk dan tersenyum, kemudian tubuhnya berkelebat dan terkejutlah
semua orang kang-ouw itu ketika melihat gadis itu meloncat seperti terbang saja,
melayang melalui kepala mereka dan kini telah berdiri di luar kepungan! Sungguh
merupakan bukti kepandaian ginkang (Ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat!
Sin Liong sengaja menyuruh sumoinya pergi keluar dari kepungan karena tidak
menghendaki sumoinya itu naik darah dan turun tangan menggunakan kekerasan terhadap orang-orang kang-ouw
ini. Setelah kini melihat sumoinya keluar dari kepungan, dia lalu menyilangkan kedua lengannya di
depan dada, berkata, "Silahkan kepada Cu-wi apa yang hendak Cu-wi lakukan setelah jelas kukatakan
bahwa Pusaka Pulau Es.tidak akan kuberikan kepada Cu-wi." Melihat sikap tenang
dan penuh tantangan ini, para tokoh kang-ouw
menjadi marah juga. Pemuda itu tidak memegang senjata, berdiri dalam kepungan
dan pusaka itu berada di dalam buntalan yang berada di punggungnya. Maka serentak
orang- orang kang-ouw yang sudah mengilar dan ingin sekali merampas pusaka itu
menerjang maju dan berebut hendak menyerang Sin Liong dan mengulur tangan hendak
merampas buntalan. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum, berdiri tegak dan menyilangkan kedua
lengannya sambil memandang tanpa berkedip mata.
"Ahhh....!" "Hayaaa.....!" "Aihhhh.....!" Semua orang terhuyung-huyung mundur karena belum juga tangan mereka menyentuh
pemuda itu, hati mereka sudah lemas dan luluh menghadapi wajah yang tersenyum
itu, tangan mereka seperti lumpuh dan tenaga mereka seperti lenyap seketika membuat
mereka terhuyung dan hampir jatuh saling timpa! Thian-tok dan Thian-he Tee-it menjadi
kaget dan marah sekali melihat keadaan teman-teman mereka itu. Kedua orang itu
berilmu tinggi ini memang membiarkan teman-teman mereka turun tangan lebih dulu
untuk menguji kepandaian pemuda yang keadaannya amat mencurigakan karena terlampau tenang itu.
Kini melihat betapa teman-temannya mundur tanpa pemuda itu menggerakan sebuah jari
tangan pun, kedua orang itu terkejut marah dan penasaran. Thian-tok menerjang ke depan
dengan senjata Kim-kauw-pang di tangannya, sedangkan Ciang Ham juga sudah
meloncat dekat dengan senjata tombak di tangan. "Orang muda, serahkan pusaka itu!" Thian-tok
membentak. "Sin-tong, jangan sampai terpaksa aku menggunakan tombak pusakaku!" Ciang ham
juga menghardik. Akan tetapi Sin Liong tetap tidak bergerak hanya berkata,
"Terserah kepada Ji-wi Locianpwe, Ji-wi yang melakukan dan Ji-wi pula yang
menanggung akibatnya."
"Keras kepala!" Thian-tok membentak dan tongkatnya yang panjang sudah menyambar
ke arah kepala pemuda itu. Sin Liong sama sekali tidak mengelak, bahkan berkedip
pun tidak ketika melihat tongkat itu menyambar ke arah kepalanya, disusul tombak


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di tangan Thian-he Tee-it Ciang Ham yang menusuk ke arah lambungnya.
"Desss! Takkkk!!"
"Aihhh.......!"
"Hei i ....." Thian-tok Bhong Sek Bin dan Thian-he Tee-it Ciang ham berteriak kaget dan
meloncat ke belakang.Tongkat itu tepat mengenai kepala dan tombak itu pun tepat menusuk
lambung, namun kedua senjata itu terpental kembali seperti mengenai benda yang amat kuat,
bahkan telapak tangan mereka terasa panas! Tentu saja mereka merasa penasaran,
biarpun ada rasa ngeri di dalam hati mereka. Pada saat itu, orang-orang kang-ouw
lainnya yang melihat betapa dua orang lihai itu sudah menyerang dengan senjata,
juga menyerbu ke depan. Sin Liong tetap diam saja ketika belasan batang senjata
yang bermacam-macam itu datang bagaikan hujan
menimpa tubuhnya. Semua senjata tepat mengenai sasaran, akan tetapi tidak ada sedikit kulit tubuh
pemuda itu yang lecet, kecuali pakaiannya yang robek-robek dan orang-orang itu
terpelanting ke sana-sini, bahkan ada yang terpukul oleh senjata mereka sendiri
yang membalik. Makin keras orang menyerang, makin keras pula senjata mereka membalik. Bahkan
Thian-tok sudah mengelus kepalanya yang benjol terkena kemplangan tongkatnya sendiri, sedangkan
paha Ciang ham berdarah karena tombaknya pun membalik tanpa dapat ditahannya lagi ketika
mengenai tubuh Sin Liong untuk yang kedua kalinya..Ketika mereka memandang dengan mata terbelalak kepada
Sin Liong, mereka melihat pemuda itu masih
tersenyum-senyum, masih berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang di depan
dada, hanya bedanya, kini pakaiannya robek-robek dan penuh lobang.
