Pencarian

Legenda Kelelawar 5

Legenda Kelelawar Karya Khu Lung Bagian 5


Ketika Coh Liu-hiang sudah berada di atas kapal, segera ia
merasakan kapal ini sangat istimewa.
Menurut pengalaman mereka, kelasi kapal kebanyakan
kasar dan kotor. Maklum, di tengah lautan, air tawar jauh lebih
berharga daripada arak yang paling enak. dengan sendirinya
kesempatan mandi mereka tidak banyak.
Meski hujan badai sudah hampir tiba, setiap orang di kapal
itu tetap tenang, terhadap Coh Liu-hiang dan kawan-kawan
iuga sangat sopan santun.
Siapa pun dapat melihat bahwa kelasi-kelasi kapal ini pasti
mengalami latihan yang sangat baik, dari gerak-gerik mereka
dapat diketahui juragan kapal ini pasti luar biasa.
Dan dengan cepat sekali Coh Liu-hiang sudah dapat
membuktikan kebenaran dugaannya itu.
Cuma juragan kapal ini jauh lebih muda daripada
dugaannya, seorang pemuda yang dan lembut, berpakaian
perlente, tapi tidak berlebihan.
Terdengar suara kecapi yang merdu sayup-sayup terbawa
angin. Dari kejauhan melalui jendela kabin. Coh Liu-hiang dapat
melihat pemuda itu sedang memetik kecapi. Tapi ketika
mereka hampir mendekati kabin, suara kecapi itu lantas
berhenti. Tahu-tahu pemuda itu muncul menyambut
kedatangan mereka dengan tersenyum simpul.
Senyuman pemuda itu sangat simpatik, tapi sepasang
matanya menampilkan perasaan hampa dan kesepian. Dia
menjura kepada Coh Liu-hiang dan kawan-kawannya,
ucapnya dengan tersenyum, "Maaf jika kedatangan para tamu
terhormat tidak dilakukan sambutan selayaknya."
"Ah, berkat pertolongan anda sehingga kami terhindar dari
malapetaka, kalau bisa berteduh sekedarnya, mana berani
kami mengharapkan apa-apa lagi. jika tuan rumah sungkansungkan
begitu, sungguh kami menjadi bingung malah,"
demikian Coh Liu-hiang balas menjura.
"Ah, bilamana dapat membantu sesuatu, beruntunglah
bagiku, jika anda juga sungkan-sungkan begini. Cayhe sendiri
pun merasa rikuh," kata pemuda ini dengan ramah.
"Tadi kami mendengar petikan kecapi yang merdu, maaf
jika kedatangan kami justru mengganggu keasyikan anda,"
kata Coh Liu-hiang. "Dari ucapan anda ini, agaknya anda seorang ahli seni
musik, sebentar akan kumohon petunjuk." ujar pemuda itu
tertawa. Dalam pada itu Oh Thi-hoa menjadi tidak sabar Dia sudah
lelah, lapar dan haus, diliriknya poci arak yang tertaruh di atas
meja sana. sungguh kalau bisa poci itu akan ditubruknya terus
ditenggak sepuas-puasnya.
Tapi Coh Liu-hiang justru melayani pemuda itu bicara tetek
bengek, tentu saja ia merasa sebal, segera ia berseru, "Aha,
bagus, di samping kecapi ada arak, memetik kecapi sambil
minum arak sungguh asyik dan menyenangkan. Apabila bisa
mendengarkan suara kecapi anda. sungguh menyenangkan."
Padahal yang diincar araknya, tapi dia justru omong
tentang kecapi segala. Tentu orang lain dapat meraba isi
hatinya. Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kawanku ini bukan saja
mahir mengenai seni suara, juga ahli arak...."
Oh Thi-hoa melototinya dan memotong, "Terus terang
meski telingaku sekarang tak mendengarkan suara kecapi,
tapi di mataku sudah terlihat adanya arak."
Pemuda itu tertawa, katanya. "Dari nadanya, masa tak
dapat dibedakan maksud tujuannya" Bahwasanya Oh-tayhiap
adalah jago minum arak, hal ini sudah lama kudengar."
Baru Oh Thi-hoa mau tertawa, seketika ia jadi melengak.
katanya, "He, kau kenal diriku?"
"Maaf, belum pernah kenal," jawab pemuda itu.
"Lalu darimana kau tahu aku she Oh?" tanya Oh Thi-hoa.
"Kupu-kupu terbang menari, harum bunga memabukkan.
Orang yang dapat selalu berdampingan dengan Cohhiangswe,
siapa lagi kecuali 'Oh-tiap-hoa' (si kupu kembang,
julukan Oh Thi-hoa) Oh-tay-hiap?"
Coh Liu Hiang jadi melengak juga.
"Kiranya yang kau kenal bukan diriku melainkan si ku...
Coh Liu-hiang." kata Oh Thi-hoa.
"Nama kebesaran Coh-hiangswe sudah kukagumi. cuma
sayang selama ini belum pernah berjumpa." kata pemuda itu.
Kembali Oh Thi-hoa melenggong. katanya. "Jika kau tidak
pernah melihat dia. darimana kau tahu dia ini Coh Liu-hiang?"
Pemuda itu tidak langsung menjawab pertanyaan ini, dia
tersenyum dan bertanya pula. "Angin kencang dan ombak
besar, air laut bergolak, berdiri kalian tentunya tidak anteng,
sedangkan tinggi geladak kapal ini kira-kira dua tombak dari
permukaan air, bila naik ke sini dengan melompat, waktu
hinggap di atas geladak tentu akan menimbulkan suara."
"Betul, jika di daratan lompatan setinggi dua tombak bukan
soal di atas air memang lain halnya," ujar Oh Thi-hoa.
"Tapi waktu kalian berenam melompat ke sini, cayhe
hanya mendengar suara kaki lima orang. Sekali lompat dua
tombak di atas air dan tidak menimbulkan suara ketika
hinggap ke bawah, betapa tinggi Ginkangnya ini. sungguh
tiada bandingannya di dunia ini."
Dia tertawa, lalu menyambung pula, "Ginkang Cohhiangswe
benar-benar tiada taranya, sungguh Cayhe tunduk
dan kagum lahir batin."
"Tapi cara bagaimana pula kau tahu orang keenam yang
melompat ke atas kapal tanpa menimbulkan suara itu ialah dia
dan dia ini pula Coh Liu-hiang?" tanya Oh Thi-hoa penasaran.
Pemuda itu tertawa pula. jawabnya, "Perahu terombangambing
di tengah laut yang bergolak, hujan badai sudah
hampir tiba, setelah mengalami bencana tapi masih sanggup
bicara dan tertawa sewajarnya seperti tak terjadi apa-apa.
pandanglah ke seluruh dunia ini, kecuali Coh-hiangswe ada
berapa orang lagi?" Lalu dia berpaling kepada Coh Liu-hiang dan berkata,
"Sebab itulah Cayhe berani mengenali Coh-hiangswe. jika
tindakanku ini agak semberono, mohon dimaafkan."
Oh Thi-hoa melongo dan tak sanggup buka suara lagi.
Pemuda itu benar-benar seorang tokoh yang luar biasa, jauh
lebih hebat daripada sangkaannya.
oooo0000ooooo Arak pun disuguhkan. Arak pilihan, arak sedap.
Untuk menghibur hati yang kesal, biasanya tiga cawan
arak enak sudah cukup membuat orang lupa daratan.
Kini, Oh Thi-hoa sudah menghabiskan lima cawan, sedikit
banyak ia rada mabuk, karena itu kata-katanya mulai banyak.
Seseorang kalau dalam keadaan lelah dan lapar, daya
tahan minum araknya sudah tentu jauh lebih lemah daripada
biasanya. Sementara itu, masing-masing sudah saling
memperkenalkan nama. Hanya Eng Ban-li saja tetap
menggunakan nama samaran, yakni "Kongsun Jiat-ih",
Maklum, puluhan tahun jadi opas, rasa curiganya terhadap
orang lain selalu timbul, terutama terhadap orang yang baru
dikenalnya. Dengan tertawa pemuda itu berkata pula. "Kiranya anda
adalah orang ternama semua, kehadiran kalian sungguh
menambah semarak suasana di kapalku, sungguh sangat
beruntung." "Bila orang sepertimu mengaku sebagai orang tak terkenal,
akulah orang pertama yang tidak percaya," seru Oh Thi-hoa.
Cepat Eng Ban-li bertanya dengan tertawa. "Betul, kami
pun ingin mohon diberitahu nama tuan rumah yang mulia."
"Cayhe she Goan bernama Sui-hun," jawab si pemuda.
"Jarang sekali ada orang she begini." ujar Oh Thi-hoa
dengan tertawa. "Dan entah dimanakah kediaman anda?" tanya Eng Ban-li.
"Kwantiong," jawab Goan Sui-hun.
Gemerdep sinar mata Eng Ban-li, katanya. "Keluarga Goan
dari Kwantiong memang termashur, nama Bu-ceng-san-ceng
begitu terkenal, keluarga terhormat nomor satu di dunia
persilatan. Entah apa hubungan antara Goan-kongcu dengan
Goan-locengcu Goan Tong-wan dari Bu-ceng-san-ceng
sekarang?" "Beliau adalah ayahku." jawab Goan Sui-hun.
Keterangan ini membuat semua orang tercengang. Bahkan
Coh Liu-hiang juga merasa tertegun, seperti mendengar
sesuatu berita yang aneh dan mengejutkan.
Bu-ceng-san-ceng atau perkampungan tanpa sengketa'
dibangun di Goan-jing-kok di barat kota Thaygoan pada tiga
ratus tahun yang lalu. Nama 'Bu-ceng tanpa sengketa alias
damai itu bukan dicetuskan oleh pendiri perkampungan itu.
tapi pemberian para ksatria dunia persilatan.
Sebab pada waktu itu. boleh dikata nada seorang pun di
dunia ini yang mampu melawan penguasa perkampungan itu.
Sejak itu Bu-ceng-san-ceng selalu melahirkan pendekar
ternama dan banyak melakukan hal-hal yang menggemparkan
dan mengagumkan di dunia Kangouw.
Selama lima puluh tahun terakhir ini memang tidak ada
kejutan yang dilakukan orang Bu-ceng-san-ceng. tapi wibawa
selama tiga ratus tahun masih tetap bertahan, bila orang Bulim
menyebut 'Bu-ceng-san-ceng' akan tetap merasa segan
dan menghormat. Penguasa Bu-ceng-san-ceng sekarang, yaitu Goan Tongwan,
berwatak tak acuh terhadap dunia Kangouw. Jarang
muncul di dunia persilatan dan juga tak pernah bergebrak
dengan orang. Meski ada kabar yang mengatakan dia sengaja
menyimpan kepandaian ilmu silatnya yang sangat tinggi dan
sukar dijajagi. Tapi ada juga orang bilang Goan Tong-wan
bertubuh lemah, tidak mahir ilmu silat, hanya seorang
sekolahan yang terpelajar dan cuma gemar minum arak dan
mengarang syair saja. Tapi apapun juga, kedudukan dan nama Goan-locengcu di
dunia Kangouw masih tetap tinggi dan terhormat, perselisihan
betapa besarnya, bilamana Goan-locengcu sudi memberi satu
kata keputusan saja. maka segala persoalan dapat
diselesaikan Sampai-sampai Sih Ih-jin yang terkenal sebagai
jago pedang nomor satu di dunia itupun tidak berani mengusik
Bu-ceng-san-ceng. sekalipun pada masa jaya-jayanya Sih Ihjin.
Goan Tong-wan hidup sampai lebih lima puluh tahun, baru
mendapatkan seorang anak lelaki, karena itulah sayangnya
terhadap putera tunggalnya itu tidak perlu diterangkan lagi.
Goan-siaucengcu (juragan muda Goan) itupun tak
mengecewakan harapan orang tua. Setiap orang Kangouw
tahu Goan Sui-hun, Goan-siaucengcu, adalah anak ajaib,
sesudah dewasa bahkan tambah pintar, baik Bun maupun Bu
(sastra maupun silat). Malahan tingkah lakunya sopan santun
dan berbudi halus. Bilamana para tokoh dunia Kangouw menyinggung tentang
Goan-siaucengcu ini, selain di mulut mereka tidak habishabisnya
memberi pujian, dalam hati mereka pun sangat
menyesal bersimpati kepadanya. Sebabnya. Goan Sui-hun
yang cakap dan sopan itu sejak menderita sakit keras pada
usia tiga tahun akhirnya menjadi buta.
Jadi Goan Sui-hun adalah seorang buta. Orang yang
sekali pandang mengenali Coh Liu-hiang ternyata seorang
buta. Keruan semua orang jadi melenggong. Mereka semua
punya mata, mata vang sehat dan tajam, tapi setelah
berbicara sekian lama, bukan saja tiada seorang pun yang
tahu lawan bicaranya itu buta. bahkan terpikir pun tidak.
Maklum, gerak-gerik pemuda itu sedemikian tenang dan wajar
jalannya juga begitu mantap, waktu menuangkan arak bagi
tetamunya juga tak tercecer setetes pun. malahan asal-usul
tetamunya dapat diketahuinya dengan jelas.
Coba, siapakah yang pernah membayangkan bahwa
pemuda demikian adalah seorang buta"
Baru sekarang semua orang tahu apa sebabnya sorot
mata pemuda itu tampak sedemikian hampa dan kesepian.
Di samping merasa menyesal, tanpa terasa semua orang
menjadi kasihan pula. Pemuda ini sedemikian ganteng, sedemikian cakap,
berasal dari keluarga Bu-lim terpuja pula, boleh dikata putera
kebanggaan zaman, hidupnya pasti tidak kekurangan apapun.
Tetapi Thian justru menjadikan dia seorang buta.
Apakah Thian juga iri terhadap manusia dan tidak ingin
melihat lelaki yang sempurna tanpa cacat"
Tanpa terasa Oh Thi-hoa menenggak tiga cawan arak lagi.
Dia menenggak sebanyaknya pada wakru hati gembira, pada
saat hati masgul pun suka minum lebih banyak.
Dengan tertawa hambar kemudian Goan Sui-hun berkata,
"Kini para hadirin tentu dapat memaafkan penyambutanku
yang kurang baik tadi. Meski cuma basa basi saja ucapan ini tapi membuat orang
merasa terharu dan sukar menanggapinya.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa berkata, "Caramu membedakan
kejadian tadi apakah hasil pendengaran telingamu
seluruhnya?" "Betul," jawab Goan Sui-hun.
Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Meski
indera penglihatan Goan-kongcu kurang baik, tapi jauh lebih
tajam daripada kami yang mempunyai telinga lengkap ini."
Sambil omong, kembali ia habiskan tiga cawan arak pula.
Mendadak Eng Ban-li juga berkata, "Tadinya kukira indera
pendengaran Eng Ban-li, itu opas kotaraja terkenal, sukar
ditandingi siapa pun juga, setelah berjumpa dengan Goankongcu
sekarang, baru kutahu di atas langit masih ada langit,
di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai."
"Ah, terima kasih atas pujianmu," jawab Goan Sui-hun.
"Jangan-jangan anda juga kenal Eng-locianpwe?"
Eng Ban-li tenang-tenang saja, jawabnya, "Hanya pernah
bertemu beberapa kali saja."
Goan Sui-hun tertawa, katanya pula, "Pek-ih-sin-ni Englocianpwe
boleh dikata tiada bandingannya sejak dulu hingga
sekarang, memang sudah lama ingin kutemui beliau untuk
minta pengajaran. Kelak bila ada kesempatan masih berharap
anda sudi memperkenalkan diriku kepada beliau."
Gemerdep sinar mata Eng Ban-li. dengan perlahan ia
menjawab, "Baik. bila kelak ada kesempatan, pasti akan
kupenuhi kehendakmu."


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanya jawab ini nampaknya cuma basa-basi belaka tanpa
mengandung arti, seperti sengaja dilakukan Eng Ban-li untuk
menutupi asal-usul dirinya saja. Tapi entah mengapa, Coh Liuhiang
merasa di balik persoalan ini seperti mengandung
pertentangan dan maksud tertentu dan kedua orang yang
bicara ini. Cuma apa maksud tujuan mereka, seketika tak dapat
diterka oleh Coh Liu-hiang.
Tiba-tiba Goan Sui-hun mengalihkan pokok pembicaraan,
tanyanya, "Bahwasanya Thio-heng adalah jago berlayar,
konon C oh-hiangswe juga berpengalaman mengarungi
samudera raya, dengan kemahiran kalian berdua masa
sampai mengalami bencana di lautan?"
Belum lagi Thio Sam dan Coh Liu-hiang menjawab, cepat
Oh Thi-hoa menyela, "Jika kapalnya mau tenggelam, mereka
berdua mampu berbuat apa?"
