Pencarian

Dendam Asmara 7

Dendam Asmara Karya Okt Bagian 7


tampak ia girang bukan main.
"Thay-yang To Tiang Keng!" kata
ln Kiam sambil tertawa. 0oo0 BAB 49. IN KIAM DAN TIONG TENG TIBA DI THIAN-BAKSAN
Saat In Kiam sedang tertawa, terdengar Tiong Teng
berteriak. "Jarum Bu-eng Sin-ciam!" teriak ln Tiong Teng
kaget. Jin-gie Kiam-kek Tiong Teng orangnya teliti, setelah
memeriksa luka Kiauw Cian ia menemukan jarum pada luka
itu. ketika itu jarum itu masih tertanam di tubuh Kiauw Cian.
maka ia cabut senjata rahasia itu. Dengan demikian ia yakin
bahwa itu senjata rahasia jarum Bu-eng Sin-ciam
In Kiam kaget ia berpaling ke arah puteranya.
"Jadi Kiauw Cian terluka oleh jarum Bu-eng Sin-ciam"!"
kata In Kiam. "Benar. Ayah!" kata Tiong Teng. Tiba-tiba In
Kiam melompat ke hadapan Tong Gie.
"Anak tak tahu diri kau berani mengelabuhi aku si orang
tua!" kata ln Kiam. Tong Gie sedikit pun tak gentar, ia membusungkan dada
dan maju. "Apa yang kukatakan benar semuanya jika aku berbohong
aku siap menerima dihukum!" kata Tong Gie.
"Tiang Keng putera sahabatku, aku kenal dia dan dia tak
punya Bu-eng Sinciam. Terlalu berani jika kau mau
membohongiku!" kata In Kiam.
"Kiauw Cian tertangkap oleh Tiang Keng. sedang luka yang
diderita oleh Kiauw Cian. perbuatan seorang nona yang ada di
sampingnya. Aku yang muda mana berani berbohong! Harap
Loo-cian-pwee jangan menyalahkan aku!"
In Kiam diam. "Aneh!" kata In Kiam. '"ada seorang nona di samping Tiang
Keng" Siapa dia" Apa she dan siapa namanya" Bagaimana
rupanya?" Begitu In Kiam secara beruntun bertanya pada Tong Gie.
Tong Gie memberi hormat. "Nona itu she Un." kata Tong Gie. karena ia sahabat To
Siauw-hiap. aku tak berani memperhatikan wajahnya, tapi
sekelebatan aku tahu nona itu cantik sekali dan
kepandaiannya lihay sekali."
in Kiam berpikir ia heran bukan kepalang.
"Coba kau ceritakan kejadiannya." kata ln Kiam.
Tong Gie tak menolak, ia mengisah kan semua yang ia
ketahui, juga tentang kejahatan Kiauw Cian, yaitu sejak si
Raja Copet datang ke Su-coan memsan senjata Bu-eng Sinciam.
sampai mereka diajak ke Thian-bak-san, dan
menjalankan perintah Kiauw Cian. Akhirnya, setelah mereka
bertemu dengan Tiang Keng dan Nona Un. baru rahasia Kiauw
Cian itu terbuka. ln Kiam kaget wajahnya merah padam, ia damprat Kiauw
Cian habis-habisan. "Dasar manusia celaka!" kata In Kiam gusar bukan main.
Tiong Teng pun keheranan.
"Mengapa adik Tiang Keng bersama-sama dengan Nona
Un?" kata Tiong Teng perlahan. Aganya dia ragu-ragu
'"Sekarang dia di Thian-bak-san. Benarkah dia dalam bahaya"
Ayah. lebih baik kita...."
"Benar, mari kita susul dia." kata In Kiam lalu mengawasi
ke arah Kiauw Cian. "Jika aku tak ada urusan, akan kuhajar
dulu dia!" Maka tanpa banyak bicara ia naik kereta akan ke Thianbak-
san. la tinggalkan rombongan Tong Gie.
Pada saat matahari sudah condong ke barat, kereta yang
dinaikinya sampai di mulut gunung Thian-bak-san. Karena
ingat pada Tiang Keng. mereka sesudah membayar ongkos
kereta, mereka langsung naik ke atas gunung. Mereka tak
menghiraukan ada bahaya atau tidak, mereka terus saja
mendaki dengan cepat. Mereka harus melalui jalan yang sukar luar biasa, dan tak
berpikir di bagian gunung mana sebenarnya Tiang Keng
berada. Matahari pun mulai terbenam tapi cahaya layung yang
kemerah-merahan masih menampakan diri. Di tempat itu sepi
dan keadaan di sekitarnya sunyi senyap. Jangankan suara
orang suara binatang buaspun tak terdengar saat itu.
Tiba-tiba dalam kesunyian itu. In Kiam dan Tiong Teng
mendengar suara yang sangat perlahan. Mereka mencoba
mencari tahu dari mana suara itu.
"Apa kau sudah lapar, betapa gilanya aku. makanan sudah
sedia tetapi tak kuberikan padamu...." kata suara itu halus. Itu
suara seorang perempuan. Begitu suara itu berhenti, tiba-tiba muncul Un Kin yang
cantik, pada tangan si nona menjinjing sebuah keranjang, la
tersenyum manis, lalu membungkuk dan meletakkan
keranjang itu di atas rumput yang hijau dan empuk, dan
membuka tutup keranjang, ia mengeluarkan sehelai kain hijau
yang dia beberkan di rumput. Ketika itu Un Kin melihat ada
bayangan jangkung mengikutinya. Un Kin tak bangun juga tak
menoleh. "Makanan belum siap kau sudah datang!" kata si nona.
Saat itu bayangan itu mengangkat tangannya menyerang si
nona. Anginnya terasa berkesiur keras.
Un Kin kaget. "Ah tak mungkin dia bukan Tiang Keng!" pikir Un Kin.
Buru-buru Un Kin bangun, tangannya ia gunakan untuk
menangkis serangan itu. Ia membentak dengan nyaring.
"Siapa kau?" kata Un Kin.
Sepasang tangan beradu keras, tapi keduanya tetap berdiri
tegar. Un Kin mengawasi orang yang menyerangnya itu.
Ternyata itu memang benar Tiang Keng.
"Hai siapa yang kau bilang menyebalkan?" kata Tiang Keng.
Keduanya tertawa riang, demikian mereka bergurau.
"Kau mundur agak jauh. kalau tidak aku tak bisa
menyiapkan makanan untukmu!" kata Un Kin.
Dia mendorong tubuh Tiang Keng.
"Baik, baik aku mundur." kata Tiang Keng sambil tertawa.
"Nah, kalau begitu baru kau anak yang manis." kata Un
Kin. Un Kin menoleh sambil tertawa manis. Tiang Keng
mengawasi si nona ia perhatikan Un Kin yang sedang bekerja.
"Sudah siap belum?" tanya Tiang Keng selang sesaat.
"Sudah, tapi tunggu sebentar lagi." kata Un Kin.
"Wah aku sudah lapar nih." kata Tiang Keng. "Aku tak bisa
menunggu lebih lama lagi..."
Un Kin kembali tertawa. "Kalau begitu lekas kemari." kata si nona aleman.
Tiang Keng menghampiri Un Kin yang sibuk menyiapkan
makanan. Tak lama mereka sudah duduk berdampingan lalu mulai
makan. "Bagaimana, enak tidak" tanya si nona.
Tiang Keng mengangkat tangan lalu ia belai-belai rambut si
nona dengan lembut, ia merasa sangat senang.
"Eh. katakan enak tidak?" desak si nona.
Tiang Keng tertawa. "Bagi lagi aku sepotong, sepotong kecil mana cukup." kata
Tiang Keng. "Dasar setan kelaparan." kata Un Kin sambil tertawa manis.
Ia mengambil sepotong daging ayam yang ia suapkan ke
mulut Tiang Keng. "Enaaak, sungguh enak!" kata Tiang Keng. "Cuma..."
"Cuma apa?" tanya si nona.
"Aku kira kau besanan dengan garam, kalau tidak mana
mungkin makanan ini asin!" kata Tiang Keng.
"Setan!" teriak Un Kin. lalu ia jejalkan kaki ayam ke mulut
Tiang Keng. "Aduh! Aduh!" kata Tiang Keng.
"Kenapa?" tanya si nona kaget.
"Asiiin!" teriak Tiang Keng menggoda.
Tiang Keng tertawa si nona pun ikut tertawa riang.
Kedua anak yatim itu tertawa dan begitu gembiranya
mereka, tapi tiba-tiba keduanya diam. mereka saling
mengawasi . Tiba-tiba mereka mendengar suara binatang malam
berbunyi mereka jadi kaget.
"Cuaca semakin gelap..." kata si nona.
Tiang Keng mengelah napas. Memang alam dengan cepat
berubah menjadi gelap. "Ya. kau lihat rembulan sudah muncul!" kata Tiang Keng.
Un Kin menunduk. "Aku tak tahu Un Jie Giok sudah pergi atau belum...." kata
Un Kin perlahan "Mungkin belum...." jawab Tiang Keng. "Karena sekarang
belum bisa dikatakan sudah malam."
Diam-diam Un Kin menangis dan Tiang Keng hanya bisa
mengawasinya saja. Keduanya diam dan lenyaplah kegembiraan yang baru saja
mereka rasakan. Tadi mereka bergembira sejenak, namun
kesulitan yang sedang mereka hadapi belum lenyap, bahkan
barangkali bahaya sedang mengancam mereka.
Di suatu tempat mereka akan bertemu dengan musuh
besanua. mampukah mereka mengalahkannya. Tiba-tiba
Tiang Keng mengusap bahu si nona. hingga Un Kin
menengadah. "Tiang Keng. bisakah kau menjawab pertanyaanku?" kata si
nona. "Katakan apa?" "Kenapa suatu pertemuan harus selalu ada perpisahan
yang segera datangnya?" kata si nona.
Tiang Keng mengawasi wajah si nona dan dia berpikir
keras. Un Kin menyeka air matanya lalu berkata perlahan. "Jika
besok di saat seperti ini kita bisa berkumpul kembali seperti
ini. waktu itu akan kumasakkan daging ayam dan akan
kukurangi kecapnya, supaya aku tidak dikatakan berbesan
dengan garam... " Ia memaksakan untuk tertawa manis.
Tiang Keng diam saja. "Ketika kau pura-pura menyerang ku. aku kira itu Pit Su."
kata si nona. Tiang Keng tetap membisu dan diam saja.
"Pit Su itu lucu. hingga aku tak bisa tidak tertawa." kata si
nona. Tiang Keng tak menyahut dia tetap diam saja.
Un Kin mengawasi anak muda itu ia heran sekali.
"Kau tak senang bicara denganku" tanya si nona. "apa kau
tak bisa menyingkirkan kesulitanmu?"
Akhirnya Un Kin menangis karena sedih.
0oo0 BAB 50. UN JIE GIOK TAK MAU MELEPASKAN TOTOKAN
PADA DUA MURID IN HOAN In Kiam dan Tiong Teng mencari di sekitar gunung. Mereka
berusaha terus sampai magrib, dan belum juga mereka
menemukan Tiang Keng. Tak lama rembulan mulai
menampakkan diri. Mereka semakin penasaran dan
berkhawatir juga bingung sekali.
"Gunung begini luas tapi kita belum menemukan dia.
Bagaimana kalau kita mencarinya secara terpencar. Kau ke
sana aku ke sini. siapa yang lebih dahulu menemukan dia
harus segera dibawa ke mari. Nanti sekalipun tak bertemu
dengannya, jika rembulan sudah tinggi kita berkumpul lagi di
sini!" kata In Kiam.
"Baik. Ayah." kata Tiong Teng. "Tapi jika berpencar,
bagaimana jika Ayah bertemu dengan musuh?"
Sang ayah mengerutkan alis.
"Tiong Teng. apa kau kira karena aku sudah tua jadi sudah
tak berguna sama sekali?" kata sang ayah.
"Ya. baiklah. Ayah." kata sang putera.
"Sekarang kau ingat-ingat tempat ini. kau berangkat ke
arah Barat, aku ke sebelah Timur!" kata In Kiam.
Tiong Teng kembali mengangguk mengiyakan. Sesudah itu
ln Kiam dengan tak menoleh lagi langsung berlari ke arah
Timur. Tiong Teng menghela nafas. Ia mengawasi ke
sekitarnya. Tiong Teng berbeda dengan ayahnya, ia tak
sabaran, dan langsung berjalan meninggalkan tempat itu.
Baru beberapa langkah ia sudah berpaling ke belakang, la
sudah tak melihat ayahnya lagi. Tiong Teng sekarang hanya
mendengar suara angin malam. Keadaan di sekitarnya sunyi.
Tiba-tiba Tiong Teng mendengar suara tawa yang terbawa
angin malam, la heran lalu lari ke arah pepohonan dan
melompat naik ke sebuah pohon untuk bersembuny i di balik
dedaunan, la bersikap waspada dan karena tak ingin
mengandalkan kepandaiannya saja. la berharap orang yang
tertawa itu pemuda yang sedang mereka cari.
Tak lama tampak dua orang sedang berjalan mendatangi.
Wajah mereka kumal. Salah seorang malah terus-menerus
mendumal dan menghela nafas. Pakaian mereka berwarna
kuning. "'Mengapa harus bersusah hati terus." kata yang seorang.
"Itu percuma saja! Aku yakin Un Jie Giok akan membebaskan
totokan kita. Ia tidak akan ingkar janji! Sebentar lagi lebih baik
kita pergi ke kelenteng itu...."
"Seandainya ia membebaskan totokannya. belum tentu jiwa
kita selamat." kata kawannya. "Dosa telah membunuh guru
sendiri, itu dosa tak berampun. Thian tak akan mengampuni
kita, Tat Jin!" "Pendapatmu salah." kata Tat Jin sambil tertawa dingin.
"Aku yakin tak salah. Coba kau ingat Tentang See Sie dan Hu
Cee. Bukankah See Sie telah membunuh suaminya" Apakah ia
tak berdosa besar" Tapi orang tidak menyalahkan
perbuatannya, malah dia dipuji-puji oleh setiap orang. Dia
dikatakan suci bersih! Mengapa bisa begitu, dan tahukah kau
apa sebabnya?" "Tetapi..." kata Cio Peng tak meneruskan kata-katanya.
Mereka berhenti lalu duduk di bawah pohon tua di atas
sebuah batu yang datar. "Aku heran mengapa kau berpikir begitu." kata Tat Jin.
"Bukankah nama guru kita terkenal sangat jahat" Cukup asal
kita bisa memberi alasan yang masuk akal. orang Rimba


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Persilatan akan menganggap kita membunuhnya demi
keadilan dan perikemanusiaan. Mereka pasti akan memuji kita!
Siapa yang akan menyalahkan kita"
"Tetapi...." Cio Peng kembali bimbang. Ia awasi
sahabatnya. Tiba-tiba ia tenawa. "Kau benar! Ya, kau benar!"
Tat Jin tersenyum. Hati mereka lega keduanya tertawa
berderai. Di atas pohon Tiong Teng jadi heran. Matanya menyala.
Karena gusar hampir saja ia melompat turun karena sudah tak
sabar. Ia yakin saat itu ia bertemu dua orang murid durhaka,
mereka membunuh guru mereka. Ketika ia akan melompat ia
melihat ada bayangan yang sedang mendatangi.
"Ah, apa itu Un Jie Giok yang datang" pikir Tiong Teng.
Terkaan Tiong Teng benar, memang itu bayangan Un Jie
Giok. Dengan cepat ia telah sampai ke tempat kedua orang
itu. Hati Tiong Teng berdebar-debar.
Begitu sampai Un Jie Giok tertawa dingin.
"Apa kalian sudah melaksanakan perintahku itu?" kata Un
Jie Giok dingin. "Sudah!" jawab Tat Jin dan Cio Peng hampir bersamaan.
"Bagus!" kata Un Jie Giok.
Dengan tak menghiraukan kedua orang itu ia melompat lari
ke sebuah tikungan. "Loo-cian-pwee!" teriak Tat Jin memanggil nyonya tua itu.
Jie Giok berpaling. "Ada apa?" tanya Jie Giok.
"Bagaimana mengenai totokan Cit-ciat-tiong-cit atas diri
kami...." kata Tat Jin cemas bukan main. "Ini sudah hampir
duabelas hari.. ." Sambil tertawa dingin Jie Giok menjawab.
"Masih ada waktu 30 jam." katanya. Bukan main kagetnya
kedua orang itu. Tat Jin berkata dengan lirih.
"Sesuai perintah Loo-cian-pwee. kami telah menaruh racun
pada teh untuk guru kami. Kami juga melihat sendiri, guru
kami meminumnya, maka kami mohon Loo-cian-pwee..."
"Kau taat pada perintahku, itu bagus!" kata Jie Giok.
