Pencarian

Dewi Maut 4

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


orang itu satu demi satu dan dia tercengang ketika melihat seorang gadis cantik
jelita duduk bersama empat orang kepala bajak itu. Akan tetapi pandang matanya
kepada In Hong juga tidak ada bedanya dangan ketika dia memandang bajak-bajak
itu karena dia mengira bahwa tentu wanita muda yang cantik inipun kaki tangan
bajak! Dengan perlahan dia pun bangkit berdiri dan langsung menghadapi si tahi
lalat yang dia tahu adalah ketuanya karena tadi disebut twako.
"Kalau tidak salah, su-wi (kalian berempat) adalah yang disebut Su-liong
(Empat Naga) dari Fen-ho. Sungguh mengherankan sekali, biasanya antara su-wi dan
kami golongan piauwsu tidak ada permusuhan, bahkan ada kerja sama baik. Seingat
saya, Pek-eng Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Garuda Putih) tidak pernah menolak
permintaan sumbangan dari semua sahabat di sekitar Fen-ho. Mengapa hari ini su-
wi mengganggu kami?"
"Ha-ha-ha, piauwsu busuk! Bicara manispun tidak ada gunanya! Tak perlu kau
merengek-rengek karena kami tidak akan mengampunimu!" kata si jenggot pendek.
Piauwsu itu membusungkan dadanya. "Saya tidak mengharapkan pengampunan.
Setelah kami gagal mengawal, pemilik barang tewas tenggelam dan barang-barangnya
hilang, isteri dan anak-anaknya perempuan kalian culik, kamipun tidak
mengharapkan hidup lagi. Kami hanya ingin tahu mengapa terjadi perubahan ini di
fihak kawan!" Suaranya tegas dan tidak menghormat lagi.
"Ha-ha-ha-ha!" si tahi lalat tertawa. "Kalau kami merobah sikap, kalian mau
apa" Boleh panggil semua jagoan kang-ouw, pendekar-pendekar yang sakti di kolong
langit! Apakah mau minta bantuan ketua Cin-ling-pai, ataukah Cap-it Ho-han" Ha-
ha-ha!" Piauwsu itu mengerutkan alianya. Dia mengerti. Kiranya berita yang
menggegerkan dunia kang-ouw tentang kematian tokoh-tokoh Cin-ling-pai, tentang
tercurinya pedang Siang-bhok-kiam itulah yang merobah sikap para golongan hitam!
Bagus! Kami bukanlah pengecut-pengecut yang suka minta bantuan siapapun.
Untuk pekerjaan kami, kami sendiri yang bertanggung jawab. Setelah kalian
membebaskan ikatanku, apakah kehendak kalian?"
"Ha-ha-ha, piauwsu cerewet!" Si tahi lalat tertawa dan segera menerjang
dangan pukulan tangan kanannya ke arah kepala piauwsu itu.
"Dukkk...!" Plauwsu itu menangkis dan keduanya terpental ke belakang, tanda
bahwa tenaga mereka seimbang.
"Haii, kau berani melawanku!" Si tahi lalat membentak marah dan terus
menyerang dangan ganas. Ternyata si tahi lalat yang tinggi besar itu memiliki
gerakan yang cepat juga, serangannya bertubi-tubi, susul-menyusul dengan pukulan
dan tendangan kedua kaki tangannya, tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk
balas menyerang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung ke belakang dan berusaha
untuk mengelak dan menangkis. Akan tetapi tubuhnya memang sudah lemah dan
tangannya belum pulih kembali dan orang pertama dari Fen-ho Su-liong itu memang
lihai bukan main, maka piauwsu itu segera terdesak hebat.
"Bukk!" Tiba-tiba orang kedua dari Fen-ho Su-liong menendang dari belakang
dan tepat mengenai pinggul si piauwsu yang tentu saja terhuyung ke samping
dengan kaget. "Plakkk!" Si jenggot pendek menampar dari samping. Biarpun piauwsu itu sudah
mengelak, tetap saja serangan tiba-tiba ini mengenai pundaknya, membuat dia
hampir terpelanting. "Desssss!" Dengan gaya yang gagah si muka pucat menghantam dari belakang,
tepat mengenai punggung piauwsu itu sehingga muntah darah.
"Bagus, kalian pengecut-pengecut hina! Jangan kira aku takut!" Piauwsu itu
membentak dan dia menjadi nekat menyerang empat orang itu dangan niat untuk
mengadu nyawa. Akan tetapi karena tingkat kepandaian empat orang itu rata-rata
lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia, sedangkan dia sudah lelah dan
empat orang itu mengeroyoknya, tentu saja dia menjadi permainan mereka, dipukul
dan ditendang ke sana ke mari sampai akhirnya sebuah tonjokan si tahi lalat yang
mengenai perutnya membuat dia terjungkal dan tak dapat bangkit kembali.
In Hong melibat ini semua dan dia kini berkata perlahan, "Bagus! Jadi begini
gagahkah yang berjuluk Empat Naga" Mengeroyok orang yang sudah tak bertenaga
lagi?" Empat orang yang sudah hendak memukuli piauwsu yang tak dapat melawan lagi
itu mundur dan menyeringai agak malu. "Ha-ha-ha, biar ada sepuluh orang seperti
dia, mana mampu melawan kami" Nona, kaulihat tonjokanku dangan jurus Naga Sakti
Mencuri Mustika tadi begaimana, hebat tidak?" Si tahi lalat bertanya kepada In
Hong. "Ha-ha-ha, twako lebih pandai lagi mencuri hati wanita!" si kurus pucat
berkata sambil tertawa-tawa, tidak tahu betapa In Hong sudah mulai merasa mual
dan panas perutnya. In Hong mengambil keputusan untuk segera pergi saja meninggalkan orang-orang
yang menjijikkan itu, akan tetapi tiba-tiba dia mendangar suara tangis wanita
dan melihat tiga orang wanita diseret-seret menuju ke tempat itu. Yang seorang
adalah selir saudagar yang menjadi korban pembajakan, seorang wanita berusia
tiga`puluhan tahun yang masih cantik dan berkulit putih sekali, sedangkan yang
dua orang adalah gadis-gadis berusia tujuh belas dan lima belas tahun, puteri-
puteri saudegar itu. Dengan kasar para bajak mendorong tiga orang wanita itu
sehingga jatuh berlutut di depan Fen-ho Su-liong.
"Ah, inikah anak-anak ayam itu?" Si tahi lalat menghampiri mereka seorang
demi seorang, memegang dagu mereka dan mengangkat muka itu untuk dilihat.
"Bagus, lumayan, masih mulus! Biarlah untuk kalian bertiga, sute! Sedangkan
aku sudah mempunyai nona Giok-hong-pang ini. Nona, mari kita bersenang-senang di
dalam kamarku, kita adalah orang sendiri dan sahabat, engkau nanti kupersilakan
memilih simpanan benda-benda perhiasan yang paling berharga dariku dan..."
"Manusia biadab! Keluarlah karena saat ini adalah saat kematian kalian semua
di tanganku!" In Hong tak dapat menahan kemarahannya lagi. Suaranya dingin,
seperti bukan suara orang marah dan anehnya, bibir yang biasanya diam dan
dingin, agak cemberut itu kini membayangkan senyum manis. Dia telah melempar
buntalannya ke atas tanah dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke depan
pondok itu. Dia tidak mau turun tangan di dalam pondok karena dia ingin
mengalihkan perhatian mereka kepadanya agar tidak sempat mengganggu tiga orang
wanita itu. Andaikata di situ tidak ada peristiwa penculikan tiga orang wanita
yang dihina itu, agaknya belum tentu In Hong akan menjadi marah dan turun
tangan. Bahkan dia tadi sudah ingin cepat-cepat pergi. Akan tetapi, melihat tiga
orang wanita itu akan dihina merupakan puncak bagi kesabaran In Hong.
Empat orang Fen-ho Su-liong saling pandang lalu tertawa. "Wah, kiranya dia
juga seekor kuda binal yang tidak mau ditunggangi begitu saja dangan jinak,
twako!" kata si muka pucat.
"Ha-ha-ha, lebih baik lagi kalau begitu. Aku memang lebih suka kuda betina
yang binal, yang melawan sebelum menjadi jinak penurut. Hayo kalian bantu aku
menangkapnya dan menjinakkannya, sute bertiga!"
Empat orang laki-laki itu sambil tertawa-tawa lalu berlompatan keluar. Tugas
untuk mengurung dan menjinakkan dara cantik jelita ini tentu saja diterima
dangan gembira oleh tiga orang sute itu, karena memang kecantikan In Hong amat
mempesona hati mereka dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dangan tiga orang
wanita yang dibajak itu. In Hong berdiri tegak tanpa bergerak sedikitpun, kedua tangannya tergantung
di kanan kiri tubuhnya, hanya matanya yang melirik ke kanan kiri ketika empat
orang itu mengurungnya dari kanan kiri sambil tertawa-tawa.
"Haaai-hooohhh!" Si tahi lalat menggertak dan pura-pura menggerak-gerakkan
kedua tangannya seperti orang mau menangkap, akan tetapi In Hong tidak bergerak
karena tahu bahwa itu hanyalah gertakan saja. Empat orang Fen-ho Su-liong
tertawa-tawa dan beberapa kali menggertak, lalu tiba-tiba mereka berempat
menubruk secara berbareng dan menerkam tubuh In Hong seperti empat ekor harimau
menerkam seekor domba dari empat penjuru.
"Bressss...!!" Mereka berteriak kesakitan dan bingung karena meraka saling
bertubrukan sedangkan dara yang mereka tubruk itu telah lenyap. Cepat mereka
meloncat mundur dan melihat In Hong berdiri dangan tenangnya di sebelah sambil
memandang mereka dangan sikep mengejek. Sementara itu, para anggauta bajak sudah
keluar semua dari pondok-pondok mereka ketika mendangar bahwa empat orang
pimpinan mereke sedang "menjinakkan" seorang wanita cantik yang pandai ilmu
silat, yang tadi menjadi tamu terhormat. Mereka semua sudah mendengar bahwa tamu
itu adalah anggauta Giok-hong-pang yang diam-diam dimusuhi oleh pimpinan mereka
karena mendengar bahwa wanita-wanita Giok-hong-pang membasmi Kwi-eng-pang dan
mendengar pula betapa wanita-wanita itu pembenci kaum pria! Tentu akan merupakan
tontonan yang menarik melihat bagaimana tempat orang pimpinan mereka menjinakkan
wanita pembenci kaum pria yang cantik ini. Mereka masih tertawa-tawa ketika
melihat empat orang pimpinan mereka tadi gagal menubruk, dan memuji bahwa wanita
itu cepat juga gerakannya ketika meloncat keluar dari kepungan pada saat mereka
menubruk. Kini empat orang itu mengepung In Hong dari depan dan belakang. Dari
belakang, si muka pucat dan si tahi lalat di hidung menghampiri berindap-indap
dangan sikap masih bermain-main sedangkan dari depan si jenggot dan suhengnya
menghampiri dengan gaya seperti hendak menubruk katak hijau.
Tiba-tiba terdangar suara melengking tinggi dan dahsyat sekali, suara ini
keluar dari mulut In Hong dan tampak sinar berkilat menyilaukan mata, disusul
pekik-pekik mengerikan. Semua orang terbelalak dan menggigil! Ternyata, sama
sekali tidak terduga-duga saking cepatnya, membarengi suara lengkingnya yang
dahsyat, In Hong sudah bergerak, entah kapan dia mencabut pedang dari
punggungnya, karena tahu-tahu pedang di tangan kanannya itu telah menusuk tembus
dada si jenggot pendek dan suhengnya yang berdiri depan belakang! Pedang itu
menembus dada dua orang itu dan pada detik berikutnya, tangan kirinya bergerak
menampar ke belakang dua kali, tepat mengenai kepala si muka pucat dan si tahi
lalat, terdangar suara keras dan mereka menjerit berbareng dangan jerit dua
orang yang "disate" itu, kemudian roboh dangan mulut, hidung, mata dan telinga
mengeluarkan darah! In Hong meloncat ke belakang sambil mencabut pedangnya. Dua
orang disate itu terjungkal dan roboh saling tindih, berkelojotan di dalam darah
mereka sendiri. Dua puluh orang bajak menjadi panik. Seujung rambutpun mereka tidak pernah
menyangka akan terjadi peristiwa seperti itu! Belasan orang segera mencabut
senjata dan mengurung In Hong, akan tetapi beberapa orang yang cukup cerdik
cepat melarikan diri dari situ. Empat belas orang anak buah bajak yang tak tahu
diri itu menggerakkan senjata mereka menyerang, akan tetapi tiba-tiba tampak
sinar-sinar kilat yang membuat mereka seperti buta karena tidak melihat lagi di
mana adanya wanita yang hendak mereka keroyok dan tahu-tahu mereka sudah roboh
satu demi satu, tak dapat bangun kembali karena mereka telah tewas semua!
Piauwsu itu hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri. Dia tadi
siuman dan dangan susah payah merangkak keluar, sampai di depan pintu dia masih
sempat melihat empat orang kepala bajak tewas dan disusul oleh empat belas orang
bejak yang mati dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam waktu singkat sekali.
Kini dia hanya melongo memandang kepada dara jelita yang sudah tak berpedang
lagi karena pedangnya sudah kembali ke dalam sarung pedang di punggung. Dangan
sikap dingin In Hong lalu menghampiri buntalannya menyambar buntalan itu dan
melangkah pergi. "Lihiap...! Tunggu dulu...!" Piauwsu itu berseru dan memaksa dirinya untuk
berlari menghampiri. In Hong menoleh, matanya bertanya apa yang dikehendaki orang itu. Piauwsu
itu mengenal orang pandai dan serta merta dia menjatuhkan diri berlutut.
"Lihiap, terima kasih atas pertolonganmu. Bolehkah saya mengetahui namae besar
lihiap...?" "Kauurus wanita-wanita itu, antar mereka pulang!"
"Baik, lihiap...!" Piauwsu itu bengong karena ketika dia mengangkat mukanya,
dia hanya melihat bayangan berkelebat dan wanita itu telah lenyap dari depannya!
Dia terbelalak, menoleh ke kanan kiri yang penuh dengan mayat malang
melintang. Tak seorangpun di antara delapan belas orang itu yang hidup, semua
mati dengan cara dua macam, kalau tidak retak kepalanya tentu dadanya tembus
oleh pedang. Dia bergidik.
"Cantik seperti Dewi... akan tetapi ganas seperti Elmaut...!" Bergegas
Piauwsu ini lalu menghampiri tiga orang wanita yang masih menangis itu, mengajak
mereka pergi dari situ dangan sebuah perahu karena kalau sampai datang kembali
bajak-bajak itu, dalam keadaan terluka parah seperti itu tentu dia tidak akan
mampu melindungi mereka. Puas rasa hati In Hong. Dia telah membasmi laki-laki yang suka menghina
wanita! Andaikata tidak terjadi penghinaan atas diri tiga orang wanita itu,
tentu dia tidak akan mencampuri urusan Fen-ho Su-liong. Dia berjanji di dalam
hatinya untuk terus mempergunakan ilmunya menentang kaum pria yang suka
mempermainkan wanita! Bukan semua pria, pikirnya maklum. Ada pria yang baik,
misalnya pelayan restoran dan piauwsu itu. Piauwsu itu gagah perkasa, patut
dikagumi dan pelayan restoran itu ramah dan wajar, patut dijadikan sahabat.
