Pencarian

Dua Musuh Turunan 15

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 15


bahaya, Tjia Thian Hoa telah menolongi secara diam-diam, dan kuda itu diberikan
padanya, untuk dipakai angkat kaki. Kuda itu dengan kuda Tan Hong adalah biang
dan anak, itulah sebabnya ketika kuda Tan Hong dengar suaranya, tak dapat
dikendalikan lagi majikannya, Tjiauwya saytjoe ma kabur untuk menemui biangnya.
Dengan cepat In Loei tiba di medan pertempuran, ia terkejut ketika ia kenali si
pendeta. "Itulah Tiauw Im Soepee\" ia berseru. Dan terus ia memanggil: "Soepee\"
Tiauw Im sedang didesak lawannya, mendengar panggilan itu, ia tak sempat menoleh
akan melihat orang yang memanggil padanya,
sebaliknya, lawannya, dia ketahui datangnya sepasang pemuda pemudi itu, dia
berpaling ke arah mereka, lalu dia tertawa. Dia pun lantas berkata: "Benar-benar
selama manusia masih hidup, tidak ada tempat di mana mereka tidak bertemu!
Kembali aku menjumpai kamu di sini! Adakah ini hweeshio ampas soepee-mul"
Tiauw Im gusar dikatakan manusia tidak berharga, ia mengamuk dengan tongkatnya,
tetapi lawannya terlalu tangguh untuknya, amarahnya hebat, tenaga kepandaiannya
kurang, tetap ia tidak dapat berbuat suatu apa terhadap lawan itu, di pihak
lain, pundaknya terbentur musuh hingga ia terhuyung-huyung, hampir ia rubuh
terjungkal! Hian Kee Itsoe mempunyai empat murid, di antara mereka itu, Tjia Thian Hoa yang
paling liehay. Guru In Loei yaitu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng sudah melatih
diri sambil menghadapi tembok selama dua puluh tahun, karenanya dia peroleh
kemajuan besar hingga ilmu silatnya kemudian tak berada di bawahan Thian Hoa.
Murid kepalanya adalah Kimkong Tjioe Tang Gak, dalam ilmu dalam dia tak dapat
melampaui Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng akan tetapi dalam bahagian luar,
Gwakang, dia telah mencapai puncak kesempurnaannya, hingga ilmu silat Kimkong
tjioe-nya tak ada tandingannya. Yang paling rendah kepandaiannya adalah Tiauw Im
Hweeshio, ini disebabkan karena tabeatnya, hingga tak dapat ia menyusul lain-
lain saudara seperguruannya, baik dalam ilmu dalam maupun ilmu luar, dari itu,
gurunya mewariskan dia ilmu tongkat Hangmo thunghoat serta ilmu luar secukupnya,
meskipun demikian, di kalangan kangouw, dia sudah sukar menemui tandingan.
Hanya kali ini, menghadapi lawan yang tangguh itu, ia kewalahan, ia senantiasa
terdesak. Tan Hong lihat paman guru itu sudah tak berdaya.
"Djiesoepee, beristirahatlah dulu!" seru keponakan murid itu. "Nanti keponakanmu
yang menggantikan kau!" Lalu ia menghunus pedangnya. Sambil maju mendekati, dia
kata kepada lawan paman gurunya itu: "Tjianpwee, aku mohon sukalah kau memberi
pengajaran pada kami! Kami adalah murid-murid turunan ketiga dari Hian Kee
Itsoe. Kami adalah anak-anak muda, dengan memohon pengajaran tjianpwee, tidak
berani kami bertempur satu dengan satu, dari itu kami mohon tjianpwee memaafkan
sikap kami yang tidak tahu aturan ini! Kami akan maju bersama!" Ia kibaskan
pedangnya, sambil menoleh pada In Loei, ia kata: "Adik kecil, mari kau pun maju,
untuk mohon pengajaran satu dua jurus dari tjianpwee1."
Dengan sikapnya yang menghormat, Tan Hong memanggil orang "tjianpwee," - yang
tertua. In Loei terima ajakan sahabatnya itu, tanpa mengucap sepatah kata ia maju sambil
menghunus pedangnya, maka di lain saat, kedua pedang telah bergabung menjadi
satu - siangkiam happek - hingga kedua sinar perak lantas berkilau bagaikan
saling sambar ke arah lawan yang tangguh dari Tiauw Im itu.
Orang itu menggerakkan kedua tangannya, kepada Tan Hong ia gunakan tangannya
terbuka, terhadap In Loei ia pakai jari tangannya. Jadi untuk melayani kedua
lawan muda ini, ia gunakan Tiat piepee dan Ittjie siankang.
Siangkiam happek lihay, gerak-geriknya bagaikan gelombang besar dari sungai
Tiangkang, seperti ombak dari lautan besar, rapat desakannya, yang mana dibantu
banyak dengan kegagahan Tan Hong. Selama bertempur di rumah Pit To Hoan, Tan
Hong dapat merendengi Tiauw Im, sang paman guru, sekarang setelah meyakinkan
Hiankong Yauwkoat, ia peroleh kemajuan luar biasa, ia telah lombai Tiauw Im. Dan
sekarang ini, dengan siangkiam happek, bersama In Loei, baharu sepuluh jurus, ia
sudah dapat mendesak lawannya hingga lawan itu cuma dapat membela diri, tidak
dapat membalas menyerang.
Meski ia sudah terdesak, orang itu tidak menjadi jeri.
"Siangkiam happek benar-benar liehay!" dia berkata. "Eh, soemoay, mari! Kau pun
boleh coba-coba berkenalan!"
Kata-kata ini ditujukan kepada si wanita, siapa sudah lantas menyahuti "Ya!"
Entah bagaimana gerakannya, tahu-tahu dia sudah sampai di kalangan pertandingan,
dan begitu lekas dia gerakkan kedua tangannya, yang menerbitkan suara, dia telah
keluarkan dua macam senjata - tangan kirinya menyekal satu kimkauw, gaetan emas,
tangan kanannya memegang sebatang pedang panjang yang mengeluarkan sinar ke
perak-perakan. Dengan dua macam senjata ini, dengan gaetan ia menyambar dan
menarik, dengan pedangnya, ia menikam.
Tan Hong dan In Loei merasakan siuran angin dari kedua macam gegaman itu, maka
dibantu dengan totokan si pria, mau atau tidak, mereka mesti mundur hingga tiga
tindak. Tapi mereka cuma mundur sebentar, setelah itu, mereka maju pula, Tan
Hong di kiri, In Loei di kanan, kedua pedangnya bergabung pula, hingga kedua
lawannya mesti mundur di luar kalangan sinar pedang mereka.
Si wanita liehay, ia mundur, lalu ia maju pula, dengan dua macam senjatanya itu,
dia membalas mendesak. Kembali dia dibantu kawannya, soeheng-nya, si kakak
seperguruan, sebagaimana dia dipanggil soemoay, adik seperguruan wanita. Dan si
soeheng tetap menggunakan Tiat piepee dan Ittjie sian secara bergantian, setiap
serangannya sangat membahayakan.
Tan Hong menangkis hingga dua kali beruntun, dengan "Hoeiliong tjaythian" atau
"Naga terbang di langit," dalam hal mana, ia ditimpali In Loei dengan
"Tjianliong djiptee" atau "Naga sembunyi dalam tanah." Secara begini, dapat
mereka berdua melayani pedang dan gaetan dan kedua tangannya lawan itu yang
liehay. "Bagus!" memuji si wanita, yang telah menggerakkan kedua bibirnya yang merah.
Tan Hong gunakan ketikanya ini untuk menanya: "Aku ingin bertanya, djiewie
dengan Tantai Mie Ming pernah apa?"
Sekarang si anak muda telah melihat tegas, Tiat piepee si pria mirip betul
dengan kepandaian Tantai Mie Ming, dan si wanita, ilmu silat gaetannya mirip
dengan gaetan Gouwkauw kiam dari Tamtay
Toanio, bedanya ialah Tamtay Toanio menggunakan sepasang gaetan (siangkauw) dan
wanita itu punya gaetan ditimpali dengan pedang, karenanya, gerak-gerik kedua
senjata itu jadi terlebih luar biasa.
Ditanya begitu, si wanita tercengang sesaat, lantas dia tertawa.
"Kami cuma ingin belajar kenal dengan ilmu silat istimewa dari Hian Kee Itsoe!"
sahutnya. "Siapa mempunyai kesempatan untuk mendengarkan pertanyaanmu?"
Dan jawaban itu disusul dengan serangannya pula, dengan pedang dan gaetannya.
Tan Hong melengak karena ia ketemu batunya, ia menjadi agak mendongkol.
"Baik, akan aku perkenalkan kamu dengan ilmu silat kakek guruku!" katanya dalam
hatinya, saking mendongkolnya. Terus saja ia menyerang dengan hebat, dalam hal
mana dengan serta merta ia ditelad In Loei, gerakan siapa selalu diturut. Maka
sekarang kedua pedang bergerak bagaikan "sepasang naga bermain di air" atau
sinar pedangnya bagaikan "bianglala menyambar-nyambar". Maka lagi sekali, wanita
dan pria itu terkurung sinar pedang mereka.
Kedua musuh itu liehay luar biasa, di luar mereka tampak terkurung, mereka
seperti tak berdaya, tetapi di dalam, mereka perlihatkan kepandaian mereka,
masih dapat mereka membalas.
Pertempuran berlangsung dengan cepat, jurus demi jurus, tanpa merasa, mereka
sudah melalui tujuh puluh jurus. Bagi Tan Hong, pertempuran berlarut itu tidak
banyak artinya, tidak demikian dengan In Loei, yang tenaga dalamnya kalah
banyak, maka sehabis itu, ia rasakan dadanya sesak, hampir ia tak dapat
bernapas. Ketika Tan Hong lihat keadaan kawannya ini, ia menghembuskan napas
dingin. "Betul-betul di luar langit masih ada langit lainnya," pikir dia dalam hatinya,
"di samping manusia masih ada manusia lainnya... Aku pikir, siangkiam happek
kami tidak ada bandingannya di kolong
langit ini, siapa tahu pasangan pria dan wanita ini dapat menangkan kami di atas
angin... Sebenarnya di sini orang tidak dapat bicara mengenai hal kepandaian, tetapi
dalam hal latihan. In Loei kalah latihan dalam, itulah sebabnya sekarang ia
kalah ulat. In Loei kuatkan hatinya, ia pertahankan dirinya, dengan begitu mereka bertempur
sampai lima puluh jurus, masih saja mereka sama tangguhnya.
Pada saat yang tegang itu, tiba-tiba kedua pihak dengar tindakan kaki kuda yang
mendatangi ke arah mereka, mulanya, jauh lalu makin dekat, akhirnya tibalah si
penunggang kuda, yang menyoren sebatang pedang. Dia nampaknya tenang sekali.
Ketika dia melihat sebentar kepada mereka yang sedang bertempur seru, sekonyong-
konyong dia tertawa sendirinya: "Kamu lihat!" dia berseru. "Sekalipun muridku
kamu tidak sanggup mengalahkannya! Maka bagaimana kamu hendak melindungi mukanya
si Siluman Tua Siangkoan?" Tan Hong sudah lantas kenali orang itu. "Soehoe ia
memanggil. Memang orang yang baharu datang ini Tjia Thian Hoa adanya.
"Tiauw Im Soeheng, kau beristirahatlah terus!" berkata Thian Hoa kepada kakak seperguruannya. "Kau tunggu saja, hendak aku belajar kenal dengan ilmu silat
dari murid-murid Siangkoan Laokoay - Eh, Kimkauw Siantjoe, lebih dahulu ingin
aku mohon pengajaran darimu! Dan kau, Ouw Laodjie, kau boleh bertempur lamaan
sedikit dengan muridku...
Sekarang jelaslah siapa adanya pasangan pria dan wanita itu, yaitu murid-
muridnya Siangkoan Thian Va si Laokoay atau "Siluman Tua", si orang she Ouw itu
adalah Ouw Bong Hoe, dialah murid kedua dari Siangkoan Thian Va. Dan si wanita,
yang dipanggil Kimkauw Siantjoe, Dewi Gaetan Emas, adalah Lim Sian In, murid
yang ketiga. Antara Siangkoan Thian Ya dan Hian Kee Itsoe pernah terjadi perebutan untuk
menjadi jago dunia Rimba Persilatan, untuk itu
mereka sudah bertempur selama tiga hari tiga malam tanpa ada yang menang dan
kalah. Siangkoan Thian Ya mempunyai beberapa macam ilmu silat yang istimewa, di
antaranya Ittjie siankang, singkatnya Ittjie sian, ilmu menggunakan jeriji
tangan, untuk menotok. Tapi ilmu kepandaiannya aneh. Ilmu Ittjie sian itu
bersama satu ilmu lainnya mesti diyakinkan berbareng oleh seorang pria dan
seorang wanita yang masih suci kehormatannya, tapi kalau ilmu itu sudah dapat
diyakinkan sempurna dan kedua murid itu menikah, ilmu itu berkurang sendiri
kefaedahannya. Maka juga, sebelumnya Thian Ya menerima murid, dia tegaskan
muridnya, apakah mereka di kemudian hari akan menikah atau tidak, siapa yang
bersedia tidak menikah, dia akan diajari ilmu Ittjie sian itu. Murid kepalanya
adalah Tantai Mie Ming. Mie Ming ini telah pergi ke negara lain - Watzu - dia
tidak menghendaki turunannya terputus, karenanya dia tidak dapat mempelajari
Ittjie sian itu. Karena ini, Mie Ming cuma mendapatkan ilmu silat gaetan dan
lainnya dari bahagian luar (Gwakang), Ilmu Ittjie sian, tidak diyakinkan. Tidak
demikian dengan Ouw Bong Hoe, murid yang kedua.
Ouw Bong Hoe sangat ingin mempunyai kepandaian tinggi, dia sangat kemaruk,
begitu dia masuk menjadi murid Siangkoan Thian Ya, lantas dia menyatakan dan
bersumpah bahwa seumurnya dia tidak akan menikah. Dengan demikian, dia telah
diajari ilmu Ittjie sian itu.
Lim Sian In, ialah Kimkauw Siantjoe, si Dewi Gaetan Emas, murid yang ketiga,
cantik luar biasa, setiap hari dia bergaul dengan Ouw Bong Hoe, sama-sama mereka
belajar silat, lama kelamaan mereka berdua jatuh cinta satu pada lain. Tapi Sian
In adalah seorang wanita, dia terlebih tenang, dia tidak menonjolkan rasa
cintanya itu, tidak demikian dengan Ouw Bong Hoe. Dia ini segera minta soemoay
itu, Sian In, suka menikah dengannya. Hal itu sudah lantas tertampak di mata
guru mereka. Adalah cita-cita yang terkandung lama dari Siangkoan Thian Ya untuk mengajarkan
beberapa murid yang liehay, supaya ia dapat mengulangi pertandingannya dengan
Hian Kee Itsoe. Ia masih penasaran, ingin ia peroleh kemenangan. Ia pun hendak menepati janji, untuk
nanti bertanding pula. Dalam hal janji itu, ia tak sudi tidak menetapkannya, ia
sungkan menghilangkan kepercayaan. Maka itu, ketika ia ketahui kelakuan Ouw Bong
Hoe berdua Lim Sian In, ia menjadi gusar sekali, menuruti hawa amarahnya, ia
usir muridnya itu. Inilah sebabnya kenapa Tantai Mie Ming cuma menyebut bahwa ia
cuma mempunyai satu soemoay, tidak pernah ia menyebut-nyebut Ouw Bong Hoe.
