Pencarian

Dewi Maut 8

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


Bun Houw maklum bahwa orang telah salah menduga, mengira dia she Bun bernama
Houw, akan tetapi hal ini memang kebetulan karena dia tidak ingin memperkenalkan
diri sebagai putera Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.
"Maafkan saya, Liok-loya. Bukan maksud saya untuk mengacau..."
"Sudahlah. Karena engkau telah memperlihatkan kepandaianmu berjudi, biarlah
sekarang aku tantang engkau berjudi dengan aku..."
"Akan tetapi... saya tidak pandai berjudi dan saya tidak mau..."
"Harus! Engkau harus mau berjudi dengan aku. Kalau engkau kalah, tidak perlu
banyak cakap lagi dan engkau harus dihukum karena telah merugikan aku dan
mengacau po-koan ini. Kalau engkau menang, nah... baru kita bicara tentang
pekerjaan itu." Semua anak buah Liok Sun tersenyum-senyum karena mereka mengira bahwa
majikan mereka hendak mempermainkan pemuda itu sebelum membunuhnya. Bun Houw
juga maklum bahwa Si Setan Pedang ini hendak mencobanya, maka sambil menarik
napas dia berkata, "Apa boleh buat, caramu menerima pembantu baru sungguh aneh,
Liok-loya." Dengan tersenyum Liok Sun melangkah dan duduk di belakang sebuah meja judi
yang tidak berantakan dan dengan isyarat tangan dia menyuruh Bun Houw duduk
menghadapi meja itu, bertentangan dengan dia. Dengan sikap terpaksa Bun Houw
duduk dia atas bangku. Liok Sun lalu minta dua butir dadu dan sebuah mangkok.
Dia memasukkan dadu itu di dalam mangkok lalu menggoyang-goyang mangkok sehingga
terdengar bunyi berkeratakan ketika dua butir dadu berputaran di dalam mangkok
yang ditutup dengan telapak tangan kirinya.
"Hanya ada dua kemungkinan yang keluar," kata Liok Sun sambil tersenyum dan
memandang tajam kepada Bun Houw, "Yaitu nomor ganjil atau nomor genap, Nah
engkau boleh memilih, orang muda."
Bun Houw menengok ke kanan kiri. Semua di sekelilingnya hanya wajah-wajah
menyeringai yang seolah-olah sudah memastikan bahwa dia akan kalah dan menerima
hukuman! Dia tahu bahwa kehendak majikan po-koan ini tidak dapat dibantah lagi,
maka dengan suara tenang dia menjawab, "Aku memilih genap!"
"Bagus, dan aku memilih ganjil. Engkau tahu yang tak dapat dibagi dua adalah
ganjil!" kata Liok Sun.
"Dan yang dapat dibagi dua adalah genap!" Bun Houw berkata pula.
"Lihat baik-baik, aku membuka mangkok!" Majikan Hok-po-koan itu berteriak,
dan cepat mangkoknya menelungkup kemudian dibukanya. Pandang mata Bun Houw
dengan cepat dapat melihat bahwa dua butir dadu itu menunjukkan angka tiga dan
lima, berarti berjumlah delapan, genap. Akan tetapi tiba-tiba sebutir dadu
bergerak terguling. Melihat ini, Bun Houw yang juga menekan tangannya ke atas
meja, mengerahkan sin-kang dan dadu itu kembali lagi ke nomor lima. Akan tetapi
tentu saja Liok Sun tidak mau kalah, dan dengan kedua tangan di atas meja dia
mengerahkan tenaga dan dadu itu miring ke angka enam!
Bun Houw sudah mengukur tenaga orang ini dan dia tahu bahwa biarpun Liok Sin
jauh lebih kuat dari bandar judi tadi, akan tetapi kalau dia menggunakan sin-
kang melawannya, dengan mudah dia akan dapat mengalahkan Liok Sun. Dia tidak mau
menyinggung perasaan Liok Sun, akan tetapi dia harus dapat mendekati orang ini,
maka diapun lalu menggerakkan tenaganya dan... dadu itu tetap berdiri miring
antara nomor lima dan nomor enam, seolah-olah tenaga mereka seimbang, dan dengan
tenaga sin-kangnya yang luar biasa kuatnya, Bun Houw membuat dadu-dadu itu
melesak ke dalam papan kayu meja itu sehingga yang sebutir tetap menunjukkan
angka tiga sedangkan yang sebutir lagi melesak miring antara nomor lima dan
enam! Semua orang yang melihat ini membelalakkan mata dengan terheran-heran.
Liok Sun juga terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dia tidak
mampu memaksa dadu itu terlentang dengan nomor enam di atas. Akan tetapi diapun
girang melihat dadu itu tidak menunjukkan nomor lima, melainkan miring dan dia
mengira bahwa bertemunya dua tenaga, yaitu tenaganya dan tenaga pemuda itu,
sedemikian kuat dan hebatnya sehingga dadu itu sampai melesak di atas meja!
Giranglah hatinya, girang karena dia tidak kalah akan tetapi juga memperoleh
kenyataan bahwa calon pembantunya ini hebat sekali kepandaiannya!
"Ha-ha-ha, yang keluar adalah nomor tiga dan nomor... lima setengah! Kita
tidak kalah dan tidak menang!" kata Liok Sun.
Bun Houw tersenyum. "Sebaiknya begitu, Liok-loya, karena kalau dadu yang
sebutir ini rebah dengan angka lima atau enam di atas, berarti saya yang
menang." "Ehh..." Mengapa begitu" Kalau keluar angka enam, berarti aku yang menang,
karena tiga dan enam adalah sembilan, angka ganjil!"
Bun Houw menggeleng kepalanya. "Dalam hal ini, loya bersikap cerdik, dan
salah hitung. Kalau keluar angka sembilan, berarti saya yang menang, bahkan
keluar angka apapun, dari satu sampai dua belas, saya yang menang."
"Gila! Mana bisa begitu?"
"Lupakah loya bahwa yang saya pegang adalah nomor..."
"Genap!" "Ya, dengan penjelasan bahwa nomor genap adalah nomor yang dapat dibagi
dua!" "Memang begitu, dan kalau keluar nomor sembilan, tidak bisa dibagi dua!"
"Siapa bilang, loya" Sembilan dibagi dua adalah empat setengah, bukan" Nah,
siapa yang dapat menyangkal bahwa segala nomor, dari satu sampai dua belas atau
sampai selaksa sekalipun, depat dibagi dua?"
Liok Sun melongo, menatap wajah pemuda yang bersikap tenang itu dengan mata
terbelalak dan terdengar semua orang berbisik-bisik gaduh. Ucapan pemuda aneh
ini sama sekali tidak dapat disangkal memang!
"Apakah bicaraku salah, Liok-loya?"
"Tidak... tidak... hemm, kau benar. Bahkan keluar angka delapan setengah
inipun masih dapat dibagi dua! Engkau menang orang muda yang cerdik. Akan tetapi
aku baru mau menerimamu bekerja membantuku kelau engkau dapat mengalahkan
pembantu-pembantu utamaku."
Dia menengok ke belakangnya dan memberi isyarat kepada dua orang yang tadi
keluar bersamanya dan yang selalu menjaga di belakangnya.
Dua orang itu menyeringai dan meloncat ke tengah ruangan. Bun Houw memandang
dengan penuh perhatian. Yang seorang bertubuh tinggi besar, berkulit kehitaman,
dan bermata lebar, kepalanya botak. Dia berdiri dengan tangan kiri bertolak
pinggang, tangan kanan mengelus-elus kumisnya yang dipelintir ke atas seperti
dua buah golok menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya yang besar. Orang kedua
adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan si tinggi besar, kurang
lebih lima puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan matanya sipit, kulitnya
kuning sekali seperti orang menderita penyakit kuning, kuning sampai ke kuku
jari dan ke matanya. Bun Houw sudah maju pula tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, menghadapi dua
orang pembantu utama dari Kiam-mo Liok Sun. "Silakan Ji-wi maju," katanya
tenang. Dua orang tukang pukul yang merupakan orang-orang paling kuat di antara anak
buah Liok Sun itu memandang ke arah majikan mereka. Tanpa perkenan majikan
mereka, dua orang ini tidak berani sembarangan bergerak dan mereka masih ragu-
ragu apakah mereka berdua diharuskan melawan bocah yang masih amat muda ini.
Akan tetapi Liok Sun yang sudah mengukur tenaga Bun Houw dan yakin akan
kelihaian pemuda ini, memberi isyarat dengan mata dan anggukan kepala, menyuruh
dua orang pengawalnya itu maju mengeroyok!
Dua orang itu lalu mengeluarkan suara gerengan dan bagaikan sekor gajah
mengamuk, orang yang tinggi besar itu sudah menerjang dengan kedua lengannya
yang panjang menyambar dari kanan kiri, menyerang Bun Houw dengan dahsyat.
Pemuda ini menggerakkan tubuhnya, mengelak dengan cekatan ke kiri dan di sini
dia disambut oleh orang kedua yang gemuk pendek dan ternyata bahwa serangan si
gemuk pendek ini tidak kalah hebatnya oleh kawannya yang tinggi besar. Namun,
tentu saja bagi Bun Houw dua orang tukang pukul itu bukan apa-apa dan kalau dia
menghendaki, dalam segebrakan saja dia akan mampu merobohkan mereka. Akan
tetapi, dia tidak ingin terlalu menonjolkan kepandaiannya kepada Liok Sun karena
hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaannya, maka dia lalu melakukan perlawanan
yang cukup untuk mengimbangi mereka berdua. Maka amat seru dan ramailah
tampaknya perkelahian itu, ditonton oleh Liok Sun dan semua anak buahnya dengan
penuh kekaguman. Setelah lewat lima puluh jurus dan membiarkan dada dan pahanya
dua kali terkena pukulan lawan, akhirnya Bun Houw berhasil menendang sambungan
lutut si tinggi besar sehingga orang ini roboh tak mampu berdiri lagi, dan
merobohkan si pendek gendut dengan sodokan tangan terbuka ke lambungnya, membuat
lawan ini menjadi mulas perytnya dan juga tidak mampu melanjutkan pertandingan.
Bukan main girangnya hati Liok Sun. Dia segera menghampiri Bun Houw dan
menggandeng tangan pemuda itu. Menurut penilaiannya ketika menyaksikan
pertandingan tadi, ilmu kepandaian pemuda ini setingkat dengan dia! Dengan
memperoleh pembantu selihai ini, tentu saja dia akan menjadi makin kuat.
Bun-hiante, kau hebat sekali! Aku menerima lamaranmu bekerja. Mulai saat
ini, engkau menjadi pengawal pribadiku!" katanya dengan girang dan dengan suara
lantang karena ucapan ini bukan hanya ditujukan kepada Bun Houw, melainkan juga
kepada semua anak buahnya.
"Terima kasih atas kebaikan Liok-loya..."
"Ah, mulai sekarang jangan menyebut loya lagi, cukup Liok-twako saja," kata
majikan rumah judi itu yang kemudian menoleh kepada anak buahnya. "Hayo bereskan
semua meja dan buka kembali po-koan. Jangan sampai menimbulkan keributan agar
para langganan kita tidak menjadi jerih untuk bermain judi." Setelah berkata
demikian, di mengajak Bun Houw masuk ke dalam rumahnya yang terletak di belakang
rumah judi itu. Mulai saat itu, berhasillah Bun Houw mendekati Kiam-mo Liok Sun, bahkan
setelah mereka bercakap-cakap, Liok Sun makin suka kepada pemuda ini yang selain
tinggi ilmu kepandaiannya ternyata juga bukan seorang jahat! Sebaliknya, Bon
Houw merasa terheran-heran bahwa majikan rumah judi ini ternyata bukan pula
seorang jahat! Bahkan hidupnya menduda dan agaknya dengan terpaksa sajalah Liok
Sun membuka rumah judi itu.
"Sekarang berdagang amat sukar memperoleh keuntungan, Bun-hiante," katanya.
"Aku tahu bahwa pekerjaan bandar judi tidaklah bersih dan kalau tidak berani
bermain curang tidak akan dapat untung. Akan tetapi aku memerlukan uang untuk
menyusun kekuatan, karena aku mempunyai seorang musuh besar yang harus kubalas.
Sekarang aku bertemu dengan engkau, sungguh membesarkan hatiku karena dengan
bantuanmu, aku tidak takut lagi menghadapi musuh besarku itu."
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Apakah dia lihai sekali, twako?" Sudah tiga
hari dia tinggal di rumah Liok Sun dan memperoleh pelayanan baik sekali dan dia
merasa akrab dengan "majikannya" yang menganggapnya seperti sahabat baik ini.
"Dia cukup lihai dan mempunyai banyak pengawal, selain kaya raya juga
berpengaruh karena dia adalah seorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan
dan tinggal di Koan-hu."
Bun Houw terkejut, lalu dia teringat akan urusannya sendiri yang sedang
menyelidiki Lima Bayangan Dewa. "Maaf, twako, akan tetapi aku merasa heran
mengapa twako tidak dari dulu menghadapi musuh besar itu. Twako sendiri terkenal
sebagai ahli pedang yang lihai dan memiliki banyak pembantu..."
"Aihhh, mereka itu hanya pandai berlagak akan tetapi kosong tanpa isi."
"Akan tetapi kabamya twako mempunyai banyak sahabat orang-orang sakti di
dunia kang-ouw, bahkan aku pemah mendengar bahwa twako bersababat dengan Lima
Bayangan Dewa." Liok Sun mengangkat muka memandang sambil tersenyum. "Eh, engkau juga
mendengar tentang mereka, hiante?"
"Siapa yang tidak mendengamya, twako" Seluruh dunia kang-ouw geger setelah
Lima Bayangan Dewa mengacau di Cin-ling-pai dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam.
Aku kagum sekali kepada mereka dan kalau benar twako bersahabat dengan mereka,
aku ingin sekali twako memperkenalkan aku dengan mereka."
Liok Sun tertawa. "Ha-ha-ha, mereka adalah orang-orang luar biasa, mana aku
ada kehormatan menjadi sahabat mereka" Memang aku mengenal baik seorang yang
mungkin sekali merupakan seorang di antara mereka atau setidaknya mengenal siapa
adanya Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu. Aku akan mengajakmu berkenalan
dengan dia setelah engkau membantu aku menghadapi musuh besarku itu, hiante."
Bun Houw menjadi bingung. Bukan maksudnya seujung rambutpun untuk menjadi
pembantu bandar judi ini! Akan tetapi agaknya dari orang inilah dia akan
berhasil menemukan musuh-musuh besamya yang sudah sekian lamanya dicari tanpa
ada hasilnya. Betapapun juga, dia tidak mau sembarangan turun tangan membantu
Liok Sun memusuhi orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya sama
sekali, apalagi sebelum dia ketahui apa sebabnya Liok Sun memusuhi orang itu.
"Aku telah menjadi pembantumu, sudah sepatutnya kalau aku membantumu, Liok-
twako. Akan tetapi, siapakah musuh besarmu itu dan kalau boleh aku mengetahui
agar jelas bagiku dan tidak meragukan tindakanku, mengapa twako bermusuhan
dengan dia?" Liok Sun Si Pedang Setan itu menghela napas panjang dan tiba-tiba wajah yang
tampan itu berobah keruh dan muram tanda bahwa pertanyaan itu menimbulkan
kenangan yang amat mendukakan hatinya.