Tidak, dia bukanlah pembenci pria seperti subonya atau seperti para bibi
anggauta Giok-hong-pang! Dia tidak akan memusuhi kaum pria secara membuta. Dia
tahu, karena sering mendangar cerita para anak buah subonya, bahwa kebanyakan
pria adalah pengganggu wanita. Akan tetapi dia hanya akan menentang mereka yang
telah terbukti melakukan penghinaan terhadap kaum wanita.
Pengalaman di sarang bajak itu, pertemuannya dengan piauwsu yang gagah
perkasa menarik hatinya dan membuat dia berpikir. Betapa buruknya golongan hitam
seperti para bajak itu. Dan kalau golongan putih seperti piauwsu itu, sungguh
mengagumkan! Sikap piauwsu itu bukanlah suatu kesombongan ketika dia menghadapi
Fen-ho Su-liong, melainkan sikap gagah dan jantan. Dia juga tertarik mendengar
tentang terampasnya Siang-bhok-kiam dan tanpa dia ketahui sebabnya, secara aneh
dia ingin mencari pedang pusaka yang terampas itu, ingin melihat bagaimana
macamnya pedang Siang-bhok-kiam yang oleh subonya diceritakan sebagai Pedang
Kayu Harum yang pernah diperebutkan oleh tokoh-tokoh persilatan, seperti halnya
bokor emas yang terjatuh ke tangan subonya.
Karena gangguan perjalanan itu, hari telah mulai gelap ketika dia tiba di
kota Tai-goan. Kota yang besar sekali dan membuat dia takjub. Ketika memasuki
kota, dia seperti orang dusun benar-benar memandang ke kanan kiri penuh kagum
melihat rumah-rumah besar, toko-toko yang penuh barang-barang indah, dan
keramaian kota yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Karena tidak dapat memilih, ketika melihat sebuah rumah penginapan, dia
langsung masuk. Sebetulnya banyak sekali rumah penginapan yang besar-besar di
kota Tai-goan, akan tetapi karena tidak tahu, In Hong memasuki rumah penginapan
pertama yang dilihatnya. Hampir dia tersenyum ketika dia diantar oleh pelayan ke sebuah kamar, dia
melihat di antara para tamu yang berseliweran di situ seorang laki-laki tua
bertopi yang segera dikenalnya sebagai kakek bertopi yang dijumpainya di
restoran di kota Tai-lin pagi tadi, laki-laki yang melirik ke arahnya dan yang
selalu memperhatikan buntalannya. Anehnya, laki-laki itu juga memandang
kepadanya dan jelas kelihatan laki-laki tua itu girang dan lega, seolah-olah
menemukan kembali orang yang dicari-carinya!
Setelah mandi dan memesan makanan, makan kenyang dan mengaso sambil duduk
bersila dan berlatih siulian sebentar, In Hong lalu menutup pintu dan jendela,
menaruh buntalan pakaian dan uang di atas meja, meletakkan pedang di bawah
bantal dan diapun tidur. Dia tidak memadamkan lilin karena sudah menjadi
kebiasaannya tidur dalam kamar yang terang. Dia akan membiarkan lilin itu sampai
padam sendiri setelah dia pulas.
Menjelang tengah malam dia mendengar pernapasan orang di balik jendela!
Dangan perlahan dia membalikkan muka dan memandang. Dilihatnya asap kebiruan
memasuki kamarnya melalui celah-celah daun jendela! Asap beracun! Dengan tenang
In Hong lalu mengambil hawa murni melalui hidungnya, sebanyak mungkin dan
mengumpulkannya di dada, lalu menahan napas. Tak lama kemudian kamar itu sudah
penuh dangan asap kebiruan itu. Perlahan-lahan daun jendela terbuka dan In Hong
membalikkan muka setelah melirik. Lihai juga orang itu, pikirnya. Tentu memiliki
obat penawar asap beracun dan cara membuka jendelanya sama sekali tidak
mengeluarkan suara. Dia sudah bersiap-siap. Biarpun dia kini membalikkan muka
dan tidak melihat orang itu, namun dangan pendengarannya telinganya dia dapat
mengikuti segala gerak-gerik orang itu! Kalau orang itu hendak mengganggunya,
tentu dia akan meloncat dan menangkapnya. Akan tetapi aneh, orang itu sama
sekali tidak memasuki kamar, hanya mengulurkan tangannya dan meraih buntalannya
di atas meja yang kebetulan berdiri di dekat jendela itu! Kiranya orang itu
hanya seorang pencuri yang mengincar buntalannya!
In Hong tidak mau ribut-ribut menimbulkan geger dan menarik perhatian orang
yang bermalam di penginapan itu. Dia membiarkan orang itu menyambar buntalannya,
dan ketika orang itu melarikan diri, barulah dia meloncat turun dangan hati-
hati, memakai sepatunya dangan cepat dan sambil membawa pedangnya, dia meloneat
keluar dari jendela. Dilihatnya bayangan berkelebat di sebelah belakang hotel
itu, maka dia segera mengejar. Ketika tiba di belakang hotel, bayangan itu
meloncat ke atas genteng dangan tubuh ringan.
In Hong terkejut. Dari lampu di belakang hotel, ketika bayangan itu menoleh,
dia mengenal muka laki-laki tua bertopi! Kiranya dia maling itu! Dan melihat
cara orang itu meloncat ke atas genteng, agaknya tingkat kepandaian orang ini
tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Fen-ho Su-liong! Maka agar jangan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai kehilangan pakaian dan uang, In Hong mengerahkan tenaganya, tubuhnya
melesat naik melakukan pengejaran.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati maling itu ketika dia menoleh dan
melihat nona yang tidur pulas terkena asap beracunnya yang merupakan obat bius
nomor satu di dunia permalingan itu kini tahu-tahu sudah mengejar dekat sekali!
Dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan gin-kangnya, tubuhnya melesat cepat
sekali seperti tukang ngebut. Dia tersenyum sendiri. Mana mampu engkau mengejar
aku si jago kebut, pikirnya. Akan tetapi ketika dia melayang turun ke atas tanah
dan berlari cepat, mengira bahwa pengejarnya tentu telah ketinggalan, dia
mendangar bentakan halus, "Maling sial, mau lari ke mana kau?"
"Wah...!" Dia lari lagi, akan tetapi ketika mendengar angin di belakangnya,
dia secara tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya melintang di jalan. In Hong menjerit
dan cepat meloncat karena kalau tidak tentu dia akan menginjak tubuh itu atau
akan jatuh tersandung. Dia meloncati tubuh orang itu dan ketika membalik, orang
itu telah lari lagi! In Hong menjadi gemas, merasa dipermainkan dengan akal kanak-kanak. Cepat
dia membalik dan mengejar. Kalau dia menghendaki, dengan Siang-tok-swa, senjata
rahasia pasirnya itu, tentu dia dapat merobohkan maling ini. Akan tetapi dia
tidak mau turun tangan membunuhnya sebelum tahu akan duduknya perkara, mengapa
maling itu mengikutinya. Dengan beberapa loncatan jauh dia dapat menyusul.
"Kembalikan buntalanku!" bentaknya dan tangannya sudah meraih untuk
merampas. Akan tetapi, tiba-tiba maling itu melemparkan buntalannya ke samping
dan tubuhnya bergulingan lalu tangannya menyambar lagi buntalan itu, terus
melompat dan lari sekuatnya!
Kembali In Hong kena diakali sehingga maling itu dapat melarikan diri lagi.
"Gila!" bentaknya dan dengan sekali lompatan jauh dan cepat sekali tubuhnya
melayang ke depan, sekaligus ia sudah menubruk dan dangan tangan kirinya dia
menyambar buntalan sedangkan tangan kanannya menampar pundak.
"Waduuuhhh...!" Orang tua itu memekik dan roboh terguling, buntalan itu
dapat dirampas kembali oleh In Hong. Meling itu merangkak bangun dan segera
berlutut sambil berkata, "Ampunkan saya, lihiap. Sungguh malam ini saya Jeng-ci
Sin-touw mengaku kalah dan bertemu dengan gurunya!"
Kemarahan di hati In Hong terganti rasa geli melihat maling itu berlutut dan
minta ampun sambil memperkenalkan dirinya yang mempunyai julukan demikian hebat.
Jeng-ci Sin-touw (Copet Sakti Berjari Seribu)! Memang harus diakuinya bahwa
maling ini memiliki kepandaian dan kecepatan yang mengagumkan, namun julukan
itupun amat berlebihan. Sebelum dia sempat bicara, maling itu kembali memberi hormat, lalu bangkit
berdiri, menjura dan berkata lagi, suaranya penuh permohonan. "Saya memiliki
mata akan tetapi seperti buta sehingga berani mengganggu seorang pendekar wanita
yang ilmu kepandaiannya tinggi menjulang sampai ke langit, biarlah kegagalan ini
menjadi hukuman bagi Jeng-ci Sin-touw dan terima kasih atas pengampunan lihiap.
Permisi!" Dia lalu membalikkan tubuhnya hendak lari, akan tetapi secepat kilat
In Hong menggerakken kakinya. Ujung sepatunya menotok belakang lutut kanan orang
itu dan untuk kedua kalinya maling itu roboh terpelanting.
"Aduhh, ampun, apakah lihiap hendak membunuh saya?" Maling tua itu
berteriak. "Buntalanku tidak lengkap seperti tadi!" In Hong mengangkat tinggi
buntalannya. "Begini ringan, tentu ada yang kauambil dari dalamnya. Hayo
kembalikan!" Maling itu merangkak bangun, menyeringai karena selain kakinya sakit, juga
kecewa karena wanita muda yang cantik ini tidak dapat diakali. Dangan wajah
membayangkan putus asa dia merogoh saku bajunya yang lebar, mengeluarkan kantung
uang yang tadinya berada di dalam buntalah sambil mengomel. "Celaka tiga belas!
Benar makian lihiap tadi bahwa saya benar-benar sial malam ini, bertemu dangan
seorang seperti lihiap yang begini lihai. Sungguh sial, padahal menurut taksiran
saya, di kantung ini terdapat tiga puluh tail emas dan sedikitnya sepuluh tail
perak. Hasil yang lumayan, sesuai dangan jerih payah saya tadi! Akan tetapi
semua sia-sia belaka."
In Hong terkejut dan kagum. Maling ini tadi begitu merampas buntalan terus
lari dan dikejarnya. Bukan saja maling itu dapat menyembunyikan kantung uang
dari dalam buntalan ke dalam saku jubahnya, bahkan maling itu dapat menduga
hampir persis jumlah isinya!
"Hemmm, kulihat engkau bukan orang tolol! Mengapa engkau menggunakan asap
beracun di kamarku tadi" Hayo jawab, kalau kau membohong dan aku kehabisan
sabar, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!"
"Apakah artinya asap mainan itu bagi lihiap" Buktinya lihiap tidak apa-apa!"
Maling itu hendak mengelak.
"Simpan saja kepura-puraanmu itu! Asap itu beracun dan dapat membius orang!
Mengapa kaulakukan itu terhadap aku" Siapa kau dan apa maksudmu mengintai dan
membayangi sejak dari Tai-lin sampai di sini kemudian mencuri buntalanku?"
Maling itu menarik napas panjang. "Dasar sial dangkalan! Tidak hanya gagal
malah dicurigai dan dituduh yang bukan-bukan awakku! Baiklah, harap lihiap,
dengarkan baik-baik pengakuanku. Nama saya Can Pouw dijuluki orang Jeng-ci Sin-
touw dan di Tai-goan, nama saya dikenal oleh semua orang, terutama kaum hartawan
yang selalu ketakutan kalau-kalau saya menjadi tamu yang tak diundang. Sejak
kecil pekerjaan saya mempergunakan kesempatan selagi orang lengah..."
"Jangan memutarbalikkan omongan, pakai mempergunakan kesempatan selagi orang
lengah, bilang saja pencopet!" In Hong membentak tak sabar.
"Yaahh... kan semua ada seninya! Lihiap tidak mengerti akan seninya mencopet
atau maling yang istilahnya mempergunakan kesempatan selagi orang bermalas-
malasan. Amat jauh bedanya dangan perampok atau bajak, lihiap! Mereka itu adalah
orang-orang kasar yang mempergunakan kekerasan mengandalkan kepandaian merampas
dangan paksa, berbeda dangan kami yang bekerja dangan halus tidak mau
menyinggung perasaan orang lain sehingga yang kehilangan barang tidak tahu siapa
yang mengambilnya. Bukankah itu mengandung seni yang bermutu tinggi dan
halus...?" "Cerewet! Kau hendak main-main dangan aku, ya?" In Hong menghunus sedikit
pedangnya dan tampak sinar berkilat.
"Eh, eh... oh... tidak, lihiap! Maafkan saya! Sampai di mana cerita saya
tadi" Wah, lihiap membikin saya ketakutan setengah mati. Baiklah, saya terpaksa
menggunakan asap pembius karena saya telah menduga bahwa lihiap adalah seorang
yang amat lihai. Siapa kira, asap pembius yang cukup kuat untuk membikin pulas
sepuluh orang itu hanya merupakan minyak wangi saja agaknya bagi lihiap. Dasar
saya yang sialan!" "Dan mengapa engkau membayangi aku sejak di restoran di kota Tai-lin?"
"Wah, sejak itu lihiap sudah curiga kepada saya" Hebat! Ketahuilah, lihiap.
Saya bukan menyombongkan diri, namun pengalaman saya yang sudah puluhan tahun
membuat saya dapat menduga bahwa isi buntalan yang lihiap bawa itu, selain
pakaian tentu mengandung emas atau perak, terbukti dari beratnya. Melihat ikan
kakap, seorang pengail seperti saya ini mana tidak tertarik untuk mengikuti
betapa jauhnyapun?" "Bicara yang benar! Apa itu kakap dan pengail?" In Hong membentak, makin
tertarik karena sikap dan bicara orang ini memang luar biasa dan lucu.
"Eh, maaf. Jika seorang ahli memindahkan barang..."
"Bilang saja pencopet! Pencopet! Maling!" In Hong membentak tidak sabar.
"Iya, ya... jika seorang pencopet, maling tangan panjang melihat calon
korban yang membawa barang berharga, maka istilahnya adalah kakap dan si... eh,
pencopet menganggap dirinya seperti pengail yang akan menangkap ikan kakap itu.
Saya melihat nona, maka tentu saja saya tertarik dan saya ikuti terus. Akan
tetapi saya sudah putus harapan ketika melihat nona pergi bersama Fen-ho Su-
liong. Mereka adalah perkumpulan bajak yang kuat, saya seorang diri tidak berani
mencampuri urusan mereka, maka terpaksa saya menggigit jari dan melanjutkan
perjalanan ke Tai-goan dengan hati mengkal, merasa betapa ikan kakap itu
dicaplok buaya. Tidak tahunya, eh... nona muncul di penginapan itu! Tidak saya
sangka nona dapat lolos dari Fen-ho Su-liong!"