Setelah diusir dari rumah perguruan, Ouw Bong Hoe menyesal tanpa berdaya. Ia
tetap masih menyintai rumah perguruannya itu. Di samping kedukaannya, ia
penasaran. Di dalam hatinya ia berpikir keras: Apa mungkin di dalam dunia ini
tidak ada kepandaian yang dapat diyakinkan bersama di antara sepasang suami
isteri" Kata gurunya, Ittjie sian akan berkurang bila orang menikah. Inilah ia
sangsikan. Alasan gurunya ialah bila menikah, orang telah kehilangan
keperjakaannya. Mustahilkah tidak ada jalan, atau ilmu, untuk memegang kekal
keperjakaan itu" Karena penasaran ini, ia lantas merantau, ia mencoba mencari
ilmu untuk membuktikan tak benarnya pendirian gurunya itu. Sudah belasan tahun
ia merantau, masih ia belum peroleh ilmu yang dicari itu, tapi masih ia terus
mencari. Pernah Ouw Bong Hoe dengar Tantai Mie Ming berbicara perihal Thio Soe Seng dan
Pheng Hoosiang, bahwa Pheng Hoosiang itu mempunyai kitab "Hiankong Yauwkoat." Ia
tertarik pada kitab itu, walaupun ia belum tahu apa isinya. Ia menaruh
kepercayaan besar atas kitab itu mengingat lihaynya Pheng Hoosiang. Maka ia
mencoba mencari kitab itu. Baharu pada bulan yang sudah ia pulang ke Mongolia,
dengan kebetulan bertemu Ngochito, pahlawan Yasian. Ngochito memberitahukan
bahwa ia telah mendapat keterangan, di mana harta Thio Soe Seng serta kitabnya
telah disimpan, disembunyikan, di Souwtjioe, bahwa untuk mendapatkan itu, lebih
dahulu mesti didapatkan petunjuknya yaitu sebuah gambar lukisan yang berada pada
Tjio Eng. Ngochito tahu, itu adalah soetee dari Tantai Mie Ming, dia lantas
minta bantuannya. Ia suka memberikan bantuannya, sebab ia mengharap nanti
memperoleh kitab Pheng Hoosiang. Lantas ia turut Ngochito ke pesanggrahannya See To. Kebetulan sekali,
di sini ia bertemu Thio Tan Hong dan mendapat keterangan "Hiankong Yauwkoat"
sudah didapatkan si orang she Thio. Ia adalah dari tingkatan terlebih tua, iapun
menganggap dirinya sebagai seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan, tidak sudi
ia meminta kitab dari Tan Hong. Maka ia sudah lantas mengundurkan diri.
Ouw Bong Hoe ini tidak mempunyai kesan baik terhadap bangsa asing, lebih-lebih
karena niatnya adalah mencari kepandaian yang terlebih tinggi, ia tidak
perhatikan urusan peperangan antara hangsa Watzu dan Kerajaan Beng, meski
begitu, karena ia tahu duduknya hal, tidak suka ia melihat Tan Hong beramai
terbinasa ditangan Ngochito dan See To, ia tidak ingin kitab Pheng Hoosiang
nanti terjatuh ke dalam tangan pahlawan Mongolia, dari itu seberlalunya dari
sarangnya See To, terus ia pergi ke tempatnya Kimtoo Tjioe Kian, untuk
memberikan kisikannya dengan menimpukan surat budek yang ditusukkan pada golok.
Tentang Lim Sian In, si adik seperguruan, walaupun di lahir ia tidak memberikan
sesuatu petunjuk, di dalam hatinya, ia tak dapat melupakan Ouw Bong Hoe, sang
kekasih. Setelah sepuluh tahun lebih mengikuti gurunya, dia telah peroleh
kepandaian tinggi, oleh gurunya ia disuruh turun gunung, untuk berdiri sendiri.
Ia lantas ambil tempat di sebuah gunung di luar Ganboenkwan. Di sini ia terus
melatih dirinya, untuk itu ia tidak menerima murid. Baharulah beberapa hari yang
lalu, Ouw Bong Hoe datang padanya, hingga soeheng dan soemoay itu bertemu pula.
Banyak yang mereka bicarakan, tetapi keduanya berduka, sebab jodoh mereka telah
terhalang. Sampai waktu itu, mereka masih tidak berani bicara mengenai hal jodoh
mereka. Kemudian Ouw Bong Hoe bercerita mengenai kedua cucu murid dari Hian Kee
Itsoe akan keluar dari Ganboenkwan.
"Selama beberapa puluh tahun soehoe bercita-cita untuk dapat menangkan Hian Kee
Itsoe," berkata Lim Sian In, "hanya selama beberapa puluh tahun itu, entah
kepandaian istimewa macam apa
lagi yang telah diciptakan Hian Kee Itsoe itu. Soehoe pun mengharap-harap yang
murid-muridnya nanti dapat menangkan juga murid-muridnya Hian Kee Itsoe itu,
guna mengangkat pamornya. Sekarang ada kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe,
mari kita pergi keluar Ganboenkwan, untuk menemui mereka, untuk kita mencoba
mengadu kepandaian. Syukur jikalau kita dapat menangkan mereka, tapi andaikata
kita tidak berhasil, sedikitnya kita sudah ketahui tentang kepandaian mereka
itu. Dengan demikian, kita jadi berbuat jasa untuk soehoe. Siapa tahu, karena
jasamu ini, mungkin soehoe kasihan dan akan sudi menerima pula kau dalam rumah
perguruan..." Ouw Bong Hoe tertarik mendengar pikiran adik seperguruan ini.
"Baiklah, mari kita pergi, untuk mencoba-coba," ia nyatakan persetujuannya.
Demikianlah keduanya turun gunung. Mereka lantas pergi ke jalan di mana orang
akan lewat, untuk mencegat. Ouw Bong Hoe berniat mencegat kedua cucu murid dari
Hian Kee Itsoe, tetapi kebetulan sekali, ia bertemu Tiauw Im Hweeshio, sekalian
saja ia cegat hweeshio ini, yang ditantang berkelahi.
Begitulah terjadi sebagaimana kita telah ketahui.
Sebenarnya tidak puas Tiauw Im atas sikap Thian Hoa, akan tetapi ia tidak bilang
suatu apa. Sejak tadi ia memang sudah berdiam saja menantikan pertempurannya Tan Hong dan
In Loei, dan kepandaian Tan Hong, sang keponakan murid, membuatnya ia kagum. Ia
tidak sangka, keponakan murid itu demikian gagah, sanggup melayani orang yang ia


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri tidak bisa melawannya.
"Apakah kau Tjia Thian Hoa?" tanya Lim Sian In kepada penantangnya.
"Tidak salah, akulah Tjia Thian Hoa yang rendah," jawab Thian Hoa.
"Telah aku dengar," Lim Sian In berkata pula, "di antara murid-murid Hian Kee
Itsoe, Tjia Thian Hoa-lah yang terpandai, hari ini kau datang kemari, inilah
kebetulan. Aku juga ingin menyaksikan kepandaianmu!"
Terus ia menyerang dengan tangan kirinya, dengan gaetannya.
Thian Hoa sambuti gaetan itu, sambil memutar tangannya, ia tarik kembali
pedangnya. Kimkauw Siantjoe terperanjat. Ia kena ditarik, hampir saja gaetannya terlepas.
Ia terutama kaget karena gaetannya adalah untuk menaklukkan golok dan pedang,
siapa tahu, sekarang gaetannya kena "ditaklukkan" pedang lawan!
Thian Hoa lantas bertindak terus, selagi si nona melengak, ia gerakkan lagi
pedangnya, menarik terus. Inilah jurus yang liehay dari gurunya.
Kimkauw Siantjoe tidak menjublak lama, untuk menolong gaetannya, supaya
terlepas, pedangnya di tangan kanan membarengi bekerja, menikam dengan tikaman
"Gioklie tjoantjiam" atau "Bidadari menusuk jarum," ke arah jalan darah hiankee
hiat-nya. Inilah tipu "Wie Goei kioe Tio" atau "Mengurung negeri Goei untuk
menolong negeri Tio," supaya Thian Hoa segera menarik kembali pedangnya.
"Mana aku sudi membiarkan diriku ditikam..." kata Thian Hoa dalam hati kecilnya.
Ia lantas berkelit, pedangnya sendiri masih terus dipakai menempel gaetan lawan
itu. Sian In juga menggunakan tipu, yaitu selagi orang berkelit, ia putar gaetannya
begitu rupa sambil terus menarik, maka untuk girangnya, gaetan itu dapat
diloloskan, sedang pedangnya, yang dipakai menikam, diubah untuk diteruskan
dipakai membabat. Inilah gerakan "Pengsee lokgan" atau "Burung belibis turun di
pasir datar." "Bagus!" memuji Thian Hoa atas kecerdikannya itu. "Kimkauw Siantjoe, pujian
untukmu bukannya pujian kosong belaka!"
Sambil berseru demikian, ia tangkis pedang orang berikut gaetannya, yang sudah
dibarengi dipakai menyerang juga. Tapi ia tidak cuma menangkis, setelah itu ia
merangsak, ia membabat dan menikam silih ganti, untuk mendesak. Dengan jalan ini
ia berhasil membuat si nona cuma bisa membela diri sambil mundur, hingga si nona
pun, dengan diam-diam, memuji keliehayan lawan ini. Ia harus mengakui, Thian Hoa
berada di atasan soeheng-nya.
Selagi Thian Hoa tempur Lim Sian In, Tan Hong sudah bertarung pula dengan Ouw
Bong Hoe. Kali ini Tan Hong lawan musuh itu satu sama satu, ia tidak mengerubuti
pula bersama In Loei. Sebenarnya ia bukan tandingan orang she Ouw itu akan
tetapi sekarang ia menang di atas angin. Inilah karena Bong Hoe sudah lelah,
setelah melayani Tiauw Im Hweeshio dan dikepung sepasang pemuda-pemudi yang
liehay ilmu pedangnya. Begitulah selama tiga puluh jurus, ia tidak dapat menang
di atas angin. Sambil berkelahi, kerap kali Thian Hoa lirik muridnya. Ia menjadi sangat girang
melihat muridnya peroleh kemajuan sangat pesat, malah serangannya luar biasa,
hingga ia menjadi heran. Akhirnya ia tertawa berkakakan.
"Ouw Bong Hoe!" ia berkesempatan meneriaki muridnya Siangkoan Thian Va itu.
"Bagaimana" Sampai muridku saja kau tidak sanggup melawan"..."
Ouw Bong Hoe sangat mendongkol, karena mana tiga kali ia membalas menyerang
secara dahsyat, secara berani ia mendesak, jari-jari tangannya yang liehay
bekerja. Ia selalu mencari jalan darah Tan Hong.
Anak muda itu cerdik, selagi didesak, ia perkecil kalangan pembelaannya, ia
membuat dirinya seperti terkurung pedangnya, hingga biarpun dia sangat kosen,
tidak dapat Ouw Bong Hoe memecahkan kurungan itu, hingga sia-sia saja
penyerangan membalas itu.
Sang waktu berjalan cepat, kedua pihak telah berkelahi sampai kira-kira delapan
puluh jurus. Di pihak Thian Hoa, dia dapat
membuat Lim Sian In main mundur. Adalah dipihak Ouw Bong Hoe, Tan Hong yang main
mundur, tetapi dia tetap kuat dengan pembelaan dirinya.
Kembali Thian Hoa tertawakan orang she Ouw itu.
"Bagaimana, Ouw Laodjie?" serunya mengejek. "Sudah hampir seratus jurus! Apa
masih tetap kau tidak sanggup mengalahkan muridku?"
Ouw Bong Hoe menjadi malu sendirinya, karena tak dapat merubuhkan satu lawan
dari tingkatan lebih muda. Ia pun menjadi berkuatir karena menampak Lim Sian In
didesak musuh yang mulutnya jail itu. Maka ia pikir baiklah jangan dilanjutkan
pertandingan itu. "Tjia Thian Hoa," ia lantas menyahuti, "muridmu ini memang tidak kecewa! Hanya
aku lihat, kepandaianmu juga tak lebih tinggi daripadanya! Kau tahu, aku biasa
menyayangi anak-anak muda yang kepandaiannya sempurna, dan itu suka aku
membiarkan dia dapat bernapas. Sudah, Thian Hoa, hari ini baiklah pertandingan
jangan dilanjutkan. Lain hari saja hendak aku mohon pengajaran dari kau
sendiri..." Untuk membuktikan kata-katanya itu. Ouw Bong Hoe lompat mundur, untuk keluar
dari kalangan. Perbuatannya ditelad Lim Sian In, habis mana, bersama-sama mereka
lantas menyingkir ke arah barat utara.
Tjia Thian Hoa biarkan orang angkat kaki.
"Eh, Tan Hong, dari mana kau peroleh kepandaianmu?" guru ini tanya muridnya. Ia
bicara sambil tertawa. "Lagi dua tahun maka aku tidak berani menjadi gurumu
pula!" Lalu ia teruskan kepada Tiauw Im Hweeshio, soeheng-nya itu: "Hari ini
kita menang di atas angin, tetapi ilmu silat mereka benar-benar jarang nampak di
dalam Rimba Persilatan. Muridnya demikian liehay, maka dapatlah dimengerti entah
bagaimana liehaynya Siangkoan Laokoay sendiri! Guru kita tidak sudi bertempur
dengan Siluman Tua itu, maka aku kuatir, aku berdua soemoay-mu pun mungkin rubuh
di tangannya..." Tan Hong hendak tuturkan gurunya bahwa ia telah mendapatkan kitab Pheng
Hoosiang, akan tetapi sebelum ia sempat bicara, ia heran menampak muka Tiauw Im
Hweeshio menjadi suram dengan mendadak.
"Hm, kau masih ingat soehoe?" katanya, suaranya dalam.
Thian Hoa heran. "Soeheng, apa katamu?" dia tanya. "Aku tadinya menyangka hari ini kau tidak akan
datang..." kata soeheng itu. Ia tidak gubris pertanyaan orang.
"Apakah soeheng sesalkan aku datang terlambat?" tanya soetee itu.
Masih Tiauw Im tidak sahuti adik seperguruan itu, ia hanya menoleh kepada In
Loei, keponakan muridnya itu.
"Eh, In Loei, kebetulan sekali kau datang kemari!" katanya. "Kau tahu hari ini
tanggal berapa?" Si nona tercengang. Ia berada di dalam perjalanan, ia sampai lupa tanggal. Ia
ingat sudah dua malam rembulan bercahaya terang, maka ia menduga, kalau bukan
tanggal lima belas tentu tanggal enam belas. Belum sampai ia menyahut, Tan Hong
telah mendahuluinya. "Hari ini tahun Tjengtong Capgwee Caplak!" kata keponakan murid yang lelaki.
Sekonyong-konyong saja In Loei ingat hari ini, Capgwee Caplak, tanggal enam
belas bulan sepuluh, adalah hari dari tahun yang ke sepuluh meninggalnya
kakeknya yang sangat menderita itu. Ia sudah seperti melupakan hari peringatan
itu, atau sekarang hari itu nampak sangat nyata, maka tidak terasa lagi, air
matanya turun bercucuran...
Baharu sekarang Tiauw Im menoleh kepada adik seperguruannya.
"Tjia Thian Hoa," ia berkata, "pada sepuluh tahun yang lampau itu, apakah yang
kita bicarakan di sini?"
Tanpa bersangsi, Tjia Thian Hoa menjawab: "Hari itu kita berdua berjanji saling
menepuk tangan! Kita berjanji, yang satu merawat si anak piatu, yang satu lagi
menuntut balas. Kau berjanji untuk membawa cucu perempuan dari In Tjeng kepada
soemoay, untuk dirawat sampai menjadi manusia, dan aku berjanji akan pergi ke
Watzu untuk membunuh Thio Tjong Tjioe!"
Tiauw Im angkat kepalanya dengan jumawa, ia tertawa dingin.
"Jadi kau masih ingat janji kita dengan terang sekali!" katanya pula. "In Loei,
mari sini!" Nona In menghampiri dua tindak.
"Kau lihat!" berkata pendeta itu kepada adik seperguruannya. "Inilah bocah cilik
yang dahulu dan sekarang telah menjadi begini besar dan kenamaan sebagai ahli
pedang! Dengan begini selesailah tugasku! Kau" Bagaimana dengan kau" Kau bawa
atau tidak kepala Thio Tjong Tjioe?"
"Tidak!" sahut Thian Hoa dengan tenang.
"Hm!" si pendeta perdengarkan ejekannya. "Nyatalah kau kemaruk kekayaan dan
kemuliaan, tanpa tahu malu kau telah bekerja untuk musuh!"
Membarengi kata-katanya itu, Tiauw Im serang soetee-nya dengan tongkatnya. Hebat
serangan itu, tongkat sampai perdengarkan angin menderu.
