Pencarian

Dendam Asmara 3

Dendam Asmara Karya Okt Bagian 3


Suhu..." Oleh karena pikirannya sedang kusut. Tiang Keng bergerak
sedikit ceroboh. Justru karena itu si nona sambil berseru
menyerang dia dengan kedua tangannya dan serangan itu
datangnya saling susul. Tiang Keng terkejut melihat lima buah
jari tangan lawan menyambar ke arahnya itu. Untuk
menghindar dari serangan berbahaya itu, ia memutar
tubuhnya dengan gesit. Untung ia bebas dari serangan itu.
Menyusul gerakan si nona itu, datang serangan yang
berbareng dari Siauw Keng dan Siauw Leng. Tak heran jika
Tiang Keng jadi bertambah repot menghadapi mereka.
Untuk membalas menyerang lawan, anak muda ini
menyerang lawannya saat ketiga nona itu maju secara
berbareng. Si nona terperanjat atas serangan Tiang Keng itu. Dia
segera mundur tiga langkah. Siauw Keng dan Siauw Leng
menjerit. Mereka sedikit ayal, lengan mereka terkena kebutan
tangan baju Tiang Keng. Nyerinya yang dirasakan oleh kedua
nona itu sampai ke ulu hati mereka.
Tiang Keng kelihatan puas. Dia tertawa dingin. Ia ingin
mengulangi serangannya. Kali ini dengan Liu In Hui Siu
(pukulan tangan-baju Mega Melayang). Tiba-tiba dari kaki
tembok kota terdengar seruan pujian.
"Tiang Keng, bagus sekali ilmu silatmu!"
Suara itu jelas suara orang tua. Tiang Keng heran, ia batal
mewujudkan serangannya. Untuk mencegah ketiga nona itu
bisa menyerang. Tiang Keng menggerakkan kedua tangannya
ia menggunakan tipu silat Burung Merak Mementang Sayap
hingga Siauw Keng dan Siauw Leng, juga si nona, tak dapat
berbuat apa-apa. Sesudah itu. Tiang Keng mengambil
kesempatan untuk mengawasi ke kaki tembok. Tiang Keng
melihat orang yang jumlahnya banyak. Di antara orang-orang
itu terdapat To-pie Sin-kiam In Kiam yang rambutnya sudah
putih semuanya. Pertempuran mereka di atas tembok sangat menarik
perhatian orang di kaki tembok kota. In Kiam membantu Teng
Cit mengurus mayat orang-orang Koay Too Hwee. Setelah ia
mendengar kabar tentang semua peristiwa itu, dia pun
menyusul mau melihat pertempuran. Sedang Tiong Teng
mengiringi ayahnya sekalian untuk melindunginya. Mereka
sempat menyaksikan Tiang Keng sedang melayani ketiga nona
berpakaian serba merah yang gagah itu. Begitulah, To-pie Sinkiam
memberi pujian pada Tiang Keng.
Penonton lainnya juga turut memberikan pujian. Di antara
mereka banyak jago Rimba Persilatan.
Melihat munculnya jago tua itu, lega juga hati Tiang Keng.
Selanjutnya, ia merangsek maju lagi ke arah tiga nona
lawannya itu. Si nona menyambut serangan Tiang Keng tersebut. Tangan
mereka langsung beradu satu sama lain. Kesudahannya si
nona jadi kaget. Bentrokan itu membuat dadanya sesak
hingga dia harus melompat mundur sejauh lima kaki.
Melihat peristiwa itu, kembali terdengar pujian riuh dari
kaki tembok. In Kiam begitu gembira, sambil tertawa, ia berkata pada
puteranya, "Tiong Teng, kau lihat! Itu yang dikatakan, ayah
harimau tidak akan melahirkan anak anjing! Pantas adik Ho
Jian memperoleh putera seperti itu! Sekalipun Peh Cio Too-jin
dari Bu Tong San tak akan dapat menggunakan ilmu silat
Mega Melayang secara begitu sempurna! Ah, heran, dia masih
begini muda, dari mana dia mendapatkan kepandaian seperti
itu"..." Mendengar suara orang tua ini baru orang tahu bahwa
anak muda itu putera Tiong-goan Tay-hiap To Ho Jian.
Si nona mundur untuk memeriksa lengannya yang tadi
bentrok. Dia tidak memperhatikan kedua kawannya pun sudah
mundur jauh-jauh. La mendapat kenyataan lengannya yang
putih halus itu telah cacat dan menjadi biru matang akibat
bentrokan itu. Diam-diam ia kaget. Ketika ia lihat kedua
kawannya, mereka pun kaget seperti dia sebab lengan mereka
pun biru malangakibat bentrokan. Mereka saling mengawasi.
Walaupun demikian, si nona tidak mau mundur. Ia maju
dan mendesak lagi. Sekarang ia bertempur hebat, tapi ia juga
sangat tertarik oleh ketampanan dan kegagahan Tiang Keng .
. Para penonton di kaki tembok kagum pada ketiga nona
cantik yang lihay itu. Mereka memuji tapi mereka heran nonanona
itu demikian gagah. Siauw Keng dan Siauw Leng, sambil menahan nyerinya
terus membantu nona mereka. Sekarang mereka berlaku
waspada sekali. In Kiam luas pandangannya, ia lihai
Tiang Keng lebih unggul. "Tiong Teng, bagaimana pendapat-mu mengenai ketiga
nona itu?" ia bertanya pada puteranya.
Tiong Teng heran saat ditanya oleh ayahnya itu. Sebelum
ia sempat menjawab, ayahnya sudah tertawa dan berkata lagi,
"Ketahui olehmu ilmu silat mereka itu ilmu silat Ang Ie Nio-nio.
Nah, lihat itu jurus Hujan Musim Ciu, bagaimana
berbahayanya itu! Syukur Tiang Keng yang melayaninya, jika
bukan dia, pasti orang itu akan dikalahkan oleh nona-nona itu
..." Tiong Teng tahu maksud ayahnya, ia tertawa dan berkata,
"Kalau aku yang melawan mereka, tentu aku akan roboh
sebelum sepuluh jurus."
Mendengar ucapan Tiong Teng, orang-orang di situ jadi
heran. Siapa yang tidak mengetahui lihaynya Bu-ouw In Bun
keluarga In dari Bu-ouw" Hingga akhirnya mereka mengawasi
ke arah Tiang Keng dan kekagumannya jadi bertambahtambah.
Tiang Keng yang sedang bertempur, telinganya mendengar
kata-kata In Kiam. Tiba-tiba hatinya jadi panas. Ternyata
benar ketiga nona-nona ini murid-murid Un Jie Giok. Karena
jago tua itu menyebut-nyebut nama Ang Ie Nio-nio. Tapi ia
tidak sempat berpikir lebih jauh, ketiga nona itu sudah
menyerangnya. Pada saat Siauw Keng dan Siauw Leng
menepi, nonanya maju, tangan kirinya meluncur ke dada si
anak muda, lima jari tangannya mencari jalan darah lawan!
Tiang Keng dapat menerka lihaynya serangan itu. Sambil
berseru, ia mengebut dengan tangan kirinya, untuk mencegah
majunya kedua budak, sedang dengan tangan kanannya, ia
menyambut lengan si nona untuk ditangkap.
Nona itu tahu bahaya mengancam dirinya, segera ia
menarik kembali tangan kanannya. Sementara tangan kirinya
segera balas menyerang si anak muda. Di luar dugaannya,
lawan berhasil menangkis serangannya. Setelah itu, lawannya
menyerang lebih jauh dengan lima jari tangannya
menyambar-nyambar tak hentinya. Itulah serangan atau
totokan jalan darah bernama Sin Liong Pat Sie (Naga Sakti).
Ini merupakan ilmu totok istimewa dari Su-khong Giauw dan
jurus Thian Liong Heng Khong (Naga Langit Jalan di Udara).
Dada si nona langsung terancam bahaya. Tiang Keng
melihat dada si nona bergerak, mendadak ia terkejut. Ia likat
sendiri. Maka gagallah totokan Tiang Keng karena itu.
Si nona bebas, dia tertawa dingin. Dia menyerang pula.
Pada Siauw Keng dan Siauw Leng dia memberi isyarat supaya
mereka maju lagi, untuk mengurung lawan yang tangguh itu.
Dengan cepat dua orang budaknya itu maju, bertepatan itu
dia meluncurkan serangannya.
Tiang Keng terperanjat. Dengan tidak diduga-duga, jalan
darah kiok-tie di sikut kanan Tiang Keng terlanggar jari tangan
si nona, hingga lengan Tiang Keng gemetar. Ia mundur tapi
kakinya salah melangkah, ia terjeblos! Justru saat itu serangan
Siauw Keng tiba dan bahunya terhajar, hingga tidak ampun
lagi tubuhnya terpelanting.
Semua penonton kaget, sedang In Kiam segera melompat
maju. Dia berniat menanggapi tubuh Tiang Keng yang
meluncur jatuh. Tapi Tiang Keng lihay, saat terpelanting, ia
memutar tubuhnya, sehingga saat jatuh, ia berhasil meluncur
turun dalam posisi berdiri.
"Bagaimana keadaanmu Tiang Keng?" tanya In Kiam heran.
"Tidak apa-apa!" sahut Tiang Keng, dan terus ia gunakan
tangan kirinya untuk menepuk bahunya yang kanan serta
iganya. Ia langsung menengadah untuk melihat ke atas
tembok. To-pie Sin-kiam berkata lagi, "Ketiga nona itu murid-murid
Ang Ie Nio-nio, kau harus berhati-hati. Jika tak ada
permusuhan yang hebat, lebih baik kau jangan layani mereka
supaya kau tak perlu menanam bibit permusuhan ."
Orang tua ini memberi nasihat demikian karena ia tidak
mengetahui duduk persoalannya. Barusan Tiang Keng terpukul
karena Tiang Keng anggap dia melawan mereka dengan
setengah hati. Maka itu dia langsung melompat naik.
gerakkannya sangat gesit.
Para penonton heran ketika melihat Tiang Keng terjatuh
dan berhasil melompat naik dengan cepat. Mereka memuji
sambil bersorak-sorai dan bertepuk tangan.
"Tiang Keng, hati-hati!" In Kiam memperingatkan.
Ketika Tiang Keng hampir berhasil menaruh kaki di atas
tembok kota, ia mendengar suara tawa riang dan nyaring di
atas tembok. Ia heran. Keheranannya bertambah ketika ia
mendapatkan seorang pemuda berbaju kuning, yang entah
kapan sampainya. Si nona diapit oleh kedua budaknya, ia mencoba
membetulkan ujung bajunya yang robek. Ternyata yang
tertawa itu si anak muda. Ketika Tiang Keng tiba. dia
membelakangi Tiang Keng, hingga dia cuma tampak
punggung dari tubuhnya yang jangkung. Baru kemudian dia
memutar tubuh, hingga sinar mata mereka berdua bentrok
satu sama lain. "Dia tampan sekali." pikir Tiang Keng.
Sebaliknya pemuda berbaju kuning itu bersikap dingin, dia
hanya mengawasi sebentar dan langsung memutar tubuhnya
untuk menghadapi ketiga nona itu. Sekarang dia langsung
berkata dengan nyaring, "Nona-nona. baru-baru ini kalian
pergi terburu-buru. hingga aku kangen pada kalian! Syukur
hari ini kita dapat bertemu lagi di sini! Sungguh, aku girang
sekali!" sesudah itu pemuda berbaju kuning itu kembali
tertawa. Tiang Keng mengerutkan alis.
"Pemuda ini angkuh sekali." pikir Tiang Keng. Ia maju, dan
berkata dengan nada tawar kepadanya: "Saudara, aku minta
kau tunda dulu bicaramu. Karena dengan ketiga nona ini aku
punya urusan yang belum selesai, harap kau bersedia mundur
sebentar !" Mata pemuda berbaju kuning itu berputar. Dia tertawa dan
berkata. "Aku baru saja tiba di sini ketika aku melihat cita
merah berkibar-kibar di atas tembok kota! Aku segera ke sini
karena aku menduga ada nona-nona ini dan ternyata
terkaanku itu benar!"
Si baju kuning tertawa lagi, matanya mengawasi pada si
nona yang cantik. Kembali dia tertawa lalu bertanya, "Nona,
rasanya aku kenal padamu?" Ia tepuk dahinya dengan tangan
kanannya. Setelah itu lagi-lagi dia tertawa. Dia berkata pula, "Ah, aku
ingat sekarang! Kaulah si nona paling elok di dunia ini! Aku
kira hanya seorang pelukis pandai saja yang mampu melukis
gambar nona secantik kau, tapi sekarang aku menemukannya.
Bukan dari lukisan tapi kenyataan dan benar-benar ada
orangnya! Bahkan sekarang aku kira si pelukis itu pelukis
bangpak, sebab ia tak berhasil melukis seperti keadaan kau
yang sebenarnya. Nona! Jika kelak aku bertemu dengan
pelukis itu .. . Hm!"
Merdeka sekali si pemuda baju kuning bicara, seperti di
tempat itu tidak ada orang lain selain dirinya.
Tiang Keng mengerutkan alisnya. Tadinya ia terkesan baik
pada si baju kuning, sekarang kesannya itu berbalik lain. Dia
jadi tak puas bahkan jemu dan mendongkol sekali
menyaksikan tingkah si baju kuning itu.
"Benar-benar manusia tak dapat dilihat hanya dari
romannya saja," pikir Tiang Keng. "Dia tampan dan gagah,
ternyata tingkahnya begini tengik!"
Alis Tiang Keng bangun, hampir ia berkata kasar. Tetapi
begitu si pemuda tutup mulut, begitu si nona bicara. Mulamula
alisnya terangkat, sujennya bergerak. sambil
menyingkap rambutnya, dia tertawa manis, dia langsung
bertanya, "Bagaimana jika kau bertemu dengan pelukis itu?"
Pemuda baju kuning itu diam sejenak, lantas dia tertawa.
"Jika aku bisa bertemu dengan pelukis tolol itu!" kata dia
dengan suara keras. "Pertama-tama akan kupotong tangannya
agar dia cacat untuk selamanya.
Si nona tertawa geli. Tawanya itu memotong tertawa si
baju kuning. Kemudian ia mengulur kedua tangannya lalu ia
tertawa lagi. "Nah. lekaslah kau potong tanganku ini!" kata si nona.
"Pelukis gambar itu aku sendiri!"'
Siauw Keng dan Siauw Leng mengawasi sambil menutupi
mulut mereka, tetapi sekarang mereka tak tahan untuk tidak
tertawa terpingkel-pingkel.
Tiang Keng sedang gusar, toh ia anggap adegan itu lucu
juga. Dia jadi geli. la tertarik pada kejenakaan si nona manis
ini hingga kesannya sedikit berubah menganggap nona itu
baik . Anehnya lagi. ia berpikir si nona seharusnya dipisahkan
dari urusan sakit hati dengan Un Jie Giok. sekalipun si nona
menjadi murid si wanita jelek itu.
Selain itu, ia merasa jemu terhadap anak muda berbaju
kuning sekalipun ia tidak kenal pada pemuda itu. oleh karena
itu ia puas ketika pemuda itu dipermainkan oleh si nona.
Sesudah mengawasi, pemuda berbaju kuning itu jadi
jengah berbareng malu. Dia malu dan mendongkol karena
dipermainkan oleh si nona. Meskipun dia sadar yang membuat
gara-gara adalah dirinya sendiri. Begitu lenyap suara tawa itu
lenyap, si pemuda baju kuning mulai mengawasi sepasang
lengan putih halus ,ilik si nona. Dia tak berkutik dan
membungkam. Si nona sebaliknya mempermainkan matanya dan
tersenyum, sujennya bergerak-gerak manis sekali. Kemudian
dengan mata jelinya, dia mengawasi ke arah Tiang Keng dan
berkata sambil tertawa, "Kau harus sabar! Kau tunggu
sebentar! Dia hendak memotong kedua lenganku! Dengan


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua tanganku buntung, bukankah kau juga bakal merasa
puas?" Tiang Keng diam saja. Tak tahu ia harus puas atau
mendongkol.. . Di kaki tembok, To-pie Sin-kiam In Kiam mengawasi saja.
Ia tahu munculnya Gim Soan, si pemuda berbaju kuning itu
secara tiba-tiba akan membuat masalah. Maka dia hanya
melihat mereka sedang berbincang, tapi sayang ia tak bisa
mendengar apa yang mereka bicarakan. Ia cuma heran dan
menduga-duga saja. Kemudian muncullah kekhawatirannya.
"Jika Gim Soan berkomplot dengan si nona. Tiang Keng
bakal dapat susah." pikirnya.
