Pencarian

Dendam Asmara 6

Dendam Asmara Karya Okt Bagian 6


Cahayanya memancar ke segala penjuru. Daun-daun di sekitar
gunung tampak hijau. Tiang Keng berjalan di samping nona Un.
"Musuhmu..." kata si nona. "Kecuali Jie Giok, ada lagi yaitu
imam bernama In Hoan. Maka jika kita tak bisa menemukan
guruku, kau akan kutemani mencari si imam. Hanya untuk
yang bisa kuatur.. "
Un Kin menarik nafas. Ia tak melanjutkan kata-katanya.
Sebenarnya ia putus asa....
Tiang Keng mengangguk. "Tadi malam mengapa kau bisa segera kembali lagi?"' kata
Tiang Keng pada si nona. Tiang Keng baru ingat pada masalah itu. karena heran si
nona bisa kembali demikian cepat. "Apa barang kali In Hoan
ada di sekitar tempat ini?" ia berpikir.
"Sebenarnya aku tidak menguntit mereka, tapi kuhadang
mereka di tengah jalan. Aku minta agar mereka mengatakan
tempat guru mereka!" jawab Un Kin "Ketika itu pikiranku
sedang kusut. Aku heran kenapa guruku menyuruh aku
menguntit mereka, padahal saat itu bisa saja ia tanyakan pada
mereka tempat gurunya. Aku yakin mereka tak berani
berbohong. Sekarang aku baru sadar, selain ia ingin
menyuruhku pergi, ia juga hendak membunuhmu!"
Tiang Keng mengawasi si nona dengan tajam.
"Jika tadi malam kau tak segera kembali, mungkin. " kata
Tiang Keng.. "Mungkin..."
Un Kin tersenyum, ia bisa menebak ke mana maksud katakata
Tiang Keng itu. "Sekarang aku mengerti, apa artinya pembalasan," kata si
nona. Tiang Keng mengangguk Mereka terus berjalan, sekarang mereka telah memasuki
tempat yang banyak pepohonannya.
"Perubahan suasana ini mungkin akan membuat orang
banyak yang putus asa. " kata si nona. Ia pun menghela nafas
panjang. "Banyak yang datang dengan suatu maksud, tapi
sasaran mereka gagal.... Ini ada baiknya. mungkin ini
keberuntungan kita. jika tidak..."
Tiang Keng mengangguk. "'Oh. ya! Aku akan menanyakan
sesuatu, boleh tidak?" kata Tiang Keng.
"Katakan saja!" kata si nona
Tiang Keng menarik nafas sebelum ia mengajukan
pertanyaannya. "Aku ingin membicarakan orang-orang Koay To Hwee...."
kata Tiang Keng. Tapi tiba-tiba ia berkata lagi. "Ah sudahlah,
lebih baik aku tak menanyakannya, lagi pula itu sudah
berlalu....'" Un Kin tahu maksud pertanyaan Tiang Keng.
"Kau jangan kuatir," jawab si nona. "Mereka itu tidak
binasa di tanganku! Mereka juga bukan dibunuh oleh pelayanpelayanku!"
Tiang Keng bernafas lega.
Memang ia tak berharap si nona akan menjawab. "Mereka
terbunuh olehku!" ia tersenyum. Tapi ia tak tahan untuk tak
berkata lagi. "Yang mengherankan, mereka tak tahu siapa yang
membunuhnya.. .." kata Tiang Keng.
Un Kin kembali menghela nafas.
"Untuk selamanya tak akan bisa kau terka siapa pembunuh
mereka itu," kata si nona.
Tiang Keng mengawasi tajam.
"Seandainya aku memberitahumu, pasti kau tak akan
percaya," kata si nona lagi "Tapi kelak kau akan tahu sendiri!"
Tiang Keng heran. Sambil berjalan otaknya pun bekerja.
"Apa dia Ban Biauw Cin-jin In Hoan?" kata Tiang Keng.
Tiang Keng penasaran keingintahuannya sangat keras
Nona Un menggeleng kepala.
"Apa beberapa orang murid imam itu?" tanya Tiang Keng
lagi. Kembali Un Kin menggelengkan kepala.
Tiang Keng makin keheranan.
'"Aku benar-benar tak bisa menerkanya." kata Tiang Keng.
"'Siapa orangnya yang bisa menggunakan senjata rahasia
sehebat itu. jika bukan In Hoan dan sebangsanya!"
Un Kin tertawa perlahan. "Senjata rahasia itu bernama Bu Eng Sin Ciam (Jarum Sakti
Tanpa Bayangan)." si nona menjelaskan. "Sebenarnya jarum
itu aku yang melepaskannya..."
Mendengar jawaban itu Tiang Keng terperanjat. Mendadak
ia menghentikan langkahnya, wajahnya berubah.
"Kau?" kata dia. "Kau"
Un Kin tidak terperanjat oleh pertanyaan itu. Malah ia
tersenyum manis. "Tapi senjata rahasiaku itu tak berbahaya dan tak melukai
orang, tetapi malah sebaliknya bisa menolong orang..."
Tiang Keng melongo, ia mengawasi nona yang ada di
depannya. "Bisa menolong?" kata Tiang Keng. keheranannya jadi
bertambah. "Apa artinya kata-katamu itu?"
"Ceritaku panjang, nanti saja akan kuceritakan perlahanlahan."
kata Un Kin. "Yang penting sekarang kau percaya
padaku dan aku tak akan membohongimu!"
Sambil berkata si nona menunduk, wajahnya berubah
merah-padam. Tiba-tiba ia menunjuk ke arah depan.
"Lihat di sana!" kata si nona. "Itu pintu gerbang dan itu
adalah tempat yang akan dijadikan tempat pertandingan silat
itu!" Tiang Keng mengawasi ke depan.
"Katanya dia tak akan mendustaiku." pikir Tiang Keng.
Tiang Keng melihat sebuah jalan kecil yang menanjak. Dia
mengawasi ke gerbang dari daun-daun yang ditunjuk oleh si
nona. Gerbang atau kaca-kaca itu tingginya lima tombak dan
lebarnya tiga tombak. Di kiri kanan gerbang itu digantung
sepasang lian (syair) yang berbunyi "Menengadah melihat
langit luas tanpa batas, menunduk mengawasi jago-jago
Rimba Persilatan". Kata-kata itu sungguh temberang.
"Itu pasti tulisan Un Jie Giok!" kata Tiang Keng.
"Bukan!" kata Un Kin sambil menggeleng kepala.
"Lalu tulisan siapa?" tanya Tiang Keng.
"Pasti kau tidak bakal menyangka siapa penulis lian itu"
sahut si nona. Kembali Tiang Keng keheranan.
"Siapakah penulisnya?" tanya Tiang Keng.
"Penulis lian itu adalah Sin-tauw Kiauw Cian, si Raja Copet!"
sahut Un Kin. "Apakah dia Sin-tauw Kiauw Cian - si hartawan, yang
membawa-bawa lukisan perempuan yang dia puji-puji di
mana-mana?" Tiang Keng menegaskan. "Sungguh tak
disangka, mengapa ia ada hubungan dengan Un Jie Giok?"
Un Kin tertawa dingin. "Itu seperti pepatah mengatakan, tahu muka, tak akan
mengetahui hatinya!" kata Un Kin. "Baik buruknya hati
manusia itu, sukar ditebak. Di kalangan Kang-ouw siapapun
mengatakan Kiauw Cian itu orang baik, tapi yang sebenarnya,
hm! Sudahlah, aku tahu sekali mengenai dirinya!"
Saat Un Jie Giok memutuskan akan memancing semua jago
silat datang ke Thian-bak-san. Jie Giok sudah mengatur
semuanya dengan sempurna. Tetapi ia masih membutuhkan
orang yang pandai bicara untuk mempropagandakan
pancingannya itu. Jie Giok tak ingin memakai orang yang
sembarangan. namun ia juga tak bisa bekerja sendiri. Setelah
dipikir-pikir, akhirnya Jie Giok mengirim tiga orang utusan
untuk memilih calon juru-bicara itu. Setelah orang itu
diperoleh, mereka lalu diundang ke atas gunung. Salah
seorang dari orang yang terpilih itu adalah Kiauw Cian,
sedangkan salah seorang dari teman Kiauw Cian sangat benci
kepada Un Jie Giok. Orang itu lalu dibunuh supaya ia tak
membocorkan rahasianya. Saat hendak dibunuh ia memakimaki
Un Jie Giok. Sedang yang seorang lagi orangnya
pendiam, ia menurut saja, tapi malamnya ia mencoba kabur.
Tapi celaka ia kepergok dan dirintangi serta akhirnya dibunuh
juga. Sebaliknya si Raja Copet, selain bersedia bekerja sama.
ia juga mengajukan bermacam-macam usul. Saat ia turun
gunung akan menyiarkan pertemuan para jago silat, ia
membawa gambar dan mutiara banyak sekali.
Un Kin mengisahkan semua tentang Kiauw Cian pada Tiang
Keng, hingga pemuda ini sangat benci dan ingin
membunuhnya. "Orang semacam dia, aku tahu banyak sekali!" kata si
nona. "Ada orang yang di kalangan Kang-ouw sangat terkenal,
tapi hm. ternyata.... Nanti sesudah kau ada di dalam, kelak
kau akan menyaksikan sesuatu yang tak pernah terpikir
olehmu!" Tiang Keng menghela nafas, ia mengikuti si nona terus
berjalan ke arah gapura. Sesudah berjalan beberapa tombak
jauhnya, mereka menemukan jalan bercabang dua, pada
setiap jalan terdapat papan kayu pek berisi pemberitahuan.
Papan yang satu berbunyi : "Inilah jalan yang benar, silakan
Tuan berjalan dari sini". Papan yang lain bertulisan : "Jika
lewat dari jalan ini sulitnya seperti mendaki langit"
Setelah membaca tulisan itu Tiang Keng berpikir keras.
"Rupanya Un Jie Giok ingin menguji ilmu meringankan
tubuh setiap orang..." pikir Tiang Keng.
Saat Tiang Keng sedang berpikir ternyata Un Kin
mengambil jalan yang sulit itu.
"Dia bertabiat keras sekali, pada saat begini pun ia tak ingin
menunjukkan padaku, bahwa dia tak sudi menunjukkan
kelemahannya. Dia malah mengambil jalan yang sulit! Ah.
bukankah akan lebih baik jika ia menghemat tenaga, agar
tenaga tersebut cukup untuk menghadapi musuh nanti?" pikir
Tiang Keng. Ketika itu si nona yang sudah berjalan agak jauh ia
menoleh ke belakang, tangannya menggapai. Maka tak ayal
Tiang Keng pun menyusulnya.
0oo0 BAB 40. TIANG KENG DAN UN KIN MENEROBOS SARANG
UN JIE GIOK Tabiat Tiang Keng keras. Memang, menurut suara hatinya
ia juga lebih suka memilih jalan yang dikatakan sulit seolah
mendaki langit. Ia anggap, ia cocok dengan perasaan si nona
yang memilih jalan yang sulit itu. Dengan demikian dengan
cepat mereka telah melewati jalan sejauh belasan tombak. Ia
lihat jalan makin sempit dan benar-benar sulit dilalui. Tapi bagi
mereka itu bukan suatu rintangan.
"'Jika jalan ini dianggap sulit seperti memanjat langit, maka
di dunia ini sungguh banyak jalan yang sulit!" pikir Tiang
Keng. Sambil berpikir Tiang Keng terus berlari-lari mendaki. Lewat
belasan tombak kemudian ia jadi heran. Jalan itu bukan makin
sulit, malah ia menemukan jalan itu rata, sekalipun orang tak
bisa silatpun mereka bisa berjalan di tempat ini dengan
leluasa! Saking heran Tiang Keng jadi curiga. Lalu ia berkata
pada si nona. "Jika jalan ini disebut sulit, lalu bagaimana dengan jalan
yang lainnya itu" Barangkali jalan itu empuknya seperti ketika
kita berjalan di atas kapas?" kata Tiang Keng. Un Kin tertawa.
"Kembali tebakanmu salah!" kata si nona.
Tiang Keng keheranan, tapi hanya sebentar, kemudian
sadar. "Ah! Kalau begitu ini akal Un Jie Giok, bukan?" kata Tiang
Keng. "Jalan yang bagus sukar dilalui, jalan yang jelek mudah
dilewati. Bukankah dengan demikian banyak orang yang
terjebak dan terperdaya. Sembilan dari sepuluh jago silat jadi
korbannya!" Un Kin mengangguk. "Kali ini kau menebaknya tepat sekali!" kata si nona. "Jalan
yang bagus dan rata serta tak mencurigakan, tapi sebenarnya
banyak perangkapnya. Jangankan orang yang kepandaian
ilmu meringankan tubuhnya rendah, sekalipun yang lihay, jika
dia lalai, dia pasti terjebak! Apalagi di jalan yang disebut
seratus langkah pasir. Atau sungai yang diberi nama sepuluh
tombak sungai beracun. Sedikit saja orang kurang hati-hati,
jiwanya bisa melayang."
Sesudah itu Un Kin diam sebentar, baru ia meneruskan lagi
kata-katanya. "Kebanyakan orang yang datang ke mari. mereka ingin
merampas mustika." kata si nona. "Mereka kebanyakan bukan
orang lihay, maka mereka tak mau membuang tenaga, lalu
memilih jalan yang bagus. Hingga dengan demikian mereka
terjebak, bukan saja tak berhasil mengambil mustika, malah
mereka pun binasa! Sedang yang lihay. mereka memilih jalan
yang sukar. Berbagai rintangan yang ringan bukan halangan
baginya. Hingga ia bisa mencapai tujuannya tanpa rintangan!"
Tiang Keng menghela nafas.
"Un Jie Giok benar-benar lihay!" pikir Tiang Keng. "Dia
sungguh berbahaya! Ada pepatah yang mengatakan, barang
siapa berani mendekati gin-cu (pewarna) dia akan merah,
barang siapa mendekati bak (tinta), maka ia akan hitam. Itu
memang benar. Demikian dengan Un Kin yang selama ini
dididik dengan keras dan kasih sayang dari Jie Giok. maka Un
Kin jadi berhati keras, agak kejam. Ah. tapi mudah-mudahan
saja setelah dia selalu dekat denganku, kemudian ia bisa..."
Mendadak Tiang Keng berhenti melamun, ia berpikir
lamunannya terlalu jauh. Lalu ia melangkah ke depan, sampai
akhirnya mereka sampai di ujungjalan. Di sini mereka
menemukan sebuah gapura lain, di tempat ini tak ada lian.
hanya ada tiga buah huruf besar berbunyi ; Tee It Kwan
artinya kota nomor satu. Un Kin berdiri di bawah Pay-louw (gapura), dan mengawasi
Tiang Keng sambil tersenyum.
Wajah Tiang Keng bersemu dadu.
"Eh kau sudah sampai lebih dulu." kata Tiang Keng. Un Kin
tertawa. "Aku lihat kau sedang berpikir, maka kau kulewati," kata si
nona. "Entah apa yang sedang kau pikirkan?" Ia mengawasi
wajah Tiang Keng, ia lihat wajah Tiang Keng merah dadu.
mendadak ia sendiri lalu menunduk.
Dalam waktu yang singkat kedua muda-mudi itu telah
mendapat perasaan yang luar biasa hingga mereka lupa kalau


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka pernah jadi lawan satu sama lain. Kesan baik yang
timbul di antara mereka membuat mereka berdua tersenyum.
"Di sini seluruhnya terdapat tiga buah gapura." kata nona
Un. "Di gapura pertama ini ada tiga buah lui-tay (panggung
tempat bertanding). Pada gapura nomor dua terdapat Lo-hanhio
dan Bwee-hoa-cung (Patok bunga bwee). Pada gapura
yang ketiga disiapkan bagi kaum Lay-kee (ilmu tenaga dalam)
untuk mereka saling menguji kepandaiannya. Masing-masing
seperti Kim-too-hoan-ciang. Ngo-bong-sin-cu. Kek-san-pa-gu.
Sesudah melewati ketiga gapura itu baru..." la berhenti bicara
sejenak, wajahnya jadi merah, tapi segera ia bicara lagi, "Tapi
sekarang semua itu sudah tak kuhiraukan lagi!"
Tiang Keng menghela nafas.
"Untuk semua ini entah berapa biaya yang dikeluarkan,
belum lagi tenaga Un Jie Giok," kata Tiang Keng. "Sungguh
tabiatnya aneh sekali! Semua itu dia atur untuk mencelakakan
orang lain, juga mencelakakan diri sendiri. Dari In Hoan aku
dengar, setiap perangkap sangat berbahaya, sedang orang
yang mengatur lui-taynya semua manusia iblis. Lalu di mana
mereka sekarang?" "Para undangan Jie Giok sebagian belum sampai, yang
sebagian sudah ada di dalam. Mungkin sekarang mereka
sedang tidur." kata Un Kin.
Sebelum kata-kata Un Kin selesai diucapkan, di balik Paylouw
terdengar suara panggilan.