Thian-tok dan Thian-he Tee-it adalah orang-orang yang terkenal di dunia
persilatan sebagai tokoh-tokoh besar yang sudah banyak mengalami pertempuran.
Mereka tahu pula bahwa orang yang memiliki sinkang amat kuat dapat menjadi kebal, akan tetapi selama
hidup mereka belum pernah menyaksikan kekebalan seperti yang dihadapi mereka
sekarang ini. Kekebalan yang agaknya tanpa disertai pengerahan tenaga. Apalagi
melihat cahaya aneh seperti
melindungi tubuh pemuda itu, mereka maklum bahwa pemuda ini bukan orang
sembarangan. Tanpa melawan saja pemuda ini telah membuat mereka tidak berdaya, betapa
hebatnya kalau pemuda ini mengangkat tangan membalas!
"Maafkan kami......!" Thian-tok berseru lalu melompat dan berlari pergi. "Sin-
tong, maafkan......!" Ciang Ham juga berkata lalu menyeret tombaknya,
terpincang-pincang pergi dari situ.
Tentu saja para tokoh lain yang memang sudah merasa ngeri dan jerih, melihat
kedua orang yang diandalkan itu lari, cepat membalikkan tubuh dan berserabutan
lari dari situ meninggalkan Sin Liong yang masih berdiri tegak di tempat itu.
Swat Hong lari menghampiri suhengnya, lalu memeluk suhengnya itu.
"Suheng......., kau tidak apa-apa......?" tanyanya.
Sin Liong menggeleng kepala dan tersenyum.
"Pakaianmu hancur......"
"Pakaian rusak mudah diganti, akhlak yang rusak lebih menyedihkan lagi karena
mendatangkan malapetaka."
"Suheng, kau......"
"Ada apakah, Sumoi......?"
Swat Hong menggelengkan kepala dan dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur
dua tindak dan memandang suhengnya dengan pandang mata penuh takjub dan juga jerih.
"Suheng, kau...... kau berbeda dari dulu......."
"Aih, Sumoi, aku tetap Sin Liong suhengmu yang dahulu."
"Tidak, tidak.....! kau berbeda sekali. Ilmu apakah yang kau pergunakan tadi"
Mendiang Ayahku sekalipun tidak pernah memperlihatkan ilmu mujijat seperti
itu........" "Apakah keanehannya, Sumoi" Ilmu yang berdasarkan kekerasan tentu
hanya mengakibatkan pertentangan dan kerusakan belaka, dan setiap bentuk kekerasan hanya akan
mecelakakan diri sendiri." "Suheng, ajarilah aku ilmu tadi....."
"Tidak ada yang bisa mengajar, kelak kau akan mengerti sendiri, Sumoi. marilah
kita lanjutkan perjalanan kita."
Setelah berkata demikian, Sin Liong memegang tangan sumoinya dan terdengar jerit
tertahan dara itu ketika dia merasa bahwa dia dibawa lari oleh suhengnya dengan kecepatan seperti
terbang saja! Dia sendiri
adalah seorang ahli ginkang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup luar biasa,
akan tetapi apa yang dialaminya sekarang ini benar-benar seperti terbang, atau seperti terbawa oleh
angin saja! Makin yakinlah hatinya bahwa suhengnya telah menjadi seorang yang amat luar biasa kesaktiannya,
menjadi seorang manusia dewa!.Gerakan pembalasan yang dilakukan oleh Kaisar Kerajaan Tang yang
baru, yaitu kaisar Su Tiong, yang dilakukan dari Secuan, amat hebat. Gerakan pembalasan untuk merampas
kembali ibu kota Tiang-an dari tangan pemberontak ini dibantu oleh pasukan yang dapat
dikumpulkan di Tiongkok bagian barat, dibantu pula oleh pasukan Turki, bahkan
pasukan Arab. Dengan bala tentara yang besar dan kuat, Kaisar Su Tiong melakukan
serangan balasan terhadap
pemerintah pemberontak yang tidak lagi dipimpin oleh An Lu Shan karena jenderal
pemberontak itu telah tewas. Perang hebat terjadi selama sepuluh tahun, dan di
dalam perang ini, para pemberontak dapat dihancurkan dan kota demi kota dapat dirampas
kembali sampai akhirnya ibu kota dapat direbut kembali oleh Kaisar Su Tiong.
