Pencarian

Darah Ksatria 6

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung Bagian 6


menerjang keluar. Sayang gerakannya masih terlambat setindak. Di saat tubuhnya melompat
keluar, Cia Gioklun sudah turun tangan dari belakang, sekali gerak beberapa Hiat-to di belakang
tubuhnya telah tertutuk hingga tubuhnya tak berkutik lagi.
Cia Giok-lun hendak membalas. Toa-hoan sadar dan waspada, maka ia berusaha
melarikan diri. Siapa pun pasti berpikir demikian, dugaan demikian memang masuk akal. Tapi kalau
berpendapat demikian, maka adalah salah besar, meleset.
Rona muka Toa-hoan berubah lalu melompat keluar jendela, itu benar, tapi Toa-
hoan melompat keluar dan berubah kaget air mukanya bukan karena ia takut atas pembalasan Cia
Giok-lun, bukan karena ia takut Cia Giok-lun menyerang dirinya. Hakikatnya ia tidak mendengar
apa yang dibicarakan Cia Giok-lun tadi terhadap dirinya.
Mukanya berubah lalu melompat keluar karena Toa-hoan melihat suatu kejadian yang
mengerikan, peristiwa yang menakutkan. Siapa saja pasti kaget melihat kejadian itu, kejadian
yang tak pernah diduga akan disaksikan oleh dirinya sendiri.
Jika saat itu ia sempat membeberkan kejadian yang ia saksikan, kejadian yang
lebih menakutkan tentu takkan berkepanjangan. Sayang Hiat-tonya tertutuk, ia tak bisa bicara. Cia
Giok-lun sudah menutuk beberapa jalan darah di punggungnya, termasuk jalan darah di leher yang
membuatnya bisu. Jangan kata bicara, menjerit pun tidak sempat lagi.
-----------------------------------------------
ooo00ooo------------------------------------------------
Jika Cia Giok-lun tahu Toa-hoan telah menyaksikan suatu peristiwa yang
mengerikan, pasti ia juga
terkejut. Sayang Cia Giok-lun tidak melihat, juga tidak tahu, maka ia masih
tertawa-tawa, tawa yang riang malah. "Sekarang kau akan tahu bagaimana perasaan hatiku waktu itu," kata Cia Giok-lun
sambil cekikikan. "Karena akan kugunakan cara yang kau gunakan terhadapku tempo hari
untuk membalas perbuatanmu sendiri. Biar Ma Ji-liong juga melihat tubuhmu yang bugil.
Hihihi........" -----------------------------------------------
ooo00ooo--------------------------------------------------
Ma Ji-liong juga tidak bisa tidur. Ia ingin mengajak Ji Liok mengobrol. Sayang,
begitu merebahkan diri, Ji Liok lantas mendengkur, tidur lelap.
Ji Liok bukan kaum persilatan, bukan pendekar Bulim yang kenamaan, juga bukan
anak hartawan besar yang suka royal dan pelesir, anak orang berada yang suka kelayapan malam.
Ji Liok tidak punya sesuatu yang harus dibuat bangga seperti orang ternama yang
harus jaga gengsi dan mempertahankan kedudukannya. Ia tak punya persoalan yang merisaukan benaknya
seperti orang-orang gede yang banyak terlibat kegiatan.
Diam-diam Ma Ji-liong menghela napas, dalam hatinya timbul keinginan untuk
menjadi manusia awam seperti Ji Liok saja, hidup bersahaja, setiap malam tidur menggeros dan
lelap setiap rebah di ranjang, tanpa memikirkan tetek-bengek, merisaukan persoalan apa pun.
Sayang Ma Ji-liong ditakdirkan lahir dalam keluarga besar. Sayang dia adalah Ma
Ji-liong, pendekar kita yang tidak boleh ditawar. Tapi perasaan Ma Ji-liong itu hanya
sekedar pelampiasan kekesalan hatinya saja. Tidak pernah terbetik dalam benaknya rasa sesal karena
dirinya terfitnah dan mengalami peristiwa yang membuatnya sengsara. Harkat seorang pendekar sudah
melekat dalam sanubarinya. Seorang pendekar mutlak harus mengabdikan diri untuk
kepentingan orang banyak, mempertahankan kepribadian, membela keadilan dan kebenaran. Harkat
pendekar sudah berjiwa raga pada darah daging Ma Ji-liong.
------------------------------------------------
ooo00ooo---------------------------------------------------
Daun jendela setengah tertutup, deru angin malam merintih-rintih di luar.
Mendadak Ji-liong melihat bayangan seseorang yang sedang melambaikan tangan kepadanya di luar
jendela. Ma Ji-liong melihat Cia Giok-lun sedang melambaikan tangan dengan isyarat supaya
ia keluar. Begitu Ma Ji-liong berada di luar, Cia Giok-lun lantas berbisik, "Akan kubawa
kau melihat sesuatu." Bersinar bola mata Cia Giok-lun, "Kutanggung kau pasti senang
melihatnya." Tawanya
penuh arti, tawa yang riang, sudah tentu Ma Ji-liong tertarik. Ia ingin tahu,
maka tanpa bicara ia ikut
saja waktu diseret Cia Giok-lun.
Mereka kembali ke kamar di mana Cia Giok-lun dan Toa-hoan tinggal. Lewat jendela
mereka melompat masuk. Di atas lantai ada dua gulung tikar. Tadi Cia Giok-lun
merebahkan Toa-hoan di salah satu gulungan tikar, lalu menutupnya pula dengan gulungan tikar yang lain.
"Coba kau singkap tikar penutup itu," demikian pinta Cia Giok-lun. "Lihat dulu
ujung yang sini, lalu lihat lagi ujung yang sana." Pertama ia ingin Ma Ji-liong melihat kaki Toa-
hoan, lalu melihat wajah, dada dan tubuhnya.
Tanpa bicara lagi Ma Ji-liong melakukan permintaan Cia Giok-lun. Ia menyingkap
dahulu tikar di sebelah sini dan melongok ke bawah, seketika roman mukanya berubah. Bila ia
melongok pula ujung yang sebelah sana, roman mukanya berubah jelek dan ngeri.
Cia Giok-lun masih tertawa cekikikan, katanya, "Semula aku tidak mengira kau
akan terkejut sedemikian rupa, karena kau pasti bisa menduga bahwa aku harus dan berhak
menuntut balas padanya." Makin menakutkan perubahan rona Ma Ji-liong. Cukup lama ia berdiri menjublek,
lalu balas bertanya, "Kepada siapa sebenarnya kau hendak menuntut balas?"
"Sudah tentu kepada Toa-hoan," ucap Cia Giok-lun sambil tertawa. "Dulu bagaimana
dia memperlakukan aku, sekarang begitu pula aku balas mempermainkan dia."
"Dulu bagaimana dia mempermainkan kau, sekarang dengan cara itu pula kau balas
mempermainkan dia," Ma Ji-liong mengulang perkataan Cia Giok-lun, suaranya
seperti rintihan orang yang kesakitan setelah punggungnya dibacok dengan golok.
"Apakah kau juga menutuk Hiat-tonya" Apakah kau menutupnya di bawah tikar ini?"
tanya Ma Jiliong dengan suara gemetar. Cia Giok-lun memanggut, menggigit bibir sambil tertawa senang.
Tanpa bicara lagi, mendadak Ma Ji-liong berjongkok terus menyingkap tikar
penutup itu dengan sendalan keras ke pinggir.
Semula Cia Giok-lun masih tertawa riang, tapi mendadak kulit mukanya menjadi
kaku, tawanya pun membeku menjadi seringai getir, mimik mukanya seperti orang yang ditusuk
pisau pantatnya. Masih segar dalam ingatannya, sekarang dirinya pun masih segar, jelas tadi ia
merebahkan Toahoan di atas tikar lalu menutupnya dengan tikar yang lain. Tapi begitu Ji-liong
menyingkap tikar ke pinggir, yang berada di bawah tikar ternyata bukan lagi Toa-hoan, tetapi si
kakek timpang yang bungkuk lagi bisu tuli penjaga gedung ini.
Bab 34: Malam Yang Menakutkan
Kakek timpang yang cacat ini tak berbeda lagi dengan kebanyakan manusia, karena
sekarang dia sudah mati, mayatnya rebah di bawah tikar yang disingkap Ji-liong.
Setiap orang akhirnya pasti mati. Orang mati sudah tentu sama, kaku dingin tidak
bernapas lagi. Entah bagaimana dia mati, mati dibunuh, mati sakit atau kecelakaan, setelah dia
mati, tubuhnya akan kaku menjadi mayat. Peduli di masa hidupnya dia seorang Enghiong, seorang
Pendekar, perempuan cantik atau ratu sekalipun, setelah mati dia akan berubah dalam bentuk
yang sama, sebagai mayat yang tak mampu berbuat apa-apa lagi.
Namun dalam seribu satu kesamaan itu, ada satu perbedaannya. Perbedaan yang
menyolok di atas mayat yang satu ini dengan mayat lain pada umumnya, walau kakek bungkuk lagi
timpang ini sudah mati, namun sepasang tangannya saling genggam di depan perutnya. Seperti
seorang budak miskin yang menggenggam kantong uangnya, harta miliknya yang dipertahankan dari
rebutan pembunuhnya. Barang apakah yang tergenggam di kedua tangannya"
Perlahan Ma Ji-liong berjongkok, perlahan pula ia membuka genggaman tangan kakek
timpang itu. Begitu jari tangan si kakek ia kendorkan dan terbuka, seketika air mukanya
berubah pucat dan panik. Ternyata yang tergenggam di kedua tangan kakek cacat ini hanyalah sebutir
batu, batu bundar hitam dan mengkilap sebesar buah duku.
Hanya di lembah mati ada batu hitam bulat dan mengkilap seperti ini.
Tanpa sadar Cia Giok-lun memekik seram, "Bu-cap-sah!"
Jikalau Bu-sap-sah yang datang ke mari, lalu di mana Toa-hoan"
Sudah tentu Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun tidak bisa menjawab teka-teki ini,
malah menduga atau memikir juga tidak berani.
Satu persoalan kembali mengganjal dalam sanubari mereka. Rencana Ji Liok cukup
rapi dan amat dirahasiakan, dengan cara apa Bu-cap-Sah dapat menemukan jejak mereka dan
menyusul ke mari" ------------------------------ooo00ooo-----------------------------
Semenjak jadi buronan, belum pernah Thiat Tin-thian dapat tidur pulas, demikian
pula kali ini. Sebetulnya ia juga masih buron, tapi ia percaya akan rencana kerja Ji Liok,
yakin bahwa kawankawan yang lain pasti dapat menanggulangi bersama segala persoalan. Badan agak segar
setelah lukanya agak sembuh, namun setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya
merasa penat juga, maka Thiat Tin-thian kali ini dapat tidur dengan nyenyak. Umumnya kawakan
Kangouw seperti dirinya, bila ada kesempatan tidur, biasanya tidak akan disia-siakan,
apalagi ia yakin persembunyian mereka di gedung ini cukup aman. Akan tetapi sebagai kawakan
Kangouw, meski tidur nyenyak juga mudah terjaga oleh sesuatu gerakan atau suara lirih
sekalipun. Thiat Tin-thian terjaga oleh suara yang aneh. Waktu ia celingukan, ternyata Ong
Ban-bu sudah tidak kelihatan, tikar yang disediakan untuk alas tidurnya juga ikut lenyap.
Padahal kamar itu hanya ada satu pintu dan satu jendela, pintu dan jendela masih terpalang dari dalam,
jelas tidak pernah disentuh atau dibuka orang. Tin-thian yakin tidak mendengar suara Ong Ban-bu
membuka jendela atau pintu, apalagi daun jendela tertutup rapat dan terpalang lagi, tidak
mungkin Ong Ban-bu memasang palang lagi dari luar jendela. Tapi persoalan sudah jelas, pintu dan
jendela tidak pernah dibuka, namun Ong Ban-bu lenyap tak keruan parannya, cara bagaimana dia
meninggalkan kamar ini" Penjelasan yang paling benar adalah di kamar ini ada pintu rahasia, atau lorong
bawah tanah. Dalam gedung besar milik hartawan kaya raya, tidak heran kalau dibuat juga pintu
rahasia atau dinding berlapis, apalagi gedung ini dibangun sendiri oleh Ji Liok yang serba ahli.
Dengan pengalamannya Thiat Tin-thian tak mampu menemukan pintu rahasia ini,
sudah tentu ia lebih heran dan bertanya-tanya lagi. Maklum Ong Ban-bu juga seperti dia, baru
pertama kali datang ke tempat ini. Kalau ia tidak bisa menemukan rahasianya, dari mana Ong Ban-bu
bisa menemukannya dan menghilang"
Kecuali itu sudah tentu masih ada lagi persoalan lain.
