Pencarian

Dewi Maut 5

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


menjadi lunak hatinya oleh sikap Can Pouw.
Can Pouw menghaturkan terima kasih dan duduklah dia di atas ruangan
kehormatan itu dan sebentar saja In Hong dari jauh melihat dia asyik bercakap-
cakap sekali dengan nenek itu, bahkan si gadis Tibet yang cantik manis itupun
terbawa-bawa dalam percakapan. In Hong tersenyum di hatinya. Memang dia tahu
betapa pandainya "pamannya" tukang copet itu dalam pergaulan, pandai menarik
hati orang dan pandai pula bersahabat. Sampai lama mereka bercakap-cakap,
kadang-kadang diseling pencopet itu tertawa dan memandang kepada si nenek dengan
sinar mata kagum penuh pujian, bahkan nenek itupun kadang-kadang tersenyum
lebar. Juga In Hong melihat betapa mereka itu kadang-kadang melirik ke arah
keluarga Cin-ling-pai seolah-olah sedang membicarakan mereka itu.
Setelah lama bercakap-cakap dengan nenek itu yang membuat para tamu lainnya
terheran juga mengapa seorang tamu dari ruangan biasa beromong-omong begitu
akrabnya dengan seorang tamu ruangan kehormatan, akhirnya Can Pouw kembali ke
tempatnya dan ketika berjalan dia mengangkat muka membusungkan dada seolah-olah
hendak berkata bahwa tuan rumah telah keliru menempatkan dia di ruangan biasa!
Akan tetapi Phoa Lee It bersikap tak acuh karena dia merasa bertindak benar. Dia
tidak mengenal orang bertopi itu yang datang bersama seorang gadis cantik yang
juga tidak terkenal, bagaimana dia dapat menerima mereka sebagai tamu
kehormatan" Juga agaknya para piauwsu yang mengenal orang ini menganggapnya tamu
biasa, kalau tidak tentu mereka sudah melapor kepadanya agar kesalahan itu dapat
dibetulkan. Dan memanglah, siapa di antara para piauwsu yang menganggap bahwa
pencopet ini seorang tamu agung"
Ketika duduk kembali dekat In Hong, dengan suara bisik-bisik dan wajah
sungguh-sungguh Can Pouw berkata, "Wah, ada berita hebat! Kau tahu siapa dara
Tibet yang manis sekali yang duduk bersama nenek hitam itu" Dia itu adalah
tunangan darl putera ketua Cin-ling-pai!"
"Ehh...?" In Hong cepat menekan debar jantungnya dan bersikap biasa lagi,
seolah-olah dia hanya tercengang mendengar berita penting akan tetapi yang sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.
"Hemm, tentu ketua Cin-ling-pai itu banyak sekali anaknya."
"Ah, tidak sama sekali. Hanya ada dua orang, yang pertama adalah nyonya
gagah itu dan yang kedua adalah seorang pria, adik nyonya itu yang kabarnya
memiliki ilmu kepandaian lebih hebat lagi dan berguru kepada seorang suci yang
sakti di Tibet." "Hemm, agaknya engkau tahu segala hal mengenai Cin-ling-pai, paman. Tentu
kau mengenal pula nama puteranya itu."
"Tentu saja! Tidak percuma aku menyelidiki setelah terjadi peristiwa
menggegerkan itu. Namanya adalah Cia Bu Houw dan... eh, kau kenapa?"
"Tidak apa-apa, aku sudah muak mendengar kau bercerita terlalu banyak
tentang keluarga orang lain. Sekarang ceritakan tentang nenek itu. Menyeramkan
benar, siapa sih dia?"
"Dia itu adalah seorang datuk kaum hitam yang luar biasa! Dialah Go-bi Sin-
kouw! Kaulihat betapa dia bercakap-cakap dengan akrab tadi denganku" Ha-ha, dia
menceritakan segala hal sampai-sampai ketika secara kebetulan dia menemukan
gadis Tibet yang manis itu. Gadis yang cantik sekali, cantik dan lembut,
kecantikan yang asli dan khas, pantas saja putera ketua Cin-ling-pai itu
tergila-gila. Ha-ha-ha! Dan sekarang pacarnya itu menjadi murid Go-bi Sin-kouw,
betapa lucu dan anehnya dunia ini!"
In Hong tidak bicara lagi, diam saja untuk menenangkan hatinya yang
bergelora. Dia sendiri merasa heran mengapa hatinya menjadi panas dan sakit
mendengar bahwa putera ketua Cin-ling-pai telah mempunyai pacar! Dia bukan
cemburu, hanya merasa terhina. Sudah mempunyai pacar, seorang kekasih gadis
Tibet yang cantik manis, tidak malu untuk melamar dia menjadi calon jodoh!
Hatinya panas dan dia mulai memandang ke arah keluarga Cin-ling-pai yang hadir
di situ tidak seperti tadi, penuh kagum, kini menjadi dingin dan disertai senyum
mengejek. Gadis Tibet yang cantik manis itu memang bukan lain adalah Yalima, puteri
kepala dusun yang menjadi sahabat baik Cia Bun Houw itu! Bagaimana tahu-tahu dia
bisa datang sebagai tamu di tempat pesta perayaan Phoa Lee It bersama dengan
seorang nenek iblis seperti Go-bi Sin-kouw itu"
Seperti telah kita ketahui, dara remaja ini hancur perasaan hatinya ketika
ditinggal pergi oleh Cia Bun Houw yang harus memenuhi panggilan orang tuanya
meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Dan lebih celaka lagi baginya, dua
hari setelah pemuda yang dicintanya itu pergi, ayahnya menyatakan bahwa dia akan
diajak pergi ke Lhasa, dipersembahkan kepada seorang pangeran tua.
"Akan tetapi, ayah..." Dia membantah. "Ayah sudah berjanji kepada Houw-koko
untuk tidak membawaku ke Lhasa!"
"Hemm, kau tahu apa! Aku berjanji kepadanya hanya memenuhi perintah Kok Beng
Lama dan aku tidak melanggar janji. Aku berjanji tidak akan membawamu ke Lhasa
selama dia berada di sini. Sekarang dia tidak lagi berada di sini, maka aku
boleh melakukan apa saja terhadap anak perempuanku sendiri. Dan dia itupun
seorang laki-laki tidak bertanggung jawab. Kalau memang dia cinta kepadamu,
mengapa dia tidak melamar kepadaku dan membawamu ke negerinya?"
Yalima tidak dapat membantah lagi dan dia lari ke kamarnya, menangis sehari
penuh, sampai air matanya tidak ada lagi. Dan pada malam hari itu juga, gadis
yang sudah terperosok ke dalam perangkap cinta ini dengan nekat lalu minggat
meninggalkan rumah dan dusunnya, pergi menuju ke timur dengan niat di hati akan
menyusul dan mencari Cia Bun Houw, kekasihnya dan satu-satunya orang yang dapat
diharapkan akan menolongnya!
Yalima adalah seorang gadis Tibet asli yang sudah biasa hidup di pegunungan,
biasa pula berjalan naik turun bukit. Akan tetapi perjalanan yang dilakukannya
tanpa persiapan, dengan nekat dan dengan hati penuh duka dan kecemasan, melalui
daerah-daerah yang liar dan buas, perjalanan yang amat sukar ini, membuat dia
mengalami kesengsarean lahir batin yang amat hebat. Dia tidak tahu arah jalan,
hanya mengikuti arah dari mana matahari timbul, makan seadanya asal tidak
kelaparan, dan melewatkan malam-malam gelap mengerikan seorang diri saja di
dalam hutan-hutan lebat, bersembunyi di antara daun-daun di pohon-pohon besar.
Dia pergi hanya membawa buntalan pakaiannya dan tidak membawa bekal lain,
kecuali tekad bahwa dia akan hidup di samping Cia Bun Houw atau mati terlantar
di tengah jalan! Setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan, entah berapa lamanya dia tidak
tahu lagi, pada suatu pagi di dalam hutan yang besar, dia berdiri terbelalak dan
pucat, kedua kakinya menggigil ketakutan di depan seekor harimau besar yang
muncul secara tiba-tiba dari rumpun alang-alang. Rasa kaget dan takut membuat
gadis itu tidak lagi dapat menggerakkan kedua kakinya dan pada saat harimau itu
bergerak ke depan, dia menjerit sekuat tenaganya!
"Desss...! Plak-plak-plak...!" Tubuh harimau itu terlempar ke belakang
ketika sinar hitam menghantamnya dan bertubi-tubi memukul kepalanya. Seorang
nenek berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berada di situ, menggunakan
tongkatnya menghalau binatang buas itu. Agaknya harimau itu dapat merasakan
pukulan yang amat keras, tahu bahwa nenek hitam itu berbahaya sekali, dan
mungkin juga karena dia tidak terlalu lapar, maka setelah mengaum marah satu
kali dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.
"Bangunlah...!" nenek itu berkata dalam Bahasa Tibet kepada Yalima.
Yalima lalu menubruk kaki nenek itu, berlutut sambil menangis dan
menghaturkan terima kasih dalam Bahasa Han karena dia melihat nenek itu bukan
Bangsa Tibet. Nenek itu agak terkejut. "Hemm, engkau pandai berbahasa Han?"
"Nenek yang baik, Houw-koko telah mengajarkan bahasa ini kepadaku. Nenek,
engkau telah menyelamatkan nyawaku, harap selanjutnya nenek suka menolong aku
yang sengsara ini..."
Nenek itu adalah Go-bi Sin-kouw. Di dalam cerita Petualang Asmara telah
diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek berpakaian hitam ini. Dia adalah
seorang wanita lihai yang memiliki kepandaian tinggi dan yang kini tinggal di
dalam sebuah istana terpencil yang dulu menjadi milik Go-bi Thai-houw. Go-bi
Sin-kouw ini adalah guru dari Pek Hong Ing, isteri pendekar Yap Kun Liong.
Wataknya aneh sekali, juga kejam dan dapat melakukan apa saja menurut kesenangan
hatinya sendiri. Akan tetapi dia selalu merasa sayang kalau melihat gadis
cantik, karena di balik kekejaman dan kesepian hidupnya itu tersembunyi
kerinduan besar akan seorang anak seorang cucu! Kini melihat keadaan gadis Tibet
ini, timbul rasa sukanya dan dia lalu berkata, "Tenangkan hatimu, aku akan
menolongmu. Siapakah namamu?"
"Nama saya Yalima, nenek yang baik."
"Jangan sebut aku nenek yang baik, panggil aku subo (ibu guru), karena sejak
sekarang engkau menjadi muridku. Maukah engkau?"
"Saya akan mentaati semua perintah subo asal subo sudi menolong saya, agar
kita dapat mencari Houw-koko."
"Hemm, kila lihat saja nanti. Sekarang ceritakan siapa itu Houw-koko dan
mengapa engkau seorang gadis Tibet sampai tiba di tempat ini seorang diri."
Yalima lalu menceritakan riwayatnya, betapa dia adalah puteri seorang kepala
dusun dan bersahabat baik dengan seorang pemuda Han bernama Cia Bun Houw. Betapa
pemuda itu akhirnya dipanggil pulang oleh ayahnya dan meninggalkannya, dan dia
akan dipersembahkan kepada pangeren tua oleh ayahnya, maka dia lalu minggat dan
ingin mencari pemuda yang
dicintanya itu. Semua dituturkannya dengan panjang lebar dan jelas kepada
Go-bi Sin-kouw. Mendengar penuturan ini, Go-bi Sin-kouw menggeleng-geleng kepalanya. "Anak
bodoh, apakah engkau amat mencintanya?"
"Teecu (murid) mencinta Houw-koko, subo, dan lebih baik mati saja daripada
tidak bertemu kembali dengan dia."
"Anak bodoh, begini percaya kepada laki-laki. Apakah kau yakin bahwa dia itu
juga cinta padamu?" "Teecu yakin sekali, sungguhpun... dia tidak pernah mengatakan dengan
mulutnya. Teecu merasa bahwa teecu sudah menjadi miliknya, lahir dan batin!"
Melihat kenekatan gadis itu, Go-bi Sin-kouw mengerutkan dahinya. "Hemmm,
betapa banyaknya wanita menjadi korban bujukan mulut manis dan palsu dari kaum
pria, Yalima, siapakah sebenarnya pemuda itu" Mengapa seorang pemuda Han berada
di Tibet?" "Dia bukan seorang biasa, subo. Dia dalah seorang pemuda yang memiliki
kepandaian seperti dewa! Dia murid dari Kok Beng Lama..."
"Haiiiii!!!" Go-bi Sin-kouw terkejut setengah mati mendengar nama pendeta
Lama ini. Pernah dia bertemu dengan pendeta yang memiliki kesaktian luar biasa
itu dan untung dia tidak mati di tangan manusia luar biasa itu (baca Petualan
Asmara) dan kini mendengar namanya saja dia sudah merasa gentar. "Mu...
muridnya" Dan sekarang ke mana pemuda itu?"
Dia pulang ke Cin-ling-san..."
"Eihhh...!" Untuk kedua kalinya Go-bi Sin-kouw berseru kaget. "Tahukah kau
anak siapa dia dan mengapa pulang ke Cin-ling-san...?"
"Houw-ko tidak menyebutkan nama ayahnya, hanya pernah mengatakan bahwa
ayahnya bukan orang biasa, melainkan ketua Cin-ling-pai yang terkenal..."
"Aahhh...!" Untuk ketiga kalinya nenek itu berseru kaget, membuat Yalima
terheran-heran. Sampai lama nenek it tidak berkata-kata, kemudian mengangguk-
angguk. Baru saja, dia telah dikunjungi oleh Hek I Sinkouw dan Lima Bayanga
Dewa, dimintai bantuannya untuk menghadapi fihak Cin-ling-pai dan dia sudah
menyatakan kesanggupannya. Memang sejak dahulu dia tidak suka kepada keluarga
pendekar itu. Hatinya masih sakit kalau dia teringat kepada Pek Hong Ing,
muridnya yang tercinta. Muridnya itu telah membalik dan tidak mentaatinya karena
muridnya telah tergila-gila kepada Yap Kun Liong, seorang di antara anggauta
keluarga ketua Cin-ling-pai itu bahkan kini telah menjadi isteri Yap Kun Liong.
Kini dia mendengar akan usaha Lima Bayangan Dewa untuk membalas dendam dan
memusuhi Cin-ling-pai, maka dia segera menyatakan setuju untuk membantu.
"Sungguh hal yang amat kebetulan sekali...!" gerutunya sambil memandang
gadis Tibet itu. Betapa kebetulan sekali dia bertemu dan menolong gadis ini yang
ternyata adalah pacar dari putera ketua Cin-ling-pai! Dia lalu minta kepada
Yalima untuk menceritakan segala tentang hubungannya dengan Cia Bun Houw secara
jelas. Yalima adalah seorang gadis yang selamanya hidup di tempat sederhana dan
karena itu wataknya wajar, polos dan jujur. Apalagi karena dia menganggap nenek
ini sebagai penolong dan gurunya, sebagai seorang yang amat baik budi, maka dia
lalu menceritakan semuanya, tentang hubungannya yang sudah sangat erat dengan
Cia Bun Houw sehingga nenek itu tadinya mengira bahwa gadis itu telah
menyerahkan kehormatan dirinya kepada pemuda itu. Namun Yalima menyangkalnya,
hanya menceritakan dengan malu-malu tentang kemesraan yang terjadi di antara
mereka dan dia bilang bahwa dia yakin akan cintanya pemuda itu kepadanya melalui
pelukan dan ciuman yang dilakukan pemuda itu kepadanya. Dan nenek itu
menyeringai senang. "Jangan khawatir, Yalima. Tidak ada orang yang boleh begitu saja menghina
muridku! Kelak aku akan menyeret pemuda itu di depan kakimu!"