Thian Hoa berkelit, ia lolos dari serangan tongkat itu.
"Sabar!" ia berkata. "Mana soemoay" Datangkah dia kemari?"
Tapi Tiauw Im menjadi bertambah gusar, meluap hawa amarahnya.
"Kau berani mengandalkan kepandaianmu untuk menghina soeheng-mu"tt dia
berteriak. "Aku tidak membutuhkan bantuan
soemoay1. Aku hendak menghajar kau dengan tiga ratus tongkatku ini! Jikalau
benar kau berani melawan yang lebih tua, hunuslah pedangmu, bunuhlah aku!"
"Bukan, bukan maksudnya," jawab Thian Hoa, sang soetee. "Aku duga kau dan
soemoay datang bersama. Kenapa dia tidak kelihatan?"
Memang Tiauw Im telah menjanjikan soemoay-nya, adik seperguruannya, Yap Eng Eng,
guru In Loei, untuk pergi ke Ganboenkwan, guna mencari
Tjia Thian Hoa, oleh karena kudanya lebih kuat larinya, ia sampai terlebih
dahulu daripada soemoay itu. Tapi ia menjadi heran, mengapa sang soemoay masih
belum tiba, sedang seharusnya dia sudah mesti sampai. Maka itu ditanya Thian
Hoa, ia melengak. "Mari kita tunggu tibanya soemoay, baharu kita bicara pula!" kata Thian Hoa.
"Nanti dapat kita bicara jelas."
Kembali bangkit hawa amarahnya si pendeta. "Ha, kiranya di matamu sudah tidak
ada soeheng-mu ini!" dia berteriak. Dia sangka, karena soetee itu mendesak
menantikan Vap Eng Eng, dia jadi tidak dipandang. Dan sambil membentak, dia
menyerang pula. Menuruti tabeatnya itu, Tiauw Im menyerang terus menerus sampai tujuh atau
delapan kali, hingga Thian Hoa hanya menyeringai, berduka dan malu. Dengan
terpaksa soetee ini gunakan kepandaiannya, untuk menghalau diri, dengan berkelit
atau menangkis, akan achirnya, menahan turunnya tongkat.
"Tan Hong, kebetulan kau datang di sini!" katanya pada muridnya. "Coba kau
bicara dengan djiesoepee-mu ini!"
"Urusan Tan Hong telah aku mengetahuinya lebih dari separuhnya" Tiauw Im
mendahului keponakan muridnya. "Dia memang tak kecewa menjadi satu laki-laki
sejati! Akan tetapi ayah adalah ayah, anak adalah anak, di mana naga beranak
sembilan macam, ayah, anak dan saudara-saudara pun berbeda satu sama lain! Thio
Tjong Tjioe sudah menakluk kepada bangsa Watzu,
dia menjadi menteri muda, dialah penghianat dan dorna yang telah bekerja sama
dengan musuh! Perbuatannya itu tidak ada sangkut pautnya dengan Tan Hong! Aku
cuma hendak menegurmu karena kesalahanmu, yang sudah melanggar janji dan sumpah
kita!" Merocos bagaikan petasan demikian kata-kata si pendeta, yang mengumbar isi
perutnya yang panas. Dan belum habis ia bersuara, tongkatnya sudah menyerang
pula! Memang Hokmo thunghoat, sekali dipakai menyerang, mesti saling susul tak
hentinya, umpama gelombang menyusun gelombang, maka juga Tiauw Im ini, agaknya,
kecuali tongkatnya dirampas, tidak akan mau berhenti.
Thian Hoa terus menerus berkelit, ia masih saja tertawa meringis.
Tan Hong pun bingung, tak tahu ia mesti mengucapkan apa.
Selagi Tjia Thian Hoa berada dalam kesulitan, tiba-tiba terdengar suatu suara
luar biasa, yang seperti mengaung lewat di udara. Suara itu mirip dengan
terompet orang Ouw akan tetapi terlebih keras.
Mendengar suara itu, muka In Loei menjadi pucat.
"Toako, mari turut aku!" ia segera berkata kepada Tan Hong.
"Ada apakah?" tanya si anak muda.
Selagi anak muda ini menanya In Loei, Tjia Thian Hoa telah menyampok tongkat
Tiauw Im Hweeshio, setelah mana ia enjot tubuhnya, untuk lompat mencelat,
bagaikan burung menembusi rimba, demikian ia tiba di samping kudanya Tiauw im.
Kuda putih itu nampaknya kaget, dia angkat kepalanya, dia merangsang dengan
kedua kaki depannya, tetapi Thian Hoa, tanpa pedulikan itu, sudah lompat naik ke
bebokongnya, sedang pundaknya, yang dicekal, lantas ditepuk perlahan-lahan.
Segera kuda itu lari, sambil meringkik tak hentinya, seperti orang yang tidak
suka tunduk kepada penunggangnya yang asing ini.
Tiauw Im menjadi sangat gusar.
"Kau berani bawa kabur, kudaku!" dia berteriak.
Thian Hoa merasa lucu mendengar suara soeheng-nya. Kuda itu toh ia yang
mencurinya, untuk si soeheng menyingkirkan diri dari bahaya, sekarang soeheng
itu membuka mulutnya tanpa berpikir lagi!
In Loei pun sudah lompat naik ke kudanya, yang ia kaburkan keras, selagi kabur,
tak hentinya ia berpaling ke belakang, kepada Tan Hong, berulang-ulang, untuk
diajak lari bersama, seperti tadi ia mengajak sahabat itu.
"Tan Hong, mari pinjamkan kuda putihmu kepadaku!" kata Tiauw Im pada keponakan
muridnya itu. Ia hendak pinjam kuda orang, untuk mengejar Thian Hoa.
Tan Hong sahuti paman guru itu sambil tertawa.
"Djiesoepee, hari ini kau sangat lelah, baiklah kau beristirahat" demikian
keponakan murid ini. "Sebentar aku datang menengok pula padamu!"
Dan ia lompat naik ke atas kudanya, untuk terus kabur, guna menyusul In Loei.
Bukan kepalang mendongkolnya paman guru ini, karena ia merasa tidak dihiraukan,
saking penasaran, terpaksa ia lari kepada kuda Thian Hoa, untuk dipakai
mengejar. Ketiga kuda itu jempolan, bukan saja larinya sudah terlebih dahulu, juga larinya
sangat pesat, maka itu, meski kuda Thian Hoa bukan kuda jelek, kuda ini tidak
sanggup menyusul ketiga kuda itu. Inilah menyebabkan si pendeta mendongkol terus
menerus. Tjiauwya saytjoe ma adalah yang paling kencang larinya, dalam sekejap saja Tan
Hong sudah dapat menyandak gurunya, habis itu ia disusul In Loei.
Kuda putih Thian Hoa ini jempol, dia pun dapat mengendalikannya, tetapi kuda itu
sendiri masih penasaran rupanya, di sepanjang jalan masih membandel saja, demikian maka In Loei pun
dapat menyandaknya. "Soehoe, ada apa?" Tan Hong tanya gurunya itu.
"Pergilah kau terlebih dahulu bersama Nona In" sahut sang guru. "Sekarang ini
kau, jangan terlalu banyak bertanya..."
Tan Hong menurut, ia tepuk kudanya, untuk dilarikan, guna menyusul In Loei,
siapa telah lari terus, hingga pada saat itu, ia telah melewati jauh kedua guru
dan murid itu. Diudara masih terdengar suara luar biasa tadi, satu panjang dan satu pendek,
terdengarnya makin lama makin nyata.
In Loei lari terus, didampingi Tan Hong. Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas
menyusul kuda merah si nona.
Suara aneh itu masih terdengar baharu kemudian lenyap...
In Loei heran, mukanya pucat pasi.
"Eh, toako, kenapa suara itu lenyap?" ia tanya Tan Hong. Ia awasi pemuda itu, ia
pasang kupingnya. Tan Hong heran, tak dapat ia berdiam lebih lama lagi.
"Adik kecil," tanyanya, "Urusan apakah ini sebenarnya" Kenapa kau nampaknya
sangat ketakutan?" "Guruku menghadapi malapetaka!..." sahut si nona akhirnya.
Tan Hong kaget sekali. "Gurumu?" ia balik menanya.
"Benar!" jawab In Loei. "Itulah tanda bahaya dari guruku. Cuma aku dan samsoepee
yang kenal suara pertandaan itu!"
Tan Hong tetap heran. "Gurumu sangat liehay, di jaman ini, cuma beberapa orang saja yang sanggup
menempur dia maka heranlah aku, kenapa dia dapat menghadapi bahaya?" berkata Tan
Hong. "Aku pun tidak mengerti, tetapi itu benar tanda bahaya daripadanya!" In Loei
menyahuti. Di gunung Siauwhan San tumbuh semacam pohon bambu, kalau batang bambu itu
dibuatnya sebagai seruling, kalau ditiup, suaranya nyaring dan tajam, suara itu
dapat didengar sampai sepuluh lie jauhnya. Hoeithian Lionglie liehay tenaga
dalamnya, maka dengan meniup seruling itu, dia dapat perdengarkan hingga dua
kali lipat jauhnya, sampai kira-kira dua puluh lie, sedang suara itu
diperdengarkan di tanah pegunungan yang sunyi.
Tadinya, semasa ia belum berlatih dengan duduk bercokol menghadapi tembok, untuk
menjalankan hukuman gurunya, Yap Eng Eng gunakan seruling itu sebagai alat
tetabuhan biasa, sebagai mainan saja. Waktu itu secara memain ia berkata pada
Thian Hoa, umpama kata dikemudian hari ia menemui sesuatu bencana, akan ia tiup
serulingnya itu sebagai tanda bahaya, untuk memohon bantuan. Kemudian, ketika In


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Loei naik ke gunung untuk menuntut pelajaran pada gurunya ini, selama sepuluh
tahun, antara mereka berdua, guru dan murid, tidak ada soal yang tidak
dibicarakan, maka itu, In Loei mengetahui hal seruling itu.
Itulah suara seruling yang In Loei dan Tjia Thian Hoa dengar sebagai suara yang
luar biasa, yang mengalun jauh diudara, maka itu keduanya menjadi kaget, lantas
mereka lari kabur meninggalkan Tiauw I m Hweeshio.
Suara seruling itu berhenti dengan tiba-tiba, itulah tanda bahwa Yap Eng Eng
mungkin sudah menghadapi bencana hebat atau jiwanya telah melayang, kalau tidak,
mesti dia masih sanggup meniupnya terus.
Tan Hong bercekat apabila ia mendengar keterangan Nona In. Tiba-tiba ia ingat
Siangkoan Thian Ya berada di gunung di perbatasan antara Mongolia dan Thibet. Ia
merasa pasti, kecuali gurunya sendiri, Hian Kee Itsoe, cuma Siangkoan Thian Ya
seorang yang sanggup lawan Hoeithian Lionglie. Mungkinkah Siangkoan Thian Ya
berada di sini dan dia menyusahkan Yap Eng Eng" Tapi dia berkedudukan di tingkat
atas, sulit untuk mempercayai
kedatangannya dari tempat ribuan lie hanya untuk mengganggu gurunya In Loei.
Habis, kalau bukan dia, siapa lagi"
Apa yang ia pikirkan, Tan Hong utarakan pada Nona In. In Loei pun sependapat
dengannya. Keduanya menjadi sangat bingung, apapula In Loei, yang menjadi
berkuatir. Dengan berhentinya suara seruling, sukar untuk mereka mencari arah
dari mana tadi suara seruling itu datang.
"Toako, bagaimana sekarang?" In Loei tanya. Yang sukar, suara tadi mengalun di
udara, coba datangnya dari bawah, tentu lebih mudah mencarinya.
Dalam keadaan bingung dan berkuatir, tiba-tiba mereka lihat dua penunggang kuda
di depan mereka. Mereka kenali, kedua orang itu adalah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian
In. Kuda mereka lari sangat pesat, dengan tidak disengaja, mereka telah dapat
menyusul soeheng dan soemoay itu.
Ouw Bong Hoe berpaling, dia tertawa.
"Eh, Thio Tan Hong, apakah kamu menyusul kami untuk bertempur pula?" dia tanya.
Tan Hong tidak menjadi gusar.
"Tidak," ia menjawab dengan tenang. "Aku hanya ingin bertanya apakah di wilayah
ini berdiam seorang berilmu..."
Masih orang she Ouw itu tertawa.
"Mana mungkin orang berilmu dapat kau ketemukan?" katanya, mengejek.
"Aku tidak peduli dia suka menemui aku atau tidak, aku hendak minta kau ajak aku
pergi padanya, itu juga kalau kau suka menjadi pengantar kami," kata Tan Hong.
"Kau sungguh seorang yang kenal adat istiadat!" berkata Ouw Bong Hoe.
Ia kewalahan karena orang tidak dapat dipancing kegusarannya. Ia lantas
berpaling kepada Lim Sian In, lalu berkata: "Sammoay, coba kau tolong
menanyakannya." Kimkauw Siantjoe tidak menjawab soeheng itu, ia hanya perdengarkan suitan
panjang, atas mana, tak lama berselang, ia mendapat penyahutan yang bersamaan,
hanya suara ini jauh lebih nyaring dan berpengaruh, suatu tanda, bahwa orang
yang mengeluarkan suara itu sempurna tenaga dalamnya.
Mendengar jawaban itu, Lim Sian In menggelengkan kepala.
"Hari ini orang berilmu itu tidak sudi menemui siapa juga!" ia kata.
Tan Hong tidak bilang suatu apa, akan tetapi ia telah mendengar nyata. Suara itu
datangnya dari bukit yang berdekatan.
"Terima kasih untuk kebaikanmu!" katanya pada kedua orang itu sambil menunjukkan
hormatnya. Terus ia menoleh pada In Loei: "Mari, soemay" ia mengajak.
Keduanya lantas meninggalkan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.
"Hai!" si Nona Lim memanggil. "Kamu belum mendapat ijin, tetapi sudah lancang
hendak mendaki bukit, apakah kamu hendak cari mampus" Ingat, kamu masih berusia
sangat muda, sayang jikalau kamu sampai mati..."
Tan Hong dan In Loei tidak pedulikan kata-kata orang itu, mereka larikan terus
kuda mereka, hingga di lain saat tibalah mereka di kaki bukit yang mereka tuju.
Sekarang sesudah berjauhan dengan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, mereka jalankan
kuda mereka perlahan-lahan, dan akhirnya mereka lompat turun dari kuda mereka,
untuk mendaki bukit dengan berlari-lari dan berlompatan, dengan menggunakan
kepesatan tubuh mereka. Sebentar kemudian sampailah mereka di tengah perjalanan memanjat, mereka
merasakan siuran angin halus, yang membawakan harum bunga segar, hingga hati
mereka menjadi rawan. "Inilah bau harum yang biasa dipakai guruku," berkata In Loei, yang hatinya
menjadi sedikit lega. "Untuk mendapatkan harum wangi yang ia gemari, soehoe
membuatnya sendiri air wangi Pekhoa hiang."
Lega hati Tan Hong mendengar keterangan In Loei ini. Teranglah Hoeithian
Lionglie berada di gunung itu. Maka tidak ayal lagi, terus lari naik.
In Loei lari mengikuti, sampai mereka tiba di puncak gunung.
-ooo00dw00ooo- Bab XXIV Di atas gunung itu ada sebuah kelenteng, di samping kelenteng ada sekelompok
hutan bambu, yang terkurung dengan tembok merah. Bagus pohon-pohon bambu itu
yang tingginya melewati tembok. Suasana di situ sangat tenteram. Dan di situ,
pemuda dan pemudi ini dapat mencium harum tadi, semakin keras.
"Kenapa tidak terdengar suara senjata beradu?" tanya Tan Hong. Ia seperti bicara
seorang diri. Nona In juga heran sekali, ia menjadi curiga, maka ia lantas hunus pedangnya,
setelah mana ia enjot tubuhnya untuk meloncat naik.
"Di sini ada orang berilmu yang tertua, jangan sembarangan..." Tan Hong
nasehati. Tapi sudah kasip. Ingin ia menjambret si nona, tetapi tidak keburu. In
Loei sudah sampai di atas tembok.
