Pedang Tanduk Naga 1
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong Bagian 1
PEDANG TANDUK NAGA Karya/Saduran: SD. LIONG 1. Tetamu maut Hwe-sian-hong atau puncak pertemuan Dewa, merupakan puncak yang tertinggi
dari gunung Tiang-pek-san.
Disebut puncak pertemuan Dewa, karena puncaknya menembus awan sehingga tak
tampak, Begitu pula selalu diselimuti oleh salju putih, Empat penjuru
dikelilingi jurang yang curam dan tebing yang terjal.
Diatas segunduk karang datar seluas beberapa tombak dari puncak Hwe-sian-hong
yang dingin itu, sesosok tubuh tengah tegak bagaikan sebuah tonggak.
Dia seorang pemuda yang baru berumur sekitar 18 tahun. Bertubuh kekar dan
berwajah cakap. Wajahnya putih segar, dimeriahkan oleh sepasang bibir yang
merah dan disemarakkan oleh sepasang biji mata yang bersinar terang.
Dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian yang biasa digunakan oleh kaum
persilatan. Memakai kain kepala Bu-seng-kin atau ikat kepala kaum persilatan
untuk menahan angin dan hawa dingin, diapun mengenakan sehelai mantel
berwarna kuning telur. Bahu, punggungnya menyanggul sebatang pedang pusaka yang aneh bentuknya.
Tangkai pedang berikatkan sutera merah yang halus seperti rambut.
Pemuda itu memandang cakrawala, wajahnya tampak sarat dan membeku. Dia tak
menghiraukan tebaran salju yang berhamburan mendera muka dan tubuhnya.
Sesaat kemudian terdengar mulutnya menghela napas, sarat dan panjang, Seolah
sedang merenungkan sesuatu yang penting.
Memang aneh sekali, Mengapa seorang diri dia berdiri diatas karang yang sedang
dilanda angin prahara dan hujan salju.
Tetapi dari kerut wajah dan helaan napasnya itu, jelas dia tentu sedang
menghadapi suatu persoalan yang menggelisahkan hatinya.
Memandang cakrawala yang tengah menaburkan hujan salju itu, mulut pemuda itu
tampak bergerak-gerak, Seperti seorang yang tengah berdoa atau bicara seorang
diri. Dan tempat seperti itu, dia tegak seorang diri diatas karang" Apakah yang sedang
diucapkan dalam doanya" Mengapa ia menghela napas sedemikian sarat"
Sekonyong-konyong matanya memancar sinar berkilat tajam sekali. Tetapi pada
lain saat, sinar tajam itupun lenyap. Dan kerut wajahnya pun menampilkan suatu
keputusan yang kokoh. Rasanya dia telah menentukan suatu keputusan pada
persoalan yang tengah dihadapinya.
Dia telah menemukan suatu penyelesaian....
Tiba2 dibawah tebaran salju putih yang lebat, terdengarlah dua buah suara orang
berteriak nyaring: "Liong koko.... Liong koko..."
Teriakan itu bernada cemas dan gugup, pemuda itu terkejut lalu berputar tubuh
dan berseru keras: "Adik Lan, aku disini...!"
Sesosok bayangan putih, bagai seekor kupu2, segera beterbangan melintas hujan
salju, meluncur kearah tempat pemuda itu.
Pemuda itu terkejut Cepat ia lari menyongsong : "Adik Lan, jangan kemari, disini
angin keliwat besar, Berbahaya sekali !"
Tetapi bayangan putih itu tak mengurangi laju larinya dan beberapa saat kemudian
dia sudah makin dekat Ah, kiranya dia seorang dara cantik yang baru berumur 16-an tahun. sepasang
alisnya yang melengkung seperti bulan sabit, menaungi sepasang gundu mata yang
memancarkan sinar bening. Bibirnya yang berbentuk sepasang kelopak bunga
mawar, makin menyemarakan wajahnya yang berbentuk bundar telur, Kulitnya
yang putih mulus makin mulus dimahkotai rambut yang hitam legam.
Dara itu juga mengenakan pakaian ringkas warna putih dan mantel pendek penolak
angin. Melihat dara itu lari sedemikian gopoh dan wajah cemas, sambil pesatkan larinya,
pemuda itu berseru: "Adik Lan, apakah terjadi sesuatu dalam kuil?"
Seiring dengan kata-katanya maka berhadapanlah sepasang muda mudi itu
dibawah karang. Wajah dara itu amat pucat dan sikapnya amat gelisah, Dengan napas terengah dan
suara gemetar, ia berkata:
"Liong koko, katanya banyak sekali kojiu (jago2 sakti) yang akan datang ke kuil
sore ini, Mereka hendak memaksa Ban Hong Liong-li Ho-cianpwe yang bertapa selama
lima tahun dalam gua Kiu-kiok-tong keluar untuk menerima hukuman mati."
Menggigillah pemuda itu demi mendengar keterangan si dara.
"Siapa yang bilang ?" serunya bengis.
Dara itu melonjak kaget karena mendengar suara si pemuda yang sekeras orang
membentak. "Suhu mengatakan hal itu kepada berdua susiok-couw."
Belum dara itu selesai bicara, tiba2 pemuda itu tertawa nyaring, Nadanya penuh
getaran dari isi hatinya. Kumandangnya jauh menyusup keatas awan.
Setelah puas menumpahkan isi hatinya dalam tertawa yang keras dan panjang itu,
tiba2 pemuda itu merabah kebahu punggungnya dan tring...!
Sinar merah memancar tajam, menyilaukan mata, Dan tangan pemuda itupun
sudah mencekal sebatang pedang berwarna merah, Pedang itu panjangnya hampir
satu meter. Kilatan sinar merah dari pedang itu seolah menembus kabut tebaran salju putih,
Menimbulkan suatu cahaya bianglala yang menakjubkan pandang mata.
Dara baju putih menjerit kaget dan loncat mundur sampai setombak jauhnya.
Sambil lintangkan pedang, pemuda itu tertawa nyaring pula serunya:
"Selama aku, Siau Gin Liong masih berada disini, tak mungkin kubiarkan orang
akan mengacau Tiang-pek-san !"
Seiring dengan cahaya wajahnya yang menampilkan hawa pembunuhan maka
pedang itupun segera ditabaskan pada segunduk anak bukit salju di sampingnya.
"Bum..." Tumpukan salju yang merupakan sebuah gunduk anak bukit itu segera terbang
berhamburan ke seluruh penjuru.
Dara baju putih menjerit dan loncat mundur beberapa langkah lagi. Sambil
menuding kearah pedang yang dipegang si pemuda, dara itu berseru gemetar:
"Liong koko itu . . . itu apakah bukan pedang Tanduk Naga yang tergantung pada
tirai besi mulut gua Kiu-kiok-tong tempat Ban Hong Liong-li lo-cianpwe
bertapa ?" "Benar," sahut pemuda yang bernama Siau Gin Liong," memang inilah pedang
pusaka Tanduk Naga!"
Habis berkata ia terus memasukkan pedang kedalam kerangkanya lagi.
Tepat pada saat itu terdengar beberapa suitan nyaring dan panjang menggema di
udara, Suitan itu berasal dari puncak disebelah muka.
Suitan itu amat kuat dan berasal dari puncak yang jauh. walaupun salju turun
lebat dapat mengumandang sedemikian nyaring. Jelas orang itu tentu memiliki tenaga
dalam yang sakti. "Ho, biarlah aku yang akan menghadapi kawanan pembunuh itu lebih dulu," teriak
Gin Liong dengan marah, Laksana segulung asap, dia terus meluncur kearah suara
suitan itu. "Liong koko, kembalilah...." belum dara baju putih itu menyelesaikan
peringatannya kepada Gin Liong, tiba2 dia tergelincir dan jatuh jungkir balik
diatas tanah salju. Gin Liong berpaling, Kejutnya bukan kepalang. Sekali ayunkan tubuh dalam jurus
Berputar tubuh terbang balik, ia berputar-putar dan lari menghampiri.
Pemuda itu bahwa tahu sumoaynya, Ki Giok Lan itu seorang yang berbudi halus dan
berbadan lemah, sering sakit. Dalam menghadapi peristiwa yang menggoncangkan
hati, tentulah Giok Lan tak kuat dan rubuh pingsan.
Diangkatnya tubuh Giok Lan diatas pangkuannya. Setelah diurut-urut jalan
darahnya, dara itu pelahan-lahan membuka mata, Dua butir air mata menitik turun
dari kelopaknya... "Liong koko, jangan pergi," katanya sambil menatap wajah pemuda itu dengan
pandang meminta, "kata suhu mereka adalah jago2 yang sakti."
Gin liong mendengus geram.
"Sekalipun mereka jago2 sakti dari delapan penjuru dunia, aku Siau Gin Liong
tetap akan menghadapi mereka."
Yok Lan gemetar pula, Dengan mata berlinang-linang, ia memandang wajah Gin
liong, serunya dengan gemetar:
"Liong koko, jangan pergi, jangan engkau pergi..."
Gin-liong tahu bahwa sumoaynya itu amat sayang kepadanya dan memikirkan
keselamatan dirinya, Apabila dia berkeras tetap pergi, kemungkinan Yok Lan tentu
akan pingsan. Terpaksa ia menekan kemarahan dan berulang kali menganggukkan
kepala, namun pandang mata tetap berkeliaran memandang ke arah suitan itu.
Suitan sudah berhenti tetapi kumandangnya masih bergema, jauh dibawa deru
angin dingin ke ujung langit.
Setelah sukonya meluluskan tidak pergi, Yok Lan lalu menggeliat bangun dan
pelahan-lahan berdiri. Tepat pada saat itu terdengar suara pakaian bertebaran ditampar angin, Datangnya
suara itu dari puncak disebelah muka.
Gin-liong dan Yok Lan setempat berpaling ke arah suara itu.
Dibawah tebaran hujan salju yang lebat tampak tujuh sosok bayangan meluncur
bagai anak panah terlepas dari busurnya.
Sepasang alis Gin Liong cepat menjungkat dan matanya berkilat-kilat. Melihat
kokonya hendak bergerak, cepat2 Yok Lan ulurkan tangan mencekal lengan Gin
Liong. Tetapi belum sempat ia membuka mulut tiba2 terdengarlah bunyi genta
raksasa yang menggema keras sehingga salju yang hinggap diatas daun pohon2,
berhamburan jatuh kebawah.
"Hai, genta bahaya..." serempak berserulah Gin Liong dan Yok Lan. Dan sekali
ayun tubuh, kedua engkoh dan sumoay seperguruan itu segera lari ke arah hutan pohon
siong. Sambil berlari, Gin Liong tak lepaskan perhatiannya kepada tujuh sosok bayangan
yang menuju ke kuil di puncak gunung.
Setelah melintasi hutan siong, badai salju agak reda, Dan setelah beberapa saat
lagi, tembok merah dari kuil Leng-hun-si itupun mulai tampak diantara celah2
pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.
Selekas tiba di kuil itu, kedua anak muda itupun segera menerobos masuk ke pintu
samping. Serangkum suara bergelak tawa segera berhamburan menggema dari pintu depan
kuil. "Liong koko, mereka sudah tiba," kata Yok Lan agak cemas.
Wajah Gin Liong tampak membesi. Alisnya mengerut, dahi menampilkan hawa
pembunuhan. Tanpa berkata sepatahpun, dia terus lari ke masuk.
Kawanan paderi jubah kelabu, bergegas-gegas keluar ke ruang muka. Gin Liong dan
Yok Lan dengan gerak yang lincah dan tak bersuara telah mencapai ujung pintu
ruang besar, Memandang ke muka ternyata di ruang besar telah penuh dengan
kawanan paderi dari berbagai tingkatan. Kedua anak muda itu cepat2 menyelinap
masuk ke ruang samping. Pada titian tingkat sembilan dalam ruang besar itu, sebuah bejana pedupaan
tengah menghamburkan kepulan asap, Asap bergulung2 dihembus angin,
bertebaran memenuhi ruangan
Suasana dalam ruang besar itu sunyi senyap.
Jalan yang membentang di muka kuil telah disapu bersih oleh paderi yang bertugas
menjaga kebersihan. Tetapi jalan yang terbuat dari batu hijau mengkilap itu,
sudah penuh pula dengan salju. Sesaat kemudian seorang paderi pertengahan umur, bergegas melangkah masuk
kedalam ruang besar. Paderi pertengahan umur itu wajahnya sesuram bulan berkabut awan.
Mengenakan jubah merah berjalur kuning emas, Tangannya mencekal sebatang
hudtim yang tangkainya dari batu kumala.
Dengan paksakan bersenyum, ia tengah memandang ke arah dua orang paderi
yang tengah melangkah masuk dari luar, dua orang imam dan tiga lelaki tua
berpakaian ringkas, Bergegas paderi pertengahan umur itu menyongsong mereka.
Paderi itu bukan lain adalah Liau Ceng taysu, ketua dari kuil Leng-hun-si
digunung Tiang-pek-san. Suhu dari pemuda Siau Gin Liong dan Ki Yok-lan.
Gin Liong dan Yok Lan yang berada di ruang samping, dapat melihat dengan jelas
keadaan suhu mereka, walaupun mengulum senyum tetapi jidat Liau Ceng taysu itu
jelas memantulkan keriput kegelisahan.
Dua orang paderi jubah kuning, mengikuti dibelakang Liau Ceng taysu. Kedua
paderi itu berjenggot putih tetapi wajahnya masih tampak segar dan penuh dengan
sinar welas asih. Kedua paderi tua itu yang seorang mencekal tongkat Ji-ih dan yang seorang
memegang kelinting. Pada wajahnya yang serius, tersembul suatu hawa
pembunuhan. Kedua paderi tua itu adalah susiok atau paman guru dari Liau Ceng taysu, Mereka
berdua merupakan Tiang-lo atau sesepuh dari kuil Leng-hun-si.
Kemudian masuk pula tujuh orang lelaki yang membawa sikap dan wajah angkuh,
walaupun wajahnya berbeda dan tinggi pendeknya tidak sama tetapi ketujuh orang
itu memiliki mata yang bersinar tajam sekali. Mereka memandang dengan pandang
penuh dendam kepada Liau Ceng taysu.
Ketujuh orang itu berjalan dengan gegas seolah hendak saling berlomba dahulu
mendahului Yang dimuka adalah dua orang paderi gemuk dengan jubah yang grombyong, Yang
seorang memegang tongkat Ciang-mo-jo atau Alu-penunduk-iblis, Yang seorang
menyelip sebatang golok kwat-to pada pinggangnya.
Paderi gemuk bersenjata alu Ciang-mo-joh itu memiliki alis yang tebal mulut
lebar, hidung besar. Orang menggelarinya dengan sebutan Ik-wi-tho atau paderi jahat,
Namanya Go Ceng. Sedangkan paderi yang membawa golok kawat-to itu, berkepala besar, mulut dan
perut besar tetapi alisnya kecil dan mata sipit hidung mekar.
Dia bernama Go In, digelari orang sebagai Hiong-bi-lek atau Bi-lek-hud buas.
Go Ceng dan Go In itu merupakan paderi jahat dari kuil Tay-ceng-si digunung Ngo-
tay-san. Mereka adalah sepasang tokoh aliran hitam yang hebat.
Sedang yang bergegas jalan disebelah kiri kedua paderi jahat itu adalah imam Bu
Tim cinjin, kepala biara Sam-ceng-kwan dipropinsi Hiaplam, pusat partai
perguruan Kiong-lay-pay. 2. Laksana sesosok hantu Imam itu mengenakan jubah warna merah. Umurnya lebih kurang 50-an tahun.
Matanya kecil bundar, alis jarang. Sedang rambut dan jenggotnya sudah bersemu
putih. sepintas memberi kesan bahwa dia tentu bukan bangsa imam yang baik.
Ma Toa-kong bergelar Kim-piau atau Piau-emas dari partai Tiam-jong-pay
mengenakan pakaian ringkas kaum persilatan dari sutera hitam, memelihara
jenggot pendek. Daun telinganya yang kiri sudah hilang.
Berjalan dibelakang kedua paderi jahat itu, wajah Ma Toa-kong memancar
kemarahan. Sebentar memandang ke kanan, sebentar ke kiri seperti orang yang
hendak menyelidiki dan kuatir mendapat serangan gelap.
Setelah dua paderi, seorang tokoh biasa dan seorang imam maka masih ada pula It
Ceng tojin, paderi dari Kong-tong-pay, Tali-terbang Ui Ke Siang dari Ciong-lam-
pay dan Golok-seriti Tio Im Beng dari perguruan Lo-san.
Liau Ceng taysu yang bergegas menyambut itu, walaupun agak kecewa setelah
mengetahui siapa ketujuh pendatang itu, namun sebagai tuan rumah ia tetap
bersikap ramah. "Omitohud," serunya seraya memberi hormat, "maafkan pinceng karena tak cepat
menyambut kedatangan toyu sekalian."
Bu Tim cinjin ketua dari biara Sam-ceng-kwan tertawa panjang lalu mendahului
berkata: "Adalah kami yang seharusnya minta maaf kepada taysu karena telah masuk
kedalam kuil ini dengan terburu-buru sekali," serunya.
Liau Ceng taysu tertawa lebar.
"Sehabis melakukan perjalanan jauh, toyu sekalian tentu lelah, Diluar turun
badai salju, silahkan masuk kedalam kuil kami."
"Badai salju telah mengacaukan cuaca sehingga tak dapat mengetahui jam." kata
Piau-emas Ma Tay Kong, "saat ini kemungkinan sudah lewat tengah hari. Tiga
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempat jam lagi, tentulah Ban Hong liong-li, harus melaksanakan
perjanjiannya." Ia hentikan kata-katanya untuk menyelidiki wajah Liau Ceng taysu yang mulai
berobah pucat. "Sebaiknya Liau Ceng taysu segera mengundang Ban Hong liongli untuk keluar dari
gua pertapaannya agar semua urusan yang lalu dapat selesai hari ini juga." kata
Ma Toa Kong pula. Liau Ceng taysu segera menyahut:
"Maksud pinceng, hendak mohon toyu sekalian duduk didalam ruang dulu untuk
merundingkan bagaimana cara memutuskan persoalan Ban Hong liongli...."
Ok-wi-tho Go Ceng yang bermata bundar, alis tebal dan mulut lebar, cepat deliki
mata dan mendengus geram:
"Kiongcu Hun. mengapa engkau begitu banyak rewel" Suruh wanita hina Ban Hong
liongli itu keluar agar dapat kuremukkan kepalanya dengan pentungku ini. Tak
perlu banyak membuang waktu!"
Bluk!... dia gentakkan alu Hang-mo-ngo yang beratnya seratus kati itu ke lantai.
Lantai hancur bertebaran keempat penjuru.
Melihat tingkah laku yang liar dari paderi jahat itu, Gin Liong tak kuat menahan
kemarahannya lagi, serentak ia terus hendak menerobos keluar....
Untunglah saat itu Liau Ceng taysu menyebut omitohud dengan pelahan lalu
berkata: "Sejak mensucikan diri dibawah telapak sang Buddha, pinceng sudah tak memakai
nama pinceng yang dulu. Harap Go Ceng sianyu suka menyebut pinceng dengan
nama Liau Ceng saja, peristiwa yang dulu, janganlah dibangkitkan lagi."
Hiong~bi-lek si paderi Bi-lek yang buas, tertawa mengekeh lalu berseru mengejek:
"Siapa yang mengurus soal namamu dahulu ataupun namamu yang sekarang"
Rasanya tiada seorangpun yang hendak mengadakan hubungan dengan engkau
Kiongcu Hun." Habis berkata dia menengadahkan kepalanya yang besar dan matanya yang kecil
seperti mata tikus memandang ke cakrawala lalu mendengus geram.
"Kiongcu Hun," serunya, "sudahlah, jangan banyak bicara yang tak berguna. Kami
pun tak perlu minum hidangan tehmu, Lekas engkau bawa keluar Ban Hong liongli
dari gua pertapaannya. Habis kubelah tubuh wanita hina itu, kamipun segera
hendak pulang." Melihat kata2 dan sikap kedua paderi jahat yang amat sombong itu, Liau Ceng
taysu tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi, ia menengadakan kepala
menghamburkan kemarahannya.
Melalui tertawa yang panjang dan nyaring, lapisan salju yang berkelompok diatas
genteng, berhamburan jatuh kebawah akibat getaran tertawa dari Liau Ceng taysu
itu. Imam jahat, paderi buas dan Ma Toa Kong bertiga, seketika berobahlah wajahnya.
Mereka serempak bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan dari Liau Ceng
taysu. Setelah berhenti tertawa, Liau Ceng taysu segera sapukan pandang matanya ke
wajah ketujuh tetamunya itu dan berseru lantang:
"Toyu sekalian tiba di gunung ini dengan mengeluarkan suitan panjang, sudah
termasuk kurang hormat. Dan sebelum pinceng menyambut, sicu sekalian sudah
terus masuk kedalam kuil ini. Suatu tindakan yang lebih tidak pantas, Dan masih
pula dengan sikap dan kata2 yang congkak, toyu hendak menekan orang. Adakah
toyu ini memang sengaja hendak menganggap sepi ratusan paderi dari kuil Leng-
hun-si ini?" kata Liau Ceng taysu.
Dengan meraung keras. Ok wi-tho Go Ceng melesat maju sambil lintangkan
senjatanya alu Penunduk-iblis, serunya:
"Apa itu segala macam kata2 kasar dan congkak tak tahu aturan" Huh, aku tak
perduli sama sekali..."
Seiring dengan kata2 yang terakhir dari Ok-wi-tho Go Ceng itu, sekonyong-konyong
sesosok tubuh dengan jubah kuning, segera melintas keluar dari ruang samping
terus menerjang Ok-wi-tho.
Ok-wi-tho, Hiong-bi-lek dan Ma Toa Kong bertiga terkejut sekali melihat ilmu
meringankan tubuh dari pendatang yang muncul itu. Bahkan Liau Ceng taysu
sendiri serta kedua paderi tua yang berkedudukan sebagai tianglo pun terkesiap
kaget. Bayangan jubah kuning itu segera berhenti dibelakang Liau Ceng taysu.
Ketika Ok-wi tho dan Hiong-bi-lek serta Ma Toa Kong memandang dengan seksama
barulah mereka mengetahui bahwa pendatang itu tak lain hanya seorang pemuda
berparas cakap dalam pakaian warna putih perak.
"Hai, budak kecil siapa engkau ?" tegur Ok-wi-tho sesaat setelah kejutnya reda.
Liau Ceng taysu mewakili memberi jawaban:
"Inilah muridku yang bernama Siau Gin Liong," ia berpaling kebelakang dan
memberi perintah: "Liong-ji, lekas memberi hormat kepada berdua taysu cianpwe."
Gin Liong segera melakukan perintah suhunya. Dengan menahan kemarahannya ia
segera maju menghampiri ke muka kedua paderi tua
Pada saat dia hendak memberi hormat, tiba2 Hiong-bi-lek Go In deliki mata
membentak: "Tunggu dulu..."
Ia melangkah maju dan menatap wajah Gin Liong dengan matanya sipit yang
berkilat-kilat seraya tertawa mengekeh.
"Memiliki wajahmu begitu membesi, dahimu menampil hawa pembunuhan, heh,
heh, apakah engkau merasa penasaran?" tegurnya.
Gin Liong seorang pemuda yang masih berdarah panas, Mendengar kata2 si paderi
yang begitu congkak, tak dapat lagi ia menahan kemarahannya, serentak ia tertawa
nyaring lalu loncat maju.
"Kalau memang sudah tahu, mengapa masih bertanya lagi!" bentaknya dengan
keras. Mendengar itu buru2 Liau Ceng taysu membentak Gin Liong: "Liong-ji, jangan
kurang aturan! Lekas engkau mundur."
Liau Ceng taysu cemas kalau muridnya sampai celaka maka ia memberi perintah
supaya anak itu mundur. Tetapi serempak dengan itu, Ok-wi-tho Go In sudah mendahului membentak:
"Bagus, budak hina, aku hendak menguji sampai dimanakah kepandaianmu itu !"
Habis berkata paderi jahat itu segera memutar alu Hang-mo-goh, 'Wut', angin
menderu keras dan alu besi yang beratnya 100 kati menyapu kepinggang Gin Liong.
Seketika pucatlah wajah gurunya Liau Ceng taysu, ia berseru keras seraya hendak
menyerang dengan hudtim. Tetapi sekonyong-konyong Gn Liong sudah menyelinap
kebelakang si paderi jahat Go Ceng.
Go Ceng menghantam dengan sekuat-kuatnya. Karena hantamannya luput,
tubuhnya terhuyung ke muka dan hampir rubuh. setelah dapat memperbaiki diri, ia
celingukan kian kemari untuk mencari Gin Liong.
Alangkah kejutnya ketika melihat pemuda itu telah berada dibelakangnya, ia
tertegun heran. Memang Gin Liong telah menggunakan sebuah ilmu langkah yang disebut Liong-li-
biau. Hanya suhunya Liau Ceng taysu yang tahu akan hal itu, ia tahu bahwa ilmu
pusaka itu adalah ajaran Ban-hong liongli.
Saat itu ternyata Gin Liong berada dibelakang paderi jahat Go Ceng, tapi berada
di muka Go In. Pemuda itu tegak membelakanginya.
Seketika timbullah suatu pikiran jahat pada Liong-si-kek Go In. Dengan
menyeringai iblis dan tak terduga-duga, secepat kilat ia segera menampar batok kepala pemuda
itu dari belakang. Semua orang yang melihat itu menjerit kaget.
Tetapi Gin Liong sudah siap, Dengan mendengus dingin kembali ia menggunakan
gerak Liong-li-biau, sebuah ilmu meringankan tubuh yang hebat. Laksana sesosok
hantu, pemuda itu sudah menyelinap pula dibelakang Hong-bi-lek Go In dan
secepat kilat ia menampar kepala paderi gundul yang gemuk itu.
Setitikpun Hiong-bi-lek tak pernah menduga bahwa Gin Liong memiliki kepandaian
ilmu ginkang yang sedemikian luar biasa, Ketika melihat tubuh pemuda itu lenyap
dan punggungnya disambar deru angin, seketika pucatlah wajah Go In.
Namun dia memang lihay, setelah menundukkan kepala untuk menghindari
tamparam cepat ia loncat kemuka.
Tetapi Gin Liong tak mau memberi kesempatan lagi kepada paderi itu "Plak..."
seiring dengan tangan kanannya menghantam kepala, Hong-bi-lek Go In
menggeram tertahan dan paderi yang jubahnya gemuk itu, bagai sebuah bola
daging yang menggelinding ke muka ruang besar.
Terdengar jeritan kaget dari para paderi yang berada di muka ruang. Buru2 mereka
menyingkir asal jangan sampai dilanda oleh tubuh Hiong-bi-lek.
Sesosok bayangan kuning melintas, salah seorang tiang-lo dari kuil leng-hian-si
telah ulurkan tangan untuk menahan tubuh Hiong-bi-lek yang menggelinding itu.
Dengan menggerung keras, Hiong-bi-lek melenting bangun, Ketika berdiri, ia masih
rasakan kepalanya pening dan mata berkunang-kunang. Tring!. . . . cepat ia
mencabut golok kwat-to lalu celingukan memandang kian kemari mencari Gin
Liong. Bu Tim cinjin, Piau-emas Ma Toa Kong dan Tali terbang Ui Ke Siang biasanya
memang tak begitu memandang mata kepada kedua paderi jahat itu. Melihat Go In
mendapat kopi pahit dari seorang anak muda, bukan ikut marah, kebalikannya
mereka malah tertawa gelak-gelak.
Kuatir akan menimbulkan kemarahan para tetamu dan terjadi hal2 yang tak
diingini, Liau Ceng taysu membentak kepada muridnya:
"Liong-ji, mengapa engkau cari onar" Hayo, lekas masuk !"
Melihat suhunya marah, Gin Liong mengiakan dengan hormat lalu hendak berputar
tubuh menurut perintah. Tetapi tiba2 kedua paderi jahat itu menggembor keras, Mereka berhamburan
menyerang Gin Liong dengan senjata alu dan golok.
Tetapi Gin Liong tak gentar, ia mendengus dingin dan hentikan langkah.
Tiba2 sesosok tubuh melesat kemuka dan berseru: "Harap taysu berdua berhenti
dulu..." Ok-wi-tho Go Ceng dan Hiong-bi-lek Go In tertegun. pendatang itu bukan lain
adalah imam tua yang punggungnya menyanggul pedang atau It Ceng tojin ketua
Kong-tong-pay. "Apa-apaan engkau melarang aku ?" teriak kedua paderi jahat itu dengan deliki
mata. "Tidak apa2" sahut It Ceng tojin yang bergelar Bu-song-kiam atau Pedang tiada-
keduanya, "hanya ingin memperingatkan kalian bahwa tiga perempat jam lagi
mungkin kalian belum selesai bertempur."
Go Ceng, Go In dan Ma Toa Kong terbeliak, Cepat mereka mencurah pandang
kearah Liau Ceng taysu seraya berseru:
"Kiongcu Hun, apakah engkau berani mengulur waktu lagi ?"
Menderita perlakuan kasar beberapa kali dari pendatang2 itu. Liau Ceng taysu
marah, ia tertawa nyaring.
"Baru beberapa detik toyu sekalian datang ke kuil kami dan baru beberapa patah
kata toyu bercakap-cakap, mengapa menuduh pinceng mengulur waktu ?" serunya
marah. Kedua paderi jahat Go Ceng dan Go In tak dapat menjawab.
Tiba2 Liau Ceng taysu berputar tubuh ke arah ruang besar lalu berseru nyaring:
"Cobalah lihat kearah alat pertandaan waktu itu, sekarang jam berapa ?"
Seorang paderi jubah kelabu yang berdiri pada titiian ruang segera lari masuk ke
dalam ruang besar. 3. Mahkluk ajaib Saat itu sekalian orang tegang regang, suasana hening sunyi Hanya deru angin
yang meniup tajam diluar kuil.
Dalam menunggu laporan tentang jam saat itu, tampak wajah Go Ceng, Go In dan
Ma Toa Kong bertiga gelisah sekali.
Liau Ceng taysu tampak tenang, Sejam yang lalu dia sudah duduk didepan alat-
waktu itu, Di-pandangnya alat-waktu itu dengan cemas. Diam2 ia bersyukur kepada
Thian bahwa saat itu turun badai salju yang lebat.
Tetapi rasa girang itu segera terhapus lenyap manakala ia melihat sosok2 tubuh
yang berlarian mendaki ke puncak, Mereka yalah Go Ceng, Go In dan Ma Toa Kong
serta beberapa tokoh yang memusuhi Ban Hong liong-li, jelas harapannya bahwa
pada salju itu akan menghalangi perjalanan mereka ternyata gagal.
Beberapa saat kemudian terdengar derap orang berlari dari dalam ruang besar,
paderi yang diperintah untuk melihat waktu telah muncul, seketika suasana
berobah tegang. Tiba di mulai titian, paderi itu memberi hormat kehalaman dan berseru nyaring:
"Saat ini, menunjukkan waktu tepat tengah hari..."
Ok-to Go Ceng, Hiong-ceng Go In dan Ma Toa Kong sekalian serempak menyambut
dengan gelak tawa yang gembira sekali.
Liau Ceng taysu hanya dingin2 saja memandang kearah ketujuh tetamunya yang
jumawa itu. Gin Liong kerutkan dahi, ia mengertek geraham menahan kegeraman Keringat
dingin pun segera membasahi tubuhnya.
Tiba2 terdengar bunyi tajam macam naga meringkik. Datangnya dari punggung Gin-
Liong. Dan sesaat kemudian cret. . . pedang Tanduk Naga yang berada di punggung
anak muda itu mencelat keluar dari kerangkanya.
Sinar merah yang memancar dari batang pedang pusaka itu, menyilaukan pandang
mata sekalian orang. Go Ceng, Go In, Ma Toa Kong dan kawan2, hentikan tertawa dan menggigil melihat
keperbawaan pedang anak muda itu.
Demikian pula dengan kedua tiang-lo dan paderi2 dari setiap paseban kuil Leng-
hun-si. ?"Omitohud!" seru Lian Ceng taysu," pedang
"Pedang pusaka memberi peringatan datangnya bahaya, pembunuhan segera akan
terjadi Mayat menganak bukit, darah mengubang sungai . . ."
Tepat pada saat Liau Ceng taysu selesai berkata maka cuaca yang gelap tiba2
memancar sinar terang benderang dan menyusul terdengarlah letusan halilintar
yang menggelegar dahsyat Setelah halilintar meletus, angin berhenti, saljupun reda,
Genta dan gendang raksasa yang berada di-ruang, Tay-hud-tian berguncang-
guncang keras sehingga berbunyi sendiri,
Dua ratusan paderi yang berada dimuka ruang, terbelalak menengadahkan kepala
memandang ke langit, Kedua tianglo dari kuil Leng-hun-si agak pejamkan mata dan mengucap doa dengan
bisik2. Liau Ceng taysu pejamkan mata merangkapkan kedua tangan kedada dan bibirnya
berkomat-kamit, Rupanya ia sudah mempunyai firasat bahwa dunia persilatan akan
mengalami pembunuhan besar-besaran,
Go Ceng, Go In, Ma Toa Kong dan lain2 kawannya, tertegun menyaksikan
pemandangan aneh itu. Wajah mereka pucat, keringat dingin mengucur.
