Pencarian

Dua Musuh Turunan 17

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 17


terus cari, hingga kesudahannya kedua pihak ketemu di tengah jalan itu dan jadi
bertempur. Bungkam Tiauw Hay ditegur Tan Hong.
"Kecewa kau menjadi taylwee tjongkoan1." Tan Hong tegur. "Raja perlakukan baik
padamu, di saat raja dalam bahaya terkurung musuh, bukannya kau membela mati-
matian, kau justeru meninggalkannya lari sambil curi juga barang-barang
berharganya. Kedosaanmu karena kabur saja, bahagianmu adalah bahagian mati, itu
ditambah pula dengan pencurian!"
Hek Moko menjadi tertawa bergelak-gelak.
"Benar-benar kau perolehnya dari mencuri!" dia berkata, dia mengejek. "Oh, kau
kiranya juga satu taylwee tjongkoan1. Baik, mari rasai ruyungku ini!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu serangan.
Dengan terpaksa Kong Tiauw Hay melakukan perlawanan pula.
Thianmo Thunghoat dari Hek Moko liehay sekali, dan sekarang ia menyerang dengan
sungguh-sungguh, tidak separuh memain seperti tadi, maka itu, baharu lima jurus,
Tiauw Hay sudah kewalahan, walaupun dia telah keluarkan antero kepandaiannya.
Tepat pada jurus ke enam, goloknya bekas tjongkoan itu kena disampok terlepas
dan terpental, menyusul mana, Lekgiok thung turun terus untuk meminta jiwa!
Tan Hong terkejut, hatinya tak tega. "Ampuni dia!" ia berseru. "Rusakkan saja
ilmu silatnya!" Ruyungnya Hek Moko turun terus, tepat mengenai pundaknya Tiauw Hay meskipun dia
telah mencoba mengegos tubuhnya. Dia menjerit keras dan rubuh, tulang piepee-nya
telah patah remuk, habis musnalah kepandaiannya Kimtjiong tiauw, ilmu kebal itu,
turut musnah juga semua kepandaian silatnya, hingga selanjutnya dia jadi seorang
biasa yang bercacat. "Djin wie tjay soe, niauw wie sit bong, itulah bagianmu!" Tan Hong berkata.
"Hari ini kau tidak sampai binasa, inilah untungmu! Maka selanjutnya baiklah kau
mencoba untuk menjadi orang baik-baik!..."
Tiauw Hay merasakan tepatnya teguran Tan Hong itu. Memang - djin wie tjay soe,
niauw wie sit bong = manusia mati karena harta, burung mampus sebab makan. Maka
dengan paksakan melawan rasa sakitnya, ia bangun berdiri untuk terus lari
terbirit-birit. Dari seorang "berharta besar," ia menjadi seorang rudin dan
bercacat juga, untuk hidupnya selanjutnya ia manda menjadi kuli di sebuah
perusahaan pengembalaan, di mana pun, saking berduka, ia kemudian mati
mereras... Sekaburnya Kong Tiauw Hay, Hek Pek Moko membuat pertemuan dengan Tan Hong.
Mereka saling unjuk hormat, lalu kedua pihak sama-sama tertawa riuh.
"Kamu datang dari mana?" kemudian Tan Hong tanya.
"Kami baharu pulang dari India di mana kami berusaha, baharu kemarin dulu kami
tiba di gunung Tangkula," sahut Hek Moko.
"Bukankah itu wilayahnya suku bangsa Ngolo?" kata Tan Hong, yang tiba-tiba ingat
sesuatu. "Apakah kau bertemu kepala suku Ngolo itu?" Pek Moko tertawa.
"Kami adalah kaum saudagar, tak sempat kami menghadap kepala suku itu." dia
menyahuti. "Ada juga lain rombongan orang besar yang pergi berkunjung kepada
kepala suku bangsa itu! Selama beberapa hari ini, dia sedang sangat repot..."
"Siapakah yang mengunjungi kepala suku itu?" Tan Hong tanya.
"Kabarnya utusannya Yasian."
"Oh!" seru anak muda itu, tertahan. "Utusannya Yasian?"
"Kabarnya Yasian hendak beli suku itu, untuk diajak sama-sama menentang Pangeran
Atzu," kata Pek Moko. "Aku dengar hal ini di tengah jalan, dari satu sahabat.
Nampaknya di dalam negeri Watzu bakal terbit kekalutan. Kawanku kuatir terhalang
perjalanannya, mereka siap sedia untuk pergi ke Selatan. Eh, ya, ayahmu adalah
menteri muda dari Watzu, apakah kau tidak dengar kabar halnya Yasian itu?"
"Aku dapat dengar, hanya sedikit," Tan Hong jawab. Lalu mendadak ia ingat
sesuatu. Maka terus ia berkata kepada dua saudara itu: "Maukah kau kasihkan dua
rupa barang itu padaku, yaitu cap pribadi kaisar dan tusuk kondenya permaisuri"
Ayahku ada punya milik di ibu kota Watzu, biarlah aku tukar itu dengan dua rupa
barang ini." Hek Moko tertawa.
"Oh, tidak, tidak hendak aku jual!" ia kata.
Dua barang itu, yang satu adalah mustika negara, yang lain perhiasannya
permaisuri, Tan Hong hendak beli itu, untuk nanti dikembalikan kepada Kaisar
Tjeng Tong, tetapi Hek Moko menolak, ia menjadi tidak gembira. Kembali Hek Moko
tertawa. "Barang itu memang tidak hendak aku jual, tetapi suka aku menghadiahkannya
kepadamu!" ia berkata pula. "Bukankah benda ini kami dapat pungut di tengah
jalan" Tidak hanya itu dua barang, juga semua bungkusan ini, semua hendak aku
hadiahkan kepadamu!"
Tan Hong heran. "Apa katamu?" dia tanya.
Lagi-lagi Hek Moko tertawa.
"Apakah di kolong langit ini hanya kau seorang yang diperkenankan untuk berlaku
murah hati?" dia tanya. "Apakah hanya kau yang boleh mengamal" Dahulu hari kau
telah pulangkan barang-barang pendaman yang aku kalah bertaruh denganmu, dari
itu, apa artinya beberapa rupa barang ini" Karena barang ini dapat kau
pergunakan, kau ambillah semua!"
Matanya Tan Hong memain, ia tertawa. "Baiklah," katanya. "Kamu baik hati sekali,
djiewie, aku tidak sungkan-sungkan lagi. Sekarang aku hendak minta djiewie
tolong aku dalam satu urusan..."
Hek Pek Moko biasanya tidak sungkan terhadap siapa juga, tetapi terhadap Tan
Hong mereka kagum dan takluk, maka itu, dengan lekas mereka berikan jawabannya.
"Katakanlah, apakah itu?" berkata Hek Moko. "Walau urusan itu ada sebesar
langit, kami berdua saudara sanggup melakukannya!"
Tan Hong bersenyum. "Itulah bukan urusan sebesar langit!" katanya. "Aku cuma hendak minta kamu
antarkan sepucuk suratku. Surat itu harus disampaikan sambil lalu."
"Kepada siapakah surat itu mesti diterimakan-nya?" Hek Moko tanya.
"Bukankah dalam perjalananmu ini kamu akan melalui wilayah barat dari Atzu
Tiewan?" Tan Hong menegaskan.
"Memang. Jadi kau hendak kirim surat pada Pangeran Atzu?" Pek Moko pun
menegaskan. "Benar." "Baiklah! Mana suratmu itu?"
Di tengah jalan itu tidak ada kertas dan alat tulisnya, maka tidak ada lain
jalan, Tan Hong ambil sepotong kulit kambing di atas mana ia "menulis" dengan
ujung pedangnya. Setelah selesai, surat istimewa itu ia serahkan pada Hek Moko
berikut dua rupa batu permata.
"Aku minta surat ini berikut dua rupa mustika ini kau serahkan pada Atzu," ia
bilang. Hek Moko menyambuti, ia simpan surat dan permata itu.
"Nah, sampai kita ketemu pula!" kata dia kemudian, yang bersama adiknya terus
pamitan dari si anak muda.
"Sampai ketemu pula!" balas Tan Hong.
Maka di situ mereka berpisahan.
"Toako, kau tulis surat apa itu?" tanya In Loei sesudah mereka berada berdua
saja. Sejak tadi ia cuma jadi penonton.
"Aku mewakilkan bangsa Ngolo membuat perserikatan kepada Pangeran Atzu," sahut
Tan Hong. In Loei heran. "Kenapa kau ketahui suku Ngolo itu hendak berserikat kepada Pangeran Atzu?" ia
tegaskan. Tan Hong tertawa. "Hal itu aku tahu pasti," ia jawab. "Memang hal itu telah aku rencanakan. Lagi
tiga hari, kau akan ketahui semua!"
In Loei masih tidak mengerti tetapi ia tidak menanyakan lebih jauh. Ia hanya
kasih lari kudanya, berendeng dengan kudanya si anak muda.
Kuda mereka bisa lari tiga sampai empat ratus lie setiap hari meskipun jalanan
bersalju dan licin, angin meniup-niup, maka itu, tiga hari kemudian, tibalah
mereka di selatannya gunung Tangkula. Di sini, selagi memasuki lembah, baharulah
mereka jalankan kudanya perlahan-lahan.
In Loei umbar matanya. Inilah tempatnya semasa ia kecil. Samar-samar ia masih
ingat segala apa. Demikian ia tunjukkan ini dan itu kepada Tan Hong.
"Di sana di bawah pohon besar itu, aku biasa main petak bersama anak-anak
tetanggaku," demikian katanya. "Dan di tepinya batu besar itu, suka aku
berebahan diri." Akan tetapi sehabisnya kata-kata itu, mata nona ini mengembeng air mata. Ingat
masa kecilnya, ia jadi gembira berbareng duka.
"Segera bakal kau menemui ibumu, untuk apa kau menangis?" kata Tan Hong.
In Loei susuti air matanya.
"Aku terlalu gembira!" ia jawab. "Bagaimana pendapatmu, baik atau tidak kalau
aku ajak kau bersama menemui ibuku?"
"Kenapa tidak baik?" sahut Tan Hong. "Apakah kau kuatir ditertawakan ibumu?"
"Bukan! Aku hanya kuatir ibu ketahui kau adalah musuh keluarga kami!"
Likat In Loei ketika ia mengatakan itu. Iapun berduka.
"Asal kau tidak pandang aku sebagai musuh, ibumu tentu akan anggap aku sebagai
keponakannya." In Loei ingat ibunya adalah seorang halus budi pekertinya, jikalau ia tuturkan
jelas tentang Tan Hong, mungkin ibu itu tidak gusar, bila ibu itu menerima baik,
maka tak kuatir ia akan tentangan dari kakaknya. Mengingat ini, ia jadi
bersenyum. "Kau tertawakan apakah?" si anak muda tanya. "Segera aku akan bertemu ibuku,
bagaimana aku tidak bergirang?" si nona kata. Tapi sejenak saja, lenyap wajah
gembiranya. Di detik itu ia ingat ibunya ada di rumah kepala suku, bekerja
sebagai bujang, sebagai perawat kuda... Bukankah pekerjaan itu rendah dan hidup
ibunya bersengsara" Maka ia jadi berduka dengan tiba-tiba, kedua alisnya
mengkerut... Tan Hong mengawasi, ia perlihatkan roman Jenaka.
"Apa artinya sebentar ketawa, sebentar menangis?" ia menggoda. "Dari mana
datangnya kesusahan hati?"
In Loei terpaksa bersenyum.
"Kau juga pernah bertingkah laku demikian!" katanya.
"Nyatalah makin lama kita jadi makin mirip satu pada lain!" kata si anak muda.
Mukanya In Loei jadi bersemu dadu.
"Bisa jadi!" kata dia. "Sudahlah, aku tidak hendak tertawa lagi kepadamu! Mari
kita lekas pergi menemui kepala suku!"
Tan Hong tertawa, ia larikan kudanya.
Belum sepasang pemuda pemudi ini tiba di rumah kepala suku, kepala suku itu
telah lebih dahulu terima warta perihal mereka. Inilah disebabkan mereka asing
dan kuda merekapun luar biasa, hingga dengan sendirinya mereka menarik perhatian
penduduk di situ. Demikian setibanya mereka, sebelum mereka minta pengawal pintu
mewartakan kedatangan mereka, tuan rumah, ialah kepala suku, sudah memberi titah
untuk pimpin mereka masuk, untuk mengadakan pertemuan. Dengan demikian, mereka
jadi tidak usah menunggu lama.
Pintu depan dari kepala suku itu telah dipajang, rupanya ia sedang melayani
tetamu agung. Setelah serahkan kuda mereka, yang mereka minta tolong dijagai, Tan Hong dan In
Loei bertindak ke dalam mengikuti pengantarnya, ialah satu nana, bujangnya tuan
rumah. Mereka dibawa ke dalam sebuah kamar di mana terdapat dua perapian untuk
menghangati kamar itu, di atas itu mereka dipersilakan duduk.
Adalah kebiasaan penduduk Utara, saban musim dingin, mereka nyalakan api di
kolong kang, semacam dipan atau pembaringan tanah, umpan apinya tak tentu, ada
dari kayu, arang, atau kotoran kuda yang sudah dikeringkan.
"Sekarang ini ketua kami sedang menyambut tetamu di ruang depan," berkata nana
kemudian. "Kamu diminta sukalah duduk menanti dahulu di sini, dia akan menyuruh
tjuitjung melayani kamu. Segala apa kamu boleh sampaikan kepada tjuitjung itu."
"Tjuitjung" adalah semacam hoatsoe atau pendeta, yang di kalangan suku Ngolo ini
berkedudukan hanya di bawahan "yutjang," kepala suku. Maka itu, penyambutan ini
adalah penyambutan yang terhormat.
Tapi In Loei kecele akan dengar tuan rumah tidak dapat segera menemui mereka.
Keras sekali keinginannya untuk cepat-cepat dapat menemui ibunya. Sementara itu
ia dengar suara kuda, ialah suara kudanya sendiri dan kuda Tan Hong, ia jadi
seperti ngelamun. "Apakah kedua kuda itu bukan tengah dipelihara ibuku" Ah!... Aku ada di dalam
kamar hangat dari kepala suku, menjadi tetamu yang dihormati, tetapi ibu tengah
menderita, ia justeru mesti rawati kuda-kudaku dan Tan Hong..."
Ia jadi sangat masgul, hingga ia duduk diam saja.
Tan Hong sebaliknya mengajak si hana bercakap-cakap.
"Tetamu macam apa itu yang tengah ketuamu layani?" dia tanya.
"Katanya utusan Yasian," sahut si nana.
"Bukankah utusan itu sudah datang lama?"
"Ya, sudah sejak tujuh hari yang lalu."
"Kenapa baharu sekarang di jamu?"
Hana itu tidak menjawab, agaknya ia bersangsi.
Tan Hong bersenyum, ia rogo keluar sepotong emas.
"Kau kerja cape di sini, ambillah emas ini untuk kau beli arak," ia kata.
Sudah lama hana itu bekerja pada ketuanya, kalau ia dikasih presen, cuma satu
atau dua potong perak kecil, hampir belum pernah ia lihat emas potongan,
sekarang ia diberi hadiah ini, air mukanya lantas menjadi terang. Ia terima uang
itu sambil berulang-ulang menghaturkan terima kasih, kemudian, tanpa ditanya
lagi tetamunya, ia beritahu: "Kabarnya hari ini ketua kami dan utusan Yasian itu
hendak memastikan persekutuan, sekarang dibikin pesta, mungkin persekutuan
hendak disyahkan dalam sebuah upacara."
Tan Hong terkejut. "Ah, syukur aku keburu datang!" katanya dalam hatinya.
Justeru waktu itu tjuitjung, wakilnya tuan rumah, belum muncul, anak muda kita
ini segera berbangkit. "Ha, sungguh kebetulan!" katanya, tingkah lakunya wajar "Kamipun adalah
pesuruhnya Thaysoe Yasian, syukur kami dapat susul utusan itu. Thaysoe kami
lihat rombongan utusannya lama belum kembali, dia titahkan kami menyusul untuk
menanyakan hasilnya." Ia rogo lagi sakunya, untuk keluarkan dua potong emas.