Kenapa tadi Ong Ban-bu tidak tidur di tempat yang sudah disediakan untuk
dirinya" Kenapa secara
diam-diam mengeluyur keluar" Umpama ia mau keluar juga tidak perlu main
sembunyi. Kecuali ada sesuatu yang harus dirahasiakan, apalagi keluar lewat jalan rahasia"
Thiat Tin-thian memang orang kasar. Beberapa persoalan ini tidak dipikir
olehnya, satu hal yang tidak dimengerti memang tak pernah ia pikirkan lebih lanjut, sekarang ia mulai
beraksi. Waktu ia membuka pintu dan melangkah keluar, saat itulah Cia Giok-lun memanggil
Ji-liong serta mengajak ke kamarnya. Kebetulan Thiat Tin-thian memergoki mereka, tapi ia diam saja malah
menyembunyikan diri tak mau mengganggu. Di malam dingin di bawah rembulan remang-remang, bila seorang
pemuda berkencan dengan seorang gadis, bisik-bisik atau lagi bermain cinta, kenapa aku
harus mengganggu mereka" Demikian batin Thiat Tin-thian. Maklum sebagai buronan yang sudah cukup
lama terasing dari dunia ramai, Thiat Tin-thian juga adalah laki-laki normal meski usianya
sudah lebih setengah abad, rangsangan nafsu masih menguasai jiwanya. Kecuali pantang mengganggu
keasyikan orang, ia pun berusaha menghindarkan diri supaya tidak mengundang goncangan perasaan
sendiri. Sekarang ia hanya ingin mencari Ong Ban-bu.
Kamar dimana mereka tinggal terletak di bagian luar dari bilangan tengah, di


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang kamar mereka adalah sebuah taman besar yang berada di paling belakang. Maklum gedung
ini belum selesai dibangun seluruhnya, maka taman kembang ini juga masih setengah rampung.
Di tengah malam yang dingin di musim semi ini, terasa keadaan di sini agak lembab dan
seram. Pelahan dan hati-hati, penuh kewaspadaan lagi, Thiat Tin-thian beranjak di
jalanan kecil yang ditaburi batu-batu kerikil. Mendadak ia mendengar suara ganjil dari belakang
gunungan sana, suara orang yang lagi mrerintih. Sukar Tin-thian membedakan suara rintihan siapa,
namun terasa olehnya suara rintihan itu diliputi siksa derita yang luar biasa, gejolak nafsu yang
tidak terlampias. Di belakang gunungan batu karang itu terdapat sebuah kolam. Walau kembang
teratai belum berbunga, tapi air kolam kelihatan jernih dan mengalir kalem ke pinggir selokan
dengan suaranya yang gemercik lembut. Waktu Thiat Tin-thian tiba di pinggir gunungan, tampak seorang muncul dari dalam
air kolam yang jernih, begitu melompat keluar lalu menjatuhkan diri di pinggir kolam yang
berlumpur, tubuh yang bugil itu tampak mengejang dan menggigil, kedua tangannya juga terangkap kaku di
tengah kedua selangkangannya. Laki-laki telanjang yang meringkel di tanah sambil merintih ini ternyata bukan
Ong Ban-bu, dia adalah Coat-taysu. ------------------------------ooo00ooo-------------------------------
Thiat Tin-thian menjublek di tempatnya. Tak pernah terbayang dalam ingatannya
bahwa Coat-taysu bisa berubah seperti itu di kala gejolak nafsunya tak terkendali lagi. Namun
lekas sekali ia maklum kenapa Coat-taysu begitu menderita.
Coat-taysu juga manusia, laki-laki normal. Ia pun punya keinginan, punya nafsu,
ada saatnya ingin menyalurkan keinginannya itu seperti laki-laki umumnya, kalau tidak punya bini
bisa jajan di luar, tapi Coat-taysu adalah orang beribadat, tokoh silat yang meyakinkan ilmu dengan
pantangan harus menjaga keperjakaannya alias tidak boleh kawin, sudah tentu sukar ia menyalurkan
keinginan yang mendesak. Terpaksa di tengah malam buta rata, di luar tahu orang lain, seorang
diri diam-diam ia membenamkan diri dalam air dingin berusaha menekan gejolak nafsunya itu, dengan
air dingin ia berusaha mencuci otaknya.
Mendadak Thiat Tin-thian sadar Coat-taysu juga seorang yang harus dikasihani.
Sikap yang dingin kaku, watak yang aneh adalah akibat dari nafsu yang sekian tahun terbenam,
tertekan dan tak pernah tersalurkan secara wajar.
Mendadak Coat-taysu melompat sesigap kelinci karena terkejut oleh daya ciumnya
yang tajam, inderanya memperingatkan sesuatu tengah mengintai gerak-geriknya. Lekas sekali
ia meraih baju lalu mengenakannya, dengan tertegun ia mengawasi Thiat Tin-thian yang masih
menjublek. Selang beberapa kejap kemudian, Thiat Tin-thian menghela napas, katanya kalem,
"Tidak usah kau kuatir dan takut, aku berjanji tidak akan membicarakan dirimu dengan orang lain.
Apa yang kulihat malam ini, anggaplah tidak pernah terjadi, kejadian ini takkan diketahui orang
ketiga. Kalau aku melanggar janji, biarlah aku mati tanpa liang kubur."
Dapat dibayangkan betapa kaget, gugup, malu, dan sesal perasaan Coat-taysu,
apalagi yang memergoki dirinya adalah Thiat Tin-thian, musuh besarnya. Mendadak ia bertanya
dengan beringas, "Apa kau tak tahu bahwa Thiat Coan-gi sudah mampus?"
Terkepal tinju Thiat Tin-thian, desisnya, "Kau yang membunuhnya?"
"Tak usah kau tahu siapa yang membunuhnya. Kalau kau ingin menuntut balas,
sekarang juga boleh kau turun tangan padaku," demikian jengek Coat-taysu.
Thiat Tin -thian mengawasi dengan dada berombak, namun lambat laun ia dapat
menguasai diri. Bukan saja tidak bermaksud turun tangan, ia malah menghela napas. "Sekarang aku
tak boleh membunuhmu," demikian kata Thiat Tin-thian lesu.
"Kenapa?" Coat-taysu meraung.
Karena Thiat Tin-thian merasa simpatik dan kasihan terhadap Coat-taysu, nafsu
membunuh tidak membakar hatinya. Sudah tentu Thiat Tin-thian tidak melontarkan pikirannya. Saat
itulah, sebelum ia bicara, dari kejauhan di depan sana terdengar lengking jeritan.
Itulah jeritan Cia Giok-lun waktu ia melihat mayat di bawah tikar yang disingkap
Ma Ji-liong. ------------------------------ooo00ooo-----------------------------
Tiada noda darah, mayat itu memang tidak terluka, kakek timpang ini mati karena
jantungnya tergetar hancur oleh pukulan tenaga dalam yang amat dahsyat. Tenaga lunak yang
mengandung kekuatan hebat, pukulan yang hanya menggetar hancur jantung orang, tapi tidak
meninggalkan bekas pukulan sedikit pun di luar tubuh si korban.
Waktu Thiat Tin-thian memburu tiba, Ji Liok juga berlari datang. Sikapnya
kelihatan gugup, kaget, dan gusar. "Siapa yang membunuhnya?" tanya Ji Liok. "Mengapa membunuh orang cacat yang
tidak berdosa?" Thiat Tin-thian juga gusar, serunya, "Pembunuh itu tidak perlu memakai alasan
untuk merenggut jiwa orang." "Maksudmu Bu-cap-sah?" teriak Ji Liok penasaran.
"Siapa lagi kecuali dia?" ujar Thiat Tin-thian.
Ji Liok terbelalak kaget, serunya, "Bagaimana mungkin dia menemukan tempat ini"
Apakah rencanaku kurang rapi?"
Hal ini juga terpikir oleh orang banyak.
"Ya, aku sudah mengerti," tiba-tiba Cia Ciok-lun berkata.
"Kau mengerti apa?" tanya Ji Liok.
"Kalau iblis laknat itu dapat mendengar suara kura-kura bertelur, tentu dia juga
mendengar orang menggali tanah. Kukira dia sudah menunggu di mulut lorong bawah tanah itu,
sejauh ini dia selalu mengawasi gerak gerik kita."
"Tidak benar," sahut Ji Liok tegas. "Dia pasti tak mendengar aku menggali
tanah." "Kenapa tidak mendengar?" tanya Thiat Tin-thian.
"Kalau dia mendekam di tanah dan mendekatkan telinganya ke bumi serta
mendengarkan dengan seksama, mungkin bisa mendengar," demikian kata Ji Liok. "Kurasa dengan cara itu
pula baru dia bisa mendengar kura-kura bertelur."
Apalagi 'kura-kura bertelur' paling hanya sebagai ungkapan kata untuk melukiskan
ketajaman kuping seseorang belaka. Apa betul kura-kura bertelur mengeluarkan suara" Yakin
tiada manusia di dunia ini yang pernah mendengarnya, siapa pun tidak tahu kapan dan bagaimana
kura-kura bertelur. "Waktu aku menggali tanah, seluruh perhatian Bu-cap-sah ditujukan untuk
mendengarkan gerakgerik kalian di dalam toko, mana mungkin mendengar suara orang menggali tanah di dalam
bumi?" Ji Liok berkata penuh keyakinan. "Kami juga bekerja dengan waspada, amat hati-
hati, boleh dikata setiap cangkul dan sekop bekerja tidak menimbulkan suara sedikit pun."
Kalau Ji Liok amat yakin pada dirinya, adalah lumrah bila orang lain menaruh
kepercayaan penuh kepadanya, maka persoalan kembali pada titik keluar semula.
"Jika Bu-cap-sah tidak mendengar suara kalian menggali tanah, berarti rencana
ini cukup sempurna, lalu cara bagaimana dalam jangka setengah malam dia mampu mengejar ke tempat
ini?" "Hanya ada satu titik kelemahan dalam rencana ini," mendadak Thiat Tin-thian
bersuara. "Di mana titik kelemahannya?" tanya Ji Liok.
"Pada Ong Ban-bu," sahut Thiat Tin-thian.
Ji Liok berkata, "Kau anggap dia mata-mata" Sepanjang jalan dia meninggalkan
tanda rahasia sehingga Bu-cap-sah dapat menyusul ke sini?"
Pertanyaan ini sebetulnya merupakan jawaban pula. Kecuali Ong Ban-bu, tidak
mungkin orang kedua di sini yang patut dicurigai sebagai mata-mata. Kalau tiada mata-mata
lawan, bagaimana mungkin Bu-cap-sah dapat menguntit sampai di sini.
"Di mana sekarang Ong Ban-bu?" tanya Ji Liok.
"Dia menghilang tidak keruan parannya," sahut Thiat Tin-thian. "Waktu aku
terjaga tadi, dia sudah menghilang entah ke mana."
"Kenapa kau terjaga?" tanya Ji Liok.
"Aku terjaga oleh suara aneh," tutur Thiat Tin-thian. "Sebetulnya sukar aku
membedakan suara apakah itu, sekarang baru terpikir olehku, kemungkinan sekali suara orang
membuka pintu rahasia di bawah tanah." Ji Liok segera membuktikan kebenaran dugaan ini, "Kamar yang kau tempati ini,
memang akan dijadikan kamar buku pemilik rumah ini. Di waktu dia menjabat pembesar tinggi
dulu, mungkin tidak sedikit musuhnya, maka dia minta dibuatkan sebuah kamar rahasia di bawah
tanah." "Tapi aku tidak bisa menemukan," ujar Thiat Tin-thian.
Pintu rahasia di bawah tanah itu dibuat oleh Ji Liok, sudah tentu orang lain
sukar menemukan, untung ia memberi petunjuk bagaimana menemukan dan membuka pintu rahasia itu.
------------------------------ooo00ooo-----------------------------
Sebagai kamar buku pemilik gedung besar yang kaya raya, sudah tentu kamar itu
amat besar dan luas. Semula Ong Ban-bu tidur di dekat jendela sebelah pojok sana. Ternyata
pintu rahasia itu tepat di bawah tikar di mana tadi dia tidur. Bila alat rahasianya diputar, pintu
rahasia lantas terbuka, dengan mudah dia bisa melarikan diri lewat pintu rahasia yang menjeplak
terbalik. Bahwa Thiat Tin-thian tidak menemukan tombol untuk membuka pintu rahasia itu,
karena alat rahasianya dipasang pada vas bunga di atas ukiran daun jendela di sebelah
atasnya. Begitu Ji Liok memuntir ukiran daun di atas jendela, papan atau tepatnya pintu
rahasia lantas terbalik, maka muncullah pintu rahasia di bawah tanah. Lorong bawah tanah itu
lembab lagi apek, jalan keluarnya di mulut sumur. Sudah tentu sumur yang satu ini juga tidak
berair. Walau di sini tidak ada air, tapi mereka menemukan sesosok tubuh, seorang yang sudah menjadi
mayat, sesosok mayat yang dibungkus tikar. Tikar adalah alas tidur. Tikar kasar dan murah
harganya, orang yang tergulung dalam tikar itu memang bukan lain adalah Ong Ban-bu.