Dengan gerak Liong-Hui-biau, Gin Liong menyelinap dimuka paderi Go Geng dan
membelakangi paderi Go In, Tiba2 paderi Go Ih menyerang pemuda itu dari
belakang. Halilintar dahsyat itu telah menggoncang hati seluruh orang yang berada di muka
ruang Tay-hud-tian. Diantara mereka hanya Gin Liong seorang yang mempunyai pemikiran lain, Tiba2 ia
seperti disadarkan dan teringat akan suatu hal yang penting,
Cepat ia sarungkan pedang kedalam kerangkanya lagi lalu secepat kilat menyelinap
diantara barisan paderi, lari keruang samping terus menuju kepuncak di belakang
kuil. Diluar hanya badai yang berhenti, sedang salju masih turun lagi.
Ternyata Gin Liong bergegas lari menuju ke gua Kiu-kiok-tong. Tiba di puncak
belakang terdengar sebuah suitan nyaring dan tajam. Menyusul terdengar ledakan
keras yang berkumandang sampai jauh kesegenap penjuru.
"Celaka," teriak Gin Liong, "Liong-li locianpwe hendak pergi . . . ."
Ia cepatkan larinya dan selekas tiba di tepi sebuah karang buntung diatas puncak
gunung, dia terus hendak enjot tubuh melompat kemuka.
Tetapi ketika ia menunduk memandang ke bawah, jurang yang memisahkan karang
disitu dengan karang dimuka, tertutup kabut salju yang tebal sehingga tak dapat
melihat lebih dari lima tombak ke bawah.
Siau Gin Liong diam2 sering datang ke tempat dua buah karang buntung itu.
Kedatangannya itu selalu pada malam hari untuk belajar silat Maka dalam badai
dan salju yang hebat, ia masih mencapai tempat itu, sebuah karang nonjol yang
ditumbuhi pohon siong yang condong.
Sejenak menenangkan pikiran, Gin Liong segera ayunkan tubuh melayang ke bawah
dan tepat hinggap diatas celah2 selebar satu meter dari sebuah gunduk karang,
Ternyata setelah berada di jurang pemisah antara kedua karang buntung, angin
agak berkurang, saljupun tak begitu deras, Kini dia berhadapan jalan yang
merupakan celah2 dari gundukan karang, jalan itu sempit dan licin sekali serta
berkeluk-keluk, jika tidak memiliki ilmu ginkang yang lihay, jangan harap dapat
melintasi jalan itu. Berkat faham tempat itu, dapatlah dalam waktu yang singkat Gin Liong mencapai
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujung jalan yang merupakan segunduk karang seluas tiga tombak, Diatas karang
itulah biasanya Gin Liong berlatih silat.
Di sekeliling karang itu tumbuh beberapa batang pohon Bwe, Dahan dan
rantingnya tumbuh meliar, bunganya subur, Warnanya merah dan putih
menyedapkan mata. Diatas gunduk karang itu terdapat sebuah gua selebar dua meter, Dalam gua gelap
pekat dan sunyi senyap. Secepat melayang keatas karang, dengan wajah tegang Gin Liong terus menerobos
masuk. Tiba di muka pintu terali besi, ia tertegun,
Terali besi yang besarnya sama dengan lengan bayi telah dihancurkan oleh suatu
tenaga sakti, Kutungan terali besi itu bertebaran dimuka gua,
Dengan terlongong-longong Gin Liong memandang terali besi, Air matanya
berderai-derai membasahi pipinya.
"Ah, Liong-li Lo-cianpwe telah pergi," katanya seorang diri dengan penuh
keharuan, "pergi tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk mengucapkan terima kasih dan
selamat jalan, Lima tahun aku menerima budinya mendapat pelajaran silat,
akhirnya tak dapat bertemu lagi."
Sambil berkata pelahan-lahan ia melangkah maju kedalam gua, Ruang gua gelap
dan menyeramkan sekali, Angin dingin berdesis-desis menampar muka. menambah
keseraman suasana, Dalam mengayunkan langkah itu masih Gin Liong mengandung harapan semoga
Ban Hong Liong-li masih berada dalam gua,. Maka berserulah dia dengan pelahan:
"Lo-cianpwe . .. . locianpwe..."
Dari sebelah dalam gua segera memantulkan gema suara Gin Liong yang
berkumandang sampai lama,
Melangkah maju beberapa tindak lagi, ruang itu membiluk ke kiri, Gelapnya makin
pekat sehingga tak dapat melihat jari tangannya sendiri.
Gin Liong hentikan langkah dan mengerahkan pandang rnatanya, Tetapi ia tak
dapat menembus kegelapan itu. Paling2 hanya dapat memandang sampai
setombak jauhnya, Ketika berjalan lagi, kakinya berbunyi keresekan. Buru2 ia berjongkok dan
merabah dengan tangannya. Ah, ternyata setumpuk rumput kering yang halus, Makin
merabah kemuka, tumpukan rumput itu makin tebal.
"Ah, mungkin disinilah tempat peristirahatan locianpwe," katanya seorang diri.
Sekonyong-konyong tangannya menyentuh benda yang menyerupai rantai besi
Cepat ia menariknya, ah, ternyata rantai itu telah dipaku pada dinding gua.
Gin Liong marah. Dilemparkannya rantai itu lalu berseru keras: "Penjahat,
mengapa kalian begitu kejam memperlakukan Liong-li Lo-cianpwe" Mengapa " Mengapa. .
.?" Dia menangis sedih dan meraung-raung marah sekali setelah menyaksikan keadaan
Ban Hong Liong-li selama ini. Dia benci kepada musuh2 yang telah menganiaya Ban
Hong Liong-li diluar batas kemanusiaan. Diikat dengan rantai seperti binatang
buas. Raung Gin Liong kembali menerbitkan gema suara yang berkumandang jauh, Suatu
pertanda bahwa ruang gua Kiu-kiok-tong itu masih dalam sekali.
Saat itu Gin Liong baru menyadari mengapa selama lima tahun ini, Ban Hong Liong-
li tak pernah melangkah mendekati pintu terali.
Diapun teringat bagaimana dalam memberikan pelajaran silat kepadanya itu. Ban
Hong Liong-li hanya menyampaikan secara lisan saja. Selama lima tahun, Gin Liong
hanya mendengar suara tetapi tak pernah melihat orangnya, Ah. tak kira kalau Ban
Hong Liong-li telah dirantai orang . . .
Serentak timbul rasa heran dalam hati Gin Liong, Dengan kesaktiannya Ban Hong
Liong-li mampu memutuskan tali rantai tetapi mengapa selama lima tahun ia
mandah dirinya diikat dengan rantai, Mengapa dia tak mau lekas2 meloloskan
diri " Siapakah yang mengikat lo-cianpwe itu " Apakah Liau Ceng taysu, gurunya itu "
Ataukah kawanan Ok-wi-tao Go Ceng, Hiong-li-lek Go In, Piau emas Ma Toa Kong
dan kawan-kawannya itu "
Jika mereka mampu merantai Ban Hong Long-!i mengapa tidak segera saja saat itu
dibunuh " Mengapa harus menunggu sampai lima tahun"
Mengapa pula Ban Hong Liong-li harus di penjara di gunung Tiang-pek-san dan
tidak di gunung Kiong-lay-san atau di gunung Ngo-tay-san"
Tadi Ma Toa Kong mengatakan bahwa setelah tiga perempat jam lewat tengah hari,
Ban Hong Liong-li harus melaksanakan janjinya sendiri janji apakah itu "
Dan teringat pula Gin Liong bahwa setiap kali membicarakan tentang diri Ban Hong
Liong-li, wajah gurunya (Liau Ceng taysu) tentu berobah gelap, Dan setiap kali
ia bertanya, suhunya tentu akan memberi jawaban menghindar.
Pernah dan bahkan berulang kali Gin Liong memberanikan diri untuk menanyakan
riwayat hidup kepada Ban Hong Liong-li, tetapi wanita sakti itu hanya menjawab
dengan helaan napas panjang.
Kemarin malam ketika menyerahkan pedang kepadanya, Ban Hong Liong-li dengan
samar2 mengatakan bahwa hanya guru Gin Liong atau Liau Ceng taysu yang tahu
tentang asal usul dirinya, wajahnya dan semua riwayat hidupnya yang
menyedihkan itu. Dengan nada penuh duka, Ban Hong Liong-lipun mengatakan bahwa lewat tengah
hari nanti dia akan pergi ke suatu tempat yang jauh, Tiada seorangpun yang akan
bertemu lagi dengannya. Adakah tempat jauh itu dimaksudkan sebagai alam baka karena Ban Hong Liong-li
akan dihukum mati oleh kawanan pendatang itu "
Sambil berlutut diatas tumpukan rumput kering, Gin Liong dilanda oleh berbagai
pertanyaan Namun soal2 itu makin direnungkan makin sukar dijawab dan
bertambah banyak Tiba2 sinar mata Gin liong berkilat, Dilihatnya diatas tumpukan rumput kering
itu sesosok bayangan hitam, seketika tergetarlah hatinya dicengkam kejut kegirangan
serentak ia berseru: "Lo-cianpwe, engkau.. engkau belum pergi?" serta merta Gin Liong terus duduk
bersila. Airmatanya kembali berderai-derai membanjir keluar Airmata keharuan
tetapi haru kegirangan Tetapi sosok tubuh itu tak memberi suatu reaksi apa2. Suatu bayang2 yang ngeri,
segera melintas dalam pikiran Gin Liong, Dengan beringsut-ingsut ia merangkak
maju lalu ulurkan tangannya yang gemetar menjamah benda hitam itu.
Ah ... ternyata benda hitam itu tak lain hanya segulung permadani bulu.
"Lo-cianpwe . . . .Lo-cianpwe . . . . !" serentak Gin Liong melenting bangun dan
berteriak keras-keras. Ia duga Ban Hong Liong-li tentu belum berapa lama tinggalkan gua itu.
Kemungkinan masih berada diatas puncak gunung, ia segera lari keluar dan ketika
tiba di pintu yang berterali besi, tiba2 ia dikejutkan oleh beberapa gelak tawa
yang bermacam-macam nadanya, Suara tawa itu terdengar tak jauh di luar gua.
Tergetarlah hati Gin Liong. ia tahu bahwa suara tertawa itu tentu berasal dari
rombongan Go Ceng, Go In dan Ma Toa Kong yang sedang berlari menuju ke gua
Kiu-kiok-tong. Gin Liong menyurut mundur Setelah memeriksa ke kanan kiri, ia dapatkan pada
kedua samping dinding gua itu terdapat banyak sekali cekungan yang cukup
dimasuki tubuh orang. Secepat ia menyusup bersembunyi kedalam sebuah cekung, diluar gua segera
terdengar kibaran pakaian yang dihembus angin.
Gin-liong lekatkan tubuh rapat2 ke dinding gua seraya mengeliarkan pandang mata
ke mulut gua. Dari tempat persembunyiannya itu ia melihat suatu pemandangan
yang indah, Gunduk karang yang berada diluar gua sedang dihias dengan salju
putih dan bunga Bwe yang tengah mekar dalam warna merah dan putih yang
indah. Tetapi ia tak sempat menikmati pemandangan itu. Hatinya tegang sekali
menantikan kedatangan kawanan pendatang yang hendak menghukum Ban Hong
Liong-li. Pada lain saat sesosok tubuh dengan pakaian yang gerombyong, meluncur ke udara
dan tegak diatas gunduk karang dimuka gua.
Gin Liong tergetar hatinya, Cepat ia dapat mengetahui bahwa yang muncul itu
adalah 0k-wi-tho atau si Paderi-jahat Go Ceng.
Menyusul berhamburan melayang ke gunduk karang itu imam tua It Ceng, Bu Tim
cinjin, Hiong-bi-lek Go In, Golok-sayap-walet Tio Jim-beng dan Tali-terbang Ui
Ke Siang, Gin Liong mendengus geram, Darahnya mendidih dan napasnya segera
menghamburkan hawa pembunuhan
Ketujuh tokoh itu segera tegak dimuka gua, memandang celingukan kedalam dan
sibuk berbicara. Dari pandang mata ketujuh orang itu, jelas mengunjukkan suatu perasaan gelisah,
cemas dan gentar. Tiba2 diluar gua terdengar suara pakaian berkibar tertiup angia, Menyusul muncul
pula tiga sosok bayangan Ketika Gin Liong mencurahkan pandang mata ke luar, kejutnya bukan kepalang
sehingga sampai menggigil.
Ketiga pendatang itu bukan lain adalah suhunya sendiri, Liau Ceng taysu dan
kedua susiok-cou atau paman-kakek guru. Sudah tentu Gin Liong bingung sekali. Apabila
suhunya tahu bahwa dia bersembunyi dalam gua itu, bukankah suhunya akan
marah " Ah, tetapi dia sudah terlanjur bersembunyi disitu, Tak dapat ia meloloskan diri
lagi, Terpaksa ia hanya memandang lekat2 ke mulut gua untuk menunggu apa yang
akan terjadi, Tampak Liau Ceng taysu berjalan dengan gegas sekali. Langsung ia menuju ke mulut
gua, Setelah memeriksa pintu terali besi hancur berantakan ia segera keluar lagi
dan berkata dengan wajah sarat:
"Pintu terali besi telah hancur, kemungkinan Ban Hong Liong-li sudah tak berada
dalam gua lagi." Ketujuh orang itu terbeliak kaget, Ma Toa Kong deliki mata dan berteriak marah:
"Saat ini masih pagi dan batas waktu perjanjian masih belum tiba. Wanita hina
itu mengapa ingkar akan janjinya lima tahun yang lalu ?" ia menyelak It Ceng tojin
dan Ui Ke Siang, terus melangkah maju ke mulut gua, Dengan mata berkilat-kilat, ia
memandang ke arah dalam. Gin Liong terkejut Cepat2 ia lekatkan tubuh rapat sekali pada dinding gua.
Sesaat kemudian, Ma Toa Kong berputar tubuh dan menggeram kepada Liau Ceng
taysu: "Ban Hong Liong-li masih berada dalam guna . . ."
Karena disiak oleh Ma Toa Kong, rupanya It Ceng tojin tak puas, Saat itu ia
merasa mendapat kesempatan untuk membalas, Dengan tertawa mengekeh, cepat ia
menukas kata2 Ma Toa Kong:
"Apakah Ma sicu melihat sendiri Ban Hong Liong-Ii berada dalam gua?"
Ma Toa Kong tahu bahwa It Ceng tojin dari Kong-tong-pay itu seorang tokoh yang
licin dan licik. walaupun dia tahu kalau dirinya akan dicelakai oleh imam itu,
tetapi ia tetap harus menjaga gengsi, Sekali sudah mengatakan kalau Ban Hong Liong-li
masih berada dalam gua, ia harus mempertahankan kata-katanya itu.
Dengan deliki mata memandang It Ceng, ia mendengus marah: "Benar, memang
kulihat wanita busuk itu masih berada dalam guna !"
Mendengar itu tokoh2 yang lain tampak tegang dan berobah wajahnya, Mereka
berhamburan maju ke mulut gua dan memandang dengan seksama ke arah dalam.
Sudah tentu Gin Liong makin gelisah sekali Dia tak menyangka bahwa mata Ma Toa
Kong amat tajam sekali. Tentu Ma Toa Kong meliat gulungan permadani bulu yang
terletak diatas tumpukan rumput kering dan menyangkanya sebagai tubuh Ban
Hong Liong-li. Gin Liong cepat menyusup lebih dalam ke dalam cekung dinding gua, Kini dia hanya
menggunakan sebelah mata untuk memandang ke mulut gua.
It Ceng tojin berdiri agak jauh dibelakang beberapa tokoh itu, Mulut tersenyum
menyeringai dan sengaja dengan suara keras ia berseru:
"Karena Ma sicu sudah melihat Ban Hong Liong-li masih didalam gua, rasanya tak
perlu sicu sekalian memeriksa lagi, Saat ini belum tiba waktunya, Kurasa Ban
Hong Liong-li tentu tak mau ingkar janji, Maka sebaiknya kupersilahkan Ma sicu masuk
kedalam gua menyeret Ban Hong Liong-li keluar, silahkan Ma sicu memotong daun
telinga Ban Hong liong-li yang kiri, untuk membalas dendam Ma sicu yang
kehilangan daun telinga itu."
Sudah tentu Ma Toa Kong tahu bahwa dirinya diejek habis-habisan oleh imam dari
Kong-tong-pay itu. Dengan mata berapi-api ia deliki mata memandang lt Ceng
cinjin. Wajah merah padam dan tubuh gemetar keras karena dilanda kemarahan.
Bu Tim cinjin ketua biara Sam Ceng-kwan, rupanya juga mengagulkan supaya Ma
Toa Kong masuk kedalam gua. Maka iapun segera mendukung pernyataan It Ceng
cinjin: "Apa yang dikatakan It Ceng toyu memang benar," katanya. "sekarang saat
perjanjian belum tiba, kiranya Ma sicu boleh masuk saja kedalam gua ini."
Dada Ma Toa Kong serasa meledak dan memekiklah ia sekeras kerasnya: "Huh,
engkau kira aku Ma Toa Kong tak berani masuk ?"
Dengan sikap pura2 menghormat, It Ceng cinjin berseru: "Ah, tidak, tidak. Mana
aku mempunyai anggapan begitu, Piau-emas dari Ma sicu tiada tandingannya dan
Ma sicu seorang jantan yang berani, Masakan tak berani memasuki gua itu."
Ma Toa Kong benar2 tak dapat menahan ledakan kemarahannya lagi, secepat
berputar tubuh ia terus melangkah kedalam gua.
Jelas dilihat oleh Gin Liong bahwa Ma Toa Kong itu sedang masuk. Diam-2 Gin
Liongpun merapatkan tubuh ke cekung dinding seraya kerahkan tenaga dalam
bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan.
Tetapi baru melintasi pintu terali besi, tiba2 Ma Toa Kong berhenti.
Saat itu Gin Liong tak dapat melihat jelas lagi bagaimana kerut wajah Ma Toa
Kong saat itu. Tetapi dia masih dapat melihat sinar kedua mata Ma Toa Kong yang
berapi-api menyeramkan sekali.
Tampak pula Ma Toa Kong mengambil sebatang kim-piau dari pinggangnya.
Digenggamnya senjata-rahasia itu erat2. Kaki dan tangannyapun mulai tampak
gemetar. Menyusupkan pandang ke luar gua, Gin Liong melihat kawanan tetamu2 itu tampak
tegang sekali, Mata mereka mencurah ruah ke dalam gua dan kearah Ma Toa Kong
yang tegak di pintu terali besi.
Gin Liongpun sempat pula memperhatikan sikap suhu dan kedua paman kakek-
gurunya. Dengan wajah sarat, ketiga tokok itu berdiri ditepi batu karang, Mereka
tak mencegah tindakan Ma Toa Kong, Mungkin mereka sudah menduga bahwa Ban
Hong Liong-li tentu sudah tak berada dalam gua.
Sekonyong-konyong Ma Toa Kong berseru nyaring:
"Ban Hong Liong-li, hari ini hukumanmu sudah habis, Lewat tengah hari nanti
engkau harus keluar untuk menerima hukuman mati dari sekalian enghiong
(ksatrya). Hayo, unjukkan dirimu, jangan main bersembunyi seperti tikus, Apakah
engkau tak sayang pada kemasyhuran namamu yang pernah menggetarkan dunia
persilatan dahulu ?"
Wulanasa Dari dalam gua segera menggema kumandang suara Ma Toa Kong itu. Lama dan
me-ngiang2 memekakkan telinga.
Sebenarnya Gin Liong sudah tak kuasa menahan kemarahannya lagi, Tetapi karena
suhunya berada diluar, dia tak dapat berbuat apa2 dan tak tahu apa yang harus
dilakukan. Selekas kumandang suara Ma Toa Kong itu sirap maka Ma Toa Kong kembali
berseru dengan nyaring lagi:
"Wanita hina, apakah engkau hendak main mengulur waktu" Tempatmu sudah
kuketahui, kalau tak percaya, inilah buktinya . .. ."
Sring . . . . Sepercik sinar emas yang diiringi oleh deru angin tajam segera melayang kearah
tempat Gin Liong bersembunyi.
Sudah tentu Gin Liong terkejut sekali,
Sebenarnya dia sudah cepat2 menyusupkan kepalanya ke cekung dinding karang
tetapi dia tak menyangka bahwa Ma Toa Kong sudah mengetahui dirinya.
Tring! senjata rahasia yang bersinar kuning emas itu meluncur dan hinggap pada dinding
gua disisi tempat Gin Liong, Piau jatuh ke tanah, mengeluarkan bunyi gemerincing
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berkumandang nyaring.
Dinding gua berhamburan menebar tubuh Gin Liong, Pemuda itu marah sekali.
ingin rasanya ia loncat keluar untuk membunuh orang jahat itu. Tetapi karena
suhunya berada diluar gua, terpaksa ia tak dapat melaksanakan keinginannya itu.
Tiba2 Hiong bi-lek Go In tertawa gelak2. Dan pada lain saat iapun mencabut golok
kwat-lo dipinggangnya. Sambil tertawa mengejek, ia melangkah masuk kedalam
gua. "Wanita hina itu masih berada didalam guha," teriak Ma Toa Kong.
Tetapi Go In tak mempedulikan, Dia tetap lari ke dalam.
"Kurang ajar," damprat Ma Toa Kong dalam hati, "mungkin karena mendengar
gema suara jatuhnya kim-piauku tadi, dia tahu kalau Ban Hong Liong-li sudah tak
berada dalam gua maka dengan tingkah kcegagah-gagahan dia berani menyerbu
kedalam." Gin Liong menahan napas kencang2, Suara tertawa berhenti tetapi derap lari Go In
masih tetap melaju. Ruang gua makin gelap dan makin gelap karena dipenuhi oleh bayang2 tubuh Go
In. suasana di dalam dan diluar gua sunyi senyap.
Beberapa saat kemudian, menilik dari bayang2 yang tampak, Gin Liong dapat
memperhitungkan bahwa Hiong-bi-lek Go In saat itu sudah dekat sekali dengan
tempatnya, Paling banyak hanya tinggal satu tombak, Bahkan diapun dapat
mendengar suara napas si paderi yang terengah-engah, Dan pada lain saat pula,
bahkan iapun dapat melihat pancaran sinar golok dari paderi itu.
Gin Liong makin tegang, Seluruh tenaga dalam telah dihimpun ke lengan kanannya
dan mulai pelahan-lahan diangkat.
Rupanya paderi itu dapat menangkap suara gerak tangan Gin Liong. Dia berhenti
"Wanita hina, mengapa tak lekas keluar" Aku sudah dapat mendengar debur
jantungmu !" teriaknya, Tiba2 ia hantamkan go1oknya.
Segera terdengar gema suara yang dahsyat ketika dinding karang hancur
berantakan karena tabasan golok itu.
Paderi itu tertawa gelak2:
"Wanita hina, apakah engkau tetap tak mau keluar" Aku sudah melihat engkau
duduk, apakah harus menunggu aku sampai turun tangan" Ha, ha, bersikaplah
sedikit ksatrya dan lekaslah keluar !"
Sambil berkata ia ayunkan langkah lagi seraya tertawa keras:
"Wanita hina, dengarkanlah saatnya sudah hampir tiba . . . engkau harus
melaksanakan janjimu sebelum itu, engkau tak, boleh membunuh orang. . . ."
Demikian sambil berjalan, paderi itu tertawa dan mengoceh dengan suara keras,
Gin Liong makin tegang, Saat itu dia sudah melihat golok si paderi dan pada lain
saat bahkan tangan paderi itu lalu perut yang buncit,
"Wanita hina, ha, ha. tahukah engkau bahwa tengah hari segera tiba, Engkau harus
melaksanakan janjimu, Aku sudah melihat engkau duduk. . . ."
walaupun mulut berkata garang tetapi tangan dan tubuh Ma Toa Kong agak
menggigit. Dan makin lama dia makin mendekati ke tempat Siau Gin Ling.
"Ha, ha," Go In tertawa dan berseru keras: "tengah hari segera tiba, Wanita
busuk, engkau harus menetapi janji, ha, ha . . . . engkau tak boleh membunuh orang..."
Dalam pada berseru itu, paderi itu lambatkan langkah. sekalian orang tahu bahwa
gerak gerik Go In itu menandakan rasa takut dan gelisah.
"Wanita hina itu berada disekitar celah2 dinding gua," seru Ma Toa Kong.
Hiong-bi-lek Go In mendengus dan hentikan langkah.
Gin Liong terkejut sekali, Pada saat mendengar Go In berhenti, secepat kilat ia
terus ayun tubuhnya melayang keruang.
Wut . . . . karena kaget Go In memekik keras dan kibaskan goloknya. Tetapi Gin
Liong sudah bersedia. Secepat ayunkan tubuh ia sudah berada dibelakang paderi
itu. secepat itu pula ia segera menghantam belakang tengkuk kepala Go In.
Terdengar jeritan yang ngeri dan nyaring memancar dan mulut Go In. Batok
kepalanya pecah dan jatuhlah tubuh paderi itu terjungkal kebelakang.
Sebuah bentakan keras mengiring sesosok bayangan hitam menyerbu Gin Liong,
Untung pemuda itu dengan sigap sudah menghindar ke samping. Ketika melihat
siapa penyerangnya itu, ternyata Ok-wi-tho Go Ceng yang menyerang dengan
Hang-mo-goh, alu yang beratnya seratusan kilo,
Marahlah Gin Liong, Sekali lingkarkan kedua lengannya, melangkah setengah tindak
kemuka, ia segera mendorong dengan kedua tangannya.
Terdengar jeritan ngeri disusul oleh tubuh Ok-wie-ho Go Ceng yang terlempar
keluar dari mulut gua. sekalian orang terkejut Tetapi bukan menolong,
kebalikannya mereka malah buru2 menghindar kebelakang,
Karena tiada orang yang menolong, tubuh paderi jahat itupun terlempar ke bawah
jurang yang dalamnya ratusan meter.
Sesungguhnya Liau Ceng taysu sudah berusaha untuk menyambar tubuh paderi
jahat itu, Tetapi sayang karena rasa kejut dan tegun atas peristiwa itu, ia agak
terlambat bergerak sehingga Ok-wit-ho Go Geng tetap meluncur kebawah jurang-
Gin Liong itu juga kesima melihat hasil pukulannya. setitikpun ia tak menyangka
bahwa pukulannya ternyata mengandung suatu tenaga sakti yang begitu dahsyat.
Cepat ia berputar memandang ke belakang. Dalam kegelapan gua ia hanya melihat
bahwa kecuali si Hiong-bi-lek Go In yang terkapar menjadi mayat, tiada lain
orang lagi. Ketika berpaling memandang ke muka lagi, hampir saja ia menjerit kaget dan
tubuhnya pun mengigil Liau Ceng taysu, gurunya, saat itu sedang menjerit dan tubuhnyapun gemetar. Hal
itu disebabkan tak lain karena dia melihat suhunya. Liau Ceng taysu, sedang
melangkah masuk kedalam gua.
Karena tegang dan gugup, Gin Liong cepat2 menyusup lagi kedalam cekung dinding
gua. Tenang sekali sikap dan langkah Liau Ceng taysu. Dengan memegang kebut Kim-si-
hud-tim dia berjalan dengan santai, Sudah tentu Gin Liong heran. Adakah suhunya
tak kuatir kalau Ban Hong Liong-li akan menyerangnya ?"
Tetapi dia tak sempat berpikir lebih lanjut karena saat itu ketegangan hatinya
makin memuncak. Dilihatnya setiap kali melewati cekung dinding gua yang lebar
dan diperkirakan cukup dimasuki tubuh orang, suhunya tentu berhenti dan
menghamburkan pandang memeriksa,
Keringat dingin mulai mengucur deras pada tubuh Gin Liong, Akhirnya ia
memutuskan Daripada dipergoki oleh suhunya, lebih baik ia bertindak lebih dulu,
Setelah meregangkan napas, secepat kilat ia terus melesat lari kebagian gua yang
lebih dalam. Tiba di persimpangan sebelah kiri dari ujung gua, ia berhenti
Ketika mencari kesempatan untuk berpaling ke belakang, dilihatnya suhunya sedang
menghampiri ke tempat mayat Hiong bi-lek Go In, Setelah memindahkan mayat
paderi itu ke pinggir Liau Ceng taysu lanjutkan perjalanan kedalam gua lagi,
Setiap tiba pada cekung dinding gua, ia tentu berhenti dan mengucapkan beberarapa
patah kata yang tak jelas.
Gin Liong makin heran, Apakah yang diucapkan suhunya itu" Karena ingin tahu, ia
kerahkan alat pendengarannya untuk menangkap suara suhunya.
"Wulanasa, Wulanasa. . . ."
Mendengar itu, ketegangan hati Gin Liong bertambah dengan suatu rasa
keheranan, Wulanasa" Apakah artinya Wulanasa itu"
Sesungguhnya banyak sekali soal yang hendak dipecahkannya, Tetapi saat itu dia
tak mempunyai kesempatan lagi. Saat itu Suhunya makin mendekat ke tempat
persembunyiannya. Karena bingung, tiba2 Gin Liong loncat ke atas tumpukan rumput kering disebelah
kiri, sret . .. . Walaupun hanya pelahan tetapi suara tertimpahnya tumpukan rumput kering
dengan tubuh Gin Liong telah menimbulkan gema suara yang berkumandang.
Gin Liong makin terkejut jantungnya mendebur keras, ia ingin menyurut mundur
tetapi kuatir akan menimbulkan suara. Kalau tidak mundur, ia takut ketangkap
basah oleh suhunya. Karena tegang dan gelisah, napasnya terengah2 keras. ia kepalkan kedua telapak
tangannya yang basah dengan keringat.
Mendengar suara berkeresek tadi, Lian Ceng taysu hentikan langkah dan berseru
pelahan: "Wulanasa, mengapa engkau tak pulang ke kampung halamanmu . . . ."
Gin Liong tegak berdiri diatas tumpukan rumput kering dan mendengarkan dengan
penuh perhatian, Dia tak berani mengisar kepala untuk melihat dimana suhunya
berada. Tetapi menilik suaranya, ia duga suhunya tentu berada dekat dari
tempatnya, Paling jauh hanya dua tiga tombak.
Timbul pertentangan dalam hati Gin Liong, Dia takut tetapipun ingin tahu, Dia
ingin lari tetapi pun ingin mengetahui hubungan apakah sesungguhnya yang terjalin
antara suhunya dengan Ban Hong Liong-li itu,
Tiba2 Liau Ceng taysu kembali berkata bisik2:
"Wulanasa, kuharap janganlah engkau keras perangai seperti dahulu, jangan
membawa kemauan . . ."
Dengan mengerahkan seluruh perhatian, Gin Liong berusaha untuk menutup
pernapasan dan menyatukan semangat untuk mendengarkan sekonyong-konyong
sebuah benda tajam macam ungkit, menusuk tulang punggungnya, seketika
tubuhnya menggigil dan pingsanlah ia.
Entah berselang berapa lama, Gin Liong tersadar dari suatu penderitaan sakit
yang amat nyeri itu, ketika membuka mata, ia dapatkan dirinya berada dalam sebuah
tempat yang gelap gulita dan berangin dingin.
Sejenak memperhatikan sekelilingnya ia dapatkan dirinya masih menggeletak di
tumpukan rumput. Tempat itu segera mengingatkan ia akan peristiwa yang
dialaminya. Ia pusatkan segenap indera pendengarannya Kecuali hanya angin dingin mendesis-
desis, tiada lain suara yang dapat didengarnya lagi.
Serentak diapun teringat akan suhunya dan kawanan Ma Toa Kong, Dimanakah
mereka saat itu " Dia ingin duduk, Tetapi baru hendak menggerakkan tubuh, sakitnya bukan alang
kepalang sehingga ia sampai meringis dan kucurkan keringat dingin.
Untunglah kesadaran pikirannya masih terang. Dia masih ingat, pada saat akan
pingsan, didengarnya suhunya berseru: "Wulanasa, pergilah, Kiongcu Hun seumur
hidup akan . . . ." Kelanjutan dan bagaimana yang terjadi kemudian, ia tak dapat mengetahui karena
keburu pingsan. Ia hendak gerakkan kepala berpaling kesamping, ah, kepalanya terasa amat berat
sekali, ia ingin menggerakkan tangannya untuk merabah-rabah sekelilingnya
tenaganya terasa lemah lunglai tak bertenaga sama sekali.
Dalam keadaan yang tak dapat berbuat apa2 itu akhirnya iapun jatuh tidur lagi.