Yalima terbelalak kaget. "Tapi... tapi, subo, Houw-koko adalah seorang yang
amat baik!" "Heh-heh-heh, putera keluarga Cin-ling-pai baik katamu" Ho-ho, engkau belum
tahu, anakku, muridku...!"
Demikianlah, mulai hari itu Yalima menjadi murid Go-bi Sin-kouw dan dara itu
merasa tidak suka sama sekali, akan tetapi karena dia tahu bahwa nenek itu amat
lihai dan kejam, dia tidak berani menyatakan ketidaksukaan hatinya. Bahkan diam-
diam dia ingin mempelajari ilmu nenek itu, setelah memperoleh kesempatan dia
akan melarikan diri dan melanjutkan keinginan hatinya mencari dan menemukan
kekasihnya. Dan pada hari itu, dia diajak oleh subonya untuk mengunjungi pesta perayaan
hari ulang tahun Go-bi Sam-eng-piaukiok di kota Wu-han karena memang nenek ini
mengenal tokoh-tokoh Go-bi-pai yang dahulu menjadi tetangganya. Tentu saja
kedatangannya ini bukan semata-mata hendak menghormati Phoa Lee It yang
dianggapnya tokoh rendahan saja, melainkan ingin bertemu dengen tokoh-tokoh
kang-ouw karena diapun akan pergi ke Ngo-sian-chung di lembah Huang-ho memenuhi
panggilan Lima Bayangan Dewa.
Demikianlah pengalaman Yalima yang pada hari itu ikut bersamaa Sin-kouw ke
pesta Phoa-piauwsu dan bertemu dengan Jeng-ci Sin-touw Can Pouw yang
menceritakan tentang pertemuannya dengan nenek itu kepada In Hong. Malaikat
Copet ini sama sekali tidak pernah menduga betapa ceritanya itu membuat In Hong
menjadi panas perutnya dan marah sekali. Seketika timbul kebencian yang sangat
di hati dara itu terhadap pemuda yang ditunangkan dengan dia, yaitu Cia Bun
Houw. Sudah mempunyai seorang pacar di Tibet, masih tidak tahu malu hendak
mengikat jodoh dengan dia. Laki-laki! Timbullah rasa tidak sukanya yang memang
dasarnya sudah ditanamkan oleh gurunya di dalam lubuk hatinya terhadap kaum
pria. Kini, baru saja merantau, dia sudah merasakan dihina kaum pria.
Kini tempat pesta sudah penuh dan tamu-tamu baru sudah tidak ada yang datang
lagi. Di tempat ruangan kehormatan itu terdapat belasan orang pendatang baru dan
In Hong melihat betapa mereka itu secara otomatis berpisah tempat duduknya, yang
sebelah kiri di mana duduk keluarga Cin-ling-pai tadi duduk orang-orang yang
agaknya tergolong kaum pendekar golongan putih, dan mereka ini kelihatannya amat
menghormat puteri ketua Cin-ling-pai itu, sedangkan di sebelah kanan duduklah
orang-orang yang kelihatan menghormati nenek berpakaian hitam dan mudah diduga
bahwa mereka tentu tokoh-tokoh kaum sesat atau golongan hitam.
Hindangan-hidangan dikeluarkan dan upacara pembukaan barang-barang hadiah di
depan tuan rumah dilakukan. Berturut-turut dibukalah bungkusan-bungkusan itu dan
diumumkan nama si penyumbang sambil mengangkat tinggi-tinggi barang sumbangan.
Untuk sumbangan yang berupa barang biasa saja, para tamu menyambutnya dengan
senyum, akan tetapi kalau ada benda luar biasa yang berharga, mereka menyambut
dengan sorak memuji. "Bingkisan dari yang terhormat locianpwe Go-bi Sin-kouw..." Piauwsu yang
membuka bungkusan-bungkusan itu berseru sambil mengangkat benda itu ke atas
membaca nama penyumbangnya di kartu yang tertempel di luar bungkusan. Semua
orang bersorak ketika melihat bahwa benda itu adalah sebuah piring terbuat dari
emas! Go-bi Sin-kouw mengangguk dan tersenyum dengan mulutnya yang nyaprut
sehingga kelihatan lucu sekali. Phoa Lee It menjura ke arah nenek itu untuk
menyatakan terima kasihnya.
Akan tetapi ketika benda yang terbungkus itu diangkat ke atas, orang
memandang dan melongo dan muka pucat, dan suara sorakan kalah kini oleh suara-
suara ejekan yang terdengar dari golongan hitam. Benda itu hanyalah sebuah panci
yang murah dan dapat dibeli di sembarang tempat, hanya perabot dapur yang murah!
"Eihh, kenapa begitu pelit,?" terdengar suara orang.
"Maklumlah, baru habis kecurian hebat!"
"Memang pelit, pedangnyapun pedang-pedangan dari kayu!"
Terdengar bentakan nyaring dan suara-suara itu tak terdengar lagi, semua
orang terkejut memandang ke tengah ruangan yang luas di mana berdiri nyonya Lie
yang menyapu semua orang dengan pandang matanya yang tajam, mukanya yang cantik
itu merah sekali, hidungnya yang mancung kembang-kempis dan dia menuding ke arah
tiga orang yang duduk di ruangan tamu biasa. "Hayo kalian bertiga, maju ke sini


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau kalian bukan anjing-anjing pengecut hina!"
Suaranya nyaring dan penuh wibawa. Dapat mengenal tiga orang yang tadi
mengejek saja sudah merupakan ketajaman pendengaran dan penglihatan yang luar
biasa, karena suara-suara itu tadi bercampur aduk. Tiga orang laki-laki itu
masih muda, dan mereka memandang pucat, lalu saling pandang.
Para tamu mulai ribut dan dari fihak yang pro Cin-ling-pai terdengar suara-
suara mengejek. "Kalau sampai ada anjing-anjing pengecut hadir di dalam pesta,
sungguh memalukan kita!"
Mendengar ejekan-ejekan itu dan melihat bahwa fihak golongan hitam juga
banyak, tiga orang laki-laki itu lalu bangkit berdiri dan serentak menghampiri
Cia Giok Keng. "Toanio, kami yang mengeluarkan ucapan tadi berdasarkan kenyataan. Mengapa
toanio memanggil kami?" seorang diantara mereka berkata.
"Memang kami hanya mengatakan apa adanya!" kata orang kedua.
"Memang pemberian itu amat pelit, dan memang Cin-ling-pai habis kecurian dan
memang siapa tidak tahu bahwa Siang-bhok-kiam terbuat dari kayu?" kata orang
ketiga. Sepasang mata itu mengeluarkan cahaya berapi dan tiba-tiba tubuhnya
bergerak, cepat sekali. "Plok! Plok! Plok!" Tiga orang itu terpelanting,
mengaduh-aduh dan mulut mereka berdarah karena gigi mereka sudah rontok ketika
ditampar tangan yang halus itu.
Phoa Lee It cepat melangkah maju dan menjura di depan Cia Giok Keng. "Harap
lihiap sudi memaafkan dan memandang muka kami menyudahi perkara kecil ini." Dan
diapun menghadapi para tamu. "Perkara barang sumbangan, harap tidak dipandang
berharga atau tidak, harganya bukan dilihat dari bendanya, melainkan dari dasar
hati pemberinya. Harap cu-wi tidak membikin ribut."
Cia Giok Keng menahan kemarahannya. "Melihat muka tuan rumah, kuampunken
kalian bertiga!" katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah kembali ke
tempat duduknya. In Hong mengerutkan alianya. Puteri Cin-ling-pai itu memang hebat, akan
tetapi sungguh galak den angkuh, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang
mampu menandinginya. Tentu saja pikiran ini timbul dari panasnya hatinya tentang
Cia Bun Houw yang dianggap menghinanya. Dia melihat betapa nenek pakaian hitam
itu melirik dan tersenyum ke arah Cia Giok Keng.
"Bingkisan dari yang terhormat Jeng-ci Sin-touw Can Pouw...!" Terdengar
pembuka bungkusan sumbangan berteriak dan mengangkat sebuah benda mengkilap ke
atas. Tepuk sorak gemuruh menyambut benda ini, sebuah peti tua dari kayu hitam
berukir indah dan terhias emas dan permata yang tentu amat mahal harganya.
"Inilah baru bingkisan namanya!" terdengar orang berteriak.
Orang-orang yang belum mengenal mencari-cari siapa gerangan orang berjuluk
Malaikat Copet Berjari Seribu itu dan ketika mata tuan rumah memandang ke arah
ruangan tamu biasa, terdengar orang berkata. "Tamu yang sumbangannya sehebat itu
mengapa tidak di tempat kehormatan?"
In Hong juga menoleh dan baru sekarang dia melihat betapa temannya itu sudah
tidak ada lagi di tempatnya! Dia melihat sehelai kertas di atas bangku temannya
itu, cepat disambar dan dibacanya.
"Maaf, aku pergi dulu karena... takut!"
In Hong mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa maksudnya. Dan dia tadinya
merasa heran mengapa uang yang tidak berapa banyak ia berikan kepada pencopet
itu telah menghasilkan pakaian pencopet itu dan barang sumbangan yang demikian
hebat. Tentu dia telah mencopetnya, pikirnya.
Akan tetapi tiba-tiba terjadi keributan lain lagi. Kembali Cia Giok Keng
kini sudah meloncat dari tempat duduknya, sekali sambar dia telah merampas, peti
kayu indah itu dari tangan piauwsu pengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala
sambil berseru, "Para tamu sekalian dan Phoa-lo-enghiong, ketahuilah! Benda ini
adalah apa yang kusumbangkan, entah bagaimana telah berada di dalam bungkusan
orang lain! Aku menantang Jeng-ci Sin-touw untuk keluar dan memberi keterangan
bagaimana barangku bisa berada di dalam bungkusannya!"
Suara ini nyaring sekali dan semua tamu kembali menjadi diam dan memandang
penuh ketegangan. Akan tetapi, tidak ada orang yang menjawab tantangan ini dan
tidak nampak bayangan orang yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw.
Kembali Cia Giok Keng berkata, suaranya tenang, namun mengandung penuh
ancaman dan kemarahan, nyaring terdengar sampai di luar gedung itu, "Sejak tadi
ketika bungkusan sumbanganku dibuka, aku sudah tahu bahwa ada orang main gila,
akan tetapi aku menanti sampai benda itu muncul. Kiranya ada maling atau copet
hina dina yang bermain gila, sengaja menukar sumbanganku dengan sumbangannya
yang tidak berharga. Hayo engkau Jeng-ci Sin-touw keluarlah untuk menerima
kematian! Kalau tidak dapat menghancurkan kepalamu, jangan namakan aku puteri
ketua Cin-ling-pai!"
Sebenarnya, biarpun Cia Giok Keng ini sejak mudanya berwatak keras dan
pemberani tak mengenal artinya takut, akan tetapi dia sama sekali tidaklah suka
menyombongkan nama ayahnya atau Cin-ling-pai. Kalau sekarang dia melakukan
hal itu adalah karena kedukaan dan kemarahan yang masih membakar hatinya
berkenaan dengan peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai. Ketika guru suaminya
datang berkunjung ke Sin-yang dan menceritakan tentang malapetaka yang menimpa
Cin-ling-pai, dia menangis dan bersama suaminya dia mengunjungi Cin-ling-pai. Di
depan ayah bundanya dia menyatakan ingin mencari penjahat-penjahat itu, akan
tetapi ayahnya melarang dan mengatakan bahwa adiknya, Cia Bun Houw, dan empat
orang murid kepala sudah ditugaskan untuk itu. "Engkau sudah mempunyai keluarga
sendiri, jangan mencampuri urusan ini, anakku, agar kelak tidak berlarut-larut
dan terseret," demikianlah kata ayahnya, sehingga terpaksa dia pulang kembali
bersama suaminya membawa perasaan penasaran dan kemarahan. Kini, di tempat pesta
ini dia dibikin marah oleh kata-kata yang mengejek Cin-ling-pai, dan seorang
pencopet mempermainkannya dengan menukar barang sumbangan, tentu saja
kemarahannya meledak dan dia menyinggung nama Cin-ling-pai tanpa disadarinya
untuk mengangkat nama ayahnya.
Karena tidak ada jawaban, nyonya ini menjadi makin marah. "Pho-lo-enghiong,
mengapa engkau mengundang para pengecut datang menghadiri perayaahmu" Jeng-ci
Sin-touw adalah seorang maling, seorang copet yang pengecut dan hina, dan teman-
temannyapun orang-orang rendah!"
"Eh-eh, nanti dulu, toanio!" Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh
tahun lebih meloncat ke depan. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan ikat
pinggang kuning emas, kepalanya dibungkus kain kuning dan di punggungnya
terdapat sebatang golok besar. Para tokoh golongan hitam segera mengenalnya
sebagai Twa-sin-to Kui Liok Si Golok Besar Sakti, seorang perampok tunggal yang
sudah puluhan tahun malang melintang di lembah Sungai Yang-ce-kiang, seorang
yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmu goloknya.
Cia Giok Keng menghadapi laki-laki yang tubuhnya besar pendek ini dengan
pandang mata meremehkan. "Mengapa engkau menahanku" Apakah hendak menyangkal
bahwa Jeng-ci Sin-touw adalah maling hina?"
"Toanio adalah seorang gagah perkasa, bahkan puteri ketua Cin-ling-pai yang
amat terkenal, akan tetapi toanio terlalu memandang rendah orang lain! Kalau
toanio memaki Jeng-ci Sin-touw karena dia menukar barang sumbangannya, hal itu
adalah hak toanio, akan tetapi toanio membawa-bawa semua temannya yang tidak
bersalah apa-apa." "Hemm, aku ulangi lagi, dia seorang hina dan teman-temannyapun orang-orang
rendah. Nah, kau mau apa?" Cia Keng Hong yang memang sudah amat marah itu
membentak. "Toanio, aku adalah Twa-sin-to Kui Liok dan terus terang saja aku mengenal
baik Jeng-ci Sin-touw sehingga boleh dibilang aku juga temannya. Apakah dengan
begitu engkau hendak mengatakan bahwa aku seorang rendah?"
"Tentu saja, semua maling dan copet dan sebangsanya adalah orang-orang yang
paling rendah dan pengecut di dunia!" Bentak Cia Giok Keng yang sebetulnya
menujukan makian itu bukan langsung kepada orang yang berdiri di depannya,
bahkan hanya sedikit menyinggung Jeng-ci Sin-touw yang tidak dikenalnya,
melainkan ditujukan kepada orang-orang yang telah mencuri pedang Siang-bhok-
kiam. Sejak terjadinya peristiwa itu, di dalam hatinya, dia mengutuk dan
membenci semua golongan hitam, terutama pencuri dan perampok!
Kui Liok menjadi marah. "Toanio terlalu menghina orang! Jangan mengira bahwa
aku takut mendengar nama Cin-ling-pai!!"