Di dalam perang ini, Han Bu Ong putera The Kwat Lin yang bersama orang-orang
kerdil membantu pemerintah pemberontak, tewas pula dalam pertempuran hebat sampai tidak
ada orang pun orang kerdil tinggal hidup.
Dalam tahun 766 berakhirlah perang yang mengorbankan banyak harta dan nyawa itu,
namun kerajaan Tang telah menderita hebat sekali akibat perang yang mula-mula
ditimbulkan oleh pemberontak An Lu Shan itu. Kematian yang diderita rakyat,
pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi di dalam perang selama pemberontakan ini adalah yang
terbesar menurut catatan sejarah. Menurut catatan kuno, tidak kurang dari tiga
puluh lima juta manusia tewas selama perang yang biadab itu! Bukan hanya
kerugian harta dan nyawa saja, akan tetapi juga setelah perang berakhir,
Kerajaan Tang kehilangan banyak kekuasaan atau kedaulatannya!
Bantuan-bantuan yang diterima oleh Kaisar di waktu merebut kembali kerajaan,
membuat Kaisar terpaksa membagi-bagi daerah kepada para pembantu yang diangkat menjadi
gubernur-gubernur yang lambat laun makin besar kekuasaannya dan seolah-olah
menjadi raja-raja kecil yang berdaulat sediri. Di samping itu, pemberontak An Lu Shan
membentuk pasukan-pasukan yang ketika pemberontak dihancurkan, melarikan diri ke
perbatasan dan menjadi pasukan-pasukan liar yang selalu merupakan gangguan terhadap kekuasaan
pemerintah. Demikianlah, dengan dalih apapun juga, pemberontakan lahiriah hanya mendatangkan
kerusakan dan malapetaka, karena tidaklah mungkin perdamaian diciptakan oleh
perang! Menurut sejarah di seluruh dunia, tidak pernah ada revolusi jasmani mendatangkan
perdamaian dan kesejahteraan. Kiranya hanyalah revolusi batin, revolusi yang
terjadi di dalam diri setiap orang manusia, yang akan dapat mengubah keadaan
yang menyedihkan dari kehidupan manusia di seluruh dunia ini.
Dengan tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka habislah semua tokoh yang
keluar dari Pulau Es dan Pulau Neraka. Yang tinggal hanyalah Sin Liong dan Swat
Hong berdua saja, akan tetapi kedua orang ini pun sudah kembali ke Pulau Es dan
semenjak peristiwa di Hoasan-pai itu, tidak ada lagi yang tahu bagaimana keadaan
kedua orang itu dan, di mana adanya mereka! Yang jelas, Pulau Es masih ada dan
kedua orang suheng dan sumoi yang saling
mencinta itu pun masih hidup. Buktinya, beberapa tahun kemudian kadang-kadang
mereka itu muncul sebagai manusia-manusia sakti menyelamatkan belasan orang nelayan
yang perahunya diserang badai. Didalam kegelapan selagi badai mengamuk dahsyat itu,
ketika perahu-perahu mereka dipermainkan badai dan nyaris terguling, tiba-tiba muncul
sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita
cantik, dan kedua orang ini dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali untuk
menjerat perahu-perahu itu kemudian menariknya keluar dari daerah yang diamuk
badai! Apakah mereka itu Sin Liong dan Swat Hong, tidak ada orang yang mengetahuinya
karena setiap kali muncul menolong para nelayan dan para penghuni pulau-pulau yang
berada di utara, kedua orang itu tidak pernah memperkenalkan nama mereka.