"Semua orang mengenalku sebagai Liok Sun Si Pedang Setan, akan tetapi
sesungguhnya, baru engkaulah yang mendengar bahwa dahulu namaku adalah Sun Bian
Ek. Aku dahulu bukan orang baik-baik sungguhpun aku tidak pemah berhati kejam
kepada siapapun yang tidak bersalah dan aku dahulu adalah seorang perampok
tunggal yang telah mengundurkan diri dan bertobat, lalu menjadi pedagang hasil
bumi." Liok Sun mulai menuturkan keadaan dirinya.
Setelah mengundurkan diri dari dunia hitam dan menjadi pedagang hasil bumi,
Liok Sun menikah dan hidup bahagia dengan isterinya yang cantik sampai mereka
dikaruniai seorang anak perempuan yang mungil. Akan tetapi, malapetaka menimpa
keluarganya dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari cara hidupnya dahulu ketika
dia masih menjadi perampok. Pihak pemerintah mengadakan pembersihan, menangkapi
banyak sekali orang-orang dunia hitam di kota Koan-hu dan sekitamya. Dalam
pembersihan ini, Liok Sun atau yang dahulu bemama Sun Bian Ek ikut pula
ditangkap! Kepala pasukan keamanan di kota itu yang bemama Phang Un agaknya tahu
akan riwayat hidup pedagang Sun Bian Ek maka biarpun semua orang terheran
mengapa pedagang itu ikut ditangkap, namun Sun Bian Ek sendiri tidak dapat
menyangkal bahwa dia dahulu adalah perampok dan dia tidak lepas dari pandang
mata tajam dari Phang Un. "Aku dijatuhi hukuman buang ke daerah utara untuk
bekerja paksa memperbaiki saluran kota raja." Liok Sun melanjutkan penuturannya.
"Semua itu tidak menyakitkan hatiku karena akupun maklum, bahwa kesesatanku yang
lalu sudah sepatutnya menerima hukuman. Akan tetapi, dapat kaubayangkan
bagaimana rasanya perasaanku ketika aku mendengar bahwa sesungguhnya yang
menjadi sebab mengapa aku yang sudah mencuci tangan itu ditangkap, sama sekali
bukan dikarenakan dosa-dosaku yang lalu, melainkan karena isteriku..."
Eh..." Apa maksudmu, twako?" tentu saja Bun Houw terkejut dan heran
mendengar arah cerita yang sama sekali menyimpang dan tidak disangka-sangkanya
itu. "Sehari setelah aku ditangkap, isteri dan anakku diboyong ke gedung si
keparat Phang Un!" "Ah, jadi dia merampas isteri dan anakmu?"
Liok Sun mengangguk. "Mula-mula kusangka demikian. Di utara, aku tertolong
oleh seorang tokoh hitam yang kusangka adalah seorang di antara Lima Bayangan
Dewa, orang yang kumaksudkan tadi. Setelah aku bebas, diam-diam aku mengganti
namaku dan membuka rumah judi di kota Kiang-shi ini. Sambil mengumpulkan harta
dan kekuatan, aku menanti kesempatan baik untuk membalas dendam dan baru aku
mengerti bahwa di antara keparat itu dan isteriku memang sudah terjalin hubungan
sebelum peristiwa penangkapan itu terjadi. Kau tahu, aku adalah seorang pedagang
hasil bumi di waktu itu, sering keluar kota sampai berhari-hari, dan Phang Un
adalah kepala pasukan keamanan yang setiap malam boleh saja meronda dan
memeriksa, maka..." Liok Sun menarik napas panjang dan tidak melanjutkan, akan
tetapi Bun Houw sudah dapat membayangkan apa yang terjadi antara isteri yang
tidak setia itu dan si kepala pasukan keamanan yang mata keranjang.
"Hemm, memang patut dihajar dia!" kata Bun Houw.
Demikianlah, karena merasa simpati mendengar riwayat Liok Sun, pada suatu
pagi, beberapa hari kemudian, berangkatlah kedua orang ini menuju ke kota Koan-
hu yang tidak begitu jauh letaknya dari Kiang-shi. Malamnya, mereka berdua telah
bergerak seperti dua ekor kucing di atas genteng rumah-rumah orang, dan berhasil
meloncati pagar tembok yang mengurung gedung tempat tinggal Phang-ciangkun
(Perwira Phang) tanpa diketahui para perajurit yang berjaga di sekitar tempat
itu. Para penjaga itu memang agak lengah, karena mereka tidak percaya bahwa ada
orang yang berani mati mengganggu rumah perwira itu.
Dengan berindap-indap, akhirnya Liok Sun dan Bun Houw mengintai dari sebuah
jendela kamar, Bun Houw melihat seorang wanita yang cantik berdandan mewah
sedang duduk menyulam di dalam kamar itu. Wanita yang berpakaian mewah dan
pesolek, usianya antara tiga puluh lima tahun, kulitnya putih dan pinggangnya
ramping. Tidak ada orang lain lagi di dalam kamar itu, Bun Houw merasa betapa
napas temannya memburu dan tahulah dia bahwa wanita itulah agaknya isteri tidak
setia itu. Dengan gerak tangannya, Liok Sun menyuruh Bun Houw berjaga di luar
jendela dan dia sendiri hendak menerjang masuk, Bun Houw hanya mengangguk. Tadi
dia telah berpesan kepada Liok Sun agar "majikannya" itu tidak sembarangan turun
tangan dan hanya berurusan dengan musuh-musuhnya saja, jangan melibatkan orang-


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang lain dan pasukan keamanan pemerintah.
Dengan kekuatan tangannya, Liok Sun mendorong daun pintu yang patah kuncinya
dan seperti seekor burung dia melayang masuk ke dalam kamar itu. Bun Houw
mengintai di luar jendela.
Wanita itu menjerit dan bangkit berdiri, seketika menjadi pucat wajahnya dan
kain yang disulamnya terlepas dari tangannya dan segulung benang sulam jatuh
menggelinding di sudut kamar.
"Kanda... Sun Bian Ek...!" Tubub wanita itu menggigil dan suaranya
menggetar. "Kau... kau... masih hidup...?"
Liok Sun atau Sun Bian Ek memandang dengan muka merah dan mata berapi,
suaranya dingin dan penuh penyesalan, "Perempuan hina, andaikata sudah matipun
aku akan bangkit untuk mengutukmu. Kau perempuan hina, isteri yang khianat
hendak kulihat bagaimana macamnya hatimu!"
Mata itu makin terbelalak, mukanya makin pucat. "Tidak... ahh, jangan kau
salah sangka...!" Wanita itu menangis dan menjatuhkan dirinya berlutut di atas
lantai di depan bekas suaminya itu. "Kau... suamiku... kau salah sangka...
aku... aku tidak berkhianat padamu..."
"Hemmm, siapa percaya mulutmu yang palsu" Kau masih berani menyangkal bahwa
sebelum aku ditangkap dahulu, diam-diam engkau telah menjual dirimu yang kotor
dan hina kepada si jahanam Phang Un?"
"Tidak... tidak... itu fitnah belaka... kau dengarlah... aku memang tidak
pernah berani berterus terang akan terjadinya malapetaka di malam itu... pada
suatu malam ketika engkau pergi berdagang... dia datang dan mengancam akan
membunuh anakku jika aku tidak mau melayaninya... dengan ujung golok di leher
anakku, apa dayaku..." Kanda Bian Ek... malam itu, untuk menyelamatkan nyawa
anakku... aku terpaksa... melayaninya dan... dan setelah kau ditangkap, aku
diboyong ke sini... apakah dayaku sebagai seorang wanita lemah?"
Liok Sun memandang bekas isterinya itu. Dia amat mencinta wanita ini dan
selama lima tahun ini semenjak mereka berpisah, dia selalu mengenangkan
kemesraan yang telah dialaminya bersama isterinya. Kini, mendengar cerita itu,
dia tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa terhadap isterinya yang kini
menangis sesenggukan itu.
"Di mana adanya anakku, di mana" Aku harus membawa dia pergi dari sini, dan
di mana jahanam itu" Akan kubunuh dia..."
Wanita itu kelihatan terkejut sekali, lalu bangkit berdiri dan dengah sikap
ketakutan dia mundur-mundur sambil menggeleng kepala berkali-kali dan berkata,
"Jangan... tidak... jangan...!"
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut dari belakang dan tiba-tiba saja
wanita itu menoleh dan lari ke arah pintu belakang sambil menjerit, "Toloong...!
Ada penjahat...! Tolooooong...!"
"Keparat, perempuan hina...!" Kiam-mo Liok Sun menjadi marah sekali. Segala
keraguan akan kesalahan isterinya setelah mendengar cerita tadi lenyap sama
sekali dan dia tahu bahwa isterinya tadi hanya membodohinya untuk mengulur waktu
agar para penjaga mendengar dan tahu akan kedatangan bekas suaminya ini. Dalam
kemarahannya yang meluap, Liok Sun mencabut pedangnya dan sinar pedangnya
menyambar dari belakang tubuh bekas isterinya. Wanita itu menjerit mengerikan
dan roboh dengan punggung tertusuk pedang sampai tembus ke dadanya.
"Ibu...!" Seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun, berlari
masuk. Melihat anak ini, Liok Sun cepat menyambarnya dengan tangan kiri.
Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tiba-tiba ada angin menyambar
dari samping dan berkelebatnya bayangan sinar terang. Dia menggerakkan pedang
menangkis. "Cringg... aduhhh...!" Liok Sun berteriak karena pundaknya yang kanan tetap
saja keserempet golok yang dipegang oleh seorang laki-laki tinggi besar yang
telah menyerangnya secara tiba-tiba. Karena tadi dia baru saja mencabut pedang
dari tubuh bekas isterinya lalu menyambar anaknya dengan tangan kiri, maka
ketika mendadak diserang, tangkisannya kurang cepat sehingga dia terluka oleh
laki-laki yang bukan lain adalah Phang Un itu.
Melihat betapa isterinya terbunuh dan anak tirinya dirampas, dan mengenal
Sun Bian Ek, perwira ini marah sekali. Dia mengeluarkan teriakan untuk memanggil
semua pengawalnya, kemudian goloknya bergerak menerjang Liok Sun yang sudah
terluka. "Plakkk...!" Perwira itu terhuyung dan goloknya terlepas dari tangannya
ketika Bun Houw yang meloncat masuk menepuk bahu kanannya dari belakang. Pemuda
ini tadi merasa terkejut ketika melihat Liok Sun membunuh bekas isterinya, hal
yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, sungguhpun dia maklum pula akan
kepalsuan wanita itu. Karena tertegun menyaksikan peristiwa mengerikan antara
suami isteri yang tentu dahulunya saling mencinta itu, maka dia terlambat
menolong Liok Sun sehingga "majikannya" itu terluka pundaknya. Baru ketika
melihat Liok Sun terluka, dia meloncat ke dalam dan sempat menggagalkan serangan
maut Phang-ciangkun tadi.
"Keparat busuk kau...!" Llok Sun membentak ketika melihat Phang Un
terbuyung, biarpun tangan kiri memondong anak perempuan itu dan pundak kanan
sudah terluka, namun pedangnya masih berkelebat cepat sekali. Phang Un masih
terkejut oleh tamparan yang bukan main kuatnya tadi. Dia masih terhuyung sambil
memutar kepala untuk melihat siapa yang telah menampamya ketika sinar pedang
berkelebat. Phang Un berusaha mengelak, akan tetapi hanya dua kali berturut-
turut dia mampu mengelak. Sambaran pedang yang ketiga kalinya mengena sasaran
dan robohlah Phang Un dengan leher yang hampir buntung terbabat pedang Liok Sun.
Pada saat itu, datanglah belasan orangg perajurit dan pengawal ke tempat
itu. Melihat Liok Sun hendak mengamuk, Bun Houw cepat berkata, "Liok-twako, hayo
kita pergi...!" Liok Sun juga maklum betapa berbahayanya untuk menentang penjaga keamanan,
maka melihat pembantunya itu sudah menerjang keluar kamar dan dengan mudahnya
pemuda itu membuat lima enam orang pengawal terlempar ke kanan kiri, diapun lalu
mengikuti Bun Houw dan setelah Bun Houw merobohkan lagi beberapa orang, mereka
berdua berhasil meloncat ke atas genteng dan menghilang di kegelapan malam.
Peristiwa itu membuat Liok Sun makin percaya kepada Bun Houw. Diapun tidak
melupakan dan mengingkari janjinya. Setelah dia menitipkan puterinya kepada
seorang sahabat baiknya, Liok Sun lalu mengajak Bun Houw untuk pergi mengunjungi
seorang kenalannya, yang juga merupakan penolongnya ketika dia dihukum buang di
utara, dapat juga disebut bekas kekasihnya, yang dianggapnya mungkin seorang di
antara Lima Bayangan Dewa. Dan memang anggapannya ini tidaklah keliru karena
wanita yang dimaksudkannya ini bukan lain adalah Hui-giakang Ciok Lee Kim.
Ketika Bun Houw diberi tahu bahwa yang dimaksudkan itu adalah Hui-giakang Ciok
Lee Kim, tentu saja hatinya merasa girang sekali. Tidak percuma dia mendekati
Liok Sun, karena ternyata orang ini benar-benar hendak membawanya ke rumah
seorang di antara Lima Bayangan Dewa yang dicari-carinya. Maka berangkatlah
mereka dengan menunggang kuda dan Liok Sun melakukan perjalanan ini dengan
senang hati karena diapun perlu sekali untuk beberapa lamanya meninggalkan
Kiang-shi sampai keributan yang terjadi di kota Koan-hu itu menjadi dingin
kembali. *** Hong Khi Hoatsu yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun itu menggandeng
tangan Lie Song dengan wajah muram, memasuki pekarangan rumah Lie Kong Tek,
muridnya yang telah tewas itu. Peristiwa yang menyedihkan menimpa keluarga murid
tunggalnya yang sudah dianggap sebagai puteranya sendiri itu, dan peristiwa itu
menambah keriput di wajah kakek ini dan menambah uban di kepalanya. Andaikata
tidak bersama Lie Seng, agaknya Hong Khi Hoatsu tidak akan sanggup memasuki
pekarangan rumah mendiang muridnya itu.
"Sukong (kakek guru), alangkah sunyinya rumah kita..." Lie Seng berkata.
Ucapan anak kecil ini terasa seperti pedang menusuk ulu hati Hong Khi Hoatsu.
Dia menghela napas panjang dan melihat kenyataan betapa kehidupan manusia penuh
dendan suka duka, namun dukalah yang lebih banyak kalau dibandingkan dengan
suka. Betapa keadaan hidup sama sekali tidak menentu. Muridnya, Lie Kong Tek,
tadinya hidup bahagia dengan isteri dan dua orang anaknya, akan tetapi dalam
sekejap mata saja keadaan penuh bahagia itu berubah sama sekali berubah secara
hebat dan kebahagiaan kini berobah menjadi kesengsaraan lahir batin yang
menyedihkan. Muridnya atau puteranya itu tewas membunuh diri, mantunya pergi
mencari penjahat yang belum ketahuinya siapa dan dua orang cucunya kehilangan
ayah bunda! Tentu hidup terasa makin tidak menyenangkan bagi orang setua dia,
terasa makin sunyi dan tentu saja rumah di Sin-yang yang biasanya penuh
kegembiraan dengan suara ketawa dua orang cucunya dan senyum manis mantunya,
gelak tawa muridnya kini hanya membangkitkan kenangan yang telah lenyap.