"Tolong kau serahkan ini kepada tjuitjung, sebagai tanda hormat kami. Kau
katakan padanya, tidak usah lagi dia layani kami, besok kami sendiri akan
mengunjungi padanya."
Hana itu berpikir melihat orang ada demikian royal.
"Mungkin benar mereka ini pesuruhnya Yasian," demikian katanya di dalam hati
kecilnya. "Kalau tidak, mana bisa mereka begini pemurah hati?" Maka ia lantas
berkata: "Kalau begitu akan aku kabarkan ketuaku, untuk minta dia kirim wakilnya
untuk ajak kamu masuk ke dalam."
"Ah, tidak usah, membikin berabeh saja," Tan Hong mencegah. "Kami dapat masuk
sendiri. Kau baik berdiam di sini untuk tunggui tjuitjung."
Lantas pemuda kita tanya di mana letaknya ruang depan tempat pesta itu, ia minta
ditunjukkan jalannya, setelah itu bersama In Loei, yang ia beri tanda, ia keluar
dari kamar itu, untuk pergi ke ruang depan.
Hana itu tidak berani mencegah, ia terpengaruh oleh emas presenannya...
Tan Hong bertindak dengan cepat, In Loei mengikuti. Tidak ada orangnya tuan
rumah yang mencegah, karena orang tidak tahu hal mereka yang disangkanya datang
atas undangan sang majikan. Sebentar kemudian mereka telah sampai di ruang depan
di mana lilin dipasang terang-terang. Tuan rumah tengah melayani dua tetamunya
minum. Begitu tidak diduga munculnya dua orang itu, ruang lantas menjadi sunyi, semua
orang tercengang. Kemudian adalah kedua tetamu, ialah utusannya Yasian, yang
berbangkit paling dulu, untuk memberi hormat kepada dua orang ini, yang mereka
sangka tetamu-tetamunya tuan rumah. Tan Hong dan In Loei memang dandan dengan
rapi dan pakaian mereka bukan pakaian sembarang.
Tan Hong bersenyum, ia bertindak menghampiri tuan rumah. Ia menyerahkan sepucuk
surat. Ia tidak tunggu sampai tuan rumah menanyakan apa-apa, ia terus keluarkan
juga pekgiok sanhoe serta singa-singaan kumala, yang ia letakkan di atas meja.
Semua barang itu adalah barang permata dari istana, sinarnya lantas mencorong di
antara cahaya lilin, hingga perhatian semua
hadirin sangat tertarik kepada benda itu. Tuan rumah pun mengawasi dengan diam
saja. "Barang-barang tidak berharga ini," berkata Tan
Hong sambil bersenyum, "majikanku mohon supaya, biar bagaimana, yutjang sukalah
menerimanya." "Tak berani aku terima hadiah demikian besar dari Thaysoe," berkata si tuan
rumah dengan jawabannya. Ia sudah lantas menduga Yasian. Akan tetapi, setelah ia
lihat surat di tangannya, ia terperanjat. Di situ ada tertulis namanya Tiewan
Atzu. Ia lantas menjadi bingung. Tan Hong lihat kesangsian orang, ia mendesak.
"Majikanku minta ongya membubuhi persekutuan untuk sama-sama menyerang Yasian"
demikian ia kata pula, dengan nyaring.


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar ini, kagetlah utusannya Yasian itu, mereka menjadi gusar, dengan
berbareng keduanya lompat bangun.
"Kau siapa?" mereka membentak.
"Kita adalah rekan!" sahut Tan Hong sambil tertawa. "Kamu adalah utusannya
Yasian dan aku utusannya Atzu."
"Kau berani rusakkan perserikatan kami?" bentak utusan yang satu dengan sangat
mendongkol. Terus ia memandang kepada tuan rumah sambil terus berkata: "Kami
mohon ongya perintah membekuk dua orang ini, untuk mereka diserahkan kepada
Thaysoe." Tentu saja kepala suku itu menjadi bersangsi, hingga masih ia berdiam saja.
"Aku minta ongya bertindak dengan sudah dipikir terlebih dahulu masak-masak,"
berkata pula Tan Hong. Di pihak utusannya Yasian itu berlaku bengis, Tan Hong
sebaliknya berlaku manis sambil tertawa-tawa. "Yasian itu mempunyai sifat
harimau atau srigala, maka bila terjadi dia sudah telan Atzu, tak mungkinlah
ongya dapat hidup seorang diri!"
"Hai, jahanam, kau sangat besar nyalimu!" bentak pula si utusannya Yasian itu.
"Nyatalah kau sedang memecah, kau menghina Thaysoe1. Ongya, aku minta lekas kau
keluarkan titah menawan mereka ini!"
Yutjang itu menjadi tidak senang menghadapi kelakuan garang dan kasar dari dua
utusannya Yasian itu. "Aku tahu bagaimana harus bertindak, tidak usah tuan-tuan capekan hati!" ia
menyahut dengan dingin. Tan Hong tidak pedulikan kegarangan kedua utusan itu, terus ia bawa sikapnya
yang sabar. Ia bersenyum pula ketika ia pandang tuan rumah dan berkata lebih
jauh: "Kini memang Yasian kuat dan Atzu lemah, maka itu untuk bantu si kuat
untuk menindih si lemah adalah pekerjaan sangat gampang, akan tetapi apakah
pernah ongya memikirnya: Yang keras itu sukar melawan yang keras, yang lemah itu
gampang untuk menyesuaikan diri?"
Hatinya yutjang itu tergerak. Kata-katanya Tan Hong ini adalah soal yang
membuatnya ia ragu-ragu selama tujuh hari, hingga selama itu belum juga ia ambil
keputusannya akan menandatangani surat perjanjian persekutuan. Sekarang setelah
mendengar perkataannya utusannya Atzu itu, ia insyaf dengan mendadakan, ia
merasa seperti ditusuk-tusuk jarum, peluh dinginnya mengucur.
"Benarlah akan kata-katanya dia ini," dia berpikir. "Yasian memang lebih kuat
berlipat kali dari aku, jikalau tercapai cita-citanya, asal satu hari saja ia
membalik muka, celakalah aku. Mana bisa aku lawan dia" Kekuatannya Atzu
berimbang dengan kekuatanku, kalau ia bergabung dengan pelbagai yutjang, untuk
menghadapi Yasian, ia mesti berhasil. Setelah itu, bisalah kita semua hidup
damai, dengan masing-masing mengurus tanah daerahnya sendiri..."
Kedua utusan Yasian menjadi tegang hatinya, mereka menjadi bingung. Mereka lihat
kedua matanya tuan rumah bersinar, memain pergi datang. Mereka tahu tuan rumah
tengah bersangsi. Inilah berbahaya bagi tugas mereka. Mereka bingung, mereka pun
mendongkol. Kalau mereka gagal" Karena itu, mereka lantas saja ambil keputusan.
Mereka adalah perwira-perwira sebawahan Yasian, mereka kosen, maka itu, mereka
lantas memikir untuk menggunakan kekerasan. Demikian, tak bersangsi lebih lama
pula, mereka menghunus golok, mereka terus terjang Tan Hong.
Anak muda kita cerdik, ia tabah hatinya. Ia tidak tangkis serangan itu, ia hanya
berkelit dan lompat ke belakangnya tuan rumah. Ia tidak diam saja, sebelumnya
berkelit, ia telah ejek kedua utusan itu, hingga mereka itu bertambah mendeluh.
Kedua utusan itu menyerang dengan sengit, hampir saja mereka kena bacok tuan
rumah. Karena ini yutjang itu menjadi gusar.
"Ringkus dua orang jahat ini!" ia berikan titahnya.
"Siapa berani tangkap kami?" berseru dua utusannya Yasian itu, yang jadi semakin
gusar. Oleh karena mereka tidak mau menyerah, mereka jadi bertempur dengan
orang-orangnya tuan rumah. Sesudah bertempur sekian lama, baharu hati mereka
menjadi ciut. Nyata mereka tidak bisa rebut kemenangan. Karena ini mereka jadi
memikir untuk menoblos keluar. Tapi sekarang sudah terlambat. Baharu mereka
memikir begitu, mendadak mereka rasakan kakinya kaku, hingga di luar
kehendaknya, mereka terlutut di depannya Tan Hong. Itu waktu mereka justeru
sedang merangsak sampai di depan anak muda kita.
"Hai, tadinya galak lalu belakangan menjadi demikian hormat?" berkata Tan Hong
sambil tertawa. Orang-orangnya yutjang mendupak dua utusan itu, setelah mereka rubuh terguling,
mereka lantas diringkus. Sampai waktu itu, mereka masih tidak ketahui bahwa
mereka telah dipermainkan Tan Hong. "Kurung mereka!" yutjang berikan titahnya
pula. Titah itu sudah ditaati dengan segera.
"Baiklah, akan aku berserikat dengan Tiewan1." kemudian tuan rumah kata pada Tan
Hong. Ia sebenarnya jeri terhadap Yasian, tetapi sampai sebegitu jauh, seperti orang
yang menunggang harimau, ia tidak bisa memilih lain. Ia harus lindungkan
dirinya. In Loei tertawa di dalam hatinya menyaksikan yutjang itu membubuhi surat
perjanjian bersama Tan Hong. Sejak tadi, meski ia diam saja, ia sudah bertambah
mengagumi anak muda itu, teman seperjalanannya.
"Tan Hong sangat pintar dan aneh juga!" ia berpikir. "Dia palsukan diri sebagai
utusan Pangeran Atzu dan dia berhasil mengelabui yutjang ini."
Sebenarnya Tan Hong memang telah mengatur rencana. Di dalam suratnya untuk
Pangeran Atzu, yang ia telah minta Hek Pek Moko yang menyampaikannya, ia telah
menjelaskan rencananya itu. Dengan singkat ia minta Atzu terima baik
perserikatan yang dia atur dengan yutjang itu. Karena ini, meskipun secara luar
biasa, ia sebenarnya adalah utusannya Atzu Tiewan itu.
Setelah membubuhi tanda tangan, sekarang yutjang teruskan perjamuan dengan tetap
ia sendiri yang melayani kedua utusan yang baru ini.
Walaupun sepak terjangnya Tan Hong telah memberikan hasil yang memuaskan, yang
mestinya menyenangkan hati mereka, namun In Loei tidak sedemikian anteronya. Ia
tetap memikiri ibunya, malah sekarang makin keras, hingga sukar arak turun
dikerongkongannya. Demikian, sesudah mencoba menyabarkan diri sekian lama, akhirnya ia tidak dapat
menguasai dirinya lebih jauh.
"Ongya, aku mohon tanya," begitu katanya, "adakah atau tidak di sini seorang
wanita yang bekerja sebagai pengurus kuda?" Ia pun lukiskan roman dan potongan
tubuh ibunya sebegitu jauh yang ia masih ingat.
Heran tuan rumah yang tetamunya menanyakan hal demikian, hingga ia mesti
berpikir sekian lama. "Rasanya benar ada wanita itu," sahutnya kemudian, "tetapi aku sudah tidak ingat
betul. Baiklah aku nanti tanyakan dahulu kepada hana yang urus istal." Lantas ia
titahkan orangnya. Tidak selang lama, muncul hana yang dimaksudkan itu. Yutjang tanya hambanya itu,
lalu In Loei menegaskannya.
Hana itu tidak lantas menyahuti, iapun berpikir dahulu.
"Benar, memang ada wanita itu," sahutnya akhirnya, perlahan.
Tiba-tiba saja, In Loei menjadi sangat girang.
"Tolong minta nyonya tua itu datang kemari!" katanya, lekas. "Kami ingin sangat
bertemu dengannya!" Hampir nona ini beritahukan bahwa si nyonya tua adalah ibunya, syukur baharu ia
berniat membuka mulutnya, segera ia dapat pikiran lain, maka ia menahan sabar.
Hendak ia menanti sampai telah ada kepastian. Ia juga hendak cegah kalau-kalau
tuan rumahnya menjadi tidak enak hati karenanya.
Masih si hana berlaku ayal-ayalan, agaknya ia tengah berpikir keras.
"Itulah tujuh tahun yang telah lampau ketika nyonya tua itu merawat kuda di
sini," menerangkan dia kemudian. "Sekarang dia..."
Hatinya In Loei seperti melompat.
"Sekarang dia ada di mana?" tanyanya. Ia memotong tanpa merasa. Tegang sekali
hatinya sehingga ia tak berkuasa lagi atas dirinya.
Hana itu heran, hingga ia mendelong mengawasi orang.
"Dia sekarang sudah tidak bekerja di sini," sahutnya kemudian. "Pada tiga tahun
yang lalu, dia telah berangkat dari sini, kabarnya dia kembali ke tempatnya yang
dulu. Sukar penghidupannya dia itu, tapi kabarnya kini dia ada jauh lebih
mendingan..." Sekarang dapat si hana bicara dengan lancar, tetapi sebaliknya, habis
kesabarannya In Loei, yang sudah lantas berbangkit berdiri.
"Baiklah," kata dia. "Sekarang kami berniat pergi menemui nyonya tua itu. Ongya,
kami mohon diri!" Tuan rumah dan hambanya menjadi heran sekali, tetapi adat sopan santun melarang
mereka banyak tanya. "Perlukah aku kirim orang untuk mengantarkannya?" yutjang tanya.
"Aku sudah ketahui. Terima kasih!" sahut In Loei. Ia terus memberi hormat untuk
pamitan, perbuatan mana diturut Tan Hong, maka sejenak kemudian, keduanya sudah
keluar dari gedung. Sesudah orang pergi baharulah si hana ingat bahwa romannya In Loei sama mirip
dengan roman si nyonya tua tukang merawat kuda itu, tetapi tentang ini ia tidak
bilang suatu apa. In Loei dan Tan Hong berangkat dengan menunggang kuda mereka. Si nona bungkam
akan tetapi wajahnya menandakan hatinya tegang, pikirannya terbuka, penuh
harapan, sehingga bahna tegangnya, ia jadi mengucurkan air mata, yang berulang-
ulang ia mesti menepasnya.
Tan Hong bisa duga ketegangan dan kegirangannya si nona yang luar biasa, ia
tidak hendak menegur. Setelah larikan kuda mereka sekian lama, tiba-tiba In Loei merandek dan turun
dari kudanya. "Selewatnya kali kecil ini, di depan sana, rumah dari tanah liat yang kuning itu
adalah rumahku!" berkata si nona tanpa kawannya menanya. "Ah, itu pohon bwee di
muka pintu masih seperti dulu! Pohon cemara di belakang pun masih kecil, di
dalam semak-semak pohon cemara itu ibu suka menyanyi untukku!..."
Lantas ia jalankan pula kudanya, sampai Tan Hong lompat turun dari kudanya juga.
"Habis pahit, manis datang!" ia berkata, sambil tertawa. "Hari ini peebo melihat
kau, betapa girangnya dia!"
Dengan lantas pemuda ini memanggil peebo - bibi - kepada ibunya si nona.
In Loei tidak bilang suatu apa, matanya tengah mengawasi ke pintu rumahnya. Ia
lantas saja dihinggapi rupa-rupa kenangan semasa kecilnya, semasa ia tinggal di
gubuknya itu. Ia berduka, tetapipun ia bergembira. Tanpa merasa, dengan
perlahan, ia menyanyikan nyanyian si cilik tukang gembala kambing yang ibunya
ajarkan padanya: Aku ikuti ibu pergi mengembala kambing - Anak kambing makan rumput, sangat
girang dia. Bunga di tanjakan sedang mekar, harum baunya, Ibu Bernyanyi, nyaring
suaranya, Dan hatiku, bukan main girangnya! Aduh!
Di udara terbang berputar seekor garuda besar, Hendak dia menyambar anak kambing
kami! Kasihan, Anak kambing berlari-lari berkelitan!
"Hai, jangan takut, jantung hatiku!"
Anak kambing itu berlindung di sisi ibunya.