"Mereka telah mampus semua!" In Hong berkata tanpa disadarinya mengapa dia
menjadi suka bercakap-cakap dengan maling ini.
Maling itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali dan kembali dia
menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihiap telah membunuh mereka semua" Aduhh...
kalau begitu saya tentu akan mampus. Lihiap harap ampunkanlah kelancangan saya
berani mengganggu harimau betina..."
"Hayo ceritakan mengapa engkau begitu nekat mencoba untuk mencuri!"
Dan tiba-tiba saja maling itu menangis! In Hong mengerutkan alisnya,
berhati-hati karena takut kalau-kalau kena diakali oleh maling yang pandai
bermain gila ini. "Huh! apa-apaan lagi engkau ini?"
"Uhu-huhu-huuu...! Saya terpaksa melakukan ini, lihiap. Di rumah terdapat
seorang isteri cerewet yang selalu minta dibelikan ini itu yang serba mahal,
sedangkan anak saya ada tujuh orang..."
Hampir saja In Hong tertawa karena geli hatinya. "Nah, kauterimalah ini
untuk anak isterimu, kalau engkau berbohong, biar uang ini akan mendatangkan
malapetaka kepadamu!" In Hong melemparkan dua potong uang perak kepada maling
itu, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari situ.
"Heiiiii... lihiap, tungguuuuu...! Saya memang berbohong, tapi tunggu, saya
mempunyai berita yang lebih penting lagi"
Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong sudah berada di depannya
sehingga maling itu menutup mulutnya yang berteriak-teriak. Dia memandang kagum.
"Bukan main kehebatan gin-kang dari lihiap."
"Hayo ceritakan, berita apakah itu?"
"Lihia begini lihai, tentu lihiap merupakan seorang tokoh besar dari Giok-
hong-pang...." Mendangar suara yang sungguh-sungguh itu, kini In Hong menduga bahwa maling
lucu ini tentu tidak main-main lagi. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Sudah sejak di restoran itu saya menduga bahwa tentu lihiap seorang Giok-
hong-pang, melihat perhiasan kepala lihiap berupa burung hong dari batu kemala
itu. Sebetulnya karena saya sudah mendengar bahwa para wanita Giok-hong-pang
adalah pembenci kaum pria, maka saya sengaja membayangi dan hendak mengganggu
lihiap dangan mencuri buntalan lihiap. Ternyata lihiap berilmu tinggi sekali,
dan sikap lihiap bukan pembenci pria sungguhpun ngeri saya membayangkan betapa
gerombolan bajak Fen-ho itu terbunuh semua. Maka mudah menduga bahwa tentu
lihiap seorang tokoh besar dari Giok-hong-pang."
"Dugaanmu benar, paman Can Pouw. Aku adalah murid tunggal dari ketua Giok-
hong-pang." "Paman..." Lihiap menyebutku paman..." Ohhhh, terima kasih!" Kakek itu
kelihatan girang sekali, matanya bersinar-sinar di bawah cahaya bulan yang
terang di malam itu. "Mengapa?" In Hong terheran.
"Siapa tidak akan girang disebut paman oleh seorang tokoh besar dari Giok-
hong-pang" Lihiap baik sekali! Kalau boleh saya mengetahui nama lihiap yang
mulia..." "Jangan menjilat-jilat, aku menjadi benci mendengarnya! Namaku Yap In Hong
dan lekas katakan, berita apa yang kau katakan penting tadi?"
"Seorang tokoh besar yang lihai seperti lihiap telah keluar ke dunia ramai,
sudah pasti ada hubungannya dengan geger di dunia kang-ouw tentang tercurinya
Siang-bhok-kiam, bukan?"
In Hong terkejut. Dia memang tertarik oleh urusan lenyapnya pusaka Cin-ling-
pai yang dicuri orang itu. "Kalau benar demikian, mengapa?"
"Lihiap, untuk kebaikan lihiap yang sudah mengampuni saya, sudah memberi
hadiah uang kepada saya dan terutama sekali yang memanggil saya paman, biarlah
saya membuka rahasia ini. Saya tahu siapa yang mencuri Siang-bhok-kiam itu!"
In Hong terkejut lagi. "Bagaimana engkau bisa tahu?" tanyanya curiga, takut
kalau dibohongi lagi. "Demi Thian dan semua Dewa, saya tidak bohong, lihiap!" Maling itu agaknya
merasa bahwa dia dicurigai. "Dan tentu saja saya tahu. Bagi Jeng-ci Sin-touw
seorang maling sakti yang terkenal, di dunia ini tidak ada berita yang lebih
menarik daripada berita tentang permalingan, terutama permalingan yang hebat-
hebat seperti dicurinya Siang-bhok-kiam itu. Ingat, saya berjuluk Seribu Jari,
bukan hanya pandai mencopet akan tetapi juga mempunyai ribuan kawan yang dapat
menyelidiki." "Hemm, apa anehnya itu" Akupun sudah mendengar bahwa pencuri-pencuri itu
adalah Lima Bayangan Dewa."
"Semua orang agaknya tahu bahwa mereka adalah Lima Bayangan Dewa, akan
tetapi tahukah lihiap siapa sesungguhnya lima orang sakti itu dan terutama
sekali di mana mereka itu berada?"
In Hong benar-benar tertarik. "Dan engkau tahu, paman Can Pouw?"
"Tentu saja! Dengar baik-baik, lihiap, dan sebaiknya kalau lihiap jangan
mencoba-coba untuk menentang mereka tanpa bantuan yang banyak dan kuat. Mereka
itu adalah tokoh-tokoh baru yang memiliki kepandaian hebat, lima orang sakti
yang bersatu menjadi Lima Bayangan Dewa, yang kesemuanya merupakan musuh-musuh
pribadi ketua Cin-ling-pai. Orang pertama adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok.
Melihat julukannya saja, Pat-pi Lo-sian (Dewa Tua Berlengan Delapan) sudah dapat
dibayangkan kelihaiannya. Dia seorang yang aneh penuh rahasia, kabarnya datang
dari utara dan masih keturunan Mongol, terkenal dengan pakaiannya yang serba
putih mengerikan!" "Hemm, baru delapan lengannya apa sih hebatnya" Masih kalah oleh engkau yang
berjari seribu." "Lihiap mengejek! Dia itu kabarnya sakti sekali, bahkan kabarnya malah lebih
sakti daripada mendiang suhengnya, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang pernah
menjadi datuk kaum sesat. Adapun orang kedua adalah Liok-te Sin-mo (Iblis Bumi)
Gu Lo It yang kabarnya memiliki tenaga seratus ekor kuda jantan! Kemudian orang
ketiga adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang tentu saja hanya seorang
tokoh hitam yang menyamar sebagai pendeta, kabarnya kesaktiannya tidak kalah
oleh yang dua itu, pandai merayap tembok seperti cecak den kepalanya merupakan
senjata ampuh." In Hong mencatat dalam hatinya. Biarpun kepandaian seperti itu tidak aneh
baginya, namun dia tahu bahwa hal itu membuktikan betapa lihai adanya orang-
orang dari Lima Bayangan Dewa itu.
"Orang keempat adalah seorang iblis betina yang amat mengerikan, yaitu Hui-
giakang (Kelabang Terbang) Ciok Lee Kim. Tentu saja mengerikan. Seekor kelabang
sudah amat berbahaya den beracun, apalagi kalau pandai terbang. Kabarnya dia
memang pandai terbang! Huh, mengerikan sekali. Aku tidak sudi berjumpa berdua
saja dengan dia ini di tempat gelap!"
In Hong menahan senyumannya. Maling tua ini memang lucu, kata-katanya jenaka
den tidak dibuat-buat, bahkan kalau sudah bicara sungguh-sungguh dan lenyap
wataknya yang suka bersendau-gurau dan membohong, dia memiliki kejujuran.
"Sedangkan orang kelima bernama Toat-beng-kauw Bu Sit, dari julukannya saja
sudah ketahuan bahwa dia seperti monyet, juga kecepatannya. Nah, lengkaplah lima
orang dari Lima Bayangan Dewa itu, lihiap."
In Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia mencatat semua nama dan julukan
itu. "Terima kasih atas keteranganmu, paman. Memang berita ini penting sekali
bagiku." "Ada yang lebih penting lagi!" Can Pouw berseru. "Yaitu sarang mereka!"
"Di mana?" "Di lembah Sungai Kuning, di sebelah timur kota Cin-an. Kurang lebih dua
puluh li dari Cin-an terdapat lembah Sungai Hoang-ho yang penuh dengan hutan. Di
dalam sebuah hutan dekat sungai yang bermuara, di sanalah letak pedusunan Ngo-
sian-chung (Dusun Lima Dewa) dan di sana pulalah lima orang sakti itu tinggal di
sebuah gedung besar, sedangkan para penghuni dusun kecil itu yang tidak berapa
banyak semua adalah anak buah dan murid-murid mereka. Akan tetapi harap hati-
hati, lihiap, jangan sekali-kali memberanikan diri mendekati tempat itu. Mereka
bukan penjahat-penjahat biasa, tidak pernah melakukan kejahatan bahkan menjadi
pelindung dan sahabat-sahabat baik para pembesar di Cin-an dan sekitarnya.
Mereka itu kaya raya dan para anggautanya melakukan pekerjaan dagang. Ketika
kami dan kawan-kawan menyelidik ke sana, dari sepuluh orang hanya saya dan
seorang teman saja yang dapat keluar dalam keadaan hidup. Yang delapan orang
lenyap entah ke mana!"
In Hong mengerutkan alisnya. Hebat juga berita ini. Dia merogoh saku hendak
mengeluarkan sepotong uang emas, akan tetapi didahului oleh Jeng-ci Sin-touw
yang berkata, "Harap lihiap jangan memberi uang kepada saya. Perkenalan ini
sudah cukup mengherankan hati saya dan kalau sewaktu-waktu lihiap membutuhkan
saya, asal lihiap datang ke Tai-goan dan bertemu dengan seorang di antara
seniman-seniman copet di pasar lalu menanyakan saya, tentu akan dapat berjumpa."
In Hong tersenyum. Baru sekali ini selama dia meninggalkan Kwi-ouw, dia
sempat bercakap-cakap selama itu dengan seseorang dan anehnya, sunggub tak
pernah diduga-duganya, orang itu adalah seorang laki-laki dan lebih lagi,
seorang pencuri malah! "Terima kasih, paman Can, mudah-mudahan kelak kita akan
dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik." Setelah berkata
demikian, sekali berkelebat dara itu lenyap dari depan Can Pouw yang menjadi
bengong. Sudah banyak dia berjumpa orang pandai, bahkan dia sendiri memiliki
gin-kang yang cukup tinggi sehingga dia terkenal, akan tetapi gerakan dara yang


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernama Yap In Hong itu benar-benar mengejutkan hatinya, seolah-olah dara itu
pandai menghilang seperti setan!
Demi dewa...!" Ia berkata lirih, "berani aku mempertaruhkan julukanku, bahwa
Yap In Hong ini kelak akan menjadi seorang yang menggegerkan dunia!"
Dia tidak tahu bahwa In Hong yang tadi mencelat dan bersembunyi di atas
pohon mendengar semua ini. Dara ini berlaku hati-hati dan sengaja bersembunyi
untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh maling yang mencurigakan, tahu
segala, dan banyak cakap akan tetapi lucu itu. Mendengar maling itu akan
mempertaruhkan julukannya, In Hong menutup mulutnya dan tertawa geli. Benar-
benar tolol dan lucu. Siapa sudi bertaruh dengan dia kalau yang dipertaruhkan
itu julukannya, betapa mentereng sekalipun julukan itu" Setelah maling tua itu
pergi, barulah In Hong meloncat turun dan melanjutkan perjalanannya. Timbut
suatu hasrat aneh di dalam hatinya yang terdorong oleh kata-kata maling tua itu.
Dia akan menjadi orang yang menggegerkan dunia! Dan dia ingin hal ini benar
terjadi, menggegerkan dunia persilatan! Dan hal itu hanya dapat terlaksana kalau
dia dapat merampas kembali Siang-bhok-kiam dari tangan Lima Bayangan Dewa!
*** Lima orang itu duduk mengitari meja panjang dengan gembira sambil menghadapi
makanan dan minuman yang serba mahal dan lezat. Semua masakan telah selengkapnya
dihidangkan di atas meja, dan arak wangipun berlimpah-limpah. Para pelayan yang
terdiri dari anak buah mereka sendiri, hanya menjaga di luar dan di sudut
ruangan, menanti kalau-kalau ada perintah dari lima orang yang sedang makan
minum dengan gembira itu.
Mereka itu bukan lain adalah Lima Bayangan Dewa yang kini telah pulang dan
merayakan pesta kemenangan mereka, setelah mereka berhasil membunuh tujuh orang
Cap-it Ho-han dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Sambil tertawa-tawa,
empat orang menceritakan jalannya pertandingan ketika mereka membunuhi tokoh-
tokoh Cin-ling-pai di ruangan atas loteng rumah makan Koai-lo di kota Han-tiong
itu, sedangkan Pat-pi Losian Phang Tui Lok juga menceritakan pengalamannya yang
berhasil ketika dia menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-
kiam. "Sungguh menyebalkan," Phang Tui Lok menutup ceritanya sambil menghunus
sebatang pedang kayu yang mengeluarkan bau harum semerbak, "pedeng kayu macam
ini saja pada puluhan tahun yang lalu pernah diperebutkan para tokoh kango-uw.
Padahal pedang ini biasa saja, hanya sebatang pedang kayu harum yang biarpun
mengandung hawa mujijat namun tidak lebih berguna daripada sebatang pedang baja
yang baik." "Dahulu lain lagi, Phang-suheng," kata Liok-te Sin-mo Gu Lo It. "Dahulu
pedang ini menyimpan rahasia tempat pusaka terpendam yang akhirnya terjatuh ke
tangan Cia Keng Hong. Akan tetapi sekarang pedang ini hanya menjadi lambang
kebesaran Cin-ling-pai belaka."
"Yang sudah beralih ke tangan kita, ha-ha-ha." Pat-pi Lo-sian tertawa dan
mukanya yang kelihatan muda itu menjadi makin muda dan tampan tiada ubahnya muka
seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun saja. Padahal tokoh ini sudah berusia
enam puluh lima tahun! Phang Tui Lok adalah seorang peranakan keturunan Mongol,
terlahir dari ibu seorang Wanita Han yang menjadi tawanan dan dipaksa menjadi
selir seorang kepala Suku Mongol. Dia adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong
Ouwyang Kok yang selain suhengnya, juga seperti kakaknya sendiri karena dari
tokoh ini dia sudah banyak berhutang budi. Oleh karena itu, ketika mendengar
akan kematian Ouwyang Kok, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi kaget dan
berduka sekali. Ketika itu usianya baru empat puluh tahun lebih dan dia merasa
tidak berdaya untuk membalas dendam kematian suhengnya terhadap seorang musuh
seperti ketua Cin-ling-pai saktinya, maka diam-diam dia memperdalam ilmunya
selama belasan tahun dan selama itu dia selalu berpakaian putih tanda berkabung
terhadap kematian suhengnya. Setelah merasa dirinya kuat, dia lalu merantau ke
selatan, melewati perbatasan dan Tembok Besar dan akhirnya dia berhasil menarik
empat orang itu sebagai sekutunya, karena empat orang itupun merupakan orang-
orang yang merasa sakit hati terhadap ketua Cin-ling-pai. Karena bersatu tujuan,
mereka lalu mengangkat saudara sebagai saudara-saudara seperguruan, setelah
Phang Tui Lok menurunkan ilmu tentang racun kepada mereka, ilmu yang didapatnya
dari mendiang Ouwyang Kok sehingga ikatan ilmu ini membuat mereka merasa seperti
saudara-saudara seperguruan. Karena Phang Tui Lok adalah yang tertua dan juga
yang terlihai di antara mereka, maka dialah yang menjadi pemimpin dari Lima
Bayangan Dewa, yaitu nama yang mereka pakai sebagai julukan mereka, diambil dari
nama dusun di mana mereka tinggal, yaitu Dusun Lima Dewa.