Pada saat ia bangun untuk yang kedua kalinya, kejutnya bukan kepalang,
Tempatnya yang gelap, saat itu terang benderang. Seluruh gua terang seperti pagi
hari. Keadaan gua itu dapat dilihatnya dengan jelas bahkan sampai pada bagian2
lekuk dan cekungnya, Tiba2 timbullah keinginannya untuk bangun. Dan serentak iapun menggeliat,
hai . . . . mengapa tubuhnya ringan sekali, Cepat ia kerahkan pernapasan dan dapatkan
tenaga-murni dalam tubuhnya lancar sekali.
Segera ia lontarkan pandang ke arah mulut gua. Suhunya dan mayat Hong-bi-lek Go
In sudah tak tampak lagi,
Lanjutkan pandang matanya keluar gua, tampak batu karang yang menonjol di
muka gua tertutup salju putih, Bunga2 Bwe yang tumbuh di-tepi karang tengah
mekar dengan indahnya. "Ah, hari sudah terang." serunya gembira Dan secepat kilat ia ayunkan tubuhnya
loncat ke mulut gua. Bum . ,. . Tiba2 ia berseru keras dan dorongkan kedua tangannya ke batu karang di muka
gua. Dan segera ia terlongong-longong heran. Salju yang menutup permukaan batu
karang itu berhamburan bercampur dengan keping2 hancuran karang, Tiga batang
pohon bwe yang tumbuh di tepi batu karang berhamburan gugur jatuh kedalam
jurang, Gin Liong benar2 tak menyangka bahwa saat itu ia memiliki tenaga yang amat
sakti, Dari jarak tujuh delapan tombak jauhnya, ia masih dapat melepaskan hantaman
yang sedemikian dahsyatnya,
Menengadah ke langit, tampak mentari pagi sudah mulai mengintip di puncak
gunung, Diam2 ia heran. sebelum pingsan, udara amat buruk, Salju turun deras,
angin menderu-deru keras. setelah sadar dari pingsan, hari sudah cerah.
Makin melanjutkan keluar pandang matanya, tampak puncak gunung tertutup salju
putih, sepintas pandang menyerupai lautan awan putih,
Gin Liong terkesiap dalam hati, ia merasa matanya jauh lebih terang dan beberapa
saat tadi, sebelum pingsan, Bukan saja dapat menghadapi sinar kemilau dari
cahaya salju, pun dapat juga menerobos melihat beberapa tombak ke dalam.
Diam2 ia girang sekali, Cepat ia melayang keatas jalan kecil lalu apungkan tubuh
ke puncak karang, Dari tempat itu ia terus lari menuju ke hutan siong disebelah
muka. Saat itu ingin sekali ia berada di kuil Leng hun-si. ia hendak menceritakan
perobahan dirinya itu kepada suhu dan sumoaynya,
Sesaat tiba di kuil ia terus loncat melampaui pagar tembok dan melayang ke ruang
belakang. Tetapi sesaat kakinya menginjak lantai, segera ia merasakan sesuatu yang tak
wajar, Biasanya di ruang belakang kuil itu tentu penuh dengan kawanan paderi
yang mondar mandir mengurus pekerjaan masing2. Tetapi anehnya, saat itu sama
sekali tiada seorang paderi yang kelihatan bayangannya,
setelah mencurahkan pendengaran barulah ia dapat mendengar bahwa di ruang
muka kuil itu sayup2 terdengar suara kelinting sembahyangan.
Kembali Gin Liong merasa girang. Ta tahu bahwa telinganya makin bertambah
tajam. Ia lepaskan perhatian ke ruang belakang dan pusatkan pendengarannya ke arah
ruangan muka, Tetapi diapun kurang memperhatikan bahwa saat itu sebenarnya
sembahyang pagi para paderi kuil sudah selesai pada dua jam yang lalu.
Dengan hati gembira ia segera melangkah ke ruang tengah untuk mendapatkan
suhunya, ia terkejut ketika melihat pintu ruang tempat kediaman suhunya
terkancing rapat menandakan bahwa suhunya tak berada di dalam,
Berpaling ke ruang samping tempat tinggal sumoaynya, pintunya tertutup tetapi
daun jendela terbuka separoh. Maka Gin Liongpun ayunkan langkah menghampiri
Begitu dekat pada ruang itu, kejut Gin Liong tak terkira, ia mendengar suara
erang kesakitan dari dalam ruang itu. ia duga sumoaynya tentu sakit.
Melangkah ke muka pintu segera ia mendorong lalu menerobos masuk.
Ki Yok Lan, sumoaynya yang masih dara itu, rebah diatas tempat tidur, rambutnya
terurai kusut dan tubuhnya dibungkus selimut.
Gin Liong bergegas menghampiri Ketika memeriksa, menggigillah tubuhnya, Yok
Lan tampak pucat sekali wajahnya dan tampaknya seperti orang limbung,
Tiba2 Gin Liong teringat akan peristiwa yang dialaminya ketika berada dalam gua
Ban Hong Liong-li. Peristiwa yang aneh dimana punggungnya seperti ditusuk oleh
benda tajam sehingga ia pingsan.
"Lan-moay, kemungkinan Liong-li locianpwe masih berada dalam gua", serunya
sesaat kemudian." "Benarkah itu ?" seru Yok Lan girang," Liong koko, aku hendak mendapatkan beliau
!" Habis berkata dara itu terus hendak turun dari tempat tidurnya, Gin Liong
terkejut, cepat2 ia memegang bahu sumoaynya:
"Lan-moay, penyakitku belum sembuh betul, tak baik mengeluarkan tenaga untuk
berjalan. Aku hanya mengatakan bahwa kemungkinan Liong-li lo-cianpwe masih
berada dalam gua. Adakah hal itu benar, aku juga tak tahu."
Karena ketegangan hati tadi, Yok Lan telah mengurangi tenaga-murni yang mulai
pulih dalam tubuhnya. ia terengah-engah, keringat dingin bercucuran dan
wajahnya pun pucat lagi, Gin-liong terkejut, buru2 ia membantu sumoaynya tidur lagi dan menutup
tubuhnya dengan selimut. Setelah napasnya agak tenang, sambil memandang ke wuwungan rumah, dara itu
terkenang akan peristiwa yang lampau.
"Tahun yang lalu, diam2 aku telah menuju ke gua Kiu-kiok-tong, Baru melayang ke
atas batu karang, segera terdengar Liong-li locianpwe menegur: "Apakah engkau
sumoay dari Gin Liong ?"
"Ah," Yok Lan berkata seorang diri, "begitu ramah dan penuh kasih sayang nada
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara Liong-li lo-cianpwe, Aku seorang gadis yang sudah sebatang kara, merasa
bahwa kata2 beliau itu penuh rasa kesayangan seorang ibu terhadap putri2nya.
Aku tak dapat menahan derai air mataku yang bercucuran turun . . . .
Tetapi, sesaat kemudian dia memperingatkan supaya aku jangan melanjutkan
langkah menghampiri ke guanya, Dan beliaupun melarang aku tak boleh datang ke
tempat itu lagi, Dan lagi melarang aku jangan mengganggu pedang pusaka beliau
yang tergantung pada pintu berterali besi itu . . ,."
Berkata sampai disitu tiba2 mata Yok Lan berkilat terang seperti teringat
sesuatu ia berpaling memandang Gin Liong.
"Liong koko, dimanakah pedang pusakamu dan baju bulu burung itu ?"
Gin Liong terbeliak, Dia segera teringat bahwa pedang pusaka dan baju bulu
burung itu masih ketinggalan di gua, walaupun ia masih ragu2 tentang tempat kedua
benda itu tetapi ia harus mencarinya sampai ketemu.
"Karena bergegas hendak menengok engkau dan suhu maka kedua benda itu
kutinggal di gua, Harap engkau beristirahat, aku hendak mengambil kedua benda
itu dulu, Aku pasti segera kembali kemari lagi," katanya kepada sang sumoay.
Selekas keluar dari kamar, ia menuju ke halaman lalu enjot tubuh melayang keatas
genteng dan terus lari menuju ke gunung di belakang kuil.
Pada saat melintasi hutan pohon siong, ia melihat sesosok bayangan orang melesat
di puncak gunung dan pada lain kejap sudah lenyap, Bayangan itu luar biasa
cepatnya. Gin Liong terkejut sekali. Puncak gunung di belakang kuil itu, penuh dengan
jurang dan tebing karang yang curam sekali, Kecuali harus mengambil jalan dari muka
puncak gunung itu, tiada lain jalan lagi yang dapat ditempuh.
Siapakah orang itu" Suhunya ataukah kedua paman kakek gurunya"
Tetapi pada lain kilas cepat ia membantah dugaannya sendiri, Karena bukankah
mereka masih membaca doa di ruang besar "
Ia segera pesatkan larinya dan terus melayang keatas batu karang di muka gua,
Karena melihat sosok bayangan aneh tadi, ia tak berani gegabah terus masuk
kedalam gua. Baru setelah menunggu beberapa saat tak tampak sesuatu yang
mencurigakan akhirnya ia melayang turun dan melangkah ke dalam gua,
Gin Liong teringat akan pengalaman yang diderita Hiong-bi-lek Go In. ia tak
berani terus langsung masuk melainkan melangkah dengan pelahan dan memperhatikan
setiap cekung dinding gua.
Makin ke dalam makin gelap.
Tiba di ujung tikungan sebelah kiri, ia hampir berteriak girang. pedang pusaka
Tanduk Naga dan baju bulu burung masih menggeletak di tumpukan rumput
kering, Cepat ia memungut kedua benda itu. Tetapi serentak iapun segera teringat
akan Ban Hong Liong-li. Karena pedang pusaka dan baju bulu burung masih tetap berada di dalam gua, jelas
sosok bayangan tadi tentu tidak masuk kesitu.
Setelah menyelipkan pedang dan mengenakan baju bulu burung, kembali timbul
bermacam pikiran dalam benaknya.
Pertama, ia mengira Ban Hong Liong-li masih berada dalam gua. pada saat paderi
Go In berteriak masuk kedalam gua, Ban Hong Liong-li mungkin bersembunyi tak
jauh dari tempatnya. Gin Liong percaya bahwa dengan kepandaian yang dimilikinya, tanpa dibantu
wanita sakti itu, tentu tak mungkin sekali hantam dapat melemparkan tubuh paderi
Go In sampai tujuh delapan tombak keluar dari gua.
Dan ketika suhunya masuk kedalam gua, tak henti-hentinya berseru memanggil
"wulanasa" Mungkin kata2 itu merupakan nama dari Ban Hong Liong-li ketika
masih gadis. Gin Liong makin keras menduga bahwa diantara suhunya dengan Ban Hong Liong-li,
dahulu tentu mempunyai hubungan yang istimewa.
Ban Hong Liong-li tampaknya kuatir orang lain atau para anak muda mengetahui
riwayat hidupnya. Pada saat suhunya berbicara dengan Ban Hong Liong-li, Wanita
sakti itu tentu segera memeluknya (Gin Liong) sehingga pingsan agar jangan dapat
mendengar pembicaraan mereka.
Ia duga benda tajam yang menusuk punggungnya itu tentulah ujung jari dari Ban
Hong Liong-li. Tetapi ada sebuah hal yang ia tak mengerti. Mengapa suhunya waktu itu tak mau
menolong dirinya" Adakah saat itu suhunya memang tak mendengar suaranya
ataukah Ban Hong Liong-li lo-cianpwe memindahkannya ke lain tempat "
Terlintas sesuatu dalam benaknya dan iapun memandang ke muka, Lima tombak
disebelah muka, gua itu membiluk ke kanan.
Segera ia menuju ke tempat itu. Melongok kebawah, ternyata sebuah jurang yang
tak kelihatan dasarnya, Namun Gin Liong sudah terlanjur tertarik hatinya, ia
melayang turun, Makin kebawah, hawanya makin dingin sekali,
Ketika tiba di dasar lembah, ia berhadapan sebuah gua besar yang kedua
dindingnya penuh dengan batu2 runcing. Gin Liong maju menghampiri
Tiba2 ia terkejut karena mendengar suara jeritan seram dari bagian dalam gua
itu. ia hentikan langkah, Ketika mendengarkan dengan seksama, kecuali suara benda
jatuh, tiada kedengaran apa2 lagi.
Teringat sesuatu, Gin Liong segera lari memburu kedalam, Lorong gua berkelak-
keluk, naik turun. Setelah melintas enam buah tikungan, tibalah dia disebuah
tempat berbentuk empat persegi, panjangnya kira2 sepuluhan tombak,
Gin Liong hentikan langkah, Memandang kemuka, kejutnya bukan kepalang. Lima
tombak disebelah muka, terkapar sesosok tubuh yang kecil kurus.
Cepat ia loncat menghampiri. Ah, ternyata orang itu memang seorang wanita.
Rambutnya sudah usai, mengenakan pakaian kembang potongan suku Biau,
Kepalanya pecah, wajahnya rusak mengerikan sekali.
Gin Liong menduga mayat itu tentulah Ban Hong Liong-li. serentak meluapkan
kemarahannya, ia menghamburkan tertawa keras sekali sehingga menggetarkan
suluruh gua. Puas menumpahkan kemarahannya dalam tawa yang ngeri, serentak ia berlutut
disamping mayat itu dan menangis tersedu sedan.
"Liong-li Lo-cianpwe. murid memang berdosa besar karena tak lekas datang
sehingga lo-cianpwe sampai dicelakai orang. Murid bersumpah, dengan pedang
Tanduk Naga pemberian lo-cianpwe itu, akan menuntut balas kepada musuh2 lo-
cianpwe itu, walaupun harus memburu mereka sampai di ujung langit."
Sekonyong-konyong terdengar gemericik suara air mengalir Gin Liong serentak
berdiri dan berseru: "Siapa itu !" Ia menghimpun tenaga-dalam, siap untuk menghantam, Tetapi ketika memandang
kemuka, menggigillah sekujur tubuhnya, Cepat ia loncat mundur sampai tiga
tombak, Pada ujung gua didepan, sayup2 seperti muncul seperti sinar yang menembus ke
puncak gua. . Cahaya itu memancarkan sinar tujuh warna. Kilau kemilau
menyilaukan mata. Sebuah kepala binatang yang menyerupai ular naga, bergemercikan timbul dari
dalam air lalu perlahan-lahan merayap keatas tanah.
"Makhluk ajaib..." teriak Gin liong dengan tegang sekali.
Ia menyalangkan mata memandang dengan seksama. Kepala binatang aneh itu
berwarna hijau, tanduk merah, sepasang matanya menyerupai bola api, hidungnya
menghambur buih dan mulutnya mendesis-desis. Dan ketika badannya ikut
terangkat tulang punggungnya seruncing mata golok penuh dengan sisik, Mungkin
karena mendengar Gin liong tertawa keras, makhluk aneh itu merangkak keluar
dari sarangnya. Sekonyong-konyong makhluk aneh itu meraung, mengangkat kepala, membuka
mulut lebar2, lalu meluncur kearah mayat Ban Hong hiong-li.
-ooo0oooo- 5. Katak salju. Gin Liong terkejut Tetapi sesaat kemudian iapun marah sekali, Dengan
menggembor keras cepat ta mencabut pedang pusaka, seketika berhamburan sinar
merah dari pedang Tanduk Naga itu.
Binatang aneh itu panjangnya tiga tombak. keempat kakinya tajam seperti cakar,
Melihat sinar merah dari pedang Tanduk Naga, mayat wanita yang sudah digigit
itu, segera dilepasnya lagi. sepasang bola matanya yang mencorong seperti lentera,
tiba2 pudar dan binatang itupun pelahan-lahan menyurut mundur.
Gin Liong pelahan-lahan mendesak maju. Melihat itu binatang anehpun makin
mempercepat gerak mundurnya. Tampaknya dia ketakutan sekali.
Pada saat melalui mayat, Gin Liong menunduk dan memandangnya. Alangkah
kejutnya ketika melihat baju kembang potongan wanita Biau yang dikenakan
wanita itu sudah hancur digigit binatang aneh tadi.
"Binatang, serahkan jiwamu !" Gin Liong marah dan loncat membabat tanduk
merah binatang itu. Binatang itupun meraung keras dan meluncur mundur cepat
sekali kedalam air. Gin Liong berhenti dan berdiri di tepi air, Kiranya tempat itu merupakan sebuah
rawa seluas lima tombak, dikelilingi empat dinding karang hijau. Ditengahnya
terdapat dua buah gua seluas satu tombak. Separoh bagian dari gua itu terendam
air. Binatang aneh yang menyerupai naga itu masuk kedalam gua sebelah kiri. Dari
permukaan air masih tampak kedua bola matanya yang bersinar tajam.
Gin Liong maju menghampiri ke tepi rawa, Binatang itupun pelahan-lahan
menyelam kebawah rawa. Tiba ditepi rawa, airpun segera memancar sinar pedang Tanduk Naga berwarna
merah. Rawapun pelahan-lahan tenang lagi. permukaan airpun tidak beralun, Tetapi dari
dasar rawa seperti memancar sinar warna pelangi yang menyembul kepermukaan
rawa. Tergerak hati Gin Liong, Menunduk kebawah, dilihatnya dari dasar rawa bagian
yang paling dalam, tampak melambung sebuah benda putih macam batu pualam
bersih. Besarnya sama dengan kepalan tangan, Benda putih itu makin melambung
kepermukaan air. sinarnya makin terang.
Ketika memandang dengan seksama barulah Gin Liong tahu bahwa benda putih itu
seekor katak putih atau katak salju.
Sesaat katak salju itu mengapung dipermukaan air, maka tubuhnya memancar
sinar putih yang gilang gemilang. Ketika beradu dengan sinar merah dari pedang
Tanduk Naga, maka timbullah suatu pancaran sinar yang amat serasi dan
menyilaukan mata. Seketika Gin Liong menyadari bahwa katak salju itu tentu termasuk sejenis
binatang yang ajaib. Cepat ia selipkan pedangnya lalu berjongkok ditepi rawa dan
ulurkan tangan hendak menangkap binatang itu.
Tiba2 air berombak keras dan muncullah binatang aneh yang menyerupai naga
tadi, Gin Liong terkejut, Cepat ia ayunkan tubuh melayang mundur beberapa
tombak. Memang mahluk yang menyerupai naga itu merangkak naik kedaratan lagi,
sepasang matanya memandang Gin Liong dengan berapi-api.
Gin Liong sudah mempunyai pengalaman bahwa binatang aneh itu takut pada sinar
atau mungkin pada sinar kemilau dari pedang Tanduk Naga. Maka dia segera
mencabut pedang pusaka itu, sambil menggembor keras. terus menerjangnya!
Binatang yang mirip naga itu amat waspada sekali. Pada saat sinar pedang Tanduk
Naga memancar tiba, cepat2 binatang itupun segera menyurut mundur masuk
kedalam guha. Beberapa saat kemudian permukaan telaga pun tenang lagi airnya, Katak salju
itupun kembali mengapung di permukaan air.
Gin Liong tancapkan pedangnya ketepi telaga, lalu berjongkok dan ulurkan kedua
tangannya untuk menangkap katak mustika itu, Dalam pada itu perhatiannyapun
tak pernah lepas ke arah binatang mirip naga yang mungkin akan meluncur keluar
dari sarangnya. Sepasang mata katak salju itu berkilat-kilat terang, memandang dengan sorot
marah kepada Gin Liong. Katak yang badannya seputih salju itu, segera bergerak-gerak menghampiri ke
tempat pedang Tanduk Naga.
Begitu mendekati tepi, secepat kilat Gin Liong segera menyambarnya dan
berhasillah ia. Tetapi suatu peristiwa yang tak terduga-duga telah terjadi. Ketika menggenggam
katak salju itu, seketika kedua tangan Gin Liong membeku dingin, lengannya
serasa mati rasa dilanda oleh hawa yang luar biasa dinginnya sehingga menyusup masuk
ke ulu hati. Gin Liong terkejut sekali, cepat ia letakkan katak salju itu diatas bulu-bulu
burung. Ketika memandang kedalam air, dilihatnya binatang yang menyerupai naga itu
tengah mementang kedua matanya lebar2. Dari hidungnya menghembuskan
hamburan hawa yang bergulung-gulung dalam air.
Gin Liong tahu bahwa mahluk seperti naga itu tentu marah sekali, Tetapi karena
takut pada pedang Tanduk Naga maka walaupun katak salju telah dirampas Gin
Liong, binatang itu tak berani berbuat apa2.
"Ah, lebih aku cepat2 pergi," kata Gin Liong lalu hendak menjemput katak salju
lagi, Tetapi ketika memandangnya, kejutnya bukan alang kepalang.
Katak salju yang semula sebesar kepalan tangan, saat itu tiba2 berobah menyusut
kecil tak lebih dari dua inci besarnya, Dan ketika dipegang, tubuh katak itu
putih bening seperti air. "Katak salju, ya, tentu inilah katak salju," tiba2 ia berseru tergetar.
Dengan mencekal katak salju ditangan kiri dan pedang Tanduk Naga, di tangan
kanan, Gin Liong segera bergegas pergi.
Saat itu hati Gin Liong girang bukan kepalang, Sambil berlari pesat, pandang
matanya selalu mencurah kearah katak salju itu, Diam2 ia merenungkan tentang
khasiat yang luar biasa dari binatang itu.
Katak salju merupakan suatu jenis binatang yang jarang terdapat di dunia,
Seperti halnya dengan senjata pusaka, kitab pusaka, pun katak salju itu merupakan benda
yang menjadi incaran setiap kaum persilatan.
Apabila katak salju itu direndam dalam arak dan diminum maka khasiatnya bagi
orang yang berlatih silat, seolah tulang-tulangnya berganti baru, tenaga
dalamnya bertambah kokoh. Bagi orang biasa, dapat menyembuhkan segala penyakit dan
menambah panjang umur. Kegirangan Gin Liong mengdapatkan katak mustika itu bukan karena ia hendak
memakannya sendiri melainkan hendak diberikan kepada Ki Yok Lan yang sedang
mengidap penyakit itu. Apabila sumoaynya minum katak itu, tentulah penyakitnya
akan sembuh dan tubuhnya akan sehat kuat.
Tiba ditikung kiri pada mulut gua, tiba2 Gin Liong terkesiap, jenazah Ban Hong
Liong-li yang tadi menggeletak di tempat itu, ternyata lenyap !
Kemanakah jenazah itu"
Tak pernah dia menyangka bahwa di guha yang setinggi lima tombak itu, akan
muncul seseorang yang membawa pergi mayat wanita itu, Dan dia pun tak pernah
membayangkan bahwa orang itu memiliki kepandaian yang hebat sekali.
Dia hanya terkejut atas peristiwa aneh itu maka setelah dengan hati2 memasukkan
katak salju kedalam baju, ia segera tingkatkan kewaspadaan siap sedia menghadapi
sesuatu yang tak diinginkan.
Tiba2 ia mendengar suara tertawa dingin pelahan dan berasal dari belakangnya,
Sudah tentu dia terkejut sekali, Secepat kilat ia mencabut pedang Tanduk Naga
dan berputar tubuh menabas. ia percaya bahwa gerakan berputar seraya menabas secepat kilat itu tentu akan
mengenai sasarannya, Tetapi ah, hanya angin belaka yang ditabasnya.
Ia tersipu-sipu malu sendiri, Mengeliarkan pandang kesekeliling, ternyata guha
itu sunyi senyap, kosong melompong.
Tetapi dia merasa penasaran, jelas tadi ia mendengar suara orang tertawa dingin.
Tiba2 terlintas sesuatu dalam benaknya dan secepat itu ia segera menengadahkan
muka memandang keatas, Ah, ternyata dugaannya tepat Pada puncak guha setinggi tiga tombak itu, terdapat
sebuah guha yang cukup lebar. Karena gelap dan menjulang ke atas maka tak dapat
di ketahui berapa tombak tingginya.
Kini Gin Liong menyadari bahwa orang yang melepas tertawa dingin tadi tentu
sudah meluncur dari puncak guha itu.
Mengenangkan akan nasib Ban Hong Liong-li yang begitu mengenaskan dibunuh
lalu mayatnya masih dilarikan Gin Liong menumpahkan kemarahannya dengan
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah tertawa seram. Acungkan pedang pusaka Tanduk gNaga ke-atas ia segera enjot tubuh melambung
kearah guha diatas puncak guha itu.
Memang pedang pusaka Tanduk Naga benar2 sebuah pedang pusaka yang hebat.
Lorong guha yang gelap itu segera terpancar sinar merah. Dengan setiap kali
menginjak dinding guha yang menonjol, dapatlah Gin Liong mencapai ketinggian
tujuh tombak dan tibalah dia di puncak paling atas.
Ia berhenti seraya lintangkan pedang dan mengeliarkan pandang kesekeliling.
Kiranya gua di puncak itu lorongnya berkeluk-keluk macam ular, Sebuah guha yang
menjulang condong ke-atas.
Guha itu gelap gulita, anginnya keras, Tak tampak barang seorang manusiapun
disitu, Gin Liong masih penasaran. Di amati keadaan gua itu dengan lebih cermat,
Tiada tampak barang sebuah cekungan yang dapat dijadikan tempat
persembunyian orang, Maka dengan siapkan pedang ditangan kanan, ia segera
menyusur lorong gua. Hati2 sekali ia berjalan. Setiap keluk dan cekung, tentu ia berhenti dan
mengamati dengan cermat. Makin menuju ke atas, hawa makin dingin dan lorong guha pun makin sempit, Dan
tak berapa lama tibalah ia di mulut guha. Disitu keadaannya tidak lagi gelap
melainkan terang benderang.
Kini dia berhadapan dengan sebuah guha berbentuk bundar, menjulang lurus
keatas, Tingginya hampir sepuluhan tombak, pada mulut gua yang bundar seperti
mangkuk, tampak langit yang biru. Dan dekat di mulut gua, terdapat lapisan
salju. Gin Liong kerutkan dahi. ia sangsi adakah ia mampu loncat melambung kemulut
gua setinggi itu, Dan orang yang tertawa tadi, adakah juga keluar dari gua
diatas itu " Tiba2 muncul suatu pertanyaan dalam hati Gin Liong, Benarkah Ban Hong Liong-li
telah dipenjara selama lima tahun dalam gua itu "
Seingatnya, selama lima tahun itu dikala Ban Hong Liong-li memberi pelajaran
ilmu silat kepadanya, ada kalanya suruh dia datang lima hari sekali. Tetapi ada
kalanya tiga hari bahkan sebulan dua bulan baru disuruhnya datang.
Waktu itu ia tak tahu apa sebabnya, Tetapi kini setelah menemukan jalanan keluar
dari puncak gua, dia menduga keras, selama lima tahun itu Ban Hong Liong-li
tentu tidak terus menerus berada dalam guha. ia percaya dengan kesaktian yang
dimiliknya, Ban Hong Liong-li tentu mudah sekali keluar masuk mulut gua itu.
Ada lagi sesuatu yang mengherankan Gin Liong, jika benar Ban Hong Liong-li dapat
bergerak bebas dalam guha itu mengapa selama lima tahun itu tak pernah ia
diperbolehkan melihat wajahnya" Adakah Ban Hong Liong-li berwajah buruk
sehingga malu dilihat orang "
Saat itu yang paling menyedihkan hati Gin Liong ialah keadaan jenazah Ban Hong
Liong-li, Mukanya hancur lebur sukar dikenali lagi sehingga sukar dinilai adakah
dia seorang wanita cantik atau buruk.
Dan sesaat teringat akan kematian yang mengenaskan dari Ban Hong Liong-li itu,
darah Gin Liong segera meluap, ia memutuskan akan mencapai puncak mulut gua
itu dan melihat bagaimana keadaan yang sesungguhnya.
Sekali enjot sang kaki, tubuh Gin Liongpun melambung kearah mulut gua yang
tingginya beberapa tombak, Dalam dua tiga kali gerakan melambung, akhirnya
berhasil juga ia tiba ditepi mulut guha.
Ketika memandang ke sekeliling, ia tertegun, Empat penjuru keliling dari gua itu
merupakan gerumbul pohon siong yang penuh diselimuti salju. Dan yang
mengejutkan Gin Liong, ternyata pada jarak beberapa tombak dari tempat itu
sudah merupakan dinding tembok merah dari kuil Leng-hun-si. Dan Gin Liong pun
dapat melihat ruang kuil itu, diantaranya ruang tempat kediaman suhunya.
"Hah, apakah mulut guha ini bukan yang dikatakan sebagai Sumur mati dibelakang
kuil ?" tiba2 ia teringat
Segera ia berpaling kebelakang untuk memeriksa mulut gua tadi lagi, Tetapi
ketika berputar tubuh, bukan kepalang kejutnya sehingga ia sampai memekik kaget dan
loncat mundur dua tombak.
Di depan sumur mati yang berada dibelakangnya itu, tegak seorang wanita cantik
dalam pakaian yang indah dan mantel bulu burung dari beludru merah.
Wanita cantik itu kira2 berusia 26-27 tahun, kulitnya merar segar, sepasang
alisnya melengkung panjang sampai ke pelipis rambut. Dan sepasang matanya bersinar
bening bagai batu zamrud.
Kecantikan wanita itu memiliki pesona yang memikat hati orang. Sayang wajahnya
menampil kerut hawa pembunuhan dingin.
6. Golok emas Gin Liong terkesiap, ia duga wanita muda itu tentu yang menyerang Ban Hong
Liong-li. seketika meluaplah kemarahannya.
"Wanita jahat, engkau harus mengganti jiwa lo-cianpweku..." secepat kilat ia
enjot tubuh melampaui dua batang pohon siong lalu menyerang, menusuk bahu wanita
muda itu dengan pedangnya.
Tenang2 saja wanita muda itu melihat gerak gerik Gin Liong- Pada saat ujung
pedang Gin Liong hampir mengenai, barulah dia menggeliat mundur, bergerak-
gerak dan tahu2 lenyap. Gin Liong terkejut. Cepat ia hentikan terjangannya, Dengan jurus Harimau-buas-
mengibas-ekor, ia taburkan pedang Tanduk Naga menyapu ke belakang.
Krak, bum... sebatang pohon siong segera terbabat rubuh, menimbulkan letupan
yang keras ketika menghantam tanah, Salju yang menutupi daun pohon,
berhamburan keempat penjuru,
Memandang kian kemari, Gin Liong tak melihat wanita muda itu, Cepat ia berputar
ke belakang, ah, wanita muda itu ternyata berdiri dibelakangnya.
Gin Liong tergetar hatinya, setitikpun ia tak menyangka bahwa wanita muda itu
menguasai juga tata-langkah Liong-li-biau yang pernah diajarkan Ban Hong Liong-
li kepadanya Tenang2 saja wanita muda itu memandang Gin Liong, wajahnya menampilkan
kerut keresahan dan putus asa.
"Jika dapat menguasai tata-gerak Liong~li-biau, wanita ini tentu mempunyai
hubungan dengan Liong-li lo-cianpwe," pikir Gin Liong.
Menimang demikian, menurunlah kemarahan Gin Liong. Segera ia menyimpan
pedang lalu maju menghampiri dan memberi hormat:
"Mohon tanya siapakah nama yang mulia dari cianpwe ini" Mengapa berada di
belakang kuil Leng-hun-si" Maaf atas tindakanku yang kurang adat karena
menyerang cianpwe tadi."
Wajah wanita muda itu agak berobah. Sinar matanyapun berobah lembut ia
kerutkan alis dan tiba2 menghela napas.
Kali ini Gin Liong lebih terkejut lagi. Helaan napas wanita muda itu benar2
mirip sekali dengan helaan napas yang sering dilakukan oleh Ban Hong Liong-li selama
berada lima tahun dalam guha.
Melihat wajah anak muda itu pucat dan tegang serta memandang dirinya penuh
keheranan, wanita muda itu segera berseru:
"Liong-ji, engkau benar2 seorang anak yang baik. Benar, aku memang tak
menyangka bahwa kecerdasanmu jauh melebihi aku ketika masih muda, Demikian
juga hatimu pun lebih keras."
Mendengar nada suara yang tak asing lagi itu, tak kuasalah Gin Liong menahan
luapan hatinya. Air matanya berderai-derai membanjir turun, Selekas membuang
pedang, ia bergegas melangkah dan jatuhkan diri berlutut dihadapan wanita itu
seraya berkata dengan terisak-isak:
"Lima tahun lamanya Gin Liong telah menerima pelajaran. Selama itu siang dan
malam Gin Liong ingin sekali melihat wajah cianpwe. Tadi tanpa sengaja, aku
telah berlaku kurang hormat, mohon lo-cianpwe sudi memaafkan."
Wanita muda itu berlinang-linang dan menghela napas rawan, serunya:
"Liong-ji, bangunlah, Aku tak menyalahkan engkau melainkan memang diriku.