"Ya, kau berlindunglah disisi ibumu,
"Di mana pun tak ada tempat seaman sisi ibu!"
Garuda itu tak dapat sambar anak kambing,
Tak dapat dia merampas jantung hatiku!
Sambil bernyanyi In Loei bertindak ke arah pintu. Tan Hong awasi si nona, tanpa
merasa, air matanya mengembeng. Terharu ia untuk saksikan kelakuannya kawan ini.
Tiba-tiba terdengar satu suara nyaring, lalu sepasang daun pintu bobrok
terpentang terbuka, dari mana muncul seorang wanita Mongolia yang kepalanya
terbungkus ikat kepala, romannya kucel,
sepasang matanya celong, dan bajunya walaupun bersih, telah banyak tambalannya.
Air matanya In Loei bercucuran begitu lekas ia tampak nyonya itu, lantas saja ia
berlari-lari, untuk akhirnya menubruk, merangkul.
Nyonya tua itupun bermandikan air mata, ia tatap muka orang.
"Sepuluh tahun telah aku nantikan kau!" serunya. "Benarkah kau, jantung
hatiku"..." In Loei menangis sesegukan.
"Benar, ibu, inilah aku..." In Loei menjawab. "Apa ibu tidak dapat lihat aku?"
"Mari dekatan, kasih aku pandang kau!" berkata si nyonya, walaupun orang telah
berada dihadapannya. "Benar-benar kau mustikaku, jantung hatiku!..."
Kasihan ibunya In Loei ini. Dahulu hari, karena secara mendadak ia kehilangan
suaminya serta anak perempuannya, saking berduka, ia menangis terus menerus
sampai air matanya seperti mau kering, karenanya penglihatan matanya itu menjadi
kabur, benar ia tidak menjadi buta akan tetapi di antara jarak tiga kaki lebih,
tidak sanggup ia mengenali orang lagi, ia cuma seperti lihat segumpal bayangan
hitam. Demikian sebabnya, walaupun gadisnya berada di depannya, ia tidak lantas
dapat melihat tegas, ia melainkan dapat merasakan saja.
Tan Hong telah saksikan itu, ia bersusah hati bukan main.
"Begini hebat penderitaannya nyonya yang baik ini," katanya di dalam hatinya.
"Ya, semua ini disebabkan kedosaan keluargaku..."
Selama di tengah jalan, banyak yang anak muda ini pikir. Ia telah siapkan kata-
kata yang akan diucapkan nanti dalam pembicaraan dengan ibunya In Loei, untuk
menghibur nyonya tua itu, akan tetapi sekarang, menyaksikan kesengsaraan orang,
ia menjadi bungkam, tidak sepatah kata juga yang dapat ia ucapkan. Maka ia cuma
bertindak menghampiri seperti seorang yang tanpa perasaan.
In Loei dan ibunya berpelukan, mereka sedang menangis amat sedihnya. Sang nyonya
tidak tahu ada lain orang di situ, dan In Loei lupa kepada kawan seperjalanannya
itu. Selang sekian lama, baharu terdengar suaranya si nyonya: "Ayahnya In Loei, kau
dengar tidak?" demikian katanya.
Hampir berbareng dengan itu, di muka pintu muncul seorang, melihat siapa, In
Loei tercengang. Orang itu adalah seorang laki-laki, mukanya bercacat dengan bekas-bekas luka,
tindakan kakinya dingkluk-dingkluk, pincang. Rambutnya yang tipis, sudah
separuhnya berubah menjadi putih. Juga pakaiannya sudah tidak keruan macam,
seperti pakaian si nyonya. In Loei hampir tidak dapat mengenali laki-laki itu
jikalau ia tidak dengar ibunya mengatakan "ayahnya A Loei." Menampak keadaan
ayahnya itu, jantungnya In Loei memukul keras!
-ooo00dw00ooo- Bab XXVII Sebagaimana kita ketahui, ayahnya In Loei itu adalah In Teng. Dahulu hari In
Teng telah antarkan In Tjeng, ayahnya, sampai di luar kota Ganboenkwan, di
sebuah gunung. Di sana mereka kena dicandak barisan pengejar. Ia halau barisan
itu. Ia telah berkelahi mati-matian, di mana ia terluka parah dan rubuh ke dalam
lembah. Di waktu malam yang gelap gulita itu, Tiauw Im Hweeshio beramai telah
dengar jeritannya yang hebat dan melihatnya dengan samar-samar rubuhnya tubuh In
Teng itu tanpa mereka sanggup menolong. Mereka menyangka bahwa In Teng telah
menemui ajalnya. Sekalipun In Loei dan kakaknya tidak akan menyangka bahwa ayah
mereka masih ada di dalam dunia yang fana ini.
In Teng tidak terbinasa. Cabang-cabang pepohonan telah menolong dia, yang telah
menadahi tubuhnya yang jatuh itu, hingga ketika ia jatuh terus juga ke tanah di
dalam lembah, cuma sebelah kakinya yang patah, melainkan mukanya yang mendapat
luka-luka baret oleh batu-batu lancip. Keadaannya In Teng sangat hebat, mungkin melebihi
orang yang telah mati. Di dalam lembah itu, tidak ada orang yang dapat menolongi
ia. Syukur di situ ada lain-lain kurban, yang terjatuh ke dalam lembah sebagai
ia, yang jiwanya melayang, maka ia ambil rangsum bekalan mereka, untuk dipakai
tangsel perutnya yang lapar. Untuk minum, ia minum air salju. Untuk beberapa
hari ia mesti berdiam di dalam lembah itu, sampai ia merasakan tubuhnya sedikit
kuat, baharu ia mencoba merayap naik, untuk tiba di luar lembah. Setelah itu, ia
hidup sebagai pengemis di luar kota Ganboenkwan, sampai kemudian ia dengar
tentang nasib ayahnya. Bukan main sakit hati dan kedukaannya, ditambah dengan cacatnya itu serta
penghidupannya yang sengsara, hatinya menjadi tawar. Ia merasa di dalam jagat
yang luas ini tidak lagi ada tempat di mana ia bisa menaruh kaki.
In Teng tidak meninggal dunia, tetapi dengan muka rusak dan kaki pincang, ia
menjadi tidak berdaya, tak bisa lagi ia bersilat, hingga ia mirip dengan seorang
biasa yang tapa dakpa. Ia juga tidak bisa lintasi Ganboenkwan, untuk pulang ke
Tionggoan. Dengan kebinasaan ayahnya, yang dipandang sebagai "penghianat", iapun
mungkin dicari pemerintah, untuk ditawan. Maka itu, terus ia terlunta-lunta di
luar kota Ganboenkwan itu. Apabila ia tidak masih ingat kedua anaknya, mungkin
ia sudah habiskan jiwanya sendiri di semak belukar di luar kota. Sehingga lebih
dari satu tahun, baharu ia ingat lebih baik ia kembali ke Watzu. Ia lantas ambil
ketetapan, lantas ia melakukan perjalanan kembali yang jauh itu. Di tempat di
mana ada orang sudi kasi ia kerjaan, ia bekerja sebisa-bisanya, kalau tidak,
terpaksa ia mengemis pula. Bukan main ia menderita sampai akhir-akhirnya tiba
juga ia di Mongolia Utara, di gunung Tangkula, di selat selatannya, di mana ia
berhasil mencari rombongan suku bangsa dari isterinya.
Sementara itu ibunya In Loei sudah bekerja sebagai perawat kuda di rumahnya
kepala sukunya. Dengan susah payah In Teng dapat tahu alamat isterinya itu, ia


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencarinya. Dengan sudah payah
juga ia mohon pertolongan orang, untuk mengabarkan pada isterinya, setelah mana,
isterinya itu letakkan kerjaannya, untuk menyusul dan menemui suaminya itu.
Hebat pertemuan mereka itu, suami isteri yang sama bersengsara itu. Mereka
pulang ke rumah asal mereka, untuk tinggal bersama. Si suami pincang, si isteri
buta melek, hingga isteri ini tak dapat lagi mengembala binatang. Syukur In Teng
masih mempunyai tenaga, untuk hidupnya, ia mencoba berkuli, sedang isterinya
berkuli menjahit yang kasar-kasar. Secara demikian mereka dapat hidup juga.
Mula-mula mereka masih mengharapkan mereka akan bertemu pula kedua anak mereka,
akan tetapi setelah tahun-tahun telah berlalu dengan tidak ada kabar beritanya,
habis juga pengharapan mereka, hingga akhirnya mereka percaya, mereka menunggui
ajal mereka di gubuknya itu tanpa anak-anak mereka mengetahuinya, sedang In Teng sendiri peserah
nasib meninggal di negara asing...
Tapi tak disangka-sangka, akhirnya datang juga hari ini yang mereka dapat
bertemu anak dara mereka...
In Loei awasi ayahnya itu. Mimpipun ia tidak menyangka akan bertemu ayahnya
pula. Belum lagi berusia lima puluh tahun, sang ayah sudah ubanan. Iapun tidak
akan menerka bahwa ayahnya demikian rusak mukanya, pincang kakinya. Semua itu
membutikan kesengsaraannya ayah ini. Maka akhirnya, setelah menjerit, ia lari
kepada ayahnya, untuk menubruk seperti tadi ia tubruk ibunya. Air matanya
membasahi pakaian ayahnya, begitupun air mata ayah itu membasahi bajunya
sendiri. Lama mereka berdiam, tak tahu harus bersedih atau bergirang.
Kembali Tan Hong saksikan pemandangan yang membuatnya hatinya seperti beku.
Sungguh hebat penderitaannya suami isteri itu. Ia kembali diam berdiri terpaku,
tidak dapat ia hiburkan ayah dan gadisnya itu.
Lama ayah dan anak itu saling rangkul, baharu perlahan-lahan mereka berhenti
menangis. Waktu itulah, In Teng sadar bahwa di
antara mereka ada satu anak muda, yang asing baginya. Ia hanya tahu bahwa orang
datang bersama gadisnya itu.
Lantas In Teng awasi anak muda itu, yang tampaknya tampan dan gagah romannya,
pula lemah lembut agaknya, hanya ia dapatkan, kedua mata pemuda itu seperti
tidak ada sinarnya. Ia tidak duga bahwa orang tengah berduka untuk mereka
bertiga. "A Loei, siapa orang itu?" akhirnya ayah ini tanya anaknya.
Tan Hong sendiri terus berdiam, menjublak saja. In Loei terperanjat atas
pertanyaan itu, ia bagaikan sadar mendadak dari mimpinya. Suara ayah itu
sebenarnya perlahan tetapi ia mendengarnya bagaikan suara guntur. Telah lama ia
pikirkan kata-kata untuk diucapkan kepada ibunya, untuk berikan keterangan
dengan sabar kepada ibu itu, tetapi sekarang, di luar sangkaannya, ia bertemu
ayahnya, maka, seperti Tan Hong tadi, ia pun menjadi lupa segala apa.
Sang ibu, mendengar pertanyaannya suaminya itu, mengawasi ke arah Tan Hong. Ia
lamur, ia kerahkan tenaga matanya, akan tetapi apa yang ia tampak adalah suatu
bayangan orang yang putih saja.
"A Loei, apakah anak itu datang bersama kau?" ibu ini tanya, matanya masih
mengembeng air tetapi mulutnya bersenyum. "Beritahukan ibumu, anak, siapakah
dia?" Perlahan dan halus suaranya ibu ini, menandakan ia berbudi pekerti halus, bahwa
ia menyambut dengan baik kawannya gadisnya. Akan tetapi kata-kata yang lemah
lembut ini sebaliknya bagaikan tusukan jarum di hatinya anak dara itu.
Tiba-tiba In Loei lepas diri dari pelukan ibunya, dengan kedua tangannya ia
tutupi mukanya. "Dia, dia... seorang she Thio..." ia menjawab, hatinya karam.
"Apa" Dia she Thio?" tanya In Teng tanpa merasa, suaranya keras-kaget. Selama
sepuluh tahun, ia sangat membenci Thio Tjong
Tjioe, maka ketika mendengar orang ada she Thio, tak sanggup ia mengendalikan
hatinya. In Loei menjerit, ia lompat untuk menubruk pula ayahnya itu. Sang ayah tengah
berdiri tegak bagaikan satu boneka batu, wajahnya muram, melihat tubrukan
gadisnya, ia mundur. Tidak mau ia menyentuh tangan gadisnya itu!
Thio Tan Hong saksikan itu semua, tak dapat ia menahan pula denyutan hatinya.
"Tidak salah, aku she Thio!" ia bilang. "Aku ada anaknya Thio Tjong Tjioe!
Loopee, aku datang untuk menghaturkan maaf kepadamu!"
Dengan mendadak wajahnya In Teng menjadi merah padam, mukanya yang bercacat itu
menjadi bengis nampaknya, ia tidak mengatakan sesatu, hanya giginya berkerot-
kerot. Sekonyong-konyong ia tolak tubuh In Loei yang berada dihadapannya,
agaknya ia hendak terjang si anak muda!
Anak itu terperanjat, ia tahan tangan ayahnya itu.
In Teng terkejut, tubuhnya tak dapat maju, tangannya dirasakan sakit. Nyata si
nona menahan ia dengan memakai tenaga. Berbareng kagetnya, ia insyaf, anak muda
di depannya itu adalah musuh yang ia paling benci berbareng pun orang yang
sangat dikasihi puterinya!
In Loei terkejut. Ia mengarti bahwa ia telah gunakan tenaga terlalu besar.
Dengan lekas ia lepaskan cekalannya, ia mengganti dengan memegangi tangan baju
ayahnya itu. Dengan tiba-tiba In Teng tarik tangannya, karena mana, bajunya yang dipegangi
puterinya itu telah robek dan putus!
In Loei melongo, justeru ayahnya awasi ia dengan bengis. Lalu ayah itu buka baju
luarnya yang terus dirobeknya, lalu baju itu dilemparkan kepada gadisnya.
"Foei" ayah ini perdengarkan suaranya, akan terus dengan dingin mengatakan: "Kau
pergilah! Rumahku ini, rumah bobrok, tak berani aku pakai untuk menerima kamu
bangsa siauwya dan siotjia."
In Loei rasakan tubuhnya menggigil, ia kaget dan bingung. Sejenak itu, di
otaknya, di hatinya, telah terbit pertempuran hebat, antara cinta dan kebencian,
antara budi kebaikan dan permusuhan! Ia malu sendirinya, ia likat, tapi hatinya
sakit, berduka sangat. Ia berdiri diam, ia pandang ayahnya, lalu ia mengawasi
Tan Hong, kosonglah hatinya, ia bagaikan kehilangan kesadarannya. Tan Hong pun
berdiri diam, mukanya pucat. Ia bengong mengawasi nona itu.
Perlahan-lahan si nona gerakkan kedua tangannya, lantas mendadak ia sambar baju
luarnya yang berwarna merah tua, dengan keras ia menariknya hingga baju itu
robek, setelah terbuka dan lolos dari tubuhnya, ia lemparkan itu ke tanah.
Tan Hong ingat betul, itulah baju merah tua yang In Loei pakai sebegitu lekas
penyamarannya diketahui, dan dia mengakuinya bahwa dialah seorang wanita. Itulah
baju yang ditukar pada malam pertama di dalam kuburan tua di waktu mana ia puji
kecantikan si nona. Maka baju itu, untuk mereka berdua meninggalkan kesan yang
mendalam, yang membawa kenang-kenangan yang manis. Akan tetapi sekarang baju itu
dirobek oleh In Loei sendiri!
Tentu saja baju itu bagaikan dibawa terbang sang angin, yang takkan balik
kembali... "Adik Loei!" memanggil Tan Hong, suaranya perlahan. Ia merasakan seperti telah
dapat pukulan hebat. In Loei berpaling pun tidak, tangan kanannya dipakai mencekal tangan ayahnya,
tangan kirinya menyambar tangan ibunya, ia tarik kedua orang tuanya itu untuk
diajak masuk ke dalam, menyusul mana, "Brak!" pintu telah digabrukkan!
Tan Hong menjadi putus harapan, karena tidak pernah In Loei menoleh ke belakang,
hingga mereka tak dapat saling pandang.