"Dua tiga hari ini kan tiada badai. mengapa kapal
penumpang kalian bisa tenggelam mendadak?" tanva Goan
Sui-hun. Oh Thi-hoa kucek-kucek hidungnya dan berkata, "Jika
kami tahu sebab apa kapal itu tenggelam, tentu takkan kami
biarkan kapal itu tenggelam."
Jawaban ini cukup diplomatis, menjawab seperti halnya
tidak menjawab, kecuali Oh Thi-hoa, barangkali tiada orang
yang mampu berkata demikian.
Maka tertawalah Goan Sui-hun, ia mengangguk dan
berkata pula, "Betul juga. datangnya bencana seringkali
secara mendadak dan di luar dugaan, siapa pun tidak dapat
meramalkan sebelumnya,"
Mendadak Oh Thi-hoa merasa pemuda tuna netra ini ada
suatu kebaikan, yaitu apapun yang dikatakan orang lain.
selalu disetujui olehnya.
Tidak lama kemudian, kapal sudah mulai berguncang,
jelas hujan badai sudah hampir tiba.
Mendadak Eng Ban-li bertanya. "Goan-kongcu sudah lama
berdiam di Kwantiong, mengapa pergi ke lautan lepas sini?"
Goan Sui-hun termenung sejenak, lalu jawabnya,
"Terhadap orang lain tentu akan kukatakan tujuanku hanya
untuk pesiar saja, tapi di depan kalian, mana Cayhe berani
berdusta." "Ya, Goan-kongcu adalah seorang ksatria yang polos. hal
ini sudah dapat kami lihat," kata Oh Thi-hoa.
"Ah terima kasih atas pujianmu," kata Goan Sui-hun.
"Bicara terus terang, maksud tujuan perjalananku mi
mungkin juga serupa dengan kalian."
"O, apakah Goan-kongcu sudah tahu kami hendak pergi
kemana?" tanya Eng Ban-li.
Goan Sui-hun tertawa, katanya, "Selama beberapa hari ini
banyak berkumpul beberapa tokoh terkemuka di sekitar lautan
sini, kemana tempat tujuan para ksatria itu. mungkin juga
sama seperti kita sekarang."
Gemerdep sinar mata Eng Ban-li. tanyanya, "Tempat mana
yang dimaksudkan Goan-kongcu?"
"Kita tahu sama tahu, masakah anda mesti menghendaki
kukatakan terus terang?" ujar Goan Sui-hun dengan tertawa.
Oh Thi-hoa menyela pula, "Tempat yang Kongcu maksud
apakah Pian-hok-to yang disebut juga gua emas di lautan
sana?" "Aha, betapapun juga, Oh-tayhiap tetap orang yang suka
berterus terang," seru Goan Sui-hun sambil berkeplok.
"Bagus, bagus sekali jika demikian," kata Oh Thi-hoa
dengan girang. "Kebetulan kita dapat menumpang kapal
Goan-kongcu, hemat waktu dan tenaga tentunya."
Thio Sam melototinya dan mendengus, "Hm, jangan
keburu gembira dulu, apakah Goan-kongcu mengizinkan kita
menumpang kapalnva atau tidak, kan belum pasti?"
"Kukira Goan kongcu seorang yang suka terima tamu,
tidak nanti kita dihalau pergi dari kapalnya," kata Oh Thi-hoa.
Goan Sui-hun bergelak tertawa, katanya. "Haha, padahal
kita baru saja kenal di tengah perjalanan, tak tersangka dapat
bertemu dengan kawan setia dan simpatik seperti Oh-tayhiap."
Segera ia angkat cawan pula dan mengajak minum. "Hayolah.
silakan habiskan satu cawan lagi "
oooo000oooo Kapal Goan Sui-hun mi bukan saja jauh lebih mewah,
pelayanannya juga jauh lebih lengkap.
Dalam kamar sudah tersedia pakaian kering, juga ada
arak. Sambil berbaring di tempat tidurnya. Oh Thi-hoa
menghela napas gegetun dan berkata, "Betapapun putera
keluarga ternama tetap terhormat, tetap lain daripada yang
lain." "Apa yang lain" Memangnya hidungnya tumbuh di bawah
telinganya?" tanya Thio Sam.
"Biarpun tak punya hidung juga tetap cocok dengan
seleraku," jawab Oh Thi-hoa. "Lihat saja, tutur katanya sopan,
sikapnya jujur, lima kali lebih baik daripadamu." "Buaya bersua
biawak, tentu cocok." Jengek Thio Sam.
Oh Thi-hoa menggeleng-geleng, katanya, "Bocah ini
barangkali rada miring nada bicaranya selalu menusuk
perasaan, memangnya dalam hal apa orang
menyinggungnya?" "Sudah tentu dia tak menyinggung diriku, hanya aku yang
merasa muak kepadanya," ujar Thio Sam.
"Muak?" Oh Thi-hoa berjingkrak gusar. "Kau muak
padanya" Dalam hal apa dia memuakkan?"
"Cara bicaranya yang sok lemah lembut dan sopan santun
seperti katamu itu," jawab Thio Sam "Pokoknya aku muak,
merasa cara bicaranya tidak jujur."
"Dalam hal apa dia telah menipu kita" Coba katakan?"
kata Oh Thi-hoa dengan mendelik.
"Aku memang tidak dapat menerangkan," kata Thio Sam.
Mata Oh Thi-hoa seperti telur ayam besarnya, setelah
melotot sekian lama. mendadak ia tertawa dan berkata pula
sambil menggeleng. "Coba lihat kutu busuk tua, orang ini
bukankah sedang sakit, bahkan sakit parah?"
Setiap kali bilamana Thio Sam dan Oh Thi-hoa ribut mulut,
selalu Coh Liu-hiang berlagak tuli dan tidak mau ikut bicara.
Tapi sekarang ia berkata dengan tertawa, "Goan-kongcu
memang memiliki segi-segi yang tak dapat dibandingi orang
lain. Jika dia tidak cacat fisik, mungkin tokoh Kangouw
sekarang tiada seorang pun yang mampu menandingi dia."
Oh Thi-hoa melirik Thio Sam sekejap, jengeknya. "Nah,
kau dengar tidak?" "Aku tak mempersoalkan kepandaiannya." ujar Thio Sam
"Yang kumaksud adalah sikapnya yang kelewat simpatik dan
kelewat jujur itu." "Memangnya apa jeleknya simpatik dan jujur?" tanya Oh
Thi-hoa. "Baiknya memang baik, tapi kalau keterlaluan kan berubah
munafik jadinya?" tanpa memberi kesempatan bicara pada Oh
Thi-hoa, cepat Thio Sam menyambung pula,"Orang semacam
dia seharusnya dapat berpikir panjang, tidak layak dia bicara
secara blak-blakan begitu terhadap orang yang baru
dikenalnya. Apalagi perjalanannya ini kan sangat
dirahasiakan." "Itu kan tandanya dia menghargai kita dan memandang
kita sebagai kawan." teriak Oh Thi-hoa. "Memangnya kau kira
setiap orang di dunia ini serupa kau, tidak dapat membedakan
baik dan jelek, juga tidak tahu hitam dan putih."
"Paling sedikit aku tidak sama denganmu," jengek Thio
Sam. "Baru diberi minum beberapa cawan arak dan disanjung
puji sedikit, kontan kau lantas menganggapnya kawan baik
dan percaya penuh padanya."
Oh Thi-hoa seperti marah, katanya, "Antara kawan harus
bicara secara jujur dan setia. Hanya orang berjiwa kerdil
macam kau saja yang suka mengukur orang lain dengan
bajumu sendiri. Padahal, menipu orang kan harus ada maksud
tujuan, lantas untuk apa dia menipu kita" Bicara tentang asalusul
keluarga, bicara tentang kedudukan dan nama baik
adakah setitik saja kita dapat membandingi dia" Lalu apa
yang diincarnya?" "Bisa jadi... bisa jadi dia memusuhi salah seorang di antara
kita," kata Thio Sam.
"Hakikatnya dia tak pernah berkecimpung di dunia Kangouw,
seorang pun tidak pernah dikenalnya, memangnya dia
memusuhi siapa?" Maka Thio Sam lantas meraba hidung juga. Agaknya
penyakit meraba hidung ala Coh Liu-hiang telah mulai menular
juga atas diri Thio Sam. "Sekalipun hidungmu kau kucek hingga pecah juga tak
dapat kau katakan suatu alasan pun, betul tidak kutu busuk?"
kata Oh Thi-hoa dengan tertawa.
"Betul, memang betul," ujar Coh Liu-hiang. "Cuma apa
yang dikatakan Thio Sam juga tidak salah. Kita habis lolos dari
bencana, ada baiknya jika berlaku waspada sedikit."
Tiba-tiba Thio Sam berkata pula, "Kapal ini ternyata cukup
mulus, tiada jalan rahasia, juga tiada dinding rangkap. Sudah
kuperiksa dengan betul."
"Akhirnya bocah ini bicara juga menurut Hati nurani," kata
Oh Thi- hoa dengan tertawa.
"Tapi, masih ada yang kuherankan," sambung Thio Sam.
"Urusan apa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Bangun setiap kapal biasanya tidak banyak berbeda,
cuma kapal ini agak besaran, maka kamar kabinnya ada
delapan seluruhnya," tutur Thio Sam.
"Ya. betul," kata Oh Thi-hoa.
"Sekarang nona Kim mendiami sebuah, Eng-lothau dan
bocah she Pek itu satu kamar, kita bertiga berjubal dalam satu
kamar." "Bicara bocah ini mulai bertele-tele."
"Coba dengarkan lagi. Jika ada delapan kamar,
seharusnya Goan Sui-hun menyilakan kita masing-masing
ambil satu kamar agar bisa lebih nikmat, tapi mengapa dia
sengaja mengumpulkan kita bertiga?"
"Bisa jadi....... bisa jadi dia tahu kita bertiga ini biasanya
tidak dapat dipisahkan," kata Oh Thi-hoa.
"Akan tetapi..."
"Inipun membuktikan bahwa dia tidak bermaksud jahat
kepada kita," sela Oh Thi-hoa. "Sebab kalau kita terpisah, kan
lebih mudah untuk dikerjai. Tentunya kau belum lupa cara
Ting Hong melayani kita?"
"Akan tetapi, sisa kelima kamar itu dihuni oleh siapa?"
tanya Thio Sam. "Dengan sendirinya digunakan dia," jawab Oh Thi-hoa.
"Dia cuma sendirian, masa dia sekaligus menggunakan
lima kamar?" "Keempat kamar lainnya mungkin kosong."
"Sama sekali tidak kosong," kata Thio Sam.
"Mengapa tidak bisa kosong' Sebelum kita datang, ketiga
kamar yang terpakai sekarang kan juga kosong?"
"Yang tiga ini mungkin betul kosong, tapi yang empat itu
pasti tidak," jawab Thio Sam.
"Memangnya kenapa?" tanya Oh Thi-hoa. "Tadi sudah
kuperhatikan, pintu keempat kamar itu dipalang dari dalam."
"Sekalipun benar ada penghuninya, lantas kenapa lagi"
Kamar harus ditinggali manusia, apanya yang
mengherankan?" "Akan tetapi penghuni keempat kamar itu sebegitu jauh
belum penuh unjuk muka. seakan-akan tidak mau bertemu
dengan orang lain." Oh Thi-hoa berkedip-kedip, katanya kemudian. "Bisa jadi
penghuni kamar-kamar itu perempuan, lantaran tahu kapal ini
baru saja kedatangan beberapa ekor serigala. dengan
sendirinya mereka menutup pintu kamar agar tidak
kemasukan serigala."
"Goan Suii-hun adalah seorang lelaki sejati, seorang
Kuncu, mana bisa menyembunyikan perempuan?" kala Thio
Sam. "Memangnya kenapa kalau Kuncu" kuncu kan juga
manusia yang mesti minum arak dan perlu wanita?" kata Oh
Thi-hoa dengan tertawa Thio Sam juga tertawa, omelnya. "Makanya kau pun
merasa dirimu juga seorang Kuncu. begitu bukan?"
"Ya, tuan Oh ini memang seorang Kuncu tulen," jawab Oh
Thi-hoa tertawa. "Si kutu busuk inipun....." Tapi waktu dia
berpaling ke sana, dilihatnya Coh Liu-hiang sudah tertidur.
00ooo00 Kecuali mabuk, biasanya Oh Thi-hoa tidur paling lambat.
Terkadang dia malah sukar pulas sepanjang malam, sebab
itulah sering dia bangun tengah malam untuk minum arak. Jika
orang lain bilang dia setan arak. dia hanya tertawa saja, Orang
katakan dia petualang, ia pun tertawa pula.
"Melihat dia sepanjang hari hanya tertawa dan omong
kosong melulu. orang mengira dia adalah manusia paling
gembira, paling iseng, tidak menanggung sesuatu pikiran
apapun. Padahal isi hatinya hanya diketahui Oh Thi-hoa
sendiri. Dengan segala daya upaya dia telah melepaskan diri dari
keterikatannya pada Ko A-Lam, lalu bebaslah dia berkelana
kian kemari, bertualang sesuka hatinya, terutama dalam hal
main perempuan, orang lain sama menganggap dia 'ahli', ia
sendiri pun merasa bangga.
Akan tetapi hatinya masih tetap kosong dan hampa. Lebihlebih
bila malam telah tiba dalam keadaan sunyi senyap, dia
benar-benar merasakan kesepian yang mencekam
Ia pun ingin mencari teman yang sekiranya dapat diajak
bicara, yang bisa saling memahami, lalu saling menghibur.
Akan tetapi sebegitu jauh ia belum berani menyerahkan
cintanya kepada siapa pun juga. Sebaliknya ia sendiri telah
membuat suatu dinding yang cukup kuat di luar hatinya
sehingga cinta orang lain hakikatnya tak dapat menembusnya!
Jadi terpaksa ia tetap bertualang ke sana sini, masih tetap
mencari-cari. Sesungguhnya apa yang dicari" Ia sendiri pun tidak tahu.
Dia sering menyesal, menyesali dirinya sendiri. mengapa
bersikap sekejam itu terhadap Ko A-lam.
Bisa jadi sebegitu jauh dia masih tetap cinta kepada Ko Alam.
Akan tetapi ia tidak mau mengakui kebenarannya.
"Mengapa pada umumnya manusia tak dapat menyayangi
cinta yang telah didapatkan, tapi baru menyesal apabila sudah


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehilangan dia?" Penderitaan demikian bisa jadi cuma Coh Liu-hiang saja
yang paham. Sebab Coh Liu-hiang punya penderitaan serupa,
cuma saja dia lebih dapat mengekang diri daripada Oh Thihoa.
Tapi semakin dikekang semakin keras pula rontaannya.
Diam-diam Oh Thi-hoa memberitahu diri sendiri, "Aku
memang sudah letih, bahkan sudah rada mabuk, seharusnya
lekas kutidur saja."
Penderitaan batin memang menimbulkan macam-macam
kesukaran lain, terutama dalam hal tidur. Semakin ingin cepat
pulas, seringkali malah sebaliknya, tidak dapat tidur.
Thio Sam sudah tidur nyenyak, malah sudah mulai ngorok.
Diam-diam Oh Thi hoa turun dari pembaringan, ia bawa
sebotol arak, mestinya ia ingin membangunkan Thio Sam agar
mengiringi dia minum tapi pada saat itu juga, tiba-tiba
didengarnya di luar ada langkah kaki orang
Suara itu sangat perlahan sehingga membuat mengkirik.
Sudah jauh malam siapakah yang berjalan di luar"
Jangan-jangan seorang yang tak dapat tidur seperti Oh Thihoa"
Tapi entah apakah orang itupun suka minum arak seperti
Oh Thi-hoa" Minum arak serupa juga berjudi, makin banyak orang
semakin baik. Terkadang orang yang belum dikenal juga tidak
menjadi alangan, asalkan arak sudah masuk perut, orang tak
diKenal akan segera menjadi kenalan.
"Peduli siapa dia biar kucari dia untuk minum bersama."
Baru timbul pikiran ini. segera terpikir oleh Oh Thi-hoa
kepada apa yang terjadi di kapal Hay Koa-thian serta apa
yang dikatakan Thio Sam tadi.
"Jangan-jangan di kapal ini benar bersembunyi orang yang
tidak bermaksud baik terhadap kita?" Berpikir sampai di sini,
segera Oh I hi-hoa membuka pintu terus menyelinap keluar.