Wulanasa sendiri yang bernasib malang, dipenjara selama lima tahun dalam guha,
Adalah karena beberapa alasan maka selama itu aku tak dapat mengunjukkan diri
menemui orang." Habis berkata wanita muda itu segera mengangkat bangun Gin Liong yang masih
berlutut di tanah. Waktu berdiri, Gin Liong tundukkan kepala tak berani memandang wanita itu. ia
tak mengira bahwa Ban Hong Liong-li yang dipenjara selama lima tahun dalam guha
itu, ternyata seorang wanita cantik yang baru berusia sekitar dua puluhan tujuh
tahun. Dengan berlinang-linang Ban Hong liong-li suruh Gin Liong mengambil pedang
pusaka itu, Gin Liongpun segera melakukannya dan menyimpan pedang itu
kesarungnya lagi. Ban Hong Liong-li sejenak memandang kesekeliling cakrawala, Saat itu matahari
sudah mulai condong ke barat, Segera ia berkata dengan rawan:
"Liong-ji, saat ini aku harus pergi, tak dapat lebih lama tinggal disini lagi."
Tergetar hati Gin Liong, seketika wajahnya berobah.
"Lo . . . lo-cianpwe hendak kemana ?" tanyanya gopoh.
Dalam menyebut nama Ban Hong Liong-li itu, memang Gin Lion agak kikuk, Wanita
yang semuda itu, apakah harus disebut "lo-cianpwe". Tetapi karena selama lima
tahun sudah biasa memanggil begitu, diapun tak dapat berganti dengan lain
sebutan lagi. Agaknya Ban Hong Liong-li tak menghiraukan soal sebutan itu, .
"Aku harus segera kembali ke kampung halamanku di gunung Supulawa. Dan
selanjutnya aku akan tinggal di daerah Biau sampai akhir hayatku, Aku takkan
menginjak ke Tiong-goan lagi."
Gin Liong mengembang airmata, serunya gegas: "Mengapa lo-cianpwe tak mau
tinggal beberapa hari lagi disini ?"
Ban Hong Liong-li memandang ke langit lagi dan gelengkan kepala pelahan-lahan
lalu menghela napas. "Kenangan yang lampau bagaikan asap, Hanya kehampaan yang kutemui dalam
mengarungi ke ujung langit. Menyebabkan orang putus asa, walaupun kutunggu
sampai sepuluh tahun lagi, apakah gunanya ?"
Dalam pada mengucap itu. air matanya berderai-derai membasahi kedua pipi dan
akhirnya kerongkongannya pun terasa tersumbat tak dapat melanjutkan kata-
katanya lagi. "Keinginan apakah yang lo-cianpwe belum dapat melaksanakan itu, harap
memberitahukan kepadaku...." akhirnya Gin Liong memberanikan diri untuk
berkata. Tetapi cepat Ban Hong Liong-li menukas tertawa rawan: "Ah, hal itu sudah tiada
harapan lagi. tiada gunanya kukatakan."
Namun Gin Liong tetap mendesak: "Mohon lo-cianpwe suka tinggal disini beberapa
hari lagi, Liong-ji tentu akan..."
Ban Hong Liong-li gelengkan kepala, menukas:
"Tidak. demi menambah tenaga-dalammu, aku sudah menunda perjalanan selama
tujuh hari, sekarang aku harus menempuh perjalanan itu siang dan malam agar
lekas tiba di daerah Biau."
Tiba2 Gin Liong teringat akan mayat wanita dalam pakaian suku Biau yang rebah di
dalam gua tadi. "Lo-cianpwe, siapakah mayat wanita yang berada dalam guha itu ?" tanyanya
serentak. Ban Hong Liong~li terkesiap, wajahnya berobah seketika. Sesaat kemudian berkata
dengan nada geram: "Kebahagiaan hidupku, selama ini berada ditangannya, Tak kukira kalau dia akan
datang dari Biau-ciang dan hendak membunuh aku secara menggelap."
Berhenti sebentar, Ban Hong Liong-li mendengus geram dan melanjutkan pula:
"Apabila kali ini kulepaskan dia lagi, mungkin jiwa Cu Hun pun sukar terjamin
keselamatannya." Gin Liong terbeliak kaget.
"Lo-cianpwe, siapakah wanita yang mengenakan pakaian suku Biau itu"
permusuhan apakah yang terjalin antara dia dengan suhuku ?" seru pemuda itu.
Agak tersipu merah Ban Hang Liong-li menerima pertanyaan itu. Sesaat kemudian
ia menghela napas rawan. "Liong-ji, tanyakanlah sendiri kepada suhumu, sekarang aku akan pergi !"
Habis berkata ia berputar tubuh.
"Lo-cianpwe, harap tunggu dulu," buru2 Gin Liong berseru, meminta, seraya loncat
kehadapan Ban Hong Liong-li.
"Lo-cianpwe, maukah lo-cianpwe memberitahu tempat kediaman lo-cianpwe
kepada Liong-ji ?" Ban Hong Liong-li merenung.
"Daerah Biau, gunung Supulawa, puncak Paklu, lembah Naga-beracun," akhirnya
meluncurlah beberapa patah kata dari mulut Ban Hong Liong-li, memberitahukan
alamatnya. Diam2 Gin Liong mencatat dalam hati. Kemudian ia bertanya pula:
"Lo-cianpwe, benarkah aku telah tidur selama tujuh hari dalam guha?"
Ban Hong Liong-li mengangguk:
"Benar, kalau aku tak merawat dan tak mengurut-urut jalan darahmu, paling
sedikit engkau harus tidur sepuluh hari lagi."
Gin Liong terkejut. "Mengapa aku jadi begitu ?" serunya.
"Karena engkau telah makan pil Tok-liong-wan (pil naga beracun) milik ibuku yang
diambilnya dari perut ayahku."
Menggigillah seluruh tubuh Gin Liong mendengar keterangan itu.
"Apa" Pil itu berasal dari perut ayah locianpwe ?" serunya terkejut.
Ban Hong Liong-li terpaksa tertawa: "Liong-ji. apakah engkau merasa heran?"
Gin Liong berulang-ulang mengangguk kepala.
Ban Hong liong-li menghela napas pelahan.
Katanya pula: "cerita itu panjang sekali kalau diceritakan, Lebih baik setelah
aku pergi, engkau tanyakan kepada suhumu !"
Gin Liong gelengkan kepala.
"Suhu tentu tak mau memberitahu kepada Liong-ji. Mohon lo-cianpwe saja yang
memberitahu hal itu."
Ban Hong Liong-li kerutkan alis, Ketika hendak membuka mulut tetapi ia berpaling
kearah kuil Leng-hun-si dan membentak: "siapakah yang berada dalam tembok itu
?" Gin Liong terkejut dan berpaling, Dilihatnya Ki Yok Lan dengan rambut kacau
tengah melompat keatas pagar tembok kuil dan terus hendak melayang turun.
Gin Liong terkejut sekali, ia tahu sumoay-nya itu masih sakit maka buru-2 ia
berseru: "Lan-moay, jangan...."
Tetapi sudah terlambat, Ki Yok Lan sudah terlanjur melayang turun. Gin Liongpun
cepat membentak dan loncat menyongsong.
Juga Ban Hong Liong-li terkejut, serentak ia ayun tubuh melesat kearah Yok Lan.
Dengan kedua tangan ia menyambut tubuh nona itu,
Ketika Gin Liong tiba, ia melihat Sumoay-nya telah pingsan, Anak muda itu
bingung dan air matanya bercucuran.
"Bagaimana, Lo-cianpwe".
"Dia pingsan !"
Ban iHong Liong-li kerutkan dahi. Memandang Yok Lan yang berada dalam
pelukannya, ternyata wajah dara itu pucat lesi, kedua matanya meram. Bang Hong
Liong-li menghela napas: "Ah, tak kira anak ini bertubuh lemah sekali."
"Memang sumoay sedang sakit, sudah tujuh hari lamanya..." cepat Gin Liong
memberi keterangan. Tiba2 mata Ban Hong Liong-li bersinar dan cepat menukas: "Katak salju itu" Lekas
keluarkan!" Gin Liong terbeliak tetapi cepat ia menyadari bahwa selama ini ternyata Ban Hong
Liong-li telah mengikuti gerak-geriknya, Segera ia mengeluarkan katak mustika
itu. Ban Hong Liong-li meletakkan Yok Lan di tanah, kepalanya disandarkan pada
dadanya, ia mengambil sebuah mangkok batu kumala hijau lalu suruh Gin Liong
masukkan katak salju ke dalam mangkuk dan suruh pula pemuda itu lekas
mengambilkan sejemput salju yang bersih.
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gin Liong buru2 melakukan perintah,
"Masukkan salju kedalam mangkuk," perintah Ban Hong Liong-li pula,
Begitu salju dimasukkan, terdengar suara mendesis pelahan ketika salju itu lumer
menjadi air. "Liong-ji. tahukah engkau khasiat katak salju ini ?" tanya Ban Hong Liong-li.
"Tahu," jawab Gin Liong.
"Segala apa memang sudah takdir." kata Ban Hong Liong-li. "tak boleh diminta
dengan kekerasan. Liong-ji, engkau mempunyai rejeki besar, kelak engkau harus
menjaga dirimu baik2 agak menjadi seorang pendekar yang berguna."
Serta merta Gin Liong menghaturkan terima kasih,
Memandang ke langit, kembali alis yang hampir menyusup ke tepi rambut dari Ban
Hong Liong-li berkerut pula, Gin Liong segera tahu bahwa wanita itu tentu
bergegas hendak segera turun gunung. Dia bingung tetapi tak tahu bagaimana harus
mengatakan. Saat itu salju sudah menjadi air. Diatas tubuh katak salju, air itu seperti
mendidih, mengeluarkan butir2 gelembung kecil. Begitu pula, tubuh katak itupun
memancarkan sinar tujuh warna yang kilau kenalan
Ban Hong Liong-li menundukkan kepala untuk meniup mulut Yok Lan. Tubuh nona
itu agak menggeliat dan menghempus napas panjang lalu membuka mata.
Dengan wajah berhias senyum ramah. berkatalah Ban Hong Liong-li: "Lan-ji,
minumlah air salju ini !"
Ia segera menuangkan tepi mangkuk kemulut dara itu. Gin Liongpun cepat2
mendekati sumoaynya dan memberi keterangan,
"Lan moay, yang memeluk engkau ini adalah Liong-li lo-cianpwe."
Wajah Ki Yok Lan pucat lesi seperti mayat. Sinar matanyapun redup dan kesadaran
pikirannya limbung, Mendengar dirinya di peluk Liong-li lo-cianpwe, seketika
wajahnya memancarkan sinar kejut dan girang.
"Lan-moay, minumlah air salju yang diberikan Liong-li locianpwe penyakitmu tentu
sembuh," kata Gin Liong pula.
Rupanya dara itu tak mendengar jelas apa yang dikatakan suhengnya, Sepasang
matanya memandang lekat pada Ban Hong Liong-li.
Ban Hony Liong-li hanya tersenyum dan berkata pula: "Lan-ji. lekaslah minum,"
Yok Lan pelahan-lahan membuka mulutnya tetapi matanya tetap memandang tak
berkedip ke wajah Ban Hong Liong-li. Air matanya berderai-derai mengalir
membasahi pipi. Setelah air salju itu habis diminum, maka dari mulut Yok Lan terbaur hawa harum
yang sejuk. Ban Hong Liong-li segera menyerahkan mangkuk kumala dengan katak salju kepada
Gin Liong, Setelah itu ia menghapus air mata Yok Lan dengan ujung baju dan
dengan penuh kasih sayang menghiburnya.
"Lan-ji, jangan bersedih. Pulang dan tidurlah lagi, engkau tentu sudah sembuh."
Ban Hong Liong-li lalu mengemasi rambut sidara yang kusut.
Ki Yok Lan masih terlongong-longong memandang wajah Ban Hong Liong-li.
Rupanya ia masih bersangsi adakah wanita cantik dihadapannya itu benar2 Liong-li
lo-cianpwe. Tetapi menilik nada suaranya yang tak pernah dilupakan, akhirnya ia
mau percaya juga. "Lo-cianpwe. apakah engkau belum pergi ?" tanyanya sesaat kemudian.
Ban Hong Liong-li tersenyum rawan: "Lan-ji, jika tadi engkau tak muncul, saat
ini aku tentu sudah berada di kaki puncak Hwe-siau-hong."
Habis berkata wanita itu memandang ke cakrawala pula, Dengan wajah gelisah ia
berkata kepada Gin Liong:
"Liong-ji. bawalah sumoaymu ini pulang agar beristirahat sekarang aku harus
pergi." Pelahan-lahan ia mengisar tubuh Yok Lan. Gin Liongpun cepat menyambuti tubuh
sumoay-nya. "Lo-cianpwe. apakah engkau sungguh2 hendak meninggalkan kami ?" seru Yok Lan
dengan wajah sedih. Ban Hong Liong-li menghela napas dan mengangguk: "Nak, sesungguhnya aku tak
ingin meninggalkan kalian, Tetapi aku terpaksa harus pergi."
Memandang Gin Liong, wanita itu menunjuk pada mangkuk kumala, katanya:
"Liong-ji, mangkuk kumala hijau itu, termasuk salah sebuah benda pusaka dari
suku Biau. Aku sudah tak memerlukannya dan kuberikan kepadamu. Harap jaga baik2
jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat."
"Lo-cianpwe sudah menghadiahkan pedang pusaka Tanduk Naga, Bagaimana Liong-
ji temaha untuk menerima pemberian lo-cianpwe lagi ?" kata Gin Liong.
Sedangkan Yok Lan hanya memandang Ban Hong Liong-li dengan air mata
bercucuran. Dengan berlinang-linang, Ban Hong Liong-li berkata: "Nak, pulanglah. Bertahukan
suhumu bahwa Liong-li lo-cianpwe sudah pergi, Dia tak akan melihat Wulanasa
lagi." Berkata sampai disitu, air mata wanita itupun bercucuran. Tiba2 ia berputar
tubuh dan sekali ayun kaki, ia sudah melayang kedalam hutan.
Hampir Gin Liong dan Yok Lan serempak menangis: "Lo-cianpwe, harap suka
menjaga diri baik2. Kami tak dapat mengantar lo-cianpwe..."
Tetapi saat itu Ban Hong Liong-li sudah lenyap diantara gerumbul pohon siong.
Sambil masih terisak-isak, berkatalah Yok Lan: "Mengapa Liong-li lo-cianpwe tak
mau bertemu muka dengan suhu sendiri..."
Setelah menyimpan mangkuk kumala dan katak salju. Gin Liong menghapus air
matanya dan berkata: "Biarpun suhu marah tetapi aku tetap hendak mohon kepada beliau supaya suka
menceritakan tentang riwayat Liong-li lo-cianpwe."
Yok Lan gelengkan kepala.
"Ah, tak mungkin suhu mau memberitahu hal itu," katanya.
"Aku tentu akan memintanya mengatakan." kata Gin Liong berkeras, Kemudian ia
memandang wajah sumoaynya. "sumoay. bagaimana penyakitmu sekarang ?"
"Seluruh tubuhku seperti dialiri hawa panas. Aku merasa letih sekali," sahut Yok
Lan. Gin Liong tahu bahwa khasiat katak salju sudah mulai bekerja dalam tubuh
sumoaynya. "Kalau begitu mari kubawamu kembali kedalam kamar tidur, Liong-li lo-cianpwe
mengatakan, setelah tidur barang satu jam saja, engkau tentu sudah sembuh."
Ia terus memondong tubuh Yok Lan, loncat ke pagar tembok lalu melayang turun,
lari menuju keruang kediaman suhunya.
7. Sayup2 terdengar nyanyian duka
Dalam pelukan sukonya, hati Yok Lan mendebur keras, pipinya bertebar warna
merah. walaupun bukan sekali itu ia dipondong, tetapi setiap kali berada dalam
pelukan sukonya, hatinya tentu berdebar dan mukanya merah.
Saat itu ia rasakan tubuhnya disaluri aliran hawa yang hangat, merasa ngantuk
dan pikiran kabur Entah apakah yang diminumkan Liong-li cianpwe kepadanya"
"Liong koko, tadi Liong-li locianpwe memberi aku..."
Tiba2 Gin Liong berhenti Saat itu mereka sudah tiba di pintu ruang kuil, Dan
pemuda itu mencurah pandang kearah pintu kamar suhunya.
"Liong koko, mengapa berhenti ?" bertanya Yok Lan dengan bisik2.
Gin Liong terbeliak lalu menjawab: "Ah, tak apa2. Kuantarkan engkau kedalam
kamarmu." Dengan bergegas pemuda itu segera menerobos masuk kedalam ruang. Yok Lan
makin heran mengapa sukonya begitu tegang tampaknya.
Setelah meletakkan Yok Lan ditempat tidur dan menyelimutinya, Gin Liong segera
bertanya: "Apakah hari ini suhu datang menjenguk kemari ?"
Begitu rebah di tempat tidur, mata Yok Lan sudah kepingin tidur, ia paksakan
menyahut sambil gelengkan kepala: "Sudah tujuh hari, suhu tak pernah datang
kemari." Habis berkata dara itu terus tertidur.
Mendengar keterangan itu seketika berobahlah wajah Gin Liong. ia makin tegang,
serunya: "Lan moay, tidurlah aku akan keluar sebentar."
Ia menepuk kedua bahu sumoaynya lalu melesat keluar dan loncat ke pintu kamar
suhunya, sekali dorong, terbukalah pintu itu.
Permadani tebal yang menjadi alas tempat tidur, entah bagaimana, saat itu
ditutup dengan kain warna kuning.
Sudah tentu Gin Liong heran, Sejak dahulu tak pernah ia melihat hal semacam itu.
Pun pedupaan dari tembaga kuno yang terletak diatas meja, tiada mengepulkan
asap lagi. Tetapi ruang itu masih terdapat sisa asap dupa yang tipis.
Melihat keadaan itu Gin Liong seperti mendapat firasat yang tak baik. Cepat ia
keluar, mengunci pintu lalu lari keluar kehalaman, Tiba di ruang belakang,
keadaannya pun sunyi2, tiada dijumpainya barang seorangpun.
Lari ke ruang tengah, hanya bertemu dengan dua orang paderi kecil. Dengan wajah
cemas, kedua paderi kecil itu tengah menambahi minyak pada lampu.
Melihat Gin Liong, kedua paderi bocah itu segera menangis dan berseru:
"Liong suko, lekaslah engkau menuju kelapangan Ki-lok-jang dimuka gunung !"
Menggigillah Gin Liong, wajahnyapun membesi. Tanpa bertanya lebih lanjut, ia
terus lari keluar dan menuju ke ruang besar Tay-hud-tong.
Yang disebut lapangan Ki-lok-jang itu, adalah tempat kuburan dari para ketua dan
Tiang-lo kuil Leng-hun-si yang telah meninggal. Apabila seluruh paderi Leng-hun-
si berkumpul di tanah pekuburan itu, tentu menghadiri pemakaman dari paderi Leng-
hun-si yang berkedudukan Tiang-lo keatas.
Suatu bayang2 yang menyeramkan segera melintas pada benak Gin Liong, Betapa
tidak! Sudah tujuh hari lamanya Liau Ceng taysu tidak kembali ke kuil Leng-hun
si. Adakah suhunya itu telah dicelakai oleh Ma Toa-kong dan kawan-kawannya "
Teringat akan hal itu, terhuyung-huyunglah tubuh Gin Liong sehingga hampir
rubuh. Untung dia cepat2 dapat menenangkan diri lalu menuju ke sudut ruang Toa-
hud-tong. Didalam ruang Toa-hud-tian tampak asap dupa berkepul-kepul. Seorang paderi tua
yang kurus sambil membawa seikat api tengah melangkah pelahan-lahan keluar
ruang. Gin Liong makin gelisah sekali. Tanpa berkata apa2, ia terus lari melampuai
paderi tua itu, langsung menuju ke pintu kuil.
Rupanya paderi tua itu mendengar kesiur angin dari pakaian orang yang
menghampirinya, Tetapi ketika memandang orang itu, ternyata Gin Liong sudah
melesat keluar pintu kuil.
Saat itu, mentari sudah silam dibalik gunung. Cuaca menjelang rembang petang.
Puncak gunung-pun sudah mulai bertaburan kabut Cakrawala mulai menebarkan
selimut hitam. Gin Liong lari seperti orang kalap. Sinar matanya berapi-api, dahinya bercucuran
keringat. Memandang kemuka, lapangan Ki-lok-jang sudah kelihatan. Pagoda2 kecil tempat
jenazah yang berjajar-jajar berpuluh-puluh di makam itu, makin jelas diantara
gumpalan kabut. Seluruh paderi Leng-hun-si dengan jubah warna kelabu serempak berkumpul
dimuka sebuah makam yang baru. Mereka tegak berdiri menghadap makam baru
itu. Nyanyian duka dan mantra2 kematian, sayup2 terdengar dibawa hembusan
angin. Melihat itu Gin Liong makin kalap, Diluar kesadarannya, ia segera menumpahkan
kegelisahan hatinya dalam sebuah suitan panjang yang bernada sedih.
Gema suitan itu menembus awan, menimbulkan kumandang yang bergemuruh di
langit dari puncak Hwe-sian-hong.
Doa kematian di tanah makam Ki-lok-jang berhenti seketika, Seluruh paderi
serentak berpaling memandang kedatangan Gin Liong,
Seiring dengan berhentinya suitan, Gin Liong pun sudah tiba di tepi hutan,
melayang turun terus lari menghampiri. Dalam pada berlari itu mata pemuda itu
tetap melekat kearah rombongan paderi.
Tiba2 diantara rombongan paderi Leng-hun-si itu tampil seorang paderi berjubah
merah. Seketika berobahlah wajah Gin Liong dengan seri kegirangan yang menyala-nyala.
"Suhu...." ia berteriak girang dalam hati seraya pesatkan larinya.
Tetapi rasa kegirangan itu segera berobah pula rasa kesiap yang besar, Kiranya
paderi jubah merah itu bukan suhunya melainkan ji-susiok-cou atau paman kakek
guru yang kedua. Menggigillah hati Gin Liong, Diam2 ia bertanya dalam hati, kemanakah suhu dan
paman kakek-guru yang ketiga "
Serentak mata Gin Liongpun mencurah kearah makam pagoda yang baru itu...
Saat itu seluruh paderi Leng hun-si tahu bahwa yang menghambur suitan nyaring
dan yang tengah lari mendatangi itu, adalah Gin Liong yang telah menghilang
selama tujuh hari. Kawanan paderi itu terkejut dan berlinang-linang air mata, Merekapun tak pernah
menyangka bahwa murid dari kalangan orang biasa dari ketua mereka, ternyata
memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian mengejutkan.
Tiang-lo jubah merah yang memegang tongkat Giok-ji-ih, dengan wajah duka dan
kerutkan alis memandang kedatangan Gin Liong Diapun diam2 terkejut melihat
kepandaian Gin Liong. Pada saat sekalian paderi masih kesima, Gin Liongpun sudah tiba dan sekonyong-
konyong ia lari menghampiri makam pagoda yang baru dibangunkan itu seraya
menjerit: "Suhu..." Hanya sepatah kata yang dapat diucapkan karena tubuh anak muda itu terhuyung-
huyung lalu rubuh ke tanah yang tertutup salju. Setelah dua kali berguling-
guling. iapun pingsan. Gemparlah sekalian paderi Leng-hun-si. Mereka hiruk-pikuk berhamburan
menghampiri. Tetapi tiang-lo jubah merah cepat melesat dan mengulurkan tangan
mengangkat tubuh Gin Liong supaya duduk, Diurut-urutnya jalan darah anak itu
lalu perlahan-lahan menepuk-nepuk punggungnya.
Gin Liong membuka mata. Air matanya segera membanjir turun, Dengan
menggembor keras ia melonjak bangun terus hendak menelungkupi makam
pagoda yang baru itu. Tiang-lo jubah merah terkejut Cepat ia menyambar tangan Gin Liong: "Liong-ji..."
"Huak...." Gin Liong muntahkan segumpal darah segar. Tanah yang bertutup salju
putih segera bertebaran warna merah.
Gin Liong berlutut dihadapan makam baru.
Sambil memegang meja sembahyang, ia memandang ke arah makam yang berisi
jenazah Liau Ceng taysu, suhunya yang dicintai itu. Dengan kalap ia berteriak-
teriak memanggil suhunya. Air matanya bercucuran seperti banjir, Mulutnya pun berlumuran darah, Matanya
merah seperti terbakar. Melihat pemandangan itu, tiang-lo jubah merahpun hanya berdiri dibelakang Gin
Liong. Dia tak kuasa juga menahan cucuran air matanya.
Juga seluruh paderi Leng-hun-si segera mendekap muka dengan ujung lengan
jubah dan menangis tertahan.
Cuaca makin gelap, Kabut dingin makin tebal. Dilapangan makam Ki-lok-jang masih
berkumandang suara isak tangis.
Tiba2 Gin Liong hentikan tangisnya, Dengan heran ia memandang kearah sebatang
kimto (golok emas) yang terletak diatas meja sembahyang, Kim-to itu panjangnya
tiga puluhan senti, lebarnya satu setengah inci. Batangnya memancarkan sinar
keemasan yang menyilaukan
"Liong-ji, suhumu telah binasa oleh golok emas itu...." tiba2 tiang-lo jubah
merah berseru. Gin Liong tegak berdiri lalu mengambil kimto itu dan memeriksanya, Seketika
menggigil keraslah tubuhnya.
"Wulanasa..." tanpa disadari mulutnya berseru tertahan.
Seluruh paderipun berhenti menangis. Mereka serempak memandang kearah Gin
Liong dengan heran. Demikian tiang-lo jubah merah, Bergegas ia maju dua langkah, menunjuk golok
emas dan bertanya: "Liong-ji, tahukah engkau arti dari keempat huruf pada batang golok itu ?"
Gin liong tak menyahut melainkan memandang ke cakrawala dengan terlongong-
longong. Mulutnya mengingau seorang diri:
"Wulanasa... apakah yang membunuh suhu itu mungkin Liong-li locianpwe?"
Mendengar kata2 "Liong-li", tergetarlah hati tianglo jubah merah. Segera ia
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berteriak marah: "Liong-ji, apakah golok emas itu miliki Ban Hong Liong-li ?"
Tiba-2 Gin Liong menghambur tawa keras yang sedih. Kumandangnya jauh
menebar ke seluruh penjuru hutan.
Seketika berobahlah wajah seluruh paderi Leng-hun-si. Mereka merasa darahnya
bergolak keras, jantung mendebur.
Tiang-lo baju merah terkejut. Tujuh hari menghilang, mengapa mendadak Gin Liong
memiliki tenaga-dalam yang sehebat itu.
Berhenti tertawa, Gin Liong segera berteriak keras2: "Mengejar lo-cianpwe, tentu
dapat mengetahui siapakah pembunuh suhu itu !"
Kata2 itu ditutup dengan sebuah loncatan ke udara. Sekali loncat, ia sudah
melayang turun sampai beberapa tombak jauhnya, ia lari kearah jalan yang
ditempuh Ban Hong Liong-li.
Segenap paderi Leng-hun-si tercengang menyaksikan tindakan anak muda itu.
sekonyong-konyong tiang-lo jubah merah berteriak memanggil:
"Liong-ji, kembali !"
Tetapi Gin Liong tak menghiraukan lagi, ia terus lari menuju ke hutan pohon
siong. Begitu masuk kedalam hutan. keadaannya gelap sekali tetapi serempak dengan itu
golok emas yang dicekalnya itu memancarkan sinar gemilang sampai seluas dua
tombak. Gin Liong terkejut ia baru menyadari bahwa golok emas itu ternyata sebuah
pusaka, ia teruskan larinya. Setelah melintas keluar dari hutan, ia berhadapan
dengan sebuah puncak karang, Memandang kebawah, ia terlongong-longong.
Dibawah puncak merupakan sebuah jurang yang tak diketahui berapa dalamnya
karena permukaannya tertutup oleh kabut tebal, Yang tampak hanya puncak
pohon siong dan batu yang menonjol.
Gin Liong bingung dan gelisah, ia bernafsu sekali untuk mengejar Ban Hong Liong-
li dan menanyakan siapakah yang membunuh suhunya.
Keinginan yang meluap-luap itu menyebabkan dia lupa bahaya, serentak ia ayun
tubuh melayang turun ke bawah. Karena kabut dan hari sudah gelap, maka ia
lambaikan layang tubuhnya.
Sekonyong-konyong pada saat kakinya menginjak sebatang pohon siong, ia rasakan
dadanya sakit dan hawa-murni dalam pusarnya naik sehingga pandang
matanyapun berkunang-kunang.
Gin Liong terkejut sekali wajahnya berobah pucat dan keringat dingin mengucur
deras, Tubuhnya pun makin laju meluncur turun. jaraknya masih kurang beberapa
meter dari pohon siong. Dengan paksakan diri dan tahan kesakitan ia bergeliatan,
menghambur teriakan dan cepat tancapkan golok emas ke pohon-pohon.
Cret Golok emas itu luar biasa tajamnya. Sekali tabas, seperti menabas tanah liat.
Batang pohon sebesar paha orang, segera terbabat hampir putus.
Gin Liong terkejut, karenanya tubuhpun meluncur turun lagi, ia menjerit nyaring
seraya menyambar sebatang dahan pohon yang menjulai ke bawah.
Pohon siong itu berderak-derak jatuh ke bawah. Dan ketika Gin Liong memandang
kebawah, ia melihat segunduk karang salju seluas satu tombak. Cepat ia mendapat
akal. Selekas lepaskan dahan pohon, ia terus bergeliatan melayang turun ke atas
karang salju itu. Tetapi tepat pada saat hampir menginjak karang es itu, pohon siong tadipun
meluncur menimpah kearahnya. Cepat ia bergelindingan kedalam karang es itu.
'Bum,' batang pohon siong menghantam permukaan karang es lalu mencelat ke
bawah lagi beserta hamburan salju.
Tempat Gin Liong menyusup masuk itu, merupakan sebuah cekung karang es yang
luasnya hanya satu meter. Hampir saja tempat itu hancur karena tertimpa batang
pohon. Setelah menenangkan diri, rasa sakit pada dadanya terasa lagi, ia menyadari
bahwa tadi karena dirangsang luapan amarah, hawa dalam tubuh telah menyerang ke ulu
hati. Dan karena dipergunakan untuk lari kencang, luka itu makin berat.
Disekelilingnya gelap gelita, Kabut tebal sekali sehingga ia tak tahu masih
berapa tombakkan dalam dasar jurang itu.
Ia menyadari pula bahwa tiada gunanya untuk terburu nafsu, Lebih dulu ia harus
menyembuhkan luka dalamnya. Tiba2 pula ia teringat akan katak salju yang
disimpan dalam bahunya. Pada waktu menjamah tubuh katak, air es yang merendam binatang itu hampir
tumpah, ia tak berani gegabah memegangnya.
"Jika katak salju itu kukulum dalam mulut entah apakah dapat mengobati lukaku?"
pikirnya. Maka dengan hati2 sekali ia segera mengambil katak salju itu lalu pelahan-lahan
dimasukkan kedalam mulut.
Begitu masuk kedalam mulut, Gin Liong rasakan suatu hawa yang harum menebar
dalam mulutnya, ia menelan hamburan air dari tubuh katak salju itu, seketika
dadanya terasa hangat dan rasa sakitpun hilang.
Gin Liong terkejut. Tak pernah ia menyangka bahwa hawa katak salju itu dapat
menebarkan khasiatnya sedemikian cepat sekali, Hawa hangat itu cepat menyalur
keseluruh anggauta tubuhnya, Tetapi iapun merasa ingin tidur sedemikian keras
rasa kantuk itu sehingga ia pejam mata dan tertidur.
Entah selang berapa lama, ketika bangun Gin Liong melihat kabut sudah menipis.
Cuaca gelap, dilangit penuh bertaburan bintang kemintang.
Tiba2 ia teringat akan katak salju yang dikulum dalam mulut tadi.
"Hai. kemanakah katak salju itu ?" serunya terkejut seraya mencabut golok emas
dan duduk. "Bum...." tiba2 salju yang dipijaknya berhamburan hancur sehingga ia terjerumus
meluncur ke bawah. Kejut Gin Liong bukan kepalang, Dengan menggembor keras ia gunakan jurus
Burung-rajawali-hinggap-didahan. Kepala berjungkir kebawah, kaki diatas.
Dia terus meluncur kesamping sebuah sebatang pohon siong, Kurang satu tombak
dari pohon siong itu, ia menekuk kedua kaki dan melintang tangan.
Dengan gaya itu berhasillah ia menginjak dahan pohon dengan sekali sehingga tak
menimbulkan suatu getaran pada dahan pohon.
Setelah menghapus keringat dingin dan menenangkan pikiran, ia mulai teringat
akan katak salju. Kemanakah gerangan katak itu". Apakah binatang itu meluncur
kedalam perutnya atau ketika ia tertidur, binatang itu meluncur keluar dan
mulutnya. Ah, aneh benar. Memandang keatas, karang es tadi sudah tak tampak lagi, Sedang
ketika memandang kebawah, ternyata dia masih memegang golok emas tadi.
Golok emas itu segera mengingatkan dia akan peristiwa kematian suhunya. Pikiran
untuk mencari katak salju segera hapus dan saat itu ia hanya memikirkan
Sumpah Palapa 20 Pendekar Rajawali Sakti 76 Iblis Penggali Kubur Balada Padang Pasir 1
PEDANG TANDUK NAGA Karya/Saduran: SD. LIONG 1. Tetamu maut Hwe-sian-hong atau puncak pertemuan Dewa, merupakan puncak yang tertinggi
dari gunung Tiang-pek-san.