In Loei bertindak ke dalam seperti juga tenaganya telah lenyap habis. Soalnya
hanya soal beberapa tindak saja, tetapi ia merasakannya bagaikan melakukan
perjalanan yang sukar sekali, bagaikan ia melintasi laksaan sungai dan ribuan
gunung, hampir saja ia tak kuat angkat kakinya. Tidaklah heran, setibanya di
dalam, terus saja ia rubuh di lantai tanah berbareng dengan mana di luar
terdengar ringkiknya kuda, ringkik dari kesedihan...
Itulah suara kudanya In Loei. Kuda itu pun seperti sedang merasakan sangat berat
untuk berpisahan dari "sahabatnya" semenjak mereka ada bersama dari Tionggoan
hingga di Mongolia, selama perjalanan mereka "selaksa" lie...
Dari kejauhan, menyambut suara kudanya In Loei ini, terdengar ringkik yang sedih
juga dari kudanya Tan Hong. "Kuda meringkik, angin menderu," begitu satu
pepatah. Demikian sang angin membawa datang suara kuda si mahasiswa.
Demikian rupa adanya persahabatan di antara binatang, apapula di antara
manusia... In Loei rubuh pingsan di sebelah dalam pintu, akan tetapi kupingnya masih dengar
samar-samar keluhan ibunya: "Ah, anak yang harus dikasihani..."
Tetapi masih ada lain orang yang harus terlebih dikasihani lagi. Ialah Tan Hong.
In Loei masih ada ayah dan ibunya, yang dapat menghiburkannya, tidak demikian
dengan si anak muda, yang bagaikan sebatang kara, sebatang kara di kampung
orang. Tidak ada seorang jua kepada siapa ia harus tumpahkan kedukaannya, tidak
ada seorangpun jua dengan siapa ia dapat bicara. Maka ia bagaikan seorang yang
tak sadar dirinya, ia jalan seorang diri, entah ke mana tujuannya...
Tan Hong dibawa oleh kudanya sendiri. Ia menunggang kuda tetapi ia tidak
berkuasa atas kendali. Ia tampak puncak tinggi dari gunung Tangkula, yang
menyundul tinggi hingga ke mega. Samar-samar ia ingat hal gurunya telah berjanji
untuk membuat suatu pertemuan di puncak utara dari gunung itu, seperti juga guru
itu hendak menemui satu iblis. Ia cerdas, kuat ingatannya, akan tetapi kali ini, ia
terpukul hebat sekali, kecuali urusan dengan In Loei, lainnya hampir lupa akan
segalanya. Tak ingat ia, siapa si iblis dan kenapa gurunya hendak menemui iblis
itu. Maka syukur baginya, ia ada punya satu guru, dan ia masih dapat
mengingatnya. Tetap dalam keadaan sadar tak sadar itu, Tan Hong terus melakukan perjalanannya,
ia cuma singgah kapan ia rasakan perutnya lapar atau tibanya sang malam. Ia
tetap ikuti gunung Tangkula. Dua hari sudah perjalanan, tibalah ia di kaki
gunung. Lantas ia lompat turun dari kudanya, dengan biarkan kuda itu pergi cari
makan sendiri, ia bertindak mendaki gunung itu.
Sunyi gunung itu, bisa di mengerti jikalau Tan Hong tidak ketemu siapa juga. Ia
jalan dan mendaki terus. Ketika ia ingat In Loei, ia lalu dapat membayangkan
halnya ia berjalan bersama si nona, berjalan sambil merendengkan kuda mereka,
melakukan perjalanan di musim semi selagi bunga-bunga mekar. Atau mereka tengah
melalui wilayah Kanglam yang indah...
Tan Hong pernah berdiam di gurun utara, pernah ia menjelajah Kanglam, sekarang,
ia seperti tak dapat membedakan kedua wilayah itu, ia seperti merasakan
keindahan Kanglam saja, permai dan sedap... Beberapa kali ia seperti merasa In
Loei benar-benar ada di dampingnya, hingga karenanya, ia suka memanggil "saudara
kecil, saudara kecil..." Tapi kali ini, adalah sang kumandang dari lembah-lembah
yang menyahuti padanya: "Saudara kecil, saudara kecil!..."
Di hari pertama, Tan Hong masih ingat bahwa ia mendaki gunung Tangkula untuk
cari gurunya, tetapi di hari kedua, ia mulai lupa, hingga tak tahu ia kenapa ia
berada seorang diri di atas gunung itu. Setiap ia tampak pohon kering, pohon
bunga atau batu besar, ia merasa seperti In Loei berbayang di depan matanya.
Kapan ia dengar ricikannya air selokan ia seperti dengar suaranya si nona yang
memanggil-manggil padanya. Atau sekonyong-konyong saja, suara panggilan si nona
itu berubah menjadi suara daun pintu digabrukkan: "Brak!" Itulah suara yang tak
dapat ia lupakan, suara itu bagaikan terus mengikuti padanya, menguber-uber
padanya... hingga ia jadi tidak berani turun gunung, ia berlari-lari naik seperti juga,
dengan berlari-lari itu, ia akan dapat menyingkir dari suara itu...
Di hari kedua, di waktu magrib, sampailah Tan Hong di puncak gunung. Benar
selagi ia hentikan tindakannya, tiba-tiba ia merasakan perutnya lapar dan haus.
Ia pun lantas ingat yang bekalan rangsumnya telah habis di dahar pada kemarin
sore, hingga karenanya, hari ini ia sudah tidak punya apa-apa. Sang lapar itu
membuatnya ia sedikit sadar, ia dapat berpikir bahwa ia mesti cari sesuatu untuk
tangsel perutnya itu... Di waktu ia celingukan, tengah ia memandang ke depan, ia
tampak sebuah rumah batu dari dalam mana ada asap mengepul keluar...
Tan Hong tidak ketahui bahwa rumah batu itu adalah rumah dari musuh besar kakek
gurunya, ialah rumahnya Siangkoan Thian Ya. Apa yang ia ketahui adalah ia hendak
mencari barang makanan. Maka juga, ia lantas lari menghampirkan pintu, terus
saja ia menolaknya. Pintu itu adalah pintu batu yang tertutup kuat, maka daun
pintu itu tak dapat lantas tertolak terbuka. Tengah ia menolak, pintu yang ia
awasi itu ia tampak seperti juga pintu rumahnya In Loei...
"Eh, aku hendak masuk!" ia kata. Ia merasa seperti In Loei berada di dalam rumah
itu. Entah dari mana datangnya tenaga besarnya, mungkin ia telah kerahkan tenaga
dari Taylek Kimkong Tjioe, ketika ia menggempur, baharu dua kali saja, daun
pintu telah lantas menjeblak terbuka!
"Hai, siapa itu yang bernyali besar sekali, yang berani merusak pintuku?"
demikian satu suara nyaring terdengar menegur dari dalam. Hanya teguran itu
diberikuti ketawa yang aneh terdengarnya. Suara itu seperti juga senjata tajam
menusuk kuping sehingga Tan Hong menjadi terkesiap hatinya. Beda sangat jauh
suara tertawa itu daripada suara tertawanya In Loei.
"Di sini tidak ada In Loei, ah, untuk apa aku datang kemari?" kata anak muda ini
seorang diri. Pada saat ini, tiba-tiba pikirannya berubah pula, hingga lupa ia
pada rasa laparnya. Sekonyong-konyong Tan Hong lihat melesatnya beberapa tubuh bagaikan bayangan ke
arahnya. Ia tidak sadar akan dirinya, akan tetapi dengan sewajarnya, ia ingat
akan kepandaiannya ilmu silat, dengan cepat ia menggunakan kedua tangannya,
untuk membuat perlawanan, ia menotok.
Itu waktu ruangan ada gelap, Tan Hong tidak melihat tegas namun ia tahu,
totokannya telah memberi hasil, ada benda-benda berat seperti tubuh manusia sang
rubuh dan menerbitkan suara keras, tapi berbareng dengan itu, dari dalam kamar -
sebuah kamar rahasia - ada lagi bayangan yang melesat keluar, belum Tan Hong
ketahui apa-apa ia rasakan dunia seperti terputar, tubuhnya terus rubuh
terguling, dan seterusnya, ia tidak ingat suatu apa lagi.
Yang rubuh itu adalah empat pelayannya Siangkoan Thian Ya, selagi mereka serang
Tan Hong, Siangkoan Thian Ya sendiri sedang ada di dalam kamar rahasianya itu,
dari mana ia sudah lantas keluar.
Siangkoan Thian Ya tersohor sebagai "iblis kepala". Inilah disebabkan liehaynya
ilmu silatnya. Sudah beberapa puluh tahun ia sekap diri di atas puncak ini,
selama itu belum pernah ada orang yang berani datangi padanya, atau melintas
saja di dekat rumahnya. Hari ini, bukan saja ia telah disatroni, malah
pintunyapun digempur rusak oleh Tan Hong, tentu saja ia menjadi heran. Untuk
sejenak ia menyangka kepada Hian Kee Itsoe, atau di lain saat ia sadar, bahwa
Hian Kee Itsoe takkan sudi bertindak demikian rupa, suatu tindakan hina. Karena
ini, berbareng heran ia menerjang keluar sambil menggunai ilmu silat "Ittjie
sian" atau "Sebuah jari sakti". Tan Hong dalam keadaannya yang tak sadar itu,
tidak heran ia tidak sanggup menangkis atau berkelit, hingga ia rubuh tanpa
berdaya. Adalah setelah itu, lekas-lekas Thian Ya cari api, untuk menyuluhi dan
mengenali penyerbunya itu.
Untuk herannya iblis kepala ini, ia lihat penyerbu itu adalah satu anak muda
yang tampan, mukanya perok dan pucat, umurnya mungkin belum dua puluh tahun. Ia
lantas mengawasi dengan tajam, hingga ia tahu apa yang ia harus lakukan. Di
samping sebagai ahli silat, iapun mengerti ilmu obat-obatan. Tetapi setelah ia periksa
nadinya orang itu, ia telah dibikin menjadi heran pula, walaupun ia seorang yang
ahli! Ilmu totok Ittjie sian dari Siangkoan Thian Ya telah mencapai puncaknya
kesempurnaan, lagipun sasarannya sekarang ini adalah jalan darah djoanmoa hiat
dari Tan Hong, sudah seharusnya, menurut teorinya, darahnya Tan Hong mesti
berhenti berjalan, atau sedikitnya, mengalirnya darah mesti kendor sekali. Akan
tetapi kenyataannya, jalan darah Tan Hong mengalir seperti biasa, hanya tenaga
mengalirnya sedikit lemah. Karena ini, ia lantas ambil lain pandangan. Ia tahu
bahwa orang ini rubuh bukan karena totokannya, hanya disebabkan saking laparnya.
"Jika orang ada satu ahli yang liehay, Hian Kee Itsoe umpamanya, dia memang
dapat menggunai ilmunya menutup jalan darah untuk membela dirinya dari serangan
Ittjie sian," demikian jago ini berpikir lebih jauh, "akan tetapi apabila untuk
menutup jalan darahnya itu, jikalau dia kena ditotok, dia tidak akan menjadi
pingsan, juga tidak akan meninggalkan bekas-bekasnya. Tidak demikian dengan
orang ini. Dia telah tertotok, namun dia tidak mendapat luka, tiada bekasnya
totokan juga, apakah yang menyebabkannya ini" Mustahilkah di dalam dunia ini ada
suatu macam ilmu dalam lainnya yang aku belum mengetahuinya?"
Siangkoan Thian Ya benar-benar tidak menduga yang di dalam dunia ini memang
benar ada semacam ilmu tenaga dalam yang ia belum ketahui, ialah ilmunya Pheng
Eng Giok, ilmu yang termuat di dalam kitab "Hiankong Yauwkoat". Kepandaiannya
Siangkoan Thian Ya ada dari jalan yang aneh, meski benar ilmunya itu liehay
sekali, tetapi dalam hal kelurusan, tak dapat ia menandingi ilmunya Pheng
Hoosiang. Maka itu, walaupun dalam latihan ilmu dalam itu Tan Hong masih kalah,
namun karena dasarnya yang lurus itu, meski dia kena ditotok, dia sanggup
pertahankan diri, hingga karenanya, dia dapat dibikin pingsan tapi tidak dapat
dilukai. "Anak ini masih berusia muda, iapun tengah kelaparan hebat," masih Siangkoan
Thian Ya berpikir, "tetapi dengan gampang sekali
ia dapat rubuhkan empat pelayanku, inilah luar biasa. Kepandaiannya itu mestinya
berkat latihan dua atau tiga puluh tahun, maka itu apakah ini tidak aneh"
Mustahilkah ia telah mempelajari ilmu silat sejak ia masih dalam kandungan


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibunya?" Oleh karena ia heran dan memikir demikian, tiba-tiba iblis kepala ini menjadi
bercekat hatinya, ia menjadi terkesiap sendirinya. Mendadak ia mau menduga:
"Bukankah anak muda ini muridnya Hian Kee Itsoe, musuh besarku itu?" Ia baharu
menerka demikian atau ia berpikir pula: "Umpama benar dia muridnya Hian Kee
Itsoe, tetapi dia begini muda, tak mungkin dia telah mempunyai kepandaiannya
ini" Juga, caranya menangkis dia bukannya menurut ilmu silatnya Hian Kee It
Soe..." Pusing Siangkoan Thian Ya karena berpikir terlalu keras itu. Ia dijulukkan "Mo
Tauw," si kepala iblis, atau iblis kepala, akan tetapi pada dasarnya, pada
batinnya, ia menyayangi orang pintar, orang yang berkepandaian luar biasa.
Demikian kali ini, terhadap Tan Hong, timbullah perasaan sayang dan kasihannya.
Maka tidak ayal lagi, ia totok sadar anak muda itu.
Tan Hong tidak lantas ingat segala apa dengan seterang-terangnya. Akibat totokan
yang liehay itu, pikirannya masih butek, kedua matanya pun tidak segera dapat
dipentang. Ia tak sadar, apa yang barusan ia telah lakukan.
"Adik kecil, adik kecil!" ia lalu memanggil-manggil. Dalam sekali kesannya
terhadap In Loei, maka si Nona In-lah yang ia ingat paling dulu.
Siangkoan Thian Ya menuang air teh ke dalam sebuah cangkir, ia angsurkan ke
bibir orang. "Ah, ah, adik kecil!" Tan Hong berkata pula. "Kau tidak doyan arak susu kuda,
akupun tidak hendak meminumnya!..." Dan dia tolak air teh itu.
"Masih kalut pikirannya anak muda ini," pikir Siangkoan Thian Ya. Terus ia
layani orang bicara, katanya: "Baiklah, kalau kau tidak mau minum arak susu
kuda, mari kau minum susu kental dicampur arak
anggur." Ia benar-benar ambil susu kental itu. Ia singkirkan air teh dari muka
orang, lalu dengan cepat ia bawa balik lagi, untuk dikasih minum.
Tan Hong irup susu kental itu serta tehnya.
"Adik kecil, adik kecil, kau baharulah adik kecilku yang baik!" berkata anak
muda ini dalam keadaannya tak sadar itu. "Kalau aku masuk pula, menginjak
pintumu, kau tentu tidak akan mengusir pula padaku, bukankah" Haha-haha, kau
benar-benar tidak mengusir lagi!" Mendadakan ia melenggak, tubuhnya jatuh ke
kursi, lalu dengan cepat ia tidur mendengkur. Rupanya ia terlalu lelah tetapi
pun girang... Tak tahu kenapa, Siangkoan Thian Ya merasa ia seperti berjodoh dengan pemuda
ini. "Air tehku ini tercampur dengan soatsom," ia berkata di dalam hatinya, "soatsom
dapat menghidupkan darah, maka dengan ditambah susu kental, meski dia tidur lagi
satu hari, tanpa dahar apapun, dia tidak bakal dapat bahaya..."
Lalu ia pondong anak muda itu, dibawa ke dalam kamarnya, untuk direbahkan di
atas pembaringannya sendiri yang hangat. Ketika itu sudah tengah hari.