Tiada bayangan seorang pun di lorong kabin, langkah kaki
tadipun tak terdengar lagi. Keempat kamar di depan sana
memang ada penghuninya seperti apa yang dikatakan Thio
Sam, hal ini terbukti dan sinar lampu yang terlihat dan celah
bawah pintu. Kalau bisa sungguh Oh Thi hoa ingin mendobrak ke dalam
kamar-kamar Itu agar diketahui siapa penghuninya tapi kalau
yang tinggal di kamar-kamar itu adalah anggota keluarga
Goan Sui-hun. istrinya atau gundiknya, kan bisa runyam
urusannya" Berpikir demikian, tangan Oh Thi hoa yang sudah
diangkat hendak mengetuk pintu segera ditariknya kembali.
Ia merasa langkah orang tadi seperti menuju ke atas
geladak, maka ia lantas menyusul ke sana.
00ooo00 Hujan badai ternyata tidak sehebat dugaan mereka, syukur
sekarang sudah berlalu, cuaca sudah baik. bintang-bintang
bertaburan di langit, laut tenang dan angin meniup sejuk,
kerlip bintang kelihatan membayang di permukaan laut yang
kelam. Di pagar geladak kapal tampak berdiri seorang dengan
termangu-mangu, seakan-akan sedang menghitung bayangan
bintang di dalam laut. Angin meniup semilir mengusap
rambutnya yang bertebaran terurai di pundak.
Aneh. siapakah dia" Jauh malam begini berdiri melamun"
Perlahan-lahan Oh Thi-hoa mendekatinya, setiba di
belakang orang barulah ia berdehem
Orang itu membalik tubuh. Kiranya Kim Leng-ci adanya.
Kerlipan bintang menyinari mukanya, juga memantulkan
cahaya air mata yang mengembeng di bola matanya.
Kiranya si nona sedang menangis.
Nona yang berwatak keras, nona yang dianggap lebih
gagah daripada kaum pria ini ternyata diam-diam
mencucurkan air mata di tengah malam buta begini.
Oh Thi-hoa jadi melengak heran.
Dalam pada itu Kim Leng-ci telah membalik ke sana lagi
sambil mengomel dengan suara bengis. "'Kau ini mengapa
selalu gentayangan seperti setan, tengah malam buta tidak
tidur, tapi keliaran ke sini untuk apa?"
Meski suaranya masih tetap galak seperti biasa tapi
sekarang ia tidak dapat menakutkan Oh Thi-hoa lagi.
Oh Thi-hoa tertawa dan menjawab, "Engkau sendiri
mengapa juga tiak tidur dan berada di sini?"
"Urusanku sendiri tidak perlu kau ikut urus. pergi sana!"
bentak Kim Leng-ci. Tapi kaki Oh Thi-hoa sebaliknya seperti terpaku di geladak
situ, selangkah pun tidak menggeser.
"Apa yang kau tunggu di sini?" omel lagi Kim Leng-ci.
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya, "Aku pun tidak
dapat tidur seperti engkau dan ingin mencari seorang teman
ngobrol." "Aku.... aku tiada yang dapat diobrolkan denganmu," jawab
si nona. Sambil memandang botol arak yang dibawa Oh Thi-hoa, ia
berkata pula. "Sekalipun tiada yang dapat diobrolkan, minum
dua cawan kiranya dapat bukan?"
Mendadak Kim leng-ci berdiam, selang agak lama ia
berpaling dan berkata. "Baik, minum juga boleh"
oooo0000oooo Kerlipan bintang terasa semakin terang, hembusan angin
pun semakin kencang. Tapi Oh Thi-hoa merasa bertambah hangat malah, walau
pun tiada separah kata pun sang diucapkan kedua orang ini.
Dengan cepat isi satu botol arak pun habis. Baru sekajang Oh
Thi-hoa membuka suara, "Apakah masih berminat minum
lagi?" Sambil memandang jauh ke depan sana, Kim Leng-ci
menjawab. "Ambil lagi, akan kuminum nanti."
Kepandaian Oh Thi-hoa mencari arak sungguh jauh lebih
besar dan cara kucing mencari tikus. Sekali ini dia membawa
tiga botol sekaligus. Waktu isi botol kedua sudah habis, kerlingan mata Kim
Leng-ci tampak mulai buram laksana bayangan bintang yang
bergerak-gerak di lautan.
Mendadak si nona berkata. "Urusan sekarang ini jangan
kau katakan kepada orang lain " Oh Thi-hoa berkedip,
katanya, "Urusan apa" Cerita apa?" Si nona menggigit bibir,
jawabnya kemudian. "Aku mempunyai keluarga yang
terhormat, mempunyai saudara yang tidak sedikit,
kehidupunku selama ini sangat tenteram, orang lainpun
menganggap hidupku sangat senang, betul tidak?"
"Ehmm." Oh Thi hoa mengangguk.
"Nah. maka aku ingin selalu dianggap bahagia oleh orang
lain, tentunya kau paham sekarang?"
"Ya, aku paham." jawah Oh Thi-hoa manggut-manggut.
"Tadi kau cuma sedang memandang bintang yang bertaburan
di langit, hakikatnya tidak pernah meneteskan air mata."
Kim Leng-ci melengos ke sana, katanya, "Baiklah, asalkan
kau tahu saja." Oh Thi-hoa menghela napas panjang, katanya pula, "Aku
pun berharap orang lain akan menganggap aku sangat
gembira dan bahagia, tapi apa pula artinya bahagia?"
"Masa kau tidak.... tidak bahagia?" tanya si nona.
Oh Thi-hoa tertawa, tawa yang hampa dan pedih, ucapnya
perlahan, "Aku cuma tahu, orang yang lahirnya kelihatan
sangat bahagia, sering justru sangat kesepian hidupnya."
Mendadak Kim Leng-ci berpaling ke sini pula dan
menatapnya lekat-lekat. Sorot matanya tampak buram, tapi
juga dalam dan sukar dijajaki. Dia seperti baru pertama kali
kenal orang yang bernama Oh Thi-hoa ini
Oh Thi-hoa juga seperti baru melihat jelas nona yang
bernama Kim Leng-ci ini. baru sekarang ia merasa nona ini
adalah seorang perempuan sungguh-sungguh, perempuan
yang cantik Rupanya di buritan kapal ada orang yang sedang memutar
roda kemudi, haluan kapal mendadak berubah, badan kapal
terasa rada miring. Dengan sendirinya tubuh Kim Leng-ci juga ikut
mendoyong, ia menjulurkan tangan hendak memegang pagar
geladak, tapi yang terpegang adalah tangan Oh Thi-hoa.
Sekarang sinar bintang pun tampak rada buram, kerlipan
bintang yang buram, bayangan orang yang buram pula. Tiada
orang lain. tiada suara lain, yang terdengar cuma suara napas
yang halus. Segala apa memang tidak perlu lagi diucapkan sekarang,
apapun yang hendak dikatakan hanya akan berlebihan saja.....
Entah sudah berapa lama akhirnya Kim Leng-ci bersuara
rawan, "Sebegitu jauh kukira kau sangat..... sangat jemu
padaku." "Aku pun mengira kau muak padaku," ujar Oh Thi-hoa.
Pandangan kedua orang beradu, keduanya sama-sama
tertawa, tawa yang penuh arti.
Cahaya bintang yang berkerlipan di tengah cakrawala itu
seakan-akan sudah terlebur seluruhnya ke dalam tertawa
mereka. Perlahan-lahan Kim Leng-ci mengangkat botol arak dan
menuangnya ke laut. Kalau sudah ada cinta, untuk apa pula arak"
"Kutuang arakmu, kau menyesal tidak?" tanya Kim Leng-ci
sambil berkedip-kedip. "Apakah kau kira aku ini setan arak benar-benar?" jawab
Oh Thi-hoa. "Kutahu, bilamana seseorang benar-benar emrasa
bahagia, tentu saja tidak mau dianggap sebagai setan arak,"
ujar Kim Leng-ci dengan suara lembut.
Oh Thi-hoa memandangnya lekat-lekat, tiba-tiba ia tertawa
katanya, "Si kutu busuk tua itu sok anggap dirinya mengetahui
segala hal dan orang lainpun tidak dapat mengelabui dia, tapi
ada sementara urusan pasti takkan terpikir olehnya."
"Urusan apa?" tanya Kim Leng-ci.
Semakin erat genggaman Oh Thi-hoa, jawabnya dengan
suara halus, "Dia pasti tidak menyangka engkau dapat
berubah selembut ini."
"Dia tentu menganggap aku ini macan betina," ucap si
nona sambil mengigit bibir. "Padahal...." mendadak ia
menghela napas, lalu menyambung dengan rawan. "Jika
seorang benar-benar merasa bahagia, siapa pun tak suka jadi
macan betina." Pada saat itulah sekonyong-konyong seseorang
menjengek, "Hm, macan betina mendapatkan setan arak,
sungguh pasangan yang setimpal."
Daun pintu kabin terbuka ke bagian luar, kini di balik pintu
tampak ada sesosok bayangan orang dan suara jengekan itu
justru keluar dari bayangan di balik pintu itu.
Dengan cepat Kim Leng-ci membalik tubuh, sekali ayun
tangan, botol arak yang sudah kosong itu terus disambitkan.
Mendadak dari balik tempat gelap, terjulur sebuah tangan,
hanya sekali mraup saja botol arak itu telah ditangkapnya.
Di bawah sinar bintang yang remang-remang kelihatan
tangan itu pun sangat putih dengan jari yang lentik.
Gerakannya juga sangat cepat dan lincah.
Seperti burung terbang saja, segera Oh Thi-hoa menubruk
ke sana. Tapi mendadak botol arak disambitkan kembali,
langsung mengarah muka Oh Thi-hoa.
"Brak," sekali sampuk, Oh Thi-hoa hancurkan botol arak
itu, dia masih terus menubruk ke sana. Maka berkelebatlah
sesosok bayangan orang dari tempat gelap itu.
Mestinya Oh Thi-hoa dapat mencegatnya, tapi entah
mengapa, mendadak ia seperti tgercengang. Hanya sekejap
saja bayangan orang itu pun berkelebat lagi terus menghilang.
Cepat Kim Leng-ci memburu ke sana, dilihatnya Oh Thihoa
masih mematung di sana dengan mata terbelalak ke
depan penuh rasa kaget dan heran, seperti mendadak melihat
setan dan tidak percaya kepada pandangan sendiri.
Kim Leng-ci terus memburu ke belakang sana. Tapi kelasi
yang dinas menjaga kemudi di buritan sana tiada melihat
siapa pun juga. Lalu kemanakah bayangan orang tadi"
Jangan-jangan menyusup dan bersembunyi di kabin kapal"
Setelah memutar satu keliling, lalu Kim Leng-ci balik ke
tempat tadi, dilihatnya Oh Thi-hoa masih termangu-mangu di
situ tanpa bergerak sedikit pun.
"He, kau melihat orang itu, bukan?" tanya Kim Leng-ci.
"Ehmmm," akhirnya Oh Thi-hoa mengangguk.
"Siapakah dia?" tanya si nona pula.
Tapi Oh Thi-hoa menggeleng saja.
"Kau kenal dia bukan?" tanya Kim Leng-ci.
"Seperti.... seperti..." hanya sepatah kata ucapannya,
segera ia ubah haluan. "Aku tidak melihat jelas."
Kim Leng-ci melototinya hingga lama sekali, lalu katanya
hambar, "Suaranya terasa merdu juga. cuma sayang katakatanya
itu tidak seharusnya diucapkan orang perempuan."
"O, masa?" ucap Oh Thi-hoa.
"Hm," jengek Kim Leng-ci. "Ada sementara orang memang
sangat hebat, kemana pun dia pergi selalu bertemu dengan
kenalan lama. Orang begini kalau mengaku hidupnya juga
kesepian, hm. setan yang mau percaya!"
Belum habis ucapannya, segera ia melengos dan tinggal
pergi ke dalam kabin. Oh Thi-hoa ingin menyusul, tapi urung. Ia mengerut kening
dan bergumam, "Apakah betul dia"... Kenapa ada di sini?"
00ooo00 Pagi sudah tiba. hari sudah terang.
Tapi keempat kamar kabin itu masih tetap tertutup. tiada
orang masuk. juga tiada orang keluar, pula tiada terdengar
suara percakapan orang. Oh Thi-hoa masih terus duduk di ujung tangga dan
mengincar keempat daun pintu kamar itu. Dia seperti berubah
linglung, terkadang tersenyum sendiri seakan-akan teringat
kepada hal-hal yang menggelikan, lain saat berkerut kening
dan bergumam sendiri. "Mungkinkah dia"..... Apa yang telah
dilihatnya?" Orang pertama yang keluar dari kamar ialah Thio
Sam. Orang yang hidup di perairan sama seperti ikan, lebih
banyak waktu bergerak daripada istirahat. maka juga lebih dini
bangun tidur daripada orang lain.
Ketika melihat Oh Thi-hoa duduk di anak tangga sana.
Thio Sam tercengang. dengan tertawa ia menegur. "Kukira
kau pergi mencuri arak dan jatuh mabuk, tak tersangka kau
duduk di sini dengan pikiran jernih, sungguh jarang terjadi."
"Hmk," Oh Thi-hoa hanya mendengus saja.


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau melamun apa di sini?" tanya Thio Sam.
Memangnya sedang mendongkol, hampir saja Oh Thi-hoa
meraung gusar. ===== missing ========= Padahal jarang Oh Thi-hoa bertingkah misterius begini.
Dengan heran Coh Liu-hiang bertanya, "Sesungguhnya
kejadian apa yang kau lihat semalam?"
"Aku tidak melihat apa-apa, hanya melihat bayangan setan
saja." jawab Oh Thi-hoa sambil menghela napas. Melihat
sikapnya yang limbung itu mirip orang yang melihat setan.
Coh Liu-hiang jadi heran, tanyanya. "Setan" Setan apa?"
"Setan kepala besar, setan perempuan....."
Tanpa terasa Coh Liu-hiang meraba hidung. ucapnya
dengan menyengir, "Ai, tampaknya setiap dua hari sekali kau
selalu kepergok setan perempuan agaknya tidak sedikit setan
perempuan yang terpikat olehmu."
"Tapi setan perempuan yang kupergoki sekali ini, biarpun
pecah kepalamu juga tak dapat menerkanya," ujar Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang termenung sejenak, lalu katanya, "Oo. apa
setan perempuan itupun pernah kukenal?"
"Sudah tentu kau kenal, bahkan sahabat lama," kata Oh
Thi-hoa. "Oo, memangnya Ko A-lam maksudmu?"
"Betul, memang Ko A-lam," kata Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang jadi melengak, gumamnya, "Betul dia"
Mengapa dia berada di kapal ini" Kau tidak salah lihat?"
Oh Thi-hoa berteriak, "Mana bisa kusalah lihat" Orang lain
mungkin bisa salah. tapi dia..... biarpun dia terbakar jadi abu,
juga kukenali dia." Sejenak Coh Liu-hiang termenung, katanya kemudian,
"Jika betul dia berada di kapal ini, Koh bwe Taysu pasti juga
berada di sini." "Ya, sudah tentu kupikirkan hal ini. aku pun merasa hal ini
sangat mungkin sebab kapal mereka pun tenggelam. bisa Jadi
mereka ditolong Goan Sui-hun."
"Watak si tua itu sangat aneh, maka sepanjang hari pintu
kamar selalu tertutup dan tidak mau menemui siapa pun juga."
Coh Liu-hiang mengangguk perlahan sebagai tanda
sependapat. "Mungkin Goan Sui-hun juga sudah tahu penyakit si tua ini,
maka dia tidak memperkenalkan kita kepadanya."
"He...... ketika melihatmu. dia bicara sesuatu tidak?" tanya
Coh Liu-hiang tiba-tiba. "Tak bicara apapun......... dia cuma omong satu kalimat."
"Omong apa?" tanya Coh Liu-hiang.
Wajah Oh Thi-hoa menjadi rada merah. katanya, "Dia
bilang macan betina mendapatkan setan arak memang
pasangan yang setimpal."
Kembali Coh Liu-hiang melengak, tanyanya, "Macan
betina".... siapa macan betina?"
"Terserah kau, siapa yang kau anggap mirip macan betina
maka dia itulah macan betina," kata Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang tambah tercengang. ucapnya, "Masa yang
dimaksud Kim Leng-ci?"
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya kemudian.
"Sebenarnya ia pun bukan macan betina sungguh-sungguh,
bila dia mau lemah lembut, mungkin sukar kau bayangkan
selamanya." Coh Liu-hiang menatapnya tajam, katanya. "Apakah
semalam kau berada bersama dia" Apa yang kalian lakukan?"
"Tidak melakukan apa-apa, hanya kepergok Ko A-lam,"
jawab Oh Thi-hoa gegetun.
"Wah. hebat juga kau." kata Coh Liu-hiang dengan tertawa
sambil menggeleng. "Kutahu kau pasti akan cemburu," ujar Oh Thi-hoa.