Disebut puncak pertemuan Dewa, karena puncaknya menembus awan sehingga tak
tampak, Begitu pula selalu diselimuti oleh salju putih, Empat penjuru
dikelilingi jurang yang curam dan tebing yang terjal.
Diatas segunduk karang datar seluas beberapa tombak dari puncak Hwe-sian-hong
yang dingin itu, sesosok tubuh tengah tegak bagaikan sebuah tonggak.
Dia seorang pemuda yang baru berumur sekitar 18 tahun. Bertubuh kekar dan
berwajah cakap. Wajahnya putih segar, dimeriahkan oleh sepasang bibir yang
merah dan disemarakkan oleh sepasang biji mata yang bersinar terang.
Dia mengenakan pakaian ringkas, pakaian yang biasa digunakan oleh kaum
persilatan. Memakai kain kepala Bu-seng-kin atau ikat kepala kaum persilatan
untuk menahan angin dan hawa dingin, diapun mengenakan sehelai mantel
berwarna kuning telur. Bahu, punggungnya menyanggul sebatang pedang pusaka yang aneh bentuknya.
Tangkai pedang berikatkan sutera merah yang halus seperti rambut.
Pemuda itu memandang cakrawala, wajahnya tampak sarat dan membeku. Dia tak
menghiraukan tebaran salju yang berhamburan mendera muka dan tubuhnya.
Sesaat kemudian terdengar mulutnya menghela napas, sarat dan panjang, Seolah
sedang merenungkan sesuatu yang penting.
Memang aneh sekali, Mengapa seorang diri dia berdiri diatas karang yang sedang
dilanda angin prahara dan hujan salju.
Tetapi dari kerut wajah dan helaan napasnya itu, jelas dia tentu sedang
menghadapi suatu persoalan yang menggelisahkan hatinya.
Memandang cakrawala yang tengah menaburkan hujan salju itu, mulut pemuda itu
tampak bergerak-gerak, Seperti seorang yang tengah berdoa atau bicara seorang
diri. Dan tempat seperti itu, dia tegak seorang diri diatas karang" Apakah yang sedang
diucapkan dalam doanya" Mengapa ia menghela napas sedemikian sarat"
Sekonyong-konyong matanya memancar sinar berkilat tajam sekali. Tetapi pada
lain saat, sinar tajam itupun lenyap. Dan kerut wajahnya pun menampilkan suatu
keputusan yang kokoh. Rasanya dia telah menentukan suatu keputusan pada
persoalan yang tengah dihadapinya.
Dia telah menemukan suatu penyelesaian....
Tiba2 dibawah tebaran salju putih yang lebat, terdengarlah dua buah suara orang
berteriak nyaring: "Liong koko.... Liong koko..."
Teriakan itu bernada cemas dan gugup, pemuda itu terkejut lalu berputar tubuh
dan berseru keras: "Adik Lan, aku disini...!"
Sesosok bayangan putih, bagai seekor kupu2, segera beterbangan melintas hujan
salju, meluncur kearah tempat pemuda itu.
Pemuda itu terkejut Cepat ia lari menyongsong : "Adik Lan, jangan kemari, disini
angin keliwat besar, Berbahaya sekali !"
Tetapi bayangan putih itu tak mengurangi laju larinya dan beberapa saat kemudian
dia sudah makin dekat Ah, kiranya dia seorang dara cantik yang baru berumur 16-an tahun. sepasang
alisnya yang melengkung seperti bulan sabit, menaungi sepasang gundu mata yang
memancarkan sinar bening. Bibirnya yang berbentuk sepasang kelopak bunga
mawar, makin menyemarakan wajahnya yang berbentuk bundar telur, Kulitnya
yang putih mulus makin mulus dimahkotai rambut yang hitam legam.
Dara itu juga mengenakan pakaian ringkas warna putih dan mantel pendek penolak
angin. Melihat dara itu lari sedemikian gopoh dan wajah cemas, sambil pesatkan larinya,
pemuda itu berseru: "Adik Lan, apakah terjadi sesuatu dalam kuil?"
Seiring dengan kata-katanya maka berhadapanlah sepasang muda mudi itu
dibawah karang. Wajah dara itu amat pucat dan sikapnya amat gelisah, Dengan napas terengah dan
suara gemetar, ia berkata:
"Liong koko, katanya banyak sekali kojiu (jago2 sakti) yang akan datang ke kuil
sore ini, Mereka hendak memaksa Ban Hong Liong-li Ho-cianpwe yang bertapa selama
lima tahun dalam gua Kiu-kiok-tong keluar untuk menerima hukuman mati."
Menggigillah pemuda itu demi mendengar keterangan si dara.
"Siapa yang bilang ?" serunya bengis.
Dara itu melonjak kaget karena mendengar suara si pemuda yang sekeras orang
membentak. "Suhu mengatakan hal itu kepada berdua susiok-couw."
Belum dara itu selesai bicara, tiba2 pemuda itu tertawa nyaring, Nadanya penuh
getaran dari isi hatinya. Kumandangnya jauh menyusup keatas awan.
Setelah puas menumpahkan isi hatinya dalam tertawa yang keras dan panjang itu,
tiba2 pemuda itu merabah kebahu punggungnya dan tring...!
Sinar merah memancar tajam, menyilaukan mata, Dan tangan pemuda itupun
sudah mencekal sebatang pedang berwarna merah, Pedang itu panjangnya hampir
satu meter. Kilatan sinar merah dari pedang itu seolah menembus kabut tebaran salju putih,
Menimbulkan suatu cahaya bianglala yang menakjubkan pandang mata.
Dara baju putih menjerit kaget dan loncat mundur sampai setombak jauhnya.
Sambil lintangkan pedang, pemuda itu tertawa nyaring pula serunya:
"Selama aku, Siau Gin Liong masih berada disini, tak mungkin kubiarkan orang
akan mengacau Tiang-pek-san !"
Seiring dengan cahaya wajahnya yang menampilkan hawa pembunuhan maka
pedang itupun segera ditabaskan pada segunduk anak bukit salju di sampingnya.
"Bum..." Tumpukan salju yang merupakan sebuah gunduk anak bukit itu segera terbang
berhamburan ke seluruh penjuru.
Dara baju putih menjerit dan loncat mundur beberapa langkah lagi. Sambil
menuding kearah pedang yang dipegang si pemuda, dara itu berseru gemetar:
"Liong koko itu . . . itu apakah bukan pedang Tanduk Naga yang tergantung pada
tirai besi mulut gua Kiu-kiok-tong tempat Ban Hong Liong-li lo-cianpwe
bertapa ?" "Benar," sahut pemuda yang bernama Siau Gin Liong," memang inilah pedang
pusaka Tanduk Naga!"
Habis berkata ia terus memasukkan pedang kedalam kerangkanya lagi.
Tepat pada saat itu terdengar beberapa suitan nyaring dan panjang menggema di
udara, Suitan itu berasal dari puncak disebelah muka.
Suitan itu amat kuat dan berasal dari puncak yang jauh. walaupun salju turun
lebat dapat mengumandang sedemikian nyaring. Jelas orang itu tentu memiliki tenaga
dalam yang sakti. "Ho, biarlah aku yang akan menghadapi kawanan pembunuh itu lebih dulu," teriak
Gin Liong dengan marah, Laksana segulung asap, dia terus meluncur kearah suara
suitan itu. "Liong koko, kembalilah...." belum dara baju putih itu menyelesaikan
peringatannya kepada Gin Liong, tiba2 dia tergelincir dan jatuh jungkir balik
diatas tanah salju. Gin Liong berpaling, Kejutnya bukan kepalang. Sekali ayunkan tubuh dalam jurus
Berputar tubuh terbang balik, ia berputar-putar dan lari menghampiri.
Pemuda itu bahwa tahu sumoaynya, Ki Giok Lan itu seorang yang berbudi halus dan
berbadan lemah, sering sakit. Dalam menghadapi peristiwa yang menggoncangkan
hati, tentulah Giok Lan tak kuat dan rubuh pingsan.
Diangkatnya tubuh Giok Lan diatas pangkuannya. Setelah diurut-urut jalan
darahnya, dara itu pelahan-lahan membuka mata, Dua butir air mata menitik turun
dari kelopaknya... "Liong koko, jangan pergi," katanya sambil menatap wajah pemuda itu dengan
pandang meminta, "kata suhu mereka adalah jago2 yang sakti."
Gin liong mendengus geram.
"Sekalipun mereka jago2 sakti dari delapan penjuru dunia, aku Siau Gin Liong
tetap akan menghadapi mereka."
Yok Lan gemetar pula, Dengan mata berlinang-linang, ia memandang wajah Gin
liong, serunya dengan gemetar:
"Liong koko, jangan pergi, jangan engkau pergi..."
Gin-liong tahu bahwa sumoaynya itu amat sayang kepadanya dan memikirkan
keselamatan dirinya, Apabila dia berkeras tetap pergi, kemungkinan Yok Lan tentu
akan pingsan. Terpaksa ia menekan kemarahan dan berulang kali menganggukkan
kepala, namun pandang mata tetap berkeliaran memandang ke arah suitan itu.
Suitan sudah berhenti tetapi kumandangnya masih bergema, jauh dibawa deru
angin dingin ke ujung langit.
Setelah sukonya meluluskan tidak pergi, Yok Lan lalu menggeliat bangun dan
pelahan-lahan berdiri. Tepat pada saat itu terdengar suara pakaian bertebaran ditampar angin, Datangnya
suara itu dari puncak disebelah muka.
Gin-liong dan Yok Lan setempat berpaling ke arah suara itu.
Dibawah tebaran hujan salju yang lebat tampak tujuh sosok bayangan meluncur
bagai anak panah terlepas dari busurnya.
Sepasang alis Gin Liong cepat menjungkat dan matanya berkilat-kilat. Melihat
kokonya hendak bergerak, cepat2 Yok Lan ulurkan tangan mencekal lengan Gin
Liong. Tetapi belum sempat ia membuka mulut tiba2 terdengarlah bunyi genta
raksasa yang menggema keras sehingga salju yang hinggap diatas daun pohon2,
berhamburan jatuh kebawah.
"Hai, genta bahaya..." serempak berserulah Gin Liong dan Yok Lan. Dan sekali
ayun tubuh, kedua engkoh dan sumoay seperguruan itu segera lari ke arah hutan pohon
siong. Sambil berlari, Gin Liong tak lepaskan perhatiannya kepada tujuh sosok bayangan
yang menuju ke kuil di puncak gunung.
Setelah melintasi hutan siong, badai salju agak reda, Dan setelah beberapa saat
lagi, tembok merah dari kuil Leng-hun-si itupun mulai tampak diantara celah2
pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.
Selekas tiba di kuil itu, kedua anak muda itupun segera menerobos masuk ke pintu
samping. Serangkum suara bergelak tawa segera berhamburan menggema dari pintu depan
kuil. "Liong koko, mereka sudah tiba," kata Yok Lan agak cemas.
Wajah Gin Liong tampak membesi. Alisnya mengerut, dahi menampilkan hawa
pembunuhan. Tanpa berkata sepatahpun, dia terus lari ke masuk.
Kawanan paderi jubah kelabu, bergegas-gegas keluar ke ruang muka. Gin Liong dan
Yok Lan dengan gerak yang lincah dan tak bersuara telah mencapai ujung pintu
ruang besar, Memandang ke muka ternyata di ruang besar telah penuh dengan
kawanan paderi dari berbagai tingkatan. Kedua anak muda itu cepat2 menyelinap
masuk ke ruang samping. Pada titian tingkat sembilan dalam ruang besar itu, sebuah bejana pedupaan
tengah menghamburkan kepulan asap, Asap bergulung2 dihembus angin,
bertebaran memenuhi ruangan
Suasana dalam ruang besar itu sunyi senyap.
Jalan yang membentang di muka kuil telah disapu bersih oleh paderi yang bertugas
menjaga kebersihan. Tetapi jalan yang terbuat dari batu hijau mengkilap itu,
sudah penuh pula dengan salju. Sesaat kemudian seorang paderi pertengahan umur, bergegas melangkah masuk
kedalam ruang besar. Paderi pertengahan umur itu wajahnya sesuram bulan berkabut awan.
Mengenakan jubah merah berjalur kuning emas, Tangannya mencekal sebatang
hudtim yang tangkainya dari batu kumala.
Dengan paksakan bersenyum, ia tengah memandang ke arah dua orang paderi
yang tengah melangkah masuk dari luar, dua orang imam dan tiga lelaki tua
berpakaian ringkas, Bergegas paderi pertengahan umur itu menyongsong mereka.
Paderi itu bukan lain adalah Liau Ceng taysu, ketua dari kuil Leng-hun-si
digunung Tiang-pek-san. Suhu dari pemuda Siau Gin Liong dan Ki Yok-lan.
Gin Liong dan Yok Lan yang berada di ruang samping, dapat melihat dengan jelas
keadaan suhu mereka, walaupun mengulum senyum tetapi jidat Liau Ceng taysu itu
jelas memantulkan keriput kegelisahan.
Dua orang paderi jubah kuning, mengikuti dibelakang Liau Ceng taysu. Kedua
paderi itu berjenggot putih tetapi wajahnya masih tampak segar dan penuh dengan
sinar welas asih. Kedua paderi tua itu yang seorang mencekal tongkat Ji-ih dan yang seorang
memegang kelinting. Pada wajahnya yang serius, tersembul suatu hawa
pembunuhan. Kedua paderi tua itu adalah susiok atau paman guru dari Liau Ceng taysu, Mereka
berdua merupakan Tiang-lo atau sesepuh dari kuil Leng-hun-si.
Kemudian masuk pula tujuh orang lelaki yang membawa sikap dan wajah angkuh,
walaupun wajahnya berbeda dan tinggi pendeknya tidak sama tetapi ketujuh orang
itu memiliki mata yang bersinar tajam sekali. Mereka memandang dengan pandang
penuh dendam kepada Liau Ceng taysu.
Ketujuh orang itu berjalan dengan gegas seolah hendak saling berlomba dahulu
mendahului Yang dimuka adalah dua orang paderi gemuk dengan jubah yang grombyong, Yang
seorang memegang tongkat Ciang-mo-jo atau Alu-penunduk-iblis, Yang seorang
menyelip sebatang golok kwat-to pada pinggangnya.
Paderi gemuk bersenjata alu Ciang-mo-joh itu memiliki alis yang tebal mulut
lebar, hidung besar. Orang menggelarinya dengan sebutan Ik-wi-tho atau paderi jahat,
Namanya Go Ceng. Sedangkan paderi yang membawa golok kawat-to itu, berkepala besar, mulut dan
perut besar tetapi alisnya kecil dan mata sipit hidung mekar.
Dia bernama Go In, digelari orang sebagai Hiong-bi-lek atau Bi-lek-hud buas.
Go Ceng dan Go In itu merupakan paderi jahat dari kuil Tay-ceng-si digunung Ngo-
tay-san. Mereka adalah sepasang tokoh aliran hitam yang hebat.
Sedang yang bergegas jalan disebelah kiri kedua paderi jahat itu adalah imam Bu
Tim cinjin, kepala biara Sam-ceng-kwan dipropinsi Hiaplam, pusat partai
perguruan Kiong-lay-pay. 2. Laksana sesosok hantu Imam itu mengenakan jubah warna merah. Umurnya lebih kurang 50-an tahun.
Matanya kecil bundar, alis jarang. Sedang rambut dan jenggotnya sudah bersemu
putih. sepintas memberi kesan bahwa dia tentu bukan bangsa imam yang baik.
Ma Toa-kong bergelar Kim-piau atau Piau-emas dari partai Tiam-jong-pay
mengenakan pakaian ringkas kaum persilatan dari sutera hitam, memelihara
jenggot pendek. Daun telinganya yang kiri sudah hilang.
Berjalan dibelakang kedua paderi jahat itu, wajah Ma Toa-kong memancar
kemarahan. Sebentar memandang ke kanan, sebentar ke kiri seperti orang yang
hendak menyelidiki dan kuatir mendapat serangan gelap.
Setelah dua paderi, seorang tokoh biasa dan seorang imam maka masih ada pula It
Ceng tojin, paderi dari Kong-tong-pay, Tali-terbang Ui Ke Siang dari Ciong-lam-
pay dan Golok-seriti Tio Im Beng dari perguruan Lo-san.
Liau Ceng taysu yang bergegas menyambut itu, walaupun agak kecewa setelah
mengetahui siapa ketujuh pendatang itu, namun sebagai tuan rumah ia tetap
bersikap ramah. "Omitohud," serunya seraya memberi hormat, "maafkan pinceng karena tak cepat
menyambut kedatangan toyu sekalian."
Bu Tim cinjin ketua dari biara Sam-ceng-kwan tertawa panjang lalu mendahului
berkata: "Adalah kami yang seharusnya minta maaf kepada taysu karena telah masuk
kedalam kuil ini dengan terburu-buru sekali," serunya.
Liau Ceng taysu tertawa lebar.
"Sehabis melakukan perjalanan jauh, toyu sekalian tentu lelah, Diluar turun
badai salju, silahkan masuk kedalam kuil kami."
"Badai salju telah mengacaukan cuaca sehingga tak dapat mengetahui jam." kata
Piau-emas Ma Tay Kong, "saat ini kemungkinan sudah lewat tengah hari. Tiga
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempat jam lagi, tentulah Ban Hong liong-li, harus melaksanakan
perjanjiannya." Ia hentikan kata-katanya untuk menyelidiki wajah Liau Ceng taysu yang mulai
berobah pucat. "Sebaiknya Liau Ceng taysu segera mengundang Ban Hong liongli untuk keluar dari
gua pertapaannya agar semua urusan yang lalu dapat selesai hari ini juga." kata
Ma Toa Kong pula. Liau Ceng taysu segera menyahut:
"Maksud pinceng, hendak mohon toyu sekalian duduk didalam ruang dulu untuk
merundingkan bagaimana cara memutuskan persoalan Ban Hong liongli...."
Ok-wi-tho Go Ceng yang bermata bundar, alis tebal dan mulut lebar, cepat deliki
mata dan mendengus geram:
"Kiongcu Hun. mengapa engkau begitu banyak rewel" Suruh wanita hina Ban Hong
liongli itu keluar agar dapat kuremukkan kepalanya dengan pentungku ini. Tak
perlu banyak membuang waktu!"
Bluk!... dia gentakkan alu Hang-mo-ngo yang beratnya seratus kati itu ke lantai.
Lantai hancur bertebaran keempat penjuru.
Melihat tingkah laku yang liar dari paderi jahat itu, Gin Liong tak kuat menahan
kemarahannya lagi, serentak ia terus hendak menerobos keluar....
Untunglah saat itu Liau Ceng taysu menyebut omitohud dengan pelahan lalu
berkata: "Sejak mensucikan diri dibawah telapak sang Buddha, pinceng sudah tak memakai
nama pinceng yang dulu. Harap Go Ceng sianyu suka menyebut pinceng dengan
nama Liau Ceng saja, peristiwa yang dulu, janganlah dibangkitkan lagi."
Hiong~bi-lek si paderi Bi-lek yang buas, tertawa mengekeh lalu berseru mengejek:
"Siapa yang mengurus soal namamu dahulu ataupun namamu yang sekarang"
Rasanya tiada seorangpun yang hendak mengadakan hubungan dengan engkau
Kiongcu Hun." Habis berkata dia menengadahkan kepalanya yang besar dan matanya yang kecil
seperti mata tikus memandang ke cakrawala lalu mendengus geram.
"Kiongcu Hun," serunya, "sudahlah, jangan banyak bicara yang tak berguna. Kami
pun tak perlu minum hidangan tehmu, Lekas engkau bawa keluar Ban Hong liongli
dari gua pertapaannya. Habis kubelah tubuh wanita hina itu, kamipun segera
hendak pulang." Melihat kata2 dan sikap kedua paderi jahat yang amat sombong itu, Liau Ceng
taysu tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi, ia menengadakan kepala
menghamburkan kemarahannya.
Melalui tertawa yang panjang dan nyaring, lapisan salju yang berkelompok diatas
genteng, berhamburan jatuh kebawah akibat getaran tertawa dari Liau Ceng taysu
itu. Imam jahat, paderi buas dan Ma Toa Kong bertiga, seketika berobahlah wajahnya.
Mereka serempak bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan dari Liau Ceng
taysu. Setelah berhenti tertawa, Liau Ceng taysu segera sapukan pandang matanya ke
wajah ketujuh tetamunya itu dan berseru lantang:
"Toyu sekalian tiba di gunung ini dengan mengeluarkan suitan panjang, sudah
termasuk kurang hormat. Dan sebelum pinceng menyambut, sicu sekalian sudah
terus masuk kedalam kuil ini. Suatu tindakan yang lebih tidak pantas, Dan masih
pula dengan sikap dan kata2 yang congkak, toyu hendak menekan orang. Adakah
toyu ini memang sengaja hendak menganggap sepi ratusan paderi dari kuil Leng-
hun-si ini?" kata Liau Ceng taysu.
Dengan meraung keras. Ok wi-tho Go Ceng melesat maju sambil lintangkan
senjatanya alu Penunduk-iblis, serunya:
"Apa itu segala macam kata2 kasar dan congkak tak tahu aturan" Huh, aku tak
perduli sama sekali..."
Seiring dengan kata2 yang terakhir dari Ok-wi-tho Go Ceng itu, sekonyong-konyong
sesosok tubuh dengan jubah kuning, segera melintas keluar dari ruang samping
terus menerjang Ok-wi-tho.
Ok-wi-tho, Hiong-bi-lek dan Ma Toa Kong bertiga terkejut sekali melihat ilmu
meringankan tubuh dari pendatang yang muncul itu. Bahkan Liau Ceng taysu
sendiri serta kedua paderi tua yang berkedudukan sebagai tianglo pun terkesiap
kaget. Bayangan jubah kuning itu segera berhenti dibelakang Liau Ceng taysu.
Ketika Ok-wi tho dan Hiong-bi-lek serta Ma Toa Kong memandang dengan seksama
barulah mereka mengetahui bahwa pendatang itu tak lain hanya seorang pemuda
berparas cakap dalam pakaian warna putih perak.
"Hai, budak kecil siapa engkau ?" tegur Ok-wi-tho sesaat setelah kejutnya reda.
Liau Ceng taysu mewakili memberi jawaban:
"Inilah muridku yang bernama Siau Gin Liong," ia berpaling kebelakang dan
memberi perintah: "Liong-ji, lekas memberi hormat kepada berdua taysu cianpwe."
Gin Liong segera melakukan perintah suhunya. Dengan menahan kemarahannya ia
segera maju menghampiri ke muka kedua paderi tua
Pada saat dia hendak memberi hormat, tiba2 Hiong-bi-lek Go In deliki mata
membentak: "Tunggu dulu..."
Ia melangkah maju dan menatap wajah Gin Liong dengan matanya sipit yang
berkilat-kilat seraya tertawa mengekeh.
"Memiliki wajahmu begitu membesi, dahimu menampil hawa pembunuhan, heh,
heh, apakah engkau merasa penasaran?" tegurnya.
Gin Liong seorang pemuda yang masih berdarah panas, Mendengar kata2 si paderi
yang begitu congkak, tak dapat lagi ia menahan kemarahannya, serentak ia tertawa
nyaring lalu loncat maju.
"Kalau memang sudah tahu, mengapa masih bertanya lagi!" bentaknya dengan
keras. Mendengar itu buru2 Liau Ceng taysu membentak Gin Liong: "Liong-ji, jangan
kurang aturan! Lekas engkau mundur."
Liau Ceng taysu cemas kalau muridnya sampai celaka maka ia memberi perintah
supaya anak itu mundur. Tetapi serempak dengan itu, Ok-wi-tho Go In sudah mendahului membentak:
"Bagus, budak hina, aku hendak menguji sampai dimanakah kepandaianmu itu !"
Habis berkata paderi jahat itu segera memutar alu Hang-mo-goh, 'Wut', angin
menderu keras dan alu besi yang beratnya 100 kati menyapu kepinggang Gin Liong.
Seketika pucatlah wajah gurunya Liau Ceng taysu, ia berseru keras seraya hendak
menyerang dengan hudtim. Tetapi sekonyong-konyong Gn Liong sudah menyelinap
kebelakang si paderi jahat Go Ceng.
Go Ceng menghantam dengan sekuat-kuatnya. Karena hantamannya luput,
tubuhnya terhuyung ke muka dan hampir rubuh. setelah dapat memperbaiki diri, ia
celingukan kian kemari untuk mencari Gin Liong.
Alangkah kejutnya ketika melihat pemuda itu telah berada dibelakangnya, ia
tertegun heran. Memang Gin Liong telah menggunakan sebuah ilmu langkah yang disebut Liong-li-
biau. Hanya suhunya Liau Ceng taysu yang tahu akan hal itu, ia tahu bahwa ilmu
pusaka itu adalah ajaran Ban-hong liongli.
Saat itu ternyata Gin Liong berada dibelakang paderi jahat Go Ceng, tapi berada
di muka Go In. Pemuda itu tegak membelakanginya.
Seketika timbullah suatu pikiran jahat pada Liong-si-kek Go In. Dengan
menyeringai iblis dan tak terduga-duga, secepat kilat ia segera menampar batok kepala pemuda
itu dari belakang. Semua orang yang melihat itu menjerit kaget.
Tetapi Gin Liong sudah siap, Dengan mendengus dingin kembali ia menggunakan
gerak Liong-li-biau, sebuah ilmu meringankan tubuh yang hebat. Laksana sesosok
hantu, pemuda itu sudah menyelinap pula dibelakang Hong-bi-lek Go In dan
secepat kilat ia menampar kepala paderi gundul yang gemuk itu.
Setitikpun Hiong-bi-lek tak pernah menduga bahwa Gin Liong memiliki kepandaian
ilmu ginkang yang sedemikian luar biasa, Ketika melihat tubuh pemuda itu lenyap
dan punggungnya disambar deru angin, seketika pucatlah wajah Go In.
Namun dia memang lihay, setelah menundukkan kepala untuk menghindari
tamparam cepat ia loncat kemuka.
Tetapi Gin Liong tak mau memberi kesempatan lagi kepada paderi itu "Plak..."
seiring dengan tangan kanannya menghantam kepala, Hong-bi-lek Go In
menggeram tertahan dan paderi yang jubahnya gemuk itu, bagai sebuah bola
daging yang menggelinding ke muka ruang besar.
Terdengar jeritan kaget dari para paderi yang berada di muka ruang. Buru2 mereka
menyingkir asal jangan sampai dilanda oleh tubuh Hiong-bi-lek.
Sesosok bayangan kuning melintas, salah seorang tiang-lo dari kuil leng-hian-si
telah ulurkan tangan untuk menahan tubuh Hiong-bi-lek yang menggelinding itu.
Dengan menggerung keras, Hiong-bi-lek melenting bangun, Ketika berdiri, ia masih
rasakan kepalanya pening dan mata berkunang-kunang. Tring!. . . . cepat ia
mencabut golok kwat-to lalu celingukan memandang kian kemari mencari Gin
Liong. Bu Tim cinjin, Piau-emas Ma Toa Kong dan Tali terbang Ui Ke Siang biasanya
memang tak begitu memandang mata kepada kedua paderi jahat itu. Melihat Go In
mendapat kopi pahit dari seorang anak muda, bukan ikut marah, kebalikannya
mereka malah tertawa gelak-gelak.
Kuatir akan menimbulkan kemarahan para tetamu dan terjadi hal2 yang tak
diingini, Liau Ceng taysu membentak kepada muridnya:
"Liong-ji, mengapa engkau cari onar" Hayo, lekas masuk !"
Melihat suhunya marah, Gin Liong mengiakan dengan hormat lalu hendak berputar
tubuh menurut perintah. Tetapi tiba2 kedua paderi jahat itu menggembor keras, Mereka berhamburan
menyerang Gin Liong dengan senjata alu dan golok.
Tetapi Gin Liong tak gentar, ia mendengus dingin dan hentikan langkah.
Tiba2 sesosok tubuh melesat kemuka dan berseru: "Harap taysu berdua berhenti
dulu..." Ok-wi-tho Go Ceng dan Hiong-bi-lek Go In tertegun. pendatang itu bukan lain
adalah imam tua yang punggungnya menyanggul pedang atau It Ceng tojin ketua
Kong-tong-pay. "Apa-apaan engkau melarang aku ?" teriak kedua paderi jahat itu dengan deliki
mata. "Tidak apa2" sahut It Ceng tojin yang bergelar Bu-song-kiam atau Pedang tiada-
keduanya, "hanya ingin memperingatkan kalian bahwa tiga perempat jam lagi
mungkin kalian belum selesai bertempur."
Go Ceng, Go In dan Ma Toa Kong terbeliak, Cepat mereka mencurah pandang
kearah Liau Ceng taysu seraya berseru:
"Kiongcu Hun, apakah engkau berani mengulur waktu lagi ?"
Menderita perlakuan kasar beberapa kali dari pendatang2 itu. Liau Ceng taysu
marah, ia tertawa nyaring.
"Baru beberapa detik toyu sekalian datang ke kuil kami dan baru beberapa patah
kata toyu bercakap-cakap, mengapa menuduh pinceng mengulur waktu ?" serunya
marah. Kedua paderi jahat Go Ceng dan Go In tak dapat menjawab.
Tiba2 Liau Ceng taysu berputar tubuh ke arah ruang besar lalu berseru nyaring:
"Cobalah lihat kearah alat pertandaan waktu itu, sekarang jam berapa ?"
Seorang paderi jubah kelabu yang berdiri pada titiian ruang segera lari masuk ke
dalam ruang besar. 3. Mahkluk ajaib Saat itu sekalian orang tegang regang, suasana hening sunyi Hanya deru angin
yang meniup tajam diluar kuil.
Dalam menunggu laporan tentang jam saat itu, tampak wajah Go Ceng, Go In dan
Ma Toa Kong bertiga gelisah sekali.
Liau Ceng taysu tampak tenang, Sejam yang lalu dia sudah duduk didepan alat-
waktu itu, Di-pandangnya alat-waktu itu dengan cemas. Diam2 ia bersyukur kepada
Thian bahwa saat itu turun badai salju yang lebat.
Tetapi rasa girang itu segera terhapus lenyap manakala ia melihat sosok2 tubuh
yang berlarian mendaki ke puncak, Mereka yalah Go Ceng, Go In dan Ma Toa Kong
serta beberapa tokoh yang memusuhi Ban Hong liong-li, jelas harapannya bahwa
pada salju itu akan menghalangi perjalanan mereka ternyata gagal.
Beberapa saat kemudian terdengar derap orang berlari dari dalam ruang besar,
paderi yang diperintah untuk melihat waktu telah muncul, seketika suasana
berobah tegang. Tiba di mulai titian, paderi itu memberi hormat kehalaman dan berseru nyaring:
"Saat ini, menunjukkan waktu tepat tengah hari..."
Ok-to Go Ceng, Hiong-ceng Go In dan Ma Toa Kong sekalian serempak menyambut
dengan gelak tawa yang gembira sekali.
Liau Ceng taysu hanya dingin2 saja memandang kearah ketujuh tetamunya yang
jumawa itu. Gin Liong kerutkan dahi, ia mengertek geraham menahan kegeraman Keringat
dingin pun segera membasahi tubuhnya.
Tiba2 terdengar bunyi tajam macam naga meringkik. Datangnya dari punggung Gin-
Liong. Dan sesaat kemudian cret. . . pedang Tanduk Naga yang berada di punggung
anak muda itu mencelat keluar dari kerangkanya.
Sinar merah yang memancar dari batang pedang pusaka itu, menyilaukan pandang
mata sekalian orang. Go Ceng, Go In, Ma Toa Kong dan kawan2, hentikan tertawa dan menggigil melihat
keperbawaan pedang anak muda itu.
Demikian pula dengan kedua tiang-lo dan paderi2 dari setiap paseban kuil Leng-
hun-si. ?"Omitohud!" seru Lian Ceng taysu," pedang
"Pedang pusaka memberi peringatan datangnya bahaya, pembunuhan segera akan
terjadi Mayat menganak bukit, darah mengubang sungai . . ."
Tepat pada saat Liau Ceng taysu selesai berkata maka cuaca yang gelap tiba2
memancar sinar terang benderang dan menyusul terdengarlah letusan halilintar
yang menggelegar dahsyat Setelah halilintar meletus, angin berhenti, saljupun reda,
Genta dan gendang raksasa yang berada di-ruang, Tay-hud-tian berguncang-
guncang keras sehingga berbunyi sendiri,
Dua ratusan paderi yang berada dimuka ruang, terbelalak menengadahkan kepala
memandang ke langit, Kedua tianglo dari kuil Leng-hun-si agak pejamkan mata dan mengucap doa dengan
bisik2. Liau Ceng taysu pejamkan mata merangkapkan kedua tangan kedada dan bibirnya
berkomat-kamit, Rupanya ia sudah mempunyai firasat bahwa dunia persilatan akan
mengalami pembunuhan besar-besaran,
Go Ceng, Go In, Ma Toa Kong dan lain2 kawannya, tertegun menyaksikan
pemandangan aneh itu. Wajah mereka pucat, keringat dingin mengucur.