Ketika akhir-akhirnya Tan Hong mendusi, waktu telah lewat tengah hari dari hari
yang kedua. Ia merasakan bau yang harum, yang membuat hatinya lega. Ketika ia
buka kedua matanya, ia tampak sinar matahari molos di jendela. Di muka jendela
itu ada tanaman bunga tjielan, ialah bunga yang menyiarkan bau harum itu.
Di kedua sisi jendela itu ada digantung sepasang lian dengan bunyi hurufnya:
"Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau - Kecuali sang cinta dan
peri kebenaran..." Rapi dan indah persiapan kamar itu, yang tentunya terawat baik. Di tembok pun
ada tergantung sehelai gambar, yang berlukiskan hutan bambu, tjietiok lim, dalam
mana ada satu nona dengan bajunya warna merah tua, yang alisnya panjang sekali,
yang wajahnya seperti sedang bergirang, tapi juga seperti tengah mendeluh...
Di dalam hatinya Tan Hong, rasanya ia pernah tampak tempat seperti itu, - hutan
bambu dengan si nona, - dan si nona di dalam gambar itupun ia seperti
mengenalnya. Karena ini, ia jadi baca dengan perlahan bunyinya lian itu. Oleh
karena pikirannya tengah melayang-layang, di depan matanya pun segera seperti
tertampak bayangannya In Loei, si nona dalam hutan bambu itu lantas saja berubah
menjadi si Nona In itu...
Tan Hong lihat seperti In Loei lompat keluar dari hutan bambu, lalu sekejap
kemudian menghilang... Tertawa seorang diri, Tan Hong berkata seorang diri juga: "Di dalam dunia ini
adakah lain orang yang dapat dibandingkan dengan adik kecilku" Nona dalam gambar
benar cantik akan tetapi dia tak ada satu per selaksanya..."
Tanpa merasa, Tan Hong jemput pit dan kertas, setelah beber kertas itu, ia
poles-poleskan pit-nya di air bak, lalu ia melukis, selembar demi selembar, ia
melukis In Loei dengan pelbagai macam wajahnya, tengah berlikat, tengah
bersenyum, tengah tertawa, ada juga yang sedang mendongkol atau mendeluh atau
beroman sedih. Indah semua lukisannya itu. Ia belum puas agaknya dengan hanya
melukis si nona, lebih jauh, ia melukis juga dirinya sendiri berserta si nona
yang sedang kaburkan kudanya dengan berendeng. Untuk ini, ia tuliskan kata-kata
singkat sebagai timpalannya. Ketika kemudian sesudah selesai melukis, ia lempar
pit-nya, terus ia tertawa panjang, akan tiba-tiba ia menangis dengan sangat
sedih... Adalah di saat itu, anak muda ini merasa ada orang pegang pundaknya, yang
ditepuk dengan perlahan, apabila ia angkat kepalanya, untuk melihat, ia dapatkan
seorang tua dengan rambutnya telah putih semua, wajahnya bengis akan tetapi
sinar matanya, yang tajam, ada mengandung kesan baik. Orang tua itu bersenyum,
terus ia menanya dengan sabar: "Kau siapa" Apa yang kau tangisi?"
"Kau siapa" Dan kau pun mentertawai apa?" Tan Hong balik menanya.
Orang tua itu tertawa bergelak-gelak.
"Sungguh aku tidak sangka di dalam dunia ini masih ada kau dan aku manusia
tolol!" katanya sambil tertawa pula.
Keduanya saling memandang, lantas keduanya menangis bersama, lalu tertawa
bersama juga. Kemudian, si orang tua berkata pula: "Tadi malam kau menyebut-
nyebut adik kecil tak putusnya. Adik kecilmu itu ada di mana?"
Tan Hong tidak menyahut dan tidak ambil pusing akan pertanyaan itu, sebaliknya,
ia angkat setiap gambarnya untuk dipandang satu demi satu, sesudah mana, kembali
ia menangis sesegukan. "Ah, adakah nona dalam gambar ini adik kecilmu?" si orang tua tanya, matanya
mengawasi gambar itu. "He, kenapa kau berani awasi adik kecilku?" tanya Tan Hong, sambil ia menghela
napas. "Awas, nanti aku hajar kau, tua bangka tidak tahu adat sopan santun!"
Dan benar-benar tangannya melayang.
Si orang tua angkat tangannya, telunjuknya dimajukan. Dengan cara itu ia
menangkis. Gampang saja, pukulan Taylek Kimkong Tjioe dari si anak muda kena
dibikin tidak berdaya. Tiba-tiba, anak muda itu menangis pula. "Ya, ya, aku larang siapa juga mengawasi
kau!" kata dia. "Eh, kenapa kau pandang aku sambil mendelik?"
Dan ia awasi gambarnya In Loei, gambar dengan wajah gusar.
Menampak itu, si orang tua menghela napas.
"Beberapa puluh tahun yang lampau," kata dia seorang diri, "jikalau ada orang
berani awasi Tjie Lan-ku, aku juga bisa hajar padanya..."
Sejenak itu, orang tua ini pandang si anak muda sebagai dirinya sendiri...
"Eh, anak muda, mengapa adik kecilmu itu tinggalkan kau?" dia tanya.
Tan Hong mendelik terhadap orang tua itu. "Kau sendiri sudah tahu untuk apa kau
tanya aku?" dia menegur.
"Apa?" si orang tua tegaskan.
Tan Hong menjawab dengan bersenanjung:
"Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau - Kecuali sang cinta dan
peri kebenaran... Bukankah itu tulisanmu sendiri" Jikalau kau tidak ketahui hal
ihwalku dengan In Loei, cara bagaimana kau dapat menulis sepasang liari itu?"
Dan ia tunjuk liari di jendela.
Mendengar jawaban itu, si orang tua menjublak.
"Ha, kiranya budi dan penasaran yang sukar dilupakan, rindu itu, semuanya
sama..." katanya. Lalu mendadak ia tertawa berkakakan, tangannya menepuk meja.
"Yang tiga puluh tahun dahulu itu adalah aku, yang tiga puluh tahun belakangan
ini adalah kau!" katanya pula nyaring. "Kita ada sama saja! Biarlah orang-orang
di kolong langit ini yang senasib dengan kita, menangis bersama untuk sang
cinta!..." Ia menangis, ia tertawa, lalu bersama Tan Hong, ia saling rangkul. Keras tangis
mereka, hingga terdengar jauh di luar rumah. Di dalam ruang, beberapa pelayan
itu berdiri diam saling mengawasi, semuanya merasa heran sekali. Tadinya mereka
sangka Siangkoan Thian Ya, majikan mereka itu, akan binasakan si anak muda,
tidak tahunya, mereka berdua ini adalah sahabat-sahabat kekal... Tidakkah dua
orang ini, tertawa dan menangis saling sahutan" Memang sang majikan aneh
tabeatnya akan tetapi kelakuannya seperti ini baharu kali ini mereka tampak.
Lama mereka menangis, akhirnya si orang tua berhenti, dengan keras ia
mengatakannya: "Hari ini kita menangis, sungguh
memuaskan! Haha! Tiga puluh tahun lamanya aku menanggung kesengsaraan hati,
baharu hari ini aku menemui orang yang sama penyakitnya, yang saling
mengasihani..." Lalu, tangisannya itu berubah jadi tertawa. Tan Hong, tanpa merasa, turut
tertawa juga. Karena ia menangis, karena ia tertawa itu, hatinya menjadi
terbuka, dengan perlahan-lahan otaknya datangkan kesadarannya.
"Eh, mengapa aku bisa tiba di sini?" ia tanya.
Si orang tua tertawa. "Ya, aku justeru hendak menanyakan kau!" jawabnya. "Kenapa kau bisa tiba di
sini?" Tan Hong berdiam, otaknya dikasih kerja keras sekali. Tak dapat ia ingat kenapa
ia bisa sampai di tempat asing ini. Ia cuma ingat In Loei, ia ingat juga rumah
In Loei letaknya di lembah selatan dari gunung ini. Samar-samar ia ingat bahwa
ia telah dikuncikan pintu di luar, lalu ia berlari-lari, akan akhirnya tiba di
sini. Ia seperti mengetahui sekarang bahwa si orang tua ingin sangat dengar hal
ihwalnya, bahwa si orang tua pun sudi menceriterakan hal ihwalnya sendiri...
Dalam keadaan yang sadar itu, Tan Hong lantas tuturkan tentang pergaulannya
dengan In Loei, akan tetapi kemudian, ia berceritera dengan lompat sana dan
lompat sini, ada yang ia masih ingat, ada yang ia telah lupa, kemudian yang ia
telah lupa itu, ia susul dengan keterangan yang belakangan, toh masih saja,
ceriteranya tidak lancar hubungannya.
Si orang tua terus pasang kupingnya, baharulah kemudian, ia tanya: "Siapakah
yang ajarkan ilmu silatmu dan ilmu silat nonamu itu?"
"Aku dengan dia berasal satu rumah perguruan," Tan Hong jawab. Lalu lenyap pula
ingatannya. "Siapakah guruku" Siapakah guru dia?" Ia mengingat-ingat, tapi ia
tak dapat mengingatnya. "Apakah kau pernah dengar namanya Hian Kee Itsoe?" tanya si orang tua.
Tiba-tiba Tan Hong tepuk pinggangnya. "Ya, aku ingat sekarang!" ia berseru.
"Soetjouw-ku bernama Hian Kee Itsoe! Hian Kee Itsoe itu adalah soetjouw-ku.
Soetjouw telah wariskan dua rupa ilmu pedang, dia mengajarnya dengan dipisah-
pisah, dan orang yang mempelajarinya, satu orang cuma harus dapat satu rupa,
mereka dilarang mengajarkan atau saling mengajarkan satu dengan lain. Siapa yang
mencuri mempelajarinya, meski ia dapat cuma setengah jurus, ia akan dihukum
duduk bersila menghadapi tembok lamanya dua belas tahun! Aku belajar waktu aku
berada di ibu kota negara Watzu. Tapi, dari siapa aku belajar silat" Tidak tahu,
aku tidak tahu... Dia belajar di Siauwhan San, dia duduk bersila menghadapi
tembok selama dua belas tahun... Kedua ilmu silat itu tetap dilarang diajarkan
satu pada lain, dilarang sekalipun dengan jalan diam-diam, akan tetapi kemudian,
secara kebetulan kami bertemu satu pada lain, kami lantas saja mengecap
kefaedahannya siangkiam happek! Ya, di kolong langit ini, kami tidak ada
tandingannya! Haha, di kolong langit tidak ada tandingannya!..."Orang tua itu
terperanjat, tapi segera juga, ia tertawa.
"Hebat angotnya bocah ini!" dia berpikir. "Dia sudah beristirahat satu hari satu
malam, kenapa masih saja dia tak sadar akan dirinya" Jikalau dia benar cucu
muridnya Hian Kee Itsoe, kenapa dia belajar di ibu kota Watzu" Dan kekasihnya
tentu ada terlebih muda daripadanya, kenapa dia dapat pergi ke gunung Siauwhan
San, untuk belajar di sana selama dua belas tahun" Kemudian mereka bertemu
sesudah dua belas tahun, tidakah seharusnya kekasih itu sudah berusia tua"
Lagipun sangat mustahil, selagi di satu pihak orang belum pernah lihat ilmu
silatnya lain pihak, kenapa begitu bertemu, keduanya dapat menjadi cocok satu
dengan lain, malah dengan secara sempurna sekali, hingga mereka sangat lihay!
Bukankah dia ini mengatakan, ilmu silat pedang mereka berdua tak ada
tandingannya di kolong langit ini" Apakah bukannya dia tengah ngelindur" Bicara
dari hal tenaga dalamnya, apabila dia mengatakan
dia perolehnya dari Hian Kee Itsoe, suka aku sedikit mempercayainya. Tetapi bila
benar dia cucu muridnya Hian Kee Itsoe, cara bagaimana dia dapat menangkis
totokanku" Mungkin sekali gurunya adalah satu jago Rimba Persilatan kenamaan
yang namanya tersembunyi... Mungkin dia pernah dengar namanya Hian Kee Itsoe,
karena aku menanyakannya, dia secara tak sadar akui Hian Kee Itsoe itu sebagai
kakek gurunya..." Oleh karena kesangsiannya itu, Siangkoan Thian Ya tidak menyangka bahwa Tan Hong
telah omong apa yang benar, hanya karena ingatannya anak muda ini kabur,
penuturannya itu kacau. Dia menyebutkannya In Loei dihukum duduk bersila
menghadapi tembok di gunung Siauwhan San, tak ingat dia bahwa, yang dihukum itu
bukannya In Loei tapi gurunya si nona. Tentu saja, karena kekeliruannya ini,
Siangkoan Thian Ya mau mempercayai soal dirinya In Loei, hingga ia menjadi
heran. Memang orang tua ini telah lihat, kepandaian yang si anak muda
perlihatkan bukannya kepandaiannya Hian Kee Itsoe.
Sehabis bercerita, Tan Hong balik menanya.
"Kau siapa?" demikian pertanyaannya. "Kenapa kau ada di sini" Apakah kau juga
telah disia-sia adik kecilmu?"
"Benar," sahut Siangkoan Thian ya. "Memang, adik kecilku itu rela duduk sila
menghadapi tembok lamanya tiga puluh tahun di dalam hutan bambu Tjietiok lim,
dan dia tak sudi datang ke gunung salju ini untuk menemui aku! Ah, saudara muda,
akan aku tuturkan kau sebuah dongeng..."
Si orang tua benar-benar menuturkan ceriteranya:
"Pada tiga puluh tahun yang lampau ada hidup satu begal besar dari kalangan
Rimba Hijau serta satu ahli pedang dari golongan Rimba Persilatan. Keduanya
menyombongkan diri bahwa mereka tidak ada tandingannya di kolong langit ini.
Bukan, bukannya menyombongkan diri! Kau tadi mengatakan siangkiam happek tanpa
tandingan di kolong langit, itulah dusta belaka. Adalah
kepandaiannya mereka berdua, itu begal dan ahli pedang, yang benar-benar tulen!"
"Bila demikian, di antara mereka berdua, sebenarnya kepandaian siapakah yang
betul-betul tidak ada tandingannya di kolong langit ini?" Tan Hong tanya.
"Sampai sekarang hal itu masih belum diketahui," sahut Siangkoan Thian Ya.
"Jikalau kau ingin mendapat tahu, kau baiklah tinggal beberapa hari lebih lama
di sini." Lalu ia melanjutkan: "Dua orang itu akui dirinya masing-masing tidak
ada tandingannya. Apa mau mereka justeru sama menyintai satu nona, yang juga
anggap dirinya tak ada tandingannya di kolong langit ini. Nona itu bersama si
penjahat Rimba Hijau sering sekali bentrok adu mulut. Mungkin si nona tak
setujui nama kurang wangi dari penjahat itu, maka juga, walaupun ia kurang cocok
dengan si kiamkek, ahli pedang, ia toh suka cari ahli pedang itu. Celaka si
kiamkek itu, buruk tabiatnya. Sebab dia bertentangan dengan si penjahat, sengaja
dia ganggu hati si nona, rupanya dengan begitu ingin dia membikin susah hatinya
si penjahat. Satu kali, si penjahat menjadi gusar sekali, ia tantang si kiamkek
adu silat di puncak Ngobie San. Pertandingan berlangsung tiga hari tiga malam,
mereka tidak kalah tidak menang, maka pertandingan di akhiri dengan keduanya
berjanji, lagi tiga puluh tahun, mereka akan bertanding pula untuk mencari
keputusan. Tempo yang dijanji itu,
lagi beberapa hari akan tiba. Setelah pertandingan yang pertama itu, si penjahat
telah cuci tangan, ia menyingkir keperbatasan Mongolia. Ia berpegang kepada
dalil, orang gagah menyayangi orang gagah, ia rela mengalah akan serahkan si
nona kepada si kiamkek. Akan tetapi tak disangkanya, kiamkek itu benar-benar
busuk! Hm!" "Apakah sudah terjadi?" tanya Tan Hong. Ia heran.
