Dua Musuh Turunan 4
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 4
Imyang Hiankee kiam" yang banyak perubahannya, yang diciptakan berbareng dengan
satu ilmu pedang lainnya "Banlioe Tiauwhay Goangoan kiam."
Kaget si imam, kesatu, sebab tikamannya gagal, kedua karena datangnya serangan
membalas itu. Ia sebenarnya gesit, ia sudah lantas berkelit, tapi tidak urung,
ikat jubanya kena disambar juga hingga putus, hingga ia mandi keringat dingin.
In Loei kecewa karena gagalnya serangan itu, apapula di lain pihak ia mesti
tangkis goloknya si tauwto, yang sudah merangsak pula, sedang dari sambarannya
See To, yang tangannya lihay, ia mesti egoskan tubuhnya. Si imam juga sangat
bengis, habis itu, dia maju pula.
Selagi orang dikeroyok, See Boe Kie berteriak: "Jikalau dia tidak dapat dibekuk
hidup-hidup, mati pun boleh! Mari maju, kita cincang tubuhnya!"
Benar-benar In Loei segera dikurung dengan rapat.
See To dan puteranya tak dapat dipandang ringan. Si tauwto dan si iman juga
lihay, malah si tauwto menggunakan sepasang golok, maka itu In Loei menjadi repot, dia mesti
berlaku sangat gesit dan sebat untuk menangkis sesuatu serangan. Boe Kie
merangsak dengan hebat rupanya ia sangat penasaran karena tidak dapat memiliki
Nona Tjio. Begitulah kejadian, selagi banyak alat meluruk, Boe Kie membacok dengan golok
Kwietauw too-nya. Ia kertek giginya, ia gunakan seluruh tenaganya. Tapi, tiba-
tiba ia menjerit keras sekali dan goloknya pun terlepas, terlempar karena ia
merasakan sikutnya sakit sekali seperti tertusuk jarum.
In Loei terperanjat menampak golok melayang ke arah kepalanya, dengan sebat ia
berkelit. Berbareng dengan itu satu penyerang, yang bersenjatakan tombak gaetan seperti
arit, juga menjerit seperti Boe Kie, malah dia terus rubuh tanpa bangun lagi,
karena dia juga merasa dirinya tertusuk jarum, sampai gaetannya, yang terlepas,
menyambar dadanya sendiri.
"Bagus! Bagus!" si mahasiswa berseru dengan pujiannya sambil tertawa, apabila
dia saksikan "piauwsoenya" lolos dari bahaya dan dua lawannya terluka. "Hai,
piauwsoe-ku yang baik, senjata rahasiamu bagus sekali!"
Mendengar teriakan itu, In Loei sadar dengan mendadak.
"Musuh banyak, aku sendirian, tidak dapat tidak, mesti aku gunakan senjata
rahasia!" demikian ia pikir. Maka ketika ia sedang bebas, tangan kirinya merogo
kesakunya, untuk meraup piauw Bweehoa Ouwtiap piauw-nya. Dengan itu segera ia
menyerang. Belum lama In Loei muncul di dunia kangouw, ia sudah mendapat julukan "Sanhoa
Liehiap," itulah karena pandainya ia menggunakan piauw-nya, ini kali ia gunakan
senjata rahasia itu, dalam sekejap saja ia membuat musuhmusuhnya kaget dan
repot. Berulang kali terdengar suara nyaring dari bentroknya pelbagai piauw
dengan senjata-senjata lawan, yang mengadakan penangkisan, sebagai kesudahannya,
kecuali See To, si imam dan tauwto, yang lainnya rubuh sebagai korban.
Tauwto dan imam itu adalah orang-orang lihay undangannya See To untuk membantu
tjeetjoe ini, mereka heran melihat senjata-senjata rahasia. Mereka insaf bedanya
senjata rahasia In Loei dari senjata rahasia yang bermula. Mereka tiba-tiba
mengerti, selagi dikepung rapat, bagaimana In Loei dapat kesempatan akan
menggunakan senjata rahasianya itu. Tapi, kalau senjata itu bukan dilepaskan In
Loei, mesti di situ bersembunyi seorang liehay lain yang membantu pemuda ini.
Akhirnya si tauwto berseru: "Siong Sek Tooheng, kau tahan dia, libat padanya!
See Tjeetjoe, kau rampas pedangnya! Hendak aku melihat-lihat!"
Dan "Sret!" terdengar suara halus atau lengan si tauwto kena tertusuk!
Si imam berbaju hijau adalah orang terlihay di antara tiga orang ini, ia telah
memasang mata sejak tadi, maka kali ini ia dapat lihat si mahasiswa yang sedang
bercokol di atas batu telah bergerak
tubuhnya. Tidak tempo lagi, ia berseru: "Soeheng, itu kambing yang main gila!"
Lalu ia lompat melewati In Loei, guna menyerang anak sekolah itu.
"Tolong! Tolong!" si mahasiswa menjerit-jerit, tubuhnya gemetar.
Siong Sek Toodjin ada satu murid tingkatan kedua dari Boetong pay, partai yang
kesohor dengan ilmu pedang Tjicapdjietjioe Lianhoan Toatbeng kiam, maka itu bisa
dimengerti bagaimana hebatnya ketika ia tikam si mahasiswa, akan tetapi kali
ini, ujung pedangnya lewat di dekat iga, sama sekali tidak mengenai atau,
menyinggung bajunya. Karena itu, ia lantas ulangi serangannya, beruntun sampai
empat kali! Bukan main repotnya si mahasiswa, dia berteriak-teriak, dia berlompatan, untuk
menyingkir dari ancaman sasarannya, kelihatannya dia seperti sedang bermain-
main. In Loei terkejut mendengar jeritan si mahasiswa. Ia sekarang menjadi ringan
karena Siong Sek Toodjin meninggalkan padanya, akan tetapi, meski demikian, ia
mesti berkelahi secara sungguh-sungguh, sebab si tauwto lihay dengan goloknya,
dan See Tjeetjoe berbahaya dengan tangannya.
"Apakah aku keliru melihat orang?" nona ini berpikir. "Benar-benarkan si
mahasiswa tidak mengerti silat?"
Karena ia berpikir, ia jadi alpa, maka satu kali, hampir ia kena dibacok si
tauwto. Ia jadi sangat mendongkol terhadap si mahasiswa itu, maka juga
di dalam hatinya ia berkata pula: "Menjemukan mahasiswa itu! Aku tolongi dia,
dia sebaliknya permainkan aku! Biar habis ini tak akan aku pedulikan lagi
padanya1....." Nona ini mendelu, ia tak tahu, Siong Sek terlebih mendelu pula menghadapi
mahasiswa itu, hingga dia seperti kalap. Sebab setiap kali dia menikam, setiap
kali juga dia gagal, sasarannya senantiasa meleset. Dan si mahasiswa sendiri,
masih saja ia berteriak-teriak: "Tolong! Tolong!"
Kemudian dengan mendadak si mahasiswa tertawa terbahak-bahak.
"Ha, kiranya kau sedang permainkan aku?" dia berseru. Terus saja dia menghitung
"Satu! Dua! Tiga!" terus sampai "Dua puluh!" Dia menghitung setiap kali dia
ditikam. Di saat dia menghitung sampai dua puluh. Boe Kie yang terkena jarum tetapi tidak
parah lukanya, sudah merayap bangun, terus ia ambil goloknya, lantas ia
menghampiri dengan diam-diam pada si anak sekolah.
Anak sekolah ini berkelahi sambil tiap-tiap kali kelitkan diri. Ia tidak melihat
ke kiri dan kanannya. Maka leluasa Boe Kie mendekatinya, untuk lantas lompat
dibarengi dengan bacokannya. Tapi mendahului itu, tangan si mahasiswa melayang
ke belakang, tepat mengenai hidung orang, hingga hidung itu menyemburkan darah
hidup! "Manusia tolol!" bentak si mahasiswa. "Telah aku tolongi kau, kau sebaliknya
menghendaki jiwaku, jikalau aku tidak hajar padamu, kau tidak akan
insaf! Apakah kau tidak diajar aturan" Apakah si bangsat tua she See mengajar
kau membalas kebaikan dengan kejahatan?"
Boe Kie kelabakan karena hidungnya bercucuran darah, ia mesti bekap hidungnya
itu. Gagalah bokongannya. Tapi kata-kata si mahasiswa membuat See To, Boe Kie
dan In Loei menjadi sadar. Ketika malam itu Boe Kie bersama hoetjeetjoe
membokong di kuil tua, dia mestinya terbinasa diujung pedang In Loei, akan
tetapi secara menggelap ada orang menolongnya, tangan In Loei kena dihajar
senjata rahasia, hingga ujung pedangnya nyasar, dan Boe Kie lolos dari bencana.
Tentang kejadian itu, Boe Kie telah katakan pada ayahnya, mereka menduga-duga,
sama sekali mereka tidak menyangka si mahasiswalah yang menolongnya. Karena ini,
See To jadi melengak. Tapi justeru itu, In Loei menyerang, ia kena dibacok
kopiahnya hingga rusak. Ia jadi sangat gusar. Di dalam hatinya, tjeetjoe ini
berpikir: "Aku hendak mencuri permata dan kudanya, dia sebaliknya diam-diam
membantu aku! Tidakkah ini aneh?" Ia tidak berpikir lama, ia sudah lantas sambar
muka In Loei. Juga si tauwto turut menyerang, sebab tauwto ini panas hatinya.
Dia satu jago di Jalan Hitam tetapi hampir dia celaka ditangan "pemuda" ini.
Tauwto ini telah berpikir, In Loei mesti dirubuhkan dulu, baharu nanti mereka
kepung si mahasiswa. Repot In Loei didesak secara hebat, sampai tak sempat ia memperhatikan si anak
sekolah, lebih-lebih ketika See To menyambar dadanya dan si tauwto membacok mukanya. Tapi
justeru itu, bentrokan senjata terdengar keras dan lelatu api muncrat, dibarengi
dengan jeritan si tauwto yang kemudian disusul dengan teriakannya si mahasiswa:
"Hai, pendeta, kaulah yang paling menjemukan, hendak aku berikan tanda mata
padamu!" Setelah ini tidak ayal lagi, si tauwto lari kabur, diikuti oleh See To.
Pada saat si "pemuda" itu terancam bahaya, si mahasiswa sudah tunjukkan
kesehatannya yang luar biasa, ia lompat ke arah si tauwto, golok siapa ia
tangkis dengan pedang Siong Sek Toodjin yang ia rampas. Hebat tangkisan itu,
golok kaytoo menjadi kutung karenanya. Tauwto itu kaget dan jeri, begitu juga
See Tjeetjoe, maka keduanya segera angkat kaki.
Si mahasiswa lantas tertawa berkakakan, lalu sambil melemparkan pedangnya kepada
Siong Sek Toodjin, dia berkata dengan logat anak sekolah: "Menipu uang dan
merampas jiwa, itulah perbuatan tak berprikemanusiaan, dan tidak tahu tenaga
diri sendiri, itu namanya tolol. Manusia tak berprikemanusiaan dan tolol,
bukankah perbuatannya onar belaka" Ini, aku kembalikan pedangmu, supaya kau
belajar lebih jauh lagi sepuluh tahun!....."
Imam itu menjadi sangat lesu.
"Tolong kau sebutkan namamu," ia minta.
Si mahasiswa tertawa. "Apakah kau berniat membalas dendam kepadaku?" dia tanya.
"Tidak," sahut si imam.
"Jikalau tidak, untuk apa kau tanya namaku" Aku tidak berani bermusuh dengan
kau, aku juga tidak ingin bersahabat denganmu, karena kita bukannya musuh dan
bukannya sahabat, buat apa kita saling berkenalan?"
Siong Sek Toodjin membungkam, ia menghela napas, tapi karena ia sangat
mendongkol, ia patahkan pedangnya itu, sesudah mana ia ngeloyor pergi. Seorang
diri ia bersumpah untuk selanjutnya tidak lagi menggunakan pedang!
Kembali si mahasiswa tertawa besar.
"Baik, pergilah kamu semua!" katanya sambil terus mendekati sekalian lawannya,
untuk mendupak pergi. Orang-orang yang diserang senjata rahasia In Loei terkena urat-uratnya hingga
mereka tak dapat bergerak, sekarang setelak didupaki si mahasiswa, darahnya
jalan pula, hingga mereka dapat bergerak lagi.
In Loei heran yang si anak muda dapat menyadarkan orang-orang itu sedang ia
tahu, totokan piauw-nya adalah totokan istimewa.
Si mahasiswa rupanya dapat melihat keheranan orang, sambil tertawa, dia kata:
"Kemarin ini kau pecahkan totokanku, sekarang aku pecahkan kepunyaanmu, tidakkah
itu sama saja?" Tapi tetap In Loei heran.
See Boe Kie telah saksikan perbuatannya si anak sekolah, seperti lupa pada
hajarannya si anak sekolah tadi, ia lantas menghampiri, untuk memberi
hormat sambil menjura. Ia pun berkata: "Kau telah menolongi jiwaku, kau telah
hajar aku dengan tanganmu, maka itu di belakang hari, aku pun hendak memberi
ampun satu kali pada jiwamu dan menghajar kau satu kali juga!....."
Mendengar itu dan melihat kelakuan orang, si anak sekolah tertawa.
"Aku tolong kau karena aku pandang muka si bangsat tua she See, dari itu tidak
usah kau ingat budi," ia kata. "Kau hendak memberi ampun satu kali pada jiwaku,
itulah tidak usah, tetapi bahwa kau hendak membayar satu tanganmu, untuk itu aku
menanti. Kau kalah dari Siong Sek Toodjin, kau mestinya pulang dulu untuk
belajar lagi dua puluh tahun! Nah, pergilah lekas!"
See Boe Kie itu cupat pandangannya, bisa dimengerti bagaimana ia mendongkolnya.
Ia pandang si mahasiswa dan In Loei dengan mata mendelik, lalu ia ajak kawan-
kawannya berlalu. Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala, ia tertawa melenggak.
"Orang she See itu mempunyai nama kosong belaka di Jalan Hitam," katanya, "maka
aku tidak sangka dia demikian tak berguna!"
Ia nampaknya jadi sangat kecele.
In Loei sebenarnya niat berlalu, akan tetapi mendengar perkataan orang itu, ia
menoleh. Ia anggap orang telah menghina golongan Jalan Hitam itu.
"Bagaimana dengan Kimtoo Tjeetjoe dari Ganboenkwan luar?" dia tanya. "Apakah dia
tak dapat dihitung sebagai satu orang gagah?"
Berubah wajahnya si mahasiswa, tetapi cepat sekali, ia bersenyum. Ia menggoyang-
goyangkan kepala pula. "Kimtoo Tjeetjoe dan See Boe Kie, ayah dan anak, tak dapat dipandang sama,"
sahutnya. "Mengenai mereka itu ada perbedaan waktunya. Untuk menyebut dia
sebagai seorang gagah, itulah belum dapat!"
Mendongkol In Loei. "Baiklah!" serunya, "di kolong langit ini rupanya cuma kau saja seorang yang
gagah!" Karena tetap masih mendongkol, ia lantas bertindak pergi, akan berlalu dari
rimba itu. Belum jauh ia berlalu atau satu bayangan orang berkelebat
dihadapannya. "Saudara kecil, perlahan sedikit!" demikian suara bayangan itu - ialah si
mahasiswa. "Menurut aku, kaulah si orang gagah!"
In Loei melengak tapi segera ia angkat kakinya, untuk pergi terus. Ia bertindak
ke kiri, si mahasiswa cegat ia, ia bertindak ke kanan, masih ia dihalangi. Ia
bertindak pula ke kiri dan ke kanan, tetap ia dirintangi. Si mahasiswa bergerak
dengan sebat sekali. "Kenapa kau cegat aku?" bentak si "pemuda," hatinya panas sekali. Kali ini ia
terus lompat, untuk dengan mendadak melewati si mahasiswa itu.
Si mahasiswa ulur tangannya, ke arah dada orang, maksudnya untuk mencegah pula.
Maka gusarlah si "pemuda", hingga ia mendelik.
"Kau..... kau berani menghina....." bentaknya.
Hampir ia mengatakan ".....nonamu!" Syukur dapat
ia cegah itu ditenggorokannya, habis mana terus saja dengan pedangnya ia tikam
tenggorokannya si mahasiswa, hingga orang menjadi kaget, baiknya dia dapat
lompat mundur. Menyusul tikamannya itu, si "pemuda" perdengarkan seruan kaget, terus ia
meringis. Tangan kanannya, yang menyekal pedang, telah turun sendirinya. Begitu
hebat tikamannya itu, ketika tikaman itu tidak mengenai sasarannya, tangannya
terlonjorkan kaget sekali, sedang tubuhnya tertahan kuda-kudanya.
Tiba-tiba saja ia merasakan sakit karena lengannya bagaikan copot dari
pundaknya. Si mahasiswa lihat itu. "Mari aku tolong sambung lenganmu," katanya, sambil maju, dengan niat memberikan
pertolongannya. "Jangan kau pedulikan aku!" bentak si "pemuda." Ia cekal lengan kanannya itu
dengan tangan kiri, ia mendorong dengan dikagetkan, dengan begitu, ia sambung
pula lengan itu, kemudian dengan membalik tubuh, membelakangi si mahasiswa, ia
buka tangan bajunya, terus ia obati lengan yang seperti copot itu. Sebenarnya ia
ingin lantas berlalu dari situ, baharu ia berniat angkat kaki, untuk berlari
pergi, atau sekonyong-konyong ia rasakan tubuhnya lemah. Segera ia insaf, karena
telah bertempur terlalu lama, tenaganya menjadi habis sendirinya.....
Si mahasiswa mendekati, ia menjura.
"Aku mohon maaf," katanya, perlahan. "Saudara kecil, hatimu polos dan baik, kau
dapat menolong sesamanya, ingin aku bersahabat denganmu. Sekian lama, baharu aku
ketemukan orang dengan pribadi, sepertimu ini. Aku biasa beradat tinggi,
andaikata aku telah berbuat salah terhadapmu, sukalah kau memaafkannya."
Dengan matanya yang bersinar hidup, ia awasi wajah orang.
Mukanya In Loei bersemu dadu. Di matanya, di dalam hatinya, ia merasa si
mahasiswa ini luhur budi pekertinya, kelakuannya dapat
membuat orang kagum, "Kenapa kau mencaci Kimtoo Tjeetjoe?" akhirnya ia tanya,
sambil tunduk. Tertawa anak sekolah itu.
"Orang yang kau kagumi belum tentu dikagumi juga olehku," katanya. "Kenapa kau
seperti hendak memaksakan supaya orang turut padamu" Lagi pula, aku tidak
mencaci dia. Mungkin dia mempunyai bahagian-bahagian yang membuatnya orang
kagum, akan tetapi..... sudahlah, terlalu panjang untuk diuraikan, lebih baik
aku tidak mengatakannya." Tergerak hatinya In Loei.
"Apakah kau datang dari luar Ganboenkwan?" dia tanya.
Si mahasiswa mendongak, ia tertawa.
"Sang kupu-kapu terumbang-ambing karena tak ada gunanya, dia terhanyut sampai di
sungai dan telaga, tak usahlah tuan menanyakan sebabnya," ia bersenandung
seorang diri. Lalu ia tertawa pula,
suaranya mengharukan. "Mestinya dia punyakan riwayat sedih," pikir In Loei, "riwayat yang sama dengan
lelakon hidupku. Aku tak sudi orang mengetahui tentang diriku, maka buat apa aku
menanyakan tentang dia?"
Oleh karena ini, dengan tiba-tiba nona ini menaruh rasa simpati terhadap si anak
sekolah. "Baik," katanya kemudian, tak nanti aku ganggu pula padamu. Di sini kita
berpisah!" Si mahasiswa tertawa pula.
"Saudara kecil," katanya, "hari ini kau telah menjadi piauwsoe-ku, sudah
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seharusnya aku undang kau minum arak. Kali ini kau telah berjasa, wajib kau
menerima hadiah, dan tidak lagi aku mengatakan kau penganglap!"
In Loei tidak menjadi gusar. Ia anggap biasa saja seperti orang sedang bersenda
gurau. Ia lantas memandang ke sekitarnya.
"Di hutan sebagai ini di mana ada arak?" tanyanya kemudian.
Si anak muda tidak menjawab, dia hanya perdengarkan suitan nyaring dan panjang,
setelah itu terdengar jawaban yang berupa bengernya kuda, habis mana, dalam
sekejap saja, tampak dua ekor, kuda lari muncul dari dalam rimba. Itulah kuda
putih dari si mahasiswa disusul kuda merah si nona.
"Lihat, mereka telah mendahului bersahabat!" kata si anak sekolah sambil
tertawa. Kuda putih itu menghampiri majikannya, dan si mahasiswa lantas mengulurkan
tangannya, guna menurunkan satu kantong kulit dari bebokongnya,
dari dalam kantong itu ia keluarkan satu gendul arak warna merah.
"Kau telah lelah, silakan kau minum lebih dahulu," katanya seraya mengangsurkan
gendul itu kepada si nona.
In Loei sambuti gendul itu, ia irup araknya. Tiba-tiba ia kerutkan alisnya.
"Ah, kiranya benar kau datang dari Mongolia!" ia kata.
Arak itu ada arak susu dari Mongolia - arak yang keras sifatnya dan sarinya agak
asam. In Loei kenali arak ini, karena semasa kecilnya pernah ia turut ayahnya
meminumnya. Ia tidak suka arak yang keras, karenanya, tak dapat ia melupakan
arak ini. Dengan sepasang matanya yang jeli, si mahasiswa mengawasi.
"Apakah kau juga datang dari Mongolia?" ia tanya. "Melihat kau begini lemah
lembut, mestinya kau kelahiran daerah Kanglam yang indah."
Tersenyum In Loei karena pujian itu.
Tiba-tiba si mahasiswa bertepuk tangan hingga menerbitkan suara nyaring. Terus
ia tertawa. "Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa menanyakan tentang sumber asalnya?" katanya.
"Bukankah air mengalir dan mega yang melayang harus dibiarkan sekehendak
hatinya" Kau tak usah bertanya aku, aku juga tak usah bertanya perihalmu. Dalam
halku ini, keliru aku sudah menanyakan kau berasal darimana....."zj
In Loei heran, hingga tak dapat ia kendalikan
hatinya. "Pada malam itu, apakah kedua orang Tartar itu hendak paksa kau pulang?" dia
tanya tanpa merasa. Si anak muda tenggak araknya, ia bersenyum, tidak ia menjawab.
In Loei tidak mendesak, hanya seorang diri, ia berkata: "Di antara Watzu dan
Tiongkok akan terbit perang, karena kau satu putera Tiongkok, kau telah lari
dari wilayah Tartar itu, bukankah begitu?"
Si mahasiswa tertawa meringis. Ia tenggak pula araknya, ia tidak menjawab, ia
seperti membiarkan si "pemuda" menduga-duga.
In Loei angkat mukanya, ia tatap wajah orang.
"Dua orang Tartar itu mengejar kau untuk ditawannya, kenapa kau bantui aku
membunuh yang satu dan sebaliknya kau tolongi yang lainnya?" tanyanya.
Lagi-lagi si mahasiswa tenggak araknya. Tiba-tiba saja ia tertawa.
"Saudara kecil, sungguh kau gemar menanya!" katanya. "Tahukah kau, orang macam
apa yang telah aku tolongi?"
"Dialah muridnya Tantai Mie Ming!" sahut In Loei cepat. Dia seperti keterlepasan
buka mulut. Si mahasiswa melirik orang dihadapannya, nampaknya ia merasa aneh. Ia lalu
tertawa tawar. "Yang terbinasa adalah salah satu pahlawannya To Hoan," katanya, perlahan. Dan
begitu ia berkata, terus ia tutup mulutnya.
In Loei heran. Ia berpikir: "Tantai Mie Ming adalah pahlawan paling tanggu dan
paling dipercaya dari Thio Tjong Tjioe dan yang mati itu adalah
pahlawan To Hoan..... Thio Tjong Tjioe dan To
Hoan adalah menteri-menteri dari Watzu, apakah bedanya antara kedua menteri itu"
Kenapa sekarang, pahlawan To Hoan dibinasakan dan pahlawan Thio Tjong Tjioe
dilepaskan?" Benar-benar si nona tidak mengerti, hingga ia ingin menanyakannya. Akan tetapi
ketika ia nampak orang repot menenggak susu macannya, ia batalkan niatnya itu,
ia anggap percuma saja untuk menanyakannya pula.
Masih si mahasiswa menenggak araknya, lalu ia goyang-goyangkan gendulnya,
nampaknya ia terkejut. "Ah, tinggal separuh lagi....." katanya. Ia
nampaknya menyesal. "Apa sih lezatnya arak itu?" kata In Loei tertawa. Di mana-mana di Tiongkok ada
orang yang menjual arak! Apakah itu semua tak cukup banyak untuk kau minum?"
Berduka nampaknya si anak sekolah, ia kata: "Orang meninggalkan kampong
halamannya, rendah terpandangnya, barang-barang meninggalkan tempat asalnya,
mahal harganya, itulah sebabnya kenapa aku hargakan arak ini"
Ia bawa gendulnya ke hidungnya dan menciumnya.
Melihat kelakuan orang itu, In Loei ingat halnya semasa kecil - selagi berumur
tujuh tahun. Itu waktu bersama engkong-nya, ia baharu balik ke Tionggoan.
Setibanya di luar kota Ganboenkwan,
engkong-nya meraup tanah, berulang kali tanah itu diciumnya, romannya sangat
bersungguh-sungguh. Ingat ini, tiba-tiba ia tanya si mahasiswa: "Apakah kau
orang Han?" Agaknya heran anak sekolah itu. "Kau lihat aku - apakah aku tak mirip orang
Han?" dia balik menanya.
In Loei menatap muka orang. Ia dapatkan orang beralis kereng dan mata jeli,
romannya sangat ganteng, jangan kata di Mongolia, sekalipun di Kanglam, sukar
untuk mencari orang secakap dia. Menatap wajah orang, mukanya menjadi dadu
sendirinya. "Biar kau telah menutup mata dan menjadi abu, kau tetap orang Han!" ia kata.
Tiba ia menjadi jengah sendirinya, ia insyaf bahwa ia telah kelepasan berbicara.
Kedua mata si mahasiswa bersinar.
"Benar, benar sekali!" katanya. "Meski aku mati menjadi abu, tetap aku seorang
Han! Mari minum!" Ia buka tutup gendulnya itu, kembali ia menenggak.
In Loei tertawa menampak kelakuan orang itu.
"Kau minum bagaikan ikan lodan atau kerbau, dengan beberapa ceguk saja, arakmu
kering, apakah tidak sayang?" dia tanya.
Memain mata si anak muda, terus ia tertawa bergelak.
"Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan bagiku, sudah seharusnya aku
minum sampai puas!" katanya.
"Apakah itu yang paling menyenangkan kau?" Si mahasiswa tertawa.
"Pertama-tama aku dapat bersahabat dengan orang semacam kau, dan kedua karena
aku peroleh mustika yang langka!" sahutnya. "Mari, mari, saudara kecil! Aku
undang kau minum arak sambil memandang gambar yang indah!"
Ia rogo kantong kulitnya, akan keluarkan se-gulung kertas, yang mana, ia beber
di antara sampokan angin, terus ia gantung dicabang sebuah pohon.
"Kau lihat!" katanya pula. "Bukankah ini mustika yang langka?" Dengan "mustika"
ia maksudkan gambar yang ia anggap berharga itu.
In Loei ada turunan orang berpangkat, engkong-nya pernah menjadi hamba negeri
kelas satu dan bertanggung jawab sebagai satu utusan, sedang ayahnya, mulanya
satu pembesar sipil kemudian menjadi seorang peperangan, maka ayah itu pandai
ilmu surat. Demikian In Loei, sejak ia masih kecil, sudah ia belajar surat,
sudah ia mengenal gambar-gambar lukisan, maka tahulah ia gambar mana yang
berharga dan mana yang tidak. Sedang gambar ini adalah gambar yang Tjio Eng
gantung di Engtjhong lauw, loteng tempat menyimpan barangbarang berharga. Tadi
malam ia tak lihat nyata gambar itu, sekarang dapat ia memandangnya dengan
tegas. Itu ada pemandangan alam di dalam kota, ada airnya, pepohonan, dan ada
juga orangnya, lukisannya bagus, mirip karyanya satu pelukis pandai, hanya bila
dipandang terlebih lama, masih ada kekurangannya. Maka itu, ia tertawa di dalam
hatinya. "Mahasiswa ini masih kurang pemandangannya tentang seni lukis," pikirnya.
Si mahasiswa tenggak habis araknya yang terakhir, ia tertawa.
"Apakah kau tak tampak keindahan pada gambar ini?" dia tanya.
In Loei belum menyahuti atau si mahasiswa sudah menghampiri gambar itu, untuk
terus diusap-usap, untuk dipandang dan dipandang pula, kemudian ia bernyanyi
dengan nada tinggi: "Siapakah yang menyanyikan lagu 'Souwtjioe dan Hangtjioe1" Bunga teratai
menyiarkan harumnya sepuluh lie dan kembang koeihoa tiga musim, tetapi rumput
dan pohon kayu tidak kekal, mereka mengenangkan penderitaan sungai Tiangkang
dari berlaksa tahun! Ya, ya, penderitaan sungai Tiangkang dari berlaksa
tahun....." Kata-kata yang terakhir itu diucapkan secara bersenandung.
In Loei berpikir: "Orang-orang tua dahulu mengatakan, bernyanyi keterlaluan
menyebabkan tangisan, sekarang mendengar nyanyian ini, itu sama hebatnya seperti
mendengar tangisan....."
Ia tengah berpikir begitu atau di luar dugaannya, benar-benar si mahasiswa
menangis, tangisannya keras dan menyedihkan sekali, hingga
umpama kata menyebabkan "daun-daun rontok dan burung-burung terbang pergi"
Bingung In Loei, tak tahu ia, kenapa si mahasiswa berduka, kenapa dia menangis,
begitu sedih..... Hebatnya, lama anak sekolah ini menangis, hingga si nona menjadi tambah bingung.
Bukankah anak sekolah ini orang asing baginya" Bukankah dia satu anak muda" Cara
bagaimana ia dapat menghiburnya" Ia pun tidak dapat meninggalkannya, itulah
perbuatan tidak pantas. Habis, apa yang mesti dilakukan"
Masih si mahasiswa menangis, makin lama makin sedih, mengenaskan mendengarnya,
hingga tanpa merasa, si nona turut mengucurkan air mata di luar
keinginannya..... Si mahasiswa lihat orang menangis, ia lantas seka air matanya, dengan tibatiba
ia berhenti menangis, ketika ia angkat kepalanya, mendongak, dengan tiba-tiba
pula ia tertawa terbahak-bahak.
"Foei!" In Loei berseru. "Apakah kau telah mabuk?" tegurnya. "Kenapa kau tertawa
dan menangis tidak keruan" Apakah sebabnya?"
Si mahasiswa mengawasi orang, ia menunjuk. "Kau juga sudah mabuk!" katanya. "Toh
sama saja, bukan?" In Loei tunduk, ia lihat bajunya, yang pun basah dengan air mata. Ya, tanpa
alasan, ia turut orang menangis. Ia jengah sendirinya, tetapi segera ia tertawa.
Si mahasiswa tertawa pula, bergerak-gerak, lalu
ia bersenandung pula: "Makin kalap, makin gagah, itu baharulah orang kenamaan
sejati - Bisa menangis, bisa tertawa, itulah bukannya orang
yang biasa..... Kalau mestinya menangis,
menangislah kalau mestinya tertawa, tertawalah! Kenapa mesti malu-malu tak ada
perlunya" Kita adalah orang-orang dari satu golongan, kita menangis, kita
tertawa, apakah anehnya?"
