Pencarian

Manusia Setengah Dewa 12

Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


melihat ke arah peti hitam yang terbuka di depan tempat tidurnya, tahulah dia
bahwa semua pusaka telah dirampas oleh Swat Hong, seperti yang dikhawatirkannya.
"Mencari apa, wanita iblis" Pusaka Pulau Es telah aman!"
The Kwat Lin cepat menengok dan melihat Swat Hong telah berdiri di ambang pintu
bersama seorang gadis lain yang tak dikenalnya. Kemarahan seperti api membakar
dadanya melihat dara ini. Sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring, dia lalu
menerjang dan menggerakkan pedang merahnya.
"Cring-trang....!!" Pedang Swat Hong disusul pedang Coa-kut-kiam di tangan Soan
Cu menangkis dan kedua orang dara itu meloncat ke belakang, ke tempat yang lebih lega. Dengan
kemarahan meluap-luap.The Kwat Lin meloncat keluar dan melanjutkan serangannya.
Akan tetapi, setelah bergerak belasan jurus,
wanita ini terkejut dan merasa menyesal mengapa dia menuruti kemarahan hatinya.
JILID 22 Dia berada dalam bahaya! Kiranya selain Swat Hong yang telah memiliki kepandaian
hebat juga gadis yang gerakan-gerakannya liar dan ganas itu amat berbahaya,
apalagi cambuk ekor ikan Phi yang meledak-ledak dahsyat. Sebentar saja dia
tertekan dan terdesak. Beberapa kali dia berusaha untuk meloloskan diri, akan
tetapi sambil mengejek Swat Hong selalu menutup jalan keluar dan dia terus
digulung oleh sinar dua orang gadis lihai itu.
The Kwat Lin menjadi nekat. Sambil menggigit bibirnya dia menyerang dahsyat
kepada Swat Hong, mencurahkan daya serangannya kepada anak tiri yang dibencinya
ini. Menghadapi terjangan dahsyat yang bertubi-tubi itu, Swat Hong mundur-mundur juga. Akan
tetapi kesempatan baik ini dipergunakan oleh Sian Cu untuk menyerang dari belakang.
Cambuk ekor ikan Phi meledak dua kali mengancam ubun-ubun kepala The Kwat Lin,
dan ketika wanita ini mengelak kesamping sambil melanjutkan serangan pedangnya
kepada Swat Hong, Soan Cu
menusukan pedangnya mengarah lambung Kwat Lin. "Singgg....crat..... aihhhhh!!"
Kwat Lin terkejut karena biarpun dia telah mengelak, tetap saja pedang Coa-kut-
kiam (Pedang Tulang Ular) itu melukai lambungnya, merobek kulit dan mendatangkan
rasa nyeri dan panas dan perih sekali. Akan tetapi, wanita yang lihai ini sudah membalik sambil juga
membalikan pedangnya menyambar leher Soan Cu. Hal ini tidak disangka-sangka oleh
gadis Pulau Neraka ini. "Awas Soan Cu.....!!" Swat Hong berseru dan pedangnya
menyambar, yang diarah adalah lengan kanan Kwat Lin karena hanya dengan jalan
itulah dia dapat menolong Soan Cu.
"Brettt.... crok..... aughhhh......!!"
Soan Cu terhuyung, pundaknya berlumuran darah karena terluka parah, sedangkan
Kwat Lin cepat memindahkan pedang ke tangan kirinya karena lengan kanannya juga
terluka parah, terbacok di bagian bahu hampir putus! Dengan kemarahan meluap-luap dia menubruk
Swat Hong, namun gadis Pulau Es ini mengelak ke kiri sambil mengangkat kaki menendang
lutut. "Dukkk! Aduh....!" Kwat Lin terbelalak ketika tahu-tahu pedang Coa-kut-kiam
telah bersarang di perutnya! Kiranya ketika tadi Swat Hong menendangnya Soan Cu
yang terluka dengan kemarahan meluap menubruk, maka begitu wanita itu terguling, pedangnya cepat
menyambar dan menusuk perut Kwat Lin. "Bedebah kau....!" Tiba-tiba pedang di
tangan Kwat Lin meluncur.
"Soan Cu, awas....!!" Swat Hong berteriak kaget namun terlambat. Pedang yang
terlempar dari jarak dekat dan tak terduga-duga itu dilakukan dengan dorongan
tenaga terakhir, tak dapat dielakkan dengan baik oleh Soan Cu dan menancap di
bawah pundak sampai dalam!
"Soan Cu!" Swat Hong melompat dan pedangnya membabat. Kwat Lin memekik dan
lehernya hampir putus! Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh soan Cu yang
tersenyum! Pergilah.... Aku.... aku tak berguna lagi....!" katanya.
"Omong kosong!" Swat Hong menghardik, mencabut pedang Ang-bwe-kiam dari pundak
Soan Cu. Soan Cu menjerit dan pingsan.
Dengan gemas Swat Hong melempar pedang itu memondong tubuh Soan Cu, dibawanya
keluar. Betapa kagetnya ketika ia tiba di ruangan luar, pertempuran yang masih berlangsung
hebat itu ternyata membuat pihak ibunya terdesak. Bahkan ibunya kelihatan terluka di beberapa tempat, juga
ayah Soan Cu, yang mengamuk dengan gagah telah berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee Lun juga
masih mengamuk, dan hanya pemuda inilah yang belum terluka, karena Ouwyang Cin Cu menujukan
serangan- serangannya kepada Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, karena menganggap ringan kepada Kwee
Lun.."Ibu....!!"
Dengan kemarahan meluap-luap, Swat Hong meloncat, melampau para pengepung dan
menurunkan tubuh Soan Cu ke atas lantai. Lalu gadis ini mengamuk dengan
pedangnya, merobohkan beberapa orang pengawal. Gerakannya demikian hebat sehigga para
pengepung terkejut dan gentar, bergerak mundur.
"Ibu.....!" "Ayahhhhh.....!"
Ouw Sian Kok menghentikan amukannya dan menjatuhkan diri berlutut. Tadi dia
mengira bahwa puterinya telah tewas, maka panggilan itu menggetarkan jantungnya dan
membuat dia lemas. "Kau.....kau Soan Cu.....?"
"Ayahhhhhhh..... Hu-hu-hu-huuuuu.....!!" Soan Cu menangis dalam rangkulan
ayahnya yang juga bercucuran air mata. Baru pertama kali Ouw Sian Kok dapat
mencucurkan iar mata. "Wutttt..... trangggggg......!!" Dua batang golok terpental oleh tangkisan oleh
tangkisan Ouw Sian Kok tanpa menoleh karena dia sedang mendekat dan menciumi
dahi puterinya. "Ayah, aku puas..... dapat bertemu denganmu.......!"
"Soan Cu...... aihhhh, anakku, kauampunkan dosa ayahmu....." Ouw Sian Kok
berkata dengan suara terisak. "Trang-trang..... dessss!!" Dua orang pengawal
yang berani menyerang roboh oleh tangkisan pedang Ouw Sian Kok dan mecuatnya
kaki Soan Cu yang menendang. "Ah, jangan kau keluarkan tenaga....." kata Ouw
Sian Kok melihat betapa tendangan tadi membuat napas Soan Cu memburu. "Ayah.....
aku.....aku tidak kuat lagi.....kalu larilah, ayah......."
"Soan Cu......! Soan Cuuuu......!!" Sian Kok meraung-raung ketika menyaksikan
dengan mata sendiri betapa puterinya yang baru dilihatnya selama hidup puterinya
itu, menghembuskan napas di dalam dekapnya, dengan bibir tersenyum. Laki-laki
gagah perkasa itu masih terus meraung-raung, dengan air mata bercucuran ketika
dia telah membaringkan tubuh puterinya ke atas lantai kemudian dia mengamuk
seperti seekor naga, menyebar maut diantara
pengeroyoknya! Hujan senjata tidak dirasakannya lagi pedangnya sampai menjadi
merah dari ujung sampai kegagang, bahkan sampai ke lengannya! Sementara itu Liu
Bwee yang sudah banyak kelilangan darah juga makin lemas gerakannya. kalau tidak ada Swat Hong,
tentu dia roboh oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah
menjadi Kok-su ini hanya setengah hati saja bertempur, sering kali dia sengaja mundur dan
membiarkan anak buah pengawal yang mengeroyok. Hal ini karena dia sebetulnya
tidak begitu suka kepada The Kwat Lin yang dianggapnya berbahaya. Pula, setelah
sekarang dia telah memperoleh
kedudukan tinggi, dia tidak membutuhkan kerja sama dengan The Kwat Lin. Selain
itu, juga dia ingin menghindarkan sedapat mungkin permusuhan dengan orang-orang
lihai, apalagi keluarga dari Pulau Es! "Swat Hong, cepat kau pergi......!"
"Tidak, Ibu!" "Kalau tidak, kau akan mati......!"
"Mati bersamamu merupakan kebahagiaan, Ibu!"
"Hushhhh, anak bodoh. kalau begitu siapa yang akan mengembalikan pusaka"
Kauingat pesan Ayahmu."
"Tapi, Ibu....."."kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu tidak akan
dapat mati dengan mata meram."
"Ibu......!" "Lihatlah, dia.....diapun akan mati..... Ibu ada seorang teman yang
baik......Ibu dan dia.....ah, kami senang mati bersama.....kau jangan ikut-
ikut......!" Mendengarkan ucapan ini, Swat Hong terkejut sekali dengan menengok
ke arah Ouw Sian Kok yang mengerikan keadaannya
itu.Mengertilah dia bahwa Ibunya dan laki-laki perkasa itu telah saling jatuh
cinta! Jantungnya seperti ditusuk, teringat dia akan kesalahan ayahnya terhadap
ibunya. Ibunya tidak bersalah, sudah sepantasnya menjatuhkan hati kepada pria
lain karena disakiti hatinya oleh suami yang tergila-gila kepada wanita lain!
"Ibu......" "Pergilah, dan ajak pemuda gagah itu!" Sambil bercucuran air mata, Swat Hong
mengamuk, memutar pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang juga masih mengamuk.
"Toako, hayo kita pergi!!" "Eh" Ibumu" Soan Cu" Ayahnya.......?"
"Ayolah.....!!"
"Baik, baik.....!"
Mereka berdua membuka jalan darah, akhirnya berhasil meloncat keluar. "Jangan
kejar mereka! kepung saja yang berada di dalam!" terdengar Ouwyang Cin Cu
berseru. Tidak terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu Bwee dapat bertahan. Mereka
sudah kehabisan tenaga, juga
terlalu banyak mengeluarkan darah. Akhirnya, mereka roboh berdekatan, di dekat
mayat Soan Cu. Ouwyang Cin Cu menghela napas panjang, kagum sekali menyaksikan
kegagahan mereka itu. Dia masih belum menduga bahwa tiga orang yang telah tewas ini adalah orang-
orang yang datang dari tempat yang hanya didengarnya dalam dongeng! wanita
cantik setengah tua itu adalah bekas permaisuri Raja Pulau Es, sedangkan laki-
laki perkasa dan dara jelita itu adalah ayah dan anak dari Pulau Neraka, bahkan
merupakan tokoh pimpinan! Dia menghela napas
pula ketika melihat bahwa The Kwat Lin juga tewas dalam keadaan mengerikan.
Diam-diam dia merasa lega, karena dia maklum betapa dilubuk hati wanita ini
tersembunyi cita-cita yang amat hebat, yang kelak mungkin membahayakan kedudukan
kaisar, dan kedudukannya sendiri. Setelah membuat laporan kepada Kaisar baru, yaitu An Lu Shan, tentang
kematian The Kwat Lin bekas jenderal ini hanya menarik napas panjang. "Hemm,
sayang sekali, dia merupakan tenaga yang berguna." Kemudian mengelus jenggotnya
dan berkata, "kalau begitu bagaimana dengan puteranya?" "Menurut pendapat hamba,
puteranya itu masih berdarah Raja Pulau Es yang kabarnya masih mempunyai
hubungan keluarga dengan kerajaan lama.