Bab 35: Setelah Kentongan Ketiga
Mayat Ong Ban-bu juga tidak terluka, tiada noda darah pula, jantungnya tergetar
hancur oleh pukulan lunak yang amat dahsyat, itulah penyebab kematiannya.
"Kenapa ia pun dibunuh?" yang bertanya adalah Cia Giok-lun.
Yang menjawab Thian Tin-thian, "Dia memang pantas dibunuh. Orang yang menjadi
mata-mata, mengkhianati sahabat, memang beginilah nasibnya."
"Kau kira Bu-cap-sah sengaja membunuhnya supaya rahasia dirinya tidak
terbongkar?" tanya Ji
Liok. Ya, memang demikian. Secara langsung pertanyaan itu sudab terjawab, satu-satunya
kemungkinan, juga satu-satunya jawaban.
Pertanyaan yang tidak bisa dijawab orang yaitu Bu-cap-sah di mana" Toa-hoan di
mana" Dengan cara keji apa Bu-cap-sah akan menyiksa atau mempermainkan Toa-hoan"
Mereka tidak berani memikirkan persoalan ini, menduga pun mereka tidak berani.
------------------------------ooo00ooo-----------------------------
Kentongan berbunyi tiga kali, kentongan ketiga adalah saat yang membuat orang
putus jiwa dan melayang sukma. Mendadak Thiat Tin-thian teringat pada Coat-taysu. Waktu mendengar jeritan kaget
Cia Giok-lun tadi, Thiat Tin-thian langsung memburu ke sana, tapi Coat-taysu tetap berada di
pinggir kolam di taman belakang. Padahal ia pun mendengar jeritan itu, pantasnya ia menduga di sini telah terjadi
sesuatu yang menakutkan, seharusnya ia pun memburu ke mari. Tapi ia tidak datang, bayangannya
tidak kelihatan, entah apa yang sedang dilakukan di sana.
Apa Coat-taysu juga dibunuh seperti Ong Ban-bu" Setelah jiwa melayang, mayatnya
disembunyikan di suatu tempat gelap dalam gedung kosong dan menakutkan ini"
Di tangannya juga menggenggam sebutir batu hitam"
Tempat ini mulai dilingkupi suasana seram, bayangan gelap yang sewaktu-waktu
siap untuk merenggut jiwa manusia. Setiap orang di antara mereka mungkin menjadi korban
berikutnya, disergap dan dibunuh secara keji.
Kakek timpang yang cacat tubuh itu sudah menjadi korban yang pertama, kedua
adalah Ong Ban-bu dan ketiga mungkin sekali adalah Coat-taysu, lalu giliran siapa pula
selanjutnya" ------------------------------ooo00ooo-----------------------------
Kentongan ketiga baru saja lewat, tabir malam makin kelam. Mungkin sekali korban
berikutnya

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang akan jatuh menjelang fajar lebih banyak. Pembunuh kejam itu laksana setan
gentayangan, siap mengintai jiwa mereka, sedikit lena jiwa bisa melayang. Mungkin sekali dari
tempat pcrsembunyiannya pembunuh itu sudah mengincar salah satu korban di antara
mereka. Ma Ji-liong insyaf sekarang sudah tiba saatnya untuk mengambil keputusan tegas.
"Kalian lekas pergi saja," demikian katanya.
"Pergi?" teriak Cia Giok-lun. "Pergi ke mana?"
"Terserah kalian mau pergi ke mana, asal lekas meninggalkan tempat ini."
"Kau suruh kami pergi, lalu apa yang akan kau lakukan di sini?" tanya Cia Giok-
lun sengit. "Aku...." tersendat suara Ma Ji-liong.
Mendadak Cia Giok-lun berkata keras, "Aku tahu apa yang akan kau lakukan, kau
akan tinggal di sini mencari Toa-hoan. Jika kau tidak menemukan dia, kau pasti tak mau pergi."
Ji-liong memanggut. Katanya, "Apa aku tidak pantas mencarinya?"
"Ya, memang kau pantas mencari dia," jengek Cia Giok-lun. "Tapi kenapa tak kau
pikirkan" Apa kau bisa menemukan dia" Kalau ketemu memangnya kenapa" Memangnya kau mampu
merebut dia dari tangan Bu-cap-sah" Apa kau kira Bu-cap-sah tak berani membunuhmu?" Makin
bicara makin emosi, "Tujuanmu hanya mencari dia. Kecuali Toa-hoan, memangnya kami bukan
manusia" Kenapa kau tak memikirkan kepentingan orang lain" Kenapa tak memikirkan
keselamatanmu sendiri?" Pada kalimat yang terakhir, air matanya sudah tidak terbendung lagi,
ia menangis terisak. Mereka yang hadir sama-sama tahu kenapa Cia Giok-lun meneteskan air mata. Sudah
tentu Ma Jiliong juga maklum, tapi sepatah kata pun ia tidak bicara lagi. Tidak bicara maksudnya ia tidak
perlu bicara lagi. Apa yang perlu dibicarakan sudah dibicarakan, apa pun anggapan
orang lain, ia tetap akan tinggal di sini. Cia Giok-lun menggigit bibir lalu membanting kaki, serunya, "Baiklah, kalau kau
ingin mampus biar kau mampus sendiri, mari kita pergi." Jelas ia sudah bertekad pergi, tapi
kakinya tidak melangkah meski hanya setengah tindak.
Mungkin karena ia membanting kaki sekuat tenaga hingga kakinya tertanam dan
berakar di lantai. Mirip pohon besar yang sudah berakar dalam bumi, begitu berat untuk beringsut
selangkah sekalipun. Akhirnya Ma Ji-liong menghela napas, katanya halus, "Sebetulnya kau juga harus
maklum. Jikalau yang hilang bukan Toa-hoan, umpama kau yang diculik musuh, aku juga akan tinggal
di sini mencarimu." Sebelum Ma Ji-liong habis bicara, Cia Giok-lun sudah menangis terisak-isak, air
matanya bercucuran dengan deras. Mendadak Thiat Tin-thian mendongak sambil bergelak tawa, katanya, "Sekarang aku
sudah mengerti." "Kau mengerti apa?" sentak Cia Giok-lun.
"Semula aku berpendapat, orang yang tidak takut mati adalah orang yang tidak
punya perasaan, tidak kenal cinta kasih. Sekarang barulah aku sadar, aku salah," demikian kata
Thiat Tin-thian. "Ternyata orang yang punya perasaan, punya rasa cinta terhadap sesamanya lebih
tidak takut mati. Karena benih cinta bersemi dalam sanubari mereka, segala persoalan sudah dibuang
jauh, sudah dilupakan seluruhnya." Dengan keras ia menepuk pundak Ma Ji-liong, "Kalau kau
tidak pergi, kami pun takkan pergi. Sebelum Toa-hoan ditemukan, entah mati atau masih hidup, siapa
pun takkan pergi atau berpisah dengan engkau."
Baru saja habis bicara, mendadak tubuh Thiat Tin-thian melompat jauh keluar
jendela terus berlari secepat anak panah. Ma Ji-liong dan Cia Giok-lun juga ikut memburu keluar.
Ternyata di saat mereka bicara, tepat waktu Thiat Tin-thian habis bicara, di
luar terdengar ringkik kuda, ringkik kuda yang terkejut lalu dibedal kencang. Agaknya ada orang
melarikan kereta kuda itu keluar dari pekarangan gedung.
Ternyata pintu gerbang besar dan berat itu juga sudah terbuka lebar. Ringkik
kuda masih berkumandang di kejauhan, suara roda kereta yang menggelinding di jalan raya
berlapis papan batu hijau itu pun menimbulkan gema yang ramai di tengah malam yang sunyi.
Kusir kereta yang memegang kendali waktu kereta datang tampak menggeletak di
undakan. Kaki tangannya sudah dingin, di tangannya juga menggenggam sebutir batu hitam
mengkilap. Siapakah yang mengendalikan kereta" Siapa pula yang dibawa lari"
Kereta itu dilarikan dengan kencang sekali, hanya sekejap sudah pergi jauh. Tapi
di tengah malam nan hening, derap lari kuda dengan roda kereta yang gemuruh sayup-sayup masih
terdengar di kejauhan, maka untuk mengejarnya tidak perlu kuatir kehilangan jejak.
"Kejar!" teriak Thiat Tin-thian memberi tanda sambil mementang kedua lengan,
segera ia kembangkan Ginkang Pat-pou-kan-sian (Delapan Langkah Mengejar Tonggeret), bagai
anak panah tubuhnya meluncur tangkas mengejar ke arah larinya kereta.
Setiap insan persilatan sudah tahu adanya Ginkang lihai ini, siapa pun pernah
mendengar nama Patpou- kan-sian. Tapi orang yang betul-betul mampu meyakinkan Ginkang yang satu ini,
jelas tidak sebanyak yang diduga orang.
Untung Ma Ji-liong mewarisi Thian-ma-hing-khong dari leluhur keluarganya. Thian-
ma-hingkhong juga salah satu ilmu meringankan tubuh yang sudah terkenal sejak puluhan tahun
di Kangouw. Lekas sekali Ma Ji-liong sudah menyusul Thiat Tin-thian. Dapat berlari kencang
beradu pundak dengan Thiat Tin-thian yang sudah tersohor puluhan tahun di dunia persilatan,
jelas merupakan kejadian yang patut dibuat bangga.
Thiat Tin-thian ikut merasa bangga mendapat sahabat selihai ini Ginkangnya, maka
ia menepuk pundak Ma Ji-liong tanda memuji. Tapi lekas sekali mereka merasakan kemahiran
Ginkang masingmasing yang dibanggakan sebetulnya tldak pantas terlalu diagulkan, ternyata Ginkiang
mereka tidak sehebat yang pernah mereka bayangkan sendiri.
Cepat sekali Cia Giok-lun ternyata juga sudah menyandak mereka. Dengan berlari
seringan kapas melayang, Cia Giok-lun sudah berada di belakang mereka. Tanpa terasa mereka
sudah berlari beberapa li jauhnya, namun mereka tetap berjajar tiga. Kelihatannya Cia Giok-lun
berlari tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun, masih tersenyum-senyum lagi.
Sejak munculnya tukang jahit samaran Giok-jiu-ling-long, Cia Giok-lun sudah
dipulihkan keadaannya. Kesehatan maupun wajahnya sudah sembuh dan normal kembali. Ilmu
silat serta lwekangnya sudah pulih seperti sedia kala.
Dengan kekuatan gabungan mereka bertiga, apakah cukup menghadapi Bu-cap-sah yang
dibantu golok kilat pengawal Persia itu"
------------------------------ooo00ooo-----------------------------
Manfaat Ginkang yang paling utama bukan untuk menyerang musuh, tapi untuk mundur
dan bertahan. Peduli dalam pertarungan macam apa pun, kegunaan mundur dan bertahan
pasti tidak kalah besar artinya dibanding menyerang, karena kekuatan untuk berputar dan
berkelit kadang kala jauh lebih besar daripada tenaga menyerang.
Demikian pula di saat pengembangan Ginkang. Karena tenaga, napas dan kondisi
tubuh merupakan syarat penting yang menentukan, pasti tidak kalah besar artinya dibanding kalau
seseorang sedang melancarkan jurus silat macam apa pun.
Sembari berlari Cia Giok-lun masih dapat membuka suara dengan sikap wajar, "Kita
pasti tak dapat mengejarnya. Kuda penarik kereta itu kuda pilihan, bukan saja terlatih baik,
daya tahannya juga cukup kuat dan lama. Waktu duduk di dalam kereta tadi, diam-diam sudah
kuperhitungkan betapa pesat kecepatan lari keempat ekor kuda itu."
Sudah tentu untuk bicara Cia Giok-lun juga harus berganti napas, "Sejak di
mulai, kita memang berlari lebih cepat dari keempat ekor kuda itu, maka dalam waktu singkat
kelihatannya jarak makin dekat, kita seolah bisa mengejarnya. Namun dalam jarak yang jauh, kita akan
makin lambat dan lemah, mereka justru berlari lebih kencang, mantap dan semangat."
Manusia adalah makhluk unggul di antara segala makhluk yang hidup di dunia,
makhluk yang punya daya pikir. Manusia memperalat, menunggang, memecut dan menendang kuda,
sementara orang malah ada yang makan daging kuda, tulang kuda juga dimanfaatkan, demikian
pula kulit kuda untuk sepatu, tas dan lain sebagainya, tapi dalam hal adu lari temyata kuda
lebih unggul dibanding manusia. Di situkah letak kekurangan manusia" Ataukah berarti untuk menyindir" Tiada
orang yang bisa memberi jawaban tentang pertanyaan ini.