Dengan kedua tangannya, ia gulung gambarnya itu, kembali ia bersenandung:
"Sungai Tiangkang terus-menerus mengalir ke
timur..... menaruh kaki di tanah daerah asing tetapi
cita-cita belum tercapai..... Bila memandang
kembali kepada enam puluh tahun yang lampau, di sungai di Selatan, di padang
pasir di Utara, tidakkah itu sangat mendukakan orang?"
Tergerak hatinya In Loei mendengar itu. Ia berpikir pula: "Ketika tadi malam si
mahasiswa ini pergi ke Heksek tjhoeng mengambil gambar, Tjio Eng mengatakan
sudah menanti enam puluh tahun, sekarang dia menyebut-nyebut juga hal enam puluh
tahun. Kenapa jumlah tahun itu akur satu dengan lain" Teka-teki apakah
tersembunyi di dalam ini" Si mahasiswa baharu berumur dua puluh lebih, dan
usianya Tjio Eng belum lewat enam puluh, maka apakah yang diartikan dengan enam
puluh tahun itu?" Ia pikirkan, ia pikirkan pula, masih ia tidak mengerti, sampai ia dengar pula
kata kata perlahan dari si mahasiswa. "Hari ini aku tertawa puas, menangis pun puas,
sayang sekali, araknya sudah habis....." demikian
katanya. Rupanya dia sangat menyesal atau sengit, dia banting gendul araknya ke
tanah hingga gendul itu pecah hancur.
Aneh kelakuan si mahasiswa ini, tetapi pada itu In Loei lihat suatu tenaga
menarik yang luar biasa. Waktu itu, matahari sudah menunjukkan lewat tengah hari.
"Ah, sudah waktunya kita berpisah....." kata si
nona. Tapi ia mengatakan ini dengan agak sedih. Ia seperti merasa berat untuk
berpisahan..... "Kau hendak pergi ke mana?" tanya si mahasiswa. "Apa kau hendak kembali ke
Heksek tjhoeng?" "Tak perlu kau ketahui itu," jawab In Loei.
Si mahasiswa tertawa. "Apa yang kau perbuat tadi malam, semua telah aku, lihat!" katanya.
Teringat pada kejadian di dalam kamar, muka In Loei menjadi merah.
"Nona Tjio itu cantik luar biasa," kata si mahasiswa, "dia juga mengerti ilmu
silat. Saudara kecil, mengapa kau menampik, tak mau kau menikah dengannya?"
"Aku mau atau tidak, apa sangkutannya dengan kau?" In Loei balik menjawab.
Mahasiswa itu tertawa pula.
"Jikalau malam itu aku tidak mengacau, tidak nanti kau dapat lolos dari Heksek
tjhoeng", dia kata. "Kenapa kau tidak menghaturkan terima kasih
terhadapku?" Mau atau tidak, In Loei tersenyum.
"Kita bangsa orang gagah, kita memang tak boleh terjeblos dalam jebakan sang
cinta," berkata si mahasiswa. "Imanmu teguh, saudara kecil, aku kagum
terhadapmu." Kembali merah wajah In Loei. Ia jadi jeri untuk bicara lebih lama dengan anak
muda ini, ia kuatir rahasianya nanti terbuka, maka tanpa berkata suatu apa lagi,
ia lompat ke atas kudanya, yang terus dikaburkan.
Baharu ia keluar dari rimba, atau di belakangnya, ia dengar suara kelenengan
kuda, hingga ia mesti berpaling, rupanya kuda putih si mahasiswa telah menyandak
padanya. "Saudara kecil, aku ingin bicara denganmu!" kata si mahasiswa itu.
In Loei tahan kudanya. "Bicaralah!" katanya.
Si mahasiswa perlambat jalan kudanya, hingga berendeng dengan kuda si "pemuda".
"Di dalam wilayah Shoasay ini, Tjio Eng dan See To sangat berpengaruh," kata si
mahasiswa sambil bersenyum, "maka bila kau berjalan seorang diri saja, pada
akhirnya kau bukannya dicandak Tjio Eng, untuk dibawa pulang untuk dijadikan
babah mantunya, melainkan kau akan dibekuk si orang she See ayah dan anak itu,
untuk disiksa mereka. Karenanya, baiklah kau berjalan bersama-sama aku, aku akan
menjadi piauwsoe-mu, pembelamu....."
In Loei anggap, berjalan bersama itu ada
alasannya, akan tetapi, belum sempat ia menjawab, si anak muda sudah menanya
pula kepadanya: "Sebenarnya ke mana kau hendak pergi?" "Ke Pakkhia," jawab In
Loei. "Sungguh kebetulan!" seru si anak sekolah. "Aku juga hendak pergi ke kota
Pakkhia. Baiklah kita mengaku engko dan adik satu sama lain."
In Loei tertawa, ia anggap orang lucu.
"Aku belum tahu she dan namamu, mana dapat kita berbasa secara demikian?"
katanya. "Apa aku mesti selalu panggil engko saja padamu?"
Anak sekolah itu tersenyum.
"Aku she Thio, namaku Tan Hong," jawabnya. "Tan dari tansim - putih bersih dan
Hong dari pohon hong."
In Loei tertawa. "Satu nama yang bagus!" pujinya. Akan tetapi di Mongolia tidak ada pohon hong,
maka itu, dari mana kau ambil namamu ini?"
"Hiantee, namamu?" tanya si anak sekolah, yang tidak menjawab. Ia pun sudah
lantas berbasa "hiantee" - adik.
"Aku orang she In dan namaku cuma satu, Loei," sahut si "pemuda". "Loei dari
pweeloei - pusuh bunga."
"Sungguh satu nama yang indah!" tertawa si mahasiswa. Ia pun balik memuji. "Cuma
nama itu sedikit berbau nama wanita. Di perbatasan tanah asing di mana ada es
dan salju jarang tertampak pusu bunga, dari itu, dari arti apa namamu diambil?"
Wajah In Loei berubah. "Cara bagaimana kau ketahui aku menjadi besar di perbatasan tanah asing yang
ber-es dan bersalju itu?" dia tanya.
Si anak sekolah tertawa. "Dari arakku!" sahutnya. "Begitu kau ceguk arakku, aku mengetahuinya. Bukankah
caramu tadi membeber sendiri tentang asal-usulmu?"
In Loei berpikir, lantas ia tertawa sendirinya. Tapi, biar bagaimana, ia merasa
kurang tenang hatinya. Dilihat dari sikap anak sekolah itu, mungkin dia masih
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengetahui terlebih banyak tentang dirinya.....
Dengan berbicara terlebih jauh maka tahulah In Loei bahwa Thio Tan Hong ini luas
pengetahuannya, tentang ilmu bumi, perihal ilmu alam begitupun pengetahuan ilmu
surat, syair dan ilmu silatnya. Dengan sendirinya ia jadi merasa sangat
tertarik, hingga tanpa merasa, ia kurang akan penjagaan atas dirinya. Selama berjalan, asyik sekali
mereka pasang omong. Tanpa merasa, sang sore telah datang pula.
Thio Tan Hong menunjuk dengan cambuknya.
"Di depan sana ada sebuah dusun," katanya, "sudah tiba saatnya untuk kita
bermalam." Ia bunyikan cambuknya untuk melarikan kudanya.
In Loei telad anak sekolah itu, maka kaburlah kuda mereka, hingga sebentar
kemudian tibalah mereka di tempat yang ditunjuk anak sekolah itu. Dengan lantas
mereka cari rumah penginapan.
"Berikan kami sebuah kamar besar yang meng-
hadap ke selatan," Tan Hong minta.
"Kita inginkan dua kamar!" In Loei campur bicara.
Kuasa hotel menggeleng-gelengkan kepala.
"Yang betul, satu atau dua?" ia tegaskan.
"Dua kamar!" sahut In Loei, cepat dan keras. "Dua kamar!"
Kuasa hotel itu mengawasi si mahasiswa.
Thio Tan Hong mengawasi juga, ia tertawa.
"Baiklah, dua kamar!" sahutnya.
"Apakah tuan-tuan cuma berdua saja?" masih pengurus hotel itu menanya.
"Ya, cuma kita berdua," jawab si anak sekolah.
Pengurus itu heran, ini tampak pada wajahnya. Akan tetapi dua kamar ada terlebih
banyak daripada satu kamar, sewanya jadi bertambah, maka ia tidak menegaskan
terlebih jauh. Ia lantas ajak kedua tetamunya untuk periksa kamarnya, habis
mana, ia undurkan diri untuk menyediakan barang santapan bagi mereka.
Di dalam kamarnya, Thio Tan Hong tertawa.
"Hiantee, bukannya aku pelit mengeluarkan lagi beberapa potong perak," kata dia.
"Dengan berada berdua kita dapat pasang omong. Tidakkah itu lebih baik" Kenapa
kau menghendaki dua buah kamar?"
"Kau tidak tahu, hianheng," sahut In Loei, yang pun berbasa "kakak" - hianheng.
"Seumurku paling takut aku tidur bersama-sama orang lain."
Tan Hong tertawa pula. "Pantas di Heksek tjhoeng kau tak mau tidur sama-sama Tjio Siotjia1." katanya.
Merah wajahnya In Loei, lantas ia alihkan
pembicaraannya. Si anak sekolah juga tidak menanyakan lebih jauh.
Habis bersantap malam, dua sahabat ini tidur dalam kamarnya masing-masing.
In Loei tidak tenang hatinya, ia palang pintu kamarnya, ia tutup jendelanya,
malah di waktu merebahkan diri, ia tidak salin pakaian. Tidak dapat ia lantas
tidur nyenyak, masih ia pikirkan si anak sekolah - ia ingat akan katakatanya dan
tertawanya. Ia malah tidak rapatkan matanya.
Ketika terdengar kentongan tiga kali, hotel sudah sangat sunyi. Sampai saat itu,
baharu In Loei merasakan hatinya tak terlalu tegang lagi, ia merasa lega, ia
malah tertawa sendirinya.
"Tampaknya anak sekolah itu, walaupun ia
berandalan, ia bukannya seorang ceriwis....." ia
berpikir. Oleh karena hatinya lega dan merasa ngantuk, In Loei lantas saja tidur pulas.
Tidak tahu ia, berapa lama ia sudah tidur, tiba-tiba secara layap-layap ia
tampak si anak sekolah mendatangi, mendekati pembaringannya, sambil membungkuk,
dia bersenyum. Ia kaget, ia hunus pedangnya, berbareng mana, si anak sekolah menjerit, lalu
dalam sekejap saja, dia bermandikan darah seluruh tubuhnya. In Loei kaget
sekali, hingga ia berseru. Adalah pada waktu itu, ia dengar ketokan pada
jendela. "Hiantee, lekas kemari!" demikian suaranya Thio Tan Hong.
In Loei berbangkit, ia kucek-kucek matanya. Insyaflah ia bahwa ia sedang
bermimpi. Ia dengar suranya Tan Hong, ia kenali. Ia menjadi heran, hingga ia
ragu-ragu, ia tengah bermimpi atau bukan.
Kembali terdengar suara Tan Hong, kali ini disusul dengan ringkikan kuda yang
berirama sedih. Maka tak ayal lagi, ia lompat turun. Syukur untuknya, ia tidur
tanpa salin pakaian. Dengan lantas ia dapat buka pintu, untuk lari keluar.
Dari wuwungan rumah, terdengar Thio Tan Hong berseru: "Orang telah mencuri kuda
kita! Mari lekas, kita kejar! Lekas!"
Kuda Tjiauwya saytjoe ma dan kuda merah dari Thio Tan Hong dan In Loei ada kuda-
kuda pilihan, tidak sembarang orang dapat mendekati kedua binatang itu, malah
kuda Tan Hong bengis sekali dan mengerti, kecuali tuannya, lain orang tidak
dapat mengendalikannya. Karena itu, Tan Hong sangat percaya kudanya itu,
barangnya yang berharga pun ia biarkan dibebokong kuda, sama sekali ia tidak
kuatirkan apa-apa, maka itu adalah di luar sangkaan, kali ini ada orang mencuri
kedua kuda itu. Pastilah pencurinya seorang yang sangat cerdik atau suatu ahli.
Tidak peduli ia bernyali besar dan tabah, Tan Hong toh gentar juga.
In Loei lompat naik ke atas genteng.
"Dapatkah kita susul mereka?" ia tanya.
"Kuda kita tentu tak sudi turut lain orang, mesti dapat kita susul," jawab Tan
Hong. Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak, yang mana ia lemparkan ke
dalam rumah. Sampai pengurus hotel itu mendusi, mendengar suara yang berisik.
"Uang sewa kamarmu di lantai!" teriak Tan Hong, habis mana, ia lompatpergi.
In Loei segera ikuti kawan ini.
Di sebelah depan mereka masih terdengar ringkiknya kuda.
Pengejaran dilakukan terus sampai di sebuah tegalan. Di bawah rembulan yang
remang-remang, dibantu dengan cahaya bintang-bintang, segera tertampak kedua
kuda-kuda itu, - kuda merah di sebelah depan, kuda putih di sebelah belakang.
Kedua kuda itu lari dengan berjingkrakan, terang keduanya tak sudi lari,
keduanya berontak. Pun si pencuri kuda tampak juga. Mereka mengenakan pakaian biru, muka mereka
ditutupi topeng. Masing-masing memegang sebatang hio, yang apinya menyala,
hingga sinar api itu mirip dengan cahaya bintang, terutama di tempat yang gelap
tampak tegas. Dan dengan hio itu, tiap kali mereka suluti tubuh kuda. Itulah
cara paksaan untuk membikin kuda lari, tidak peduli kuda itu meringkik kesakitan
dan terus berjingkrakan. Kedua pencuri itu menjepitkan kaki mereka dengan keras,
hingga kuda jadi tidak berdaya, saking sakitnya, mau juga kuda itu lari.
Disebabkan sering berjingkrak, kedua kuda itu tak dapat lari jauh, atau segera
Tan Hong dan In Loei dapat menyusul.
Sakit hati Tan Hong dan In Loei mendengar suara kuda mereka yang tersiksa itu,
sambil mengejar, mereka memanggil-manggil.
Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas dengar suara majikannya, dia berjingkrak keras,
karena mana, si penjahat lagi-lagi menyulut tubuhnya.
Selagi mengejar terus, Thio Tan Hong perdengarkan seruannya yang nyaring,
menyusul mana tangannya terayun, hingga belasan sinar perak menyambar ke arah
kedua pencuri kuda itu. Tapi mereka seperti punya mata dibatok kepala mereka,
atas datangnya serangan itu mereka jatuhkan diri, akan sembunyi diperut kuda.
Thio Tan Hong sayangi kudanya, ia tidak mau serang kudanya itu, ia cuma serang
si pencuri, karenanya, serangan senjata rahasia itu jadi
gagal, tidak ada sebuah jua dari jarumnya yang mengenai sasarannya.
Oleh karena sakitnya, kedua kuda itu kabur keras, ke arah gunung.
Berdua In Loei, Tan Hong mengejar terus, sampai tiba-tiba terdengar kedua
pencuri kuda itu tertawa berkakakan, iramanya seperti tertawa wanita. Tentu
saja, In Loei jadi terperanjat bahna herannya.
Di atas tanjakan pun segera terlihat cahaya api berkelap-kelip bagaikan kunang
kunang bermain di antara gombolan rumput. Tanjakan itu sunyi dan seram
nampaknya, sampai In Loei bergidik sendirinya.
Tiba-tiba saja Tan Hong tertawa nyaring.
"Apakah benar ada si cantik manis yang menjadi pencuri dan di tengah malam buta
berkawan dengan iblis?" katanya, nyaring. "Kembalikan kudaku! Tidak sudi aku
bertempur dengan wanita!"
Ia lantas lompat, untuk mendaki tanjakan itu, In Loei ikuti padanya.
Sementara itu terdengar suara nyaring dari wanita "Eh, besar juga nyali si
pencuri mustika!" In Loei lantas lihat dua ekor kuda, yang mengangkat tinggi kaki depannya, hingga
kedua binatang itu bagaikan orang tengah berdiri ditanjakan yang satu di depan,
yang lain di belakang. Kedua kuda itu tidak berbunyi juga tidak bergerak, maka
di bawah sinar rembulan yang suram, nampaknya aneh dan luar biasa. Tanpa merasa,
In Loei perdengarkan seruan tertahan.
Thin Tan Hong, sebaliknya, tertawa dingin, "Oh, kiranya kamu yang main gila!"
demikian si mahasiswa. In Loei tenangkan dirinya, ia pasang matanya. Kali ini ia dapat melihat lebih
tegas. Ia tampak empat orang tengah berdiri
ditanjakan, masing-masing mengangkat sebelah kakinya, sebagi orang sedang
menindak turun ditangga loteng, akan tetapi wajah mereka "diam," mereka bagaikan
patung-patung saja. Mereka adalah empat saudagar barang permata yang sedang
berurusan dagang dengan Tjio Eng, keadaan mereka sekarang ini mirip benar dengan
keadaan mereka tadi malam setelah mereka ditotok Tan Hong.
Meiihat keadaan orang itu, In Loei menghela napas lega. Ia kagum untuk orang
yang pandai menotok itu, yang dapat menotok orang-orang ini tanpa mereka ini
bisa berdaya. Ia menduga, mereka ini adalah pencuri-pencuri kuda, rupanya mereka
mencuri untuk membalas dendam yang kemarin mereka telah ditotok.
Tanpa kuatir suatu apa, In Loei segera hampir-kan ke empat saudagar itu.
"Tadi malam aku telah membebaskan kamu dari totokan, kenapa sekarang kamu
berbalik mengganggu kuda kami?" ia tegur mereka itu.
Empat saudagar itu tidak menjawab, mereka tetap diam sebagai patung.
Tiba-tiba dari atas tanjakan terdengar suara: "Apakah tetamu sudah datang" Bawa
mereka ke dalam kuburan!" Meneliti suara itu, seolah-olah datangnya dari dalam
tanah, seperti jauh, seperti dekat. Mendengar itu, In Loei terperanjat. Itulah
suara yang menandakan bahwa orang yang berkata-kata itu mempunyai Iweekang -
ilmu dalam - yang sempurna. Menduga orang itu tentulah musuh, In Loei lantas
bayangkan ia tengah menghadapi lawan yang merupakan memedi....."
Menyusul suara dalam itu, dari antara tumpukan batu-batu gunung segera tampak
munculnya dua tubuh bagaikan bayangan. Mereka ini mengenakan baju hijau, mata
mereka masing-masing mencorot tajam. Karena muka mereka ditutupi topeng, mata
mereka pun mirip dengan kunang-kunang, yang bercahaya di
tempat gelap. Mereka tak mirip wanita Tionghoa. Tapi keduanya terus menekuk
lutut mereka, untuk memberi hormat.
"Silakan!" demikian mereka mengundang.
"Lebih dulu tolongi kuda kita, baharu kita bicara!" kata Tan Hong.
"Tuan kami pesan supaya tuan jangan berkecil hati," kata salah satu penyambut
ini. "Katanya, tanpa diambilnya tindakan ini, tidak nanti kita dapat pimpin tuan
dan kawanmu datang kemari."
"Siapa tuan kamu itu?" tanya In Loei karena ia lihat, orang bersikap hormat.
Salah satu penyambut itu tertawa, ia menoleh pada kawannya.
"Ya, aku sampai lupa pada aturan kamu kaum Rimba Hijau dari Tionggoan." katanya.
"Djieso, tolong serahkan karcis undangan kita!"
Penyambut yang kedua itu, yang berada di sebelah belakang, sudah lantas putar
tubuhnya, kemudian setelah berbalik pula, ia serahkan apa yang dinamakan karcis
undangan, ialah dua potong tulang kepala manusia.
Melihat kartu nama semacam itu, wajah Tan Hong berubah.
In Loei juga terperanjat akan tetapi ia kuasai dirinya.
"Kartu undangan ini istimewa sekali!" katanya.
Kedua penyambut itu tidak menjawab, mereka cuma bersenyum.
"Mari!" mereka mengundang, terus mereka jalan di sebelah depan.
Tan Hong dekati In Loei di kuping siapa ia segera berbisik: "Lekas kau
singkirkan diri! Majikan mereka
adalah Hek Pek Moko!....."
"Hek Pek Moko....." In Loei ulangi, lalu dalam
sekejap saja, ia sadar. Ia segera ingat keterangannya Tjioe San Bin tentang dua
orang aneh dari kaum kangouw pada jaman itu, dua "manusia aneh" yang paling ditakuti.
Hek Pek Moko itu katanya berayah orang India, yang datang ke Seetjhong atau
Thibet, untuk berniaga, lalu dia masuk kebangsaan Thibet, dia menikah dengan
satu nona Thibet dari siapa dia peroleh sepasang anak kembar, yang masing-masing
berkulit putih dan hitam, yang romannya luar biasa. Menurut bahasa Hindu tua,
iblis jahat dipanggil "moko" karenanya orang memanggil kedua anak itu, sang
kakak Hek Moko, dan sang adik, Pek Moko. Ayah mereka pandai ilmu silat India,
mereka dapat mewariskan kepandaian ayah mereka itu, yang dicampur dengan ilmu
silat Thibet dan Mongolia juga, maka mereka mempunyai rupa-rupa ilmu silat,
hingga kesudahannya mereka jadi lihay sekali. Katanya, setelah memasuki umur
belasan tahun, Hek Moko dan Pek Moko pergi berpesiar, sampai di Tionggoan di
mana kabarnya, di Kwietjioe (Canton) mereka telah menikah dengan anak seorang
saudagar hartawan bangsa Iran. Untungnya untuk kedua saudara ini, mereka juga
pandai bahasa Tionghoa, Iran, Thibet dan Mongolia di samping bahasanya sendiri,
bahasa India. Mereka seperti dapat "keluar dan masuk" tanpa ketentuan.
Di beberapa tempat mereka mempunyai rumah, hingga mereka bisa tinggal dan
berdiam di mana mereka suka. Mereka mempunyai banyak harta dan barang permata,
umpama kata ada pembesar Rimba Hijau rakus yang menginginkan permata mereka,
pasti mereka akan mendapat bagian, setelah
disiksa, dia baharu dibinasakan. Maka kaum Jalan Putih dan Jalan Hitam pandang
mereka ini sebagai bintang bencana. Apa sebabnya mereka suka membawa-bawa barang
permata, tidak ada orang yang ketahui jelas, orang cuma bisa duga, permata itu
berasal curian atau memangnya barang dagangan. Tidak ada orang yang berani
menanyakannya. Sedang sebenarnya, mereka adalah tukang-tukang tadah, mereka bisa
beli permata dari begal tunggal, yang mereka biasa jual ke India atau Iran,
hingga mereka menjadi aman. Maka itu, mereka kenal baik banyak begal atau
penjahat tunggal. Demikian Hongthianloei Tjio Eng adalah langganan mereka. Empat saudagar, yang
malam itu In Loei lihat, ada pembelinya. Tentu sekali In Loei, juga Thio Tan
Hong tidak ketahui rahasianya Tjio Eng serta tukang tadah itu. Walaupun
demikian, Tan Hong tahu tanda rahasia dari Hek Pek Moko, ialah tengkorak
manusia, karena mana, ia kisiki In Loei untuk lari menyingkir.
Tapi In Loei berpikir lain, bukan dia kabur, dia justeru bersenyum.
"Bukankah tadi kau menyuruh aku menjadi piauwsoe?" katanya. "Maka sekarang, tak
dapat tidak, aku mesti menyertai kau!"
Tan Hong percaya orang tak tahu lihaynya Hek Pek Moko, ia memikir untuk
menjelaskannya, akan tetapi, untuk itu, ketikanya tidak ada. Untuk itu, ia mesti
bicara banyak. Ia lihat tegas, kedua wanita Iran itu tiap-tiap kali berpaling ke
arahnya. Karenanya, ia jadi mengeluh sendirinya.
"Ah, kau belum tahu lihaynya kedua hantu itu....." demikian keluhnya dalam hati.
Tan Hong keliru apabila ia menduga In Loei tidak tahu ancaman bahaya, In Loei
justeru tak hendak meninggalkan dia pada saat seperti itu. Ia ingin turut
bersama. Kedua wanita Iran itu jalan di muka untuk memimpin mereka melalui jalan belukar
yang banyak batunya, di antara pelbagai kuburan, sesaat kemudian tibalah mereka
di depan sebuah kuburan besar luar biasa.
Segera terdengar suara nyaring dari dalam kuburan itu: "Apakah yang datang itu
dua bocah cilik?" Kedua wanita itu tertawa.
"Benar!" sahut satu di antaranya. "Tapi kedua bocah ini besar sekali nyalinya!"
"Baik!" terdengar pula suara dari dalam kuburan itu. "Bawa mereka masuk!"
Satu wanita mendekati pintu kuburan, ia gunakan sebelah tangannya untuk menekan,
atas itu terdengarlah suara berisik pada daun pintu.
Justeru itu, dengan mendadak Thio Tan Hong menyerang daun pintu.
"Brak!" demikian terdengar suara nyaring dan berisik, karena daun pintu itu
segera rubuh menggabruk. Dia terus tertawa, dia pun berkata: "Tidak usah kau
nengundang lagi, aku sendiri dapat datang!"
Kuburan itu mempunyai thia yaitu ruang muka, yang indah perabotannya, yang mirip
dengan ruang suatu istana. Di sini dipasang dua puluh empat lilin yang besar, yang membuat
ruangan menjadi sangat terang. Rupanya itu adalah suatu istana di dalam tanah,
yang ada hubungannya dengan dunia luar, karena dengan berada di dalam ruang itu
orang tidak bernapas sesak.
In Loei segera lihat sebuah meja besar di tengah ruangan itu. Meja itu adalah
meja marmer. Di tengah meja duduk dua orang, yang romannya benarbenar luar
biasa. Rambut mereka bergelintir, hidung mereka bengkung, muka mereka, yang satu
putih meletak, yang lain hitam legam, hingga perbedaan antara kedua orang itu
sangat tegas. Di kedua sisi mereka duduk masingmasing dua orang Han, yaitu ke
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
empat saudagar barang permata itu. Maka, mengenal mereka itu, In Loei berkata
dalam hatinya: "Terang sudah, kuburan ini mempunyai pintu belakang....."
"Apakah mereka berdua ini yang mencuri permata?" tanya Hek Pek Moko, kedua orang
dengan roman luar biasa itu.
"Itulah yang usianya terlebih tua," sahut satu saudagar. "Yang lebih muda itu
ada babah mantunya Tjio Eng, dia tidak turut mencuri, dia malah telah menolongi
kami dengan membebaskan kami dari bekas totokan."
Hek Moko manggut. "Kau berdiri dipinggir!" kata dia pada In Loei, tangannya menunjuk.
Tapi In Loei membangkang. "Aku datang bersama-sama dia," katanya.
"Kenapa aku mesti berdiri di pinggir?"
Pek Moko kerutkan alisnya.
"Bocah cilik, kau tidak tahu apa-apa!" katanya.
Hek Moko menuding Tan Hong.
"Eh, bocah gede, besar nyalimu!" katanya. "Kenapa kau berani datangdatang ke
Heksek tjhoeng untuk mencuri permata dan melukai orang" Kenapa kau pun berani
menghajar rubuh pintuku ini" Apakah kau anggap kami dapat dibuat permainan?"
Thio Tan Hong tidak menjawab, dia hanya balik menanya. "Berapa lama sudah kamu
sampai di Tionggoan?" demikian pertanyaannya.
"Apakah maksudmu?" tanya kedua hantu ini, dengan murka.
"Pernahkah kamu dengar, satu pepatah Tionghoa yang mengatakan
"Dendam ada kepalanya, hutang ada tuannya?" Tan Hong tanya pula. "Jangan kata
aku memang tidak pergi ke Heksek tjhoeng untuk mencuri, taruh kata benar apa
hubungannya dengan kamu berdua" Tjio Eng toh tidak menginginkan kamu yang campur
tahu perkara itu?" Muka kedua hantu itu mendadak berobah.
Thio Tan Hong tak menggubris, ia hanya menambahkan: "Adalah kamu yang mencuri
kuda kami, kenapa sekarang kamu herankan yang aku hajar rusak daun pintumu" Lagi
pula tempat ini bukannya tempatmu, tempat ini adalah tempat orang mati!"
"Bagus, kau pandai memutar lidahmu!" bentak Hek Moko. "Kau sekarang hendak
menguasai kami!" "Apakah kamu kira cuma kamu sendiri yang boleh
menguasai lain orang?" Tan Hong tertawa. "Aku lihat, lebih baik kau tutup rapat
pintu kuburanmu ini, jangan kau pergi keluar lagi!"
"Apa katamu?" tegaskan Pek Moko, si Hantu Putih.
"Ini adalah kuburan suatu pangeran!" kata Tan Hong.
"Ia ada Pangeran dari kerajaan Tjhin. Habis kau hendak apa?" tanya Pek Moko.
"Ada pepatah yang mengatakan, - Menutup pintu besar untuk menjadi raja" sahut
Thio Tan Hong, "maka itu, jikalau sekarang kamu tutup kuburan ini, bukankah kamu
pun boleh menjadi raja di sini" Atau, andaikata kamu batal menjadi raja,
sedikitnya kamu bisa menjadi pangeran Tjhin! Sebenarnya, untuk menjadi raja
tidak ada artinya....."
Murka kedua hantu itu dipermainkan secara demikian. Tanpa terlihat gerakan
mereka, tahu-tahu mereka sudah mencelat dari kursi mereka masing-masing sampai
kepada Tan Hong, empat tangan mereka menyambar ke arah batok kepala orang!
In Loei terkejut hingga ia keluarkan seruan tertahan.
Menyusul sambaran empat tangan itu, terlihatlah berkelebatnya satu sinar putih
bagaikan rantai. Sebab Thio Tan Hong, dengan kesebatannya, telah hunus
pedangnya, yang berkelebat mirip bianglala.
Kedua hantu Hitam dan Putih ini perdengarkan seruan: "Pedang yang bagus!" Di
antara satu suara "Bret!" terlihat tubuh mereka bergerak-gerak bagaikan bayangan.
Pada saat itu juga terdengar tertawanya Thio Tan Hong, yang menyambungi: "Bagus,
bagus! Hek Moko dan Pek Moko mengerubuti satu bocah!"
Mendengar ejekan itu, kedua hantu itu sudah lantas jumpalitan mundur, hingga di
lain saat keduanya sudah duduk bercokol pula
dikursi mereka masingmasing, muka mereka menyeringai. Mereka ini tidak pandang
Thio Tan Hong sebagai tandingan mereka, barusan mereka menyerang disebabkan hawa
amarah mereka yang meluap dengan tiba-tiba, hingga mereka melakukan sesuatu yang
melanggar hukum Rimba Persilatan. Mereka percaya, dengan satu kali turun tangan,
mereka dapat mencekik si bocah gede itu. Tidak tahunya, meleset dugaan mereka,
hingga mereka jadi malu sendirinya, mereka jadi jengah.
Luar biasa sebat Tan Hong menghunus pedang, cepat sekali ia gerakkan pedangnya
itu, meskipun selagi berkelit, bajunya kena disambar hingga baju itu kena
disambar hingga baju itu robek, di lain pihak, pedangnya sudah memapas kopiah
orang sampai rambutnya ikut terpapas pula. Dan hebatnya, karena perbuatannya
itu, Hek Pek Moko pun akan tercela karena mereka telah menghina orang yang
terlebih muda..... Hek Moko, si Hantu Hitam, lantas mengawasi Tan Hong.
"Bagus ilmu pedangmu!" katanya. "Mari, mari kita mencoba-coba!....."
Kali ini hantu itu tidak lagi memandang orang sebagai "bocah", ia anggap
sekarang bocah itu adalah pantarannya, maka itu, ia telah ubah sikapnya, ia
sudah lantas menantang. Thio Tan Hong bersenyum, ia awasi kedua hantu itu.