Dengan gerak Liong-Hui-biau, Gin Liong menyelinap dimuka paderi Go Geng dan
membelakangi paderi Go In, Tiba2 paderi Go Ih menyerang pemuda itu dari
belakang. Halilintar dahsyat itu telah menggoncang hati seluruh orang yang berada di muka
ruang Tay-hud-tian. Diantara mereka hanya Gin Liong seorang yang mempunyai pemikiran lain, Tiba2 ia
seperti disadarkan dan teringat akan suatu hal yang penting,
Cepat ia sarungkan pedang kedalam kerangkanya lagi lalu secepat kilat menyelinap
diantara barisan paderi, lari keruang samping terus menuju kepuncak di belakang
kuil. Diluar hanya badai yang berhenti, sedang salju masih turun lagi.
Ternyata Gin Liong bergegas lari menuju ke gua Kiu-kiok-tong. Tiba di puncak
belakang terdengar sebuah suitan nyaring dan tajam. Menyusul terdengar ledakan
keras yang berkumandang sampai jauh kesegenap penjuru.
"Celaka," teriak Gin Liong, "Liong-li locianpwe hendak pergi . . . ."
Ia cepatkan larinya dan selekas tiba di tepi sebuah karang buntung diatas puncak
gunung, dia terus hendak enjot tubuh melompat kemuka.
Tetapi ketika ia menunduk memandang ke bawah, jurang yang memisahkan karang
disitu dengan karang dimuka, tertutup kabut salju yang tebal sehingga tak dapat
melihat lebih dari lima tombak ke bawah.
Siau Gin Liong diam2 sering datang ke tempat dua buah karang buntung itu.
Kedatangannya itu selalu pada malam hari untuk belajar silat Maka dalam badai
dan salju yang hebat, ia masih mencapai tempat itu, sebuah karang nonjol yang
ditumbuhi pohon siong yang condong.
Sejenak menenangkan pikiran, Gin Liong segera ayunkan tubuh melayang ke bawah
dan tepat hinggap diatas celah2 selebar satu meter dari sebuah gunduk karang,
Ternyata setelah berada di jurang pemisah antara kedua karang buntung, angin
agak berkurang, saljupun tak begitu deras, Kini dia berhadapan jalan yang
merupakan celah2 dari gundukan karang, jalan itu sempit dan licin sekali serta
berkeluk-keluk, jika tidak memiliki ilmu ginkang yang lihay, jangan harap dapat
melintasi jalan itu. Berkat faham tempat itu, dapatlah dalam waktu yang singkat Gin Liong mencapai
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujung jalan yang merupakan segunduk karang seluas tiga tombak, Diatas karang
itulah biasanya Gin Liong berlatih silat.
Di sekeliling karang itu tumbuh beberapa batang pohon Bwe, Dahan dan
rantingnya tumbuh meliar, bunganya subur, Warnanya merah dan putih
menyedapkan mata. Diatas gunduk karang itu terdapat sebuah gua selebar dua meter, Dalam gua gelap
pekat dan sunyi senyap. Secepat melayang keatas karang, dengan wajah tegang Gin Liong terus menerobos
masuk. Tiba di muka pintu terali besi, ia tertegun,
Terali besi yang besarnya sama dengan lengan bayi telah dihancurkan oleh suatu
tenaga sakti, Kutungan terali besi itu bertebaran dimuka gua,
Dengan terlongong-longong Gin Liong memandang terali besi, Air matanya
berderai-derai membasahi pipinya.
"Ah, Liong-li Lo-cianpwe telah pergi," katanya seorang diri dengan penuh
keharuan, "pergi tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk mengucapkan terima kasih dan
selamat jalan, Lima tahun aku menerima budinya mendapat pelajaran silat,
akhirnya tak dapat bertemu lagi."
Sambil berkata pelahan-lahan ia melangkah maju kedalam gua, Ruang gua gelap
dan menyeramkan sekali, Angin dingin berdesis-desis menampar muka. menambah
keseraman suasana, Dalam mengayunkan langkah itu masih Gin Liong mengandung harapan semoga
Ban Hong Liong-li masih berada dalam gua,. Maka berserulah dia dengan pelahan:
"Lo-cianpwe . .. . locianpwe..."
Dari sebelah dalam gua segera memantulkan gema suara Gin Liong yang
berkumandang sampai lama,
Melangkah maju beberapa tindak lagi, ruang itu membiluk ke kiri, Gelapnya makin
pekat sehingga tak dapat melihat jari tangannya sendiri.
Gin Liong hentikan langkah dan mengerahkan pandang rnatanya, Tetapi ia tak
dapat menembus kegelapan itu. Paling2 hanya dapat memandang sampai
setombak jauhnya, Ketika berjalan lagi, kakinya berbunyi keresekan. Buru2 ia berjongkok dan
merabah dengan tangannya. Ah, ternyata setumpuk rumput kering yang halus, Makin
merabah kemuka, tumpukan rumput itu makin tebal.
"Ah, mungkin disinilah tempat peristirahatan locianpwe," katanya seorang diri.
Sekonyong-konyong tangannya menyentuh benda yang menyerupai rantai besi
Cepat ia menariknya, ah, ternyata rantai itu telah dipaku pada dinding gua.
Gin Liong marah. Dilemparkannya rantai itu lalu berseru keras: "Penjahat,
mengapa kalian begitu kejam memperlakukan Liong-li Lo-cianpwe" Mengapa " Mengapa. .
.?" Dia menangis sedih dan meraung-raung marah sekali setelah menyaksikan keadaan
Ban Hong Liong-li selama ini. Dia benci kepada musuh2 yang telah menganiaya Ban
Hong Liong-li diluar batas kemanusiaan. Diikat dengan rantai seperti binatang
buas. Raung Gin Liong kembali menerbitkan gema suara yang berkumandang jauh, Suatu
pertanda bahwa ruang gua Kiu-kiok-tong itu masih dalam sekali.
Saat itu Gin Liong baru menyadari mengapa selama lima tahun ini, Ban Hong Liong-
li tak pernah melangkah mendekati pintu terali.
Diapun teringat bagaimana dalam memberikan pelajaran silat kepadanya itu. Ban
Hong Liong-li hanya menyampaikan secara lisan saja. Selama lima tahun, Gin Liong
hanya mendengar suara tetapi tak pernah melihat orangnya, Ah. tak kira kalau Ban
Hong Liong-li telah dirantai orang . . .
Serentak timbul rasa heran dalam hati Gin Liong, Dengan kesaktiannya Ban Hong
Liong-li mampu memutuskan tali rantai tetapi mengapa selama lima tahun ia
mandah dirinya diikat dengan rantai, Mengapa dia tak mau lekas2 meloloskan
diri " Siapakah yang mengikat lo-cianpwe itu " Apakah Liau Ceng taysu, gurunya itu "
Ataukah kawanan Ok-wi-tao Go Ceng, Hiong-li-lek Go In, Piau emas Ma Toa Kong
dan kawan-kawannya itu "
Jika mereka mampu merantai Ban Hong Long-!i mengapa tidak segera saja saat itu
dibunuh " Mengapa harus menunggu sampai lima tahun"
Mengapa pula Ban Hong Liong-li harus di penjara di gunung Tiang-pek-san dan
tidak di gunung Kiong-lay-san atau di gunung Ngo-tay-san"
Tadi Ma Toa Kong mengatakan bahwa setelah tiga perempat jam lewat tengah hari,
Ban Hong Liong-li harus melaksanakan janjinya sendiri janji apakah itu "
Dan teringat pula Gin Liong bahwa setiap kali membicarakan tentang diri Ban Hong
Liong-li, wajah gurunya (Liau Ceng taysu) tentu berobah gelap, Dan setiap kali
ia bertanya, suhunya tentu akan memberi jawaban menghindar.
Pernah dan bahkan berulang kali Gin Liong memberanikan diri untuk menanyakan
riwayat hidup kepada Ban Hong Liong-li, tetapi wanita sakti itu hanya menjawab
dengan helaan napas panjang.
Kemarin malam ketika menyerahkan pedang kepadanya, Ban Hong Liong-li dengan
samar2 mengatakan bahwa hanya guru Gin Liong atau Liau Ceng taysu yang tahu
tentang asal usul dirinya, wajahnya dan semua riwayat hidupnya yang
menyedihkan itu. Dengan nada penuh duka, Ban Hong Liong-lipun mengatakan bahwa lewat tengah
hari nanti dia akan pergi ke suatu tempat yang jauh, Tiada seorangpun yang akan
bertemu lagi dengannya. Adakah tempat jauh itu dimaksudkan sebagai alam baka karena Ban Hong Liong-li
akan dihukum mati oleh kawanan pendatang itu "
Sambil berlutut diatas tumpukan rumput kering, Gin Liong dilanda oleh berbagai
pertanyaan Namun soal2 itu makin direnungkan makin sukar dijawab dan
bertambah banyak Tiba2 sinar mata Gin liong berkilat, Dilihatnya diatas tumpukan rumput kering
itu sesosok bayangan hitam, seketika tergetarlah hatinya dicengkam kejut kegirangan
serentak ia berseru: "Lo-cianpwe, engkau.. engkau belum pergi?" serta merta Gin Liong terus duduk
bersila. Airmatanya kembali berderai-derai membanjir keluar Airmata keharuan
tetapi haru kegirangan Tetapi sosok tubuh itu tak memberi suatu reaksi apa2. Suatu bayang2 yang ngeri,
segera melintas dalam pikiran Gin Liong, Dengan beringsut-ingsut ia merangkak
maju lalu ulurkan tangannya yang gemetar menjamah benda hitam itu.
Ah ... ternyata benda hitam itu tak lain hanya segulung permadani bulu.
"Lo-cianpwe . . . .Lo-cianpwe . . . . !" serentak Gin Liong melenting bangun dan
berteriak keras-keras. Ia duga Ban Hong Liong-li tentu belum berapa lama tinggalkan gua itu.
Kemungkinan masih berada diatas puncak gunung, ia segera lari keluar dan ketika
tiba di pintu yang berterali besi, tiba2 ia dikejutkan oleh beberapa gelak tawa
yang bermacam-macam nadanya, Suara tawa itu terdengar tak jauh di luar gua.
Tergetarlah hati Gin Liong. ia tahu bahwa suara tertawa itu tentu berasal dari
rombongan Go Ceng, Go In dan Ma Toa Kong yang sedang berlari menuju ke gua
Kiu-kiok-tong. Gin Liong menyurut mundur Setelah memeriksa ke kanan kiri, ia dapatkan pada
kedua samping dinding gua itu terdapat banyak sekali cekungan yang cukup
dimasuki tubuh orang. Secepat ia menyusup bersembunyi kedalam sebuah cekung, diluar gua segera
terdengar kibaran pakaian yang dihembus angin.
Gin-liong lekatkan tubuh rapat2 ke dinding gua seraya mengeliarkan pandang mata
ke mulut gua. Dari tempat persembunyiannya itu ia melihat suatu pemandangan
yang indah, Gunduk karang yang berada diluar gua sedang dihias dengan salju
putih dan bunga Bwe yang tengah mekar dalam warna merah dan putih yang
indah. Tetapi ia tak sempat menikmati pemandangan itu. Hatinya tegang sekali
menantikan kedatangan kawanan pendatang yang hendak menghukum Ban Hong
Liong-li. Pada lain saat sesosok tubuh dengan pakaian yang gerombyong, meluncur ke udara
dan tegak diatas gunduk karang dimuka gua.
Gin Liong tergetar hatinya, Cepat ia dapat mengetahui bahwa yang muncul itu
adalah 0k-wi-tho atau si Paderi-jahat Go Ceng.
Menyusul berhamburan melayang ke gunduk karang itu imam tua It Ceng, Bu Tim
cinjin, Hiong-bi-lek Go In, Golok-sayap-walet Tio Jim-beng dan Tali-terbang Ui
Ke Siang, Gin Liong mendengus geram, Darahnya mendidih dan napasnya segera
menghamburkan hawa pembunuhan
Ketujuh tokoh itu segera tegak dimuka gua, memandang celingukan kedalam dan
sibuk berbicara. Dari pandang mata ketujuh orang itu, jelas mengunjukkan suatu perasaan gelisah,
cemas dan gentar. Tiba2 diluar gua terdengar suara pakaian berkibar tertiup angia, Menyusul muncul
pula tiga sosok bayangan Ketika Gin Liong mencurahkan pandang mata ke luar, kejutnya bukan kepalang
sehingga sampai menggigil.
Ketiga pendatang itu bukan lain adalah suhunya sendiri, Liau Ceng taysu dan
kedua susiok-cou atau paman-kakek guru. Sudah tentu Gin Liong bingung sekali. Apabila
suhunya tahu bahwa dia bersembunyi dalam gua itu, bukankah suhunya akan
marah " Ah, tetapi dia sudah terlanjur bersembunyi disitu, Tak dapat ia meloloskan diri
lagi, Terpaksa ia hanya memandang lekat2 ke mulut gua untuk menunggu apa yang
akan terjadi, Tampak Liau Ceng taysu berjalan dengan gegas sekali. Langsung ia menuju ke mulut
gua, Setelah memeriksa pintu terali besi hancur berantakan ia segera keluar lagi
dan berkata dengan wajah sarat:
"Pintu terali besi telah hancur, kemungkinan Ban Hong Liong-li sudah tak berada
dalam gua lagi." Ketujuh orang itu terbeliak kaget, Ma Toa Kong deliki mata dan berteriak marah:
"Saat ini masih pagi dan batas waktu perjanjian masih belum tiba. Wanita hina
itu mengapa ingkar akan janjinya lima tahun yang lalu ?" ia menyelak It Ceng tojin
dan Ui Ke Siang, terus melangkah maju ke mulut gua, Dengan mata berkilat-kilat, ia
memandang ke arah dalam. Gin Liong terkejut Cepat2 ia lekatkan tubuh rapat sekali pada dinding gua.
Sesaat kemudian, Ma Toa Kong berputar tubuh dan menggeram kepada Liau Ceng
taysu: "Ban Hong Liong-li masih berada dalam guna . . ."
Karena disiak oleh Ma Toa Kong, rupanya It Ceng tojin tak puas, Saat itu ia
merasa mendapat kesempatan untuk membalas, Dengan tertawa mengekeh, cepat ia
menukas kata2 Ma Toa Kong:
"Apakah Ma sicu melihat sendiri Ban Hong Liong-Ii berada dalam gua?"
Ma Toa Kong tahu bahwa It Ceng tojin dari Kong-tong-pay itu seorang tokoh yang
licin dan licik. walaupun dia tahu kalau dirinya akan dicelakai oleh imam itu,
tetapi ia tetap harus menjaga gengsi, Sekali sudah mengatakan kalau Ban Hong Liong-li
masih berada dalam gua, ia harus mempertahankan kata-katanya itu.
Dengan deliki mata memandang It Ceng, ia mendengus marah: "Benar, memang
kulihat wanita busuk itu masih berada dalam guna !"
Mendengar itu tokoh2 yang lain tampak tegang dan berobah wajahnya, Mereka
berhamburan maju ke mulut gua dan memandang dengan seksama ke arah dalam.
Sudah tentu Gin Liong makin gelisah sekali Dia tak menyangka bahwa mata Ma Toa
Kong amat tajam sekali. Tentu Ma Toa Kong meliat gulungan permadani bulu yang
terletak diatas tumpukan rumput kering dan menyangkanya sebagai tubuh Ban
Hong Liong-li. Gin Liong cepat menyusup lebih dalam ke dalam cekung dinding gua, Kini dia hanya
menggunakan sebelah mata untuk memandang ke mulut gua.
It Ceng tojin berdiri agak jauh dibelakang beberapa tokoh itu, Mulut tersenyum
menyeringai dan sengaja dengan suara keras ia berseru:
"Karena Ma sicu sudah melihat Ban Hong Liong-li masih didalam gua, rasanya tak
perlu sicu sekalian memeriksa lagi, Saat ini belum tiba waktunya, Kurasa Ban
Hong Liong-li tentu tak mau ingkar janji, Maka sebaiknya kupersilahkan Ma sicu masuk
kedalam gua menyeret Ban Hong Liong-li keluar, silahkan Ma sicu memotong daun
telinga Ban Hong liong-li yang kiri, untuk membalas dendam Ma sicu yang
kehilangan daun telinga itu."
Sudah tentu Ma Toa Kong tahu bahwa dirinya diejek habis-habisan oleh imam dari
Kong-tong-pay itu. Dengan mata berapi-api ia deliki mata memandang lt Ceng
cinjin. Wajah merah padam dan tubuh gemetar keras karena dilanda kemarahan.
Bu Tim cinjin ketua biara Sam Ceng-kwan, rupanya juga mengagulkan supaya Ma
Toa Kong masuk kedalam gua. Maka iapun segera mendukung pernyataan It Ceng
cinjin: "Apa yang dikatakan It Ceng toyu memang benar," katanya. "sekarang saat
perjanjian belum tiba, kiranya Ma sicu boleh masuk saja kedalam gua ini."
Dada Ma Toa Kong serasa meledak dan memekiklah ia sekeras kerasnya: "Huh,
engkau kira aku Ma Toa Kong tak berani masuk ?"
Dengan sikap pura2 menghormat, It Ceng cinjin berseru: "Ah, tidak, tidak. Mana
aku mempunyai anggapan begitu, Piau-emas dari Ma sicu tiada tandingannya dan
Ma sicu seorang jantan yang berani, Masakan tak berani memasuki gua itu."
Ma Toa Kong benar2 tak dapat menahan ledakan kemarahannya lagi, secepat
berputar tubuh ia terus melangkah kedalam gua.
Jelas dilihat oleh Gin Liong bahwa Ma Toa Kong itu sedang masuk. Diam-2 Gin
Liongpun merapatkan tubuh ke cekung dinding seraya kerahkan tenaga dalam
bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan.
Tetapi baru melintasi pintu terali besi, tiba2 Ma Toa Kong berhenti.
Saat itu Gin Liong tak dapat melihat jelas lagi bagaimana kerut wajah Ma Toa
Kong saat itu. Tetapi dia masih dapat melihat sinar kedua mata Ma Toa Kong yang
berapi-api menyeramkan sekali.
Tampak pula Ma Toa Kong mengambil sebatang kim-piau dari pinggangnya.
Digenggamnya senjata-rahasia itu erat2. Kaki dan tangannyapun mulai tampak
gemetar. Menyusupkan pandang ke luar gua, Gin Liong melihat kawanan tetamu2 itu tampak
tegang sekali, Mata mereka mencurah ruah ke dalam gua dan kearah Ma Toa Kong
yang tegak di pintu terali besi.
Gin Liongpun sempat pula memperhatikan sikap suhu dan kedua paman kakek-
gurunya. Dengan wajah sarat, ketiga tokok itu berdiri ditepi batu karang, Mereka
tak mencegah tindakan Ma Toa Kong, Mungkin mereka sudah menduga bahwa Ban
Hong Liong-li tentu sudah tak berada dalam gua.
Sekonyong-konyong Ma Toa Kong berseru nyaring:
"Ban Hong Liong-li, hari ini hukumanmu sudah habis, Lewat tengah hari nanti
engkau harus keluar untuk menerima hukuman mati dari sekalian enghiong
(ksatrya). Hayo, unjukkan dirimu, jangan main bersembunyi seperti tikus, Apakah
engkau tak sayang pada kemasyhuran namamu yang pernah menggetarkan dunia
persilatan dahulu ?"
Wulanasa Dari dalam gua segera menggema kumandang suara Ma Toa Kong itu. Lama dan
me-ngiang2 memekakkan telinga.
Sebenarnya Gin Liong sudah tak kuasa menahan kemarahannya lagi, Tetapi karena
suhunya berada diluar, dia tak dapat berbuat apa2 dan tak tahu apa yang harus
dilakukan. Selekas kumandang suara Ma Toa Kong itu sirap maka Ma Toa Kong kembali
berseru dengan nyaring lagi:
"Wanita hina, apakah engkau hendak main mengulur waktu" Tempatmu sudah
kuketahui, kalau tak percaya, inilah buktinya . .. ."
Sring . . . . Sepercik sinar emas yang diiringi oleh deru angin tajam segera melayang kearah
tempat Gin Liong bersembunyi.
Sudah tentu Gin Liong terkejut sekali,
Sebenarnya dia sudah cepat2 menyusupkan kepalanya ke cekung dinding karang
tetapi dia tak menyangka bahwa Ma Toa Kong sudah mengetahui dirinya.
Tring! senjata rahasia yang bersinar kuning emas itu meluncur dan hinggap pada dinding
gua disisi tempat Gin Liong, Piau jatuh ke tanah, mengeluarkan bunyi gemerincing
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berkumandang nyaring.
Dinding gua berhamburan menebar tubuh Gin Liong, Pemuda itu marah sekali.
ingin rasanya ia loncat keluar untuk membunuh orang jahat itu. Tetapi karena
suhunya berada diluar gua, terpaksa ia tak dapat melaksanakan keinginannya itu.
Tiba2 Hiong bi-lek Go In tertawa gelak2. Dan pada lain saat iapun mencabut golok
kwat-lo dipinggangnya. Sambil tertawa mengejek, ia melangkah masuk kedalam
gua. "Wanita hina itu masih berada didalam guha," teriak Ma Toa Kong.
Tetapi Go In tak mempedulikan, Dia tetap lari ke dalam.
"Kurang ajar," damprat Ma Toa Kong dalam hati, "mungkin karena mendengar
gema suara jatuhnya kim-piauku tadi, dia tahu kalau Ban Hong Liong-li sudah tak
berada dalam gua maka dengan tingkah kcegagah-gagahan dia berani menyerbu
kedalam." Gin Liong menahan napas kencang2, Suara tertawa berhenti tetapi derap lari Go In
masih tetap melaju. Ruang gua makin gelap dan makin gelap karena dipenuhi oleh bayang2 tubuh Go
In. suasana di dalam dan diluar gua sunyi senyap.
Beberapa saat kemudian, menilik dari bayang2 yang tampak, Gin Liong dapat
memperhitungkan bahwa Hiong-bi-lek Go In saat itu sudah dekat sekali dengan
tempatnya, Paling banyak hanya tinggal satu tombak, Bahkan diapun dapat
mendengar suara napas si paderi yang terengah-engah, Dan pada lain saat pula,
bahkan iapun dapat melihat pancaran sinar golok dari paderi itu.
Gin Liong makin tegang, Seluruh tenaga dalam telah dihimpun ke lengan kanannya
dan mulai pelahan-lahan diangkat.
Rupanya paderi itu dapat menangkap suara gerak tangan Gin Liong. Dia berhenti
"Wanita hina, mengapa tak lekas keluar" Aku sudah dapat mendengar debur
jantungmu !" teriaknya, Tiba2 ia hantamkan go1oknya.
Segera terdengar gema suara yang dahsyat ketika dinding karang hancur
berantakan karena tabasan golok itu.
Paderi itu tertawa gelak2:
"Wanita hina, apakah engkau tetap tak mau keluar" Aku sudah melihat engkau
duduk, apakah harus menunggu aku sampai turun tangan" Ha, ha, bersikaplah
sedikit ksatrya dan lekaslah keluar !"
Sambil berkata ia ayunkan langkah lagi seraya tertawa keras:
"Wanita hina, dengarkanlah saatnya sudah hampir tiba . . . engkau harus
melaksanakan janjimu sebelum itu, engkau tak, boleh membunuh orang. . . ."
Demikian sambil berjalan, paderi itu tertawa dan mengoceh dengan suara keras,
Gin Liong makin tegang, Saat itu dia sudah melihat golok si paderi dan pada lain
saat bahkan tangan paderi itu lalu perut yang buncit,
"Wanita hina, ha, ha. tahukah engkau bahwa tengah hari segera tiba, Engkau harus
melaksanakan janjimu, Aku sudah melihat engkau duduk. . . ."
walaupun mulut berkata garang tetapi tangan dan tubuh Ma Toa Kong agak
menggigit. Dan makin lama dia makin mendekati ke tempat Siau Gin Ling.
"Ha, ha," Go In tertawa dan berseru keras: "tengah hari segera tiba, Wanita
busuk, engkau harus menetapi janji, ha, ha . . . . engkau tak boleh membunuh orang..."
Dalam pada berseru itu, paderi itu lambatkan langkah. sekalian orang tahu bahwa
gerak gerik Go In itu menandakan rasa takut dan gelisah.
"Wanita hina itu berada disekitar celah2 dinding gua," seru Ma Toa Kong.
Hiong-bi-lek Go In mendengus dan hentikan langkah.
Gin Liong terkejut sekali, Pada saat mendengar Go In berhenti, secepat kilat ia
terus ayun tubuhnya melayang keruang.
Wut . . . . karena kaget Go In memekik keras dan kibaskan goloknya. Tetapi Gin
Liong sudah bersedia. Secepat ayunkan tubuh ia sudah berada dibelakang paderi
itu. secepat itu pula ia segera menghantam belakang tengkuk kepala Go In.
Terdengar jeritan yang ngeri dan nyaring memancar dan mulut Go In. Batok
kepalanya pecah dan jatuhlah tubuh paderi itu terjungkal kebelakang.
Sebuah bentakan keras mengiring sesosok bayangan hitam menyerbu Gin Liong,
Untung pemuda itu dengan sigap sudah menghindar ke samping. Ketika melihat
siapa penyerangnya itu, ternyata Ok-wi-tho Go Ceng yang menyerang dengan
Hang-mo-goh, alu yang beratnya seratusan kilo,
Marahlah Gin Liong, Sekali lingkarkan kedua lengannya, melangkah setengah tindak
kemuka, ia segera mendorong dengan kedua tangannya.
Terdengar jeritan ngeri disusul oleh tubuh Ok-wie-ho Go Ceng yang terlempar
keluar dari mulut gua. sekalian orang terkejut Tetapi bukan menolong,
kebalikannya mereka malah buru2 menghindar kebelakang,
Karena tiada orang yang menolong, tubuh paderi jahat itupun terlempar ke bawah
jurang yang dalamnya ratusan meter.
Sesungguhnya Liau Ceng taysu sudah berusaha untuk menyambar tubuh paderi
jahat itu, Tetapi sayang karena rasa kejut dan tegun atas peristiwa itu, ia agak
terlambat bergerak sehingga Ok-wit-ho Go Geng tetap meluncur kebawah jurang-
Gin Liong itu juga kesima melihat hasil pukulannya. setitikpun ia tak menyangka
bahwa pukulannya ternyata mengandung suatu tenaga sakti yang begitu dahsyat.
Cepat ia berputar memandang ke belakang. Dalam kegelapan gua ia hanya melihat
bahwa kecuali si Hiong-bi-lek Go In yang terkapar menjadi mayat, tiada lain
orang lagi. Ketika berpaling memandang ke muka lagi, hampir saja ia menjerit kaget dan
tubuhnya pun mengigil Liau Ceng taysu, gurunya, saat itu sedang menjerit dan tubuhnyapun gemetar. Hal
itu disebabkan tak lain karena dia melihat suhunya. Liau Ceng taysu, sedang
melangkah masuk kedalam gua.
Karena tegang dan gugup, Gin Liong cepat2 menyusup lagi kedalam cekung dinding
gua. Tenang sekali sikap dan langkah Liau Ceng taysu. Dengan memegang kebut Kim-si-
hud-tim dia berjalan dengan santai, Sudah tentu Gin Liong heran. Adakah suhunya
tak kuatir kalau Ban Hong Liong-li akan menyerangnya ?"
Tetapi dia tak sempat berpikir lebih lanjut karena saat itu ketegangan hatinya
makin memuncak. Dilihatnya setiap kali melewati cekung dinding gua yang lebar
dan diperkirakan cukup dimasuki tubuh orang, suhunya tentu berhenti dan
menghamburkan pandang memeriksa,
Keringat dingin mulai mengucur deras pada tubuh Gin Liong, Akhirnya ia
memutuskan Daripada dipergoki oleh suhunya, lebih baik ia bertindak lebih dulu,
Setelah meregangkan napas, secepat kilat ia terus melesat lari kebagian gua yang
lebih dalam. Tiba di persimpangan sebelah kiri dari ujung gua, ia berhenti
Ketika mencari kesempatan untuk berpaling ke belakang, dilihatnya suhunya sedang
menghampiri ke tempat mayat Hiong bi-lek Go In, Setelah memindahkan mayat
paderi itu ke pinggir Liau Ceng taysu lanjutkan perjalanan kedalam gua lagi,
Setiap tiba pada cekung dinding gua, ia tentu berhenti dan mengucapkan beberarapa
patah kata yang tak jelas.
Gin Liong makin heran, Apakah yang diucapkan suhunya itu" Karena ingin tahu, ia
kerahkan alat pendengarannya untuk menangkap suara suhunya.
"Wulanasa, Wulanasa. . . ."
Mendengar itu, ketegangan hati Gin Liong bertambah dengan suatu rasa
keheranan, Wulanasa" Apakah artinya Wulanasa itu"
Sesungguhnya banyak sekali soal yang hendak dipecahkannya, Tetapi saat itu dia
tak mempunyai kesempatan lagi. Saat itu Suhunya makin mendekat ke tempat
persembunyiannya. Karena bingung, tiba2 Gin Liong loncat ke atas tumpukan rumput kering disebelah
kiri, sret . .. . Walaupun hanya pelahan tetapi suara tertimpahnya tumpukan rumput kering
dengan tubuh Gin Liong telah menimbulkan gema suara yang berkumandang.
Gin Liong makin terkejut jantungnya mendebur keras, ia ingin menyurut mundur
tetapi kuatir akan menimbulkan suara. Kalau tidak mundur, ia takut ketangkap
basah oleh suhunya. Karena tegang dan gelisah, napasnya terengah2 keras. ia kepalkan kedua telapak
tangannya yang basah dengan keringat.
Mendengar suara berkeresek tadi, Lian Ceng taysu hentikan langkah dan berseru
pelahan: "Wulanasa, mengapa engkau tak pulang ke kampung halamanmu . . . ."
Gin Liong tegak berdiri diatas tumpukan rumput kering dan mendengarkan dengan
penuh perhatian, Dia tak berani mengisar kepala untuk melihat dimana suhunya
berada. Tetapi menilik suaranya, ia duga suhunya tentu berada dekat dari
tempatnya, Paling jauh hanya dua tiga tombak.
Timbul pertentangan dalam hati Gin Liong, Dia takut tetapipun ingin tahu, Dia
ingin lari tetapi pun ingin mengetahui hubungan apakah sesungguhnya yang terjalin
antara suhunya dengan Ban Hong Liong-li itu,
Tiba2 Liau Ceng taysu kembali berkata bisik2:
"Wulanasa, kuharap janganlah engkau keras perangai seperti dahulu, jangan
membawa kemauan . . ."
Dengan mengerahkan seluruh perhatian, Gin Liong berusaha untuk menutup
pernapasan dan menyatukan semangat untuk mendengarkan sekonyong-konyong
sebuah benda tajam macam ungkit, menusuk tulang punggungnya, seketika
tubuhnya menggigil dan pingsanlah ia.
Entah berselang berapa lama, Gin Liong tersadar dari suatu penderitaan sakit
yang amat nyeri itu, ketika membuka mata, ia dapatkan dirinya berada dalam sebuah
tempat yang gelap gulita dan berangin dingin.
Sejenak memperhatikan sekelilingnya ia dapatkan dirinya masih menggeletak di
tumpukan rumput. Tempat itu segera mengingatkan ia akan peristiwa yang
dialaminya. Ia pusatkan segenap indera pendengarannya Kecuali hanya angin dingin mendesis-
desis, tiada lain suara yang dapat didengarnya lagi.
Serentak diapun teringat akan suhunya dan kawanan Ma Toa Kong, Dimanakah
mereka saat itu " Dia ingin duduk, Tetapi baru hendak menggerakkan tubuh, sakitnya bukan alang
kepalang sehingga ia sampai meringis dan kucurkan keringat dingin.
Untunglah kesadaran pikirannya masih terang. Dia masih ingat, pada saat akan
pingsan, didengarnya suhunya berseru: "Wulanasa, pergilah, Kiongcu Hun seumur
hidup akan . . . ." Kelanjutan dan bagaimana yang terjadi kemudian, ia tak dapat mengetahui karena
keburu pingsan. Ia hendak gerakkan kepala berpaling kesamping, ah, kepalanya terasa amat berat
sekali, ia ingin menggerakkan tangannya untuk merabah-rabah sekelilingnya
tenaganya terasa lemah lunglai tak bertenaga sama sekali.
Dalam keadaan yang tak dapat berbuat apa2 itu akhirnya iapun jatuh tidur lagi.