Wajah Cia Giok Keng menjadi makin merah. "Huh, tikus macam kau berani
menentang Cin-ling-pai" Majulah!"
"Wanita sombong!" Kui Liok membentak dan akan menyerang.
"Tahan... tahan...!" Tiba-tiba Phot Lee It maju dan berdirl di antara
mereka. "Cia-lihiap, harap bersabar dan memaafkan orang yang telah menukar
barang sumbangan itu. Dan kau, Twa-sin-to, harap kau sabar dan mengalah."
"Phoa-loenghiong harap kau minggir, jangan menghalangi aku. Di manapun dan
kapanpun aku harus selalu menghajar golongan sesat yang berani kurang ajar!"
Sikap dan ucapan Cia Giok Keng ini membuat Phoa Lee It menjadi serba salah dan
terpaksa dia mundur sambil menggeleng kepala dan mengangkat bahu, bingung dan
cemas. "Pencoleng hina, majulah kalau kau berani!" puteri ketua Cin-ling-pai itu
menantang dan Kui Liok yang merasa dihina di hadapan banyak sekali orang, segera
menerjang maju dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi yang
diserangnya ini adalah puteri sulung Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang biarpun
tidak berhasil mewarisi seluruh kepandaian ayahnya dan ibunya, namun dia telah
memiliki ilmu-ilmu silat yang tinggi tingkatnya. Dengan jurus-jurus dari San-in-
kun-hoat yang gerakannya aneh, lihai dan dahsyat, dia menangkis dan begitu
tangannya balas menampar, jari-jari tangannya mengenai pundak Kui Liok, membuat
perampok tunggal yang tubuhnya kebal ini terhuyung dan menyeringai kesakitan!
Dalam segebrakan saja dia telah dibuat terhuyung den tulang pundak kirinya
seperti patah-patah rasanya! Tentu saja dia menjadi penasaran, mengeluarkan
bentakan keras dan menubruk maju lagi, menggunakan kedua lengannya yang
dikembangkan dan kedua tangan yang terbuka seperti seekor harimau menubruk. Dan
memang perampok tunggal ini telah menggunakan jurus Go-houw-pok-ma (Macan
Kelaparan Menubruk Kuda), dia menerkam setengah meloncat dan kedua tangan
dipentang lebar itu menerkam dari kanan kiri sehingga sukar sekali untuk
dielakkan. Namun cia Giok Keng sama sekali tidak mengelak. Dengan tenang dia menanti
datangnya serangan itu, lalu tiba-tiba mementang kedua tangannya ke kanan kiri,
menggunakan telunjuk kanan kiri menusuk ke arah pergelangan kedua tangan lawan,
dan pada saat jari-jari tangannya itu mendahului menyerang pergelangan tangan
lawan sebelum serangan lawan tiba, kaki kirinya menendang dengan kecepatan
seperti kilat. Semua ini dilakukan tanpa merobah kedudukan tubuhnya.
"Dess... auukkk...!" Tubuh yang pendek besar itu terjengkang dan terguling-
guling, lalu meloncat bangun dan tangan kirinya memegangi perutnya yang mendadak
menjadi mulas setelah dicium ujung sepatu Giok Keng.
Kini semua orang terkejut. Bukan main hebatnya nyonya itu, demikian mudahnya
menghadapi serangan Kui Liok, dan sakaligus membuatnya terhuyung kemudian roboh
dalam dua gebrakan saja. Padahal mereka tahu bahwa Kui Liok bukanlah seorang
lemah kalau tidak boleh dibilang seorang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja
Kui Liok sendiri menjadi marah bukan main. Habislah nama besarnya kali ini! Dia
diperlakukan seperti seorang murid tolol yang baru belajar ilmu silat oleh
seorang guru besar! "Srattttt!" Golok besarnya telah dicabutnya, akan tetapi dia masih merasa
terlalu besar namanya untuk menyerang seorang wanita tanpa senjata begitu saja,
maka dengan suara parau dan tangan kiri mengusap darah yang mengalir dari ujung
bibirnya dia membentak. "Keluarkan pedangmu!"
Cia Giok Keng tersenyum mengejek. "Hemm, siapa takut menghadapi golok jagal
babimu itu" Majulah!"
Kemarahan Kui Liok sudah naik ke ubun-ubun dan dengan gerengan seperti
harimau terluka, golok besarnya diputar-putar di atas kepala, sehingga lenyap
bentuknya berubah menjadi gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara
berdesingan. Kemudian dia menerjang ke depan dan sinar putih itu menyambar
dahsyat ke arah leher Giok Keng. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan
berkelebat dan tubuh nyonya itu lenyap dari depannya. Kui Liok terkejut, cepat
dia memutar tubuh sambil mengayun goloknya. Benar saja, musuhnya sudah berada di
belakangnya dan kini Giok Keng yang terkejut menyaksikan kecepatan gerakan
lawan. Kiranya julukan Golok Besar Sakti itu tidak percuma begitu saja dan amat
berbahaya kalau dia terlalu memandang rendah dan menghadapinya dengan tangan
kosong. Akan tetapi dia telah terlanjur memandang rendah golok lawan, kalau
sekarang dia mencabut pedangnya, hal itu akan memalukan sekali. Cepat dia
mempergunakan gin-kangnya yang sudah hampir sempurna itu sehingga kembali
tubuhnya berkelebat mendahului gerakan golok dan mengelak. Akan tetapi dengan
kemarahan meluap-luap, Kui Liok sudah menyerang, terus dan gulungan sinar putih
dari goloknya terus mengejar bayangan Giok Keng.
Sampai lima jurus Kui Liok terus meyerang dan selalu dapat dielakkan oleh
Giok Keng. Pada jurus keenam, ketika Kui Liok membacok dari atas ke bawah dengan
jurus Petir menyambar Atas Kelapa, tiba-tiba nampak sinar merah terang yang
kecil panjang meluncur dan tahu-tahu golok itu telah terbelit sabuk merah dan
ujung yang lain dari sabuk itu telah meluncur dan menotok pundak kanan Kui Liok.
Perampok tunggal ini terkejut bukan main, berusaha mengelak dari totokan, namun
pada saat perhatiannya tercurah kepada sinar merah yang menyambar pundak itu,
tiba-tiba tangan kiri Giok Keng sudah menamper keras dan tepat mengenal
punggungnya, karena Kui Liok tadi mengelak miring.
"Plakkk...!" Kui Liok mengaduh, goloknya terlepas dan dia sendiri terhuyung
ke belakang, mukanya pucat sekali karena dia sudah terkena tamparan tangan yang
mengandung Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun), ilmu kepandaian
mengerikan dari ibu nyonya ini, isteri ketua Cin-ling-pai!
"Ini makanlah golokmu!" Cia Giok Keng yang sudah marah itu menggerakkan
ujung sabuk merah yang melibat dan merampas golok dan senjata itu terbang
meluncur ke arah tubuh Kui Liok yang masih terhuyung-huyung.
Golok terbang itu berdesing cepat sekali dan tubuh Kui Liok pasti akan
menjadi korban goloknya sendiri kalau saja pada saat itu tidak tampak bayangan
berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita telah menyambar golok
terbang itu dengan jepitan jari tangannya, kemudian dengan senyum menghina dia
melempar golok itu ke atas lantai, dekat kaki Kui Liok yang cepat mengambilnya
dan mengundurkan diri untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya yang cukup
hebat. Gadis itu adalah In Hong. Dia memang kagum menyaksikan kehebatan enci dari
Cia Bun Houw itu, akan tetapi karena pandangannya sudah berobah sejak dia
mengetahui tentang penghinaan Cia Bun Houw kepadanya, dia kini menghampiri Giok
Keng dengan pandang mata tajam, dingin dan senyumnya mengejek.
Giok Keng sendiri terkejut bukan main. Melihat gerakan dara muda ini tadi
mengulur tangan menjepit golok yang diterbangkannya seperti orang menjepit bulu
saja ringannya, dia maklum bahwa dara muda ini memiliki kepandaian yang luar
biasa, maka dia memandang heran dan menduga-duga.
Go-bi Sin-kouw yang tadi sudah merasa penasaran dan marah, kini memandang
penuh perhatian. Diapun dapat menduga bahwa dara cantik itu lihai sekali. Dia
tadi masih ragu-ragu untuk maju menghadapi puteri ketua Cin-ling-pai, bukan
ragu-ragu takut kalah karena dia percaya bahwa dia mampu menandingi puteri ketua
Cin-ling-pai itu, hanya dia masih merasa tidak enak dan serba salah. Betapapun
juga, muridnya, Pek Hong In, telah menjadi isteri Yap Kun Liong yang mempunyai
hubungan dekat dengan Cin-ling-pai. Dia memang tidak suka kepada keluarga itu
dan sudah berjanji akan membantu Lima Bayangan Dewa, akan tetapi permusuhan ini
akan dilakukan secara sembunyi, kecuali kalau tiba saatnya kedua fihak berdiri
berhadapan dalam pertandingan besar yang sudah direncanakan oleh Lima Bayangan
Dewa. Betapapun juga, dia merasa sayang kalau sampai perbuatannya yang memusuhi
Cin-ling-pai itu akan mendatangkan akibat tidak enak bagi Pek Hong In. Maka
kini, biarpun tangannya sudah gatal-gatal untuk menandingi Cia Giok Keng, dia
menahan diri dan melihat majunya gadis muda yang cantik, aneh dan lihai itu, dia
hanya menonton dengan penuh perhatian setelah dia melemparkan sebungkus obat
bubuk kepada Kui Liok sambil berkata lirih, "Minum ini untuk menolak hawa
beracun!" Sementara itu, In Hong sudah melangkah maju dan berhadapan dengan Giok Keng.
Setelah kurang lebih dua menit dua orang wanita muda dan setengah tua yang sama
cantik dan sama gagahnya itu saling memandang penuh selidik dan seperti saling
mengukur kecantikan dan kelihaian melalui pandang mata, terdengar In Hong
berkata, suaranya dingin, "Kiranya keluarga Cin-ling-pai adalah orang-orang
sombong yang terlalu menghina orang lain dan menganggap bahwa mereka sendirilah
orang-orang terbaik, paling bersih dan paling gagah di dunia ini, padahal
kenyataannya sungguh tidak seperti yang dibanggakan itu!"
Cia Giok Keng mengerutkan alisnya yang hitam melengkung bagus itu. "Engkau
seorang dara muda yang begini cantik jelita, apakah juga sudah menjadi anggauta
golongan maling dan pencoleng" Sungguh patut disayangkan!"
In Hong tersenyum. "Aku bukan maling bukan pula pencoleng, akan tetapi harus
kuakui bahwa Jeng Cin-ling-pai ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang sahabatku.
Pantas saja Cin-ling-pai dimusuhi banyak orang, kiranya orang-orangnya begini
sombong. Engkau memaki-maki paman Can sebagai maling hina, padahal dia tidak


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil apa-apa. Andaikata dia menukar sumbangan, itu hanyalah sendau guraunya
karena memang dia suka berkelakar, akan tetapi sama sekali bukan mengambil
barang orang." "Bagaimanapun juga, dia seorang pencopet dan semua maling dan copet adalah
orang-orang hina." "Hemm, siapa bilang bahwa keluarga Cin-ling-pai juga orang baik-baik?"
Kata-kata In Hong ini membuat Giok Keng menjadi marah sekali. "Mulut
lancang! Kami keluarga Cia sejak dahulu terkenal sebagai pendekar-pendekar
perkasa pembela kebenaran dan keadilan!"
"Kebenaran dan keadilan siapa?" In Hong mengejek. "Setahuku, putera tunggal
ketua Cin-ling-pai adalah seorang pria penggoda wanita yang suka menghina kaum
wanita!" "Wanita iblis! Kaumaksudkan adikku Cia Bun Houw?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?"
Saking marahnya, Giok Keng sampai sukar mengeluarkan suara, matanya
terbelalak lebar dan napasnya terengah-engah.
Akhirnya dapat juga dia membentak, "Iblis betina! jangan menyebar fitnah!
Adikku itu selama lima tahun belajar di Tibet!"
"Nah, itulah! Di Tibet dikatakan belajar, akan tetapi di sana menjadi
seorang penggoda wanita. Wanita-wanita dan gadis-gadis Tibet dirayunya dengan
mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, kemudian ditinggalkan begitu saja..."
"Ahhhh, tidak...!" Terdengar suara lemah dari seorang dara di dekat Go-bi
Sin-kouw, yaitu Yalima, yang mengeluh mendengar fitnah terhadap kekasihnya itu.
Akan tetapi Go-bi Sin-kouw memberi tanda dengan menyentuh tangan muridnya agar
diam, dan dia menonton dengan hati tegang gembira.
"Wuuutt... wirrr...!" Ujung sabuk di tangan Giok Keng meluncur, merupakan
sinar merah yang amat cepat menyambar dan menotok leher In Hong.
"Pratt!" In Hong menyampok dengan jari-jari tangannya dan Giok Keng
terbelalak kaget sekali melihat ujung sabuk merahnya itu pecah-pecah! Bukan
hanya Giok Keng yang terkejut, juga Go-bi Sin-kouw kaget sekali. Dia dapat
melihat dan mengukur dari sambaran sabuk merah itu bahwa sabuk itu merupakan
senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari puteri Cin-ling-pai ini, akan tetapi
ternyata sekali bertemu dengan jari-jari tangan gadis cantik ini, ujungnya
menjadi pecah-pecah! Hal ini sungguh-sungguh di luar dugaannya sama sekali dan
dia menjadi makin tertarik, ingin sekali tahu siapa gerangan gadis muda cantik
dan lihai yang tadi duduknya hanya di golongan tamu biasa saja.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar dan seorang laki-laki masuk sambil
berteriak nyaring, "None Yap In Hong, tahan dulu...!" Yang datang ini bukan lain
adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw. Tadi ketika melihat keributan terjadi akibat
dari perbuatannya, dia menjadi jerih dan cepat menyelinap keluar dan mengintip
dari luar. Akan tetapi ketika melihat betapa In Hong turun tangan membelanya dia
menjadi khawatir sekali. Dia tahu akan kehebatan keluarga Cin-ling-pai maka
kalau sampai nona yang dikaguminya itu celaka akibat membelanya, dia merasa
sangat tidak enak sekali. Maka dengan nekat dia lalu masuk kembali setelah
melihat In Hong sudah berhadapan dengan puteri ketua Cin-ling-pai dan hendak
bertanding. In Hong mengenal suara temannya ini dan dia menengok. "Biarlah, paman Can,
orang terlalu menghinamu, tidak boleh aku tinggal diam saja."
"Nona In Hong, jangan...!" Dia berteriak, lalu menjura ke arah Cia Giok Keng
yang berdiri terbelalak mendengar nama Yap In Hong tadi.
"Kau... kau... bernama Yap In Hong...?" tanyanya dengan heran.
In Hong tidak menjawab, dan Can Pouw yang cepat berkata, "Maafkan saya,
lihiap yang terhormat, sebetulnya sayalah yang bersalah. Nona Yap In Hong ini
tidak turut apa-apa! Saya yang tadi kerena merasa penasaran melibat tuan rumah
membeda-bedakan tempat duduk para tamu, lalu ingin menggodanya dengan menukar
kartu nama pada barang-barang sumbangan. Saya tidak mengira bahwa barang-harang
itu akan dibuka dan diumumkan sehingga terjadi akibat seperti ini. Saya yang
bersalah dan lihiap boleh memaki dan memukul saya, akan tetapi nona In Hong
tidak ikut-ikut..." Hemm, jadi engkaukah biang keladinya?" Giok Keng menggerakkan tangan kirinya
memukul dengan jari-jari tangan penuh getaran Ilmu Ngo-tok-ciang ke arah dada
pencopet itu. "Plakkkk! Desss!!"