"Bagaimana kehendakmu?" ia tanya. "Kamu berdua hendak maju berbareng atau
melayani satu dengan satu". Bagaimana kalau menang. Bagaimana kalau kalah" Dalam
hal ini, perlu kamu mengatur terlebih dahulu!"
Hek Moko gusar sekali. "Kamu berdua, kita juga berdua, tidakkah itu berimbang?" katanya.
Hek Moko kesohor, sekarang ia ingin bertanding satu sama satu, itu artinya ia
sudah lantas merasa agak jeri.
Akan tetapi Thio Tan Hong kata: "Urusanku ini tidak ada hubungannya dengan
saudaraku ini! Adalah aku seorang diri yang akan melayani kamu....."
"Jikalau demikian," kata Hek Moko, "baik aku sendiri yang melayani kau."
Tapi In Loei campur bicara.
"Kita datang berdua, maka itu aku juga hendak melayani kamu!" demikian katanya.
"Bagus, bagus!" Pek Moko, turut berbicara. "Jikalau kamu turun tangan berbareng,
aku suka turut menemani kamu!"
"Sudahlah, jangan terlalu banyak omong!" Hek Moko menjadi tidak sabaran. "Aku
akan layani kau seorang!" - ia maksudkan Thio Tan Hong. "Jikalau saudaramu tidak turun tangan,
saudaraku juga tidak akan turun tangan! Tidakkah ini jelas?"
In Loei masih hendak bicara tetapi Tan Hong cegah dia.
"Sudahlah, saudara yang baik! Kau biarkan aku yang mencoba-coba dulu. Umpama
kata aku tidak berdaya, baharulah kau turun tangan. Apakah itu tak terlambat?"
Hek Moko tidak pedulikan kedua saudara itu sedang berebut omong, ia ulurkan
sebelah tangannya ke arah tembok, dari situ ia menarik sebatang tongkat kemala,
yang mengeluarkan sinar terang bercahaya hijau, setelah itu ia berbangkit dari
kursinya, ia bertindak ke ruang yang lega.
"Mari, mari!" ia menantang. "Jikalau aku menang maka kuda dan permatamu, semua
itu akan menjadi kepunyaanku!"
"Jikalau kau yang kalah, bagaimana?" tanya Tan Hong.
"Jikalau aku yang kalah, maka tempat ini akan menjadi kepunyaanmu!" hantu itu
berjanji. Kuburan itu adalah tempat Hek Pek Moko menyimpan harta besar mereka, di
antaranya ada barang berharga yang hampir semahal sebuah kota. Hek Moko anggap,
taruhan ini adalah taruhan yang pantas sekali.
Akan tetapi Thio Tan Hong berpikir lain. Dia tertawa.
"Siapa kesudian menjadi tuan dari guha hantu ini?" katanya mengejek.
"Habis, apa yang kau kehendaki?" tanya si Hantu Hitam.
"Kau mesti obati kuda kami hingga sembuh!" dia menjawab. Hek Moko juga tertawa
bergelak. "Inilah gampang!" jawabnya. Aku biasa berdagang, aku hargakan perkataanku. Baik
kita omong secara pantas. Aku pun tidak menginginkan bandamu. Di antara banda
kita, sukar untuk menetapkan harganya. Sekarang terserah kepadamu! Nah,
majulah!" Thio Tan Hong lantas rapikan dandanannya. Ia loloskan baju panjangnya, yang kena
dirobek kedua hantu itu. "Dengan dandananku ini, aku mirip dengan satu
pengemis....." katanya, yang terus merobek baju
panjangnya itu. Ia sekarang dandan dengan singset, nyata ia telah pakai baju
kutang yang tersulamkan dua ekor naga emas tengah bertarung di tengah laut yang
bergelombang. Di antara cahaya lilin, baju kutang itu nampaknya indah.
In Loei lihat baju kutang itu, ia heran. "Apakah benar di Mongolia juga ada
sulaman Souwtjioe?" tanya ia pada dirinya sendiri. Tapi ia tidak sempat berpikir
lama, atau pertandingan sudah lantas dimulai.
"Kau yang mulai!" Tan Hong tantang lawannya, setelah ia selesai dandan dan beri
hormat sambil menjura. Hek Moko dapat kesan baik untuk kelakuan dan kesopanan orang itu, ia merasa puas
hingga ia bersenyum, akan tetapi meskipun demikian, dengan
tiba-tiba saja ia mulai dengan serangannya, tongkatnya menyambar ke arah muka.
Thio Tan Hong tidak menjadi kaget karena serangan mendadak itu, malah dengan
gesit ia telah angkat pedangnya, untuk menangkis, hingga tidak ampun lagi, kedua
senjata telah beradu satu sama lain hingga terdengar suara yang keras dan
nyaring. Sinar pedang pun menyilaukan mata.
-ooo0dw0ooo- BAB VI In Loei terperanjat melihat bentroknya kedua senjata itu.
"Aku tidak sangka, tongkat kemala itu ada barang mustika juga," pikirnya.
Kedua senjata seperti menempel satu dengan lain, karena masing-masing tidak
menarik kembali tangan mereka, sebaliknya, mereka saling menekan.
Kedua pihak berdiri tegak dengan kuda-kuda mereka, keduanya samasama empos
semangat, untuk mengerahkan tenaga mereka. Karena ini, dalam sekejap saja,
keduanya mulai mengalirkan keringat di jidat mereka.
Tegang hati In Loei menyaksikan pertempuran adu tenaga dan keuletan itu.
"Secara begini, tidakkah keduanya akan sama-sama bercelaka?" demikian ia piker
pula. Ia jadi berkuatir. Tak lama kemudian terdengar seruan Hek Moko, tubuh siapa terus mencelat.
Menyusul itu terdengar pula suara kedua senjata.
Dipihak lain Thio Tan Hong pun mencelat mundur, dengan begitu senjata mereka
jadi terlepas dan terpisah. Selagi lompat, Tan Hong perdengarkan seruan:
"Celaka!" In Loei terkejut hingga hendak ia hunus pedangnya, cuma sebelum ia sampai
berbuat begitu, ia segera dengar tertawanya Tan Hong.
"Tidak apa, tidak apa!" demikian Tan Hong buka mulutnya. "Kiranya kau adalah
seekor keledai tua! Sekian lama senjata kita sudah bentrok tapi kau tidak mampu
berbuat suatu apa! Haha haha! Namamu kosong belaka! Nyata kau tidak sanggup
memukul mundur satu bocah! Haha-haha! Haha-haha!"
Suara tawa itu belum berhenti atau Hek Moko, dalam murkanya yang hebat, sudah
berseru nyaring sekali: "Bocah, kau tidak tahu mampus!" Lalu tubuhnya mencelat
maju, sinar hijau dari tongkatnya pun berkelebat, sinar itu menyambar ke arah
jidat orang she Thio. Sebenarnya In Loei ingin tertawa mendengar kata-katanya Tan Hong, tapi ia
terhenti di tengah jalan, sebaliknya, ia menjerit, "Oh!" disebabkan serangan si
hantu yang sangat dahsyat itu.
Tiba-tiba terdengar pula tertawa nyaring dari Tan Hong, yang terus berkata
dengan keras: "Lihat, lihat! Si bocah akan kemplang kepala si keledai tua!"
Atas datangnya serangan dahsyat itu, Tan Hong menyamping satu tindak, sambil
mundur ia angkat pedangnya, dengan itu ia membalas menabas ke arah lengan orang.
Hek Moko pun sangat awas dan gesit sekali, lekas-lekas ia tarik kembali
tangannya. Tan Hong tahu orang liehay, sengaja ia mainkan lidahnya, guna membikin orang
mendelu. Ia dapat menduga, Hek Moko mulanya tidak pandang mata padanya, maka ia
dipanggil bocah, dari itu, sengaja ia gunakan perkataan bocah itu untuk membuat
orang panas hati. Dalam hal ini, ia berhasil membakar hatinya si Hantu Hitam.
Menuruti hawa amarahnya, Hek Moko menyerang pula, secara kalap. Bukan main
gencarnya serangan itu. Terang ia lupa pantangan bergusar untuk orang yang
tengah berkelahi, nyata ia sudah kena terjebak lawannya itu.
Satu kali Tan Hong menabas lengan orang, untuk herannya, pedangnya merosot di
antara lengan itu. Ia tidak tahu, lawannya mempunyai ilmu silat India yang
dinamakan "djiekee", yang membuat tangannya jadi kuat dan licin.
Gusar Hek Moko karena serangan itu, hingga dia berteriak: "Bocah, akan aku adu
jiwaku dengan jiwamu!" Terus saja dia lompat sambil menyerang dengan tongkatnya.
Dengan berani Tan Hong tangkis serangan itu, lalu ia membalas.
Hek Moko berlaku cerdik, ia berkelit sambil lompat jumpalitan, waktu ia menaruh
kakinya di lantai, ia barengi dengan merubuhkan diri, kemudian menyusul itu -
dengan kesebatannya - ia balas menyerang, ujung tongkatnya menyambar lawannya,
yang ia sodok hebat sekali.
Untung bagi Tan Hong, ia telah berlaku waspada, celi matanya, lincah gerakannya
maka itu ketika serangan sampai, ia sempat egoskan tubuhnya. Tentu saja, ia pun
tidak mau diam - habis berkelit, ia maju menyerang.
In Loei telah saksikan satu pertarungan yang dahsyat sekali. Kedua belah pihak
tidak mau menyerah satu pada lain, itulah yang hebat. Sinar
hijau dari tongkat kemala seperti bersaing dengan sinar putih dari pedang. Kalau
si Hantu Hitam nampaknya ganas, lawannya berlaku tenang, sekarang ini tidak lagi
si orang she Thio bersenyum, sebaliknya, ia berlaku sungguh-sungguh.
Sebenarnya Hek Moko telah bersilat dengan ilmu tongkat "Thianmo thung" -
"Tongkat Iblis," ia andalkan ilmu tongkatnya itu, akan tetapi kali ini, ia
kecele. Sudah seratus jurus lebih ia layani Tan
Hong, sama sekali ia tidak peroleh hasil, maka akhirnya, ia sedot hawa dingin.
Pek Moko, si Hantu Putih, telah saksikan pertempuran itu, ia lihat saudaranya
berkecil hati, tetapi karena di antara mereka sudah ada janji, tidak bisa ia
nyerbu ke dalam kalangan, untuk membantu saudara itu. Maka ia Cuma bisa menonton
saja. Selagi pertempuran berjalan terus, tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok dan
burung-burung berkicau di luar kuburan. Itulah tanda bahwa sang malam sudah
lewat dan sang fajar telah datang menggantikan tugas alam.
Hek Moko menjadi tegang sendirinya karena ia tidak dapat peroleh hasil, saking
penasaran, ia coba menyerang dengan terlebih dahsyat pula, hingga pertarungan
menjadi lebih hebat. Thio Tan Hong berlaku tenang, ia tidak biarkan dirinya dipengaruhi kekalapan
orang. Ia berlaku waspada, matanya awas, gerakannya sebat. Ia menangkis dan
berkelit dengan beraturan, ia membalas menyerang setiap ada ketikanya.
In Loei terus menonton dengan hati tertarik. Sejak masih kecil ia telah belajar
silat kepada Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, karena sekarang ia telah berusia
tujuh belas tahun, tepat lamanya sepuluh tahun ia menuntut ilmunya itu. Di
samping itu, berkat didikan gurunya, ia juga kenal pelbagai ilmu silat pedang
dari lain kaum, hingga ia bisa dianggap sudah ulung juga. Hanya kali ini, heran
ia atas ilmu pedangnya Thio Tan Hong. Ia sudah mengawasi begitu lama, ia telah
memperhatikannya dengan seksama, tapi tidak juga ia ketahui, dari golongan mana
ilmu silat pedang itu. Ia merasa ada persamaannya dengan ilmu pedangnya sendiri
ia pun merasakan ada perbedaannya. Ia merasa ia seperti pernah lihat ilmu silat
itu akan tetapi tak pernah ia dengar gurunya menceritakannya. Karenanya, ia jadi
bersangsi, ia jadi heran.
"Ah, mesti ada hubungannya antara ilmu pedang itu dengan ilmu pedangku,"
akhirnya In Loei ambil kesimpulan sesudah ia mengawasi pula sekian lama. Karena
ini, ia seperti tenggelam dalam
pikirannya sendiri, hingga ia tidak perhatikan jalannya pertempuran. Tiba-tiba
saja ia ingat kata-kata gurunya pada malam sebelumnya ia turun gunung.
Hari itu, adalah malam Tiesek, satu malam sebelumnya tahun baru, di puncak bukit
Siauwhan San di Soetjoan Utara, di dalam sebuah guha batu, dinyalakan dua belas
batang lilin besar. Dan lilin itu sama rupanya dengan lilin yang ia saksikan
sekarang. Ketika itu di antara cahaya lilin, yang mengitarinya, ada duduk
seorang wanita dari usia pertengahan serta satu nona yang cantik sekali bagaikan
bunga. Mereka itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dan murid satu-satunya
yang dia sayangi, ialah In Loei. Di dalam guha itu telah disediakan barang
makanan, tetapi bukan untuk pesta menyambut tahun baru, hanya guna perjamuan
perpisahan antara guru dan muridnya itu. Pelajaran si nona dianggap sudah sampai
pada batasnya dan sang guru menitahkan muridnya turun gunung, untuk mencari
pengalaman. In Loei terima titah itu, besoknya hendak ia meninggalkan rumah
perguruan. Dari gurunya itu, In Loei telah ketahui asal-usulnya, tentang sakit hati
keluarganya. Itu adalah sakit hati yang hebat sekali, bagaikan "laut yang
berdarah." Ia senantiasa memikirkannya, ia selalu memikir untuk melampiaskanya.
Untuk itu, ia mesti turun gunung. Untuk itu, perlu ia sempurnakan dahulu ilmu
silatnya. Adalah di luar sangkaannya, sang guru menjamu ia malam itu dan ia
diharuskan turun gunung besok paginya. Kenapa guru itu tidak menyebutkannya,
menerangkannya, sejak siang-siang" Kenapa demikian mendadak"
Maka itu, selagi menerima titah, In Loei berpikir, pada wajahnya tampak roman
heran.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yap Eng Eng telah lihat tegas roman muridnya itu, ia diam saja, cawan demi cawan
ia keringkan dan setelah menghabiskan yang ketiga, tiba-tiba ia menghela napas.
"Satu tahun akan dilewatkan dalam satu malam," katanya, perlahan. "Pada dua
belas tahun yang lampau telah aku antarkan
satu orang - bukan, hanya telah aku usir, - dan pada malam ini, kembali hendak
aku mengantar kau pergi....."
In Loei berdiam. Tak mengerti ia akan kata-kata gurunya itu, kata-kata yang ia
anggap tidak keruan juntrungannya. Ia melainkan awasi gurunya itu.
Habis mengucap, Hoeithian Lionglie menghela napas pula, terus ia tatap muridnya.
Dengan sekonyong-konyong, ia berkata kepada muridnya itu: "Setelah kau turun
gunung, kalau nanti kau tiba di Mongolia, apabila kau menemui seseorang, kau
katakan padanya bahwa aku menyuruh dia pulang....."
"Siapakah orang itu, Soehoe?" tanya In Loei, setelah ia berdiam sekian lama.
Ditanya muridnya, tiba-tiba Hoeithian Lionglie tertawa. Setelah itu, segera
wajahnya menjadi merah. "Itulah Samsoepee Tjhia Thian Hoa-mu," katanya, dengan perlahan. (Samsoepee
ialah paman guru lebih tua yang ketiga.)
"Samsoepee Tjhia Thian Hoa?" In Loei ulangi. "Bukankah samsoepee telah pergi ke
Mongolia, untuk menolongi aku membalas dendam kakekku, ialah guna membinasakan
Thio Tjong Tjioe?" "Benar!" sahut sang guru. "Ketika dia pergi ke Mongolia, itu adalah kejadian
pada sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi waktu dia berpisah dari aku, itu ada
pada malam seperti ini pada dua belas tahun yang lampau..... Ilmu silatnya sudah
sempurna, diapun pendiam tetapi cerdas. Dia mengatakan dia hendak membalas sakit
hati kakekmu, pasti dia telah mewujudkan maksud hatinya itu, malah untuk itu,
tak usah dia tunggu sampai sepuluh tahun....."
"Kalau begitu, kenapa setelah pergi sepuluh tahun lamanya, dari dia tidak ada
kabar ceritanya?" tanya In Loei.
Sang guru menghela napas pula.
"Aku duga dia memang tidak berniat kembali," sahutnya.
"Kenapa begitu, soehoe?"
Sang murid benar-benar tidak mengerti.
Hoeithian Lionglie tidak menjawab, ia hanya menyimpang.
"Semua ilmu silat pedang dari pelbagai partai telah aku ketahui," berkata guru
ini. "Partai banyak sekali jumlahnya. Melainkan satu macam ilmu pedang dari
suatu partai, belum pernah aku melihatnya. Kau katakan, tidakkah ini aneh?"
In Loei berdiam, akan tetapi hatinya berpikir. Memang jumlah partai ada sangat
banyak, dari itu apa yang dibuat heran kalau ada ilmu silat suatu partai yang
belum diketahui. Akan tetapi, setelah ia dengar lebih jauh perkataan gurunya, ia
menjadi heran sekali, hingga ia terkejut.
Dengan sungguh-sungguh, guru itu menambahkan: "Itu adalah ilmu silat pedang dari
kaum kita sendiri....."
Karena herannya, In Loei jadi melongo.
Ketika itu, api lilin di dalam ruangan tengah memain, dalam keadaan seperti itu,
teringat In Loei pada gurunya, pada kata-kata gurunya itu. Ia seperti nampak
pula wajah menyesal dari gurunya. Ketika itu, ia telah minta penjelasan pada
gurunya. Dan gurunya itu menjawab: "Kau tidak tahu, pelajaranmu sekarang ini
memang ada dari partai kita, akan tetapi sebenarnya, apa yang kau dapatkan
baharu saja sebagian, separuhnya."
"Bagaimana, soehoe?" In Loei ingat ia telah menanya gurunya, karena benar-benar
ia sangat tidak mengerti. Bukankah aneh yang ia baharu dapat kepandaian
separuhnya saja" Hoeithian Lionglie telah memberikan keterangan terlebih jauh kepada muridnya
itu. Duduknya hal adalah disebabkan tabeat dari Hian Kee Itsoe, yaitu tjouwsoe atau
kakek guru In Loei. Kakek guru ini di antaranya mempunyai dua macam ilmu pedang
"Banlioe Tiauwhay Goangoan Kiamhoat" atau ringkasnya "Goangoan Kiamhoat," dan
"Pekpian Imyang Hian Kee Kiamhoat." Dan kedua ilmu pedang itu diturunkan masing-masing
kepada guru dan paman guru yang ketiga dari In Loei. Namanya saja mereka telah
mewariskan penuh, sebenarnya baharu separuh kakek guru itu memberi penjelasan
bahwa dengan susah payah ia telah meyakinkan kedua ilmu pedang itu, yang tidak
dapat berbareng diwariskan kedua-duanya kepada satu murid saja.
Menurut kakek itu, bila kedua ilmu pedang dipadu satu dengan lain, maka Goangoan
Kiamhoat dapat diumpamakan sebagai "naga tidur" dan Hian Kee Kiamhoat bagaikan
"burung hong." Katanya, kalau kedua ilmu pedang diyakinkan oleh satu orang
akibatnya adalah ancaman marah bahaya. Maka itu kedua muridnya dilarang saling
mengajarkan satu kepada lain.
Selagi pikiran In Loei melayang kepada hal kedua ilmu pedang itu, tiba-tiba ia
dengar Thio Tan Hong tertawa bekakakan, yang mana disusul dengan seruannya Pek
Moko. Ia terkejut, segera ia awasi kedua orang yang tengah bertempur itu. Nyata
tertawa dan seruan itu disebabkan mereka menghadapi saat yang berbahaya. Pek
Moko telah menyerang secara dahsyat, tongkatnya menyambar melintang, tapi
serangan itu tak memberi hasil, sebaliknya, ia kena ditikam pada iganya oleh
Thio Tan Hong. Maka Tan Hong tertawa dan ia berseru. Karena ini, tidak berani
Pek Moko berlaku sembarangan lagi.
Mengawasi gerak-geriknya Thio Tan Hong, tiba-tiba In Loei sadar: "Bukankah ilmu
pedang Tan Hong ini ada ilmu pedang yang guruku belum pernah lihat dan
pelajarkan" Mungkinkah selama di Mongolia, samsoepee telah mendapatkan satu
murid" Inilah kepandaian yang tak nanti bisa didapatkan kecuali dengan
meyakinkan belasan tahun. Samsoepee bertujuan mewakilkan kakekku membalas
dendam, tidak mungkin begitu ia tiba di Mongolia lantas ia terima murid....."
Lantas In Loei ingat juga surat dari paman gurunya yang kesatu, yaitu Toasoepee
Tang Gak, surat yang di kirim kepada Kimtoo Tjeetjoe Tjioe Kian. Maka
berpikirlah ia terlebih jauh: "Kabarnya samsoepee telah ditawan musuh dan telah
dipenjarakan di dalam istana bangsa Tartar, maka itu mana bisa jadi dalam tempo yang pendek ia telah
menerima murid dalam istana Mongol itu" Dan umpama kata benar ia terima murid,
pastilah bukan bangsa Han yang ia terima. Sebenarnya, bagaimanakah duduknya
hal?" Maka ia menjadi sangat bingung. "Guruku sangat puji kepandaian samsoepee dan
katanya samsoepee bertabeat sangat keras, apa yang dia katakan mesti dia
jalankan, maka itu setelah ia berjanji akan mencari balas untuk kakekku,
pastilah sakit hati itu sudah terbalaskan, malah tentu telah dijalankan sebelum
sampai sepuluh tahun....."
In Loei berpikir demikian, ia tidak tahu, sampai pada saat itu, Thio Tjong Tjioe
masih ada di Mongolia, musuh itu masih hidup dan berkuasa besar, sedang
samsoepee-nya, paman guru yang ketiga itu, entah bagaimana nasibnya.
Di kepala In Loei segera terbayang keadaan pada malam perpisahan itu. Ia
bayangkan gurunya minum puas-puasan, dengan memakai cawan yang besar pula,
sampai tanpa merasa, guru itu sinting. Adalah pada waktu itu, sang guru telah
menggulung tangan bajunya hingga pada lengannya tampak tapak luka bekas guratan
pedang, yang merupakan setangkai bunga merah. Dengan sedih, guru itu berkata
pada muridnya: "Anak Loei, satu manusia tak dapat dia umbar adatnya. Siapa yang
umbar adatnya, satu kali dia berbuat salah, dia akan menyesal sesudah kasip.
Pada dua belas tahun yang lampau, aku telah mengusir samsoepee-mu, setelah itu
setiap malam Tiesek, aku jadi menyesal dan berduka sekali, sakit hatiku bagaikan
disayat-sayat, sampai tak dapat aku bertahan, aku hunus pedang Tjengbeng kiam
dan mengguratnya di lenganku ini. Hahaha! Nyata itu adalah obat yang mujarab
sekali! Begitu aku merasa kesakitan, begitu juga kedukaanku menjadi berkurang,
lalu aku gurat-gurat menjadi rangkaian bunga ini..... Kau lihat! Tidakkah bunga
merah ini, bunga darah, ada indah?"
Ketika itu In Loei coba menghitung guratan bunga itu, benar jumlahnya ada dua
belas, tanpa merasa, ia bergidik. Selagi ia tercengang, ia dengar gurunya
melanjutkan kata-katanya: "Sudah
sepuluh tahun kau ikuti aku, untuk belajar silat, selama itu, belum pernah kau
dengar aku tuturkan kau lelakon ini. Kau tahu, pada tiga belas tahun yang
lampau, aku mirip dengan kau - aku adalah satu nona yang bergembira, malah aku
ada terlebih bebas, hingga dengan merdeka dapat aku turuti adatku. Umpama ada
sesuatu yang aku tidak ketahui, mesti aku gunakan segala daya untuk mencari
tahu. Soehoe melarang kita saling mengajari ilmu kepandaian, sampai di waktu
berlatih, kita dipisahkan, tetapi semakin keras larangan guru, semakin keras
juga niatku untuk mengetahui keanehan itu.
Thian Hoa dan aku ada bagaikan saudara kandung, maka dapatlah kau mengerti
adanya persahabatan kita. Kakek gurumu mempunyai lima murid, kecuali ayahmu, In
Teng, yang keluar dari perguruan sebelum tamat dan pergi ke Mongolia, kita
berempat telah mendapatkan masing-masing satu macam ilmu kepandaian. Maka itu,
sekeluarnya kita dari rumah perguruan, kita seolah-olah mempunyai satu partai
tersendiri. Sudah kukatakan, pergaulanku dengan Thian Hoa adalah yang paling
rapat, maka selama beberapa hari telah aku desak ia, supaya ia perlihatkan ilmu
kepandaiannya itu, tapi ia selalu menampik.
Sebetulnya tidak ada niatku akan pelajari kepandaiannya itu, aku melainkan ingin
melihatnya, guna menambah pengetahuan. Biasanya Thian Hoa selalu menuruti
kehendakku, tapi bila kita bicara tentang ilmu kepandaian, lantas ia bungkam.
Pernah pada malaman tahun baru ia dating padaku di gunungku ini, Siauwhan san,
selagi pasang omong, aku kembali minta ia mempertunjukkan ilmu silatnya itu, aku
malah mendesak. Atas desakan itu, ia tetap pada sikapnya seperti dahulu, ia cuma
tertawa, tak mau ia menjawabnya. Aku menjadi tidak senang, hingga aku tegur
padanya. Aku katakan padanya: "Kau mengatakan bahwa kau sangat sayangi aku, nyata semua itu
palsu belaka!" Ditegur begitu, pucat mukanya, beberapa kali bibirnya bergerak,
tetapi akhirnya, tetap ia membungkam.
Dalam sengitku, aku cabut pedangku, aku tikam dia pada dadanya. Adalah maksudku
mengancam dia, supaya dia menangkis
dengan ilmu silatnya yang aku ingin lihat itu, tapi dugaanku meleset. Dia nyata
tidak menangkis, dan tidak berkelit juga. Maka pedang, yang tak sempat aku tarik
kembali, sudah mengenai lengannya, hingga darahnya menetes jatuh ke salju yang
putih meletak, hingga salju itu jadi bercacat dengan titik-titik merah, mirip
dengan permata mulus bertotolkan merah sebesar kacang kedele. Aku melengak.
Selagi aku berdiam, tiba-tiba dia tutup mukanya, dan menjerit satu kali, habis
itu, tanpa pedulikan lukanya, dia lari turun gunung. Beberapa hari sejak itu,
kakek gurumu datang padaku, dia umbar hawa amarahnya terhadapku, hampir saja dia
hajar mati padaku, sukur toasoeheng, yaitu toasoepee mu, yang datang bersama,
dapat mencegah dan membujuk padanya, dengan begitu baharulah aku bebas dari
kematian. Meski begitu, aku telah dihukum bathin, yaitu selama lima belas tahun,
aku dimestikan bertapa menghadapi tembok, selama lima belas tahun itu, aku
dilarang turun gunung, tak boleh sekalipun dengan mencuri berlalu. Selama lima
belas tahun itu, aku diperintahkan melakukan dua hal. Kesatu aku dimestikan
mempelajari dua rupa ilmu silat yang paling sulit untuk diyakinkan. Kedua aku
dimestikan mendidik satu murid yang mesti pandai ilmu silat pedang Pekpian
Imyang Hian Kee Kiamhoat. Untuk mendapatkan murid itu, soehoe titahkan orang-
orang kaum kita tolong mencarikannya. Padaku diberitahukan, apabila aku telah
selesai melakukan dua hal itu, muridku akan diberikan pedang Tjengbeng kiam.
Sekarang sudah dua belas tahun, belum dapat aku selesaikan dua rupa iimu silat
itu. Adalah murid yang mengerti ilmu pedang Hian Kee Kiamhoat telah aku berhasil
mendidiknya....." Adalah setelah mendengar keterangan itu, In Loei baharu mengerti kenapa
Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, gurunya itu, telah mengambil ia sebagai
muridnya. Waktu itu, gurunya masih menerangkan lebih jauh: "Kau tahu, pergaulanku dengan
Toasoeheng Tang Gak juga ada baik sekali. Tiga tahun setelah perkaraku itu, pada
suatu waktu atas titahnya kakek gurumu, dia pergi ke perbatasan Mongolia dan
Thibet untuk suatu tugas. Belum lama sekembalinya dia dari Thibet, kembali dia lakukan
perjalanannya yang kedua kali. Kali ini, sebelumnya dia berangkat, dia ambil
tempo untuk sambangi aku. Dia nasehati aku untuk bersabar, akan meyakinkan ilmu
silat di atas Siauwhan san. Dia kata, mungkin karena kesabaranku, aku peroleh
keberuntungan. Dia tanya aku: "Tahukah kau kenapa soehoe melarang demikian keras
kau dan soetee Thian Hoa saling menukar kepandaian" Tahukah kau kenapa soehoe
jadi demikian gusar?" Atas itu, aku jawab: "Mana aku tahu" Apa yang aku ketahui,
adalah kebiasaan soehoe yang ia suka melakukan sesuatu yang berada di luar
sangkaan. Hanya pernah satu kali aku dengar soehoe berkata, kedua ilmu silat
pedang itu ada bagaikan "naga tidur" dan "burung hong," bahwa naga dan burung
hong tak dapat berada bersama-sama pada satu majikan, bahwa bila berada bersama
mereka berdua dapat mendatangkan bencana. Rupa-rupanya itu adalah suatu ramalan
dari soehoe, kata-kata itu aku tidak mengerti."
Mendengar keteranganku, toasoeheng tertawa. Dia tanya aku: "Tahukah kau bahwa
pada dua puluh tahun yang lalu, soehoe pernah berebut kedudukan kepala Rimba
Persilatan dengan satu hantu" Bahwa karena itu, soehoe dan hantu itu sudah
bertempur di puncak gunung Ngobie san selama tiga hari dan tiga malam tanpa ada
keputusan siapa menang dan siapa kalah?"
Aku jawab, "Aku tahu." Memang aku ketahui tentang pertempuran soehoe itu.
Toasoeheng lantas menjelaskan pula: "Hantu itu adalah seorang she rangkap
Siangkoan, namanya Thian Va. Dia adalah satu begal besar dari Rimba Hijau.
Setelah pertempuran itu, Siangkoan Thian Ya lantas menghilang, orang tak tahu di
mana dia sembunyikan diri. Sejak itu, selama dua puluh tahun, soehoe tak pernah
berhati tenang mengenai hantu itu. Begitulah aku pergi ke perbatasan Mongolia
dan Thibet atas titah soehoe, tugasku itu tak lain tak bukan untuk mencari tahu
tentang Siangkoan Thian Ya."
Kataku setelah aku dengar, penjelasan toasoeheng itu: "Hantu itu demikian
liehay, setelah kau pergi selidiki dia, umpama kata dia pergoki kau, bagaimana
nanti jadinya?" Kembali toasoeheng tertawa. Dia jawab: "Hantu itu sederajat dengan soehoe, dia
juga sangat jumawa, maka itu, andaikata benar dia ketahui sepak terjangku, aku
percaya tidak nanti dia sudi melayani aku, orang dari golongan muda."