Ia belum berpikir lama, tapi dia sudah melihat Tiang Keng
dan Gim Soan sudah mulai bertempur...
0oo0 BAB 14. IN KIAM DAN TIONG TENG MENYUSUL TIANG
KENG; Gim Soan sangat jumawa dan ia juga angkuh. Dia tak
menyangka telah dipermainkan oleh si nona. Dia malu dan
mendongkol tapi dia tak dapat berbuat suatu terhadap nona
jahil itu. Ketika dia menoleh, dia lihat Tiang Keng sedang
mengawasinya dan seperti menertawakannya. Tiba-tiba dia
jadi mendongkol sekali pada pemuda itu. Ini dia anggap
sebagai saat yang baik untuk mengalihkan
kemendongkolannya itu. "Kau menertawakan apa?" tegur Gim Soan pada si anak
muda. Alis Tiang Keng berdiri. "Bicara sopan sedikit!" kata
Tiang Keng dingin. "Siapa yang menertawakanmu?"
Gim Soan panas atas jawaban itu. Dia anggap sikap Tiang
Keng tak menyenangkan hatinya. Dia melompat maju sebelah
tangannya melayang. Tiang Keng tak sudi ditampar tanpa sebab. Ia pun gusar.
Maka ia tangkis ugal-ugalan tangan lawan yang lalu diputar
untuk menggaet lengan lawan dan langsung ditarik. Di lain
pihak, tangan kirinya diluncurkan dan jari tangannya tajam
seperti pedang, ia serang iga Gim Soan galak itu. Ia
menangkis sambil menyerang.
Gim Soan terperanjat. Dia tak menduga lawannya begitu
lihay. Dalam sejenak, lenyap anggapannya yang keliru
terhadap Tiang Keng. Dia berkelit sambil menarik kedua
tangannya untuk segera dipakai menyerang. Dia menuruti
hatinya yang panas. Keduanya langsung bertempur sambil disaksikan oleh In
Kiam. Dengan cepat tanpa terasa mereka telah bertarung
belasan jurus. Si nona tertawa geli. bersama Siauw Keng dan Siauw Leng,
dia mengundurkan diri untuk menonton dari tempat jauh
dengan asyik. Meskipun mereka tampak tersenyum berseriseri.
hati mereka berpikir. Pertarungan di antara dua anak muda itu tampak
sederhana dan biasa saja. Tapi sebenarnya mereka tengah
mengeluarkan seluruh kepandaian mereka masing-masing.
Keduanya sama-sama lihay, siapa yang berlaku alpa bisa
celaka. Si nona lihay melihat semua itu. Dia sempat melihat ke kiri
dan kanan serta ke bawah tembok. Sambil tertawa dia
berkata, "Tuan-tuan, kalian berdua boleh bermain-main di sini!
Siauw Keng, Siauw Leng, mari kita pergi!"
Sesudah berkata begitu, dia melompat turun ke luar
tembok. Siauw Keng dan Siauw Leng memandang ke kaki tembok.
Mereka mengerutkan alis akan tetapi terpaksa mereka
melompat turun untuk menyusul nona itu. Sambil melompat,
Siauw Keng berseru, "Nona Kin, kau sambut kami!"
Tiang Keng melihat gerak-gerik si nona. "Tahan!" dia
berseru sambil ia menyampok serangan lawannya.
Gim Soan berkelit mundur. Tanpa menanti lagi, putera Ho
Jian ini melompat ke bagian bawah kota.
Menyaksikan hal itu, Gim Soan jadi heran. Waktu ia
mangawasi ke bawah, ia melihat empat (tiga di depan,
seorang di belakang) orang berlari-lari kencang ke arah rimba.
Keempatnya lari sangat cepat hingga dalam sekejap mereka
sudah jauh. In Kiam gelisah sendiri. Sebenarnya ia sedang memikirkan
daya untuk naik ke atas membantu putera sahabatnya itu.
Tiong Teng mengerutkan alis, ia berdiri tertegun di
samping ayahnya. Ia juga kelihatan bingung.
Para penonton lainnya sudah mulai buyar dan mereka yang
datang secara rombongan berlalu sambil membicarakan
tentang pertempuran yang luar biasa itu. Mereka semua tidak
mengetahui duduk persoalannya.
Tak lama To-pie Sin-Kiam berkata, "Tiong Teng, mari kita
pergi ke luar kota untuk melihat mereka!" katanya sambil
terus ia bertindak ke arah pintu kota.
Tiong Teng mengikuti ayahnya pergi.
Pintu kota sudah dipentang, banyak orang kelihatan mulai
hilir-mudik keluar masuk. Mereka heran melihat dua orang
yang berjalan seperti lari itu. Keduanya jadi menarik perhatian
umum. Seorang tukang sayur sedang memikul sayuran, dia
terlanggar oleh In Kiam hingga terhuyung-huyung dan hampir
saja roboh terguling. "Tua bangka gila!" damprat si tukang sayur. Dia tak mau
mengerti kalau dia kurang cepat menepi hingga terlanggar.
Tiong Teng berlari di belakang ayahnya, ia mendengar
dampratan itu, dia tepuk pundak tukang sayur itu seraya ia
tegur, "Jaga mulutmu sedikit!"
Tukang sayur itu kaget, lebih-lebih ketika ia menoleh dan
melihat roman Jin-gie Kiam-kek. Terpaksa dia tutup mulut.
Tiong Teng merogoh sakunya dan mengeluarkan uang
perak setengah tail. Kemudian dia lemparkan uang itu ke kaki
si tukang sayur yang sayurnya terbalik. Lalu dia berlari terus
menyusul ayahnya. Ketika itu In Kiam sudah berdiri di atas sebuah batu yang
letaknya agak tinggi untuk mengawasi ke sekitarnya. Sejak
mereka menuju keluar kota, dia tidak melihat Tiang Keng atau
ketiga nona itu. Yang tampak hanya orang lain.
Serdadu penjaga kota pun telah bertambah banyak, hal itu
membuat rakyat tidak tenteram. Meski pun demikian para
sedadu itu sengaja menyingkir ketika mereka melihat lewatnya
In Kiam dan Tiong Teng. Mungkin karena mereka melihat wajah si orang tua itu
penuh kharisma. Mereka memang tahu tentang banyaknya
orang Kang-ouw di lokasi itu. Hal ini membuat mereka tak
berani sembarangan. "Tiong Teng!" kata ayahnya. "Aku lihat, lebih baik kita
kembali ke dalam kota. Tiang Keng entah pergi ke mana, tapi
aku rasa dia tidak akan kurang suatu apa . . ."
Tiong Teng diam. Ia tidak menyangka ayahnya berpikir
demikian. Ketika ia memandang muka ayahnya, dia lihat tegas
kulit ayahnya sudah keriput, pertanda usianya sudah lanjut.
Sesaat itu ia merasa ayahnya mendadak jadi jauh terlalu tua
"Ya. Ayah, mari kita kembali," sahutnya perlahan. Ia
berduka kalau ia ingat kemasgulan ayahnya itu.
In Kiam pun memandang sejenak ke arah anaknya.
"Ya, Tiong Teng, mari!" ajak ayahnya.
Sambil meletakkan sebelah tangan di bahu anaknya, sang
ayah berjalan kembali ke dalam kota.
Ketika itu jatuh pada musim panas tetapi ayah dan anak ini
tak merasakan kepanasan mereka sebaliknya merasa seperti
di musim rontok. Itu disebabkan hati mereka yang tawar . .
"Tiong Teng," kata ayahnya di tengah jalan. "Benar seperti
kata pepatah, gelombang di belakang mendorong ombak ke
depan.... Aku lihat, kau pun sebaiknya mengundurkan diri
sejak sekarang. Dunia Kang-ouw sekarang bukan lagi seperti
dunia Kang-ouw yang dulu lagi"
Sebelum suara jago tua itu berhenti dari belakang mereka
terdengar suara berat, "Apakah yang di depan itu In Loo-yacu?"
Pertanyaan itu bercampuran dengan berisiknya derap kaki
kuda yang terbawa oleh angin.
To-pie Sin-kiam ln Kiam menghentikan langkahnya dan
menoleh. Tiga ekor kuda terlihat sedang dilarikan ke arahnya. Saking
cepatnya, ketiga penunggangnya melompat turun tanpa
mempedulikan lagi kuda mereka. Tak lama mereka telah
melompat dan maju ke depan In Kiam.
Ketika ln Kiam mengawasi dengan alis berkerut, orang itu
sudah langsung menjatuhkan diri berlutut di depannya tak
peduli tempat itu jalan besar atau jalan umum!
Jago dari Bu-ouw itu keheranan hingga ia mengawasi saja.
Ia lihat pakaian orang-orang itu tampak kusut dan mukanya
penuh debu. Sinar matanya menunjukan perasaan ketakutan,
sepertinya mereka tengah menghadapi ancaman bencana
besar. "In Loo-ya-cu!" kata orang itu sambil mengangguk
berulang-ulang. 'Loo-ya-cu tentu sudah tidak mengenaliku
yang rendah! Aku sendiri masih ingat dengan baik sekali pada
Loo-ya-cu yang pernah kulihat di pusat benteng air di Thayouw-
cee...." In Kiam baru ingat. "Oh, kiranya kau murid Hoo
Sam-ya!" kata In Kiam agak heran. "Lekas bangun! Kalau mau
bicara, kau bicaralah sambil berdiri. Apakah Hoo Sam-ya baikbaik
saja" Ah, setelah berpisah dari Thay-ouw selang setahun,
sudah sekian lama aku tidak melihat dia."
Orang itu tidak bangkit, dia tetap berlutut. Sekarang dia
terlihat sangat bersusah hati. Dia menarik napas panjang.
"Mungkin Loo-ya-cu bakal tidak dapat bertemu lagi dengan
Hoo Sam-ya .. . " kata orang itu sedih.
In Kiam terperanjat mendengar ucapan itu hingga ia
membuka matanya lebar-lebar.
"Mengapa begitu?" tanya In Kiam dengan cepat.
Orang itu menyeka peluhnya.
"Hoo Sam-ya berada di le-hang karena dia terkena tangan
jahat..." sahutnya sedih dan tampak menyesal. "Lebih celaka
lagi kami semua, tidak tahu siapa musuh Hoo Sam-ya itu ..."
Ketika itu Tiong Teng melihat ke sekitarnya. Banyak orang
yang berlalu-lintas menunda langkah mereka atau berjalan
perlahan-lahan. Semua mata diarahkan kepada tiga orang
yang baru datang itu. Rupanya orang-orang itu heran atau tertarik hati. Melihat
demikian. Jin-gie Kiam-kek Tiong Teng menarik tangan orang
yang berlutut itu. "Mari bangun!" kata Tiong Teng. "Kau tetapkan hatimu.
Saudara! Kita bicara di dalam kota saja."
Orang itu meletakkan tangannya ke tanah, dia mendekam
tak mau bangun. "In Loo-ya-cu," kata orang itu, "Kaulah sahabat akrab dari
Hoo Sam-ya, Cong-co-cu kami. Karena itu segalanya terserah
kepada Loo-ya-cu!" In Kiam membanting kakinya, ia menarik napas panjang.
Tiong Teng mencekal tangan orang itu, kemudian ia ajak
bangun. "Mari!" ia mengajak, ia tarik tangan orang itu untuk
dituntun masuk ke dalam kota terus ke penginapan. In Kiam
berjalan di muka. Setiba di dalam hotel, orang Hoo Sam-ya dapat
menenteramkan hatinya dan bisa menutur dengan rapi.
Dengan demikian In Kiam dan puteranya jadi mengetahui
tentang pembunuhan yang aneh dan dilakukan secara gelap
itu bukan hanya terjadi di kota Lim-an tetapi di tempat-tempat
yang berdekatan dengan sekitar Thian-bak-san.
Semua kejadian mirip dengan yang dialami oleh Ang Kin
Hwee dan Koay Too Hwee. Anehnya si pembunuh tidak
diketahui siapa. , In Kiam si jago tua melengak. Ia bingung tak tahu harus
bagaimana. Meski pun ia berminat membantu akan tetapi ia
tidak berdaya. Bagaimana ia harus bertindak" Taruh kata ia
sanggup membantu toh tak tahu siapa si pembunuh itu. .
Akhirnya jago tua ini mengharap kembalinya Tiang Keng. la
berharap anak muda itu segera pulang dengan suatu berita
yang ada sangkut pautnya dengan berbagai peristiwa hebat
dan menyedihkan itu. Sejak pagi sampai sore, bahkan sampai malam, tetap saja
Tiang Keng belum kembali juga. Karena itu. dari mengharapharap,
jago tua itu jadi bimbang, kalau-kalau putera
sahabatnya itu menghadapi suatu bahaya ...
In Kiam merasa peristiwa itu sangat mencurigakan. Ia jadi
ingat pesta ulang tahunnya yang dikunjungi Kiauw Cian si Raja
Copet dengan tiga gulung gambar lukisan yang luar biasa itu.
Ketiga gambar itu mungkin saja yang menjadi titik permulaan
dari rentetan kejadian-kejadian dahsyat itu. Sejak saat itu, si
Copet ulung belum muncul lagi.
"Apakah ketiga gambar itu menjadi umpan Un Jie Giok si
Wanita Jelek?" demikian jago tua itu berpikir. "Apakah dia
bukan dengan sengaja mau membuat semua orang gagah
berkumpul di Thian-bak-san supaya di sana mereka dapat
ditumpas habis?" Menduga demikian, tanpa terasa si jago tua yang
berpengalaman ini jadi miris hatinya....
Dalam kebingungnya, In Kiam menarik napas panjang. Ia
mengawasi keluar jendela di sana mulai tampak sinar
rembulan. "Barangkali kita masih harus menyaksikan pertumpahan
darah yang lain ..." kata In Kiam masgul.
Kemudian jago tua ini kembali memikirkan Tiang Keng,
karena itu ia jadi ingat pada ketiga nona itu. Ia tanya dirinya,
apa semua peristiwa itu bukan disebabkan ketiga nona
tersebut" Kalau benar, mengapa itu sampai dilakukannya"
Mengapa pihak Koay Too Hwee disuruh pergi" Juga apa
hubungan antara Un Jie Giok dan ketiga nona ini"
Mengenai hubungan di antara Un Jie Giok dan si nona serta
dua orang budaknya, pikiran In Kiam sama dengan pemikiran
Tiang Keng. Itu sebab yang membuat anak muda itu pergi
menyusul nona-nona itu. 0oo0 BAB 15. TIANG KENG DIHADANG JAGO SIAUW LIM
Di antara jernihnya suasana pagi yang cerah itu, Tiang
Keng melihat si nona kabur dengan diapit oleh kedua
kawannya. Tak lama mereka memasuki sebuah rimba. Cepat
sekali larinya. Sebelum ia mampu mengejar mereka, sekarang
ia malah telah terpisah dari mereka kurang lebih sepuluh


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tombak. Ia menyusul dengan tak menghiraukan lagi pada pemuda
berbaju kuning itu. Ia jadi terkejut ketika melihat ketiga nona
itu masuk ke dalam rimba. Karena itu berarti bahwa ia bisa
kehilangan mereka. Maka itu ia segera mempercepat larinya
dan ikut melompat masuk ke dalam rimba.
"Tahan!" tiba-tiba Tiang Keng mendengar sebuah bentakan
yang suaranya bagaikan suara guntur dan suara itu disusul
oleh berkelebatnya segumpal sinar.
Tiang Keng sedikit terperanjat. Sinar itu menyambar ke
arahnya. Dengan terpaksa Tiang Keng menghentikan larinya,
bahkan ia harus mundur tiga langkah agar terhindar dari
serangan itu. Dengan tangan bajunya, Tiang Keng mengibas.
Saat itu samar-samar ia mendengar sebuah seruan tertahan,
seruan yang mengagumi kegesitannya....
Begitu ia melihat dengan jelas. Tiang Keng mendapatkan
orang yang menahannya seorang pendeta dan tubuhnya
tinggi besar. Pendeta itu sedang berdiri di bawah sebuah
pohon besar yang lebat daunnya. Pendeta itu memegang
sebatang Jie-ie Hong-pian-san, senjata semacam sekop,
senjata istimewa bagi para pendeta yang mengerti ilmu silat.
Gelang senjata itu berbunyi sendirinya.
Karena heran, anak muda ini mengawasi dengan mata
mendelong. Siapa pendeta itu" Kenapa doa dihadang" Ia juga
melihat si pendeta yang matanya mendelik karena gusarnya.
Tengah mereka saling pandang, di balik pohon besar itu
terlihat dua sosok tubuh manuasia bergerak gesit. Mereka
adalah dua pelayan nona cantik itu. Mereka mengawasi ke
arah Tiang Keng dan si pendeta sambil tersenyum-senyum
puas ... Akhirnya Tiang Keng jadi mendongkol berbareng merasa
geli juga... Si pendeta tidak hanya mengawasi dengan bengis, ia pun
langsung menuding dengan senjatanya yang istimewa.