"Yang cemburu mungkin bukan diriku. tapi orang lain."
Oh Thi-hoa berkedip, tanyanya. "Maksudmu di.... dia?"
"Masa bau cuka dari ucapannya tak tercium olehmu?" ujar
Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Oh Thi-hoa meraba hidungnya lagi.
"Jika dia masih cemburu padamu, itu tandanya dia belum
pernah melupakan dirimu," kata Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menghela napas panjang. katanya, "Bicara
terus terang, aku pun tidak pernah melupakan dia."
Coh Liu-hiang meliriknya sekejap. ucapnya dengan
hambar. "Dia juga seekor macan betina, pasangan yang
setimpal juga denganmu. cuma saja......" Dia menghela napas.
lalu menyambung, "Bilamana seorang lelaki sekaligus
menghadapi dua ekor harimau betina, kalau dia masih
meninggalkan beberapa kerat tulangnya, maka untunglah dia."
Oh Thi-hoa menjadi dongkol, katanya, "Sialan. maksudku
hendak berunding denganmu, tapi kau malah berolok-olok."
"Bicara sesungguhnya, aku memang ingin melihat cara
bagaimana berakhirnya sandiwara yang kalian lakonkan ini."
Oh Thi-hoa berdiam sejenak tiba-tiba ia berkata, "Apapun
juga, aku harus menemui dia satu kali."
"Untuk apa menemui dia?" tanya Coh Liu-hiang.
"Memberi penjelasan kepadanya."
"Cara bagaimana akan kau jelaskan?" Oh Thi-hoa jadi
melengak dan tak dapat menjawab.
"Urusan begini, makin dibicarakan makin ruwet, semakin
kau jelaskan duduk perkaranya, semakin marah dia."
Oh Thi-hoa manggut-manggut, gumamnya, "Betul, pada
dasarnya perempuan memang sukar diyakinkan, sedangkan
kepandaianku berdusta tak lebih mahir daripadamu. maka
kukira .... kukira kau saja yang memberi penjelasan padanya."
"Sekali ini tidak nanti aku mau menjadi sasaran dampratan
bagimu," jawab Coh Liu-hiaung. "Apalagi saat ini Koh-bwe
taysu pasti tidak ingin memperlihatkan asal usulnva. jika kita
ingin menemui dia, kan malah melanggar sirikannya. Kau tahu
terhadap Nikoh tua ini aku pun kewalahan."
Hidung Oh Thi-hoa menjadi merah dikucek-kucek. katanya
dengan menyesal, "Wah. lantas bagaimana baiknya?"
"Coba jawab, yang kau sukai sesungguhnya siapa" Nona
Kim atau nona Ko?" "Aku tak dapat menjawab, aku sendiri pun tidak tahu." Coh
Liu-hiang jadi geli dan rnendongkol, katanya pula, "Jika
demikian, aku tak berdaya dan tak sanggup ikut campur."
"Tidak, betapapun kau mesti ikut campur." segera Oh Thihoa
menariknya pula. "Cara bagaimana aku ikut campur" Aku kan bukan
bapakmu" Masa aku harus memilihkan bini bagimu?" jawab
Coh Liu-hiang dengan menyengir.
"Habis bagaimana... habis bagaimana" Kau kira mereka
akan berbuat apa terhadapku?" tanya Oh Thi-hoa dengan
muka murung. "Jangan kuatir." kata Coh Liu-hiang geli, "Mereka bukan
macan betina sungguh-sungguh, kau takkan dicaplok
mereka." "Namun.... namun mereka takkan gubris lagi padaku."
"Sekarang tentu mereka takkan gubris padamu, tapi kalau kau
dapat bersabar dan tak gubris mereka juga, akhirnya mereka
pasti akan mencarimu," setelah tertawa, Coh Liu-hiang
menyambung pula. "ltulah sifat perempuan yang sebenarnya.
bila dapat kau raba sifat mereka, betapapun garangnya
perempuan. akan mudah kau layani."
00ooo00 Saat itu Goan Sui-hun lagi berdiri di atas tangga sana.
Di luar kabin terdengar kumandang suara yang sangai lirih
dan samar-samar. tiada seorang pun yang mampu
rnendengar dengan jelas suara percakapan yang begitu lirih.
Akan tetapi Goan Sui-hun justru sedang pasang telinga
dan mendengarkan dengan cermat.
Apakah pemuda tuna netra ini mempunyai kelebihan
daripada orang lain" Apakah dia dapat mendengar sesuatu
dengan jelas, sesuatu yang tidak mungkin dapat didengar
orang lain" oooo0000oooo Dugaan Coh Liu-hiang memang tidak salah. Oh Thi-hoa
ternyata cukup tahu diri.
Bukan saja tidak menggubrisnya, bahkan Kim Leng-ci
sama sekali tidak memandangnya barang sekejap,
dianggapnya di dunia ini seakan tiada Oh Thi-hoa lagi.
Waktu makan, sengaja si nona berduduk di samping Pek
Lak, malahan memberi senyum manis padanya. Keruan
sukma Pek Lak serasa terbang ke awang-awang.
Ketika Oh Thi-hoa muncul, Kim Leng-ci sengaja berkata
kepada Pek Lak dengan tersenyum, "Kerang ini sangat lezat,
maukah kuambilkan sedikit, coba cicipi."
Tentu saja mau. sekalipun yang diberikan Kim Leng-ci
sekarang adalah sepotong batu, pasti akan ditelan mentahmentah
oleh Pek Lak. Si nona benar-benar menyumpitkan kerang rebus
padanya, hampir saja Pek Lak menelannya bulat-bulat
bersama kulitnya. Bilamana perempuan ingin membuat cemburu lelaki,
segala daya upaya dapat dilakukannya. Padahal inipun
menandakan si perempuan lagi cemburu pada lelaki itu.
Hal ini cukup dipahami Oh Thi-hoa. Maka meski di dalam
hati merasa sangat penasaran karena tingkah laku Kim Lengci
itu, lahirnya tetap tenang saja tanpa memperlihatkan
cemburu sedikitpun. Sandiwara Kim Leng-ci itupun tak dapat berlangsung lagi.
Ketika Pek Lak balas menghormati dengan sepotong telur
pindang. mendadak si nona berteriak. "Sekalipun kau
bermaksud baik menyuguh orang. paling tidak harus kau
gunakan sumpitmu yang belum terpakai. Kau tidak tahu
kebersihan" Apakah orang lain harus ikut-ikutan jorok" Masa
kau tidak tahu aturan ini?"
Belum habis ucapannya, serentak ia berbangkit terus
melangkah pergi tanpa berpaling lagi.
Keruan Pek Lak melenggong. mukanya menjadi lebih
merah daripada kepiting rebus yang berada di atas meja.
Diam-diam Oh Thi-hoa merasa geli.
Pada saat itu juga, sekonyong-konyong dari atas geladak
sana berkumandang suara sorak gembira orang banyak.
Kiranya ada pawai ikan. Berbondong-bondong orang berkerumun di pagar geladak
kapal. Air laut di bawah cahaya sang surya di waktu pagi
tampak hijau jernih, serombongan ikan yang tak terhitung
jumlahnya berpawai dari utara menuju selatan. Kapal mereka
tepat menyusur di tengah-tengah pawai ikan itu.
Oh Thi-hoa tercengang menyaksikan jumlah ikan yang
sukar dihitung itu, gumamnya, "Ikan yang pernah kulihat
selama hidup tiada separohnya dari yang kulihat sekarang ini.
Apakah ikan ini sudah gila. untuk apa berpawai ramai-ramai
begini?" "Pindah rumah!" ujar Thio Sam.
Tentu saja Oh Thi-hoa tambah heran, tanyanya. "Pindah
rumah" Ikan juga tahu pindah rumah segala" Pindah
kemana?" "Katanya kau pintar, kenapa sekarang jadi goblok?"
dengan tertawa Thio Sam berolok-olok. "Ikan juga takut dingin
seperti manusia, maka bilamana musim dingin akan tiba.
mereka lantas boyong ke selatan, ke daerah tropik. Bisa jadi
gerombolan ikan ini sudah berenang beribu mil jauhnya. Maka
daging ikan ini pasti lebih keras dan lezat, kaum nelayan
biasanya menantikan panen ikan pada musim boyongan ikan
begini." Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Ai, banyak
juga pengetahuanmu mengenai perikanan. cuma sayang.
pengetahuanmu mengenai kemanusiaan terlalu sedikit."
Sejak tadi Goan Sui-hun berdiri jauh di sana dengan
senyum selalu dikulum. kini mendadak ia berkata, "Sudah
lama jaring kilat Thio-siansing terkenal dan tiada
bandingannya, entah sekarang sudilah engkau
mempertontonkan kemahiranmu untuk menambah
pengetahuan dan pengalaman kami?"
Meski dia tidak dapat melihat apapun tapi membikin
gembira orang lain, dianggapnya seperti kegembiraan sendiri.
Thio Sam ragu-ragu. tapi segera ada orang membawakan
jaring baginya. Menjaring, menangkap ikan, tampaknya pekerjaan
sederhana, tidak memerlukan kepintaran, apalagi soal teknis
segala. Padahal letak kegesitan orang mungkin hanya dapat
dirasakan oleh ikan sendiri.
Seperti halnya ilmu silat. jelas cuma satu jurus Poat-causun-
coa' (menyingkap rumput mencari ular) yang sangat
sederhana dan jamak, bila dimainkan sementara orang takkan
mendapatkan hasil apa-apa. tapi orang lain bisa memainkan
jurus yang sama dengan sangat lihai dan dapat mematikan
lawan. Letak perbedaan ini adalah karena orang itu dapat
menguasai dengan tepat, baik waktu maupun kecepatannya.
jadi tidak melewatkan setiap kesempatan yang terbuka.
Kesempatan akan lenyap dalam sekejap. sebab itulah
kesempatan harus digunakan tepat pada waktunya, harus
cepat. Dalam pada itu, unsur 'mujur' atau 'hok-khi' juga tidak
boleh dikesampingkan. Untuk berbuat sesuatu urusan agar
berhasil dengan baik diperlukan juga sedikit kemujuran.
Tapi kemujuran juga tidak jatuh dengan sendirinya dari
langit, bilamana orang selalu dapat mempergunakan
kesempatan yang terbuka baginya dengan cepat dan tepat.
maka kemujuran akan selalu berada bersamanya.
Laju kapal terasa mulai lambat.
Di buritan ada suara orang berteriak. "Turunkan layar....!"
Kapal lantas melambat dan berhenti perlahan-lahan.
Sekonyong-konyong jaring di tangan Thio Sam ditebarkan
bagai segumpal awan. "Jaring kilat yang hebat," kata Goan Sui-hun tertawa.
"Manusia saja tidak mampu menghindar, apalagi ikan."
Rupanya dari deru suara anginnya, dapatlah dia
memperkirakan betapa cepat gerak tangan orang itu.
Thio Sam sendiri berdiri tegak, kakinya seperti terpantek di
geladak kapal, kukuh tak tergoyahkan sedikitpun. Sinar
matanya gemerdep penuh daya tarik, seseorang yang
sebenarnya sangat jamak itu kini mendadak seperti penuh
daya tarik dan ebrjaya, seperti berubah jadi seorang Thio Sam
yang lain.

Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh Thi-hoa menghela napas, gumamnya, "Sungguh aku
tidak paham, mengapa setiap kali Thio Sam menebarkan
jaring, rasanya menjadi jauh lebih menyenangkan daripada
biasanya." "Ini sama halnya seperti Ong Ging," ujar Coh Liu-hiang
dengan tersenyum. "Siapa itu Ong Ging?" tanya Oh Thi-hoa.
"Seorang pendekar pedang yang sangat termashur di
masa lalu. tapi tidak banyak orang Kangouw yang tahu
namanya." "Sebab apa" Apa sangkut-pautnya dengan Thio Sam?"
"Orang ini kotor lagi malas, juga sangat miskin. bahkan
cacat badaniah, sebab itulah dia tidak suka menemui orang
lain. hanya bila terpaksa. baru dia mau melolos pedang."
"Memangnya kenapa kalau sudah melolos pedang?" tanya
Oh Thi-hoa. "Asalkan pedangnya terlolos, maka orangnya seakan
berubah sama sekali. berubah menjadi bersemangat dan
gagah perkasa, dalam keadaan begitu orang takkan merasa
dia kotor lagi dan juga melupakan dia cacat badan."
Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya sambil mengangguk.
"Ya, pahamlah aku sekarang, sebab hidupnya itu lantaran
pedang, dia telah mencurahkan segenap jiwanya pada
pedangnya. pedang sama dengan kehidupannya."
"Penjelasanmu ini tidak terlalu tepat, tapi sudah
mendekati," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Dalam pada itu pernapasan Thio Sam tampak memburu,
telapak kakinya berkeriutan bergesekan dengan geladak, urat
hijau pada telapak tangannya juga tampak menonjol, nyata dia
sedang mengerahkan tenaga untuk menarik jaringnya yang
kelihatan tidak ringan. Dengan tertawa Goan Sui-hun berkata, "Wah, kepandaian
jaring Thio-siansing memang luar biasa, jaringan pertama saja
sudah berhasil sangat memuaskan."
"Hayo, kubantu!" seru Oh Thi-hoa mendekati Thio Sam.
Ketika jaring ditarik sekuatnya, terdengar suara gemerasak
muncratnya air. jaring meninggalkan air laut dan melayang ke
atas kapal. "blang" dengan keras jaring yang padat isinya itu
jatuh di atas geladak. Seketika semua tercengang ketika diketahui di dalam
jaring tidak terdapat satu ikan pun, yang ada cuma empat
sosok tubuh perempuan, semua telanjang bulat.
Empat sosok tubuh perempuan yang bernas dan penuh
daya tarik. Mcski meringkuk di dalam jaring. namun jaring ikan
yang tipis dan renggang itu tak dapat menutupi keindahan
badan mereka yang menggiurkan. malah menambah daya
tariknya. Setiap lelaki yang berada di atas kapal berdebar keras
jantungnya. sudah tentu terkecuali orang yang tak dapat
melihat. Dengan tersenyum Goan Sui-hun lantas bertanya, "Ikan
apakah yang berhasil dijaring?"
Oh Thi-hoa meraba hidung. jawabnya, "ikan manusia."
"Hah. ikan manusia" Ikan duyung maksudmu?" terkejut
juga Goan Sui-hun. "Sungguh tidak tersangka di dunia benarbenar
ada ikan manusia." "Bukan ikan manusia, tapi manusia ikan.... manusia
perempuan." kata Coh Liu-hiang.
"Perempuan" Hidup atau mati?" tanya Goan Sui-hun pula.
"Tentu hidup. di dunia pasti tiada orang mati sebagus ini."
kata Oh Thi-hoa sambil bicara segera ia hendak membuka
jaring ikan itu, tapi mendadak urung sebab tiba-tiba dilihatnya
Kim Leng-ci sedang melototinya di sebelah sana.
Kalau ada lelaki tidak suka memandangi wanita bugil.
maka lelaki itu tentu mempunyai kelainan jiwa. Namun begitu,
untuk menjaga gengsi, tiada seorang pun yang berani
mendahului mendekati keempat sosok tubuh yang
menggiurkan ini. Malahan ada di antaranya berpaling ke arah
lain, merasa kikuk sendiri.
Dengan tertawa Coh Liu-hiang berkata , "Goan-kongcu,
tampaknya kita berdua yang harus kerja bakti."
"Betul, kalau Cayhe buta mata mengenai perempuan,
maka Coh-hiangswe buta hati terhadap perempuan," ujar
Goan Sui-hun dengan tersenyum. "Mari, silakan."
Meski matanya buta, tapi gerakan Goan Sui-hun tidak lebih
lambat daripada Coh Liu-hiang. Begitu tangan kedua orang
menggentak. seketika jaring ikan mengendur dan terbuka.
Pandangan setiap orang jadi terbelalak, orang yang sudah
berpaling ke sana tanpa terasa menoleh pula ke sini.
Keempat sosok tubuh itu kelihatan sehalus sutera tersorot
oleh sinar matahari. Halus, kenyal dan mengkilap.
Kulit tubuhnya tidak terlalu putih, kecoklatan karena
dijemur sinar matahari, mempunyai daya khas. cukup untuk
membakar hati kebanyakan lelaki.
Sehat juga tergolong salah satu di antara kecantikan.
Apalagi tubuh mereka hampir tiada cirinya, kaki panjang
keras, dada padat indah, pinggang ramping, setiap bagian
tubuh membawa daya pikat yang cukup memikat sukma
setiap lelaki. Tapi Goan Sui-hun lantas menghela napas gegetun,
katanya, "Sudah mati semua."