"Nona kami di sini!"
Mau tak mau Tiang Keng dan Un Kin terkejut, keduanya
langsung menoleh dengan cepat. Dari atas Iauw-teng bambu
di samping pay-louw, melompat tiga orang, mereka melayang
bagaikan burung walet dan terlihat tiga nona yang
mengenakan pakaian serba merah yang ringkas.
Mula-mula mereka mengawasi ke arah Un Kin. Ketika
melihat Tiang Keng mereka jadi heran, mereka berdiri dan
sangat tercengang. Mungkin sedikit pun mereka tak mengira
nona mereka akan berada bersama-sama dengan Tiang Keng.
Ketiga nona itu adalah nona-nona yang mengantarkan
undangan ke kota Lim-an. Setelah mengawasi sebentar,
mereka langsung mau bicara.
Tapi didahului oleh Un Kin.
"Ada apa?" kata si nona.
Ketiga nona itu melengak, mereka saling mengawasi heran.
"Hwee-shio dari Siauw-lim-pay ," kata nona yang paling
tua. "Bentrok dengan Cian Lie Beng To dan Bu Eng Lo-sat,
entah apa sebabnya, tadi pagi-pagi mereka memaksa si hweeshio
bertarung... ." Alis Un Kin berkerut. "Sekarang keadaannya bagaimana?" tanya si nona.
"Tadi kami lihat hwee-shio itu sedang menghadapi Bu Eng
Lo-sat. mereka bertarung di atas patok Lo-han-hio, tempat
yang menjadi gapura kedua." sahut pelayan itu. "Sekalipun
bertubuh besar dan berat hwee-shio itu bergerak sangat gesit,
tubuhnya ringan, tapi saat ia akan mendapat kemenangan,
mendadak Cian Lie Beng To menghentikan pertarungan. Dia
bilang hasil pertandingan itu seri dan tak perlu diteruskan.
Lalu Bu Eng Lo-sat digantikan oleh Tiat-kiam Sun Yang yang
akhirnya imam dan hwee-shio itu bertarung hebat di atas
patok Bwee-hoa-cung!"
Un Kin tertawa dingin. "Itu siasat pertandingan berganti-ganti bagai roda kereta!"
kata si nona kesal. "Sungguh tak tahu malu!" kata Tiang Keng sengit.
"Semula kami kira mereka sedang bergurau," kata nona
pelayan itu. "Tapi makin lama mereka bertarung makin hebat,
tak ubahnya mereka sedang mengadu jiwa! Kami bingung dan
takut, kami tak bisa berbuat apa-apa, lalu kami lari ke dalam
untuk melapor tapi ternyata Couw-koh tidak ada di tempat.
Kau juga tak ada. Karena itu kami jadi bingung..."
Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi.
"Un Jie Giok tak ada" Ke mana dia?"
Begitu yang ada di benak mereka berdua. Wajah Un Kin
jadi muram. "Teruskan ceritamu!" kata si nona.
Ketiga nona itu jadi ketakutan sekali, belum pernah mereka
melihat wajah Un Kin begitu bengis. Dua nona langsung
tunduk, hanya yang tertua langsung bicara lagi.
"Ketika kami lari keluar, mereka sudah bertarung di tempat
lain, di gerbang ketiga. Di sana seorang yang bertubuh tinggi
besar yang disebut Ngo Teng Sin Ciang menghadapi si hweeshio
dalam barisan Kim-too-hoan-ciang. Si hwee-shio sudah
kelelahan, tubuhnya sudah mandi keringat, nafasnya
memburu. Tapi kakinya masih tetap gesit dan tenaganya
sangat kuat. Ngo Teng Sin Ciang sangat tangguh, mereka
berimbang.." Tiang Keng menghela nafas.
"Bukan kebetulan Siauw-lim-pay menjadi jago Rimba
Persilatan." kata Tiang Keng, kagum. "Padahal To-su Tauw-to
hanya ahli tingkat dua. Tapi tenaga dan kepandaiannya harus
dikagumi. Maka tak sembarang orang bisa mengalahkannya!"
Tiang Keng berkata begitu karena ia tak mengetahui si
hwee-shio seorang pria sejati. Dia juga telah meyakinkan ilmu
Cap-sha Tay-po Heng-lian dari ilmu Tong Cu Kang untuk
beberapa puluh tahun tanpa henti.
"Setahu kami mereka yang berjaga di gapura ketiga lihay
semuanya. Barang siapa kurang waspada, ia pasti celaka!
Maka siapapun yang terluka, maka lukanya berbahaya sekali.
Mereka semua orang undangan Couw-koh dan nona sendiri.
Kami tak berdaya mencegah pertarungan itu. Akhirnya kami
berpencar, yang lain mencari Couw-koh dan kami mencari
nona. Ternyata kita bertemu di sini!" kata si pelayan paling
tua. Sambil berkata nona-nona itu tetap mengawasi ke arah
Tiang Keng. mereka jadi heran kenapa musuh mereka ada
bersama si nona. "Apa benar Couw-koh tak ada di kamar Lek-tiok-hian?"
tanya Un Kin. "Benar tidak ada!" kata si pelayan. "Kami sudah... "
"Apa kau sudah memeriksanya dengan benar?" desak si
nona. "Kami sudah mencarinya dengan teliti sekali," sahut si
pelayan. "Oh!" keluh Un Kin. "Lalu apakah sekarang Bu Kin Tay-su
masih bertarung?" "Saat kami meninggalkannya, mereka sedang bertarung
hebat sekali." jawab si pelayan.
Kembali dia melirik ke arah Tiang Keng.
Tiang Keng menyaksikan tingkah nona pelayan itu, mau tak
mau wajahnya jadi berubah merah.
Un Kin menarik nafas, ia menoleh ke arah Tiang Keng.
"To-su Tauw-to sedang bertarung, kita harus melihatnya,
bukan!" kata si nona pada Tiang Keng.
"Benar," kata Tiang Keng.
"Un Kin selama belasan tahun bersama Un Jie Giok,
sekalipun cara bicaranya mirip, tapi ia selalu mengakhiri katakatanya
dengan pertanyaan, bukan____ Ah sudah mengapa
kupikirkan!" pikir Tiang Keng.
Tiang Keng mengawasi ke bagian dalam, selain ranggon
masih ada pagar dari bambu, kursi dan meja, berarti tempat
itu tempat bersenang-senang. Kelihatan jalan berbatu yang
menanjak ke arah bukit. Di sana terdapat tanah datar dan di
situlah berdiri tiga buah lui-tay yang terbuat dari kayu pekyang.
Setiap lui-tay lebarnya lima tombak kali tiga tombak.
Semua sudah dihias indah sekali seperti panggung untuk
penunjukan wayang orang. "Ah jika setiap lui-tay itu digantungi lian. baru tepat!" kata
Tiang Keng. Un Kin melirik ke arah Tiang Keng.
"Lian macam apa kiranya?" tanya si nona.
"Aku pernah mendengar dongeng tukang cerita," kata
Tiang Keng. "Misalnya lian yang berbunyi : dengan kepalan
menghajar harimau dari gunung selatan, dengan kaki
menendang naga dari utara. Atau lian lainnya: orang gagah
nomor satu dari dunia Kang-ouw, jago Rimba Persilatan tanpa
lawan. Jika ketiga lui-tay itu tanpa lian jadi kurang pantas.
Si nona tertawa perlahan.
Ketiga nona pelayan itu pun ikut tertawa.
Tiang Keng malah menghela nafas.
"Di sini." kata Tiang Keng. "Ternyata dongeng dan
kenyataan jauh berbeda sekali! Dalam dongeng banyak yang
sedap-sedap, sebaliknya dalam kenyataan banyak kepahitan
dan kesedihan. Benar, kan?"
Un Kin mengangguk perlahan.
0oo0 BAB 41. BU KIN TAY-SU DISELAMATKAN OLEH TIANG
KENG Mereka meneruskan perjalanan hingga mereka tiba di
sebuah lembah. Di situ terdapat jalan cukup panjang, jauhnya
belasan tombak. Sekarang mereka terhadang oleh hutan
lebat. Di sebuah pohon terlihat sebuah papan bertulisan "Teejie-
kwan" atau kota yang kedua.
Segera Un Kin masuk ke dalam hutan. Tiang Keng pun
mengikutinya, anak muda ini terus pasang mata dengan jeli.
Ia lihat beberapa gubuk yang seolah tiangnya terbuat dari
pepohonan dan dibangun indah sekali. Dengan demikian
orang jadi betah tinggal di hutan itu. Tiang Keng kagum dia
menghela nafas. Ia lihat setiap gubuk dipasangi tulisan
berbunyi . Tempat untuk merawat orang yang terluka.
"Ah. sungguh sempurna rencana Un Jie Giok sampai
demikian telitinya!" pikir Tiang Keng.
Tiga nona berbaju merah anak buah Un Kin berjalan di
belakang Tiang Keng. mereka sering memperhatikan Tiang
Keng, terkadang mereka saling pandang dengan sesama
temannya. Di tengah rimba terdapat sebuah tempat terbuka yang
tanahnya rata. Pasti tempat itu sengaja dibuat demikian.
Pohon kayu yang besar-besar, kulitnya sudah dibersihkan,
dan diletakkan di berbagai tempat hingga balok-balok itu jadi
berfungsi sebagai tempat duduk. Masih terdapat sebuah
lapangan yang di tengahnya terdapat banyak bangku panjang.
Di situ terdapat empat lingkaran terkurung oleh balok-balok
besar. Kalangan atau lapangan pertama tak karuan penuh batu
yang tidak teratur. Di situ terdapat tulisan . Loan-sek-tin
(Barisan batu), yang kedua penuh pasir dan ditulisi Houw-seetin
(Barisan pasir), sedang tempat yang ketiga terdapat
delapan puluh satu patok kayu dan diberi nama Bwee-hoachung
(Barisan patok kayu bunga Bwee). Patok kayu itu
sangat terkenal di kalangan Siauw-lim-pay. Lapangan yang
keempat diberi nama Lo-han-hio (Patok ikatan hio), seikatdcmi-
seikat hio didirikan, tapi di antara ikatan hio sudah
terlihat ada yang patah-patah.
Menyaksikan keadaan tempat itu Tiang Keng tertawa
dingin. "Pasti Bu Kin Tay-su tadi bertarung di tempat ini," pikir si
anak muda. Kemudian Tiang Keng memperhatikan ke sekitarnya.
"Ah. tak heran jika Un Jie Giok bersusah payah
membangun tempat merawat orang yang terluka. tempat ini
memang menyeramkan dan masuk akal kalau dia menyiapkan
tempat itu. Setiap orang yang bertarung di atas lapangan itu.
lalu siapa yang bisa menjamin mereka tidak akan terluka?"
pikir Tiang Keng. Tiang Keng berpikir sambil berjalan, ia sudah melewati
Houw-see-tin dan Lo-han-hio. Tubuh Tiang Keng bergerak
gesit dan ringan. Dengan tak mendapat rintangan mereka
memasuk hutan, ia mengikuti nona Un. Sedang di belakang
dia mengikuti para nona pelayan berbaju serba merah. Mereka
jelas keheranan, sambil mengawasi bagian belakang Tiang
Keng, tiba-tiba ketiga nona itu tersenyum.
Sesudah berjalan sekitar belasan tombak. Tiang Keng
tersentak kaget. Un Kin menarik nafas, perlahan lalu melirik ke
arah Tiang Keng. "Itu semua ciptaan Sin-touw Kiauw Cian." kata si nona
Kiranya yang mengherankan Tiang Keng adalah dua baris
peti mati terbuat dari kayu pek-yang dan diatur rapi sekali di
kedua tepi jalan. Jumlah peti mati entah berapa, sebab tak
terlihat jelas. Di jalan yang sempit dan berbahaya itu. setiap
hati orang yang melihatnya pasti tidak akan tenteram.
Tiang Keng maju terus dengan cepat.
"Hm!" dia mengeluarkan suara di hidung. Dia kelihatan
sengit la pikir, jika ia bisa bertemu dengan Kiauw Cian di tempat
itu, dengan tak banyak bicara lagi ia akan menghajar orang
she Kiauw itu. Jarak jalan jauhnya sekitar satu lie dan saat itu angin
berhembus terasa dingin sekali. Suatu saat mereka tiba di
sebuah ujung jalan, di sini mereka menemukan sebuah gapura
bertulisan Tee-sha-kvvan (Kota yang ketiga). Di tanah tegalan
ini berdiri empat buah panggung. Dari belakang panggung itu
terdengar suara berisik, suara orang saling membentak ramai
sekali. Tiang Keng dan Un Kin mempercepat larinya. Tiba di depan
panggung mereka langsung melompat naik, maksudnya untuk
melihat ke arah suara bentakan-bentakan itu. Tinggi
panggung sekitar tiga tombak, dengan demikian mereka bisa
melihat segenap penjuru dengan leluasa sekali.
Di tengah empat buah panggung itu digelar pasir rata
sekali, di sana ditancapkan golok-golok yang tajamnya
menghadap ke atas Karena sudah diasah golok-golok itu
berkilauan ketika terkena cahaya. Di kin dan kanan panggung
terletak para-para senjata, di sana tergantung golok pendek
yang terikat dengan rantai, namun kelihatan berat sekali dan
modelnya lain daripada yang lain. Semua rantai yang dipakai
menggantung golok ada bandulnya. Bandul inilah yang terus
berbunyi saat angin bertiup kencang.
Tak lama Tiang Keng melihat dua sosok tubuh manusia
yang bergerak-gerak. Demikian cepatnya hingga mereka bagai
bayangan. Dari mulut mereka terdengar suara bentakan yang
tak henti-hentinya. Ketika Tiang Keng mengawasi ke arah lui-tay, ia
menyaksikan belasan orang sedang duduk menonton. Tiang


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keng mengira mereka adalah jago-jago dari Rimba Persilatan
yang terdiri dari golongan tua maupun muda. Banyak yang
rambutnya sudah beruban, ada yang wajahnya penuh dengan
bewok, ada imam yang berkonde tinggi. Pakaian mereka pun
beraneka warna, wajahnya tampak garang.
Tiang Keng mengawasi ke arah mereka, sebaliknya mereka
pun mengawasinya, tapi semuanya tetap duduk tak ada yang
bergerak atau bersuara. Tiang Keng dan Un Kin keduanya melompat ke atas
panggung. Mereka berdiri berendeng. Munculnya sepasang
anak muda ini telah membuat orang-orang mengawasi, tapi
mereka tetap diam. Mungkin mereka menganggap Tiang Keng
termasuk sahabat mereka juga. Diam-diam ada lima orang
yang kemudian bergerak, setelah mereka mengenali siapa
anak muda tersebut. Mereka berlima adalah Pay Kiam Pian
Too dan Hay-lam Sam Kiam. orang yang kemarin pernah
bertarung dengan si anak muda.
Sesudah mengawasi sejenak Un Kin melompat turun, ujung
kakinya menginjak ujung golok. Sinar matahari menyinari
wajahnya yang cantik, anginpun bertiup perlahan. Rambut si
nona tertiup angin begitu pun pakaiannya.
Menyaksikan kegesitan dan ringannya tubuh Un Kin, Tiang
Keng kagum. Sekarang orang banyak segera bangkit untuk
memberi hormat. "Pagi-pagi sekali Nona sudah datang!" kata mereka.
Un Kin masih muda, ia murid satu-satunya dari Un Jie Giok.
Dia memiliki kepandaian sangat tinggi, tak heran kalau para
jago silat itu hormat kepadanya. Un Kin mengambil sikap
ramah, ia membalas hormat itu. sambil tersenyum ia berkata
manis. "Selamat pagi para Loo-cian-pwec sekalian!" kata Un Kin.
Kemudian Un Kin menoleh ke arah rombongan Ngo Hong
Sin Cu Tin. la saksikan dua orang itu sedang bergerak dan
gerakannya gesit sekali. Mereka adalah To-su Tauw-to dan
Cian Lie Beng To. Un Kin tertawa dingin sambil berkata.
"Kenapa Bu Kin Tay-su berkelahi?"
Ucapan Un Kin tak dijawab Seseorang terlihat melompat ke
arah barisan golok. Orang itu bertubuh kurus jangkung.
Kelihatannya ia lihay dalam ilmu meringankan tubuh.
Begitu orang itu sampai Un kin langsung menyapa.
"Siauw Tay-hiap." kata si nona sambil melirik. "Apa kau
tahu mengapa mereka berkelahi?"
Sebelum menjawab Bu-eng lo-sit tertawa nyaring.
"Perkelahian ini dikarenakan kami sudah lama mengagumi
ilmu silat kaum Siauw-lim-sie!" jawab Bu-eng Lo-sat "Itu
sebabnya kami mohon petuinjuk padanya dan tak punya
maksud lain!' "O begitu?" kata si nona. namun suaranya sedikit
mengejek. Setelah U Kin tertawa dingin, ia melanjutkan
katanya. "Ketahui olehmu. Kim Too Hoan Ciang dan Ngo Bong
Sin Cu bukan tempat orang untuk mengadu kepandaian!" kata
Un Kin. Mendengar teguran itu Siauw Tiat Hong melengak. Tak
lama kemudian ia tertawa.