"Eh, bocah, romanmu seperti manusia, tetapi sebenarnya
kau ini binatang!" kata si pendeta dengan ketus. "Sekarang
kau harus kuajar adat!"
Tiang Keng menggeser tubuhnya sejauh lima langkah. Ia
heran karena ia dikatakan sebagai binatang.
"Suhu," kata Tiang Keng, sedikit mendongkol. "Aku tidak
kenal pada Suhu, mengapa Suhu mencaciku" Memang aku
salah apa" Apakah Suhu masih termasuk golongan ketiga
wanita itu?" "Diam!" bentak si pendeta. "Kau membuatku gusar,
binatang! Sekarang aku tanya kau, kenapa di siang hari
bolong begini kau mengejar-ngejar perempuan baik-baik"
Bukankah itu berarti kau ini binatang?"
Dampratan itu disusul dengan sebuah serangan hong-piansan
ke arah pinggang Tiang Keng. Sabetan itu hebat sekali,
anginnya sampai terdengar menderu.
Tiang Keng berkelit dengan cepat. Ia terkejut berbareng
juga sangat mendongkol. Sebaliknya nona-nona yang ada di
balik pohon tertawa geli, mereka menutupi mulut mereka
untuk menahan tawa. Kepala mereka bersembunyi di balik
pohon besar itu... Melihat demikian, Tiang Keng segera bisa menduga bahwa
si pendeta pasti seorang pendeta sembrono, sekarang ia
sedang dipermainkan oleh kedua nona yang cerdik itu.
"Sunguh celaka kau pendeta sembrono!" pikir Tiang Keng.
"Kalau aku ini binatang, apa kau bukan sedang mencelakai
orang yang tidak berdosa?"
Maka ia segera melompat, karena ia berniat menyusul
nona-nona yang ada di balik pohon itu.
Si pendeta bergerak dengan cepat. Dia lihay sekali. Dengan
cepat dia menghadang lagi di depan Tiang Keng. senjatanya
dilintangkan. "Pendeta, kau sungguh sangat sembrono!" kata Tiang Keng
sambil membentak saking dongkolnya. "Mengapa kau turun
tangan sebelum kau tahu jelas masalah kami?"
Tapi si pendeta telah berseru memotong kata-kata Tiang
Keng. Dia segera menyerang beberapa kali, karena anak muda
ini melayaninya dengan hanya main kelit sambil membela dir.
Tak hentinya Tiang Keng melirik ke arah belakang pohon
besar. Si pendeta jadi tambah penasaran dan Tiang Keng
sendiri khawatir kalau buruannya kabur di luar tahunya.
Si pendeta masih terus menyerang dengan hebat. Selang
beberapa puluh jurus. Tiang Keng mengenali kalau pendeta itu
salah seorang murid dari perguruan Siauw Lim Sie yang lihay.
Saat ini ia sedang bersilat dengan ilmu silat Hang Liong Lohan-
san (Arhal Menaklukkan Naga). Tenaga si pendeta besar
luar biasa dan sangat setimpal dengan senjatanya yang berat.
Melihat lawannya lihay, pendeta ini semakin gusar.
Beberapa kali senjatanya berhasil disampok terpental oleh
Tiang Keng. Maka dia segera menyerang dengan semakin
hebat. Lewat beberapa jurus kemudian, mendadak tubuh Tiang
Keng mencelat dan mundur sampai sejauh tujuh kaki dari
lawannya. Ia membuat si pendeta heran dan tercengang, ia
mengawasi Tiang Keng dengan melongo. Kemudian dia
berusaha akan maju, tapi si anak muda menuding seraya
berkata sambil tertawa. "Sekarang aku tahu siapa kau! Kau
murid Khong Teng Tay-su pemimpin pendopo Tatmo Ih dari
Siauw Lim Sie! Benar, bukan?"
Biksu itu melengak. "Bagaimana kau bisa mengetahui nama Guruku?" tanya si
pendeta heran. Tiang Keng tertawa. "Tahukah kau siapa aku?" Tiang Keng berbalik bertanya.
Biksu itu melengak. Dia tak dapat buka mulut, dia hanya
bisa mengawasi Tiang Keng dengan mata berkedip-kedip.
"Jika kau tidak mengenalku, mengapa kau berani
menyerangku secara begini?" kata Tiang Keng lagi.
Pendeta itu masih diam. Akan tetapi otaknya terus bekerja.
"Siapakah dia" Dia masih begini muda tetapi dia sudah lihay
sekali" Mungkin dia seorang ahli silat yang terkenal?"
"Kenalkah kau pada ketiga wanita berbaju merah itu?" kata
Tiang Keng sambil tertawa dingin.
Biksu itu mengangkat sebelah tangannya, ia merabah
dahinya. Sebelum dia buka mulut, dia mendengar suara si
anak muda yang tertawa dingin.
"Sekalipun mereka itu tidak kau kenal!" tegur Tiang Keng.
"Tapi kau berani membantu mereka dan menyerangku
secara membabi-buta! Tahukah kau bahwa mereka bertiga
sebenarnya orang-orang jahat?"
Pendeta itu menghela napas.
"Memang, memang aku tidak kenal mereka..." pikir si
pendeta. "Ya, mengapa aku mau mendengar ocehan mereka
itu" Anak muda ini tidak mirip seorang yang jahat . . ." Lalu ia
mengawasi ke arah si anak muda untuk terus bertanya
dengan suara sangsi. "Sebenarnya siapa, kau ini Tuan"
Apakah kata-katamu itu benar?"
Tiang Keng tersenyum. "Lekas kau bantu aku membekuk mereka bertiga!" kata
Tiang Keng sambil tertawa dingin. Sengaja ia tak mau segera
menjawab pertanyaan pendeta itu. "Kalau tidak... Hm!"
Kata-kata yang terakhir disusul lompatnya tubuh Tiang
Keng ke arah pohon besar. Akan tetapi ketika dia balik ke
pohon besar itu, orang yang dicari sudah tak tampak! Bukan
main mendongkolnya Tiang Keng. Namun ia tak sudi bicara
lagi dengan si kepala gundul yang sembrono itu. Dia pun
langsung lari dan masuk lebih jauh ke dalam rimba.
Pendeta itu menjeblak sekian lama, matanya mengawasi si
anak muda yang lenyap ditelan rimba. Ia menyesali dirinya
karena berlaku sembrono, lalu ia caci dirinya sendiri...
Sebenarnya ia seorang pendeta perantauan, ia tiba di tempat
itu ia merasa senang pada rimba yang teduh. Dia merebahkan
diri dan tidur kepulasan. Baru paginya ia mendusin, mendadak
ia melihat tibanya ketiga nona cantik yang datang secara
terburu-buru. Ketiga nona itu langsung melihat pendeta itu, mereka pun
sudah melihat hong-pian-san yang besar dan berat. Mereka
saling mengawasi, lalu mereka menghampirinya. Nona yang
satu mengerutkan alis, ia menjura kepada si pendeta.
"Tay-su, tolong kami...." kata si nona memohon. "Di
belakang kami ada yang sedang mengejar kami, dia ingin
main gila pada kami.. Lihat, itu dia sedang mendatangi . "
nona itu menunjuk ke belakang.
Mendengar keterangan nona itu, pendeta itu melompat
bangun tangannya menyambar senjatanya.
"Ada aku di sini, kalian jangan takut!" kata si pendeta.
Ketiga nona itu saling mengawasi, lalu mereka lari ke balik
pohon besar. Di situ mereka berusaha untuk menyaksikan aksi
si pendeta sembrono itu. Ketika Tiang Keng saling menegur,
mereka langsung angkat kaki dari sana. Saat Tiang Keng
mengejar lagi maka si pendeta akhirnya ditinggalkan seorang
diri. Pendeta itu sangat kesal karena dipermainkan oleh nonanona
cantik itu. Ia juga heran sebab dia pun tak kenal pada si anak muda
yang justru tahu nama gurunya Lalu ia berjalan meninggalkan
tempat itu dan tangan kanannya menyeret hong-pian-sannya
dan tangan kirinya menekan dahi.
Dia pun ngoceh seorang diri. "Heran! Siapa pemuda itu"
Kenapa dia kenal pada guruku tetapi ia tidak mengenal aku?"
Saat ia berjalan dengan lesu. mendadak pendeta ini
terperanjat. Dari dalam rimba yang gelap ia mendengar suara
tawa nyaring tetapi merdu. Pasti itu suara tawa seorang
wanita, la segera berpaling ke arah suara itu dan senjatanya
disiapkan. Dengan matanya dia mengawasi ke arah datangnya
suara itu. Tak lama dia melihat seorang nona manis
mengenakan pakaian serba merah muncul. Nona itu turun dari
atas pohon, tangannya masih memegangi sebatang cabang
yang meroyot menahan tubuhnya, sedang tangan lainnya
dipakai menyingkap rambutnya yang turun ke dahinya dari
samping telinganya. Nona itu tersenyum berseri-seri dan
terlihat tegas sinar matanya yang jeli.
0oo0 BAB 16. NONA-NONA NAKAL MENGERJAI TO-SU TAUW-TO
Melihat si nona kecil itu tertawa, si pendeta jadi semakin
mendongkol. Kemudin dengan keras dia mulai membentak.
"Hai, Nona kecil, kenapa kau tertawa" Apakah kau
menertawakan aku?" tanya si pendeta heran. Nona itu tertawa
lagi. Ia melepaskan cabang pohon dan langsung merapikan
rambutnya. "Aku tertawa karena kau sangat sembrono, Tay-su!" kata si
nona yang kembali tertawa.
Mendadak mata si pendeta terbuka, romannya pun jadi
bengis. Jelas ia tak senang atas kata-kata si nona barusan.
"Aku telah membantu kalian, sekarang kau katakan aku
sembrono!" tegur si perdeta kesal sekali. "Apakah aku salah
karena telah membantumu?"
Nona itu menurunkan tangannya, dia menjura.
"Barusan Tay-su membantu kami, untuk itu kami
menghaturkan terima kasih," kata si nona. "Akan tetapi...." Dia
kembali tertawa. "Ucapanku tak salah dan memang benar
bahwa Tay-su agak sembrono! Kebusukan dari si orang
berpakaian hitam itu telah dapat menerka guru Tay-su.
Mengenai hal itu, apa yang harus dibuat heran" Aku sendiri,
bukan saja tahu nama guru Tay-su bahkan aku juga tahu
nama Tay-sui!" Kembali si nona tertawa. Mata si nona yang tajam mengawasi si pendeta. Kemudian
sambil menutupi mulutnya, maksudnya untuk mencegah
tawanya ia menambahkan, "Bukankah gelar Tay-su ialah Tosu
Tauw-to (pendeta usilan) yang kesohor di kolong langit ini"
Bukankah nama Tay-su ialah Bu Kin Tay-su yang mulia?"
Pendeta itu benar-benar merasa aneh.
"Benar-benar mengherankan!" katanya. "Mengapa kau
mengenaliku tetapi aku tidak mengenalmu?"
Si cantik manis itu tertawa manis.
"Aku tidak kenal kau, Tay-su!" kata dia. "Aku hanya
menerka dirimu dari ilmu silatmu." Ia mengeluarkan tiga buah
jari tangannya yang halus dan lentik, lalu ia berkata. "Di
antara orang-orang Rimba Persilatan di dunia ini, siapakah
yang tidak mengenal atau mengetahui Siauw Lim Sam Loo
dari gunung Siauw Sit-san di pegunungan Siong-san"
Meskipun mereka bertiga biasa hidup menyendiri di atas
gunung, semua orang tahu di antara mereka itu yang terlihay
tenaga dalamnya ialah Khong Leng Siang-jin dari lauwteng Chong Keng Kok.
Sementara yang lihay ilmu silat merangkap ringan tubuhnya
yaitu Khong Hui Siang-jin dari ruang Lo Han Tong. Sedangkan
yang paling mahir ilmu silat senjata hong-pian-san, senjata
pusaka dari kuil Siauw-lim-sie ialah Khong Teng Siang-jin dari
ruang Tatmo Ih! Coba katakan, apakah kata-kataku ini benar
atau tidak"'" To-su Tauw-to yang gemar mencampuri urusan orang lain
itu mengangguk ragu-ragu.
Si nona tertawa lagi. "Tay-su." kata si nona manis. "Barusan Tay-su bersilat
dengan Hang Liong Lo Han San. Siapa pun mereka, asalkan
yang ilmu silatnya cukup mahir, akan langsung mengenali ilmu
silat itu! Maka itu kecuali Khong Teng Siang-jin, siapa yang
dapat mewariskan ilmu silat hong-pian-san itu kepada
muridnya" Benar tidak kata-kataku ini?"
Mata si pendeta bersinar. Rupanya ia senang sekali oleh
pujian nona itu. "Tapi, mengapa kau ketahui aku ini To-su Tauw-to Bu Kin?"
ia bertanya karena penasaran.
Si nona tertawa sambil menutupi mulutnya.
"Kecuali Bu Kin Tay-su, siapakah di kolong langit ini yang
gemar membantu pihak-pihak yang diperlakukan tidak adil
atau tak pantas?" tanya si nona. "Siapakah yang kesudian
membantu kami tiga orang wanita muda yang lemah?"
Bu Kin menepuk dahinya. Dia tertawa terbahak-bahak.
"Kalian orang-orang muda, makin lama kalian makin
cerdas!" dia berkata. "Aku tak dapat menerka seperti caramu!"
Mendadak dia membentak dan menuding ke arah si nona
seraya berkata. "Nona, bukankah kau sedang mempedayaiku
si pendeta?" Nona itu melengak. la heran atas perubahan sikap pendeta


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, sedang gelang gegamannya berbunyi nyaring. Hanya
sebentar, ia sudah dapat tersenyum.
"Tay-su, mustahil kau juga hendak menghinaku si lemah
ini?" tanya si nona perlahan.
To-su Tauw-to diam sebentar, lalu kembali ia membentak,
"Apa, kau orang lemah" Apakah kau kira aku ini benar-benar
manusia tolol" Apakah kau kira aku tidak melihat kau ini
pandai silat" Hm! Dengan ilmu silatmu ini, siapakah di kolong
langit yang dapat main gila atas dirimu" Tak heran kalau
pemuda tadi mengatakan kau wanita jahat! Hm!"
Kata-kata "hm" itu diucapkan perlahan demikian juga katakata
"wanita jahat", hampir tak terdengar. Si pendeta merasa
si nona mendustainya tetapi entah kenapa, ia tak dapat
mengutarakan kemurkaan terhadap gadis itu. Terutama tawa
si nona yang manis sekali terdengarnya membuat hatinya
lemah. Nona itu menghela napas. "Tay-su," kata si nona perlahan dan nadanya berduka.
"Memang aku mengerti juga sedikit ilmu silat akan tetapi aku
bukan tandingan pemuda berbaju hitam itu. Lebih-lebih aku
tidak akan sanggup kalau harus melawan Taysu sendiri. . "
Perlahan-lahan To-su Tauw-to menurunkan senjatanya,
parasnya menunjukkan ia sangat menyayangi si nona.
Nona itu tetap memperlihatkan wajahnya yang lesu.
"'Sebenarnya, Tay-su," kata si nona laagi dengan suara
perlahan. "'Dari siang-siang Tay-su sudah bisa megetahui
bahwa aku ini bukan seorang wanita jahat" "
Bu Kin mengawasi nona itu, dia kembali menepuk dahinya.
"Tapi, Nona," kata dia, sangsi. "Bukankah tadi Nona berada
di atas pohon itu" Kenapa aku dan si bocah tidak melihatmu"
Kepandaian kau itu ...."
Mendadak si nona tertawa, memotong kata-kata si
pendeta. Ia menutup mulutnya, untuk mencegah tawanya
lebih jauh. "Tay-su, kau kembali menujukkan kesembronoanmu!" kata
si nona. "Bukankah Tay-su telah melihat sendiri lebatnya
pohon ini" Bukankah angin pun bertiup cukup keras hingga
membuat daun-daun rontok secara berisik" Jangan katakan
aku, sekalipun orang lain yang lebih bodoh dariku, jika dia
memanjat waktu suara berisik siapakah yang bisa mendengar
dan mengetahuinya" Siapa yang dapat melihat aku sedang
bersembunyi?" Keterangan ini melenyapkan kesangsian si pendeta. Karena
itu, ia tak lagi heran dan masgul seperti tadi.