Maka kalau dia dibiarkan saja menjadi pangeran di sini, kelak kalau sudah dewasa
tentu akan merupakan bahaya." An Lu Shan mengangguk-angguk. "habis bagaimana
pendapatmu?" Kok Su yang merupakan penasehat utama itu mengerutkan alisnya yang bercampur
uban, lalu berkata, "Mereka itu datang dari Rawa Bangkai, biarlah dia hamba bawa
kembali ke sana, diberi kedudukan sebagai penguasa di Rawa Bangkai dan daerahnya. Anak kecil itu tidak
tahu apa-apa, asal diberi
kedudukan di sana mengepalai bekas anak buah ibunya dan Kiam-mo Cai-li, tentu
kelak akan senang hatinya." "Baiklah, urusan ini kuserahkan kepadamu untuk dibereskan."
demikianlah, setelah penguburan
jenazah ibunya selesai, Han Bu Ong yang masih kecil itu menurut saja ketika oleh
Ouwyang Cin Cu diberitahu bahwa dia oleh kaisar "diangkat" menjadi "raja muda" yang berkuasa di
Rawa Bangkai, di mana telah dibangun sebuah gedung mewah lengkap dengan semua pelayan dan perabot. Di
tempat ini, Han Bu Ong hidup cukup mewah. Akan tetapi anak ini memang mempunyai kecerdikan yang
luar biasa. Biarpun dia dicukupi hidupnya, diam-diam dia mengerti bahwa dia sengaja setengah
"dibuang" oleh Kaisar dan
Ouwyang Cin Cu setelah ibunya tewas. Maka dia mencatat di dalam hatinya bahwa
selain Swat Hong dan Kwee Lun yang menjadi musuh besarnya, juga Ouwyang Cin Cu sebetulnya bukanlah
seorang sahabat yang setia dari ibunya. Anak kecil ini dengan rajin lalu melatih dirinya dengan
ilmu-ilmu peninggalan.ibunnya yang masih ada padanya. Dia harus menggembleng
dirinya dan kelak, selain dia harus membalas
kepada musuh-musuhnya, juga dia akan berusaha untuk merampas kembali pusaka-
pusaka Pulau Es yang dicuri oleh Swat Hong. Dia merasa bahwa dia berhak memiliki pusaka
itu karena bukankah dia putera Raja Pulau Es" Dari ibunya dia dahulu mendengar
bahwa siapa yang mewarisi pusaka Pulau Es dan melatih semua ilmu yang terdapat di dalam kitab-
kitab itu, tentu akan menjadi jago nomer satu di dunia. Para pembaca yang
mengikuti pengalaman Kwa Sin Liong tentu menjadi penasaran kalau pemuda sakti
itu sampai tewas dalam keadaan yang demikian mengerikan! Tidak, dia tidak mati!
Memang nyaris dia tewas dimakan ratusan ekor ular berbisa yang menjadi penghuni
sumur itu. Akan tetapi kalau orang belum tiba saatnya untuk mati, ada saja
penolongnya yang bisa dianggak tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa.
Dalam halnya Sin Liong tidak ada yang tidak masuk akal atau luar biasa. Memang
tubuhnya yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di mana terdapat ratusan ekor
ular berbisa dari segala jenis, akan tetapi tidak ada seekorpun ular yang berani
menggigitnya. Apalagi menggigit, mendekatipun mereka itu tidak berani, bahkan begitu tubuh
pemuda itu terjatuh, ular-ular itu cepat menyingkir ketakutan. hal ini adalah
karena tanpa sengaja di saku baju Sin Liong terdapat batu mustika hijau dari
Pulau Es! Seperti kita ketahui, batu mustika hijau ini adalah milik Han Swat
Hong yang telah menyelamatkan nyawa gadis ini pula ketika terserang racun.
Ketika Sin Liong mengobati sumoinya itu, dia menyimpan batu mustika ini di dalam
saku bajunya sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu mustika itu ikut
terbawa olehnya dan menjadi penyelamatnya karena tidak ada ular yang berani
mendekatinya. Sebetulnya pemuda ini menderita luka yang amat parah dan yang akan
mematikan akibatnya bagi orang lain. Namun, pemuda ini pada dasarnya memiliki
tubuh yang sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang dan urat-uratnya, apalagi
sejak kecil dia menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Han Ti Ong sehingga dia memilki tubuh
yang amat kuat dan tahan derita. Dua hari dua malam dia rebah pingsan di dasar
sumur yang lembab, tampa diusik oleh ular-ular itu yang hanya memandang dari
jauh seolah-olah dia merupakan mahluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga, nampak
tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak bergerak-gerak seperti mati itu dengan
suara mengeluh panjang, kemudian tubuh itu
bergerak dan bangkit duduk dengan susah payah. Sejak Sin Liong merasa nanar dan
bingung melihat bahwa dirinya berada di tempat yang amat gelap. Begitu gelapnya
sehingga dengan terkejut dia menyangka bahwa matanya telah menjadi buta.
Akan tetapi, ketika dia menoleh, tampaklah sedikit cahaya di belakangnya, dan
mengertilah dia dengan hati lega bahwa dia tidak buta, melainkan berada di
tempat yang amat gelap. Dia tidak tahu bahwa dia dilempar ke sumur dan sumur itu
kini telah tertutup oleh batu-batu besar dari atas ketika guha terowongan itu
sengaja diruntuhkan oleh Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin. Melihat cahaya terang
di belakangnya, Sin Liong menggerakan tubuhnya hendak
menyelidiki, akan tetapi dia mengeluh karena begitu bergerak, dadanya terasa
nyeri bukan main! Dia teringat akan pertempuran itu dan mulai mengertilah dia bahwa tentu dia
telah tertawan dan berada dalam tempat tahanan rahasia yang amat gelap. Maka dia
segera duduk bersila mengatur pernapasan di tempat lembab dan pengap itu,
menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang dia memiliki sinkang


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang amat kuat berkat latihan di Pulau Es, maka tak lama kemudian dia telah
mengobati luka di dalam tubuhnya dan menyelamatkan
rasa nyeri-nyeri di tubuhnya. Begitu dia menghentikan latihannya, terasa betapa
perutnya lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa sudah dua hari dua malam perutnya
sama sekali tidak di si apa-apa. Sin Liong bangkit berdiri dengan hati-hati.
Tangannya meraih ke atas. kosong. Dia mencoba meloncat dengan kedua tangannya di
atas kepala.Tetap saja disebelah atasnya
kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu tinggi bukan main! Seperti sumur!
Betapapun dalamnya sumur itu tentu dia akan meloncat keluar, pikirnya. Dikerahkan seluruh
tenaga dalamnya, kemudian dengan ilmu ginkangnya yang istimewa, dia melompat
lagi ke atas, kedua tangannya tetap menjaga di atas kepala. "Plakkkkk!"
Tubuhnya melayang lagi ke bawah. Kedua tangannya bertemu dengan batu besar yang
amat berat, yang menutup lubang sumur itu! Beberapa kali Sin Liong menggunakan kepandaiannya
untuk keluar dari dalam sumur, dan sekali meloncat, dia menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk
mendorong batu. Akan teteapi usahanya ini selalu gagal. Tentu saja tidak mungkin bagi seorang
manusia, betapa kuatpun dia,.untuk meloncat sambil mendorong tumpukan batu-batu
besar yang menutup mulut sumur itu, batu-batu
sebesar rumah dan yang sebongkah saja beratnya ada yang seribu kati! Akhirnya
Sin Liong pun maklum bahwa usahanya meloloskan diri melalui atas tidak mungkin
baginya. Maka dia mulai meraba-raba di sekelilingnya. Sumur itu tidak berapa
lebar, paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia mendengar suara
mendesis-desis dan mencium bau hamis,
tahulah dia bahwa di tempat itu terdapat banyak ular berbisa. Kemudian tampak
olehnya melalui cahaya redup tadi bahwa di bagian bawah terdapat sebuah lubang dan
agaknya dari tempat itulah ular-ular keluar dari sumur. Begitu dia mendekati
lubang ini, tampak olehnya ekor ular berkelebat di dalam cahaya remang-remang
itu, menjauhkan diri. Dia merasa heran mengapa binatang-binatang itu tidak
mengganggunya ketika dia pingsan dan kini kelihatan takut kalau didekatinya. Dia
teringat, meraba saku bajunya dan tersenyum mengeluarkan batu hijau yang
mengeluarkan sinar di dalam gelap itu. Inilah penolongku,pikirnya. Hatinya
menjadi makin tenang. Dengan adanya batu mustika hijau ini, tidak perlu
takutmenghadapi binatang berbisa apa pun. Akan tetapi, melihat batu mustika itu,
teringatlah dia kepada Swat Hong dan dia merasa khawatir juga.
Musuh demikian lihai, dia sendiri kena ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur
ini. Bagaimana nasib Swat Hong" Dia harus cepat keluar dari tempat ini untuk menolong
Swat Hong. Kekhawatirannya terhadap sumoinya itu membuat dia makin bersemangat
mencari jalan keluar. Lubang dari mana ular-ular itu keluar dari sumur terlalu sempit
untuk dapat diterobos, maka Sin Liong lalu menggunakan kedua tangannya untuk
membongkar batu di lubang itu, memperlebar lubang dengan jalan memukul pecah batu-batu di
sekelilingnya. Tidak mudah pekerjaan ini, karena selain tubuhnya masih lemah, juga batu-batu di
tempat itu amat kerasa dan hanya dapat digempurnya sedikit demi sedikit. Namun
akhirnya dapat juga dia memperlebar lubang itu sehingga dia dapat merangkak
melalui lubang sambil terus
menggempur lubang di depat yang merupakan terowongan panjang.
Melihat betapa makin lama cahayanya dari seberang terowongan kecil itu makin
terang, hatin Sin Ling membesar. Jelas bahwa di seberang itu terdapat tempat
terbuka dari mana sinar matahari dapat masuk, pikirnya. Akan tetapi pekerjaan
menerobos terowongan kecil yang
merupakan liang ular dengan hanya menggunakan kedua tangan kosong, memakan waktu
lama juga. Saking hausnya, dia menengadah untuk menerima titik-titk air yang jatuh dari
atas, yaitu dari dinding sumur yang mengeluarkan air. biarpun memakan waktu
lama, dapat juga dia mengobati dahaga dengan meminum secara demikian. Namun perutnya yang lapar
terpaksa harus berpuasa lagi sampai tiga hari! karena setelah tiga hari, barulah dia
berhasil merangkak keluar dari terowongan itu dan tiba di sebuah ruangan yang
cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat tertutup! Bedanya, kalau sumur
pertama merupakan tempat sempit dan
gela, maka ruangan kedua ini luas sekali, garis tengahnya tidak kurang dari
sepuluh meter, merupakan sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah atas,
jauh dan tinggi sekali, tertutup oleh tanah atau batu dan ada celah-celah yang
merupaka retakan batu-batu dari mana sinar matahari dapat menerobos masuk.
Sin Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan dalam tanah ini dan
harapannya kandas sama sekali. Kalau sumur pertama itu merupakan tahanan yang
sukar diterobos adalah tempat ini lebih sukar lagi untuk meloloskan diri. Ular-ular yang banyak sekali
berbelit-belit dan kelihatan ketakutan, ada yang merayap naik, ada pula yang
menerobos terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali ke dalam sumur
pertama! Sin Liong termenung. Dari kamar tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan besar!
Hanya lebih lebar dan memperoleh penerangan sinar matahari yang tidak seberapa.
Itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi putus harapan. Dihadapinya kenyataan ini dengan
tabah dan dilenyapkannya kekhawatiran di dalam hatinya tentang diri sumoinya
dengan keyakinan bahwa apa pun yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala
kekhawatiran yang tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana, menghadapi
ancaman maut dan inilah yang terutama harus dihadapi dan diatasi lebih dulu. Dia
mulai memeriksa kalau-kalau ada jalan keluar dari tempat itu.
Sama sekali tidak ada jalan keluar. Akan tetapi, dia menemukan benda-benda yang
sementara dapat menolongnya dari ancaman kelaparan, yaitu jamur yang agaknya
bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh sinar matahari. Perutnya lapar sekali dan
pengetahuannya tentang tetumbuhan meyakinkan hatinya.maka mulailah dia memilih jamur-jamur yang tak
mengandung racun, lalu mulai dia makan jamur. Dalam keadaan lapar bukan main, ternyata jamur-jamur
mentah itu terasa enak.juga! Soal minum dia tidak usah khawatir karena di
beberapa tempat pada dinding batu itu terdapat air yang
menetes. Ditampungnya tetesan air itu dengan kedua tangannya, lalu diminumnya. Luar biasa
segarnya air yang disaring oleh tanah dan batu itu.
