Pencarian

Dewi Maut 9

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


Kini mereka tersenyum memandang kepadanya dalam pakaian dalam berwarna merah
muda dan hijau muda, pakaian dalam yang terbuat dari bahan tipis sekali sehingga
tembus pandang dan dia dapat melihat garis-garis bentuk tubuh mereka yang tidak
ditutup apa-apa lagi di bawah pakaian dalam itu. Sang suci (kakak seperguruan
perempuan) sambil tersenyum penuh gairah dengan pandang mata penuh nafsu,
mengangkat lengannya ke atas dan ke belakan kepala untuk melepaskan sanggul dan
mengurai rambut. Gerakan ini tentu saja menonjolken bagian depan dadanya yang
nampak membayang di balik kain tipis itu. Adapun sang sumoi yang pakaian
dalamnya berwarna hijau muda, melangkah dengan lenggang lemah gemulai untuk
menaruh pakaian luar mereka ke atas meja di sudut dan di waktu melenggang
membelakangi Bun Houw itu, gerakan langkahnya membuat sepasang bukit pinggulnya
menari-nari! Bun Houw merasa napasnya sesak! Dengan mata terbelalak dan muka merah dia
melihat itu semua dan berkali-kali dia harus menelan ludah karena jantungnya
berdebar dan lehernya terasa kering.
"Harap ji-wi suka membiarkan saya sendiri saja mengaso..." Dia membantah.
Akan tetapi dua orang wanita itu kini melangkah mendekatinya sambil
tersenyum dan Bun Houw memperoleh perasaan seakan-akan dua orang wanita itu
sedang mengancamnya dan hendak menyerangnya! Tentu saja dia menjadi semakin
bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Adik Bun, engkau tampan, gagah dan ganteng sekali. Mari kubuka sepatumu
agar kita dapat mengaso dengan enak..." kata sang sumoi.
"Dan biarkan aku membuka pakaianmu, Bun-hiante..." Sang suci juga berkata
dengan suara merayu. Bun Houw mengambil keputusan untuk menggunakan kekerasen. Gara-gara dua
orang wanita yang agaknya haus dan gila laki-laki ini urusannya bisa kacau dan
gagal. Dia akan membuat mereka tidak berdaya dan meninggalkan mereka di kamar
itu. Akan tetapi baru saja semua urat syaraf di tubuhnya menegang, siap untuk
bergerak turun tangan, tiba-tiba dari luar pintu kaMar itu terdengar suara laki-
laki, "Ai-kwi dan Ai-kiauw... apakah kalian berada di dalam?"
Bun Houw terkejut bukan main dan tentu saja dia menahan gerakan tangannya
yang tadi sudah siap untuk menotok mereka. Dua orang wanita itu menoleh ke arah
pintu, dan yang lebih tua menjawab, "Ah, Bu-susiok (paman guru Bu) di luar"
Benar, kami berada di sini menemani tamu!"
Daun pintu kamar itu terdorong dan terbuka karena memang tadi tidak dipalang
saking tidak sabarnya kedua orang wanita yang sudah didorong nafsu berahi itu.
Bun Houw menjadi merah sekali mukanya saking malu ketika melihat Toat-beng-kauw
Bu Sit, laki-laki berusia empat puluh tahun yang kurus, dan mukanya seperti
monyet, kuning dan pucat itu, masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa.
"Ha-ha-ha, aku mencari kalian setengah mati, kiranya kalian bermain-main di
sini. Pengawal muda ini sebagai tamu boleh kalian hibur, akan tetapi cukup
seorang sajapun dia tidak akan mampu menang. Ha-ha! Ai-kwi... aku sudah rindu
kepadamu, mari kautemani pamanmu yang kesepian." Setelah berkata demikian, si
muka monyet merangkul pinggang yang ramping itu dengan mesra.
Sang suci mengerutkan alisnya dan tampak jelas oleh Bun Houw betapa wajah
yang cantik itu menjadi buruk dan kejam ketika bersungut-sungut. "Aihh...
susiok, biar sumoi saja malam ini menemanimu..." Wanita itu membantah halus.
"Siapa" Ai-kiauw..." Ah, Ai-kwi, aku rindu padamu, sudah lama benar... heh-
hehm, dan Ai-kiauw baru kemarin menemani aku. Hayolah...!" Dia menarik dan
memaksa wanita itu. Ai-kwi bersungut-sungut dan terpaksa menyambar pakaian luarnya dan
membiarkan dirinya dirangkul dan didorong keluar dari kamar setelah dia melempar
pandang mata penuh kekecewaan dan penasaran ke arah Bun Houw.
"Hi-huuuuuhh...!" Ai-kiauw bersorak gembira, lari dengan lenggang-lenggok ke
arah pintu, menutupkan pintu dan memalangnya, kemudian dia lari kembali dan
meloncat, menubruk Bun Houw sehingga pemuda itu terjengkang ke atas pembaringan.
"Sekarang kita hanya berdua, orang tampan...!" Wanita itu lalu menghujankan
ciuman ke seluruh muka Bun Houw sampai pemuda ini menjadi gelagapan. Sejenak Bun
Houw tertegun, kemudian terbayanglah wajah Yalima. Mengapa ketika dia berciuman
dengan Yalima, dia merasa babagia dan nikmat, akan tetapi ciuman-ciuman penuh
nafsu berahi dari wanita ini membuat dia merasa muak"
"Enci, jangan begitu...!" Dia mendorong halus dan pada saat itu terdengar
panggilan dari luar pintu.
Mendengar suara ini, Ai-kiauw terkejut sekali dan cepat dia meloncat ke
sudut kamar. Bun Houw kagum sekali melihat kecepatan Ai-kiauw mengenakan pakaian
luarnya. Kemudian wanita ini bergegas membuka pintu kamar. Kiranya Hui-giakang
Ciok Lee Kim sendiri yang berdiri di depan pintu itu!
"Maaf, subo. Subo memanggil teecu?" Ai-kiauw bertanya dengan sikap hormat.
Sepasang mata yang tajam dan galak itu memandang muridnya penuh selidik,
kemudian pandang matanya menyapu ke arah Bun Houw dan ke arah pembaringan.
Agaknya keadaan pemuda itu dan pembaringannya melegakan den memuaskan hati
wanita ini. Dia mengangguk dan berkata, "Kau pergi ke kamar tamu kita, Kiam-mo
Liok Sun, kautemani dia!"
Jelas betape Ai-kiauw kelihatan terkejut dan kecewa bukan main. "Akan
tetapi... teeeu kira... subo dan dia..."
"Cerewet, pergilah! Yang tua harus berpasangan dengan yang muda agar yang
muda bertambah pengalaman dan yang tua awet muda. Hayo pergi memenuhi perintah!"
Ciok Lee Kim membentak. "Baik, subo..." Ai-kiauw mengambil pakaian luarnya, kemudian keluar dari
kamar itu dengan kepala ditundukkan.
Ciok Lee Kim menutupkan daun pintu dan dia menghampiri Bun Houw sambil
tersenyum genit. Wanita berusia lima puluh tahun ini masih nampak cantik karena
dia pandai bersolek dan memang dahulunya dia adalah cantik.
"Muridku memang bandel. Apakah dia tadi mengganggumu, orang muda she Bun"
Kalau dia mengganggumu, biar kuhukum dia di depanmu." Sepasang mata itu
memandang wajah Bun Houw dengan sinar aneh.
Sejak tadi Bun Houw sudah merasa makin muak menyaksikan tingkah laku dua
orang murid dan guru mereka itu. Dari sikap dan kata-kata mereka saja sudah
jelas dapat dinilai orang-orang macam apa adanya mereka. Akan tetapi diam-diam
dia merasa girang karena kini musuh yang seorang ini datang sendiri tanpa dia
harus mencarinya di kamarnya. Dia akan membekuk wanita ini dan memaksanya
mengaku tentang tiga orang musuhnya yang lain dan tentang pedang Siang-bhok-
kiam, kemudian dia akan membunuh Bu Sit dan pergi dari tempat itu untuk mencari
tiga orang yang lain dan pedang Siang-bhok-kiam.
Bun Houw menggeleng kepalanya. "Tidak, toanio. Tidak ada yang mengganggu
saya." jawabnya. "Syukurlah kalau begitu. Kau adalah seorang tamu, harus dilayani dengan
baik, karena itu aku sendiri yang akan menemanimu malam ini, orang muda.
Marilah, mari kita rebahan sambil omong-omong... aku ingin mendengar riwayatmu.
Kau menarik hatiku, tidak sama dengan pemuda-pemuda lain... jangan sungkan-
sungkan, ke sinilah..." Wanita itu sudah duduk di pinggir pembaringan dia
menggapai mengajak pemuda itu duduk di dekatnya.
Bun Houw hampir tak dapat menahan kemarahannya. "Tidak...!" Dia menggeleng
kepalanya. "Dua orang murid toanio tadi pun membujuk saya, akan tetapi saya...
saya bukanlah laki-laki seperti itu...!"
Ucapan ini membuat wajah Ciok Lee Kim menjadi merah sekali dan tiba-tiba
wanita ini menggerakkan tubuhnya membalik, tangan kanannya bergerak.
"Wirrrr...!" Bun Houw terkejut bukan main, tadinya menyangka bahwa wanita itu marah
kepadanya dan menyerangnya, akan tetapi ternyata senjata piauw beronce merah itu
menyamber ke arah jendela kamar itu, menembus jendela dan terdengar jatuh
berkerontangan di luar kamar.
"Keparat jangan lari kau!" Tubuh Ciok Lee Kim sudah meloncat dengan gerakan
yang ringan sekali, kakinya menendang jebol daun jendela dan tubuhnya sudah
mencelat keluar. Barulah pemuda itu tahu bahwa tadi ada orang mengintai dari luar jendela.
Dia merasa heran sekali mengapa dia tidak lebih dulu melihatnya atau
mendengarnya. Hal ini adalah karena dalam keadaan tergoda bujuk rayu wanita-
wanita tadi, hati Bun Houw berdebar dan kacau tidak karuan dan hal ini
mengurangi kewaspadaannya. Andaikata dia berada dalam keadaan biasa, tentu
sebelum Ciok Lee Kim mendengar sesuatu, dia akan lebih dulu dapat mendengarnya.
"Tangkap penjahat...!" Terdengar teriakan wanita itu di luar. Bun Houw juga
meloncat keluar dari kamar dan setibanya di ruangan besar dia melihat betapa
Ciok Lee Kim, Bu Sit, dua orang kakek dan seorang nenek tamu, juga Kiam-mo Liok
Sun dan dua orang murid wanita Ciok Lee Kim, semua sudah berada di situ dengan
pakaian dan rambut kusut, agaknya tergesa-gesa meninggalkan kamar tidur oleh
teriakan Ciok Lee Kim tadi. Mereka semua ini mengurung tiga orang yang berdiri
di tengah ruangan dengan pedang di tangan. Dan selain tokoh-tokoh kaum sesat
itu, juga tampak anak buah Lembah Bunga Merah sudah mengurung ruangan itu dari
sebelah luar. Bun Houw memandang dengan penuh perhatian.
Tiga orang itu biarpun sudah dikepung, kelihatan sama sekali tidak
memperlihatkan rasa takut. Moreka itu adalah dua orang gadis dan seorang pemuda,
usia mereka antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun, kelihatan cantik,
tampan, dan gagah dengan pedang melintang di depan dada, saling mengadu punggung
dan menghadapi kepungan banyak orang itu. Diam-diam Bun Houw kagum menyaksikan
kegagahan mereka, akan tetapi juga mencela kecerobohan mereka, berani secara
sombrono memasuki guha harimau yang amat berbahaya ini.
"Hemm, kalian seperti tiga ekor tikus yang terkurung!" Ciok Lee Kim mengejek
kepada mereka. "Hayo kalian mengaku, siapa kalian dan mengapa kalian berani
memasuki tempat kami tanpa ijin. Jawab, agar kalian tidak mati tanpa nama!"
Pemuda yang mewakili dua orang kawannya itu memandang kepada wanita ini
dengan sinar mata berapi-api. "Kami adalah murid-murid Bu-tong-pai yang datang
hendak menuntut balas atas kematian suheng kami seminggu yang lalu di luar hutan
Lembah Bunga Merah."
"Siapa suheng kalian dan apa hubungan kematiannya dengan kami?" Ciok Lee Kim
mengerutkan alisnya. Semenjak dia
bersama empat orang saudara segolongannya yang bergabung menjadi Lima
Bayangan Dewa berhasil menyerbu Cin-ling-pai, mereka berlima selalu berhati-
hati, tidak menanam permusuhan dengan lain golongan, bahkan berusaha mencari
teman-teman untuk diajak bersama menghadapi Cin-ling-pai. Maka mendengar murid-
murid Bu-tong-pai memusuhinya, dia menjadi heran dan terkejut.
"Suheng kami sebelum meninggal dunia mengatakan bahwa dia dilukai oleh dua
orang murid Lembah Bunga Merah."
"Hemmm..." Ciok Lee Kim memandang ke sekelinngnya, ke arah para anak buah
Lembah Bunga Merah. "Subo, kami yang melukainya!" Tiba-tiba Ai-kwi dan Ai-kiauw melangkah maju.
Ciok Lee Kim memandang dua orang muridnya itu dengan alis berkerut. "Apa
yang terjadi?" tuntutnya.
"Pemuda itu terlalu menghina kami, mengatakan bahwa kami dan orang-orang
Lembah Bunga Merah adalah orang-orang cabul yang tak tahu malu. Kami bertanding
melawan dia dan dia melarikan diri dengan luka-luka berat. Kami tidak tahu bahwa
dia itu murid Bu-tong-pai atau murid siapa, yang jelas dia kurang ajar."
"Bohong!" Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu berseru marah. "Kam-
suheng menceritakan kepada kami bahwa dia kalian bujuk rayu, kalian perempuan-
perempuan jalan yang tak tahu malu. Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati,
mana sudi menuruti kehendak cabul kalian" Karena suheng menolak, kalian
mengeroyok dan melukainya!"
Wajah kedua orang murid Ciok Lee Kim berubah merah. "Subo, kalau manusia itu
tidak menghina, kami tentu tidak akan melukainya. Subo mendengar sendiri betapa
busuk mulut orang-orang ini menghina kita!"
"Perempuan jalang dan cabul!" Gadis murid Bu-tong-pai yang sesungguhnya
adalah pacar dan calon isteri suhengnya sendiri yang tewas itu sudah memekik dan
dengan pedangnya dia menyerang Ai-kwi dan Ai-kiauw. Dua orang wanita ini
mengelak lalu membalas dan bertandinglah Ai-kwi dan Ai-kiauw melawan tiga orang
murid Bu-tong-pai itu. Para orang tua itu mula-mula hanya menonton. Ilmu Pedang Bu-tong-pai
terkenal bagus gayanya dan kuat serta cepat, dan dan kini Ai-kwi dan Ai-kiauw
yang juga menggunakan pedang, setelah lewat lima puluh jurus, terdesak hebat
oleh pedang tiga orang murid Bu-tong-pai itu.