Melihat demikian, si nona pun girang, la tidak tahu, benar
seperti kata si nona, sukar orang mengetahui cara dia
menyembunyikan diri itu. Saat dia sedang bicara, di pohon
pun ada seorang lain yang telah naik ke atasnya, tanpa
terlihat dan terdengar olehnya begitupun oleh Bu Kin .. .
Tiang Keng menyusul ketiga nona itu begitu ia mendapat
kenyataan nona-nona itu telah menghilang dari balik pohon.
Ia belum lari jauh ketika hatinya tercekat. Segera ia lari dan
kembali lagi ke tempat asal. Ia tahu sia-sia belaka ia mengejar
nona-nona itu, mungkin mereka sudah lari jauh sedangkan
rimba itu lebat sekali, la pun khawatir terjebak atau dibokong
oleh musuh. Ketika ia baru menahan kakinya, ia mendengar
suara bentakan. Ia mengenali suara si pendeta sembrono.
Timbullah kecurigaannya. Segera ia kembali, la lihat si Tauwto
dan nona itu asyik bicara. Tepat ia mendengar si nona
berkata bahwa dia kalah jauh dari si pendeta. Ia lantas
melompat naik ke atas pohon. Tentu saja ia dapat naik tanpa
suara apa-apa. Begitulah ia dapat menyaksikan semua yang
terjadi di bawah. Ia mendengar semua pembicaraan antara si
pendeta dan si nona. Tatkala si nona berkata pada si pendeta
bahwa ia bukan wanita jahat, ia ingat tadi pun nona itu telah
bertanya bahwa kedua tangannya tadi bukan kedua tangan
yang dapat membunuh orang...
Hampir saja anak muda ini melompat turun dari pohon
waktu ia mendengar si nona menyebut hal dirinya "orang yang
terlebih bodoh", ia batal turun karena ia tahu si pendeta sudah
berhasil dikelabui oleh nona itu. Jika ia turun, pendeta itu pasti
bakal membantu nona tersebut mengeroyok dia. Maka itu ia
diam terus, pasang mata dan telinganya.
To-su Tauw-to berdiri sambil bersander pada senjatanya.
Dia agaknya sedang berpikir. Sementara si nona pun diam, dia
menggunakan kedua tangannya untuk mengusap-ngusap
rambutnya. "Tay-su," kata si nona kemudian, "Tay-su melakukan
perjalanan mengembara, apakah Tay-su akan menyaksikan
keramaian di gunung Thian-bak-san?"
Kedua mata si pendeta dipentang lebar.
"Bagaimana kau mengetahui hal itu?" tanyanya heran.
Nona itu tertawa geli. "Apakah Tay-su datang karena Tay-su menginginkan
pedang yang tajam!" kata si nona lagi. "Atau Tay-su berharap
mendapatkan si nona manis?"
Pendeta itu tertawa terbahak-bahak, dia menepuk-nepuk
dahinya. "Semua orang menyebutku To-su, Nona, kau ternyata lebih
to-su dariku!" kata si pendeta. "Kau sampai mau ikut campur
urusanku! Baiklah aku beritahukan kepadamu, kedatanganku
bukan untuk mendapatkan pedang atau si nona manis tapi
hanya untuk mencari uang!"
Sekarang datang giliran si nona, yang tercengang.
Tauw-to ini sambil tertawa berkata lagi. "Sejak aku tiba di
Selatan ini, telah banyak urusan yang aku campuri. Baiklah
aku tidak menyebut segala urusan itu kecuali satu, ialah aku
telah berhutang kepada orang banyaknya selaksa tail perak!
Nah, kau pikirlah, nona kecil! Kecuali hong-pian-san ini, apa
ada barang berharga lain yang jadi milikku" Karena itu, cara
bagaimana aku dapat melunaskan hutangku itu" Maka ...
maka ... ha, ha! Ketika aku mendengar tentang luitay di Thian
Bak San itu, segera aku menuju ke gunung itu."
Muka si nona menjadi merah dan dia nampak girang.
Matanya lantas memain, mulutnya tersungging senyuman.
"Kalau begitu, Tay-su," katanya. "Andaikata aku dapat
menolong Tay-su membayar hutangmu itu, apakah Tay-su
dapat membantuku?" Si biksu berdiri tegak. "Jikalau urusan itu urusan lurus, tanpa uang pun aku suka
membantu kau!" katanya gagah. "Tapi jikalau kau menyuruh
aku melakukan sesuatu yang sesat, hm, pasti terlebih dulu
maka aku akan melabrakmu! Lihat hong-pian-sanku ini!"
Mendengar begitu. Tiang Keng memuji dalam hati.
"Dia sembrono tetapi dialah laki-laki sejati!" pikirnya
mengenai tauwto itu. Ia terus mengawasi si nona, untuk
mendengar kata-kata nona itu terlebih jauh. Ingin sekali ia
mengetahuinya. "Mana dapat aku minta Tay-su melakukan sesuatu yang
sesat?" kata si nona tertawa. Ia maju dua tindak. "Taysu,
apakah Taysu pernah melihat tiga buah gambar lukisan" Di
atas itu masing-masing ada terlukis pedang, banyak uang
emas serta seorang nona manis ..."
Imam itu mengawasi si nona. Mendadak dia tertawa
terbahak. "Benar aku sembrono! Benar aku sembrono!" katanya
berulang-ulang. "Pantas aku merasa seperti mengenalimu.
Nona! Kiranya kaulah si nona di dalam gambar itu! Bagus!
Bagus sekali! Kebetulan, sekarang dapat aku tanya kau!
Sebenarnya di atas gunung Thian Bak San itu kau hendak
melakukan apa yang luar biasa" Benarkah kau dapat
merobohkan orang-orang gagah di kolong langit ini" Dan
pedang dan uang emas banyak itu dari mana kau
dapatkannya" Juga. apa maksud yang sebenarnya?"
Pertanyaannya tauwto ini ialah pertanyaan dalam hati
Tiang Keng dan mungkin itu juga pertanyaan semua jago
yang bakal menhadiri pertemuan di Thian Bak San itu.
0oo0 BAB 17. GIM SOAN MENYURUH TIANG KENG
MENINGGALKAN LIM-AN Si nona tertawa. "Pertanyaanmu banyak sekali!" kata dia
perlahan. "Bagaimana aku menjawabnya" Begini saja! Mari
aku ajak kau untuk melihat sendiri! Dengan begitu kau bakal
tahu semuanya." Tiang Keng mengawasi nona itu. Nona itu benar-benar
cantik. Rambutnya pun bagus. Ia pernah membaca kitab yang
menyebut-nyebut tentang "wanita cantik", tetapi ia tak tahu
batas kecantikan itu, dan bagaimana wanita yang disebut elok
itu. Sekarang setelah ia melihat nona ini, barulah dia mengerti.
Agaknya sukar mencari nona yang melebihi kecantikan si nona
serba merah ini. Tiba-tiba Tiang Keng ingat nasihat ayahnya agar dia
berlaku jujur, murah hati dan bijaksana seperti ajaran Nabi
Khong Hu Cu dan Beng Cu. "Ayahku telah menjadi manusia sempurna," pikir Tiang
Keng. "Jadi Ayah tidak perlu malu. Kenapa Ayah meninggal
dengan cara yang sangat menyedihkan. Oh, Ayah, kau selalu
mengasihani orang lain, tetapi siapa yang bersedia berduka
untukmu?" Tiang Keng ingat pada ibunya. Ia ingat saat ia masih anakanak,
dan dia beerada di persembunyian di atas gunung. Dia
harus memeras keringat dan membanting tulang untuk
memiliki ilmu silat seperti sekarang ini. Selama itu ia telah
kehilangan kasih sayang orang tuanya dan tidak pernah
mencicipi masa bahagia sebagai seorang bocah ....
Melamun sampai di situ. Tiang Keng ingat pada kata-kata si
nona yang tadi menunjukkan tangannya sambil bertanya
kepadanya, apakah tangan yang sehalus dan semulus itu
dapat dipakai membunuh orang. Baru berpikir sampai di situ,
di depan mata Tiang Keng terbayang wajah ayahnya yang
berlumuran darah sedang mendamprat kepadanya. "Anak
tidak berbakti! Aku mati, kau bukan membalas sakit hatiku,
malah kau memikirkan murid musuh kita! Untuk apa kau
memikirkan wanita cantik itu" Buat apa aku punya anak
sepertimu?" Tiba-tiba ayahTiang Keng menampar mukanya dengan
keras. Tiang Keng kaget, ia menjerit kesakitan. Tubuhnya
jatuh dari atas pohon., walau tidak jatuh terbanting keras.
Ketika ia memandang ke sekekelilingnya, rimba itu kosong dan
sepi! Di situ tak ada ayahnya, juga si nona maupun imam
yang usil itu. Ketika ia mengepalkan tangannya, telapak
tangan itu basah oleh keringat.
la memang mengeluarkan keringat dingin tanpa terasa.
Jelas ia sedang ngelamun hebat!
"Ah, gila betul!" ia mengeluh.
Ia bingung. Sekarang ke mana ia harus mencari si nona"
Bantuan apa yang ingin si nona minta dari tauw-to itu, entah
bagaimana jawaban si nona atas pertanyaan tauw-to itu ....
Karena sulit memikirkan soal itu, Tiang Keng berdiri
terpaku. Meski pun ia termasuk orang yang cerdas, tetapi
pada detik itu pikiran Tiang Keng memang sedang kusut. Ia
sangsi untuk menyusul si nona ke Thian Bak-san. Jika ia
berhasil menemui si nona, apa yang bisa ia lakukan"
"Sekarang lebih baik aku mencari In Loo-pee dan puteranya
dulu," pikir Tiang Keng, cepat ia mengambil keputusan. Ia
merasa seperti bocah yang membutuhkan pimpinan orang tua.
Ia tidak insaf bahwa di luar tahunya, ia sudah terlibat soal
asmara .... Sambil menghela napas Tiang Keng berjalan keluar dari
dalam rimba. Tiba-tiba ia mendengar suara tawa di
belakangnya. Dengan ceoat ia berpaling dengan cepat ia jadi
heran ketika ia melihat si baju kuning yang tadi bertempur
dengannya di atas tembok kota berdiri mengawasinya.
Pemuda itu memegang janggut dengan tangan kiri dan
sementara tangan kanannya diletakkan di iga kiri sambil
tersenyum mengawasinya. Sikapnya tawar.
Tiang Keng heran, ia tidak kenal pada orang itu. Tadi
mereka bertempur tanpa sebab dan entah kenapa. Karena
pikirannya sedang kusut, ia tidak sudi melayani orang itu. Ia
memutar tubuh akan pergi. Ia lebih suka memikirkan si nona
yang cantik, murid si wanita jelek she Un musuh besarnya itu.
"Sungguh takabur!" kata si baju kuning sambil tertawa
mengejek. "Tapi tak berdaya hanya untuk mengejar seorang
nona saja!" Tiang Keng berpaling dengan cepat. Ia heran mengapa
pemuda itu mencari gara-gara dan mengganggu terus
padanya. Si baju kuning tertawa, matanya berputar-putar, lalu
berkata dengan suara dingin, "Tuan, kau masih muda, akan
tetapi ilmu silatmu lihay! Sungguh orang sepertimu sukar
didapat!" Tiang Keng mengelak. Ia merasa orang ini aneh dan jahil.
Apa salah dia hingga ia harus diejek terus"
Si baju kuning menggeser kedua tangannya ke
punggungnya, ia menengadah mengawasi langit, lalu kakinya
melangkah perlahan. "Meski begitu, Tuan, jika kau ingin
mendapatkan si Ratu Bunga, itu sangat sulit! Karena ilmu
silatmu masih terlalu rendah!"
Mendengar ucapan itu, habis sudah kesabaran Tiang Keng
terhadap pemuda berbaju kuning itu.
"Tuan!" kata Tiang Keng. "Kita tidak saling mengenal satu
sama lain. Kau berani menghinaku, apa maksud kata-katamu
itu?" Pemuda baju kuning yang jumawa itu, tanpa melihat ke
arah Tiang Keng, menjawab dengan dingin. "Maksudku ialah
untuk minta agar kau jangan usil dan mengejar-ngejar nona
itu! Dari mana Tuan datang, ke sana Tuan harus pergi
selekasnya! Jika tidak . . . Hm! Hm!"
Dia cuma bersuara "hm" kata-katanya tidak diteruskan.
"Aneh!" pikir Tiang Keng. Ia sadar pemuda baju kuning
mengejek dia karena dia ingin memancing kema rahannya.
"Dari mana aku datang dan ke mana aku akan pergi, apa
hubungannya denganmu, Tuan" Terlebih lagi dalam hal aku
mencari gadis itu, itu bukan urusanmu! Itu urusanku sendiri!"
Mata pemuda baju kuning dipentang lebar dengan tajam,
sinar matanya memandang ke arah Tiang Keng.
"Tuan!" kata dia pula. "Jika dalam tempo dua hari kau tidak
meninggalkan kota Lim-an ... hm! ... Aku khawatir, di saat kau
hendak angkat kaki, waktunya sudah terlambat!" Setelah
berkata begitu dia mengibaskan tangan bajunya, lantas


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah pergi. Tiba-tiba matanya seperti berkunangkunang.
Dengan hanya sekali mencelat, dia telah dihadang
oleh Tiang Keng. Tiang Keng dengan roman dingin dan mata tajam
mengawasi orang takabur itu.
"Apa katamu barusan?" tanya Tiang Keng.
Pemuda baju kuning itu terkejut sebentar, kemudian dia
sudah menunjukkan kembali keangkuhannya.
"Hm! Hm!" kembali dia mengejek. "Di dalam tempo dua
hari, jika Tuan tidak meninggalkan Kota Lim-an ini, hm......."
Tapi sebelum ia berhenti bicara atau tangan Tiang Keng
sudah menyambar pada unjung bajunya!
"Bukankah dua hari yang lalu kau orang yang telah
meninggalkan surat di kamar orang Hoay Too Hwee dan Ang
Kin Hwee?" tanya Tiang Keng dengan bengis.
Pemuda baju kuning itu tidak menyangka ujung bajunya
berhasil disambar oleh Tiang Keng. Ia bengong sebentar,
alisnya bangkit dan wajahnya berubah menjadi bengis, la
tekuk tangan kanannya untuk dipakai menangkap tangan
Tiang Keng, sedang tangan kirinya atau tiga buah jarinya yang
kuat menusuk ke arah rusuk lawan. Itu adalah jalan darah
thian-tie Tiang Keng. Sambil berbuat demikian, ia bertanya
dengan bengis. "Kalau aku, kau mau apa" Kalau bukan aku,
kau juga mau apa?" Tiang Keng menarik tangan kanannya, sambil menarik
yangannya ia pun mengibas. Gim Soan, si pemuda baju
kuning itu terkejut, dia terhuyung tiga langkah mundur ke
belakang. Tiang Keng heran. Ia tidak menyangka kibasannya
mengenai tangan kiri lawan dan pemuda baju kuning itu
terpaksa harus mundurdan hampir terguling.
Gim Soan mempertahankan tubuhnya, mukanya jadi pucat.
Dia hendak membuka mulurnya tetapi Tiang Keng sudah
mendahuluinya. Tiang Keng menegaskan, "Jadi beberapa
ratus jiwa orang-orang Koay Too Hwee dan Ang Kin Hwee itu,
semua telah mati secara menyedihkan di tanganmu yang
jahat" Jadi kau sendiri yang melakukan kekejaman itu?"
Kembali Gim Soan melengak. Begitu ia sadar, tanpa
berkata-kata lagi, dia membentak sekali dan melompat
menerjang. Dia menyerang dada lawannya. Ketika
serangannya tiba, dia berseru. "Mau apa kalau aku yang
membunuhnya" Mau apa kalau bukan aku yang
membunuhnya?" "Kalau begitu, baiklah!" jawab Tiang Keng seraya menyedot
dada dan perutnya, sedang kedua tangannya dimajukan
menyerang dengan keras. Sekali lagi mereka berdua beradu
tangan. Tiang Keng gusar, ia mengerahkan tenaga di tangannya.
Gim Soan terhuyung mundur satu tindak. Tidak menanti orang
sempat memperbaiki diri. Tiang Keng menyusul serangan
nya.dengan kedua tangan. Mengetahui lawan itu tangguh, Gim Soan lantas melayani
sambil selalu berkelit. Dia gesit sekali, tubuhnya sangat ringan.
Baik berkelit maupun meloncat tinggi, ia membuat dirinya
seperti berada di sekitar tubuh Tiang Keng. Saat berbuat
begitu, ia selalu mengirim pukulan-pukulan yang dahsyat.