Keterangan ini membuat hatiku tetap. Sampai ketika itu, masih belum jelas,
bagiku apa hubungannya urusan soehoe itu dengan si hantu dengan soal larangan
kita saling menukar kepandaian, maka karena ingin mengetahui, aku Tanya
toasoeheng. Toasoeheng tertawa, lalu dia menjawab: "Menurut sangkaanku, mungkin soehoe
menghendaki kau dan soetee Thian Hoa nanti pergi menghadapi hantu itu, supaya si
hantu kena dikalahkan kamu berdua, supaya kekalahannya itu diketahui oleh orang-
orang gagah dari seluruh negara. Rupanya soehoe hendak perlihatkan, tidak usah
soehoe turun tangan sendiri, cukup dengan muridmuridnya saja yang mempunyai
kepandaian liehay." Terperanjat aku dengan keterangan itu. "Bagaimana itu bisa terjadi, toasoeheng?"
aku kata. "Kalau kepandaian kita dipadu dengan kepandaian soehoe, itu adalah
seumpama terangnya kunang-kunang dengan sinarnya matahari atau rembulan! Mana
dapat kita dibandingkan dengan soehoe" Soehoe sendiri tidak sanggup mengalahkan
hantu itu, sekarang kita yang dititahkan mewakilkan soehoe, apa itu tak sama
saja dengan mengantarkan jiwa" Ah, toasoeheng, tidakkah kau tengah bergurau?"
Toasoeheng tertawa berkakakkan. Ia kata: "Jikalau soehoe tidak punya
kepercayaan, mustahil dia nanti biarkan kamu pergi untuk mengantarkan jiwa
secara cuma-cuma" Kau cerdik sekali, akan tetapi kau tak nanti ketahui maksud
soehoe1." Waktu itu aku benar-benar tidak mengerti. Toasoeheng rupanya dapat melihatnya,
maka toasoeheng berkata pula: "Goangoan Kiamhoat itu, bersamasama Hian Kee
Kiamhoat, adalah ilmu silat
yang soehoe ciptakan dan yakinkan dengan susah payah sesudah ia perhatikan ilmu
silat pelbagai partai lainnya, yang semuanya ia gabung menjadi satu. Dari kedua
ilmu silat itu, bila satu saja orang dapat menguasainya, dia sudah menjagoi
dalam dunia kangouw, apalagi kalau orang pandai dua-duanya, maka tak akan ada
tandingannya di kolong langit ini. Apa yang luar biasa dari kedua ilmu pedang
itu, bertentangan nampaknya, sebenarnya ada bersatu. Dua orang tak usah melatih
diri lagi, bila menggunakan dengan berbareng, asal menggunakannya dengan cocok
dan tepat. Maka aku percaya, inilah sebabnya mengapa soehoe melarang kamu berdua
saling menukarnya. Soehoe tentunya kuatir, bila kamu sudah saling mengetahui,
pemusatan pikiranmu bisa terpecah. Tidakkah kemampuan sesuatu orang ada batasnya
masing-masing" Kedua ilmu silat itu sangat sulit, untuk mempelajari yang satu
saja, orang harus memusatkan seluruh pikirannya, atau orang akan gagal. Orang
pun membutuhkan tempo lebih daripada sepuluh tahun. Dari itu, bila mempelajari
kedua-duanya dengan berbareng, kesukaran tentu sampai di puncaknya. Lagi pula
harus diingat, kedua ilmu pedang itu diperuntukkan dua orang, maka itu, tak usah
orang mendapatkan dua-duanya. Masih ada satu soal lain. Siangkoan Thian Va itu
sangat liehay, pasti sekali soehoe kuatir dia mengetahui lebih dahulu yang
soehoe telah meyakinkan suatu ilmu kepandaian untuk mengalahkan dia."
Baharu sekarang dapat aku menginsafinya. Terang sudah, soehoe kuatirkan kita
yang masih berusia muda, menuruti nafsu hati kita yang muda itu. Umpama kalau
kita tahu kita bisa menjagoi, mungkin kita dapat menerbitkan onar. Atau nanti
rahasia bocor dan Siangkoan Thian Ya mengetahuinya, hingga dia dapat bersiap-
siap untuk membuat perlawanan. Sampai di situ, aku tidak menanyakan terlebih
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jauh lagi. "Pada esok harinya, toasoeheng lantas berangkat jauh keperbatasan Mongolia dan
Thibet itu. Lalu selang dua tahun lagi, Thian Hoa juga pergi ke Mongolia. Aku
tahu sekarang, kedua ilmu pedang itu dapat dipakai bersamasama, akan tetapi
belum pernah aku mencobanya. Malah pedang dari Thian Hoa itu, satu jurus pun aku tak
mengerti." Itulah semua yang terbayang di kepalanya In Loei selagi ia awasi kedua orang
bertempur dengan seru dan ulet. Karena ia sangat cerdas, tiba-tiba ia ingat
suatu hal. Ia pikir: "Kalau anak muda ini benar-benar sedang menggunakan
Goangoan Kiamhoat, bila aku turut turun tangan, tidakkah musuh dapat segera
dikalahkan?" Tengah In Loei berpikir demikian, ia dengar seruan Hek Moko, disusul dengan
suaranya Thio Tan Hong, maka ia lantas awasi pula mereka itu. Sekarang ia
tampak, suatu perubahan. Hek Moko tidak lagi bergerak dengan lincah dan hebat
seperti tadi, sebaliknya, dia ayal bagaikan dia sedang menarik suatu benda berat
seribu kati, tongkatnya bergerak-gerak ke timur dan barat dengan lambat, seolah-
olah ia harus menggunakan sangat banyak tenaga. Di samping si hantu itu, Thio
Tan Hong sudah lintangkan pedangnya di depan dadanya, wajahnya bersungguh-
sungguh, terang dia tengah memusatkan semangatnya kepada tongkat lawan.
Kedua lawan itu masih saling menyerang, tapi sekarang serangannya sama ayalnya.
Mereka bagaikan tengah menghadapi hujan angin hebat yang baharu saja menjadi
reda. Sedang sebenarnya, mereka benar-benar sedang adu kepandaian, mereka tengah
memperlihatkan keliehayan mereka masing-masing. Setiap serangan merupakan
serangan dari bahaya maut.
Ilmu pedangnya Thio Tan Hong liehay tapi dia tak dapat menembusi pembelaan
tongkat kemala. Menampak itu, In Loei insaf, orang she Thio itu masih kalah
dalam hal Iweekang atau ilmu dalam dibanding dengan si hantu, hingga dia agaknya
Cuma bisa melindungi diri saja.
Ketika itu matahari dari musim semi sudah mulai naik, cahayanya menembus, masuk
dari pintu kuburan yang digempur Thio Tan Hong, yang belum sempat ditutup pula,
maka itu, cahayanya jadi mengganggu mata, lebih-lebih Thio Tan Hong, yang
matanya tersorot sinar tepat sekali.
Hek Moko dengan tongkatnya mendesak lawannya, serangan tongkat itu tiap-tiap
kali perdengarkan suara angin. Dipihak sana, cahaya pedang dari Tan Hong jadi
semakin kecil, sampai cahaya itu seperti berputaran di atas kepalanya saja.
Adalah setelah itu, sambil berseru keras, si hantu hitam segera turunkan tangan
jahatnya ke arah batok kepala orang!
In Loei kaget, sampai ia menjerit, "Celaka!" Tanpa berpikir panjang lagi, ia
menyerang dengan tiga batang Bweehoa Ouwtiap piauw.
Justeru itu, Tan Hong pun berteriak: "Hiantee, lekas lari!"
Ketiga batang piauw menyambar dengan hebat, akan tetapi kesudahannya, tidak ada
hasilnya. Ketiga piauw itu terpental ke lain arah, terkena sampokannya pedang
dan tongkat yang sedang bergumul.
Adalah pada waktu itu Pek Moko, si Hantu Putih, yang sedari tadi diam saja,
sudah perdengarkan tertawa yang nyaring, berbareng dengan mana tubuhnya mencelat
bagaikan terbang, menyambar ke arah In Loei - kedua tangannya yang panjang
menyengkeram kepala orang!
In Loei tangkis serangan itu, atau segera ia rasakan pinggangnya kaku, maka
dengan gesit ia lompat sejauh setombak lebih. Ia keluarkan napas lega, dengan
lintangkan pedangnya, ia memasang mata.
Cepat luar biasa, pada tangan Pek Moko sudah tercekal sebatang Pekgiok thung,
tongkat putih, dengan itu ia ulangi serangannya pada si orang she In ini. Maka
itu, berdua mereka jadi bertempur.
Pek Moko tidak tahu bahwa lawannya menyekal pedang mustika, ia baharu terkejut
ketika ujung pedangnya menyambar pundaknya, hingga bajunya pecah, daging
pundaknya turut terluka. Hasil In Loei ini didapat karena ilmu enteng tubuhnya,
yang dapat bergerak dengan gesit dan lincah. Meski begitu, ia juga tak luput
dari tangan si hantu putih, urat tjeksim hiat dibebokongnya telah tersapu.
Syukur, karena keduanya sama-sama liehay, luka-luka mereka tidak berarti, mereka
lanjutkan terus pertempuran mereka.
Tongkat Pekgiok thung dari Pek Moko sama tanggunya seperti tongkat Lekgiok thung
dari Hek Moko, asalnya adalah dari batu-batu kemala dari India, di samping itu,
tenaga dalam dari si Hantu Putih ini ada terlebih kuat daripada In Loei, maka
itu, mengetahui tenaga besar dari lawannya tak mau si nona melayani keras dengan
keras. Begitu, waktu ia diserang hebat, ia kelitkan diri.
Pek Moko liehay, ia pun penasaran, ia perhebat serangannya. Ia desak lawannya
hingga In Loei seperti terkurung cahaya putih dari tongkatnya itu. Tongkat itu
panjangnya tujuh kaki, tetapi waktu digunakan, nampaknya seperti bertambah
panjang satu tombak. Dengan tubuhnya yang enteng, In Loei berkelit dan mengegos tak hentinya dari
hujan serangan, tetapi lama-lama, ia kewalahan juga.
Adalah di luar dugaan Thio Tan Hong yang In
Loei turun tangan, ia menjadi berkuatir untuk si nona. Itu pun sebabnya mengapa
berulang kali ia anjurkan "pemuda" itu untuk lekas angkat kaki. Melayani Hek
Moko, ia kalah tenaga dalam, ia jadi andalkan ilmu pedangnya yang liehay, dengan
itu, dapat ia bela dirinya. Tadi kalangan pedangnya menjadi ciut, itulah daya
pembelaannya yang istimewa, dengan begitu ia membuatnya Hek Moko, si lawan, jadi
kewalahan mendesak padanya. Dalam keadaan itu, ia mesti saksikan In Loei,
kawannya, yang juga terdesak musuh. Bagaimana ia tak jadi kuatir" Maka ia lantas
kuatkan hatinya, dengan tiba, ia balas menyerang si Hantu Hitam dengan hebat
sekali. Dari terdesak, ia berbalik mendesak. Ia berpendirian: "Untukku, In Loei
menghadapi bencana, karenanya, tak dapat aku membiarkan dia terancam, mana boleh
aku hidup sendiri"....."
Hek Moko tertawa terbahak-bahak.
"Apakah kamu berdua, bocah-bocah, berniat angkat kaki?" katanya secara mengejek.
Lalu ia mencoba mendesak pula. Ia telah lihat In Loei berkelahi, ia percaya Pek
Moko, saudaranya, tidak bakal
kalah, dari itu, tabah hatinya untuk kedua pihak bertempur satu lawan satu.
Selagi ia sendiri didesak, mendadak Thio Tan Hong dengar teriakan gembira dari
In Loei. Nyata nona itu, setelah dia mendesak dengan dua serangannya, berhasil
menikam kaki kiri dan kaki kanan dari si Hantu Putih, tidak peduli tikaman itu
tidak membuatnya orang rubuh.
Hek Moko pun mendesak, ia menyerang hebat, tapi tongkatnya kena disampok
terpental, hingga ia jadi terkejut. Dalam sekejap itu, Tan Hong dan In Loei
telah bekerja sama seperti juga mereka sudah berjanji.
"Kurung mereka!" Hek Moko berteriak, sambil menganjurkan saudaranya: "Ambil
jalan lie, injak jalan soen!"
"Lie" dan "soen" adalah garis Patkwa, Delapan Segi, garis-garis mana sudah
dicangkok ilmu silat untuk tindakan kaki.
Ilmu silat tongkat dari Hek Pek Moko, yang dinamakan "Thianmo Thung" atau
tongkat "Hantu Langit" juga bisa dipakai bersilat secara bergabung, jadi mirip
dengan ilmu pedangnya Tan Hong dan In Loei itu. Ilmu silat ini berpokok pada
garis-garis dari Patkwa, maka juga Hek Moko perdengarkan anjurannya itu kepada
saudaranya. Biasanya dengan kurungan ini, kedua hantu itu sukar membuatnya musuh
lolos, tidak peduli lawan ada tangguh. Mereka berdua ada saudara-saudara kembar,
yang hatinya atau firasatnya sama.
Pek Moko tahan rasa sakitnya, ia turut anjuran saudaranya, ia maju untuk
mengurung, malah ia berlaku bengis dengan serangan-serangannya.
Pertempuran ini membikin mata ke empat saudagar permata menjadi seperti kabur,
mereka ini menonton dengan tubuh seperti terpaku.
Hek Moko menyontek dengan tongkatnya ke arah tenggorokan In Loei. Ia gunakan
tipu silat tongkatnya yang bernama "Thianmo
hiantjioe" atau "Hantu Langit menyuguhkan arak," habis mana ia meneruskan
tusukannya ke lain arah. In Loei mainkan tipu-tipu silat dari Pekpian Hian Kee Kiamhoat untuk
menghindarkan diri dari mara bahaya, mula-mula dengan "Totjoan imyang" atau
"Memutar balikan imyang," ia tangkis sontekan itu, lalu ia balas mendesak
penyerangnya itu. Tapi Hek Moko dapat selamatkan diri berkat pengalamannya.
Di pihak lain, Pek Moko telah menghajar Thio Tan Hong dengan tongkatnya, apamau,
Tan Hong menangkis, demikian keras, hingga kedua senjata beradu sambil
perdengarkan suara nyaring. Begitu rupa bergeraknya pedang orang she Thio ini,
hingga terus menyambar ke arah lehernya Hek Moko!
Si Hantu Hitam terkejut terpaksa ia biarkan In Loei, ia segera tangkis pedang ke
arah lehernya itu. Ia ada cukup sebat untuk menghindarkan diri dari serangan
yang tidak disangka-sangka itu. Setelah ini, ia geser tubuhnya ke garis "kian,"
sedang Pek Moko menyamping ke garis "twee". Secara begini, kedua saudara ini
bisa berbareng menyerang Thio Tan Hong.
"Celaka !" teriak Thio Tan Hong, yang belum sempat perbaiki dirinya.
Akan tetapi berbareng dengan itu, In Loei telah siap, dengan tangkisannya,
hingga dapat ia talangi kawannya itu, hingga Tan Hong jadi bebas dari ancaman.
Malah setelah itu, dengan bergeraknya kedua pedang, adalah Hek Pek Moko yang
menjadi repot. "Bagus!" teriak In Loei, air muka siapa menjadi bercahaya terang. "Sepasang
pedang telah bergabung, benar liehay!" Dan kembali ia menyerang, ditimpali
serangannya Tan Hong, hingga kedua pedang bergerak-gerak bagaikan "naga lincah,"
sampai kedua hantu itu mesti berulang-ulang mundur!
Thio Tan Hong merasa sangat heran, ia menjadi bercuriga, ketika ia mengawasi si
nona, yang ia lirik, In Loei tertawa.
"Lihat!" kata "pemuda" itu. "Bukankah tidak kecewa aku menjadi pelindungmu" Tak
dapat kita memberi ampun, mari kita maju bersama!"
Luar biasa gembiranya nona ini, hingga ia ucapkan kata-kata "maju bersama" dalam
arti "pundak rata," ialah kata-kata kaum kangouw yang ia perolehnya dari Tjioe
San Bin. Tan Hong kaget dan heran, ia juga merasa lucu. Tapi ia turut anjuran orang, ia
ulangi desakannya, karena mana, Hek Pek Moko mesti keluarkan seluruh
kepandaiannya guna membela diri mereka, walaupun demikian, tetap mereka kena
dibikin repot. "Bagus, bagus!" berkata Tan Hong kemudian. "Dengan kita bekerja sama, benar-
benar kita ada bagaikan batu permata yang digabung menjadi satu!"
Mendengar kata-kata orang itu, In Loei terkejut hingga tanpa merasa, wajahnya
menjadi merah. Tapi ketika ia tampak Tan Hong tertawa bergelakgelak dan
pedangnya dimainkan hebat sekali, ia tidak dapat anggapan jelek mengenai kawan
ini, sebab nyata si kawan bukannya hendak berlaku ceriwis menggoda ia. Sambil
tertawa, Tan Hong terus mengawasi Hek Pek Moko, yang ia rangsek.
Kedua hantu berkelahi dengan ambil kedudukan Patkwa, kalau tadinya mereka menang
di atas angin, sekarang setelah kedua pedang "bergabung menjadi satu," mereka
terus terdesak, mereka jadi repot sekali, hingga mereka kewalahan melayani
runtunan serangan lawan. Sangat rapi desakan In Loei dan Tan Hong, ke kiri dan ke kanan, ke atas dan
kebawah, semua serangan mereka ada hubungannya satu dengan lain, pedang mereka
bergerak-gerak bergelombang, saling susul, naik dan turun.
Heran Hek Pek Moko, tidak peduli mereka telah luas pengalamannya, mereka umpama
kata menjadi bengong dengan mulut ternganga. Maka itu tidak heran kalau Pek Moko
kembali terkena satu tusukan, dan Hek Moko kena dipapas gelang emasnya untuk menggelung
rambutnya. Akhir-akhirnya Hek Moko menghela napas panjang, ia kata: "Ini dia yang dikatakan
tua bangka umur delapan puluh tahun kena dipermainkan bocah cilik..... Sudah,
sudahlah!" Lantas saja, dengan mendadak, ia tarik Pek Moko, untuk diajak lompat
keluar kalangan, sedang tongkatnya, ia lintangkan. Ia pun terus berseru: "Kamu
menang! Tempat ini dapat kamu kuasai!"
Kata-kata ini disambung dengan seruan yang panjang, sesudah mana mereka, berikut
kedua wanita Iran dan tukang belinya, begitu juga si empat saudagar permata,
yang mukanya pucat pasi, tanpa berkata suatu apa, terus saja ngeloyor keluar
dari kuburan itu. Thio Tan Hong tertawa.
"Dua saudara itu benar-benar ada orang-orang aneh!" katanya. "Sayang mereka tak
dapat dihitung sebagai orang-orang gagah! Eh, saudara kecil....."
Baharu ia hendak tanya In Loei, atau ia terhenti karena kupingnya segera
mendengar suara meringkiknya kuda di luar pintu kuburan, menyusul mana kedua
kuda mereka, bergantian lari masuk ke dalam kuburan. Sebab Hek Pek Moko menepati
janji, mereka sudah mengobati kedua kuda itu, yang terus mereka lepas untuk
dikembalikan kepada pemilik-pemiliknya. Kuda putih yang masuk terlebih dahulu,
berjingkrakan, dia jilati majikannya.
In Loei segera hampiri kudanya, untuk diusap-usap lehernya.
"Kudaku yang baik, kau disiksa makhluk aneh itu!..... katanya. "Eh, toako....."
Ia berhenti dengan tiba-tiba, sedang sebenarnya hendak ia tanya Thio Tan Hong
dari mana dia dapatkan ilmu silat pedangnya itu. Ia berhenti karena tibatiba
saja ia rasakan dadanya sesak.
Thio Tan Hong berpaling dengan segera, hingga ia tampak muka orang. Ia kaget.
"Eh, saudara kecil, apakah tadi kau kena terpukul tangannya Pek Moko?" ia tanya.
"Jangan, jangan kau bicara....."
In Loei mengerti, ia manggut.
"Lekas empos napasmu!" Tan Hong berkata pula. "Nanti aku obati kau! Kau telah
terluka di dalam....."
Ia lantas ulur tangannya.
Dengan tiba-tiba, In Loei geser tubuhnya, ia berbalik, ia menggeleng-gelengkan
kepala, habis itu, ia terjatuh duduk, terus ia muntahkan darah.
"Tak usah!" katanya. "Aku dapat mengobati diriku."
Thio Tan Hong tercengang, tapi segera ia tertawa.
"Saudara kecil, sampai saat ini apa kau masih hendak kukuhi pantanganmu?"
katanya. "Kau tahu, sejak siang-siang aku telah melihatnya!....."
Merah mukanya In Loei, akan tetapi segera ia singkap kopiahnya, hingga terlihat
rambutnya yang panjang dan gompiok.
"Sebenarnya tak selayaknya aku mendustai kau, toako," katanya, malu. "Memang aku
ada seorang perempuan....."
Tan Hong bersenyum, tapi ketika ia berkata, ia bersungguh-sungguh.
"Kita cocok satu dengan lain, kita dapat bersahabat, karenanya untuk apa kita
ambil mumat bahwa kita ada pria atau wanita?" katanya. "Saudara kecil, apakah
benar kau masih tetap berpandangan cupat sebagai mereka yang kebanyakan?"
Melihat sikap orang itu, In Loei bersenyum. Tan Hong itu tidak ceriwis. Walaupun
demikian, di dalam hatinya, masih hendak ia katakan: "Bukankah kita masih belum
kenal baik riwayat masing-masing?"
Tan Hong awasi nona itu, ia bersenyum. Kemudian ia goyangkan tangannya.
"Saudara kecil," katanya, "aku tahu dalam kalbumu masih ada kesangsian, seperti
aku. Aku berniat untuk menanyakan kau beberapa hal. Tapi sekarang kau tengah
terluka, tidak selayaknya kau banyak bicara. Biarlah nanti kita bicara pula,
lagi tiga atau lima hari. Kau setuju, bukan?"
In Loei manggut, tapi tidak membuka mulut.
Kembali Tan Hong bersenyum. Ia terus awasi si nona.
"Saudara kecil," katanya pula, "bagaimana lukamu" Bagaiman itu harus
disembuhkannya" Seharusnya aku mesti omong terus terang padamu."
In Loei tersenyum, kembali ia manggut. Ia bungkam akan tetapi di dalam hatinya,
ia pikir: "Ini engko polos sekali, aku cocok dengannya. Cuma, mengapa ia selalu
bersenyum?" Tan Hong tidak tunggu orang membuka mulutnya, ia berkata pula: "Aku lihat lukamu
ini disebabkan Pek Moko telah berhasil menggempur urat tjeksim hiat di
bebokongmu, karenanya napasmu jadi tak jalan lancar, hatimu terasa panas, muka
dan matamu merah, nadimu berdenyut keras. Inilah luka di dalam, yang dilihat
dari luar nampaknya enteng tetapi sebenarnya berbahaya, jikalau tidak lekas
disembuhkan, jalan napasmu bisa terganggu untuk selamanya, hingga akhirnya,
jikalau orang tidak menemui ajalnya pasti ia akan bercacat seluruhnya. Sukur
untukmu, kau mempunyai dasar Iweekang yang baik, dapat kau bantu dirimu dengan
menyalurkan napasmu perlahan-lahan dan beraturan. Saudara kecil, akan aku bantu
kau dengan samim dan samyang."
"Engko ini ada luar biasa," pikir In Loei, tanpa menjawab perkataan orang.
"Kemarin ini dia menangis dan tertawa tidak keruan juntrungannya, aku sangka dia
orang aneh yang tengah menjelajah di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi
sekarang dia bicara perihal luka di dalam, nampaknya ia kenal baik ilmu
kethabiban. Apakah benar ia pandai segala apa?"
Habis bicara, Tan Hong berhenti sebentar, terus ia tertawa.
"Aku hendak mohon sesuatu dari kau!" katanya kemudian.
"Silakan, toako," sahut In Loei dengan perlahan. Kembali Tan Hong tertawa.
"Saudara kecil, permintaanku adalah ini," ia kata, "Waktu aku mengobati kau, kau
mesti melupakannya bahwa aku adalah pria, begitu juga kau, kau mesti melupakan
dirimu adalah wanita! Sanggupkah kau berjanji?"
In Loei berpikir: "Dia hendak bantu aku dengan samim dan samyang, itu artinya
tak dapat tidak, ia mesti meraba-raba tubuhku..... Tapi kita telah "angkat
saudara," apakah halangannya untuk itu"
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kenapa dia masih mengatakan demikian?"..... Lantas ia bersenyum ia awasi pemuda
itu. Thio Tan Hong pun awasi si nona, kedua matanya bersinar jeli, wajahnya
tersungging senyuman. Menampak itu, malu In Loei, hingga air mukanya menjadi
merah dadu..... Tan Hong segera menoleh kesekitarnya.
"Suasana di dalam lobang kubur ini mirip dengan Taman Bunga Toh," berkata dia,
"tempat ini cocok untuk kau berobat dan beristirahat, cuma kedua kuda itu tak
dapat berdiam bersama....."
Ia lantas perdengarkan satu seruan panjang, tangannya pun ditepuk. Menyusul itu
kuda Tjiauwya Saytjoe ma, yang telah mengerti benar majikannya sudah lantas lari
keluar. Kuda merahnya In Loei, yang sudah jadi sahabatnya kuda putih itu, sudah lantas
turut lari keluar juga. Tan Hong melongok keluar kuburan, akan perhatikan letaknya pekuburan itu, habis
itu ia masuk pula ke dalam, untuk menutup rapat pintunya. Sekarang ia perhatikan
keadaan di dalam kuburan di mana terdapat ruangan tengah dan juga kamar. Pantas
kuburan itu jadi kuburan raja-raja muda dari jaman Ahala Tjhin. Kemudian ia
raba-raba sekitar tembok, ia ketok-ketok itu. Akhirnya, ia tertawa.
"Ada kamar rahasia di sini!" katanya. Ia dongko, untuk menjemput sepotong batu
panjang, dengan itu ia menekan pada tembok di mana ada ceglokan, terus ia
memutar, ke kiri dan ke kanan. Sebentar saja, tembok itu bergerak, hingga di
lain saat terbentanglah satu pintu rahasia, hingga sekarang tertampak sebuah
ruangan dalam. Tanpa mensia-siakan tempo, Thio Tan Hong payang In Loei masuk ke dalam kamar
rahasia itu di mana terdapat sinar terang bergemerlapan dari barang-barang
permata, malah meja dan kursi terbuat dari batu kemala di atas mana tertumpuk
barang-barang permata itu.
Tan Hong tidak pedulikan barang berharga itu, ia sampok hingga jatuh ke tanah,
lalu dengan kakinya, ia kumpulkan di pojok tembok. Sebaliknya, ia dudukkan In
Loei di meja itu. "Meja ini hawanya adem, inilah baik untuk membantu menghisap hawa panas dari
dalam tubuhmu," kata si anak muda, yang segera mulai dengan pengobatannya, bukan
dengan makan obat, hanya dengan menguruti tangannya, dari lengan sampai ke jari-
jari. Ia mulai dengan tangan kanan si nona.
In Loei merasa aneh, belum lama ia diuruti, ia rasakan hawa panas mendesak ulu
hatinya, setelah itu, hawa panas itu mereda dengan perlahan dan akhirnya lenyap,
diganti dengan hawa dingin di seluruh tubuhnya.
"Sekarang jalan darahmu telah kembali semua," kata Tan Hong, yang segera
melepaskan tangannya, akan tunda urutannya. "Baiklah kau beristirahat supaya
kembali kesehatanmu. Nanti aku mulai lagi."
Dalam ruang itu ada tersedia pelbagai macam barang makanan, yang ditinggalkan
pergi oleh Hek Pek Moko, maka Tan Hong dengan merdeka dapat mendahar apa yang ia
suka. Ia pun minum banyak, habis mana, tanpa merasa, ia bernyanyi seorang diri.
Ia nyanyi tentang peperangan, perihal manusia tak dapat hidup untuk selama-
lamanya. "Ya, kalau nanti bangsa Mongolia menerjang masuk, kita semua baik pria maupun
wanita, anak-anak, semua mesti angkat senjata," In Loei perdengarkan suaranya.
"Kalau kita berkorban untuk negara, biar kita mati, tidaklah nama kita hidup
untuk selama-lamanya"....."
Menggetar tubuh Tan Hong mendengar pengutaraan itu, tanpa merasa, isi cawan di
tangannya tumpah. Lekas-lekas ia berpaling.
"Saudara kecil kau beristirahat, jangan kau bicara!" ia kata. "Aku telah minum
sampai aku lupa akan diriku, hingga aku mengganggu kau. Saudara, terus kau
tenangkan dirimu." "Tetapi, toako, katakanlah, benar atau tidak kata-kataku itu?" In Loei tanya.
Tan Hong ceguk araknya. "Benar, benar," sahutnya. "Sudah saudara kecil, kita bicara lagi nanti saja.
Teruskan istirahatmu."
In Loei berdiam, tetapi hatinya berpikir. Ia dapat kesan yang baik terhadap
mahasiswa ini. Ia hanya merasa aneh, agaknya orang berduka mendengar disebutnya
Mongolia, kalau bangsa Mongolia menerjang Tionggoan. Maka itu, ia terus awasi
anak muda ini. Tan Hong lihat sikap orang, ia menghampiri.
"Saudara kecil," katanya, sebenarnya ingin aku bicara dengan kau nanti sesudah
kau sembuh, akan tetapi nampaknya kau kurang puas, kau rupanya masih tidak
mengerti. Kau tahu, dengan banyak berpikir, istirahatmu bisa terganggu.
In Loei tunduk. "Kau benar," sahutnya, perlahan.
"Tetapi lukamu melarang kau banyak bicara,"
Tan Hong menyatakan pula. "Kau harus mengerti, soal-soal yang akan kita
perbincangkan tak dapat diakhiri dalam tempo pendek. Sekarang begini saja.
Sekarang kau lanjutkan istirahatmu, sebentar waktu kita bersantap malam, nanti
aku ceritakan sebuah dongeng padamu. Kau tahu, dalam satu hari, kau mesti dahar
satu kali saja, di waktu malam. Menurut dugaanku, setelah tiga hari kau akan
sembuh seluruhnya. Maka itu, dengan setiap hari aku dongeng satu kali, di hari
ke empat, kau akan sudah sehat kembali seperti sediakala. Sampai waktu itu,
saudara kecil, nanti kita saling menuturkan riwayat kita masing-masing. Saudara,
jikalau kau tidak dengar kata-kataku ini, maka dongeng pun tak nanti aku
tuturkan kepadamu. Nah, cukup sudah, sekarang aku larang kau bicara lagi! Lekas
kau bersemedhi!" Di mata In Loei, sinar matanya Thio Tan Hong seperti mempunyai pengaruhapa apa.
Ia ingat, semasa kecilnya, setiap malam, waktu ia mau tidur, ibunya selalu
mengeloni ia di pembaringan, ibu itu menyanyikan sebuah lagu Mongolia, untuk
menidurkan ia. Tak dapat ia lupakan sinar mata halus dan menyinta dari ibunya
itu. Dan sekarang, mata Tan Hong itu bersinar bagaikan mata ibunya itu. Ia juga
ingat sinar mata kakeknya setiap kali kakek itu memberi pengajaran kepadanya,
sekarang sinar matanya Tan Hong mengingatkan ia kepada sinar mata kakek itu.
Sinar mata Tan Hong ini menjadi halus dan keren, keren tak dapat ditentang. Dan
In Loei, tanpa ia merasa, ia bagaikan kena terpengaruh, hingga hatinya menjadi
tenang dan lantas saja ia beristirahat.
Sudah diketahui, kuburan itu "menyender" pada gunung, maka juga samping lainnya
dari kamar rahasia itu adalah lamping gunung, lamping yang batunya licin dan
mengkilap bagaikan kaca. Di sebelah atas, atau bagian wuwungan ruang rahasia
itu, ada dua lobang yang merupakan lobang angin, dari situ hawa udara menerabus
Si Kumbang Merah 15 Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka Seruling Sakti 23
Imyang Hiankee kiam" yang banyak perubahannya, yang diciptakan berbareng dengan
satu ilmu pedang lainnya "Banlioe Tiauwhay Goangoan kiam."