"Tetapi aku ingin bertanya siapa yang menyuruh kalian
meracuninya?" "Tetapi, Loo-cian-pwee yang .." kata Cio Peng yang kaget
dan gugup. "Coba kalian pikirkan lagi." kata Un Jie Giok. "Apa yang
kukatakan tadi malam" Apa yang aku katakan dan apa yang
kujanjikan pada kalian?"
Dengan tubuh gemetar Cio Peng menjawab.
"Tetapi. . Tapi..." Cio Peng tak bisa meneruskan katakatanya.
Un Jie Giok tertawa. "Bukankah aku hanya melemparkan obat itu ke tanah?"
kata Un Jie Giok. Tat Jin mengangguk. "Tapi Loo-cian-pwee juga berkata...."
"Aku bilang apa?" kata si nyonya.
"Kau bilang obat itu tanpa tanpa rasa, jika dicampur ke
dalam air teh atau arak itu boleh saja. Lagi pula..." Tat Jin
ragu-ragu ia tak meneruskan kata-katanya.
"Kau berbakat dibanding anak-anak yang lain." kata Jie
Giok. "Ingatanmu juga kuat. Semua yang kukatakan, kau
masih ingat dengan baik. Sekarang katakan, apa aku pernah
menyuruh kau mencampur obat itu agar ln Hoan keracunan?"
Kedua pemuda itu saling mengawasi. Tiba-tiba keduanya
berlutut di depan nyonya tua itu. "Karena kami masih muda
kurang periksa, kami harap Loo-cian-pwee menyelamatkan
jiwa kami..." kedua pemuda itu memohon.
Un Jie Giok tertawa dingin.
"Bukankah aku tak menyuruhmu meracuni gurumu?"
"Kau benar, kau tidak langsung memerintahkan kami. Loocian-
pwee. " kata Tat Jin sambil berlutut.
"Karena aku tak menyuruh kalian, lalu kapan aku berjanji
akan membebaskan kalian dari totokan?" kata Jie Giok.
"Sekalipun tidak berjanji, akan tetapi... " kata Tiat Tat Jin.
Tiba-tiba Jie Giok tertawa dingin dan lama. suaranya tajam
dan tak sedap didengar. Mendengar pembicaraan itu Tiong Teng gemetar sendiri.
"Ilmu totok Cit-coat-tiong-ciu yang sudah ratusan tahun itu
sudah hilang. Sedang yang mengerti ilmu itu hama tinggal
seorang. Itu aku! Orang yang bisa membebaskannya juga
hanya tinggal seorang. Tahukah kau siapa orang itu?"
Kedua pemuda itu kaget, tapi setelah berpikir sejenak
mereka menjawab sekenanya.
"Cuma Loo-cian-pwee..." kata Tat Jin.
Jie Giok tertawa lagi. "Bukan. Kau salah, orang itu bukan aku." kata Jie Giok.
Tat Jin kaget tanpa merasa ia bertanya. "Lalu siapa?"
Setelah tertawa dingin nyonya itu berkata dengan suara
perlahan. "Orang itu In Hoan yang kalian racun!" kata Jie Giok.
Kedua pemuda itu kaget tak terkecuali Tiong Teng yang
sedang mendekam di atas pohon. Wajahnya demikian pucat.
"Loo-cian-pwee. tolong kami. kata Tat Jin meratap.
"Hai apa kau kira aku sedang membohongi kalian?" kata Jie
Giok dengan suara dingin.
"Mana berani kami menuduh demikian." kata Tat Jin.
"Dulu saat kudapatkan kitab ilmu totok, itu terdiri dari dua
jilid." kata Jie Giok. "Kitab yang satu tentang teori dan cara
menggunakan ilmu totok itu. sedang yang lain mengenai
memecahkan rahasia ilmu itu dan cara membuat obat
pemunahnya. Ketika itu aku.. Ia menengadah ke langit, sinar
matanya tajam. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya.
"Tatkala itu. aku yakin sekali gurumu itu orang baik. maka
aku tak curiga. Tak dikira..." Sejenak ia berhenti bicara,
wajahnya berubah dingin. "Siapa tahu mukanya saja muka
manusia, tapi hatinya hati binatang! Saat aku sedang semedi
selama 61 hari untuk belajar ilmu totokan itu. dia mencuri
barang-barang berharga milikku dan kitab yang sejilid lagi...."
Baru sekarang Tiong Teng tahu. bagaimana hubungan Un
Jie Giok dengan ln Hoan. Dengan hati berdebar-debar tanpa
merasa ia mandi keringat dingin. Ia sadar, jika ia kepergok.
Terutama ia malu mencuri dengar pembicaraan orang....
Malam merayap semakin gelap dan larut, keadaan di
sekitarnya gelap dan wajah Jie Giok pun tak jelas namun
suaranya jelas sekali. In Tiong Teng mengira, pikiran Jie Giok
sedang terganggu oleh rasa cinta dan benci kepada I n Hoan.
Cio Peng dan Tat Jin masih berlutut di depan Un Jie Giok.
Mereka hanya bisa saling mengawasi dengan perasaan cemas
bukan main Terdengar Jie Giok tenawa dingin, mirip suara burung
hantu yang menyeramkan. "In Hoan! In Hoan! Aku kira aku sudah cukup baik
kepadamu! Kiranya di jalan yang gelap kau tak kesepian,
karena tak lama lagi kedua muridmu yang sangat kau cintai
akan segera menyusul.....*"
Sesudah itu ia kibaskan ujung bajunya, lalu berjalan ke
balik gunung. Cio Peng melompat ia hendak menyerang perempuan iblis
itu. tapi Tat Jin menarik sang kawan. "Kau mau apa?" tanya
Tat Jin. "Apa kau sanggup mengalahkan hantu perempuan
itu?" Mata Cio Peng melotot dan berputar-putar. "Sekalipun aku
bukan lawannya, aku ingin mengadu jiwa dengannya!" kata
Cio Peng. "Buat apa...." Tat Jin mendadak tertawa.
"Apa kita sudah tak punya harapan hidup lagi?" kata Tat
Jin. Cio Peng melengak. "Tak mustahil Tak mustahil..." kata Cio Peng.
Tat Jin menyeka debu di lututnya, wajahnya cerah sekali.
"Coba kau renungkan baik-baik." kata Tat Jin. "Bukan saja
kita masih punya harapan hidup, bahkan kita bakal mendapat
kebaikan...." Cio Peng melengak. Sedang Tiong Teng yang ada di atas pohon keheranan
karena tak bisa menerka jalan pikiran kedua pemuda itu.
Tiat Tat Jin mengeluarkan jari tangannya, jempol dan jari
tengah, ia mengadukan kedua jari itu hingga mengeluarkan
suara cetrek dari tangannya itu.
"Jika kitab itu berisi cara membebaskan totokan. maka
cukup jika kita pulang untuk mencari kitab itu!" kata Tat Jin.
"Maka kita akan tertolong!"
Mendengar hal itu Cio Peng kelihatan girang sekali.
"Kau benar, kau pandai dan cerdik, aku tak bisa melawan
kecerdasanmu!" kata Cio Peng. "Tetapi di mana kitab itu
disimpan oleh Suhu?"
Tiat Tat Jin diam. ia kelihatan kurang puas oleh ucapan
adik seperguruannya itu. Cio Peng heran melihat kakak seperguruannya itu. tapi ia
segera mengerti. "Suheng, maafkan aku." kata Cio Peng.
Tiong Teng di atas pohon merasa kurang senang pada
kedua orang yang ia kira jahat itu
0oo0 BAB 51. CIO PENG DAN TIAT TAT JIN AKHIRNYA TEWAS
MENGENASKAN Tiat Tat Jin mengawasi adik seperguruannya itu. ia
bergumam dengan suara dingin. "Seharusnya, kau tahu di
mana Suhu menyimpan kitab itu!" kata Tat Jin. "Kau salah
karena kau kurang perhatian...."
Ketika kata-kata Tiat Tat Jin baru saja berhenti, tiba-tiba
terdengar suara yang nadanya sangat dingin.
"Ya. kalian seharusnya tahu di mana aku menyimpan kitab
itu!" kata suara yang sangat mereka kenal.
Bukan main terkejutnya Tiat Tat Jin dan Cio Peng ketika
mendengar kata-kata itu. Karena mereka tahu siapa orang
yang berkata itu. Berbeda dengan Tat Jin. Cio Peng begitu
mendengar suara itu. langsung siap untuk kabur. Sedang Tiat
Tat Jin segera berlutut memberi hormat, namun tubuhnya
sangat kemah karena ketakutan.
Tak lama kelihatan berkelebat sebuah bayangan disusul
tawa dinginnya. Tubuh orang itu melayang turun dari atas
pohon besar dan jatuh tepat di hadapan Cio Peng yang
hendak kabur. "Hm! Jahanam, kau masih berpikir hendak kabur?" kata
suara orang itu. Cio Peng mundur sebanyak tujuh langkah dari depan orang
itu. "Suhu!" ia memanggil. Memang benar orang itu adalah In
Hoan. guru mereka. Di atas pohon Tiong Teng melihat
bayangan itu turun dengan gesit, orang itu mengenakan
kopiah tinggi dan tubuh orang itu jangkung. Selangkah demi
selangkah imam itu mendekati Cio Peng yang masih gemetar
karena takut. "Dasar manusia goblok, mana mungkin kau bisa
menghindari gurumu ini! Kau sangat jahat tetapi kau tidak
berdaya, kau memang harus mampus!" kata In Hoan geram
sekali. Sambil mendekam di tanah kepala Cio Peng berulang-ulang
mengangguk ke arah In Hoan. "Memang muridmu ini pantas
mati!" kata Cio Peng.
Mata ln Hoan yang bengis mengawasi muridnya yang
murtad itu. "Memang pada masa sekarang ini sudah lumrah
orang yang kuat menelan yang lemah... Karena saat ini orang
harus bergulat keras saling berebut untuk bisa hidup! Aku
tidak menyalahkan kalian berdua, tetapi kalian semua tolol
sekali! Kalian tak bisa membuat gurumu senang, lebih baik
kalian mati saja semua!" kata In Hoan.
Mendengar kata-kata In Hoan tersebut. Tiong Teng yang
berada di atas pohon jadi ngeri. Dia tak mengira seorang guru
bisa begitu sadis terhadap muridnya.
"Suhu...." Cio Peng memohon. "Seumur hidupku memang
aku tak pernah berbuat baik." kata In Hoan. "Hanya, gurumu
ini saat berbuat jahat selalu menggunakan otaknya dengan
baik. Itu sebabnya hingga sekarang ini gurumu selalu selamat.
Orang-orang tak berdaya terhadap aku. Ketahui olehmu,
berbuat jahat harus dibarengi dengan keberanian dan
kepandaian, jika tidak maka kalian akan gagal. Kakakmu Tat
Jin lumayan dibandingkan dengan kau. Cio Peng!"
Mendadak kaki In Hoan melayang ke arah Cio Peng dan
sang murid ini tak sempat lagi menghindar dari serangan yang
hebat itu. Maka tak ampun lagi. sambil menjerit keras tubuh
Cio Peng pun terpental, lalu jatuh bergulingan. Saat itu juga
nyawanya melayang.. Tiat Tat Jin terus mendekam di tanah dengan ketakutan. Ia
tak berani mengawasi gurunya. Sedang Tiong Teng yang ada
di atas pohon kaget, tanpa terasa keringat dingin membasahi
tubuhnya. Setelah menendang Cio Peng. ln Hoan berjalan ke arah
muridnya yang lain. Matanya mengawasi si murid dengan
tajam luar biasa. "Apa tadi kau sudah melihat contoh yang kuberikan?" tanya
ln Hoan. "Sudah. Suhu..." jawab Tat Jin.
"Jika kau sudah melihatnya, apa yang ada dalam pikiranmu
sekarang" tanya In Hoan.
"Jika aku gagal mencarikan obat untuk Suhu." kata Tat Jin.
"Maka aku mohon Suhu bersedia menolong jiwaku.... Atau..."
In Hoan tertawa dingin. "Hm! Kau mengira kau ini cerdik, sehingga kau bisa
membohongi aku?" kata In Hoan.
Tat Jin melengak. ia awasi gurunya.
"Tadi malam, saat kalian berdua pulang sudah kuperhatikan
wajah kalian yang bingung dan cemas. " kata In Hoan.
"Terlebih Cio Peng. sikapnya sangat tak wajar! Semua itu tak
lepas dari pengawasanku. Saat aku pura-pura akan buang air
kecil, sayup-sayup kudengar kau menyuruh Cio Peng menaruh
racun di cawanku. Semua kuperhatikan. Tetapi ketika itu aku
belum tahu, siapa yang menyuruh kalian meracuniku. Saat
kalian meninggalkan aku sebentar, maka kuganti cawan
minumku dengan yang baru. Ketika kalian kembali, air di
cawan itu kuminum sehingga kalian mengira aku berhasil
kalian racuni..." Mendengar penuturan itu Tat Jin hanya menunduk. Dia
kagum oleh kecerdikan gurunya


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pagi-pagi sekali." In Hoan melanjutkan. "'Kalian berdua
lama berdiri di depan kamarku, tetapi kalian tak berani masuk
untuk memeriksa, apakah aku benar-benar sudah mati atau
belum. Kemudian kalian buru-buru pergi. Lalu aku
mengikutimu sampai di sini. Saat kalian bicara dengan Un Jie
Giok tadi. semua telah kudengar dengan jelas..."
Diam-diam Tiong Teng menghela nafas panjang. "In Hoan
ini sangat cerdik! Kecerdikannya itu sangat membantu
kejahatan yang dilakukannya," pikir Tiong Teng. "Peran
seperti dia harus segera disingkirkan! Kejahatannya melebihi
seekor binatang, mana boleh dibiarkan terus..."
Oleh karena berpikir begitu Tiong Teng memutar otaknya
mencari jalan untuk menyingkirkan imam jahat itu. Tetapi,
sebelum Tiong Teng bertindak, tiba-tiba ia mendengar suara
bentakan nyaring dari balik gunung.
"in Hoan! Perbuatan kejimu itu bisa dianggap tak adil... "
kata suara itu. Begitu suara orang itu selesai, tubuh orang itu melayang
turun. Tangan orang itu terangkat dan terayun ke arah Tiat
Tat Jin. disusul oleh suara jeritan pemuda itu yang
mengerikan. Tubuh Tat Jin bergulingan dan berhenti dekat
tubuh Cio Peng. nafasnya langsung berhenti.
Kelihatan ln Hoan kaget bukan main. ia mengenali suara
dan orang yang baru muncul itu.
"Kedua muridmu itu sama jahatnya." kata Un Jie Giok yang
muncul secara tiba-tiba. "Jika yang seorang kau bunuh sedang
yang lain kau biarkan hidup, itu kurang adil. Maka itu tadi aku
telah mewakilimu membunuhnya!"
Wajah In Hoan beberapa kali berubah-ubah. sebentar
merah sebentar pucat. Tiba-tiba ln Hoan tertawa perlahan.
"Bagus! Akupun berpikir demikian!" kata In Hoan sambi
tersenyum pahit. "Dua muridku itu murtad, tak layak mereka
dibiarkan hidup!" "Hm!" Un Jie Giok mengeluarkan suara dari hidungnya.
In Hoan tersenyum, wajahnya kini jadi semakin berseri-seri.
"Jie Giok." kata In Hoan dengan halus. "Sudah lama kita
tidak saling bertemu, tidak kusangka tenyata kau masih
seperti dulu!" Kemudian terdengar In Hoan menghela nafas panjang.
"Selama kita tak saling bertemu." kata In Hoan lagi. "Aku
selalu mengingat dan mengenangmu, tetapi sekarang aku
telah menjadi tua...."
"Hm!" lagi-lagi Jie Giok mengeluarkan suara.
In Hoan mengelus jenggotnya sambil menghela nafas
perlahan. "Ya. tak kukira, bulan dan tahun terus mendesak
manusia. ." kata In Hoan lagi. "Sang waktu pergi untuk tidak
kembali... Setiap kali aku teringat semasa kita pernah hidup
bersama bertahun-tahun lamanya, aku jadi berduka sekali....
Jie Giok. ingatkah kau saat kita duduk berdua memandangi
sang rembulan di puncak gunung" Di sana. ketika itu kita
minum arak bersama-sama. Saat itu kita pun saling
mendoakan agar kita sama-sama panjang umur... Ah. tak
hentinya aku memikirkan dirimu dan aku merasakan kiranya
sang waktu sangat singkat. Memang benar pepatah
mengatakan tidak ada pesta tanpa akhir. Itu yang dikatakan
bahwa lebih baik tidak bertemu daripada harus bertemu.
Bukan benar begitu. Jie Giok?"
Sambil berkata ln Hoan terus mengawasi wajah wanita
jelek di depannya. Dia ingin tahu reaksi wanita jelek itu. Ia
lihat Jie Giok sedang mengawasi ke arahnya dengan mata
yang tajam dan bengis. "Semua itu teringat lagi. tapi sayang itu sudah berlalu..."
kata In Hoan Tiba-tiba Un Jie Giok tertawa dingin. "Jika aku mendengar
kata-katamu itu beberapa tahun yang lalu. aku memang agak
khawatir... Tetapi kini hm! Hm!" kata Un Jie Giok.