Tadi di atas tembok kota, Tiang Keng sudah belajar kenal
dengan pemuda baju kuning ini. Ia tahu orang ini lihay,
sekarang ia berkelahi dengan hati-hati dan waspada. Ia kaget
mendapatkan lawan yang demikian lincah, oleh sebab itu
semakin kuat terkaan Tiang Keng bahwa pemuda baju kuning
ini algojo orang-orang Koay Too Hwee dan Ang Kin Hwee.
Karena orang itu lihay, ia tidak dapat segera merobohkan
pemuda itu. Saat mereka di atas tembok kota, Gim Soan
belum mengeluarkan seluruh kepan daiannya. Sesudah
bertempur beberapa puluh jurus lamanya, kedua pihak
tampak sama unggulnya. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar
suara tetabuhan yang terbawa angin, mereka sedang
bertempur seru, keduanya tidak memperhatikan suara itu.
Baru kemudian, setelah suara itu terdengar semakin jelas dan
dekat serta lagunya luar biasa, mereka jadi heran. Itu bukan
suara seruling, suara itu tajam dan sedap terdengar di telinga.
Keduanya tak dapat menerka, suara itu suara alat tetabuhan
apa dan bagaimana macamnya.
Meskipun mereka mendengar suara itu, mereka tetap
bertempur tak kurang serunya. Konsentrasi kedua pihak tidak
terpecah oleh suara merdu itu, jika konsentrasi mereka
terpecah maka mereka bisa celaka.
Belasan jurus telah dilewatkan. Mendadak mereka
mendengar suara wanita yang suaranya tajam. "Siapa yang
berani bertempur di sini" Apa kalian tidak mau segera berhenti
bertarung! Berapa banyak batok kepala kalian sehingga kalian
berani mengganggu perjalanan pulang dari Nio-nio kalian?"
Suara itu tegas sekali. Tiang Keng jadi berpikir.
"Nio-nio kalian?" ia berpikir. "Apa ini Permaisuri Raja yang
sedang pesiar?" Gim Soan juga mengira demikian. "Nio-nio adalah
panggilan mulia untuk seorang Ratu atau isteri raja. Dengan
sendirinya mereka sama-sama melompat mundur lima
lamgkah jauhnya. Mereka melompat secara bersama-sama
untuk menghentikan pertarungan mereka. Setelah itu
semuanya menoleh dengan cepat.
Di situ terlihat rombongan nona-nona cantik berpakaian
serba merah sedang mendatang ke arah mereka. Langkah
mereka elok, tangan mereka masing-masing memegang
sepotong bambu berwarna hijau. Ada yang panjang, dan ada
yang pendek, semua tidak berlubang. Rupanya itulah alat
tetabuhan yang menerbitkan suara merdu tadi.
"Apa nama alat musik itu" Mengapa suaranya demikian
merdu dan aneh?" pikir kedua pemuda itu. Dalam benak
mereka masing-masing, mereka bertanya-tanya.
Kedua pemuda ini masih hijau, mereka belum pemah
merantau sampai ke wilayah Tiong-ciu. Tak heran jika mereka
jadi tidak tahu tentang seruling semacam itu, seruling yang
menjadi alat tetabuhan istimewa suku bangsa Biauw di daerah
Biauw-kiang. Dari hanya mengawasi rombongan itu, kedua anak muda
ini saling mengawasi satu sama lain. Sesudah itu Gim Soan
berpaling hingga ia tak menghiraukan lagi pada Tiang Keng.
Tiang Keng heran, ketika ia tahu orang itu tidak
memperhatikan dia lagi. Tiang Keng pun menoleh ke arah
rombongan nona-nona itu. Sesudah rombongan nona-nona
pengiring itu lewat, tampak sebuah kereta yang dipajang
indah sekali. Semua perlengkapan kereta itu pasti mahal sekali. Di kiri-kanan
kereta itu terdapay empat orang nona berbaju merah, dan
sebelah tangan mereka masing-masing mendorong kereta,
sedang tangan yang lain mengipas dengan kipas bulu angsa.
Perlahan mereka mengipasi orang yang ada di kereta itu.
Nona-nona itu tersenyum ketika mereka melihat ada dua
pemuda berdiri bengong mengawasi rombongan mereka di
tepi jalan, tetapi mereka tidak ada yang berani tertawa.
Kemudian sambil berjalan, mereka mengangkat suling bambu
itu ke mulut mereka dan meniupnya bersama-sama. Maka
terdengarlah suara bangsing yang merdu itu. Saat melewati
kedua pemuda itu, mereka masih mengawasi ke arah kedua
pemuda itu sambil terenyum manis.
Gim Soan seorang yang sombong. Adatnya tinggi hati, ia
tidak mudah terpengaruh oleh paras cantik, akan tetapi kali ini
dia jadi berbeda dari biasanya. Sekarang malah dia
mengawasi dengan bersemangat rombongan nona-nona
cantik itu. Sama sekali dia tak memperlihatkan sikap yang
memandang enteng pada semua orang-orang itu.
Tiang Keng sebaliknya dari Gim Soan. Mula-mula ia awasi
mereka, ia heran, sesudah itu ia berdiri diam bagaikan orang
yang sedang bersemedi. Cuma otaknya saja yang bekerja
keras memikirkan rombongan wanita cantik itu. Dia jadi
penasaran sekali, siapa wanita yang ada di dalam kereta indah
yang mirip kereta seorang ratu itu. Ia
berdiri diam di tepi jalan sampai rombongan itu mulai lewat
di depan dia. jalan kereta dan rombongan nona-nona cantik
itu tetap perlahan-lahan.
Tiba-tiba Tiang Keng ingat sesuatu. Ia awasi kereta indah
itu. Ia lihat orang yang ada di dalam kereta itu sedang duduk
dengan tenang. Dia adalah seorang wanita tua, tubuh wanita
itu kurus kering dan hanya tertutup oleh pakaian berwarna
merah. Tempat duduk wanita tua itu berwarna merah juga.
Dari jauh. orang sukar melihat tubuh yang tua itu.
Empat orang nona yang mendorong kereta, mata mereka
selalu diarahkan ke kedua anak muda yang berdiri di sisi jalan
itu. Mereka berempat bertubuh lebih besar dari nona-nona
peniup bangsing. Mereka semua cantik-cantik.
Sinar mata Tiang Keng berpindah dari wajah nona-nona
cantik ke wajah si Nyonya Tua di dalam kereta itu yang jelek
dan bengis. Nyonya tua itu mengonde rambutnya menjadi konde "kuda
jatuh". mirip konde wanita atau nyonya-nyonya muda pada
masa itu, suatu model rambut yang paling digemari pada
zaman itu. Ia sudah tua tetapi rambutnya masih hitam,
perhiasan di kondenya lengkap, sedang di telinganya, si nenek
memakai anting-anting emas. Perhiasan kepa lanya bertabur
mutiara, tampak terang berkilau. Tapi selain rambutnya yang
hitam dan dandanannya itu. wajah sangat jelek, hingga orang
sulit untuk terkecoh olehnya apalagi hanya karena
dandanannya yang mewah itu
Tiang Keng mengawasi nenek itu sambil melengak sekian
lama. dan dengan perlahan-lahan kereta itu lewat di
depannya. Mata Gim Soan terus mengikuti punggung si nona-nona
berpakaian serba merah. Pakaian mereka itu tertiup angin,
berkibaran, indah dipandangnya
0oo0 BAB 18. TIANG KENG BERTEMU MUSUH BESARNYA
Anak muda berbaju kuning itu masih mengawasi
rombongan itu. Baru kemudian sambil menoleh dia tertawa
dingin dia melangkah menghampiri Tiang Keng.
"Berhenti!" sekonyong-konyong pemuda she To
membentak, suaranya keras seperti suara guntur.
Gim Soan terkejut hingga ia nierandek sejenak Begitu suara
itu berhenti, tubuh Tiang Keng melesat untuk lari ke arah
rombongan kereta yang mirip kereta permaisuri itu .. .
Semua nona mendengar bentakan Tiang Keng itu. Mereka
segera menoleh dan melihat ke arah pemuda yang sedang
berlari-lari ke arah mereka. Mereka heran dan mereka pun
berhenti meniup seruling istimewa itu dan yang sedang
mengipaspun berhenti mengipasi majikannya. Gim Soan
heran. "Mau apa anak muda itu?" pikir Gim Soan. Dia jadi ingin
tahu, dia melompat dan berlari untuk menyusul Tiang Keng.
Tak lama Tiang Keng sudah ada di depan kereta sedang
menghadang kereta itu. Kedua mata Tiang Keng bersinar
tajam mengawasi ke arah nyonya tua yang ada di dalam
kereta itu. Tiang Keng polos. Ia belum tahu tentang asmara.
Meskipun nona-nona berpakaian indah itu cantik-cantik, ia tak
menghiraukannya. Malah Nyonya Tua itu yang menarik
perhatiannya Padahal Nyonya Tua itu beroman jelek sekali.
"Mengapa mereka berpakaian merah semua?" pikir Tiang
Keng. "Siapa perempuan tua ini?"
Mendadak ia ingat pada perempuan jelek di kaki puncak Sie
Sin-hong sepuluh tahun lalu.
"Apa mungkin dia ini si Jelek Un Jie Giok?" pikir Tiang Keng.
Sekarang roman nyonya itu lebih tua dibanding dulu hingga
Tiang Keng agak sangsi dibuatnya.
"Sepuluh tahun memang waktu yang lama, tapi Un Jie Giok
memiliki tenaga dalam yang sempurna, tak pantas jika ia jadi
rongsokan seperti ini....." pikir Tiang Keng.
Mendadak Tiang Keng ingat kata-kata si Nyonya Tua itu. ia
menyebut dirinya Nio-nio. "Bukankah Un Jie Giok pun sudah
biasa menyebut Nio-nio untuk pengganti sebutan dirinya?"
Ingatan ini membuat putera To Ho Jian berseru sambil
melompat maju. Dugaan Gim Soan keliru, ia mengira dia disuruh berhenti
oleh Tiang Keng. "Nyonya, apa kau orang she Un?" tanya Tiang Keng dengan
suara keras. Nyonya Tua itu tetap duduk dengan tenang di bangku
kereta, ia tak menghiraukan teguran Tiang keng dan matanya
tetap dipejamkannya. Ia mirip orang yang sedang tidur saja.
Dan yang bergerak-gerak hanya bajunya saja akibat tiupan
angin. Gim Soan mendengar pertanyaan itu. Ia sudah mendekati
rombongan itu semakin dekat. Ia berpikir. "Bukankah Ang-i
Nio-cu, si Siluman yang namanya sangat terkenal itu sudah
mati setengah tahun yang lalu?"
Oleh karena itu, ia mengawasi perempuan tua jelek di atas
kereta itu dengan tajam. Dua orang nona yang berjalan paling depan sudah berjalan
ke belakang, mereka melompat ke samping Tiang Keng dan
kini mereka berada di kedua sisi anak muda itu. Mereka
segera mengulurkan tangan mereka, kemudian menepuk bahu
anak muda itu dengan bungbung bambu hijaunya perlahan,
mereka menotok ke kedua jalan darah cun-chong di dekat
kedua buah tetek Tiang Keng. "Nio-nio sedang tidur! Mau apa
kau berteriak-teriak membuat berisik saja"!"
"Hm!" seru Tiang Keng, kedua tangannya mengibas untuk
menangkis serangan kedua nona itu.
Nona itu tak dapat menahan tangkisan Tiang Keng yang
keras, hingga keduanya terpaksa harus mundur dan
terhuyung tiga langkah ke belakang. Wajah mereka pun
berubah jadi pucat-pasi karena kagetnya.
Sementara si nyonya masih tetap tidak berkutik dari tempat
duduknya. Tiang Keng melompat maju setengah Jangkah, kedua
tangannya ditekuk melingkar untuk mendorong ke depan. Ia
pun membentak, "Orang she Un, apakah kau sudah
melupakan peristiwa sepuluh tahun yang lampau di kaki
puncak Sie Sin-hong?"
Kibasan tangan Tiang Keng membuat nona-nona di sisi
kereta itu merasakan sambaran hawa dingin. Sebaliknya si
nyonya tua tidak membuka matanya dan tetap tak bergerak.
Tapi tangan bajunya melambai turun. Mendadak dia


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambar tangan Tiang Keng dengan cepat!
Tiang Keng terkejut. Ia tak dapat berkelit. Lalu Tiang Keng
meneruskan tangannya itu untuk dipakai menyambar tangan
baju nyonya tua itu. Itu tipu silat Eng Jiauw Mui (Kuku Garuda
dari Hoay-lam). Tipu silat ini hanya digunakan ketika sangat
dibutuhkan. Karena sekalipun ketua Eng Jiauw Mui sendiri, tak
akan dapat mengerahkan tenaga sehebat itu.
Kedua tangan baju itu bagaikan punya mata dan keduanya
lolos dari sambaran Tiang Keng. Sebaliknya, setelah lolos,
tangan baju itu kembali ke tempatnya semula ...
Keempat nona di kedua sisi kereta langsung bergerak maju.
Dengan empat batang kipas bulu angsa, mereka terus
menepuk ke arah si pemuda.
Mata Tiang Keng jadi merah. Sekarang dia tahu si Nyonya
Tua benar-benar Un Jie Giok, musuh besarnya. Sekarang si
musuh besar sedang bercokol di hadapannya. Meluaplah
dendam selama sepuluh tahun yang ada di dada Tiang Keng.
Saking gusarnya di lain gebrakan, ia membuat lengan
keempat nona itu terluka.
Keempat nona itu mundur. Mereka merasakan nyeri.
Mereka tidak mengira Tiang Keng demikian gesit.
Tiang Keng tidak menghiraukan keempat nona yang
kesakitan itu. Kembali ia maju ke depan kereta. Saat itu justru
lima batang bangsing sudah menotok ke arahnya, tiga yang di
tengah mencari jalan darah di dada Tiang Keng. Dua yang
lainnya ke kiri dan kanan. Kembali ia tidak hiraukan serangan
itu, dengan hanya satu gerakan, ia membuat lima batang
bangsing itu gagal mengenai sasaran. Tiga nona yang di
depan mundur. Yang di kedua sisi Tiang Keng mundur untuk
menyerang lagi! Sekarang Tiang Keng insaf ia sudah terkurung oleh
semacam tin atau barisan rahasia. Nona-nona itu tidak lihay
tetapi karena gesitnya, mereka dapat berkelahi dengan teratur
menuruti jalan tin itu. Tiang Keng berpikir ia akan sulit
meloloskan diri. Maka ia harus berkelahi dengan sungguhsungguh.
Gim Soan menonton dari pinggir. Sekarang ia yakin si
Nyonya Tua, Ang-ie Nio-nio, Un Jie Giok. Di kolong langit tidak
ada orang yang dapat menggunakan tangan baju seperti
senjata seperti yang diperlihatkan oleh nyonya tua ini. Melihat
Tiang Keng terkurung oleh nona-nona berbaju merah itu ia
puas. Ia baru tahu, meskipun cara bersilat nona-nona itu tidak
lebih lihay, sekarang ia tahu Nie Tong Sian Bu tak sederhana.
"Jika dulu aku bertemu dengan rombongan mereka ini,
pasti aku sudah roboh .. ." pikir Tiang Keng.
Gim Soan maju beberapa langkah. Ia menonton sambil
memperhatikan pertarungan itu. Tiang Keng tidak mendapat
kesulitan seperti dugaan pemuda berbaju kuning. Benar ia
sudah terkepung, tetapi ia bisa melayani dengan siasat
membela diri. Jika perlu, setiap kali ia mengibas sedikit keras,
ia bisa membuat pengepungnya mundur teratur.
Gim Soan mendekati kereta. Tiba-tiba telinganya
mendengar bentakan keras. "Berhenti!"
Gim Soan terkejut karena seolah ia merasa telinganya
seperti tertusuk oleh sebuah jarum.
Nona-nona itu taat pada seruan itu, semua nona berbaju
merah itu langsung berhenti menyerang Tiang Keng. Mereka
segera mengundurkan diri tetapi tidak bubar. Mereka masih
mengurung di empat penjuru pada si anak muda.
Tiang Keng pun diam, matanya mengawasi ke kereta. Si
Nyonya Tua sudah "bangun" dari tidurnya, ia berdiri di atas
kereta. Ketika ia membuka kedua matanya, sinar matanya itu
tajam dan bengis. Dia turun dari kereta, berjalan perlahan
menghampiri si anak muda. Bajunya yang gerombongan
karena tubuhnya demikian kurus kering. Ujung bajunya
panjang, dia berjalan tetapi tak terlihat kakinya, hingga ia
mirip orang yang sedang berjalan di tengah udara .
Tiang Keng mengawasi nyonya tua itu. Tanpa tahu apa
sebabnya, ia agak jeri. Segera ia memusatkan pikirannya. Ia
hendak menegur nyonya tua itu
karena ia takut didahului.