"Ingin sekali aku melihat muka Cia Keng Hong kalau dia pulang dan mendengar
akan kematian Cap-it Ho-han dan hilangnya Siang-bhok-kiam! Dan dia akan bingung
mendengar nama Lima Bayangan Dewa!" kata Toat-beng-kauw Bu Sit, Si Monyet
Pencabut Nyawa. "Biar dia mencari-cari setengah mampus!" Hui-giakang Ciok Lee Kim tertawa
dan menenggak araknya. "Omitohud... pinceng tidak akan merasa heran kalau besok atau lusa dia akan
muncul di sini. Orang macam dia tentu tidak membutuhkan waktu lama untuk mencari
tempat kita." "Eh, hwesio murtad, apa engkau takut?" Pat-pi Lo-sian bertanya, "Engkau
meramalkan kedatangannya seolah-olah engkau takut menghadapinya."
"Ha-ha-ha-ha, siapa takut kepadanya" Apanya yang harus ditakuti" Aku malah
ingin sekali mencoba Thi-khi-i-beng dengan ilmu cecakku, hendak kulihat sampai
di mana kekuatan daya sedotnya" Memang ada persamaan antara Thi-khi-i-beng dan
ilmu yang dikuasai oleh hwesio ini sehingga membuat dia dapat merayap di tembok
seperti seekor cecak, yaitu penggunaan sin-kang untuk menyedot dari telapak
tangan. Tentu saja hwesio yang pongah ini tidak tahu bahwa Thi-khi-i-beng adalah
ilmu mujijat yang langka, yang tidak hanya menyedot seperti dilakukan oleh
telapak tangannya menyedot tembok sehingga dapat melekat, melainkan Thi-khi-i-
beng menyedot sin-kang orang membanjir keluar dari dalam tubuh!
Bagus, memang kita sudah menanti-nanti kedatangannya untuk membikin
perhitungan. Betapapun juga, mengingat bahwa Cia Keng Hong mempunyai keluarga
yang terdiri dari orang-orang sakti, juga banyak teman-temannya yang lihai,
sebaiknya kalau kita juga menghimpun tenaga dari golongan kita. Setelah
keberanian kita mencuri Siang-bhok-kiam, kiraku akan banyak tokoh hitam yang
akan suka membantu kita."
Tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita, "Bagus! Lima Bayangan Dewa
sungguh bernyali besar sekali!"
Lima orang itu terkejut dan karena mereka adalah orang-orang yang berilmu
tinggi, mereka segera dapat menekan kekagetan mereka dan tetap duduk di tempat
sungguhpun mereka cepat menengok dan memandang ke arah orang yang mengeluarkan
suara itu. Seorang nenek tua berpakaian serba hitam tahu-tahu telah berdiri di
dalam ruangan itu tanpa ada penjaga yang melihatnya.
"Memang mengagumkan dan kita perlu mengetahui dulu sampai di mana kelihaian
mereka maka berani mengganggu Cin-ling-pai!" terdengar suara kedua dan tahu-tahu
muncul pula seorang kakek yang usianya sudah jauh lebih tua. Kakek dan nenek ini
keduanya berpakaian seperti pendeta.
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok maklum bahwa dua orang ini tentulah orang-orang
pandai, akan tetapi karena sikap mereka tidak bermusuhan diapun lalu meraba
sepasang sumpit dan secawan arak dari atas meja dan ingin menguji kepandaian dua
orang tamu itu sebelum mengambil keputusan sikap apa yang akan diambilnya untuk
menyambut mereka. "Kedua tamu yang tak diundang, silakan!" kata orang pertama dari Lima
Bayangan Dewa itu dan tiba-tiba sepasang sumpit gading meluncur ke arah nenek
itu, sedangkan secawan penuh arak meluncur ke arah si kakek tua.
Dua orang itu berdiri tenang saja, kemudian nenek itu menggerakkan tangan
kanan dan sekaligus jari-jari tangahnya dapat menjepit sepasang sumpit itu
dengan enaknya seperti orang mengambil sumpit dari atas meja saja. Cawan arak
yang meluncur ke arah muka kakek itu tiba-tiba terhenti di udara, berputaran dan
ketika kakek itu menggerakkan tangannya, cawan itu berhenti di atas kepalanya
dan perlahan-lahan mendoyong sehingga araknya mengucur perlahan-lahan. Dia
membuka mulutnya sehingga arak itu masuk ke mulut dan diminumnya.
"Nenek tua, terimalah suguhan pinceng!" Hok Hosiang juga menggunakan
sumpitnya mengambil potongan-potongan daging dengan cepat sekali dan melempar-
lemparkan ke arah nenek itu dengan kecepatan seperti sambitan senjata-senjata
rahasia yang berbahaya. "Wut-wut-wut... cap-cap-cappp!" Hebatnya, nenek itu berhasil menerima tiga
potong daging dengan sepasang sumpitnya, kemudian perlahan-lahan memasukkan
daging-daging itu ke dalam mulutnya sambil mengunyah. Dia lalu melemparkan
sumpit ke atas meja dan sepasang sumpit itu menancap di depan Pat-pi Lo-sian,
disusul oleh terbangnya cawan kosong yang juga hinggap di depan orang pertama
dari Lima Bayangan Dewa tanpa terbanting keras seolah-olah diletakkan oleh
tangan yang tidak kelihatan!
Menyaksikan ini, lima orang itu terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek
dan nenek itu amat lihai. Mereka segera bangkit berdiri dan menjura kepada
mereka berdua, dan Phang Tui Lok berkata, "Maafkan kami yang tidak tahu akan
kedatangan ji-wi sehingga tidak menyambut lebih cepat."
"Siancai, Lima Bayangan Dewa terlalu sungkan! Kamilah yang seharusnya merasa
malu, datang tanpa diundang dan begitu datang ikut menikmati hidangan, ha-ha-
ha!" kakek yang berpakaian seperti tosu itu berkata sambil tertawa. "Sebagai
tamu-tamu tak diundang, biarlah pinto memperkenalkan diri..."
"Nanti dulu!" Liok-te Sin-mo Gu Lo it berseru, "Biarkan kami menduga-duga
siapa adanya ji-wi!" Lima orang itu lalu memandang dengan penuh perhatian wajah
dan pakaian mereka berdua yang tersenyum-senyum saja. Akhirnya Liok-te Sin-mo
yang lebih dulu berseru. "Aku mau didenda minum tiga cawan arak kalau dugaanku
meleset bahwa locianpwe ini adalah Hwa Hwa Cinjin"
Tosu tinggi kurus itu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Hebat memang Lima
Bayangan Dewa, bermata tajam di samping nyalinya yang amat besar."
"Dan siapa lagi tokouw ini kalau bukan Hek I Siankouw?" Hui-giakang Ciok Lee
Kim juga berseru. Pendeta wanita berpakaian hitam itu lalu menjura sambil
tersenyum pula. "Kalian memang hebat dan mengagumkan, bukan hanya karena telah berani
mengejek ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga berani menanggung resikonya dan
menghadapi pembalasan mereka. Kami berdua pasti suka membantu kalian," kata Hek
I Siankouw. Dua orang kakek dan nenek ini memang merupakan tokoh-tokoh yang terkenal
juga sungguhpun mereka jarang menampakkan diri di dunia kang-ouw. Kakek yang
hanya dikenal julukannya sebagai Hwa Hwa Cinjin itu adalah sute dari Toatbeng
Hoatsu, seorang datuk kaum sesat yang dabulu tewas di tangan Panglima Besar The
Hoo sendiri ketika terjadi perebutan bokor emas, di mana Cia Keng Hong menjadi
pembantu utama dari The Hoo (baca Petualang Asmara). Karena kini Panglima The
Hoo sudah meninggal, dan memang tidak mungkin bagi kaum sesat untuk membalas
kepada seorang panglima besar yang amat kuat kedudukannya seperti Panglima The
Hoo, maka kini semua dendam ditumpahkan kepada Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-
pai. Apalagi ketika mendengar bahwa Cin-ling-pai berhasil diserbu dan dikacau
oleh Lima Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin segera mengajak Hek I Siankouw untuk
mengunjungi Cin-ling-pai, dengan dalih ikut berduka cita dan bersembahyang
mereka telah melakukan penghinaan di Cin-ling-pai karena Cia Keng Hong tidak ada
dan mereka segera pergi melihat munculnya kakek sakti Tio Hok Gwan dan ahli
sihir Hong Khi Hoatsu. Nenek tokouw itu sebetuInya adalah bekas kekasih Hwa Hwa Cinjin. Karena
penyelewengan mereka menuruti nafsu berahi inilah yang membuat mereka terpaksa
melarikan diri dari golongan pendeta dan menjadi pendeta-pendeta perantau yang
wataknya sudah bukan seperti pendeta suci lagi sampai mereka menjadi kakek dan
nenek. Hanya aneh dan lucunya, sampai mereka menjadi kakek berusia tujuh puluh
tahun dan nenek berusia enam puluh tahun, mereka masih tetap rukun dan ke
manapun mereka berduaan terus! Setelah Hwa Hwa Cinjin dikenal oleh Liok-te Sin-
mo, tentu saja mudah untuk mengenal Hek I Siankouw karena sudah terkenal betapa
keduanya ini tak pernah berpisah.
Pat-pi Lo-sian lalu mempersilakan mereka duduk dan dia lalu memperkenalkan
diri dan juga para adik seperguruannya. Ketika dia memperkenalkan diri sebagai
sute mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong,
Hwa Hwa Cinjin menepuk meja.
"Ahh, kiranya sicu adalah sute mendiang Ban-tok Coa-ong! Sungguh kebetulan
sekali karena mendiang suhengmu itu adalah sahabat baik mendiang suhengku, yaitu
Toat-beng Hoatsu yang tewas oleh Panglima The Hoo. Bagus, kini kita dapat
berkumpul dan bekerja sama, dan memang sudah tiba saatnya untuk melakukan balas
dendam kepada Cia Keng Hong dan keluarganya."
Pelayan dipanggil, makanan dan minuman ditambah dan mereka makan minum
sambil mengatur rencana untuk mengadakan persekutuan menghadapi keluarga Cia
Keng Hong yang amat terkenal sebagai keluarga yang sakti itu.
"Aku mempunyai seorang sahabat baik yang kiranya perlu sekali diajak untuk
bersama-sama menghadapi musuh. Dia pasti bersedia, karena diapun tidak suka
kepada keluarga ketua Cin-ling-pai itu. Dia amat lihai dan kalau dia membantu
kita, persekutuan kita tentu akan lebih kuat." Hek I Siankouw berkata.
"Bagus sekali, Siankouw. Siapakah gerangan sababatmu itu?" tanya Sin-ciang
Siauw-bin-sian Hok Hosiang, yang kagum melihat nenek berpakaian hitam itu sudah
tua namun masih tetap cantik!
"Dia adalah Go-bi Sinkouw dan kalau kita sendiri mengundangnya, tentu dia
akan mau bergabung dan datang ke sini."
Sampai sehari penuh mereka berpesta dan berunding. Akhirnya mereka
bersepakat untuk mengundang orang-orang pandai dari golongan hitam, untuk
bersama-sama mereka menghadapi Cin-ling-pai, dan menghancurkan keluarga pendekar
Cia Keng Hong yang dianggap merupakan pusat kekuatan golongan putih yang selalu
menentang golongan hitam.
Mereka berangkat berpencar dan menentukan satu tanggal dan bulan untuk
berkumpul kembali di dusun Ngo-sian-chung sambil mengajak bantuan orang-orang
sakti yang mereka undang. Untuk menjaga keselamatan, seluruh penduduk Ngo-sian-
chung juga pergi semua bersembunyi dan hanya diam-diam melakukan pengintaian ke
dusun mereka yang ditinggal pergi karena mereka tidak berani tinggal di situ
selama lima orang pemimpin mereka tidak ada.
*** "Adik In Hong...!"
In Hong terkejut dan menghentikan langkahnya. Tempat itu sunyi dan matahari
telah naik tinggi. Tidak nampak seorangpun manusia akan tetapi suara panggilan
tadi terdengar dekat sekali. Kemudian dia melihat bayangan orang berlari cepat
dari belakang dan dia terkejut. Orang itu telah memanggil namanya dari jarak
yang amat jauh, namun suara panggilannya begitu dekat seolah-olah terdengar di
pinggir telinganya! Maklumlah dia bahwa pemanggilnya itu adalah seorang yang
memiliki kepandaian tinggi dan tahu pula dia siapa orang itu, maka dia menanti
sambil berdiri tegak dan jantung berdebar tegang.
Tak lama kemudian Kun Liong sudah berdiri di depannya, tersenyum dan
memandang tajam waiah yang cantik jelita itu.
"Yap In Hong, adikku, adik kandungku..."
In Hong mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan
kakaknya di situ, atau lebih tepat lagi, kakaknya itu agaknya mengejar dan
menyusulnya. "Sejak aku terusir dari Pulau Kwi-ouw, aku menanti kesempatan baik. Melihat
engkau melakukan perjalanan seorang diri, diam-diam aku membayangimu dari jauh,
dan dari jauh pula aku melihat segala sepak terjangmu. Engkau hebat, adikku,
hanya sayang ketika menghadapi Fen-ho Su-liong, engkau terlampau ganas. Mereka
memang bajak sungai yang kejam, akan tetapi belum tentu di antara mereka itu
tidak dapat sadar dan kembali ke jalan benar jika diberi kesempatan. Hampir aku
kehilangan kau ketika engkau malam-malam pergi mengejar maling, dan untung hari
ini aku masih dapat menyusulmu."
"Engkau... engkau mau apakah?" Akhirnya In Hong dapat mengajukan pertanyaan
itu. Hatinya berdebar tidak karuan, dan bermacam perasaan bergelora di dalam
dadanya. Harus diakuinya bahwa ada semacam kebahagiaan dan keharuan terasa di
hatinya ketika dia berhadapan dengan orang yang menjadi kakak kandungnya itu,
akan tetapi juga terdapat rasa kekhawatiran dan tidak senang ketika dia teringat
bahwa penghidupan gurunya yang tercinta dirusak oleh kakaknya ini.
"In Hong, aku adalah kakak kandungmu yang mencari-carimu, dan setelah kita
bertemu bagaimana engkau bisa mengajukan pertanyaan seperti itu" Aku adalah
kakakmu, dan karena ayah bunda kita sudah tidak ada, maka aku adalah walimu,
pengganti ayah bundamu."