Pada saat ia bangun untuk yang kedua kalinya, kejutnya bukan kepalang,
Tempatnya yang gelap, saat itu terang benderang. Seluruh gua terang seperti pagi
hari. Keadaan gua itu dapat dilihatnya dengan jelas bahkan sampai pada bagian2
lekuk dan cekungnya, Tiba2 timbullah keinginannya untuk bangun. Dan serentak iapun menggeliat,
hai . . . . mengapa tubuhnya ringan sekali, Cepat ia kerahkan pernapasan dan dapatkan
tenaga-murni dalam tubuhnya lancar sekali.
Segera ia lontarkan pandang ke arah mulut gua. Suhunya dan mayat Hong-bi-lek Go
In sudah tak tampak lagi,
Lanjutkan pandang matanya keluar gua, tampak batu karang yang menonjol di
muka gua tertutup salju putih, Bunga2 Bwe yang tumbuh di-tepi karang tengah
mekar dengan indahnya. "Ah, hari sudah terang." serunya gembira Dan secepat kilat ia ayunkan tubuhnya
loncat ke mulut gua. Bum . ,. . Tiba2 ia berseru keras dan dorongkan kedua tangannya ke batu karang di muka
gua. Dan segera ia terlongong-longong heran. Salju yang menutup permukaan batu
karang itu berhamburan bercampur dengan keping2 hancuran karang, Tiga batang
pohon bwe yang tumbuh di tepi batu karang berhamburan gugur jatuh kedalam
jurang, Gin Liong benar2 tak menyangka bahwa saat itu ia memiliki tenaga yang amat
sakti, Dari jarak tujuh delapan tombak jauhnya, ia masih dapat melepaskan hantaman
yang sedemikian dahsyatnya,
Menengadah ke langit, tampak mentari pagi sudah mulai mengintip di puncak
gunung, Diam2 ia heran. sebelum pingsan, udara amat buruk, Salju turun deras,
angin menderu-deru keras. setelah sadar dari pingsan, hari sudah cerah.
Makin melanjutkan keluar pandang matanya, tampak puncak gunung tertutup salju
putih, sepintas pandang menyerupai lautan awan putih,
Gin Liong terkesiap dalam hati, ia merasa matanya jauh lebih terang dan beberapa
saat tadi, sebelum pingsan, Bukan saja dapat menghadapi sinar kemilau dari
cahaya salju, pun dapat juga menerobos melihat beberapa tombak ke dalam.
Diam2 ia girang sekali, Cepat ia melayang keatas jalan kecil lalu apungkan tubuh
ke puncak karang, Dari tempat itu ia terus lari menuju ke hutan siong disebelah
muka. Saat itu ingin sekali ia berada di kuil Leng hun-si. ia hendak menceritakan
perobahan dirinya itu kepada suhu dan sumoaynya,
Sesaat tiba di kuil ia terus loncat melampaui pagar tembok dan melayang ke ruang
belakang. Tetapi sesaat kakinya menginjak lantai, segera ia merasakan sesuatu yang tak
wajar, Biasanya di ruang belakang kuil itu tentu penuh dengan kawanan paderi
yang mondar mandir mengurus pekerjaan masing2. Tetapi anehnya, saat itu sama
sekali tiada seorang paderi yang kelihatan bayangannya,
setelah mencurahkan pendengaran barulah ia dapat mendengar bahwa di ruang
muka kuil itu sayup2 terdengar suara kelinting sembahyangan.
Kembali Gin Liong merasa girang. Ta tahu bahwa telinganya makin bertambah
tajam. Ia lepaskan perhatian ke ruang belakang dan pusatkan pendengarannya ke arah
ruangan muka, Tetapi diapun kurang memperhatikan bahwa saat itu sebenarnya
sembahyang pagi para paderi kuil sudah selesai pada dua jam yang lalu.
Dengan hati gembira ia segera melangkah ke ruang tengah untuk mendapatkan
suhunya, ia terkejut ketika melihat pintu ruang tempat kediaman suhunya
terkancing rapat menandakan bahwa suhunya tak berada di dalam,
Berpaling ke ruang samping tempat tinggal sumoaynya, pintunya tertutup tetapi
daun jendela terbuka separoh. Maka Gin Liongpun ayunkan langkah menghampiri
Begitu dekat pada ruang itu, kejut Gin Liong tak terkira, ia mendengar suara
erang kesakitan dari dalam ruang itu. ia duga sumoaynya tentu sakit.
Melangkah ke muka pintu segera ia mendorong lalu menerobos masuk.
Ki Yok Lan, sumoaynya yang masih dara itu, rebah diatas tempat tidur, rambutnya
terurai kusut dan tubuhnya dibungkus selimut.
Gin Liong bergegas menghampiri Ketika memeriksa, menggigillah tubuhnya, Yok
Lan tampak pucat sekali wajahnya dan tampaknya seperti orang limbung,
Tiba2 Gin Liong teringat akan peristiwa yang dialaminya ketika berada dalam gua
Ban Hong Liong-li. Peristiwa yang aneh dimana punggungnya seperti ditusuk oleh
benda tajam sehingga ia pingsan.
"Lan-moay, kemungkinan Liong-li locianpwe masih berada dalam gua", serunya
sesaat kemudian." "Benarkah itu ?" seru Yok Lan girang," Liong koko, aku hendak mendapatkan beliau
!" Habis berkata dara itu terus hendak turun dari tempat tidurnya, Gin Liong
terkejut, cepat2 ia memegang bahu sumoaynya:
"Lan-moay, penyakitku belum sembuh betul, tak baik mengeluarkan tenaga untuk
berjalan. Aku hanya mengatakan bahwa kemungkinan Liong-li lo-cianpwe masih
berada dalam gua. Adakah hal itu benar, aku juga tak tahu."
Karena ketegangan hati tadi, Yok Lan telah mengurangi tenaga-murni yang mulai
pulih dalam tubuhnya. ia terengah-engah, keringat dingin bercucuran dan
wajahnya pun pucat lagi, Gin-liong terkejut, buru2 ia membantu sumoaynya tidur lagi dan menutup
tubuhnya dengan selimut. Setelah napasnya agak tenang, sambil memandang ke wuwungan rumah, dara itu
terkenang akan peristiwa yang lampau.
"Tahun yang lalu, diam2 aku telah menuju ke gua Kiu-kiok-tong, Baru melayang ke
atas batu karang, segera terdengar Liong-li locianpwe menegur: "Apakah engkau
sumoay dari Gin Liong ?"
"Ah," Yok Lan berkata seorang diri, "begitu ramah dan penuh kasih sayang nada
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara Liong-li lo-cianpwe, Aku seorang gadis yang sudah sebatang kara, merasa
bahwa kata2 beliau itu penuh rasa kesayangan seorang ibu terhadap putri2nya.
Aku tak dapat menahan derai air mataku yang bercucuran turun . . . .
Tetapi, sesaat kemudian dia memperingatkan supaya aku jangan melanjutkan
langkah menghampiri ke guanya, Dan beliaupun melarang aku tak boleh datang ke
tempat itu lagi, Dan lagi melarang aku jangan mengganggu pedang pusaka beliau
yang tergantung pada pintu berterali besi itu . . ,."
Berkata sampai disitu tiba2 mata Yok Lan berkilat terang seperti teringat
sesuatu ia berpaling memandang Gin Liong.
"Liong koko, dimanakah pedang pusakamu dan baju bulu burung itu ?"
Gin Liong terbeliak, Dia segera teringat bahwa pedang pusaka dan baju bulu
burung itu masih ketinggalan di gua, walaupun ia masih ragu2 tentang tempat kedua
benda itu tetapi ia harus mencarinya sampai ketemu.
"Karena bergegas hendak menengok engkau dan suhu maka kedua benda itu
kutinggal di gua, Harap engkau beristirahat, aku hendak mengambil kedua benda
itu dulu, Aku pasti segera kembali kemari lagi," katanya kepada sang sumoay.
Selekas keluar dari kamar, ia menuju ke halaman lalu enjot tubuh melayang keatas
genteng dan terus lari menuju ke gunung di belakang kuil.
Pada saat melintasi hutan pohon siong, ia melihat sesosok bayangan orang melesat
di puncak gunung dan pada lain kejap sudah lenyap, Bayangan itu luar biasa
cepatnya. Gin Liong terkejut sekali. Puncak gunung di belakang kuil itu, penuh dengan
jurang dan tebing karang yang curam sekali, Kecuali harus mengambil jalan dari muka
puncak gunung itu, tiada lain jalan lagi yang dapat ditempuh.
Siapakah orang itu" Suhunya ataukah kedua paman kakek gurunya"
Tetapi pada lain kilas cepat ia membantah dugaannya sendiri, Karena bukankah
mereka masih membaca doa di ruang besar "
Ia segera pesatkan larinya dan terus melayang keatas batu karang di muka gua,
Karena melihat sosok bayangan aneh tadi, ia tak berani gegabah terus masuk
kedalam gua. Baru setelah menunggu beberapa saat tak tampak sesuatu yang
mencurigakan akhirnya ia melayang turun dan melangkah ke dalam gua,
Gin Liong teringat akan pengalaman yang diderita Hiong-bi-lek Go In. ia tak
berani terus langsung masuk melainkan melangkah dengan pelahan dan memperhatikan
setiap cekung dinding gua.
Makin ke dalam makin gelap.
Tiba di ujung tikungan sebelah kiri, ia hampir berteriak girang. pedang pusaka
Tanduk Naga dan baju bulu burung masih menggeletak di tumpukan rumput
kering, Cepat ia memungut kedua benda itu. Tetapi serentak iapun segera teringat
akan Ban Hong Liong-li. Karena pedang pusaka dan baju bulu burung masih tetap berada di dalam gua, jelas
sosok bayangan tadi tentu tidak masuk kesitu.
Setelah menyelipkan pedang dan mengenakan baju bulu burung, kembali timbul
bermacam pikiran dalam benaknya.
Pertama, ia mengira Ban Hong Liong-li masih berada dalam gua. pada saat paderi
Go In berteriak masuk kedalam gua, Ban Hong Liong-li mungkin bersembunyi tak
jauh dari tempatnya. Gin Liong percaya bahwa dengan kepandaian yang dimilikinya, tanpa dibantu
wanita sakti itu, tentu tak mungkin sekali hantam dapat melemparkan tubuh paderi
Go In sampai tujuh delapan tombak keluar dari gua.
Dan ketika suhunya masuk kedalam gua, tak henti-hentinya berseru memanggil
"wulanasa" Mungkin kata2 itu merupakan nama dari Ban Hong Liong-li ketika
masih gadis. Gin Liong makin keras menduga bahwa diantara suhunya dengan Ban Hong Liong-li,
dahulu tentu mempunyai hubungan yang istimewa.
Ban Hong Liong-li tampaknya kuatir orang lain atau para anak muda mengetahui
riwayat hidupnya. Pada saat suhunya berbicara dengan Ban Hong Liong-li, Wanita
sakti itu tentu segera memeluknya (Gin Liong) sehingga pingsan agar jangan dapat
mendengar pembicaraan mereka.
Ia duga benda tajam yang menusuk punggungnya itu tentulah ujung jari dari Ban
Hong Liong-li. Tetapi ada sebuah hal yang ia tak mengerti. Mengapa suhunya waktu itu tak mau
menolong dirinya" Adakah saat itu suhunya memang tak mendengar suaranya
ataukah Ban Hong Liong-li lo-cianpwe memindahkannya ke lain tempat "
Terlintas sesuatu dalam benaknya dan iapun memandang ke muka, Lima tombak
disebelah muka, gua itu membiluk ke kanan.
Segera ia menuju ke tempat itu. Melongok kebawah, ternyata sebuah jurang yang
tak kelihatan dasarnya, Namun Gin Liong sudah terlanjur tertarik hatinya, ia
melayang turun, Makin kebawah, hawanya makin dingin sekali,
Ketika tiba di dasar lembah, ia berhadapan sebuah gua besar yang kedua
dindingnya penuh dengan batu2 runcing. Gin Liong maju menghampiri
Tiba2 ia terkejut karena mendengar suara jeritan seram dari bagian dalam gua
itu. ia hentikan langkah, Ketika mendengarkan dengan seksama, kecuali suara benda
jatuh, tiada kedengaran apa2 lagi.
Teringat sesuatu, Gin Liong segera lari memburu kedalam, Lorong gua berkelak-
keluk, naik turun. Setelah melintas enam buah tikungan, tibalah dia disebuah
tempat berbentuk empat persegi, panjangnya kira2 sepuluhan tombak,
Gin Liong hentikan langkah, Memandang kemuka, kejutnya bukan kepalang. Lima
tombak disebelah muka, terkapar sesosok tubuh yang kecil kurus.
Cepat ia loncat menghampiri. Ah, ternyata orang itu memang seorang wanita.
Rambutnya sudah usai, mengenakan pakaian kembang potongan suku Biau,
Kepalanya pecah, wajahnya rusak mengerikan sekali.
Gin Liong menduga mayat itu tentulah Ban Hong Liong-li. serentak meluapkan
kemarahannya, ia menghamburkan tertawa keras sekali sehingga menggetarkan
suluruh gua. Puas menumpahkan kemarahannya dalam tawa yang ngeri, serentak ia berlutut
disamping mayat itu dan menangis tersedu sedan.
"Liong-li Lo-cianpwe. murid memang berdosa besar karena tak lekas datang
sehingga lo-cianpwe sampai dicelakai orang. Murid bersumpah, dengan pedang
Tanduk Naga pemberian lo-cianpwe itu, akan menuntut balas kepada musuh2 lo-
cianpwe itu, walaupun harus memburu mereka sampai di ujung langit."
Sekonyong-konyong terdengar gemericik suara air mengalir Gin Liong serentak
berdiri dan berseru: "Siapa itu !" Ia menghimpun tenaga-dalam, siap untuk menghantam, Tetapi ketika memandang
kemuka, menggigillah sekujur tubuhnya, Cepat ia loncat mundur sampai tiga
tombak, Pada ujung gua didepan, sayup2 seperti muncul seperti sinar yang menembus ke
puncak gua. . Cahaya itu memancarkan sinar tujuh warna. Kilau kemilau
menyilaukan mata. Sebuah kepala binatang yang menyerupai ular naga, bergemercikan timbul dari
dalam air lalu perlahan-lahan merayap keatas tanah.
"Makhluk ajaib..." teriak Gin liong dengan tegang sekali.
Ia menyalangkan mata memandang dengan seksama. Kepala binatang aneh itu
berwarna hijau, tanduk merah, sepasang matanya menyerupai bola api, hidungnya
menghambur buih dan mulutnya mendesis-desis. Dan ketika badannya ikut
terangkat tulang punggungnya seruncing mata golok penuh dengan sisik, Mungkin
karena mendengar Gin liong tertawa keras, makhluk aneh itu merangkak keluar
dari sarangnya. Sekonyong-konyong makhluk aneh itu meraung, mengangkat kepala, membuka
mulut lebar2, lalu meluncur kearah mayat Ban Hong hiong-li.
-ooo0oooo- 5. Katak salju. Gin Liong terkejut Tetapi sesaat kemudian iapun marah sekali, Dengan
menggembor keras cepat ta mencabut pedang pusaka, seketika berhamburan sinar
merah dari pedang Tanduk Naga itu.
Binatang aneh itu panjangnya tiga tombak. keempat kakinya tajam seperti cakar,
Melihat sinar merah dari pedang Tanduk Naga, mayat wanita yang sudah digigit
itu, segera dilepasnya lagi. sepasang bola matanya yang mencorong seperti lentera,
tiba2 pudar dan binatang itupun pelahan-lahan menyurut mundur.
Gin Liong pelahan-lahan mendesak maju. Melihat itu binatang anehpun makin
mempercepat gerak mundurnya. Tampaknya dia ketakutan sekali.
Pada saat melalui mayat, Gin Liong menunduk dan memandangnya. Alangkah
kejutnya ketika melihat baju kembang potongan wanita Biau yang dikenakan
wanita itu sudah hancur digigit binatang aneh tadi.
"Binatang, serahkan jiwamu !" Gin Liong marah dan loncat membabat tanduk
merah binatang itu. Binatang itupun meraung keras dan meluncur mundur cepat
sekali kedalam air. Gin Liong berhenti dan berdiri di tepi air, Kiranya tempat itu merupakan sebuah
rawa seluas lima tombak, dikelilingi empat dinding karang hijau. Ditengahnya
terdapat dua buah gua seluas satu tombak. Separoh bagian dari gua itu terendam
air. Binatang aneh yang menyerupai naga itu masuk kedalam gua sebelah kiri. Dari
permukaan air masih tampak kedua bola matanya yang bersinar tajam.
Gin Liong maju menghampiri ke tepi rawa, Binatang itupun pelahan-lahan
menyelam kebawah rawa. Tiba ditepi rawa, airpun segera memancar sinar pedang Tanduk Naga berwarna
merah. Rawapun pelahan-lahan tenang lagi. permukaan airpun tidak beralun, Tetapi dari
dasar rawa seperti memancar sinar warna pelangi yang menyembul kepermukaan
rawa. Tergerak hati Gin Liong, Menunduk kebawah, dilihatnya dari dasar rawa bagian
yang paling dalam, tampak melambung sebuah benda putih macam batu pualam
bersih. Besarnya sama dengan kepalan tangan, Benda putih itu makin melambung
kepermukaan air. sinarnya makin terang.
Ketika memandang dengan seksama barulah Gin Liong tahu bahwa benda putih itu
seekor katak putih atau katak salju.
Sesaat katak salju itu mengapung dipermukaan air, maka tubuhnya memancar
sinar putih yang gilang gemilang. Ketika beradu dengan sinar merah dari pedang
Tanduk Naga, maka timbullah suatu pancaran sinar yang amat serasi dan
menyilaukan mata. Seketika Gin Liong menyadari bahwa katak salju itu tentu termasuk sejenis
binatang yang ajaib. Cepat ia selipkan pedangnya lalu berjongkok ditepi rawa dan
ulurkan tangan hendak menangkap binatang itu.
Tiba2 air berombak keras dan muncullah binatang aneh yang menyerupai naga
tadi, Gin Liong terkejut, Cepat ia ayunkan tubuh melayang mundur beberapa
tombak. Memang mahluk yang menyerupai naga itu merangkak naik kedaratan lagi,
sepasang matanya memandang Gin Liong dengan berapi-api.
Gin Liong sudah mempunyai pengalaman bahwa binatang aneh itu takut pada sinar
atau mungkin pada sinar kemilau dari pedang Tanduk Naga. Maka dia segera
mencabut pedang pusaka itu, sambil menggembor keras. terus menerjangnya!
Binatang yang mirip naga itu amat waspada sekali. Pada saat sinar pedang Tanduk
Naga memancar tiba, cepat2 binatang itupun segera menyurut mundur masuk
kedalam guha. Beberapa saat kemudian permukaan telaga pun tenang lagi airnya, Katak salju
itupun kembali mengapung di permukaan air.
Gin Liong tancapkan pedangnya ketepi telaga, lalu berjongkok dan ulurkan kedua
tangannya untuk menangkap katak mustika itu, Dalam pada itu perhatiannyapun
tak pernah lepas ke arah binatang mirip naga yang mungkin akan meluncur keluar
dari sarangnya. Sepasang mata katak salju itu berkilat-kilat terang, memandang dengan sorot
marah kepada Gin Liong. Katak yang badannya seputih salju itu, segera bergerak-gerak menghampiri ke
tempat pedang Tanduk Naga.
Begitu mendekati tepi, secepat kilat Gin Liong segera menyambarnya dan
berhasillah ia. Tetapi suatu peristiwa yang tak terduga-duga telah terjadi. Ketika menggenggam
katak salju itu, seketika kedua tangan Gin Liong membeku dingin, lengannya
serasa mati rasa dilanda oleh hawa yang luar biasa dinginnya sehingga menyusup masuk
ke ulu hati. Gin Liong terkejut sekali, cepat ia letakkan katak salju itu diatas bulu-bulu
burung. Ketika memandang kedalam air, dilihatnya binatang yang menyerupai naga itu
tengah mementang kedua matanya lebar2. Dari hidungnya menghembuskan
hamburan hawa yang bergulung-gulung dalam air.
Gin Liong tahu bahwa mahluk seperti naga itu tentu marah sekali, Tetapi karena
takut pada pedang Tanduk Naga maka walaupun katak salju telah dirampas Gin
Liong, binatang itu tak berani berbuat apa2.
"Ah, lebih aku cepat2 pergi," kata Gin Liong lalu hendak menjemput katak salju
lagi, Tetapi ketika memandangnya, kejutnya bukan alang kepalang.
Katak salju yang semula sebesar kepalan tangan, saat itu tiba2 berobah menyusut
kecil tak lebih dari dua inci besarnya, Dan ketika dipegang, tubuh katak itu
putih bening seperti air. "Katak salju, ya, tentu inilah katak salju," tiba2 ia berseru tergetar.
Dengan mencekal katak salju ditangan kiri dan pedang Tanduk Naga, di tangan
kanan, Gin Liong segera bergegas pergi.
Saat itu hati Gin Liong girang bukan kepalang, Sambil berlari pesat, pandang
matanya selalu mencurah kearah katak salju itu, Diam2 ia merenungkan tentang
khasiat yang luar biasa dari binatang itu.
Katak salju merupakan suatu jenis binatang yang jarang terdapat di dunia,
Seperti halnya dengan senjata pusaka, kitab pusaka, pun katak salju itu merupakan benda
yang menjadi incaran setiap kaum persilatan.
Apabila katak salju itu direndam dalam arak dan diminum maka khasiatnya bagi
orang yang berlatih silat, seolah tulang-tulangnya berganti baru, tenaga
dalamnya bertambah kokoh. Bagi orang biasa, dapat menyembuhkan segala penyakit dan
menambah panjang umur. Kegirangan Gin Liong mengdapatkan katak mustika itu bukan karena ia hendak
memakannya sendiri melainkan hendak diberikan kepada Ki Yok Lan yang sedang
mengidap penyakit itu. Apabila sumoaynya minum katak itu, tentulah penyakitnya
akan sembuh dan tubuhnya akan sehat kuat.
Tiba ditikung kiri pada mulut gua, tiba2 Gin Liong terkesiap, jenazah Ban Hong
Liong-li yang tadi menggeletak di tempat itu, ternyata lenyap !
Kemanakah jenazah itu"
Tak pernah dia menyangka bahwa di guha yang setinggi lima tombak itu, akan
muncul seseorang yang membawa pergi mayat wanita itu, Dan dia pun tak pernah
membayangkan bahwa orang itu memiliki kepandaian yang hebat sekali.
Dia hanya terkejut atas peristiwa aneh itu maka setelah dengan hati2 memasukkan
katak salju kedalam baju, ia segera tingkatkan kewaspadaan siap sedia menghadapi
sesuatu yang tak diinginkan.
Tiba2 ia mendengar suara tertawa dingin pelahan dan berasal dari belakangnya,
Sudah tentu dia terkejut sekali, Secepat kilat ia mencabut pedang Tanduk Naga
dan berputar tubuh menabas. ia percaya bahwa gerakan berputar seraya menabas secepat kilat itu tentu akan
mengenai sasarannya, Tetapi ah, hanya angin belaka yang ditabasnya.
Ia tersipu-sipu malu sendiri, Mengeliarkan pandang kesekeliling, ternyata guha
itu sunyi senyap, kosong melompong.
Tetapi dia merasa penasaran, jelas tadi ia mendengar suara orang tertawa dingin.
Tiba2 terlintas sesuatu dalam benaknya dan secepat itu ia segera menengadahkan
muka memandang keatas, Ah, ternyata dugaannya tepat Pada puncak guha setinggi tiga tombak itu, terdapat
sebuah guha yang cukup lebar. Karena gelap dan menjulang ke atas maka tak dapat
di ketahui berapa tombak tingginya.
Kini Gin Liong menyadari bahwa orang yang melepas tertawa dingin tadi tentu
sudah meluncur dari puncak guha itu.
Mengenangkan akan nasib Ban Hong Liong-li yang begitu mengenaskan dibunuh
lalu mayatnya masih dilarikan Gin Liong menumpahkan kemarahannya dengan
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah tertawa seram. Acungkan pedang pusaka Tanduk gNaga ke-atas ia segera enjot tubuh melambung
kearah guha diatas puncak guha itu.
Memang pedang pusaka Tanduk Naga benar2 sebuah pedang pusaka yang hebat.
Lorong guha yang gelap itu segera terpancar sinar merah. Dengan setiap kali
menginjak dinding guha yang menonjol, dapatlah Gin Liong mencapai ketinggian
tujuh tombak dan tibalah dia di puncak paling atas.
Ia berhenti seraya lintangkan pedang dan mengeliarkan pandang kesekeliling.
Kiranya gua di puncak itu lorongnya berkeluk-keluk macam ular, Sebuah guha yang
menjulang condong ke-atas.
Guha itu gelap gulita, anginnya keras, Tak tampak barang seorang manusiapun
disitu, Gin Liong masih penasaran. Di amati keadaan gua itu dengan lebih cermat,
Tiada tampak barang sebuah cekungan yang dapat dijadikan tempat
persembunyian orang, Maka dengan siapkan pedang ditangan kanan, ia segera
menyusur lorong gua. Hati2 sekali ia berjalan. Setiap keluk dan cekung, tentu ia berhenti dan
mengamati dengan cermat. Makin menuju ke atas, hawa makin dingin dan lorong guha pun makin sempit, Dan
tak berapa lama tibalah ia di mulut guha. Disitu keadaannya tidak lagi gelap
melainkan terang benderang.
Kini dia berhadapan dengan sebuah guha berbentuk bundar, menjulang lurus
keatas, Tingginya hampir sepuluhan tombak, pada mulut gua yang bundar seperti
mangkuk, tampak langit yang biru. Dan dekat di mulut gua, terdapat lapisan
salju. Gin Liong kerutkan dahi. ia sangsi adakah ia mampu loncat melambung kemulut
gua setinggi itu, Dan orang yang tertawa tadi, adakah juga keluar dari gua
diatas itu " Tiba2 muncul suatu pertanyaan dalam hati Gin Liong, Benarkah Ban Hong Liong-li
telah dipenjara selama lima tahun dalam gua itu "
Seingatnya, selama lima tahun itu dikala Ban Hong Liong-li memberi pelajaran
ilmu silat kepadanya, ada kalanya suruh dia datang lima hari sekali. Tetapi ada
kalanya tiga hari bahkan sebulan dua bulan baru disuruhnya datang.
Waktu itu ia tak tahu apa sebabnya, Tetapi kini setelah menemukan jalanan keluar
dari puncak gua, dia menduga keras, selama lima tahun itu Ban Hong Liong-li
tentu tidak terus menerus berada dalam guha. ia percaya dengan kesaktian yang
dimiliknya, Ban Hong Liong-li tentu mudah sekali keluar masuk mulut gua itu.
Ada lagi sesuatu yang mengherankan Gin Liong, jika benar Ban Hong Liong-li dapat
bergerak bebas dalam guha itu mengapa selama lima tahun itu tak pernah ia
diperbolehkan melihat wajahnya" Adakah Ban Hong Liong-li berwajah buruk
sehingga malu dilihat orang "
Saat itu yang paling menyedihkan hati Gin Liong ialah keadaan jenazah Ban Hong
Liong-li, Mukanya hancur lebur sukar dikenali lagi sehingga sukar dinilai adakah
dia seorang wanita cantik atau buruk.
Dan sesaat teringat akan kematian yang mengenaskan dari Ban Hong Liong-li itu,
darah Gin Liong segera meluap, ia memutuskan akan mencapai puncak mulut gua
itu dan melihat bagaimana keadaan yang sesungguhnya.
Sekali enjot sang kaki, tubuh Gin Liongpun melambung kearah mulut gua yang
tingginya beberapa tombak, Dalam dua tiga kali gerakan melambung, akhirnya
berhasil juga ia tiba ditepi mulut guha.
Ketika memandang ke sekeliling, ia tertegun, Empat penjuru keliling dari gua itu
merupakan gerumbul pohon siong yang penuh diselimuti salju. Dan yang
mengejutkan Gin Liong, ternyata pada jarak beberapa tombak dari tempat itu
sudah merupakan dinding tembok merah dari kuil Leng-hun-si. Dan Gin Liong pun
dapat melihat ruang kuil itu, diantaranya ruang tempat kediaman suhunya.
"Hah, apakah mulut guha ini bukan yang dikatakan sebagai Sumur mati dibelakang
kuil ?" tiba2 ia teringat
Segera ia berpaling kebelakang untuk memeriksa mulut gua tadi lagi, Tetapi
ketika berputar tubuh, bukan kepalang kejutnya sehingga ia sampai memekik kaget dan
loncat mundur dua tombak.
Di depan sumur mati yang berada dibelakangnya itu, tegak seorang wanita cantik
dalam pakaian yang indah dan mantel bulu burung dari beludru merah.
Wanita cantik itu kira2 berusia 26-27 tahun, kulitnya merar segar, sepasang
alisnya melengkung panjang sampai ke pelipis rambut. Dan sepasang matanya bersinar
bening bagai batu zamrud.
Kecantikan wanita itu memiliki pesona yang memikat hati orang. Sayang wajahnya
menampil kerut hawa pembunuhan dingin.
6. Golok emas Gin Liong terkesiap, ia duga wanita muda itu tentu yang menyerang Ban Hong
Liong-li. seketika meluaplah kemarahannya.
"Wanita jahat, engkau harus mengganti jiwa lo-cianpweku..." secepat kilat ia
enjot tubuh melampaui dua batang pohon siong lalu menyerang, menusuk bahu wanita
muda itu dengan pedangnya.
Tenang2 saja wanita muda itu melihat gerak gerik Gin Liong- Pada saat ujung
pedang Gin Liong hampir mengenai, barulah dia menggeliat mundur, bergerak-
gerak dan tahu2 lenyap. Gin Liong terkejut. Cepat ia hentikan terjangannya, Dengan jurus Harimau-buas-
mengibas-ekor, ia taburkan pedang Tanduk Naga menyapu ke belakang.
Krak, bum... sebatang pohon siong segera terbabat rubuh, menimbulkan letupan
yang keras ketika menghantam tanah, Salju yang menutupi daun pohon,
berhamburan keempat penjuru,
Memandang kian kemari, Gin Liong tak melihat wanita muda itu, Cepat ia berputar
ke belakang, ah, wanita muda itu ternyata berdiri dibelakangnya.
Gin Liong tergetar hatinya, setitikpun ia tak menyangka bahwa wanita muda itu
menguasai juga tata-langkah Liong-li-biau yang pernah diajarkan Ban Hong Liong-
li kepadanya Tenang2 saja wanita muda itu memandang Gin Liong, wajahnya menampilkan
kerut keresahan dan putus asa.
"Jika dapat menguasai tata-gerak Liong~li-biau, wanita ini tentu mempunyai
hubungan dengan Liong-li lo-cianpwe," pikir Gin Liong.
Menimang demikian, menurunlah kemarahan Gin Liong. Segera ia menyimpan
pedang lalu maju menghampiri dan memberi hormat:
"Mohon tanya siapakah nama yang mulia dari cianpwe ini" Mengapa berada di
belakang kuil Leng-hun-si" Maaf atas tindakanku yang kurang adat karena
menyerang cianpwe tadi."
Wajah wanita muda itu agak berobah. Sinar matanyapun berobah lembut ia
kerutkan alis dan tiba2 menghela napas.
Kali ini Gin Liong lebih terkejut lagi. Helaan napas wanita muda itu benar2
mirip sekali dengan helaan napas yang sering dilakukan oleh Ban Hong Liong-li selama
berada lima tahun dalam guha.
Melihat wajah anak muda itu pucat dan tegang serta memandang dirinya penuh
keheranan, wanita muda itu segera berseru:
"Liong-ji, engkau benar2 seorang anak yang baik. Benar, aku memang tak
menyangka bahwa kecerdasanmu jauh melebihi aku ketika masih muda, Demikian
juga hatimu pun lebih keras."
Mendengar nada suara yang tak asing lagi itu, tak kuasalah Gin Liong menahan
luapan hatinya. Air matanya berderai-derai membanjir turun, Selekas membuang
pedang, ia bergegas melangkah dan jatuhkan diri berlutut dihadapan wanita itu
seraya berkata dengan terisak-isak:
"Lima tahun lamanya Gin Liong telah menerima pelajaran. Selama itu siang dan
malam Gin Liong ingin sekali melihat wajah cianpwe. Tadi tanpa sengaja, aku
telah berlaku kurang hormat, mohon lo-cianpwe sudi memaafkan."
Wanita muda itu berlinang-linang dan menghela napas rawan, serunya:
"Liong-ji, bangunlah, Aku tak menyalahkan engkau melainkan memang diriku.