"Apa katamu barusan?" si Nyonya Tua bertanya dengan
suaranya dingin. Tiang Keng membusungkan dadanya. "Aku bertanya
mengenai peristiwa di kaki Sie Sin-hong sepuluh tahun lalu!"
sahut Tiang Keng. "Apakah kau sudah lupa pada peristiwa
itu?" Si Nyonya Tua memandang tajam sekali ke arah Tiang
Keng. "Jadi kau turunan orang she To itu?" tanya si nenek dengan
bengis. "Tidak salah!" sahut si anak muda dengan gagah.
Mata si Nyonya Tua bercahaya. Dia tertawa lama sekali.
Kepala si Nyonya Tua menengadah. Suara tawanya mirip
suara burung hantu. Tak disangka dia dapat bersuara seperti
itu. Sesudah dia tertawa cukup lama, keadaan jadi sunyi. Baru
sesaat kemudian, dia membuka mulut lagi.
"Selama beberapa puluh tahun," kata dia sabar. "Orangorang
yang telah binasa di tanganku, jumlahnya sudah masuk
dalam hitungan ribuan banyaknya. Sungguh heran karena tak
pernah ada anak cucu mereka yang datang mencariku untuk
menuntut balas! Hari ini aku melihatnya juga satu di antara
mereka, yaitu kau!" Mata nyonya tua itu bersinar, tapi sekarang dia mengawasi
Gim Soan untuk menegur si baju kuning.
"Kau ini siapa" Apa kau datang untuk membantu dia
menuntut balas?" Gim Soan terkejut, la langsung maju tiga langkah ke depan.
Ia memberi hormat sambil membungkuk pada si Nyonya Tua
dengan sikap hormat. "Aku tak kenal dengannya, bahkan..." Gim Soan menyahut.
Tapi dia disela oleh si nyonya tua. Sambil menatap tajam
nyonya tua itu berkata. "Jadi kau di sini untuk menonton?"
Suara pertanyaan itu tak sebengis tadi, tapi Gim Soan tak
puas mendengar sapaan yang dingin itu. Walau demikian, dia
sedikit merasa jeri. Ia menjura sambil berkata lagi, "Dengan
dia aku yang rendah punya urusan yang harus dibereskan,
maka itu ..." Kembali dia disela oleh si Nyonya. "Apakah kau hendak
menanti selesainya urusanku ini dengan dia, baru kau hendak
membereskan urusanmu itu?"
Gim Soan mengangguk. Nyonya tua itu tertawa, suaranya
nyaring dan tak sedap didengar oleh siapapun.
"Bagus! Bagus!" seru si Nyonya Tua. "Aku tidak sangka kau
masih begini muda tetapi kau tahu aturan!"
Kata-kata itu punya arti lain Sebagai orang cerdik, Gim
Soan dapat menerka maksud si tua. Tertawa si nvonya
menyatakan jika dia menanti urusan si nyonya dan si anak
muda beres, itu artinya Tiang Keng sudah tak bernyawa. Ia
tidak bilang apa-apa. hanya mengawasi nyonya tua itu. yang
sudah langsung berpaling ke arah Tiang Keng.
Sambil menyingkap rambutnya, Un Jie Gie berjalan
mendekati pemuda itu. Tangannya kurus seperti tubuhnya.
Angin silir meniup, Gim Soan bulu romannya berdiri. Dia
rasa dia bakal menyaksikan peristiwa berdarah yang hebat.
0oo0 BAB 19. TIANG KENG DIBUAT BINGUNG OLEH SIKAP
MUSUH BESARNYA Darah Tiang Keng bergolak seperti sedang mendidih. Sulit
untuk menenangkan dirinya. Selama sepuluh tahun tak ada
sehari pun ia melupakan musuhnya itu. Dia senantiasa ingat
saja, sekarang saat ia berhadapan dengan musuh besarnya
itu, ia hampir tak dapat menguasai diri. Sakit hati yang
mengeram di dadanya, akan segera menyembur keluar. Akan
tetapi tempo sepuluh tahun itu pun dapat membuat ia mampu
melatih diri, hingga ia bisa bersikap sabar dan hati-hati. Ia
insaf inilah saat anatara mati dan hidup baginya. Ia sadar
sekali, jika ia berhasil, sakit hatinya bakal terlampiaskan, jika
tidak, ajalnya bakal tiba. Ia yakin Un Jie Giok tidak akan
membiarkan dia hidup bebas setelah tahu bahwa dia adalah
musuh besarnya .. Maka sebisanya ia berlaku tenang. Un Jie Giok sedang
mengawasi dia dengan tajam ketika si anak muda
mengangkat kepalanya memandang ke arahnya. Kemudian
nyonya jelek itu mengangguk berulang-ulang.
"Ah, bocah, kau mirip dengan orang she To," kata dia,
sabar. "Kau cuma...."
Tiang Keng tidak puas, karena dipandang acuh tak acuh,
sekarang si jelek itu menyebut ayahnya seperti sahabat
perempuan itu, seolah perempuan jelek itu seperti tak pernah
membinasakan ayah Tiang Keng. Karena itu, Tiang Keng ingin
menghajar orang jelek itu sampai mampus dalam sekali pukul.
Lalu hal yang aneh telah terjadi.
Sebelum Un Jie Giok menyelesaikan kata-katanya, dan
bukan kata-katranya itu diteruskan, mendadak tangan bajunya
mengebut ke atah kiri, lalu tubuhnya mencelat ke kanan,
cepat seperti kilat. Dia bergerak ke arah Gim Soan yang
sedang berdiri di sebelah kanan dia. Berbareng dengan itu
tangan kanannya menjambak ke dada orang muda berbaju
kuning itu! Gim Soan kaget sekali. Ia tidak menyangka akan ada
serangan demikian cepatnya. Justru saat itu ia sedang
menunggu darah Tiang Keng bakal muncrat berhamburan dari
tubuh atau lehernya. Siapa tahu si nyonya justru menyerang
dia. Dalam kagetnya, ia berniat melompat untuk menyingkir
Lagi-lagi di luar dugaannya, nyonya itu cepat luar biasa. Tahutahu
dadanya sudah terjambak oleh si Nyonya Tua. Ia kaget
bukan main Gim Soan. Ini yang kedua kalinya orang berhasil
menyambar bajunya. Sebagai seorang keras kepala dan
sombong, Gim Soan merasa malu, hatinya jadi sangat panas.
Tapi karena jeri, ia terpaksa berlaku sabar.
"Loo-cian-pwee, kau mau apa?" tanya Gim Soan perlahan.
Ia tidak berani sembarangan bertindak.
Ang-i Nio-nio tertawa dengan sangat menyeramkan.
"Pada sepuluh tahun yang lalu itu," kata si Nyonya Tua
perlahan. "Ketika terjadi peristiwa di kaki puncak Sie Sin-hong,
bukankah kau pun hadir bersamanya di sana?"
Hati Gim Soan bercekat, parasnya pun berubah pucat-pasi.
Dalam sekelebat, di benak Gim Soan terbayang dan ia ingat
pada peristiwa sepuluh tahun yang lalu itu. Ketika itu ia masih
seorang bocah, anak dari satu keluarga hartawan, walau ia tak
mendapat kasih sayang dari ayah dan ibunya, la bertabiat
keras dan buruk waktu itu.
Di saat ia harus pergi bersekolah, ia justru malah madol
dan pergi ke pekuburan atau sebuah tegalan dan menyianyiakan
waktu dengan bermain-main tidak keruan.
Pada suatu hari ia mengalami pengalaman yang
mengherankan. Mendadak seorang imam muncul di depan dia.
Ia mengira imam itu seperti turun dari atas langit. Ketika ia
ditanya oleh si imam, apakah ia suka pergi dari rumahnya, dan
dijanjikan akan diajari ilmu silat oleh si imam itu. Ia langsung
menyatakan bersedia, karena ia merasa tak puas pada sikap
kedua orang tuanya. Ia merasa ia bakal senang sekali jika ia
bisa "terbang" seperti si imam barusan.
Di kemudian hari ia baru tahu bahwa imam itu bernama
Ban Biauw Cin-jin yang tersohor gagah itu. Tatkala itu ia
bersama-sama dengan dua orang bocah lainnya, mereka ikut
bersama si imam. Dalam usia seperti itu, ia ingat padahal
waktu peristiwa di kaki bukit Sie Sit-hong itu terjadi, ia belum
tahu apa-apa. Ia mendengar jeritan berbagai binatang buas
dan jinak di rimba itu, ia juga melihat debu mengepul naik ke
udara, lalu dayang seorang laki-laki berusia pertengahan yang
romannya gagah dan seorang nyonya yang cantik. Mereka
muncul bersama dengan seorang bocah seperti dia. Ia lihat
sikap luar biasa gurunya saat melihat pria dan wanita itu. la
ingat pada si nyonya jelek berpakaian serba merah yang kurus
kering serta nona cilik yang cantik manis berada bersamanya.
Setelah kejadian itu ia ingat semua, sekarang ia lihat
pemuda yang tadi bertengkar dengannya, yaitu Tiang Keng.
Serta sikapnya terhadap si nenek jelek, tiba-tiba ia sadar.
"Kalau begitu pemuda ini ialah si bocah berumur sepuluh
tahun yang bersama-sama dengan pria dan nyonya cantik
itu!" pikir Gim Soan. "Dan nyonya tua berbaju serba merah ini
musuh pemuda yang orang tuanya telah dibinasakan oleh si
perempuan tua jelek ini. Si nona cantik itu salah satu yang ia
lihat pada tiga lukisan yang pernah ia lihat itu, dia si nona
yang tadi bertempur di atas tembok kota. dia bocah elok yang
dulu mendampingi si wanita jelek ini! Pantas saat melihat
gambar nona itu, aku samar-samar langsung mengenali dia.
Jadi urusan hari ini akibat dari peristiwa sepuluh tahun dulu
itu..." Saat Gim Soan sedang berpikir begitu, Tiang Keng saat itu
sedang diliputi perasaan heran bukan main. Di luar
dugaannya, si Nenek Tua itu membekuk si baju kuning atau
membekuk dia, malah orang yang diterjangnya justru si baju
kuning. Ia pun heran saat mendengar pertanyaan Un Jie Giok
pada anak muda itu, tapi ia tak perlu berpikir lama untuk
mengerti duduk persoalannya, mengerti seperti Gim Soan.
"'Ah, kiranya dia si bocah berbaju kuning yang sepuluh
tahun yang lalu ada di puncak Sie Sin-hong..." begitu pikir
Tiang Keng. Dengan demikian ia jadi ingat si bocah wanita
cantik yang dibawa-bawa oleh Un Jie Giok.
"Sungguh luar biasa," pikir Tiang Keng. "Sepuluh tahun
yang lalu mereka berkumpul di suatu tempat dan hari ini
mereka berkumpul lagi di sini!"
Ang-ie Nio-nio heran melihat Gim Soan diam saja. Ia lak
tahu apa yang sedang dipikirkan pemuda itu.
"Apakah kau ini murid Ban Biauw Cin-jin?" tanya si nyonya
tua pada Gim Soan dengan bengis. "Hm! Gurumu manusia
licik, tidak disangka ia punya murid sepertimu, murid yang
liciknya seperti dia!"
Sampai di situ baru Gim Soan membuka mulut.
"Benar Guruku Ban Biauw Cinjin?" ia mengaku. "Aku sudah
mendengar Suhu sering menyebut-nyebut namamu, Loo-cianpwee.
Kata beliau Loo-cian-pwee sahabat baiknya, maka itu
aku heran, sekarang Loo-cian-pwee bersikap begini terhadap
aku......." "Sahabat baik yang sudah bergaul lama, hm, sahabat kekal
yang sudah bertahun-tahun!" kata si nenek berulang-ulang. Ia
tertawa melenggak dan lama sekali. "Ya, sahabat sudah
beberapa tahun! Bahkan belasan tahun lamanya, dia puas!


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada sepuluh tahun yang lalu, aku telah berbuat salah pada
orang she To, juga untuknya, si sahabat belasan tahun!
Padahal dengan orang she To itu aku tidak bermusuhan...."
Mendadak dia menoleh ke arah Tiang Keng, ia berkata
dengan dingin. "Apa yang kukatakan barusan tidak ada
hubungannya denganmu! Tapi bisa kujelaskan padamu.
Ayahmu itu memang benar aku yang membunuhnya! Jika kau
hendak menuntut balas, kau boleh melakukannya padaku!"
Kemudian tanpa menunggu jawaban Tiang Keng lagi. dia
berkata pula pada Gim Soan dengan suara keras. "Sejak hari
itu, entah berapa banyak peristiwa yang dilakukan oleh
gurumu, di kolong langit ini, orang yang paling licik, tidak ada
yang menimpali Ban Biauw Cin-jin! Hm, siapa kira setan cilik,
kau pun hampir mirip dengannya! Aku tanya kau! Barusan kau
bilang kau tidak kenal pada turunan orang she To ini, lalu
kenapa kau mengatakan bahwa kau punya urusan
dengannya" Bisakah kau bermusuhan dengan orang yang
tidak kau kenal ini" Kau bicara supaya aku mengerti!"
Gim Soan melengak. "Permusuhan apa di antara aku dan orang she To?" ia
bertanya pada diri sendiri.
Pertanyaan itu tak sanggup ia jawab sendiri. Sebenarnya ia
cuma benci pada Tiang Keng, ia tidak punya permusuhan atau
persengketaan lain dengannya. Melihat pemuda itu diam saja,
Un Jie Giok tertawa tawar.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tegur Un Jie Giok. "Lekas
kau bicara terus terang kepadaku! Kalau tidak, awas!"
Sambil menutup kata-katanya itu, si Nyonya Tua
memegang lebih keras, terus tangan Gim Soan dia angkat naik
hingga tubuh anak muda itu turut terangkat ke atas.
"Apa yang aku bilang semuanya benar," kata Gim Soan.
"Aku mengagumi Loo-cian-pwee! Mana berani aku berpikir
yang tidak-tidak terhadapmu?"
Berbareng dengan kata-kata yang terakhir itu, Gim Soan
menggerakkan tubuhnya, tangan dan kakinya. Saat tubuhnya
merapat ke tubuh si Nyonya Tua, kedua tangannya dipakai
menotok dan menyikut lawan. Dengan kaki kiri, ia
menggedruk dengkul kanan si Nyonya Tua dengan keras.
Semua gerakan itu dilakukannya secara berbarengan.
Un Jie Giok kaget sekali. Ia tidak mengira anak muda
berberbaju kuning ini bernyali demikian besar, ia berani
menyerang demikian rupa. Bahkan serangannya sangat kejam
dan berbahaya. Untuk menolong diri dari ancaman bahaya itu,
ia melepaskan jambakannya dan tubuhnya mencelat mundur
beberapa langkah. Syukur dia bisa bebas dari serangan
berbahaya itu. Gim Soan melompat ke depan lima kaki jauhnya. Karena si
nyonya tidak menendang, ia berpikir, "Ah, kepandaian dia
cuma sebegini saja!" Karena itu, berkuranglah rasa jerihnya
terhadap si nenek tua. Segera ia rapikan bajunya, dan
berkata, "Aku tidak mengerti, mengapa Loo-cian-pwee
mencaciku" Taruhkata benar Guruku pernah berbuat salah
pada Loo-cian-pwee, saat Guruku belum menutup mata,
mengapa Loo-cian-pwee tidak segera membuat perhitungan
sendiri dengannya?" Kata-kata pancingan itu untuk memanasi hati si Nenek,
supaya si Nyonya Tua itu pergi mencari Ban Biauw Cin-jin,
gurunya. Un Jie Giok seorang yang pintar luar biasa. Gim Soan
menduga tentu dia dapat membaca maksudnya, maka ia
mengawasi dengan tajam pada perempuan jelek itu. Ia
mengira Un Jie Giok bakal tertawa seperti tadi atau dia akan
melompat berjingkrakan saking dongkolnya. Tapi ternyata
dugaan Gim Soan meleset jauh. Sampai sekian lama ia
menantikan, ia dapatkan si nyonya bersikap tenang-tenang
saja. Wajahnya tenang, matanya yang tajam pun tenang. Ia
pikir lawannya ini sedang berpikir keras atau kata-katanya itu
tak terdengar olehnya . . ..Kemudian murid Ban Biauw Cin-jin
berpaling ke arah Tiang Keng. Ia lihat pemuda itu diam saja,
mungkin sedang berpikir, kepalanya ditundukkan. Rupanya
sang lawan sedang memikirkan sesuatu. Ia jadi heran sekali.