Giok Keng terhuyung ke belakang ketika tangannya ditangkis oleh In Hong,
tangkisan yang kuat bukan main. "Mundurlah, paman Can!" In Hong mendorong pundak
temannya itu sehingga Can Pouw terlempar den pencopet ini menjadi pucat mukanya,
lalu menyelinap dan leqyap dari situ.
Giok Keng memandang dengan muka sebentar merah, sebentar pucat. Dia telah
dua kali ditangkis dan kedua kalinya membuktikan bahwa dia yang tardesak, maka
hal ini dianggapnya amat memalukan. Akan tetapi karena masih terheran-heran
mendengar nama gadis itu yang disebut oleh Jeng-ci Sin-touw tadi, dia bertanya,
"Apakah engkau adik Yap Kun Liong...?" pertanyaan yang diajukan dengan ragu-ragu
karena dia sendiri tidak percaya kalau gadis cantik yang kini berani
menantangnya ini adalah adik kandung Kun Liong.
"Benar, akan tetapi aku tidak mempunyai urusan dengan dia," jawab In Hong
dengan suara yang tetap dingin.
Giok Keng melongo, akan tetapi segera dapat menekan keheranannya dan dia
membentak, "Dan kau tadi berani bicara bohong terhadap adikku Bun Houw?"
"Hemm, mengapa tidak kautanya sendiri kepada adikmu yang bagus itu?"
"Yap In Hong! Tahukah kau dengan siapa kau bicara?"
In Hong memandang tajam, dan bibirnya melukis senyum mengejek. "Tentu saja
aku tahu engkau adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai, seorang wanita
yang sombong..." "Bocah kurang ajar!" Giok Keng menggerakkan tangan mencabut pedangnya den
tampak sinar menyilaukan mata ketika Gin-hwa-kiam terhunus.
"Tahan senjata...!" Lie Kong Tek meloncat ke depan, memegang lengan
isterinya den menariknya. "Tidak perlu kita berlarut-larut, apalagi dia bukan
orang lain. Mari kita pergi saja."
Cia Giok Keng dapat terbujuk, akan tetapi mukanya pucat sekali ketika dia
menyarungkan pedangnya dan sebelum pergi, dia memandang tajam kepada In Hong
sambil berkata, "Aku akan minta pertanggungan jawab kakakmu terhadap sikapmu
ini!" Lalu dia membalikkan tubuhnya dan pergi bersama suaminya dari tempat itu,
hanya mengangguk pendek kepada tuan rumah.
In Hong tidak memperdulikan lagi suami isteri itu, dia menengok den mencari-
cari Can Pouw dengan pandang matanya. Ketika melihat bahwa temannya itu tidak
berada di situ, dia lalu berkelebat den meloncat keluar tanpa pamit. Keadaan
pesta itu menjadi agak riuh dan bising karena semua tamu membicarakan peristiwa
yang cukup hebat dan menegangkan, juga aneh itu. Munculnya gadis bernama Yap In
Hong yang berani menentang puteri Cin-ling-pai, yang memiliki ilmu kepandaian
hebat tadi dan ternyata adalah adik dari pendekar Yap Kun Liong, benar-benar
menggegerkan baik fihak golongan hitam maupun golongan putih.
*** "Perlahan dulu, Yap-kouwnio (nona Yap)!" In Hong menghentikan langkahnya,
menengok den melihat bahwa yang memanggilnya itu adalah nenek tua berpakaian
hitam yang menggandeng tangan gadis cantik berpakaian Tibet itu.
In Hong mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang. Tadi dia mencari Can Pouw
tanpa hasil dan setelah mengambil buntalan pakaiannya di rumah penginapan, dia
lalu pergi meninggalkan kota Wu-han tanpa menanti temannya yang entah ke mana
perginya itu. Pula, diapun sudah tidak mempunyai urusan sesuatu dengan pencopet
itu dan dia perlu melanjutkan perjalanannya merantau. Kini, baru saja tiba di
luar kota Wu-han yang sepi, dia disusul oleh nenek berpakaian hitam itu. "Apakah
keperluanmu menyusul aku, Go-bi Sin-kouw?" tegurnya dengan suara dingin.
"Heh-heh-he-he-he!" Nenek itu terkekeh sambil memukul-mukulkan ujung tongkat
bututnya ke atas tanah. "Si Jari Seribu itu bukan hanya panjang tangannya, akan
tetapi juga panjang mulutnya, ha-ha-ha. Tentu dia yang menceritakan kepadamu
tentang namaku dan tentang muridku Yalima ini."
In Hong menjawab, "Memang dia yang menceritakan kepadaku, lantas apa
hubungannya dengan kedatanganmu menyusulku ini?"
"Wah-wah, engkau hebat, dingin dan keras! Semuda ini engkau sudah hebat nona
Yap In Hong. Ketahuilah di antara engkau dan aku masih ada hubungan dekat,
sungguhpun agaknya engkau tidak memperdulikan hubungan keluarga."
In Hong menjadi heran. "Hubungan apakah, Go-bi Sin-kouw?"
"Heh-heh, engkau adik kandung Yap Kun Liong, bukan" Nah, Kun Liong itu
adalah mantuku! Isterinya, Pek Hong Ing, adalah muridku yang tersayang seperti
anakku sendiri." In Hong mengangguk-angguk. "Hemm... begitukah kiranya" Akan tetapi aku tidak
tertarik, Go-bi Sin-kouw, seperti telah kukatakan kepada orang Cin-ling-pai
tadi, aku tidak mempunyai urusan dengan Yap Kun Liong atau isterinya."
Kembali nenek itu tertawa dan mengacungkan ibu jari tangannya. "Bagus...
bagus sekali. Kau memang hebat luar biasa! Aku setuju sekali! Akupun tidak suka
kepada manusia-manusia sombong itu, dan agaknya adiknyapun tentu bukan manusia
baik-baik!" "Subo, Houw-koko adalah seorang laki-laki sejati yang amat baik! Enci In
Hong, aku tidak bisa menerima fitnah yang kau lontarkan kepada kakak Cia Bun
Houw tadi. Dia bukan seorang penggoda wanita, dia seorang jantan yang gagah
perkasa dan sama sekali bukan perayu wanita!" Yalima memprotes dengan suara
keras dan memandang In Hong dengan sepasang matanya yang bulat dan bening indah.
In Hong memandang wajah itu dan harus mengakui bahwa dara remaja ini amat
cantik dan manis. Dia tersenyum mengejek. "Hemm, engkau masih terlalu kecil
untuk mengenal kepalsuan pria, adikku! Engkau memuja laki-laki bernama Cia Bun
Houw itu, dan mengira dia mencintaimu, bukan" Akan tetapi tahukah engkau mengapa
dia dipanggil pulang oleh orang tuanya dari Tibet?"
"Ya, mengapa... enci" Aku tidak tahu mengapa dia pergi meninggalkan aku..."
Yalima bertanya penuh gairah mendengar ada orang tahu tentang urusan kekasihnya
itu. "Dia dipanggil pulang untuk dijodohkan dengan wanita lain, bukan dengan
engkau!" "Aihhhhh...!" Yalima menjerit lirih dan mukanya menjadi pucat. "Ti... tidak
benar itu...!" In Hong tersenyum mengejek. "Kaubilang tidak benar" Kau tahu siapa wanita
yang akan dijodohkan dengan perayumu yang bagus itu" Akulah orangnya! Akan
tetapi aku tidak sudi, apalagi setelah mendengar tentang hubungannya dengan
engkau." "Aihhh...!" Yalima kembali menjerit. "Enci... katakan, di mana dia" Di mana
aku dapat bertemu dengan Houw-ko" Subo, bawalah aku menemui dia..." Dia meratap
dan Go-bi Sin-kouw membentaknya.
"Diamlah dulu, anak cengeng!" Yalima diam dengan muka pucat, matanya seperti
mata seekor kelinci diancam harimau.
"Engkau memang benar kalau menolaknya, Yap-kouwnio. Laki-laki memang mahluk
jahat yang membikin celaka wanita saja. Akan tetapi aku tidak boleh tinggal diam
saja melihat dia yang telah menjadi muridku ini dipermainkan! Maukah engkau
membantuku, kouwnio?"
"Membantu bagaimana?"
"Engkau adalah saksi utama bahwa Cia Bun Houw itu telah berpacaran dengan
muridku Yalima ini, dan yang dijodohkan dengan dia sudah terang-terangan
menolak, bukan?" "Benar! Aku bukan boneka atau binatang yang boleb dijodoh-jodohkan di luar
kehendakku begitu saja."
"Cocok dengan aku, heh-heh-heh! Karena itu aku minta bantuanmu, kouwnio. Aku
hendak menemui wanita galak itu, akan kutuntut agar adiknya itu mengawini Yalima
dan engkau menjadi saksinya bahwa adiknya itu tidak lagi bertunangan denganmu
melainkan sudah bertunangan dengan Yalima muridku. Kemudian aku akan menemui
muridku, Pek Hong Ing, agar membujuk suaminya yaitu kakak kandungmu, agar
membatalkan tali perjodohan antara engkau dan Cia Bun Houw."
In Hong mengerutkan alisnya dan menjawab dengan menjawab dengan ragu-ragu, "Ini... ini... bukan urusanku,
kaulakukanlah sendiri, Go-bi Sin-kouw!"
"Heh-heh-heh... tadinya aku percaya bahwa engkau adalah seorang wanita gagah
dan berhati baja seperti aku di waktu muda dahulu, Yap-kouwnio. Akan tetapi kini
kau ragu-ragu, apakah engkau menyayangkan tali perjodohanmu itu putus?"
"Jangan sembarangan membuka mulut!" In Hong membentak sambil mengepal
tangan. "Heh-heh-heh, aku bukan bermaksud menghina. Akan tetapi kalau kouwnio benar-
benar tidak sudi menjadi jodoh laki-laki palsu dan penggoda wanita itu, tentu
kouwnio akan suka membantu memutuskan ikatan jodoh itu dan memaksa keluarga
laki-laki itu untuk tidak menyia-nyiakan Yalima."
Yalima memang pandai berbahasa Han, akan tetapi percakapan yang agak sulit
ini tidak begitu dimengertinya. hanya dia menduga bahwa mereka membicarakan
tentang ikatan perjodohannya dengan pria yang dicintanya, maka diapun berkata
dengan suara memohon kepada In Hong, "Enci In Hong, harap engkau suka membantu
subo dan menolongku. Aku lebih suka mati kalau tidak dapat bertemu dengan Houw-
koko." Setelah berpikir sejenak sambil menggigit-gigit bibirnya, akhirnya In Hong
mengangguk dan berkata, "Baiklah, aku akan membantumu menemui mereka, akan
tetapi tidak ada persekutuan apa-apa di antara kita, Go-bi Sin-kouw, hanya untuk
urusan pemutusan ikatan perjodohan dan mengalihkan menjadi ikatan perjodohan
Yalima." "Heh-heh-heh, tentu, saja. Akupun hanya akan memperjuangkan hak kaum wanita
agar jangan dijadikan bahan permainan kaum pria!" Nenek yang sudah bangkotan dan
penub pengalaman ini tentu saja segera dapat mengenal watak In Hong yang tidak
suka kepada kaum pria, apalagi karena diapun sudah melihat hiasan burung hong di
rambut dara itu dan menduga bahwa tentu In Hong ini ada hubungannya dengan Giok-
hong-pang yang terkenal sebagai perkumpulan wanita pembenci pria yang kabarnya
dipimpin oleh seorang wanita yang amat tinggi kepandaiannya.
Maka berangkatlah mereka bertiga melakukan perjalanan dan kembali In Hong
mempunyai seorang teman seperjalanan dalam perantauannya, seorang teman yang
jauh berbeda dengan temannya yang pertama yaitu Si Malaikat Copet. Untung di
situ terdapat Yalima yang makin lama makin menarik dan menyenangkan hatinya
karena dara Tibet ini benar-benar murni, wajar, polos dan jujur. Wataknya bersih
sekali dan membuat In Hong menjadi kagum. Dia tidak menjadi heranlah kalau ada
laki-laki seperti putera Cin-ling-pai itu tergila-gila kepada seorang dara
seperti ini, akan tetapi kalau sampai Cia Bun Houw mempermainkan seorang gadis
suci seperti ini, dia akan menghalanginya dan akan memaksa pemuda itu
mengawininya! Dengan adanya Yalima di sampingnya, perjalanan bersama nenek yang
mengerikan itu menjadi menyenangkan juga bagi In Hong. Di lain fihak, Yalima
yang berwatak polos menganggap In Hong seorang wanita yang gagah perkasa dan
berbudi mulia seperti watak kekasihnya, hanya bedanya In Hong adalah seorang
wanita yang amat menaruh perhatian kepadanya dan suka membela kepentingan
hidupnya. Maka dia berterima kasih sekali kepada In Hong dan di dalam hatinya
tumbuh benih persahabatan yang akrab terhadap gadis ini.
*** Apapun juga yang terjadi di dunia inipun terjadilah, tanpa manusia dapat
mencampurinya, mendorongnya atau mencegahnya. Apapun juga yang terjadi di dalam
kehidupan manusia, yang menimpa diri manusia, adalah suatu fakta, suatu
peristiwa yang terjadi, dan apabila kita menghadapi setiap macam peristiwa yang
terjadi kepada kita atau di sekeliling kita sebagai apa adanya, tanpa mencari
kambing hitamnya, tanpa menyalahkan siapapun, hanya menghadapinya dengan tenang
dan waspada, maka akan terbuka semua rahasia, tidak ada rahasia lagi karena kita
akan dapat melihat sejelas-jelasnya peristiwa itu berikut segala sesuatu yang
ada hubungannya dengan peristiwa itu, sebab-sebabnya dan lain sebagainya. Semua
duka dan sengsara tidak ada hubungannya dengan segala peristiwa yang terjadi,
melainkan bersumber di dalam diri pribadi.
Akan tetapi, kita biasanya menghadapi setiap peristiwa tanpa kebebasan ini,
kita selalu mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan, baik kepada orang lain,
kepada diri sendiri, kepada hari dan nasib peruntungan! Kalau kita menghadapi
setiap peristiwa yang betapa hebatnya menimpa kita dengan batin yang bebas,
dengan awas dan memandangnya sebagai satu hal yang terjadi apa adanya, tanpa
menyalahkan atau membenarkan, maka tidak akan timbul penyesalan karene
kesemuanya sudah nampak jelas sehingga tidak ada lagi hal yang dibuat penasaran.
Duka dan dendam timbul karena kita tidak dapat menghadapi setiap peristiwa
sebagai apa adanya, dan kebebasan ini sama sekali bukan merupakan sikap masa
bodoh, bahkan sebaliknya merupakan keadaan yang penuh kewaspadaan setiap saat!