"'Memang waktu telah berlalu, hanya keadaannya masih
tetap sama! Dulu dan sekarang apa bedanya?" kata In Hoan.
Un Jie Giok kembali tertawa dingin. "Mungkin orang akan
terperangkap oleh kata-katamu!'" kata Jie Giok. "tapi sayang,
kau mengatakannya hari ini. dan aku sudah bosan
mendengarnya!" Mendengar ucapan itu In Hoan melengak. Matanya
jelalatan. tetapi ia memaksa untuk tertawa. "'Jie Giok. aku
tahu bagaimana persasaanmu saat ini." kata In Hoan. "Aku
kira kau salah mengerti tentang diriku, tetapi aku...."
"'Tutup mulutmu!" kata Jie Giok sengit. Jie Giok
menundukkan kepalanya lalu menghela nafas panjang. Ketika
ia angkat kepalanya, ia berkata lagi. "Seperti katamu tadi.
sang waktu sudah berlalu dan aku sudah terlalu tua.... ya
sudah tua!?" Dia awasi In Hoan dengan tajam, mendadak dia tertawa
nyaring. Sementara itu In Hoan coba bersabar.
"Jie Giok. kau belum tua.?" kata ln Hoan "Cuma kau..."
Un Jie Giok kembali tertawa dingin. "Jika seseorang
menjadi tua dia akan mirip dengan siluman. " kata Jie Giok.
Tidak! Aku tak bisa kau akali lagi. Sampai saat ini kau masih
menganggap dirimu pintar! Kau anggap kau lebih pintar
dariku. Tetapi, sungguh kau tak sadar bahwa aku pandai
melebihimu!" Mendengar kata-kata itu In Hoan batuk sekali. "Itu betul.
Kepandaianmu memang melebihiku." kata ln Hoan.
Pujian ini seolah-olah tak didengar oleh Un Jie Giik.
"Hm! Memang sudah kuduga, kedua muridmu yang tolol itu
tidak akan berhasil meracunimu!" kata Un Jie Giok dingin.
"Aku juga sudah menduga bahwa kau akan datang menyusul
mereka ke mari. Dan ternyata dugaanku itu benar sekali!"
Suara Jie Giok jelas ia sangat girang karena dugaannya
tidak meleset. "Dulu aku selalu jatuh ke dalam tanganmu,
tetapi sekarang telah tiba giliranku." kata Un Jie Giok.
In Hoan menghela nafas lalu menunduk, tetapi matanya ia
permainkan, la berpura-pura lunak, sebenarnya ia sedang
berpikir keras. Sikap ln Hoan ini tak lepas dari perhatian Un Jie
Giok. "Hm! ln Hoan. kau jangan berpikir yang bukan-bukan dan
mencari jalan untuk lolos dariku!" kata Un Jie Giok keras.
"Kuperingatkan padamu, akhir-akhir ini aku tekun mempelajari
ilmu meringankan tubuh. Jika kau kira aku bohong, boleh kau
coba!" Tiba-tiba perasaan In Hoan dingin. "Ah dia bilang dia
berlatih ilmu meringankan tubuh." pikir ln Hoan. "Kalau begitu,
ilmu silat yang lainnya agak ia abaikan. Jika sekarang kulawan
dia dengan mati-matian, belum tentu aku kalah olehnya..."
Hati In Hoan tiba-tiba jadi tenang kembali. Un Jie Giok
mengawasi In Hoan dengan tajam.
"Jangan coba melawanku." kata Jie Giok tajam. "Soal ilmu
silat aku rasa kau tak akan mampu mengalahkanku! Kau
camkan saja. satu di antaranya. Mengenai ilmu silat tangan
kosong Cit-keng-pit-kip saja. tak nanti kau bisa
menghadapinya. Jika kau tak percaya boleh kau coba
sekarang juga!" In Hoan mendongak, kemudian ia menghela nafas panjang.
"Sudah lama aku berpikir ingin menemuimu." kata ln Hoan
kemudian. "Sekaipun hanya untuk sekali saja. Oleh sebab itu
mana mungkin aku berniat pergi dari hadapanmu, apalagi
akan melawanmu" Kau berpikir terlalu jauh. Jie Giok!"
Un Jie Giok tertawa lagi. "Kau bilang aku berpikir terlampau
jauh" Hm! Benarkah itu" Apa yang sedang kau pikirkan, pasti
kau tahu jawabannya!" kata Un Jie Giok sengit.
"Yang sedang kupikirkan ialah tentang Dunia Persilatan
yang kacau-balau." kata ln Hoan. "Kita sudah berusia lanjut,
aku pikir lebih baik kita cari sebuah tempat yang aman dan
tenteram, di sana kita bisa hidup bahagia melewatkan hari tua
kita..." Kata-kata ln Hoan selain halus juga menarik hati. Tiba-tiba
Un Jie Giok menundukkan kepalanya. Jie Giok solah-olah
tertarik oleh rayuan si imam yang cerdik ini.
Mata In Hoan bersinar terang saat melihat Jie Giok
menundukkan kepalanya, maka ia berulang-ulang tersenyum.
"Jie Giok. dengar olehmu." kata In Hoan lembut. '"Kau
telah hidup menjagoi di Dunia Persilatan selama bertahuntahun,
tetapi apa yang kau peroleh sekarang ini. tak lain di
dalam hatimu hanya ada aku! Dan seperti juga di dalam
hatiku, hanya ada kau......"
Suara In Hoan halus, tiba-tiba tangannya mengusap
matanya yang berair karena tangis, ln Hoan sangat
terpengaruh oleh kata-katanya sendiri hingga ia menundukkan
kepalanya. Jie Giok mendadak tertawa keras sekali. "Di hatimu ada
aku. di hatiku ada kau?" ujar Un Jie Giok nyaring.
"Sisa hidup kita. " dia berhenti sejenak. "Dengarkan katakataku,
bagiku aku sudah tak memikirkan lagi untuk hidup
lebih lama lagi! Maukah kau mati bersamaku?"
ln Hoan kaget mendengar pertanyaan itu. ia terpaksa
tertawa. "Mengapa kau berkata begitu. Jie Giok" Bukankah tubuhmu
masih segar-bugar. Aku kira kau masih bisa hidup sepuluh
tahun atau dua puluh tahun lagi.. ." kata In Hoan.
"Jadi kau tak mau menemaniku mati?" kata Un Jie Giok
dingin. "Tidak! Aku tak menyesalimu! Kau boleh berbuat tak
selayaknya terhadapku, aku tak bisa membunuhmu.. Bagiku,
aku hanya ingin kau melakukan sesuatu untukku sekali lagi...."
Suara Un Jie Giok keras, lama-lama berubah menjadi
perlahan ia agaknya menyesal dan penasaran...
Saat itu segumpal awan hitam lewat menutupi sang Puteri
Malam, hingga malam pun semakin larut saja...
0oo0 BAB 52. PENUTUP Di tempat lain masih di sekitar Thian-bak-san. dua mudamudi
Tiang Keng dan Un Kin sekarang hanya berduaan saja.
"Malam semakin larut...." kata Un Kin.
Tiang Keng mengawasi ke sekitar tempat itu.
"Kuil tua itu sudah ada di depan kita. tetapi kita tak tahu
apakah Un Jie Giok sudah ada di sana atau belum?" kata
Tiang Keng. "Dia bilang akan ke sana. pasti ia akan ke sana!" kata si
nona meyakinkan. Ia menarik tangan pemuda itu untuk diajak berjalan
bersama-sama. Mereka berjalan bergandengan hingga sampai
di depan kuil dan mereka langsung masuk ke dalam kuil.
keadaan di sana masih seperti kemarin ketika mereka ada di
situ. Terlihat patung Buddha yang wajahnya lembut, tetapi
hati kedua muda-mudi ini malah berdebar-debar
Kemudian mereka saling mengawasi lalu mereka menunggu
dan duduk berendeng, otak mereka bekerja keras. Saat itu
hati mereka jadi tak tenteram, mereka tak tahu mau bicara
apa. Tak lama terlihat cahaya api dan dua bayangan orang
sedang mendatangi, tubuh keduanya langsing dan mereka
berjalan dengan sangat hati-hati sekali.
"Oh kalian berdua pun sudah datang?" kata Tiang Keng dan
Un Kin. Salah seorang dari nona itu tertawa. Dia adalah Siauw Tin.
Dia meletakkan dua buah pelita di atas altar sembahyang.
Tiba-tiba Siauw Keng berkata. "Sejak tadi kami sudah
menunggu, barangkali Couw-ko pun akan segera tiba!"
Kemudian kedua nona itu berdiri dekat tembok, mereka tak
mau mengawasi ke arah Tiang Keng maupun Un Kin
Tak heran sekalipun di pendopo itu ada empat orang
karena tak ada yang bicara maka keadaan di situ tetap sunyi.
Mungkin hanya hati mereka yang berdebar-debar.....
Angin yang dingin bertiup ke dalam pendopo. Daun-daun
pepohonan pun tertiup angin yang kadang-kadang agak keras
hingga daun-daun itu rontok dan berjatuhan ke tanah. Tibatiba
bersamaan dengan daun yangromtok berjatuhan dan
masuk ke dalam pendopo. melayang sebuah bayangan orang
ikut masuk. Empat orang yang ada di dalam pendopo semua menoleh
ke arah orang itu. Sesudah melihat tegas siapa orang itu.
mereka berteriak kaget. "Kau. .!"' kata mereka hampir bersamaan.
Orang itu tersenyum. Dia ternyata ln Hoan.
"Kalian tak menyangka, bukan?" kata ln Hoan sambil
tertawa. Sambil menggendong tangan ln Hoan berjalan hilir-mudik.
Tak lama ia langsung berhadapan dengan Tiang Keng dan
berkata dengan sabar. "Kuucapkan selamat padamu, karena
hari ini sakit hati orang tuamu akan terbalas!"
la melangkah ke arah tembok. Tiang Keng heran, ia jadi
curiga tetapi diam saja. Tidak berapa lama satu bayangan lain melompat masuk ke
dalam pendopo. Siauw Tin dan Siauw Keng berseru. "Couw-ko
tiba!" Hati Tiang Keng dan Un Kin bergolak, darah mereka
mendidih. "Ternyata kalian sudah datang lebih dulu!" kata Un Jie Giok
dingin. Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi. Un Jie Giok
tertawa meringis. "Aku tahu perasaan kalian untuk membalaskan sakit hati
orang tuamu, pasti kalian tak sabar!" kata Jie Giok. "Benarkah
begitu?" "Karena dendam orang tua kami. maka kami tak bersedia
hidup bersama dengan musuh kami!" kata Tiang Keng.
"Sebelum kami balas dendam, sehari pun kami tak bisa tidur
tenang!" Un Jie Giok tertawa dingin. "Sekarang musuh besarmu itu
ada di depanmu! Tetapi aku ingin bertanya, sudah berapa
tinggi ilmu silatmu dan mampukah kau membalas dendam
sekarang?" kata Un Jie Giok.
Alis Tiang Keng berdiri. "Hari ini aku dalang dengan tak menghiraukan jiwaku!"
kata Tiang Keng dengan gagah.
Kembali Un JieGiok tertawa dingin.
"Kau memang bersemangat!" kata Un Jie Giok. "Ketahui
olehmu, seumur hidupku aku belum pernah memberi
kesempatan pada orang lain!"
Mendadak Jie Giok mengeluarkan dua batang bambu yang
bersinar kuning keemasan dari sakunya. Kemudian ia berkata
lagi dengan dingin.

Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini dua buah bumbung jarum Ngo-in-hong-jit-touw-simciam1"
kata Jie Giok "Dua bumbung ini yang satu berisi jarum
itu dan yang satu lagi kosong! Sekarang kau ambil salah satu
bumbung ini. jika kau berhasil mengambil yang berisi jarum,
maka kau akan berhasil membalas dendam Sebaliknya jika
bukan yang berisi jarum...hm! Hai ln Hoan. ambil kedua
bumbung ini. pesilakan dia mengambil salah satu bumbung ini
untuk memilihnya!" In Hoan kelihatan ragu-ragu. matanya menunjukkan sinar
tajam. Perlahan-lahan ia menghampiri si nyonya tua untuk
mengambil kedua bumbung bambu itu dari tangan si nyonya.
Sesudah itu dia berbalik dan berjalan dengan perlahan sekali,
tapi tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dengan cepat, sambil
berbalik kedua tangannya ia majukan dipakai menyerang ke
arah si nyonya jelek! Terdengar suara dari dua bumbung bambu itu. alatnya
bekerja. Kemudian disusul suara tawa si imam yang tak sedap
didengar, tetapi..... Ternyata dari kedua bumbung itu tak ada jarum yang
keluar. Kiranya kedua bumbung itu kosong tak berisi jarum
beracun! Tak lama terdengar lagi suara tawa In Hoan disusul
suara lawa Un Jie Giok. nadanya mengejek. In Hoan kaget, ia
melompat mundur tiga langkah dan sepasang matanya
mendelong.... Un Jie Giok tertawa lagi. "Salah! Kembali kau salah
selangkah, kau tertipu oleh akalku!" kata Un Jie Giok.
Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi, bukan main
herannya mereka. Setelah mengawasi ke arah Un Jie Giok.
mereka menoleh mengawasi ln Hoan. Wajah ln Hoan berubah
pucat bagaikan kertas putih.
"Seumur hidupmu belum pernah kau berbuat kebaikan!"
kata Jie Giok dengan tajam ke arah In Hoan. "Kemampuanmu
hanya mengelabuhi orang saja. Sudah lama aku ingin
menyingkirkanmu. tetapi selalu gagal. Hari ini sebenarnya aku
akan membebaskan jiwamu, asal kau tak memperdayaiku lagi
dan akan kuizinkan kau pulang masih bernyawa!"
Saat Un Jie Giok bicara selangkah demi selangkah ln Hoan
mundur teratur. Tetapi Jie Giok juga tak tinggal diam. ia juga
maju selangkah demi selangkah mengikutinya. Tanpa terasa
In Hoan telah didesak oleh Un Jie Giok.
Sambil melangkah maju kembali Jie Giok mengeluarkan dua
buah bumbung bambu kuning. Setelah In Hoan terdesak
sampat di tembok, baru Jie Giok bicara.
"Jika dulu saat di puncak Sie-sin-hong di gunung Hong-san
tak ada kau." kata Jie Giok. "Suami-isteri itu tentu tak akan
memilih jalan kematian! Begitupun anak Kin. jika bukan
karena kau yang mengoceh yang bukan-bukan, dia tak
akan....." Mendadak Un Jie Giok berhenti bicara, la mengawasi ke
arah Tiang Keng. "Tiang Keng. ke mari kau!" kata Un Jie Giok nyaring.
Tiang Keng kaget tapi ia tetap melompat maju ke arah Jie
Giok. Tanpa menoleh Un Jie Giok menyerahkan kedua bumbung
bambu itu kepada Tiang Keng. Kemudian Un Jie Giok berkata
nyaring. "Kau ambil salah satu bumbung ini. imam ini juga
musuh besarmu yang telah membunuh orang tuamu..."
Tiang Keng bersikap tenang saat ia menyambut salah satu
bumbung itu. lalu bumbung itu ia kembalikan pada Jie Giok.
"Sakit hatiku memang luar biasa, tapi untuk membalas
dendam itu aku tak perlu bantuan orang lain. aku malu
menerimanya... " kata Tiang Keng.
Sebelum Tiang Keng selesai bicara, tiba-tiba ln Hoan
melompat naik ke tembok, ia melompat sejauh tiga tombak.
"Hm! Kau masih berpikir mau kabur?" bentak Jie Giok pada
ln Hoan. Mendadak tubuh Un Jie Giok berbalik dan sebelah
tangannya terayun. Dari sana lima sinar kuning melesat
dengan cepat luar biasa ke arah In Hoan. Menyusul sinar
emas itu terdengar suara benda berat terjatuh ke lantai.
Kiranya Ban-biauw Cin-kun yang ilmu meringan kan tubuhnya
mahir itu ternyata tak mampu menandingi kecepatan senjata
rahasia milik Un Jie Giok hingga ia roboh tak berdaya...
Un Jie Giok tertawa sejenak. Kelihatan dia puas sekali.
Kemudian suasana di pendopo itu sunyi. Un Jie Giok berdiri
diam. Matanya yang sayu mengawasi tubuh In Hoan.
Kemudian dia berjalan perlahan, rambutnya terurai tak teratur
karena sudah dua hari tak diurus. Namun rambut itu
melambai-lambai tertiup angin malam yang dingin.
Sinar pelita di atas altar sembahyang cahayanya redup dan
bergoyang-goyang tertiup angin malam. Detik-detik berlalu
dalam keadaan sunyi. Sampai tiba-tiba si nyonya membalikkan
tubuhnya, ia awasi Tiang Keng dan Un Kin secara bergantian.