Berbareng dengan gerakan In Loei terdengar tertawa dingin disusuli bentakan:
"Lepaskan pedangmu!"
Itulah bentakan yang suaranya halus, seperti suara wanita.
In Loei terkejut, pedangnya seperti tersampok, tubuhnya pun limbung, hampir ia
rubuh terpeleset, syukur ia sudah cukup terlatih,
pedangnya tidak terlepas, tubuhnya tidak rubuh. Ketika ia berpaling, ia lihat
Tan Hong pun sudah lompat naik dan roman si anak mudapun berubah seperti ia
sendiri. Juga pemuda itu mendengar bentakan "Lepaskan pedangmu!" dan merasakan sampokan,
akan tetapi ia lebih liehay daripada In Loei, ia tidak sampai terhuyung. Hanya
ia dibarengi dengan serangan senjata rahasia, hingga ia mesti berkelit sambil
menangkis. Untuk herannya dan kagetnya, ia dapatkan senjata rahasia itu adalah
daun bambu, yang ujungnya lancip seperti bekas diraut, dan karena serangan itu,
tangan bajunya sampai berlobang!
Tan Hong kaget dan bergidik, karena tentang senjata rahasia semacam itu, pernah
ia mendengar dari gurunya. Senjata rahasia daun bambu itu dibubuhi kata-kata
"Memetik daun, menerbangkan bunga, sekali melukai, mesti orang mati segera." Dan
inilah baharu pertama kali ia melihat senjata rahasia yang istimewa itu, yang
membutuhkan latihan tenaga dalam yang luhur sekali. Ketika Tan Hong lihat
pedangnya In Loei, kembali ia jadi heran. Bahagian yang tajam dari pedang si
nona itu seperti dilapok daun bambu. Itulah aneh, mengingat ketajaman pedang
itu, yang dapat dipakai memapas besi, tetapi daun saja tak dapat dipotong...
Kemudian terdengar dari dalam pohon bambu helaan napas seperti yang mengagumi
kepandaian pemuda dan pemudi itu.
Tan Hong yang tahu diri sudah lantas perdengarkan suaranya.
"Teetjoe adalah Thio Tan Hong dan In Loei," demikian ia berkata. "Kebetulan saja
kami lewat di sini, tidak tahu kami bahwa ada tjianpwee, maka itu kami mohon
maaf untuk kelancangan kami..."
Menyahuti suara Tan Hong itu, terdengar pertanyaan dan titah yang keluar dari
suara yang membentak tadi: "Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee Itsoe" Baik,
kamu boleh lompat turun!"
"Maaf!" kata Tan Hong meski ia belum melihat rupa orang, lalu bersama-sama In
Loei ia lompat turun ke sebelah dalam tembok.
Segera setelah tiba di dalam kelompok pohon bambu itu, di mana ada lapangan
terbuka, kedua orang ini menyaksikan pemandangan yang mengherankan mereka.
Mereka tampak dua orang wanita sedang bertarung. Yang satu seorang wanita dari
usia pertengahan yang romannya cantik, yang lainnya satu nyonya tua yang
rambutnya beruban! Tapi In Loei menjadi sangat girang. "Soehoe" dia berseru. "Apakah soehoe baik!
Inilah teetjoe." Si nyonya usia pertengahan, yang sedang bertempur hebat, cuma perdengarkan suara
"Ai..." lalu ia berkelahi, agaknya tidak berani ia mengganggu pemusatan
pikirannya. Dengan mendengar panggilan In Loei, tahulah Tan Hong bahwa si nyonya usia
pertengahan itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, guru kawannya itu. Sudah
lama ia dengar namanya bibi guru itu, yang ilmu pedangnya kesohor seperti ilmu
pedang gurunya, baharu sekarang ia lihat romannya, maka dengan sendirinya ia
lantas menaruh perhatian.
Yap Eng Eng menggunakan pedang Tjengkong kiam yang umum, cara bersilatnya sama
seperti cara In Loei, dia cuma menang gesit dan pesat, menang berlipat kali
daripada muridnya itu. Pun aneh, pedang dimainkan begitu sebat tetapi suara
anginnya tidak terdengar, jadi gerakan itu mirip dengan "hengin lioesoei" atau
"mega melayang air mengalir."
"Benar-benar hebat!" Tan Hong memuji dengan kekaguman. "Sayang soehoe belum
tiba, kalau tidak, dengan siangkiam happek, mesti si nyonya tua dapat
dipecundangkan..." Memang, Yap Eng Eng sudah liehay luar biasa, akan tetapi lawannya, tak perduli
usianya telah lanjut, masih menang di atas angin, sedang senjata nyonya tua itu
pun adalah sebatang bambu yang diraut mirip dengan pedang yang tajam.
Kelihatannya si nyonya tua didesak, dikurung sinar pedang, akan tetapi
sebenarnya, dialah yang lebih membahayakan lawannya!
Cara bagaimana Hoeithian Lionglie bisa sampai di rimba bambu itu" Sebenarnya
pikirannya sedang kusut. Dia turun gunung atas ajakan Tiauw Im Hweeshio, adik
seperguruannya. Dia diminta Tiauw Im untuk mencari Tjia Thian Hoa, guna menegur
soetee itu. Tiauw Im memberitahukan, apabila terbukti Tjia Thian Hoa telah
berhianat, mendurhakai gurunya dengan menakluk kepada musuh, dia mesti membantu
soeheng itu mengepung Thian Hoa, untuk disingkirkan dari dunia. Dengan Thian Hoa
itu dia justeru mempunyai perhubungan istimewa. Sudah dua belas tahun keduanya
berpisah, masih mereka memikirkan satu pada lain. Dia ketahui baik sifatnya
Thian Hoa, seorang halus budi pekertinya dan teliti, berpikir panjang, tidak
seharusnya Thian Hoa menakluk kepada musuh. Atau bila itu benar ia menghamba
kepada Thio Tjong Tjioe, itu mesti ada sebabnya. Tapi, sebelum dia peroleh
kepastian, tidak dapat dia menolak ajakan Tiauw Im si sembrono itu. Maka, tanpa
membelai Thian Hoa lagi, ia turut Tiauw Im turun gunung.
Setibanya Yap Eng Eng di kota Ganboenkwan, pikirannya menjadi bertambah kusut.
Kesatu karena segera dia harus bertemu dengan kekasihnya itu, dan kedua dia
kuatirkan kesudahannya apabila Thian Hoa menjelaskan segala apa. Jikalau Tiauw
Im turun tangan, apa dia mesti turun tangan juga, atau berdiam saja" Inilah yang
membikin dia sulit. Akhirnya dapat juga dia gunakan otaknya.
Dia lantas menggunakan akal.
Malam itu di rumah penginapan dalam kota Ganboenkwan, Eng Eng beritahu Tiauw Im
bahwa dia kurang sehat pertama disebabkan dia telah melakukan perjalanan jauh,
kedua karena pertukaran hawa udara, yang kurang tepat untuk dirinya. Maka malam
itu dia hendak bersamedhi, untuk memusatkan pikirannya, guna memulihkan
kesehatannya itu. Karenanya, dia kuatir dia nanti tidak dapat bangun pagi-pagi.
Maka andaikata dia kesiangan, dia minta Tiauw Im suka berangkat terlebih dulu,
nanti dia menyusul. Tapi sebenarnya, malam itu belum jam empat, dia telah
mendahului Tiauw Im meninggalkan rumah penginapan. Dia ingin sampai lebih
dahulu di tempat yang dijanjikan, supaya dia dapat bertemu dengan Tjia Thian Hoa
berdua saja, agar dia dapat ketika meminta keterangan jelas dari Thian Hoa
mengenai duduknya hal, supaya dia dapat menimbang dan mengambil putusan. Dia
percaya Thian Hoa tengah melakukan tugas yang dirahasiakan, yang tak dapat
diberitahukan kepada Tiauw Im. Dia percaya, terhadap dirinya, Thian Hoa suka
menuturkan segala apa. Tiauw Im toh seorang yang sembrono, tidak seperti soemoay
ini yang teliti. Tiauw Im turuti kehendak soemoay itu, ketika besoknya ia
berangkat, ia menyangka Yap Eng Eng masih tidur di dalam kamarnya...
Dalam hal enteng tubuh, antara saudara-saudara seperguruannya, Yap Eng Eng
adalah yang paling liehay, maka itu, waktu berangkat jam empat, setelah terang
tanah dia sudah sampai di Ganboenkwan. Dia berjalan terus, karena ingin segera
bertemu dengan Thian Hoa. Dia berangkat terlalu pagi, dia pun lari dengan cepat,
ini dia ketahui, dari itu dia tertawa sendirinya karena dia masih belum bertemu
saudaranya meski dia sudah maju terlebih jauh. Ketika dia perlahankan
tindakannya, dia mulai memasuki sebuah lembah, ialah lembah atau selat yang
merupakan jalan penting untuk wilayah Watzu memasuki daerah Ganboenkwan.
Bagus hawa udara di dalam lembah itu, permai juga pemandangannya. Bunga-bunga
bwee tengah mekar. Sambil memandangi keindahan alamnya, di situ Yap Eng Eng diam
menantikan Tjia Thian Hoa. Dia menjadi lebih tertarik ketika hidungnya mencium
bau harum yang terbawa angin halus, yang membuat hatinya lega.
Eng Eng ingat harum bau itu pernah memasuki kamar bersemedhi Hian Kee Itsoe,
gurunya. Ketika itu, Eng Eng merasa heran atas kesukaan gurunya itu. Guru itu
sudah berusia tujuh puluh tahun, mengapa dia masih gemar akan bau-bauan" Tentu
saja, sebagai murid, tidak berani ia minta keterangan dari gurunya itu.
Sekarang, di dalam lembah, Eng Eng dapat mencium bau yang ia kenal baik itu. Ia
menjadi heran sekali. Ia dongak, akan melihat
cuaca. Ia dapatkan waktu masih jauh untuk sampai kepada tengah hari, maka ia
lantas bertindak, akan mengikuti bau harum itu. Setelah sampai di atas ia tampak
sebuah rumah berhala untuk niekouw, pendeta wanita, dan di samping rumah suci
itu ada hutan bambunya. Dari dalam hutan bambu itulah keluarnya bau harum itu.
Dengan perlahan Yap Eng Eng bertindak ke arah rimba. Tiba-tiba dia peroleh
pengalaman seperti In Loei dan Tan Hong. Dengan sekonyong-konyong orang
membokong ia dengan senjata rahasia - senjata rahasia daun bambu itu. Tentu
sekali, ia tidak dapat dilukai. Karena ini tahulah ia, di dalam rimba itu, mesti
berdiam seorang berilmu, mungkin dia sedang bertapa.
"Teetjoe adalah murid Hian Kee Itsoe," ia lantas perkenalkan diri. Ia pun
hentikan tindakannya. "Teetjoe mohon bertanya she dan nama atau gelaran
tjianpwee..." Di luar dugaan Eng Eng, di hadapannya segera muncul seorang wanita tua, romannya
bengis, dia perdengarkan tertawa dingin. Tentu saja ia menjadi heran, hingga
melengak. "Apakah kau murid Hian Kee Itsoe?" tanya si uwak sambil tertawa dingin dan
mengejek. "Hian Kee Itsoe katanya liehay ilmu silatnya, di kolong langit ini
dialah yang nomor satu, sekarang kau berani datang kemari dengan membawa pedang,
pasti kau juga pandai ilmu pedang! Baik, ingin aku mencoba kamu! Daripada
muridnya, ingin aku mencoba gurunya, ingin aku ketahui, bagaimana istimewanya
ilmu silat pedang Hian Kee Itsoe itu!..."
Eng Eng heran. Ia juga tidak berani turun tangan. Dari perkataan orang, rupanya
orang tua ini sudah kenal gurunya.
"Teetjoe tidak tahu aturan tjianpwee di sini," katanya sambil memberi hormat,
"teetjoe tidak ketahui orang dilarang memasuki rimba dengan membawa pedang,
harap tjianpwee memberi maaf kepada teetjoe yang lancang ini."
-ooo00dwkz00ooo- (bersambung Jilid 3) CATATAN halaman 449 - Puteri Ie Kiam, Ie Sin Tjoe kelak akan menjadi murid Thio Tan Hong
dan In Loei, Ie Sin Tjoe adalah salah satu peran utama dalam cerita-cerita
berikutnya, Pendekar Wanita Penyebar Bunga (Sanhoa Lihiap) dan Kisah Pedang
Bersatu Padu (Liankiam Hongin).
halaman 452 - Taman Koaywa Lim (Saycu Lim) ini kelak terpaksa dijual Thio Tan
Hong (dalam cerita Liankiam Hongin), dan dalam cerita Pendekar Pemetik Harpa
(Khongling Kiam), anak keturunan Kiutauw Saytjoe (Singa Kepala Sembilan) In
Thian Sek muncul lagi dan menguasai kembali taman tsb. Karena dendam pada Thio
Tan Hong, keturunan Kiutauw Saytjoe membalas dendam kepada keturunan/ murid dari
Thio Tan Hong dan In Tiong.
Seri ke 2 Thiansan Karya : Liang Ie Shen Saduran : OKT Sumber txt otoy Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
Jilid 3 Tetapi nyonya tua itu tidak sudi pakai aturan.
"Tidak bisa!" katanya dengan kaku. Dia menjadi semakin gusar. "Hunus pedangmu,
mari kita mencoba-coba!"
Dia mendesak dan memaksa.
Yap Eng Eng menjadi kewalahan, ia sudah cukup merendah tetapi tidak ada
hasilnya, terpaksa ia cabut pedangnya.
"Kalau tjianpwee memaksa, silakan tjianpwee beri pengajaran padaku," ia kata.
Perempuan tua itu ambil sebatang bambu, ia raut itu dengan telapakan tangannya


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga menjadi serupa pedang-pedangan.
"Baiklah!" katanya. "Jikalau kau sanggup menahas kutung selembar bambu ini, akan
aku ijinkan kau turun gunung, kalau tidak, mesti kau berdiam di sini untuk
menemani aku, sampai nanti gurumu datang untuk mengajak kau pulang!..."
Biar bagaimana, Yap Eng Eng juga ada semangatnya, dari itu, ia mendongkol juga
akan kejumawaan orang. Dalam hati kecilnya, ia pikir: "Pekpian Hian Kee
Kiamhoat-ku sudah liehay sekali, mustahil aku tidak mampu menabas kutung pedang
bambu ini" Sebenarnya aku hormati kau, orang tua! Apakah kau sangka aku jeri
terhadapmu?" Sampai di situ, mereka sudah lantas bertarung. Baharu saja bergebrak, Yap Eng
Eng sudah mendesak hingga tiga kali beruntun, membabat ketiga jurusan, sebab
keras sekali keinginannya untuk menabas pedang bambu itu.
Nyonya tua itu nyata liehay sekali, ia sangat gesit. Pedangnya seperti dikurung
sinar, lantas ia selamatkan diri sambil berbalik mendesak, untuk merapatkan
pedang lawan, yang dibikin seperti membayanginya. Yaitu dengan mengikuti gerak-
gerik pedang Eng Eng. Tidak peduli ia sudah tunjukkan kesehatannya, Eng Eng tidak berhasil menghalau
pedang bambu itu. Juga baju lawan, ia tidak sanggup menyentuhnya. Ia menjadi
kaget, heran dan kagum. Ia menjadi penasaran, ia mencoba bergerak lebih cepat
lagi. Orang tua itu berkelahi cepat, tetapi ia berlaku tenang. Semua serangan dapat ia
singkirkan. Berulangkah ia tertawa mengejek.
"Begini saja ilmu pedang Hian Kee Itsoe!..." ia menyindir. "Kelihatannya kau
sudah ditakdirkan berdiam di sini menemani aku si tua bangkai..."
Selagi bertempur, Hoeithian Lionglie melihat cuaca berubah. Tengah hari sudah
mulai mendatangi. Ia menjadi tegang sendirinya, mendongkol dan masgul, juga
berkuatir... Ia tidak dapat membabat pedang musuh, ia pun tidak mampu meloloskan
diri. Maka akhirnya, ia keluarkan seruling istimewanya dan meniupnya.