Setelah yakin benar bahwa tidak ada jalan keluar dari tempat itu, Sin Liong
menerima kenyataan ini dan dia giat berlatih ilmu. Di dalam kesunyian yang amat hebat itu
perasaan dan pikiran Sin Liong menjadi luar biasa tajamnya. Semua ilmu yang
pernah dipelajari dan dibacanya dahulu sukar dimengerti olehnya karena kitab-kitab kuno Pulau Es
memang amat sukar diartikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami intinya.
Oleh karena inilah maka diluar dari kesadarannya sendiri, ilmu kesaktiannya
bertambah dengan hebat dan cepatnya. Juga ditempat ini dia mulai mengenal diri
sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa disadarinya sendiri, dari
dalam pribadinya timbul kekuatan mujijat, kekuatan yang dimiliki oleh setiap
orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap tersembunyi sampai saat
terakhir dari hidup manusia yang selalu dipermainkan oleh nafsu yang disebut
aku. Tanpa terasa oleh Sin Liong sendiri yang selama hidup di dalam ruang bawah
tanah itu sama sekali tidak pernah memikirkan atau mengenal waktu, pemuda luar
biasa ini telah berada di tempat itu selama dua tahun! Dia mengerti bahwa tanpa
bantuan dari luar, tidak mungkin dia
meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah sejak lama dia tidak lagi berusaha
untuk keluar dari situ. Selama itu, yang menjadi teman-temannya hanyalah ular-
ular berbisa! Ternyata oleh pemuda itu bahwa binatang berbisa seperti ular pun
mengenal siapa lawan siapa kawan.
Karena selama itudia tidak pernah mengganggu mereka, ular-ular itu pun jinak dan
sama sekali tidak pernah menyerangnya, biarpun dia menjauhkan batu mustika hijau dari
tubuhnya. Binatang-binatang ini hanya menyerang untuk menjaga diri saja dari bahaya yang
datang mengancam diri mereka. Juga tanpa disadari sendiri oleh Sin Liong, tubuhnya yang
setiap hari hanya dihidupkan oleh sari jamur yang bermacam-macam itu,
pertumbuhannya sama sekali
berlainan dengan manusia biasa. makanan amat mempengaruhi tubuh dan sari jamu
yang dimakannya selama dua tahun itu mendatang kan kepekaan luar biasa, dan kepekaan
tubuh ini pun mempengaruhi pula pertumbuhan batinnya. Dia menjadi seorang manusia luar
biasa, tidak menderita apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa, karena di dalam
keadaan apapun juga, menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana adanya yang
dianggap sudah semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang disebut menyenangkan atau
tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang disebut senang atau susah, tidak ada lagi puas
atau kecewa. Dalam keadaan seperti itu, tubuh sehat dan batin tenang, yang ada
hanyalah rasa suka ria yang sukar dilukiskan karena sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan kesukaan atau kegembiraan yang dapat dicari. Suatu nikmat
yang bukan datang dari gairah nafsu atau kesenangan, nikmat hidup yang datang
tanpa dicari, yang terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan, seperti
batin Sin Liong di waktu itu.
Pada suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini, terjadilah kesibukan
besar. Puluhan orang katai yang tubuhnya pendek akan tetapi besarnya seperti
manusia biasa, bertubuh kuat dan bertenaga besar, dipimpin oleh seorang pemuda
tanggung sedang membongkari
reruntuhan batu-batu di dalam terowongan bawah tanah itu. pemuda tanggung yang
berpakaian mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini telah mengumpulkan sisa
orang-orang kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan mereka.
Han Bu Hong kini telah menjadi seorang pemuda tanggung yang lihai dan tidak ada
seorang pun di antara tokoh-tokoh orang kerdil mampu melawannya. Agaknya, untuk menjadikan mimpi
ibunya sebagai kenyataan, dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua atau lebih
tepat lagi menjadi "raja" dari orang-orang katai ini. Gedung di Rawa
Bangkaihanya menjadi tempat tinggal umum, akan tetapi diam-diam dia mendirikan
"kerajaan kecil" di bawah tanah.
Bahkan dia telah membangun sebuah ruang seperti istana di bawah tanah, lengkap
dengan kursi kebesaran yang dihiasai dengan sebuah tengkorak di samping hiasan mahal
seperti permadani, lukisan dan tulisan indah. Sering kali dia secara sembunyi mengadakan
pertemuan dan rapat rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi
pembantunya, dan pemuda tanggung ini diam-diam merencanakan pekerjaan besar untuk melanjutkan cita-cita
ibunya. Demikianlah, karena dia ingin menggunakan terowongan bawah tanah itu sebagai
markas partai orang kerdil , dan juga karena dia ingin mencari kalau-kalau ada harta
atau pusaka peninggalan Rawa bangkai di terowongan itu, dia lalu mengerahkan
para anak buahnya untuk membersihkan bagian terowongan yang dahulu diruntuhkan
oleh ibunya dan oleh Kiam-mo
Cai-li. "Akan tetapi, Siauw-pangcu (Ketua Cilik)," seorang pembantu membantah
sebelum pembongkaran dilakukan .
"Tempat ini dahulu sengaja diruntuhkan oleh Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular
di mana tubuh musuh Ibu Pangcu dilempar. Karena musuh itu lihai bukan main, maka Ibu Pangcu bersama
Kiam-mo Cai-li dan.Ouwyang Cin Cu memutuskan untuk menutup saja tempat ini agar
pemuda sakti itu tidak mampu hidup
kembali." Han Bu Ong tertawa. "Ha, ha, mana mungkin Kwa Sin Liong dapat hidup kembali" Dia
sudah di lempar di sumur ular, andaikata dia tidak mati oleh ular-ular itu,
tentu selama dua tahun dikubur hidup-hidup di sumur itu dia kini sudah menjadi
setan tengkorak, tinggal rangkanya saja. Mengapa khawatir" Hayo bongkar! Kalau
tidak dibongkar, terowongan ini tertutup
sampai di sini, padahal kita amat membutuhkan sebagai jalan rahasia yang amat
penting bagi perkumpulan kita."
Karena alasan yang dikemukakan ketua cilik ini memang tepat, maka beramai-ramai
para manusia katai itu segera bekerja keras, membongkari batu-batu yang besar-besar
dan berat itu, menggunakan alat pendongkel dan lain-lain. Hiruk pikuk suara di
dalam terowongan itu dan pekerjaan yang berat itu biarpun dilakukan oleh hampir
lima puluh orang, tetap saja memakan waktu yang cukup lama. Memang
sesungguhnyalah bahwa merusak itu mudah
membangun itu sukar, mengotori itu mudah membersihkannya tidak semudah itu.
Setelah bekerja keras selama sepekan, barulah batu besar terakhir yang menutupi sumur
dapat disingkirkan. Han Bu Ong dan para anak buahnya seperti berlomba lari menghampiri
sumur dan melongok ke dalam sumur yang amat gelap itu. Pada saat itu, terdengar
suara angin menyambar dari bawah dan berkelebatlah bayangan orang yang melayang dari bawah,
Han Bu Ong dan semua orang terkejut. Ketika mereka menoleh dan memandang bayangan
orang yang tadi meloncat melewati kepala mereka, mereka melihat seorang laki-laki muda
berdiri di situ sambil tersenyum, seorang pemuda yang berwajah tampan, yang
memiliki sepasang mata yang lembut pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda
yang pakaiannya lapuk dan
compang camping. Tidak ada orang kerdil yang mengenal pemuda ini karena memang keadaannya jauh
berbeda dengan tahun yang lalu. Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar membentakkan
perintah, "Serbu! Bunuh dia...!!"
Orang -orang katai yang tadinya bengong terheran-heran dan ketakutan karena
menduga keras bahwa tentu hanyalah siluman saja yang keluar dari sumur tertutup itu,
ketika mendengar bentakan ini menjadi sadar. Kini mereka pun ingat bahwa tentu ini
pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur. Biarpun mereka bergidik
ngeri dan gentar mendapat kenyataan bahwa orang yang dua tahun lalu dilempar ke
sumur ular yang tertutup kini ternyata masih hidup, namun karena maklum bahwa
ini adalah musuh mereka dengan
teriakan-teriakan ganas mereka menyerang orang itu. Memang benar dugaan Han Bu
Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong. Ketika Sin Liong akhirnya dari bawah
mendengar suara hirup pikuk disebelah atas kemudian melihat cahaya turun melalui
terowongan kecil jalan ular, dia menyeberangi terowongan dan tiba di dasar sumur
pertama. akhirnya dia melihat betapa atap sumur yang tadinya tertutup batu besar itu terbuka dan
melayanglah dia keluar. karena selama dua tahun dia tidak bertemu orang, begitu
melihat Bu Ong dan orang-orang kerdil, dia tersenyum girang.
Akan tetapi orang-orang kerdil itu dengan bermacam senjata telah menyerangnya.


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Liong hanya mengerahkan sinkangnya membiarkan belasan senjata tajam menimpa
tubuhnya. Terdengarlah teriakan-teriakan kaget karena semua senjata, baik yang tajam
maupun yang tumpul, begitu mengenai tubuh pemuda itu, membalik seperti mengenai
gumpalan karet yang amat kuat. "Adik Bu Ong...bukankah engkau sute (Adik
Seperguruan)...?"Sin Liong berkata halus sambil memandang kepada Han Bu Ong.
"Iblis! Siluman! Bunuh dia...!!"Bu Ong berteriak-teriak dengan muka pucat dan
mata terbelalak. Biarpun hati mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu dan
hujan senjata menyambar tubuh Sin Liong. Kembali senjata-senjata itu mental, bahkan ada yang terlepas
dari pegangan tangan pemiliknya. Sin Liong menarik napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya
yang menjadi makin compang-camping, terkena bacokan senjata-senajata itu, kemudian sekali
bergerak tubuhnya berkelebat melewati kepala para pengeroyoknya yang bertubuh pendek dan lenyap.
Gegerlah para orang katai. Akan tetapi Han Bu Ong menyambarkan dan menenangkan hati mereka. Dia
merasa yakin bahwa betapapun lihainya Sin Liong, pemuda itu agaknya tidak akan mengganggunya. Maka
dia melanjutkan rencananya dan melakukan perundingan dengan para anak buahnya. Seperti juga
ibunya dahulu, pemuda tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari kedudukan dengan
menghubungi seorang "pangeran" baru yang juga merasa tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya
setelah perjuangan mereka berhasil. Pangeran ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani
yang bergabung.dengan An Lu Shan, bernama Shi Su beng yang kini dianugerahi pangkat
"pangeran" oleh An Lu Shan. Shi
Su Beng bermaksud untuk merebut tahta kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila
terjadi kegagalan, maka terowongan bawah tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan
dijadikan tempat persembunyian. Setelah selesai mempersiapkan segala-galanya dan tempat
itu ditinjau sendiri oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu pergi ke kota raja
bersama sekutunya itu untuk mulai melaksanakan siasat yang sudah mereka
rencanakan lebih dahulu. Memang selama dua tahun itu terjadi dua hal yang banyak tercatat da Kemenangan
An Lu Shan ternyata tidak mendatangkan kemakmuran atau keamanan, bahkan sebaliknya.
Selain kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan dan menyerahkan tahta kerajaan kepada
puteranya itu kini menyusun kekuatan di barat untuk menyerbu dan merampas
kembali kota raja, juga di dalam istana pemerintah baru sendiri terjadi
pertentangan dan perebutan kekuasaan! Semua ini terjadi karena memang
sesungguhnya para pemimpin pemberontak yang dahulu
memberontak terhadap pemerintah dengan dalih "demi rakyat" atau demi keadilan,
demi kebenaran, demi negara dan lain istilah muluk-muluk lagi itu sesungguhnya
hanyalah "berjuang" demi dirinya sendiri saja! Semua istilah itu tak lain tak bukan
hanyalah untuk dijadikan "modal" perjuangannya untuk mencari kedudukan dan
kemuliaan bagi diri sendiri.
Hal ini sudah terlalu sering terjadi di dunia, berulang-ulang, namun sampai
sekarang rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau saja di peralat dan dicatut
namanya oleh orang-orang yang berambisi untuk diri pribadi. Betapa banyaknya
bukti akan kepalsuan ini dapat dilihat dalam sejarah di negara manapun di dunia
ini. Sekelompok orang berambisi untuk keuntungan
mereka sendiri, dengan siasat cerdik menggunakan nama rakyat untuk mencapai
tujuan mereka, kalau perlu mereka mengorbankan rakyat. Rakyat sudah cukup puas
memperoleh gelar "pahlawan" kalau sampai tewas dalam perjuangan yang sebenarnya adalah
menyalah gunakan demi keuntungan kelompok yang mempergunakan mereka itu. dalam
sejarah. Inilah sebabnya maka jika perjuangan telah berhasil, jika para kelompok pimpinan yang
berambisi sudah memperoleh apa yang mereka kejar-kejar, maka rakyat pun
dilupakan sudah! Bukan sengaja dilupakan, melainkan karena mereka yang sudah berhasil merampas
kedudukan itu pun harus menghadapi lawan atau saingan yang juga ingin merebut kedudukan itu.