"Bu-sute, kauwakili aku tangkap tiga orang bocah kurang ajar ini!" Melihat
betapa dua orang muridnya terdesak, Hui-giakang Ciok Lee Kim menyuruh Toat-beng-
kauw Bu Sit yang disebutnya sute, untuk maju. Biarpun Lima Bayangan Dewa itu
tidak mempunyai hubungan perguruan, melainkan hubungan segolongan dan terutama
sekali sama-sama menaruh dendam kepada ketua Cin-ling-pai, akan tetapi semenjak
mereka memakai nama Lima Bayangan Dewa, mereka saling menyebut adik dan kakak
seperguruan. "Tar-tar-tarrr...!" Joap-pian atau cambuk baja di tangan Toat-beng-kauw Bu
Sit meledak-ledak ketika dia menerima perintah ini. Tubuhnya mencelat ke depan
dengan keringanan seekor burung, dan tahu-tahu joan-pian di tangannya sudah
melecut-lecut dan menyambar-nyambar ganas.
"Tar-tar-tringggg...! Aihhhh...!" Seorang gadis Bu-tong-pai mehjerit dan
pedangnya terlempas, dia memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena tangan
kanannya terasa sakit. Saat itu dipergunakan oleh Ciok Lee Kim untuk
menggerakkan tangannya. Gadis itu berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat
dan robohlah dia terkena totokan wanita yang berjuluk Kelabang Terbang itu.
Dua orang murid Bu-tong-pai yang lain menjadi marah sekali. Mereka berdua
saling beradu punggung dengan pedang melintang di depan dada, siap untuk
bertempur mati-matian melawan orang-orang lihai itu.
"Heh-heh-heh, kalian bocah-bocah ingusan sungguh tidak tahu diri!" Ciok Lee
Kim terkekeh mengejek. "Kailan tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Biar
guru kalian, ketua Bu-tong-pai sendiri belum tentu berani bersikap kurang ajar
seperti kalian di hadapan kami."
"Hemm, kami tidak perduli dengan siapa kami berhadapan!" Pemuda Bu-tong-pai
itu membentak sambil melirik sumoinya yang roboh tertotok tadi. "Kami datang
untuk menuntut balas atas kematian subeng kami dan untuk itu, kami siap
mengorbankan nyawa kami kalau perlu. Kami tidak takut kepada kalian!"
"Ciok-suci, bereskan saja mereka ini, habis perkara!" Bu Sit berkata sambil
mengayun-ayun joan-pian di tangannya.
"Nanti dulu, Bu-sute, kita tidak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai atau
partai manapun. Ingat?" kata Si Kelabang Terbang dan Toat-beng-kauw Bu Sit
mengangguk. "Bocah-bocah Bu-tong-pai, kami masih memandang nama Bu-tong-pai dan mau
mengampuni kalian bertiga. Berlututlah dan kami akan mengampuni kalian," kata
Ciok Lee Kim. "Hub, tidak sudi!" Gadis Bu-tong-pai yang kedua membentak marah.
"Agaknya kalian belum tahu siapa kami. Aku adalah Hui-giakang dan aku
sendiri saja belum tentu akan dapat kalian menangkan andaikata kalian maju
dengan teman-teman kalian sebanyak dua puluh orang! Dia dengan joan-pian mautnya
ini adalah Toat-beng-kauw Bu Sit yang di dunia selatan pernah menggegerkan para
tokoh besar persilatan. Dan kalian belum tahu siapa adanya tamu-tamu kehormatan
ini, ya" Beliau ini adalah Hwa Hwa Cinjin yang sukar dicari tandingannya di
dunia kang-ouw, sedangkan beliau yang ini adalah Hek I Sinkouw, sejajar nama dan
terkenalnya dibandingkan dengan Hwa Hwa Cinjin locianpwe. Dan tahukah kalian
siapa beliau yang baru turun dari pertapaan ini" Beliau adalah datuk dari
seluruh pantai Lautan Pohai, Bouw Thaisu yang kepandaiannya setinggi Gunung
Thai-san! Masih ada sahabatku ini, Kiam-mo Liok Sun Si Setan Pedang."
Dua orang murid Bu-tong-pai itu memandang dengan mata mendelik. Pemuda itu
lalu menjawab setelah wanita musuhnya berhenti bicara. "Biarpun engkau akan
mengundang semua iblis dari neraka, kami tidak akan takut menghadapi untuk
membela kebenaran dan menuntut balas atas kematian suheng kami!"
Suci, bocah-bocah sombong macam ini kalau tidak dihajar akan makin besar kepala saja!" ucapnya Bu Sit disusul bunyi pecut baja di tangannya yang
meledak-ledak dan sinar-sinar kilat senjatanya itu menyambar ke arah dua orang
murid muda Bu-tong-pai itu.
"Cringgg...! Cringgg...!" Bunga api berhamburan ketika joan-pian itu
tertangkis oleh dua batang pedang, akan tetapi Toat-beng-kauw yang memiliki gin-
kang tinggi sekali itu sudah menyerang lagi, gerakannya cepat bukan main, joan-
pian di tangannya lenyap berobah menjadi sinar kilat yang menyambar-nyambar dan
mengurung kedua orang muda itu. Dua orang murid Bu-tong-pai itu terkejut juga,
maklum bahwa si muka monyet ini benar-benar lihai, maka mereka memutar pedang
melindungi tubuh mereka sambil berusaha sedapat mungkin untuk balas menyerang.
Akan tetapi karena memang tingkat mereka kalah tinggi, gin-kang mereka jauh
kalah cepat dan tenaga lwee-kang merekapun jauh kalah kuat, dalam belasan jurus
saja mereka sudah terhimpit dan terancam hebet oleh sinar senjata joan-pian itu.
Hui-giakang Ciok Lee Kim yang tidak ingin dilakukan pembunuhan di dalam
rumahnya, sudah bergerak terjun ke dalam gelanggang pertandingan. Dua tangannya
bergerak dan nampaklah dua sinar merah dari sepasang saputangan suteranya, ujung
kedua saputangan menyambar dan menotok ke arah jalan darah di punggung dan
pundak dua orang muda yang sedang sibuk didesak oleh joan-pian Bu Sit, maka


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka tidak mampu menghindarkan diri dari totokan saputangan merah. Mereka
mengeluh, pedang mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka terguling dengan
lemas seperti keadaan teman mereka yang pertama tadi.
"Ciok-suci, sebaiknya dibunuh saja mereka ini!" kata Bu Sit sambil
mangamang-amangkan joan-piannya.
"Sute, jangan mengotori rumah ini dengan darah dan pembunuhan!" Ciok Lee Kim
mencegah. "Ha-ha, kalau begitu biar kubawa mereka ke hutan dan kuhabisi mereka di
sana!" Bu Sit berkata dan kedua matanya menyambar dan melahap tubuh dua orang
gadis cantik murid Bu-tong-pai itu. Di dalam benaknya yang kotor terbayang
betapa dia akan mempermainkan dan menikmati dua orang murid wanita ini lebih
dulu sebelum dibunuhnya. Memang di antara Lima Bayangan Dewa, Ciok Lee Kim dan
Bu Sit sama-sama mata keranjang dan batinnya penuh dengan kecabulan.
"Mengapa mereka harus dibunuh?" Tiba-tiba Kiam-mo Liok Sun ikut bicara.
"Ciok-toanio, saya kira amat tidak baik kalau membunuh anak murid Bu-tong-pai,
sungguh tidak menguntungkan bagi toanio kalau kelak dimusuhi oleh partai itu."
Bun Houw sejak tadi sebetulnya sudah siap. Andaikata dia melihat tiga orang
murid Bu-tong-pai tadi hendak dibunuhi dia sudah siap-siap untuk membantu dan
menolong mereka. Akan tetapi melihat mereka hanya dirobohkan dengan totokan
saja, dia belum mau turun tangan karena dia menganggap belum tiba saatnya. Kalau
urusannya yang besar dan penting itu dirusak oleh bantuannya terhadap tiga orang
murid Bu-tong-pai ini, sungguh tidak baik sekali. Kini dia mendengarkan saja
dengan penuh perhatian. Toat-beng-kauw Bu Sit memandang kepada Liok Sun dengan mata disipitkan,
alisnya berkerut dan dia berkata kepada nyonya rumah, "Ciok-suci, engkau sendiri
tentu mengerti mengapa mereka ini harus dibunuh dan tidak perlu mendengarkan
pendapat orang lain!"
Melihat ada ketegangan dan perbedaan pendapat ini, Ciok Lee Kim memandang ke
arah tiga orang murid Bu-tong-pai dan berkata, "Sebaiknya mereka ditahan dulu
dan mari kita bicara hal ini di dalam saja," katanya sambil memberi isyarat dan
orang-orangya lalu dipimpin oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw menyeret tubuh tiga orang
murid Bu-tong-pai itu, dibawa ke tempat tahanan yang mereka jaga ketat. Kemudian
dua orang murid Ciok Lee Kim setelah menyerahkan mereka kepada para anak buah
untuk menjaganya, lalu kembali ke ruangan karena mereke ingin mendengarkan
kelanjutan percakapan tadi. Sementara itu tiga orang tua yang menjadi tamu
agung, menonton dan mendengarkan dengan sikap tenang dan tidak acuh karena
mereke merasa diri mereka terlalu tua untuk ikut mencampuri urusan tetek-bengek
itu! Ketika Bun Houw melihat mereka semua memasuki ruangan kembali, dia
mendapatkan kesempatan baik dan diam-diam dia menyelinap kembali ke kamarnya.
Sudah diambilnya keputusan untuk menyelamatkan dan membebaskan tiga orang Bu-
tong-pai itu lebih dulu, kemudian baru dia akan membunuh Ciok Lee Kim dan Bu Sit
kalau mungkin dia hendak memaksa seorang di antara mereka mengaku di mana adanya
tiga orang teman mereka yang lain. Bergegas Bun Houw memasuki kamarnya untuk
membawa buntalannya. Akan tetapi, selagi dia mengumpulkan pakaiannya, tiba-tiba terdengar suara
tertawa girang dan... dua orang wanita cantik yang genit itu, Ai-kwi dan Ai-
kiauw, memasuki kamarnya dan langsung memalang daun pintu sambil tertawa-tawa.
Kemudian kedua orang wanita itu menubruk dan menggeluti Bun Houw!
"Hayo... cepat... selagi kita mempunyai sedikit waktu sebelum mereka
memanggil kami...!" Ai-kwi berkata dengan napas memburu karena didesak nafsu.
"Benar, adik yang manis... mari kau layani kami sebentar...!" Ai-kiauw juga
berkata sembil berebut dengan sucinya untuk menciumi wajah yang tampan itu.
"Plak! Plak!" kedua tangan Bun Houw menampar dengan tepat mengenai hidung
kedua orang wanita itu. Karena pemuda ini mengerahkan tenaga, maka seketika
tulang hidung yang mancung itu menjadi hancur dan berdarah! Tulang ujung hidung
mcrupakan tulang muda, maka ditampar seperti itu tentu saja menjadi remuk dan
lanyaplah hidung mancung yang merupakan penghias utama wajah cantik mereka.
Sebelum mereka yang terkejut dan kesakitan mampu berteriak, Bun Houw sudah
menepuk tengkuk mereka dengan kecepatan luar biasa dan mereka jatuh pingsan
tanpa mampu mengeluarkan suara sebelumnya. Cepat Bun Houw menotok jalan darah
mereka, dan setelah menutupkan kembali pintu kamar itu, dia menyelinap keluar
untuk mencari tempat ditahannya tiga orang murid Bu-tong-pai.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara pekik-pekik kesakitan dari arah
belakang gedung. Bun Houw terkejut dan cepat dia berlari ke arah suara itu,
khawatir kalau-kalau dia terlambat dan tiga orang murid Bu-tong-pai itu disiksa
atau dibunuh. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat anak-anak murid
atau anak-anak buah Lembah Bunga Merah malang melintang di sekitar kamar tahanan
yang telah menjadi kosong! Belasan orang itu berserakan dan luka-luka hebat, ada
yang patah tulang, ada yang pecah kepalanya, dan mereka yang terluka berkata,
"Tahanan... lari... ditolong setan...!"
Bun Houw melihat bayangan berkelebat di atas, cepat dia meloncat dan masih
sempat melihat berkelebataya bayangan orang bertubuh ramping kecil, agaknya
seorang di antara dua gadis Bu-tong-pai, akan tetapi gerakannya cepat sekali dan
dalam sekejap mata saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam yang sudah hampir
pagi itu. Terpaksa dia turun kembali dan ternyata Ciok Lee Kim dan semua tamunya
sudah berkumpul di situ. Dengan suara marah Ciok Lee Kim memeriksa seorang di
antara para anak buahnya yang hanya patah tulang lengannya.
"Kami sedang berjaga... lalu entah dari mana datangnya, ada angin menyambar-
nyambar, ada bayangan orang berkelebatan, dan tahu-tahu kami semua roboh den
tiga orang tawanan itu melarikan diri." Orang itu bercerita dengan suara hampir
menangis, tidak hanya karena kesakitan, akan tetapi juga karena takut kepada
majikannya ini. "Hemm, babi-babi tolol kalian! Bagaimana muka orang itu" Laki-laki atau
wanita?" "Hamba... tidak tahu... gerakannya terlalu cepat... agaknya dia itu bukan
manusia, melainkan... setan..."
"Dess!" Tangan Ciok Lee Kim menampar gemas dan orang yang sialan itu kini
selain patah tulang lengannya, juga roboh pingsan!
"Ha, inilah kalau menurut pendapat orang luar!" Tiba-tiba Toat-beng-kauw Bu
Sit berkata dengan suare mengejek dan melirik ke arah Liok Sun. "Kalau tadi
sudah kubunuh mereka, tentu tidak begini jadinya. Kini mereka dapat kembali ke
Bu-tong-pai dan sudah dapat dipastikan bahwa kita mempunyai musuh baru, yeitu
Bu-tong-pai dan untuk ini kita boleh berterima kasih kepada Kiam-mo Liok Sun!"
Merah wajah Liok Sun mendengar ejekan ini. "Harap Bu-enghiong tidak berkata
demikian. Saya tadi hanya mengusulkan agar urusan ini didamaikan saja..."
"Ya, dan kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai akan menjadi perantara.
Bukankah begitu" Eh, Kiam-mo Liok Sun, kau yang menjadi sahabat baik Bu-tong-pai
tentu tahu pula siapa dia yang telah membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai
itu." Ucapan Bu Sit ini membuat semua orang, termasuk Ciok Lee Kim, memandang
kepada Si Setan Pedang itu dengan pandang mata penuh pertanyaan dan tuntutan.
Liok Sun menjadi terkejut den merah sekali karena pertanyaan orang she Bu itu
mengandung ejekan dan juga tuduhan berat seolah-olah dia mengenal orang yang
membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai tadi!
"Bu-enghiong, apa artinya kata-katamu ini" Engkau tahu bahwa aku sama sekali
tidak mengenal siapa setan itu. Aku hanya mengusulkan agar tiga orang murid Bu-
tong-pai itu tidak dibunuh dan aku tadinya mengusulkan pula agar mereka
dikembalikan kepada Bu-tong-pai disertai keterangan akan kesalahpahaman yang
terjadi sehingga dengan demikian ketua Bu-tong-pai akan mau mengerti duduknya
perkara dan menghabiskan permusuhan..."
"Hemm... kalau tidak kaucegah, tentu sudah kami bunuh mereka dan Bu-tong-pai
pun tidak akan tahu apa-apa. Sekarang moreka lolos dan semua ini adalah salahmu,
orang she Liok!" Bu Sit berseru marah.