Kedua muda-mudi mengawasi dengan mata mendelong.
mungkin mereka terkejut menyaksikan kejadian di depan mata
mereka tadi. Kemudian Jie Giok berkata dingin. "Kalian mau balas
dendam, mengapa kalian diam saja?"
Dua bumbung bambu yang tadi tak diambil Tiang Keng
oleh Jie Giok dilemparkan ke arah mereka berdua.
"Jika kalian mau menggunakan senjata itu. silakan kalian
gunakan!" kata Jie Giok dingin.
Hawa udara sangat dingin saat In Tiong Teng harus
kembali ke tempat yang dijanjikan ayahnya. Ketika Tiong Teng
sampai tempat itu sunyi. Ayahnya belum kelihatan. Tiong
Teng jadi khawatir hingga ia tak tenang. Tadi Tiong Teng
melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya dan mendengar
sesuatu yang belum pernah didengar. Menurut Tiong Keng
yang paling aneh adalah kata-kata Siu-jin Un Jie Giok
"Aku hanya ingin kau melakukan suatu pekerjaan lagi.
Tunggu sampai aku mati. kau harus berusaha menyampaikan
pesanku. Katakan bahwa Nio Tong Hong ayahnya dan Beng
Jie Kong bukan ibunya!" kata Un Jie Giok ketika itu.
Tiong Teng melihat In Hoan mengangguk, ln Hoan berjanji
akan menyampaikan pesan itu.
"Sungguh Un Kin harus dikasihani. " kata Jie Giok dengan
suara mengharukan sekali. "Dia tak akan menyangka bahwa
musuhnya atau orang yang membunuh ayahnya adalah ibu
kandungnya sendiri. Mana tega aku memberitahu dia. Aku tak
bisa..." Tiong Teng ingat kata-kata itu dengan baik. Tiong Teng
jadi berpikir keras. Ia tak tahu duduk persoalannya, tapi ia
sudah menerka beberapa bagian. Kembali terdengar Un Jie
Giok bicara. "Nio Tong Hong jahat padaku, sama jahatnya seperti kau
padaku." kata Jie Giok pada ln Hoan "Dia membohongiku. Dia
bilang dia mencintaiku, tapi sebenarnya ia hanya mengakali
ilmu silat dan hartaku belaka! Kemudian aku dengar dia sudah
beristeri. maka aku tak mau memaafkannya. Aku memutuskan
akan membunuh mereka berdua. Tetapi saat itu aku sedang
hamil.... Oh. Thian (Tuhan), mengapa aku bisa dipermainkan
begitu...." Tiong Teng masih ingat kata-kata Un Jie Giok ini. hingga ia
jadi simpati kepadanya. "Apa salah dia. Dengan demikian ia wanita yang perlu
dikasihani." pikir Tiong Teng. "Tetapi mengapa dia jadi
semakin kejam?" Dengan pikiran kacau Tiong Teng berjalan hilir-mudik di
tempat itu la harap ayahnya akan segera datang. Ia pikir
mungkin saat itu Tiang Keng dan Un Kin sudah berada di kuil
bersama Jie Giok dan ln Hoan.
Untung tak lama ln Kiam datang, Dia tak menemukan
sesuatu. "Ayah. mari kita ke Thian Sian Sie!"' kata Tiong Teng.
Sambil berjalan! iong Teng memberi keterangan singkat
pada ayahnya Bukan pekerjaan mudah untuk menemukan kuil itu. tetapi
sesudah berusaha dan makan waktu akhirnya mereka sampai
juga di kuil itu. Mereka melihat sinar pelita dan dengan santai
mereka masuk ke pekarangan kuil itu. Tiba-tiba mereka
mendengar suara tangis. To-pie Sin-kiam In Kiam berlari cepat dengan ilmu Pat-poukan-
siam. Begitu sampai di pendopo ia lihat To Tiang Keng
dan Un Kin berdiri melongo. Dua pelayan berpakaian merah
sedang menangis di lantai, di depan kedua pelayan itu rebah
Ang-ie Nio-nio. si hantu wanita jelek.
Mereka tak tahu kedatangan ln Kiam dan Tiong Teng.
mereka juga tak lancang mengganggu.
Di tempat yang sunyi dan suram itu terdengar sebuah
suara. Dari tangan Un Jie Giok yang tiba-tiba menggelinding
sebuah benda berwarna kuning ke dekat Tiong Teng. Segera
Tiong Teng membungkuk untuk mengambil benda itu.
ternyata itu bumbung tempat jarum rahasia yang terkenal itu.
Ketika tutup bumbung itu dibuka, maka keluarlah lima batang
jarum beracun itu. Tiong Teng sadar Un Jie Giok tak
menggunakan senjata itu. jika ia menggunakannya pasti ada
korbannya... Tiang Keng mengawasi tubuh Un Jie Giok. Tubuh
musuhnya dan musuh Un Kin juga. pikir Tiang Keng. Musuh
mereka sekarang telah jadi mayat, tapi aneh mereka kelihatan
tak gembira. Malah hati mereka jadi kurang nyaman. Padahal
mereka telah berhasil membalas dendam...
Di kaki tembok rebah tubuh In Hoan yang jahat. Setelah
sekian lama tiba-tiba tubuh imam itu bergerak. Kiranya dia
hanya pingsan dan sekarang ia sadar, la merintih, mencoba
mengangkat kepala nya. Kembali ia merintih.
"Kalian....akhirnya kalian berhasil balas dendam!" kata In
Hoan. "Bagus sekali.
Imam itu tertawa dan Tiang Keng bersama Un Kin
menoleh, la berusaha mengeraskan hati. Kembali In Hoan
merintih. "Apa kalian heran karena aku belum mati" tanya ln Hoan.
"Itu sebab.. aku masih punya rahasia yang belum kuceritakan
pada kalian. Apa... apakah kalian ingin tahu?"
Tiang Keng tercekat. Tanpa diminta ln Hoan mulai bicara.
"Rahasia ini..." kata In Hoan. "Rahasia tentang dirimu dan
hidupmu.... Rahasia ini hanya aku yang tahu. Jika kalian ingin
tahu ayo berusaha mengobatiku....."
Tiang Keng dan Un Kin saling mengawasi dan mereka raguragu.
"Hai imam jahat!" teriak Tiong Teng dengan tiba-tiba. "Apa
saat ajalpun kau hendak mencelakai orang lain?"
Tiong Teng melompat dan menendang imam itu. In Hoan
tak berdaya ia menjerit keras sekali. Tubuhnya terpental dari
mulutnya keluar darah segar, la mati seketika. Tiong Teng
mengawasi tubuh ln Hoan ini.
"Biarlah sejak saat ini tak ada yang tahu rahasia yang bisa
merusak keberuntungan orang lain itu!" gerutu Tiong Teng.
ln Kiam heran menyaksikan tindakan puteranya itu.
"Apa katamu. Tiong Teng?" tanya sang ayah.
Tiong Teng menghela nafas panjang.
"Aku mengatakan roh Paman To di alam baka akan
tenang...." kata Tiong Teng.
ln Kiam heran tetapi tak lama air matanya mengalir dari
pipinya. Tiang Keng pun ikut menangis.
Un Kin melongo keheranan, la awasi Siauw Kin dan Siauw
Keng. keduanya juga sedang menangisi Un Jie Giok. Un Kin
pun akhirnya tak dapat menahan gejolak hatinya, ia pun ikut
menangis. "Aneh?" kata Tiong Teng. "Mengapa kau juga menangis?"
Tetapi tangisan itu tangis suci murni sejernih mutiara...
Saat Tiang Keng menangis ia merasakan bahunya ada sang
meraba dan sehelai sapu tangan telah disesapkan ke
tangannya, maka ia bisa menepis air matanya.
Tatkala Tiang Keng menoleh sinar matanya beradu dengan
sinar mata Un Kin yang jernih, ia sedang mengawasi dengan
tajam. Sedang sang fajar di luar sudah menampakkan cahayanya
karena sang malam telah berganti dengan siang....
TAMAT BAB 30. TIANG KENG BERTARUNG DENGAN DUA
ORANG BEKAS MUSUH AYAHNYA
Ketika semua orang diam dan keadaan jadi sunyi, si imam
gemuk membaling-balingkan pedangnya sambil tertawa
dingin. "Kau belum bisa menerka, siapa kami?" kata si imam. "Hm!
Kalau begitu gurumu itu sangat tolol! Mengapa nama kami
berdua tak disebut-sebut olehnya?"
Mendengar gurunya dihina, bukan main mendongkolnya
Tiang Keng. Ia berusaha menahan diri, tapi tak urung ia
mengeluarkan suara di hidung, "Hm!"
Kemudian Tiang Keng menengadah mengawasi rembulan
yang suram seolah ia tak menghiraukan kedua orang itu.
Imam gemuk dan pendeta kurus itu jadi gusar.
Tiga puluh tahun yang lalu, mereka sangat terkenal dan
disegani oleh kalangan Rimba Hijau (Kalangan para Penjahat).
Tetapi golongan Rimba Persilatan (golong putih) banyak yang
belum mengenalnya secara dekat. Ketika itu mereka dikenal
sebagai "Pay-kiam Pian-too Siu Hud Poan Sian" (Si Buddha
Kurus dan Dewa Gemuk dengan pedang Pay-kiam, pedang
seperti tameng dan pian-too, golok mirip cambuk). Tegasnya
mereka lebih dikenal dari senjata mereka masing-masing.
Mereka sebenarnya berbeda golongan tapi mereka bisa
bersatu. Si imam gemuk bernama Poan Sun Yang golongan
Leng-cin-kiam-pay, sebuah partai berasal dari Propinsi Shoatang.
Ilmu pedangnya aliran keras. Si pendeta kurus bernama
Siu Bie To. ia dari Ngo-tay-san.
Kegemaran mereka berdua juga berlainan. Paon Sun Yang
gemar minum arak dan mengumpulkan harta. Siu Bie To
sebaliknya, senang namanya terkenal dan wanita cantik.
Sesudah ternama mereka mendadak mengundurkan diri dari
Rimba Hijau. Ko.ion ketika mereka sedang bekerja di wilayah
Thio-kee-lauw, mereka bertemu dengan To Ho Jian. Sekalipun
keduanya gagah, namun mereka tak mampu melawan To Ho
Jian dan mereka dikalahkan lalu kabur. Sepuluh tahun
lamanya mereka menghilang dari dunia Kang-ouw. Suatu
ketika mereka bertemu dengan Un Jie Giok, mereka diajak
bekerja sama. Ketika To Ho Jian berhasil dibunuh oleh Un Jie Giok,
mereka jadi berhutang budi kepada Jie Giok hingga mereka
pun setia sekali, bahkan mereka bersedia mati untuk Un Jie
Giok. Tetapi saat mereka berhadapan dengan To Tiang Keng,


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka tak tahu kalau pemuda ini justru putera To Ho Jian,
bekas musuhnya. Poan Sun Yang kehilangan kesabarannya, ia menoleh ke
arah kawannya lalu berkata, "Hwee-shio tua, wajah anak ini
tak bercela, namun lagaknya sangat menjemukan! Oleh sebab
itu maafkan, aku akan melanggar pantangan membunuh
orang...." Sebelum ucapannya selesai, tangannya telah meluncur
disusul dengan bentakan, la menikam Tiang Keng dengan
jurus "Ngo Teng Kay San".
Untung Tiang Keng sudah waspada, la kelihatan sabar
namun sangat benci pada lawannya itu. Saat serangan lawan
datang Tiang Keng langsung berkelit, sambil berkelit tangan
kanannya menotok ke sikut lawan ke jalan darah hwee-tie.
Siu Bie To mengawasinya, ia tak benci pada si anak muda
seperti si imam gemuk, sahabatnya. Dia malah menganggap si
imam terlalu kejam dan ganas. Menyaksikan gerakan Tiang
Keng yang gesit, ia terperanjat juga. Sebagai seorang jagoan
ia melihat si anak muda bukan orang sembarangan. Ia tahu
benar tentang pepatah yang mengatakan "Jika seorang ahli
mengulur tangan, ia akan tahu kelihayan musuhnya".
Sekarang ia sadar bagaimana lihaynya Tiang Keng.
Poan Sun Yang, si imam juga kaget ketka ia sadar bahwa
serangannya menemui tempat kosong. Dia tak sempat berpikir
lagi, lalu berseru sambil menarik tangannya. Dia majukan kaki
kirinya, kembali tangan kanannya menyerang. Itujurus (Tiang
Hong Koan Jit (Bianglala menutupi matahari).
Melihat serangan lawannya ini. Tiang Keng yakin lawannya
ini terkenal hanya namanya saja. Tian Hong Koan Jit hanya
pukulan biasa saja, dengan tak memperdulikan serangan
lawannya itu. Tiang Keng menyambar dada lawan dengan
tangannya. Tapi serangan Poan Sun Yang terhenti setengah jalan.
Secara mendadak ia mengubah gerakannya itu, pedangnya
menyerang ke bagian bawah, ke arah perut Tiang Keng.
Perubahan itu cepat luar biasa.
"Omietoo-hud!" Siu Bie To memuji menyaksikan aksi
kawannya itu. sedang nona-nona itu menjerit melihat bahaya
sedang mengancam anak muda itu. Mereka semua yakin tak
lama lagi anak muda itu akan roboh tersungkur di ujung
pedang yang sangat istimewa itu.
Tiang Keng melihat bahaya mengancam, ia kaget tapi tak
gugup, la juga mengubah serangannya, ia tak jadi menotok
sikut lawan, sebaliknya dengan jari tangannya ia sentil golok
lawan "Trang!" terdengar suara sentilan itu nyaring sekali.
Si imam gemuk kaget saat serangannya dimentahkan,
keras sentilan itu hingga hampir saja pedang di tangannya itu
terlepas dari genggamannya. Sedang tubuh si imam
terhuyung-huyung, hampir roboh terguling.
Menyaksikan kesudahan dari serangannya itu tampak Tiang
Keng puas sekali. Ia tak mengejar dan menyerang lawannya
lagi, tapi sambil tertawa dingin ia berkata, "Kiranya
kepandaianmu hanya begini saja!"
Mendengar hinaan itu bukan main sakit hati Poan Sun
Yang. Ia pun mendengar nona-noa manis itu menahan nafas.
Ia malu karena tak sempat melihat sentilan lawan, tahu-tahu
pedangnya terhantam keras. Sentilan itu pun sampai tak
terlihat oleh Siu Bie To dan nona-nona berbaju merah itu.
Ia tak menghiraukan si imam gemuk, ia hanya menoleh ke
arah pendeta kurus. Sambil tertawa dingin dia berkata, "Jika
kau punya kepandaian lain, tak ada halangannya untuk kau
pertunjukkan padaku! Sebentar lagi bisa kau lihat, siapa yang
akan menjadi guru dan siapa yang akan menjadi murid!"
Sebelum Siu Bie To menjawab ejekan si anak muda, ia
mendengar seman temannya yang langsung melompat maju.
Tiang Keng menoleh, ia lihat imam gemuk itu merobek
jubahnya menjadi dua potong, suara robekan jubah itu
terdengar nyaring. Sekarang si imam gemuk jadi telanjang,
dia hanya mengenakan celana pendek. Kelihatan dagingnya
bergerak-gerak.... Nona-nona itu berteriak dan segera mereka menutup mata.
"Mau apa kau dengan lagakmu ini?" tegur Tiang Keng
sambil tertawa mengejek. Tapi ia tetap waspada.
Siu Bie To tahu kawannya sedang marah luar biasa. Tubuh
si imam bernama Poan Sun Yang bergerak-gerak lebih cepat,
matanya mengawasi bengis sekali. Dia berteriak-teriak makin
lama suaranya jadi perlahan. Sebagai gantinya sekarang
kakinya yang bergerak-gerak sampai perlahan. Kelihatan kaki
itu jadi berat saat diangkat...
Melihat gerakan lawan. Tiang Keng jadi curiga. Apalagi ia
lihat bekas injakan kaki si imam gemuk membekas dalam
sekali, mungkin setiap imam itu melangkah ia menekan
dengan keras. Poan Sun Yang melangkah perlahan, tapi lama-lama ia
sudah dekat pada si anak muda. Tampak wajahnya yang
buruk itu memperlihatkan kegusarannya. Semakin dekat Tiang
Keng mendengar suara nafasnya yang makin keras.
Melihat demikian nona-nona yang tadi menutupi mata
mereka dengan tangannya, sekarang membuka mata untuk
menyaksikan... Tiba-tiba imam gemuk itu menyerang dengan
hebat ke arah Tiang Keng. Berbareng dengan serangan itu,
tubuh Su Bie To pun melompat ke arah Tiang Keng. Dia
menyerang dari belakang lawan. Dia membacok punggung
Tiang Keng. Tiang Keng tidak menangkis serangan kedua musuhnya itu,
ia berkelit dengan gesit. Tiang Keng bebas dari serangan itu.