Ma Ji-liong tahu perhitungan Cia Giok-lun tidak keliru, tapi ia tetap mengejar,
tidak mengejar juga harus dikejar. Itulah jawaban. Karena manusia punya akal sehat, tekad yang bulat
dan teguh, mempunyai keyakinan besar meski tahu dirinya tak unggul, tapi tetap akan
mengejarnya. Itulah senjata manusia, karena senjata yang ampuh ini maka manusia bisa mempertahankan
kelangsungan hidupnya turun-temurun. ------------------------------ooo00ooo-----------------------------
Mereka memang tidak mampu menyusul kereta kuda itu. Kereta itu makin jauh dan
tak kelihatan lagi. Namun begitu derap kaki kuda dan suara roda kereta di depan itu lenyap
dari pendengaran, dari belakang justru menyusul derap kaki kuda dan roda kereta yang berlari
kencang bagai mengejar setan, makin lama makin dekat. Ternyata Ji Liok menyusul atau tepatnya mengejar
dengan sebuah kereta lain. Ji Liok memang berangkat lebih lambat. Setelah memperoleh kereta,
entah dari mana, segera ia memburu dengan kencang. Kereta yang dibawa Ji Liok ternyata lebih
panjang dengan enam roda ditarik empat ekor kuda juga.
Lekas sekali ia sudah menyusul tiba serta suruh Ma Ji-liong, Thiat Tin-thian dan
Cia Giok-lun naik ke atas kereta, kejap lain kereta besar itu sudah mencongklang ke depan pula.
"Kita pasti dapat menyusul kereta itu ke tempat tujuannya," demikian kata Ji
Liok penuh keyakinan. "Jalan ini lurus dan tidak bercabang, hanya satu jalan ini yang bisa mereka
tempuh." "Jalan ini menuju ke mana?" tanya Cia Giok-lun.
"Ke lembah mati," sahut Ji Liok.
Memangnya kenapa dan mau apa setelah mereka mengejar ke lembah mati" Kalau
mereka bukan tandingan Bu-cap-sah, setiba di tempat tujuan bukankah hanya akan menyerahkan
jiwa belaka" Tapi mereka tidak peduli, mereka tidak mau berpikir soal mati atau hidup.
Sekarang Cia Giok-lun dan Thiat Tin-thian seperti dihinggapi atau tepatnya
ketularan tabiat Ma Ji - liong, bekerja menurut prinsip, tidak peduli akibatnya.
Sikap Ma Ji-liong bisa dijelaskan dengan apa yang diucapkan oleh Cia Giok-lun,
"Apa pun yang akan terjadi, karena bukan setiap orang dapat pergi ke lembah mati, kalau kita
bisa pergi ke sana, mati pun tidak perlu dibuat kecewa."
------------------------------ooo00ooo-----------------------------
Siapa pun tidak pernah ke lembah mati, lembah yang tidak pernah dihuni manusia
maupun binatang, maka tiada orang tahu di mana letak sesungguhnya lembah mati, seperti
apa pula lembah mati itu" Kini tiap orang bisa membayangkan, menduga-duga, tempat itu bukan lagi daerah
belukar, gersang dan liar, daerah yang tak pernah dijelajah manusia. Dan di sana ada gunung emas,
gudang emas yang belum pernah dibayangkan manusia meski dalam mimpi.
Emas murni akan merubah segala bentuk daerah itu dari wajahnya yang semula.
Sudah banyak pemuda gagah sehat dan kemaruk harta ditarik ke tempat itu, ikut membangun
istana megah yang serba antik dan kaya. Itulah bayangan yang terjangkau oleh akal sehat mereka,
setiap orang pasti berpikir demikian. Sayang sekali dugaan mereka keliru, mereka termakan tipu Bu-cap-sah, kenyataan
tidaklah demikian. Bab 36: Lembah Mati Lembah mati tetap lembah mati, tiada perubahan. Di sini tiada emas, tiada
istana, apa pun tidak ada.
Secara misterius kereta kuda yang mereka kejar lenyap tak keruan parannya begitu
masuk ke mulut lembah mati, lenyap tanpa bekas.
-----------------------ooo00ooo----------------------


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fajar menyingsing, sang surya telah terbit. Sinar pagi menyoroti batu-batu hitam
yang kelihatan mengkilap, terang gemerdep seperti sinar emas. Sayang batu hitam tetap batu
hitam,tidak bisa berubah jadi emas. Betapa pun terang sinar gemerdep yang dipantulkan oleh
pancaran sinar surya di permukaan batu bundar itu, ia tetap batu hitam yang tiada harganya, bukan emas
murni yang dapat membuat manusia kaya, juga dapat membuat manusia edan.
Di manakah adanya emas murni di dalam lembah ini"
Kalau di sini tidak ada emas, dengan apa Bu-cap-sah menarik pemuda-pemuda
sebanyak itu" Kalau di sini ada emas seperti yang diceritakan Bu-cap-sah, kenapa pasir emas pun
tidak kelihatan" -----------------------ooo00ooo----------------------
Yang menarik perhatian Ma Ji-liong bukan emas juga bukan batu hitam, tapi Toa-
hoan. Ia yakin bila kereta itu ditemukan, mereka pasti dapat menemukan Toa-hoan juga.
Kereta kuda itu lari ke mana" Padahal kereta besar dengan empat kuda penariknya
bukan barang kecil yang bisa diangkat lalu dimasukkan dan disembunyikan di dalam kantong,
bagaimana mungkin dalam sekejap mata kereta kuda itu lenyap seperti kabut dihembus angin
lalu" "Di bawah," mendadak Ma Ji-liong menarik kesimpulan.
"Apa yang di bawah?" tanya Cia Giok-lun.
"Kereta kuda, emas, manusia, semua ada di bawah," demikian ucap Ma Ji-liong.
"Mereka pasti membangun istana di bawah tanah, istana yang besar dan megah."
lni bukan khayalan. Emas dapat menghancurkan segala persoalan yang semula tidak
bisa dihancurkan. Dengan emas bisa melakukan perbuatan apa pun yang semula tidak bisa
dilakukan, dengan emas bisa mengendalikan setan untuk mengerjakan sesuatu yang diinginkan.
Kalau betul di tempat ini ada lubang rahasia, di antara mereka yang mampu
menemukan rahasianya hanyalah Ji Liok. Tapi Ji Liok menggelengkan kepala. "Kau keliru," katanya.
"Mereka pasti tak di
bawah tanah, tapi mereka di atas."
"Di atas?" Ma Ji-liong menoleh lalu mengangkat kepala memandang ke atas menurut
arah pandangan Ji Liok, maka matanya tertumbuk pada golok melengkung yang terselip di
ikat pinggang warna merah lombok itu, golok melengkung itu gemerdep ditingkah sinar surya
pagi. Tampak pengawal Persia itu berdiri merentangkan kedua kakinya sambil bertolak
pinggang, berdiri di batu cadas yang bergantung di dinding gunung di atas mulut lembah. Pengawal
Persia itu menyeringai sambil melambaikan tangan kepadanya.
"Ma Ji-liong," suara pengawal Persia itu serak lagi keras, bergema di dalam
lembah memantulkan gelombang suara tinggi, "Siapa yang bernama Ma Ji-liong, kalau kau ingin mencari
Toa-hoan, ikutlah aku. Kalau ada orang yang ikut ke mari, Toa-hoan akan segera kupenggal
kepalanya." -----------------------ooo00ooo----------------------
Cuaca cerah, langit membiru, sinar surya kuning keemasan. Kehidupan begini
semarak, siapa yang rela meninggalkan dunia seindah ini"
Namun ada sejenis manusia di dunia ini, berani menyerempet bahaya, melakukan apa
yang dia ingin lakukan meski jiwa terancam bahaya. Karena dia beranggapan kerja ini harus
dia lakukan, meski berkorban jiwa sekalipun juga takkan mundur, tetap maju dan berani
menghadapi ancaman apa pun. Ma Ji-liong adalah simbol manusia jenis ini. Perlahan ia membalikkan badan
menghadapi para kawannya, sudah tentu kawan-kawannya paham dan mengerti orang macam apa
sebetulnya Ma Jiliong. Sebetulnya Thiat Tin-thian tidak ingin bicara, karena apa pun yang ia katakan
tidak akan ada gunanya. Tapi ada kalanya sepatah kata pun harus diucapkan meski dalam keadaan
yang paling buruk, sepatah kata pesan, "Dia orang gila, membunuh orang tidak pakai alasan."
"Aku tahu," sahut Ma Ji-liong memanggut.
"Sekarang ia punya alasan untuk membunuh kau," tegas suara Thiat Tin-thian. "Kau
pernah menipunya, maka ia takkan mengampunimu. Setelah ia membunuh kau, ia tetap akan
membunuh Toa-hoan juga." " Aku tahu," kembali Ma Ji-liong mengiakan.
"Kau tetap akan memenuhi panggilannya?" Thiat Tin-thian memekik.
Ma Ji-liong menatapnya bulat-bulat, "Jikalau kau menjadi aku, kau penuhi tidak
panggilannya?" Thiat Tin-thian menghela napas, sikapnya tampak amat gregetan, katanya, "Aku
akan memenuhi panggilannya, aku akan pergi menemuinya." Maju beberapa langkah, ia menggenggam
pundak Ma Ji-liong, Ji Liok juga mendekat menggenggam pundak yang lain, tanpa bicara
mereka melengos dan menyingkir. Mereka tahu Cia Giok-lun pasti ingin bicara juga. Ada pesan yang perlu
dibicarakan dengan Ma Jiliong.
Mereka tidak mau mendengar, juga tidak tega mendengarnya.
-----------------------ooo00ooo----------------------
Sinar matahari yang merambat dari balik bukit kebetulan menyorot wajah Cia Giok-
lun. Cahaya mentari begitu cemerlang, namun wajahnya tampak begitu pucat.
"Aku juga tahu dan maklum kau pasti pergi menunaikan kewajibanmu," kali ini Cia
Giok-lun tidak menangis, suaranya malah tenang dan tertawa sendu. "Jika aku yang jatuh di
tangan mereka, kau juga akan berusaha menolong aku. Tapi sebelum kau pergi, kuharap kau tahu dan
mengerti akan satu hal." "Tentang hal apa?" tanya Ma Ji-liong melengak.
"Perduli kau mati atau hidup, kembali atau tidak, perduli siapa yang kau cintai,
sudah pasti aku adalah milikmu, milikmu tunggal," kata Cia Giok-lun dengan tertawa manis. "Kau
sudah melihat tubuhku, pernahkah kau bertanya pada dirimu sendiri, kecuali kau, apakah aku
boleh menikah dengan laki-laki lain?"
Ji-liong sudah pergi tanpa meninggalkan pesan sepatah kata pun. Ia tak bisa
menjawab pertanyaan Cia Giok-lun, tak berani menjawab, tak tega melihat betapa pedih senyum tawanya.
Setelah Ma Ji-liong pergi, cuaca tetap cerah ceria, cahaya mentari makin
benderang, batu-batu hitam yang bertaburan di tanah tetap berkilauan, dunia takkan berubah hanya
lantaran mati hidup seseorang. Sudah cukup lama Ma Ji-liong pergi, belum juga kelihatan ia kembali.
"Kalian pulang saja," mendadak Cia Giok-lun bersuara.
"Kau suruh kami pulang?" tanya Thiat Tin-thian. "Kenapa kami harus pulang"
"Kalian tahu Ji-liong tidak akan kembali," demikian sahut Cia Giok-lun. "Lalu
untuk apa kalian menunggunya di sini" Apa gunanya kalian menunggu lebih lama di sini?"
"Ada gunanya!" mendadak Ji Liok bersuara keras.
"Apa gunanya?" tanya Cia Giok-lun.
"Aku sudah menemukan," sahut Ji Liok.
"Apa yang kau temukan?" tanya Cia Giok-lun pula.
Ji Liok tidak menjawab dengan mulut, tapi menjawab dengan aksi. Ia sudah
menemukan rahasia lembah mati ini, sudah menemukan kunci rahasia untuk masuk ke dalam lembah mati.
-----------------------ooo00ooo----------------------
Batu-batu hitam yang bertaburan di tanah itu disinari cahaya matahari, semua
berkilauan. Ribuan atau laksaan batu-batu hitam itu kelihatannya sama bentuk dan warnanya.
Padahal ada perbedaannya.
Jika punya pengalaman dan pandangan tajam seperti Ji Liok, sejenak diperhatikan
dengan seksama, pasti dapat ditemukan sesuatu yang ganjil di antara laksaan batu-batu hitam itu,
sedikitnya ada empat puluh sembilan butir batu di antaranya yang bentuk dan warnanya agak
berbeda. Ma Ji-liong memang tidak salah. Rahasia lembah mati memang berada di bawah
tanah, mulut lubang rahasia di bawah tanah itu memang betul terletak di lingkaran ke empat
puluh sembilan batu yang berbeda itu. Sayang sekali, Ji Liok menemukan rahasia lembah mati setelah Ma Ji-liong pergi,
ia tidak tahu dan takkan melihat kebenaran dugaannya.
-----------------------ooo00ooo----------------------
Gunung belukar jalanan pun berbahaya, tanah gersang, pohon dan rumput tidak
tumbuh di sini. Hanya setiap musim semi saja rumput liar bisa tumbuh bersemi.
Tanpa bicara Ma Ji-liong mengikuti langkah pengawal Persia itu naik turun batu-
batu gunung yang terjal. Entah ke mana dirinya akan dibawa" Entah berapa jauh mereka akan
berjalan" Tapi dia sudah
tahu di mana sekarang kereta kuda yang mereka kejar tadi.