Oh Thi-hoa tidak tahan. katanya. "Perempuan sebagus ini
sulit dicari. kalau mereka mati kurela biji mataku dicungkil."
"Mereka benar-benar sudah mati, sudah putus napas,"
kata Goan Sui-hun pula. Oh Thi-hoa berkerut kening dan segera bermaksud
mendekati. Tapi Kim Leng-ci lantas memburu maju, seperti
tidak sengaja ia mengadang di depan Oh Thi-hoa, lalu ia
meraba dada keempat tubuh perempuan itu.
"Bagaimana?" tanya Coh Liu-hiang. "Memang betul, sudah
putus napas, tapi jantungnya masih berdenyut," jawab Kim
Leng-ci. "Apa masih dapat ditolong?" tanya Coh Liu-hiang pula.
"Jika jantung masih berdenyut tentu dapat diselamatkan,"
seru Oh Thi-hoa. Tapi Kim Leng-ci melototinya dan berteriak, "Apa kau tahu
mereka terluka atau mati sakit" Kau yakin bisa menolong?"
Oh Thi-hoa kucek-kucek hidungnya dan tak bicara lagi.
Sejak tadi Thio Sam hanya melenggong saja, baru sekarang
ia bergumam, "Sungguh aneh, darimanakah datangnva
mereka" Mengapa bisa menyusup ke dalam jaringku, padahal
ketika kutebarkan jaring jelas-jelas yang kulihat adalah ikan."
"Persoalan ini boleh kita perbincangkan nanti, yang paling
penting sekarang adalah menolong orang," ujar Coh Liu-hiang.
"Apakah Hiangswe dapat mengetahui sebab apa
pernapasan mereka berhenti?" tanya Kongsun Jiat-ih alias
Eng Ban-li. "Napas berhenti, tapi jantung berdenyut. keadaan demikian
belum pernah kutemui sebelum ini," ujar Coh Liu-hiang sambil
menggeleng. "Bisa.... bisa jadi mereka sengaja menahan napas?" kata
Kongsun Jiat-ih setelah berpikir sejenak.
"Rasanya mereka tidak perlu berbuat demikian," ujar Goan
Sui-hun dengan hambar. "Pula. keempat nona ini pasti tidak
memiliki Lwekang sehebat itu. tidak nanti sanggup menahan
napas sedemikian lama."
"Kalau sebab musabab penyakit mereka tak dapat
diketahui, lalu cara bagaimana menolong mereka?" kata
Kongsun Jiat-ih sambil mengerut kening.
"Mungkin hanya ada satu orang yang dapat menolong
mereka," ujar Goan Sui-hun.
"O, dimana orang itu?" cepat Oh Thi-hoa bertanya.
"Syukur, dia berada di kapal ini," jawab Goan Sui-hun.
"Siapa?" taya Oh Thi-hoa pula.
"Na-lohujin," jawab Goan Sui-hun.
Oh Thi-hoa melenggong, sejenak kemudian baru ia
bertanya pula, "Siapakah Na-lohujin ini?"
Padahal ia tahu Na-lohujin (nyonya tua Na) yang dimaksud
tentu Koh-bwe Taysu. "Keluarga Na di Kangcoh terkenal ilmu pertabibannya,
tentu kalian pernah mendengar namanya," tutur Goan Suihun.
"Tapi Na-locianpwe konon sudah lama meninggal,
kabarnya juga tidak punya keturunan." kata Kongsun Jiat-ih.
Goan Sui-hun tertawa. tuturnya pula. "Ilmu pertabiban
keluarga Na biasanya cuma diturunkan kepada anak menantu
dan tidak kepada anak perempuannya, Na-lohujin satusatunya
ahli waris ilmu pertabiban keluarga Na yang masih
ada di zaman ini. cuma...." Dia menghela napas. lalu
menyambung pula, "Entah beliau sudi memberi pertolongan
atau tidak?" Oh Thi-hoa teringat pada Koh-bwe Taysu yang juga
memiliki ilmu pertabiban tinggi, segera ia menukas, "Biar kita
memohon beramai-ramai. kukira beliau sungkan untuk
menolak." Pada saat itulah tiba-tiba seseorang berkata dengan
perlahan, "Kejadian ini sudah diketahui guruku, silakan kalian
membawa keempat nona ini ke bawah."
Oh Thi-hoa melengak. yang bicara ternyata Ko A-lam.
Kim Leng-ci melirik si nona yang bicara ini. lalu melototi Oh
Thi-hoa, habis itu melengos ke sana dan memandangi laut.
00ooo00 Akhirnya keempat 'manusia ikan' mulus itu dibawa ke
bawah. Kamar kabin yang berderet menjadi dua sisi itu hampir
sama besarnya. Tapi kamar kabin ini terasa lebih dingin. siapa pun yang
melihat Koh-bwe Tavsu. pasti akan timbul perasaan seram.
lebih-lebih Oh Thi-hoa, hampir ia tak berani masuk ke kamar
itu. Meski yang dikenakan Koh-bwe Taysu sekarang dandanan
preman. cukup mewah dan juga kereng. sorot matanya yang
tajam dingin membuat orang tidak berani menatapnya.
Waktu pandangannya menyapu lewat muka Oh Thi-hoa,
tanpa terasa Oh Thi-hoa merinding.
Syukurlah keempat 'manusia ikan' itu kini sudah dibalut
selapis selimut dan terbaring di depan Koh-bwe Taysu.
Dengan sendirinya kamar kabin tidak dapat memuat orang
sebanyak itu. Oh Thi-hoa merasa kebetulan dan ebrdiri saja di
luar pintu, tapi juga merasa berat untuk tinggal pergi.
Hakikatnya Ko A-lam tidak memandang sekejap
kepadanya, tapi sering Oh Thi-hoa melirik si nona. Apalagi
dalam kamar masih ada empat 'ikan duyung' yang
menggiurkan dan misterius, Darimanakah datangnya mereka"
Apakah muncul dan dasar laut" Apakah dasar laut adalah
istana raja naga seperti dalam dongeng" Apakah mereka
penduduk pulau sekitar sini. mungkin sedang menyelam dan
tanpa sengaja terjaring"
Asalkan lelaki. tentu akan tertarik oleh kejadian aneh ini.
Dengan sendirinya Oh Thi-hoa merasa berat tinggal pergi.
Kalau tak mau pergi dan tak berani masuk. terpaksa ia cuma
mengintip saja dan luar pintu.
Di dalam kamar kabin tetap sunyi, tiada seorang pun
berani buka suara. Mendadak seorang berbisik di belakangnya, "Tampaknya
kau sangat berminat terhadap kejadian ini?"
Tanpa menoleh juga Oh Thi-hoa tahu yang bicara itu Kim
Leng-ci, sambil menyengir ia menjawab, "Aku memang orang
yang sangat simpatik."
"Tapi kalau yang terjaring itu lelaki, tentunya kau takkan
simpatik?" jengek si nona.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa teringat pada ucapan Coh Liu-hiang,
"Asalkan kau bisa bersabar, cepat atau lambat mereka pasti
mencari dirimu. Asalkan kau dapat meraba watak perempuan,
betapapun garangnya perempuan itu pasti mudah dihadapi".
Teringat kepada petuah yang diucapkan Coh Liu-hiang itu,
seketika tegaklah cara berdiri Oh Thi-hoa. ia pun lantas
menjengek,"Hm, jika kau pandang aku sebagai lelaki
demikian, untuk apa kau cari aku?"
Kim Leng-ci menggigit bibir dan termenung sejenak, tibatiba
ia berkata, "Malam nanti, di tempat dan waktu yang
sama......" Ia tidak menuuggu jawaban Oh Thi-hoa, juga tidak
memberi kesempatan padanya untuk menolak, belum habis
ucapannya segera ia tinggal pergi.
Waktu Oh Thi-hoa menoleh, si nona sudah tak tampak
pula. Ia menghela napas dan bergumam. "Perempuan, o
perempuan. Tanpa perempuan. sunyi senyap, bila ada
perempuan, porak poranda. Tampaknya ujar-ujar orang tua ini
tidak salah....." 00ooo00 Di kamar kabin yang sunyi dan dingin itu, yang terasa
hangat hanyalah seorang nona cilik yang berdiri di pojok.
Sejak melihatnya sekali dari kejauhan tempo hari, selama
ini pula Coh Liu-hiang tak lupa Meski nona cilik ini tertunduk.
tapi jelas sedang melirik ke arah Coh Liu-hiang ketika beradu
dengan sorot mata Coh Liu-hiang, muka nona cilik itu menjadi
merah dan kepalanya menunduk terlebih rendah.
Coh Liu-hiang berharap nona itu akan mengangkat
kepalanya lagi. Tapi sayang. Koh-bwe Taysu telah berkata
dengan dingin dan ketus, "Semua lelaki hendaklah keluar."
Setiap ucapan Koh-bwe Taysu selalu sederhana. pula
tidak pernah memberi penjelasan apa alasannya. Apa yang
dikatakannya sama dengan perintah.
"Blang", pintu ditutup, hampir saja hidung Oh Thi-hoa
terbentur daun pintu. Diam-diam Thio Sam tertawa geli. bisiknya, "Seumpama
ingin mengintip, kan tidak perlu berdiri sedekat itu. jika hidung
terbentur peyot, kan rugi sendiri."
Tampaknya kedua orang akan ribut mulut lagi, cepat Coh
Liu-hiang menyela, "Goan-kongcu. apakahjarak Pian-hok-to
dari sini sudah dekat?"
Goan Sui-hun berpikir sejenak, jawabnya kemudian,
"Hanya juru mudi saja yang tahu arah pelayaran ini, menurut
keterangannya, diperlukan satu dua hari baru bisa sampai di
sana." "Jika demikian apakah di sekitar sini tiada sesuatu pulau?"
tanya Coh Liu-hiang pula.
"Kapal ini berada di tengah samudera, di sekitar sini tiada
sesuatu pulau," jawab Goan Sui-hun.
"Menurut dugaan Kongcu, darimana datangnya keempat
nona tadi?" tanya Coh l.iu-hiang.
"Hal ini memang membingungkanku," pemuda tuna netra


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu menghela napas, lalu menyambung. "Menurut dongeng
kuno, di lautan lepas begini memang banyak hal misterius dan
kejadian yang sukar dijeaskan akal sehat."
Oh Thi-hoa menghela napas katanya "Jika begitu, janganjangan
kita ketemu setan lagi, malahan setan perempuan
pula." "Jika mereka benar setan perempuan. tentu kau yang
dicari," kata Thio Sam.
Oh Thi-hoa mendelik. belum lagi dia bicara, sekonyongkonyong
dari dalam kamar tadi berkumandang suara jeritan.
Jeritan itu sangat singkat, melengking tajam penuh rasa
takut dan seram. Seketika berubah air muka setiap orang.
"Seperti suara si nona yang naik ke geladak kapal tadi,"
ujar Eng Ban-li. "Betul," tukas Goan Sui-hun.
Betapapun pendengaran kedua orang ini tidak nanti keliru.
Nona yang naik ke geladak tadi ialah Ko A-lam. mengapa
dia mengeluarkan jeritan setajam itu, padahal dia bukan
seorang nona yang suka berteriak-teriak begitu. Oh Thi-hoa
juga tidak pernah mendengar jeritannya yang begitu seram.
Apa yang terjadi di dalam kamar" Apakah keempat nona
telanjang tadi memang betul siluman yang datang dari dasar
laut dan sekarang hendak merenggut nyawa orang"
Oh Thi-hoa orang pertama yang tidak tahan, ia menggedor
pintu sekuatnya dan berteriak, "Ada apa" Lekas buka pintu!"
Tapi tiada jawaban apapun, malahan yang terdengar suara
orang menangis. Air muka Oh Thi-hoa berubah pula, serunya, "Itulah suara
Ko A-lam, dia sedang menangis."
Mengapa Ko A-lam menangis, lalu bagaimana orang lainh
yang juga berada di dalam kamar"
Oh Thi-hoa tak sabar lag,i segera ia mendobrak pintu
,daun pintu terpentang, berbareng ia pun menerjang ke dalam.
Tapi ia segera berdiri tegak seperti patung seakan-akan
berubah seketika. *^ - Napas setiap orang juga seperti berhenti melihat keadaan
di dalam kamar. Siapa pun tak dapat membayangkan apa
sesungguhnya yang terjadi" Siapa pun tidak dapat melukiskan
betapa seramnya di dalam kamar ini.
Darah!!! Dimana-mana darah melulu.
Yang rebah bergelimang darah ternyata Koh-bweTaysu.
Ko A-lam sedang menangis sedih mendekap tubuh sang
gurur seorang nona lain tampak ketakutan sehingga jatuh
pingsan. maka tidak terdengar suaranya.
"Manusia ikan tadi semula dibaringkan sejajar tapi
sekarang sudah terpencar. garis tubuh yang menggiurkan itu
kini rusak, kedelapan lengan telah putus semua. Yang paling
menakutkan adalah pada dada masing-masing telah
bertambah sebuah lubang. Lubang berdarah!
Tangan Koh-bww Taysu yang kurus juga berlumur darah.
Mendadak Kim Leng-ci membalik tubuh terus berlari pergi,
belum tiba di geladak sudah muntah-muntah.
Air muka Goan Sui-hun juga berubah. gumamnya, "Apa
yang terjadi di sini" Mengapa begitu terasa bau anyirnya
darah?" Tiada seorang pun yang dapat menjawab pertanyaannya.
Perubahan ini sungguh terlalu mengejutkan dan mengerikan,
siapa pun tidak pernah membayangkannya. Padahal ilmu silat
Koh-bwe Taysu jarang ada bandingannya, mana bisa
terbunuh mendadak secara mengerikan begini" Lalu siapakah
pembunuhnya" Goan sui-hun berkata. "Mana Na-lohujin" Apakah dia...."
Mendadak Ko A-lam mendongak dan melotot padanya,
teriaknya dengan parau, "Kau yang mencelakai beliau, pasti
kau!" "Aku?" Goan Sui-hun melongo.
"Ya," terak Ko A-lam. "Sejak awal hingga akhir, semua ini
adalah muslihatmu, perangkapmu."
Mata si nona sebenarnya sangat indah, tapi sekarang
menjadi merah bendul karena menangis, bahkan penuh rasa
benci dan dendam, tampaknya sangat menakutkan tapi
sayang. Goan Sui-hun tak dapat melihatnya. Pemuda tuna
netra ini tetap tenang, satu kata pun tidak membantah.
Apakah diam berarti mengakui"
Dengan menggreget Ko A-lam lantas berteriak pula, "Ganti
jiwamu!" Baru habis ucapannya, serentak dia menubruk maju
dengan kalap. Kelima jarinya terpentang laksana cakar terus
mencengkeram ke hulu hati Goan Sui-hun.
Serangan ini sangat aneh dan ganas, mengerikan bagi
yang menyaksikan. Padahal setiap orang Kangouw tahu, permainan silat Hoasan-
pay mengutamakan kelincahan dan kebersihan, siapa pun
tidak menduga si nona akan mengeluarkan jurus serangan
maut yang ganas dan keji begini. Jurus serangan ini jelas tidak
sama dengan jurus serangan Hoa-san-pay yang lain.
"Jangan-jangan cara beginilah Koh-bwe Taysu mengorek
keluar ulu hati keempat manusia ikan tadi!?" demikian semua
orang membatin. Yang jelas Ko A-lam tampaknya juga ingin
mengorek hulu hati Goan Sui-hun dengan serangan mautnya
itu. Tapi Goan Sui-hun masih tetap berdiri tenang di tempat,
seakan tidak pernah merasakan betapa lihainya serangan itu.
Apapun juga dia buta, tentu tak menguntungkan jika
bertempur dengan orang, bila Ko A-lam tak kelewat benci,
tidak nanti melancarkan serangan maut terhadap seorang
tuna netra. Oh Thi-hoa merasa tidak tega, cepat ia berteriak, "Jangan,
tunggu belum habis ucapannya, tahu-tahu Ko A-lam sendiri
telah mencelat ke sana. Hanya perlahan Goan Sui-hun mengebaskan lengan
bajunya dan Ko A-lam telah tersengkelit mencelat, tampaknya
si nona akan menumbuk dinding dan bisa jadi akan patah
tulang. Siapa tahu baru saja tubuhnya menyentuh dinding
seketika tenaga sengkelitan itupun punah, maka dengan
perlahan ia terperosot ke bawah.
Rupanya tenaga kebasan lengan baju Goan Sui-hun dapat
dilakukan dengan sempurna, perlahan atau keras dapat
dilakukan sesuka hatinya. gerakannya juga sedemikian wajar,
sikapnva tetap tenang dan luwes, sedikitpun tidak nampak
marah. Nyata biarpun ilmu kebasan lengan baju "Liu-in-siu" yang
paling terkenal dari Bu-tong-pay, juga tak selihai kebasan
Goan Sui-hun ini. Tapi setelah tubuhnya terperosot ke bawah, Ko A-lam tidak
berdiri lagi, rupanya dia jatuh pingsan.