Kaget si imam, kesatu, sebab tikamannya gagal, kedua karena datangnya serangan
membalas itu. Ia sebenarnya gesit, ia sudah lantas berkelit, tapi tidak urung,
ikat jubanya kena disambar juga hingga putus, hingga ia mandi keringat dingin.
In Loei kecewa karena gagalnya serangan itu, apapula di lain pihak ia mesti
tangkis goloknya si tauwto, yang sudah merangsak pula, sedang dari sambarannya
See To, yang tangannya lihay, ia mesti egoskan tubuhnya. Si imam juga sangat
bengis, habis itu, dia maju pula.
Selagi orang dikeroyok, See Boe Kie berteriak: "Jikalau dia tidak dapat dibekuk
hidup-hidup, mati pun boleh! Mari maju, kita cincang tubuhnya!"
Benar-benar In Loei segera dikurung dengan rapat.
See To dan puteranya tak dapat dipandang ringan. Si tauwto dan si iman juga
lihay, malah si tauwto menggunakan sepasang golok, maka itu In Loei menjadi repot, dia mesti
berlaku sangat gesit dan sebat untuk menangkis sesuatu serangan. Boe Kie
merangsak dengan hebat rupanya ia sangat penasaran karena tidak dapat memiliki
Nona Tjio. Begitulah kejadian, selagi banyak alat meluruk, Boe Kie membacok dengan golok
Kwietauw too-nya. Ia kertek giginya, ia gunakan seluruh tenaganya. Tapi, tiba-
tiba ia menjerit keras sekali dan goloknya pun terlepas, terlempar karena ia
merasakan sikutnya sakit sekali seperti tertusuk jarum.
In Loei terperanjat menampak golok melayang ke arah kepalanya, dengan sebat ia
berkelit. Berbareng dengan itu satu penyerang, yang bersenjatakan tombak gaetan seperti
arit, juga menjerit seperti Boe Kie, malah dia terus rubuh tanpa bangun lagi,
karena dia juga merasa dirinya tertusuk jarum, sampai gaetannya, yang terlepas,
menyambar dadanya sendiri.
"Bagus! Bagus!" si mahasiswa berseru dengan pujiannya sambil tertawa, apabila
dia saksikan "piauwsoenya" lolos dari bahaya dan dua lawannya terluka. "Hai,
piauwsoe-ku yang baik, senjata rahasiamu bagus sekali!"
Mendengar teriakan itu, In Loei sadar dengan mendadak.
"Musuh banyak, aku sendirian, tidak dapat tidak, mesti aku gunakan senjata
rahasia!" demikian ia pikir. Maka ketika ia sedang bebas, tangan kirinya merogo
kesakunya, untuk meraup piauw Bweehoa Ouwtiap piauw-nya. Dengan itu segera ia
menyerang. Belum lama In Loei muncul di dunia kangouw, ia sudah mendapat julukan "Sanhoa
Liehiap," itulah karena pandainya ia menggunakan piauw-nya, ini kali ia gunakan
senjata rahasia itu, dalam sekejap saja ia membuat musuhmusuhnya kaget dan
repot. Berulang kali terdengar suara nyaring dari bentroknya pelbagai piauw
dengan senjata-senjata lawan, yang mengadakan penangkisan, sebagai kesudahannya,
kecuali See To, si imam dan tauwto, yang lainnya rubuh sebagai korban.
Tauwto dan imam itu adalah orang-orang lihay undangannya See To untuk membantu
tjeetjoe ini, mereka heran melihat senjata-senjata rahasia. Mereka insaf bedanya
senjata rahasia In Loei dari senjata rahasia yang bermula. Mereka tiba-tiba
mengerti, selagi dikepung rapat, bagaimana In Loei dapat kesempatan akan
menggunakan senjata rahasianya itu. Tapi, kalau senjata itu bukan dilepaskan In
Loei, mesti di situ bersembunyi seorang liehay lain yang membantu pemuda ini.
Akhirnya si tauwto berseru: "Siong Sek Tooheng, kau tahan dia, libat padanya!
See Tjeetjoe, kau rampas pedangnya! Hendak aku melihat-lihat!"
Dan "Sret!" terdengar suara halus atau lengan si tauwto kena tertusuk!
Si imam berbaju hijau adalah orang terlihay di antara tiga orang ini, ia telah
memasang mata sejak tadi, maka kali ini ia dapat lihat si mahasiswa yang sedang
bercokol di atas batu telah bergerak
tubuhnya. Tidak tempo lagi, ia berseru: "Soeheng, itu kambing yang main gila!"
Lalu ia lompat melewati In Loei, guna menyerang anak sekolah itu.
"Tolong! Tolong!" si mahasiswa menjerit-jerit, tubuhnya gemetar.
Siong Sek Toodjin ada satu murid tingkatan kedua dari Boetong pay, partai yang
kesohor dengan ilmu pedang Tjicapdjietjioe Lianhoan Toatbeng kiam, maka itu bisa
dimengerti bagaimana hebatnya ketika ia tikam si mahasiswa, akan tetapi kali
ini, ujung pedangnya lewat di dekat iga, sama sekali tidak mengenai atau,
menyinggung bajunya. Karena itu, ia lantas ulangi serangannya, beruntun sampai
empat kali! Bukan main repotnya si mahasiswa, dia berteriak-teriak, dia berlompatan, untuk
menyingkir dari ancaman sasarannya, kelihatannya dia seperti sedang bermain-
main. In Loei terkejut mendengar jeritan si mahasiswa. Ia sekarang menjadi ringan
karena Siong Sek Toodjin meninggalkan padanya, akan tetapi, meski demikian, ia
mesti berkelahi secara sungguh-sungguh, sebab si tauwto lihay dengan goloknya,
dan See Tjeetjoe berbahaya dengan tangannya.
"Apakah aku keliru melihat orang?" nona ini berpikir. "Benar-benarkan si
mahasiswa tidak mengerti silat?"
Karena ia berpikir, ia jadi alpa, maka satu kali, hampir ia kena dibacok si
tauwto. Ia jadi sangat mendongkol terhadap si mahasiswa itu, maka juga
di dalam hatinya ia berkata pula: "Menjemukan mahasiswa itu! Aku tolongi dia,
dia sebaliknya permainkan aku! Biar habis ini tak akan aku pedulikan lagi
padanya1....." Nona ini mendelu, ia tak tahu, Siong Sek terlebih mendelu pula menghadapi
mahasiswa itu, hingga dia seperti kalap. Sebab setiap kali dia menikam, setiap
kali juga dia gagal, sasarannya senantiasa meleset. Dan si mahasiswa sendiri,
masih saja ia berteriak-teriak: "Tolong! Tolong!"
Kemudian dengan mendadak si mahasiswa tertawa terbahak-bahak.
"Ha, kiranya kau sedang permainkan aku?" dia berseru. Terus saja dia menghitung
"Satu! Dua! Tiga!" terus sampai "Dua puluh!" Dia menghitung setiap kali dia
ditikam. Di saat dia menghitung sampai dua puluh. Boe Kie yang terkena jarum tetapi tidak
parah lukanya, sudah merayap bangun, terus ia ambil goloknya, lantas ia
menghampiri dengan diam-diam pada si anak sekolah.
Anak sekolah ini berkelahi sambil tiap-tiap kali kelitkan diri. Ia tidak melihat
ke kiri dan kanannya. Maka leluasa Boe Kie mendekatinya, untuk lantas lompat
dibarengi dengan bacokannya. Tapi mendahului itu, tangan si mahasiswa melayang
ke belakang, tepat mengenai hidung orang, hingga hidung itu menyemburkan darah
hidup! "Manusia tolol!" bentak si mahasiswa. "Telah aku tolongi kau, kau sebaliknya
menghendaki jiwaku, jikalau aku tidak hajar padamu, kau tidak akan
insaf! Apakah kau tidak diajar aturan" Apakah si bangsat tua she See mengajar
kau membalas kebaikan dengan kejahatan?"
Boe Kie kelabakan karena hidungnya bercucuran darah, ia mesti bekap hidungnya
itu. Gagalah bokongannya. Tapi kata-kata si mahasiswa membuat See To, Boe Kie
dan In Loei menjadi sadar. Ketika malam itu Boe Kie bersama hoetjeetjoe
membokong di kuil tua, dia mestinya terbinasa diujung pedang In Loei, akan
tetapi secara menggelap ada orang menolongnya, tangan In Loei kena dihajar
senjata rahasia, hingga ujung pedangnya nyasar, dan Boe Kie lolos dari bencana.
Tentang kejadian itu, Boe Kie telah katakan pada ayahnya, mereka menduga-duga,
sama sekali mereka tidak menyangka si mahasiswalah yang menolongnya. Karena ini,
See To jadi melengak. Tapi justeru itu, In Loei menyerang, ia kena dibacok
kopiahnya hingga rusak. Ia jadi sangat gusar. Di dalam hatinya, tjeetjoe ini
berpikir: "Aku hendak mencuri permata dan kudanya, dia sebaliknya diam-diam
membantu aku! Tidakkah ini aneh?" Ia tidak berpikir lama, ia sudah lantas sambar
muka In Loei. Juga si tauwto turut menyerang, sebab tauwto ini panas hatinya.
Dia satu jago di Jalan Hitam tetapi hampir dia celaka ditangan "pemuda" ini.
Tauwto ini telah berpikir, In Loei mesti dirubuhkan dulu, baharu nanti mereka
kepung si mahasiswa. Repot In Loei didesak secara hebat, sampai tak sempat ia memperhatikan si anak
sekolah, lebih-lebih ketika See To menyambar dadanya dan si tauwto membacok mukanya. Tapi
justeru itu, bentrokan senjata terdengar keras dan lelatu api muncrat, dibarengi
dengan jeritan si tauwto yang kemudian disusul dengan teriakannya si mahasiswa:
"Hai, pendeta, kaulah yang paling menjemukan, hendak aku berikan tanda mata
padamu!" Setelah ini tidak ayal lagi, si tauwto lari kabur, diikuti oleh See To.
Pada saat si "pemuda" itu terancam bahaya, si mahasiswa sudah tunjukkan
kesehatannya yang luar biasa, ia lompat ke arah si tauwto, golok siapa ia
tangkis dengan pedang Siong Sek Toodjin yang ia rampas. Hebat tangkisan itu,
golok kaytoo menjadi kutung karenanya. Tauwto itu kaget dan jeri, begitu juga
See Tjeetjoe, maka keduanya segera angkat kaki.
Si mahasiswa lantas tertawa berkakakan, lalu sambil melemparkan pedangnya kepada
Siong Sek Toodjin, dia berkata dengan logat anak sekolah: "Menipu uang dan
merampas jiwa, itulah perbuatan tak berprikemanusiaan, dan tidak tahu tenaga
diri sendiri, itu namanya tolol. Manusia tak berprikemanusiaan dan tolol,
bukankah perbuatannya onar belaka" Ini, aku kembalikan pedangmu, supaya kau
belajar lebih jauh lagi sepuluh tahun!....."
Imam itu menjadi sangat lesu.
"Tolong kau sebutkan namamu," ia minta.
Si mahasiswa tertawa. "Apakah kau berniat membalas dendam kepadaku?" dia tanya.
"Tidak," sahut si imam.
"Jikalau tidak, untuk apa kau tanya namaku" Aku tidak berani bermusuh dengan
kau, aku juga tidak ingin bersahabat denganmu, karena kita bukannya musuh dan
bukannya sahabat, buat apa kita saling berkenalan?"
Siong Sek Toodjin membungkam, ia menghela napas, tapi karena ia sangat
mendongkol, ia patahkan pedangnya itu, sesudah mana ia ngeloyor pergi. Seorang
diri ia bersumpah untuk selanjutnya tidak lagi menggunakan pedang!
Kembali si mahasiswa tertawa besar.
"Baik, pergilah kamu semua!" katanya sambil terus mendekati sekalian lawannya,
untuk mendupak pergi. Orang-orang yang diserang senjata rahasia In Loei terkena urat-uratnya hingga
mereka tak dapat bergerak, sekarang setelak didupaki si mahasiswa, darahnya
jalan pula, hingga mereka dapat bergerak lagi.
In Loei heran yang si anak muda dapat menyadarkan orang-orang itu sedang ia
tahu, totokan piauw-nya adalah totokan istimewa.
Si mahasiswa rupanya dapat melihat keheranan orang, sambil tertawa, dia kata:
"Kemarin ini kau pecahkan totokanku, sekarang aku pecahkan kepunyaanmu, tidakkah
itu sama saja?" Tapi tetap In Loei heran.
See Boe Kie telah saksikan perbuatannya si anak sekolah, seperti lupa pada
hajarannya si anak sekolah tadi, ia lantas menghampiri, untuk memberi
hormat sambil menjura. Ia pun berkata: "Kau telah menolongi jiwaku, kau telah
hajar aku dengan tanganmu, maka itu di belakang hari, aku pun hendak memberi
ampun satu kali pada jiwamu dan menghajar kau satu kali juga!....."
Mendengar itu dan melihat kelakuan orang, si anak sekolah tertawa.
"Aku tolong kau karena aku pandang muka si bangsat tua she See, dari itu tidak
usah kau ingat budi," ia kata. "Kau hendak memberi ampun satu kali pada jiwaku,
itulah tidak usah, tetapi bahwa kau hendak membayar satu tanganmu, untuk itu aku
menanti. Kau kalah dari Siong Sek Toodjin, kau mestinya pulang dulu untuk
belajar lagi dua puluh tahun! Nah, pergilah lekas!"
See Boe Kie itu cupat pandangannya, bisa dimengerti bagaimana ia mendongkolnya.
Ia pandang si mahasiswa dan In Loei dengan mata mendelik, lalu ia ajak kawan-
kawannya berlalu. Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala, ia tertawa melenggak.
"Orang she See itu mempunyai nama kosong belaka di Jalan Hitam," katanya, "maka
aku tidak sangka dia demikian tak berguna!"
Ia nampaknya jadi sangat kecele.
In Loei sebenarnya niat berlalu, akan tetapi mendengar perkataan orang itu, ia
menoleh. Ia anggap orang telah menghina golongan Jalan Hitam itu.
"Bagaimana dengan Kimtoo Tjeetjoe dari Ganboenkwan luar?" dia tanya. "Apakah dia
tak dapat dihitung sebagai satu orang gagah?"
Berubah wajahnya si mahasiswa, tetapi cepat sekali, ia bersenyum. Ia menggoyang-
goyangkan kepala pula. "Kimtoo Tjeetjoe dan See Boe Kie, ayah dan anak, tak dapat dipandang sama,"
sahutnya. "Mengenai mereka itu ada perbedaan waktunya. Untuk menyebut dia
sebagai seorang gagah, itulah belum dapat!"
Mendongkol In Loei. "Baiklah!" serunya, "di kolong langit ini rupanya cuma kau saja seorang yang
gagah!" Karena tetap masih mendongkol, ia lantas bertindak pergi, akan berlalu dari
rimba itu. Belum jauh ia berlalu atau satu bayangan orang berkelebat
dihadapannya. "Saudara kecil, perlahan sedikit!" demikian suara bayangan itu - ialah si
mahasiswa. "Menurut aku, kaulah si orang gagah!"
In Loei melengak tapi segera ia angkat kakinya, untuk pergi terus. Ia bertindak
ke kiri, si mahasiswa cegat ia, ia bertindak ke kanan, masih ia dihalangi. Ia
bertindak pula ke kiri dan ke kanan, tetap ia dirintangi. Si mahasiswa bergerak
dengan sebat sekali. "Kenapa kau cegat aku?" bentak si "pemuda," hatinya panas sekali. Kali ini ia
terus lompat, untuk dengan mendadak melewati si mahasiswa itu.
Si mahasiswa ulur tangannya, ke arah dada orang, maksudnya untuk mencegah pula.
Maka gusarlah si "pemuda", hingga ia mendelik.
"Kau..... kau berani menghina....." bentaknya.
Hampir ia mengatakan ".....nonamu!" Syukur dapat
ia cegah itu ditenggorokannya, habis mana terus saja dengan pedangnya ia tikam
tenggorokannya si mahasiswa, hingga orang menjadi kaget, baiknya dia dapat
lompat mundur. Menyusul tikamannya itu, si "pemuda" perdengarkan seruan kaget, terus ia
meringis. Tangan kanannya, yang menyekal pedang, telah turun sendirinya. Begitu
hebat tikamannya itu, ketika tikaman itu tidak mengenai sasarannya, tangannya
terlonjorkan kaget sekali, sedang tubuhnya tertahan kuda-kudanya.
Tiba-tiba saja ia merasakan sakit karena lengannya bagaikan copot dari
pundaknya. Si mahasiswa lihat itu. "Mari aku tolong sambung lenganmu," katanya, sambil maju, dengan niat memberikan
pertolongannya. "Jangan kau pedulikan aku!" bentak si "pemuda." Ia cekal lengan kanannya itu
dengan tangan kiri, ia mendorong dengan dikagetkan, dengan begitu, ia sambung
pula lengan itu, kemudian dengan membalik tubuh, membelakangi si mahasiswa, ia
buka tangan bajunya, terus ia obati lengan yang seperti copot itu. Sebenarnya ia
ingin lantas berlalu dari situ, baharu ia berniat angkat kaki, untuk berlari
pergi, atau sekonyong-konyong ia rasakan tubuhnya lemah. Segera ia insaf, karena
telah bertempur terlalu lama, tenaganya menjadi habis sendirinya.....
Si mahasiswa mendekati, ia menjura.
"Aku mohon maaf," katanya, perlahan. "Saudara kecil, hatimu polos dan baik, kau
dapat menolong sesamanya, ingin aku bersahabat denganmu. Sekian lama, baharu aku
ketemukan orang dengan pribadi, sepertimu ini. Aku biasa beradat tinggi,
andaikata aku telah berbuat salah terhadapmu, sukalah kau memaafkannya."
Dengan matanya yang bersinar hidup, ia awasi wajah orang.
Mukanya In Loei bersemu dadu. Di matanya, di dalam hatinya, ia merasa si
mahasiswa ini luhur budi pekertinya, kelakuannya dapat
membuat orang kagum, "Kenapa kau mencaci Kimtoo Tjeetjoe?" akhirnya ia tanya,
sambil tunduk. Tertawa anak sekolah itu.
"Orang yang kau kagumi belum tentu dikagumi juga olehku," katanya. "Kenapa kau
seperti hendak memaksakan supaya orang turut padamu" Lagi pula, aku tidak
mencaci dia. Mungkin dia mempunyai bahagian-bahagian yang membuatnya orang
kagum, akan tetapi..... sudahlah, terlalu panjang untuk diuraikan, lebih baik
aku tidak mengatakannya." Tergerak hatinya In Loei.
"Apakah kau datang dari luar Ganboenkwan?" dia tanya.
Si mahasiswa mendongak, ia tertawa.
"Sang kupu-kapu terumbang-ambing karena tak ada gunanya, dia terhanyut sampai di
sungai dan telaga, tak usahlah tuan menanyakan sebabnya," ia bersenandung
seorang diri. Lalu ia tertawa pula,
suaranya mengharukan. "Mestinya dia punyakan riwayat sedih," pikir In Loei, "riwayat yang sama dengan
lelakon hidupku. Aku tak sudi orang mengetahui tentang diriku, maka buat apa aku
menanyakan tentang dia?"
Oleh karena ini, dengan tiba-tiba nona ini menaruh rasa simpati terhadap si anak
sekolah. "Baik," katanya kemudian, tak nanti aku ganggu pula padamu. Di sini kita
berpisah!" Si mahasiswa tertawa pula.
"Saudara kecil," katanya, "hari ini kau telah menjadi piauwsoe-ku, sudah
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seharusnya aku undang kau minum arak. Kali ini kau telah berjasa, wajib kau
menerima hadiah, dan tidak lagi aku mengatakan kau penganglap!"
In Loei tidak menjadi gusar. Ia anggap biasa saja seperti orang sedang bersenda
gurau. Ia lantas memandang ke sekitarnya.
"Di hutan sebagai ini di mana ada arak?" tanyanya kemudian.
Si anak muda tidak menjawab, dia hanya perdengarkan suitan nyaring dan panjang,
setelah itu terdengar jawaban yang berupa bengernya kuda, habis mana, dalam
sekejap saja, tampak dua ekor, kuda lari muncul dari dalam rimba. Itulah kuda
putih dari si mahasiswa disusul kuda merah si nona.
"Lihat, mereka telah mendahului bersahabat!" kata si anak sekolah sambil
tertawa. Kuda putih itu menghampiri majikannya, dan si mahasiswa lantas mengulurkan
tangannya, guna menurunkan satu kantong kulit dari bebokongnya,
dari dalam kantong itu ia keluarkan satu gendul arak warna merah.
"Kau telah lelah, silakan kau minum lebih dahulu," katanya seraya mengangsurkan
gendul itu kepada si nona.
In Loei sambuti gendul itu, ia irup araknya. Tiba-tiba ia kerutkan alisnya.
"Ah, kiranya benar kau datang dari Mongolia!" ia kata.
Arak itu ada arak susu dari Mongolia - arak yang keras sifatnya dan sarinya agak
asam. In Loei kenali arak ini, karena semasa kecilnya pernah ia turut ayahnya
meminumnya. Ia tidak suka arak yang keras, karenanya, tak dapat ia melupakan
arak ini. Dengan sepasang matanya yang jeli, si mahasiswa mengawasi.
"Apakah kau juga datang dari Mongolia?" ia tanya. "Melihat kau begini lemah
lembut, mestinya kau kelahiran daerah Kanglam yang indah."
Tersenyum In Loei karena pujian itu.
Tiba-tiba si mahasiswa bertepuk tangan hingga menerbitkan suara nyaring. Terus
ia tertawa. "Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa menanyakan tentang sumber asalnya?" katanya.
"Bukankah air mengalir dan mega yang melayang harus dibiarkan sekehendak
hatinya" Kau tak usah bertanya aku, aku juga tak usah bertanya perihalmu. Dalam
halku ini, keliru aku sudah menanyakan kau berasal darimana....."zj
In Loei heran, hingga tak dapat ia kendalikan
hatinya. "Pada malam itu, apakah kedua orang Tartar itu hendak paksa kau pulang?" dia
tanya tanpa merasa. Si anak muda tenggak araknya, ia bersenyum, tidak ia menjawab.
In Loei tidak mendesak, hanya seorang diri, ia berkata: "Di antara Watzu dan
Tiongkok akan terbit perang, karena kau satu putera Tiongkok, kau telah lari
dari wilayah Tartar itu, bukankah begitu?"
Si mahasiswa tertawa meringis. Ia tenggak pula araknya, ia tidak menjawab, ia
seperti membiarkan si "pemuda" menduga-duga.
In Loei angkat mukanya, ia tatap wajah orang.
"Dua orang Tartar itu mengejar kau untuk ditawannya, kenapa kau bantui aku
membunuh yang satu dan sebaliknya kau tolongi yang lainnya?" tanyanya.
Lagi-lagi si mahasiswa tenggak araknya. Tiba-tiba saja ia tertawa.
"Saudara kecil, sungguh kau gemar menanya!" katanya. "Tahukah kau, orang macam
apa yang telah aku tolongi?"
"Dialah muridnya Tantai Mie Ming!" sahut In Loei cepat. Dia seperti keterlepasan
buka mulut. Si mahasiswa melirik orang dihadapannya, nampaknya ia merasa aneh. Ia lalu
tertawa tawar. "Yang terbinasa adalah salah satu pahlawannya To Hoan," katanya, perlahan. Dan
begitu ia berkata, terus ia tutup mulutnya.
In Loei heran. Ia berpikir: "Tantai Mie Ming adalah pahlawan paling tanggu dan
paling dipercaya dari Thio Tjong Tjioe dan yang mati itu adalah
pahlawan To Hoan..... Thio Tjong Tjioe dan To
Hoan adalah menteri-menteri dari Watzu, apakah bedanya antara kedua menteri itu"
Kenapa sekarang, pahlawan To Hoan dibinasakan dan pahlawan Thio Tjong Tjioe
dilepaskan?" Benar-benar si nona tidak mengerti, hingga ia ingin menanyakannya. Akan tetapi
ketika ia nampak orang repot menenggak susu macannya, ia batalkan niatnya itu,
ia anggap percuma saja untuk menanyakannya pula.
Masih si mahasiswa menenggak araknya, lalu ia goyang-goyangkan gendulnya,
nampaknya ia terkejut. "Ah, tinggal separuh lagi....." katanya. Ia
nampaknya menyesal. "Apa sih lezatnya arak itu?" kata In Loei tertawa. Di mana-mana di Tiongkok ada
orang yang menjual arak! Apakah itu semua tak cukup banyak untuk kau minum?"
Berduka nampaknya si anak sekolah, ia kata: "Orang meninggalkan kampong
halamannya, rendah terpandangnya, barang-barang meninggalkan tempat asalnya,
mahal harganya, itulah sebabnya kenapa aku hargakan arak ini"
Ia bawa gendulnya ke hidungnya dan menciumnya.
Melihat kelakuan orang itu, In Loei ingat halnya semasa kecil - selagi berumur
tujuh tahun. Itu waktu bersama engkong-nya, ia baharu balik ke Tionggoan.
Setibanya di luar kota Ganboenkwan,
engkong-nya meraup tanah, berulang kali tanah itu diciumnya, romannya sangat
bersungguh-sungguh. Ingat ini, tiba-tiba ia tanya si mahasiswa: "Apakah kau
orang Han?" Agaknya heran anak sekolah itu. "Kau lihat aku - apakah aku tak mirip orang
Han?" dia balik menanya.
In Loei menatap muka orang. Ia dapatkan orang beralis kereng dan mata jeli,
romannya sangat ganteng, jangan kata di Mongolia, sekalipun di Kanglam, sukar
untuk mencari orang secakap dia. Menatap wajah orang, mukanya menjadi dadu
sendirinya. "Biar kau telah menutup mata dan menjadi abu, kau tetap orang Han!" ia kata.
Tiba ia menjadi jengah sendirinya, ia insyaf bahwa ia telah kelepasan berbicara.
Kedua mata si mahasiswa bersinar.
"Benar, benar sekali!" katanya. "Meski aku mati menjadi abu, tetap aku seorang
Han! Mari minum!" Ia buka tutup gendulnya itu, kembali ia menenggak.
In Loei tertawa menampak kelakuan orang itu.
"Kau minum bagaikan ikan lodan atau kerbau, dengan beberapa ceguk saja, arakmu
kering, apakah tidak sayang?" dia tanya.
Memain mata si anak muda, terus ia tertawa bergelak.
"Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan bagiku, sudah seharusnya aku
minum sampai puas!" katanya.
"Apakah itu yang paling menyenangkan kau?" Si mahasiswa tertawa.
"Pertama-tama aku dapat bersahabat dengan orang semacam kau, dan kedua karena
aku peroleh mustika yang langka!" sahutnya. "Mari, mari, saudara kecil! Aku
undang kau minum arak sambil memandang gambar yang indah!"
Ia rogo kantong kulitnya, akan keluarkan se-gulung kertas, yang mana, ia beber
di antara sampokan angin, terus ia gantung dicabang sebuah pohon.
"Kau lihat!" katanya pula. "Bukankah ini mustika yang langka?" Dengan "mustika"
ia maksudkan gambar yang ia anggap berharga itu.
In Loei ada turunan orang berpangkat, engkong-nya pernah menjadi hamba negeri
kelas satu dan bertanggung jawab sebagai satu utusan, sedang ayahnya, mulanya
satu pembesar sipil kemudian menjadi seorang peperangan, maka ayah itu pandai
ilmu surat. Demikian In Loei, sejak ia masih kecil, sudah ia belajar surat,
sudah ia mengenal gambar-gambar lukisan, maka tahulah ia gambar mana yang
berharga dan mana yang tidak. Sedang gambar ini adalah gambar yang Tjio Eng
gantung di Engtjhong lauw, loteng tempat menyimpan barangbarang berharga. Tadi
malam ia tak lihat nyata gambar itu, sekarang dapat ia memandangnya dengan
tegas. Itu ada pemandangan alam di dalam kota, ada airnya, pepohonan, dan ada
juga orangnya, lukisannya bagus, mirip karyanya satu pelukis pandai, hanya bila
dipandang terlebih lama, masih ada kekurangannya. Maka itu, ia tertawa di dalam
hatinya. "Mahasiswa ini masih kurang pemandangannya tentang seni lukis," pikirnya.
Si mahasiswa tenggak habis araknya yang terakhir, ia tertawa.
"Apakah kau tak tampak keindahan pada gambar ini?" dia tanya.
In Loei belum menyahuti atau si mahasiswa sudah menghampiri gambar itu, untuk
terus diusap-usap, untuk dipandang dan dipandang pula, kemudian ia bernyanyi
dengan nada tinggi: "Siapakah yang menyanyikan lagu 'Souwtjioe dan Hangtjioe1" Bunga teratai
menyiarkan harumnya sepuluh lie dan kembang koeihoa tiga musim, tetapi rumput
dan pohon kayu tidak kekal, mereka mengenangkan penderitaan sungai Tiangkang
dari berlaksa tahun! Ya, ya, penderitaan sungai Tiangkang dari berlaksa
tahun....." Kata-kata yang terakhir itu diucapkan secara bersenandung.
In Loei berpikir: "Orang-orang tua dahulu mengatakan, bernyanyi keterlaluan
menyebabkan tangisan, sekarang mendengar nyanyian ini, itu sama hebatnya seperti
mendengar tangisan....."
Ia tengah berpikir begitu atau di luar dugaannya, benar-benar si mahasiswa
menangis, tangisannya keras dan menyedihkan sekali, hingga
umpama kata menyebabkan "daun-daun rontok dan burung-burung terbang pergi"
Bingung In Loei, tak tahu ia, kenapa si mahasiswa berduka, kenapa dia menangis,
begitu sedih..... Hebatnya, lama anak sekolah ini menangis, hingga si nona menjadi tambah bingung.
Bukankah anak sekolah ini orang asing baginya" Bukankah dia satu anak muda" Cara
bagaimana ia dapat menghiburnya" Ia pun tidak dapat meninggalkannya, itulah
perbuatan tidak pantas. Habis, apa yang mesti dilakukan"
Masih si mahasiswa menangis, makin lama makin sedih, mengenaskan mendengarnya,
hingga tanpa merasa, si nona turut mengucurkan air mata di luar
keinginannya..... Si mahasiswa lihat orang menangis, ia lantas seka air matanya, dengan tibatiba
ia berhenti menangis, ketika ia angkat kepalanya, mendongak, dengan tiba-tiba
pula ia tertawa terbahak-bahak.
"Foei!" In Loei berseru. "Apakah kau telah mabuk?" tegurnya. "Kenapa kau tertawa
dan menangis tidak keruan" Apakah sebabnya?"
Si mahasiswa mengawasi orang, ia menunjuk. "Kau juga sudah mabuk!" katanya. "Toh
sama saja, bukan?" In Loei tunduk, ia lihat bajunya, yang pun basah dengan air mata. Ya, tanpa
alasan, ia turut orang menangis. Ia jengah sendirinya, tetapi segera ia tertawa.
Si mahasiswa tertawa pula, bergerak-gerak, lalu
ia bersenandung pula: "Makin kalap, makin gagah, itu baharulah orang kenamaan
sejati - Bisa menangis, bisa tertawa, itulah bukannya orang
yang biasa..... Kalau mestinya menangis,
menangislah kalau mestinya tertawa, tertawalah! Kenapa mesti malu-malu tak ada
perlunya" Kita adalah orang-orang dari satu golongan, kita menangis, kita
tertawa, apakah anehnya?"