Aku... aku tidak mempunyai urusan apa-apa denganmu dan... dan sejak kecilpun
di antara kita tidak ada hubungan apa-apa. Sudahlah, kita tidak perlu saling
mengganggu, jalan hidup kita berpisah dan aku tidak mau terlibat dengan urusanmu
atau siapapun juga."
"In Hong! Dengar baik-baik, aku bertindak selaku kakak dan wakil orang
tuamu. Aku harus melakukan kebaktian terakhir terhadap orang tua kita dengan
mengatur urusan masa depanmu. Dengarlah, baru-baru ini Cia Keng Hong locianpwe,
ketua Cin-ling-pai datang berkunjung ke rumahku dan beliau mengulurkan tangan
menjodohkan puteranya yang bernama Cia Bun Houw denganmu! Tentu saja aku setuju
karena menjadi mantu ketua Cin-ling-pai merupakan kehormatan besar sekali dan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekaligus mengangkat nama mendiang orang tua kita. Cia Bun Houw telah berguru
kepada Kok Beng Lama, yaitu ayah mertuaku yang sakti dan kini tentu
kepandaiannya sudah hebat bukan main, dan menurut penuturan ketua Cin-ling-pai,
sekarang sedang dijemput untuk pulang ke Cin-ling-san."
Kun Liong yang mengucapkan kata-kata itu dengan hati gembira dan mengira
bahwa adiknya sebagai seorang gadis muda tentu akan menjadi merah mukanya karena
dibicarakan tentang urusan jodohnya, kini menghentikan kata-katanya dan
memandang dengan heran. Wajah adiknya itu biasa saja, bahkan dingin dan sama
sekali tidak perduli, kelihatannya agak termenung seperti orang terkejut. Dan
memang bukan urusan perjodohan itulah yang menarik hati In Hong, melainkan
mendengar betapa ketua Cin-ling-pai baru saja datang ke rumah kakaknya itu
membicarakan urusan pernikahan, berarti bahwa ketika ketua itu pergi ke rumah
kakaknya itulah Lima Bayangan Dewa datang menyerbu dan mencuri Siang-bhok-kiam.
Dan jelas bahwa kakaknya ini belum mendengar tentang peristiwa yang menggegerkan
itu, maka bicara enak saja tentang perjodohan, tidak tahu bahwa di tempat yang
mengusulkan perjodohan itu terjadi malapetaka yang menggegerkan.
"In Hong, karena itu sekarang engkau ikutlah pulang bersamaku. Percayalah
bahwa selama ini aku dan kakak iparmu selalu mengenangmu. Aku tidak ingin
memperhebat kebencian subomu kepadaku maka aku selama ini tidak mau
mempergunakan kekerasan untuk merampasmu. Pula, aku tidak ingin mempergunakan
paksaan terhadap dirimu, hanya kuharap engkau dapat sadar bahwa tempatmu adalah
di samping kakak kandungmu."
"Koko, sudahlah, lupakan saja bahwa engkau mempunyai seorang adik kandung
seperti aku. Engkau telah merusak kehidupan suboku, mana mungkin aku akan
menyakiti hatinya dengan berbaik kepa damu" Marilah kita berpisah dengan baik
dan selanjutnya tidak perlu kita saling bertemu kembali." Setelah berkata
demikian, In Hong membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"In Hong...!" Kun Liong berseru keras dan sekali berkelebat dia sudah
menghadang di depan gadis itu. "Sadarlah, engkau adalah puteri pendekar besar
Yap Cong San dan Gui Yan Cu, sama sekali bukan keturunan golongan hitam! Dan aku
sudah menyetujui tentang ikatan jodohmu dengan putera ketua Cin-ling-pai! Engkau
adalah calon mantu Pendekar Sakti Cia Keng Hong!"
"Kalau begitu, mengapa tidak engkau saja yang menjadi mantunya, koko?" jawab
In Hong dengan nada mengejek.
Wajah Kun Liong berubah karena ucapan itu benar-benar menancap di hatinya,
terasa benar kena dan tepatnya. Memang sebenarnya dialah yang dahulu hendak
dijodohkan dengan puteri pendekar sakti itu, yaitu Cia Giok Keng. Akan tetapi
dia jatuh cinta kepada Pek Hong Ing sehingga ikatan jodoh itu gagal. Kini, baru
dia sadar bahwa desakan-desakannya kepada adiknya ini sebagian besar adalah
untuk "menebus dosa" atau menyambung kembali yang dahulu putus olehnya. Dia lupa
bahwa dalam hal perjodohan, adiknya sama dengan dia, berhak menentukannya
sendiri! Ucapan adiknya itu seperti halilintar menyambar kepalanya dan
membuatnya sadar, membuatnya tidak mampu lagi bicara, hanya memandang wajah
adiknya yang cantik itu dengan muka muram.
Melihat wajah kakaknya, In Hong menjadi sabar. "Koko, aku mohon kepadamu,
habisilah urusan ini sampai di sini saja. Aku diperkenankan merantau oleh subo,
dan aku sudah berjanji kepadanya untuk tidak kembali kepadamu, maka selamat
berpisah dan semoga hidupmu bahagia, koko. Aku akan mencari jalanku sendiri,
harap kau tidak mencampuri urusanku seperti akupun tidak akan mencampuri
urusanmu." In Hong meloncat dan berlari pergi. Kun Liong tidak lagi mengeiar, hanya
memandang dengan mata sayu. Bibirnya bergerak seperti berdoa, "Ayah dan ibu,
anakmu ini sejak dahulu tidak pernah berbakti kepada orang tua, sekarang
mengurus adikpun tidak mampu. Ampunilah aku..."
Sampai lama dia berdiri termenung di tempat itu. Ketika dia mengenangkan
adiknya, hatinya perih. Dari sepak terjang adiknya yang dilihat dari jauh ketika
In Hong membasmi Fen-ho Su-liong, dia tahu bahwa adiknya sudah ketularan watak
keras dan ganas dari Bi Kiok sehingga andaikata adiknya menjadi mantu ketua Cin-
ling-pai dan tidak dapat merobah wataknya, tentu malah akan mendatangkan hal-hal
yang tidak baik. Perlahan-lahan dia lalu meninggalkan tempat itu untuk pulang
dan mengabarkan kepada isterinya tentang adiknya ini dan selama melakukan
perjalanan beberapa pekan ini. Kun Liong menjadi agak kurus. Batinnya tertekan
dan tertindih apabila dia teringat kepada In Hong.
Sementara itu, In Hong meninggalkan kakaknya, perasaan marah dan penasaran
segera menghapus keharuannya. Mereka itu terlalu menghinanya, terlalu memandang
rendah kepadanya, pikirnya. Keluarga ketua Cin-ling-pai dan kakaknya itu! Dia
tidak dianggap sebagai manusia! Apakah dia itu kucing atau anjing, mau
dikawinkan begitu saja dan telah dirundingkan masak-masak, telah diikat
perjodohan sebelum dia sendiri tahu akan persoalannya" Belum apa-apa dia sudah
ditentukan sebagai jodoh atau calon jodoh seorang pria yang sama sekali tak
pernah dilihatnya, yang bernama... eh, siapa lagi tadi" Cia Bun Houw" Biar dia
pendekar sakti seperti dewa sekalipun, apakah dia dikira seorang perempuan yang
gila pria, mau menurut begitu saja dicarikan jodoh" Terlalu! Hatinya menjadi
panas, terutama sekali kepada keluarga Cia yang begitu mudah saja menarik dia
sebagai calon mantu. "Lihat saja kalian nanti!" gerutunya. "Aku bukan benda mati atau binatang
peliharaan yang dapat kalian perlakukan seenak hati kalian sendiri!" Dengan hati
panas dia melanjutkan perjalanannya, perantauannya yang tanpa tujuan tertentu
itu. *** Sukar dibayangkan betapa hebat pukulan batin yang diderita oleh Pendekar
Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, ketika mereka berdua pulang ke
Cin-ling-san setelah mereka mengunjungi rumah Yap Kun Liong di Leng-kok. Padahal
perjalanan itu amat menggembirakan hati kedua orang suami isteri yang sudah
kakek nenek berusia enam puluh tahun lebih itu. Perjalanan yang menyegarkan dan
menyehatkan setelah belasan tahun mereka tidak lagi melakukan perjalanan keluar
dari Cin-ling-san. Cia Keng Hong menggigit bibirnya dan mengepal kedua tinju tangannya,
sedangkan isterinya hampir pingsan, lalu menangis menjatuhkan diri di atas kursi
ketika mereka berdua disambut dengan ratap tangis oleh anak buah dan anak murid
mereka. Apalagi ketika mendengar penuturan mereka tentang matinya tujuh orang di
antara Cap-it Ho-han dan seorang anak murid lain. Wajah Keng Hong berubah
menjadi pucat sekali. "Biar aku pergi mencari mereka! Si bedebah Lima Bayangan Dewa biar akan
bersembunyi di neraka sekalipun, akan kucari sampai dapat dan kucincang kepala
mereka sampai hancur!" Nenek itu berteriak-teriak sambil mengepal tinju.
Menghadapi malapetaka yang demikian hebat, nenek itu kembali menjadi Sie Biauw
Eng, bekas pendekar wanita yang tidak pernah mengenal takut dan yang pernah
namanya menggemparkan dunia kang-ouw ketika dia masih berjuluk Song-bun Siu-li!
Kakek ketua Cin-ling-pai itu menghibur isterinya dan mereka duduk
berdampingan di atas kursi dengan muka sebentar pucat sebentar merah ketika anak
murid Cin-ling-pai menceritakan dengan sejelasnya akan penyerbuan di Cin-ling-
pai oleh Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan pembunuhan atas diri para murid Cin-
ling-pai di restoran Koai-lo di kota Han-tiong.
"Tadinya teecu sekalian bingung karena tidak ada yang mengetahui nama empat
orang lain dari Lima Bayangan Dewa, sedangkan yang tahu hanya suheng Coa Seng Ki
yang pada saat itu belum tewas namun terluka amat hebat..." Pembicara itu
menghapus air matanya. "Untung datang Hong Khi Hoatsu locianpwe bersama
locianpwe Tio Hok Gwan yang dapat memberi kekuatan sementara kepada Coa-suheng
untuk memberitahukan nama-nama mereka."
"Lekas sebutkan nama-nama mereka!" Cia Keng Hong berkata, suaranya penuh
kegemasan dan kemarahan tertahan. Maka disebutlah satu demi satu nama dan
julukan empat orang di antara Lima Bayangan Dewa itu dan dicatat baik-baik di
dalam hati oleh Cia Keng Hong dan isterinya.
"Hemm, tentu semua ini gara-gara Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok," Cia Keng
Hong berkata marah. "Dia adalah sute dari Ouwyang Kok dan tentu dia yang
menggerakkan yang lain untuk membalas dendam. Dasar pengecut hina! Mengapa dia
datang pada saat aku tidak berada di Cin-ling-san?"
Mendengar dicurinya Siang-bhok-kiam, tidak begitu menyedihkan hati Cia Keng
Hong, tidak seperti kematian tujuh orang Cap-it Ho-han dan seorang anak murid
lain. Akan tetapi isterinya berkata, "Biarpun pedang itu tidak sangat berharga,
akan tetapi benda itu adalah pusaka lambang kebesaran Cin-ling-pai! Lebih dari
itu malah, Siang-bhok-kiam sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai
lambang kemenangan dari kebaikan melawan kejahatan. Lenyapnya Siang-bhok-kiam
dari Cin-ling-pai tentu akan menggegerkan dunia persilatan dan memberanikan hati
kaum sesat untuk beraksi."
Cia Keng Hong mengangguk-angguk membenarkan pendapat isterinya
itu."Bagaimana juga, aku sendiri akan bergerak mencari kembali Siang-bhok-kiam
dan membasmi para pengecut itu. Akan tetapi kita harus menanti datangnya Kin Ta
berempat yang menjemput Bun Houw."
Ketika suami isteri ini mendengar tentang kedatangan seorang tosu dan tokouw
yang agaknya hendak mengacau di waktu peti-peti mati disembahyangi dan kedua
orang aneh itu pergi ketika Tio Hok Gwan dan Hong Khi Hoatsu muncul, Keng Hong
menarik napas panjang dan berkata kepada isterinya, "Tidak kusangka, di dalam
usia tua aku masih terus dikejar-kejar musuh. Aihhh... jalan kekerasan memang
selalu mendatangkan kekerasan lain sampai selama kita hidup. Akan tetapi aku
tidak menyesal, memang sudah resikonya begini dan sampai matipun aku selalu akan
membela kebenaran dan menentang kejahatan!" Isterinya setuju dengan pendirian
suaminya ini dan berjanji akan membela suaminya sampai akhir hayat.
Berhari-hari suami isteri yang sudah tua ini menanti dalam keadaan
berkabung. Ketika pada suatu hari Bun Houw bersama empat orang tertua dari Cap-
it Ho-han datang, mereka disambut dengan tangis dan ratap menyedihkan. Dapat
dibayangkan betapa marah dan terkejut hati Kwee Kin Ta dan para sutenya
mendengar penuturan tentang matinya tujuh orang sutenya dan lenyapnya pedang
puaka Siang-bhok-kiam. Sambil mengeluarkan teriakan keras Kwee Kin Ta yang sudah
berusia enam puluh tahun lebih, sebaya dengan ketuanya, roboh pingsan!
"Ayah, akan percuma sajalah anak berlatih ilmu selama bertahun-tahun kalau
aku tidak bisa mencari mereka, merampas kembali Siang-bhok-kiam dan membalaskan
kematian para suheng itu!" Bun Houw berkata sambil menahan air matanya. Dia
tidak dapat mengusap air matanya ketika melihat ayah dan ibunya yang sudah tua
itu sampai menangis. Cia Keng Hong menyadarkan Kin Ta dan dengan suara keren lalu berkata,
"Cukuplah semua kelemahan ini! Cin-ling-pai bukanlah perkumpulan orang-orang
cengeng! Mati dalam mempertahankan kebenaran bukanlah mati konyol dan tidak
perlu terlalu disedihkan benar. Mereka itu mati sebagai murid-murid Cin-ling-pai
yang tidak memalukan, menghadapi kejahatan dengan gagah perkasa dan matipun
tidak sia-sia. Habiskan semua kedukaan yang hanya melemahkan hati kita sendiri
dan mari kita bicarakan bagaimana baiknya untuk mencari kembali Siang-bhok-kiam
dan menghukum Lima Bayangan Dewa."
Cia Keng Hong dan isterinya lalu berunding dengan Bun Houw dan empat orang
tertua Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta dan adiknya, Kwee Kin Ci, Louw Bi dan Un
Siong Tek yang usianya masing-masing sudah lima puluh tahun. Di dalam
perundingan ini, Bun Houw kukuh dengan keinginannya untuk mencari pusaka yang
hilang dan menghukum musuh-musuhnya.