Keruan Oh Thi-hoa kuatir, segera ia memburu maju dan
memeriksa keadaan denyut nadinya.
"Jangan kuatir Oh-heng." kata Goan Sui-hun, "Nona ini
jatuh pingsan karena cemas dan sedihnya. Cayhe sendiri
sama sekali tidak melukainya."
Mendadak Oh Thi-hoa membalik tubuh dan berteriak
bengis. "Sebenarnya tipu muslihatmu atau bukan?"
Goan Sui-hun menghela napas panjang, jawabnya,
"Sampai saat ini Cayhe belum lagi tahu apa yang terjadi di
sini." "Tapi tadi mengapa kau diam-diam mengakui?" tanya Oh
Thi-hoa pula. "Cayhe tidak diam-diam mengakui. hanya tak ingin
membantahnya saja." jawab pemuda tuna netra itu.
"Mengapa tidak ingin membantah?" tanva Oh Thi-hoa.
"Bila lelaki berdebat dengan perempuan, kau cuma
mencari susah sendiri?" ujar Goan Sui-hun dengan tersenyum
hambar. Agaknya ia pun cukup paham jiwa perempuan.
Apabila seorang perempuan menganggap benar suatu
urusan. biarpun punya seribu alasan juga jangan harap dapat
mengubah pendiriannya. Maka Oh Thi-hoa tidak bertanya pula. sebab ia pun sangat
paham akan hal ini. Dalam pada itu, nona cilik yang pingsan di pojok sana
sudah mulai berkeluh. Coh Liu-hiang menarik kedua
tangannya dan menyalurkan tenaga dalamnya. Seketika
denyut jantung si nona itu bertambah kuat.
Lalu dia membuka mata saat melihat Coh Liu-hiang.
mendadak ia memekik perlahan terus menubruk ke dalam
pelukan Coh Liu-hiang. Tubuhnya tampak menggidik ucapnya
dengan suara gemetar. "Aku.,., aku takut.,, sangat takut..."
Perlahan Coh Liu-hiang menepuk pundak si nona dan
berkata. "Jangan takut, kejadian yang menakutkan sudah
berlalu." Suara Coh Liu-hiang seperti mengandung tenaga
penenang, meski cuma satu-dua kalimat saja, tapi guncangan
perasaan si nona sudah dapat ditenangkan.
"Sesungguhnya apa yang terjadi?" tanya Coh Liu-hiang.
Pertanyaan ini memang ingin diketahui setiap orang,
sudah sejak tadi mereka menantikan penjelasan.
Dengan suara gemetar si nona menjawab, "Orang ...
orang-orang perempuan tadi........." Mendadak ia terguguk
sehingga sukar melanjutkan ucapannya.
"Kenapa orang-orang perempuan tadi?" tanya Oh Thi-hoa.
Nona itu kelihatan ngeri, tuturnya dengan terputus-putus,
"Semula mereka tampak sudah mati dan... dan terbaring di
lantai. Suhu ingin menolong mereka, selagi beliau memeriksa
penyakit mereka, siapa tahu.....siapa tahu mendadak............. "
Sampai di sini, kembali ia menangis tergerung-gerung pula.
Jika perempuan sudah menangis, maka sama halnya turun
hujan, siapa pun tak dapat mencegah.
Terpaksa semua menunggunya. Tapi lapat-lapat dalam
hati sudah dapat menerkan apa yang terjadi.
Muka si nona masih terbenam di dada Coh Liu-hiang,
bajunya basah oleh cucuran air mata. Dadanya terasa hangat,
bidang dan kuat. Tapi air mata anak gadis terlebih harus
disayangi daripada mestika Mutiara.
Seorang lelaki kalau dadanya tidak pernah dibasahi air
mata anak gadis, mungkin dia belum dapat dianggap sebagai
lelaki tulen, sebab dada orang lelaki adalah tempat pelipur hati
yang paling baik bilamana anak gadis sedang menangis.
Suara tangisan anak dara tadi perlahan-lahan mereda.
Selang sejenak, barulah ia bercerita pula dengan terguguk,
"Siapa tahu. mereka itu hakikatnya tidak sakit apapun, haru
saja Suhu meraba nadi mereka, tiba-tiba mereka melompat
bangun, empat orang serentak menyerang sekaligus, laksana
ikan gurita, keempat orang itu terus memegang Suhu eraterat."
Goan Sui-hun berkerut kening, katanya. "Dengan ilmu silat
Na-lohujin. seumpama dia dipegang orang, kan juga sangat
mudah untuk melepaskan diri. Apalagi keempat orang itu pasti
tidak mempunyai tenaga yang kuat."
"Tapi tenaga mereka justru sangat mengejutkan, pula
tubuh mereka sangat licin seperti dilumuri minyak, aku ingin
menarik mereka, tapi memegangnya saja sukar," tutur si nona
pula. "Jadi mereka hendak mencelakai gurumu, mengapa tidak
kau bunuh mereka lebih dahulu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Sudah tidak keburu lagi." jawab si nona.
"Tidak keburu?" Oh Thi-hoa menegas.
"Ya. sebab mereka seperti sudah mengalami latihan yang
sangat keras, mereka dapat bekerja sama dengan sangat rapi,
begitu keempat orang itu menerjang maju, ada yang menindih,
ada yang menghimpit, dalam sekejap saja ruas tulang Suhu
seakan retak dan patah semua." Sampai di sini, tubuh si nona
menggigil lagi, seperti ngeri membayangkan ruas tulang
gurunya diremukkan waktu itu. Suara itu memang sukar
dilupakan siapa pun yang pernah mendengarkannya.
Goan Sui-hun menghela napas, katanya, "Kejadian ini tak
pernah dibayangkan oleh siapa pun. pantas tokoh seperti
gurumu juga kena disergap mereka."
"Tapi mereka pun jangan harap bisa hidup," ujar si nona
gemas. "Sebelum ajal, suhu membalas sakit hatinya sendiri."
"Oo"!" Goan Sui-hun bersuara heran.
"Setelah berhasil mengerjai Suhu, segera mereka
bermaksud kabur, tak tersangka akhir-akhir ini Suhu berhasil
meyakinkan ilmu Ti-sim-jiu (tangan mengorek hati)," tutur si
nona. "Ti-sim-jiu?" Goan Sui-hun mengulang nama itu. "Ya, Tisim-
jiu." kata si nona. "Suhu merasa orang jahat di dunia
Kangouw makin lama makin merajalela, beliau meyakinkan
ilmu sakti ini khusus untuk menghadapi kawanan penjahat."
"Konon Ti-sim-jiu adalah ciptaan Hoa Khing-hong, ketua
Hoa-san-pay angkatan keempat, setelah lanjut usia, dia
merasa Kungfunya terlalu keji, maka anak muridnya dilarang
melatihnya. Sejak itu ilmu sakti itu putus keturunan. Entah
cara bagaimana gurumu bisa memperoleh rahasia ilmu itu?"
Nona cilik itu seperti menyadari telah kelepasan omong, ia
lantas tutup mulut. Tapi Oh Thi-hoa menyambungnya, "Konon Na-lohujin
sahabat karib Koh-bwe Taysu. masa Goan Sui-hun tidak
tahu?" Ternyata Oh Thi-hoa juga bisa berdusta bagi orang lain,
cuma caranya berdusta mi tidak terlalu pintar.
Sejak kecil Koh-bwe Taysu sudah cukur rambut dan
menjadi Nikoh, wataknya dingin menyendiri, bicara saja
sungkan, terkadang malah sepanjang hari tidak buka mulut,
mana bisa dia bersahabat dengan Na-lohujin yang tempat
tinggalnya berjauhan. Apalagi peraturan Hoa-san-pay amat keras, Koh-bwe
Taysu juga terkenal sangat disiplin dan memegang teguh
hukum perguruan, adil tanpa pilih kasih, mana mungkin dia
mengajarkan ilmu sakti perguruan sendiri kepada orang luar.
Untung Goan Sui-hun tidak bertanya lebih lanjut Agaknya
putera keluarga penilaian yang terkenal ini jarang bergerak di
dunia Kangouw. maka pengetahuannya terhadap seluk-beluk
dunia persilatan tidaklah banyak.
Dia hanya manggut-manggut saja, lalu berkata. "Ilmu Tisim-
jiu ini memang keji, tapi kalau digunakan terhadap kaum
durjana dunia Kangouw kiranya juga sangat tepat..... Orang
yang biasa berbuat jahat dan keji harus dibalas dengan sama
kejinya." Coh Liu-hiang menghela napas gegetun, katanya, "Jika
beliau tak memiliki ilmu sakti ini, mungkin keempat manusia itu
akan sempat melarikan diri."


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memangnya kenapa" Apakah dengan Kungfu jenis lain
tak mampu membinasakan mereka?" tanya Oh Thi-hoa.
"Ilmu lain kebanyakan berdasarkan tenaga dalam yang
kuat baru dapat memperlihatkan daya serangannya," tutur
Coh Liu-hiang. "Dalam keadaan seluruh ruas tulang tercerai
berai, cara bagaimana beliau sanggup mengerahkan tenaga
murni pula?" "Betul," kata Goan Sui-hun.
"Ti-sim-jiu adalah semacam Kungfu khas yang
mengutamakan tenaga luar, intisarinya terletak pada gerakan
yang tepat, makanya pada saat terakhir beliau sempat
membinasakan mereka dengan sekali serang."
"Pengetahuan Hiangswe yang luas benar-benar sangat
mengagumkan," ujar Goan Sui-hun.
'Walaupun begitu, andaikan mereka mau lari juga tidak
mungkin." ujar Oh Thi-hoa.
"Oo" Dasarnya?" tanya Coh Liu-hiang.
"Kita kan bukan orang mampus, masa kita menyaksikan
mereka kabur begitu saja?" jengek Oh Thi-hoa.
"Betul juga," kata Coh Liu-hiang. "Tapi mereka telanjang
bulat tanpa sehelai benang pun d. tubuhnya, jika empat
perempuan bugil menerjang keluar mendadak, siapa yang
mampu menahan mereka" Apalagi, seperti cerita nona tadi,
tubuh mereka licin berminyak, andaikan dipegang juga belum
tentu kena." "Tidak dapat memegangnya, sedikitnya dapat menahan
lari mereka," jengek Oh Thi-hoa pula.
"Tapi bilamana mereka menerjang keluar mendadak,
sebelum kita tahu apa yang terjadi, masa kita akan membunuh
mereka begitu saja" Apalagi kamar ini kan tidak cuma ada
sebuah pintu saja." Kamar kabin ini memang betul ada dua pintu, sebuah
sebuah pintu menembus ke kamar sebelah, yaitu kamar
tempat tinggal Ko A-lam, sudah tentu sekarang di kamar itu
tiada seorang pun. Oh Thi-hoa tak dapat bicara pula, terpaksa tutup mulut.
"Dari situ dapat diketahui bahwa peristiwa ini sejak awal
hingga akhir memang telah direncanakan dengan rapi," kata
Coh Liu-hiang pula. "Malahan bertelanjang bulat juga
termasuk sebagian rencana mereka."
"Ya, mereka sengaja menyusup ke dalam jaring agar
diseret ke atas, sejak semula mereka sudah menggunakan
cara yang mengejutkan sehingga sukar diraba, malah sengaja
telanjang bulat sehingga orang tidak berani memandang
mereka dengan cermat, lebih-lebih tidak berani menjamah
mereka," Goan Sui-hun menghela napas gegetun, lalu
melanjutkan, "Perencanaan mereka bukan saja sangat rapi.
bahkan sangat aneh. misterius, lucu dan sukar dibayangkan."
"Hanya satu hal yang tidak dapat kuselami hingga
sekarang," tiba-tiba Eng Ban-li menyela. "Hal apa?" tanya Coh
Liu-hiang. "Aku melihat Lwekang mereka tidak tinggi, tapi mengapa
bisa menahan napas selama itu di dalam laut," kata Eng Banli.
Selagi Coh Liu-hiang berpikir, tiba-tiba Goan Sui-hun
berkata, "Hal ini mungkin dapat kujelaskan."
"Silakan," kata Eng Ban-li.
"Konon di lautan selatan sana, banyak penghuni pulau
yang mahir menyelam dan ada gadis-gadis pencuri mutiara
yang terlatih sejak kecil, sekali menyelam sanggup bertahan
cukup lama tanpa ganti napas. Oleh karena tenaga badan
harus banyak digunakan waktu menyelam, maka rata-rata
tubuh gadis pencari mutiara itu sangat kekar dan kuat."
"Jika demikian, keempat nona telanjang itu pasti gadis
pencari mutiara di lautan selatan sana?" ujar Eng Ban-li.
"Bila Goan-kongcu mengetahui di dunia ada orang macam
begitu, tak kau katakan sejak tadi?"kata Oh Thi-hoa.
"Soalnya urusan ini sukar untuk dibayangkan, sebelum ini
aku pun tidak pernah memikirkannya," jawab Goan Sui-hun.
"Tapi kau bilang di sekitar sini tiada sesuatu pulau, lalu
darimana datangnya mereka?" tanya Eng Ban-li.
"Dan darimana pula mereka mengetahui Na-lohujin berada
di kapal ini, darimana pula mereka tahu Na-lohujin mau
menyembuhkan mereka?" tukas Thio Sam.
"Ya, pertanyaan-pertanyaan ini hanya mereka sendiri yang
dapat memberi jawaban." ujar Goan Sui-hun. Setelah
menghela napas, mendadak ,a berkata pula, "Sebelum
meninggal, apakah gurumu meninggalkan pesan?"
"Aku.... aku tidak tahu," jawab si nona cilik tadi.
"Tak tahu?" Oh Thi-hoa menegas dengan berkerut kening.
"Ya. sebab begitu melihat darah, seketika.... seketika aku
jatuh pingsan," jawab si nona.
"Kukira Na-lohujin juga tak sempat omong apa-apa, sebab
beliau pasti juga tidak tahu asal-usul mereka, kalau tahu,
masakah sampai kena disergap?" kata Coh Liu-hiang.
Goan Sui-hun menghela napas, katanya, "Sudah berpuluh
tahun beliau tidak bergerak di dunia Kangouw, dengan
sendirinya tidak pernah mengikat permusuhan dengan siapa
pun juga, lalu mengapa orang-orang itu sengaja
menyergapnya dengan perencanaan serapi ini" Apa
sebabnya?" Memang di sinilah kunci rahasia ini.
Apa sebabnya" Tanpa sebab mustahil membunuh orang"
Coh Liu-hiang tidak menjawab pertanyaannya, ia
termenung cukup lama. katanya kemudian dengan menghela
napas. "Apapun juga. rahasia ini pada suatu hari pasti akan
terbongkar. tapi sekarang aku cuma berharap kejadiankejadian
menakutkan ini selanjutnya takkan terjadi lagi."
Sudah tentu tak pernah terpikir olehnya. betapa besar
imbalannya bila dia ingin membongkar rahasia ini, lebih-lebih
tak terpikir olehnya bahwa kejadian-kejadian beberapa hari
berikutnya akan akan jauh lebih seram dan menakutkan dari
sebelumnya. 00ooo00 Upacara pemakaman berlangsung sederhana, tapi
khidmat. Pemakaman secara dilarung, yakni dihanyutkan ke
laut. Meski murid pemeluk agama Budha mengutamakan
pembakaran mayat tapi Ko A-lam dan nona cilik itu tidak
berkeras minta guru mereka dibakar, dengan sendirinya orang
lain tidak perlu banyak bicara.
Sekarang Coh Liu-hiang mengetahui si nona cilik itu
bernama Hoa Cin-cin. Hoa Cin-cin! Bukan saja namanya indah, anak dara ini
juga cantik. Hanya nyalinya saja terlalu kecil serta pemalu.
Sejak dia meninggalkan pelukan Coh Liu-hiang, sama
sekali ia tak berani memandangnya lagi barang sekejap.
Apabila sorot mata Coh Liu-hiang tertuju kepadanya, seketika
mukanya meniadi merah. Baju Coh Liu-hiang masih tertinggal bekas air mata si
nona, tapi dalam hati Coh Liu-hiang terasa rada kesal, ia tidak
tahu bilakah akan datang kesempatan untuk memeluk anak
dara itu. Ko A-lam juga tidak memandang pada Oh Thi-hoa, juga
tidak bicara. Goan Sui-hun bertanya padanya, apakah gurunya
meninggalkan pesan sebelum mengembuskan napas
penghabisan, tapi Ko A-lam menggeleng kepala dengan mimik
aneh, ujung jarinya agak gemetar, seperti kuatir dan rada-rada
takut. Mengapa bisa begitu" Apa sebabnya"
Apakah sebelumnya Koh-bwe Taysu telah membeberkan
sesuatu rahasia kepadanya, tapi dia tidak mau
memberitahukan kepada orang lain atau memang tidak berani
buka mulut" 00ooo00 Cuaca gelap dan mendung, agaknya akan hujan angin
lagi. Pendek kata, seharian ini tiada terjadi sesuatu yang
menyenangkan, benar-benar membuat orang merasa cemas
dan gelisah, hampir membuat orang jadi gila.