Tapi Poan Sun Yang lihay, ia sudah menduga. Begitu
serangannya tak mengenai sasaran, ia melompat maju dan
menyerang lagi. Kali ini goloknya mengarah ke dada kiri
lawan. Jika tadi ia menyerang dengan perlahan, sekarang
serangannya cepat luar biasa. Tiang Keng terkejut.
Serangan itu hebat sekali. Tetapi lagi-lagi ia tak menangkis
serangan itu dengan mengegoskan tubuhnya. Di luar dugaan
Su Bie To pun menyerang bersamaan dengan si imam gemuk.
Rupanya mereka berdua bisa bekerjasama dengan rapi.
Serangan mereka datang ber-gantian dari kiri dan kanan.
Tiang Keng jadi sibuk sendiri. Ia sekarang tak bisa hanya
berkelit saja. Terpaksa ia menyampok dengan tangan
kanannya. Dua kali ia menyentil dengan saling susul. Karena
terburu-buru sentilan Tiang Keng kurang tepat mengenai
sasaran, ia tak bisa membuat kedua lawannya terancam
serangannya. Kedua orang itu jadi heran. Ternyata ilmu silat yang
sepuluh tahun terakhir ini mereka ciptakan, dengan mudah
bisa dimentahkan oleh To Tiang Keng yang masih sangat
muda. Mereka jadi penasaran sekali. Kemudian si imam
gemuk menyerang ke bagian bawah Tiang Keng dengan tipu :
"Masuk laut membunuh naga'" sedang golok si pendeta Siu
Bie To menyambar ke bahu kiri dengan tipu "Badai
merontokkan daun". Serangan mereka gesit dan datangnya dari atas dan
bawah. Tiang Keng kelihatan sibuk dikepung oleh dua orang jago
tua. Nona-nona itu tak bisa melihat jelas kedua senjata si
imam dan si pendeta, yang kelihatan hanya kilauan senjata
mereka. Mereka sayang dan girang, sayang karena lawan
masih muda dan tampan, sedang girang karena pihaknya
yang akan menang. Sejak tadi Tiang Keng memperhatikan serangan kedua
lawannya, karena gusar ia mengambil keputusan.
"Aku tak bermusuhan dengan kalian, mengapa kalian
begitu kejam menyerangku. Rupanya kalian memang manusia
kejam!" pikir Tiang Keng.
Sekarang Tiang Keng mulai berkelahi dengan bersungguhsungguh,
tangan kanannya menyerang mata Poan Sun Yang,
sedang tangan kirinya dipakai menekan gagang pedang
lawan. Dia tekan sambil didorong ke arah kiri.
Poan Sun Yang kaget. Ia rasakan dorongan si anak muda
keras sekali. Mau tak mau senjatanya bentrok dengan senjata
Siu Bie To. Tiang Keng menggunakan tipu silat Thay-kek-pay
yang diberi nama "Tangan Menuntun", dengan demikian ia
berhasil membuat pedang si gemuk bentrok dengan golok si
pendeta kurus. Ia juga menggunakan ilmu silat Bu-tong-pay,
ilmu silat tangan kosong. Dengan ilmu ini ia berhasil
menghadapi dua lawan bersenjata.
Semua nona itu kagum melihat hal itu. Mereka mengerti
ilmu silat namun masih jauh dari mahir hingga mereka belum
tahu betapa tingginya ilmu silat berbagai partai persilatan
apabila digabungkan. Hebat pertarungan itu, kuda kereta
kaget karena mereka sering ke dekatnya. Mendadak kudakuda
itu meringkik dengan mengangkat kaki mereka dan
berniat kabur sambil menarik kereta hingga si kusir kewalahan
tak bisa mengendalikan untung belum jauh kuda bisa ditahan
si kusir bengong karena kagetnya.
0oo0 BAB 31. TIANG KENG DIBANTU OLEH TIGA PENDEKAR
KATE Saat nona-nona itu sedang keheranan dan kusir kereta
sedang bengong saja, Poan Sun Yang dan Siu Bie To kaget
dan mereka pun kuatir. Beradunya senjata mereka membuat
telapakan tangan mereka terasa nyeri sekali. Syukur mereka
masih sadar hingga keduanya melompat mundur teratur.
Sejak mereka muncul di kalangan Kang-ouw, mereka baru
pernah dikalahkan oleh Tiong-goan Tay-hiap To Ho Jian.
mereka tak menyangka sekarang mereka dikalahkan oleh
seorang anak muda yang mereka tak kenal. Sambil melompat
mundur mereka mengawasi Tiang Keng dengan tajam. Mereka
pun tak pernah menduga pemuda itu demikian lihay, hingga
mereka jadi heran dan bertanya-tanya dalam hatinya,
"Siapakah anak muda ini" Mengapa masih demikian muda
begitu lihay!" Poan Sun Yang tabiatnya keras, hingga karena gusarnya
dagingnya jadi bergerak-gerak, la ingin sekali menusukdada
Tiang Keng hingga tewas. Oleh sebab itu kembali ia
menyerang. Sejenak Siu Bie To tercengang, tak lama ia pun ikut maju
pula. Tiang Keng yang tadinya mengira kedua musuhnya otu
akan menyerah kalah.tak di kira mereka malah bandel dan tak
mau sudah. Dengan nyaring Tiang Keng berseru.
"Aku telah bermurah hati pada kalian, ternyata kalian tak
tahu diri. nah jangan kau salahkan aku sangat keterlaluan!"
kata Tiang Keng. Turunnya Tiang Keng ke kalangan Kang-ouw dengan
tujuan untuk membalas dendam, namun ia tak ingin
membunuh orang sembarangan saja, ia juga tak berniat
membunuh kedua orang yang angkuh itu. Tak demikian
dengan si Dewa Gemuk dan si Buddha Kerempeng itu. Mereka
belum sadar bagaimana lihaynya si anak muda. Mereka
menganggap bahwa kekalahan mereka tadi hanya karena
mereka kurang waspada saja. Sekarang mereka berkelahi
lebih bersungguh-sungguh dan waspada, sedang serangan
mereka keras dan berbahaya.
Sekarang Tiang Keng jadi terkepung, hal ini membuat
nona-nona yang menontonnya itu jadi kagum karena Tiang
Keng seolah membiarkan dirinya terkepung oleh kedua
lawannya itu. Mereka tak tahu kalau Tiang Keng justru sedang
berpikir lain. Tiang Keng tahu mungkin mereka akan mendapat balabantuan,
tapi ia tak ingin buru-buru menyelesaikan
pertarungan itu. Ia tertarik oleh cara mereka bersilat, hingga
ia berpikir akan terus melayani mereka. Lagipula ia ingin
menyaksikan ilmu silat lawannya itu, sebab dengan melihat
tipu-silat mereka pengetahuannya akan bertambah. Jika
lawannya bersikap bengis dan keras, ia hanya berkelit
menghindar saja. Lama-lama si imam gemuk dan si pendeta kurus jadi
bingung sendiri. Di gunung Thian-bak banyak jago silat. Benar
semua berhasil dikumpulkan oleh Un Jie Giok. tetapi di antara
mereka ada yang memusuhinya. Jika mereka tak segera bisa
mengalahkan Tiang Keng, mereka akan malu karena tak
mampu dan akan ditertawakan oleh para penonton.
Karena berpikir demikian mereka langsung berseru dan
maju bersama-sama dan mendesak ke arah Tiang Keng.
Pedang dan golok saling bergantian menyerang secara
bertubi-tubi, sehingga anginnya menderu dan sinar pedang
serta golok mereka itu berkilauan cahayanya.
Menyaksikan kedua orang itu demikian kejam dan hendak
membunuhnya, Tiang Keng jadi dongkol juga, ia mencari
celah untuk balas menyerang mereka, saat ia lihat si imam
menyerang ke arah dadanya, ia ulur tangan kirinya. Si imam
terperanjat. Ia kira Tiang Keng hendak menyentil pedangnya
lagi seperti tadi. Buru-buru ia berkelit ke sebelah kanan. Tiang
Keng memang gesit luar bias. Ketika ia lihat lawannya berkelit
ke kanan, ia susul dan tangan kanannya ia ulur. Kedua tangan
Tiang Keng maju secara bersamaan. Tangan kanan
menghadang tangan kiri menyusul menyerang. Maka tak
ampun lagi pedang si imam jadi terjepit di antara kedua
telapak tangan Tiang Keng. Dan Tiang Keng bergerak lebih
jauh, tangan kanannya ia tekuk, sikut Tiang Keng bekerja
dengan cepat menyikut hidung si imam.
Itu sebuah serangan yang cepat luar biasa. Dari semula
renggang Tiang Keng merapat. Ia berani berbuat demikian
karena mengira lawan sedang bingung karena pedangnya
dijepit olehnya. Itu merupakan tipu-silat yang sangat langka,
yang tak ada di Bu-tong-pay, Siauw-lim-pay maupun di
perguruan Kun-lun-pay. Poan Sun Yang sudah sangat berpengalaman berkelahi, ia
banyak mengenal berbagai tipu-silat dari berbagai partai, tapi
sekarang ia dibuat bingung sekali. Dia terperanjat Ia coba
menarik pedangnya dari jepitan si anak muda. Ia kembali
terkejut. Di luar dugaan pedangnya terjepit di antara telapak
tangan Tiang Keng dengan keras sekali. Pedang itu terjepit
dan tak bisa bergerak hingga ia tak mampu menarik
pedangnya. Tiba-tiba siku Tiang Keng mengarah kan
serangannya ke hidung lawan, karena takut kena sikut lawan,
maka terpaksa ia lepaskan cekalan pada pedangnya, lalu
melompat mundur. Siu Bie To menyaksikan kawannya terancam bahaya, ia


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat sambil membacok hendak menolong sang kawan
dari serangan lawan. Semua berlangsung cepat tanpa dipikir
lagi. Saat itu Tiang Keng sedang menghadapi Poan Sun Yang, ia
pun sedang menggunakan kedua tangannya, wajar kalau
tubuhnya jadi terbuka tak terlindungi. Tapi sedetik saja ia
melihat bahaya mengancam atas dirinya, mau tak mau ia
harus menyelamatkan dirinya. Ia tak sempat berkelit atau
menggeser kakinya. Justru pada saat pedang yang ia jepit
dilepaskan oleh Poan Sun Yang, pedang itu ia angkat untuk
dipakai menangkis serangan dari Siu Bie To, saat itu pedang
lawan masih ia jepit. Serangan Siu BieTo yang keras mau tak mau beradu
dengan pedang kawannya vang ada di tangan Tiang Keng.
Hingga akhirnya ia jadi kaget sekali. Golok Siu Bie To
terlempar, terlepas dari cekatannya, karena telapak tangannya
terasa sangat nyeri. Golok Siu Bie To pun melayang ke arah
para nona berbaju merah. Bukan main terkejutnya nona-nona itu, mereka menjerit
dan membubarkan diri dari kerumunan, tak seorang pun ada
yang berani menyambut atau menangkis golok yang
berbahaya itu. Pendeta dan imam itu berdiri dengan tercengang-cengang,
mereka heran dan penasaran sekali ditambah malu. Mereka
berdua dikalahkan dengan cara luar biasa sekali. Siu Bie To
bungkam. Sedang Poan Sun Yang mendelik matanya dan
berkata dengan nyaring. "Lekas kau bunuh kami. atau tinggalkan namamu, agar
kelak kami bisa mencarimu dan membalas kekalahan kami
hari ini!" kata Poan Sun Yang dengasn tegas.
Tiang Keng tertawa tawar. Sebelum ia menjawab dari
dalam rimba muncul tiga orang, mereka bertubuh pendek dan
gemuk. Tiang Keng mengawasi ke arah ketiga orang yang
baru muncul itu. Bukan saja tinggi dan gemuknya sama
mereka juga mengenakan pakaian seragam. Baju mereka
loreng lima macam, pada malam hari baju itu seperti
mengeluarkan cahaya berkeredepan, bergerak-gerak di antara
tiupan sang angin. Tak tahu pakaian itu dari bahan apa. Di
pinggang mereka masing-masing tergantung sebilah pedang,
pada sarung pedang mereka itu tertabur batu permata, hingga
batu permata itu berkilauan terkena cahaya pakaian mereka.
Poan Sun Yang sudah pendek atau kate, tapi ternyata ada
yang lebih kate lagi dari Poan Sun Yang. Hingga orang itu
bundar mirip bola saja. Mereka maju perlahan-lahan. Setelah
dekat yang di sebelah kanan berkata, "Aku Lee To-toa!".
"Aku Lee To-jie!" kata yang di tengah.
"Aku Lee To-sam," kata yang di sebelah kiri.
Suara mereka sama nadanya dan sama anehnya. Mulamula
Tiang Keng melengak, kemudian baru ia tahu orang
memperkenalkan diri tanpa diminta.
Tiang Keng terus mengawasi ketiga orang kate yang baru
tiba itu. Bukankah Poan Sun Yang dan Su Bie To
menyembunyikan nama mereka, sebaliknya mereka bertiga ini
mengobral nama mereka. Nama mereka pun tak kurang
anehnya.. Jelas mereka she (bermarga) Lee-to. dan usia mereka jadi
rutan dan nama-nama mereka. Toa berarti yang besar, "Jie"
yang kedua dan "Sam" yang ketiga. Sebenarnya itu bukan
nama tapi panggilan sesuai urutan. Tiang Keng juga merasa
heran karena ke Thian-bak-san telah berdatangan orangorang
aneh. Mereka masing-masing mengacungkan jempol
mereka sambil berkata. "Bagus! Bagus!" ucapan itu ditujukan ke arah Tiang Keng.
Tiang Keng mengawasi mereka, ia tak mengerti apa
maksudnya. "Anak muda bagus ilmu silatmu!" kata mereka. "Jelas kau
telah berhasil mempelajari ilmu silat dari pulau Hu-song. Sejak
aku melihat ilmu silat ini dipraktekkan oleh murid dari partai
Ryugyo, belum pernah aku melihatnya lagi cukup lama, selain
tadi itu...." Sulit Tiang Keng mendengar dan mengerti maksud ucapan
orang itu. Tapi benar sekali ilmu silat itu adalah ajaran dari Sukhong
Hoa yang dia peroleh dari Gu-song (Jepang), seorang
Ronin (Ronin bahasa Jepang artinya pesilat, red) yang
merantau ke Tiongkok. Tapi ilmu silat itu telah diubah dan
disempurnakan lagi oleh Su-khong Hoa. Karena Ronin itu
melanggar aturan gurunya, ia kabur ke Tiongkok, di Tiongkok
ia mencoba mengangkat namanya, tapi ia bertemu dengan
Su-khong Hoa, ia takluk dan kalah oleh ilmu silat Tionghoa.
Karena tipu-silat Ronin itu bagus, Su-khong Hoa
mengambilnya sebagai dasar dan ia menciptakan jurus yang
baru atas dasar ilmu silat itu.
Ketika Su-khong Hoa bercerita pada muridnya sambil
tertawa. "Di Tiongkok ini,cuma ada beberapa orang saja yang
mengenal tipu-silatku ini." kata guru Tiang Keng.
Sekarang ternyata tiga orang kate itu mengenalnya. Saat
Tiang Keng sedang keheranan karena tiga orang kate itu
mengenal tipu-silatnya, ia mendengar Lee-to Toa tertawa
terkekeh-kekeh, ia awasi si pendeta dan si imam dengan
tajam, la Ialu berkata, "Pada mulanya aku kira ilmu silat kalian
bagus sekali, tapi tak kukira hi hi hi. ternyata tak bermanfaat
sama sekali! Untuk apa kalian banyak laga lagi" Lebih baik
kalian segera pergi!"
Wajah Poan Sun Yang dan Siu Bie To jadi merah padam
serta pucat-pasi. Tubuh si imam bergerak-gerak lagi,
keduanya diam saja. Rupanya mereka sedang berpikir keras.
Marah salah tidak marah pun salah juga. Gusar tapi mereka
tak berdaya dan malu pula. Tiang Keng mengawasi bekas
kedua lawannya itu. "Namaku To Tiang Keng," ia memperkenalkan diri. "Jika
kalian ingin menuntut balas, kalian boleh mencariku!"
Mendengar nama Tiang Keng disebutkan Poan Sun Yang
terperanjat. "Kau pernah apa pada To Ho Jian?" kata dia.
"Dia ayahku!" jawab Tiang Keng terus terang dan sikapnya
hormat sekali. Kedua orang itu terkejut, mereka saling mengawasi satu
sama lain, lalu kedua-duanya menarik napas. Tampak mereka
menyesal dan penasaran, karena sebagai jago mereka telah
dua kali dikalahkan, baik oleh ayah anak muda ini maupun
oleh anaknya. Langsung hati merekajadi dingin. Keduanya lalu
mengawasi tiga orang aneh itu. Akhirnya mereka pergi dengan
tak memperdulikan golok dan pedang meeka lagi. Tiga orang
aneh itu tertawa menyeramkan. Sedang Lee-to Sam berkata
dengan nyaring, "Segala manusia tidak berguna, mereka
berani muncul di sini!"