"Hai, menarik serulingmu ini!" berkata si nyonya tua. "Kenapa di dalam rimbaku
ini tidak terdapat bambu yang bagus seperti serulingmu" Merdu suara serulingmu,
bolehkah aku meminjamnya?"
Eng Eng tidak pedulikan perkataan orang itu, yang mengejek sambil berkelahi
terus, masih ia meniup serulingnya, meniup dengan terlebih keras lagi, hingga
suara seruling itu mengalun jauh.
Oleh karena permintaannya tidak digubris, sekarang si nyonya tua berkelahi
sambil mencoba merampas seruling orang.
Dua belas tahun Eng Eng bersemedhi menghadapi tembok, kecuali memahamkan lebih
jauh ilmu pedangnya, ia juga meyakinkan dua macam ilmu lainnya yang liehay. Yang
pertama dinamakan "Lioein Kiamhoat", yaitu ilmu pedang "Mega Melayang". Yang
dinamakan pedang tetapi bukannya pedang melainkan ujung tangan baju, kalau
tangan baju itu dipakai mengibas atau menyambar, ia dapat melibat senjata musuh,
untuk dirampas. Yang kedua ialah "Kioeseng Tengheng Tjiam" atau "Jarum Sembilan
Bintang", jarum mana bisa dipakai menyerang sekaligus, dengan jalan darah
sebagai sasarannya. Sekarang Yap Eng Eng melihat orang hendak merampas serulingnya, ia menjadi habis
sabar, terpaksa ia kibaskan tangannya, untuk menyambar pedang bambu itu. Ia
pikir, kalau berhasil melibat, ia hendak patahkan pedang itu.
Tiba-tiba terdengar suara memberebet, untuk kagetnya Eng Eng dapatkan tangan
bajunya berlobang dan robek, terkena dua jari tangan si nyonya tua, berbareng
mana, serulingnya pun kena dirampas.
"Inilah kepandaianmu yang baik," berkata si uwak, "sayang latihan tenaga
dalamnya masih kurang. Kau masih belum berhasil mematahkan pedangku! Maka tidak
ada lain jalan, kau mesti berdiam di sini untuk temani aku bermain!"
Eng Eng tidak berhasil mematahkan pedang bambu si uwak, tapi ia dapat melibat
sebentar dan menyampok pedang itu, ke samping. Di samping itu, ujung bajunya
robek, serulingnya berpindah tangan. Ini berarti, dia kalah, si nyonya tua yang
menang di atas angin. Tapi di samping itu, ia termasuk kaum muda, si nyonya kaum
tua, tinggi kedudukannya, ia tak usah malu. Nyonya tua itu diam-diam mengagumi
juga lawan yang muda ini.
Walaupun dia kalah Hoeithian Lionglie tidak berhenti sampai di situ. Ia juga
penasaran sekali. Sekarang ia melanjutkan menggunakan kepandaian yang kedua. Ia
menuding dengan jari tangannya, lalu memanah dengan sembilan batang jarumnya.
Sehabis merampas seruling itu, si nyonya tua bawa seruling itu ke mulutnya.
"Menarik seruling ini," katanya, "nanti aku tiup..." Lalu ia meniup,
memperdengarkan suara yang halus, lebih sedap didengarnya daripada lagunya Eng
Eng. Tapi yang heran, angin seruling itu pun berbareng meniup kembali ke
sembilan batang jarum rahasia, hingga tak sebatang jua yang mengenai si uwak
itu. "Ilmu senjata rahasiamu belum terlatih sempurna," kata pula si uwak sambil
tertawa. "Mari kita mengadu pedang lagi seperti bermula..."
Dia segera menyerang. Ketika Hoeithian Lionglie melayani, pedangnya terkurung
pula seperti tadi. Selama pertempuran itu, sang waktu telah berlalu terus. Eng Eng berkuatir
sekali. Ia pikirkan Thian Hoa. Mungkin soeheng itu sudah tiba di tempat yang dijanjikan mereka.
Adakah Thian Hoa mendengar suara seruling itu" Inilah sangat diharapkan. Kalau
Thian Hoa datang, ia percaya ia dapat ditolong.
Begitu, dalam saat ketegangannya itu, ia lihat orang berlompat kepada mereka.
Mulanya ia menyangka Tjia Thian Hoa, tidak tahunya, orang itu adalah muridnya
yaitu In Loei, bersama satu pemuda yang cakap tampan. Ia tidak kenal anak muda
itu, akan tetapi melihat roman orang, ia percaya orang itu gagah, mungkin
melebihi muridnya. In Loei heran menyaksikan gurunya tidak sanggup melawan nyonya tua itu, ia
melirik kepada Tan Hong, terus ia maju.
"Soehoe," ia berkata kepada gurunya, "suka muridmu berbuat sesuatu untuk soehoe,
dari itu harap soehoe perkenankan muridmu main beberapa jurus bersama
lootjianpwee ini, supaya muridmu dapat menambah pengetahuan..."
Hoeithian Lionglie bersangsi, hingga ia awasi murid serta kawannya itu. Ia
sendiri kalah, apakah muridnya dapat mengalahkan orang tua itu" Apakah murid itu
tidak tahu "langit tinggi" dan "bumi rendah?"
Oleh karena datangnya kedua anak muda itu, si nyonya tua lantas lompat mundur,
hingga pertempuran terhenti.
"Bagus" katanya sambil tertawa. "Aku memang senang pada anak-anak muda yang
nyalinya besar! Adakah kamu murid-murid golongan ketiga dari Hian Kee Itsoe" Pelajaran apa saja
yang kamu telah yakinkan" Hayo kamu coba, ingin aku menyaksikannya!"
Hoeithian Lionglie mengeluarkan napas lega. Dari kata-kata si orang tua itu,
teranglah dia tidak mengandung maksud jahat,
hingga ia percaya, terhadap sepasang anak muda itu dia tidak akan berlaku kejam.
"Baiklah," katanya kepada muridnya dan kawannya, "pergi kamu melayani
lootjianpwee untuk beberapa jurus. Kamu harus berlaku hati-hati!"
Nyonya tua itu, dengan sembarangan saja, sudah siap dengan pedang bambunya, yang
dia bawa ke depan dadanya.
"Eh, mengapa kamu masih belum mulai?" ia tegur mereka apabila ia lihat orang
masih berdiam saja. Tan Hong dan In Loei, dengan pedang ditangan-nya masing-masing, lantas memberi
hormat. "Harap lootjianpwee memberikan pengajaran kepada kami," berkata Tan Hong.
Lalu, dengan sebat sekali, dengan berbareng, keduanya menggerakkan pedang
mereka. Mulanya pedang dibuka ke kiri dan kanan, lalu dirapatkan satu pada lain,
habis mana, dengan secara tiba-tiba, keduanya dipakai menyabet ke arah pinggang!
Nyonya tua itu memandang enteng. Bukankah mereka itu dari generasi ketiga dari
Hian Kee Itsoe" Biar mereka pandai, sampai di manakah kelihayan mereka itu" Maka
ia bersikap acuh tak acuh. Tapi, setelah penyerangan datang bagaikan kilat,
baharulah ia terperanjat. Ia pun kaget karena jarak antara mereka dekat sekali.
Ia juga tidak sempat lagi menangkis. Maka dengan terpaksa ia lompat mencelat
tinggi! Menampak demikian, dengan sikutnya, Tan Hong bentur In Loei, sampai si nona
terhuyung mundur, ia sendiri mundur juga.
Nyonya tua itu, yang telah menginjak bumi pula di hadapan mereka, tertawa manis.
"Bagus, anak-anak muda! Nah, marilah kamu maju pula!"
Dia melompat tinggi untuk menolong dirinya, habis itu dia turun sambil membabat
dengan pedangnya, tetapi dia kecele, karena
kedua lawannya sudah mundur pula. Mau atau tidak, dia mesti puji kecerdikan
kedua lawan itu. Dia tidak mendongkol, sebaliknya, dia senang melihat orang
cerdas. Tan Hong lihat cara orang berlompat, ia mengerti ancaman bahaya akan segera
datang, karenanya, ia bentur In Loei, sebab lain jalan daripada itu sudah tidak
ada lagi. Mulanya In Loei heran tetapi segera dia mengerti, maka dia tidak
berkecil hati. Setelah itu si nyonya tua maju untuk menyerang, begitu lekas sepasang anak muda
itu melayani dia, dia mencoba mempengaruhi pedang orang. Dia sekarang insaf akan
keliehayan kedua anak muda itu, maka tidak mau dia berlaku sembarangan, malah
sebaliknya, dia lebih bersungguh-sungguh daripada waktu melawan
Hoeithian Lionglie tadi. Oleh karena ini, Tan Hong dan In Loei mengeluarkan
seluruh kepandaiannya. Setelah melalui kira-kira lima puluh jurus, si nyonya tua
masih tak dapat menang di atas angin.
Juga Hoeithian Lionglie berdiri menjublak mengawasi sepasang anak muda itu. Ia
kagum dan heran melihat Tan Hong, yang ilmu pedangnya demikian tepat mengimbangi
pelbagai gerakan In Loei, muridnya itu. Semua gerakan si anak muda itu wajar,
seperti boleh melatih. "Ah, rasanya aku kenali ilmu silat pemuda ini..." pikirnya kemudian. Ia kenal
tetapi tak dapat ia menyebutkannya. "Dahulu soehoe mempunyai dua macam ilmu
pedang, ia ajarkan itu masing-masing kepada Thian Hoa dan aku dan kita dilarang
saling mengajari satu pada lain. Apakah ilmu pedang anak ini, ilmu pedangnya
Thian Hoa, yang belum pernah aku lihat"..."
Pertempuran masih berlangsung terus, adalah setelah itu, dengan perlahan-lahan
baharulah si nyonya tua mulai menang di atas angin, pedangnya - walaupun pedang
bambu - mulai memperlihatkan pengaruhnya.
Tan Hong dan In Loei menjadi heran. Sejak mereka kenal satu pada lain, dengan
paduan ilmu pedang mereka Siangkiam Happek,
belum pernah mereka menemui tandingan, sekalipun Ouw Bong Hoe dan Kimkauw
Siantjoe Lim Sian In bergabung menjadi satu, kedua pihak sama tangguhnya, mereka
tidak sangka nyonya tua ini sangat liehay. Semua serangan mereka dengan mudah
dapat dielakkan. Mereka menjadi berkuatir ketika mereka tak dapat lagi melakukan
penyerangan membalas, malah untuk membela diri saja, mereka kewalahan.
Pada saat Tan Hong memikir untuk menyerah saja, tiba-tiba ia dengar bentakan si
nyonya tua: "Siapa itu yang datang" Letakkan pedangmu!" Lalu nyonya itu lompat,
untuk menyambar daun bambu dengan apa dia mulai menyerang dengan rapat, seperti
"boanthian hoaie," atau "seluruh langit penuh dengan hujan bunga."
Menyusul itu terdengar suara bentroknya daun-daun bambu itu, yang terus jatuh
berserakan, menampak mana, si nyonya tua menjadi heran. Nyata dia tengah
menghadapi orang yang terlebih liehay daripada Hoeithian Lionglie. Bahwa orang
mestinya kosen, inilah sudah diduga, karena itu, dia lantas menyerang dengan
hebat. Setelah serangan daun bambu itu, di atas tembok terlihat munculnya seorang yang
terus lompat turun dengan gerakan enteng sekali. Ketika Hoeithian Lionglie
melihat orang itu, ia tercengang bahna herannya.
Itulah orang yang selama dua belas tahun ia pikirkan tak sudahnya. Yaitu Tjia
Thian Hoa, soehengnya dan orang yang dicintainya.
"Soemoay, kau baik!" tegur Thian Hoa selagi ia bertindak menghampiri.
"Shako, kau baik!" ia membalik. "Apakah shako telah bertemu djiesoeheng?"
Baharu Thian Hoa hendak menjawab adik seperguruannya, atau si nyonya tua telah
menegur padanya: "Apakah kau juga muridnya Hian Kee Itsoe" Mari, mari, kau pun
boleh mencoba-coba denganku!"
Tjia Thian Hoa tertawa. "Soemoay," ia kata pada Yap Eng Eng, "baik kita tunda pembicaraan tentang kita,
mari kita penuhi dahulu kehendak nyonya yang terhormat ini yang sangat pandai,
sambil melatih pedang kita. Tan Hong, kamu bukan tandingan lootjianpwee ini,
kenapa kamu tidak hendak lantas mengaku kalah?"
Tan Hong dengar perkataan gurunya itu, berbareng dengan In Loei, ia menarik
kembali pedangnya sambil berlompat mundur. Dengan tetap menyekal pedangnya,
mereka memberi hormat kepada si nyonya tua sambil berkata: "Terima kasih banyak
untuk pengajaran Lootjianpwee, hingga tak sedikit kami peroleh kefaedahan."
Nyonya tua itu bersenyum.
"Kamu dapat melayani aku sampai lima puluh jurus, kamu bukannya kalah," katanya
dengan tenang. "Baiklah, kamu boleh mundur, untuk digantikan oleh gurumu!"
"Kami juga akan maju berdua," berkata Hoeithian Lionglie, yang mendapat ketika
untuk beristirahat. "Itulah baik sekali," jawab si orang tua. "Memang aku ingin menyaksikan
kepandaian murid-murid Hian Kee Itsoe."
Thian Hoa tidak lantas maju, hanya sambil mengawasi nyonya tua itu, ia berkata.
"Lootjianpwee, sudikah kau memberitahukan kami tentang hubungan lootjianpwee
dengan guru kami?" demikian ia tanya.
Tiba-tiba si nyonya tua menunjukkan roman gusar.
"Hian Kee Itsoe agulkan dirinya sebagai orang nomor satu di kolong langit ini,
aku si tua bangka, mana berani aku bersahabat dengannya?" sahutnya, kaku. "Kamu
juga tak usah menyebut-nyebut tentang persahabatan, baik kamu keluarkan saja
semua kepandaianmu yang telah kamu peroleh dari Hian Kee Itsoe!"
Hoeithian Lionglie heran. Dari kata-kata orang tua ini, mestinya antara dia dan
guru mereka ada sesuatu sangkutan, hanya entah urusan apa itu.
Thian Hoa tidak menjadi gusar atau kecil hati karena suara keras itu, ia malah
bersenyum. "Kalau begitu, kami turut perintah saja," katanya. "Harap lootjianpwee memberi
maaf kepada kami..."
Kata-kata ini disusul dengan gerakan pedang yang pertama, yang sebat sekali,
yang diturut pula oleh Yap Eng Eng.
Hoeithian Lionglie bersilat seperti biasa, ia tidak harap dengan satu kali
gebrak saja akan peroleh kemenangan, akan tetapi Siangkiam Happek benar-benar
liehay, ketika kedua pedang bergerak berbareng, tanpa merasa si nyonya tua yang
liehay itu mesti mundur tiga tindak. Eng Eng menjadi girang sekali, di dalam
hatinya, ia berkata: "Ilmu pedang ciptaan soehoe ini benar-benar istimewa!..."
Ilmu pedang yang Thian Hoa dan Eng Eng gunakan adalah sama dengan ilmu pedang
Tan Hong dan In Loei, akan tetapi perbedaan di antara mereka besar sekali, dan
itu disebabkan latihan atau tenaga dalam mereka.
"Sekarang baharu aku saksikan kepandaian Hian Kee Itsoe!" berkata si nyonya tua
setelah dia maju pula, sambil memainkan pedang bambunya. Lalu terlihatlah
tubuhnya bergerak-gerak dengan sangat lincah, tangan bajunya seperti berkibar-
kibar. Thian Hoa tidak menjadi gugup, ia juga berlaku gesit untuk melayani orang tua
itu. Erat kerja samanya dengan Yap Eng Eng, hingga karenanya, pertandingan
menjadi sangat seru. Kedua pihak sangat gesit, hingga dalam sekejap saja, lima puluh jurus telah
lewat. "Maaf!" seru Thian Hoa, yang lantas saja mengubah gerakannya, hingga ia menjadi
lebih gesit, dalam hal mana, ia terus diimbangi Yap Eng Eng.