Kalau benar mereka itu adalah Sin Liong dan Swat Hong, bagaimanakah jadinya
dengan mereka" Apakah suheng dan sumoi yang saling mencinta dan yang telah kembali ke
Pulau Es itu langsung menjadi suami isteri" Hal ini pun tidak ada yang tahu,
karena agaknya bagi mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal
yang tidak penting lagi. Diri mereka telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan
cinta kasih yang biasa melekat di bibir manusia pada umumnya, karena cinta kasih
seperti itu telah diselewengkan artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan
mendatangkan kesenagan dan kesusahan belaka dan justeru karena cinta kasih kita
itu mendatangkan kesenangan maka dia mendatangkan pula kesusahan karena
kesenangan dan kesusahan adalah saudara kembar yang tak mungkin dapat dipisah.
Menerima yang satu harus menerima pula yang ke dua, yang mau menikmati
kesenangan harus pula mau menderita kesusahan.
Tidak, cinta kasih mereka bukan seperti cinta kasih palsu yang kita
punyai!.Pernah ada seorang anak nelayan yang diwaktu malam hari, ketika
perahunya diayun-ayun gelombang
kecil dan dia sedang menggantikan ayahnya yang tertidur untuk menjaga kail,
mendengar nyanyian halus yang dinyanyikan oleh seorang wanita cantik di atas perahu dan
yang kelihatan remang-remang di bawah sinar bulan purnama di malam itu. Anak
yang cerdas ini masih teringat akan bunyi nyanyian itu seperti berikut:
"Langit, Bulan dan Lautan
kalian mempunyai Cinta kasih
namun tak pernah bicara tentang Cinta kasih! Kasihanilah manusia yang miskin dan haus akan Cinta Kasih, bertanya-tanya
apakah Cinta Kasih itu"
Bilamana tidak ada ikatan
tidak ada pamerih dan rasa takut
tidak memiliki atau dimiliki
tidak menuntut dan tidak merasa memberi.
Tidak menguasai atau dikuasai
tidak ada cemburu, iri hati
tidak ada dendam dan amarah
tidak ada benci dan ambisi.
Bilamana tidak ada iba diri
tidak mementingkan diri pribadi,
bilamana tidak ada "Aku"
barulah ada Cinta Kasih........"
Puluhan tahun, bahkan seratus tahun kemudian di dunia kang-ouw timbul semacam
cerita setengah dongeng tentang seorang manusia dewa yang mereka sebut Bu Kek Siansu, seorang
laki-laki tua yang sederhana namun yang pribadinya penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa
pun dan apa pun. Bu Kek Siansu yang dikenal sebagai tokoh Pulau Es dan menurut cerita tradisi dari
keturunan tokoh-tokoh seperti
Tee Tok Siangkoan Houw, Lam Hai Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw
Siucai, tokoh-tokoh Hoa-san-pai, katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak yang dahulu disebut
Sin-tong (Anak Ajaib), yaitu pemuda Kwa Sin Liong yang menghilang bersama sumoinya, Han Swat Hong, dan
yang kabarnya menetap di Pulau Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia ramai. Dan memang seorang
manusia seperti Bu Kek Siansu tidak pernah mau menonjolkan diri, selalu bergerak tanpa pamrih,
hanya digerakan oleh cinta kasih. Maka kita pun tidak mungkin dapat mengikuti seorang manusia seperti Bu
Kek Siansu, dan hanya.kadang-kadang saja dapat melihat muncul di antara orang
banyak, dan di dalam dunia persilatan, Bu Kek
Siansu akan muncul di dalam ceritera "Suling Emas".
Demikinlah, terpaksa pengarang menutup cerita "Bu Kek Siansu" ini yang hanya
dapat menceritakan pengalaman pemuda Kwa Sin Liong sewaktu dia belum menjadi
seorang Bu Kek Siansu, sewaktu dia belum memiliki cinta kasih sehingga masih diombang-ambingkan
oleh suka dan duka dalam kehidupannya. Dengan mengenangkan isi nyanyian yang
dinyanyikan oleh anak nelayan itu, penulis mengajak para Pembaca Budiman untuk sama-sama
mempelajari dan mudah-mudahan kita pun akan memiliki Cinta Kasih melalui
pengenalan diri pribadi. Teriring salam bahagia dari pengarang dan sampai jumpa
kembali di lain cerita. TAMAT Senopati Pamungkas I 18 Pendekar Rajawali Sakti 5 Naga Merah Persembahan Raja Setyagara 1
^