"Toat-beng-kauw, kau sungguh terlalu menuduh orang!" Liok Sun membentak dan
mencabut pedangnya. "Ha-ha, sekarang baru kelihatan belangnya! Engkau agaknya bersekongkol
dengan orang Bu-tong-pai!" Bu Sit membentak dan melolos cambuk bajanya. Memang
orang she Bu ini sudah merasa tidak senang ketika Liok Sun datang bersama Bun
Houw, merasa iri hati melihat pergaulan yang akrab antara Setan Pedang itu
dengan Ciok Lee Kim, apalagi melihat betapa Liok Sun datang bersama seorang
pemuda tampan yang menjadi pengawalnya, pemuda yang dia tahu membuat Ciok Lee
Kim dan dua orang muridnya tergila-gila.
Melibat dua orang itu saling serang, Ciok Lee Kim hanya menonton saja,
karena ia sendiri merasa penasaran dan juga marah dan menyesal melihat lolosnya
tiga orang tawanan tadi. Betapapun juga, cegahan Liok Sun tadilah yang membuat
pembunuhan terhadap diri tiga orang tawanan itu tertunda sehingga mereka dapat
lolos. "Trang-cring-cringgg...!" berkali-kali pedang di tangan Kiam-mo Liok Sun
bertemu dengan joan-pian di tangan Bu Sit. Pertandingan itu seru dan ramai
sekali, akan tetapi segera terbukti bahwa kepandaian Bu Sit jauh lebih tinggi
karena pedang di tangan Liok Sun mulai terdesak hebat dan sinarnya menjadi makin
menyempit. "Trangg... cring... srattt...!" Saking hebatnya tangkisan cambuk baja itu
pedang Liok Sun membalik dan hampir saja mengenai lehernya sendiri. Pada saat
itu, terdengar ledakan cambuk disusul suara tertawa dari Toat-beng-kauw Bu Sit
yang bergerak cepat sekali, tahu-tahu ujung cambuknya sudah melecut ke arah
ubun-ubun Liok Sun. Kalau ujung cambuk baja itu mengenai ubun-ubun kepala, tentu
akan berlubang. Liok Sun terkejut, menggerakkan pedangnya menangkis. Ubun-ubunya
selamat, akan tetapi pundaknya masih saja terkena ujung cambuk sehingga terluka
parah dan mengeluarkan darah. Liok Sun terhuyung-huyung dan dengan suara meledak
cambuk itu terus mengejarnya, mengancam bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya.
Tar-tar-terrr...!" Tiba-tiba ujung cambuk itu terhenti di tengah udara. Bu Sit terkejut dan
memutar tubuhnya. Dia melihat betapa ujung cambuknya yang tertahan itu kiranya
dijepit oleh dua jari tangan Bun Houw yang telah berdiri di belakangnya! Liok
Sun terhuyung dengan tubub penuh luka-luka lecutan cambuk dan pedangnya sudah
terleimpar entah ke mana. Kini dia memegangi pundaknya dan berdiri dengan muka
pucat dan penuh kekhawatiran melihat pengawalnya yang begitu berani menahan
ujung cambuk Bu Sit yang amat lihai itu.
Ketika melihat bahwa yang menahan cambuknya adalah pemuda pengawal yang
menimbulkan iri hati dan dibencinya itu, Bu Sit menjadi marah bukan main. Dengan
mata mendelik dia memaki, "Keparat busuk, engkaupun sudah bosan hidup!" Dia
mengerahkan sin-kangnya untuk menarik kembali joan-pian itu, akan tetapi
betapapun dia mengerahkan tenaga, ujung pecut baja itu tetap saja tidak terlepas
dari tangan Bun Houw. Tentu saja Bu Sit menjadi kaget, penasaran dan marah
sekali. Dia memperkuat tenaganya, menarik sampai perutnya mengeluarkan suara
melalui kerongkongannya, "Hekk!" dan... tiba-tiba ujung pecut itu dilepaskan Bun
Houw. "Wirrrr...!" Ujung pecut menyambar ganas, dengan kecepatan luar biasa karena
tenaga Bu Sit sendiri yang membalik dan dengan hebatnya menyerang ke arah
kepalanya! Dapat dibayangkan betapa kagetnya Bu Sit melihat ini dan matanya terbelalak,
mukanya pucat sekali karena dia maklum akan datangnya bahaya maut di depan mata!
Dia hanya bisa miringkan kepalanya untux menghindarkan diri.
"Ciuuuttt... tess...!"
"Auuuhhh... aduhhhh... aduhhhh... wah, keparat kau...!" Bu Sit tentu saja
berjingkrak kesakitan sambil memegangi bagian kepala di mana tadi telinga
kirinya berada dan kini bagian itu tidak ada lagi daun telinga yang sudah hancur
oleh sambaran ujung cambuknya sendiri.
Semua orang menjadi kaget bukan main, terutama sekali Ciok Lee Kim den Bu
Sit sendiri. Mereka berdua sudah tahu betapa hebat kepandaian Bu Sit, akan
tetapi dalam segebrakan saja, sebelum pemuda itu menggerakkan kaki tangan, Toat-
beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa) telah kehilangan daun telinga kirinya!
"Lihat... lihat... jahanam she Liok itu ternyata menyelundupkan mata-mata ke
sini...!" Bu Sit membentak dan dia sudah menerjang kepada Bun Houw dengan
kemarahan meluap-luap. Cambuk bajanya meledak-ledak dan menyambar-nyambar ke
arah Bun Houw dengan dahsyatnya, akan tetapi dengan tenang sekali pemuda itu
dapat menghindar ke sana ke mari.
Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan aneh, setengah tangis setengah
maki-makian marah, dan tampaklah Ai-kwi dan Ai-kiauw berlari terhuyung ke tempat
itu, tangan kiri menutupi hidung yang sudah remuk dan berdarah, tangan kanan
manuding-nuding ke arah Bun Houw yang masih berkelebatan diserang joan-pian di
tangan Bu Sit itu. Melihat keadaan dua orang muridnya, Ciok Lee Kim terkejut dan hanya dengan
susah payah dua orang wanita yang suaranya menjadi bindeng dan tidak karuan itu
menceritakan bahwa muka mereka dibikin cacat dan buruk oleh Bun Houw. Ciok Lee
Kim makin kaget dan cepat dia lalu menerjang dan membantu sutenya menyerang
pemuda yang ternyata amat lihai itu.
Girang hati Bun Houw. "Majulah, memang aku hendak membunuh kalian!" katanya
sambil menangkis sambaran ujung saputangan merah yang meluncur ke arah lehernya
itu dengan sentilan jari tangannya.
"Prattt...! Aihhh...!" Ciok Lee Kim menjerit karena sentilan jari tangan
yang mengenai ujung saputangannya itu membuat saputangannya terpental dan jari-
jari tangannya sendiri tergetar hebat sekali!
"Ciok Lee Kim dan Bu Sit, kematian sudah di depan mata, hayo, katakan di
mana adanya Tiga Bayangan Dewa lainnya dan di mana pula kalian sembunyikan
Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai!" Bun Houw berseru dan tubuhnya bergerak
cepat sekali. Dua orang lawannya menjadi silau oleh gerakan ini, mereka berdua
berusaha memutar senjata untuk melindungi tubuh mereka, akan tetapi tetap saja
sambaran hawa pukulan dari kedua lengan pemuda itu membuat mereka terhuyung-
huyung. Tentu saja mereka terkejut sekali oleh kehebatan tenaga sin-kang ini,
namun mereka lebih kaget mendengar pertanyaan pemuda itu.
"Keparat! Siapa engkau?" Ciok Lee Kim berseru dan kedua saputangannya
berobah menjadi dua gulungan sinar merah di depan dan atas tubuhnya.
"Aku adalah Dewa Akhirat yang bertugas mencabut nyawa Lima Bayangan Dewa!"
Bun Houw berkata sambil meloncat ke depan. Ciok Lee Kim terkejut sekali, dua
gulungan sinar merahnya menyambut dan Toat-beng-kauw Bu Sit yang maklum akan
kelihaian pemuda itu membantu sucinya, menubruk dengan lecutan cambuk bajanya.
"Tar-tarrr... suiiiittt...!" Sebatang cambuk baja dan dua helai saputangah
merah itu menyambut Bun Houw, akan tetapi dengan kelincahan luar biasa Bun Houw
bergerak di antara gulungan sinar senjata lawan sambil menggerakkan kaki
tangannya. "Dess...! Plakkk...!" Dan tubuh Ciok Lee Kim bersama sutenya terlempar dan
terbanting ke kanan kiri!
"Singgg...!" Sinar hitam menymbar ganas dan Bun Houw terkejut karena maklum
bahwa senjata yang menyambarnya adalah sebatang pedang hitam yang digerakkan
cepat sekali dan mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan
tenaga dua orang Bayangan Dewa ini. Cepat dia menarik tubuh atas ke belakang
lalu memutar dan kakinya melayang ke arah penyerangnya. Namun Hek I Siankouw
nenek tua yang pakaiannya serba hitam itu dapat meloncat ke belakang sambil
menarik pedangnya sehingga tendangan maut dari Bun Houw mengenai tempat kosong
pula. Wuuuttt-wut-wutttt...!"
Bun Houw lebih terkejut lagi karena sambaran sinar kemerahan dari samping
kiri yang secara bertubi-tubi menyerang ke arah tiga belas jalan darah utama di
tubuhnya dengan kecepatan dan tenaga dahsyat ini bahkah lebih lihai lagi
daripada serangan pedang hitam si nenek tadi. Untuk menyelamatkan diri, tubuhnya
dilemparkan ke belakang dan dia membuat salto sampai lima kali baru terhindar.
Ketika dia turun dan memandang, ternyata bahwa yang menyerangnya adalah Hwa Hwa
Cinjin, tosu tinggi kurus yang tak banyak cakap itu, menggunakan sebatang hudtim
(kebutan dewa) di tangannya.
"Hemm, lumayan juga kepandaianmu, bocah lancang!" Hwa Hwa Cinjin mengangguk-
angguk memuji. Serangan hudtimnya tadi dilakukan dengan cepat dan sungguh-
sungguh dan agaknya tidak banyak lawan di dunia kang-ouw yang akan mampu
menghindarkan diri, akan tetapi pemuda ini dengan lemparan tubuh ke belakang dan
berjungkir balik lima kali itu ternyata sekaligus telah dapat menyelamatkan
diri. Hal ini selain membuatnya kagum, juga penasaran dan dia lalu menerjang
maju didahului gulungan sinar hudtimnya yang lebar dan mendatangkan angin
kencang. Juga Hek I Sinkouw yang merasa penasaran telah menggerakkan pedangnya
dengan hebat. Bun Houw maklum bahwa tamu-tamu agung dari Ciok Lee Kim itu adalah orang-
orang yang pandai dan agaknya kini membantu musuh besarnya, maka diapun cepat
menggerakkan tubuhnya, menghindarkan diri dengan cepat sambil mengerahkan gin-
kangnya yang luar biasa. Dua orang kakek dan nenek itu terkesiap juga
menyaksikan gerakan pemuda itu amat cepatnya, lebih cepat daripada gerakan
mereka berdua! Akan tetapi betapapun cepatnya gerakan Bun Houw, dihujani
serangan pedang dan hudtim dari dua orang tokoh besar yang kepandaiannya sudah
mencapai tingkat tinggi itu, dia masih saja harus menghadapi sambaran hudtim ke
lehernya yang tidak dapat dielakkannya lagi.


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Plakkk...! Siancai...!" Tosu tua itu terkejut setengah mati melihat betapa
hudtimnya kena ditangkis dengan tangan oleh pemuda itu dan terpental! Hampir dia
tidak dapat percaya akan hal ini. Hudtimnya itu bukanlah sembarangan hudtim,
didapatkarmya di utara di dekat kutub dan bulu-bulu hudtim itu terbuat dari bulu
monyet salju raksasa yang amat kuat, bulu-bulu itu dapat menyalurkan sin-kangnya
secara langsung dan kalau dia gerakkan dengan sin-kangnya yang amat kuat,
jangakan senjata biasa, bahkan senjata pusaka lawan akan dapat rusak beradu
dengan bulu-bulu hudtimnya. Akan tetapi pemuda ini berani menangkis dengan
tangan kosong, bahkan telah membuat hudtimnya terpental! Ini berarti bahwa
tangan kosong pemuda ini lebih kuat daripada senjata pusaka!
Tentu saja tosu ini tidak tahu bahwa Bun Houw adalah murid terkasih Kok Beng
Lama dan bahkan gemblengan dari ayahnya sendiri yang sakti. Pemuda ini sudah
memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang dari Kok Beng Lama, dan tenaga sin-kang ini
membuat kedua tangannya sedemikian kebalnya sehingga berani dipergunakan untuk
menangkis senjata pusaka lawan yang bagaimana kuatpun.
Bun Houw maklum bahwa sebelum dia mengalahkan kakek dan nenek ini, sukarlah
baginya untuk dapat memaksa pengakuan dari dua orang musuhnya sobelum dia
membunuh mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan Liok Sun, teriakan
mengerikan dan ketika Bun Houw menoleh, dia melihat Bu Sit menggunakan cambuk
bajanya untuk menyerang Liok Sun. Majikan rumah judi itu terguling roboh dan
sekali lagi cambuk baja mengenai kepalanya.
"Keparat...!" Bun Houw meloncat dan dengan tendangan kaki dari udara dia
membuat Bu Sit yang menangkis dengan cambuknya tetap saja terguling. Bun Houw
lalu berlutut di dekat Liok Sun. Orang ini ternyata terluka perah di kepalanya
dan sekali pandang saja maklumlah Bun Houw bahwa Liok Sun tak dapat tertolong
lagi. "Bun-hiante... tolong... kaudidik... anak... ku...!" Maka habislah napas
orang she Liok itu. "Siuuuutttt...! Plak! Plakk!" Bun Houw yang masih berlutut itu menggunakan
tangan kirinya dua kali menangkis sambaran kebutan Hwa Hwa Cinjin dan kini dia
meloncat bardiri, dikepung oleh Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw Ciok Lee Kim, Bu
Sit, dan dua orang murid perempuan Ciok Lee Kim yang memegang pedang di tangan
kanan dan manutup hidung dengan tangan kiri itu.
Bun Houw memandang mereka semua dengan sinar mata tajam, kemudian dia
berkata, yang ditujukan kepada Hwa Hwa Cinjin den Hek I Siankouw "Aku tidak
berurusan dengan orang lain kecuali dengan dua orang Bayangan Dewa ini. Harap
yang lain mundur agar jangan ikut menjadi korban."
"Keparat, hayo mengaku, siapa kau sebenarnya" Engkau jelas bukan pengawal
biasa dari Liok Sun!" Bu Sit membentak.