Dalam gerakan kali ini, terdengarlah suara dari beradunya pedang-pedang dan,
memberebetnya suara baju robek. Itulah suara pedang bambu dari si nyonya yang
tertabas kedua pedang lawannya, hingga pedang itu terkutung menjadi empat, dan
robeknya kedua ujung baju si nyonya!
"Maaf!" berkata pula Thian Hoa, dan Yap Eng Eng, sambil menarik kembali pedang
mereka. Nyonya tua itu melemparkan sisa pedang bambunya.
"Tak dapat aku menahan kamu, pergilah!" berkata-dia, yang romannya menjadi lesu.
Beberapa puluh tahun dia telah keram diri di rimba pohon bambu ini, dia percaya
dia akan dapat menandingi Hian Kee Itsoe, tidak disangka, dia rubuh di tangan
murid orang. Thian Hoa berempat memberi hormat, tanpa bilang apa-apa lagi, mereka
mengundurkan diri dari rimba bambu itu.
"Liehay ilmu silat nyonya tua itu," berkata Eng Eng di tengah jalan. "Kita masih
berbeda jauh sekali daripadanya. Aku lihat di jaman kita ini kecuali guru kita
dan Siangkoan Thian ya, dialah jago yang ketiga."
"Bila mereka itu mengadu kepandaian, itulah baharu suatu pertandingan yang
hebat," berkata In Loei.
"Mungkin mereka pernah mengadu kepandaian," kata Thian Hoa sambil tertawa.
"Sayang kita dilahirkan belakangan hingga kita tidak dapat menyaksikan mereka!"
"Aku rasa dia mempunyai perhubungan erat dengan guru kita," Eng Eng utarakan
dugaannya. "Shako, mendengar perkataanmu tadi, kau agaknya ketahui siapa nyonya
tua itu..."

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di pihak kita," sahut Thian Hoa, "yang mengetahui tentang dia, selainnya
soehoe, mungkin toasoeheng. Pernah aku dengar samar-samar toasoeheng mengatakan,
pertentangan antara soehoe dengan Siangkoan Thian Ya, tidak hanya disebabkan
perebutan menjadi kepala dari kaum Rimba Persilatan, tetapi juga tersangkut hal
seorang nona yang gagah luar biasa. Aku
telah minta penjelasan padanya tetapi toasoeheng sungkan memberitahukannya.
Toasoeheng tidak sudi berkata-kata perihal soehoe."
"Bagaimana dengan toasoeheng sendiri?" tanya Eng Eng.
"Sudah lama aku tidak melihat dia," jawab Thian Hoa. "Aku dengar desas-desus,
kamu semua telah mendapat salah pengertian terhadapku..."
"Itulah benar," Yap Eng Eng akui. "Sepuluh tahun lamanya kau berdiam di negeri
Watzu, sebenarnya apa saja yang kau kerjakan di sana" Kenapa kau pernahkan
dirimu di bawahan Thio Tjong Tjioe?"
Tjia Thian Hoa tertawa. Ia tidak jawab pertanyaan itu.
"Tan Hong, mari aku ajar kau kenal!" katanya kepada muridnya. "Soemoay, dia
adalah puteranya Thio Tjong Tjioe, ialah murid yang aku terima di Watzu."
Tan Hong lantas maju, untuk memberi hormat. Eng Eng menjadi heran.
"Kau telah mendapatkan murid yang pandai!" kata dia. "Pantas tadi dia bersama-
sama In Loei sanggup melayani orang tua itu selama lima puluh jurus..."
Hoeithian Lionglie merasa heran sekali, ia menjadi curiga. Mustahil cuma sebab
hendak mengambil satu murid, Thian Hoa jadi tidak merasa terhina untuk bekerja
di bawahannya Thio Tjong Tjioe, orang Han yang menjadi menteri bangsa asing itu"
Thian Hoa dapat menduga kecurigaan soemoay itu.
"Ceritaku panjang, maka itu, marilah kita cari dulu soeheng kita," berkata Thian
Hoa. Berempat mereka turun gunung. Untuk melanjutkan perjalanan, In Loei ajak gurunya
naik di atas kudanya, dan Tan Hong bersama gurunya naik atas Tjiauwya saytjoe
ma, maka itu, dengan cepat mereka dapat lakukan perjalanan mereka, belum sampai
setengah jam mereka sudah tiba di luar Ganboenkwan di tempat di mana
mereka sudah berjanji untuk bertemu. Akan tetapi di situ, mereka tidak lihat
Tiauw Im Hweeshio. "He, ke mana perginya djiesoeheng?" kata Eng Eng.
"Kuda kita dapat lari keras, mari kita cari padanya," mengajak Thian Hoa. "Mari
kita cari dia di sekitar sini."
"Baiklah kita mencari dengan berpencaran," Tan Hong usulkan.
"Tak usah kau terus turut kita," kata Thian Hoa pada muridnya. "Di dalam negeri
Watzu akan terjadi suatu perubahan besar, mungkin ayahmu berada dalam bahaya.
Kalau tidak untuk bertemu dengan djiesoeheng, tidak nanti aku datang kemari. Kau
pergilah bersama In Loei, kudamu dapat lari keras."
Tan Hong menjadi berkuatir.
"Ada ancaman bahaya apa, soehoe?" tanyanya.
"Yasian mencurigai ayahmu berhati dua," Thian Hoa jelaskan, "maka itu setelah
dia menarik kembali angkatan perangnya, niatnya menjadi semakin keras untuk
merampas pemerintahan. Cita-citanya sebagai Soema Tjiauw, semua orang telah
mengetahuinya. Aku hanya kuatir, niatnya itu akan diwujudkan dalam satu hari
satu malam..." Tan Hong menjadi berkuatir. Memang ayah terancam bahaya, apapula ayah itu
mengandung maksud membantu kerajaan Beng. Karena ini, tak sempat ia bertanya
banyak-banyak, habis memberi hormat kepada gurunya dan juga kepada Yap Eng Eng,
ia segera berlalu dengan mengajak In Loei.
Tjia Thian Hoa awasi kedua anak muda mengaburkan kuda mereka.
"Mereka lebih beruntung daripada kita!" katanya sambil bersenyum.
Muka Yap Eng Eng menjadi bersemu dadu. Ia merasa, Tan Hong dan In Loei itu
bagaikan bayangan mereka berdua - ia dan Thian Hoa.
Tan Hong bersama In Loei melarikan kuda mereka sekeras-kerasnya, maka dengan
segera mereka memasuki daerah Watzu, setelah tujuh hari, tibalah mereka di tanah
datar Tjumushentji, sesudah melintasi tanah datar ini, kira-kira dua ratus lie
lagi, mereka akan sampai di kota raja negara Watzu itu.
"Lagi dua hari, kita sudah akan sampai!" kata Tan Hong sambil bersenyum, karena
setelah berjalan demikian jauh, hatinya mulai menjadi lega. Ia tahu benar,
kudanya, dan kuda In Loei juga, bisa lari setiap hari lima ratus lie. Ia tarik
sebuah buli-buli yang digantung di pelana kudanya, di dalamnya ia simpan
minumannya yang dinamakan "manaitjiu" atau arak susu kuda, yang dapat dibeli di
sepanjang jalan. Ia menambahkan: "Sudah sekian
lama aku tidak pernah merasakan pula minuman ini. Adik kecil, apakah kau hendak
minum juga sedikit?"
Keluarga Thio ini sudah lama tinggal di Watzu, maka itu tahulah Tan Hong segala
makanan atau minuman bangsa asing itu, dan manaitjiu ini meskipun tidak dapat
melawan arak Tiongkok tetapi rasanya boleh juga.
In Loei menggelengkan kepala.
"Tidak, aku tidak mau," jawabnya. "Tak suka aku pada sarinya yang asam."
Tan Hong buka sumpal buli-buli itu, lalu ia bawa buli-buli itu ke mulutnya
sendiri, untuk digelogokkan isinya.
"Lihat, adik kecil, bagaimana indahnya pemandangan alam di sekitar sini," ia
kata kepada kawannya. In Loei tertawa.
"Lihatlah, salju tengah beterbangan," katanya. "Sekarang sudah jauh musim
dingin, perjalanan akan menjadi lebih sukar, maka marilah kita mengejar waktu!"
Tan Hong pun tertawa. "Sekarang sudah jauh musim dingin, itu artinya musim semi akan segera datang!"
katanya. Ia tenggak pula minumannya, terus ia
bernyanyi. Ia menyanyikan syair "Berperang ke Barat" dari Gim Som: "Di negeri
Hsiungnu, rumput kuning artinya kuda sedang gemuknya, di Barat bukit Kim San
tampak debu beterbangan, itu tandanya jenderal besar bangsa Han tengah maju
berperang ke Tanah Barat! Hai, adik kecil, meskipun kita, bukannya jenderal
besar Han itu, tetapi pentingnya perjalanan kita ini tak kalah dengan majunya
jenderal besar itu!"
In Loei pun tertawa, ia berkata: "Siapa berandalan, siapa gagah, dialah orang
kenamaan. Siapa bisa menangis, siapa bisa bernyanyi, dia melebihi orang biasa.
Kau bukannya orang kenamaan, kau hanya seorang gagah, tidakkah itu sayang?"
Tan Hong tertawa pula. "Berapa harganya orang kenamaan" Menjadi orang gagah pun aku sungkan!" kata dia.
"Aku hanya ingin bekerja menuruti kehendak hati sendiri, supaya di saat ajal
hampir tiba jangan meninggalkan penyesalan. Dengan begitu tidaklah kecewa kita
hidup!..." Dengan ini samar-samar Tan Hong menunjuk kepada perjodohannya dengan In Loei,
supaya jodoh itu dilangsungkan secara wajar, jangan sampai terhalang karena
rintangan lain orang, hingga karenanya mereka jadi melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan hati sendiri.
Mendengar itu, In Loei membungkam.
"Eh, adik kecil, apa yang kau pikirkan?" tegur Tan Hong.
Si nona paksakan diri untuk tertawa.
"Aku sedang pikirkan... aku sedang pikirkan..." sahutnya, tak lancar. "Ya, kita
telah berjalan selama beberapa hari, tapi kita tidak pernah melihat pengembala-
pengembala yang pergi ke Selatan untuk menghindarkan diri dari musim dingin.
Bukankah syair Gim Som itu mengatakan di Barat bukit Kim San tampak asap dan
debu beterbangan" Kenapa kita cuma melihat debu yang beterbangan saja dan
asapnya tidak?" Di Mongolia itu, setiap musim dingin, biasanya rakyat pengembala pergi mengungsi
ke Selatan, untuk menyingkir dari penderitaan hawa dingin, sambil mengungsi
mereka berusaha mengumpulkan barang keperluan sehari-hari untuk pada musim semi
membawa pulang barang itu untuk dijual.
Sebenarnya, Tan Hong pun heran karena selama beberapa hari itu, ia tidak pernah
melihat mengungsi kaum pengembala, sedang biasanya, yang tampak paling dahulu
adalah kuda mereka yang berkelompok. Ia mesti benarkan pendapat In Loei itu,
tetapi walaupun demikian, ia toh memikirkan pula.
Tiba-tiba mereka dengar suara kelenengan.
"Nah, lihat, lihat itu!" serunya sambil tertawa. "Bukankah itu kaum pengembala
yang tengah menuju ke Selatan?" Ia lantas palingkan kepalanya.
In Loei segera menoleh. Di kejauhan mereka tampak seekor onta tengah mendatangi. Itulah binatang yang
perdengarkan suara kelenengan. Berombongan dengan onta itu ada beberapa ekor
kuda. "Kelihatannya yang mengungsi itu cuma satu keluarga," berkata si nona. "Biasanya
mereka membuat perjalanan dalam rombongan-rombongan besar."
"Lihat!" kata TanHong. "Lihat di belakang mereka itu, masih ada rombongan
lainnya... Eh, mereka bukannya kaum pengembala, hanya serdadu Mongolia!"
Memang, dengan menerbitkan debu mengepul-ngepul, belasan serdadu Mongolia tengah
mendatangi. Atau lebih tepat lagi, serdadu-serdadu itu sedang mengejar rombongan
gembala di sebelah depannya. Mereka mengaburkan kuda mereka, tidak heran jikalau
mereka segera dapat menyusul. Dan mereka sudah lantas bersikap keras terhadap
rombongan itu, yang rupanya mau ditangkapi, mereka main tarik. Maka sejenak itu
terdengarlah ratap tangis dari lelaki atau perempuan dari rombongan pengungsi
itu. "Eh, itulah paksaan ketentaraan!" seru In Loei. Kenapa wanita hendak ditangkap
juga" Kita telah saksikan mereka, tak dapat kita diam saja!"
Nona ini menjadi sangat mendongkol.
Tan Hong, yang telah dipengaruhi sedikit oleh araknya, menyahuti: "Baiklah! Mari
kita binasakan beberapa serdadu Mongolia, kita rampas kudanya untuk diberikan
kepada kaum pengembala itu!"
"Jangan, jangan kau binasakan mereka!" mencegah In Loei. "Seorang serdadu pun
jangan kau binasakan. Kita usir saja mereka!"
Tan Hong bersenyum. Ia tahu In Loei pemurah hati, ia pun bicara dengan maksud
bergurau. "Baiklah, aku turut kau!" katanya.
Lalu mereka larikan kuda mereka, akan menghampiri rombongan serdadu Mongolia
serta pengungsi itu. Pada saat itu seorang serdadu telah menangkap seorang
wanita, dan beberapa serdadu lainnya, dengan panahnya, sedang mengancam dua
pria. "Kenapa kamu tidak mendengar titah Thaysoe?" demikian terdengar satu serdadu.
"Kenapa kamu lancang?"
Dua pengungsi pria itu, yang satu sudah berusia lanjut, yang lainnya masih muda.
"Baik, kami akan turut kamu kembali," berkata yang tua. "Akan tetapi anakku ini
tak dapat kamu tangkap!"
Ia maksudkan anak perempuannya.
"Kamu telah melanggar titah Thaysoe, kamu semua akan dihukum!" bentak serdadu
tadi. In Loei dengar pembicaraan itu, ia menjadi lebih gusar. Ia keprak kudanya untuk
maju mendekati. "Ah, itulah dua ekor kuda yang bagus!" berseru serdadu Mongolia itu. "Eh, ada
lagi dua orang Han!..."
Lalu mereka maju, untuk mendekati In Loei berdua.
"Apakah kamu menghendaki kuda ini?" tanya Tan Hong sambil tertawa. "Nanti aku
menghadiahkannya kepadamu! Hanya aku kuatir kamu tidak nanti sanggup
mengendalikan kuda ini..."
Kuda Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas mengamuk. Ia terjang serdadu-serdadu
Mongolia itu, ia mendupak sana-sini, hingga serdadu-serdadu itu jatuh bangun.
Orang yang menjadi kepala tak memandang mata kepada In Loei, ia maju kepada si
nona, dengan mengulurkan sebelah tangannya, ia hendak menangkap nona itu.
In Loei tangkis tangan orang itu, begitu keras, hingga perwira itu terjungkal
dari atas kudanya. "Benar-benar kamu berani mengganas!" bentak Tan Hong. "Lihatlah kuda ini!"
Dan ia ayunkan tangannya, tampaknya ia tidak memakai tenaga, tetapi kuda si
perwira lantas saja rubuh dengan batok kepalanya pecah.
Semua serdadu Mongolia itu kaget, hingga mereka berdiri menjublak. Itulah tangan
yang liehay sekali. In Loei, yang kemurkaannya sudah berkurang, tertawa menampak tingkah serdadu-
serdadu itu. "Kenapa kamu masih tidak hendak pergi dari sini?" ia tanya mereka. "Apakah kamu
hendak mencari mampus?"
Benar-benar rombongan serdadu itu menjadi sangat ketakutan, dengan satu teriakan
mereka lari kepada kuda mereka masing-masing untuk segera kabur.
Celaka bagi si perwira, yang kudanya telah terbinasa, saking takutnya ia pun
angkat kaki, larinya terhuyung-huyung.
Si pengembala tua lantas menghampiri Tan Hong, untuk memberi hormat, untuk
menghaturkan terima kasih mereka.