Kota Leng-kok adalah sebuah kota kecil akan tetapi cukup ramai. Pendekar Yap
Kun Liong, tokoh dari cerita Petualang Asmara, tinggal di kota ini, di rumah
yang dahulu menjadi tempat tinggal dan toko obat dari mendiang orang tuanya. Di
kota ini diapun melanjutkan usaha orang tuanya, membuka toko obat bersama
isterinya dan anak mereka, yaitu Yap Mei Lan yang pada waktu itu telah menjadi
seorang dara remaja berusia empat belas tahun yang berwajah manis dan lincah.
Selain Kun Liong, isterinya yang bernama Pek Hong Ing dan Yap Mei Lan, masih
ada dua orang lagi yang tinggal di rumah itu di waktu siang sampai malam setelah
toko obat itu ditutup. Setelah itu, mereka berdua pulang ke rumah masing-masing.


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka berdua ini adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, yang
bertugas sebagai seorang pelayan dan pembantu toko dan juga merupakan seorang
ahli pengobatan yang bekerja sama dengan Kun Liong. Laki-laki ini bernama Giam
Tun dan selain ilmu pengobatan, dia juga mengerti ilmu silat yang lumayan.
Adapun orang kedua adalah seorang wanita setengah tua yang melayani keperluan
rumah tangga keluarga itu, dan juga Khiu-ma ini kalau malam pulang ke rumah
anaknya tak jauh dari tempat tinggal keluarga Yap Kun Liong.
Toko obat itu berjalan cukup baik dan mendatangkan hasil yang cukup. Di
bagian depan merupakan toko, dan di belakang merupakan rumah tinggal yang cukup
luas, bahkan di belakang rumah itu terdapat sebuah taman bunga yang kecil namun
terpelihara rapi dan indah, penuh dengan bunga-bunga yang ditanam dan dipelihara
sendiri oleh Yap Mei Lan.
Mei Lan memperoleh gemblengan ilmu silat dan ilmu surat dari ayah bundanya,
dan tentu saja dalam hal ilmu silat dia dididik oleh ayahnya karena ibunya,
biarpun pada umumnya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, namun
dibandingkan dengan ayahnya masih kalah jauh. Mei Lan adalah seorang dara yang
tekun sehingga dalam usia empat belas tahun, dia telah memiliki tingkat
kepandaian yang cukup tinggi, dan selain dapat membaca dengan lancar dan pandai
pula menulis sajak, juga dia sudah mengerti tentang ilmu pengobatan. Sikapnya
lincah dan gembira sehingga kadang-kadang ayahnya memandangnya dengan hati
terharu, teringat akan ibu kandung anak ini, yaitu mendiang Lim Hwi Sian, yang
lincah jenaka. Pek Hong Ing juga amat mencinta Mei Lan, dianggapnya seperti
anaknya sendiri dan setelah belasan tahun dia tidak juga mempunyai anak, dia
sudah melepaskan harapannya untuk melahirkan anak sendiri, maka kasih sayangnya
terhadap Mei Lan makin bertambah.
Malam itu gelap dan basah. Hujan turun sejak sore tiada hentinya. Karena
telah sebulan lamanya Yap Kun Liong mengunjungi Cin-ling-san setelah mendengar
akan malapetaka yang menimpa Cin-ling-pai, dan karena hari hujan membuat toko
sepi, maka Pek Hong Ing menyuruh tutup toko agar kedua orang pembantunya dapat
pulang tidak terlalu malam. Mei Lan sedang asyik membaca kitab sajak kuno yang
menuturkan tentang perjuangan patriot-patriot di waktu dahulu, sedangkan Hong
Ing sendiri sedang menjahit sebuah baju untuk anaknya. Biarpun Mei Lan sendiri
sudah pandai menjahit, akan tetapi ibunya suka menjahitkan pakaian anaknya ini
dan Mei Lan juga membiarkan ibunya menikmati kesukaan itu.
Giam Tun sudah menutupkan tiam-tang (papan pintu toko) dan baru saja hendak
berpamit kepada nyonya majikannya ketika tiba-tiba di depan pintu berdiri
seorang wanita cantik yang sikapnya seperti orang sedang menahan kemarahan. Giam
Tun adalah seorang pembantu dari Kun Liong yang sudah bertahun-tahun, maka tentu
saja dia mengenal wanita cantik ini dan dengan kaget dia lalu cepat menyambut
dengan sikap hormat dan ramah. "Ahh, kiranya Lie-toanio (nyonya Lie) yang
datang! Silakan masuk... Yap-toanio berada di dalam..."
Mendengar suara Giam Tun ini, Pek Hong Ing cepat keluar dan wajahnya berseri
gembira ketika dia melihat siapa yang malam-malam datang bertamu itu. Kiranya
wanita cantik itu adalah Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai!
"Aihh, enci Giok Keng kiranya! Selamat datang dan selamat malam, mari
silakan masuk ke dalam, enci..." Pek Hong Ing menahan kata-katanya dan wajahnya
yang tadi berseri-seri dan penuh senyum itu menjadi berubah keheran-heranan
ketika melihat betapa tamunya itu memandangnya dengan sikap tak acuh dan matanya
mencari-cari ke dalam. "Mana suamimu" Mana Kun Liong" Aku ingin bertemu dan bicara dengan dia!"
Pek Hong Ing terkejut. Dia memang sudah tahu bahwa watak puteri ketua Cin-
ling-pai ini keras sekali, akan tetapi sekarang nampak jelas bahwa dia sedang
marah sekali sehingga dia merasa tidak enak dan tegang. Namun, sebagai seorang
wanita yang berpandangan luas dan pada dasarnya memang berwatak lembut, Hong Ing
masih dapat mengeluarkan senyum dan suaranya tetap halus.
Mari kita masuk dan bicara di dalam, enci Giok Keng." Dia memegang lengan
tamunya yang menariknya masuk. Giok Keng bersikap kaku, akan tetapi dia
mengikuti nyonya rumah itu masuk ke dalam.
Giam Tun dan Khiu-ma yang menyaksikan sikap tamu ini, menjadi terheran-heran
dan kaget, juga menjadi tidak senang. Mereka saling pandang, kemudian duduk di
ruangan depan itu sambil memasang telinga, mendengarkan suara yang datang dari
ruangan dalam tanpa dapat menangkap jelas kata-kata dua orang nyonya itu.
Setibanya di dalam, Hong Ing lalu bertanya, "Enci Giok Keng, engkau
mengejutkan hatiku. Apakah yang telah terjadi" Mengapa engkau kelihatan marah-
marah, enci" Aku... aku menyesal sekali mendengar tentang peristiwa yang menimpa
Cin-ling-pai, dan suamiku... dia malah belum pulang setelah mendengar berita itu
terus pergi ke sana."
"Hemm, jadi dia tidak berada di rumah" Sia-sia saja kalau begitu
kedatanganku!" kata Giok Keng dengan ketus karena dia kecewa sekali dan makin
marah. Kemarahannya sudah ditahan-tahan sejak dia meninggalkan rumah, tidak
perduli akan cegahan suaminya, langsung saja sekembali mereka dari Wu-han dia
terus pergi mengunjungi Leng-kok untuk memaki-maki Kun Liong karena tingkah adik
kandungnya akan tetapi betapa kecewa dan mendongkol hatinya bahwa orang yang
dicarinya itu tidak berada di rumah.
"Ada urusan apakah, enci" Harap suka memberi tahu kepadaku." Hong Ing
bertanya, hatinya makin tidak enak.
"Bukan urusanmu! Ini urusan antara aku dan Kun Liong sendiri!"
Pada siat itu muncullah Mei Lan. Dara remaja ini memandang tamunya. Sudah
beberapa tahun dia tidak bertemu dengan Giok Keng sehingga dia tidak lagi
mengenal wanita ini. Mendengar ucapan yang ketus dari Giok Keng terhadap ibunya.
Mei Lan yang lincah dan pandai bicara itu cepat mencela.
"Urusan ayah adalah urusan ibu juga, mengapa ada urusan ayah yang tidak
boleh diketahui ibu" Bibi ini siapakah datang-datang marah kepada ibu dan
sebagai tamu semestinya menghormati nyonya rumah!"
"Mei Lan, jangan kurang ajar terhadap bibi Giok Keng!" bentak Hong Ing.
Gadis cilik itu kini memandang kepada tamunya dengan sepasang mata bersinar-
sinar. "Ah, kiranya bibi Giok Keng! Maafkan saya, bibi, akan tetapi lebih-lebih
kalau bibi adalah bibi Giok Keng yang sudah saya banyak dengar dari ayah ibu
sebagai seorang wanita pendekar, maka sikap ini sungguh tidak selayaknya. Kalau
ada urusan sesuatu dengan ayah harap bibi suka memberi tahu kepada ibu, karena
apa yang menjadi urusan ayah berarti menjadi urusan ibu pula dan sebaliknya."
"Engkau anak haram yang kurang ajar!" Giok Keng tak dapat menahan
kemarahannya lagi. "Enci Giok Keng...!" Hong Ing menjerit dengan muka pucat.
Mei Lan memandang ibunya, lalu dengan mata penuh penasaran dia memandang
Giok Keng, bahkan melangkah dekat, sedikitpun tidak takut. "Bibi Giok Keng, di
dalam kitab-kitab aku membaca tentang pendekar-pendekar dan pahlawan-pahlawan
wanita yang gagah perkasa, bersikap lemah-lembut, dan berbudi mulia, tetapi
kenapa bibi begini kasar dan suka memaki orang" Apa maksud bibi memaki saya
sebagai anak haram?"
"Engkau kecil-kecil sudah kurang ajar! Dasar keturunan ayahmu yang juga
tidak baik! Bibimupun manusia tak tahu sopan santun! Bibimu itu perlu dihajar
dan akan kuhajar kalau ayahmu tidak bisa menghajarmu!"
"Bibi bohong! Aku bukan anak haram! Bibi tukang fitnah!"
"Mei Lan...! Enci Giok Keng...!" Hong Ing menjerit lagi penuh kengerian.
"Kau berani bilang aku bohong, ya" Kaukira engkau ini apa" Engkau ini memang
anak haram engkau anak ayahmu dari hubungan gelap dengan seorang wanita, dan kau
bukan anak ibumu!" "Enci...! Kau...! terlalu...!" Hong Ing menjerit lagi dan melangkah maju,
bukan hendak menyerang melainkan hendak mencegah Giok Keng bicara terus. Akan
tetapi Giok Keng salah menduga, mengira bahwa Hong Ing akan menyerangnya. Maka
tangannya bergerak mendorong cepat sekali dan Hong Ing terhuyung ke belakang.
Mei Lan memandang ibunya. Mukanya pucat sekali, matanya liar, "Ibu...!
Ibu... katakan bahwa bibi ini bohong!"
Hong Ing terisak dan Giok Keng yang sudah meluap kemarahannya itu berkata,
"Ya, katakanlah aku bohong! Hendak kulihat siapa tukang bohong, siapa menyimpan
rahasia busuk, keluargaku ataukah keluargamu!" Dia marah sekali teringat akan
penghinaan yang merasa diterimanya dari In Hong di tempat pesta.
"Enci... ahhh... ya Tuhan, mengapa terjadi semua ini" Mei Lan... ke sinilah,
jangan dengarkan dia..."
Akan tetapi Mei Lan memandang ibunya dengan sinar mata aneh. "Ibu, katakan,
benarkah aku bukan anak kandung ibu" Benarkah aku anak... anak haram?"
"Mei Lan..." keluh ibunya.
"Katakanlah, ibu! Katakan!" Anak itu menjerit-jerit.
Hong Ing mengeluh lalu mengangguk. "Engkau bukan anak kandungku... ya Tuhan,
mengapa begini...?" Terdengar jerit melengking dan disusul isak tangis, Mei Lan meloncat dan
lari keluar dari tempat itu.
"Mei Lan...!" Hong Ing meloncat bangun kemudian menghadapi Giok Keng dengan
mata betapi. "Enci Giok Keng, engkau kejam! Engkau merusak hidupnya!Sungguh
tidak kusangka engkau akan sekejam ini. Biarlah, engkau atau aku yang mati...!"
Dengan marah sekali Hong Ing yang dilanda kedukaan hebat itu lalu menyerang Giok
Keng. Giok Keng menangkis dan balas memukul. Pukul-memukul terjadilah di ruangan
dalam itu dan keduanya yang dikuasai kemarahan melakuken serangan-serangan yang
dahsyat. "Eh, eh... apa yang terjadi ini" Toanio, jangan berkelahi! Lie-toanio..."
Khiu"ma yang tidak tahu tentang ilmu silat itu dengan nekat mendekati mereka
dengan maksud hendak memisah. Akan tetapi sebuah tendangan mengenai perutnya dan
wanita ini terlempar dan terbanting roboh, pingsan!
"Lie-toanio, kau sungguh keliru. Seorang tamu mana boleh..." Baru sampai di
sini saja Giam Tun mencela, sebuah tamparan mengenai lehernya dan diapun
terpelanting dan pingsan pula.
"Enci Giok Kong, kau seperti kemasukan iblis!" Hong Ing memaki marah dan
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memukul roboh lawannya. Akan
tetapi, memang pada dasarnya dia kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Giok
Keng. Setelah bertanding di dalam ruangan itu, membuat meja kursi jungkir-balik
tidak karuan, sebuah tamparan tangan kiri Giok Keng mengenai bawah telinga
nyonya rumah dan Pek Hong Ing terguling roboh dan tak sadarkan diri.
Giok Keng mengebut-ngebut pakaiannya, agak puas hatinya, merasa bahwa dia
telah dapat membalas rasa penasarannya karena dihina oleh adik Kun Liong di
depan orang banyak di tempat pesta. Dia tahu bahwa tiga orang itu hanya pingsan
dan tidak terluka parah, maka setelah mendengus marah dia lalu meloncat dan
keluar dari rumah itu. *** Kalau kita bicara tentang sebab akibat, maka segala akibat apapun yang
terjadi di dalam dunia menimpa diri kita adalah disebabkan oleh diri kita
sendiri. Oleh karena itu seorang bijaksana tidak akan memandang akibat,
melainkan selalu waspada dan sadar akan segala gerak-gerik dari setiap pikiran
dan perbuatan dirinya sendiri lahir batin karena dari setiap pikiran den badan
itulah yang menjadi sebab dari semua akibat, yang penting adalah mengenal diri
pribadi sehingga setiap detik kita dapat waspada akan semua pikiran dan sikap
kita, baik gerak tubuh maupun kata-kata. Yang penting adalah caranya, bukan
tujuannya, karena tujuan tidak Akan jauh dari caranya, atau akibat tidak berbeda
dengan sebabnya! Kalau caranya benar, maka akibat atau tujuan dari cara itu
bukan merupakan persoalan lagi. Dan cara itu, cara hidup atau setiap gerak-gerik
hati pikiran den kata-kata perbuatan kita seat demi saat barulah benar apabila
terbebas dari segala macam bentuk kekotoran yang timbul dari nafsu keinginian
pribadi, dan kekotoran ini lenyap oleh kesadaran den pengertian yang timbul pula
dari pengawasan kita, pengenalan kita terhadap diri sendiri setiap saat.