"Jika orang bisa berhati-hati, aku kira tak ada bahayanya!"
kata Siauw Tiat Hong. Baru saja Tiat Hong tutup mulut, dari tengah lapang
pertandingan terdengar suara nyaring hingga semua orang
terpaksa menoleh ke arah suara di lapangan pertandingan.
Melihat Un Kin datang, semangat pendeta dari Siauw-limsie
itu bangkit secara tiba-tiba. Ia segera menyerang dengan
hebat dan sebutir Ngo-bong-sin-cu melayang ke arah
lawannya. Gu It San bertubuh bungkuk, ketika ia mendek untuk
menghindar dari serangan Ngo Bong Sin Cu, dengan demikian
ia berhasil membebaskan diri dari serangan itu. Tiba-tiba ia
membalas, ia sampok sebutir mutiara yang lain.
To-su Tauw-to. atau si pendeta Siauw-lim-sie, menyerang
sambil berseru lagi. Ternyata dua senjata rahasianya beradu di
tengah jalan, suaranya nyaring sekali. Celaka baginya tangan
baju si pendeta tergores sin-cu yang lainnya. Mau tak mau
kaget juga dia. tubuhnya jadi limbung.
Menyaksikan keadaan lawan sedang limbung, Cian Beng To
girang sekali. Dia tertawa, tubuhnya melompat mundur
sebanyak tiga langkah ke belakang, la tidak ingin menyerah,
tapi malah pasang kuda-kuda dan menyerang dengan kedua
tangannya. Dia melontarkan empat buah senjata rahasia biji
Ngo Bong Sin-cu. Sekalipun serangan itu dilakukan
bersamaan, namun sasarannya berbeda-beda.
Melihat lawan menyerang dengan senjata rahasianya, si
pendeta Siauw-lim-sie jadi putus asa. Ia sebenarnya gagah,
tapi karena sudah letih sekali dan harus bertarung secara
beruntun, tak heran jika kegesitannya jadi agak berkurang.
Saat ia diserang, ia belum siap pasang kuda-kuda. Saat itu
tubuhnya masih agak limbung. Ia kaget dan menghela nafas.
Dia yakin kali ini ia bakal celaka dalam barisan Ngo Bong Sin
Cu Tin.. Saat pendeta yang sudah putus asa dan menerima nasib,
mendadak telinganya mendengar suara senjata rahasia yang
nyaring beberapa kali. disusul oleh jeritan yang menyayat hati
dari Gu It San. Ketika itu ia merasakan lengannya ada yang
memegang, tubuhnya mundur setombak lebih jauhnya, baru
ia bisa berdiri tegak, la membuka matanya, sebab tadi ia
pejamkan untuk menerima nasib. Ia lihat matahari terang
benderang. Memang Ngo Hong Sin Cu masih menyambarnyambar
simpang-siur. namun ia sudah berada jauh di luar
kalangan, di tempat yang aman....
Ternyata ia ditolong oleh Tiang Keng.
0oo0 BAB 42. MUNCULNYA SI ORANG TUA ANEH DI TENGAH
GELANGGANG Tiang Keng menolong si pendeta Siauw-lim-sie pada saat
yang tepat. Sambil bersiul keras ia melompat ke arah si
pendeta, ia pegang tangannya yang ia tarik dan bawa
menyingkir sejauh satu tombak dari tempat pertandingan.
Menyaksikan lawannya telah ditolong oleh Tiang Keng, Gu It
San menyerang lagi dengan hebat. Rupanya Gu It San tak
senang si pendeta selamat dari serangannya. Ia melompat,
lagi-lagi ia gunakan kedua tangannya untuk melemparkan
senjata rahasia yang lihay ke arah Tiang Keng dan si pendeta.
Menyaksikan serangan maut yang kejam itu. Tiang Keng
mengerutkan dahinya. Dengan menggunakan tangan bajunya,
dia menangkis serangan lawan. Tiang Keng mengibas ke
belakang, ke arah penyerangnya. Saat ia mengibas, ia
gunakan tipu silat Liong Bwee Hui Hong atau Ekor Naga
Mengebut Angin Menyaksikan anak muda itu hendak merintangi maksudnya.
Gu It San tertawa. "Hai. kau mau mencari mampus sendiri,
ya?" Ia angkat sepasang tangannya ke depan dadanya, lalu ia
dorong ke depan dengan keras. It San mengerahkan seluruh
tenaganya Ia yakin jika tangan mereka beradu maka tangan
Tiang Keng akan patah. Di luar dugaan, sebelum tangannya bentrok dengan tangan
Tiang Keng. tiba-tiba ia merasakan dorongan sangat keras ke
arah dadanya. Ia sadar bahaya mengancam dirinya. Sialnya.
Gu It San tidak sedang berada di tanah, hingga tubuhnya
bergoyang. Terpaksa dia mundur tiga langkah. Tapi celaka
lima butir sin-cu menghajar punggungnya
Ia rasakan tubuhnya bergetar, hatinya mencelos dingin,
sedang mulutnya terasa bau amis. Sambil menjerit darah
segar menyembur dari mulutnya. Sebenarnya Gu It San
mengerti ilmu Kim-ciong-tiauw (ilmu kekebalan) dan Tiat-pousan.
sehingga tubuhnya tak akan mempan senjata tajam.
Namun karena sedang bergerak, sin-cu berhasil melukainya.
Tiang Keng melompat ke arah pendeta Siauw-lim-sie yang
sedang terpesona oleh gerakan Tiang Keng.
"Tay-su, apa kau tak terluka?" tanya Tiang Keng.
Wajah pendeta itu berubah merah, la ingat sikapnya pada
pemuda ini tempo hari. Sekarang justru ia ditolong oleh si
anak muda. Si pendeta langsung memberi hormat.
"Anak muda. terima kasih. Hari ini aku takluk kepadamu!"
kata dia. Tiang Keng tersenyum, ia membalas hormat itu. "Anda
terlalu memuji!" Tiba-tiba Bu-eng Lo-sat (Lo-sat Tanpa Bayangan)
melompat ke Ngo Bong Sin Cu Tin. ia berniat mengangkat
tubuh Gu It San. Dia bergerak dengan gesit di atas patok
golok. Dia bawa mayat sahabatnya itu ke tepi pelataran
pertandingan. Lalu ia letakan di situ.
"Ah. kiranya ia sudah tewas!" kata Bu-eng Lo-sat.
Mendengar ucapan Bu-eng Lo-sat Tiang Keng kaget. Dia
tak menyangka lawannya tewas. Ia kelihatan sangat
menyesal. Ia melompat dari patok golok ke arah Tiat Siauw
Hong. "Sahabat mungkin dia masih bisa tertolong!"
Namun Bu-eng Lo-sat mendadak menoleh dan membentak,
"Pergi dari sini! Jangan mendekat!"
"Aku bermaksud baik, mengapa kau berlaku kasar begitu?"
kata Tiang Keng. "Apa" Bermaksud baik" Hm! Aku belum pernah mendengar
ada kucing menangisi tikus yang diterkamnya!" kata Bu-eng
Lo-sat kasar. "Kau tak akan mampu mengelabuiku. Aku bukan
anak kecil." Tiang Keng kaget. Ia mengerti kondisi Bu-eng Lo-san Ia
awasi tubuh Gu It San yang mandi darah. Dua matanya
melotot dan kelihatan bengis. Sambil memejamkan mata
Tiang Keng menghela nafas.
"Sebenarnya maksudku baik. tapi jika kau tak percaya...."
Sebelum Tiang Keng selesai bicara, tiba-tiba Un Kin muncul di
sampingnya. "Jika dia tak percaya, ya sudah!" kata si nona.
Tiang Keng menarik nafas.
"Aku tak bermusuhan dengannya, aku juga tak sengaja
melukainya... aku jadi tak enak hati...." kata Tiang Keng.
Si nona tertawa dingin. "Bagaimana jika ia berhasil membunuh Bu Kin Tay-su?"
tanya si nona. "Jika kau tak menolongnya, siapa yang akan
menyalahkanmu" Apa kau akan membiarkan Bu Kin binasa?"
kata Un Kin. Tiang Keng menunduk dan diam, ia menghela nafas
panjang. Tiba-tiba Bu-eng Lo-sat berdiri tegak.
"Aku tak peduli kau bermaksud baik atau jahat," kata Bueng
Lo-sat. "Yang jelas Gu It San mati di tanganmu! Kelak,
keluarganya pasti akan mencarimu!"
Tiang Keng kaget, ia menunduk. "Balas dendam, ya anak
Gu It San akan sepertiku menuntut balas! Aku sekarang ingin
balas dendam. Ini tak akan ada habisnya! Entah kapan akan
berakhir?" pikir Tiang Keng.
Tiba-tiba Un Kin berkata pada Bu-eng Lo-sat Tiat Siauw
Hong dengan nyaring. "Kau sahabat Gu It San, jadi kau akan
menuntut balas?" Mata Tiat Siauw Hong berputar sambil mengawasi si nona.
"Membalas dendam demi sahabat itu wajib!"
"Jadi kau mau membalaskan sakit hati sahabatmu dan kau
akan membunuh orang yang membunuh sahabatmu, bukan?"
kata si nona. Ditanya demikian Tiat Siauw Hong melengak. "Bukankah itu
wajar?" Un Kin bersikap tenang. "Memang dia telah
membunuh sahabatmu, tapi dia bukan musuhmu, kenapa kau
ingin membunuhnya" Apa alasanmu" Adilkah itu?" kata Un
Kin. "Siapa bilang tak beralasan?" kata Siauw Hong. "Aku
membalaskan sakit hati sahabatku, aku kira itu pantas!"
'Kau benar, kau akan membunuh orang yang sebenarnya
tak bermusuhan denganmu. Kau bilang itu pantas! Sekarang
aku tanya, bagaimana jika Gu It San berhasil membunuh si
pendeta?" Tiat Siauw Hong melengak. Un Kin tak
menunggunya bicara, ia sudah berkata lagi.
"Gu It San jelas akan membunuh sahabat kami, lalu kami
menolongnya. Apakah tindakan kami itu tak pantas?" kata Un
Kin. Kata-kata Un Kin yang terakhir membuat Tiat Siauw Hong
terdiam dan bungkam. Melihat lawan kalah bicara. Un Kin
berkata lagi. "Nah, sudah. Kau bawa mayat sahabatmu itu,
mengapa diam saja!" kata Un Kin.
Ia membungkuk lalu ia pondong tubuh Gu It San. tak lama
ia berjalan dan menghilang dari tempat itu. Tiang Keng masih
kecewa, ia tunduk saja. Tiba-tiba dari satu tempat ia
mendengar ada yang bicara.
"Seorang nona yang lihay! Bu-eng Lo-sat dibuatnya pergi
seperti seekor tikus!" kata orang itu.
Selesai bicara orang itu melompat ke arah kedua anak
muda itu Ketika Tiang Keng menoleh, ia kagum pada ilmu
meringankan tubuh orang ini. Ia seorang pria beruban dengan
pakaian seperti pakaian perempuan. Namun ia tak memelihara
kumis maupun jenggot. Menyaksikan dandanan dan sikap
orang itu. Tiang Keng jadi geli tapi itu dia tahan untuk tak
tertawa. "Aku kebetulan sampai, kepandaian silatmu belum pernah
kusaksikan. Namun aku kagum caramu menggoyang lidah!"
kata orang itu. Selain pakaiannya yang luar biasa, orang tua ini pun
memiliki suara seperti perempuan. Un Kin heran dan dongkol.
Ia tak kenal orang ini. ia juga tak tahu kapan orang itu
datang. Un Kin menoleh pada para pelayan, mereka iuga
bingung. "Maafkan aku. mataku agak rabun. Lo-cian-pwee..." Tapi
sebelum Un Kin menyelesaikan kata-katanya, orang itu sudah
menyela sambil tertawa. "Nona, pasti kau heran! Aku ini siapa" Aku diam-diam
datang tadi malam dengan maksud mengejutkan kalian
semua!" kata si orang tua.
"Jika tadi malam tak terjadi insiden, tak semudah itu kau
bisa sampai ke mari...." pikir Un Kin.
Sebenarnya di antara orang yang ada di tempat itu ada
yang mengenal nya. Tapi mereka hanya diam.
"Nona kau tak kenal aku. tapi aku mengenalmu. Aku si
orang tua sudah lama mendengar kecantikanmu, terlebih
keganasanmu hingga aku ingin datang ke Thian-bak-san!"
kata si orang tua.

Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak mata Un Kin melotot. "Kau pernah apa pada Hoa
Long Pit Ngo?" tanya Un Kin.
Orang tua itu tertawa, wajahnya sudah keriput dan
matanya merah tapi dua baris giginya rata dan putih. "Matamu
tajam sekali. Nona! Aku Pit Su, kakakku tak berguna seperti
juga aku sendiri!" jawab si orang tua.
Mendengar jawaban orang itu Un Kin sedikit terkejut. "Jadi
kau adalah Pit Su yang bergelar Giok Long (Pria Kemala)?"
Mendengar ucapan si nona, orang tua itu tertawa. Sambil
membuka dan menutup matanya, orang tua itu mengangguk.
Tiang Keng kaget, ia berpikir. Dia ingat saat membonceng
kereta ke Thian-bak-san. Dia pernah mendengar para pelayan
bercerita bahwa Un Kin pernah memotong hidung Pit Ngo.
Sekarang Pit Su datang untuk balas dendam. Pit Su bergelar
Giok Long sedang Pit Ngo bergelar Hoa Long (Pria Bunga).
"Benar kedatangannya pasti untuk balas dendam," pikir
Tiang Keng siaga. Dia siap membantu jika Un Kin diserang.
Nona-nona pelayan Un Kin juga mengawasi.
"Oh jadi kedatanganmu untuk membalas sakit hati
adikmu?" tanya Un Kin.
"Sabar, Nona. Aku bukan hendak menuntut balas." kata Pit
Su. "Kau salah besar!"
Un Kin dan Tiang Keng tercengang mereka mengawasi
dengan heran. "Pit Ngo sudah tua dan tolol!" kata Pit Su. "Dia tak tahu
diri. Siapa suruh dia ingin makan daging angsa kahyangan"
Jangan kata kau hanya memotong hidungnya, kau potong
telinganya pun aku tak keberatan. Aku bahkan akan bertepuk
tangan untuk menyatakan setuju!" kata Pit Su.
Tiang Keng dan Un Kin heran
"Memang sekalipun seekor naga beranak sembilan, sifat
anaknya akan berlainan. Sekarang Pit Ngo tak tahu malu.
sebaliknya Pit Su berlapang dada. Memang menilai orang tak
bisa dari romannya saja."
Kesan Un Kin dan Tiang Keng jadi baik terhadap orang tua
ini. "Kalau begitu maafkan," kata Un Kin. "Apakah
kedatanganmu untuk menemui guru?"
Un Kin tak ingin semua orang tahu ia sudah bentrok
dengan gurunya, maka ia masih menyebut kata guru.
"Bukan! Bukan itu maksudku!" kata Pit Su.
"Orang ini aneh sekali," pikir Tiang Keng. "Mau apa dia?"
"Aku bukan seperti Pit Ngo yang bersahabat dengan
gurumu, kedatanganku tentu saja bukan untuk berkunjung
pada gurumu. Kalau...."
Ia berhenti lalu tertawa dua kali. Setelah itu dengan dibuatbuat
ia menyipitkan matanya serta mengawasi ke arah si nona
dengan tingkah ceriwis. Dia awasi Un Kin dari atas ke bawah
dan sebaliknya..... Un Kin jadi tak enak hati. mau menegur dengan kasar pun
jadi serba salah.. "Kalau begitu kedatangan Loo-cian-pwee hanya untuk
menyaksikan pemandangan yang indah saja, begitu?" kata Un
Kin sambil tersenyum manis sekali.Kebetulan saat itu Tiang
Keng mengawasi ke arahnya.... ia melengak!
0oo0 BAB 43. TIANG KENG MENGALAHKAN PIT SU
Si nona tak melihat Tiang Keng mengawasinya, namun ia
tahu pasti anak muda itu sedang mengawasi ke arahnya, la
puas. Tiba-tiba ia menghentikan tawanya. Sedang Pit Su yang
sejak tadi asyik menikmati kecantikan si nona jadi
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Cantik! Sungguh cantik!" kata Pit Su terus memuji
kecantikan si nona. Tiba-tiba ia bertekuk lutut di depan si nona cantik, kedua
tangannya ia pentang. Menyaksikan sikap tengil orang tua itu
Un Kin melengak. ia mundur tiga langkah, lalu berjalan ke tepi
tak mau mengawasi orang tengik itu.
"Loo-cian-pwee, apa maksudmu berbuat begitu?"' tanya si
nona. Pit Su menengadah lalu berkata.
"Apa kau benar-benar tidak tahu maksudku?" katanya.