"Mereka tadi menyebut-nyebut titah dari Thaysoe, titah apakah itu?" tanya Tan
Hong. "Sekembalinya Thaysoe dari luar negeri, ia telah mengumumkan sebuah titah,"
sahut si pengembala. "Dengan titah itu, sejak musim dingin, kami dilarang pergi
mengungsi ke Selatan, katanya kami mesti menunggu sampai selesainya pengumpulan
tentera baru. Sekarang ini sudah banyak anak-anak muda yang telah diambil dengan
paksa, untuk dijadikan serdadu. Aku telah berusia lanjut, anakku cuma satu laki-
laki satu perempuan, jikalau anakku yang lelaki diambil, pasti sekali bersama
anakku yang perempuan aku akan mati sengsara. Oleh karena itu, dengan terpaksa
kami melarikan diri. Jika perbuatan kami ini diketahui, pasti kami akan dituduh
sudah berangkat mengungsi, dan itu artinya, kami akan kehilangan jiwa kami. Tapi
kejadian tadi adalah lain, rombongan serdadu itu bukannya menuduh aku telah
melanggar titah, tetapi mereka justeru hendak merampas gadisku..."
Mendengar keterangan itu, Tan Hong segera dapat pikiran, dengan mengumpulkan
tentera baru, terang sudah Yasian, si thaysoe, telah mengandung maksud untuk
berontak, guna merampas tahta kerajaan Watzu. Karena ini, ia kuatirkan
keselamatan ayahnya. Karena ini juga, ia tidak mempunyai kegembiraan lagi untuk
bertanya banyak pada pengembala itu, ia ingin segera pamitan...
Akan tetapi tidak demikian dengan In Loei.
"Kamu orang mana?" tanya si nona In, sambil memegangi tangan gadis pengembala
tua itu. "Siapakah namamu?" Kedua matanya menatap tajam wajahnya gembira.
"Kami dari suku Ngolo," sahut nona itu. "Kami tinggal di lembah selatan gunung
Tangkula. Namaku Tjitjelo..."
"Tjitjelo Anmei!" kata In Loei, meneruskan. "Entjie Anmei, kau baik!"
Gadis pengembala itu menjadi heran, hingga ia berdiri tercengang, kemudian ia
tatap wajah Nona In. Ia heran kenapa orang mengetahui namanya dan memanggil ia
entjie (kakak). Ia mencoba akan mengingat-ingat akan tetapi sejenak itu, tak
dapat ia mengingatnya. Tan Hong pun heran, maka ia awasi kawannya itu.
In Loei menunjukkan roman sangat tegang, ketika ia bicara pula, suaranya pun
menggetar. "Bagaimana dengan Antjilo, nyonya tua Mi In?" demikian pertanyaannya pula.
"Apakah nyonya tua itu masih ada di sana?"
Nona Ngolo itu masih mengawasi.
"Apakah kau maksudkan nyonya tua yang menikah dengan seorang Han?" dia tegaskan.
"Benar," sahut In Loei dengan cepat.
"Oh!..." seru si nona tertahan. "Kau jadinya In... In..."
"Ya, aku In Loei !" jawab Nona In. "Masih ingatkah kau padaku" Waktu kita masih
kecil, bersama ibuku sering aku pergi ke lembah menyaksikan kamu menggembala
kambing..." In Loei meninggalkan Mongolia dalam usia tujuh tahun, maka itu, segala apa ia
ingatnya samar-samar. Nona pengembala ini adalah kawannya semasa kecil. Dan
nyonya tua Antjilo Mi In itu, yang ia tanyakan adalah ibunya. Selama ayahnya, In
Teng menyembunyikan diri di Mongolia, ayah itu telah menikah dengan satu nona
Ouw, ialah sukunya nona pengembala ini. In Teng pandai sekali menyimpan rahasia,
sampaipun isterinya tak diberitahukan hal kepergiannya itu.
Bukan main girangnya si nona pengembala, melihat kawan semasa kecilnya sekarang
sudah menjadi seorang nona yang gagah, hanya bila ia dengar In Loei bertanya
tentang ibunya, ia nampaknya bersusah hati.
"Ketika tahun itu kamu lenyap secara mendadak," berkata si orang tua, yang
mewakili gadisnya, "ibumu telah menangis siang dan malam sampai kedua matanya
rusak hingga ia tak dapat melihat dengan terang. Kepala bangsa kita merasa
kasihan melihat nasib ibumu itu, ia telah memberikan pekerjaan sebagai tukang
pelihara kuda padanya. Sekarang ini mungkin ibumu itu masih ada di rumah kepala
bangsa kita itu. Karena ini kepala bangsa kita mengatakan bahwa semua orang Han
tak dapat dipercaya, sejak itulah ia mengumumkan larangan, wanita-wanita
bangsanya menikah dengan orang Han."
In Loei lantas saja menangis menggerung-gerung. Pilu rasa hatinya mendengar
penderitaan ibunya itu, ia lantas bayangkan bagaimana ibunya hidup sengsara.
"Sabar, adik kecil," Tan Hong menghibur. "Tunggu sampai kita sudah selesai
dengan tugas kita, kemudian kita cari ibumu itu. Syukur yang peebo masih ada di
dalam dunia ini dan kita telah mendengar perihalnya, inilah suatu keuntungan
dalam kesusahan... Sudahlah, jangan kau menangis." In Loei tatap Tan Hong. Ia
nampaknya mendongkol, akan tetapi, ia suka mendengar nasihat orang itu, maka ia
seka air matanya, setelah pamitan dengan bekas kawannya, orang tuanya dan


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudaranya, ia naik ke atas kudanya, untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Lenyap kegembiraan Tan Hong. Ia pun berduka, menyesal sekali, mendengar nasib
ibu In Loei itu. Ia insaf, penderitaan Nyonya In itu, biar bagaimana, disebabkan
karena sikap ayahnya dahulu. Maka diam-diam ia ambil putusan untuk melakukan
sesuatu guna menebus kesalahan ayahnya itu.
Di sepanjang jalan ke Utara itu, Tan Hong dan In Loei tampak semakin banyak
tentera Mongolia, akan tetapi karena kuda mereka dapat lari pesat, mereka
senantiasa menyingkir dari mereka itu, walaupun mereka dapat dilihat serdadu-
serdadu itu, untuk mengejarnya, mereka itu tidak sanggup.
Selang dua hari lagi, tibalah pemuda dan pemudi ini di kota raja negara Watzu.
Mereka itu sudah salin pakaian, mereka telah dandan
sebagai kaum pengembala yang memasuki kota untuk belanja musim dingin...
Untuk dapat bertinggal, Tan Hong menyewa kamar di sebuah rumah penginapan kaum
pertengahan, setelah pernahkan kuda mereka, mereka keluar dari hotel. Tan Hong
hendak pergi ke rumah, yang ada sebuah sianghoe-nya, yaitu gedung menteri muda,
yang letaknya didekat istana, di bahagian depannya terdapat jalan perapatan di
mana banyak kendaraan berlalu lintas, hingga jalan besar itu menjadi ramai
sekali. Akan tetapi hari itu, sedikit sekali orang yang mondar-mandir di situ,
hingga keadaan menjadi sangat sunyi.
Menginjak jalan perapatan itu, hati Tan Hong tegang sendirinya, ia mendapat
suatu perasaan luar biasa. Di dalam hati kecilnya ia berseru "Celaka!..."
Sebenarnya, bila ia lintasi jalan besar itu, Tan Hong akan segera tiba di
gedungnya, akan tetapi ia sudah lantas dapat pikiran, maka ia tarik tangan In
Loei, untuk membawa kawan ini memasuki sebuah gang kecil di mana keduanya
seperti bersembunyi di pojok. Dari sini Tan Hong dapat memandang ke depan
sianghoe, hingga ia dapat melihat sejumlah serdadu yang rupanya bertugas menjaga
di situ. Apa yang ia anggap luar biasa ialah, tidak ada seorang serdadu juga
yang ia kenali. Jadi mereka itu bukanlah serdadu-serdadu dari gedung itu.
Kembali Tan Hong menarik tangan si Nona In, untuk mengajak nona ini melintasi
beberapa jalan, dan akhirnya mereka berhenti di sebuah warung arak.
"Marilah kita dahar dan minum dahulu," katanya pada kawannya.
In Loei manggut, ia menurut. Tan Hong pesan sekati daging serta dua kati arak
Mongolia yang paling kesohor, yang dinamakan "arak merah rumput wangi."
"Menyesal sekali, di sini tidak tersedia arak itu," kata pelayannya.
"Kalau begitu, pergi tolong belikan," kata Tan Hong, yang terus menyerahkan
sepotong perak. Pelayan itu heran mendapatkan seorang pengembala dengan banyak uang, tetapi ia
pergi tanpa bilang suatu apa, waktu ia kembali, ia sudah lantas sajikan arak
yang diminta itu. Selagi hendak mengembalikan uang kembaliannya, ia berkata:
"Arak ini harganya sekati satu tail empat tjhie, maka itu dua kati jadi..."
"Tak usah kau kembalikan, ambil saja untukmu," kata Tan Hong memotong.
Kembali pelayan itu menjadi heran. Jumlah harga arak itu cuma dua tail delapan
tjhie, tapi uang perak tadi berharga sepuluh tail, maka persenan itu besarnya
tujuh tail dua tjhie. Tidak heran kalau ia menjadi girang luar biasa, berulang-
ulang ia haturkan terima kasihnya. Kebetulan waktu itu tidak ada lain-lain
tetamu, hanya ia dapat mendampingi kedua tetamu itu, untuk siap sedia melayani
terlebih jauh. Tan Hong keringkan beberapa cawan arak.
"Gedung di depan itu gedung siapa?" ia tanya jongos itu, sikapnya acuh tak acuh.
"Oh, tuan tidak mengetahuinya?" si pelayan balik menanya, agaknya ia heran.
"Itulah gedung dari Yoesinsiang Thio Tjong Tjioe."
"Ah, pantas gedungnya besar dan mentereng!" kata Tan Hong dengan tingkah
dibikin-bikin tapi tampaknya wajar. "Di depan gedung itu juga terdapat banyak
serdadu yang menjaga, sampai orang tidak berani lewat di depannya. Tentu mereka
yang dagang di dekat situ mengalami nasib malang, bukan?"
"Dulunya tidak ada penjagaan demikian banyak serdadu," berkata si pelayan. "Katanya Thaysoe Yasian yang mengirim serdadu-serdadu penjaga
itu..." "Begitu" Mungkinkah Thio Sinsiang berbuat sesuatu kesalahan terhadap Thaysoe
maka gedungnya itu dijaga?"
"Tentang itu, aku tidak tahu," pelayan itu menggelengkan kepalanya. "Hanya aku
lihat masih saja ada hamba-hamba gedung itu, dengan ditilik serdadu-serdadu,
pergi keluar untuk berbelanja sayuran dan lainnya. Kabarnya Thio Sinsiang masih
ada di dalam gedung itu."
"Ah, kau pandai mendengar kabar!" Tan Hong puji.
Si pelayan, girang sudah dipersen besar, sekarang dipuji juga.
"Karena kami cuma terpisah satu jalan besar dengan sianghoe, kami bisa dianggap
juga sebagai tetangga," berkata ia pula. "Biasanya, kalau Thio Sinsiang hendak
pergi ke istana, dia mesti lewat di depan rumah makan kami, tetapi sudah sejak
beberapa hari, kita tidak pernah lihat Sinsiang pergi ke istana. Sinsiang suka
sekali akan hati kambing, selama beberapa hari ini dia masih tetap membeli pada
kami." Lega juga hati Tan Hong mendengar keterangan ini.
"Jikalau begitu, ayahku tentu telah ditahan secara halus oleh Yasian," pikirnya.
"Yasian tidak menurunkan tangan jahat, apa perlunya ia mengurung ayah secara
begini" Itulah penahanan rumah...
Untuk sementara, keterangan itu sudah cukup, maka habis dahar dan minum, Tan
Hong ajak In Loei kembali ke hotel. Selama di rumah makan tadi, In Loei
kebanyakan diam saja. "Adik kecil," berkata Tan Hong, "sekarang pergilah kau ke rumah penginapan di
sebelah untuk minta sebuah kamar. Sebentar malam, apabila tidak terjadi sesuatu,
akan aku pergi padamu untuk mengajak kau menyelidiki sianghoe."
"Kenapa kau bertindak begini?" tanya In Loei, yang kurang mengerti.
"Bersiap sedia ada terlebih baik daripada tiada," jawab Tan Hong. "Adik kecil,
kau dengar saja perkataanku."
"Kalau begitu, baiklah," si nona menurut. "Malam ini akan aku nantikan kau. Tapi
untuk pergi ke rumahmu, aku tidak mau..."
Tan Hong tahu orang menjadi malu, ia tertawa.
"Baik," katanya. "Hal itu nanti saja kita bicarakan pula. Sekarang aku hendak
minta kau melakukan sesuatu. Yaitu kau mesti secara diam-diam meninggalkan
tanda-tanda di tembok-tembok dari rumah-rumah di sekitar jalan besar dan gang-
gang di sini." In Loei terima tugas ini, maka Tan Hong ajarkan dia tanda-tanda yang mesti
dicoretkan itu, ialah tanda dari perguruan si pemuda. Waktu itu juga si nona
mengundurkan diri. Habis bersantap, waktu sudah magrib. Tan Hong hendak mencari In Loei ketika
jongos memberitahukan ada tetamu pembesar negeri yang datang berkunjung padanya.
"Heran..." pikir pemuda ini.
Ketika pintu kamar dipentang, di situ muncul satu perwira. Dia adalah Ngochito
pahlawannya Yasian. "Thio Tan Hong, kau sungguh bernyali besar!" kata pahlawan itu sambil tertawa.
"Bagaimana kau berani datang kemari?"
Tan Hong juga tertawa. "Kau juga bernyali besar sekali!" jawabnya. "Bagaimana kau berani datang ke
sini! Telah sembuhkan lukamu?"
Di pesanggrahan See To, Ngochito telah dilukai Tan Hong, dan dia pun telah
dihajar Tjio Eng, tidak peduli dia mengenakan baju berlapis baja, dan karena
lukanya dia harus merawat diri hampir setengah bulan, tetapi sekarang dia telah
sembuh kembali. "Terima kasih untuk hadiahmu!" sahutnya sambil bersenyum. "Syukur tulang-
tulangku masih dapat pertahankan diri, hingga tak usahlah aku sampai
ditertawakan kau..."
Tan Hong pun bersenyum. "Apa kehendakmu sore ini kau datang kemari?" ia tanya. "Disini bukannya tempat
untuk bertempur." "Aku datang bukan untuk mencari kau guna menuntut balas," jawab Ngochito. "Tentu
saja, bila kau menghendakinya, di belakang hari mungkin kita akan melakukan
pertempuran pula. Aku datang untuk memberi selamat padamu!"
"Selamat untuk apakah itu?" Tan Hong tegaskan.
"Kau sungguh beruntung, bocah!" kata Ngochito sambil tertawa. "Thaysoe telah
ketahui segala tindak tandukmu, dia bersikap sangat murah hati terhadapmu, maka
malam ini dia undang kau menghadiri perjamuannya."
"Ha! Mengundang aku berjamu?" tanya Tan Hong.
"Benar! Lekas kau salin pakaian! Sampai sekarang ini, tak usah kau main
sembunyi-sembunyi lagi, tak usah kau menyamar terus sebagai satu pengembala!"
Tanpa ragu-ragu, Tan Hong sudah lantas tukar pakaian.
"Sungguh liehay kuping dan mata thaysoe1." katanya selagi salin pakaian.
Ngochito tertawa. "Kau cerdik, lain orang tidak tolol!" katanya. "Thaysoe kata kau cerdas seumur
hidupmu, tetapi suatu waktu kau pun berlaku sembrono!"
"Bagaimanakah itu?"
"Kau menggunakan tanganmu terlalu sembronoiBukankah kau telah mencari keterangan
dari seorang jongos rumah makan" Dia telah memikirkan sikapmu itu" Dapatkah dia
tidak memberi laporan kepada pihak polisi?"