Yang paling kesal tentu Oh Thi-hoa, banyak urusan yang
hendak ditanyakan pada Coh Liu-hiang, tapi belum ada
kesempatan. Setelah malam tiba. habis makan dan kembali ke
kabin segera Oh Thi-hoa menutup pintu kamar dan berseru,
"Baik. sekarang tentu dapat kau ceritakan."
"Cerita apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Koh-bwe Taysu mati begitu saja. masa kau tidak
berkomentar apa-apa?"
"Betul, kukira sedikit banyak kau pasti melihat sesuatu
yang mencurigakan?" kata Thio Sam.
Coh Liu-hiang tak menjawab, ia termenung sejenak,
ucapnya kemudian, "Jika ada sesuatu yang kutemukan, tentu
kalian pun sudah melihatnya."
"Mengapa tidak kau ceritakan, coba?" kata Oh Thi-hoa.
"Pertama, para gadis pencari mutiara itu pasti bukan
pelaku utamanya." "Betul Inipun sudah kuduga, tapi siapa gerangan pelaku
utamanya?" tanya Oh Thi-hoa.
"Meski aku tidak tahu siapa dia, tetapi mereka tahu Nalohujin
sama dengan Koh-bwe Taysu."
"Betul," Oh Thi-hoa mengangguk. "Sudah kuduga yang
hendak mereka bunuh sesungguhnya ialah Koh-bwe Taysu."
"Tapi Koh-bwe Taysu juga serupa Na-lohujin. berpuluhpuluh
tahun tidak berkecimpung di dunia Kangouw, musuhnya
di masa lalu juga sudah mati semua."
"Sebab itulah kunci persoalan ini. tepat seperti apa yang
dikatakan Goan Sui-hun. yaitu sebab apa orang-orang ini
hendak membunuh Koh-bwe Taysu" Apa maksud tujuannya?"
"Maksud tujuan membunuh kebanyakan menyangkut
dendam, duit perempuan," kata Coh Liu-hiang. "Tapi beberapa
soal ini pasti tiada sangkut pautnya dengan Koh-bwe Taysu."
"Betul," tukas Oh Th i-hoa. " Koh-bwe Taysu tidak punya
musuh juga bukan hartawan, lebih-lebih tidak mungkin
tersangkut urusan percintaan."
"Sebab itulah kecuali beberapa sebab itu, sisanya cuma
tinggal satu kemungkinan." kata Coh Liu-hiang. "Kemungkinan
apa?" tanya Oh Thi-hoa. "Yaitu antara membunuh atau
dibunuh," tutur C oh Liu-hiang "Sebab biang keladi persoalan
ini tahu, bila tak membunuh Koh-bwe Taysu". maka dialah
yang akan dibunuh." Oh Thi-hoa meraba hidung, katanya, "Apa maksudmu
pelaku ulama ini yang menjual rahasia Jing-hong-cap-sah-sik
itu?" "Betul," jawab Coh Liu-hiang.
"Artinya orang yang berada di Pian-hok-to, begitu bukan?"
"Betul." kata Coh Liu-hiang. "Mereka tahu, Na-lohujin ini-pun
Koh-bwe Taysu adanya. mereka tahu perjalanan Koh-bwe
Taysu adalah untuk membongkar rahasia mereka, maka harus
turun tangan lebih dulu dengan cara apapun, betapapun Kohbwe
Taysu tidak boleh menginjak Pan-hok-to dalam keadaan
hidup," "Jika begitu, tentu mereka pun sudah tahu siapa kita"
Seyogyanya mereka pun akan membinasakan kita sekaligus,
tapi mengapa kita tidak diganggu sama sekali?"
"Bisa jadi mereka pun tahu bukan pekerjaan mudah jika
hendak membunuh kita, atau mungkin juga...,"
Belum habis ucapan Thio Sam. segera Coh Liu-hiang
menyambungnya. "Mungkin mereka mempunyai rencana
tertentu, mereka yakin dapat membunuh kita. maka sekarang
tak perlu terburu-buru turun tangan."
"Apakah mereka baru akan turun tangan bila kita sudah
tiba di Pian-hok-to?" tanya Oh Thi-hoa.
"Hal ini sangat mungkin," kata Coh Liu-hiang. "Sebab di
sanalah daerah kekuasaan mereka, segala apapun lebih
menguntungkan mereka, sebaliknya kita..... " Ia menghela
napas, lalu mnyambung sambil menyengir, "Bagaimana
bentuk Pian-hok-to itu sampai detik inipun belum lagi tahu."
Thio Sam tampak termenung, ucapnya kemudian. "Jika
kita ingin tahu bagaimana keadaan pulau itu, hanya satu
orang yang dapat kita tanyai."
"Siapa?" tanya Oh Thi-hoa.
"Kau!" jawab Thio Sam.
Oh Thi-hoa melengak dan tertawa geli, katanya, "Apakah
kau melihat setan" Mimpi pun belum pernah kulihat pulau
kalong segala." Thio Sam berkedip-kedip, katanya tertawa, "Kau sendiri
memang belum pernah berkunjung ke sana, tapi nona Kim
kan pernah" Jika sekarang kau tanya padanya, tentu dia akan
memberi keterangan padamu."
"Aha betul!" teriak Oh Thi-hoa mendadak sambil melompat
bangun dengan tertawa. "Aku memang ada janji, hampir saja
kulupa jika kau tidak mengingatkan."
oooo0000oooo Setelah keluar dari kamar baru Oh Thi-hoa ingat seharian
ini Kim Leng-ci tidak kelihatan, entah sengaja menghindari Ko
A-lam atau tidur di kamarnya.
Yang dia harapkan adalah semoga Kim Leng-ci tidak
melupakan janji pertemuan ini.
Mungkin dia sendiri sangat mementingkan janji pertemuan
ini. maka bisa lupa. Tapi kalau Kim Leng-ci juga lupa. tentu dia
akan sangat sedih. Antara lelaki dan perempuan bila mulai mengadakan janji
berkencan, maka hatinya akan berdebar-debar, di samping
gembira juga cemas, kedua pihak kuatir kalau pihak lain tidak
menepati janji maka ia sendiri malah tidak mau hadir lebih
dahulu. Begitu pula perasaan Oh Thi-hoa pada saat itu hampir saja
putar balik. saat itu ia telah mendaki tangga. Mendadak
terdengar suara jeritan. Suara perempuan, apakah suara Kim Leng-ci"
Suara jeritan itu penuh mengandung rasa kaget dan takut,
menyusul lantas terdengar suara "plung" yang keras, seperti
benda berat yang tercebur ke laut.
Jantung Oh Thi-hoa hampir saja berhenti berdetak,
Apakah mungkin kapal inipun serupa kapal Hay Koa-thian" Di
kapal ini pun bersembunyi si pengganas"
Apakah Kim Leng-ci juga serupa Hiang Thian-hui, telah
dibunuh orang lebih dahulu, lalu diceburkan ke laut"
Dengan gerak cepat Oh Thi-hoa menerjang ke atas, ke
geladak kapal. Ia menghela napas lega setiba di atas. Sebab
dilihatnya Kim Leng-ci berdiri di sana, berdiri di tempat yang
sama seperti kemarin, berdiri menghadap ke laut.
Rambutnya yang panjang tampak bergoyang-goyang


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertiup angin, tampaknya begitu lembut dan luwes. Di sekitar
situ tiada nampak orang lain, juga tiada suara orang.
Tapi mengapa tadi dia menjerit" Apakah dia melihat
sesuatu yang sangat menakutkan"
Perlahan-lahan Oh Thi-hoa mendekati, setiba di
belakangnya barulah ia menyapa dengan tersenyum. "Apakah
kudatang terlambat?"
Namun si nona tidak menoleh, juga tidak menjawab. "Tadi
seperti terdengar ada sesuatu benda jatuh ke laut, barang
apakah?" tanya Oh Thi-hoa pula.
Kim Leng-ci hanya menggeleng tanpa menjawab.
Rambutnya bergerak-gerak membawa bau harum.
Tanpa terasa Oh Thi-hoa membelai rambut si nona,
katanya dengan suara lembut "Kau bilang ingin bicara
denganku, mengapa tidak kau katakan sekarang?"
Si nona lantas menunduk, tubuhnya rada gemetar. Malam
di lautan lepas seakan-akan jauh lebih hangat, lebih mudah
menggetar sukma. Oh Thi-hoa merasa si nona sedemikian lembut,
menyenangkan, dirinya wajib melindunginya, menyukainya.
Tanpa terasa merangkul pinggangnya dan berbisik perlahan,
"Di depanku, apapun boleh kau katakan, sesungguhnya aku
dan nona Ko tiada hubungan apa-apa. hanya......."
Sekonyong-konyong 'Kim Leng-ci' mendorongnya, terus
membalik tubuh sambil menatapnya dengan tajam. Muka si
nona kelihatan pucat pasi, bibirnya juga pucat.
"Hanya...... hanya apa?" dengan suara gemetar si nona
bertanya. Seketika Oh Thi-hoa jadi melenggong. melenggong seperti
patung. Nona yang berdiri di depannya ini ternyata bukan Kim
Leng-ci melainkan Ko A-lam adanya.
Sungguh runyam! Rupanya karena pikiran kacau, yang
dipikir Oh Thi-hoa hanya Kim Leng-ci dan janji penemuan
mereka, ia lupa antara Ko A-lam dan Kim Leng-ci punya
perawakan sama, rambut juga sama panjangnya. Maka siapa
pun yang berdiri di situ hakikatnya tak diperhatikan olehnya.
Tanpa berkedip Ko A-lam melototi Oh Thi-hoa, lalu ia
menegas pula, "Hanya apa maksudmu?"
Oh Thi-hoa gelagapan dan kikuk, akhirnya menjawab pula,
"Hanya teman saja..., bukankah kita memang teman?"
Mendadak Ko A-lam membalik tubuh ke sana. menghadap
ke laut. Dia tidak bicara lagi, tapi tubuhnya gemetar, entah
karena rasa takut atau berduka.
"Sejak.... sejak tadi kau berada di sini?" tanya Oh Thi-hoa.
"Ehm," jawab Ko A-lam.
"Di sini tiada terjadi sesuatu?"
"Tidak." Oh Ihi-hoa jadi ragu-ragu, ucapnya, "Juga tiada
kedatangan orang lain?"
Ko A-lam terdiam sejenak, mendadak ia mengejek "Jika
kau berjanji dengan seorang untuk bertemu di sini. maka
boleh kukatakan padamu bahwa sama sekali dia tidak
muncul." Oh Thi-hoa ragu-ragu hingga lama, akhirnya tak tahan dan
berkata, "Tapi tadi ku.... kudengar seperti ada suara sesuatu."
"Suara apa?" tanya Ko A-lam.
"Suara benda jatuh ke laut" Juga ada suara jeritan
orang,"jawab Oh Thi-hoa.
"Hm, barangkali kau mimpi," jengek Ko A-lam.
Oh Thi-hoa tidak berani bertanya lagi. tetapi ia percaya
telinga sendiri pasti tidak keliru dengar.
Sungguh ia ingin bertanya suara jeritan siapakah tadi"
Suara "plung" tadi sebenarnya suara apa"
Ia pun percaya Kim Leng-ci pasti tidak ingkar janji, sebab
janji bertemu datang dan si nona sendiri, jika begitu, mengapa
dia tidak hadir" Kemanakah dia pergi"
Sekonyong-konyong timbul bayangan adegan yang
menakutkan di depan mata Oh Thi-hoa, ia seperti melihat dua
anak perempuan yang berambut panjang sedang bertengkar,
seorang di antaranya telah didorong masuk ke laut.
Seketika tangan Oh Thi-hoa berkeringat dingin, mendadak
ia tarik tangan Ko A-lam dan dibawa lari kembali ke kabin.
Ko A-lam terkejut dan gusar, katanya, "He, apa-apaan?"
Oh Thi-hoa tidak menjawab, ia menyeretnya ke depan
pintu kabin Kim Leng-ci. lalu menggedor pintu sekeraskerasnya.
Tidak terdengar suara jawaban dan dalam, jelas Kim Lengci
tidak berada di kamarnya.
Mata Oh Thi-hoa menjadi merah, ia seperti melihat mayat
nona itu mengambang di permukaan laut. Darah terasa
bergolak di rongga dadanya, tanpa pikir lagi ia mendobrak
pintu sekuatnya sehingga daun pintu terpentang.
Tapi ia jadi melengak sendiri.
Seorang tampak duduk di tempat tidur dan sedang
menyisir rambut dengan santai, siapa lagi kalau bukan Kim
Leng-ci" Wajah si nona tampak pucat dan melotot! Oh Thi-hoa
dengan dingin. Ko A-lam juga mendelik padanya dengan dongkol. Oh Thihoa
serba runyam, kalau bisa ingin bunuh diri saja. Terpaksa
ia menyengir dan menegur dengan ragu-ragu, "Meng.....
mengapa kau tidak membuka pintu?" "Untuk apa tengah
malam menggedor pintu kamar orang?" jengek Kim Leng-ci.
Seketika Oh Thi-hoa seperti kena ditampar satu kali,
mukanya terasa panas, hati juga panas. Ia termangu-mangu
sejenak akhirnya bertanya, "Jadi kau memang., memang tidak
hadir?" "Hadir kemana?" tanya Kim Leng-ci.
Mau tak mau Oh Thi-hoa menjadi gemas juga. "Kau sendiri
yang berjanji padaku, mengapa berlagak tidak tahu?"
Kim Leng-ci tak memperlihatkan sesuatu perasaan,
jawabnya hambar, "Aku berjanji" Ah. barangkah aku lupa."
Mendadak ia bangkit, "blang", daun pintu terus
digabrukkan dengan keras.
Karena palang pintu patah lantaran didobrak Oh Thi-hoa
tadi. ia lantas menyeret meja untuk menahan daun pintunya.
Mendengar suara meja diseret itu. Oh Thi-hoa merasa
dirinya seperti seekor anjing, anjing piaraan yang goblok,
untung tiada orang lain yang menyaksikan, kalau tidak,
mungkin dia bisa membenturkan kepalanya ke dinding untuk
bunuh diri. Ia menunduk malu, baru disadarinya tangan Ko A-lam
masih digandengnya. Si nona ternyata tidak melepaskan
tangannya. Hati Oh Thi-hoa jadi sedih dan berterima kasih pula,
katanya sambil menunduk, "Aku salah.... aku salah
menuduhmu." "Ini kan sifatmu, sudah lama kutahu," ujar Ko A-lam.
suaranya lirih lembut dan sedang menatapnya lekat-lekat,
lalu berkata dengan suara halus. "Sebenarnya kau pun
tidak perlu sedih, ucapan anak perempuan memang tidak
boleh dianggap sungguh-sungguh Bisa jadi ia pun tidak
sengaja hendak membohongimu, mungkin ia cuma merasa
lucu saja mempermainkanmu."
Sudah tentu maksud Ko A-lam ingin menghibur agar
perasaan Oh Thi-hoa tidak terlalu kikuk Tapi bagi
pendengaran Oh Thi-hoa. kata-kata Ko A-lam itu lebih
menusuk daripada mencaci maki padanya.
Ko A-lam juga menunduk, katanya, "Jika.... jika kau
merasa kesal kuiringi kau minum barang dua-tiga cawan."
Dalam keadaan demikian Oh Thi-hoa memang
memerlukan minum dua cawan arak. Baru sekarang ia
percaya 'teman lama' tetap lebih baik.
Diam-diam ia memaki kebrengsekan dirinya sendiri, punya
teman sebaik ini, tapi malah mencari cewek lain, malahan
hendak melukai hatinya. Mata Oh Thi-hoa jadi rada merah, hidung juga rada basah.
Suara jeritan siapakah tadi" Mengapa menjerit" Dan suara
"plung" itu suara apakah sebenarnya"
Mengapa Kim Leng-ci tidak datang memenuhi janjinya"
Urusan apa yang telah mengubah pendiriannya"
Pertanyaan-pertanyaan itu kini sudah dilupakan
seluruhnya oleh Oh Thi-hoa. Kini, asalkan didampingi teman
lama seperti Ko A-lam, untuk apa pula dia memikirkan urusan
lain" Oh Thi-hoa kucek-kucek hidung dan berkata, "Aku akan
berusaha mencari arak, dimana akan kau tunggu?"