Kita manusia hidup memang selalu menjadi permainan suka dan duka apabila
kita masih terbelenggu oleh segala ikatan. Selama batin kita masih belum bebas
dari rasa takut akan kesunyian, kita selalu mencari sandaran dan kita
mengikatkan diri dengan segala yang anggap akan mendatangkan kesenangan abadi.
Kita selalu mengejar kesenangan dan menuntut kesenangan dari segala sesuatu
sehingga kita mengikatkan diri dengan isteri, dengan keluarga, dengan kedudukan,
dengan harta, dengan nama dan sebagainya. Pengikatan diri dengan semua ini
dasarnya karena diri pribadi yang selalu menonjolkan pencarian kesenangan baik
kesenangan duniawi maupun kesenangan rohani. Kalau sewaktu-waktu kita diharuskan
terpisah dengan semua itu, tentu saja menimbulkan duka dan sengsara yang sama
artinya dengan kekecewaan karena kesenangan kita dirampas.
Sesungguhnya bahwa suka maupun duka bersumber kepada hati dan pikiran kita
sendiri, tergantung dari bagaimana kita menanggapi dan menghadapi semua yang
terjadi pada diri kita. Kebanyakan orang menganggap bahwa kesenangan juga
berarti kebahagiaan dan sumbernya terletak di harta, kedudukan, nama dan
sebagainya. Betapa bodohnya anggapan seperti itu, betapa dangkalnya. Di manakah
letak kekayaan" Apakah di kantong baju, di peti uang dan harta benda" Bukan,
melainkan di dalam hati dan pikiran sendiri. Biarpun orang memiliki lima buah
gunung emas, apabila dia masih merasa kurang maka dia adalah miskin dan akan
terus mengejar kekayaan dengan tamaknya. Orang yang mengantongi uang satu juta
adalah orang miskin apabila dia menginginkan barang yang lebih dari jumlah itu
harganya. Orang tidak akan mampu menikmati, tidak akan mampu melihat keindahan,
dari apapun yang berada di dalam tangannya, betapapun tinggi nilai benda itu,
apabila dia menginginkan barang yang lain daripada yang telah dimilikinya. Dan
orang yang selalu diperhamba oleh nafsu keinginannya, takkan pernah merasa cukup
dan takkan pernah dapat mengerti apa yang dinamakan keindahan, apa yang
dinamakan kebahagiaan hidup.
Sebaliknya, orang yang sudah bebas batinnya dari semua ikatan, menghadapi
kehidupan dengan segala macam peristiwanya dengan hati terbuka, dengan perasaan
lapang, dengan gembira dan tidak pernah dia tenggelam di dalam duka maupun suka.
Bagi dia, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini mengandung hikmah kehidupan
yang luar biasa, yang indah dan wajar sehingga dia tidak lagi mengenal apa
artinya kecewa, karena dia tidak mengejar apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa.
Keadaan demikian ini membuat dia bebas dari suka duka, bebas dari arus lingkaran
setan yang membuat manusia yang belum bebas dan belum sadar dalam bidupnya
selalu jatuh bangun di antara suka dan duka. Akan tetapi betapa menyedihkan
karena kebanyakan dari kita menerima keadaan hidup seperti ini! Kita menerimanya
sebagai hal yang "sudah semestinya". Hidup yang penuh dengan duka nestapa,
kesengsaraan, pertentangan dan permusuhan, benci dan iri hati, segala macam
kepalsuan di segala lapangan dan dalam segala macam bentuk perang, pembunuhan
dan kelaparan, di antara semua kengerian ini dan hanya kadang-kadang saja ada
kesenangan yang hanya lewat bagaikan sinar kilat sekali-kali, dan kita sudah
menerima kehidupan macam ini sebagai hal yang semestinya! Kita selalu mengejar
kesenangan, dengan suka rela menghambakan diri kepada pemuasan kesenangan
sungguhpun kita tahu bahwa di balik dari semua kesenangan itu terdapat kesusahan
yang mengintai dan siap menerkam korbannya, yaitu kita!
Tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini dapat merubah semua kesengsaraan
kehidupan yang bersumber di dalam diri pribadi, kecuali KITA SENDIRI. Bukan kita
yang mengusahakan perobahannya. Kita tidak akan dapat merubah diri sendiri, akan
tetapi dengan kewaspadaan dan kesadaran, dengan mengenal diri sendiri luar
dalam, dengan pengawasan dan pengamatan setiap saat, akan timbul pengertian dan
kesadaran, dan pengertian ini tanpa diusahakan, dengan sendirinya akan menghalau
semua perintang dan penghalang dari perobahan. Pengertian yang mendalam inilah
yang penting, bukan segala macam pengetahuan mati tentang filsafat atau
kebatinan manapun, karena pengetahuan-pengetahuan itu hanya akan menjadi slogan
mati, klise-klise lapuk yang hanya akan diulang-ulang oleh mulut, bahkan
diperalat untuk membanggakan diri belaka.
"Sukong, mengapa begini sunyi" Ke mana perginya para pelayan?" Lie Seng
berkata lagi dengan nada suara heran dan tidak enak. Anak berusia dua belas
tahun ini telah dapat merasakan kehebatan malapetaka yang menimpa keluarganya,
dan kini, mendekati rumah di mana dia dilahirkan, dia merasa perobahab hebat
karena rumah itu kini seolah-olah merupakan tempat berkabung di mana tidak ada
lagi ayahnya, ibunya, dan adiknya.
"Aku juga heran sekali..." kakek itu berkata dan hatinya terasa kurang enak
karena kesunyian pekarangan rumah itu memang amat mencurigakan. Akan tetapi dia
dan cucunya telah tiba di ruangan depan dan sudah terlambat karena tiba-tiba
tampak bayangan berkelebatan dan tahu-tahu di ruangan depan itu berdiri empat
orang laki-laki yang gerakannya ringan seperti setan.
Hong Khi Hoatsu belum pernah bertemu dengan keempat orang ini, maka dia
memandang penuh perhatian, lalu mengangkat tangan ke depan dada sambil bertanya,
"Maafkan kalau saya tidak mengenal su-wi (anda berempat). Siapakah kalian dan
su-wi mencari siapa?"
Orang yang tertua di antara mereka, seorang kakek berusia enam puluh lima
tahun akan tetapi masih kelihatan muda dan berwajah tampan, yang memakai pakaian
serba putih, tertawa dan berkata kepada teman-temannya, "Kalian berhati-hatilah.
Tukang sulap ini boleh jadi kepandaiannya tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu
sihirnya berbahaya. Kalau dia mengeluarkan sihirnya, lawan dengan sin-kang dan
tulikan telinga, butakan mata terhadap semua ucapan dan gerakannya."
Mendengar ini, Hong Khi Hoatsu terkejut. Maklumlah dia bahwa empat orang
ini, adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan tentu membawa maksud buruk
dengan kedatangan mereka yang aneh ini.
"Hong Khi Hoatsu, aku adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok dan kedatangan
kami adalah untuk bertemu dengan puteri dan cucu ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi
mereka tidak ada den kebetulan kau datang. Kau adalah mertua puteri ketua Cin-
ling-pai, hayo katakan di mana dia dan anak-anaknya?"
"Manusia-manusia jahat, kalian mencari ibu mau apa?" Lie Seng yang masih
dihimpit kedukaan itu menjadi marah sekali mendengar ucapan kakek itu. Hong Khi
Hoatsu kaget sekali dan untuk mencegah cucunya bicarapun sudah terlambat.
"Ha-ha-ha, inikah puteranya" Anak baik, kau cucu ketua Cin-ling-pai" Ha-ha,
sungguh kebetulan sekali!"
Sementara itu, Hong Khi Hoatsu menekan debar jantungnya. Biarpun dia belum
pernah bertemu dengan mereka ini, namun mendengar nama Pat-pi Lo-sian, dia tahu
siapakah mereka ini karena di Cin-ling-san dia sudah mendengar penuturan Cia
Keng Hong tentang Lima Bayangan Dewa yang memusuhi Cin-ling-pai.
"Hemmm... kurang seorang lagi, bukankah Bayangan Dewa ada lima orang?" Hong
Khi Hoatsu berkata. "Kalian datang berkunjung ada urusan apakah?"
"Ha-ha-ha, Hong Khi Hoatsu. Kami sudah kesal melihat rumah ini kosong, dan
sungguh baik sekali engkau mengantar cucu ketua Cin-ling-pai kepada kami.
Kauberikan anak itu kepada kami dan kami akan membiarkan engkau yang sudah tua
ini untuk terus hidup beberapa tahun lagi."
Hong Khi Hoatsu menjadl merah mukanya. "Kiranya Lima Bayangan Dewa yang
terkenal gagah karena berani menentang Cin-ling-pai itu hanyalah orang-orang
pengecut yang beraninya mengganggu anak kecil! Kalau memang gagah, mengapa
kalian tidak langsung saja mendatangi Cin-ling-pai dan menantang ketuanya" Dia
dan isterinya sudah siap untuk membasmi kalian."
"Tua bangka cerewet! Serahkan anak itu atau terpaksa kami akan membunuhmu
lebih dulu!" "Haaiiitttt...! Siapa yang kaucari" Anak kecil ini tidak ada di sini!" Tiba-
tiba Hong Khi Hoatsu berteriak dan... empat orang jagoan itu terkejut bukan main
karena benar saja, tiba-tiba bocah itu lenyap berobah menjadi gulungan asap
putih! "Awas, jangan terpedaya. Serang...!" Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok berseru
nyaring sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya mengandung getaran
dashsyat dan tubuhnya sudah bergerak ke depan mengirim pukulan bertubi secepat
kilat dan mengandung kekuatan sin-kang yang hebat ke arah Hong Khi Hoatsu.
"Plak-plak-plak...!" Hong Khi Hoatsu berhasil menangkis serangan ini, akan
tetapi dia terhuyung karena memang kalah kuat tenaganya oleh Si Dewa Tua
Berlengan Delapan itu. Dan tiga orang Bayangan Dewa yang lain sudah pula
menyerang dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat.
Hong Khi Hoatsu mengelak ke sana-sini dan terhuyung-huyung dalam keadaan
terdesak hebat. Dia maklum bahwa dalam hal ilmu kepandaian silat, biar hanya
menghadapi seorang saja di antara mereka, belum tentu dia akan menang, apalagi
dikeroyok empat. Terutama sekali Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok benar-benar
memiliki kepandaian yang hebat dan tenaga sin-kang yang besar. Dia hanya dapat
mengandalkan ilmu hoatsut (sihir), akan tetapi karena empat orang itu sudah siap
dan melindungi diri dengan kekuatan batin, kiranya tidak akan mudah baginya


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk dapat mempengaruhi mereka sekaligus.
"Berlutut engkau...!" bentaknya ketika pecut baja di tangan Toat-beng-kauw
Bu Sit menyambar dan meledak di atas kepalanya. Bu Sit terkejut dan biarpun tadi
dia sudah diperingatkan oleh Pat-pi Lo-sian, tetap saja dia terkejut, memandang
dan tanpa dapat disadari atau dipertahankannya pula, dia sudah menjatuhkan diri
berlutut sedangkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga terhuyung karena dia juga
memandang dan terpengaruh, biarpun sudah dia pertahankan dengan kekuatan
batinnya. "Ilmu setan!" Hok Hosiang yang berjuluk Sin-ciang Siauw-bin-sian (Dewa
Tersenyum Bertangan Sakti) yang berkepala gundul itu dengan marah menggerakkan
tangan kirinya dan tasbeh hijau yang merupakan senjata istimewa itu menyambar
dan berobah menjadi sinar hijau menyambar ke arah dada Hong Khi Hoatsu. Kakek
ini terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya
keserempet dan dia roboh terguling.
"Jangan pukul kakekku!" Tiba-tiba Lie Seng berteriak dan tentu saja kini dia
kelihatan lagi oleh empat orang itu yang menjadi sangat girang. Karena Hong Khi
Hoatsu terkena hantaman tasbeh, maka pengaruhnya terhadap dua orang tadipun
membuyar dan mereka sudah meloncat bangun kembali. Hong Khi Hoatsu juga sudah
meloncat dan menghadapi empat orang lawan tangguh itu dengan hati penuh
kekhawatiran, mengkhawatirkan cucunya.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari luar, "Bayangan Dewa, jangan
banyak menjual lagak, kami dari Cin-ling-pai datang untuk membasmimu...!"
Girang hati Hong Khi Hoatsu ketika dia mengenal empat orang tua yang gagah
itu, yang bukan lain adalah murid-murid kepala Cin-ling-pai atau orang-orang
tertua dan sisa dari Cap-it Ho-han, yaitu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan
Un Siong Tek! Empat orang murid utama dari Cin-ling-pai ini, seperti kita
ketahui, juga segera meninggalkan Cin-ling-san setelah Bun Houw pergi, untuk
berusaha mencari Lima Bayangan Dewa yang tidak hanya mencuri Siang-bhok-kiam,
akan tetapi juga telah membunuh tujuh orang sute mereka. Dibandingkan dengan Bun
Houw yang baru saja pulang dari Tibet dan masih belum mempunyai pengalaman
banyak di dunia kang-ouw, tentu saja empat orang tokoh Cin-ling-pai ini jauh
lebih luas pengalamannya dan kalau Bun Houw masih juga belum berhasil dalam
penyelidikannya untuk menemukan musuh-musuh besar Cin-ling-pai, empat orang
tokoh ini akhirnya dapat juga mencari musuh-musuhnya dan ketika mereka mendengar
keterangan dalam penyelidikan mereka bahwa empat orang di antara Lima Bayangan
Dewa itu pergi ke Sin-yang, mereka menjadi terkejut dan cepat melakukan
pengejaran. Mereka merasa khawatir sekali kalau-kalau para musuh besar ini akan
mengganggu puteri suhu mereka, yaitu Cia Giok Keng yang tinggal di Sin-yang
bersama suaminya dan dua orang anaknya. Dalam kesibukan mereka menyelidiki
musuh-musub besar Cin-ling-pai, empat orang ini sama sekali tidak tahu atau
mendengar peristiwa yang menimpa keluarga suhu mereka.
Demikianlah, mereka tiba di rumah Giok Keng tepat pada saat Hong Khi Hoatsu
dan Lie Seng terancam bahaya oleh empat orang dari Lima Bayangan Dewa itu.
Ketika mereka muncul dengan pedang di tangan, Pat-pi Lo-sian terkejut dan marah.
Dia memandang empat orang laki-laki tua yang berpedang dan berpakaian sederhana
itu, lalu membentak, "Siapakah kalian?" Dia belum pernah bertemu dengan empat
orang tertua dari Cap-it Ho-han ini maka biarpun tadi mereka mengaku sebagai
orang-orang Cin-ling-pai, dia tidak dapat menduga siapa mereka.