Un Kin menggelengkan kepala.
"'Aku benar-benar tidak tahu." jawab si nona. Pit Hu
membuka kedua tangannya yang ia lekatkan ke dadanya.
"Benarkah kau tak tahu?" ia menegaskan. "Sebenarnya aku
sedang melamarmu agar kau mau menikah denganku. Ketahui
olehmu, sekalipun aku kakaknya Pit Ngo. tetapi wajahku lebih
muda dari Pit Ngo Jika kau menolak cinta Pit Ngo. itu wajar
sekali, tapi pasti kau tak akan menolak cintaku!"
Tiang Keng dan Un Kin tercengang mendengar ucapan Pit
Su tersebut. Kok masih ada orang setua itu tak tahu malu.
Mau tertawa tak bisa. tersenyum pun tidak mampu mereka
lakukan. Tiba-tiba di sekitar panggung terdengar suara tawa
para hadirin. Saat itu Giok Long Pit Su masih berlutut di depan
Un Kin. "Aku rela berlutut di hadapan orang banyak dan kau. ini
membuktikan bahwa aku sangat mencintaimu...." kata Pit Su.
'"Apa kau tega akan mencelakakan aku. tak mungkin bukan?"
Mendengar ucapan itu Tiang Keng yang sejak tadi diam
saja. sekarang habis sabarnya dan jadi dongkol sekali.
"Tua bangka. tutup mulutmu!" bentak Tiang Keng.
Pit Su diam dan sedikit kaget, ia awasi orang yang
membentak dirinya. "Aku bicara sendiri, apa hubungannya denganmu" Apakah
kau cemburu?" jawab Pit Su dengan kesal.
Wajah Tiang Keng merah padam. "Bangun!" bentak Tiang
Keng dengan suara keras. Pit Su mengangkat mukanya yang keriput mirip kulit jeruk
itu. Matanya melotot tajam dan alisnya berdiri tegak.
"Siapa kau" Beraninya kau kurang ajar! Hm! Rupanya kau
sudah bosan hidup. ya?" bentak Pit Su tak kalah sengitnya.
Sikap Pit Su yang tadi halus, berubah jadi garang sekali, la
lupa saat itu ia masih berlutut di depan si nona. Menyaksikan
tingkah Pit Su yang tengil itu. ketiga nona pelayan itu tak
tahan untuk tidak tertawa, namun mereka berusaha menahan
tawanya. Tiang Keng gusar sekali. Ketika ia hendak
membentak, tapi telah didahului oleh suara tawa Pit Su.
"Aku bicara dengan nona ini. Jika ia bersedia
mendengarkan kata-kataku, tak ada yang boleh ikut campur.
Dasar bocah tak berguna, hm. kau mau mampus ya?" bentak
Pit Su dengan garang. "Kau terlalu usil. bocah!"
Mendengar ucapan itu Tiang Keng melengak. ia teringat
sesuatu, kata orang perempuan senang dipuji-puji. sekarang
Pit Su pun sedang memuji-muji Un Kin.
"Orang she Pit. aku sudah mendengar ocehanmu yang tak
karuan dan aku belum mengusirmu atau mencacimu. Tahukah
kau kenapa begitu?" kata Un Kin.
Ketika itu Pit Su sedang gusar, wajahnya merah padam.
Saat mendengar kata-kata Un Kin yang merdu, kemarahan Pit
Su pun reda. "Barangkali karena cintaku yang sungguh-sungguh, hingga
hati Nona tergerak..." Sebelum kata-kata Pit Su selesai Un Kin
membentak. "Bukan!" Pit Su terperanjat, ia berhenti bicara.
"Kalau begitu karena suaraku enak didengar, maka... " kata
Pit Su lagi. "Bukan!" bentak Un Kin lagi.
"Lalu?" kata Pit Su.
"Karena aku ingat semasa masih kecil." jawab Un Kin.
"Ketika itu aku sedang duduk berjemur mandi cahaya
matahari. Tiba-tiba datang seekor anjing gila yang berlari-lari
ke arahku, lalu anjing itu kuhajar hingga anjing itu lari terbiritbirit!
Tapi. ketika itu datang Louw-ko-ku. dia gusar, lalu
menegurku. Dengan gusar aku dimaki-maki. Dia bilang. Anak
perempuan harus tenang dan sabar. Mengapa aku harus
meladeni anjing gila?"
Un Kin tersenyum manis, saat itu matahari menyorot ke
wajahnya yang menambah keelokan si nona. Menyaksikan
kecantikan si nona Pit Su jadi bengong.
"Benar! Sekarang pun Nona begini sabar, aku yakin sejak
kecil kau mendapat pendidikan yang sempurna.. " kata Pit Su
sambil tertawa. Un Kin tersenyum manis sekali.
"Belum tentu aku tenang dan sabar." kata si nona. "Tapi
yang benar, aku tak mirip seekor anjing gila. Kelak jika datang
anjing gila lagi. maka akan kubiarkan dia menggonggong."
Sejenak Un Kin diam. ia awasi Tiang Keng baru ia
melanjutkan kata-katanya.
"Jika detik ini ada anjing gila lagi yang menggonggong di
depanku, pasti tak akan kudiamkan lagi. Aku sudah..." Si nona
menunduk dan tertawa, hingga kata-katanya tertunda
sejenak. "Sekarang telah ada orang yang melindungiku." si
nona melanjutkan. Mendadak si nona menoleh ke arah Tiang Keng. "Tiang
Keng. maukah kau mengusir anjing gila ini?" kata si nona.
Sejak tadi Tiang Keng memang sangat dongkol karena Un
Kin terus meladeni Pit Su. saat ia mendengar kata-kata si
nona. Tiang Keng sadar, la jadi geli sekali, la sadar si nona
sedang mempermainkan Pil Su. hingga dalam keadaan genting
pun si nona masih bisa melucu. Ia awasi Pit Su yang wajahnya
jadi merah-padam. Tiba-tiba Pit Su bangun, ia awasi si nona
sambil membentak. "Perempuan celaka! Kau benar-benar tak tahu diri!" kata
dia. "Kau... Sebelum Pit Su selesai bicara, tiba-tiba ia merasakan
dorongan keras ke arah dadanya. Ini dorongan yang belum
pernah ia rasakan seumur hidupnya. Ia kaget buru-buru
menghindar dan melompat lima kaki jauhnya untuk
menghindari serangan hebat itu. Baru kemudian ia mengawasi
ke arah si penyerang, ternyata itu adalah Tiang Keng.
Wajahnya bengis, ia sedang mengaw asi ke arahny a.
"Jika kau tetap berdiri di sini. sebanyak tiga kali akan
kukibaskan tanganku. Jika kau terluka. jangan katakan aku tak
bermurah hati padamu!" kata Tiang Keng.
Tiang Keng melaksanakan ucapannya, hingga Pit Su pucat.
Dia kaget oleh dorongan keras itu. hingga mundur sejauh tiga
langkah. Sia-sia Pit Su bertahan, terpaksa ia meninggalkan
gelanggang. Tiang Keng pun tak tega mencelakai lawan, la
menyesal telah melukai Gu It San hingga tewas. Saat itu Tiang
Keng melihat Pit Su yang tampak tidak gusar, malah berbalik
ia akan pergi. Tapi....di luar dugaan, tiba-tiba ia berbalik dan
menyerang bagaikan kilat ke arah Tiang Keng. Tiga kali
tangannya menyerang secara bergantian. Pit Su menyerang ke
arah tiga jalan darah ciang-tay. hian-kwan dan leng-coan.
Jarak Pit Su dan saat itu Tiang Keng sangat dekat, ditambah
lagi senjata rahasia Pit Su itu luar biasa.. Tiba-tiba mata Tiang
Keng jadi silau karena senjata lawan sudah di depannya. Un
Km kaget bukan main. wajahnya pucat, sedang mulutnya
berseru tertahan. Un Kin melompat ke arah Tiang Keng.
Sedang si anak muda tak bergerak untuk menghindar, la
hanya menarik mundur dadanya, tak heran jika ketiga senjata
rahasia itu mengenai tubuhnya. Mata si nona berkunangkunang,
kepalanya pening, ia terhuyung beberapa langkah
hingga hampir terguling. Sebaliknya Pit Su yang angkuh
tertawa terbahak-bahak karena puas.
"Kau sangat sombong, bocah! Sekarang kau ketahui
kelihayan Pit Toa-yamu!" kata dia. Saat Pit Su maju. ia
merandek kaget karena secara tiba-tiba Tiang Keng
membusungkan dadanya dan ketiga senjata rahasia Pit Su
berjatuhan ke tangan Tiang Keng. Pit Su kaget, ia heran
bagaimana musuh yang terkena senjatanya tak terluka.
Penonton pun kaget. Sekarang mereka lihat anak muda itu
berdiri tegak tak kurang suatu apa. Saat Un Kin sadar, ia
membuka matanya, la jadi kaget dan girang saat tahu Tiang
Keng tak kurang suatu apa. mulutnya jadi ternganga
keheranan. Tiang Keng tersenyum ke arah Pit Su. Tiba-tiba tangan
Tiang Keng terayun dan ..dan berbareng tiga batang jarum
halus melayang ke arah Pit Su yang kejam itu.... Jarum itu
bernama Ngo-leng Kong-ciam, jarum inilah yang telah
mengangkat nama Pit Su hingga jadi sangat ternama.
Sekalipun tak sehebat jarum milik Un Jie Giok yang bernama
Bu-eng Sin-ciam. namun jika jarum itu mengenai lawan,
akibatnya cukup fatal. Konon katanya tak peduli orang telah
berlatih ilmu Kim-ciong-tiauvv. Tiat Pou Sam atau Cap-sha
Thay -po Hang-lian. ia tetap akan celaka jika terkena jarum
itu. Pit Su tak menduga, mimpi pun tidak, kalau Tiang Keng
mampu menangkap tiga jarum itu dan menyerang Pit Su
dengan senjata milik Pit Su ke arah mukanya. Mau tak mau Pit
Su harus mendek untuk menghindarinya hingga ketiga jarum
itu melayang di atas kepalanya. Saking kagetnya ia jadi jadi
mandi keringat dingin, la baru sadar pada apa yang artinya
jerih, la jadi bingung dan penasaran, la tak tahu mengapa
Tiang Keng bisa begitu kebal dan lihay. Pit Su tak mengetahui
kalau Tiang Keng mengenakan baju buatan Su Khong Hoa
yang kebal senjata, terbuat dari kulit ular di gunung Hong-san.
Untuk memperoleh bahan pakaian kebal itu. tidak mudah. Tak
heran jika Un Jie Giok pun bersedia melakukan perjalanan
yang jauhnya ribuan lie. Khasiat pakaian kulit ular itu selain
tak mempan senjata juga tak tembus air dan tahan api.
Jarum milik Pit Su tersedot, sehingga kekuatan
serangannya tak hebat lagi. ditambah lagi jarum itu mengenai
baju tak mempan senjata itu. Tiang Keng berdiri tegak, ia
beroman gagah luar biasa.
"Eh. kau masih tak mau pergi !" bentak Tiang keng.
Pit Su kaget mendengar bentakan itu. ia melongo.
Sementara wajahnya pucat-pasi. Diam-diam ia menghela
nafas panjang, lalu ia membalikkan tubuhnya hendak pergi.
Tiba-tiba.. "Tahan!" bentak Un Kin dingin. Terpaksa Pit Su merandek.
"Kau telah menggonggong lama di sini. apa kau akan pergi
begitu saja?" kata Un Kin.
Tiba-tiba si nona mencelat, tahu-tahu ia sudah ada di
samping Pit Su, "Adik kesayanganmu telah meninggalkan sepotong
telinganya, kau pun harus memberi tanda mata untuku!" kata
Un Kin. Pit Su kaget bukan main. ia mendongkol juga bingung. Un
Kin tak peduli orang itu jerih, ia menggapai ke arah tiga
budaknya, salah seorang berlari menghampiri. Dengan
sepasang tangannya pelayan ini mengangsurkan sebilah pisau


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belati satu kaki panjangnya pada Un Kin. gagangnya indah
sekali. Saat pisau itu dihunus, terlihat berkilauan. Un Kin
menyambut pisau belati itu dengan tangannya yang putih
halus, kemudian ia menyentil dan terdengar suara nyaring.
"Tring!"' "Apa yang hendak kau tinggalkan, hidung atau telinga?"
kata Un Kin. 'Tapi keduanya juga boleh!"
Bukan main kagetnya Pit Su. keringat dingin tanpa terasa
keluar dari tubuhnya. "Celaka aku.,." keluhnya.
Dalam kagetnya ia tak punya pilihan lain. juga tak mau
dipermalukan di depan umum. la sadar bukan tandingan Tiang
Keng. tapi sebisanya ia akan melawan. Saat ia sedang
berpikir, tiba-tiba ada angin berkesiur dari belakang, ia kaget
dan menoleh. Ia jadi bertambah kaget ketika ia melihat Tiang
Keng telah berada di dekatnya.
"Sudahlah, biarkan ia pergi!?" kata Tiang Keng pada Un Kin.
Kata-kata ini melegakan hati Pit Su yang sudah ketakutan
setengah mati. Mendengar permintaan Tiang Keng tersebut
Un Kin tertawa. "Aku tak akan meniru kelakuan mereka, tadi aku hanya
ingin menggertak!:" kata si nona sambil tertawa.
"Bagus!" kata Tiang Keng sambil melambaikan tangannya
ke arah Pit Su. "Apa kau tak mau segera pergi?"
Tiang Keng tampak senang karena Un Kin menuruti katakatanya,
padahal biasanya Un Kin bersikap berandalan
Tiga pelayan itu heran, tiba-tiba nona mereka berubahdan
sangat taat pada si anak muda. Pit Su dongkol, ia awasi Tiang
Keng penuh kebencian. Tiba-tiba ia menghela nafas panjang.
"Ya. gunung yang biru tak berubah, sungai yang hijau terus
mengalir...." Bersamaan dengan kata-katanya itu. Pit Su melompat jauh
dan menghilang. Dari kejauhan terdengar suara Pit Su yang
masih bergema. "Budi dan kebaikan ini. kelak akan kubalas!"
kata Pit Su. Un Kin mengawasi kepergian Pit Su. lalu ia berbisik kepada
Tiang Keng. "Kau berbuat baik padanya, tapi belum tentu ia berterima
kasih padamu. . Apa kau dengar apa katanya tadi" Mungkin
dia bukan akan balas budi. tapi membalas dendam padamu!
Kenapa kau bersikap demikian kepadanya?" kata Un Kin.
"Kita harus jadi manusia yang tak perlu kecewa." kata
Tiang Keng. "Tentang orang lain yang akan berbuat apa
terhadapku, terserah dia saja! Aku berbuat baik bukan untuk
mengharapkan balasan!"
Sambil berkata Tiang Keng mengawasi Un Kin. Matanya
basah oleh air mata. Tiang Keng terharu namun ia girang
karena ia berhasil merebut hati si nona. Un Kin sejak kecil di
bawah asuhan Un Jie Giok. sekarang hatinya telah berubah
jadi baik. "Ada sesuatu yang belum kau ketahui." kata Tiang Keng.
"Coba sejak kecil kau ikut dengan guruku pasti kau..."
Sebelum Tiang Keng menerus-kan kata-katanya, mereka
mendengar suara jeritan yang mengerikan. Suaranya
menyayat hati. suara itu jauh tapi datangnya dari arah Pit Su
pergi... Wajah Tiang Keng berubah guram.
"Itu suara Pit Su," kata Tiang Keng pada Un Kin. "Apa
artinya ini?" 0oo0 BAB 44. UN JIE GIOK MEMOTONG TELINGA DAN HIDUNG
PIT SU Mendengar pertanyaan Tiang Keng. Un Kin menggeleng
kan kepala. Mendadak Un Kin ingat sesuatu, tiba-tiba
parasnya berubah. Sebelum para penonton di bawah lui-tay
menonton dengan diam. Padahal di antara para penonton itu
terdapat sahabat-sahabat Pit Su yang dapat membantunya.
Tapi aneh mereka tak bergerak dan hanya diam.
Kiranya hal itu ada sebabnya, pertama mereka tidak berani
dengan kelihayan Tiang Keng. Kedua mereka tak ingin
membuat kesalahan terhadap Un Kin. Mereka sadar murid Un
Jie Giok ini pun lihay sekali. Namun ketika mereka mendengar
jeritan Pit Su dari kejauhan, mereka berdiri serentak dan
berpaling ke arah suara yang mengerikan itu.
Saat menoleh, mereka melihat dua sosok bayangan sedang
berlari-lari mendatangi, tak lama kedua bayangan itu sudah
dekat dengan mereka. Tiang Keng mengenali kedua bayangan itu. mereka adalah
Siauw Tin dan Siauw Keng. dua nona yang pernah ia lihat saat
anggota Ang Kin Hwee binasa. Ketika ia memperhatikan
tangan Siauw Tin. tangan nona itu sedang memegang sebuah
bungkusan dari kain berlumuran darah, pasti isinya anggota
tubuh manusia. Saat Tiang Keng memperhatikan dengan
tegas, ia terperanjat. Ternyata isi kain itu sepasang telinga
dan sebuah hidung manusia. Tiang Keng berseru tertahan.