Dengan kedua tangannya, ia gulung gambarnya itu, kembali ia bersenandung:
"Sungai Tiangkang terus-menerus mengalir ke
timur..... menaruh kaki di tanah daerah asing tetapi
cita-cita belum tercapai..... Bila memandang
kembali kepada enam puluh tahun yang lampau, di sungai di Selatan, di padang
pasir di Utara, tidakkah itu sangat mendukakan orang?"
Tergerak hatinya In Loei mendengar itu. Ia berpikir pula: "Ketika tadi malam si
mahasiswa ini pergi ke Heksek tjhoeng mengambil gambar, Tjio Eng mengatakan
sudah menanti enam puluh tahun, sekarang dia menyebut-nyebut juga hal enam puluh
tahun. Kenapa jumlah tahun itu akur satu dengan lain" Teka-teki apakah
tersembunyi di dalam ini" Si mahasiswa baharu berumur dua puluh lebih, dan
usianya Tjio Eng belum lewat enam puluh, maka apakah yang diartikan dengan enam
puluh tahun itu?" Ia pikirkan, ia pikirkan pula, masih ia tidak mengerti, sampai ia dengar pula
kata kata perlahan dari si mahasiswa. "Hari ini aku tertawa puas, menangis pun puas,
sayang sekali, araknya sudah habis....." demikian
katanya. Rupanya dia sangat menyesal atau sengit, dia banting gendul araknya ke
tanah hingga gendul itu pecah hancur.
Aneh kelakuan si mahasiswa ini, tetapi pada itu In Loei lihat suatu tenaga
menarik yang luar biasa. Waktu itu, matahari sudah menunjukkan lewat tengah hari.
"Ah, sudah waktunya kita berpisah....." kata si
nona. Tapi ia mengatakan ini dengan agak sedih. Ia seperti merasa berat untuk
berpisahan..... "Kau hendak pergi ke mana?" tanya si mahasiswa. "Apa kau hendak kembali ke
Heksek tjhoeng?" "Tak perlu kau ketahui itu," jawab In Loei.
Si mahasiswa tertawa. "Apa yang kau perbuat tadi malam, semua telah aku, lihat!" katanya.
Teringat pada kejadian di dalam kamar, muka In Loei menjadi merah.
"Nona Tjio itu cantik luar biasa," kata si mahasiswa, "dia juga mengerti ilmu
silat. Saudara kecil, mengapa kau menampik, tak mau kau menikah dengannya?"
"Aku mau atau tidak, apa sangkutannya dengan kau?" In Loei balik menjawab.
Mahasiswa itu tertawa pula.
"Jikalau malam itu aku tidak mengacau, tidak nanti kau dapat lolos dari Heksek
tjhoeng", dia kata. "Kenapa kau tidak menghaturkan terima kasih
terhadapku?" Mau atau tidak, In Loei tersenyum.
"Kita bangsa orang gagah, kita memang tak boleh terjeblos dalam jebakan sang
cinta," berkata si mahasiswa. "Imanmu teguh, saudara kecil, aku kagum
terhadapmu." Kembali merah wajah In Loei. Ia jadi jeri untuk bicara lebih lama dengan anak
muda ini, ia kuatir rahasianya nanti terbuka, maka tanpa berkata suatu apa lagi,
ia lompat ke atas kudanya, yang terus dikaburkan.
Baharu ia keluar dari rimba, atau di belakangnya, ia dengar suara kelenengan
kuda, hingga ia mesti berpaling, rupanya kuda putih si mahasiswa telah menyandak
padanya. "Saudara kecil, aku ingin bicara denganmu!" kata si mahasiswa itu.
In Loei tahan kudanya. "Bicaralah!" katanya.
Si mahasiswa perlambat jalan kudanya, hingga berendeng dengan kuda si "pemuda".
"Di dalam wilayah Shoasay ini, Tjio Eng dan See To sangat berpengaruh," kata si
mahasiswa sambil bersenyum, "maka bila kau berjalan seorang diri saja, pada
akhirnya kau bukannya dicandak Tjio Eng, untuk dibawa pulang untuk dijadikan
babah mantunya, melainkan kau akan dibekuk si orang she See ayah dan anak itu,
untuk disiksa mereka. Karenanya, baiklah kau berjalan bersama-sama aku, aku akan
menjadi piauwsoe-mu, pembelamu....."
In Loei anggap, berjalan bersama itu ada
alasannya, akan tetapi, belum sempat ia menjawab, si anak muda sudah menanya
pula kepadanya: "Sebenarnya ke mana kau hendak pergi?" "Ke Pakkhia," jawab In
Loei. "Sungguh kebetulan!" seru si anak sekolah. "Aku juga hendak pergi ke kota
Pakkhia. Baiklah kita mengaku engko dan adik satu sama lain."
In Loei tertawa, ia anggap orang lucu.
"Aku belum tahu she dan namamu, mana dapat kita berbasa secara demikian?"
katanya. "Apa aku mesti selalu panggil engko saja padamu?"
Anak sekolah itu tersenyum.
"Aku she Thio, namaku Tan Hong," jawabnya. "Tan dari tansim - putih bersih dan
Hong dari pohon hong."
In Loei tertawa. "Satu nama yang bagus!" pujinya. Akan tetapi di Mongolia tidak ada pohon hong,
maka itu, dari mana kau ambil namamu ini?"
"Hiantee, namamu?" tanya si anak sekolah, yang tidak menjawab. Ia pun sudah
lantas berbasa "hiantee" - adik.
"Aku orang she In dan namaku cuma satu, Loei," sahut si "pemuda". "Loei dari
pweeloei - pusuh bunga."
"Sungguh satu nama yang indah!" tertawa si mahasiswa. Ia pun balik memuji. "Cuma
nama itu sedikit berbau nama wanita. Di perbatasan tanah asing di mana ada es
dan salju jarang tertampak pusu bunga, dari itu, dari arti apa namamu diambil?"
Wajah In Loei berubah. "Cara bagaimana kau ketahui aku menjadi besar di perbatasan tanah asing yang
ber-es dan bersalju itu?" dia tanya.
Si anak sekolah tertawa. "Dari arakku!" sahutnya. "Begitu kau ceguk arakku, aku mengetahuinya. Bukankah
caramu tadi membeber sendiri tentang asal-usulmu?"
In Loei berpikir, lantas ia tertawa sendirinya. Tapi, biar bagaimana, ia merasa
kurang tenang hatinya. Dilihat dari sikap anak sekolah itu, mungkin dia masih
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengetahui terlebih banyak tentang dirinya.....
Dengan berbicara terlebih jauh maka tahulah In Loei bahwa Thio Tan Hong ini luas
pengetahuannya, tentang ilmu bumi, perihal ilmu alam begitupun pengetahuan ilmu
surat, syair dan ilmu silatnya. Dengan sendirinya ia jadi merasa sangat
tertarik, hingga tanpa merasa, ia kurang akan penjagaan atas dirinya. Selama berjalan, asyik sekali
mereka pasang omong. Tanpa merasa, sang sore telah datang pula.
Thio Tan Hong menunjuk dengan cambuknya.
"Di depan sana ada sebuah dusun," katanya, "sudah tiba saatnya untuk kita
bermalam." Ia bunyikan cambuknya untuk melarikan kudanya.
In Loei telad anak sekolah itu, maka kaburlah kuda mereka, hingga sebentar
kemudian tibalah mereka di tempat yang ditunjuk anak sekolah itu. Dengan lantas
mereka cari rumah penginapan.
"Berikan kami sebuah kamar besar yang meng-
hadap ke selatan," Tan Hong minta.
"Kita inginkan dua kamar!" In Loei campur bicara.
Kuasa hotel menggeleng-gelengkan kepala.
"Yang betul, satu atau dua?" ia tegaskan.
"Dua kamar!" sahut In Loei, cepat dan keras. "Dua kamar!"
Kuasa hotel itu mengawasi si mahasiswa.
Thio Tan Hong mengawasi juga, ia tertawa.
"Baiklah, dua kamar!" sahutnya.
"Apakah tuan-tuan cuma berdua saja?" masih pengurus hotel itu menanya.
"Ya, cuma kita berdua," jawab si anak sekolah.
Pengurus itu heran, ini tampak pada wajahnya. Akan tetapi dua kamar ada terlebih
banyak daripada satu kamar, sewanya jadi bertambah, maka ia tidak menegaskan
terlebih jauh. Ia lantas ajak kedua tetamunya untuk periksa kamarnya, habis
mana, ia undurkan diri untuk menyediakan barang santapan bagi mereka.
Di dalam kamarnya, Thio Tan Hong tertawa.
"Hiantee, bukannya aku pelit mengeluarkan lagi beberapa potong perak," kata dia.
"Dengan berada berdua kita dapat pasang omong. Tidakkah itu lebih baik" Kenapa
kau menghendaki dua buah kamar?"
"Kau tidak tahu, hianheng," sahut In Loei, yang pun berbasa "kakak" - hianheng.
"Seumurku paling takut aku tidur bersama-sama orang lain."
Tan Hong tertawa pula. "Pantas di Heksek tjhoeng kau tak mau tidur sama-sama Tjio Siotjia1." katanya.
Merah wajahnya In Loei, lantas ia alihkan
pembicaraannya. Si anak sekolah juga tidak menanyakan lebih jauh.
Habis bersantap malam, dua sahabat ini tidur dalam kamarnya masing-masing.
In Loei tidak tenang hatinya, ia palang pintu kamarnya, ia tutup jendelanya,
malah di waktu merebahkan diri, ia tidak salin pakaian. Tidak dapat ia lantas
tidur nyenyak, masih ia pikirkan si anak sekolah - ia ingat akan katakatanya dan
tertawanya. Ia malah tidak rapatkan matanya.
Ketika terdengar kentongan tiga kali, hotel sudah sangat sunyi. Sampai saat itu,
baharu In Loei merasakan hatinya tak terlalu tegang lagi, ia merasa lega, ia
malah tertawa sendirinya.
"Tampaknya anak sekolah itu, walaupun ia
berandalan, ia bukannya seorang ceriwis....." ia
berpikir. Oleh karena hatinya lega dan merasa ngantuk, In Loei lantas saja tidur pulas.
Tidak tahu ia, berapa lama ia sudah tidur, tiba-tiba secara layap-layap ia
tampak si anak sekolah mendatangi, mendekati pembaringannya, sambil membungkuk,
dia bersenyum. Ia kaget, ia hunus pedangnya, berbareng mana, si anak sekolah menjerit, lalu
dalam sekejap saja, dia bermandikan darah seluruh tubuhnya. In Loei kaget
sekali, hingga ia berseru. Adalah pada waktu itu, ia dengar ketokan pada
jendela. "Hiantee, lekas kemari!" demikian suaranya Thio Tan Hong.
In Loei berbangkit, ia kucek-kucek matanya. Insyaflah ia bahwa ia sedang
bermimpi. Ia dengar suranya Tan Hong, ia kenali. Ia menjadi heran, hingga ia
ragu-ragu, ia tengah bermimpi atau bukan.
Kembali terdengar suara Tan Hong, kali ini disusul dengan ringkikan kuda yang
berirama sedih. Maka tak ayal lagi, ia lompat turun. Syukur untuknya, ia tidur
tanpa salin pakaian. Dengan lantas ia dapat buka pintu, untuk lari keluar.
Dari wuwungan rumah, terdengar Thio Tan Hong berseru: "Orang telah mencuri kuda
kita! Mari lekas, kita kejar! Lekas!"
Kuda Tjiauwya saytjoe ma dan kuda merah dari Thio Tan Hong dan In Loei ada kuda-
kuda pilihan, tidak sembarang orang dapat mendekati kedua binatang itu, malah
kuda Tan Hong bengis sekali dan mengerti, kecuali tuannya, lain orang tidak
dapat mengendalikannya. Karena itu, Tan Hong sangat percaya kudanya itu,
barangnya yang berharga pun ia biarkan dibebokong kuda, sama sekali ia tidak
kuatirkan apa-apa, maka itu adalah di luar sangkaan, kali ini ada orang mencuri
kedua kuda itu. Pastilah pencurinya seorang yang sangat cerdik atau suatu ahli.
Tidak peduli ia bernyali besar dan tabah, Tan Hong toh gentar juga.
In Loei lompat naik ke atas genteng.
"Dapatkah kita susul mereka?" ia tanya.
"Kuda kita tentu tak sudi turut lain orang, mesti dapat kita susul," jawab Tan
Hong. Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak, yang mana ia lemparkan ke
dalam rumah. Sampai pengurus hotel itu mendusi, mendengar suara yang berisik.
"Uang sewa kamarmu di lantai!" teriak Tan Hong, habis mana, ia lompatpergi.
In Loei segera ikuti kawan ini.
Di sebelah depan mereka masih terdengar ringkiknya kuda.
Pengejaran dilakukan terus sampai di sebuah tegalan. Di bawah rembulan yang
remang-remang, dibantu dengan cahaya bintang-bintang, segera tertampak kedua
kuda-kuda itu, - kuda merah di sebelah depan, kuda putih di sebelah belakang.
Kedua kuda itu lari dengan berjingkrakan, terang keduanya tak sudi lari,
keduanya berontak. Pun si pencuri kuda tampak juga. Mereka mengenakan pakaian biru, muka mereka
ditutupi topeng. Masing-masing memegang sebatang hio, yang apinya menyala,
hingga sinar api itu mirip dengan cahaya bintang, terutama di tempat yang gelap
tampak tegas. Dan dengan hio itu, tiap kali mereka suluti tubuh kuda. Itulah
cara paksaan untuk membikin kuda lari, tidak peduli kuda itu meringkik kesakitan
dan terus berjingkrakan. Kedua pencuri itu menjepitkan kaki mereka dengan keras,
hingga kuda jadi tidak berdaya, saking sakitnya, mau juga kuda itu lari.
Disebabkan sering berjingkrak, kedua kuda itu tak dapat lari jauh, atau segera
Tan Hong dan In Loei dapat menyusul.
Sakit hati Tan Hong dan In Loei mendengar suara kuda mereka yang tersiksa itu,
sambil mengejar, mereka memanggil-manggil.
Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas dengar suara majikannya, dia berjingkrak keras,
karena mana, si penjahat lagi-lagi menyulut tubuhnya.
Selagi mengejar terus, Thio Tan Hong perdengarkan seruannya yang nyaring,
menyusul mana tangannya terayun, hingga belasan sinar perak menyambar ke arah
kedua pencuri kuda itu. Tapi mereka seperti punya mata dibatok kepala mereka,
atas datangnya serangan itu mereka jatuhkan diri, akan sembunyi diperut kuda.
Thio Tan Hong sayangi kudanya, ia tidak mau serang kudanya itu, ia cuma serang
si pencuri, karenanya, serangan senjata rahasia itu jadi
gagal, tidak ada sebuah jua dari jarumnya yang mengenai sasarannya.
Oleh karena sakitnya, kedua kuda itu kabur keras, ke arah gunung.
Berdua In Loei, Tan Hong mengejar terus, sampai tiba-tiba terdengar kedua
pencuri kuda itu tertawa berkakakan, iramanya seperti tertawa wanita. Tentu
saja, In Loei jadi terperanjat bahna herannya.
Di atas tanjakan pun segera terlihat cahaya api berkelap-kelip bagaikan kunang
kunang bermain di antara gombolan rumput. Tanjakan itu sunyi dan seram
nampaknya, sampai In Loei bergidik sendirinya.
Tiba-tiba saja Tan Hong tertawa nyaring.
"Apakah benar ada si cantik manis yang menjadi pencuri dan di tengah malam buta
berkawan dengan iblis?" katanya, nyaring. "Kembalikan kudaku! Tidak sudi aku
bertempur dengan wanita!"
Ia lantas lompat, untuk mendaki tanjakan itu, In Loei ikuti padanya.
Sementara itu terdengar suara nyaring dari wanita "Eh, besar juga nyali si
pencuri mustika!" In Loei lantas lihat dua ekor kuda, yang mengangkat tinggi kaki depannya, hingga
kedua binatang itu bagaikan orang tengah berdiri ditanjakan yang satu di depan,
yang lain di belakang. Kedua kuda itu tidak berbunyi juga tidak bergerak, maka
di bawah sinar rembulan yang suram, nampaknya aneh dan luar biasa. Tanpa merasa,
In Loei perdengarkan seruan tertahan.
Thin Tan Hong, sebaliknya, tertawa dingin, "Oh, kiranya kamu yang main gila!"
demikian si mahasiswa. In Loei tenangkan dirinya, ia pasang matanya. Kali ini ia dapat melihat lebih
tegas. Ia tampak empat orang tengah berdiri
ditanjakan, masing-masing mengangkat sebelah kakinya, sebagi orang sedang
menindak turun ditangga loteng, akan tetapi wajah mereka "diam," mereka bagaikan
patung-patung saja. Mereka adalah empat saudagar barang permata yang sedang
berurusan dagang dengan Tjio Eng, keadaan mereka sekarang ini mirip benar dengan
keadaan mereka tadi malam setelah mereka ditotok Tan Hong.
Meiihat keadaan orang itu, In Loei menghela napas lega. Ia kagum untuk orang
yang pandai menotok itu, yang dapat menotok orang-orang ini tanpa mereka ini
bisa berdaya. Ia menduga, mereka ini adalah pencuri-pencuri kuda, rupanya mereka
mencuri untuk membalas dendam yang kemarin mereka telah ditotok.
Tanpa kuatir suatu apa, In Loei segera hampir-kan ke empat saudagar itu.
"Tadi malam aku telah membebaskan kamu dari totokan, kenapa sekarang kamu
berbalik mengganggu kuda kami?" ia tegur mereka itu.
Empat saudagar itu tidak menjawab, mereka tetap diam sebagai patung.
Tiba-tiba dari atas tanjakan terdengar suara: "Apakah tetamu sudah datang" Bawa
mereka ke dalam kuburan!" Meneliti suara itu, seolah-olah datangnya dari dalam
tanah, seperti jauh, seperti dekat. Mendengar itu, In Loei terperanjat. Itulah
suara yang menandakan bahwa orang yang berkata-kata itu mempunyai Iweekang -
ilmu dalam - yang sempurna. Menduga orang itu tentulah musuh, In Loei lantas
bayangkan ia tengah menghadapi lawan yang merupakan memedi....."
Menyusul suara dalam itu, dari antara tumpukan batu-batu gunung segera tampak
munculnya dua tubuh bagaikan bayangan. Mereka ini mengenakan baju hijau, mata
mereka masing-masing mencorot tajam. Karena muka mereka ditutupi topeng, mata
mereka pun mirip dengan kunang-kunang, yang bercahaya di
tempat gelap. Mereka tak mirip wanita Tionghoa. Tapi keduanya terus menekuk
lutut mereka, untuk memberi hormat.
"Silakan!" demikian mereka mengundang.
"Lebih dulu tolongi kuda kita, baharu kita bicara!" kata Tan Hong.
"Tuan kami pesan supaya tuan jangan berkecil hati," kata salah satu penyambut
ini. "Katanya, tanpa diambilnya tindakan ini, tidak nanti kita dapat pimpin tuan
dan kawanmu datang kemari."
"Siapa tuan kamu itu?" tanya In Loei karena ia lihat, orang bersikap hormat.
Salah satu penyambut itu tertawa, ia menoleh pada kawannya.
"Ya, aku sampai lupa pada aturan kamu kaum Rimba Hijau dari Tionggoan." katanya.
"Djieso, tolong serahkan karcis undangan kita!"
Penyambut yang kedua itu, yang berada di sebelah belakang, sudah lantas putar
tubuhnya, kemudian setelah berbalik pula, ia serahkan apa yang dinamakan karcis
undangan, ialah dua potong tulang kepala manusia.
Melihat kartu nama semacam itu, wajah Tan Hong berubah.
In Loei juga terperanjat akan tetapi ia kuasai dirinya.
"Kartu undangan ini istimewa sekali!" katanya.
Kedua penyambut itu tidak menjawab, mereka cuma bersenyum.
"Mari!" mereka mengundang, terus mereka jalan di sebelah depan.
Tan Hong dekati In Loei di kuping siapa ia segera berbisik: "Lekas kau
singkirkan diri! Majikan mereka
adalah Hek Pek Moko!....."
"Hek Pek Moko....." In Loei ulangi, lalu dalam
sekejap saja, ia sadar. Ia segera ingat keterangannya Tjioe San Bin tentang dua
orang aneh dari kaum kangouw pada jaman itu, dua "manusia aneh" yang paling ditakuti.
Hek Pek Moko itu katanya berayah orang India, yang datang ke Seetjhong atau
Thibet, untuk berniaga, lalu dia masuk kebangsaan Thibet, dia menikah dengan
satu nona Thibet dari siapa dia peroleh sepasang anak kembar, yang masing-masing
berkulit putih dan hitam, yang romannya luar biasa. Menurut bahasa Hindu tua,
iblis jahat dipanggil "moko" karenanya orang memanggil kedua anak itu, sang
kakak Hek Moko, dan sang adik, Pek Moko. Ayah mereka pandai ilmu silat India,
mereka dapat mewariskan kepandaian ayah mereka itu, yang dicampur dengan ilmu
silat Thibet dan Mongolia juga, maka mereka mempunyai rupa-rupa ilmu silat,
hingga kesudahannya mereka jadi lihay sekali. Katanya, setelah memasuki umur
belasan tahun, Hek Moko dan Pek Moko pergi berpesiar, sampai di Tionggoan di
mana kabarnya, di Kwietjioe (Canton) mereka telah menikah dengan anak seorang
saudagar hartawan bangsa Iran. Untungnya untuk kedua saudara ini, mereka juga
pandai bahasa Tionghoa, Iran, Thibet dan Mongolia di samping bahasanya sendiri,
bahasa India. Mereka seperti dapat "keluar dan masuk" tanpa ketentuan.
Di beberapa tempat mereka mempunyai rumah, hingga mereka bisa tinggal dan
berdiam di mana mereka suka. Mereka mempunyai banyak harta dan barang permata,
umpama kata ada pembesar Rimba Hijau rakus yang menginginkan permata mereka,
pasti mereka akan mendapat bagian, setelah
disiksa, dia baharu dibinasakan. Maka kaum Jalan Putih dan Jalan Hitam pandang
mereka ini sebagai bintang bencana. Apa sebabnya mereka suka membawa-bawa barang
permata, tidak ada orang yang ketahui jelas, orang cuma bisa duga, permata itu
berasal curian atau memangnya barang dagangan. Tidak ada orang yang berani
menanyakannya. Sedang sebenarnya, mereka adalah tukang-tukang tadah, mereka bisa
beli permata dari begal tunggal, yang mereka biasa jual ke India atau Iran,
hingga mereka menjadi aman. Maka itu, mereka kenal baik banyak begal atau
penjahat tunggal. Demikian Hongthianloei Tjio Eng adalah langganan mereka. Empat saudagar, yang
malam itu In Loei lihat, ada pembelinya. Tentu sekali In Loei, juga Thio Tan
Hong tidak ketahui rahasianya Tjio Eng serta tukang tadah itu. Walaupun
demikian, Tan Hong tahu tanda rahasia dari Hek Pek Moko, ialah tengkorak
manusia, karena mana, ia kisiki In Loei untuk lari menyingkir.
Tapi In Loei berpikir lain, bukan dia kabur, dia justeru bersenyum.
"Bukankah tadi kau menyuruh aku menjadi piauwsoe?" katanya. "Maka sekarang, tak
dapat tidak, aku mesti menyertai kau!"
Tan Hong percaya orang tak tahu lihaynya Hek Pek Moko, ia memikir untuk
menjelaskannya, akan tetapi, untuk itu, ketikanya tidak ada. Untuk itu, ia mesti
bicara banyak. Ia lihat tegas, kedua wanita Iran itu tiap-tiap kali berpaling ke
arahnya. Karenanya, ia jadi mengeluh sendirinya.
"Ah, kau belum tahu lihaynya kedua hantu itu....." demikian keluhnya dalam hati.
Tan Hong keliru apabila ia menduga In Loei tidak tahu ancaman bahaya, In Loei
justeru tak hendak meninggalkan dia pada saat seperti itu. Ia ingin turut
bersama. Kedua wanita Iran itu jalan di muka untuk memimpin mereka melalui jalan belukar
yang banyak batunya, di antara pelbagai kuburan, sesaat kemudian tibalah mereka
di depan sebuah kuburan besar luar biasa.
Segera terdengar suara nyaring dari dalam kuburan itu: "Apakah yang datang itu
dua bocah cilik?" Kedua wanita itu tertawa.
"Benar!" sahut satu di antaranya. "Tapi kedua bocah ini besar sekali nyalinya!"
"Baik!" terdengar pula suara dari dalam kuburan itu. "Bawa mereka masuk!"
Satu wanita mendekati pintu kuburan, ia gunakan sebelah tangannya untuk menekan,
atas itu terdengarlah suara berisik pada daun pintu.
Justeru itu, dengan mendadak Thio Tan Hong menyerang daun pintu.
"Brak!" demikian terdengar suara nyaring dan berisik, karena daun pintu itu
segera rubuh menggabruk. Dia terus tertawa, dia pun berkata: "Tidak usah kau
nengundang lagi, aku sendiri dapat datang!"
Kuburan itu mempunyai thia yaitu ruang muka, yang indah perabotannya, yang mirip
dengan ruang suatu istana. Di sini dipasang dua puluh empat lilin yang besar, yang membuat
ruangan menjadi sangat terang. Rupanya itu adalah suatu istana di dalam tanah,
yang ada hubungannya dengan dunia luar, karena dengan berada di dalam ruang itu
orang tidak bernapas sesak.
In Loei segera lihat sebuah meja besar di tengah ruangan itu. Meja itu adalah
meja marmer. Di tengah meja duduk dua orang, yang romannya benarbenar luar
biasa. Rambut mereka bergelintir, hidung mereka bengkung, muka mereka, yang satu
putih meletak, yang lain hitam legam, hingga perbedaan antara kedua orang itu
sangat tegas. Di kedua sisi mereka duduk masingmasing dua orang Han, yaitu ke
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
empat saudagar barang permata itu. Maka, mengenal mereka itu, In Loei berkata
dalam hatinya: "Terang sudah, kuburan ini mempunyai pintu belakang....."
"Apakah mereka berdua ini yang mencuri permata?" tanya Hek Pek Moko, kedua orang
dengan roman luar biasa itu.
"Itulah yang usianya terlebih tua," sahut satu saudagar. "Yang lebih muda itu
ada babah mantunya Tjio Eng, dia tidak turut mencuri, dia malah telah menolongi
kami dengan membebaskan kami dari bekas totokan."
Hek Moko manggut. "Kau berdiri dipinggir!" kata dia pada In Loei, tangannya menunjuk.
Tapi In Loei membangkang. "Aku datang bersama-sama dia," katanya.
"Kenapa aku mesti berdiri di pinggir?"
Pek Moko kerutkan alisnya.
"Bocah cilik, kau tidak tahu apa-apa!" katanya.
Hek Moko menuding Tan Hong.
"Eh, bocah gede, besar nyalimu!" katanya. "Kenapa kau berani datangdatang ke
Heksek tjhoeng untuk mencuri permata dan melukai orang" Kenapa kau pun berani
menghajar rubuh pintuku ini" Apakah kau anggap kami dapat dibuat permainan?"
Thio Tan Hong tidak menjawab, dia hanya balik menanya. "Berapa lama sudah kamu
sampai di Tionggoan?" demikian pertanyaannya.
"Apakah maksudmu?" tanya kedua hantu ini, dengan murka.
"Pernahkah kamu dengar, satu pepatah Tionghoa yang mengatakan
"Dendam ada kepalanya, hutang ada tuannya?" Tan Hong tanya pula. "Jangan kata
aku memang tidak pergi ke Heksek tjhoeng untuk mencuri, taruh kata benar apa
hubungannya dengan kamu berdua" Tjio Eng toh tidak menginginkan kamu yang campur
tahu perkara itu?" Muka kedua hantu itu mendadak berobah.
Thio Tan Hong tak menggubris, ia hanya menambahkan: "Adalah kamu yang mencuri
kuda kami, kenapa sekarang kamu herankan yang aku hajar rusak daun pintumu" Lagi
pula tempat ini bukannya tempatmu, tempat ini adalah tempat orang mati!"
"Bagus, kau pandai memutar lidahmu!" bentak Hek Moko. "Kau sekarang hendak
menguasai kami!" "Apakah kamu kira cuma kamu sendiri yang boleh
menguasai lain orang?" Tan Hong tertawa. "Aku lihat, lebih baik kau tutup rapat
pintu kuburanmu ini, jangan kau pergi keluar lagi!"
"Apa katamu?" tegaskan Pek Moko, si Hantu Putih.
"Ini adalah kuburan suatu pangeran!" kata Tan Hong.
"Ia ada Pangeran dari kerajaan Tjhin. Habis kau hendak apa?" tanya Pek Moko.
"Ada pepatah yang mengatakan, - Menutup pintu besar untuk menjadi raja" sahut
Thio Tan Hong, "maka itu, jikalau sekarang kamu tutup kuburan ini, bukankah kamu
pun boleh menjadi raja di sini" Atau, andaikata kamu batal menjadi raja,
sedikitnya kamu bisa menjadi pangeran Tjhin! Sebenarnya, untuk menjadi raja
tidak ada artinya....."
Murka kedua hantu itu dipermainkan secara demikian. Tanpa terlihat gerakan
mereka, tahu-tahu mereka sudah mencelat dari kursi mereka masing-masing sampai
kepada Tan Hong, empat tangan mereka menyambar ke arah batok kepala orang!
In Loei terkejut hingga ia keluarkan seruan tertahan.
Menyusul sambaran empat tangan itu, terlihatlah berkelebatnya satu sinar putih
bagaikan rantai. Sebab Thio Tan Hong, dengan kesebatannya, telah hunus
pedangnya, yang berkelebat mirip bianglala.
Kedua hantu Hitam dan Putih ini perdengarkan seruan: "Pedang yang bagus!" Di
antara satu suara "Bret!" terlihat tubuh mereka bergerak-gerak bagaikan bayangan.
Pada saat itu juga terdengar tertawanya Thio Tan Hong, yang menyambungi: "Bagus,
bagus! Hek Moko dan Pek Moko mengerubuti satu bocah!"
Mendengar ejekan itu, kedua hantu itu sudah lantas jumpalitan mundur, hingga di
lain saat keduanya sudah duduk bercokol pula
dikursi mereka masingmasing, muka mereka menyeringai. Mereka ini tidak pandang
Thio Tan Hong sebagai tandingan mereka, barusan mereka menyerang disebabkan hawa
amarah mereka yang meluap dengan tiba-tiba, hingga mereka melakukan sesuatu yang
melanggar hukum Rimba Persilatan. Mereka percaya, dengan satu kali turun tangan,
mereka dapat mencekik si bocah gede itu. Tidak tahunya, meleset dugaan mereka,
hingga mereka jadi malu sendirinya, mereka jadi jengah.
Luar biasa sebat Tan Hong menghunus pedang, cepat sekali ia gerakkan pedangnya
itu, meskipun selagi berkelit, bajunya kena disambar hingga baju itu kena
disambar hingga baju itu robek, di lain pihak, pedangnya sudah memapas kopiah
orang sampai rambutnya ikut terpapas pula. Dan hebatnya, karena perbuatannya
itu, Hek Pek Moko pun akan tercela karena mereka telah menghina orang yang
terlebih muda..... Hek Moko, si Hantu Hitam, lantas mengawasi Tan Hong.
"Bagus ilmu pedangmu!" katanya. "Mari, mari kita mencoba-coba!....."
Kali ini hantu itu tidak lagi memandang orang sebagai "bocah", ia anggap
sekarang bocah itu adalah pantarannya, maka itu, ia telah ubah sikapnya, ia
sudah lantas menantang. Thio Tan Hong bersenyum, ia awasi kedua hantu itu.