Bun Houw tersenyum. "Aku memang hanya menyamar sebagai pengawalnya dan sudah
kukatakan bahwa aku adalah Dewa Akhirat yang bertuges membasmi Lima Bayangan
Dewa." "Jahanam!" Bu Sit memaki dan cambuk bajanya mcledak-ledak. Seperti berebut
saling mendahului dengan Ciok Lee Kim, dia sudah menerjang maju dari depan,
dibarengi oleh sambaran dua saputangan merah Ciok Lee Kim dari kanan. Adapun Hwa
Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang maklum bahwa dua orang Bayangon Dewa itu
tidak akan mampu menandingi pemuda yang lihai itu juga mengerakkan senjata
masing-masing mengepung dan mengeroyok. Ai-kwi dan Ai-kiauw yang kini menjadi
besar hati karena gurunya dan orang-orang pandai itu mengepung, dengan kemarahan
meluap juga sudah menyerang dengan pedang mereka. Hanya Bouw Thaisu seorang yang
masih berdiri tenang dan tidak ikut mengeroyok, karena kakek yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi ini masih merasa canggung dan tidak enak kalau dia sebagai
seorang cabang atas tingkat tinggi ikut-ikut mengeroyok seorang lawan begitu
muda, sungguhpun pandang matanya yang tajam sudah mengenal bahwa pemuda itu
memang lihai luar biasa. Dikeroyok enam orang, empat di antaranya merupakan tokoh-tokoh berkepandaian
tinggi, Bun Houw memperlihatkan ketangkasannya. Berkali-kali Hwa Hwa Cinjin dan
Hek I Siankouw berseru kaget karena serangan-serangan maut mereka yang sukar
dihindarkan lawan tangguh, tidak berhasil merobohkan pemuda ini! Diam-diam
mereka terkejut dan terheran, menduga-duga siapa adanya pemuda tidak terkenal
yang memiliki kepandaian begini hebat sehingga dikeroyok oleh mereka berempat,
ditambah oleh Ai-kwi dan Ai-kiauw, masih dapat menyambut mereka dengan serangan
balasan yang amat berbahaya, biarpun hanya dilakukan dengan tangan kosong
belaka. Ai-kwi yang kini menjadi benci sekali kepada Bun Houw karena batang
hidungnya remuk dan wajahnya yang tadinya cantik kini tentu berobah menakutkan
dan menjijikkan, mengeluarkan pekik dahsyat dan menggunakan kesempatan selagi
senjata empat orang sakti itu berkelebat menyambar-nyambar mengurung Bun Houw,
dia menubruk dengan pedangya, secara nekat dia menyerang dan menusukkan pedang
itu ke arah pusar pemuda yang belum lama tadi diciuminya dan dirayunya penuh
gairah nafsu berahi! Melihat serangan nekat ini, Bun Houw miringkan tubuh, menyambar pedang itu
dengan tangannya dan pada saat itu cambuk baja Bu Sit dan pedang hitam Hek I
Siankouw menyambar dari atas dan bawah. Cepat dia mengerahkan tenaga, mendorong
pedang Ai-kwi yang dipegangnya tadi.
"Wuuuttt... crapp... aihhhhhhh...!" Pedang itu membalik dan bagaikan
digerakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, pedang yang membalik ini menusuk
perut pemiliknya sendiri. Pedang itu amblas ke perut Ai-kwi sampai tembus di
punggungnya dan robohlah Ai-kwi setelah mengeluarkan jerit mengerikan.
Melihat ini, Ai-kiauw menjerit dan tiba-tiba saja dia melemparkan pedangnya
dan menubruk tubuh Bun Houw, merangkul
pinggang dan menggigit ke arah lambung pemuda itu! Bun Houw terkejut, tidak
mengira bahwa wanita ini melakukan serangan liar seperti itu. Dia menggoyang
tubuhnya, akan tetapi kedua lengan dan kaki Ai-kiauw sudah membelit tubuhnya dan
gigi wanita itu menggigit kulit lambungnya! Bun Houw bergidik karena merasa
jijik, seolah-olah tubuhnya diserang seekor lintah besar. Siku kirinya bergerak
ke belakang, ke arah kepala wanita itu yang menempel di lambung kirinya.
"Krakkk!" Pecahlah kepala itu dan Ai-kiauw mati seketika, akan tetapi
sungguh mengerikan, wanita itu masih saja mencengkeram dan menggigitnya!
Bun Houw menggunakan kedua tangannya memaksa tubuh Ai-kiauw yang kaku itu
untuk melepaskan kaki tangan dan gigitannya dari dirinya, lalu melemparkan mayat
wanita itu. Akan tetapi penyerangan Ai-kiauw yang membabi-buta tadi mendatangkan
peluang banyak sekali bagi empat orang pengeroyoknya yang berilmu tinggi.
Seperti hujan datangnya, pedang Hek I Siankouw, cambuk Bu Sit, saputangan merah
Ciok Lee Kim dan kebutan di tangan Hwa Hwa Cinjin menyambar dahsyat. Dalam
sibuknya menghadapi kenekatan Ai-kiauw tadi, Bun Houw tentu saja kurang leluasa
mengelak, maka dia hanya menangkisi dengan kedua lengannya sambil mengerahkan
Thian-te Sin-ciang sehingga senjata-senjata lawan itu terpental. Akan tetapi
dengan tepat sekali ujung cambuk baja Bu Sit menotok jalan darah di pundaknya,
pada saat dia baru saja berhasil melempatkan mayat Ai-kiauw dari tubuhnya.
"Tarr...!" Seketika tubuh Bun Houw kesemutan dan dia terhuyung dan jatuh.
Akan tetapi begitu tubuhnya meyentuh tanah, dengan pengerahan sin-kangnya dia
dapat memulihkan jalan darahnya dan meloncat bangun lagi. Celakanya, baru saja
meloncat, pedang Hek I Siankouw yang ganas menyambarnya. Bun Houw yang baru saja
terbebas dari totokan hebat tadi, masih merasa kesemutan pundaknya dan dia
berhasil menangkis pedang itu dengan tamparan tangan kanannya. Akan tetapi pada
saat itu, sepasang saputangan merah menyambar, yang kiri menotok jalan darah di
tengkuknya, yang kanan menotok jalan darah di punggungnya, sedangkan kebutan di
tangan Hwa Hwe Cinjin juga cepat sekali menotok pundak kanannya.
Sekaligus menerima totokan-totokan maut di jalan darahnya sebanyak tiga
tempat, seketika tubuh Bun Houw menjadi lemas dan dia terguling roboh. Akan
tetaoi, pemuda ini memang hebat bukan main. Begitu dia roboh, dia menggunakan
kedua tangannya mendorong tanah dan tubuhnya mencelat tinggi ke atas, di udara
dia menggoyang tubuh mengerahkan sin-kangnya sehingga bobollah semua totokan
itu, jalan darahnya mengalir kembali sungguhpun dia masih tergetar hebat. Akan
tetapi, pada saat dia mampu memulihkan jalan darahnya dari tiga totokan itu,
tiba-tiba tampak bayangan berkelebat, dan ada angin pukulan dahsyat menyambar ke
arah kepalanya. Inilah serangan dengan tenaga sin-kang yang amat berbahaya. Bun
Houw yang masih tergetar itu cepat mengelak akan tetapi tiba"tiba lututnya kena
ditendang oleh Bouw Thaisu yang baru sekarang turun tangan. Bun Houw terguling
dan ujung baju Bouw Thaisu menyambar, menotoknya bertubi-tubi di tujuh jalan
darahnya sehingga sekali ini Bun Houw tidak mampu berkutik lagi!
Bu Sit dan Ciok Lee Kim yang amat membenci pemuda yang sudah membunuh Ai-kwi
dan Ai-kiauw, dengan kemarahan meluap menggerakkan cambuk dan saputangun
menyerang tubuh Bun Houw yang sudah tidak mampu bergerak dan menggeletak di atas
lantai itu. "Wuuuuttt... tarr...!" Senjata-senjata itu menyambar ganas dan Bun Houw
hanya membelalakkan mata, menanti maut.
"Plak! Plakk!" Bu Sit dan Ciok Lee Kim terkejut sekali dan menarik senjata
mereka, lalu memandang kepada Bouw Thaisu yang menangkis senjata mereka dengan
ujung lengan baju. "Thaisu, mengapa menghalangi kami?" Ciok Lee Kim bertanya, alisnya berkerut.
Dia tahu bahwa kakek sakti ini boleh dipercaya, karena kakek ini adalah seorang
sahabat Thian Hwa Cinjin yang dahulu menjadi ketua Pek-lian-kauw wilayah timur
dan tewas oleh keluarga Cin-ling-pai (baca Petualang Asmara), maka Bouw Thaisu
yang ingin menuntut balas atas kematian sahabatnya itupun merupakan musuh Cin-
ling-pai den bersekutu dengan Lima Bayangan Dewa untuk menghadapi keluarga Cia
Keng Hong yang sakti itu. Akan tetapi mengapa kakek ini sekarang mencegah dia
membunuh pemuda yang jelas memusuhi Lima Bayangen Dewa"
Bouw Thaisu menghela papas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Selama
hidupku, baru sekali ini aku bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki
kepandaian sehebat ini! Orang seperti ini tidak boleh kita samakan dengan musuh-
musuh biasa, dia tentu memiliki latar belakang yang menarik. Karena itu, Ciok-
toanio, amat bodoh kalau membunuhnya begitu saja tanpa mengetahui dengan betul
siapakah dia ini sebenarnya, dan apa pula sebabnya dia memusuhi engkau den Lima
Bayangan Dewa. Apakah dia mempunyai hubungan dengan Cin-ling-pai" Dan apa
hubungan pemuda yang kepandaiannya luar biasa hebatnya ini dengan Cia Keng
Hong?" Hwa Hwa Cinjin menarik napas panjang. "Ucapan Thaisu sungguh tepat, Ciok-
toanio. Pemuda ini tentu orang penting dan terus terang saja, pinto (aku)
sendiri harus mengakui bahwa belum pernah pinto bertemu tending semuda ini
dengan kepandaian sehebat yang dimilikinya."
Ciok Lee Kim mengangguk, dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk
mengambil tali yang kuat dan membelenggu kaki tangan Bun Houw.
"Dia memiliki kekebalan yang melebihi Ilmu Kim-ciong-ko, semacam ilmu
kekebalan yang hebat. Bayangkan saja, tangannya mampu menyambut pedangku!" Hek I
Siankauw berkata. "Oleh karena itu, apa artinya tali ini, Ciok-toanio" Kalau dia
sudah bebas dari totokan, biar dirangkap sepuluh tali ini akan putus olehnya.
Tenaganya melebihi kekuatan seekor gajah. Jalan satu-satunya untuk mencegah dia
lolos hanya dengan mengait tulang-tulang pundaknya!"
Toat-beng-kauw Bu Sit menjadi girang sekali dan dia cepat minta kepada anak
buah Lembah Bunga Merah untuk mengambilkan dua batang kaitan baja dan dengan
wajah beringas dia menghampiri Bun Houw. Pemudar ini maklum bahwa dia tidak akan
terlepas dari ancaman siksaan atau bahkan maut di tangan musuh-musuhnya ini,
akan tetapi dia adalah seorang pomuda berjiwa gagah perkasa yang sejak kecil
telah digembleng oleh orang tuanya maka sedikitpun dia tidak merasa jerih.
Sambil mengeluarken bentakan, Bu Sit yang kehilangan sebelah daun telinganya
dan merasa malu dan marah sekali kepada pemuda itu, lalu menusukkan kaitan-
kaitan itu di pundak Bun Houw. Tentu saja hal ini mendatangkan rasa kenyerian
yang amat hebat. Bun Houw memejamkan matanya dan mematikan rasa, akan tetapi
karena besi-besi kaitan itu menembus kulit daging dan mengait tulang kunci
pundaknya, dia tidak dapat bertahan lagi, mengeluh panjang dan pingsan!
Setelah dia siuman kemball, Bun Houw mendapatkan dirinya telah berada di
dalam sebuah kamar yang kokoh kuat. Dia rebah di atas pembaringan batu, kedua
tangannya terbelenggu dan kaitan yang mengait kedua tulang pundaknya itu
disambung rantai panjang dan diikatkan pada dinding sehingga andaikata dia dapat
menggunaken tenaga sin-kang untuk mematahkan belenggu, tentu geraken ini akan
membuat tulang-tulang pundaknya tertarik patah! Dengan tulang pundak terkait
baja-baja kaitan itu, dia benar-benar tidak berdaya dan biar dia memiliki
kekuatan sepuluh kali lipatpun tidak mungkin dia dapat membebaskin diri tanpa
mematahkan kedua tulang pundaknya dan kalau hal ini terjadi berarti kedua
lengannya menjadi lumpuh.
Perasaan nyeri yang mengentak-entak dan berdenyut-denyut sampai ke ujung
ubun-ubun kepalanya, membuat dia memejamkan matanya kembali. Lalu dia teringat
akan ilmu yang dia pelajari dari Kok Beng Lama, yaitu ilmu untuk mematikan rasa.
Setiap orang pendeta yang suka bertapa dan melakukan upacara menyiksa diri
seperti para pendeta Lama tentu mahir akan ilmu ini. Dengan ilmu mati rasa ini
mereka mampu melakukan segala macam bentuk penyiksaan diri dan puasa tanpa
terlalu sangat menderita. Bun Houw memejamkan matanya dan "menutup" saluran
pikiran dengan perasaan tubuh melalui urat syaraf. Tak lama kemudian dia sudah
membuka matanya dan dia seperti dalam keadaan "lupa" bahwa tubuhnya tersiksa dan
rasa nyeri yang hebat itu tidak lagi terlalu mengganggunya. Dia mulai memeriksa
keadaan sekelilingnya dengan pandang mata penuh selidik.
Kamar itu amat kuat, tidak berjendela, hanya berpintu sebuah yang terbuat
dari besi dan di bagian atasnya berterali. Dari celah-celah terali baja sebesar
lengan tangan itu dia melihat kepala banyak orang yang agaknya menjaganya. Sudah
dibelenggu, dikait kedua tulang punggungya, dikeram di dalam kamar yang kokoh
kuat, masih dijaga ketat lagi. Bagaimana dia akan mampu membebaskan diri" Bahkan
pertolongan dari luarpun, kalau ada, merupakan ketidakmungkinan besar. Dari
celah-celah terali itu pula Bun Houw dapat menduga bahwa waktu itu masih malam,
terbukti dari penerangan lampu yang menyorot dari luar pintu. Dia merasa heran
sekali. Ketika dia tertawan, hari sudah hampir pagi, kenapa sekarang masih juga
gelap" Dia tidak tahu bahwa dia telah pingsan selama satu hari penuh dan
sekarang memang telah malam lagi.
Pintu besi terbuka dan muncullah Ciok Lee Kim dan Bu Sit dan pintu segera
ditutup kembali. Bun Houw memandang dengan mata terbelalak penuh tantangan.
"Kalian manusia-manusia tak tahu malu, pengecut besar!" Dia memaki.
"Wah, dia sudah siuman sekarang, suci. Lekas suci yang menanyai dia, kalau
dia berkeras kepala tidak terus terang, aku yang akan menyiksanya sampai dia
mengaku!" Bu Sit menghampiri pembaringan batu dengan wajah beringas penuh
kekejaman siap dengan sebatang jarum panjang hitam. Sekali pandang saja
maklumlah Bun Houw bahwa yang dipegang Monyet Pencabut Nyawa yang kini buntung
daun telinganya itu tentu sebatang jarum yang mengandung racun hebat. Si muka
monyet itupun memegangnya dengan menggunaken saputangan untuk melindungi jari-
jarinya yang menjepit ujung gagang jarum.
"Orang she Bun," Ciok Lee Kim kini menghampiri dan memandang Bun Houw tidak
lagi dengan pandang mata penuh gairah berahi seperti kemarin malam, melainkan
dengan pandang mata penuh ancaman. "Sudah satu hari kami menunggu dan baru
sekarang kau siuman. Kau tahu bahwa kau tidak mungkin dapat meloloskan dirl
lagi." Tidak perlu banyak cerewet, aku sudah tertangkap karena kalian orang-orang
pengecut menggunakan pengeroyokan. Sekarang mau bunuh lekas bunuh, siapa takut
mati?" Bun Houw mengejek.