"Apa arti semua ini?" tanya Tiang Keng.
Kedua nona itu tidak menjawab pertanyaan Tiang Keng.
Keduanya saling mengawasi, kemudian dengan wajah dingin
mereka berjalan mendekati Un Kin dan berdiri di depannya.
Melihat itu. alis Un Kin berkerut.
"Couw-ko memerintahkan kami berdua untuk
menyampaikan benda ini kepada Nona." kata salah seorang
nona. Kemudian nona ini menambahkan. "Kata Couw-ko
bagaimana pun sikap Nona kepadanya, jika ada orang yang
berani kurang ajar kepadamu. Couw-ko tak mau tinggal diam
dan mengawasi saja. Maka Couw-ko telah mewakili Nona
memotong sepasang telinga dan hidung Pit Su. Beliau lalu
memerintahkan kami untuk mengantarkannya pada Nona!"
Sambil berkata demikian Siauw Tin menyodorkan kedua
tangan untuk menyerahkan bungkusan sepasang telinga dan
hidung itu. Tiang Keng kelihatan heran, ia berpikir Un Jie Giok
benar-benar lihay. "Dia tak kelihatan batang hidungnya,
bagaimana ia bisa tahu dengan jelas keadaan di tempat ini?"
pikir Tiang Keng Un Kin melongo mengawasi kedua pelayan itu, ia awasi
sapu tangan yang berlumuran darah di tangan Siauw Tin.
Pikirannya pun jadi kacau.
Tahu barang di tangannya tak disambut oleh Un Kin. Siauw
Tin mempermainkan matanya, lalu ia membungkuk dan
meletakkan bungkusan sepasang telinga dan hidung itu ke
tanah. Sambil menghela nafas, ia berkata. "Jika Nona tak mau
menerimanya, maka kuletakkan benda ini di sini. Cukup sudah
asal Nona tahu bagaimana sikap Couw-ko kepadamu... ."
Mata Siauw Keng pun berputar-putar, ia ikut bicara. "Couwko
menyuruhku menyampaikan pesan padamu. Jika Nona
tetap ingin mencari beliau untuk menuntut balas. Couw-ko
siap akan memuaskan hati Nona! Dia bilang nanti malam ia
akan menunggumu di ruang kuil tadi malam...."
Mata Siauw Keng mendadak merah, dengan suara perlahan
ia melanjutkan kata-katanya.
"Couw-ko bilang ia juga mengundang To Siang-kong agar
datang bersama Nona..." kata Siauw Keng.
"Sebentar lagi akan tiba saatnya kami bakal berkumpul di
sana menunggu Nona berdua." kata Siauw Ini "Sejak kecil
kami berdua sudah hidup bersama dengan Nona. kami senang
Nona tak menganggap kami ini budakmu. Maka kami berjanji
di kemudian hari kami akan membahu, kebaikan Nona. Akan
tetapi...." Siauw Tin berhenti sejenak, matanya mengawasi ke bawah.
"Akan tetapi jika nanti malam kita bertemu, saat itu kami telah
menjadi musuh-musuh Nona Maka jika kau akan membunuh
Couw ko. maka kami harap kau juga bunuh kami....."
Sesudah itu Siauw Tin menghela nafas panjang,
melanjutkan kata katanya.
"Kami tak sepandai Nona. namun kami sudah mendengar
kata-kata mu. Kami tak peduli Couw-ko orang seperti apa.
tetapi sedemikian lama ia telah memperlakukan kita dengan
baik sekali juga kepadamu Nona..."
Ucapan kedua nona itu membuai kepala Un Kin pusing
sendiri, la di.uu dari sudut matanya keluar air. Un Kin
menunduk. Tiang Keng mengawasi la sudah mendengar semua
pembicaraan kedua nona itu. ia mau bicara tapi selalu
dibatalkan. Tiba-tiba Un Kin bicara "Sakit hati orang tuaku luar biasa,
hingga aku pikir tak mungkin aku bisa hidup bersama musuh
besarku!" kata Un Kin "Kalian telah bicara, aku mengerti dan
aku menyesal, tetapi....."
Siauw Tin mendongak. "Kami tahu isi hatimu. Nona!" kata Siauw Tin yang
memotong kata-kata Un Kin. "Pasti kami juga tak akan
memaksa Nona dan kami juga pernah mendengar tentang
peristiwa zaman dahulu yaitu dongeng tentang memotong
jubah dan memutuskan ikatan hubungan persaudaraan serta
menggaris tanah membuat batas...."
Kata-kata Siauw Tin berhenti sejenak. Siauw Tin
menggerakkan tangannya. Dia masukkan ke sakunya, lalu
mengeluarkan sebilah pisau belati. Kemudian dengan tangan
kirinya ia sambar ujung bajunya, dan dengan pisau di tangan
kanan ia membabat ujung bajunya. Terpotonglalah ujung
bajunya menjadi dua potong. Sesudah itu sambil merapatkan
giginya, dia berkata lagi. "Sejak saat ini Nona dan aku tak
saling mengenal lagi!"
Setelah itu ia menancapkan pisau belatinya ke tanah,
sesudah melemparkan pisau itu. Siauw Tin diam. tak urung air
matanya mengalir juga. Ketika ia lirik, ia lihat Un Kin pun
menangis Kedua nona itu saling mengawasi.
Tiang Keng menghela nafas, ia berpaling ke jurusan lain. la
heran mengapa di dunia terjadi kejadian seperti itu...,
Semua penonton terpaku diam. Mereka tak tahu apa yang
terjadi sebenarnya. Beberapa penonton itu sudah ada yang
ngeloyor pergi Siauw Keng menghela nafas panjang. "Sesudah urusan jadi
begini rumit, aku tak tahu harus bilang apa?" katanya. "Kami
sadar. Nona cerdas melebihi kami berdua, kami yakin Nona
punya jalan keluar yang terbaik. Tapi..." ia berhenti bicara,
lalu ia berpaling ke arah Tiang Keng. Kemudian ia berkata
pada si anak muda. "To Siang-kong. kau cerdas, maukah kau menjawab
pertanyaanku?" kata Siauw Keng.
"Katakan saja." kata Tiang Keng.
"Seorang ibu yang melahirkan anak harus mendapat
balasan dari sang anak. namun seseorang yang merawat anak
dari kecil, sekalipun bukan anak kandungnya, bukankah budi
yang besar pantas mendapat balasan?" kata Siauw Keng.
Tiang Keng berpikir sejenak, ia tak tahu harus bagaimana
menjawab pertanyaan itu. Tetapi Siauw Keng tak menunggu
jawaban dari Tiang Keng. bersama Siauw Tin keduanya
membalik tubuh dan pergi.
Beberapa nona-nona yang lain mengawasi dengan heran
tanpa bicara mereka pun ikut pergi.
Un Kin berdiri diam. pikirannya kacau. Ia bingung, apakah
sakit hati orang tuanya perlu dibalas" Tapi kasih sayang Un Jie
Giok yang merawatnya sejak kecil, juga budi yang harus ia
balas, saat itu ia dibingungkan oleh ucapan Siauw Keng dan
Siauw Tin berdua. Ini rumit, masalah antara budi dan
permusuhan. Un Kin jadi bingung dan sulit berpikir. Sesudah
sekian lama baru ia angkat kepalanya. Ia lihat tempat itu telah
sunyi. Semua orang yang tadi berkerumun di lui-tay sudah
pergi semuanya. Un Kin hanya melihat Tiang Keng sedang
berdiri diam. bahkan To-su Tauw-to pun entah ke mana
perginya. Matahari memancar dengan sinarnya yang terang, hingga
golok yang dijadikan patok berkilauan cahayanya.
Un Kin membungkuk mengambil belati yang tadi
ditinggalkan oleh Siauw Keng dan Siauw Tin. Lalu pisau itu ia
satukan dengan pedangnya.
Saat itu angin bertiup perlahan hingga Un Kin merasakan
hawa dingin, la menoleh ke arah Tiang Keng. Sekian lama ia
diam saja. Mendadak ia tubruk Tiang Keng. tak lama ia
lepaskan dirinya dari rangkulan Tiang Keng. Kemudian dia
menangis meraung-raung. Barang kali ia anggap hanya Tiang
Keng-lah yang menjadi andalannya. Ia merasakan hawa
hangat saat Tiang Keng merangkulnya.
Setelah agak tenang dan berhenti menangis, ia berkata
perlahan pada Tiang Keng.
"Bagaimana sekarang?" kata Un Kin. "Apa yang harus
kulakukan. Tiang Keng?"
Tiang Keng menunduk. Dadanya berdebar-debar, dada
Tiang Keng bagaikan telaga yang berombak tapi
perlahan.....Ia usap-usap rambut Un Kin dengan lembut. Un
Kin yang tadi sudah berhenti menangis, tiba-tiba menangis
lagi. ia terisak-isak. Kehalusan Tiang Keng membuat rasa
sedihnya bangkit lagi. Tapi tangis itu ada baiknya bagi Un Kin.
dengan demikian hati si nona jadi agak lega.
Tiang Keng bingung oleh kata-kata Siauw Keng. Budi
membesarkan anak sama dengan budi melahirkannya. Itu
memang benar. "Bisakah ia membiarkan si Nona menuntut balas pada Un
Jie Giok" pikir Tiang Keng sangsi. "Atau harus kuanjurkan agar
dia balas budi?" Lama Tiang Keng berpikir, tapi kemudian ia mengambil
keputusan. secara perlahan-lahan ia tepuk-tepuk bahu si
nona. "Mari kita pergi!" kata Tiang Keng.
Un Kin mengangkat kepalanya, ia awasi Tiang Keng. lalu
ikut berjalan mengikuti anak muda itu. Mereka berjalan
perlahan-lahan, tak ada yang mau menggunakan ilmu
meringankan tubuh. Sekarang mereka telah tiba ke tepi jalan, di tempat banyak
peti-mati Melihat peti-peti mati itu. pikiran Tiang Keng yang
sedang mumat lalu berteriak, ia menyerang ke arah peti mati
itu. tak ampun lagi peti mati itu jadi berentakan. Berbareng
dengan hancurnya peti mati itu. ada tubuh manusia terlempar
sambil mengeluarkan suara jeritan mengerikan. Tubuh itu
jatuh dan diam tak bergerak lagi. Tiang Keng kaget. Ia
melompat menghampiri tubuh orang itu. la menyaksikan
wajah orang berpakaian hitam itu menyeramkan.
Tubuh orang itu terlentang. wajahnya seperti kaget dan
ketakutan. Un Kin terkejut, ia menoleh ke sekitarnya. Tapi
keadaan di tempat itu tetap sunyi. Tak lama mereka melihat


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuatu yang luar biasa. Beberapa peti mati bergerak
perlahan-lahan, berjalan. Un Kin hampir tak percaya pada
matanya. Padahal saat itu hari masih siang, tapi hati si nona
tak urung gentar juga... 0oo0 BAB 45. UN KIN DAN TIANG KENG BERHASIL MENANGKAP
KAUW CIAN Un Kin melengak sejenak, tiba-tiba ia arahkan sepasang
tangannya ke arah dua peti mati yang sedang bergerak maju.
Tangan Un Kin menyambar dua sinar putih ke arah kedua peti,
tak lama dua senjata rahasia itu telah tembus ke dalam peti
dan disusul oleh suara jeritan mengerikan. Dari dalam peti
mengalir darah segar dan menetes ke jalan raya.
Tiang Keng melompat ke sisi Un Kin. mata mereka saling
mengawasi. Tiba-tiba dari ujung jalan gunung terdengar suara
gembreng tiga kali. suaranya nyaring sekali. Kemudian sisa
dari 110 peti mati yang berjejer di tepi jalan, semua tutupnya
terbuka. Melihat kejadian itu hati Tiang Keng terkejut, bersamaan
dengan itu berkelebat ratusan cahaya berkilauan halus. Sinar
itu menyambar ke arah Tiang Keng dan Un Kin berdua. Dalam
kagetnya Tiang Keng sempat menyambar tangan Un Kin. lalu
menarik mengajak melompat tinggi. Dengan demikian benda
yang berkilauan itu lewat di kaki mereka.
Un Kin kaget hingga ia berseru keras. "Bu Eng Sin Ciam!"
kata si nona. Benda-benda itu adalah senjata rahasia Jarum Tanpa
Bayangan yang lihay luar biasa Un Kin agak jerih, sebab sulit
menghadapi senjata rahasia yang lihay itu.
Tiang Keng pun tak kurang kagetnya. Syukur ia ingat
sesuatu, mendadak dada Un Kin ditolaknya. Un Kin kaget, tapi
masih sempat mendorong, dan menangkis serangan Tiang
Keng. Akibatnya kedua tubuh mereka terpental mundur tiga
tombak jauhnya dari tempat semula dan turun di tepi jalan
raya tak kurang suatu apa. Dengan demikian serangan jarum
yang kedua pun tak berhasil mengenai mereka.
Tiang Keng yang kaget merasakan telapak tangannya
dingin, la merasa ngeri dengan ancaman bahaya itu. Tapi ia
pun bersyukur dan tak tinggal diam. Tiang Keng bergerak
cepat luar biasa, melompat ke arah suara gembreng. Ia lihat
di sebuah peti mati yang tutupnya sudah terbuka, ada orang
berpakaian serba hitam. Tangannya memegang sebuah
gembreng. Tangan yang lain memegang pemukul gemreng.
Saat ia akan memukul lagi gembreng itu. ia lihat Tiang Keng
sampai ke tempatnya. Dia kaget dan ketakutan himgga
gembreng terlepas dari tangannya. Tiba-tiba ia melompat
keluar dari peti mati itu. lalu kabur ke kaki gunung.
"Kau mau lari ke mana?" teriak Tiang Keng.
Tiang Keng mengejar orang itu dengan cepat. Un Kin pun
ikut mengejar. Orang berpakaian serba hitam itu gesit luar
biasa, ia berlari menggunakan ilmu meringankan tubuh yang
lihay sekali. Dia gunakan tipu Pat-pou-kan-siam. Melihat
demikian. Tiang Keng berseru pada Un Kin.
"Jangan biarkan dia lolos!"
Kedua muda-mudi ini mengejar dengan kencang, mereka
mengeluarkan seluruh kemampuan mereka hingga berhasil
menyusul orang berpakaian serba hitam. Makin lama jarak
mereka semakin dekat.... Orang itu merasa kalau ia tak akan lolos dari kejaran dua
muda-mudi itu. berlari sambol menoleh ke belakang dan
berteriak. "Awas piauw!" kata dia.
Tiang Keng dan Un Kin kaget. Mereka memperlambat
pengejarannya. Un Kin cerdas dan matanya awas. begitu
orang itu berpaling ia langsung ber-teriak. "Kiauw Cian!"
Pada saat yang bersamaan sebuah benda berkilauan
menyambar ke arah mereka berdua.
Tiang Keng gesit, benda itu dia sampok dan berhasil
menjatuhkan sebatang piauw atau senjata rahasia lawan, dan
benda itu jatuh ke dalam rumpun.
"Apa benar dia Kiauw Cian?" tanya Tiang Keng pada Un
Kin. "Benar." jawab si nona. "Ayo kejar dia!"
Keduanya langsung mengejar lagi.
Setelah serangannya gagal orang berpakaian serba hitam
itu yang dikenali Un Kin sebagai Kiauw Cian lari kembali. Di
depan mereka ada hutan lebat, ke sanalah Kiauw Cian kabur.
Melihat ada hutan lebat Tiang Keng penasaran. Karena jika
Kiauw Cian berhasil mencapai rimba itu. berarti ia lolos dari
kejaran mereka. Dengan cepat Tiang Keng menjejak tanah
dan melompat dengan cepat. Saat Tiang Keng melompat
kedua tangannya dipentang. mirip sayap burung yang akan
terbang. Tiang Keng pun berakrobat, kepala di bawah dan
kakinya berada di atas. Begitu cepat lompatan Tiang Keng ini
hingga ia berhasil mengejar lawan dan langsung menyerang
dengan tangannya. Kiauw Cian kaget dan ketakutan, la buru-buru menjatuhkan
diri dan bergulingan di tanah. Dia berguling masuk ke dalam
hutan. Karena berhasil masuk hutan hati Kiauw Cian agak lega
sedikit. Ia yakin di dalam hutan ia bakal selamat.
Betapa kagetnya Kiauw Cian saat ia mendengar bentakan
keras dari Tiang Keng. "Mau lari ke mana. Kau?" kata Tiang Keng.
Saat ia mengawasi ke depan, ia jadi lemas karena Tiang
Keng ada di depannya. Dia kaget setengah mati. buru-buru ia
bergulingan seperti tadi untuk menghindari lawannya itu.