Rakyat adalah orang yang berada dibawah, dan yang terinjak memang selalu yang berada di
bawah. yang berada di atas tidak akan terinjak, akan tetapi mereka itu saling berebutan
di antara mereka sendiri, memperebutkan kedudukan yang lebih enak dan empuk dari
pada kedudukan yang telah dimilikinya. Demikianlah pula dengan An Lu Shan dan teman-temannya yang telah berhasil dalam
"perjuangan" mereka merampas kedudukan tahta kerajaan. Teman-teman yang tadinya
berjuang bahu-membahu, menjadi kawan senasib sependeritaan, yaitu di waktu
mereka memberontak, kini setelah memperoleh apa yang mereka cita-citakan , berbalik
mencurigai, saling iri! Memang belum ada yang secara berterang berani menentang
An Lu Shan, bekas panglima yang masih amat kuat kedudukannya, didukung oleh
pasukan-pasukan inti dan tampaknya semua pembantunya sudah menyetujui sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi
Kaisar. Akan tetapi diam-diam, banyak yang mepersoalkan pembagian pangkat dan
kedudukan. Tentu saja yang merasa tidak puas adalah mereka yang memperoleh
pangkat agak kecil, sedangkan yang menerima pangkat besar merasa curiga dan hati-hati
menghadapi bekas teman yang memperoleh pangkat yang lebih kecil. Terjadi dan
berlangsunglah konflik sembunyi diantara mereka. Ke manakah perginya Swat Hong
dan Kwee Lun" Di bagian depan
telah diceritakan betapa dua orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari
keluar dari istana The Kwat Lin dan terus keluar dari kota raja Tiang-an. Mereka
berlari dengan cepat mempergunakan kegelapan malam, berhasil keluar dari benteng
tembok kota raja karena para penjaga yang berada dalam suasana pesta kemenangan itu tidak melakukan
penjagaan yang terlampau ketat. Setelah terang tanah dan mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota
raja barulah keduanya berhenti, terengah-engah dan Swat Hong menjatuhkan dirinya di
bawah sebatang pohon besar. Wajahnya pucat biarpun muka dan lehernya penuh keringat
yang di usapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh sekali, dan
dia diam saja, sama sekali tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak,
seperti dalam keadaan setengah sadar.
Kwee Lun juga menghapus peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang kepada Swat
Hong. beberapa kali dia menggerakan bibir hendak bicara namun ditahannya lagi. Pemuda
yang biasanya bergembira ini merasa betapa jantungnya seperti diremas-remas. Dia sendiri
merasa kehilangan dan amat.berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu
adalah wanita yang amat dicintainya. Akan
tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang terpaksa harus meninggalkan ibu
kandungnya menghadapi kematian, dia melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba
kepada Swat Hong. Melihat betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan,
Kwee Lun merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau hanya
sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang batinnya lebih
berbahaya lagi. Akhirnya dia memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati
hidup adalah berada di tangan Thian, kita manusia tak dapat menguasainya, Nona."
Mendengar kata-kata ini, Swat Hong menengok dan memandang, akan tetapi pandang
matanya tetap kosong, seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan dari
mulutnya hanya terdengar suara meragu, "Hemm....?"
Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan Kwee Lun. Maka pemuda
ini lalu memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata yang lebih
membuka kenyataan, "Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah perkasa."
Sepasang mata yang kehilangan sinar itu terbelalak, seolah-olah baru sadar dan
bibir yang gemetar itu bergerak, mula-mula lirih makin lama makin keras,
".....Ibu....." Ibu...., Ibu....!"
Swat Hong menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ibunya.
"Tenanglah, Nona. Tenanglah....." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis
itu, akan tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu.
"Ibu....! Mengapa aku meninggalkan ibu mati sendiri...." Ibu....! Hu-hu-
huuuuuuuk, Ibuuuuuuuu.....!" Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin
gadis itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan, akan tetapi melihat Swat Hong
menjambak-jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir. "Ingatlah, Nona. Ingatlah
pesan Ibumu..... tentang pusaka Pulau Es...." Swat Hong mengangkat muka dan
melihat wajah pemuda itu juga basah air mata, dia menubruk.
"Toako.... ahhhh, Toako....!" Dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda
itu yang dianggapnya merupakan satu-satunya sahabat di dunia yang baginya kosong
ini. Kwee Lun memejamkan mata dan membiarkan gadis itu menangis terisak-isak. Dengan
sesenggukan Swat Hong berkata, "Ibu tewas..... di depan mataku..... dan aku tidak dapat
menolongnya..... hu-hu-huuuuuuuhhhh...... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng juga...... hu-
huuuuuuuuuhhh apa gunanya aku hidup lagi" Apa gunanya aku mencari pusaka dan
mengembalikan ke Pulau Es"'
Seperti seorang yang mendadak menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari
dada Kwee Lun, lalu melompat bangun mengepal tinju. "Katakan, Kwee-toako, apa gunanya
semua ini" Ayah ibuku sudah meninggal, dan suheng satu-satunya orang yang
kucinta..... dia pun tidak ada lagi......! katakan, apa perlunya aku hidup lebih
lama?" Kwee Lun teringat akan kematian Soan Cu yang menghancurkan perasaannya, akan
tetapi dia menekan kedukaannya dan berkata, suaranya nyaring bersemangat, "Adik
Hong, tidak semestinya seorang perkasa seperti engkau mengeluarkan kata-kata bernada putus
asa seperti itu! Engkau adalah puteri dari Pulau Es! Kedukaan apa pun yang menimpa
dirimu, harus kau atasi dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang
Ibumu yang mulia dan gagah perkasa itu. Kalau pusaka keluargamu dari Pulau Es terjatuh ke
tangan orang lain, bukankah itu amat sayang, berbahaya dan juga merendahkan "
Pusaka itu telah diselamatkan oleh Nona Bu Swi Nio dan Saudara Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita
segera menyusul mereka dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es." Ucapan
penuh semangat itu benar-benar menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu dari lembah
kedukaan yang hampir mematahkan semangatnya. Dia menahan isak, menarik napas
panjang dan menghapus air matanya, lalu memandang kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee
Lun. "Kwee-toako, terima kasih atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan tugasku.
Memang benar, sudah berani
hidup harus berani menghadapi apa pun yang menimpa kita. Engkau sungguh baik
sekali, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......".Kwee Lun
mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.....aku mencinta Soan Cu.......
aku mencintanya......"
"Dan aku mencintai Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Engkau sendiri
menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......"
Kwee Lun mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.... aku mencinta Soan
Cu.... aku mencintanya........"
"Dan aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Akan tetapi, kau masih
mempuyai Gurumu, sedangkan aku hanya seorang diri..... ah, sudahlah. Aku akan
pergi, Toako. Semoga engkau akan dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupmu.
Engkau baik sekali dan terima
kasih."Swat Hong berkelebat dan meloncat pergi.
"Nanti dulu! Hong-moi.... biarlah aku membantumu....." "Tidak usah, Kwee-toako.
Aku akan menyusul mereka ke Puncak Awan Merah, kemudian aku akan kembali ke
Pulau Es.... untuk.... untuk selamanya. Selamat tinggal!" Swat Hong meloncat dengan cepat sekali dan
sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Kwee Lun yang menjadi lemas. Pemuda
ini menjatukan dirinya duduk di atas tanah dan baru sekarang dia tidak dapat menahan
bertitiknya air matanya dan baru sekarang terasa olehnya betapa dia kehilangan Soan Cu, betapa
dunia terasa amat hampa dan sunyi. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan
teringatlah dia kepada gurunya, Lam-hai Seng-jin yang seperti orang tuanya
sendiri. Dia harus kembali ke Pulau Kura-kura di Lam-hai dan terbayang olehnya
betapa suhunya itu akan terheran
mendengar semua pengalamannya dengan keluarga Pulau Es!
Dengan perasaan yang kosong dan sunyi, ingatan akan gurunya ini merupakan
setitik harapan kegembiraan hidupnya dan berlahan-lahan Kwee Lun meninggalkan
hutan itu untuk kembali kepada gurunya yang sudah amat lama ditinggalkannya.
Sementara itu, dengan mata masih merah oleh tangisnya, Han Swat Hong melanjutkan
perjalanan seorang diri dengan cepat untuk mengejar Swi Nio dan Toan KI. Kalau
dia dapat menyusul mereka dan minta kembali Pusaka Pulau Es dia dapat langsung
kembali ke Pulau Es dan selanjutnya...... entah, dia sendiri tidak tahu apakah
dia ada niat untuk kembali ke daratan besar. Tidak, dia akan tinggal di pulau
itu, di mana dia terlahir. Biarpun pulau itu sudah kosong, dia akan tinggal di
tempat kelahirannya itu sampai mati! Bercucuran pula air matanya ketika dia
berpikir sampai di situ dan terkenang kepada suhengnya. Kalau saja ada suhengnya
di sisinya, tentu tidak akan begini merana hatinya. Akan tetapi, betapapun cepat
Swat Hong melakukan pengejaran, tetap saja dia tidak berhasil menyusul Swi Nio
dan Toan Ki. Bahkan ketika dia tiba di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee-tok
Siangkoan Houw, di tempat ini dia hanya disambut oleh Ang-in Mo-ko Thio Sam,
kakek yang menjadi murid kepala Tee-tok itu yang menceritakan bahwa Tee-tok
bersama puterinya telah beberapa pekan pergi turun
gunung dan bahwa selama itu tidak ada tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan Liem
Toan Ki seperti yang ditanyakan oleh gadis itu.
Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya mulai bertanya-tanya. Celaka, pikirnya,
jangan- jangan dia telah salah memilih orang untuk dipercaya menyelamatkan Pusaka Pulau
Es!

Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangan-jangan dua orang muda itu sengaja melarikan pusaka-pusaka itu dan
bersembunyi! Timbul kecurigaan yang di kuti kemarahan di hatinya, dan berbareng dengan
perasaan ini timbul pula semangatnya yang tadinya amat menurun itu. Hidupnya
masih perlu dan ada gunanya, setidaknya dia harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu agar tidak
terjatuh ke tangan orang lain! Perasaan marah dan khawatir ini mendatangkan perasaan bahwa
dia masih amat dibutuhkan untuk hidup terus.
Sambil menahan kemarahannya, dia berkata kepada murid kepala Tee-tok itu,
"Andaikata ada datang Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki, harap minta kepada mereka
untuk menanti saya di sini.
Dua bulan lagi saya akan kembali menemui mereka." Ang-in Mo-ko Thio Sam yang
sudah mengetahui kelihaian dara yang pernah menggegerkan Awan Merah ini,
mengangguk-angguk. Kemudian Swat Hong meninggalkan Puncak Awan Merah untuk mengambil jalan kembali
ke jurusan kota raja untuk mencari kalau-kalau dua orang muda itu dapat berjumpa
dengannya di jalan. Namun semua perjalanannya sia-sia belaka. Dua bulan kemudian, kembali dia tiba
di Puncak Awan Merah dan untuk kedua kalinya Ang-in Mo-ko (Iblis Tua Awan Merah) menyatakan
penyesalannya bahwa dua orang muda yang dicari itu belum juga datang, bahkan gurunya juga belum
pulang.."Saya malah merasa gelisah juga memikirkan Suhu." kata kakek itu.
"Keadaan di mana-mana sedang ribut
dengan perang, akan tetapi Suhu pergi begitu lamanya belum juga pulang." Swat
Hong menahan kemarahannya. Tidak salah lagi, pikirnya. Bu Swi Nio dan Liem Toan
Ki tentu berlaku khianat, menginginkan pusaka-pusaka itu untuk diri mereka
sendiri. Aku harus mencari
mereka dan selain merampas kembali pusaka, juga akan kuhajar mereka! Dia
berpamit lalu pergi lagi, di sepanjang jalan dia memaki-maki Bu Swi Nio yang
dipercaya. "Dasar murid iblis betina itu," gerutunya. "Gurunya sudah mati, kini
muridnya yang menyusahkan aku!" Mulailah Swat Hong mencari-cari kedua orang itu
tanpa hasil. sampai dua tahun dia berkelana mencari-cari kedua orang muda itu
namun anehnya, tidak ada seorang pun manusia yang tahu akan
mereka. Akhirnya timbul ah pikirannya bahwa sangat boleh jadi Bu Swi Nio dan
Liem Toan Ki yang tadinya adalah anak buah An Lu Shan yang kini membalik dan
berkhianat itu takut kepada pembalasan pemerintah baru dan telah lari mengungsi ke barat, ke Secuan.