Di lain fihak, Kwee Kin Ta dan tiga orang sutenya juga baru sekarang bertemu
dengan mereka, maka Kwee Kin Ta yang mewakili para sutenya menjawab tenang
dengan sikap gagah, "Lebih dulu kami ingin bertanya, apakah benar kalian empat
orang yang sedang mengacau di sini berjuluk Lima Bayangan Dewa?"
Pat-pi Lo-sian tersenyum lebar, wajahnya yang gagah dan tampan itu penuh
ejekan dan memandang rendah. "Kalau benar demikian, kalian mau apa" Siapakah
kalian?" "Kami adalah empat orang pertama dari Cap-it Ho-han dan memang sudah lama
kami mencari kalian manusia-manusia keji yang telah membunuh para sute kami,"
jawab Kwee Kin Ta sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Ahhh! Ha-ha-ha, bagus sekali! Dahulu kami hanya dapat membunuh tujuh orang
di antara Cap-it Ho-han, siapa tahu kini yang empat lagi datang mengantar nyawa
untuk menemani kakek tua bangka tukang sulap ini."
"Jahanam, bersiaplah kalian untuk mampus!" Kwee Kin Ta membentak dan
pedangnya digerakkan, berobah menjadi sinar kilat yang menyambar ke arah Pat-pi
Lo-sian. Tiga orang sutenya juga sudah menggerakkan pedang menyerang tiga orang
Bayangan Dewa lainnya. Pat-pi Lo-sian terkejut bukan main menyaksikan gerakan pedang yang dipegang
oleh Kwee Kin Ta itu. Gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang dahsyat
sekali. Dan memang Kwee Kin Ta sebagai murid pertama dari Cin-ling-pai tentu
saja memiliki ilmu pedang yang amat hebat. Dialah yang mampu mewarisi inti dari
Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang diciptakan oleh ketua Cin-ling-pai. Akan
tetapi, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong
Ouwyang Kok Si Raja Ular, kepandaiannya amat tinggi. Cepat dia dapat mengelak
sambil mencabut pedangnya pula, sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor
ular dan mengeluarkan bau amis.
"Cringgg... trangg... singgg!"
"Hemmm...!" Pat-pi Lo-sian terkejut karena ketika pedang mereka saling
bertemu, secara aneh sekali pedang lawan itu meluncur melalui tubuh pedangnya,
begitu licin dan tak tersangka-sangka langsung menyambar ke arah tangannya yang
memegang gagang pedang ular! Untung dia dapat cepat menarik tangannya dan
menghindarkan diri dari serangan yang cepat, aneh dan tak tersangka-sangka itu.
Tiga orang sute dari Kwee Kin Ta juga sudah terlibat dalam pertandingan yang
seru dan mati-matian melawan tiga orang dari Bayangan Dewa. Sesungguhnya kalau
dinilai dari dasar ilmu silat mereka, kepandaian tiga orang tokoh Cin-ling-pai
itu lebih murni, karena mereka itu adalah orang-orang yang langsung digembleng
oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, mereka itu
dahulunya adalah pemuda-pemuda dusun yang kaku dan tidak berbakat, dan merekapun
jarang sekali bertanding sehingga di dalam pertandingan melawan tokoh-tokoh
sesat yang amat lihai dan yang pada dasarnya memiliki tingkat yang lebih tinggi
daripada mereka, empat orang tokoh Cin-ling-pai ini segera terdesak karena
lawan-lawan mereka menggunakan siasat-siasat licik dan curang yang memang
terdapat dalam setiap gerakan ilmu berkelahi dari kaum sesat.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring tinggi, disusul suara nyanyian
yang keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu. Sebelum bernyanyi dia berteriak
memanggil nama empat Bayangan Dewa itu untuk menarik perhatian mereka. Dengan
suara parau dia bernyanyi dengan nada aneh dan dengan kata-kata yang jelas dan
tanpa disadarai oleh empat orang Bayangan Dewa itu, mereka tercengkeram oleh
kekuatan mujijat dan telah terpengaruh sehingga mereka berempat mendengarkan dengan penuh perhatian.
Karena perhatian mereka tercurah kepada suara nyanyian dan kata-katanya itu,
tentu saja gerakan mereka menjadi kacau dan dengan demikian, keadaan segera
membalik dan merekalah kini yang terdesak hebat oleh empat orang tokoh Cin-ling-
pai! Pat-pi Lo-sian terkejut bukan main ketika ujung lengan bajunya terbabat
putus oleh pedang di tangan Kwee Kin Ta.
"Jangan dengarkan! Jangan dengarkan!" Dia memekik untuk memperingatkan
teman-temannya yang juga menjadi kacau dan terdesak hebat, akan tetapi suaranya
ini tenggelam ke dalam nyanyian Hong Khi Hoatsu, bahkan teriakannya itu memakai
nada nyanyian mengikuti irama nyanyian kekek sihir itu, dan dia sendiri sama
sekali tidak dapat melepaskan perhatiannya dari nyanyian itu. Makin lama gerakan
mereka makin kacau dan kini mulailah empat orang tokoh kaum sesat itu menggerak-
gerakkan bibir mengikuti nyanyian Hong Khi Hoatsu!
Mereka mulai ikut bernyanyi sungguhpun mereka berloncatan ke sana-sini untuk
menangkis atau menghindarkan diri mereka dari serangan-serangan musuh! Hong Khi
Hoatsu tiba-tiba menghentikan nyanyiannya dan... tertawa-tawa dan empat orang
itupun ikut pula tertawa-tawa. Kakek ini lalu menangis dan merekapun ikut
menangis! Keadaan empat orang tokoh sesat itu kini terancam bahaya besar. Hong Khi
Hoatsu mengajak mereka bernyanyi-nyanyi pula dan empat orang itu sudah satu dua
kali terkena senjata lawan, sungguhpun tidak berbahaya namun cukup mengejutkan
hati mereka. Empat orang Bayangan Dewa itu sibuk sekali dan keringat dingin
mulai bercucuran di muka dan leher mereka. Mereka maklum bahwa keadaan mereka
berbahaya sekali dan celakanya, mereka tidak mampu melarikan diri karena mereka
"terikat" oleh suara nyanyian itu!
"Supek, hantam mereka! Robohkan mereka. Bagus, tusuk mereka!" Lie Seng
berteriak sambil bersorak dan bergembira melihat betapa supek-supeknya, yaitu
para suheng dari ibunya berasil mendesak empat orang kakek yang tadi mengeroyok
kong-kongnya itu. Karena perhatian mereka sepenuhnya terampas oleh Hong Khi Hoatsu, maka
beberapa kali empat orang tokoh sesat itu terguling dan tubuh mereka yang kebal
sudah mengalami hantaman dan serempetan senjata lawan. Tak lama lagi empat orang
tokoh Cin-ling-pai itu tentu akan berhasil membalas dendam mereka.
"Hayo serahkan kembali Siang-bhok-kiam dan kalian menyerah untuk kami
tangkap!" berkali-kali Kwee Kin Ta berseru sambil mendesak dengan pedangnya.
Orang tertua dari Cap-it Ho-han ini ingin sekali menyeret mereka hidup-hidup ke
depan suhunya dan juga untuk mendapatkan kembali Siang-bhok-kiam yang mereka
curi. Tiba-tiba terdengar suara ketawa melengking tinggi sekali. Suara melengking
yang amat menyeramkan, seperti bunyi tawa seorang wanita siluman atau bunyi
seekor burung hong yang terbang di atas rumah itu. Akan tetapi hebatnya, suara
melengking tinggi ini mengandung getaran tenaga khi-kang yang demikian kuatnya,
sehingga mampu menembus dan mengiris melalui benteng kekuatan sihir dari
nyanyian Hong Khi Hoatsu! Kakek ahli sihir ini terkejut sekali dan empat orang
tokoh kaum sesat itu menjadi girang karena baru sekarang mereka mampu
membebaskan perhatian mereka dari nyanyian kakek itu dan kelihaian mereka pulih
kembali karena perhatian mereka kini tercurahkan kepada gerakan tubuh mereka
sehingga dalam beberapa gebrakan saja empat orang tokoh Cin-ling-pai menjadi
berbalik terdesak hebat! Melihat ini, Hong Khi Hoatsu menjadi marah sekali dan dia cepat melompat
keluar untuk mencari pengganggu itu. Akan tetapi begitu tiba di luar ruangan,
dia melihat seorang wanita cantik berkelebat dari luar, maka cepat Hong Khi
Hoatsu sudah menggerakkan kedua targannya dan ujung lengan bajunya menotok ke
arah jalan darah dari bayangan wanita yang berkelebat di sampingnya itu.
"Plak-plak!" Ujung lengan baju itu dengan tepat mengenai pundak dan
pinggang, tepat mengenai jalan darah, akan tetapi anehnya, wanita itu sama
sekali tiduk menderita apa-apa seolah-olah totokan itu hanya merupakan sentuhan-
sentuhan halus saja, bahkan dia tertawa dan tanpa menghentikan langkahnya yang
menuju ke ruangan pertempuran, tangan kirinya berkelebat ke arah punggung Hong
Khi Hoatsu. "Plakk! Ahhh...!" Hong Khi Hoatsu terkejut bukan main karena tamparan halus
itu membuat seluruh tubuhnya terasa kejang, lalu panas seperti dibakar dan tak
dapat dipertahankannya lagi, kakek ini roboh terguling dalam keadaan pingsan!
"Sukong...!" Lie Seng berlari dan menubruk kakeknya, ketika melihat kakeknya
rebah tak bergerak dengan mata meram, anak ini menangis dan tiba-tiba dia
menjadi beringas, meloncat bangun dan memandang kepada wanita cantik itu dengan
kedua tangannya yang kecil terkepal.
"Kau jahat sekali...! Kau telah membunuh sukongku...!"
Dengan gerakan silat yang cukup lincah dan baik, Lie Seng meloncat dan
menghantamkan kepalan tangannya ke arah perut wanita cantik itu. Biarpun usianya
baru dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil sekali anak ini telah digembleng
oleh ayah bundanya sehingga dia telah memiliki dasar latihan ilmu silat yang
murni dan tinggi, maka pukulannya pun bukan sembarangan dan teratur. Melihat
kelincahan ini, wanita cantik itu memandang kagum.
"Bagus...!" katanya dan dengan mudah saja dia menangkap pergelangan tangan
Lie Sang yang memukulnya. Sebelum Lie Seng sempat menggerakkan tangannya yang
kedua, wanita itu telah menepuk tengkuknya dan anak ini roboh pula dengan
seluruh tubuh lemas dan lumpuh. Wanita cantik itu menoleh dan menonton
pertempuran yang masih berlangsung dengan mati-matian itu sambil tersenyum
mengejek. Pertandingan itu kini jelas tamnpak berlangsung berat sebelah. Betapapun
gagahnya empat orang tokoh Cin-ling-pai itu, mereka bukan tandingan empat
Bayangan Dewa yang jauh lebih tinggi kepandaiannya. Terutama sekali Pat-pi Lo-
sian Phang Tui Lok yang amat lihai, dengan mudah saja dia dapat mendesak Kwee
Kin Ta sehingga orang tua yang menjadi murid pertama kali ketua Cin-ling-pai ini
hanya mampu mempertahankan diri sambil mundur, gerakan pedangnya makin
menyempit. Adik murid pertama Cin-ling-pai ini, yaitu Kwee Kin Ci, yang mainkan
pedangnya dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya, juga kewalahan
menghadapi Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya
sebagai senjata. Biarpun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena digerakkan
dnegan tenaga sin-kang, maka kadang-kadang dapat menjadi lemas dan kadang-kadang
menjadi kaku, dan di sebelah lipatan dalam dari kedua ujung lengan baju itu
dipasangi potongan-potongan baja, maka sepasang lengan baju itu merupakan
senjata yang ampuh. Louw Bu, murid ketiga dari Cin-ling-pai, juga repot sekali menghadapi Sin-
ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang yang menggunakan senjatanya berupa tasbeh
hijau. Dia terdesak dan sudah dua kali terkena hantaman tasbeh di pundak dan
punggungnya, membuat gerakannya menjadi makin kacau dan lemah sungguhpun dia
masih melawan mati-matian dan sedikitpun tidak kelihatan gentar atau turun
semangat. Un Siong Tek sudah hampir roboh karena berkali-kali kena sambaran pecut baja
di tangan Toat-beng-kauw Bu Sit, namun dia menggigit bibir dan bertekad untuk
melawan sampai titik darah terakhir, pedangnya digenggam erat-erat dan dia
mengeluarkan seluruh kemampuannya, tidak memperdulikan akan rasa nyeri karena
luka-lukanya yang mengucurkan darah. Yang membuat empat orang murid Cin-ling-pai
khawatir adalah ketika melihat munculnya wanita cantik tidak terkenal yang telah
merobohkan Hong Khi Hoatsu dan Lie Seng. Mereka lebih mengkhawatirkan nasib cucu
dari suhu mereka itu daripada diri mereka sendiri. Hal ini membuat mereka
melawan dengan nekat sehingga masih mampu bertahan sampai puluhan jurus.
Namun akhirnya, berturut-turut empat orang gagah dari Cin-ling-pai ini roboh
juga dan lawan-lawan mereka tanpa banyak cakap lagi menyusul dengan pukulan-
pukulan maut sehingga menggeletaklah empat orang murid utama Cin-ling-pai itu,
tanpa nyawa lagi di dalam ruangan rumah itu.
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok yang melihat akan ulah kakek ini yang tadi
hampir saja membuat dia dan tiga orang temannya celaka, make tiba-tiba dia
berseru keras, pedang ular di tangannya terbang secepat kilat dan tahu-tahu
telah menancap di dada tubuh Hong Khi Hoatsu yang masih pingsan. Tentu saja
kakek tua ini tewas seketika tanpa sadar lagi.
Wanita itu memandang semua itu tanpa bergerak, hanya tersenyum mengejek
memandang Pat-pi Lo-sian mencabut kembali pedang ularnya dai tubuh Hong Khi
Hoatsu yang mandi darah. Akan tetapi ketika Pat-pi Lo-sian menghampiri tubuh Lie
Seng dan mengulur tangan hendak menyambar tubuh anak itu, tiba-tiba wanita itu
menggerakkan tangan kirinya, dan serangkum hawa pukulan dahsyat menyambar ke
arah Pat-pi Lo-sian! Orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini terkejut sekali,
mengelak akan tetapi tetap saja dia terdorong oleh hawa pukulan dahsyat itu dan
merasa betapa dadanya panas. Dia cepat mengerahkan sin-kang untuk melawan dan
baru setelah dia mengatur pernapasan serangan hawa panas itu menghilang.
Pat-pi Lo-sian mengenal orang pandai dan mengingat bahwa berkat bantuan
wanita ini dia dan kawan"kawannya dapat keluar sebagai pemenang dalam pertempum
itu, maka dia berlaku hati-hati dan memandang dengan penuh perhatian. Ketika dia
menatap wajah yang cantik jelita dan tubuh yang ramping padat itu, dia merasa
tidak pernah bertemu dan tidak mengenal wanita yang usianya kurang lebih tiga
puluh lima tahun ini. Akan tetapi ketika dia melihat burung hong kumala yang
menjadi penghias rambut wanita itu, dia terkejut sekali.