Cara yang tidak benar pasti akan menjadi sebab terjadinya akibat yang tidak
benar pula, ini sudah pasti, sungguhpun cara itu sudah terlupa oleh kita, sudah
tersembunyi di alam bawah sadar. Akan tetapi, pengertian ini bukan berarti bahwa
kita lalu sengaja menggunakan cara yang benar untuk memperoleh akibat yang
benar, kalau demikian maka cara itu sudah menjadi tidak benar karena mengandung
pamrih keuntungan pribadi sehingga menjadi palsu. Kalau demikian, maka hanya
akan terbentuk lingkaran setan belaka, yaitu sebab menimbulkan akibat, dan
akibat menjadi sebab pula dari akibat yang lain lagi! Inilah apa yang dinamakan
hukum karma, tanpa kita buat sendiri dengan merangkaikan kemarin memasuki hari
ini untuk sampai kepada esok hari! Dan ini akan berulang terus dan kita terseret
di dalamnya! Oleh karena itu, yang penting adalah saat ini, sekarang ini! Setiap
saat awas terhadap diri sendiri, bukan dalam arti kata menekan atau
mengendalikan, hanya waspada tanpa pamrih, tanpa apa-apa, hanya waspada saja.
Kewaspadaan setiap saat ini yang akan bekerja sendiri, tanpa pamrih dari si aku.
Setiap kali bencana menimpa diri kita, keluarga kita, kita akan merasa tidak
adil. Kematian orang yang kita kasihi, malapetaka yang menimpa membuat kita
menjadi miskin, dan sebagainya, membuat kita merasa prihatin dan sengsara. Kita
tidak membuka mata bahwa mala petaka itu setiap saat memang ada, menimpa kepada
siapapun juga dan selalu akan terasa ada kesengsaraan dan kedukaan selama tidak
terjadi perobahan hebat di dalam batin kita. Karena kesengsaraan dan kedukaan
itu timbul dari dalam pikiran kita sendiri!
Pada hari itu terjadi geger di kota Leng-kok terutama sekali di rumah Yap
Kun Liong. Pendekar ini pagi-pagi sekali memasuki kota Leng-kok dan langsung dia
menuju ke rumahnya. Semenjak hari kemarin, hatinya selalu tidak enak. Hal ini
tadinya disangkanya sebagai akibat kunjungannya ke Cin-ling-pai dan mendengar
tentang malapetaka yang menimpa keluarga Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Dia
menghadap pendekar yang sudah dianggapnya seperti pengganti ayahnya sendiri,
juga gurunya, dan dengan tegas menyatakan kesediaannya untuk pergi mencari
kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang dan membuat perhitungan dengan Lima
Bayangan Dewa. Namun dengan tulus Cia Keng Hong menolaknya, mengucapkan terima
kasih dan menyatakan bahwa urusan itu adalah urusan keluarganya, urusan pribadi
dan sekarang Cia Bun Houw sudah pergi, bersama empat orang murid kepala Cin-
ling-pai, untuk melakukan tugas itu secara terpencar.
Kun Liong maklum bahwa orang tua itu sedang mengalami tekanan batin yang
hebat dan menghiburpun tidak ada artinya. Maka dia tidak tinggal diam di Cin-
ling-pai, lalu berpamit dan mulai saat itulah hatinya selalu terasa tidak enak.
Lebih-lebih lagi malam tadi, dia gelisah sekali sehingga malam-malampun dia
tidak mau berhenti dan melanjutkan perjalanan pulang ke Leng-kok. Keadaan Cin-
ling-pai membuat hatinya seperti terhimpit juga dan dia ingin lekas-lekas
bertemu dengan isterinya karena di dunia ini hanya ada satu orang yang akan
dapat meringankan perasaannya apabila sedang terhimpit oleh keadaan, orang itu
adalah Pek Hong Ing, isterinya tercinta.
Kun Liong terkejut ketika melihat banyak orang berkumpul di rumahnya dan
toko obatnya tidak dibuka seperti biasa. Matanya terbelalak bingung ketika
melihat kain putih di pintu rumah, putih berkabung tanda bahwa ada yang mati.
Lebih-lebih lagi ketika lapat-lapat dia mendengar suara tangis seorang wanita
yang dikenalnya sebagai suara Khiu-ma! Jantungnya seperti berhenti berdetak,
kakinya seperti mendadak kehilangan tenaganya dan dia berjalan menghampiri pintu
rumahnya dengan muka pucat dan kaki terhuyung. Beberapa orang tetangga yang
berada di depan, begitu melihat dia kontan menangis tersedu-sedu, wanita-wanita
sesenggukan dan tidak ada yang berani memandangnya.
"Ada apa...?" Suara ini jelas keluar dari mulutnya, akan tetapi dia sendiri
tidak mendengarnya, seolah-olah suaranya telah lenyap ditelah kecemasan yang
mengerikan. Dia melangkah masuk. Banyak orang di dalam dan kembali mereka ini menangis
begitu melihatnya. Seorang wanita tetangga yang amat baik, seperti keluarga
sendiri, menubruk kakinya, menjerit dan menangis sesenggukan tanpa bisa
mengeluarkan suara. "Ada apa...?" Kini suara yang keluar dari tenggorokan Kun Liong terdengar
keras sekali, menjerit penuh ketakutan, penuh kecemasan, penuh bayangan yang
bukan-bukan. Tidak ada seorangpun menjawab akan tetapi semua mata ditujukan ke arah
kamarnya dari mana terdengar tangis Khiu-ma yang jelas sekali sekarang, diiringi
suara keluh kesah seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai suara Giam Tun.
"Apa yang terjadi...?" Kun Liong melangkah masuk ke pintu kamarnya dan tiba-
tiba dia berdiri terpaku di ambang pintu, mukanya pucat sekali seperti mayat dan
matanya terbelalak memandang ke atas pembaringan di kamar itu, seolah-olah dia
tidak mau percaya akan apa yang dilihatnya. Dikejap-kejapkannya matanya, lalu
digosok-gosoknya dengan kepalan tangan yang gemetar, akan tetapi tetap saja
pemandangah itu tidak berobah.
"Taihiap... uhhuu-hu-huuuuk...!" Giam Tun menoleh dan hanya dapat
mengeluarkan seruan demikian , karena dia sudah berlutut dan menangis
bergulingan diatas lantai. Khiu-ma menjerit.
"Apa ini..." Apa ini..." Bakaimana..." Kenapa...?" Kun Liong makin
terbelalak, bibirnya gemetar, banyak kata-kata yang keluar tanpa suara, lalu
ditamparnya kepalanya sendiri untuk menyadarkannya dari mimpi buruk ini. Ini
tentu mimpi buruk, bantahnya. Tak mungkin! Tidak mungkin Pek Hong Ing, isterinya
tercinta, kini rebah di atas pembaringan itu dengan mata meram, bibir terkatup
dan pakaian penuh darah yang sudah mengental. Tak mungkin!
Akan tetapi tetap saja pemandangan itu tidak berobah. Dia meloncat ke depan,


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlutut di pinggir pembaringan untuk memandang lebih tegas lagi. Dirabanya pipi
isterinya. Dingin! Tangannya ditarik kembali seolah-olah dia menyentuh api,
ditatapnya lagi wajah isterinya, lalu diliriknya dada yang terluka bekas tusukan
pedang. Tiba-tiba dia menjerit dan semua orang yang berada di dalam kamar itu
terjungkal, ada yang pingsan karena jerit itu mengandung kekuatan yang maha
dahsyat. Tubuh pendekar itu terkulai, kepalanya diguncang keras-keras untuk
mengumpulkan tenaga, dia memandang lagi, dirangkulnya mayat itu dan kini dia
mengeluh, lalu merintih perlahan dan tubuhnya terkulai lemas, terjatuh pingsan
di bawah pembaringan! Gegerlah kamar itu. Geger dari mereka yang menolong orang-orang pingsan, dan
ada pula yang menggotong tubuh Kun Liong, diletakkan di atas dipan di dalam
kamar itu. Seperti mayat saja tubuh pendekar ini. Wajahnya sepucat wajah jenazah
isterinya. Dadanya tidak bergerak seolah-olah napasnya sudah putus.
Giam Tun yang tadi tidak pingsan oleh jerit melengking tadi, hanya roboh
terguling dan menggigil kini mendekati majikannya. Sebagai seorang ahli
pengobatan dia tahu bahwa majikamya mengalami hantaman batin yang amat hebat.
Dengan bercucuran air mata dia lalu mengambil obat dalam botol dan menggosok-
gosokkan obat yang berbau keras itu di depan hidung majikannya. Semua orang
memandang dengan terharu dan terutama kaum wanita tetangga mereka terisak-isak
pilu. Kun Liong berbangkis dan membuka matanya. Begitu siuman, dia memandang liar.
Dan cepat dia bangkit duduk. "Tidak mungkin! Hong Ing...!" Dia menoleh ke
pembaringan dan meloncat. Berlutut di dekat jenazah isterinya. "Tidak mungkin!
Sudah gilakah aku" Eh, Giam-lopek, sudah gilakah aku" Hong Ing mati" Tidak
mungkin...!" Dia memeluk isterinya, meraba-raba, dan memeriksa luka di ulu hati
itu, luka yang menembus sampai ke punggung!
"Hong Ing... bagaimana ini...?"
"Taihiap.... harap tenangkan hati, taihiap..." Giam Tun berkata dengan suara
gentar. "Apa..." Tenang..." Keluarlah, harap semua keluar... biarkan aku sendirian
berdua dengan isteriku!"
Giam Tun lalu memberi isyarat kepada semua tetangga untuk keluar. Mereka
semua menanti di luar, tidak ada yang bicara, yang terdengar hanya isak tangis.
Setelah semua orang pergi, Kun Liong merangkul leher isterinya, menciumi
muka yang sudah dingin itu, mengelus pipinya, dagunya, rambutnya sambil bercuran
air mata. "Hong Ing... isteriku... pujaanku... mengapa begini..." Mengapa...?"
Orang-orang di luar hanya mendengar suara pendekar itu puluhan kali
mengajukan pertanyaan "mengapa" itu dan suara ini makin lama makin parau
bercampur isak, membuat mereka menjadi terharu dan ikut pula menangis
Dengan pengerahan kekuatan yang amat hebat, barulah Kun Liong dapat
menguasai dirinya. Lebih dari tiga jam dia menangisi mayat isterinya. Kemudian
dia bangkit, lalu melangkah keluar, dan berdiri di pintu, seperti mayat hidup!
Wajahnya menjadi pucat sekali tanpa ada bayangan darah, matanya sayu tanpa
sinar, mulutnya seperti orang menahan rasa nyeri, yang hebat dan dia seperti
orang yang kehilangan ingatan, berdiri di luar pintu, dengan mata kosong
memandang jauh melampaui orang-orang yang kumpul di situ.
"Taihiap...!" Giam Tun berseru dan maju berlutut.
Seruan ini menyadarkannya. Dia mengusap air matanya dengan punggung kepalan
kedua tangannya, kanan kiri seperti seorang anak kecil kalau menangis. Khiu-ma
menyeret sebuah kursi dan Kun Liong lalu menjatuhkan diri duduk di atas kursi
itu. "Paman Giam, Khiu-ma, ceritakanlah...! Tapi lebih dulu... mengapa aku tidak
melihat Mei Lan menangisi jenazah ibunya?" Berkata demikian, air matanya kembali
bercucuran. Dengan suara meratap tangis, Khiu-ma berkata, "Siocia juga telah pergi sejak
malam tadi, entah ke mana dan entah mengapa... tapi tentu dia yang
menyebabkannya, dia yang membunuhnya... dia wanita yang tidak berperikemanusiaan
itu..." "Diamlah Khiu-ma!" Giam Tun membentak wanita yang mulai histeris itu dan
Khiu-ma menundukkan mukanya, terisak-isak.
"Kami berdua juga masih bingun memikirkannya, taihiap." Giam Tun mulai
bercerita dan suaranya sudah tenang setelah dia melihat majikannya juga mulai
tenang kembali. "Ceritakan yang jelas sejak semula, apa yang telah terjadi. Dan saya minta
dengan hormat kepada semua saudara sudilah menanti di ruangan depan agar saya
dapat bicara dengan paman Giam Tun."
Para tetangga itu mengundurkan diri, keluar dan memberi kesempatan kepada
pendekar itu untuk mendengar penuturan Giam Tun karena mereka semua sudah
mendengar persoalan itu. Dengan panjang lebar dan jelas Giam Tun lalu menuturkan tentang kunjungan
nyonya Lie Kong Tek, puteri dari ketua Cin-ling-pai malam tadi ketika baru saja
toko ditutup. "Kedatangannya aneh sekali, taihiap. Begitu datang dia marah-marah.
Nyonya... eh, mendiang..." Giam Tun merasa lehernya tercekik ketika menceritakan
nyonya majikannya. "Paman Giam, kita harus dapat menghadapi kenyataan. Isteriku telah mati, kau
bersikaplah tenang agar ceritamu jelas," Kun Liong berkata dengan suara lirih.
"Maaf, taihiap." Giam Tun menarik napas panjang melegakan dadanya. "Nyonya
menyambutnya dengan ramah, dan menyabarkannya, bahkan menariknya untuk masuk ke
dalam. Lie-toanio itu datang-datang menanyakan taihiap dengan cara yang kasar
sekali. Setelah keduanya masuk, tentu saja saya dan Khiu-ma tidak berani ikut
masuk, hanya mendengarkan dari luar, akan tetapi, tidak terdengar jelas apa
percakapan mereka. Kemudian kami mendengar ribut-ribut seperti orang bertengkar.
Kami masih belum berani masuk, hanya kami mendengar bahwa yang bertengkar itu
adalah suara Lie-toanio dan suara siocia. Kemudian, kami berdua melihat siocia
berlari keluar sambil menangis. Kami memanggil-manggilnya, akan tetapi siocia
lari cepat sekali dan lenyap di dalam kegelapan malam. Kami bingung, lalu
mendengar ribut-ribut di dalam. Kami berdua lalu memasuki ruangan dalam dan kami
melihat nyonya sedang bertempur dengan Lie-toanio!"
Kun Liong mengepal tinju tangannya. Dia penasaran, dan terheran-heran. Apa
sebenarnya yang terjadi" Seperti dalam mimpi saja dia mendengar betapa isterinya
bertempur dengan Giok Keng. Hal yang amat aneh dan mustahil kedengarannya!
"Khiu-ma berusaha melerai, akan tetapi Lie-toanio memukulnya sehingga Khiu-
ma roboh pingsan. Saya lalu maju menegurnya, akan tetapi sayapun dipukulnya dan
saya tidak tahu apa-apa lagi, kemudian... kemudian... Khiu-ma, kau sadar lebih
dulu daripada aku, ceritakanlah."
Dengan suara megap-megap Khiu-ma melanjutkan cerita rekannya. "Saya... Saya
sadar dengan kepala pening dan pertama-tama yang saya ketahui adalah bahwa saya
rebah di lantai dan ruangan ini morat-marit. Lalu saya teringat semuanya, saya
bangkit berdiri dan... dan... saya melihat nyonya... rebah di lantai pula...
mandi darah..." Kun Liong memejamkan matanya untuk mencoba membayangkan apa yang terjadi,
tiba-tiba, seperti halilintar datangnya, Khiu-ma dan Giam Tun berkata nyaring.
"Dia yang membunuhnya, wanita kejam itu yang membunuh nyonya!"
"Benar, siapa lagi kalau bukan Lie-toanio!" Giam Tun berkata keras.
"Diam!" Kun Liong membentak, membuka matanya lalu sadar bahwa dia bersikap
keras terhadap dua orang pembantunya yang setia itu. "Maaf, paman Giam dan Khiu-
ma... eh, bagaimana kalian dapat menduga babwa nyonya tewas oleh Lie-toanio?"