Sangat boleh jadi! Pikiran ini membuat dia mengambil keputusan dan berangkatlah
dia ke Secuan. Sambil mencari pusaka, dia pun ingin membantu Kaisar yang kabarnya sedang
menyusun kekuatan untuk menyerang dan merebut kembali tahta kerajaan. Sebaliknya klau dia
membantu, pikirnya. Selain untuk mengisi kekosongan hidupnya, juga sekalian
untuk mencari Bu Swi Nio an Liem Toan Ki, juga untuk menghancurkan semua kaki
tangan An Lu Shan termasuk Ouwyang Cin Cu, dan juga mengingat bahwa ayahnya adalah seorang
keturunan pangeran atau raja muda, maka sebenarnya dia masih berdarah bangsawan dan masih
ada hubungan darah dengan keluarga kaisar sehingga sepatutnyalah kalau dia membantu.
Sementara itu, di ibu kota yang telah diduduki An Lu Shan, di dalam istana di
mana An Lu Shan mengangkat diri sendiri menjadi raja, terjadilah hal-hal yang
hebat! An Lu Shan sendiri masih melanjutkan wataknya yang kasar dan mau menang
sendiri. Satu di antara kesukaannya
adalah wanita, maka begitu dia berhasil, tak pernah berhenti setiap malam dia
berganti wanita mana saja yang dipilih dan ditunjuknya, tidak peduli wanita itu
masih gadis atau isteri orang lain sekalipun! pada suatu malam, dalam keadaan
mabok dan sedang gembiranya, An
Lu Shan lupa diri dan dalam keadaan setengah sadar dia memasuki kamar mantu
perempuannya yang sudah lama sekali dia rindukan secara diam-diam. Kalau sadar
dan tidak mabok, dia masih menahan hasrat hatinya. Akan tetapi malam itu, dalam
keadaan mabok, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi dan memasuki kamar mantunya!
Tidak ada seorang pun manusia di dalam istana yang berani melarang, dan pada saat itu, putera An Lu
Shan sedang tidak berada di situ. Dengan penuh perasaan duka dan ketakutan,
mantu yang muda dan cantik jelita itu tidak kuasa menolak atau memberontak, sambil menangis dia
terpaksa membiarkan dirinya dipeluk dan diciumi mertua yang mabok itu. Dengan suara lirih
dan membujuk dia masih berusaha mengingatkan An Lu Shan, namun seorang laki-laki
yang tidak hanya mabok arak, melainkan juga mabok cinta berahi, tidak
mempedulikan apa pun. wanita hanya dapat merintih dan menangis, diseling suara
ketawa gembira dari An Lu Shan. Ketika pintu kamar itu dengan paksa dibuka dari
luar oleh pangeran, An Lu Shan telah tidur
mendengkur kelelahan dengan muka merah karena banyak arak, sedangkan isteri
pangeran itu menangis terisak-isak, berlutut di atas lantai. Pangeran itu menjadi mata
gelap, pedang dicabut dan sekali meloncat dia telah menikam dada ayahnya
sendiri. "Crappp....!" "Auhhh.... hai i.... kau.... kau.....?" An Lu Shan yang bertubuh kuat itu,
biarpun pedang telah menembus dadanya, masih dapat meloncat dan memcengkeram ke
arah puteranya. Akan tetapi pangeran yang sudah mata gelap itu mengelak, kakinya menendang sehingga
An Lu Shan terdorong jatuh, membuat pedang itu masuk makin dalam. Dia berkelojotan dan
tak bergerak lagi! "Tangkap pembunuh.....!!" teriakan ini keluar dari mulut Shi Su Beng yang
bersama dengan Han Bu Ong sudah lari ke dalam kamar.
Shi Su Beng menggerakan pedangnya dan terdengar teriakan mengerikan ketika
pangeran itu roboh pula di dekat mayat ayahnya dalam keadaan tak bernyawa pula
karena lehernya hampir putus terbabat pedang Pangeran Shi Su Beng! Gegerlah seluruh istana. rapat kilat
diadakan dan Shi Su Beng yang
dianggap membela Kaisar itu mempergunakan kesempatan ini untuk merampas
kedudukan Kaisar! Dalam keadaan kacau balau itu, Shi Su Beng mengangkat diri sendiri sebagai raja dan
Han Bu Ong menjadi raja.muda pembantunya yang setia! Hanyalah mereka berdua saja
yang tahu bahwa semua peristiwa itu memang digerakkan oleh mereka berdua! Shi Su Beng yang membangkitkan berahi An
Lu Shan terhadap mantu perempuannya, bahkan di dalam mabok, Shi Su Beng yang
membujuk supaya Kaisar baru itu memasuki kamar dengan mengatakan bahwa di dalam kamar itu
dia telah menyediakan seorang wanita cantik mirip mantunya itu untuk An Lu Shan! Dan
selagi An Lu Shan yang mabok itu menggagahi mantunya sendiri, diam-diam Han Bu
Ong menghubungi pangeran dan membisikan bahwa ada penjahat memasuki kamarnya. Maka terjadilah
seperti apa yang telah direncanakan oleh mereka berdua, yaitu kematian An Lu Shan di
tangan puteranya sendiri dan kemudian kematian pangeran di tangan Shi Su Beng.
Terjadilah perubahan besar-besaran di kota raja, pergantian kekuasaan dan kembali Han Bu
Ong berhasil mengangkat dirinya sendiri seperti yang dicita-citakan ibunya,
yaitu menjadi seorng pangeran yang berkuasa, jauh lebih berkuasa dari pada di
waktu ibunya masih hidup, yaitu menjadi tangan kanan penguasa baru yang menjadi
sekutunya! Akan tetapi, jatuhnya An Lu Shan dan berpindahnya kekuasaan di tangan Shi Su
Beng, masih saja belum meredakan ketegangan-ketegangan di kota raja akibat
perebutan kekuasaan. Seperti biasa penguasa baru mengangkat teman-temannya sendiri menduduki jabatan
tinggi, melakukan penggeseran-penggeseran sehingga menimbulkan dendam dari
kawan-kawan yang berbalik menjadi lawan. Dalam keadaan seperti itu, kacau rencana perebutan
kekuasaan, kalau perlu dengan cara halus maupun kasar, para pemberontak yang
kini memegang tampuk kerajaan itu menjadi lalai. Mereka terlalu memandang rendah
Kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan, menganggap keluarga Kaisar lama itu
sudah jatuh benar-benar. Kesibukan untuk kepentingan ambisi pribadi membuat
mereka lengah dan kurang memperhatikan pertahanan
sehingga mereka tidak tahu betapa Kaisar dan keluarganya di Secuan telah
membentuk kekuatan baru untuk melakukan pembalasan!
Kaisar Tua Hian Tiong, yang hancur lahir batinya karena bukan hanya mahkota
kerajaan dirampas oleh pemberontak An Lu Shan, akan tetapi terutama sekali karena
selirnya tercinta, Yang Kui Hui, harus mati digantung oleh keputusannya sendiri,
setibanya di Secuan, menjadi seorang kakek yang patah semangat dan selalu
tenggelam dalam duka cita. Dalam keadaan
mengungsi itu, di Secuan, keluarga kaisar dan para pengikutnya yang masih setia,
menerima keputusan Kaisar Tua untuk mengangkat Kaisar baru, yaitu putera mahkota
yang bergelar Su Tiong. Pada waktu itu sisa pasukan pemerintah yang telah kalah
perang terhadap An Lu Shan, di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu I, telah
menyusul pula ke Secuan. Kaisar Su Tiong lalu menghimpun kekuatan dari rakyatnya
di daerah Secuan, dan minta bantuan kepada
negara-negara tetangga yang bersahabat. Maka terkumpul ah pasukan-pasukan
campuran yang terdiri dari bermacam suku, bahkan terdapat pula bangsa Turki, Tibet, dan
kemudian sekali datang pula bala bantuan dari pasukan Arab yang dikirim sebagai
tanda bersahabat oleh Kalipu. Pasukan-pasukan itu disusun menjadi barisan besar
dan diberi latihan-latihan berat dalam persiapa kaisar Su Tiong untuk merampas
kembali kerajaannya, Kok Cu I.
Tidak ada hal penting terjadi selama perjalanan Swat Hong menuju ke Secuan.
Gadis yang dahulu berwatak periang dan jenaka itu, yang wajahnya selalu berseri
dan gembira, kini menjadi pendiam dan ada garis-garis dan bayangan muram di
wajahnya yang tetap cantik
jelita walaupun tidak pernah bersolek. Perantauan selama dua tahun mencari-cari
pusakanya yang hilang tanpa hasil itu membuat dia merasa berduka dan juga
penasaran sekali. Di dalam hatinya di berjanji bahwa dia takkan pernah berhenti
mencari sebelum mendapatkan pusaka Pulau Es itu. Dalam perantauannya itu dia
mendengar pula tentang kematian An Lu Shan dan puteranya.
Ketika dia tiba di Secuan, pada waktu itu Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Si
Tiong, memang sedang menyusun tenaga di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu I sendiri. panglima Kok
ini menyebar para pembantunya, yaitu panglima-panglima bawahan di seluruh daerah Secuan untuk
menerima dan mendaftar para sukarelawan yang hendak masuk menjadi tentara. Seorang di antara bawahannya
yang bertugas mengumpulkan bala bantuan bahkan menghubungi orang-orang asing dari barat ini
adalah Panglima Bouw Kiat. Panglima inilah yang telah berjasa menghubungi orang-orang Arab sehingga
akhirnya Kaliphu (yang kuasa di Arab) sendiri mengirim pasukan bala bantuan. Bouw Kiat berkedudukan di
sebuah dusun daerah selatan dan di sini dia menyusun pasukannya sambil menjamu pasukan dari Arab
yang sebagian kecil sebagai pasukan pelopor telah tiba di situ. panglimaKok Cu I yang cerdik
memisah-misahkan para pasukan.asing yang membantunya agar menjauhkan terjadinya
bentrokan. Pasukan bantuan dari Turki berada di
utara, dari Tibet berada di selatan dan dari timur adalah pasukan yang terdiri
dari bermacam-macam suku bangsa.
Pada suatu hari, Swat Hong tiba di daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw Kiat
inilah. Dara ini merasa heran ketika melihat ada banyak tentara asing yang
bertubuh jangkung, bersikap gagah dan berkulit coklat gelap, bermata tajam dan
bercambang bauk berkeliaran di daerah itu. Di tengah jalan, dia melihat seorang
laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah, memegang gandewa dan akan panah
dikelilingi prajurit-prajurit Han dan Arab sambil tertawa-tawa. Laki-laki
berusia tiga puluh tahun lebih yang gagah itu berkata dalam bahasa Han yang
kaku, "Lihat burung-burung itu! Aku akan menurunkannya sekaligus tiga ekor. Yang
mana kalian pilih?" Swat Hong tertarik , berhenti dan memandang ke atas. Diam-
diam dia terkejut dan menganggap orang itu sombong. Mana bisa menjatuhkan
burung-burung yang terbang
begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau orang ini bukan seorang ahli panah yang
sakti" "Tiga ekor dari depan!" terdengar teriakan.
"Tidak, yang paling belakang adalah paling sukar!" kata orang lain.
Perwira bangsa Arab itu tersenyum dan tampaklah giginya yang rata dan putih
berkilauan, kumisnya bergerak-gerak.
"Biar kujatuhkan dua terdepan dan burung terakhir!"
Kelompok burung yang terbang tinggi sudah tiba tepat di atas mereka. Perwira itu
memasang tiga batang anak panah pada gendewanya, lalu menarik tali gendewa .
Terdengar suara menjepret dan meluncurlah tiga batang anak panah seperti tiga sinar berkilauan
ke atas. Dari bawah tidak kelihatan bagaimana burung-burung itu terkena anak
panah, namun jelas tampak betapa dua ekor burung terdepan dan seekor paling
belakang tiba-tiba runtuh ke bawah.
Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semua orang melihat bahwa dada
burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.