Ketika ayahnya menyatakan keputusannya hendak pergi sendiri bersama ibunya,
Bun Houw membantah keras. "Ayah dan ibu sudah tua, dan biarpun urusan ini adalah
urusan ayah dan ibu, akan tetapi bukankah anak berhak untuk mewakili orang tua"
Pula, lima pengecut hina itu adalah pengecut-pengecut yang hanya berani bergerak
di waktu ayah dan ibu tidak ada, maka kurasa kepandaian mereka tidak berapa
hebat. Sudah cukuplah kalau anak sendiri yang menghadapi mereka dan anak
mempertaruhkan nyawa untuk tugas ini! Di samping itu, pengalaman yang sudah
menjadi pelajaran bahwa apabila ayah dan ibu meninggalkan Cin-ling-pai, para
pengecut berani bermain gila. Sebaiknya kalau ayah dan ibu tetap tinggal di
sini, siapa tahu mereka itu akan datang lagi."
Cia Keng Hong saling bertukar pandang dengan isterinya. Betapapun juga,
mereka masih khawatir untuk melepas Bun Houw pergi sendiri karena anak itu baru
saja datang setelah pergi selama lima tahun dan biarpun kepandaiannya mungkin
sudah tinggi, namun masih kurang pengalaman. Akan tetapi, untuk menolak dan
melarang begitu sajapun sukar, selain tidak ada alasan kuat, juga amat tidak
baik, berarti menekan semangat kependekaran putera sendiri.
"Mari kita semua ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat)!" Tiba-tiba Cia
Keng Hong berkata kepada putera dan murid-muridnya.
Setelah tiba di ruangan bersilat yang amat luas ini, Kwee Kin Ta dan tiga
orang sutenya duduk di atas bangku di pinggir, sedangkan Cia Keng Hong lalu
berkata kepada Bun Houw, "Kau bersiaplah melawanku dan waspadalah, aku
bersungguh-sungguh!"
Bun Houw adalah anak pendekar yang sejak kecil digembleng dengan ilmu silat.
Tanpa banyak cakap dia sudah mengerti bahwa ayahnya tidak rela membiarkan dia
pergi mencari pedang Siang-bhok-kiam karena ayahnya masih belum percaya akan
kepandaiannya. Kalau dia tidak bisa mengalahkan ayahnya, atau setidaknya
mengimbangi kepandaian ayahnya, jangan harap ayahnya akan membolehkannya pergi
melakukan tugas berbahaya itu.
Cepat dia lalu mengencangkan pakaian, meloncat ke tengah ruangan itu,
berdiri tegak sambil berkata, "Aku sudah siap, ayah!"
Cia Keng Hong berbisik kepada isterinya, kemudian mengeluarkan bentakan
nyaring dan tubuhnya sudah mencelat ke tengah ruangan itu. "Awas serangan...!"
Langsung dia lalu menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat,
menggunakan jurus-jurus pilihan dari San-in Kun-hoat. Hebat bukan main Ilmu
Silat San-in Kun-hoat ini karena begitu dimainkan, kedua telapak tangan pendekar
tua itu mengeluarkan uap putih, sesuai dengan nama ilmu silatnya, yaitu San-in
Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung).
"Haiiittt...!" Bun Houw juga mengeluarkan suara pekik dahsyat dan cepat dia
menggerakkan kaki tangannya menyambut serangan ayahnya, bukan mengelak melainkan
menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya. Terdengarlah suara dak-duk-dak-duk
ketika berkali-kali lengan ayah dan anak itu saling beradu dan hanya beberapa
kali saja Bun Houw agak tergeser ke belakang namun tidak membuat dia sampai
terhuyung. Tentu saja dia sudah hafal benar akan Ilmu Silat San-in Kun-hoat ini
dan dia dapat mengimbangi permainan ayahnya, bahkan dia juga membalas dengan
jurus-jurus pilihan dari ilmu silat ini. Gerakan mereka makin lama makin cepat
sehingga sukarlah bagi orang biasa untuk dapat mengikuti bayangan-bayangan yang
sudah menjadi satu itu. Kwee Kin Ta dan para sutenya memandang kagum karena
sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi merekapun dapat melihat betapa ketua
mereka mengerahkan tenaga dan kepandaian, dan betapa putera ketua mereka itu
melawan dengan kekuatan yang tidak kalah hebatnya!
Tiba-tiba Cia Keng Hong merobah gerakannya setelah mengeluarkan suara keras
dan kini dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bun Houw terkejut dan berlaku
hati-hati sekali. Dia sendiri sudah melatih diri dengan ilmu silat mujijat ini,
akan tetapi karena dia maklum bahwa ayahnya adalah seorang ahli yang sukar
dicari bandingannya, maka dia tentu kalah matang dan karena itu dia
mengimbanginya dengan Thai-kek Sin-kun dan mencampurinya dengan ilmu yang dia
peroleh dari gurunya selama lima tahun ini di Tibet. Kedua tangannya menggetar-
getar mengeluarkan tenaga mujijat karena dia telah mengerahkan Ilmu Thian-te
Sin-ciang (Tangan Sakti Langit dan Bumi) yang membuat kedua tangan Kok Beng Lama
dapat menahan segala senjata pusaka!
Cia Keng Hong terkejut dan girang sekali ketika merasa betapa dari kedua
tangan puteranya itu menyambar hawa yang luar biasa, ada rasa panas dan ada rasa
dingin, dan semua gerakan serangannya yang terlalu cepat dan terlalu hebat
sehingga mendesak puteranya, ternyata membalik dan tertahan oleh hawa aneh dari
kedua tangan puteranya itu!
Dia menyerang terus, dan juga menjaga diri karena Bun Houw tidak membiarkan
dirinya diserang tanpa membalas. Dia membalas jurus dengan jurus, terjangan
dengan terjangan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga di sekeliling ayah dan
anak ini, dalam jarak empat meter terasa angin yang menyambar-nyambar, kadang-
kadang panas sekali, kadang-kadang amat dinginnya.
Dua ratus jurus telah lewat dan belum juga Cia Keng Hong mampu mengalahkan
puteranya, bahkan kini dia mulai terdesak karena betapapun usianya yang sudah
enam puluh tahun lebih itu mengurangi tenaga dan napasnya.
Hyyyyaaaaattt...!" Tiba-tiba Sie Biauw Eng mengeluarkan suara melengking
nyaring dan wanita tua ini terjun ke dalam medan pertandingan, langsung
menyerang puteranya dengan pukulan-pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun)!
Bun Houw sudah melatih diri dengan pukulan-pukulan ini pula, akan tetapi dia
berlaku hati-hati dan cepat mengelak den membalas dengan serangan terhadap
ibunya karena dia maklum bahwa kalau dia menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang
terhadap ibunya, dia khawatir ibunya takkan kuat bertahan dan akan menderita
luka. Maka dikeroyoklah pemuda itu oleh kedua ayah bundanya den inilah agaknya
yang tadi dibisikkan oleh Cia Keng Hong kepada isterinya, yaitu untuk maju
mengeroyok apabila dalam dua ratus jurus dia masih belum mampu mengalahkan
puteranya. Pertandingan menjadi makin seru den kini bahkan Kwee Kin Ta den adik-adiknya
sendiri menjadi pening mengikuti gerakan mereka yang luar biasa cepatnya. Empat


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang tertua dari Cap-it Ho-han ini terkejut den kagum bukan main. Diam-diam
mereka harus mengakui bahwa dibandingkan dengan Bun Houw, tingkat mereka kalah
jauh sekali dan menduga-duga bahwa mungkin kepandaian pemuda itu kini sudah
mengimbangi kepandaian ayahnya!
"Hyaaaaatt!" "Haiiiiikkkkk!"
Cia Keng Hong den isterinya memekik nyaring ketika pukulan Bun Houw
menyambar ke arah mereka. Mereka tidak mengelak melainkan menyambut pula dengan
telapak tangan mereka sehingga kedua tangan pemuda itu menempel pada tangan ayah
dan ibunya. Suami isteri itu mengerahkan tenaga dan tubuh Bun Houw terangkat,
kedua tangannya masih menempel di tangan ayah bundanya dan kakinya ditarik ke
atas. "Aaaaahhhhh!" Suami isteri itu mengerahkan tenaga dan melemparkan tubuh
putera mereka dengan dorongan keras. Tubuh Bun Houw terlempar ke atas, akan
tetapi bukannya terbanting jatuh, sebaliknya malah berjungkir balik di udara,
sampai dua kali dan ketika tubuhnya melayang turun, kedua kakinya sudah
mengancam pundak kedua orang tua mereka!
"Ihhh...!" Sie Biauw Eng memekik kaget dan cepat dia menangkap kaki yang
hendak menotok pundaknya itu. Juga Keng Hong menangkap kaki kedua dan kembali
mereka mendorong kedua kaki itu ke atas. Kini Bun Houw terlempar jauh dan dia
berjungkir balik lagi, dan hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya agak
dibengkokkan. Pada saat itu, ayah bundanya sudah meloncat ke atas dan membalas dengan
serangan kaki dari atas. Ini memang merupakan jurus yang amat berbahaya dan yang
tadi sudah dipergunakan oleh Bun Houw dengan baik sekali sehingga kalau saja
bukan ayah bundanya yang diserang, tentu akan roboh terkena totokan ujung
kakinya. Kini ayah bundanya menyerang dengan berbareng. Bun Houw terkejut, akan
tetapi diapun dapat menangkap dua buah kaki, masing-masing sebuah dari ayah
bundanya dan tanpa menanti kaki kedua menyerang, dia sudah melemparkan ayah
bundanya dengan pengerahan tenaga sin-kang. Kakek dan nenek itu terlempar dan
berjungkir balik seperti yang dilakukan putera mereka tadi. Mereka hinggap di
atas lantai dan memandang dengan wajah berseri dan kagum.
"Jaga ini...!" Tiba-tiba Cia Keng Hong berseru keras dan dia sudah menerjang
lagi sendirian dan mengirim pukulan ke arah puteranya. Bun Houw cepat menangkis
dan kembali bertemulah lengan mereka.
"Dukk!" Bun Houw terkejut karena lengannya melekat pada lengan ayahnya dan dia
merasa tenaga sedotan hebat sekali. Tahulah dia bahwa ayahnya telah menggunakan
Thi-khi-i-beng, ilmu yang paling hebat dan mujijat dari ayahnya.
"Wuuut-plakk!" Dia mengerahkan tenaga, membuat gerakan memutar dan cepat
sekali jari tangannya menotok ke arah dada ayahnya. Totokan maut yang amat
berbahaya dan pada saat Cia Keng Hong menangkisnya, Bun Houw telah berbasil
melepaskan lengannya yang menempel tadi!
Cia Keng Hong terkejut dan heran, kembali menyerang dan setiap kali lengan
mereka bersentuhan, dia menggunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi selalu Bun Houw dapat melepaskan bagian tubuhnya yang melekat pada tubuh
ayahnya. Akhirnya mengertilah Cia Keng Hong bahwa Thi-khi-i-beng tidak lagi
mampu mengalahkan pemuda itu, maka dia meloncat ke belakang dan berkata,
"Cukup!" Bun Houw maju dengan muka gembira. "Bagaimana pendapat ayah dan ibu"
Luluskah aku?" "Engkau hebat, aku tidak lagi mampu menandingimu, Houw-ji (anak Houw)!" Sie
Biauw Eng berseru gembira.
"Aku girang sekali melihat bahwa gurumu telah membimbingmu sehingga engkau
bahkan dapat menghadapi Thi-khi-i-beng! Engkau tahu mengapa aku tidak menurunkan
ilmu itu kepadamu, anakku?" Cia Keng Hong berkata.
"Aku mengerti, ayah. Ilmu itu hanya dapat diturunkan kepada satu orang saja,
dan ayah sudah memberikannya kepada suheng Yap Kun Liong. Aku tidak merasa iri,
ayah." "Bagus, kalau engkau sudah mengerti. Sekarang coba kau bersilat pedang,
hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu."
Ayah dan ibu itu sudah mandi keringat ketika mengeroyok Bun Houw tadi, akan
tetapi Bun Houw hanya berkeringat di leher dan dahi saja, dan sama sekali tidak
kelihatan lelah. Dia mengangguk, meloncat ke tengah ruangan, mencabut pedangnya
dan mulailah dia bersilat pedang. Mula-mula Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya
masih dapat mengenal gerakan pedang yang indah dari ilmu pedang Cin-ling-pai
yang juga mereka kuasai, kemudian meningkat kepada Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-
sut yang gerakannya membuat pedang itu berubah menjadi gulungan sinar yang
selalu bersilang-silang dan memang keistimewaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut
adalah gerakannya yang bersilang, akan tetapi ketika makin lama Bun Houw
mempercepat gerakannya dan merobah ilmu pedangnya, empat orang murid tertua dari
Cin-ling-pai itu menjadi bengong karena selain mata mereka menjadi silau, juga
mereka tidak mampu lagi mengenal ilmu pedang yang dimainkan oleh Bun Houw. Yang
tampak hanya gulungan sinar pedang dan angin menyambar-nyambar, bahkan mereka
yang berada di sudut ruangan itu dapat merasakan sambaran angin dingin itu.
Setelah Bun Houw menghentikan permainan pedangnya, Cia Keng Hong mengangguk-
angguk. Tadi dia sudah saling berbisik dengan isterinya bahwa ilmu kepandaian
putera mereka itu sudah cukup tinggi dan boleh diandalkan untuk putera mereka
pergi menentang bahaya mencari dan merampas kembali pusaka Cin-ling-pai.
"Baiklah, engkau boleh pergi mencari mereka dan merampas kembali pedang
kita, Houw-ji. Akan tetapi ingatlah baik-baik bahwa hanya ilmu silat tinggi saja
masih belum cukup kuat untuk menjaga diri. Engkau harus berhati-hati terhadap
segala macam tipu muslihat lawan yang curang dan untuk menghadapi itu bekalnya
hanyalah ketenangan dan kewaspadaan."
Selama dua hari beristirahat di Cin-ling-san, tiada hentinya Bun Houw
menerima nasibat dan pesan dari ayah dan bundanya tentang keadaan di dunia kang-
ouw, tentang kecurangan-kecurangan para tokoh kaum sesat dengan menceritakan
pengalaman mereka di waktu muda. Biarpun puteranya itu sudah pula mewarisi ilmu
pukulan beracun Ngo-tok-ciang, akan tetapi karena maklum betapa banyaknya ahli
tentang racun di dunia kaum sesat, Sie Biauw Eng lalu memberikan tusuk kondenya
yang berbentuk bunga bwee kepada puteranya.
"Setiap makanan atau minuman yang mencurigakan, kaucoba dengan ujung tusuk
konde ini. Kalau ujungnya berwama hijau, di situ terdapat racun yang membius
atau memabokkan, kalau berwama hitam, terdapat racun yang mematikan," pesannya.