"Hi-hi-hik, justeru itulah yang tidak kami kehendaki. Terlalu enak kalau kau
mati begitu saja. Kaulihat apa yang dipegang oleh Bu-sute itu" Bukan jarum
sembarang jarum. Jarum ini sudah direndam dengan racun kelabang hitam yang amat
jahat. Kalau jalan darah tertentu di tubuhmu tertusuk jarum ini, engkau akan
merasakan siksaan yang belum tentu terdapat di neraka sekalipun. Engkau akan
menderita kenyerian hebat dan engkau tidak akan segera mati, melainkan akan
hidup selama tiga hari tiga malam terus-menerus menderita siksaan itu. Rasa
gatal-gatal seperti ribuan ekor semut menggigiti daging dan tulangmu di sebelah
dalam." "Banyak mulut, gertak sambal!" Bun Houw membentak.
"Aku sebenarnya kasihan kepadamu. Engkau masih muda, tampan dan gagah. Ada
jalan yang lebih baik bagimu, yaitu mati seketika atau mungkin bahkan...
kebebasan. Untuk memperoleh itu, engkau hanya mengaku siapa sebetulnya kau ini,
apa hubunganmu dengan Cin-ling-pai, apakah hubunganmu dengan Cia Keng Hong?"
Bun Houw membuang muka dan tidak mau menjawab. Dia mengerti bahwa tidak ada
gunanya mengaku bahwa dia putera ketua Cin-ling-pai, karena pengakuan ini hanya
akan mendatangkan kegirangan dan rasa kemenangan bagi dua Bayangan Dewa itu.
Baik mengaku atau tidak, dia tentu akan dibunuh, maka tidak ada perlunya membuat
pengakuan yang akan memuaskan hati musuh-musuh ini. Pula, hal ini tentu akan
menjadi bahan hinaan dan ejekan terhadap nama orang tuanya. Tidak, biar dia
disiksa atau dibunuh, dia tidak akan membiarkan mereka ini menikmati kemenangan
mereka atas nama orang tuanya.
"Bun Houw, kau tetap tidak mau mengaku?"
"Bunuh aku, atau pergilah! Kalian menjijikkan hatiku!" Bun Houw membentak.
Wajah dua orang Bayangan Dewa itu menjadi merah padam.
"Manusia kepala batu dan sombong!" Ciok Lee Kim berseru. "Sudah tak mampu
bergerak, masih bermulut lebar."


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suci, biar kusiksa dia, dan kita lihat apakah dia masih belum juga mau
mengaku." Bu Sit berkata. Ciok Lee Kim mengangguk dan melangkah mundur.
Dengan wajahnya yang seperti monyet itu menyeringai kejam dan buas, Bu Sit
menghampiri Bun Houw. Bu Sit merasa sakit hati sekali kepada pemuda yang membuat
daun telinganya buntung itu. Dia mendekatkan mukanya dan dengan mata bersinar-
sinar penuh kebencian dia menghardik, "Kau membuntungi telingaku, akan tetapi
aku akan menyiksamu sampai engkau terkuik-kuik seperti anjing, sampai kau minta-
minta ampun di depanku, keparat!"
Bun Houw tidak menjawab melainkan tiba-tiba meludahi muka Monyet Pencabut
Nyawa itu. Bu Sit mengelak dengan miringkan kepalanya, dan tentu saja dia
menjadi semakin marah. Jarum di tangannya didekatkan tengkuk Bun Houw. Pemuda
ini siap menerima datangnya maut, karena dia tidak mampu bergerak lagi.
"Creppp...!" Jarum itu menusuk tengkuk Bun Houw. Pemuda ini menggigit
bibirnya ketika merasa tengkuknya ditusuk, tidak berapa nyeri rasanya. Jarum
dicabut dan dua kali lagi Bun Houw ditusuk dengan jarum itu di kanan kiri atas
pundaknya. Sambil terkekeh Bu Sit melangkah mundur dan memandang puas,
membungkus jarum panjang hitam itu dengan saputangan dan mengantonginya.
Bun Houw mula-mula hanya merasa nyeri tusukan biasa saja, akan tetapi tidak
lama kemudian mulailah dia merasakan betapa tengkuk dan kedua pundaknya
berdenyut-denyut, disusul perasaan seperti kesemutan dan segera datang serangan
yang membuat sekujur tubuhnya terasa seperti dibakar dari dalam! Dia berusaha
mengerahkan sin-kangnya untuk melawan akan tetapi rasa panas itu makin lama
makin menghebat. Mukanya menjadi merah, matanya melotot dan seluruh tubuhnya
mengeluarkan uap tipis. Namun tidak ada sepatahpun kata keluhan keluar dari
mulutnya. Dia malah memejamkan mata dan alisnya berkerut-kerut, keringatnya
jatuh menetes-netes. "Hi-hi-hik, kau masih bersikeras" Hayo kau mengaku dan aku akan memberi obat
penawar kepadamu sebelum terlambat!" Ciok Lee Kim berkata sedangkan Bu Sit masih
tertawa puas. "Persetan dengan kalian!" Bun Houw membentak.
Akan tetapi segera dia dilanda rasa nyeri yang amat hebat. Kini rasa panas
itu berubah dengan rasa dingin yang membuat seluruh tubuhnya menggigil! Dia
menjadi kaget karena maklum bahwa racun itu sedemikian hebatnya, sehingga
mempengaruhi hawa murni di tubuhnya, membangkitkan hawa panas lalu hawa dingin
yang terkumpul di tubuhnya berkat latihan di Tibet. Bisa rusak penguasaannya
atas tenaga saktinya sendiri! Betapapun juga, dia tahu bahwa segala siksaan
badaniah ada batasnya dan kalau sudah melampaui batas itu, dia akan mati. Paling
hebat cuma mati, perlu apa dia takut menghadapinya. Lebih baik mati namun tetap
dapat memukul musuh dengan mengecewakan hati mereke daripada mendengar
penghinaan terhadap orang tuanya, dan andaikata dia mengaku, sama sekali tidak
mungkin dia aken selamat, bahkan hal itu menjadi alasan yang kuat lagi bagi dua
Bayangan Dewa untuk menyiksanya lebih hebat dan membunuhnya.
Setelah rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil dan giginya saling
beradu itu lenyap, mulailah kini rasa gatal-gatal merayapi seluruh tubuhnya dan
benar seperti ancaman Ciok Lee Kim tadi, seperti ada ribuan ekor semut merayap
di sebelah dalam tubuhnya, atau di bawah kulit dan semut-semut itu menggigitnya.
Terhadap serangan hawa panas membakar dan dingin luar biasa tadi, Bun Houw masih
mampu bertahan dan tidak ada sedikitpun suara keluhan terdengar keluar dari
mulutnya. Akan tetapi rasa gatal-gatal pada seluruh tubuh ini demikian menyiksa,
demikian mengganggu urat-urat syarafnya, membuat dia ingin sekali menggaruk-
garuk padahal kedua tangannya tidak bebas, sehingga mulailah tubuhnya
menggeliat-geliat di luar kekuasaan pertahanannya. Mendengar Ciok Lee Kim dan Bu
Sit tertawa-tawa melihat dia menggeliat-geliat itu, Bun Houw menelan kembali
keinginannya untuk bersambat. Dia menggigit bibirnya menahan penderitaan itu
sampai kulit bibirnya pecah berdarah, dia berhasil menahan sehingga tidak ada
keluhan keluar dari mulut akan tetapi dia tidak mampu menahan agar tubuhnya
tidak bergerak. Dia tetap menggeliat-geliat dan makin lama "semut-semut" di
bawah kulitnya itu makin hebat menggigiti, menimbulkan kegatalan yang tak
tertahankan lagi. Keringatnya bercucuran, ingin dia menjerit, hampir dia
menangis, hampir dia memaksa diri menggerakkan kedua lengan yang tentu akibatnya
akan celaka. Akhirnya Bun Houw terkulai lemas dan pingsan!
Melihat korban mereka pingsan, tentu saja Ciok Lee Kim den Bu Sit kehilangan
kegembiraan dan meninggalkannya di dalam tahanan setelah memesan kepada belasan
orang anak buah Lembah Bunga Merah untuk menjaga dengan ketat malam itu secara
bergiliran. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang dialami oleh Bun Houw. Baru
saja meninggalkan perguruan di Tibet, dia sudah menghadapi malapetaka yang
menimpa keluarganya di Cin-ling-san, dan sekarang baru saja dia bisa menemukan
tempat persembunyian dua di antara Lima Bayangan Dewa, dia sudah tertawan dan
menderita penyiksaan hebat, bahkan sekaligus nyawanya terancam maut karena
tusukan jarum beracun yang dilakukan oleh Bu Sit itu bukan hanya untuk
menyiksanya, melainkan juga untuk membunuhnya. Ucapan Ciok Lee Kim bukanlah
gertak belaka, akan tetapi setelah mengalami penusukan jarum beracun itu, tanpa
mendapatkan obat penawar dari Ciok Lee Kim sendiri, dia hanya akan hidup selama
tiga hari tiga malam saja dan di dunia ini jarang ada orang yang akan mampu
menyelamatkannya dari ancaman maut itu.
Sebetulnya, tingkat kepandaian pemuda itu sudah tinggi dan hebat sekali,
jarang ada tokoh persilatan yang akan mampu menandinginya. Andaikata semua
musuhnya itu maju satu demi satu, tentu dengan mudah saja dia akan mampu
mengalahkan mereka. Bahkan Bouw Thaisu yang amat lihai itu belum tentu akan
mampu menandinginya. Akan tetapi, pengeroyokan lima orang yang kesemuanya
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi itu, pula karena Bun Houw sendiri belum
memiliki banyak pengalaman dan fihak musuh menggunakan kecurangan maka akhirnya
dia roboh juga dan tertawan. Andaikata tidak ada Ai-kiauw yang nekat merangkul
dan menggigitnya, kiranya lima orang datuk kaum sesat itupun tidak akan mudah
saja merobohkan pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini.
Menjelang tengah malam, keadaan di Lembah Bunga Merah itu sunyi sekali,
sunyi menyeramkan setelah apa yang terjadi malam kemarin. Biarpun pemuda perkasa
itu telah tertawan dan kini berada dalam keadaan tidak berdaya sama sekali,
namun para penjaga masih melakukan penjagaan dengan ketat mengingat betapa
tawanan pertama, yaitu tiga orang murid Bu-tong-pai, telah dapat lolos dari
tempat tahanan. Akan tetapi karena pemuda itu masih pingsan dan kini lima orang
sakti itu secara bergilir ikut pula meronda, hati para penjaga menjadi tenang.
Ketika Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw sepasang tosu dan tokouw yang sakti
itu bergiliran meronda, mereka menuju ke kamar tahanan, menjenguk ke dalam dan
melihat Bun Houw masih pingsan dalam keadaan terbelenggu dan terkait tulang
pundaknya, maka mereka mengangguk dan berpesan kepada para penjaga agar jangan
tertidur, kemudian mereka meninggalkan kamar tahanan untuk meronda di sekitar
lembah. Akan tetapi tak lama kemudian, sesosok bayangan yang berkelebatan seperti
bayangan iblis sendiri, mendekati tempat tahanan itu, kemudian dengan gerakan
yang sukar dlikuti pandang mata para penjaga, bayangan ini berkelebatan dan
terdengar keluhan-keluhan lemah disusul robohnya para penjaga!
Melihat betapa teman-temannya roboh dan kelihatan bayangan seperti iblis
barkelebatan menyilaukan mata, seorang di antara para penjaga menjodi terkejut
sekali dan ketakutan. Dia berteriak keras, "Toloooonggg!" akan tetapi segera
roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika. Hanya dia seorang yang sempat
bertertak, karena tiga belas orang yang lainnya sudah roboh sebelum mereka
sempat mengeluarkan suara. Mereka tadi terlalu heran dan kaget, bahkan sebagian
besar masih belum mengerti apa yang berkelebatan itu, tahu-tahu mereka sudah
ditampar dan dipukul. Setiap tamparan atau pukulan membuat mereka roboh, ada
yang pingsan, ada pula yang tewas seketika.
Bayangan yang bergerak cepat seperti setan itu kini sudah menghampiri Bun
Houw, dengan hati-hati sekali dia menggerakkan pedang, mematahkan rantai yang
membelenggu kaki dan yang dihubungkan dengan kaitan-kaitan di pundak. Dia
bergidik melihat baja-baja kaitan yang mengait kedua pundak Bun Houw, tidak
berani melepaskan kaitan di situ karena dia maklum bahwa teriakan penjaga tadi
tentu akan mendatangkan para tokoh Lembah Bunga Merah, maka setelah mamatahkan
belenggu, dia mengangkat tubuh Bun Houw, dipondongnya dan dengan gerakan cepat
sekali, bayangan itu lalu melompat keluar. Tubuh Bun Houw dipanggul di atas
pundak kiri dan tangan kanannya mencabut dan memegang pedangnya, dengan gerakan
luar biasa cepatnya sekali melompat dia telah keluar
dari tempat tahanan itu. Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang sedang meronda dan belum terlalu jauh
dari tempat tahanan, mendengar teriakan minta tolong tadi. Cepat mereka berdue
lari kembali ke tempat tahanan. Akan tetapi di luar tempat itu, mereka melihat
sesosok bayangan mamanggul sesuatu bergerak cepat di antera pohon-pohon.
"Heiii, siapa di situ?" teriak Hwa Hwa Cinjin.
"Berhenti...!" Hek I Siankouw juga membentak.
Melihat bayangan itu tidak menghirauken bentakan mereka, Hek I Slinkouw
sudah menubruk ke depan, menyerang dengan pedang hitamnya yang sudah dicabutnya
dengan cepat sekali. Gerakannya ini disusul oleh sambaran hudtim di tangan Hwa
Hwa Cinjin. Kakek dan nenek ini merasa yakin bahwa serangan mereka yang
dilakukan secara hampir berbareng, dengan cepat dan dahsyat itu tentu cukup
untuk merobohkan bayangan yang mencurigakan ini.
"Tringgg... cringggg...!"
Dua orang kakek dan nenek itu terkejut bukan main ketika mereka berdua
merasa tangan mereka panas oleh tangkisan pedang di tangan bayangan hitam yang
dapat menggerakkan pedangnya sedemikian rupa sehingga sekaligus pedang itu dapat
dikelebatkan kedua jurusan dan menangkis kebutan dan pedang hitam dengan
kekuatan dahsyat sehingga tangan mereka menjadi tergetar dan terasa panas! Akan
tetapi, bayangan hitam yang tentu saja tidak dapat bergerak leluasa karena harus
memanggul tubuh Bun Houw itu telah meloncat ke depan dengan cepat seperti
lompatan seekor kijang. Tentu saja Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw merasa penasaran. "Kau hendak
lari ke mana?" Hwa Hwa Cinjin berseru.
Kaumakanlah ini!" Hek I Siankouw membentak dan dari tangan kirinya menyambar
sinar hitam ke arah bayangan yang melarikan diri itu. Juga Hwa Hwa Cinjin
menggerakkan kebutannya dan sinar putih menyambar dari tengah kebutan. Kiranya
dua orang tua ini telah melepas senjata rahasia mereka yang ampuh. Hek I
Siankouw telah melepaskan Hek-tok-ting (Paku Racun Hitam) dan Hwa Hwa Cinjin
telah melepaskan bulu kebutannya. Benda-benda hitam dan putih menyambar seperti
kilat cepatnya ke arah punggung bayangan yang melarikan diri.
Akan tetapi, tanpa menoleh seolah-olah di tengkuknya terdapat mata ketiga,
bayangan itu menggerakkan pedangnya ke belakang dan semua senjata rahasia
runtuh, sedangkan dia kini telah berada jauh di depan, menghilang di antara
bayangan pohon-pohon yang gelap.
Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw kembali terkejut, maklum bahwa bayangan
itu benar-benar amat pandai. Mereka melakukan pengejaran beberapa lamanya, namun
kerena tempat itu banyak terdapat pohon-pohon yang gelap dan malam itu hanya
diterangi bintang-bintang yang sinarnya suram, maka mereka tidak mampu menemukan
bayangan itu dan mereka cepat ktmbali ke tempat tahanan. Alangkah kaget hati
mereka melihat bahwa selain Bun Houw telah lenyap, juga empat belas orang
penjaga itu sudah roboh semua, ada yang tewas dan selebihnya masih pingsan!
Gegerlah Lembah Bunga Merah oleh kejadian ini. Terutama sekali Ciok Lee Kim
merasa amat marah dan penasaran. Tawanan itu sudah dijaga ketat, tetap saja
masih dapat dicuri orang! Ketika lima orang sakti itu menanyai para penjaga yang
tidak tewas dan sudah siuman dari pingsan, para penjaga ini juga tidak dapat
memberi keterangan yang jelas.
"Kami hanya melihat bayangan yang berkelebat cepat, seperti seekor burung
beterbangan menyambar-nyambar di antara kami dan tahu-tahu kami merasakan
pukulan hebat dan tidak ingat apa-apa lagi," demikianlah rata-rata keterangan
mereka. "Hemmm, sungguh mentakjubkan," Hwa Hwa Cinjin berkata, "pinto juga tidak
dapat melihat jelas mukanya karena malam gelap dan ketika kami berdua
menyerangnya, dia berada di dalam bayangan pobon. Akan tetapi yang jelas, dia
bukan orang biasa, memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan tangguh."
"Aku dapat memastikan bahwa dia tentulah seorang wanita!" kata Hek I Sian-
kauw dengan tegas. "Biarpun aku juga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas
karena gelap, namun bentuk tubuhnya yang ramping dan gerakannya yang lemas
menunjukkan bahwa dia seorang wanita."
Hwa Hwa Cinjin membenarkan pendapat ini, dan demikian pula para penjaga
menyatakan bahwa memang bayangan itu mempunyai potongan tubuh ramping. Lima
orang sakti itu menduga-duga siapa gerangan orang aneh itu yang telah melarikan
Bun Houw. "Tidak salah lagi, tentu dia pula yang telah menolong tiga orang murid Bu-
tong-pai," kata Ciok Lee Kim sambil mengerutkan alisnya karena peristiwa
berturut-turut hilangnya tawanan itu merupakan tamparan baginya.
"Jangan-jangan dia yang kembali membikin ribut..." tiba-tiba Toat-beng-kauw
Bu Sit berkata. "Dia siapa, Bu-sute?" Ciok Lee Kim bertanya dan yang lain-lain juga
memandangnya. "Siapa lagi kalau bukan gadis Giok-hong-pang itu..."
Mendengar ini, teringatlah Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu
yang pernah bertemu dengan Yap In Hong, tokoh Giok-hong-pang yang amat lihai
itu. Mereka mengangguk-angguk, akan tetapi Bouw Thaisu berkata penuh keraguan,
"Agaknya dugaanmu itu amat meragukan kebenarannya, Bu-sicu. Kita mengetahui
betapa gadis itu adalah seorang wanita aneh dari Giok-hong-pang, tidak memusuhi
kita secara langsung dan juga tidak bersahabat dengan fihak Cin-ling-pai, pula
kita telah tahu bahwa Giok-hong-pang adalah perkumpulan yang mempunyai hubungan
dengan partai-partai lain. Karena itu, agaknya tidak boleh jadi kalau dia
menolong anak murid Bu-tong-pai dan apalagi menolong pemuda yang agaknya
mempunyai hubungan erat dengan Cin-ling-pai itu. Aku lebih condong menduga bahwa
mereka tentulah seorang tokoh Bu-tong-pai. Ingat, pertai beser itu tentu saja
memiliki banyak orang pandai dan tidak mengherankan kalau seorang tokoh wanita
dari Bu-tong-pai yang turun tangan menolong anak-anak murid Bu-tong-pai itu dan
juga pemude she Bun yang aneh itu."
Semue orang mengangguk-angguk. "Betapapun juga, manusia she Bun itu tidak
akan dapat menyelamatkan diri dan tentu akan tewas, karena di tubuhnya telah
mengeram racun yang tidak mungkin dapat disembuhkan oleh orang lain," kata Ciok
Lee Kim. Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutkan alisnya. "Ciok-suci, setelah apa yang
terjadi, malam ini kurasa sebaiknya kalau kita meninggalkan tempat ini. Fihak
Bu-tong-pai kiranya tidak akan tinggal diam dan kalau sampai mereka mengerahkan
tokoh-tokohnya dan anak murid Bu-tong-pai yang banyak menyerbu ke Lembah Bunga
Merah, berarti kita hanya akan menanam permusuhan yang lebih mendalam lagi
selain juga amat berbahaya. Mereka tentu akan menyerbu ke sini."
"Aku tidak takut!" Ciok Lee Kim berseru keras.
"Suci, soalnya bukan takut atau tidak takut. Orang-orang seperti kita ini
tentu saja tidak mengenal apa artinya takut lagi. Pula, dengan adanya sam-wi
locianpwe di sini, sebagai tamu kita dan sahabat-sahabat kita, kita tidak takut
menghadapi siapapun juga. Akan tetapi, kalau sampai kita terlibat permusuhan
dengan Bu-tong-pai, bukankah hal itu melemahkan kedudukan kita" Padahal tujuan
kita semua hanya untuk menghancurkan Cin-ling-pai! Selain itu, pemuda she Bun
itu telah mengetahui tempat kita, dan dia tentulah kaki tangan Cin-ling-pai.
Sekarang dia telah lolos, tentu dia akan mengabarkan kepada ketua Cin-ling-pai.
Kalau ketua Cin-ling-pai dan kaki tangannya juga menyerbu kt sini bersama Bu-
tong-pai, bukankah hal itu akan amat merugikan kita" Lebih baik kita bergabung
dengan para suheng di Ngo-sian-chung."
Bouw Thaisu mengangguk-angguk. "Agaknya benarlah apa yang dikatakan oleh Bu-
sicu. Betapapun juga, kita harus berhati-hati karena musuh-musuh yang kita
hadapi bukan orang-orang lemah. Pula, tujuan pinto meninggalkan pertapaam di
pantai Pohai semata-mata hanya untuk menuntut kematian sahabatku Thian Hwa
Cinjin, dan tujuanku hanya menghadapi orang-orang Cin-ling-pai."
Demikianlah pula Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang juga menaruh dendam
kepada ketua Cin-ling-pai, merasa keberatan kalau harus memusuhi Bu-tong-pai,
maka akhirnya Ciok Lee Kim setuju. Pada keesokan harinya, berangkatlah mereka
meninggalkan Lembah Bunga Merah, menuju ke Ngo-sian-chung yaitu tempat tinggal
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang berada di lembah muara Sungai Huang-ho.
*** Sesungguhnya, dugaan Toat-beng-kauw Bu Sit sama sekali tidaklah meleset dari
kenyatannya. Yang menolong tiga orang anak murid Bu-tong-pai, dan yang menolong
Bun Houw, bukan lain adalah Yap In Hong. Gadis ini ingin merampas pedang Siang-
bhok-kiam yang dicuri oleh Lima Bayangan Dewa, dan juga, setelah bertemu dengan
Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangen Dewa, sudah timbul perasaan tidak
senangnya kepada Lima Bayangan Dewa yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia
kang-ouw karena perbuatan mereka berani mengacau di Cin-ling-pai. Oleh karena
itu, ketika secara kebetulan dia melihat Toat-beng-kauw Bu Sit, Bouw Thaisu, Hwa
Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw melakukan perjalanan mengunjungi Hui-giakang Ciok
Lee Kim di Lembah Bunga Merah, diam-diam dia lalu mengikuti mereka, membayangi


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kemudian setiap malam melakukan penyelidikan di Lembah Bunga Merah dengan
niat hati untuk mencuri Siang-bhok-kiam andaikata pedang pusaka Cin-ling-pai itu
disimpan di lembah itu. Diam-diam dia mengetahui akan kunjungan Kiam-mo Liok Sun dan seorang pemuda
tampan yang didengarnya adalah orang she Bun yang menjadi pengawal pribadi Kiam-
mo Liok Sun itu. Kemudian dia melihet betapa pemuda pengawal Kiam-mo Liok Sun
itu menolak ketika dibujuk dan dirayu oleh dua orang murid Ciok Lee Kim, bahkan
menolak ketika dibujuk rayu oleh Si Kelabang Terbang sendiri. Hal ini sungguh
mengherankan hati In Hong dan mendatangkan kesan yang amat mendalam. Dia tahu
betapa dua orang murid Ciok Lee Kim adalah wanita-wanita muda dan cantik, dan
Ciok Lee Kim sendiri adalah seorang wanite cantik yang berpengaruh, akan tetapi
pemuda itu, seorang pengawal biasa saja, menolak! Padahal majikannya, Liok Sun,
adalah seorang laki-laki yang biasa saja, yaitu seperti anggapan In Hong sejak
kecil bahwa semua laki-laki adalah mata keranjang, cabul dan pengrusak wanita!
Akan tetapi mengapa pemuda ini lain daripada laki-laki lain"
Kemudian dia melihat munculnya tiga orang murid Bu-tong-pai. Sikap mereka
amat mengagumkan hatinya dan kembali dia terheran-heran menyaksikan sikap tiga
orang muda Bu-tong-pai yang gagah perkasa itu. Bagaimana di dunia ini terdapat
orang-orang muda yang demikian gagah perkasa, demikian berani menentang
kejahatan dan demikian bersih hatinya sehingga tidak terjatuh oleh rayuan dan
tidak tunduk oleh ancaman maut"
Tentu saja In Hong tidak tahu bahwa dunia kang-ouw mempunyai banyak orang-
orang gagah perkasa, seperti banyaknya pule terdapat orang-orang sesat, golongen
hitam yang di dalam hidupnya hanya mengutamakan pengejaran kesenangan bagi diri
sendiri sehingga untuk memperoleh kesenangan itu, mereka suka melakukan apapun
juga, perbuatan kejam dan cabul yang bagaimanapun dengan mengandalkan kepandaian
mereka. Dan sejak kecil In Hong hanya berdekatan dengan orang-orang sesat,
dengan wanita-wanita pembenci kaum pria. Belum pernah dia berdekatan dengan
pendekar, maka sekarang, begitu melihat sikap orang-orang yang berjiwa pendekar,
dia menjadi terheran-heran, terkejut, dan kagum bukan main.
Karena rasa kagum inilah maka tergerak hatinya untuk menolong tiga orang
murid Bu-tong-pai itu. Andaikata hatinya tidak digerakkan oleh kegagahan mereka,
tentu perasaan hatinya yang dingin itu akan membuat dia menutup mata dan tidak
memperdulikan urusan orang lain. Kini mulai terbuka hatinya bahwa tidak semua
pria jahat, cabul dan khianat, seperti yang dia selalu mendengar dari mulut
gurunya, dan dari semua anggauta Giok-hong-pang. Dia turun tangan membebaskan
tiga orang murid Bu-tong-pai itu dan membawa mareka lari ke sebuah hutan di
bawah Lembah Bunga Merah, di mana mareka bersembunyi ke dalam sebuah kuil tua
sambil merawat luka mereka.
Ketika pada keesokan harinya diam-diam In Hong menyelidiki lagi ke Lembah
Bunga Merah, dia terkejut bukan main melihat bahwa pemuda yang dikenalnya
sebagai pengawal Kiam-mo Liok Sun, pemuda yang menimbulkan kagumnya, karena
pemuda itu menolak rayuan-rayuan Ai-kwi dan Ai-kiauw, telah ditawan dan disiksa
secara mengerikan, karena kedua tulang pundaknya dikait oleh kaitan baja dan
dibelenggu dalam keadaan pingsan. Timbul perasaan iba hatinya terhadap pemuda
perkasa itu, apalagi ketika mendengar bahwa pemuda itu mengamuk den membunuh Ai-
kwi dan Ai-kiauw sebelum akhirnya tertawan, yang didengarnya dari percakapan
para penjaga, dia lalu mengambil keputusan untuk monolong pemuda she Bun yang
tidak dikenalnya itu. In Hong tahu benar akan kelihaian Toat-beng-kauw Bu Sit,
terutama sekali Hek I Siankouw, Hwa Hwa Cinjin dan Bouw Thaisu, maka dia tidak
berani bertindak secara gegabah. Dia menanti sampai tengah malam sehingga dia
tidak tahu betapa malam itu Ciok Lee Kim dan Bu Sit telah menyiksa pemuda itu
yang telah siuman bahkan kemudian menusuknya dengan jarum beracun dan
meninggalkan pemuda itu dalam keadaan pingsan lagi dan dalam keadaan terancam
nyawanya. Dengan kepandaiannya yang hebat, In Hong akhirnya berhasil menolong pemuda
itu dan membawanya lari dari Lembah Bunga Merah setelah dia berhasil meloloskan
diri dari pencegatan Hek I Siankouw dan Hwa Hwa Cinjin. Dia lalu membawa pemuda
itu ke dalam hutan di kaki bukit dan memasuki kuil di mana tiga orang murid Bu-
tong-pai masij bersembunyi dan mengobati luka mereka.
"Lihiap, dia siapakah dan mengapa dia sampai begitu tersiksa...?" Seorang di
antara tiga orang murid Bu-tong-pai itu bertanya. Mereka memandang dengan hati
ngeri melihat keadaan Bun Houw seperti itu. Muka pemuda itu menghitam, jelas
bahwa pemuda itu keracunan, dan kedua pundak yang dikait tulangnya itu benar-
benar menimbulkan kengerian dan mendirikan bulu roma.
Dia adalah seorang pengawal biasa yang entah mengapa telah disiksa seperti
ini oleh manusia-manusia kejam itu." In Hong menjawab, kemudian dia memeriksa
keadaan Bun Houw. Dengan hati-hati dia mencabut dua baja kaitan dari pundak Bun
Houw. Setelah memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa tulang-tulang pundak pemuda
itu tidak patah, hanya kulit dagingnya saja berlubang dan luka parah, dia lalu
mengobati luka-luka di pundak pemuda itu dengan obat luka yang dibawanya,
kemudian membalut pundak itu dibantu oleh tiga orang murid Bu-tong-pai.
"Dia keracunan hebat..." kata murid wanita Bu-tong-pai dengan alis berkerut,
masih ngeri hatinya membayangkan penderitaan yang ditanggung oleh pemuda yang
baru saja ditolong oleh In Hong.
In Hong adalah seorang yang tidak asing dengan racun, karena dari gurunya
dia memperoleh banyak pelajaran tentang racun, bahkan dia mengenal racun-racun
dari tumbuh-tumbuhan, dan senjata rahasianyapun adalah Siang-tok-swa, yaitu
pasir yang mengandung racun dari kembang yang berbau harum. Akan tetapi dia
menjadi bingung melihat racun yang menyerang darah Bun Houw. Setelah dia
memeriksa dengan teliti, dia menghela napas dan menggeleng kepala.