Di luar lembah tadi mereka mencari jejak kereta, ternyata kereta ini tidak
lenyap seperti yang mereka duga, juga tidak masuk ke dalam lembah, tapi hanya berputar mengitari
sebuah gundukan batu besar dan tepatnya berada di tanah belukar di pegunungan luar sebelah
pinggir jurang. Siapa pun pasti tidak menyangka di atas pegunungan belukar yang tidak pernah dijelajah
manusia ini, ternyata ada jalan setapak yang cukup lebar untuk jalan sebuah kereta. Di medan
pegunungan ini, kereta biasa pasti takkan mungkin berjalan di tempat seperti ini, namun
kenyataannya kereta besar
dan mewah itu dapat berjalan di semak belukar pegunungan seperti ini, adalah
pantas kalau orang merasa kagum dan takjub. Agaknya pembuatan kereta mewah itu memang sudah
dirancang dengan baik, kecepatan larinya sudah diperhitungkan secara khusus, maka dengan leluasa
kereta ini bisa berlari kencang di tanah pegunungan yang tidak rata, kalau kereta biasa tentu
sudah terjungkal. Tapi di ujung jalan pegunungan yang belukar ini tidak ada istana mewah seperti
yang mereka bayangkan semula. Bentuk rumah umumnya juga tidak kelihatan, yang ada hanyalah
sebuah lubang raksasa yang kelihatannya seperti gua yang dalam, kereta besar itu pun bisa
masuk dengan leluasa. Gua ini menghadap ke barat maka sinar matahari tak dapat menyorot ke dalam gua.
Setelah berada di dalam gua, Ji-liong dapat melihat keadaan gua besar yang kosong melompong
ini. Tiada orang di sini kecuali Bu-cap-sah seorang diri yang berdiri di ambang gua sambil
menggendong kedua tangannya, tampak santai sikapnya. Sekarang Ma Ji-liong melihat dari dekat orang
ini, berhadapan langsung dengan Bu-cap-sah.
Bu-cap-sah juga mengawasinya, dua orang berdiri berhadapan saling bertatap muka.
Lama sekali baru tampak perubahan rona muka Bu-cap-sah yang kaku dan pucat itu, secercah
senyum yang ganjil menghias wajahnya. Mendadak ia mengeluarkan perkataan yang tak diduga
oleh siapa pun termasuk Ma Ji-liong. Bu-cap-sah bertanya kepada Ma Ji-liong, "Apakah sandiwara yang kita perankan
bersama ini belum juga berakhir?" -----------------------ooo00ooo----------------------
Bab 37: Rahasia Bu-cap-sah
Di bawah tanah tiada emas, tiada istana, kereta kuda itu pun tidak kelihatan
bayangannya. Mulut lorong itu memang dibangun secara bagus oleh tangan seorang ahli, tapi
keadaan di bawah jauh lebih sempit dan buruk dibanding yang pernah mereka pikirkan.
Lorong yang berbentuk kerucut itu tembus ke sebuah kamar batu. Di kamar bawah
tanah itu hanya ada sebuah ranjang, sebuah meja, satu kursi, semua terbuat dari tanah, bagian
luar atau lapisan luarnya semua dilapisi batu-batu hitam bulat yang ditata sedemikian rupa
bagusnya. Di kamar bawah tanah inikah tempat tinggal Bu-cap-sah"
Bu-cap-sah adalah pendekar aneh, tokoh silat yang disegani kaum persilatan tanpa
tandingan pada masa jayanya dulu, mungkinkah ia bertempat tinggal di kamar batu seperti ini"
Siapa saja yang masuk ke kamar ini pasti kaget, heran, kecewa dan tidak percaya.
Tapi bila mau berpikir secara cermat, segera akan paham bahwa tempat ini memang sejak mula
sudah begini keadaannya. Kamar batu ini terletak di dalam lembah mati, lembah mati yang dikenal orang
luar sebagai daerah tandus gersang, tiada kehidupan di lembah ini. Bu-cap-sah adalah manusia biasa,
bukan malaikat bukan dewa. Walau ia punya otak cerdik, punya tekad, keteguhan iman, keprigelan
tangan untuk membuat lorong rahasia sebuah kamar batu di bawah ini, namun secara gaib tak
mungkin menciptakan sebuah ranjang batu begitu saja.
Karena Bu-cap-sah ingin tidur di atas ranjang, maka ia harus membikin sendiri
dari tanah batu hitam, karena di sini hanya ada tanah batu hitam. Hal ini mudah dimengerti oleh
slapa pun. Hanya ada satu persoalan yang membuat mereka tidak habis pikir, yaitu anak buah
yang berjumlah puluhan dengan tubuh kekar gagah, cekatan lagi, bagaimana Bu-cap-sah dapat
melatih pemudapemuda sebanyak itu di tempat seperti ini" Dari mana ia menarik atau menggaruk pemuda-
pemuda sebanyak itu" Lalu di mana pula pemuda-pemuda sebanyak itu tinggal"


Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lebih aneh lagi, Bu-cap-sah ternyata tidak mampu membuat atau mendapatkan sebuah
ranjang yang normal, ranjang sesungguhnya, entah terbuat dari besi atau kayu. Demikian
pula meja kursi yang lumrah juga tidak mampu dibuatnya sendiri. Menarik perhatian pula bahwa di
atas ranjang ada selimut, di atas meja juga ada lampu.
Selimut tebal berbulu warna merah di atas ranjang itu ternyata buatan toko
terkenal di kotaraja, terbuat dari sutera dan kapas yang kering empuk. Bagian muka selimut tebal itu
disulam dengan benang warna-warni menggambarkan burung bangau dihiasi kembang warna-warni.
Lampu di atas meja tanah itu tidak mudah ditemukan pada keluarga biasa, kecuali
hartawan yang berkantong tebal, karena lampu kaca itu buatan Persia yang tinggi harganya,
lampu kaca yang menggunakan minyak kayu. Umpama betul di sini tidak ada apa-apa, tiada emas tiada perak, ranjang meja
kursi pun terbuat dari tanah, lalu dari mana datangnya selimut apik dan lampu kaca itu"
------------------------ooo00ooo-------------------------
Tiap kali keluar pintu Ji Liok selalu membawa batu ketikan untuk menyulut api,
lekas sekali ia sudah menyulut lampu minyak di atas meja. Begitu lampu menyala cahayanya
menerangi kamar batu yang lebarnya lima kali lima meter. Mendadak Cia Giok-lun menjerit kaget
takut sambil mendekap mulut, langkahnya mundur mendekati Thiat Tin-thian, waktu Thiat Tin-
thian menoleh ke arah ranjang, ia pun menyurut kaget. Ia berpengalaman luas, lama berkecimpung di
Kangouw, julukannya saja tangan besi, nyali besi, maksudnya sebagai orang tabah
pemberani, tak urung kali
ini ia pun menjerit tertahan.
Di kamar batu itu mereka melihat sesuatu yang tidak pernah dibayangkan
sebelumnya. Mereka melihat seorang. Sesuai namanya, lembah mati ini memang tidak pernah dihuni
manusia maupun hewan, memang sukar mempertahankan hidup di tempat yang tandus lagi gersang
seperti ini, apalagi di kamar bawah tanah yang lembab ini. Tapi kenyataannya seseorang sedang
tidur nyenyak di atas ranjang, tidur mungkur menghadap dinding, sekujur badannya tertutup
selimut, hanya kelihatan kepalanya. Entah sengaja atau memang terlalu lelap orang ini tidur,
kehadiran mereka yang banyak menimbulkan suara ternyata tidak membuatnya terjaga.
Karena orang itu tidur mungkur ke dalam, sulit bagi mereka melihat tampangnya,
yang kelihatan hanya rambut kepalanya yang sudah setengah ubanan di luar selimut berserakan
diatas bantal. Dengan menebalkan keberaniannya, Thiat Tin-thian memburu maju mendahului Cia
Giok-lun dan Ji Liok, dua tindak di depan ranjang ia berhenti dan bertanya dengan suara
menggelegar, "Siapa kau?" Kecuali orang tuli, umpama orang pikun yang lagi tidur nyenyak juga pasti
terjaga bangun oleh suara Thiat Tin-thian yang menggeledek itu.
Tapi orang itu tetap tidur lelap, tidak bergerak sedikit pun. Maka dapat
disimpulkan sekarang, kalau
orang ini bukan tuli, mungkin sesosok mayat yang sudah kaku dingin, lalu
siapakah orang yang sudah menjadi mayat ini"
Bagaimana mungkin di tempat yang tersembunyi ini ada manusia mati"
Thiat Tin-thian juga manusia biasa, bukan manusia hebat, tapi nyalinya memang
besar. Mendadak ia melangkah maju sambil mengulurkan tangan menyingkap selimut tebal itu.
Dua orang kembali menjerit kaget dan ngeri. Cia Giok-lun segera melengos, Thiat
Tin-thian juga menyurut mundur dengan terbelalak. Yang tidur nyenyak di bawah selimut bukan
lagi manusia lumrah, juga tidak benar kalau dianggap mayat, tapi lebih tepat kalau disebut
jerangkong. Kecuali rambut kepalanya yang masih kelihatan utuh, sekujur badan orang ini sudah
tinggal kerangka tulangnya saja, pakaiannya juga sudah lapuk. Di atas kerangka, tepatnya di
bagian dada, sebatang bambu sebesar ibu jari yang runcing ujung depannya, menancap dari punggung
menembus jantung hingga muncul di depan dada.
------------------------ooo00ooo-------------------------
Melihat keadaan posisi tidur kerangka tulang manusia ini, jelas orang ini
dibokong dari belakang waktu sedang tidur, jelasnya dibunuh orang dengan maksud jahat, maka tidak
tampak adanya tandatanda perlawanan atau dengan kata lain si korban mati seketika tanpa meronta, sekali
tusuk jiwa melayang. Pembunuh keji yang membokong itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, serangan
telak yang lihai dan kejam. Jika gerak-geriknya tidak lincah cekatan, tentu pembunuh ini
sudah apal selukbeluk tempat ini, malah mungkin kehadirannya di tempat ini tidak pemah dicurigai oleh
sang korban, maka sang korban tidak siaga dan pembunuh itu pun dapat turun tangan
dengan leluasa. Siapakah pembunuh itu" Kenapa Bu-cap-sah meninggalkan sesosok mayat di atas
ranjangnya" Siapakah korban pembunuhan ini"
Akhirnya Cia Giok-lun berani mendekat. Selang beberapa kejap, baru Cia Giok-lun
dapat berbicara, "Orang atau jerangkong ini adalah Bu-cap-sah."
Thiat Tin-thian dan Ji Liok berjingkat kaget seperti disengat kala, dengan
melenggong mereka mengawasi Cia Giok-lun. "Kau bilang orang yang sudah mati ini adalah Bu-cap-
sah?" tanya Thiat Tin-thian. "Ya, pasti benar," sahut Cia Giok-lun penuh keyakinan.
"Dari mana kau tahu kalau orang ini Bu-cap-sah?" tanya Thiat Tin-thian.
"Bu-cap-sah pernah berkunjung ke Bik-giok-san-ceng," sahut Cia Giok-lun.
"Waktu Bu-cap-sah berkunjung ke Bik-giok-san-ceng, kau sudah lahir?"
"Belum." Thiat Tin-thian menghela napas, katanya dengan senyum getir, "Waktu itu kau
belum lahir, bagaimana kau yakin kalau jerangkong ini adalah Bu-cap-sah?"
Ji Liok menimbrung, "Umpama kata kau pernah melihatnya, tapi sekarang setelah
dia mati begini, bagaimana kau dapat mengenali dirinya?"
Memang tak mudah untuk mengenali tulang kerangka manusia, sukar membuktikan
siapa nama korban ini, berapa usianya dan bagaimana riwayat hidupnya.
Tapi Cia Giok-lun tenang-tenang saja, ia amat yakin bahwa pendapatnya pasti
benar, mungkin ia punya alasan atau bukti kenapa berani berkata demikian.
"Sejak dilahirkan belum pernah aku melihat Bu-cap-sah, tapi aku bisa membuktikan
bahwa orang yang sudah mati ini adalah Bu-cap-sah."
"Bagaimana kau bisa membuktikannya?"
"Ibu sering bercerita tentang sepak terjang dan seluk-beluk kehidupannya,"
demikian tutur Cia Giok-lun. "Berdasarkan satu di antara keterangan ibuku itu, aku dapat mengenal
siapa korban pembunuhan keji ini. Maksudku, korban pembunuhan yang tinggal tulang kerangka
ini betul adalah Bu-cap-sah." "Satu keterangan?" seru Ji Liok. "Satu keterangan apa?"
"Tentang giginya," ujar Cia Giok-lun.
"Tentang giginya" Kenapa giginya?" tanya Ji Liok pula.
"Betul, tentang giginya," ujar Cia Giok-lun. "Wajah seseorang bisa berubah,
dimakan umur umpamanya, tapi giginya pasti takkan berubah. Apalagi pertumbuhan gigi setiap
orang tidak sama satu dengan yang lain."