"Apakah toanio dari Giok-hong-pang...?" Dia terkejut ketika teringat akan
berita bahwa ketua Giok-hong-pang yang telah mengalahkan Kwi-eng-pang dan
menduduki Telaga Setan, kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.
Sementara itu, Toat-beng-kauw Bu Sit yang pernah bertemu dengan In Hong dan
merasakan kelihaian dara cantik itu, juga kaget sekali karena dia mengira bahwa
tentu kedatangan wanita cantik ini ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi
antara dia dan In Hong, yang agaknya adalah murid wanita ini.
Maka dia cepat-cepat menjura kepada wanita itu dan berkata, "Toanio tentulah
ketua Giok-hong-pang yang tersohor itu. Kalau benar demikian, kita bukanlah
orang-orang lain. Saya pernah berjumpa dengan nona Yap In Hong, bukankah dia
juga seorang tokoh Giok-hong-pang?"
Wanita itu bukan lain adalah Giok-hong-cu Yo Bi Kiok, ketua Giok-hong-pang.
Mendengar ucapan Bu Sit si laki-laki bermuka monyet itu, dia memandang tajam dan
Bu Sit berdebar tegang hatinya. Pandang mata wanita ini demikian tajam dan
dingin, jauh lebih dingin dari pandang mata nona In Hong yang amat lihai itu.
"Hemmm, Yap In Hong adalah muridku."
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok terkejut mendengar ini. Tidak keliru dugaannya,
karena diapun telah mendengar laporan Bu Sit tentang nona Yap In Hong. Cepat


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diapun menjura dan bukata, "Ah, maafkan kami yang tidak mengenal toanio yang
ternyata masih amat muda namun telah memiliki kepandaian yang amat hebat. Kami
berterima kasih atas bantuan toanio tadi. Kami adalah..."
"Aku sudah tahu bahwa kalian adalah empat di antara Lima Bayangan Dewa yang
akhir-akhir ini namanya menggemparkan dunia kang-ouw. Justeru karena kalian Lima
Bayangan Dewa, maka aku datang ke sini untuk menjumpai kalian. Aku mendengar
bahwa kalian telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai, benarkah
itu?" Pat-pi Lo-sian tertawa bangga. "Tidak banyak orang yang akan mampu melakukan
itu, bukan" Ha-ha-ha, berita itu memang benar, toanio. Kami telah merampas
Siang-bhok-kiam dari tangan Cin-ling-pai."
"Bagus! Nah, kauserahkan pedang itu kepadaku."
"Ah, mana mungkin itu" Toanio sebagai seorang pangcu (ketua) tentu maklum
betapa pentingnya pedang itu bagi kami. Kalau tidak penting, tentu kami tidak
akan merampasnya." "Hemm, kalian mencurinya hanya untuk melampiaskan dendam kalian kepada Cia-
taihiap bukan" Sebaliknya aku menginginkan pedang itu karena aku mendengar bahwa
pedang itu adalah sebuah pusaka keramat yang ampuh. Kalau tadi aku tidak datang,
apakah Lima Bayangan Dewa kini tidak hanya tinggal Satu Bayangan Dewa saja
karena kalian telah menjadi Empat Bayangan Arwah" Hayo lekas kalian serahkan
pedang itu kepadaku sebagai imbalan pertolonganku tadi."
"Omitohud... pangcu dari Giok-hong-pang terlalu tinggi hati! Pedang pusaka
itu merupakan lambang kemenangan kami atas Cin-ling-pai yang kami benci, mana
bisa kami serahkan begitu saja kepada pangcu?" Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok
Hosiang berkata sambil tersenyum lebar. "Pinceng (saya) Hok Hosiang tidak bisa
mentaati perintah orang yang tinggi hati, apalagi kalau perintah itu datang dari
seorang wanita muda seperti toanio."
Yo Bi Kiok tersenyum, matanya yang berbentuk indah itu bersinar-sinar, lalu
terdengar dia berkata lirih, "Agaknya kalian masih memandang rendah kepadaku.
Nah, rasakanlah ini!" Setelah berkata demikian, tangan kirinya bergerak ke arah
hwesio gendut itu. Serangkum hawa pukulan dingin sekali menyambar, membuat Hok
Hosiang terkejut setengah mati dan dia cepat menggerakkan tasbeh hijau di
tangannya untuk menangkis.
Rrriiikk... desss...!" Hok Hosiang berteriak kaget, tubuhnya terhuyung ke
belakang beberapa langkah. Biarpun jari tangan wanita itu tidak mengenai
tubuhnya, baru bertemu dengan tasbehnya, namun tenaga mujijat yang amat kuat
menyerangnya melalui tasbehnya sendiri dan dia merasa betapa dadanya menjadi
sesak. Hok Hosiang memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa wanita yang
usianya hanya setengah usianya lebih sedikit itu ternyata memiliki semacam sin-
kang yang amat dahsyat. "Toanio, jangan sombong engkau!" Toat-beng-kauw Bu Sit yang merasa penasaran
dan menjadi besar hati karena mengandalkan banyak teman sudah meloncat ke depan
dan menggerakkan senjata joanpiannya, yaitu pecut baja yang panjang dan lemas.
"Tar-tar-tarrrr...!" Pecut baja itu melecut dan meledak-ledak di udara, lalu
menyambar turun ke atas kepala Yo Bi Kiok.
Namun Yo Bi Kiok dengan tenang sekali miringkan kepalanya sedikit, tangan
kirinya bergerak dan seperti kilat cepatnya dia telah berhasil menangkap ujung
cambuk baja itu. Bu Sit mengerahkan tenaga untuk membetot lepas cambuk bajanya,
akan tetapi jepitan jari tangan yang kecil mungil pada ujung cambuk itu sama
sekali tidak dapat terlepas! harus diketahui bahwa Toat-beng-kauw Bu Sit adalah
seorang tokoh sesat yang memiliki gin-kang kilat dan sin-kang kuat, akan tetapi
satu kali ini dia benar-benar harus mengakui kekuatan mujijat yang menjepit
ujung cambuknya. "Haiiiitttt...!" Tiba-tiba Bu Sit membentak dan mengerahkan selurub
tenaganya. Akan tetapi tiba-tiba sambil tersenyum dingin Yo Bi Kiok melepaskan
jepitan dari tangannya. "Siuuuttt... tarrr...!" Untung sekali Bu Sit cepat melepaskan gagang
cambuknya, kalau tidak tentu mukanya akan dihajar oleh lecutan ujung cambuknya
sendiri. Ketika dia mlihat dengen muka pucat, ternyata ujung cambuknya itu
terdapat bekas-bekas jari tangan wanita cantik itu, bergurat-gurat
memperlihatkan garis-garis tangan halus, seolah-olah ujung cambuk bajanya itu
hanya terbuat dari tanah liat saja!
"Hebat sekali engkau, pangcu!" Tiba-tiba Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah
ke depan, kedua ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu menyambar dari
kanan kiri ke arah kedua pelipis kepala Yo Bi Kiok.
"Hemm, pergilah kau!" Bi Kiok yang mulai menjadi marah itu membentak halus,
kedua tangannya menangkis ke kanan kiri kepalanya. Gu Lo It yang terkenal
sebagai seorang tokoh yang bertenaga raksasa itu, menjadi girang melihat
lawannya berani menangkis ujung lengan bajunya yang dipasangi baja itu dengan
tangan kosong, maka dia mengerahkan tenaga saktinya sehingga ujung lengan
bajunya itu akan mampu menghancurkan batu karang yang keras sekalipun. Apalagi
hanya dua lengantangan wanita yang berkulit halus itu!
"Plakk! Plakk! Ehhh...!" Liok-te Sin-mo Gu Lo It terkejut sekali dan cepat
dia menarik kedua lengannya sambil meloncat mundur karena tadi begitu bertemu
dengan kedua lengan wanita itu, dua ujung lengan bajunya membalik dan tentu akan
menghantam dadanya sendiri kalau saja tidak dengan cepat dia menarik kembali
lengannya. Ternyata bahwa lengan yang kecil dan berkulit halus itu bukan hanya
mampu menandingi ujung lengan bajunya, bahkan mampu membuat kedua senjatanya itu
membalik dan menyerang dirinya sendiri.
Pat-pi Lo-sian Phang Tui Liok bukanlah seorang bodoh. Menyaksikan cara
wanita itu menghadapi tiga orang temannya, dia sudah dapat mengukur bahwa
kepandaian wanita ini benar-benar amat hebat dan belum tentu kalah olehnya. Dan
diapun tahu bahwa wanita itu tidak berniat buruk kepada mereka, karena kalau
demikian halnya, tentu wanita itu telah menurunkan tangan mautnya kepada tiga
orang temannya tadi. Cepat dia menjura sambil berkata, "Memang bukan berita
kosong belaka yang mengatakan bahwa ketua Giok-hong-pang memang memiliki
kepandaian yang amat hebat. Pangcu, kami kagum sekali dan mengingat akan
kebaikan pangcu yang telah membantu kami tadi, agaknya urusan sebatang pedang
kayu saja kami seyogyanya mengalah dan mempersembahkan kepada pangcu sebagai
tanda persahabatan. Akan tetapi sayang, hal itu tidak mungkin kami lakukan
sekarang karena kami tidak membawa Siang-bhok-kiam itu yang kami simpan di
tempat rahasia agar tidak mudah dicari orang lain."
"Hemmm..." Yo Bi Kiok mendengus kecewa akan tetapi matanya memandang kepada
mereka dan dia tahu bahwa mereka tidak membohong. Lalu dia melihat tubuh anak
laki-laki yang masih lemas tertotok olehnya tadi. "Aku melihat kalian tadi
hendak merampas dan menculik anak ini. Mengapa?"
Pat-pi Lo-sian juga memandang kepada Lie Seng dan tersenyum. "Pancu, urusan
dengan bocah ini adalah urusan kami pribadi, perlukah Pangcu mengetahui pula?"
Wajah yang cantik itu menjadi agak kemerahan biarpun pandang matanya tetap
dingin tak acuh. "Tentu saja. Perkelahian di sini adalah karena bocah ini, dan aku telah
membantu kalian maka sudah sepantasnya aku mendengar pula mengapa kalian hendak
menangkap bocah ini."
Pat-pi Lo-sian diam-diam merasa mendongkol sekali. Sebetulnya, biarpun tiga
orang temannya jelas bukan lawan wanita ini, namun dia sendiri belum kalah
apalagi kalau dibantu oleh tiga orang temannya itu. Hanya saja, pada waktu ini
Lima Bayangan Dewa sedang menghadapi ancaman pembalasan dari Cin-ling-pai yang
merupakan hal berbahaya karena dia maklum akan kelihaian dari ketua Cin-ling-
pai, maka tidak semestinya kalau dia menanam permusuhan dengan fihak lain.
Apalagi fihak Giok-hong-pang yang amat kuat pula. Sebaliknya, dia harus menarik
semua fihak yang kuat sebagai sahabatnya agar dapat membantunya kalau dia
terpaksa kelak menghadapi ketua Cin-ling-pai. Dia jerih menghadapi ketua Cin-
ling-pai seorang diri bersama empat orang temannya saja. Baru murid-murid Cin-
ling-pai tadi saja sudah demikian tangguhnya, apalagi gurunya! Dan wanita cantik
inipun memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan.
Baiklah, pangcu, kalau engkau ingin mengerti. Bocah ini adalah cucu dari
ketua Cin-ling-pai, dan kami hendak menangkapnya..."
"Hemmm, apakah Lima Bayangan Dewa begitu penakut, tidak menghadapi ketua
Cin-ling-pai secara langsung melainkan mengganggu seorang bocah yang tidak tahu
apa-apa?" Yo Bi Kiok mengejek. Biarpun wanita ini dahulunya murid seorang datuk
kaum sesat kemudian dia sendiri karena merasa sakit hati terhadap seorang pria
lalu menjadi seorang wanita berdarah dingin yang amat kejam, namun dia sama
sekali bukanlah golongan sesat yang suka melakukan kejahatan umum. Satu-satunya
sikap kejamnya hanya dia tujukan kepada kaum pria yang dianggapnya merupakan
kaum yang hanya membikin sengsara kaum wanita.
Kini wajah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu menjadi merah dan
matanya terbelalak penuh rasa penasaran. "Pangcu dari Giok-hong-pang, kauanggap
kami ini orang-orang apa yang akan mengganggu anak-anak?" Teriaknya akan tetapi
segera dia teringat akan sikapnya. "Kami memang bermusuhan dengan ketua Cin-
ling-pai dan mengingat bahwa ketua Cin-ling-pai mempunyai banyak sekali sahabat
dan pembantu-pembantu yang tentu akan menyusahkan kami, maka kami hendak membawa
cucunya ini sebagai sandera untuk menantangnya agar datang menghadapi kami
seorang diri saja, agar di antara dia dan kami dapat menyelesaikan segala
perhitungan lama sampai beres. Jadi kami tidak akan mengganggu anak ini, hanya
untuk memaksa kakeknya untuk keluar sendirian menghadapi kami."
Yo Bi Kiok tersenyum, lalu tubuhnya bergerak, cepatnya amat mengejutkan hati
empat orang itu karena tahu-tahu bayangan wanita itu berkelebat dan sebelum
mereka sempat mencegah, Bi Kiok telah mengempit tubuh Lie Seng. "Bagus kalau
begitu, aku jadi tahu bahwa kalian amat membutuhkan bocah ini. Nah, kalian
ambillah Sing-bhok-kiam, antarkan pedang itu ke Telaga Kwi-ouw dan di sana aku
akan menukar Siang-bhok-kiam dengan bocah ini!" Setelah berkata demikian, sekali
berkelebat saja Bi Kiok telah lenyap dari dalam ruangan itu, pergi membawa Lie
Seng bersamanya. Empat orang tokoh sesat itu saling pandang dan muka mereka berobah, sebentar
merah sebentar pucat. Baru sekali ini mereka merasa dihina dan dipandang rendah
orang lain, apelagi yang memandang rendah mereka itu adalah seorang wanita muda
cantik! "Si keparat...!" Pat-pi Lo-sian membanting kakinya. "Kalau saja tidak ingat
akan kedudukan kita, sudah kuhancurkan kepala perempuan setan itu!"
"Dia memang sombong sekali," kata Bu Sit yang juga merasa penasaran dan tadi
telah dibikin malu. "Twako, mari kita kumpulkan kekuatan, ajak teman-teman dan
menyerbu Giok-hong-pang, membasminya dan merampas kembali bocah itu!"
Pat-pi Lo-sian menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Betapapun
juga, urusan dengandia itu kecil sekali artinya kalau dibandingkan dengan urusan
kita terhadap ketua Cin-ling-pai. Tidak boleh melemahkan keadaan sendiri karena
urusan kecil sebelum urusan besar selesai. Kelak masih belum terlambat bagi kita
untuk menghajar perempuan sombong itu!"
"Habis, apa yang akan kaulakukan, twako?" tanya Liok-te Sin-mo Gu Lo It
kepada temannya yang tertua itu.