Ilmu bergulingan yang digunakan oleh Kiauw Cian bernama
Ciu-tee-sip-pat-kun (Bergulingan delapan belas kali). Ilmu ini
adalah ilmu silat yang sangat biasa digunakan oleh kaum Kang
Ouw golongan rendah yaitu untuk menyelamatkan diri dengan
tak menghiraukan martabat atau wibawanya. Tubuh Kiauw
Cian kurus, ia bisa bergerak dengan cepat. Tapi lagi-lagi ia
mendengar bentakan Tiang Keng.
"Kau mau lari ke mana?" kata suara itu. Suara itu terdengar
di samping Kiauw Cian. Itu adalah suara halus dari seorang
perempuan. Tentu saja Kiauw Cian bertambah kaget dan
ketakutan, la sadar itu suara Un Kin. murid Ang-ie Nio-nio Un
Jie Giok. Walau ketakutan tetapi ia tak mau menyerah. Ia sudah
tahu apa jadinya jika tertangkap. Setelah dihadang dari
berbagai arah. ia panik akhirnya jadi nekat. Tiba-tiba
tangannya terayun, dari tangan itu tersebar belasan sinar
hitam mengkilat. Un Kin yang diserang tertawa dingin. "Ini yang namanya
temberang di depan kawan sendiri!" kata si nona sambil
tersenyum. Un Kin mengibaskan lengan bajunya dan ia berhasil
merontokkan senjata rahasia lawan. Kiauw Cian melompat ke
samping. Lagi-lagi ia akan masuk ke dalam hutan lebih dalam
lagi. Tapi.... Kiauw Cian mendengar bentakan dari belakang dan tak
lama ia rasakan pinggangnya ngilu dan lemas. Dengan tak
berdaya ia jatuh duduk di tanah. Tiang Keng menggapai ke
arah Un Kin. "Kau jaga jahanam ini. aku akan memeriksa ke sana" kata
Tiang Keng. Tiang Keng berlari kencang ke arah barisan peti mati yang
ada di tepi jalan. Tepat Tiang Keng tiba. dari peti mati itu
bermunculan orang-orang berpakaian serba hitam.
"Berhenti!" teriak Tiang Keng ke arah orang berpakaian
serba hitam itu. Tiang Keng melompat dengan tipu silat Cian-liong-sengthian
(Naga Melompat ke langit), la melompat sebanyak tiga
kali secara beruntun. Orang berpakaian serba hitam itu kaget, mereka berdiri
diam. Mereka lihat Tiang Keng melompat bagaikan terbang di
depan mereka. Saat Tiang Keng mengayunkan tangannya ke
arah peti mati itu. peti itu hancur berantakan.
"Siapa yang berani lari" Dua peti mati itu contohnya!" kata
Tiang Keng mengancam. Orang-orang itu kaget ketakutan.
"Kalian semua berkumpul jadi satu!" perintah Tiang Keng.
Setelah saling mengawasi sejenak mereka menurut dan
berkumpul mengikuti perintah Tiang Keng. Tubuh mereka
hampir semua gemetar ketakutan. Tiang Keng tersenyum
sambil mengawasi mereka. Tak lama Un Kin datang bersama
tawanannya. Kiauw Cian. Tubuh tawanan itu ia lempar di
depan orang-orang berpakaian serba hitam itu.
"Tiang Keng." kata si nona. "Jahanam mi memang Kiauw
Cian. Aku tahu dia jahat, tapi tak kusangka dia akan sejahat
ini! Jelas ia ingin membasmi semua orang gagah yang datang
ke tempat ini. Jika kita bertemu dengannya di malam gelap,
kita bisa celaka di tangannya!"
Sesudah itu Un Kin berjalan ke salah satu peti mati. dari
dalam peti ia mengeluarkan bungkusan makanan kering dan
air minum. "Lihat ini!" kata si nona pada Tiang Keng.
"Hm!" Tiang Keng mengangguk.
"Sungguh luar biasa, serangan senjata rahasia mereka
cepat dan keras, entah darimana Kiauw Cian mendapatkan
orang-orang ini?" kata Un Kin.
Tak lama Un Kin membungkuk memungut sebuah benda
yang ia serahkan pada Tiang Keng. Anak muda ini memeriksa
benda itu dengan teliti. Benda itu kecil berduri, cagaknya
tajam sekali, la langsung mengenali benda itu seperti benda
yang ia lihat di kota Lim-an. Tiang Keng mengerutkan alisnya.
"Tidak mustahil inipun perangkap Un Jie Giok." kata Tiang
Keng. Un Kin mengangguk, ia berduka.
"Ini jarum rahasia Bu-eng-sin-ciam dan orang lain tak
memiliki serta tak akan mampu menggunakannya." kata Un
Kin. "Kecuali aku. Siauw Tin dan Siauw Keng. tak ada orang
lain lagi. Membuat jarum ini tidak mudah....."
Setelah diam sejenak, tiba-tiba Un Kin melompat ke arah
belakang Kiauw Cian. Dia tendang punggungnya dengan
keras. Ditendang demikian Kiauw Cian yang tubuhnya kurus
kecil itu bergulingan tiga langkah. Dari mulurnya menyembur
ludah kental. Sesudah bergulingan ia duduk dengan mata
tajam mengawasi ke sekitarnya, lalu batuk satu kali dan
kepalanya tunduk. Sekarang ia sadar ia telah tertawan musuh,
tapi otaknya tetap bekerja keras....
"Aku tanya kau. jawab dengan jelas!" kata Un Kin dingin.
Kiauw Cian mengusap dahinya, ia diam saja. Seolah ia tak
mendengar pertanyaan nona Un. Tiang Keng awasi orang itu.
Dia lihat wajah Kiauw Cian kurus dan perok (keriput), tulang
pipinya menonjol. Mukanya seperti tak berdaging, maka Tiang
Keng yakin orang ini licik dan pandai bicara. Tiang Keng benci
sekali, alisnya berkerut.
"Dia licik, jika ia menjawab pertanyaanmu aku tak yakin
jawabannya benar dan bisa dipercaya!" kata Tiang Keng pada
Un Kin. Un Kin tertawa dingin sambil berkata. "Aku pernah bertemu
orang yang sepuluh kali lebih licin dari dia. jika aku tak
mampu membuat dia bicara, hm! Tiang Keng. tahukah kau
bagaimana cara menghadapi orang seperti dia?"
Tiang Keng mengawasi si nona. ia lihat matanya berkedip.
"Baik. akan kutanya dia!" kata Un Kin. "Jika dia diam saja
akan kupotong sebuah jari tangannya! Begitu seterusnya,
setiap kali ia tak menjawab, maka jarinya akan kupotong
sebuah, sampai semua jarinya itu habis! Aku tak yakin ia
benar-benar tangguh sekali. Sesudah jari tangannya habis,
kedua telinganya akan mendapat bagian, baru hidungnya! Jika
tetap tak menjawab, akan kutarik lidahnya, baru kemudian
kukorek kedua biji matanya. Apa kau masih yakin dia tak mau
bicara" Suara Un Kin perlahan, namun kata-katanya menusuk di
telinga Kiauw Cian. la berpikir siksaan itu sungguh hebat.
Kiauw Cian masih duduk diam. Tapi dari dahinya sekarang
mengucur keringat dingin. Un Kin mengawasinya, ia tertawa
dingin. "Kau tak percaya. Tiang Keng?" kata Un Kin pada si anak
muda. "Baik akan kutunjukkan padamu!"
Sesudah berkata begitu Un Kin menghampiri Kiauw Cian. Ia
berhenti tepat di depan orang she Kiauw itu. Tak sampai Un
Kin bertanya. Kiauw Cian sudah langsung bicara.
"Apa yang akan kau tanyakan. Nona?" katanya.
Un Kin tertawa, ia melirik ke arah Tiang Keng.
"Lihat," kata Un Kin. "Bukankah dia ini sangat cerdik?"
Diam-diam Tiang Keng menghela nafas. "Ya. memang
selalu ada caranya untuk mengatur orang jahat. " pikir Tiang
Keng. Ternyata kata-kata Un Kin yang perlahan itu berpengaruh
besar sekali tehadap Kiauw Cian. Dia ngeri jika sampai jari
tangannya satu persatu dipotong oleh si nona. kemudian
menyusul anggota tubuhnya yang lain.
"Pertama-tama aku ingin tahu. dari-mana kau peroleh
jarum rahasia Bu-eng-sin-ciam ini?" kata Un Kin.
Kiauw Cian membuka matanya.
"Jika kujelaskan semua itu. akan kau apakan aku?" tanya
Kiauw Cian. Alis Un Kin bergerak, suaranya dingin. "Jika kau bicara
jujur," kata si nona. "Aku hanya akan memusnahkan ilmu
silatmu dan akan ku izinkan kau pergi! Ini kulakukan agar
kelak kau tak berbuat jahat lagi!"
Kiauw Cian kaget, keringatnya mengucur deras, ia
menunduk lesu. Tiang Keng mengawasinya, otaknya bekerja.
"Jika ilmu silatku dihilangkan, aku akan lebih memilih mati!
Aku rasa dia akan memilih lebih baik mati daripada bicara..."
Baru berpikir sampai di situ. tiba-tiba Tiang Keng
mendengar suara Kiauw Cian yang nadanya sedih sekali.
"Jika kukatakan semua dan seandainya Nona memberi
ampun padaku pun. aku khawatir....."
Sebelum meneruskan kata-katanya ia melirik ke arah
orang-orang berpakaian serba hitam. Kemudian Kiauw Cian
melanjutkan kata-kaanya. "Sebelum aku sampai di rumah. Pasti tubuhku sudah habis
dicincang!" kata Kiauw Cian.
Mendengar kata-kata itu Un Kin heran juga.
"Lalu apa maumu?" tanya si nona.
Kiauw Cian menunduk.

Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku minta agar ilmu meringankan tubuhku jangan dihabisi,
agar aku bisa tetap hidup..." kata Kiauw Cian sambil menghela nafas
panjang. 0oo0 BAB 46. RAHASIA PEMBUNUHAN DI KOTA LIM-AN
TERBONGKAR Mendengar kata-kata Kiauw Cian, Tiang Keng tersenyum.
Ia heran dan tak mengira sama sekali ada orang seperti Kiauw
Cian. "Tak kusangka dia begitu sayang pada jiwanya, dan tak
menghiraukan nama baik maupun derajat, kepercayaan dan
kemerdekaannya. Bukankah setiap orang tak akan lolos dari
kema-tian" Sungguh luar biasa jika setiap orang gagah saat
mati meninggalkan nama harum...." pikir Tiang Keng.
Entah mengapa Tiang Keng jadi tak mau melihat muka
Kiauw Cian. "Hm! Enak saja kau bicara." kata Un Kin. "Kau berani
tawar-menawar denganku, sesuai kesalahanmu masih bagus
jika kau diberi ampun, sepantasnya kau dibinasakan!"
Di antara orang berpakaian hitam itu ada seorang yang
melangkah maju. Melihat hal itu Un Kin mengerutkan alis.
"Kau siapa" Mau apa kau?" kata Un Kin.
Sesudah maju beberapa langkah lagi ia memberi hormat
pada Un Kin. "Namaku Tong Gie. aku murid tingkat tiga dari keluarga
Tong dari tanah Siok...." kata orang itu.
Un Kin sedikit kaget, ia sadar dan berpikir. "Pantas mereka
lihay-lihay sekali, kiranya mereka murid keluarga Tong yang
terkenal dari tanah Siok."
Tong Gie kembali memberi hormat. "Jika Nona ingin
menanyakan sesuatu, tanyakan saja padaku, aku akan
menjawabnya dengan jujur." kata Tong Gie. "Tetapi kumohon
Nona mengizinkan aku membawa pulang orang she Kiauw ini
ke tanah Siok...." Tiang Keng ikut bicara. "Silakan kau bicara!"
Kembali orang she Tong itu memberi hormat. "Sebenarnya
Kiauw Cian tak punya hubungan erat dengan keluarga Tong.
Beberapa bulan yang lalu. tiba-tiba ia datang ke rumah kami.
Ia membawa sehelai kertas yang ia katakan gambar rahasia.
Dia bilang gambar itu ia peroleh dari Ang-ie Nio-nio. Itu
gambar cara membuat jarum rahasia Bu-eng-sin-ciam. Ketika
itu ketua kami tak ada di tempat, dia disambut oleh Su-siokcouw
kami yang ketiga..... "Bukankah Su-siok-couw itu yang bergelar Sam-ciu Twiehun
Tong To?" kata Un Kin.
Tong Gie mengiyakan sambil mengangguk. "Su-siok-couw
jarang mengembara, tak heran jika ia bisa dikelabuhi oleh
orang ini." kata Tong Gie melanjutkan. "Gambar itu lalu dikirim
ke bengkel senjata kami di Cit-leng-ciang. Senjata itu akan
dibuat dalam waktu 50 hari. sedang jumlahnya 3000 batang.
Murid-murid tingkat tiga bekerja keras membuat senjata itu
siang dan malam. Baru 45 hari. kami berhasil menyelesaikan
seluruh pesanan itu...."
"Apa mungkin semua senjata itu buatan kalian?" sela Tiang
Keng. Ditanya demikian Tong Gie berpikir. "Tampaknya ia lihay
sekali, tapi pengetahuan dan pengalamanya cetek sekali.
Tentu saja senjata itu buatan keluarga Tong. bahkan kaum
Rimba Persilatan (Bu-lim) mengetahuinya dengan baik.
Mengapa dia malah bertanya begitu?"
Tapi Tong Gie tetap berdiri sambil menjawab pertanyaan
itu "Benar, sudah ratusan tahun bengkel Cit-leng-cian adalah
bengkel yang membuat senjata rahasia keluarga kami. Dan
kali ini yang pertama kami membuatkan senjata rahasia
pesanan orang lain. Setelah selesai pesanan akan kami
serahkan ke Thian-bak-san. Kemudian Kiauw Cian bicara
dengan manis pada ketua kami.Namun... "
Sebelum kata-katanya selesai Tiang Keng memotong
bicaranya. "Siapa ketuamu itu?" kata Tiang Keng.
Tong Gie melengak. kali ini kelihatan ia kurang senang.
Siok Tiong Tong Bun atau Keluarga Tong dari tanah Siok. SuKANG
ZUSI website http://kangzusi.com/
coan ini terkenal di seluruh Tiongkok. Mereka itu dikenal
sebagai Tong Bun Sam Kiat atau Tiga Jago She Tong. Tong
Gie merasa aneh kalau Tiang Keng tak pernah mendengar nama mereka itu.
hingga Tong Gie mengira Tiang Keng hendak menghina
keluarganya itu. la melirik ke arah Tiang Keng dan memberi
hormat seperti biasa, tak kelihatan kalau ia tak puas.
"Ketua kami disebut. " Sebelum Tong Gie selesai bicara, ia
telah dipotong oleh Un Kin.
"Dia adalah Tek-seng Sia-goat Bu-tek-sin Tong Hui!" kata
Un Kin. Tong Gie tersenyum ia memberi hormat kepada Un Kin.
"Setelah ketua kami mendengar ocehan orang she Kiauw.
ketua kami mengurung diri selama tiga hari di kamarnya.
Sesudah itu ia titahkan kami murid dari tingkat tiga sebanyak
70 murid dan aku bersama tujuh paman kami pergi ke Thianbak-
san. Tujuan kami ingin mendapatkan pedang dan obat
seperti yang dikatakan orang she Kiauw itu.. " kata Tong Gie.
Un Kin tersenyum. "Kekayaan Siok Tiong Tong Bun mirip
dengan negara, aku yakin mereka tak butuh harta-benda."
kata Un Kin. Tiang Keng heran, la kira Un Kin sangat menghargai
Keluarga Tong dari Su-coan ini. Nama besar keluarga ini
sudah terkenal tak kalah dari kaum Siauw -lim-pay maupun
Bu-tong-pay. Sekali pun memang benar banyak murid dari
keluarga ini yang menyeleweng dan jahat, namun keluarga ini
tetap terhormat dan dihargai oleh kaum Rimba Persilatan.
Un Kin kemudian berkata lagi. "Nama Tong Tay-hiap
terkenal hingga disebut si Muka Besi. Sungguh heran
mengapa ia mau mendengar kata-kata orang she Kiauw ini.
Apa itu tidak aneh?" kata Un Kin.
Wajah Tong Gie berubah merah.
"Mengenai sikap ketua kami. aku sendiri tak tahu." kata
Tong Gie. "Setahuku memang ada maksud lain dari ketua
kami, konon sepulang dari Thian-san ketua kami bermusuhan
entah dengan siapa, sehingga ia membutuhkan pedang
istimewa dan obat mujarab itu..."