"Setelah pertandingan itu, si kiamkek telah tinggalkan si nona, yang disia-
siakannya. Kesudahannya si nona tinggal menyendiri di rimba bambu Tjietiok lim
di mana nona itu tinggal menangis dalam kesedihannya..."
"Ah, hebat kiamkek itu!" kata si anak muda. "Kenapa dia mensia-siakannya satu
nona yang menyintai padanya?"
Begitulah Tan Hong mengatakannya, ia tidak tahu bahwa kiamkek yang dimaksudkan
Siangkoan Thian Ya itu adalah Hian Kee It soe sendiri, kakek gurunya. Sedang si
nona yang tersia-sia cintanya adalah si nyonya tua yang ia telah ketemukan di
dalam hutan bambu Tjietiok lim itu, seorang she Siauw, namanya Oen Lan. Di kamar
tulisnya Siangkoan Thian Ya ada bunga tjielan, itulah bunga pujaannya, untuk
tanda bahwa ia masih menyintai dan menghargai nona itu.
Keterangannya Siangkoan Thian Ya itu ada bahagian-bahagian yang tidak cocok
dengan kenyataannya. Ia benar menyintai Nona Oen Lan, akan tetapi Hian Kee Itsoe
sama sekali tidak menyintai nona itu. Yang benar adalah di antara Hian Kee Itsoe
dan Siauw Oen Lan tidak ada kecocokan pendapat, sama sekali bukannya soal cinta.
Nona Siauw kosen sejak ia masih muda, iapun sangat cantik, karena itu, di dalam


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya telah timbul suatu pikiran yang luar biasa. Ia menghendaki supaya semua
orang gagah di kolong langit ini bertekuk lutut dihadapannya. Ia tidak mencintai
Siangkoan Thian Ya, tetapi ia puas terhadap penjahat besar ini, yang senantiasa
uber-uber padanya. Hian Kee Itsoe tidak setujui sifatnya Oen Lan itu, karenanya
ia selalu menjauhkan diri, tetapi justeru itu, Oen Lan ingin sekali mendapatkan
kesan baik dari si kiamkek. Tetap Oen Lan kepada cita-citanya yang luar biasa
itu, malah belakangan, ia menjadi terlebih berkeras hati, hingga ia ingin supaya
orang-orang gagah yang anggap dirinya tak ada tandingannya di dalam dunia ini,
semua binasa karena dia. Atau sedikitnya, karena ia itu mereka nanti adu jiwa
mereka. Begitulah, ia jadi menghendaki Siangkoan Thian Ya dan Hian Kee Itsoe
bentrok satu dengan lain.
Siangkoan Thian Ya sangat menyintai Nona Siauw, bahkan lebih dari itu, ia
tergila-gila, karena mana, ia telah masuk dalam perangkap. Hian Kee Itsoe hendak
menyingkir dari perangkap itu, akan tetapi ia didesak Siangkoan Thian Ya, kepada
siapa ia sebaliknya tidak hendak beber rahasianya Oen Lan itu, sebab tak dapat ia
menceritakannya. Maka kejadianlah pertandingan tiga hari tiga malam di puncak
Ngobie San itu. Sesudahnya pertandingan, Hian Kee Itsoe lantas dapat anggapan tidak bagus
terhadap sifat wanita, karena ini, hatinya jadi tawar, pikirannya berubah, maka
selanjutnya, ia tidak sudi bergaul pula dengan Oen Lan, setiap si nona datang
untuk cari padanya, ia menampik, tidak mau ia menemui, ia berpendapat nona itu
lebih daripada ular berbisa. Oen Lan dapat merasakan sikapnya Hian Kee Itsoe
itu, ia insyaf akan sepak terjangnya yang tidak tepat itu, maka di akhirnya,
iapun lantas undurkan diri, ia pergi hidup menyendiri di hutan bambu itu, tak
sudi ia muncul pula dalam dunia kangouw.
Tentu saja tak tahu Tan Hong akan duduknya hal yang sebenarnya. Karena ia hanya
dengar keterangan satu pihak, yaitu keterangannya Siangkoan Thian Ya, ia jadi
beranggapan bahwa satu orang - satu pria - tidak seharusnya menampik cintanya
satu nona yang menyintai dirinya demikian rupa. Karena anggapannya ini, ia juga
anggap tidak selayaknya sikap In Loei itu, yang sudah sia-sia padanya...
Akhir-akhirnya, karena terpengaruh Siangkoan Thian Ya, Tan Hong caci si kiamkek.
Ia jadi cocok dengan si iblis ini, suka ia berdiam di rumahnya si iblis. Ia pun
ingin sangat dapat ketika untuk beristirahat, untuk sembuhkan dirinya sendiri,
supaya ia jadi sadar seperti biasa...
Begitu lekas Siangkoan Thian Ya tinggalkan ia seorang diri, tiba-tiba Tan Hong
ingat ceritera tentang pertandingan di atas puncak gunung Ngobie San itu. Ia
ingat bahwa ia pernah dengar hal itu. Akan tetapi ketika ia coba memikirkannya
lebih jauh, untuk mendapat kepastian, ia buntu pula. Ia cuma ingat samar-samar,
di antara dua orang yang adu kepandaian itu, satu di antaranya ada hubungannya
yang erat dengan ia... Siangkoan Thian Ya itu luas pengetahuannya, ia mengerti tentang ilmu syair dan
bernyanyi, maka itu setiap hari, setiap kali ia masuk ke kamar tulisnya, bisa ia
omong banyak dengan Tan Hong,
maka mereka berdua cocok satu dengan lain. Ada kalanya, kapan mereka kembali
pada soal cinta, keduanya suka menangis pula sambil saling rangkul. Demikianpun
bila mereka bicara dari hal yang menggirangkan hati, mereka tertawa terbahak-
bahak, bergelak-gelak. Baharu lewat beberapa hari, hati pepat dari Tan Hong dapat juga sedikit reda. Ia
telah dapatkan orang atau kawan dengan siapa ia bisa tumplakkan segala isi
hatinya. Karena ini, dengan perlahan, ia mulai sadar banyak. Demikian itu hari,
tengah ia berpikir seorang diri di dalam kamarnya, teringatlah ia janji gurunya
untuk ia pergi mendaki sebuah gunung untuk menemui satu iblis kepala. Hanya ia
tak tahu siapa namanya iblis itu. Ia lantas berpikir untuk cari Siangkoan Thian
Ya, guna minta keterangan kalau-kalau "sahabat" ini ketahui tempatnya si Kepala
Iblis yang liehay di gunung ini. Tapi, sebelum ia bertindak keluar, dari luar ia
telah dengar suara nyaring dari Siangkoan Thian Ya, dan dari suaranya itu
rupanya orang tua itu sedang umbar tabiatnya.
"Ouw Bong Hoe, apakah kau masih ada nyalimu untuk menemui aku?" demikian Tan
Hong dengar suara orang yang keras.
Seorang, dengan suara sabar, menyahuti Siangkoan Thian Ya, katanya: "Sejak aku
meninggalkan rumah perguruan, belum pernah aku melupai soehoe. Ilmu silat Ittjie
sian yang soehoe ajarkan kepadaku, aku pun berlatih terus setiap hari, tidak
pernah lengah. Maka itu, aku mohon soehoe suka terima aku kembali..."
"Untuk mempelajari ilmu silat yang paling liehay itu, seorang dilarang menikah
seumurnya dia," berkata orang tua itu, "akan tetapi kau mempunyai rasa cinta,
napsu birahi, maka itu kau telah lakukan satu pelanggaran besar, melanggar
sumpahmu ketika kau baharu masuk rumah perguruan. Karena pelanggaranmu itu, tak
dapat kau tetap tinggal di sini! Jikalau kau tidak berhasil mempelajari ilmu
yang liehay, kau tidak dapat tandingi murid-muridnya Hian Kee Itsoe, karenanya,
apakah muka terangku tidak bakal dibikin rusak olehmu?"
"Aku sumpah, sejak sekarang aku tidak akan menyinta pula," berkata orang itu.
"Ingin aku berlatih terus, untuk menebus kesalahanku itu dengan jasaku..."
"Apakah jasamu itu?"
"Aku telah dapat ketahui rahasianya ilmu silat Hian Kee Itsoe," sahut orang yang
dipanggil Ouw Bong Hoe itu.
"Rahasia apakah itu" Coba kau jelaskan!"
Siangkoan Thian Ya bicara secara tawar tetapi terang, hatinya tertarik.
"Di luar Ganboenkwan aku pernah tempur muridnya Hian Kee Itsoe," menerangkan
orang yang ingin masuk pula dalam rumah perguruannya itu, "nyata mereka itu
tidak beda banyak daripada muridmu, hanya mereka ada punya semacam ilmu silat
yang liehay sekali..."
"Ilmu silat apakah itu?" tanya Siangkoan Thian Ya. Ia jadi semakin bernapsu.
"Benarkah itu dapat dibandingkan dengan ilmu silatku Ittjie sian?"
"Ilmu itu tak sama dengan Ittjie sian. Ilmu mereka itu ada semacam ilmu silat
pedang, ialah dua pedang dapat digabung menjadi satu - siangkiam happek -
liehaynya bukan main..."
"Ah!" Siangkoan Thian Ya berseru tertahan. "Apa" Siangkiam happek" Aku tidak
percaya jikalau ilmu itu tidak ada tandingannya di kolong langit ini!"
Akan tetapi suaranya itu ada mengandung kesangsian besar.
Tan Hong dengar itu, iapun bersangsi, ia heran. Tiba-tiba saja, ia bagaikan
tersapu lenyap selapis kabut yang menutupi kesadarannya. Maka berpikirlah ia
dalam hati kecilnya: "Tjouwsoe-ku, yakni Hian Kee Itsoe, dan siangkiam happek
itu adalah ilmu silatku berdua In Loei! Ah, kiranya dia inilah si iblis yang
guruku hendak menjumpainya!..."
Oleh karena ia ingat demikian, pemuda ini jadi dapat berpikir pula: "Nyata aku
telah tinggal bersama iblis ini untuk beberapa hari! Bukankah dia tidak
mempunyai sesuatu yang harus dibuat jeri"...
Tetapi, tak tahu apa sebabnya tjouwsoe telah bermusuhan dengan dia ini" Ah,
bukankah ceritera yang ia tuturkan itu, ialah kedua orang kosen yang masing-
masing anggap dirinya tak ada tandingannya di kolong langit ini, ada mengenai
diri mereka berdua" Jadinya dia dan tjouwsoe-ku adalah yang dimaksudkannya itu?"
Tan Hong seorang yang cerdas, dengan kesadarannya ini, tepatlah terkaannya itu.
Setelah itu, ia lantas berpikir lebih jauh. Tengah ia berpikir, kembali ia
dengar suara keras dari si orang tua.
"Siapakah yang mengajak kau mendaki gunung ini" Apakah Sian In si budak itu?"
"Benar dia," sahut orang yang dibentak itu. "Soehoe jangan kuatir, kepada
soemoay itu tidak akan aku bicara pula perihal perjodohan!"
Tapi si orang tua masih membentak: "Sebelumnya kau menghadap aku, kau telah
berjanji dan bertemu dengan soemoay-mu itu, ini juga ada suatu pelanggaran!
Tahukah kau kesalahanmu ini" Maka sekarang aku hukum kau berdiam dan berpikir di
dalam kamar samedhi, tanpa titahku, aku larang kau sembarang keluar!"
Guru ini mencaci tetapi toh ia terima muridnya itu, maka juga Ouw Bong Hoe jadi
sangat girang, ia paykoei terhadap gurunya itu sambil menghaturkan terima
kasihnya. Tan Hong mendengari pembicaraan dua orang itu, ia pikir: "Orang tua ini tidak
pantas perbuatannya. Dia sendiri telah jadi kurbannya cinta, sekarang dia larang
murid-muridnya bicara tentang hal pernikahan!"
Siangkoan Thian Ya kurung Ouw Bong Hoe di kamar samedhi, setelah itu ia pesan
pelayannya: "Aku juga hendak bersamedhi di dalam kamarku, maka itu kecuali
muridnya Hian Kee Itsoe yang datang kemari, aku larang kau ganggu aku."
Kemudian suasana menjadi sunyi.
Tan Hong sendiri terus berpikir, ia tidak puas untuk perlakuannya si orang tua
terhadap muridnya itu, Ouw Bong Hoe. Maka itu ia lantas keluar dari kamarnya. Ia
hampirkan satu pelayan, ia tanya di mana orang tadi dikurungnya.
Pelayan itu tahu, orang asing ini adalah orang dengan siapa gurunya biasa
bergaul sangat rapat, walaupun dia belum tahu siapa sebenarnya orang ini, tidak
berani dia mendusta, malah dia ajak Tan Hong ke kamar samedhi, dia sendiri yang
mengetok pintu sambil berkata: "Ada satu sahabatnya gurumu datang menengoki.
Inilah untungmu yang bagus. Apa kesukaranmu, kau boleh tuturkan kepada sahabat
gurumu ini, supaya dia dapat tolong bicarakan kepada gurumu itu."
Heran Ouw Bong Hoe di dalam kamarnya mendengar perkataannya pelayan itu.
"Tingkat derajat dari soehoe ada sangat tinggi," begitu ia berpikir, "kecuali
Hian Kee Itsoe, sekarang ini siapapun tak dapat dibandingkan dengan soehoe,
tiada yang berhak untuk disebut sahabatnya! Siapakah orang ini" Agaknya, menurut
suaranya si pelayan, dia adalah orang yang soehoe hormati..."
Segera pintu dibuka, dan Tan Hong terus bertindak masuk yang terus ia rapatkan
pula pintunya. Ketika Ouw Bong Hoe angkat kepalanya dan melihat orang yang masuk
itu, ia menjublak. "Hai, kau, kau!" katanya. "Bukankah kau Thio Tan Hong muridnya Tjia Thian Hoa?"
Tan Hong tepuk kepalanya, lalu ia tertawa besar.
"Tidak salah, guruku adalah Tjia Thian Hoa!" ia kata. "Ya, Tjia Thian Hoa itu
ialah guruku!" Ouw Bong Hoe heran. Ia tampak orang berbeda dari biasa, seperti orang hilang
ingatannya. "Guru kita bermusuhan satu dengan lain, kau juga adalah musuhku, kau tahu atau
tidak?" ia tanya. "Tidak salah, kamu adalah musuh kami!" sahut Tan Hong. "Ya, aku ingat sekarang!
Dua kali kau pernah bertempur dengan aku, satu kali di dalam pasanggrahan
gunung, satu kali lagi di luar kota Ganboenkwan!"
Tan Hong ingat tentang pertempurannya itu, tetapi samar-samar ia masih ingat
bahwa, pertempuran itu bukan disebabkan urusan guru mereka.
"Dan kenapa kau bisa tiba di sini?" Ouw Bong Hoe tanya.
Tan Hong angkat kepalanya, ia bersenanjung: "Sukar melupai budi dan penasaran,
sukar melupai kau - Kecuali sang cinta dan peri kebenaran... Ah, apakah kaupun
bukannya kurban sang cinta?"
"Eh, apa kau bilang?" Ouw Bong Hoe tanya.
"Jikalau kau bukannya kurban cinta, mengapa kau sia-siakan soemoay-mu?"
Bong Hoe heran dan tertarik hatinya. Kata-kata orang tepat menusuk hatinya.
"Siapa bilang aku mensia-siakan soemoay-ku itu?" tanyanya.
"Habis kenapa kau takut membicarakan urusan pernikahan dengannya?" Tan Hong
membaliki. "Ha, kau tak tahu!" berkata Ouw Bong Hoe. "Kaum kami ada punya ilmu silat yang
sempurna, untuk itu kami lindungi kehormatan kami supaya tetap kami menjadi
seperti satu perjaka, sebab satu kali kami menikah, kami tidak dapat pelajari
ilmu kepandaian itu..."
Thio Tan Hong tertawa - tertawa besar. "Mana ada tjenglie sebagai itu!" katanya.