Dia lalu bertanya seperti seorang anak bodoh bertanya kepada orang-orang dewasa
yang lebih mengerti. Memang Kun Liong merasa bingung dan bodoh pada seat itu.
Segalanya berjalan begitu tidak masuk akal sungguhpun penuturan itu keluar dari
mulut dua orang pembantunya yang tak mungkin berani berbohong. Baru membayangkan
isterinya cekcok dengan Giok Keng saja sudah merupakan hal yang sukar dipercaya,
apalagi isterinya itu sampai bertanding dengan Giok Keng! Biarpun dia dapat
menduga bahwa andaikata bertanding sekalipun isterinya akan kalah setingkat,
akan tetapi siapa dapat percaya bahwa Giok Keng membunuh isterinya"
Taihiap, tidak ada siapa-siapa lagi di sini! Dan yang bertanding dengan
nyonya adalah Lie-toanio. Dia kelihatan marah besar sejak datang. Siapa lagi
kalau bukan dia yang melakukan pembunuhan itu?"
"Dan ada beberapa orang tetangga mengatakan bahwa mereka melihat
berkelebatnya bayangan hitam yang jelas adalah bayangan seorang wanita
sungguhpun mereka tidak melihat mukanya karena gelap di luar. Ada pula yang
melihat bayangan wanita meloncat ke atas genteng seperti tergesa-gesa. Sudah
jelas bahwa nyonya keji itulah yang membunuh..." Khiu-ma memperkuat keterangan
Giam Tun. Kun Liong menjadi bingung sekali. Pukulan batin itu terlalu hebat baginya
dan bertubi-tubi datangnya malapetaka itu. Isterinya yang tercinta mati
terbunuh! Anaknya minggat dan tidak berhasil ditemukan ketika dicari-cari. Dan
menurut kesaksian dua orang pembantunya, pembunuh isterinya adalah Cia Giok
Keng! Kekuatan batinnya goyah dan pendekar ini selalu berdiam di kamar
isterinya, merenungi wajah isterinya yang sudah menjadi mayat itu seperti orang
linglung. Segala pertanyaan dua orang pembantunya yang mengurus perawatan
jenazah, dibantu oleh para tetangga, hanya ditanggapi dengan anggukan kepala
saja. Semalam suntuk dia menjaga jenazah isterinya. Wajah itu demikian cantik,
demikian tenang dan penuh damai, akan tetapi demikian pucat dan kehilangan
cahaya kehidupan. Tidak teringat olehnyo segala sesuatu, baik anaknya, maupun
pembunuh isterinya, atau apapun juga, yang diketahui hanya bahwa isterinya telah
mati! Cahaya hidupnya telah padam! Sumber kebahagiaannya telah kering!
Semenjak mendengarken cerita kedua orang pembantunya sampai berjalan dengan
muka tunduk di belakang iring-iringan jenazah ketika isterinya dikuburkan, Kun
Liong tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun. Semua pengurusan penguburan dan
penyambutan para tamu yang ikut berduka cita dilakukan oleh kedua orang pembantu
itu. Kun Liong menjadi seperti mayat hidup. Dengan mata kosong dia melihat
betapa peti jenazah isterinya dimasukkan lubang kemudian diuruk dengan tanah
sampai hanya tampak gundukan tanah tinggi. Dan setelah semua pengiring jenazah
pulang Kun Liong masih saja berlutut di depan kuburan isterinya.
"Taihiap, semua sudah selesai, marilah kita pulang, taihiap..." Giam Tun
berkata membujuk tuannya. Khiu-ma hanya mengusap air matanya, terharu dan
kasihan sekali kepada Kun Liong yang begitu pucat dan kurus, rambutnya kusut dan
matanya kosong. Dia seperti mayat hidup saja.
Betapapun kedua orang yang setia itu membujuk, Kun Liong tidak menjawab,
hanya menggeleng kepala. Akhirnya mereka takut kalau majikan mereka marah, maka
mereka berpamit untuk mengurus rumah dan Kun Liong mengangguk.
Kini Kun Liong tinggal seorang diri di kuburan isterinya, duduk di atas
tanah dan sampai berjam-jam lamanya memandang ke angkasa. Seolah-olah tampak
olehnnya wajah isterinya tersenyum-senyum dan bersembunyi di antara awan, dan
kadang-kadang dia melihat isterinya berlari-larian berkejaran dengan awan yang
mencipta bermacam bentuk yang aneh. Kemudian, pandang matanya yang sudah tidak
lumrah manusia biasa karena dikuasai oleh kedukaan yang begitu mendalam,
sehingga seolah-olah terlepas dari penguasaan dirinya itu seperti melihat
isterinya bertanding dengan seorang wanita di antara awan puti, kemudian
isterinya terpelanting roboh.
"Ouhhh...!" Tanpa disadarinya, Kun Liong mencengkeram tanah dan bayangan itu
lenyap tertutup awan yang berarak. Lalu timbul kembali, kini dia melihat
bayangan seorang wanita yang tidak jelas siapa menggunakan pedang menusuk dada
isterinya yang masih rebah terlentang.
"Heiii...!" Kun Liong berteriak sambil melompat bangun, seolah-olah dia
hendak terbang ke angkasa untuk menolong isterinya. Akan tetapi dia terbanting
kembali ke atas tanah. "Hong Ing... ahhh, Hong Ing, isteriku... ceritakanlah, siapa yang membunuhmu
dan mengapa" Benarkah dia Giok Keng...?" dia mengeluh sambil menubruk gundukan
tanah kuburan isterinya dan tinggal menelungkup seperti itu sampai hujan turun!
"Duhai... berat nian
derita hidup penuh sengsara
ditinggal pergi orang tercinta
seorang diri sunyi dan hampa.
Ke mana harus mencarimu, kekasih"
bila kita dapat saling bersua"
hidup tanpa cinta apa artinya"
dunia tanpa matahari... gelap gulita!" Malam yang gelap pekat dan basah oleh hujan lebat. Sunyi menyeramkan di
tanah pekuburan itu, sunyi yang mencekam, kesunyian yang akan menjadi amat
mengerikan dengan bayangan-bayangan tentang iblis, setan dan siluman, tentang
orang-orang mati yang hidup kembali, tentang roh penasaran yang berkeliaran,
rangka-rangka manusia yang berjalan-jalan mencari mangsa. Penggambaran khayal
manusia yang membawa-bawa alam kesengsaraan sampai sesudah mati.
Kesengsaraan akan SELALU ada selama kita menonjol-nonjolkan diri pribadi,
karena segala bentuk kesengsaraan adalah buatan kita sendiri, buatan pikiran
kita sendiri! Kesengsaraan bukanlah suatu keadaan, melainkan suatu bayangan yang
direka-reka oleh pikiran. Kesengsaraan timbul dari perasaan iba diri, yaitu
merasa kasihan kepada diri sendiri, merasa betapa dirinya paling celaka. Apabila
kita bebas dari penonjolan keakuan, bebas dari perasan iba diri, maka segala
macam peristiwa yang terjadi atas diri kita, dapat kita hadapi dengan wajar dan
BUKAN lagi merupakan kesengsaraan. Yang sengsara itu bukap KEADAANNYA melainkan
hatinya, dan ini merupakan permainan pikiran kita sendiri. Orang akan berduka
kalau sang pikiran mengenangkan segala sesuatu tentang dirinya yang ditinggalkan
kesenangan dan ditimbuni ketidaksenangan, meremas-remas hati, dan perasaannya
sendiri dengan rasa iba hati, kasihan kepada diri sendiri, kepada orang atau
benda yang kita sayang, dan merasa sengsara.
Malam gelap pekat dan hujan turun deras diterima sebagai sesuatu yang tidak
menyenangkan oleh manusia, sebagai sesuatu yang tidak baik dan buruk. Hanya
batin yang bebas dari perbandingan saja akan melihat bahwa di dalam segala
sesuatu terdapat kesempurnaan dan kebenaran. Di dalam malam gelap dan hujan
lebatpun terdapat kesempurnaan dan kebenaran, terdapat kemanfaatan yang tak
terpikirkan oleh ingatan manusia yang hanya mencari senang.
Sunyi melengang malam itu di tanah pekuburan. Bahkan burung hantupun
bersembunyi dan mencari tempat perlindungan dari air hujan. Yang terdengar hanya
suara hujan yang setiap detik berubah, suara yang hidup diseling keheningan yang
syahdu. Kalau pada seat itu ada orang biasa yang berada di dekat tempat itu, tentu
dia akan lari tunggang langgang dan nekat menempuh hujan ketika dia melihat
cahaya kecil bergerak-gerak ke kanan kiri di dalam kabut air hujan, makin lama
makin mendekati tanah kuburan itu. Cahaya ini makin dekat dan tampak kini
bayangan hitam yang besar dan aneh sekali bentuknya. Dari pinggang ke bawah
seperti bayangan orang biasa yang melangkah perlahan-lahan, selangkah demi
selangkah. Akan tetapi dari pinggang ke atas amat luar biasa, membesar dan
bulat. Segala macam bentuk setan hanya ada kalau DIADAKAN oleh pikiran kita
sendiri. Banyak memang pengakuan orang-orang yang pernah melihat setan, akan
tetapi sudah pasti sekali bahwa yang dilihatnya itu tentulah setan-setan seperti
yang pernah dikenalnya, yaitu melalui pendengaran cerita, melalui gambar-gambar
atau dongeng-dongeng orang tua, pendeknya tentu yang dilihatnya itu adalah
gambaran yang sudah ada di dalam ingatannya! Pikiran dapat mempengaruhi semua
anggauta badan, terutama sekali mata dan telinga. Kalau pikiran sudah mencekam
kita dengan gambaran-gambaran tentang setan-setan yang menakutkan dan
mengerikan, maka melihat bayangan pohonpun sudah dapat menciptakan gambaran
setan itu, mendengar suara burung malampun sudah dapat menciptakan gambaran yang
dicetak oleh pikiran kita sendiri. Karena itu, kita harus awas dan sadar
terhadap tipu muslihat yang dilakukan oleh sang pikiran yang lincah dan cerdik
seperti monyet itu. Setelah dekat benar, barulah tampak bahwa bayangan mengerikan itu bukan lain
adalah kakek Giam Tun yang berjalan perlahan-lahan, tangan kanan memegang sebuah
lentera, tangan kiri memegang sebuah payung. Dengan menggigil kedinginan, juga
oleh rasa seram, kakek ini memaksa kakinya melangkah perlahan-lahan memasuki
pintu gerbang tanah pekuburan. Malam terlalu gelap ditambah kabut air hujan,
maka penerangan lentera itu belum cukup kuat sinarnya untuk menembus kegelapan.
Hanya karena hafal saja kakinya melangkah satu-satu menuju ke tempat di mana
nyonya majikannya dikubur sore tadi.
Bulu tengkuknya meremang. Hati siapa tidak akan ngeri memasuki tanah
pekuburan sedangkan nyonya majikannya baru sore tadi dikubur" Akan tetapi, rasa
hutang budi yang mendatangkan rasa sayang dan setia kepada majikannya membuat
kakek ini nekat memberanikan hatinya untuk mencari majikannya yang sampai malam
hujan itu belum juga pulang.
"Taihiap...!" Suara yang keluar dari mulut Giam Tun ini menggema ditimpa
suara hujan sehingga dari jauh terdengar lain, bunyinya seperti rintihan yang
keluar dari dalam satu di antara gundukan-gundukan tanah kuburan itu.


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giam Tun memanggil beberapa kali dan ketika masih saja belum ada jawaban
padahal sinar lenteranya sudah menimpa tubuh Kun Liong yang menelungkup di atas
gundukan tanah kuburan baru itu, Giam Tun terkejut setengah mati. Tersaruk-saruk
dia melanggah maju, payung dan lentera itu berguncang karena seluruh tubuhnya
menggigil. Kun Liong berada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dia merasa seperti
sedang berperahu dengan isterinya dan isterinya demikian cantik dan bahagia,
tersenyum dan memandang kepadanya penuh dengan sinar mata mesra yang mengandung
kasih sayang seperti kalau biasa isterinya memandangnya. Akan tetapi, tiba-tiba
air sungai bergelombang dan perahu itu terbalik! Dia melihat isterinya hanyut
dibawa air sungai. Sia-sia saja dia berusaha berenang mendekati, makin lama
isterinya makin jauh. "Hong Ing...!" dia menjerit.
"Suamiku... kaucari Mei Lan...! Cari Mei Lan...!"
Hanya suara teriakan isterinya menyuruh dia mencari Mei Lan itu yang
terdengar kini. Dia tidak ingat lagi bahwa tadi Mei Lan juga ikut di dalam
perahu. "Taihiap... bangunlah... kita perlu mencari nona Mei Lan...! Kita harus
mencari nona Mei Lan...!"
Kun Liong menggerakkan tubuhnya dan menoleh, matanya silau oleh sinar
lentera itu dan dia melihat wajah Giam Tun di atas lentera, wajah yang penuh iba
dan yang berkata dengan suara penuh permohonan, "Pulanglah, taihiap, nona Mei
Lan belum juga datang, kita perlu mencarinya...!"
"Hong Ing... Mei Lan...!" Kun Liong mengeluh, teringat akan "mimpinya" dan
dia lalu barigkit duduk di atas tanah yang becek. Pakaiannya basah kuyup dan
kotor penuh lumpur, juga mukanya berlepotan lumpur.
Kini dia sadar sepenuhnya dan diam-diam dia berterima kaaih kepada Giam Tun.
Kakek ini biasanya amat takut akan setan-setan, dan kini sampai matipun dia
tidak akan berani disuruh memasuki tanah kuburan seorang diri di waktu malam dan
hujan itu. Pernah Hong Ing menggoda kakek ini saking penakutnya terhadap setan,
malam-malam menggunakan kepandaiannya. Hong Ing meloncat ke atas genteng dan
memakai kerudung putih menakut-nakuti Giami Tun sehingga kakek ini hampir
terkencing-kencing saking takutnya, mengira ada setan. Memang kadang-kadang di
waktu gembira Hong Ing suka bermain-main seperti anak kecil.
Akan tetapi kini kakek itu menempuh segala rasa takutnya, datang mencarinya.
Kun Liong merasa betapa sikapnya terlalu menuruti hati sedih. Kesadarannya mulai
timbul. "Paman Giam Tun, aku memang hendak menemani nyonya majikanmu di malam
pertama yang gelap dan dingin ini. Kasihan dia, paman... kasihan sekali dia,
bukan?" Giam Tun mengangguk dan dari balik lentera dia hanya mengangguk-angguk, akan
tetapi sedu-sedannya terdengar melalui kerongkongannya.
"Sudahlah, paman. Sudah berlebihan aku menyedihi dan menangisi diriku
sendiri, sekarang aku harus ingat kepadanya. Kau pulanglah. Aku tidak apa-apa,
biar aku malam ini menjaga di sini. Besok kita bicarakan tentang Mei Lan, dan
yang lain-lain." Giam Tun mengusap matanya dengan ujung lengan baju. Hatinya lega juga.
Biarpun keadaan majikannya demikian menyedihkan dan mengharukan, namun suara dan
kata-kata yang keluar dari mulut majikannya menunjukkan bahwa pendekar itu sudah
sadar kembali, suaranya tenang dan penuh wibawa seperti biasanya.