Setelah beristirahat dua hari, maka berangkatlah Cia Bun Houw meninggalkan
Cin-ling-san untuk menyelidiki tentang Lima Bayangan Dewa, membawa bekal
pakaian, uang, dan pedangnya. Sehari setelah dia berangkat, Kwee Kin Ta dan tiga
orang sutenya juga berpamit dari guru dan ketua mereka untuk berusaha mencari
jejak musuh-musuh besar itu dan mengingat akan kedukaan dan kehilangan para
muridnya ini, Cia Keng Hong tidak tega untuk menolak. Maka berangkat pulalah
empat orang tua ini dan mereka berempat sudah bersepakat bahwa mereka tidak akan
kembali ke Cin-ling-pai sebelum tugas mereka berhasli, yaitu mendapatkan di mana
adanya musuh-musuh besar itu, membalas dendam dan merampas kembali pedang
pusaka. Cia Keng Hong sendiri bersama isterinya yang sudah berusia lanjut itu
menanti di Cin-ling-san dan hanya dapat berprihatin sambil menjaga kalau-kalau
ada musuh lagi yang datang mengacau Cin-ling-pai.
*** In Hong memasuki pasar di kota I-kiang itu sambil melihat-lihat orang
berjual beli. Pasar itu cukup ramai, penuh dengan orang berdagang sayur-mayur
dan buah-buahan. Terutama sekali di bagian ikan, bukan main ramainya dan juga
baunya amis karena pasar itu merupakan pusat perdagangan ikan hasil kaum nelayan
di Sungai Yang-ce-kiang karena kota I-kiang itu memang merupakan kota pelabuhan
sungai besar itu. Mungkin telah menjadi watak seluruh wanita di dunia ini, mereka suka sekali
untuk mengunjungi pasar, berbelanja atau hanya melihat-lihat saja! In Hong
agaknyapun tidak terkecuali. Dia suka sekali memasuki pasar untuk sekedar
melihat-lihat dan kadang-kadang membeli buah-buahan atau apa saja yang menarik
hatinya. Demikian pula ketika perantauannya membawa dia ke I-kiang dan kebetulan
dia melewati sebuah pasar yang ramai, dia tertarik dan memasuki pasar itu,
berdesak-desakan dengan orang-orang lain yang sebagian besar adalah wanita-
wanita berbelanja. Setelah membeli beberapa biji buah apel yang merah dan kelihatan segar, In
Hong lalu memasuki bagian perdagangan ikan yang ramai dan penuh orang. Kiranya,
di situ memang pusatnya, bukan hanya perdagangan eceran, melainkan partai besar
dan di sini terdapat banyak pedagang dari luar kota yang datang untuk memborong
banyak ikan dan akan dibawa keluar kota. Ratusan keranjang ikan ditimbang dan
ramai orang bercakap-cakap. Mereka semua sibuk dengan urusan mencari untung
sehingga kemunculan seorang dara cantik seperti In Hong pun tidak begitu menarik
perhatian secara menyolok.
Tiba-tiba In Hong menahan senyumnya. Dia mengenal seorang laki-laki tua
bertopi, yang menyelinap di antara benyak orang yang sedang menimbang ikan-ikan
dalam keranjang itu. Dia lalu mendekati sambil menyelinap di belakang orang-
orang dan mengikuti gerak-gerik laki-laki tua bertopi itu dengan pandang
matanya. Hampir saja dia tertawa geli ketika melihat pemandangan itu. Seorang
laki-laki gendut berpakaian mewah, agaknya seorang juragan ikan yang kaya,
agaknya seorang pendatang dari kota lain yang sengaja memborong ikan-ikan di
situ, mengalahkan lain pedagang karena dia berani membayar lebih tinggi, berdiri
di antara orang banyak dengan lagak sombong seorang yang merasa lebih berkuasa
daripada orang lain dan memang di pasar itu dia berkuasa dengan uangnya. Laki-
laki tua bertopi itu longak-longok, menyelinap ke belakang pedagang gendut itu
dan dia bersembunyi di belakang beberapa orang yang berada di belakang si
pedagang gendut. Akan tetapi lucunya, lengan kakek bertopi itu dapat menyusup
seperti seekor ular melalui belakang tubuh orang lain dan tahu-tahu tangannya
telah tersembul di atas kantong baju si pedageng gendut!
In Hong tersenyum dan hampir terbatuk-batuk karena saat itu dia sedang makan
apel yang manis. Karena geli hatinya hampir saja buah apel yang digigitnya itu
salah masuk. Sambil memandang dan mengikuti gerak-gerik kakek bertopi itu, In
Hong menjepit biji apel yang kecil dengan jari tangannya, menanti sampai tangan
yong seperti kepala ular itu merayap memasuki kantong baju si pedagang gendut,
kemudian tiba-tiba dia menyentil dengan jari tangannya.
"Tukk... auuhhh...!" Pencopet tua itu menjerit akan tetapi cepat menahan
suaranya dan menutupi mulutnya sambil menggosok-gosok punggung tangannya yang
menjadi merah dan terasa panas dan nyeri sekali. Semua orang menengok, akan
tetapi mereka hanya melihat seorang kakek bertopi terbatuk-batuk, menutupi
mulutnya, agaknya kumat batuknya karena bau ikan yang amis itu, maka dia tidak
lagi menjadi perhatian orang.
Kakek bertopi itu bersungut-sungut dan dengan mulut cemberut dia menoleh ke
kanan dari mana tadi sebuah benda kecil menyambar tangannya. Matanya terbelalak
dan tiba-tiba dia tertawa, lalu mendesak orang di kanan kirinya untuk lari
menghampiri In Hong. Banyak orang memakinya gila, tadi terbatuk-batuk keras dan
kini lari mendorong orang ke kanan kiri.
Entah bagaimana, melihat wajah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, tiba-tiba saja
hati In Hong terasa gembira dan tadi dia memang menggoda pencopet lihai itu.
"Hemmm... si seniman kembali mempertunjukkan kemahiran seninya!" In Hong
mengejek. "Sssttt... lihiap, mari kita bicara di luar pasar..." Kakek itu mendahului
dan melihat sikapnya yang sungguh-sungguh itu, biarpun hatinya merasa geli, In
Hong mengikutinya juga. Mereka tiba di tempat sunyi dan kakek itu memandang In
Hong sambil menghela napas panjang.
"Wah, aku telah gagal total! Lihiap tahu apa yang berada di kantongnya itu"
Seuntai kalung mutiara yang mahal, agaknya dibelinya dari toko untuk diberikan
kepada isteri mudanya yang entah keberapa."
In Hong menggeleng kepala. "Paman Can Pouw, kulihat engkau adalah seorang
yang cerdik dan pintar, apakah engkau tidak bisa bekerja lain untuk mendapat
penghasilan kecuali mencopet dan mencuri?"
"Tentu saja bisa, akan tetapi,ahh... seninya itu! Lihiap tidak dapat
merasakan betapa nikmat rasa hatiku di waktu mencopet. Tegang, penuh harapan,
penuh hal yang tak terduga-duga, penuh dugaan apa gerangan yang akan disentuh
tangan setelah memasuki saku, apa yang akan dihasilkan dari jari-jari tangan
yang penuh getaran perasaan, pendeknya... wah, ada seninya! Tetapi, sekali ini
aku memang butuh sekali, butuh uang..."
"Untuk memberi makan isterimu dan belasan orang anakmu yang kelaparan?" In
Hong menggoda. Pencopet lihai itu menggeleng kepala. "Ah, bukan... bukan...! Aku tidak
pernah beristeri dan tidak punya anak..." Dia teringat dan menyambung cepat,
"memang kadang-kadang perlu juga berbohong untuk menyelamatkan nyawa. Akan
tetapi sekali ini lihiap benar-benar merugikan aku! Aku perlu mendapatkan uang
untuk membeli pakaian dan membeli barang sumbangan untuk hari ulang tahun Phoa-
taihiap." "Hemm, Phoa-taihiap?" In Hong tidak mengerti.
"Ah, benar! Lihiap sebaiknya ikut bersamaku ke sana! Phoa-taihiap dikenal
oleh semua golongan, baik golongan putih maupun golongan hitam. Tentu kedua
golongan akan bertemu di sana dan akan terjadi hal-hal yang menarik, apalagi
setelah terjadinya geger di Cin-ling-pai itu. Siapa tahu kalau-kalau fihak Cin-
ling-pai dan fihak Lima Bayangan Dewa, setidaknya kerabat-kerabat mereka, akan
hadir di Wu-han." "Wu-han?" "Aihhhh, aku lupa. Lihiap yang luar biasa lihainya ini ternyata masih belum
berpengalaman apa-apa. Ketika aku berpisah dari lihiap dan kutanya-tanyakan,
tidak ada seorangpun tokoh kang-ouw yang mengenal nama lihiap, padahal
kepandaian lihiap sudah setinggi langit! Phoa-taihiap adalah Phoa Lee It,
seorang tokoh Go-bi-pai yang tersohor dengan ilmu pedangnya Go-bi Kiam-sut, juga
dua orang puteranya terkenal gagah perkasa dan tampan. Kini Phoa-taihiap
merayakan hari ulang tahun dan mengundang semua orang gagah dari kedua golongan,
agaknya selain untuk mempererat perkenalan, juga untuk mencarikan jodoh bagi
kedua orang puteranya, demikian agaknya. Kesempatan baik bagi lihiap, mari
bersamaku pergi mengunjungi perayaan itu di rumahnya, yaitu di kota Wu-han."
In Hong mengerutkan alisnya. Dia sama sekali tidak tertarik. "Akan tetapi
aku tidak diundangnya."
"Akupun tidak, lihiap! Siapa yang membutuhkan undangan" Sudah menjadi lazim
dalam perayaan seorang tokoh, kaum kang-ouw berdatangan dan membawa sekedar
sumbangan untuk ditukar dengan hidangan, ha-ha-ha!"
"Paman Can, jangan kau main-main. Ceritakan yang sebenarnya, bagaimanakah
kebiasaan itu dan mengapa pula paman mengajak aku untuk mengunjungi perayaan
itu?" "Lihiap, mari kita bicara sambil makan di rumah makan itu. Ayam panggangnya
enak sekali dan perutku sudah lapar. Kita duduk makan sambil bercakap-cakap,
lebih enak daripada berdiri begini, bukan?"
In Hong mengangguk dan setelah tiba di dekat restoran, Can Pouw berbisik,
"Bekal uang emas dan perak lihiap itu masih ada, bukan?"
In Hong memandang tajam dan mengangguk.
"Syukurlah, aku sedang tidak mempunyai uang sama sekali," si pencopet
berkata menyeringai. In Hong tersenyum. Hidup menjadi ramai den gembira kalau
dekat dengan tukang copet ini.
Mereka makan minum sambil bercakap-cakap atau lebih tepat lagi, In Hong
mendengarkan penuturan tukang copet itu.
"Wah, banyak yang terjadi semenjak kita berpisah, nona," katanya, kadang-
kadang menyebut siocia (nona) dan kadang-kadang menyebut lihiap (pendekar
wanita). "Lima Bayangan Dewa telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam, agaknya
hendak memperkuat kedudukannya. Mereka malah tidak tampak berada di sarang
mereka yang dikosongkan, tentu sedang pergi ke sana-sini mengumpulkan kekuatan.
Dan belum terdengar ada gerakan apa-apa dari Cin-ling-pai! Akan tetapi keadaan
dunia kang-ouw panas dan tegang, seolah-olah menanti terjadinya bentrokan yang
hebat sebagai akibat dicurinya Siang-bhok-kiam dari golongan putih oleh gologan
hitam. Maka, perayaan di rumah Phoa Lee It ini merupakan kesempatan baik untuk
melihat-lihat! Nona lihai sekali, sayang kalau tidak bertemu dengan tokoh-tokoh
dan datuk-datuk dunia kang-ouw. Marilah pergi bersamaku, lihiap, asal engkau
suka menanti sebentar. Aku akan mencari uang dulu untuk membeli pakaian baru dan
barang hantaran." "Dengan mencuri?"
Can Pouw menggeleng. "Hanya menggunakan seni memindahkan barang orang yang
lengah." In Hong tersenyum. "Aku mau pergi bersamamu untuk melihat-lihat, akan tetapi
dengan janji bahwa selama engkau melakukan perjalanan dengan aku, engkau
dilarang mencopet atau mencuri, dengan istilah apapun hendak kaunamakan. Aku
mempunyai cukup uang untuk membeli pakaianmu dan sekedar barang hantaran."
Jeng-ci Sin-touw Can Pouw menjadi berseri mukanya dan matanya bersinar-
sinar. "Bagus...! Aku girang sekali, lihiap! Soal berhenti bekerja sementara
waktu tidak mengapa. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan lihiap, hadir di
sana bersama lihiap merupakan kehormatan besar sekali bagiku!"
Jeng-ci Sin-touw Can Pouw adalah seorang perantau yang selamanya hidup


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membujang. Mudah mencari uang dengan jalan menggunakan kepandaiannya yang lihai,
akan tetapi mudah pula membuangnya. Dia sudah bosan akan segala macam
kesenangan, dan kebiassannya mencopet atau mencuri hanya untuk memenuhi
kegatalan tangannya saja. Bahkan seringkali, hasil dari pencuriannya itu dia
bagi-bagikan kepada orang miskin tanpa mereka ketahui pula, dan dia tetap
tinggal miskin. Kini, bertemu dengan seorang dara yang memiliki kepandaian amat
hebat dan dia sudah menyaksikan ini, dia menjadi tertarik dan suka serta sayang
sekali seperti rasa sayang seorang ayah kepada anaknya. Ada sesuatu yang menarik
pada diri gadis ini, entah sikapnya yang dingin, ketidak acuhannya terhadap
dunia, kecantikannya yang luar biasa atau kepandaiannya yang amat tinggi itu.
Pendeknya, Can Pouw merasa girang sekali dapat berkenalan dengan dara ini,
apalagi mendapat kesempatan untuk melakukan perjalanan bersama dan mengunjungi
perayaan bersama. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw selain memiliki "seribu jari tangan" juga
mempunyai ketajaman pandangan dan pendengaran yang luar biasa, di samping
hubungannya memang banyak dan erat dengan semua tokoh di dunia kang-ouw. Maka
segala keterangan yang diberikannya kepada In Hong mengenai Phoa Lee It di Wu-
han itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan.