"Itulah hanya dapat terjadi jikalau kau menuntut ilmu yang sesat, bukannya ilmu
sejati. Mari, akan aku bikin kau dapat membuka matamu."
Dari dalam sakunya, Tan Hong keluarkan kitabnya, kitab Hiankong Yauwkoat.
"Akan aku pinjamkan kitabku ini kepadamu," ia berkata, "kau yakini ini untuk
dijadikan pokok dari ilmu silatmu, sehabis itu baharulah kau meyakini ilmu silat
Ittjie sian itu. Seandainya gurumu melarang pula kau bicara urusan pernikahanmu,
kau perlihatkan kitab ini kepadanya, apabila tetap dia tidak memberikan ijinnya
untuk kamu menikah, nanti aku hajar padanya, aku akan robek juga sepasang liari
yang ia tulis dengan tangannya sendiri itu!"
Tak kepalang girangnya Ouw Bong Hoe. Memang sudah sejak lama ia ingin dapatkan
kitab yang luar biasa itu. Menampak lagak Tan Hong yang seperti tak beres
otaknya, ia kuatir orang nanti menyesal. Maka lekas-lekas ia berkata: "Baik,
baik! Terima kasih banyak untuk kebaikanmn ini! Sekarang lekas kau kembali,
kuatir guruku mempergoki kita, nanti dia tegur kau."
Tan Hong tertawa besar, ia terus kembali ke kamar tulis. Ia merasa sangat puas.
Ia mencoba berpikir pula, ia menjadi lelah karenanya, tanpa merasa, ia letakkan
kepalanya di atas meja dan tertidur. Tak tahu ia berapa lama ia sudah tidur, ia
hanya terbangun dengan tiba-tiba ketika kupingnya mendengar suara beradunya alat
senjata. Ia lantas saja lompat bangun, akan lari keluar kamar. Ia tidak tampak
satu pelayan jua. Ia lari ke kamar samedhi, ia segera pentang pintunya. Di situ
Ouw Bong Hoe pun tak ada. Maka ia keluar dari rumah itu. Setibanya ia di luar,
ia tampak di bawah sebuah pohon besar tiga orang tengah bertempur, yaitu seorang
pria dan seorang wanita, masing-masing bersenjatakan pedang panjang sedang
mengerubuti Siangkoan Thian Ya. Iapun segera kenali sepasang pria dan wanita
itu, ialah Tjia Thian Hoa, gurunya, serta Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng,
gurunya In Loei. Dan di samping mereka itu, berdiri menonton, tampak Ouw Bong
Hoe serta beberapa pelayan.
Tjia Thian Hoa dan Hoeithian Lionglie juga segera dapat lihat si anak muda, yang
muncul dari rumahnya Siangkoan Thian Ya, mereka nampaknya heran.
-ooo00dw00ooo- Bab XXVIII Benar-benar hebat serangannya Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng itu, pedang mereka
menyambar-nyambar dengan sama imbangannya, kedua pedang sebagai juga tergabung
menjadi satu. Tan Hong masih merasakan matanya seperti kabur, tidaklah heran apabila Ouw Bong
Hoe, apapula beberapa pelayan itu, bagaikan tidak melihat tubuh orang, hanya
bayangannya saja. Mereka ini cuma bisa memandang dengan mata diam dan lidah
diletletkan... Begitu hebat serangannya Thian Hoa berdua, akan tetapi Siangkoan Thian Ya pun
telah memperlihatkan kepandaiannya yang sempurna sekali. Dia melayani dengan
sepasang tangan tanpa senjata, dia mempertunjukkan kelincahan tubuhnya serta
kesehatannya kedua belah tangannya itu. Dia tidak hanya berkelit, diapun dapat
membalas menyerang, yang setiap kali mengarah bahagian-bahagian tubuh yang
berbahaya dari kedua lawannya itu.
Nampaknya si hantu bagaikan terkurung pedang-pedang lawan, akan tetapi Tan Hong
dapat melihatnya dengan nyata bahwa si hantu senantiasa dapat pecahkan serangan-
serangan berbahaya dari siangkiam happek, nampaknya gampang saja dia mengelakkan
diri, hingga terlihat tegas dia ada jauh terlebih liehay apabila dibandingkan
dengan si nyonya tua dari rimba bambu tjietiok lim.
Menampak keadaan itu, Tan Hong kuatiri gurunya serta kawan gurunya itu.
Di pihak lain, di dalam hatinya Siangkoan Thian Ya juga menjadi heran sekali
hingga sekarang ia menginsafi benar-benar keterangan Tan Hong bukan omong kosong
belaka perihal liehaynya ilmu pedang siangkiam happek itu. Jadi benarlah, di
dalam dunia ini, ada semacam ilmu pedang yang liehay.
"Apabila aku belum mencapai puncaknya kesempurnaan, pasti aku dengan lekas dapat
dipecundangi," demikian dia berpikir di dalam hatinya. "Jikalau muridnya saja
sudah demikian hebat, dapatlah diduga bagaimana liehaynya guru mereka..."
Siangkoan Thian Ya mau tidak mau, mengagumi juga Hian Kee Itsoe.
Sementara itu, karena herannya mereka menampak Tan Hong muncul dengan tiba-tiba
dan munculnya juga dari rumahnya Siangkoan Thian Ya, dengan sendirinya
gerakannya Thian Hoa dan Eng Eng menjadi kendor, ketika baik ini segera
digunakan oleh Thian Ya untuk mendesak, hingga mereka kena dipukul mundur
beberapa tindak. Tentu saja, dengan sendirinya mereka menjadi bergelisah.
Setelah berhasil dengan desakannya itu, Siangkoan Thian Ya tidak mendesak
terlebih jauh, hanya sambil berpaling kepada Tan Hong, yang ia tampak muncul, ia
berseru: "Thio Tan Hong, kiranya kau juga termasuk muridnya Hian Kee Itsoe!
Baiklah, kau pun boleh maju bersama!"
Sampai itu waktu, Tan Hong telah sadar dan ingat benar akan janji gurunya untuk
ia datang ke gunung ini, untuk bersama In Loei membantui guru mereka menandingi
hantu itu, akan tetapi ia toh merasakan bagaimana manis budinya Siangkoan Thian
Ya terhadapnya hingga ia beranggapan si hantu bukanlah hantu yang jahat. Malah
ia menjadi berpikir: "Berhubung dengan dongengnya Siangkoan Thian Ya ini, antara
dia dan soetjouw-ku, siapakah yang dapat disebut si kiamkek atau pendekar" Dia
atau soetjouw-ku itu?"
Dengan menyekal pedangnya, Tan Hong diam mengawasi ketiga orang itu.
Menampak demikian, Ouw Bong Hoe menghampirkan, ia tepuk pundak orang.
"Eh, marilah kitapun bertempur satu dua gebrakan!" dia berkata. "Ya, aku
mengucap terima kasih kepadamu yang telah pinjamkan aku kitabmu Hiankong
Yauwkoat itu!" Ouw Bong Hoe bukan menantang benar-benar, ia hanya kuatirkan Tan Hong. Ia
berkuatir anak muda ini masih belum sempurna ilmu silatnya hingga tidak akan
sanggup melayani gurunya yang liehay itu, karena itulah, hendak ia menalangi
gurunya.

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita berdua tidak bermusuh, untuk apa kita bertempur?" Tan Hong tolak tantangan
orang itu. "Eh, ya, bagaimana asal usul gurumu itu" Dia sebenarnya satu kiamkek
atau satu penjahat?"
Ouw Bong Hoe melongo karena mendengar kata-kata orang itu. Ia mau percaya, pada
sejenak ini, si anak muda telah kumat gangguan otaknya...
Tan Hong mengawasi, agaknya hendak ia menegaskan Bong Hoe, tapi mendadak
perhatiannya tertarik oleh suara beradunya senjata, yang datang dari lain arah,
ialah dari belakang bukit. Dari mana tertampak dua pria dan seorang wanita
tengah bertempur sambil mendatangi ke arah mereka. Kedua pria itu terdesak oleh
si wanita yang tangan kirinya memegang gaetan kimkauw dan tangan kanannya
menyekal pedang. Setelah mereka itu mendatangi semakin dekat, Tan Hong segera
kenali kedua pria itu adalah Tiauw Im Hweeshio yang kepalanya gundul dan
Tjinsamkay Pit To Hoan yang mukanya hitam legam.
Itu hari selagi Tiauw Im Hweeshio berada di luar kota Ganboenkwan dengan
menyangsikan Tjia Thian Hoa sudah berubah pikiran dengan menyerah kepada musuh,
saudara mana tak dapat ia susul, hingga ia mesti jalan mundar mandir di tengah
tegalan datar rumput, secara kebetulan ia ketemu Pit To Hoan, maka bersama-sama
mereka lalu pergi ke gedungnya Thaysoe Yasian untuk mengacau, sampai mereka
dapat dicari Tang Gak, siapa telah menjelaskan kepada adik seperguruan itu
perihal sepak terjangnya Thian Hoa. Pendeta ini percaya soeheng-nya, sang kakak
seperguruan, dapat dikasih mengerti, maka sejak itu, ia mempercayai Thian Hoa.
Ia menjadi menyesal atas keliru mengertinya itu. Kemudian Tang Gak pisahkan diri
dari mereka, yang diminta pergi ke gunung Tangkula untuk menepati janji akan
menemui Siangkoan Thian Ya. Nyatalah mereka telah ketinggalan oleh Thian Hoa.
Selagi mendaki gunung, mereka bersomplokan dengan Kimkauw Siantjoe Lim Sian In,
muridnya si hantu, karena kedua pihak berselisih omong, mereka jadi bertempur.
Kimkauw Siantjoe adalah murid terpandai dari Siangkoan Thian Ya, kegagahannya
sebanding dengan Tjia Thian Hoa atau Yap Eng Eng, maka dalam pertempuran itu,
walaupun Tiauw Im dibantui Pit To Hoan, mereka tetap terdesak, sehingga mereka
main mundur dengan mendaki ke atas, ke arah rumahnya Siangkoan Thian Ya. Dengan
demikian mereka tiba di tempat pertempuran itu.
Siangkoan Thian Ya pun segera lihat rombongan itu, lantas saja ia perdengarkan
suaranya: "Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee Itsoe" Bagus! Mari maju kamu
semua sama mengepung aku! Asal kamu bisa lawan seri padaku maka akan aku biarkan
Hian Kee si tua bangka itu menjadi kepala dari kaum Rimba Persilatan!"
Selagi gurunya menantang demikian rupa, Lim Sian In telah desak pula kedua
lawannya itu, tiga kali beruntun ia menyambar dengan gaetannya, disusul dengan
dua kali tikaman pedangnya, karena mana ia membikin Tiauw Im dan To Hoan menjadi
kewalahan melindungi diri mereka, hampir saja mereka rubuh terguling sedang
napas mereka memburu keras sekali.
Menampak demikian, Lim Sian In kata sambil tertawa: "Dua orang ini tak usahlah
soehoe yang berikan pengajaran! Sekarang biarkan dahulu mereka beristirahat,
sebentar akan aku suruh mereka melayani kembali padaku!"
Tiauw Im dan To Hoan adalah bangsa berangasan, mereka jadi sangat gusar, maka
keduanya lantas lompat kepada Kimkauw Siantjoe, untuk menyerang pula. Akan
tetapi belum lagi mereka sampai ke pada nona itu, Thio Tan Hong telah tiba
dihadapan mereka. Anak muda ini mengawasi dengan mendelong, romannya sangat beda
daripada biasanya, seorang diri dia berkata-kata: "Ini, ini toh Djiesoepee...
Ini, ini..." "Hai, Thio Tan Hong!" Pit To Hoan memotong, "Kau kenapakah" Apakah kau sudah
tidak kenali kami" Aku toh Tjin..."
Sekonyong-konyong Tan Hong tepuk kepalanya!
"Ya, tidak salah!" ia berseru keras sekali, "kau benar Tjinsamkay Pit To Hoan!"
Tiauw Im pun segera berkata: "Tan Hong, aku telah menginsafi maksudnya gurumu,
dulu hari kau telah berlaku tidak hormat kepadaku, tentang itu aku tidak tarik
panjang pula. Kenapa kau tidak membantui gurumu itu?"
Tan Hong awasi paman guru yang kedua ini, ia tidak menyahuti. Otaknya tengah
berkutat, keras sekali ia berpikir, untuk mengingat-ingat.
"Apakah yang dikandung guruku di dalam hatinya"..." demikian berulangkah ia
tanya dirinya. Samar-samar ia ingat yang gurunya itu berdiam di ibu kota negara
Watzu di dalam sebuah gedung besar di mana pun ada sebuah taman bunga yang besar
juga, di situlah gurunya ajarkan ia ilmu silat pedang. Ingat akan hal ini,
lantas ia ingat tentang peperangan di antara kedua kerajaan Beng dan negara
Watzu itu. Ia lantas mengingat-ingat terus, sampai tiba-tiba ia dibikin
terperanjat oleh suara bentrok yang keras dari alat senjata, hingga segera ia
berpaling ke arah itu, ternyata suara itu datangnya dari beradunya pedangnya
Thian Hoa dengan pedang Eng Eng karena tersampok tangan bajunya Thian Ya, hingga
ilmu silat siangkiam happek yang liehay dari kedua saudara seperguruan itu
menjadi kalut karenanya. Menampak itu, Tiauw Im pun menjadi kaget sekali, hingga ia berteriak: "Tan Hong,
masih kau tidak lekas maju?" Dan, sambil angkat tinggi tongkatnya, ia pun
lompat. Akan tetapi ia segera dirintangi Kimkauw Siantjoe yang sambar ia dengan
tangan kiri dan menikam dengan tangan kanan.
Masih Tan Hong tak sadar akan dirinya.
"Djiesoepee," dia tanya, "soetjouw kita itu penjahat atau pendekar pedang?"
Tiauw Im menjadi sangat mendongkol hingga ia lompat berjingkrak.
"Hai, Tan Hong, apakah kau sudah gila?" dia berteriak.
Tan Hong pegangi gagang pedangnya, yang ia usap-usap. Masih ia terbenam dalam
kesangsian. Justeru itu dari sebuah tikungan terlihat lagi munculnya dua orang. Menampak
mereka itu, anak muda ini berdenyut jantungnya, darahnya seperti bergolak.
Dua orang itu adalah satu nona yang sedang pepayang seorang lelaki tua yang
kakinya pincang, hingga sukar jalannya mereka itu. Dan mereka itu adalah In Loei
dan ayahnya! Tan Hong merasakan ia seperti tengah bermimpi.
"Adik kecil! Adik kecil!" ia memanggil berulang-ulang, tanpa ia merasa.
Air mukanya si nona menjadi berubah, air matanya lantas saja mengembeng. Dia
mengawasi kepada si anak muda akan tetapi mulutnya tetap rapat, tak sepatah kata
jua keluar dari mulutnya.
Ayah In Loei itu berjalan dengan bantuan tongkat dan gadisnya, tindakannya
dingkluk-dingkluk. Ia mendaki dengan susah payah, akan tetapi kedua matanya
bersinar tajam waktu mengawasi Tan Hong. Pada kedua matanya itu nyata ada sinar
dari kebencian yang sangat, hingga Tan Hong, walaupun nyalinya besar, merasa
bergidik sendirinya. Justeru itu terdengarlah suara nyaring dari Tiauw Im Hweeshio.
"Hai! Siapakah kau?" teriaknya. "Eh, bukankah kau soetee In Teng" Eh, apakah kau
belum mati?" Sehabis berseru, pendeta ini lompat kepada orang pincang itu, ia
menubruk dan memeluknya, berbareng dengan mana, air mata mereka lantas saja
bercucuran deras. In Loei berdiri mengawasi, ia juga tak dapat mencegah keluarnya air matanya.
Tan Hong mengawasi nona itu, ketika mata mereka bentrok, si nona lekas-lekas
melengos. Tiauw Im bertabiat keras akan tetapi besar kesayangannya kepada adik
seperguruannya. Sesudah berisak-isak sekian lama, ia menghela napas.