"Apakah kalian mengenal racun yang menyerangnya?" tanyanya kepada tiga orang
murid Bu-tong-pai itu. Tentu saja murid-murid Bu-tong-pai ini juga pernah mempelajari tentang
racun-racun untuk sekedar menjaga diri, akan tetapi setelah mereka memeriksa,
orang tertua dari mereka berkata dengan alis berkerut, "Lihiap, racun ini hebat
sekali dan saya kira kalau dia tidak cepat mendapat obat yang mujarab, nyawanya
sukar ditolong lagi. Tak jauh dari sini ada seorang ahli obat yang kiranya dapat
menolongnya, akan tetapi sayang..." Dia menghentikan kata-katanya.
"Sayang bagaimana?" In Hong bertanya.
"Dia adalah seorang yang berwatak aneh bukan main. Kakek itu di dunia kang-
ouw terkenal dengan sebutan Yok-mo (Setan Obat), akan tetapi juga terkenal
dengan wataknya yang amat luar biasa. Maka sedikit sekali harapan apakah dia
akan mau mengobati orang ini."
"Luar biasa bagaimana" Harap kaujelaskan." In Hong mendesak.
"Hampir semua tokoh kang-ouw mengenal Yok-mo ini, sungguhpun tidak ada yang
tehu siapa namanya. Dia selalu mengobati orang-orang sakit dan orang-orang yong
tergigit binatang berbisa apapun juga, dengan cepat dapat disembuhkannya secara
luar biasa. Bahkan ada orang yang tergigit ular yang paling berbisa, yang
kabarnya tidak ada obatnya, dapat pula dia obati, dan ada orang bilang bahwa
Setan Obat itu pernah menyombongkan diri, mengatakan bahwa tidak ada gigitan
binatang berbisa di dunia ini yang tidak dapat dia sembuhkan..."
"Kalau begitu, dialah yang dapat menolong!" kata In Hong girang. "Menurut
pendengaranku ketika para penjaga Lembah Bunga Merah bercakap-cakap, racun yang
dimasukkan ke tubuh pemuda ini adalah racun dari kelabang hitam. Akan tetapi,
apakah kesulitannya bagi Setan Obat untuk mengobati dia ini?"
"Dia mau mengobati segala macam penyakit tanpa menerima bayaran sama sekali,
akan tetapi dia paling benci kepada ahli-ahli silat dan dia tidak pernah mau
mengobati orang-orang yang terluka dalam pertempuran. Itulah kesukarannya,
lihiap." "Hemm, di mana dia?"
"Dia tinggal di puncak gunung tak jauh dari sini, di puncak Gunung Cemara di
barat itu." Murid Bu-tong-pai itu menuding ke barat.
"Kalau begitu, biar aku mengunjunginya ke sana. Menurut percakapan para
penjaga tadi, orang ini hanya dapat hidup tiga hari tiga malam saja, maka harus
cepat mendapatkan obat. Harap kalian suka menjaganya selama aku pergi."
"Baik, lihiap. Engkau sudah begitu baik kepada kami, sudah menyelamatkan
nyawa kami tanpa pamrih, bahkan memperkenalkan namapun lihiap tidak mau.
Sekarang lihiap menolong seorang lain yang tidak lihiap kenal, hendak mencarikan
obat menghadap Yok-mo, sungguh membuat hati kami kagum bukan main. Tentu saja
kami suka membantu lihiap untuk menjaga saudara ini."
In Hong tersenyum dan sekali berkelebat lenyaplah dia dari hadapan tiga
orang murid Bu-tong-pai itu. Mereka saling pandang dan menarik napas panjang.
Selama hidup, mereka belum pernah bertemu dengan seorang pendekar wanita seperti
penolong mereka itu. Dan mereka menyesal sekali mengapa penolong mereka itu
merahasiakan namanya dan tidak mau mengaku walaupun mereka tanya berkali-kali.
*** Gunung itu penuh dengan hutan yang mengandung pohon-pohon lengkap dan subur,
akan tetapi sungguh mengherankan, di puncaknya hanya ditumbuhi pohon-pohon
cemara belaka. Oleh karena itu meka puncak itu disebut puncak Gunung Cemara,
sebuah gunung yang tidak berapa tinggi akan tetapi lerengnya penuh dengan hutan
lebat. Sebuah rumah gubuk kecil terdapat di puncak di antara pohon-pohon cemara
yang tinggi, seperti berlindung di bawah pohon-pohon itu, atapnya sudah penuh
dengan batang-batang daun cemara yang tebal menutupi atap rumah gubuk. Tanah di
sekitar tempat itupun sudah tertutup batang daun cemara sehingga kalau orang
duduk di atasnya, terasa enak dan empuk pula, bersih tidak becek walaupun di
waktu hujan. Kakek itu pakaiannya biasa saja, seperti pakaian seorang petani. Dia sudah
tua sekali, tentu sudah ada tujuh puluh tahun usianya, namun wajahnya masih
segar dengan kulit kemerahan dan tidak nampak keriput seperti wajah orang-orang
muda, sungguhpun semua rambut, jenggot dan kumisnya telah putih semua. Pada pagi
hari itu, kakek ini sedang mengeluarkan banyak tampah-tampah untuk menjemur
rempah-rempah dan bahan-bahan obat di bawah sinar matahari pagi. Pekerjaan ini
dilakukannya dengan penuh kesungguhan, penuh perhatian den dengan wajah gembira-
ria. Berbahagialah orang yang melakukan segala sesuatu dalam hidup ini dengan
perasaan kasih di hatinya. Dan pekerjaan apapun yang dilakukan orang, perbuatan
apapun yang dilakukannya, apabila berdasarkan cinta kasih, maka perbuatan itu
tentu benar adanya! Sayang sekali bahwa kita pada umumnya sudah tidak lagi
mengenal cinta kasih dalam segala perbuatan kita. Perbuatan kita selalu didorong
oleh kepentingan diri pribadi lahir batin, demi keuntungan, demi kesenangan,
demi kebencian, iri hati, pamrih dan lain-lainnya. Kalau saja kita dapat
melakukan pekerjaan kita dengan cinta kasih di hati! Bukan demi penghasilannya!
Kalau saja kita dapat melakukan segala sesuatu dengan kasih di hati! Betapa akan
indahnya hidup ini, betapa akan bahagianya hidup ini.
Bagi kakek tua renta itu, pada saat dia menjemur rempah-rempah itu, tidak
ada apa-apa lagi di dunia ini, tidak ada persoalan, tidak ada pemikiran, tidak
ada apa yang disebut waktu, bahkan dia tidak ingat lagi akan dirinya sendiri.
Sinar matahari pagi, hembusan angin pegunungan, kicau burung, keharuman daun
cemara dan rempah-rempah yang dijemurnya, pergerakan jari-jari tangannya yang
mengatur akar-akaran dan daun-daunan yang dijemur di atas tampah-tampah, semua
itu sudah serasi, sudah selaras, merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah-
pisahkan, merupakan bagian dari keadaan, dari kehidupan, dari cinta kasih.
Tanpa disadarinya, terdengar dendang disenandungkan dari mulut kakek yang
sudah ompong itu, seolah-olah dia mengikuti irama yang terdengar oleh
telinganya, entah dari mana, seperti terbawa oleh angin yang semilir.
Akan tetapi, keheningan yang suci itu segera terganggu dengan munculnya
seorang gadis cantik jelita yang membawa sebatang pedang di punggungnya. Gadis
ini bukan lain adalah Yap In Hong. Melihat kakek tua renta ini menjemuri obat-
obat di depan gubuknya, membiarkan tampah-tampah berisi obat-obat itu ditimpa
sinar-sinar matahari yang menerobos turun melalui celah-celah daun cemara, In
Hong berhenti sejenak, memandang penuh perhatian lalu menengok ke kanan kiri.
Tidak nampak orang lain di tempat itu.
Dia melangkah maju menghampiri "Kakek, apakah engkau yang berjuluk Setan
Obat?" Kakek itu terkejut, seperti diseret turun dari sebuah dunia lain di mana
tidak ada pemikiran, tidak ada persoalan, kini kembali ke dunia yang banyak
pertikaian, banyak pertentangan yang ditimbulkan oleh manusia. Dia menoleh,
memandang gadis muda itu dan alisnya berkerut merut ketika pandang matanya
bertemu dengan sarung pedang di punggung gadis itu. Dia lalu menunduk kembali,
mengatur akar-akaran dan daun-daunan obat di atas tampah seolah-olah tidak
terjadi sesuatu, akan tetapi kini lenyaplah seri di wajahnnya, lenyaplah
senandungnya. In Hong sudah diberi tahu oleh murid-murid Bu-tong-pai akan keanehan watak
kakek ini, maka dia tidak menjadi marah melihat betapa kakek itu seolah-olah
tidak mengacuhkannya sama sekali.
"Yok-mo." dia berkata sambil melangkah maju dan menghadapi kakek itu. "Aku
Yap In Hong, datang untuk mohon pertolonganmu memberi obat untuk seorang yang
telah terluka hebat oleh racun kelabang hitam."
Setelah mengulang kata-katanya sampai tiga kali dengan suara sabar, akhirnya
kakek itu mengangkat muka memandang dan In Hong terkejut melihat betapa kakek
tua renta ini selain berwajah segar dan muda, juga memiliki sepasang mata yang
bersinar jernih seperti mata kanak-kanak.
"Wanita muda, apakah kau datang untuk membunuh orang?" tiba-tiba kakek itu
bertanya dengan suara lantang.
Tentu saja In Hong terkejut dan terheran mendengar pertanyaan ini. Dia cepat
menggeleng kepala. "Kalau begitu, mengapa engkau datang membawa-bawa sebatang pedang" Untuk
apalagi orang membawa-bawa pedang kalau tidak ada niat terkandung di hati untuk
menyerang dan membunuh orang lain?"
In Hong makin terkejut. Biarpun dia sudah mendengar bahwa kakek ini seorang
aneh, akan tetapi dia tidak menyangka akan diserang dengan kata-kata seperti
itu. Akan tetapi dia tidak menjadi gugup dan cepat menjawab, "Kakek yang baik,
setiap orang yang melakukan perjalanan, apalagi kalau dia mengerti ilmu silat,
tentu membawa sebatang senjata. Apa anehnya hal itu" Membawa senjeta bukan
berarti hendak menyerang orang."
"Huh! Semua orang yang membawa senjata, mana ada yang baik iktikadnya"
Senjata adalah alat untuk membunuh, siapa yang membawanya berarti sudah siap
untuk menyerang dan membunuh orang lain. Setiap orang manusia mesti mati,
mengapa kalian ini orang-orang yang haus darah tidak membiarkan semua orang mati
seperti semestinya dan wajar, akan tetapi menuruti nafsu untuk saling membunuh"
Engkau yang mempunyai hati kejam, yang selalu membawa pedang dan setiap saat
siap membunuh orang lain, sekarang tidak malu datang kepadaku minta obat untuk
menyelamatkan nyawa orang" Bukankah sudah menjadi kesenanganmu melihat orang
mati?" In Hong mengerutkan alisnya. Sungguh berabe menghadapi orang seperti ini,
pikirnya. "Kakek yang aneh, senjata tajam belum tentu untuk menyerang dan
membunuh orang, aku membawanya untuk menjaga diri dari ancaman bahaya. Coba saja
kaupikir, kalau aku melakukan perjalanan seorang diri, lalu muncul seekor
binatang buas yang menyerangku, bagaimana aku harus membela diri" Bahkan
harimaupun mempunyai taring, ular mempunyai racun, semua binatang mempunyai
senjata untuk membela diri, mengapa manusia tidak?"
"Binatang tidak akan menyerang manusia kalau tidak diganggu atau lapar.
Binatang merupakan mahluk yang lebih baik daripada manusia! Manusia adalah
mahluk paling jahat dan kejam di permukaan bumi ini. Tidak ada binatang yang
membunuh untuk kesenangan, atau membunuh karena permusuhan dan kebencian.
Binatang membunuh untuk dapat hidup, membunuh karena dorongan perut lapar. Akan
tetapi manusia membunuh apa saja di dunia ini untuk mencari kesenangan, bahkan
membunuh sesama manusia untuk mencari kesenangan dalam kemenangan, membunuh
karena permusuhan dan kebencian. Phahh!"
Akan tetapi, Yok-mo, aku tidak akan sembarangan memusuhi orang, tidak
sembarangan membenci orang, apalagi tidak akan sembarangan menyerang atau
membunuh orang lain. Semua itu tentu ada sebab-sebabnya. Seperti sekarang ini,
aku sama sekali tidak mempunyai niat membunuh siapapun juga, bahkan kedatanganku
ingin minta bantuanmu agar kau suka memberi obat kepada seorang yang menjadi
korban kejahatan manusia lain yang amat jahat. Tentu saja keadaan ini bisa
berobah sama sekali. Andaikata engkau lalu tiba-tiba menyerang dan hendak
mencelakakan aku, tentu saja aku akan membela diri dan mungkin membunuhmu dalam
pertempuran. Jadi, menyerang, membenci, memusuhi atau membunuh sekalipun tentu
ada sebab-sebab yang mendorongnya, bukan semata-mata manusia adalah mahluk yang
suka membunuh." "Memang ada manusia yang tidak suka sama sekali untuk membunuh, baik dengan
alasan apapun juga, akan tetapi engkau termasuk manusia yang suka membunuh, dan
hal ini dibuktikan dengan adanya pedang di punggungmu. Dan manusia tukang bunuh
seperti engkau ini datang untuk minta bantuan kepadaku" Huh, aku tidak sudi!"
Merah wajah In Hong. Hatinya mulai marah. Kakek ini kasar dan sombong,
pikirnya. "Orang tua, melihat sikapmu ini, andaikata aku sendiri yang terluka
dan terancam maut, akupun tidak akan sudi minta pertolongan kepadamu! Akan
tetapi yang terluka adalah orang lain, dan dia menjadi korban dari kejahatan


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia iblis, dia dilukai dengan jarum yang mengandung racun kelabang hitam,
kalau tidak mendapatkan obat yang mujarab, dalam waktu tiga hari tiga malam
tentu mati." "Orang yang terluka itu tentu seorang tukang bunuh pula. Tidak! Biarkan dia
mampus, sesuai dengan kesukaannya membunuh manusia lain, aku tidak sudi
menolongnya!" "Ha-ha-ha-ha, tidak mau menolong orang yang terancam maut, bukankah seorang
pembunuh pula" Ha-ha-ha, engkau kakek yang bernama Yok-mo" Engkaupun seorang
pembunuh! Seorang pembunuh yang licik dan curang!" Tiba-tiba terdengar suara
orang, suara yang datangnya dari jauh, bergema akan tetapi begitu kalimat
terakhir habis, orangnyapun nampak muncul seperti setan, seorang kakek pendeta
Lama tinggi besar seperti raksasa, berjubah merah dan memanggul tubuh seorang
anak laki-laki yang seluruh tubuhnya sudah kehitaman karena racun yang amat
hebat! Yok-mo memutar tubuhnya dan In Hong terkejut bukan main. Melihat munculnya
kakek yang didahului sambaran angin dahsyat, dan suaranya yang jelas dikerahkan
dengan kekuatan khi-kang yang hebat sekali, jelas bahwa pendeta Lama ini
bukanlah orang sembarangan den memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Akan tetapi Yok-mo sudah marah sekali. Dia menudingkan telunjuknya ke arah
muka pendeta gundul itu dan membentak, "Pendeta-pendeta malah merupakan manusia-
manusia yang lebih jahat lagi, seperti srigala-srigala berkedok domba. Seperti
engkau ini, mulutmu lancang sekali mengatakan bahwa aku pembunuh! Selama hidupku
aku belum pernah membunuh."