Tan Hong tidak terkejut. Kejadian itu telah diduganya. Ia malah menduga, mungkin
Yasian akan mengundang padanya. Maka itu, siang-siang ia sudah menyuruh In Loei
memisahkan diri. "Eh, ke mana nyonya manismu?" tanya Ngochito.
"Kau ngaco! Dia adalah soemoay-ku!"
"Peduli apa dia isterimu atau soemoay-mu Mana dia!"
Thio Tan Hong tidak segera menjawab, ia hanya tertawai pahlawan itu.
"Thaysoe pandai menghitung-hitung, apakah dia tidak dapat menghitung-hitung
tentang soemoay-ku itu?" dia tanya. "Soemoay-ku itu jauh terlebih cerdik
daripadamu! Aku sendiri telah datang kemari dengan pertaruhkan jiwaku, akan
tetapi dia, dia masih sayangi jiwanya untuk beberapa tahun lagi - dia takut
nanti terbawa-bawa olehku, siang-siang dia telah angkat kaki!"
Ngochito sudah cari keterangan, dia dapat kepastian, In Loei telah pergi sejak
tadi siang, maka itu, dia percaya akan perkataan Tan Hong ini. Ia tertawa.
"Memang dia sangat cerdas, akan tetapi pastilah Thaysoe tidak mengijinkan dia
berdiam di kota raja ini! Mari kita berangkat! Thaysoe berlaku baik sekali
terhadapmu, tidak usah kau mengadu jiwamu!..."
Tan Hong telah selesai salin pakaian, ia tidak usah membayar lagi uang sewa
kamar, sudah ada Ngochito yang mendahului membereskannya, maka itu ia lantas
keluar dari hotel di depan mana sudah menantikan beberapa pahlawan lainnya, yang
datang bersama-sama Ngochito itu. Ia segera naik kereta kuda yang disiapkan
untuk menyambut padanya. Tidak sampai setengah jam, tibalah mereka di gedung perdana menteri, yang jauh
terlebih mentereng daripada gedung Menteri Muda Thio Tjong Tjioe. Di sini, pintu
luarnya tiga lapis, pintu dalamnya juga tiga lapis, dan ke enam pintu itu
berkunci besi. "Tetamu telah tiba!" seru seorang pahlawan setelah mereka memasuki pintu ke
enam. Segera juga pintu tengah dipentang, di dalam tampak cahaya api bergemerlapan. Di
dalam ruangan itu pun di bahagian tengah, tampak Thaysoe Yasian tengah berduduk.
"Silakan tetamu itu masuk!" dia berikan titahnya, di mana disampaikan oleh
pengiringnya. Dengan bersikap tenang dan wajar, Tan Hong bertindak diundakan tangga.
Seorang pahlawan datang menghampiri, untuk memimpin.
"Undakan tangga di sini tinggi, hati-hati sedikit!" berkata pahlawan itu.
Tan Hong bermata celi, ia lihat gerakan tangan Taylek Engdjiauw kang-nya, maka
itu, ia bersenyum. "Aku dapat berjalan sendiri, kaulah yang berhati-hati!" katanya. Ia kerahkan
lengannya yang dicekal, atas mana pahlawan itu mundur beberapa tindak dengan
tubuhnya terhuyung. Meski begitu, di bagian lengan yang dicekal itu, si anak
muda merasakan sakit. Maka mau atau tidak, ia bercekat di dalam hatinya.
Teranglah pahlawan ini lebih liehay daripada Ngochito, siapakah pahlawan ini"
Lalu, tanpa memberi tanda apa-apa, ia bertindak terus mendaki tangga sampai di
ruangan tengah. Segera juga terdengar tertawanya Yasian.
"Baharu dua tahun kita tidak bertemu, kau telah menjadi begini besar, hiantit1.'
berkata perdana menteri itu. "Kau telah pandai dalam ilmu surat dan silat,
sungguh kau harus diberi selamat!"
Tan Hong berikan hormatnya kepada menteri agung itu.
"Dua tahun kita tidak bertemu, Thaysoe pun telah bertambah agung!" ia menimpali,
dengan suara nyaring tetapi sikapnya wajar. "Thaysoe telah berkedudukan tinggi
dan berpengaruh besar, hingga rakyat cuma tahu ada Thaysoe tetapi tidak Sri
Baginda Raja! Sungguh Thaysoe juga harus diberi selamat!"
Tepat kata-kata Tan Hong itu, akan tetapi untuk mereka yang tahu, itu justeru
suatu ejekan. Yang pertama untuk kegagalan Yasian menyerbu ke Tionggoan, dan
kedua untuk cita-citanya merampas tahta kerajaan.
"Bagus, bagus!" berkata Yasian sambil tertawa. "Hiantit telah kembali dari
tempat yang jauh, silakan duduk, mari minum!"
Di samping Yasian duduk seorang pendeta yang tubuhnya tinggi dan besar, dia
telah menuang penuh sebuah cawan, sambil berbangkit, dia berkata: "Mari, lebih
dahulu aku beri selamat kepada Thio Kongtjoe1."
Dia pegang cawan itu dengan kedua jari tangannya, dia putar cawan itu, yang
isinya penuh, akan tetapi arak itu tidak tumpah keluar, lalu diangsurkan ke muka
si anak muda. Tan Hong heran menyaksikan gerakan tangannya, itulah tenaga yang dikerahkan pada
jari-jari tangan. Lekas-lekas ia menyambuti.
"Maaf, aku belum ketahui gelaran tayhoatsoeV berkata ia. Ia buka tangannya,
untuk menyambut cawan itu dengan telapak tangannya, lalu dengan melemahkan
telapak tangan itu, ia buyarkan tenaga menekan orang. Begitu lekas ia menyekal
cawan, terus saja ia minum.
Wajah si pendeta berubah dengan tiba-tiba, tetapi dalam sejenak itu, Tan Hong
juga telah menunjukkan roman heran, karena ia rasakan tenaga dalam orang yang
hebat sekali. Bila ia tidak mendapat latihan menurut "Hiankong Yauwkoat,"
niscaya ia bisa terluka serangan gelap dari si pendeta itu, atau sedikitnya,
arak itu akan tumpah keluar.
"Ah, dia terlebih liehay pula dari si pahlawan tadi..." katanya dalam hatinya.
"Pahlawan itu masih aku sanggup layani, tetapi dia ini, sukar mengatakannya.
Entah dari mana Yasian kumpulkan orang-orang kosen ini?"
Belum lagi si pendeta menjawab, Yasian sudah mendahuluinya.
"Hiantit, mari aku ajar kenal," demikian katanya.
"Inilah Tjeng Kok Hoatsoe dari Ang Kauw dari Seetjhong, dan ini," ia menoleh,
akan menunjuk pahlawan yang tadi, "adalah Ma I Tjan, orang kosen suku Tuyuhun!"
Bersama dua orang itu, Tan Hong keringkan secawan arak. Sekarang tahulah dia, si
pendeta berasal dari Agama Merah (Ang Kauw) dari Thibet (Seetjhong), dan si
pahlawan adalah orang Tuyuhun.
Masih Yasian berkata pula: "Aku tadinya menduga hiantit pesiar jauh hingga lupa
pulang! Tentu banyak tempat yang hiantit telah kunjungi?"
"Dari utara ini aku berangkat ke Kanglam," sahut Tan Hong sambil tertawa, "di
sana aku dapat kenyataan Tionggoan adalah daerah makmur dan rakyatnya jelita.
Sungguh Tionggoan adalah satu dunia yang indah, suatu negara bersulam. Maka
sayang bagi Thaysoe yang baru saja tiba di luar Pakkhia sudah lantas kembali
pulang." Wajah perdana menteri itu berubah mendengar perkataan orang itu.
"Tanah Tionggoan itu pastilah lain kali akan aku kunjungi pula untuk membuka
mataku!" berkata dia kemudian. "Hiantit, aku akan minta kau turut serta untuk
menjadi pengantarku."
"Hm!" Tan Hong perdengarkan suara perlahan, lalu ia kata: "Tadi malam dalam
mimpiku aku telah pergi pula ke Tionggoan, hanya sayang mimpiku itu tidak lama,
lantas aku sadar." Yasian dapat kendalikan dirinya, ia tertawa. Ia tutupi kelikatannya dengan
menenggak araknya. "Hiantit, kau menjadi lebih pandai bicara," ia kata. "Usiaku telah lanjut, apa
yang aku pikir lantas aku ucapkan, maka itu aku minta hiantit jangan menaruh
kata-kata itu dalam hati bila tidak pantas didengarnya..."
"Tidak apa, Thaysoe," jawab Tan Hong. "Silakan Thaysoe katakan apa yang hendak
diucapkan. Senang sekali aku menerima pengajaran dari Thaysoe."
"Hiantit baharu saja kembali, kau tentunya belum bertemu dengan ayahmu," berkata
perdana menteri itu, "sekarang aku
mendahului ayahmu menyambut kau, aku percaya ayahmu tidak akan menjadi kurang
senang hati." "Sebaliknya, hendak aku mewakilkan ayahku untuk menghaturkan terima kasih untuk
budi kebaikan Thaysoe," kata Tan Hong.
Yasian heran, hingga ia mengawasi pemuda itu.
"Menghaturkan terima kasih untuk apakah?" ia tanya.
"Seumur hidupnya ayahku selalu repot," sahut Tan Hong, "tapi sekarang dengan
kecintaan Thaysoe , dia telah dibebaskan dari tugasnya, hingga dia mendapat
ketika untuk berdiam di rumah, untuk beristirahat. Sebenarnya inilah suatu hal


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tak dapat diminta, dari itu, bagaimana aku bisa tidak menghaturkan terima
kasih kepada Thaysoe?"
Mendengar itu, Yasian tertawa terbahak-bahak.
Tan Hong perlihatkan roman heran.
"Mungkinkah keponakanmu telah keliru berbicara hingga Thaysoe mentertawakannya?"
ia tanya. "Hiantit tidak salah omong, hanya kau pandai sekali berbicara," sahut perdana
menteri itu. "Benarlah bunyi pribahasa, yang kenal anak tak ada yang melebihi
ayahnya, sebaliknya, yang kenal ayah juga tak ada yang melebihi anaknya. Memang
aku berniat pergi ke Tionggoan, akan tetapi ayahmu itu, bagaimana bisa dia tak
menghendaki pulang ke negeri asalnya" Hiantit, marilah kita bicara secara terus
terang. Dapat atau tidaknya ayahmu pulang ke Tionggoan, itulah tergantung padamu
sendiri!" Tan Hong berlaku tenang. "Silakan Thaysoe bicara dengan jelas," ia minta.
"Kali ini aku pergi ke Pakkhia, sia-sia saja hasilnya, Yasian akui. "Kebandelan
Ie Kiam si Bantjoe sungguh di luar sangkaanku, sedang suasana di dalam negara
kita juga adalah salah satu sebab lain yang
memaksa aku mesti lekas pulang kembali. Hiantit, kau seorang diri, tidak ada
halangannya untuk aku menjelaskannya."
"Adakah ayahku yang Thaysoe maksudkan dengan suasana di dalam negeri itu?" tanya
Tan Hong. Yasian tertawa. "Aku bukan maksudkan ayahmu, aku bicara mengenai Tiewan Atzu," ia terangkan. "Di
Barat, Atzu mempunyai tentera sendiri, tapi dia tidak mentaati titah pusat.
Apakah benar hiantit masih belum tahu halnya dia itu?"
"Aku baharu saja pulang, aku masih belum tahu," jawab si anak muda yang di
panggil hiantit itu. (Hiantit = keponakan)
"Sekarang ini Watzu terpecah dalam tiga bahagian," Yasian berbicara terlebih
jauh. "Sri Baginda sangat lemah, tak dapat dia mengendalikan negara, maka itu
untuk dapat menjagoi di luar tapal batas, untuk memberi minum kuda di sungai
Tiangkang, hanya aku atau Atzu-lah yang dapat melakukannya..."
Tan Hong tidak bilang suatu apa, ia cuma tertawa tawar.
"Atzu itu gagah tetapi ia tidak berbudi," berkata pula Yasian. "Bukannya aku
tekebur, untuk menggunakan kata-kata bangsa Han, orang gagah yang sebenarnya
adalah Lauw Pie bersama Tjo Tjoh. Aku tidak pandai tetapi aku berani
membandingkan diriku dengan Tjo Tjoh itu..."
"Habis, siapakah yang menjadi Lauw Pie itu?" Tan Hong tegaskan.
"Ayahmu yang terhormat itu ialah Lauw Pie," Yasian jelaskan. "Ayahmu adalah
boenbee tjoantjay, sudah lama dia memegang kekuasaan, dia tahu betul keadaan
dalam negeri Watzu, maka bila dia berserikat bersamaku, tak sukar untuk kita
bersama-sama menyingkirkan Atzu, sesudah itu baharulah kita bersama-sama juga
memimpin angkatan perang kita ke Selatan. Sampai waktu itu pastilah ayahmu yang
terhormat itu akan dapat memberi minum
kudanya di Tiangkang, hingga terwujudlah cita-citanya untuk pulang ke negaranya
sendiri." Tan Hong gusar mendengar perkataan itu, tetapi ia masih dapat atasi dirinya.
Selagi ia menahan sabar, Perdana Menteri itu sudah melanjutkan pula
pembicaraannya. "Pada lima hari yang lalu, pernah aku menulis surat secara rahasia kepada
ayahmu, untuk mengajak dia berdamai," demikian perdana menteri itu, "akan tetapi
sampai sekarang, ayahmu masih belum memberikan jawabannya. Hiantit, kau adalah
seorang yang cerdas, maka itu telah aku pikir untuk meminta bantuan kau, supaya
bila nanti kau pulang ke rumah, sukalah kau mewakilkan aku untuk membujuk ayahmu
itu." Sekarang jelaslah bagi Tan Hong, Yasian hendak bersekutu dengan ayahnya untuk
bersama "menghukum" Atzu, untuk menyingkirkan pangeran yang dipandang sebagai
musuh itu. Terang sudah, habis itu, Yasian akan mengangkat dirinya menjadi raja
Watzu dengan jalan merampas tahta. Inilah sebabnya, atau lebih tepat lagi karena
ayah belum memberikan jawaban, hingga ayah dikenakan tahanan rumah. Oleh karena
ini, ia lantas berpikir keras. Ia insyaf, kekuasaan berada di tangan Yasian itu
artinya, juga jiwa ayahnya berada dalam genggaman perdana menteri ini. Kalau
sekarang ia bersikap keras, ancaman bencana di belakang hari tak dapat
dipikirkan besarnya. Pada itu pun tersangkut nasibnya Tionggoan. Maka haruslah
ia berhati-hati. "Sekarang ini, Pangeran Atzu bukanlah tandingan Yasian," ia berpikir lebih jauh,
"umpama kata Yasian tidak bersekutu dengan ayah, dia pun masih dapat mewujudkan
cita-citanya untuk mengangkat dirinya menjadi raja. Bahwa dia toh minta bantuan
ayah, itulah tak lebih tak kurang agar dia dapat memastikan berhasilnya usaha
itu. Tidak ada lain jalan, sekarang perlulah aku menggunakan siasat memperlambat
diri, untuk menunggu sampai Ie Kokioo sudah selesai dengan penyempurnaan
ketenteraannya. Maka itu, andaikata Yasian telah berhasil, dia tak usah
dikuatirkan." Yasian sementara itu menantikan jawaban, ia mendesak.
"Kedua pihak telah bersahabat turun temurun, antara kita tak ada kata-kata yang
tak dapat diucapkan," demikian perdana menteri itu. "Bagaimana pikiranmu,
hiantit" Aku minta sukalah kau menjelaskannya."
Sekonyong-konyong saja Tan Hong tertawa bergelak.
"Rembulan demikian permai, arak lezat tengah menanti, kalau sekarang kita
bicarakan urusan besar dari negara, tidakkah kita telah mensia-siakan malam yang
indah ini?" berkata Tan Hong. "Marilah kita keringkan dahulu tiga cangkir!
Thaysoe, mari, aku beri selamat kepadamu dengan tiga cawan! Silakan minum!"
Yasian tercengang, hatinya tak puas. Akan tetapi untuk kesopanan, tidak dapat ia
Pendekar Sakti Suling Pualam 17 Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman Suling Emas 17
^