"Baharu sepuluh tahun kita tidak bertemu, mengapa kau jadi begini rupa?"
katanya, suaranya menyatakan terharunya hatinya.
Pendeta ini ada terlebih tua beberapa tahun daripada In Teng akan tetapi
sekarang rambutnya soetee ini telah pada putih, tubuhnyapun sangat loyo, hingga
ia nampaknya jadi terlebih tua daripada soeheng-nya itu.
Lalu, dengan tak putus-putusnya, Tiauw Im menanyakan soetee-nya itu.
In Teng ketahui dari gadisnya bahwa di atas gunung Tangkula ini bakal dilakukan
pertempuran, untuk mana saudara-saudara seperguruannya telah menjanjikan suatu
pertemuan, walaupun ia menduga pasti Tan Hong akan turut hadir juga tetapi
karena keras keinginannya untuk menemui saudara-saudara seperguruannya itu, ia
tidak hiraukan perjalanan yang sukar, ia minta sang anak bantu padanya. Demikian
mereka melakukan perjalanan selama belasan hari, selama itu mereka sama-sama
bertahan hati untuk tidak menimbulkan atau membicarakan hal yang mengenai
keluarga Thio. Sejak hari pertama itu, In Teng sudah tahu yang gadisnya menaruh hati terhadap
Tan Hong, akan tetapi sejak hari itu, ia mencoba mengawasi dirinya sendiri,
tidak ia timbulkan pula urusan mereka, tidak ia tegur puterinya. Akan tetapi
sang puteri, In Loei, dapat terka hatinya ayahnya itu, sebagaimana ia lihat dari
wajahnya, ia lantas merasa bahwa ia tidak mempunyai harapan lagi akan dapat
berkumpul bersama si anak muda pujaannya itu. Ia merasa hatinya bagaikan
disayat-sayat. Ia merasa sakit untuk dua hal, yaitu kesatu karena nasib ayahnya
dan kedua, karena nasibnya sendiri. Diam-diam ia sering menepas air mata
sendiri. Selagi kedua pemuda-pemudi itu bersusah hati masing-masing, keduanya dibikin
terkejut oleh suara beradunya senjata tajam, ketika mereka menoleh mereka tampak
kedua pedangnya Thian Hoa dan Eng Eng kena disampok ujung bajunya si hantu.
Inilah untuk kedua kalinya Tan Hong menyaksikan pedang gurunya itu dibikin tak
berdaya oleh Siangkoan Thian Ya, yang ilmu silat bertangan kosongnya benar-benar
sangat liehay. In Loei terkejut, karena berbareng ia pun dengar jeritannya Tiauw Im Hweeshio,
sedang gurunya, ia dapatkan, nampaknya sangat gelisah. Ia menjadi nekat dengan
tiba-tiba, ia lompat maju, pedangnya dihunus - pedang Tjengbeng kiam.
"Lekas mundur!" berteriak Yap Eng Eng kepada muridnya itu.
Siangkoan Thian Ya lihat majunya si nona, ia hempaskan tangannya.
"Nona kecil, kau juga hendak membantu meramaikan?" katanya.
Tidak keras hempasan itu, akan tetapi itu pun sudah cukup membuat In Loei
rasakan telapak tangannya sakit, sampai hampir saja pedangnya terlepas dan
terpental. Justeru itu waktu, satu bayangan putih berkelebat masuk dalam kalangan, lalu
terlihat majunya Tan Hong.
Siangkoan Thian Ya lantas saja tertawa gelak-gelak.
"Kau juga maju?" dia menanya.
Tjia Thian Hoa membabat selagi si hantu menegur Tan Hong, atas mana, hantu itu
mengebut pula dengan ujung bajunya. Kalau tadi Thian Ya menghempas In Loei
dengan tangan kanan, sekarang ia menggunakan tangan kirinya. Serangan si nona
disusul cepat oleh si pemuda, karenanya, ujung baju kanannya Thian Ya belum
sempat ditarik pulang anteronya, ia dipaksa harus menangkis pemuda itu.
"Breeet!" demikian terdengar, lantas ujung tangan baju si hantu kena terbabat
kutung pedangnya Tan Hong!
Maka terkejutlah hantu dari gunung Tangkula itu. Tapi ia sangat tabah, segera ia
mengebut pula, hingga ia membuatnya ke empat pedang dua pasang lawannya itu
bentrok pula satu pada lain.
"Sungguh sebuah pedang yang tajam!" ia berseru.
Tan Hong tidak pedulikan perkataan itu, seperti juga ia sudah berjanji,
berbareng sama In Loei, ia terus maju pula menyerang. Dari terpencar pedang
mereka berdua lantas tergabung pula. In Loei gunakan tipu silat "Lioeseng
kangoat" atau "Bintang mengejar rembulan", dan Tan Hong dengan "Pekhong
koandjit" "Bianglala putih menutupi matahari". Kedua pedang itu mengarah masing-
masing muka dan dada si hantu, kedua sinarnya, hijau dan putih, berkelebat
bersilang. Siangkoan Thian Ya mundur tiga tindak karena serangan berbareng itu, tangan
bajunya yang panjang turut digerakkan juga, kemudian secara tiba-tiba, ia balas
menyerang. Luar biasa sekali cara menyerangnya itu.
Tan Hong tidak berani melayani, ia berkelit ke samping.
Thian Ya bergerak terus, kali ini untuk hindarkan serangannya Thian Hoa dan Eng
Eng, yang menggantikan murid mereka untuk maju menyerang.
Pertempuran lantas berlangsung dengan dahsyat sekali.
Siangkoan Thian Ya dikepung empat lawan, yang masing-masing mainkan pedang-
pedang tergabung. Pedang ada empat buah tetapi nampaknya seperti sepasang, atau
setiap saat seperti berada di depan, di belakang, di kiri dan di kanan. Atau di
lain saat lagi, ke empat pedang, seperti terpecah menjadi berlipat banyaknya,
hingga si hantu jadi kena dikurung.
Sekarang terlihat tegas kepandaiannya orang she Siangkoan ini. Walau ia dikurung
musuh-musuh tangguh, dapat ia melawannya dengan baik, dapat ia gunai ketika
untuk membalas menyerang. Gesit luar biasa, ia berkelebatan di antara sambaran-
sambaran pedang. Tiauw Im menjadi lupa mementang mulutnya, dengan pegangi In Teng, ia berdiri
diam mengawasi pertempuran itu.
Juga Lim Sian In dan Ouw Bong Hoe berdiri menonton dengan mata mereka dibuka
lebar-lebar dan mulut menganga, tanpa merasa keduanya telah saling senderkan
tubuh mereka... Dalam saat-saat sangat dahsyat itu, Ouw Bong Hoe seperti tersadar ketika ia
dengar satu suara, apabila ia berpaling dengan segera, ia lihat satu orang tua
berumur kira-kira lima puluh tahun, berlari-lari mendatangi. Orang itu dandan
sebagai petani, kedua tangannya memegang serupa barang. Ketika ia sudah lihat
tegas orang itu, ia terkejut. Ia kenali Kimkong Tjioe Tang Gak, murid kepala
dari Hian Kee Itsoe. Ia belum dapat melihat tegas barang apa yang dibawa Tang
Gak itu, ia hanya menyangka orang tua itu hendak membantui saudara-saudara
seperguruannya. Ia menjadi berkuatir untuk gurunya, maka juga tanpa berpikir
lagi, ia lompat untuk menghalau, sambil gerakkan juga tangannya dengan totokan
Ittjie sian. "Jangan kurang ajar!" membentak Tang Gak sambil menangkis.
Lim Sian In bergerak juga, untuk menarik saudara seperguruannya itu, akan tetapi
ia terlambat, tangannya Ouw Bong Hoe telah bentrok tangannya Tang Gak, dengan
kesudahan Bong Hoe lantas saja terpental jatuh jauhnya setombak lebih.
Tang Gak berlari-lari terus, setibanya di tempat pertempuran, ia terus tekuk
separuh dari kedua lututnya, kedua tangannya diangkat naik bersama barang yang
ia bawa itu. Ia pun segera berkata: "Guruku menitahkan teetjoe menanyakan
kesehatan loojianpwee."
Nyata Kimkong Tjioe ada membawa karcis nama dari Hian Kee Itsoe. Ia telah
bertindak menuruti aturan kaum kangouw, ia membuat kunjungan kehormatan terhadap
orang yang terlebih tinggi tingkatnya. Menurut aturan, Ouw Bong Hoe tidak boleh
merintangi, malah Siangkoan Thian Ya harus menyambutnya sendiri. Akan tetapi
waktu itu ia justeru dikurung empat lawannya...
Sekonyong-konyong terdengar si hantu tertawa gelak-gelak.
"Tak usah menggunakan banyak adat peradatan!" katanya nyaring. Lalu dengan tiba-
tiba ia mengibaskan kedua tangan bajunya, menyusul mana, jari-jari tangannya
menunjuk ke arah lawan-lawannya.
Mendapatkan kibasan itu, dengan sendirinya Thian Hoa berempat segera lompat
mundur. Siangkoan Thian Ya tidak hentikan gerakannya, tetapi ia bukan maju terus akan
serang ke empat lawannya itu, ia hanya berlompat ke arah Tang Gak, untuk dengan
kedua tangannya menyambuti karcis nama Hian Kee Itsoe. Gerakannya itu sangat
cepat, bagaikan ular naga menyambar menyedot air!
Tang Gak terperanjat, tetapi ia tidak bilang suatu apa, ia hanya berlompat
bangun, untuk terus berdiri di pinggiran.
Di waktu itulah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, dengan berbareng telah
perdengarkan jeritan yang mengerikan. Inilah disebahkan Tan Hong telah lompat
maju dengan serangannya kepada Siangkoan Thian Ya, ujung pedangnya mengarah
pundaknya hantu itu. Thio Tan Hong telah pahami kitab Hiankong Yauwkoat, ia telah peroleh hasilnya.
Kitab itu berisikan penuntun atau pengajaran untuk si peyakin awas matanya,
tajam otaknya, kuat ingatannya, demikianlah Tan Hong, dengan menyaksikan saja
latihan orang lain, tanpa belajar pula dia telah dapat menyangkok kepandaian
orang lain itu. Sekian lama Tan Hong sudah saksikan Siangkoan Thian Ya bertempur, ia lihat tegas
gerak-gerakannya untuk menghalau pelbagai serangan siangkiam happek dari Thian
Hoa dan Eng Eng, dengan sendirinya ia menginsafi ilmu silatnya si hantu itu,
maka begitu ia turut maju bersama In Loei, ia dapat membuktikan sendiri
liehaynya lawan. Mula-mula ia masih gunakan tipu-tipu dari siangkiam happek,
untuk bersama si nona membantui guru mereka mendesak jago tua itu. Sayang
baginya, lebih-lebih lagi In Loei, mereka masih kalah dalam hal latihan ilmu
dalam, karena mana, ia tidak bisa mendesak dengan sungguh-sungguh terhadap lawannya yang tangguh itu,
jikalau tidak, mungkin ia dapat membuatnya Siangkoan Thian Ya terperanjat.
Siangkoan Thian Ya seorang yang besar nyalinya, dia pun biasa "suka menang
sendiri," demikian di waktu menyambuti karcis nama Hian Kee Itsoe, ia telah
pertontonkan ketangkasannya hingga ia membuatnya Tang Gak kagum. Walaupun
demikian, di matanya Tan Hong, ia telah tinggalkan sebuah lowongan, karena mana,
begitu dia mundur, Tan Hong terus lompat maju pula, untuk menyerang ke arah
jalan darah kintjeng hiat di pundak kiri. Pedangnya itu pun segera disusul
secara wajar oleh pedangnya In Loei, dan ujung pedang si nona menuju kepada
jalan darah serupa di pundak kanan.
Jalan darah kintjeng hiat itu adalah suatu jalan darah yang sangat berbahaya,
siapa terluka pada bahagian itu, bisa rusak juga tulang piepee yang menyambung
dengannya, dan itu artinya, akan habislah tenaga dilengannya dan kepandaian ilmu


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silatnya. Tjia Thian Hoa menjadi sangat girang menampak serangan murid itu, berbareng
bersama Yap Eng Eng, iapun maju, untuk bantu menyerang juga. Begitu memang
jalannya siangkiam happek, yang bergerak saling susul atau sewaktu-waktu
bergerak berbareng. Di saat ujung pedangnya akan mengenai sasarannya, dan Tan Hong hendak
mengucapkan maaf, akan tetapi belum sempat ia membuka mulutnya, ia sudah lantas
dibikin terkejut oleh sambutannya Siangkoan Thian Ya. Pundaknya jago tua ini
turun dengan mendadak, pedang Tan Hong seperti tertarik, lalu seperti terbetot
dan menempel, hingga tidak dapat lantas ditarik pulang. Juga ujung pedang di
waktu mengenai pundak rasanya seperti menikam kapas.
Kejadian serupa dialami juga oleh In Loei. Thian Hoa dan Eng Eng tidak insyaf
bahwa murid-muridnya tengah terancam bahaya, mereka menyerang terus. Mereka
memang ada terlebih liehay ilmu dalamnya dibanding dengan murid-murid mereka
itu. Dengan tiba-tiba Siangkoan Thian Ya berseru: "Bagus!" terus kedua tangannya
mengibas, ujung bajunya pun mengebut, dengan begitu kedua pedang Thian Hoa dan
Eng Eng telah kena tersambar seperti tergulung, terbawa ke kiri dan kanan,
hingga gagallah serangan mereka itu.
Saat-saat yang hebat berpeta di depan mata. Kedua pihak telah menghadapi ancaman
bencana masing-masing. Ke empat pedang seperti berdiam, juga si hantu diam tak
bergerak. Kedua pihak sama-sama mengempos semangat masing-masing, yang satu
mempertahankan kekangannya atas ke empat pedang, yang lain berdaya untuk
membetotnya, untuk meneruskan menikam...
Siangkoan Thian Ya liehay tetapi sekarang ia merasakan berat usahanya akan terus
mempengaruhi senjata-senjata lawan-lawannya itu, yang ia niat rampas, atau
sedikitnya membuat terlepas dan terlempar.
Di lain pihak, Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In berdiri tercengang, mereka
bergelisah di dalam hati. Tentu sekali mereka tidak berani maju, untuk
memisahkan kedua pihak itu, untuk mana kepandaian mereka belum cukup...
Dalam saat tegang itu, tiba-tiba terlihat Siangkoan Thian Ya mundur satu tindak,
pundak kanannya diturunkan sedikit.
Tubuh In Loei bergemetar, begitupun pedangnya.
Dalam keadaan seperti itu, Thian Hoa dan Eng Eng mencoba akan mendesakkan pedang
mereka, wajah mereka sendiri nampak sangat tegang, menandakan mereka telah
memusatkan tenaganya. In Teng telah saksikan itu, hatinya goncang. Ia sangat berkuatir untuk gadisnya.
Ia telah lihat ancaman bahaya yang hebat.
Syukur ketegangan itu tidak, berjalan lama. Sekonyong-konyong terdengar satu
suara tertawa yang wajar tetapi nyaring, di antara mereka tahu-tahu telah muncul
satu orang tua! Orang tua ini beroman bersih, alis dan kumisnya telah putih semua, kulit mukanya
bersemu dadu dan segar, mirip dengan
kesegarannya satu bayi, sedang sikapnya alim tetapi berpengaruh. Kedatangannya
orang tua ini telah membikin Tiauw Im bersama In Teng menjadi girang tak
kepalang. "Soehoe." teriak mereka dalam kegirangannya yang meluap-luap.
Nyatalah orang tua itu Hian Kee Itsoe adanya! Orang tua ini bertindak dengan
sabar ke arah kalangan pertempuran, sembari bertindak ia tertawa bergelak-gelak.
"Hai, sahabat tua bangka!" serunya. "Kau bergusar terhadap bocah-bocah, apakah
artinya itu?" Ia tidak hanya bergurau, selagi datang mendekati iapun menggerak-gerakkan
Serikat Setan Merah 1 Pendekar Rajawali Sakti 17 Perawan Rimba Tengkorak Pedang Langit Dan Golok Naga 21
^