Wulanasa sendiri yang bernasib malang, dipenjara selama lima tahun dalam guha,
Adalah karena beberapa alasan maka selama itu aku tak dapat mengunjukkan diri
menemui orang." Habis berkata wanita muda itu segera mengangkat bangun Gin Liong yang masih
berlutut di tanah. Waktu berdiri, Gin Liong tundukkan kepala tak berani memandang wanita itu. ia
tak mengira bahwa Ban Hong Liong-li yang dipenjara selama lima tahun dalam guha
itu, ternyata seorang wanita cantik yang baru berusia sekitar dua puluhan tujuh
tahun. Dengan berlinang-linang Ban Hong liong-li suruh Gin Liong mengambil pedang
pusaka itu, Gin Liongpun segera melakukannya dan menyimpan pedang itu
kesarungnya lagi. Ban Hong Liong-li sejenak memandang kesekeliling cakrawala, Saat itu matahari
sudah mulai condong ke barat, Segera ia berkata dengan rawan:
"Liong-ji, saat ini aku harus pergi, tak dapat lebih lama tinggal disini lagi."
Tergetar hati Gin Liong, seketika wajahnya berobah.
"Lo . . . lo-cianpwe hendak kemana ?" tanyanya gopoh.
Dalam menyebut nama Ban Hong Liong-li itu, memang Gin Lion agak kikuk, Wanita
yang semuda itu, apakah harus disebut "lo-cianpwe". Tetapi karena selama lima
tahun sudah biasa memanggil begitu, diapun tak dapat berganti dengan lain
sebutan lagi. Agaknya Ban Hong Liong-li tak menghiraukan soal sebutan itu, .
"Aku harus segera kembali ke kampung halamanku di gunung Supulawa. Dan
selanjutnya aku akan tinggal di daerah Biau sampai akhir hayatku, Aku takkan
menginjak ke Tiong-goan lagi."
Gin Liong mengembang airmata, serunya gegas: "Mengapa lo-cianpwe tak mau
tinggal beberapa hari lagi disini ?"
Ban Hong Liong-li memandang ke langit lagi dan gelengkan kepala pelahan-lahan
lalu menghela napas. "Kenangan yang lampau bagaikan asap, Hanya kehampaan yang kutemui dalam
mengarungi ke ujung langit. Menyebabkan orang putus asa, walaupun kutunggu
sampai sepuluh tahun lagi, apakah gunanya ?"
Dalam pada mengucap itu. air matanya berderai-derai membasahi kedua pipi dan
akhirnya kerongkongannya pun terasa tersumbat tak dapat melanjutkan kata-
katanya lagi. "Keinginan apakah yang lo-cianpwe belum dapat melaksanakan itu, harap
memberitahukan kepadaku...." akhirnya Gin Liong memberanikan diri untuk
berkata. Tetapi cepat Ban Hong Liong-li menukas tertawa rawan: "Ah, hal itu sudah tiada
harapan lagi. tiada gunanya kukatakan."
Namun Gin Liong tetap mendesak: "Mohon lo-cianpwe suka tinggal disini beberapa
hari lagi, Liong-ji tentu akan..."
Ban Hong Liong-li gelengkan kepala, menukas:
"Tidak. demi menambah tenaga-dalammu, aku sudah menunda perjalanan selama
tujuh hari, sekarang aku harus menempuh perjalanan itu siang dan malam agar
lekas tiba di daerah Biau."
Tiba2 Gin Liong teringat akan mayat wanita dalam pakaian suku Biau yang rebah di
dalam gua tadi. "Lo-cianpwe, siapakah mayat wanita yang berada dalam guha itu ?" tanyanya
serentak. Ban Hong Liong~li terkesiap, wajahnya berobah seketika. Sesaat kemudian berkata
dengan nada geram: "Kebahagiaan hidupku, selama ini berada ditangannya, Tak kukira kalau dia akan
datang dari Biau-ciang dan hendak membunuh aku secara menggelap."
Berhenti sebentar, Ban Hong Liong-li mendengus geram dan melanjutkan pula:
"Apabila kali ini kulepaskan dia lagi, mungkin jiwa Cu Hun pun sukar terjamin
keselamatannya." Gin Liong terbeliak kaget.
"Lo-cianpwe, siapakah wanita yang mengenakan pakaian suku Biau itu"
permusuhan apakah yang terjalin antara dia dengan suhuku ?" seru pemuda itu.
Agak tersipu merah Ban Hang Liong-li menerima pertanyaan itu. Sesaat kemudian
ia menghela napas rawan. "Liong-ji, tanyakanlah sendiri kepada suhumu, sekarang aku akan pergi !"
Habis berkata ia berputar tubuh.
"Lo-cianpwe, harap tunggu dulu," buru2 Gin Liong berseru, meminta, seraya loncat
kehadapan Ban Hong Liong-li.
"Lo-cianpwe, maukah lo-cianpwe memberitahu tempat kediaman lo-cianpwe
kepada Liong-ji ?" Ban Hong Liong-li merenung.
"Daerah Biau, gunung Supulawa, puncak Paklu, lembah Naga-beracun," akhirnya
meluncurlah beberapa patah kata dari mulut Ban Hong Liong-li, memberitahukan
alamatnya. Diam2 Gin Liong mencatat dalam hati. Kemudian ia bertanya pula:
"Lo-cianpwe, benarkah aku telah tidur selama tujuh hari dalam guha?"
Ban Hong Liong-li mengangguk:
"Benar, kalau aku tak merawat dan tak mengurut-urut jalan darahmu, paling
sedikit engkau harus tidur sepuluh hari lagi."
Gin Liong terkejut. "Mengapa aku jadi begitu ?" serunya.
"Karena engkau telah makan pil Tok-liong-wan (pil naga beracun) milik ibuku yang
diambilnya dari perut ayahku."
Menggigillah seluruh tubuh Gin Liong mendengar keterangan itu.
"Apa" Pil itu berasal dari perut ayah locianpwe ?" serunya terkejut.
Ban Hong Liong-li terpaksa tertawa: "Liong-ji. apakah engkau merasa heran?"
Gin Liong berulang-ulang mengangguk kepala.
Ban Hong liong-li menghela napas pelahan.
Katanya pula: "cerita itu panjang sekali kalau diceritakan, Lebih baik setelah
aku pergi, engkau tanyakan kepada suhumu !"
Gin Liong gelengkan kepala.
"Suhu tentu tak mau memberitahu kepada Liong-ji. Mohon lo-cianpwe saja yang
memberitahu hal itu."
Ban Hong Liong-li kerutkan alis, Ketika hendak membuka mulut tetapi ia berpaling
kearah kuil Leng-hun-si dan membentak: "siapakah yang berada dalam tembok itu
?" Gin Liong terkejut dan berpaling, Dilihatnya Ki Yok Lan dengan rambut kacau
tengah melompat keatas pagar tembok kuil dan terus hendak melayang turun.
Gin Liong terkejut sekali, ia tahu sumoay-nya itu masih sakit maka buru-2 ia
berseru: "Lan-moay, jangan...."
Tetapi sudah terlambat, Ki Yok Lan sudah terlanjur melayang turun. Gin Liongpun
cepat membentak dan loncat menyongsong.
Juga Ban Hong Liong-li terkejut, serentak ia ayun tubuh melesat kearah Yok Lan.
Dengan kedua tangan ia menyambut tubuh nona itu,
Ketika Gin Liong tiba, ia melihat Sumoay-nya telah pingsan, Anak muda itu
bingung dan air matanya bercucuran.
"Bagaimana, Lo-cianpwe".
"Dia pingsan !"
Ban iHong Liong-li kerutkan dahi. Memandang Yok Lan yang berada dalam
pelukannya, ternyata wajah dara itu pucat lesi, kedua matanya meram. Bang Hong
Liong-li menghela napas: "Ah, tak kira anak ini bertubuh lemah sekali."
"Memang sumoay sedang sakit, sudah tujuh hari lamanya..." cepat Gin Liong
memberi keterangan. Tiba2 mata Ban Hong Liong-li bersinar dan cepat menukas: "Katak salju itu" Lekas
keluarkan!" Gin Liong terbeliak tetapi cepat ia menyadari bahwa selama ini ternyata Ban Hong
Liong-li telah mengikuti gerak-geriknya, Segera ia mengeluarkan katak mustika
itu. Ban Hong Liong-li meletakkan Yok Lan di tanah, kepalanya disandarkan pada
dadanya, ia mengambil sebuah mangkok batu kumala hijau lalu suruh Gin Liong
masukkan katak salju ke dalam mangkuk dan suruh pula pemuda itu lekas
mengambilkan sejemput salju yang bersih.
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gin Liong buru2 melakukan perintah,
"Masukkan salju kedalam mangkuk," perintah Ban Hong Liong-li pula,
Begitu salju dimasukkan, terdengar suara mendesis pelahan ketika salju itu lumer
menjadi air. "Liong-ji. tahukah engkau khasiat katak salju ini ?" tanya Ban Hong Liong-li.
"Tahu," jawab Gin Liong.
"Segala apa memang sudah takdir." kata Ban Hong Liong-li. "tak boleh diminta
dengan kekerasan. Liong-ji, engkau mempunyai rejeki besar, kelak engkau harus
menjaga dirimu baik2 agak menjadi seorang pendekar yang berguna."
Serta merta Gin Liong menghaturkan terima kasih,
Memandang ke langit, kembali alis yang hampir menyusup ke tepi rambut dari Ban
Hong Liong-li berkerut pula, Gin Liong segera tahu bahwa wanita itu tentu
bergegas hendak segera turun gunung. Dia bingung tetapi tak tahu bagaimana harus
mengatakan. Saat itu salju sudah menjadi air. Diatas tubuh katak salju, air itu seperti
mendidih, mengeluarkan butir2 gelembung kecil. Begitu pula, tubuh katak itupun
memancarkan sinar tujuh warna yang kilau kenalan
Ban Hong Liong-li menundukkan kepala untuk meniup mulut Yok Lan. Tubuh nona
itu agak menggeliat dan menghempus napas panjang lalu membuka mata.
Dengan wajah berhias senyum ramah. berkatalah Ban Hong Liong-li: "Lan-ji,
minumlah air salju ini !"
Ia segera menuangkan tepi mangkuk kemulut dara itu. Gin Liongpun cepat2
mendekati sumoaynya dan memberi keterangan,
"Lan moay, yang memeluk engkau ini adalah Liong-li lo-cianpwe."
Wajah Ki Yok Lan pucat lesi seperti mayat. Sinar matanyapun redup dan kesadaran
pikirannya limbung, Mendengar dirinya di peluk Liong-li lo-cianpwe, seketika
wajahnya memancarkan sinar kejut dan girang.
"Lan-moay, minumlah air salju yang diberikan Liong-li locianpwe penyakitmu tentu
sembuh," kata Gin Liong pula.
Rupanya dara itu tak mendengar jelas apa yang dikatakan suhengnya, Sepasang
matanya memandang lekat pada Ban Hong Liong-li.
Ban Hony Liong-li hanya tersenyum dan berkata pula: "Lan-ji. lekaslah minum,"
Yok Lan pelahan-lahan membuka mulutnya tetapi matanya tetap memandang tak
berkedip ke wajah Ban Hong Liong-li. Air matanya berderai-derai mengalir
membasahi pipi. Setelah air salju itu habis diminum, maka dari mulut Yok Lan terbaur hawa harum
yang sejuk. Ban Hong Liong-li segera menyerahkan mangkuk kumala dengan katak salju kepada
Gin Liong, Setelah itu ia menghapus air mata Yok Lan dengan ujung baju dan
dengan penuh kasih sayang menghiburnya.
"Lan-ji, jangan bersedih. Pulang dan tidurlah lagi, engkau tentu sudah sembuh."
Ban Hong Liong-li lalu mengemasi rambut sidara yang kusut.
Ki Yok Lan masih terlongong-longong memandang wajah Ban Hong Liong-li.
Rupanya ia masih bersangsi adakah wanita cantik dihadapannya itu benar2 Liong-li
lo-cianpwe. Tetapi menilik nada suaranya yang tak pernah dilupakan, akhirnya ia
mau percaya juga. "Lo-cianpwe. apakah engkau belum pergi ?" tanyanya sesaat kemudian.
Ban Hong Liong-li tersenyum rawan: "Lan-ji, jika tadi engkau tak muncul, saat
ini aku tentu sudah berada di kaki puncak Hwe-siau-hong."
Habis berkata wanita itu memandang ke cakrawala pula, Dengan wajah gelisah ia
berkata kepada Gin Liong:
"Liong-ji. bawalah sumoaymu ini pulang agar beristirahat sekarang aku harus
pergi." Pelahan-lahan ia mengisar tubuh Yok Lan. Gin Liongpun cepat menyambuti tubuh
sumoay-nya. "Lo-cianpwe. apakah engkau sungguh2 hendak meninggalkan kami ?" seru Yok Lan
dengan wajah sedih. Ban Hong Liong-li menghela napas dan mengangguk: "Nak, sesungguhnya aku tak
ingin meninggalkan kalian, Tetapi aku terpaksa harus pergi."
Memandang Gin Liong, wanita itu menunjuk pada mangkuk kumala, katanya:
"Liong-ji, mangkuk kumala hijau itu, termasuk salah sebuah benda pusaka dari
suku Biau. Aku sudah tak memerlukannya dan kuberikan kepadamu. Harap jaga baik2
jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat."
"Lo-cianpwe sudah menghadiahkan pedang pusaka Tanduk Naga, Bagaimana Liong-
ji temaha untuk menerima pemberian lo-cianpwe lagi ?" kata Gin Liong.
Sedangkan Yok Lan hanya memandang Ban Hong Liong-li dengan air mata
bercucuran. Dengan berlinang-linang, Ban Hong Liong-li berkata: "Nak, pulanglah. Bertahukan
suhumu bahwa Liong-li lo-cianpwe sudah pergi, Dia tak akan melihat Wulanasa
lagi." Berkata sampai disitu, air mata wanita itupun bercucuran. Tiba2 ia berputar
tubuh dan sekali ayun kaki, ia sudah melayang kedalam hutan.
Hampir Gin Liong dan Yok Lan serempak menangis: "Lo-cianpwe, harap suka
menjaga diri baik2. Kami tak dapat mengantar lo-cianpwe..."
Tetapi saat itu Ban Hong Liong-li sudah lenyap diantara gerumbul pohon siong.
Sambil masih terisak-isak, berkatalah Yok Lan: "Mengapa Liong-li lo-cianpwe tak
mau bertemu muka dengan suhu sendiri..."
Setelah menyimpan mangkuk kumala dan katak salju. Gin Liong menghapus air
matanya dan berkata: "Biarpun suhu marah tetapi aku tetap hendak mohon kepada beliau supaya suka
menceritakan tentang riwayat Liong-li lo-cianpwe."
Yok Lan gelengkan kepala.
"Ah, tak mungkin suhu mau memberitahu hal itu," katanya.
"Aku tentu akan memintanya mengatakan." kata Gin Liong berkeras, Kemudian ia
memandang wajah sumoaynya. "sumoay. bagaimana penyakitmu sekarang ?"
"Seluruh tubuhku seperti dialiri hawa panas. Aku merasa letih sekali," sahut Yok
Lan. Gin Liong tahu bahwa khasiat katak salju sudah mulai bekerja dalam tubuh
sumoaynya. "Kalau begitu mari kubawamu kembali kedalam kamar tidur, Liong-li lo-cianpwe
mengatakan, setelah tidur barang satu jam saja, engkau tentu sudah sembuh."
Ia terus memondong tubuh Yok Lan, loncat ke pagar tembok lalu melayang turun,
lari menuju keruang kediaman suhunya.
7. Sayup2 terdengar nyanyian duka
Dalam pelukan sukonya, hati Yok Lan mendebur keras, pipinya bertebar warna
merah. walaupun bukan sekali itu ia dipondong, tetapi setiap kali berada dalam
pelukan sukonya, hatinya tentu berdebar dan mukanya merah.
Saat itu ia rasakan tubuhnya disaluri aliran hawa yang hangat, merasa ngantuk
dan pikiran kabur Entah apakah yang diminumkan Liong-li cianpwe kepadanya"
"Liong koko, tadi Liong-li locianpwe memberi aku..."
Tiba2 Gin Liong berhenti Saat itu mereka sudah tiba di pintu ruang kuil, Dan
pemuda itu mencurah pandang kearah pintu kamar suhunya.
"Liong koko, mengapa berhenti ?" bertanya Yok Lan dengan bisik2.
Gin Liong terbeliak lalu menjawab: "Ah, tak apa2. Kuantarkan engkau kedalam
kamarmu." Dengan bergegas pemuda itu segera menerobos masuk kedalam ruang. Yok Lan
makin heran mengapa sukonya begitu tegang tampaknya.
Setelah meletakkan Yok Lan ditempat tidur dan menyelimutinya, Gin Liong segera
bertanya: "Apakah hari ini suhu datang menjenguk kemari ?"
Begitu rebah di tempat tidur, mata Yok Lan sudah kepingin tidur, ia paksakan
menyahut sambil gelengkan kepala: "Sudah tujuh hari, suhu tak pernah datang
kemari." Habis berkata dara itu terus tertidur.
Mendengar keterangan itu seketika berobahlah wajah Gin Liong. ia makin tegang,
serunya: "Lan moay, tidurlah aku akan keluar sebentar."
Ia menepuk kedua bahu sumoaynya lalu melesat keluar dan loncat ke pintu kamar
suhunya, sekali dorong, terbukalah pintu itu.
Permadani tebal yang menjadi alas tempat tidur, entah bagaimana, saat itu
ditutup dengan kain warna kuning.
Sudah tentu Gin Liong heran, Sejak dahulu tak pernah ia melihat hal semacam itu.
Pun pedupaan dari tembaga kuno yang terletak diatas meja, tiada mengepulkan
asap lagi. Tetapi ruang itu masih terdapat sisa asap dupa yang tipis.
Melihat keadaan itu Gin Liong seperti mendapat firasat yang tak baik. Cepat ia
keluar, mengunci pintu lalu lari keluar kehalaman, Tiba di ruang belakang,
keadaannya pun sunyi2, tiada dijumpainya barang seorangpun.
Lari ke ruang tengah, hanya bertemu dengan dua orang paderi kecil. Dengan wajah
cemas, kedua paderi kecil itu tengah menambahi minyak pada lampu.
Melihat Gin Liong, kedua paderi bocah itu segera menangis dan berseru:
"Liong suko, lekaslah engkau menuju kelapangan Ki-lok-jang dimuka gunung !"
Menggigillah Gin Liong, wajahnyapun membesi. Tanpa bertanya lebih lanjut, ia
terus lari keluar dan menuju ke ruang besar Tay-hud-tong.
Yang disebut lapangan Ki-lok-jang itu, adalah tempat kuburan dari para ketua dan
Tiang-lo kuil Leng-hun-si yang telah meninggal. Apabila seluruh paderi Leng-hun-
si berkumpul di tanah pekuburan itu, tentu menghadiri pemakaman dari paderi Leng-
hun-si yang berkedudukan Tiang-lo keatas.
Suatu bayang2 yang menyeramkan segera melintas pada benak Gin Liong, Betapa
tidak! Sudah tujuh hari lamanya Liau Ceng taysu tidak kembali ke kuil Leng-hun
si. Adakah suhunya itu telah dicelakai oleh Ma Toa-kong dan kawan-kawannya "
Teringat akan hal itu, terhuyung-huyunglah tubuh Gin Liong sehingga hampir
rubuh. Untung dia cepat2 dapat menenangkan diri lalu menuju ke sudut ruang Toa-
hud-tong. Didalam ruang Toa-hud-tian tampak asap dupa berkepul-kepul. Seorang paderi tua
yang kurus sambil membawa seikat api tengah melangkah pelahan-lahan keluar
ruang. Gin Liong makin gelisah sekali. Tanpa berkata apa2, ia terus lari melampuai
paderi tua itu, langsung menuju ke pintu kuil.
Rupanya paderi tua itu mendengar kesiur angin dari pakaian orang yang
menghampirinya, Tetapi ketika memandang orang itu, ternyata Gin Liong sudah
melesat keluar pintu kuil.
Saat itu, mentari sudah silam dibalik gunung. Cuaca menjelang rembang petang.
Puncak gunung-pun sudah mulai bertaburan kabut Cakrawala mulai menebarkan
selimut hitam. Gin Liong lari seperti orang kalap. Sinar matanya berapi-api, dahinya bercucuran
keringat. Memandang kemuka, lapangan Ki-lok-jang sudah kelihatan. Pagoda2 kecil tempat
jenazah yang berjajar-jajar berpuluh-puluh di makam itu, makin jelas diantara
gumpalan kabut. Seluruh paderi Leng-hun-si dengan jubah warna kelabu serempak berkumpul
dimuka sebuah makam yang baru. Mereka tegak berdiri menghadap makam baru
itu. Nyanyian duka dan mantra2 kematian, sayup2 terdengar dibawa hembusan
angin. Melihat itu Gin Liong makin kalap, Diluar kesadarannya, ia segera menumpahkan
kegelisahan hatinya dalam sebuah suitan panjang yang bernada sedih.
Gema suitan itu menembus awan, menimbulkan kumandang yang bergemuruh di
langit dari puncak Hwe-sian-hong.
Doa kematian di tanah makam Ki-lok-jang berhenti seketika, Seluruh paderi
serentak berpaling memandang kedatangan Gin Liong,
Seiring dengan berhentinya suitan, Gin Liong pun sudah tiba di tepi hutan,
melayang turun terus lari menghampiri. Dalam pada berlari itu mata pemuda itu
tetap melekat kearah rombongan paderi.
Tiba2 diantara rombongan paderi Leng-hun-si itu tampil seorang paderi berjubah
merah. Seketika berobahlah wajah Gin Liong dengan seri kegirangan yang menyala-nyala.
"Suhu...." ia berteriak girang dalam hati seraya pesatkan larinya.
Tetapi rasa kegirangan itu segera berobah pula rasa kesiap yang besar, Kiranya
paderi jubah merah itu bukan suhunya melainkan ji-susiok-cou atau paman kakek
guru yang kedua. Menggigillah hati Gin Liong, Diam2 ia bertanya dalam hati, kemanakah suhu dan
paman kakek-guru yang ketiga "
Serentak mata Gin Liongpun mencurah kearah makam pagoda yang baru itu...
Saat itu seluruh paderi Leng hun-si tahu bahwa yang menghambur suitan nyaring
dan yang tengah lari mendatangi itu, adalah Gin Liong yang telah menghilang
selama tujuh hari. Kawanan paderi itu terkejut dan berlinang-linang air mata, Merekapun tak pernah
menyangka bahwa murid dari kalangan orang biasa dari ketua mereka, ternyata
memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian mengejutkan.
Tiang-lo jubah merah yang memegang tongkat Giok-ji-ih, dengan wajah duka dan
kerutkan alis memandang kedatangan Gin Liong Diapun diam2 terkejut melihat
kepandaian Gin Liong. Pada saat sekalian paderi masih kesima, Gin Liongpun sudah tiba dan sekonyong-
konyong ia lari menghampiri makam pagoda yang baru dibangunkan itu seraya
menjerit: "Suhu..." Hanya sepatah kata yang dapat diucapkan karena tubuh anak muda itu terhuyung-
huyung lalu rubuh ke tanah yang tertutup salju. Setelah dua kali berguling-
guling. iapun pingsan. Gemparlah sekalian paderi Leng-hun-si. Mereka hiruk-pikuk berhamburan
menghampiri. Tetapi tiang-lo jubah merah cepat melesat dan mengulurkan tangan
mengangkat tubuh Gin Liong supaya duduk, Diurut-urutnya jalan darah anak itu
lalu perlahan-lahan menepuk-nepuk punggungnya.
Gin Liong membuka mata. Air matanya segera membanjir turun, Dengan
menggembor keras ia melonjak bangun terus hendak menelungkupi makam
pagoda yang baru itu. Tiang-lo jubah merah terkejut Cepat ia menyambar tangan Gin Liong: "Liong-ji..."
"Huak...." Gin Liong muntahkan segumpal darah segar. Tanah yang bertutup salju
putih segera bertebaran warna merah.
Gin Liong berlutut dihadapan makam baru.
Sambil memegang meja sembahyang, ia memandang ke arah makam yang berisi
jenazah Liau Ceng taysu, suhunya yang dicintai itu. Dengan kalap ia berteriak-
teriak memanggil suhunya. Air matanya bercucuran seperti banjir, Mulutnya pun berlumuran darah, Matanya
merah seperti terbakar. Melihat pemandangan itu, tiang-lo jubah merahpun hanya berdiri dibelakang Gin
Liong. Dia tak kuasa juga menahan cucuran air matanya.
Juga seluruh paderi Leng-hun-si segera mendekap muka dengan ujung lengan
jubah dan menangis tertahan.
Cuaca makin gelap, Kabut dingin makin tebal. Dilapangan makam Ki-lok-jang masih
berkumandang suara isak tangis.
Tiba2 Gin Liong hentikan tangisnya, Dengan heran ia memandang kearah sebatang
kimto (golok emas) yang terletak diatas meja sembahyang, Kim-to itu panjangnya
tiga puluhan senti, lebarnya satu setengah inci. Batangnya memancarkan sinar
keemasan yang menyilaukan
"Liong-ji, suhumu telah binasa oleh golok emas itu...." tiba2 tiang-lo jubah
merah berseru. Gin Liong tegak berdiri lalu mengambil kimto itu dan memeriksanya, Seketika
menggigil keraslah tubuhnya.
"Wulanasa..." tanpa disadari mulutnya berseru tertahan.
Seluruh paderipun berhenti menangis. Mereka serempak memandang kearah Gin
Liong dengan heran. Demikian tiang-lo jubah merah, Bergegas ia maju dua langkah, menunjuk golok
emas dan bertanya: "Liong-ji, tahukah engkau arti dari keempat huruf pada batang golok itu ?"
Gin liong tak menyahut melainkan memandang ke cakrawala dengan terlongong-
longong. Mulutnya mengingau seorang diri:
"Wulanasa... apakah yang membunuh suhu itu mungkin Liong-li locianpwe?"
Mendengar kata2 "Liong-li", tergetarlah hati tianglo jubah merah. Segera ia
Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berteriak marah: "Liong-ji, apakah golok emas itu miliki Ban Hong Liong-li ?"
Tiba-2 Gin Liong menghambur tawa keras yang sedih. Kumandangnya jauh
menebar ke seluruh penjuru hutan.
Seketika berobahlah wajah seluruh paderi Leng-hun-si. Mereka merasa darahnya
bergolak keras, jantung mendebur.
Tiang-lo baju merah terkejut. Tujuh hari menghilang, mengapa mendadak Gin Liong
memiliki tenaga-dalam yang sehebat itu.
Berhenti tertawa, Gin Liong segera berteriak keras2: "Mengejar lo-cianpwe, tentu
dapat mengetahui siapakah pembunuh suhu itu !"
Kata2 itu ditutup dengan sebuah loncatan ke udara. Sekali loncat, ia sudah
melayang turun sampai beberapa tombak jauhnya, ia lari kearah jalan yang
ditempuh Ban Hong Liong-li.
Segenap paderi Leng-hun-si tercengang menyaksikan tindakan anak muda itu.
sekonyong-konyong tiang-lo jubah merah berteriak memanggil:
"Liong-ji, kembali !"
Tetapi Gin Liong tak menghiraukan lagi, ia terus lari menuju ke hutan pohon
siong. Begitu masuk kedalam hutan. keadaannya gelap sekali tetapi serempak dengan itu
golok emas yang dicekalnya itu memancarkan sinar gemilang sampai seluas dua
tombak. Gin Liong terkejut ia baru menyadari bahwa golok emas itu ternyata sebuah
pusaka, ia teruskan larinya. Setelah melintas keluar dari hutan, ia berhadapan
dengan sebuah puncak karang, Memandang kebawah, ia terlongong-longong.
Dibawah puncak merupakan sebuah jurang yang tak diketahui berapa dalamnya
karena permukaannya tertutup oleh kabut tebal, Yang tampak hanya puncak
pohon siong dan batu yang menonjol.
Gin Liong bingung dan gelisah, ia bernafsu sekali untuk mengejar Ban Hong Liong-
li dan menanyakan siapakah yang membunuh suhunya.
Keinginan yang meluap-luap itu menyebabkan dia lupa bahaya, serentak ia ayun
tubuh melayang turun ke bawah. Karena kabut dan hari sudah gelap, maka ia
lambaikan layang tubuhnya.
Sekonyong-konyong pada saat kakinya menginjak sebatang pohon siong, ia rasakan
dadanya sakit dan hawa-murni dalam pusarnya naik sehingga pandang
matanyapun berkunang-kunang.
Gin Liong terkejut sekali wajahnya berobah pucat dan keringat dingin mengucur
deras, Tubuhnya pun makin laju meluncur turun. jaraknya masih kurang beberapa
meter dari pohon siong. Dengan paksakan diri dan tahan kesakitan ia bergeliatan,
menghambur teriakan dan cepat tancapkan golok emas ke pohon-pohon.
Cret Golok emas itu luar biasa tajamnya. Sekali tabas, seperti menabas tanah liat.
Batang pohon sebesar paha orang, segera terbabat hampir putus.
Gin Liong terkejut, karenanya tubuhpun meluncur turun lagi, ia menjerit nyaring
seraya menyambar sebatang dahan pohon yang menjulai ke bawah.
Pohon siong itu berderak-derak jatuh ke bawah. Dan ketika Gin Liong memandang
kebawah, ia melihat segunduk karang salju seluas satu tombak. Cepat ia mendapat
akal. Selekas lepaskan dahan pohon, ia terus bergeliatan melayang turun ke atas
karang salju itu. Tetapi tepat pada saat hampir menginjak karang es itu, pohon siong tadipun
meluncur menimpah kearahnya. Cepat ia bergelindingan kedalam karang es itu.
'Bum,' batang pohon siong menghantam permukaan karang es lalu mencelat ke
bawah lagi beserta hamburan salju.
Tempat Gin Liong menyusup masuk itu, merupakan sebuah cekung karang es yang
luasnya hanya satu meter. Hampir saja tempat itu hancur karena tertimpa batang
pohon. Setelah menenangkan diri, rasa sakit pada dadanya terasa lagi, ia menyadari
bahwa tadi karena dirangsang luapan amarah, hawa dalam tubuh telah menyerang ke ulu
hati. Dan karena dipergunakan untuk lari kencang, luka itu makin berat.
Disekelilingnya gelap gelita, Kabut tebal sekali sehingga ia tak tahu masih
berapa tombakkan dalam dasar jurang itu.
Ia menyadari pula bahwa tiada gunanya untuk terburu nafsu, Lebih dulu ia harus
menyembuhkan luka dalamnya. Tiba2 pula ia teringat akan katak salju yang
disimpan dalam bahunya. Pada waktu menjamah tubuh katak, air es yang merendam binatang itu hampir
tumpah, ia tak berani gegabah memegangnya.
"Jika katak salju itu kukulum dalam mulut entah apakah dapat mengobati lukaku?"
pikirnya. Maka dengan hati2 sekali ia segera mengambil katak salju itu lalu pelahan-lahan
dimasukkan kedalam mulut.
Begitu masuk kedalam mulut, Gin Liong rasakan suatu hawa yang harum menebar
dalam mulutnya, ia menelan hamburan air dari tubuh katak salju itu, seketika
dadanya terasa hangat dan rasa sakitpun hilang.
Gin Liong terkejut. Tak pernah ia menyangka bahwa hawa katak salju itu dapat
menebarkan khasiatnya sedemikian cepat sekali, Hawa hangat itu cepat menyalur
keseluruh anggauta tubuhnya, Tetapi iapun merasa ingin tidur sedemikian keras
rasa kantuk itu sehingga ia pejam mata dan tertidur.
Entah selang berapa lama, ketika bangun Gin Liong melihat kabut sudah menipis.
Cuaca gelap, dilangit penuh bertaburan bintang kemintang.
Tiba2 ia teringat akan katak salju yang dikulum dalam mulut tadi.
"Hai. kemanakah katak salju itu ?" serunya terkejut seraya mencabut golok emas
dan duduk. "Bum...." tiba2 salju yang dipijaknya berhamburan hancur sehingga ia terjerumus
meluncur ke bawah. Kejut Gin Liong bukan kepalang, Dengan menggembor keras ia gunakan jurus
Burung-rajawali-hinggap-didahan. Kepala berjungkir kebawah, kaki diatas.
Dia terus meluncur kesamping sebuah sebatang pohon siong, Kurang satu tombak
dari pohon siong itu, ia menekuk kedua kaki dan melintang tangan.
Dengan gaya itu berhasillah ia menginjak dahan pohon dengan sekali sehingga tak
menimbulkan suatu getaran pada dahan pohon.
Setelah menghapus keringat dingin dan menenangkan pikiran, ia mulai teringat
akan katak salju. Kemanakah gerangan katak itu". Apakah binatang itu meluncur
kedalam perutnya atau ketika ia tertidur, binatang itu meluncur keluar dan
mulutnya. Ah, aneh benar. Memandang keatas, karang es tadi sudah tak tampak lagi, Sedang
ketika memandang kebawah, ternyata dia masih memegang golok emas tadi.
Golok emas itu segera mengingatkan dia akan peristiwa kematian suhunya. Pikiran
untuk mencari katak salju segera hapus dan saat itu ia hanya memikirkan
Sumpah Palapa 20 Pendekar Rajawali Sakti 76 Iblis Penggali Kubur Balada Padang Pasir 1