Semula Tiang Keng mengira mereka berkomplot, ternyata
tiga orang kate dan aneh itu malah mengejek Poan Sun Yang
dan Siu Bie To berdua. Ia juga heran mereka memuji dirinya
dan mengejek lawan-lawannya. Tiang Keng pun tak
mengetahui, kalau ketiga orang kate aneh itu pernah belajar
ke Hu-song dan mereka dari Hay-lam-pay, tak heran jika ia
mengenal ilmu silat Jepang itu. Saat mereka pulang dari
Jepang, mereka diundang oleh Un Jie Giok yang
membutuhkan tenaga mereka ini.
Sudah lama mereka tinggal di negeri asing, hingga ia jadi
buta mengenal Dunia Persilatan di Tiongkok, malah mereka
tak meremehkan pesilat Tiongkok, oleh karena itu mereka jadi
tak menghargai Poan Sun Yang dan Siu Bie To yang banyak
lagaknya itu. Sudah beberapa hari mereka saling mengejek, namun
karena bahasa Tionghoa mereka sudah tak mahir lagi, mereka
kalah bicara sehingga mereka semakin benci kepada si imam
gemuk dan si pendeta kurus. Tadi mereka menyaksikan si
imam dan pendeta itu dikalahkan oleh Tiang Keng.
Kesempatan itu mereka pergunakan untuk menghina lagi
kedua orang itu. Untung Poan Sun Yang dan Siu Bie To sudah
kalah pamor dan mati kutu, jika tidak pasti akan terjadi
pertarungan hebat di anatara mereka. Saat mereka sedang
mengawasi perginya si imam dan si pendeta kurus yang
menghilang di tempat gelap, Tiang Keng pun sedang berpikir
keras. "Heran mereka ini! Mengapa bahasanya tak kumengerti,
macamnya pun begitu aneh" Pasti mereka lihay. jika tidak
mana berani mereka menghina si imam dan pendeta itu.
Siapakah mereka ini, musuh atau kawan?" pikir Tiang Keng
agak bingung. Tiang Keng mengawasi ketiga orang kate itu. Setelah
mereka berhenti tertawa, wajah mereka berubah jadi dingin
dan semuanya mengawasi ke arahnya dengan tajam.
Sekarang lenyap wajah yang tadi mengaguminya itu.
Melihat hal itu Tiang Keng terpaksa waspada kembali. Ia
juga balas mengawasi dengan tajam. Ia kelihatan tak gentar,
tapi ia merasa aneh benar-benar di Thian-bak-san terdapat
banyak orang lihay. Ini sangat berbahaya jika setiap saat
bermunculan orang-orang dari Thian-bak-san satu persatu,
jiwanya bisa terancam. 0oo0 BAB 32. LEE-TO-JIE DIKALAHKAN TIANG KENG DENGAN
KELINGKING Lee-to Jie maju. Dia hampiri si anak muda. "Siapa
namamu?" dia tanya Tiang Keng, sikapnya jumawa.. "Mau apa
kau lari ke mari. nah?" Dia diam sejenak karena sadar katakatanya
tak jelas, ia menambahkan, "Mau apa kau datang ke
mari" Aku pikir sebaiknya kau mengikuti teladan kedua orang
tadi, segera kau pulang ke rumahmu!"
Tiang Keng tak puas pada sikap Lee-yo Jie, sepasang
alisnya berdiri. "Jika aku mau ke sini, tak ada orang yang bisa
melarangku!" kata Tiang Keng dengan suara nyaring.
Orang Hay-Iam (Hai-nan) itu tertawa. Ia mengulur
tangannya dan tiga buah jarinya ia tekuk, masing-masing
telunjuk, jari tengah dan jari manisnya ke bawah jempol,
kemudian ia menunjukkan kelingkingnya yang ia lambailambaikan
ke muka Tiang Keng. Kemudian ia tertawa aneh.
"Jangan kau anggap kau ini lihay, ya! Di depanku, kau tak
lebih seperti ini!" kata Lee-to Jie.
Tiang Keng melengak, kiranya orang menyamakan dirinya
dengan kelingkingnya, ia jadi dongkol bukan main
"Kau gila!" bentak Tiang Keng.
Sebelum tawa Lee-to Jie berhenti, tiba-tiba ia menghunus
pedangnya, ia langsung meggeser kirinya ke samping, dan ia
majukan kaki kanannya, langsung ia menikam muka orang
dengan pedangnya itu. Tetapi saat pedangnya tinggal tiga dim
dari wajah Tiang Keng, ia menahan pedangnya.
"Kau mau turun gunung atau tidak?" ia mengancam.
Bukan main dongkolnya Tiang Keng, tiba-tiba ia sentil
pedang Lee-to Jie dengan kelingkingnya, lalu ia meniru
perbuatan Lee-to Jie tadi. ia tunjukkan jari kelingkingnya dan
berkata. "Aku tak mau turun, kau mau apa" Kau yang seperti ini!"
kata Tiang Keng. Lee-to Jie melongo. Semula ia kira orang melengak karena
kagum pada gerakan pedang lawannya itu. Saat dia
menggerakkan pedang itu ia gunakan tenaga sepenuhnya. Ia
heran saat ia lihat Tiang Keng pun mengulurkan tangannya,
Tiang Keng menyentil pedangnya lalu menunjukkan jari
kelingkingnya. "Tring!" terdengar sebuah suara yang nyaring.
Tangan Lee-to Jie terasa kesemutan oleh sentilan istimewa
itu. la mundur sambil terhuyung sejauh dua langkah. Untung
ia masih, bisa memegang pedangnya yang tersentil itu, hingga
pedangnya tak sampai terlepas, tetapi telapak tangannya
terasa panas dan nyeri. Mau tak mau sekarang ia yang
melengak kaget. Tiang Keng tertawa.
"Tahukah kau apa nama sentilanku itu?" tanya Tiang Keng.
Lee-to Jie diam, mereka saling pandang dengan kedua
saudaranya. Jelas mereka tak tahu nama sentilan itu.
Menyaksikan mereka tercengang. Tiang Keng tertawa pula,
ia melangkah maju, lalu berjalan melewati Lee-to Jie. Ia terus
mendaki. Ketika ia menoleh ke arah kereta, sekarang ia tak
melihat apa-apa lagi. Baik kusir maupun nona-nona berbaju
merah itu telah lenyap semua. Sekarang yang ada tinggal
kereta kosong yang tetap nongkrong di tepi jalan. Ia terus
mendaki hingga hampir tiba di tempat tujuan. Ia tak mau
turun, jika ia turun pasti ia akan jadi bahan tertawaan.
Memang Tiang Keng ini besar kepala, ia tak pernah mau
mengalah. Perlahan-lahan ia terus mendaki. Sambil mendaki ia
berpikir, memikirkan cara menghadapi musuh andaikata ia
dirintangi. Sambil mendaki ia sering menoleh ke belakang,
melirik ke arah tiga orang kate dari Hay-lam itu.
Lee-to Toa dan dua saudaranya masih saling mengawasi.
Otak mereka sedang berpikir, "Bagaimana sekarang" Yang
pasti Tiang Keng harus mereka rintangi atau tidak! Jika tak
mereka rintangi, bagaimana dengan nama baik mereka" Nama
"Hay-lam Sam Kiam" atau "Tiga Jago Pedang Dari Hay-lam"
Jika mereka menghadang, bisakah mereka mengalahkan Tiang
Keng" Sungguh hebat! Kalau mereka kalah mereka bakal
mendapat malu besar. Setelah saling pandang, mereka melihat ke sekelilingnya.
Keadaan gunung sunyi-sunyi saja. Di tempat itu tak ada orang
lain kecuali mereka bertiga, sedang Tiang Keng sedang
mendaki dengan tenang. Setelah berpikir dan saling
mengawasi mereka diam. "Di tempat ini tak ada orang lain jika kita kabur tak ada
yang melihatnya habis perkara dan tak ada yang tahu..." pikir
mereka. Mereka bukan sahabat baik Un Jie Giok, jelas mereka tidak
ingin mengorbankan jiwa mereka secara sia-sia di atas gunung
itu. Setelah mereka saling pandang kembali, ketiganya lalu
berjalan turun meninggalkan gunung....
Tiang Keng berjalan perlahan, ia sadar ia bisa dibokong jika
orang ingin membokongnya. Ia heran dari arah belakangnya
keadaan tetap sunyi. Kembali ia menoleh ke belakang. Ia
heran ia tak melihat ketiga orang Hay-lam itu di sana. Samarsamar
ia melihat mereka sedang berjalan menuruni gunung di
balik pohon-pohon. "Lucu juga," pikir Tiang Keng.
Tadi ketiga orang itu demikian galak tapi sekarang mereka
pergi dengan diam-diam. Ia mengawasi ke atas. Ia diam.
Keadaan tempat itu sunyi hingga suasana di tempat itu


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeramkan. Di tempat yang sesunyi itu bukan tak mungkin
ada orang sedang bersembunyi di balik pepohonan.....
"Ke mana aku harus mencari Un Jie Giok?" pikir Tiang
Keng. "Aku tak boleh terus mendaki seperti ini... .Sedang
nona-nona berbaju merah dan kusir itu entah ke mana
perginya. Aku jadi tak punya penunjuk jalan lagi. Apa lebih
baik aku turun gunung saja...."
Ia baru berpikir sampai di situ. tiba-tiba ia tertawa.
"Tidak bisa!" Ia berpikir lagi. "To Tiang Keng, kau tak boleh
pergi. Jika kau tak berani naik gunung, dan kau akan pergi
seperti ketiga orang itu, oh bodohnya. Kau jangan mencari
alasan yang tidak-tidak! Jika kau sekarang tak mencari
mereka, apa kau kira mereka kelak tak akan mencarimu?"
Tiang Keng lalu membusungkan dadanya, dan kakinya
kembali melangkah naik. Keadaan di sekitarnya tetap sunyi.
Tiang Keng jadi iseng sendiri. Tanpa terasa ia bersenandung.
Ia berharap akan muncul seseorang, tak peduli siapa dia...
.Tapi kesunyian tetap menguasai tempat itu...
"Ah!" Tak lama Tiang Keng bersenandung lagi, suaranya
makin keras. Di tempat yang mendaki itu ia tak bisa
menggunakan ilmu berlari kencang. Untuk mencari Ang-ie Nionio
ia harus mendaki perlahan-lahan. Ia berjalan terus dan
akhirnya ia melihat beberapa bangunan di depannya. Ia
mempercepat langkahnya. Sesudah dekat, ia lihat bangunan
itu ternyata sebuah wihara (vihara). Wihara itu dibangun di
atas sebuah tanjakan, merknya "Thian Sian Sie" Itu sebuah
wihara yang sudah rusak, papan namanya pun sudah luntur
dan tidak lagi. "Ah, sayang," kata Tiang Keng sambil menghela nafas. Ia
yakin wihara rusak ini tak ada sangkut-pautnya dengan Un Jie
Giok. Dengan tak acuh Tiang Keng masuk ke pendopo. Samarsama
ia lihat patung-patungnya masih lengkap. Sebuah
patung paling besar yang berada di tengah, tingginya
setombak lebih, alis patung itu turun seolah ia sedang memuji
demi keselamatan umat manusia...
Di empat penjuru ruangan penuh dengan gambar-gambar
Sang Buddha saat beliau memperoleh penerangan di bawah
pohon Bodhi. Tiang Keng tak mengira hari itu ia bakal memasuki rumah
suci. Ia maskul. Kembali ia menghela napas. Kemudian ia
bersihkan sebuah pou-toan dan di sana ia duduk. Dalam
kesunyian kembali ia berpikir. Tak lama ia mendengar suara
alat sembayang dibunyikan.
"Tok..tok...tok..." Itu adalah suara bok-gie, alat
sembahyang dari kayu mahoni yang biasa dipakai oleh
seorang pendeta, suara itu datang dari arah belakang wihara.
"Heran?" pikir Tiang Keng. Ia berusaha mendengarkan
datangnya suara alat itu.
Tiba-tiba Tiang Keng melompat. Ia masih mendengar suara
tok-tok itu terus berbunyi. Itu sebenarnya tak mengherankan
terjadi di sebuah kuil, wihara atau kelenteng, yang
mengherankannya ia dengar suara alat itu di Thian-bak-san
dalam suasana sunyi seperti itu.
Untuk memastikan lebih jauh. Tiang Keng berjalan cepat ke
belakang wihara. Di sebuah pekarangan dalam, ia lihat ada
cahaya api, datangnya cahaya itu dari sebuah ruangan yang
jendelanya masih utuh. Ini sungguh luar biasa. Ia jadi curiga
dan ingin memperoleh kepastian. Ia melompat naik ke payon.
Daun jendela kamar itu tertutup rapat, di bagian atasnya
terdapat erang-erang atau kisi-kisi, dari sana Tiang Keng
mengintai ke dalam kamar itu.
Di ruangan itu cuma ada sebuah meja terletak di tengah
ruangan, di atas meja terletak sebuah Leng-pay (Papan nama
yang biasa disembahyangi), di samping papan iyu ada sebuah
pelita yang cahayanya suram. Pada leng-pay itu terdapat
tulisan yang tak terlihat jelas oleh Tiang Keng, entah apa
bunyi tulisan itu. karena dari atas payon hurufnya tak terbaca.
Apa yang luar biasa di situ berlutut seorang perempuan,
tapi yang dilihat oleh Tiang Keng hanya bagian belakang atau
punggungnya saja. Rambut perempuan itu lebat hitam dan
indah. "Aneh. siapakah wanita ini?" pikir Tiang Keng. "Mengapa ia
sendirian saja di sini?"
Perempuan itu sedang membaca doa dan suaranya
perlahan sekali. Suara Bok-gie mendatangkan rasa haru....
0oo0 BAB 33. TIANG KENG DIBUAT HERAN DENGAN SIKAP UN
KIN Setelah mengawasi sekian lama. Tiang Keng melompat
turun dari payon. Kemudian dia terus mengawasi bayangan itu
sambil berpikir. "Entah siapa dia?" pikir Tiang Keng. "Mengapa tengah
malam begini ia datang ke wihara untuk bersembahyang" Apa
ia seorang pendeta yang memelihara rambut dan datang
karena menyukai tempat sunyi ini" Ah. pasti orang ini tak tahu
tentang keadaan Thian-bak-san vangjadi sarang penjahat
ganas.... Jika telah tiba saatnya, dia bakal tak mendapatkan
tempat setenang dan sesunyi ini untuk beribadat...
Tiang Keng berpikir keras. "Dia tinggal di sini, tahukah dia
tentang gerak-gerik Ang-ie Nio-nio?"
Tiang Keng pun melangkah ke arah pintu. Baru saja ia
sampai di ambang pintu, ia mendengar suara perlahan dan
dingin, "Mari masuk!"
"Heran!" pikir Tiang Keng. Memang ia tak menggunakan
ilmu meringankan tubuh, namun langkahnya perlahan sekali,
di luar dugaan perempuan itu bisa mendengar suara langkah
kakinya, padahal waktu itu ia sedang sembahyang dan bokgienya
sedang dibunyikan tak hentinya.
"Maafkan, aku yang rendah ingin menanyakan sesuatu. Aku
minta maaf karena telah mengganggu..." kata Tiang Keng.
"Hm" terdengar suara dingin yang tak jelas.
Suara bok-gie pun berhenti.
Tiang Keng mendorong pintu kamar itu. ia melangkah
masuk, la lihat perempuan itu tetap berlutut membelakangi
pintu. Sedikitpun ia tak bergerak, hanya leng-pay yang tadi
ada di atas meja sekarang sudah tak ada. Kemudian dia
batuk-batuk. Setelah itu. terlihat kepala perempuan itu bergerak,
berbalik perlahan sekali. Begitu ia lihat wajah perempuan itu
Tiang Keng heran dan terperanjat, tapi tetap bungkam.
Perempuan itu juga sudah melihat siapa yang masuk ke
kamar itu. dia juga terperanjat, kemudian menghela nafas
panjang... "Kiranya kau!" kata dia perlahan. Kecuali terperanjat dia tak
menunjukkan roman atau sikap yang bermusuhan.
Tiang Keng mengawasi orang itu. Kkini ia berhadapan
dengan seorang nona. itulah Un Kin. Nona yang paling
disayang oleh Un Jie Giok. Tian Keng membayangkan saat
mereka bertemu untuk pertama kalinya. Pertama-tama sikap
nona ini manis sekali, lalu ia besikap bengis sekali, tetapi
sekarang ia mengenakan pakaian putih. Alisnya berkerut, ia
tampak lesu dan alim. Dia kini bukan nona nakal dan
berandalan lagi..... "Kiranya kau Nona Un." kata Tiang Keng perlahan.
Tiang Keng mundur sampai ke ambang pintu.