"Aneh sekali dia orang," pikir Gim Soan. "Tadi dia sangat
galak, kenapa sekarang tiba-tiba dia jadi diam saja?"
Gim Soan menoleh ke arah Un Jie Giok, si nyonya tua juga
sedang menunduk diam tak berkutik.
"Eh, kenapa Jie Giok pun mematung begitu?" pikir Gim
Soan. "Lagaknya mirip nona muda-belia sedang memikirkan
tunangannya...." Kemudian Gim Soan menoleh ke arah belasan nona-nona
cantik yang membawa bumbung bambu hijau dan kipas di
tangan mereka masing-masing. Walau mereka tetap
berkumpul dan mengepung lawan mereka, mereka diam
sedang mata mereka mengawasi tanah ..
Dasar cerdik. Gim Soan menduga sesuatu.
"Mereka semua sedang terpaku, buat apa aku juga terpaku
sini?" Aku tidak bermusuhan dengan Un Jie Giok maupun
Tiang Keng. Aku cemburu pada Tiang Keng. Karena aku pikir
percuma saja aku diam saja di sini. malah mungkin aku bisa
mendapat bahaya. Lagipula untuk angkat kaki, ini saat yang
paling baik, aku sepertinya sedang tidak dihiraukan oleh
mereka." Oleh karena itu, ia segera memutar tubuhnya untuk berlalu
dengan diam-diam. Ia berharap Un Jie Giok tidak melihat dan
tidak menghalangi gerakgeriknya.
Setelah berjalan beberapa langkah, Gim Soan mendapat
kenyataan tidak ada gerakan apa-apa dari perempuan tua itu.
Ia heran karena tak dapat menahan rasa ingin tahunya, lantas
ia menoleh ke belakang, pada saat ia menoleh ia lihat Un Jie
Giok sudah berdiri di depan dia. Wajah Ang-ie Nio-nio dingin
sekali "Di mana gurumu sekarang berada?" tanya wanita tua itu.
Saking kagetnya, Gim Soan melompat mundur sejauh tujuh
kaki. "Di mana gurumu sekarang?" tanya si nyonya dengan suara
dingin. Hati Gim Soan jadi tidak tenteram. Ia duga pasti gurunya
telah berbuat sesuatu yang tak selayaknya terhadap nyonya
tua ini Ini bisa ia lihat dari sikap nyonya tua yang bengis sekali
terhadapnya itu. "Tak mustahil ada kisah asmara di antara Suhu dan wanita
jelek ini?" pikir Gim Soan.
Oleh karena itu ia memandang dengan tajam pada si
nyonya tua. Ia lihat kecuali sangat jelek, usia nenek tua itu
pun sudah lanjut sekal. Karena itu, tak mungkin di dunia ini
ada pria yang bisa jatuh cinta pada wanita jelek semacam ini
.... "Di mana guruku berada sekarang, aku pun tidak tahu,"
jawab Gim Soan dengan licik. 'Loo-cian-pwee dan Guruku
sahabat lama, kenapa Loo-cian-pwee justru menanyakan dia
kepadaku?" Sambil bicara begitu, Gim Soan terus ia awasi si nyonya tua
jelek itu. Wanita jelek dan bersikap dingin itu mendadak terlihat
berubah sikap. Matanya yang bersinar tajam berubah menjadi
lunak. Ketika ia bicara, suaranya pun perlahan sekali.
"Sudah hampir lima tahun aku tidak pernah bertemu
dengannya..." kata dia. "Ah, aku tidak tahu kenapa dia tak
mau menemuiku Ia diam, rupanya ia sedang berpikir keras.
Gim Soan jadi geli. la yakin terkaannya tak meleset sama
sekali. Sekarang ia jadi merasa aneh terhadap gurunya. Meski
pun sudah berusia lanjut, gurunya itu masih termasuk
ganteng, maka ia jadi heran kenapa gurunya itu mencintai
wanita jelek ini Walaupun Gim Soan sangat cerdas, pemuda ini tak dapat
menggunakan kecerdasannya itu. Ia tak dapat menerka hati
Ban Biauw Cin-kun, gurunya yang sangat licin itu.
Sesungguhnya, si imam tua punya maksud lain. Ia sedang
menjalankan siasat seolah menyukai perempuan jelek itu.
Sampai setua itu, Un Jie Giok belum pernah bertemu
dengan pria yang jatuh hati kepadanya. Ia berwajah luar biasa
buruknya, tetapi toh ia seorang wanita, manusia biasa, maka
ia pun berharap cinta seorang laki-laki. In Hoan mengetahui
hati si nyonya tua ini, dia gunakan keadaan ini dengan baik
sekali. Dia bersandiwara di depan si tua jelek, dia buat
perempuan itu mencintainya. Kemudian, sesudah dia tak mem
butuhkannya lagi, dia depak si wanita jelek itu! Maka itu,
bukan main sengsara hati Un Jie Giok ini. hingga dia jadi sakit
hati. Walaupun sangat benci pada In Hoan, ia tetap berharap
pria itu akan berubah hatinya dan akan kembali
menemuinya.... Karena Gim Soan tak mengetahui soal ini. ia heran melihat
sikap si Nyonya Tua telah berubah. Keduanya berdiri diam,
mereka sama-sama berpikir sendiri-sendiri.
Tiang Keng awasi mereka berdua, ia pun berpikir. Mulamula
ia mengawasi ke sekitarnya, kemudian ia melompat maju
dan dari mulutnya keluar kata-kata keras, "Orang she Un, tak
peduli duduk persoalannya, kau tetap musuh yang telah
membunuh Ayahku, walaupun ilmu silatmu lebih lihay dari
padaku, hari ini aku harus membalas sakit hati Ayahku itu!
Aku tidak takut dihajar sampai mati oiehmu! Kau harus
menyerahkan kepalamu untuk kupakai upacara menyembah
yangi roh Ayahku!" Un Jie Giok sadar dari lamunannya yang manis. Ia
mebngangkat kepalanya, hingga tampak wajahnya yang
bengis. Terlihat senyumnya yang tak sedap dipandang, tapi ia
menoleh ke arah Gim Soan.
"Apa kau akan pergi?" kata si nenek sambil mengawasi
dengan tajam. Lalu ia berpaling ke arah Tiang Keng sambil
berkata, "Jika kuhajar kau sampai mampus, bukankah si orang
she To itu jadi tidak punya turunan lagi" Dengan demikian,
bukankah sakit hati Ayahmu jadi seperti tenggelam terus di
dasar lautan yang dalam" Hm! Semula aku kira kau seorang
anak berbakti, ternyata kau seorang manusia biasa yang tidak
berguna!" Tiang Keng heran mendengar kata-kata itu, ia diam. Ia
yakin wanita lihay itu bukan lawannya, karena itu jika
sekarang ia membalas dendam, sulitnya sama dengan naik ke
langit. Tadi pada saat si nyonya Tua sedang bicara dengan
Gim Soan, ia berpikir akan angkat kaki akan pulang ke Ong
Ok-san. Dia harus belajar lagi lebih jauh. Tapi dia tidak
menyesal jika ia pergi dari situ, ia bakal tak akan bisa bertemu
lagi dengan musuhnya itu. Tapi menurut penda patnya justru
sekaranglah saat yang paling baik untuk mewujudkan rasa
penasaran hatinya yang telah ia pendam selama sepuluh
tahun. "Jika aku pergi, apa aku masih dapat disebut seorang lakilaki
sejati?" pikir Tiang Keng.
Tiang Keng hatinya keras, ia mengambil keputusan saat itu
juga untuk mengadu jiwa dengan musuh besarnya itu. Sampai
ia lupa, jika ia mati siapa yang akan mewakili dia untuk
membalas dendam ayahnya...
Setelah diam sejenak, putera To Ho Jian ini berkata
nyaring. "Jika aku sampai mati!" kata Tiang Keng sengit. "Pasti ada
orang yang akan mewakili aku menuntut balas padamu!
Sahabat Ayahku ada di seluruh negara ini, pasti salah satu di
antaranya ada yang akan membalaskan sakit hatinya! Jika kau
bisa mampus di tanganku, baru aku puas!"
Kedua mata Un Jie Giok terbelalak lebar, sinar matanyanya
berkilauan, dia tertawa nyaring.
"Sahabat-sahabat ayahmu di seluruh negara ini!" dia
mengejek. "Sekarangi aku tanya kau! Aku telah membunuh
Ayahmu pada sepuluh tahun yang lalu, tapi kenapa sampai
sekarang tidak ada seorang pun yang datang membalaskan
sakit hatinya padaku?"
Tiang Keng melengak lagi. Si jelek itu kata-katanya
memang benar. Tetapi Tiang Keng tidak mengerti, buat apa
dia berkata begitu. "Sudah, jangan banyak omong!" bentak Tiang Keng. "Sekali
pun kau lihay, aku tidak takut!"
"Bagus! Bagus!" kata si jelek sambil tertawa terbahak.
"Melihat semangatmu ini, aku si orang tua akan memberi
kesempatan padamu!" Ia berhenti tertawa, dengan suara
dingin ia menambahkan. "Sekarang jika kau bisa mengalahkan
aku, akan kubiarkan kau memotong kepalaku untuk kau pakai
menyembahyangi roh Ayahmu!"
Tiang Keng tertawa dingin.
"Kata orang kau orang tersohor, aku yakin kau tidak bakal
ingkar janji!" kata Tiang Keng. "Cuma . "
Un Jie Giok tidak senang mendengar kata-kata itu.
"Kau kira aku orang macam apa?" tanya dia dengan suara
keras. "Apa kau kira semua budakku bakal membantuku" Kau
keliru! Kita akan bertempur berdua saja, satu lawan satu.
siapa pun tak boleh membantu aku! Jika kau menang,
pembalasanmu telah terwujud! Juga..." tiba-tiba suara wanita
jelek itu jadi perlahan, "... tidak bakal ada orang yang
mencarimu untuk membalas sakit hatiku kepadamu!"
Tiang Keng membusungkan dadanya.
"Jika kau yang menang, kau pun bebas mengambil
kepalaku!" kata Tiang Keng dengan gagah.
Jie Giok melambaikan tangannya, dia tertawa dingin.
"Jadi kau pun ingin memberi kesempatan padaku" Hm!"
"Lalu?" tanya si anak muda heran.
Nyonya jelek itu tertawa.
"Jika kau kalah olehku," kata dia. "Aku cuma menghendaki
agar kau melakukan satu hal, supaya di kemudian hari
sesudah kau belajar silat lebih jauh, kau bisa datang lagi
mencariku untuk melanjutkan usaha menuntut balas padaku!
Sampai itu waktu, aku tidak akan menyesal atau sakit hati
padamu!" Mendengar kata-kata demikian bukan hanya Tiang Keng
yang keheranan tapi juga Gim Soan si anak muda berbaju
kuning murid Ban Biauw Cin-jin.
"Apa yang si jelek ini minta pada si pemuda
melakukannya?" pikir Gim Soan. "Pasti itu urusan lebih hebat
sepuluh lipat daripada kematian! Hm! Kalau dia berjanji begini
padaku, aku tidak akan sudi menerimanya!" Gim Soan lantas
menoleh melihat ke arah si anak muda untuk menanti
jawaban. Ia lihat Tiang Keng mengepal keras kedua belah
tangannya, matanya memandang ke bawah. Jelas pemuda itu


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang berpikir keras. Memang Tiang Keng pun menduga bahwa permintaan si
nyonya tua pasti hebat luar biasa. Akan tetapi ia ingin balas
dendam dan ini adalah waktu yang baik, mana dapat ia
lewatkan begitu saja" Maka ia pun mengertakkan gigi dan
menyahu, "Baik! Kata-kata seorang kuncu harus bisa
dipercaya!" Un Jie Giok tertawa. "Apakah kau sangka aku bakal menyangkal?" kata dia.
Gim Soan jadi geli juga. Dia berpikir bocah she To ini bakal
kena diakali. Ia lantas menggendong kedua tangannya, untuk
mendengarkan si nyonya bicara.
0oo0 BAB 20. UN JIE GIOK BERSIMPATI PADA TIANG KENG
Tiba-tiba Tiang Keng berkata dengan suara nyaring, "Nah,
kau katakan apa permintaanmu itu!"
"Jika kau tidak sanggup, bagaimana?" tanya Un Jie Giok
dingin. Gim Soan tersenyum geli ia berpikir. "Benar-benar
Ang-ie Nio-nio sulit dilayani! bagaimana jika dia mengajukan
syarat yang tidak dapat melakukan oleh Tiang Keng, bukankah
itu sama saja dengan ia ingin menyuruh Tiang Keng binasa?"
Tiang Keng tercengang. "Apa yang kau minta?" kata Tiang
Keng. "Kalau itu benar tak dapat kulakukan, karena hanya
akan menyulitkan aku saja, baiklah, tak perlu kau sebutkan!
Aku To Tiang Keng, sebelum aku mati, hatiku sudah tenang!
Untukku, mati atau hidup, sama saja tak akan kuhiraukan!"
"Tapi pasti permintaanku ini akan sanggup kau lakukan!"
kata si Nyonya Tua kelihatan tak puas.
"Jika kau bilang begitu, pasti aku sanggup melakukannya!"
kata Tiang Keng. "Memang aku tidak percaya ada sesuatu
yang tak dapat dikerjakan oleh manusia!"
Pada wajah dingin dari Jie Giok tampak senyumnya. Ia
mengangguk. "Bagus!" kata Jie Giok. Tiba-tiba tubuh Jie Giok mencelat ke
depan si anak muda, tangan kirinya menyerang, tangan
kanannya membabat pinggang lawannya. Kedua jago Khun
Lun itu gerakannya berbareng dan gesit sekali.
Tiang Keng terkejut. Syukur ia waspada dan tetap curiga.
Segera ia berkelit ke samping, sambil berkelit ia menegur,
"Kau belum menjelaskan syaratmu, kenapa kau sudah
menyerang secara mendadak?"
Nyonya tua itu menjawab dengan suara tawar. "Jika kau
menang, soal itu tak usah disebutkan lagi! Jika kau kalah,
akupun tidak ingin merampas jiwamu! Sampai kita selesai
bertanding, baru aku akan bicara!" ujar seorang di antara
mereka. Sesudah berkata begitu, kembali Jie Giok menyerang.
Hebat orang tua ini. dengan cepat ia sudah menyerang
sebanyak belasan kali. Dia sudah tua tetapi dia sangat gesit
dan tenaganya pun kuat sekali.
Gim Soan ingin mendengar syarat orang itu, sekarang ia
malah menyaksikan si nyonya tua menyerang lawannya, ia j
adi heran. "Benar-benar Ang-ie Nio-nio ini kejam! Dia pun aneh sekali!
Kalau dia mau menyerang orang, buat apa dia bertanya
banyak-banyak dan hendak mengajukan permintaannya itu"
Toh tak nanti pemuda ini menyangkal kata-katanya"
Sebenarnya apakah permintaannya itu?" pikir Gim Soan.
Aneh atau tidak, anak muda ini pun jadi tertarik hatinya, ia
ingin mengetahui kesudahan pertempuran itu. Tapi di lain
pihak, tiba-tiba ia ingat si nyonya tua juga melarang ia pergi.
Mau apa dia" Kenapa ia berlaku tolol menantinya" Bukankah
ini saat yang baik buat angkat kaki.
"Apa pun yang ingin si pemuda To melakukannya, itu tak
ada hubungannya denganku, bukan?" pikir Gim Soan akhirnya.
Gim Soan lantas memutar tubuhnya untuk berlalu. Ketika ia
melihat ke depan, ia terperanjat. Entah kapan bergeraknya,
rombongan nona-nona itu telah mengepung dia. Ia jadi
menyesal sekali. Terpaksa ia diam lagi, ia batal pergi. Lantas
ia awasi pertempuran itu.
Un Jie Giok bertempur dengan hebat. Dengan cepat ia
mendesak. Meskipun begitu, setelah belasan jurus, maka
tahulah ia bahwa si anak muda benar-benar lihay hingga ia
tidak berani berlaku gegabah lagi.
Tiang Keng melayani lawan dengan sungguh-sungguh, jika
tidak, ia bisa celaka. Lewat belasan jurus sudah, ia jadi repot.
Hampir saja ia tak dapat melakukan serangan balasan. Tapi ia
murid Su-khong Giauw, tak sudi ia kalah mentah-mentah oleh
musuh. Mendadak ia berseru, kedua tangannya
mencengkeram ke arah dada nyonya tua itu.
Jie Giok terkejut. Itu adalah pukulan yang berbahaya. Itu ia
ketahui dengan baik. Tapi ia tidak takut. Dengan gesit ia
berkelit mundur, lalu saat tangan orang meluncur, ia
membalas dengan sangat cepat. Kedua tangannya
menyambar ke muka lawannya.