"Tidak ada jalan lain, kita harus menyerahkan pedang itu kepadanya sebagai
penukar cucu ketua Cin-ling-pai itu," jawab yang ditanya.
"Ab, akan tetapi hal itu akan merupakan tamparan bagi nama kita!" Hok
Hosiang berseru. "Sam-te (adik ketiga) jangan salah sangka, sebaliknya malah, dengan
mengoperkan pedang kayu yang tidak ada gunanya kepada wanita itu, berarti kita
menambah musuh bagi Cia Keng Hong dan menarik teman bagi kita. Kita boleh
siarkan bahwa Siang-bhok-kiam telah kita berikan sebagai tanda persahabatan
kepada ketua Giok-Hong-pang, bukankah dengan demikian Cia Keng Hong akan mencari
ke sana dan memusuhinya pula" Anak itu lebih penting bagi kita, karena dengan
adanya anak itu kita dapat memaksa Cia Keng Hong untuk menyerah."
Keempat orang dari Lima Bayangan Dewa itu lalu bergegas meninggalkan rumah
yang kini keadaannya amat mengerikan itu, dimana menggeletak mayat empat orang
pertama dari Cap-it Ho-han dan mayat kakek Hong Khi Hoatsu. Dan kalau orang
melihat ke belakang rumah itu, di sana menggeletak pula mayat dua orang laki-
laki dan wanita tua, yaitu pelayan-pelayan rumah itu yang telah dibunuh lebih
dulu oleh empat orang Bayangan Dewa tadi.
*** Dunia penuh dengan kekejaman dan kekerasan yang dilakukan oleh manusia.
Selama sejarah berkembang, dapat diikuti kenyataan betapa makin lama manusia
bukan makin baik, melainkan makin jahat dan permusuhan, kebencian, bunuh-
membunuh dan perang makin memenuhi dunia. Mengapa demikian" Mengapa manusia
selalu dirundung dendam, kebencian, permusuhan dan kekerasan sepanjang masa"
Banyak sudah muncul orang-orang bijaksana yang kemudian didewa-dewakan dan
dipuja-puja, manusia-manusia yang menyebarkan segala macam pelajaran bagi
manusia agar manusia insyaf akan kejahatannya dan kembali ke jalan benar. Namun
agaknya semua itu kalau kita mau melihat kenyataan sekarang ini, semua itu sia-
sia belaka. Semua orang bicara tentang kasih sesama manusia namun apa yang
dibicarakan itu hanya merupakan pemanis mulut belaka, sedangkan hatinya penuh
kebencian kepada sesama manusia, tentu saja manusia yang merugikan dirinya.
Seluruh dunia bicara tentang perdamaian, bicara tentang menjauhkan perang, akan
tetapi diam-diam angkatan bersenjata di masing-masing negaranya dipupuk dan
perkuat! Wajah berseri dan mulut tersenyum, akan tetapi diam-diam kedua tangan
dikepal, siap untuk melakukan kekerasan! Tidakkah demikian keadaan dunia
semenjak dahulu sampai sekarang"
Dunia dan keadaannya tidak timbul begitu saja, melainkan akibat dari keadaan
kita semua. Kitalah yang bertanggung jawab sampai adanya dunia macam sekarang
ini, di mana kekerasan merajalela, di mana kebencian menguasai hati semua orang,
di mana pengejaran keuntungan diri pribadi yang menjadi sumber semua gerakan
manusia, di mana kebenaran diperebutkan, saling membela kebenaran sendiri
masing-masing. Kita lupa bahwa kebenaran yang diperebutkan itu bukanlah
kebenaran lagi, palsu dan hanya mendatangkan lebih banyak permusuhan lagi.
Kita selalu menujukan mata dan telinga kita keluar, mencari-cari segala yang
dapat menguntungkan dan menyenangkan, memuaskan hati dan jasmani kita.
Pengejaran akan kesenangan lahir batin membutakan mata kita sehingga kita sama
sekali tidak pernah mau memandang diri kita sendiri, memandang diri kita seperti
apa adanya, dengan segala kepalsuan kita, dengan segala keburukan dan cacat
serta kekotoran kita. Kita tidak pernah menggunakan telinga untuk mendengarkan
bisikan-bisikan hati kita sendiri, suara-suara pikiran kita sendiri, dan tidak
mau mengikuti gerak-gerak diri kita sendiri lahir batin. Hanya penglihatan akan
kenyataan tentang keadaan diri kita yang kotor sajalah yang akan mendatangkan
perobahan, yang akan melenyapkan kekotoran itu. Hanya kalau kita dapat melihat
sendiri betapa kebencian mencengkeram hati dan pikiran kita, maka kita akan
mengerti tentang kebencian ini dan akan sadar dan selalu waspada. Kesadaran dan
kewaspadaan akan kebencian yang mencengkeram kita inilah yang akan melenyapkan
kebencian itu sendiri, tanpa terdorong keinginan untuk melenyapkannya, melainkan
hanya mengamati dan mengertinya sampai ke akar-akarnya. Mengenai kekotoran orang
lain hanya akan menambah kekotoran diri sendiri, sebaliknya hanya dengan
mengenal kekotoran sendiri maka akan terjadi perobahan pada diri kita.
Dengan kecepatan seperti kijang yang sedang lari dikejar harimau, Yo Bi Kiok
mengempit tubuh Lie Seng dan mempergunakan ilmu berlari cepat memasuki hutan di
sepanjang Sungai Huai di kaki Pegunungan Tapie-san setelah dia meninggalkan kota
Sin-yang tempat tinggal Cia Giok Keng dan mendiang suaminya, Lie Kong Tek.
Seperti kita ketahui, setelah berhasil mengalahkan Kwi-eng-pang, Yo Bi Kiok
membawa anak buahnya menduduki Telaga Kwi-ouw dan menetap di tempat itu.
Kemunculan wanita ini sekarang adalah yang pertama kali selama dia menggembleng
dirinya dengan ilmu-ilmu dahsyat dan mujijat yang didapatkannya dari bokor emas
milik Panglima The Hoo yang pernah diperebutkan oleh semua tokoh kang-ouw (baca
cerita Petualang Asmara) itu.
Yo Bi Kiok sudah mendengar pula akan peristiwa yang melanda Cin-ling-pai,
tentang Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai dan timbul keinginan
hatinya untuk memiliki pedang Siang-bhok-kiam itu yang dia pernah mendengar
adalah sebatang pedang kayu harum yang keramat dan merupakan pusaka yang pernah
pula menjadi pusaka yang diperebutkan oleh seluruh tokoh kang-ouw.
Lie Seng adalah seorang anak laki-laki yang mempunyai dasar watak tabah dan
tidak mengenal takut. Watak ini dia warisi dari ibunya. Dia melihat sendiri tadi
betapa kakeknya tewas dan empat orang tua yang dia ingat adalah murid-murid
utama kong-kongnya di Cin-ling-pai itupun tewas. Tentu saja dia merasa ngeri dan
berduka sekali, dan diapun tahu bahwa dia kini terjatuh ke tangan seorang wanita
yang jahat dan kejam seperti iblis. Akan tetapi dia tidak merasa takut, dan
selalu dia memutar otaknya untuk mencari akal bagaimana dia akan dapat
membebaskan dirinya dari wanita ini dan kalau mungkin membalas kematian kakeknya
yang demikian menyedihkan. Akan tetapi karena dia tadi dirobohkan dengan
totokan, maka semua usahanya untuk memulihkan tenaga di tubuhnya yang lemas itu
sia-sia belaka. Akhirnya dia teringat akan pelajaran dari ibunya, yaitu
pelajaran untuk menggunakan hawa murni guna memperlancar jalan darahnya. Maka
biarpun tubuhnya lemas, akan tetapi mulailah anak ini mengatur pernapasannya
sambil memejamkan mata ketika dia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh
wanita itu. Sejam kemudian, dengan girang Lie Seng merasa betapa aliran darahnya yang
diperlancar oleh hawa murni itu dapat menembus jalan darah yang tertotok. Tak


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama kemudian bebaslah ia dari totokan dan kaki tangannya dapat bergerak kembali
seperti biasa! Pada waktu itu, Yo Bi Kiok yang tadinya mengempit tubuh anak itu,
telah memindahkannya ke atas pundak kirinya. Dia kini memanggul tubuh Lie Seng,
dan memegangi atau merangkul kedua pahanya, membiarkan kepala anak itu di
belakang punggungnya. Lie Seng yang kini sudah bebas dan dapat bergerak lagi tentu saja segera
menggunakan kebebasannya ini untuk meronta dan memberontak. Dia meronta,
mengangkat kepalanya dan menggunakan kedua tangan menjambak rambut yang digelung
indah itu, lalu dia membuka mulut menggigit leher yang berkulit putih halus itu,
digigitnya sekuat tenaga!
"Aduhhh...aduhhhh...!" Yo Bi Kiok menjerit dan merasa betapa seluruh
tubuhnya panas dingin dan menggigil, semua bulu tubuhnya berdiri meremang dan
dengan gerakan kuat dia menggoyang tubuh sehingga jambakan dan gigitan Lie Seng
terlepas dan anak itu terlempar dan terjatuh ke atas tanah. Bi Kiok meraba
lehernya dan tangannya berdarah. Dia memandang dengan mata berkilat kepada anak
itu yang sudah merangkak bangun. Sedikit luka di lehernya tidak ada artinya bagi
Yo Bi Kiok, akan tetapi yang membuat hatinya seperti disayat-sayat rasanya
adalah mengingat betapa hidung dan bibir anak laki-laki itu telah mencium kulit
lehernya! Dia seolah-olah merasa dinodai, diperkosa dan dikotori!
"Keparat, biarpun engkau masih bocah, ternyata engkau juga seorang laki-laki
yang hina dan kotor!" bentaknya dan dia menggerakkan tangan kiri dan kanan.
"Plak-plak-plakkk!" Bertubi-tubi kedua telapak tangannya menampar muka Lie
Seng. Bocah ini melawan dan berusaha menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap
saja telapak tangan itu hinggap di kedua pipinya dengan tepat dan keras. Tentu
saja Bi Kiok tidak menggunakan tenaga sin-kang, karena kalau demikian halnya,
ditampar satu kali saja sudah cukup untuk membikin hancur kepala bocah itu. Dia
hanya mempergunakan tenaga kasar biasa saja, akan tetapi justeru ini malah lebih
menyiksa bagi Lie Seng karena mukanya kini menjadi bengkak-bengkak dan matang
biru! Kedua pipinya menjadi bengkak sehingga hampir menutupi matanya. Bocah itu
akhirnya roboh terguling dan matanya dikejap-kejapkan karena pandang matanya
berkunang dan melihat ribuan bintang menari-nari, kepalanya pening dan
telinganya mendengar suara berdengung, mukanyo terasa seperti dibakar, panas dan
nyeri. Biarpun sudah menampari muka anak itu, Bi Kiok masih belum reda
kemarahannya, Selama hidupnya, dia hanya pernah mencinta pria satu kali saja,
yaitu kepada Yap Kun Liong yang ternyata tidak membalas cinta kasihnya. Kerena
patah hati, dia membenci kaum pria, apalagi di dalam perantauannya dia
menyaksikan betapa kejam dan jahatnya kaum pria terhadap wanita, membuat
kebenciannya makin menghebat. Belum lama ini, dia berjumpa kembali dengan Kun
Liong dan cintanya kambuh, bahkan makin hangat. Akan tetapi tetap saja Kun Liong
tidak mau menyambut uluran hatinya dan hal ini amat menyakitkan hati Bi Kiok.
Selama hidupnya, baru Kun Liong seorang yang merupakan satu-satunya pria yang
pernah menjamahnya, sungguhpun hanya bersifat cumbuan biasa saja. Akan tetapi
sekarang, anak laki-laki ini telah... mencium lehernya! Peristiwa itu membuat
jantungnya berdebar hampir meledak rasanya, membangkitkan semua gairah terpendam
dan karenanya membuat dia marah seperti gila.
"Kau... kau calon pria terkutuk... kau berani menghinaku, ya?"
"Dan kau wanita iblis!" Lie Seng balas memaki sambil membuka matanya yang
menjadi sipit karena kedua pipinya bengkak. Sedikitpun dia tidak merasa takut
dan biarpun kepalanya seperti berputar rasanya, dan mukanya nyeri sekali seperti
akan pecah, dia tidak sudi mengeluh di depan wanita penyiksanya ini.
"Kau bocah kurang ajar! Hendak kulihat, setelah kutotok dua jalan darahmu,
apakah engkau tidak akan menjerit-jerit dan menangis minta ampun kepadaku!"
"Iblis betina! Siapa sudi minta ampun padamu" Bunuhlah, aku tidak takut dan
sampai mampus aku tidak sudi minta ampun padamu!" Lie Seng menantang dan dia
sudah bangkit berdiri mengepal dua buah tinjunya dan siap melawan mati-matian.
Biarpun dia tahu bahwa yang membunuh empat orang supek-supeknya dan sukongnya
adalah empat orang Bayangan Dewa musuh besar Cin-ling-pai itu dan bukan langsung
oleh tangan wanita ini, akan tetapi dia menimpakan kematian mereka kepada wanita
itu. Tadi empat orang supeknya, dibantu oleh sukongnya, sudah hampir menang.
Kemudian wanita inilah yang merobah keadaan dan mengakibatkan kekalahan dan
kematian lima orang itu, maka bagi dia, yang membunuh mereka adalah wanita
inilah! "Bocah laknat! Kalau tidak ingin menukarmu dengan Siang-bhok-kiam, sudah
kubunuh kau!" Akan tetapi Lie Seng dengan keberanian luar biasa sudah meloncat ke depan
dan menyerang dengan sekuat tenaga. Menghadapi pukulan-pukulan anak ini, tentu
saja Yo Bi Kiok tidak mau memandang sebelah mata dan dia mengerahkan perut dan
dadanya yang terpukul itu dengan diisi tenaga sin-kang dengan maksud untuk
membuat kedua kepalan tangan itu patah-patah tulangnya.
"Plak! Bukk!" Dua kali pukulan anak itu mengenai perut dan ulu hati Bi Kiok
dan wanita ini berteriak kaget.
"Aihhh...!" Dia terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan matanya
terbelalak. Ternyata bahwa ketika dia tadi mengerahkan tenaganya, secara
mendadak tenaganya itu molos kembali dan lenyap sehingga perut dan ulu hatinya
kena dipukul oleh kedua kepalan tangan Lie Seng! Tidak hebat sekali, akan tetapi
tentu saja terasa olehnya. Yang membuat dia heran adalah mengapa tenaganya tiba-
tiba menjadi lenyap"
"Akan kubunuh kau...!" Lie Seng yang girang melihat pukulannya berhasil itu
lalu meloncat dan menyerang lagi. Biarpun usianya baru dua belas tahun, akan
tetapi tingginya sudah hampir sama dengan Bi Kiok, setinggi leher wanita itu
maka kini kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menampar ke arah leher dan
pipi. Kembali Bi Kiok hendak menerima tamparan itu dan sekaligus menyampok
pergelangan tangan Lie Seng agar patah tulangnya.