Tong Gie diam sebentar lalu melanjutkan. "Tapi kumohon
pada Nona agar rahasia ini jangan sampai tersiar keluaran,
sebab jika orang tahu aku yang menceritakan rahasia ini.
maka bagianku adalah mati! Aku girang jika Nona bersedia
merahasiakannya....."
kata Tong Gie. Un Kin tertawa. "Jadi maksudmu ingin membawa orang she
Kiauw untuk kau serahkan pada ketuamu" Atau ada maksud
lain?" Tong Gie menahan geram. "Setiba kami di sini. " kata dia dengan sengit. "Dari
mulutnya yang manis, dia minta agar kami membujuk tujuh
orang paman kami serta meminta bantuan bibi-bibi kami di
kota Lim-an untuk mengirimkan undangan ke Ang Kin Hwee
dan Koay Too Hwee. Lalu kami diminta membuat mereka
bingung dan ketakutan, dan malamnya dua perkumpulan itu
ditumpas habis. Dia minta kami bersembunyi di rumah-rumah
tepi jalan dan menyerang mereka dengan jarum beracun milik
kami!" Mendengar kata-kata itu Tiang Keng kaget.
"Jadi inipun perbuatan dia." kata Tiang Keng.
Un Kin tersenyum sejenak, lalu menghela nafas.
"Tak dikira masalah begitu berbelit-belit. " kata Tiang Keng.
"Semula aku kira.... Hai kau mau lari ke mana?"
Begitu Tiang Keng berteriak ia melompat mengejar Kiauw
Cian. Orang ini sejak tadi diam saja. tiba-tiba ia bergulingan
lalu melompat bangun dan kabur.
Un Kin pun ikut melompat, saat kakinya menginjak tanah
kembali ia melompat, kali ini tangannya terayun dan tiga
batang senjata rahasia menyambar, kemudian disusul jeritan
mengerikan dari Kiauw Cian. Dia roboh ke tanah lalu
bergulingan dan diam tak berkutik.
Tiang Keng pun segera sampai di tempat itu."Dia sudah
mampus!" kata Tiang Keng.
Un Kin tersenyum. "Dia mati dengan cara begini sungguh terlalu enak
baginya." kata Un Kin.
Un Kin menyambar tangan Kiauw Cian yang ia seret dan ia
lemparkan ke hadapan Tong Gie.
Tong Gie menghampirinya, ia lihat tubuh Kiauw Cian tidak
bergerak seolah mati. Ketika diperiksa ia terserang jalan darah
cie-tong. di tempat itu menancap jarum Bu-eng-sin-ciam hanya
tak dalam. Jelas akibatnya tak sampai merampas jiwa
orang itu. Tong Gie melirik ke arah Un Kin. Sebagai seorang
ahli senjata rahasia ia kagum pada Un Kin yang mahir melepas
senjata rahasia itu. Setelah diam sejenak Tong Gie berkata
terus terang. "Saat kami menyerang anggota perkumpulan Ang Kin Hwee
dan Koay Too Hwee. kami heran mengapa jarum-jarum kami
bisa luput dari sasaran. Sekarang kami menyaksikan Nona
demikian pandai menggunakan senjata rahasia itu. Kalau
begitu orang yang menggagalkan serangan kami hingga Ang
Kin Hwee maupun orang Koay To Hwee banyak yang selamat
ialah Nona sendiri!" kata Tong Gie.
"Ketika itu aku juga heran, aku mengira itu senjata rahasia
Bwee-hoa-ciam atau Tiat-kie-lee yang lihay. dan perbuatan
Ban Biauw Cin-kun In Hoan atau Hoa-long Pit Ngo. Karena itu
aku berniat menyelidiknya....." kata Un Kin sambil melirik ke
arah Tiang Keng. Kemudian dia melanjutkan. "Tapi ketika itu
aku dikejar olehmu, hingga aku gagal melakukan penyelidikan.
Sama-sekali tak kuduga ternyata serangan itu dilakukan oleh
pihak Keluarga Tong dan tak mengira mereka menggunakan
Bu-eng-sin-ciam... "
Tiang Keng terperanjat ia baru sadar. "Pantas Un Kin
pernah bilang, kalau ia melepas senjata rahasianya untuk
menolong orang." pikir Tiang Keng. "Ternyata dia tak
bersalah. Hampir aku salah duga. ah dunia Kang-ouw memang
sungguh berbahaya!" Ia melirik ke arah Un Kin sambil tersenyum dengan wajah
merasa bersalah dan minta maaf dari si nona. Un Kin tertawa
sambil menunduk, kelihatan ia sangat puas.
"Tak kusangka orang she Kiauw ini jahat sekali!" kata Tiang
Keng. "Bukankah dia tak bermusuhan dengan orang Ang Kin
Hwee dan Koay Too Hwee. mengapa ia tega turun tangan
demikian jahat0!" "Pasti jahanam ini punya maksud maka ia berbuat
demikian." kata Tong Gie. "Pertama ia ingin mengacau orangorang
Dunia Persilatan, setelah kacau dia akan menggunakan
kesempatan itu untuk memungut hasilnya. Kedua ia ingin
menimpakan bencana kepada Ang-ie Nio-nio. supaya kaum
Rimba Persilatan mengira kejahatan itu perbuatan Ang-ie Nionio.
Ketiga, ia memang bermusuhan dengan Koay -to Teng Cit
dan tiga jago Ang Kin Hwee. Dengan cara itu sekaligus ia ingin
melampiaskan dendamnya. Keempat ia dengan senga-ja
melibatkan kami. agar bermusuhan dengan kaum Rimba
Persilatan (Kaum Bu-lim Eng-hiong). Jika dia buka rahasia,
bukan tak mung-kin golongan Ang Kin Hwee dan Koay Too
Hwee akan datang ke Su-coan untuk mencari kami dan
membalas dendam. Kelima, ia ingin agar pihak-pihak lain
lemah sedang pihaknya jadi kuat! Keenam, aku dengar ia
berniat membangun partai baru. maka jika ia berhasil
memusnahkan partai-partai lain. maka ia akan bisa berdiri
kokoh. Nona. dia jahat luar biasa! Dia tak perlu diberi ampun.
Aku sudah mengetahui rahasianya, kami sangat benci
padanya, tetapi aneh paman-paman kami percaya kepadanya.
Aku benci tapi bukan aku saja. saudaraku yang lain juga.
Maka itu aku ingin membawa dia ke Su-coan agar kami bisa
menyerahkan dia pada ketua kami. Sekarang setelah Nona
tangkap, dia akan buka rahasia. Tapi kami tahu pasti dia akan
membusukkan nama kami agar Nona memusuhi kami. Maka
itu kubeberkan rahasianya itu pada Nona. Dia jahat dan
pantas menerima hukuman!"
Tong Gie melengak dan menghela nafas. "Aku menyesal
telah membuka rahasia.'" kata Tong Gie. "'Aku buka rahasia
karena ingin melindungi keluarga kami. Tetapi..."Ia tak
meneruskan kata-katanya. Tiang Keng mengerutkan alis.
"Di mana ketujuh paman gurumu itu. mengapa mereka tak
ada di sini?" kata Tiang Keng.
"Jelas ini termasuk perbuatan licik si jahanam ini." kata
Tong Gie. "Pada malam itu dia ajak kami ke mari. disuruhnya
kami bersembunyi di dalam peti mati. Tetapi paman-paman
guru kami ia ajak menemui tamu-tamu lain. Konon katanya
agar besok mereka bisa menghadiri pertemuan di Thian-baksan.
Pada saat pertemuan besar itu berakhir, pasti semua
orang akan lewat di jalan ini. Kami disuruh menyerang mereka
secara serentak. Ketujuh paman guru kami itu diminta
membantu si jahanam agar bisa bekerja-sama."
Tiang Keng kaget dan berkeringat dingin. "Jika mereka
berhasil membokong pada waktu malam, akibatnya sungguh
hebat sekali!" pikir Tiang Keng. "'Oh, jahatnya orang ini. Dia
ingin membasmi semua jago silat di kalangan Kang-ouw
dengan sekali gebrak saja. Syukurlah rencananya gagal dan
tak kukira kedatanganku ke mari kebetulan sekali hingga kami
bisa menumpas kejahatannya!"
Saat itu Tiang Keng melirik ke arah Un Kin. diam-diam
sekarang timbul rasa saling mengerti di antara mereka..
0oo0 BAB 47. TIANG KENG DAN UN KIN BERTEMU DUA MURID
IN HOAN Dengan bantuan sinar matahari Tiang Keng langsung
melihat jelas. Rambut kedua orang itu kusut. Pakaiannya yang
berwarna kuning melambai-lambai tertiup angin dan acakacakan.
Tiang Keng mengenali mereka adalah Tiat Tat Jin dan
Cio Peng. dua orang murid Ban Biauw Cin-kun. Mereka tak
menghiraukan Tiang Keng tapi langsung menghampiri Un Kin.
Un Kin mengawasinya dengan tajam.
"Sudah beres?" tanya Un Kin dengan suara tawar.


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah." sahut keduanya bersamaan, dada mereka
kelihatan naik turun "Apa yang beres?" tanya Un Km
Dua orang itu kaget, mereka saling mengawasi, mulut
mereka terbuka, mata mereka mendelong.
"Aku.. Aku. " kata Tat Jin. tampaknya ia sulit bicara, la
batuk sekali. '"la sudah. Sudah.. " kata Cio Peng.
Kiranya Cio Peng pun sulit bicara. Mereka berdua ini orangorang
licik dan ganas, namun mereka masih sulit untuk bicara
terus terang bahwa mereka telah membunuh gurunya sendiri.
Un Kin tertawa dingin, ia memutar tubuh dan tak
menghiraukan kedua orang itu. "Tiang Keng. mari!" kata si
nona. "Nona Un." tiba-tiba salah seorang dari kedua orang itu
bicara. Mereka melompat ke sisi Nona Un Kin. "Nona. tunggu
sebentar!" Un Kin menghadapi mereka dengan sikap gagah. "Kita tak
saling kenal, mengapa kau terus mengacau di sini?"' kata Un
Kin. "Apa kau sudah bosan hidup.!"
Un Kin masih terpengaruh didikan Un JieGok. maka itu
suaranya kasar dan bengis.
Tiang Keng memperhatikan kedua orang itu. wajah mereka
berkeringat Menyaksikan hal itu Tiang Keng jadi tak tega.
"Kalian mau apa" Apa kalian mau mencari Un Jie Giok agar
bebas dari Cit Ciat Tiong Ciu?" tanya Tiang Keng.
Kedua orang itu mengawasi Tiang Keng.
"Benar!" jawab mereka hampir bersamaan. "Jika Tuan
bersedia memberi tahu. budi Tuan tak akan kami lupakan!"
Mendapat jawaban itu Tiang Keng mengawasi keduanya
sebentar. Lalu ia menoleh ke lain arah dan berkata.
"Sekarang kami pun tak tahu. di mana Un Jie Giok
berada..." Mendengar jawaban itu Tiat Tat Jin dan Cio Peng jadi
pucat, mata mereka menunjukkan sinar memohon, dengan
tangan gemetar mereka menyeka keringatnya.
"Tuan tak tahu. tapi barang kali Nona Un tahu..." kata Cio
Peng. Alis Un Kin berkerut dan matanya bercahaya.
"Andai kata aku tahupun. aku tak akan memberitahu
kalian." kata Un Kin. "Orang seperti kalian berkurang satu dua
orang semakin baik! Tiang Keng mari kita pergi!"
Sesudah itu ia membalikkan tubuhnya mengajak Tiang
Keng pergi. Tiang Keng menarik nafas, saat ia memperhatikan
kedua orang itu ia lihat mereka berdiri diam. tangan mereka
turun dan dikepal-kepalkan. Rupanya mereka menyesal,
gemas dan ketakutan. Tiba-tiba mereka melompat ke depan
akan menghadang Un Kin dan Tiang Keng.
"Nona Un." kata Tiat Jin. Ia pegang ujung baju Cio Peng.
"Sekalipun kami hina dan busuk, tapi semua kami lakukan atas
perintah guru kami. Kita tidak bermusuhan masakan Nona
tega membiarkan kami berdua..."
Kata-kata Cio Peng gemetar, romannya menunjukkan
mereka sangat memohon bantuan. Mereka berlutut sambil
menangis tanpa malu-malu. Tiang Keng jemu tapi ia pun jadi
tak tega. "Hanya begini harga sebuah jiwa?" kata Tiang Keng.
Kedua orang itu melongo. "Jiwa memang berharga." kata Tiang Keng lagi. "Tapi
kalian berdua seharusnya sadar bahwa di dunia bukan tak ada
yang tak bisa diatasi. Kalian ini laki-laki. mengapa sekarang
sikap kalian jadi begini?"
Tiat Jin melengak kemudian menunduk. "Kami tahu." kata
Tiat Jin. "Tapi kami masih muda dan terpaksa kami
menyayangi jiwa kami..."
"Umur Tuan hampir sama dengan umur kami berdua, jika
Tuan mengalami hal yang kami alami, kami kuatir... " Cio Peng
menunduk dan batuk-batuk, ia tak meneruskan kata-katanya.
Alis Tiang Keng rapat satu sama lain. "Kita mendambakan
hidup dan nama. jika tak bisa meraih keduanya, salah satu
harus diraih. Dan nama baik kurasa lebih penting!" kata Tiang
Keng. Sesudah itu Tiang Keng ingat kedua pemuda itu dididik
sejak masih kecil oleh In Hoan. tak heran jika mereka
ketularan adat gurunya. Maka benar pepatah yang
mengatakan : Sifat manusia asalnya suci. tapi jika tidak dididik
dengan baik. maka sifat itu bisa berubah. Jadi tak semestinya
mereka disalahkan. Tiang Keng menghela nafas lalu
menambahkan kata-katanya.
"Sebenarnya aku dan Nona Un tidak tahu di mana Un Jie
Giok sekarang. Tapi katanya nanti malam ia akan menemui
kami di kuil yang tadi malam. Jika kalian mau kalian boleh
datang ke sana.." "Sebenarnya melihat kelakuan mereka, sebaiknya mereka
dibiarkan mati saja." kata Un Kin sambil tertawa.
Tiang Keng batuk-batuk ia mau bicara tapi tak jadi. la
lambaikan tangannya pada kedua orang itu. "Apa kalian masih
tak mau segera pergi?" ujarnya.
Tiat Tat Jin dan Cio Peng mengawasi ke arah Un Kin. wajah
mereka kelihatan penasaran dan benci sekali pada Un Kin.
Keduanya lalu berpaling ke arah Tiang Keng dan memberi
hormat. "Gunung biru tak berobah. air selalu mengalir!" kata Tiat
Jin. "Sampai bertemu lagi!" Mereka melompat dan pergi.
Un Kin mengawasi kedua orang itu dengan sikap sebal.
"Sepatutnya mereka berdua dibunuh saja. itu lebih baik!" kata
Un Kin. "Semula sifat mereka baik. tapi lingkunganlah yang
membuatnya berubah, lak ada orang yang ingin jadi penjahat.
Alangkah lebih baiknya jika kita bisa mengubah sifat jahat
mereka dibanding membunuhnya! Adik. Kin. sebagai manusia
kita harus welas asih. Kumohon lain kali kau jangan berkata
begitu lagi!" kata Tiang Keng.
Wajah Un Kin berubah merah ia menunduk, la angkuh,
belum pernah ada orang yang berani menegurnya, namun
ketika Tiang Keng memohon padanya dan menasihatinya, ia
tak membantahnya. Angin gunung meniup rambut si nona hingga jadi kusut. Di
lain saat ia merasakan ada tangan yang lembut meraba
rambutnya yang hitam. Hati si nona sedang kusut, namun
sekarang ia merasa lebih lega sedikit. Hatinya agak tenteram.
Lain halnya keadaan di kota Limau, sesudah kejadian yang
mengerikan itu. banyak hati penduduk Lim-an yang goncang
dan bimbang. Mereka juga sedang berpikir tentang pertemuan
di Thian-bak-san yang waktunya semakin dekat saja....
Pertemuan di Thian-bak-san ini mirip besi sembrani yang
bisa menarik perhatian orang banyak bagaikan sebuah tekateki
yang diharap-harap akan segera terbuka tabirnya. .
Orang-orang telah banyak yang berdatangan ke kota Liman.
mereka datang dari berbagai penjuru dengan bermacammacam
tujuan. Ada yang hanya sekadar ingin menonton, tak
sedikit yang ingin ambil bagian dalam pertandingan itu. Tak
heran kalau kota Lim-an saat itu jadi bertambah ramai saja. Di
samping orang yang hati-nya berdebar-debar tak sabar
menunggu tibanya pertemuan, ada juga orang-orang yang
bersenang-senang dengan nona-nona cantik di kota Lim-an.
Begitulah, pagi-pagi sekali bagaikan orang yang hendak
pergi ke pasar, mereka keluar rumah atau penginapan, lalu
berjalan secara rombongan. Berdua-dua atau bertiga bahkan
lebih, mereka berjalan menuju ke satu arah. Mereka sekarang
seperti sudah melupakan kejadian yang mengerikan itu.
Hari itu To-pie Sin-kiam In Kiam telah keluar dari kamar
penginapanny a. ia berjalan bersama puteranya dengan
langkah agak berat menuju ke warung teh langganannya. In
Kiam mengawasi ke sekitarnya, alisnya berkerut, la ingin
menghapus perasaan hatinya, la berjalan dengan diam seolah
tak mendengar sapaan orang kepadanya. Tiong Teng terpaksa
harus mewakili ayahnya menjawab sapaan mereka.