Ko A-lam tertawa, jawabnya, "Kau masih tetap sama
seperti tujuh delapan tahun yang lalu, tidak berubah
sedikitpun." "Kau pun tidak berubah," kata Oh Thi-hoa sambil
menatapnya lekat-lekat. Kepala Ko A-lam tertunduk semakin rendah, ia menghela
napas perlahan lalu berkata pula, "Aku........ aku sudah tua."
Pipinya bersemu merah, di bawah cahaya remangremang,
tampaknya lebih muda daripada tujuh-delapan tahun
yang lalu. Seorang yang kesepian bilamana bertemu kembali dengan
kekasih lama, mana bisa mengekang perasaannya. Ko A-lam
pun demikian, mustahil Oh Thi-hoa tidak demikian"
Oh Thi-hoa sudah melupakan peristiwa tadi, segera ia
pegang tangan si nona dan berkata, "Marilah kita...."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar
suara "blang" yang keras disertai guncangan yang dahsyat.
Seluruh kapal seakan-akan terlempar oleh suara benturan
itu. lampu tembaga yang menempel di dinding ikut bergoyanggoyang
dan hampir padam. Ko A-lam menjerit perlahan dan menjatuhkan diri ke
pelukan Oh Thi-hoa. Oh Thi-hoa sendiri pun tidak dapat berdiri
tegak. Ia terhuyung-huyung menumbuk tubuh seseorang.
Rupanya Thio Sam adanya, entah sejak kapan ia sudah
keluar, bahkan muncul sedemkian cepat. Jangan-jangan sejak
tadi dia sudah berdiri dan mencuri dengar di situ"
Di tengah seribu kerepotannya, Oh Thi-hoa tidak melototi
Thio Sam, desisnya, "Keparat, nampaknya watakmu yang
suka main sembunyi-sembunyi ini sukar berubah, hati-hati jika
matamu timbul bisul besar."
Thio Sam menyengir, katanya, "Aku tidak melihat apa-apa
dan juga tidak mendengar apapun." Belum lenyap suaranya ia
angkat langkah seribu. * * * * * * Alam gelap gulita, cahaya bulan maupun sinar bintang
tertutup rapat awan tebal, sinar lampu sudah padam tertiup
topan. Badan kapal mulai miring, gelombang badai bergulunggulung
mendampar ke atas geladak. Kecuali topan dan ombak
yang gemuruh, apa pun tidak kelihatan dan tidak terdengar.
Tiada seorang pun yang tahu apa yang telah terjadi.
Semua orang berkumpul di atas geladak, semua bermuka
pucat ketakutan. Perubahan alam ini tidak mungkin dilawan
oleh siapa pun. Setiap orang sama memegangi sesuatu, kuatir
digulung ombak besar dan tertelan.
Hanya beberapa orang saja yang masih berdiri tegak di
sana. baju mereka pun sudah basah kuyup oleh air ombak,
tapi sikap mereka masih tetap tenang.
Lebih-lebih Goan Sui-hun, tampaknya jauh lebih tenang
daripada Coh Liu-hiang, ia berdiri tegak di sana dan
mendengarkan dengan cermat. Tiada yang tahu apa yang
dapat didengar olehnya. Tiba-tiba ombak besar mendampar. seorang kelasi
terlempar kemari. untung Goan Sui-hun sempat menangkap
tubuhnya. Tanyanya dengan prihatin, "Apa yang terjadi?"
Dengan suara serak kelasi itu menjawab, "Kapal
menumbuk karang. badan kapal pecah dan kemasukan air."
Goan Sui-hun berkerut kening, katanya, "Dimana juru mudi
yang memimpin pelayaran ini?"
"Tidak kelihatan, sudah kucari tidak ketemu. mungkin
terhanyut ombak," tutur kelasi itu.
Sejak tadi Coh Liu-hiang berdiri di samping Goan Sui-hun,
kini mendadak ia berkata. "Kapal ini masih dapat bertahan
berapa lama?" "Sukar diramalkan," jawab si kelasi. "Tapi takkan lebih
lama dari setengah jam."
Setelah berpikir. Coh Liu-hiang berkata pula. "Akan kulihat
ke depan sana." Begitu berkelebat, segera tubuhnya seperti menghilang
ditelan badai dan ombak yang mengamuk itu.
Batu karang bertebaran di permukaan laut. dipandang
dalam kegelapan malam yang pekat ini tampaknya seperti
taring raksasa binatang purba. Badan kapal seakan-akan
tergigit oleh taring raksasa itu.
Mendadak Coh Liu-hiang melihat bayangan orang
berkelebat di batu karang sana. Di malam gelap begini, di
tengah damparan ombak dan angin hadai. tentu sukar baginya
untuk membedakan wajah dan bentuk tubuh orang itu. la
cuma merasa Ginkang orang iru maha tinggi, bahkan seperti
sudah dikenalnya. Siapakah gerangan dia" Mengapa meninggalkan kapal di
tengah gelombang ombak sedahsyat ini" Akan kemanakah
dia" Padahal di kejauhan cuma kegelapan belaka, apapun tak
terlihat. Dipandang ke sana melalui batu karang yang
menyerupai deretan gigi raksasa binatang purba, tampaknya
seperti berada di perbatasan neraka. Apakah orang ini
sengaja masuk neraka dengan sukarela"
Tiba-tiba terdengar seorang menegur, "Apakah Coh hiangswe
melihat sesuatu?" Kiranya Goan Sui-hun sudah menyusul tiba, bahkan
mengetahui Coh Liu-hiang berada di situ. Meski matanya buta.
tapi perasaannya seperti mempunyai sebuah mata.
Setelah termenung sejenak, Coh Liu-hiang menjawab, "Di
batu karang sana seperti ada seseorang...."
"Orang" Dimana?" tanya Goan Sui-hun.
"Sudah lari ke sana," tutur Coh Liu-hiang sambil
memandang ke tempat gelap di kejauhan sana.
"Tempat apakah di sana?" tanya Goan Sui-hun pula.
"Entah, tidak kelihatan," jawab Coh Liu-hiang.
"Jika ada orang menuju ke sana, kukira di sana pasti ada
pulau." kata Goan Sui-hun setelah berpikir sejenak.
"Sekalipun ada, tentu juga pulau karang tanpa penghuni."
"Berdasarkan apa Coh-hiangswe menarik kesimpulan


Legenda Kelelawar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian?" tanya Goan Sui-hun.
"Kalau ada orang di sana, tentu ada cahaya lampu?"
"Apakah Hiangswe tidak melihat sinar lampu?"
"Tidak ada, apapun tidak kelihatan!"
Goan Sui-hun terdiam agak lama, lalu katanya, "Apapun
juga, di sana kan lebih aman daripada di sini, kalau tidak,
mengapa dia kabur ke sana?"
Coh Liu-hiang mengangguk. katanya, "Betul juga. Tapi dia
tahu tempat apa di sana, sedangkan kita tidak tahu."
"Sebab itulah kita pun harus coba ke sana daripada
bercokol di sini. yang jelas sebentar lagi akan mati konyol,"
kata Goan Sui-hun. Sementara itu Oh Thi-hoa dan Thio Sam juga sudah
menyusul. segera ia menyela. "Baik, aku akan pergi dulu ke
sana." "Jika dalam keadaan biasa. tentu Cayhe tidak berani
berebut dengan kalian, tapi dalam keadaan begini. apa yang
dapat dilihat orang buta mungkin malah takkan terlihat oleh
orang yang tidak buta," habis berkata, sekonyong-konyong
pemuda tuna netra itu terus melayang ke sana, kedua lengan
bajunya mengebut hingga menjangkitkan deru angin. Ketika
suara angin lenyap. jejaknya juga sudah menghilang dalam
kegelapan. Semua orang melenggong, sampai lama sekali baru Thio
Sam menghela napas dan bergumam, "Pendiam seperti anak
perempuan, lincah seperti kelinci lepas. Melukiskan dia
dengan kedua kalimat ini sungguh sangat cocok sekali.
Biasanya kalian cuma melihat dia ramah tamah dan sangat
pendiam. siapa yang menduga dia memiliki Kungfu setinggi
itu?" Oh Thi-hoa juga menghela napas gegetun. katanya, "Jika
Thian mengizinkan aku memilih seorang sahabat, maka aku
pasti memilih dia daripada memilih si kutu busuk."
"He, tempaknya kau seperti perempuan bayaran yang
lebih suka yang baru dan emoh pada yang lama," jengek Thio
Sam. Mendadak Coh Liu-hiang menyela, "Jika aku, mungkin aku
pun akan memilih dia."
"Sebab apa?" tanya Thio Sam sambil berkerut kening.
"Sebab aku lebih suka bermusuhan dengan siapa pun juga
daripada dengannva." kata Coh Liu-hiang.
"Apakah kau anggap dia jauh lebih menakutkan dari
musuh paling tangguh yang pernah kau kalahkan?" tanya Thio
Sam. Dengan sungguh-sungguh Coh Liu-hiang menjawab,
"Terus terang. memang dia jauh lebih menakutkan dari siapa
pun." "Untung dia bukan musuh kita, tapi kawan kita," ujar Oh
Thi-hoa sambil menghela napas lega.
"Aku juga cuma berharap dia juga akan menganggap kita
sebagai kawannya," tukas Thio Sam.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa bertanya, "Apakah tadi kau melihat
orang di batu karang sana?"
"Ehm," Coh Liu-hiang mengangguk.
"Mengapa tidak segera kau kejar dia?"
"Ginkang orang itu jelas tidak di bawahku, waktu aku
hendak mengejar, tahu-tahu dia sudah menghilang."
Oh Thi-hoa berkerut kening, katanya, "Orang yang memiliki
ginkang setaraf kau di dunia ini kuyakin dapat dihitung dengan
jari, lantas siapakah orang itu?"
"Meski wajah dan bangun tubuhnya tidak jelas kulihat, tapi
rasanya aku pernah melihatnya, seperti orang yang sudah kita
kenal," tutur Coh Liu-hiang.
"Katamu perawakannya tidak jelas kau lihat, cara
bagaimana diketahui dia itu kenalan kita?" tanya Oh Thi-hoa.
"Sebab gaya Ginkangnya amat istimewa. pula dia...." Coh
Liu-hiang tidak melanjutkan, mendadak matanya mencorong
terang, seperti teringat sesuatu.
"Dia.... dia apa?" tanya Oh Thi-hoa
"Dia punya kaki.... Ya. tidak salah lagi kakinya itu," gumam
Con Liu-hiang. "Kakinya kenapa?" tanya Oh Thi-hoa pula.
"Kakinya jauh lebih panjang daripada orang lain."
"Hah, yang kau maksudkan apakah... Kau Cu-tiang?" seru
Oh Thi-hoa dengan terbeliak.
Tapi Coh Liu-hiang tidak menjawab. Dia tidak suka
memastikan sesuatu hal yang belum jelas sepenuhnya.
Ia tahu bilamana seseorang terlalu cepat menarik
kesimpulan. maka sukar menghindari kesalahan. Padahal
kesalahan betapapun kecilnya, sering mendatangkan bencana
besar. Sementara itu Eng Ban-li juga sudah berkumpul di sini,
serunya terkejut, "Wah, jika demikian, jangan-jangan Kau Cutiang
memang berada di kapal ini, jangan-jangan Goan Suihun
melindunginya selama ini"
"Betul." sambung Thio Sam. "Kabin yang kosong ada
empat, rombongan Koh-bwe Taysu menempati tiga kamar.
masih sebuah lagi pasti tempat tinggalnya.... Memang sudah
kuduga sejak mula pasti ada sesuatu yang tidak beres pada
kabin itu." 'Tapi penyakitmu justru setiap kali terlalu cepat menarik
kesimpulan," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Namun sudah jelas aku....."
"Bisa jadi dia tidak turun dari kapal ini, tapi justru datang
dari pulau sana," sela Coh Liu-hiang.
"Betul bisa jadi dia sudah berada di pulau sana, ketika
mendengar suara kapal menumbuk karang. dengan sendirinya
Ia memeriksa ke sini," tukas Oh Thi-hoa.
"Apalagi aku pun tidak tahu jelas sesungguhnya siapai dia.
di dunia ini kan banyak orang yang berkaki panjang dan tidak
cuma Kau Cu-tiang." "Pula. seumpama betul dia Kau Cu-tiang. anggap betul dia
berada di kapal ini, lalu bagaimana" Kan juga tak dapat
membuktikan bahwa Goan Sui hun berkomplot dengannya."
ujar Oh Thi-hoa. "Apa betul tidak mungkin?" tanya Thio Sam.
"Sudah tentu tidak." jawab Oh Thi-hoa dengan mendelik,
"Coba jawab, jika kau menjadi Goan Sui-hun. ketika
melihat orang terapung di lautan. apakah kau tak menanyai
asal-usulnya, habis itu baru menolongnya?"
"Tidak." jawab Thio Sam tanpa pikir. "Menolong orang
seperti juga memadamkan kebakaran. sedetik pun tidak boleh
tertunda." "Itu dia, memang betul begitu," seru Oh Thi-hoa.
"Makanya, sampai detik ini mungkin sekali Goan Sui-hun
belum lagi tahu siapa dia."
"Tapi. tapi paling tidak kan harus diceritakannya kepada
kita..." "Cerita apa?" kata Oh Thi-hoa "Darimana dia tahu Kau Cutiang
ada persoalan dengan kita" Jika Kau Cu-tiang tidak suka
bergaul. apakah dia dapat memaksanya keluar kamar. Orang
baik seperti dia kan tidak mungkin memaksakan sesuatu
kepada orang lain?" Thio Sam menghela napas gegetun ucapnya, "Wah. jika
demikian, kita mengukur orang lain dengan baju kita sendiri."
"Tepat," seru Oh Thi-hoa. "Kalau ada sesuatu yang terpuji
pada dirimu, maka hal itu adalah kau ini cukup tahu diri."
Ketika angin menderu pula. Tahu-tahu Goan Sui-hun
sudah muncul kembali di depan mereka.
Sekujur badan pemuda tuna netra itu basah kuyup. tapi
sikapnya seakan tak pernah meninggalkan tempatnya.
Segera Oh Thi-hoa mendahului, bertanya, "Apakah Goankongcu
menemukan sesuatu di sana?"
"Ya, daratan," jawab Goan Sui-hun.
"Hah, di sana ada daratan?" seru Oh Thi-hoa girang.
"Bukan saja ada daratan, juga ada orang," demikian Goan
Sui-hun menambahkan. "Orang" Ada berapa orang?" tanya Oh Thi-hoa pula.
"Seperti sangat banyak."
Oh Thi-hoa tambah heran. tanyanya pula, "Orang-orang
macam apa?" "Aku cuma mendengar suara langkah orang banyak, lalu
buru-buru kembali ke sini."
"Mengapa Goan-kongcu tak bertanya kepada mereka
tempat apakah di sana?" Eng Ban-li ikut bicara.
"Sebab mereka memang hendak mencari kita, mungkin
sudah hampir tiba sekarang..."
Belum habis ucapan Goan Sui-hun. di batu karang sudah
muncul satu barisan bayangan orang. Jumlahnya ada tujuh
atau delapan orang, susul-menyusul mereka berjalan di pulau
karang yang tandus dan terjal itu dalam kegelapan. namun
cara berjalan mereka sangat cepat dan ringan seperti di tanah
datar saja. Oh Thi-hoa menaruh perhatian penuh mengamati barisan
orang itu. apakah ada orang yang berkaki panjang.
Ternyata tidak ada, Perawakan orang-orang itu rata-rata
kecil serupa kaum wanita. Kini barisan orang itu sudah dekat
tapi tetap belum terlihat jelas wajah mereka.
Orang yang berjalan paling depan sangat gesit, kira-kira
empat-lima tombak jauhnya, dia lantas berhenti pada puncak
sepotong batu karang yang menonjol.
Angin kencang disertai ombak mendampar, orang itu
tampak bergoyang-goyang seperti setiap saat bisa ditelan
ombak. Tapi, setelah ombak besar mendampar beberapa kali,
orang itu masih tetap berdiri tegak di tempatnya.
Sekali pandang Coh Liu-hiang lantas tahu Ginkang orang
ini juga sangat tinggi. bahkan pasti seorang perempuan.
Terdengar orang itu berseru. "Apakah di situ kapal
penumpang Goan-kongcu dari Tionggoan?" suaranya yang
nyaring merdu jelas suara perempuan.
Segera Goan Sui-hun menjawab. "Betul. Cayhe memang
Anak Pendekar 17 Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu Macan Tutul Lembah Daru 2
^