"Bagaimana kehendakmu?" ia tanya. "Kamu berdua hendak maju berbareng atau
melayani satu dengan satu". Bagaimana kalau menang. Bagaimana kalau kalah" Dalam
hal ini, perlu kamu mengatur terlebih dahulu!"
Hek Moko gusar sekali. "Kamu berdua, kita juga berdua, tidakkah itu berimbang?" katanya.
Hek Moko kesohor, sekarang ia ingin bertanding satu sama satu, itu artinya ia
sudah lantas merasa agak jeri.
Akan tetapi Thio Tan Hong kata: "Urusanku ini tidak ada hubungannya dengan
saudaraku ini! Adalah aku seorang diri yang akan melayani kamu....."
"Jikalau demikian," kata Hek Moko, "baik aku sendiri yang melayani kau."
Tapi In Loei campur bicara.
"Kita datang berdua, maka itu aku juga hendak melayani kamu!" demikian katanya.
"Bagus, bagus!" Pek Moko, turut berbicara. "Jikalau kamu turun tangan berbareng,
aku suka turut menemani kamu!"
"Sudahlah, jangan terlalu banyak omong!" Hek Moko menjadi tidak sabaran. "Aku
akan layani kau seorang!" - ia maksudkan Thio Tan Hong. "Jikalau saudaramu tidak turun tangan,
saudaraku juga tidak akan turun tangan! Tidakkah ini jelas?"
In Loei masih hendak bicara tetapi Tan Hong cegah dia.
"Sudahlah, saudara yang baik! Kau biarkan aku yang mencoba-coba dulu. Umpama
kata aku tidak berdaya, baharulah kau turun tangan. Apakah itu tak terlambat?"
Hek Moko tidak pedulikan kedua saudara itu sedang berebut omong, ia ulurkan
sebelah tangannya ke arah tembok, dari situ ia menarik sebatang tongkat kemala,
yang mengeluarkan sinar terang bercahaya hijau, setelah itu ia berbangkit dari
kursinya, ia bertindak ke ruang yang lega.
"Mari, mari!" ia menantang. "Jikalau aku menang maka kuda dan permatamu, semua
itu akan menjadi kepunyaanku!"
"Jikalau kau yang kalah, bagaimana?" tanya Tan Hong.
"Jikalau aku yang kalah, maka tempat ini akan menjadi kepunyaanmu!" hantu itu
berjanji. Kuburan itu adalah tempat Hek Pek Moko menyimpan harta besar mereka, di
antaranya ada barang berharga yang hampir semahal sebuah kota. Hek Moko anggap,
taruhan ini adalah taruhan yang pantas sekali.
Akan tetapi Thio Tan Hong berpikir lain. Dia tertawa.
"Siapa kesudian menjadi tuan dari guha hantu ini?" katanya mengejek.
"Habis, apa yang kau kehendaki?" tanya si Hantu Hitam.
"Kau mesti obati kuda kami hingga sembuh!" dia menjawab. Hek Moko juga tertawa
bergelak. "Inilah gampang!" jawabnya. Aku biasa berdagang, aku hargakan perkataanku. Baik
kita omong secara pantas. Aku pun tidak menginginkan bandamu. Di antara banda
kita, sukar untuk menetapkan harganya. Sekarang terserah kepadamu! Nah,
majulah!" Thio Tan Hong lantas rapikan dandanannya. Ia loloskan baju panjangnya, yang kena
dirobek kedua hantu itu. "Dengan dandananku ini, aku mirip dengan satu
pengemis....." katanya, yang terus merobek baju
panjangnya itu. Ia sekarang dandan dengan singset, nyata ia telah pakai baju
kutang yang tersulamkan dua ekor naga emas tengah bertarung di tengah laut yang
bergelombang. Di antara cahaya lilin, baju kutang itu nampaknya indah.
In Loei lihat baju kutang itu, ia heran. "Apakah benar di Mongolia juga ada
sulaman Souwtjioe?" tanya ia pada dirinya sendiri. Tapi ia tidak sempat berpikir
lama, atau pertandingan sudah lantas dimulai.
"Kau yang mulai!" Tan Hong tantang lawannya, setelah ia selesai dandan dan beri
hormat sambil menjura. Hek Moko dapat kesan baik untuk kelakuan dan kesopanan orang itu, ia merasa puas
hingga ia bersenyum, akan tetapi meskipun demikian, dengan
tiba-tiba saja ia mulai dengan serangannya, tongkatnya menyambar ke arah muka.
Thio Tan Hong tidak menjadi kaget karena serangan mendadak itu, malah dengan
gesit ia telah angkat pedangnya, untuk menangkis, hingga tidak ampun lagi, kedua
senjata telah beradu satu sama lain hingga terdengar suara yang keras dan
nyaring. Sinar pedang pun menyilaukan mata.
-ooo0dw0ooo- BAB VI In Loei terperanjat melihat bentroknya kedua senjata itu.
"Aku tidak sangka, tongkat kemala itu ada barang mustika juga," pikirnya.
Kedua senjata seperti menempel satu dengan lain, karena masing-masing tidak
menarik kembali tangan mereka, sebaliknya, mereka saling menekan.
Kedua pihak berdiri tegak dengan kuda-kuda mereka, keduanya samasama empos
semangat, untuk mengerahkan tenaga mereka. Karena ini, dalam sekejap saja,
keduanya mulai mengalirkan keringat di jidat mereka.
Tegang hati In Loei menyaksikan pertempuran adu tenaga dan keuletan itu.
"Secara begini, tidakkah keduanya akan sama-sama bercelaka?" demikian ia piker
pula. Ia jadi berkuatir. Tak lama kemudian terdengar seruan Hek Moko, tubuh siapa terus mencelat.
Menyusul itu terdengar pula suara kedua senjata.
Dipihak lain Thio Tan Hong pun mencelat mundur, dengan begitu senjata mereka
jadi terlepas dan terpisah. Selagi lompat, Tan Hong perdengarkan seruan:
"Celaka!" In Loei terkejut hingga hendak ia hunus pedangnya, cuma sebelum ia sampai
berbuat begitu, ia segera dengar tertawanya Tan Hong.
"Tidak apa, tidak apa!" demikian Tan Hong buka mulutnya. "Kiranya kau adalah
seekor keledai tua! Sekian lama senjata kita sudah bentrok tapi kau tidak mampu
berbuat suatu apa! Haha haha! Namamu kosong belaka! Nyata kau tidak sanggup
memukul mundur satu bocah! Haha-haha! Haha-haha!"
Suara tawa itu belum berhenti atau Hek Moko, dalam murkanya yang hebat, sudah
berseru nyaring sekali: "Bocah, kau tidak tahu mampus!" Lalu tubuhnya mencelat
maju, sinar hijau dari tongkatnya pun berkelebat, sinar itu menyambar ke arah
jidat orang she Thio. Sebenarnya In Loei ingin tertawa mendengar kata-katanya Tan Hong, tapi ia
terhenti di tengah jalan, sebaliknya, ia menjerit, "Oh!" disebabkan serangan si
hantu yang sangat dahsyat itu.
Tiba-tiba terdengar pula tertawa nyaring dari Tan Hong, yang terus berkata
dengan keras: "Lihat, lihat! Si bocah akan kemplang kepala si keledai tua!"
Atas datangnya serangan dahsyat itu, Tan Hong menyamping satu tindak, sambil
mundur ia angkat pedangnya, dengan itu ia membalas menabas ke arah lengan orang.
Hek Moko pun sangat awas dan gesit sekali, lekas-lekas ia tarik kembali
tangannya. Tan Hong tahu orang liehay, sengaja ia mainkan lidahnya, guna membikin orang
mendelu. Ia dapat menduga, Hek Moko mulanya tidak pandang mata padanya, maka ia
dipanggil bocah, dari itu, sengaja ia gunakan perkataan bocah itu untuk membuat
orang panas hati. Dalam hal ini, ia berhasil membakar hatinya si Hantu Hitam.
Menuruti hawa amarahnya, Hek Moko menyerang pula, secara kalap. Bukan main
gencarnya serangan itu. Terang ia lupa pantangan bergusar untuk orang yang
tengah berkelahi, nyata ia sudah kena terjebak lawannya itu.
Satu kali Tan Hong menabas lengan orang, untuk herannya, pedangnya merosot di
antara lengan itu. Ia tidak tahu, lawannya mempunyai ilmu silat India yang
dinamakan "djiekee", yang membuat tangannya jadi kuat dan licin.
Gusar Hek Moko karena serangan itu, hingga dia berteriak: "Bocah, akan aku adu
jiwaku dengan jiwamu!" Terus saja dia lompat sambil menyerang dengan tongkatnya.
Dengan berani Tan Hong tangkis serangan itu, lalu ia membalas.
Hek Moko berlaku cerdik, ia berkelit sambil lompat jumpalitan, waktu ia menaruh
kakinya di lantai, ia barengi dengan merubuhkan diri, kemudian menyusul itu -
dengan kesebatannya - ia balas menyerang, ujung tongkatnya menyambar lawannya,
yang ia sodok hebat sekali.
Untung bagi Tan Hong, ia telah berlaku waspada, celi matanya, lincah gerakannya
maka itu ketika serangan sampai, ia sempat egoskan tubuhnya. Tentu saja, ia pun
tidak mau diam - habis berkelit, ia maju menyerang.
In Loei telah saksikan satu pertarungan yang dahsyat sekali. Kedua belah pihak
tidak mau menyerah satu pada lain, itulah yang hebat. Sinar
hijau dari tongkat kemala seperti bersaing dengan sinar putih dari pedang. Kalau
si Hantu Hitam nampaknya ganas, lawannya berlaku tenang, sekarang ini tidak lagi
si orang she Thio bersenyum, sebaliknya, ia berlaku sungguh-sungguh.
Sebenarnya Hek Moko telah bersilat dengan ilmu tongkat "Thianmo thung" -
"Tongkat Iblis," ia andalkan ilmu tongkatnya itu, akan tetapi kali ini, ia
kecele. Sudah seratus jurus lebih ia layani Tan
Hong, sama sekali ia tidak peroleh hasil, maka akhirnya, ia sedot hawa dingin.
Pek Moko, si Hantu Putih, telah saksikan pertempuran itu, ia lihat saudaranya
berkecil hati, tetapi karena di antara mereka sudah ada janji, tidak bisa ia
nyerbu ke dalam kalangan, untuk membantu saudara itu. Maka ia Cuma bisa menonton
saja. Selagi pertempuran berjalan terus, tiba-tiba terdengar suara ayam berkokok dan
burung-burung berkicau di luar kuburan. Itulah tanda bahwa sang malam sudah
lewat dan sang fajar telah datang menggantikan tugas alam.
Hek Moko menjadi tegang sendirinya karena ia tidak dapat peroleh hasil, saking
penasaran, ia coba menyerang dengan terlebih dahsyat pula, hingga pertarungan
menjadi lebih hebat. Thio Tan Hong berlaku tenang, ia tidak biarkan dirinya dipengaruhi kekalapan
orang. Ia berlaku waspada, matanya awas, gerakannya sebat. Ia menangkis dan
berkelit dengan beraturan, ia membalas menyerang setiap ada ketikanya.
In Loei terus menonton dengan hati tertarik. Sejak masih kecil ia telah belajar
silat kepada Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, karena sekarang ia telah berusia
tujuh belas tahun, tepat lamanya sepuluh tahun ia menuntut ilmunya itu. Di
samping itu, berkat didikan gurunya, ia juga kenal pelbagai ilmu silat pedang
dari lain kaum, hingga ia bisa dianggap sudah ulung juga. Hanya kali ini, heran
ia atas ilmu pedangnya Thio Tan Hong. Ia sudah mengawasi begitu lama, ia telah
memperhatikannya dengan seksama, tapi tidak juga ia ketahui, dari golongan mana
ilmu silat pedang itu. Ia merasa ada persamaannya dengan ilmu pedangnya sendiri
ia pun merasakan ada perbedaannya. Ia merasa ia seperti pernah lihat ilmu silat
itu akan tetapi tak pernah ia dengar gurunya menceritakannya. Karenanya, ia jadi
bersangsi, ia jadi heran.
"Ah, mesti ada hubungannya antara ilmu pedang itu dengan ilmu pedangku,"
akhirnya In Loei ambil kesimpulan sesudah ia mengawasi pula sekian lama. Karena
ini, ia seperti tenggelam dalam
pikirannya sendiri, hingga ia tidak perhatikan jalannya pertempuran. Tiba-tiba
saja ia ingat kata-kata gurunya pada malam sebelumnya ia turun gunung.
Hari itu, adalah malam Tiesek, satu malam sebelumnya tahun baru, di puncak bukit
Siauwhan San di Soetjoan Utara, di dalam sebuah guha batu, dinyalakan dua belas
batang lilin besar. Dan lilin itu sama rupanya dengan lilin yang ia saksikan
sekarang. Ketika itu di antara cahaya lilin, yang mengitarinya, ada duduk
seorang wanita dari usia pertengahan serta satu nona yang cantik sekali bagaikan
bunga. Mereka itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dan murid satu-satunya
yang dia sayangi, ialah In Loei. Di dalam guha itu telah disediakan barang
makanan, tetapi bukan untuk pesta menyambut tahun baru, hanya guna perjamuan
perpisahan antara guru dan muridnya itu. Pelajaran si nona dianggap sudah sampai
pada batasnya dan sang guru menitahkan muridnya turun gunung, untuk mencari
pengalaman. In Loei terima titah itu, besoknya hendak ia meninggalkan rumah
perguruan. Dari gurunya itu, In Loei telah ketahui asal-usulnya, tentang sakit hati
keluarganya. Itu adalah sakit hati yang hebat sekali, bagaikan "laut yang
berdarah." Ia senantiasa memikirkannya, ia selalu memikir untuk melampiaskanya.
Untuk itu, ia mesti turun gunung. Untuk itu, perlu ia sempurnakan dahulu ilmu
silatnya. Adalah di luar sangkaannya, sang guru menjamu ia malam itu dan ia
diharuskan turun gunung besok paginya. Kenapa guru itu tidak menyebutkannya,
menerangkannya, sejak siang-siang" Kenapa demikian mendadak"
Maka itu, selagi menerima titah, In Loei berpikir, pada wajahnya tampak roman
heran.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yap Eng Eng telah lihat tegas roman muridnya itu, ia diam saja, cawan demi cawan
ia keringkan dan setelah menghabiskan yang ketiga, tiba-tiba ia menghela napas.
"Satu tahun akan dilewatkan dalam satu malam," katanya, perlahan. "Pada dua
belas tahun yang lampau telah aku antarkan
satu orang - bukan, hanya telah aku usir, - dan pada malam ini, kembali hendak
aku mengantar kau pergi....."
In Loei berdiam. Tak mengerti ia akan kata-kata gurunya itu, kata-kata yang ia
anggap tidak keruan juntrungannya. Ia melainkan awasi gurunya itu.
Habis mengucap, Hoeithian Lionglie menghela napas pula, terus ia tatap muridnya.
Dengan sekonyong-konyong, ia berkata kepada muridnya itu: "Setelah kau turun
gunung, kalau nanti kau tiba di Mongolia, apabila kau menemui seseorang, kau
katakan padanya bahwa aku menyuruh dia pulang....."
"Siapakah orang itu, Soehoe?" tanya In Loei, setelah ia berdiam sekian lama.
Ditanya muridnya, tiba-tiba Hoeithian Lionglie tertawa. Setelah itu, segera
wajahnya menjadi merah. "Itulah Samsoepee Tjhia Thian Hoa-mu," katanya, dengan perlahan. (Samsoepee
ialah paman guru lebih tua yang ketiga.)
"Samsoepee Tjhia Thian Hoa?" In Loei ulangi. "Bukankah samsoepee telah pergi ke
Mongolia, untuk menolongi aku membalas dendam kakekku, ialah guna membinasakan
Thio Tjong Tjioe?" "Benar!" sahut sang guru. "Ketika dia pergi ke Mongolia, itu adalah kejadian
pada sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi waktu dia berpisah dari aku, itu ada
pada malam seperti ini pada dua belas tahun yang lampau..... Ilmu silatnya sudah
sempurna, diapun pendiam tetapi cerdas. Dia mengatakan dia hendak membalas sakit
hati kakekmu, pasti dia telah mewujudkan maksud hatinya itu, malah untuk itu,
tak usah dia tunggu sampai sepuluh tahun....."
"Kalau begitu, kenapa setelah pergi sepuluh tahun lamanya, dari dia tidak ada
kabar ceritanya?" tanya In Loei.
Sang guru menghela napas pula.
"Aku duga dia memang tidak berniat kembali," sahutnya.
"Kenapa begitu, soehoe?"
Sang murid benar-benar tidak mengerti.
Hoeithian Lionglie tidak menjawab, ia hanya menyimpang.
"Semua ilmu silat pedang dari pelbagai partai telah aku ketahui," berkata guru
ini. "Partai banyak sekali jumlahnya. Melainkan satu macam ilmu pedang dari
suatu partai, belum pernah aku melihatnya. Kau katakan, tidakkah ini aneh?"
In Loei berdiam, akan tetapi hatinya berpikir. Memang jumlah partai ada sangat
banyak, dari itu apa yang dibuat heran kalau ada ilmu silat suatu partai yang
belum diketahui. Akan tetapi, setelah ia dengar lebih jauh perkataan gurunya, ia
menjadi heran sekali, hingga ia terkejut.
Dengan sungguh-sungguh, guru itu menambahkan: "Itu adalah ilmu silat pedang dari
kaum kita sendiri....."
Karena herannya, In Loei jadi melongo.
Ketika itu, api lilin di dalam ruangan tengah memain, dalam keadaan seperti itu,
teringat In Loei pada gurunya, pada kata-kata gurunya itu. Ia seperti nampak
pula wajah menyesal dari gurunya. Ketika itu, ia telah minta penjelasan pada
gurunya. Dan gurunya itu menjawab: "Kau tidak tahu, pelajaranmu sekarang ini
memang ada dari partai kita, akan tetapi sebenarnya, apa yang kau dapatkan
baharu saja sebagian, separuhnya."
"Bagaimana, soehoe?" In Loei ingat ia telah menanya gurunya, karena benar-benar
ia sangat tidak mengerti. Bukankah aneh yang ia baharu dapat kepandaian
separuhnya saja" Hoeithian Lionglie telah memberikan keterangan terlebih jauh kepada muridnya
itu. Duduknya hal adalah disebabkan tabeat dari Hian Kee Itsoe, yaitu tjouwsoe atau
kakek guru In Loei. Kakek guru ini di antaranya mempunyai dua macam ilmu pedang
"Banlioe Tiauwhay Goangoan Kiamhoat" atau ringkasnya "Goangoan Kiamhoat," dan
"Pekpian Imyang Hian Kee Kiamhoat." Dan kedua ilmu pedang itu diturunkan masing-masing
kepada guru dan paman guru yang ketiga dari In Loei. Namanya saja mereka telah
mewariskan penuh, sebenarnya baharu separuh kakek guru itu memberi penjelasan
bahwa dengan susah payah ia telah meyakinkan kedua ilmu pedang itu, yang tidak
dapat berbareng diwariskan kedua-duanya kepada satu murid saja.
Menurut kakek itu, bila kedua ilmu pedang dipadu satu dengan lain, maka Goangoan
Kiamhoat dapat diumpamakan sebagai "naga tidur" dan Hian Kee Kiamhoat bagaikan
"burung hong." Katanya, kalau kedua ilmu pedang diyakinkan oleh satu orang
akibatnya adalah ancaman marah bahaya. Maka itu kedua muridnya dilarang saling
mengajarkan satu kepada lain.
Selagi pikiran In Loei melayang kepada hal kedua ilmu pedang itu, tiba-tiba ia
dengar Thio Tan Hong tertawa bekakakan, yang mana disusul dengan seruannya Pek
Moko. Ia terkejut, segera ia awasi kedua orang yang tengah bertempur itu. Nyata
tertawa dan seruan itu disebabkan mereka menghadapi saat yang berbahaya. Pek
Moko telah menyerang secara dahsyat, tongkatnya menyambar melintang, tapi
serangan itu tak memberi hasil, sebaliknya, ia kena ditikam pada iganya oleh
Thio Tan Hong. Maka Tan Hong tertawa dan ia berseru. Karena ini, tidak berani
Pek Moko berlaku sembarangan lagi.
Mengawasi gerak-geriknya Thio Tan Hong, tiba-tiba In Loei sadar: "Bukankah ilmu
pedang Tan Hong ini ada ilmu pedang yang guruku belum pernah lihat dan
pelajarkan" Mungkinkah selama di Mongolia, samsoepee telah mendapatkan satu
murid" Inilah kepandaian yang tak nanti bisa didapatkan kecuali dengan
meyakinkan belasan tahun. Samsoepee bertujuan mewakilkan kakekku membalas
dendam, tidak mungkin begitu ia tiba di Mongolia lantas ia terima murid....."
Lantas In Loei ingat juga surat dari paman gurunya yang kesatu, yaitu Toasoepee
Tang Gak, surat yang di kirim kepada Kimtoo Tjeetjoe Tjioe Kian. Maka
berpikirlah ia terlebih jauh: "Kabarnya samsoepee telah ditawan musuh dan telah
dipenjarakan di dalam istana bangsa Tartar, maka itu mana bisa jadi dalam tempo yang pendek ia telah
menerima murid dalam istana Mongol itu" Dan umpama kata benar ia terima murid,
pastilah bukan bangsa Han yang ia terima. Sebenarnya, bagaimanakah duduknya
hal?" Maka ia menjadi sangat bingung. "Guruku sangat puji kepandaian samsoepee dan
katanya samsoepee bertabeat sangat keras, apa yang dia katakan mesti dia
jalankan, maka itu setelah ia berjanji akan mencari balas untuk kakekku,
pastilah sakit hati itu sudah terbalaskan, malah tentu telah dijalankan sebelum
sampai sepuluh tahun....."
In Loei berpikir demikian, ia tidak tahu, sampai pada saat itu, Thio Tjong Tjioe
masih ada di Mongolia, musuh itu masih hidup dan berkuasa besar, sedang
samsoepee-nya, paman guru yang ketiga itu, entah bagaimana nasibnya.
Di kepala In Loei segera terbayang keadaan pada malam perpisahan itu. Ia
bayangkan gurunya minum puas-puasan, dengan memakai cawan yang besar pula,
sampai tanpa merasa, guru itu sinting. Adalah pada waktu itu, sang guru telah
menggulung tangan bajunya hingga pada lengannya tampak tapak luka bekas guratan
pedang, yang merupakan setangkai bunga merah. Dengan sedih, guru itu berkata
pada muridnya: "Anak Loei, satu manusia tak dapat dia umbar adatnya. Siapa yang
umbar adatnya, satu kali dia berbuat salah, dia akan menyesal sesudah kasip.
Pada dua belas tahun yang lampau, aku telah mengusir samsoepee-mu, setelah itu
setiap malam Tiesek, aku jadi menyesal dan berduka sekali, sakit hatiku bagaikan
disayat-sayat, sampai tak dapat aku bertahan, aku hunus pedang Tjengbeng kiam
dan mengguratnya di lenganku ini. Hahaha! Nyata itu adalah obat yang mujarab
sekali! Begitu aku merasa kesakitan, begitu juga kedukaanku menjadi berkurang,
lalu aku gurat-gurat menjadi rangkaian bunga ini..... Kau lihat! Tidakkah bunga
merah ini, bunga darah, ada indah?"
Ketika itu In Loei coba menghitung guratan bunga itu, benar jumlahnya ada dua
belas, tanpa merasa, ia bergidik. Selagi ia tercengang, ia dengar gurunya
melanjutkan kata-katanya: "Sudah
sepuluh tahun kau ikuti aku, untuk belajar silat, selama itu, belum pernah kau
dengar aku tuturkan kau lelakon ini. Kau tahu, pada tiga belas tahun yang
lampau, aku mirip dengan kau - aku adalah satu nona yang bergembira, malah aku
ada terlebih bebas, hingga dengan merdeka dapat aku turuti adatku. Umpama ada
sesuatu yang aku tidak ketahui, mesti aku gunakan segala daya untuk mencari
tahu. Soehoe melarang kita saling mengajari ilmu kepandaian, sampai di waktu
berlatih, kita dipisahkan, tetapi semakin keras larangan guru, semakin keras
juga niatku untuk mengetahui keanehan itu.
Thian Hoa dan aku ada bagaikan saudara kandung, maka dapatlah kau mengerti
adanya persahabatan kita. Kakek gurumu mempunyai lima murid, kecuali ayahmu, In
Teng, yang keluar dari perguruan sebelum tamat dan pergi ke Mongolia, kita
berempat telah mendapatkan masing-masing satu macam ilmu kepandaian. Maka itu,
sekeluarnya kita dari rumah perguruan, kita seolah-olah mempunyai satu partai
tersendiri. Sudah kukatakan, pergaulanku dengan Thian Hoa adalah yang paling
rapat, maka selama beberapa hari telah aku desak ia, supaya ia perlihatkan ilmu
kepandaiannya itu, tapi ia selalu menampik.
Sebetulnya tidak ada niatku akan pelajari kepandaiannya itu, aku melainkan ingin
melihatnya, guna menambah pengetahuan. Biasanya Thian Hoa selalu menuruti
kehendakku, tapi bila kita bicara tentang ilmu kepandaian, lantas ia bungkam.
Pernah pada malaman tahun baru ia dating padaku di gunungku ini, Siauwhan san,
selagi pasang omong, aku kembali minta ia mempertunjukkan ilmu silatnya itu, aku
malah mendesak. Atas desakan itu, ia tetap pada sikapnya seperti dahulu, ia cuma
tertawa, tak mau ia menjawabnya. Aku menjadi tidak senang, hingga aku tegur
padanya. Aku katakan padanya: "Kau mengatakan bahwa kau sangat sayangi aku, nyata semua itu
palsu belaka!" Ditegur begitu, pucat mukanya, beberapa kali bibirnya bergerak,
tetapi akhirnya, tetap ia membungkam.
Dalam sengitku, aku cabut pedangku, aku tikam dia pada dadanya. Adalah maksudku
mengancam dia, supaya dia menangkis
dengan ilmu silatnya yang aku ingin lihat itu, tapi dugaanku meleset. Dia nyata
tidak menangkis, dan tidak berkelit juga. Maka pedang, yang tak sempat aku tarik
kembali, sudah mengenai lengannya, hingga darahnya menetes jatuh ke salju yang
putih meletak, hingga salju itu jadi bercacat dengan titik-titik merah, mirip
dengan permata mulus bertotolkan merah sebesar kacang kedele. Aku melengak.
Selagi aku berdiam, tiba-tiba dia tutup mukanya, dan menjerit satu kali, habis
itu, tanpa pedulikan lukanya, dia lari turun gunung. Beberapa hari sejak itu,
kakek gurumu datang padaku, dia umbar hawa amarahnya terhadapku, hampir saja dia
hajar mati padaku, sukur toasoeheng, yaitu toasoepee mu, yang datang bersama,
dapat mencegah dan membujuk padanya, dengan begitu baharulah aku bebas dari
kematian. Meski begitu, aku telah dihukum bathin, yaitu selama lima belas tahun,
aku dimestikan bertapa menghadapi tembok, selama lima belas tahun itu, aku
dilarang turun gunung, tak boleh sekalipun dengan mencuri berlalu. Selama lima
belas tahun itu, aku diperintahkan melakukan dua hal. Kesatu aku dimestikan
mempelajari dua rupa ilmu silat yang paling sulit untuk diyakinkan. Kedua aku
dimestikan mendidik satu murid yang mesti pandai ilmu silat pedang Pekpian
Imyang Hian Kee Kiamhoat. Untuk mendapatkan murid itu, soehoe titahkan orang-
orang kaum kita tolong mencarikannya. Padaku diberitahukan, apabila aku telah
selesai melakukan dua hal itu, muridku akan diberikan pedang Tjengbeng kiam.
Sekarang sudah dua belas tahun, belum dapat aku selesaikan dua rupa iimu silat
itu. Adalah murid yang mengerti ilmu pedang Hian Kee Kiamhoat telah aku berhasil
mendidiknya....." Adalah setelah mendengar keterangan itu, In Loei baharu mengerti kenapa
Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, gurunya itu, telah mengambil ia sebagai
muridnya. Waktu itu, gurunya masih menerangkan lebih jauh: "Kau tahu, pergaulanku dengan
Toasoeheng Tang Gak juga ada baik sekali. Tiga tahun setelah perkaraku itu, pada
suatu waktu atas titahnya kakek gurumu, dia pergi ke perbatasan Mongolia dan
Thibet untuk suatu tugas. Belum lama sekembalinya dia dari Thibet, kembali dia lakukan
perjalanannya yang kedua kali. Kali ini, sebelumnya dia berangkat, dia ambil
tempo untuk sambangi aku. Dia nasehati aku untuk bersabar, akan meyakinkan ilmu
silat di atas Siauwhan san. Dia kata, mungkin karena kesabaranku, aku peroleh
keberuntungan. Dia tanya aku: "Tahukah kau kenapa soehoe melarang demikian keras
kau dan soetee Thian Hoa saling menukar kepandaian" Tahukah kau kenapa soehoe
jadi demikian gusar?" Atas itu, aku jawab: "Mana aku tahu" Apa yang aku ketahui,
adalah kebiasaan soehoe yang ia suka melakukan sesuatu yang berada di luar
sangkaan. Hanya pernah satu kali aku dengar soehoe berkata, kedua ilmu silat
pedang itu ada bagaikan "naga tidur" dan "burung hong," bahwa naga dan burung
hong tak dapat berada bersama-sama pada satu majikan, bahwa bila berada bersama
mereka berdua dapat mendatangkan bencana. Rupa-rupanya itu adalah suatu ramalan
dari soehoe, kata-kata itu aku tidak mengerti."
Mendengar keteranganku, toasoeheng tertawa. Dia tanya aku: "Tahukah kau bahwa
pada dua puluh tahun yang lalu, soehoe pernah berebut kedudukan kepala Rimba
Persilatan dengan satu hantu" Bahwa karena itu, soehoe dan hantu itu sudah
bertempur di puncak gunung Ngobie san selama tiga hari dan tiga malam tanpa ada
keputusan siapa menang dan siapa kalah?"
Aku jawab, "Aku tahu." Memang aku ketahui tentang pertempuran soehoe itu.
Toasoeheng lantas menjelaskan pula: "Hantu itu adalah seorang she rangkap
Siangkoan, namanya Thian Va. Dia adalah satu begal besar dari Rimba Hijau.
Setelah pertempuran itu, Siangkoan Thian Ya lantas menghilang, orang tak tahu di
mana dia sembunyikan diri. Sejak itu, selama dua puluh tahun, soehoe tak pernah
berhati tenang mengenai hantu itu. Begitulah aku pergi ke perbatasan Mongolia
dan Thibet atas titah soehoe, tugasku itu tak lain tak bukan untuk mencari tahu
tentang Siangkoan Thian Ya."
Kataku setelah aku dengar, penjelasan toasoeheng itu: "Hantu itu demikian
liehay, setelah kau pergi selidiki dia, umpama kata dia pergoki kau, bagaimana
nanti jadinya?" Kembali toasoeheng tertawa. Dia jawab: "Hantu itu sederajat dengan soehoe, dia
juga sangat jumawa, maka itu, andaikata benar dia ketahui sepak terjangku, aku
percaya tidak nanti dia sudi melayani aku, orang dari golongan muda."