Gigi juga pasti takkan bisa membusuk seperti tulang-tulang manusia lainnya.
Cia Giok-lun bercerita lebih lanjut, "Ibuku sering bilang, manusia yang giginya
tumbuh paling aneh di dunia ini mungkin hanya Bu-cap-sah saja."
Ji Liok dan Thiat Tin-thian maju lebih dekat, dengan seksama mereka perhatikan
dan periksa gigi tulang kerangka itu, namun susah membedakan di mana letak perbedaan atau
keanehan gigi kerangka orang ini di waktu masih hidup dulu.
Karena tidak mengerti, Thiat Tin-thian bertanya, "Apa yang aneh pada giginya?"
"Hitunglah giginya itu, jumlahnya empat lebih banyak dibanding gigi manusia
umumnya," demikian Cia Giok-lun memberi keterangan. "Dia memiliki tiga puluh delapan gigi,
ditambah dua lagi gigi silang di bagian belakang, jumlah seluruhnya ada empat puluh, betul
tidak?" Lalu ia bertanya pada Thiat Tin-thian, "Pernah kau melihat manusia yang punya empat
puluh gigi?" Sudah tentu tidak pernah, Thiat Tin-thian tahu umumnya manusia hanya memiliki
tiga puluh dua buah gigi, demikian pula Ji Liok juga tahu tentang hal ini. Seperti setiap
manusia memiliki dua mata, satu hidung, dua telinga, dua kaki, dua tangan dengan masing-masing
sepuluh jari. Kembali Ji Liok dan Thiat Tin-thian menghitung, memang benar gigi tulang
kerangka ini berjumlah empat puluh. "Aku sendiri sudah nlenghitung dua kali," kata Cia Giok-lun. "Oleh karena itu,
aku berani bertaruh bahwa tulang kerangka ini adalah Bu-cap-sah."
------------------------ooo00ooo-------------------------
Thiat Tin-thian menjublek, Ji Liok juga melongo, lama sekali mereka tidak buka
suara. "Kalau betul orang yang sudah mati ini adalah Bu-cap-sah," hampir berbareng
mereka bertanya. "Lalu siapakah Bu-cap-sah yang berlagak itu?"
"Bu-cap-sah yang palsu," sahut Cia Giok-lun tenang.
"Palsu?" Ji Liok dan Thiat Tin-thian menjerit bersama.
"Bahwasanya di tempat ini tidak ada emas, tidak mungkin Bu-cap-sah mengundang
orang sebanyak ini untuk menjadi kacungnya segala, maka berani kupastikan bahwa Bu-cap-sah yang
satu ini adalah palsu," ujar Cia Giok-lun, lalu ia menambahkan, "Apalagi tiada orang
pernah mengenal atau melihat Bu-cap-sah, orang sukar membedakan tulen atau palsu, setiap orang
mungkin saja memalsu dirinya." "Mengapa harus memalsu Bu-cap-sah?" desak Thiat Tin-thian.
Cia Giok-lun belum menjawab, mendadak mereka mendengar seorang lain berbicara.
Di dalam kamar batu di bawah tanah itu hanya ada tiga orang, suara yang mereka
dengar pasti diucapkan oleh mulut seseorang, jelasnya oleh orang keempat. Suaranya perlahan,
kedengarannya dari tempat yang amat jauh, tapi mereka mendengar dengan jelas. Terdengar orang
keempat itu berkata, "Bukankah sudah saatnya sandiwara ini berakhir?"
Bab 38: Bu-cap-sah Palsu Ternyata........
Setiap orang harus bernapas, kamar di bawah tanah ini pun perlu udara segar,
maka dibuat sebuah lubang angin di langit-langit kamar. Karena adanya lubang angin yang tembus ke
kamar bawah tanah ini, maka mayat Bu-cap-sah yang meninggal entah kapan sudah membusuk sejak
lama, kini tinggal kerangkanya saja.
Sebatang bambu besar dipotong sepanjang yang dikehendaki, setiap ruas bambu itu
dibikin lubang, bambu besar yang sudah berlubang itu pun dijadikan lubang angin yang menyerap
hawa segar di luar ke dalam kamar batu di bawah tanah ini. Suara pembicaraan yang mereka
dengar datang dari lubang angin di langit-langit kamar itu.
Pertama kali mendengar suara itu, mereka sukar membedakan orangnya, tapi
menyusul terdengar pula suara orang bertanya dengan nada kaget dan heran, "Sandiwara" Siapa yang
main sandiwara" Main sandiwara apa?"
Suara orang ini cukup lantang, mereka cukup kenal suara itu, karena yang bicara
adalah Ma Jiliong. Dengan siapa Ma Ji-liong berbicara"
"Sudah tentu kau dan aku yang bermain sandiwara."
"Jadi kau bukan Bu-cap-sah?" tanya Ma Ji-liong.
"Siapa bilang aku Bu-cap-sah," orang itu tertawa. "Kau membayar lima ribu tahil
perak supaya aku berperan sebagai Bu-cap-sah, kenapa kau pura-pura pikun malah?"
"Aku menyuruh kau berperan sebagai Bu-cap-sah dengan bayaran lima ribu tahil
perak?" melengking suara Ma Ji-liong, heran dan gusar.
"Siapa lagi kalau bukan kau."
"Kenapa aku harus bersandiwara segala?"
"Supaya orang banyak beranggapan kau sebagai manusia terbaik yang tiada
bandingan di kolong langit, sebaliknya aku adalah tokoh jahat yang tiada bandingan di jagad. Sengaja
permainan sandiwara ini dibuat ribut dan ruwet, rencanca telah kau atur sedemikian rupa
sehingga di tengah kekacauan, mereka saling gontok dan bunuh. Setelah mencapai babak akhir, kau
memberi kesempatan kepada pengawal Persia itu untuk membabat kepala mereka dengan golok
melengkungnya, dalam permainan ini aku kan hanya boneka belaka."
"Ke mana orang-orang yang membongkar rumah-rumah penduduk itu?"
"Lho, mereka kan orang-orangmu, siapa yang tidak tahu Thian-ma-tong punya duit,
besar pengaruhnya, pekerjaan apa yang tidak bisa dilakukan orang-orang Thian-ma-tong?"
dengan tertawa orang itu berkata lebih lanjut. "Sungguh aku amat kagum padamu, entah
bagaimana kau

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat merangkai cerita khayal itu, tapi mereka memang percaya bahwa di lembah
mati ini ada emas, kau memang seorang cerdik."
Ma Ji-liong bungkam. Dengan tertawa orang itu berkata pula, "Lebih lucu lagi, aku ini orang biasa,
orang lemah, memikul air segantang juga tidak kuat, maka kau buatkan alat jepretan untuk menyambitkan
batu hitam, kau suruh aku menyimpan alat jepretan itu dalam lengan baju, supaya orang
beranggapan aku memiliki tenaga luar biasa, memiliki kepandaian menimpuk yang tepat dan telak."
Lama sekali baru terdengar Ma Ji-liong bertanya, "Apa betul kau tidak pandai
main silat?" "Main silat sih bisa sedikit, gerakan cakar kucing saja, tapi kalau dibanding
kau, Pendekar Besar Ma Ji-liong, jelas bedanya seperti langit dan bumi."
Ma Ji-liong manggut-manggut, "Cara bagaimana kau dapat mendengarkan percakapan
kami di dalam toko?" "Mendengar percakapan apa?" orang itu balas bertanya. "Sepatah kata pun aku
tidak mendengar percakapan kalian." "Jadi bukan kau yang berbicara di luar waktu itu?"
"Sudah tentu bukan."
"Memangnya siapa kalau bukan kau?"
"Mana aku tahu, yang benar tidak ada orang bicara di luar waktu itu." Orang itu
membela diri, "Aku jadi heran. Kecuali pemain watak yang ulung, kau juga sebagai pengatur laku
dalam permainan sandiwara ini, seluk-beluk organisasinya juga hanya kau yang tahu. Aku hanya
pemain kecil, apa yang kutahu tidak sebanyak yang kau kuasai." Setelah menghela napas, orang itu
menyambung, "Apa pun yang telah terjadi, sandiwara ini harus segera diakhiri, nona Toa-hoan
dan Hwesio gundul itu berada di dalam gua, lekas kau ajak mereka keluar saja. Kali ini kau
berhasil berperan sebagai
orang gagah, pendekar besar yang membela dan menolong gadis cantik, Hwesio
gundul musuhmu itu pasti akan takluk dan kagum serta tunduk lahir batin kepadamu. Aku hanya
pemain bayaran, sebab dan akibat permainan sandiwara ini tiada sangkut pautnya dengan aku, namun
lima ribu tahil adalah imbalan yang kurang setimpal untuk perananku. Kalau kau berhati baik,
tolong tambah bayaranku......" Belum habis ia bicara, suaranya mendadak terhenti, tepat di saat suaranya
terputus, terdengarlah suara lain yang kedengarannya aneh, "Cres", hanya sekali dan pendek.
Lalu keadaan menjadi hening, pembicaraan terhenti, keadaan sepi lengang.
----------------------------ooo00ooo----------------------------
Suasana di kamar bawah tanah juga sepi, tidak ada orang bicara, sepatah kata pun
tiada yang bersuara. Ma Ji-liong adalah kawan mereka, sekarang terjadi peristiwa seperti ini. Dari
pembicaraan di atas, mereka dapat mengambil kesimpulan, duduk persoalan peristiwa ini sudah gamblang,
setelah kasus ini terbongkar, apa yang bisa mereka lakukan" Apa yang bisa mereka katakan"
Entah berapa lama kemudian, Ji Liok menarik napas panjang, katanya dengan suara
rawan, "Sungguh tak nyana, Ma Ji-liong ternyata orang demikian."
Siapa pun sukar menduga dan meraba. Kalau mereka tidak menemukan kamar bawah
tanah ini, mendengar percakapan itu dengan jelas, mereka pasti terus dikelabui seumur
hidup. Untunglah Thian Maha Kuasa, Maha Adil, memberi ganjaran setimpal kepada setiap umatnya
yang melakukan kejahatan. Mendadak Thiat Tin-thian berkata, "Masih ada persoalan yang belum kupahami."
"Persoalan apa yang tak kau pahami?" tanya Cia Giok-lun.
"Bu-cap-sah palsu tadi bilang dia tidak bicara atau mendengar percakapan kita di
dalam rumah, padahal kami mendengar jelas apa yang dikatakan Bu-cap-sah, lalu siapa yang
bicara?" "Kalau dugaanku tidak meleset," demikian kata Ji Liok. "Pasti yang bicara
seorang yang berada di dalam toko juga." "Tapi adakah orang di dalam toko yang bicara waktu itu?" Thiat Tin-thian balas
bertanya. "Memang tidak ada yang membuka mulut, tapi ada sementara orang tanpa buka mulut
juga bisa berbicara," Ji Liok coba meyakinkan mereka.
"Orang macam apa yang dapat bicara tanpa pakai mulut?" tanya Cia Giok-lun.
"Orang yang pandai ilmu Hok-gi-sut (Ilmu bicara dengan perut)," ucap Ji Liok.
"Aku pernah menyaksikan orang yang dapat bicara dengan perut." (Sampai sekarang masih ada
orang yang mahir ilmu bicara dengan perut, terutama dalang 'boneka bicara', ilmu bicara
dengan perut dinamakan ventriloquisme.)
"Betul," sahut Tin-thian. "Aku pun pernah melihat orang yang pandai bicara
dengan perut. Jelas kau dengar suaranya berkumandang dari tempat lain, padahal orang yang bicara ada di
depanmu." Sejenak ia berhenti, lalu menghela napas, "Tak heran, waktu itu aku sudah
merasakan nada suara orang itu aneh dan agak sumbang, apalagi yang bicara seperti dekat di pinggir
telingaku." "Umpama benar orang itu bicara di dalam rumah dengan ilmu bicara dalam perut,
coba kau terka siapa kira-kira orang yang pandai bicara dengan perut di antara kita?"
"Siapa lagi kalau bukan Ong Ban-bu," ujar Thiat Tin-thian. "Aku yakin tentu
dia." "Berdasar apa kau yakin kalau yang bicara dengan perut adalah Ong Ban-bu?" tanya
Ji Liok. "Sebetulnya dia tidak perlu menyerahkan diri, maksudku masuk ke dalam toko,"
demikian Thiat Tin-thian menjelaskan. "Kehadirannya dalam toko serba ada itu memang disengaja
sesuai rencana, tujuannya untuk membuat kita panik, supaya kita berpendapat bahwa Bu-cap-sah
memang memiliki sesuatu yang luar biasa dan tak mampu ditandingi orang lain, supaya kita percaya
Bu-cap-sah yang itu betul adalah Bu-cap-sah tulen."
"Maka di saat tenaganya tidak diperlukan lagi, ia pun harus dilenyapkan dari
muka bumi, sudah tentu maksudnya supaya rahasianya tidak terbongkar," demikian Ji Liok
menerangkan. Thiat Tin-thian menyeringai, katanya, "Manusia khianat seperti Ong Ban-bu memang
pantas memperoleh ganjaran yang setimpal."