"Plak! Plak! Aihhh...!" Kembali Bi Kiok terkena tamparan sampai pipi dan
lehernya terasa pedas. Dia terbelalak dan memandang ke kanan kiri dengan muka
pucat sekali. Kembali dia tidak berhasil mengerahkan sin-kang, bahkan hebatnya
ketika dia menggerakkan tangan hendak mematahkan pergelangan tangan Lie Seng,
secara tiba-tiba saja tangannya tak dapat digerakkan dan dia merasa ada hawa
menyambar dari kiri. "Keparat...!" Dia berteriak keras dan cepat membalikkan tubuhnya ke kiri
akan tetapi tidak ada orang di situ. Lie Seng sudah menyeruduk maju lagi, kini
anak itu menggunakan kepalanya untuk menyeruduk perut lawannya. Bi Kiok yang
masih kebingungan itu melihat serangan ini, menjadi marah dan ingin menyambut
dengan hantaman maut. Maka ketika Lie Seng menyeruduk dekat, dia hendak
menggerakkan tangan menghantam. Akan tetapi dari belakang dia merasa ada hawa
aneh menyambar, dan... kedua tangannya tak dapat digerakkan. Sementara itu,
kepala anak itu sudah menyentuh perutnya. Dia mengerahkan sin-kang untuk
menghancurkan kepala anak itu.
"Desss...!" Bi Kiok terjengkang roboh! Seperti juga tadi, tenaga sin-kangnya
molos dan lenyap sehingga dia menjadi seperti seorang wanita lemah biasa saja,
maka tentu saja dia tidak dapat menahan serudukan Lie Seng yang marah dan
membuat dia terjengkang. "Ehhhh...!" Bi Kiok meloncat dan menjauhi Lie Seng, kemudian mencabut
sepasang pedang pendeknya. Dia yakin benar bahwa tentu ada seorang lihai yang
mempermainkannya. Dia menengok ke kanan kiri akan tetapi seperti juga tadi,
tidak nampak bayangan seorangpun. Bulu tengkuknya meremang. Dia dengan
kepandaiannya yang tinggi itu bagaimana mungkin dipermainkan orang seperti itu"
Apakah siluman yang telah mempermainkannya" Kalau manusia tidak mungkin! Mencari
orang yang akan mampu mengalahkannya saja sudah sukar didapat, apalagi yang
dapat mempermainkan seperti itu. Tentu iblis sendiri!
"Cuattt... cuattt...!" Dua sinar terang berkelebat ketika wanita yang marah
sekali ini melemparkan dua batang hui-to (pisau terbang), yaitu sepasang pedang
pendeknya itu ke arah Lie Seng. Dua batang senjata runcing itu meluncur seperti
kilat menyambar, mengarah ulu hati dan pusar anak itu. Lie Seng berdiri seperti
terpaku melihat berkelebatnya sinar-sinar cemerlang itu, tidak tahu harus
berbuat apa. Dia masih terlalu kecil dan kepandaiannya masih terlalu dangkal
untuk dapat menghadapi serangan maut yang amat berbahaya ini, serangan yang
belum tentu dapat dihindarkan oleh seorang tokoh kang-ouw sekalipun! Agaknya
sudah dapat dipastikan bahwa dua batang pedang pendek itu akan menembus tubuh
anak itu dan akan mencabut nyawanya seketika
Tranggg...! Trakkk!" Tiba-tiba dua helai sinar pedang itu manyeleweng dan
dua batang pedang pendek itu runtuh ke atas tanah di depan kaki Lie Seng, yang
sebatang menancap ke atas tanah, sedangkan pedang kedua telah patah menjadi dua
potong. Melihat betapa yang menyambar dua batang pedangnya itu hanya dua buah batu
kecil, Bi Kiok hampir tidak dapat percaya dan dia sudah menjadi marah sekali
ketika melihat munculnya seorang laki-laki tua sekali yang berkepala gundul dan
memakai jubah berwarna merah. Seorang pendeta Lama berjubah merah yang muncul
dari balik pohon sambil tertawa-tawa aneh dan matanya memandang liar berputaran,
mata seorang yang jelas tidak waras alias miring otaknya!
"Pendeta gila, engkau berani main gila padaku?" bentak Bi Kiok sambil
melompat ke depan. Wanita ini biarpun telah menemukan warisan ilmu yang hebat-
hebat dan telah menjadi seorang yang sukar ditemukan tandingannya, namun dia
masih terlalu muda dan kurang pengalaman sehingga tidak mau melihat kenyataan
bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai, jauh lebih pandai
daripada dirinya sendiri. Dengan kemarahan hebat kedua tangannya bergerak dan
menyambarlah sinar hijau yang berbau harum ke arah kakek gundul itu. Itulah
Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum) yang amat berbisa dan berbahaya sekali.
Bi Kiok terbelalak memandang betapa senjata rahasianya yang berupa pasir itu
jelas mengenai tubuh dan bahkan leher serta muka kakek itu, akan tetapi agaknya
yang terkena senjata rahasianya itu sama sekali tidak merasakan apa-apa,
jangankan keracunan, bahkan sedikitpun tidak meninggalkan bekasnya. Kakek itu
masih tertawa-tawa dan berkata kepada Lie Seng, suaranya besar parau, logatnya
kaku seperti lidah asing.
"Anak baik, kenapa mukamu yang tampan menjadi bengkak-bengkak?"
Lie Seng yang masih kecil itu sudah seringkali melihat orang-orang tua yang
pandai, bahkan kakeknya sendiri adalah ketua Cin-ling-pai yang sakti. Dia sering
mendengar cerita ayah bundanya tentang orang-orang pandai. Tadipun ketika
beberapa kali dia berhasil menghantam wanita itu, dia sudah merasa heran,
kemudian melihat pisau terbang yang mengancam nyawanya terpukul runtuh lalu
muncul seorang kakek gundul, dia sudah menduga bahwa ada orang yang telah
menolongnya dan penolong itu tentu bukan lain kakek gundul itu yang memiliki
ilmu kepandaian luar biasa. Maka dia lalu menjawab, suaranya lantang,
"Locianpwe, mukaku dipukuli oleh perempuan iblis ini!"
Ketika kakek gundul ini yang bukan lain adalah Kok Beng Lama, datang bersama
Kun Liong ke Sin-yang dan memaksa Cia Giok Keng ikut dengannya ke Cin-ling-pai,
Lie Seng masih berada di dalam rumah sehingga dia tidak pernah bertemu dengan
Kok Beng Lama. Andaikata ketika itu dia melihat pendeta ini, tentu sekarang akan
lain lagi sikapnya. "Ha-ha-ha, orang memukul satu kali harus dibalas sepuluh kali! Tadi kau baru
membalas tiga kali, kurang tujuh kali lagi. Hayo kaupukul dia tujuh kali dan
karena tadi mukamu yang dipukul, sekarang kaupun harus membalas memukul
mukanya!" Lie Seng merasa gembira sekali. Dia merasa yakin kini bahwa tentu berkat
pertolongan hwesio jubah merah inilah, maka dia tadi berhasil memukul dua kali
dan menyeruduk satu kali yang sama sekali tidak dapat ditangkis atau dielakkan
oleh wanita lihai itu. "Baik, aku akan membalasnya sampai puas!" teriak Lie Seng dan dia sudah
meloncat ke depan dan menerjang ke arah Yo Bi Kiok dengan pukulan-pukulan kedua
tangannya ke arah kedua pipi wanita itu. Tentu saja Bi Kiok menjadi marah bukan
main. Mukanya yang tadi pucat kini menjadi merah sekali. Mana mungkin dia
membiarkan dirinya dihina orang sedemikian rupa. Dia mengerahkan sin-kangnya dan
siap menghadapi serangan anak itu. Akan tetapi ketika dia menggerakkan tubuhnya,
tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua tangan dan hawa pukulan yang luar biasa
sekali menyerangnya dari arah kakek itu. Dia masih berusaha untuk mengelak, akan
tetapi sia-sia belaka karena entah bagaimana caranya, kedua tangan dan kakinya
telah menjadi kaku dan dia tidak mampu menggerakkan sin-kangnya lagi. Tentu saja
dia tidak mampu mengelak atau menangkis ketika kedua tangan Lie Seng menghantam
dan menampari kedua pipinya. Terdengar suara plak-plok-plak-plok ketika kedua
pipinya yang berkulit halus kemerahan itu menerima tamparan-tamparan Lie Seng
yang marah itu sehingga kedua pipiya menjadi merah sekali dan agak bengkak-
bengkak! Hal ini adalah karena Bi Kiok sama sekali tidak mampu mengerahkan
tenaganya maka dia tiada ubahnya seorang wanita biasa yang tidak memiliki
kepandaian apa-apa. "Satu...! Dua...! Tiga...! Empat...!" Kakek gundul itu menghitung sambil
tertawa-tawa. "Enam...! Tujuh...! Cukup sudah...!" Lie Seng merasa puas sekali dan dia
melihat ke arah muka yang kini pipinya menjadi merah-merah dan agak bengkak itu
dengan senyum meengejek. Bi Kiok juga merasa betapa tiba-tiba tubuhnya dapat bergerak lagi. Dapat
dibayangkan betapa rasa marah dan malunya. Dia telah mengalami penghinaan yang
amat hebat! Akan tetapi, dia sama sekali tidak merasa takut biarpun dia kini
tahu betul bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang luar biasa sekali
kepandaiannya. Dengan kemarahan meluap-luap dia lalu mencabut pedangnya.
"Singgg...!" Tampak sinar terang seperti kilat menyilaukan mata ketika
pedang itu dicabut. Itulah pedang Lui-kong-kiam (Pedang Halilintar) yang dahulu
dirampasnya dari tangan mendian Liong Bu Kong, putera dari Kwi-eng Nio-cu yang
tewas di tangannya dan yang dirampas pedangnya. Sebatang pedang pusaka yang
ampuh sekali. "Pendeta iblis, mampuslah kau!" bentaknya dan pedangnya lalu digerakkan, dia
sudah menyerang dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari kitab yang ditemukan
berkat perantaraan bokor emas.
Melihat serangan ini, Kok Beng Lama agak terkejut juga karena dia mengenal
ilmu pedang yang amat hebat, sama sekali tidak boleh dipandang ringan, apalagi
karena ilmu yang hebat itu dimainkan dengan sebatang pedang pusaka yang ampuh.
Karena wanita itu kini sudah waspada dan sudah menjaga diri, dia tidak lagi
dapat menguasainya dengan serangan jarak jauh dan kalau dia tidak membela diri,
dia bisa celaka oleh sinar pedang yang hebat itu. Akan tetapi, kakek ini memang
sudah memiliki kepandaian yang sakti dan tidak lumrah manusia, kedua lengan
tangannya sudah digembleng sedemikian hebatnya sehingga lengan yang terdiri dari
kulit daging dan tulang itu mampu menandingi pedang atau senjata tajam yang
bagaimana hebatpun! Betapapun juga, Kok Beng Lama yang kelihatannya seperti
tidak waras otaknya itu, kini mengelak dan menggunakan ujung lengan bajunya
untuk balas menotok dan sekali kedua ujung lengan bajunya menyambar, dia sudah
melakukan tiga belas kali totokan ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya
dari lawannya, dilakukan berturut-turut dan bertubi-tubi sehingga Bi Kiok
menjadi terkejut dan kagum sekali. Akan tetapi, setelah kini dia mencurahkan
perhatian dan mengeluarkan kepandaiannya, wanita inipun mampu menghindarkan
semua totokan itu. Bahkan dengan teriakan panjang melengking, tubuhnya lalu
melayang seperti seekor burung walet, didahului sinar pedang seperti kilat
menyambar yang bergulung-gulung dan berputaran ke arah tubuh kakek itu.
Kok Beng Lama masih sempat mengelak, akan tetapi pada saat itu, Bi Kiok
sudah menggerakkan tangan kiri dan serangkum sinar hijau melayang ke arah Lie
Seng. "Wanita kejam, kau boleh juga!" Kok Beng Lama berseru dan kini dia menubruk,
kedua lengan bajunya bergerak berputaran seperti kitiran besar tertiup angin. Bi
Kiok berusaha untuk menjatuhkan diri sambil memutar pedang, akan tetapi
pedangnya terpental ketika tersampok ujung lengan baju dan dia menjerit kecil
ketika pundaknya keserempet ujung lengan baju lawan yang mendatangkan rasa nyeri
bukan main. Dia meloncat tinggi dan jauh terus melarikan diri.
Kok Beng Lama hendak mengejar, akan tetapi dia mendengar rintihan seorang
anak. Dia berhenti dan menengok, lalu cepat menghampiri Lie Seng yang sudah
roboh terlentang dengan muka berubah kehijauan. Anak ini telah terkena sambaran
Siang-tok-swa, yaitu pasir beracun yang amat jahat itu, tepat pada muka, leher
dan dadanya! Tentu saja dia menjadi pingsan seketika, keracunan dan napasnya
menjadi empas-empis! "Ah, celaka...!" Kok Beng Lama menyambar tubuh anak itu, dipondongnya dan
dia lalu mengamuk. Pohon-pohon roboh ditendang dan dicabutnya, batu-batu besar
hancur oleh pukulan dan tendangannya, kemudian dia berlari cepat seperti terbang
membawa tubuh Lie Seng. Yo Bi Kiok yang cerdik, setelah meloncat jauh lalu bersembunyi karena dia
maklum bahwa kakek gundul yang lihai seperti iblis itu kalau mengejarnya tentu
dia tidak akan mampu melarikan diri. Dari tempat persembunyiannya dia melihat
betapa kakek itu memondong Lie Seng sambil mengamuk. Bergidik dia menyaksikan
amukan kakek itu. Selama hidupnya baru satu kali ini dia bertemu dengan orang
yang kepandaiannya sehebat itu. Kalau dibandingkan dengan lima datuk kaum sesat
di waktu dahulu, biarpun mereka itu amat hebat kepandaiannya dan seorang di
antara mereka adalah gurunya sendiri, Bu Leng Ci, maka kepandaian lima datuk itu
masih kalah jauh oleh kakek gundul yang luar biasa dan yang seperti orang gila


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini. Setelah kakek itu pergi jauh dan terdengar suara tangisnya yang aneh sampai
suara itupun menghilang, barulah Bi Kiok berani keluar dan pergi dari tempat itu
dengan hati masih merasa serem.
*** Lembah Bunga Merah terbentang di lereng Pegunungan Kui-kok-san. Pemandangan
alam di tempat itu mentakjubkan sekali. Apalagi di musim semi, di waktu bunga-
bunga kecil merah yang memenuhi lembah itu berkembang. Dipandang dari tempat
yang lebih tinggi, lembah itu seolah-olah diselimuti permadani merah yang halus
dan rata. Bahkan di waktu tidak ada bunga, lembah itu nampak kehijauan dan daun-
daun, pohon dan rumput, seperti lautan yang tenang.