Tak lama tampak seorang perempuan yang rambutnya
kusut keluar dari sebuah gang. Ia berbedak tapi bedak di
pipinya itu telah pudar. Tangan kanannya memegangi
rambutnya dan tangan kirinya memegang ujung baju tangan
kanannya. Ia mengenakan sebuah bakiak bercat keemasan. Ia
berjalan cepat dan langsung masuk ke sebuah toko cita. Tapi
baru saja ia masuk tak lama ia sudah keluar lagi. ia berjalan
cepat sekali, la mengepit sekayu cita kembang di ketiaknya
Sekarang tampak jelas pada wajahnya tersungging sebuah
senyuman puas. la masuk ke gang dan hilang di sana seperti
ditelan bumi. Menyaksikan kelakuan perempuan itu In Kiam
menghela nafas. "Jika kelak kita sudah kembali ke Bu-ouw," kata sang ayah
pada Tiong Teng. ?"Kau temui Kwee Kay Tay (Kepala Polisi)
agar ia menertibkan cara hidup perempuan yang kita lihat
tadi!" Sambil ngintil di belakang ayahnya. Tiong Teng menjawab
dengan sabar. "'Baik, Ayah. akan kulakukan seperti
perintahmu itu!" "Semoga dia berhasil, paras elok yang digunakan secara
sesat sangat ber-bahaya.. .** kata In Kiam lagi.
Tak lama mereka telah sampai di warung teh dan jongos
menyambut kedatangan mereka. Di situ orang sudah ramai
dan suara mereka berisik sekali. Saat duduk santai In Kiam
berulang-ulang mendengar suara gaduh. Lalu ia memanggil
seorang pelayan yang segera menghampirinya.
"Kedengarannya ramai sekali, sedang apa mereka di
belakang?" kata In Kiam pada pelayan.
"Maaf Tuan. suara berisik itu bukan dari warung kami."
kata si pelayan tua. 'Tapi dari tetangga kami yang ada di
belakang warung ini!"
"Oh ya! Tapi apa yang mereka kerjakan sepagi ini?" tanya
In Kiam. Pelayan tua itu melihat ke sekitarnya, lalu berbisik pada In
Kiam. '"Tuan. itu bengkel kayu pembuat peti mati...." jawab
pelayan itu In Kiam kaget. "Biasanya bengkel itu sepi tak ada pembeli.'* bisik si
pelayan. "'Tapi akhir-akhir ini perusahaannya maju pesat
karena banyak pesanan peti mati. Karena banyaknya pesanan
maka mereka harus bekerja siang malam. Tak jauh dari situ
ada bengkel kayu pembuat alat rumah tangga, tapi karena
peti mati sedang laku mereka pun ikut membuat peti mati
juga! Aku pernah bertanya. "Apa peti mati mereka akan laku?"
Mereka menyahut dua tiga hari lagi pasti peti mati mereka
akan laris sekali. Keterlaluan mereka itu. apa mereka berharap
orang yang datang ke Lim-an ini supaya mati semua!"
"Hm!" In Kiam mengeluarkan suara dari hidung, la
memandang ke sekitarnya. Saat jongos melihat mata In Kiam
bersinar, ia jadi ketakutan Untung ada tamu baru hingga ia
bisa segera meninggalkan tamu tua ini....
0oo0 BAB 48. IN KIAM MENGHADANG ROMBONGAN KELUARGA
TONG DARI SIOK Suara para tukang kayu itu semakin riuh terdengar oleh In
Kiam. Karena gangguan suara berisik itu In Kiam jadi dongkol.
In Tiong Teng agak khawatir ayahnya naik darah, lalu ia ajak
ayahnya bicara untuk mengalihkan perhatiannya. Tapi tak
lama ln Kiam sadar pada keadaan luar biasa itu.
Warung minum itu merangkap jadi rumah makan. In Kiam
pun sudah memesan beberapa macam masakan. Tapi
keadaan riuh membuat selera makannya hilang. Ia kelihatan
kurang gembira. Saat In Kiam yang malas-malasan
menjemput sumpit, tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa. In
Kiam menoleh, ia lihat ada tiga orang tamu masuk ke dalam
rumah makan. Mereka berpakaian luar biasa, tubuh mereka
ada yang gemuk dan pendek, ada juga yang jangkung dan
kurus, ln Kiam sangat tertarik pada mereka.
Pakaian tamu-tamu itu seperti seragam, sama modelnya,
sama juga bahannya. Pakaian mereka berwarna dan berkilau
terkena sinar matahari. Pada pinggang mereka masing-masing
tersandang sebilah pedang, sarung pedang mereka bertabur
mutiara dan tampak indah sekali. Mereka berjalan masuk
dengan sikap angkuh. Ini sangat menarik perhatian semua
tamu yang ada di situ. Jongos yang bicara dengan lu Kiam tadi agak jerih, tapi
terpaksa ia harus menyambut ketiga tamu itu. Jelas tiga tamu
itu bukan saja aneh pakaiannya, tapi juga cara mereka bicara.
Kata-katanya sulit dimengerti. Setelah pesanan makanan
mereka siap. tampak ketiganya makan dengan lahap sekali.
Sikap mereka acuh tak acuh. tak menghiraukan tamu-tamu
yang lain. In Kiam sudah berpengalaman, telah banyak melakukan
pengembaraan. Bersama puteranya ia mengawasi ketiga tamu
itu. Bisakah ia menerka siapa mereka in. Tiba-tiba salah
seorang tamu itu berkata dengan nyaring. Tapi kata-katanya
sulit dimengerti hanya tertangkap sepotong-sepotong, ia
menyebut ilmu silat yang lihay. setan dan sebagainya.
Semua orang keheranan hanya In Kiam yang sedikit
mengerti, lalu berkata pada puteranya. "Mereka ini orangorang
Hay-lam (Hai-nan). Mereka bilans mereka telah bertemu
pemuda gagah, untung mereka tahu gelagat, jika tidak pasti
pedang mereka sudah terbang entah ke mana. Kelihatan
mereka ini lihay dan entah siapa pemuda yang gagah itu....."
Seorang temannya memperingatkan agar orang yang
bicara tutup mulut karena banyak orang.
"Apa maksudnya Ayah''" tanya Tiong Teng ingin tahu.
"Dia bilang di tempat ini banyak mata dan telinga, ia minta
agar kawannya tadi sedikit berhati-hati." kata In Kiam.
Tiong Teng mengangguk. Tak lama orang yang ketiga ikut
bicara, ia menyebut-nyebut nama Tiang Keng hingga In Kiam
kaget dan gembira saat mendengar bahwa pemuda gagah itu
To Tiang Keng. "Anakku, pemuda yang mereka temui itu ternyata Tiang
Keng." kata In Kiam pada puteranya. "Entah di mana dia
sekarang'.'" Tak lama orang pertama bicara lagi. tapi Tiong Teng tak
mengerti. Ia akan bertanya lagi pada ayahnya, tapi sang ayah
malah bangun dari kursinya. Setelah meletakkan uang perak
di meja. ia berkata pada puteranya.
"Mari kita pergi!" kata In Kiam. Mereka berdua berjalan


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dari rumah makan tersebut.
Sekalipun heran dan penasaran terpaksa Tiong Teng
mengikuti ayahnya pergi. In Kiam berjalan cepat. Di jalan raya
saat menemukan kereta lewat, mereka hentikan, lalu In Kiam
dan Tiong Teng naik .kereta itu. In Kiam meminta agar kusir
segera menjalankan keretanya.
"Mau ke mana Tuan?" tanya si kusir heran.
In Kiam menyelipkan uang perak ke tangan si kusir sambil
berkata. "Ke Thian-bak-san!"
Mendengar kata-kata ayahnya. Tiong Teng heran. Dia juga
melihat wajah ayahnya muram.
"Apa kata ketiga orang itu?" kata Tiong Teng. "Mengapa
kelihatannya Ayah cemas?"
In Kiam menghela nafas panjang. "Tiang Keng telah masuk
ke dalam sarang harimau." jawab ayahnya. "Siapa tahu ia
dalam bahaya! Ayahnya baik. aku berhutang budi kepadany a.
maka itu aku harus melindungi puteranya..."
Tiong Teng kaget dan heran, ia mengerutkan alisnya.
Kereta dilarikan dengan cepat, suara roda kereta serta
derap kaki kuda tedengar sangat riuh. Tiong Teng heran dan
bingung, tapi ia tak mau bertanya pada ayahnya. Karena kesal
ia memandang keluar kereta lewat jendela. Tiba-tiba Tiong
Teng berkata penuh keheranan.
"Pada siang hari bolong begini, mengapa banyak orang
yang biasa berjalan malam berkeliaran di tempat ini?" kata
Tiong Teng. Ketika itu In Kiam menyaksikan orang-orang berpakaian
serba hitam berjalan di tepi jalan, mulut mereka bungkam,
tapi wajah mereka aneh sekali.
"Pasti mereka anggota sebuah partai persilatan." pikir In
Kiam. Karena kereta dilarikan dengan cepat rombongan orang
berpakaian hitam itu sudah mereka lewati. Ketika di perhatian
di tengah rombongan orang berpakaian serba hitam itu.
tampak ada seorang yang rebah di atas sebuah gotongan.
Orang yang rebah itu kurus juga berpakaian hitam. In Kiam
memperhatikan orang yang rebah di atas gotongan, saat
muka orang itu terlihat jelas oleh In Kiam. jago tua itu kaget,
tanpa merasa ia berseru, "Kiauw Cian!"
In Kiam menyingkap tenda kereta dan melompat turun.
Melihat ayahnya lompat dari kereta yang sedang berjalan
Tiong Teng kaget. "Tahan!" kata Tiong Teng pada kusir kereta.
Sebelum kereta berhenti dengan sempurna. Tiong Teng
pun sudah melompat turun menyusul ayahnya.
ln Kiam berlari cepat menyusul orang yang sedang
menggotong Kiauw Cian. saat sudah dekat ia jambret salah
seorang dari orang berpakaian serba hitam itu.
"Hai. sahabat, kau mau apa?" tanya orang yang ditarik
bajunya itu. "Siapa sahabatmu?" bentak In Kiam dengan bengis.
Ia lihat Kiauw Cian yang ada di atas gotongan rebah tak
berdaya, wajahnya pucat sedang tubuhnya diam saja.
Sekalipun orang yang ditarik oleh In Kiam ini bertubuh
tinggi besar, namun ditarik secara mendadak ia kaget hingga
jatuh terlentang. Orang ini menjerit kaget, suaranya terdengar
oleh kawan-kawannya. Dalam sekejap rombongan ini berhenti,
semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka langsung
mengawasi ke arah In Kiam yang mereka tak kenal.
Orang yang jatuh itu buru-buru bangun, karena kesal ia
langsung menonjok ke arah In Kiam. tapi saat tangannya
menyerang, ia mendengar suara bentakan.
"Tikus! Beraninya kau!" bentak orang itu.
Tahu-tahu tubuh penyerang In Kiam itu merasakan
dadanya kesemutan, ia langsung kaku karena sebuah totokan.
Itulah serangan In Tiong Teng untuk menyelamatkan ayahnya
dari serangan lawan. Tapi dalam sekejap Tiong Keng sudah
langsung terkepung oleh orang-orang berpakaian serba hitam
itu. "Tiong Teng!" kata In Kiam. "Kau lihat bagaimana keadaan
Kiauw Cian Toa-ko!" Sesudah itu In Kiam mengawasi pada semua
pengepungma. "Kalian murid siapa?" kata ln Kiam dengan suara nyaring.
Puluhan orang berpakaian hitam itu kaget, telinga mereka
mendengung karena kerasnya teguran In Kiam itu. Namun
mereka tetap diam dan mengepung In Kiam dan Tiong Teng.
Dengan bengis In Kiam mengavv'asi orang-orang itu. Ia
tampak gagah. Sekali pun ia sudah mundur dari Dunia
Persilatan, namun ln Kiam tak lupa berlatih ilmu silat. Melihat
semua orang itu diam, In Kiam tertawa.
Tiba-tiba dari rombongan orang berpakaian serba hitam itu
muncul seorang yang maju ke depan.
"Kalian murid siapa?" tanya In Kiam lagi. "Apa kau tak
kenal padaku?" Tapi semua orang itu diam saja. hingga In Kiam berkata
lagi. "Bagaimana Kiauw Cian sampai terluka dan siapa yang
melukainya?" tanya In Kiam. "Ayo bicara atau hm!"
In Kiam diam sambil mengawasi dengan tajam. Ia pikir ia
bicara terlalu keras. Kelihatan orang-orang itu tidak takut pada In Kiam. Orang
yang tadi maju berdiri tegak, kemudian ia rangkapkan kedua
tangannya memberi hormat, lalu berkata dengan suara
nyaring. "Aku yang muda bernama Tong Gie." kata orang itu. "She
(marga) dan nama besar Loo-cian-pwee tak berani aku
menyebutkannya. Tapi aku ingin bertanya apa hubungan Loocian-
pwee dengan Kiauw Cian?"
Alis In Kiam berdiri. "Dia menganggap aku sahabat ayahnya," kata In Kiam.
"Maka aku pun menganggap dia keponakanku. Aku lihat dia
terluka parah.." Sebelum meneruskan kata-katanya ln Kiam melengak.
"Bagaimana kau tahu tentang diriku?" kata In Kiam.
"Nama ayah dan anak keluarga In sangat termasyur di Buouw."
kata Tong Gie menjelaskan. "Aku yang masih muda saat
melihat Loo-cian-pwee berdua, langsung mengenalinya!"
"Hm!" In Kiam memperdengarkan suara dari hidungnya.
"Kau murid siapa dan apa she dan namamu?" kata ln Kiam.
"Dasar orang tua..."' pikir Tong Gie. "Aku baru
menyebutkan namaku, dia sudah lupa lagi!"
Tapi Tong Gie dengan sikap hormat menjawab pertanyaan
ln Kiam. "Namaku Tong Gie. murid Keluarga Tong dari tanah Siok!"
kata Tong Gie merendah. In Kiam sedikit kaget dan heran.
"Kau dari Keluarga Tong. jadi kau murid dari Tong Sain
Hoan?" kata ln Kiam. "Tapi seperti yang kuketahui antara
Kiauw Cian dan pihak Keluarga Tong rasanya tidak ada
masalah. Kenapa ia terluka di tangan kalian?"
Tong Gie menunduk ia berpikir sejenak.
"Kami tahu Loo-cian-pwee seorang yang mulia dan jujur,
hingga menganggap orang lain pun seperti Loo-cian-pwee
juga. Tapi aku yang muda mohon maaf. dalam hal Kiauw Cian
rasanya Loo-cian-pwee kurang mengetahui tentang sifat dan
kelakuannya di luaran....."
Kelihatan In Kiam kurang senang, tapi ia menahan sabar.
"Teruskan.. " kata jago tua ini.
Tong Gie diam sejenak lalu meneruskan kata-katanya.
"Jika bukan Loo-cian-pwee yang bertanya, aku tak akan
bicara terus-terang." kata Tong Gie merendah. "Karena Loocian-
pwee yang bertanya, baiklah aku akan berterus terang..
Alis In Kiam bangun. "Apa \ang terjadi sebenarnya?" tanya
ln Kiam. "Sebenarnya ia bukan terluka oleh kami." kata Tong Gie
merendah. "Coba Loo-cian-pwee periksa sendiri lukanya, apa
mungkin aku bisa melukai dia dengan cara demikian?"
"Kalau begitu siapa yang melukainya?" tanya ln Kiam hilang
sabarnya. Tong Gie menarik nafas sambil menengadah ke langit. Saat
itu sudah tengah hari. sang surya sedang panas-panasnya.
"Orang itu bergelar Thay-yang Kun-cu!" kata Tong Gie.
In Kiam tercengang mendengar nama itu disebutkan.
"Thay-yang Kun-cu!" kata In Kiam mengulang ucapan Tong
Gie. "Apa benar ada orang yang bergelar demikian?"
Ia belum pernah mendengar nama itu tak heran ia jadi
tercengang bukan main. "Dia masih muda dan luar biasa." kata Tong Gie. "Hatinya
mulia, sungguh tepat gelarnya itu karena tak ada orang Rimba
Persilatan yang layak memakainya!"
"She apa dan siapa namanya?" kata In Kiam.
"Dia she To, namanya...." tapi sebelum kata-katanya
selesai In Kiam sudah menyelak.
"Tiang Keng!" kata In Kiam.
"Benar sekali. Loo-cian-pwee." kata Tong Gie. "Apa Loocian-
pwee kenal dengan dia?"
To-pie Sin-kiam ln Kiam melengak. dia tertawa terbahakbahak,
Misteri Kapal Layar Pancawarna 3 Dewa Arak 56 Sumpah Sepasang Harimau Harimau Mendekam Naga Sembunyi 6
^