Lalu ganjaran apa yang harus diterima oleh Ma Ji-liong"
"Mari kita tunggu Ji-liong di atas," kata Thiat Tin-thian menggenggam kedua
tangan sendiri. "Mari
kita saksikan apa pula yang bisa ia katakan kepada kita." Sembari bicara ia
mengulurkan tangan hendak menggandeng Ji Liok keluar.
"Tunggu sebentar," Cia Giok-lun yang sejak tadi diam saja mendadak bersuara.
"Tunggu apa lagi?" tanya Ji Liok.
"Barangku ada yang jatuh di sini," ucap Cia Giok-lun. "Aku harus menemukan dulu
baru boleh keluar dari sini." Cia Giok-lun datang bersama mereka, sejak masuk tak pernah bilang bahwa
barangnya ada yang hilang dan jatuh di tempat ini, kenapa sekarang mendadak mencari barangnya yang
jatuh" Kapan barangnya jatuh" Barang apa yang jatuh"
Tapi Cia Giok-lun memang menemukan barang yang jatuh di kamar ini, yang ia
temukan adalah tiga butir mutiara sebesar buah kelengkeng di pojok dinding yang gelap di dekat
pintu. Thiat Tin-thian dan Ji Liok terbeliak heran. Sejenak mereka saling beradu
pandang, lalu berbareng mereka bertanya, "Mutiara itu milikmu?"
"Kalau bukan milikku, memangnya aku serakah mengambil milik orang lain?"
"Mengapa mutiaramu jatuh di sini" Kapan?" Thiat Tin-thian bertanya.
Jawaban Cia Giok-lun amat mengejutkan, "Dulu waktu aku datang ke sini, kalung
mutiaraku putus, tiga di antaranya ketinggalan di sini."
Keruan Thiat Tin-thian dan Ji Liok menjublek sekian lama, tanpa berjanji mereka
bertanya pula bersama, "Bagaimana kau bisa datang ke tempat ini" Untuk apa kau datang ke
sini?" "Aku ke mari hendak menengok Khu-khu (adik ibu)," sahut Cia Giok-lun.
"Kau punya Khu-khu?" seru Thiat Tin-thian. "Apakah Bu-cap-sah adalah Khu-khumu?"
"Ya, beliau adalah adik kandung ibu, kenapa bukan Khu-khuku?" Cia Giok-lun balas
bertanya sambil menghela napas. "Tapi belum pernah aku melihat dia, karena laki-laki tidak boleh tinggal di Bik-
giok-san-ceng. Umpama saudara kandungku sendiri juga tidak terkecuali. Sejak dilahirkan, kalau
dia laki-laki harus segera dibawa keluar perkampungan, disingkirkan ke tempat yang jauh."
Baru sekarang Thiat Tin-thian maklum kenapa Bu-cap-sah menamakan dirinya Bu-cap-
sah. Agaknya setelah dia tahu riwayat hidupnya, karena gusar dan penasaran serta
sedih, timbullah tekad dan putusan tegas, dia bersumpah untuk menganggap dirinya yatim piatu, tidak
berayah bunda, tidak punya saudara laki maupun perempuan, dengan rajin dan tekun dia belajar
ilmu. Setelah malang melintang dan yakin bahwa ilmu silatnya cukup tinggi, maka dia meluruk ke
Bik-giok-sanceng untuk melampiaskan rasa dongkol dan penasaran hatinya, hendak mendobrak aturan
keluarga yang dianggapnya usang, ingin membalas dendam.
Sayang sekali usahanya gagal, dia dikalahkan oleh Bik-giok Hujin, kakak
kandungnya sendiri yang mewarisi ilmu silat keluarga yang digdaya.
Sekarang Thiat Tin-thian maklum kenapa Bik-giok Hujin melanggar kebiasaan dan
mengampuni Bu-cap-sah. Padahal setiap musuh yang berani menyatroni Bik-giok-san-ceng tidak
ada seorang pun yang diberi ampun, semua dibunuh, habis perkara.
Meski Bik-giok Hujin berkuasa penuh di Bik-giok-san-ceng, tetapi dia tidak
pernah mengabaikan nasib saudara laki-lakinya yang terpaksa harus disingkirkan dari perkampungan
itu. Leluhurnya sudah menentukan laki-laki tidak boleh tinggal di perkampungan itu, maka sejak
dia memegang kekuasaan di sana, peraturan ini pun tidak pernah dilanggarnya. Meski sejak
lahir Bu-cap-sah disingkirkan dari perkampungan, jarak usia mereka pun terpaut belasan tahun,
tapi biasanya hidup Bu-cap-sah sejak kecil ditanggung oleh Bik-giok-san-ceng, seluk-beluk
kehidupannya juga selalu dilaporkan anak buahnya yang bertugas di luar. Tidak perlu dibuat heran kalau
Bik-giok Hujin tahu persis pertumbuhan gigi Bu-cap-sah yang lain daripada yang lain.
Cia Giok-lun berkata, "Walau ibuku menyingkirkan dan mengurungnya di lembah
mati, tapi beliau tidak pernah melupakan saudaranya ini. Di hadapan kami sering kali menceritakan
sepak terjangnya. Oleh karena itu, setelah dewasa aku berkeputusan untuk menemui
beliau di lembah mati ini." "Jadi kau sudah lama tahu kalau Bu-cap-sah telah mati, kau pun tahu kalau Bu-
cap-sah yang bersandiwara itu pun palsu," demikian tanya Thiat Tin-thian.
"Betul, aku sudah tahu sebelumnya," ujar Cia Giok-lun.
"Kenapa tidak kau bongkar muslihatnya?"
"Sejak kedatanganku yang pertama dan menemukan Khu-khu mati dibunuh orang secara
keji, timbul niatku untuk menuntut balas dan membongkar kasus pembunuhan ini secara
tuntas. Kebetulan ada peristiwa yang menimpa Ma Ji-liong, diriku pun terlibat, mumpung
ada kesempatan baik ini, maka tidak kuabaikan peluang baik ini, aku tahu inilah satu-satunya
kesempatan bagiku untuk membongkar beberapa kasus pembunuhan sekaligus."
Hanya pembunuh kejam yang membokong Bu-cap-sah yang tahu bahwa Bu-cap-sah sudah
mati, maka pembunuh itu pun berani menyaru sebagai Bu-cap-sah.
"Aku yakin bila berhasil membongkar kasus yang melibatkan Ma Ji-liong ini,
menangkap biang keladinya, karena kedua kasus ini merupakan mata rantai yang tak terpisahkan,
maka pembunuh laknat itu pasti dapat kutemukan."
Tak urung Ji Liok menarik napas panjang, katanya gegetun, "Tentu kau tidak
mengira kalau pembunuh durjana itu adalah Ma Ji-liong."
Mendadak Cia Giok-lun berputar menghadapi Ji Liok, sorot matanya menampilkan
rona ganjil saat menatap tajam ke muka Ji Liok. Agak lama kemudian baru dia berkata sepatah demi
sepatah, "Kau keliru." "Aku keliru" Dalam hal apa aku keliru?" tanya Ji Liok membelalakkan mata.
"Pembunuh durjana itu bukan Ma Ji-liong," tegas suara Cia Giok-lun. "Pasti bukan
Ji-liong." "Kalau bukan Ma Ji-liong, memangnya aku?"
Cia Giok-lun menatapnya lekat-lekat. Sorot matanya mulai berubah gusar dan benci
serta dendam, perlahan mulutnya mendesis, "Ya, kaulah pembunuhnya." Jarinya menuding hidung Ji
Liok, "Kaulah biang keladi kasus ini, kau pembunuh Bu-cap-sah. Kau pula yang membunuh
Toh Cenglian, Sim Ang-yap dan lain-lain."
Ternyata Ji Liok tenang-tenang saja, malah tertawa lucu dan geli, "Kau pasti
sedang bergurau,

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sayang banyolanmu ini takkan mengundang gelak tawa orang banyak."
"Betul, orang banyak tidak akan tertawa oleh perbuatanmu, kejadian ini memang
bukan senda gurau." "Jadi kau menuduh aku sebagai pembunuhnya."
"Semula memang tidak pernah aku mengira akan dirimu," kata Cia Giok-lun kalem.
"Untung secara kebetulan aku tahu suatu rahasia yang tidak diketahui orang lain."
"Kau tahu rahasia apa?" tanya Ji Liok, sikapnya tetap tenang dan wajar.
"Aku tahu Ji Ngo tidak punya adik, Ji Ngo adalah saudara termuda di antara lima
bersaudara," tandas suara Cia Giok-lun. "Maka Ji Ngo pasti tidak punya adik." Tekanan
suaranya lebih keras lagi, dilanjutkan dengan kata-kata yang lebih tegas, "Aku tahu jelas silsilah
keluarganya karena kebetulan Ji Ngo juga adik kandung ibuku."
Thiat Tin-thian berdiri menjublek.
Ternyata Ji Liok masih meremehkan tuduhan Cia Giok-lun, sikapnya masih tenang
dan tertawa malah, santai saja, "Hanya berdasarkan pengakuanmu itu, kau lantas menuduhku
sebagai pembunuh" Besar amat nyalimu, bisa kau membuktikan bahwa aku adalah pembunuh?"
"Ya, bukti itu memang belum cukup," sahut Giok-lun. "Untung secara kebetulan
Toa-hoan melihat dan memergoki kejadian yang sebetulnya tidak pantas dia saksikan."
"Kejadian apa?" tanya Ji Liok melotot.
"Dia melihat kau memukul dada Ong Ban-bu, kau membunuhnya. Toa-hoan melihat
dengan mata kepalanya sendiri." Wajah Ji Liok membesi, tawanya tadi juga berubah kaku.
Cia Giok-lun berkata pula, "Waktu itu aku tidak memberi kesempatan kepadanya
untuk membongkar muslihatmu, karena saat itu kami belum tahu siapa kau sebetulnya."
Ji Liok bertanya, "Sekarang kau sudah tahu siapa diriku?"
"Sekarang aku sudah tahu. Kau merencanakan muslihat keji ini dengan tujuan
menjerumuskan Ma Ji-liong, memfitnah dia. Ma Ji-liong kau jadikan kambing hitam, tapi karena
perkembangan selanjutnya tidak menguntungkan, kau tahu orang banyak sudah melihat wajah
aslinya, sudah tahu orang macam apa dia sebenarnya, semua orang mulai goyah curiganya. Dari berbagai
kenyataan orang mulai percaya bahwa dia tidak mungkin melakukan perbuatan jahat, maka kau
lantas berdaya upaya dengan cara yang kotor memfitnah dia sebagai pembunuh." Sampai di sini Cia
Giok-lun menoleh, lalu bertanya kepada Thiat Tin-thian, "Tahukah kau, siapa yang paling
besar hasratnya mencelakai jiwa Ma Ji-liong?"
Thiat Tin-thian tahu, dia sudah mengikuti perkembangan peristiwa ini dengan
seksama, maka tanpa pikir ia menjawab, "Sudah tentu Khu Hong-seng."
"Betul," seru Cia Giok-lun, "Memang Khu Hong-seng." Lalu ia menuding Ji Liok
sambil berkata sepatah demi sepatah, "Dia inilah Khu Hong-seng."
Ji Liok dituduh sebagai pembunuh, dituduh sebagai Khu Hong-seng, tertawa lebar
malah. "Agaknya kau sudah tahu seluruh persoalannya, kurasa aku pun tidak perlu sembunyi-
sembunyi lagi," dengan
kelam Ji Liok mengaku terus terang. "Betul, aku memang Khu Hong-seng."
Cia Giok-lun menghela napas lega, katanya, "Syukurlah kalau kau berani mengaku.
Tak kuduga kau berani berterus terang."
"Masih ada satu hal, aku yakin tidak pernah kau duga."
"Hal apa?" "Aku adalah murid tunggal Bu-cap-sah."
----------------------------ooo00ooo----------------------------
Khu Hong-seng memang betul adalah murid tunggal Bu-cap-sah.
Sejak kecil Khu Hong-seng sudah punya ambisi untuk menjadi orang besar, tokoh
silat yang tiada tandingan, menjagoi dan menguasai dunia. Tapi Hong-seng sadar, hanya dengan
bekal sepasang tombak perak warisan keluarganya, dirinya tidak akan mampu mengangkat diri
sebagai gembong silat yang ditakuti, apalagi bersimaharaja di dunia persilatan.
Suatu ketika tanpa sengaja dia mendengar kisah kepahlawanan Bu-cap-sah.
"Bu-cap-sah memang seorang aneh, seorang pintar," Khu Hong-seng bertutur.