Akan tetapi sungguh sayang sekali, keindahan alam itu yang semestinya
menarik minat banyak orang untuk mengunjungi dan menikmatinya, dirusak oleh nama
seseorang yang menimbulkan perasaan jerih sehingga tidak ada orang berani
mandekati tempat yang disebut Lembah Bunga Merah itu. Orang ini adalah datuk
kaum sesat, wanita iblis yang berjuluk Hui-giakang (Si Kelabang Terbang) Ciok
Lee Kim! Setelah wanita iblis ini tinggal di tempat itu sejak beberapa tahun
yang lalu, dia menganggap lembah itu seolah-olah miliknya pribadi dan mengusiri
para penduduk di sekitar lembah, bahkan menggunakan kekerasan terhadap siapapun
yang berani mendekati tempat itu, mengandalkan kepandaiannya yang tinggi. Karena
banyak orang yang mencoba melawannya mati dengan sia-sia, maka terkenallah dia
sebagai seorang iblis betina yang ditakuti dan nama Lembah Bunga Merah yang
tadinya merupakan nama yang menimbulkan kesan indah, kini berubah sebagai tempat
yang mendatangkan rasa ngeri dan takut.
Akan tetapi tempat itu tidaklah sepi biarpun tidak ada lagi penduduk yang
terdiri dari rakyat biasa, karena Hui-giakang Ciok Lee Kim menempati daerah itu
bersama dua orang murid wanita dan tiga puluh anak buahnya laki-laki dan
perempuan yang kesemuanya merupakan juga anak murid, pelayan dan pasukan. Para
anak buah ini yang mengadakan hubungan dengan orang luar untuk mencari keperluan
mereka dan sepak terjang para anak buah yang mengandalkan nama besar Hui-giakang
inilah membuat nama Lembah Bunga Merah ditakuti.
Para pembesar dari tempat-tempat yang berdekatan dengan Lembah Bunga Merah
tidak ada yang menentang Si Kelabang Terbang itu, bahkan seolah-olah
"melindungi" karena banyaklah emas dan perak yang beterbangan ke dalam saku
mereka dari lembah itu sehingga Hui-giakang Ciok Lee Kim dan anak buahnya
dianggap sebagai warga-warga yang baik dan dermawan. Hal seperti ini terjadi di
seluruh negeri, bahkan seluruh duniapun mengenal keadaan seperti itu, betapa
dengan kekuasaan uang manusia dapat membeli kedudukan, nama baik, dan
sebagainya. Hal seperti ini pasti terjadi di manapun juga di dunia ini selama
kita menilai kebaikan dan kejahatan berdasarkan untung rugi bagi diri sendiri.
Yang menguntungkan kita, kita anggap baik dan yang merugikan kita, kita anggap
jahat. Maka terjadilah sogok-menyogok, suap-menyuap dan karena menguntungkan
dirinya, maka si penyogok tentu dianggap baik oleh yang menerima sogokan
Semenjak Lima Bayangan Dewa dengan berani menentang Cin-ling-pai, Lembah
Bunga Merah selalu dijaga dengan ketat oleh anak buah Ciok Lee Kim karena
seperti diketahui, wanita ini merupakan orang keempat dari Lima Bayangan Dewa.
Oleh karena itu ketika Kiam-mo Liok Sun dan Bun Houw memasuki daerah lembah ini,
mereka berdua segera dihadang dan dikepung oleh belasan orang anak buah Lembah
Bunga Merah yang bersikap bengis dan memegang senjata tajam di tangan masing-
masing. Akan tetapi Kiam-mo Liok Sun mengangkat tangan ke atas dan berkata dengan
sikap tenang, "Harap para sobat jangan salah mengenal orang. Aku adalah Kiam-mo
Liok Sun, sahabat baik dari majikan kalian. Daripada terjadi salah paham dan
kalian nanti ditegur oleh Hui-giakang, lebih baik kalian antar kami pergi
menghadap Ciok-toanio (nyonya besar Ciok)."
Melihat sikap dan mendengar ucapan Liok Sun, dan pula melihat bahwa mereka
hanya terdiri dari dua orang, para anak buah Lembah Bunga Merah memandang rendah
lalu mengiring dua orang ini ke tengah lembah di mana terdapat bangunan-bangunan
perkampungan yang menjadi tempat tinggal mereka.
Legalah hati para anak buah itu ketika mereka melihat pemimpin mereka keluar
sendiri menyambut dua orang tamu itu. Mereka bubaran mengundurkan diri ketika
Ciok Lee Kim, wanita berusia lima puluh tahun yang masih cantik dan pesolek itu,
menyambut sendiri kedatangan Kiam-mo Liok Sun dengan senyum lebar, kemudian
melihat wanita itu menggandeng tangan Liok Sun yang diiringkan Bun Houw memasuki
rumah besar itu. "Ahai, kiranya si setan judi yang datang!" Hui-giakang Ciok Lee Kim
tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang terawat rapi, matanya jalang
menyambar ke arah pemuda tampan di belakang sobatnya itu. "Angin apa yang
meniupmu terbang sampai ke sini, orang she Liok?" tanya wanita itu sambil
menggandeng tangan tamunya.
"Aku datang mencarimu untuk menghaturkan terima kasih, toanio, karena berkat
pertolonganmu dahulu, aku telah berhasil membalas dendam dan membunuh si keparat
Phang Un dan isteriku yang tidak setia!"
"Aihh, di antara kita mana perlu terima kasih" Aku senang sekali kau datang,
dan ini... siapakah pemuda ini?"
"Ah, ini adalah pembantuku yang baru, tangan kananku. Dia she Bun bernama
Houw." Hui-giakang Ciok Lee Kim memandang Bun Houw yang menjura kepadanya dari atas
ke bawah dengan sinar mata kagum. "Hemm, pengawalmu, ya" Begini muda sudah
kaupercaya menjadi pengawalmu, tentu hebat dia! Dan tepat sekali dengan namanya.
Engkau gagah seperti harimau (houw), orang muda!"
Wajah pemuda ini menjadi merah sekali dan dia menjura sambil berkata,
"Toanio terlalu memuji." Ciok Lee Kim tertawa terkekeh senang, menyangka bahwa
pemuda itu masih hijau dan wajahnya memerah madu oleh pujiannya. Kalau saja dia
tahu bahwa merahnya wajah pemuda itu sama sekali bukan karena "malu-malu",
melainkan karena kemarahan yang naik ke atas kepala melihat seorang di antara
musuh besar Cin-ling-pai di depannya!
Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin Bun Houw seketika menyerang dan
membunuh wanita yang menjadi seorang di antara musuh-musuh besar yang telah
mencuri pedang Siang-bhok-kiam dan membunuh murid-murid Cin-ling-pai ini. Akan
tetapi, pemuda ini cukup cerdas dan dia tidak mau manuruti nafsu kemarahannya
karena dia ingin lebih dulu menyelidiki tentang empat orang musuh yang lain, dan
juga tentang di mana adanya pedang pusaka ayahnya yang mereka curi. Maka dia
berlaku sabar dan mengikuti Liok Sun dan Ciok Lee Kim.
"Liok Sun, kebetulan sekali kau datang. Akupun sedang menjamu tamu-tamu
agung ketika anak buahku melaporkan kedatanganmu. Mari, mari kalian
kuperkenalkan dengan tamu-tamuku, orang-orang yang di waktu ini terkenal sebagai
tokoh-tokoh besar dunia persilatan."
Liok Sun mengerutkan alisnya, hatinya kurang senang bahwa kedatangannya
menemui bekas kekasihnya ini akan terganggu oleh tamu-tamu lain. "Siapakah
mereka?" tanyanya, tidak tahu bahwa diam-diam pemuda di belakangnya menaruh
perhatian besar dengan hati tegang.
"Marilah, kalian ikut saja dan melihat sendiri!" Wanita itu terkekeh bangga
dan mereka memasuki ruangan yang lebar di sebelah dalam rumah. Di tengah ruangan
itu terdapat sebuah meja yang besar dan penuh dengan hidangan dan empat orang
duduk mengelilingi meja itu. Bun Houw dengan sikap hormat memandang dengan penuh
perhatian ketika Ciok Lee Kim memperkenalkan Liok Sun kepada para tamu itu
sambil tertawa. Dengan menggandeng tangan Liok Sun yang ditariknya dekat meja,
wanita itu berkata kepada empat orang tamunya itu, "Ini adalah sahabat baik
saya, Kiam-mo Liok Sun, majikan dari Hok-po-koan di kota Kiang-shi!"
"Aihh, Ciok-toahio, mana berani saya disebut Kiam-mo (Setan Pedang) dengan
pengetahuanku yang rendah ini?" Liok Sun membantah ketika melihat bahwa empat
orang itu terdiri dari seorang setengah tua, dua orang kakek tua dan seorang
nenek tua yang semua kelihatan sebagai orang-orang yang luar biasa.
Empat orang itupun agaknya memandang rendah karena mereka membalas
penghormatan Liok Sun tanpa berdiri dari kursi masing-masing.
"Liok Sun, dia ini adalah Hwa Hwa Cinjin, ini adalah Hek I Siankouw, dan
locianpwe itu adalah Bouw Thaisu, tiga orang tua yang merupakan datuk-datuk
persilatan dengan ilmu kepandaian yang sukar dicari tandingan. Dan dia ini
adalah Toat-beng-kauw Bu Sit yang namanya sudah tidak asing lagi di dunia kang-
ouw." Dengan suara penuh kebanggaan akan kehebatan para tamunya, wanita itu
memperkenalkan. Liok Sun terkejut dan cepat menjura lagi. Bun Houw lebih terkejut lagi,
terutama sekali mendengar disebutnya nama Toat-beng-kauw Bu Sit yang tentu saja
dia kenal sebagai nama orang kelima dari Bayangan Dewa yang berjumlah lima orang
itu! Dari Lima Bayangan Dewa ini telah berdiri di depannya dua orang! Sungguh
merupakan hal yang amat kebetulan sekali! Akan tetapi dia tetap menahan sabar.
Kelau dia turun tangan dan andaikata dia berhasil membunuh dua orang musuh ini,
masih ada tiga orang lainnya yang belum dia ketahui di mana tempat tinggalnya
dan dia masih harus menyelidiki di mana disimpannya Siang-bhok-kiam.
Sebagai seorang pengawal, Bun Houw dipersilakan duduk menghadapi meja lain
di sudut, dan tak lama kemudian dua orang wanita murid Ciok Lee Kim datang
memperkenalkan diri dan menemani Bun Houw makan minum, sedangkan Liok Sun tentu
saja makan minum bersama nyonya rumah dan empat orang tamunya.
Dapat dibayangkan betapa canggung dan malu-malu rasa hati Bun Houw. Dia baru
saja pulang dari Tibet dan belum biasa dengan pergaulan, apalagi dengan wanita
dan sekarang dia makan minum dengan dua orang wanita muda yang menemaninya! Dua
orang wanita murid Ciok Lee Kim itu adalah dua orang wanita yang usianya antara
dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, berpakaian mewah dan pesolek seperti
guru mereka, berwajah cantik dan berwatak genit! Apalagi karena Bun Houw adalah
seorang pemuda yang tampan dan gagah, maka dua orang wanita muda yang
menemaninya itu merasa tertarik dan tanpa sembunyi-sembunyi lagi mereka
memperlihatkan rasa senang dan kagumnya kepada Bun Houw. Hal ini tentu saja
membuat Bun Houw menjadi makin canggung dan gugup sehingga dengan sukar dia
menelan mekanan yang dihidangkan. Melihat pandang mata dua orang wanita itu yang
seolah-olah hendak menelanjanginya, kadang-kadang pandang mata mereka itu
seperti hendak menelannya bulat-bulat, membuat mulut yang tersenyum penuh
gairah, kata-kata bisikan yang setengah merayu, kadang-kadang mereka menyuguhkan
arak dari cawan mereka, kadang-kadang menyumpitkan potongan-potngan daging yang
terbaik untuknya, semua ini membuat jantung Bun Houw berdebar keras kerena...
ngeri! Akan tetapi dia menyambut semua itu dengan sikap sopan dan dengan muka
lebih banyak menunduk untuk menghindarkan pertemuan pandang mata. Sikapnya yang
malu-malu dan jelas membayangkan sikap seorang pemuda yang masih hijau, masih
perjaka dan belum berpengalaman ini mtmbuat dua orang murid Ciok Lee Kim menjadi
makin bergairah. Kadang-kadang mereka cekikinan dan mereka berdua merasa gembira
sekali, tidak tahu betapa pandang mata Ciok Lee Kim dari meja besar kadang-
kadang berkilat penuh iri ke arah meja kecil mereka.
Akhirnya perjamuan itu berakhir dan dua orang murid Ciok Lee Kim itu sambil
tersenyum memenuhi perintah guru mereka, mengantarkan Bun Houw ke sebuah kamar
yang diperuntukkannya. Pemuda ini dapat juga mengerti bahwa kedua orang musuh
besar itu amat kuat. Dua orang kakek dan seorang nenek yang menjadi tamu mereka
itu adalah orang-orang yang tidak boleh dipandang ringan. Sungguhpun tentu saja
dia tidak takut menghadapi mereka semua, akan tetapi akan lebih aman dan ringan
baginya kalau dia turun tangan malam nanti, membunuh dua orang itu setelah
memaksa mereka mengaku di mana adanya tiga orang lainnya dan di mana pula
disimpannya Siang-bhok-kiam yang mereka curi.
Akan tetapi, betapa keget, bingung dan malu bercampur muak rasa hatinya
ketika tiba di dalam kamar tamu itu, dua orang murid perempuan Ciok Lee Kim
tidak mau keluar lagi dan bersikap genit serta mengeluarkan kata-kata rayuan
tanpa mengenal malu sedikitpun juga!
"Harap ji-wi cici (kedua kakak) suka meninggalkan saya karena saya sudah
lelah dan mengantuk sekali." Akhirnya Bun Houw berkata ketika melihat dua orang
wanita itu belum juga meninggalkan kamarnya.
"Kalau engkau lelah dan mengantuk, tidurlah, dan kami akan menjagamu, adik
Bun Houw yang baik," berkata yang muda sambil terkekeh genit dan matanya
mengerling tajam penuh tantangan. "Aku akan memijati tubuhmu..."
"Sumoi berkata benar," kata yang lebih tua. "Memang kami bertugas untuk
menemanimu dan melayanimu, hi-hik..."
Bun Houw terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. "Akan
tetapi... aku... ji-wi berdua... kita..." Sukar baginya untuk melanjutkan kata-
katanya karena dia sungguh merasa heran dan kaget mendengar betapa dua orang
wanita ini akan menemani tidur!
Akan tetapi dua orang wanita cantik itu tertawa-tawa genit, mentarfsirkan
kata-kata dan kecanggungan Bun Houw sesuai dengan selera mereka.
"Heh-heh, Bun-siauwte jangan sungkan dan malu-malu. Kami suci dan sumoi
sudah biasa hidup akur dan saling membagi apa saja," kata yang lebih tua.
"Benar, adik Bun yang gagah, dan boleh kau nilai nanti, siapa di antara kami
yang lebih lihai... hi-hi-hik!" kata yang muda.
Bun Houw melongo dan matanya terbelalak melihat betapa dua orang wanita muda
itu telah menaggalkan pakaian luar mereka dengan gerakan yang memikat sekali.
Istana Gerbang Neraka 1 Pendekar Rajawali Sakti 154 Pangeran Dari Kegelapan Pedang Medali Naga 23
^