"Boleh juga dia," pikir Swat Hong sungguhpun dia maklum bahwa kepandaiannya
memanah seperti itu hanyalah
berguna untuk pertempuran jarak jauh dan sama sekali tidak ada artinya untuk
pertandingan berdepan. Tentu kalah cepat oleh am-gi (senjata rahasia) seperti
jarum, paku, piauw dan lain-lain. "Hai, Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian
Perwira Ahmed!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki menegur Swat Hong. Laki-laki ini
adalah seorang perajurit Han dan sambil menyeringai dia bertepuk tangan dan
mendesak Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan.
JILID 23 Akan tetapi Swat Hong tidak mau melayaninya, membuang muka dan melanjutkan
langkahnya. Akan tetapi laki-laki itu melompat dan menghadang didepannya sambil bertolak
pinggang. "Eitt..... nanti dulu! Berani kau menghina Perwira Ahmed" Dia bukan hanya lihai
dan menembak tepat, juga banyak wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau berani
memandang rendah?" Swat Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!"
sambil melangkah terus. "Dan kau laki-laki kurang ajar!" Swat Hong berkata dan
sekali dia menggerakan lengannya yang terpegang, dia berbalik sudah memegang
pergelangan tangan laki-laki itu dan begitu dia membetot, laki-laki itu jatuh tersungkur mencium
tanah! "Aihhh, berani kau memukulku?" Prajurit itu marah sekali dan cepat melompat dan
menubruk. "Plakkk! Augghhh....!" Perajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membengkak. Melihat ini, lima orang perajurit kawan orang pertama itu menjadi marah dan
menerjang maju. "Tangkap, dia tentu mata-mata!" Swat Hong merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima
orang itu menerjang.dan hendak berlumba menangkap dan merangkulnya, kaki
tangannya bergerak dan dalam segebrakan saja,
lima orang itu pun roboh tersungkur dan tidak dapat berlagak lagi karena
mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan banyak anak buah
pasukan mengurung, akan tetapi tiba-tiba perwira yang ahli menggunakan anak panah tadi meloncat
maju dan menghadik. "Mundur semua!" Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan
mereka untuk mengeroyok, perwira itu membungkuk di depan Swat Hong sambil
berkata, "Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah pasukan selalu bersikap kasar.
Nona tentu bukan orang sini, kalau boleh bertanya hendak ke manakah?" "Hemm,
pikir Swat Hong. Pantas kalau banyak wanita tergila-gila. Memang perwira yang bernama Ahmed ini
gagah sekali, gagah dan tampan, amat keras daya tariknya terhadap wanita terutama
sekali sepasang matanya yang tajam dengan bulu mata panjang lentik dan alis yang tebal
itu. Juga dagunya berlekuk dan menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah,
juga laki-laki ini pandai bersikap manis terhadap wanita.
"Sudahlah," kata Swat Hong. Aku pun tidak ingin mencari permusuhan, asal mereka
jangan kurang ajar. Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk membantu
perjuangannya. Di manakah aku dapat menghadap Kaisar?" Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita
dan gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan para prajurit.
"Aih, kiranya seorang lihiap (pendekar wanita)!"
"Tentu tokoh kang-ouw kenamaan!"
Perwira Ahmed menghentikan ribut-ribut itu dan kembali dia tersenyum, manis dan
menarik sekali. "Untuk membantu perjuangan, tidak perlu menghadap Sri Baginda,
Nona. Tidak mudah menghadap Sri Baginda yang sedang sibuk. Kebetulan di sini
juga merupakan markas dan
dipimpin Bouw-ciangkun. Banyak pula orang-orang kang-ouw yang telah diterima
menjadi sukarelawan. Akan tetapi baru sekarang datang seorang sukarelawati seperti Nona.
Ahh, terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang disebut
pendekar wanita dari dunia kang-ouw, bukan?" Swat Hong tidak peduli, yang penting adalah
membantu perjuangan untuk membasmi An Lu Shan dan keturunan atau penggantinya.
"Dapatkah aku bertemu dengan Bouw-ciangkun?" "Tentu saja. Akan tetapi,
perkenankanlah aku memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun-
tahun untuk menyaksikan kelihaian
seorang pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira Ahmed memperlihatkan
gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak panah?" Swat Hong maklum bahwa dia
hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin perwira ini termasuk seorang di antara
para pengujinya. "Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang-terangan."
Perwira Ahmed mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis.
"Benarkah" Nona, dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam jarak
seratus langkah, biarpun musuh itu menggunakan senajta apa pn untuk melindungi dirinya. Aku dapat
melepaskan anak panah terus-menerus dan bertubi-tubi sampai puluhan batang!"
"Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja."
"Wah....!" Ahmed membelalakkan matanya. "Apakan di dunia ini ada orang yang
sanggup menyelamatkan diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?"
"Boleh kaucoba. Aku bersedia."
"Ei i hhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama hidupku kalau sampai
melukaimu, apalagi membunuhmu!"
"Tidak perlu khawatir, aku malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan
tangan kosong!"."Mustahil!"Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat Hong,
kini mendekat dan karena dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia hendak
mencari muka dan berkata,
"Saudara Ahmed, jangan memandang rendah seorang lihiap. Dia pasti akan sanggup
memenuhi kata-katanya."
Atas dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Ahmed mau juga mencoba
kepandaian wanita cantik jelita itu. Dengan tenang Swat Hong melangkah sambil menghitung
sampai seratus, langkah pendek-pendek saja, kemudian membalik dan menghadapi Ahmed
dengan mata tak berkedip. "Wah, terlalu dekat....! Terlalu dekat sekali! langkahmu
begitu pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima puluh langkah, tidak ada seratus!"
Ahmed berteriak sambil melangkah mundur sampai lima puluh langkah. Diam-diam
Swat Hong memuji kejujuran dan
niat baik di hati perwira asing itu. "Terserah kepadamu. Nah, aku sudah siap."
katanya. Ahmed ragu-ragu, mukanya agak pucat. "Tapi...... tapi, setidaknya kau harus
membawa pedang untuk menangkis atau sebuah perisai."
"Tidak perlu. Seranglah!"
Didesak oleh orang banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran
sekali, Ahmed lalu memasang lima batang anak panah di gendewanya, dan masih ada
puluhan batang di tempat anak panah yang siap untuk disambar tangan kanan menyusul
rombongan anak panah terdahulu. "Nona, siap dan hati-hatilah!" teriaknya dan terdengar
suara menjepret ketika tampak lima sinar berturut-turut meluncur ke arah Swat
Hong, di kuti oleh puluhan pasang mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh
ketegangan. Swat Hong melihat betapa lima batang anak panah itu meluncur disekeliling
tubuhnya. Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat ilmu panahnya akan tetapi juga
amat lembut hatinya terhadap wanita sehingga sengaja membuat anak panah rombongan
pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak bergerak membiarkan lima batang anak panah itu
lewat, di kuti seruan menahan napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri
melihat nona itu sama sekali tidak mengelak! Ahmed membelalakkan matanya. hampir
dia tidak percaya. Anak panahnya itu hanya sedikit saja selisihnya dari kulit
tubuh wanita itu, namun wanita itu dengan tenang saja berdiri diam tidak
bergerak! "Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia merasa
yakin bahwa luncuran anak panah itu dapat di kuti dengan pandang matanya
sehingga mudah bagi dia untuk menjaga diri. Lima batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Ahmed
dengan cepat bukan main dan kembali terdengar suara menjepret ketika lima batang anak
panah itu menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong. Dara itu melihat betapa
lima batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia mengerti bahwa Ahmed masih saja
khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka dia meloncat dan sekaligus menendang ke bawah
sehingga dia bukan hanya mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak
panah itu! Ahmed mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan
kehebatan pendekar wanita itu. Anak panahnya meluncur bertubi-tubi seperti hujan derasnya,
susul menyusul ke arah tubuh Swat Hong dan dara ini pun memperlihatkan
kepandaiannya. Sambil mengelak berloncatan ke sana-sini, tangannya menyambar dan
dua batang anak panah ditangkapnya dengan kedua tangannya, lalu dia menggunakan dua batang anak panah
itu untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian dengan cepat
dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang meluncur cepat ke
arah Ahmed. Auhhh....!" Ahmed berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari tangan kirinya
karena tangan kirinya itu
kena sambar sebatang anak panah. Gendewanya terlepas akan tetapi tangan kirinya
tidak terluka karena anak panah yang menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga
bukan ujung yang runcing yang mengenai tangannya, melainkan ujung belakang yang bulu-bulunya telah
dibuang ..Ahmed segera lari menghampiri Swat Hong, memandang penuh kagum, kemudian dia
membungkuk sampai dalam sambil berkata, "Duhai....., Nona adalah setangkai bunga
di tengah padang pasir! Satu di antara puluhan ribu wanita belum tentu ada yang
seperti Nona...... saya merasa kagum dan hormat sekali.......!"
Wajah Swat Hong menadi merah. Bukan main hebatnya pujian yang keluar dari mulut
pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia menjawab
terdengar kaki kuda berderap dan muncul ah seorang panglima sebangsa Ahmed naik kuda. Usianya tentu
sudah empat puluhan tahun, tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan, akan
tetapi begitu bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini
karena pandang mata itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang itu seperti dapat
menembus pakaiannya! Ahmed cepat berdiri dengan tegak memberi hormat kepada atasannya. Panglima itu
lalu bertanya kepada Ahmed dalam bahasa mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh
Swat Hong, dijawab pula oleh Ahmed. Panglima itu mengangguk-angguk, bicara lagi
lalu memutar kudanya pergi dari tempat itu setelah melempar kerling penuh gairah dan kagum ke
arah Swat Hong. "Nona, Komandanku tadi bertanya tentang Nona dan menyuruh Nona
langsung saja menghadap Bouw-ciangkun untuk melapor. Tentu saja bantuan tenaga
seorang yang berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan. Mari Nona, saya
antar." "kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang
sahabat dalam diri perwira yang simpatik ini.
"Nama saya Ahmed, Nona."
Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya
untuk menanyakan namanya. "Dan namaku Han Swat Hong."
Mereka memasuki sebuah bangunan besar dan di ruangan dalam, Ahmed membawa Swat
Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk seorang tua berpakaian panglima perang.
Orang ini berusia lima puluh tahun lebih, mukanya bulat dan matanya sipit
menjadi agak lebar ketika dia memandang Swat Hong yang datang bersama Ahmed.
Setelah memberi hormat, Ahmed berkata "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi
sukarelawati." "Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh pergi
meninggalkan Nona ini di sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh.
Menyaksikan sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang senang.
Ahmed memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah keluar dengan
tegap. Setelah derap kaki Ahmed tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali
biarpun di situ, selain Bouw-ciangkun dan Swat Hong, masih terdapat empat orang
pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti arca. "Silahkan duduk, Nona." Suara
Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti tadi, melainkan lunak dan manis.
Hal ini membuat Swat Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena
kedatangannya hendak membantu kerajaan melawan pemberontak, bukan hendak berhubungan dengan
orang ini, dia tidak banyak cakap, lalu duduk.
"Kami telah mendengar akan kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di
luar tadi. Kebetulan sekali kedatangan Nona, karena Kaisar memang membutuhkan
seorang pengawal wanita untuk menjaga keselamatan keluarga Kaisar. Oleh karena itu,
harap Nona menanti di dalam pesanggrahan, kalau kesempatan sudah terbuka, kami
akan mengantarkan Nona untuk menghadap Kaisar sendiri."
Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk bekerja dekat dengan
keluarga Kaisar daripada bekerja sama dengan para prajurit Kaisar itu. Pula, memang karena merasa bahwa
ayahnya adalah masih.sedarah dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan
membantu keluarga Kaisar, maka pekerjaan menjadi pengawal untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar amatlah cocok
baginya. "Baik, saya akan menanti," jawabnya.
Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu mengantarkan dara
itu pergi ke pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang terpencil, berada di pinggir gunung,
bangunan yang bentuknya indah dan mungil. Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat
beberapa orang penjaga yang jumlahnya hanya belasan orang akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu
sebatang pedang yang bengkak-bengkok seperti ular dan memegang perisai yang bentuknya seperti batok
kura-kura. "Mereka ini adalah pasukan istimewa, pasukan pengawalku." kata Bouw-ciangkun menjelaskan
dengan nada suara bangga ketika Swat Hong memandang mereka itu yang berdiri tegak dan memebri
hormat kepada Bouw-ciangkun dengan gagah. Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun melanjutkan,
"Mereka terdiri dari orang-orang pilihan, bermacam suku bangsa di barat dan
utara." Akan tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang
pasukan pengawal tadi, karena dia sedang memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu.