Keterangan ini membuat hatiku tetap. Sampai ketika itu, masih belum jelas,
bagiku apa hubungannya urusan soehoe itu dengan si hantu dengan soal larangan
kita saling menukar kepandaian, maka karena ingin mengetahui, aku Tanya
toasoeheng. Toasoeheng tertawa, lalu dia menjawab: "Menurut sangkaanku, mungkin soehoe
menghendaki kau dan soetee Thian Hoa nanti pergi menghadapi hantu itu, supaya si
hantu kena dikalahkan kamu berdua, supaya kekalahannya itu diketahui oleh orang-
orang gagah dari seluruh negara. Rupanya soehoe hendak perlihatkan, tidak usah
soehoe turun tangan sendiri, cukup dengan muridmuridnya saja yang mempunyai
kepandaian liehay." Terperanjat aku dengan keterangan itu. "Bagaimana itu bisa terjadi, toasoeheng?"
aku kata. "Kalau kepandaian kita dipadu dengan kepandaian soehoe, itu adalah
seumpama terangnya kunang-kunang dengan sinarnya matahari atau rembulan! Mana
dapat kita dibandingkan dengan soehoe" Soehoe sendiri tidak sanggup mengalahkan
hantu itu, sekarang kita yang dititahkan mewakilkan soehoe, apa itu tak sama
saja dengan mengantarkan jiwa" Ah, toasoeheng, tidakkah kau tengah bergurau?"
Toasoeheng tertawa berkakakkan. Ia kata: "Jikalau soehoe tidak punya
kepercayaan, mustahil dia nanti biarkan kamu pergi untuk mengantarkan jiwa
secara cuma-cuma" Kau cerdik sekali, akan tetapi kau tak nanti ketahui maksud
soehoe1." Waktu itu aku benar-benar tidak mengerti. Toasoeheng rupanya dapat melihatnya,
maka toasoeheng berkata pula: "Goangoan Kiamhoat itu, bersamasama Hian Kee
Kiamhoat, adalah ilmu silat
yang soehoe ciptakan dan yakinkan dengan susah payah sesudah ia perhatikan ilmu
silat pelbagai partai lainnya, yang semuanya ia gabung menjadi satu. Dari kedua
ilmu silat itu, bila satu saja orang dapat menguasainya, dia sudah menjagoi
dalam dunia kangouw, apalagi kalau orang pandai dua-duanya, maka tak akan ada
tandingannya di kolong langit ini. Apa yang luar biasa dari kedua ilmu pedang
itu, bertentangan nampaknya, sebenarnya ada bersatu. Dua orang tak usah melatih
diri lagi, bila menggunakan dengan berbareng, asal menggunakannya dengan cocok
dan tepat. Maka aku percaya, inilah sebabnya mengapa soehoe melarang kamu berdua
saling menukarnya. Soehoe tentunya kuatir, bila kamu sudah saling mengetahui,
pemusatan pikiranmu bisa terpecah. Tidakkah kemampuan sesuatu orang ada batasnya
masing-masing" Kedua ilmu silat itu sangat sulit, untuk mempelajari yang satu
saja, orang harus memusatkan seluruh pikirannya, atau orang akan gagal. Orang
pun membutuhkan tempo lebih daripada sepuluh tahun. Dari itu, bila mempelajari
kedua-duanya dengan berbareng, kesukaran tentu sampai di puncaknya. Lagi pula
harus diingat, kedua ilmu pedang itu diperuntukkan dua orang, maka itu, tak usah
orang mendapatkan dua-duanya. Masih ada satu soal lain. Siangkoan Thian Va itu
sangat liehay, pasti sekali soehoe kuatir dia mengetahui lebih dahulu yang
soehoe telah meyakinkan suatu ilmu kepandaian untuk mengalahkan dia."
Baharu sekarang dapat aku menginsafinya. Terang sudah, soehoe kuatirkan kita
yang masih berusia muda, menuruti nafsu hati kita yang muda itu. Umpama kalau
kita tahu kita bisa menjagoi, mungkin kita dapat menerbitkan onar. Atau nanti
rahasia bocor dan Siangkoan Thian Ya mengetahuinya, hingga dia dapat bersiap-
siap untuk membuat perlawanan. Sampai di situ, aku tidak menanyakan terlebih
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jauh lagi. "Pada esok harinya, toasoeheng lantas berangkat jauh keperbatasan Mongolia dan
Thibet itu. Lalu selang dua tahun lagi, Thian Hoa juga pergi ke Mongolia. Aku
tahu sekarang, kedua ilmu pedang itu dapat dipakai bersamasama, akan tetapi
belum pernah aku mencobanya. Malah pedang dari Thian Hoa itu, satu jurus pun aku tak
mengerti." Itulah semua yang terbayang di kepalanya In Loei selagi ia awasi kedua orang
bertempur dengan seru dan ulet. Karena ia sangat cerdas, tiba-tiba ia ingat
suatu hal. Ia pikir: "Kalau anak muda ini benar-benar sedang menggunakan
Goangoan Kiamhoat, bila aku turut turun tangan, tidakkah musuh dapat segera
dikalahkan?" Tengah In Loei berpikir demikian, ia dengar seruan Hek Moko, disusul dengan
suaranya Thio Tan Hong, maka ia lantas awasi pula mereka itu. Sekarang ia
tampak, suatu perubahan. Hek Moko tidak lagi bergerak dengan lincah dan hebat
seperti tadi, sebaliknya, dia ayal bagaikan dia sedang menarik suatu benda berat
seribu kati, tongkatnya bergerak-gerak ke timur dan barat dengan lambat, seolah-
olah ia harus menggunakan sangat banyak tenaga. Di samping si hantu itu, Thio
Tan Hong sudah lintangkan pedangnya di depan dadanya, wajahnya bersungguh-
sungguh, terang dia tengah memusatkan semangatnya kepada tongkat lawan.
Kedua lawan itu masih saling menyerang, tapi sekarang serangannya sama ayalnya.
Mereka bagaikan tengah menghadapi hujan angin hebat yang baharu saja menjadi
reda. Sedang sebenarnya, mereka benar-benar sedang adu kepandaian, mereka tengah
memperlihatkan keliehayan mereka masing-masing. Setiap serangan merupakan
serangan dari bahaya maut.
Ilmu pedangnya Thio Tan Hong liehay tapi dia tak dapat menembusi pembelaan
tongkat kemala. Menampak itu, In Loei insaf, orang she Thio itu masih kalah
dalam hal Iweekang atau ilmu dalam dibanding dengan si hantu, hingga dia agaknya
Cuma bisa melindungi diri saja.
Ketika itu matahari dari musim semi sudah mulai naik, cahayanya menembus, masuk
dari pintu kuburan yang digempur Thio Tan Hong, yang belum sempat ditutup pula,
maka itu, cahayanya jadi mengganggu mata, lebih-lebih Thio Tan Hong, yang
matanya tersorot sinar tepat sekali.
Hek Moko dengan tongkatnya mendesak lawannya, serangan tongkat itu tiap-tiap
kali perdengarkan suara angin. Dipihak sana, cahaya pedang dari Tan Hong jadi
semakin kecil, sampai cahaya itu seperti berputaran di atas kepalanya saja.
Adalah setelah itu, sambil berseru keras, si hantu hitam segera turunkan tangan
jahatnya ke arah batok kepala orang!
In Loei kaget, sampai ia menjerit, "Celaka!" Tanpa berpikir panjang lagi, ia
menyerang dengan tiga batang Bweehoa Ouwtiap piauw.
Justeru itu, Tan Hong pun berteriak: "Hiantee, lekas lari!"
Ketiga batang piauw menyambar dengan hebat, akan tetapi kesudahannya, tidak ada
hasilnya. Ketiga piauw itu terpental ke lain arah, terkena sampokannya pedang
dan tongkat yang sedang bergumul.
Adalah pada waktu itu Pek Moko, si Hantu Putih, yang sedari tadi diam saja,
sudah perdengarkan tertawa yang nyaring, berbareng dengan mana tubuhnya mencelat
bagaikan terbang, menyambar ke arah In Loei - kedua tangannya yang panjang
menyengkeram kepala orang!
In Loei tangkis serangan itu, atau segera ia rasakan pinggangnya kaku, maka
dengan gesit ia lompat sejauh setombak lebih. Ia keluarkan napas lega, dengan
lintangkan pedangnya, ia memasang mata.
Cepat luar biasa, pada tangan Pek Moko sudah tercekal sebatang Pekgiok thung,
tongkat putih, dengan itu ia ulangi serangannya pada si orang she In ini. Maka
itu, berdua mereka jadi bertempur.
Pek Moko tidak tahu bahwa lawannya menyekal pedang mustika, ia baharu terkejut
ketika ujung pedangnya menyambar pundaknya, hingga bajunya pecah, daging
pundaknya turut terluka. Hasil In Loei ini didapat karena ilmu enteng tubuhnya,
yang dapat bergerak dengan gesit dan lincah. Meski begitu, ia juga tak luput
dari tangan si hantu putih, urat tjeksim hiat dibebokongnya telah tersapu.
Syukur, karena keduanya sama-sama liehay, luka-luka mereka tidak berarti, mereka
lanjutkan terus pertempuran mereka.
Tongkat Pekgiok thung dari Pek Moko sama tanggunya seperti tongkat Lekgiok thung
dari Hek Moko, asalnya adalah dari batu-batu kemala dari India, di samping itu,
tenaga dalam dari si Hantu Putih ini ada terlebih kuat daripada In Loei, maka
itu, mengetahui tenaga besar dari lawannya tak mau si nona melayani keras dengan
keras. Begitu, waktu ia diserang hebat, ia kelitkan diri.
Pek Moko liehay, ia pun penasaran, ia perhebat serangannya. Ia desak lawannya
hingga In Loei seperti terkurung cahaya putih dari tongkatnya itu. Tongkat itu
panjangnya tujuh kaki, tetapi waktu digunakan, nampaknya seperti bertambah
panjang satu tombak. Dengan tubuhnya yang enteng, In Loei berkelit dan mengegos tak hentinya dari
hujan serangan, tetapi lama-lama, ia kewalahan juga.
Adalah di luar dugaan Thio Tan Hong yang In
Loei turun tangan, ia menjadi berkuatir untuk si nona. Itu pun sebabnya mengapa
berulang kali ia anjurkan "pemuda" itu untuk lekas angkat kaki. Melayani Hek
Moko, ia kalah tenaga dalam, ia jadi andalkan ilmu pedangnya yang liehay, dengan
itu, dapat ia bela dirinya. Tadi kalangan pedangnya menjadi ciut, itulah daya
pembelaannya yang istimewa, dengan begitu ia membuatnya Hek Moko, si lawan, jadi
kewalahan mendesak padanya. Dalam keadaan itu, ia mesti saksikan In Loei,
kawannya, yang juga terdesak musuh. Bagaimana ia tak jadi kuatir" Maka ia lantas
kuatkan hatinya, dengan tiba, ia balas menyerang si Hantu Hitam dengan hebat
sekali. Dari terdesak, ia berbalik mendesak. Ia berpendirian: "Untukku, In Loei
menghadapi bencana, karenanya, tak dapat aku membiarkan dia terancam, mana boleh
aku hidup sendiri"....."
Hek Moko tertawa terbahak-bahak.
"Apakah kamu berdua, bocah-bocah, berniat angkat kaki?" katanya secara mengejek.
Lalu ia mencoba mendesak pula. Ia telah lihat In Loei berkelahi, ia percaya Pek
Moko, saudaranya, tidak bakal
kalah, dari itu, tabah hatinya untuk kedua pihak bertempur satu lawan satu.
Selagi ia sendiri didesak, mendadak Thio Tan Hong dengar teriakan gembira dari
In Loei. Nyata nona itu, setelah dia mendesak dengan dua serangannya, berhasil
menikam kaki kiri dan kaki kanan dari si Hantu Putih, tidak peduli tikaman itu
tidak membuatnya orang rubuh.
Hek Moko pun mendesak, ia menyerang hebat, tapi tongkatnya kena disampok
terpental, hingga ia jadi terkejut. Dalam sekejap itu, Tan Hong dan In Loei
telah bekerja sama seperti juga mereka sudah berjanji.
"Kurung mereka!" Hek Moko berteriak, sambil menganjurkan saudaranya: "Ambil
jalan lie, injak jalan soen!"
"Lie" dan "soen" adalah garis Patkwa, Delapan Segi, garis-garis mana sudah
dicangkok ilmu silat untuk tindakan kaki.
Ilmu silat tongkat dari Hek Pek Moko, yang dinamakan "Thianmo Thung" atau
tongkat "Hantu Langit" juga bisa dipakai bersilat secara bergabung, jadi mirip
dengan ilmu pedangnya Tan Hong dan In Loei itu. Ilmu silat ini berpokok pada
garis-garis dari Patkwa, maka juga Hek Moko perdengarkan anjurannya itu kepada
saudaranya. Biasanya dengan kurungan ini, kedua hantu itu sukar membuatnya musuh
lolos, tidak peduli lawan ada tangguh. Mereka berdua ada saudara-saudara kembar,
yang hatinya atau firasatnya sama.
Pek Moko tahan rasa sakitnya, ia turut anjuran saudaranya, ia maju untuk
mengurung, malah ia berlaku bengis dengan serangan-serangannya.
Pertempuran ini membikin mata ke empat saudagar permata menjadi seperti kabur,
mereka ini menonton dengan tubuh seperti terpaku.
Hek Moko menyontek dengan tongkatnya ke arah tenggorokan In Loei. Ia gunakan
tipu silat tongkatnya yang bernama "Thianmo
hiantjioe" atau "Hantu Langit menyuguhkan arak," habis mana ia meneruskan
tusukannya ke lain arah. In Loei mainkan tipu-tipu silat dari Pekpian Hian Kee Kiamhoat untuk
menghindarkan diri dari mara bahaya, mula-mula dengan "Totjoan imyang" atau
"Memutar balikan imyang," ia tangkis sontekan itu, lalu ia balas mendesak
penyerangnya itu. Tapi Hek Moko dapat selamatkan diri berkat pengalamannya.
Di pihak lain, Pek Moko telah menghajar Thio Tan Hong dengan tongkatnya, apamau,
Tan Hong menangkis, demikian keras, hingga kedua senjata beradu sambil
perdengarkan suara nyaring. Begitu rupa bergeraknya pedang orang she Thio ini,
hingga terus menyambar ke arah lehernya Hek Moko!
Si Hantu Hitam terkejut terpaksa ia biarkan In Loei, ia segera tangkis pedang ke
arah lehernya itu. Ia ada cukup sebat untuk menghindarkan diri dari serangan
yang tidak disangka-sangka itu. Setelah ini, ia geser tubuhnya ke garis "kian,"
sedang Pek Moko menyamping ke garis "twee". Secara begini, kedua saudara ini
bisa berbareng menyerang Thio Tan Hong.
"Celaka !" teriak Thio Tan Hong, yang belum sempat perbaiki dirinya.
Akan tetapi berbareng dengan itu, In Loei telah siap, dengan tangkisannya,
hingga dapat ia talangi kawannya itu, hingga Tan Hong jadi bebas dari ancaman.
Malah setelah itu, dengan bergeraknya kedua pedang, adalah Hek Pek Moko yang
menjadi repot. "Bagus!" teriak In Loei, air muka siapa menjadi bercahaya terang. "Sepasang
pedang telah bergabung, benar liehay!" Dan kembali ia menyerang, ditimpali
serangannya Tan Hong, hingga kedua pedang bergerak-gerak bagaikan "naga lincah,"
sampai kedua hantu itu mesti berulang-ulang mundur!
Thio Tan Hong merasa sangat heran, ia menjadi bercuriga, ketika ia mengawasi si
nona, yang ia lirik, In Loei tertawa.
"Lihat!" kata "pemuda" itu. "Bukankah tidak kecewa aku menjadi pelindungmu" Tak
dapat kita memberi ampun, mari kita maju bersama!"
Luar biasa gembiranya nona ini, hingga ia ucapkan kata-kata "maju bersama" dalam
arti "pundak rata," ialah kata-kata kaum kangouw yang ia perolehnya dari Tjioe
San Bin. Tan Hong kaget dan heran, ia juga merasa lucu. Tapi ia turut anjuran orang, ia
ulangi desakannya, karena mana, Hek Pek Moko mesti keluarkan seluruh
kepandaiannya guna membela diri mereka, walaupun demikian, tetap mereka kena
dibikin repot. "Bagus, bagus!" berkata Tan Hong kemudian. "Dengan kita bekerja sama, benar-
benar kita ada bagaikan batu permata yang digabung menjadi satu!"
Mendengar kata-kata orang itu, In Loei terkejut hingga tanpa merasa, wajahnya
menjadi merah. Tapi ketika ia tampak Tan Hong tertawa bergelakgelak dan
pedangnya dimainkan hebat sekali, ia tidak dapat anggapan jelek mengenai kawan
ini, sebab nyata si kawan bukannya hendak berlaku ceriwis menggoda ia. Sambil
tertawa, Tan Hong terus mengawasi Hek Pek Moko, yang ia rangsek.
Kedua hantu berkelahi dengan ambil kedudukan Patkwa, kalau tadinya mereka menang
di atas angin, sekarang setelah kedua pedang "bergabung menjadi satu," mereka
terus terdesak, mereka jadi repot sekali, hingga mereka kewalahan melayani
runtunan serangan lawan. Sangat rapi desakan In Loei dan Tan Hong, ke kiri dan ke kanan, ke atas dan
kebawah, semua serangan mereka ada hubungannya satu dengan lain, pedang mereka
bergerak-gerak bergelombang, saling susul, naik dan turun.
Heran Hek Pek Moko, tidak peduli mereka telah luas pengalamannya, mereka umpama
kata menjadi bengong dengan mulut ternganga. Maka itu tidak heran kalau Pek Moko
kembali terkena satu tusukan, dan Hek Moko kena dipapas gelang emasnya untuk menggelung
rambutnya. Akhir-akhirnya Hek Moko menghela napas panjang, ia kata: "Ini dia yang dikatakan
tua bangka umur delapan puluh tahun kena dipermainkan bocah cilik..... Sudah,
sudahlah!" Lantas saja, dengan mendadak, ia tarik Pek Moko, untuk diajak lompat
keluar kalangan, sedang tongkatnya, ia lintangkan. Ia pun terus berseru: "Kamu
menang! Tempat ini dapat kamu kuasai!"
Kata-kata ini disambung dengan seruan yang panjang, sesudah mana mereka, berikut
kedua wanita Iran dan tukang belinya, begitu juga si empat saudagar permata,
yang mukanya pucat pasi, tanpa berkata suatu apa, terus saja ngeloyor keluar
dari kuburan itu. Thio Tan Hong tertawa.
"Dua saudara itu benar-benar ada orang-orang aneh!" katanya. "Sayang mereka tak
dapat dihitung sebagai orang-orang gagah! Eh, saudara kecil....."
Baharu ia hendak tanya In Loei, atau ia terhenti karena kupingnya segera
mendengar suara meringkiknya kuda di luar pintu kuburan, menyusul mana kedua
kuda mereka, bergantian lari masuk ke dalam kuburan. Sebab Hek Pek Moko menepati
janji, mereka sudah mengobati kedua kuda itu, yang terus mereka lepas untuk
dikembalikan kepada pemilik-pemiliknya. Kuda putih yang masuk terlebih dahulu,
berjingkrakan, dia jilati majikannya.
In Loei segera hampiri kudanya, untuk diusap-usap lehernya.
"Kudaku yang baik, kau disiksa makhluk aneh itu!..... katanya. "Eh, toako....."
Ia berhenti dengan tiba-tiba, sedang sebenarnya hendak ia tanya Thio Tan Hong
dari mana dia dapatkan ilmu silat pedangnya itu. Ia berhenti karena tibatiba
saja ia rasakan dadanya sesak.
Thio Tan Hong berpaling dengan segera, hingga ia tampak muka orang. Ia kaget.
"Eh, saudara kecil, apakah tadi kau kena terpukul tangannya Pek Moko?" ia tanya.
"Jangan, jangan kau bicara....."
In Loei mengerti, ia manggut.
"Lekas empos napasmu!" Tan Hong berkata pula. "Nanti aku obati kau! Kau telah
terluka di dalam....."
Ia lantas ulur tangannya.
Dengan tiba-tiba, In Loei geser tubuhnya, ia berbalik, ia menggeleng-gelengkan
kepala, habis itu, ia terjatuh duduk, terus ia muntahkan darah.
"Tak usah!" katanya. "Aku dapat mengobati diriku."
Thio Tan Hong tercengang, tapi segera ia tertawa.
"Saudara kecil, sampai saat ini apa kau masih hendak kukuhi pantanganmu?"
katanya. "Kau tahu, sejak siang-siang aku telah melihatnya!....."
Merah mukanya In Loei, akan tetapi segera ia singkap kopiahnya, hingga terlihat
rambutnya yang panjang dan gompiok.
"Sebenarnya tak selayaknya aku mendustai kau, toako," katanya, malu. "Memang aku
ada seorang perempuan....."
Tan Hong bersenyum, tapi ketika ia berkata, ia bersungguh-sungguh.
"Kita cocok satu dengan lain, kita dapat bersahabat, karenanya untuk apa kita
ambil mumat bahwa kita ada pria atau wanita?" katanya. "Saudara kecil, apakah
benar kau masih tetap berpandangan cupat sebagai mereka yang kebanyakan?"
Melihat sikap orang itu, In Loei bersenyum. Tan Hong itu tidak ceriwis. Walaupun
demikian, di dalam hatinya, masih hendak ia katakan: "Bukankah kita masih belum
kenal baik riwayat masing-masing?"
Tan Hong awasi nona itu, ia bersenyum. Kemudian ia goyangkan tangannya.
"Saudara kecil," katanya, "aku tahu dalam kalbumu masih ada kesangsian, seperti
aku. Aku berniat untuk menanyakan kau beberapa hal. Tapi sekarang kau tengah
terluka, tidak selayaknya kau banyak bicara. Biarlah nanti kita bicara pula,
lagi tiga atau lima hari. Kau setuju, bukan?"
In Loei manggut, tapi tidak membuka mulut.
Kembali Tan Hong bersenyum. Ia terus awasi si nona.
"Saudara kecil," katanya pula, "bagaimana lukamu" Bagaiman itu harus
disembuhkannya" Seharusnya aku mesti omong terus terang padamu."
In Loei tersenyum, kembali ia manggut. Ia bungkam akan tetapi di dalam hatinya,
ia pikir: "Ini engko polos sekali, aku cocok dengannya. Cuma, mengapa ia selalu
bersenyum?" Tan Hong tidak tunggu orang membuka mulutnya, ia berkata pula: "Aku lihat lukamu
ini disebabkan Pek Moko telah berhasil menggempur urat tjeksim hiat di
bebokongmu, karenanya napasmu jadi tak jalan lancar, hatimu terasa panas, muka
dan matamu merah, nadimu berdenyut keras. Inilah luka di dalam, yang dilihat
dari luar nampaknya enteng tetapi sebenarnya berbahaya, jikalau tidak lekas
disembuhkan, jalan napasmu bisa terganggu untuk selamanya, hingga akhirnya,
jikalau orang tidak menemui ajalnya pasti ia akan bercacat seluruhnya. Sukur
untukmu, kau mempunyai dasar Iweekang yang baik, dapat kau bantu dirimu dengan
menyalurkan napasmu perlahan-lahan dan beraturan. Saudara kecil, akan aku bantu
kau dengan samim dan samyang."
"Engko ini ada luar biasa," pikir In Loei, tanpa menjawab perkataan orang.
"Kemarin ini dia menangis dan tertawa tidak keruan juntrungannya, aku sangka dia
orang aneh yang tengah menjelajah di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi
sekarang dia bicara perihal luka di dalam, nampaknya ia kenal baik ilmu
kethabiban. Apakah benar ia pandai segala apa?"
Habis bicara, Tan Hong berhenti sebentar, terus ia tertawa.
"Aku hendak mohon sesuatu dari kau!" katanya kemudian.
"Silakan, toako," sahut In Loei dengan perlahan. Kembali Tan Hong tertawa.
"Saudara kecil, permintaanku adalah ini," ia kata, "Waktu aku mengobati kau, kau
mesti melupakannya bahwa aku adalah pria, begitu juga kau, kau mesti melupakan
dirimu adalah wanita! Sanggupkah kau berjanji?"
In Loei berpikir: "Dia hendak bantu aku dengan samim dan samyang, itu artinya
tak dapat tidak, ia mesti meraba-raba tubuhku..... Tapi kita telah "angkat
saudara," apakah halangannya untuk itu"
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kenapa dia masih mengatakan demikian?"..... Lantas ia bersenyum ia awasi pemuda
itu. Thio Tan Hong pun awasi si nona, kedua matanya bersinar jeli, wajahnya
tersungging senyuman. Menampak itu, malu In Loei, hingga air mukanya menjadi
merah dadu..... Tan Hong segera menoleh kesekitarnya.
"Suasana di dalam lobang kubur ini mirip dengan Taman Bunga Toh," berkata dia,
"tempat ini cocok untuk kau berobat dan beristirahat, cuma kedua kuda itu tak
dapat berdiam bersama....."
Ia lantas perdengarkan satu seruan panjang, tangannya pun ditepuk. Menyusul itu
kuda Tjiauwya Saytjoe ma, yang telah mengerti benar majikannya sudah lantas lari
keluar. Kuda merahnya In Loei, yang sudah jadi sahabatnya kuda putih itu, sudah lantas
turut lari keluar juga. Tan Hong melongok keluar kuburan, akan perhatikan letaknya pekuburan itu, habis
itu ia masuk pula ke dalam, untuk menutup rapat pintunya. Sekarang ia perhatikan
keadaan di dalam kuburan di mana terdapat ruangan tengah dan juga kamar. Pantas
kuburan itu jadi kuburan raja-raja muda dari jaman Ahala Tjhin. Kemudian ia
raba-raba sekitar tembok, ia ketok-ketok itu. Akhirnya, ia tertawa.
"Ada kamar rahasia di sini!" katanya. Ia dongko, untuk menjemput sepotong batu
panjang, dengan itu ia menekan pada tembok di mana ada ceglokan, terus ia
memutar, ke kiri dan ke kanan. Sebentar saja, tembok itu bergerak, hingga di
lain saat terbentanglah satu pintu rahasia, hingga sekarang tertampak sebuah
ruangan dalam. Tanpa mensia-siakan tempo, Thio Tan Hong payang In Loei masuk ke dalam kamar
rahasia itu di mana terdapat sinar terang bergemerlapan dari barang-barang
permata, malah meja dan kursi terbuat dari batu kemala di atas mana tertumpuk
barang-barang permata itu.
Tan Hong tidak pedulikan barang berharga itu, ia sampok hingga jatuh ke tanah,
lalu dengan kakinya, ia kumpulkan di pojok tembok. Sebaliknya, ia dudukkan In
Loei di meja itu. "Meja ini hawanya adem, inilah baik untuk membantu menghisap hawa panas dari
dalam tubuhmu," kata si anak muda, yang segera mulai dengan pengobatannya, bukan
dengan makan obat, hanya dengan menguruti tangannya, dari lengan sampai ke jari-
jari. Ia mulai dengan tangan kanan si nona.
In Loei merasa aneh, belum lama ia diuruti, ia rasakan hawa panas mendesak ulu
hatinya, setelah itu, hawa panas itu mereda dengan perlahan dan akhirnya lenyap,
diganti dengan hawa dingin di seluruh tubuhnya.
"Sekarang jalan darahmu telah kembali semua," kata Tan Hong, yang segera
melepaskan tangannya, akan tunda urutannya. "Baiklah kau beristirahat supaya
kembali kesehatanmu. Nanti aku mulai lagi."
Dalam ruang itu ada tersedia pelbagai macam barang makanan, yang ditinggalkan
pergi oleh Hek Pek Moko, maka Tan Hong dengan merdeka dapat mendahar apa yang ia
suka. Ia pun minum banyak, habis mana, tanpa merasa, ia bernyanyi seorang diri.
Ia nyanyi tentang peperangan, perihal manusia tak dapat hidup untuk selama-
lamanya. "Ya, kalau nanti bangsa Mongolia menerjang masuk, kita semua baik pria maupun
wanita, anak-anak, semua mesti angkat senjata," In Loei perdengarkan suaranya.
"Kalau kita berkorban untuk negara, biar kita mati, tidaklah nama kita hidup
untuk selama-lamanya"....."
Menggetar tubuh Tan Hong mendengar pengutaraan itu, tanpa merasa, isi cawan di
tangannya tumpah. Lekas-lekas ia berpaling.
"Saudara kecil kau beristirahat, jangan kau bicara!" ia kata. "Aku telah minum
sampai aku lupa akan diriku, hingga aku mengganggu kau. Saudara, terus kau
tenangkan dirimu." "Tetapi, toako, katakanlah, benar atau tidak kata-kataku itu?" In Loei tanya.
Tan Hong ceguk araknya. "Benar, benar," sahutnya. "Sudah saudara kecil, kita bicara lagi nanti saja.
Teruskan istirahatmu."
In Loei berdiam, tetapi hatinya berpikir. Ia dapat kesan yang baik terhadap
mahasiswa ini. Ia hanya merasa aneh, agaknya orang berduka mendengar disebutnya
Mongolia, kalau bangsa Mongolia menerjang Tionggoan. Maka itu, ia terus awasi
anak muda ini. Tan Hong lihat sikap orang, ia menghampiri.
"Saudara kecil," katanya, sebenarnya ingin aku bicara dengan kau nanti sesudah
kau sembuh, akan tetapi nampaknya kau kurang puas, kau rupanya masih tidak
mengerti. Kau tahu, dengan banyak berpikir, istirahatmu bisa terganggu.
In Loei tunduk. "Kau benar," sahutnya, perlahan.
"Tetapi lukamu melarang kau banyak bicara,"
Tan Hong menyatakan pula. "Kau harus mengerti, soal-soal yang akan kita
perbincangkan tak dapat diakhiri dalam tempo pendek. Sekarang begini saja.
Sekarang kau lanjutkan istirahatmu, sebentar waktu kita bersantap malam, nanti
aku ceritakan sebuah dongeng padamu. Kau tahu, dalam satu hari, kau mesti dahar
satu kali saja, di waktu malam. Menurut dugaanku, setelah tiga hari kau akan
sembuh seluruhnya. Maka itu, dengan setiap hari aku dongeng satu kali, di hari
ke empat, kau akan sudah sehat kembali seperti sediakala. Sampai waktu itu,
saudara kecil, nanti kita saling menuturkan riwayat kita masing-masing. Saudara,
jikalau kau tidak dengar kata-kataku ini, maka dongeng pun tak nanti aku
tuturkan kepadamu. Nah, cukup sudah, sekarang aku larang kau bicara lagi! Lekas
kau bersemedhi!" Di mata In Loei, sinar matanya Thio Tan Hong seperti mempunyai pengaruhapa apa.
Ia ingat, semasa kecilnya, setiap malam, waktu ia mau tidur, ibunya selalu
mengeloni ia di pembaringan, ibu itu menyanyikan sebuah lagu Mongolia, untuk
menidurkan ia. Tak dapat ia lupakan sinar mata halus dan menyinta dari ibunya
itu. Dan sekarang, mata Tan Hong itu bersinar bagaikan mata ibunya itu. Ia juga
ingat sinar mata kakeknya setiap kali kakek itu memberi pengajaran kepadanya,
sekarang sinar matanya Tan Hong mengingatkan ia kepada sinar mata kakek itu.
Sinar mata Tan Hong ini menjadi halus dan keren, keren tak dapat ditentang. Dan
In Loei, tanpa ia merasa, ia bagaikan kena terpengaruh, hingga hatinya menjadi
tenang dan lantas saja ia beristirahat.
Sudah diketahui, kuburan itu "menyender" pada gunung, maka juga samping lainnya
dari kamar rahasia itu adalah lamping gunung, lamping yang batunya licin dan
mengkilap bagaikan kaca. Di sebelah atas, atau bagian wuwungan ruang rahasia
itu, ada dua lobang yang merupakan lobang angin, dari situ hawa udara menerabus
Si Kumbang Merah 15 Putri Bong Mini 04 Iblis Pulau Neraka Seruling Sakti 23