"Ha-ha-ha, kalau begitu engkau manusia yang paling jahat!"
Pendeta berjubah morah itu tertawa bergelak dan hal ini tentu saja membuat
Yok-mo dan In Hong memandang dengan mata terbelalak. Yok-mo marah sekali, akan
tetapi In Hong terheran-heran karena omongan pendeta ini malah lebih aneh dan
nekat daripada Yok-mo! "Eh, hwesio sesat! Jangan bicara sembarangan kau! Aku melihat engkau membawa
anak laki-laki yang terkena racun hebat, tentu engkaupun tukang berkelahi dan
tukang bermusuhan dengan manusia lain. Aku tidak bisa berhubungan dengan orang-
orang macam engkau!"
"Ha-ha-ha, Yok-mo, membunuh dan membunuh ada dua macam. Ada membunuh yang
baik dan membunuh yahg tidak baik. Kau harus obati muridku ini!"
"Tidak, aku tidak sudi!"
Kakek gundul itu melepaskan tubuh anak yang kehitaman itu ke atas tanah. In
Hong memandang ke arah anak itu dengan penuh perhatian dan dia terkejut bukan
main melihat gejala anak itu seperti korban keganasan racun Siang-tok-swa!
Dugaannya memang betul karena anak itu adalah Lie Seng yang menjadi korban
Siang-tok-swa gurunya, yaitu Yo Bi Kiok dan kakek gundul itu bukan lain adalah
Kok Beng Lama. "Yok-mo, kata-katamu membuktikan bahwa memang ada dua macam sifat membunuh,
yang baik dan yang jahat. Kau adalah pembunuh yang jahat, sedangkan nona ini dan
aku adalah pembunuh-pembunuh yang baik. Kalau engkau tidak mau mengobati
muridku, berarti muridku mati dan engkau menjadi pembunuh yang jahat karena
sebetulnya engkau akan mampu mengobatinya. Kalau engkau tidak mau, aku akan
membunuhmu dan aku adalah pembunuh yang baik karena manusia seperti engkau sudah
sepatutnya dibunuh agar tidak membunuh orang-orang lain seperti sekarang. Ha-ha-
ha!" In Hong menjadi bingung. Kata-kata kakek gundul ini tidak karuan dan melihat
sinar matanya, kakek gundul ini seperti orang yang tidak waras otaknya. Akan
tetapi, anehnya, ucapan itu membuat Yok-mo termenung-menung dan meraba-raba
jenggotnya yang sudah putih semua, lalu dia menjatuhkan diri duduk di atas
bangku, bengong melamun dan mulutnya berkali-kali mengeluarkan kata-kata lirth,
"Aku... pembunuh" Benarkah aku pembunuh" Pembunuh...?"
"Ha-ha-ha! Kau pembunuh licik dan curang. Aku selalu membunuh orang lain
dengan adil, memberi kesempatan kepadanya untuk membela diri. Akan tetapi
engkau! Engkau membunuh orang tanpa memberi kesempatan orang itu membela diri. Lihat, kau sedang membunuh muridku itu,
nah, bukankah engkau pembunuh yang curang dan licik" Biar aku menunggu di sini
melihat bagaimana engkau membunuhnya dengan kejam, setelah itu, aku akan
membunuhmu dengan adil, memberi kau kesempatan untuk membela dirimu."
Mata Yok-mo tertutup seperti orang bingung. Kemudian dia menarik napas
panjang. "Hwesio Lama, baru sekarang aku dapat melihat kebenaran omonganmu.
Akupun pembunuh! Benar! Entah sudah berapa banyaknya orang yanc kubunuh, mereka
yang kutolak untuk diobati sehingga mereka itu mati karena luka-luka mereka.
Padahal kalau aku mengobati mereka, mereka itu tentu sembuh dan belum mati. Aku
pembunuh dan aku melihat ini karena ucapan seorang pendeta Lama gendeng!" Kakek
itu menepuk dahinya dan menggeleng kepalanya. "Lama, engkau menderita tekanan
batin hebat sehingga otakmu tergoncang dan tidak waras, namun engkau yang
gendeng, masih mampu mengucapkan kata-kata yang menyadarkan aku. Engkau benar!
Bunuh-membunuh timbul karena perbedaan perasaan antara cinta dan benci, karena
memilih-milih, yang menguntungkan menjadi sahabat yang merugikan menjadi musuh,
dibenci dan dibunuh. Kalau dalam mengobati orang aku juga membeda-bedakan,
memilih-milih, apa bedanya dengan kalian yang membawa-bawa senjata" Lama,
majulah, engkau menderita tekanan batin hebat, akan tetapi aku bukanlah Yok-mo
kalau tidak mampu menyembuhkanmu!"
"Ha-ha-ha, kakek gila! Engkau selain pembunuh jahat juga gila! Aku datang
membawa muridku untuk kauobati, bukan aku. Mau atau tidak engkau harus mengobati
muridku ini!" Yok-mo menoleh ke arah Lie Seng. "Dia terkena racun jahat pula, dan untuk
menyembuhkannya membutuhkan waktu panjang, sedikitnya dua pekan perawatan yang
teliti..." "Kakek Yok-mo!" In Hong berseru dengan hati khawatir. Setelah kini ahli obat
itu mau mengobati orang, kalau harus menanti sampai dua pekan, pemuda yang
ditolongnya itu keburu mati! "Aku adalah orang yang datang lebih dulu, karena
itu sudah sepatutnya dan seadilnya kalau engkau lebih dulu memberi obat
kepadaku." "Heiiittt!" Kok Beng Lama meloncat dan berdiri di depan In Hong, matanyd
terbelalak marah. "Engkau ini bayi kemarin sore berani hendak mendahului aku"
Ha-ha-ha, aku lahir puluhan tahun lebih dulu daripada kau, maka harus aku yang
lebih dulu mendapat giliran pertolongan Yok-mo!"
Sebetulnya Kok Beng Lama hendak mengatakan bahwa sebagai orang muda, sudah
sepatutnya kalau gadis itu mengalah terhadap seorang yang jauh lebih tua,
apalagi dia datang membawa muridnya, yang sudah empas-empis napasnya, akan
tetapi karena pikirannya tidak waras, maka kata-katanya melantur tidak karuan!
"Tidak perduli!" In Hong membentak. "Biar kau seratus tahun lebih tua,
engkau datang belakangan dan orang yang hendak kumintakan obat itu amat payah
keadaannya." "Eh, kau berani menentangku?" Kok Beng Lama menantang. "Karena aku benar,
mengapa tidak berani?"
"Bocah sombong engkau! Sombong dan lancang!" Kok Beng Lama sudah membentak
marah dan kedua tangannya bergerak. In Hong kaget bukan main karena dari kedua
tangan kakek itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main. Cepat dia
melempar tubuh ke belakang berjungkir balik sambil mencabut pedangnya dan ketika
tubuhnya meluncur turun dia langsung membalas dengan serang pedangnya yang juga
amat dahsyatnya. "Aihhh... plak-plak-plak...!" Kok Beng Lama terkejut bukan main. Dia tadi
memandang rendah, mengira bahwa seorang dara remaja seperti ini mana bisa
memiliki kepandaian tinggi" Disangkanya bahwa sekali dia menyerang dengan hawa
pukulan sin-kang tentu akan membuat dara itu jatuh bangun kemudian lari tunggang
langgang ketakutan. Siapa kira, bukan saja dara itu mampu menghindarkan diri
dari serangan pukulan jarak jauhnya, akan tetapi bahkan mampu membalas dengan
serangan pedang yang amat dahsyat dan bertubi-tubi datangnya. Dan karena
sambaran pedang yang bertubi-tubi itu mengarah bagian-bagian berbahaya dari
tubuhnya, terpaksa kakek itu menangkis sampai tiga kali berturut-turut dengan
lengan kirinya. In Hong meloncat turun dengan muka berobah. Kakek itu mampu menangkis
pedangnya dengan tangan kosong! Seolah-olah pedangnya yang merupakan pedang
pilihan itu, yang digerakkan dengan pengerahan sin-kang yang mampu menabas putus
senjata-senjata lawan, hanyalah merupakan pedang-pedangan kayu belaka. Dia makin
yakin bahwa kakek ini memang benar-benar hebat, lawan terhebat yang pernah
dihadapinya semenjak dia memasuki dunia ramai.
Akan tetapi, bukan watak In Hong untuk merasa jerih menghadapi lawan
tangguh. Dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya mencelat ke depan,
seperti seekor burung walet saja cepatnya dia menerjang kakek itu dan pedangnya
bergulung-gulung menjadi sinar berkilauan menyilaukan mata. Timbul kegembiraan
hati Kok Beng Lama dan dia melayani In Hong dengan tangkisan-tangkisan kedua
lengannya dan membalas dengan totokan-totokan jari tangannya yang lihai.
"Wah-wah-wah, jangan berkelahi! Jangan bertempur di sini! Celaka...! Kalian
manusia-manusia celaka... jangan mengotori tempatku dengan pertempuran! Heii,
bocah perempuan, jangan ugal-ugalan kau. Simpan kembali pedangmu!" Tok-mo
berteriak-teriak dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. "Dan kau Lama gila,
hentikan perkelahian itu!"
Akan tetapi, seorang dara berhati sekeras baja seperti In Hong, mana mau
berhenti setelah ada orang menentang dan menantangya" Dan Kok Beng Lama, sebelum
otaknya agak miririgpun sudah berwatak aneh sekali, suka berkelahi, sekarang
setelah otaknya tidak waras, tentu saja kegemarannya itu timbul kembali, dan dia
melayani In Hong sambil tertawa-tawa dan memuji-muji dengan suara keheranan.
"Bagus! Kiam-hoat (ilmu pedang) hebat...! Akan tetapi engkau tidak akan
mampu mengalahkan aku, bocah! Ha-ha-ha!"
Memang benar teriakannya ini. Betapapun In Hong mengamuk dan menggerakkan
senjatanya secara hebat, sama sekali pedangnya tidak pernah dapat melukai
lawannya. Dia sudah mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya berkelebat tidak
tampak lagi, yang kelihatan hanya bayangannya, namun kecepatannya itu sia-sia
belaka terhadap kakek ini yang selalu dapat mengikutinya. Juga pengerahan sing-
kangnya tidak ada gunanya karena dia memang jauh kalah kuat. Yang membuat In
Hong terheran-heran adalah kekuatan tangan kakek itu yang mampu menangkis
pedangnya dan setiap kali kakek itu mendorong dengan pengerahan tenaga sin-kang,
dia pasti terhuyung-huyung ke belakang.
"Bagus, masih begini muda sudah amat lihai... ha-ha, akan tetapi kalau tidak
diberi rasa, kau akan tetap sombong! Plak-plak-desss...!" Tubuh In Hong
terlempar dan bergulingan. Akan tetapi dara itu biarpun terkejut sekali karena
terdorong oleh tamparan yang amat dahsyat, sudah mencelat bangkit kembali dan
menyerang makin nekat. "Plak-plak-plak... desses...!" Kembali dia terlempar dan roboh, sekali ini
lebih keras, terbanting sampai kepalanya menjadi pening. Dan pada saat itu,
sambil tertawa-tawa Kok Beng Lama sudah berada di dekatnya, sudah mengangkat
tangan menghantam. "Plakkk...!" In Hong menangkis dengan pedangnya, akan tetapi pedang itu
terlepas dari tangannya, menancap di atas tanah sedangkan kakek itu sudah
mengangkat lagi tangannya yang ampuh. Sekali ini In Hong maklum bahwa dia
bertemu dengan orang yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya,
bahkan jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian gurunya sendiri, maka dia hanya
memandang, siap menghadapi pukulan maut.
"Locianpwe, jangan membunuh orang...!" Tiba-tiba terdengar suara anak dan
kiranya Lie Seng yang berteriak itu. Dia tadi siuman dan melihat pertandingan
antara kakek itu dan seorang gadis, kini melihat kakek itu hendak membunub
lawannya, dia merasa kasihan dan meneriaki orang tua itu dengan suara nyaring.
Kok Beng Lama menahan tangannya dan menoleh. "Ha-ha-ha, kaukira aku akan
membunuhnya" Tidak, aku tidak bisa membunuhnya... dia... dia mirip anakku...!"
Dia kini menoleh lagi ke arah In Hong. "Ehhh...?" Gadis itu telah lenyap dari
tempatnya ketika terjatuh tadi, bahkan pedangnya juga lenyap.
"Kalau kau menyerang lagi, aku akan membunuh Yok-mo!" Tiba-tiba kakek itu
mendengar suara In Hong. Dia cepat menengok dan terbelalak memandang kepada
gadis itu yang sudah menangkap lengan Yok-mo dan menekankan pedangnya di leher
kakek ahli obat itu! "Dia harus memberi obat kepadaku lebih dulu, kalau kau
menentang, Lama, biar dia kubunuh lebih dulu dan kita sama-sama tidak memperoleh
obat!" Kok Beng Lama terbelalak, kemudian menggeram. "Bocah licik, kalau kau
melakukan itu, engkau akan mati di tanganku!"
"Aku sudah berani berbuat berani pula bertanggung jawab, Lama. Mati bukan
apa-apa bagiku, dan biarpun sesudah itu kau membunuhku, namun kematian tetap
tidak akan menolong nyawa muridmu, bagaimana?"
Kok Beng Lama menjadi bengong. Semenjak dia menghadapi tekanan batin hebat,
dimulai dari matinya puterinya sampai peristiwa di Cin-ling-san, dia sering
menjadi bingungm bahkan banyak hal-hal lampau yang dilupakannya. "Wah, kau bocah
memang cerdik! Ha-ha-ha, engkau memang hebat. Biar aku mengaku kalah. Heii, Yok-
mo, bukankah sudah sepatutnya kalau tua bangka-tua bangka macam kita yang sudah
mendekati lubang kubur ini mengalah terhadap anak muda" Hayo kauberikan obat
untuk bocah cerdik ini, sesudah itu baru kauobati dan sembuhkan muridku!"
In Hong maklum bahwa seorang seperti pendeta Lama yang memiliki kelihaian
hebat itu, biarpun wataknya aneh dan seperti orang gila, namun sudah tentu tidak
sudi menarik omongannya kembali, mempunyai keangkuhan besar dan tinggi hati,
maka diapun menarik kembali pedangnya dari leher Yok-mo. Kakek ini menghela
napas panjang dan mengomel, "Kekerasan...! Hemm... di mana-mana manusia
mempergunakan kekerasan..."
In Hong tidak membuang-buang waktu lagi, segera dia menceritakan keadaan Bun
Houw kepada kakek itu, menceritakan betapa pemuda itu ditusuk dengan jarum yang
mengandung racun kelabang hitam, menceritakan dengan jelas di bagian mana yang
ditusuk dan gejala-gejala apa yang nampak pada tubuh pemuda itu.
Yok-mo mengomel lagi. "Biar di dalam dongeng tentang neraka sekalipun, belum
tentu ada iblis penyiksa di neraka yang sekejam itu! Jalan darah Tiong-cu-hiat
di tengkuk ditusuknya, hal itu berarti bahwa si korban paling lama dapat hidup
tiga hari saja. Tusukan di jalan darah itupun mendatangkan siksaan luar biasa,
seluruh tubuhnya akan terasa gatal-gatal di sebelah dalam seperti digigiti
Prahara Darah Biru 2 Pendekar Rajawali Sakti 47 Buronan Singo Wulung Maut Bernyanyi Pajajaran 1
^