"Rumah ini kosong?" tanyanya.
"Memang di kosongkan dan disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada
tamu, maka Nona boleh beristirahat di sini barang sehari dua hari untuk menanti
kesempatan Kaisar dapat menerima Nona menghadap. saya akan mengirim dua orang
pelayan wanita untuk melayani segala keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan berusaha melaporkan
kedatangan Nona kepada kaisar." Swat Hong hanya memangguk dan pembesar itu pergi
meninggalkannya. Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesangrahan itu yang
ternyata mewah dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua orang
pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan. "Kami menerima perintah untuk
melayani Nona di sini," kata mereka dan segera mereka sibuk di dapur. Swat Hong
merasa tidak enak hatinya. Dia melamar untuk menjadi pejuang membantu Kaisar,
akan tetapi dia diterima seperti seorang tamu agung, ditempatkan di rumah mungil
dan dilayani dengan istimewa seperti dimanja! Apakah karena dia wanita"


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ataukah karena dia memperlihatkan kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi
pengawal keluarga Kaisar" Dia ingin melihat-lihat keadaan di luar. Akan tetapi baru saja
dia meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba muncul ah tiga orang
mengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan perisai kura-kura
tadi. "Harap Nona jangan meninggalkan pondok . Kami diperintah untuk menjaga
pesanggrahan dan kalau Nona memaksa pergi kami harus mengawal Nona."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud itu baik, biarpun
dianggapnya tidak ada gunanya, aneh dan menyebalkan, dia tidak menjawab
melainkan kembali memasuki pondok, terus ke kamar dan merebahkan diri di atas
pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ. Tiba-tiba dia tersenyum teringat
kepada Ahmed. Untung ada orang yang simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa dia mempunyai
seorang sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi baru saja dia beristirahat di atas
tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk pikuk di luar. Swat Hong yang
memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan berlari ke luar. Kagetlah dia
ketika melihat bahwa yang datang adalah Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi
besar yang menjadi atasan Ahmed tadi, di ringkan oleh tujuh orang pelayan pria
yang membawa baki tertutup. Begitu berhadapan, Bouw-ciangkun menjura dengan
hormat sambil berkata, "Kiong-hi (selamat), Nona Han. Kami telah menghadap
Kaisar dan karena Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap
sendiri. Sementara itu, Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona menerima hidangan
yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!".Hati Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi
karena nama Kaisar disebut-sebut, dia tidak berani
menolak. Dia tahu bahwa penolakan hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan
dan pemberontakan! Banyak dia mengerti tentang peraturan kerajaan, karena selain dia
sendiri adalah puteri raja di Pulau Es juga dia banyak membaca kitab-kitab
ayahnya tentang penghidupan keluarga Raja di daratan besar. Terpaksa dia membalas dengan menjura
penuh hormat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia memasuki pondok dan
duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua. Setelah hidangan yang lengkap dan
masih panas diatur di atas meja dan para pelayan mudur berdiri di sudut, dua orang
pelayan wanita muncul melayani mereka makan minum. Bouw-ciangkun memperkenalkan
panglima itu sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu.
"kami mengandalkan bantuan sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas kembali
kota raja." antara lain Bouw-ciangkun berkata, akan tetapi urusan itu hanya
didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang menghendaki agar pertemuan
ini cepat selesai. Dengan
tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan kosong di depan Swat
Hong, Panglima Arab, dan dia sendiri, lalu mengangkat cawan arak sambil berkata, "mari
kita mulai makan minum bersama dengan mengucapkan terima kasih kepada Sri
Baginda dengan mengangkat cawan penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda Kaisar!" Swat Hong
mengangkat cawan dan minum bersama mereka, kemudian Bouw-ciangkun mempersilahkan
Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun
dengan gembira menceritakan keadaan mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga
menceritakan kekacauan di kota raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara
para peberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan sekarang Shi Su
Beng yang berkuasa juga menghadapi bersaingan dari bekas kawan-kawannya sendiri.
"Ha-ha-ha, seperti sekumpulan anjing memperebutkan tulang!" Dia menutup
ceritanya sambil tertawa-tawa.
Panglima Arab itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik,
mengeluarkan sebuah guci yang bentuknya seperti tanduk kerbau, membuka tutupnya dan mencium bau harum
yang aneh. Sambil tertawa dia mengacungkan guci tanduk kerbau itu sambil berkata, "Nona adalah
seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dipilih untuk menjadi pengawal Sri Baginda. karena itu sudah
sepatutnya menerima penghormatan kami dengan anggur padang pasir ini! Marilah kita minum tiga cawan
untuk pertama, demi keselamatan Sri Baginda sekeluarga!" Dia mengisi cawan arak di depan Swat Hong
dengan minum dari guci tanduk kerbau itu, tidak banyak, hanya setengah cawan kurang. karena dia
diajak minum demi keselamatan keluarga kaisar, tentu saja Swat Hong tidak menolak, apalagi karena
dia melihar betapa Bouw-ciangkun
dan Panglima Hussin sendiri juga minum. Diminumnya cawannya dan ternyata anggur
itu enak dan tidak begitu keras, manis dan harum sungguhpun agak aneh harumnya.
"Secawan lagi kita minum demi persahabatan kita!"
Kembali Swat Hong minum dari cawan araknya yang sudah di si lagi setengahnya.
"Dan cawan terakhir kita minum untuk kemenangan perjuangan kita!" Sekali ini
cawan itu dipenuhi dan karena anggur itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh
apa-apa, Swat Hong tidak khawatir dan minum anggur sampai habis. panglima Hussin dan Bouw-
ciangkun tertawa girang dan melanjutkan makan minum sepuas-puasnya.
Setelah kenyang, kedua orang panglima itu berpamit dan sambil tertawa Bouw-
ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan pesanggrahan ini karena siapa
tahu tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima kunjungan Nona. hal
itu bisa saja terjadi di siang hari atau di malam hari.
Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan dan sewaktu-waktu, kalau
Sri Baginda menghendaki, aku sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang menjemput
Nona.".Swat Hong mengangguk dan setelah dua orang panglima itu pergi dan meja
dibersihkan lalu ditinggal pergi oleh para pelayan, dia lalu minta kepada wanita pelayan untuk menyediakan air.
Setelah mandi dan tukar pakaian, Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar
yang indah itu. Berada di dalam kamar ini teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es,
kamar yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi. Dia menutup mulut dengan
tangan dan menguap..... goyang-goyang kepalanya. Mengapa dia begini mengantuk" Dia menguap lagi. Bukan
main! Rasa kantuk sukar dipertahankannya lagi. Aneh sekali! Hari baru menjelang senja,
belum malam. Pula habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk" Kembali dia
menguap dan Swat hong meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya. Ini tidak wajar,
pikirnya! Rasa kantuk yang amat hebat dan terbayanglah wajah Panglima Hussin yang
mengajaknya minum sampai tiga kali, kemudian terbayanglah dan terdengar lagi kata-kata Bouw-
ciangkun yang menyatakan bahwa kalau Kaisar menghendaki, sewaktu-waktu dia atau
Panglima Hussin akan datang menjenguknya. Semua ini dilakukan sambil tertawa-
tawa dan seakan-akan ada "main mata" di antara kedua orang panglima itu!
"Celaka....!" dia mengeluh, ingin dia turun membasahi muka denan air, akan
tetapi dia tidak kuat, baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai
karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan
pulasnya! Tak lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangn
seorang pemuda berkelebat dan mengintai pesangrahan itu dari balik batu-batu gunung.
pemuda ini tinggi besar, gagah dan tampan, dengan sebatang pedang di
punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Pemuda ini adalah Kwee
Lun! Bagaimana dia dapat datang di tempat jauh itu" Seperti telah dituturkan di
bagian depan, dua tahun yang lalu pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan
langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di Lam-hai. Tepat seperti dugaannya
semula, gurunya, Lam-hai Seng-jin, terheran-heran dan kagum mendengar penuturan
muridnya terutama pengalaman muridnya yang bertemu
dan bersahabat dengan penghuni Pulau Es! Setelah muridnya selesai menceritakan
semua pengalamannya, juga tentang kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang
dicintainya dengan suara berduka, kakek itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku.
Sekarang biarlah aku memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua
kepandaianku. Setelah itu, berangkatlah kau lagi ke daratan besar. Negara sedang
kacau balau dilanda oleh para pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya kaisar
mengungsi ke Secuan, maka sebaiknya kalau kau kelak menyusul ke sana untuk
membantu kaisar, jangan membiarkan dirimu
terbujuk oleh kaum pemberontak." Demikianlah, Kwee Lun berlatih silat untuk yang
terakhir dari gurunya, terutama sekali memperhebat ilmu pedang yang dimainkan
bersama dengan kipas di tangan kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia meninggalkan Pulau
Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia pergi
ke barat, ke Secuan! Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng dengan datangnya Swat
Hong! Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang dari timur, adalah Kwee Lun datang
dari selatan, akan tetapi mereka memasuki daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh Bouw-ciangkun.
Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak
tahu bahwa pada siang hari itu juga Swat Hong datang dan bertemu dengan perwira
Ahmed dari pasukan Arab yang diperbantukan.
Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu dengan para
perajurit Han, bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar seorang di
antara para prajurit itu.
"Wah, enak juga menjadi panglima tentara asing! Selain jaminannya lebih hebat,
juga hiburannya lebih luar biasa lagi. Bayangkan saja, dara perkasa yang
mengebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan sebagai hadiah kepada Panglima
Hussin!" "Ah, masa?" "Hem, jelita sekali dia!"
"Dan masih perawan hijau lagi!"."Akan tetapi ilmu silatnya hebat! jangan-jangan
panglima itu akan mampus olehnya!"
"Mudah-mudahan begitu!"
"tapi panglima itu terkenal pandai, dan lihat saja Perwira Ahmed itu, dimana-
mana para wanita tergila-gila kepadanya. Agaknya mereka memiliki jimat untuk
menundukan hati wanita." Mendengar ini, Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak disangkanya, di tempat
seperti ini dia mendengarkan peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia
penjahat. Seorang dara dihadiahkan begitu saja! Mendengar bahwa dara itu lihai
ilmu silatnya, dia tertarik. "Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan
begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum.
"Aha, kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat dilakukan oleh Bouw-
ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita yang dapat melawan apabila
dikehendaki oleh Panglima Hussin itu. Apalagi kalau Bouw-ciangkun sudah
mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya Bouw-ciangkun selalu berusaha
mengambil hati orang-orang berkulit hitam itu!"
Kwee Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya
memperoleh keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya telah
dikurung di dalam pesanggerahan, yaitu rumah kecil terpencil yang oleh para
perajurut diberi nama tempat penjagalan perawan! "Hem, semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar,
membela keadilan dan kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biarpun sekarang
aku menjadi seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapapun
juga datangnya! Dengan pikiran ini, Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu
dia sudah mendekati rumah pesanggerahan itu dan menyelinap untuk menyelidiki
dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu dan menolong si gadis yang hendak dijadikan
korban. Melihat betapa di empat penjuru terdapat empat orang penjaga yang selalu
melakukan perondaan mengelilingi pesanggerahan itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai.
Penjaga- penjaga yang memegang pedang ular dan perisai kura-kura itu kelihatanya bukan
penjaga- penjaga sembarangan. Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan
baginya untuk dapat memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tdak
terlambat, pikirnya. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi
datang menghampiri pesanggerahan itu. Empat orang penjaga menghadangnya, mereka
bercakap- cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para penjaga memasuki pesanggrahan. Hemm,
ini agaknya pembesar yang di "hadiahi" gadis itu, pikir Kwee Lun dengan marah
sekali. Kalau dia harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat.
Kebetulan sekali terdapat seorang penjaga meronda di dekat tempat dia
bersembunyi, "Keparat busuk!"
Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat sembunyinya. Penjaga itu
terkejut cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat
pedangnya, siap untuk menyerang. "Haaaai i ittttt!!!" Tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang
dengan tumit kaki kanan di depan.