"Tiang Keng, ingat apa maksud kedatanganmu ke Thianbak-
san" Bukankah kau ingin mencari perempuan ini"
Mengapa sekarang kau mau pergi?" pikir Tiang Keng.
Karena itu ia maju lagi selangkah, bertanya dengan suara
dalam. "Malam selarut ini. mengapa kau datang ke mari?" tanya
Tiang Keng. Un Kin meletakkan bok-gienya. lalu ia menarik nafas.
"Beberapa hari yang lalu, kau dan aku bermusuhan satu
sama lain," kata Un Kin. suaranya perlahan. "Tetapi sekarang
aku tidak berpikir untuk memusuhimu lagi. . Tapi soal aku ada
di sini. itu tak ada hubungannya denganmu. Sebaiknya kau
segera pergi dari sini...!"
Sekejap tampak mata si nona bercahaya.
Tiang Keng menyaksikan sinar mata si nona. ia heran. Ia
tak tahu bagaimana ia harus menghadapi nona ini. Diam
sesaat kemudian ia bertanya, "Nona, kau sedang
menyembahyangi siapa?"
Nona Un mengawasi Tiang Keng. matanya bercahaya
kembali. Sesaat kemudian Tiang Keng ingat cerita si imam berkopiah
kuning. Kemudian Tiang Keng ingat leng-pay yang tiba-tiba
lenyap dari hadapan si nona. Sebagai pemuda yang cerdas.
Tiang Keng segera sadar lalu menghela nafas.
"Aku ingat sekarang, aku pernah mendengar sebuah
cerita." kata Tiang Keng akhirnya. "Konon dulu di kalangan
Kang-ouw hidup sepasang jago silat yang dikenal orang
sebagai Nio Beng Siang Hiap. Nona apakah kau tahu nama
pasangan yang gagah itu?"
Suara Tiang Keng perlahan saat ia berkata begitu, ia
memperhatikan wajah si nona. Ia lihat tubuh si nona gemetar
saat mendengar Tiang Keng menyebut nama Nio Beng Siang
Hiap. Sinar mata si nona yang semula bercahaya, jadi suram
dan sayu menunjukkan sinar mata duka dan penasaran..,,
Nona itu tidak menjawab pertanyaan Tiang Keng. malah ia
balik bertanya. "Apakah kau To Tiang Keng"
Sekarang Tiang Keng yang heran.
"Eh mengapa dia tahu she dan namaku?" pikir Tiang Keng.
Saat Tiang Keng akan menjawab, tiba-tiba di luar kamar itu
terdengar bentakan keras, disusul dengan berkelebatnya
sebuah bayangan manusia yang bertubuh tinggi besar.
Bersamaan dengan itu angin pun bertiup masuk seiring
masuknya tubuh si bayangan yang disusul dengan suara
beradunya logam. Akibatnya api di kamar itu hampir padam.
Tiang Keng terkejut, saat ia lihat senjata panjang sedang
menyerang ke arahnya. "Siapa kau"!" ia melompat ke samping.
Segera terdengar suara benturan keras karena senjata itu
tak mengenai sasaran melainkan mengenai lantai. Lantai yang
terhajar keras jadi berantakan. Itu sebuah serangan yang
sangat hebat. Sebelum Tiang Keng sempat melihat tegas penyerangnya,
senjata lawan sudah kembali menyerangnya. Sekarang ke
arah pinggang Tiang Keng. Dari suaranya, sekalipun Tiang
Keng tak melihat orangnya, ia tahu siapa orang itu. Ia coba
menghindar lalu menjejak lantai dan melompat tinggi, hingga
senjata lawan tepat di bawah kakinya.
"Tay-su. tahan!" teriak Tiang Keng.
Tiang Keng tak meladeni penyerang itu. Tadi dengan
melompat ia telah sampai ke penglari. lalu mengawasi ke
bawah dan mengulangi kata-katanya.
Orang itu mengangkat kepalanya mengawasi dengan
melongo. Ia heran, dua kali serangannya yang berbahayanya
bisa dihindarkan oleh anak muda itu. Padahal serangan itu
adalah serangan ilmu silat Siauw-lim-pay yang sangat lihay.
"Entah dari mana bocah ini, kenapa ia bisa muncul di sini?"
pikirnya. Namun tabiat orang ini keras, ia jadi penasaran. Dengan
tak menghiraukan ucapan Tiang Keng, ia berteriak. "Hai. Nak!
Jika berani turun, hadapi aku! Atau aku yang akan naik
menghajarmu sampai mampus!"
Tiang Keng diam dan mengawasi.
Un Kin sejak tadi diam saja agaknya ia tak sadar, ia
mengangkat kepala ke atas.
"Kau turun." kata Un Kin sabar menoleh pada si penyerang
dan berkata "Tay-su, kau jangan turun tangan"
Pendeta itu diam sejenak. Ialu berkata, "Barusan aku
sedang duduk di pouw-toan. kemudian aku pergi sebentar
untuk buang air. Tak kukira secara lancang bocah ini masuk
kemar " "Pantas pouw-toan ini bersih rupanya tadi dipakai duduk
oleh pendeta ini." pikir Tiang Keng
Ternyata ia mengenali pendeta itu To-su Tauw-to Bu Kin.
pendeta itu senang ikut campur urusan orang. Ia ikut Un Kin
ke Thian-bak-san dan di Thian-bak-san ia tak kerasan kiranya
di tempat ini banyak orang sesat maka tak cocok ia ingin
segera turun gunung tapi Un Kin membujuknya kemudian
pendeta itu menurut, la senang dengan sikap Un Kin yang
hormat kepadanya maka ia tetap diam dan tak bercampur
dengan orang-orang yang tak disukai itu.
Begitulah, saat Un Kin Ini bersembahyang ia menungguinya
di situ bertugas mencegah kedatangan orang yang tak
berkepentingan Namun Tian Keng masuk saat ia buang air,
maka ia jadi gusar. Dia tambah heran melihat pemuda yang
dulu dikatakan oleh Un Kin orang jahat lalu tanpa berbicara
lagi. ia serang pemuda itu, ia diam saat diminta agar tidak
menyerang anak muda itu. Ia mengawasi dengan mata
keheranan. Ia berharap si nona memberi penjelasan padanya.
Un Kin menghela nafas panjang.
"Dia bukan orang jahat," kata si nona. "Sabar, aku.... Aku
mau bicara dengannya... Aku minta Tay-su bersedia keluar
sebentar dan jaga jangan sampai ada orang lain masuk ke
mari!" To-su Tauw-to heran ia melengak sejenak, kemudian ia
banting-banting kakinya. "Kalian orang muda sangat aneh!" kata dia. Sambil
membawa senjata Hong-pian-san-nya. ia pergi.
Tiang Keng geli melihat pendeta itu menurut pada si nona.
Setelah pendeta itu pergi. Tiang Keng melompat turun.
"Kau benar To Tiang Keng?" kata si nona.
Tiang Keng mengangguk. "Ya." jawab Tiang Keng.
Si nona tampak berduka, ia menghela nafas. Wajahnya
lesu. Sebelum ia berkata lagi ia mengeluarkan serupa benda.
Tiang Keng tahu itulah leng-pay yang tadi berada di atas
meja. Si nona meletakkan leng-pay itu ke dekat lilin, hingga
sekarang Tiang Keng bisa melihat tegas. "Sin-cie almarhum
Ayah Beng Kong dan Ibu Thay-hu-jin"
Membaca tulisan itu hati Tiang Keng bergetar. Dia jadi
heran. "Mengapa si nona bisa mengetahui asal-usulnya?" pikir
Tiang Keng. "Barang kali sekarang ia belum tahu, siapa musuh
besarnya. Orang yang membinasakan orang tuanya, justru
gurunya sendiri..." Pada mata si nona berlinang air matanya, air mata itu turun


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melalui pipinya yang putih halus. Ia tak bisa menahan
turunnya air matanya, tapi buru-buru ia susut dengan
tangannya yang putih mulus.
"Nasibku sangat malang...." Kata si nona perlahan. "Baru
kemarin aku tahu siapa ayah dan ibuku.... Hanya aku belum
mengetahui mengapa kedua orang tuaku itu meninggal
dunia...." la menangis tersedu-sedu.
Tiang Keng jadi terharu, ia ikut berduka tapi ia diam saja.
Si nona bangkit menghampiri Tiang Keng. la tetap berdiri
diam sambil mengawasi si nona. ia kasihan pada si nona.
"Nona, sebaiknya kau...." ia tak meneruskan kata-katanya,
la ingin menghibur nona itu, tapi tak bisa memilih kata-kata
yang pantas. Un Kin terus menghampiri Tiang Keng, sesampai di depan
si anak muda. ia berlutut.
"Nona... Nona..." kata Tiang Keng kaget. "Apa artinya ini?"
Ia segera melompat ke samping. Semula ia akan
mengulurkan tangannya akan mengangkat si nona supaya
bangun, tapi tak jadi. Ia tak ingin berbuat lancang. Lalu ia
membalas hormat si nona sambil berlutut.
Pada saat yang sunyi kedua muda-mudi itu berlutut
berhadapan, tapi mereka tetap diam tak bicara apa-apa. Si
nona tampak bingung, begitu pun Tiang Keng tak tahu harus
bilang apa. To-su Tauw-tu berjaga di luar sekian lama, ia tak
mendengar suara apa pun di dalam kamar itu, karena heran ia
ingin melihat ke dalam. Begitu ia melangkah dan melihat apa
yang terjadi di dalam, ia jadi keheranan dan mengawasi kedua
anak muda itu. "Dasar anak-anak muda yang aneh," pikir si imam. Ia
melangkah perlahan meninggalkan kamar itu.
Tiang Keng tetap berdiam diri. Un Kin menangis dan
matanya basah. "Aku tahu, kau pun tahu," kata si nona.
Tiang Keng melongo, ia tak mengerti apa maksud kata-kata
si nona itu "Tahu apa?" akhirnya Tiang Keng bertanya.
Si nona menyeka air matanya. Ia juga kaget mendengar
pertanyaan Tiang Keng. Ia sadar kata-katanya tadi tak karuan,
ia geli tapi tak bisa tertawa karena ia sedang berduka. Ia
hanya terisak-isak sedih.
"Aku tahu, hanya kau yang tahu mengenai meninggalnya
orang tuaku itu tapi hanya kau yang tahu siapa pembunuh
orang tuaku. Benarkah begitu?" kata si nona.
Tiang Keng heran bukan main.
"Mengapa ia tahu kalau aku tahu asal-usul orang tuanya?"
pikir Tiang Keng. Sebelum sempat menjawab pertanya an si nona, ia teringat
sesuatu. "Barangkali si nona sudah bertemu dengan si imam
berkopiah kuning?" ia menduga-duga. "Aku heran, jika si
imam sudah bertemu dan memberitahu nama orang tua si
nona. kenapa dia tak sekalian mengatakan musuh besarnya?"
0oo0 BAB 34. UN KIN MENCERITAKAN PENGALAMANNYA
BERTEMU IN HOAN Dengan mata basah. Un Kin mengawasi Tiang Keng. Ia
lihat anak muda itu diam saja. Ia terisak sedih dan berkata,
"Aku sadar, aku telah berbuat salah padamu. Aku menyesal,
berharap kelakuanku itu tak kau taruh dalam hatimu. Jika kau
mau menjelaskan padaku, aku sangat berterima kasih seumur
hidupku..." Tiang Keng menghela nafas. "Benar, Nona. Aku tahu sedikit
tentang kematian kedua orang tuamu itu," kata Tiang Keng.
"Tapi ceritanya panjang sekali. Nona. Bagaimana kau tahu
tentang orang tuamu itu. Apakah imam bernama Kho Koan Iesu
yang memberitahumu" Kecuali dia siapa orang yang
memberitahumu?" Si nona terbelalak heran. "Siapa Kho Koan
Ie-su itu?" tanya si nona. "Namanya pun baru sekarang aku
dengar!" Tiang Keng heran Tak lama ia dengar si nona berkata lagi
dengan agak sangsi. "Mengenai diriku," kata si nona. "Aku bersedia
menceritakannya padamu. Hanya aku minta kau jangan
menceritakannya lagi pada orang lain. Tadi malam aku sudah
tidur. Tiba-tiba aku mendengar ada orang mengetuk jendela
kamarku. Aku kaget. Saat itu aku tidur di kamar belakang,
sedang di kamar depan tidur para jago silat. Yang aku heran
orang itu bisa datang ke kamarku dan mengetuk jendela
kamarku. Siapa orang yang bergitu berani...."
Tiang Keng mengawasi ke arah si nona ia heran. Ia ingat
cerita nona-nona berbaju merah di atas kereta tadi. Kemudian
Tiang Keng teringat pada orang yang disebut Hoa-long Pit-ngo
oleh nona-nona itu. Semula kata-kata nona-nona itu ia anggap
lucu. sekarang ia jadi serius.
Un Kin bicara agak likat. Ia malu sendiri barang kali. Tapi ia
melanjutkan. "Aku mendongkol, dengan hati-hati kukenakan
pakaianku, perlahan-lahan aku turun dari pembaringan. Aku
tak membuka pintu atau jendela, aku pun tak menjawab
ketukan pada jendela kamar. Tapi dengan cepat aku
melompat dari jendela yang lain. Aku akan menghajar orang
yang iseng itu. Tiba di luar aku jadi melongo. Aku tak melihat
apa-apa. Tengah aku keheranan, aku dengar suara tawa di
belakangku, perlahan dan disusul dengan kata-kata bahwa dia
ada di dekatku!" . Nona Un berhenti bicara, ia menarik nafas panjang.
"Saat itu aku kaget bukan kepalang." ia melanjutkan. "Aku
kaget karena aku pikir orang ini lihay sekali. Buru-buru aku
menoleh. Setelah melihatnya hatiku jadi lega. Ternyata dia
orang Rimba Persilatan yang ilmu silatnya sangat mahir.
Pantas ia bisa masuk dengan leluasa ke kamarku. Aku kira
guruku pun tak akan mampu menyentuh sekalipun hanya
bayangannya saja!" Mendengar itu alis Tiang Keng berkerut
"Orang paling lihay di dunia Kang-ouw?" tanya Tiang Keng.
"Siapakah dia?"
Tiang Keng cuma tahu orang yang lihay itu gurunya, apa
mungkin yang dimaksudkan Un Kin itu gurunya '
'"Mungkin kau kenal pada orang itu."' kata Un Kin. "Dia Ban
Biauw Cin-kun In Hoan. Dia.."
Tubuh Tiang Keng gemetar "Ban Biauw Cin-kun In Hoan!" kata Tiang Keng terlepas
bicara. "Bukankah dia orang tua yang berkopiah imam dengan
tubuh tinggi besar dan kumis serta jenggot panjang pecah
lima. Dia selalu memakai jubah seorang imam?"
Un Kin mengangguk, tapi ia agaknya heran.
'Kau tak kenal dia. sebaliknya dia mengenalimu!" kata Un
Kin. Baru sekarang Tiang Keng ingat, orang berkopiah tinggi
yang mengaku bernama Kho Koan le-su itu adalah Ban Biauw
Cin-kun In Hoan. Dia salah satu musuh ayah dan ibunya.
Sekejap saja perasaan Tiang Keng jadi tak enak.
Berbagai perasaan berkecamuk di otaknya. Dia heran
mengapa imam itu bersandiwara di depannya" Sekalipun
cerdas, karena Tiang Keng masih muda ia berhasil dibuat
pusing kepala. Un Kin tak mengetahui apa yang ada di pikiran anak muda
ini Ia tak tahu masalah itu jadi sulit dan berbelit-belit.
"Ban Biauw Cin-kun kenal baik dengan guruku." kata si
nona. "Dulu ia sering datang ke mari. Tapi kemudian ia tak
pernah datang lagi. hingga aku tak pernah melihatnya lagi.
Tentang dia kuketahui dari guruku dan beliau sedang
mencarinya! tiba-tiba ia muncul, tapi bukan mencari guruku,
tapi justru dia datang menemuiku. Bukankah itu aneh sekali"
Begitu dia berhadapan denganku, ia tertawa. Kemudian dia
bertanya kepadaku. "Apakah kau tahu nama a\ah dan ibumu.
Maukah kau kuberitahu?"
Sesudah itu Un Kin menghela nafas panjang. Tak lama dia
sudah melanjutkan ceritanya
"Setelah aku dewasa, pertanyaan itu selalu ada di benakku.
Pertanyaan itu menggangguku, apakah aku sedang duduk
atau kapan saja. lak pernah sesaat pun aku melupakan
masalah itu. Sebenarnya aku curiga pada Ban Biauw Cin-kun.
namun pertanyaannya menggodaku. Itu pertanyaan yang
menusuk hatiku!" Tiang Keng berpikir keras, ia juga jadi pusing oleh masalah
si nona ini. Oleh karena itu ia diam mendengarkan saja.
Sampai si nona berhenti bicara ia tetap diam Bahkan ia lupa
saat itu mereka masih berlutut dan berhadapan mereka tak
ada yang ingat untuk bangun.....