Phoa Lee It adalah seorang tokoh dari partai Go-bi-pai yang besar dan
terkenal. Sudah belasan tahun dia tinggal di Wu-han, membuka perusahaan piauw-
kiok (pengawal barang kiriman atau pelancong) yang memakai nama Go-bi Sam-eng
(Tiga Pendekar Go-bi) dan karena hubungannya dengan semua fihak di dunia kang-
ouw, baik dari kalangan pendekar maupun golongan penjahat amat eratnya, maka
selama dia menjalankan pekerjaannya ini tidak ada yang mau mengganggu. Para
penjahat tidak ada yang mau mengganggu semua barang kawalannya, karena selain
amat berbahaya bermusuhan dengan Phoa Lee It dan dua orang puteranya yang
memiliki kepandaian tinggi, juga setiap kali mereka minta sumbangan kepada
piauw-kiok ini pasti akan dipenuhi. Juga orang she Phoa ini selalu membuka
tangannya terhadep para tokoh kang-ouw yang membutuhkan bantuan, maka diapun
terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul dan gagah perkasa.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa pencurian Siang-bhok-
kiam dari Cin-ling-pai dan pembunuhan atas diri anggauta-anggauta Cap-it Ho-han
menggegerkan dunia kang-ouw dan tentu saja ada fihak yang membela Cin-ling-pai,
ada pula yang membela Lima Bayangan Dewa! Melihat ketegangan dan bahaya
perpecahan secara terbuka ini di dunia kang-ouw. Phoo Lee It sendiri menjadi
cemas, maka timbullah niat di hatinya untuk mengadakan perayaan ulang tahun
perusahaannya yang sudah dua windu (enam belas tahun) lamanya dengan selamat,
dan mengundang semua tokoh kang-ouw dan liok-lim (para perampok) baik dengan
undangan khusus atau dengan undangan umum untuk hadir dalam perayaan itu. Di
samping untuk membuyarkan suasana tegang di antara orang kang-ouw di daerahnya
yang akan mengganggu pekerjaannya, juga pendekar yang menjadi piauwsu int ingin
sekali bertemu dengan sahabat-sahabat lama, para tokoh besar di dunia persilatan
dengan maksud mencarikan jodoh bagi kedua orang puteranya yang sudah lebih dari
dewasa. Phoa Lee It adalah seorang duda dengan dua orang anak laki-laki yang
mewarisi ilmu kepandaiannya, bahkan selama bertahun-tahun ini kedua orang
puteranya itulah yang mewakili dia melakukan pengawalan terhadap barang-barang
kiriman yang berharga. Yang pertama bernama Phoa Kim Cai, seorang pemuda berusia
dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, tampan dan gagah
seperti tokoh sejarah Bu Siong, sikapnya kasar, terbuka dan jujur. Adapun putera
kedua bernama Phoa Kim Sui, tubuhnya sedang dan wajahnya tampan halus seperti
mendiang ibunya, juga seperti kakaknya, amat lihai bermain silat pedang Go-bi
Kiam-sut, hanya sikapnya berbeda dengan kakaknya, dia halus dan agak pendiam.
Pada hari yang ditentukan untuk perayaan itu, sejak pagi sekali dua orang
pemuda itu sudah menyambut datangnya para tamu di ruangan depan, sedangkan ayah
mereka menyambut di bagian dalam, mempersilakan para tamu duduk dan tentu saja
hanya para tokoh besar yang dipersilakan duduk di bagian kehormatan, yaitu
tempat teratas di dekat tempat duduk tuan rumah. Beberapa orang pimpinan piauw-
kiok itu, para pembantu keluarga Phoa, menerima sumbangan-sumbangan yang diatur
di atas meja. Dan tepat seperti diduga semula, banyak sekali tamu yang datang,
dan kedatangan mereka itu bukan semata-mata karena hubungan perkenalan mereka
dengan Phoa piauwsu, akan tetapi terutama sekali terdorong oleh keinginan mereka
menemui tokoh-tokoh dari dua golongan berhubung dengan terjadinya peristiwa
mengegerkan di dunia kang-ouw itu, terutama sekali ketika terdapat berita angin
bahwa Phoa-piauwsu juga mengundang keluarga darl Cin-ling-pai!
Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, Si Malaikat Copet yang banyak akal itu pagi-pagi
telah mengajak In Hong datang ke tempat pasta. In Hong mengenakan pakaian
bekalnya yang agak baru dan meninggalkan buntalan pakaiannya di rumah
penginapan, hanya membawa pedangnya saja dan memakai burung hong kemala di
kepalanya. Can Pouw yang kelihatan gembira sekali itu mengenakan pakaian baru
yang dibelikan oleh In Hong dan sebelum berangkat dia berkata, "Bagus sekali!
Tanpa kuperkenalkan, tentu semua orang mengenal burung hong di rambutmu itu,
lihiap." "Hemm, aku tidak hendak membawa-bawa Giok-hong-pang untuk berlagak," In Hong
berkata. "Perhiasan ini kupakai karena ini pemberian subo dan aku suka
memakainya. Harap kau jangan menyebut-nyebut Giok-hong-pang kepada orang lain,
paman." "Baik, baik... engkau memang seorang dara yang luar biasa dan aneh, lihiap,
mari kita berangkat."
Phoa Kim Cai dan Phoa Kim Sui menyambut mereka dengan penuh hormat dan kedua
orang pemuda itu tentu saja mengenal Jeng-ci Sin-touw. "Selamat pagi, Sin-touw,"
Phoa Kim Cai menyambut dengan senyum gembira. "Kami girang sekali menerima
kunjungan Malaikat Copet, asal seribu jari tanganmu jangan gatal-gatal di sini,
Sin-touw!" Can Pouw tersenyum dan menoleh kepada In Hong. "Lihat, betapa gagah dan
ramahnya putera-putera tuan rumah, lihiap!"
In Hong hanya membalas penghormatan mereka dengan mengangkat kedua tangan di
depan dada dan memandang tak acuh.
"Sin-touw, harap kau suka memperkenalkan nona ini kepada kami!" tiba-tiba
Phoa Kim Cai berkata. "Ha-ha-ha, dia ini adalah... keponakanku bernama Yap In Hong. Lihiap, ini
adalah putera pertama tuan rumah. Phoa Kim Cai kongcu dan ini adiknya, Phoa Kim
Sui kongcu." Kembali In Hong membalas penghormatan mereka dan Phoa Kim Sui berkata dengan
sikap hormat dan halus, "Silakan siocia duduk di dalam!"
In Hong hanya mengangguk dan diiringkan oleh Can Pouw yang berjalan di
sebelahnya dengan lagak bangga, membusungkan dadanya yang kerempeng, tidak tahu
bahwa topinya agak miring di atas kepalanya sehingga dia kelihatan lucu sekali.
In Hong bersikap dingin ketika tadi melihat betapa dua pasang mata tuan rumah
itu memandang kepadanya dengan penuh kekaguman. Hemm, biar kalian sepuluh kali
lebih gagah dan tampan, aku tidak perduli, bisik hatinya yang merasa tidak
senang melihat pandang mata mereka itu. "Paman, engkau masih saja menyebutku
lihiap," In Hong berbisik. Mereka sudah bersepakat untuk mengaku keponakan dan
paman, akan tetapi karena pencopet itu selalu menyebut lihiap kepadanya, tentu
saja mengertilah dua orang pemuda tadi bahwa hubungan paman dan keponakan itu
hanya aku-akuan saja. Apalagi pencopet tua itu jelas begitu membanggakan dara
yang luar biasa cantiknya itu.
Phoa Lee It menyambut mereka dan karena piauwsu ini sudah lama tidak pernah
keluar, dia tidak mengenal Jeng-ci Sin-touw yang datang bersama seorang nona
muda yang cantik. Melihat gerak-gerik Can Pouw dan karena tidak mengenalnya
sebagai tokoh besar, maka dia lalu mempersilakan pencopet itu duduk di ruangan
biasa bersama tamu-tamu lain.
In Hong menganggapnya biasa saja, akan tetapi diam-diam Can Pouw mengomel
panjang pendek. "Aku boleh dia suruh duduk di sini, akan tetapi engkau" Ruangan
kehormatan itupun masih kurang layak bagimu!"
"Ssttt... paman, mengapa mengomel tidak karuan" Aku tidak ingin duduk di
sana," In Hong menegur dengan hati geli "Eh, ke mana bungkusan hadiah sumbangan
kita?" Can Pouw mengeluarkan bungkusan itu dari balik jubahnya. "Kalau kita tidak
diberi tempat di sana, aku juga tidak akan menyerahkan ini!"
"Hushh, paman Can, engkau membikin kita malu saja. Hayo cepat berikan berang
sumbangan itu kepada penjaganya. Lihat, setiap orang yang datang, menyerahkan
bungkusan, akan tetapi kita sendiri tidak! Si penjaga sudah sejak tadi memandang
ke arah kita saja." Ucapan gadis ini memang benar. Tiga orang penjaga dan penerima sumbangan
sejak tadi memandang ke arah mereka akan tetapi bukan karena mereka belum
menyerahkan sumbangan, melainkan karena mereka kagum dan menduga-duga siapa
gerangan dara cantik jelita yang datang bersama Si Malaikat Copet itu.
Sambil bersungut-sungut Can Pouw bangkit berdiri, akan tetapi pada saat itu
terdengar suara berisik mengikuti masuknya sepasang tamu baru yang menarik
perhatian. Semua orang memandang penuh perhatian ketika laki-laki dan wanita itu
memasuki ruangan depan, disambut penuh penghormatan oleh kedua orang putera tuan
rumah lalu diantar masuk. In Hong juga memandang penuh perhatian.
Wanita itu cantik luar biasa, cantik den gagah penuh semangat dan agak
angkuh memandang ke kanan kiri dengan cara menggerakkan matanya melirik dan
menyambar-nyambar penuh selidik. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang
sarungnya terukir indah, pakaiannya juga dari sutera indah dengan bentuk yang
ketat sehingga mencetak tubuhnya yang sudah matang dengan lekuk lengkung
sempurna itu. Wanita itu sebetulnya sudah berusia tiga puluh lima tahun, namun
bentuk tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh gadis remaja saja. Di sampingnya
berjalan seorang pria yang bertubuh tingg! besar seperti tokoh Kwan Kong,
sikapnya pendiam, wajahnya taopan, tampan dan ganteng, pakaiannya sederhana dan
di pinggangnya juga tergantung sebatang pedang. Dari sikap dan gerak-gerik
mereka mudah saja diduga bahwa suami isteri ini adalah orang-orang gagah yang
memiliki kepandaian tinggi dan nama besar.
"Mereka siapa...?" In Hong tertarik sekali dan bertanya kepada Can Pouw
ketika rombongan suami isteri ini menyerahkan sebuah bingkisan kepada para
penjaga penerima sumbangan.
"Engkau tidak mengenalnya..." Eh, ya, sampai lupa aku siapa engkau yang sama
sekali belum mengenal orang-orang kang-ouw. Wanita gagah itulah puteri ketua
Cin-ling-pai, kepandaiannya hebat bukan main dan pria itu adalah suaminya,
seorang yang lihai bernama Lie Kong Tek. Mereka tinggal di dekat kota ini, yaitu
di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Bukit Tapie-san, terhitung tetangga
dengan kota ini. Merekalah yang menjadi sumber perhatian karena mereka keluarga
Cin-ling-pai." In Hong tidak mendengarkan lagi dan memandang kepada wanita itu penuh
perhatian. Kiranya itulah puteri ketua Cin-ling-pai dan dia teringat akan
pertemuannya dengan kakak kandungnya. Dia dijodohkan dengan putera Cin-ling-pai"
Tentu adik dari wanita cantik ini! Siapa namanya" Dia mengingat-ingat dan
akhirnya teringat juga, nama putera Cin-ling-pai itu adalah Cia Bun Houw!
"Siapa namanya...?" Dia berbisik lagi.
"Nama siapa" Ah, puteri Cin-ling-pai itu" Dia hanya terkenal sebagai nyonya
Lie, akan tetapi aku tahu bahwa nama aslinya adalah Cia Giok Keng. Ilmu
pedangnya dan ilmunya mainkan sabuk merah tidak ada tandingannya di dunia,
bahkan suaminya sendiri kalah jauh dalam ilmu silat dibandingkan dengan dia!"
Phoa Lee It menyambut suami isteri keluarga Cin-ling-pai itu dengan penuh
penghormatan, membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka duduk di tempat
kehormatan! "Huh, menjilat-jilat...!" In Hong berkata lirih tanpa disengaja.
"Hemm... memang, akan tetapi biarlah, tunggu saja!" Malaikat Copet itu
membawa bungkusan hadiahnya dan melangkah.
"Ke mana kau?" "Menyerahkan hadiah, kautunggu di sini!" Dia lalu pergi, diikuti pandang
mata In Hong. Gadis ini menduga bahwa si pencopet tentu akan melakukan sesuatu,
entah apa, karena dia dapat melihat ini dalam sikapnya yang begitu bersungguh-
sungguh dan agaknya dia mendongkol atau marah sekali melihat betapa tuan rumah
menyambut tamu lain begitu menghormat dan menjilat sedangkan mereka berdua
"dilempar" ke tempat tamu biasa. Dia melihat Can Pouw menghampiri meja tempat
penerima hadiah, bahkan setelah dicatatkan namanya lalu menumpuk sendiri
bungkusan itu di atas meja di antara hadiah-hadiah lain, dan pencopet itu
bercakap-cakap dan beramah-tamah dengan para piauwsu yang menjaga di situ,
menuding dan agaknya memeriksa nama-nama pada kartu nama yang terdapat di
bungkusan-bungkusan hadiah itu. Kemudian, sambil tersenyum-senyum ramah ia
mengangguk, kemudian meninggalkan meja itu, bukan untuk kembali kepada In Hong,
melainkan untuk menuju ke ruangan kehormatan di atas!
Phoa Lee It memandangnya, akan tetapi dia mengangguk dan menuding ke arah
seorang nenek tua yang duduk juga di ruangan kehormatan itu bersama seorang
gadis remaja cantik yang melihat pakaiannya adalah seorang gadis Suku Bangsa
Tibet. Phoa Lee It mengangguk karena si pencopet itu menyatakan hendak menemui
nenek itu yang tentu saja adalah seorang tokoh besar yang dikenal baik oleh tuan
rumah. Nenek itu bukan lain adalah Go-bi Sin-kouw! Seorang tokoh di Go-bi-san yang
terkenal sekali sebagai seorang datuk golongan hitam. Nenek ini usianya sudah
tujuh puluh tahun lebih, tubuhnya sudah agak bongkok, pakaiannya dari sutera
serba hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut, wajahnya bengis
penuh keriput dan sepasang matanya hampir tidak nampak bersembunyi di dalam
rongga mata yang cekung, mulutnya seringkali bergerak-gerak seperti orang makan
dan bibirnya sudah "nyaprut" karena mulut itu tidak bergigi lagi. Di dekatnya
duduk seorang gadis cantik sekali, usianya baru lima belas tahun, berpakaian
seperti gadis Tibet, dan kecantikannya adalah kecantikan khas Bangsa Tibet
sehingga amat menarik perhatian. Gadis itu kelihatan diam dan bahkan agak
berduka yang ditekan-tekankan, dan dia kelihatan takut kepada nenek itu yang
memperkenalkannya sebagai muridnya.
"Aihhh... sungguh berbahagia sekali hidupku, dapat bertemu dengan seorang
tokoh besar yang namanya menjulang tinggi sampai ke angkasa! Locianpwe tentulah
Go-bi Sin-kouw yang namanya terkenal di empat penjuru dunia bukan" Siauwte sudah
menduga bahwa sebagai tokoh Go-bi, pasti locianpwe akan datang menghadiri
perayaan seorang tokoh Go-bi-pai. Perkenankan siauwte, Jeng-ci Sin-touw Can Pouw
menghaturkan selamat datang dan hormat."
Go-bi Sin-kouw yang sudah tua sekali itu memandang dengan matanya yang
hampir tidak tampak bersembunyi di balik lipatan-lipatan kulit, dia senang juga
menyaksikan sikap ramah luar biasa dari laki-laki yang mukanya kelihatan ramah
menyenangkan ini, apalagi ketika mendengar julukannya.
Ehe, kau pencopet" Heh-heh, pencopet yang ramah. Duduklah di sini, matamu
awas benar dapat mengenal aku." Go-bi Sin-kouw yang biasanya galak itu kini
Misteri Bayangan Setan 3 Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut Jerat Peri Kembangan 2
^