Tiang Keng terperanjat. Ia repot untuk menyelamatkan diri.
Akhirnya ia berhasil lolos. Ia jadi penasaran, lalu ia ulangi
serangannya. Sekarang ke atas dan ke bawah, tangan kanan
ke pelipis kiri, tangan kiri ke iga kanan. Itulah pukulan luar
biasa miliknya. Jie Giok seorang jago tua, ia toh jadi heran. Ia tidak kenal
ilmu yang luar biasa itu. Tapi ia tidak gentar olehnya. Ia juga
tidak mau sembarangan menangkis, ia menjejak ke tanah
untuk lompat mundur dua tombak jauhnya. Tidak tanggung ia
berkelit, hingga terlihat bajunya berkibar-kibar. Tiang Keng
kagum menyaksikan kegesitan lawannya yang tua itu. akan
tetapi tanpa sangsi ia melompat menyusul lawan, sambil
menyerang. Gim Soan menyaksikan adegan itu. Dia heran dan kagum,
la juga mendongkol. "Dia begini lihay, kalau dia dapat pergi ke
Thian Bak-san. dia bisa menjago! Siapa sanggup menjadi
lawannya?" pikirnya.
Karena mendongkol, timbul pula rasa iri pemuda ini.
"Tak ada jalan lain, dia harus disingkirkan!" demikian pikir
Gim Soan. Ia segera mengambil keputusan, hingga ia lupa
bahwa ia sendiri sedang dikurung oleh barisan wanita!
Pertempuran masih berlangsung hebat. Tiang Keng
mencoba mendesak lawannya. Jie Giok mundur. Kepastian
kalah menang belum terdapat. Dia mundur tanpa terkalahkan.
Dengan begitu terlihat kelihayan tubuh si jelek itu.
Sudah banyak jurus dilewatkan, Jie Giok tetap gesit dan
tenang. Sesudah itu baru tampak dia mulai balas mendesak.
Dia berhasil dengan cepat. Sekarang tampak Tiang Keng yang
terdesak .. . Ketika itu matahari sudah naik tinggi, hawa panas sekali.
Tiang Keng sudah bermandikan peluh. Ia jadi khawatir. Diamdiam
ia menarik napas. Ia tahu dengan baik sekali, jika ia
terus terdesak demikian, ia bakal segera dikalahkan.
Kekalahan seperti hilang harapannya untuk membuat
pembalasan... Keduanya masih bergulat sengit. Lewat pula belasan jurus.
"Ah, sudahlah!" pikir Tiang Keng akhirnya. Ia melompat
mundur ke luar gelanggang untuk menurunkan kedua
tangannya, lalu dengan air muka guram, ia berkata perlahan,
"Katalan syaratmu itu!"
Jie Giok mengebut tangan bajunya yang panjang. Ia
melenggak untuk tertawa. "Menang ya menang, kalah ya kalah!" kata dia. "Nak kau
benar-benar seorang laki-laki!"
Ia menoleh ke arah Gim Soan. Mengawasi si baju kuning, ia
tak tertawa, tak tersenyum. Ia berkata, "Dibanding dengan
kau atau gurumu, dia ini menang jauh!"
Gim Soan malu dan mendongkol.
"Hm!" ia memperdengarkan suaranya. Dia segera memutar
rubuhnya. Angkuh lagaknya. Tapi ketika ia mengawasi salah
seorang nona berbaju merah, sengaja ia tersenyum!
Un Jie Giok yang melihat lagaknya jadi mendongkol sekali.
Matanya sampai bersinar-sinar.
"Dia benar mirip dengan gurunya!" pikir Jie Giok sengit.
Lantas ia menepuk kedua tangannya satu sama lain.
Belasan nona itu tertawa serentak. Itu tepukan tangan
yang merupakan tanda untuk segera bergerak.
Gim Soan terperanjat. Tahu-tahu ia sudah terkurung seraya
dihujani serangan. Matanya pun seperti kabur melihat cahaya
serba merah. Yang hebat ialah serangan bangsing dan kipas
bulu angsa. Ia mengerti dirinya sudah terkurung oleh barisan
rahasia Nie Tong Sian Bu. Dia pun merasa malu....
Kembali terdengar suara tawa dingin Un Jie Giok, disusul
dengan tepukan tangannya dua kali.
Mendengar isyarat itu, kawanan nona-nona berbaju merah
itu lantas bernyanyi, gerakannya menjadi semakin cepat. Gim
Soan melihat lawannya mendesak secara bergantian. Yang
satu berhasil diserang mundur, yang lain maju menggantikan.
Ia khawatir sekali. Gim Soan yang melirik ke arah barisan nona-nona itu, jadi
terkejut. Jelas tadi ia belum terkepung benar-benar. Sekarang
baru ia melihat tegas lihaynya barisan itu. Maka ia merasa
bahwa sakit hatinya sukar dibalaskan...
Jie Giok pun mengawasi pengurungan atas diri Gim Soan.
Ia menunjukkan roman yang menandakan bahwa ia
memikirkan sesuatu. Untuk sejenak ia tunduk.
"Kalau aku menjelaskan syaratku," kata ia kemudian pada
si anak muda yang ia awasi. "Bukan saja itu tak ada
bahayanya untukmu bahkan-sebaliknya. Itu masalah jika
orang lain memintanya pun sukar untuk mendapatkannya. Jika
kau sama dengan itu..." ia menunjuk ke arah Gim Soan. "Hm!
Hm! Sekalipun kau memohon sambil berlutut di depanku, tidak
nanti aku meluluskannya!"
Tiang Keng heran hingga ia melengak. Pada parasnya ia
tidak menunjukkan suatu apa. Ia sedang menunduk karena
merasa malu dan penasaran. Bukankah ia sudah tercekal di
tangan musuh" Kalau ia tak ingat sakit hati orang tuanya
belum terbalas, mungkin ia sudah bunuh diri. Tentang syarat
Un Jie Giok, ia tidak menghiraukannya. Dengan sikap tawar ia
mengawasi nyonya jelek itu.
Un Jie Giok menghela napas sendiri.
"Sudah sejak beberapa puluh tahun aku menggunakan
segala dayaku mengumpulkan barang-barang berharga dan
luar biasa," katanya perlahan. "Buat semua itu,... semuanya
benda yang sampiran... entah telah berapa banyak dosa yang
aku telah lakukan... Sekarang, di ini detik, semua barang itu
masih tetap berharga, akan tetapi itu tak dapat dipakai untuk
menarik atau mengembalikan usia mudaku yang telah
lewat..." Ia berhenti bicara, matanya dipentang lebar. Dengan sinar
tak berkedip, ia menatap si anak muda di depannya.
"Memang semua benda itu berharga luar biasa," lalu ia
menambahkan. "Maka itu, meskipun untukku sudah tidak ada
harganya, buat orang lain, mencari sepotong pun sulit. Akhirakhir
ini aku telah terperdaya oleh seseorang, akan tetapi
meskipun demikian, sisanya masih tidak sedikit, bahkan
harganya tetap luar biasa. Jangan dibicarakan yang lainnya
buat menyebut pedang saja, umpamanya. Semua itu adalah
pedang-pedang yang orang rimba persilatan ingin dapatkan!
Tahukah kau?" Tiang Keng mengangguk tanpa terasa.
"Selama hidupku, aku hidup menyendiri, tabiatku memang
aneh." kata si nyonya. "Maka jika ada orang yang menentang
kehendakku, aku lantas menghajarnya sampai mampus!
Demikian juga orang-orang rimba persilatan. Di depanku
menyebut aku Ang-i Nio-nio atau Ang-i Sian-cu, sebaliknya di
belakangku, tak seorang pun yang berani mencaciku! Hm!
Semua manusia tak seperti anjing dan babi, bagaimana juga
mereka mencaciku, aku tak menaruh di hatiku, aku tidak
mempedulikannya!" Tiang Keng heran dan jadi tak sabaran. Orang itu bicara
melantur, berpindah jauh dari pokok persoalannya Tapi toh ia
harus mendengarkan orang itu bercerita lebih jauh.
"Semua yang kuucapkan ini, belum pernah aku utarakan
pada siapapun," demikian kata si nyonya. "Entah mengapa,
hari ini aku mau menuturkannya padamu. Mungkin ini
disebabkan semasa kecilku, tabiatku sama dengan tabiatmu,
keras tak terpatahkan. Maka begitu aku melihatmu, aku jadi
seperti berjodoh denganmu. Ya, ini aneh luar biasa!"
Un Jie Giok menghela napas, lantas ia berjalan perlahan ke
arah keretanya yang terhias lengkap dan indah
Tiang Keng mengawasi. Bukan main herannya ia
mendapatkan hantu wanita ini bicara demikian rupa. Toh,
Tiang Keng tetap memusuhinya dan hendak
membinasakannya. Ia lihat tubuh yang kurus tertutup
pakaiannya. Kalau ia ingat kesepian seperti yang dituturkan
nyonya itu, ia jadi simpati. Mendadak kesannya jadi baik,
hingga hampir saja ia lupa bahwa si nyonya itu musuh
besarnya. Tanpa merasa, pemuda ini berjalan mengikutinya.
Ia pun berjalan dengan perlahan-lahan.
Nyonya itu naik ke keretanya untuk bercokol seperti tadi. Ia
tampak seperti telah letih oleh usia tuanya. Tapi tak lama ia
duduk lesu, mendadak tubuhnya ditegakkan, kedua matanya
bersinar. Dengan dingin dan berpengaruh, ia berkata, "Jika
kau tidak turut pada perintahku, aku tetap akan mengambil
nyawamu! Hm! Jangan kau sangka aku benar-benar berlaku
baik terhadapmu!" Tiang Keng heran, ia tercengang. Nyonya tua ini memang
benar-benar aneh dan sulit untuk diterka hatinya.
Sesudah berkata dengan bengis, si nyonya menyandarkan
tubuhnya. Sekali lagi ia duduk lesu seperti tadi, hingga terlihat
tanda-tanda dari usia tuanya dan lemah tak berdaya. Saat itu,
siapapun yang tidak kenal padanya tak akan menyangka dia
adalah si hantu wanita yang ganas dan ditakuti.
Sambil membuka kedua matanya, nyonya itu mengawasi
mega putih yang sedang melayang-layang. Karena itu, ia pun
diam saja. "Seumurku, aku benci semua orang di kolong langit ini!"
katanya dengan sengit. "Sebaliknya, semua orang di kolong
langit membenciku! Cuma ada seorang yang aku sangat
sayangi, hingga untuknya, jika aku disuruh mati aku bersedia
mati tanpa membantah lagi!"
Sesudah berkata begitu, roman si nyonya tua tampak
seolah sedang penasaran. Tiang Keng jadi semakin heran. Ia memikirkan siapa orang


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu yang dapat kasih sayang nyonya tua ini. Hanya sedetik, ia
berpikir. "Buat apa aku memusingkan diri" Dia toh tak ada
sangkut-pautnya denganku?" Maka ia menegur dirinya sendiri.
"Kenapa kau berkesan baik kepada musuh Ayahku?" Maka ia
lantas mengawasi dengan tajam pada si nyonya, terus ia
bertanya, "Apakah itu yang hendak diberitahukan padaku?"
Un Jie Giok seperti tidak mendengar pertanyaan itu. Ia
terus berkata seorang diri.
"Kaulah anak jujur dan keras kepala, maka itu aku suka
memberitahukan kepadamu!" katanya lagi. "Orang yang paling
kusayangi itu juga muridku satu-satunya! Pasti kau telah
melihatnya ketika ia berada bersama-sama di kaki puncak Sie
Sin-hong! Asal matamu tidak buta, kau tentu telah melihat
bagaimana cantiknya dia! Selama hidupku tidak sedikit aku
telah melihat orang perempuan akan tetapi belum pernah aku
mendapatkan yang cantiknya melebihi kecantikannya itu!"
Nyonya itu menghela nafas, tanpa memberi kesempatan
dia berkata. "Hanya, meski pun roman anak itu tampak halus
dan sabar, sebenarnya hatinya keras sekali, dia sama
bandelnya seperti aku. Itu tabiat asalnya! Barang siapa
bertabiat demikian, sekalipun ilmu silatnya tinggi luar biasa,
dia akan menderita... Aku sudah tua, aku rasa tidak bakal
hidup lebih lama, karena itu aku mulai khawatir memikirkan
dia. Aku tidak tahu bagaimana akhir peruntungannya kelak...."
Jago wanita itu bersandar di keretanya, tampak dia tenang
sekali. Dia bicara mengenai urusan pribadinya, urusan
muridnya, manusia yang ia paling sayangi semasa hidupnya.
Sama sekali ia tidak mau menimbulkan urusan dengan si
pemuda she To itu. Tiang Keng jadi makin tidak sabaran, akan tetapi entah
kenapa, ia tak tega memutus omongan orang itu. Dengan
demikian ia pun tidak tahu bagaimana "tidak sabarannya" Gim
Soan yang terkurung di dalam tarian silat Nie Tong Sian Bu.
Pemuda berbaju kuning itu sangat penasaran dan khawatir
ia tak dapat meloloskan diri. menyingkir dari bahaya, untuk
dapat mendengar apa yang diucapkan si nyonya tua...
Tidak peduli dia gesit dan lihay, tapi murid Ban Biauw Cinjin
tidak sanggup meloloskan diri dari kurungan. Meskipun
begitu ia masih sempat sewaktu-waktu mengawasi gerak-gerik
si nyonya dan Tiang Keng, hingga ia lihat mereka seperti
orang sedang ngobrol. Setelah bertempur sekian lama, Gim Soan mendapat
kenyataan bahwa ia diserang bukan untuk dicelakai,
melainkan sedang dikurung. Karena sekarang tidak
bersungguh-sungguh seperti tadi. Ia berani menyerang tanpa
menghiraukan lagi pembelaan dirinya. Dengan begitu ia jadi
mendapat hati dan bersemangat lagi. Tapi. biar bagaimana, ia
tetap terkurung... "Ah, inilah hebat..." pikir Gim Soan. Ia jadi ingat pada Tiang
Keng yang menyerah kalah pada si nyonya tua. Mulanya ia
penasaran, ia tak suka mengaku kalah. Akan tetapi sesudah
lewat beberapa jurus, ia kewalahan sendiri.
"Ah, sudahlah!" katanya sambil menghela napas. Ia lantas
berhenti bersilat. Akan tetapi hebat baginya, saat ia berhenti itu, ia sudah
diserang terus oleh nona-nona yang maju berbareng dari
depan maupun belakang, kiri dan kanan. Maka tanpa daya lagi
berbagai jalan darahnya berhasil ditotok, tapi bukan jalan
darah yang mematikan. Waktu itu ia pun mendengar tawa riuh
nona-nona itu mengejeknya.
"Eh. eh, mengapa kau begini tak berguna?"
Serangan perlahan dan tawa itu manis, tetapi Gim Soan
merasakannya nyeri menusuk telinganya, sebab ia tengah
dipermainkan. Tiba-tiba ia jadi gusar sekali. Mendadak ia
berseru keras, bagaikan orang kalap, ia menyerang dengan
hebat berulang-ulang! Atas serangan Gim Soan itu kawanan nona-nona itu
bergerak pula. maka tetap jago muda ini tak berdaya
melepaskan diri dari kepungan mereka...
0oo0 BAB 21. TIANG KENG DAPAT WEJANGAN DARI MUSUH
BESARNYA Ketika Tiang Keng mendengar teriakan kalap Gim Soan, ia
heran. Namun saat ia hendak berpaling untuk melihatnya,
tiba-tiba ia mendengar suara dingin dari si Nyonya Tua, "Kau
dengar tidak?" "Aku dengar!" sahut Tiang Keng. Tuang Keng tak biasa
mendengar suara tawar si Nyonya Tua akan tetapi ia bisa
menahan amarahnya. Beberapa kali Un Jie Giok memperdengarkan ejekannya,
"Hm! Hm!" Dingin suaranya itu. Lalu dia menarik napas dan
berkata dengan duka. "Ketika muridku itu masih kecil, ayah
dan ibunya sudah menutup mata semua. Dia..."
Mendadak dia berhenti bicara. Tiang Keng mengangkat
kepalanya memandang ke arah nyonya tua itu, hingga ia
melihat beberapa kali paras orang berubah-ubah dan yang
paling tegas ialah penyesalannya. Tentu saja ia kembali
merasa aneh. Maka berpikir.
"Mungkinkah dulu dia pernah susah hati?" pikir Tiang Keng.
Jie Giok kembali menghela napas. "Dia sampai tak tahu she
dan nama ayah dan ibunya," ia menyambung ceritanya. "Oieh
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 8 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Persekutuan Orang Orang Sakti 1
^