"Aku tertarik oleh pertanyaannya itu," kata Un Kin. "Maka
aku minta agar dia memberitahuku. Tapi kembali ia tertawa.
Dia bersedia memberitahuku, asal aku mau melakukan
sesuatu untuknya. Dia minta agar aku melepaskan anak muda
yang tertangkap oleh guruku. Aku kira anak muda itu telah
berbuat salah pada guruku, jika tidak untuk apa guruku
menangkap dia sebagai murid Ban Biauw. Aku tahu Ban Biauw
lihay sekali, tapi ia takut menemui guruku. Malah dia minta
bantuanku, untuk itu dia bersedia membuka rahasia tentang
orang tuaku yang selama ini jadi rahasia bagiku. Ucapannya
menarik hatiku. Jangankan hanya melepaskan pemuda itu.
masalah yang berlipat ganda dari itu pun. aku bersedia
melakukannya. Semua demi aku bisa mengetahui tentang
kedua orang tuaku." Tiang Keng mengerutkan alisnya.
"Jadi kau telah lepaskan anak muda she Gim itu?" tanya
Tiang Keng. Un Kin mengangguk. "Benar," katanya.
"Kemudian?" kata Tiang Keng.
Un Kin membuka kedua matanya, la tahan air matanya
agar tak keluar, ia kembali menghela nafas.
"Lalu ia memberitahuku nama dan she kedua orang tuaku,
ia juga bilang kedua orang tuaku itu binasa di tangan
seseorang." kata si nona. "Aku kaget dan berduka. Aku
menyesal aku tak bisa segera menemui musuh besarku. Saat
itu muridnya mengawasiku dan sinar matanya bermaksud
buruk. Aku bersikap sabar. Lalu aku tanya siapa musuh
besarku itu?" Tiang Keng mengerutkan alisnya. Dia heran dan masgul.
"Apa ia memberitahukannya?" tanya Tiang Keng.
"Tidak!" jawab si nona.
"Mengapa ia tak memberitahumu?" tanya Tiang Keng lagi.
Kembali Un Kin menarik nafas. "Mendengar pertanyaanku
itu. dia menunjukkan wajah berduka. Justru saat itu kami
mendengar langkah kaki mendatangi. Dia kaget sekali, dia
tarik tangan muridnya, sambil berkata, sebaiknya aku
tanyakan hal ini pada To Tiang Keng! Kemudian ia kabur
bersama muridnya. Ah sungguh hebat ilmu meringankan
tubuhnya. Dia membawa orang tapi toh aku tak mampu
mengejarnya. Di samping itu aku juga kuatir guru tahu. aku
yang melepaskan anak muda itu. Dengan terpaksa aku
kembali ke kamarku. Aku berduka, bingung dan menyesal.
Aku juga penasaran sekali. Selain itu aku jadi berpikir, siapa
To Tiang Keng" Ke mana aku harus mencarinya" Kepalaku jadi
pusing. Sampai terang tanah (pagi) aku tak bisa tidur lagi."
Air mata si nona terus mengalir hingga setiap saat ia harus
menghapus dengan tangannya.
"Tadi aku bertemu dengan guruku." kata si nona
melanjutkan. "Suhu sedang gusar karena pemuda tawanannya
hilang. Aku tutup mulut. Tapi diam-diam aku membuat lengpay
orang tuaku, agar rohnya tenang... Mulutku sembahyang
tapi otakku bekerja keras. Tak habisnya aku memikirkan
musuh besarku itu Aku juga berpikir, siapa To Tiang Keng" Ke
mana aku mencarinya?"
Ia menatap ke arah si anak muda.
"Kau datang ke mari, hatiku jadi tak enak." kata si nona
lagi. "Aku tak ingin bermusuhan denganmu. Siapa sangka ...
kau justru bernama To Tiang Keng!"
Si nona berhenti bicara, kepalanya ditundukkan.
Tiang Keng mengawasi si nona. otaknya bekerja.
"Ban Biauw Cin-jin berbuat begitu. dengan demikian dia
telah mengatur siasat." pikir Tiang Keng. "Aku tahu maksud
Ban Biauw. jelas ia ingin kami bersatu untuk bersama-sama
menghadapi Un Jie Giok! Un Jie Giok benci pada Ban Biauw.
karena itu Ban Biauw ingin membunuhnya dengan tangan
orang lain. Tapi Ban Biauw licik, ia pikir aku bukan tandingan
Un Jie Giok, maka ia berupaya agar aku bergabung dengan Un
Kin. Barang kali juga dia senang jika aku bisa menyingkirkan Un
Jie Giok. Rupanya dia takut aku gagal, maka dia berjaga-jaga. Dia juga takut Un
Jie Giok tahu kalau yang membocorkan rahasia orang tua Un Kin itu dirinya. Maka
diam-diam dia suruh Un Kin menanyakan padaku. Ah sungguh licin Ban Biauw ini.
Dia mirip dengan ular berbisa dan kalajengking!"
0oo0 Biauw Cin-kun In Hoan tidak takut pada Tiang Keng. tetapi
yang dia takutkan adalah Un Jie Giok. Lalu ia membuat
rencana, la tak peduli seandainya Tiang Keng mati di tangan
Un Jie Giok. Sebenarnya dia pun berencana akan membunuh
anak muda itu. Bukankah pemuda itu pun musuhnya" Hanya
In Hoan belum tahu jelas siapa Tiang Keng sebenarnya.
Sudah biasa In Hoan membunuh orang dengan meminjam
tangan orang lain. begitu pun kali ini. Apapun hasil siasatnya
ia tak akan rugi. Tiang Keng sadar, ia jadi benci pada In Hoan. Ia anggap In
Hoan jauh lebih jahat dari Un Jie Giok.
Nona Un menghela nafas. "Semuanya telah kujelaskan padamu, sekarang tinggal kau
menjelaskan padaku. .." kala si nona.
Tiang Keng mengawasi si nona. ia lihat mata si nona
sangat memohon. Saat Tiang Keng akan memberikan
jawaban, tiba-tiba di luar terdengar suara bentakan.
"Tak peduli kau siapa, jika kau memaksa masuk, kau akan
merasakan senjataku ini!" begitu suara itu.
Itu suara To-su Tauw-to. Kedua muda-mudi itu kaget, sekarang mereka sadar


Dendam Asmara Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sedang berhadapan sambil berlutut. Tiba-tiba
keduanya bangun hampir bersamaan. Keduanya saling
mengawasi. Mereka dengar suara ribut di luar serta suara
beradunya senjata yang sedang bertempur....
Tak ayal lagi Tiang Keng mengibaskan tangannya
memadamkan api. pelita itu jatuh ke lantai.
Un Kin diam pikirannya kacau.
"Siapa" Siapa itu?" tanya Un Kin.
Suara pertempuran makin hebat, begitu juga bentakan si
pendeta. barangkali ia sedang bertarung dengan musuh yang
tangguh. Kemudian terdengar suara tawa dingin yang disusul oleh
kata-kata nyaring dan tajam.
"Aku sudah tahu, kau bukan orang baik, pendeta. Aku tak
mengira kalau kau mata-mata musuh dan seorang
pengkhianat!" kata suara itu.
Menyusul suara bentakan itu, ada suara bentakan yang
lain. suaranya keras bagaikan suara gembreng pecah.
"Hai kalian kedua bocah, lekas keluar! Hm! Jika kalian
berpikir akan main gila di sini. kau benar-benar buta!" kata
suara itu. Tiang Keng kaget. "Barang kali orang sudah tahu kita ada di sini?" kata Tiang
Keng pada si nona. la jadi sangsi. Sebelum ia mengambil
sikap, ia dengar lagi suara keras itu.
"Di sini! Di sini. Saudara Gu. saudara Siauw, lekas! Kedua
bocah itu sudah kabur turun gunung!"
Mendengar suara itu Tiang Keng jadi bertambah heran.
"Siapa yang turun gunung?" pikir Tiang Keng. "Jadi yang
dimaksudkan orang-orang itu bukan kita berdua, lalu siapa
mereka itu?" Un Kin juga heran dan sangsi, la tahu orang-orang yang
ada di luar sana adalah orang-orang gurunya. Dia juga tahu
yang mereka kejar-kejar bukan dia dan Tiang Keng tapi orang
lain. sekarang mereka tak terlihat. Dia juga sangsi sambil
berdiri diam dan tak tahu apa dia harus keluar untuk
menyingkir atau tetap diam saja....
BAB 35. DUA MURID IN HOAN DIBURU JAGO SILAT
TANGGUH To-su Tauw-to menyaksikan Un Kin dan Tiang Keng
berlutut berhadap-hadapan. ia heran. Entah apa yang sedang
dilakukan kedua anak muda itu" Sekalipun ia sudah pergi dari
hadapan mereka, namun pikirannya tetap tergoda. Ia ingin
tahu apa yang sedang dilakukan kedua muda-mudi itu. Ia
polos dan sembrono, tapi ia juga usil. Ia tak bisa diam saja. Ia
tahu itu rahasia orang, tapi ia tak bisa diam. Saat ia berdiri di
luar di depan pintu ia jadi serba salah. Tak lama ia berjalan
hilir-mudik. Ia berharap jika kedua anak muda itu sudah
keluar, ia berharap mereka akan memberi keterangan
kepadanya. Sang waktu berjalan terus, ia juga tetap gelisah. Saat
kesabarannya telah habis, ia melihat dua bayangan orang
berkelebat masuk ke dalam ruangan itu. la tak bisa melihat
dengan tegas, maka ia gunakan hong-pian-san untuk
menghalanginya sambil membentak.
"Siapa yang berani masuk ke mari. dia harus merasakan
senjataku!" kata dia
Itulah suaranya yang pertama didengar oleh Un Kin dan
Tiang Keng. Kedua bayangan itu kaget saat mereka tahu dihadang oleh
si pendeta secara tiba-tiba. Keduanya langsung berhenti dan
mengawasinya. Sekarang mereka kelihatan jelas, yang
seorang jangkung-kurus membawa sebilah pedang, yang lain
bungkuk membawa senjata ruyung tiok-ciat kong-pian.
Mereka saling mengawasi hingga tiga pasang mata saling
pandang dekat sekali, ternyata mereka saling kenal. Kiranya
mereka adalah begal dari wilayah bagian barat sungai Tiangkang.
yaitu Cian-lie Beng-to Gu It San dan Eng Lo-sat Siauw
Tiat Hong, mereka berdua orang gagah dari See-ouw (Telaga
Barat). Mereka berlainan tempat, satu di Barat satu di Selatan,
tapi sekarang karena undangan dari Un Jie Giok mereka jadi
berkumpul bersama. Mereka berdua kenal pada si pendeta,
hanya si usilan kurang cocok dengan mereka hingga mereka
tak mau bergaul. Mereka keheranan satu sama lain.Bu-eng Lo-sat jadi tak
puas. "Ada orang lancang datang ke mari. kami sedang
mengejarnya. Mengapa Tay-su menghalangi kami?" kata Bueng
Lo-sat. To-su Tauw-to memang tak mengerti apa maksud Un Kin
menugaskan dia agar melarang orang mendekat ke kamar
itu.Tapi karena ia sudah berjanji pada si nona. maka ia harus
taat. Oleh karena itu ia tak ambil pusing, ia tetap bandel.
"Di tempat ini tak ada orang!" bentaknya bengis. "Jika kau
mencari orang, kalian cari di tempat lain!"
Gu-it San berangasan, ia tak senang atas teguran dan
hadangan si To-su Tauw-to ini. Ia mendongkol atas cacian itu.
maka ia berseru sambil mengayunkan piannya.
Melihat dirinya diserang. To-su Tauw-to tertawa.
"Kalian cari mati sendiri!" kata dia.
Memang ia senang keras lawan keras. Maka serangan
ruyung itu ia sambut dengan senjatanya yang berat.
Tak lama kedua senjata mereka beradu.
Tapi si To-su Tauw-to kaget, karena ia merasakan telapak
tangannya bergetar dan nyeri.
"Tak kusangka binatang ini kuat sekali." pikir To-su Tauwto
sejenak. Lalu ia balas menyerang dengan tipu menghajar gunung
Hoa-san. Beng-to Cian-lie pun terperanjat. Mereka terkenal
bertenaga besar, sekarang ia berhadapan dengan lawan yang
setimpal. Saat ia tahu diserang, ia jadi makin sengit. Ia tangkis
serangan To-su Tauw-to dengan keras karena itu ia
mengerahkan seluruh kekuatannya. Kembali kedua senjata
mereka bentrok hingga terpaksa mereka harus mundur sejauh
tiga langkah. To-su Tauw-to yang kuda-kudanya sudah teguh kembali
takut didahului oleh lawan, maka itu ia kembali menyerang.
Gu-it San benar-benar pemberani, ia sengaja maju
menangkis serangan itu dengan sama kerasnya. Dia
terperanjat, tangannya terasa nyeri sekali, hampir saja
sepasang ruyungnya terlepas dari tangannya.
Si pendeta pun demikian, ia rasakan tangannya nyeri juga.
Bu-eng Lo-sat mendongkol berbareng geli menyaksikan
kedua orang itu bertarung secara sembrono Mereka seolah
sedang menguji tenaga masing-masing. Ia mencaci kedua
orang sembrono itu. Karena mendongkol ia maju. melompat
melewati mereka, ia masuk ke pertempuran.
Sekalipun sembrono ilmu silat To-su Tauw-to cukup baik.
Melihat orang maju hendak menerobos, ia angkat senjatanya
untuk merintanginya. Siauw Tiat Hong tak ingin adu tenaga seperti sahabatnya
tadi. Maka ia berkelit menghindari serangan si To-su Tauw-to.
lalu membarengi dengan sebuah tikaman.
Menyaksikan lawannya lihay. To-su Tauw-to Bu Kin
meladeninya dengan sungguh-sungguh. Ia gunakan ilmu
Thung Mo Jie-ie Hong-pian-san-hoat atau tongkat pembasmi
hantu la berkelahi sambil berseru. Ia menghadapi Gu-it San
yang tak segera mau mundur. Siauw liat Hong yang
menyaksikan perkelahian itu jadi heran dan curiga. Ia yakin
orang yang mereka kejar ada di dalam kamar itu. Dia juga
yakin Bu Kin, sahabat mereka akan ngotot bertahan, karena
Bu Kinberkhianat. Maka ia mencaci Bu Kin sebagai manusia
busuk. Akhirnya mereka saling mencaci hingga jadi berisik.
Caci-maki inilah yang didengar oleh Tiang Keng dan Un Kin
dari dalam kamar. To-su Tauw-to tangguh sekalipun ia dikepung berdua, ia
tak mau menyerah dan melawan terus.
Saat itu dari jauh terdengar suara ribut. Jelas itu suara
orang sedang mengejar seseorang. Mendengar di kaki gunung
ada musuh. Siauw Tiat Hong tak ingin meladeni To-su Tauwto
lebih jauh. ia gunakan akal. Begitu ia menggertak, ia
melompat mudur dan pergi. Perbuatan SiauwTiat Hong ditiru
oleh kawannya yang juga ikut pergi.
Bu Kin tertawa terbahak-bahak sambil membolak-balikan
senjatanya. "Segala kelinci tak berguna. Pergilah kalian!" kata
dia. Karena taat kepada tugasnya ia tak mengejar mereka. Un
Kin dan Tiang Keng bernafas lega.
"Mereka sudah pergi..." bisik si nona.
"Benar, mereka sudah pergi," kata Tiang Keng.
To-su Tauw-to berjalan ke ambang pintu kamar dan
masuk. "Mereka sudah kabur." katanya.
"To-su lihay!" kata Un Kin.
Ia tertawa terbahak-bahak mendengar pujian itu. Tangan
yang kanan memegang senjatanya, sedang tangan kirinya
menepuk dadanya. "Nona, kepandaianku jelek, hanya dengan mengandalkan
senjataku ini, dua orang itu bukan apa-apa bagiku!" kata si
pendeta. Tak lama terdengar ia tertawa lagi sambil menepuk
dadanya. "Nona jangan cemas, selama ada aku di sini, tak ada
orang yang bisa masuk ke mari.
Jika Nona masih ingin bicara, bteruskan saja dengan
tenang...." "Belum tentu, Tay-su..." kata Tiang Keng dingin.
To-su Tauw-to kaget. Ia jadi gusar. Kedua alisnya berdiri.
Saat ia akan bicara mendadak ia lihat kedua pasang mata
anak muda itu bersinar tajam, mereka sedang mengawasi ke
atas pintu. Tak lama dari atas pintu meluncur turun dua sosok
bayangan. Tubuh mereka ada yang gemuk dan ada yang
pendek, kedua orang itu berdiri berendeng di ambang pintu.
Mereka mengawasi secara bergantian pada ketiga orang yang
Cinta Bernoda Darah 3 Joko Sableng 42 Rahasia Darah Kutukan Pendekar Satu Jurus 13
^