"Riwayat hidupnya terselubung, pengalaman hidupnya juga penuh lika-liku, aku betul-betul kagum dan
tertarik padanya. Setelah berdaya upaya sekian tahun, akhirnya aku berhasil menemukan
lembah mati. Kebetulan pada waktu itu Bu-cap-sah sedang merana. Supaya kepandaiannya tidak
ikut terbenam bersama kematiannya kelak, dia berkeinginan mengambil murid. Kedatanganku ke
sana seakan pucuk dicinta ulam tiba, maka aku pun digembleng dengan caranya yang luar biasa,
aku dituntut untuk belajar dan mencapai taraf yang dia kehendaki supaya kelak aku
melampiaskan dendam penasaran hatinya." Kenyataan memang demikian, Bu-cap-sah mengambilnya sebagai murid, seluruh ilmu
silat yang dia kuasai diajarkan kepada murid tunggalnya ini. Bu-cap-sah memang orang cerdik
dalam ilmu silat, ia punya cara tersendiri untuk menggembleng muridnya menjadi tokoh besar
yang mengemban tugas berat dengan bekal ilmu yang beraneka-ragam. Sayang sekali
muridnya ini bukan manusia baik-baik. "Cara yang paling baik untuk menggali tanah juga dia ajarkan padaku," demikian
tutur Khu Hongseng lebih lanjut. "Tentang ilmu falak, ilmu bumi, teknik membuat perkakas rahasia,
membuat barisan yang menyesatkan, ilmu tata rias dan menguasai racun juga dipahami
seluruhnya." "Guru sebaik itu, tidak sedikit kepandaian yang kau peroleh dari gurumu, kenapa
kau membunuhnya malah?" "Untuk latihan aku banyak menderita, gerak-gerikku selalu diawasi, aku dikekang,
aku tidak bisa bebas, aku tak kuat menahan sabar. Tapi seluruh ilmu yang dia kuasai, semua
berhasil kupelajari dengan baik," demikian tutur Khu Hong-seng tertawa lebar. "Kalau aku tidak
membunuhnya, mungkin sampai sekarang aku belum bebas, sampai sekarang aku masih tinggal di
lembah yang menyebalkan ini." "Ya, Bu-cap-sah telah kau bunuh. Untuk mengejar ambisimu, Toh Ceng-lian dan Sim
Ang-yap juga kau bunuh, Ma Ji-liong kau fitnah, kau jerumuskan ke dalam perangkapmu sehingga
dia menemukan jalan buntu, seharusnya kau sudah puas dan berhenti sampai di situ,"
sampai di sini Cia Giok-lun berganti nada, ia bertanya, "Kenapa kau masih juga melanjutkan muslihat
jahatmu?" "Apa yang kau katakan tadi memang betul. Belakangan aku baru tahu, dari berbagai
kenyataan kalian mulai sadar dan percaya kepadanya," Khu Hong-seng menghela napas
gregeten. "Ma Ji-liong
memang seorang yang tidak mudah dilayani."
"Setelah mencapai bagian tertentu dari rencana jahatmu, sebetulnya tidak perlu
kau lanjutkan dengan aksimu yang berkepanjangan. Bahwasanya kami tidak menemukan bukti tentang
kejahatanmu, kami tak bisa menuduhmu semena-mena," Cia Giok-lun juga menghela
napas. "Sayang sekali kau terlalu pintar."
"Terlalu pintar juga bukan tidak baik. Kalian tidak menemukan bukti, aku tetap
bebas, kan sama saja." "Lho kok sama" Bagaimana bisa sama?"
"Karena cepat atau lambat kalian akhirnya akan mampus." Mendadak Khu Hong-seng
bertanya, "Tahukah kalian suara apa yang berbunyi 'Cres' di atas tadi?"
"Kalau tidak salah suara golok yang menggorok leher," jawab Cia Giok-lun.
"Ya, tapi leher siapa yang digorok" Pakai golok siapa?" tanya Khu Hong-seng,
segera ia menjawab sendiri, "Jikalau kalian mengira leher yang tergorok golok itu adalah leher Bu-
cap-sah palsu itu, maka kalian pasti keliru."
"0, kenapa keliru?"
"Yang terpenggal adalah leher Ma Ji-liong, golok itu adalah milik Peng Thian-ko,
dia adalah pengawal Persia itu, pengawalku yang setia," Khu Hong-seng menjelaskan lebih
lanjut. "Peng Thian-ko adalah adik Peng Thian-pa, ilmu goloknya jauh lebih lihai dan ganas
dibanding Peng Thian-pa. Sayang dia anak pungut, ibunya adalah budak bangsa Persia. Oleh karena
itu, selama hidup dia takkan mendapat warisan apa pun termasuk Ngo-hou-toan-bun-to."
"Kau menghasut dia dan mengangkatnya sebagai antekmu, atas petunjukmu pula dia
membunuh Peng Thian-pa," demikian jengek Thiat Tin-thian.
Dengan tersenyum Khu Hong-seng mengangguk sebagai jawaban, mendadak ia
mengalihkan pembicaraan, "Waktu Bu-cap-sah masih hidup, pernah aku bertanya padanya, barang
apa yang paling dia inginkan" Sungguh tak terduga olehku, barang yang dia idamkan selama
ini hanyalah sebuah selimut dan sebuah lampu minyak."
"Maka kau segera memenuhi permintaannya," Thiat Tin-thian menjengek pula.
"Ya, kubelikan selimut yang termahal dan lampu minyak yang paling antik, sumbu
lampu juga kupilih yang nomor satu, demikian pula minyak juga kupilih yang paling balk.
Hanya terkecuali yang kubeli terakhir kali."
"Terakhir kali apa yang kau belikan untuk dia?" tanya Cia Giok-lun.
"Yaitu sumbu dan minyak lampu yang sudah kucampur dengan obat bius," Khu Hong-
seng tertawa lebar. "Obat bius yang kugunakan sudah tentu juga mutu yang paling balk, yaitu
obat bius yang tanpa kalian sadari juga telah membius kalian sejak sumbu lampu di atas meja ini
menyala." Habis bicara Khu Hong-seng tertawa latah, sayang tidak lama dia bergelak tawa.
"Ting" mendadak lampu minyak itu pecah dan api pun padam, keadaan kamar menjadi
gelap gulita, tapi kejap lain cahaya api tampak menyala di atas lorong. Di bawah obor yang
menyala benderang, muncul bayangan seseorang, seseorang yang dianggap takkan pernah muncul lagi,
seseorang yang sudah mati terpenggal lehernya.
Yang menuruni undakan lorong sambil mengangkat tinggi obor itu ternyata adalah
Ma Ji-liong. Khu Hong-seng mengawasi Ma Ii-liong dengan terbelalak.
Kecuali Ma Ji-liong, ternyata Toa-hoan dan Coat-taysu juga muncul di
belakangnya. Ternyata mereka belum mati. Mereka selamat disebabkan tipu daya yang telah direncanakan
oleh Cia Gioklun, tipu menjebak Khu Hong-seng. Toa-hoan diculik juga adalah salah satu rencananya
untuk memancing kesalahan Khu Hong-seng.
Kini giliran Cia Giok-lun memberi penjelasan kepada Khu Hong-seng, "Setelah aku
menutuk Hiatto Toa-hoan, sengaja aku bicara dengan suara keras, maksudku agar kau mendengar
pembicaraan kami, percaya bahwa aku memang ingin menuntut balas pada Toa-hoan. Lalu aku
keluar mengundang Ma Ji-liong, padahal aku sengaja memberi peluang kepadamu. Di luar
tahumu, sebelum keluar aku sudah membebaskan tutukan Hiat-to di tubuh Toa-hoan."
Dengan suara tawar Toa-hoan menimbrung, "Karena tak tertutuk Hiat-toku, maka
suara 'Cres' dari golok yang menggorok leher yang kalian dengar, bukanlah leher Ma Ji-liong yang
terpenggal. Golok itu memang milik Peng Thian-ko, tapi yang terpenggal adalah lehernya
sendiri, berarti senjata makan tuan."
Akhir Kata Setiap perkara pasti ada saatnya berakhir, lalu bagaimana akhir dari kasus
panjang ini" Untuk perbuatan jahatnya, Khu Hong-seng mendapat ganjaran setimpal.
Coat-taysu mengundurkan diri dari percaturan dunia persilatan dan mengasingkan
diri jauh ke puncak Kun-lun-san, menghukum diri dan menyesali kesalahannya dengan semedi
menghadap tembok hingga akhir hayatnya.
Thiat Tin-thian dan Ma Ji-liong duduk berhadapan di atas loteng sebuah restoran
besar di kota Kayhong, tiga hari tiga malam mereka minum arak, tapi pada malam keempat yang
gelap dan dingin lagi mendung, kedua orang ini menghilang tidak keruan parannya.
Kanglam Ji Ngo tetap merajai dunia persilatan di daerah Kanglam.
Demikian pula jejak Giok-toasiocia susah diikuti, pergi datang seperti malaikat.
Lalu bagaimana dengan Toa-hoan dan Cia Giok-lun" Bagaimana akhir hubungan Ma Ji-
liong" Tidak ada orang yang tahu bagaimana akhir hubungan ketiga orang ini. Entah
berpisah atau sudah menikah" Tapi di kalangan Kangouw tersiar berita yang beraneka macam ragamnya.
Ada orang bilang, Toa-hoan sebetulnya cantik jelita, wajahnya kelihatan buruk
karena dia mengenakan topeng tipis, sengaja menyamar demi menunaikan tugas. Setelah kasus
pembunuhan itu terbongkar, topengnya sudah tidak dipakai lagi, ternyata Toa-hoan adalah
gadis rupawan yang tidak kalah ayu dibanding Cia Giok-lun, akhimya dia menikah juga dengan Ma Ji-
liong. Ada juga orang yang bilang, Toa-hoan memang gadis yang jelek wajahnya tapi Ma
Ji-liong sudah telanjur jatuh cinta kepadanya, Ji-liong tidak mencampakkan dia, akhimya mereka
pun menikah

Darah Ksatria Harkat Pendekar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secara sederhana. Ma Ji-liong yakin, wajah manusia setiap saat bisa berubah,
tapi cinta takkan pudar untuk selamanya. Sementara ada juga pihak yang bilang, karena tubuh Cia Giok-lun yang bugil sudah
disaksikan oleh Ma Ji-liong, apalagi sudah hidup serumah empat bulan dengan Ma Ji-liong, gadis
aleman dari Bikgiok- san-ceng ini juga jatuh cinta kepadanya, maka atas prakarsa Bik-giok Hujin,
mereka telah melangsungkan pernikahan secara kekeluargaan saja, tidak dirayakan dengan pesta
besar menurut lazimnya. Pada jaman mereka dahulu, sering terjadi salah tafsir dengan ajaran kuno bahwa
laki-laki harus mempunyai keturunan untuk mempertahankan marga keluarga, maka tak jarang
keluarga yang kaya raya sekaligus mempunyai tiga empat bini atau gundik. Kesalahan tafsir ini lama
kelamaan menjadi tradisi bagi kaum kolot hingga sekarang.
Demikian halnya dengan Ma Ji-liong, karena mereka suka sama suka, rela dan
senang, maka sekaligus ia mempersunting dua gadis jelita. Sebaliknya kedua gadis jelita itu
sudah pasrah, cinta membuat mereka lemah, lalu apa salahnya mereka menjadi bini Ma Ji-liong"
Dalam kalangan rakyat jelata hal seperti itu sudah merupakan kebiasaan umum,
demikian pula dalam kalangan bangsawan, keluarga istana. Kalau ratu dan putri raja dan para
selirnya boleh punya seorang suami, kenapa Toa-hoan dan Cia Giok-lun tidak boleh kawin dengan Ma Ji-
liong" Banyak ragam cerita yang tersiar luas di kalangan Kangouw, malah ada pula berita
yang mengatakan, Ma Ji-liong emoh kawin, dia minggat dan menyembunyikan diri di suatu
gunung, mengasingkan diri bersama Thiat Tin-thian. Apa betul cerita terakhir ini, tiada
yang tahu pasti, yang jelas cerita satu dengan yang lain simpang siur, hanya cerita angin belaka,
akhirnya orang susah membedakan berita mana yang benar dan cerita mana yang salah.
Pada suatu malam, setahun sejak Khu Hong-seng dijatuhi hukuman setimpal dengan
perbuatannya, ada orang yang bertemu dengan Ma Ji-liong di sebuah toko. Malam itu menjelang
tahun baru, kelihatannya Ma Ji-liong banyak memborong barang-barang untuk keperluan perayaan
hari raya Sin-cia. Ada kain, benang, jarum, pupur, gincu, makanan dan arak, ada lilin dan
dupa. Pada kesempatan yang ada, orang itu bertanya kepada Ma Ji-liong tentang cerita burung
yang tersiar luas di kalangan Kangouw itu. Ma Ji-liong tidak mau memberi tanggapan, dia hanya
tertawa ramah kepada orang itu, katanya, "Sin Cun Kiong Hi, selamat tahun baru, semoga kau
mendapat rejeki lebih besar di tahun yang akan datang." Habis bicara dia membawa belanjaannya
terus tinggal pergi. TAMAT Jago Kelana 4 Pengemis Binal 26 Sepasang Racun Api Mahluk Kerdil Penghisap Darah 2
^