"Apa taihiap tidak perlu ganti pakaian" Ini sudah saya bawakan... dan
makanan... sejak dua hari yang lalu taihiap belum makan atau minum apa-apa..."
Dengan jari-jari gemetar kakek itu hendak membuka bungkusan yang tadi
dikempitnya. Kun Liong menggeleng kepalanya. "Bawa kembali saja, paman. Apa gunanya
berganti pakaian sekarang" Pakaian kering akan basah lagi, pakaian bersih akan
kotor lagi dan dalam keadaan seperti sekarang ini, bagaimana aku mampu menelan
makanan atau minuman" Pulanglah dan biarkan aku sendiri untuk menghadapi dan
merenung segala kepahitan hidup ini, paman."
Giam Tun memandang majikannya, beberapa kali menelan ludah, dan tidak mampu
mengeluarkan perkataan. Dia merasa menjadi sepuluh tahun lebih tua daripada
biasanya semenjak terjadinya peristiwa mengerikan tiga hari yang lalu itu. Kakek
itu mengangguk-angguk, membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, akan tetapi
berhenti lagi, menengok dan berkata, "Apakah perlu lentera ini saya tinggalkan
di sini, taihiap?" "Bawa pergi saja, paman. Sinarnya tidak akan mampu menerangi kegelapan
hatiku, malah menyilaukan mata saja."
Bibir kakek itu bergerak-gerak, dia sendiri tak tahu apa yang hendak
dikatakan lalu dia pergi tersaruk-saruk dengan langkah pendek-pendek dan
punggung agak membongkok, meninggalkan tempat itu menuju ke pintu gerbang
kuburan yang dari jauh tampak tinggi besar hitam seperti setan raksasa mementang
kedua lengannya dan amat mengerikan kalau tampak tertimpa sinar kilat.
Setelah kakek Giam Tun pergi, Kun Liong merasa betapa tubuhnya dingin
sekali. Baru sadarlah dia betapa selama ini dia telah mengabaikan kewajibannya
yang terutama sebagai manusia hidup, yaitu menjaga kesehatan tubuhnya. Dia telah
membiarkan dirinya terbuka terhadap semua serangan lahir batin, terlalu
menenggelamkan diri ke dalam perasaan duka sengsara. Teringat akan ini, dia lalu
duduk bersila di depan kuburan isterinya, mengerahkan sin-kang menghangatkan
tubuhnya. Setelah tubuhnya terasa sehat kembali, dia mulai menggunakan mata batinnya
untuk memandang keadaan dirinya, untuk menyelidiki semua keadaan yang telah
menimpa dirinya. Setelah kini dia tidak lagi dijadikan permainan hati dan
pikirannya, tampaklah oleh kesadarannya betapa dia hampir gila oleh rasa iba
diri, bahwa selama ini dia menangisi diri sendiri, berkabung atas keadaan
dirinya sendiri yang direnggut kesenangan hidupnya. Dia tidak perlu menangisi
kematian Hong Ing. Mengapa" Hong Ing sudah terbebas dari segala ikatan duniawi
dengan suka dukanya, dengan kesenangan yang singkat den kesengsaraannya yang
panjang. Terbayang dia akan wajah mayat isterinya yang demikian penuh damai dan
ketenangan, lalu membandingkan dengan keadaan dirinya. Mungkin sudah sepatutnya
kalau Hong Ing di "sana" menangisi dia karena keadaannya yang sengsara itu. Akan
tetapi dia tidak patut menangisi Hong Ing yang sudah tidak terseret oleh arus
kesengsaraan duniawi lagi.
Setelah sadar akan ini, yang tinggal hanya penyesalan den penasaran. Mengapa
isterinya yang dia tahu amat jenaka, lemah lembut, baik budi dan ramah itu
sampai dibunuh orang" Dan yang membunuhnya Giok Keng! Tidak salah lagi. Tidak
mungkin orang-orang seperti dua orang pembantunya itu, terutama sekali Giam Tun,
akan membohong! Dia harus mencari Giok Keng. Membuat perhitungan!
Kini lain perasaan mengaduk hati Kun Liong, digerakkan oleh pikiran yang
bekerja keras. Dan meloncat dan mengepal tinjunya. "Giok Keng, kau perempuan
keji! Aku akan membalaskan kematian Hong Ing!"
"Darrr...!" Kilat menyambar sebagai penutup dari hujan yang mulai berhenti.
Sekejap mata tempat itu menjadi terang menyilaukan mata dan Kun Liong terkejut,
tersadar lagi dan menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan sambil menutupkan
kedua tangan yang kotor berlumpur di depan mukanya. Terbayanglah dia akan wajah
Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng, ayah dan ibu Giok Keng, terbayang dia akan
wajah Giok Keng di waktu gadis dahulu, terbayang pula akan semua hal,
perhubungannya dengan keluarga Cia. Dan dia baru saja mengeluarkan ancaman untuk
membunuh Giok Keng! Bodoh! Dia memaki diri sendiri. Dia tidak boleh menurutkan nafsu yang
didorong oleh pikiran yang menduga-duga. Dia harus menyelidiki sebabnya, tidak
terpengaruh begitu saja oleh peristiwa yang hanya akibat. Kalau dia menuruti
nafsunya, maka peristiwa yang menimpa dirinya ini akan dia jadikan sebab untuk
menimbulkan akibat lain, misalnya dia membunuh Giok Keng! Dan akibat itu tentu
akan menjadi sebab pula dari urusan yang berkepanjangan, dendam yang bertumpuk-
tumpuk dan tiada habisnya. Tidak, dia harus dapat melihat kenyataan. Isterinya
mati terbunuh orang! Anaknya lari pergi tanpa diketahui sebabnya pula. Dan satu-
satunya orang yang kiranya dapat dijadikan terdakwa, hanya Giok Keng. Kalau dia
mendatangi Giok Keng, pertemuannya dengan wanita itu mungkin akan menyalakan api
kedukaan dan dendam di hatinya dan dia tidak berani membayangkan apa yang akan
terjadi. Tidak, dia tidak bokeh melakukan hal yang sembrono. Dia harus
memikirkan dengan baik dan tidak bertindak ceroboh. Carilah Mei Lan, demikian
pesan isterinya dalam mirapi di waktu dia tidak tidur tadi. Benar! Yang
terpenting memang mencari Mei Lan. Hong Ing sudah mati, apapun yang akan
dilakukannya, dia tidak akan dapat merobah kenyataan itu, bahkan mungkin dendam
kebencian akan menimbulkan hal-hal baru yang lebih hebat lagi. Tentu saja dia
tidak akan tinggal diam dan dia harus berusaha untuk menangkap pembunuh
isterinya. Akan tetapi hal itu akan dilakukan bukan karena dendam, melainkan
karena sudah sepatutnya kalau pembunuhan itu diselidiki sebab-sebabnya dan si
pembunuh diadili sebagaimana layaknya! Terutama sekali, "pesan" isterinya, Mei
Lan harus ditemukan. Go-bi Sin-kouw! Mengapa engkau membunuhnya?" In Hong membentak dengan suara
penuh kemarahan kepada nenek itu. Mereka berdiri saling berhadapan di luar kota
Leng-kok pada pagi hari itu, dan Yalima hanya memandang mereka dengan bingung.
Malam tadi, Yalima ditinggalkan di sebuah kuil tua di luar kota, sedangkan
In Hong dan Go-bi Sin-kouw memasuki kota Leng-kok untuk mendatangi rumah Yap Kun
Liong dengan maksud membatalkan ikatan jodohnya dengan putera Cin-ling-pai.
Sesuai dengan kehendak Go-bi Sin-kouw agar tidak menimbulkan kecurigaan, pula
karena nenek ini tidak mau bertemu muka secara langsung dengan Pek Hong Ing,
bekas muridnya, mereka berpencar setelah berjanji akan bertemu di luar kota di
mana terdapat kuil itu pada keesokan harinya.
Ketika In Hong pada keesokan harinya bertemu dengan nenek itu di dekat kuil,
serta merta dia menegur dengan suara ketus.
"Heh-heh"heh, nona In Hong! Nanti dulu, aku justeru mau bertanya kepadamu
mengapa engkau membunuh bekas muridku itu! Hayo katakan mengapa engkau membunuh
dia dan mengapa pula engkau berpura-pura menuduhku?"
"Nenek iblis! Siapa membunuh dia" Tentu kau yang membunuh kemudian
menjatuhkan fitnah kepadaku!"
"Eh, bocah! Jangan engkau menuduh yang bukan-bukan! Aku Go-bi Sin-kouw tidak
sudi menelan hinaan orang begitu saja! Aku datang dan melihat dari atas genteng
betapa bekas muridku itu telah menggeletak dengan bekas tusukan pedang di dada,
lalu aku mencari-carimu."
"Hemm, mengapa pula aku membunuhnya" Akupun datang sudah melihat dia tewas.
Aku tidak mengenalnya, dan pula, dia adalah isteri kakak kandungku, mengapa pula
aku harus membunuh?"
"Huh, dan kaukira aku membunuh murid sendiri" Coba katakan, apa sebabnya
engkau menuduh aku yang membunuh?"
"Karena engkau benci kepada kakakku itu, karena engkau tidak setuju muridmu
menjadi isteri kakakku atau karena engkau tidak suka dan iri melihat kebahagiaan
orang lain." "Den kau... kau sudah jelas tidak suka kepada kakakmu sendiri! Kau marah
dijodohkan dengan putera ketua Cin-ling-pai, mungkin kau dan dia cekeok dulu
lalu kau membunuhnya dengan darah dingin. Kaukira aku tidak mengenal orang yang
berdarah dingin yang bertangan maut seperti engkau" Aku tadi melihat wanita tua
itu menangis dan berkata, 'Wanita keji itu yang membunuhnya!' Siapa lagi kalau
bukan engkau yang dia maksudkan?"
"Go-bi Sin-kouw, berani kau menuduh aku!"
"Yap In Hong, engkau berani menghinaku!"
Kedua orang itu sudah saling melotot dan pada seat itu Yalima melangkah maju
dan berkata, "Subo! Enci In Hong! Mengapa kalian berdua jadi ribut dan cekcok
sendiri" Kalau memang kalian berdua tidak membunuh orang, sudahlah. Bagiku yang
penting mencari dan bertemu dengan Houw-koko. Urusan enci dengan diapun akan
dapat diselesaikan kalau sudah bertemu sendiri dengan dia bukan?"
Go-bi Sin-kouw tertawa terkekeh-kekeh. "Heh-heh-heh, pintar juga muridku
ini. Nona In Hong, mengapa kita seperti anak kecil saja" Aku tidak membunuh,
engkaupun tidak membunuh, pasti ada orang lain yang membunuh. Serahkan saja
kepada Yap Kun Liong untuk menyelidiki siapa yang membunuh isterinya."
"Aku tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamamu, Sin-kouw. Kita berpisah
di sini saja." "Eh-eh" Apakah engkau marah setalah terjadi peristiwa pembunuhan itu?"
"Bukan urusanku!"
"Nah, kalau begitu, benar juga kata muridku, sebaiknya kalau kita menjumpai
Cia Bun Houw sendiri sehingga langsung enhkau dapat memutuskan ikatan jodoh dan
sekalian memaksanya mengawini muridku ini. Aku mengenal seorang sahabat baikku
di lereng gunung itu, seorang tokoh besar, marilah kita mengunjungi karena
engkau perlu sekali berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan. Dan setelah
kita menitipkan Yalima di sana, kita berdua mencari Bun Houw. Bagaimana?"
Yap In Hong berpikir-pikir, melirik kepada Yalima. Gadis Tibet ini memegang
tangannya dan berkata, "Marilah, enci In Hong. Aku yakin bahwa hanya dengan
bantuanmu saja aku akan dapat berjumpa dengan Houw-ko."
In Hong menghela napas panjang. Aneh, dia merasa suka sekali kepada Yalima!
"Sin-kouw, engkau sungguh mencurigakan. Kalau bukan engkau pembunuhnya,
mengapa melihat muridmu tewas sikapmu enak-enak saja?" katanya.
"Heh-heh-heh, orang-orang seperti kita siapa yang lebih aneh" Engkau
kematian so-somu (kakak iparmu) dan kaupun tidak berduka, bukan" Sudah, tidak
perlu kita saling tuduh. Katakanlah bahwa mungkin seorang di antara kita yang
membunuh, dan mungkin juga keduanya tidak."
Mereka meninggalkan kuil tua itu menuju ke gunung yang ditunjuk okh nenek
itu. Diam-diam Yalima memperhatikan dan dara ini berpendapat di dalam hatinya
bahwa tentu seorang di antara mereka berdua itu membohong. Tentu seorang dari
mereka yang telah melakukan pembunuhan yang dibicarakan tadi, akan tetapi karena
dia tertarik dan suka kepada In Hong, tentu saja hatinya condong menuduh subonya
yang dia kenal sebagai seorang nenek yang luar biasa, aneh dan galak itu.
Gunung yang mereka tuju itu adalah bukit kecil dengan puncaknya yang disebut
Giok-kee-san (Bukit Ayam Kumala) karena bentuk batu besar di puncak itu, yang
merupakan batu kapur keras, memang tampaknya seperti seekor ayam bertengger den
kalau tertimpa matahari, batu kapur itu mengeluarkan cahaya scperti batu kumala.
Puncak ini menjadi pusat pertemuan dari orang-orang golongan hitam yang
dikumpulkan dan diundang oleh Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Sian-kouw yang dalam
usaba ini ditemani oleh Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan
Dewa. Memang Toat-beng-kauw Bu Sit sebelum bergabung dengan empat orang lainnya,
pernah tinggal di puncak Giok-kee-san ini sebagai seorang pertapa, biarpun
ketika itu usianya baru tiga puluh tahun lebih. Dan karena dia tidak pernah
membuat ribut, tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmunya, maka biarpun Leng-
kok dekat dengan bukit itu, hanya perjalanan sehari semalam, namun Kun Liong
tidak pernah mengenalnya. Kini, tempat itu dipilih oleh beng-kauw untuk menjadi
tempat pertemuan dengan tokoh-tokoh dunia hitam yang diundang untuk membantu
persekutuan mereka menghadapi Cin-ling-pai. Dia bertugas menemani tosu dan
tokouw itu mencari bantuan-bantuan dari timur dan di antaranya mereka mengundang
Go-bi Sin-kouw, yang biarpun merupakan tokoh barat dan utara, namun karena dia
dikenal baik oleh Hek I Siankouw maka mereka undang juga.
Tentu saja Lima Bayangan Dewa ini hanya mengundang tokoh-tokoh yang
berkepandaian tinggi saja dan pada saat itu, selain Go-bi Sin-kouw yang sedang
menuju ke situ bersama Yap In Hong dan Yalima, sudah datang pula seorang
undangan yang berilmu tinggi, seorang berpakaian pendeta atau pertapa pula yang
dikenal dengan nama julukan Bouw Thaisu. Kakek ini adalah sahabat baik dari
Thian Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw timur yang telah tewas ketika bentrok
dengan keluarga Cia Keng Hong (baca cerita Petualang Asmara) sehingga diapun
merasa tidak suka kepada keluarga Cin-ling-pai itu. Untuk memusuhi sendiri dia
tidak berani, maka setelah kini Lima Bayangan Dewa mulai menentang Cin-ling-pai
Pahlawan Dan Kaisar 16 Joko Sableng Istana Lima Bidadari Pendekar Kelana 3
^