"Bresss....!!" Perisai kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi
pemegangnya terdorong dan
terjengkang bergulingan. Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para
penjaga lain dan dalam waktu
sebentar saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk
dikepung oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai kukra-kura itu. Sementara
itu, perwira berkumis yang bukan lain adalah Perwira Ahmed tadi, setelah berhasil meyakinkan para
penjaga bahwa dia datang untuk memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan, terkejut mendengar
ribut-ribut dan ketika.dia menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang
dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini
menduga bahwa tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka dia
bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita dibentaknya untuk minggir.
"Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang!


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Didorongnya dau pintu kamar dan cepat ditutupnya dari dalam. Melihat Swat Hong
rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat berlutut dan mengeluarkan
sebuah botol hijau dari sakunya.
"Huh, benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" gerutunya sambil
membuka tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidung Swat Hong.
Tak lama kemudian dara itu terbangun, mengeluh dan merintih, "Aduhh....pening
kepalaku....." "Sttt..... Nona Swat Hong...... sadarlah...... aku datang
menolongmu......" Ahmed mengguncang-guncang dara itu.
Swat Hong membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya.
"Lekas kaucium ini....."
Ahmed kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat Hong.
Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Ahmed, maka dia tidak
membantah dan disedotnya botol itu.
Tercium bau keras dan dia tersedak lalu berbangkis.
Apa.... apa yang terjadi......?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak
pening. "Lekas kau telan ini...." Ahmed memberikan sebutir pil hitam. "Engkau
telah terkena racun Hashish yang dicampurkan di dalam anggur. Ini obat
penawarnya." Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur di
lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan pel kecil itu dan benar saja,
peningnya hilang dan pikirannya terang kembali.
"Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa
kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas kau keluar, di luar sedang
terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya datang hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan
kipas...." "Kwee Lun.....!" Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan
hendak lari keluar. "Nanti dulu, Nona."
Swat Hong berhenti. "kau baik sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima kasih
kepadamu." "Bukan itu. kau....kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan
dihukum mati sebagai pengkhianat."
Barulah sadar Swat Hong betapa perwira ini telah menolongnya dengan taruhan
nyawa sendiri. "Kau adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk
melukaimu" Kau sahabatku..... dan ternyata di segala bangasa, ada saja manusianya yang
jahat dan baik, tidak ada bedanya dengan bangsa lain. Aku mengerti maksudmu,
saudara Ahmed, nah, biar kurobohkan kau dengan totokan!" Swat Hong bergerak
cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan darah di tubuh Ahmed telah di totoknya dan
perwira itu terguling roboh dan tak mampu
bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu
bergerak. Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam
sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke kanan kiri sehingga
menimbulkan kesan seolah-olah di kamar itu telah terjadi pertempuran, mencabut pedang dari
pinggang Ahmed dan melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan Ahmed dan berkata,
suaranya terharu, "Selamat tinggal!" Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan
bertemu kembali.".Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum
penuh kagum, mulutnya hanya dapat
berkata," Kau..... setangkai bunga di padang pasir........"
Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan wanita yang lari
mendatangi dia tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke
luar. Heran juga ketika dia melihat bahwa dugaannya tadi benar ketika mendengar
penuturan Ahmed tentang seorang
pemuda bersenjata kipas dan pedang. Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar
pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu
tahun dia berlatih dengan tekun. Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga merupakan
pasukan yang terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang aneh,
yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk barisan
yang kokoh kuat, saling membantu dan banyak menggunakan perisai untuk berlindung,
kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis gerakan seekor kura-kura
menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya. Menghadapi kepungan yang
ketat ini, Kwee Lun merasa kewalahan juga. Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan
akhirnya dia dapat membobolkan kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian
mendadak dia meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya dan
begitu berada di luar kepungan dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan
pedang dan kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak
terdengar lengking nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari
luar kepungan. "Nona Han....!"
"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong.
Kwee Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa dara yang hendak
dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa
gadis yang akan ditolongnya itu berbalik malah menolongnya!
"Kita lari saja, Nona. tidak perlu melawan tentara yang amat banyak!"
"Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw....!"
Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk dan berbondong-bondong datanglah
pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri!
Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar
suara melengking nayring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya, pedangnya
menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. panglima ini terkejut, menggerakan
pedang menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu
patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir
putus terbabat pedang di tangan Swat Hong! "Nona, jangan...." Kwee Lun lari mendekat
dan mereka sudah dikepung oleh ratusan orang perajurit yang menjadi bengong
menyaksikan kematian komandan mereka secara yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Semua orang
menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda
yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak!
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh mereka!"
"Tahan semua senjata....!!" Kwee Lun berteriak dan suaranya mengatasi semua
keributan itu, semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu
dengan marah. Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini"
"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali
bukan! Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak
membantu gerakan Sri Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi
celakanya, Nona Han Swat Hong
yang beriktikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah
perkasa ini, yang akan.dapat membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh
Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan
ini!" "Tangkap......!"
"Bunuh.....! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun......!"
"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!" Kini tempat itu penuh
dengan perajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah
marah semua karena biarpun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran
ucapan Kwee Lun, namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan
mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.
"Menyesal tidak berhasil, Nona."
"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati."
"Benarkah?" "Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako."
"Kalau begitu, marilah mati bersama!" Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap
dengan sepasang senjatanya, mereka saling membelakangi dan saling melindungi.
Para perajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu. Tiba-tiba terdengar suara
yang halus dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan
senjata.......!" Sungguh ajaib sekali. Biarpun ada di antara mereka yang tidak
mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa
bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget dan
heran, dan kini semua mata
memandang kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki kepungan
itu, dengan membuka jalan di antara para perajurit. Juga Kwee Lun dan Swat Hong
mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka
tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang pemuda
yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Seorang pemuda yang
berpakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang
memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir. "Su.... Suhenggggg.....!"
Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan sambil
terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong!
"Suheng..... aihhh, Suheng...... Ibuku....."
"Tenanglah, Sumoi, tenanglah........" Suara Sin Liong mengandung wibawa yang
luar biasa sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena
sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya.
"Suheng..... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kautinggalkan aku
lagi....." "Tidak, Sumoi. Tidak lagi."
"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cnta padamu!" Tanpa malu-malu Swat Hong
meneriakkan suara hatinya ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan
orang perajurit! Kwee Lun memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia
merasa terharu, juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat
kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata, "Kwa-taihiap, syukur bahwa
engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang....".Sin Liong tersenyum
kepadanya. "Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan
kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini." Kwee
Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu dan sambil menyarungkan pedang
dan menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi.... mereka itu....?" Terdengar
teriakan-teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!"
"Bunuh pemberontak!"
"Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!"
Ribuan orang perajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suhengnya
dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong.
Betapapun juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apalagi
dia tidak boleh melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat pemuda ini. Sin
Liong memegang lengan sumoinya dan terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan
ketenangan yang wajar, "Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka berdua ini bukan mata-mata, dan
Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan kami pergi,
kemudian sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat diambil
tidakan tepat, demi ketertiban." Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi
semua teriakan dan anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi.
"Kami hendak pergi sekarang!"
Sin Liong memegang lengan Swat Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee
Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang itu keluar dari kepungan. Swat
Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja
karena ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun
di antara para perajurit yang mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya,
tidak ada seorang pun yang memandang mereka, seolah-olah para perajurit itu
tidak melihat mereka! Dan
memang begitulah. Para perajurit itu pun bengong ketika secara tiba-tiba setelah
pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari situ
tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temannya pergi jauh,
barulah gempar di tempat itu dan akhirnya Kaisar memperoleh laporan tentang
semua peristiwa yang terjadi. Panglima
Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya diserahkan kepada Ahmed!
Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan.
Ketika mereka tiba jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata,
"Suheng, mengapa kita meninggalkan Secuan" Aku ingin sekali menjadi
sukarelawati, membantu Kaisar dan
membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan
Ayahnya, bahkan kematian kakek buyutku!" "Benar apa yang dikatakan Nona Swat
Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu
kerajaan membasmi pemberontak."
Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoinya dan diajak duduk di
atas rumput. Swat Hong duduk dekat suhengnya dan memandang wajah suhengnya dengan
penuh kagum dan kasih sayang.
"Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang, dengan saling bunuh
membunuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu" Betapa mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat
untuk membela yang lemah, untuk menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi
bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia lain saling memperebutkan kemuliaan
duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-
cita sendiri. "Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee-toako. Ingat saja pengalamanku. Aku


Manusia Setengah Dewa Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan
dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu." Swat Hong berkata kemudian dia
menceritakan.pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia
ditolong oleh kakek buyutnya,
sampai dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut. "Aku
tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es.
Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa melarikan
diri membawa pusaka-pusaka itu untuk mereka sendiri. Sungguh menggemaskan!"
"Jangan tergesa-gesa berperasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita
memang harus mencari mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk kita
bawa kembali ke Pulau Es." Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat
Hong. Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya. "Bagaimana
engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan ditutup dengan
reruntuhan guha, dapat menyelamatkan diri, Suheng?" dan selama ini engkau kemana saja?"
Sin Liong tersenyum. "Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi memang
agaknya belum tiba saatnya aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini
telah menolongku, Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong
menerima batu itu dan menciumnya. "Terima kasih, kau telah menyelamatkan
Suheng!" katanya girang.
Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua tahun di dalam
sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu Ong
dan orang-orang kerdil. "Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!"
Swat Hong berseru heran. "lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan menyelamatkan aku dan Kwee-toako?"
"Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah
tewas di sana, akan tetapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula.
Karena aku menduga bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para
pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan, maka aku
segera menyusul ke sini dan
kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako dikeroyok para perajurit." Sin
Liong tidak memberitahukan bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada
dirinya sehingga seolah-olah dia tahu bahwa sumoinya berada di Secuan. Seolah-
olah apa yang terjadi bukan
merupakan rahasia lagi baginya! Tiba-tiba Kwee Lun bertanya nada suaranya hati-
hati dan penuh sungkan, "Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap
memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi..... tadi di sana seruan taihiap
membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun..... tidak mampu
bergerak. Kemudian....... ketika kita pergi, terjadi keajaiban, seolah-olah
mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi....."
Sin Ling hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab.
"Benar! Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya.
"Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan
karena tidak ada permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun
tidak melakukan apa-apa." Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan
watak Suhengnya dan kadang-kadang
ucapan suhengnya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup
baginya. Tidak demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa Pemuda Pulau Es itu
bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata, "Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan,
saya....... saya mohon petunjuk......"
Sin Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum
lagi. "Kau sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura-kura, Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali
akan ilmu silat dan aku yakin bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka
mungkin aku dapat menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan pedang dan
kipasmu itu sebaik mungkin." Bukan main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil
mengucapkan terima kasih, kemudian dia mencabut pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin
Ling dan Swat Hong..Seperti kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh
ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu
silat dari gerakan pertama saja. Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus
simpanan yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong
bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata, "Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu,
Toako." Pemuda luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi
terheran-heran, kagum dan girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan
penyempurnaan dari semua ilmu silatnya.Dia menerima dan melatih petunjuk-
petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini
melakukan perjalanan ke timur dan disepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima
petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan
untuk menghimpun tenaga sinkang. Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh
keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan seorang manusia biasa.
Tidak tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu
silatnya lebih sempurna daripada dia sendiri! Maka ketika tiba saatnya berpisah,
dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! "Harap jangan
berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong.
"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela.
"Kwa-taihiap, saya boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya
belum tentu selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi (Kalian).
Perkenankan saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya
tidak akan melupakan Ji-wi!"
"Hushhhh..... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami
akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," kata Sin Long
dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak sumoinya pergi dari situ. Swat
Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan mata
basah air mata! Dia pun terharu, akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti
ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong,
suhengnya, pria yang dicintainya, berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara
apa pun di dunia ini yang dapat menyusahkan hatinya lagi! Sudah terlalu lama
kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh
Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka itu
bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan
terjatuh ketangan mereka itu" Sama sekali tidak demikian dan mari kita mengikuti
perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja. Malam hari itu, mereka
berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke
barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba
jauh dari kota raja dan selagi mereka hendak
mengaso, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Mereka terkejut dan
cepat menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi. Akan tetapi, empat orang yang
menunggu kuda itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka
meloncat turun, mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru, "Dua orang
pengkhianat rendah, keluarlah!"
Dari tempat persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu.
Mereka adalah bekas-bekas teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu
di masa "perjuangan". Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah orang-
orang kang-ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena sakit hati kepada
Pendekar Panji Sakti 27 Dewi Ular 66 Misteri Anak Selir Harimau Mendekam Naga Sembunyi 12
^